Pencarian

Misteri Lukisan Tengkorak 1

Misteri Lukisan Tengkorak Seri 4 Opas Karya Wen Rui An Bagian 1


"Misteri LukisanTengkorak
~ SERI 4 OPAS ~
== 4 Warriors==
Karya : Wen Rui An
Penyadur : Tjan ID
Jilid 1 Penyadur: Tjan ID
Editor : Binarto Sutrisno Murtiyoso
Penerbit: CV Integrita
Cetakan Pertama: 2007
Hak cipta dilindungi undang-undang
DAFTAR ISI: Bab I: KULIT MANUSIA SULAMAN SUTRA
1. Lelaki Sejati Tidak Masuk Penjara 5
2. Mayat Berdarah 18
3. Kwan Hui-tok 33
4. Kehilangan Lengan 45
Bab II: IBLIS WANITA BUNGA BOTAN
5. Melarikan Diri 58
6. Kejadian Masa Lalu 76
7. Antara Lelaki Dan Wanita 90
8. Mendobrak Kepungan 103
9. Ilmu Golok Bisul 118
Bab III: AUMAN HARIMAU DI TENGAH MALAM
10.Siang Hitam Malam Putih 131
11.Jangan Tanya Siapa Aku 145
12.Pedang Kehidupan 158
13.Raja Opas 170
14.Mandi Bersama 183
Bab IV: JALA LANGIT PENGGUBAH IMPIAN
15.Gua Gelap 196
16.Jala Yang Tak Terlihat 214
17.Burung Gereja Dan Elang 226
18.Yu-sim Dan Yu-gi 238
Bab I. KULIT MANUSIA SULAMAN SUTERA.
1. Lelaki Sejati Tidak Masuk Penjara.
Tong Keng berbaring tanpa bergerak, selama matahari
belum tenggelam dia telah menghitung dua puluh sembilan
ekor lalat, tiga puluh ekor nyamuk, empat ekor kecoa
ditambah seekor belalang berlalu-lalang di dalam kamar
penjaranya. Tentu saja di bawah papan lembab yang ia
gunakan untuk berbaring, mungkin masih ada kelabang,
kalajengking dan serangga beracun lainnya yang ikut
memanfaatkan sinar matahari yang hangat untuk mengasah
kuku dan supitnya, cuma dia tak sempat melihatnya.
Cahaya matahari itu bergerak, membuktikan kalau di luar
sana ada angin, karena cahaya yang memancar di atas
bayangan daun ikut pula bergetar dan memantul. Asalkan
cuaca sedang baik, setiap kali sipir penjara selesai mengirim
rangsum makan siang dan berlalu, cahaya matahari pasti
menyempatkan diri mampir sebentar di dalam selnya.
Sinar itu hanya mampir sejenak karena tak lama kemudian
akan tenggelam, hanya dari dinding ruangan yang masih
terasa hangat, dia tahu kalau sinar matahari masih bersinar
terang di dunia luar sana.
Dunia luar sana masih tetap hidup!
Hanya dunianya yang telah mati!
Serangga-serangga yang hidup dalam ruangannya saja
yang bisa masuk keluar secara bebas, sementara dia, asal
dilupakan sipir penjara selama tiga hari saja, dia akan segera
menggumpal bagaikan segenggam kerak nasi, mati kelaparan
di situ. Cahaya matahari terasa begitu indah, terasa begitu bagus
dan begitu hangat, tapi sebentar lagi segera akan tenggelam
di langit barat, mengapa ia tidak berhenti sejenak, sejenak
saja untuk menghilangkan rasa dahaga seseorang" Sungguh
aneh, mengapa ia tak pernah mau meluangkan sedikit waktu
untuk menikmati kehangatan sang surya di masa lalu.
Baru saja ia berpikir sampai di situ, terdengar suara
gemerincing keras bergema memecah keheningan.
Suara gemerincing keras yang menggema dalam ruangan
itu biasanya terjadi karena dua keadaan: Pertama, ada
seorang narapidana yang sedang berjalan di lorong sel dengan
menyeret borgol besinya yang amat berat. Kedua, ada
seorang sipir penjara sedang menggunakan rantai besar untuk
memborgol seseorang dari dalam penjara dan menyeretnya
keluar. Dalam keadaan seperti ini, asal dia bertiarap di lantai
penjara dan mengintip dari celah-celah di bawah pintu,
seringkali terlihat telapak kaki seseorang yang penuh
berlepotan darah, darah dari luka di pergelangan kaki yang
dirantai dengan borgol berat, kadang kala terlihat juga
pemandangan sadis yang menggidikkan, seorang sipir bui
yang sedang melecuti tubuh seorang narapidana.
Setiap kali dilecut, tubuhnya akan gemetar keras, biasanya
tak ada gunanya bagi narapidana untuk merengek minta
ampun, karena sebagai gantinya hanya rintihan kesakitan
yang diperoleh, biasanya ia hanya berani mendengarkan, tak
berani mengintip lebih jauh.
Waktu itu adalah saat setelah pembagian 'bubur ingus
hidung', penghuni sel selalu menyebutnya sebagai 'bubur'
bukan 'nasi', karena nasi yang ditanak sedemikian encernya
hingga lebih mirip ingus yang meleleh dari hidung, adakalanya
di antara 'bubur ingus' itu terselip juga hancuran sayuran atau
daging cincang, itupun hanya bisa ditemukan secara lamatlamat.
Biasanya para narapidana akan merasa lemas dan kemalasmalasan
selesai bersantap hidangan semacam ini, hanya kutu
busuk yang hidup paling makmur dalam sel itu, asal seseorang
mulai membaringkan diri, mereka pun akan mulai berpestapora.
Kembali terdengar suara gemerincing nyaring serta suara
sesuatu benda berat bergeser di atas permukaan tanah, suara
itu mirip sekali dengan suara gesekan antara lantai berlapis
baja dengan rantai baja.
Akhirnya suara itu berhenti tepat di sisi ruang sel yang
dihuninya. Tong Keng dapat membayangkan betapa menyebalkan
tampang muka keempat lima orang sipir yang mengikut di
belakang narapidana itu, begitu memuakkan mirip tampang
kuda atau sapi dari para penjaga neraka.
Apakah secepat itu tiba pada gilirannya"
Berpikir sampai di situ Tong Keng merasa sekujur badannya
kaku dan mengejang keras.
"Thio Gi-hong, keluar!"
Menyusul suara teriakan keras itu, suara pintu penjara
bergeser keras diikuti suara langkah kaki narapidana yang
makin menjauh. Sebelum meninggalkan lorong penjara, para narapidana
senang sekali menggunakan rantai yang memborgol tangan
atau kakinya untuk menggesek di atas pintu dinding ruang sel
hingga menimbulkan suara nyaring, suara itu pertanda dia
telah pergi dari situ.
Biasanya narapidana yang sudah dipanggil keluar dengan
cara begini, sebagian besar tak akan balik lagi, pergi untuk
selamanya. Bagi mereka yang beruntung bisa keluar dari penjara pun
biasanya sudah dianggap mati oleh sanak keluarga dan para
tetangganya, sebab mereka tak pernah memperoleh kabar
beritanya lagi.
Itulah sebabnya bila ada narapidana dipanggil sipir kepala
dalam suasana semacam ini, biasanya mereka mengira tipis
harapan untuk bisa balik dalam keadaan hidup, tak heran jika
mereka sengaja menimbulkan suara yang berisik sesaat
sebelum pergi, anggap saja sebagai tanda perpisahan dengan
rekan sesama narapidana.
Beapapun malasnya para narapidana, dalam keadaan
begini biasanya mereka akan merangkak ke depan terali besi
atau ke lubang angin sambil menyapa, dianggapnya sebagai
perjumpaan terakhir mereka di alam dunia ini.
Tatkala kepala sipir memanggil nama "Thio Gi-hong", Tong
Keng segera merasakan hatinya lega, tapi pada saat
bersamaan dia pun merasa tegang.
Thio Gi-hong tinggal di sel penjara persis berhadapan
dengan sel tempat tinggalnya, di hari-hari biasa, ketika para
penjaga penjara sudah menjauh, biasanya Tong Keng saling
bertukar informasi dengan orang ini. Selama ini entah sudah
berapa ribu kali mereka berhubungan.
Tapi kini Thio Gi-hong harus pergi dari situ, kontan Tong
Keng merasa hatinya kosong, dia seolah kehilangan sesuatu.
Tak kuasa ia melongok keluar lewat lubang angin,
dilihatnya paras muka Thio Gi-hong telah berubah menjadi
keabu-abuan, sekujur badannya gemetar keras, dia seakan
merasa digelandang oleh kawanan iblis.
Ketika Tong Keng memandang sekali lagi, Thio Gi-hong pun
melirik sekejap ke arahnya, sorot matanya begitu kosong
seakan tanpa kehidupan.
Menyaksikan sorot mata itu, Tong Keng merasa tubuhnya
seakan terjerumus ke dalam rawa-rawa, ia terkapar di lantai
dengan lemas. Senja sudah semakin kelam, kegelapan mulai menyelimuti
seluruh penjara.
Mengapa Thio Gi-hong digelandang pergi"
Mula-mula Lan-lotoa, kemudian Thio Gi-hong, semuanya
sudah diseret keluar, kini yang tersisa hanya dia dan Go Sin,
kemana perginya Go sin"
Mereka telah menuduh kami tanpa bukti, memfitnah kami!
Mengapa mereka harus menggelandang kami semua"!
Dengan penuh amarah dan perasaan dendam Tong Keng
berpikir, keadaannya sekarang ibarat matahari yang sudah
tenggelam di langit barat, seakan suasana malam yang gelap
gulita mencekam seluruh sel penjara.
Dia mencoba menghitung, sejak memasuki penjara besar
Cing-thian delapan bulan berselang, tidak termasuk mereka
yang tak kenal, dari teman-teman narapidana yang pernah
bekerja bersama atau pernah kenal ketika mandi bersama di
tempat pemandian umum sebulan sekali, paling tidak sudah
ada enam tujuh belas orang yang dipanggil keluar dengan
cara begitu dan tak pernah kembali lagi.
Kemana mereka pergi"
Kesalahan yang dia lakukan terhitung sebuah kasus yang
amat besar karena telah merampok pejabat 'anjing',
sebaliknya narapidana macam Tham Po, Tan Chong dan
kawan-kawan hanyalah maling kecil, copet pasar, mengapa
orang-orang itupun turut dilenyapkan tanpa bekas"
Mengapa tak seorang pun yang mengusut tuntas peristiwa
ini" Apa yang sedang dialami Thio Gi-hong saat ini"
Tong Keng menggunakan kepalannya meninju pintu besi
itu perlahan, suara benturan yang menggetarkan itu tak
mampu menjebol semua teka-teki yang menyelimuti
perasaannya. Dia meninju dan meninju terus, tapi dalam belantara
penjara yang tak bertepian, dia seperti seekor hewan yang
sedang mendekam sambil bernapas berat.
Lamat-lamat ia merasa kepalannya mulai sakit hingga
merasuk ke dalam hati, dari balik kegelapan dia seakan
menyaksikan dirinya sendiri bersama saudara-saudara
perusahaan ekspedisi sedang melangsungkan pertempuran
sengit. Kepalannya dengan garang diayunkan kian kemari, langkah
kakinya berayun bagaikan harimau murka, musuh satu demi
satu roboh terjungkal di tanah, sementara musuh yang
berkerudung hitam makin lama mengalir datang makin
banyak, di antara tebasan pedang dan kilatan golok, mereka
menerjang dan menyerbu bagaikan gelombang samudra.
Sementara itu dia bersama Lan-lotoa, Go Seng serta Thio
Gi-hong dengan mati-matian melindungi keturunan Ui-tayjin
beserta uang hasil pajaknya, selangkah pun enggan mundur.
Dia masih teringat jelas bagaimana Congpiauthau
perusahaan ekspedisi, Ko Hong-liang, memutar golok
besarnya untuk melakukan perlawanan, dimana goloknya
menyambar, percikan darah berhamburan kemana-mana,
musuh mundur dengan sempoyongan sambil mendekap
lukanya, akan tetapi ... musuh yang menyerbu datang makin
lama semakin banyak.
Belakangan datang lagi satu rombongan manusia
berkerudung, kungfu yang mereka miliki luar biasa hebatnya.
Rekan-rekannya mulai bercucuran darah, mulai bercucuran
keringat, makin lama mereka semakin penat, makin kehabisan
tenaga dan kemudian satu per satu saudara-saudara sehidupTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
sematinya roboh bergelimpangan di tengah cahaya golok,
terkapar bersimbah darah, terkapar untuk tidak bangun lagi.
Berpikir sampai di sini, pukulan Tong Keng makin lama
bertambah nyaring, seakan-akan baru saja dia membantai
beberapa orang musuh yang ada di hadapannya ....
Mendadak ia merasa tangannya sakit sekali, Tong Keng
segera menghentikan pukulannya, ternyata kulit kepalannya
telah robek dan mulai berdarah, sementara di atas pintu baja
muncul sebuah lekukan yang dalam.
Tong Keng memang sudah menghentikan pukulannya,
namun suara pantulan yang dihasilkan dari gempurannya tadi
masih mendengung tiada hentinya.
Semua penghuni penjara, menyusul diseretnya Thio Gihong
meninggalkan ruang penjara itu mulai mengikuti jejak
Tong Keng, menabuh pintu penjara masing-masing dan
meneriakkan suara jeritan yang keras.
Tampaknya kegaduhan ini mengejutkan para sipir penjara,
berbondong-bondong mereka muncul di ruangan sambil
membawa toya. "He, ada apa ini" Mau apa kalian?" tegurnya dengan suara
lantang. "Mau memberontak, haah?"
"Berani menabuh lagi, akan kupotong tangan kalian!"
Lambat-laun suasana di dalam penjara pun kembali dalam
keheningan. Pada saat itulah terdengar suara batuk dari kepala sipir
Liong, suasana bertambah hening.
"Apa yang terjadi?" tanya kepala sipir Liong yang
mempunyai julukan Liong Giam-ong (raja akhirat Liong),


Misteri Lukisan Tengkorak Seri 4 Opas Karya Wen Rui An di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

setiap kali memberi hukuman kepada para narapidana yang
melakukan pelanggaran, biasanya dia akan memerintahkan
orang untuk melukai panca-inderanya terlebih dulu, dan satu
ciri khasnya adalah dia akan memaksa setiap narapidana
untuk menyaksikan dengan mata kepala sendiri setiap
hukuman yang sedang dilakukannya.
"Mereka ... mereka membuat kegaduhan!"
"Siapa otak kegaduhan ini?"
"Kelihatannya ... kelihatannya ketukan pintu diawali dari
kamar sel nomor enam."
"Ehm, orang she Tong di sel nomor enam itu satu
komplotan dengan orang yang barusan digelandang, seret dia
keluar!" "Blaaam!" menyusul suara anak kunci yang berputar di atas
gembok, pintu didorong orang kuat-kuat, empat orang sipir
berjalan masuk ke dalam sel dengan garang, seakan hendak
mencincang tubuh Tong Keng menjadi delapan bagian.
"Keluar!"
Tong Keng didorong hingga sempoyongan.
Dengan langkah terhuyung Tong Keng keluar dari selnya,
nyaris dia menumbuk tubuh Liong Giam-ong, untung ia segera
menghentikan langkahnya dengan cepat.
Lantaran kelewat cepat berhenti, badannya jatuh
terjerembab, saking kerasnya ia terjatuh hingga
wajahnya menumbuk kaki kepala sipir itu.
Liong Giam-ong segera meludah, riak kental yang kuning
langsung menyembur ke wajah Tong Keng, menyusul
kemudian sebuah tendangan membuat tubuhnya roboh
telentang. "Kau...." teriak Tong Keng penuh amarah.
"Kau kenapa?" ejek Liong Giam-ong sambil tertawa dingin,
"jangan kau anggap aku tak tahu tipu muslihatmu" Hm,
bukankah kau sengaja menjatuhkan diri ke belakang dengan
meminjam tenaga tendanganku tadi?"
Kemudian dengan sorot mata berapi-api lanjutnya, "Jangan
dikira setelah menjadi seorang Piausu perusahaan ekspedisi
Sin-wi-piau-kiok lantas kau boleh membuat onar di sini. Hm!
Terus terang aku beritahukan, setelah kau berada di tempat
ini, biarpun kau seorang Enghiong Hohan sekalipun tetap
harus minum air bekas cuci kakiku!"
Setelah meludahi kembali wajah Tong Keng, terusnya pula,
"Kau tidak percaya" Bulan berselang, seorang Enghiong luar
biasa yang dipuja-puja dan diacungi jempol oleh setiap
penduduk Soat-pak, Kwan Hui-tok, terkulai lemas di sini
setelah sebuah otot kakinya kubetot keluar."
Kwan Hui-tok tersohor sebagai seorang jagoan, seorang
gagah yang berjiwa ksatria, dia gemar menolong kaum lemah
menentang kaum kuat, semua orang memujinya sebagai
seorang lelaki ksatria, di hari biasa pun suka merampok yang
kaya untuk menolong yang miskin, biarpun masuk penjara, dia
masih sering menolong orang yang lemah atau sakit, hampir
semua penghuni sel menyebutnya Kwan-toako, tapi akhirnya
ia harus menerima nasib tragis di tangan kepala sipir ini.
Seorang Enghiong Hohan harus cacad sepasang kakinya
gara-gara ototnya dibetot Liong Giam-ong, bukan saja cacad
seumur hidup, bahkan nasibnya lebih mengenaskan daripada
mati. Kembali Liong Giam-ong tertawa terkekeh-kekeh, ujarnya
lebih jauh, "Tahukah kau, dengan cara apa kukerjai dirinya"
Dia ... betul kungfunya memang hebat, tapi apa gunanya
memiliki kungfu yang hebat" Toh dia tetap butuh makanan
dariku! Setelah makan nasi kirimanku, tubuhnya pun menjadi
lemas, dia hanya bisa menyaksikan aku mencabuti semua otot
kakinya tanpa bisa berbuat banyak, nyaris 'anak
kesayangannya' pun ikut kupotong"
Mendengar perkataan itu, apalagi terbayang kembali
bagaimana baiknya Kwan-toako selama berada dalam penjara,
merawat dan memperhatikan saudara senasib lainnya, kontan
Tong Keng merasa darah panasnya bergelora keras, tanpa
membayangkan bagaimana akibatnya, dia berteriak nyaring,
"Setiap rakyat yang melanggar peraturan selalu dihukum
sesuai dengan hukum negara, kau tak lebih hanyalah seorang
sipir penjara, berani amat main siksa secara kejam di sini,
sebetulnya kau masih terhitung manusia atau bukan!"
Teriakan itu sama sekali di luar dugaan siapa pun,
termasuk beberapa orang sipir penjara yang kebetulan hadir
di situ, semua orang menjadi tertegun sambil berdiri melongo.
Keras dan nyaring teriakan Tong Keng itu, nyaris seluruh
penghuni penjara dapat mendengarnya secara jelas.
Melotot besar sepasang biji mata Raja akhirat she Liong ini,
ibarat minyak yang sudah terguyur di sekujur tubuhnya, cukup
sebuah pematik api sudah dapat membuatnya meledak hebat.
"Bagus, bagus sekali!" jeritnya kalap, "manusia dari marga
Tong! Tampaknya kau memang sudah bosan hidup!"
Sudah telanjur basah, Tong Keng semakin tak berpikir
panjang lagi, kembali teriaknya, "Masalah Kwan-toako
merupakan masalah kami semua, kau telah menyiksanya
hingga cacad, kami akan naik banding dan menuntut keadilan
dari pejabat terkait!"
"Naik banding" Naik banding makmu!" umpat Raja akhirat
Liong semakin sewot.
"Naik banding dengan makmu juga boleh! Pokoknya kau
harus bertanggung jawab atas semua perbuatan yang telah
kau lakukan. Bukan hanya masalah Kwan-toako yang sudah
kau bikin cacad itu saja, bagaimana dengan saudara-saudara
senasib lainnya" Padahal mereka hanya dikurung dua tiga
bulan, paling lama pun hanya setengah atau satu tahun, tapi
kenyataannya setiap orang yang kau seret keluar segera
hilang tak berbekas, bilang! Mereka telah kalian apakan?"
"Kau ... mereka ... mereka sudah dipindah ke penjara lain,
apa urusannya dengan kau?" tiba-tiba suara si Raja akhirat
Liong sedikit melunak.
"Dipindah ke penjara lain?" Tong Keng semakin gusar, ia
tertawa seram, "Menurut aturan, jika mereka telah
menyelesaikan masa hukumannya, mereka seharusnya sudah
dibebaskan, mengapa kami tidak menerima surat dari mereka"
Mengapa tak seorang pun yang datang menjenguk kami?"
"Menjenguk manusia busuk macam kalian?" jengek Raja
akhirat Liong, "setelah bebas dari penjara, tentu saja mereka
akan berubah cara hidupnya, tentu saja mereka enggan
menginjakkan kaki kembali ke tempat busuk macam begini."
"Bagus, katakanlah mereka sudah melupakan rekan-rekan
lamanya, mereka tak ingin datang, tak bisa datang, kenapa
keluarga mereka pun tidak tahu kalau mereka sudah bebas?"
"Kau saja yang masih tersekap di sini, darimana bisa tahu
semua urusan kentut" Siapa tahu mereka sudah kabur dengan
bini orang dan punya anak lagi di tempat lain?" kata Liong
Giam-ong gusar.
"Tapi keluarga mereka yang datang menjenguk ke penjara
mengatakan kalau orang-orang itu sudah lenyap..."
Kali ini Liong Giam-ong tidak menanggapi lagi ucapan itu, ia
memberi tanda kepada beberapa orang sipir yang membawa
toya. Maka ayunan tongkat dan hujanan bogem mentah pun
bersarang secara bertubi-tubi di tubuh Tong Keng.
Dalam keadaan sepasang tangan terborgol dan kaki pun
dirantai, sulit bagi Tong Keng untuk menghindarkan diri,
kontan dia terhajar telak hingga terguling di lantai.
Kembali Liong Giam-ong mengejek sambil tertawa seram,
"Kau anggap dirimu seorang Hohan" Kalau memang Hohan,
jangan lakukan pelanggaran, mau apa kau masuk bui?"
Sekali lagi beberapa orang sipir penjara mengayunkan
tongkat serta bogem mentahnya, lagi-lagi Tong Keng dihajar
habis-habisan. Pada saat itulah mendadak terdengar ada orang menabuh
pintu penjara keras-keras, pada mulanya hanya ada satu dua
orang, menyusul kemudian tujuh delapan orang, tak selang
berapa saat kemudian hampir semua penghuni penjara telah
ikut menabuh pintu sel masing masing.
Suara tetabuhan yang keras menggema di seluruh ruangan
dan menimbulkan gelombang pantulan yang sangat
memekakkan telinga, makin lama suara tetabuhan itu semakin
keras dan gencar, akhirnya nyaris tiada suara lain yang
terdengar kecuali suara tetabuhan nyaring itu.
Selama hidup belum pernah Liong Giam-ong menghadapi
kejadian seperti ini, untuk sesaat ia menjadi melongo dan
berdiri tertegun.
Seluruh narapidana mulai berteriak-teriak, mulai menjerit
keras, sambil memukul pintu sel keras-keras, mereka
berteriak, menjerit, mengumpat dan bersorak. Para sipir
penjara saling berpandangan, untuk sesaat mereka pun tak
tahu apa yang mesti dilakukan.
Peluh sebesar kacang kedelai mulai jatuh bercucuran,
membasahi seluruh jidat dan tubuh Liong Giam-ong,
perintahnya kemudian, "Kembalikan dia ke dalam selnya!"
Beberapa orang sipir penjara itu segera menarik tubuh
Tong Keng dan dilemparkan kembali ke dalam selnya,
kemudian, "Blaaam!", mengunci kembali pintu sel rapat-rapat.
Setelah itu lekas Liong Giam-ong mengajak anak buahnya
kabur meninggalkan tempat itu, penjagaan segera diperketat,
petugas ditambah dan pintu gerbang dikunci dengan ketat.
Sampai lewat tengah malam suasana kekalutan dalam
penjara baru perlahan-lahan mereda.
Berada dalam kegelapan yang mencekam, Tong Keng
mencoba mengatur pernapasan, masih untung aliran ilmu silat
yang dipelajarinya adalah ilmu Gwakang yang keras, lagi pula
dia pun mahir Sam-tian-khi-kang dari aliran Siau-lim-pay yang
tangguh, sehingga hajaran dari beberapa orang sipir tadi tak
sampai melukai otot serta tulangnya.
Baru selesai mengatur pernapasan, mendadak Tong Keng
mendengar ada orang sedang memanggilnya dari kejauhan,
"Tong-samko, Tong-samko!"
Tong Keng segera mengenali suara panggilan itu sebagai
suara Go Seng, salah seorang Piausu perusahaan ekspedisi
Sin-wi-piau-kiok yang dijebloskan ke dalam penjara
bersamanya, sejak masuk penjara, kedua orang itu kehilangan
kontak, baru hari ini dia bisa mendengar kembali suaranya.
Mungkin gara-gara peristiwa yang dilakukannya tadi, Go
Seng baru tahu kalau dia pun disekap di situ.
Untung lantaran peristiwa sore tadi, semua sipir penjara tak
ada yang berani mendekati tempat itu, maka Go Seng pun
menggunakan kesempatan itu untuk memanggil saudaranya.
"Go Seng ... Go Seng...." Tong Keng segera menyahut.
Go Seng menjadi kegirangan, kembali teriaknya, "Tongsamko,
kau tidak apa-apa?"
"Aku tidak apa-apa, aku sehat-sehat saja, hanya beberapa
pukulan masih sanggup kutahan."
"Samko, kau mesti berhati-hati, setelah kejadian hari ini,
Liong Giam-ong pasti tak akan melepaskanmu."
"Aku tahu, aku memang sudah menunggunya," jawab Tong
Keng cepat. Terdengar Go Seng menghela napas panjang, selain dia,
terdengar juga beberapa orang yang berada dalam sel ikut
menghela napas.
Tong Keng tahu, banyak orang sedang menguatirkan
keselamatan jiwanya, perhatian yang begitu besar dari rekan
senasib membuat perasaannya menjadi hangat.
Pada saat itulah terdengar seorang sipir penjara mendekati
sel yang dihuni Go Seng, memukul pintu sel keras-keras
sambil menghardik, "He, jangan bicara!"
Dibentak begitu, Go Seng tak berani lagi berbicara.
Perlahan-lahan Tong Keng berduduk, ia merasa lantai
sangat dingin, hawa dingin serasa menusuk hingga ke tulang
sumsum, ia baru sadar, ternyata musim gugur telah lewat. Ini
berarti sudah cukup lama ia disekap di situ.
Dia tak tahu, apakah esok masih bisa menghirup udara
segar. Apakah masih ada hari esok baginya"
oooOOooo 2. Mayat Berdarah.
Hari belum terang tanah, dalam lelap tidurnya, Tong Keng
mendengar suara anak kunci yang membuka gembok pintu
sel, hatinya waspada, sekali loncat ia sudah terjaga dari
tidurnya. Pintu sel sudah dibuka orang, ada tujuh delapan orang sipir
masuk ke dalam ruangan dan menjepit tangan serta kaki Tong
Keng, kemudian menyeretnya keluar.
"Mau apa kau?" bentak Tong Keng gusar.
Tapi tubuhnya sudah terseret keluar, Tong Keng ingin
melawan, tapi ia sadar, setelah berada dalam kondisi seperti
ini, mau meronta pun tak ada gunanya, maka setelah
menghela napas panjang, ia pun membiarkan tubuhnya
dibelenggu orang dan diseret keluar.
Dengan sempoyongan Tong Keng keluar dari penjara, dari
balik kegelapan ia menyaksikan seseorang telah menanti
kedatangannya, orang itu tak lain adalah Liong Giam-ong.
Tong Keng sadar, setelah terjatuh ke tangan orang ini,
sudah pasti akan berakhir dengan keadaan tragis, maka tak
sepatah kata pun yang diucapkannya, dia hanya
mengawasinya dengan mata melotot gusar.
Liong Giam-ong tertawa dingin, dia segera memberi tanda,
para sipir penjara pun menyeret Tong Keng menuju keluar
penjara. Baru melalui tujuh delapan buah sel, beberapa orang
narapidana yang berada di balik sel sudah terjaga karena
kejadian itu, namun mereka hanya bisa menyaksikan kejadian
itu dengan mulut membungkam, tak seorang pun berani
bersuara. Ketika hampir keluar dari bangunan penjara, sewaktu
melewati sebuah ruang sel yang di depan pintunya terdapat
tujuh delapan buah gembok besar, mendadak dari balik ruang
penjara terdengar seseorang menegur dengan suara rendah,
"Apa yang hendak kalian perbuat terhadapnya?"
Sebenarnya beberapa orang sipir itu berjalan dengan
kepala mendongak dan dada dibusungkan, namun begitu
mendengar suara teguran yang berat itu, tanpa sadar mereka
segera menyurut mundur, malah perjalanan pun tak berani
dilanjutkan. Dua orang sipir yang tampaknya lebih berpengalaman
segera menjawab, "Kwan ... Kwan-toako ... kau ... selamat
pagi" Sesaat orang yang berada dalam penjara membungkam.


Misteri Lukisan Tengkorak Seri 4 Opas Karya Wen Rui An di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kembali sipir itu berkata, suaranya terbata-bata, "Kami ...
kami hanya ... hanya melaksanakan perintah"
"Melaksanakan perintah siapa?" kembali orang itu menegur.
Tak ada yang berani bicara, semua sipir terbungkam.
"Apakah perintah Li Ok-lay" Jangan kelewatan!" kembali
orang itu menambahkan.
Beberapa orang sipir penjara itu hanya saling pandang tak
berani menjawab.
Dalam keadaan remang-remang, Tong Keng sempat
memperhatikan sekejap sekeliling tempat itu, ia lihat ruang sel
itu tak jauh berbeda dengan ruang sel pada umumnya, hanya
ruang ini jauh lebih sempit dan besi yang melapisi pintu serta
terali besinya jauh lebih besar, tebal dan kuat.
Gerak-gerik Liong Giam-ong tampak mulai tak leluasa,
sesaat kemudian ia baru berkata, "Kwan ... Kwan-ya, ini
peraturan penjara, kami hanya menjalankan perintah, kau ...
lebih baik kau jangan mencampuri urusan ini!"
"Liong Ci-po!" mendadak orang dalam sel itu menghardik
nyaring. Liong Giam-ong nampak terkesiap, tanpa sadar ia mundur
beberapa langkah.
Terdengar orang yang berada di dalam sel itu menghardik
lagi, "Kau telah melolohi aku dengan obat pemabuk, membuat
cacad sepasang kakiku, kemudian mengebiri aku, apakah
semuanya ini adalah idemu?"
Berubah hebat paras muka Liong Giam-ong, ia perhatikan
sekejap gembok yang ada di depan pintu, setelah yakin cukup
kuat, ia baru berani menjawab, "Kwan ... Kwan-toako ... aku
... aku sendiri pun terpaksa!"
Orang yang berada di dalam sel tertawa getir, kemudian
sekali lagi menarik napas panjang, tampaknya ia sedang
berusaha mengendalikan gejolak emosinya, setelah itu baru
ujarnya, "Baiklah, Liong Ci-po, aku tidak menyalahkan dirimu.
Sekarang katakan terus terang, apa benar Li Ok-lay?"
"Li... Li-tayjin ... dia...." Liong Giam-ong semakin tergagap.
"Cepat katakan!" kembali Kwan Hui-tok yang berada di
dalam sel menghardik, "Li Ok-lay atau Li Ciu-tiong?"
Sungguh keras suara bentakan itu, bukan saja membuat
Liong Giam-ong terkaget hingga anak kunci dalam
genggamannya terjatuh ke lantai, sembilan puluh persen
narapidana penghuni kedelapan belas bilik sel dalam penjara
Thian-cing pun ikut tersentak bangun dari tidurnya.
"Kau ... Kwan-toako, aku tidak tahu" sahut Liong Giam-lo
dengan suara gemetar, "aku tahu, reputasi dan kedudukanmu
dalam dunia persilatan amat tinggi, tapi setelah tiba di sini,
kalian harus mengikuti semua perintah Li-tayjin dan Li-kongcu.
Sebetulnya kami semua merawat dan melayanimu secara
baik-baik, tapi..."
Kwan Hui-tok meraung keras, dengan nada pedih tukasnya,
"Narapidana wanita dalam penjara pun manusia, tapi
kenyataannya Li Ciu-tiong merogol mereka, menganiaya
mereka, bagaimana mungkin aku bisa berpeluk tangan!"
Liong Giam-ong memperhatikan sekejap rantai gembok
yang berada di depan pintu sel, kemudian memandang pula
anak buahnya yang berada di sekitar situ, keberaniannya
segera tumbuh kembali, katanya, "Boleh saja kau ikut campur
dalam urusan itu, tapi kau ... sesungguhnya Li-kongcu sangat
menghargaimu, ingin mempromosikan kau, tapi setelah kau
berani menyalahi beliau, kini kau harus menderita cacad
sepanjang hidup, jangan salahkan kalau kami terpaksa harus
bertindak keji!"
"Liong Giam-ong!" tiba-tiba Kwan Hui-tok memanggil lagi
dengan suara yang lebih tenang.
"Ada apa?"
"Kemarin kau bicara takabur di ruang sebelah, katanya
kaulah yang sudah mengebiri aku, membuat cacad kakiku, apa
benar begitu?"
Dengan mengeraskan kepala dan membulatkan tekad,
Liong Giam-ong menjawab, "Sebetulnya atas perintah Likongcu
... memang ... memang aku yang melakukan, mau apa
kau?" "Sekarang kakiku sudah cacad, manusia tak mirip manusia,
setan pun tak mirip setan, Li-tayjin tak akan merecoki aku lagi,
tentu saja kau pun tak usah takut kepadaku lagi bukan?"
"Orang she Kwan, dulu ... dulu aku menghormatimu
sebagai seorang Hohan, sudah kuberi muka kepadamu, kau
selalu menolak, jangan salahkan kalau sekarang aku bertindak
tanpa perasaan kepadamu."
"Bertindak tanpa perasaan" Bertindak tanpa perasaan ...
bagus, bagus sekali!" orang itu tertawa seram.
Liong Giam-ong sangat mendongkol, dengan penuh amarah
serunya, "Ayo jalan! Tak usah menggubris orang cacad itu
lagi!" Mendadak, "Blaaaam!", seolah-olah ada benda berat yang
menghantam pintu sel itu satu kali.
Begitu berat dan dahsyatnya benturan itu membuat seluruh
badan pintu baja itu bergetar keras, "Kraaak!", salah satu
gembok yang tergantung di luar pintu seketika patah menjadi
dua dan "Sreeet!", meluncur keluar dengan kecepatan tinggi.
Tergopoh-gopoh Liong Giam-ong menghindar ke samping,
gembok yang seharusnya meluncur ke arah iganya kini
menghajar persis di atas bahunya, "Kraaak!", diiringi benturan
keras, tulang bahunya terhajar retak.
Liong Giam-ong kesakitan setengah mati, sambil
memegangi bahu kirinya yang terluka, dia meringis lalu
menggigit bibir menahan sakit yang bukan kepalang.
Terdengar orang yang berada di dalam sel kembali berkata
sambil tertawa, "Masih untung aku si manusia cacad masih
memiliki sepasang tangan ... bagaimana kalau sepasang
lengan inipun sekalian kau kutungi?"
Tong Keng merasa kagum setengah mati, dia tak
menyangka Kwan Hui-tok yang sudah cacad dan disekap
dalam penjara baja ternyata masih memiliki kepandaian
sehebat itu. Ia makin cemas setelah mendengar perkataan
terakhir, sebab sehebat dan segagah apapun Kwan Hui-tok, ia
tetap masih berada dalam penjara, jika sampai membuat
dendam Liong Giam-ong, takutnya serangan terang-terangan
bisa dihindari, serangan bokongan susah diduga, bila kedua
belah tangannya sampai benar-benar dikutungi, bukankah
makin berabe"
Tiba-tiba terdengar Kwan Hui-tok berkata, "Saudara Tong,
kau tak usah mencemaskan keadaanku, sebetulnya aku
mendekam di sini dengan tujuan menjadi pelindung hukum,
siapa sangka hukum sudah tidak berlaku lagi di tempat ini, lagi
pula aku sudah dibikin cacad, aku memang sudah tak ingin
hidup lebih lama lagi."
Tong Keng merasa sangat kagum, dia tak menyangka
walaupun terpisah oleh selembar pintu besi yang tebal,
ternyata Kwan Hui-tok bisa meraba jalan pikirannya, lekas
serunya lagi, "Kwan-toako, kau ... kau mesti berhati-hati!"
Dari balik pintu besi, Kwan Hui-tok tertawa tergelak,
"Hahaha, kemarin sore kau membela ketidak adilan yang
menimpa aku, dan hari ini aku mengantar kepergianmu,
sayang kita semua sudah terjatuh ke tangan kawanan srigala
buas, kalau tidak, perjumpaan ini mesti dirayakan dengan
menenggak tiga ratus cawan arak!"
Para sipir penjara yang berada di belakangnya sudah mulai
mendorong Tong Keng, memberi isyarat agar segera beranjak
pergi. Tong Keng pun sadar, kepergiannya kali ini belum tentu
bisa balik lagi dalam keadaan selamat, maka serunya lagi,
"Kwan-toako, aku tahu kepandaian silatmu cukup tangguh,
tampaknya nasib saudara kita yang ada dalam penjara harus
kau perhatikan lebih seksama lagi"
"Hahaha, dengan mengandalkan kakiku yang sudah
lumpuh, perbuatan apa lagi yang bisa diandalkan?"
Nada suaranya terdengar amat sedih.
Dua orang sipir penjara telah mendorong keluar Tong
Keng, di tengah gelak tertawa Kwan Hui-tok yang nyaring,
pintu gerbang kembali ditutup rapat.
Tong Keng mendongakkan kepalanya memandang fajar
yang hampir menyingsing, ketika hembusan angin
mendatangkan rasa dingin, dia pun membusungkan dada
sambil berpikir, "Walaupun sekarang aku sudah berjalan
keluar dari penjara, sayang statusku bukan manusia bebas"
Mungkin dalam kehidupan kali ini dia sudah tak akan
menikmati kebebasan lagi tak bisa melakukan pekerjaan
secara bebas lagi....
Kawanan sipir itu menggelandangnya melalui sebuah
jalanan yang amat panjang, semakin berjalan dinding
pekarangan terlihat semakin tipis, sementara bentuk
bangunan pun makin megah dan mewah, penjagaan di sana
pun semakin berkurang.
Tong Keng tidak tahu hendak dibawa kemanakah dirinya,
dia hanya tahu tempat yang dituju pastilah sama seperti
tempat yang didatangi kawan-kawan lainnya, rekan-rekan
yang sudah pergi tak pernah kembali itu.
Ketika tiba di depan sebuah bangunan besar yang megah
dengan dinding bercat putih, komandan sipir itu memberi
tanda agar berhenti, kemudian bersama-sama menengok ke
arah Liong Giam-ong.
Sambil menahan rasa sakit yang luar biasa, Liong Giam-ong
mengetuk pintu gerbang itu dengan hormat, kemudian
menunggu jawaban dari dalam.
Tiada jawaban. Suasana amat hening, sehening datangnya sang fajar.
Liong Giam-ong sekali lagi mengetuk pintu.
"Siapa?" dari dalam ruangan terdengar seseorang bertanya.
"Budak tua," jawab Liong Giam-ong dengan sikap yang
sangat hormat, sikap hormat yang mendekati rasa takut.
"Ooh, kenapa kau terluka?" kembali orang itu bertanya.
Tong Keng yang mengikuti tanya jawab itu diam-diam
merasa terperanjat, kalau tadi dia terkejut karena Kwan Huitok
dapat melukai orang dari balik pintu, maka dia semakin
tak habis mengerti ketika orang yang berada dalam ruangan
bisa tahu kalau Liong Giam-ong sudah terluka dari nada
bicaranya. "Kongcu, kau melarang aku membunuh manusia she Kwan
itu, bukan saja ia tak berterima kasih, sudah melukai budak
tua, dia bahkan berulang kali mencaci-maki Kongcu dengan
kata-kata yang jahat dan kotor!" keluh Liong giam-ong dengan
suara memelas. Orang ini berperawakan tinggi besar, tapi caranya berbicara
yang begitu memelas justru membuat orang yang
menyaksikan menjadi bergidik.
Nada suara orang dalam ruangan itu segera berubah,
serunya penuh gusar, "Kurangajar, Kwan Hui-tok betul-betul
manusia tak tahu diri. Bawa masuk orang itu!"
"Blaaam!", Tong Keng segera digelandang masuk ke dalam
ruangan. Bangunan itu berwarna serba putih, selain dindingnya
berwarna putih, permadani tebal yang melapisi lantai pun
berwarna putih bersih, tapi persis di tengah ruangan justru
terlihat ada noda darah yang berwarna merah menyala.
Darah itu sudah lama membeku di atas permadani yang
putih, bukan saja terendus aroma busuk, bahkan kelihatan
jelas kalau di tempat itu pernah digenangi darah dalam jumlah
banyak. Di atas genangan darah yang membeku itu tergeletak
sesosok benda, kalau bukan lantaran benda itu memiliki empat
anggota badan, siapa pun tak akan percaya kalau benda itu
adalah sesosok tubuh manusia.
Sesosok tubuh manusia yang sudah dikuliti hingga tersisa
daging badannya yang merah menyala penuh berlepotan
darah. Lamat-lamat terlihat tubuh manusia yang sudah dikuliti itu
masih bergerak, meski Tong Keng adalah seorang Piausu
kenamaan dengan gelar Pa-cu-tan (nyali macan tutul) sudah
terbiasa hidup bergelimpangan di tengah hujan darah, namun
setelah menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana
seorang manusia dikuliti hidup-hidup, tak urung timbul juga
perasaan mualnya yang luar biasa.
Saking mualnya hampir saja Tong Keng memuntahkan
seluruh isi perutnya.
Tapi dia berusaha menahan diri, sebab dia tak ingin
merasakan siksaan baru pada lambungnya sebelum ajal
merenggutnya nanti.
Terlihat seseorang sedang berbaring di atas pembaringan,
dua orang dayang sedang mengipasinya dari samping. Orang
itu sedang memusatkan seluruh perhatiannya menyulam
selembar kain yang sangat lebar.
Setelah menyulam beberapa saat lamanya, dia baru
mendongakkan kepalanya, ternyata seorang pemuda berwajah
putih bersih, alis matanya terjulai ke bawah nyaris menutupi
mata. Kata pemuda itu, "Orang yang dikuliti itu adalah salah
seorang sahabat karibmu, masih dapatkah kau mengenali
dia?" Setelah berhenti sejenak, kembali tambahnya, "Dia
bernama Thio Seng-hong, bukankah kalian saling mengenal?"
Tong Keng merasa seolah-olah orang yang sedang
telentang di tengah genangan darah itu sedang menengok ke
arahnya, kini dia tak sanggup menahan diri lagi untuk muntah.
Ketika muntah, lambungnya terasa bagai dijepit tenaga
yang amat besar, bukan hanya isi perutnya yang tertumpah
keluar, empedunya pun terasa bagai diperas, tiba-tiba hawa
amarah meluap. Thio Seng-hong bernasib sama seperti dia, dituduh tanpa
bukti. Sekalipun dia telah melanggar kesalahan yang lebih berat
pun, tidak seharusnya mengalami siksaan yang begitu keji,
buas dan tak berperi kemanusiaan!
Tong Keng merasa darah panasnya mendidih, hawa
amarah yang berkobar membuatnya ingin menyerbu ke
depan, memeluk sahabat karibnya yang sudah lama berjuang
bersamanya itu, dia pun ingin menerkam ke depan, mencabikcabik
pemuda yang sedang berbaring di ranjang itu hingga
hancur berkeping.
Tapi dia hanya bisa menahan diri.
Ranjang batu yang digunakan pemuda itu terletak di bagian
paling dalam, dekat dinding ruangan, hanya terpaut delapan


Misteri Lukisan Tengkorak Seri 4 Opas Karya Wen Rui An di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sembilan kaki dari genangan darah itu, di samping ranjang
terdapat empat buah bangku tinggi yang terbuat dari kayu
cendana. Ada empat orang yang duduk di sudut ruangan, duduk
tanpa bicara, tapi sekarang mereka telah membuka mata, lalu
berjalan menghampirinya.
Keempat orang itu memiliki perawakan tubuh yang
berbeda, ada yang tinggi ada yang pendek, ada yang kekar
ada pula yang kurus, hanya satu kesamaan yang mereka
miliki, paras muka mereka pucat-pias seperti mayat.
Tong Keng terhitung seorang jagoan dari dunia persilatan,
sebagai seorang pengawal barang yang setiap hari malang
melintang dalam dunia Kangouw, dia wajib memiliki sedikit
pengetahuan, sebab pengetahuan justru jauh lebih penting
daripada ilmu silat, dan selama ini Tong Keng memang selalu
menaruh perhatian khusus terhadap tokoh-tokoh persilatan.
Satu ingatan seketika melintas dalam benaknya, dia jadi
teringat pada jagoan dari Soat-say, tiga orang tokoh keji yang
menciutkan hati orang.
Dari ketiga tokoh persilatan itu, dua di antaranya sering
melakukan perjalanan bersama. Kedua orang itu bersaudara,
yang tua bernama Yan Yu-sim, sementara yang muda
bernama Yan Yu-gi, biarpun dua bersaudara Yu-sim-yu-gi
(bisa dipercaya dan setia kawan) selalu jalan bersama, namun
perbuatan yang dilakukan justru Bo-sim (tidak bisa dipercaya)
dan Bo-gi (tidak setia kawan).
Sebetulnya kedua orang ini merupakan keturunan dari
perkumpulan Pukulan mayat hidup, sebuah perguruan
keluarga Yan di kota Seng-ciu, gara-gara rebutan kedudukan
sebagai Ciangbunjin, kedua orang bersaudara ini tak segan
membantai ayah mereka sendiri, Yan Tay-yok, bahkan
menghasut ke sana kemari menimbulkan pertikaian dan
pembunuhan antar saudara seperguruan, akibatnya keluarga
Yan tercerai-berai, tak pernah bersatu kembali dan runtuhlah
perguruan itu. Tentu saja akibat kehancuran perguruan ini, Yan Yu-sim
dan Yan Yu-gi pun gagal memperoleh posisinya sebagai ketua
perguruan. Selama malang melintang dalam dunia persilatan,
perbuatan yang dilakukan dua bersaudara Yan tetap
merupakan perbuatan yang melanggar kepercayaan dan
melanggar kesetia kawanan, mereka egois, selalu mencari
keuntungan pribadi, kerap melanggar janji, malah di antara
mereka sendiri pun sering saling berbohong dan menipu.
Namun kepandaian silat yang dimiliki kedua orang itu
sangat tangguh, khususnya jika mereka bergabung menjadi
satu, itulah sebabnya walaupun sudah beberapa kali putus
hubungan, akhirnya mereka tetap bersatu kembali.
Kemudian demi melatih ilmu pukulan mayat hidup, Yan Yusim
dan Yan Yu-gi telah mengikuti cara kuno dengan
mengubur hidup-hidup mangsanya selama tiga hari kemudian
merebus tubuh mayat untuk dimakan, perbuatannya selain
keji juga melanggar peri kemanusiaan.
Akibatnya peristiwa ini mengejutkan salah seorang tokoh
opas yang namanya sudah menggetarkan sungai telaga jauh
sebelum empat opas dikenal masyarakat, satu di antara Samcoat-
sin-bu (tiga opas maha sakti) yang disebut orang Bu-ong
(Raja opas) Li Hian-ih.
Li Hian-ih mulai melakukan perburuan ke empat penjuru
dunia, terakhir ia berhasil menghadiahkan sebuah pukulan
maut ke tubuh kedua orang itu ketika bersua di tepi sungai
Nu-kang. Akibat pukulan yang dahsyat itu, dua bersaudara
Yan tak pernah muncul lagi dalam dunia persilatan, hingga kini
sudah empat lima tahun mereka hidup mengasingkan diri.
Tong Keng bisa mengenali mereka berdua karena dua
bersaudara Yan memiliki ciri khas, Yan Yu-sim kehilangan
telinga kirinya sementara Yan Yu-gi kehilangan telinga
kanannya. Cacad itu sebetulnya bukan cacad bawaan dari lahir, tapi
akibat hadiah yang diberikan Thiat-jiu (si tangan besi), salah
satu dari empat opas kenamaan jauh sebelum mereka dihajar
si Raja opas. Waktu bertemu Thiat-jiu, kedua orang bersaudara dari
keluarga Yan ini sedang melakukan satu perbuatan biadab,
saat itu Thiat-jiu tidak tahu kalau kedua orang sampah
masyarakat itu adalah dua bersaudara Yan yang sudah
tersohor karena kebiadabannya, oleh sebab itu sebagai
hukuman, dia hanya memotong masing-masing sebuah
telinganya. Tapi justru karena kejadian ini, cacadnya telinga mereka
berdua malah menjadi ciri khas dari dua bersaudara Yan,
tentu saja akibat ciri ini, setiap perbuatan keji yang mereka
lakukan tak pernah bisa dipungkiri lagi.
Orang ketiga bernama Gi Eng-si, dia berdandan sebagai
sastrawan, dalam genggamannya bukan membawa kipas, juga
bukan payung, melainkan sebilah kapak raksasa, tak ada lagi
yang berdandan seperti itu selain Ki-hu-suseng (sastrawan
kapak raksasa) Gi Eng-si.
Sepak terjang Gi Eng-si pun sangat aneh, sebelum
mencapai usia tiga puluh tahun dia adalah seorang pendekar
yang disegani dan dihormati setiap orang, sering membantu
kaum lemah dan menegakkan kebenaran, bahkan banyak
melakukan perbuatan bajik dengan membasmi kaum jahat.
Tapi selewat usia tiga puluh satu, tiba-tiba jejaknya lenyap
dari peredaran dunia, dua tahun kemudian ketika sekali lagi
dia terjun ke dalam dunia persilatan, wataknya berubah
seratus delapan puluh derajat, dari seorang pendekar sejati
kini berubah menjadi seorang iblis yang membunuh orang
tanpa berkedip.
Seringkali demi sebuah keuntungan kecil dia tak segan
melakukan pembantaian berdarah, caranya membunuh sangat
kejam dan telengas, tak sampai dua tiga tahun kemudian,
perbuatan kejamnya sudah melampaui seluruh perbuatan
bajik yang pernah dilakukannya dulu.
Kungfu yang dimiliki sastrawan kapak raksasa pun amat
hebat, konon setahun berselang dia pernah bertarung hampir
ratusan jurus melawan Soat-say Tayhiap Kwan Hui-tok
sebelum akhirnya terhajar satu kali oleh bogem mentah
lawannya, setelah terluka parah dia pun harus menghadapi
sergapan sebelas orang jago lihai yang diutus tujuh perguruan
besar untuk memburunya, namun berkat keampuhan ilmu
silatnya, dia berhasil lolos dari kematian. Gara-gara
kesuksesannya itu, nama serta pamornya semakin tersohor di
kolong langit. Selain dua bersaudara Yan dan Gi Eng-si, di situ pun masih
hadir seseorang, dia adalah seorang kakek berambut putih
yang menggantungkan tiga buli-buli di pinggangnya, muka
yang kusut kelelahan dan kerutan wajah yang dalam
menunjukkan satu kehidupan yang penuh derita, tapi sorot
matanya dingin dan dalam, membuat orang yang
memandangnya seolah sedang menatap liang kematian yang
sepi. Tong Keng tidak kenal siapa dia.
Sejak digelandang keluar dari penjara, Tong Keng memang
sudah tahu kalau nasibnya bakal tragis, namun mimpi pun dia
tak menyangka kalau begitu keluar dari penjara, dia harus
berhadapan dengan tiga tokoh persilatan yang paling
memusingkan kepala.
Kini dia sadar, tindakan yang ceroboh dan gegabah hanya
merupakan satu tindakan bodoh, sebab dengan mengandalkan
ilmu silat yang dimilikinya, cukup salah satu di antara keempat
orang itu sudah mampu untuk membereskan dirinya.
Diam-diam ia coba memperhatikan keadaan di belakang,
ternyata kecuali Liong Giam-ong, tak seorang pun yang ikut
masuk ke dalam ruangan.
Liong Giam-ong berdiri lurus di tempat dengan kepala
tertunduk, sikapnya yang macam singa jantan ketika
berhadapan dengan narapidana, kini hilang tak berbekas,
sebagai gantinya ia hanya berdiri macam anjing penjaga pintu
yang butuh perhatian.
Terdengar pemuda itu bertanya lagi, "Bukankah Kwan Huitok
disekap dalam penjara besi" Bagaimana mungkin bisa
melukaimu?"
Dengan bibir gemetar sahut Liong Giam-ong, "Ketika budak
sedang lewat di muka pintunya, dia mencaci-maki Kongcu dan
menghina dengan ucapan kotor, karena tak tahan maka budak
pun menghardiknya, siapa tahu dia menghantam pintu besi itu
hingga gemboknya putus, masih untung aku cepat
menghindar, kalau tidak, mungkin pecahan besi itu sudah
menghujam di wajah dan budak tak bisa memberi laporan lagi
kepada Kongcu."
"Ooh, kalau begitu aku telah menyusahkan kau," kata
pemuda itu sambil melirik Liong Giam-ong sekejap.
Tong Keng tak sanggup menahan diri lagi, tiba-tiba
teriaknya nyaring, "Dia bohong! Dia bicara ngaco-belo! Kwantoako
sama sekali tidak menyumpahimu, dia hanya bertanya
apa benar Li Ok-lay atau Li siapa yang turun tangan
kepadanya, atau dia yang memerintahkan untuk memotong
urat kaki Kwan-toako dan mengebiri dirinya, Kwan-toako sama
sekali tidak pernah menyumpahi siapa pun."
Berubah hebat paras muka Liong Giam-ong sambil
melompat ke hadapan Tong Keng, teriaknya, "Kau berani
memfitnah aku" Bedebah, manusia tak tahu diri! Aku..."
Saking sewotnya, dia langsung mengayunkan tangan untuk
membabat. "Liong Ci-po..." mendadak pemuda itu berseru.
Tangan Liong Giam-ong yang sudah berada di tengah jalan
seketika berhenti, lekas dia menyembah sambil merengek,
"Kongcu, orang ini memfitnah budak, budak selalu setia
kepada Kongcu, sama sekali tak berani bicara ngawur di
luaran, apalagi merugikan nama baik Kongcu, tapi dia ... dia
kurangajar, mohon kebijaksanaan Kongcu, mohon
kebijaksanaan Kongcu"
Tong Keng yang menyaksikan kejadian itu kontan tertawa
terbahak-bahak.
Suara tertawanya sangat keras, membuat semua yang
hadir tanpa terasa berpaling ke arahnya.
Sadar kalau dirinya sulit lolos dari kematian, Tong Keng
semakin nekad, setelah tertawa tergelak, jengeknya, "Hahaha,
coba lihat tampang budakmu itu, tak nyana kau begitu
ketakutan hingga terkencing-kencing ... hahaha ... rupanya dia
sudah menganggap kau sebagai kaisarnya!"
Jelas perkataan terakhir sengaja ditujukan kepada pemuda
itu. Sang pemuda tertawa hambar, katanya, "Aku bernama Li
Wang-tiong, bukan Li siapa."
Ternyata ia sama sekali tidak marah.
Dalam pada itu si sastrawan berkapak raksasa Gi Eng-si
telah menyela, katanya, "Kongcu, Kwan Hui-tok jelas
merupakan manusia yang sangat berbahaya, walaupun otot
kakinya sudah dicabut, dia masih sanggup melukai orang
dengan tenaga pukulannya, bahkan dari balik pintu masih
mampu melukai kepala sipir Liong, lebih baik secepatnya kita
babat rumput hingga seakar-akarnya."
Li Wang-tiong termenung sejenak, kemudian sahutnya,
"Sebenarnya aku ingin menggunakan orang ini untuk
membantu usaha ayah, tapi kalau dilihat wataknya yang
begitu keras kepala dan tak tahu diri, kelihatannya dibiarkan
terus pun percuma"
Lalu kepada Liong Giam-ong perintahnya, "Cepat kau
undang kemari Kwan Hui-tok, ingat! Diundang kemari."
Melihat Li Wang-tiong sama sekali tidak menegur
sebaliknya malah memberi tugas lain, Liong Giam-ong girang
setengah mati, cepat sahutnya, "Baik!"
Dengan tergopoh-gopoh dia beranjak pergi dari situ.
Dengan begitu, sekarang tinggal Tong Keng seorang yang
harus berhadapan dengan lima tokoh aneh berwajah pucat.
ooOOOoo 3. Kwan Hui-tok.
Sambil memicingkan sebelah matanya yang sesat dan
sembari senyum tak senyum Li Wang-tiong menegur, "Kau
bernama Tong Keng bukan?"
Setelah tertawa, kembali terusnya, "Sebetulnya belum
secepat itu jatuh pada giliranmu, tapi berhubung kemarin kau
membuat keonaran dalam penjara, terpaksa aku harus
memilih untuk menguliti dirimu terlebih dulu."
Walaupun sadar nasibnya bakal tragis, namun Tong Keng
tidak mengerti apa yang dimaksud Li Wan-tiong, lekas
serunya, "Aku difitnah, aku tak bersalah, aku pun tidak
merampok barang kawalan apalagi membunuh, sekalipun
akan menjatuhi hukuman, seharusnya hukuman berdasarkan
peraturan negara, kenapa kalian bertindak sewenangwenang?"
"Setelah berada di sini, hukum negara sudah tak berlaku
lagi, di sini tak ada peraturan, tak ada hukum, yang ada hanya
perkataanku, keputusanku adalah hukum," ujar Li Wan-tiong
hambar. "Baik, kami orang-orang dari perusahaan ekspedisi Sin-wipiau-
kiok tak pernah merampok, tak pernah membunuh, kami
dikambing-hitamkan, kau harus memberi keadilan untuk
kami." "Setiap orang tentu akan berkata kalau dirinya tak
bersalah, biar sudah salah membunuh orang pun tentu akan
beralasan khilaf karena sedang mabuk dan tak sadar, kalau
ada yang memperkosa, dia akan berkata si wanita yang
menjebaknya, merayunya ... uang kawalan jelas lenyap ketika
sedang kalian kawal, kalau bukan perbuatan kalian, lantas
siapa yang berbuat?"
"Ketika bertarung mempertahankan barang kawalan itu,
dari empat puluh satu orang anggota Sin-wi-piau-kiok kami,
ada dua puluh tujuh orang tewas, apakah bukti ini tidak
cukup?" teriak Tong Keng semakin gusar.
Li Wan-tiong tertawa. "Jelas banyak anggota kalian yang
mampus," katanya, "kalau hasil rampokan tidak dibagi secara
merata dan adil, tak heran kalau terjadi saling gontok, saling
membunuh di antara sesama"
"Sebenarnya apa maksudmu selalu menuduh dan
memfitnah perusahaan ekspedisi Sin-wi-piau-kiok kami?"
teriak Tong Keng mulai murka.
"Maksudku" Kalau aku menghendaki kau hidup, kau pun
hidup, kalau aku menghendaki kau mati..."


Misteri Lukisan Tengkorak Seri 4 Opas Karya Wen Rui An di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dia melirik sekejap ke arah tubuh berdarah yang tergeletak
di tengah ruangan, lalu menambahkan, "Maka kau pun mati!"
"Baik, kalau kau memang bersikeras menuduhku, bawa aku
ke pengadilan!"
"Hahaha, aku kan sudah bilang," ujar Li Wan-tiong sambil
tertawa sinis, "setelah berada di sini, tunggu saja keputusan
apa yang akan Siauya berikan kepadamu, buat apa mesti
repot mengadilimu di pengadilan."
"Kalau begitu kau tak usah banyak bacot lagi!" tukas Tong
Keng semakin sewot, "hari ini aku sudah terjatuh di tangan
kalian, paling juga kehilangan batok kepala!"
"Aku tak ingin memenggal kepalamu," Li Wan-tiong
tertawa. Tong Keng tertegun, belum sempat ia mengucapkan
sesuatu, Li Wan-tiong sudah berkata lebih jauh, "Aku hanya
ingin menguliti tubuhmu, mengulitimu dari ujung kepala
hingga ke ujung kaki, akan kukuliti kau seutuhnya, hahaha,
biarpun kulitmu sedikit rada kasar, tapi amat kenyal dan tahan
banting, aku rasa masih terhitung berkwalitas bagus."
"Apa kau bilang?" teriak Tong Keng.
Li Wan-tiong memandangnya sekejap lalu tertawa, tiba-tiba
dia membentangkan gulungan kain yang berada di tangannya
dengan sangat hati-hati.
Begitu terbentang maka terlihatlah sebuah lukisan yang
panjangnya beberapa kaki dan lebar beberapa meter, sebuah
lukisan hasil sulaman yang sangat indah.
Tong Keng melirik sekejap, dia saksikan lukisan itu
menggambarkan sebuah bangunan loteng yang sangat indah
dan meja dengan perabot serta peralatan yang serba mewah,
suasana yang ditampilkan adalah suasana saat
berlangsungnya perayaan ulang tahun.
Tong Keng hanya merasa begitu lukisan itu dibentangkan,
maka terasalah semacam hawa yang menyesakkan napas,
namun dia tak tahu dimana letak keistimewaan lukisan itu.
"Maksudku, aku hendak membuatmu menjadi manusia
dalam lukisan," kembali Li Wan-tiong berkata sambil tertawa.
Tong Keng semakin tak habis mengerti.
Yan Yu-sim yang duduk di bangku kayu cendana tiba-tiba
menimbrung, "Lukisan aneh yang berada di tangan Kongcu itu
terbuat dari kulit manusia."
Yan Yu-gi segera menambahkan, "Kulit yang kelewat tua
atau muda serta kelewat banyak bekas lukanya tidak masuk
hitungan, lukisan ini membutuhkan tiga puluh empat lembar
kulit manusia yang paling bagus untuk disusun menjadi
selembar lukisan yang indah."
"Dan kau seharusnya gembira, karena giliran berikutnya
adalah dirimu," kata Yan Yu-sim lagi sambil tertawa.
"Oleh sebab itu Kongcu tak akan memenggal kepalamu,"
sambung Yan Yu-gi, "kami hanya membutuhkan selembar kulit
tubuhmu, asal kau bisa bertahan hidup setelah dikuliti, silakan
saja untuk melanjutkan hidupmu."
Sejak lahir belum pernah Tong Keng mendengar cara keji
yang begitu menggidikkan hati, menyaksikan sobat karibnya
yang masih terkapar di tengah genangan darah itu, segera ia
berteriak parau, "Kalian..."
"Itulah dia," ujar Li Wan-tiong sambil manggut-manggut
dan tertawa, "kulit manusia she Lan itu yang paling jelek
kwalitasnya, dia mempunyai tujuh-delapan belas luka di
tubuhnya, oleh sebab itu kulit yang bisa digunakan hanya
beberapa inci saja, masih mendingan manusia she Thio ini
karena sebagian besar kulitnya bisa dipergunakan, entah
bagaimana dengan mutu kulitmu" Apakah bisa digunakan
seluruhnya?"
Tong Keng berteriak aneh, sekuat tenaga ia meronta,
meskipun borgol tidak sampai terlepas, namun borgol kayu
yang dipasang di kepalanya segera tergetar hingga retak dan
terlepas. Menyaksikan hal itu, sastrawan berkapak raksasa Gi Eng-si
menggelengkan kepala berulang kali, katanya, "Nyali macan
kumbang! Kau pun terhitung jagoan persilatan, semestinya
tahu diri, dengan kepandaian yang kau miliki itu paling hanya
mampu menghadapi tiga empat gebrakan dari salah satu di
antara kami berempat, lebih baik tak usah kau membuang
tenaga!" Tong Keng tahu apa yang dikatakan Gi Eng-si memang
kenyataan. Selama ini dia hanya pernah membayangkan cara kematian
yang mungkin akan menimpanya, mati dalam pertempuran,
mati terbunuh bahkan mati karena sakit, mati karena
terpeleset, atau mati karena kepala dipenggal, mimpi pun dia
tak pernah membayangkan kalau suatu hari nanti dia harus
dikuliti hidup-hidup sehingga mau hidup susah, mau mati pun
sulit. Dia dijuluki orang 'nyali macan kumbang', tentu saja
nyalinya memang melebihi siapa pun, meski demikian, setelah
menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana seorang
rekannya yang telah dikuliti terkapar di tengah genangan
darah, tak urung hatinya merasa bergidik juga.
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu,
seorang lelaki setengah umur masuk ke dalam ruangan
dengan tergopoh-gopoh, mula-mula dia menjura pada Li Wantiong,
kemudian kepada orang yang tak diketahui namanya itu
seraya berkata, "Tuan Ni, Toaloya mempersilakan anda masuk
ke dalam."
Kakek berambut putih dari marga Ni itu menyahut, dia
menengok sekejap ke arah Li Wan-tiong.
Kelihatannya Li Wan-tiong menaruh hormat terhadap orang
ini, lekas katanya, "Ayah tentu ada urusan penting, silakan Niya
masuk ke dalam."
Orang she Ni itu manggut-manggut kepada semua orang,
kemudian mohon diri, tidak melihat bagaimana ia bangkit
berdiri, tahu-tahu bangku kayu cendana yang didudukinya
sudah melambung ke udara, seolah di bawahnya terdapat
permadani tak berwujud yang menarik bangku itu, tahu-tahu
dia bersama bangkunya sudah meluncur keluar, tidak terlalu
cepat juga tidak lambat, dia mengikut di belakang lelaki
setengah umur itu.
Menyaksikan hal itu, Li Wan-tiong segera memuji, "Ni-ya,
ilmu Sin-liong-kian-siu (naga sakti menongolkan kepala)
milikmu ini makin dilatih semakin sempurna, bila ayah bisa
memperoleh bantuanmu, semua masalah pasti gampang di
atasi" "Hahaha!"
Ketika Li Wan-tiong selesai bicara, dua bersaudara Yan dan
Gi Eng-si segera ikut tertawa, gelak tawa Yan Yu-gi paling
keras, sementara Yan Yu-sim hanya mendesis perlahan
sebagai pertanda tertawa, sedang tertawa Gi Eng-si yang
kelihatan paling gembira, cuma dia tertawa setelah selang
beberapa saat. Tentu saja Tong Keng tak punya waktu untuk
memperhatikan suara tawa mereka.
Dari pembicaraan Li Wan-tiong tadi, tiba-tiba teringat
olehnya pada seorang tokoh lihai dari dunia persilatan, orang
itupun berasal dari marga Ni, terhadap tokoh yang satu ini,
Tong Keng tidak mengetahui terlalu banyak, dia hanya pernah
mendengar dari pemilik perusahaan ekspedisi, Ko Hong-liang,
Ko-loyacu yang pernah menyinggung tentang orang ini.
Ketika mendengar nama itu, Ko-loyacu sempat menghela
napas sambil berkata, "Sebetulnya gembong iblis ini selalu
malang melintang di seputar wilayah Soat-say, namanya
menggetarkan seluruh kolong langit, semoga saja anggota
perusahaan piaukiok kita jangan pernah berjumpa dengan
gembong iblis ini!"
Setelah kepergian orang she Ni itu, kembali Li Wan-tiong
memandang ke arahnya sambil tertawa, ujarnya, "Kulit
manusia yang sudah mati susah dikuliti, sebab begitu orang
mati, kulitnya mulai menyusut dan menjadi kaku, tidak bagus
bila dipakai untuk menyulam, kulit orang semaput bila
dikulitipun kurang bagus, karena kulitnya akan kendor, tidak
kenyal dan tak punya kekuatan, sangat susah bila dipakai
untuk menyulam, oleh sebab itu menguliti orang hidup yang
paling bagus, semakin kesakitan orang itu maka kulitnya akan
semakin kencang dan paling cocok untuk digunakan sebagai
bahan sulaman, oleh sebab itu ... hahaha ... terpaksa kau
mesti menahan sakit nanti..."
Mendengar sampai di sini, Tong Keng tak kuasa menahan
diri lagi, diam-diam ia mengambil keputusan, daripada dikuliti
hidup-hidup dan harus merasakan siksaan yang mengerikan,
lebih baik bertarung sampai titik darah penghabisan.
Andaikata harus mati pun, paling tidak ia mesti
menghadiahkan enam tujuh puluh tusukan di tubuh sendiri
agar kulit badannya rusak dan tak bisa dipakai sebagai bahan
sulaman orang. Sementara dia masih berpikir, tiba-tiba terdengar Liong
Giam-ong berseru dari luar pintu, "Kongcu, tawanan sudah
dibawa kemari."
"Bawa masuk!" perintah Li Wan-tiong dengan kening
berkerut. "Baik!" sambil menjawab Liong Giam-ong melangkah
masuk ke dalam ruangan sambil mendorong sebuah kereta
kayu dimana seseorang duduk di dalamnya.
Lelaki yang duduk dalam kereta beroda itu memiliki
sepasang alis mata yang tebal, wajah penuh cambang,
sepasang kakinya lemas tak bertenaga, meski duduk dalam
posisi yang tersiksa, namun wajahnya masih memancarkan
kewibawaan yang luar biasa.
Begitu berjumpa dengan orang itu, Tong Keng segera
berseru kegirangan, "Kwan-toako!"
Orang cacad yang duduk di atas kursi beroda itu memang
tak lain adalah Kwan Hui-tok.
Kwan Hui-tok menyahut, sementara sepasang matanya
langsung berubah merah setelah menyaksikan tubuh berdarah
yang tergeletak di tengah ruangan, dengan cambang yang
berdiri bagai duri, serunya penuh amarah, "Manusia she Li,
kau memang bajingan berhati biadab, perbuatan keji
semacam inipun berani kau lakukan."
Yan Yu-sim tertawa dingin. "Kwan Hui-tok!" jengeknya
dingin, "untuk melindungi keselamatan dirimu sendiri pun
sudah tak mampu, apa gunanya kau banyak bacot mengurusi
urusan lain?"
"Yan Yu-sim, percuma kau menjadi bagian dari umat
persilatan, manusia buas dan bejad macam kau tidak pantas
hidup terus di dunia ini," umpat Kwan Hui-tok.
Tidak memberi kesempatan kepada Yan Yu-sim bicara lebih
jauh, Li Wan-tiong segera menukas, "Sudah kau
pertimbangkan usulku beberapa hari lalu?"
"Hahaha, sekarang kakiku sudah cacad, apa yang bisa
kulakukan jika bergabung denganmu?" Kwan Hui-tok tertawa
tergelak. "Terus terang saja, dengan kemampuan yang dimiliki
saudara Kwan, asal kau bersedia bergabung dengan kami
ayah dan anak, tanggung kondisi badanmu akan berubah, dan
lagi dengan keadaanmu sekarang..."
Dia menatap sekejap sepasang kakinya yang cacad,
kemudian meneruskan, "Kami malah jauh lebih mempercayai
saudara Kwan."
"Hahaha, kakiku sudah cacad, apa yang bisa kulakukan"
Apa lagi yang mesti kalian takuti?" kembali Kwan Hui-tok
tertawa tergelak.
Tiba-tiba Yan Yu-sim menyela, "Padahal kita tak butuh
manusia macammu ini, dalam dunia persilatan masih terdapat
delapan ratus sampai seribu orang yang bersedia bekerja
untuk Thayjin dan Kongcu, sementara dia sombong, takabur
dan tak tahu diri, lebih baik dibunuh saja."
"Kwan-heng, sudah kau dengar perkataan itu?" sambil
tertawa Li Wan-tiong melirik sekejap ke arah Kwan Hui-tok.
"Sudah kudengar."
"Jika kau masih belum mau sadar dan tetap tak tahu diri,
aku tak berani menjamin keselamatanmu."
"Sejak memasuki gedung ini, aku orang she Kwan memang
sudah siap keluar dari sini dalam keadaan mampus."
Tong Keng segera meronta sambil berusaha mendekati
Kwan Hui-tok, teriaknya lantang, "Kwan-toako, kau sungguh
mengagumkan, aku bersedia mati bersamamu!"
Siapa tahu tiba-tiba Kwan Hui-tok berbisik, "Saudara cilik,
kalau bisa tidak mati, lebih baik jangan mati dulu!"
Selesai bicara dia mencengkeram rantai borgol yang
membelenggu di tubuh Tong Keng, kemudian dengan
beberapa kali sentakan dia putuskan semua rantai yang
membelenggu kawannya itu.
Tindakan yang dilakukan ini sangat mendadak dan di luar
dugaan siapa pun, untuk sesaat Yan Yu-sim dan Yan Yu-gi
hanya bisa berpaling ke arah Li Wan-tiong dengan pandangan
melongo. Tampaknya Li Wan-tiong sudah dibuat murka oleh ulah
Kwan Hui-tok yang sama sekali tidak memberi muka
kepadanya itu, hardiknya penuh amarah, "Bunuh dia!"
Kata "bunuh" baru meluncur keluar, dua bersaudara Yan,
satu dari kiri yang lain dari kanan sudah melejit ke muka bagai
burung rajawali dan serentak melancarkan serangan.
Dalam waktu singkat kursi beroda yang diduduki Kwan Huitok
sudah tergulung oleh semacam tenaga tekanan tak
berwujud. "Blaaam!", kursi itu seketika hancur berkeping-keping, tapi
pada saat yang bersamaan Kwan Hui-tok sudah melejit ke
udara, meninggalkan kursi beroda itu.
Dengan menekankan sepasang tangannya ke sisi bangku,
Kwan Hui-tok sudah meminjam tenaga tekanan itu untuk
menerkam ke arah Li Wan-tiong.
Baru beberapa detik dia meninggalkan kursi beroda itu,
seluruh bangku kayu itu sudah terhajar dan hancur.
Tubuhnya segera menyelinap di antara Yan Yu-sim dan Yan
Yu-gi, sepuluh jari tangannya yang dipentang bagai cakar baja
tampaknya segera akan bersarang di tubuh Li Wan-tiong ....
Mendadak sekilas cahaya tajam berkelebat dari udara,
tahu-tahu sebuah kapak raksasa sudah meluncur datang
melancarkan bacokan maut.
Kekuatan serangan ayunan kapak itu sungguh dahsyat,
kecepatannya pun bagai sambaran kilat, tanpa menimbulkan
sedikit suara tahu-tahu sudah di depan mata.


Misteri Lukisan Tengkorak Seri 4 Opas Karya Wen Rui An di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kwan Hui-tok membentak nyaring, sepasang telapak
tangannya dihantamkan ke muka lalu menjepit mata kapak itu
kuat-kuat, bersamaan waktunya tubuh mereka sama-sama
meluncur jatuh ke bawah.
Orang yang melancarkan serangan itu tentu saja Gi Eng-si.
Begitu bacokan kapaknya dijepit oleh sepasang tangan
Kwan Hui-tok, ternyata kekuatan serangannya lenyap
seketika, bukan saja serangannya gagal bahkan kapak itu
bagai terjepit oleh batu karang, sama sekali tak mampu
dicabut lepas, kontan saja kejadian ini membuat Gi Eng-si naik
pitam. Tapi begitu tubuh mereka sudah mencapai permukaan
tanah, situasi seketika berubah total.
Begitu melayang turun ke permukaan tanah, Gi Eng-si
segera memperkuat kuda-kudanya, sedang Kwan Hui-tok di
pihak yang dirugikan karena ia tidak memiliki kaki, maka
tubuhnya segera jatuh terjerembab ke bawah.
Begitu terjatuh, asal dia sedikit kurang waspada, segera Gi
Eng-si akan melepaskan bacokan dengan sepenuh tenaga
maka tak sulit untuk membelah tubuhnya menjadi dua bagian.
Ternyata Kwan Hui-tok tidak sampai roboh terjerembab,
karena pada saat yang bersamaan Tong Keng telah memburu
ke depan dan meletakkan tubuh rekannya itu di atas bahunya.
"Kwan-toako, kau tak usah takut," teriak Tong Keng
lantang, "aku akan menggendongmu, aku akan mendukung
tubuhmu..."
Sebenarnya dia masih ingin mengucapkan sesuatu lagi,
namun tak sepatah kata pun sempat diucapkan.
Rupanya pada saat itu Kwan Hui-tok yang didukung di atas
kepalanya sudah mulai bertarung sengit melawan Gi Eng-si,
bagaimana keadaan pertarungan itu memang tidak terlihat
jelas olehnya, namun ia dapat merasakan tenaga tekanan di
atas bahunya makin lama semakin berat, saking beratnya
nyaris seperti mau mematahkan seluruh tulang pinggang dan
pinggulnya. Tapi Tong Keng mengertak gigi, dia terus bertahan dan
berusaha mendukung rekannya untuk bertarung.
Tiba-tiba Gi eng-si mengayunkan kakinya melancarkan
tendangan, yang diarah adalah pinggangnya.
Andaikata tendangan ini sampai bersarang telak, bukan
saja tubuhnya akan menderita luka parah, bahkan Kwan Huitok
yang berada dalam gendongannya pun akan ikut roboh.
Dalam keadaan begini, Tong Keng tak berani bergeser
ataupun menghindar, sebab bila ia bergeser setengah langkah
saja, maka hal itu sudah pasti akan mempengaruhi keadaan
Kwan Hui-tok yang sedang bertarung seru. Dia rela terluka
parah daripada menggeser badannya yang akan berakibat
Kwan-toakonya kehilangan satu jurus serangan.
Di luar dugaan tendangan Gi Eng-si hanya dilepaskan
separoh jalan, tiba-tiba dia menghentikan tendangannya,
sampai lama kemudian baru menarik kembali serangannya itu.
Sejak itu sudah empat kali Gi Eng-si mencoba menendang
dengkulnya, menyapu kakinya atau menendang betisnya, tapi
setiap kali serangannya hanya mencapai setengah jalan, dia
selalu membatalkan kembali ancamannya, sebab begitu dia
melakukan tendangan, langkah kakinya justru kacau sendiri
hingga nyaris tak mampu berdiri tegap.
Kepandaian silat yang dimiliki Tong Keng pun terhitung
bagus, untuk wilayah seputar Soat-say, nama perusahaan
ekspedisi Sin-wi-piau-kiok cukup berkibar, sementara si nyali
macan kumbang Tong Keng termasuk seorang jago yang
paling diandalkan perusahaan itu, khususnya ilmu pukulan
Siau-lim-sin-kun dan tiga puluh enam jurus ilmu golok Hongtau-
to-hoat yang diyakininya boleh dibilang sangat disegani
orang. Dari pertarungan yang sedang berlangsung, dengan cepat
Tong Keng dapat mengambil kesimpulan bahwa dalam
pertarungan antara Gi Eng-si melawan Kwan Hui-tok kali ini,
jika Gi Eng-si ingin merebut kemenangan, maka dia harus
melukai dulu dirinya agar Kwan Hui-tok kehilangan tumpangan
serta tempatnya berpijak.
Tapi rupanya Kwan Hui-tok tahu taktik musuhnya itu, maka
setiap kali pihak lawan menyerang Tong Keng, dia pun segera
melancarkan serangkaian serangan maut yang memaksa Gi
Eng-si harus menarik kembali serangannya di tengah jalan.
Dari kejadian itu, bisa disimpulkan bahwa Kwan Hui-tok
telah berhasil merebut posisi di atas angin.
Sementara berpikir, tanpa terasa Tong Keng pun menengok
ke atas, tapi begitu menengok, dia pun terkesiap dibuatnya,
ternyata rambut miliknya sudah terpapas kapak hingga
sebagian besar telah gundul.
Bukan hanya begitu, mata kapak berulang kali
menyerempet di atas kulit kepalanya, terkadang menempel
juga di atas hidungnya, cahaya tajam yang berkilauan betulbetul
menggidikkan hatinya.
Tak kuasa lagi keringat dingin bercucuran membasahi
tubuh Tong Keng, ia segera menundukkan kembali kepalanya
dan tak berani menengok ke atas lagi.
Ditinjau dari keadaan ini, bukankah berarti posisi Gi Eng-si
yang berada di atas angin"
Belum habis ingatan itu melintas, mendadak tampak
olehnya tubuh Gi Eng-si sudah mundur sejauh delapan
langkah dengan tubuh sempoyongan.
Kenyataan ini membuat Tong Keng merasa sangat lega,
ketika menengok lagi ke atas, tampak cahaya kapak semakin
berkembang ke empat penjuru diiringi suara deruan angin
kencang. Rupanya Kwan Hui-tok telah berhasil merampas senjata
kapak raksasa itu dari tangan Gi Eng-si, kini dengan
mengandalkan senjata itu menghadapi dua bersaudara Yan.
4. Kehilangan Lengan.
"Sreeet!", sekonyong-konyong kapak raksasa itu meluncur
ke depan. Dengan cepat Gi Eng-si mengegos ke samping sambil
melambung ke udara, cepat dia menyambar kembali senjata
kapak andalannya.
Kapak raksasa itu semula berada di tangan Kwan Hui-tok,
sekarang mencelat ke udara, ini membuktikan dia bukan
tandingan dua bersaudara Yan.
Terbukti juga bahwa kepandaian silat yang dimiliki dua
bersaudara Yan masih jauh di atas kungfu yang dimiliki Gi
Eng-si! Dalam hati Tong Keng merasa terperanjat, selama ini dia
selalu beranggapan kungfu yang dimiliki Gi Eng-si masih
berada di atas kemampuan dua bersaudara Yan, tapi setelah
menyaksikan keadaan sekarang, dia baru sadar jika dua
bersaudara Yan sebenarnya jauh lebih susah dihadapi.
Kejadian ini membuat perasaannya makin tercekam,
perasaan tak tenang mulai mengusik pikirannya.
Terdengar Kwan Hui-tok berkata setelah menghela napas
panjang, "Ai! Andaikata kakiku dapat bergerak lebih bebas,
belum tentu kalian berdua bisa meraih keuntungan."
Belum sempat dua bersaudara Yan mengucapkan sesuatu,
Li Wan-tiong sudah berbicara lebih dulu, "Untung aku
mengikuti nasehat dua bersaudara Yan dengan mengutungi
kedua kakimu terlebih dulu, coba kalau kau masih dapat
berdiri tegak, belum tentu kami sanggup menahan dirimu di
sini." Mendadak terdengar suara ledakan keras bergema dari
atap rumah, menyusul suara desingan angin tajam menderu?-
deru, pasir dan atap rumah tahu-tahu berguguran ke bawah
menimbulkan kabut tipis yang menyilaukan mata.
Tong Keng tidak menyangka akan terjadinya hal ini,
matanya seketika kemasukan debu sehingga untuk sesaat dia
tak mampu membuka matanya, dia pun tak tahu peristiwa apa
yang telah terjadi.
Terdengar seseorang berteriak keras, "Kwan-toako, kami
datang menolongmu!"
Diikuti bergemanya suara pertempuran yang amat sengit.
Tong Keng merasa bahunya bergoncang diikuti getaran
yang makin berat, nyaris dia tak kuasa menahan diri.
Ketika matanya dapat dibuka kembali, terlihat noda darah
telah membasahi ujung bibir Yan Yu-gi, saat itu dia sedang
bersandar di tepi dinding berwarna putih itu, sementara
percikan darah menodai seluruh permukaan tembok.
Tiba-tiba Tong Keng merasa orang yang berada di atas
bahunya sedikit gontai, baru saja ia akan mengajukan
pertanyaan, mendadak ia merasa kepalanya seakan basah
oleh cairan kental, lekas dia memeriksa cairan itu yang
ternyata adalah darah segar.
"Kwan-toako...." seru Tong Keng terkesiap.
"Cepat kejar Li Wan-tiong" bentak Kwan Hui-tok dengan
suara berat, mendadak ucapannya terpotong di tengah jalan,
tampaknya ia tersedak seperti paru-parunya mendadak
kemasukan air. "Blaaam!", Tong Keng menyaksikan seorang lelaki
berpakaian ringkas roboh bermandikan darah, dalam
genggamannya masih memegang sebilah golok.
"Cepat!" kembali Kwan Hui-tok berseru.
Dalam pada itu Li Wan-tiong sudah melompat bangun dari
ranjangnya, Gi Eng-si dengan wajah pucat berdiri di
sampingnya, sembari bersuit panjang, dia memainkan kapak
peraknya ke sana kemari.
Kembali seorang lelaki berpakaian ringkas terbacok telak
hingga roboh bersimbah darah.
Tong Keng tidak berpikir panjang lagi, dia langsung
menerjang ke arah Li Wan-tiong dengan sepenuh tenaga.
"Weees!", babatan kapak Gi Eng-si kembali menyambar.
Tong Keng segera memejamkan matanya sambil
menerjang terus ke muka, dia tak berani memandang
datangnya bacokan kapak itu.
Mendadak bahunya terasa ditekan kemudian badannya
menjadi enteng, rupanya Kwan Hui-tok sudah melompat
melalui atas kepala Gi Eng-si dan langsung menerkam ke
tubuh Li Wan-tiong.
Dalam keadaan seperti ini Gi Eng-si tak sempat
melanjutkan bacokannya lagi ke tubuh Tong Keng, lekas dia
membalik senjatanya sambil berganti membabat ke atas.
Dengan sangat jelas Tong Keng menyaksikan mata kapak
itu memercikkan bunga darah, lalu menyambar lewat dari sisi
lambung Kwan Hui-tok.
Tapi saat itulah Kwan Hui-tok sudah tiba di hadapan Li
Wan-tiong. "Criiing ...!", lekas Li Wan-tiong mencabut pedangnya.
Kwan Hui-tok mendengus dingin, dengan sebelah tangan
dia memukul rontok pedang lawan, tangan yang lain langsung
mencengkeram tenggorokannya.
Di saat tubuh Kwan Hui-tok meluncur kembali ke bawah,
dia menarik pula tubuh Li Wan-tiong sehingga ikut roboh
terjerembab ke tanah.
Baru saja tubuh kedua orang itu menyentuh tanah, sesosok
bayangan manusia telah menerkam tiba, dia adalah Yan Yusim.
Walaupun Yan Yu-sim tiba pada saatnya, namun ia tak
berani turun tangan secara gegabah, sebab waktu itu Li Wantiong
sudah terjatuh ke tangan Kwan Hui-tok.
Tong Keng nyaris tak percaya dengan apa yang dilihat, dia
tak mengira kalau kepandaian silat yang dimiliki Li Wan-tiong
begitu cetek sehingga tak sampai satu gebrakan ia sudah
berhasil ditawan Kwan Hui-tok yang cacad, bahkan sudah
terluka parah. Di belakang tubuh Yan Yu-sim mengikuti tiga orang lelaki
bertubuh kekar, seorang bersenjata martil berantai, seorang
bersenjata sekop bercula, seorang lagi bersenjata golok
bergigi, mereka serentak melancarkan tusukan ke punggung
lawan. Mendadak Yan Yu-sim berpaling, tidak nampak bagaimana
caranya dia bergerak, tahu-tahu salah seorang lelaki kekar itu
sudah mencelat ke belakang sementara senjata culanya sudah
dirampas dan dipakai untuk menangkis bacokan golok bergigi.
"Tahan!" bentak Kwan Hui-tok nyaring.
Yan Yu-sim membuang senjata rampasannya ke tanah, lalu
mundur ke samping.
Dalam pada itu Yan Yu-gi dan Gi Eng-si, satu dari depan
dan yang lain dari belakang sudah mengepung Kwan Hui-tok
dengan rapat, meski mereka mengawasi musuhnya dengan
mata buas, namun tak seorang pun di antara mereka yang
berani bergerak.
"Jika kalian berani turun tangan lagi" teriak Kwan Hui-tok
nyaring, mendadak suaranya tersedak, tampaknya luka dalam
yang dideritanya kambuh hingga menimbulkan rasa sakit yang
luar biasa, "Aku akan membunuhnya!"
Sambil bicara, tangannya segera menggencet dengan
sepenuh tenaga, paras muka Li Wan-tiong yang pada
dasarnya sudah pucat bagai kertas, begitu kena digencet,
kontan mukanya berubah merah padam bagai pantat babi.
Dua bersaudara Yan dan Gi Eng-si saling bertukar pandang
sekejap, siapa pun tak berani sembarangan bergerak.
Sementara itu Li Wan-tiong telah berteriak keras, "Kalian
tak usah menggubris aku, cepat maju dan bunuh bajingan
ini!" "Kau tidak takut mati?" hardik Kwan Hui-tok gusar.
"Hmmm, aku yakin kau tak nanti berani membunuhku!"
ujar Li Wan-tiong congkak.
Cengkeraman Kwan Hui-tok pada tengkuk lawannya segera
diperkeras, Li Wan-tiong kontan mendengus tertahan, tapi
kembali teriaknya, "Bila kau berani membunuhku, biar kabur
ke ujung langit pun jangan harap bisa meloloskan diri! Seluruh
opas paling tangguh di kolong langit akan dikerahkan untuk
mengejarmu!"
"Bagus, kalau begitu biar kubunuh dirimu!" bentak Kwan
Hui-tok sambil tertawa keras, jari tangannya segera
disodokkan ke hulu hati lawan.
"Kwan-lotoa, tunggu sebentar!" lekas dua bersaudara Yan
berteriak cemas.
"Kalau ada persoalan, mari kita bicarakan secara baik-baik,"
sambung Gi Eng-si pula dengan perasaan gelisah.
Kwan Hui-tok memandang sekejap sekeliling arena,
kemudian memandang pula ke arah Tong Keng, setelah
menatap tiga lelaki kekar yang tersisa, ia menarik napas
panjang.

Misteri Lukisan Tengkorak Seri 4 Opas Karya Wen Rui An di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Boleh saja kalau tak menginginkan kematiannya," ia
berkata, "tapi biarkan kami pergi dari sini!"
Perasaan serba salah segera terlintas di wajah Gi Eng-si,
untuk sesaat dia tak tahu apa yang mesti dikatakan.
Sedang Yan Yu-sim segera berkata, "Boleh saja kalian pergi
dari sini, tapi bebaskan dulu Kongcu kami."
"Jangan biarkan kawanan bajingan itu kabur dari sini"
teriak Li Wan-tiong lagi.
Dengan geram Kwan Hui-tok memperkencang cekikannya,
kontan suara teriakan Li Wan-tiong terhenti di tengah jalan.
"Tidak bisa," kembali Kwan Hui-tok berseru, "dia harus
pergi bersama kami, setibanya di tempat yang aman, aku
pasti akan membebaskan dirinya."
Sementara Yan Yu-sim masih nampak ragu, Yan Yu-gi
sudah berseru, "Kwan ... Kwan-toako, kau ... kau harus
pegang janji!"
Kwan Hui-tok mendengus dingin. "Hmmm, aku bukan dua
bersaudara Yan, perkataan yang sudah diucapkan selalu
dianggap sebagai kentut busuk."
"Benar, benar, Kwan-toako memang tersohor karena
pegang janji, setiap ucapan yang telah dikatakan tak pernah
diingkari," lekas Yan Yu-sim dan Yan Yu-gi berseru hampir
berbareng. Kelihatannya Gi Eng-si kurang setuju dengan keputusan itu,
sambil menengok ke arah dua bersaudara Yan, bisiknya ragu,
"Tapi...."
"Saudara Gi, yang penting sekarang adalah selamatkan
dulu jiwa Kongcu," tukas Yan Yu-sim cepat.
"Betul, apalagi setiap janji Kwan-toako selalu ditepati," Yan
Yu-gi menambahkan.
Dalam keadaan begini, terpaksa Gi Eng-si hanya bisa
menelan kembali semua perkataannya, andaikata nyawa Litoakongcu
sampai mengalami sesuatu yang tak beres, biar
ada dua puluh orang Gi Eng-si pun belum tentu mampu
memikul tanggung jawab ini.
Di pihak lain, tiga orang lelaki kekar yang semula bersikap
tegang dan penuh kewaspadaan, sekarang mengendorkan
ketegangannya dan menghembuskan napas lega. Dua di
antara mereka segera memeriksa keadaan luka yang diderita
dua orang rekannya, sedang lelaki bersenjata golok bergigi itu
segera berseru, "Kwan-toako, kita segera berangkat!"
"Aku kan sudah berpesan, kalian tak usah kemari, kenapa
kalian tak mau menuruti perkataanku!" tegur Kwan Hui-tok.
"Bukan hanya kami, enci Ting juga ikut datang," kata lelaki
bergolok itu cepat.
Mendadak paras muka Kwan Hui-tok berubah menjadi
getir, pahit, sedih bercampur aduk menjadi satu.
Sejak bertemu dengan orang ini, Tong Keng belum pernah
menyaksikan jagoan ini memperlihatkan paras muka yang
sedemikian sedihnya.
Kendatipun wajah Kwan Hui-tok memperlihatkan kepedihan
hati, namun sepasang matanya tetap memancarkan cahaya
yang sangat terang.
Tong Keng pernah menyaksikan mimik muka semacam ini,
yaitu ketika seorang anak buah dalam perusahaannya jatuh
cinta pada putri kesayangan pemilik piaukiok, saat itu
rekannya pun tampak macam orang kehilangan semangat.
Mimpi pun dia tak menyangka seorang jagoan tangguh
macam Kwan Hui-tok dapat memperlihatkan juga mimik
semacam ini. Tampaknya Yan Yu-sim dan Yan Yu-gi kuatir Kwan Hui-tok
salah melakukan pembunuhan dalam situasi seperti ini, lekas
mereka maju selangkah sambil bersiap.
Mendadak terdengar Kwan Hui-tok berseru nyaring, "Tongih
berada dimana sekarang?"
Lelaki kekar bersenjata golok bergigi itu tidak menyangka
kalau Kwan Hui-tok bakal berteriak sekeras itu, ia tertegun,
kemudian sambil membaringkan kembali tubuh rekannya yang
bersenjata cula, sahutnya, "Nona Ting mengira kau masih
berada dalam penjara, bersama Lo-jit dan Lo-kiu mereka
menyerbu ke sana."
"Cepat lepaskan tanda rahasia, perintahkan mereka segera
mundur!" lekas Kwan Hui-tok berseru.
"Baik!" sahut lelaki itu, lekas dia bersuit nyaring, satu kali
suitan panjang diikuti tiga kali suitan pendek, kemudian tiga
kali suitan pendek diikuti satu kali suitan panjang, suara suitan
itu keras dan nyaring, bagaikan halilintar yang menggelegar di
udara, seketika menggema sampai dimana-mana.
Sementara itu dari dalam penjara sudah terdengar suara
gaduh yang sangat ramai, disusul kemudian tampak cahaya
api berkobar di sekeliling tempat itu.
Dua bersaudara Yan segera saling bertukar pandang
sekejap, kemudian satu dari kiri dan yang lain dari kanan
mendesak maju ke muka.
"Celaka!" seru Kwan Hui-tok cemas, "tampaknya jejak
mereka sudah ketahuan."
"Toako!" seru lelaki bersenjata martil berantai itu cepat,
"lebih baik kau mundur duluan, begitu kau mundur, kami
semua segera akan menyusul dari belakang."
"Benar," Tong Keng menambahkan, "Kwan-toako, lebih
baik kau mundur dulu..."
"Kita segera mundur bersama" bentak Kwan Hui-tok
dengan suara dalam.
Ketika dilihatnya dua bersaudara Yan kembali mendesak
maju selangkah hingga jarak dengan dirinya begitu dekat,
lekas hardiknya, "Berhenti!"
Tiba-tiba "Blammm!", seorang gadis berpakaian ringkas
warna biru dengan mantel berwarna ungu telah melayang
turun dari atap rumah, dia melayang turun bagaikan sekuntum
bunga botan berwarna ungu dan meluncur tiba dalam situasi
yang sama sekali tidak terduga.
Begitu tiba di bawah, gadis itu segera berseru, "Kwantoako!"
Suaranya rendah dan berat, seperti nada rendah dari
sebuah khim, tapi iramanya indah dan merdu bagaikan
kicauan burung nuri.
Begitu bertemu dengan gadis itu, sorot mata penuh
perasaan cinta memancar keluar dari balik mata Kwan Hui-tok,
dia seperti ingin mengucapkan sesuatu.
Sedikit dia lengah, Li Wan-tiong yang berada dalam
cengkeramannya mendadak membalikkan badan sambil
menumbuk ke pinggangnya dengan kuat.
Terdorong oleh tumbukan itu, Kwan Hui-tok mendengus
tertahan, cengkeramannya menjadi kendor dan Li Wan-tiong
pun terlepas dari cengkeramannya.
Memanfaatkan kesempatan itu, Li Wan-tiong segera
melesat ke depan untuk melarikan diri.
Pada saat yang bersamaan Yan Yu-sim dan Yan Yu-gi
sudah melesat maju bersama, yang satu menyongsong
kedatangan Li Wan-tiong sedangkan yang lain menghadang di
muka Kwan Hui-tok.
Kwan Hui-tok sendiri pun sadar, mati hidup mereka
tergantung pada apakah dia sanggup menguasai pemuda
jahat itu atau tidak, cepat dia meluncur ke muka dan
menyusup ke belakang tubuh Li Wan-tiong.
Ketika sekali lagi Kwan Hui-tok melancarkan serangan, Yan
Yu-sim sudah keburu tiba di tempat kejadian, sepasang jari
tangannya segera disodokkan ke muka menusuk sepasang
mata lawan. Kwan Hui-tok menyilangkan telapak tangan kirinya untuk
menangkis sodokan kedua jari tangan Yan Yu-sim, sayang
tenaga serangan yang disertakan dalam sodokan jari itu
sangat kuat, sedemikian dahsyatnya tenaga serangan itu
membuat telapak tangannya segera terluka dan muncul dua
lubang yang dalam.
Lekas Kwan Hui-tok mengubah tangan kanannya menjadi
cengkeraman, dia tangkap tengkuk Li Wan-tiong dan dalam
waktu bersamaan berteriak keras, "Kalian cepat pergi, bila Ni
Jin-mo keburu datang, jangan harap kita bisa lolos dari sini!"
Li Wan-tiong memang bengal dan angkuh, merasa
tengkuknya dicengkeram orang, ia segera membalikkan
pedangnya sambil melancarkan bacokan, belum sempat
serangan itu mencapai sasaran, kembali Kwan Hui-tok
memperkencang kelima jari tangannya lalu secara beruntun
menotok tiga buah jalan darah penting di tubuhnya.
Li Wan-tiong lumpuh seketika, pedang yang dipakai untuk
menyerang pun segera terkulai lemas.
Kejadian itu berlangsung cepat, serangan sepasang kepalan
yang dilepaskan Yan Yu-gi sudah mencapai dada Kwan Huitok.
Waktu itu Kwan Hui-tok dengan tangan sebelah sedang
menangkis sodokan jari tangan Yan Yu-sim, sedang tangan
yang lain dipakai untuk mencengkeram tengkuk Li Wan-tiong,
menghadapi pukulan dahsyat yang mengarah ke dadanya,
kecuali melepaskan tangkapannya, tidak mungkin dia sanggup
menyambut pukulan mayat hidup lawan yang maha dahsyat
itu dengan keras lawan keras.
Tentu saja Kwan Hui-tok tak sudi melepaskan tawanannya,
dia pun enggan mundur ke belakang, dalam waktu yang
singkat Yan Yu-gi mengira serangannya pasti akan bersarang
telak di dada lawan.
Siapa tahu kenyataan tak seperti yang diduganya, rupanya
sodokan kepalan Yan Yu-gi menyambar lewat persis melalui
kedua ketiak Kwan Hui-tok dan mengenai sasaran kosong.
Begitu pukulannya mengenai sasaran kosong, Yan Yu-gi
sadar gelagat tidak menguntungkan, seandainya waktu itu
Kwan Hui-tok memiliki sepasang kaki, jelas dia akan menderita
kerugian besar.
Ternyata reaksi yang dilakukan Yan Yu-gi cukup cepat,
sambil berpekik nyaring tubuhnya melambung ke atas.
Baru saja Li Wan-tiong meronta keras berusaha
melepaskan diri dari cengkeraman lawan, empat lelaki dan si
nona tadi sudah serentak meluruk maju ke muka melakukan
pengepungan, namun begitu tubuh mereka bergerak, Gi Engsi
ikut bergerak pula ke depan.
Sekali lagi kapak raksasa Gi Eng-si diayunkan ke depan,
sekilas cahaya perak menyambar lewat bagai sebuah kipas,
diiringi deru angin serangan yang luar biasa, kapak itu sudah
mengurung kelima orang musuhnya dengan rapat, sedemikian
rapatnya lapisan serangan itu sehingga sulit bagi lawan untuk
maju. Di tengah kilatan cahaya perak, terlihat setitik warna biru
menerobos di tengah antara bayangan kapak dan melesat
keluar. Tampaknya kapak raksasa itu segera akan membabat
pinggang gadis yang bertubuh ramping itu, sekonyongkonyong
gadis itu menjejakkan ujung kakinya di atas
permukaan kapak, dengan meminjam tenaga injakan itu
tubuhnya melambung ke udara, dengan begitu bacokan kapak
raksasa itupun mengenai tempat kosong.
Dalam pada itu si nona sudah meluncur ke samping Kwan
Hui-tok. Gi Eng-si tahu, di antara beberapa orang musuh yang
berada di hadapannya sekarang, hanya gadis itu yang memiliki
ilmu silat paling tangguh, padahal waktu itu dua bersaudara
Yan sedang berusaha menolong Li-kongcu, bila dengan
kemampuannya tak mampu mengatasi beberapa orang musuh
kelas teri ini, mungkin pamornya di kemudian hari, khususnya
di mata Li-thayjin, akan turun drastis.
Berpikir sampai di situ, dia pun segera membulatkan tekad,
kapaknya sekali lagi dilontarkan ke udara, diiringi pusingan
angin tajam, senjata itu langsung mengejar ke tubuh si nona.
Saat itu gadis itu sudah berhasil mencapai belakang
punggung Yan Yu-gi, bahkan sempat bertukar satu pukulan
dengan lawan, dengan tergopoh-gopoh Yan Yu-gi menangkis
datangnya serangan itu, tubuh mereka berdua masing-masing
mundur selangkah ke sisi kiri dan kanan arena.
Kwan Hui-tok sangat girang melihat gadis itu berhasil
menyusulnya, tapi pada saat itulah dia saksikan kapak terbang
itu sudah membabat tiba.
"Hati-hati!" Kwan Hui-tok segera menjerit keras.
Sadar akan datangnya bahaya, cepat gadis itu
mengibaskan rambutnya yang panjang, mengikuti kebasan itu
mantel yang dikenakan ikut mengembang besar, bagaikan
sekuntum bunga raksasa tahu-tahu tubuhnya sudah
melambung ke udara.
Kapak terbang itu degan membawa desingan tajam dan
cahaya perak nyaris menyambar lewat sisi tubuhnya.
Karena mengenai tempat kosong, kapak terbang itu
langsung berpusing kencang dan meluncur ke arah Kwan Huitok.
Padahal waktu itu Li Wan-tiong persis berada di depan
Kwan Hui-tok, dengan begitu pemuda itu malah menjadi
tameng hidupnya.
Tentu saja kejadian ini bukan saja membuat Gi Eng-si amat
terperanjat, dua bersaudara Yan pun sempat dibuat kalangkabut,
Li Wan-tiong sendiri yang jalan darah di tengkuknya
sudah tertotok hanya bisa mengawasi datangnya ancaman itu
dengan wajah pucat pasi, pucat karena terperanjat.
Perubahan ini sama sekali di luar dugaan siapa pun,
tampaknya kawanan jago itu tak sempat lagi menyelamatkan
jiwa Li Wan-tiong.
Di saat yang kritis itulah tiba-tiba terdengar Kwan Hui-tok
membentak nyaring, tangan yang semula digunakan untuk
mencengkeram tengkuk Li Wan-tiong segera dikendorkan,
menyusul kemudian tangannya mendorong ke muka
menyingkirkan tubuh Li Wan-tiong dari hadapannya, setelah
itu dia bergerak cepat mencengkeram datangnya kapak
terbang yang sedang meluncur tiba.
Cengkeramannya amat jitu, dengan tepat dia berhasil
mencengkeram gagang kapak itu, dengan sendirinya kapak
yang sedang terbang berpusing pun seketika berhenti
bergerak. Menyaksikan adegan ini diam-diam Gi Eng-si
menghembuskan napas lega, sementara Yan Yu-sim dan Yan
Yu-gi segera bersorak memuji.
Di luar dugaan, tiba-tiba terlihat cahaya pedang kembali
berkelebat, Li Wan-tiong yang berhasil lolos dari bahaya maut
tahu-tahu sudah memutar pedangnya sambil melepaskan
bacokan. Kwan Hui-tok tidak menyangka kalau Li Wan-tiong bakal
memanfaatkan peluang itu untuk mencelakainya, mau menarik
kembali tangannya tak sempat, mau mundur pun tak bisa


Misteri Lukisan Tengkorak Seri 4 Opas Karya Wen Rui An di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

karena sepasang kakinya lumpuh, dalam keadaan begini, mau
tak mau terpaksa dia harus menangkis datangnya bacokan itu
dengan tangan kanannya.
Tak ampun lengan kanan itu terpapas seketika hingga
kutung. Berhasil dengan bokongannya, Li Wan-tiong tertawa
terbahak-bahak, dari gerak serangan pedang dia berganti
mencekik dagu Kwan Hui-tok dengan jari tangannya.
"Hahaha, kau tak menyangka akan bernasib seperti hari ini
bukan....?" ejeknya sambil tertawa seram, lagaknya amat
bangga. Saat itulah, "Bruuuk!", lengan kanan Kwan Hui-tok yang
masih menggenggam kencang ujung kapak terjatuh ke atas
tanah. ooOOOoo Bab II. IBLIS WANITA BUNGA BOTAN.
5. Melarikan Diri.
Untuk sesaat Kwan Hui-tok masih belum merasakan
kesakitan, dia hanya merasa gusar, sedih bercampur benci.
Sementara itu suasana di arena pertarungan pun menjadi
hening seketika.
Li Wan-tiong dengan mengangkat tangan menunjuk bekas
noda darah yang memanjang di bawah dagu Kwan Hui-tok,
katanya dengan bangga, "Bagaimana" Sekarang kau sudah
terjatuh ke tanganku bukan?"
Sebetulnya dia hendak bicara lebih lanjut, tapi sorot mata
lawan yang begitu menyeramkan seketika membuatnya
bungkam. Menyusul kemudian terdengar suara teriakan pilu dari gadis
itu. Tiba-tiba Yan Yu-gi berteriak keras, "Kongcu, cepat bunuh
dia, cepat!"
Suara teriakannya terdengar sedikit gemetar.
Sementara Li Wan-tiong masih melengak, tahu-tahu Kwan
Hui-tok telah mengayun telapak tangannya, dengan tangan
sebelah yang masih tersisa dia menjotos wajah pemuda itu
dengan kuat. Ilmu silat yang dimiliki Li Wan-tiong tidak terhitung bagus,
namun jotosan dari Kwan Hui-tok pun dilancarkan tanpa
memakai peraturan, dalam gugupnya lekas Li Wan-tiong
menangkis dengan pedangnya, tapi Kwan Hui-tok sama sekali
tidak menarik balik serangannya itu.
"Blaaaam!", jotosan itu dengan telak menghajar wajah Li
Wan-tiong, membuat hidungnya langsung berdarah, tubuhnya
mencelat ke belakang tapi tusukan pedangnya berhasil juga
menembus lengan lawan.
Sambil membentak nyaring gadis itu menerkam ke hadapan
Kwan Hui-tok, pedangnya diputar membentuk gulungan bunga
pedang yang tebal, sedemikian hebatnya serangan itu
memaksa Yan Yu-sim dan Yan Yu-gi yang berusaha mendesak
maju kembali terpukul mundur.
Kini Kwan Hui-tok mulai merasakan rasa sakit yang
merasuk hingga ke tulang sumsum, serunya dengan parau,
"Kau cepat kabur, kalian cepat kabur..."
Sambil memutar pedangnya semakin kencang, tiada
hentinya gadis itu berpaling memandang Kwan Hui-tok seraya
berseru, "Tidak, aku tak akan pergi, aku tak akan pergi, kalau
mau pergi, kita pergi bersama"
Sekonyong-konyong terdengar Li Wan-tiong menjerit aneh,
suaranya keras bercampur ngeri, tapi hanya sejenak kemudian
jeritan itu terputus di tengah jalan.
Rupanya setelah termakan pukulan Kwan Hui-tok tadi,
tubuhnya terlempar ke belakang, baru saja dengan susah
payah ia berhasil berdiri tegak, mendadak dari depan dadanya
menongol keluar ujung golok yang bercampur dengan
semburan darah.
Mula-mula Li Wan-tiong tertegun, kemudian setelah
mengetahui apa yang menimpa dirinya, dia pun menjerit
ngeri, tampaknya dia tidak percaya kalau kenyataan yang
menakutkan dan menyeramkan itu sudah menimpa dirinya.
Tapi belum lagi jeritan ngerinya bergema di udara,
nyawanya sudah keburu melayang meninggalkan raga.
Ternyata orang yang menghadiahkan tusukan golok dari
punggungnya adalah Tong Keng.
Kepandaian silat Tong Keng tidak lebih tinggi dibanding
kungfu yang dimiliki kawanan lelaki berpakaian ketat itu,
dalam hal kemampuan bertarung pun dia tidak menonjol
sehingga untuk sesaat dia tak tahu bagaimana harus menjalin
kerja sama yang baik dengan kawanan jago itu.
Dalam keadaan begitu, terpaksa dia hanya bisa berdiri
melongo sambil mengikuti jalannya pertempuran di tengah
arena. Sampai Li Wan-tiong secara licik membokong Kwan Hui-tok
hingga kehilangan sebelah tangannya, Tong Keng seketika
merasa darah di tubuhnya mendidih, dia langsung menerjang
ke muka, tanpa berpikir panjang lagi disambarnya sebilah
golok yang tergeletak di tanah.
Sewaktu Li Wan-tiong secara kebetulan terlempar jatuh ke
belakang, dia pun segera memanfaatkan kesempatan itu
menghujamkan goloknya ke punggung lawan.
Tusukan goloknya itu seketika menghujam punggung Li
Wan-tiong hingga tembus ke dada, tak ampun lagi tewaslah
pemuda keji itu seketika.
Menyaksikan kematian Li Wan-tiong, semua jago yang
hadir di arena menjadi terperangah.
Sampai lama kemudian, Yan Yu-gi baru berseru agak
tergagap, "Kau..."
"Kongcu Yan..." Yu-sim pun mencoba berteriak memanggil.
Sementara itu Tong Keng telah melepaskan tangannya, Li
Wan-tiong berikut golok yang tembus di dadanya seketika
roboh terjerembab ke tanah, kini semua orang dapat melihat
kalau Li Wan-tiong telah tewas.
Tong Keng sendiri pun mulai menyadari, di dalam amarah
yang meluap tadi meski dia telah melakukan satu perbuatan
yang memuaskan hati, namun sebuah kesalahan besar telah
dilakukannya. Di antara sekian banyak jago yang hadir, hanya pemuda
biadab itu yang paling terhormat dan paling tinggi
kedudukannya, walaupun dia juga yang memiliki kepandaian
silat paling rendah, semestinya orang itu tak boleh dibunuh,
melainkan harus dijadikan sandera, dengan demikian semua
orang baru bisa meninggalkan tempat itu dengan selamat.
Tapi sekarang, dia justru telah menghabisi nyawanya!
Tong Keng memandang sekejap mayat yang tergeletak di
hadapannya, dengan cepat cucuran darah segar menggenangi
seluruh permadani putih itu dan mulai mengalir menuju ke
kakinya, tanpa terasa dia mundur selangkah.
Selama ini dia tak pernah menyangka kalau suatu hari nanti
dia akan menghabisi nyawa putra tunggal seorang pejabat
tinggi karesidenan, putra Tihu Cing-thian-sian propinsi Soatsay
yang tersohor karena disegani baik oleh kawanan Hek-to
maupun Pek-to. Mendadak terdengar Kwan Hui-tok berseru keras, "Kalian
harus berhasil menyelamatkan dirinya!"
Ucapan itu jelas ditujukan kepada gadis itu.
Si nona nampak agak tertegun, tapi sesaat kemudian ia
sudah mengerti siapakah 'dia' yang dimaksud.
Begitu menyelesaikan perkataannya, Kwan Hui-tok dengan
wajah pedih kembali berseru keras, "Jaga diri baik-baik, cepat
kabur!" Mendadak ia meluncur ke depan dan membenturkan
kepalanya di atas dinding ruangan.
Percikan darah segar kembali berhamburan kemana-mana,
tak sempat memberikan pertolongannya si nona bersama
beberapa orang lelaki berpakaian ringkas itu berseru kaget,
"Toako...!"
Dalam pada itu Yan Yu-sim dan Yan Yu-gi sudah
menghampiri mayat Li Wan-tiong, sambil bergerak mendekat
mereka melepaskan sebuah pukulan dahsyat.
Saat itu Tong Keng masih berdiri dengan mata terbelalak
dan mulut melongo, gulungan angin pukulan yang sangat kuat
itu kontan membuat badannya mundur dengan terhuyung.
Ketika menyaksikan Kwan Hui-tok sudah mati
membenturkan diri ke tembok, keempat lelaki berpakaian
ringkas itupun menjadi kaget, untuk sesaat pikiran mereka
menjadi kalut dan tak tahu apa yang mesti dilakukan.
Mendadak dari atas atap rumah melayang turun seorang
lelaki kekar, begitu mencapai tanah serunya, "Enci Ting, kita
...?" Waktu itu Ting Tong-ih masih berlutut di hadapan jenasah
Kwan Hui-tok dengan membelakangi mereka, dia sedang
menangis sesenggukan.
Ketika Yan Yu-sim memastikan Li Wan-tiong sudah
menghembuskan napas terakhir, dengan wajah pucat kehijauTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
hijauan ia segera bangkit berdiri, teriaknya, "Bunuh semuanya
tanpa ampun!"
Yan Yu-gi dengan cepat menyelinap ke sisi mayat Li Wantiong,
kemudian menyambar lukisan kulit manusia yang
tergeletak di tanah.
Keempat lelaki berpakaian ringkas itu serentak menyiapkan
senjata masing-masing dan siap menghadapi serangan
musuh. Liong Giam-ong tergopoh-gopoh lari keluar dari ruangan,
sambil berlari dia berteriak minta tolong.
Pada saat itulah mendadak Ting Tong-ih berpaling, waktu
menoleh sebetulnya masih ada bekas air mata di wajahnya,
tapi berbareng dia menyeka air matanya, kemudian dengan
nada suara yang rendah, berat dan penuh perasaan sedih
bercampur dendam serunya, "Segera lindungi orang ini dan
tinggalkan tempat ini!"
"Bagaimana dengan jenazah Toako?" tanya lelaki
bersenjata cula itu.
Sebenarnya dia bermaksud membopong jenazah Kwan Huitok
untuk dibawa pergi, tapi secara tiba-tiba Ting Tong-ih
mengayunkan tangannya berulang kali melepaskan beberapa
titik bintang api, dalam waktu singkat terjadilah kebakaran
yang sangat hebat di tempat itu, bukan saja barang yang ada
di sekitar sana terbakar hebat, bahkan jenazah Kwan Hui-tok
ikut terbakar. "Enci Ting...." seru lelaki kekar itu tercengang.
Ting Tong-ih mengebaskan tangannya sambil bangkit
berdiri, katanya, "Orang sudah mati..."
Dengan cepat dia menyelinap ke samping Tong Keng.
Waktu itu Tong Keng masih berdiri termangu, dia hanya
merasakan pandangan matanya kabur, lalu terendus bau
harum semerbak, tahu-tahu gadis itu sudah tiba di
hadapannya. Kini Tong Keng baru bisa melihat wajah gadis itu dengan
jelas, ternyata nona itu memiliki wajah yang cantik tapi sendu,
biarpun tidak terlalu lincah namun tidak menutupi
keanggunannya. Melihat kepedihan yang mencekam nona itu, untuk sesaat
Tong Keng berdiri tertegun, dia seakan lupa kalau dirinya
sedang berada dalam situasi berbahaya, seolah baru berjumpa
dengan sanak keluarganya, ingin sekali dia mengucapkan
beberapa patah kata menghibur, seakan juga seorang ayah
yang bertemu dengan putrinya menjelang ajalnya.
Ting Tong-ih sama sekali tidak memandang ke arahnya,
hanya serunya, "Kenapa kau belum juga pergi?"
"Tangkap pembunuh jahanam itu!" bentak Yan Yu-gi
nyaring. Dengan satu gerakan cepat Ting Tong-ih menyambar
tangan Tong Keng, kemudian bagai selapis awan berwarna
ungu, dia menjebol atap rumah dan langsung menerobos
keluar. Yan Yu-sim, Yan Yu-gi serta Gi Eng-si segera berpencar
melakukan pengepungan, tapi tiga lelaki kekar bersenjata
cula, golok bergigi serta martil berantai serentak melakukan
penghadangan, hanya pemuda kekar tadi yang mengikuti Ting
Tong-ih serta Tong Keng meluncur keluar dari ruangan.
Baru saja ujung kaki Ting Tong-ih menginjak di atas atap
rumah, suara desingan angin tajam telah menderu dari empat
penjuru, tahu-tahu dari sekeliling tempat itu sudah
berhamburan anak panah.
Lekas Ting Tong-ih mengebaskan mantel ungunya kian
kemari, di antara gulungan angin tajam, anak panah yang
tertuju ke arahnya kontan tersampuk runtuh.
Sebelum meninggalkan tempat itu dia sempat menengok ke
bawah lubang atap seraya berseru, "Jangan bertarung kelewat
lama, cepat kabur..."
Hanya beberapa patah kata itu saja yang sempat
diucapkan, karena kata berikutnya sudah tak perlu
disampaikan lagi. Rupanya saat itu juga dia telah menyaksikan
keadaan yang sebenarnya di tempat itu.
Dari sekilas pandang, dia sadar kalau ketiga saudaranya
sudah tak mungkin lagi melepaskan diri dari kepungan untuk
menghadang pengejaran dari dua bersaudara Yan serta Gi
Eng-si, mereka telah mempertaruhkan sisa kekuatan yang
dimiliki. Sebenarnya dia bersama tiga orang lelaki yang berada di
bawah ruangan maupun dengan tiga orang yang sedang
bertarung dalam penjara mempunyai hubungan yang lebih
akrab dari hubungan saudara, bila berada dalam keadaan
biasa, jika mereka terlibat dalam pertarungan antara mati
hidup, dia pun tak nanti akan kabur seorang diri.
Namun setelah melirik sekejap situasi di bawah sana, dia
pun segera mengambil keputusan, bagaimanapun juga dia
harus keluar dari situ dalam keadaan hidup.
Tiba-tiba pedangnya lenyap dari pandangan.
Mantel lebarnya segera menggulung bagaikan amukan
topan, seakan sekuntum warna unggu yang tidak terkendali,
dengan cepat menyapu ke hadapan kawanan prajurit kerajaan
yang sudah mulai mengepung sekitar tempat itu.
Melihat datangnya gulungan sinar ungu itu, lekas kawanan
prajurit itu melolos goloknya untuk menangkis, sayang,
dimana cahaya ungu itu menggulung tiba, seketika ada
beberapa orang prajurit yang tersapu roboh.
Ketika mereka menyaksikan munculnya ujung pedang
berwarna biru di antara gulungan mantel itu, mau menghindar


Misteri Lukisan Tengkorak Seri 4 Opas Karya Wen Rui An di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sudah tak sempat lagi.
Tong Keng serta pemuda gagah itupun melancarkan
serbuan dengan sepenuh tenaga, ia berhasil merampas
sebatang tombak berbulu merah, sementara senjata yang
digunakan pemuda itu adalah peluru perak, mereka berdua
bahu-membahu menerjang keluar kepungan.
Dimana ayunan mantel Ting Tong-ih menggulung lewat,
kawanan prajurit itu ibarat ranting kayu kering yang diterjang
topan, langsung bergelimpangan, tidak hanya begitu, nona itu
bergerak pula ke belakang Tong Keng dan pemuda kekar itu,
lalu merobohkan pula beberapa orang musuh yang
Lencana Pembunuh Naga 17 Balada Pendekar Kelana Karya Tabib Gila Harpa Iblis Jari Sakti 24
^