Pencarian

Tusuk Kondai Pusaka 11

Tusuk Kondai Pusaka Karya S D. Liong Bagian 11


Se-kiat mengangkat bahunya: "Toako, jika hendak menggoncangkan dunia, apa artinya kalau
hanya kehilangan beberapa jiwa saja?"
"Se-kiat, kulihat hatimu sekeras baja, sayang aku tak punya cita-cita untuk 'memburu rusa'
(tinggi). Kurasa lebih baik berbuat menurut kehendak alam saja, membasmi kejahatan untuk
mengamankan rakyat kiranya sudah cukup. Perlu apa kita mengharapkan kedudukan raja!" kata
Thiat-mo-lek. "Sucou-ku Hong Jiam-kek telah mengalah pada Li Si-bin. Karena sekarang kerajaan Tong
menjadi bu-to (lalim), panglima-panglima saling berebut daerah kekuasaan, rakyat hidup dalam
kegelisahan, rasanya sudahlah tiba saatnya aku harus merebut kembali bumi yang telah diberikan
kepada Li Si-bin oleh sucou-ku itu!"
Kata-kata terakhir dari Se-kiat itu telah membuat Thiat-mo-lek bungkam. Rupanya dalam
urusan itu, ia tak dapat mengambil keputusan yang positif. Kini tertawalah Se-kiat, serunya:
"Toako, tak usah bersangsi. Dalam rencanaku menyerang istana kali ini, akuun belum perlu
memakai orang-orangmu. Cukup kugerakkan anak buahnya Kay Thian-hay saja. Yang kuminta,
janganlah kau coba mencegahnya hingga dapat mempengaruhi moral tentara kami!"
Wajah Thiat-mo-lek mengerut gelap, ujarnya: "Kita telah mengangkat saudara, mengapa kau
adakan garis pemisahan begitu" Aku hanya hendak memperingatkan, layakkah kita lakukan
gerakan itu?"
"Kalau menurut toako bagaimana, layak atau tidak?" Se-kiat mengembalikan pertanyaan.
"Se-kiat, biarlah kutanya padamu lebih dahulu. Tadi kau katakan bahwa kau telah mengatur
pengunduran diri apabila pasukanmu itu gagal. Bagaimanakah jalannya?" tanya Thiat-mo-lek pula.
Se-kiat tampak meragu, tapi pada lain saat segera ia menerangkan: "Toako, aku tak mau
merahasiakan apa-apa kepadamu. Aku telah berunding dengan nona Su, setelah menyerang istana,
kita segera akan tinggalkan kota Tiang-an ini. Sisa anak tentara engkohnya berada di darah suku Ki.
Kesanalah kita akan mengundurkan diri."
"Jadi kau hendak berserikat dengan Su Tiau-gi?" tanya Thiat-mo-lek. Nadanya sudah mulai
berubah. Se-kiat tertawa: "Thiat toako, rupanya kau juga memandang rendah pada pribadiku. Masakan
aku suka berserikat dengan dia?"
"Bukankah kau hendak mundur ke sana" Apakah ini bukan berarti mencari perlindungan
padanya?" "Aku akan melenyapkan Su Tiau-gi dan menguasai pasukannya berkuda yang berjumlah tiga
puluh ribu! Meskipun nona Su dan Su Tiau-gi bersaudara, tapi mereka tidak takut. Dalam hal ini
nona Su telah menyanggupi padaku. Setelah mendapatkan anak pasukan Su Tiau-gi, kita lantas
berserikat dengan suku Ki. Dengan begitu kita dapat menciptakan siasat 'dapat maju menyerang,
dapat mundur bertahan.' Turut hematku, tak sampai sepuluh tahun lagi, kita pasti berhasil."
"Se-kiat, kau memang pandai tapi satu waktupun limbung juga," sahut Thiat-mo-lek.
"Mengapa limbung" Toako, menurut pandanganmu tak seharusnyakah aku memberontak?"
tanya Se-kiat. Sahut Thiat-mo-lek pula: "Dahulu ketika aku menjabat si-wi, hampir saja aku dicelakai kaisar.
Dari situ aku mendapat kesan, bahwa raja tidak punya liang-sim (peri kebajikan). Kau hendak
berusaha mengganti seorang raja baru, sebenarnya hal itu bukan berarti memberontak."
"Itulah!" seru Se-kiat, "Kalau begitu mengapa kau tak mau menjadi teman perjuanganku?"
"Karena aku harus melihat dahulu bagaimana dengan gerakan memberontak itu. Tiga puluh
ribu pasukan berkuda dari Su Taiu-gi itu, sembilan puluh persen adalah suku Oh. Suku Ki itu
adalah termasuk jenis suku Artar. Dalam seratus tahun yang terakhir ini, suku Tho-kwat (Artar)
menjadi musuh besar dari Tiongkok. Apakah kau tak tahu" Ketika timbul huru-hara dari An Loksan
dan Su Khik-hwat, kaisar Hian Cong yang tergila-gila pada selirnya Yang Kui-hui (Nyo Kuihui),
telah memakai lagi kawanan dorna Nyo Kok-tiong. Rajanya buto (lalim), pemerintahannya
bobrok akibatnya rakyatlah yang harus memikul penderitaan besar. Ketika An dan Su mengadakan
gerakan berontak, sekalipun tahu kalau kaisarnya begitu bejat, toh rakyat tetap suka membantu
pemerintah (raja Hian Cong) untuk melawan pemberontak itu. Tahukah kau apa sebabnya" Jika
sekarang kau mau menggunakan orang Oh guna merebut negara, dikuatirkan belum-belum sudah
tak mendapat simpati rakyat kita. Se-kiat, kau adalah seorang yang cerdik. Coba kau pikir-pikir
lagi!" Suku Oh adalah sebuah suku yang tinggal di bagian utara. Dahulu disebut suku Pak-tek.
Mendengar itu tertawalah Se-kiat dengan lepasnya sehingga suaranya sampai menggetarkan
genteng rumah. "Hiante, mengapa kau tertawa?" tanya Thiat-mo-lek dengan keheranan.
"Toako, kau hanya tahu satu tapi tak tahu yang kedua. Memang An Lok-san itu sendiri adalah
orang Oh. Ia tak punya kepintaran apa-apa tapi mau gegabah merebut tahta kerajaan. Kalau gagal,
itulah sudah jamak. Sebaliknya aku sekarang mempunyai saudara-saudara lok-lim. Dan aku sama
sekali bukang mengandalkan orang Oh, melainkan untuk sementara meminjam tenaga mereka.
Begitu kekuasaan sudah beralih ke tanganku, mengapa kuatir akan mereka" Rencanaku ini jauh
bedanya dengan tindakan An Lok-san!"
Tetap Thiat-mo-lek menyanggahnya: "Meskipun demikian, memukul Tiongkok dengan tentara
asing, tetap tak sesuai!"
"Toako, ucapanmu ini agak salah. Meminjam serdadu asing untuk memukul dan orang asing
memukul Tiongkok, adalah dua buah hal yang berlainan. Rasanya kau tentu paham dengan sejarah
kerajaan Tong ini. Dahulu ketika Li Si-bin memulai gerakannya di Thay-goan, pernah mengirim
Lau Bun-cing untuk menyerahkan surat pada Tho-kwat Khan (raja suku Artar) yang isinya
menyatakan bahwa apabila gerakannya berhasil, Khan pun akan diberi bagian. Itulah sebabnya
maka suku Tho-kwat suka membantu dan akhirnya berhasillah Li Si-bin menjadi raja.
Kemudian tentang kejadian yang terakhir. Ketika memadamkan pemberontakan An Lok-san
dan Su Khik-hwat, raja Tong pun meminjam tentara Hwe-hap lalu bersama dengan para jenderal
Kwe Cu-gi dan Li Kong-bik, mengadakan serangan balasan. Akhirnya barulah ia dapat merebut
kembali kota raja Tiang-an, Lok-yang. Apa yang kurencanakan sekarang, Li Si-bin dan Li Heng
pun sudah pernah menjalankan juga. Kalau mereka dapat menjadi raja, masakan aku tak boleh?"
panjang lebar Se-kiat mengadakan pembelaan.
"Tidak boleh! Kukatakan, kaupun hanya tahu satu tak tahu yang kedua!" bentak Thiat-mo-lek.
Berubahlah seketika wajah Se-kiat namun ia coba tindas kemarahannya: "Toako mempunyai
pendapat apa?"
Jawab Thiat-mo-lek: "Karena meminjam tentara Tho-kwat itu, maka berpuluh-puluh tahun
lamanya rakyat Tiongkok tersiksa batinnya, hingga sampai sekarang tetap rakyat menganggap
mereka itu sebagai suatu pasilan (penyakit). Syukur Li Si-bin itu seorang junjungan yang gagah
perwira sehingga dengan kewibawaannya dapatlah ia menindas bangsa Tho-kwat itu tak sampai
merebut kerajaan. Sekalipun begitu, tak urung di perbatasan masih sering kali mendapat gangguan
mereka. Baginda Li Yen pernah mempertimbangkan untuk memindahkan kota raja. Sejak itu
hingga tahun ketiga dari Ceng Koan (merk kerajaan), Li Si-bin telah mengutus Li Ceng menyerang
Tho-kwat, dengan demikian barulah persengketaan perbatasan itu untuk sementara menjadi reda.
Tetapi kedua pihak sama-sama menderita kerusakan besar. Kemudian setelah baginda Li Si-bin
meninggal, pihak Tho -kwat kembali mengganggu perbatasan lagi hingga sampai sekarang. Pada
hakekatnya kesemuanya itu terjadi dari hal mulanya. Meskipun Li Si-bin itu seorang gagah perwira
tetapi karena ia meminjam tenaga asing (Tho-kwat), aku tetap menyalahkan dia!"
Thiat-molek berhenti sejenak, memandang Se-kiat lalu berkata pula: "Mengenai sejarah yang
terakhir yakni kerajaan Tong meminjam tentara Hwe-hap untuk memadamkan pemberontakan An
Lok-san dan Su Khik-hwat, kuanggap lebih celaka lagi. Tentara Hwe-hap itu menduduki Tiang-an
dan Lok-yang, membakar dan membunuh. Berpuluh-puluh ribu rakyat menjadi korban, rumahrumah
mereka menjadi api. Maka meskipun kerajaan Tong mendapatkan kembali kedua kota itu,
namun yang diperolehnya hanyalah dua buah kota dari runtuhan puing!"
Se-kiat tak mengira Thiat-mo-lek bukan saja seorang ahli sejarah pun seoran kritikus sejarah
yang tajam. Diam-diam Se-kiat surut semangatnya dan tak dapat membantah lagi. Tapi ia seorang
pemuda yang ambisius sekali. Walaupun apa yang dikatakan Thiat-mo-lek itu merupakan fakta
sejarah, namun tetap ia berontak hatinya, pikirnya: "Apakah bahaya itu benar-benar akan menimpa
rakyat, itulah soal kelak. Mungkin tidak demikian. Meskipun Li Si-bin telah melakukan set
(tindakan) yang salah, namun ia tetap terpuja sebagai seorang pahlawan besar dari jamannya. Dapat
melakukan suatu sejarah seperti Li Si-bin, juga hebat sekali." -- Hatinya bimbang, sesaat tak dapat
mengambil putusan.
Setelah menguraikan panjang lebar, mulut Thiat-mo-lek merasa kering. Ia menjemput cawan
teh terus diteguknya. Tiba-tiba cawan itu dibantingnya dan berteriak: "Se-kiat, kau, kau, mengapa
berbuat sekeji ini?"
Cawan pecah berhamburan sehingga Se-kiat melonjak kaget dan berseru dengan nada tertahan:
"Toako, kau, kau bilang apa?"
Kata-kata Se-kiat itu telah diputuskan oleh suara kaca jendela yang hancur berantakan dan tahutahu
Khik-sia menerobos masuk. Tanpa bilang ba atau bu, anak muda itu lantas menusuk Se-kiat.
Yang tersebut belakangan ini menghindar ke samping dan hanya lengan bajunya saja yang kena
tertembus. Untung ia cepat-cepat tarik mundur tangannya hingga tak sampai terluka. Tapi laksana
banteng mengamuk, Khik-sia kembali menyerang dengan pedangnya lagi.
"Khik-sia, dengarlah bicaraku!" teriak Se-kiat kembali menghindar ke samping.
Tapi mana Khik-sia mau mendengar lagi. Kembali ia mengirim serangan yang ketiga. Se-kiat
buru-buru mengangkat meja untuk dihadangkan. Brak, meja itu segera terbelah menjadi dua oleh
pokiam Khik-sia. Sebenarnya Se-kiat juga membekal pednag, tapi ia tak mau mencabutnya. Ia
hanya menghindar saja dari serangan Khik-sia yang ganas itu.
"Khik-sia berhenti! Kau mau berhenti atau tidak"!" teriak Thiat-mo-lek.
Dengan mata merah berapi-api Khik-sia deliki Se-kiat, sahutnya: "Apakah toako masih suruh
aku mengaku, mengakui manusia berhati ....."
Sebenarnya Khik-sia hendak mencaci 'manusia berhati binatang', tapi sudah keburu dibentak
oleh Thiat-mo-lek: "Tutup mulutmu!"
Khik-sia tak berani buka suara lagi. Ia berganti memandang sang toako dengan tak mengerti.
Jilid 11 "Jika Bo toako bilang bukan dia yang menurunkan tangan jahat, itu tentu benar!" kata Thiatmo-
lek. Pada waktu mengucapkan kata-kata yang terakhir itu, nadanya sudah berubah parau,
menandakan bahwa racun telah bekerja. Ia berusaha untuk mempertahankan diri dengan
lwekangnya. Mendengar bahwa Thiat-mo-lek mengatakan bukan dia yang meracuni, wajah Se-kiat agak
berseri, pikirnya: "Ah, tak kira kalau Thiat toako masih mempercayai aku!"
Tiba-tiba terdengar lengking tertawa dan masuklah Tiau-ing ke dalam ruangan. Dengan
tertawa mengikik nona itu berseru: "Thiat cecu, kau benar-benar pandai melihat orang. Memang
bukan Se-kiat tetapi akulah yang menaruh racun itu!"
Kata-kata itu bagaikan halilintar memecah bumi di siang bolong. Khik-sia sampai kaget
terlongong-longong.
"Tiau-ing, kau ...." seru Se-kiat dengan gemetar.
"Seorang jantan harus mempunyai ketetapan. Jika sekarang tak kau lenyapkan Thiat-mo-lek,
kelak tentu bakal merupakan bahaya besar!" sahut Tiau-ing dengan tegas.
"Tutup mulutmu!" bentak Se-kiat.
Tiau-ing tertawa mengejek: "Menangkap harimau mudah, melepaskannya sukar. Kau mau
menjadi raja, mengapa pusingkan urusan persaudaraan" Jika kau tak mendengarkan kataku,
menyesal kelak tak berguna!"
Saat itu pikiran Khik-sia sudah sadar. Segera berkobarlah amarahnya. Tapi ketika ia hendak
bertindak menyerang Tiau-ing, tiba-tiba didengarnya derap kaki mendatangi. Ia cepat berpaling dan
menampak empat orang tak dikenal yang dilihatnya tadi. Kiranya mereka itu adalah pengawal dari
Bo Jong-long di pulau Hu-siang-to (ayah Bo Se-kiat). Setelah mendapat kedudukan di Tiong-goan,
barulah Bo Se-kiat memanggil keempat orangnya itu.
Terkilas dalam pikiran Khik-sia bahwa saat itu piauko-nya sedang keracunan, maka iapun tak
berani bertindak gegabah. Dengan pedang di tangan ia siap mengawal di samping Thiat-mo-lek.
Pikirnya: "Mati atau hidup, semuanya tergantung pada Bo Se-kiat! Hm, jika ia berani bertindak aku
tentu akan mengadu jiwa. Lebih dulu akan kubunuh perempuan hina itu!"
Memang dalam hal ilmu silat, Se-kiat lebih tinggi sedikit dari Khik-sia. Apalagi ditambah
dengan keempat pengawalnya itu serta Tiau-ing. Jika Se-kiat benar-benar mau berbalik muka,
jangankan hendak melindungi jiwa sang piauko, sedang jiwanya sendiripun sukar dipastikan.
Wajah Se-kiat berubah-rubah tak berketentuan. Rupanya terbit pertentangan dalam batinnya.
Sementara Khik-sia sambil mecekal pokiamnya dengan tangan yang basah keringat, matanya tak
berkesiap memandang ke arah Se-kiat. Lewat beberapa jenak kemudian, tiba-tiba mata Se-kiat
terbeliak lalu berseru keras: "Siapa yang suruh kalian datang kemari, hai! Lekas pergi!"
Keempat pengawal itupun saling berpandangan dan terpaksa ngeloyor pergi.
"Se-kiat apakah kau tak mengetahui bahwa orang yang berhati kecil itu bukan seorang ksatria,
yang tak ganas bukan seorang jantan!" seru Tiau-ing.
Sebaliknya mengimbangi, dengan tegas Se-kiat membentaknya: "Ambil obat penawarnya!"
"Apa?" teriak Tiau-ing.
"Berikan obat penawarnya padaku. Kalau tidak, hubungan kita putus sampai di sini!" sahut Sekiat.
Tiau-ing menghela napas. Dikeluarkannya obat penawar, ujarnya: "Se-kiat, tak mengapa
kuberikan obat ini, tapi kukuatir kau bakal kehilangan lagi bumi yang sudah berada di tanganmu!"
Se-kiat berseru nyaring: "Bumi tetap akan kuambil. Tetapi seorang ksatria harus
mengambilnya dengan cara gemilang. Aku tak mau mengkhianati saudara angkat!"
Segera ia menyambuti obat dari Tiau-ing terus diberikan kepada Thiat-mo-lek, ujarnya: "Thiat
toako, sejak saat ini kita ambil jalan sendiri-sendiri. Aku akan membawa orang-orangku keluar dan
kau jangan mengurusi aku lagi!"
"Apakah kau tetap hendak menyerang istana?" masih Thiat-mo-lek bertanya.
"Dengan memandang mukamu, kubatalkan rencanaku itu. Malam ini aku bersama nona Su
hendak tinggalkan kota raja," sahut Se-kiat. "Tentang bagaimana kejadiannya besok, biarlah kita
masing-masing ambil jalan sendiri. Toako, mengingat tali persaudaraan kita, terimalah hormat
perpisahan dari siaute!"
Tahu bahwa orang sudah tetap putusannya, Thiat-mo-lek pun tak mau mencegahnya lagi.
Dengan berlinang air mata, ia membalas hormat, sahutnya: "Se-kiat, harap kau baik-baik menjaga
diri!" Se-kiat berpaling dan berkata kepada Tiau-ing: "Nona Su, maaf tadi aku tak mau menurut kau.
Apakah kau masih suka bersama-sama aku?"
Tiau-ing menghela napas, ujarnya: "Kita adalah ibarat anai-anai (rayap) di dalam lubang, harus
tetap bersama-sama. Baik berhasil maupun gagal, biarlah kita bersama-sama mengenyam
kebahagiaan dan kesukaran!"
Tergetar hati Khik-sia tapi tak tahu perasaan apa yang dikandungnya benci atau sayang. Tiauing
pun segera mengikuti Se-kiat yang dengan pelahan-lahan berjalan lewat di sisi Khik-sia.
Thiat-mo-lek seperti orang yang baru sadar dari impiannya. Beberapa jenak kemudian barulah
ia kedengaran berkata: "Se-kiat belum hilang nuraninya sama sekali. Sayang dalam kecerdikannya
itu, satu waktu ia limbung."
Habis berkata ia lantas hendak mengambil obat penawar, tapi cepat Khik-sia mencegahnya:
"Toako, apakah kau tak curiga perempuan siluman itu main gila?"
Adalah yang pertama kali itu Khik-sia mengucap kata 'wanita siluman'. Ia sendiri merasa tak
enak mendengarnya. Teringat akan kejadian yang lampau, diam-diamia merasa berduka juga.
"Jangan kuatir. Sejak ini nona Su itu akan bersandar pada Se-kiat, sudah tentu ia tak berani
memberi obat palsu padaku," sahut Thiat-mo-lek yang terus menelan obat itu. Sambil tertawa-tawa,
ia berkata pula: "Kesudahan begini ada baiknya juga. Aku seperti melepaskan beban sebuah batu
yang menindih hatiku. Beberapa waktu yang lalu, kudengar kau bergalang-gulung dengan nona Su
itu. Kucemas jangan-jangan kau terpikat olehnya. Sayang nona Su itu dilahirkan sebagai wanita,
coba tidak, tentu akan menjadi seorang benggolan pengacau negara yang nomor wahid. Se-kiat
cocok berpasangan dengannya, tetapi kau tidak sembabat!"
Wajah Khik-sia merah, bisiknya: "Masakan aku dapat terpikat olehnya?" -- Sekalipun mulut
mengatakan begitu, namun dalam hati ia mengakui bahwa syukur dirinya dapat lolos dari lubang
jarum rayuan Tiau-ing.
Lwekang Thiat-mo-lek sudah mencapai tingkat kesempurnaan. Keracunan itu tak nanti dapat
membinasakan jiwanya, melainkan hanya memerlukan beristirahat sementara akan sudah sembuh.
Apalagi kini ia minum obat penawar. Dalam beberapa detik setelah banyak mengeluarkan keringat,
racun itu turut mengalir keluar dan sembuhlah dia.
Kala itu tengah malam. Tib-tiba terdengar derap kaki berlarian datang. Thiat-mo-lek kerutkan
alis. Heran ia mengapa pada saat begitu malam ada orang berani datang ke kamar wanita.
Ternyata Kim-kiam-cang-long Toh Pek-ing. Ia mendorong pintu dengan tergopoh-gopoh:
"Thiat cecu, kau tak kena apa-apa?"
"Toh-sioksiok, bukankah aku segar bugar, mengapa kau begitu gelisah" Mari kita keluar
omong-omong. Kita berdua melanggar kesopanan," Thiat-mo-lek tertawa.
Kiranya walaupun mereka itu kaum persilatan, tapi tetap memegang teguh adat peraturan
tentang pria-wanita. Pada petang hari, wanita dan pria itu harus terpisah tempatnya. Tapi sekarang
Thiat-mo-lek dan Toh Peh-ing justeru berada di kamar Su Tiau-ing.
"Waktu tiba kemari, kulihat belasan penunggang kuda lari keluar. Kukenal mereka anak buah
Bo Se-kiat, tapi anehnya mereka tak menegur-sapa padaku. Kukira tentu terjadi sesuatu, maka
tanpa menghiraukan peraturan lagi terus masuk kemari. Mana Se-kiat?" seru Toh Peh-ing.
"Dia pun sudah lari. Mari kita omong-omong di luar," kata Khik-sia sembari membawa Thiatmo-
lek dan Toh Peh-ing ke kamarnya sendiri.
"Berbahaya, berbahaya!" begitu pintu ditutup, Toh Peh-ing menghela napas.
"Toh-sioksiok, Se-kiat tidak seburuk yang kau duga. Apalagi kejadian sudah lewat. Khik-sia,
kaupun jangan memakinya lagi," kata Thiat-mo-lek.
Melirik sejenak pada Thiat-mo-lek, Peh-ing berseru: "Thiat cecu, bukankah bangsat Se-kiat
telah meracuni kau?"
"Toh-sioksiok, tak kecewa kau mendapat gelaran Kim-kiam-ceng-long. Ilmu ketabibanmu
sungguh mengagumkan orang! Kau dapat melihat aku kena keracunan tapi masakan tak dapat
melihat bahwa aku sudah sembuh?"
Toh Peh-ing heran, mengapa Se-kiat meracuni dan memberi obat penawar pula" Thiat-mo-lek
segera menuturkan apa yang terjadi tadi.
"Aku tak mengatakan kalau Bo Se-kiat sudah tak punya nurani lagi. Dia sebagai pemimpin
Lok-lim, tapi galang-gulung dengan seorang wanita siluman, tentu akan mendatangkan bahaya bagi
saudara-saudara Lok-lim. Thiat ce-cu, masih ingatkah ketika pertandingan di gunung Kim-ke-nia
tempo hari" Kunasehatkan jangan kau mengalah pada Se-kiat, sayang kau tak mendengar kata."
Thiat-mo-lek terdiam beberapa saat. Akhirnya ia menghela napas: "Dalam hal kecerdikan, Sekiat
sepuluh kali lebih pintar dari aku. Sayang dia ambisius dan angkara murka."
Karena di luar jendela hari sudah mulai terang, maka Toh Peh-ing berkata: "Hari sudah terang
tanah. Thiat-cecu, kau jadi datang ke pertandingan atau tidak?"
"Mengapa Toh-sioksiok bertanya begitu?"
"Aku merasa sedikit cemas."
Waktu Thiat-mo-lek menanyakan apa yang dicemaskan. Toh Peh-ing menjawab: "Thiat-cecu,
walaupun kau murah hati kepada Se-kiat, tetapi dikuatirkan hatinya tak serupa hatimu. Apalagi kini


Tusuk Kondai Pusaka Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ia bersama anak perempuan Su Su-bing. Apa yang disungkani lagi" Aku tak percaya pada mereka.
Walaupun Bo Se-kiat sudah membatalkan rencananya menyerbu istana, tetapi bukan berarti mereka
tak dapat membuat lain kekacauan. Dan dirimu masih menjadi buronan negara ....."
"Justeru kalau aku datang, akan lebih baik. Karena kukuatir mereka akan mengacau dan
merembet Cin Siang. Dan lagi Cin Siang serta Ut-ti Pak itu adalah sahabatku yang sudah seperti
saudara. Walaupun dalam tempat yang tak memungkinkan aku bicara kepada mereka, tetapi biarlah
asal dapat melihat mereka saja, karena kita sudah lama tak berjumpa."
Toh Peh-ing cukup kenal pribadi Thiat-mo-lek yang menjunjung tinggi kejujuran dan
kesetiaan. Tahu kalau tak mungkin dapat mencegah niat orang, Toh Peh-ing pun tak dapat berbuat
apa-apa kecuali meminta agar Thiat-mo-lek berlaku hati-hati.
Thiat-mo-lek tertawa dan menyatakan dalam pertandingan orang gagah itu nanti ia akan
berlaku sebagai penonton saja tak mau turun gelanggang.
Yang datang ke pertandingan Eng-hiong-tay-hwe di Pakkhia itu, anak buah Bo Se-kiat kurang
lebih 18-an orang. Sedang dari Kim-ke-nia, boleh dikata hanya Thiat-mo-lek dan Toh Peh-ing saja.
Karena anak buah Kim-ke-nia dan pembantu Thiat-mo-lek yang dahulu berasal dari anak buah
ayahnya (Thiat-kun-lun), semua pindah ke gunung Hok-gu-san. Shin Thian-hiong dan kedua
saudara Ma memimpin penjagaan gunung itu.
Karena Bo Se-kiat kemarin sudah memisahkan diri dengan membawa anak buahnya, maka
anak buah yang ikut Thiat-mo-lek hanya tinggal belasan orang saja. Dan itupun hanya golongan
begal-begal kecil. Dalam perjalanan, mereka heran mengapa Se-kiat dan beberapa kawan, tak
kelihatan. Memang tahu mereka bahwa kemarin malam Se-kiat keluar dengan beberapa anak buah,
tapi karena Thiat-mo-lek diam saja tak mau memberi keterangan, maka orang-orang itupun tak
berani bertanya.
Gelanggang yang akan dijadikan medan pertempuran para orang gagah itu terletak di kaki
bukit Li-san. Biasanya tempat itu dipakai upacara inspeksi ketentaraan yang dilakukan oleh
baginda. Luasnya beberapa ratus bau, dapat menampung beberapa puluh ribu orang. Lapangan itu
mempunyai enam buah pintu gerbang yang terbuka.
Ketika Thiat-mo-lek dan pengikutnya ikut menggabungkan diri dengan rombongan orang yang
masuk ke dalam gelanggang dilihatnya di sekitar lapangan itu dijaga oleh tentara. Sebagian dari
tentara Gi-lim-kun, sebagian dari pasukan Kiu-seng-kun atau barisan penjaga kota raja, yang
langsung di bawah pimpinan Kiu-seng-su-ma (pembesar tinggi yang bertanggung jawab keamanan
ibu kota). Lapangan seolah-olah dipagari senjata tajam. Ujung tombak berjajar-jajar menyilaukan mata.
Suasana di situ tampak seram seperti di medan perang.
Thiat-mo-lek menganggap sudahlah wajar kalau penjagaan di lapangan situ dilakukan
sedemikian kuatnya karena boleh dikata seluruh orang gagah dari segenap penjuru berkumpul di
situ. Iapun tak menaruh kecurigaan apa-apa.
Karena berebut memilih tempat yang enak, maka tata tertib agak kacau. Karena desak-desakan
itu maka anak buah Thiat-mo-lek pun terpencar. Waktu Khik-sia hendak mengejar Thiat-mo-lek,
tiba-tiba ia dibentur oleh seorang pemuda berpakaian bagus. Khik-sia ingat-ingat lupa pada orang
itu. "Toan siauhiap, masih ingat padaku?" pemuda itu sudah mendahului menegur dengan tertawa.
Mendengar nada suara orang, seketika teringatlah Khik-sia: "Kau kemarin yang jual, jual ....." -
- Teringat nona penjual silat itu kini menyaru jadi lelaki, Khik-sia buru-buru hentikan kata-katanya.
Tak mau buka rahasia orang.
"Benar, kau tak lupa padaku. Terima kasih atas bantuanmu kemarin. Kemarin aku belum
sempat menghaturkan terima kasih," kata nona itu.
Nona itu adalah suci dari Su Tiau-ing. Karena Khik-sia masih mendongkol dengan Tiau-ing,
maka sikapnya kepada nona itupun agak lain. Katanya dengan tawar: "Itu hanya urusan kecil, perlu
apa diingat-ingat." -- Habis berkata ia terus pergi.
"Toan siangkong, harap ikut aku. Aku hendak bicara padamu," nona itu buru-buru mencekal
lengan Khik-sia.
Kalau mau sebenarnya Khik-sia dapat melepaskan tangannya, tapi ia merasa tak enak berbuat
begitu di hadapan orang banyak. Terpaksa ia berlaku sabar dan membiarkan dirinya ditarik ke
samping. "Aku adalah sucinya Tiau-ing. Bukankah kau datang bersama Tiau-ing?" bisik nona itu. Tapi
Khik-sia menyangkal dengan kurang senang. Mendapat jawaban tak bersahabat begitu, nona itu
terkesiap. Memang ia tak tahu akan peristiwa yang terjadi semalam.
Khik-sia hendak pergi lagi tapi cepat dicekal si nona. Marahlah Khik-sia: "Aku tak
mempunyai hubungan dengan sumoaymu. Aku tak tahu tentang urusannya. Sudah, jangan tanya
lagi!" Nona itu tersenyum. Diam-diam ia membatin. Khik-sia itu seorang pemuda yang tinggi ilmu
silatnya tapi pemaluan. Ia kira Khik-sia tentu malu mengaku berhubungan dengan Tiau-ing. Maka
iapun tak mau lepaskan cekalannya. Khik-sia diam-diam sudah akan bertindak kasar. Untung nona
itu keburu berkata pula: "Toan siangkong, ini soal penting sekali. Kau harus lekas memberi tahu
padanya." Menduga Tiau-ing tentu sedang merencanakan sesuatu, maka dengan tahankan sabar, Khik-sia
terpaksa bertanya: "Baik, lekas katakanlah!"
Para penonton terus berbondong maju. Tetapi Khik-sia dan nona itu berada di sudut di
sekitarnya tiada orangnya. Namun dengan hati-hati sekali, nona itu tempelkan mulut ke dekat
telinga Khik-sia dan berbisik: "Suruh Tiau-ing lekas-lekas tinggalkan tempat ini. Atau mungkin
jiwanya terancam nanti."
Walaupun sudah putus hubungan dengan Tiau-ing tapi mau tak mau terkejut juga Khik-sia.
Serunya: "Mengapa ...."
"Dan kau pun harus segera tinggalkan tempat ini bersama Tiau-ing. Jangan ayal atau nanti
terlambat," nona itu putuskan omongan Khik-sia.
"Kemarin kau ...."
"Kemarin aku tak tahu kalau kau, mengerti" Lain-lain omongan besok kita bicarakan lagi.
Lekas, lekaslah pergi!" nona itu kembali mendesak dan habis itu ia lepaskan cekalannya terus pergi.
Khik-sia tercengang. Apa yang dimaksudkan nona itu" Siapa musuhnya" Tapi jelaslah bahwa
ada orang yang hendak mencelakai Tiau-ing. Malah ia (Khik-sia) pun ikut-ikutan terancam.
Waktunya akan dilaksanakan sekarang. Tempatnya di sini.
Rupanya hal itu banyak benar dari tidaknya. Rupanya bukan tak ada maksudnya nona itu
mengembara ke dunia persilatan dengan menyaru sebagai penjual silat. Ia membuka pertandingan
cari jodoh untuk memanggil sumoaynya. Setelah bertemu ia hendak menyampaikan berita penting
itu. Sayang ia tak tahu kalau sumoaynya semalam telah pergi dari kotaraja bersama Se-kiat,"
demikian Khik-sia menimang dalam hati. Kemarahannya terhadap Tiau-ing mulai reda. Memang
Khik-sia itu terlalu gampang perasa. Walaupun sudah putus hubungan, tapi demi mendengar berita
itu, iapun masih mencemaskan keadaan Tiau-ing. Bahwa dirinya juga terancam, malah tak
dihiraukannya. Ia lanjutkan langkahnya menuju ke bagian tengah. Ia celingukan kian kemari tapi dalam sekian
banyak orang itu, Thiat-mo-lek dan Toh Peh-ing tak kelihatan. Tiba-tiba Khik-sia tersadar: "Ah,
mengapa aku hanya memikirkan kepentingan diri sendiri" Benar aku tak gentar menghadapi
bahaya, tapi bagaimana dengan piau-ko dan paman Toh" Kalau sampai terjadi apa-apa pada diriku,
mereka tentu takkan tinggal diam. Tetapi diri piauko dan paman Toh itu lebih berat dari aku. Jika
orang dapat mencelakai diriku, mereka tentu lebih dapat mencelakai piauko dan Paman Toh!"
Memikir sampai di situ, ia gelisah sekali dan ubek-ubekan mencari Thiat-mo-lek berdua.
Belum mendapatkan piaukonya, tiba-tiba ia terperanjat melihat tiga bayangan yang rasanya tak
asing. Mereka berupa tiga orang perwira. Cepat Khik-sia segera mengenal mereka. Dua yang
berjalan di depan, terang perwira palsu Su Yak-bwe dan Sip In-nio. Yang mengikuti di belakang
mereka adalah Pui Bik-hu, pemuda yang pernah bertempur dengan Khik-sia di hotel tempo hari.
Kejut dan girang Khik-sia bukan kepalang. Memang kedatangannya ke Eng-hiong-tay-hwe itu
tak lain karena untuk menjumpai Yak-bwe. Kalau saat itu tak teringat berada di tengah lautan
manusia, tentu ia sudah meneriakinya.
Sebaliknya Yak-bwe dan In-nio tak tahu pada Khik-sia. Walaupun jarak mereka tak berapa
jauh tapi dikarenakan begitu banyak orang, Khik-sia tak mudah untuk menghampiri. Tiba-tiba ada
seorang pemuda dan pemudi meneriaki Yak-bwe. Kiranya sepasang muda-mudi itu adalah Tok-ko
U kakak beradik.
Semangat Khik-sia menurun beberapa derajat. "Entah apakah mereka itu sudah lama berjanji,
tapi yang nyata mereka itu sedan g bercakap-cakap, tak enak kalau aku menimbrung," pikir Khiksia.
Malah ketika Khik-sia memandang lagi, dilihatnya Yak-bwe terkejut girang bertemu dengan
kedua saudara Tok-ko itu. Hati Khik-sia makin kecut. Ia meragu dan tak berani maju.
"Aya, mengapa aku lupa pada piauko" Mencari piauko, lebih penting," tiba-tiba ia tersadar.
Namun anehnya, walaupun pikirannya begitu namun kakinya serasa berat dan matanya tak lepasnya
memandang Yak-bwe.
Tiba-tiba terdengar genderang dan tambur dipalu. Keenam pintu besi segera ditutup. Ternyata
pertandingan akan dimulai. Di tengah lapangan itu didirikan sebuah pangung tinggi untuk
pertandingan. Khik-sia memandang ke muka dan tampak Cin Siang sudah muncul di atas
panggung. Ia berdiri di apit Utti Pak dan Kiu-seng-su-ma Toh Hok-wi.
Cin Siang mulai mengucapkan kata-kata pembukaan. Ia mengucapkan terima kasih atas
kedatangan para orang gagah dan menguraikan tentang maksud didirikannya panggung
pertempuran adu silat itu, yakni karena pemerintah membutuhkan jago-jago pilihan untuk
diharapkan suka menyumbangkan tenaga pada negara. Mengenai acara pertandingan, mengingat
jumlahnya peserta banyak sekali, maka akan dibagi dalam beberapa regu. Waktu pertandingan pun
akan diadakan sampai beberapa hari. Kepada setiap orang gagah yang hadir pada saat itu, akan
diberi sebuah tong-pay (lencana tembaga). Menurut urutan nomor tiap sepuluh orang merupakan
sebuah regu. Tiap hari akan dilangsungkan sepuluh partai pertandingan. Kalau diduga yang ikut
dalam pertandingan itu lebih kurang seribu orang, maka pertandingan itu baru selesai dalam
sepuluh hari. Dalam babak kedua yang akan dilakukan pada hari yang kesebelas, diantara seratus pemenang
babak pertama itu akan diadu dan dipilih sepuluh orang pemenangnya. Yang lima orang akan nanti
akan diberi jabatan sebagai Sam-bin-keng-ki-towi (perwira kavaleri). Sedang yang lima akan
diangkat menjadi Su-bin-ki-ki-to-wi (perwira bagian kendaraan). Sisanya yang sembilan puluh
orang itu akan diangkat menjadi anggota pasukan Gi-lim-kun.
Habis pengumuman itu Cin Siang memberi penjelasan lagi: "Yang tak mau menjabat pangkat
ketentaraan, tak dipaksa. Mereka akan diberi hadiah berharga seekor kuda, sebatang golok pusaka
dan kain sutera seratus blok."
Di antara para hadirin itu, sebagian besar memang ingin mendapat pangkat dan hadiah-hadiah
yang menarik itu. Hanya sebagian kecil yang tak begitu menghiraukan hal itu. Pidato Cin Siang itu
mendapat sambutan gegap gempita dari para penonton.
Ternyata pada saat itu Thiat-mo-lek berada di samping lapangan dan berhasil menempatkan diri
di deretan muka dekat panggung. Ia merasa Cin Siang telah melihat dirinya. Karena Thiat-mo-lek
tak ingin pangkat dan hadiah, maka iapun tak berminat ikut dalam pertandingan. Adalah setelah
melihat kedua sahabatnya, Cin Siang dan Utti Pak, tak kurang suatu, iapun lega. Terutama yang
melonggarkan perasaannya ialah tak didapatinya Bo Se-kiat di lapangan situ. Ia duga Se-kiat tentu
pegang janji dan tinggalkan Tiang-an.
"Pertemuan besar ini telah dibuka dengan lancar. Hari ini kebanyakan tentu takkan terjadi
peristiwa apa-apa. Sebaiknya tak kuterima tong-pay dan cepat-cepat pulang saja. Malah nanti akan
kusuruh Khik-sia mengantarkan surat kepada Cin toako minta dia berhati-hati. Besok pagi segera
akan kuajak Khik-sia tinggalkan Tiang-an," diam-diam ia mengambil putusan.
Karena berada di barisan depan, Thiat-mo-lek tak mengetahui kalau keenam pintu gerbang
sudah ditutup. Ketika berpaling dan tak melihat Khik-sia, diam-diam ia marah. "Hm, anak itu
benar-benar sembrono. Entah kemana dia" Di tempat semacam ini, mengapa pencar?"
Belum tong-pay diedarkan sampai padanya, tiba-tiba ada seorang penunggang kuda larikan
kudanya di sepanjang jalur jalanan tanah kuning terus langsung ke muka panggung dan berhenti.
Thiat-mo-lek tahu bahwa hanya goanswe (marsekal), ciangkun (jenderal), atau tiong-su (utusan
kaisar, misalnya thaykam) baru boleh naik kuda di jalur kuning itu.
Cin Siang lebih terkejut lagi. Ternyata yang datang itu adalah Liong-ki-to-wi Bu Wi-yang,
kepala pasukan penjaga istana yang disebut Kiong-tiong-siu-wi. Ketika An Lok-san memberontak,
kaisar yang sekarang yakni Li Heng, masih menjadi putera mahkota. Bu Wi-yang adalah jenderal
yang mengawal Li Heng ketika lolos ke kota Lin-bu. Kemudian setelah Li Heng memproklamirkan
diri menjadi raja, Bu Wi-yang makin mendapat kekuasaan. Kemudian setelah An Lok-san ditindas,
barulah Li Heng kembali lagi ke kota raja Tiang-an.
Atas jasanya itu Bu Wi-yang diangkat menjadi Liong-ki-to-wi atau kepala barisan berkuda.
Tingkatannya sama dengan Cin Siang. Sebenarnya jabatan Kiong-tiong-su-wi itu dipimpin Utti
Pak. Li Heng menggesernya jadi Hu-thong-leng atau wakil komandan pasukan Gi-lim-kun.
Kedudukan komandan Kiong-tiong-su-wi diberikan pada Bu Wi-yang.
Sebenarnya Bu Wi-yang kepingin menjadi komandan pasukan Gi-lim-kun. Tetapi karena Cin
Siang besar pahalanya sebagai menteri inti yang membangun negara dan besar pengaruhnya, maka
Li Heng pun sungkan untuk mengutik-utiknya dan terpaksa memindah Utti Pak saja. Sekalipun
begitu, dalam soal kepercayaan Bu Wi-yang itu lebih dipercaya kaisar daripada Cin Siang.
Eng-hiong-tay-hwe yang diselenggarakan Cin Siang kali ini, Bu Wi-yang tak ambil peduli
sama sekali. Pun Li Heng merencanakan, nanti pada hari penutupan baru hadir. Maka kedatangan
Bu Wi-yang secara tak terduga-duga itu telah membuat Cin Siang terperanjat. Apakah kaisar yang
mengutusnya"
Sebelum Cin Siang menyongsong, Bu Wi-yang sudah loncat ke atas panggung.
"Mengapa Bu congkoan tinggalkan istana?" tanya Cin Siang dengan terkejut. Ia duga di istana
tentu terjadi sesuatu.
"Baginda ada perintah untukmu!" seru Bu Wi-yang.
Menurut adat kebiasaan, setiap kali datang surat perintah raja, raja lebih dulu tentu mengutus
orang untuk memberitahukan agar orang yang akan menerima surat amanat itu menyiapkan meja
sembahyang. Kemudian orang itu harus mendengarkan surat amanat itu dengan bertekuk lutut.
Karena datangnya surat amanat yang dibawa Bu Wi-yang itu mendadak sekali, Cin Siang sudah tak
keburu menyediakan penyambutan. Tersipu-sipu ia jatuhkan diri bertekuk lutut.
"Urusan ini penting sekali. Baginda menitahkan, tak usah Cin tayjin sibuk menyiapkan
upacara penyambutan. Setelah menerima surat amanat ini, harus lekas-lekas melaksanakannya.
Dan tak perlu kubacakan isinya," seru Bu Wi-yang.
Dengan kedua tangan Cin Siang menyambuti surat amanat itu. Ketika dibuka, pucatlah
wajahnya seketika. Tak dapat ia membaca lagi.
"Cin tayjin, kau berani membangkang titah baginda?" bentak Bu Wi-yang.
Amanat yang berupa secarik kertas itu, dirasakan Cin Siang laksana benda seribu kati beratnya.
Tangannya gemetar keras dan jatuhkan surat itu. Cin Siang menjerit keras, tiba-tiba ia benturkan
kepalanya ke tiang.
Seluruh hadirin geger. Untung dengan sigapnya Utti Pak loncat memeluknya: "Cin toako, kau
kesalahan apa" Mari kita menghadap baginda."
"Lepaskan! Apa kau akan membiarkan aku jadi manusia yang tak berbudi tak setia?" bentak
Cin Siang. "Mengapa?" tanya Utti Pak.
"Kalau tak menurut surat amanat, aku dianggap tak setia. Tapi kalau menurut perintah, aku
menjadi manusia tak berbudi! Kalau Budi dan Setia tak dapat dilakukan bersama, lebih baik Cin
Siang mati saja, demi untuk sahabat!" sahut Cin Siang.
Walaupun belum jelas, tapi sedikit-sedikit Utti Pak mengerti juga bahwa Cin Siang tak mau
menjalankan perintah itu. Yang jelas perintah raja itu bukan ditujukan untuk menghukum Cin
Siang. Utti Pak makin tak mau lepaskan sang sahabat. Kepandaian mereka hampir berimbang.
Dalam ilmu kepandaian memang Cin Siang lebih unggul. Tapi dalam soal tenaga, Utti Pak lebih
kuat. Cin Siang tak kuasa meronta dari pelukan Utti Pak yang keras.
"Cin Siang membangkang perintah baginda, lekas tangkap!" tiba-tiba Bu Wi-yang berseru.
Baru perintah itu diserukan, dari belakang panggung loncat seorang tua yang tinggi besar.
Orang itu perawakannya agak bungkuk. Secepat kilat ia menutuk lambung Cin Siang. Seketika
Cin Siang jatuh ngelupruk.
Kejut Thiat-mo-lek bukan kepalang. Si bungkuk tua itu bukan lain adalah Chit-poh-tui-hun Yo
Bok-lo! Memang atas perintah Bu Wi-yang dan Toh Hok-wi, pagi-pagi ia sudah mengumpet di
belakang panggung. Sebenarnya jika bertempur secara berhadapan, belum tentu Yo Bok-lo dapat
mengalahkan Cin Siang. Tapi karena jenderal itu disekap kencang oleh Utti Pak dan ditutuk jalan
darahnya dari belakang oleh Yo Bok-lo, maka iapun tak berdaya menghindar lagi.
Yo Bok-lo tak mau kepalang tanggung. Ia menutuk Utti Pak juga.
"Kurang ajar! Siapa berani menangkap toako-ku"!" bentak utti Pak. Ilmunya kin-na-chiu atau
dengan tangan kosong merampas senjata lawan, adalah ilmu warisan keluarganya. Di dunia
persilatan tiada tandingannya.
Jarak Yo Bok-lo amat dekat sekali dengan Utti Pak. Belum jari orang she Yo itu menyentuh
sasarannya, tahu-tahu lengannya sudah kena dipelintir. Dengan gerak ki-kian-si, tubuh Yo Bok-lo
yang tinggi besar itu dibanting ke lantai panggung. Untung dengan gerak le-hi-ta-ting, Yo Bok-lo
cepat-cepat dapat loncat bangun. Tapi bagian lengannya yang dipelintir sakitnya bukan alang
kepalang. Pada saat itu Cin Siang sudah diikat oleh pengikut Toh Hok-wi. Dengan mata berapi-api Utti
Pak hendak menghajar kawanan bu-su itu, tapi Cin Siang cepat mencegahnya: "Utti-heng, jangan.
Mengapa kau berani melanggar sengci (amanat) kaisar" Kita berdua turunan menteri setia. Kita
hanya boleh menyerah pada keputusan kerajaan, tak boleh menjadi manusia yang tak setia tak
berbakti!"
Demi mendengar tentang kesetiaan dan kebaktian itu, kemarahan Utti Pak sirap seperti diguyur
air. "Baik, biar kubawa kim-pian (cemeti emas) bersama-sama menghadap baginda. Siapa yang
berani mengganggu padamu, tentu kuhajar!" sahut Utti Pak yang berangasan itu. Kemudian ia
menghardik Bu Wi-yang: "Hai, Bu Wi-yang, apakah kau yang menangkap Cin toako-ku?"
Ternyata Utti Pak itu adalah anak keturunan dari Utti Kiong yang besar sekali jasanya kepada
Li Si-bin, pendiri kerajaan Tong. Karena jasanya itu Utti Kiong dihadiahi sebatang kim-pian oleh
raja. Dengan kim-pian itu ia boleh memukul menteri-menteri kerajaan sampaipun keluarga raja,
urusan belakang. Maka walaupun tak menduduki jabatan tinggi, namun Utti Kiong mempunyai
kedudukan istimewa yang ditakuti orang.
Tiba-tiba Bu Wi-yang dan Toh Hok-wi serentak menyerang dari belakang. Dengan ilmu houjiau-
chio (cakar macan), Toh Hok-wi mencengkeram tulang pundak dan secepat itupun Bu Wi-yang
hendak memborgol tangan Utti Pak. Utti Pak menggerung keras, sekali ia gerakkan kedua
tangannya, Bu Wi-yang dan Toh Hok-wi terhuyung-huyung sampai sepuluhan langkah ke belakang.
Hampir saja mereka jatuh. Tapi sebuah tulang pundak Utti Pak patah dan tangannyapun kena
diborgol. Yo Bok-lo yang masih kuatir, loncat maju dan menutuk jalan darahnya.
"Ha, ha, bukan melainkan Cin Siang pun kau juga harus ditangkap!" seru Bu Wi-yang.
Marah Utti Pak bukan alang-kepalang. Ia menjerit keras: "Ambilkan kim-pianku!"
"Baik, baik tuan," Toh Hok-wi tertawa mengejeknya.
Seorang bu-su menerobos keluar dari belakang panggung. Sepasang tangannya mengangkat
sebatang kim-pian. Tapi bukan diserahkan kepada Utti Pak, melainkan kepada Toh Hok-wi: "Inilah
kim-pian Utti tayjin yang hamba ambil!"


Tusuk Kondai Pusaka Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Utti Pak terkejut dan memaki kalang-kabut: "Toh Hok-wi, kau berani melanggar undangundang"
Kau minta dihukum potong kepala seluruh keluargamu" Mengapa kau berani merampas
kim-pian pemberian baginda kaisar?"
Menyambut kim-pian, Toh Hok-wi tertawa gelak-gelak: "Baginda memang bijaksana. Siangsiang
sudah menduga kau akan membangkang karena mengandalkan kim-pian. Baginda telah
menitahkan padaku supaya merampas kim-pianmu. Ha, ha, ini lihatlah seng-ci dari baginda!"
Orang she Toh itu mengeluarkan sepucuk kertas dan dibentang di muka Utti Pak. Memang
tulisan di atas kertas itu tulisan baginda yang memberi wewenang kepada Toh Hok-wi. Apabila Utti
Pak membangkang, boleh dirampas kim-piannya. Utti Pak tak mengira sama sekali bahwa kaisar
mau mengeluarkan amanat rahasia sedemikian rupa. Seketika murkalah Utti Pak: "Kim-pian adalah
pemberian dari baginda Thay Cong, Baginda yang sekarang tak boleh merampasnya!"
"Ho, silahkan protes pada baginda saja!" Toh Hok-wi tertawa mengejek.
Utti Pak tak dapat bicara lagi. Ia biarkan dirinya digusur.
"Cin Siang membangkang perintah raja. Toh tayjin, Eng-hiong-tay-hwe ini, kaulah yang
memimpin. Harap kau terima amanat ini dan segera mengumumkannya! Laksanakanlah perintah
itu!" kata Bu Wi-yang.
Sejak Bu Wi-yang muncul, terjadilah sandiwara yang menarik. Lebih dulu Cin Siang
ditangkap, kemudian Utti Pak dirampas kim-piannya. Semua-semuanya itu tercantum dalam surat
perintah raja yang dibawanya. Suasana di bawah panggung geger tak keruan. Tapi begitu Toh Hokwi
menerima surat perintah, suasana gempar itu sirap seketika. Sekalian orang sama mendengari
dengan khidmat.
Jago-jago dari lima penjuru yang hadir dalam Eng-hiong-tay-hwe itu sebagian besar orangorang
kasar yang buta huruf. Toh Hok-wi tahu akan hal itu. Ia tak perlu membacakan isi surat
perintah itu lagi. Supaya sekalian orang mengerti, ia maju kemuka panggung dan berseru dengan
kata-katanya sendiri: "Yang Mulia Baginda Kaisar memberi perintah. Eng-hiong-tay-hwe
sebenarnya bertujuan untuk memilih ksatria-ksatria gagah yang suka mengabdi kepada baginda.
Maka asal bukan golongan pemberontak, orang-orang yang pernah melanggar undang-undang asal
ia setia kepada raja, akan diberi kebebasan. Harap sekalian saudara tenang, tak perlu gelisah."
Ia berhenti sejenak. Kemudian dengan berganti nada, ia meneruskan lagi: "Yang tak diberi
pengampunan hanya kaum pemberontak yang pernah melawan raja. Baginda sudah tentu tak berani
memakainya!"
Rupanya sekalian penonton bingung dengan kata-kata Toh Hok-wi itu. Di sana-sini timbul
hiruk-pikuk orang bertanya: "Apakah yang dinamakan golongan pemberontak itu" Hm, apakah dia
hendak menjebak kita" -- Kita datang kemari karena percaya akan omongan Cin Siang. Hm, tetapi
rupanya kaisar tak mau menganggap omongan Cin Siang!"
Demikian pertanyaan yang timbul dari para hadirin. Malah ada beberapa orang yang
berangasan, sudah serentak mencabut senjata siap hendak menghadapi segala kemungkinan.
Suasana menjadi tegang.
Melihat itu Toh Hok-wi buru-buru berteriak keras: "Hai, harap saudara-saudara mendengar
dengan tenang! Di dalam surat perintah baginda telah ditulis dengan jelas. Orang-orang yang
dianggap sebagai kaum pemberontak itu hanya sepuluh orang. Kesepuluh orang itu adalah
benggolan-benggolan yang menerbitkan keonaran besar dan memberontak terhadap kekuasaan raja.
Yang lain-lainnya sekalipun sahabat atau anak buah mereka, tiada diapa-apakan. Surat perintah itu
lebih jauh mengatakan, barang siapa membantu tentara negeri untuk menangkap pemberontakpemberontak
itu, akan memperoleh jasa. Dapat menangkap seorang pemberontak, akan diangkat
menjadi perwira To-wi dari Se-kip-ki-ki (barisan kavaleri) dan diberi hadiah sejumlah besar uang.
Yang akan ditangkap pemerintah itu hanya sepuluh orang, maka harap kalian semua jangan
gelisah!" "Siapakah mereka itu" Lekas umumkan!" suara teriakan menyambut dari bawah panggung.
Meskipun mereka masih berdebar-debar, namun tak gelisah seperti tadi lagi.
Toh hok-wi mempesut keringatnya lalu berseru pula: "Kesepuluh orang itu, kita ketahui jelas,
sudah tiba di kotaraja sini. Saat ini kebanyakan tentu juga hadir di lapangan ini. Jika kalian hendak
mendirikan pahala untuk negara, inilah saatnya! Paling baik dapat membekuk mereka hidup-hidup,
tapi kalau terpaksa, boleh dibunuh saja. Mati atau hidup, hadiahnya sama. Sepuluh orang itu ialah
.... (para penonton sama menahan napas) ..... Thiat-mo-lek, Bo Se-kiat, Toan Khik-sia, Su Tiau-ing,
Kay Thian-hou, Toh Peh-ing, Li Thiat-ceng, Liong Theng, Ui Kiam dan Coh Ping-gwan!"
Thiat-mo-lek dan Tok Peh-ing adalah pemimpin begal gunung Kim-ke-nia. Toan Khik-sia
karena mempunyai hubungan dengan orang Kim-ke-nia, boleh digolongkan orang Kim-ke-nia. Bo
Se-kiat adalah pemimpin loklim. Kay Thian-hou, tangan kanan Se-kiat yang paling dipercayai, Su
Tiau-ing dianggap pemberontak karena ia adiknya Su Tiau-gi. Sebenarnya ia bukan orang lok-lim.
Li Thiat-ceng dan Liong Theng, keduanya adalah cecu dari suatu gerombolan penyamun. Mereka
memimpin anak buahnya sendiri untuk mengganggu keamanan. Ui Kiam bekas benggol penjahat
tunggal yang sudah cuci tangan. Tapi tetap dicap sebagai pemberontak. Dan masih ada seorang
Coh Ping-gwan. Sebagian jago-jago yang berada di lapangan situ tak tahu akan asal-usul orang itu.
Setiap kali Toh hok-wi habis mengumumkan sebuah nama, di bawah panggung tentu gempar.
Ada yang berteriak kaget, ada yang bersorak-sorak menunjang tindakan Toh Hok-wi. Kini semua
hadirin baru mengetahui mengapa Cin Siang hendak bunuh diri tadi. Ternyata dia kecewa dan
putus asa. Tak mau menolak perintah kaisar tapi tak mau bermusuhan dengan sahabat-sahabatnya.
Kiranya rencana pembasmian itu diatur oleh Yo Bok-lo, Bu Wi-yang dan Toh Hok-wi. Dalam hal
ini Bu Wi-yang dan Toh Hok-wi mempunyai kepentingan besar. Kedua, Yo Bok-lo dapat membalas
dendam kepada Thiat-mo-lek, supaya Thiat-mo-lek dan Toan Khik-sia dihukum mati. Ketiga, dapat
membasmi benggolan-benggolan ternama dari loklim. Mereka kebanyakan menetap di daerah
kekuasaan Tian Seng-su dan Sik Ko. Dengan lenyapnya benggolan loklim itu, Tian dan Sik serta
para Ciat-to-su di perbatasan akan mendapat manfaat besar. Karena yang banyak diganggu oleh
kawanan loklim itu bukan pemerintah pusat melainkan panglima-panglima di daerah perbatasan
tersebut. Rencana Yo Bok-lo itu ditunjang oleh Tian dan Sik berdua. Malah Tian Seng-su sudah
memberi Yo Bok-lo dana sebesar seribu tail emas untuk biaya pergerakan itu. Karena Yo Bok-lo
kenal baik dengan Bu Wi-yang dan Toh Hok-wi, maka tanpa mengeluarkan uang sepeser,
rencananya itu segera diterima. Ya, hal itu disebabkan karena kebetulan mereka mempunyai
kepentingan sama. Dengan begitu, uang dana dari Tiang Seng-su tadi semuanya masuk kantong Yo
Bok-lo sendiri.
Tentang Su Tiau-ing, sebenarnya nona itu tak mempunyai dendam permusuhan dengan Yo
Bok-lo. Pun pribadi nona itu sebenarnya tak begitu penting. Tapi karena Li Heng, kaisar yang
sekarang ini benci sekali pada Su Tiau-gi, maka Bu Wi-yang dan Toh Hok-wi menghendaki nama
nona itu dicantumkan dalam daftar pemberontak. Sebagaimana diketahui, ayah Su Tiau-gi, dengan
An Lok-san pernah mengadakan pemberontakan hebat sampai-sampai Li Heng hampir kehilangan
tahta kerajaannya.
Orang yang menjadi raja tentu takut pada benggolan-benggolan pemberontak dari kalangan
loklim. Maka begitu mendengar usul Bu Wi-yang dan Toh Hok-wi yang antaranya mencantum
nama Su Tiau-ing dalam daftar pemberontak, kaisar Siau Cong (Li Heng) segera menyetujui
rencana itu. Kaisar itu tak ambil peduli bagaimana nasib Cin Siang yang tentu bakal kehilangan
muka pada orang-orang gagah di seluruh negeri. Bahkan mati hidupnya Cin Siang, kaisar tiada
menaruh keberatan apa-apa.
Tepat pada saat Toh Hok-wi selesai mengumumkan nama-nama pemberontak, di antara hirukpikuk
suara hadirin, tiba-tiba terdengar suara teriakan menggeledek. Thiat-mo-lek enjot tubuhnya
melayang ke atas panggung.
oooooOOOOOooooo
"Thiat-mo-lek di sini, siapa yang ada kepandaian boleh menangkapnya!" teriak ksatria itu.
Sekalian wi-su tak menyangka sama sekali bahwa Thiat-mo-lek yang dicap sebagai
pemberontak nomor satu, berani unjukkan diri di muka umum. Saking kejutnya, kawanan wisu itu
sampai terlongong-longong. Malah ada dua orang wi-su yang berdiri di tepi panggung, dari
kagetnya mendengar suara menggeledek Thiat-mo-lek itu, sampai menggigil dan tergelincir jatuh
ke bawah panggung.
Sebelum kaki Thiat-mo-lek sempat menginjak lantai panggung, Yo Bok-lo sudah
menyambutnya dengan sebuah hantaman. Tapi sambil berseru 'bagus', di atas udara Thiat-mo-lek
sudah mencabut pedangnya. Dengan gerak ing-ki-tiang-gong atau burung elang menghantam
udara, ia tusuk tenggorokan Yo Bok-lo. Yo Bok-lo miringkan tubuhnya, tangan kirinya cepat
diulurkan untuk merampas pedang orang.
Jika dinilai dalam ilmu silat, Thiat-mo-lek kini sudah lebih unggul dari Yo Bok-lo. Tapi karena
saat itu ia tengah melambung di udara, jadi tak dapat ia menggunakan seluruh tenaganya. Ketika
tusukannya luput sebelum sempat berganti jurus, Yo Bok-lo sudah berhasil mencengkeram tangkai
pedangnya dan jari tengahnya menutuk pergelangan tangan. Karena memastikan bahwa kali ini
Thiat-mo-lek tentu akan menderita kekalahan, maka banyak hadirin yang kenal padanya, serempak
berteriak kaget.
Thiat-mo-lek nekad. Ia gunakan gerak Thay-san-ya-ting atau gunung Thay-san menindih
wuwungan rumah. Tubuhnya meluncur turun. Benar Yo Bok-lo akan berhasil merampas
pedangnya tapi dia nanti tentu akan tertunjang jatuh. Adalah karena di udara tak dapat leluasa
bergerak maka Thiat-mo-lek terpaksa gunakan gerakan itu untuk 'jibaku' atau sama-sama terluka.
Cara bertempur semacam itu memang berbahaya sekali. Dada Thiat-mo-lek terbuka dan
sebenarnya Yo Bok-lo dapat menghantamnya. Thiat-mo-lek bersedia mengadu jiwa, Yo Bok-lo
tidak. Ia tahu lwekang Thiat-mo-lek tinggi, pukulannya belum tentu dapat melukai. Jika sampai
tergentus Thiat-mo-lek, celakalah.
Di dalam bertempur, selain mengandal kepandaian pun juga keberanian. Karena jeri, Yo Boklo
menyurut mundur. Dan secepat itu juga Thiat-mo-lek tabaskan pedangnya lagi. Begitu Yo Boklo
mundur lagi, Thiat-mo-lek dapat berdiri tegak di lantai panggung. Tapi karena cepatnya tabasan
Thiat-mo-lek, rambut kepala Yo Bok-lo kena terpapas.
Begitu memperoleh posisi, Thiat-mo-lek menyerang lagi dengan tiga kali tabasan. Yo Bok-lo
terdesak dan sudah berniat lari ke belakang panggung.
"Amuk, amuk!" teriak Bu Wi-yang dengan murka. Karena tak sempat mencabut senjatanya
sendiri, ia mencambuk dengan kim-pian kepunyaan Utti Pak tadi. Sebagai to-wi dari pasukan
Liong-ki, sebenarnya kepandaian Bu Wi-yang itu juga hebat. Ia mahir menggunakan delapan
macam senjata. Sabatannya dengan jurus hwe-hong-soh-liu itu juga hebat sekali.
Thiat-mo-lek menangkis dengan pokiamnya. Tring, bunga api meletik. Bu Wi-yang terkejut.
Ia tak kira Thiat-mo-lek berani menabas dengan pedangnya. Buru-buru ia tarik pulang kim-pian.
Untung cambuk itu cukup berat dan hanya terpapas sedikit tak sampai putus. Suatu hal yang
membuat Bu Wi-yang lega.
Pada saat itu Toh Hok-wi pun menyerang. Kepandaiannya masih di bawah Bu Wi-yang, tapi
golok gan-leng-to yang digunakan itu adalah pusaka anugerah kaisar. Walaupun ketika Thiat-molek
menangkis ia (Toh Hok-wi) harus meringis karena tangannya kesakitan, namun goloknya tak
kena apa-apa. "Thiat-mo-lek, sekalipun kau punya tiga kepala enam lengan, jangan harap kau mampu lolos!"
teriak Yo Bok-lo. Dengan gunakan gerak chit-poh-tui-hun, ia hantam punggung Thiat-mo-lek.
Thiat-mo-lek gunakan jurus ngo-ting-gui-san, balikkan tangan menghantam ke belakang.
Plak, Yo Bok-lo tergetar tubuhnya. Thiat-mo-lek terhuyung-huyung hampir jatuh. Untung
buru-buru ia gunakan gerak cian-kin-tui untuk mempertahankan keseimbangan badannya. Dalam
pada itu ia masih dapat menangkis serangan gan-leng-to Toh Hok-wi dan sabatan kim-pian Bu Wiyang.
Diam-diam Yo Bok-lo terperanjat. Thiat-mo-lek hanya menangkis dengan sebelah tangan
sedang tadi ia menghantam dengan kedua tangan. Tapi ternyata tak dapat menang, paling-paling
dapat membuat Thiat-mo-lek terhuyung-huyung saja. Ini menyatakan bahwa lwekang Thiat-mo-lek
itu jauh lebih tinggi dari dia.
"Kalau kesempatan bagus seperti saat ini tak dapat menangkapnya, kelak tentu merupakan
bahaya besar," diam-diam Yo Bok-lo membatin. Dan ia pun segera menyerang dengan pukulan tuihun-
chit-ciang. Sepasang tangan tak dapat melawan tiga pasang tangan. Walaupun dalam beberapa saat Thiatmo-
lek tak sampai kalah tapi toh keadaannya berbahaya sekali.
Sekonyong-konyong terdengar sebuah suitan panjang. Sesosok tubuh melayang dari tengahtengah
penonton: "Harap sekalian enghiong menyisih, Toan Khik-sia datang!"
Karena sebagian besar jago-jago yang hadir dalam pertandingan itu sama mengindahkan Thiatmo-
lek, merekapun segera memberi jalan untuk Toan Khik-sia. Tapi di antara mereka ada juga
beberapa orang yang bernafsu untuk mendapat hadiah kaisar. Apalagi mereka anggap Toan Khiksia
yang masih muda itu tentu mudah ditindas. Mereka melolos senjata dan menghadang si anak
muda. Tapi Khik-sia berdiri tak jauh dari Yak-bwe. Begitu anak muda itu melambung ke udara, Yakbwe
pun segera melihatnya. Girang si nona bukan kepalang. "Ci In, lekas bantu dia!" serunya
sambil menerobos maju. Kebetulan yang berada di sampingnya adalah Tok-ko U dan Tok-ko Ing.
Malah karena Tok-ko Ing berdiri di dekat Yak-bwe, hampir saja ia terdampar jatuh. Kedua kakakadik
itu sama tercengang.
Mereka mengenali Khik-sia sebagai pemuda yang mencuri masuk ke dalam rumah mereka dan
bertempur dengan Yak-bwe. Dan juga pemuda yang dijumpai mereka beberapa hari yang lalu di
tengah jalan serta membantu si nona siluman she Su ketika bertempur dengan mereka.
"Ya, dia benar Toan Khik-sia! Tapi mengapa tempo hari Su toako memakinya sebagai penjahat
kecil" Dan mengapa sekarang ia (Su toako) bingung hendak membantunya?" Tok-ko Ing bingung
melihat kejadian itu. Tetap sampai pada saat itu, ia masih menaruh hati pada Yak-bwe karena
mengira nona itu seorang pemuda.
Tidak demikian dengan Tok-ko U. Memang sudah lama ia menaruh kecurigaan terhadap diri
'pemuda' she Su itu. Ketika mendengar pada saat itu Yak-bwe memanggil 'ci In' pada In-nio,
terbukalah ingatan Tok-ko U. "Oh, kiranya perwira yang satunya itu adalah Sip In-nio li-hiap yang
termasyhur. Karena ia memanggil Sip lihiap 'ci In', tentulah ia sendiri juga seorang nona yang
menyaru. Ah, kasihan adikku yang sudah merindukan seorang pemuda gadungan," katanya dalam
hati. "Ing-moay, janga kesima saja. Lekas bantu citpi Su!" segera ia menyuruh Tok-ko Ing.
"Koko, apa katamu" Su toako itu, itu ....!" teriak Tok-ko Ing dengan kagetnya hingga tak dapat
melampiaskan kata-katanya. Untung suasana di situ hiruk tak keruan hingga orang-orang tak
memperhatikan Tok-ko Ing.
"Apa kau masih belum mengerti" Dia bukan Su toako-mu, tetapi tunangan Toan Khik-sia yang
bernama Su Yak-bwe!" sahut Tok-ko U.
Tok-ko Ing menjerit kaget dan tertegun seperti patung.
"Meskipun ia bukan lagi Su toako-mu, tapi karena ia menjadi sahabat kita dan sedang
mendapat kesukaran, apakah kita tega berpeluk tangan melihat saja?" seru Tok-ko U.
Tok-ko Ing gelagapan. Dengan menindas kepedihan hatinya, ia menyahut: "Benar, entah ia Su
toako atau Su cici, aku telah mengikat kasih padanya."
Begitulah kedua saudara Tok-ko itu mencabut senjata dan menerobos ke muka.
"Apakah kalian bukan kakak adik she Tok-ko?" tiba-tiba terdengar teriakan.
Ketika berpaling mengawasi, Tok-ko U melihat Lu Hong-jiu dan kakaknya Lu Hong-jun
menghampiri datang. Diam-diam Tok-ko U girang, pikirnya: "Setelah kecele dengan Su toako-nya,
adik Ing tentu akan beralih perhatiannya kepada Lu Hong-jun. Kedua saudara Lu itu ternyata juga
berhati ksatria tapi dikuatirkan mereka akan terseret dalam peristiwa ini."
Seorang opsir yang bersenjata tok-kak-tong-jin (besi yang berbentuk macam orang-orangan
berkaki satu), menghantam Tok-ko Ing dengan jurus Thay-san-ya-ting. Sebenarnya Tok-ko Ing
mahir dalam ilmu pedang. Hanya karena tadi ia menderita kegoncangan hati yang hebat, maka
permainannya pun rancu. Ketika pedangnya hampir terhantam tok-kang-tong-jin, tiba-tiba
terdengar suara busur mengatup. Ternyata Lu Hong-jun lepaskan anak panah ke arah opsir itu.
Anak panah masuk ke punggung si opsir menembus sampai ke dada. Opsir itu terjungkal, gada tokkak-
tong-jinnya menghantam tanah sampai muncrat kemana-mana.
Tok-ko Ing tersentak dan tersadar dari lamunannya. Lu Hong-jun lari menghampiri. Masih
jauh sudah berseru: "Apakah nona Ing terluka?"
Tok-ko Ing merah wajahnya dan menghaturkan terima kasih kepada pemuda itu. Demikianlah
dua pasang kakak adik, maju membuka jalan.
Sebelum Yak-bwe dan In-nio dapat mengejar Khik-sia, tiba-tiba mereka mendengar lengking
suara yang menusuk telinga. "Suhengmu di sini, apa kau masih berani kurang ajar!?"
Seorang yang wajahnya mirip kunyuk, melesat keluar dari tengah penonton. Itulah Ceng-cengji.
Ternyata Ceng-ceng-ji memang sudah bersekongkol dengan Yo Bok-lo. Hanya ia yang bertugas
untuk menyelinap di antara penonton. Begitu Toh Hok-wi mengumumkan nama kesepuluh
pemberontak, iapun segera siap bertindak.
Kuatir kalau tak keburu menghadang Khik-sia hingga anak muda itu nanti sempat membantu
Thiat-mo-lek, maka dalam bingungnya tanpa minta permisi pada orang-orang lagi, Ceng-ceng-ji
sudah enjot tubuhnya melayang melampaui kepala para penonton yang menghadang jalannya.
Dengan gunakan lwekang isitmewa, ia injak kepala orang untuk melambung ke udara. Tapi injakan
itu sedemikian rupa hingga tak sampai membuat sakit orang. Namun sekalipun begitu, karena
orang-orang yang datang di pertemuan itu kebanyakan adalah jago-jago silat, jangankan sampai
dipijak kepalanya, sedang dilampaui kepalanya saja mereka sudah merasa dihina. Seketika terbitlah
hujan makian. Kalau tadi mereka hanya tak simpati kepada Ceng-ceng-ji, kini rasa itu meningkat
jadi rasa kebencian.
Saat itu Khik-sia sedang dihadang oleh beberapa orang. Melihat Ceng-ceng-ji muncul,
marahlah anak muda itu. Sebaliknya orang-orang yang mengeroyoknya itu, tambah bersemangat.
Sebenarnya mudah sekali Khik-sia membunuh mereka, tapi mengingat mereka itu juga sesama
kaum persilatan, bagaimanapun Khik-sia tak tega juga.
"Bagus, kebetulan Ceng-ceng-ji datang. Biarkan dia berhantam dengan kawan-kawannya
sendiri!" secepat mendapat akal secepat itu Khik-sia menyambar seorang pengeroyoknya yang
bersenjata kapak, terus dilemparkan ke arah Ceng-ceng-ji.
Lemparan Khik-sia itu hebat sekali. Kalau Ceng-ceng-ji tak mau menyambuti orang itu tentu
mati, paling tidak kepalanya tentu bebodoran darah. Ketika mengawasi, dilihatnya orang yang
dilempar Khik-sia itu adalah masih pamannya Ki Ping-hwat. Ki Ping-hwat seorang benggolan
penjahat yang sudah seperti saudara dengan Ceng-ceng-ji. Di antara kaum ya-pay yang diundang
Ceng-ceng-ji supaya datang ke pertemuan itu, antaranya juga Ki Ping-hwat. Sudah tentu Cengceng-
ji terpaksa harus menyambut pamannya Ki Ping-hwat itu.
Dalam melayang, orang itu masih mencekal kapaknya. Dan lemparan Khik-sia itu
membuatnya pusing tujuh keliling. Begitu kakinya dicekal Ceng-ceng-ji, tanpa melihat lagi orang
itu sudah lantas ayunkan kapaknya menghantam iblis, ia menerjang.
"Goblok, inilah aku!" bentak Ceng-ceng-ji menutuk kapak orang dengan sebuah jarinya. Dan
sekali ringkus, ia turunkan orang itu. Dia dapat diselamatkan tapi tangan Ceng-ceng-ji merasa
kesemutan karena harus menyambuti sebuah 'daging' dari 100-an kati yang dilempar sekuat-kuatnya
oleh Khik-sia. "Ha, Ceng-ceng-ji, kau memang goblok!" Khik-sia tertawa mengejek dan terus menyambar
seorang lagi untuk dilemparkan pada Ceng-ceng-ji.
Orang ini adalah murid kepala dari Pok Yang-kau, seorang sahabat baik Ceng-ceng-ji. Karena
itu terpaksa Ceng-ceng-ji harus menyambutinya lagi. Tapi sekarang ia sudah punya pengalaman.
Lebih dulu ia gunakan ilmu tutukand ari jauh kek-gong-tiam-hiat, kemudian baru disanggupi dan
dibuka jalan darahnya. Tapi orang yang kedua ini jauh lebih gemuk dari yang ke satu. Maka waktu
menyambuti pun Ceng-ceng-ji 'hos' napasnya.


Tusuk Kondai Pusaka Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Demi melihat kegagahan Khik-sia, orang-orang yang hendak mengeroyoknya tadi kuncup
nyalinya dan sama menyingkir. Khik-sia tertawa, terus menerobos ke muka. Dengan tersengalsengal,
Ceng-ceng-ji mengejar. Tiba-tiba terdengar suara orang tua memakinya: "Kunyuk kecil,
gantilah buli-buliku!"
Yang memaki itu ternyata Hong-kay Wi Gwat. Seperti diketahui, buli-buli arak yang amat
disayangi pengemis gila itu, ketika dalam rapat besar Kay-pang telah dipecahkan oleh Ceng-ceng-ji.
Wi Gwat benci setengah mati pada Ceng-ceng-ji.
"Pengemis tua, jangan ngaco! Kita hendak menangkap pemberontak. Kau toh bukan termasuk
pemberontak, mengapa ikut-ikutan campur?" Ceng-ceng-ji marah.
"Aku tak peduli pemberontak atau bukan, pendek kata kau harus segera mengganti buli-buli
yang persis seperti kepunyaanku tempo hari. Kalau tidak, mereka menangkap pemberontak, aku
menangkap kau!"
Saking gusarnya Ceng-ceng-ji sampai meringis. Ia balas memaki: "Kau benar-benar orang
gila!" Sekonyong-konyong Wi Gwat ngangakan mulut dan meluncurlah bianglala arak di udara,
serunya: "Coba cicipilah arak ini. Karena kutaruhkan dalam buli-buli baru, rasanya kurang enak.
Kuminta ganti, itu sudah maha adil. Mengapa kau berani memaki aku orang gila?"
Ginkang Ceng-ceng-ji lebih unggul dari Wi Gwat. Tapi karena tadi dua kali ia menyambuti
lemparan orang, tenaganya agak berkurang, ginkangnyapun terganggu. Semburan arak Wi Gwat itu
tak diduga-duga, sehingga ia tak sempat menghindar lagi. Kepala dan mukanya tili-tili kena hujan
arak. Panasnya bukan kepalang!
Ceng-ceng-ji katupkan matanya. Tahu-tahu Wi Gwat sudah loncat dan memukul punggungnya.
Mendengar sambaran anginnya, Ceng-ceng-ji sabatkan pedangnya ke belakang. Pedangnya itu
tajam bukan buatan, di samping itu dilumuri racun juga. Wi Gwat juga jeri. Cepat-cepat ia tarik
pulang tinjunya tapi berbareng itu ia kirim jotosan tangan kiri. Ceng-ceng-ji menghindar, namun
slentikan jari Wi Gwat tak dapa dielakkan. Tring, pedang kena ditutuk. Karena sakitnya hampir
saja tangan Ceng-ceng-ji tak kuat mencekal pedangnya lagi.
Wi Gwat tertawa gelak-gelak. "Kunyuk kecil, boleh tak usah ganti buli-buliku, asal kau
berlutut mengangguk kepala padaku!" -- Dalam berkata-kata itu, Wi Gwat sudah lancarkan tujuh
buah pukulan. Sembari berlincahan menghindar, Ceng-ceng-ji mempesut arak pada mukanya. Setelah dapat
membuka mata, barulah ia balas menyerang. Karena dibuat mainan itu, Ceng-ceng-ji marah sekali.
Kalau dapat ia hendak meremuk-remuk pengemis tua itu, namun tenaganya tak mampu.
Kecuali hanya kalah dalam ilmu ginkang, lain-lain kepandaian Wi Gwat lebih lihay dari Cengceng-
ji. Apalagi dalam hal kedahsyatan tenaga pukulan, benar-benar Ceng-ceng-ji ketinggalan
jauh. Betapapun Ceng-ceng-ji mati-matian melawannya, tapi pedangnya tak mampu mendekati
tubuh Wi Gwat, paling banyak masih terpisah tiga dim dari tubuh pengemis itu, sudah kena
disisihkan oleh angin pukulannya.
Sepuluh jurus kemudian, pukulan Wi Gwat makin gencar sehingga Ceng-ceng-ji seperti
dipagari dengan tembok pukulan. Sekalipun Ceng-ceng-ji hendak gunakan ginkang, rasanya tetap
tak mampu keluar dari kepungan itu.
Tangan kanan dan tangan kiri Ceng-ceng-ji, yakni Ki Ping-hwat dan Po Yang-kau, buru-buru
datang menolong. Long-ya-pang atau toya gigi serigala yang digunakan Ki Ping-hwat, termasuk
senjata yang lihay. Dan Ki Ping-hwat itu dalam kalangan ya-pay (jahat), termasuk sepuluh tokoh
yang menonjol. Ilmu lwekang khun-gwan-it-bu-kang dari Pok Yang-kau, termasuk ilmu istimewa
dalam dunia persilatan. Memang tenaganya tak sehebat Wi Gwat, tapi andaikata ia bertempur
sendirian dengan pengemis tua itu, ia masih dapat bertahan sampai dua-tiga puluh jurus.
Karena dikerubuti oleh tokoh-tokoh begitu, dari menyerang sekarang Wi Gwat berbalik
bertahan. Ciok Ceng-yang, murid keponakan Wi Gwat, memburu datang. Ciok Ceng-yang
merupakan murid angkatan kedua dari Kay-pang yang paling tinggi kepandaiannya. Dengan
gunakan hang-mo-ciang-hwat atau ilmu tongkat menundukkan iblis, ia menerjang. Dengan
masuknya tokoh Kay-pang itu, pertandingan menjadi berimbang.
Kalau di bawah panggung pertempuran berlangsung hebat, pun di atas panggung tak kurang
tegangnya. Menghadapi tiga musuh, Thiat-mo-lek bertempur dengan mati-matian. Munculnya
Khik-sia, sungguh tepat sekali waktunya.
"Bangsat tua, lihat pedangku!" teriak jago muda itu sembari menerjang Yo Bok-lo. Yo Bok-lo
hantamkan sepasang tangannya, anginnya laksana prahara di lautan. Namun dengan menggeliat
Khik-sia tetap merangsangnya dengan serangan pedang bertubi-tubi, sehingga tak dapat Yo Bok-lo
menggunakan tenaga. Andaikata dapatpun tetap tak kuasa menahan arus serangan si anak muda.
Akhirnya ia ambil putusan, lepaskan Thiat-mo-lek dan melayani Khik-sia dengan sepenuh
tenaganya. Berkurang seorang lawan, ringanlah Thiat-mo-lek. Seketika bangkitlah semangatnya: "Kalian
mau menyingkir tidak?" -- Ia putar pedangnya seperti orang membacok dengan golok. Itulah ilmu
pedang yang diciptakannya sendiri. Hebatnya bukan kepalang.
Toh Hok-wi yang kepandaiannya agak rendah, telah digetarkan hatinya oleh bentakan Thiatmo-
lek tadi. Sebelum ia sadar pedang Thiat-mo-lek sudah menyambar ke arah kepalanya.
Tergopoh-gopoh Toh Hok-wi menangkis dengan goloknya. Tring, Toh Hok-wi rasakan tangannya
seperti pecah dan goloknyapun jatuh ke lantai. Tanpa malu-malu lagi dirinya sebagai pemimpin
pasukan pengawal kota, Toh Hok-wi bergelundungan di atas panggung untuk menghindari pedang
orang. Untung Thiat-mo-lek memang tak bermaksud hendak membunuhnya. Setelah dapat membobol
kepungan, ia menyerukan Khik-sia supaya tinggalkan lawan dan ikut padanya. Khik-sia tahu
maksud piaukonya ialah hendak menolong Cin Siang lebih dulu. Maka walaupun ia menang angin,
tapi terpaksa tinggalkan Yo Bok-lo juga.
Sebenarnya Yo Bok-lo sendiri juga kuatir terlibat dalam pertempuran. Namun ketika ia
menghindar dari tusukan Khik-sia dan tampak anak muda itu loncat lari, ia masih pura-pura
membentaknya: "Bangsat kecil, jangan lari!"
"Kalau berani, kejarlah aku!" Khik-sia tertawa mengejeknya sambil ikut Thiat-mo-lek loncat
turun panggung.
"Celaka, mereka hendak merampas Cin Siang!" teriak Bu Wi-yang. Tapi tiba-tiba Yo Bok-lo
mendapat pikiran, serunya: "Toh tayjin, pimpinlah pasukan Theng-pay-kun meringkus pengemis tua
itu. Biarkan Ceng-ceng-ji dapat membantu aku. Biar bagaimanapun, hari ini jangan sampai Thiatmo-
lek dan Toan Khik-sia bisa lolos!"
Dengan kekalahan tadi, Toh Hok-wi kehilangan muka benar-benar. Pikirnya: asal jangan
disuruh berhadapan lagi dengan Thiat-mo-lek, ia tentu dapat menebus malu. Setitikpun ia tak
mimpi bahwa Wi Gwat itu tak kalah lihay dengan Thiat-mo-lek.
Suasana di lapangan ketentaraan itu, kacau balau. Walaupun yang akan ditangkap itu hanya
sepuluh pemberontak, tapi mereka itu, kecuali Su Tiau-ing dan Coh Ping-gwan yang tak dikenal
orang itu, semua adalah tokoh-tokoh persilatan yang ternama. Teristimewa Thiat-mo-lek dan Bo
Se-kiat. Yang satu pemimpin loklim. Dengan sendirinya banyaklah orang gagah yang sedia
membantunya. (Sekalian hadirin tak mengetahui bahwa Bo Se-kiat tak berada di situ). Tapi
disamping itu tak kurang jumlahnya jago-jago yang karena temaha akan hadiah besar, telah
membantu pada pihak tentara. Antara golongan pro dan kontra itu telah terbit pertempuran sendiri
yang seru. Pasukan Gi-lim-kun dan pasukan penjaga kota dari Toh Hok-wi, itu waktu berada di samping
gelanggang, segera siapkan senjata dan panah. Karena pertempuran kacau balau tak dapat
mengetahui mana lawan mana kawan, maka pasukan-pasukan itu tak berani melepaskan anak
panahnya. Mereka hanya mengepung rapat, supaya jangan ada orang yang bisa lolos. Tetapi
terdapat perbedaan sikap antara kedua pasukan Gi-lim-kun dan Seng-hong-kun itu. Gi-lim-kun
penasaran karena pemimpin mereka (Cin Siang) ditangkap. Hanya karena tak berani membangkang
perintah raja, maka mereka tak berani melawan.
Toh Hok-wi segera perintahkan Cin Siang dan Utti Pak yang sudah diborgol itu supaya lekas
digusur pergi agar jangan sampai terjadi hal-hal yang tak diinginkan. Tapi karena di gelanggang
situ penuh sesak dengan orang yang bertempur, jadi mereka tak dapat membawa kedua tahanan itu.
"Khik-sia, lindungi aku dari belakang!" seru Thiat-mo-lek. Ia sendiri lantas membuka jalan
darah. Siapa yang menghalangi tentu dihajarnya. Entah sudah berapa banyak golok, tombak dan
pedang yang kena dibabat kutung olehnya. Sudah tentu kawanan pasukan pemerintah itu tak berani
menghadapi kegagahan Thiat-mo-lek.
Tiba-tiba Thiat-mo-lek menggembor keras dan karena kejutnya kawanan tentara itu menyiak
minggir. Thiat-mo-lek menerobos maju mengejar Cin Siang. Serunya: "Cin toako, orang kuno
mengatakan 'mengabdi raja seperti mengawani harimau'. Kerajaan tak mau memakaimu, mengapa
kau tak mau ceburkan diri dalam dunia persilatan saja" Marilah ikut siaute!"
Ia hantam perwira yang memegangi Cin Siang dan memutuskan tali-tali yang mengikat tubuh
Cin Siang. Tapi waktu ia hendak menghancurkan borgo, tiba-tiba Cin Siang membentaknya dengan
murka: "Berhenti!"
Belum tangan Thiat-mo-lek menyentuh borgolan, benda itu sudah putus sendiri. Thiat-mo-lek
tertegun, serunya: "Toako, harap suka mendengar kata-kata siaute ...."
Belum sempat Thiat-mo-lek menyelesaikan kata-katanya, Cin Siang sudah mendorongnya:
"Mo-lek, kau hendak menjerumuskan aku menjadi manusia yang tak setia dan tak berbudi" Jika
aku mau melarikan diri, tak perlu harus kau tolong! Harap kau tinggalkan tempat ini dan
persahabatan kita tetap. Tapi jika kau berani maju selangkah lagi, akan kuanggap kau sebagai
musuhku!" Kiranya sejak tadi Cin siang sudah menyalurkan lwekang untuk membuka jalan darahnya yang
ditutuk Yo Bok-lo. Cin Siang seorang gagah perkasa. Jika mau melarikan diri semudah orang
balikkan telapak tangan. Tapi dia adalah keturunan dari menteri negara yang setia. Ajaran bahwa
'jika raja menghendaki menteri supaya mati, ia harus mati. Ayah suruh puteranya mati, pun putera
itu harus mati', rupanya sudah berakar dalam sanubarinya. Sudah tentu ia tak mau berdosa kepada
raja. Setelah dapat mendorong Thiat-mo-lek, ia berseru: "Mari, ambil borgol lagi untuk aku!"
Perwira yang membawanya tadi baru saja merangkak bangun. Tubuhnya gemetar, kakinya
lemas lunglai. "Sebenarnya tak usah pakai borgol juga sama. Tapi karena peraturan kaisar harus begitu, maka
harus diturut. Biarlah kupasangnya sendiri lagi," Cin Siang tertawa lalu memungut alat borgol yang
jatuh di tanah tadi terus dipasang di tangannya sendiri. Alat borgol itu sudah putus karena kekuatan
lwekangnya. Tapi sekalipun sudah tak kokoh, masih dapat dipakai lagi.
"Asal sudah menurut perintah baginda, hatiku sudah tenang. Mari kita jalan!" serunya.
Melihat Cin siang memasang sendiri borgolannya lagi, girang si perwira tak terperikan. Kuatir
akan timbul lain kejadian, buru-buru ia membawa Cin Siang pergi.
Kepandaian Cin Siang dan Thiat-mo-lek itu berimbang, pun tenaganya sama kuat. Hanya tadi
karena hendak membuka borgolan Cin Siang, Thiat-mo-lek sudah tak mengira kalau Cin Siang
hendak mendorongnya. Karena Cin Siang menggunakan tenaga cukup, maka walaupun Thiat-molek
tak sampai terlempar jatuh, pun tak urung ia terhuyung-huyung ke belakang sampai satu tombak
lebih jauhnya. Waktu Thiat-mo-lek dapat berdiri tegak, rupanya Cin Siang tak mau diganggu lagi,
maka dorongannya tadi disertai dengan tenaga lipat yang istimewa. Habis mendorong masih ada
segelombang tenaga yang menyusul. Ilmu dorongan istimewa itu disebut Liong-bun-tiap-long,
yakni ilmu warisan keluarga Cin yang termasyhur.
Walaupun menjadi sahabat baik tapi Thiat-mo-lek belum pernah menyaksikan kepandaian Cin
Siang. Tenaga susulan dari dorongan tadi telah membuat Thiat-mo-lek yang baru saja dapat berdiri
tegak itu harus menyurut mundur tiga langkah lagi. Terpaksa Thiat-mo-lek harus berputar-putar
tubuh dulu baru dapat menghapus arus tenaga Cin Siang.
"Ah, Cin toako, mengapa kau rela menderita!" teriak Thiat-mo-lek.
Tapi pada saat itu Bu Wi-yang sudah muncul. Melihat kesempatan sebagus itu, Bu Wi-yang
terus menyabet Thiat-mo-lek dengan cambuk. Karena kakinya belum tegak, Thiat-mo-lek tak dapat
menghindar. Tar, punggungnya berhias dengan guratan darah yang panjang. Bu Wi-yang lantas
mencambuk lagi tapi dengan menggerung keras, Thiat-mo-lek menyambar tangkai cambuk. Sekali
menyentak, Bu Wi-yang terseret hampir jatuh. Namun karena cambuk kim-pian, iapun
mempertahankan mati-matian tak mau melepaskannya. Celaka, karena tergosok kim-pian, telapak
tangannya pecah mengeluarkan darah.
Utti Pak yang berjalan di muka Cin Siang, demi mendengar suara sabetan cambuk, cepat
berpaling ke belakang. Matanya melotot dan mulutnya berseru menggeledek: "Bu Wi-yang, kau
berani menggunakan kim-pianku" Kalau baginda yang mengambil, aku tak berani membantah.
Tapi jika kau hendak mempergunakan menghajar orang, aku tak dapat membiarkan!"
Sekali kerahkan tenaga, borgolannyapun lantas putus berantakan. Kiranya diapun tadi-tadi
sudah mengerahkan lwekang untuk membuka jalan darahnya yang tertutuk. Dalam hal tenaga, ia
lebih kuat dari Cin Siang. Apalagi sedang marah besar.
Melihat itu, Bu Wi-yang pun tersentak kaget. Buru-buru ia tarik kim-piannya dan berseru:
"Utti ciangkun, kau, kau ...." -- Baru ia hendak memperlihatkan surat perintah raja, Cin Siang sudah
melangkah maju dan membentak Utti Pak: "Jite, jangan sembrono! Apa kau masih mau memupuk
kedosaan lagi" Kita harus menyerah pada keputusan baginda, jangan sekali-kali bertindak sendiri.
Lekas pasang lagi borgolanmu!"
Dalam hidupnya Utti Pak hanya menurut pada Cin Siang seorang. Apa boleh buat, ia terpaksa
minta alat pemborgol baru pada si perwira tadi. Setelah memasangkan borgolannya sendiri, ia
berseru: "Toako, jika tak memandang kau, dia tentu sudah kurobek-robek tulangnya! Thiat hiante,
tolong kau wakilkan aku menghajarnya!"
Cin Siang kerutkan alisnya: "Thiat hiante, jika dapat pergi lekaslah pergi, jangan menerjang
bahaya besar!"
Sambil berkata itu ia mendorong Utti Pak supaya jalan.
"Tak usah mendorong-dorong, aku toh menurut apa perintahmu. Urusan kerajaan toh aku
bakal tak melihat lagi, terserah keputusan mereka," si berangasan Utti Pak mengomel. Ia kecewa.
Dengan menyeret rantai borgolan ia terus berjalan. Begitu cepat jalannya hingga opsir yang
membawanya itu sampai ketinggalan.
Dalam pada itu karena kim-piannya terampas, Bu Wi-yang cepat mengeluarkan sepasang kait
hou-thau-kau, terus menyerang: "Thiat-mo-lek, kau berani merampas kim-pian dari baginda Thay
Cong?" Sebenarnya ia jeri juga menghadapi Thiat-mo-lek, tapi apa boleh buat karena menjalankan
perintah raja. Jika kim-pian itu sampai hilang, tentu celaka ia. Ya, mungkin karena disayang raja,
ia tak sampai dihukum mati, tetapi bagaimanapun juga kedudukannya pasti hilang. Kalau sampai
begitu, cita-citanya untuk menjadi pemimpin Gi-lim-kun tentu amblas. Maka dengan mati-matian
ia berusaha merebut kim-pian lagi.
Menggenggam kim-pian, hati Thiat-mo-lek merasa sayu. Dia yang dahulu begitu setia
menjaga baginda Hiang Cong lolos dari bahaya, toh akhirnya difitnah oleh kawanan dorna hingga
hampir saja jiwanya hilang. Utti Pak lebih menggenaskan lagi nasibnya. Padahal dia itu keturunan
Utti Kiong, seorang menteri yang berjasa besar pada baginda Li Si-bin, pendiri ahala Tong.
Dalam kesayuan itu, tiba-tiba Thiat-mo-lek tertawa sinis. Kim-pian diputarnya: "Persetan
dengan segala pitutur emas. Hm, hm, kiranya apa yang dikatakan kaisar itu tak boleh diganggu
gugat! Utti toako, kim-pian ini kau anggap sebagai pelindungmu, tapi ternyata raja sudah tak
menganggap lagi kepada leluhurnya. Ha, ha, meskipun kim-pian emas ini beratnya lebih dari
sepuluh kati, tapi bagiku tak berharga sepeser buta. Kubawa tewas mengotori tanganku saja.
Persetan dengan kim-pian, enyahlah!"
Sekali putar ia lepaskan kim-pian itu dan tertawa sinis pula: "Bu Wi-yang, terimalah benda
yang kau kehendaki ini!"
Kim-pian melayang, anginnya menderu-deru. Bu Wi-yang tak berani menyambuti. Buru-buru
ia tundukkan kepala. Plak, opsir yang di belakangnya termakan perutnya. Dua buah tulangnya
patah seketika. Setelah itu baru Bu Wi-yang berani loncat memungutnya. Takut kalau dirampas
Thiat-mo-lek lagi, ia tak berani memakainya.
Habis melampiaskan kemarahannya, Thiat-mo-lek mendongak tertawa keras. Nadanya penuh
dengan kerawanan. Ketika memandang ke muka, dilihatnya Cin Siang dan Utti Pak sudah berjalan
jauh. Betapa keras dan tegas biasanya dia itu, tetapi menyaksikan pemandangan yang
menggenaskan itu, tak urung hatinya pedih juga. Sampai sekian saat ia termenung-menung.
"Cin toako berkeras ingin menjadi menteri yang setia. Dia relah mengorbankan jiwanya untuk
aku, tetapi aku tak dapat menolongnya. Ah, bagaimana ini?" demikian hatinya gundah.
Sirapnya ketawa Thiat-mo-lek telah diganti dengan timbulnya suara ketawa sinis dari Yo Boklo:
"Thiat-mo-lek, jiwamu sendiri sukar dipertanggung-jawabkan, mengapa melamun hendak
menolong sahabatmu" Bagimu seorang pemberontak memang harus menerima hukuman cincang,
tapi mengapa kau merembet Cin Siang dan Utti Pak juga" Kau membanggakan dirimu sebagai
seorang ksatria, apakah kau tak malu dengan perbuatanmu itu" Jika aku menjadi kau, tentu segera
membunuh diri!"
Yo Bok-lo telah mengetahui isi hati Thiat-mo-lek dari nada ketawanya yang rawan tadi. Ia
coba menggunakan kata-kata tajam untuk menusuk hati orang agar Thiat-mo-lek bunuh diri saja.
Saat itu karena sedihnya Thiat-mo-lek sampai berlinang-linang air mata. Kesempatan itu tak
disia-siakan Yo Bok-lo. Cepat ia gunakan gerakan chit-poh-tui-hun menyelinap ke belakang Thiatmo-
lek. Maksudnya hendak membokongnya.
"Kentut! Kentut!" dari jauh Khik-sia berteriak membentak. "Kau sendiri hai bangsat tua, yang
seharusnya bunuh diri. Lupakah bahwa dulu kau pernah menjadi anteknya An Lok-san" Hm, hm,
mengapa kau berkulit muka tebal berani memaki-makin orang sebagai pemberontak!"
Karena ia sedang melindungi Thiat-mo-lek dari belakang, itu waktu ia sedang menggasak
beberapa tay-hwe-wi-su, maka ia masih belum sempat menghampiri piaukonya.
Thiat-mo-lek tersentak dan sadarlah pikirannya yang gelap tadi. Secepat merasa ada angin
menyambar dari belakang, dengan menggerung keras ia balikkan tangannya menghantam ke
belakang, bentaknya: "Benar! Sebelum aku mati, harus membunuhmu seorang bangsat yang tak
punya malu!"
Benturan pukulan itu telah menerbitkan suara keras. Dua-duanya menggunakan tenaga penuh.
Tapi kesudahannya, Yo Bok-lo tersurut mundur beberapa langkah.
Meskipun jeri tapi karena jumlahnya lebih banyak, maka setelah menyerahkan kim-pian pada
orang kepercayaannya, Bu Ti-yang pun lantas menyerang Thiat-mo-lek dengan sepasang kaitan.
Yob Bok-lo lebih-lebih tak mau lepaskan Thiat-mo-lek. Apalagi karena dilihatnya Ceng-ceng-ji
sudah terlepas dari gangguan Wi Gwat dan tengah lari mendatangi. Cepat ia maju untuk
mengeroyok Thiat-mo-lek.
Sebenarnya kepandaian Yo Bok-lo itu terpaut tak banyak dengan Thiat-mo-lek. Ditambah
dengan Bu Wi-yang, dapatlah mereka mengimbangi Thiat-mo-lek. Sepasang kait hou-thau-kau atau
kepala macan dari Bu Wi-yang itu sebenarnya khusus untuk menundukkan golok dan pedang.
Karena Thiat-mo-lek harus menumpahkan sebagian besar perhatiannya kepada Yo Bok-lo, maka ia
belum sempat menghancurkan kaitan Bu Wi-yang. Jika Bu Wi-yang belum patah nyalinya, mereka
tentu menang angin.
Khik-sia cepat mengundurkan kawanan opsir, tapi ketika ia hendak menghampiri piaukonya,
Ceng-ceng-ji sudah mencegatnya: "Budak kecil, hm, kau berani tak menurut pada suhengmu"
Mengingat kau masih muda tak mengerti pengalaman, maka lepaskan senjatamu, biar kumintakan
ampun pada Bu tayjin, mungkin kau dapat dibebaskan dari hukuman mati," seru Ceng-ceng-ji.
"Cis, tak tahu malu! Kau masih pantas menjadi suhengku" Untung tadi aku tak mati kau tipu.
Lihat pedangku!" Khik-sia murka. Ceng-ceng-ji melancarkan tujuh rangkai serangan, tapi Khik-sia


Tusuk Kondai Pusaka Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membalasnya dengan delapan buah tabasan.
Menurut penilaian, kepandaian Khik-sia sekarang lebih unggul setingkat dari Ceng-ceng-ji.
Tapi karena sumbernya sama-sama dari satu perguruan apalagi Ceng-ceng-ji lebih menang dalam
hal pedang (pusaka), maka sukar juga bagi Khik-sia untuk memenangkannya.
Selagi pertempuran berlangsung seru, tiba-tiba terdengar suara teriakan gempar dari kawanan
tentara. Begitu hiruk pikuk sampai suara beradunya senjata jago-jago yang bertempur itu tak
kedengaran. Kiranya ketika si opsir berhasil membawa Cin Siang dan Utti Pak ke samping
gelanggang, baru mereka hendak suruh pasukan penjaga membuka pintu, telah diketahui oleh
sebagian anak buah Gi-lim-kun. Pasukan Gi-lim-kun sebenarnya tak bertugas menjaga pintu, tapi
melihat pemimpinnya (Cin Siang dan Utti Pak) diborgol, mereka berbondong-bondong
menghampiri dan mengepung opsir itu.
"Siapa yang berani menggusur Cin tayjin, akan kuremukkan kepalanya!" -- "Cin tayjin, kami
takkan membiarkan tayjin dicelakai kawanan dorna. Jika mereka hendak membawa tayjin, kami
akan mengawal juga!" -- "Lebih baik kami mengantar tayjin menghadap kaisar. Seluruh pasukan
Gi-lim-kun akan menghadap dan minta baginda memberi penjelasan!"
Demikian suara hiruk pikuk yang menggemparkan tadi. Sana sini sama berteriak-teriak hendak
membela Cin Siang. Yang satu lebih keras dari yang lain. Opsir yang membawa kedua jenderal itu
sampai pucat dan mandi keringat dingin.
Malah beberapa anak buah Gi-lim-kun yang menjadi pengikut lama dari Cin Siang sudah lantas
mencabut senjata dan berseru: "Bunuh dulu kedua jahanam ini!"
Kedua opsir itu terbang semangatnya. Mereka tersipu-sipu berlutut di hadapan Cin Siang dan
merintih: "Cin tayjin, tolonglah jiwa kami!"
Cin Siang gentakkan rantai borgolannya untuk menangkis senjata orangnya tadi, bentaknya:
"Mereka tak bersalah. Jangan saudara-saudara berbuat begitu. Dengarlah perintahku!"
Beberapa pengikutnya setia itu dipanggil maju lalu diberi penjelasan: "Kalian semua telah ikut
aku bertahun-tahun, apakah masih tak tahu akan watakku" Aku hanya menjunjung peraturan
negara, tidak mementingkan kepentingan pribadi. Jika aku membangkang, masakan mereka dapat
membawa aku" Apakah keputusan yang dijatuhkan pada diriku nanti adil atau tidak, terserah atas
kebijaksanaan baginda. Kalian semua ribut-ribut begini berarti menyalahi peraturan negara. Bahwa
kalian membela aku, aku amat berterima kasih sekali. Tapi apabila pembelaan kalian itu sampai
menyalahi peraturan negara, aku tak mengijinkan! Siapa di antara kalian yang berani turun tangan,
tentu kubunuh dulu baru kemudian aku bunuh diri selaku menghaturkan terima kasih atas budinya!"
Mendengar kata-kata pemimpinnya, anak buah Gi-lim-kun itu saling berpandangan satu sama
lain. Suara hiruk pikuk, sirap seketika. Dan diam-diam mereka sama memberi jalan. Penjaga pintu
adalah orangnya Toh Hok-wi. Mereka sudah siap dengan kereta pesakitan. Mereka segera
mendorong keluar. Cin Siang menarik Utti Pak masuk ke dalam kereta itu. Sebelumnya ia
memberi isyarat tangan kepada anak buahnya tadi: "Di mana kalian ditugaskan tadi, lekas kembali
ke posmu. Karena sekarang statusku menjadi orang tahanan, kekuasaanku pun gugur. Kalian
selanjutnya harus mendengar perintah Bu dan Toh tayjin, tak boleh membangkang!"
Belasan anak buah Gi-lim-kun yang sudah bertahun-tahun mengikut Cin Siang itu, menangis
terisak-isak. Dalam suasana yang merawankan itu, kereta pesakitanpun didorong keluar pintu
gerbang. Belum lagi pintu gerbang ditutup, sekonyon-konyong sesosok tubuh melesat ke arah kereta
pesakitan. Orang itu longokkan kepalanya melihat ke dalam.
"Wanita siluman dari mana ini, enyahlah!" Cin Siang membentaknya. Bum, laksana anak
panah orang itu melayang ke dalam pintu, bergelundungan seperti bola.
Kawanan serdadu yang menjaga pintu menjerit kaget. Kiranya orang itu adalah seorang
wanita. Kedengaran wanita itu memaki seorang diri: "Penasaran, sungguh penasaran sekali!
Kukira muridku perempuan, kiranya pesakitan yang bertenaga besar!"
Anak buah Gi-lim-kun yang memberi jalan pada Cin Sian tadi masih belum sempat merapat
lagi. Gerakan wanita itu tangkas sekali. Secepat kilat ia sudah menerobos di tengah-tengah
mereka. Tahu-tahu beberapa opsir telah mandi darah. Kuatir kalau di luar masih ada kawan si
wanita luar biasa lagi, maka kawanan penjaga buru-buru menutup pintu. Wanita aneh itu menyusup
ke dalam gelanggang. Karena di gelanggang masih berlangsung pertempuran seru, maka sekejap
saja wanita itu sudah tak kelihatan bayangannya.
Kiranya wanita aneh itu bukan lain ialah suhu dari Su Tiau-ing yaitu Shin Ci-koh. Kiranya ia
telah mendapat keterangan dari muridnya ke satu Liong Seng-hiang (nona penjual silat yang
berhasil keluar sebelum pintu besi ditutup). Shin Ci-koh masuk ke dalam lapangan karena hendak
menolong Su Tiau-ing yang dikiranya tentu berada di dalam.
Shin Ci-koh mempunyai tiga anak murid. Di antara mereka yang paling disayang adalah Su
Tiau-ing, muridnya yang nomor tiga. Begitu mendapat laporan dari Liong Seng-hiang, ia tergopohgopoh
menuju ke lapangan. Tapi saat itu, keenam pintu besar dan sembilan pintu samping sudah
ditutup. Pada waktu ia mencari akal untuk masuk, tiba-tiba pintu terbuka dan sebuah kereta
pesakitan didorong keluar. Mengira Su Tiau-ing berada di dalamnya, Shin Ci-koh terus
memeriksanya. Tapi alangkah kagetnya ketika disambut dengan pukulan oleh Cin Siang.
Celakanya, untuk melampiaskan kemarahan, beberapa opsir yang menjaga pintu itu sudah
dihajarnya. Hanya dalam sedetik gerakan kawanan opsir itu kena dilukainya dengan pedang.
Selama ini Shin Ci-koh belum pernah ada yang menandingi karena itu ia menjadi angkuh.
Bahwa hari itu ia kena dipukul Cin Siang, barulah yang pertama kali dalam sejarah hidupnya.
Walaupun berkat lwekangnya yang tinggi, ia tak sampai terluka namun ia terkejut juga. Pikirnya:
"Kutahu kawanan opsir kerajaan itu bangsa guci arak kantong nasi semua, siapa tahu seorang opsir
yang menjadi pesakitan ternyata begitu lihay sekali. Jangan-jangan Su Tiau-ing mendapat bahaya.
Hm, jika berhasil menolong Su Tiau-ing, pertama yang akan kulakukan ialah mencari pesakitan itu
untuk membikin perhitungan. Tapi entah dia melanggar kesalahan apa saja" Kuharap raja jangan
buru-buru menghukumnya mati dulu, agar aku sempat membalas dendam padanya!"
Sebenarnya kepandaian Shin Ci-koh itu tak kalah dengan Cin Siang. Hanya dalam tenaga, Cin
Siang lebih unggul sedikit. Karena tak menyangka bakal menerima pukulan, Shin Ci-koh yang tak
bersiap ,telah menderita kerugian.
Di antara gundukan manusia yang tengah bertempur itu, berulang kali Shin Ci-koh meneriaki
Tiau-ing sambil mencari kian kemari. Ia tak menghiraukan orang-orang itu dan orang-orang itupun
tak mempedulikan ia.
Di antara yang bertempur itu, partai Thiat-mo-lek lah yang paling dahsyat. Dengan gagah
perkasa Thiat-mo-lek mainkan pedangnya. Suaranya sampai menimbulkan angin menderu-deru.
Dalam lingkaran beberapa tombak, pasir dan batu sama beterbangan. Dalam keadaan begitu,
jangan lagi orang hendak coba memasuki lingkaran itu, sedangkan untuk berdiri tegak saja rasanya
sukar. Menghadapi dua lawan berat, memang beberapa kali pedang Thiat-mo-lek tersiak oleh pukulan
Yo Bok-lo, tapi Thiat-mo-lek menggerakkan seluruh anggota badannya. Tangan kiri untuk
menghantam, menutuk, menebas. Kakinya menendang, mengait dan sikunya untuk menyodok.
Kesemua gerakan itu untuk mengimbangi permainan pedangnya. Walaupun beberapa kali dapat
menyiakkan pedang Thiat-mo-lek, namun Yo Bok-lo tetap tak berani gunakan tangan kosong untuk
merampas pedang orang. Karena itu, begitu tersiak, begitu pula dengan cepat Thiat-mo-lek dapat
merapatkan pedangnya lagi.
Sepasang kait hou-thau-kau dari Bu Wi-yang pun beberapa kali hampir terpapas kutung oleh
pedang Thiat-mo-lek, untung karena Yo Bok-lo buru-buru menghantam, Thiat-mo-lek terpaksa tak
dapat mengembangkan permainan pedangnya. Akhirnya, kedua belah pihak bermain dengan cepat.
Beberapa kali senjata mereka beradu, tapi secepatnya lantas terpental lagi. Thiat-mo-lek tak dapat
memapas kutung hou-thau-kau. Bu Wi-yang tak mampun menindas pedang. Pertempuran satu
lawan dua itu berimbang, tiada yang kalah tiada yang menang.
Shin Ci-koh ketarik dengan pertandingan itu. Tanpa disadari ia memasuki lingkaran mereka.
Setelah menyaksikan sebentar, ia makin heran: "Kukira Eng-hiong-tay-hwe ini tak berharga dilihat,
ternyata ada beberapa orng yang berisi. Orang tua berwajah merah ini rupanya tentu Chit-poh-tuihun
Yo Bok-lo. Orang tinggi besar ini entah siapa. Kepandaiannya lebih tinggi dari Yo Bok-lo.
Ha, ha, iblis tua yang selalu membanggakan diri itu sekarang ketemu batunya. Dia tentu kehilangan
muka nanti."
Kiranya Yo Bok-lo itu sudah lebih dahulu termasyhur dari Shin Ci-koh. Daerah operasi iblis
tua itu di bagian Se-pak. Shin Ci-koh memang ada ingatan hendak menjajal kepandaian si iblis,
tapi mereka belum pernah berjumpa. Tapi karena Yo Bok-lo mempunyai potongan muka yang
istimewa, pun ilmu gerakannya chit-poh-tui-hun itu juga jarang terdapat di dunia persilatan maka
sekali lihat dapatlah Shin Ci-koh mengenalnya. "Walaupun iblis itu tua itu hebat juga
kepandaiannya, tapi aku tetap dapat mengatasinya. Tetapi dengan orang gagah yang menjadi
lawannya itu, barangkali aku sukar mengalahkannya," pikirnya.
Memang seseorang yang berkepandaian tinggi, bila melihat ada orang lain yang kepandaiannya
seimbang dengannya tentu timbul niatan untuk menguji kepandaian. Pun Shin Ci-koh gatal
tangannya. Ingin sekali ia menjajal orang gagah itu (Thiat-mo-lek), tapi sesaat ia teringat tujuannya
mencari Tiau-ing. Tak mau ia cari perkara, namun tak mau ia tinggalkan tempat itu juga.
Thiat-mo-lek, Bu Wi-yang dan Yo Bok-lo mengetahui juga kalau ada seorang wanita yang
mendekati mereka. Mereka heran juga. Tetapi dalam saat-saat mengadu jiwa itu, mereka tak mau
mempedulikan wanita itu.
Tiba-tiba Shin Ci-koh melangkah maju dan menepuk bahu Yo Bok-lo pelahan: "Ha, kau tentu
Yo Bok-lo, bukan" Mengapa kau berani menghina muridku?"
Gerakan Yo Bok-lo gesit sekali. Namun ia tak mampu menghindar. Buru-buru ia balas
menghantam. Dengan tertawa mengikik Shin Ci-koh sudah menyurut sampai tiga tombak lebih.
Serunya: "Aku bukan bangsa manusia yang suka membokong orang. Aku hanya minta kau
menjawab pertanyaanku. Kau belum kenal aku, seharusnya kau mengetahui namaku. Ya, mengapa
kau mencelakai muridku?"
Yo Bok-lo tergetar nyalinya. Buru-buru ia menyahut: "Ho, kiranya Bu-ceng-kiam Shin Ci-koh.
Maaf-maaf!"
"Tak usah kau jual keramahan padaku. Apakah muridku kau tangkap" Bilang lekas!" seru
Shin Ci-koh. "Apakah muridmu itu Su Tiau-ing?" Yo Bok-lo balas bertanya.
"Benar. Ia dianggap pemberontak oleh pemerintah. Karena kau bersatu haluan dengan
kawanan opsir, tentu kau hendak cari pangkat memburu harta dan tentu berdiri di pihak kaisar. Apa
kau masih menyangkal tidak mencelakai muridku?"
"Kau salah paham. Ya, memang. Karena pemerintah mengetahui muridmu itu adik perempuan
Su Tiau-gi, terpaksa dimasukkan dalam golongan pemberontak. Tetapi takkan dianggap sebagai
tawanan penting. Tawangan penting lain orang lagi. Telah kumintakan keringanan untuk muridmu.
Jika kawanan tentara itu bertemu dengan muridmu, hanya boleh menggertak tak boleh
menangkapnya sungguh-sungguh. Dan ini adalah Bu tayjin yang melaksanakan perintah kaisar.
Jika tak percaya, boleh tanya padanya," sahut Yo Bok-lo.
Bu Wi-yangpun buru-buru menerangkan: "Benar! Telah kuperintahkan kepada anak buahku.
Tak boleh menangkap muridmu itu. Diantara kesepuluh pemberontak yang dimasukkan daftar itu,
hanya muridmu saja seorang wanita."
"Yang bertempur dengan kami berdua ini adalah pemimpin Lok-lim, Thiat-mo-lek. Hari ini
yang hendak kita tangkap sebagai tawanan utama ialah dia. Dia banyak kawan di dunia persilatan
dan piauko dari Toan Khik-sia pula. Kuketahui, Khik-sia itu selalu bersama dengan muridmu. Jika
mau tahu kabar muridmu, tanya saja pada Thiat-mo-lek atau Toan Khik-sia. Kurasa adanya
muridmu sampai terlibat bahaya seperti sekarang, antara lain sebabnya ialah karena ia keliru
bergaul dengan bangsa penjahat," kata Yo bok-lo pula. Ia tahu bahwa Shin Ci-koh itu aneh
perangainya. Sok baik sok jahat menurut sekehendak hatinya sendiri. Maka ia hendak
memprovokasi Shin Ci-koh supaya memusuhi Thiat-mo-lek. Tapi karena dengan bicara itu,
perhatiannya bercabang, pada waktu mengatakan sampai 'penjahat' tadi, pedang Thiat-mo-lek dapat
memapas rompal lengan bajunya. Untung tak sampai memapas tulangnya. Namun dagingnya kena
juga. Darah muncrat dibawa sambaran pedang.
Pikir Shin Ci-koh: "Lama kudengar Thiat-mo-lek itu sebagai jago nomor satu nomor dua di
dunia persilatan. Kiranya orang inilah. Memang tak bernama kosong."
Sekali bergerak, ia sudah berada di sebelah Thiat-mo-lek, ujarnya: "Thiat cecu, di manakah
muridku?" Sejak peristiwa Su Tiau-ing meracuni dirinya, Thiat-mo-lek benci kepada nona itu. Apalagi
tadi didengarnya Yo Bok-lo bicara begitu ramah kepada Shin Ci-koh. Seketika timbullah kesan tak
baik terhadap wanita itu. Pikirnya: "Suhu dari nona siluman itu tentu bukan orang baik-baik."
"Siapa yang punya tempo mengurusi muridmu?" sahutnya dingin.
"Bagus, kau memandang rendah padaku, bukan" Kau tak mengurus muridku tapi aku mau
mengurus kau!" seru Shin Ci-koh sembari menusuk dengan pedang.
Saat itu Thiat-mo-lek tengah menangkis kaitan Bu Wi-yang. Untuk serangan Shin Ci-koh itu,
ia sambut dengan hantaman tangan kiri. Melihat itu Yo Bok-lo girang sekali. Ia segera memasuki
kekosongan itu dengan sebuah serangan.
Brat, lengan baju Thiat-mo-lek juga kena terpapas oleh pedang Shin Ci-koh, tapi Shin Ci-koh
pun terpental oleh angin pukulan Thiat-mo-lek. Buru-buru ia gunakan gerak hi-hiong-jiau-hoanhun
untuk loncat ke belakang sampai beberapa tombak. Di sana ia berseru dingin: "Yo Bok-lo,
karena kau bicara padaku, tadi kau kehilangan lengan bajumu. Sekarang telah kubalaskan, kau tak
boleh menyesali aku. Thiat-mo-lek, kelak kita bertanding lagi satu lawan satu. Jangan kuatir, aku
bukan manusia rendah seperti Yo Bok-lo!"
Habis itu Shin Ci-koh lantas ngacir. Tapi belum jauh matanya tertumbuk pada Khik-sia. Saat
itu Khik-sia masih terlibat pertempuran dengan Ceng-ceng-ji. Karena keduanya bermain dengan
cepat, maka mereka sudah bertempur sampai beberapa ratus jurus. Ceng-ceng-ji mulai kehabisan
tenaga, pikirnya: "Jika sampai kalah pada seorang sute, mana aku ada muka muncul di dunia
persilatan!"
Kegelisahan itu telah menimbulkan pikiran jahat. Tiba-tiba ia lancarkan serangan berbahaya.
Sebenarnya Khik-sia juga jeri kepada pedang beracun bekas suhengnya itu. Maka ia tak mau
bernafsu menyerang, hanya mematahkan setiap serangan lawan saja. Tapi sekali Khik-sia mainkan
pedangnya, Ceng-ceng-ji segera terkurung.
Sekonyong-konyong Ceng-ceng-ji jungkirkan ujung pedangnya untuk menusuk
tenggorokannya sendiri! Suatu hal yang tak diduga Khik-sia. Sekilas, Khik-sia menganggap
karena tahu bakal kalah, Ceng-ceng-ji malu dan hendak bunuh diri. Tanpa disadari, ia tertegun.
Dan tanpa terasa ia ulurkan tangannya untuk merampas pedang Ceng-ceng-ji.
Kalau lain orang, apabila melihat lawannya membunuh diri tentu girang. Malah yang berhati
ganas, akan menambahi lagi dengan tusukan, baik lawan itu akan bunuh diri sungguh-sungguh atau
hanya pura-pura saja. Paling perlu tusuk dulu, bicara belakang.
Tapi Khik-sia itu memang berhati welas asih. Meskipun ia benci kepada Ceng-ceng-ji dan
sudah putuskan hubungannya sebagai suheng. Namun melihat adegan yang mendadak itu,
tergetarlah hatinya. Bukan saja hanya hentikan serangannya pun malah hendak mencegah.
Inilah yang dinanti-nantikan Ceng-ceng-ji. Ia cukup paham akan budi pekerti Khik-sia maka ia
berani memainkan sandiwara tadi. Baru jari Khik-sia menyentuh tangkai pedang, secepat kilat
Ceng-ceng-ji balikkan pedangnya memapas siku lengan Khik-sia.
Dalam saat-saat dimana lengan Khik-sia pasti akan terpapas kutung, tiba-tiba ada angin
menyambar dan tahu-tahu Shin Ci-koh sudah berada di sebelah mereka. Ia kebutkan lengan
bajunya ke tengah. Trang, lengan baju Shin Ci-koh terpapas, tapi pedang Ceng-ceng-ji pun
terpental. Shin Ci-koh terhuyung sedang Khik-sia loncat mundur sampai beberapa tombak. Ia memaki
dengan gusar sekali: "Ceng-ceng-ji, kau ganas sekali!"
Ceng-ceng-ji juga marah besar. Mulutnya menghamburkan makian. Tetapi bukan kepada
Khik-sia, melainkan Shin Ci-koh: "Wanita jalang dari mana berani mengganggu" Kau tahu, siapa
aku ini?" Shin Ci-koh enggan menyahut. Ia gunakan ilmu tutukan jari tan-ci-sin-kang untuk menutuk
lagi. Malah kali ini kekuatannya lebih besar. Sekalipun tak sampai melepaskan pedang, namun
tangan Ceng-ceng-ji sakit sekali. Ia terkejut dan buru-buru mundur beberapa langkah. Sembari
siapkan pedang di tangan, ia memandang Shin Ci-koh dengan mata melotot. Tapi untuk beberapa
saat tak berani ia menyerang.
Shin Ci-koh tertawa menghina: "Tak peduli kau siapa, sekarang aku perlu bicara dengan Khiksia.
Siapa berani mengganggu tentu akan kupotong lidahnya dan kukorek biji matanya. Kalau kau
tak terima, nanti boleh bertempur dengan aku, lihat saja aku dapat melakukan ancamanku itu atau
tidak?" Tanpa menghiraukan orang lagi, Shin Ci-koh lantas berpaling menghadapi Khik-sia, serunya:
"Hai, mengapa Tiau-ing tidak bersamamu" Kemana saja ia" Mengapa dalam saat-saat begitu kau
tinggalkan ia?"
Dalam bicaranya, wanita itu seperti menyalahkan Khik-sia. Khik-sia yang sedang marah, demi
mendengar nama Su Tiau-ing makin mendongkol. Tapi karena Shin Ci-koh tadi telah
menolongnya, terpaksa Khik-sia tak mau berlaku sekasar Thiat-mo-lek. Batinnya: "Baik, biar
kuberitahukan keadaan yang sebenarnya, agar ia jangan mengira aku selalu bersama muridnya
saja." "Shin lo-cianpwe, jika hendak bertanyakan muridmu, silahkan tanya pada Bo Se-kiat,"
akhirnya ia berkata.
"Ho, Bo Se-kiat" Bo Se-kiat pemimpin lok-lim baru itu?" Shin Ci-koh menegas. Ia tinggal di
daerah barat yang sepi, tapi karena nama Bo Se-kiat amat tenar, iapun tahu juga.
"Benar, memang Bo Se-kiat itu." sahut Khik-sia.
"Kenapa bertanya padanya?" tanya Shin Ci-koh.
"Semalam ia sudah ikut pergi pada Bo Se-kiat."
Shin Ci-koh terkesiap. Dengan kurang senang ia bertanya lagi: "Mengapa ia lari dengan Bo
Se-kiat" Apa kau menyalahinya?"
Khik-sia kerutkan wajahnya: "Aku tak mau di hadapan seorang guru mengatakan keburukan
muridnya."
Shin Ci-koh salah terima. Ia kira Khik-sia penasaran kepada Tiau-ing karena Tiau-ing
meninggalkannya. Tertawalah wanita aneh itu: "Memang Tiau-ing itu berhati tinggi, sukar dilayani.
Tapi ribut-ribut di dalam kalangan muda-mudi itu, sudah jamak. Kalau sudah hilang kemarahannya
ia tentu baik lagi kepadamu."
Khik-sia tertawa dingin: "Aku tak mengharapkan hal itu, Bo Se-kiat baru setimpal betul dengan
ia." Kesalahan paham Shin Ci-koh makin dalam. Ia agak sesalkan muridnya sendiri. Pikirnya:
"Apakah benar-benar Tiau-ing berbalik hati" Atau karena terpikat Bo Se-kiat" Hm, setelah
bertemu baru aku dapat menanyakan padanya, siapakah sebenarnya yang dicintai?"
"Sudahlah, jangan marah. Jika muridku betul yang salah, akan kuberinya hajaran. Tapi
kemana saja mereka pergi itu?" kata Shin Ci-koh.
"Mana aku tahu" Mereka sudah keluar dari kota Tiang-an ini," sahut Khik-sia.
Hati Shin Ci-koh seperti terlepas dari ganjalan batu, ujarnya: "Baik, minggirlah ke samping,
jangan membantu aku. Biar kuhajarnya si kunyuk ini. Setelah itu baru kucarikan Tiau-ing."
Ceng-ceng-ji tak kenal pada Shin Ci-koh. Tapi mendengar bahwa ia itu suhu dari Tiau-ing,
diam-diam Ceng-ceng-ji terkejut juga. Tapi ia sudah biasa bersikap congkak. Tak mau ia unjuk
kelemahan. Segera ia menantang: "Bagus, sebagai suhu Su Tiau-ing kau tentu bukan orang
sembarangan. Omonganmu yang tak keruan itu, merendahkan dirimu sendiri. Aku tak mau


Tusuk Kondai Pusaka Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bertempur melainkan hendak menguji kepandaianmu saja!"
Shin Ci-koh tertawa: "Kau tak tahu siapa aku, tetapi aku tahu siapa kau. Menilik rupamu yang
'bagus' ini, kau tentulah Ceng-ceng-ji."
Memang wajah Ceng-ceng-ji itu mirip dengan seekor kera. Disindir oleh Shin Ci-koh,
marahnya bukan main: "Aku toh tak sudi mengambil isteri kau, peduli apa dengan mukaku bagus
atau jelek!"
Shin Ci-koh berkata seorang diri: "Pernah kudengar dari Gong-gong-ji bahwa ia mempunyai
seorang sute bernama Ceng-ceng-ji yang tak keruan tingkah lakunya. Ternyata memang benar.
Hm, sudah berani menggunakan tipu keji untuk mencelakai sutenya, masih berani banyak tingkah
di hadapanku. Sebenarnya hendak kupotong lidahnya dan kukorek biji matanya, tapi mengingat
Gong-gong-ji, biarlah hanya kuberi dua kali tamparan saja!"
Ceng-ceng-ji berjingkrak-jingkrak marah, teriaknya: "Kurang ajar! Coba saja bagaimana kau
hendak menampar mukaku!"
Begitu mencabut pedang ia mendahului menusuk. Shin Ci-koh seperti tak mengacuhkan.
Enak saja ia menyambut dengan pukulan.
Ceng-ceng-ji tahu kalau berhadapan dengan tokoh lihay. Maka biarpun marah tapi ia tetap
bersikap 'sebelum mendapat kemenangan, harus menjaga kekalahan'. Di tengah jalan ia rubah
gerakan pedang dan orangnyapun mengisar pindah. Tapi ternyata pukulan Shin Ci-koh itu
Hati Budha Tangan Berbisa 5 Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung Musuh Dalam Selimut 1
^