Pencarian

Tusuk Kondai Pusaka 17

Tusuk Kondai Pusaka Karya S D. Liong Bagian 17


"Aku kenal padanya. Maka akulah yang mengganti kerugianmu," kata Khik-sia. Kemudian ia
berbangkit dan memeriksa bekas telapak tangan yang terdapat pada pilar.
Mendengar pembicaraan Khik-sia, samar-samar Yak-bwe dapat menerka juga. Tapi karena
sudah ditanyai Khik-sia, ia pun tak leluasa mencari keterangan lagi.
"Ini tenaga pukulan istimewa. Aneh, partai Siau-lim-si tak pernah menerima seorang murid
wanita, mengapa nona itu dapat memiliki pukulan lwekang kaum agama" Tetapi kepandaiannya
masih belum sempurna betul. Lihatlah, pangkal tangannya melekat ke dalam tapi bagian jarinya
hanya masuk sedikit. Sekalipun begitu, tak mudah mencari seorang wanita yang berkepandaian
sedemikian hebatnya," kata Khik-sia.
Mendengar Khik-sia dapat menilai kepandaian si nona, diam-diam pengurus warung itu terkejut
dan berubah wajahnya. "Kalau begitu, kepandaian tuan ini tak kalah dengan si nona lihay itu.
Kukira dia seorang anak pembesar, siapa tahu seorang jagoan, huh, jangan-jangan bangsa
perampok."
Tengah Khik-sia memeriksa bekas telapak tangan itu, sekonyong-konyong dua ekor kudanya
yang ditambatkan pada sebatang pohon di luar, meringkik keras. Khik-sia cepat berpaling dan
terkejutlah ia. Ternyata ada dua orang lelaki sedang memotong tali kendali kudanya.
"Kurang ajar! Penjahat yang bernyali besar!" makinya seraya menampar meja. Dengan
meminjam gerakan itu, tubuhnya melesat keluar. Tapi sudah terlambat. Kedua orang itu sudah
menceplak kuda. Salah seorang ayunkan tangannya. Sebuah benda berkilap melayang ke arah
meja kasar. Kiranya sekeping perak.
"Kemarin nona kami merusakkan perkakas warungmu. Perak itu pemberian nona untuk
mengganti kerugian!" teriak orang itu.
Sementara kawannya yang seorang tertawa berseru: "Budak kecil semacam kau tak pantas naik
kuda sebagus ini. Kamipun tak mau menggasak kudamu mentah-mentah. Nih, kepingan perak ini
selaku uang pembeli kudamu!" - Ia pun melemparkan sekeping perak kepada Khik-sia.
"Kurang ajar! Siapa sudi uangmu?" bentak Khik-sia. Sekali kebutkan lengan bajunya,
kepingan perak itu berputar-putar melayang kembali kepada pengirimnya. Ketika menyanggapi,
tangan orang itu terasa kesakitan. Kejutnya bukan kepalang. Cepat ia keprak kudanya lari.
Kedua ekor kuda itu sudah terlatih. Mereka sudah kenal akan tuannya, siapapun tak dapat
menaikinya. Tetapi entah bagaimana, rupanya kedua orang itu mempunyai ilmu istimewa sehingga
kedua kuda itu menurut saja.
Khik-sia gusar sekali. Ia gunakan pat-paoh-kam-sian untuk mengejar. Ketika berpaling bukan
kepalang kaget kedua orang itu demi dilihatnya Khik-sia mengejar sedemikian rapatnya, hanya
terpisah beberapa tombak di belakang.
"Budak kecil, karena kau emoh uang, baiklah kuberi thi-lian-cu saja!" kedua orang itu ayunkan
tangannya. Dua belas batang senjata rahasia thi-lian-cu melayang ke arah Khik-sia.
Ilmu menimpuk mereka cukup lihay. Tapi karena yang ditimpuk seorang ahli silat macam
Khik-sia, maka hasilnya pun malah runyam. "Kukembalikan kirimanmu!" sekali Khik-sia
lontarkan pukulan Biat-gong-ciang, kedua belas thi-lian-cu itupun melayang kembali kepada
pemiliknya. Tapi tak dapat mengenai karena kuda yang membawa mereka itu luar biasa cepatnya.
Ilmu ginkang pat-poh-kam-sian Khik-sia itu dalam jarak beberapa li memang ampuh sekali.
Jika bukan kuda istimewa pemberian dari Cin Siang, tentu tadi-tadi sudah terkejar. Apalagi tadi
Khik-sia harus kendorkan langkah karena menangkis serangan senjata tajam. Beberapa detik
kehentian itu cukup memisahkan jarak mereka jauh sekali. Dan dalam beberapa kejap pula, kedua
kuda itu pun sudah tak kelihatan bayangannya lagi. Terpaksa Khik-sia kendorkan larinya. Dalam
pada itu tampak Yak-bwe berlarian mendatangi dengan napas terengah-engah.
Khik-sia tertawa masam: "Karena tak berhasil mengejar, lebih baik kita berjalan pelahan-lahan
saja." "Keparat sekali manusia itu! Khik-sia, biar bagaimana juga kau harus berusaha merebut
kembali kuda itu. Kuda itu pemberian Cin Siang, kalau sampai kena dicuri orang, bagaimana kita
ada muka untuk bertemu dengan Cin Siang nanti?" Yak-bwe bersungut-sungut jengkel sekali.
"Pulangkan napasmu dulu. Biar si setan hilang, sarangnya tentu kedapatan. Asal sudah
mengetahui sarangnya, masakan setan-setan itu dapat lari," Khik-sia menghiburi tunangannya.
"Ya, ya, kita harus membikin perhitungan dengan majikan mereka. Bukankah mereka tadi
sudah memperkenalkan diri sebagai orangnya si nona yang meninggalkan bekas telapak tangannya
di pilar batu?"
"Siapa nona itu, kita tak kenal sama sekali. Kita perlu cari seorang dulu untuk mencari
keterangan," ujar Khik-sia.
"Eh, apakah pemuda she Coh itu bukan Coh Ping-gwan?" tanya Yak-bwe.
Khik-sia mengiakan. Yak-bwe menanyakan bagaimana hubungan Khik-sia dengan pemuda itu
dan bagaimana pula riwayatnya.
"Perkenalanku dengannya terjadi ketika di dalam Eng-hiong-tay-hwe yang diadakan Cin Siang.
Setelah itu tak pernah berjumpa lagi. Tapi sekalipun baru berkenalan tapi bukan kenalan biasa.
Seperti Thiat-toako, Coh Ping-gwan itu juga dicap sebagai pemberontak. Kurasa dia juga seorang
sahabat yang menjunjung keadilan. Sayang aku tak jelas dengan dirinya," sahut Khik-sia.
Memang pada waktu diumumkan nama-nama dari 10 tokoh pemberontak, Coh Ping-gwan
termasuk daftar yang terakhir. Tetapi dia masih asing di kalangan loklim, maka orang pun tak tahu
perbuatannya yang dianggap memberontak itu. Baru setelah orang she Coh itu bertemu dengan
Shin Ci-koh dan Gong-gong-ji, tahulah Khik-sia kalau pemuda itu sudah kenal pada suhengnya.
Bahkan ternyata pedang Kim-ceng-toan-kiam yang biasa dipakai Ceng-ceng-ji itu ternyata milik
Coh Ping-gwan. Tapi pengertian Khik-sia pun hanya terbatas sampai di situ saja. Bagaimana
tentang pribadi dan gerak-gerik Coh Ping-gwan, sama sekali ia tak mengetahui.
"Kalau begitu baik kita bantu pada Coh Ping-gwan saja, untuk memberantas pencuri wanita itu.
Tapi entah dimana kita dapat menjumpai orang she Coh itu?" kata Yak-bwe.
"Kalau dia muncul di sini terang kalau hendak hadir dalam pertemuan di Hok-gu-san. Baik kita
langsung menuju ke Hok-gu-san saja. Setelah mejumpai Thiat piauko baru kita berunding lagi.
Taruh kata orang she Coh itu tak datang ke Hok-gu-san, pun kita dapat menanyakan keterangan
pada orang-orang gagah yang hadir dalam pertemuan itu," kata Khik-sia.
Yak-bwe setuju. Mereka menuju ke Hok-gu-san. Tapi baru berjalan tak berapa lama tiba-tiba
Yak-bwe berseru: "Khik-sia, kau lebih banyak pengalaman dari aku, apakah kau dapat meneliti?"
"Meneliti apa?"
"Bahwa kedua pencuri kuda itu agaknya bukan suku Han."
"Bagaimana kau tahu?" tanya Khik-sia.
"Sekarang kan sudah permulaan musim panas, mengapa mereka berdua masih mengenakan
kopiah bulu. Ini bukan cara suku Han yang tinggal di sini. Kulihat kalau bukan suku Oh, mereka
tentu orang dari Se-gwa (luar perbatasan)," kata Yak-bwe.
Memang integrasi antara suku Oh dan Han di daerah situ sudah sedemikian rupa hingga sukar
untuk membedakan. Tapi dalam adat kebiasaan, masing-masing masih memegang teguh
kebudayaannya sendiri.
Khik-sia memuji luasnya pengalaman sang calon isteri. "Memang aku juga melihat suatu
kecurigaan ...." katanya.
Yak-bwe girang dipuji tunangannya. Sengaja ia hendak mempamerkan kecerdikannya, ujarnya:
"Eh, jangan kau katakan dulu, biar aku yang menguraikan pendapatku. Coba saja apakah
pandangan kita berdua ini bersamaan?"
Khik-sia mengiakan.
"Kedua pencuri kuda itu mahir sekali naik kuda. Gerak-geriknya kasar. Dua ciri ini cukup
mengunjukkan bahwa mereka itu tentu suku Oh yang menuntut penghidupan sebagai
penggembala."
Khik-sia tertawa: "Benar, akupun berpendapat demikian. Hanya sayang kau bukan seorang pria
...." "Apa?" Yak-bwe terbeliak kaget.
Khik-sia tertawa: "Jika kau seorang pria, baru boleh mengatakan kata-kata 'pandangan sesama
enghiong itu tentu bersamaan'."
"Oh, jadi kau hendak mengolok-olok aku" Tapi kau sendiri menganggap sebagai enghiong,
apakah tak malu?" Yak-bwe bersungut-sungut.
Khik-sia menyabarkan sang tunangan, toh hanya sekedar kelakar saja, perlu apa marah-marah.
Begitulah mereka melanjutkan perjalanan lagi sembari bercakap-cakap.
"Jika kedua pencuri itu benar orang Oh, urusan menjadi runyam. Entah apa hubungan Coh
Ping-gwan dengan nona itu. Tapi jika bertemu dengan nona itu, jangan turun tangan dulu. Kita
harus menyelidiki asal-usulnya," Khik-sia mengutarakan pikirannya. Yak-bwe dapat menerimanya.
Pada petang hari, mereka sudah memasuki daerah gunung. Khik-sia mengusulkan, karena
perjalanan selanjutnya sukar terdapat rumah penduduk, mengingat hari sudah gelap dan letih
berjalan, lebih baik mencari sebuah goa untuk beristirahat. Yak-bwe setuju malah ia lantas
keluarkan ilmu ginkang istimewa yang kemarin lusa baru saja dipelajarinya dari Khik-sia. Khik-sia
banyak memberi petunjuk yang berharga.
Malam itu tak berbintang. Tapi berkat ginkang dan sepasang matanya yang dapat melihat terang
di waktu malam, Khik-sia berlari di muka untuk mencari jalan. Yak-bwe amat gembira dan tak
terasa tibalah mereka di sebuah puncak yang gelap.
"Sudah letih?" tanya Khik-sia. Sebenarnya ginkang itu tak perlu menggunakan tenaga banyak.
Yak-bwe menyahut belum lelah dan mengajak terus berlari saja sampai terang tanah.
Tiba-tiba Khik-sia melihat di atas puncak seperti ada bayangan bergerak. Ia terkejut dan
membisiki Yak-bwe: "Awas, di sebelah muka ada orang, biar kutinjaunya dulu." - Ia gunakan
ginkang tinggi menyusup ke dalam hutan.
Sekonyong-konyong dua sosok tubuh loncat keluar dari semak rumput. Salah seorang
mengucapkan beberapapatah perkataan yang tak dimengerti Khik-sia. Malam gelap sehingga tak
dapat melihat wajah mereka. Hanya dari kopiah kulit yang dipakainya itu Khik-sia menduga tentu
orang suku Oh. Karena Khik-sia tak menyahut, kedua orang itu sabatkan dua batang belati yang berkilau-kilau
matanya. Waktu Khik-sia tak dapat menyahut teguran mereka yang diucapkan dengan bahasa
daerah, kedua orang itu segera memastikan bahwa Khik-sia bukan kawan mereka.
Setangkas-tangkasnya mereka menimpuk, masih tak memadai kepandaian Khik-sia. Sekali
berkelit, dua batang belati itu melayang lewat sisinya dan jatuh di tempat kosong. Khik-sia pun
lantas maju mendekat, berdiri di tengah mereka dan mementang sepasang tangannya. Dalam
kegelapan malam, mudah sekali Khik-sia meringkus mereka. Karena hendak menanyai keterangan
maka Khik-sia tak mau menutuk jalan darah mereka.
Tapi dia lupa bahwa kedua orang itu tidak hanya sendiri. Padahal mereka membawa banyak
kawan yang bersembunyi. Baru hendak menanyai kedua orang itupun sudah bersuit keras. Secepat
itu jauga dari atas gunung terdengar suara gemuruh dan munculnya beratus-ratus pelita. Kiranya
mereka memang bersembunyi di atas gunung. Jumlahnya berpuluh-puluh orang. Waktu
bersembunyi itu, pelita-pelita teng mereka diselubungi dengan kain hitam.
Untung kedua orang yang diringkus Khik-sia itu termasuk penyuluh atau ceculuk yang memberi
warta. Jaraknya dengan rombongan kawan-kawannya masih berpuluh-puluh tombak. Jadi mereka
masih belum mengetahui Khik-sia. Cepat-cepat Khik-sia menutuk jalan darah kedua orang itu.
"Mana" Dimana?" tepat pada saat itu terdengar mereka berseru dengan berisik sekali.
"Apakah bangsat she Coh itu lagi?" - "Hai, mengapa suitan berhenti" Oh, celaka, kedua kawan
kita tentu dicelakai bangsat itu!"
Dalam kehirukan itu tiba-tiba terdengar bentakan seorang wanita: "Jangan ribut saja, lekas
cari!" Khik-sia terkesiap, pikirnya: "Wanita itu tentu pemimpin mereka." - Baru ia hendak unjukkan
diri, tiba-tiba terdengar suara suitan nyaring dan seruan orang: "Benar, memang aku Coh Ping-gwan
yang datang! Heh, heh, tanpa memasang barisan pendam akupun tetap datang. Aku hendak
bertanya, mengapa nona selalu hendak membikin susah padaku?"
Suara itu datangnya dari arah lain. Dan perhatian rombongan orang-orang itu segera beralih ke
sana. Saat itu Yak-bwe sudah tiba di dekat Khik-sia dan dengan berbisik-bisik menanyakan
keterangan. Khik-sia memperingatkan jangan bergerak dulu tapi tunggu saja nanti. Habis berkata,
ia lantas menggandeng tangan sang tunangan untuk dibawa loncat ke atas pohon tinggi. Dari situ
dapat melihat jelas apa yang terjadi di sebelah bawah.
Di atas sebuah batu karang, tampak seorang suku Han loncat turun. Batu karang itu tak kurang
dari belasan tombak tingginya. Gerakan melayang turun dari pemuda itu indah sekali. Ya, memang
dia adalah Coh Ping-gwan. Diam-diam Khik-sia memuji ginkang orang she Coh itu. Pun
rombongan orang-orang itu terkejut, sampai terlongong-longong melihat kepandaian Coh Pinggwan.
Diam-diam nona pemimpin rombongan itu menghela napas: "Seorang pemuda yang cakap dan
gagah, ilmu kepandaiannya jarang terdapat di dunia persilatan. Sayang dia itu anak dari musuhku."
Begitu ujung kaki Coh Ping-gwan baru menyentuh bumi, dua orang rombongan suku Oh itu
sudah menyerang. Yang satu dari kanan, yang satu dari kiri. Kedua penyerang itu bertubuh tinggi
besar. Masing-masing mencekal thiat-jui (martil besi).
Dalam situasi yang berbahaya itu, Coh Ping-gwan keluarkan kepandaiannya istimewa. Dia tak
mau menghindar melainkan kebutkan lengan bajunya dengan gerak Su-chi-hwat-cian-kim atau
empat tail tenaga mengeluarkan seribu kati. Bum, kedua martil penyerangnya saling berhantam
sendiri. Sementara Coh Ping-gwan menerobos keluar dari tengah-tengah sela kedua penyerangnya.
Tenaga kedua penyerang itu besar sekali. Oleh karenanya besar juga goncangan yang diderita
akibat benturan martil itu. Suaranya melengking tajam sekali sampai memekakkan telinga. Pada
lain saat kedua orang itupun menjerit keras, kedua martilnya mencelat ke udara.
Coh Ping-gwan melangkah kemuka dengan lenggangnya. Ia tertawa nyaring: "Aku toh belum
selesai bicara dengan nonamu, mengapa kalian buru-buru hendak menyerang aku?"
Coh Ping-gwan menghampiri ke muka si nona. Tiada seorang pun yang berani menghadang.
Mereka terlongong oleh sikap dan nada seruan Coh Ping-gwan yang sedemikian berwibawa.
Diam-diam tergerak hati nona itu, pikirnya: "Di dalam menghadapi bahaya apa saja, dia selalu
tenang, seperti semasa kecilnya. Tadi waktu kedua saudara Wi menghantamnya dengan martil,
hatiku terkejut sekali. Eh, bukankah aku hendak membalas sakit hati padanya" Mengapa aku
merasa sayang" Tidak, aku harus keraskan hatiku!"
Tenang-tenang Coh Ping-gwan memberi hormat kepada si nona: "Kupikir aku tak pernah
kesalahan pada nona, mengapa nona selalu hendak maukan jiwaku saja" Sudilah nona
menerangkan agar bila aku mati tidak berada dalam kegelapan?"
Nona itu menggigit bibir, katanya dengan dingin: "Coh Ping-gwa, tidakkah kau kenal padaku?"
- Sudah dua kali ia berkata demikian pada Coh Ping-gwan.
Coh Ping-gwan heran dan melirik tajam pada si nona. Ah, samar-samar sudah pernah melihat,
tapi lupa ia. Akhirnya berkatalah ia: "Maaf, ingatanku memang jelek."
Wajah si nona bertebar merah ketika dipandang si pemuda. Tiba-tiba ia berganti nada kekanakkanakan:
"Aku tak mau kau tukari dengan giok. Kedua mustika ini kuberikan padamu. Lihatlah,
mutiara ini mempunyai tujuh warna, indah tidak" Tetapi di dalam rumahku, benda ini tak
berharga."
Sekalian orang yang berada di sekitar situ (termasuk Khik-sia yang bersembunyi di atas pohon0,
tak mengerti apa arti ucapan si nona itu. Dan nona itu tak memegang giok atau suatu mutiara.
"Ha, kau si Ni kecil?" tiba-tiba Coh Ping-gwan berteriak kaget.
"Ya, sekarang sudah teringat atau belum?" si nona mengangguk.
Peristiwa itu terjadi pada 15 tahun yang lalu. Ketika itu ayah Coh Ping-gwan yaitu Coh Thongkok
menjadi To-liat-su (wakil) dari gubernur Anse yang berkedudukan di Sutho, sebuah negeri kecil
di wilayah Segak (Tibet). Kala itu Coh Ping-gwan baru berumur 10-an tahun lebih. Dia ikut
ayahnya ke Sutho.
Di negeri Sutho ada seorang raja Yu-hian-ong yang merangkap menjadi panglima perang. Dia
bernama U-bun Hu-wi, mempunyai seorang anak perempuan yang bernama Hong-ni. Umurnya
lebih muda dari Coh Ping-gwan, baru 5-6 tahun. Sutho termasuk wilayah kekuasaan kerajaan Tong.
Dengan menjabat sebagai To-liat-su, berarti Coh Thong-kok itu yang dipertuan di negeri Sutho.
Sering harus berhubungan dengan U-bun Hu-wi.
U-bun Hong-ni mungil dan lincah. Coh Ping-gwan menganggapnya sebagai adik sendiri, acap
kali mengajaknya bermain-main. Sutho banyak menghasilkan batu permata. Tetapi kulit kerang
hanya terdapat di tepi laut. Hong-ni belum pernah melihatnya. Mendengar cerita Coh Ping-gwan
betapa indah kulit kerang itu, Hong-ni mau menukarkan permatanya dengan kulit kerang. Tetapi
Coh Ping-gwan tak mau menerima permata dan hanya memberikan kulit kerang secara cuma-cuma
kepada Hong-ni untuk dibuat main-main. Ucapan si nona tadi, adalah menirukan kata Coh Pinggwan
ketika dahulu bicara dengan Hong-ni.
Coh Ping-gwan hanya tinggal satu tahun di Sutho, kemudian pergi dan tak pernah berjumpa lagi
dengan Hong-ni. Jika Hong-ni tak mengungkat kejadian di waktu kecil itu, tentu dia tak teringat
lagi akan nona cantik yang dihadapinya itu.
Dengan menggigit bibir, Hong-ni berkata pula: "Sekarang sudah jelas, belum?"
"Jelas apa" Di waktu kecil akupun tak pernah menghina padamu. Malah aku pernah memberi
dua buah kulit kerang padamu."
U-bun Hong-ni menyahut tawar: "Siapa yang ingin bergurau padamu" Jawablah, mana
ayahmu?" "Sudah meninggal pada 10 tahun yang lalu."
"Tepat, ayahmu sudah meninggal, siapa yang harus kucari kalau bukan kau" Bukankah ada
pepatah mengatakan: hutang ayah, anak yang bayar" Hari ini aku hendak menagih hutang ayahmu
pada kau!"
Coh Ping-gwan terkesiap, ujarnya: "Apa artinya ini?"
Nada Hong-ni berubah tajam: "Masih belum jelas" Coba ingat-ingatlah, bagaimana kalian
tinggalkan Sutho?"
Peristiwa 15 tahun yang lampau, terbayang lagi. Kala itu malam yang tak berbintang tak
berembulan. Tiba-tiba ayah Hong-ni U-bun Hu-wi membawa pasukan menyerang gedung
kediaman ayah Coh Ping-gwan. Dalam pertempuran malam yang gelap itu, Coh Ping-gwan dan
ayahnya beruntung dapat meloloskan diri. Ketika terang tanah dan memcacahkan pasukannya, dari
tiga ribu serdadu Tong, hanya tinggal beberapa puluh saja. Kemudian baru diketahui kalau
pemberontakan itu digerakkan oleh tentara pendudukan Hwe-ki yang berada di Sutho. Pengaruh
Hwe-ki makin luas menimbulkan clash dengan tentara Tong. Adalah suku Hwe-ki ini yang
menghasut negara-negara di Segak untuk memberontak pada kerajaan Tong. Kejadian di Sutho itu,
merupakan salah satu pencetusan. Salah satu unsur tentara yang menyerang kediaman wakil
gubernur An-se di Sutho itu, adalah pasukan berkuda dari Hwe-ki.
Sejak peristiwa itu, Sutho menjadi negara bagian Hwe-ki. Ayah Coh Ping-gwan pulang ke
negerinya memohon hukuman. Ia mengajukan permohonan supaya pemerintah mengirimkan
pasukan untuk menghancurkan Hwe-ki. Tetapi kerajaan Tong pada saat itu sedang kacau,
pemberontakan An Lok-san dan Su Khik-hwat timbul. Pemerintahan goncang dan terpaksa minta
damai dengan bangsa Hwe-ki. Sejak itu pamor kerajaan Tong merosot.
Akibat dari politik damai dengan Hwe-ki itu, ayah Coh Ping-gwan dijadikan kambing hitam.
Dengan tuduhan 'tidak bijaksana mengatur pemerintahan', dia dipecat dan terpaksa pulang ke
kampung. Beberapa tahun kemudian karena sakit kemudian meninggal.
Teringat akan kejadian yang lampau itu mendidihlan darah Coh Ping-gwan, serunya: "Jadi kau
hendak mengusik peristiwa itu" Ayahku telah kehilangan hampir seluruh pasukannya, apa yang
hendak kau tagih lagi?"
"Kau hanya tahu kerugian pihakmu, tetapi apakah kau tahu juga berapa kerugian di pihak


Tusuk Kondai Pusaka Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kami?" Hong-ni marah.
Coh Ping-gwan menghela napas: "Memang kalau diingat berapa banyak korban yang jatuh dari
kedua pihak, kita merasa sedih. Tetapi hal itu tak dapat mempersalahkan ayahmu."
Hong-ni makin marah: "Kau masih menyalahkan ayahku" Apa harganya jiwa pasukanmu itu"
Mereka mati seribu atau sepuluh ribu masih tak menyamai nilai ayahku seorang!"
"Apa" Ayahmu ...!" Coh Ping-gwan terperanjat.
"Masih berlagak pilon menanyakan ayahku" Pada malam pertempuran itu juga ayahku dibunuh
oleh ayahmu!"
Coh Ping-gwan kesima. Ia baru mengetahui sekarang. Ujarnya: "Sampai pada saat
meninggalnya, ayahku tak mengetahui kalau keliru membunuh ayahmu. Sudah tentu dalam
pertempuran di malam gelap, tentu banyak korban. Dan belum tentu ayahmu terbunuh oleh
ayahku." "Ayahmu adalah pemimpin pasukan. Ia sendiri yang membunuh atau bukan, hutang jiwa itu
tetap kutagih padanya!"
Marahlah Coh Ping-gwan. Terang yang menyerang lebih dulu itu ayah Hong-ni, mengapa
menyalahkan orang" Tapi pada lain saat, ia memikir lebih panjang. Pertama, mengingat nona itu
sudah sebatang kara, negaranya senasib dengan kerajaan Tong yang ditindas bangsa Hwe-ki.
Kedua, mengingat bahwa mereka berdua adalah kawan bermain semasa kecil. Lebih baik
menghindar dari permusuhan.
"Sebenarnya hubungan kita berdua erat sekali. Kesemuanya itu adalah gara-gara bangsa Hweki
...." "Aku tak menyinggung urusan negara. Entah siapa yang benar dan salah. Yang kuurus ialah
bahwa setiap penasaran dan hutang itu harus ada yang bertanggung jawab," tukas Hong-ni.
"Baiklah, karena kau anggap ayahku itu sebagai musuhmu. Karena beliau sudah meninggal,
aku bersedia pergi ke negerimu dan menghaturkan maaf di depan makam ayahmu. Membunuh
orang hanya menambah kedosaan saja. Rasanya kaupun dapat terlepas dari penasaranmu."
"Tidak bisa! Ayahmu sudah meninggal kan kau masih ada! Aku sudah bersumpah di hadapan
kuburan ayahku, biar bagaimanapun tak dapat mengampuni kau!"
Watak bangsa Sutho itu memang keras dan berani. Sakit hati orang tua, anak harus
membalaskan. Jika tidak, tentu diasingkan oleh handai taulannya. U-bun Hu-wi tak punya anak
laki, kewajiban itu jatuh pada diri Hong-ni. Menuruti adat kebiasaan bangsanya, Hong-ni
melakukan juga upacara mengucurkan darah dalam arak di hadapan kuburan ayahnya. Kala itu ia
baru berusia enam tahun. Sehari-hari ia menerima pelajaran bagaimana harus membalas sakit hati
ayahnya. Maka betapa Coh Ping-gwan mengemukakan dalih alasan, tetap ditolaknya.
Kesabaran ada batasnya. Karena ditolak getas akhirnya timbullah keangkuhan hati Coh Pinggwan.
Tertawalah ia dingin-dingin: "Kalau begitu tetap meminta ganti jiwa padaku" Tetapi entah
kepada siapa aku harus meminta ganti kerugian jiwa-jiwa serdadu Tong itu?"
Hong-ni terkesiap, tapi ia tetap keras kepala: "Aku tak peduli hal itu. Kutahu hanya 'hutang
ayah anaklah yang harus membayar'!"
Coh Ping-gwan mendongak tertawa keras: "Baik, karena kau tuli dengan alasan-alasan, maka
kunyatakan sejelas-jelasnya. Untuk hutang jiwa yang belum ketahuan kebenarannya itu, aku tak
ingin mewakili ayah membayarnya. Tapi jika kau mempunyai kepandaian, silahkan kau
mengambilnya secara kekerasan!"
Hong-ni kerutkan alis. Pada saat ia hendak memberi komando pada anak buahnya supaya
meringkus Coh Ping-gwan, tiba-tiba seorang perwira bangsa Han menerobos kemuka, serunya:
"Nona U-bun, aku menerima titah supaya datang kemari untuk menjalankan perintahmu, ijinkan
aku membaktikan tenaga, menangkap orang yang kau kehendaki itu."
Panas telinga Coh Ping-gwan. Ia deliki mata memandang perwira itu. Kiranya orang itu adalah
Bu Wi-yang, bekas pemimpin barisan pengawal istana.
"Eh, Bu Wi-yang, kau tahu malu, tidak?" tegurnya dengan tertawa mengejek.
"Malu apa?" sahut Bu Wi-yang.
"Urusanku dengan nona ini bukan urusan sulit. Kau toh perwira dari kerajaan Tong, mengapa
merendahkan dirimu sebagai hamba seorang nona lain suku" Kau tak malu itu memang hakmu
karena mukamu tebal. Tapi perbuatanmu itu benar-benar menghina negara!"
"Hm, menghina negara" Kau tahu apa, aku justeru mengemban tugas kerajaan!"
"Hi, aneh! Coba katakan aku melanggar pasal mana dari hukum negara!"
"Kau menghina seorang Siang-kok hujin, itulah dosa besar."
Siang-kok hujin artinya isteri pangeran. Coh Ping-gwan melirik Hong-ni lalu berkata: "Oh,
maaf, maaf, aku tidak tahu kalau nona ini seorang wanita bangsawan agung."
Hong-ni tersipu-sipu dan buru-buru menyahut: "Aku tiada bermaksud minta bantuan pada
negerimu untuk melakukan pembalasan sakit hati. Hal ini adalah tindakan pamanku yang
berunding dengan Wi toa-cong-koan. Congkoan (jenderal) itu lantas menyuruh Bu ciangkun ini
membantu aku. Hm, Bu ciangkun, aku hendak menyelesaikan urusan ini secara kaum persilatan.
Tak ingin menerima bantuanmu. Biarlah kuselesaikan dengan Coh siangkong sendiri, tak perlu kau
bantu." Kiranya setelah bangsa Hwe-ki menjajah Sutho, ibu dari Hong-ni menyerah pada Hwe-ki. Pada
waktu itu tentara Hwe-ki mengirim tentara bantu kerajaan Tong menindas pemberontakan Su Khikhwat,
paman Hong-ni (adik ibunya) turut dalam pasukan itu. Menjabat sebagai Co-ciangkun.
Kemudian diangkat menjadi menteri koordinator urusan tentara ke Tiang-an.
Kerajaan Tong makin lemah. Banyak panglima-panglima di perbatasan yang menyatakan
berdiri sendiri. Perintah kerajaan tak dihiraukan lagi. Untuk mendapat bantuan dari tentara HweKANG
ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
ki, pemerintah Tong bersikap manis sekali kepada mereka. Bahkan terhadap seorang jenderal suku
Sutho yang menakluk pada Hwe-ki, pemerintah Tong pun mengindahkan sekali.
Sejak peristiwa Eng-hiong-tay-hwe yang diselenggarakan Cin Siang itu, atas pengaduan puteri
Tiang Lok (adik baginda Tong), maka pangkat Bu Wi-yang diturunkan sampai tiga tingkat. Kini ia
hanya menjadi seorang si-wi biasa. Maka demi mendengar kesempatan itu, ia segera mengajukan
permohonan pada Congkoan supaya dikirim membantu U-bun Hong-ni menangkap musuhnya.
Dan untuk menangkap Coh Ping-gwan seorang, ia sanggup mengerjakan seorang diri tak perlu
mengerahkan pasukan besar. Cong-koan lalu meluruskan dengan pesan supaya pembantuan itu atas
nama Bu Wi-yang perseorangan. Karena memang memerlukan seorang pembantu penunjuk jalan,
Hong-ni menerima bantuan itu.
Maka Wi-yang hendak menggunakan kesempatan itu untuk mendekati pada bangsawan Hwe-ki
(Hong-ni), agar ia mendapat pahala dan dinaikkan pangkat lagi. Waktu Hong-ni mendapat bantuan,
ia kelabakan. "Hal ini berbeda dengan peristiwa balas sakit hati di kalangan persilatan. Dia hanya
seorang rakyat jelata, ijinkanlah siapkoan (aku) menangkapnya sebagai tanda penghormatan
terhadap tetamu agung," serunya.
"Baik, karena peraturan kerajaan Tong sedemikian, silahkan kau menangkapnya lebih dulu.
Tapi aku ada syarat. Jika kau gagal, aku tak mau menghiraukan peraturan lagi!" akhirnya Hong-ni
mengalah. Yang dipikirkan Bu Wi-yang hanyalah hadiah pangkat dari cong-koan. Ucapan si nona tadi
sedikitpun tak diperhatikan, segera ia melolos cambuknya yang panjang itu.
"Heh, pesakitan negara, lekas menyerah daripada kubekuk kau," serunya.
Kini tersadarlah Coh Ping-gwan. Kiranya untuk mengambil hati bangsa Hwe-ki, pemerintah
Tong telah menghapus jasa-jasa ayahnya untuk diganti dengan kedosaan. Dan karena ayahnya
sudah meninggal, maka kini ia anaknyalah yang hendak dijadikan kambing sembelihan. Serentak
bangkitlah keperwiraan anak muda itu.
"Keluarga Coh tak pernah berdosa pada kerajaan. Aku menolak perintahmu yang semenamenanya
itu. Aku tak peduli kau menjalankan perintah kerajaan atau tidak. Nih, makanlah dulu
golokku!" serunya dengan nyaring.
"Membangkang" Kau hendak berontak!" teriak Bu Wi-yang sembari menyabat dengan
piannya. Tapi sudah disambut oleh golok Gan-leng-to Coh Ping-gwan. Sebagai bekas Su-wi
thong-leng (pemimpin pengawal istana), memang kepandaian Bu Wi-yang cukup tinggi. Kebutan
piannya tadi memancarkan tiga gelombang sinar. Susul menyusul sebagai damparan gelombang.
Seketika tubuh Coh Ping-gwan terkurung oleh sinar pian.
Tetapi ternyata kepandaian Coh Ping-gwan itu lebih unggul setingkat. Jurus yang digunakan
Sam-yo-gui-thay itu juga mempunyai 3 buah serangan. Indahnya bukan kepalang. Tar, punggung
goloknya dapat membuyarkan lingkaran sinar pian. Sampai-sampai pian Bu Wi-yang itu terdampar
lempeng dan tenaganya lenyap. Dan sekali balikkan tangan, kembali golok Coh Ping-gwan dapat
menghancurkan lingkar serangan pian yang kedua. Dua jurus gerakan Coh Ping-gwan yang ketiga,
berhasil memapas sebuah jari tangan Bu Wi-yang.
Sebenarnya kepandaian Bu Wi-yang cukup untuk dibuat melayani sampai beberapa jurus.
Dikarenakan ia terburu-buru hendak menang sebaliknya malah menderita kerugian yang
membuatnya meringis kesakitan. Dan sebelum semangatnya yang hilang itu pulih, tiba-tiba Coh
Ping-gwan berseru 'lepas', goloknya membabat. Mau tak mau Bu Wi-yang terpaksa lepaskan
piannya juga. "Bu ciangkun, kau sudah melakukan kewajibanmu. Aku sudah menerima bantuanmu. Terima
kasih atas jerih payahmu menunjukkan jalan. Sekarang musuh sudah kuketemukan, silahkan kau
pulang!" tiba-tiba Hong-ni berseru sembari loncat menghalangi golok Coh Ping-gwan.
Dengan menahan rasa malu, Bu Wi-yang ngacir pergi. Sampaipun tianpian yang paling
disayanginya itu, tak dihiraukan lagi.
Coh Ping-gwan hentikan pengejarannya. Lintangkan golok ke dada, ia berkata: "Siau-ni,
musuhmu itu seharusnya bangsa Hwe-ki. Jika kau hendak menuntut balas padaku itu tidak pada
tempatnya. Maaf, aku tak dapat melaksanakan cita-citamu menjadi anak berbakti!"
Karena pikirannya sudah diracuni dengan ajaran bahwa yang membunuh ayahnya itu adalah
Coh Ping-gwan, maka saat itu ia tak dapat menerima jelas pernyataan Coh Ping-gwan. Cepat pada
saat Coh Ping-gwan selesai bicara, pedang Hong-nipun sudah menusuknya. "Dengan musuh
ayahku, aku tak dapat hidup bersama di satu kolong langit. Kau boleh memberi seribu satu alasan,
tapi aku tetap tak dapat melepaskan kau. Untuk kebaikanmu memperlakukan aku begitu baik
semasa kecil, kuberi kelonggaran agar kau bunuh diri sendiri! Kau kubebaskan dari cincangan!"
Menghindari tusukan, Coh Ping-gwan tertawa bebas: "Siau-ni, bukannya aku takut padamu.
Aku hanya menyatakan kebenaran. Jika kau tak mau mendengar, berarti memaksa aku harus
bertempur padamu!"
Sret, sret, sret, Hong-ni tebaskan pedangnya ke atas, tengah dan bawah. Yang diarah semua
bagian yang berbahaya dari tubuh si anak muda. Coh Ping-gwan gunakan tangan kosong untuk
merebut senjata si nona. Ia berputar tubuh, balikkan tangan menyambar lengan Hong-ni yang
mencekal pedang itu. Tetapi ternyata gerakan si nona tak kalah lincahnya. Begitu tusukannya lewat
di sisi iga lawan, nona itu miringkan tubuhnya dan lontarkan dua buah serangan istimewa.
Pedangnya itu terus dibabatkan balik, sedang tangannya kiri menghantam si anak muda.
Blak, mereka beradu pukulan. Hong-ni terputar-putar dan tersurut sampai tiga langkah.
Sebaliknya baju Coh Ping-gwan pun robek sampai lima inci lebarnya. Diam-diam keduanya samasama
terkesiap. Selagi Hong-ni tersurut mundur lagi, Coh Ping-gwan cepat-cepat mencabut
goloknya yang disarungkan tadi. Tapi pada saat Coh Ping-gwan cepat-cepat mencabut goloknya
yang disarungkan tadi. Hong-ni pun sudah mendahului menyerangnya. Kali ini ia gunakan jurus
Giok-li-tho-soh, menusuk tangan bawah.
Coh Ping-gwan berseru memuji ketangkasan si nona. Cepat ia gunakan jurus Tiang-bo-lok-jit.
Sesaat Hong-ni bingung menghadapi. Kalau tak merubah jurusnya, pedangnya tentu kena terpukul
jatuh. Tapi kalau hendak merubah gerakannya, terang tentu didahului lawan. Akhirnya Hong-ni
mengambil putusan. Ia tetap tak merubah jurusnya tetapi bahkan menambahinya dengan sebuah
hantaman. Blak, Coh Ping-gwan menangkis. Tapi kali ini yang tersurut mundur sampai tiga langkah bukan
si nona, melainkan dia sendiri. Mendapat hati, Hong-ni mendahuluinya dengan serangan yang
gencar. Benturan tadi membuat Coh Ping-gwan heran. Pikir punya pikir, akhirnya diketahui juga. "Ah,
tadi yang pertama dia belum mengeluarkan tenaganya sungguh-sungguh," demikian
kesimpulannya. Tapi kesimpulannya itu ternyata kurang tepat. Tadi waktu yang pertama kali adu tenaga, karena
kuatir si nona tak sanggup menahan, ia sudah gunakan hanya enam tujuh bagian tenaganya saja. Ia
tak mau dibunuh si nona tapi pun tak sampai hati membunuhnya.
Ternyata Hong-ni pun mempunyai pertentangan dalam batinnya. Ia menyakinkan ilmu pukulan
Kim-kong-ciang. Kuatir si anak muda tak kuat menerima, ia hanya gunakan dua tiga bagian
tenaganya. Kesudahannya, dia harus menderita tersurut mundur sampai tiga langkah. Kini tahulah
ia bahwa tenaga Coh Ping-gwan itu lebih unggul. Maka dalam adu tenaga yang kedua kalinya, ia
gunakan sembilan bagian tenaganya. Dan celakanya Coh Ping-gwan tetap masih menggunakan
enam tujuh bagian tenaganya. Akibatnya, dialah yang menelan kerugian.
Pertempuran berlangsung dengan makin seru. Berulang kali Coh Ping-gwan berusaha
menghindari kekerasan. Tapi lama kelamaan ia terpaksa harus bertempur sungguh-sungguh juga.
Setelah bertanding sampai beberapa jurus, keduanya saling mengagumi kepandaian masing-masing.
"Kepandaiannya ternyata lebih unggul dari aku. Jika aku hendak membalas sakit hati seorang
diri, dikuatirkan tak mampu," diam-diam Hong-ni menimang dalam hati. "Sayang dia anak dari
musuhku!" Pun Coh Ping-gwan juga mengagumi kepandaian si nona yang walaupun lebih muda 4 tahun
tapi kepandaiannya berimbang. "Sayang ia berkeras kepala menganggap aku sebagai musuhnya,"
ia menghela napas.
U-bun Hong-ni menyerang dengan tenaga penuh. Ia gunakan taktik kilat sehingga untuk
beberapa saat Coh Ping-gwan sibuk sekali. Hanya dapat menangkis tak mampu balas menyerang.
Tapi biar bagaimana juga, karena ia lebih unggul kepandaiannya dan lebih banyak pengalamannya,
setelah empat lima puluh jurus dapatlah ia mengetahui gerak serangan si nona. Dari berimbang,
perlahan-lahan Coh Ping-gwan berbalik menang angin. Dalam suatu serangan, Coh Ping-gwan
memapas sembari menutuk jalan darah beng-bun dengan tangan kiri. Ia sudah menduga Hong-ni
tentu akan bergerak dalam jurus Kim-cian-to-liap. Dugaannya itu ternyata benar. Sebelum Hong-ni
sempat bergerak dalam jurus itu, ia sudah mendahului merubah tabasannya ke atas, sedang kedua
jari kirinya menutuk lengan si nona.
"Tring" .... terdengar benturan tajam dan letikan api. Pedang Hong-ni terbuat dari bahan baja
putih, sedang golok Coh Ping-gwan adalah golok pusaka dari Toh Hok-wi, bekas Suma dari kota
Kiu-seng. Pedang Hong-ni terpapas rombal. Tapi itu hanya kerugian sedikit, yang lebih hebat
adalah kerugian yang dideritanya akibat tutukan jari Coh Ping-gwan itu. Seketika tangannya terasa
kesemutan. Untung tak tepat kenanya, coba tidak ia tentu tak dapat bergerak lagi.
Coh Ping-gwan susuli lagi dengan sebuah tebasan. Wing, sebuah tusuk kundai kumala di
rambut Hong-ni terpapas kutung!
"Maaf, apakah dendama sudah dapat dianggap selesai?" serunya. Ia tak mau menyerang lagi
dan berhenti. Sebenarnya kalau mau, ia dapat mengambil jiwa Hong-ni. Menurut peraturan
persilatan, pembebasan itu berarti 'membayar jiwa'. Pihak yang menuntut balas, tak boleh
melanjutkan tuntutannya lagi. Tapi jika tetap berkeras hendak membalas, pun boleh. Asal, setelah
membunuh musuhnya, ia harus bunuh diri juga.
Wajah Hong-ni pucat lesi. Mundur beberapa langkah langkah, iamenuding dengan pedang
Ceng-kong-kiam: "Aku sudah bersumpah darah di hadapan makan ayah, sakit hati ayah tak boleh
tidak harus diimpas. Ya, sudahlah, setelah membunuhmu akupun hendak bunuh diri!"
Tudingan pedang Hong-ni tadi merupakan komando. Tujuh orang pengikutnya segera
mengepung Coh Ping-gwan. Mereka adalah bu-su (ahli silat) dari Sutho dan Hwe-ki. Senjatanya
beraneka warna dan posisinyapun berpencaran tujuh tempat. Mereka mulai menyerang.
"Bagus, karena kalian main keroyok, jangan salahkan golokku tak bermata!" teriak Coh Pinggwan
yang cepat berputar dan menabas seorang busu. Rencananya setelah dapat melukai barang
seorang dua orang orang musuh, ia hendak menerobos dari kepungan.
Tetapi di luar dugaan barisan mereka yang disebut Ceng-hoan-su-hiong-tin itu luar biasa
geraknya. Sewaktu ditabas, Bu-su yang bersenjata khik (tombak yang ujungnya memakai sangkur)
itu sudah berubah posisinya. Sebagai gantinya dua orang Bu-su tampil menangkis golok Coh Pinggwan.
Mereka bersenjata Ceng-tong-kian dan Lian-cu-jui (bandringan martil) Keduanya termasuk
jenis senjata berat. Tenaga mereka kuat sekali, bahkan Bu-su yang bersenjata Lian-cu-jui itu lincah
sekali. Coh Ping-gwan kerahkan tenaga mendesak mundur Bu-su yang bersenjata Ceng-tong-kian,
kemudian menangkis Lian-cu-jui. Ia berhasil dapat memapas bandringan sampai terpotong
separuh, tapi ia pun rasakan tangannya sakit kesemutan.
Wut, ia putar tubuhnya untuk menghindari tusukan tombak dari lain Bu-su yang menyerang
lambung kirinya. "Lepas!" ia membentak dan secepat kilat, menyambar ujung khik hendak
ditariknya tapi dua Bu-su yang masing-masing memegang tombak dan kampak, sudah
menyerangnya. Terpaksa Coh Ping-gwan putar goloknya dalam jurus Ya-can-pat-bong. Kapak dan
tombak dapat dipentalkan. Karena menangkis itu, ia belum berhasil merebut senjata yang
dipegangnya tadi.
Coh Ping-gwan membacok lengan pemegang khik itu tapi sekonyong-konyong sinar pedang
berkiblat dan menusuk tangannya. Penyerangnya itu bukan lain ialah U-bun Hong-ni sendiri. Coh
Ping-gwan cukup mengetahui kepandaian si nona. Terpaksa ia lepaskan khik dan menangkis
serangan pedang, lalu menangkis pula pukulan si nona.
Sebenarnya kepandaian Hong-ni tak terpaut jauh dari Coh Ping-gwan. Dengan dibantu oleh
ketujuh Bu-su itu, sudah tentu Coh Ping-gwan keteter. Barisan Ceng-hoan-su-hiong-tin itu menurut
formasi Pat-kwa, empat menghadap ke muka dan empat orang dari jurusan samping. Mereka
bergerak-gerak silang menyilang. Sedang Hong-ni menempati posisi yang disebut Kian-wi. Dari
situ ia dapat memberi bantuan pada saat-saat yang diperlukan.
Jelas bagi Coh Ping-gwan, bahwa sukar sekali ia hendak membobolkan barisan itu. Lingkaran
kepungan lawan bahkan makin lama makin menyempit. Coh Ping-gwan terpaksa kerahkan seluruh
kepandaian untuk bertempur mati-matian.
Barisan Ceng-hoan-su-hiong-tin makin menelenkup kecil. Coh Ping-gwan mainkan golok Ganleng-
tonya dengan jurus-jurus yang berbahaya. Dua pihak sama-sama sukar untuk mengalahkan
lawan. "Tidak bisa menangkap hidup, matipun boleh!" akhirnya Hong-ni berteriak keras. Dengan
komando itu ketujuh Bu-su tampak menyerang seru.
Sepasang mata Coh Ping-gwan merah membara memandang Hong-ni. Ia benar-benar heran dan
mendongkol terhadap nona yang tak dapat dikasih mengerti itu. Beberapa kali Ping-gwan hendak
lancarkan serangan yang dapat menyebabkan hancur bersama, tapi setiap kali ia teringat akan nasib
yang sudah sebatang kara dari nona itu, hatinyapun lemas kembali.
Manusia adalah makhluk yang berperasaan. Apalagi Hong-ni seorang wanita. Ia merasa juga
kalau dipandang dengan penuh kebencian oleh Ping-gwan. Teringat bagaimana kasih sayang
mereka berdua sama-sama bermain di waktu kecil, diam-diam timbul juga kemenyesalan Hong-ni,
batinnya: "Bukan karena aku berhati kejam hendak membunuhmu, tetapi nasiblah yang mengatur
kita dalam keadaan begini sehingga ayahmu membunuh ayahku. Ah, aku telah mengikrarkan
sumpah di hadapan makam ayahku, bagaimana aku dapat memberi ampun padamu!"
Memang pada waktu mula-mula ia hendak melepaskan pemuda itu, tapi akhirnya ia keraskan
hati dan menghindar dari sorot mata Ping-gwan. Ia tetap tak mau memberi hati dan menyerang
gencar. Khik-sia mengetahui jelas keadaan Ping-gwan. Ia harus turun tangan. "Bwe-moay, tunggu kau


Tusuk Kondai Pusaka Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

di muka sana!" bisiknya.
"Mengapa aku tak boleh membantumu?" tanya Yak-bwe.
"Musuh berjumlah lebih banyak. Aku hendak membantu Coh Ping-gwan keluar dari barisan
itu. Sekali-kali tidak memusuhi lawan," sahut Khik-sia. Maksudnya ia sendiri sudah cukup
melepaskan Coh Ping-gwan.
"Kau seorang diri, ini ...." masih Yak-bwe menguatirkan diri sang tunangan karena barisan
sedemikian hebatnya.
Khik-sia tersenyum dan menghiburi calon isterinya bahwa ia tentu dapat mengatasi. Karena
keadaan mendesak, iapun segera bersuit nyaring dan melayang turun. Sebenarnya kepandaian
Khik-sia tak terpaut banyak dengan Coh Ping-gwan. Tapi mengapa ia yakin dapat membobol
barisan itu" Inilah disebabkan karena dahulu ia pernah mengalami dikepung barisan Pat-tin-tho
oleh kedelapan pengikut Se-kiat dari pulau Hu-song-to, kemudian ditolong oleh Gong-gong-ji.
Barisan Ceng-hoan-su-hiong-tin dari U-bun Hong-ni itupun menurut dasar-dasar dari Pat-bun-sengkhik
(delapan pintu mati-hidup). Ada beberapa bagian yang sama dengan Pat-tin-tho. Tapi dalam
keindahannya bahkan kalah dengan Pat-tin-tho.
Tadi selama bersembunyi di atas pohon, Khik-sia memperhatikan juga gerak-gerik Ceng-hoansu-
hiong-tin dan mengertilah ia. Dengan bersuit nyaring itu ia hendak menarik perhatian musuh
agar dapatlah Yak-bwe menyelinap pergi dengan diam-diam. Dan dengan gerak yang luar biasa
cepatnya Khik-sia pun sudah menyusup masuk ke dalam barisan.
Memang serupa dengan pandangan Ping-gwan, pun Khik-sia mengetahui bahwa Bu-su yang
bersenjata khik itulah yang paling lemah sendiri. Maka pertama turun tangan, bu-su itulah yang
diganyangnya lebih dulu. Begitu cepat Khik-sia bergerak sehingga sebelum kedua Bu-su yang
berada di kanan-kirinya sempat menghalangi, tangan Bu-su yang bersenjata khik tadi sudah kena
tertusuk pedang Khik-sia. Khik terlempar dari tangannya, kebetulan mencelat ke lain Bu-su yang
buru-buru menangkisnya hingga senjata khik itu mencelat ke bawah gunung. Tapi karena
menangkis itu, Busu tersebut kena dibacok bahunya oleh golok Coh Ping-gwan dan terbukalah
Seng-bun atau pintu hidup. Dua Bu-su segera menyerangnya dari dua samping. Khik-sia deliki
mata. Ia kenal kedua Bu-su itu sebagai orang yang mencuri kudanya.
"Kembalikan kudaku atau kuambil jiwamu!" bentak Khik-sia sambil membabat dengan jurus
Heng-hun-toan-hong (awan melintang memutus puncak). Cepat sekali gerakan Khik-sia, tring,
tring, golok dan kapak dari kedua bu-su itu sudah kena dipapas kutung.
Waktu Khik-sia hendak menusuk jalan darah mereka, tiba-tiba U-bun Hong-ni membacok dari
belakang. Tapi Khik-sia lebih sebat. Ia mendahului berkisar ke posisi 'khun' dan menggasak
seorang Bu-su. Jurus itu disebut Kian-gun-ya-wi atau dunia berputar tempat. Gerakan itu telah
membuat barisan Ceng-hoan-su-hiong-tin pecah berantakan.
Bu-su yang kena dilanggar Khik-sia sampai jungkir balik itu menutupi jalan bagi Hong-ni yang
hendak maju menyerang. Khik-sia mainkan pedangnya dalam jurus Tok-biat-hoa-san atau menabas
gunung Hoa-san. Sebenarnya jurus itu adalah permainan golok dan Khik-sia pun memainkan
pedangnya sebagai golok, hebatnya bukan kepalang! Sekalipun Hong-ni memiliki tenaga Kimkong-
ciang-lat, namun ia tetap seorang wanita. Sudah tentu dalam hal tenaga kalah dengan Khiksia.
Waktu pedang mereka berbentur, Hong-ni rasakan tangannya sakit sekali. Ternyata telapak
tangannya sampai merah.
"Pedang hebat, tenaga hebat! Sambut lagilah ini!" habis memuji si nona, Khik-sia menabasnya
lagi. U-bun Hong-ni tahu kepandaian pemuda ini lebih hebat dari Coh Ping-gwan. Ia tak berani
berayal dan curahkan seluruh kepandaiannya menyambuti.
"Toan-heng, harap bermurah hati!" tiba-tiba Coh Ping-gwan meneriakinya.
Ilmu pedang Khik-sia telah mencapai sedemikian rupa hingga dapat dikuasai menurut
sekehendak hatinya. Ia cepat kendalikan tabasannya sehingga ketika beradu, Hong-ni tetap dapat
menguasai pedangnya. Tapi secepat itu juga Khik-sia sudah menusuk pergelangan tangan si nona
dan membentaknya: "Lepas!"
Benturan pertama sudah memecahkan telapak tangan Hong-ni, benturan kedua membuatnya
hampir tak kuat lagi mencekal pedangnya. Bahwa tahu-tahu ujung pedang lawan mengancam
pergelangan tangannya membuat ia terperanjat sekali. Cepat ia timpukkan pedangnya ke arah
Khik-sia, berputar tubuh terus lari.
"Bagus!" mau tak mau Khik-sia memuji juga kelihayan Hong-ni yang dalam saat-saat
berbahaya masih dapat melakukan serangan yang berbahaya. Ia menyambuti pedang dengan tangan
kiri. "Orangmu telah mencuri dua ekor kudaku. Jika menghendaki pedang pusakamu ini,
antarkanlah kedua kuda itu ke Liong-gan-ce di gunung Hok-gu-san, kita saling tukar!" teriaknya.
Kemudian ia ajak Coh Ping-gwan meneruskan perjalanan.
Ketika berhenti, Hong-ni marah-marah. Dengan membawa sekian banyak orang ke Tiong-goan
bukan saja ia gagal mencari balas malah pedang pusakanya kena dirampas seorang pemuda tak
terkenal. "Kejar!" akhirnya ia memberi komando kepada orangnya. Tapi mana mereka mampu
mengejar gin-kang Khik-sia" Khik-sia sengaja minta Coh Ping-gwan lari lebih dahulu, ia sendiri
berputar-putar untuk menyesatkan perhatian anak buah Hong-ni.
Setelah memperhitungkan Coh Ping-gwan tentu sudah jauh beberapa li, akhirnya ia baru
berseru mengejek: "Maaf nona U-bun, aku tak dapat menemani kalian lagi. Dalam sepuluh hari ini
kutunggu kedatanganmu di Hok-gu-san. Setiap saat kau boleh datang ke sana dan carilah Toan
Khik-sia. Nanti kita saling tukar pedang dengan kuda." -- Habis mengucap, ia melesat dan
menghilang dari pemandangan.
Malam itu gelap gulita. Setelah lari beberapa saat, Khik-sia berteriak memanggil nama Coh
Ping-gwan tapi tiada penyahutan. Sebagai jawaban terdengarlah kilat gemuruh memancarkan
cahaya dan menyusul turunlah hujan. Khik-sia cemas hatinya. Coh Ping-gwan yang gin-kangnya
cukup tinggi, masih dapat mengatasi jalanan gunung yang licin kena air, tapi bagaimana dengan
Yak-bwe" Ia segera percepat larinya untuk menyusul Yak-bwe. Tiba-tiba di antara kiblat cahaya kilat,
samar-samar, ia melihat sesosok bayangan yang dengan cepat sudah menghilang lagi.
"Coh toako, akulah!" teriaknya. Karena gin-kang orang itu hebat, ia kira tentu Coh Ping-gwan.
Tapi sampai dua kali ia ulang teriakannya, tetap tiada sambutan apa-apa.
"Eh, apakah mataku lamur" Hm, mungkin seekor kera," pikirnya. Tiba-tiba terdengar teriakan
Yak-bwe: "Khik-sia, kau" Aku di sini."
Girang sekali Khik-sia. Ia memburu ke arah suara itu. Ternyata Yak-bwe meneduh di sebuah
lubang dari dua buah batu yang melekat. Lubang itu cukup besar untuk tempat meneduh dua orang.
"Hai, bajumu basah kuyub!" kata si nona, ia minta Khik-sia melepas baju kemudian diperasnya
lalu dijemur di atas batu.
"Apa kau tak melihat Coh Ping-gwan?" tanya Khik-sia.
"Tidak, tetapi aku telah melihat dua orang lagi. Coba terka, siapa?"
"Mendengar ucapanmu, terang mereka itu orang yang sudah kukenalnya," jawab Khik-sia.
"Bukan saja kenal pun sahabatmu yang karib," Yak-bwe tertawa, "mereka sepasang laki
perempuan. Yang laki Bo Se-kiat, yang perempuan sahabatmu Su Tiau-ing."
Khik-sia tersentak kaget: "Mengapa mereka juga menempuh perjalanan di malam hari" Apakah
mereka tak mengetahui kau?"
"Sudah tentu aku berusaha supaya jangan diketahui mereka. Ah, memang berbahaya sekali.
Mereka melalui di sisi tempat ini. Jika mereka mempunyai pikiran hendak meneduh di bawah
lubang batu ini, aku tentu jatuh ke tangan mereka."
"Begini gelap, bagaimana kau tahu mereka?" tanya Khik-sia.
"Kudengar perempuan siluman itu menjerit karena hampir tergelincir. Ia meneriaki Se-kiat."
Khik-sia menduga bayangan yang dilihatnya tadi tentu Se-kiat. Tapi mengapa hanya seorang
diri" Kemana Su Tiau-ing"
"Eh, Khik-sia, mengapa kau menghunus pedang?" tegur Yak-bwe.
"Coba lihatlah, bagus tidak pedang ini." Khik-sia memberikan pedang dari Hong-ni itu kepada
bakal isterinya. Karena pedang itu tak ada sarungnya, terpaksa Khik-sia mencekalnya saja.
Tring, pedang itu mendering tajam ketika jari Yak-bwe menjentiknya. Dan ketika dipapaskan
ke batu, batu itupun rompal. Yak-bwe memuji-muji pedang itu dan menanyakan dari mana Khik-sia
memperolehnya. Khik-sia segera menuturkan pertempuran tadi. Sambil memain-mainkan pedang
itu, Yak-bwe berkata: "Pedang dan kuda sama-sama kusayang. Kalau nona itu tak mau menukarkan
kuda, ya, biarlah."
"Sebelum diambil yang punya, kau boleh menggunakan pedang itu. Kuda kita itu pemberian
Cin Siang, kita harus mengambilnya kembali. Jika kuatir tak punya pedang pusaka, pakailah
pedangku ini," kata Khik-sia.
"Ai, aku hanya berkata iseng saja, mengapa kau masukkan di hati" Pedang yang kau pakai atau
aku, toh sama saja. Khik-sia, kita toh takkan berpisah lagi, milikmu adalah milikku juga."
Bahagia sekali hati Khik-sia mendengar ucapan itu: "Ya, nanti kalau berjumpa dengan Thiat
toako, akan kuminta supaya dia mengurus pernikahan kita. Biar tiap hari aku mendampingi kau."
"Fui, hendak kemana kau" Apakah kalau tak menikah tak boleh berkumpul dan harus
berpisah?"
Demikian kedua tunangan itu bercakap-cakap dengan gembira sehingga tahu-tahu hujanpun
berhenti. Ternyata sudah terang tanah. Khik-sia ajak tunangannya berangkat lagi. Ia masih
memikirkan Coh Ping-gwan tapi Yak-bwe menyatakan Coh Ping-gwan itu lebih tua dari Khik-sia,
pikirannyapun lebih matang. Tentu dapat membawa dirinya tak sampai ada apa-apa lagi.
Khik-sia mengetahui kepandaian Coh Ping-gwan itu tak di bawahnya. Andaikata kesampokan
dengan Bo Se-kiat, pun masih dapat melarikan diri. Begitulah mereka segera arahkan langkahnya
menuju ke Hok-gu-san.
Sekarang mari kita ikuti jejak Coh Ping-gwan. Setelah berlari beberapa lama, ia dapatkan Khiksia
belum menyusul dan hujanpun turun. Ia terkenang peristiwa lima belas tahun yang lalu, dimana
pada malam gelap dan turun hujan seperti saat itu, ia bersama ayahnya meloloskan diri dari
serangan musuh. Ia mendongkol terhadap Hong-ni yang setelah dewasa malah berubah
perangainya menjadi seorang nona yang keras kepala.
Coh Ping-gwan basah kuyub pakaiannya, ketika ia hendak mencari tempat meneduh
sekonyong-konyong sesosok tubuh muncul di sebelah mukanya. Buru-buru Coh Ping-gwan
menegurnya: "Apakah Toan-heng itu?"
Sebagai penyahutan bayangan itu maju menusuk dengan pedang. Coh Ping-gwan terperanjat.
Cepat ia menghindar, namun tak urung ujung bajunya kena tertusuk juga. Kini baru diketahuinya
bahwa yang datang itu adalah Ceng-ceng-ji. Pedang yang dibuat menusuknya itu justeru pedang
Kim-ceng-toan-kiam kepunyaan keluarga Coh. Dahulu pedang itu dicuri Gong-gong-ji dan
diberikan kepada Ceng-ceng-ji. Adalah karena hendak mencari pedang peninggalan keluarganya itu
sampai Coh Ping-gwan bertempur dengan Gong-gong-ji. Tapi kesudahannya mereka menjadi
sahabat. "Bagus, kiranya kau kunyuk tua! Cis, tak tahu malu. Aku justeru hendak mencari kau untuk
membikin perhitungan!" amarah Coh Ping-gwan meluap demi melihat pedangnya.
Ceng-ceng-ji tertawa mengejek: "Benar, memang kudengar kau hendak mencari aku maka aku
sengaja menemui kau agar kau tak perlu pergi kemana-mana."
Ia menutup kata-katanya dengan sebuah tabasan. Tapi Coh Ping-gwan sudah bersiap. Setelah
menghindar, ia lantas mencabut golok Gan-leng-to dan balas membacok. Trang, senjata beradu dan
orangnya masing-masing tersurut tiga langkah.
"Kunyuk yang tak punya malu, kau berani memakai pedang curian untuk menyerang yang
empunya!" "Apa itu sih yang disebut pemilik" Hanya orang yang mempunyai kepandaian layak
memakainya. Terang keluargamu tak becus menjaga hingga dapat dicuri suhengku Gong-gong-ji.
Mengapa kau mempersalahkan aku" Bukankah pedang ini sebenarnya milik dari Toh Hok-wi"
Baiklah, jika kau hendak meminta kembali pedang ini, silahkan kalau mampu!"
Mereka bertanya jawab sambil serang menyerang. Dalam bicara itu mereka sudah bertemput
tiga empat puluh jurus. Permainan pedang Ceng-ceng-ji cepat dan lincah, selalu mendahului
menyerang. Permainan golok Coh Ping-gwan tenang dan mantap. Meskipun gin-kangnya sedikit
kalah dengan lawan tapi tak mengakibatkan apa-apa. Dia menang tenaga dan napas karena lebih
muda usianya. Maka betapa Ceng-ceng-ji ngotot hendak menyerangnya, tetap dapat ditangkis Coh
Ping-gwan. Sekonyong-konyong Ceng-ceng-ji berputar tubuh dan lari sambil melambaikan tangannya:
"Mari, mari, kita cari tempat yang lebih luas. Apa kau berani ikut aku?"
Jilid 16 Sebenarnya kepandaian paderi itu tidak di bawah Bik-hu. Tapi karena tak berhasil menangkap
Sip Hong, sebaliknya kedua sutenya malah menjadi korban, pecahlah nyalinya. Dengan gerak tengli-
ciang-sim ia menghindari tusukan pedang Bik-hu. Tapi secepat itu juga Bik-hu sudah susuli lagi
dengan tusukan yang kedua dan ketiga. Dengan mendapat pelajaran ilmu pedang dari dua aliran,
begitu mendapat angin, serangan Bik-hu itu seperti air bah melanda. Sekalipun andaikata paderi itu
masih mempunyai semangat bertempur, tetap ia tak mampu balas menyerang.
Ternyata kepandaian naik kuda dari si paderi itu hebat sekali. Dengan gerak to-coan-cu-lian, ia
dapat lolos dari lubang jarum. Caranya menghindar memang istimewa juga ialah dengan melorot
turun dan bersembunyi di bawah perut kudanya. Tapi sekalipun orangnya selamat, kudanya kena
termakan pedang di bagian pantat. Kuda paderi itu juga kuda ternama. Begitu terluka, binatang itu
lantas mencongklang sekuat-kuatnya. Larinya tak kalah pesat dengan kuda ciau-ya-say-cu
kepunyaan Bik-hu.
Jurus itu berlangsung dengan cepat sekali. Pada saat Bik-hu dapat menghalau si paderi, Sip Hong
pun tepat menginjakkan kakinya ke tanah. Karena memikirkan keselamatan jenderal itu, Bik-hu
lepaskan si paderi. Buru-buru ia loncat turun dari kudanya dan menanyai keadaan Sip Hong.
"Terima kasih atas pertolonganmu. Beruntung aku tak sampai terluka. Tetapi entah bagaimana
dengan kuda tungganganku itu," kata Sip Hong. Dalam berkata-kata itu, kudanya tampak lari
mendatangi. Binatang itu mengusap-usapkan bulu surinya kepada Sip Hong dan meringkik
beberapa kali. Seolah-olah ia tahu dan girang bahwa tuannya tak kurang suatu apa. Pun karena
mengetahui kudanya tak kena apa-apa, Sip hong girang. Kiranya kuda itu hanya membaui racun
saja tetapi tak sampai terkena.
"Paderi jubah merah itu adalah tokoh dari Leng-san-pay. Sayang tadi membiarkan ia lari," kata
Bik-hu. Sip Hong suruh anak muda itu memeriksa kedua paderi yang terluka tadi. Ternyata yang
kena tertusuk pedang Bik-hu itu sudah tak bernyawa. Karena tak tega melihati korbannya, Bik-hu
segera menguburnya. Yang seorang ialah yang terbungkus jubah merah tadi, setelah dibuka,
ternyata hanya terluka ringan.
"Mengapa kalian datang kemari" Mengapa hendak mencelakai aku" Lekas mengaku terus terang,
kalau tidak tentu kutabas," bentak Sip Hong seraya mencabut pedang.
"Ciangkun, ampunilah jiwaku. Ini bukan urusanku, aku hanya disuruh toa-suhengku, terpaksa aku
melakukan juga," sahut si paderi.
"Apakah toa-suhengmu itu si Ceng-bing-cu?" tanya Sip Hong pula.
Si paderi mengiakan: "Ya, toa-suheng telah menerima undangan Su Tiau-gi dan kepala suku Ki.
Anak murid Leng-san-pay dari dua angkatan semua dibawa ke daerah Yu-ciu."
"Untuk apa toa-suhengmu mengutus kau kemari?"
"Untuk memata-matai keadaan tentara kerajaan."
Waktu Ceng-bing-cu menyuruh tiga belas sutenya menangkap Su Tiau-ing, di tengah jalan telah
berpapasan dengan Shin Ci-koh. Dari ketiga belas murid Leng-san-pay itu, kecuali seorang ialah si
paderi jubah merah yang ternyata murid kedua dari Leng Ciu siangjin, yang dua belas orang semua
telah binasa di tangan Shin Ci-koh.
Peristiwa itu telah menimbulkan kemarahan Leng Ciu siangjin. Ia kabulkan permintaan muridnya
pertama yakni Ceng-bing-cu, untuk mengerahkan segenap anak murid Leng-san-pay dari dua
angkatan, turun gunung membantu Su Tiau-gi sekalian untuk membalas sakit hati pada Shin Cikoh.
Ceng-bing-cu telah memperhitungkan karena kepentingan muridnya, Shin Ci-koh tentu datang
ke Yu-ciu. Untuk itu Ceng-bing-cu telah mempersiapkan barisan pilihan menghadapi wanita itu.
Jika itu masih gagal, barulah Leng Ciu siangjin akan keluar sendiri.
Tetapi Ceng-bing-cu itu ternyata seorang ambisius. Tujuannya tidak melainkan menuntut balas
pada Shin Ci-koh, pun ia ingin menjadi Kok-su (penasehat agung) dari Su Tiau-gi. Kelak apabila
Su Tiau-gi berhasil dalam usahanya mendirikan kerajaan, partai Leng-san-pay tentu akan mendapat
prioritas untuk merajai dunia persilatan. Maka serta merta ia meluluskan permintaan Su Tiau-gi
untuk mengirim tiga orang sutenya menyelidiki keadaan tentara kerajaan. Untuk keperluan itu, Su
Tiau-gi tak segan menghadiahkan tiga ekor kuda yang istimewa.
Karena paderi itu mengaku dengan terus terang, Sip Hong dapat mengampuni jiwanya. Tapi untuk
sementara waktu, paderi itu harus ditawan dulu sampai nanti setelah pihak Yu-ciu dapat dipukul
pecah. "Apakah adik perempuan dari Su Tiau-gi itu sudah kembali ke Yu-ciu?" tiba-tiba Bik-hu bertanya.
Si paderi menyatakan tidak tahu. Sip Hong heran mengapa Bik-hu memperhatikan sekali kepada
adik perempuan Su Tiau-gi. Sudah tentu ia tak mengerti jalan pikiran Bik-hu. Yang diperhatikan
Bik-hu itu bukan Su Tiau-ing, melainkan Se-kiat. Dan lebih lanjut lagi, sebenarnya bukan Se-kiat,
tetapi In-nio. Waktu Sip Hong hendak membawa pulang paderi itu, tiba-tiba Bik-hu meminta supaya panglima itu
mengeluarkan sebuah perintah. Sudah tentu Sip Hong heran dan menanyakan apa yang dimaksud
anak muda itu. "Su Tiau-gi berani mengirim mata-mata untuk menyelidiki keadaan kita, mengapa kita tak balas
mengirimorang untuk menyirapi keadaan mereka" Aku sendiri belum mendirikan pahala apa-apa,
maka dengan ini mohon ciangkun sudi memberi ijin padaku pergi ke Yu-ciu," kata Bik-hu.
Sip Hong menyatakan memang ia juga mengandung pikiran begitu. Tapi karena jaraknya dengan
Yu-ciu masih kira-kira seperjalanan setengah bulan, ia belum bertindak. Nanti saja apabila sudah
tinggal delapan atau sepuluh hari, ia baru akan mengirim mata-mata itu.
"Tapi kudaku itu pesat sekali. Walaupun jarak Yu-ciu itu masih ribuan li, namun aku dapat
menempuhnya pulang balik selama empat lima hari saja. Lebih lekas mengetahui keadaan musuh,
lebih baik," Bik-hu tetap mendesak.
Sip Hong sebenarnya dapat menyetujui tapi ia masih sangsi karena pemuda itu baru masuk menjadi
tentara, pengalamannya kurang.
"Pengalaman" Bagaimana mendapat pengalaman kalau tak menempuhnya" Jika ciangkun
mengutus aku, aku tentu akan berhati-hati."
Karena si anak muda ngotot begitu, akhirnya Sip Hong meluluskan juga. Besok pagi Bik-hu boleh
berangkat. Pada saat itu karena ditungguh sampai sekian lama, panglima tak kembali, Lau
congkoan segera membawa beberapa pengawal menyusul.
"Lau congkoan sudah menyusul kemari. Kiranya tak perlu aku yang harus membawa pulang
tawanan ini. Kupikir aku akan berangkat sekarang juga," kata Bik-hu.
"Ai, mengapa begitu terburu-buru?" kata Sip Hong.
"Tugas ketentaraan harus dijalankan dengan cepat. Sekarang hari masih sore, sebelum petang
kudaku tentu sudah dapat lari sejauh 100-an li."
"Ya, baiklah. Sekarang kau boleh berangkat. Tetapi ingatlah, nyali harus besar, pikiran harus
cermat, segala apa harus ditanggung diri sendiri," Sip Hong memberi pesanan.
Setelah menerima ciang-leng (perintah), Bik-hu segera congklangkan kudanya, ia sudah hilang dari
pemandangan. Dibawa 'terbang' kuda ciau-ya-say-cu, pikiran Bik-hu melayang-layang: "Ia
berangkat beberapa hari yang lalu. Mungkin sekarang sudah berada di Yu-ciu. Jika di dalam
kalbunya hanya terukir Se-kiat seorang, sekalipun dapat kususul, aku dapat berbuat apa?"


Tusuk Kondai Pusaka Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kiranya adanya Bik-hu bergegas-gegas menuju ke Yu-ciu itu, menyelidiki keadaan musuh hanyalah
untuk alasan saja. Yang penting baginya ialah menyusul jejak In-nio. Sewaktu mendengar
keterangan Sip Hong bahwa nona itu tak beradi di perkemahan tentara, cepat sekali Bik-hu sudah
menduga bahwa In-nio tentu pergi ke Yu-ciu menjumpai Se-kiat. Memikir sampai di sini hati Bikhu
rawan juga. Tetapi pada lain kejap ia berpikir lagi: "Ah, tak peduli ia menaruh hati padaku atau tidak, aku tetap
akan berusaha supaya ia jangan sampai terjeblos dalam pikatan Se-kiat. Dan akupun telah
meluluskan Yak-bwe untuk menghibur kedukaan In-nio. Ai, biar ia jemu padaku, namun aku tetap
akan menemuinya!"
Dan memang dugaan Bik-hu itu jitu sekali. In-nio hanya mengajukan alasan akan pulang
menjenguk mamanya, tapi sebenarnya ia menuju ke Yu-ciu untuk menemui Se-kiat. In-nio
berpambek seperti seorang anak lelaki. Kepergiannya ke Yu-chiu itu sekali-kali bukan karena ia tak
kunjung padam cintanya kepada Se-kiat, tetapi karena sebagian juga akan menasehati pemuda itu
supaya jangan terlalu jauh terbenam dalam kesesatan. In-nio anggap Se-kiat itu juga seorang
sahabat, maka ia harus berdaya untuk menasehatinya.
Dalam musim rontok di bulan sembilan, padang rumput di luar perbatasan mulai kering. Seorang
diri berkuda melintasi padang rumput hati In-nio juga terasa rawan. Seluas berpuluh-puluh li, tak
tampak barang seorang insan. Untung In-nio membekal ransum kering.
Pada hari itu ia mulai masuk ke perbatasan Yu-ciu. Rumah-rumah penduduk pun mulai banyak.
Dilihatnya di tegal gandum, ada orang sedang menuai gandum. Pada masa seperti saat itu, iklim di
padang rumput berubah-rubah. Pagi dan malam dingin sekali, tetapi siang hari panas sekali. In-nio
buru-buru melanjutkan perjalanan. Ia merasa haus dan sekalian perlu untuk bertanya pada
penduduk di situ. Ia turun dari kuda dan menghampiri seorang pak tani yang sedang menuai
gandum untuk meminta minum.
Pada masa ahala Tong, kaum wanita tidak dikekang dengan peradatan yang keras. Terutama di
daerah suku Oh, seorang gadis bepergian seorang diri sudahlah biasa.
Tetapi entah bagaimana, petani-petani itu heran melihat In-nio, hanya karena sifat penduduk di situ
jujur-jujur, jadi mereka tetap melayaninya dengan baik.
Dalam percakapan selanjutnya, In-nio menerangkan bahwa ia hendak ke Tho-ko-sim-ki menjenguk
seorang bibinya. Tho-ko-sim-ki adalah tempat kediaman suku Ki. Ada juga sejumlah kecil suku
Han. Karena percampuran itu, suku Ki paling rapat dengan suku Han.
Perempuan tani suku Ki itu kerutkan dahinya: "Nona, sekarang ini tidaklah tepat jika kau ke sana
karena di sana sedang diadakan persiapan perang. Sebenarnya tak seharusnya raja kami menerima
Su Tiau-gi itu, sekarang tentara kerajaan marah."
"Justeru sebelum perang meletus, aku hendak mengambil pergi bibiku. Tentara negeri tentu tidak
secepat itu datangnya, bukan?" kata In-nio.
Perempuan tani itu mengatakan tak tahu hanya memang dalam beberapa hari ini terdapat beberapa
pasukan yang lewat di situ.
"Apakah bendera mereka?" tanya In-nio.
"Tidak membawa bendera apa-apa. Tetapi menilik pakaiannya seperti orang Han. Ada wanitanya
juga." In-nio heran. Ia tahu tentara negeri belum mempunyai pasukan wanita. Pun induk pasukan yang
dipimpin Li Kong-pik telah berjanji pada Sip Hong kira-kira sepuluh hari lagi baru tiba di situ.
"Entah pasukan manakah mereka itu?" kata In-nio.
"Mudah-mudahan bukan tentara negeri. Kalau mereka itu tentara negeri selanjutnya kami tentu
lebih menderita lagi," kata perempuan itu. Waktu In-nio menanyakan sebabnya, wanita itu
meneranginya lebih lanjut: "Mereka itu lebih tepat disebut perampok. Kemarin waktu lalu di sini,
tanaman gandum kami diambil separuh!"
Kini tahulah sebabnya mengapa walaupun belum masanya, tetapi para petani di situ sudah sama
menuai gandumnya. Ia hanya dapat menghela napas. Memang anak tentara yang dipimpin oleh
lengkong atau ayahnya masih lumayan disiplinnya. Tapi anak tentara dari Tian Seng-su dan para
ciat-to-su itu, mungkin lebih ganas dari bangsa perampok.
Tiba-tiba terdengar derap kaki kuda berlarian datang. Petani-petani serempak berteriak gaduh:
"Celaka, kawanan perampok itu datang lagi."
"Nona, kau muda dan cantik, lekas ikut aku bersembunyi. Ai, kiranya perampok wanita yang
datang itu! Tetapi rasanya lebih baik nona menyingkir saja," kata perempuan tani tadi. Tetapi Innio
menolak. Ia mengatakan hendak bicara dengan mereka. Waktu si perempuan tani hendak
menariknya, In-nio sudah loncat ke atas kuda dan mencongklang ke sana. Perempuan tani itu
banting-banting kaki. Tapi karena pasukan wanita sudah menerjang ke ladangnya, terpaksa
perempuan itu lari.
"Pasukan dari mana ini" Siapa pemimpinmu" Mengapa kalian menginjak-injak ladang rakyat?"
tegur In-nio. Pemimpin mereka tertawa: "Budak perempuan yang bernyali besar, berani mengurusi nyonya
besar. Lihat panah!" - Cepat panglima perempuan itu sudah lepaskan anak panahnya.
In-nio gusar sekali. Begitu ia miringkan kepala, ia sambar ekor anak panah itu dengan sepasang
jarinya. Waktu ia hendak timpukkan kembali, tiba-tiba terdengar teriakan nyaring: "Hai, apakah itu
bukan nona In-nio?"
Seorang nona yang bermuka jelek dan berambut kuning, hidung besar larikan kudanya
menghampiri. In-nio kenal nona itu, serunya: "Hai, Kay toaci, kiranya kaulah. Mengapa kau
memimpin pasukan wanita ke Yu-ciu?"
Kiranya nona jelek itu bernama Kay Thian-sian, adik perempuan dari Kay Thian-hau, tangan kanan
yang paling dipercaya Se-kiat. Waktu dalam pertandingan memilih pemimpin beng-cu di gunung
Kim-ke-nia dulu, Kay Thian-haulah yang mengusulkan supaya Se-kiat diangkat jadi bengcu. Sekiat
banyak mendapat bantuannya. Karena hubungannya dengan Se-kiat, In-nio kenal juga dengan
kakak beradik she Kay itu. Kay Thian-sian tahu juga tentang hubungan Se-kiat dengan In-nio. Ia
masih mengira kedua pemuda itu tentu sepasang kekasih, tidak tahu tentang perubahan hubungan
mereka sekarang.
Thian-sian artinya bidadari, tapi rupanya lebih buruk daripada siluman. Ia sedang tertawa
menganga sampai gigi-giginya yang berwarna kuning kelihatan: "Mengapa kau tanyakan aku"
Bukankah kau sendiri datang hendak mencari Bo Se-kiat?"
"Benar, kudengar ia berada di Tho-ko-poh maka aku hendak mencarinya. Apakah kau menerima
perintahnya untuk membawa pasukan kemari?" tanya In-nio.
"Kiong-hi, kionghi! Tahukah kau kalau bengcu bakal melakukan gerakan besar" Kalau gerakan itu
berhasil, ai, kau tentu bakal menjadi permaisuri. Untuk melaksanakan gerakan itu sudah tentu
bengcu memerlukan tenaga kita. Anak buah kakakku, saudara-saudara dari Im-ma-jwan Peh houce,
Hek-long-san dan yang biasanya setia kepada bengcu, telah berturut-turut datang. Tapi mereka
yang biasanya setia kepada Thiat-mo-lek, terutama dari pihak Kim-ke-nia, tidak mau datang."
In-nio terkesiap hatinya. Ia ingat bahwa adanya dulu Thiat-mo-lek menyerahkan kedudukan
bengcu kepada Se-kiat itu, adalah karena hendak menghindari perpecahan. Siapa tahu kini timbul
tanda-tanda keretakan di dunia loklim.
Cian-hong atau pemimpin barisan wanita tadi segera menghaturkan maaf, tetapi In-nio tertawa:
"Kalian tak bersalah padaku, mengapa meminta maaf" Lebih baik kalian meminta maaf kepada
para petani yang rusak ladang gandumnya itu."
Si cian-hong merah padam mukanya tak berani menyahut. Adalah Kay Thian-sian yang
menyelutuk: "Ai, cici In, mengapa kau begitu bengis seperti hakim saja" Apa halangannya
merusakkan sedikit tanaman gandum itu" Bahkan kita memang perlu merampas tanaman mereka
semua." "Habis mereka disuruh makan apa nanti?" bantak In-nio.
Nona jelek itu kerutkan jidatnya: "Ai, nonaku manis, tahukah kau bahwa daerah ini jarang
penduduknya, sukar mencari ransum. Kalau tidak merampas gandum mereka, kita disuruh makan
apa?" "Bagaimanapun kita tentu lebih dapat berusaha daripada rakyat jelata itu. Tidak punya ransum,
dapat juga menyembelih kuda untuk bertahan beberapa hari. Apalagi sekarang sudah tiba di Yu-ciu,
perlu apa menyusahkan rakyat" Se-kiat dan engkohmu itu hendak bergerak dengan panji-panji
'keadilan', tetapi kalau sekarang hanya menyebabkan rakyat mati kelaparan, apakah itu sesuai
disebut adil" Pada hematku, jika mau merampas carilah orang-orang yang berharta," bantah In-nio.
Walaupun Thian-sian itu buruk mukanya, tapi hatinya masih baik. Ia dapat menerima koreksi Innio:
"Ya, memang di sepanjang jalan kami juga merampas orang-orang kaya. Tapi ada kalanya jika
tak berhasil mendapat si kaya, si miskin pun kami gasak. Cici In, jangan kira aku ini seorang yang
tak kenal adat-kebenaran."
"Jika aku beranggapan demikian, masakan aku berbahasa taci-adik padamu," sahut In-nio.
Thian-sian tertawa girang: "Bagus, demi memandang muka cici In, aku tak mau mengambil
sebutirpun gandum mereka. Ayo, semua orang berangkat, nanti di dalam kota kita makan sampai
kenyang." Memang Thian-sian itu selalu mengindahkan dan menurut nasihat In-nio. Ia segera ajak In-nio
bersama-sama. Dalam omong-omong, bertanyalah Thian-sian: "Apakah ayahmu meluluskan
perkawinan mu" Jika dapat memperoleh bantuan ayahmu, gerakan bengcu tentu dapat berhasil
dengan lekas."
In-nio menerangkan bahwa ayahnya belum mengetahui tentang hubungannya dengan Se-kiat.
"Oh, kalau begitu kau ini diam-diam melarikan diri" Jika bengcu mengetahui, alangkah terima
kasihnya kepadamu!" seru Thian-sian.
Hati In-nio terasa rawan, namun ia berusaha untuk menahannya. Pikirnya: "Mereka telah bertekad
hendak membantu Se-kiat. Jika tahu bahwa ayah menjadi wakil panglima dari tentara kerajaan
yang hendak menumpas mereka, bagaimanakah reaksi mereka terhadap diriku" Tetapi aku hendak
menjumpai Se-kiat, terpaksa aku harus menyatakan kesediaanku membantunya. Selanjutnya aku
dapat menyesuaikan dengan keadaan lagi."
"Cici In, apa yang kau pikirkan?" tiba-tiba Kay Thian-sian menegur demi melihat In-nio berdiam
diri. "Aku tengah memikirkan suatu permainan," jawab In-nio. Karena Thian-sian itu masih seperti
kanak-kanak, ia girang sekali mendengar itu dan buru-buru menanyakan.
"Tetapi kau harus membantu aku dulu," kata In-nio. Serentak Thian-sian pun menyatakan
kesediaanya. "Aku hendak menyaru jadi seorang anak buahmu. Sampai nanti masuk ke kota Tho-ko-poh, jangan
sampai memberitahukan pada lain orang."
"Kepada beng-cu?"
"Juga tidak perlu!"
Thian-sian kerutkan alis: "Mengapa bengcupun tidak boleh" Ho, tahulah aku."
"Tahu apa?" tanya In-nio.
"Kau kuatir nanti ia direbut oleh gadis suku Ki, maka diam-diam kau akan menyelidikinya, bukan"
Jangan kuatir, walaupun gadis-gadis itu memang pandai memikat orang lelaki, tapi mana mereka
nempil dengan kau, nona cantik yang pandai ilmu silat" Dan bengcu itu seorang yang selalu
menjunjung peri-budi, dia bukan pria yang gampang berubah hatinya."
Hati In-nio pedih namun mulutnya memaksa tertawa: "Jangan menduga yang tidak-tidak! Aku
hanya akan membuatnya kaget dengan kedatanganku secara tiba-tiba ini."
Akhirnya tanpa banyak rewel lagi, Thian-sian mengiakan. Demikianlah In-nio segera berganti
pakaian sebagai serdadu wanita.
Dua hari kemudian tibalah mereka di Tho-ko-poh. Disebut poh (kota jaman kuno yang berbentuk
seperti benteng) memang tepat, karena kota itu dikelilingi oleh gunung. Kotanya dibagi menjadi
dua, yang sebelah luar dan sebelah dalam. Su Tiau-gi dan kepala suku Ki berdiam di kota dalam.
Melihat keadaan kota Tho-ko-poh yang strategis itu diam-diam In-nio menimang dalam hati: "Jika
tak dapat menangkap raja di sini, sukarlah kiranya untuk menyerang kota ini."
Setelah menunggu sebentar di luar pintu kota, akhirnya pintu kota dibuka dan muncullah seorang
yang dandanannya mirip dengan opsir. Orang itu berseru nyaring: "Sebentar lagi Tay Yan kongcu
akan memeriksa barisan, harap kalian berkemah dulu di kaki bukit Hui-ma-san."
In-nio berdebar hatinya: "Tay Yan kongcu apakah dia bukan Su Tiau-ing si wanita siluman itu" Ah,
jangan sampai diriku ketahuan."
Ki-pay-koan atau opsir yang menjabat sebagai ordonan (penyampai berita) itu segera membawa
pasukan Kay Thian-sian ke tempat yang dimaksudkan itu. Tempat itu bekas ladang gandum.
Rumah-rumah kayu didirikan secara darurat untuk perkemahan tentara. Hanya ada dua buah rumah
tembok yang agak baik. Ini untuk tempat tinggal Kay Thian-sian dan senopati pembantunya.
"Mengapa kita tak disuruh tinggal dalam kota?" Kay Thian-sian kerukan dahinya.
"Kota sudah penuh dengan tentara Yan-kok, untuk sementara kalian tinggal saja di sini," jawab
opsir itu. "Bahwa nanti Tay Yan kongcu akan datang sendiri menjenguk kalian, itu sudah suatu
kehormatan besar.
Kay Thian-sian mendengus dengan kurang senang, pikirnya: "Apa-apaan dengan kongcu (puteri),
nio-nio (permaisuri) Toh tidak lain hanya adik perempuannya Su Tiau-gi saja. Sudah melarikan diri
di tempat orang, masih orang she Su itu banyak tingkah memakai gelaran agung, huh, sungguh tak
tahu diri! Sungguh tak mengerti aku mengapa bengcu mau berserikat dengan dia?"
Tepat pada saat perkemahan selesai didirikan, datanglah sebuah pasukan wanita yang mewartakan
bahwa puteri segera akan datang. Kay Thian-sian makin panas hatinya: "Kurang ajar betul, di
hadapanku ia masih main agung-agungan!"
Benar juga, datanglah Su Tiau-ing dengan naik sebuah kereta. Mungkin Tiau-ing itu tak mengerti
bagaimana bentuk kereta istana itu, maka model keretanya itu tak keruan bentuknya. Dengan
menahan kemengkalan hatinya, Kay Thian-sian terpaksa menyongsongnya.
Tetapi ternyata Su Tiau-ing pandai sekali mengambil hati orang. Begitu turun dari keretanya, serta
merta ia lantas mengepal tangan Kay Thian-sian seraya berseru dengan ramahnya: "Aduh,
menempuh perjalanan yang sedemikian jauh, tentu lelah sekali. Cici Kay, lama sudah kudengar kau
ini seorang pendekar wanita yang gagah, sungguh suatu kehormatan kini mau datang kemari!"
Dingin-dingin saja Kay Thian-sian menyahut, memujikan kesehatan orang.
"Ai, mengapa cici begitu merendah kepadaku" Toh engkohmu dan Se-kiat itu sudah seperti saudara
saja?" seru Tiau-ing.
Nona jelek rupa itu ternyata puntul otaknya. Pikirnya: "Engkohku baik kepada bengcu itu, ada
hubungan apa dengan kau dan aku?"
"Aku juga mempunyai sebuah pasukan kecil serdadu wanita. Kelak kita dapat menggabungkannya
menjadi sebuah pasukan wanita tentu tak kalah dengan pasukan orang lelaki. Ha, cici Kay,
pasukanmu ini nyata lebih kuat dari pasukanku itu," kata Tiau-ing pula.
Dengan kata-kata ini terang Tiau-ing hendak memeriksa barisan Kay Thian-sian. In-nio sudah
gelisah. Syukur si perawan jelek itu tanpa sungkan-sungkan lagi segera menyatakan bahwa anak
buahnya yang habis menempuh perjalanan jauh itu tentu letih, maka ia hendak suruh mereka lekas
beristirahat saja. Kemudian ia haturkan terima kasih kepada Tiau-ing yang mengantarkan sekian
banyak makanan.
Tiau-ing menyatakan kemenyesalan bahwa ia tak dapat menyediakan tempat yang lebih baik untuk
anak buah Kay Thian-sian.
"Kami datang untuk berhamba padamu. Asal mendapat tempat guna berlindung dari hujan dan
angin saja, sudahlah cukup. Masakan aku berani mengharap yang tidak-tidak?"
Tiau-ing tertawa. Tiba-tiba ia membisiki Thian-sian: "Harap cici jangan marah. Kesemuanya ini
bukan aku yang mengatur. Aku dan Se-kiat juga tak tinggal di dalam kota. Untuk sementara harap
cici bersabar dulu, beberapa hari aku tentu dapat menyediakan tempat yang lebih enak untuk cici."
Kiranya kedatangan Se-kiat dan Tiau-ing untuk menggabungkan diri dengan Su Tiau-gi itu,
diterima tidak dengan kepercayaan penuh. Hal itu disebabkan karena adanya percekcokan antara
Tiau-gi dan Tiau-ing tempo hari. Karena memandang Se-kiat itu seorang bengcu yang luas
pengaruhnya, maka Tiau-gi hendak menggunakannya untuk membantu usahanya. Dan dengan
sendirinya ia tak dapat meneruskan maksudnya untuk menangkap Tiau-ing. Dengan adanya
ketidak-kompakan dalam persekutuan itu, maka masing-masing pihak saling waspada. Itulah
sebabnya maka Tiau-gi tak mau menempatkan anak buah Se-kiat di dalam kota. Di samping itu
diam-diam iapun melepas mata-mata untuk mengamat-amati gerak-gerik orang-orangnya Se-kiat.
"Oh, jadi kau tidak tinggal bersama engkohmu tetapi bersama bengcu kami?" Kay Thian-sian
heran. "Memang aku senantiasa tinggal dengan Se-kiat."
"Ha, mengapa bengcu tak tampak?" tiba-tiba Kay Thian-sian mengajukan pertanyaan. Tiau-ing
mengatakan bahwa kedatangannya itu adalah sebagai wakil Se-kiat. Ia yang datang, artinya sama
dengan Se-kiat yang datang.
"Oh, jadi kau dan bengcu itu berarti seorang?" Thian-sian menegas.
Tiau-ing tidak menyahut melainkan tertawa girang. Melihat ke arah matahari, ia berseru: "Ai, hari
sudah siang, Se-kiat tentu menanti kedatanganku. Besok kita lanjutkan bicara lagi."
Setolol-tololnya Thian-sian, sedikit-sedikit tahu juga apa arti tingkah laku Tiau-ing itu. Begitu
Tiau-ing pergi, Thian-sian hendak mendapatkan In-nio, tapi baru saja masuk ke dalam rumah, tibatiba
seorang anak buahnya masuk melaporkan bahwa raja Tomulun hendak bertemu.
"Hm, baru seorang puteri pergi, datang lagi seorang raja. Apakah aku harus mengumpulkan
pasukan untuk menyambutnya lagi?" Thian-sian muring-muring."
"Tomulun itu agak aneh. Ia datang seorang diri tanpa membawa pengikut. Waktu kami tegur, baru
ia mengatakan siapa dirinya. Ia ingin bertemu li-ciangkun (jenderal wanita) karena sudah lama
mengagumi nama ciangkun yang termasyhur. Orangnya agak ketolol-tololan," kata serdadu wanita
itu. Kay Thian-sian juga seorang wanita yang ketolol-tololan. Mendengar laporan itu, tiba-tiba
timbullah gairahnya, serunya: "Ha, aneh sekali, namaku mengapa termasyhur sampai di daerah ini,
sampai raja suku Ki mendengarnya juga. Baik, karena ia begitu tulus, akupun hendak
menjumpainya."
Keluar di halaman, ia melihat seorang lelaki tinggi besar tengah mondar-mandir dengan
membongkok tangan.
"Hai, apakah kau ini raja daerah sini?" tegur Thian-sian.
Lelaki itu berpaling dan berseru: "Apakah kau ini Kay Thian-sian li-ciangkun?"
Ketika saling berpandangan, keduanya sama-sama berteriak kaget. Kiranya raja Tomulun itu
seorang lelaki yang jelek, kulitnya hitam seperti pantat kuali dan matanya menonjol ke atas.
"Ya, aku ini Kay Thian-sian. Perlu apa kau cari aku?" sahut Thian-sian.
Mulut raja itu menguak-uak seperti babi dan kakinya menyurut mundur.
"He, kau ini bagaimana" Kau punya mulut atau tidak, mengapa tak bicara?" kembali si nona
'bidadari' menegurnya.
Sepasang mata Tomulun mendelik. Tiba-tiba ia tertawa keras.
"Kau menertawai apa?" seru Thian-sian.
"Apakah kau ini sungguh Kay Thian-sian?" Tomulun balas bertanya.
"Sejak dilahirkan aku bernama begitu, apakah kau anggap tidak baik?"
"Baik, baik sekali! Meskipun aku tak sekolah bahasa Han, tapi tahu juga aku akan arti nama itu, hi,
hi, apakah artinya bukan sangat cantik sekali melebihi dewi Siong-go di rembulan?"
Kay Thian-sian marah sekali. Tidak peduli yang dihadapinya itu raja atau bukan, ia lantas
menjiwirnya: "Kau hendak mengatakan bahwa aku bermuka buruk tidak pantas memakai nama itu,
bukan" Hm, kau juga tak mau berkaca, apakah kau ini juga bagus rupamu" Tadi aku hampir saja
pingsan melihatmu!"
Tomulun mendorongnya, berkata: "Hi, tak kunyana tenagamu besar sekali."
Kena didorong mundur sampai tiga langkah, Kay Thian-sian juga memuji: "Tenagamupun hebat


Tusuk Kondai Pusaka Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

juga." - Ia tertawa riang, ujarnya pula: "Tahukah kau bagaimana kepandaianku" Menjadi seorang
jenderal, yang penting ialah harus bertenaga kuat, dapat berperang. Apakah kau masih berani
menertawai aku?"
Tomulun paling gemar adu kekuatan dengan orang. Mendengar itu, timbullah keinginannya:
"Jangan omong besar. Berbicara tentang tenaga ..."
"Apa" Kau kira aku tak dapat menandingi kau?" tukas Thian-sian.
Tomulun garuk-garuk kepala, batinnya: "Ah, jika ia bukan seorang perempuan, tentu kutantang
berkelahi. Ha, ada akal ..."
"Baik, kau ini seorang tetamu dari jauh, aku hendak menghaturkan sebuah bingkisan," tiba-tiba ia
tertawa. Salah seorang serdadu wanita yang menjaga pintu, mempunyai sebatang tongkat besi,
Tomulun menghampiri dan memintanya. Tongkat besi itu lalu diletakkan di atas kepalanya dan
dibekuk sehingga menjadi sebuah gelang bundar. "Nona Kay, kuberikan anting-anting ini
kepadamu, sukakah kau?"
Ternyata ada kebiasaan suku Ki itu baik perempuan maupun lelaki, semua suka memakai antinganting.
"Anting-anting besar" yang dipersembahkan Tomulun itu bukan dimaksud supaya dipakai
Thian-sian, melainkan hanya untuk mengunjuk kehormatan saja, disamping hendak mempamerkan
kekuatannya. Sebaliknya Thian-sian telah salah paham. Ia deliki mata kepada raja hitam itu dan tertawa
mengejek: "Kau memberikan anting-anting besar itu, hanya untuk mengolok-olok telingaku yang
besar ini! Hm, akupun hendak memberikan tanda mata padamu juga."
Memang telinga nona itu, lebih besar dari telinga kebanyakan orang.
"Huh, mengapa hatimu begitu sempit" Baik, kutunggu bingkisan apa yang hendak kau berikan itu."
Thian-sian menyambuti anting-anting besi tadi, sembari sang tangan menarik, mulutnya
menghitung 'satu, dua tiga, empat', dan anting-anting besi lurus kembali menjadi sebatang tongkat
lagi. Tiba-tiba Thian-sian berteriak 'putuslah' dan tongkat besi itupun patah menjadi dua lalu
diberikan kepada si raja: "Kuberikan bingkisan ini untuk kau buat sumpit makan!"
Tomulun terkesiap, tiba-tiba ia tertawa gelak-gelak dan ulurkan jempolnya: "Ah, kau menang!
Bukankah kau hendak mengejek mulutku yang lebar sekali ini?"
Dengan spontan Thian-sian unjukkan jempol tangannya:"Benar, kau bukannya goblok sekali." -
Dan tertawalah nona itu sekeras-kerasnya. Tomulun pun ikut tertawa.
"Sudahlah, sudah. Kita ini setali tiga uang, jangan saling mengejek," kata Tomulun.
Thian-sian berjingkrak: "Apa katamu" Kau bilang aku dan kau ini sama-sama jelek rupa?"
"Kukatakan, kau dan aku ini sama kepandaiannya," sahut Tomulun.
"Hm, begitulah baru perkataan manusia," kata Thian-sian.
Tiba-tiba mulut Tomulun meluncur kata-kata lagi: "Yang jelek malah jujur, yang cantik sebaliknya
malah plin-plan!"
Mendengar itu Thian-sian berjingkrak lagi, serunya: "Siapa yang buruk dan siapa yang cantik itu?"
"Ai, manisku, aku hanya sembarangan berkata saja. Jangan kau tanyakanlah," sahut Tomulun.
"Tidak, tidak, kau bukan omong sembarangan. Kau ini orang yang tak jujur!"
"Aku ini orang yang kelewat jujur sehingga banyak menelan kerugian. Baik, apakah kau sungguh
hendak menanyakan?" seru Tomulun.
"Ya, tapi yang jelek tak usah kau katakan. Bilang saja siapa yang cantik itu!"
Diam-diam serdadu wanita yang menjaga di situ geli tapi terpaksa ditahan.
"Apakah siluman kecil itu belum pernah datang kemari?" tanya Tomulun.
"Siluman kecil siapa?" Thian-sian melongo.
"Siapa lagi kalau bukan budak perempuan she Su itu!"
"Oh, kiranya kau memakinya! Sungguh besar sekali nyalimu berani memaki seorang puteri!"
Tomulun marah sekali, serunya: "Persetan puteri atau bukan! Bukan saja memakinya, pun aku
hendak mencakar dan membeset kulit mukanya, agar ia lebih buruk dari wajahmu!"
"Mengapa kau begitu membencinya?" tanya Thian-sian.
Dengan dada berombak keras, Tomulun menggerang. "Mengapa aku tak harus membencinya, ia
sudah bersedia suka menjadi isteriku tetapi sekarang ia mau jadi isteri lain orang!"
"Jadi isteri siapa?"
"Siapa lagi kalau bukan si budak busuk Bo Se-kiat itu!"
Saking kejutnya Thian-sian sampai loncat berjingkrak: "Sungguhkah itu?"
"Sedikitpun tidak salah! Bo Se-kiat si jahanam itu ...."
Belum Tomulun menghabiskan makiannya, Thian-sian sudah menyolok hidung raja itu dan
membentaknya: "Kurang ajar! Mengapa kau sembarangan memaki orang?"
"Heh, aku kan hanya memaki Bo Se-kiat, apa sangkut-pautnya dengan kau" Oh, mengertilah aku.
Se-kiat budak itu berparas cakap, jangan-jangan ...."
Thian-sian mencengkeram raja itu dan membentaknya: "Jangan ngaco belo! Bo Se-kiat adalah
bengcu kami, tahukah kau?"
Sambil menghindar cenkeraman si nona, Tomulun tetap marah-marah: "Peduli apa dengan bengcu!
Aku tetap hendak memakinya, jahanam itu ...."
Kay Thian-sian loncat menghampiri hendak menyerangnya. Tetapi Tomulun menolak: "Seorang
lelaki jantan tak mau berkelahi dengan seorang perempuan. Akupun tak mau berkelahi padamu.
Baiklah, anggap saja aku telah menyalahi kau. Tidak boleh memaki, ya sudah." - Habis berkata ia
lantas berputar hendak berlalu.
"Tidak malu, menyebut diri lelaki jantan," Thian-sian menggerutu terus enjot tubuhnya loncat
melampaui kepala raja itu dan menghadangnya: "Berhenti!"
"Aku sudah tak memaki, masih hendak mengapa kau ini" Apakah benar-benar hendak menantang
aku berkelahi?" seru Tomulun.
"Karena kau belum menceritakan yang sebenarnya. Bagaimana kau tahu bengcu kami itu hendak
mengambil isteri si wanita siluman she Su" Apakah bukan dugaanmu sendiri" Atau apakah bengcu
pernah mengatakan padamu?"
"Kau hanya berpendirian hendak membantu bengcu-mu saja, maka perlu apa aku banyak bicara
padamu?" sahut Tomulun.
"Asal kau jangan sembarangan memaki, sudah tentu aku tak marah padamu. Baiklah, biar aku
haturkan maaf padamu, bilanglah!"
"Tunggu saja nanti tentu akan menerima undangan dari bengcumu. Surat undangannya sudah
diedarkan. Karena kau sudah datang, tentu akan dikirimi juga," kata Tomulun.
Thian-sian terkejut, serunya: "Apa" Hari pernikahannya sudah ditetapkan?"
"Benar, besok lusa!"
Tiba-tiba mata Thian-sian melotot dan mulutnyapun memaki: "Jahanam, benar-benar jahanam....."
"Siapa yang kau maki itu?" tegur Tomulun.
"Aku bukan memaki kau, aku ....." tiba-tiba Thian-sian tak dapat bicara, wajahnya merah padam.
Kiranya adanya tadi hendak memukul Tomulun, bukan karena Tomulun telah memaki Se-kiat,
tetapi karena ia tengah marah-marah namun tak dapat melampiaskan kemarahannya itu. Siapa yang
sedikit saja menyalahi, tentu akan ditimpahi kemarahannya itu. Waktu mendengar Se-kiat telah
menetapkan hari pernikahannya dengan Tiau-ing, tanpa dapat dicegah lagi Thian-sian lantas
menirunya Tomulun, memaki 'jahanam' pada Se-kiat.
"Hola, kau juga memaki jahanam itu" Bagus, tepat sekali makianmu itu!" Tomulun tertawa gelakgelak.
"Hari akan turun hujan, si nona akan menikah dengan orang, apa guna memakinya" Ai ....," kata
Thian-sian yang lantas berpikir hendak mengajak berunding Tomulun tapi tak tahu bagaimana harus
memulaikannya. Tomulun tampak kecewa dan mengulangi kata-kata Thian-sian: "Ya, memang benar. Hari akan
turun hujan, si nona pun hendak menikah dengan orang!" - Ia berputar diri lantas angkat kaki.
Thian-sian pun tak mau mencegahnya lagi.
Ah, ternyata Tomulun itu dirasuk asmara sepihak. Kunjungannya ke perkemahan Kay Thian-sian
itu sebenarnya mengharap dapat berjumpa dengan Tiau-ing. Kalau dapat, ia akan berusaha untuk
merebut hati nona itu. Tapi kalau tidak dapat, ia hendak puaskan hati memakinya habis-habisan. Di
samping itu, ia ketarik juga dengan nama "Thian-sian" (bidadari). Menilik namanya orangnya tentu
cantik juga. Maka ingin sekali ia melihat, cantik manakah 'bidadari' itu dengan Tiau-ing.
Walaupun kepergiannya dari perkemahan Thian-sian itu, hati Tomulun berduka (karena ditinggal
kawin Tiau-ing), tapi kesesakan napasnya sudah berkurang banyak. Pikirnya: "Meski Thian-sian itu
jelek rupa, tapi lebih menarik daripada si ular cantik Su Tiau-ing."
Pun sekembalinya ke kamar, Thian-sian juga terlongong-longong beberapa saat. Makin memikir,
makin mendongkol. Tiba-tiba ia berseru memanggil orangnya suruh menyiapkan kuda dan seorang
penunjuk jalan orang Ki. Baru ia berseru, seorang serdadu wanita menerobos masuk. Thian-sian
tertegun, serunya: "Hai, cici In, kau" Baiklah, urusan ini tak dapat ditutup lagi, nantinya akupun
memang hendak mencari kau."
"Tadi akulah yang menyuruh anak buahmu itu pergi menyiapkan kuda. Tapi perlu apa kau
menyuruh begitu?" tanya In-nio.
"Aku hendak mencari, mencari Se-kiat untuk memprotesnya!"
"Jangan, cici, jangan ...."
"Apakah kau sudah mengetahui tentang Se-kiat?"
"Apa yang kau bicarakan dengan raja Ki tadi, kudengar semua. Lusa Se-kiat akan menjadi
pengantin!" kata In-nio.
"Benar, mengapa kau tak bingung" Mengapa kau tak memperbolehkan aku mencari Se-kiat?" teriak
Thian-sian. In-nio tertawa rawan: "Urusan Se-kiat dengan wanita siluman itu, aku tahu lebih banyak dari kau.
Cici, terhadap orang yang kau cintai, kau harus memintanya supaya sungguh mencintai kau. Jika
dia berubah hatinya, apa artinya lagi" Apakah kau hendak meminta-minta kasihannya, supaya
mencintai kau?"
Thian-sian menepuk pahanya berseru: "Benar! Gagah sekali ucapanmu. Kita kaum wanita jangan
mau dipermainkan lelaki!"
Tapi lewat beberapa jenak kemudian, kembali nona kasar itu marah-marah lagi: "Namun cara begitu
saja kau lepaskan Se-kiat" Kau rela, tapi kau tak terima! Cici In dari ribuan li kau datang kemari
apakah kau berpeluk tangan saja melihat mereka menikah?"
"Siapa bilang aku berpeluk tangan saja?" sahut In-nio.
"Bagus, bagus! Ambillah pedang dan carilah Se-kiat sana. Jika kau kewalahan, biar kubantu
melabraknya. Kalau putus hubungan biar putus sama sekali," teriak si buruk.
In-nio geli dan mendongkol dibuatnya, namun ia berlaku setenang mungkin: "Tidak, aku tak mau
berkelahi padanya!"
"Oh, apakah kau masih suka padanya?" tanya Thian-sian.
"Tidak, karena ia sudah berbalik hati, akupun tak suka padanya."
Lagi-lagi Thian-sian menampar pahanya sendiri: "Ini, aku tak mengerti. Kau tak mau melabraknya,
juga tak suka lagi padanya, habis bagaimana kau hendak menyelesaikan?"
"Aku tak suka padanya, tetapi karena aku pernah bersahabat maka aku tak suka ia kawin dengan
wanita siluman itu. Kupikir hendak bicara secara persahabatan dengan dia, menunaikan kewajiban
seorang sahabat untuk memberi nasehat. Sekali-kali aku tak mau gunakan kekerasan. Cici, apakah
kau suka membantu aku?"
"Kau maksudkan supaya aku memberitahukan bengcu agar kau dapat menemuinya?" tanya Thiansian.
"Bukan. Siluman wanita itu tinggal bersama Se-kiat. Belum tentu kau dapat menemui bengcu-mu,
sebaliknya malah 'menjagakan ular tidur' nanti."
"Lalu aku disuruh membantu apa?"
"Cukup asal kau suka menyelidiki dan memberi tahu aku di mana tempat tinggalnya. Meskipun
siluman wanita itu tinggal bersama, tapi belum tentu tinggal sekamar. Setelah tahu tempat
tinggalnya, aku dapat berusaha menemuinya sendiri."
Thian-sian menepuk tangan: "Benar, gingkang-mu lihay, malam hari dapat secara diam-diam
menemuinya. Ini mudah saja, besok pagi aku tentu dapat menanyakan tempat tinggalnya dan besok
malam, ialah malam pertama pernikahannya, kau dapat mendahului ...."
"Ngaco belo! Apa kata-kata itu pantas diucapkan seorang anak perempuan?" bentak In-nio.
"Ya, memang aku ini seorang anak perempuan liar," dengan tertawa cekikikan Thian-sian lantas
keluar untuk memberi perintah pada anak buahnya.
Keesokan harinya, Thian-sian mencari keterangan tentang tempat tinggal Se-kiat, yakni berkemah
di luar kota sebelah timur. Dengan masih menyaru sebagai serdadu wanita, In-nio naik kuda untuk
mengenal jalanan dulu. Dalam perjalanan itu ia mengambil putusan jika Se-kiat sampai tak mau
sadar, ia terpaksa akan membantu ayahnya untuk memukul kota Tho-ko-poh itu.
Tho-ko-poh didirikan di antara gunung-gunung. Anak buah Se-kiat berkemah di pinggiran kota
sebelah dalam. Untuk kesana harus melewati sebuah cekungan gunung. Ketika kuda In-nio masuk
ke selat lembah, tiba-tiba di cekung gunung itu muncul seorang hoan-ceng (paderi) yang tanpa
bicara apa-apa sudah lantas lemparkan tali lasso menjirat kaki kuda In-nio. Kejut In-nio bukan
kepalang. Tapi karena ia sudah banyak pengalaman berkelana di dunia persilatan, meskipun gugup
tapi tak sampai ia turut jatuh bersama kudanya. Begitu kuda rubuh, ia lantas gunakan ginkangnya
melayang ke arah si paderi.
"Hai, aku inginkan hidup, jangan sampai ia terluka berat!" tiba-tiba terdengar lengking suara
wanita. Ketika In-nio mendongak, diam-diam ia mengeluh. Di lereng gunung tampak berdiri seorang
wanita. Dia adalah Su Tiau-ing.
"Jangan kuatir, kongcu. Aku cukup berhati-hati. Ha, ha, gagal menangkap Sip Hong, menangkap
puterinyapun lumayan juga!" hoan-ceng itu tertawa gelak-gelak.
In-nio segera mengenali paderi itu sebagai paderi jubah merah yang pernah dijumpainya di hotel
tempo hari. Dan memang paderi itu bukan lain ialah mata-mata yang dikirim Su Tiau-gi ke
perkemahan Sip Hong, tapi dapat dipergoki. Dua orang sutenya kena dirobohkan Bik-hu, tapi ia
masih berhasil melarikan diri.
Dalam marahnya In-nio lantas menusuk dengan pedangnya. Padri itu menanggalkan jubahnya
dipakai sebagai senjata. Dimainkan si paderi, jubah itu berubah seperti segumpal awan merah. Innio
gunakan jurus toa-bok-ko-yan untuk menyerang dengan gencar. Tapi bukannya dapat
menghancurkan jubah lawan, sebaliknya pedangnya malah kena ditelungkupi jubah dan hendak
ditariknya. Tahu lwekangnya kalah, In-nio cepat menarik pulang pedangnya dan berganti mainkan ilmu pedang
Hui-ho-poh-tiap. Sret, sret, sret, ia lancarkan tiga buah tusukan dari tiga jurusan yang berlainan. Ia
hendak mencari lubang yang tak dijaga jubah si paderi.
Gagal merebut pedang sebaliknya malah diserang begitu gencar, diam-diam paderi itu terkejut dan
memuji kelihayan si nona. Ia lebih lihay dari ayahnya.
Ia putar jubahnya bagai angin lesus sehingga In-nio tak dapat mencari kesempatan. Dan karena tak
berani adu lwekang, terpaksa In-nio pun gunakan cara berkelahi dengan berputar-putar.
Dua puluh jurus kemudian, Tiau-ing tampak turun dari bukit dan tertawa: "Nona In, kemarin aku
sudah mengetahui kedatanganmu. Karena di hadapan barisan terpaksa aku tak dapat mengundang.
Sungguh kebenaran sekali kau suka datang sendiri. Seharusnya kita berhadapan sebagai kakak
beradik. Beradu tajamnya golok dan pedang, adalah kurang pantas."
Tiau-ing memang cerdik. Ia sudah memperhitungkan bahwa In-nio tentu akan menyelidiki jalanan.
Maka sebelumnya ia mengajak si paderi jubah merah untuk menunggu di cekung gunung itu.
"Seorang perempuan siluman bersilat lidah, tak punya malu. Siapakah yang sudi berakuan kakakadik
denganmu?" damprat In-nio.
Tiau-ing tertawa mengejek: "Dari ribuan li mencari seorang pria, apakah 'tahu malu' namanya?"
In-nio sebenarnya tenang dan tak mudah marah. Tapi demi mendengar ejekan itu, marahnya
berkobar: "Dari mulut anjing tak nanti keluar gadingnya. Lihat pedang!" - Ia mengisar dan
kiblatkan pedangnya menabas Tiau-ing. Tetapi si paderi ternyata lebih gesit. Dari bertahan tibatiba
ia menyerang. Ia tebarkan jubahnya ke tengah mereka. Pedang In-nio hampir saja kena dilibat.
Tiau-ing masih tetap membongkok tangan dan tertawa seenaknya: "Apakah kata-kataku salah"
Bukankah kau hendak mencari Bo Se-kiat" Sebagai tetamu, kau sudah kuhormati dengan
membiarkan kau berlaku kurang adat padaku. Sebagai tuan rumah sebaliknya aku tak dapat berbuat
kurang ajar kepadamu. Kau mau menemui Se-kiat, itu mudah. Mari kuantarkan ke sana?"
In-nio hendak memaki lagi tapi tiba-tiba hidungnya mencium bau wangi sampai tenggorokannya
terasa manis. Dan matanya agak gelap. "Celaka, aku terkena jerat mereka!" diam-diam ia
mengeluh dan buru-buru salurkan lwekang untuk menolak bau beracun itu.
Memang Tiau-ing sengaja bikin panas hati In-nio. Sekali In-nio marah, pikiran kacau dan darah
meluap. Saat itulah si paderi segera tebarkan semacam bi-hiang (dupa wangi). Hanya digunakan
bi-hiang untuk membuat orang pingsan, dan tidak menggunakan racun yang lebih keras, adalah
karena Tiau-ing menghendaki supaya In-nio dapat ditawan hidup-hidup.
"Rebahlah!" tiba-tiba si paderi berteriak sembari kebutkan jubahnya. Seketika itu In-nio rasakan
kepala berputar-putar, pedangnya terlepas dan orangnyapun rubuh. Bagaikan orang bermimpi
buruk, tiba-tiba In-nio rasakan tenggorokannya dicekik oleh tangan dingin dan menjeritlah ia.
Ketika membuka mata tahu-tahu ia mendengar suara Tiau-ing tertawa: "Kau seorang pendekar
wanita ternama, masakan punya rasa takut" Jangan takut, akulah. Mengunjukkan kasih sayangku
saja belum sempat, mengapa aku harus mencelakaimu?"
Setelah menenangkan pikirannya, barulah In-nio mengetahui dirinya berbaring di sebuah ranjang.
Dari hiasan kamar ia duga kamar itu tentu milik Tiau-ing sendiri. Dan dari jendela dapatlah ia
mengetahui bahwa saat itu sudah petang hari. Ia hendak menolak Tiau-ing tapi tubuhnya terasa
lemas tak bertenaga. Kini sadarlah ia kalau menjadi tawanan. Untuk melampiaskan kemarahannya
In-nio menggigit tangan Tiau-ing.
Tiau-ing menarik tangannya dan tertawa: "Hebat, sungguh hebat, benar-benar nona cantik laksana
bidadari! Kalau aku saja merasa suka, apalagi Se-kiat!"
In-nio makin gusar: "Aku sudah jatuh ke tanganmu, bunuhlah!"
"Ai, macam apa ucapanmu itu" Mengapa aku membunuhmu" Adalah karena kau tak mau damai
dengan aku maka terpaksa kugunakan cara begini. Sekarang apakah kau sudah tak marah dan suka
bercakap-cakap dengan aku?"
"Mau apa kau" Apakah kau belum cukup menghina aku?" sahut In-nio.
"Cici, aku bersungguh hati hendak bersahabat, janganlah kau mempunyai rasa bermusuhan. Kau
adalah sahabatnya Se-kiat dan biji mestika dari In tay-ciangkun, masa aku berani kurang adat?"
Tiau-ing bersikap sungguh-sungguh."
"Tak usah bermain sandiwara. Bilanglah terus terang apa maksudmu?"
Tiau-ing tersenyum: "Kabarnya ayahmu telah menerima tugas pemerintah diangkat menjadi wakil
panglima untuk menyerang daerah ini dan beberapa hari lagi akan segera tiba. Biarlah
kuberitahukan sebuah rahasia padamu. Walaupun engkohku itu namanya saja kaisar Tay Yan, tapi
pada hakekatnya dia sudah tak punya kekuasaan lagi. Setiap waktu kukehendaki ia jatuh, semudah
orang membalikkan telapak tangan. Sekarang ini dia hanya tak lebih seperti bonekanya Se-kiat.
Tetapi mungkin ia belum tahu hal itu."
"Kau sungguh pintar sekali, tepat menjadi pembantu Se-kiat. Tetapi mengapa kau memberitahukan
hal itu kepadaku?"
"Masakan kau tak ingin Se-kiat menjadi raja" Sekarang ayahmu datang hendak menumpas
pemberontak, apakah bukan serupa hendak menumpas Se-kiat?" seru In-nio.
"Akan mengundang bantuanmu," Tiau-ing tertawa.
"Bagaimana caranya?"
"Harap dengan memandang muka Se-kiat, kau sudi menulis sepucuk surat kepada ayahmu."
"Isinya?"
"Ah, cici, kau toh pintar, masakan perlu kujelaskan," kata Tiau-ing.
"Aku kepingin mendengar pendapatmu," kata In-nio.


Tusuk Kondai Pusaka Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Paling bagus ialah datang mengundang ayahmu menggabung pada Se-kiat, bersama-sama
melaksanakan gerakan besar. Jalan kedua ialah saling membantu. Ayahmu dapat menggunakan
tentara untuk berdikari sebagai raja. Jalan lain, jika ia tak mau berkhianat pada kerajaan Tong,
baiklah gunakan siasat 'ngulur kambang' saja, jangan jual jiwa sungguh-sungguh untuk memerangi
Se-kiat. Sebagai puteri yang mengenal jelas pribadi ayahnya, cici tentu mengerti jalan mana yang
terbaik untuk menasihati ayahmu."
"Emoh semuanya!" In-nio menolak dengan tegas.
"Aku tak percaya ayahmu sungguh-sungguh setia kepada kerajaan. Sekalipun andaikata ia benarbenar
hendak menjadi menteri setia, toh ia harus memikirkan bahwa ia hanya mempunyai seorang
puteri tunggal kau ini!" kata Tiau-ing yang secara halus memberi ancaman.
"Ayah tak nanti menurut anjuran itu dan akupun takkan menulis surat semacam itu!" teriak In-nio.
Wajah Tiau-ing mengerut marah: "Ha, kiranya kau yang tak mau menulis!" - Tiba-tiba ia tertawa
mengikik: "Urusan kita mudah dirunding. Bila Se-kiat menjadi kaisar, ia tentu memerlukan dua
tiga istana. Aku rela menyerahkan kedudukan Ceng-kiong-nio-nio kepadamu."
"Kau kira setiap orang tak punya malu seperti kau, temaha harta silau kedudukan?" In-nio
menyahut enggan tapi jelas bernada mendamprat.
Tiau-ing kewalahan dan tertawa mengejek: "Nona In jangan lupa, kau sekarang bukan berada di
perkemahan tentara ayahmu, tetapi di tangan Su Tiau-ing."
"Oh, kiranya yang kau katakan 'bersahabat' itu begitu maksudnya! Jika aku bukan anaknya Sip
Hong tentu sudah kau bunuh, bukan?"
"Asal sudah mengerti, sudah cukup. Sekarang tiba giliranmu, kau bersedia menulis surat itu atau
tidak?" "Telah kukatakan tadi, tak perlu diulangi lagi. Meskipun aku benar anaknya Sip Hong tapi tak ada
gunanya bagi kepentingan kalian. Tak usah kau membuat rencana pada diriku!"
Tiau-ing marah benar. Seketika ia hendak membunuh nona itu saja tapi pada lain kilas, ia masih
mengharapkan perubahan sikap In-nio. Tiba-tiba ia tertawa dingin: "Kedatanganmu kemari, apa
bukan karena Se-kiat?"
"Kau bebas menerka dan itu urusanmu sendiri," tukas In-nio. Dalam hati ia menandaskan bahwa
sekalipun benar ia hendak menemui Se-kiat, tapi sekali-kali bukan bermaksud hendak merebut
suami. Tiau-ing yang cerdas tahu apa isi hati In-nio. Maka tertawalah ia: "Kau salah kira. Aku bukannya
kuatir kau hendak merebut Se-kiat. Tetapi karena kau kemari hendak menemui Se-kiat, janganlah
kau putuskan hubunganmu dengan dia secara begitu getas!"
"Tutup mulutmu!" bentak In-nio.
"Silahkan memaki sepuas-puasmu, aku merasa simpati padamu. Tak mudah mengharap
kedatanganmu kemari. Se-kiat tentu gembira sekali melihatmu. Jangan menuduh aku seorang
wanita berhati sempit. Tahukah kau apa yang kupikirkan saat ini?"
"Siapa sudi membuang waktu menerka pikiranmu!"
"Aku tengah memikir untuk mengundang Se-kiat kemari agar kalian dapat bertemu. Aku tahu apa
yang kukatan tentu kau terima dengan purbasangka yang jelek. Sedikitpun kau tak mau memberi
kesempatan padaku. Maka biarlah Se-kiat yang mengatakan padamu. Coba lihat saja apakah
ucapannya itu sama dengan aku atau tidak! Dan hendak kupertunjukkan padamu, apakah aku yang
merayu Se-kiat atau Se-kiat yang membutuhkan aku!"
Baru Tiau-ing hendak memanggil seorang bujang, tiba-tiba di luar terdengar orang mendatangi.
Tertawalah Tiau-ing: "Ha, itu dia sudah datang, tak usah diundang lagi. Cici In, kau ingin bertemu
sekarang atau tidak?"
Memang In-nio mendengar derap kaki itu. Hatinya berdebar keras. Ia palingkan muka tak mau
menghiraukan lagi. Tiau-ing tertawa dan membisikinya: "Eh, lebih baik kau sembunyi dulu, biar
kubilang padanya agar jangan kelewat mengagetkannya." - Tiau-ing menutup kelambu dan tepat
pada saat itu Se-kiat pun masuk.
"Apa kau baru bangun" Mengapa kelihatan begitu girang?" tegur Se-kiat.
"Aku mendapat sebuah berita penting yang perlu kubicarakan dengan kau," kata Tiau-ing.
Pendekar Pemetik Harpa 12 Neraka Hitam Seri Bara Maharani Karya Khu Lung Pendekar Pengejar Nyawa 17
^