Pencarian

Tusuk Kondai Pusaka 18

Tusuk Kondai Pusaka Karya S D. Liong Bagian 18


Atas pertanyaan Se-kiat, Tiau-ing menerangkan: "Kerajaan telah mengirim seorang jenderal besar
membawa lima puluh ribu tentara menggabungkan diri dengan Li Kong-pik untuk menyerang
kemari. Kira-kira dalam 10-an hari tentu datang. Coba terka siapakah jenderal itu?"
"Kalau menjadi pembantunya Li Kong-pik, terang bukan Kwe Cu-gi. Asal bukan Kwe Cu-gi, takut
apa?" kata Se-kiat.
"Masakan pihak kerajaan selain Kwe Cu-gi tiada lain panglima yang lihay lagi" Jangan kelewat
meremehkan kekuatan lawan!"
"Apa Cin Siang" Tetapi ia menjabat kepala Gi-lim-kun, mana raja mengijinkan dia tinggalkan
kotaraja?"
"Coba tebak lagi!" seru Tiau-ing. Tetap Se-kiat meminta nona itu lekas memberitahukan saja.
Tiau-ing tertawa: "Cari sana sini mengapa kau tak teringat akan seseorang yang hampir saja bakal
menjadi mertuamu?"
"Oh, Sip Hong?"
Tiau-ing mengiakan: "Benar, Sip Hong. Seharusnya kau bergirang, bukan?"
"Ah, kau menduga yang bukan-bukan lagi. Sip Hong membawa tentara kemari, itulah musuh.
Apanya yang kau girangkan?"
Tiau-ing mengikik, ujarnya: "Jika sebelumnya hatimu tak luka, mengapa perih" Padahal kau
merasa gembira, itulah sudah sewajarnya. Meskipun Sip Hong sekarang menjadi musuh, puterinya
dahulu adalah kawan baikmu!"
"Urusan yang lampau, mengapa dibangkitkan?" mulut Se-kiat mengatakan begitu tetapi hati tak
urung berdebar juga.
Tetapi Tiau-ing yang tajam mata, dapat meneropong isi hati Se-kiat. Kembali ia tersenyum:
"Baiklah, tak usah mengungkat hal lama, hal yang baru saja. Dalam memimpin pasukannya itu,
puteri Sip Hong ternyata ikut serta. Apakah kau tidak mengharapkan dapat berjumpa dengan kawan
baikmu itu?"
Se-kiat menatap wajah Tiau-ing dan berkata dengan berbisik: "Masih ingat apa yang kukatakan
dahulu?" "Yang mana?"
"Kita adalah dua ekor belalang yang terikat pada seutas tali, senasib dan sependeritaan, tak boleh
meninggalkan kawan. Apakah kau masih kuatir?"
"Kukuatir begitu berjumpa puteri Sip tayciang, kau lantas melupakan aku."
"Jangan memikirkan yang tidak-tidak! Dan lagi belum tentu ia ikut ayahnya seperti yang kau kira
itu." "Kalau benar seperti yang kukira, bagaimana reaksimu berjumpa padanya?"
"Jika kukatakan akan kubunuhnya, kau tentu tak percaya," sahut Se-kiat.
"Kuingin mendengar apa yang terkandung dalam hatimu."
Se-kiat merenung sejenak dan berkata: "Karena kenal, aku pernah mempunyai perhatian padanya.
Tetapi kini, dalam keadaan sebagai musuh, akupun tak mau bergoyah hati. Dan lagi apabila aku
benar-benar meningkatkan perhatian kepadanya, toh tak perlu tunggu sampai sekarang."
"Dalam hal paras dan perangai, ia jauh lebih baik dari aku. Dalam ilmu sastra dan ilmu silatpun
lebih tinggi dari aku. Mengapa kau tak suka padanya?"
Se-kiat tertawa gelak-gelak dan memeluknya: "Ini, mengapa kau masih pura-pura bertanya lagi.
Sekalipun ia mempunyai seratus macam kelebihan, tapi tak punya cita-cita tinggi. Mana dapat
dibandingkan dengan kau puteri cantik yang berpambek jantan?"
Tiau-ing lepaskan diri dan tertawa: "Kau suka padaku karena aku dapat membantu usahamu
menguasai negeri. Tetapi katakanlah sejujurnya. Apakah dalam hatimu kau tak
mengenangkannya?"
"Kau sudah tahu aku selalu memikirkan perjuangan, mana aku mempunyai waktu
mengenangkannya?" Se-kiat balas bertanya.
Tampaknya Tiau-ing puas dan tertawalah ia: "Kau dan aku satu hati. Sebenarnya aku tak cemburu
dan gembira kau hendak menjumpainya."
"Oh, kau merencanakan pada dirinya, merencanakan, merencanakan siasat mengundurkan musuh.
Ai, masakan ada hal yang begitu kebetulan sekali!"
"Benarkah" Maka kukatakan kalau kau sebenarnya hendak menemuinya. Se-kiat, setiap kali kau
hendak memikirkan apa aku tentu dapat menjalankan untukmu lebih dahulu. Kali ini juga tak
terkecuali. Aku telah mengundang nona Sip kemari."
Se-kiat berjingkrak kaget: "Kau mau berolok-olok?"
"Silahkan menyingkap kelambu, siapakah yang berbaring di situ" Ai, orang telah menunggumu
sekian lamanya! Agar kalian bebas mengadakan pertemuan empat mata, baiklah aku menyingkir
dari sini," dengan tertawa cekikikan Tiau-ing benar-benar berlalu.
In-nio mendongkol sekali sampai mulutnya serasa terkancing. Pun ketika mendengar papan ranjang
berbunyi keretakan, dengan penuh keheranan Se-kiat menghampiri dan menyingkap kelambu ....
Saat itu terasa tegang sekali. In-nio dan Se-kiat termangu seperti patung. Beberapa saat kemudian
baru dapat menenangkan pikiran, ujarnya: "In-nio, bagaimana kau datang kemari?"
"Tanyakan pengantinmu!" sahut In-nio dengan getas.
Pada saat itu Se-kiatpun mengetahui bahwa In-nio telah terkena obat bius pelemas tulang sehingga
tak punya tenaga. Tentu Tiau-ing yang membuatnya, maka pertanyaannya tadipun tolol sekali.
"Ah, dengan menempuh bahaya ia datang kemari ini, apakah bukan karena aku," pikirnya. Diamdiam
ia menyesal. Memang sebenarnya perhatian Se-kiat kepada In-nio bukannya sama sekali
sudah lenyap. Adalah karena ia dihadapi dengan dua pilihan, terpaksa ia memilih Tiau-ing.
Malam itu adalah malam widodari dari pernikahannya. Pada saat-saat begitu di dalam kamar
mempelai perempuan, bertemu dengan bekas kekasihnya, telah menimbulkan perasaan yang tidaktidak
di dalam kalbu Se-kiat.
Beberapa jenak kemudian, Se-kiat baru berani dongakkan muka namun tetap menghindari sorot
mata In-nio. Katanya dengan pelahan: "Terima kasih atas kunjunganmu menengok aku. Apa yang
hendak kau katakan kepadaku?"
Bahwa ia bakal bertemu dengan Se-kiat di tempat dan dalam keadaan seperti itu, kata-kata lembut
yang sedianya hendak dikatakan kepada Se-kiat, dibuang lenyap dan diganti dengan kata-kata yang
dingin: "Urusan sudah sampai sekian, apa yang perlu dikatakan. Sekarang aku menjadi
tawananmu, aku hanya bertanya, bagaimana kau hendak menghukum aku?"
Se-kiat telah keliru menangkap kata-kata In-nio. Ia kira nona itu masih mengandung setitik kasih
kepadanya. Ini membuatnya terkenang juga. Tiba-tiba ia tersenyum: "In-nio, aku bercita-cita
tinggi, kau tentu sudah memaklumi. Karenanya kau tentu dapat mengerti kesulitanku dan suka
mensukseskan cita-citaku itu. Kuharap kau dapat hidup rukun dengan nona Su, tak nanti aku
menelantarkan dirimu."
Kasarnya, kata-kata itu berarti suatu permintaan agar In-nio suka membagi cintanya kepada Tiauing
atau lebih jelas lagi, In-nio dan Tiau-ing itu akan diperisteri Se-kiat.
Saking gusarnya In-nio hampir pingsan. "Se-kiat, sekarang aku baru benar-benar mengenal kau,
tutup mulutmu!" dampratnya.
Se-kiat terkejut sampai menyurut selangkah. Tetapi ia masih mengira In-nio itu cemburu, tak mau
membagi cintanya kepada Tiau-ing. Setelah tertegun beberapa saat, ia menghampiri lagi
maksudnya hendak mengangkat In-nio duduk. Tapi In-nio sudah berusaha sendiri menggeliat
duduk. Sambil bersandar pada tepi ranjang, ia mengancam: "Jika kau sampai berani menyentuh
tubuhku, aku tentu bunuh diri di hadapanmu. Aku dapat membuktikan ancamanku itu dengan cara
menggigit putus lidahku."
Se-kiat hampir tak dapat menguasai diri. Ia memang masih mencintai In-nio. Tapi pada lain kejab,
hatinya berontak: "Aku justeru membutuhkan bantuan Tiau-ing. Tak boleh karena perasaanku
terhadap In-nio, aku lantas meninggalkan Tiau-ing!"
Ia gelengkan kepala tertawa getir: 'In-nio, kita pernah bergaul dengan akrab, sayang baru sekarang
aku tahu isi hatimu. Kau, kau tak dapat menderita sedikit untuk membantu aku?"
In-nio tertawa dingin: "Aku hanya seorang anak perempuan yang tak punya cita-cita tinggi,
bagaimana dapat dibandingkan dengan seorang ratu pendekar yang perwira" Kau salah alamat
hendak mencari bantuanku!"
Kata-kata itu adalah ucapan Se-kiat untuk menyanjung Tiau-ing tadi. Sudah tentu Se-kiat merah
padam dan tundukkan kepala. Walaupun suara hatinya berontak, tetapi ia seorang pemuda yang
kuat batin tinggi cita-cita. Ia lebih mementingkan usahanya dari segala apa. Untuk merebut Tionggoan,
ia harus berani menghadapi segala apa. Diam-diam ia ambil ketetapan. Ujarnya: "In-nio, kau
adalah seorang puteri panglima yang gagah dan pandai. Akupun tak meminta pengorbananmu lagi.
Meskipun membuatmu menderita. Jangan kuatir, aku tentu akan mengambil obat penawar.
Kemudian terserah padamu, mau tinggal di sini atau mau pulang. Tetapi maukah kau ulurkan
bantuan padaku?"
In-nio tertawa mengejek: "Sekarang aku menjadi tawananmu. Menurut peraturan kaum Hek-to
(jahat), tentu harus menyerahkan tebusan. Baik, sekarang kau mau minta tebusan apa padaku?"
Kembali muka Se-kiat merah padam. Buru-buru ia berkata: "In-nio, jangan berkata begitulah!
Dalam kedudukan sebagai seorang kawan aku hendak meminta bantuanmu. Jika kau menolak juga
tak apa." "Secara membantu juga boleh, secara memberi tebusan juga boleh. Meskipun hanya soal enak
didengar atau tidak, tapi pada hakekatnya artinya sama. Baiklah, Bo bengcu, kau akan meminta
bantuan apa kepadaku, silahkan bilang!"
"Kau seorang nona yang pintar, tentu dapat menduganya. Kabarnya ayahmu memimpin tentara
kerajaan dan akan tiba di sini dalam beberapa hari lagi?"
"Oh, kiranya kau hendak menggunakan diriku untuk melakukan rencana mengundurkan musuh?"
seru In-nio. Kembali In-nio menirukan apa yang dibicarakan Se-kiat dengan Tiau-ing tadi. Untuk kesekian
kalinya, Se-kiat harus menelan malu. Ia kuatir jangan-jangan noan itu akan menghamburkan
sindiran-sindiran yang lebih tajam lagi.
"Tentang rencana mengundurkan musuh itu, akupun sudah memikirkan lebih dulu. Aku
mempunyai tiga macam rencana yang hendak kurundingkan padamu," tiba-tiba In-nio membuka
suara. "Bagaimana ketiga macam rencana itu, harap hian-moay suka memberi petunjuk," sudah tentu Sekiat
girang bukan kepalang. Dan malah untuk merayu hati In-nio, ia memanggilnya dengan sebutan
"hianmoay" atau dinda yang bijak.
"Pertama, ialah menasihati supaya ayahku suka menggabungkan diri menjadi pembantumu
mendirikan kerajaan baru."
"Ah, dikuatirkan ayahmu menolak," kata Se-kiat.
"Dia tak mau toh aku masih punya dua rencana lagi. Rencana kedua, ialah menganjurkan supaya ia
berdikari mengangkat diri jadi raja, mengadakan perjanjian ko-eksistensi (hidup bersama dengan
rukun) dengan kau. Setelah dapat merebut negara, siapa yang bakal menjadi kaisar, pada saatnya
baru dibicarakan lagi. Jika ayah enggan mengkhianati kerajaan Tong, masih ada rencana yang
ketiga. Ialah menasihatinya supaya netral, jangan bersungguh-sungguh membantu pihak kerajaan
memerangi kau!"
Se-kiat berteriak girang: "In-nio, kau benar-benar cemerlang. Apa yang kau katakan itu tepat sekali
dengan rencana yang kurancang! Ai, kukira kau tak mau membantu aku, kiranya siang-siang kau
sudah memikirkan kepentinganmu."
Berhenti sejenak, Se-kiat berkata pula: "Kurasa rencana kedua itu yang banyak harapannya dapat
diterima ayahmu. Harap kau gunakan rencana yang itu untuk menasihatinyalah!"
Tiba-tiba In-nio tertawa mengejek, nadanya bercampur amarah dan kedukaan. Se-kiat tercengang,
tanyanya: "Apa yang kau tertawakan?"
"Yang cerdas cemerlang itu bukan aku, melainkan pengantinmu. Ketiga rencana itu dialah yang
memikirkan. Aku hanya mengulangi mengatakan saja. Hm,k alian berdua benar-benar sepaham
dan sehati. B0 Se-kiat, sekarang baru aku dapat meneropong dirimu!" In-nio tertawa hina.
Sekonyong-konyong di luar pintu terdengar orang tertawa gelak-gelak. Tiau-ing muncul lagi.
Dengan berhias senyum simpul, Tiau-ing melirik In-nio: "Benar, benar, memang akulah yang
membuat ketiga rencana itu. Dengan pikiran Se-kiat, ternyata senapas! Nona Sip, sekarang biarlah
kau mengetahui. Apa yang kukatakan kepadamu tadi, adalah serupa dengan apa yang hendak
diucapkan Se-kiat kepadamu. Kau enggan melihat paderi sebab ia memandang Buddha, apanya
yang berbeda?"
Dengan tindakan yang dilakukan itu, Tiau-ing telah membuat tiga macam perhitungan atau sekali
tepuk tiga lalat. Jika Se-kiat berhasil menasihati In-nio supaya menurut, itulah yang terbaik.
Apabila Sip Hong sudah meninggalkan pihak kerajaan, mudahlah besok dibereskan berikut In-nio
juga. Tapi Tiau-ing telah memperhitungkan, In-nio tentu membandel. Maka sengaja ia hendak
memperlihatkan kepada nona itu bahwa ia (Tiau-ing) dan Se-kiat itu sudah sehati-senyawa. Jangan
harap orang ketiga dapat menyela di tengah mereka. Di samping itu, apabila In-nio sampai marah
dan bentrok dengan Se-kiat, Se-kiat tentu putus sama sekali hubungannya dengan In-nio.
Tampaknya Tiau-ing terbuka tangan menyuruh mereka bertemu empat mata, tapi sebenarnya ia
telah mengatur segala-galanya.
Tahu gelagat tak baik, masih Se-kiat berusaha untuk menolong In-nio. Katanya dengan lemah
lembut: "Sebenarnya ketiga rencana yang dibuat Tiau-ing itu, adalah untuk kepentinganmu dan
ayahmu. Pemerintah kerajaan sudah bertindak sewenang-wenang, para panglima di daerah sama
berebut wilayah. Umur kerajaan Tong rasanya takkan panjang lagi. Misalnya seperti ayahmu
sendiri. Sudah berkali-kali ia membuat jasa, tapi toh sampai sekarang belum diangkat menjadi
Ciat-to-su. Mengapa nasib suka mati-matian mengabdi kepada kerajaan" Daripada hanya menjadi
wakil panglima, kan lebih baik berdiri menjadi raja sendiri" Apalagi dengan begitu hubungan kita
tetap terpelihara. Untuk kepentingan umum dan kepentingan pribadi, kedua-duanya dapat
terlaksana dengan baik. Bagaimana kehendakmu?"
"Kehendakku, telah kukatakan kepada pengantinmu tadi. Apakah masih suruh aku bicara lagi?"
sahut In-nio. "Nona Sip menyayang cinta lebih daripada emas. Ia tak mau menulis surat itu. Ai, ciciku In yang
baik, kau bersikap getas kepadaku, tak apa. Tetapi mengapa kau tak punya budi dan kecintaan
kepada Se-kiat?" Tiau-ing menyeletuk.
"Tutup mulutmu!" bentak In-nio. Sepasang matanya berkilat-kilat membuat orang gentar juga.
Kemudian berkata pula: "Se-kiat, kedatanganku ini memang untuk Budi dan Kecintaan!"
Menghadapi sinar mata si nona yang begitu berwibawa gentarlah hati Se-kiat. Tetapi demi
mendengar ucapan In-nio, ia berbalik girang sekali dan buru-buru menyatakan dirinya bukan
manusia yang lupa budi lupa kecintaan.
Tiau-ing mendengarkan dengan tertawa dingin.
Dengan tenang, berkatalah In-nio sepatah demi sepatah: "Jangan kalian keliru menafsirkan. Apa
yang kukatakan Kecintaan itu adalah kecintaan sahabat. Dan yang kusebut Budi itu ialah Budi
Kebajikan yang sejati! Se-kiat, memang benar, aku dan kau pernah mengikat persahabatan. Adalah
karena itu maka aku tak mau membiarkan seorang sahabat menjurus ke jalan yang sesat! Se-kiat,
kau yang selalu membanggakan dirimu berhati perwira, mengapa sekarang gelap pikiran tak mau
mendengar nasihat sahabat-sahabatmu?"
"Dalam hal apa aku mata gelap" Hanya yang menjalankan Kebenaran yang dapat hidup di dunia.
Ketika Li Yan dan puteranya mulai bergerak di Thay-gwan, apakah juga tidak sebagai menteri
kerajaan yang merebut kekuasaan junjungannya" Apalagi aku bukan menteri kerajaan Tong,
mengapa lebih tidak boleh?" bantah Se-kiat.
"Jika kau bertujuan menolong penderitaan rakyat, itu baru benar-benar jantan perwira. Tapi
bagaimana dengan tindakanmu sekarang" Kau bersekutu dengan anak keturunan haram dari An
dan Su. Kau sepaham dan sehina martabatnya. Kau hendak meminjam tentara asing untuk
menyerang negaramu sendiri. Taruh kata kau berhasil, pun tentu akan dinista orang. Apalagi rakyat
masih mendendam kebencian terhadap pemberontak An dan Su. Bagaimana kau dapat mengambil
hati rakyat?"
Dimakin oleh In-nio, Tiau-ing spontan balas mendamprat: 'Bagus, akupun mendapat hinaanmu.
Kalau diriku ini dikata keturunan haram dari kawanan pemberontak An dan Su, apakah ayahmu
itu" Bukankah pada masa itu ia juga berhamba pada An Lok-san?"
"Tetapi siang-siang ayahku sudah insyaf dan kembali ke jalan yang benar," sahut In-nio.
"Oho, raja keturunan she Li itu, juga bukan raja yang genah!" Tiau-ing mengejek.
"Tetapi tetap jauh lebih baik dari pemberontak An Lok-san yang buas kejam itu," jawab In-nio.
"Asal aku tidak bertindak kejam sewenang-wenang, toh tak apa," Se-kiat menyeletuk.
"Tetapi langkahmu pertama sudah salah. Mana rakyat mau percaya padamu?" bantah In-nio.
"Habis kalau menurut anggapanmu, bagaimana?" tanya Se-kiat.
"Bawalah anak buahmu itu untuk segera tinggalkan tempat ini. Hendak mengadakan revolusi tidak
boleh mengandalkan orang luar!" In-nio menyatakan dengan tegas.
Se-kiat tergelak-gelak, serunya: "Ini omongan anak kecil. Kalau menurut cara itu, entah berapa
banyak rintangan yang akan kujumpai nanti."
"Ya, memang kutahu kau hendak mengambil jalan singkat. Tetapi kau lupa bahwa makin
mengambil jalan singkat, rintangannya makin banyak."
Su Tiau-ing tertawa mengejeknya: "Maksudmu tak lain tak bukan hanya akan memisahkan aku dan
Se-kiat saja. Baiklah, Se-kiat, rupanya ia lebih pintar, angkatlah dia menjadi kun-su (penasihat
militer)!"
In-nio tahan kemarahannya dan berkata lagi: "Aku hanya menunaikan kewajibanku sebagai seorang
sahabat. Kata telah kuucapkan, menerima atau tidak terserah padamu. Karena kalian menyangka
aku begitu, maka tak perlu aku bicara lebih lanjut."
"Tetapi teorimu itu juga bukan baru. Tempo hari Thiat-mo-lek juga sudah mengatakan begitu," kata
Se-kiat. "Aku selalu mengagumi pandangan Thiat toako. Jadi ia juga pernah mengatakan begitu" Kalau
begitu, kau anggap Thiat toako itu juga seorang anak kecil?" tukas In-nio.
"Berlainan arah tujuan, tentu tak dapat seperjalanan. Aku sudah putus dengan Thiat-mo-lek.
Seorang ksatria, apabila sudah putus hubungan, tak mau memfitnah. Aku tak mau membicarakan
pendapat Thiat-mo-lek itu."
In-nio tertawa kecewa, hatinya berduka sekali. Dan berkatalah ia dengan tawar: "Karena berlainan
arah tujuan tentu tak dapat seperjalanan, maka persahabatan kita berdua inipun putus sampai di
sini. Ah, aku masih kesalahan mengomong lagi. Aku sekarang menjadi tawananmu, mau dibunuh
mau digantung, aku harus menurut. 'Putus hubungan' perkataan itu, tak perlu kukatakan lagi."
Wajah Se-kiat sebentar gelap sebentar merah. Berpaling kepada Tiau-ing, berserulah ia: "Tiau-ing
kau berikan ia ...."
Belum kata yang terakhir 'obat penawar' diserukan, Tiau-ing sudah menukasnya: "Lupakah kau
bahwa ia puterinya Sip Hong" Lepaskan ia pulang, karena ia sudah tahu keadaan kita, tentu akan
membantu ayahnya menghantam kota ini. Kalau pada waktu itu kau dan aku menjadi tawanan Sip
Hong, belum tentu mereka ayah dan puteri itu mau melepaskan."
Se-kiat terbeliak kaget, pikirnya: "Ya, perkataan Tiau-ing itu memang benar. Mana aku berani
memastikan In-nio tak membantu ayahnya?"
Tetapi untuk mencelakai In-nio, ia tetap tak sampai hati. Selagi ia masih bersangsi belum dapat
mengambil keputusan, tiba-tiba seorang serdadu masuk dan melaporkan bahwa ada seorang utusan
dari Im-ma-jwan datang menghadap.
Se-kiat mempunyai dua pembantu yang paling boleh diandalkan. Satu Kay Thian-hau dan lainnya
Nyo Tay-lui, pemimpin begal Im-ma-jwan. Orang itu bertubuh tinggi sekali hingga digelari sebagai
Nyo Toa-koji atau Nyo si orang besar. Kay Thian-hau dan Nyo Besar itu merupakan jago yang
dimalui di kalangan loklim. Dahulu yang mendukung pencalonan Se-kiat sebagai lok-lim-beng-cu


Tusuk Kondai Pusaka Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

juga kedua orang itu. Waktu Se-kiat menggabungkan diri dengan Su Tiau-gi, ia telah mengirim
Lok-lim-cian (panah lokim atau tanda maklumat), supaya semua kepala-kepala penyamun
berkumpul di Yu-ciu. Anak buah Kay Thian-hau sudah datang lebih dulu sedang Nyo Besar masih
belum tiba. Waktu mendengar pihak yang diharap-harapkan itu mengirim utusan, Se-kiat girang sekali. Ia
segera minta Tiau-ing membujuk In-nio, sedang ia lalu keluar menyambut utusan itu.
Yang datang ternyata seorang kerucuk. Umurnya baru 20-an tahun, berwajah jujur dan sikapnya
seperti pemuda desa. Hanya sepasang matanya yang bersorot tajam itu, sepintas pandang Se-kiat
mengetahui kalau orang itu cukup tinggi ilmu lwekangnya. Diam-diam Se-kiat heran mengapa Nyo
Besar mempunyai seorang bawahan semacam itu.
"Siapakah nama saudara dan sudah berapa lama ikut pada Im-ma-jwan" Apakah sebelum masuk
Im-ma-jwan pernah berguru pada orang pandai" Di dalam pesanggrahan Im-ma-jwan, menjabat
tugas apa?" demikian Se-kiat mengajukan beberapa pertanyaan.
Anak muda itu memberi hormat lalu menjawab: "Aku orang she Wan, nama Hun. Mendiang
ayahku dulu menjadi guru rumah-persilatan. Aku mendapat beberapa macam pelajaran ilmu
pedang. Masuk ke Im-ma-jwan baru satu tahun. Hanya karena kemurahan hati Nyo-cecu, aku telah
diangkat menjadi siau-thaubak (kepala regu)."
Setahun yang lalu, meskipun Se-kiat pernah datang ke Im-ma-jwan, tapi hanya tinggal selama 10-an
hari saja. Diantara ratusan thaubak yang berada di Im-ma-jwan itu, sudah tentu ia tak dapat
mengenali semua. Apalagi pemuda itu baru masuk saja. Sekalipun begitu Se-kiat tetap heran,
mengapa Nyo Besar tak mengirim thaubak yang ia kenal. "Ah, mungkin karena anak muda ini
berkepandaian tinggi maka Nyo cecu mempercayakan tugas ini kepadanya. Ini tak dapat
mempersalahkannya," pikirnya.
Ketika se-kiat memandang keluar, matanya tertumbuk akan seekor kuda putih yang tengah makan
rumput. Kembali Se-kiat tersirap dan memuji: "Kuda ciau-ya-say-cu yang bagus sekali! Apakah
itu tungganganmu?"
Anak muda yang menyebut dirinya bernama Wan Hun itu mengiakan: "Kuda itu milik tentara
negeri yang dirampas Nyo cecu. Untuk sementara diberikan padaku supaya dipakai."
"Dimana Nyo cecu dan sekalian anak buahnya" Mengapa ia begitu perlu mengirim kau" Berita
penting apa yang hendak dilaporkan itu?" tanya Se-kiat.
"Nyo cecu dan saudara-saudara semua, sudah mulai berangkat. Ketika aku berpisah, mereka baru
tiba di lembah Ko-in-ko di Siam-pak. Mungkin dalam waktu 10-an hari tentu dapat tiba kemari.
Adanya Nyo cecu mengirim aku kemari, karena hendak melaporkan suatu berita yang penting
sekali." Atas pertanyaan Se-kiat, pemuda itu menerangkan: "Pengangkatan Sip Hong menjadi wakil
panglima untuk memerangi kita ini, adalah atas usul Kwe Cu-gi. Kwe Cu-gi telah memberikan
lima puluh ribu serdadu pilihan kepadanya, suruh ia menggabung dengan Li Kong-pik.
Kemungkinan dalam setengah bulan lagi mereka tentu sudah tiba di Yu-ciu. Harap bengcu suka
bersiap-siap."
"Soal ini aku sudah tahu. Dan apa lagi?" kata Se-kiat.
Dengan terkerat-kerat kerucuk itu menyahut: "Masih ada berita rahasia entah harus dikatakan atau
tidak?" "He, apa maksudmu" Soal apa yang tak harus dikatakan?" tegur Se-kiat.
"Karena mungkin bengcu tak senang."
"Bilanglah! Berita yang senang harus didengar, yang tidak senang lebih harus didengarkan!
Apakah Thiat-mo-lek hendak memusuhi aku?"
"Bukan," sahut si kerucuk, "berita yang kami dengar itu ialah bahwa puteri Sip Hong yang bernama
Sip In-nio ikut pada ayahnya tetapi pada suatu hari tiba-tiba lenyap. Turut laporan mata-mata kami
nona itu menuju ke Yu-ciu. Nyo cecu kuatir kalau nona itu menyelundup ke Tho-ko-poh
menjumpai bengcu. Nyo cecu mengatakan ...."
"Ai, sudahlah, aku sudah tahu. Memang Nyo toako itu setia padaku. Karena tahu bagaimana
hubunganku dengan nona itu tempo hari, maka ia kuatir aku kena terpikat, benar?"
"Sekarang siapa kawan siapa lawan, sudah jelas. Apalagi kabarnya bengcu hendak melangsungkan
pernikahan dengan Tay Yan kongcu. Dikuatirkan nona Sip itu akan membunuh secara menggelap.
Maka Nyo cecu meminta bengcu supaya lebih waspada. Jika mengetahui jejak nona itu, supaya
ditangkap saja, jangan dilepaskan. Tetapipun jangan buru-buru dibunuh, karena dapat dijadikan
tanggungan untuk menekan Sip Hong."
Se-kiat tertawa girang: "Ai, tak kira Nyo toako pintar juga. Ha, ha, ha apa yang dapat dibayangkan
Nyo toako, masakan aku tak dapat memikirkan" Harap kalian jangan kuatir. Tetapi akupun merasa
berterima kasih atas kesetiaan Nyo toako itu. Masih ada apa lagi?"
"Apakah bengcu sudah mengetahui jejak puteri Sip Hong itu" Apakah sudah dapat
menangkapnya?" tanya pemuda itu.
"Itu urusanku, tak perlu kau turut campur. Karena menempuh perjalanan jauh, beristirahatlah
dulu," kata Se-kiat yang dalam pada itu menganggap utusan itu terlalu usil tetapi sikapnya ketololtololan
seperti Nyo Besar.
Entah kapan keluarnya, tahu-tahu Tiau-ing menghampiri ke muka utusan tadi. Setelah mengawasi
sejenak, ia berkata: "Wajahmu seperti tak asing, entah di mana kau pernah berjumpa dengan aku?"
"Kongcu tentu salah lihat. Aku hanya seorang kerucuk baru dari Im-ma-jwan, masakan mempunyai
kehormatan besar berjumpa dengan kongcu?" sahut si pemuda itu.
Mendengar itu serempak timbullah kecurigaan Se-kiat: "Nanti dulu, kau mengaku belum pernah
melihat ia, mengapa tahu kalau ia seorang kong-cu?"
In-nio pun mendengar pembicaraan di luar kamar tadi. Makin mendengar makin merasa tak asing
dengan nada suara utusan itu. Tiba-tiba ia teringat seseorang dan girangnya bukan kepalang.
Meskipun tenaganya masih lumpuh, tapi karena lwekangnya kuat, ia segera berusaha menyalurkan
pernapasannya. Beberapa saat kemudian, dengan paksakan diri ia dapat juga berjalan keluar. Pada
saat itu tepat Se-kiat mendesak si utusan dengan pertanyaan yang terakhir tadi. In-nio merayap
tembok dan tiba di pinggir pintu.
Utusan dari Nyo Besar tadi tengah terpukau menghadapi pertanyaan Se-kiat. Tiba-tiba ia
mendengar suara In-nio berseru: "Aku di sini, lekas bekuk perempuan siluman itu!"
Kerucuk utusan itu bukan lain adalah Pui Bik-hu. Dalam perjalanan ke Yu-ciu di tengah jalan ia
bertemu dengan regu pelopor dari kawanan Im-ma-jwan. Mereka coba merebut kuda Bik-hu, tetapi
malah dihajar Bik-hu. Bik-hu dapat menyambar seorang siau-thaubak (pemimpin regu), terus
dilarikan. Bik-hu memang masih hijau dalam pengalaman, tapi ia punya otak juga. Ia paksa siau-thaubak
memberi keterangan tentang keadaan Im-ma-jwan. Kemudian setelah menutuk si thaubak, ia lantas
melucuti pakaiannya dan dengan menyaru sebagai siau-thaubak Im-ma-jwan, dapatlah ia
menyelundup ke Tho-ko-poh.
Benar Tiau-ing pernah bertemu dengan Bik-hu di hotel tempo hari, tapi karena di waktu malam jadi
ia tak melihat jelas wajah anak muda itu. Apalagi saat itu Bik-hu menyaru maka Tiau-ing pun tak
berani memastikan. Waktu ia hendak menanyai lebih jauh In-nio muncul dan meneriaki Bik-hu
supaya menindak nona itu. Dan memang Bik-hu sudah siap-siap. Dengan berseru keras, secepat
kilat ia sudah maju dan menutuk jalan darahnya.
Se-kiat kaget sekali dan cepat ayunkan pukulannya tapi Bik-hu segera gunakan tubuh Tiau-ing
untuk perisai. Untung Se-kiat dapat lekas-lekas menarik pulang tangannya diganti dengan sebuah
tendangan dan rangsangan tangan kiri untuk mencengkeram lambung Bik-hu yang terbuka.
Bik-hu mundur tiga langkah. Bret, baju lambung kanannya kena dirobek jari Se-kiat. Bik-hu
tertawa dingin, dan mencabut pedangnya: "Bo Se-kiat, selangkah lagi kau berani maju, siluman
wanita ini tentu kubunuh!"
Saking marahnya mata Se-kiat sampai mendelik tapi ia tak berani maju lagi.
"Se-kiat sekarang kita dapat melakukan barter cara kaum Hek-to. Jika kau menghendaki
pengamanmu berilah obat penawar padaku," seru In-nio.
"Memangnya aku bermaksud hendak memberikan obat penawar padamu, mengapa kau perlu
gunakan akalan begitu?" sahut Se-kiat.
"Suci, kau terkena racun mereka?" Bik-hu berseru kaget.
"Tak mengapa. Obat bo-kut-san itu tak begitu ganas, hati wanita siluman itu lebih ganas dari
racunya," sahut In-nio.
Se-kiat masuk ke kamar mengambil obat. Ketika keluar dilihatnya In-nio berdiri di samping Bikhu.
Bik-hu tampak girang sekali. Melihat itu Se-kiat dapat menduga. Meskipun ia telah
mengalihkan cintanya kepada lain nona, tapi masih ada setitik bekas kasihnya kepada In-nio. Dan
tanpa terasa ia merasa cemburu juga.
"In-nio, sungguh mengagumkan sekali sutemu mau mati-matian menyusul kau kemari! Kudoakan
kalian berbahagia," katanya dengan rawan.
"Berikan obat penawar itu dan kita lakukan barter secara adil. Siapa sudi menerima kemurahan
hatimu. Sudah, jangan banyak kata yang tiada guna lagi," sahut In-nio, waktu ia sudah menerima
obat dari Se-kiat, Se-kiatpun segera menanyakan tentang pembebasan Tiau-ing. Tetapi Bik-hu
mengatakan belum bisa.
"Bagaimana maksudmu?" Se-kiat marah.
Bik-hu tak menghiraukan. Beberapa saat kemudian baru ia menanyakan In-nio tentang obat yang
telah diminumnya itu. In-nio tertawa dan menerangkan bahwa obat itu memang mustajab. Ia sudah
dapat berangkat.
Kini tahu Se-kiat kemauan mereka: "Kurang ajar! Kau anggap aku Bo Se-kiat ini orang macam
apa" Masakan akan mengambil obat palsu untuk menipu kalian" Dan apakah sekarang kau sudah
dapat melepaskan Tiau-ing?"
"Masih belum," lagi-lagi Bik-hu menyahut.
"In-nio sutemu mungkin baru pertama kali bertemu aku, tapi kau tentulah sudah kenal pribadiku.
Apakah aku pernah menarik kembali ucapanku" Apakah kau masih belum mempercayai aku?" Sekiat
marah-marah. "Bo toa-bengcu, jangan naik pitam. Pengantinmu tentu akan kami kembalikan. Hanya terpaksa
kuminta ia mengantar perjalanan sebentar. Sute, begitukah maksudmu?" kata In-nio.
Bik-hu mengiakan: 'Ya, begitulah. Bo toa-bengcu, bukan aku tak percaya pdamu melainkan tak
percaya pada perempuan siluman ini!"
In-nio minta supaya Tiau-ing diberikan kepadanya saja supaya jangan menimbulkan kecurigaan
orang. Bik-hupun menurut. Saat itu tenaga In-nio sudah pulih sebagian besar. Sambil
mencengkeram jalan darah di punggung Tiau-ing, In-nio meminta Se-kiat supaya mengambilkan
kuda. Walaupun mendongkol, namun toa-bengcu (pemimpin besar) itu terpaksa menjadi tukang
kuda. In-nio dan Tiau-ing naik kuda Ngo-hoa-ma. Bik-hu pun segera mendapatkan kudanya Ciauya-
say-cu yang tengah makan rumput. Setelah memberi hormat kepada Se-kiat, berkatalah ia: "Bo
toa-bengcu, jika kau kuatir, silahkan ikut."
Sudah tentu Se-kiat kuatir dan iapun mengendarai kudanya. Kuda Se-kiat itu juga hebat, tapi tetap
kalah dengan kuda In-nio dan Bik-hu. Karenanya ia ketinggalan jauh di belakang. Terpaksa In-nio
suruh Bik-hu lambatkan kudanya agar jangan diduga Se-kiat hendak melarikan Tiau-ing.
Mereka menuju keluar kota. Di situ merupakan daerah perkemahan anak buah Se-kiat. Di
sepanjang jalan tampak tentara pribumi. Dengan sebelah tangan memegang kendali kuda dan
sebelah tangan menekan punggung Tiua-ing, In-nio mengisiki: "Nona Su, harap kau unjukkan muka
riang, jangan mengerut masam, atau nanti terpaksa aku bertindak keras."
Tiau-ing kerenyotkan gerahamnya namun mau tak mau ia terpaksa menuruti permintaan itu juga.
Anak buah Se-kiat karena melihat kedua nona itu begitu akrab sekali pun tak menaruh kecurigaan
apa-apa. Tak lama kemudian tibalah mereka di pintu dari kota luar. Melihat Tiau-ing dan Se-kiat, penjaga
pintu buru-buru membukakan pintu dan bertanya dengan hormat sekali: "Bengcu, rupanya hari ini
kongcu tampak gembira sekali. Apakah hendak ke padang rumput mencoba kuda?"
Dengan enggan Se-kiat menyahut: "Tak usah mengurusi urusan lain. Selanjutnya siapa saja yang
datang kemari, meskipun membawa tanda keterangan, tapi harus dilaporkan dulu padaku. Setelah
kusuruh orang kemari, barulah tetamu itu diperbolehkan masuk."
Begitu keluar, In-nio dan Bik-hu segera congklangkan kudanya. Kembali Se-kiat ketinggalan di
belakang. Sudah tentu ia cemas sekali. Tetapi kecemasannya itu segera lenyap ketika setengah li di
sebelah muka sana, In-nio tampak turunkan Tiau-ing dengan hati-hati.
"Pengantin perempuan kembali padamu. Kau dapat membuka jalan darahnya. Sekarang kami akan
pergi," seru In-nio.
"In-nio, apakah tiada lain jalan bagi kita kecuali berjumpa di medan pertempuran?" tanya Se-kiat.
"Apa yang hendak kukatakan, telah kukatakan. Sejak saat ini tergantung padamu. Tetapi mudahmudahan
kau mau menimbang semasak-masaknya lagi. Memang paling baik jangan bertemu di
medan pertempuran," sahut In-nio.
Tiba-tiba Se-kiat merasa pilu. Memandang kepergian In-nio dengan Bik-hu itu, ia merasa seperti
kehilangan sesuatu. Walaupun pendiriannya bertentangan tapi mau tak mau ia merasa kagum juga
terhadap In-nio. Ya, memang begitulah perasaan manusia. Di kala ia kehilangan seorang sahabat,
barulah ia merasakan sifat-sifat yang baik dari sahabatnya itu.
Bayangan In-nio makin lama makin kecil. Tetapi dalam pandangan mata Se-kiat, bayangan itu
bukan makin kecil sebaliknya malah makin besar, ya semakin besar hingga menutupi bayangan
Tiau-ing. Se-kiat termangu-mangu, pikirannya melayang. Dan timbullah kesangsiannya: apakah ia
tak keliru menetapkan pilihannya"
Detik-detik kekosongan hati Se-kiat yang terisi dengan renungan indah, hanya berlangsung
beberapa kejab. Karena pada saat itu kedengaran Tiau-ing meneriakinya supaya datang membuka
jalan darahnya yang tertutuk. Se-kiat gelagapan dan buyarlah semua kenangannya tadi. Tiba-tiba
terngiang apa yang pernah diucapkan Tiau-ing: kau dan aku adalah seperti sepasang belalang yang
terikat seutas tali. Ya, benar. Untuk menguasai Tiong-goan, menduduki kota raja Tiang-an, tak ada
lain jalan kecuali harus semua suara hatinya. Bayangan In-nio pun buyar bagai awan tertiup angin.
Buru-buru ia menghampiri Tiau-ing.
Saat itu In-nio dan Bik-hu masih belum lari jauh. Tiba-tiba dari muka tampak seorang wanita yang
menyanggul hud-tim (kebut pertapaan) dan pedang. Larinya cepat sekali, lebih cepat dari kuda
lari. Diam-diam Bik-hu terkejut melihat ilmu gin-kang si wanita yang sedemikian ampuhnya itu.
Pun wanita itu berseru memuji kedua ekor kuda yang dinaiki In-nio dan Bik-hu. Sekonyongkonyong
Tiau-ing berteriak: "Suhu, lekas tangkap kedua orang itu. Mereka telah menghina aku!"
Ternyata wanita yang dandanannya aneh itu bukan lain ialah Shin ci-koh, suhunya Tiau-ing. Gonggong-
ji sudah berjanji hendak menikah dengannya, tetapi karena Gong-gong-ji bersama Coh Pinggwan
hendak mengejar Ceng-ceng-ji, ia merasa tak leluasa kalau berjalan dengan seorang wanita.
Maka ia pun suruh tunangannya itu menunggu di daerah Tho-ko-poh.
Shin Ci-koh digelari orang sebagai Bu-ceng-kiam atau Pedang tak kenal cinta. Tetapi sebenarnya ia
bukan seorang wanita yang tak kenal cinta, bahkan sebaliknya ia seorang yang sentimentil sekali.
Segala tindakannya didasarkan atas pertimbangan hatinya sendiri. Dalam hidupnya, satu-satunya
pria yang dicintai ialah Gong-gong-ji, dan yang paling disayangi ialah muridnya Su Tiau-ing itu.
Maka waktu mendengar teriakan Su Tiau-ing tadi, ia merasa kebetulan sekali. Memang sebenarnya
ia hendak merampas kuda kedua anak muda itu, tapi sayang belum mendapat alasan.
"Jangan kuatir, Ing-ji, akan kuringkus kedua bangsat cilik itu," serunya sembari kebutkan hudtimnya.
Jarak In-nio dan Bik-hu dengan Shin ci-koh itu masih 10-an tombak jauhnya. Tapi ternyata kuda
mereka meringkik keras dan kaki depannya tekluk ke muka terus menjorok jatuh. Ternyata kebutan
hud-tim Shin Ci-koh dilakukan dengan lwekang tinggi. Beberapa lembar bulu dari kebut itu,
meluncur seperti senjata rahasia. Jauh lebih lihay dari jarum bwe-hoa-ciam. Empat lembar bulu
tepat sekali mengenai kuku kaki depan kedua kuda. Memang tak membahayakan, kelak dapat
diobati lagi. Tapi karena buku kakinya disusupi bulu, kedua kuda itupun tak dapat berlari lagi.
Walaupun kudanya jatuh, tapi In-nio dan Bik-hu tetap dapat bertahan duduknya. Dengan gusarnya,
Bik-hu loncat ke udara untuk menyerang Shin Ci-koh. Shin Ci-koh perkencang hud-timnya hingga
lurus seperti sebatang pena pit. Trang, ia tutuk pedang Bik-hu hingga tangan pemuda itu terasa
sakit sekali. Memang pedang Bik-hu terkisar ke samping tapi tak sampai jatuh. Hal ini membuat
Shin Ci-koh terkejut. Dan pada saat itu In-nio pun memburu datang dengan mainkan ilmu pedang
Hui-hoa-boh-tiap. Begitu pedang diputar segera berubah menjadi tujuh sinar bunga yang mengarah
tujuh jalan darah orang.
Shin Ci-koh pun tebarkan hud-tim menjadi ribuan sinar. Dan cukup dengan satu gerakan itu,
patahlah serangan In-nio. Malah sehabis itu, bulu dari kebud Hud-tim itu mengencang lurus ke
muka akan menutuk jalan darah In-nio. Bik-hu berseru keras dan mainkan pedangnya seperti orang
bermain golok. Itulah ilmu pedang istimewa ciptaan bersama dari Mo Kia-lojin dan Thiat-mo-lek.
Shin Ci-koh keder juga dan terpaksa alihkan hud-tim untuk menghalau Bik-hu.
Beberapa jurus kemudian, Shin Ci-koh makin terkejut. Bukan karena kepandaian kedua anak muda
itu hebat, tetapi karena makin tahu jelas akan sumber ilmu permainan mereka. Dengan gunakan
jurus hong-cong-jan-hun, Shin Ci-koh menyingkirkan pedang In-nio dan Bik-hu, kemudian
berseru: "Biau Hui sinni dan Mo Kia Lojin itu pernah apa dengan kalian?"
In-nio pun sudah mengenali Shin Ci-koh itu sebagai wanita yang bersama Gong-gong-ji telah
membikin ribut di lapangan Eng-hiong-tay-hwe. Sebagai seorang nona yang cerdik walaupun tak
tahu sampai dimana hubungan antara wanita itu dengan Gong-gong-ji, namun ia sedikit-sedikit
dapat menduganya juga.
Sebaliknya Bik-hu hanya berniat hendak menggempur saja, maka ia tak menghiraukan pertanyaan
Shin Ci-koh dan masih tetap menyerangnya. In-nio buru-buru berseru: "Biau Hui sin-ni adalah
suhuku dan juga menjadi bibinya. Dia murid kesayangan Mo Kia lojin. Thiat-mo-lek adalah
suhengnya. Apakah kau ini bukan Shin lo-cianpwe" Bukantah kita pernah bertemu di lapangan
Eng-hiong-tay-hwe?"
Seganas-ganas Shin Ci-koh namun ia masih gentar juga terhadap Biau Hui sin-ni dan Mo Kia lojin.
Selain itu, iapun tahu juga sampai di mana hubungan antara Thiat-mo-lek dengan Gong-gong-ji.
Oleh karena ketika berada di tempat kediaman Cin Siang. Shin Ci-koh segera mengikut Gonggong-
ji pergi, maka ia tak tahu tentang Cin Siang memberi kuda kepada In-nio dan Bik-hu itu.
Waktu In-nio mengingatkan tentang Eng-hiong-tay-hwe, Shin Ci-koh pun segera mengenalinya.
"Ah, kiranya budak itu sute dari Thiat-mo-lek. Jika sampai kulukai, mungkin Gong-gong-ji tentu
kurang senang," pikirnya. Sampai beberapa saat ia tak dapat mengambil keputusan.
Karena tak tahu tentang peristiwa di Eng-hiong-tay-hwe, maka Tiau-ing pun segera tertawa
mengejek: "Huh, apakah dengan mengatakan nama suhumu dan Thiat-mo-lek itu, kau kira dapat
menggertak suhuku?"
"Bah, siapa yang hendak mengambil muka" Suhumulah yang bertanya dulu, bukan aku hendak
membanggakan suhuku," teriak Bik-hu,
Shin Ci-koh berhati tinggi. Ia mau selalu minta menang. Walaupun gentar tapi kuatir orang
mengira ia takut kepada Biau Hui, Mo Kia dan Thiat-mo-lek. Justeru Tiau-ing mengerti akan sifat
perangai suhunya itu, maka ia sengaja mengatakan begitu agar suhunya jangan mundur.
Ketambahan pula kata-kata Bik-hu tadi menyakitkan telinga. Shin Ci-koh kerutkan dahi, berpikir:
"Kalau kulepaskan, dia tentu mengira aku benar-benar takut pada suhu dan suhengnya. Baiklah,
asal aku tak melukainya, tak apa. Dia memang perlu diberi sedikit hajaran."
Tetapi untuk meringkus kedua anak muda itu pun tidak mudah. Pertama, kedua anak muda itu
memang lihay. Kedua, karena ia tak mau melukai mereka dan ketiga, karena terhadap orang muda
ia tak mau gunakan pedang. Dengan adanya tiga faktor itu pertempuran berlangsung seri.
Cepat sekali 30 jurus telah berlangsung. Tiba-tiba Tiau-ing berseru meminta Se-kiat membantu
Shin Ci-koh untuk membekuk In-nio dan Bik-hu. Se-kiat merasa sulit. Terhadap In-nio ia menaruh
perindahan, terhadap Bik-hu ia mempunyai rasa cemburu terhadap Tiau-ing ia merasa agak jeri. Ia
segan mencelakai In-nio, sebaliknya malah menginginkan supaya nona itu tak pergi.


Tusuk Kondai Pusaka Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tiau-ing yang bermata tajam segera mengetahui apa yang terkandung dalam hati Se-kiat. Ia tertawa
ewah: "Se-kiat, kau hanya teringat akan kenanganmu yang lampau tapi lupa bahwa ia adalah puteri
Sip Hong!"
Se-kiat terkesiap dan tersipu-sipu menyahut: "Benar, jangan sampai ia lepas." -- Dengan hati berat,
ia maju ke muka.
Sebenarnya permintaan Tiau-ing tadi hanya untuk membikin panas hati suhunya saja. Tetapi demi
melihat sikap Se-kiat kebimbang-bimbangan ia tak puas. Permintaan yang hanya buat alasan saja
itu, akhirnya didesakkan sungguh-sungguh kepada Se-kiat.
Shin Ci-koh tertawa gelak-gelak: "Ing-ji sudah berapa tahun ikut aku mengapa kau belum percaya
pada kepandaianku" Apa kau kira aku benar-benar tak dapat meringkus kedua bocah ini?"
Berhentilah tertawa, berserulah ia dengan serius: "Begitu pedangku Bu-ceng-kiam keluar tentu akan
meminum darah. Tapi dengan memandang muka Biau Hui sin-ni dan Mo Kia lojin, kali ini
kuadakan kecualian."
Bik-hu berteriak marah: "Apa Bu-ceng-kiam itu" Mengapa dibuat.....," belum Bik-hu
menghabiskan kata-katanya, pedang Bu-ceng-kiam sudah menyambarnya.
Melihat gerak serangan orang sedemikian saktinya, Bik-hu segera menutup diri dengan tembok
sinar pedang. Tapi ilmu pedang Shin Ci-koh itu mempunyai ciri yang khas.
"Kena!" tiba-tiba Shin Ci-koh berseru. Pedangnya berhamburan memenuhi delapan penjuru. Bikhu
mati-matian mengadu jiwa, tetapi justeru itulah yang dikehendaki Shin Ci-koh. Hanya pelahan
sekali Bu-ceng-kiam itu dilekatkan ke batang pedang Bik-hu, dengan meminjam tenaga Bik-hu
sendiri, sekali tarik Shin Ci-koh dapat membuat tubuh Bik-hu menjorok ke muka. Dan meminjam
pula tenaga Bik-hu, sekali gelincirkan Bu-ceng-kiam Shin Ci-koh dapat memaksa si anak muda
lepaskan pedangnya karena separuh tubuhnya tak dapat berkutik lagi. Kiranya Shin Ci-koh telah
gunakan ujung pedang untuk menutuk jalan darah anak muda itu. Caranya ia menggunakan tenaga
tepat dan luar biasa. Bik-hu hanya rasakan pergelangan tangannya sakit seperti digigit nyamuk,
sedikit bintik merah tetapi tak sampai mengeluarkan darah.
In-nio terkejut dan buru-buru gunakan jurus giok-li-tho-soh untuk menusuk jalan darah Shin Cikoh.
In-nio berusaha mengacaukan lawan, agar sutenya tertolong. Tapi sayang, selihay-lihay ilmu
pedang In-nio, tetap masih kalah jauh dengan kepandaian Shin Ci-koh. Pada saat Shin Ci-koh
tutukkan pedang ke tangan Bik-hu, hud-tim yang dicekal di tangan kirinyapun sudah berhasil
melibat tangkai pedang In-nio.
"Lepas!" teriak Shin Ci-koh dan pedang In-nio pun terpental melayang ke udara. Dan dengan
tangkai hud-tim, Shin Ci-koh menutuk jalan darah In-nio. Dengan demikian dapatlah Shin Ci-koh
mengakhiri pertandingan itu. Tetapi walaupun menang, ia rasakan tangannya pegal juga karena
lelah menghadapi Bik-hu dan In-nio. Diam-diam ia merasa kagum juga kepada kedua anak muda
itu. Ia membatin: "Tak nyana dalam beberapa tahun ini, di dunia persilatan telah muncul tunastunas
muda yang cemerlang. Walaupun kedua anak muda itu tak dapat menyamai kelihayan Toan
Khik-sia, tetapi aku baru dapat mengalahkan mereka setelah memakai Bu-ceng-kiam, sudahlah
boleh dianggap lihay sekali mereka."
Waktu Se-kiat hendak menghampiri untuk menghaturkan terima kasih, Shin Ci-koh berpaling pada
Tiau-ing dan menanyakan: "Siapakah ini?"
"Aku yang rendah Bo Se-kiat menyampaikan hormat kepada locianpwe?" kata Se-kiat.
Tiau-ing tertawa: "Suhu, maaf karena sebelumnya aku tak memberitahukan. Tetapi rasanya suhu
tentu sudah dapat mengetahui persoalannya. Se-kiat bergaul dengan aku dan bersikap begitu mesra
kepada muridmu ini, tentulah suhu mengerti."
"Oh, kiranya dia bakal suamimu," seru Shin Ci-koh.
Wajah Tiau-ing kemerah-merahan, ujarnya: "Besok lusa kami akan langsungkan 'hari baik'.
Sebetulnya aku memang hendak mengundang suhu supaya memberi restu."
"Oh, kiranya kau ini Bo Se-kiat, pemimpin baru dari loklim yang namanya menggetarkan seluruh
dunia persilatan itu. Dengan begitu, tidak akan mengacaukan soal 'angkatan' lagi," Shin Ci-koh
tertawa. Se-kiat tercengang, tak tahu apa yang diartikan Shin Ci-koh itu. Hanya Tiau-ing yang merah padam
mukanya dan diam-diam menggerutu: "Ah, suhu memang kelewatan, mengapa di hadapan Se-kiat
mengatakan begitu" Bukankah it berarti membuka borokku" Untung Se-kiat rupanya masih belum
mengerti. Tetapi dengan ucapannya itu apakah suhu sendiri sudah rujuk kembali dengan Gonggong-
ji" Gong-gong-ji baik sekali dengan Thiat-mo-lek. Aku harus mencari akal untuk
menghadapi soal ini. Meskipun nanti tak dapat menarik tenaga suhu untuk membujuk Gong-gongji,
tapi setidak-tidaknya harus mengusahakan supaya Gong-gong-ji jangan sampai mengacau
gerakan kami."
Kiranya Shin Ci-koh itu memang berhasrat hendak menikah dengan Gong-gong-ji. Toan Khik-sia
adalah sute Gong-gong-ji. Apabila Tiau-ing sampai dapat Khik-sia, bukantah itu berarti suhu dan
murid (Shin Ci-koh dan Tiau-ing) akan menikah dengan suheng dan sute (Gong-gong-ji dan Khiksia)"
Ia merasa tak enak dengan 'angkatan' atau urut-urutan tingkatan hubungan tersebut. Demi tahu
Tiau-ing berganti suka pada Se-kiat, bukannya memarahi sang murid yang begitu gampang berubah
hati sebaliknya Shin Ci-koh malah gembira. Itulah sebabnya tadi ia mengungkat tentang 'angkatan'
(sebutan). Karena dipermainkan tadi, Se-kiat masih marah. Wut, ia terus mencambuk Bik-hu yang sudah tak
dapat berkutik karena tertutuk jalan darahnya itu.
"Oh, sungguh garang, sungguh gagah sekali kau lok-lim-beng-cu!" In-nio mengejeknya dengan
hina. Mendengar itu tiba-tiba Se-kiat tersadar, ia sebagai seorang bengcu yang ternama, mana boleh ia
memukul seorang anak muda yang sudah tak berdaya. Buru-buru ia hendak tarik pulang
cambuknya tapi sekonyong-konyong Ci-koh kebutkan hud-timnya hendak melibat cambuk Se-kiat.
Se-kiat terkejut, buru-buru ia menggelincir ke samping untuk menghindari libatan itu.
"Bagus, kiranya memang lihay, pantas menjadi bengcu. Daripada Toan ...."
"Suhu, kiranya kau hendak menjajal kepandaian Se-kiat" Ah, aku terkejut setengah mati," seru
Tiau-ing, padahal sebenarnya Shin Ci-koh tak mau turun tangan sungguh-sungguh karena
mengingat Thiat-mo-lek.
Tiau-ing menghampiri In-nio dan tertawa mengejek: "Nona Sip, sayang, sayang sekali.
Bagaimanapun kau tetap tak dapat lolos dari genggamanku.'
Ia hanya menyindir In-nio itu, karena masih ada rasa 'sungkan'. Tidak demikian terhadap Bik-hu.
Ia mendampratnya dengan sengit: "Hm, budak busuk, kau sungguh kurang ajar sekali terhadap
aku!" -- Ia terus hendak memukul tapi Shin Ci-koh cepat memeluknya: "Ing-ji, mengapa kau
semarah itu" Ai, jangan kelewat mengumbar nafsu nanti menganggu kesehatanmu. Bilanglah
bagaimana cara mereka menghinamu tadi?"
Waktu Tiau-ing menuturkan peristiwa tadi, Shin Ci-koh bertanya: "Mengapa ia menutuk jalan
darahmu?" "Apalagi kalau bukan karena nona Sip itu?" sahut Tiau-ing.
"Nona Sip mengapa berani datang kemari?"
"Ia puterinya Sip Hong. Sip Hong memimpin tentara hendak menyerang kemari, ia diam-diam
hendak menemui Se-kiat."
Shin Ci-koh deliki mata kepada Se-kiat, serunya: "Aneh, mengapa nona itu hendak menemui Sekiat"
Ing-ji, apakah ia (Se-kiat) bersungguh hati kepadamu?"
Tiau-ing tahu bahwa suhunya itu paling benci kepada lelaki yang tak dapat dipecaya. Kuatir kalau
Se-kiat akan mendapat kesulitan, maka ia cepat-cepat memberi alasan: "Suhu, mengapa kau
memikir begitu jauh" Nona Sip itu datang sebagai utusan ayahnya."
"Oh, kiranya begitu. Dua negeri yang berperang tak boleh membunuh utusan. Kau tak boleh
begitu." "Tetapi ia sudah menyelidiki keadaan tempat kita. Kalau dilepas pulang tentu membahayakan
pihak kita," bantah Tiau-ing.
"Kalau begitu tahan sajalah!" kata Shin Ci-koh.
"Memang akupun takkan membunuhnya. Hm, sekalipun ia sengaja memancing supaya aku
membunuhnya, namun aku tetap tak mau. Tetapi, budak lelaki liar itu ...."
"Budak itu membela mati-matian kepada suci-nya. Rupanya mereka sepasang keksaih?" tanya Shin
Ci-koh. Tiau-ing tertawa ewah: "Hati nona Sip itu sukar diraba. Budak liar itu, kebanyakan tentu tergilagila
seorang diri!"
Tiba-tiba Shin Ci-koh tergelak-gelak: "Aku paling menghargakan seorang lelaki yang berbudi dan
berperasaan. Bahwa budak itu karena hendak membela sucinya sampai berani malandai kau, itu
dapat dimaafkan. Hukumannya ringan. Lebih baik kau masukkan mereka ke dalam tahanan saja."
Kiranya selama 20 tahun ini Shin Ci-koh telah mengandung asmara sepihak terhadap Gong-gongji.
Maka spontan ia merasa sependeritaan dengan Bik-hu.
Tiau-ing menganggap keputusan itu kelewat murah, tapi pada lain kilas ia mengetahui bahwa
ternyata Se-kiat masih mempunyai setitik perhatian terhadap In-nio. Maka jika Bik-hu ditahan di
situ, Se-kiat tentu cemburu dan tak mau memikirkan In-nio lagi. Maka ia pun segera menurut apa
yang dikatakan suhunya itu.
Setelah dibawa balik ke dalam kota, In-nio dan Bik-hu diborgol tangannya dan dibwa Tiau-ing
sendiri ke dalam sebuah penjara air. Penjara air itu didirikan di bawah tanah, berdinding batu tebal.
Konstruksinya dibagi dua, atas dan bawah. Bagian atas merupakan waduk air. Begitu perkakas
dibuka, airpun segera menggenangi ruangan bawah.
"Kuberi waktu kalian hidup gembira sampai beberapa hari. Tetapi jangan kalian coba melarikan
diri. Sekali kupijat perkakas, kalian tentu akan menjadi kura-kura di laut," kata Tiau-ing.
Ketika pintu ditutup, In-nio dan Bik-hu berada dalam kegelapan. Ruangan itu memakai dinding
batu, tapi ada sebagian yang menggunakan batu asli. Dari celah-celah batu asli itu sinar matahari
dapat menyorot masuk. In-nio dan Bik-hu sejak kecil berlatih melepaskan senjata rahasia, maka
matanya pun lebih tajam dari orang biasa. Cepat mereka sudah biasa dengan kegelapan itu. Hanya
dengan sinar dari celah batu itu mereka sudah dapat melihat wajah masing-masing.
Tampak mata Bik-hu berkilat-kilat, wajah kemerah-merahan. Kiranya ia merasa likat sekali ketika
isi hatinya " yang ia sendiri tak berani mengutarakan " telah dibuka oleh Shin Ci-koh. Kemudian
diejek lagi oleh Tiau-ing. Meskipun Bik-hu mendongkol, tapi diam-diam ia merasa lega. Ia malu
tapi girang juga.
Sebenarnya In-nio pun sudah mengetahui sikap sutenya itu terhadap dirinya. Apalagi pada saat itu.
Dengan melihat sorot matanya, dapatlah ia mengetahui bagaimana gelora hati sutenya itu. In-nio
menghela napas, ujarnya: "Pui sute, sungguh merepotkan kau saja. Perempuan siluman itu hendak
menggunakan aku untuk mempengaruhi ayah. Aku tetap tak mau. Bahwa kau menemani aku
menyongsong kematian, aku sungguh berterima kasih sekali."
"Ah, tak apalah. Kita hidup bersama hidup, mati berdua mati. Bagiku sudah puas tak menyesal.
Hanya aku merasa kecewa mengapa kepandaianku begitu cetek, sehingga tak mampu
menolongmu."
Sederhana sekali kata-kata Bik-hu itu namun penuh dengan nada jeritan kalbunya. Sedingin-dingin
hati In-nio, terpaksa tergerak juga mendengar pernyataan itu. Tanpa tersadar mereka makin merapat
dan saling berjabat tangan: "Sute, terima kasih atas kebaikanmu. Sayang jiwa kita berada di ujung
rambut. Mungkin aku tak sempat membalas budimu itu."
"Suci, dnegan pernyataanmu itu sekalipun wanita siluman itu membunuh aku saat ini, akupun akan
mati dengan meram," kata Bik-hu.
In-nio merah mukanya dan berbisik: "Aj, janganlah berkata begitu sute. Hatiku makin pilu."
"Ah, suci, sekarang baru aku terlepas dari tindihan batu berat," tiba-tiba Bik-hu berseru.
In-nio terkesiap: "Apa yang menyiksa .... itu?"
"Ah, apakah aku harus mengatakan?"
"Kita hanya hidup beberapa hari saja. Kalau hendak menyatakan apa-apa, silahkan bilang," kata Innio
dengan lapang dada, tetapi sebenarnya hatinyapun berdebar keras juga. Ia mengeluh dalam
batin: "Aku tak mau membohong mengatakan cinta padanya. Tapi akupun tak mau membuatnya
kecewa. Ai, bagaimana ini?"
"Kutahu kau denganBo Se-kiat itu bersahabat baik, baik sekali. Terus terang, suci, ketika kutahu
hal itu, hatiku merasa sedih sekali. Bo Se-kiat, dia seorang bengcu, kepandaiannya tinggi orangnya
cakap. Ya, dalam segala apa saja, aku memang kalah dengan dia. Dalam kedudukanku itu,
kumengharap agar kau berbahagia. Maka walaupun sedih, tetapi aku bergirang untuk
keberuntunganmu. Kuanggap kau dan Se-kiat betul-betul merupakan sejoli pasangan yang tepat
sekali. Aku tak berhak cemburu atau iri hati lagi!"
"Kemudian setelah tiba di Tiang-an,b aru aku mengetahui lebih banyak tentang pribadi Se-kiat. Dia
pisahkan diri dengan Thiat suheng. Karena hendak mendapatkan perempuan siluman itu ia tak
sayang meninggalkan sahabat, bahkan tak sayang sebagaimana dulunya kukira. Dia tak setimpal
menjadi pasanganmu."
"kemudian ketika kau tinggalkan perkemahan, cepat dapat kuduga kau tentu menuju ke Tho-ko-poh
mencarinya. Tetapi aku tak tahu tujuanmu yang sebenarnya. Maka aku selalu gelisah saja, kuatir
kau akan jatuh ke dalam pikatannya lagi. Takut kau akan, akan ... maaf atas dugaanku yang bukanbukan
ini. Ya, aku sungguh kuatir kau akan terbakar lagi hatimu kepadanya."
"Setelah kudengar nasihatmu kepada Se-kiat, barulah kutahu tindakanmu itu sangat utama. Aku
terkejut, girang dan kagum kepadamu! Suci, kau benar-benar seorang gadis perwira, berani dan
pandai. Begitu lama aku bergaul padamu, baru sekarang kutahu jelas pribadimu. Bahwa tadinya
kau menguatirkan dirimu, nyata-nyata pikiran seorang siaujin!"
In-nio tenang-tenang saja mendengar pernyataan Bik-hu. Diam-diam iapun tergerak hatinya dan
gembira. Dalam pernyataan yang begitu panjang lebar, sepatahpun Bik-hu tak menyatakan katakata
'cinta'. Namun setiap patah katanya, merupakan luapan suara hatinya. Dan yang paling
mengagumkan, Bik-hu dapat memahami maksud kunjungan In-nio kepada Se-kait. Tanpa tersadar,
In-nio mengepal tangan Bik-hu erat-erat, ujarnya: "Su-te, kau terlalu menyanjung aku. Sebenarnya
tidak sebaik seperti yang kau kira itu. Kau berhati jujur, setia dan perwira. Ternyata lebih hebat
dari persangkaanku semula. Tetapi kau mempunyai sebuah cacad ...."
Bik-hu tersirap kaget dan meminta keterangan.
"Kekuranganmu itu ialah kau terlalu tak mengerti sifat-sifatnya yang baik sendiri. Kau memandang
rendah dirimu sendiri, selalu menganggap dirimu tak menang dengan lain orang. Sebenarnya,
kecuali untuk sementara ini kepandaian silat kalah dengan Se-kiat, lain-lainnya kau lebih menang
dari dia. Manusia hidup yang terutama ialah nilai pribadinya. Se-kiat tak dapat menyamai kau,"
kata In-nio. Demikian setelah melalui pernyataan-pernyataan itu, keduanya makin intim. Walaupun Bik-hu tak
berani mengucapkan namun hati mereka sudah saling mengisi. Dan setelah mengetahui isi hati
masing-masing, mereka pun segan untuk membicarakan diri Se-kiat lagi.
Dalam penjara tanah yang segelap itu, mereka merundingkan tentang ilmu pedang dan pengalaman
di dunia persilatan. Mereka tak merasa kesepian. Pada waktu-waktu tertentu, tentu ada orang
mengantarkan makanan. In-nio memperhitungkan karena masih membutuhkan tenaganya, Tiau-ing
tentu tak mau memberi racun dalam makanan itu. Dari jumlah antaran makanan, diperkirakan
sudah dua hari mereka berada dalam penjara tanah itu. Pada saat itu mereka tengah bercakapcakap.
Lapat-lapat In-nio mendengar suara genderang.
Setelah menempelkan telinganya ke tembok, Bik-hu tertawa getir: "Itu bunyi musik menyambut
temanten!"
"Benar, memang kita sudah dua hari berada di sini. Hari pernikahan mereka berlangsung hari ini,"
kata In-nio. "Karena sama-sama berselera busuk biarkan mereka bergabung. Lihat saja mereka dapat mengecap
kebahagiaan sampai berapa lama?"
"Memang telah kuduga mereka akan menikah, namun hatiku tetap bersedih juga," kata In-nio.
"Suci, mengapa ...."
"Tiada lain maksud kecuali mengingat persahabatan kita, aku tetap tak sampai hati melihat dia
terjerumus semakin dalam. Dengan pernikahan itu, dia taakn terangkat lagi selama-lamanya.
Dapatkan kau memaafkan kesedihanku ini?"
Bik-hu menyatakan penyesalannya karena khilaf. Tetapi In-nio pun membenarkan apayang
diucapkan Bik-hu tadi.
"Ai, suci, dengarlah! Seperti terjadi sesuatu yang tak beres!" tiba-tiba Bik-hu berseru. Dan
memang tak berselang berapa lama terdengar kuda meringkik, orang berteriak dan senjata beradu.
Di luar seperti terjadi pertempuran.
"Apakah tentara negeri menerjang kemari?" tanya Bik-hu.
"Ayah paling cepat enam tujuh hari lagi baru datang. Li Kong-pik meskipun lebih dekat, tapi
karena sudah berjanji ia tentu menunggu kedatangan ayah dulu baru bergerak. Kurasa
kemungkinan besar mereka tentu gasak-gasakan sendiri," kata In-nio.
Bik-hu mengatakan bahwa saat itu adalah kesempatan untuk meloloskan diri. Tepat pada saat itu
terdengar derap kaki mendatangi. Setelah merenung sejenak, In-nio mengambil ketetapan untuk
meloloskan diri. Ia suruh Bik-hu gunakan lwekang memutuskan rantai borgolannya. Bik-hu
menurut, tapi sampai sekian saat belum berhasil. Ia menghampiri ke dinding batu. Setelah mencari
bagian yang tajam, ia hantamkan borgolannya sekuat-kuatnya. Eh, berhasillah ia sekarang. Setelah
itu iapun membantu memutuskan borgolan In-nio.
"Wanita siluman itu mengatakan penjara ini ada perkakasnya entah perkakas apa," kata In-nio.
Tiba-tiba terdengar suara air bergemuruh seperti hujan lebat. Cepat sekali ruang tahanan itu
digenangi air. Karena gugupnya, In-nio tergelincir. Ia tak pandai berenang dan airpun cepat sekali
naiknya. Baru hendak membuka mulut berteriak, mulutnya terminum beberapa teguk air. Dalam
saat-saat yang berbahaya itu tiba-tiba ia rasakan tubuhnya terangkat naik. Kiranya Bik-hulah yang
mengangkatnya. Sebagai anak yang dilahirkan di tepi sungai, Bik-hu pandai sekali berenang. Bukannya takut
sebaliknya ia malah girang dengan terjangan air itu. Ia merasa mendapat jalan untuk lolos. Asal ia
dapat mencapai ruangan atas.
"Suci, peganglah lenganku erat-erat tapi jangan terlalu keras. Tutuplah dulu napasmu," serunya.
Karena saat itu air sudah setinggi tiga tombak. Ketika berenang, Bik-hu hanya terpisah dua meter
dari lantai ruang atas.
"Kongcu menghendaki masih hidup, jangan sampai mereka terendam mati, tiba-tiba di sebelah atas
terdengar suara orang. Ia mengajak kawannya turun. Tapi sang kawan mengusulkan lebih baik kait
saja. Mendengar itu Bik-hu diam-diam girang. Ia duga orng itu tentu hanya bangsa kerucuk saja.
Beberapa kait dijulurkan turun. Kait itu dibuat secara istimewa, ada yang panjangnya sampai satu
tombak. Bik-hu diam saja, begitu ia mendapat kesempatan, cepat disambarnya sebatang kait terus
ditariknya. Blung, seorang penjaga kecemplung. Secepat itu juga dengan menekan kepala si
penjaga, Bik-hu apungkan tubuhnya ke atas. Ia sambar kait orang tadi terus dikaitkan ke pintu air.
Beberapa penjaga tengah sibuk menolongi kawannya yang jatuh tadi. Demi melihat tubuh Bik-hu
sudah menonjol keluar, kejut mereka bukang kepalang: "Celaka, bangsat itu hendak menerobos
keluar!" Segera ada juga yang meneriaki supaya lekas-lekas menutup lubang air. Tetapi sudah terlambat.
Sembari sebelah tangan menarik In-nio, sebelah tangan mencekal kait, Bik-hu melesat keluar.
Seorang penjaga membacok kait Bik-hu tadi dan seorang penjaga sibuk menutup pintu air. Tapi
Bik-hu yang sudah berhasil naik, dengan kaitnya yang sudah kutung itu menangkis sserangan
orang. Ia terus mainkan kutungan kait itu dan cepat dapat merubuhkan beberpa penjaga itu.
In-nio yang terminum air, masih agak pusing dan lemas kakinya. Seorang lelaki bersenjata thongjin
menghantamnya tapi dengan sebuah gerakan, dapatlah In-nio membuatnya jatuh jungkir balik.
Baru In-nio heran mengapa Tiau-ing hanya menempatkan penjaga-penjaga yang berkepandaian
rendah, tiba-tiba dua batang golok menyambarnya dengan dahsyat. In-nio terhuyung mundur, brat,


Tusuk Kondai Pusaka Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bajunya kena terpapas ujung golok. Ketika mengawasi, ternyata penyerangnya itu adalah dua orang
wanita. Rupanya mereka itu orang kepercayaan Tiau-ing. Ilmu goloknya dari ajaran Tiau-ing.
Mereka lebih lihay dari kawanan atau thaubak Se-kiat. Karena masih limbung minum air, hampir
saja tadi In-nio termakan golok mereka. Tapi karena terkejut itu, semangat In-nio timbul lagi.
Kedua orang kepercayaan Tiau-ing itu sudah tentu bukan tandingan In-nio. Dalam beberapa gebrak
saja, mereka terampas goloknya dan tertutuk jalan darahnya.
Pun Bik-hu bersua dengan dua orang lelaki yang lumayan kepandaiannya. Tapi bagaimanapun
mereka bukan lawan Bik-hu. Tepat pada saat In-nio merubuhkan kedua wanita tadi, Bik-hupun
dapat mencengkeram tengkuk mereka terus dibenturkan dengan kawannya. Kedua orang itupun tak
ingat diri lagi.
Mengapa Tiau-ing tak memberi penjagaan kuat" Itulah karena ia yakin akan kelihayan penjara air
itu dan kedua kalinya karena pada saat ia melangsungkan pernikahan, ia hendak bergerak
menggempur engkohnya. Itulah maka ia hanya menaruh beberapa penjaga karena semua orangorangnya
yang berkepandaian tinggi dibawa keluar.
Masih Bik-hu mengamuk kawanan penjaga yang berusaha hendak melarikan diri, tetapi dicegah Innio.
Maka Bik-hu hanya menutuk jalan darah mereka saja. Karena melihat sucinya basah kuyub,
maka Bik-hu suruh In-nio berganti dengan pakaian wanita tadi. Dengan mengancam, dapatlah Bikhu
paksa bujang wanita itu tadi membuka alat perkakas.
Begitu keluar dari penjara air itu, ternyata In-nio dan Bik-hu berada di lereng gunung. Dan ketika
mereka melintasi gunung, didengarnya suara senjata beradu. Kiranya di tengah hutan situ terdapat
sepuluh orang paderi tengah mengerubuti seorang wanita. Wanita itu memegang hud-tim dan
pedang. Dan dia adalah Shin Ci-koh. Dalam beberapa kejab saja, Shin Ci-koh sudah dapat
merubuhkan beberapa paderi. Dua orang yang tersabet hud-timnya berguling-guling di tanah
menjerit-jerit.
Tetapi paderi-paderi pantang mundur. Kiranya mereka adalah anak murid Leng-ciu-pay, yang
dipimpin oleh Ceng-beng-cu. Sebagai pemimpin yang berkuasa menjatuhkan hukuman dalam
partai Leng-ciu-pay, Ceng-beng-cu dapat mengancam mereka supaya bertempur mati-matian. Dan
Ceng-beng-cu sendiri walaupun kalah dengan Shin Ci-koh tapi juga lihay. Menghadapi orang yang
nekad itu, diam-diam Shin Ci-kohpun mengeluh dalam hati.
Munculnya In-nio dan Bik-hu itu makin membuat keder hati Shin Ci-koh. Ia tahu In-nio dan Bikhu
itu tak di bawah Ceng-bing-cu, kalau kedua anak muda itu sampai membantu pihak Leng-ciupay,
celakalah ia. Sebaliknya pihak Leng-ciu-pay juga mempunyai kekuatiran begitu. Mereka tak kenal In-nio dan
Bik-hu. Jika kedua anak muda itu ternyata di pihak Shin Ci-koh, celakalah mereka.
Tetapi terhadap kedua pihak yang bertempur itu, In-nio dan Bik-hu pernah bermusuhan juga. In-nio
dan Bik-hu heran mengapa mereka bertempur. "Tak usah hiraukan mereka, kita jalan terus. Di
sebelah muka lebih ramai lagi," kata In-nio.
Karena tahu hubungan Shin Ci-koh dengan Gong-gong-ji, maka In-nio mempunyai kesan lebih baik
daripada terhadap pihak Leng-ciu-pay. Tapi sekalipun begitu ia tak mau membantu wanita yang
menjadi suhu Tiau-ing itu. Dan Bik-hu hanya menurut apa yang dikatakan suci-nya saja. Karena
kuatir mereka turut campur, orang-orang Leng-ciu-pay itupun tak mau merintangi kedua anak muda
itu. Melintasi gunung di bawah gunung terbentang sebidang padang rumput. Disitu tampak orang
bertempur dengan naik kuda. Dari kejauhan, tampak Se-kiat dan Tiau-ing naik kuda, memberi
komando anak buahnya untuk menyerang.
Kepala Tiau-ing bersunting bunga warna merah dan masih mengenakan pakaian pengantin baru.
Apa yang diduga In-nio ternyata tak meleset. Pertempuran itu terjadi antara suami-isteri Se-kiat
lawan Su Tiau-gi. Su Tiau-gi telah merencanakan suatu gerakan razia. Pada waktu Se-kiat
menyambut pengantinnya, akan ditangkap kemudian Tiau-ing akan dipaksa untuk menikah dengan
putera raja Ki (sebenarnya Tiau-ing tinggal bersama dengan Se-kiat. Tapi pada hari pernikahan itu
ia terpaksa pulang ke tempat engkohnya agar Se-kiat datang menyongsong).
Memang tepat sekali perhitungan Su Tiau-gi itu. Tapi ternyata Tiau-ing pun sudah siap
menghadapi. Malah lebih lihay dari engkohnya. Ia mempunyai tiga ribu tentara wanita, disamping
berkomplot dengan beberapa opsir sebawahan Tiau-gi. Iapun merencakan, begitu Se-kiat datang
terus hendak diajak untuk menangkap Su Tiau-gi. Setelah Tiau-gi terbunuh, Tiau-ing segera akan
memegang kekuasaan tentara engkohnya itu.
Keduanya sama merancang rencana busuk, sehingga suasana pernikahan yang gembira itu berubah
menjadi pertempuran darah yang ganas. Benar juga, persiapan Tiau-ing ternyata lebih unggul.
Namun Su Tiau-gi untuk masih mempunyai pengikut-pengikut yang setia. Rencana Su Tiau-ing
untuk membunuh engkohnya itu, sukar terlaksana. Paling-paling hanya dapat mengurung Tiau-gi
dan tentaranya.
Sedang pihak Leng-ciu-pay itu memang mempunyai rencana sendiri. Selagi kedua saudara itu
bertempur, orang Leng-ciu-pay segera mengurung Shin Ci-koh. Karena sedang sibuk, Se-kiat tak
dapat mencegah perbuatan mereka.
Dari lima puluh ribu pasukan berkuda kepunyaan Tiau-gi, sudah ada dua pertiga bagian yang
memberontak ikut pada Tiau-ing. Keadaan Tiau-gi memang berbahaya, tampaknya ia tak dapat
lolos lagi. Tapi selagi Se-kiat bersemangat memberi komando kepada anak buahnya, tiba-tiba
kedengaran genderang bertalu riuh dan sebuah pasukan berkuda di bawah pimpinan Tomulun
menerjang ke medan pertempuran.
Tomulun memiliki tenaga pembawaan yang kuat sekali. Ia mengamuk dengan sebatang tombak
yang beratnya tak kurang dari 70-an kati sehingga anak buah Se-kiat kocar-kacir. Se-kiat marah
dan larikan kudanya untuk menangkap putera raja itu. Tiau-ing buru-buru memperingatkan Se-kiat
supaya jangan membunuh Tomulun.
"Ya, kau sudah mengerti. Dia adalah putera tunggal dari raja Ki. Jika dapat ditawan, ayahnyapun
tentu menurut perintahku," sahut Se-kiat.
Pada saat itu Timulunpun menyerang tiba. Tiau-ing meneriakinya: "Pangeran Tomulun, ini adalah
urusan kami berdua saudara. Hubungan kita sudah baik, harap kau jangan turut campur. Mengapa
kau hendak membantu engkohku?"
"Heh, sekarang kau baru mengambil hatiku" Sudah kasip. Sekalipun sekarang kau suka menikah
dengan aku, aku tak sudi lagi memperisterikan seorang wanita siluman seperti kau!" damprat
Tomulun. Sudah tentu Se-kiat marah sekali. Larikan kudanya menerjang kemuka, ia berseru: "Tutup
mulutmu, pantat kuali! Di hadapanku, jangan jual lagak seperti anak raja!"
"Aku tidak merebut binimu, mengapa kau marah-marah" Lihat serangan tombakku!" teriak
Tomulun. Waktu Se-kiat hendak menangkis tiba-tiba sebatang passer telah melayang mengenai kuda
tunggangan Se-kiat. Kuda itu rubuh.
"Aku tak mau mendapat kemurahan, ayo kita turun bertempur!" seru Tomulun sembari loncat turun
dari kudanya dan menyerang dengan tombaknya. Se-kiat girang. Ia anggap dengan bertempur
tanpa kuda itu, mudah sekali untuk menawan putera raja itu. Dan ia menertawakan Tomulun yang
dianggapnya hanya mengandal kekuatan saja tetapi ilmu silatnya kurang lihay. Ia lingkarkan
pedangnya menyerang ke tengah.
"Bagus!" seru Tomulun sembari benturkan tombaknya ke pedang lawan. Dalam soal kepandaian
silat, sudah tentu Tomulun itu bukan tandingan Se-kiat. Maka sembari tertawa gelak-gelak Se-kiat
rubah greakan pedangnya lurus-lurus untuk menempel tombak dan terus dipapakan ke muka. Jika
tak mau lepaskan tombak, jari Tomulun tentu hilang. Jika lain orang, tentu sudah menyerah. Tapi
tidak demikian dengan Tomulun.
"Aku tak sudi lepaskan senjataku!" teriak putera raja itu yang dengan nekad telah sapukan
tombaknya. Memang Se-kiat akan dapat memapas kutung jari lawan, tapi ia nanti juga akan
termakan tombak. Buru-buru ia tarik pulang pedang dan sambil berputar tubuh ia membentak lagi:
"Apa kau benar-benar tak mau lepaskan tombakmu"!"
Dengan kecepatan seperti kilat Se-kiat gunakan jurus Pek-hong-koan-jit atau bianglala
menyongsong matahari, ia menusuk perut lawan. Dengan bersenjata tombak panjang itu, memang
Tomulun dapat bertempur dari jarah jauh dengan bagus. Tapi kalau jaraknya dekat, gerakannya
terpancang. Tampaknya Tomulun terancam bahaya tapi justeru karena tak tahu keindahan gerakan musuh,
dengan gunakan cara berkelahi orang Ki ia balas menusukkan tombaknya. Sudah tentu Se-kiat
kerupyukan sekali. Se-kiat sudah berjanji takkan melukai pangeran itu. Gerakan memapas jari tadi
hanya sekedar untuk menggerak supaya Timlun lepaskan tombaknya saja. Apalagi gerakannya
menusuk perut orang itu, sudah tentu lebih tidak berani melanjutkan sungguh-sungguh. Karena
pancangan itu, betapa lihay ilmu permainannya pedang tetapi ia tak dapat berbuat apa-apa.
Tomulun memang tak kenal ilmu pedang yang sakti. Melihat Se-kiat tiap kali berganti permainan
dan menghindar, ia mengira Se-kiat itu takut kepadanya, maka tertawalah putera raja itu terbahakbahak.
Se-kiat mendongkol sekali ditertawai begitu rupa. Namun ia terpaksa menindas kemarahannya
juga. Sembari bertempur ia terus putar otak memikirkan cara untuk menangkap hidup-hidup putera
raja itu. Tiau-ing memberi komando kepada pasukan wanitanya untuk memutus pasukan berkuda dari
Tomulun. Tiba-tiba muncul lagi sebuah juada (bendera pertandaan) baru. Kay Thian-sian si nona
buruk muka memimpin pasukan wanitanya menerjang datang.
Buru-buru Tiau-ing keprak kudanya untuk menyambut: "Cici Kay, kebetulan sekali kau datang!"
Kay Thian-sian berludah dan berseru: "Siapakah cici-mu itu" Kau pengapakan ciciku In-nio itu"
Tak peduli kau ini seorang kongcu atau isteri bengcu, kalau berani mengganggu selembar rambut
cici In, aku tentu akan mengadu jiwa padamu."
Engkoh Thian-sian, yakni Kay Thian-hau, saat itupun berada di medan pertempuran. Mendengar
kata-kata adiknya itu, ia kaget dan marah. Ia larikan kuda menghampiri dan membentaknya:
"Budak liar, mengapa kau berani ngaco belo" Apa kau hendak berkhianat" Apakah di matamu
tiada lagi Bo bengcu dan engkohmu ini?"
"Bo Se-kiat berbudi rendah tidak konsekwen. Dia bukan orang baik. Kalau dia dapat membuang
cici In-nio, apakah aku tak dapat berkhianat?" sahut Thian-sian.
Waktu mendongak kepala, Thian-sian melihat Tomulun tengah bertempur seru dengan Se-kiat.
Sekali berbuat, tak mau ia kepalang tanggung. Terus saja ia menerjang ke sana: "Tomulun jangan
takut, aku membantumu! Hm, Se-kiat, mengapa kau menghina suamiku?"
Kiranya karena saling mencocoki hati, kedua insan buruk muka itu telah mengikat jodoh.
"Budak tak tahu malu, lihat golokku!" dengan marah sekali Thian-hau menyerang adiknya.
Jilid 17 Sebaliknya Se-kiat tak marah malah tertawa geli: "Oh, kiranya nona Kay sudah menjadi
permaisuri" Kiong-hi, kiong-hi! Kay toako, jangan sampai melukai adikmu, ya!"
"Baiklah, bengcu, aku hanya akan meringkus budak yang tak tahu adat ini," sahut Thian-hau.
Memang kepandaian Thian-hau lebih tinggi daripada adiknya. Tapi jika hendak meringkusnya,
bukanlah semudah seperti apa yang diucapkan.
"Aku tak takut padanya! Dinda Thian-sian, jangan kuatir. Setelah kuberesi bengcu ini, aku tentu
membantumu!" teriak Tomulun.
"Kau mau memberesi aku" Ah, tak mudah, kawan!" Se-kiat tertawa gelak-gelak. Pada saat itu ia
sudah menemukan siasat untuk menawan Tomulun. Ketika Tomulun menusuk sekuat-kuatnya, Sekiat
lekatkan ujung pedangnya ke tombak, terus menariknya pelahan-lahan. Seperti disedot magnit,
Tomulun menjorok ke muka dan hampir saja terjerembab. Buru-buru ia perbaiki kuda-kuda
kakinya. "Kau gunakan ilmu apa itu" Aku tak pernah melihat ilmu semacam itu!"
"Justeru aku hendak mempertunjukkan ilmu itu supaya matamu terbuka," sahut Se-kiat. Dengan
siasat menindas kekuatan lawan, walaupun Tomulun menusuk kalang-kabut, tetapi tetap tak
mengenai. Dan karena mengobral tenaga, putera raja Ki itu kehabisan tenaga dan mandi keringat.
Itulah saat yang dinanti-nantikan Se-kiat. Beberapa jenak kemudian, napas Tomulun pun tersengalsengal
hampir putus dan tampaknya ia tak dapat bertahan lagi. Sekonyong-konyong muncul
seorang pemuda dan seorang pemudi terus menyerang maju. Mereka bukan lain In-nio dan Bik-hu.
Karena Bik-hu mengenakan pakaian thaubak dan In-nio memakai pakaian anak buah Tiau-ing,
maka anak buah Se-kiat mengira kedua pemuda itu sebagai kawannya sendiri dan dibiarkan saja.
Mendengar belakangnya disambar angin senjata, Se-kiat mengisar tubuh dan terhindar dari
serangan Bik-hu. Namun pedang Se-kiat itu tetap melekat pada batang tombak Tomulun.
Kehabisan napas dan ditindas dengan lwekang Se-kiat, Tomulun rasakan tombaknya itu berat
sekali. Hampir saja ia tak kuat mengikuti dibawa berputar dua kali oleh Se-kiat.
Melihat putera raja Ki itu sudah tak kuat mempertahankan tombaknya lagi, In-nio cepat gunakan
jurus kim-ciam-to-kiap. Trang, ia berhasil mencongkel pedang Se-kiat terlepas dari tombak.
Timulun seperti terlepas dari beban berat. Namun walaupun napas tersengal-sengal ia tak mau
mundur. In-nio segera membentaknya: "Ai, cici Kay kewalahan melawan engkohnya, mengapa kau
tak membantunya."
"Orang she Bo, hari ini pertempuran kita belum selesai, lain hari kita sambung lagi!" seru anak raja
itu. Memang ia mengerti bahwa kepandaian Se-kiat lebih unggul tetapi tak tahu ia dimana letak
keistimewaan dari kepandaian lawannya. Oleh karena itu walaupun terdesak, ia tetap pantang
menyerah. Sambil lintangkan pedang di dada, Se-kiat menghela napas: "In-nio, apakah kita tak dapat
menghindari pertempuran?"
"Terserah padamu. Pui sute, mari kita pergi," In-nio mengajak Bik-hu. Sikap In-nio itu
menandaskan, jika tak diserang, iapun tak mau menyerang orang. Asal Se-kiat tak mengganggu,
iapun akan pergi tanpak banyak rewel.
"Se-kiat, jangan lupa ia anak perempuan Sip Hong!" teriak Tiau-ing.
Timbul pikiran Se-kiat: "Jika saat ini In-nio bebas, lain hari Sip Hong tentu menyerbu kemari dan
aku terpaksa harus angkat senjata. Ai, kalau sampai bertempur dengan tentara negeri tentu kesulitan
makin besar."
Dengan pemikiran itu, Se-kiat lari mengejar lagi.
Walaupun pasukan Tomulun sudah bergabung dengan pasukan wanita dari Kay Thian-sian, tetapi
tetap masih kalah banyak dengan anak buah Se-kiat. Memang tak sedikit rintangan yang diberikan
oleh pasukan wanita, tetapi dalam waktu singkat Se-kiat berhasil juga mengejar In-nio dan Bik-hu.
Dengan jurus pek-hong-koan-jit (bianglala menutup matahari) tampaknya Se-kiat menusuk In-nio,
tapi di tengah jalan tiba-tiba dibelokkan arahnya untuk menyerang Bik-hu. Tring, Bik-hu berusaha
menangkis, tapi begitu berbentur, pedangnya kena dilekat oleh pedang Se-kiat. Dan begitu Se-kiat
menyingkirkan pedang Bik-hu ke samping, tangan kirinya segera menyambar tulang pundak anak
muda itu. In-nio cepat-cepat kiblatkan pedang. Sekaligus ia lancarkan beberapa jurus serangan yang indah:
giok-li-tho-soh, biau-ciat-lian-hoan, toa-bok-ko-yan dan tiang-ho-lok-jit. Se-kiat terpaksa lepaskan
Bik-hu untuk menghalau serangan In-nio. Diam-diam Se-kiat iri hati dan cemburu melihat In-nio
bertempur bahu membahu dengan Bik-hu. Pikirnya dengan gemas: "Huh, karena kau melindungi
budak itu, terpaksa kaupun takkan kulepaskan."
Dengan lwekang istimewa, ia menabas pedang In-nio dan Bik-hu. Setelah pedang mereka tersisih,
ia gentakkan ujung pedang untuk menusuk pundak si nona.
Bik-hu menggembor keras. Dengan jurus tok-biat-hoa-san (membelah gunung Hoa-san), ia
gunakan pedang seperti orang menggunakan golok untuk membacok kepala Se-kiat. Ilmu
permainan ini, adalah ciptaan dari suhengnya, Thiat-mo-lek. Dahsyatnya bukan kepalang.
Benar kepandaian Se-kiat lebih tinggi dari lawan, tetapi tetap ia tak berani menyepelekan. Terpaksa
ia lepaskan In-nio untuk menyambut pedang Bik-hu. Se-kiat salurkan lwekang ke ujung
pedangnya, dengan gerak ya-ja-tham-hay, ia lilit-balikkan pedang lawan supaya hilang
kedahsyatannya. Dengan cara itu, berhasillah dia memecahkan permainan tok-biat-hoa-san.
Se-kiat tak mau kepalang tanggung. Selagi tubuh lawan masih groggy (sempoyongan), ia hendak
menusuk ke jalan darahnya. Tetapi lagi-lagi In-nio sudah menyerangnya. Melihat In-nio dan Bikhu
saling tolong, cemburu Se-kiat makin besar. Cemburu itu berubah menjadi kebencian. Ia
kepingin sekali tabas dapat membinasakan Bik-hu, kemudian menawan In-nio hidup-hidup. Maka
permainan pedangnyapun makin gencar.
Karena Bik-hu dan In-nio tunggal seperguruan maka walaupun tak berjanji lebih dulu, mereka dapat
juga isi mengisi, saling menolong pihak yang terancam bahaya. Mereka dapat bermain dengan
serasi sekali. Bik-hu dengan ilmu pedang gaya keras, menangkis serangan Se-kiat dari sebelah
muka. Sedang In-nio dengan ilmu pedang tangkas dan gemulai, menyerang lawan dari samping.
Betapa Se-kiat hendak bermain keras, namun tak dapat berbuat apa-apa terhadap mereka.
Saat itu Tiau-ing pun datang dengan berkuda: "Sip toasiocia, apakah aku lambat melayanimu"
Mengapa kau begini buru-buru pergi" Aku hendak mengundang kau minum arak perkawinan!"
"Wut," ia lontarkan sebuah jaring yang disebut Kim-hun-to (kantong awan emas). Terbuat daripada
kawat baja halus dan dipasangi dengan kait yang banyak sekali. Jaring itu mempunyai daya guna
istimewa untuk menangkap orang.
Bik-hu dan In-nio terperanjat. Mereka tengah terlibat dalam serangan pedang Se-kiat. Kalau
menangkis senjata jaring tentu akan termakan pedang Se-kiat. Tetapi kalau melayani Se-kiat tentu
akan terjaring. Dalam saat-saat yang berbahaya itu, tiba-tiba In-nio mendapat akal. Ia bersuit
keras. Sekonyong-konyong kuda yang dinaiki Tiau-ing itu melonjak ke atas terus mencongklang ke
muka. Karena tak keburu memegang kendali, Tiau-ing terlempat jatuh.
Ternyata kuda itu adalah kuda In-nio pemberian dari Cin Siang. Waktu Se-kiat merampas kedua
kuda Bik-hu dan In-nio, yang satu diberikan pada Tiau-ing, dan yang satu diberikan pada Shin Cikoh.
Tetapi karena kuda yang dipakai Shin Ci-koh terluka, maka ditinggal di kandang kuda. Dan
celakanya, baru pertama kali itulah Tiau-ing menaiki kuda tersebut. Kuda yang sudah terlatih baik
itu, begitu mendengar suitan In-nio segera lemparkan Tiau-ing dan lari menghampiri In-nio.
"Sute, lekas naik kuda!" teriak In-nio dengan girang. Waktu Bik-hu menangkis serangan Se-kiat,
In-nio pun sudah mencemplak kuda dan menerjang Se-kiat. Pada saat Se-kiat menghindar ke
samping, Bik-hu cepat-cepat loncat ke atas kuda.
Kopiah dan pakaian temantennya rusak kumal, membuat Tiau-ing marah sekali. Ia ganti kuda dan
lari mengejar. In-nio duduk beradu punggung dengan Bik-hu. In-nio yang menghadap ke muka
memegang kendali. Bik-hu yang menghadap ke belakang menolak serangan musuh. Tetapi meski
kuda sakti, karena dinaiki dua orang dan dikepung musuh, maka jalannya pun lambat. Dalam
waktu singkat dapat dikejar Tiau-ing. Segera nona itu menusuk Bik-hu dengan tombak.
Bertempur di atas kuda, memang lebih leluasa menggunakan senjata panjang. Pedang Bik-hu
hanya kurang lebih satu meter panjangnya hingga sukar untuk menusuk Tiau-ing. Kebalikannya
tombak Tiau-ing panjangnya dua tombak, dapat dibuat menusuk orang maupun kuda Bik-hu.
Setelah beberapa gebrak, Bik-hu tak mampu menjaga kudanya. Untung yang tertusuk bagian
kendalinya. "Kurang ajar, biar kutangkap wanita siluman itu. Suci, tunggulah aku di muka!" Bik-hu gusar
sekali. Dan menggunakan kesempatan selagi Tiau-ing belum sempat mencabut tombaknya, Bik-hu
sudah enjot tubuhnya melayang ke kuda Tiau-ing. Sudah tentu Tiau-ing terkejut sekali dan cepatcepat
sapukan tombaknya.
"Turun!" bentak Bik-hu yang setelah berhasil mencengkeram tombak Tiau-ing terus didorong ke
muka. Krak, tombak patah menjadi dua dan Tiau-ing terpelanting jatuh. Tetapi ia pandai sekali
naik kuda. Dalam jatuhnya ia masih dapat kaitkan ujung sepatunya pada kendali. Ketika tubuhnya
menggelantung ke bawah ia sudah mencabut pedang pendek. Begitu ia geliatkan tubuhnya ke atas,
ia memegang kendali dan membabat jari Bik-hu.
Kalau saat itu Bik-hu mau timpukkan pedangnya, Tiau-ing pasti amblas jiwanya. Tapi ia
bermaksud hendak menawan Tiau-ing untuk dijadikan barang tanggungan. Maka ia gunakan ilmu
gong-chiu-jip-peh-jiu (merebut senjata) untuk merampas pedang Tiau-ing. Karena tubuh Tiau-ing


Tusuk Kondai Pusaka Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

masih belum sempat duduk, dalam beberapa gerakan saja, pedangnya kena dibikin jatuh Bik-hu.
Bik-hu meneruskan gerakannya untuk menangkap lawan, tapi tiba-tiba ia merasa ada pedang
menyambar, kalau tak lekas menarik pulang tangannya, tentu akan terpapas kutung. Cepat ia
lengkungkan tubuh untuk menghindar.
Kiranya yang menyerang itu adalah Se-kiat. Ia pun juga sudah tukar kuda dan tepat pada saatnya
dapat menolong Tiau-ing. Ketika Bik-hu menghindar, Se-kiat sudah meraih Tiau-ing untuk
dipindahkan ke atas kudanya. Satu-satunya keuntungan yang diperoleh Bik-hu ialah dapat
menggondol pergi kuda Tiau-ing.
Beberapa kali menderita kekalahan, membuat Tiau-ing marah besar: "Jika kedua orang itu tak
ditawan, aku belum puas!" ia uring-uringan dan mendesak Se-kiat supaya mengejar.
Sekonyong-konyong seorang opsir berpangkat Ki-pay-koan mencongklang tiba dan melapor: "Raja
Yan-ong sudah menerobos keluar lembah!"
Yan-ong adalah Su Tiau-gi. Menggunakan kesempatan dimana pasukan Tomulun dan Kay Thiansian
mengamuk tentara musuh (Se-kiat), Tiau-gi pimpin pasukan berkuda yang setia kepadanya
untukmembuka jalan darah dan berhasil keluar dari kepungan.
"Tiau-ing, lekas pimpin pasukanmu wanita menggabung dengan barisan depan. Tangkap
engkohmu. Kedua orang itu, serahkan saja padaku!" Se-kiat terkejut.
Sebenarnya Tiau-ing kesal sekali kepada In-nio dan Bik-hu. Tetapi karena hubungannya dengan
Tiau-gi sudah putus, ia lebih memberatkan engkohnya daripada In-nio. Memang, jika dibandingkan
dengan In-nio dan Bik-hu, Tiau-gi itu lebih merupakan musuh besar bagi Tiau-ing. Melepas In-nio
dan Bik-hu, paling-paling akibatnya hanya akan berhadapan dengan tentara negeri. Tetapi jika
Tiau-gi sampai lepas, bahayanya di kemudian hari lebih besar.
Terpaksa Tiau-ing tahan kemengkalan hatinya dan menurut perintah Se-kiat. Setelah berganti
dengan lain kuda, ia segera mengejar engkohnya.
Saat itu In-nio tengah dikepung oleh sepasukan berkuda. Bik-hu pun sedang mati-matian
menerobos keluar. Keduanya belum dapat bergabung. Se-kiat menimang tindakannya: "Walaupun
anak she Pui itu menjemukan, tapi In-nio lebih penting," pikirnya. Sekalipun begitu, ia sulit
melaksanakan. Ia tak mau melukai In-nio tapipun tak dapat melepaskan nona itu. Namun tetap ia
congklangkan kudanya ke tempat In-nio.
Sekonyong-konyong terdengar sebuah suitan panjang. Datangnya dari gunung di sebelah
belakang. Begitu nyaring suitan itu. Genderang dan gemerincing senjata di medan pertempuran tak
dapat menyirap kumandang suitan itu. Anehnya walaupun nadanya keras tapi agak getar.
Se-kiat kerutkan dahi. Ia tahu suitan itu dari Shin Ci-koh. Dan sebagai seorang ahli lwekang, cepat
ia mengetahui bahwa Shin Ci-koh menderita luka dalam. Untung tak berapa berat. Memang Sekiat
sudah mengetahui tentang gerakan anak murid Leng-ciu-pay (di bawah pimpinan Ceng-bingcu)
mencari balas pada Shin Ci-koh. Bahkan dengan Ceng-cing-cu, Se-kiat ada perjanjian juga.
Selama Ceng-bing-cu tak mengganggu usik pada gerakan Se-kiat, Se-kiat pun tak mengganggu usik
pada gerakan Se-kiat. Kini Shin Ci-koh memberi tanda suitan untuk meminta bantuan muridnya
(Tiau-ing). Tetapi Tiau-ing sudah pergi mengejar engkohnya jadi tak mendengar tanda suitan itu.
"Shin Ci-koh sombong sekali. Jika masih dapat bertahan, mana ia mau minta bantuan.
Bagaimanapun ia adalah suhu Tiau-ing. Jika tak kukirim orang menolongnya, kalau sampai
kejadian apa-apa, bukankah aku tak enak pada Tiau-ing" Apalagi Shin Ci-koh itu pernah membantu
padaku," pikir Se-kiat.
"Urusan di sini menyangkut ketentuan berhasil atau gagalnya gerakanku. Aku tak boleh tinggalkan
tempat ini. Satu-satunya orang yang dapat kukirim kesana adalah Kay Thian-hau. Tetapi jika
kukirim ia kesana, tentu dapat mempengaruhi jalannya pertempuran di sini. Ah, sudahlah, sudah.
Memang sedianya aku sudah tak mau ikut campur. Biarkan ia (Shin Ci-koh) mati atau hidup, aku
tak peduli. Pun aku tak usah bentrok dengan kaum Leng-ciu-pay. Tentang Tiau-ing, karena ia
sudah sehati dengan aku, masakan ia dapat mempersalahkan aku?" pada lain saat ia bantah sendiri
pikirannya tadi.
Setelah mengambil keputusan, ia pun lantas keprak kudanya mengejar In-nio. "In-nio, percuma kau
melawan. Lebih baik kau kembali lagi. Asal kau lepaskan pedangmu, akupun tak nanti
menyusahkan kau," teriaknya.
Sebagai jawaban In-nio membabat dua orang liaulo (anak buah) Se-kiat. Ia tertawa mengejek: "Bo
Se-kiat, aku lebih suka mati di bawah pedangmu daripada menyerah!"
Se-kiat menghela napas:" In-nio, tak nyana kita akan saling berhadapan sebagai musuh!"
Habis berkata Se-kiat lantas putar pedangnya. Selagi In-nio hendak menangkis, tiba-tiba datang
dua penunggang kuda yang memegat Se-kiat. Ai, kedua orang itu bukan lain adalah Tomulun dan
kekasihnya si nona 'manis' Kay Thian-sian. Setelah mengalahkan Thian-hau, mereka buru-buru
menolong In-nio. Tomulun luar biasa tenaganya. Sekali putar tombaknya, pengepung-pengepung
In-nio itu menjadi kocar-kacir.
"Bagus, aku memang justeru hendak menangkap kau!" teriak Se-kiat.
"Elok, elok, aku memang hendak mengadu kejantanan dengan kau!" Tomulun balas berteriak dan
malah sudah mendahului menusuk dengan jurus kiau-liong-no-hay (naga mengaduk lautan).
Se-kiat menangkis dengan jurus in-hou-kui-san atau memancing harimau tinggalkan gunung.
Walaupun dapat menghapus tenaga kedasyhatan lawan, namun tak urung tangannya sakit juga.
Bertempur naik kuda, jauh bedanya dengan di atas tanah. Banyak sekali ilmu pukulan yang indahindah
tak dapat digunakan. Sebaliknya Tomulun mendapat keuntungan dari tenaganya yang besar.
Meskipun ia tetap tak dapat mengalahkan lawan, tetapi Se-kiatpun tak mudah mengalahkannya.
"Cici Sip, lekas pergi. Bo Se-kiat seorang yang tak kenal kasih tak punya budi, jangan hiraukan
lagi padanya!" teriak Kay Thian-sian.
Waktu melihat Tomulun masih dapat bertahan, legalah hati In-nio. Tapi ia cemas ketika melihat
Bik-hu senin-kemis napasnya menerjang kepungan musuh. Setelah mempertimbangkan bahwa
Thian-sian dan Tomulun dapat menghadapi Se-kiat, ia segera berseru: "Terima kasih, cici Kay.
Sampai berjumpa lagi lain hari." -- Ia segera keprak kudanya menerjang ke arah Bik-hu.
Benar juga Se-kiat dapat lepaskan diri dari libatan Tomulun. Ia hanya melongo saja melihat In-nio
menuju ke tempat Bik-hu. Marahlah ia, serunya: "Kay toako, suruh Yau-kau-chiu (pasukan kait)
menangkap nona itu, tetapi jangan sampai melukai."
Ia gunakan lwekang Coan-im-jip-bi memberi perintah. Tiada seorang pun yang mendengar kecuali
Kay Thian-hau seorang.
Ketika In-nio menerjang, kebetulan ia berpapasan dengan pasukan kait. Untung kudanya itu sudah
terlatih baik, sehingga dapat menghindarkan diri dari serangan pasukan itu. Dengan susah payah ia
dapat meloloskan diri.
"Koko, apa kau tak kenal pada nona Sip" Bo Se-kiat itu manusia tanpa budi buta kasih. Dia mensiasiakan
nona Sip. Mengapa kau membelanya mati-matian. Jika kau tak melepaskan nona Sip,
jangan salahkan aku sebagai adik berbalik muka padamu?" teriak Thian-sian. Pasukan wanitanya,
walaupun jumlahnya kecil, tetapi persenjataannya lengkap, masing-masing membawa golok bian-to
yang tipis. Mereka merupakan bujang-bujang kepercayaan Thian-sian.
Begitu menyerang, pertempuran dengan pasukan kait segera pecah. Pasukan wanita itu berlindung
dengan perisai rotan dan membabat kait musuh dengan goloknya yang tajam. Engkoh dan adik
kembali bertempur.
Pasukan Tomulun digabung dengan pasukan Thian-sian paling banyak hanya lima enam ribu
jumlahnya. Sedang anak buah Se-kiat ditambah dengan taklukan pasukan Su Tiau-gi jumlahnya
lebih dari lima enam puluh ribu orang. Jadi sepuluh kali lipat dari anak buah Tomulun " Thian-sian.
Se-kiat segera memecah barisannya menjadi empat pasukan. Sayap kiri mengacip, sayap kanan
menerjang. Dalam beberapa kejap saja, pasukan Tomulun dan pasukan wanita Thian-sian menjadi
tercerai. Satu sama lain tak dapat memberi bantuan.
Pada saat Tomulun sudah tak sanggup melawan lagi, sekonyong-konyong terdengar suara
genderang berbunyi dan serangan musuh. Debu mengepul tinggi, panji-panji berkibaran. Ribuan
pasukan, menerjang ke dalam medan pertempuran. Kiranya raja suku Ki telah memimpin
pasukannya menyerang. Memang raja pribumi itu sebenarnya tak puas dengan tindakan Se-kiat
yang sebagai tetamu berani menghina tuan rumah. Demi mendengar puteranya (Tomulun)
dikepung, marahlah raja itu. Segera ia kerahkan pasukan untuk menolong puteranya dan sekalian
untuk mengenyahkan Se-kiat dari negeri situ.
Anak pasukan Raja Ki itu memang garang, apalagi mereka kenal baik dengan keadaan setempat.
Begitu menerjang, mereka segerap pecah diri menyerang kemana-mana. Setiap tempat yang
didatangi, pasukan Se-kiat tentu kocar-kacir. Tentara taklukan dari Su Tiau-gi, sebenarnya tiada
punya nafsu berperang. Kesempatan itu digunakan mereka untuk lempar senjata dan berebutan
melarikan diri.
Melihat ayahnya datang, hati Tomulun besar lagi. Diapun lantas memutar tombaknya membuka
jalan darah untuk menggabung diri dengan pasukan ayahnya.
Sebenarnya Se-kiat ingin menghindari jangan sampai bentrok dengan raja Ki. Tetapi dalam
keadaan seperti itu, ia tak sempat lagi memberi penjelasan secara damai. Pada lain kejab, pasukan
raja Ki yang menyerang dari luar, dapat menggabung diri dengan Tomulun yang menerjang dari
dalam. Rencana Se-kiat untuk menawan Tomulun hidup-hidup, menjadi buyar.
Marahlah Se-kiat. Direbutnya bendera dari tangan seorang anak buah. Ia sendiri yang memegang
pucuk komando. Anak buahnya menjadi inti pasukan, dan tentara taklukan Su Tiau-gi menjadi
pasukan bantuan. Ia susun barisan kuat untuk menahan terjangan musuh. Walaupun mereka terdiri
dari kawanan liau-lo (anak buah penyamun) tapi mereka cukup terlatih dalam peperangan. Di
bawah komando Se-kiat yang pandai ilmu perang, mereka menjadi benteng pertahanan yang kokoh
juga. Anak pasukan suku Ki, biasa dilatih perang secara individu (perseorangan). Seorang tentara suku
Ki dapat menghdapi dua orang anak buah Se-kiat. Tetapi pasukan Ki itu tak mengerti cara
mengatur barisan untuk menyerang atau bertahan. Setelah disusun Se-kiat seratus anak buahnya
saja cukup kuat untuk menahan serangan tiga ratus tentara Ki. Hanya sayang tentara taklukan dari
Su Taiu-gi itu sudah pecah nyalinya. Se-kiat tak dapat lagi mengendalikan mereka. Maka
sekalipun situasi agak mendingan, Se-kiat tak mampu balas melakukan offensif (serangan), karena
ia hanya mengandal inti pasukan bekas liau-lo tadi. Pertempuran menjadi berimbang.
Tiba-tiba Se-kait mengambil putusan untuk tinggalkan daerah Tho-ko-poh. Begitulah ia segera
memberi komando untuk menerjang kepungan musuh. Pertempuran dahsyat segera terjadi lagi.
In-nio dengan mengandalkan kelincahan kudanya, dapat leluasa mencari jalan keluar. Tetapi dalam
medan pertempuran yang sedemikian kacaunya itu, tak mungkin ia dapat mencari Bik-hu.
"Ilmu kepandaian Pui sute lebih tinggi dari aku, Se-kiatpun tiada sempat lagi menangkapnya.
Kupercaya ia tentu dapat lolos dari kepungan," pikir In-nio.
Anak pasukan Se-kiat berhasil membobol sebuah ujung tembok kota. In-nio cepat keprak kudanya
untuk menerobos keluar mendahului pasukan Se-kiat. Tetapi di sebelah muka masih ada pasukan
wanita Tiau-ing yang tengah mengejar Su Tiau-gi. Saat itu In-nio sudah capek sekali. Ia tak mau
bertempur dengan Tiau-ing lagi. Ia belokkan kudanya menyusur jalan kecil di pegunungan. Berkat
kudanya yang lihay, tak berapa lama ia berhasil tinggalkan pasukan Se-kiat jauh di belakang.
Hutan yang sunyi, matahari yang menjelang silam dengan sinarnya keemas-emasan,
menghidangkan suatu pemandangan yang sejuk nyaman. Jauh sekali bedanya suasana di medan
pertempuran yang menyeramkan. In-nio merasa seperti habis mengalami sebuah impian ngeri.
Dari atas gunung memandang ke bawah, daerah Tho-ko-poh masih sayup-sayup kelihatan tapi suara
genderang sudah tiada kedengaran lagi. Bau amis yang terbawa oleh kesiur angin, masih terasa
sepoi-sepoi. Dari situ dapat dibayangkan betapa dahsyatnya pertempuran itu.
In-nio menghela napas. Teringat akan pengalamannya selama beberapa hari ini, hatinya merasa
kecewa. Dari sikap Se-kiat yang lupa budi tinggalkan kecintaan sampai pada sikap Bik-hu yang
tulus ikhlas mengunjukkan rasa cinta dalam caranya sendiri. Benar-benar kedua anak muda itu
seperti bumi dan langit bedanya. In-nio pilu tetapi dalam kepiluannya itu ia mendapat getaran
bahagia juga. "Entah apakah Pui sute dapat lolos dari bahaya" Dan setelah lolos, kapankah kita dapat berjumpa
lagi?" In-nio bertanya-tanya dalam hati. Selagi ia terbenam dalam pelbagai kenangan suka duka,
sekonyong-konyong terdengar derap kaki kuda mencongklang keras. Dari larinya, tahulah In-nio
kuda itu tentu bukan kuda sembarangan.
"Apakah Pui sute?" In-nio terkejut dan berpaling. Dan kejutnya makin besar demi kuda yang
mencongklang itu kuda putih Ciau-ya-say-cu kepunyaan Bik-hu. Tetapi penunggan bukan Bik-hu
melainkan seorang wanita yang rambutnya terurai masai dan tubuhnya berlumuran darah.
Tanpa diperintah lagi, karena melihat kawannya datang, kuda In-nio itu lantas lari menyambut.
Kini In-ni makin jelas bahwa yang datang itu bukan lain adalah Bu-ceng-kiam Shin Ci-koh!
Kalau In-nio terkejut, Shin Ci-koh pun tak kurang kagetnya. Tetapi belum saling berhadapan, Shin
Ci-koh sudah jatuh dari kudanya.
Kiranya ia habis bertempur mati-matian dengan orang Leng-ciu-pay. Kaum Leng-ciu-pay mahir
menggunakan racun. Betapa tinggi lwekang Shin Ci-koh, namun karena pertempuran berjalan
lama, iapun tak kuat terus menerus menutup pernapasannya. Meski dapat membunuh enam belas
orang, tapi iapun menyedot beberapa tok-hun (puder racun) yang ditebarkan orang Leng-ciu-pay.
Shin Ci-koh coba kerahkan lwekang untuk menolak racun, tapi dikarenakan ia harus melawan
serangan musuh, akhirnya ia terluka berat. Mati-matian ia membuka jalan darah. Berkat kuda
Ciau-ya-say-cu kepunyaan Bik-hu yang dirampas Se-kiat kemudian diberikan padanya, barulah ia
dapat lolos dari kepungan musuh. Kuatir di jalan besar kesampokan musuh, serupa halnya dengan
In-nio, iapun mengambil jalan hutan. Dan secara kebetulan, ia berpapasan dengan In-nio.
Shin Ci-koh kehabisan tenaga dan lukanyapun belum keburu dibalut. Melihat In-nio, ia terkejut
sekali dan spontan lemah lunglailah persendiannya. Sampai mencekal tali kendali saja ia tak kuat.
Ia jatuh ngelupruk di tanah.
"Baik, kalau mau menuntut balas, silahkan! Aku lebih suka mati di tanganmu daripada dihina
Ceng-bing-cu!" wanita itu deliki mata dan menghela napas.
In-nio terkseiap. Buru-buru ia turun dari kudanya dan mengangkat Shin Ci-koh. "Mengapa kau tak
bunuh aku?" teriak wanita itu dengan napas tersengal-sengal.
"Walaupun wanpwe ini bukan kaum hiapgi, namun tahu juga wanpwe akan kewajiban menolong
sesama manusia yang sedang menderita kesusahan. Sekali-kali wanpwe tak mau 'menindih tangga'
pada orang yang sudah jatuh," kata In-nio sembari merawat luka Shin Ci-koh.
Selain luka dalam pun Shin Ci-koh menderita luka luar yang cukup banyak. Yang paling berat ialah
di bagian tulang punggung dan perut. Darah masih mengucur keluar.
"Tempel obat luka kim-jong-yok dan silahkan pergi. Di sini bukan tempat yang aman, jangan
sampai kau terlibat dengan urusanku," kata Shin Ci-koh.
"Soal menghadapi musuh, biarlah kita bicarakan lagi nanti. Sekarang apakah lo-cianpwe membekal
kim-jong-yok?" tanya In-nio.
"Apa kau tak membawa?" Shin Ci-koh terkejut.
Kim-jong-yok atau obat pelumur luka, sebenarnya setiap orang persilatan tentu membekal. Tapi
karena Shin Ci-koh disergap secara mendadak oleh orang Leng-ciu-pay, maka ia tak sempat lagi
membawa obat itu.
"Celaka, kim-jong-yok kepunyaanku siang-siang, siang-siang sudah ....," In-nio menjadi gelisah.
"Kim-jong-yokmu dirampas Tiau-ing?" tukas Shin Ci-koh.
Sebenarnya In-nio tak mau memberitahukan hal itu karena mungkin menusuk perasaan Shin Cikoh.
Tapi karena Shin Ci-koh sudah mendahului mengatakan, In-nio terpaksa mengangguk: "Tetapi
hal itu tak dapat mempersalahkan murid lo-cianpwe. Karena aku menjadi orang tawanannya, sudah
tentu ia harus menggeledah badanku."
Shin Ci-koh menghela napas: "Ah, tak nyana murid yang paling kumanjakan, pada saat aku dalam
bahaya, ia tak datang menolong sebaliknya kau yang merawati aku dengan tekun. Aku, sungguh
menyesal ...."
In-nio tak dapat mencari kata-kata untuk menghiburinya.
"Apakah kau mengerti ilmu menutuk jalan darah" Itu mudah dipelajari. Biar kuajarkan padamu.
Salurkan lwekang ke arah ujung jari dan tutuklah dulu jalan darahku di bagian sin-thian-hiat,
kemudian di bagian leng-cong-hiat. Setelah menutuk harus segera mengurutnya. Apakah kau dapat
mengurut?" tanya Shin Ci-koh.
In-nio mengatakan dapat. Memang walaupun ilmu menutuk supaya menghentikan keluarnya darah
itu tampaknya sederhana tetapi harus mengerti ilmu ketabiban juga. Di bagian mana yang luka,
harus di bagian mana yang ditutuk. Ini memang penting. Pengertian In-nio dalam hal itu tidak
banyak maka iapun tak berani gegabah. Tentang ilmu mengurut, barang siapa yang belajar ilmu
menutuk jalan darah, tentu sekalian belajar ilmu mengurut.
In-nio cepat mengerti apa yang diajarkan Shin Ci-koh. Sayang karena habis bertempur setengah
harian, tenaga In-nio pun lemah. Dengan susah payah ia berusaha mengerahkan lwekang ke ujung
jari. Habis melakukan penutukan, ia capai sekali.
"Bawalah kudaku itu dan pergilah lekas. Jangan mengurusi aku lagi," kata Shin Ci-koh. Ternyata
walaupun lukanya luar sudah berhenti mengalirkan darah, tetapi luka dalamnya tetap masih payah.
Dan itu mengandalkan tenaganya sendiri untuk melakukan pengobatan dengan lwekang. Berhasil
atau tidak, terserah pada nasib. Kalau orang Leng-ciu-pay tidak berhasil mengejarnya, ia tentu
selamat. Tapi kalau mereka tiba di situ, ia pasti celaka.
Shin ci-koh menyuruh In-nio membawa kuda Ciau-ya-say-cu-ma itu, agar In-nio dapat berganti
kuda di tenagh jalan. Dengan membawa dua ekor kuda istimewa, In-nio kemungkinan besar pasti
dapat meloloskan diri.
Tetapi In-no tak mau. Diangkatnya Shin Ci-koh ke atas punggung kuda, ujarnya: "Kita bersamasama
pergi!" "Tidak, aku sudah tak dapat berjalan jauh lagi," kata Shin Ci-koh.
"Aku tahu. Tetapi di sebelah muka sana ada sebuah biara rusak. Di sana kita meneduh sementara,"
In-nio tak mau banyak bicara terus melarikan kuda membawa Shin Ci-koh ke biara tua yang
terletak di atas gunung.
"Biara itu oleh penduduk setempat dan kaum pemburu disebut Yok-ong-bio atau biara Raja Obat.
Karena bertahun-tahun daerah Tho-ko-poh selalu perang, kawanan pemburu yang tinggal di atas
gunung itupun dipanggil masuk dinas tentara juga. Sebagian yang tak mau, melarikan diri ke
daerah yang lebih dalam. Karena tiada yang merawat lagi, biara itupun rusak tak terurus.
Setelah membersihkan galagasi dan sarang laba-laba yang memenuhi ruangan biara, In-nio
menempatkan Shin ci-koh di situ. Kemudian ia keluar lagi mencari makanan. Tapi karena kuatir
Shin Ci-koh didatangi musuh, In-nio pun tak berani pergi jauh. Untung pada saat itu adalah saat di
mana burung-burung sama pulang ke sarangnya. In-nio tak bertenaga lagi untuk berburu binatang
hutan, maka ia terpaksa menimpuk burung dengan batu. Setelah berhasil mendapatkan dua ekor
burung dan memetik beberapa buah-buahan yang ia tak tahu namanya pokok asal kira-kira dapat
dimakan, ia lantas kembali ke biara.
Shin Ci-koh yang tengah menjalankan penyaluran lwekang sampai ubun-ubun kepalanya mengepul
asap tipis, demi melihat kedatangan In-nio segera menghela napas: "Nona Sip, aku sudah tidak
berguna lagi. Lebih baik kau lekas-lekas tinggalkan tempat ini."
Setelah menjalankan penyaluran lwekang, ia dapatkan lwekangnya terluka parah. Luka yang tak
mungkin diobati dengan kepandaiannya sendiri. Paling-paling ia hnaya dapat bertahan untuk
sementara waktu saja.
"Telah kupetikkan beberapa buah-buahan hutan. Coba lihat apakah dapat dimakan?" In-nio
bertanya tanpa menghiraukan anjuran Shin Ci-koh.
Waktu melihat buah-buahan itu, Shin Ci-koh terkejut girang. Ternyata buah-buahan hutan itu dapat
digunakan sebagai obat pemulih urat-urat dan penghilang gangguan darah. Ini justeru yang
diperlukan. Setelah makan beberapa biji, semangat Shin Ci-koh tambah baik. Iapun duduk bersila
lagi untuk menyalurkan lwekang. Tetapi lewat beberapa jenak, ia membuka mata dan menghela
napas pula: "Ah, tetap tak berguna. Lukaku sangat parah. Hawa cin-gi hanya dapat menyalur


Tusuk Kondai Pusaka Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sedikit-sedikit. Paling tidak harus memerlukan tujuh delapan hari baru aku dapat pulih seperti
sediakala. Tetapi Ceng-beng-cu tentu tahu kalau aku menderita luka berat. Dia tentu melakukan
pengejaran di daerah gunung ini. Masakan kau mau menempuh bahaya merawati lukaku selama
tujuh delapan hari itu" Nona Sip, lekas pergilah. Aku hanya akan minta tolong sebuah hal padamu
yakni supaya memberitahukan pada Gong-gong-ji tentang musuh-musuhku itu. Minta dia supaya
membasmi seluruh kawanan Leng-ciu-pay sampai habis!"
Teringat akan kekasihnya Gong-gong-ji, walaupun mulut mengucapkan kata-kata keras, tetapi
hatinya pilu dan tak kuasa lagi ia menahan air matanya.
Diam-diam In-nio girang mengetahui Shin Ci-koh tak berbahaya jiwanya: "Harap lo-cianpwe
tenang-tenang mengobati luka. Taruh kata musuh datang kemari, tetapi sute-ku juga dapat mencari
aku kemari, Begitu lukamu agak baikan dan sute-ku datang, kita akan pergi bersama-sama."
Shin Ci-koh menarik napas: "Dalam hidupku hanya kenal kekerasan membunuh orang. Hari ini
baru aku tahu betul kemuliaan hiag-gi (kaum persilatan yang menjalankan kebaikan). Nona Sip,
kau bukan saja penolongku, pun juga guruku yang baik dan sahabatku yang mulia!"
"Ah, kata-kata lo-cianpwe ini memukul diriku. Aku hanya melakukan dharma yang seharusnya
dilakukan manusia hidup. Mana aku pantas disejajarkan dengan kaum hiap-gi?" In-nio
Pendekar Remaja 16 Rahasia 180 Patung Mas Karya Gan Kl Suling Emas Dan Naga Siluman 27
^