Wanita Gagah Perkasa 13
Wanita Gagah Perkasa Karya Liang Ie Shen Bagian 13
sini..." Tiat San Ho membuka kedua matanya ia tersenyum.
"Koko, gi rang hatiku..." katanya.
"Aku menyesal, aku telah terlambat datang." Beng Kie
bilang. "Kau tidak terlambat, koko. adalah aku yang hendak
berangkat lebih dulu..." kata si nona.
Hebat luka di dalam tubuhnya San Ho bekas gedoran
tangan yang liehay dari Kim Tok Ek. yang terluka ialah hati
dan isi perutnya, hingga untuk bisa bicara dengan si anak
muda. ia kumpulkan kekuatannya yang terakhir, habis itu ia
berdiam dalam rangkulan anak muda itu. bagaikan ia tidur
nyenyak di atas kasur, bukan main ia merasa hangatnya,
hatinya puas...
Beng Kie terus merangkul, ia lihat mata orang meram pula.
Ia terkejut apabila ia rasakan tubuh orang menjadi dingin,
lenyap hawa hangatnya. Sebab si nona telah menghembuskan
napasnya yang penghabisan, tubuhnya itu dengan lekas telah
menjadi dingin.
Pemuda ini berdiri melongo, hatinya kosong. Ia tidak
mempunyai harapan lagi. hatinya segera menjadi tawar. Ia
seperti merasa suasana di sekitarnya dingin semua.
Ketika itu Anghoa Kuibo dari atas berlari-lari ke bawah, ia
saksikan larinya Bouwyong Ciong. yang dikejar Giok Lo Sat. Ia
memandang ke depan, ke lembah, segera ia menjadi sangat
terperanjat. "Kim Lootoa!" ia memanggil. "Kim Lootoa!"
Mendengar suaranya si nyonya. Beng Kie bagaikan tersadar
dari impian-nya yang muluk. Dengan hati-hati ia letakan
tubuhnya San Ho di tanah, setelah itu. ia jemput kepalanya
Kim Tok Ek. "Di sini adama Lootoamu!" dia berteriak pada nyonya itu.
suaranya menyatakan kemarahan yang hebat.
Anghoa Kuibo lihat kepala tanpa tubuh itu. ia kaget hingga
tubuhnya bagaikan disiram air dingin, dari kepala sampai di
dasar kaki. Ia awasi kepala orang itu yang berlumuran darah...
Tidak salah, itulah kepalanya suaminya dengan siapa ia
pernah hidup bersama puluhan tahun!
"Apakah kau yang telah bunuh dia?" tegur nyonya ini
setelah ia sadar. Dia sangat gusar, tongkatnyapun diangkat
tinggi. "Suamimu yang busuk ini. sekalipun dia berjumlah sepuluh,
dia masih tidak dapat dibandingkan dengan adikku San Ho!"
jawab si anak muda. mengejek.
"Siapa kau?" bentak nyonya tua itu. "Aku hendak
membunuh kau. guna menggantikan jiwanya!"
"Bagus perkataanmu!" bentak Beng Kie. "Aku si orang she
Gak yang pernah menyerbu di antara ratusan ribu serdadu
musuh, buat puluhan kali aku menghadapi ancaman bahaya
maut. malah dorna sudah mengejar-ngejar aku. tapi aku tidak
takut, malah jiwaku, telah aku taruhkan di luar garis! Ha-haha!
kau berniat membunuh aku. Untuk mengganti jiwa" Habis,
siapa yang nanti menggantikan jiwanya Him Kengliak --
jiwanya adik San Ho ini?"
Anghoa Kuibo berdiam bagaikan dihajar guntur. Jadi
benarlah katanya Giok Lo Sat, suaminya ini kembali
melakukan kejahatan, malah rupanya telah membinasakan
menteri setia. Maka menyesallah ia, yang telah puluhan tahun
mendidiknya, ia mengharap suaminya itu mengubah tabiatnya
untuk menjadi manusia baik-baik, tapi akhirnya, suami itu
terbinasa sedemikian rupa...
Lemah seluruh anggauta tubuhnya wanita kosen ini,
tongkatnya turun sendirinya bersama kedua bahunya.
"Habis mau apa kau sekarang?" tegur Beng Kie, yang hawa
amarahnya mulai berkurang.
"Jadi kaulah yang bernama Gak Beng Kie" Kau adalah
pembantu setia dari Him Kengliak?" tanya wanita kosen itu
dengan sabar, sambil ia mengawasi wajah orang.
"Dan aku ketahui, kaulah yang dinamakan Anghoa Kuibo si
Biang Hantu Bunga Merah!" sahut Beng Kie sebaliknya. "Hm,
hm, orang telah keliru menamakan julukanmu itu! Adalah
suamimu yang seperti satu hantu!"
Si Biang Hantu menghela napas panjang.
"Habis, habis sudah..." katanya dalam hatinya. "Apakah
sekarang aku masih mendapat muka untuk bertemu dengan
kaum Rimba Persilatan" Apakah artinya hidup dalam dunia ini
jikalau rasanya tawar?"
Mendadak saja wanita jago ini menjadi putus asa, hingga ia
jadi nekat. Ia lompat membenturkan kepalanya kepada batu
besar di sampingnya, hingga kepalanya pecah dan jiwanya
melayang dalam sekejap. Dan batu itu bermandikan darah,
berlepotan polo yang hancur lebur.
Beng Kie kaget tetapi ia tidak berdaya, sebab tidak pernah
ia sangka orang demikian keras hatinya. Ia berdiri bengong
karena tercengangnya. Ketika ia sadar, ia tertawa terbahakbahak.
"Mati semua barulah bersih!" serunya seorang diri. Dan
iapun lompat membenturkan kepalanya kepada batu itu, untuk
menelad si nyonya kosen!
Tapi tak dapat ia berbuat sekehendak hatinya itu, tak bisa
ia menjadi hakim untuk jiwanya sendiri. Tak dapat ia adu
kepalanya dengan batu itu. Karena dari belakang, ada orang
menyambar sebelah kakinya, yang terus ditarik, hingga hampir
ia tersungkur jikalau sebelah kakinya lagi tidak lantas
menginjak tanah. Segeralah ia menoleh, dengan mata
mendelong. "Dalam satu hari ini, tak mungkin terbinasa berbareng dua
jago!" demikian ia dengar satu suara nyaring, suaranya Giok
Lo Sat, ialah orang yang telah menyambar dan betot kakinya
itu untuk mencegah ia menghabiskan jiwanya sendiri secara
kecewa demikian.
Si Raksasi Kumala membatalkan mengejar Bouwyong
Ciong, sebab tengah ia berlari-lari, kupingnya mendengar
suara keras dari Anghoa Kuibo, suara yang ditimpali suaranya
Beng Kie. Ia jadi berkuatir.
"Jangan-jangan nyonya tua itu adu jiwa..." demikian ia
menduga. Ia ingat kepada Beng Kie, ia ingat juga kepada San
Ho, keselamatan siapa membuatnya sangsi. Maka berserulah
ia pada si Congkauwtauw: "Bouwyong Ciong, hari ini aku beri
ampun kepadajiwamu!" Habis itu ia lari kembali, tetapi
alangkah terkejutnya ia, ketika ia menyaksikan kebinasaan
yang menyedihkan dari si Biang Hantu.
"Celaka betul!" serunya dalam hatinya. "Sejak ini aku
kehilangan satu kawan yang tangguh!"
Baru ia kaget melihat yang satu, ia sudah dikagetkan oleh
yang lain, demikian Giok Lo Sat. Karena segera ia tampak
perbuatan nekat dari Gak Beng Kie, maka dengan pesatnya ia
mencelat kepada anak muda itu untuk menyambarnya, hingga
ia merasa beruntung juga masih keburu menangkap kaki
orang, hingga dapat ia mencegah satu jiwa lain melayang...
Pemuda itu lantas menjatuhkan dirinya di tanah begitu
lekas si nona melepaskan cekalannya kepada kakinya. Kalau
tadi ia benturkan kepalanya dengan kedua matanya
dimeramkan, sekarang ia mementangnya.
"San Ho telah terbinasa, untuk apa aku hidup terlebih lama
pula?" katanya.
Sakit hatinya Giok Lo Sat. Tetapi ia masih ingin hidup, tak
sudi ia pergi meninggalkan dunia. Maka ia keraskan hatinya
untuk melawan kesedihannya. Ia tertawa dengan tawar.
"Gak Beng Kie, adakah kau jeri nanti adu pedang pula
denganku?" tanyanya, sengaja.
Mendongkol Beng Kie mendengar hinaan itu.
"San Ho ada adikmu, tapi kau begini tega terhadapnya..."
dia berpikir. "Masakah di saat begini kau masih mempunyai
keinginan untuk adu pedang denganku?"
Ia lantas lompat bangun.
"Benarkah kau hendak adu pedang?" dia tanya. "Mari, mari!
Sayang adikmu tak dapat menonton kegagahan enCie-nya!"
"Aku bukannya niat adu pedang denganmu sekarang!" Giok
Lo Sat berkata sambil tertawa. "Kau tahu, guru kita telah
menciptakan masing-masing semacam ilmu silat pedang,
kedua ilmu silat itu adalah satu lempang, satu kebalikannya,
sama seperti saling menindas, saling menghidupi juga. Adalah
maksud guruku, setelah selesai merampungkan pelajarannya
itu, ingin ia adu pedang dengan gurumu, untuk melatih diri,
tapi sayang, guruku telah mendahului meninggal dunia,
hingga karenanya, mereka berdua tak dapat lagi mengadu
kepandaian mereka. Tapi kita masih hidup, kita masingTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
masing mempunyai satu macam ilmu silat, kita adalah ahli
waris tunggal dari kedua orang tua itu, dapat kita dikemudian
hari melangsungkan mewujudkan cita-cita mereka. Bila telah
sampai waktunya, umpama kata kau tidak sudi adu pedang
denganku, aku sendiri yang nanti cari padamu! Sekarang ini,
marilah kita sama-sama meyakinkan pula, sampai dua puluh
tahun lagi, setelah sama-sama selesai memahamkannya, baru
kita bertanding, guna memastikan siapa yang tinggi siapa
yang rendah! Sekarang ini kita berimbang, inilah tak menarik
hati..." Beng Kie berpikir.
"Kiranya dia kandung maksud begini..." demikian pikirnya
"Suhu juga telah berusia lanjut, pasti dia tidak bakal punyakan
murid yang kedua, maka itu tak dapat aku tidak menyayangi
jiwaku, hingga karenanya, aku dapat membuat putus warisan
ilmu pedang kaumku..."
Karena berpikir demikian, ia merasakan kepalanya dingin
bagaikan disiram air, ia jadi sadar.
"Terima kasih!" katanya kepada si nona suaranya perlahan.
Lantas saja ia berbangkit. "Baiklah, lagi dua puluh tahun, nanti
aku tunggu kau di gunung Thiansan."
Giok Lo Sat juga bernapas lega. Baru sekarang ia tak dapat
tahan kesedihannya. Ia tubruk tubuhnya San Ho, sambil
memeluk, ia menangis menggerung-gerung.
"Kiranya di lahir saja dia bengis, hatinya tetap halus..."
berpikir Beng Kie.
Lantas ia pikir untuk menghampiri si nona, guna menghibur
padanya. Tapi ini tak dapat ia lakukan karena ia segera
tampak satu orang berlari-lari ke arahnya.
Itulah To It Hang, yang ilmu enteng tubuhnya ketinggalan
jauh daripada si Raksasi Kumala dan Biang Hantu Bunga
Merah, hingga baru pada saat itu ia dapat menyusul.
"Saudara To, San Ho telah mati," kata Beng Kie kepada
sahabatnya itu. "Kau hiburkanlah Nona Lian..."
It Hang terkejut memandang segala apa yang dihadapinya
itu. Ia tidak sempat sahuti si anak muda, ia lantas dekati Giok
Lo Sat, untuk pimpin dia bangun.
Pada itu waktu, si Raksasi Kumala justeru sedang berpikir,
"Gak Beng Kie dan adik San Ho tidak dapat menikah, tetapi
mereka menyinta satu pada lain, maka meskipun dia menutup
mata, hatinya tentu puas..." Karena ini, ia jadi mengiri untuk
keberuntungannya adik itu. Tapi, ketika ia lihat It Hang, ia
mengawasi dengan tajam, cahaya matanya mengandung rasa
cinta dan kemenyesalan, penasaran...
It Hang tunduk dengan segera tak dapat ia memandang
sinar mata orang itu.
Giok Lo Sat berdiam, hatinya bekerja. Tiba-tiba saja ia
insaf, bukannya San Ho yang harus dibuat sedih, hanya
dirinya sendiri. Ialah yang tidak beruntung dalam urusan
asmara. Maka ia berdiri menjublak. Ia tidak lagi mengucurkan
air mata. Adalah selang sekian lama, baru ia bisa angkat
kepalanya. "Marilah kita kubur dia di lembah ini," katanya, "Kita tunggu
sampai es telah menjaj_cair, baru kita urus pula jenazahnya,
untuk dikubur seperti selayaknya..."
Beng Kie setuju, maka dibantu It Hang mereka menggali
es. Giok Lo Sat membantu pula membuat satu liang yang
dalam, setelah mana, tubuhnya San Ho diangkat dimasukkan
ke dalam liang itu, yang terus diuruk pula.
"Mari kita menggali sebuah lubang lain," kemudian si
Raksasi Kumala mengajak pula. Dan ia pondong tubuhnya
Anghoa Kuibo, untuk dikuburkan dengan baik sebagai
mayatnya gadisnya Tiat Hui Liong.
"Dia ini adalah satu nyonya yang harus dikasihani..."
katanya. "Biarlah dia dikubur bersama suaminya," Beng Kie usulkan.
Lantas tubuhnya Kim Tok Ek, serta kepalanya, diangkat
untuk dimasukkan dalam liang kubur dari si Biang Hantu.
"Sebenarnya hendak aku pakai kepala ini untuk
sembahyangi adik San Ho," kata pemuda she Gak itu, "tetapi
mengingat kepada nyony a ini. suka aku menghabiskannya..."
Maka es pun diurukkan ke liang kubur pasangan itu.
Sesudah itu bertiga mereka mengheningkan cipta, guna
mendoa untuk ketenteramannya ketiga roh yang bercelaka itu.
Pada saat yang sunyi itu, Beng Kie dengar suara merintih
perlahan. Ia berpaling dengan segera. Maka segera juga ia
tampak Eng Siu Yang sedang bergulingan, akibat robohnya
tadi bekas dikejar si Raksasi Kumala. Kakinya terluka pula, tak
dapat dia berjalan, sedang melihat kebinasaannya Kim Tok Ek,
hatinya pedih, jeri...
"Masih ada satu lagi!" kata Beng Kie, sengit. "Mari kita
membuat lagi satu lubang, dia mesti dikubur hidup-hidup!"
Dalam sengitnya pemuda ini menghampiri orang she Eng
itu, tubuh siapa ia sambar untuk ditenteng, guna dilemparkan
ke dalam lubang.
"Tunggu!" seru Giok Lo Sat. "Dia mesti dibiarkan tinggal
hidup!" It Hang bagaikan baru sadar.
"Benar!" dia turut bicara. "Dia mesti dikasih tinggal hidup!
Dia mesti dikorek mulutnya, supaya dia beber sekongkolannya
dengan bangsa Boan!"
Beng Kie segera ingat kejadian dulu di puncak gunung
Hoasan tatkala The Hong Ciauw membuat pengakuan.
"Dalam hal ini kita mengharapkan Lian Liehiap," dia kata
"Mari kita bawa pulang dulu dia ke pesanggrahan,"
mengajak Giok Lo Sat. "Biar dia hidup lebih lama dua hari
lagi!" Habis berkata demikian lama dan berlari-lari, sedang
matahari sudah naik tinggi, nona ini memikir untuk
beristirahat.
Wanita Gagah Perkasa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Segala apa terserah padamu," kata Beng Kie. "Mustahil dia
mampu terbang!"
Lantas dia angkat pula tubuh Eng Siu Yang, kali ini untuk
dibawa lari ke pesanggrahan si nona.
Giok Lo Sat dan It Hang mengikuti.
Sesampainya di sarangnya si Raksasi Kumala memberi titah
untuk melakukan penjagaan, terutama di mulut gunung.
Sampai di situ barulah orang dapat menghilangkan lelah.
Pada sore hari, habis bersantap, selagi sang rembulan
mulai naik, barulah barisan wanita yang di kepalai Tiat San Ho
dapat disambut pulang semuanya, syukur tidak ada yang
kurang, kecuali semuanya letih dan lapar.
Bertiga Beng Kie dan It Hang, Giok Lo Sat berkumpul
bersama. Tak mau mereka lantas masuk tidur. Masing-masing
mempunyai pikiran sendiri. Mereka muncul di lapangan
gunung, untuk berjalan-jalan mencari angin... Semuanyapun
bungkam kemudian.
"Lian Liehiap, hendak aku mohon sesuatu kepadamu..."
tiba-tiba Beng Kie berkata, memecah kesunyian.
"Silakan," sahut si nona, ringkas.
"Him Kengliak terbinasa dengan kepala terpisah, aku minta
sukalah kau berupaya hingga tubuhnya terkumpul utuh, untuk
dikubur dengan baik," demikian permintaan si anak muda.
"Him Kengliak itu sahabatku, nanti aku kerjakan sebisaku,"
si nona beri kepastiannya.
"Terima kasih," kata Beng Kie, yang terus pandang It Hang:
"Saudara To, aku harap kau nanti serahkan kitabnya Kengliak
kepada orang yang tepat. Dalam hal ini aku mengandal
padamu." "Akan aku lakukan itu sekuat tenagaku," jawab It Hang
dengan janjinya. "Hanya aku kuatir, sepulangku ke gunung,
untuk menjadi ahli waris guruku, aku tak dapat kemerdekaan
luas untuk bergerak di kalangan kangouw..."
"Jadi kau masih hendak pulang untuk menjadi ketua?" Giok
Lo Sat tanya pemuda itu.
It Hang tunduk, ia tidak menjawab.
Beng Kie nyelak, untuk menolong kawannya itu.
"Baik juga jikalau saudara To pulang untuk mengepalai
kaumnya." katanya. "Lebih baik dia daripada sekalian paman
gurunya..."
Pemuda she To itu tertawa meringis.
"Umpama kata kau tidak menemui orang yang tepat,
saudara To," berkata pula Beng Kie, "tidak apa bila kitab itu
tetap disimpan olehmu."
"Jangan kuatir, saudara Gak," sahut It Hang. "Jikalau aku
tidak dapat cari orang yang tepat itu. nanti aku minta
pertolongan sahabatku yang baik guna menggantikan aku
mengurusnya."
GiokLoSat heran mendengar kata-kata Beng Kie itu, ia
berkuatir. Maka tertawalah ia ketika ia menegurnya untuk
mengingatkan. Ia kata: "Jangan kau lupakan janji kita berdua
untuk mengadu pedang pula sesudah dua puluh tahun!"
"Pasti tidak akan aku lupakan!" jawab pemuda itu.
"Saudara Gak," tanya It Hang, "apa yang kau hendak
lakukan kemudian?"
"Lihat saja nanti," jawab Beng Kie. "Tidak perduli
bagaimana gangguannya penghidupan, aku toh nanti
terumbang-ambing seorang diri..."
"Eh, apakah kau kata?" si nona tanya. "Kau mirip dengan si
pendeta tua yang lagi mendoa..."
It Hang mengerti, sahabatnya itu sudah tawar hatinya.
"Ada baiknya dia menjadi pendeta," dia kata di dalam hati.
"Aku sendiri, belum ada jodohku untuk menjadi pendeta..."
Malam itu lewat dalam kesunyian, lalu besok paginya Beng
Kie telah lenyap dengan tidak keruan parannya. Dia telah
berangkat pergi tanpa pamitan lagi, kecuali meninggalkan
sepucuk surat pada Giok Lo Sat dan To It Hang. Dia menulis,
karena gurunya sudah lanjut usianya, maka dia akan pulang
ke gunung Thiansan guna merawati hidup gurunya, berbareng
itu ia akan bersungguh-sungguh meyakinkan lebih jauh ilmu
silat pedangnya...
It Hang dan Giok Lo Sat telah menduga akan perbuatannya
Beng Kie itu, mereka hanya tidak menduga orang pergi
demikian cepat. Biar bagaimana, mereka merasa menyesal.
Hari itu Giok Lo Sat sedang memimpin sejumlah
serdadunya untuk mengurus lebih jauh penguburan sempurna
bagi San Ho dan Anghoa Kuibo. It Hang pun membantunya.
Sampai sore baru mereka dapat beristirahat. Habis bersantap
malam, mereka hendak periksa Eng Siu Yang, tatkala terlihat
cahaya api berkobar di arah gudang barang makanan, segera
disusul dengan suara berisiknya tentara.
Dalam kagetnya, Giok Lo Sat samber pedangnya.
Justeru itu datang laporan: "Tentara negeri datang
menyerang!"
"Demikian cepat?" tanya si nona. "Mereka demikian
berani?" Inilah di luar dugaannya.
Dengan membawa pedangnya, CeeCu ini lari keluar sampai
di muka pesanggrahan, di sini ia lantas tampak
BouwyongCiong bersama beberapa puluh serdadunya yang
sedang beraksi melepas api di sana-sini.
"Untung kau telah lolos, sekarang kau berani datang pula
kemari?" tegur si nona. dalam gusarnya. Lalu dengan tanda
gerakan pedangnya, tentaranya maju menerjang.
Barisan wanita itu taat kepada pemimpinnya dengan cepat
mereka sudah siap sedia, tetapi di waktu bertempur mereka
tempur tentara negeri secara kalut karena tentara itu
berpencaran. Giok Lo Sat sendiri maju untuk menghampiri
Bouwyong Ciong.
Selagi pertempuran berjalan, di arah barat muncul
serombongan imam yang bersenjatakan pedang panjang.
Mereka ini datang menyerbu.
Bouwyong Ciong sudah lantas menyerang, untuk
melampiaskan penasarannya. Dia dapat lolos setelah batalnya
pengejaran Giok Lo Sat terhadapnya. Dia kumpulkan sisa
pahlawan yang tidak terluka, yang tinggal sepuluh orang. Dia
menjadi bingung, mau pulang ke kota raja, dia bersangsi. Kota
Konggoan pun masih kacau akibat penggedoran rakyat.
Syukur untuknya, sebelum ia mengambil putusan, Khamkun
Lian Seng Houw telah datang bersama barisannya. Punggawa
ini dapat tugas dari Gui Tiong Hian untuk membasmi
"penjahat". Dia ini bekas Congkauwtauw dari SeeCiang, maka
ia adalah rekannya orang she Bouwyong itu. Malah dia yang
mendahului cari Bouwyong Ciong apabila dia dengar kabar
Congkauwtauw itu ada di kota Konggoan.
"Apa yang telah terjadi?" dia tanya.
Bouwyong Ciong menghela napas.
"Sejak hidupku, inilah kekalahan yang belum pernah aku
terima," sahutnya terus terang.
"Ya, bagaimanakah terjadinya itu?" Lian Seng Houw tanya
pula. Tanpa ragu-ragu, Bouwyong Ciong tuturkan semua.
Mendengar Kim Tok Ek terbinasa, Lian Khamkun tidak
utarakan apa-apa, akan tetapi mengetahui Eng Siu Yang
tertawan, dia kaget hingga mukanya menjadi pucat sekali.
Eng Siu Yang bersama-sama Gui Tiong Hian dan Lian Seng
Houw ini adalah penyambut-penyambut dari bangsa Boan,
karenanya Seng Houw jeri bukan main, dia takut kalau Eng
Siu Yang nanti membeber rahasia. Kalau Eng Siu Yang buka
rahasia, celakalah mereka.
"Nama Giok Lo Sat itu pernah aku mendengarnya,"
katanya, gelisah. Dia mempunyai berapa banyak serdadu?"
"Cuma kira-kira beberapa ratus jiwa dan semuanya
wanita," sahut Bouwyong.Ciong.
Mendengar ini, barulah Seng Houw tertawa.
"Beberapa ratus serdadu wanita -- apakah yang ditakuti?"
katanya. "Mari kita pimpin pasukan kita untuk membasmi
sarang mereka!"
"Memang beberapa ratus serdadu wanita itu tidak banyak
artinya," kata Bouwyong Ciong. "Di sebelah mereka, yang
penting adalah keletakannya selat Benggoat kiap. Tidak dapat
pasukan perang besar masuk ke sana! Sekarang ini, salju dan
es sedang menutupi jalanan juga."
Lian Seng Houw lantas berpikir.
"Menurut keterangan kau barusan, tentara wanita itu juga
tercegat jalanan pulangnya," kata dia kemudian. "Untuk
mereka dapat kembali, perlu Giok Lo Sat membuka jalan itu,
guna menyambut mereka. Baiklah kita coba ambil jalan yang
diambil mereka itu. Dari dalam pasukanku, boleh aku pilih
beberapa antaranya yang dapat ikut kau masuk dengan diamdiam.
Di antaranya mesti yang mempunyai kebisaan enteng
tubuh." Bouwyong Ciong menggeleng kepala.
"Itulah belum cukup." katanya. "Tentaramu itu. andaikata
mereka dapat menerobos naik dan masuk, tidak dapat dipakai
melawan pasukan wanita dari Giok Lo Sat. Jumlah beberapa
puluh serdadu saja belum cukup. Di sana ada Giok Lo Sat dan
Gak Beng Kie yang liehay sekali, dan mereka dibantu ketua
yang baru dari Butong pay."
"Apa kau kata?" tanya Lian Seng Houw. "Aku dengar
Butong pay sudah pilih ketuanya yang baru, satu anak muda
yang bernama To lt Hang. Tapi pihak Butong tidak biasanya
memusuhi tentara negeri. Mungkinkah To It Hang itu
bergandengan tangan dengan hantu wanita itu?"
"Justeru demikian adanya!" Bouwyong Ciong
membenarkan. To It Hang itu mempunyai hubungan sangat
erat dengan Giok Lo Sat dan ia pun melindungi Gak Beng Kie.
It Hang sendiri tak usah dibuat kuatir. Bersama dia ada imamimam
dari Butong pay. mereka semuanya liehay. Di dalam
kota Konggoan ada beberapa puluh dari imam-imam itu.
apabila mereka sampai turut terlibat, itulah bukan main..."
Lian Seng Houw berkuatir juga. parasnya berubah.
"Meski begitu, tak dapat tidak. Eng Siu Yang mesti dapat
ditolong." katanya perlahan. Terus ia berbisik di kupingnya
Congkauwtauw she Bouwyong itu: "Eng Siu Yang itu ada
orang kepercayaannya Gui Kongkong, dia sangat disayang,
sampai berulang kali Gui Kongkong pesan aku untuk bantu
lindungi dia..."
Sebenarnya Bouwyong Ciong kurang menghargai Eng Siu
Yang, tapi sekarang, mendengar keterangan orang, ia kaget,
hatinya bercekat.
"Jikalau begitu, mesti dia ditolongi," pikirnya. Karena ini, ia
jadi ingat pikirannya Eng Siu Yang yang pernah diutarakannya
terhadapnya. Ia kata: "Pernah Eng Siu Yang mengutarakan
sesuatu, cuma aku tadinya tidak memperhatikan."
Lian Seng Houw tertarik mendengar kata-katanya orang
she Bouwyong itu.
"Dia telah usulkan supaya kita ubah Butong pay dari musuh
menjadi sahabat-sahabat," menjelaskan Congkauwtauw
pahlawan istana TongCiang itu. "Kita mesti menghaturkan
maaf pada Pek Sek Toojin, habis itu kita ajak mereka untuk
bersama-sama menerjang gunung musuh."
Lian Seng Houw tepuk-tepuk tangan, ia tertawa bergelakgelak.
"Bagus, inilah akal bagus!" serunya. "Kita harus bertindak
demikian! Pek Sek Toojin pikirannya sedang cupat, sekarang
ketuanya diculik orang, pasti dia tidak dapat berpikir panjang.
Mari kita bicara padanya, hatinya tentu dapat dibikin
tergerak!"
Nyatalah pendapatnya Lian Seng Houw dan pikirannya Eng
Siu Yang itu sama. Dua hari Pek Sek berantai tak dapat lihat It
Hang, mereka jadi sangat mendongkol, tetapi imam itu bukan
tandingannya Giok Lo Sat, mereka pun tidak berani
mendatangi Benggoat kiap untuk mengambil orang, ia jadi
masgul sendirinya. Tapi sekarang, setelah mendengar katakatanya
Bouwyong Ciong dan Lian Seng Houw, yang
mengunjungi mereka dengan hormat dan telah menghaturkan
maaf juga, pikirannya berubah menjadi tetap. Ang In pun
setuju menerima ajakan bekerja sama itu. Hanya, untuk
menerima itu, mereka memajukan tiga syarat. Ialah:
Pertama-tama: Benar mereka bekerja sama, tetapi tujuan
mereka adalah berlainan. Sebab mereka cuma hendak mencari
ketua mereka, tak suka mereka menolong tentara negeri.
Kedua: Kecuali Giok Lo Sat, yang lainnya tak suka mereka
membuat luka atau binasa. Umpama ada serangan tentara
wanita mereka cuma akan bela diri. Dari itu, pihak tentara
negeri harus maju di muka untuk melawan tentara wanita itu,
mereka sendiri hanya menyerbu guna mencari ketua mereka.
Dan ketiga: Setelah selesai tugas mereka mereka akan
berpisahan masing-masing, berbareng dengan itu, dendam di
antara mereka berdua pun mesti diselesaikan, ialah pihak
pahlawan tidak boleh lagi memusuhi Butong pay.
Oleh karena Bouwyong Ciong hanya mengharap
bantuannya, dengan gampang saja ia dan Lian Seng Houw
terima baik ketiga syarat itu. Bukankah, bila rombongan imam
ini mendaki bukit mereka akan bentrok dengan pihak Giok Lo
Sat" Bukankah bentrokan itu berarti bantuan berharga untuk
pihak tentara negeri"
Demikian setelah mereka membuat perjanjian, lantas
mereka berangkat bersama. Maka malam itu mereka mendaki
bukit dan menyelusup masuk ke dalam, hingga tahu-tahu
mereka sudah membakar gudang dan menyerang.
Giok Lo Sat murka bukan main mengetahui Pek Sek Toojin
turut datang menyerbu. Ia segera hampiri imam itu dan
menegur dengan bengis: "Pek Sek. kau membantu Tiu Ong
berbuat jahat?"
Artinya, Pek Sek disamakan dengan Kaisar Tiu yang jahat
dan kejam. Tentara wanita segera turun tangan melawan penyerangpenyerang
itu. Pek Sek pun gusar sekali.
"Runtuhkan senjata mereka!" ia titahkan kepada kawankawannya.
Tentara wanita itu kosen semuanya, di pihak Butong tidak
ada niatan membinasakan ataupun hanya melukai mereka,
sulit juga untuk mereka dipecundangkan lekas-lekas.
Demikianlah mereka bertempur seru dan ulat.
Pek Sek maju berbareng Ang In karenanya, Ang In Toojin
geser pedangnya dari tangan kanan ke tangan kiri dan Pek
Sek Tooj in tetap menggunakan tangan kanannya. Mereka ini
liehay, tidak heran kalau dalam sekejap saja, belasan serdadu
wanita yang alat senjatanya dapat dibikin terlepas dan
Wanita Gagah Perkasa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terpental. Pertempuran ada kalut sekali.
Giok Lo Sat tidak ketahui duduknya perdamaian di antara
Bouwyong Ciong dan Pek Sek Toojin, dia menyangka Butong
pay telah bekerja sama dengan tentara negeri, dalam
sengitnya ia rangsek Congkauwtauw itu. Dia kuatir sekali
musuh nanti membakar pesanggrahannya. Maka sesudahnya
bikin Bouwyong Ciong berkelit, dia lompat akan nerobos terus.
Murid-murid Butong pay mencoba merintangi nona ini akan
tetapi mereka dibikin repot oleh si nona.
Pek Sek gusar menampak kekosenan orang itu.
"Siluman perempuan, kembalikan ahli waris Butong pay!"
teriaknya. "Jikalau tidak, hari ini kau tidak akan lolos dari pri
keadilan!"
"Kau justerulah yang memalukan kehormatannya Cie
YangTiangloo!" si nona membaliki. "Kau membuat tertawanya
orang-orang gagah di kolong langit ini!"
Dan dengan pedangnya yang hebat, si nona membuat Pek
Sek dan Ahg-In tak berdaya, mereka seperti ditutupi sinar
bergemerlapan dari pedangnya itu.
To It Hang belum lagi tidur, dia menjublak bilamana ia
ketahui paman-paman gurunya serta saudara-saudara
seperguruannya datang menyerbu pesanggrahan si nona.
Dikucek-kuceknya matanya untuk mendapat kenyataan
apakah ia tengah bermimpi. Kini dia menjadi sangat bersusah
hati, sikap apakah yang harus diambil"
Tidak lama berselang mulailah terdengar jeritan-jeritan
hebat, dari kesakitan. Inilah akibat serangan nekat dari
pihaknya Bouwyong Ciong atas serdadu-serdadu wanita.
Serdadu-seidadu ini repot melayani pihak Butong pay, tapi
lebih celaka lagi ketika mereka berhadapan dengan tentara
negeri, sebab tentara ini bukan seperti orang-orang Butong
pay, yang cuma membikin terpental senjata mereka, mereka
ini di samping melukai, juga menikam dan membacok secara
dahsyat. Maka itu keadaan menjadi lekas kalut.
Di belakang barisan pelopor itu menyusul tentaranya Lian
Seng Houw, yang telah mendaki gunung dengan mengambil
jalan yang dibuka Bouwyong Ciong. Mereka menerjang masuk
dengan leluasa, tanpa mendapat rintangan, karena tentara
wanita sedang repot melayani musuh-musuh. Dan hebatnya,
tentara Lian Seng Houw ini terus main api, membakar
pesanggrahan, yang umumnya terdiri dari kayu dan atap,
yang gampang menyala.
Pedih hatinya To It Hang mendengar jeritan-jeritan itu,
iapun malu terhadap Giok Lo Sat, maka dari diam saja,
terpaksa ia muncul juga. Ia lompat maju di antara cahaya api
berkobar dan menerjang keluar.
"Susiok, aku di sini!" teriaknya. Ia pun ketahui baik maksud
dari kedatangannya rombongan Butong pay itu. "Susiok,
kenapa kamu bantui tentara negeri?"
"Bagus!" berseru Pek Sek, yang girang melihat keponakan
murid itu atau ahli waris Butong pay. "Mari kau ikut kita
pulang!" Dan ia kepalai murid-muridnya untuk menyambut ketua
yang muda itu, untuk diajak berlalu.
Matanya Giok Lo Sat menjadi merah. Tentu saja tidak dapat
ia ijinkan orang membawa pergi sahabatnya itu. Dengan
beberapa lompatan saja, ia telah sampai di samping si anak
muda itu. "Kau biarkan aku pergi!" It Hang kata. "Kau perlu lawan
tentara negeri itu!" Dan ia lemparkan kitabnya Beng Kie
kepada nona itu, sambil ia tambahkan: "Kau tolongi aku urus
pesannya saudara Gak!"
It Hang tahu, meskipun ia menjadi ketua, ia tetap ditilik
keras oleh paman-paman gurunya, maka itu ia anggap baiklah
kitab itu diserahkan kepada nona ini.
Giok Lo Sat tercengang atas sikapnya pemuda itu, justeru
itu, Pek Sek telah datang dekat padanya, ia terus diserang. Ia
menjadi murka, ia menangkis dengan keras. "Trang!"
Dan pedangnya si imam terpental, hampir saja terlepas dari
cekalannya. "Kami memapak ketua kami, segera kami akan berlalu,"
kata Ang In Toojin. "Giok Lo Sat, apakah kau keras hendak
menyatrukan kami dari pihak Butong pay?"
Giok Lo Sat dengar suara riuh hebat. Ia kertak giginya.
"Baik, pergilah kamu!" sahutnya. Dan tanpa tunggu
jawaban lagi ia lompat menyingkir meninggalkan rombongan
Butong pay itu, yang segerapun berlalu mengiringi ketua
mereka yang muda.
It Hang terpaksa menurut, ia membungkam.
Pesanggrahannya Giok Lo Sat seperti telah terkurung api,
yang berkobar-kobar membakarnya. Lian Seng Houw bersama
orang-orangnya menyerbu ke belakang pesanggrahan, untuk
mencari orang yang dicarinya.
Di lain pihak. Giok Lo Sat sedang serang Bouwyong Ciong,
keduanya bertempur secara sangat dahsyat.
Pertempuran kusut masih berjalan di antara tentara negeri
dan barisan wanita.
Bouwyong Ciong jeri terhadap ancaman api, ia bertempur
sambil mundur. Semua serdadu juga mencoba menyingkir dari
hawa api yang panas sekali. Sambil bertempur mereka itu juga
berteriak-teriak, yang menambah kalutnya suasana.
Pertempuran itu merugikan sangat pasukan wanita, seolaholah
sembilan dari sepuluh telah termusnah, sedang di pihak
negeri, kerusakan lebih daripada separuh.
Bukan main gusarnya Giok Lo Sat. Tiga tahun ia berusaha,
sekarang dalam sekejap saja termusnah. Dan serdaduserdadunya,
dengan siapa ia hidup bagaikan kakak dan adik,
sekarang menerima nasibnya secara demikian hebat dan
menyedihkan. Dalam keadaan itu. tak sempat ia menghitung
berapa sisanya...
Maka, dalam murkanya nona ini menyerang hebat sekali.
Dalam tempo yang pendek, ia telah robohkan belasan
serdadu. Bouwyong Ciong coba merintanginya, tetapi ini tidak
dipedulikan, ia elakan dirinya, supaya ia bisa hajar lagi belasan
serdadu. Kelincahannya membuat ia tak dapat dihalanghalangi
orang she Bouwyong itu.
Dalam saat kalut itu, tiba-tiba terdengar seruan: "Kamu
semua mundur! Pergi kamu kejar serdadu musuh! Biar kami
yang melayani hantu wanita ini."
Itulah suaranya Lian Seng Houw. yang berhasil menolongi
Eng Siu Yang, yang setelah beristirahat, kakinya telah
sembuh. Eng Siu Yang juga berteriak: "Jangan kasih lolos hantu
wanita itu!" Lalu ia maju mendampingi Lian Seng Houw, untuk
menerjang. Giok Lo Sat tidak banyak omong, dia lompat pada orang
bekas tawanannya itu, lalu menerjang dengan hebat sekali.
Dalam dua tiga jurus saja, hampir Eng Siu Yang kehilangan
jiwanya di ujung pedang si nona, syukur ia ditolongi Lian Seng
Houw. Tapi ia bandel, tidak mau ia menyingkir, sebaliknya,
mendampingi Lian Khamkun, ia menyerang dari samping.
Lian Seng Houw ada Congkauwtauw, guru silat, dari SeeC
iang, di dalam kalangan pahlawan istana, ia cuma ada di
bawahannya Bouwyong Ciong atau di atasan Eng Siu Yang,
bisa dimengerti ia sanggup melayani si Raksasi Kumala. Ia
bersenjatakan siangkauw, sepasang gaetan. Untung baginya,
baru menggebrak belasan jurus, Bouwyong Ciong sudah
datang membantui, hingga bertiga mereka dapat kepung
musuh mereka. Sisa tentara wanita telah meloloskan diri, di antaranya,
sambil berlari mereka teriaki ketua mereka: "CeeCu, mari kita
menyingkir!" Ada pula yang meneriaki: "CeeCu, selama masih
ada gunung hijau, jangan takut tidak ada kayu bakar!
Janganlah adu jiwa dengan mereka!"
Giok Lo Sat mendengar ajakan itu, ia menginsyafinya.
Sekarang ia berada dalam kedudukan serba salah, walaupun
ia berniat untuk menyingkir, sulit untuk melakukan itu. Ia
sedang dikurung musuh-musuhnya yang tangguh, terutama
Bouwyong Ciong, yang kepalannya seperti angin, dan
sepasang gaetannya Lian Seng Houw sewaktu-waktu dapat
menyambar kakinya apabila ia kurang gesit...
Tidak lama kemudian, dalam pertempuran itu, tinggallah
Giok Lo Sat seorang di dalam kurungan. Semua serdadunya
sudah menyingkir, sudah terbinasa atau terluka. la menjadi
nekat, karena ia harus melayani kurungan yang hebat sekali.
Ia pun mulai berkuatir karena berlarutnya sang waktu. Itu
waktu sudah mendekati tengah malam.
"Apakah aku mesti terbinasa di sini?" nona ini berpikir
melihat sukarnya ia memukul mundur musuh-musuhnya itu. Ia
bisa kehabisan napas atau tenaganya. Itulah sangat
berbahaya... Tentara negeri tidak lagi bertempur, mereka tidak berani
maju, mereka hanya berkumpul di sekitar kalangan, untuk
menyaksikan pertempuran sambil bersiap sedia untuk
membantu pemimpin mereka. Melainkan mulut mereka yang
tidak turut berdiam. Ada di antara mereka yang tertawa, yang
mencaci, ataupun mengejek.
"Bandit begini cantik molek, jangan lukai dia, kasihan..."
"Cis! Taruh kata dia dapat ditangkap, kau toh tak akan
kebagian..." temannya mengejek.
Giok Lo Sat sangat mendongkol. Kepalanya menjadi pusing,
karena sudah berkelahi lama.
Dalam saat si Raksasi Kumala terancam mala petaka itu,
tiba-tiba terdengar seruan hebat bagaikan guntur: "Kawanan
bangsat hinadina! Kamu berani menghina anak angkatku"!"
Belum berhenti suara itu atau menyusuli jeritan hebat dari
satu serdadu, yang segera disusul dengan jeritan-jeritan yang
lainnya. Dengan tiba-tiba sajaTiat Hui Liong muncul di medan
adu jiwa itu, dan sambil menerjang ia sambar serdadu yang
berada di hadapannya, dilemparkannya setiap serdadu itu ke
bawah gunung, ke arah lembah hingga mereka terlempar
bagaikan ikatan-ikatan rumput saja.
"Ha, kau kembali, tua bangka!" seru Bouwyong Ciong
dengan murka, ketika ia tampak ada pembela untuk wanita
yang ia rasa tinggal mencekuknya saja.
"Ya, aku yang hendak ambil jiwamu!" bentak jago tua dari
Barat utara itu.
Bouwyong Ciong tinggalkan Giok Lo Sat dalam
kepungannya Lian Seng Houw dan Eng Siu Yang, ia lompat
kepada orang tua itu, yang terus diserang dengan kepalannya
yang hebat. Dengan berani Tiat Hui Liong sambuti serangan itu,
menyusul mana terdengarlah suara keras, dari bentroknya
kedua tangan, sebagai kesudahannya kedua jago itu masingmasing
terpelanting mundur!
Giok Lo Sat lihat siapa yang datang, dalam sekejap saja
semangatnya telah terbangun, hingga dengan gampang ia
dapat tangkis serangan kedua gaetan itu. Ia telah gunakan
tipu silat "Sengheng tauwCoan", atau, "Bintang melintang,
bintang berputar"; senjatanya Congkauwtauw itu tersampok
ke samping. Bouwyong Ciong menjadi sengit, ia lompat kepada si nona
untuk menyerang, akan tetapi Tiat Hui Liong lompat
kepadanya untuk menghalangi hingga kembali ia mesti layani
jago ini. Karena datangnya jago she Tiat itu tak terduga-duga, maka
keadaan berubah rupa dengan cepat. Jago ini segera berkelahi
dengan tindak tanduknya yang berjurus "ngoheng patkwa"
atau "limajalan dan delapan penjuru", hebat serangannya
yang berulang-ulang.
Bouwyong Ciong layani jago tua ini. untuk itu ia pasang
kuda-kudanya yang kuat bagaikan tubuhnya terpaku di tanah,
ia tangkis setiap serangan, ia pecahkan sesuatu pukulan.
Dengan kurangnya satu musuh tangguh, Giok Lo Sat
mendapat keringanan, kalau tadi ia terdesak, sekarang ia bisa
balas menyerang Lian Seng Houw dan Eng Siu Yang, hingga
kini kedua hamba negeri yang menjadi berkuatir hatinya.
"Mana adikmu San Ho?" tiba-tiba Hui Liong menanya selagi
pertandingan berjalan sangat seru, ia sendiri sedang mencoba
mendesak lawannya.
Mendengar pertanyaan ini Giok Lo Sat terkejut, justeru itu
kedua gaetannya Seng Houw menyambar, satu menikam,
yang lain menggaet. Tentu saja, tubuhnya agak berayal, maka
dengan perdengarkan suara "Bret!" ujung bajunya pecah
sebagai korban gaetan lawan itu.
"Kurang ajar!" ia mendamprat dalam hatinya, saking
mendongkolnya. Tidak ayal lagi ia menikam dengan
pedangnya selagi lawannya itu belum sempat menarik kembali
gaetannya. "Aduh!" menjerit Lian Seng Houw, yang pundaknya kena
tertusuk, atas mana, bukannya ia menjadi gusar dan
melakukan pembalasan, sebaliknya ia angkat kaki untuk
memutar tubuh dan menyingkir sekuat-kuatnya.
Eng Siu Yang pun kaget, melihat kawannya angkat kaki, ia
juga lantas lari menyusul tanpa banyak berpikir lagi.
Giok Lo Sat tidak mengejar, akan tetapi ia masih bersilat
terus, sebagai juga ia sedang melayani lawan?lawannya itu.
Tiat Hui Liong lihat keanehannya anak angkat itu, ia
terperanjat. "Kau kenapa?" tanyanya. Ia sambar anak itu, untuk
dipegangi. Tiba-tiba si nona tertawa berkakakan, bagaikan menangis.
"Semua musuh sudah kabur!" Hui Liong beritahukan,
sambil berteriak.
Giok Lo Sat tidak berontak, hanya kakinya seperti lemas, ia
jatuh terduduk di tanah.
"Kenapa kau?" tanya ayah angkat itu, yang kaget dan
heran. "Menyesal, ayah..." sahut si nona kemudian.
"Apa katamu?" tanya Hui Liong, kagetnya bertambah.
"Bicaralah dengan tenang..."
Giok Lo Sat tidak menyahut, matanya meram. Tiba-tiba
saja ia tak sadar akan dirinya. Sebab ia terlalu letih dan
hatinya mendapat goncangan hebat.
"Anak yang baik, kau terlalu letih_." kata Hui Liong dengan
perlahan, sambil menghela napas. Ia menduga anak angkat ini
sudah berkelahi sangat lama.
Ketika itu, pesanggrahan telah menjadi abu, tinggal sisa api
dan asap serta api yang merembet ke pohon-pohon.
Wanita Gagah Perkasa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tiat Hui Liong telah terlambat.
Setelah bercapai lelah tiga tahun, baru ia dapat tahu di
mana San Ho dan Giok Lo Sat bernaung, tetapi di luar
sangkaannya, justeru ia sampai, mala petaka sedang menimpa
puteri dan puteri angkatnya itu.
Memandang kesekitarnya, jago tua dari Barat utara ini
tampak kesunyian. Di situ tak kedapatan lagi serdadu musuh,
mereka telah kabur semua.
"San Ho! San Ho!" tiba-tiba jago ini berteriak, memanggilmanggil
gadisnya. Tidak ada jawaban kecuali kumandang dari tengah-tengah
lembah. "San Ho! SanHo!" ia mengulangi.
Kembali adalah sang kumandang yang menyahuti.
Tidak lama, dua serdadu wanita tampak muncul merayap.
Mereka ini lolos dari bahaya, mereka bersembunyi sampai
mereka dengar panggilan itu berulang-ulang. Mereka tidak
kenal Hui Liong, tetapi menampak dandanan orang bagaikan
rakyat jelata mereka tak takut, sebaliknya, mereka
menghampiri. Mereka menduga orang tua ini ada dari pihak
kawan. "Tiat CeeCu telah menutup mata..." kata mereka itu sambil
menangis. Hui Liong kaget bagaikan terpagut ular. Tak salah ia
mendengar, pasti ia menduga kepada gadisnya, gadis tunggal,
yang ia telah cari sekian lama itu. Jadi gadisnya itu telah
meninggalkan dia...
"Apa yang terjadi?" tanyanya kemudian, sesudah tenteram
goncangan hatinya.
Kedua serdadu wanita itu menuturkan apa yang mereka
ketahui. "Ah, aku terlambat..." mengeluh Hui Liong, dan air matanya
bercucuran. "Loosianseng, bukankah kau Tiat Lounghiong yang kesohor
di Barat utara?" tanya kedua serdadu itu.
Hui Liong berdiri bagaikan patung, matanya mengawasi ke
depan. Di kepalanya terbayang peta gadisnya, di depan
matanya seperti tampak bayangan gadis itu. Maka ia tak
mendengar apa katanya si serdadu wanita itu.
Segera kedua serdadu tampak Giok Lo Sat, tubuh siapa
rebah menggeletak tak jauh di pinggiran, mereka kaget.
Lantas mereka lari menghampiri, mereka balikkan tubuh
pemimpin' itu. Giok Lo Sat pingsan, mukanya pucat pasi.
"Tiat Lounghiong, tolong lihat ketua kami!" kata mereka,
setelah mereka lari pada Hui Liong kaki siapa mereka peluki.
Orang tua itu sadar.
"Jangan kuatir," katanya sabar, tetapi dengan suara di
tenggorokan, karena ia menangis perlahan. "Aku pun tak
dapat melenyapkan anak pungutku..."
Justeru itu. Giok Lo Sat membalik tubuh.
"Adik San Ho, aku telah menuntut balas untukmu..."
katanya. Hatinya Hui Liong memukul.
"Benar, aku pun mesti mencari balas untuk anakku!"
katanya, sadar.
Si Raksasi Kumala membalik tubuh pula.
"It Hang, kau baik..." katanya perlahan.
Hui Liong berduka mendengar perkataan anak pungut ini.
Dari serdadu wanitanya, sudah ia dengar jelas kejadian tadi.
"Sayang, anak, kau keliru mencintai orang..." katanya
seperti mengeluh. "Ia ada turunan sastrawan, tidak ada
padanya sifat dari kaum Rimba Persilatan, umpama kata tidak
ada rintangan dari paman-paman gurunya, kamu berdua
masih bukannya pasangan yang seimbang..."
Sekarang Hui Liong dapat kenyataan, matanya San Ho ada
terlebih awas daripada matanya si Raksasi Kumala, maka ingat
itu, ia jadi bertambah sedih.
Selagi ayah angkat ini mendekati dua tindak, tiba-tiba:
"Ha-ha-ha! Kamu semua telah pergi!" demikian tertawa dan
kata-katanya Giok Lo Sat, nyaring. "Adik San Ho, baik-baiklah
kau pergi! Kau, BengKie, kau juga pergilah baik-baik!
Melainkan kau, It Hang, kau tak dapat pergi secara baikbaik..."
Hui Liong mengerti bahwa orang sedang berduka melewati
batas, maka ia tarik tangan si nona, untuk membawa dia ke
dalam rangkulan-nya.
"Anak Nie, kau lihat, aku ada di sini..." katanya dengan
sabar, sambil ia kuatkan hati, menahan kesedihannya sendiri.
Giok Lo Sat angkat mukanya ia pandang ayah angkat itu. Ia
bagaikan sadar, terus saja ia tutupi mukanyasambil menangis
mengerung-gerung.
"Marilah kita tinggal bersama " kata Hui Liong. "Tidak nanti
kelak kita berpisahan pula..."
"Ayah," kata si nona, "aku tidak mampu melindungi adik
San Ho, aku sangat menyesal, aku mesti mati..."
"Tidak, anak, aku tidak persalahkan kau," Hui Liong kata
"Kau jangan berduka, jangan menangis. Mari ajak aku
menengok kuburannya San Ho."
Orang tua ini membujuki anak angkatnya jangan menangis,
akan tetapi dia sendiri suaranya dalam, air matanya
mengembeng. Giok Lo Sat cekal keras tangan ayah angkatnya itu, ia
bertindak, tangannya itu menarik. Tanpa bilang suatu apa, ia
bertindak turun ke dalam lembah. Di belakang mereka, ikut
dua serdadu wanita.
Di sepanjang jalan kedua serdadu itu berulang-ulang
perdengarkan suaranya-suara memanggil ?" maka dari sana-sini,
muncullah semua lolosan dari bencana seperti mereka. Semua
belasan serdadu ini membungkam apabila mereka tengok
wajah pemimpin mereka -- wajah yang pucat sekali, mulut
tertutup rapat, mata mendelong. Mereka hanya bertindak
mengikuti... Tidak lama sampailah mereka di dekat kedua kuburan baru
itu. Giok Lo Sat menjemput tanah, untuk dipakai sebagai ganti
hio. untuk mengunjuk hormatnya sambil berlutut dan bangun
hingga tiga kali.
Tiat Hui Liong mengawasi kuburan gadisnya, lantas ia
duduk berdiam di kepala kuburan, matanya diarahkan ke
udara. Ia pun tetap bungkam sejak tadi. Sekarang ini, air
matanya seperti sudah habis...
Giok Lo Sat berdiri di muka kuburan, ia hadapi ayah
angkatnya sebagaimana si ayah angkatpun menghadapi
padanya. Mereka sama-sama tutup mulut.
Waktu telah berlalu tanpa menghiraukan orang-orang yang
terbenam dalam kedukaan itu. tanpa merasa, sinar keputihputihan
mulai muncul di arah timur.
Tiba-tiba satu liauwlo, satu serdadu wanita, berkata:
"CeeCu, yang telah meninggal dunia tidak bakal hidup pula,
maka itu marilah kita pulang!"
Si Raksasi Kumala tertawa meringis.
"Kamu hendak ajak aku pulang ke mana?" tanya si nona.
Liauwlo itu melengak. Baru ia ingat yang sarang mereka
sudah terbakar ludas, bahwa bersama sarang itu telah lenyap
juga sembilan dari sepuluh bagian kawan-kawannya, hingga
musnahlah usaha bangunan mereka selama beberapa tahun --
musnah dalam satu hari saja.
Ke mana mereka akan pulang"
Tanpa merasa, liauwlo ini serta kawan-kawannya
mengucurkan air mata. Tetapi mereka tidak berani menangis
keras. Semua orang berdiam, sampai sekian lama ketika matahari
pagi mulai muncul dengan sinarnya yang lemah indah, yang
menyorot ke dalam lembah melalui celah-celah cabang dan
daun-daunan. Benar di saat serdadu wanita tadi hendak mengajak pula
pemimpinnya untuk berlalu dari situ, sekonyong-konyong
mereka dengar suara dari tindakannya banyak kuda sedang
mendatangi. Giok Lo Sat berjingkrak.
"Hm! Mereka hendak tumpas kita habis-habisan?" serunya.
Tiat Hui Liong lompat bangun, malah ia segera sambar
sebuah batu besar di sampingnya. Ia angkat batu itu tinggitinggi.
"Biar mereka datang kemari!" katanya dengan nyaring.
"Nanti aku pendam mereka di dalam lembah ini!"
Dalam kedukaannya yang hebat itu, jago dari Barat utara
ini umbar hawa amarahnya.
Si nona tak kurang murkanya. Mereka pun menyangka,
yang datang itu tentuiah pasukan negeri yang hendak
menyerang mereka pula.
Jalanan yang ditutupi es belum dapat dibuka seluruhnya,
hingga orang mesti jalan beriring-iringan, Hui Liong merasa
dia dapat hajar mereka satu demi satu.
Tidak lama atau suara kaki terdengar semakin nyata dan
bendera pun mulai tampak melambai-lambai menyusul mana
kelihatan berlerotnya satu pasukan serdadu.
Belum lagi Hui Liong dapat melihat tegas, atau ia sudah
lepaskan batu besarnya.
"Tunggu!" teriak si Raksasi Kumala, tetapi ia telah
terlambat, batu besar itu, sudah lantas jatuh menggelinding.
Hui Liong mengawasi ke bawah, sekarang ia dapat
kenyataan, barisan yang mendatangi itu ada barisan wanita
semua. "Celaka!" seru Giok Lo Sat. "Itu bukannya tentara negeri!
Mari!" Ia lompat turun, niatnya untuk menyusul dan mencegah
jatuhnya batu terlebih jauh. Bersama ia, Hui Liong turut
lompat juga. Batu itu besar, turunnya pun terlebih dahulu,
menggelindingnya sangat pesat dan cepat, maka itu sia-sia
saja ayah dan anak angkat itu mengejarnya. Apapula tatkala
satu kali batu itu membentur sebuah batu lain dan terus
terpental. "Celaka!" seru si orang tua. Ia telah saksikan ancamannya
batu yang ia lemparkan itu.
Dalam saat yang sangat berbahaya itu, tampak di antara
barisan wuiiiiu itu satu pemimpinnya, si-onmu wanita, yang
lompat dari kuduuva sambil menggerakan sehutang
tumbaknya yang panjang j'iin.t menyerang batu besar yang
socl.mf turun itu!
Serangan tumbak itu ada hebat, begitu pula sang batu
sendiri, hingga di antara satu suara keras dan nyaring, tumbak
itu terkutung dua, batu pun mental ke samping, tidak lagi
menggelinding ke arah barisannya. Dan si pemimpin sendiri,
yang tubuhnya jatuh habis dia lompat dan menyerang batu
itu, turun tepat di bebokong kudanya. Gayanya sangat
menarik, seperti satu nona komedi asyik mempertunjukkan
kepandaian di atas kuda.
"Bagus," seru Giok Lo Sat, yang memuji tanpa merasa.
Di mana itu waktu kedua pihak sedang datang dekat satu
pada lain, si punggawa wanita sudah lantas menghampiri
nona itu. "Apakah aku berhadapan dengan Lian CeeCu?" tanyanya
sambil tertawa.
Giok Lo Sat tidak segera menjawab, ia hanya awasi orang
yang berpakaian serba merah, habis itu baru dia menyahuti
sambil balik menanya: "Benar! Apakah kau sendiri ada
lieenghiong AngNioCu si Nona Serba Merah?"
Punggawa itu menjura.
"EnCie terlalu memuji!" katanya.
"Siauw Giam Ong titahkan aku menanyakan kesehatan
enCie!" ia menambahkan. Ia merendahkan diri karena disebut
sebagai "Lieenghiong" -pendekar wanita.
Dari dalam barisan wanita itu muncul belasan serdadu
wanita juga. "CeeCu!" memanggil mereka.
Dan Giok Lo Sat segera kenali serdadunya.
"CieCiangkun Lie Giam kemarin sudah serang kota,"
berkata Ang NioCu. "dia bekerja sama dengan rakyat yang
kelaparan, dia berhasil. Tentara negeri yang didatangkan dari
ibu kota propinsi untuk menumpas rombongan bandit, kena
dibasmi habis. Berhubung dengan terampasnya kota. Siauw
Giam Ong tugaskan aku datang mengundang enCie. untuk
turun gunung dan bekerja sama. Sayang aku telah terlambat
satu hari. aku sampai sesudah pesanggrahan enCie kena
dibakar. Aku minta sukalah enCie memaafkan aku untuk
kelambatanku ini."
"Kemusnahan pesanggrahanku ini ada karena kealpaanku,"
Giok Lo Sat akui.
"Aku sebaliknya harus mengucap terima kasih kepada enCie
yang sudah sudi menolongi orang-orangku ini." Kemudian ia
tanya belasan serdadunya itu: "Apakah cuma kamu sajayang
ketinggallan hidup?"
Belasan serdadu itu lantas saja menangis.
Itulah sama dengan jawaban "ya".
maka pedih rasa hatinya si Raksasi Kumala, bila ia
menghitung semua sisa serdadunya itu, yang tinggal dua
puluh tujuh jiwa, sedang pasukaunya sama sekali terdiri dari
lima ratus jiwa lebih. Tanpa merasa ia berlinangkan air mata.
Pasti ia bersedih hati karena kerusakannya itu serta
berkasihan untuk tentaranya, yang hidup dengannya bagaikan
saudara. "Jangan berduka, enCie," Ang NioCu membujuk. "Sekarang
ini negara sedang kalut, mereka yang tidak punya rumah
tangga ke mana mereka bisa pulang, jumlahnya bukan
puluhan ribu lagi, maka asal kita suka memanjat tinggi dan
memanggilnya, sekali saja, pasti mereka bakal datang
berkumpul. Itu waktu enCie dapat membangun dan mendidik
pula satu pasukan wanita, aku percaya, enCie akan berhasil
dengan gampang."
Giok Lo Sat tertawa meringis.
"Sekarang ini Lie Giam berada di dalam kota, dia sedang
repot mengumpulkan orang-orang yang terlantar, maka itu dia
cuma dapat mengutus aku untuk menanyakan kesehatan
enCie." Ang NioCu berkata pula.
"Siapa itu Lie Giam?" tanya Giok Lo Sat.
"Dia ada sebawahannya Siauw Giam Ong yang berpangkat
CieCiangkun," si Nona Serba Merah menerangkan. "Dia adalah
suamiku."
Wanita Gagah Perkasa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Maaf, maaf," kata si Raksasi Kumala.
Sampai di situ, Tiat Hui Liong menghampiri untuk belajar
kenal dengan Ang NioCu. Mereka berdua saling mengagumi,
karena sama-sama sudah pernah dengar nama masing-masing
yang kesohor. "Itu suami nyonya," kata Tiat Hui Liong kemudian,
"bukankah dia ada putera dari Pengpou Siangsie Lie
Ceng Pek?" (Pengpou Siangsie -- menteri perang).
"Itulah benar," sahut Ang NioCu.
Justeru itu, hatinya Giok Lo Sat bercekat. Disebutnya Lie
Giam sebagai suami si nyonya serba merah ini, terbayanglah
wajahnya To It Hang di kepalanya. Kedudukan Lie Giam itu
mirip dengan kedudukannya It Hang, sebagaimana kedudukan
Ang NioCu mirip sama kedudukannya sendiri.
Untuk wilayah propinsi Hoolam, namanya Ang NioCu
terkenal sekali sebagai satu berandal wanita, cuma ia tak
demikian termashyur sebagai Giok Lo Sat. Dan Lie Giam itu,
dia adalah seorang pelajar dengan gelaran kiejin, lulusan
tingkat dua, dan ayahnya adalah bekas menteri perang. Cuma
ayah itu, Lie Ceng Pek namanya, telah meninggal dunia siangsiang,
hingga walaupun dia berpangkat lebih tinggi daripada
engkongnya It Hang, di kampungnya, di tempat kelahirannya,
dia kalah terkenal dengan engkong It Hang itu. Akan tetapi Lie
Giam sendiri, seperti juga It Hang, dia gemar belajar silat di
samping mempelajari surat, maka dia pun ada satu pemuda
bunbu CoanCay -- lengkap kepandaian ilmu silat dan suratnya.
Di samping itu, diapun berhati mulia.
Pernah pada satu tahun, wilayah Hoolam diserang musim
paceklik hebat. Menampak kesciifsniaan rakyat, Lie Giam tak
sampai hati untuk membantu meringankan kesengsaraan itu,
ia buka gudang padinya, akan mengamal sampai sejumlah
beberapa ratus karung barang makanan. Tapi belum puas
dengan cuma mengamal. ia juga menulis sebuah nyanyian
untuk menganjurkan lain-lain hartawan menuruti teladannya
menderma rangsum. Hatinya sangat terpengaruh, ia sampai
menulis dengan tak pikir panjang lagi. Beginilah bunyi
nyanyian itu: Kalau pembesar negeri
memungut pajak, galak ia
bagaikan harimau,
Kalau orang hartawan menagih
cukai, garang dia bagaikan
srigala. Kasihan mereka yang hanya
empas-empis napasnya, kasihan.
Rohnya berpulang terlebih dahulu ke liang kubur...
Tentu saja nyanyian itu membangkitkan amarahnya banyak
hartawan dan juga pembesar setempat, maka kesudahannya,
Lie Giam ditangkap, dijebloskan ke dalam penjara atas
tuduhan telah menghasut "rakyat jelata yang kelaparan" untuk
mengacau tata tertib dan keamanan. Tapi penjara justeru
merupakan sebagai dapur untuknya, yang membuatnya ia
matang bagaikan baja. Maka ketika Ang NioCu dengan
pasukannya menerjang kota Kiekoan dan kota itu dapat
dirampasnya, dia ditolongi hingga terus saja dia ikut
pergerakannya nona itu.
Pernah Giok Lo Sat dengar nama Lie Giam, ia hanya tidak
menyangka Lie Giam dan Ang NioCu itu sudah menjadi suami
istcri, malah ia tidak duga juga, Lie Giam justeru ada
sebawahan Siauw Giam Ong yang dapat dipercaya.
Kembali si Raksasi Kumala teringat akan It Hang, dalam
hatinya ia berkata: "Ayah angkatku pernah bilang, It Hang itu
ada anak orang berpangkat, dia tidak seimbang dengan aku,
tetapi bagaimana dengan Lie Giam ini" Bukankah dia pun ada
turunan orang berpangkat" Tapi dia telah berjodoh dan
menikah dengan Ang NioCu!..."
Nona ini tidak menginyafinya, walaupun Lie Giam dan It
Hang sama-sama turunan orang berpangkat, akan tetapi Lie
Giam itu siang-siang sudah seperti "salin tulang menukar
wajah", tidak demikian dengan It Hang.
Ang NioCu tidak tahu apa yang dipikirkan Nona Lian itu, ia
hanya mengundang si nona dan ayah angkatnya untuk turut ia
ke dalam kota. "Baiklah," sahut Giok Lo Sat sesudah ia berpikir sejenak. Ia
pun haturkan terima kasihnya. Hui Liong pun suka turut serta.
Maka, bersama-sama mereka pergi ke kota.
Kota Konggoan seperti memperlihatkan wajah baru, yang
berbeda dengan beberapa hari yang lalu. Puluhan ribu rakyat
yang kelaparan sudah di kepalai Lie Giam hingga menjadi satu
pasukan tentara yang garang nampaknya, walaupun mereka
tidak berseragam dan tak semuanya bersenjata tajam. Mereka
mendirikan gala sebagai bendera dan merauti kayu menjadi
tumbak. Kelihatannya mereka gampang dididik.
Kagum Giok Lo Sat menampak perubahan itu, apapula bila
ia tampak di setiap gang atau ujung jalan terdapat selembar
kain putih yang bertuliskan kata-kata menganjurkan rakyat
menyambut Giam Ong, yang membebaskan mereka dan
memberi mereka makan...
"Bagus!" pujinya seorang diri. Anjuran itu sangat menarik
hatinya. Mereka jalan sampai di muka tangsi sekali, dan segera di
sana Lie Giam muncul menyambut mereka.
"Aku wakilkan kau memapak tamu agung!" berkata Ang
NioCu sambil tertawa.
Lie Giam pun tertawa. Dengan hormat ia lantas undang
kedua tamu itu masuk.
"Sekarang ini orang-orang gagah bergerak di pelbagai
penjuru dan pasukan perangnya Giam Ong segera akan keluar
dari pegunungan Cinnia untuk menuju ke barat, guna lebih
dahulu merampas kota Tongkwan, baru kemudian maju terus
ke Hoolam, Ouwlam dan Ouwpak. Maka, Lian CeeCu, sudikah
kau berserikat dengan kami?" tanya wakilnya Giam Ong itu.
Giok Lo Sat berpikir. .
"Negara ini adalah negara kamu, tak dapat aku membantu
apa-apa," sahutnya kemudian. "Juga sisa tentaraku, aku minta
enCie Ang yang mengurusnya. Aku hendak pergi sekarang..."
Lie Giam mengawasi dengan mendelong. Ia duga si nona
pasti akan turut pergerakannya, tidak ia sangka si nona
menjawab demikian. Tentu sekali, dia tak tahu apa yang Nona
Nie pikir. Setelah ajakan Lie Giam itu, si Raksasi Kumala berpikir:
"Sakit hatinya adik San Ho belum terbalas, bagaimana bisa
aku pendam diri di dalam satu angkatan perang" Dengan
berserikat sama mereka ini, maka lebih sukarlah untuk aku
nanti menemui It Hang. Hilang kemerdekaanku..."
Mengenai It Hang, nona ini menyesal, penasaran dan
menyinta... di waktu menyesal, ia berduka, tetapi di waktu
penasaran, benci ia terhadap si anak muda yang lemah
hatinya, ingin dia putuskan saja perhubungan mereka berdua.
Akan tetapi akhirnya ia sendiripun hatinya tak kuat... tak bisa
ia lupakan wajah pemuda sastrawan dan ksatria itu...
Lie Giam tidak gembira, ia berdiam.
"EnCie Lian," berkata Ang NioCu, si Nona Serba Merah,
"pesanggrahanmu telah dimusnahkan tentara negeri, sakit hati
itu tak dapat tidak dibalas!"
Mendengar itu si Raksasi Kumala tertawa bergelak-gelak.
"Di sini ada kamu semua, untuk apa aku capaikan hati
lagi?" katanya. "Mengatur tentara, itulah bukannya
kesanggupanku. Lagi pula, aku ada seorang bebas merdeka,
maka aku ingin malang melintang tanpa ada yang mencegah.
Maka itu aku anggap jikalau kita bekerja masing-masing,
menurut cita-cita perseorangan, tidakkah itu baik?"
Lie Giam pikir: "Pantas dia dijuluki hantu wanita, kiranya
dia masih tetap berandal. Jikalau aku mendesak dia, supaya
dia bekerja dalam pasukan perang, inipun ada bahayanya.
Bagaimana jikalau dia tidak mentaati tata tertib?"
Oleh karena berpikir demikian Lie Giam tidak membujuk
terus, iapun puas terhadap nona merdeka itu.
"Demikian pun baik," katanya.
Maka soal ditutup.
Lantas kepala perang ini bekerja repot. Kota baru saja
dirampas, pekerjaan banyak. Dari sana-sini pun datang
rombongan-rombongan Rimba Hijau yang menyerah dan suka
bekerja sama, maka permintaan itu mesti diurus, antaranya
untuk membagi rangsum kepada mereka itu.
Giok Lo Sat menghadapi orang bekerja, ia tampak Lie Giam
tidak pernah menampik rombongan-rombongan yang
menyerah itu, hanya dia menanya dengan teliti tentang
sesuatu rombongan, setelah semua dicatat rapi. rangsum
segera diberikan. Segala apa dilakukan cepat dan semua pihak
rombongan itu merasa puas.
"Kenapa kau bersikap begini rupa terhadap pelbagai
rombongan itu?" kemudian Giok Lo Sat bertanya, la merasa
aneh atas sikap orang yang ramah dan murah hati itu.
"Habis bagaimana menurut enCie?" Lie Giam balik tanya.
"Sukakah enCie memberi petunjuk kepadaku?"
Cerdik orang she Lie ini, untuk membaliki pertanyaan.
"Semasa aku di Siamsay Selatan." kata Giok Lo Sat, "adalah
aku yang minta uang dan rangsum dari pelbagai rombongan
di atas gunung, tidak terbalik sebagai sekarang, adalah kamu
yang memberi tunjangan kepada mereka itu..."
Lie Giam tersenyum. Di dalam hatinya, ia berkata: "Kau
menaklukkan orang dengan menggunakan kekuatan, mana
kau bisa bekerja besar?"
Ang NioCu lihat suaminya tidak menjawab, ia
mewakilkannya: "Jikalau kami tidak berbuat demikian, mana mereka sudi
dengan sesungguh hati menakluk kepada pihak kami" Di sana,
di dua propinsi SuCoan dan Siamsay, ada terdapat pasukanpasukan
perang besar dari pemerintah, kedua pasukan itu
sedang mencari jalan untuk menyerang kami, maka jikalau
kami tidak berserikat dengan pelbagai rombongan itu, rasanya
sukar untuk kami menancap kaki. Masih untung jikalau
mereka berdiam saja, tetapi bagaimana andaikata mereka
berbalik membantu tentara negeri mengganggu kita" Jikalau
sampai terjadi gangguan itu, maka janganlah kita bicara pula
hal keluar ke Tongkwan, untuk maju ke utara!"
"Tetapi kaum Rimba Hijau itu ada banyak ragamnya,
apakah kamu tidak kuatir mereka cuma datang untuk
memperdayakan rangsum saja?" si nona tanya.
"Dalam hal itu, enCie benar," Lie Giam akui. "Tetapi di
dalam hal itu juga, dapat kami ambil sikap yang berbedaan
kelak. Di lain pihakjangan kita lupakan mereka yang benarbenar
laki-laki sejati. Oleh karenanya, jangan melainkan
disebabkan mereka yang busuk, yang kita ragukan, kita
kuncikan pintu pada mereka semua."
"Ya, kau benar juga," berkata si nona, yang dapat diberi
pengertian. Tapi sedetik kemudian, ia tanya pula: "Kamu
mempunyai berapa banyak persediaan rangsum hingga dapat
kamu iringi permohonan rangsum dari mereka itu" Tentang
rangsum di dalam kota, berikut isi gudang uang negara, aku
tahu semua. Aku rasa, semua itu masih tak cukup untuk
makan dan belanja satu bulan lamanya..."
Si Raksasi Kumala maksudkan juga rangsum rakyat yang
kelaparan. Mendengar pertanyaan itu, Lie Giam menyeringai.
"Dalam hal itu, kita nanti pikir belakangan saja," sahutnya.
Mendengar itu, Giok Lo Sat sebaliknya tertawa besar.
"Tidak, tidak dapat aku turut berserikat!" katanya kemudian
dengan terus terang. "Akan tetapi untuk enCie Ang aku
mempunyai suatu bingkisan yang berharga..."
"Ah, jangan, enCie, jangan kau sungkan!" kata Ang NioCu.
"Bingkisan ini tak dapat kau tampik!" berkata si Raksasi
Kumala sambil bersenyum. "Besok kau boleh kepalai satu
pasukan wanita untuk kau turut kami pergi ke Benggoat kiap."
Habis mengucap demikian nona ini menggerakkan
pinggangnya, untuk melempangkan urat-uratnya, lalu ia
menguap. "Kamu sedang repot, aku pun sudah pusing dan mataku
sepat, aku ingin tidur," ia tambahkan. "Ayah pun tentu ingin
beristirahat..."
Ang NioCu dan Lie Giam segera berbangkit.
"Siapkan dua kamar! "demikian titah kepala perang itu.
Si Serba Merah antar si nona ke kamar yang disediakan
untuknya di mana, untuk satu malam ia dapat beristirahat,
hingga besok paginya bersama Ang NioCu, yang memimpin
satu barisan serdadu, dapat ia kembali ke Benggoat kiap. Lie
Giam telah layani Tiat Hui Liong.
Ang NioCu heran atas sikap orang dan mengenai bingkisan
yang dimaksudkan, maka ketika ia hendak berangkat, ia
berbisik pada suaminya: "Entah ia hendak menghadiahkan
barang apa kepadaku. Kenapa dia minta satu pasukan
tentara" Berapakah pentingnya itu?"
Lie Giam tertawa, ia pun berbisik: "Aku telah dapat
menerkanya tujuh sampai delapan bagian! Kau boleh pergi,
jangan kuatir. Aku nanti antar kau serintasan!"
Suami ini mengantar sampai di luar kota, baru ia hendak
memutar kudanya untuk kembali, atau si Raksasi Kumala
serukan kepadanya: "Kau juga boleh turut bersama!"
"Heran!" pikir Ang NioCu. "Hantu wanita ini benar tidak
kenal selatan. Dia ada sangat repot, ini kau ketahui sendiri,
mengapa kau ajak dia?"
Ang NioCu menduga suaminya tentu tampik ajakan itu,
tetapi dugaannya itu meleset.
"Baiklah!" demikian jawab suami itu sambil tersenyum,
hingga ia pun awasi suaminya, yang terus bersenyum juga
kepadanya... "Bukankah hari ini kau berjanji dengan dua rombongan
lain, yang mohon bertemu sama kau?" Ang NioCu peringatkan
suaminya. "Hal itu dapat diserahkan pada wakilku," sahut Lie Giam,
singkat. Dan ia titahkan pengiringnya pulang ke kota, guna
menyampaikan tugas itu kepada wakilnya.
Ang NioCu heran tetapi ia tidak bilang sesuatu apa.
Tak lama kemudian sampailah mereka di Benggoat kiap - -
Selat Terang Bulan. Benar-benar selat itu terang sekali, sebab
seluruh pesanggrahan sudah ludas terbakar, tinggal sisa
abunya saja. Pohon-pohonan di dekatnya turut musnah juga.
Giok Lo Sat jalan mundar-mandir di atas abu bekas
pesanggrahannya itu, ia tidak bilang suatu apa, ia
Wanita Gagah Perkasa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membungkam, hanya matanya yang tajam, senantiasa
memain. "Jangan kau berduka, enCie," Lie Giam menghibur. "Setiap
kali tentara negeri merampas satu pesanggrahan kita, maka
kita akan membalasnya dengan merampas sepuluh kotanya!"
Si nona tidak menjawab, ia hanya awasi panglima
pemberontak itu.
"Kau menggantungkan pedang di pinggangmu, kau pasti
pandai ilmu pedang," kata dia tiba-tiba. "Kita sedang
senggang sekarang, mari kita coba main beberapa jurus..."
Ang NioCu heran, iapun mendongkol.
"Hm, hantu wanita!" katanya dalam hati, "kau jadinya
bukan hendak menghadiahkan bingkisan kepada kami, hanya
kau hendak uji kepandaian kami..."
Baru nona ini hendak menjawab atau suaminya sudah
melirik kepadanya dan mengedipkan matanya Itulah tanda
untuk ia jangan bersuara. Maka ia berdiam terus.
Juga Lie Giam, pada mulanya melengak. Ajakan si nona
ada sangat luar biasa. Akan tetapi, sedetik kemudian, ia
tertawa seorang diri.
"Mana bisa ilmu pedangku dibanding dengan ilmu pedang
kau, enCie?" katanya merendah.
"Tidak demikian," kata si nona.
"Dua hari aku telah beristirahat tidak ada orang yang
menandingi aku, tanganku menjadi gatal. Daripada kau
menghidangkan aku makanan yang lezat dan arak yang
harum, lebih baik kau temani aku selama dua jurus. Budimu
ini aku lebih-lebih menghargainya."
Lie Giam pun nyata polos sekali.
"Baiklah, enCie!" sahutnya, menerima. "Silakan enCie
mulai!" Hui Liong tidak mengerti maksud anak pungutnya itu tetapi
ia diam saja. Giok Lo Sat hunus pedangnya hingga sinarnya berkilauan,
sesudah mana tanpa ragu-ragu lagi, ia maju menyerang
dengan menusuk ke arah bahu si panglima muda
Lie Giam adalah murid yang pintar dari Ong Tong dari
Thaykek pay, kepandaiannya pun tidak sembarang, malah
ketika serangan datang, ia tidak menangkis, bahkan setelah
menarik sedikit tangannya, terus saja ia balik menyerang,
membabat ke bawah, ke kaki!
"Tidak kecewa!" seru si nona, yang terus menyerang pula
malah ini kali, sampai dua kali beruntun setelah serangannya
yang kedua pun gagal. Pedangnya itu, sesudah membacok,
lantas menyontek ke atas.
Lie Giam tidak dapat terka maksud orang, ia tutup dirinya
dengan gerakan pedang "JiCong supie" atau "Seperti
mengunci, seperti menutup". Adalah harapannya, agar pedang
lawan itu tidak dapat menyerang masuk. Tetapi Giok Lo Sat
benar-benar luar biasa!
Mengetahui sikapnya panglima muda itu si Raksasi Kumala
unjukkan kesehatannya, ia tidak membiarkan pedangnya
berada di luar kalangan lawan. Dengan sangat cepat,
berbareng dengan berkilaunya ujung pedang itu diarahkan ke
leher lawan: karena ia menusuk dari samping, tujuannya
adalah pundak. Lie Giam berkelit sambil memutar diri, tangan kirinya
menjaga diri, kaki kanannya melayang ke arah pinggang si
nona. Tendangan ini hebat, sebab itulah "Bu SiongCuitaCio
Mui Sin" atau "Bu Siong dalam mabuk arak menendang Cio
Mui Sin". Dan tendangan mestinya saling susul, beruntun
beberapa kali. "Hm!" bersuara si nona, selagi ia elakkan diri dari
tendangan itu, tidak ia menabas, cuma ia mengancam. "Kau
boleh juga!"
Ia berkelit seraya pedangnya dimajukan. Adalah habis
ditendang, baru ia menyerang pula dengan hebat.
Ketika tadi ia diancam, ia melakukan perlawanan dengan
tidak kurang hebatnya. Mengertilah ia, tidak dapat ia
sembarang mundur. Meski begitu, karena dahsyatnya gerakan
si Raksasi Kumala, dia seperti terkurung cahaya pedang si
nona. Ang NioCu menghirup hawa dingin karena jerinya
menonton ilmu silat pedang orang.
"Benar-benar hantu wanita ini bukan tersohor kosong..."
kata ia dalam hatinya. Ia pun menjadi sangat kagum.
Hui Liong tidak kurang kagumnya.
Pertempuran berjalan terus, sampai pedangnya Giok Lo Sat
dapat ditempelkan pada pedang Lie Giam, untuk segera dililit
dua lilitan, sampai terdengar suara nyaring dari amproknya
kedua pedang. "Celaka!" seru Ang NioCu sambil ia lompat ke dalam
kalangan. Justeru itu Giok Lo Sat tertawa nyaring, tubuhnya
mencelat, berbareng dengan mencelatnya Lie Giam. hingga
berdua mereka jadi terpisah, sedang tadinya mereka
bertarung rapat.
Si Nona Serba Merah kebogehan, ia heran.
Lie Giam memasukkan pedangnya ke dalam sarungnya, ia
beri hormat pada Giok Lo Sat, sambil memuji: "Lian Liehiap.
ilmu pedangmu tidak ada tandingannya di kolong langit ini!
Aku takluk, aku takluk!"
Wajahnya si Raksasi Kumala guram sebentar.
"Itulah pujianmu yang berlebih-lebihan!" sahutnya lalu dia
tertawa. "Dalam tiga puluh jurus tidak berhasil aku merampas
pedangmu, maka berhaklah kau untuk terima bingkisan dari
aku!" Masih saja Ang NioCu heran, ia mendeluh juga.
"Di kolong langit ini," pikirnya, "di mana ada aturan
menghadiahkan bingkisan semacam ini" Masa sebelumnya
menghadiahkan, orang menguji dulu kepandaian orang lain"
Siapa yang kcsudian menerima bingkisanmu itu"
Selagi sang isteri berpendapat demikian, lain adalah sang
suami. "Liehiap, lebih dahulu aku haturkan terima kasih padamu!"
berkata Lie Giam.
"Mari!" Giok Lo Sat mengajak, sambil menindak ke samping
gunung, tindakannya perlahan. Terus ia berkata: "Kemarin
telah aku saksikan kepandaian ilmu surat dan kecerdikanmu,
sekarang aku telah buktikan juga ilmu silatmu, dengan begitu
maka bingkisan ini telah dihadiahkan kepada orang yang
tepat!" Pesanggrahannya Giok Lo Sat, didirikan di atas bukit
dengan menuruti letaknya bukit itu. yang tidak rata demikian
juga jadinya pesanggrahan itu. Di samping itu masih ada
sebuah tiang kayu yang tebal, yang terbakar hangus tetapi tak
sampai roboh. Si nona dekati tiang itu, dengan tiba-tiba saja
ya menyampok dengan tangannya hingga tiang itu patah dan
roboh. "Mari!" ia memanggil Ang NioCu sambil melambaikan
tangannya, selagi si nyonya mengikuti dia sedikit jauh. Nyonya
itu ketinggalan, walaupun si nona jalan perlahan-lahan, sebab
ia masih terbenam dalam keragu-raguan menyaksikan sikap
nona yang luar biasa itu. "Silakan kamu bongkar tiang ini.
galilah tanahnya sampai tiang ini dapat diangkat."
Dalam keadaan masih mendongkol. Ang NioCu kata: "Aku
nanti perintahkan kepada lebih banyak orang supaya mereka
sekal ian merapikanjuga lapangan ini!"
Wajahnya Giok Lo Sat hciuhah dengan tiba-tiba. Wajah itu
menjadi gelap. Ia segera berkata: "Dai.mi hidupku ini, dalam
abad ini. tidak nanti aku bisa bersama-sama dalang pula
kemari, oleh karenanya untuk apa dirapikan pula semua ini?"
Memang telah tiga tahun si Raksasi Kumala membangun
pesanggrahannya itu, sekai ang pesanggrahan termusnah
dalam tempo satu hari, sekarang ia dengar kata-katanya si
nona serba merah, bagaimana ia tak jadi berduka" Untung,
karena kedukaannya yang hebat itu, ia tak menduga kepada
ejekan si nyonya.
Menampak orang demikian berduka, Ang NioCu menjadi lak
lega hati. "Hantu wanita ini berperangai aneh tetapi ia polos," pikir
nyonya Lie Giam. Lalu, tanpa bilang suatu apa lagi, ia titahkan
beberapa serdadunya mulai menggali di kaki tiang itu, untuk
mengangkat sisa tiangnya.
Orang tidak usah menggali lama untuk dapat mencabut
sisa balok itu, tetapi sesudah itu. Giok Lo Sat masih
menitahkan serdadu-serdadu itu menggali lebih jauh, sambil
membuat suatu lubang yang lebar.
Tak lama sampailah penggalian pada tanah yang empuk,
lalu cangkulnya satu serdadu membentur entah benda apa
yang keras, mirip batu.
"Gali terus, angkat semua tanahnya!" Giok Lo Sat
menitahkan. Perintah itu dilakukan, hingga tanah terangkat habis,
hingga di situ tertampak suatu batu yang lebar. Giok Lo Sat
lompat turun ke dalam liang itu dan semua serdadu segera
mengundurkan diri, dengan sebelah tangannya ia cekal
pinggiran batu itu, terus ia angkat, atas mana, kagetlah semua
orang, silaulah mata mereka!
Sebab lubang itu adalah lubang tempat menyimpan
hartanya si Raksasi Kumala. Di situ orang lihat banyak perak
dan emas dan barang permata, yang berkilau-kilauan seperti
lagi bersaingan.
Dan itulah hartanya si Raksasi Kumala ini, yang ia
kumpulkan selama tiga tahun -- yang ia peroleh sebagai
hadiah dari pelbagai rombongan Rimba Hijau yang tunduk
kepadanya. Di samping itu ada juga hasil pekerjaannya sendiri
dari rumahnya hartawan-hartawan jahat dan merkis atau
pembesar-pembesar rakus.
Semua serdadu wanita yang menggali tiang itu, berdiri
menjublak. Mereka itu kaget, heran dan kagum. Tidak
terkecuali adalah Hui Liong dan Ang NioCu, yang tadinya tetap
beragu-ragu. Cuma Lie Giam yang tersenyum, seperti juga ia
telah menduga tepat akan kesudahan ini...
"Aku minta kamu angkut semua barang ini," kata Giok Lo
Sat kemudian. Semua serdadu wanita itu lantas bekerja, mereka bekerja
dengan hati-hati.
Selagi barang-barang permata itu diangkat naik satu demi
satu, si Raksasi Kumala memberitahukan kepada Tiat Hui
Liong, ayah angkatnya, permata ini didapat dari siapa,
permata itu diperoleh dari siapa lagi, tak bosan ia
menunjukkannya, tak lupa ia dari mana asal-usulnya permata
itu. Dan selama menuturkan, tampak tegas sekali
kepuasannya nona ini.
Tiat Hui Liong, yang sampai sebegitu jauh membungkam
saja, mengerutkan alisnya.
"Untuk apa kau kumpulkan ini semua?" tanyanya
kemudian. Giok Lo Sat tertawa.
"Ayah, pernahkah kau tampak hadiah untuk perlombaan
catur?" anak ini balik menanya. "Orang tidak memperhatikan
hadiahnya, tetapi makin besar hadiah itu, makin bertambah
pula kegembiraan si peserta. Demikian juga aku. Selama di
Siamsay Selatan aku telah menundukkan jago-jago Rimba
Hijau, aku paksa mereka membayar upeti kepadaku, tetapi
aku berbuat demikian cuma dalam sifatnya si peserta
perlombaan catur itu!"
Selama dua hari. Hui Liong selalu mengerutkan alisnya,
karena sangat berduka dan selama itu jarang sekali ia bicara,
hingga apabila tak perlu, anak angkatnya juga membiarkan
dia tungkuli dirinya sendiri, akan tetapi kali ini, setelah dengar
penjelasan si nona, ia tersenyum dan alisnya terbangun.
Begitu lekas harta karun itu selesai diangkat, Giok Lo Sat
menghadap Lie Giam dan menjura terhadapnya.
"Ini bingkisan yang tidak berharga aku haturkan kepada
kamu berdua suami isteri untuk membantu membelanjai
tentara!" demikian ia berkata.
"Atas nama rakyat yang kelaparan, aku haturkan terima
kasih kepada kau," jawab Lie Giam tanpa ragu-ragu, tanpa
banyak adat istiadat.
Giok Lo Sat angkat sebuah pelana tersakit emas, dengan
wajah guram ia berkata pada Lie Giam: "Ini adalah hadiah
untukku yang dahulu diberikan oleh puteranya bekas
IooCeeCu Ong Kee In atas perintahnya IooCeeCu itu,
sekarang ini looCeetiu telah menutup mata, maka aku minta
sukalah pelana ini kau kembalikan kepada puteranya itu, Ong
Ciauw Hie. Katakan padanya bahwa aku anggap ini sebagai
tanda mata untuk pernikahannya!"
"Apakah kau tidak ingin memilih satu atau dua macam
barang permata untuk kau simpan sendiri selaku tanda
peringatan?" Ang NioCu tanya si nona.
Sekarang ini telah berubah semua pandangannya si Nyonya
Serba Merah terhadap nona kosen itu, yang ia namakan hantu
wanita. Adalah aturan umum di kalangan Hektoo, Jalan Hitam,
bahwa satu kali orang turun tangan, tidak nanti dia pulang
dengan tangan kosong, atau kalau dia menghadapi pihak yang
dimalui, hingga tak dapat dia turun tangan, sepotong barang
tak berharga juga tak mau dia mengambilnya. Perbuatan tak
mengambil itu berarti kebaikan. Sekarang ini Giok Lo Sat
menghadiahkan harta yang sangat besar, yang telah disimpan
bertahun-tahun lamanya, maka Ang NioCu ingat akan aturan
kaum Hektoo itu dan meminta kepada si nona untuk
mengambil satu atau dua macam barang untuk tanda mata.
Giok Lo Sat tertawa besar atas pertanyaan itu.
"Mulai saat ini aku telah mencuci tangan, aku mundur dari
Rimba Hijau, maka untuk apakah barang-barang semacam
ini?" katanya.
Habis mengucap demikian, tiba-tiba mata si nona terbeliak,
lantas ia berkata: "Baiklah, aku ambil sesuatu barang!"
Sama cepatnya dengan perubahan sikapnya itu, ia
membungkuk seraya mengulurkan sebelah tangannya, akan
meraup tanah. Lalu ia berkata: "Aku telah tinggal di sini untuk
tiga tahun lamanya. Untukku, jarang sekali aku berdiam begini
lama di suatu tempat Karenanya, aku juga kenal haik sifatnya
tanah di sini." Dia bawa raupan tanah itu ke hidungnya, untuk
dicium. Kemudian ia tambahkan: "Tanah ini masih tercampur
darahnya adikku, maka itu tidak ada lain barang ?yang lebih
berharga dari pada tanah ini untuk disimpan sebagai tanda
Wanita Gagah Perkasa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mata!" Tanah itu terus dimasukkan ke dalam sakunya.
"Mari!" ia mengajak ayah angkatnya. Dan ia lari turun
gunung. Tiat Hui Liong turut ajakan itu, iapun berlari pergi.
Lie Giam dan Ang NioCu terperanjat, si nyonya malah terus
berteriak-teriak memanggil pulang. Tapi nona itu lari terus,
makin jauh makin jauh, sama sekali dia tidak menyahuti, pun
tidak memalingkan muka, yang tampak, hanya bajunya
bergelawiran ditiup angin...
"Aneh!" mengeluh Ang NioCu
"Ya, aneh..." sahut suaminya, yang masih tersenyum. "Mari
kita pulang."
Dan bersama dengan harta besar itu, mereka kembali ke
kota. TAMAT Kuda Binal Kasmaran 2 Pendekar Setia Pendekar Kembar Bagian Ii Karya Gan K L Pendekar Super Sakti 24
sini..." Tiat San Ho membuka kedua matanya ia tersenyum.
"Koko, gi rang hatiku..." katanya.
"Aku menyesal, aku telah terlambat datang." Beng Kie
bilang. "Kau tidak terlambat, koko. adalah aku yang hendak
berangkat lebih dulu..." kata si nona.
Hebat luka di dalam tubuhnya San Ho bekas gedoran
tangan yang liehay dari Kim Tok Ek. yang terluka ialah hati
dan isi perutnya, hingga untuk bisa bicara dengan si anak
muda. ia kumpulkan kekuatannya yang terakhir, habis itu ia
berdiam dalam rangkulan anak muda itu. bagaikan ia tidur
nyenyak di atas kasur, bukan main ia merasa hangatnya,
hatinya puas...
Beng Kie terus merangkul, ia lihat mata orang meram pula.
Ia terkejut apabila ia rasakan tubuh orang menjadi dingin,
lenyap hawa hangatnya. Sebab si nona telah menghembuskan
napasnya yang penghabisan, tubuhnya itu dengan lekas telah
menjadi dingin.
Pemuda ini berdiri melongo, hatinya kosong. Ia tidak
mempunyai harapan lagi. hatinya segera menjadi tawar. Ia
seperti merasa suasana di sekitarnya dingin semua.
Ketika itu Anghoa Kuibo dari atas berlari-lari ke bawah, ia
saksikan larinya Bouwyong Ciong. yang dikejar Giok Lo Sat. Ia
memandang ke depan, ke lembah, segera ia menjadi sangat
terperanjat. "Kim Lootoa!" ia memanggil. "Kim Lootoa!"
Mendengar suaranya si nyonya. Beng Kie bagaikan tersadar
dari impian-nya yang muluk. Dengan hati-hati ia letakan
tubuhnya San Ho di tanah, setelah itu. ia jemput kepalanya
Kim Tok Ek. "Di sini adama Lootoamu!" dia berteriak pada nyonya itu.
suaranya menyatakan kemarahan yang hebat.
Anghoa Kuibo lihat kepala tanpa tubuh itu. ia kaget hingga
tubuhnya bagaikan disiram air dingin, dari kepala sampai di
dasar kaki. Ia awasi kepala orang itu yang berlumuran darah...
Tidak salah, itulah kepalanya suaminya dengan siapa ia
pernah hidup bersama puluhan tahun!
"Apakah kau yang telah bunuh dia?" tegur nyonya ini
setelah ia sadar. Dia sangat gusar, tongkatnyapun diangkat
tinggi. "Suamimu yang busuk ini. sekalipun dia berjumlah sepuluh,
dia masih tidak dapat dibandingkan dengan adikku San Ho!"
jawab si anak muda. mengejek.
"Siapa kau?" bentak nyonya tua itu. "Aku hendak
membunuh kau. guna menggantikan jiwanya!"
"Bagus perkataanmu!" bentak Beng Kie. "Aku si orang she
Gak yang pernah menyerbu di antara ratusan ribu serdadu
musuh, buat puluhan kali aku menghadapi ancaman bahaya
maut. malah dorna sudah mengejar-ngejar aku. tapi aku tidak
takut, malah jiwaku, telah aku taruhkan di luar garis! Ha-haha!
kau berniat membunuh aku. Untuk mengganti jiwa" Habis,
siapa yang nanti menggantikan jiwanya Him Kengliak --
jiwanya adik San Ho ini?"
Anghoa Kuibo berdiam bagaikan dihajar guntur. Jadi
benarlah katanya Giok Lo Sat, suaminya ini kembali
melakukan kejahatan, malah rupanya telah membinasakan
menteri setia. Maka menyesallah ia, yang telah puluhan tahun
mendidiknya, ia mengharap suaminya itu mengubah tabiatnya
untuk menjadi manusia baik-baik, tapi akhirnya, suami itu
terbinasa sedemikian rupa...
Lemah seluruh anggauta tubuhnya wanita kosen ini,
tongkatnya turun sendirinya bersama kedua bahunya.
"Habis mau apa kau sekarang?" tegur Beng Kie, yang hawa
amarahnya mulai berkurang.
"Jadi kaulah yang bernama Gak Beng Kie" Kau adalah
pembantu setia dari Him Kengliak?" tanya wanita kosen itu
dengan sabar, sambil ia mengawasi wajah orang.
"Dan aku ketahui, kaulah yang dinamakan Anghoa Kuibo si
Biang Hantu Bunga Merah!" sahut Beng Kie sebaliknya. "Hm,
hm, orang telah keliru menamakan julukanmu itu! Adalah
suamimu yang seperti satu hantu!"
Si Biang Hantu menghela napas panjang.
"Habis, habis sudah..." katanya dalam hatinya. "Apakah
sekarang aku masih mendapat muka untuk bertemu dengan
kaum Rimba Persilatan" Apakah artinya hidup dalam dunia ini
jikalau rasanya tawar?"
Mendadak saja wanita jago ini menjadi putus asa, hingga ia
jadi nekat. Ia lompat membenturkan kepalanya kepada batu
besar di sampingnya, hingga kepalanya pecah dan jiwanya
melayang dalam sekejap. Dan batu itu bermandikan darah,
berlepotan polo yang hancur lebur.
Beng Kie kaget tetapi ia tidak berdaya, sebab tidak pernah
ia sangka orang demikian keras hatinya. Ia berdiri bengong
karena tercengangnya. Ketika ia sadar, ia tertawa terbahakbahak.
"Mati semua barulah bersih!" serunya seorang diri. Dan
iapun lompat membenturkan kepalanya kepada batu itu, untuk
menelad si nyonya kosen!
Tapi tak dapat ia berbuat sekehendak hatinya itu, tak bisa
ia menjadi hakim untuk jiwanya sendiri. Tak dapat ia adu
kepalanya dengan batu itu. Karena dari belakang, ada orang
menyambar sebelah kakinya, yang terus ditarik, hingga hampir
ia tersungkur jikalau sebelah kakinya lagi tidak lantas
menginjak tanah. Segeralah ia menoleh, dengan mata
mendelong. "Dalam satu hari ini, tak mungkin terbinasa berbareng dua
jago!" demikian ia dengar satu suara nyaring, suaranya Giok
Lo Sat, ialah orang yang telah menyambar dan betot kakinya
itu untuk mencegah ia menghabiskan jiwanya sendiri secara
kecewa demikian.
Si Raksasi Kumala membatalkan mengejar Bouwyong
Ciong, sebab tengah ia berlari-lari, kupingnya mendengar
suara keras dari Anghoa Kuibo, suara yang ditimpali suaranya
Beng Kie. Ia jadi berkuatir.
"Jangan-jangan nyonya tua itu adu jiwa..." demikian ia
menduga. Ia ingat kepada Beng Kie, ia ingat juga kepada San
Ho, keselamatan siapa membuatnya sangsi. Maka berserulah
ia pada si Congkauwtauw: "Bouwyong Ciong, hari ini aku beri
ampun kepadajiwamu!" Habis itu ia lari kembali, tetapi
alangkah terkejutnya ia, ketika ia menyaksikan kebinasaan
yang menyedihkan dari si Biang Hantu.
"Celaka betul!" serunya dalam hatinya. "Sejak ini aku
kehilangan satu kawan yang tangguh!"
Baru ia kaget melihat yang satu, ia sudah dikagetkan oleh
yang lain, demikian Giok Lo Sat. Karena segera ia tampak
perbuatan nekat dari Gak Beng Kie, maka dengan pesatnya ia
mencelat kepada anak muda itu untuk menyambarnya, hingga
ia merasa beruntung juga masih keburu menangkap kaki
orang, hingga dapat ia mencegah satu jiwa lain melayang...
Pemuda itu lantas menjatuhkan dirinya di tanah begitu
lekas si nona melepaskan cekalannya kepada kakinya. Kalau
tadi ia benturkan kepalanya dengan kedua matanya
dimeramkan, sekarang ia mementangnya.
"San Ho telah terbinasa, untuk apa aku hidup terlebih lama
pula?" katanya.
Sakit hatinya Giok Lo Sat. Tetapi ia masih ingin hidup, tak
sudi ia pergi meninggalkan dunia. Maka ia keraskan hatinya
untuk melawan kesedihannya. Ia tertawa dengan tawar.
"Gak Beng Kie, adakah kau jeri nanti adu pedang pula
denganku?" tanyanya, sengaja.
Mendongkol Beng Kie mendengar hinaan itu.
"San Ho ada adikmu, tapi kau begini tega terhadapnya..."
dia berpikir. "Masakah di saat begini kau masih mempunyai
keinginan untuk adu pedang denganku?"
Ia lantas lompat bangun.
"Benarkah kau hendak adu pedang?" dia tanya. "Mari, mari!
Sayang adikmu tak dapat menonton kegagahan enCie-nya!"
"Aku bukannya niat adu pedang denganmu sekarang!" Giok
Lo Sat berkata sambil tertawa. "Kau tahu, guru kita telah
menciptakan masing-masing semacam ilmu silat pedang,
kedua ilmu silat itu adalah satu lempang, satu kebalikannya,
sama seperti saling menindas, saling menghidupi juga. Adalah
maksud guruku, setelah selesai merampungkan pelajarannya
itu, ingin ia adu pedang dengan gurumu, untuk melatih diri,
tapi sayang, guruku telah mendahului meninggal dunia,
hingga karenanya, mereka berdua tak dapat lagi mengadu
kepandaian mereka. Tapi kita masih hidup, kita masingTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
masing mempunyai satu macam ilmu silat, kita adalah ahli
waris tunggal dari kedua orang tua itu, dapat kita dikemudian
hari melangsungkan mewujudkan cita-cita mereka. Bila telah
sampai waktunya, umpama kata kau tidak sudi adu pedang
denganku, aku sendiri yang nanti cari padamu! Sekarang ini,
marilah kita sama-sama meyakinkan pula, sampai dua puluh
tahun lagi, setelah sama-sama selesai memahamkannya, baru
kita bertanding, guna memastikan siapa yang tinggi siapa
yang rendah! Sekarang ini kita berimbang, inilah tak menarik
hati..." Beng Kie berpikir.
"Kiranya dia kandung maksud begini..." demikian pikirnya
"Suhu juga telah berusia lanjut, pasti dia tidak bakal punyakan
murid yang kedua, maka itu tak dapat aku tidak menyayangi
jiwaku, hingga karenanya, aku dapat membuat putus warisan
ilmu pedang kaumku..."
Karena berpikir demikian, ia merasakan kepalanya dingin
bagaikan disiram air, ia jadi sadar.
"Terima kasih!" katanya kepada si nona suaranya perlahan.
Lantas saja ia berbangkit. "Baiklah, lagi dua puluh tahun, nanti
aku tunggu kau di gunung Thiansan."
Giok Lo Sat juga bernapas lega. Baru sekarang ia tak dapat
tahan kesedihannya. Ia tubruk tubuhnya San Ho, sambil
memeluk, ia menangis menggerung-gerung.
"Kiranya di lahir saja dia bengis, hatinya tetap halus..."
berpikir Beng Kie.
Lantas ia pikir untuk menghampiri si nona, guna menghibur
padanya. Tapi ini tak dapat ia lakukan karena ia segera
tampak satu orang berlari-lari ke arahnya.
Itulah To It Hang, yang ilmu enteng tubuhnya ketinggalan
jauh daripada si Raksasi Kumala dan Biang Hantu Bunga
Merah, hingga baru pada saat itu ia dapat menyusul.
"Saudara To, San Ho telah mati," kata Beng Kie kepada
sahabatnya itu. "Kau hiburkanlah Nona Lian..."
It Hang terkejut memandang segala apa yang dihadapinya
itu. Ia tidak sempat sahuti si anak muda, ia lantas dekati Giok
Lo Sat, untuk pimpin dia bangun.
Pada itu waktu, si Raksasi Kumala justeru sedang berpikir,
"Gak Beng Kie dan adik San Ho tidak dapat menikah, tetapi
mereka menyinta satu pada lain, maka meskipun dia menutup
mata, hatinya tentu puas..." Karena ini, ia jadi mengiri untuk
keberuntungannya adik itu. Tapi, ketika ia lihat It Hang, ia
mengawasi dengan tajam, cahaya matanya mengandung rasa
cinta dan kemenyesalan, penasaran...
It Hang tunduk dengan segera tak dapat ia memandang
sinar mata orang itu.
Giok Lo Sat berdiam, hatinya bekerja. Tiba-tiba saja ia
insaf, bukannya San Ho yang harus dibuat sedih, hanya
dirinya sendiri. Ialah yang tidak beruntung dalam urusan
asmara. Maka ia berdiri menjublak. Ia tidak lagi mengucurkan
air mata. Adalah selang sekian lama, baru ia bisa angkat
kepalanya. "Marilah kita kubur dia di lembah ini," katanya, "Kita tunggu
sampai es telah menjaj_cair, baru kita urus pula jenazahnya,
untuk dikubur seperti selayaknya..."
Beng Kie setuju, maka dibantu It Hang mereka menggali
es. Giok Lo Sat membantu pula membuat satu liang yang
dalam, setelah mana, tubuhnya San Ho diangkat dimasukkan
ke dalam liang itu, yang terus diuruk pula.
"Mari kita menggali sebuah lubang lain," kemudian si
Raksasi Kumala mengajak pula. Dan ia pondong tubuhnya
Anghoa Kuibo, untuk dikuburkan dengan baik sebagai
mayatnya gadisnya Tiat Hui Liong.
"Dia ini adalah satu nyonya yang harus dikasihani..."
katanya. "Biarlah dia dikubur bersama suaminya," Beng Kie usulkan.
Lantas tubuhnya Kim Tok Ek, serta kepalanya, diangkat
untuk dimasukkan dalam liang kubur dari si Biang Hantu.
"Sebenarnya hendak aku pakai kepala ini untuk
sembahyangi adik San Ho," kata pemuda she Gak itu, "tetapi
mengingat kepada nyony a ini. suka aku menghabiskannya..."
Maka es pun diurukkan ke liang kubur pasangan itu.
Sesudah itu bertiga mereka mengheningkan cipta, guna
mendoa untuk ketenteramannya ketiga roh yang bercelaka itu.
Pada saat yang sunyi itu, Beng Kie dengar suara merintih
perlahan. Ia berpaling dengan segera. Maka segera juga ia
tampak Eng Siu Yang sedang bergulingan, akibat robohnya
tadi bekas dikejar si Raksasi Kumala. Kakinya terluka pula, tak
dapat dia berjalan, sedang melihat kebinasaannya Kim Tok Ek,
hatinya pedih, jeri...
"Masih ada satu lagi!" kata Beng Kie, sengit. "Mari kita
membuat lagi satu lubang, dia mesti dikubur hidup-hidup!"
Dalam sengitnya pemuda ini menghampiri orang she Eng
itu, tubuh siapa ia sambar untuk ditenteng, guna dilemparkan
ke dalam lubang.
"Tunggu!" seru Giok Lo Sat. "Dia mesti dibiarkan tinggal
hidup!" It Hang bagaikan baru sadar.
"Benar!" dia turut bicara. "Dia mesti dikasih tinggal hidup!
Dia mesti dikorek mulutnya, supaya dia beber sekongkolannya
dengan bangsa Boan!"
Beng Kie segera ingat kejadian dulu di puncak gunung
Hoasan tatkala The Hong Ciauw membuat pengakuan.
"Dalam hal ini kita mengharapkan Lian Liehiap," dia kata
"Mari kita bawa pulang dulu dia ke pesanggrahan,"
mengajak Giok Lo Sat. "Biar dia hidup lebih lama dua hari
lagi!" Habis berkata demikian lama dan berlari-lari, sedang
matahari sudah naik tinggi, nona ini memikir untuk
beristirahat.
Wanita Gagah Perkasa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Segala apa terserah padamu," kata Beng Kie. "Mustahil dia
mampu terbang!"
Lantas dia angkat pula tubuh Eng Siu Yang, kali ini untuk
dibawa lari ke pesanggrahan si nona.
Giok Lo Sat dan It Hang mengikuti.
Sesampainya di sarangnya si Raksasi Kumala memberi titah
untuk melakukan penjagaan, terutama di mulut gunung.
Sampai di situ barulah orang dapat menghilangkan lelah.
Pada sore hari, habis bersantap, selagi sang rembulan
mulai naik, barulah barisan wanita yang di kepalai Tiat San Ho
dapat disambut pulang semuanya, syukur tidak ada yang
kurang, kecuali semuanya letih dan lapar.
Bertiga Beng Kie dan It Hang, Giok Lo Sat berkumpul
bersama. Tak mau mereka lantas masuk tidur. Masing-masing
mempunyai pikiran sendiri. Mereka muncul di lapangan
gunung, untuk berjalan-jalan mencari angin... Semuanyapun
bungkam kemudian.
"Lian Liehiap, hendak aku mohon sesuatu kepadamu..."
tiba-tiba Beng Kie berkata, memecah kesunyian.
"Silakan," sahut si nona, ringkas.
"Him Kengliak terbinasa dengan kepala terpisah, aku minta
sukalah kau berupaya hingga tubuhnya terkumpul utuh, untuk
dikubur dengan baik," demikian permintaan si anak muda.
"Him Kengliak itu sahabatku, nanti aku kerjakan sebisaku,"
si nona beri kepastiannya.
"Terima kasih," kata Beng Kie, yang terus pandang It Hang:
"Saudara To, aku harap kau nanti serahkan kitabnya Kengliak
kepada orang yang tepat. Dalam hal ini aku mengandal
padamu." "Akan aku lakukan itu sekuat tenagaku," jawab It Hang
dengan janjinya. "Hanya aku kuatir, sepulangku ke gunung,
untuk menjadi ahli waris guruku, aku tak dapat kemerdekaan
luas untuk bergerak di kalangan kangouw..."
"Jadi kau masih hendak pulang untuk menjadi ketua?" Giok
Lo Sat tanya pemuda itu.
It Hang tunduk, ia tidak menjawab.
Beng Kie nyelak, untuk menolong kawannya itu.
"Baik juga jikalau saudara To pulang untuk mengepalai
kaumnya." katanya. "Lebih baik dia daripada sekalian paman
gurunya..."
Pemuda she To itu tertawa meringis.
"Umpama kata kau tidak menemui orang yang tepat,
saudara To," berkata pula Beng Kie, "tidak apa bila kitab itu
tetap disimpan olehmu."
"Jangan kuatir, saudara Gak," sahut It Hang. "Jikalau aku
tidak dapat cari orang yang tepat itu. nanti aku minta
pertolongan sahabatku yang baik guna menggantikan aku
mengurusnya."
GiokLoSat heran mendengar kata-kata Beng Kie itu, ia
berkuatir. Maka tertawalah ia ketika ia menegurnya untuk
mengingatkan. Ia kata: "Jangan kau lupakan janji kita berdua
untuk mengadu pedang pula sesudah dua puluh tahun!"
"Pasti tidak akan aku lupakan!" jawab pemuda itu.
"Saudara Gak," tanya It Hang, "apa yang kau hendak
lakukan kemudian?"
"Lihat saja nanti," jawab Beng Kie. "Tidak perduli
bagaimana gangguannya penghidupan, aku toh nanti
terumbang-ambing seorang diri..."
"Eh, apakah kau kata?" si nona tanya. "Kau mirip dengan si
pendeta tua yang lagi mendoa..."
It Hang mengerti, sahabatnya itu sudah tawar hatinya.
"Ada baiknya dia menjadi pendeta," dia kata di dalam hati.
"Aku sendiri, belum ada jodohku untuk menjadi pendeta..."
Malam itu lewat dalam kesunyian, lalu besok paginya Beng
Kie telah lenyap dengan tidak keruan parannya. Dia telah
berangkat pergi tanpa pamitan lagi, kecuali meninggalkan
sepucuk surat pada Giok Lo Sat dan To It Hang. Dia menulis,
karena gurunya sudah lanjut usianya, maka dia akan pulang
ke gunung Thiansan guna merawati hidup gurunya, berbareng
itu ia akan bersungguh-sungguh meyakinkan lebih jauh ilmu
silat pedangnya...
It Hang dan Giok Lo Sat telah menduga akan perbuatannya
Beng Kie itu, mereka hanya tidak menduga orang pergi
demikian cepat. Biar bagaimana, mereka merasa menyesal.
Hari itu Giok Lo Sat sedang memimpin sejumlah
serdadunya untuk mengurus lebih jauh penguburan sempurna
bagi San Ho dan Anghoa Kuibo. It Hang pun membantunya.
Sampai sore baru mereka dapat beristirahat. Habis bersantap
malam, mereka hendak periksa Eng Siu Yang, tatkala terlihat
cahaya api berkobar di arah gudang barang makanan, segera
disusul dengan suara berisiknya tentara.
Dalam kagetnya, Giok Lo Sat samber pedangnya.
Justeru itu datang laporan: "Tentara negeri datang
menyerang!"
"Demikian cepat?" tanya si nona. "Mereka demikian
berani?" Inilah di luar dugaannya.
Dengan membawa pedangnya, CeeCu ini lari keluar sampai
di muka pesanggrahan, di sini ia lantas tampak
BouwyongCiong bersama beberapa puluh serdadunya yang
sedang beraksi melepas api di sana-sini.
"Untung kau telah lolos, sekarang kau berani datang pula
kemari?" tegur si nona. dalam gusarnya. Lalu dengan tanda
gerakan pedangnya, tentaranya maju menerjang.
Barisan wanita itu taat kepada pemimpinnya dengan cepat
mereka sudah siap sedia, tetapi di waktu bertempur mereka
tempur tentara negeri secara kalut karena tentara itu
berpencaran. Giok Lo Sat sendiri maju untuk menghampiri
Bouwyong Ciong.
Selagi pertempuran berjalan, di arah barat muncul
serombongan imam yang bersenjatakan pedang panjang.
Mereka ini datang menyerbu.
Bouwyong Ciong sudah lantas menyerang, untuk
melampiaskan penasarannya. Dia dapat lolos setelah batalnya
pengejaran Giok Lo Sat terhadapnya. Dia kumpulkan sisa
pahlawan yang tidak terluka, yang tinggal sepuluh orang. Dia
menjadi bingung, mau pulang ke kota raja, dia bersangsi. Kota
Konggoan pun masih kacau akibat penggedoran rakyat.
Syukur untuknya, sebelum ia mengambil putusan, Khamkun
Lian Seng Houw telah datang bersama barisannya. Punggawa
ini dapat tugas dari Gui Tiong Hian untuk membasmi
"penjahat". Dia ini bekas Congkauwtauw dari SeeCiang, maka
ia adalah rekannya orang she Bouwyong itu. Malah dia yang
mendahului cari Bouwyong Ciong apabila dia dengar kabar
Congkauwtauw itu ada di kota Konggoan.
"Apa yang telah terjadi?" dia tanya.
Bouwyong Ciong menghela napas.
"Sejak hidupku, inilah kekalahan yang belum pernah aku
terima," sahutnya terus terang.
"Ya, bagaimanakah terjadinya itu?" Lian Seng Houw tanya
pula. Tanpa ragu-ragu, Bouwyong Ciong tuturkan semua.
Mendengar Kim Tok Ek terbinasa, Lian Khamkun tidak
utarakan apa-apa, akan tetapi mengetahui Eng Siu Yang
tertawan, dia kaget hingga mukanya menjadi pucat sekali.
Eng Siu Yang bersama-sama Gui Tiong Hian dan Lian Seng
Houw ini adalah penyambut-penyambut dari bangsa Boan,
karenanya Seng Houw jeri bukan main, dia takut kalau Eng
Siu Yang nanti membeber rahasia. Kalau Eng Siu Yang buka
rahasia, celakalah mereka.
"Nama Giok Lo Sat itu pernah aku mendengarnya,"
katanya, gelisah. Dia mempunyai berapa banyak serdadu?"
"Cuma kira-kira beberapa ratus jiwa dan semuanya
wanita," sahut Bouwyong.Ciong.
Mendengar ini, barulah Seng Houw tertawa.
"Beberapa ratus serdadu wanita -- apakah yang ditakuti?"
katanya. "Mari kita pimpin pasukan kita untuk membasmi
sarang mereka!"
"Memang beberapa ratus serdadu wanita itu tidak banyak
artinya," kata Bouwyong Ciong. "Di sebelah mereka, yang
penting adalah keletakannya selat Benggoat kiap. Tidak dapat
pasukan perang besar masuk ke sana! Sekarang ini, salju dan
es sedang menutupi jalanan juga."
Lian Seng Houw lantas berpikir.
"Menurut keterangan kau barusan, tentara wanita itu juga
tercegat jalanan pulangnya," kata dia kemudian. "Untuk
mereka dapat kembali, perlu Giok Lo Sat membuka jalan itu,
guna menyambut mereka. Baiklah kita coba ambil jalan yang
diambil mereka itu. Dari dalam pasukanku, boleh aku pilih
beberapa antaranya yang dapat ikut kau masuk dengan diamdiam.
Di antaranya mesti yang mempunyai kebisaan enteng
tubuh." Bouwyong Ciong menggeleng kepala.
"Itulah belum cukup." katanya. "Tentaramu itu. andaikata
mereka dapat menerobos naik dan masuk, tidak dapat dipakai
melawan pasukan wanita dari Giok Lo Sat. Jumlah beberapa
puluh serdadu saja belum cukup. Di sana ada Giok Lo Sat dan
Gak Beng Kie yang liehay sekali, dan mereka dibantu ketua
yang baru dari Butong pay."
"Apa kau kata?" tanya Lian Seng Houw. "Aku dengar
Butong pay sudah pilih ketuanya yang baru, satu anak muda
yang bernama To lt Hang. Tapi pihak Butong tidak biasanya
memusuhi tentara negeri. Mungkinkah To It Hang itu
bergandengan tangan dengan hantu wanita itu?"
"Justeru demikian adanya!" Bouwyong Ciong
membenarkan. To It Hang itu mempunyai hubungan sangat
erat dengan Giok Lo Sat dan ia pun melindungi Gak Beng Kie.
It Hang sendiri tak usah dibuat kuatir. Bersama dia ada imamimam
dari Butong pay. mereka semuanya liehay. Di dalam
kota Konggoan ada beberapa puluh dari imam-imam itu.
apabila mereka sampai turut terlibat, itulah bukan main..."
Lian Seng Houw berkuatir juga. parasnya berubah.
"Meski begitu, tak dapat tidak. Eng Siu Yang mesti dapat
ditolong." katanya perlahan. Terus ia berbisik di kupingnya
Congkauwtauw she Bouwyong itu: "Eng Siu Yang itu ada
orang kepercayaannya Gui Kongkong, dia sangat disayang,
sampai berulang kali Gui Kongkong pesan aku untuk bantu
lindungi dia..."
Sebenarnya Bouwyong Ciong kurang menghargai Eng Siu
Yang, tapi sekarang, mendengar keterangan orang, ia kaget,
hatinya bercekat.
"Jikalau begitu, mesti dia ditolongi," pikirnya. Karena ini, ia
jadi ingat pikirannya Eng Siu Yang yang pernah diutarakannya
terhadapnya. Ia kata: "Pernah Eng Siu Yang mengutarakan
sesuatu, cuma aku tadinya tidak memperhatikan."
Lian Seng Houw tertarik mendengar kata-katanya orang
she Bouwyong itu.
"Dia telah usulkan supaya kita ubah Butong pay dari musuh
menjadi sahabat-sahabat," menjelaskan Congkauwtauw
pahlawan istana TongCiang itu. "Kita mesti menghaturkan
maaf pada Pek Sek Toojin, habis itu kita ajak mereka untuk
bersama-sama menerjang gunung musuh."
Lian Seng Houw tepuk-tepuk tangan, ia tertawa bergelakgelak.
"Bagus, inilah akal bagus!" serunya. "Kita harus bertindak
demikian! Pek Sek Toojin pikirannya sedang cupat, sekarang
ketuanya diculik orang, pasti dia tidak dapat berpikir panjang.
Mari kita bicara padanya, hatinya tentu dapat dibikin
tergerak!"
Nyatalah pendapatnya Lian Seng Houw dan pikirannya Eng
Siu Yang itu sama. Dua hari Pek Sek berantai tak dapat lihat It
Hang, mereka jadi sangat mendongkol, tetapi imam itu bukan
tandingannya Giok Lo Sat, mereka pun tidak berani
mendatangi Benggoat kiap untuk mengambil orang, ia jadi
masgul sendirinya. Tapi sekarang, setelah mendengar katakatanya
Bouwyong Ciong dan Lian Seng Houw, yang
mengunjungi mereka dengan hormat dan telah menghaturkan
maaf juga, pikirannya berubah menjadi tetap. Ang In pun
setuju menerima ajakan bekerja sama itu. Hanya, untuk
menerima itu, mereka memajukan tiga syarat. Ialah:
Pertama-tama: Benar mereka bekerja sama, tetapi tujuan
mereka adalah berlainan. Sebab mereka cuma hendak mencari
ketua mereka, tak suka mereka menolong tentara negeri.
Kedua: Kecuali Giok Lo Sat, yang lainnya tak suka mereka
membuat luka atau binasa. Umpama ada serangan tentara
wanita mereka cuma akan bela diri. Dari itu, pihak tentara
negeri harus maju di muka untuk melawan tentara wanita itu,
mereka sendiri hanya menyerbu guna mencari ketua mereka.
Dan ketiga: Setelah selesai tugas mereka mereka akan
berpisahan masing-masing, berbareng dengan itu, dendam di
antara mereka berdua pun mesti diselesaikan, ialah pihak
pahlawan tidak boleh lagi memusuhi Butong pay.
Oleh karena Bouwyong Ciong hanya mengharap
bantuannya, dengan gampang saja ia dan Lian Seng Houw
terima baik ketiga syarat itu. Bukankah, bila rombongan imam
ini mendaki bukit mereka akan bentrok dengan pihak Giok Lo
Sat" Bukankah bentrokan itu berarti bantuan berharga untuk
pihak tentara negeri"
Demikian setelah mereka membuat perjanjian, lantas
mereka berangkat bersama. Maka malam itu mereka mendaki
bukit dan menyelusup masuk ke dalam, hingga tahu-tahu
mereka sudah membakar gudang dan menyerang.
Giok Lo Sat murka bukan main mengetahui Pek Sek Toojin
turut datang menyerbu. Ia segera hampiri imam itu dan
menegur dengan bengis: "Pek Sek. kau membantu Tiu Ong
berbuat jahat?"
Artinya, Pek Sek disamakan dengan Kaisar Tiu yang jahat
dan kejam. Tentara wanita segera turun tangan melawan penyerangpenyerang
itu. Pek Sek pun gusar sekali.
"Runtuhkan senjata mereka!" ia titahkan kepada kawankawannya.
Tentara wanita itu kosen semuanya, di pihak Butong tidak
ada niatan membinasakan ataupun hanya melukai mereka,
sulit juga untuk mereka dipecundangkan lekas-lekas.
Demikianlah mereka bertempur seru dan ulat.
Pek Sek maju berbareng Ang In karenanya, Ang In Toojin
geser pedangnya dari tangan kanan ke tangan kiri dan Pek
Sek Tooj in tetap menggunakan tangan kanannya. Mereka ini
liehay, tidak heran kalau dalam sekejap saja, belasan serdadu
wanita yang alat senjatanya dapat dibikin terlepas dan
Wanita Gagah Perkasa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terpental. Pertempuran ada kalut sekali.
Giok Lo Sat tidak ketahui duduknya perdamaian di antara
Bouwyong Ciong dan Pek Sek Toojin, dia menyangka Butong
pay telah bekerja sama dengan tentara negeri, dalam
sengitnya ia rangsek Congkauwtauw itu. Dia kuatir sekali
musuh nanti membakar pesanggrahannya. Maka sesudahnya
bikin Bouwyong Ciong berkelit, dia lompat akan nerobos terus.
Murid-murid Butong pay mencoba merintangi nona ini akan
tetapi mereka dibikin repot oleh si nona.
Pek Sek gusar menampak kekosenan orang itu.
"Siluman perempuan, kembalikan ahli waris Butong pay!"
teriaknya. "Jikalau tidak, hari ini kau tidak akan lolos dari pri
keadilan!"
"Kau justerulah yang memalukan kehormatannya Cie
YangTiangloo!" si nona membaliki. "Kau membuat tertawanya
orang-orang gagah di kolong langit ini!"
Dan dengan pedangnya yang hebat, si nona membuat Pek
Sek dan Ahg-In tak berdaya, mereka seperti ditutupi sinar
bergemerlapan dari pedangnya itu.
To It Hang belum lagi tidur, dia menjublak bilamana ia
ketahui paman-paman gurunya serta saudara-saudara
seperguruannya datang menyerbu pesanggrahan si nona.
Dikucek-kuceknya matanya untuk mendapat kenyataan
apakah ia tengah bermimpi. Kini dia menjadi sangat bersusah
hati, sikap apakah yang harus diambil"
Tidak lama berselang mulailah terdengar jeritan-jeritan
hebat, dari kesakitan. Inilah akibat serangan nekat dari
pihaknya Bouwyong Ciong atas serdadu-serdadu wanita.
Serdadu-seidadu ini repot melayani pihak Butong pay, tapi
lebih celaka lagi ketika mereka berhadapan dengan tentara
negeri, sebab tentara ini bukan seperti orang-orang Butong
pay, yang cuma membikin terpental senjata mereka, mereka
ini di samping melukai, juga menikam dan membacok secara
dahsyat. Maka itu keadaan menjadi lekas kalut.
Di belakang barisan pelopor itu menyusul tentaranya Lian
Seng Houw, yang telah mendaki gunung dengan mengambil
jalan yang dibuka Bouwyong Ciong. Mereka menerjang masuk
dengan leluasa, tanpa mendapat rintangan, karena tentara
wanita sedang repot melayani musuh-musuh. Dan hebatnya,
tentara Lian Seng Houw ini terus main api, membakar
pesanggrahan, yang umumnya terdiri dari kayu dan atap,
yang gampang menyala.
Pedih hatinya To It Hang mendengar jeritan-jeritan itu,
iapun malu terhadap Giok Lo Sat, maka dari diam saja,
terpaksa ia muncul juga. Ia lompat maju di antara cahaya api
berkobar dan menerjang keluar.
"Susiok, aku di sini!" teriaknya. Ia pun ketahui baik maksud
dari kedatangannya rombongan Butong pay itu. "Susiok,
kenapa kamu bantui tentara negeri?"
"Bagus!" berseru Pek Sek, yang girang melihat keponakan
murid itu atau ahli waris Butong pay. "Mari kau ikut kita
pulang!" Dan ia kepalai murid-muridnya untuk menyambut ketua
yang muda itu, untuk diajak berlalu.
Matanya Giok Lo Sat menjadi merah. Tentu saja tidak dapat
ia ijinkan orang membawa pergi sahabatnya itu. Dengan
beberapa lompatan saja, ia telah sampai di samping si anak
muda itu. "Kau biarkan aku pergi!" It Hang kata. "Kau perlu lawan
tentara negeri itu!" Dan ia lemparkan kitabnya Beng Kie
kepada nona itu, sambil ia tambahkan: "Kau tolongi aku urus
pesannya saudara Gak!"
It Hang tahu, meskipun ia menjadi ketua, ia tetap ditilik
keras oleh paman-paman gurunya, maka itu ia anggap baiklah
kitab itu diserahkan kepada nona ini.
Giok Lo Sat tercengang atas sikapnya pemuda itu, justeru
itu, Pek Sek telah datang dekat padanya, ia terus diserang. Ia
menjadi murka, ia menangkis dengan keras. "Trang!"
Dan pedangnya si imam terpental, hampir saja terlepas dari
cekalannya. "Kami memapak ketua kami, segera kami akan berlalu,"
kata Ang In Toojin. "Giok Lo Sat, apakah kau keras hendak
menyatrukan kami dari pihak Butong pay?"
Giok Lo Sat dengar suara riuh hebat. Ia kertak giginya.
"Baik, pergilah kamu!" sahutnya. Dan tanpa tunggu
jawaban lagi ia lompat menyingkir meninggalkan rombongan
Butong pay itu, yang segerapun berlalu mengiringi ketua
mereka yang muda.
It Hang terpaksa menurut, ia membungkam.
Pesanggrahannya Giok Lo Sat seperti telah terkurung api,
yang berkobar-kobar membakarnya. Lian Seng Houw bersama
orang-orangnya menyerbu ke belakang pesanggrahan, untuk
mencari orang yang dicarinya.
Di lain pihak. Giok Lo Sat sedang serang Bouwyong Ciong,
keduanya bertempur secara sangat dahsyat.
Pertempuran kusut masih berjalan di antara tentara negeri
dan barisan wanita.
Bouwyong Ciong jeri terhadap ancaman api, ia bertempur
sambil mundur. Semua serdadu juga mencoba menyingkir dari
hawa api yang panas sekali. Sambil bertempur mereka itu juga
berteriak-teriak, yang menambah kalutnya suasana.
Pertempuran itu merugikan sangat pasukan wanita, seolaholah
sembilan dari sepuluh telah termusnah, sedang di pihak
negeri, kerusakan lebih daripada separuh.
Bukan main gusarnya Giok Lo Sat. Tiga tahun ia berusaha,
sekarang dalam sekejap saja termusnah. Dan serdaduserdadunya,
dengan siapa ia hidup bagaikan kakak dan adik,
sekarang menerima nasibnya secara demikian hebat dan
menyedihkan. Dalam keadaan itu. tak sempat ia menghitung
berapa sisanya...
Maka, dalam murkanya nona ini menyerang hebat sekali.
Dalam tempo yang pendek, ia telah robohkan belasan
serdadu. Bouwyong Ciong coba merintanginya, tetapi ini tidak
dipedulikan, ia elakan dirinya, supaya ia bisa hajar lagi belasan
serdadu. Kelincahannya membuat ia tak dapat dihalanghalangi
orang she Bouwyong itu.
Dalam saat kalut itu, tiba-tiba terdengar seruan: "Kamu
semua mundur! Pergi kamu kejar serdadu musuh! Biar kami
yang melayani hantu wanita ini."
Itulah suaranya Lian Seng Houw. yang berhasil menolongi
Eng Siu Yang, yang setelah beristirahat, kakinya telah
sembuh. Eng Siu Yang juga berteriak: "Jangan kasih lolos hantu
wanita itu!" Lalu ia maju mendampingi Lian Seng Houw, untuk
menerjang. Giok Lo Sat tidak banyak omong, dia lompat pada orang
bekas tawanannya itu, lalu menerjang dengan hebat sekali.
Dalam dua tiga jurus saja, hampir Eng Siu Yang kehilangan
jiwanya di ujung pedang si nona, syukur ia ditolongi Lian Seng
Houw. Tapi ia bandel, tidak mau ia menyingkir, sebaliknya,
mendampingi Lian Khamkun, ia menyerang dari samping.
Lian Seng Houw ada Congkauwtauw, guru silat, dari SeeC
iang, di dalam kalangan pahlawan istana, ia cuma ada di
bawahannya Bouwyong Ciong atau di atasan Eng Siu Yang,
bisa dimengerti ia sanggup melayani si Raksasi Kumala. Ia
bersenjatakan siangkauw, sepasang gaetan. Untung baginya,
baru menggebrak belasan jurus, Bouwyong Ciong sudah
datang membantui, hingga bertiga mereka dapat kepung
musuh mereka. Sisa tentara wanita telah meloloskan diri, di antaranya,
sambil berlari mereka teriaki ketua mereka: "CeeCu, mari kita
menyingkir!" Ada pula yang meneriaki: "CeeCu, selama masih
ada gunung hijau, jangan takut tidak ada kayu bakar!
Janganlah adu jiwa dengan mereka!"
Giok Lo Sat mendengar ajakan itu, ia menginsyafinya.
Sekarang ia berada dalam kedudukan serba salah, walaupun
ia berniat untuk menyingkir, sulit untuk melakukan itu. Ia
sedang dikurung musuh-musuhnya yang tangguh, terutama
Bouwyong Ciong, yang kepalannya seperti angin, dan
sepasang gaetannya Lian Seng Houw sewaktu-waktu dapat
menyambar kakinya apabila ia kurang gesit...
Tidak lama kemudian, dalam pertempuran itu, tinggallah
Giok Lo Sat seorang di dalam kurungan. Semua serdadunya
sudah menyingkir, sudah terbinasa atau terluka. la menjadi
nekat, karena ia harus melayani kurungan yang hebat sekali.
Ia pun mulai berkuatir karena berlarutnya sang waktu. Itu
waktu sudah mendekati tengah malam.
"Apakah aku mesti terbinasa di sini?" nona ini berpikir
melihat sukarnya ia memukul mundur musuh-musuhnya itu. Ia
bisa kehabisan napas atau tenaganya. Itulah sangat
berbahaya... Tentara negeri tidak lagi bertempur, mereka tidak berani
maju, mereka hanya berkumpul di sekitar kalangan, untuk
menyaksikan pertempuran sambil bersiap sedia untuk
membantu pemimpin mereka. Melainkan mulut mereka yang
tidak turut berdiam. Ada di antara mereka yang tertawa, yang
mencaci, ataupun mengejek.
"Bandit begini cantik molek, jangan lukai dia, kasihan..."
"Cis! Taruh kata dia dapat ditangkap, kau toh tak akan
kebagian..." temannya mengejek.
Giok Lo Sat sangat mendongkol. Kepalanya menjadi pusing,
karena sudah berkelahi lama.
Dalam saat si Raksasi Kumala terancam mala petaka itu,
tiba-tiba terdengar seruan hebat bagaikan guntur: "Kawanan
bangsat hinadina! Kamu berani menghina anak angkatku"!"
Belum berhenti suara itu atau menyusuli jeritan hebat dari
satu serdadu, yang segera disusul dengan jeritan-jeritan yang
lainnya. Dengan tiba-tiba sajaTiat Hui Liong muncul di medan
adu jiwa itu, dan sambil menerjang ia sambar serdadu yang
berada di hadapannya, dilemparkannya setiap serdadu itu ke
bawah gunung, ke arah lembah hingga mereka terlempar
bagaikan ikatan-ikatan rumput saja.
"Ha, kau kembali, tua bangka!" seru Bouwyong Ciong
dengan murka, ketika ia tampak ada pembela untuk wanita
yang ia rasa tinggal mencekuknya saja.
"Ya, aku yang hendak ambil jiwamu!" bentak jago tua dari
Barat utara itu.
Bouwyong Ciong tinggalkan Giok Lo Sat dalam
kepungannya Lian Seng Houw dan Eng Siu Yang, ia lompat
kepada orang tua itu, yang terus diserang dengan kepalannya
yang hebat. Dengan berani Tiat Hui Liong sambuti serangan itu,
menyusul mana terdengarlah suara keras, dari bentroknya
kedua tangan, sebagai kesudahannya kedua jago itu masingmasing
terpelanting mundur!
Giok Lo Sat lihat siapa yang datang, dalam sekejap saja
semangatnya telah terbangun, hingga dengan gampang ia
dapat tangkis serangan kedua gaetan itu. Ia telah gunakan
tipu silat "Sengheng tauwCoan", atau, "Bintang melintang,
bintang berputar"; senjatanya Congkauwtauw itu tersampok
ke samping. Bouwyong Ciong menjadi sengit, ia lompat kepada si nona
untuk menyerang, akan tetapi Tiat Hui Liong lompat
kepadanya untuk menghalangi hingga kembali ia mesti layani
jago ini. Karena datangnya jago she Tiat itu tak terduga-duga, maka
keadaan berubah rupa dengan cepat. Jago ini segera berkelahi
dengan tindak tanduknya yang berjurus "ngoheng patkwa"
atau "limajalan dan delapan penjuru", hebat serangannya
yang berulang-ulang.
Bouwyong Ciong layani jago tua ini. untuk itu ia pasang
kuda-kudanya yang kuat bagaikan tubuhnya terpaku di tanah,
ia tangkis setiap serangan, ia pecahkan sesuatu pukulan.
Dengan kurangnya satu musuh tangguh, Giok Lo Sat
mendapat keringanan, kalau tadi ia terdesak, sekarang ia bisa
balas menyerang Lian Seng Houw dan Eng Siu Yang, hingga
kini kedua hamba negeri yang menjadi berkuatir hatinya.
"Mana adikmu San Ho?" tiba-tiba Hui Liong menanya selagi
pertandingan berjalan sangat seru, ia sendiri sedang mencoba
mendesak lawannya.
Mendengar pertanyaan ini Giok Lo Sat terkejut, justeru itu
kedua gaetannya Seng Houw menyambar, satu menikam,
yang lain menggaet. Tentu saja, tubuhnya agak berayal, maka
dengan perdengarkan suara "Bret!" ujung bajunya pecah
sebagai korban gaetan lawan itu.
"Kurang ajar!" ia mendamprat dalam hatinya, saking
mendongkolnya. Tidak ayal lagi ia menikam dengan
pedangnya selagi lawannya itu belum sempat menarik kembali
gaetannya. "Aduh!" menjerit Lian Seng Houw, yang pundaknya kena
tertusuk, atas mana, bukannya ia menjadi gusar dan
melakukan pembalasan, sebaliknya ia angkat kaki untuk
memutar tubuh dan menyingkir sekuat-kuatnya.
Eng Siu Yang pun kaget, melihat kawannya angkat kaki, ia
juga lantas lari menyusul tanpa banyak berpikir lagi.
Giok Lo Sat tidak mengejar, akan tetapi ia masih bersilat
terus, sebagai juga ia sedang melayani lawan?lawannya itu.
Tiat Hui Liong lihat keanehannya anak angkat itu, ia
terperanjat. "Kau kenapa?" tanyanya. Ia sambar anak itu, untuk
dipegangi. Tiba-tiba si nona tertawa berkakakan, bagaikan menangis.
"Semua musuh sudah kabur!" Hui Liong beritahukan,
sambil berteriak.
Giok Lo Sat tidak berontak, hanya kakinya seperti lemas, ia
jatuh terduduk di tanah.
"Kenapa kau?" tanya ayah angkat itu, yang kaget dan
heran. "Menyesal, ayah..." sahut si nona kemudian.
"Apa katamu?" tanya Hui Liong, kagetnya bertambah.
"Bicaralah dengan tenang..."
Giok Lo Sat tidak menyahut, matanya meram. Tiba-tiba
saja ia tak sadar akan dirinya. Sebab ia terlalu letih dan
hatinya mendapat goncangan hebat.
"Anak yang baik, kau terlalu letih_." kata Hui Liong dengan
perlahan, sambil menghela napas. Ia menduga anak angkat ini
sudah berkelahi sangat lama.
Ketika itu, pesanggrahan telah menjadi abu, tinggal sisa api
dan asap serta api yang merembet ke pohon-pohon.
Wanita Gagah Perkasa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tiat Hui Liong telah terlambat.
Setelah bercapai lelah tiga tahun, baru ia dapat tahu di
mana San Ho dan Giok Lo Sat bernaung, tetapi di luar
sangkaannya, justeru ia sampai, mala petaka sedang menimpa
puteri dan puteri angkatnya itu.
Memandang kesekitarnya, jago tua dari Barat utara ini
tampak kesunyian. Di situ tak kedapatan lagi serdadu musuh,
mereka telah kabur semua.
"San Ho! San Ho!" tiba-tiba jago ini berteriak, memanggilmanggil
gadisnya. Tidak ada jawaban kecuali kumandang dari tengah-tengah
lembah. "San Ho! SanHo!" ia mengulangi.
Kembali adalah sang kumandang yang menyahuti.
Tidak lama, dua serdadu wanita tampak muncul merayap.
Mereka ini lolos dari bahaya, mereka bersembunyi sampai
mereka dengar panggilan itu berulang-ulang. Mereka tidak
kenal Hui Liong, tetapi menampak dandanan orang bagaikan
rakyat jelata mereka tak takut, sebaliknya, mereka
menghampiri. Mereka menduga orang tua ini ada dari pihak
kawan. "Tiat CeeCu telah menutup mata..." kata mereka itu sambil
menangis. Hui Liong kaget bagaikan terpagut ular. Tak salah ia
mendengar, pasti ia menduga kepada gadisnya, gadis tunggal,
yang ia telah cari sekian lama itu. Jadi gadisnya itu telah
meninggalkan dia...
"Apa yang terjadi?" tanyanya kemudian, sesudah tenteram
goncangan hatinya.
Kedua serdadu wanita itu menuturkan apa yang mereka
ketahui. "Ah, aku terlambat..." mengeluh Hui Liong, dan air matanya
bercucuran. "Loosianseng, bukankah kau Tiat Lounghiong yang kesohor
di Barat utara?" tanya kedua serdadu itu.
Hui Liong berdiri bagaikan patung, matanya mengawasi ke
depan. Di kepalanya terbayang peta gadisnya, di depan
matanya seperti tampak bayangan gadis itu. Maka ia tak
mendengar apa katanya si serdadu wanita itu.
Segera kedua serdadu tampak Giok Lo Sat, tubuh siapa
rebah menggeletak tak jauh di pinggiran, mereka kaget.
Lantas mereka lari menghampiri, mereka balikkan tubuh
pemimpin' itu. Giok Lo Sat pingsan, mukanya pucat pasi.
"Tiat Lounghiong, tolong lihat ketua kami!" kata mereka,
setelah mereka lari pada Hui Liong kaki siapa mereka peluki.
Orang tua itu sadar.
"Jangan kuatir," katanya sabar, tetapi dengan suara di
tenggorokan, karena ia menangis perlahan. "Aku pun tak
dapat melenyapkan anak pungutku..."
Justeru itu. Giok Lo Sat membalik tubuh.
"Adik San Ho, aku telah menuntut balas untukmu..."
katanya. Hatinya Hui Liong memukul.
"Benar, aku pun mesti mencari balas untuk anakku!"
katanya, sadar.
Si Raksasi Kumala membalik tubuh pula.
"It Hang, kau baik..." katanya perlahan.
Hui Liong berduka mendengar perkataan anak pungut ini.
Dari serdadu wanitanya, sudah ia dengar jelas kejadian tadi.
"Sayang, anak, kau keliru mencintai orang..." katanya
seperti mengeluh. "Ia ada turunan sastrawan, tidak ada
padanya sifat dari kaum Rimba Persilatan, umpama kata tidak
ada rintangan dari paman-paman gurunya, kamu berdua
masih bukannya pasangan yang seimbang..."
Sekarang Hui Liong dapat kenyataan, matanya San Ho ada
terlebih awas daripada matanya si Raksasi Kumala, maka ingat
itu, ia jadi bertambah sedih.
Selagi ayah angkat ini mendekati dua tindak, tiba-tiba:
"Ha-ha-ha! Kamu semua telah pergi!" demikian tertawa dan
kata-katanya Giok Lo Sat, nyaring. "Adik San Ho, baik-baiklah
kau pergi! Kau, BengKie, kau juga pergilah baik-baik!
Melainkan kau, It Hang, kau tak dapat pergi secara baikbaik..."
Hui Liong mengerti bahwa orang sedang berduka melewati
batas, maka ia tarik tangan si nona, untuk membawa dia ke
dalam rangkulan-nya.
"Anak Nie, kau lihat, aku ada di sini..." katanya dengan
sabar, sambil ia kuatkan hati, menahan kesedihannya sendiri.
Giok Lo Sat angkat mukanya ia pandang ayah angkat itu. Ia
bagaikan sadar, terus saja ia tutupi mukanyasambil menangis
mengerung-gerung.
"Marilah kita tinggal bersama " kata Hui Liong. "Tidak nanti
kelak kita berpisahan pula..."
"Ayah," kata si nona, "aku tidak mampu melindungi adik
San Ho, aku sangat menyesal, aku mesti mati..."
"Tidak, anak, aku tidak persalahkan kau," Hui Liong kata
"Kau jangan berduka, jangan menangis. Mari ajak aku
menengok kuburannya San Ho."
Orang tua ini membujuki anak angkatnya jangan menangis,
akan tetapi dia sendiri suaranya dalam, air matanya
mengembeng. Giok Lo Sat cekal keras tangan ayah angkatnya itu, ia
bertindak, tangannya itu menarik. Tanpa bilang suatu apa, ia
bertindak turun ke dalam lembah. Di belakang mereka, ikut
dua serdadu wanita.
Di sepanjang jalan kedua serdadu itu berulang-ulang
perdengarkan suaranya-suara memanggil ?" maka dari sana-sini,
muncullah semua lolosan dari bencana seperti mereka. Semua
belasan serdadu ini membungkam apabila mereka tengok
wajah pemimpin mereka -- wajah yang pucat sekali, mulut
tertutup rapat, mata mendelong. Mereka hanya bertindak
mengikuti... Tidak lama sampailah mereka di dekat kedua kuburan baru
itu. Giok Lo Sat menjemput tanah, untuk dipakai sebagai ganti
hio. untuk mengunjuk hormatnya sambil berlutut dan bangun
hingga tiga kali.
Tiat Hui Liong mengawasi kuburan gadisnya, lantas ia
duduk berdiam di kepala kuburan, matanya diarahkan ke
udara. Ia pun tetap bungkam sejak tadi. Sekarang ini, air
matanya seperti sudah habis...
Giok Lo Sat berdiri di muka kuburan, ia hadapi ayah
angkatnya sebagaimana si ayah angkatpun menghadapi
padanya. Mereka sama-sama tutup mulut.
Waktu telah berlalu tanpa menghiraukan orang-orang yang
terbenam dalam kedukaan itu. tanpa merasa, sinar keputihputihan
mulai muncul di arah timur.
Tiba-tiba satu liauwlo, satu serdadu wanita, berkata:
"CeeCu, yang telah meninggal dunia tidak bakal hidup pula,
maka itu marilah kita pulang!"
Si Raksasi Kumala tertawa meringis.
"Kamu hendak ajak aku pulang ke mana?" tanya si nona.
Liauwlo itu melengak. Baru ia ingat yang sarang mereka
sudah terbakar ludas, bahwa bersama sarang itu telah lenyap
juga sembilan dari sepuluh bagian kawan-kawannya, hingga
musnahlah usaha bangunan mereka selama beberapa tahun --
musnah dalam satu hari saja.
Ke mana mereka akan pulang"
Tanpa merasa, liauwlo ini serta kawan-kawannya
mengucurkan air mata. Tetapi mereka tidak berani menangis
keras. Semua orang berdiam, sampai sekian lama ketika matahari
pagi mulai muncul dengan sinarnya yang lemah indah, yang
menyorot ke dalam lembah melalui celah-celah cabang dan
daun-daunan. Benar di saat serdadu wanita tadi hendak mengajak pula
pemimpinnya untuk berlalu dari situ, sekonyong-konyong
mereka dengar suara dari tindakannya banyak kuda sedang
mendatangi. Giok Lo Sat berjingkrak.
"Hm! Mereka hendak tumpas kita habis-habisan?" serunya.
Tiat Hui Liong lompat bangun, malah ia segera sambar
sebuah batu besar di sampingnya. Ia angkat batu itu tinggitinggi.
"Biar mereka datang kemari!" katanya dengan nyaring.
"Nanti aku pendam mereka di dalam lembah ini!"
Dalam kedukaannya yang hebat itu, jago dari Barat utara
ini umbar hawa amarahnya.
Si nona tak kurang murkanya. Mereka pun menyangka,
yang datang itu tentuiah pasukan negeri yang hendak
menyerang mereka pula.
Jalanan yang ditutupi es belum dapat dibuka seluruhnya,
hingga orang mesti jalan beriring-iringan, Hui Liong merasa
dia dapat hajar mereka satu demi satu.
Tidak lama atau suara kaki terdengar semakin nyata dan
bendera pun mulai tampak melambai-lambai menyusul mana
kelihatan berlerotnya satu pasukan serdadu.
Belum lagi Hui Liong dapat melihat tegas, atau ia sudah
lepaskan batu besarnya.
"Tunggu!" teriak si Raksasi Kumala, tetapi ia telah
terlambat, batu besar itu, sudah lantas jatuh menggelinding.
Hui Liong mengawasi ke bawah, sekarang ia dapat
kenyataan, barisan yang mendatangi itu ada barisan wanita
semua. "Celaka!" seru Giok Lo Sat. "Itu bukannya tentara negeri!
Mari!" Ia lompat turun, niatnya untuk menyusul dan mencegah
jatuhnya batu terlebih jauh. Bersama ia, Hui Liong turut
lompat juga. Batu itu besar, turunnya pun terlebih dahulu,
menggelindingnya sangat pesat dan cepat, maka itu sia-sia
saja ayah dan anak angkat itu mengejarnya. Apapula tatkala
satu kali batu itu membentur sebuah batu lain dan terus
terpental. "Celaka!" seru si orang tua. Ia telah saksikan ancamannya
batu yang ia lemparkan itu.
Dalam saat yang sangat berbahaya itu, tampak di antara
barisan wuiiiiu itu satu pemimpinnya, si-onmu wanita, yang
lompat dari kuduuva sambil menggerakan sehutang
tumbaknya yang panjang j'iin.t menyerang batu besar yang
socl.mf turun itu!
Serangan tumbak itu ada hebat, begitu pula sang batu
sendiri, hingga di antara satu suara keras dan nyaring, tumbak
itu terkutung dua, batu pun mental ke samping, tidak lagi
menggelinding ke arah barisannya. Dan si pemimpin sendiri,
yang tubuhnya jatuh habis dia lompat dan menyerang batu
itu, turun tepat di bebokong kudanya. Gayanya sangat
menarik, seperti satu nona komedi asyik mempertunjukkan
kepandaian di atas kuda.
"Bagus," seru Giok Lo Sat, yang memuji tanpa merasa.
Di mana itu waktu kedua pihak sedang datang dekat satu
pada lain, si punggawa wanita sudah lantas menghampiri
nona itu. "Apakah aku berhadapan dengan Lian CeeCu?" tanyanya
sambil tertawa.
Giok Lo Sat tidak segera menjawab, ia hanya awasi orang
yang berpakaian serba merah, habis itu baru dia menyahuti
sambil balik menanya: "Benar! Apakah kau sendiri ada
lieenghiong AngNioCu si Nona Serba Merah?"
Punggawa itu menjura.
"EnCie terlalu memuji!" katanya.
"Siauw Giam Ong titahkan aku menanyakan kesehatan
enCie!" ia menambahkan. Ia merendahkan diri karena disebut
sebagai "Lieenghiong" -pendekar wanita.
Dari dalam barisan wanita itu muncul belasan serdadu
wanita juga. "CeeCu!" memanggil mereka.
Dan Giok Lo Sat segera kenali serdadunya.
"CieCiangkun Lie Giam kemarin sudah serang kota,"
berkata Ang NioCu. "dia bekerja sama dengan rakyat yang
kelaparan, dia berhasil. Tentara negeri yang didatangkan dari
ibu kota propinsi untuk menumpas rombongan bandit, kena
dibasmi habis. Berhubung dengan terampasnya kota. Siauw
Giam Ong tugaskan aku datang mengundang enCie. untuk
turun gunung dan bekerja sama. Sayang aku telah terlambat
satu hari. aku sampai sesudah pesanggrahan enCie kena
dibakar. Aku minta sukalah enCie memaafkan aku untuk
kelambatanku ini."
"Kemusnahan pesanggrahanku ini ada karena kealpaanku,"
Giok Lo Sat akui.
"Aku sebaliknya harus mengucap terima kasih kepada enCie
yang sudah sudi menolongi orang-orangku ini." Kemudian ia
tanya belasan serdadunya itu: "Apakah cuma kamu sajayang
ketinggallan hidup?"
Belasan serdadu itu lantas saja menangis.
Itulah sama dengan jawaban "ya".
maka pedih rasa hatinya si Raksasi Kumala, bila ia
menghitung semua sisa serdadunya itu, yang tinggal dua
puluh tujuh jiwa, sedang pasukaunya sama sekali terdiri dari
lima ratus jiwa lebih. Tanpa merasa ia berlinangkan air mata.
Pasti ia bersedih hati karena kerusakannya itu serta
berkasihan untuk tentaranya, yang hidup dengannya bagaikan
saudara. "Jangan berduka, enCie," Ang NioCu membujuk. "Sekarang
ini negara sedang kalut, mereka yang tidak punya rumah
tangga ke mana mereka bisa pulang, jumlahnya bukan
puluhan ribu lagi, maka asal kita suka memanjat tinggi dan
memanggilnya, sekali saja, pasti mereka bakal datang
berkumpul. Itu waktu enCie dapat membangun dan mendidik
pula satu pasukan wanita, aku percaya, enCie akan berhasil
dengan gampang."
Giok Lo Sat tertawa meringis.
"Sekarang ini Lie Giam berada di dalam kota, dia sedang
repot mengumpulkan orang-orang yang terlantar, maka itu dia
cuma dapat mengutus aku untuk menanyakan kesehatan
enCie." Ang NioCu berkata pula.
"Siapa itu Lie Giam?" tanya Giok Lo Sat.
"Dia ada sebawahannya Siauw Giam Ong yang berpangkat
CieCiangkun," si Nona Serba Merah menerangkan. "Dia adalah
suamiku."
Wanita Gagah Perkasa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Maaf, maaf," kata si Raksasi Kumala.
Sampai di situ, Tiat Hui Liong menghampiri untuk belajar
kenal dengan Ang NioCu. Mereka berdua saling mengagumi,
karena sama-sama sudah pernah dengar nama masing-masing
yang kesohor. "Itu suami nyonya," kata Tiat Hui Liong kemudian,
"bukankah dia ada putera dari Pengpou Siangsie Lie
Ceng Pek?" (Pengpou Siangsie -- menteri perang).
"Itulah benar," sahut Ang NioCu.
Justeru itu, hatinya Giok Lo Sat bercekat. Disebutnya Lie
Giam sebagai suami si nyonya serba merah ini, terbayanglah
wajahnya To It Hang di kepalanya. Kedudukan Lie Giam itu
mirip dengan kedudukannya It Hang, sebagaimana kedudukan
Ang NioCu mirip sama kedudukannya sendiri.
Untuk wilayah propinsi Hoolam, namanya Ang NioCu
terkenal sekali sebagai satu berandal wanita, cuma ia tak
demikian termashyur sebagai Giok Lo Sat. Dan Lie Giam itu,
dia adalah seorang pelajar dengan gelaran kiejin, lulusan
tingkat dua, dan ayahnya adalah bekas menteri perang. Cuma
ayah itu, Lie Ceng Pek namanya, telah meninggal dunia siangsiang,
hingga walaupun dia berpangkat lebih tinggi daripada
engkongnya It Hang, di kampungnya, di tempat kelahirannya,
dia kalah terkenal dengan engkong It Hang itu. Akan tetapi Lie
Giam sendiri, seperti juga It Hang, dia gemar belajar silat di
samping mempelajari surat, maka dia pun ada satu pemuda
bunbu CoanCay -- lengkap kepandaian ilmu silat dan suratnya.
Di samping itu, diapun berhati mulia.
Pernah pada satu tahun, wilayah Hoolam diserang musim
paceklik hebat. Menampak kesciifsniaan rakyat, Lie Giam tak
sampai hati untuk membantu meringankan kesengsaraan itu,
ia buka gudang padinya, akan mengamal sampai sejumlah
beberapa ratus karung barang makanan. Tapi belum puas
dengan cuma mengamal. ia juga menulis sebuah nyanyian
untuk menganjurkan lain-lain hartawan menuruti teladannya
menderma rangsum. Hatinya sangat terpengaruh, ia sampai
menulis dengan tak pikir panjang lagi. Beginilah bunyi
nyanyian itu: Kalau pembesar negeri
memungut pajak, galak ia
bagaikan harimau,
Kalau orang hartawan menagih
cukai, garang dia bagaikan
srigala. Kasihan mereka yang hanya
empas-empis napasnya, kasihan.
Rohnya berpulang terlebih dahulu ke liang kubur...
Tentu saja nyanyian itu membangkitkan amarahnya banyak
hartawan dan juga pembesar setempat, maka kesudahannya,
Lie Giam ditangkap, dijebloskan ke dalam penjara atas
tuduhan telah menghasut "rakyat jelata yang kelaparan" untuk
mengacau tata tertib dan keamanan. Tapi penjara justeru
merupakan sebagai dapur untuknya, yang membuatnya ia
matang bagaikan baja. Maka ketika Ang NioCu dengan
pasukannya menerjang kota Kiekoan dan kota itu dapat
dirampasnya, dia ditolongi hingga terus saja dia ikut
pergerakannya nona itu.
Pernah Giok Lo Sat dengar nama Lie Giam, ia hanya tidak
menyangka Lie Giam dan Ang NioCu itu sudah menjadi suami
istcri, malah ia tidak duga juga, Lie Giam justeru ada
sebawahan Siauw Giam Ong yang dapat dipercaya.
Kembali si Raksasi Kumala teringat akan It Hang, dalam
hatinya ia berkata: "Ayah angkatku pernah bilang, It Hang itu
ada anak orang berpangkat, dia tidak seimbang dengan aku,
tetapi bagaimana dengan Lie Giam ini" Bukankah dia pun ada
turunan orang berpangkat" Tapi dia telah berjodoh dan
menikah dengan Ang NioCu!..."
Nona ini tidak menginyafinya, walaupun Lie Giam dan It
Hang sama-sama turunan orang berpangkat, akan tetapi Lie
Giam itu siang-siang sudah seperti "salin tulang menukar
wajah", tidak demikian dengan It Hang.
Ang NioCu tidak tahu apa yang dipikirkan Nona Lian itu, ia
hanya mengundang si nona dan ayah angkatnya untuk turut ia
ke dalam kota. "Baiklah," sahut Giok Lo Sat sesudah ia berpikir sejenak. Ia
pun haturkan terima kasihnya. Hui Liong pun suka turut serta.
Maka, bersama-sama mereka pergi ke kota.
Kota Konggoan seperti memperlihatkan wajah baru, yang
berbeda dengan beberapa hari yang lalu. Puluhan ribu rakyat
yang kelaparan sudah di kepalai Lie Giam hingga menjadi satu
pasukan tentara yang garang nampaknya, walaupun mereka
tidak berseragam dan tak semuanya bersenjata tajam. Mereka
mendirikan gala sebagai bendera dan merauti kayu menjadi
tumbak. Kelihatannya mereka gampang dididik.
Kagum Giok Lo Sat menampak perubahan itu, apapula bila
ia tampak di setiap gang atau ujung jalan terdapat selembar
kain putih yang bertuliskan kata-kata menganjurkan rakyat
menyambut Giam Ong, yang membebaskan mereka dan
memberi mereka makan...
"Bagus!" pujinya seorang diri. Anjuran itu sangat menarik
hatinya. Mereka jalan sampai di muka tangsi sekali, dan segera di
sana Lie Giam muncul menyambut mereka.
"Aku wakilkan kau memapak tamu agung!" berkata Ang
NioCu sambil tertawa.
Lie Giam pun tertawa. Dengan hormat ia lantas undang
kedua tamu itu masuk.
"Sekarang ini orang-orang gagah bergerak di pelbagai
penjuru dan pasukan perangnya Giam Ong segera akan keluar
dari pegunungan Cinnia untuk menuju ke barat, guna lebih
dahulu merampas kota Tongkwan, baru kemudian maju terus
ke Hoolam, Ouwlam dan Ouwpak. Maka, Lian CeeCu, sudikah
kau berserikat dengan kami?" tanya wakilnya Giam Ong itu.
Giok Lo Sat berpikir. .
"Negara ini adalah negara kamu, tak dapat aku membantu
apa-apa," sahutnya kemudian. "Juga sisa tentaraku, aku minta
enCie Ang yang mengurusnya. Aku hendak pergi sekarang..."
Lie Giam mengawasi dengan mendelong. Ia duga si nona
pasti akan turut pergerakannya, tidak ia sangka si nona
menjawab demikian. Tentu sekali, dia tak tahu apa yang Nona
Nie pikir. Setelah ajakan Lie Giam itu, si Raksasi Kumala berpikir:
"Sakit hatinya adik San Ho belum terbalas, bagaimana bisa
aku pendam diri di dalam satu angkatan perang" Dengan
berserikat sama mereka ini, maka lebih sukarlah untuk aku
nanti menemui It Hang. Hilang kemerdekaanku..."
Mengenai It Hang, nona ini menyesal, penasaran dan
menyinta... di waktu menyesal, ia berduka, tetapi di waktu
penasaran, benci ia terhadap si anak muda yang lemah
hatinya, ingin dia putuskan saja perhubungan mereka berdua.
Akan tetapi akhirnya ia sendiripun hatinya tak kuat... tak bisa
ia lupakan wajah pemuda sastrawan dan ksatria itu...
Lie Giam tidak gembira, ia berdiam.
"EnCie Lian," berkata Ang NioCu, si Nona Serba Merah,
"pesanggrahanmu telah dimusnahkan tentara negeri, sakit hati
itu tak dapat tidak dibalas!"
Mendengar itu si Raksasi Kumala tertawa bergelak-gelak.
"Di sini ada kamu semua, untuk apa aku capaikan hati
lagi?" katanya. "Mengatur tentara, itulah bukannya
kesanggupanku. Lagi pula, aku ada seorang bebas merdeka,
maka aku ingin malang melintang tanpa ada yang mencegah.
Maka itu aku anggap jikalau kita bekerja masing-masing,
menurut cita-cita perseorangan, tidakkah itu baik?"
Lie Giam pikir: "Pantas dia dijuluki hantu wanita, kiranya
dia masih tetap berandal. Jikalau aku mendesak dia, supaya
dia bekerja dalam pasukan perang, inipun ada bahayanya.
Bagaimana jikalau dia tidak mentaati tata tertib?"
Oleh karena berpikir demikian Lie Giam tidak membujuk
terus, iapun puas terhadap nona merdeka itu.
"Demikian pun baik," katanya.
Maka soal ditutup.
Lantas kepala perang ini bekerja repot. Kota baru saja
dirampas, pekerjaan banyak. Dari sana-sini pun datang
rombongan-rombongan Rimba Hijau yang menyerah dan suka
bekerja sama, maka permintaan itu mesti diurus, antaranya
untuk membagi rangsum kepada mereka itu.
Giok Lo Sat menghadapi orang bekerja, ia tampak Lie Giam
tidak pernah menampik rombongan-rombongan yang
menyerah itu, hanya dia menanya dengan teliti tentang
sesuatu rombongan, setelah semua dicatat rapi. rangsum
segera diberikan. Segala apa dilakukan cepat dan semua pihak
rombongan itu merasa puas.
"Kenapa kau bersikap begini rupa terhadap pelbagai
rombongan itu?" kemudian Giok Lo Sat bertanya, la merasa
aneh atas sikap orang yang ramah dan murah hati itu.
"Habis bagaimana menurut enCie?" Lie Giam balik tanya.
"Sukakah enCie memberi petunjuk kepadaku?"
Cerdik orang she Lie ini, untuk membaliki pertanyaan.
"Semasa aku di Siamsay Selatan." kata Giok Lo Sat, "adalah
aku yang minta uang dan rangsum dari pelbagai rombongan
di atas gunung, tidak terbalik sebagai sekarang, adalah kamu
yang memberi tunjangan kepada mereka itu..."
Lie Giam tersenyum. Di dalam hatinya, ia berkata: "Kau
menaklukkan orang dengan menggunakan kekuatan, mana
kau bisa bekerja besar?"
Ang NioCu lihat suaminya tidak menjawab, ia
mewakilkannya: "Jikalau kami tidak berbuat demikian, mana mereka sudi
dengan sesungguh hati menakluk kepada pihak kami" Di sana,
di dua propinsi SuCoan dan Siamsay, ada terdapat pasukanpasukan
perang besar dari pemerintah, kedua pasukan itu
sedang mencari jalan untuk menyerang kami, maka jikalau
kami tidak berserikat dengan pelbagai rombongan itu, rasanya
sukar untuk kami menancap kaki. Masih untung jikalau
mereka berdiam saja, tetapi bagaimana andaikata mereka
berbalik membantu tentara negeri mengganggu kita" Jikalau
sampai terjadi gangguan itu, maka janganlah kita bicara pula
hal keluar ke Tongkwan, untuk maju ke utara!"
"Tetapi kaum Rimba Hijau itu ada banyak ragamnya,
apakah kamu tidak kuatir mereka cuma datang untuk
memperdayakan rangsum saja?" si nona tanya.
"Dalam hal itu, enCie benar," Lie Giam akui. "Tetapi di
dalam hal itu juga, dapat kami ambil sikap yang berbedaan
kelak. Di lain pihakjangan kita lupakan mereka yang benarbenar
laki-laki sejati. Oleh karenanya, jangan melainkan
disebabkan mereka yang busuk, yang kita ragukan, kita
kuncikan pintu pada mereka semua."
"Ya, kau benar juga," berkata si nona, yang dapat diberi
pengertian. Tapi sedetik kemudian, ia tanya pula: "Kamu
mempunyai berapa banyak persediaan rangsum hingga dapat
kamu iringi permohonan rangsum dari mereka itu" Tentang
rangsum di dalam kota, berikut isi gudang uang negara, aku
tahu semua. Aku rasa, semua itu masih tak cukup untuk
makan dan belanja satu bulan lamanya..."
Si Raksasi Kumala maksudkan juga rangsum rakyat yang
kelaparan. Mendengar pertanyaan itu, Lie Giam menyeringai.
"Dalam hal itu, kita nanti pikir belakangan saja," sahutnya.
Mendengar itu, Giok Lo Sat sebaliknya tertawa besar.
"Tidak, tidak dapat aku turut berserikat!" katanya kemudian
dengan terus terang. "Akan tetapi untuk enCie Ang aku
mempunyai suatu bingkisan yang berharga..."
"Ah, jangan, enCie, jangan kau sungkan!" kata Ang NioCu.
"Bingkisan ini tak dapat kau tampik!" berkata si Raksasi
Kumala sambil bersenyum. "Besok kau boleh kepalai satu
pasukan wanita untuk kau turut kami pergi ke Benggoat kiap."
Habis mengucap demikian nona ini menggerakkan
pinggangnya, untuk melempangkan urat-uratnya, lalu ia
menguap. "Kamu sedang repot, aku pun sudah pusing dan mataku
sepat, aku ingin tidur," ia tambahkan. "Ayah pun tentu ingin
beristirahat..."
Ang NioCu dan Lie Giam segera berbangkit.
"Siapkan dua kamar! "demikian titah kepala perang itu.
Si Serba Merah antar si nona ke kamar yang disediakan
untuknya di mana, untuk satu malam ia dapat beristirahat,
hingga besok paginya bersama Ang NioCu, yang memimpin
satu barisan serdadu, dapat ia kembali ke Benggoat kiap. Lie
Giam telah layani Tiat Hui Liong.
Ang NioCu heran atas sikap orang dan mengenai bingkisan
yang dimaksudkan, maka ketika ia hendak berangkat, ia
berbisik pada suaminya: "Entah ia hendak menghadiahkan
barang apa kepadaku. Kenapa dia minta satu pasukan
tentara" Berapakah pentingnya itu?"
Lie Giam tertawa, ia pun berbisik: "Aku telah dapat
menerkanya tujuh sampai delapan bagian! Kau boleh pergi,
jangan kuatir. Aku nanti antar kau serintasan!"
Suami ini mengantar sampai di luar kota, baru ia hendak
memutar kudanya untuk kembali, atau si Raksasi Kumala
serukan kepadanya: "Kau juga boleh turut bersama!"
"Heran!" pikir Ang NioCu. "Hantu wanita ini benar tidak
kenal selatan. Dia ada sangat repot, ini kau ketahui sendiri,
mengapa kau ajak dia?"
Ang NioCu menduga suaminya tentu tampik ajakan itu,
tetapi dugaannya itu meleset.
"Baiklah!" demikian jawab suami itu sambil tersenyum,
hingga ia pun awasi suaminya, yang terus bersenyum juga
kepadanya... "Bukankah hari ini kau berjanji dengan dua rombongan
lain, yang mohon bertemu sama kau?" Ang NioCu peringatkan
suaminya. "Hal itu dapat diserahkan pada wakilku," sahut Lie Giam,
singkat. Dan ia titahkan pengiringnya pulang ke kota, guna
menyampaikan tugas itu kepada wakilnya.
Ang NioCu heran tetapi ia tidak bilang sesuatu apa.
Tak lama kemudian sampailah mereka di Benggoat kiap - -
Selat Terang Bulan. Benar-benar selat itu terang sekali, sebab
seluruh pesanggrahan sudah ludas terbakar, tinggal sisa
abunya saja. Pohon-pohonan di dekatnya turut musnah juga.
Giok Lo Sat jalan mundar-mandir di atas abu bekas
pesanggrahannya itu, ia tidak bilang suatu apa, ia
Wanita Gagah Perkasa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membungkam, hanya matanya yang tajam, senantiasa
memain. "Jangan kau berduka, enCie," Lie Giam menghibur. "Setiap
kali tentara negeri merampas satu pesanggrahan kita, maka
kita akan membalasnya dengan merampas sepuluh kotanya!"
Si nona tidak menjawab, ia hanya awasi panglima
pemberontak itu.
"Kau menggantungkan pedang di pinggangmu, kau pasti
pandai ilmu pedang," kata dia tiba-tiba. "Kita sedang
senggang sekarang, mari kita coba main beberapa jurus..."
Ang NioCu heran, iapun mendongkol.
"Hm, hantu wanita!" katanya dalam hati, "kau jadinya
bukan hendak menghadiahkan bingkisan kepada kami, hanya
kau hendak uji kepandaian kami..."
Baru nona ini hendak menjawab atau suaminya sudah
melirik kepadanya dan mengedipkan matanya Itulah tanda
untuk ia jangan bersuara. Maka ia berdiam terus.
Juga Lie Giam, pada mulanya melengak. Ajakan si nona
ada sangat luar biasa. Akan tetapi, sedetik kemudian, ia
tertawa seorang diri.
"Mana bisa ilmu pedangku dibanding dengan ilmu pedang
kau, enCie?" katanya merendah.
"Tidak demikian," kata si nona.
"Dua hari aku telah beristirahat tidak ada orang yang
menandingi aku, tanganku menjadi gatal. Daripada kau
menghidangkan aku makanan yang lezat dan arak yang
harum, lebih baik kau temani aku selama dua jurus. Budimu
ini aku lebih-lebih menghargainya."
Lie Giam pun nyata polos sekali.
"Baiklah, enCie!" sahutnya, menerima. "Silakan enCie
mulai!" Hui Liong tidak mengerti maksud anak pungutnya itu tetapi
ia diam saja. Giok Lo Sat hunus pedangnya hingga sinarnya berkilauan,
sesudah mana tanpa ragu-ragu lagi, ia maju menyerang
dengan menusuk ke arah bahu si panglima muda
Lie Giam adalah murid yang pintar dari Ong Tong dari
Thaykek pay, kepandaiannya pun tidak sembarang, malah
ketika serangan datang, ia tidak menangkis, bahkan setelah
menarik sedikit tangannya, terus saja ia balik menyerang,
membabat ke bawah, ke kaki!
"Tidak kecewa!" seru si nona, yang terus menyerang pula
malah ini kali, sampai dua kali beruntun setelah serangannya
yang kedua pun gagal. Pedangnya itu, sesudah membacok,
lantas menyontek ke atas.
Lie Giam tidak dapat terka maksud orang, ia tutup dirinya
dengan gerakan pedang "JiCong supie" atau "Seperti
mengunci, seperti menutup". Adalah harapannya, agar pedang
lawan itu tidak dapat menyerang masuk. Tetapi Giok Lo Sat
benar-benar luar biasa!
Mengetahui sikapnya panglima muda itu si Raksasi Kumala
unjukkan kesehatannya, ia tidak membiarkan pedangnya
berada di luar kalangan lawan. Dengan sangat cepat,
berbareng dengan berkilaunya ujung pedang itu diarahkan ke
leher lawan: karena ia menusuk dari samping, tujuannya
adalah pundak. Lie Giam berkelit sambil memutar diri, tangan kirinya
menjaga diri, kaki kanannya melayang ke arah pinggang si
nona. Tendangan ini hebat, sebab itulah "Bu SiongCuitaCio
Mui Sin" atau "Bu Siong dalam mabuk arak menendang Cio
Mui Sin". Dan tendangan mestinya saling susul, beruntun
beberapa kali. "Hm!" bersuara si nona, selagi ia elakkan diri dari
tendangan itu, tidak ia menabas, cuma ia mengancam. "Kau
boleh juga!"
Ia berkelit seraya pedangnya dimajukan. Adalah habis
ditendang, baru ia menyerang pula dengan hebat.
Ketika tadi ia diancam, ia melakukan perlawanan dengan
tidak kurang hebatnya. Mengertilah ia, tidak dapat ia
sembarang mundur. Meski begitu, karena dahsyatnya gerakan
si Raksasi Kumala, dia seperti terkurung cahaya pedang si
nona. Ang NioCu menghirup hawa dingin karena jerinya
menonton ilmu silat pedang orang.
"Benar-benar hantu wanita ini bukan tersohor kosong..."
kata ia dalam hatinya. Ia pun menjadi sangat kagum.
Hui Liong tidak kurang kagumnya.
Pertempuran berjalan terus, sampai pedangnya Giok Lo Sat
dapat ditempelkan pada pedang Lie Giam, untuk segera dililit
dua lilitan, sampai terdengar suara nyaring dari amproknya
kedua pedang. "Celaka!" seru Ang NioCu sambil ia lompat ke dalam
kalangan. Justeru itu Giok Lo Sat tertawa nyaring, tubuhnya
mencelat, berbareng dengan mencelatnya Lie Giam. hingga
berdua mereka jadi terpisah, sedang tadinya mereka
bertarung rapat.
Si Nona Serba Merah kebogehan, ia heran.
Lie Giam memasukkan pedangnya ke dalam sarungnya, ia
beri hormat pada Giok Lo Sat, sambil memuji: "Lian Liehiap.
ilmu pedangmu tidak ada tandingannya di kolong langit ini!
Aku takluk, aku takluk!"
Wajahnya si Raksasi Kumala guram sebentar.
"Itulah pujianmu yang berlebih-lebihan!" sahutnya lalu dia
tertawa. "Dalam tiga puluh jurus tidak berhasil aku merampas
pedangmu, maka berhaklah kau untuk terima bingkisan dari
aku!" Masih saja Ang NioCu heran, ia mendeluh juga.
"Di kolong langit ini," pikirnya, "di mana ada aturan
menghadiahkan bingkisan semacam ini" Masa sebelumnya
menghadiahkan, orang menguji dulu kepandaian orang lain"
Siapa yang kcsudian menerima bingkisanmu itu"
Selagi sang isteri berpendapat demikian, lain adalah sang
suami. "Liehiap, lebih dahulu aku haturkan terima kasih padamu!"
berkata Lie Giam.
"Mari!" Giok Lo Sat mengajak, sambil menindak ke samping
gunung, tindakannya perlahan. Terus ia berkata: "Kemarin
telah aku saksikan kepandaian ilmu surat dan kecerdikanmu,
sekarang aku telah buktikan juga ilmu silatmu, dengan begitu
maka bingkisan ini telah dihadiahkan kepada orang yang
tepat!" Pesanggrahannya Giok Lo Sat, didirikan di atas bukit
dengan menuruti letaknya bukit itu. yang tidak rata demikian
juga jadinya pesanggrahan itu. Di samping itu masih ada
sebuah tiang kayu yang tebal, yang terbakar hangus tetapi tak
sampai roboh. Si nona dekati tiang itu, dengan tiba-tiba saja
ya menyampok dengan tangannya hingga tiang itu patah dan
roboh. "Mari!" ia memanggil Ang NioCu sambil melambaikan
tangannya, selagi si nyonya mengikuti dia sedikit jauh. Nyonya
itu ketinggalan, walaupun si nona jalan perlahan-lahan, sebab
ia masih terbenam dalam keragu-raguan menyaksikan sikap
nona yang luar biasa itu. "Silakan kamu bongkar tiang ini.
galilah tanahnya sampai tiang ini dapat diangkat."
Dalam keadaan masih mendongkol. Ang NioCu kata: "Aku
nanti perintahkan kepada lebih banyak orang supaya mereka
sekal ian merapikanjuga lapangan ini!"
Wajahnya Giok Lo Sat hciuhah dengan tiba-tiba. Wajah itu
menjadi gelap. Ia segera berkata: "Dai.mi hidupku ini, dalam
abad ini. tidak nanti aku bisa bersama-sama dalang pula
kemari, oleh karenanya untuk apa dirapikan pula semua ini?"
Memang telah tiga tahun si Raksasi Kumala membangun
pesanggrahannya itu, sekai ang pesanggrahan termusnah
dalam tempo satu hari, sekarang ia dengar kata-katanya si
nona serba merah, bagaimana ia tak jadi berduka" Untung,
karena kedukaannya yang hebat itu, ia tak menduga kepada
ejekan si nyonya.
Menampak orang demikian berduka, Ang NioCu menjadi lak
lega hati. "Hantu wanita ini berperangai aneh tetapi ia polos," pikir
nyonya Lie Giam. Lalu, tanpa bilang suatu apa lagi, ia titahkan
beberapa serdadunya mulai menggali di kaki tiang itu, untuk
mengangkat sisa tiangnya.
Orang tidak usah menggali lama untuk dapat mencabut
sisa balok itu, tetapi sesudah itu. Giok Lo Sat masih
menitahkan serdadu-serdadu itu menggali lebih jauh, sambil
membuat suatu lubang yang lebar.
Tak lama sampailah penggalian pada tanah yang empuk,
lalu cangkulnya satu serdadu membentur entah benda apa
yang keras, mirip batu.
"Gali terus, angkat semua tanahnya!" Giok Lo Sat
menitahkan. Perintah itu dilakukan, hingga tanah terangkat habis,
hingga di situ tertampak suatu batu yang lebar. Giok Lo Sat
lompat turun ke dalam liang itu dan semua serdadu segera
mengundurkan diri, dengan sebelah tangannya ia cekal
pinggiran batu itu, terus ia angkat, atas mana, kagetlah semua
orang, silaulah mata mereka!
Sebab lubang itu adalah lubang tempat menyimpan
hartanya si Raksasi Kumala. Di situ orang lihat banyak perak
dan emas dan barang permata, yang berkilau-kilauan seperti
lagi bersaingan.
Dan itulah hartanya si Raksasi Kumala ini, yang ia
kumpulkan selama tiga tahun -- yang ia peroleh sebagai
hadiah dari pelbagai rombongan Rimba Hijau yang tunduk
kepadanya. Di samping itu ada juga hasil pekerjaannya sendiri
dari rumahnya hartawan-hartawan jahat dan merkis atau
pembesar-pembesar rakus.
Semua serdadu wanita yang menggali tiang itu, berdiri
menjublak. Mereka itu kaget, heran dan kagum. Tidak
terkecuali adalah Hui Liong dan Ang NioCu, yang tadinya tetap
beragu-ragu. Cuma Lie Giam yang tersenyum, seperti juga ia
telah menduga tepat akan kesudahan ini...
"Aku minta kamu angkut semua barang ini," kata Giok Lo
Sat kemudian. Semua serdadu wanita itu lantas bekerja, mereka bekerja
dengan hati-hati.
Selagi barang-barang permata itu diangkat naik satu demi
satu, si Raksasi Kumala memberitahukan kepada Tiat Hui
Liong, ayah angkatnya, permata ini didapat dari siapa,
permata itu diperoleh dari siapa lagi, tak bosan ia
menunjukkannya, tak lupa ia dari mana asal-usulnya permata
itu. Dan selama menuturkan, tampak tegas sekali
kepuasannya nona ini.
Tiat Hui Liong, yang sampai sebegitu jauh membungkam
saja, mengerutkan alisnya.
"Untuk apa kau kumpulkan ini semua?" tanyanya
kemudian. Giok Lo Sat tertawa.
"Ayah, pernahkah kau tampak hadiah untuk perlombaan
catur?" anak ini balik menanya. "Orang tidak memperhatikan
hadiahnya, tetapi makin besar hadiah itu, makin bertambah
pula kegembiraan si peserta. Demikian juga aku. Selama di
Siamsay Selatan aku telah menundukkan jago-jago Rimba
Hijau, aku paksa mereka membayar upeti kepadaku, tetapi
aku berbuat demikian cuma dalam sifatnya si peserta
perlombaan catur itu!"
Selama dua hari. Hui Liong selalu mengerutkan alisnya,
karena sangat berduka dan selama itu jarang sekali ia bicara,
hingga apabila tak perlu, anak angkatnya juga membiarkan
dia tungkuli dirinya sendiri, akan tetapi kali ini, setelah dengar
penjelasan si nona, ia tersenyum dan alisnya terbangun.
Begitu lekas harta karun itu selesai diangkat, Giok Lo Sat
menghadap Lie Giam dan menjura terhadapnya.
"Ini bingkisan yang tidak berharga aku haturkan kepada
kamu berdua suami isteri untuk membantu membelanjai
tentara!" demikian ia berkata.
"Atas nama rakyat yang kelaparan, aku haturkan terima
kasih kepada kau," jawab Lie Giam tanpa ragu-ragu, tanpa
banyak adat istiadat.
Giok Lo Sat angkat sebuah pelana tersakit emas, dengan
wajah guram ia berkata pada Lie Giam: "Ini adalah hadiah
untukku yang dahulu diberikan oleh puteranya bekas
IooCeeCu Ong Kee In atas perintahnya IooCeeCu itu,
sekarang ini looCeetiu telah menutup mata, maka aku minta
sukalah pelana ini kau kembalikan kepada puteranya itu, Ong
Ciauw Hie. Katakan padanya bahwa aku anggap ini sebagai
tanda mata untuk pernikahannya!"
"Apakah kau tidak ingin memilih satu atau dua macam
barang permata untuk kau simpan sendiri selaku tanda
peringatan?" Ang NioCu tanya si nona.
Sekarang ini telah berubah semua pandangannya si Nyonya
Serba Merah terhadap nona kosen itu, yang ia namakan hantu
wanita. Adalah aturan umum di kalangan Hektoo, Jalan Hitam,
bahwa satu kali orang turun tangan, tidak nanti dia pulang
dengan tangan kosong, atau kalau dia menghadapi pihak yang
dimalui, hingga tak dapat dia turun tangan, sepotong barang
tak berharga juga tak mau dia mengambilnya. Perbuatan tak
mengambil itu berarti kebaikan. Sekarang ini Giok Lo Sat
menghadiahkan harta yang sangat besar, yang telah disimpan
bertahun-tahun lamanya, maka Ang NioCu ingat akan aturan
kaum Hektoo itu dan meminta kepada si nona untuk
mengambil satu atau dua macam barang untuk tanda mata.
Giok Lo Sat tertawa besar atas pertanyaan itu.
"Mulai saat ini aku telah mencuci tangan, aku mundur dari
Rimba Hijau, maka untuk apakah barang-barang semacam
ini?" katanya.
Habis mengucap demikian, tiba-tiba mata si nona terbeliak,
lantas ia berkata: "Baiklah, aku ambil sesuatu barang!"
Sama cepatnya dengan perubahan sikapnya itu, ia
membungkuk seraya mengulurkan sebelah tangannya, akan
meraup tanah. Lalu ia berkata: "Aku telah tinggal di sini untuk
tiga tahun lamanya. Untukku, jarang sekali aku berdiam begini
lama di suatu tempat Karenanya, aku juga kenal haik sifatnya
tanah di sini." Dia bawa raupan tanah itu ke hidungnya, untuk
dicium. Kemudian ia tambahkan: "Tanah ini masih tercampur
darahnya adikku, maka itu tidak ada lain barang ?yang lebih
berharga dari pada tanah ini untuk disimpan sebagai tanda
Wanita Gagah Perkasa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mata!" Tanah itu terus dimasukkan ke dalam sakunya.
"Mari!" ia mengajak ayah angkatnya. Dan ia lari turun
gunung. Tiat Hui Liong turut ajakan itu, iapun berlari pergi.
Lie Giam dan Ang NioCu terperanjat, si nyonya malah terus
berteriak-teriak memanggil pulang. Tapi nona itu lari terus,
makin jauh makin jauh, sama sekali dia tidak menyahuti, pun
tidak memalingkan muka, yang tampak, hanya bajunya
bergelawiran ditiup angin...
"Aneh!" mengeluh Ang NioCu
"Ya, aneh..." sahut suaminya, yang masih tersenyum. "Mari
kita pulang."
Dan bersama dengan harta besar itu, mereka kembali ke
kota. TAMAT Kuda Binal Kasmaran 2 Pendekar Setia Pendekar Kembar Bagian Ii Karya Gan K L Pendekar Super Sakti 24