Pencarian

Tusuk Kondai Pusaka 12

Tusuk Kondai Pusaka Karya S D. Liong Bagian 12


mengandung tiga buah perubahan. Sebenarnya tadi kalau tangannya sampai ditabas pedang Cengceng-
ji, ia akan bergerak untuk merebut senjatanya dan tangan kiri memberi tamparan. Karena
Ceng-ceng-ji beralih ke samping dan menusukkan pedangnya, Shin Ci-koh pun segera mainkan
perubahan yang kedua. Tangannya memagut merampas pedang, sedang jari kirinya menyusup ke
bawah lengan untuk menutuk iga Ceng-ceng-ji.
"Menerima tanpa membalas tidaklah sopan," seru Ceng-ceng-ji sembari memutar ujung
pedangnya untuk menusuk dada Shin Ci-koh.
Tapi ternyata Shin Ci-koh masih punya perubahan yang ketiga. Plak, tahu-tahu muka Cengceng-
ji tertampar angin pukulan sampai merah biru. Sakitnya bukan kepalang masih untung tidak
kena tangannya.
Dalam pertukaran serangan itu, Ceng-ceng-ji memberi dua buah serangan pedang, Shin Ci-koh
sebuah tamparan. Kalau menurut penilaian, seharusnya Ceng-ceng-ji mengaku kalah. Tapi mana ia
mau berbuat begitu. Shin Ci-koh marah sekali karena orang telah menyerangnya dengan tak sopan
(di bagian dada).
"Jika dalam 50 jurus aku tak dapat menampar mukamu biarlah dunia persilatan tak ada nama
Shin Ci-koh lagi!" serunya.
Ceng-ceng-ji tak kenal pada Shin Ci-koh, hanya pernah mendengar namanya saja. Kini ia baru
terperanjat, pikirnya: "Kiranya wanita siluman ini Bu-ceng-kiam Shin Ci-koh, maka begitu lihay!
Kabarnya ia mempunyai hubungan baik dengan suheng. Agaknya memang benar."
Tapi dalam jerinya, diam-diam Ceng-ceng-ji girang juga batinnya: "Kalau 100 jurus, aku tak
berani memastikan. Tapi kalau hanya 50 jurus saja, hm, hm, belum tentu ia dapat menampar
mukaku. Asal aku dapat menghindari lima puluh jurus itu coba saja bagaimana nanti ia menolong
mukanya" Tokoh seperti ia, tentu tak dapat menjilat ludahnya. Dalam kesempatan itu, akan
kupaksa ia tinggalkan dunia persilatan dan namaku Ceng-ceng-ji tentu lebih termasyhur lagi."
Ginkang Ceng-ceng-ji memang jempol. Gerakannya cepat sekali. Ia segera gunakan siasat
gerilya (berlincahan) untuk menghadapi kelima puluh jurus serangan.
Sebenarnya lima puluh jurus itu akan berlangsung cepat sekali. Tapi Khik-sia tak sabar lagi
menantinya. Ia masih ada tugas. Pertama, menolong Thiat-mo-lek. Dan kedua, mencari Yak-bwe.
Ketika memandang ke sana, tampak Thiat-mo-lek menang angin. Hanya belum sempat keluar dari
kepungan saja, tapi sudah tak berbahaya keadaannya. Saat itu, dari kejauhan terdengar seruan Yakbwe:
"Khik-sia, Khik-sia!"
Memang di dalam lapangan situ riuh rendah suaranya. Dari berisiknya senjata beradu dan
teriakan orang-orang yang bertempur. Tapi karena seluruh perhatian Khik-sia memang ditujukan
untuk mencari Yak-bwe, maka suara panggilan Yak-bwe tadipun cepat didengarnya. Khik-sia
segera menuju ke sana.
Melihat Khik-sia pergi, longgarlah hati Ceng-ceng-ji. Ada kalanya ia balas menyerang juga.
Dalam beberapa kejap saja 40-an jurus sudah berlalu. Sampai di sini, Ceng-ceng-ji pun mulai
menghitung: "41, 42, ..... 44, 45, hi hi. Bagaimana kau akan menampar mukaku nanti" 47, 48 ....."
Tiba-tiba Shin Ci-koh berputar tubuh dan pergi. Suatu hal yang tak disangka-sangka oleh
Ceng-ceng-ji. Ia terkejut dan girang: "Ha, karena mendapat kesukaran, ia lantas mundur!"
Ia hendak memburu untuk mengejeknya tapi merasa jeri sehingga detik-detik itu ia bersangsi.
Tiba-tiba ada angin menyambar. Ternyata sekonyong-konyong Shin Ci-koh balik kembali.
Cepatnya seperti kilat. Dalam sejarah pertempuran tak ada jago silat yang menempur lawan dengan
membelakanginya. Maka Ceng-ceng-ji tak menyangka sama sekali bahwa Shin Ci-koh akan
berbuat begitu. Malah caranya balik itu jauh lebih cepat dan lebih tak terduga-duga dari waktu
perginya. Tergopoh-gopoh Ceng-ceng-ji pentang pedangnya. "Kena!" bentak Shin Ci-koh. Plak, muka
Ceng-ceng-ji kena tertampar. Dan untuk tusukan Ceng-ceng-ji, Shin Ci-koh turunkan pundaknya.
Pundak bajunya robek tapi tak sampai terluka.
Kiranya karena merasa tak ada harapan mengalahkan orang dalam lima puluh jurus maka untuk
menebus kata-katanya yang sudah terlanjur diucapkan itu, terpaksa Shin Ci-koh gunakan cara
istimewa. Ia memang mahir dalam ilmu thing-thong-pian-ki (dengarkan angin dapat mengetahui
arah senjata). Habis menghindari tusukan Ceng-ceng-ji, ia cepat maju menampar lagi. Tapi
tamparan itu dapat dikelit Ceng-ceng-ji.
Tamparan Shin Ci-koh yang pertama membuat separuh muka Ceng-ceng-ji begap matang biru.
Giginya sakit sekali. Pecahlah nyalinya dan cepat-cepat ia menyusup ke dalam gerombolan orang.
Karena pundak bajunya terlubangi, Shin Ci-koh merasa kemenangan yang diperolehnya itu tak
begitu brilian (cemerlang0. Benar Ceng-ceng-ji sudah lari terbirit-birit, tetapi Shin Ci-koh masih
penasaran. Ia menjerit-jerit: "Aku hendak memberimu hadiah dua tamparan. Baru satu kali,
mengapa mau lari?"
Seumur hidup Ceng-ceng-ji tak pernah mendapat hinaan begitu macam. Apalagi di hadapan
jago-jago silat di seluruh negeri. Kalau ada, ia akan menyusup ke dalam liang saja. Ia takut dan
benci kepada Shin Ci-koh. Tapi karena merasa kalah, terpaksa ia lari mati-matian.
Beberapa orang yang tadi marah karena kepalanya dilompati Ceng-ceng-ji, sama bertepuk
tangan kegirangan, mereka bersorak-sorak melihat Ceng-ceng-ji lari seperti tikus dikejar kucing.
Waktu Shin Ci-koh mengejar, merekapun memberi jalan. Malah ada orang yang berseru mengejek:
"Tadi aku tak sempat melihat kunyuk ditampar. Kali ini aku harus melihat sampai puas!"
Orang itu sengaja berseru begitu karena kuatir Shin Ci-koh tak mau menghajar Ceng-ceng-ji
lagi. Ternyata Shin Ci-koh kena terpancing. "Baik, kalian boleh menyaksikan."
Dalam ilmu ginkang sebenarnya Ceng-ceng-ji lebih unggul sedikit dari Shin Ci-koh. Tapi
karena orang-orang sama memberi jalan kepada Shin Ci-koh, teapi merintangi dia (Ceng-ceng-ji),
padahal Ceng-ceng-ji sekarang tak berani menyalahi mereka lagi, maka ia terpaksa berlincahan
menyusup di mana lubang yang tak ada orangnya. Dengan begitu, makin lama jaraknya makin
dekat dengan Shin Ci-koh.
Lapangan yang luasnya beberapa li itu, dimana-mana terdapat orang bertempur. Khik-sia tak
mau memperdulikan Shin Ci-koh main godak dengan Ceng-ceng-ji lagi. Karena pada saat itu ia
dapat mengetahui tempat beradanya Yak-bwe, In-nio dan Bik-hu bertiga, tengah berusah menerobos
dari kepungan. "Cici In, Su ... nona Su, siaute datang!" teriak Khik-sia. Sebenarnya ia hendak memanggil 'Su
moaymoay' (adik Su), tapi di depan sekian banyak orang ia merasa sungkan.
Tertawalah In-nio: "Adik bwe, tadi kau memanggilnya. Mengapa sekarang kau diam saja"
Kami di sini, Toan hiante, lekas kemari!"
Khik-sia tak mau mengucurkan banyak darah. Ia hanya berusaha untuk memapas kutung
senjata kawanan tentara itu saja. Tiap kali pedangnya berkiblat, tentu terdengar dering senjata
kutung. Kutungan pedang, golok, tombak dan lain-lain senjata menumpuk bukit. Melihat
kegagahan pemuda itu, kawanan tentara berteriak-teriak dan sama menyingkir. Yak-bwe bertigapun
dengan mudah dapat menerobos keluar.
Setelah mengalami badai kesalahan paham, akhirnya bertemulah kedua sejoli Khik-sia " Yakbwe.
Hanya tempat pertemuan mereka itu di medan pertempuran. Sesaat kedua anak muda itu tak
tahu bagaimana akan bicara.
"Khik-sia, apa kau sudah tahu kesalahanmu?" In-nio menembus kemacetan.
Khik-sia tak dapat menyatakan apa-apa. Ia tak peduli apakah In-nio hanya bergurau atau
sungguh-sungguh, tapi ia turut saja apa yang diajarkan nona itu kepadanya. Ia maju ke hadapan
Yak-bwe, lalu menjura, ujarnya: "Nona Su, aku memang sembrono hingga beberapa kali berdosa
padamu. Harap kau jangan marah lagi!"
Yak-bwe tak mengira sama sekali bahwa anak muda itu akan mau minta maaf padanya di
hadapan umum. Iapun kemerah-merahan wajahnya dan terpaksa membalas hormat, sahutnya:
"Mungkin aku juga bersalah. Urusan yang lampau, tak perlu dipikirkan lagi."
"Kalian boleh lanjutkan omong-omong. Aku dan Pui-sute akan membuka jalan, tak perlu
kalian memikirkan serangan musuh lagi," kata In-nio dengan tertawa.
Meskipun di mulut Yak-bwe minta jangan membicarakan peristiwa yang telah lalu, namun
dalam hati nona itu masih gatal. Tanpa disadari, ia bertanya: "Temanmu nona Su itu, mengapa tak
kelihatan?"
"Kau menanyakan gadis siluman itu" Gagal mencelakai Thiat piauko, ia lantas lari dengan lain
orang!" sahut Khik-sia.
"Lari dengan siapa?" Yak-bwe tersentak kaget.
Melihat In-nio berada di situ, Khik-sia tak mau menyebut nama Bo Se-kiat. Tapi agar jangan
dicurigai Yak-bwe, maka sekenanya saja ia menjawab: "Adik Bwe, sedikitpun aku tak punya
perhatian pada gadis siluman itu. Biarlah aku bersumpah, jika ...."
Selebar wajah Yak-bwe merah padam. Buru-buru ia mencegah: "Aku tak peduli kau punya
hubungan atau tidak dengan dia. Mengapa kau sembarangan mengangkat sumpah" Ah, jangan
menjadi buah tertawaan orang!"
Walaupun nadanya agak sengit, tapi nyata kalau Yak-bwe bersikap lain kepada Khik-sia.
Sebodoh-bodoh Khik-sia, mengetahui juga bahwa tunangannya itu menaruh kepercayaan padanya
dan tak menghendaki ia bersumpah lagi.
"Yang hendak kutanyakan, dengan siapa ia lari itu" Mengapa kau menjawab yang bukanbukan?"
kembali Yak-bwe mendesak.
Saat itu In-nio tengah lepaskan sebuah senjata rahasia. Seorang opsir yang naik kuda di
sebelah muka, terjungkal jatuh.
Khik-sia menghela napas pelahan, ujarnya: "Ceritanya panjang sekali. Biarlah nanti setelah
lolos dari bahaya, kuberi tahu padamu sendiri."
Yak-bwe heran, pikirnya: "Mengapa hanya aku yang akan diberitahu" Ada hubungan apa
dengan ci In" Rupanya ia tak ingin ceritanya didengar ci In. Hm, dari kerut wajahnya terang kalau
ia hendak bicara sendirian dengan aku. Ia tak tahu bahwa aku dengan ci In itu sudah seperti saudara
kandung sendiri. Sebenarnya tak ada halangannya mengatakan di depan ci In."
Setelah merubuhkan si opsir, In-nio berpaling dan tertawa: "Silahkan kalian bicara sepuaspuasnya.
Aku tak nanti mendengarkan."
Yak-bwe tertawa: "Ah, sungguh heran mengapa kau memaki nona Su itu sebagai gadis
siluman" Bukankah kalian seperjalanan dan sepenginapan?"
Sekarang giliran Khik-sia yang merah padam mukanya. Mengangkat tangan, kembali ia
hendak bersumpah. Tiba-tiba Yak-bwe tertawa geli dan menarik turun tangan Khik-sia.
"Sekarang rasanya kau tentu sudah mengerti. Sebelum tahu fakta yang sebenarnya, jangan
suka menuduh yang bukan-bukan. Aku hanya berkata sepatah, tapi mengapa kau sibuk tak keruan"
Coba pikirkan, begitu mesra hubunganmu dengan nona siluman itu, bagaimana pandangan orang
lain" Benar, kau seorang lelaki ksatria. Tapi apakah di dunia ini tiada lain ksatria kecuali kau?"
Yak-bwe membawakan dampratannya itu dengan halus, sehingga Khik-sia seperti dikemplang
kepalanya. Tapi kemplangan itu telah dapat menghilangkan keraguan hatinya. Sehijau-hijau KhikKANG
ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
sia namun mengerti juga kemana jatuhnya kata-kata Yak-bwe itu. Pikirnya: "Kukira ia berubah
hati, mencintai Tok-Ko U. Ternyata tidak! Ya, memang gerak-gerikku selama ini dengan Su Tiauing
jauh lebih menimbulkan kecurigaan orang daripada ia dengan Tok-Ko U. Persoalan hanya
kupandang dari segi pandanganku sendiri. Ternyata aku sendiri juga mempunyai kesalahan."
Khik-sia menyesal dan merasa bahagia. Serentak ia mencekal tangan Yak-bwe dan berbisik:
"Memang akulah yang bersalah. Aku membuatmu penasaran."
"Tidak, akupun juga bersalah. Tak seharusnya aku membikin panas hatimu," jawab Yak-bwe.
Keduanya saling mengakui kesalahannya. Dan apa yang dikatakan selanjutnya adalah seperti
tadi lagi. Tapi sekalipun begitu ulangan itu lebih berarti dan lebih meresap. Keduanya sama
membuang tuduhannya yang tidak-tidak memperbaharui kasih.
"Hai, mengapa kalian hanya rebutan mengaku salah saja" Bosan aku mendengarnya!" In-nio
berpaling dan tertawa.
"Kau bilang tidak mau mendengarkan tetapi ternyata mencuri dengar. Sekarang urusan kita
sudah beres, kalau kau hendak bertanya apa-apa kepada Khik-sia, lekaslah!" sahut Yak-bwe sambil
mendorong Khik-sia maju dua langkah.
"Cici In, jangan bingung, tanyalah!" seru Yak-bwe.
Memang In-nio ingin menanyakan tentang diri Se-kiat. Tapi digoda oleh Yak-bwe, mulutnya
sudah hendak menyebut nama Se-kiat, terpaksa diganti dengan pertanyaan lain: "Ya, ya, Khik-sia,
memang aku hendak bertanya padamu. Bukankah kau datang bersama Thiat-mo-lek?"
"Benar, sekarang Thiat toako sedang bertempur dengan Yo Bok-lo. Mari kita menggabungkan
diri," seru Khik-sia.
"Masih ada siapa lagi?" kembali In-nio bertanya.
"Masih ada Kim-kiam-ceng-long Toh Pek-ing. Celaka, aku tadi mengikuti Thiat toako, tapi
entah sekarang bagaimana keadaannya" Bagaimana cici In, kita harus mencari siapa dulu?"
Yak-bwe serasa pecah mulutnya karena geli: "Khik-sia, kau tolol benar! Yang ditanyakan ci In
itu, bukan Thiat toakomu atau Coh sioksiokmu, melainkan seorang lain lagi. Mengapa kau lupa?"
"Siapa?" Khik-sia menegas.
"Yak-bwe mengetuk dahi Khik-sia dengan jarinya dan berkata: "Kau benar-benar membikin
perutku keras. Dia ...." -- tiba-tiba berhenti lalu tertawa: "Baiklah, kalau ci In tidak menanyakan,
kau pun tak perlu bilang!"
In-nio lebih lapang hati. Pun ia benar-benar sudah tak sabar lagi. Maka berserulah ia dengan
terang-terangan: "Aku hendak menanyakan seorang kawan, perlu apa plintat-plintut. Bo Se-kiat,
ya, dia datang tidak?"
Khik-sia memang sudah menduga In-nio bakal mengajukan pertanyaan begitu. Diam-diam ia
merasa pilu. Terpaksa menerangkan dengan kata tak lampias bahwa Se-kiat tidak datang.
"Tidak datang" Tetapi kabarnya jauh-jauh hari ia sudah tiba di Tiang-an," ujar In-nio.
"Semalam ia sudah tinggalkan kota raja ini," sahut Khik-sia.
Heran In-nio memikirkan: "Se-kiat tentu datang bersama Thiat-mo-lek. Mengapa ia pergi
sendirian?"
In-nio cerdas dan banyak pengalaman. Demi melihat kerut wajah Khik-sia agak lain, terbitlah
kecurigaannya. Cepat-cepat ia bertanya pula: "Khik-sia, kau tak perlu mengelabuhi aku. Apakah
terjadi sesuatu dengan dia?"
"Tidak, dia tak mendapat bahaya apa-apa. Melainkan ...."
"Melainkan apa?" tukas In-nio.
"Dia tak terluka, melainkan, melainkan, dia sudah berlainan haluan dengan kita," sahut Khiksia.
"Benarkah omonganmu ini?" wajah In-nio berubah seketika.
"Setelah aku dan Thiat toako tiba di sini, ia bersama lain orang pergi ke lain tempat. Ih,
lihatlah, apa itu bukan kedua saudara Tok-ko" Mari kita lepaskan mereka dari kepungan musuh
dulu, baru nanti kita bicara lagi. Ci In, jangan gelisah, aku tentu akan menerangkan soal itu sampai
jelas kepadamu."
In-nio yang penuh diliputi dengan kecurigaan itu membatin: "Selamanya Khik-sia ini tak
pandai bicara. Mungkin karena ada urusan Se-kiat lantas tinggalkan Tiang-an, sekali-kali tidak
karena pecah dengan Thiat-mo-lek."
Tapi ia merasa sikap Khik-sia memang lain dari biasanya, kata-katanya pun tak lampias. Ia
gelisah. Tapi sesaat terlintaslah dalam pikirannya: "Asal dia tak terluka saja, legalah sudah hatiku.
Ya, lebih baik sekarang menolong kedua saudara Tok-ko itu dulu. Nanti perlahan-lahan aku dapat
menanyakan lagi pada Khik-sia."
Muda. Tapi selama itu Bik-hu hanya memendam asmaranya, ma-
Ia memandang kemuka, tertawa: "Kakak-beradik Tok-ko sudah berjumpa dengan kedua
saudara Lu. Yak-bwe, persoalanmu dengan sendirinya beres, dah."
Pada saat itu mereka masih di tengah gelanggang pertempuran. Hanya karena kawanan tentara
tak berani mendekati mereka, maka mereka dapat bicara dengan leluasa walaupun tak hentihentinya
mereka harus menangkis anak panah yang menyambarnya. Perhatian mereka tetap tak
lengah. "Ah, Pui-heng, kau mengapa?" tiba-tiba Yak-bwe berseru.
Kiranya sebatang anak panah menyambar Bik-hu, tetapi pemuda itu hanya tundukkan kepala
seperti tak mengacuhkan. Untung Khik-sia segera lontarkan pukulan lwekang biat-gong-ciang
menghantamnya. Bik-hu dongakkan muka. Matanya agak merah. "Tak apa-apa, mataku kelilipan pasir,"
katanya dengan tersipu-sipu. Pemuda itu ternyata diam-diam telah cintai In-nio. Alangkah pilu
hatinya demi mengetahui nona itu sudah mempunyai pandangan lain pemuda. Tapi selama itu Bikhu
hanya memendam asmaranya maka baik Yak-bwe maupun In-nio sampai tak mengetahuinya.
Sepasang kakak beradik Tok-ko dan Lu dikepung oleh sepasukan kecil. Sebagian memang
tentara pemerintah, sebagian anak buah Ceng-ceng-ji. Mereka dipimpin oleh Ki Ping-hwat, seorang
jagoan penjahat kelas satu. Ia menggunakan sepasang jit-gwat-lun (senjata yang bentuknya seperti
roda, satu besar seperti matahari, satu kecil seperti rembulan). Jit-gwat-lun khusus untuk
menggempur golok dan pedang. Memang kepandaian Ki Ping-hwat lihay juga. Sebenarnya ia
dapat menghadapi kedua saudara Tok-ko tapi ia masih merangkap juga untuk menyerang kedua
saudara Lu. Sebentar menyerang kesana, sebentar kesini. Sepasang kakak adik itu beberapa kali
hendak menerobos keluar, tapi tetap gagal. Ceng-kong-kiam Tok-ko Ing beberapa kali hampir saja
kena dirampas oleh jit-gwat-lun.
Diantara rombongan Yak-bwe, adalah Khik-sia yang paling cepat tibanya. Secepat menerobos
masuk, ia segera mainkan pedangnya. Terhadap kawanan tentara, ia membabat senjata mereka.
Terhadap anak buah Ceng-ceng-ji, ia gunakan ujung pedang menutuk jalan darah mereka. Dalam
sekejap saja, sudah ada tujuh delapan orang yang rubuh.
Ki Ping-hwat yang sudah pernah merasakan kelihayan Khik-sia, terperanjat sekali melihat anak
muda itu datang. Tak berani ia bertempur lama-lama terus melarikan diri. Pada lain saat Yak-bwe
pun masuk. Bahu membahu dengan Khik-sia, ia mengganyang musuh.
"Nona Ing, apa masih kenal dengan Su-toakomu?" dalam lain kesempatan Yak-bwe bertanya
pada Tok-ko Ing.
"Cici Su, kau mengelabuhi aku sampai menderita sekali!" Tok-ko Ing melengking. Sesaat
teringat bagaimana ia begitu tolol tak dapat membedakan seorang gadis yang menyaru pemuda,
tertawalah ia dengan getir, wajahnya merah padam.
Yak-bwe tetap membanyol dengan gaya dan nada seperti seorang lelaki. Yak-bwe
menghampiri dan menjura di hadapan Tok-ko Ing: "Harap nona jangan marah. Biarlah toako
menghaturkan maaf padamu!"
Tok-ko Ing terpingkal-pingkal sampai hampir jatuh, serunya: "Cis, tak malu, masih ingin jadi
lelaki lagi" Sungguh mati, aku tetap ingin menganggapmu sebagai toako, tapi sayang ada orang
yang tak memperbolehkan."
Ia berpaling dan berseru kepada Khik-sia: "Sebenarnya aku harus meminta maaf padamu,
karena aku begitu naif tak mengetahui bahwa kau ini bakal suaminya Su-toako."
Karena biasa memanggil toako, maka saat itu tanpa disengaja kembali Tok-ko Ing menyebut
"toako" lagi. Mendengar kata-kata yang lucu "bakal suaminya Su toako" itu, kawan-kawannya
tertawa gelak-gelak.
"Akupun harus meminta maaf kepada kalian berdua saudara," kata Khik-sia.
"Toan siauhiap, sudahlah, jangan main maaf saja. Cukup asal selanjutnya kau baik-baik
memperlakukan cici Su saja. Dan ingat, kau hanya boleh mempunyai seorang nona Su, jangan
beberapa nona Su lagi," sahut Tok-ko Ing. Ia teringat tempo hari dalam perjalanan telah berjumpa
dengan Khik-sia bersama seorang nona Su lainnya (Su Tiau-ing).
"Mendapat seorang adik baru seperti kau, masakan aku berani kurang ajar terhadap Yak-bwe,"
kata Khik-sia tertawa.


Tusuk Kondai Pusaka Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lu Hong-jun dan Hong-jiu pun maju menemui Khik-sia. Tok-ko U sengaja mendekati Hongjin
dan berdiri jajar dengan nona itu. Katanya: "Hong-jin, kurasa salah pahammu dengan nona Su
tentu sudah hilang sekarang. Adik Ing, tahukah kau bahwa bukan melainkan kau sendiri, pun nona
Lu ini juga kena dikelabuhi oleh Su toako-mu."
"Oh, begitu" Mengapa cici Lu tak mengatakan padaku?" seru Tok-ko Ing.
Hong-jiu tertawa: "Besaok akan kuceritakan padamu, kejadian-kejadian lucu yang kualami di
Kim-ke-nia. Nona Su, apakah kau masih marah padaku?"
Dalam sikap dan bicaranya selama ini Tok-ko U mesra sekali kepada Hong-jiu. Kini baru nona
itu mengetahui bahwa Tok-ko U ada hati kepadanya. Memang ia sendiri juga ada apa-apa kepada
pemuda itu, maka diam-diam ia merasa girang.
Sebenarnya Yak-bwe tak begitu senang kepada Hong-jiu, tapi karena nona itu menghaturkan
maaf, iapun balas memberi hormat. "Memang watakkulah yang jelek. Urusan yang lalu, bukan
kesalahan cici."
Setelah kedelapan pendekar muda mudi itu bersatu, mereka segera menerjang keluar dari
kepungan. Ketika mengisarkan pandangan Khik-sia lihat Wi Gwat dan Ciok Ceng-yang masih
terkepung. Kata Khik-sia kepada teman-temannya: "Opsir yang bertempur dengan Wi lo-cianpwe
itu adalah pemimpin Kiu-seng-su-ma Toh Hok-wi. Mungkin karena berhadapan dengan pembesar
kerajaan maka Wi lo-cianpwe agak sungkan. Tetapi orang she Toh itulah yang mencelakai Cin sian,
sahabat karib Thiat toako. Wi lo-cianpwe dapat memberi ampun, tapi aku tak dapat memberinya
kemurahan. Biar kuberinya sedikit hajaran."
Memang yang diduga anak muda itu benar. Mengingat kedudukan Toh Hok-wi, Wi Gwat tak
mau berlaku ganas. Tetapi Wi Gwat bukannya untuk kepentingan pribadinya. Ia kuatir bentrok
dengan pemerintah adalah karena mengingat kepentingan partai Kay-pang. Anak buah Kay-pang
tersebar di seluruh negeri jumlahnya besar sekali. Benar mereka tak sudi berhamba pada kerajaan,
tetapi pun tak mau menyalahi undang-undang negara. Biarpun Wi Gwat itu seorang yang tak kenal
takut pada siapa saja, tapi demi mengingat kedudukan Kay-pang di kota raja dan di lain daerah
maka ia terpaksa berlaku sungkan.
Karena dibatasi dengan hal itu posisi Wi Gwat sukar. Ia tak mau ditangkap tapi pun tak mau
mengalahkan lawan. Ia hanya mengharap agar Toh Hok-wi tahu diri dan mundur sendiri. Tetapi
ternyata karena hendak mengembalikan muka dan lagi dikipasi Ceng-ceng-ji, walaupun tahu bukan
lawannya Toh Hok-wi tetap tak mau mundur, bahkan ia memberi perintah kepada pasukan Thengpay-
kun untuk bantu mengepung Wi Gwat dan Ciok Ceng-yang. Rombongan anak buah Kay-pang
yang maju menghadang kena dihalau oleh Theng-pay-kun.
Wi Gwat sambil putusan gunakan toa-kin-na-chiu (menangkap dengan tangan kosong) untuk
menangkap Toh Hok-wi. Ia anggap Toh Hok-wi tentu tak terluka dan pemerintahpun tentu takkan
marah. Tetapi ternyata walaupun tak selihat Wi Gwat, Toh Hok-wi itu juga bukan jago
sembarangan. Apalagi ia mendapat bantuan dari Pok Yang-kau yang kepandaiannya tak kalah
dengan Ceng-ceng-ji. Dulu orang she Pok itu pernah dipersen pukulan oleh Wi Gwat ketika dalam
rapat besar Kay-pang. Maka dalam kesempatan sekarang ini, Pok-kun hendak membalas dendam.
Kesemuanya itu mempengaruhi gerak-gerik Wi Gwat di dalam usahanya menangkap Toh Hokwi.
Ia hendak melemparkan Toh Hok-wi keluar gelanggan, tapi belum mendapat kesempatan.
Bahkan hampir saja beberapa kali ia terancam bahaya dari kedua pengeroyokannya Toh Hok-wi dan
Pok Yang-kau itu. Namun kedua orang itupun tak mampu juga untuk menangkap Wi Gwat.
Sebelum Khik-sia datang, Wi Gwat dan kedua lawannya itu sudah bertempur ratusan jurus. Wi
Gwat sungkan sebaliknya kedua lawannya bernafsu sekali. Lama-kelamaan panaslah hati pengemis
itu. Penyakitnya gila angot lagi. Pada saat ia hendak mengganas, Khik-sia menerobos masuk.
Anak muda itu tak mau kucurkan banyak darah. Terhadap "benteng" pasukan berlapis rotan
(Theng-pay-kau) yang merintanginya dengan tombak ia hanya ganda tertawa: "Aku tak mau
melukai kalian. Sekarang hendak kulucuti "bungkusan" kalian dulu!"
Khik-sia mainkan pedangnya dengan indah sekali. Terdengar beberapa bunyi krak-krak.
Setiap pedang Khik-sia berkiblat tentu ada sebuah theng-pay pecah. Dalam beberpa kejap saja,
berpuluh-puluh Theng-pay pecah. Anak buah Kay-pang yang mengikuti Khik-sia dari belakang,
pun turut menerobos masuk kepungan. Karena alat pelindung diri sudah pecah, pasukan Then-paykun
itu kacau balau.
"Jangan membunuh jiwa orang. Jika anjing menggigit orang, cukup gebuk saja kaki binatang
itu!" buru-buru Wi Gwat meneriaki anak buahnya.
Anak buah Kay-pang siapkan senjatanya yang terkenal ialah Bak-kau-ciang atau pentung
pengecut anjing. Anak buah Theng-pay-kun yang lari dibiarkan lari, tapi yang coba-coba
merintangi, tentu digebuk kakinya. Kaum Kay-pang termasyhur dengan ilmu tongkatnya. Anak
buah Theng-pay-kun yang sudah pecah alat pelindung dirinya, dihajar kocar-kacir oleh anak-anak
Kay-pang. Melihat Khik-sia datang, pecahlah nyali Pok Yang-kau. Setelah mengirim serangan kosong
kepada Wi Gwat, ia lantas melarikan diri. Khik-sia menusuknya, tapi ujung pedangnya kena
disisihkan oleh pukulan biat-gong-cang Pok Yang-kau.
"Bagus, aku ingin mencoba pukulan lwekangmu Khun-goan-ciang!" seru Khik-sia. Ia
menyerang dengan pedang dan pukulan.
"Blak," terdengar suara pukulan berbenturan keras. Keduanya sama-sama tergetar. Tadi Khiksia
menyerang juga dengan pedang. Begitu tenaga pukulannya lenyap, ujung pedangnyapun masih
menusuk Pok Yang-kau tak berdaya. Ia percepat larinya. Tetapi Khik-sia lebih cepat lagi.
Pedangnya dapat menabas lutut Pok Yang-kau.
To Hok-wi tetap bertempur gigih untuk mempertahankan namanya sebagai tay-ciangkun. Ia
tak menyangka bahwa Pok Yang-kau bakal melarikan diri. Pada saat Pok Yang-kau berputar tubuh
lari, Toh Hok-wi masih menyerang Wi Gwat dengan hebat. Hanya celakanya, kali ini Wi Gwat
sudah tak kuat lagi menahan kesabarannya. Dibarengi dengan menggerung keras, ia dapat menjepit
gigir golok Toh Hok-wi terus ditariknya.
"Tay-ciangkun, ambillah lagi golok pusaka dan mari main-main dengan aku si pengemis tua
ini!" Wi Gwat tertawa gelak-gelak. Ia lemmparkan golok orang ke udara.
Wajah Toh Hok-wi pucat seperti kertas. Tanpa menghirauka martabat jenderal atau bukan
jenderal (tay-ciangkun) lagi, ia lantas lari terbirit-birit.
Sementara karena terbacok lututnya, Pok Yang-kau lari mati-matian dengan kaki pincang. Jika
mau sebenarnya Khik-sia dapat mengejar, tapi pada saat itu matanya tertumbuk akan bayangan Toh
Hok-wi yang belum berapa jauh. Tiba-tiba Khik-sia mendapat akal, pikirnya: "Untuk lolos dari
bahaya saat ini, harus meminjam tenaganya."
Cepat ia tinggalkan Pok Yang-kau dan lari mengejar Toh Hok-wi. Baru Toh Hok-wi hendak
menghampiri goloknya yang meluncur turun dari udara, tiba-tiba seorang opsir loncat mendahului
menyambarnya. Toh Hok-wi mengira kalau opsir itu tentu orang sebawahannya. Baru ia hendak
memanggil, Khik-sia sudah menusuk punggungnya.
Khik-sia telah memperhitungkan bahwa orang tentu tak mungkin menghindar dari tusukannya.
Tusukan itu ditujukan ke arah jalan darah, maka tak boleh terlalu keras. Tapi tiba-tiba si opsir yang
sudah menyambuti golok Toh Hok-wi tadi membacaok pedang Khik-sia hingga sampai terdorong
ke sisi. Tangan Khik-siapun terasa sakit. Usahanya yang sudah hampir berhasil digagalkan orang,
murkalah Khik-sia. Secepat kilat ia babatkan pedangnya sampai tiga kali beruntun-runtun. Tapi tak
kalah cepatnya si opsir itu juga membalas dengan dua buah bacokan. Benar gerakannya itu tak
selincah Khik-sia. Namun karena permainan goloknya begitu rapat dan keras, Khik-sia pun tak
dapat berbuat apa-apa.
"Hai, mengapa opsir ini sedemikian lihaynya. Rasanya Toh Hok-wi dan Bu Wi-yang sendiri
tak menang dengan dia!" diam-diam Khik-sia heran.
Telah dikatakan, gerakan opsir itu tak selincah Khik-sia, tapi rupanya dalam hal tenaga
lwekang ia lebih unggul sedikit dari Khik-sia. Apalagi golok Gan-leng-to milik Toh Hok-wi itu
juga golok pusaka, maka tak takut beradu dengan pedang pusaka Khik-sia. Setelah pertukaran tiga
babatan pedang dengan dua bacokan golok tadi, opsir itu lontarkan hoan-chiu-to atau membacok
dengan membalik golok. Begitu Khik-sia terpaksa mundur selangkah opsir itupun putar tubuh terus
pergi. Bermula Khik-sia menduga orang tentu akan gunakan tipu siasat, tapi ternyata opsir itu angkat
kaki tanpa menoleh lagi. "Hai, belum ketahuan menang kalahnya, mengapa sudah lari?" teriak
Khik-sia. Sekali loncat ia memburunya. Tapi ia tak mau menyerang secara gelap, maka
sebelumnya ia sudah meneriakinya dulu.
Toh Hok-wi ternyata tak kenal dengan opsir itu. Tapi karena melihat kepandaian orang begitu
lihay, diam-diam Toh Hok-wi girang sekali. Serunya: "Bagus, lindungi aku dari belakang dan lekas
menggabungkan diri dengan induk pasukan, kemudian kepung lagi kawanan pemberontak itu.
Akan kucatat jasamu, kelak tentu akan kunaikkan pangkat."
"Terima kasih atas budi tayjin," sahut opsir itu seraya maju menghampiri. Sekonyong-konyong
ia gunakan kin-na-chiu menangkap pergelangan tangan Toh Hok-wi. Seketika lemaslah Toh Hokwi
tak dapat berkutik lagi.
"Kau, kau mau berbuat apa ini?" serunya dengan cemas.
Khik-sia yang memburu datang, terperanjat juga melihat kejadian itu. Buru-buru ia simpan
pedangnya. Opsir itu tertawa: "Jika kita mau lolos, jalan satu-satunya hanya dengan meminjam
orang ini. Kenapa kau hendak membunuhnya?"
Sekarang barulah Khik-sia tahu bahwa opsir itu kawan seperjuangannya. Bahkan rencananya
pun sama. Hanya karena salah mengerti saja maka opsir itu mengira tadi Khik-sia hendak
membunuh Toh Hok-wi. Padahal ia hanya mau menusuk jalan darah orang saja.
"Siapakah saudara ini" Mengapa membantu aku?" dalam girangnya Khik-sia buru-buru
meminta penjelasan.
Kembali opsir itu tertawa: "Membantu kau berarti membantu diriku sendiri juga. Aku yang
rendah ini mendapat kehormatan menduduki kursi terakhir dari Sepuluh Pemberontak, namaku Co
Ping-gwan dari Keng-ciu. Menilik usiamu yang masih begitu muda, tentulah kau ini Toan Khik-sia
siauhiap yang termasyhur!"
Mimpipun tidak Khik-sia bahwa pemberontak nomor sepuluh yang hendak ditangkap oleh
pemerintah itu, ternyata muncul di gelanggang situ dalam pakaian sebagai seorang opsir kerajaan.
Khik-sia menjawab memberi hormat: "Tadi telah salah paham, mohon dimaafkan. Co toako
memiliki kecerdasan dan keberanian, aku sungguh kagum sekali."
Co Ping-gwan tertawa: "Toh tayjin ini kuserahkan padamu, supaya kau lega."
Waktu Khik-sia hendak menyahut, Co Ping-gwan sudah mendorong pembesar itu hingga Khiksia
terpaksa menyambutnya. Sebenarnya ketika tangan Co Ping-gwan dilepas tadi, Toh Hok-wi
hendak meronta, tapi Khik-sia cepat sudah menerkam punggungnya. "Jika berani sembarangan
bergerak, urat nadimu tentu kuputus. Celaka kau nanti!"
Wi Gwat, Tok-ko U dan kawan-kawan berdatangan menghampiri. Dengan menggusur Toh
Hok-wi, mereka menerjang keluar dari kepungan. Barisan tentara kerajaan tak mampu menjaga
pertahanannya lagi. Dalam beberapa kejap, rombongan Wi Gwat sudah tiba di pinggir lapangan.
Ternyata di dalam lapangan ketentaraan itu, terdapat 3000 tentara Gi-lim-kun dan 2000 anak
buah Toh Hok-wi. Mereka menjaga keras pintu besar, orang tak boleh sembarangan masuk keluar.
Lima ribu tentara pilihan itu, siap dengan busur dan senjata. Benar Thiat-mo-lek dan Khik-sia serta
jago-jago itu berkepandaian tinggi, tapi jika hendak berkeras menerjang tentara pemerintah tentu
tak mungkin. Dalam menggusur Toh Hok-wi itu, Co Ping-gwan dengan tegas mengancam: "Toh tayjin, jika
kau ingin menyelamatkan kantong nasimu, lekas perintah orangmu membuka pintu!"
Pucatlah wajah Toh Hok-wi, batinya: "Membuka pintu lepaskan tawanan, mereka tak
membunuh aku, tetapi akupun tetap dijatuhi hukuman mati oleh raja. Membuka mati, tidak
membuka pun mati. Ah, lebih baik aku mati sebagai menteri setia saja."
Baru ia berpikir begitu, Khik-sia sudah menekan punggungnya dan seketika ia rasakan
tubuhnya seperti digigiti ribuan ular kecil. Benar-benar siksaan yang paling hebat di dunia. "Hoha,
lepaskanlah. Biar kuturut perintahmu!" akhirnya ia meratap.
Khik-sia tertawa dingin: "Terserah saja kepadamu. Tapi, jika kau membangkang, aku masih
mempunyai ilmu pijat istimewa untuk kau coba."
Toh Hok-wi digusur kira-kira terpisah beberapa tombak dari pasukan pemerintah. Ketika
memandang ke muka, Toh Hok-wi dapatkan yang di sebelah depan adalah anak buahnya sendiri dan
yang di bagian belakang adalah pasukan Gi-lim-kun. Ia kuatir anak buah Gi-lim-kun tak mau
mendengar perintahnya. Tapi ia tak mempunyai lain pilihan lagi. Begitu Khik-sia hendak
memijatnya lagi, Toh Hok-wi buru-buru berteriak: "Lekas buka pintu, lekas buka pintu!"
Anak tentara jelas melihat bahwa pemimpinnya itu sedang ditekan musuh. Karena perintah itu
menyangkut urusan besar, sekalian anak buah pun tak berani mengambil putusan menurut atau
menolak. Pasukan Gi-lim-kun yang bertugas menjaga pintu besar, terbagi menjadi dua golongan. Satu
golongan menyatakan: "Cin thong-leng membuka Eng-hiong-tay-hwe ini sebenarnya sudah
mengatakan kepada orang gagah di seluruh negeri bahwa mereka takkan mendapat gangguan. Tapi
karena Kaisar mendengarkan anjuran Bu Wi-yang dan Toh Hok-wi, maka mengeluarkan perintah
menangkap sepuluh "pemberontak" tadi. Ini menyebabkan Cin thong-leng kehilangan muka pada
seluruh orang gagah. Maka lebih baik kita buka pintu saja."
Golongan kedua menentang: "Jangan, jangan! Menangkap pemberontak adalah perintah dari
raja. Kalau kita bukakan pintu dan lepaskan mereka, bukan saja kita semua anak buah Gi-lim-kun
akan dihukum kaisar bahkan Cin tayjin pun tentu tambah berat dosanya. Orang she Toh itu
memang sudah beberapa kali hendak mencelakai Cin tayjin. Biarkan sekarang dia mati disiksa
kawanan pemberontak itu!"
Kedua pihak sama-sama ada alasan namun sampai sekian saat tiada keputusannya. Pada waktu
biasa, Toh Hok-wi bersikap angker terhadap anak buahnya. Dia sering memberi putusan yang tak
adil, kebanyakan tentu mengeloni orang-orang yang menjilatnya. Kewibawaan Toh Hok-wi di
kalangan tentara kalah jauh dengan Cin Siang. Memang beberapa anak buah yang setia pada Toh
Hok-wi, saat itu mau memberi jalan.
Sementara partai Thiat-mo-lek lawan Bu Wi-yang dan Yo Bok-lo, ternyata sampai saat itu
masih belum ada kesudahannya. Hanya sekarang kedua orang itu gunakan siasat sambil bertempur
sambil mundur. Sampai akhirnya datanglah pasukan Theng-pay-kun. Mereka bergabung dengan
barisan Giau-kau-chiu membentuk suatu garis pertahanan untuk menghadang Thiat-mo-lek. Di saat
itu barulah Bu Wi-yang dapat menyusup ke dalam barisan anak buahnya untuk beristirahat. Pada
saat itu juga ia mengetahui tentang tindakan Khik-sia terhadap Toh Hok-wi. Cepat-cepat ia lari
menghampiri dan meneriaki anak buah Toh Hok-wi: "Toh tayjin telah ditawan pemberontak.
Kalian sekarang harus mendengar perintahku. Lepaskan anak panah!"
Anak buah Toh Hok-wi bersangsi.
"Pasukan Gi-lim-kun, dengarlah! Kalian ingin tidak menolong Cin thong-leng kalian?"
kembali Bu Wi-yang berseru. Lwekang yang tinggi menimbulkan suara nyaring sekali hingga
pasukan Gi-lim-kun yang tengah berisik itu diam seketika.
"Untuk menolong Cin tayjin, hanya harus menurut surat perintah baginda. Basmi kaum
pemberontak itu dan mendirikan jasa untuk meringankan kedosaan Cin tayjin. Untuk itu aku
bersedia memberi kesaksian kepada baginda. Tetapi jika kalian berani membukakan pintu, baginda
tentu menuduh Cin tayjin menyuruh kalian berontak. Dengan demikian bukankah Cin tayjin akan
lebih berat dosanya?" Bu Wi-yang berseru dengan lantang sekali.
Sebagian besar anak buah Gi-lim-kun memang mempunyai pendirian demikian. Maka anjuran
Bu Wi-yang cepat diterima. Ribuan batang anak panah mengauk ke arah Toh Hok-wi. Jago-jago
kelas satu seperti Khik-sia, Co Ping-gwan, Wi Gwat, Tok-ko U, dan lain-lain sibuk juga melindungi
Toh Hok-wi. Memang pasukan Gi-lim-kun itu merupakan pasukan pilihan. Setiap calon harus diuji
merentang busur berat, baru dapat diterima. Oleh karenanya mereka kuat dan gagah sekali
memanah. Begitu Gi-lim-kun bergerak, pasukan Hou-bin-kun pun mengikuti. Sebenarnya mereka adalah
anak buah Toh Hok-wi sendiri. Tapi karena biasanya Toh Hok-wi memperlakukan mereka keras
dan tak adil, banyak yang sakit hati. Dan kesempatan ini digunakan baik-baik oleh mereka.
"Mundur, lekas mundur ke lapangan lagi!" teriak Co Ping-gwan. Toh Hok-wi kaget dan marah
dengan pengkhianatan itu.
"Aku adalah pembesarmu, kamu tak menurut perintahku, tak apa. Tapi mengapa berani
membidik aku?" teriaknya dengan kalap. Namun dalam hujan anak panah yang sedemikian
riuhnya, mana anak buah Hou-bin-kun menghiraukannya.
Bu Wi-yang loncat ke atas kuda. Sembari pentang busur, berseru nyaring: "Toh Hok-wi,
karena kau mau menyerah pada pemberontak, jangan salahkan aku!" " Sret, sret, sret, ia lepaskan
tiga batang anak panah berturut-turut. Tenaganya besar, apalabi dalam keadaan yang kacau, maka
sukar untuk menjaganya. Terpaksa Khik-sia putar pedang dan berhasil menyampok dua batang.
Anak panah yang ketiga ditampar dengan kipas oleh Tok-ko U. Sayang karena tenaganya kalah
kuat dengan Bu Wi-yang, maka anak panah dapat menembus kipas, terus menyusup ke tenggorokan
Toh Hok-wi. Seketika matilah pembesar itu.
Bu Wi-yang tertawa gelak-gelak. Sekarang ia mengarah Khik-sia, Tok-ko U dan lain-lain.
Melihat itu marahlah Hong-jun, teriaknyanya: "Datang tidak disambut, tidak menghormat. Lihat
panahku!" " Sret, sret, sret, ia pun lepaskan tiga batang anak panah berturut-turut.
Lu Hong-jun adalah ahli panah yang digelari orang sebagai Sin-cian-chiu. Anak panah pertama
mengenai kuda dan anak panah kedua mengarah tenggorokan Bu Wi-yang. Orang she Bu itu
ternyata lihay juga. Ia cepat loncat turun dari kudanya yang sudah terjungkal tak bernyawa itu.
Dan secepat itu ia menangkis dengan busurnya. Trang, busurnya pecah terhantam anak panah
Hong-jun. Dan pada lain saat, anak panah yang ketiga sudah menyambar datang. Bu Wi-yang tak
sempat menghindar lagi. Terpaksa ia ngangakan mulutnya dan menggigit. Kre, ujung anak panah
dapat digigitnya dan tertolonglah jiwanya. Tapi dua buah gigi muka rompal. Bu Wi-yang lari
terbirit-birit. Waktu Hong-jun menyusuli anak panah yang keempat, sudah tak keburu mengejarnya.
Rombongan Khik-sia kembali lagi ke gelanggang. Karena disitu masih berlangsung
pertempuran kacau, pasukan Gi-lim-kun pun tak berani melepaskan panah lagi.
Di gelanggang situ, Shin Ci-koh masih main udak dengan Ceng-ceng-ji. Sambil mengejar,
wanita aneh itu berteriak-teriak: "Kunyuk kecil, kau masih hutang sebuah tamparan. Jangan ngimpi
kau dapat melarikan diri! Kalau kenal selamat, baik kai menyerah saja daripada nanti kalau
kecandak tentu kutampar lebih dari satu kali."
Ceng-ceng-ji tak dapat melawan Shin Ci-koh dan tak berani balas memaki. Untung ia lebih
unggul ginkangnya. Ia menyelinap masuk ke dalam kerumunan yang sedikit orangnya. Untuk
beberapa saat Shin Ci-koh belum dapat menyandaknya. Tetapi karena banyak orang yang benci
Ceng-ceng-ji, mereka memberi jalan pada Shin Di-koh dan sengaja merintangi Ceng-ceng-ji.
Orang-orang itu sebenarnya tak berani pada Ceng-ceng-ji. Tapi karena Ceng-ceng-ji sedang diuber
"setan", iapun tak berani cari permusuhan lagi. Setiap ada orang merintangi, dengan menahan
kemarahan, ia terpaksa mengitari dari samping. Karena dirintangi begitu, jarak Ceng-ceng-ji makin
lama makin dekat dengan Shin Ci-koh.
Pada saat Wi Gwat tiba di gelanggang, kebetulan Ceng-ceng-ji sedang berlarian mendatangi.
Melihat congor Ceng-ceng-ji, meluaplah amarah Wi Gwat. Ia hadangkan kedua tangannya dan
berseru: "Bagus, kau masih di sini, kunyuk kecil" Lekas ganti buli-buliku!"
Saking gugupnya Ceng-ceng-ji enjot kakinya hendak melampaui Wi Gwat. Tapi tiba-tiba
mulut Wi Gwat menyembur arak dan tangannya menghantam dengan biat-gong-ciang. Aduh ....
diam-diam Ceng-ceng-ji berteriak tertahan. Muka dan tubuhnya kena kesemprot. Sakitnya seperti
disiram air panas. Dan di samping itu, ia masih menerima lagi pukulan biat-gong-ciang. Hek,
nafasnya serasa berhenti, untung ia cukup lihay dan tak sampai terluka dalam.
Dengan ginkangnya yang jempol, dalam saat-saat yang berbahaya di mana Shin Ci-koh sudah


Tusuk Kondai Pusaka Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hampir datang, ia gunakan gerak kek-cu-hoan-sim atau burung merpati balikkan tubuh,
berjumpalitan di udara. Begitu tiba di tanah, kaki kiri diinjakkan ke kaki kanan terus loncat ke
samping sampai beberapa tombak jauhnya. Tapi alangkah kejutnya ketika berdiri jejak, ia lihat
Khik-sia sudah berada di hadapannya.
"Toan sute, meskipun kita bermusuhan, tapi kita adalah saudara seperguruan. Apakah kau tega
melihat aku dihina orang luar?" tersipu-sipu ia mainkan diplomasi.
"Aku masih punya hubungan apalagi dengan kau?" sahut Khik-sia. Habis itu ia lantas
menyerang. Tapi lain mulut lain hati. Ternyata serangannya itu hanya kosong dan diatur
sedemikian rupa untuk memberi jalan lolos pada Ceng-ceng-ji.
"Bawa kemari!" tiba-tiba Co Ping-gwan membentak.
"Apa yang kauminta?" tanya Ceng-ceng-ji. Ia terus menyelinap dari samping tapi golok Co
Ping-gwan yang dimainkan dalam jurus liong-toh-liok-hap, memaksa Ceng-ceng-ji berhenti.
"Apa kau pura-pura tak tahu" Pedang pusaka kim-ceng-kiam yang kau pegang itu, adalah
milik keluargaku. Lekas berikan padaku!" bentak Co Ping-gwan.
"Oh, kiranya Co kongcu. Kau sudah merampas golok gan-leng-to kepunyaan Toh Hok-wi,
mengapa masih meminta kim-ceng-toan-kiam lagi?"
"Kurang ajar! Pedang pusaka warisan keluargaku, mana boleh kau gasak!" damprat Co Pinggwan
sembari mainkan golok dengan gencar.
Sebenarnya kepandaian Ceng-ceng-ji tak kalah dengan Co Ping-gwan. Tapi karena ia letih
bertempur sejak tadi, maka ia tak mampu membobolkan rintangan Co ping-gwan itu.
"Ha, ha, kunyuk kecil, coba sekarang kau mau lari kemana?" Shin Ci-koh tertawa gelak-gelak.
"Co ping-gwan, harap berhenti sebentar. Biar kutamparnya dulu kunyuk itu satu kali baru nanti kau
boleh selesaikan perhitunganmu lagi!"
Dalam saat dimana Ceng-ceng-ji sudah seperti tikus yang dicegat oleh dua ekor kucing, tibatiba
barisan tentara negeri menjadi gempar dan panik. Sesosok tubuh melayang melampaui kepala
mereka dan pada lain kejab sudah tiba di tengah gelangang. Orang itu bukan lain ialah Gong-gongji.
"Gong-gong-ji, apa sekarang kau masih mau menyingkiri aku lagi?" cepat-cepat Shin Ci-koh
tinggalkan Ceng-ceng-ji dan lari menghampiri Gong-gong-ji.
oooooOOOOOooooo
Dilepas Shin Ci-koh, Ceng-ceng-ji agak longgar. Tapi kelonggarannya hanya sekejab mata
saja. karena pada lain kejab semangatnya seperti terbang, demi melihat Gong-gong-ji datang.
"Pedang pusaka ini benar kepunyaan keluargamu, tapi yang memberikan kepadaku ialah
suhengku. Sekarang suhengku sudah datang, jika hendak meminta kembali pedang ini, silahkan
bilang padanya!" serunya kepada Co Ping-gwan seraya menyerang. Dan ketika Co Ping-gwan
menghindar, Ceng-ceng-ji lantas putar tubuh dan melarikan diri.
Co Ping-gwan tak dapat mengejarnya. Pikirnya: "Ya, Gong-gong-ji sudah datang. Aku harus
menemuinya."
Dua puluh tahun berselang pedang pusaka yang terbuat dari emas milik keluarga Co itu telah
dicuri Gong-gong-ji. Karena sayang kepada Ceng-ceng-ji, pedang itu diberikan kepadanya.
Setelah dewasa dan matang dalam gemblengan ilmu silat, Co Ping-gwan hendak mencari Gonggong-
ji untuk meminta kembali pedangnya itu. Untung pada saat itu Gong-gong-ji sudah tersadar
dari pengaruh Yu-pay dan kembali ke jalan yang lurus. Walaupun ia menang, tapi ia tak mau
melayani tantangan Co Ping-gwan bahkan sebaliknya malah minta maaf dan berjanji akan
mengembalikan pedang Co Ping-gwan. Dan sejak itu selama berkelana di dunia persilatan, banyak
kali secara diam-diam Co Ping-gwan mendapat bantuan dari Gong-gong-ji. Akhirnya kedua orang
itu bersahabat baik.
Ceng-ceng-ji tahu tentang riwayat pedang pusaka itu. Maka kali ini adanya Co Ping-gwan
dimasukkan dalam golongan "pemberontak", adalah dari usulnya. Latar belakangnya karena Cengceng-
ji hendak memiliki terus pedang itu.
Karena bernafsu untuk menjumpai Gong-gong-ji, maka Shin Ci-koh tak menghiraukan
siapapun. Yang menghadang jalannya, tak perduli dia itu anak tentara atau orang persilatan, tentu
disikat dengan kebut hud-timnya. Tapi karena lapisan tentara negeri itu banyak sekali, sudah tentu
tak mudah baginya untuk menyapu bersih.
Co Ping-gwan yang juga hendak menemui Gong-gong-ji dan kebetulan berada di belakang
Shin Ci-koh, tiba-tiba mendapat pikiran: "Aku hendak minta Gong-gong-ji mengembalikan
pedangku, untuk itu akupun harus membantu kerepotannya. Dia tak senang menjumpai wanita ini.
Biarlah kuhadangnya saja."
Ia percepat larinya dan berseru: "Shin lo-cianpwe, sungguh beruntung dapat berjumpa,
terimalah hormatku!"
Shin Ci-koh tak senang kalau orang membahasakan dirinya sebagai "locianpwe". Karena
dengan begitu ia dianggap sebagai orang tua. Tapi mengingat ayah Co Ping-gwan, ia tak mau
memukul anak muda itu. Ia deliki mata dan menyahut dingin: "Tak usah banyak tingkah, aku tak
punya waktu!"
Tapi Co Ping-gwan malah loncat kemuka dan berhadapan dengan wanita aneh itu, ujarnya:
"Jika membicarakan tentang ilmu pedang, ayah selalu menyatakan kekagumannya terhadap ilmu
pedang lo-cianpwe. Sayang pada waktu lo-cianpwe lalu di rumahku, aku masih kecil tak mengerti
apa-apa. Sekarang aku beruntung berjumpa, sudilah lo-cianpwe memberi petunjuk barang satu dua
jurus locianpwe, mengapa hari ini kau memakai hud-tim bukan pedang?"
Marah Shin Ci-koh bukan kepalang dengusnya: "Apa kau hendak menguji aku?"
Buru-buru Co Ping-gwan menjura: "Tidak, lo-cianpwe. Aku hanya mohon pelajaran ilmu
pedang, sekali-kali tak berani menguji lo-cianpwe."
"Tadi kau bertanya mengapa aku tak pakai pedang" Tahukah kau bahwa begitu bu-ceng-kiam
itu keluar, tentu akan minta jiwa orang?"
"Tahum tahu! Justeru ilmu pedang sakti itulah yang hendak kumohon," sahut Ping-gwan.
Shin Ci-koh tertawa dingin: "Untuk belajar ilmu pedangku tak boleh secara lisan. Kalau benarbenar
kau ingin belajar, nah, lihatlah pedang ini! Ho, kau tak mau menyingkir?"
Co Ping-gwan gunakan jurus tiang-ho-lok-ji, atau sungai ho di senjakala, ia putar pedangnya.
Trang, pedang Shin Ci-koh kena didorong ke sisi. Dan tertawalah ia: "Ilmu pedang lo-cianpwe
sungguh hebat. Apakah caraku menangkis tadi benar?"
Karena memandang muka ayahnya, maka Shin Ci-koh tak mau menyerang sungguh-sungguh.
Tapi sebaliknya karena tahu wanita itu selalu bertindak ganas, maka Co Ping-gwan telah menangkis
dengan sekuat tenaganya hingga tangan Shin Ci-koh menjadi kesakitan.
Akhirnya marah juga Shin Ci-koh. Ia ambil putusan hendak memberi hajaran pada anak muda
itu tak peduli ia itu putera siapa. "Bagus, kalau tak kukeluarkan sungguh-sungguh kau tentu
mengira ilmu pedangku Bu-ceng-kiam itu hanya bernama kosong," akhirnya ia tertawa dingin
sembari kiblatkan pedangnya. Tampaknya berkiblat di kanan tahu-tahu sudah di kiri. Sungguh
suatu ilmu pedang yang luar biasa, sukar diduga gerak perubahannya.
Dalam beberapa jurus saja, Co Ping-gwan tak mampu berbuat apa-apa, kecuali hanya sibuk
menangkis. Diam-diam ia jeri juga, batinnya: "Ah, nyata-nyata Bu-ceng-kiam itu tak bernama
kosong. Untung aku dapat merampas golok pusaka Gan-leng-to ini biarpun mati-matian, tapi dapat
melayaninya."
Shin Ci-koh juga terkejut melihat anak muda itu dapat melayani ilmu pedang Bu-ceng-kiam.
Diam-diam ia kuatir jangan-jangan kemasyhuran Bu-ceng-kiam itu akan jatuh di tangan Ping-gwan.
Jilid 12 Shin Ci-koh paling menjunjung nama. Begitu bertempur, entah dengan kawan atau lawan, ia
tentu harus menang. Begitu ia pergencar serangannya, Co Ping-gwan menjadi kewalahan. Untung
dalam saat-saat Ping-gwan akan menderita kekalahan itu, tiba-tiba terdengar gelak tertawa seorang
tua: "Shin Ci-koh, mengapa kau gunakan Bu-ceng-kiam terhadap seorang anak muda" Apakah tak
takut ditertawai orang" Ai, ai, ai sudahlah jangan bertempur. Pengemis tua hendak mengundang
kau minum arak!"
Itulah Wi Gwat. Ia pinjam tongkat bambu Ciok Ceng-yang dan sekali disodokkan, terpisahlah
golok Co Ping-gwan dengan pedang Shin Ci-koh. Ini bukan berarti bahwa kepandaian Wi Gwat
jauh lebih lihay dari kedua orang itu. Tetapi dikarenakan kepandaian Shin Ci-koh tak terpaut
banyak dengan Co Ping-gwan. Wi Gwat dapat mencari "timing" dan gunakan tenaga dengan tepat.
Maka sekali gerak, ia berhasil pisahkan mereka tanpa melukai.
Melihat si pengemis tua, terpaksa Shin Ci-koh mau mengalah. Apalagi si pengemis gila itu
berkata dengan tepat, dapat menjunjung gengsi Shin Ci-koh. Amarah Shin Ci-koh menurun dan
setelah menyimpan pedang ia berkata: "Bukannya aku menghina kaum muda tetapi karena dia
hendak merintangi urusanku."
Wi Gwat mendorong Co Ping-gwan ke samping, ujarnya: "Benar, urusan Shin Ci-koh hanya
aku si pengemis tua ini yang dapat mengetahui. Kau budak kecil, jangan mengganggu kita bicara."
Co Ping-gwan tahu kalau ditolong Wi Gwat, maka ia pun buru-buru undurkan diri menggabung
pada Khik-sia. "Pengemis tua, mengapa kau juga ikut-ikutan menggerecoki aku" Mana aku senggang minum
arak dengan kau?" seru Shin Ci-koh dengan agak kurang senang.
Wi Gwat tertawa: "Kalau kau tak mau minum arak, seharusnya kau undang aku minum
arakmu!" "Pengemis tua, jangan ngaco, aku benar-benar tak punya tempo menemanimu. Mau minum
arak, silahkan minum sendiri saja. Maaf, aku mau pergi," Shin Ci-koh mau pergi tapi dicekal
tangannya oleh Wi Gwat.
"Ha, ha, apa kau belum mengerti" Yang kumaksudkan, kau supaya undang aku minum arak
kegiranganmu. Tak perlu kau menemani aku. Ketahuilah, karena berkelahi aku bersahabat dengan
Gong-gong-ji. Perangaiku sama dengan dia. Dia tak mau mendengarkan perkataan orang, tetapi
perkataan pengemis tua ini, ha, ha, ia tak berani tak mendengarkan. Ci-koh, urusanmu dengan
Gong-gong-ji serahkan saja padaku. Pengemis tua ini paling senang menjadi comblang!"
Walaupun Shin Ci-koh itu berlainan dengan wanita biasa, ialah tak mau sungkan-sungkan
mengaku senang pada orang, tapi tak urung pada saat itu ia merah juga. Batinnya: "Beberapa kali
Gong-gong-ji selalu menyingkir dari aku. Tetapi kutahu bukannya ia sama sekali tak suka padaku.
Melainkan ia memang sudah biasa hidup bebas, takut kalau sudah menikah akan terikat. Ah,
rupanya ia tak tahu bahwa sekarang perangaiku sudah berubah."
Kiranya pada dua puluh tahun yang lalu, Gong-gong-ji sudah kenal dengan Shin Ci-koh.
Mereka saling mencocoki. Shin Ci-koh suka sekali kepada Gong-gong-ji. Gong-gong-ji pun
mengagumi kepandaian Shin Ci-koh. Sebenarnya mereka dapat menjadi pasangan suami-isteri
yang ideal. Tetapi Shin Ci-koh tak setuju dengan cara hidup Gong-gong-ji yang digelari sebagai
Biau-chiu-sin-thou atau Pencuri Sakti. Ia anggap nama itu tidak baik. Gong-gong-ji pun takut akan
watak Shin Ci-koh yang keras. Segala apa harus menurut perintahnya. Kalau sudah menjadi suami
isteri, Gong-gong-ji kuatir akan diikat kebebasannya. Itulah sebabnya maka ia tak mau
membicarakan soal pernikahan.
Setelah Gong-gong-ji biasa hidup bebas menurut sekehendak hatinya, rasa takut kawin dengan
Shin Ci-koh itu makin mendalam. Akhirnya ia hapus sama sekali pikiran itu.
Pun dengan bertambahnya usia Shin Ci-koh makin kepingin mempunyai rumah tangga. Karena
sudah kelewat umur belum menikah, pikirannya agak terganggu. Untuk melampiaskan
kegelisahannya itu, seringkali ia mengganas. Dan karena keganasannya itu makin terkenal di dunia
persilatan dan makin ditakuti orang pula. Semakin ditakuti orang, ia merasa makin terasing. Makin
terasing, ia makin merasa kesepian. Makin kesepian, makin ia berusaha keras untuk mengejar
Gong-gong-ji. Dengan begitu terjadilah hal yang lucu. Yang satu kepingin sekali berumah tangga,
yang satu takut kawin. Untuk menghindarkan diri dari kejaran Shin Ci-koh, Gong-gong-ji berusaha
agar jangan sampai berjumpa. Begitu mencium "bau angin" Shin Ci-koh ia sudah lari kalang kabut.
Shin Ci-koh berpikir lebih lanjut: "Kabarnya ia sudah banting stir ke jalan yang lurus. Tidak
mau ugal-ugalan mencuri lagi. Sebenarnya kalau hanya sekali tempo ia berbuat begitu, akupun tak
keberatan. Tapi soalnya ialah bagaimana ia dapat mengetahui pendirianku sekarang ini" Ah, dalam
hal ini memang harus ada orang perantaranya."
Membayangkan hal itu, merahlah wajahna. Ia berkata dengan pelahan: "Wi lo-cianpwe, karena
kau sudah mengetahui urusan kami berdua, maka akupun tak mau menutup lagi. Lebih dulu aku
menghaturkan terima kasih padamu. Asal separuh hidupku dapat mempunyai kawan hidup, tak
nanti ayahku kehabisan arak."
Wi Gwat tertawa gelak-gelak: "Bagus, bagus, biar aku menjadi ayah-angkatmu. Sebagai ayahangkat
sudah tentu aku akan berusaha mati-matian untuk kepentinganmu. Baik, sekarang juga aku
hendak mendapatkan Gong-gong-ji. Hai, tapi sekarang ia sedang ada urusan penting, terpaksa
harus menunggu dulu."
Shin Ci-koh mendongak ke muka. Tampak Gong-gong-ji sedang menyusup ke dalam barisan
pasukan Bu Wi-yang. Gerakannya luar biasa gesitnya. Menerjang sebuah pasukan besar, seperti
masuk ke dalam hutan yang kosong saja. Di bawah sabetan pedang dan tombak, sehelai bulunya
pun tak rontok. Secepat kilat ia sudah tiba di samping Bu Wi-yang.
Wajah Gong-gong-ji memang luar biasa. Bu Wi-yang segera mengenali, walaupun terkejut tapi
diam-diam ia membatin: "Mau apa Gong-gong-ji ini" Masakan ia dapat mengapa-apakan aku di
tengah barisan besar?"
Baru ia berpikir, begitu tubuh Gong-gong-ji sudah melayang datang. Buru-buru ia gunakan
jurus liong-coa-ci-to, cepat ia tusukkan sepasang kait kepada bayangan hitam itu. Aduh .....
terdengar jeritan dan darah muncrat. Dada penyerangnya itu berlubang, tubuhnya terkulai. Ada
segumpal dagingnya yang masih melekat di kait.
Bu Wi-yang tak menyangka sama sekali Gong-gong-ji ternyata begitu tak punya guna. Tapi
ketika ia memandang dengan seksama, menjeritlah ia: "Celaka!"
Sepasang kaitnya belum sempat ditarik keluar dari tubuh orang tadi, tahu-tahu Gong-gong-ji
sudah mencekal pergelangan tangannya. Jangankan ia memang kalah tangguh dengan Gong-gongji,
sekalipun andaikata menang, tapi kalau dikuasai pergelangan tangannya, tentu tak dapat berkutik
lagi. Mengapa Gong-gong-ji dapat hidup lagi" Bukan, sebenarnya yang tertusuk kait Bu Wi-yang
tadi bukan Gong-gong-ji. Waktu menyerbu dengan gerak cepat tadi, Gong-gong-ji menyambar
seorang tentara terus dibuat menerjang Bu Wi-yang. Karena perawakan Gong-gong-ji pendek kecil
maka ia dapat tertutup dengan "perisai" istimewa tadi. Bu Wi-yang salah melihat dan kena diakali.
Hal ini disebabkan karena memang gerakan Gong-gong-ji luar biasa cepatnya sehingga Gong-gongji
dengan opsir itu tampaknya seperti satu orang. Dan kedua kalinya, karena Bu Wi-yang kelewat
tegang. Begitu ada orang menyerang, terus saja ia tusuk.
Coba Bu Wi-yang berlaku tenang, walaupun kepandaian memang kalah dengan Gong-gong-ji,
tapi sekurang-kurangnya ia masih dapat melayani sampai 10-an jurus juga.
Begitu mencekal tangan Bu Wi-yang, Gong-gong-ji lantas melemparkannya ke udara. Dan
secepat itu juga Gong-gong-ji melayang menyusulnya, melampaui kepala kawanan tentara. Begitu
Bu Wi-yang melayang turun, Gong-gong-ji sudah menyambutinya, terus mencengkeram jalan
darahnya. Saat itu mereka sudah berada di luar pagar kepungan barisan tentara.
"Gong-gong-ji, kau bukan orang Lok-lim dan tak ada sangkut pautnya dengan kawanan
pemberontak. Kau bebas pergi kemana-mana, mengapa cari kesulitan" Lekas lepaskan Bu tayjin!"
teriak Yo Bok-lo.
Tadi ia bersama Bu Wi-yang. Ketika melihat Bu Wi-yang ditangkap, ia cepat memburu tapi
terlambat. Bu Wi-yang sudah diringkus Gong-gong-ji. Yo Bok-lo bergelar Chit-poh-tui-hun atau
tujuh langkah mengejar jiwa. Meskipun ginkangnya tak selihat Gong-gong-ji, tapi dalam jarak
pendek, ia hampir dapat menyamai kecepatan Gong-gong-ji. Pada saat Gong-gong-ji menyambuti
Bu Wi-yang tadi, Yo Bok-lo pun sudah kira-kira tiga tombak di belakang Gong-gong-ji.
Gong-gong-ji tertawa dingin: "Justeru aku ingin tahu apa kesulitan itu?" " Tanpa berpaling lagi
ia menjinjing Bu Wi-yang dan pergi.
Yo Bok-lo sebenarnya jeri juga kepada Gong-gong-ji. Tapi untuk menolong bu Wi-yang,
terpaksa ia bertindak juga. Kuatir tak dapat mengejar, lebih dulu Yo Bok-lo lepaskan pukulan biatgong-
ciang ke punggung Gong-gong-ji.
"Bangsat, mau lari kemana kau" Aku hendak menempurmu sampai mati, sambutlah
seranganku!" tiba-tiba Thiat-mo-lek menghadang maju.
Kini Gong-gong-ji dapat tertawa lepas, serunya: "Yo bok-lo, bukan aku yang mendapat
kesusahan sebaliknya kau sendiri. Karena sudah ada yang hendak membalaskan hutangmu
memukul aku, akupun tak mau turun tangan."
Pukulan biat-gong-ciang tadi dilontarkan Yo Bok-lo dengan sekuat tenaganya. Tapi sedikitpun
tak dapat melukai Gong-gong-ji. Malah Gong-gong-ji dapat pinjam tenaga pukulan itu untuk
mempercepat larinya. Ketawanya masih berkumandang, tapi orangnya sudah lenyap dalam
gundukan manusia.
Bu Wi-yang tertawan dan Ceng-ceng-ji pun sudah bersembunyi karena ketakutan melihat
suhengnya. Kini tinggal Yo Bok-lo seorang diri. Untung Thiat-mo-lek tetap berlaku sportif,
sebelum menyerang memberi peringatan dulu. Dalam keadaan terpencil, kuncuplah nyali Yo Boklo.
Sebagai penyambutan dari tantangan Thiat-mo-lek, ia melesat dan melarikan diri masuk ke
dalam barisannya.
Wi Gwat, Khik-sia, kedua saudara Tok-ko dan lain-lain sudah menerjang. Wi Gwat juga
memimpin anak buah Kay-pang menggempur anak tentara. Melihat Wi Gwat, Yo Bok-lo putar
haluan dan lari sipat kuping.
"Bangsat, kau masih hendak berlindung dalam barisanmu" Kemana kegaranganmu?" teriak
Thiat-mo-lek. Yo Bok-lo lari mati-matian. Tiba-tiba ada orang menghadangnya. Dengan mencekal pedang
dan mata melotot, orang itu tertawa mengejeknya: "Bangsat Yo, Toan Khik-sia sudah menunggumu
di sini." Yo Bok-lo buntu jalannya. Dari muka dan belakang dikejar musuh. Sekonyong-konyong ia
berputar ke belakang dan tertawa gelak-gelak: "Thiat-mo-lek, kau mau mengandalkan jumlah
banyak untuk mengalahkan aku?"
"Khik-sia, jangan campur tangan," seru Thiat-mo-lek yang sebat sekali, sudah melesat ke muka
Yo Bok-lo. "Bangsat tua, hari ini aku hendak membalaskan sakit hati ayah. Siapa saja tak boleh
membantu. Pendek kata kalau belum mati tidak boleh bubar. Darah mengalir baru berhenti!"
Khik-sia lintangkan pedangnya untuk menjaga kemungkinan Yo Bok-lo melarikan diri. Ia
mengeluarkan ancaman: "Siapa yang akan membantu akan kuhajar. Siapa yang hendak melarikan
dirim juga akan kubacok! Bangsat Yo, asal kau dapat menyelamatkan batang kepalamu dari pedang
Thiat toako, maka aku pun takkan menghadangmu!"
"Baik, aku hendak minta pelajaran ilmu pedangmu yang tiada bandingannya di dunia," akhirnya
Yo Bok-lo tabahkan hatinya.
Tapi di luar dugaan Thiat-mo-lek malah menyimpan pedangnya. Serunya: "Dahulu kau melukai
ayahku dengan pukulan secara menggelap. Sekarang akupun hendak membalas kau dengan
pukulan agar kau dapat mati dengan puas!" " Artinya, Thiat-mo-lek akan menghadapi Yo Bok-lo
dengan tangan kosong.
Sebenarnya Yo bok-lo jeri terhadap Thiat-mo-lek. Mendengar ucapan itu, diam-diam ia girang.
Pikirnya: "Kalau kau pakai pedang, aku tentu kalah. Tapi karena kau sendiri mengatakan tak mau
pakai pedang dan hanya dengan sepasang tangan kosong, itu salahmu sendiri."
Namun ia masih belum percaya dan menegas lagi: "Artinya kita bertempur satu lawan satu
dengan tangan kosong, bukan?"
"Dengan tangan kosong menentukan mati-hidup!" sahut Thit-mo-lek dengan tegas.
"Bagus, aku memang menghendaki janjimu itu. Ucapan seorang ksatria ....."
"Laksana kuda dicambuk!" sahut Thiat-mo-lek.
"Ah, mana dia dapat digolongkan seorang ksatria," Khik-sia menyeletuk.


Tusuk Kondai Pusaka Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Yo Bok-lo tertawa keras: "Jangan kelewat memandang rendah orang, bocah! Thiat-mo-lek, hari
ini raja akhirat akan mengundang tetamu. Entah siapa yang akan diundang, kau atau aku. Nih,
terimalah pukulanku!"
Yo Bok-lo sengaja bersikap garang untuk membesarkan nyalinya. Namun nada tertawanya
yang tergetar, tak dapat menutupi ketakutan hatinya. Dalam ketakutannya, ia memukul sekuatkuatnya.
Krak. Thiat-mo-lek menangkis. Yang berbunyi bukan kepalan beradu melainkan hanya angin
pukulannya. Sekalipun begitu, suaranya sudah memekakkan telinga. Tubuh Yo Bok-lo menjulang
ke atas. Dua buah jari tangan kirinya menusuk sepasang mata orang, tangan kanannya menabas
kaki. Dua tangan menyerang dari atas dan bawah, gayanya mirip dengan Hek-hou-ciang (pukulan
macan mendekam) dari Siau-lim-pay. Tetapi tenaganya kuat sekali, jauh lebih lihay dari pukulan
Siau-lim-pay itu.
Yo Bok-lo tahu kalau lwekangnya kalah dengan lawan. Maka ia gunakan siasat hendak
mencuplik biji mata Thiat-mo-lek. Thiat-mo-lek mendak ke bawah dan gunakan jari tengah untuk
menutuk telapak tangan lawan. Di situ terdapat jalan darah lo-kiong-hiat. Yo Bok-lo paling-paling
hanya dapat meremukkan tulang bahu Thiat-mo-lek, tapi sekali jalan darah lo-kiong-hiat itu kena
ditutuk, hancurlah jiwa Yo Bok-lo.
Gelar Yo Bok-lo ialah Chit-poh-tui-hun. Ia lincah dan cepat sekali menghadapi setiap
perubahan. Ia enjot tubuhnya berjumpalitan di udara dan melayang turun di belakang lawan. Jalan
darah thian-ku-hiat di punggung Thiat-mo-lek, cepat dihantamnya.
Thiat-mo-lek mahir dalam ilmu thing-hong-pian-ki (mendengar suara membedakan senjata).
Begitu terasa angin menyambar dari belakang, cepat ia putar tubuh dan hantamkan kedua tangannya
ke perut orang. Yo Bok-lo telusupkan tangan kiri ke bawah siku lengan kanannya untuk menutuk
siku lengan Thiat-mo-lek. Tapi Thiat-mo-lek sudah memperhitungkan hal itu. Ia maju selangkah
dan menyambar iga Yo Bok-lo. Walaupun tak kena tapi Yo Bok-lo sudah mengucurkan keringat
dingin. Tiba-tiba Thiat-mo-lek menggembor keras. Tangannya dikepalkan dan menghantam dengan
gerak heng-sim-bak-hou. Kerasnya bagai pukul besi menghancurkan batu. Yo Bok-lo tak berani
menyambuti. Ia enjot tubuhnya melayang sampai satu tombak lebih dan meluncur turun, secepat
kilat Yo Bok-lo sudah putar tubuh hingga pukulan lawan tak mengenainya.
Khik-sia menahan nafas melihat jalannya pertempuran itu. Pikirnya:"Thiat toako tak mau adu
ilmu pedang, padahal ia tentu menang dengan senjata. Tapi toako memilih tangan kosong, ini tentu
kurang leluasa."
Kembali saat itu Thiat-mo-lek dan Yo Bok-lo bertempur dengan seru. Mereka dahulu
mendahului untuk menindas lawan. Ilmu tangan kosong Yo Bok-lo benar-benar luar biasa, sukar
diduga perubahannya. Tetapi gerak cepat pukulan yang dilancarkan Thiat-mo-lek itu, walaupun
gayanya seperti orang main pedang, namun cepatnya bukan kepalang. Ilmu pukulan Thiat-mo-lek
yang keras dan cepat itu, dapat juga mengimbangi permainan lawan.
"Bilakah Thiat-mo-lek menciptakan ilmu pukulan kilat itu?" diam-diam Khik-sia heran sendiri.
Yo Bok-lo sakti dalam ilmu pukulan tangan kosong. Dan Thiat-mo-lek sengaja hendak
mengalahkannya dengan ilmu pukulan tangan kosong juga. Maka siang-siang ia sudah berusaha
menciptakan sebuah ilmu pukulan untuk menandinginya. Ia menggabungkan ilmu pedang sakti
dari Mo Kia lojin dan Toan Kui-ciang (ayak Khik-sia), dirubah dan dilebur menjadi sebuah ilmu
pukulan tangan kosong.
Saat itu adalah yang pertama kali Thiat-mo-lek gunakan ilmu pukulan ciptaannya itu. Maka
sudah pada tempatnya kalau Khik-sia merasa terkejut. Bahkan Yo Bok-lo sendiri, seorang ahli ilmu
silat tangan kosong, setelah melayani beberapa jurus, merasa kagum dan gentar.
Walaupun terdesak namun posisi kaki Yo Bok-lo tetap teratur rapi menurut formasi pat-kwa dan
ngo-heng. Berpuluh tahun lamanya Yo Bok-lo meyakinkan ilmu pukulannya itu, sehingga untuk
beberapa waktu Thiat-mo-lek pun tad dapat berbuat apa-apa. Namun Thiat-mo-lek yang
mempunyai tenaga pembawaan yang kuat, apalagi ia dalam usia di masa orang sedang gagahgagahnya,
tetap dapat mengatasi lawan. Benar ia tak semahir Yo Bok-lo dalam ilmu pat-kwa dan
ngo-heng, namun ia menang kuat dengan Yo Bok-lo.
Setelah lewat belasan jurus, siapa kuat siapa lemah, mulai kelihatan. Di dalam kurungan hujan
pukulan Thiat-mo-lek, gerakan Yo Bok-lo pun mulai tak lancar. Chit-si-ciang-hwat atau tujuh jurus
pukulan, adalah ilmu pukulan yang mengangkat nama Yo Bok-lo. Tapi pukulan sudah habis
dimainkan, bukan jiwa lawan yang "diburu", sebaliknya malah ia yang didesak tak dapat bernafas.
"Gelaranmu Chit-poh-tui-hun, dan sekarang kau sudah bergerak sampai tujuh langkah. Baiklah,
karena kau tak mampu memburu jiwaku, akulah yang akan mengejar jiwamu!" Thiat-mo-lek
tertawa sinis. Habis berkata, ia memukulkan kedua tangannya ke muka. Dahsyatnya seperti
gunung rubuh. "Bagus, aku akan mengadu jiwa dengan kau!" terpaksa Yo Bpk-lo menggarangkan suaranya dan
merapatkan sepasang tangannya untuk kemudian dipentang ke kanan dan ke kiri. Dia keluarkan
jurus terakhir yang paling ganas Im-yang-siang-jong-ciang.
Thiat-mo-lek tabaskan tangannya dari samping. Jari tengahnya ditonjolkan seperti orang
menabas. Dan memang ia gunakan jurus ilmu pedang heng-kiang-hui-to atau terbang melintasi
sungai. Jari itu berubah menjadi semacam ujung pedang.
Sebenarnya waktu menggunakan Im-yang-siang-jong-ciang tadi, Yo Bok-lo harus berganti
posisi kaki agar dapat merubah gerak penyerangannya menjadi pertahanan. Tapi ternyata begitu
Thiat-mo-lek mainkan habis serangannya, tenaga Yo Bok-lo pun sudah habis. Kakinya terhuyung
hingga keliru menginjak posisi lain. Ini berarti dari seng-bun (pintu hidup), ia melangkah masuk sibun
( pintu mati). Dan justru karena itu ia berputar ke hadapan Thiat-mo-lek atau berarti ia
memberikan dirinya disambar pukulan dan ditabas jari Thiat-mo-lek . Jari Thiat-mo-lek berhasil
menghancurkan gi-kang (tenaga luar) Yo Bok-lo, sedang pukulannya telah membuat Yo Bok-lo
terpental sampai beberapa tombak jauhnya.
Yo Bok-lo yang remuk tulangnya masih coba hendak berbangkit, tapi Thiat-mo-lek sudah tiba di
hadapannya dan mencengkeram sang korban. Dengan berlinang-linang air mata, berserulah ksatria
itu: "Yah, hari ini anak telah membalaskan sakit hatimu."
Ia cabut pedangnya dan mengutungi kepala Yo Bok-lo, dimasukkan ke dalam kantong kulit.
"Selamat toako, akhirnya kau dapat membunuh bangsat tua ini!" Khik-sia menghampiri.
"Meskipun sakit hati telah terbalas, namun untuk lolos dari kepungan musuh, bukannya mudah.
Karena gara-garaku telah merembet saudara-saudara, hatiku sungguh tak enak," kata Thiat-mo-lek.
"Hai, toako, lihatlah!" tiba-tiba Khik-sia berseru kaget. Dan saat itu barisan tentara pun gempar.
Ternyata Gong-gong-ji dengan menjinjing Bu Wi-yang, tiba di bawah guat-ping-thay (panggung
inspeksi). Sekali loncat, Gong-gong-ji sudah melayang ke atas panggung itu.
"Seorang panglima boleh dibunuh tak boleh dihina. Gong-gong-ji, kalau berani bunuhlah aku
dengan segera!" teriak Bu Wi-yang dengan nafas sengal-sengal.
Gong-gong-ji meletakkan tubuh jenderal itu, sahutnya: "Siapa yang mau membunuhmu" Aku
hendak mengantarkan sengci (perintah raja) padamu!"
Mulut Bu Wi-yang ternganga dan berkata dengan gelagapan: "Apa" Kau membawa sengci?"
Tiba-tiba Gong-gong-ji kerutkan wajah dan mengeluarkan secarik kertas. Serunya: "Bu Wiyang,
mengapa tak lekas-lekas berlutut menyambut?"
Ia rentang kertas itu di muka Bu Wi-yang. Astaga! Benar juga surat itu memakai stempel dari
Li Heng, baginda kaisar yang sekarang. "Aneh, mengapa baginda memberi sengci kepada Gonggong-
ji" Aneh, mustahil dipercaya," diam-diam Wi-yang membatin.
Namun percaya atau tidak, buktinya surat itu memakai stempel Kaisar. Mau tak mau ia terpaksa
berlutut juga dan ulurkan sepasang tangannya menyambuti sengci itu dengan khidmat.
Sengci itu berbunyi demikian: "Thiat-mo-lek, Bo Se-kit, Toh Peh-ing, Toan Khik-sia, Co Pinggwan
dan lain-lain sepuluh orang itu, perjalanan hidupnya tidak baik, beberapa kali melanggar
undang-undang. Seharusnya ditangkap dan dihukum setimpal. Tetapi mengingat mereka masih ada
hasrat untuk mengabdi pada kerajaan, maka mereka telah datang dalam pertandingan besar ini.
Namun untuk memakai orang, pemerintah tak mau sembarangan. Oleh karena mereka yang
tersebut di atas itu masih belum membuat jasa untuk menebus kedosaannya, maka belum dapat
diterima. Kesepuluh orang itu harus lekas diusir dari lapangan ini, tak boleh turut dalam
pertandingan. Orang gagah lain-lainnya boleh tinggal terus, menunggu pengumuman."
Dalam sengci itu walaupun Thiat-mo-lek dan kawan-kawan sebagai rakyat yang sering
melanggar undang-undang, tetapi dosanya tidak dianggap berat. Dan yang penting mereka itu atk
dianggap sebagai "pemberontak". Hukumannya hanyalah, mengusir mereka dari lapangan situ.
"Bukankah ini serupa dengan yang dikehendaki Thiat-mo-lek?" tanya Bu Wi-yang dalam hati.
Dia seorang yang cermat. Makin membaca makin curiga.
Pikirnya lebih lanjut: "Masakan baginda akan meniadakan perintahnya kepada kita" Dan lagi
dalam urusan yang begini penting, mengapa tak dibubuhi cap kerajaan dari kumala dan melainkan
memakai stempel baginda saja?"
Memang sengci itu hanya memakai stempel baginda. Li Hing gemar sekali membubuhi stempel
namanya pada lukisan-lukisan dan tulisan-tulisan. Tapi jika mengenai urusan negara yang resmi, ia
jarang menggunakan stempel itu. Memang ada kalanya, dalam surat rahasia yang menyangkut
urusan pribadi, setempo ia menggunakan stempel namanya itu.
"Sengci yang kau bawa ini, tulen atau palsu?" akhirnya Bu Wi-yang bertanya dengan ragu.
Gong-gong-ji membisiki ke dekat telinganya: "Stempel yang digunakan kaisar itu tulen!
Dengan melaksanakan sengci ini, tanggung kau dapat mempertahankan kedudukanmu. Kalau tidak
jiwamu pasti tak terjamin, mengerti?"
Seketika teranglah pikiran Bu Wi-yang. Ya, sengci itu palsu tetapi memakai stempel asli.
Pikirnya: "Gong-gong-ji memang termasyhur sebagai pencuri sakti. Apa yang lain orang tak dapat,
ia mampu mengerjakan. Tapi tak peduli sengci ini palsu atau tulen, apa yang dikatakan Gong-gongji
itu memang benar. Meskipun sengci palsu, tetapi karena memakai stempel tulen, kelak apabila
diselidiki, aku mempunyai pegangan kuat. Paling-paling aku hanya disalahkan karena kurang teliti
memeriksa sengci saja. Hukumannya hanya potong gaji. Tetapi jika kubongkar rahasia sengci ini
di depan umum, Gong-gong-ji itu setan yang tak takut pada siapa juga. Apakah jiwaku dapat lolos
dari tangannya?"
Secepat kilat Bu Wi-yang memutuskan, jiwanya yang paling penting. Dan ia mengambil
putusan, baik sengci itu palsu atau tulen, dia akan menerimanya. Begitu dengan mengangkat sengci
itu tinggi-tinggi, ia mengangguk tiga kali ke arah istana. Barisan tentara heran melihat gerak-gerik
jenderal itu. Setelah menjalan penghormatan seperlunya, Bu Wi-yang tampil ke muka panggung dan
merentang sengci. Mulailah ia berseru nyaring: "Berhenti semua, dengarkan sengci!"
Waktu Bu Wi-yang membaca sampai pada kalimat Thiat-mo-lek dan kawan-kawan harus diusir
dari lapangan, tak boleh ikut dalam pertandingan, gegap-gempitalah suara orang bersorak di bawah
panggung. Thiat-mo-lek dan Khik-sia saling berpandangan dengan tertawa: "Suhengmu itu benarbenar
luar biasa. Masakan sengci pun dapat ia curi. Jika saat ini kita tak berlalu, mau tunggu kapan
lagi?" bisik Thiat-mo-lek.
Dalam pertempuran tadi, baik pihak tentara negeri maupun pihak orang gagah, sama-sama
menderita kerugian. Menghadapi rombongan Thiat-mo-lek yang sudah mendapat kebebasan itu,
terpaksa Bu Wi-yang, Ceng-ceng-ji dan kaki tangannya, terpaksa hentikan rintangannya.
"Ah, tak usah kalian usir, memang aku sendiri mau pergi!" teriak Thiat-mo-lek.
Dengan terjadinya insiden dalam Eng-hiong-tay-hwe itu, sebagian besar orang gagah yang hadir
sudah tak mempunyai kegembiraan lagi. Apalagi penyelenggara pertandingan " Cin Siang "
ditangkap. Semua orang sudah tak bernafsu untuk ikut dalam pertandingan lagi. Ya, walaupun
sengci meminta yang lain-lain supaya tetap tinggal. Maka begitu Thiat-mo-lek dan kawan-kawan
angkat kaki, sebagian besar orang gagah itu pun sama mengikutinya pergi. Eng-hiong-tay-hwe
yang disiapkan dalam waktu yang lama, akhirnya dalam beberapa kejap saja berantakan .....
Gelombang yang satu surut, gelombang yang lain datang. Tentara di dalam lapangan sudah
hentikan serangannya, sebaliknya pasukan Gi-lim-kun yang bertugas menjaga pintu besar, tak mau
membuka pintu. Ternyata pasukan Gi-lim-kun sudah kompak dan Bu Wi-yang tak berdaya
menguasai mereka lagi.
Setelah Cin Siang ditangkap, Poan Ting-wan yang menjabat sebagai Hou-ya-to-wi otomatis
mengcover pimpinan Gi-lim-kun. Pimpinan Poan Ting-wan itu dapat diterima dan disambut baik
oleh anak buah Gi-lim-kun. Sebagai seorang yang berpengalaman, sekali lihat tahulah dia bahwa
sengci itu tentu palsu.
"Celaka, menilik gelagatnya Bu tayjin itu tentu menerima tekanan. Siapa yang tahu sengci itu
palsu atau tulen" Masih ingatkah kalian apa yang dikatakan Bu tayjin tadi" Di perintahkan kita
menjaga keras pintu ini, tak boleh lepaskan orang. Atau nanti kita bakal menambah dosa Cin
thong-leng. Tadi karena melihat Toh Hok-wi hendak lepaskan musuh, Bu tayjin telah memanahnya
mati. Sekarang keadaannya bukankah seperti Toh Hok-wi juga" Turut pendapatku, lebih baik
jangan membuka pintu. Kita kirim seorang kawan untuk meminta keterangan pada Tiong-su-sim
(sekretariat kerajaan). Jika sengci itu memang dikeluarkan baginda, rasanya masih belum terlambat
kita buka pintu," katanya.
Seperti telah dikatakan di bagian atas, pasukan Gi-lim-kun pecah menjadi dua blok. Yang satu
mendukung pernyataan Cin siang supaya jangan bermusuhan dengan kawanan orang gagah. Blok
kedua cenderung pada pendirian: untuk menebus dosa pemimpin mereka (Cin Siang), mereka harus
membuat jasa membantu pemerintah menangkap pemberontak. Kedua pihak sama-sama untuk
kepentingan Cin Siang, hanya caranya berbeda. Saat itu kedua blok itupun sudah mulai ramai
berdebat tentang sengci. Tetapi blok yang kedua itu, dipimpin oleh Poan Ting-wan sendiri. Ia
pandai mengemukakan pendiriannya maka pengikutnya bertambah banyak dan menang angin.
Namun blok yang cenderung untuk membuka pintu juga mempunyai alasan yang teguh: "Kalau
sengci itu tulen dan kita berayal membuka pintu, apakah tidak akan mencelakai kita semua?"
Kedua-duanya sama mempunyai alasan kuat, sehingga belum dapat diputuskan. Mereka tetap
siapkan busur dan pintu tetap belum dibuka. Ada sementara anak buah Toh Hok-wi, karena sakit
hati pemimpinnya dibunuh Bu Wi-yang, saat itu menyusup ke dalam barisan dan berteriak-teriak:
"Bu Wi-yang terang ditekan pemberontak yang memalsu sengci. Jika dia berani memaksa buka
pintu, panah saja biar, mampus, habis perkara!"
Wajah Bu Wi-yang pucat seketika. Dengan suara parau ia berseru: "Sengci ini asli, sengci ini
asli!" Tetapi anak tentara tak mau percaya, mereka tetap berdebat beramai. Karena yang mengetahui
palsu tulennya stempel senci itu hanyalah Cin Siang dan Ut-ti Pak. Anak buah Gi-lim-kun itu, satu
pun tak ada yang pernah melihat cap kaisar atau cap kerajaan. Apalagi Bu Wi-yang tak dapat
memperlihatkan sengci itu satu persatu kepada anak tentara yang mempunyai kecurigaan itu.
Dalam keadaan serba sulit itu, tiba-tiba Gong-gong-ji lepaskan Bu Wi-yan terus lari menuju ke
muka barisan Gi-lim-kun. Disitu ia berseru lantang: "Aku masih mempunyai sebuah sengci khusus
untuk Gi-lim-kun. Bukankah kalian hendak mengetahui berita tentang Cin thongleng kalian" Nah,
diamlah!" Banyak dari anak buah Gi-lim-kun yang kenal pada Gong-gong-ji. Tahu bahwa Gong-gong-ji
itu pencuri nomor satu di dunia. Sudah tentu mereka makin tak percaya pada perkataannya. Tetapi
karena anak buah Gi-lim-kun itu amat memikirkan keadaan Cin Siang, begitu mendengar tentang
berita pemimpinnya itu, mereka terpaksa diam mendengarkan juga.
"Cin Siang dan Ut-ti Pak telah dibebaskan oleh baginda dan Eng-hiong-tay-hwe ini tetap
dipimpin oleh Cin Siang. Sekarang Cin tayjin masih menghadap Baginda di istana, belum dapat
segera datang kemari. Baginda telah mengeluarkan sengci, suruh kalian menurut perintah Cin
tayjin!" teriak Gong-gong-ji.
Anak buah Gi-lim-kun yang belum kenal siapa Gong-gong-ji itu, sama bersorak girang: "Bagus,
bagus!" Tetapi anak buah yang sudah kenal Gong-gong-ji, menolak: "Kami tak percaya segala sengci.
Sekalipun ada sengci yang dibubuhi cap kaisar, tetapi siapa berani memastikan kalau bukan kau
yang mencurinya?"
Bu Wi-yang terkesiap, pikirnya: "Anak buah Gi-lim-kun itu benar-benar lihay dan luas
pandangannya. Apa yang kupikir mereka pun dapat menyangkanya. Ah, rupanya hari ini aku
sudah ditakdirkan mati. Tidak di tangan Gong-gong-ji tentu di bawah hujan panah Gi-lim-kun!"
Tetapi biasanya orang tentu suka mendengar berita yang girang. Meskipun anak buah Gi-limkun
itu curiga, namun mereka diam-diam mengharap supaya sengci itu tulen saja. Salah seorang
segera berseru: "Kecuali sengci, apakah kau membawa bukti lain lagi" Menilik ucapanmu, rupanya
kau sudah berjumpa dengan Cin thongleng. Apakah kau membawa suratnya" Kami cukup
mengenali tulisannya."
Gong-gong-ji tertawa gelak-gelak: "Memang telah kuduga bahwa kalian tentu tak mau percaya
pada sengci, maka akupun segan memperlihatkan padamu. Tentang surat dari Cin thongleng, aku
sih tak membawa, tetapi ...."
"Tetapi apa?" karena tak sabar lagi anak buah Gi-lim-kun berebutan berteriak.
Tiba-tiba Gong-gong-ji mencabut sebatang "kim-kiam" dan dimain-mainkan di hadapan Gi-limkun,
serunya: "Lihatlah sejelas-jelasnya! Apakah kalian kenal senjata milik siapa ini?"
Cin Siang mempunyai dua buah pusaka: seekor kuda bulu kuning dan sebatang kim-cong-kian.
Kuda tak selamanya dibawa, tapi senjata tentu dibawa bareng kemana ia pergi.
"Hai, itulah kim-kian pusaka Cin thongleng!" serentak gemparlah anak buah Gi-lim-kun
berseru. Gong-gong-ji tertawa keras: "Kalian sudah melihat jelas" Sudah mau mempercayai
omonganku" Pikirlah. Cin tayjin saat ini sedang menunggu untuk menghadap baginda, mana ia
ada waktu menulis surat untuk kubawa" Waktu aku bertemu padanya, ia lantas menarik aku,
ujarnya: "Bagus Gong-gong-ji, kebetulan sekali kau datang. Larilah secepat-cepatny, bawalah kimkianku
ini selaku bukti. Bahwa baginda telah membebaskan aku dari kedosaan. Suruh anak
buahku itu mendengar perintah sengci, jangan sekali-kali membikin susah kawan-kawanku lama
itu"."
Stempel kaisar mungkin aku Gong-gong-ji berani mencuri, tetapi kim-kian Cin tayjin mana aku
berani turun tangan" Taruh kata aku berani mencarinya, pun tak nanti mampu. Bagaimana, kalian
percaya tidak" Mau tidak membuka pintu?"
Gi-lim-kun menjunjung sekali pada Cin Siang dan mengindahkannya. Kata-kata Gong-gong-ji
itu dapat mengetuk hati anak buah Gi-lim-kun. Sebagian besar berpendapat begini: "Benar, Cin
thongleng memang tiada yang menandingi. Walaupun Gong-gong-ji termasyhur sebagai pencuri
sakti di kolong jagad tetap tak nanti dapat mengambil senjata Cin thongleng."
Di samping itu, banyak anak buah Gi-lim-kun yang tahu betapa baik hubungan Thiat-mo-lek
dengan Cin Siang. Malah ada beberapa orang Gi-lim-kun yang dahulu bekas kawan kerja Thiatmo-
lek. Pintarnya Gong-gong-ji merangkai cerita menyebabkan juga beberapa opsir Gi-lim-kun
yang cermat, menjadi ragu-ragu juga, jangan-jangan Cin Siang memang memesan begitu. Adanya
beberapa faktor itu, menyebabkan keterangan Gong-gong-ji mendapat sambutan baik.
Anak tentara merupakan suatu kesatuan. Mereka mudah sekali memberi reaksi pada sesuatu
hal. Mendengar "berita baik" dan melihat senjata kim-kian Cin Siang seketika mereka berjingkrakjingkrak
kegirangan. Ada yang berseru: "Benar, memang sebenarnya Cin thongleng hendak
mengikat persahabatan dengan orang-orang gagah di seluruh negeri, itulah perbuatan kawanan
dorna yang hendak mengacaukan Eng-hiong-tay-hwe ini dengan mengadakan gerakan menangkap
pemberontak." " Yang lain berkata: "Thiat-to-wi (Thiat-mo-lek pernah menjabat sebagai Hou-ya-towi)
dahulu baik sekali kepada kita. Sekalipun ada sengci, tak seharusnya kita membikin susah
padanya. Apalagi dia seorang sahabat baik dari Cin thongleng."
"Kali ini tentu tak salah lagi. Buka pintu, buka pintu!" Akhirnya anak buah Gi-lim-kun
serempak sama berseru.
Poan Ting-wan yang lebih berpengalaman dan lebih dapat berpikir tenang, mengetahui juga


Tusuk Kondai Pusaka Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bahwa dalam keterangan Gong-gong-ji itu terdapat beberapa kelemahan. Tetapi karena anak buah
Gi-lim-kun seluruhnya sudah setuju membuka pintu iapun tak dapat menghalanginya lagi. Maka
pada saat itu sudah ada beberapa anak buah Gi-lim-kun memalu rantai besi ke enam pintu. Khik-sia
girang dan menghampiri toakonya. "Mari kita jalan, toako."
Tetapi bukannya mengiyakan, sebaliknya Thiat-mo-lek malah mendampratnya: "Tidak! Kita
harus mengalah pada lain-lain saudara dulu. Memikirkan lain orang dulu baru memikirkan diri
sendiri. Petuah ayahmu di masa hidupnya, apa kau sudah lupa?"
Khik-sia merah mukanya dan mengiyakan. Begitu pintu terbuka maka berebutanlah sekalian
orang-orang gagah keluar.
Waktu Gong-gong-ji melihat Wi Gwat dan Shin Ci-koh sedang menghampiri kepadanya, buruburu
ia hendak menyusup masuk ke dalam gelombang manusia itu. Tetapi tiba-tiba sebuah tangan
menghadang dan menariknya. Itulah Thiat-mo-lek.
"Gong-gong cianpwe, apa kau takut tak dapat lari keluar" Sutemupun berada di sini. Dalam
peristiwa hari ini, aku sungguh berterima kasih sekali padamu."
Dalam pada itu Khik-sia pun datang memberi hormat kepada suhengnya itu. Gong-gong-ji
akrab sekali dengan Thiat-mo-lek dan Khik-sia adalah sute yang paling dikasihinya. Sudah tentu ia
tak dapat berkutik lagi.
"Gong-gong cianpwe, bagaimana caramu mendapatkan kim-kian itu" Bagaimana keadaan Cin
Siang dan Ut-ti Pak?" tanya Thiat-mo-lek.
Gong-gong-ji membisikinya: "Urusan ini dapat mengelabuhi lain orang, kecuali kau. Ya, sudah
tentu kucurinya."
"Bagaimana kau dapt menemui Cin toako," tanya Thiat-mo-lek pula.
"Ada seseorang memberitahukan padaku bahwa kereta pesakitan itu belum tiba di istana, maka
buru-buru kukejar."
"Jadi, kau rampas kereta itu" Apa Cin toako setuju?"
Gong-gong-ji tertawa: "Kupaksa pengawal untuk membelokkan arah tujuan kereta pesakitan.
Sekarang Cin Siang sudah berada di dalam rumahnya sendiri. Untuk mencuri kim-kian Cin Siang,
aku harus menerima dua buah pukulannya. Untung kulitku tebal sekali."
Kedatangan Gong-gong-ji ke kotaraja Tiang-an itu ternyata karena hendak menyelidiki kedua
sutenya. Seorang dengan wajahnya yang aneh itu ia enggan menggabungkan diri masuk ke dalam
lapangan. Ia hanya akan mengetahui tempat beradanya kedua sutenya, kemudian akan menemuinya
sendiri-sendiri. Ada dua hal yang hendak ia lakukan. Pertama, ia hendak memberi jeweran pada
Ceng-ceng-ji. Kedua, hendak menurunkan ilmu kepandaian baru kepada Khik-sia. Ilmu silat itu ia
ciptakan sendiri, sejak ia berpisahan dengan Khik-sia selama beberapa tahun ini.
Hari itu ia menunggu di sebuah the-koan (kedai minum) di dekat lapangan. Begitu kedua
sutenya keluar, ia akan mengikuti mereka. Diluar dugaan, ia berjumpa dengan dua orang kenalan,
ialah Liong Seng-hiang, si nona penjual silat yang menjadi murid kepala Shin Ci-koh, dan ayah
angkat si nona.
Setelah memberi laporan pada suhunya, Liong Seng-hian mengharap suhunya akan dapat
menolong sumoay, Khik-sia dan lain-lain keluar dari lapangan sebelum pintu besi ditutup. Tetapi
sampai menjelang siang hari, sang suhu tetap belum tampak keluar. Ia sendiri tak berani mendekati
lapangan, tetapi ia dapat menduga bahwa pintu gerbang tentu sudah ditutup dan di dalam lapangan
sudah berlangsung gerakan menangkap "pemberontak". Liong Seng-hiang dan ayah angkatnya
sibuk, terpaksa mereka beristirahat dulu di sebuah the-koan itu agar dapat menyirapi berita-berita.
Bahwa di situ mereka dapat berjumpa dengan Gong-gong-ji, girang mereka seperti mendapat lotere.
Benar Gong-gong-ji itu selalu berusaha untuk menghindarkan diri dari Shin Ci-koh, tetapi
dengan wanita itu ia pernah mempunyai ikatan hati yang dalam, yang sampai saat itu tak dapat ia
lupakan. Ia ajak Liong Seng-hiang ke tempat sepi untuk menanyakan tentang keadaan suhunya.
Apa yang diceritakan Liong Seng-hiang, membuatnya terkejut sekali.
Di dalam daftar Sepuluh Pemberontak itu, terdapat seorang sute dan dua sahabat karib Gonggong-
ji (Thiat-mo-lek dan Co Ping-gwan). Sudah tentu ia tak dapat berpeluk tangan lagi. Tetapi
pintu besi sudah tertutup, betapa lihay kepandaiannya, tetap tak dapat menembus masuk. Selagi ia
putar otak cari akal, kebetulan kereta pesakitan yang membawa Cin Siang dan Ut-ti Pak, didorong
keluar dan lalu didekatnya.
Gong-gong-ji cerdas sekali. Begitu melihat hal itu, segera ia dapat menduga tentang sebab
ditangkapnya Cin Siang dan Ut-ti Pak. Dan secepat itu pula ia mendapat pikiran. Dikuntitnya
kereta itu. Tiba di tempat yang sepi, ia segera loncat ke atas kereta dan menguasai kedua opsir yang
mengawal. Tetapi betapapun Gong-gong-ji membujuk dan menjamin Cin Siang tentu dapat terlolos dari
bahaya, namun Cin Siang tak mau mempercayainya. Demikianlah keduanya bertempur di atas
kereta. Untung karena mendongkol terhadap tindakan sewenang-wenang dari kerajaan, Ut-ti Pak
tak mau mengeroyok Gong-gong-ji.
Karena hampir setengah hari diborgol, gerakan Cin Siang tak selincah Gong-gong-ji. Pada saat
ia putuskan borgolan tangannya, Gong-gong-jipun secepat kilat sudah menutuk jalan darahnya.
Tapi sekalipun begitu, ia masih tetap harus menerima dua buah tinju Cin Siang, baru dapat
membuatnya tak berdaya. Ut-ti Pak pun sekalian ditutuknya juga.
Gong-gong-ji gunakan ilmu tutuk ciong-chiu-hwat (keras). Ia perkirakan dalam dua jam jalan
darah itu tentu sudah dapat terbuka sendiri. Maka ia tak mau buang tempo. Dirampasnya kim-kian
Cing Siang lalu perintahkan Liong Seng-hiang dan ayah angkatnya mendorong kereta ke rumah Cin
Siang. Setelah itu Gong-gong-ji bergegas-gegas menuju ke istana.
Dengan ginkangnya yang lihay, walaupun di tengah hari bolong, dapat juga Gong-gong-ji
masuk ke istana. Di sebuah kamar dari salah seorang selir, dapatlah Gong-gong-ji menjumpai Li
Hing. Bermula Gong-gong-ji hendak paksa kaisar itu menulis surat pembebasan untuk Sepuluh
Pemberontak dan merehabilitar kedudukan Cin Siang dan Ut-ti Pak. Tetapi di luar dugaan, Li Hing
itu bernyali kecilm melihat wajah Gong-gong-ji yang aneh, pingsanlah ia seketika. Gong-gong-ji
tak dapat berbuat apa, terpaksa ia hanya mengambil stempel kaisar itu. Tanpa memikirkan lagi
apakah sengci itu harus dicap kerajaan atau cukup hanya dengan stempel kaisar saja, ia terus ngacir
pergi. Ia mencari seorang tukang tulis yang berada di pinggir jalan. Dengan diancam hendak
dibunuh tetapi pun diberi sekeping emas, ia paksa tukang tulis itu membuat sebuah "sengci". Sengci
palsu inilah yang menimbulkan kecurigaan Bu Wi-yang, namun ia terpaksa mengindahkan juga.
Singkat jelas Gong-gong-ji menuturkan petualangannya itu kepada Thiat-mo-lek. Thiat-mo-lek
geli tapi pun kuatir juga, ujarnya: "Urusan ini hanya dapat bertahan untuk sementara, akhirnya toh
akan ketahuan juga. Kalau sampai ketahuan bukankah akan lebih memberatkan dosa Cin Siang dan
Ut-ti Pak?"
"Jangan kuatir! Kaisar itu takut mati, masakan ia tak kuatir nanti aku mencarinya lagi?" enak
saja Gong-gong-ji menyahut dengan tertawa.
"Thiat toako, mereka sudah keluar semua, tapi aneh mengapa Toh siok-siok tak kelihatan?" kata
Khik-sia. Thiat-mo-lek menyuruhnya segera mencari mereka. Tiba-tiba Gong-gong-ji berseru: "Hai, itu si
Ceng-ceng-ji juga disitu. Aku hendak menghukum suteku yang murtad itu."
Benarkah Gong-gong-ji akan menghukum sutenya" Tidak! Yang benar saat itu ia melihat Wi
Gwat dan Shin Ci-koh mendatangi, maka dengan alasan menangkap Ceng-ceng-ji, ia lantas
menyingkir pergi.
"Ha, Gong-gong-ji, sahabat lama datang, mengapa kau mau mengumpet?" Wi Gwat sudah
menegurnya dengan tertawa gelak-gelak.
Wi Gwat menghadang Gong-gong-ji dan Shin Ci-koh pun tiba di sampingnya, wanita itu
tertawa: "Telah kutampar muka Ceng-ceng-ji, tak usah kau menghukumnya lagi."
Karena "dikepung" oleh beberapa orang, terpaksa Gong-gong-ji menjumpai Shin Ci-koh.
"Gong-gong-ji, kau benar-benar giat berusaha untuk kepentingan sahabat," kembali Shin Ci-koh
tertawa. Gong-gong-ji membeliakkan mata, serunya: "Bagaimana, apakah menurut anggapanmu aku tak
seharusnya membantu sahabat?"
Shin Ci-koh tersenyum: "Perangaimu masih pemarah seperti dahulu. Aku toh belum
menghabiskan kata-kataku. Kau giat membantu sahabat, itu untuk kebaikanmu juga. Memberi
selamat saja belum sempat mengapa aku harus menyalahkan kau" Tetapi aku sungguh tak
mengerti, mengapa kau selalu melupakan seorang sahabatmu?"
"Siapa?" tanya Gong-gong-ji.
"Apa. Aku ini bukan sahabatmu" Bertahun-tahun ini kau mondar-mandir dari selatan ke utara
untuk mencuri "kangtau" (obyek), hanya saja tak pernah mencari aku! Tahukah kau, betapa susah
payahku mencarimu?" Shin Ci-koh gunakan lwekang sakti untuk men"streamline"kan
(mempersatukan sekecil mungkin) suaranya, hingga Gong-gong-ji seorang yang dapat mendengar,
lain-lain orang tidak.
Merahlah wajah Gong-gong-ji. Tanpa merasa ia berjalan bahu-membahu dengan Shin Ci-koh,
tinggalkan Thiat-mo-lek dan Wi Gwat. Diam-diam Wi Gwat geli dan yakin pencomblangannya
tentu berhasil.
Sekarang mulailah "cair" ketakutan Gong-gong-ji terhadap Shin Ci-koh. Diam-diam ia
menyesal dahulu telah salah sangka kepada wanita itu.
"Berpuluh tahun kita berpisah, tapi tampaknya kau masih seperti dulu," Gong-gong-ji memulai
pembicaraannya.
"Aku sih hampir berumur 40 tahun. Ketika aku berjumpa padamu, waktu itu aku baru berumur
18 tahun. Ah, dalam sekejap mata saja sudah 20-an tahun," jawab Shin Ci-koh.
Gong-gong-ji tertawa: "Ya, memang hari cepat sekali jalannya. Waktu itu kau masih
memelihara kuncir. Tetapi wajahmu sekarang tak banyak berubah seperti dulu. Dalam
pandanganku, kau masih tetap serupa si nona kecil yang nakal dahulu itu. Ci-koh, aku pun tak
dapat melupakan kau. Hanya rupanya nasib belum mengijinkan hingga aku tak dapat
menjumpaimu."
Gong-gong-ji bukan saja hebat dalam hal muslihat, tapi ternyata pun seorang ahli merayu.
Kata-katanya itu sebagian memang benar, tapi sebagian salah. Bahwa ia tak dapat melupakan Shin
Ci-koh itu memang sungguh. Tapi bahwa "nasib belum mengijinkan bertemu" itu tidak benar.
Bukan nasib, tetapi dia sendiri memang yang ketakutan bertemu Shin Ci-koh.
"Berapa kodi tahun (20 tahun) manusia dapat mengenyam dalam hidupnya" Kau mau suruh
aku tunggu lagi 20 tahun baru kau mau menjumpai aku?"
Pengakuan Shin Ci-koh itu membuat hati Gong-gong-ji tergerak juga. Tapi kalau
membayangkan bahwa begitu menikah, tentu bakal dikekang kebebasannya, Gong-gong-ji
bersangsi lagi.
Tiba-tiba Shin Ci-koh tertawa: "Gong-gong-ji, kau manusia yang tak takut pada segala setan
belang tapi ternyata takut pada sesuatu."
"Apa yang kutakuti?" tanya Gong-gong-ji.
"Kau sudah tahu sendiri, mengapa perlu bertanya. Sebenarnya yang kau takuti belum tentu
menakutkan seperti yang kau bayangkan!" berkata sampai di situ, sepasang pipi Shin Ci-koh
bersemu merah. Matanya berlinang-linang penuh dengan air mata asmara. Gong-gong-ji tahu juga
arti sikap kekasihnya itu.
Sekarang mari kita tinggalkan dulu sepasang kekasih tua yang sedang berkasih-kasihan itu.
Berturut-turut muncullah Wi Gwat, Tok-ko U dan adiknya, Lu Hong-jin dan adik, In-nio, Yak-bwe,
Bik-hu dan lain-lain, tetapi hanya Toh Peh-ing yang tetap belum kelihatan. Tak berapa lama Khiksia
datang dan mencarinya kemana-mana, namun Toh Peh-ing tetap tak diketemukan.
Selagi Thiat-mo-lek dan kawan-kawan kebingungan, tiba-tiba seekor kuda lari menyusur jalur
jalanan di tengah lapangan. Penunggangnya seorang thaykam (orang kebiri). Ia menuju ke arah
Poan Ting-wan dan berseru keras: "Siapa suruh kalian buka pintu" Lekas tutup lagi!"
Ting-wan terkejut, serunya: "Ada, ada sengci ...."
"Tolol, itu sengci palsu!" thaykam itu membentaknya keras-keras.
Poan Ting-wan merah mukanya. Ia congkel rantai besi dengan tombaknya dan pintu besi yang
ribuan kati beratnya itupun tertutup lagi. Opsir penjaga pintu pintu lainnya, pun berbuat demikian.
Seketika enam buah pintu gerbang, tertutup lagi!
Para orang gagah yang masih ketinggalan di dalam lapangan hanya tinggal dua tiga bagian,
sebagian besar sudah sama keluar. Di antara yang tertutup di dalam itu, terdapat sebagian anak
buah Ceng-ceng-ji. Thiat-mo-lek dan kawan-kawan pun masih belum keluar.
Gong-gong-ji marah dan hendak meringkus si thaykam (orang kebiri). Tetapi pasukan Gi-limkun
sudah melindunginya dengan cepat.
"Gong-gong cianpwe, jangan terlalu mengumbar kemarahan. Gi-lim-kun hanya melakukan
perintah, mengapa harus menempur mati-matian?"
Bu Wi-yang yang sudah kembali ke dalam pasukannya segera unjuk kegarangan: "Bagus, kalian
kawanan pemberontak berani membuat amanat palsu tentuk tak dapat diberi ampun lagi!"
Sambil lempar sebatang belati beracun, Gong-gong-ji membentaknya: "Bu Wi-yang, kalau
berani kemarilah!" " Jaraknya lebih dari 100-an langkah dan dipagari pula oleh pasukan Gi-limkun,
namun ketika belati itu meluncur turun dari udara, arahnya tepat ke batok kepala Bu Wi-yang.
Bu Wi-yang buru-buru indungkan sepasang kaitnya ke atas kepala. Trang, sebuah gigi dari kait
kirinya putus terbabat belati. Belati masih menggelincir ke samping, menyusup dada seorang
pengawal, masih pula menggurat lengan seorang pengawal lagi. Pengawal pertama mati seketika,
pengawal kedua menjerit kesakitan dan menggeletak ke tanah. Wajahnya berwarna hitam, mata,
hidung, telinga dan mulutnya mengluarkan darah.
Bu Wi-yang copot nyalinya. Buru-buru ia ngacir ke belakang barisan.
Poan Ting-wan memberi komando dengan gerakan panji dan menyerbulah pasukan Gi-lim-kun
kepada rombongan Thiat-mo-lek.
"Sesama saudara mengapa saling gontok-gontokan?" seru Thiat-mo-lek. Ia terpaksa putar
pedangnya. Dalam sekejap saja ia dapat memecahkan belasan theng-pay dan mengutungkan
berpuluh tombak lawan. Tapi ia tetap membatasi diri. Senjata dan alat pelindung diri theng-pay
hancur namun tiada seorang pun dari anak buah Gi-lim-kun itu yang terluka.
Pasukan Gi-lim-kun tahu bahwa kegagahan Thiat-mo-lek itu tidak di bawah pemimpin mereka
(Cin Siang). Apalagi mengingat hubungan mereka dengan Thiat-mo-lek dahulu, maka mereka pun
hanya mengepung dari jarak beberapa tombak saja, tak mau mendesak rapat.
Melihat situasi menguntungkan pihaknya, Bu Wi-yang segera ajak barisan pengawalnya untuk
meninjau pertempuran. Ia memberi perintah supaya Gi-lim-kun lepaskan anak panah.
"Awas, kalau orangku ada satu saja yang terluka, aku tentu minta ganti jiwa seratus orangmu!"
Gong-gong-ji memberi peringatan.
Pasukan Gi-lim-kun sudah menyaksikan kelihayan tokoh itu dan tahu apa yang diucapkan itu
tentu dijalankan sungguh. Disebabkan oleh rasa jeri mereka terhadap Gong-gong-ji dan Thiat-molek
serta rasa memandang rendah pada pribadi Bu Wi-yang, maka anak buah Gi-lim-kun itupun tak
mau melakukan perintah Bu Wi-yang. Sekalipun begitu mereka tak mau kendorkan kepungannya.
Bu Wi-yang mendongkol sekali, tetapi tak dapat berbuat apa-apa.
Selagi kedua pihak dalam keadaan stand-by (bersiap), tiba-tiba terdengar suara genderang dan
teriakan orang: "Tiang Lok kong-cu datang!"
Pintu tengah terbuka dan masuklah dua rombongan pengawal istana diiringi sebuah kereta
kerajaan. Pelopor barisan kehormatan itu, seorang opsir yang menunggang kuda tegar. Begitu
masuk ke lapangan, berserulah ia: "Bu Wi-yang, Poan Ting-wan, lekas menghadap tuan puteri!"
Kedatangan rombongan puteri Tiang Lok kongcu itu, menggemparkan suasana lapangan.
"Apakah puteri juga ingin menyaksikan pertandingan" Tapi mengapa tak memberitahukan lebih
dahulu?" pikir Bu Wi-yang.
Puteri Tiang Lok adalah puteri bungsu dari baginda Tong Hian-cong, jadi adik perempuan dari
baginda Li Heng yang sekarang ini. Ketika baginda Hian-cong masih memerintah, pendekar
pedang wanita nomor satu Sun Toa-nio pernah masuk ke istana dan memberi pelajaran ilmu pedang
pada puteri Tiang Lok. Dan sejak itu puteri berguru pada pendekar wanita itu.
Pada masa pemberontakan An Lok-sian dan Su Khik-hwat, Li Heng mengganti ayahandanya.
Ia mencarikan suami untuk adik perempuannya itu. Tetapi sayang hu-ma (menantu raja) itu tak
berumur panjang dan sejak itu puteri Tiang Lok menjadi janda muda. Puteri Tiang Lok sering
tinggal di istana. Karena adiknya itu pandai ilmu surat dan silat dalam banyak hal Li heng tentu
mendengar advisnya.
Dalam sejarah kerajaan Tong, urusan pemerintahan dikuasai oleh puteri raja, bukan hal yang
baru. (Misalnya puteri dari ratu Bu Cek-thian yang bernama Thay Ping kong-cu juga bertahuntahun
memegang tampuk pemerintahan). Sekalipun puteri Tiang Lok tak berbuat seperti Thay Ping
kongcu tersebut, namun sampai dimana pengaruh dan kekuasaan dalam istana, semua menteri
sama-sama mengetahui. Bu Wi-yang dan Toh Hok-wi juga paling jeri berhadapan dengan puteri
itu. Tidak demikian dengan Thiat-mo-lek. Ia mempunyai kenangan yang tak dapat dilupakan
dengan tuan puteri itu. Sepuluh tahun yang lalu, ketika ia masih menjabat sebagai si-wi (pengawal
istana), ia bergaul intim sekali dengan puteri itu. Tiang Lok kongcu menganggapnya sebagai orang
kepercayaan dan Thiat-mo-lek pun dapat membatasi dirinya. Jika dalam negeri tak terjadi peristiwa
yang menggoncangkan, tentu baginda Hian-cong sudah mengangkat Thiat-mo-lek sebagai
menantunya. "Adakah puteri datang karena aku?" pikir Thiat-mo-lek. Pada saat itu Bu Wi-yang dan Poan
Ting-wan sudah berlutut di hadapan kereta. Ketika kain pintu kereta tersingkap, ternyata benar
Tiang Lok kongcu.
"Kalian sungguh bernyali besar. Mengapa tak menurut sengci?" begitu membuka mulut Tiang
Lok kongcu sudah mendamprat mereka.
"Sengci yang mana?" Bu Wi-yang dan Poan Ting-wan tercengang.
"Sengci yang menyatakan bahwa selama dalam pertandingan tak boleh melakukan
penangkapan. Mengapa kalian berbuat semaunya sendiri" Baginda suruh Gong-gong-ji yang
membawa sengci itu, apakah belum dibacakan pada kalian?"
"Jadi sengci itu tulen?" Bu Wi-yang berseru kaget.
"Budak bernyali besar, siapakah yang berani memalsu tulisan dan cap baginda" Tampar
mulutmu!" bentak Tiang Lok kongcu.
Bu Wi-yang benar-benar diselubungi keheranan. Terang sengci itu palsu, tetapi mana ia berani
berdebat dengan puteri" Tetapi pada lain kejap, ia mendapat pikiran: "Tadi karena hendak
menyelamatkan jiwa, aku sudah mengakui sengci Gong-gong-ji. Untuk itu terang aku bakal
menerima hukuman. Tak nyana sekarang kongcu menyatakan kalau sengci itu tulen. Ah, tak peduli
bagaimana, itu persoalan kongcu sendiri, tapi yang nyata hal itu menguntungkan aku. Kalau
dipersalahkan, baginda tentu bukan melainkan menghukum aku sendiri, pun kongcu juga. Asal aku
dapat menjaga jangan sampai diturunkan pangkat, apa sakitnya kutampar mukaku sendiri?"
Plak, plok, ia menampar mukanya sendiri sampai beberapa puluh kali, selaku menurut perintah
kongcu. Gong-gong-ji heran, tapi pun geli. Batinnya: "Sungguh di luar dugaan sekali. Aku telah
melakukan kebohongan besar, kongcu malah membenarkan kebohongan itu. Ha, ha, cap baginda
memang tulen, tapi tulisan baginda itu sebenarnya palsu. Kongcu tentu tak tahu kalau tulisan itu
kusuruh buatkan oleh seorang juru tulis pinggir jalan."
Poan Ting-wan lebih serius, ia memberanikan diri bertanya: "Hatur beritahu pada kongcu, tadi
Ong kongkong juga datang membawa sengci saat ini ia masih ada di sini. Apakah kongcu tak mau
menanyainya?"
Thaykam yang disebut Ong Kong-kong itu tercengang. Tersipu-sipu ia tampil menghadap:
"Sengcu yang hamba bawa tadi itu, seperti ..... seperti berlainan."
"Apanya yang lain?" tanya Tiang Lok kongcu.


Tusuk Kondai Pusaka Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tujuannya tidak ada perubahan ialah maih menitahkan Bu Wi-yang melaksanakan sengci
semula. Itu, itu, itu Gong-gong-ji ....."
Orang kebiri itu tak berani menyatakan apa-apa karena tadi puteri sudah mengatakan bahwa
sengci yang dibawa Gong-gong-ji itu tulen. Ia takut kalau disuruh menampar mulut seperti Bu Wiyang
tadi. "Kasih lihat sengcimu itu padaku!" tukas Tiang Lok kongcu.
Ong thaykam terbeliak kaget, buru-buru ia berkata: "Baginda hanya menitahkan aku secara
lisan, tidak memakai tulisan."
Ternyata karena ketakutan digertak Gong-gong-ji, baginda Li Heng sampai pingsan. Ketika ia
ditolong oleh hamba sahaya, barulah ia mengetahui kalau capnya hilang. Ia gusar sekali dan segera
menitahkan Ong thaykam yang menjadi kepala orang kebiri untuk menyiarkan perintahnya. Saking
keburu nafsu dan capnya hilang, maka ia hanya memberi perintah dengan lisan saja. Bu Wi-yang
dan Poan Ting-wan mau percaya karena sudah kenal dengan kepala thaykam itu.
"Hm, hampir setengah harian mengatakan sengci, kiranya tidak ada buktinya sama sekali.
Dengan begitu kau hendak memalsu sengci, terang kau diperalat kaum durna untuk mengacaukan
kewibawaan kerajaan. Kerajaan hendak mencari orang pandai dan panglima gagah, tetapi kau
menghendaki kerajaan kehilangan kepercayaan kepada sekalian orang gagah di seluruh dunia!"
Diberondong dengan tumpukan kesalahan oleh Tiang Lok kongcu, pucatlah wajah thaykam itu.
Buru-buru ia berkata: "Kongcu, wan ...."
Sebenarnya ia hendak mengatakan Wan-ong (penasaran) untuk meminta keadilan, tapi sudah
dibentak Tiang Lok yang memerintahkan pengawalnya supaya menyeret thaykam itu ke dalam
istana. Opsir kepala barisan kehormatan secepat kilat sudah menutuk jalan darah thaykam itu
hingga tak dapat berkutik lagi.
Terus dimasukkan ke dalam kereta pesakitan dan didorong pergi. Khik-sia kagum atas
kelihayan ilmu tutuk opsir itu. Anak buah Gi-lim-kun yang tak tahu tentang ilmu tutuk hanya
mengira thaykam itu saking takutnya sampai jatuh pingsan sendiri.
"Gi-lim-kun, mundur dan buka pintu!" akhirnya Poan Ting-wan berseru. Karena memang
segan bermusuhan dengan Thiat-mo-lek, pasukan Gi-lim-kun itu serentak mundur dengan gembira.
Bukit Pemakan Manusia 16 Pedang Tanpa Perasaan Karya Khu Lung Pendekar Kidal 10
^