Pencarian

Tusuk Kondai Pusaka 16

Tusuk Kondai Pusaka Karya S D. Liong Bagian 16


petir menyambar-nyambar.
Se-kiat menutup tubuhnya dengan lingkaran pedang. Memang ilmu pedang Hu-song-to
mempunyai keistimewaan tersendiri. Pedangnya seolah-olah merupakan segulung sabuk kumala.
Sedemikian rapatnya hingga air hujan pun tak dapat menembus. Tring, tring, tring, suara benda
tajam berdering-dering dan dalam sekejap itu kedua pedang mereka sudah berbentur sampai
sembilan kali. Se-kiat tangannya kesemutan, tapi Gong-gong-ji pun tak mampu menusuk jalan
darah lawannya.
Kalau Se-kiat sudah menahan napas sedemikian rupa, ternyata serangan Gong-gong-ji itu hanya
merupakan serangan kosong yang demonstratif. Dan gerak permainannyapun masih berlangsung.
Membarengi kaki Se-kiat agak miring karena serangan bertubi-tubi tadi, Gong-gong-ji tiba-tiba
menampar dengan sebelah tangannya. "Bo Se-kiat, kau berani menghina sute-ku, terimalah sebuah
tamparanku!"
Khik-sia geli dalam hati: "Shin Ci-koh paling suka menampar orang. Sekarang toa-suheng juga
ketularan." - Karena Gong-gong-ji sudah turun tangan, iapun lantas menyimpan pedang dan
minggir ke samping.
Sebenarnya Se-kiat tak pernah tinggalkan kewaspadaan. Tapi dikarenakan gerakan Gong-gongji
terlampau cepatnya, iapun tak sempat lagi menghindar. Untung kebetulan saat itu Khik-sia
menyisih ke samping. Sekali meleset ia lantas loncat melampaui tempat yang dipakai Khik-sia tadi.
Berbareng itu, kedua orang baju kuning tadipun sudah menusuk punggung Gong-gong-ji.
Bret, sekalipun Se-kiat dapat menghindar cepat, namun tak urung bajunya kena terjamah tangan
Gong-gong-ji sehingga robek dowak-dowak. Bahkan kulitnyapun kena tercakar, sakitnya bukan
kepalang. Untungnya Se-kiat tak usah menerima malu dipersen tamparan.
Hoa-poh-hwe-sim atau menggelincir balikkan tubuh, adalah gerakan Gong-gong-ji ketika ujung
pedang kedua orang baju kuning hnaya kurang setengah dim dari punggungnya. Secepat kilat
Gong-gong-ji kiblatkan pedangnya ke belakang, kedua pedang jagoan Hu-song-to itu terpental.
Dengan gusar Se-kiat bersuit keras. Kedelapan jagoan Hu-song-to itupun mundur ke tempatnya
masing-masing tapi lebih mempersempit lingkarannya. Mereka hendak mengepung Gong-gong-ji
rapat-rapat. Gong-gong-ji melirik dan dapatkan baju Khik-sia terlumur sedikit darah. Menandakan kalau
Khik-sia terluka. Gong-gong-ji sudah banyak pengalaman bertempur. Meskipun dalam kemarahan,
pikirannya masih terang. Pikirnya: "Toan sute terluka. Di sini tempat kekuasaan Se-kiat, tak
leluasa untuk bertempur. Kedelapan jago baju kuning itupun bukan lemah. Jika mereka sampai
sempat menyusun barisan, tentu sukar untuk lolos."
Memang kedelapan orang berbaju kuning dari Hu-song-to itu sedang bergerak dalam barisan
Pat-tin-tho. Sebuah barisan dalam formasi delapan pintu yang diciptakan oleh Khong Beng, ahli
strategi militer yang termasyhur pada jaman Sam Kok. Jika barisan itu sudah selesai disusun,
betapa lihay Gong-gong-ji sekalipun, tak urung tentu kedua pihak akan terluka.
Gong-gong-ji memang tak tahu ilmu barisan. Tapi ia kaya pengalaman dan cerdas sekali.
Segera ia meneriaki Khik-sia: "Sute, ikutlah aku!" - Ia melesat memburu Se-kiat.
Karena masih belum hilang kejutnya, Se-kiat tak berani menangkis. Buru-buru ia menyusup ke
dalam Seng-bun (pintu hidup). Tapi baru ia hendak menggerakkan barisan, Gong-gong-ji sudah
menyerbu. Se-kiat berputar masuk ke Gui-bun dan Siang-bun, Si-bun (pintu buka, pintu luka dan
pintu mati). Kedua orang baju kuning tadi menyerang dari dua samping, maksudnya supaya Gonggong-
ji masuk ke dalam barisan. Tetapi Gong-gong-ji tak mau diakali. Sekali gerakkan pedang ia
tabas kutung senjata penjaga Seng-bun, terus menerjang keluar. Khik-sia pun segera mengikuti
suhengnya. Suheng dan sute itu gunakan gin-kang istimewa. Hanya dalam waktu senyulut dupa saja,
mereka sudah jauh tinggalkan pasukan Se-kiat. Setelah berlari kurang lebih sejam, mataharipun
sudah terbenam di ufuk barat. Saat itu barulah Gong-gong-ji hentikan larinya. Ia menanyakan luka
Khik-sia. Luka di lengan Khik-sia itu hanya luka luar. Sekalipun banyak mengeluarkan darah tapi tak
membahayakan. Setelah melumuri obat, Khik-sia menerangkan kalau lukanya tak berarti.
"Baik, nanti setelah malam gelap, kita menyelundup ke dalam kemah dan mengambil batang
kepala Bo Se-kiat," kata Gong-gong-ji.
"Hutan Se-kiat itu besok kita perhitungkan lagi. Sekarang masih ada urusan teramat penting
yang memerlukan tenaga suheng," sahut Khik-sia.
Gong-gong-ji kerutkan alis: "Urusan apakah yang lebih penting dari mengambil kepala Bo Sekiat?"
"Shin lo-cianpwe tengah menunggu kedatanganmu."
"Oh, Shin Ci-koh?" tiba-tiba Gong-gong-ji berseru tawa, "Ya, aku telah bertunangan dengan Cikoh.
Kau boleh memanggilnya susoh. Terus terang saja, adalah karena aku berjanji akan bertemu
dengan ia di Tho-ko-poh maka saat ini aku berada di sini. Kau tentu sudah berjumpa padanya kalau
tidak masa tahu ia menunggu aku" Ya, kutahu ia menunggu kedatanganku, tapi toh aku sudah
berada di sini, lambat atau cepat tentu akan menemuinya juga. Sekarang biarkan ia menunggu
sedikit lama, biar kuambilkan dulu batang kepala Bo Se-kiat supaya hatimu lega."
Dalam umur 40-an tahun lebih, Gong-gong-ji baru bertunangan. Khik-sia adalah orang pertama
yang mendengar berita girang itu. Pada waktu memberitahukan hal itu, Gong-gong-ji girang
tapipun malu dalam hati. Ia tak mau dianggap lebih mementingkan isteri dari sute. Maka ia
berkeras hendak membunuh Se-kiat dulu baru nanti menemui tunangannya.
Tergopoh-gopoh Khik-sia berkata: "Suheng, kau belum menjelaskan semua. Shin .... susoh saat
ini sedang berada dalam kesulitan. Ia menunggu kedatanganmu bukan untuk bertemu biasa, tetapi
untuk menolongnya!"
Gong-gong-ji belalakkan matanya dan berseru: "Ia mendapatkan kesulitan apa" Siapa yang
berani mengganggunya" Apakah ia tak dapat mengatasi sendiri?"
"Leng Ciu siangjin! Mereka sudah berjanji akan bertempur malam ini di halaman biara rusak
yang terletak di gunung itu," sahut Khik-sia.
"Oho, kiranya siluman tua itu! Sudah 20-an tahun lokoay itu tak pernah turun dari gunungnya.
Mengapa Ci-koh bisa bentrok dengan dia?"
oooooOOOOOooooo
Selama berkecimpung di dunia persilatan, Shin Ci-koh sudah banyak membunuh orang.
Tentang terlibatnya permusuhan dengan anak murid Leng-ciu-pay, ia tak pernah menceritakan
kepada Gong-gong-ji. Ini disebabkan karena ia berhati tinggi berwatak sombong. Ia akan
menghadapi sendiri musuh-musuhnya itu. Tak mau ia mengandalkan pengaruh Gong-gong-ji. Ini
dapat ditertawakan orang.
"Aku sendiri juga tak jelas. Mungkin karena gara-gara Ceng-bing-cu. In-nio melihat Cengbing-
cu memimpin anak buahnya (sute-sutenya) muncul di Tho-ko-poh dan mengepung Shin lo ...
susoh," kata Khik-sia.
Gong-gong-ji yang cukup kenal akan pribadi Ceng-bing-cu, marah seketika: "Ya, kutahu.
Ceng-bing-cu itu mempunyai biji mata tapi tak dapat melihat gunung Thay-san. Ia berani kurang
ajar terhadap susohmu!"
Mendongak ke langit, Khik-sia dapatkan rembulan sudah mulai muncul. "Celaka, kukuatir saat
ini mereka sudah mulai bertempur!" serunya kaget. Gong-gong-ji segera ajak sutenya segera
berangkat. Sembari berjalan, Gong-gong-ji menanyakan kejadian di Tho-ko-poh, tentang Se-kiat
yang tinggalkan Tho-ko-poh dan berkelahi dengan Khik-sia.
"Sute, jangan gelisah. Benar Shin Ci-koh tak dapat menangkan Leng Ciu lokoay, tapi paling
tidak ia tentu dapat melayani sampai 300-an jurus!"
Walaupun berlari sambil beromong-omong, tapi karena gin-kang kedua saudara seperguruan itu
sudah tinggi, sedikitpun tak mengurangkan kecepatan lari mereka. Waktu mendengar penuturan
Khik-sia bahwa Ceng-ceng-ji pernah membantu Ceng-bing-cu, marahlah Gong-gong-ji: "Kali ini
aku tak mau memberi ampun lagi, tentu kubeset urat nadinya dan kukuliti kulitnya!"
Dan waktu Khik-sia menceritakan tentang Leng Ciu siangjin memberi pil kepada Shin Ci-koh,
Gong-gong-ji menghela napas dan mengeluh: "Celaka! Celaka!"
Khik-sia terkesiap dan menanyakan apa sebabnya. Sahut Gong-gong-ji: "Bagaimana keras
kepala Ci-koh itu, aku sudah cukup paham. Sekalipun tak menerima pil dari Leng Ciu lokoay, ia
pun tentu tak mau menerima bantuanku. Lebih-lebih setelah menerima obat itu. Menurut peraturan
kaum persilatan, aku tak berhak untuk membantu lagi."
"Peduli apa dengan peraturan persilatan begitu!" bantah Khik-sia. Gong-gong-ji berdiam diri.
Beberapa saat kemudian baru ia mengatakan: "Ya, kita bicarakan lagi kalau sudah tiba di sana."
Memang menilik kedudukan Gong-gong-ji dalam dunia persilatan, dia tentu tak mau
dicemoohkan orang. Khik-sia boleh melanggar peraturan persilatan, tetapi tidak Gong-gong-ji.
Tiba di kaki gunung, rembulan sudah banyak hampir di tengah.
"Apakah pertempuran mereka sudah dimulai?" tanya Gong-gong-ji.
Khik-sia mengatakan bahwa menurut apa yang dikatakan Leng Ciu siangjin, dia akan datang
pada jam 10 malam. Gong-gong-ji menghela napas longgar. "Ah, kalau begitu, pertempuran baru
berjalan satu jam. Ci-koh tentu belum sampai kalah."
Gong-gong-ji sudah mengambil keputusan. Apabila tiba saatnya, ia tentu berusaha menolong.
Ya, meskipun ia tak mau turut mengeroyok, tapi ia percaya tentu dapat menyelamatkan
tunangannya. Baru mereka bercakap begitu, tiba-tiba di puncak gunung terdengar orang tertawa keras dan
berseru: "Bagus, orang yang mengantar jiwa sudah datang!"
Seketika terdengar suara gemuruh dari batu-batu gunung yang bergelundungan ke bawah.
Tampak berpuluh-puluh orang berseliweran sibuk menggelundungkan batu dan menimpukkan batubatu
kecil. Mereka ternyata barisan pendam yang akan memegat Gong-gong-ji.
"Bagus, apakah dengan cara licik itu mereka mampu menghalangi aku?" Gong-gong-ji marah
sekali. Dengan gunakan gin-kang yang istimewa, ia lari mendaki. Memang tiada sebuah batupun
yang dapat mengenai tubuhnya tapi karena harus berlincahan menghindar kian kemari, temponya
pun jadi panjang. Khik-sia karena mendapat luka tusukan, gerakannya loncat agak terpengaruh.
Beberapa kali hampir saja terkena batu, untung lwekangnya masih penuh. Batu yang tak mungkin
dielakkan, dihantamnya saja dengan tinju.
Mendaki sampai setengah gunung, Gong-gong-ji menjemput beberapa batu dan berteriak:
"Datang tidak diberi sambutan, itu kurang sopan. Kalian juga harus menerima sambutanku ini!"
Di tangannya, batu-batu itu berubah menjadi suatu senjata rahasia yang hebat. Dari atas puncak
segera terdengar suara jeritan mengaduh dari beberapa orang yang kena timpukan. Dan yang tak
kena, pun segera lari menyingkir. Bayang-bayang orang yang berkumpul di puncak tadi, pun bubar,
Karena tiada rintangan lagi, Gong-gong-ji dan Khik-sia dapat lebih cepat larinya. Dalam
beberapa kejap, ketawa Gong-gong-ji sudah terdengar di atas puncak. Diantara kawanan penyerang
yang serabutan melarikan diri itu, tiba-tiba Khik-sia menunjuk pada seorang yang agak bongkok
punggungnya: "Bangsat itu adalah Ceng-bing-cu!"
Kiranya kawanan orang yang menggelundung batu-batu itu adalah anak murid Leng-ciu-pay
yang dipimpin Ceng-bing-cu. Waktu Leng Ciu siangjin bertempur dengan Shin Ci-koh, anak murid
Leng-ciu-pay tahu kalau tak boleh membantu. Ceng-bing-cu cerdik tapi licik orangnya. Meskipun
tak berani masuk ke dalam biara, tetap ia mengatur penjagaan kuat di sekitar tempat situ.
Dari seorang anak buahnya, Ceng-bing-cu mendapat keterangan tentang kepergian Khik-sia
pada pagi itu. Ia segera mengadakan analisa. Hanya ada dua kemungkinan: Pertama, Khik-sia jeri
terhadap Leng Ciu siangjin maka tak mau turut campur dalam urusan itu. Tetapi dari keterangan
Ceng-ceng-ji, Ceng-bing-cu tahu bahwa Khik-sia itu tunangan Yak-bwe. Kalau si nona tetap
tinggal di biara, Khik-sia tentu bukan melarikan diri. Dan dari mulut Ceng-ceng-ji didapat
keterangan bahwa Khik-sia itu tak jeri terhadap suhu mereka (Leng Ciu siangjin).
Jika begitu, tinggal kemungkinan yang kedua. Ialah, Khik-sia turun gunung karena hendak
mencari bala bantuan. Dengan kesimpulan itu, Ceng-bing-cu segera siapkan sute-sutenya untuk
menunggu. Begitu Khik-sia masuk ke mulut lembah, apakah ia membawa tenaga bantuan atau
tidak, tetap harus dibunuh mati.
Rencana itu sebenarnya berasal dari Ceng-ceng-ji. Dan bermula Ceng-ceng-jiupun hendak
membantu usaha Ceng-bing-cu menghancurkan Khik-sia. Tapi entah bagaimana, tiba-tiba ia
merubah niatannya dan tak ikut serta. Dan karena sudah banyak jumlahnya, Ceng-bing-cupun tak
mempedulikan Ceng-ceng-ji jadi turut atau tidak. Dia tetap langsungkan rencana itu. Rencana
jahat itu sama sekali tak diketahui suhunya, Leng Ciu siangjin.
Dengan barisan penggempur yang disiapkan itu Ceng-bing-cu mengira tentu dapat
membinasakan Khik-sia. Siapa tahu, ia justeru kesampokan dengan seorang tokoh yang lihay ginkangnya
seperti Gong-gong-ji. Selembar bulu tubuh Gong-gong-ji tak rontok, sebaliknya barisan
pendam dari Leng-ciu-pay itu banyak yang benjol kepala dan bubar melarikan diri sendiri.
Setelah ditunjuki diri Ceng-bing-cu, Gong-gong-ji segera melesat. Dengan beberapa loncatan
saja ia sudah dapat mengejar Ceng-bing-cu. Tetapi Ceng-bing-cu itu murid kepala dari Leng Ciu
siangjin. Kepandaiannya juga tinggi. Dalam keadaan terdesak, ia menjadi kalap. Sret, ia menabas
ke belakang. Namun biar bagaimanpun juga, kepandaian Ceng-bing-cu itu masih kalah jauh dengan Gonggong-
ji. Gong-gong-ji tak perlu memakai pedang. Cukup dengan tangan kosong yang
menggunakan gerak Gong-chiu-jip-peh-jim (tangan kosong merampas senjata musuh), ia sudah
dapat merebut pedang Ceng-bing-cu dan mencengkeram tulang pundaknya.
"Dengan memandang muka suhuku, ampunilah aku," semangat Ceng-bing-cu serasa terbang
dan dengan tersipu-sipu ia berseru. Minta ampun tapi dengan mengancam.
Gong-gong-ji tertawa gelak-gelak, serunya: "Leng Ciu siangjin juga seorang pendiri sebuah
partai persilatan. Mengapa mempunyai murid yang tak tahu malu seperti kau" Aku paling benci
kepada manusia yang temaha hidup takut mati. Justeru karena kau merintih minta hidup, aku
bahkan akan membunuhmu!" - Sekali kelima jarinya dikeraskan, Ceng-bing-cu pun segera berkuikkuik
seperti babi hendak disembelih.
Tiba-tiba Gong-gong-ji mendapat akal. Ia kendorkan cengkeramannya dan tertawa: "Melihat
kau begitu kasihan sekali, terpaksa kuampuni jiwamu anjing. Tetapi kau harus menurut katakataku.
Ceng-bing-cu mana berani membantah lagi. Dengan tersipu-sipu ia mengiakan. "Baik, kalau
begitu ayo ikut aku," kata Gong-gong-ji yang segera menjinjing Ceng-bing-cu seperti orang
menjinjing ayam saja.
Sebelum mencapai biara rusak itu, lebih dulu harus melintasi sebuah bukit. Karena ada
rintangan barisan pelempar batu tadi, Gong-gong-ji dan Khik-sia terlambat sampai lewat tengah
malam. Walaupun sudah mempunyai rencana, namun Gong-gong-ji mencemaskan juga keadaan
Shin Ci-koh yang sudah bertempur selama dua jam. Iapun segera tambah gas lari sepesat angin.
Turunnya Khik-sia dari gunung kali ini, hendak mengurus dua buah hal. Tetapi semuanya
gagal. Bik-hu tak berhasil ditemukan, pun surat dari Thiat-mo-lek kepada Se-kiat itu tiada buahnya
sama sekali malah menambah permusuhan dengan Se-kiat. Meskipun ada juga lain hasil ialah
bertemu dengan Gong-gong-ji, tetapi ia merasa telah menderita kerugian besar. Kerugian itu berupa
hinaan moral yang difitnahkan oleh Tiau-ing. Benar ia tetap tak bersalah, tapi ia merasa telah
melanggar pesan Yak-bwe.
"Karena aku kembali begini telat, Yak-bwe tentu gelisah sekali. Ah, entah ia dapat menerima
penjelasanku atau tidak?" ia mengeluh dalam hati.
Khik-sia hanya memikir sampai di situ, tetapi keadaan di biara ternyata jauh lebih hebat dari apa
yang dikiranya. Bukan saja Shin Ci-koh, pun Yak-bwe juga terancam jiwanya dan tengah
mengharap-harap kedatangan Khik-sia.
Kiranya setelah minum pil dari Leng Ciu siangjin, berselang sehari semalam, luka dalam Shin
Ci-koh sudah pulih seperti sediakala. In-nio dan Yak-bwe lega hatinya. Tetapi ketika malam tiba
dan Khik-sia belum kelihatan muncul, Yak-bwe dan In-nio gelisah sekali. Bahkan kecemasan Innio
lebih besar dari Yak-bwe karena memikirkan keadaan Bik-hu juga.
Rembulan muncul dan pelahan-lahan mulai naik tinggi. Meskipun dirinya juga seorang iblis
wanita yang telah banyak mengganas jiwa orang, tapi diam-diam Shin Ci-koh tergetar juga hatinya
saat itu. Yang akan dihadapinya nanti, seorang tokoh persilatan kelas satu. Ini bukan main-main.
Selagi mereka terbenam dalam keresahan masing-masing, tiba-tiba terdengar ketawa seorang
tua: "Shin Ci-koh, kau sungguh-sungguh pegang janji. Tidak mau pergi dan tetap berada di sini."
"Justeru aku kuatir kalau kau tidak datang, sehingga aku tak sempat membalas pemberian obat
tadi," Shin Ci-koh berseru angkuh.
Ternyata Leng Ciu siangjin datang seorang diri. Memandang kepada Shin Ci-koh, gembong
Leng-ciu-pay itu tertawa: "Karena saat ini kau sudah sembuh, kalau nanti kalah di tanganku, tentu
kau tak dapat cari alasan lagi. Dengan tujuan itulah maka kuberimu obat penawar luka, agar kau
mati tiada penasaran. Dan untuk itu tak usah kau membilang terima kasih lagi."
"Tahukah kau bagaimana caraku hendak membalas kebaikanmu itu?" tanya Shin Ci-koh.
Leng Ciu siangjin kesima, serunya: "Cara apa yang hendak kau lakukan itu" Silahkan bilang!"
Jilid 15 "Maksud dan tujuanmu memberi obat itu, akupun sudah tahu juga. Tetapi budi kebaikan tetap
budi kebaikan. Dan aku sudah menerima kebaikanmu, mana aku takkan membalasnya" Nanti
apabila bertempur, tak nanti aku membikin kecewa harapanmu. Biarlah kau tentu menderita
kekalahan yang betul-betul memuaskan hatimu. Akupun hendak mengatakan lebih dulu. Pedangku
ini tak kenal akan budi kasih lagi. Namun masih dapat kuberi ampun jiwamu. Tetapi setelah
lukamu sembuh, masih kau tetap tak terima dan menantang berkelahi, akupun takkan sungkan lagi
untuk mengambil kepalamu."
Leng Ciu tergelak-gelak, serunya: "Sungguh tak kecewa kau diberi gelar Bu-ceng-kiam.
Pedangmu tak kenal ampun dan mulutmupun tak mau kalah. Bagus, bagus, memang begitulah
maksudku. Keluarkan seluruh kebisaanmu. Hanya kukuatir, pedangmu tak dapat berbuat apa-apa
terhadap aku. Jika masih hendak meninggalkan pesan apa-apa, silahkan menyelesaikan sekarang
juga." "Siapa yang akan kalah dan menang. Siapa yang akan mati atau hidup, lihat saja nanti. Anak
muridmu tidak tampak hadir, tentunya kau sudah mengatur beres pesan-pesanmu. Baiklah, mari
kita mulai sekarang!"
Setiap kali adu bicara, Shin Ci-koh tentu tak mau mengalah. Leng Ciu siangjin tertawa keras:
"Semalam kemana saja perginya anak muda itu?"
"Kau toh bertempur dengan aku, ada sangkut pautnya apa dengan anak muda she Toan itu?"
seru Shin Ci-koh.
"Memang tak ada sangkut pautnya. Hanya kulihat kepandaiannya boleh juga. Beberapa jurus
permainan pedangnya boleh ditandingkan dengan jago pilihan. Benar, memang aku tantang kau
berkelahi sampai mati, kau boleh undang bantuan, aku tetap menghadapi seorang diri. Kalau
memang ada bala bantuan, silahkan maju berbareng. Atau mau bergiliran maju, juga boleh.
Adanya aku datang seorang diri agar kau jangan cemas. Eh, aku kepingin menjajal kepandaian anak
muda itu."
Shin Ci-koh anggap Siangjin itu angkuh sekali. Ia mendampratnya: "Main keroyok, itu
keistimewaan anak muridmu. Selama hidup aku selalu bergerak seorang diri, masa sudi mencontoh
kelakuan partaimu Leng-ciu-pay" Kalau mau menempur anak muda itu, besok malam sajalah."
Karena malu, muka Leng Ciu siangjin berubah gelap: "Anak muridku termasuk Wanpwe
(angkatan muda). Memang tak seharusnya mereka mengeroyok kau. Tapi kau menangkan mereka
pun takkan ternama. Dan lagi jika sifatmu tak ganas, masakan mereka akan menggempurmu.
Sekalipun mereka salah, tapi dengan membunuh mereka sampai sekian banyak, kau tetap bersalah!"
"Aku tak sudi banyak omong tentang kelakuan anak muridmu yang manis-manis itu. Toh saat
ini kita akan bertempur sampai mati. Memang anak muridmu telah kubunuh, kalau kau mau
menuntut balas, silahkanlah!" sahut Shin Ci-koh.
"Baik, kau sudah membunuh dua puluh tiga muridku. Jangan menyesal, aku hendak pinjam


Tusuk Kondai Pusaka Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pedangmu bu-ceng-kiam untuk membuat dua puluh tiga lubang tusukan di tubuhmu!" Leng Ciu
siangjin marah benar.
Shin Ci-koh serentak mencabut pedangnya: "Kalau mampu, silahkan mengambil pedang ini.
Ayolah!" Walaupun tak tertahan lagi kemarahannya namun Leng Ciu tak mau kehilangan gengsinya
sebagai seorang guru besar. Tertawalah ia: "Shin Ci-koh, meskipun tingkat angkatan kita sama, tapi
aku lebih tua duapuluh tahun. Aku tak mau cari enak, aku akan mengalah sampai tiga jurus!"
Shin Ci-koh kiblatkan pedangnya dalam tiga buah tusukan. Tapi bukan ditujukan pada Leng
Ciu siangjin melainkan ke udara. Setelah itu berkatalah ia: "Telah kulakukan permintaanmu
menyerang tiga kali. Sekarang giliranku untuk melihat kepandaianmu!"
"Shin Ci-koh, berapa tingginya kepandaianmu berani mempermainkan aku?" Leng Ciu
berteriak nyaring, seraya kebutkan kebutkan lengan baju ke arah Shin Ci-koh. Ujungnya seperti
pedang yang memapas tangan orang.
Shin Ci-koh putar tubuhnya dalam gerak Poan-liong-yau-poh atau naga melingkar-lingkar
kemudian dengan jurus Liu-sing-kam-gwat, ia pantulkan ujung pedangnya ketiga jurusan jalan
darah pek-hay-hiat di kiri, thian-tho-hiat di kanan dan suah-ki-hiat di tengah. Kesemuanya terletak
di dada orang, merupakan segitiga.
Permainan pedang Shin Ci-koh itu dibanding dengan ilmu pedang Wan-kong-kiam dari Gonggong-
ji, masing-masing mempunyai keindahan sendiri-sendiri. Benar Wan-kong-kiam sekali gerak
dapat menusuk sembilan buah jalan darah, tapi kesemuanya itu pada garis yang merata, baik
mendatar maupun melintang. Tidak demikian dengan gerak pedang Shin Ci-koh. Meskipun jumlah
tusukannya tidak banyak, tapi arahnya berlainan, kanan-kiri atas dan bawah.
"Hebat!" mau tak mau Leng Ciu siangjin memuji juga. Ia kebutkan lengan bajunya untuk
menyampok tusukan kanan dan kiri. Tapi untuk yang tengah, ia tak keburu menolak lagi. Brat....
ujung pedang Shin Ci-koh menggurat, meninggalkan bekas guratan tapi tak sampai merobekkan
baju. Ternyata dalam saat-saat yang berbahaya itu, Leng Ciu dapat menyedot dadanya ke belakang.
Begitu ujung pedang melekat pada baju, ia terus hembuskan lwekangnya untuk menolak, Shin cikoh
terkejut dan buru-buru hendak menarik pulang pedangnya tapi sudah terlambat, Leng Ciu
siangjin sudah mengebutkan lengan bajunya. Shin Ci-koh coba berusaha untuk miringkan tubuhnya
kian kemari namun tak urung mukanya terasa panas kesakitan akibat sambaran angin kebutan
lawan. Keduanya sama terkejut dan tak berani memandang rendah lawan. Dengan kepandaian yang
lebih unggul setingkat, Leng Ciu siangjin menjalan taktik tenang. Ia selalu mendahului
penyerangan tapi tak mau menyerang dengan gencar. Dalam lingkaran seluas tiga tombak, angin
pukulannya tetap dapat menguasai lawan. Kemana saja Shin Ci-koh hendak menusuk, tetap
tertolak. Diam-diam Shin Ci-koh mengeluh. Kalau pertempuran berjalan lama, terang ia yang akan
kalah. Cepat ia rubah taktik. Ia mainkan pedangnya sedemikian rupa sehingga ujung pedangnya
pecah menjadi beberapa belas sinar. Suatu hal yang membuat Leng Ciu leletkan lidah juga. Ia
kerahkan latihannya berpuluh tahun untuk menutup dirinya. Setiap kali ujung pedang Shin Ci-koh
menusuk tentu akan terbentur dengan dinding baja. Serangan Shin Ci-koh tertahan pada jarak
setengah meteran.
"Oho, kepandaianmu hanya begini sajalah?" tiba-tiba Leng Ciu siangjin berseru. Dari bertahan,
ia berganti menyerang. Anginnya menderu-deru hingga tubuh Shin Ci-koh terombang-ambing
seperti perahu di lautan.
Shin Ci-koh murka. Ia rubah lagi permainan pedangnya, kemudian tertawa mengejek: "Aha,
kepandaianmu juga hanya begini sajalah!" -- Tangan kirinya mencabut kebut hud-tim. Dengan
demikian ia memakai dua senjata. Dengan gerak permainannya yang istimewa dimana kalau
melambung ke udara seperti gerak burung elang dan kalau mendak ke bawah laksana lebah
mengerumun, dapatlah ia menahan serangan lawan.
Bukan saja ilmu pedangnya istimewa, pun ilmu permainan kebut yang disebut Thian-kon-budkian-
se-cap-liok-si, juga luar biasa. Bulu kebut itu dapat dirubah menjadi ujung-ujung jarum yang
menusuk jalan darah orang. Dan dapat juga dikencangkan menjadi semacam senjata poan-boan-pit.
Pokok, dapat digunakan untuk menyerang dalam segala cara.
Leng Ciu siangjin melayani dengan hati-hati. Kebutan lengan bajunya disertai gerakan jari yang
melancarkan hawa dingin. Ternyata ia menggunakan ilmu jahat yang disebut Hian-im-ci (jari
negatif). Khusus memancarkan hawa dingin untuk menyerang jalan darah lawan. Sudah tentu jari
berangin dingin itu jauh lebih sukar dihadapi dari kebut Shin Ci-koh.
Sebagai ahli lwekang, sudah tentu Shin Ci-koh dapat menutup jalan darahnya dari serangan
angin dingin. Tapi hanya untuk sementara waktu. Jika pertempuran berlarut lama, tentu sukar
bertahan lagi. "Baik, aku akan mengadu jiwa padamu, lokoay!" akhirnya Shin Ci-koh nekad. Ia putar
kebutnya dan bolang-balingkan pedangnya mendatar. Leng Ciu siangjin segera terbungkus dalam
jaring sinar. "Wanita siluman ini benar-benar tak kecewa bergelar Bu-ceng-kiam," mau tak mau Leng Ciu
memuji dalam hati.
Pertempuran hebat itu membuat In-nio dan Yak-bwe terlongong-longong. Mereka menyingkir
di ujung biara, namun tubuh mereka masih terasa menggigil tersambar angin dingin Leng Ciu
siangjin. "Leng Ciu lokoay itu benar lihay, tapi kukira Shin lo-cianpwe dapat memenangkannya," setelah
menyalurkan lwekang untuk menahan hawa dingin, Yak-bwe membisiki In-nio.
Memang pada saat itu Shin Ci-koh tengah melancarkan serangan yang hebat. Tapi In-nio yang
lebih banyak pengalaman, dapat melihat kelemahan Shin Ci-koh. Belum lagi ia memberi bantahan
kepada Yak-bwe, disana gerakan pedang Shin Ci-koh mulai lambat, seperti terpancang sesuatu.
Tenaganya makin kurang lancar.
Memang benar dugaan In-nio itu. Karena tak dapat bertahan lama menutup jalan darah, ketika
Ci-koh hendak ganti napas, hawa dingin dari jari Leng Ciu segera menyusup ke dalam pori kulit.
Dengan lwekangnya yang tinggi, dapatlah jago wanita itu menghalau hawa jahat itu, tapi tak urung
karena lambat laun hawa dingin yang masuk itu makin banyak, gerakan Shin Ci-koh pun
terpengaruh juga.
"Orang menunggu sampai kaku, Khik-sia mengapa tak muncul," Yak-bwe menggerutu. Tapi
baru ia mengucap begitu, tiba-tiba di luar ada suara tindakan orang. Ia duga tentu Khik-sia, maka
girangnnya bukan kepalang. Ia ulurkan kepala untuk melongok.
Tiba-tiba terdengar suara orang tertawa gelak-gelak yang menusuk telinga: "Datang, sudah
datang! Kalian berdua budak perempuan harus turut aku!" -- Ah, yang muncul ternyata bukan
Khik-sia, tetapi Ceng-ceng-ji.
Adalah karena mengetahui bahwa Khik-sia turun gunung, maka beranilah ia datang lagi ke biara
situ. Maksudnya hendak menangkap kedua nona itu untuk diserahkan pada Se-kiat.
Secepat suaranya terdengar secepat itu pula Ceng-ceng-ji sudah melesat masuk dan menyerang
In-nio " Yak-bwe. Untuk In-nio yang diketahui lebih lihay ia babat dengan pedang. Sedang untuk
Yak-bwe cukup ia tusuk jalan darahnya dengan jari tangan kiri.
Tapi taksirannya itu meleset. Selama sebulan bersama Khik-sia, kepandaian Yak-bwe maju
pesat sekali hingga berimbang dengan In-nio. Cepat ia menyambut jari Ceng-ceng-ji dengan
pedangnya. Ceng-ceng-ji kaget dan ganti tusukannya untuk menyelentik. Dan karena ia harus
gunakan tujuh bagian lwekangnya, permainan pedangnyapun agak lemah. Sekali tangkis, dapatlah
In-nio menolaknya.
"Ho, Leng Ciu Siangjin, bukankah kau tantang aku bertempur satu lawan satu" Sebenarnya aku
tak melarang kau mengajak koncomu kemari. Tapi perlu apa kau mengumbar suara besar hanya
datang seorang diri?" tiba-tiba Shin Ci-koh melengking tertawa.
Leng Ciu terkesiap, serunya: "Sahabat Ceng-ceng-ji itu bukankah sute dari Gong-gong-ji"
Masakah kau tak kenal" Mengapa kau anggap dia bala bantuanku?"
"Memang kunyuk kecil itu bukan anak muridmu. Dia tak berguna apa-apa. Tapi tetap dia lebih
unggul dari murid-muridmu. Hm, jika tak kau suruh, mana dia berani datang kemari?" sahut Shin
Ci-koh. Ceng-ceng-ji terpaksa hentikan serangannya dan berseru: "Leng Ciu cianpwe, harap dengarkan
keteranganku. Aku memang mempunyai sedikit permusuhan dengan kedua budak itu. Oleh karena
tunggu besok pagi dikuatirkan mereka sudah pergi maka terpaksa sekarang aku hendak meringkus
mereka. Sekali-kali tak bermaksud mengganggu cianpwe."
Dengan menyebut "cianpwe" itu, Ceng-ceng-ji menyanjung tinggi Leng Ciu, dengan harapan
siangjin itu akan membantunya, sekurang-kurangnya tidak mengusirnya.
"Tu, dengar tidak Shin Ci-koh" Mereka mempunyai permusuhan sendiri dan kita pun
mempunyai perhitungan sendiri. Mana aku dapat melarang Ceng-ceng0ji datang kemari?" seru
Leng Ciu. "Jadi, benarkah kau tak mengundang kunyuk itu?" Shin Ci-koh menegas.
"Sudah tentu tidak! Mana aku sudi cari bantuan. Sudah, jangan banyak rewel, lihat pukulan!"
Shin Ci-koh tak mau menangkis, sebaliknya ia berputar diri dan menusuk Ceng-ceng-ji,
serunya: "Aku tak senang ketenangan kita diganggu orang. Karena kau tak mengundang, biarlah
kuusirnya kunyuk ini!"
Sama sekali Ceng-ceng-ji tak mengira kalau di bawah serangan Leng Ciu, Shin Ci-koh berani
menyerang dirinya. Buru-buru ia menangkis. Leng Ciu siangjin terpaksa tarik pulang serangannya
tadi karena kedudukannya sebagai ketua partai tak mengijinkan ia mengeroyok orang. Dan ini
memang telah diperhitungkan Shin Ci-koh, makanya berani saja ia menyerang Ceng-ceng-ji. Sekali
pukul dua lalat. Pertama, ia dapat menolong kedua nona. Kedua, ia dapat kesempatan untuk
mengenyahkan hawa dingin Hian-im-ci yang menyusup dalam tubuhnya. Sambil bertempur, ia
kerahkan lwekang untuk mengusir hawa dingin itu.
Cepat sekali mereka sudah bertempur sampai 20-an jurus. Hebat sekalipun ilmu pedang Wankong-
kiam itu tapi karena Ceng-ceng-ji belum sempurna latihannya, maka tetap kalah dengan Shin
Ci-koh. Apalagi Shin Ci-koh memakai pedang, sedang tempo hari ketika bertempur di lapangan
kotaraja, dengan tangan kosong saja ia dapat menampar muka Ceng-ceng-ji. Untung Ceng-ceng-ji
tinggi gin-kangnya dan Shin Ci-koh gunakan sebagian lwekangnya untuk membersihkan hawa
dingin beracun, dengan begitu pertempuran berlangsung panjang. Tapi setelah lewat jurus ke-21,
runtuhlah perlawanan Ceng-ceng-ji. Ia mandi keringat dan napasnya senin kemis.
Ceng-ceng-ji masih belum mau melarikan diri. Matanya memandang Leng Ciu untuk meminta
bantuan. Tapi siangjin itu diam saja hingga Ceng-ceng-ji makin kelabakan.
Pada saat ujung pedang Shin Ci-koh hendak bersarang ke tubuh Ceng-ceng-ji, sekonyongkonyong
Leng Ciu kebutkan lengan baju untuk menyampok pedang Shin Ci-koh, sedang dengan
tangan kiri ia mendorong Ceng-ceng-ji sampai terlempar keluar pintu.
"Bukankah kau hendak bertempur dengan aku" Nah, sekarang sudah kulempar pergi orang
itu!" - seru Leng Ciu kemudian meneriaki Ceng-ceng-ji: "Ceng-ceng toyu, carilah lain tempat yang
agak jauh dari sini. Kalau kau hendak bertempur dengan kedua nona itu, aku takkan membantu
siapa-siapa."
"Baik, ayo kita mulai lagi!" seru Shin Ci-koh. Tapi Leng Ciu bukannya menyerang sebaliknya
berputar diri ke samping kedua nona.
"Hai, Leng Cu lokoay, kau mau apa" Cis, tak malu menghina orang muda!" Shin Ci-koh
berteriak kaget tapi sudah kasip. Leng Ciu siangjin sudah melemparkan kedua nona itu keluar.
"Sudah kukatakan tak mau membantu pihak manapun. Karena Ceng-ceng-ji keluar, kedua nona
itupun tak boleh tinggal di sini!"
Memang Leng Ciu tak melukai mereka. Dengan tenaga kebutan yang istimewam ia lemparkan
In-nio dan Yak-bwe keluar, tapi selembar rambut kedua nona itu tak ada yang rontok. Shin Ci-koh
mau memburu keluar tapi Leng Ciu sudah menghadang di ambang pintu:"Sekarang sudah tak ada
orang, kau masih punya alasan apa" Mau lari" Jangan harap!"
"Huh, kau toh belum mampu menangkan aku, mengapa bermulut besar!" damprat Shin Ci-koh
yang terus menyerang lagi. Karena memikiri keselamatan In-nio dan Yak-bwe, pikirannya gelisah
dan cepat sekali ia terdesak. Tapi dikarenakan tadi ia sudah berhasil mengeluarkan hawa racun
dingin, maka dapatlah ia bertahan diri.
"Oho, kalian juga dilempar keluar, ha, ha, sekarang tiada orang yang melindungi kalian lagi!"
Ceng-ceng-ji tertawa cengar-cengir sembari enjot tubuhnya melayang melewati kepala kedua nona.
Ia turun di muka pintu. Maksudnya mencegah jangan sampai kedua nona itu lari ke dalam biara.
Setelah itu barulah ia mulai menyerang.
In-nio tahu bahwa Ceng-ceng-ji itu lebih tinggi ilmu gin-kangnya. Untuk lari, terang tak
mungkin. Maka ia ambil putusan mengadu jiwa. Begitulah bahu-membahu dengan Yak-bwe,
mereka serang Ceng-ceng-ji dari dua jurusan. Kepandaian mereka jauh lebih maju dari dahulu.
Apalagi akhir-akhir ini mereka telah sama-sama menyakinkan ilmu pedang Hui-hoa-cui-yap-kiamhwat
(ilmu pedang bunga gugur mengusir kupu) dari Biau Hui sin-ni. Dengan menyerang bersama,
ilmu pedang itu lebih berbahaya lagi.
Meskipun Ceng-ceng-ji mempunyai kepandaian 'sekali tusuk dapat menyerang tujuh buah jalan
darah', namun dalam waktu yang singkat hendak mengalahkan mereka, juga tak mungkin. Tapi
bagaimanapun kepandaian Ceng-ceng-ji tetap mainkan pedangnya. Ini untuk menghabiskan
lwekang kedua lawannya.
In-nio dan Yak-bwe gunakan permainan lincah. Namun tak urung mereka tak dapat
menghindari benturan pedang Ceng-ceng-ji. Setiap kali berbenturan, tangan mereka terasa sakit
sekali. Makin lama lwekang mereka makin lemah. In-nio yang lebih kuat lwekangnya, hanya
mandi keringat saja. Tapi Yak-bwe yang agak lemah lwekangnya, sudah merasa pusing matanya
berkunang-kunang dan napas terengah-engah. Permainan pedangnyapun mulai kacau. Dan Cengceng-
ji yang mengetahui hal itu, cepat menghantamnya. Trang, pedang Yak-bwe mencelat ke
udara. Ceng-ceng-ji maju mendekati. Ia rangsangkan kelima jarinya untuk mencengkeram tulang
pi-peh di bahu si nona. Maksudnya hendak menghancurkan kepandaian Yak-bwe.
Tiba-tiba telinganya terngiang suara makian Gong-gong-ji: "Ho, lagi-lagi kau bangsat yang
hendak membikin onar di sini! Kurang ajar, kali ini tak kuberi ampun, hendak kubeset kulitmu!"
Sebenarnya Gong-gong-ji masih terpisah sebuah puncak, bagaimana juga tak nanti ia mampu
datang. Maka digunakannyalah lwekang Coan-im-jip-bi. Hal itu diketahui juga oleh Ceng-ceng-ji.
Kalau mau ia masih ada waktu untuk meneruskan rencananya terhadap Yak-bwe. Tapi ia paling
takut kepada suheng itu. Nyalinya pecah dan tangannyapun gemetar sehingga Yak-bwe sempat
loncat menghindar pergi dan In-nio maju menusuknya.
Dalam beberapa kejap saja, Gong-gong-ji dan Khik-siapun makin dekat. Melihat mereka,
Ceng-ceng-ji segera tinggalkan kedua nona dan lari sipat kuping.
Memang cepat sekali gerakan Gong-gong-ji dan Khik-sia itu. Selagi Yak-bwe belum sempat
berdiri tegak dalam groginya (terhuyung-huyung) tadi, Khik-sia sudah muncul dan menyambuti
Yak-bwe: "Adik Bwe, kau, kau mengapa?"
"Tak apa-apa, hanya bajuku kena dikoyak kunyuk itu, tapi tak sampai terluka. Mengapa baru
sekarang kau datang" Mana Pui suheng?" sahut Yak-bwe.
"Pui suheng belum ketemu. Aku, aku ...."
"Ah, hal itu nanti saja dibicarakan. Kalian lekas-lekas masuk ke dalam. Shin lo-cianpwe dalam
bahaya!" In-nio cepat menukas
Gong-gong-ji anggap menolong Shin Ci-koh lebih penting dari menangkap Ceng-ceng-ji yang
dibencinya itu. Apalagi ia membawa seorang tawanan (Ceng-bing-cu), dikuatirkan makan waktu
lama untuk mengejar sute itu. Dengan kepandaiannya yang tinggi, dapatlah ia mendengarkan
bahwa Shin Ci-koh memang dalam bahaya. Cepat ia menjinjing tubuh Ceng-bing-cu dan
melangkah masuk. Khik-sia hendak ikut tapi dicegah: "Kalian tak usah turut masuk. Aku
mempunyai tipu bagus untuk menghadapi lokoay itu."
Mendengar itu legalah hati Khik-sia, karena tadi ia kuatir kalau-kalau suhengnya itu akan
melanggar peraturan dunia persilatan.
Shin Ci-koh sudah tak kuat bertempur. Tapi demi mendengar suara Gong-gong-ji, bangunlah
lagi semangatnya. Kebalikannya Leng Ciu menjadi keder namun ia pura-pura mengejek: "Shin Cikoh,
itu bala bantuanmu datang. Apa kau mau beristirahat dulu" Aku tak takut kalian gunakan
siasat bergilir."
Tepat pada saat itu Gong-gong-ji masuk membawa Ceng-bing-cu, serunya: "Masih ada seorang
lagi. Bukankah ini murid kepala dari Leng-ciu-pay" Aku menyaksikan pertempuran dengan
muridmu, jangan kuatir apa-apa!"
"Bagus, bagus! Kedua pihak mempunyai pendukung. Adil, adil sekali. Lebih baik lagi kalau
jadi saksi, siapa yang kalah atau menang tak bisa cari alasan lagi," Shin Ci-koh tertawa. Kemudian
ia suruh Gong-gong-ji duduk di ujung ruangan.
Gong-gong-ji mengiakan. Sedang Ceng-bing-cu demi melihat suhunya, maluya bukan
kepalang. Namun tiada lain jalan kecuali berseru meratap: "Suhu, tolonglah aku!" - Tapi secepat itu
Gong-gong sudah menekan tulang bahunya sehingga Ceng-bing-cu berkuik-kuik seperti babi.
"Mengapa berkaok-kaok tak keruan" Apa kau tak tahu peraturan bulim" Bukankah suhumu
sedang bertempur, mengapa kau berteriak" Ayo, duduk yang baik di sana!" bentak Gong-gong-ji.
"Kurang ajar! Mengapa kau menghina muridku, Gong-gong-ji?" Leng Ciu siangjin murka
sekali. Gong-gong-ji lemparkan Ceng-bing-cu ke tanah, lalu menantang Leng Ciu: "Tahukah kau apa
perbuatan muridmu yang manis ini" Sebenarnya aku tak mau mengganggu pikiranmu, nanti setelah
pertempuran selesai baru kuberitahukan. Tapi karena kau menuduh aku menghina muridmu,
terpaksa aku memprotes. Ceng-bing-cu, bilanglah. Kamu sendiri yang main keroyokan atau aku
yang menghina murid Leng-ciu-pay" Hm, kau bilang tidak?"
Sekali jari tengah Gong-gong-ji menekan punggung, Ceng-bing-cu merasa seperti dicocoki
ribuan jarum. Sakit dan gatal sekali, melebihi segala macam racun. Ia masih mengharap
pertolongan suhunya. Tapi Leng Ciu siangjin sedang bertempur dengan Shin Ci-koh, tak sempat.
Selain itu memang Leng Ciu tahu bahwa kepandaian Gong-gong-ji memang mengatur siasat.
Kalalu ia sampai menyerang dulu berarti termakan tipu Gong-gong-ji. Yang melanggar peraturan
dunia persilatan bukan Gong-gong-ji, tetapi ia sendiri.
Leng Ciu siangjin benar-benar meringis. Mau menolong, musuhnya berat. Tidak menolong, ia
merasa terhina sekali karena murid kesayangannya diperlakukan begitu rupa. Tiba-tiba muridnya
yang manis Ceng-bing-cu itu meratap: "Gong-gong cianpwe, ya aku bilang aku bilang. Memang
aku yang salah, ampunilah aku!"
"Bicara dengan berlututlah! Karena kau menyesal, akupun suka memaafkan. Tetapi kau harus
mendamprat dirimu sebagai pertanda betul-betul kau sudah bertobat," seru Gong-gong-ji. Sekali ia
kebutkan lengan baju, bluk. Ceng-bing-cu pun jatuh berlutut. Sakitnya makin hebat, tubuhnya
seperti digigiti ular. Pikirannya pada saat itu hanya tertuju supaya bebas dari kesakitan.
"Ya, ya, akulah yang salah! Aku mengajak saudara-saudara seperguruan hendak mencelakai
kau dan Toan siauhiap. Aku seorang busuk, orang jahat. Harap kau orang tua suka mengampuni
aku seorang rendah ini!" Ceng-bing-cu meratap-ratap.
Mendengar murid calon penggantinya bernyali seperti tikus, hampir saja Leng Ciu siangjin
pingsan. Ketika ia hendak menggempur Gong-gong-ji, tiba-tiba Shin Ci-koh membentaknya:
"Leng Ciu lokoay, awas serangan!" - Pedang disambarkan ke atas kepala orang dalam jurus Samhoan-
tho-gwat yang hebat sekali.
Leng Ciu siangjin terpaksa kendalikan amarahnya untuk menghadapi serangan Shin Ci-koh. Ia
menangkis dengan sebuah hantaman.
"Bagus, Ceng-bing-cu, kau sudah memaki dirimu dengan bagus. Tetapi terangkanlah duduk
perkaranya yang jelas dan kutuklah dirimu yanglebih keras lagi. Mengingat kau sungguh-sungguh
menyesal, tentu kuampuni."


Tusuk Kondai Pusaka Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ceng-bing-cu tak pedulikan segala apa. Segera ia menuturkan bagaimana ia pimpin anak murid
Leng-ciu-pay menggelundungkan batu dari puncak gunung untuk mencelakai Gong-gong-ji dan
Khik-sia. "Leng Ciu lokoay, itu dengar tidak" Apa kau masih menuduh aku yang menghina anak
muridmu" Untung aku dan Toan sute dapat mengatasi dan memang anak muridmu tak becus apaapa.
Ha, ha, mereka sendiri yang kehilangan beberapa jiwa, sedang aku dan Toan-sute tak kena
apa-apa. Ceng-bing-cu, kau merasa menyesal atau tidak mengorban beberapa sutemu itu?"
"Aku bukan manusia, aku kutu busuk, kantong nasi. Mencelakai orang sebaliknya mencelakai
diri sendiri. Aku sungguh-sungguh menyesal sekali!" sahut Ceng-bing-cu. Untuk mendapat
kebebasan, Ceng-bing-cu tak segan-segan lagi memaki dirinya habis-habisan.
Leng Ciu siangjin tak sudi mendengarkan tapi ia malu menutup telinganya. Makian Ceng-bingcu
itu sepatah demi sepatah seperti pisau yang menusuk ulu hatinya. Ia benci kepada Ceng-bing-cu
dan berduka karena beberapa anak muridnya terbunuh. Maunya hendak menenangkan hati tapi
pikirannya kacau balau. Akibatnya, permainan menjadi kacau tak menurut rel lagi. Pada hal racun
dingin Hian-im-ci itu dilancarkan dengan lwekang. Dan karena lwekangnya terganggu akibat
kekacauan pikirannya itu, walaupun gerakan jarinya masih menerbitkan angin tetapi sudah tak
mengandung racun dingin lagi.
"Tubuhku kepanasan, mengapa angin-dingin dari jarimu itu tak meniup lagi?" Shin Ci-koh
mengejek. Diam-diam Gong-gong-ji memuji kepandaian Leng Ciu siangjin yang walaupun pikirannya
sudah kacau namun masih dapat melayani Shin Ci-koh. Untuk mempercepat kekalahannya,
kembali ia menanyai Ceng-bing-cu: "Bagaimana kau berbuat salah terhadap Shin lo-cianpwe"
Lekas ceritakan!"
Sebenarnya Gong-gong-ji tak tahu urusan Ceng-bing-cu dengan Shin Ci-koh. Tapi dalam
perintahnya itu, ia sudah menuduh kalau Ceng-bing-cu bersalah. Dihadapan Shin Ci-koh, sudah
tentu Ceng-bing-cu tak berani berdusta lagi.
"Ya, memang aku punya mata tapi tak dapat melihat gunung Thaysan. Ketika berjumpa di
tengah jalan, aku terpikat dengan parasnya. Diam-diam kukuntitnya naik ke gunung dan ...
kugodanya. Akhirnya aku dilabrak!"
"Manusia rendah, lekas tampar mukamu sendiri agar tak perlu kuturun tangan," bentak Gonggong-
ji dengan marahnya.
Plak, plak, tergopoh-gopoh Ceng-bing-cu melakukan perintah. Ia menampar kedua pipinya
sendiri. Bahwa Shin lo-cianpwe tak seketika mencabut nyawamu adalah karena hendak memberi muka
kepada suhumu. Mengapa kau tak insyaf" Coba bilanglah, apakah perbuatanmu mengajak sutesutemu
membalas pada Shin lo-cianpwe itu bukan melulu untuk kepentingan pribadimu?" tanya
Gong-gong-ji pula.
Selama Gong-gong-ji tak memerintah berhenti, Ceng-bing-cu terus-menerus menampar
mukanya seraya memaki diri sendiri: "Ya, memang aku bukan manusia, aku binatang. Shin locianpwe
amat murah hati memberi ampun padaku. Adalah karena dihajar Shin lo-cianpwe, aku
mendendam. Dengan alasan menerima undangan Su Tiau-gi agar dapat mengharumkan nama
perguruan, kuajak para sute turun gunung, kemudian kusuruh mereka mengeroyok Shin locianpwe!"
Setiap tamparan yang dilakukan Ceng-bing-cu, dirasakan Leng Ciu siangjin seperti pipinya
yang ditampar. Marah, malu dan seperti mau meledak rasanya dada siangjin itu. Setitikpun ia tak
mimpi bahwa murid kesayangannya itu sedemikian tak bergunanya sampai mengorbankan beberapa
puluh murid Leng-ciu-pay. Memikirkan kesemuanya itu, Leng Ciu seperti hendak menyusup ke
dalam bumi saja apabila ada lubangnya. Karena bukankah dengan peristiwa Ceng-bing-cu itu,
partai Leng-ciu-pay akan kehilangan pamornya" Apakah Leng-ciu-pay masih ada muka untuk
berdiri di dunia persilatan lagi"
Dalam pertempuran, orang dilarang keras mengumbar kemarahan sehingga mengganggu
ketenangan pikirannya. Leng Ciu siangjin tahu juga hal itu. Namun dalam saat seperti yang
dihadapinya itu, bagaimana ia dapat mengingat pantangan itu lagi. Sekuat-kuat imannya, tetap ia
tak tahan lagi melihat adegan yang menyiksa batinnya itu. Akibatnya ia tak dapat mengendalikan
lwekangnya lagi.
"Kena!" sekonyong-konyong Shin Ci-koh menusuk bahu kanan lawan. Cret, darah muncrat.
Masih mending Shin Ci-koh tak mau berlaku ganas. Coba ia susupkan lagi pedangnya sedikit lebih
dalam, tulang Pi-Peh-kut Leng Ciu siangjin tentu kena. Akibatnya siangjin itu tentu menjadi
seorang cacat selama-lamanya. Tapi Shin Ci-koh tak mau berbuat begitu dan cepat tarik keluar
pedangnya. Leng Ciu terkejut dan marah. Cepat ia bersiap menghadapi serangan Shin Ci-koh tapi ternyata
wanita itu mendongak tertawa keras. Dilemparnya pedangnya ke tanah lalu berseru nyaring: "Leng
Ciu lokoay, kali ini aku memberi ampun padamu, ini sebagai balas budimu. Setelah lukamu
sembuh, apabila kau hendak bertanding lagi, aku pun tetap sedia melayani. Nah, sekarang kita
sama-sama tak menanggung budi. Aku takkan membunuhmu. Jika mau pergi, silahkanlah!"
Seorang yang berkedudukan seperti Leng Ciu, jangankan terluka sampai tak berdaya, sedangkan
kalah sejurus saja dalam pertandingan, ia tentu sudah angkat kaki karena malu.
Gong-gong-ji tertawa gelak-gelak. Tangannya yang menekan punggung Ceng-bing-cupun
dikendorkan, ujarnya: "Bagus, kau sudah memaki dirimu habis-habisan. Akupun sudah tak marah
lagi dan mengampunimu. Silahkan kau pulang bersama suhumu serta para sutemu. Ha, ha, pandai
menampar muka dan pintar memaki diri sendiri, di dalam dunia kepartaian silat sungguh jarang
ada!" Terluka kemudian dihina begitu rupa, tak kuatlah Leng Ciu siangjin. Huak, ia muntahkan
segumpal darah segar. Ceng-bing-cu merasa menyesal. Tak berani ia memandang suhunya.
Dengan nada gemetar ia berseru memanggil: "Suhu!"
"Binatang! Kau masih ada muka memanggil aku suhu ...... ini!" Leng Ciu mendamprat seraya
menghantam. Walaupun sebelah tangannya terluka, tapi tenaganya masih cukup kuat untuk
menghancurkan batu. Seketika itu juga ia hantam batok kepala Ceng-bing-cu sampai hancur
lebur...... "Ah, sudahlah. Shin Ci-koh, aku tak berniat membalas tusukan pedang ini. Hanya kuharap
janganlah mengikuti jejakku, menerima murid yang tak berguna!" nada Leng Ciu amat rawan.
Pertanda luka hatinya jauh lebih parah dari luka tusukan pedang itu.
Leng Ciu siangjin sudah ngeloyor pergi namun kata-katanya itu tetap menggurat di hati Shin Cikoh.
Shin Ci-koh tersayat hatinya. Bukankah Su Tiau-ing murid yang disayanginya itu juga setali
tiga uang dengan kelakuan Ceng-bing-cu"
Shin Ci-koh menang bertempur tapi menderita perasaannya. Nasibnya serupa dengan Leng Ciu
siangjin. Yak-bwe dan In-nio saling menghaturkan selamat kepada Shin Ci-koh atas
kemenangannya itu. Tetapi Shin Ci-koh mengatakan bahwa kemenangan itu adalah berkat tipu
daya dari suhengnya Khik-sia alias Gong-gong-ji. Kemudian ia bertanya kepada Khik-sia mengapa
begitu terlambat datangnya. Sejak terpengaruh dengan pribadi In-nio, mulailah Shin Ci-koh
menaruh perhatian pada urusan orang. Tak lagi ia sedingin seperti yang lalu.
Khik-sia bersangsi. Gong-gong-ji cepat menyanggupi: "Ci-koh, dia takut kalau kau marahi."
"Apa ia berjumpa dengan Tiau-ing" Apa saja yang dilakukan budak perempuan itu?" Shin Cikoh
tergetar hatinya.
Gong-gong-ji memberi isyarat mata kepada Khik-sia, ujarnya: "Sute, apakah kau sudah
mengatakan pada nona Su?"
"Sudah, Yak-bwe tak apa-apa padaku," Khik-sia girang sekali.
"Hus, kau memang tak tahu hati seorang gadis. Tahu kedatanganmu saja, Yak-bwe sudah
girang, mana ia sempat mendampratmu," In-nio yang berada di sisi Khik-sia menegurnya bisikbisik.
Memang waktu menceritakan pengalamannya kepada Yak-bwe, Khik-sia kuatir kalau
tunangannya akan mengambul lagi. Tapi kali ini jalan pikiran Yak-bwe berlainan. Justeru karena
Khik-sia mendapat pelajaran pahit dari Tiau-ing, Yak-bwe lega hatinya. Ia tak kuatir Khik-sia akan
kecantol dengan nona itu lagi.
"Eh, apa yang sebenarnya terjadi, bilanglah! Tak nanti aku mengeloni muridku!" akhirnya Shin
Ci-koh buka suara.
Karena Khik-sia sungkan, maka Gong-gong-jilah yang berkata: "Tak apa-apa, hanya setelah
Khik-sia menolongi muridmu yang manis itu, malah disemprot basah kuyub olehnya!"
Ia lantas menuturkan pengalaman Khik-sia. Marah Shin Ci-koh bukan kepalang, di samping
kecewa sekali. Ia menghela napas: "Kecewa aku mencintainya. Tak nyana setipis itu moralnya.
Setali tiga uang dengan kwalitet Ceng-bing-cu. Ai, sudahlah, anggap saja aku tak pernah punya
murid semacam itu. Biar kelak kurusakkan ilmu kepandaiannya agar jangan sampai ditertawai
Leng Ciu siangjin."
"Ah, kiranya tak perlu Shin lo-cianpwe memakan hati. Turut pendapatku ia berbuat begitu
karena cintanya tak dibalas oleh Khik-sia. Toh Khik-sia tak kurang suatu apa. Dan kini nona Su itu
sudah menikah dengan Se-kiat. Mungkin mereka akan hidup rukun sampai tua," Yak-bwe
menghiburi. Shin Ci-koh adalah seorang wanita yang berwatak dua, ya baik ya jahat. Meskipun ia marah
terhadap Tiau-ing tapi dalam hati kecilnya masih ada setitik kecintaan. Setelah amarahnya reda, ia
membenarkan juga kata-kata Yak-bwe tadi. Kalau Khik-sia tak menampik cintanya Tiau-ing, Tiauing
tentu tak kalap begitu macam. Diam-diam ia merasa, andaikata dahulu Gong-gong-ji berbuat
seperti Khik-sia terhadap Tiau-ing, tentu sudah akan dibunuhnya.
"Baik, jika kelak ia masih tak merubah kesalahannya, tentu akan kubikin invalid," akhirnya ia
memberi pernyataan.
Untuk mengalihkan permbicaraan Gong-gong-ji menegur Yak-bwe: "Ai, nona Su, jangan
memanggil Shin Ci-koh sebagai lo-cianpwe. Aku dan Khik-sia kan suheng dan sute."
Yak-bwe tersipu-sipu, tapi cepat ia tertawa: "Selamat susoh, maafkan kekhilafanku. Cici In,
kita seangkatan, kau pun harus mengganti sebutan terhadap susohku."
Shin Ci-koh diam-diam girang tapi ia pura-pura menggerutu pada Gong-gong-ji: "Ai, mukamu
memang tebal benar. Kita toh belum kawin, mengapa kau suruh mereka memanggil susoh
padaku!" "Toh hanya soal waktu saja. Lebih dulu saling tahu sebutan masing-masing toh tak mengapa,"
Gong-gong-ji tertawa.
"Kapan suheng melangsungkan pernikahan jangan lupa memberitahukan kami. Tapi ai suheng,
kau gemar mengembara tak menentu tinggalnya. Kau mencari kami itu mudah, sebaliknya jika
kami hendak mencarimu wah susah sekali," Khik-sia turut menggoda.
"Tapi mungkin aku yang lebih dulu akan meminum arak pernikahanmu dengan nona Su,"
Gong-gong-ji tertawa.
"Suheng, kita bicara soal serius, mengapa suheng mengolok-olok. Kami masih muda, masakan
terburu-buru," seru Khik-sia.
"Aku toh juga serius. Aku hendak menyelesaikan suatu pertanggungan jawab dulu, baru
menikah. Setelah menikah aku tak mau keluar ke dunia persilatan lagi," sahut Gong-gong-ji.
"Aku tak percaya kau bisa berangan-angan begitu," Shin Ci-koh tertawa ewah.
Atas pertanyaan Khik-sia, ternyata pertanggungan jawab yang hendak diselesaikan Gong-gongji
itu ialah tentang diri Ceng-ceng-ji. "Akan kuminta pedang Kim-ceng-kiam untuk kukembalikan
pada Coh Ping-gwan. Kemudian kuselesaikan pesan mendiang subo. Sudah bertahun-tahun kuberi
kelonggaran padanya (Ceng-ceng-ji), sekarang tak bisa terus-menerus begitu."
Katanya lebih lanjut: "Kalian tak perlu tunggu aku karena kalian sudah dijodohkan sejak masih
dalam kandungan. Jangan ditunda lama-lama. Terus terang, aku menyesal karena sudah mensiasiakan
waktu mudaku selama 20-an tahun. Ah, tapi nasi sudah menjadi bubur. Maka sekarang
akupun tak mau menunda lama-lama."
Diantara yang mendengari percakapan kedua saudara, adalah In-nio yang paling rawan. Shin
Ci-koh menghiburinya supaya jangan berkecil hati. Pui Bik-hu tentu akan dapat berjumpa lagi.
"Kalau Khik-sia tak ketemu, terang dia sudah tak berada di sini. Kupikir akan menemui ayah
untuk mengatur persiapan. Rasanya tentara ayah tentu sudah dalam perjalanan," kata In-nio dan
Yak-bwe nyatakan mau ikut.
Saat itu sudah jan 3 pagi. Shin Ci-koh tak mau tidur. Selaku pembalas budi, ia mengajarkan
beberapa ilmu pedang kepada In-nio. Karena sudah mempunyai dasar, dalam waktu sejam saja, Innio
sudah dapat mempelajarinya.
Tak lama kemudian haripun terang tanah. Mereka berlima pecah dalam dua rombongan dan
turun gunung. Mereka berpisah di kaki gunung. Gong-gong-ji dan Shin Ci-koh mengejar jejak
Ceng-ceng-ji. In-nio, Khik-sia dan Yak-bwe hendak menyonsong tentara negeri yang dikepalai Sip
Hong. Dalam kesempatan itu Shin Ci-koh mengembalikan kuda Cian-li-ma Bik-hu kepada In-nio.
Pada hari kedua ketika menyusur jalanan, tiba-tiba mereka melihat sebuah pasukan besar tengah
mendatangi. Benderanya bertuliskan huruf Sip In-nio girang sekali tapi heran juga mengapa
ayahnya secepat itu sudah datang. Menurut perhitungan, seharusnya dua hari kemudian baru
datang. In-nio keprak kudanya menyongsong. Pertama-tama ia bertemu dengan dua orang panglima
ayahnya. Cepat-cepat ia menanyakan diri ayahnya.
Seorang opsir muda larikan kudanya menyambut, serunya: "Suci, kau sudah pulang!"
Opsir muda itu bukan lain ialah pemuda yang dipikiri siang malam oleh In-nio, yakni Pui Bikhu.
Girang In-nio sampai tak dapat berkata-kata.
"Ayahmu cemas sekali karena kau tak kembali. Dia mengirim beberapa mata-mata untuk
menyirapi keadaanmu di Tho-ko-poh," Bik-hu berkata dengan bisik-bisik.
"Mana ayahku sekarang?" tanya In-nio.
"Berada di barisan belakang. Barisan ini termasuk bagian perintis. Ayahmu menempatkan aku
dalam barisan ini," kata Bik-hu.
Saat itu Khik-sia dan Yak-bwe pun tiba. Mereka mengucapkan selamat kepada Bik-hu atas
kenaikan pangkat itu: "Pui suheng, kau naik pangkat. Ini berarti dobel keberuntungan jatuh di
depan pintu," Yak-bwe tertawa.
"Apa keberuntungan yang kedua itu?" tanya Khik-sia.
"Hal itu bahkan yang nomor satu. Naik pangkat hanya nomor dua. Bukankah mereka kini
berjumpa lagi" Inilah peristiwa yang bahagia. Tuh lihat, muka Pui suheng menjadi merah," Yakbwe
menggoda. "Sudahlah jangan mengolok orang. Apakah kalian ada lain urusan penting?" tegur Bik-hu.
"Kami berdua hanya menemani cici In saja untuk mencarimu. Karena tak melihatmu, cici In
sampai tak doyan makan tak dapat tidur," sahut Yak-bwe.
"Kami bertiga tak ada urusan lain. Tapi kemana saja kau selama ini" Mengapa tak kau
laporkan tentang keadaan Tho-ko-poh pada ayah" Su Tiau-gi dan Bo Se-kiat sudah lolos dari Thoko-
poh. Rasanya pasukan negeri tak perlu kesana lagi," kata In-nio.
"Kalau kalian senggang, ayo ikut aku saja. Aku diperintahkan untuk mengejar Su Tiau-gi. Dia
lari ke arah Poa-yang. Disana Li Kong-pik dengan pasukan besar sudah siap menunggu untuk
mencegatnya. Tugas tentara penting sekali. Aku diberi waktu besok pagi harus sudah tiba di Poayang.
Kita berjalan sambil bercakap-cakap," Bik-hu menerangkan.
Selama dalam perjalanan itu, In-nio dan Bik-hu saling menceritakan pengalamannya. Kiranya
waktu lolos dari pertempuran di Tho-ko-poh, Bik-hu juga menderita luka ringan. Karena tak dapat
menemukan In-nio, Bik-hu segera kembali kepada pasukan Sip Hong. Ia duga nona itu tentu juga
pulang. "Eh, bagaimana dengan lukamu" Lukanya di bagian mana?" tanya In-nio.
Bik-hu tertawa: "Aku kena sebatang panah dari perempuan siluman itu (Tiau-ing), tapi tak
berbahaya dan sekarang sudah sembuh. Akupun balas memanahnya. Kuduga lukanya tentu lebih
berat." Katanya lebih jauh: "Tiba di dalam pasukan, ternyata ayahmu sudah mengetahui apa yang
terjadi di Tho-ko-poh. Pun dia menerima berita dari Li Kong-pik yang menyatakan bahwa Su Tiaugi
lari ke Poa-yang. Segera aku dinaikkan pangkat menjadi Sian-hong (operasi atau perintis). Aku
diperintahkan membawa tiga ribu pasukan berkuda menuju ke Poa-yang untuk menggabung pada
Li goanswe menghancurkan Su Tiau-gi. Aku merasa malu, karena pulang dengan terluka dan tak
berjasa apa-apa tapi dinaikkan pangkat."
"Ah, tak usah kau rendah hati. Jika tiada kau, aku tentu sudah mati kelelap di dalam penjara
air," In-nio tertawa.
Teringat akan pengalaman mereka di dalam kamar penjara air, dimana dalam menghadapi maut
itu mereka saling mencurahkan isi hati, tergetarlah hati mereka. In-nio memandang pemuda itu
dengan penuh arti. Bik-hu berkata dengan bisik-bisik: "Aku harus berterima kasih kepada
perempuan siluman itu. Jika ia tak menjebloskan kita di dalam penjara air, aku, aku, ...."
"Sekarang kau adalah pemimpin dari tiga ribu pasukan berkuda. Dalam ketentaraan, pasukan
perintis itu penting sekali. Jangan sampai kau kehilangan semangat," In-nio tertawa memutusnya.
Bik-hu menyatakan bahwa bagaimanapun rasanya Su Tiau-gi tentu sukar meloloskan diri lagi.
Sementara Yak-bwe menyatakan bahwa Su Tiau-gi itu memang tak berbahaya. Yang paling
berbahaya adalah Bo Se-kiat.
"Kupercaya Sip ciangkun tentu sudah dapat memperhitungkan kemana mengacirnya Se-kiat,"
sahut Bik-hu. In-nio menyatakan bahwa kehancuran Su Tiau-gi itu psikologis mengandung arti besar. Karena
hancurnya Su Tiau-gi berarti ludesnya pemberontakan gerakan pemberontak An Lok-san dan Su
Khik-hwat. Bik-hu membenarkan, katanya: "Memang di kota Poa-yang masih terdapat seorang menteri
lama dari Su Su-bing. Namanya Li Hoay-sian. Jika Su Tiau-gi sampai dapat bergabung dengannya,
tentara pemerintah tentu mengalami kesulitan besar."
"Aku sih tak tahu urusan militer. Aku hanya benci pada Se-kiat. Ingin kuhajar mampus
manusia itu," Yak-bwe tertawa.
"Bagaimana dengan Su Tiau-ing" Apa kau tak benci padanya juga?" tanya In-nio.
Yak-bwe melirik ke arah Khik-sia, ujarnya: "Sekarang aku malah kasihan padanya."
Hari kedua pada waktu siang tepat, bahkan sebelum batas waktu yang diberikan, Bik-hu dengan
pasukannya telah tiba di kota Poa-yang. Mereka siap menghadapi pertempuran tapi di luar dugaan
mereka melihat sebuah pemandangan ngeri. Di atas tembok kota yang tinggi, terpancang sebuah
kepala orang yang masih berlumuran darah. Kepala itu bukan lain adalah batang kepala Su Tiau-gi.
"Ah, kepala pemberontak sudah binasa. Sia-sia kita datang kemari," kata Bik-hu.
"Ih, kemungkinan ada sesuatu yang tak beres," tiba-tiba In-nio kerutkan dahinya.
Atas pertanyaan Bik-hu, In-nio menerangkan: "Opsir bermuka brewok yang berada di atas pos
pintu kota itu seperti Li Hoay-sian, orang kepercayaan Su Su-bing."
Memang karena sering ikut pada ayahnya berperang, banyaklah pengalaman In-nio. Ayahnya
pernah bertempur dengan Li Hoay-sian maka ia kenal dengan orang itu.
"Tapi dia memakai seragam opsir pemerintah. Dan kepala Su Tiau-gi itu terang bukan palsu,"
bantah Bik-hu. Dalam pada itu pintu kota sudah dibuka. Seorang opsir berpangkat Ki-pay-koan (ordonans)
menyambut keluar. Ia mempersilahkan jenderal Li Kong-pik masuk ke dalam kota. Karena Lengciam
(lencana pertandaan) yang dibawa opsir itu memang tulen, maka Bik-hu pun tak sangsi lagi
dan segera membawa pasukannya masuk kota.
Dari opsir Ki-pay-koan itu didapat keterangan bahwa memang Su Tiau-gi telah datang
menggabung pada Li Hoay-sian. Li Hoay-sian menyambutnya dengan sebuah perjamuan. Tapi
diam-diam ia sudah bersekongkol dengan Li Kong-pik. Tengah makan minum, Su Tiau-gi
ditangkap dan dihukum potong kepala.
Pun untuk menghormat kedatangan pasukan Bik-hu, Li Hoay-sian mengadakan sebuah


Tusuk Kondai Pusaka Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perjamuan. "Aku ini sahabat berkelahi dari ayahmu. Untuk menebus kedosaanku yang lalu aku hendak
menjadi menteri kerajaan yang setia. Kuharap nona suka menyampaikan hal ini kepada ayahmu,"
kata Li Hoay-sian kepada In-nio.
In-nio tahu bahwa Li Hoay-sian itu seorang oportunis alias plin-plan. Tapi karena sudah
membunuh Su Tiau-gi maka berjasa juga. Ia mengucap beberapa patah kata merendah dan berjanji
akan mengatakan kepada ayahnya.
Setelah beristirahat seperlunya, Bik-hu menghadap panglima Li Kong-pik. Karena ayahnya
wakil panglima dan kenal baik dengan Li Kong-pik, maka In-nio pun ikut menghadap juga.
Panglima itu menyambut kedatangan mereka dengan gembira.
"Kali ini kami sudah siap-siap bertempur, tapi sayang kaum pemberontak sudah dilenyapkan.
Dengan begitu sedikitpun kami tak berjasa apa-apa. Atas pemberian arak selamat dari goanswe
(panglima), kami sungguh malu sendiri," kata Bik-hu. Li Kong-pik tertawa gelak-gelak.
"Mengapa goanswe tertawa" Apakah perkataanku salah?" Bik-hu heran.
"Seorang tentara masakan mengeluh tak ada kesempatan berperang" Malam ini tidurlah baikbaik.
Besok pagi akan kukirim kau ke medan pertempuran. Apakah kau tak tahu kalau jenderalmu
sudah mempunyai rencana?" kata Li Kong-pik.
Kalau In-nio coba-coba menerka adalah Bik-hu yang sudah lantas menanyakan hal itu:
"Rencana apa" Akan bertempur dengan siapa?"
Sahut panglima Li dengan wajah serius: "Kuundang kalian kemari, pertama untuk merayakan
arak kemenangan. Kedua, untuk mengantar keberangkatan. Sekarang kuberitahukan tentang berita
yang kuterima dari Sip ciangkun. Su Tiau-gi sudah meninggal tapi dia masih mempunyai seorang
adik perrempuan yang dengan membawa tentara serta seorang penjahat besar bernama ...."
"Bernama Bo Se-kiat," Bik-hu meneruskan.
********** "Ya, benar, kabarnya Bo Se-kiat sudah menikah dengan adik perempuan Su Tiau-gi itu. Mereka
mempunyai anak buah sejumlah 4-5 puluh ribu. Jauh lebih besar dari Su Tiau-gi dengan sisa
pasukann," kata Li Kong-pik.
"Apakah sudah diketahui jejak Bo Se-kiat?" tanya Bik-hu.
"Benar, mereka lari ke arah utara. Semalam Sip ciangkung sudah gerakkan pasukannya,
merubah rencana perjalanan semula untuk mencegat mereka di Coat-liong-koh. Menurut
perhitungan, besok pagi tentu sudah bertemu. Sip ciangkun kirim orang memberitahu padaku.
Kurencanakan untuk mengirim sebuah pasukan berkuda bersama kau ke Coat-liong-koh untuk
menyergap musuh dari belakang," kata Li Kong-pik.
Kiranya Sip ciangkun memang telah mengatur siasat. Dari mata-mata ia mendapat tahu kalau
Bo Se-kiat mengambil jalan ke utara. Tetapi ia (Sip Hong) pura-pura berangkatkan pasukannya ke
Poa-yang, agar Se-kiat tidak menaruh kecurigaan.
"Taktik militer harus selalu secara mendadak di luar dugaan musuh. Rahasia militer harus
dijaga rapat. Maka tak mengherankan kalau kau sendiri tak mengetahui tentang rencana
panglimamu. Ini bukan karena takut kau membocorkan tetapi kalau kau tahu bahwa kepergianmu
ke Poa-yang sini hanya gerakan tipu kosong, kau tentu tak serius menjalankan tugas. Bisa juga kau
buru-buru mempercepat perjalanan. Kalau sampai diantara anak buah tentara ada yang berkhianat
dan membocorkan pada musuh, tentu musuh akan dapat lolos lagi," Li Kong-pik menyudahi
penjelasannya. Pulang ke dalam kemah, Bik-hu memberitahukan hal itu kepada Khik-sia dan Yak-bwe yang
menjadi girang mendengarnya. Tapi dalam pada itu, Khik-sia mempunyai pemikiran sendiri: "Ah,
anak buah Se-kiat terdiri dari kawan-kawan Lok-lim. Kali ini mereka tertipu. Kalau sampai
mengantarkan jiwa, bukankah kasihan. Aku akan berusaha untuk memberi jalan hidup pada
mereka." Keesokan harinya sebelum terang tanah, Bik-hu berangkat bersama pasukan berkuda. Karena
mereka mengambil jalan singkat yang hanya 60-an li jauhnya, sebelum petang hari mereka sudah
tiba di lembah. Ternyata pertempuran telah pecah antara pasukan Sip Hong lawan anak buah Sekiat.
Pertempuran berlangsung dahsyat.
Sip Hong gunakan taktik Tiang-coa-tin (barisan ular panjang). Kalau diserang kepalanya,
ekornya menggempur. Kalau bagian ekor yang diserang, kepalanya menggempur. Kalau tengah
atau bagian badan yang diserang, kepala dan ekornya berbareng menerjang. Tiap 300 serdadu
menjadi satu pasukan. Setiap pasukan dipecah lagi jadi tiga lapisan. Lapisan muka terdiri dari 150
tentara darat bersenjata tombak dan khik. Tugasnya untuk menyambut barisan pelopor dari musuh.
Lapisan tengah terdiri dari 50 tentara yang tugasnya khusus untuk menggerantol (mengait) kaki
kuda musuh. Lapisan belakang terdiri dari 100 tentara panah. Tugasnya untuk melepaskan anak
panah ke barisan musuh agar dapat melindungi lapisan muka maju menerjang. Disamping pasukan
itu, masih ada sebuah pasukan berkuda yang mengapit kanan kiri pasukan itu secara mobil.
Meskipun pihak Bo Se-kiat juga mempunyai 500-an anak buah, tapi sebagian besar adalah
bekas tentara Su Tiau-gi yang sudah pecah nyalinya. Dalam beberapa kali pertempuran, mereka
selalu dikalahkan oleh tentara pemerintah. Untung anak buah Se-kiat yang berasal dari kawanan
Lok-lim itu, tinggi sekali daya tempurnya. Se-kiat mengatur barisannya secara horisontal. Mundur
sama mundur, maju sama maju. Berulang kali tentara negeri hendak membobolkan pertahanan
mereka, tetapi tetap gagal. Namun diambil secara keseluruhannya, tentara negeri berada di pihak
unggul. Jika bekas tentara Su Tiau-gi itu sudah dihancurkan, kawanan Lok-lim pengawal Se-kiat
itu tentu mudah diatasi.
Melihat gelagat tak menguntungkan, Se-kiat ajak Tiau-ing dan pengawalnya pasukan berkuda
serta kedelapan jago dari Hu-song-to, membuka jalan darah. Mereka menerjang ke arah bendera
Sip Hong. Asal dapat menghancurkan bagian tengah yang merupakan komando, atau dapat
menahan Sip Hong, barisan ular panjang tentu berantakan sendiri.
Pada saat Bik-hu dan kawan-kawan terjun dalam medan pertempuran, tepat pada waktu Se-kiat
dan pasukannya menerjang ke bagian tengah. Mereka berkepandaian tinggi. Hujan anak panah
yang dilancarkan tentara negeri, kena disapu jatuh semua. Hanya dua orang Hong-ih-jin (baju
kuning dari pulau Hu-song-to) yang terluka, tapi pun tak mau mundur.
"Hola, Se-kiat, kita bertemu lagi. Maukah kau bertempur dengan aku sampai tiga ratus jurus
lagi?" seru Khik-sia. Ia kepit perut kudanya. Kuda meringkik dan menerjang ke muka barisan Sekiat.
Ia merebut sebatang busur dari seorang tentara panah. Sret, sret, beruntun ia lepaskan empat
anak panah. Dua untuk Se-kiat dan dua pada Tiau-ing.
Dua batang anak panah mengaung di sisi rambut Tiau-ing. Yang sebatang tepat mengenai
anting-antingnya hingga jatuh. Khik-sia masih berlaku murah. Tak mau mengambil jiwanya dan
hanya membikin kaget saja. Tapi itupun sudah untuk membuat Tiau-ing jatuh dari kudanya.
Melihat Khik-sia memanahnya, Tiau-ing terkejut, marah dan berduka. Belum anak panah mengenai
tubuhnya, ia sudah jatuh dari kudanya sendiri.
Se-kiat putar pedangnya. Ia dapat memukul jatuh kedua anak panah dari Khik-sia walaupun
tangannya terasa sakit juga. Tapi yang membuatnya kaget sekali adalah ketika melihat isterinya
jatuh. Cepat ia menyambar tubuh wanita itu. Tetapi kuda Tiau-ing kena terpanah mati oleh tentara
negeri. Kejadian itu cukup mematahkan semangat Se-kiat. Apalagi dilihatnya bagian tengah dari
barisan Tiang-coa-tin itu kuat sekali, sedang di antara kedelapan pengawalnya sudah ada tiga orang
yang terluka, ditambah pula dengan kedatangan Khik-sia berempat. Ia (Se-kiat) memperhitungkan,
sukar untuk merebut bendera musuh.
Saat itu tiga ribu pasukan berkuda yang dipimpin Bik-hu menyerbu dari belakang. Pasukan Sekiat
sudah kehilangan komandonya hingga kena dipecah belah oleh tentara negeri. Pasukan Se-kiat
kalut, tidak ada koordinasi satu sama lain lagi. Sampai pada saat itu, Se-kiat pecah nyalinya betulbetul.
Dengan memboncengkan Tiau-ing ia ajak kedelapan pengawalnya berputar balik menerjang
keluar. Khik-sia tak mau mengejar melainkan masuk ke dalam perkemahan menghadap Sip Hong.
"Hiantit, kau bersama Bik-hu dan In-nio sudah datang?" Sip Hong girang sekali.
Khik-sia mengiakan dan hendak membawa In-nio kesitu tapi Sip Hong mencegahnya: "Tak
usahlah. Saat ini belum waktunya kami berdua ayah dan anak bertemu. Akan kuberimu seregu
pasukan berkuda. Bantulah Bik-hu menjaga mulut lembah. Musuh sudah kalut, ini kesempatan
bagus bagi kita. Sekalipun tak dapat memusnahkan mereka, tapi sekurang-kurangnya mereka tentu
akan hancur berantakan."
"Sip ciangkun, maaf atas kelancanganku ini," kata Khik-sia.
"Ehm kau ada usul apa" Bilanglah, tak perlu sungkan-sungkan."
"Pikirku hendak mohon ciangkun memberi dia sebuah jalan hidup."
"Aku justeru hendak memusnahkan mereka sebaiknya kau berpendapat begitu. Rupanya kau
hendak mengunjukkan welas asih seorang wanita di tengah medan peperangan?" tegur Sip Hong.
"Meskipun saat ini suatu kesempatan bagi ciangkun mendirikan pahala, tapi dalam membasmi,
tiga ribu musuh itu apakah pihak kita juga takkan menderita kerugian beratus-ratus jiwa" Jika
kelewat mendesak mereka, mereka tentu akan melawan mati-matian. Dan ini bukankah akan
mengorbankan banyak jiwa" Menurut pendapatku, yang penting kita dapat mencerai beraikan
musuh, mematahkan semangat mereka. Dalam hal ini aku bersedia menerima ejekan ciangkun
sebagai wanita yang mengunjukkan welas asih di medan peperangan. Daripada membayar pahala
dengan ribuan jiwa, rasanya lebih baik."
Sebenarnya Sip Hong itu luas sekali pengalamannya. Tapi ia masih tak dapat lepas dari
ambisinya mencari pahala. Ucapan Khik-sia tadi seperti air dingin mengguyur kepalanya. Setelah
terlongong beberapa saat, barulah ia berkata: "Membayar pahala dengan ribuan jiwa" Hm, apakah
kau anggap aku Sip Hong ini manusia yang haus darah, algojo yang mementingkan keuntungan diri
sendiri?" "Siautit tidak berani bermaksud begitu," buru-buru Khik-sia meminta maaf.
"Baik, tapi kuminta kau dapat melaksanakan cara-cara untuk mencerai beraikan musuh. Nah,
akupun tak mau mengucurkan banyak darah dan menurut usulmu itu. Kuserahkan bendera
komando kepadamu, kau boleh mewakili aku memberi komando," kata Sip Hong.
Khik-sia menyambuti bendera itu terus mengundurkan diri. Dengan suara nyaring ia berseru
kepada pasukan Se-kiat: "Hai, dengarlah. Su Tiau-gi sudah binasa. Li Hoay-sian menerima titah
kerajaan untuk menerima anak buahnya. Siapa yang suka menyerah, diampuni. Yang mau
mengundurkan diri dari ketentaraan boleh datang ke Poa-yang menerima uang pesangon."
Sembilah puluh persen dari anak buah Su Tiau-gi sudah tak punya nafsu bertempur lagi.
Mendengar itu mereka berturut-turut melemparkan senjatanya dan menyerah. Tapi anak buah Sekiat
masih tak goyah pendiriannya.
Se-kiat yang sudah kembali ke tengah barisannya, ajukan kudanya dan tertawa mengejek: "Toan
Khik-sia, ha, ha, tak kira mukamu begitu tebal mau berhamba pada tentara negeri" Baik, karena
kau menginginkan pangkat dan kekayaan, menakluk pada kerajaan, menjual saudara-saudara Loklim
maka marilah. Saudara-saudaraku semua adalah lelaki jantan tak nanti sudi menyerah
padamu!" Kelompok Lok-lim paling mengutamakan keperwiraan. Ucapan Se-kiat itu dimaksud untuk
membakar hati anak buahnya. Dan ternyata berhasil. Beberapa orang berturut-turut memaki Khiksia.
Khik-sia kendalikan kemarahannya. Dengan gunakan lwekang ia berseru keras menindas
hamun makian orang-orang itu: "Bo Se-kiat, kau menipu saudara-saudara lok-lim untuk menjual
jiwa padamu. Apa maksudnya" Bukankah karena kau hendak menduduki tahta kerajaan" Kalau
kau cakap dan bijaksana, itu sih tak mengapa. Tapi ternyata kau kawin dengan perempuan siluman
itu, mau mengundang suku Oh menyerang Tiong-goan. Coba pikir, bagaimana rakyat akan tunduk
padamu" Dan para hohan yang sadar mana sudi berkorban untukmu" Ya, memang saudara-saudara
yang berada di sini ini golongan hohan semua. Adalah karena mereka tergolong hohan, mereka
mengerti akan peraturan menjadi penyamun. Kau hendak menyesatkan mereka, tapi mana mereka
mau mengikuti jejakmu?"
Memang di kalangan lok-lim yang menggabung pada Se-kiat itu, sudah lama ada yang tak puas
kepada Se-kiat. Tetapi karena kebanyakan mereka itu terpaksa menjadi penyamun karena tak mau
tunduk pada kerajaan, maka walaupun ucapan Khik-sia tadi diakui kebenarannya namun tiada
seorang pun dari mereka yang melemparkan senjatanya.
Merah muka Se-kiat. Ia tertawa nyaring: "Kau tuduh aku menyesatkan mereka" Tetapi coba
kau tanya dirimu sendiri hendak kemana kau mengajak mereka itu" Berhamba pada kerajaan,
apakah jalan yang benar?" sebenarnya Se-kiat kuatir kalau anak buahnya terpengaruh dengan katakata
Khik-sia tadi. Maka ia bangkitkan lagi rasa kebencian mereka terhadap Khik-sia.
OooooOOOOOooooo
"Tutup mulutmu!" bentak Khik-sia yang tiba-tiba mencabut bendera pemberian Sip Hong dan
berteriak nyaring: "Sama sekali aku tak bermaksud menyuruh saudara-saudara menakluk. Aku
sendiripun bukan manusia yang temaha pangkat kekayaan. Jika kelak aku Toan Khik-sia sampai
menjabat dalam pemerintahan, saudara-saudara boleh membelah tubuhku dan mengorek ulu
hatiku!" Habis itu ia keprak kudanya ke muka seraya melambaikan bendera: "Goan-swe memberi
perintah supaya saudara-saudara yang menjaga mulut lembah memberi jalan lepaskan mereka.
Kecuali diserang, siapapun tak boleh turun tangan!"
Kawanan tentara terbeliak. Namun perintah harus ditaati. Dan ada baiknya juga untuk
menghindari pertumpahan darah. Mereka segera melakukan perintah.
Tadi Se-kiat mengadakan usaha terakhir untuk menjebolkan kepungan musuh. Tapi kini
kepungan itu serta merta sudah terbuka sendiri. Ini sungguh di luar dugaannya. Nyata pihak
pemerintah sengaja hendak mengasih jalan lolos. Bagi Se-kiat sebaiknya hal itu malah runyam. Ia
tahu sekeluarnya dari kepungan, anak buahnya tentu tak mau mendengar perintahnya lagi. Ia bakal
menjadi seorang pemimpin Loklim yang tak punya kewibawaan lagi. Daripada begitu ia lebih suka
mengadu jiwa untuk membuka jalan darah, agar anak buahnya tetap setia kepadanya.
Tetapi dalam keadaan dan tempat seperti saat itu, siapa lagi yang sudi mendengar komandonya"
Bagaikan air bah, mereka melanda menerobos keluar dari mulut lembah. Marah Se-kiat bukan
kepalang. Dengan menggerung keras, ia serbukan kudanya ke muka Khik-sia dan menyerangnya.
"Ha, dikasih jalan keluar kau tak mau. Baik, karena ingin bertempur, terpaksa aku harus
menemanimu," teriak Khik-sia. Dengan jurus Lat-biat-hoa-san, ia menangkis. Tring, tubuh Se-kiat
tergetar, kudanya pun menyurut beberapa langkah.
Khik-sia tak mau memberi hati. Setelah memperingatkan lawan supaya berjaga-jaga, ia
menyerang tiga kali. Se-kiat kelabakan menangkis. Hampir saja ia terjatuh dari kudanya.
Khik-sia menang angin. Tapi kemenangannya itu bukan disebabkan karena ia lebih sakti tapi
karena berkat keunggulan kudanya dan karena Se-kiat sudah lelah bertempur sebelumnya.
Kedelapan pengawalnya dari pulau Hu-song-to coba hendak maju menolong. Tapi mereka
disambut oleh Bik-hu, In-nio dan Yak-bwe. Seperti telah diterangkan, diantara kedelapan jago HuKANG
ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
song-to itu... Walaupun ketambahan dengan Su Tiau-ing namun mereka tetap berat menghadapi
Bik-hu bertiga dengan In-nio dan Yak-bwe. Tiga ribu pasukan berkuda melihat pemimpinnya
tarung, tanpa diperintah lagi terus maju menyerbu.
Melihat itu Se-kiat diam-diam mengeluh. Ia tak kira bahwa pada hari itu ia harus menyerahkan
jiwanya kepada Khik-sia. Se-kiat dan kudanya sudah lelah sekali. Rupanya kelemahan itu
diketahui juga oleh Khik-sia yang terus maju menerjangnya. Belum lagi Se-kiat sempat putar
kepala kudanya, Khik-sia sudah menusuk punggungnya. Tring, sekonyong-konyong dalam detikdetik
yang berbahaya itu, Tiau-ing keprak kudanya menangkis seraya berseru dengan nada gemetar:
"Bagus, Khik-sia, bunuhlah saja aku!"
Khik-sia jauh lebih lihay dari Tiau-ing. Apalagi pedangnya sebuah po-kiam. Asal ia mau
tambahi tenaga, pedang Tiau-ing tentu terpapas kutung dan orangnya terluka. Tapi demi tertumbuk
akan wajah Tiau-ing yang berlinang air mata itu, luluhlah hati Khik-sia. Tiau-ing tetap dapat
menguasai pedangnya. Kesempatan itu tak disia-siakan Se-kiat yang secepat menabas pedang
Khik-sia terus putar kudanya lari. Tiau-ing mengikutinya.
"Se-kiat, selama gunung masih menghijau, masakan kita kuatir tak dapat mencari kayu,"
katanya. Sebenarnya Se-kiat berpambek ksatria. Tapi demi Tiau-ing masih setia padanya dan bahkan
menghibur dengan kata-kata bersemangat, lemaslah hatinya. "Ah, benar. Selama masih hidup
masakan tak dapat melakukan pembalasan. Tiau-ing masih setia padaku. Aku harus memenuhi
kewajiban untuk melindungi seorang isteri," pikirnya.
Padahal Tiau-ing bersikap begitu karena sudah putus jalan. Ia insyaf bahwa Khik-sia tak nanti
sudi kepadanya lagi. Satu-satunya tiang sandaran hanyalah Se-kiat.
Se-kiat bersuit memanggil kedelapan pengawalnya kemudian diajak lolos. Bik-hu, In-nio dan
Yak-bwe hendak mengejar tapi dicegah Khik-sia: "Tak boleh kita melanggar janji. Kalau dia mau
lari, biarkanlah!"
Bik-hu menurut dan perintahkan pasukannya mundur. Dengan demikian dapatlah Se-kiat dan
kawan-kawan keluar dari mulut lembah.
"Ah, sayang, sayang! Khik-sia, kau sia-siakan kesempatan membalas sakit hati!" seru Yak-bwe.
Bermula Khik-sia kuatir kalau dituduh masih ada kenangan terhadap Tiau-ing. Bahwa ternyata
Yak-bwe tak mengungkat hal itu, Khik-sia pun girang sekali. Sahutnya: "Membalas sakit hati
adalah urusan kecil. Tetapi mentaati janji adalah lebih penting. Karena sudah ada perintah, maka
tak boleh kita hanya memikirkan soal sentimen terhadap Se-kiat seorang. Apalagi Thiat-toako
memang tak berniat untuk membunuh Se-kiat."
In-nio setuju dengan pernyataan Khik-sia. Demikianlah mereka berempat segera kembali ke
perkemahan panglima untuk menghadap Sip Hong. Jenderal itu memerintahkan untuk
membersihkan medan pertempuran dan memeriksa anak buahnya yang luka-luka. Setelah para
penjaga kemah ditugaskan semua, barulah ia menerima kedatangan Khik-sia berempat. Walaupun
memperoleh kemenangan tetapi wajahnya tetap tak mengunjuk seri kegirangan. In-nio memberi
hormat kepada ayahnya.
"Hai, mengapa kau berani berdusta kepada ayahmu" Bilang menjenguk rumah tapi ternyata
diam-diam pergi ke Tho-ko-poh!" tegur Sip Hong.
"Tapi kepergian cici In kali ini juga ada faedahnya. Ia dapat menyelidiki keadaan musuh dan
berhasil menarik seorang panglima wanita yang menjadi orang sebawahan Se-kiat. Wanita itu
banyak sekali membantu tentara negerti kemudian ia menikah dengan putera raja suku Ki. Kali ini
jiga raja suku Ki tak kerahkan tentaranya untuk mengusir Se-kiat dari Tho-ko-poh, mungkin tentara
negara juga tak mudah menyerbu musuh. Paman Sip, mengingat jasa-jasa cici In, rasanya tak perlu
kau mendampratnya lagi!" kata Yak-bwe.
Sebenarnya ia sudah mengetahui hal itu dari Bik-hu. Setelah memaki sekedarnya, hatinya pun
lemas lagi, ujarnya: "Untung kali ini ada Pui hiantit yang berani menempuh bahaya masuk ke Thoko-
poh sehingga kau tertolong. Jika tidak, entah bagaimana jadinya. Lain kali jangan berani
bertindak gegabah!"
Setelah menghaturkan maaf, berkatalah In-nio: "Aku merasa girang sekali kali ini ayah dapat
menyelesaikan pemberontakan tanpa banyak mengucurkan darah. Besok pagi aku dan adik Bwe
hendak pulang ke selatan. Kali ini aku sungguh-sungguh akan menjenguk mamah."
Sip Hong memberi persetujuan.
"Yah, kau sudah kelewat lama berdinas dalam ketentaraan. Seharusnya minta pensiun saja,
melewatkan hari tua di rumah dengan tenteram," kata In-nio.
"Jika selamat tak kejadian suatu apa, tentu aku senang untuk pensiun di rumah," sahut Sip
Hong. "Kau sudah berjasa besar sekali, masakan pemerintah masih mempersalahkan apalagi?" tanya
Yak-bwe heran.

Tusuk Kondai Pusaka Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dikuatirkan peristiwa hari ini, tak dapat dimaafkan baginya. Kawanan menteri kerajaan yang
hendak menyingkirkan aku, tentu takkan mensia-siakan kesempatan ini!" jawab Sip Hong.
"O, apakah soal melepaskan Bo Se-kiat itu .... " baru In-nio hendak meminta penjelasan kepada
ayahnya, jenderal itu sudah menukasnya: "Toan hiantit, jangan kuatir. Urusan hari ini aku tetap
berterima kasih kepadamu. Kaulah yang menggugah hati nuraniku untuk mengurangi kedosaanku
mengorbankan jiwa. Sekalipun untuk itu aku harus menerima hukuman, tapi aku tetap takkan
mempersalahkan kau."
"Walaupun ciangkun lepaskan mereka, tapi anak buah Bo Se-kiat kurasa tentu tak mau
mengikut Se-kiat lagi. Dengan begitu kita dapat menghapus bahaya tanpa mengorbankan jiwa.
Daripada dibunuh, mereka tentu masih akan tetap mendendam, lebih baik kita memakai cara
melepas budi," sahut Khik-sia.
Sip Hong mengatakan mudah-mudahan pihak kerajaan terdapat orang-orang yang mempunyai
pandangan seperti itu. Tiba-tiba Bik-hu melangkah maju, katanya: "Sip ciangkun, terima kasih atas
pengangkatan ciangkun kepadaku. Tapi karena sekarang pemberontakan sudah ditindas, aku tak
berhasrat masuk dalam tentara dan ijinkanlah aku pulang ke kampung. Maaf, jika aku mempunyai
kesalahan selama ini."
"Hai, kau mempunyai karir yang gilang-gemilang di kemudian hari. Mengapa hendak undurkan
diri?" Sip Hong terkejut.
"Ini.... ini ...."
"Yah, luluskanlah permintaannya," cepat In-nio memotong kata-kata Bik-hu.
Sip Hong sejenak memandang kepada puterinya. Ia seperti tersadar. Katanya dengan tertawa:
"In-nio, apakah kau menginginkan Pui sutemu mengantarkan kau pulang" Kau belum
menghaturkan terima kasih kepada sutemu, mengapa hendak merepotinya lagi?"
Yak-bwe tertawa geli: "Paman Sip, mengapa kau khilaf?"
"Khilaf bagaimana?"
"Mereka berdua mana perlu berterima kasih lagi?" sahut Yak-bwe.
Merah padam wajah In-nio. Ia tundukkan kepala. Sip Hong tertawa gelak-gelak: "Oh, benar,
benar. Aku memang limbung. Pui hiantit, aku hanya mempunyai seorang puteri. Perangai In-nio
itu agak keras, dalam segala hal ia turut kemauannya sendiri. Ia agak membandel. Apakah kau tak
menolaknya?"
"Aha, mana ada ayah blak-blakan mengatakan keburukan dari puterinya?" Yak-bwe tertawa.
Bik-hu memuja dan mencintai In-nio. Tapi tahu bahwa sucinya itu juga menyambut cintanya,
namun ia tetapi masih tak berani meminangnya. Bahwa saat itu ayah In-nio terang-terangan
mengijinkan perjodohan mereka, hampir saja Bik-hu tak dapat menguasai kegirangan hatinya.
Dengan tangan dan nada gemetar ia berkata: "Paman...."
"Hai, Pui suheng, mengapa kau juga limbung?" teriak Yak-bwe.
Bik-hu jatuhkan diri berlutut di hadapan Sip Hong: "Ayah mertua yang mulia, terimalah hormat
menantu. Memang dalam segala apa cici In-nio lebih pandai dari aku. Apa yang ayah katakan tadi,
sebaliknya adalah sifat-sifat kebaikannya. Aku seringkali mendapat nasihat darinya. Aku kuatir
akulah yang tak sembabat menjadi pasangannya."
Bik-hu seorang pemuda jujur. Apa yang hatinya memikir, mulutnyapun mengatakan. Khik-sia
masih dapat menguasai diri tapi Yak-bwe sudah tertawa terpingkal-pingkal: "Ho, jadi selain mau
mengambil isteri, kau juga memerlukan seorang guru" Selamat cici In kuucapkan padamu. Kau
boleh tak usah kuatir suamimu berani menghina padamu!"
Pun Sip Hong tertawa gelak-gelak, serunya: "Kalau begitu, kau suka menerimanya. In-nio, kau
bagaimana?"
Wajah In-nio makin membara. Ia tahu kalau ayahnya sengaja hendak menggodanya. Maka
iapun berlutut, serunya: "Terserah bagaimana keputusan ayah."
Kembali jenderal itu terbahak-bahak. Ia menarik In-nio dan Bik-hu ke dekatnya dan berkata:
"Bik-hu, kalian berdua sudah saling setuju. Kuserahkan In-nio kepadamu. Antarkanlah pulang
dulu menjumpai mamah mertuamu. Jika tak diijinkan, aku tetap akan minta cuti pulang ke
kampung untuk menyelesaikan pernikahanmu."
Lega sekali hati Sip Hong setelah menyelesaikant tugas kewajibannya sebagai seorang ayah.
Keresahan hatinya tentang peristiwa Se-kiat tadi, lenyap seketika.
"Akupun tak temaha pada pangkat dan kekayaan. Bik-hu, aku takkan memaksa jika kau
keberatan masuk tentara. Semasa muda akupun juga bercita-cita menjadi pendekar kelana. Kalian
setelah menikah, terserah akan menuntut penghidupan apa," kata jenderal itu kepada anak
menantunya. Bik-hu menghaturkan terima kasih.
Tengah mereka bicara, datanglah seorang petugas menghadap Sip Hong menerangkan bahwa
ada seorang kelana persilatan mohon hendak menghadap. Sip Hong perintahkan membawa orang
itu datang. Waktu petugas itu hendak mengundurkan diri
"Anak tentara yang terluka hamba tak tahu jumlahnya. Tapi opsir-opsir yang terluka hanya
belasan orang. Kelana itu hebat betul, setelah diberi obatnya opsir-opsir itupun tak menderita sakit
lagi. Kemudian orang itu membagi-bagikan obat pada seluruh perkemahan kita," jawab petugas itu.
Sip Hong segera suruh memanggil kelana itu. Khik-sia menanyakan siapa kelana itu. Dijawab
oleh Sip Hong kalau kelana itu sebenarnya hendak mencari Khik-sia. "Dia bukan lain ialah sahabat
dari mendiang ayahmu yaitu Toh Peh-ing," kata Sip Hong. Sudah tentu Khik-sia girang sekali.
"Tapi ada urusan apa ia mencari aku?" tanya Khik-sia.
"Meskipun aku kenal padanya, tapi status kita berlainan maka akupun tak leluasa menanyai.
Waktu hari ini aku menggempur Bo Se-kiat, dia (Toh Peh-ing) menyatakan kalau tak mau
membantu perang melainkan hendak merawat serdadu-serdadu yang terluka saja. Maka
kutempatkan ia di bagian perawatan. Dan dia memang banyak memberi bantuan dalam hal itu.
Selama dua hari ini ia sibuk meramu obat-obatan," Sip Hong menerangkan.
Khik-sia tahu keberatan Toh Peh-ing. Memang sebagai kaum loklim, Toh Peh-ing tentu segan
menumpas sesama kaum loklim. Khik-sia menduga kedatangan paman Toh itu tentu atas perintah
Thiat toakonya. Entah telah terjadi peristiwa apa saja dengan Thiat-mo-lek. Dalam pada itu Kimkiam-
ceng-long Toh Peh-ing pun datang seraya memberi salam terima kasih kepada Sip Hong.
"Ai, mengapa Toh tayhiap begitu merendah," Sip Hong tersipu-sipu membalas hormat.
"Terima kasih atas kemurahan hati ciangkun yang telah membuka jalan hidup hingga tak sampai
mengorbankan banyak jiwa," kata Peh -ing.
"Ah, itu Khik-sia yang mengusulkan, aku tak berani menerima pujian."
Setelah Khik-sia dan kawan-kawan memberi hormat kepada jago tua itu, berkatalah Peh-ing:
"Dari tindakan Bo Se-kiat yang tetap mengadakan perlawanan itu, rupanya ia tak menghiraukan
surat Thiat cecu dan rupanya kau telah menerima hinaan!"
"Jangankan menghiraukan, melihatpun ia tak sudi," kata Khik-sia yang lalu menuturkan
pengalamannya. Toh Peh-ing menghela napas, "Memang telah diduga kalau Bo Se-kiat tentu
menolak nasehat Thiat cecu, itulah sebabnya maka aku disuruh kemari mencarimu."
Atas pertanyaan Khik-sia, Toh Peh-ing menjelaskan: "Dengan menggabung pada Su Tiau-gi,
walaupun Bo Se-kiat dapat mengelabuhi Kay Thian-hau, Nyo Toa-ko-cu dan sementara saudarasaudara,
tapi banyak sekali cecu yang tak puas kepadanya. Kini dua orang lo-cianpwe dari
kalangan loklim yakni Thiat-pi-kim-to Tang Kiam-ho dan lo-cecu dari gunung Hok-gu-san
bermaksud hendak menghapuskan kedudukan Bo Se-kiat sebagai lok-lim-beng-cu."
"Apakah itu tak berarti harus mengadakan rapat besar kaum loklim lagi?" tanya Khik-sia.
'Ya, benar. Tang lo-cianpwe dan kawan-kawan menghendaki Thiat-mo-lek yang
menyelenggarakan rapat itu dan mengirim undangannya. Tempat rapat ditetapkan di Hiong-ki-goan
gunung Hok-gu-san. Soal ini hanya menunggu persetujuan Thiat-toako saja."
"Lalu bagaimana maksud Thiat-piauko?" tanya Khik-sia pula.
"Itulah maka ia suruh aku mencarimu kemari. Pertama untuk memperoleh kabar. Jika Bo Sekiat
mau menerima nasihat Thiat cecu, usul Tang lo-cianpwe dan kawan-kawan itu ditiadakan.
Thiat cecu sedia menghaturkan maaf kepada para cecu."
"Thiat piauko benar-benar murah hati kepada Bo Se-kiat. Sayang orang itu gelap pikirannya,"
kata Khik-sia. "Thiat cecu sudah menunaikan kewajibannya terhadap seorang sahabat. Tapi bukan berarti ia
memanjakannya. Ia sudah menduga klau Bo Se-kiat tentu keras kepala maka rapat kaum loklim
tetap dipersiapkan. Sekalipun nanti Se-kiat menyesal dan mengakui kesalahannya, ia harus
menyatakan di hadapan orang banyak, baru nanti boleh meneruskan memangku kedudukan
bengcu." "Bagus, itulah tepat. Tetapi menurut pandanganku, Se-kiat tak nanti mau mengakui
kesalahannya," kata Khik-sia.
"Itu urusannya sendiri. Rapat kaum loklim tetap akan diadakan. Dalam rangka itulah maka aku
disuruh memanggilmu pulang untuk membantu mempersiapkan rapat itu. Ia mengharap juga agar
suhengmu juga hadir nanti."
"Mengapa?" seru Khik-sia.
"Karena Thiat cecu sendiri enggan menjabat bengcu dan hendak menyerahkan kedudukan itu
kepada Gong-gong-ji."
"Toa-suheng itu biasa hidup bebas, takkan mau ia menerima kedudukan itu."
"Hal itu boleh kau rundingkan sendiri dengan piaukomu. Aku sendiripun mengharap kali ini
Thiat cecu jangan menolak lagi. Dia adalah harapan semua saudara."
Sebagai "jenderal pelepas gerombolan penjahat", Sip Hong merasa runyam. Ia girang Se-kiat
didepak keluar oleh kaum loklim, tapi ia cemas karena dengan diangkatnya Thiat-mo-lek menjadi
bengcu baru, kaum lok-lim tentu akan lebih kuat pengaruhnya. Ia sebenarnya masih setia kepada
kerajaan Tong, tapi ia merasa tiada kemampuan. Akhirnya ia ambil putusan untuk segera letakkan
jabatan dan kembali ke kampung halaman saja. Dengan begitu ia dapat terhindar dari segala
kesulitan di kemudian hari.
Keesokan harinya, Sip Hong kumpulkan pasukannya, setelah menggabungkan diri dengan
pasukan Li Kong-pik terus akan pulang ke kotaraja. Toh Peh-ing, Khik-sia, Pui Bik-hu dan In-nio
serta Yak-bwe juga bersama-sama pulangke selatan.
Dengan kuda pilihan, tengah hari mereka berlima tiba di sebuah kota. Walaupun masih
membawa bekal makanan, tapi karena perjalanan di padang rumput itu jarang bersua dengan
perumahan rakyat, maka mereka pun singgah juga kekota itu untuk menambah bekal ransum.
Tetapi ternyata kota itu sepi sekali. Hanya ada beberapa orang yang melongok dari jendela.
Begitu melihat rombongan Toh Peh-ing dan kawan-kawan, mereka lantas memukul genderang dan
berteriak-teriak: "Perampok datang lagi!"
Beberapa orang yang berada di jalanan, segera bersembunyi. Pintu rumah sama ditutup. Ada
yang bersembunyi di dalam rumah ada juga yang lari keluar tunggang langgang.
Peh-ing heran dan turun dari kudanya. Ada sebuah toko yang tak keburu menutup pintu
dimasuki Peh-ing. Pemiliknya seorang tua yang buru-buru berlutut dan meratap: "Harap tay-ong
berlaku murah. Kemarin tokoku sudah digeranyang. Memang tak punya barang apa-apa."
Toh Peh-ing menerangkan kalau dia bukan perampok. Sebaliknya pak tua itu malah gemetar:
"Kalau begitu tuan ini tentara negeri?"
"Bukan, kami adalah pelancong yang kebetulan lalu di sini dan hendak membeli makanan," kata
Peh-ing. Pemilik warung itu agak lega hatinya: "Kemarin pun banyak serdadu yang lalu di sini. Tapi
kami tak dapat membedakan mereka itu serdadu atau kawanan perampok. Yang nyata mereka itu
mengambil semua bahan makanan di sini. Ai, untung mereka hanya merampas itu saja."
Atas pertanyaan Peh-ing, pemilik toko itu menerangkan bahwa kalau perampok tentu merampas
bahan makanan tapi kalau tentara kerajaan tentu sering menganiaya orang.
"Sebenarnya kami memerlukan makanan tapi karena kalian sendiri menderita, terpaksa kami
pun tak berani mengganggu lagi," akhirnya Peh-ing ajak rombongannya meneruskan perjalanan.
"Tentu anak buah Se-kiat yang berbuat sehina itu, membikin malu nama kaum loklim," Khik-sia
menggerutu. "Tak dapat dipersalahkan. Habis kalau tak ada pimpinan perut kosong tentu sukar dikendalikan
lagi. Mereka hanya merampas makanan, itu sudah cukup baik," kata In-nio.
Peh-ing merenung beberapa saat, katanya: "Saudara-saudara yang kalah perang itu harus
dipikirkan penempatannya. Kalau tidak, tentu merupakan bahaya bagi rakyat. Dan kalau mereka
terpencar tentu mudah dibasmi tentara negeri."
Kira-kira seperjalanan empat lima puluh li, mereka kesamplotan dengan sejumlah tiga empat
ratus rombongan laskar yang kalah perang. Ternyata mereka kenal pada Toh peh-ing dan Khik-sia.
Begitu Peh-ing turun dari kuda, orang-orang itupun segera mengerumuninya. Peh-ing menanyakan
keterangan pada sementara thaubak yang dikenalnya. Ternyata apa yang diduga memang benar.
Se-kiat sudah kehilangan kepercayaan dari orang-orang loklim yang turut dalam gerakannya.
Sebagian besar orang-orang itu sudah benci pada Se-kiat. Mereka tak mau mendengar perintahnya
lagi. Kuatir kalau terbit pemberontakan, Se-kiat tak berani berjalan bersama mereka. Ia bersama
sejumlah kecil orang kepercayaannya larikan kudanya lebih dahulu.
"Mana Kay Thian-hau?" tanya Peh-ing.
Thaubak itu menghela napas: "Dia tak mau berpisah dengan Se-kiat. Sebenarnya kami tak anti
pada Kay Thian-hau, bahkan hendak mengangkatnya sebagai pemimpin kami. Tanpa pemimpin,
kami bertindak sendiri-sendiri, sukar mencari makanan dan takut dikejar tentara negeri. Perjalanan
ke Tiong-goan terpisah jarak ribuan li. Kami kehilangan daya dan putus asa."
Peh-ing memberi peringatan: "Merampas makanan, tak kutentang. Tetapi harus melindungi
jiwa rakyat. Rakyat yang miskin tak boleh dirampas makanannya. Kira-kira seratusan li dari sini
adalah kota Leng-bu, gudang ransum dari kerajaan. Kita boleh mengambilnya, mungkin masih ada
kelebihan untuk dibagikan kepada rakyat yang menderita."
"Merampas dari yang kaya untuk menolong pada yang miskin, kita cukup mengerti. Tapi
dikarenakan tiada pemimpin, kawan-kawan kita sering kehilangan disiplin, merampas yang dapat
dirampas. Merampas yang kaya saja sukar apa lagi menggempur gudang pemerintah. Toh thocu
dan Toan siauhiap, kuminta kalian suka memimpin kami," sahut thaubak itu.
Setelah berpikir sejenak, Khik-sia meminta Toh Peh-ing tinggal untuk memimpin mereka,
sementara ia hendak melaporkan itu kepada Thiat-mo-lek supaya segera mengirim orang
menyambut. "Bagus, setuju. Toh thocu, kau tentu menjadi pemimpin yang hebat," terdengar rombongan
kaum loklim itu berseru girang. Karena tak sampai hati melihat sesama kaum loklim sampai
terlantar, mau juga Peh-ing menerimanya. Segera ia suruh beberapa laskar berkuda untuk mencari
kontak dengan sisa-sisa rombongan kawannya yang tercerai berai. Setelah dapat mengumpulkan
mereka, Toh Peh-ing segera akan mengajaknya pulang ke selatan.
Sedang Khik-sia dan Bik-hu berempat segera teruskan perjalanan. Di sepanjang jalan mereka
berpapasan dengan banyak kelompok laskar loklim. Kepada mereka, Khik-sia memberitahukan
tentang penggabungan Toh Peh-ing. Mereka supaya tetap tinggal di masing-masing pos nanti akan
disampir oleh Toh Peh-ing. Khik-sia berempat pun mengunjungi daerah orang Han, tetapi tak
berjumpa dengan rombongan Se-kiat.
Kuda mereka pesat sekali. Tak sampai sepuluh hari, tibalah sudah mereka di tapal batas Holam.
Kalau ke timur menuju ke Gui-pok, kalau ke barat sampai ke gunung Hok-gu-san. Mereka pecah
jadi dua rombongan. In-nio dengan diantar Bik-hu hendak pulang ke Gui-pok. Khik-sia dan Yakbwe
hendak ke Hok-gu-san.
Yak-bwe berat sekali berpisah dengan In-nio. Ia mengantar sampai jauh sekali. Akhirnya Innio
menyuruh mereka balik dengan menjanjikan setelah menjenguk ibu nanti sepuluh hari lagi ia
juga akan ke Hok-gu-san. Ia berniat ajak Bik-hu menyaksikan rapat besar kaum gagah atau Enghiong-
tay-hwe. Demikian kedua pasangan anak muda itu saling berpisah. Pada hari itu Khik-sia dan Yak-bwe
tiba di Sin-yap, sebuah dusun yang berada di daerah kaki gunung Hok-gu-san. Luas pegunungan
Hok-gu-san yang ribuan li itu, harus ditempuh paling tidak tiga hari. Karena tak terburu-buru,
mereka naik kuda pelahan-lahan sambil menikmati pemandangan alam yang permai.
Di tepi jalan terdapat sebuah warung minum. Membelakangi gunung, menghadap sungai.
Sungguh indah sekali letaknya. Khik-sia ajak masuk untuk minum. Yak-bwe girang sekali. Kuda
ditambatkan dan masuklah mereka ke dalam warung itu. Di dalam warung tiada tampak lain tetamu
lagi. Khik-sia memesan dua kati arak dan beberapa sayuran. Selagi menikmati hidangan, tiba-tiba
matanya tertumbuk akan sebuah pemandangan yang mengejutkan.
Pada pilar batu terdapat sebuah bekas tapak tangan yang masuk sampai 3 inci dalamnya.
Anehnya telapak tangan itu kecil sekali, tak mirip dengan telapak tangan orang dewasa. "Hebat
benar lwekang orang itu tapi masakan seorang anak kecil?" pikir Khik-sia.
Rupanya Yak-bwe melihat juga, katanya dengan bisik-bisik: "Tokoh persilatan sakti tentu tak
mau sembarangan mengunjukkan kepandaiannya di tempat sesunyi ini jika tiada maksudnya. Tentu
ada ceritanya yang menarik!"
"Ah, tak perlu kita main tebak. Panggil pemilik warung tentu kita akan mendapat keterangan,"
Khik-sia tertawa.
Pengurus warung yang mendengar pembicaraan mereka, tanpa dipanggil, sudah menghampiri
datang: "Tuan tentu heran dengan telapak tangan di pilar batu itu, bukan?"
"Ya, memang. Bagaimana ceritanya?" tanya Khik-sia.
"Memang banyak sudah pengunjung yang heran dengan hal itu. He,he, bukankah tuan hendak
tambah pesan hidangan lagi?" tanya tukang warung itu.
Yak-bwe mengiakan tetapi ia minta sepinggan buah-buahan segar. Ia memberi uang,
kelebihannya boleh diambil pengurus warung itu. Dengan girang pengurus warung itu menerima
uang perak Yak-bwe kemudian ia mulai bercerita.
"Coba terka siapakah yang melekatkan telapak tangannya itu?" ia memulai dengan sebuah
pertanyaan. "Jika dapat menerka, tak perlu kusuruh kau bercerita lagi," Yak-bwe menyahut ketawa.
"Kalau kukatakan tentu tak dipercaya orang. Telapak tangan ini adalah dari seorang wanita!"
Mendengar itu khik-sia dan Yak-bwe tersentak kaget. Khik-sia menduga jangan-jangan
kepunyaan Biau Hui sin-ni atau Shin Ci-koh.
"Masih muda sekali wanita itu, cantik sekali serupa dengan nona ini," pelayan itu menunjuk
Yak-bwe. Yak-bwe tertawa dan menyuruhnya lekas-lekas menuturkan.
Khik-sia tak percaya kalau Su Tiau-ing yang melakukan. Karena teranga kepandaian orang itu
jauh melebihi dirinya (Khik-sia) sendiri.
"Baik, aku segera berceritalah. Peristiwanya baru saja terjadi kemarin ketika seorang pemuda
yang gagah usianya sebaya dengan tuan. Mengenakan mantel kulit rusa dan sepertinya menyelip
pedang di pinggang."
Yak-bwe merasa sebal dan hendak menyuruhnya bercerita ringkas, tapi karena tadi sudah
terlanjurnya suruh dia bercerita yang jelas, terpaksa dibiarkan saja. Sedang Khik-sia pun mendesak
supaya orang itu meneruskan ceritanya.
"Kemudian datanglah seorang gadis. Belum sempat kutanya mau pesan apa, nona itu sudah
menghampiri kemuka pemuda tadi dan melengking: "Hai, orang she Coh, apa masih kenal
padaku?" - Nona itu garang benar. Belum si pemuda sempat menyahut, nona itu sudah
memukulnya!" kata pengurus warung pula.
"Hai, orang she Coh" Dia kena terpukul atau tidak?" seru Khik-sia.
"Tidak, pemuda she Coh itu rupanya bisa ilmu sihir. Entah bagaimana tahu-tahu ia 'terbang'
bersama kursinya dan melayang jatuh di muka pilar ini. Tangannya masih mencekal sebuah cawan,
arak di dalamnya setetespun tak ada yang tumpah."
Sebagai seorang ahli silat tahulah Khik-sia kalau pemuda itu meminjam tenaga pukulan orang
untuk pindah tempat. Sudah tentu tak lupa pemuda itu menyalurkan lwekangnya untuk melindungi
diri dari pukulan si nona.


Tusuk Kondai Pusaka Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kalau begitu kepandaian pemuda she Coh itu tak di bawah si nona. Tapi mengapa ia tak mau
balas memukul?" tanya Yak-bwe.
"Dia balas juga tapi bukan dengan pukulan melainkan dengan menghaturkan arak," kata si
tukang warung. "Oh, jadi mereka sudah kenal?" tanya Yak-bwe.
"Entahlah. Tetapi pemuda itu benar-benar menghaturkan arak pada si nona seraya berseru :
'Aku tak pernah menyalahi nona, mengapa nona mendesak aku begini rupa" Tentu salah paham.
Silahkan nona minum secawan arak dulu agar kemarahan nona reda, kemudian baru bicara.' - Dan
habis berkata, cawan pemuda itu terbang melayang ke arah si nona. Setitikpun araknya tak
menetes." Yak-bwe memuji sikap si pemuda yang cukup sabar.
"Nona itu tak mau menerima suguhan arak. Dan terjadilah hal yang ajaib. Cawan arak itu
berhenti di hadapan si nona, begitu mulut si nona meniup, cawan itu terbang melalui kepala si nona
dan prak ... pecahlah cawan itu, araknya menumpah tepat di atas kepalaku. Celaka, arak itu panas
sehingga kepala dan mukaku kicat-kicat kepanasan."
"Semangatku serasa terbang," kata pengurus warung itu pula, "aku termangu-mangu seperti
patung. Pada saat itu kedengaran si nona memaki : 'Apanya yang salah paham" Karena kau ini
putera pertama dari keluarga Coh di Ceng-ciu, otomatis menjadi musuhku. Hm, apakah kau masih
berani mengolok-olok aku"' - wut, brak .... kursi tempat duduk pemuda itu pecah berantakan.
Tetapi si pemuda sudah lebih dulu loncat menyingkir. Selembar rambutnya pun tak ada yang
rontok." Diam-diam Khik-sia membatin ilmu ginkang pemuda itu tak di bawah dia.
"Selagi aku terlongong-longong, nona itu sudah menyerbu si pemuda," kata pengurus warung.
"Ho, kali ini mereka tentu bertempur sungguh," rupanya Yak-bwe tertarik hatinya.
"Nona itu galak benar tetapi si pemuda tetap tak mau membalas. Ia berputar-putar di belakang
pilar batu. Serangan si nona makin gencar. Tiba-tiba terdengar suara tamparan dahsyat. Ternyata si
nona telah menghantam pilar ini dan meninggalkan bekas telapak tangannya."
"Lalu bagaimana?" tanya Yak-bwe.
"Kemudian, heh, lalu bubar," jawab si pengurus warung.
"Lho, mengapa bubar?" Yak-bwe heran.
"Setelah memukul pilar batu, rupanya tangan nona itu kesakitan. Ia terlongong-longong.
Kesempatan itu digunakan si pemuda untuk menyelinap pergi. Sesaat kemudian baru si nona
mengejar. Karena mereka pergi, bukankah cerita ini sudah bubar" Bubarnya cerita juga amblasnya
bayaran arakku."
"Bayaran arak apa?" tanya Yak-bwe.
"Pemuda itu meminum tiga ratus kati arak, makan seekor ayam panggang dan dua kati dendeng
sapi. Dia tak seperti tuan yang membayar uang lebih dulu. Dan nona itupun menghancurkan
sebuah kursiku. Bukankah aku harus menggigit jari atas kerugian itu?"
Yak-bwe tak sudi mengganti kerugian itu karena tak puas dengan cerita si pengurus warung
yang tak berujung pangkal itu. Sebaliknya Khik-sia merasa kasihan dan memberinya sekeping
perak selaku ganti kerugian. Si pengurus warung pura-pura menolak tapi Khik-sia mendesaknya
supaya menerima karena ia hendak bertanya lagi.
"Bukankah pada alis pemuda itu terdapat sebuah tahi lalat yang menonjol?" tanyanya.
Pengurus warung arak terkesiap, serunya: "Benar, mengapa kau tahu" Apakah sahabatmu?"
Jodoh Si Mata Keranjang 4 Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Pendekar Pengejar Nyawa 12
^