Pencarian

Tusuk Kondai Pusaka 20

Tusuk Kondai Pusaka Karya S D. Liong Bagian 20


mempedulikan Ceng-ceng-ji jadi turut atau tidak. Dia tetap langsungkan rencana itu. Rencana
jahat itu sama sekali tak diketahui suhunya, Leng Ciu siangjin.
Dengan barisan penggempur yang disiapkan itu Ceng-bing-cu mengira tentu dapat membinasakan
Khik-sia. Siapa tahu, ia justeru kesampokan dengan seorang tokoh yang lihay gin-kangnya seperti
Gong-gong-ji. Selembar bulu tubuh Gong-gong-ji tak rontok, sebaliknya barisan pendam dari
Leng-ciu-pay itu banyak yang benjol kepala dan bubar melarikan diri sendiri.
Setelah ditunjuki diri Ceng-bing-cu, Gong-gong-ji segera melesat. Dengan beberapa loncatan saja
ia sudah dapat mengejar Ceng-bing-cu. Tetapi Ceng-bing-cu itu murid kepala dari Leng Ciu
siangjin. Kepandaiannya juga tinggi. Dalam keadaan terdesak, ia menjadi kalap. Sret, ia menabas
ke belakang. Namun biar bagaimanpun juga, kepandaian Ceng-bing-cu itu masih kalah jauh dengan Gong-gongji.
Gong-gong-ji tak perlu memakai pedang. Cukup dengan tangan kosong yang menggunakan
gerak Gong-chiu-jip-peh-jim (tangan kosong merampas senjata musuh), ia sudah dapat merebut
pedang Ceng-bing-cu dan mencengkeram tulang pundaknya.
"Dengan memandang muka suhuku, ampunilah aku," semangat Ceng-bing-cu serasa terbang dan
dengan tersipu-sipu ia berseru. Minta ampun tapi dengan mengancam.
Gong-gong-ji tertawa gelak-gelak, serunya: "Leng Ciu siangjin juga seorang pendiri sebuah partai
persilatan. Mengapa mempunyai murid yang tak tahu malu seperti kau" Aku paling benci kepada
manusia yang temaha hidup takut mati. Justeru karena kau merintih minta hidup, aku bahkan akan
membunuhmu!" - Sekali kelima jarinya dikeraskan, Ceng-bing-cu pun segera berkuik-kuik seperti
babi hendak disembelih.
Tiba-tiba Gong-gong-ji mendapat akal. Ia kendorkan cengkeramannya dan tertawa: "Melihat kau
begitu kasihan sekali, terpaksa kuampuni jiwamu anjing. Tetapi kau harus menurut kata-kataku.
Ceng-bing-cu mana berani membantah lagi. Dengan tersipu-sipu ia mengiakan. "Baik, kalau
begitu ayo ikut aku," kata Gong-gong-ji yang segera menjinjing Ceng-bing-cu seperti orang
menjinjing ayam saja.
Sebelum mencapai biara rusak itu, lebih dulu harus melintasi sebuah bukit. Karena ada rintangan
barisan pelempar batu tadi, Gong-gong-ji dan Khik-sia terlambat sampai lewat tengah malam.
Walaupun sudah mempunyai rencana, namun Gong-gong-ji mencemaskan juga keadaan Shin Cikoh
yang sudah bertempur selama dua jam. Iapun segera tambah gas lari sepesat angin.
Turunnya Khik-sia dari gunung kali ini, hendak mengurus dua buah hal. Tetapi semuanya gagal.
Bik-hu tak berhasil ditemukan, pun surat dari Thiat-mo-lek kepada Se-kiat itu tiada buahnya sama
sekali malah menambah permusuhan dengan Se-kiat. Meskipun ada juga lain hasil ialah bertemu
dengan Gong-gong-ji, tetapi ia merasa telah menderita kerugian besar. Kerugian itu berupa hinaan
moral yang difitnahkan oleh Tiau-ing. Benar ia tetap tak bersalah, tapi ia merasa telah melanggar
pesan Yak-bwe. "Karena aku kembali begini telat, Yak-bwe tentu gelisah sekali. Ah, entah ia dapat menerima
penjelasanku atau tidak?" ia mengeluh dalam hati.
Khik-sia hanya memikir sampai di situ, tetapi keadaan di biara ternyata jauh lebih hebat dari apa
yang dikiranya. Bukan saja Shin Ci-koh, pun Yak-bwe juga terancam jiwanya dan tengah
mengharap-harap kedatangan Khik-sia.
Kiranya setelah minum pil dari Leng Ciu siangjin, berselang sehari semalam, luka dalam Shin Cikoh
sudah pulih seperti sediakala. In-nio dan Yak-bwe lega hatinya. Tetapi ketika malam tiba dan
Khik-sia belum kelihatan muncul, Yak-bwe dan In-nio gelisah sekali. Bahkan kecemasan In-nio
lebih besar dari Yak-bwe karena memikirkan keadaan Bik-hu juga.
Rembulan muncul dan pelahan-lahan mulai naik tinggi. Meskipun dirinya juga seorang iblis wanita
yang telah banyak mengganas jiwa orang, tapi diam-diam Shin Ci-koh tergetar juga hatinya saat
itu. Yang akan dihadapinya nanti, seorang tokoh persilatan kelas satu. Ini bukan main-main.
Selagi mereka terbenam dalam keresahan masing-masing, tiba-tiba terdengar ketawa seorang tua:
"Shin Ci-koh, kau sungguh-sungguh pegang janji. Tidak mau pergi dan tetap berada di sini."
"Justeru aku kuatir kalau kau tidak datang, sehingga aku tak sempat membalas pemberian obat
tadi," Shin Ci-koh berseru angkuh.
Ternyata Leng Ciu siangjin datang seorang diri. Memandang kepada Shin Ci-koh, gembong Lengciu-
pay itu tertawa: "Karena saat ini kau sudah sembuh, kalau nanti kalah di tanganku, tentu kau tak
dapat cari alasan lagi. Dengan tujuan itulah maka kuberimu obat penawar luka, agar kau mati tiada
penasaran. Dan untuk itu tak usah kau membilang terima kasih lagi."
"Tahukah kau bagaimana caraku hendak membalas kebaikanmu itu?" tanya Shin Ci-koh.
Leng Ciu siangjin kesima, serunya: "Cara apa yang hendak kau lakukan itu" Silahkan bilang!"
Jilid 18 Tamat Tetapi Se-kiat sendiri juga gentar. Memang Thiat-mo-lek selalu mundur, tetapi tetap memiliki
kekuatan untuk balas menyerang. Serangan gencar dari Se-kiat seperti membentur tembok yang tak
kelihatan dan tak mungkin diterobos. Rencana Se-kiat sebenarnya hanya akan bertahan saja. Ini
untuk mengulur waktu hingga pamannya datang. Tetapi ia rubah rencananya itu setelah melihat
Thiat-mo-lek memberi pengobatan lwekang pada Tian Goan-siu tadi. Ia berganti dengan siasat
menyerang secara kilat.
Memang setelah bertempur tiga jurus, Se-kiat dapatkan tenaga lawan berkurang sekali. Tetapi
masih memiliki tenaga pertahanan yang kuat. Dengan begitu siasatnya menyerang kilat, sukar
terlaksana. Tapi Se-kiat sudah terlanjur bergerak menyerang, dia sendiri tak tahu bagaimana nanti
jadinya. Kalau pertempuran berjalan lama, dikuatirkan tenaga Thiat-mo-lek akan pulih. Ini berarti
kekalahan baginya (Se-kiat). Maka ia tak mempunyai pilihan lagi kecuali melanjutkan siasatnya
menyerang secara kilat.
Se-kiat mainkan pedangnya dengan gencar. Thiat-mo-lek selalu main mundur saja. Setiap kali
mundur, ia dapat mengurangi kekuatan menyerang dari lawan. Tapi karena Se-kiat masih muda,
tenaganyapun tak lekas habis. Oleh karena itu semua hadirin, kecuali ayah mertua Thiat-mo-lek,
sama merasa cemas. Mereka tak tahu bahwa sebenarnya pemunduran Thiat-mo-lek mempunyai
arti. Makin lama Se-kiat makin ganas. Jurus-jurus serangannya makin menghebat. Dan Thiat-molek
hanya mainkan goloknya dalam ilmu golok warisan keluarganya. Se-kiat tampak sebagai pihak
penyerang tetapi anehnya serangannya yang bagaimana aneh tetap kena ditangkis golok Thiat-molek.
Hadirin yang berada di lapangan situ, kecuali Han Soan (ayah mertua Thiat-mo-lek), yang
berilmu tinggi hanya Tian Goan-siu.
Setelah tersadar, ia tak mau pulang mengobati lukanya tetapi tetap berada di situ untuk
menyaksikan pertandingan. Ia menghela nafas: "Aku telah belajar tujuh belas macam ilmu pedang,
tapi baru sekarang kuketahui kalau kesemuanya itu hanya ilmu picisan. Luar biasa sekali ilmu
pedang Se-kiat itu, namun tak mampu menandingi ketenangan Thiat-mo-lek. Untuk mencapai
keistimewaan, asal orang mempunyai otak cerdas tentu dapat. Tapi untuk mencapai ketenangan,
orang harus berlatih dengan tekun. Ketenangan dan kemahiran jauh lebih unggul dari
kedahsyatan."
Pada saat Tian Goan-siu membuat penilaian begitu, Thiat-mo-lek sudah mundur lagi sampai 7-8
langkah. Tampaknya ia terkurung sinar pedang Se-kiat. Keadaannya makin buruk. Malah Ong
Yan-ik sudah menyatakan kekuatirannya kepada suaminya: "Goan-siu, dikuatirkan Thiat toako akan
kehabisan tenaga dan tak mampu mempertahankan kemenangannya."
Memang Goan-siu mengetahui bahwa ketenangan Thiat-mo-lek itu pasti dapat mengatasi lawan.
Tapi ia tak mengerti tentang keindahan-keindahan yang tersembunyi dalam permainan Thiat-mo-lek
itu. Apa yang dikatakan isterinya, sesuai dengan perasaannya. "Celaka, kalau Thiat-mo-lek sampai
kalah, akulah yang menjadi gara-garanya," ia mengeluh dalam hati namun tak diutarakan pada
isterinya. Ia tetap memperhatikan jalannya pertempuran dengan penuh perhatian.
Han Ci-hun, isteri Thiat-mo-lek, pun berada di situ. Mendengar pembicaraan Tian Goan-siu
suami isteri itu, iapun merasa cemas. Waktu ia hendak menanyakan pendapat ayahnya, tampak saat
itu Han Soan menyungging senyuman.
"Eh, Mo-lek mundur terus-terusan, mengapa ayah malah gembira?" ia heran.
Baru saja ia berpikir begitu, di sana Se-kiat kiblatkan pedangnya dengan istimewa. Menyabat
ke kiri dengan jurus Ban-li-hui-soang, memapas ke kanan dengan jurus Cian-sam-lok-yap. Bret,
lengan baju Thiat-mo-lek kena terpapas rompal.
"Ayah...." belum Han Ci-hun melanjutkan kata-katanya, ayahnya (Han Soan) sudah menukas
tertawa: "Serangan Se-kiat sudah tamat. Lihatlah, sekarang Thiat-mo-lek berganti giliran yang
menyerang!"
Han Ci-hun menengok kemuka. Ah, kiranya benar. Thiat-mo-lek kini merubah pertempuran
dari bertahan menjadi penyerang. Meskipun belum dapat memaksa lawan mundur, tapi kini
posisinya sudah kokoh. Kiranya setelah bertempur puluhan jurus itu, tenaga Thiat-mo-lek sudah
hampir pulih dan melebihi tenaga lawan.
"Se-kiat, mengaku kalah sajalah," seru Thiat-mo-lek dengan nada berat.
Sebenarnya sukar bagi seorang ko-chiu untuk mengalah. Seperti tempo dalam pertandingan
rapat pemilihan bengcu yang pertama dulu, karena mengalah itu Thiat-mo-lek hampir saja terluka
sendiri. Itu saja ilmu pedang Se-kiat tak begitu ganas seperti sekarang. Tidak demikian dengan
keadaan sekarang. Kalau Thiat-mo-lek mengalah, Se-kiat tentu tak mau memberi ampun. Oleh
karena itu Thiat-mo-lek mencari jalan, mengalahkan Se-kiat tanpa melukainya. Itulah sebabnya ia
menyerukan orang supaya menyerah saja.
Dalam keadaan ditentang massa dan dibaliki muka oleh kawan, Se-kiat sudah kehilangan
kesadaran pikirannya. Persetan dengan anjuran Thiat-mo-lek. Ia mendengus, menggunai
kesempatan selagi Thiat-mo-lek bicara, ia lancarkan tiga buah serangan berturut-turut.
"Hari sudah begini tinggi, mengapa paman belum kelihatan" Sekalipun dalam babak kedua ini
aku kalah, tapi nanti dalam babak terakhir paman tentu menang. Dengan begitu kedudukan bengcu
tetap dapat kupertahankan," pikirnya. Adalah karena masih mengandung cita-cita itu maka
serangan yang dilancarkan Se-kiat itu selalu ganas. Serangan berantai tiga kali itu, luar biasa
hebatnya. Yang diarah selalu jalan darah-jalan darah maut.
Thiat-mo-lek menghela napas, ujarnya: "Untung celaka, diri sendiri yang membuat. Baik,
karena kau berkeras hendak menentang kehendak para saudara-saudara loklim dan tetap mau
mengangkangi kedudukan bengcu, terpaksa aku bertindak."
Dalam sehelaan napas, Se-kiat sudah melancarkan 49 jurus. Namun Thiat-mo-lek tegak kokoh
laksana gunung. Ia tetap tenang untuk menangkis setiap serangan. Waktu mengakhiri jurusnya,
ketika Se-kiat mau berganti jurus lagi, tiba-tiba Thiat-mo-lek bersuit nyaring. Pedang diputar
sebagai main golok. Dia keluarkan ilmu pedang ciptaannya sendiri. Dahulu di lapangan kotaraja,
ia gunakan ilmu pedang itu untuk membunuh Yo Bok-lo.
"Jika bukan kau akulah yang mati!" bentak Se-kiat dengan nada dalam. Tapi diam-diam, ia
mengeluh mengapa pamannya tak muncul juga. Iapun lantas keluarkan ilmu bertempur secara
gerilya, yakni ilmu permainan yang sudah disiapkan untuk menghadapi Thiat-mo-lek. Dengan
permainan itu ia mengharap dapat mengulur waktu. Tapipun ia mempunyai harapan juga supaya
menang. Tetapi ternyata ilmu pedang ciptaan Thiat-mo-lek itu, luar biasa kerasnya. Betapa aneh jurusjurus
permainan Se-kiat, namun sia-sia saja. Tidak setitik lubang yang bagaimana kecilnyapun
terdapat dalam permainan Thiat-mo-lek.
Selagi pertempuran berlangsung seru, sekonyong-konyong anak buah Se-kiat berteriak gempar:
"Tocu datang!"
Thiat-mo-lek yang selalu pasang mata dan telinga, pun mengetahui juga kedatangan Bo Jonglong
bersama-sama Gong-gong-ji, Shin Ci-koh dan Mo Kia Lojin. Dia terkesiap kaget-kaget
girang. Memang yang paling menjadikan perhatiannya ialah tentang Bo Jong-long yang khilaf
pikiran itu. Jika tokoh itu berkeras kepala, tentu akan terjadi pertempuran darah besar-besaran.
Dan Gong-gong-ji serta Shin Ci-koh yang berangasan itupun menjadi pemikirannya juga. Bahwa
sekarang Bo Jong-long datang bersama-sama Gong-gong-ji dan kawan-kawan, sungguh tak
terduga-duga oleh Thiat-mo-lek.
"Menilik gelagatnya, mereka sudah menghapus permusuhan," pikirnya. Dugaan Thiat-mo-lek
itu sebagian memang tepat. Benar mereka kini sudah bersahabat setelah mengalami pertempuran
mati-matian. Ko-chiu kalau sedang bertempur, tak boleh bercabang pikiran. Girang dengan kedatangan Bo
Jong-long beramai-ramai yang tentu dapat mendamaikan urusan itu, penjagaan Thiat-mo-lek
terhadap serangan Se-kiatpun agak kendor. Sebaliknya Se-kiat menggunakan kesempatan itu untuk
menyerang dengan tiba-tiba. Pedangnya menusuk dada.
Serangan itu merupakan serangan nekad dimana kedua pihak tentu sama-sama terluka. Thiatmo-
lek miringkan tubuh menghindar tapi tak urung pundaknya termakan pedang.
Masih gerakan Se-kiat itu belum selesai. Ujung pedang diputar mengarah tenggorokan orang.
Dalam saat-saat jiwanya terancam itu, Thiat-mo-lek terpaksa mengeluarkan jurus istimewa
untuk menyelamatkan jiwanya. Sekali ayunkan pedangnya, ia menabas pedang Se-kiat.
"Thiat tayhiap, harap memberi kemurahan!" terdengar Bo Jong-long berteriak tertahan.
Trang, pedang Se-kiat kutung menjadi dua terbabat pedang Thiat-mo-lek. Masih gerakan Thiatmo-
lek itu meluncur terus.
Seketika Se-kiat rasakan kulit kepalanya dingin dan diam-diam menjeritlah ia: "Habis jiwaku
sekarang!"
Tapi begitu angin dingin menyambar mukanya, ia tak merasa apa lagi. Ketika memandang
kemuka ternyata Thiat-mo-lek sudah berada beberapa langkah di sebelah sana, sedang
menyarungkan pedangnya.
Thiat-mo-lek sekali-kali bukan karena mendengar seruan Bo Jong-long tadi, tetapi memang ia
tak bermaksud untuk mengambil jiwa Se-kiat. Maka dengan tepat sekali ia mengakhiri
serangannya tanpa menyentuh selembar rambut orang. Karena kalau mendengar seruan Bo Jonglong
itu baru menarik pedang, tentu sudah kasip.
Baik Se-kiat maupun Thiat-mo-lek sama-sama memakai pedang biasa. Tetapi setelah terluka
Thiat-mo-lek masih dapat mengutungkan pedang Se-kiat, menunjukkan betapa lihay tenaganya.
Entah berapa kali lebih unggul dari lawan. Pertandingan itu terang dimenangkan Thiat-mo-lek.
Kekalahan yand diderita Se-kiat betul-betul meludaskan mukanya. Tapi diam-diam ia masih
bergirang karena pamannya datang. Saat itu tampak Bo Jong-long menghampiri. Se-kiat hendak
bicara tapi didahului pamannya: "Anak jahanam, sampai saat ini apa kau masih tak mau mengaku
kalah?" Karena lukanya belum sembuh sama sekali, nada suara Bo Jong-long tak begitu nyaring. Tapi
dalam pendengaran Se-kiat, hal itu seperti halilintar menyambar. Satu-satunya tiang yang
diandalkan ternyata suruh dia mengaku kalah!
"Paman, apa katamu?" masih ia tak percaya akan pendengarannya.
Wajah Bo Jong-long membeku, mulutnya mendengus: "Kusuruh kau minta maaf kepada
sekalian orang gagah di sini dan terus ikut aku pulang. Sejak saat ini, kau tak boleh datang ke
Tiong-goan lagi!"
Kejut Se-kiat bukan alang-kepalang, serunya: "Paman, kepandaianmu tiada yang melawan,
mengapa gampang-gampang menyerah kalah?"
"Semua gerak-gerikmu telah kuketahui semua. Jangan harap dapat mengelabuhi aku lagi,
jangan pula coba memprovokasi aku. Di dunia ini yang mempunyai moral baiklah yang dipuja.
Sekali-kali jangan banggakan kepandaian tinggi hendak menundukkan orang. Tentang ilmu
kepandaian, sucou kita Cek-si-keh entah berapa puluh kali lebih tinggi dari kita, tetapi toh ia tak
menentang Li Si-bin yang sudah diterima rakyat. Itulah baru perbuatan yang mulia dan perwira.
Memang aku bersalah mengutus kau ke Tiong-goan. Ini karena aku kelewat memandang rendah
pada golongan kaum gagah di negeri ini. Li Tong memang berhak menjadi raja, tapi tidak orang
seperti kau. Berbicara tentang ilmu kepandaian, kemuliaan hati, coba kau tanya pada dirimu sendiri
apakah kau mampu menandingi Thiat tayhiap" Turutlah perintahku, lekas minta maaf pada sekalian
orang gagah di sini!"
Sewaktu mengucapkan kata-katanya itu, beberapa kali Bo Jong-long harus berbatuk. Tahulah
Se-kiat kalau pamannya itu terluka dalam yang parah. Sekarang ludaslah semua harapan Se-kiat.
Batinnya mengeluh: "Sedang paman sendiri juga memaksa aku harus minta maaf, ah, Tuhan yang
maha murah. Kiranya hanya Tiau-ing seorang yang tahu tentang isi hatiku."
Tiba-tiba terdengar lari kuda mendatangi. Yang datang ialah dayang pelayan Tiau-ing. Buruburu
Se-kiat menanyakan keterangan tentang Tiau-ing. Dengan terbata-bata budak itu menjawab:
"Nyonya telah merampas kudaku. Kukira ia sudah datang kemari, yang kunaiki ini kuda orang lain
...." "Lekas cari, lekas cari sana ...." Baru Se-kiat gugup menyuruh bujang itu, kembali seorang
dayang Tiau-ing muncul. Dayang itu terus berseru: "Tak usah mencari, aku sudah tahu dimana
nyonya." Se-kiat buru-buru mendesak bujang itu supaya menerangkan tapi bujang itu mengatakan tak
leluasa mengatakan di situ. Ia minta Se-kiat masuk ke dalam kemah.
"Bilang sekarang, dengar tidak"!" bentak Se-kiat dengan murka. Saat itu pikiran Se-kiat sudah
kalut. Dia seperti orang kalap. "Keadaanku toh sudah begini, aku tak peduli segala berita buruk,"
pikirnya. Karena ketakutan, bujang itu terpaksa bilang. "Aku tadi bertemu dengan nyonya. Ia, ia naik
kuda bersama Toan Khik-sia, melarikan diri!"
"Apa" Ia melarikan diri dengan Khik-sia?" Se-kiat menjerit. Ia yang sudah siap menerima
kabar buruk toh terkejut sekali mendengar keterangan itu. Lebih kaget kalau andaikata menerima
kabar Tiau-ing meninggal. Silih berganti ia mendapat kegoncangan hati. Dan rupanya berita
tentang larinya Tiau-ing itu merupakan pukulan yang maha berat. Seketika ia seperti kehilangan
semangat. Juga sekalian orang terkejut dengar berita itu. Lebih-lebih Yak-bwe. Hanya kalau Se-kiat
menerimanya dengan rasa putus asa, Yak-bwe dengan perasaan cemas. Ia menjerit dan tubuhnya
terhuyung-huyung. Untung In-nio dan Bik-hu cepat memapahnya.
"Khik-sia, mengapa dia, dia ...."
"Jangan mencurigai Khik-sia, tentulah ia, tentu ...." kata In-nio.
"Kutahu, tentu perbuatan siluman perempuan itu. Ah, entah dia diberi obat penyesat pikiran
apa?" kata Yak-bwe. Ia tidak percaya bahwa Khik-sia dapat dikalahkan Tiau-ing, kecuali dengan
diberi minum obat pemunah tenaga.
Karena hadirin gempar dengan berita itu sampai-sampai diri Se-kiat tak mendapat perhatian.
"Se-kiat, bagus sekali isteri yang kau ambil itu! Hm, seorang isteri demikian tak usah kau
pedulikan lagi! Selesaikanlah urusanmu di sini, baru kita nanti membuat pembersihan," kata Bo
Jong-long berkata dengan hati pedih.
Benak Se-kiat kosong melompong. Tak tahu apa yang harus dilakukan. Kegemparan hadirin
dan kata-kata pamannya tadi, tak didengarnya lagi.
"Bo Se-kiat, urusan busuk perempuanmu itu, uruslah sendiri. Itu tak ada sangkut pautnya
dengan kami. Sekarang semua saudara menanti sepatah perkataanmu. Apakah kau masih punya
muka menjadi bengcu lagi" Kau mau menghaturkan maaf atau tidak?" tiba-tiba Shin Thian-hiong
berseru. Perlahan-lahan Se-kiat berjalan ke tengah lapangan. Dalam hatinya ia tertawa pahit: "Seutas
benang mengikat dua ekor semut. Melihat akhirnya aku bangkrut, ia lantas minggat dengan lain
lelaki." Langkah Se-kiat itu diikuti mata segenap hadirin. Mereka kira Se-kiat tentu akan mengakui
kesalahan. Tiba-tiba Se-kiat berhenti. Di sebelah tempat ia berhenti tampak In-nio berdiri di
samping Bik-hu. Kedua anak muda itu tengah berbisik-bisik dengan mesranya. Hati Se-kiat seperti
diiris sembilu.


Tusuk Kondai Pusaka Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jika tempo hari aku tak salah langkah, bukantah aku dengan In-nio merupakan pasangan yang
ideal dalam dunia persilatan" Hm, aku yang memperalat Tiau-ing atau Tiau-ing yang memperalat
diriku" Saat ini mungkin sudah tak ada tempat bagiku di dalam hati In-nio. Hatinya sudah terisi
Bik-hu," keluhnya dalam batin. Ia coba memandang lekat tapi In-nio dan Bik-hu makin merapatkan
diri. Sekonyong-konyong berserulah ia dengan keras: "Set yang kujalankan ternyata salah. Satu set
salah, semua-semuanya hancur. Apalagi yang kuharap!" - Ia cabut pedang dan ditusukkan sekuatkuatnya
ke dadanya sendiri ....
Kejadian itu sungguh tak tersangka-sangka. Bo Jong-long terbeliak kaget, tapi tak keburu
mencegah. Paling-paling ia hanya menghampiri, menutuk darah Se-kiat supaya berhenti. Tapi
untuk menyelamatkan jiwa keponakannya itu terang tak mungkin. Pedang telah masuk separuh ke
dalam dadanya. Memang kalau menimbang kesalahannya, Se-kiat pantas menerima hukuman itu.
Tapi biar bagaimana, ikatan batin antara paman dengan keponakan itu masih ada. Bo Jong-long
sedih sekali. "Sejak kecil anak ini sudah ditinggal ayah bundanya, untung ia berotak cerdas dan
berbakat bagus. Ah, tak nyana ia harus mengakhiri hidupnya secara begini rupa. Kesemuanya itu
karena aku tak mampu mendidiknya dengan sempurna," batinnya berkata sendiri.
Dengan menelan air matanya, Bo Jong-long membisiki ke dekat telinga Se-kiat: "Apa
pesanmu?" Adalah karena ditutuk oleh pamannya itu, Se-kiat masih dapat bertahan hidup untuk beberapa
saat. Ia gunakan saat-saat terakhir itu untuk meninggalkan pesan: "Begitu anak itu lahir, ambillah
anaknya, buang ibunya ... paman, kau ... aduh, aku merasa sakit sekali, tolonglah paman mem ...."
"Baik, nak. Aku tahu maksudmu. Berangkatlah dengan tenang," sekali menutuk jalan darah
kematiannya, Bo Jong-long mencabut pedang di dadanya dan seketika itu melayanglah arwah Sekiat.....
Bo Jong-long menyeka air matanya, kemudian perintahkan anak buahnya supaya jenasah Sekiat
diperabukan. Abunya supaya dibawa pulang ke Hu-song-to.
Pun mengingat persahabatannya di masa lampau, Thiat-mo-lek turut berduka dengan kejadian
itu. Tapi tak tahu ia bagaimana hendak menghibur kedukaan Bo Jong-long.
Saat itu muncul dua pengawal baju kuning ke tengah lapangan. Mereka ialah pengawal yang
ditugaskan Bo Jong-long untuk membawa Khik-sia dan Ping-gwan. Mereka terkesiap kaget demi
melihat kawan-kawannya tengah menggotong jenasah Se-kiat.
"Mengapa kalian tak mengindahkan perintahku" Mana Khik-sia?" tegur Bo Jong-long dengan
nada berat. "Nyonya muda mengatakan kalau ia disuruh tocu membawa kedua tawanan itu. Kami tak tahu
kalau nyonya membohong," kata kedua pengawal itu.
"Kuberi waktu kalian dalam tiga tahun harus menemukan nyonya muda. Jika ia sudah
melahirkan anak, bawalah anak itu saja, tak usah pedulikan nyonya muda lagi. Biar suhunya yang
memberi hukuman padanya."
Kedua pengawal itu heran. Tapi mereka tak berani membantah. Bo Jong-long bersuit rawan.
Kepada ke-42 kepala pulau ia berseru tandas: "Kamu sekalian harus ikut aku pulang dan sejak ini
tak boleh datang ke Tiong-goan lagi."
Thiat-mo-lek dan Gong-gong-ji menghampiri untuk mengantar keberangkatan pemimpin Husong-
to itu. Kata Thiat-mo-lek: "Bo-locianpwe, aku sungguh menyesal sekali ...."
"Thiat-tayhiap, kau sudah melakukan segala apa yang kau dapat lakukan terhadap Se-kiat. Aku
merasa beruntung mempunyai seorang sahabat seperti kau. Tapi sejak saat ini mungkin aku takkan
menginjak tanah Tiong-goan lagi. Gong-gong-ji maafkan. Arak kegirangan kalian berdua, terpaksa
aku tak dapat turut minum."
Bo Jong-long berlalu, ke-42 kepala pulau itupun mengikuti. Hasil dari rapat besar kaum loklim
hari itu sungguh tak dinyana-nyana. Sudah dapat dipastikan bahwa Thiat-mo-lek bakal diangkat
menjadi bengcu yang baru.
Anehnya sampai saat itu Khik-sia belum kelihatan muncul. Sudah tentu sekalian orang merasa
gelisah. "Hai, bukantah itu Ping-gwan" Dia sudah datang!" Tiba-tiba Goan-siu berseru.
Ping-gwan memang berjalan ke lapangan. Pakaiannya compang-camping, badannya luka-luka
dan jalannya sempoyongan. Thiat-mo-lek tergopoh-gopoh membawanya ke dalam kemah dan
mengobati lukanya.
"Lukaku ini tak mengapa. Yang penting kejarlah lekas siluman perempuan itu. Ia melarikan
Khik-sia!" kata Ping-gwan.
Walaupun ia dan Khik-sia sama-sama ditutuk jalan darahnya oleh Bo Jong-long, tapi caranya
mengerjakanpun berbeda. Untuk Khik-sia yang lwekangnya lebih tinggi, Bo Jong-long gunakan
cara menutuk Ciong-chiu-hwat (tutukan berat). Kalau digunakan terhadap orang yang lwekangnya
lemah, Ciong-chiu-hwat itu akan mengakibatkan luka berat.
Sebenarnya lwekang Ping-gwan berimbang dengan Khik-sia. Tetapi Bo Jong-long belum
pernah mengetahui kepandaiannya. Dan memang Bo Jong-long pun tak bermaksud mencelakai
kedua anak muda itu. Kuatir Ping-gwan tak kuat menahan, Bo Jong-long hanya gunakan ilmu
tutukan biasa. Waktu diseret sampai ke kaki puncak Thiat-li-hong oleh kedua pengawal baju kuning,
sebenarnya Ping-gwan sudah dapat membuka jalan darahnya yang tertutuk itu. Rupanya si
pengawal yang memanggulnya, tinggi kepandaiannya. Mendengar jalannya napas Ping-gwan
berbeda, pengawal itu lantas meletakkan tubuh Ping-gwan untuk diperiksannya.
Tapi sekonyong-konyong Ping-gwan menggembor keras. Tali yang mengikat kaki tangannya
putus. Ia gunakan ilmu Gong-chiu-jip-peh-jim untuk melawan si pengawal. Sepuluh jurus
kemudian, Ping-gwan rasakan peredaran darahnya tambah enak, tenaganya sudah pulih 5-6 bagian.
Ia desak lawannya mundur lalu hendak menyerang pengawal yang membawa Khik-sia.
Pengawal yang menawan Khik-sia itu kelabakan. Tahu kawannya tak mampu melawan Pinggwan,
iapun hendak letakkan angkutannya (Khik-sia) untuk membantu sang kawan. Tapi
pikirannya maju mundur. Kalau meletakkan tawanannya kuatir dirampas orang. Namun tidak
meletakkan, ia tentu tak leluasa bertempur dengan lawan.
Selagi Ping-gwan mendesak kedua pengawal dan sudah akan berhasil membebaskan Khik-sia,
tiba-tiba terdengar derap kuda mendatangi. Yang datang ialah Tiau-ing.
Melihat Khik-sia tak dapat berkutik, tahulah Tiau-ing bahwa anak muda itu tentu ditutuk dengan
Ciong-chiu-hwat oleh Bo Jong-long. Ia girang sekali dan buru-buru minta supaya Khik-sia
diserahkan padanya.
Tetapi seperti yang dikatakan di atas, pengawal baju kuning dari Hu-song-to hanya menurut
perintah dari Bo Jong-long saja. Sekalipun Tiau-ing yang meminta, tetap mereka tak lekas-lekas
menyerahkan. Tanyanya: "Apakah nyonya muda sudah mendapat ijin dari Bo tocu?"
Ping-gwan mempercepat serangannya. Bret, lengan baju pengawal itu kenal dibabatnya.
Untung karena kuatir melukai Khik-sia, Ping-gwan tak mau turunkan serangan keras. Coba tidak,
dada pengawal itu tentu sudah terbelah. Tapi adalah karena harus bertempur dengan hati-hati itu,
Ping-gwan tak berhasil merampas Khik-sia.
"Sudah tentu paman yang menyuruh aku membawa orang itu. Kau berani banyak tanya lagi"
Apakah aku tak menganggap aku sebagai nyonya tuanmu?" Tiau-ing pura-pura marah besar.
Pertama, karena tak berani menyangka kalau Tiau-ing berbohong. Kedua, karena rangsangan
Ping-gwan, terpaksa ia serahkan Khik-sia pada Tiau-ing. "Baik, sambutlah!" teriaknya seraya
lemparkan tubuh Khik-sia.
"Siluman perempuan, kau masih belum puas mencelakainya?" damprat Ping-gwan dengan
murka. Ia loncat menerjang tapi disambut dengan tabasan golok oleh Tiau-ing. Kedua pengawal
itupun lantas menyerang Ping-gwan.
Hampir saja Ping-gwan termakan golok Tiau-ing. Pada waktu ia menghindar, Tiau-ing tertawa
gelak-gelak seraya menyambuti tubuh Khik-sia. Seperti mendapat pusaka berharga, Tiau-ing segera
keprak kudanya dan membawa kabur Khik-sia.
Karena Khik-sia sudah tak berada di situ, Ping-gwan pun tak bernafsu lagi. Setelah mendesak
mundur kedua pengawal baju kuning, iapun lantas tinggalkan tempat itu.
Cerita Ping-gwan itu menggelisahkan hati sekalian orang.
"Keparat! Akulah yang bersalah karena terlalu memanjakan budak perempuan itu," kata Shin
Ci-koh. "Karena tak dapat berkutik, Khik-sia tentu tak dapat berbuat apa-apa dibawa menurut kemauan
siluman wanita itu," Yak-bwe cemas.
"Ai, jangan kuatir, justeru karena Khik-sia tertutuk jalan darahnya, ia tentu tak kena apa-apa,"
In-nio tertawa.
Sebenarnya yang dikuatirkan Yak-bwe ialah kalau tunangannya kena terpikat rayuan Tiau-ing.
Karena isi hatinya ditebak In-nio, tersipu-sipulah wajah Yak-bwe.
Wi Gwat menyatakan bahwa harus lekas-lekas dilakukan pengejaran terhadap Tiau-ing. Setelah
lukanya diobati, Ping-gwan menyatakan ikut dalam pengejaran itu. Akhirnya mereka berlima
membagi diri dalam tiga jurusan. Wi Gwat dan Ping-gwan, karena kepandaiannya tinggi, masingmasing
berjalan seorang diri. Sedang Yak-bwe, In-nio dan Bik-hu satu jurusan. Begitulah mereka
berangkat ke arah timur, selatan dan barat.
Diceritakan setelah menawan Khik-sia, Tiau-ing larikan kudanya secepat mungkin. Kudanya
kuda pilihan hasil rampasan Se-kiat. Kekuatannya tak kalah dengan kuda pemberian Cin Siang
kepada Thiat-mo-lek itu. Mendaki gunung melintasi sungai seperti di tanah datar saja.
Luas area gunung Hok-gu-san itu di antara 500-an li. Karena sehari penuh terus lari nonstop,
maka menjelang mahgrib Tiau-ing sudah mencapai 300 li. Dari situ memandang ke bawah,
tampaklah padang datar di kaki gunung.
"Punya sayap sekalipun tak mungkin piauko-mu Thiat-mo-lek mengejar kemari. Baiklah
malam ini kita bermalam di dalam hutan siong sini, besok pagi baru turun gunung." Tiau-ing
tertawa seraya menjinjing Khik-sia ke dalam hutan pohon siong. Walaupun tak dapat berkutik, tapi
pikiran Khik-sia masih sadar. Diam-diam ia mengeluh membayangkan apa tindakan yang akan
dilakukan Tiau-ing nanti.
Di dalam hutan masih terdapat gundukan salju yang belum lumer. Ditingkah cahaya rembulan,
tampaklah seperti permadani putih bertebar di bumi. Tampak Tiau-ing kerutkan alis. Wajahnya
yang tengah merenungkan sesuatu, memancarkan mimik seperti minta dikasihani.
Khik-sia meramkan matanya. Tak mau ia memandang wanita itu. Pikirnya: "Apa yang hendak
dibicarakannya" Sayang seorang wanita yang secantik itu, mempunyai hati yang culas."
Kedengaran Tiau-ing menghela napas dan berkata seorang diri: "Se-kiat, bukannya aku
bermaksud mengkhianatimu, tetapi kau harus mengerti dan memaafkan kegelisahan hatiku."
Heran Khik-sia dibuatnya. Nyata-nyata Tiau-ing masih merindukan suaminya. Tapi Se-kiat toh
sedang menghadapi saat-saat yang menentukan nasibnya. Mengapa bukannya mendampingi sang
suami sebaliknya wanita itu menculiknya (Khik-sia) ke tempat jauh"
Terdengar derap kaki makin menjauh. Karena herannya Khik-sia membuka mata. Ai, ternyata
Tiau-ing pergi. "Apa artinya ini" Apakah ia hendak berolol-olok padaku?" ia makin heran.
Khik-sia diam-diam salurkan lwekang untuk membuka jalan darahnya. Tetapi tutukan Bo Jonglong
memang istimewa benar. Walaupun lwekang sudah dapat menyalur tetapi jalan darahnya yang
tertutuk masih tetap belum dapat terbuka.
Sampai sekian lama Khik-sia berusaha sekuat-kuatnya. Pada saat ia sudah hampir berhasil,
tiba-tiba terdengar derap kaki menghampiri. Tiau-ing muncul dengan menjinjing sebuah kantong
kulit. Ujung goloknya berhias dua ekor ayam hutan. Kiranya tadi ia pergi berburu.
"Sayang! Kalau jalan darahku belum terbuka ia tentu tak mau melepaskan," diam-diam Khiksia
menyumpahi. "Sehari penuh kau tak minum tak makan, tentu lapar. Minumlah dulu air ini, nanti
kupanggangkan ayam hutan untuk makanmu," kata Tiau-ing dengan nada lembut.
Dalam hati Khik-sia menolak tapi karena jalan darahnya masih tertutuk, terpaksa ia biarkan
saja. Tiau-ing membuka kantong kulit yang ternyata berisi air jernih. Sekali memijat pipi Khik-sia
sehingga mulutnya ternganga, Tiau-ing lantas mencurahkan air itu ke dalam mulut si anak muda.
Khik-sia gelagapan. Darahnya merangsang keras dan .... terbukalah jalan darahnya yang
tertutuk itu. Cepat ia gunakan ginkang, lari menghampiri kuda. Tapi baru beberapa langkah, tibatiba
kepalanya terasa puyeng, kakinya lentuk dan napasnya terengah-engah. Tiau-ing cepat melesat
datang. Sekali mendorong pelahan-lahan saja, rubuhlah Khik-sia ke tanah.
"Beristirahatlah, kau sudah tak dapat bertenaga lagi," Tiau-ing tertawa.
Khik-sia kaget bercampur marah. Ia berusaha bangkit dan memaki: "Kau, kau siluman wanita
hendak mengapakan diriku?"
Tiau-ing menekan pundak Khik-sia dan terkulailah anak muda itu. "Tidak apa-apa, aku hanya
menaruh Soh-kut-san (obat pelunak tulang) dalam air tadi. Masih ingat tempo hari kau pernah
kutawan berkat bantuan Soh-kut-san" Tetapi kali ini aku berjanji tak gampang-gampang memberi
obat penawarnya."
"Su Tiau-ing, mengapa kau selalu hendak mencelakai diriku?" teriak Khik-sia dengan murka.
"Suamiku mati di tanganmu. Apakah tak layak kau menerima sedikit siksaan dariku?"
"Bagaimana kau tahu suamimu sudah mati" Toh sejak pagi-pagi kau sudah melarikan aku.
Terang kau tak hadir dalam rapat itu!"
"Terus terang kuberitahukan padamu bahwa pamannya Se-kiat itu sudah tak mau membantunya
lagi," jawab Tiau-ing.
"Tapi toh belum pasti kalau suamimu tentu meninggal. Aku tahu bagaimana rencana piauko-ku
Thiat-mo-lek. Dia hanya bermaksud supaya suamimu sadar akan kesalahannya. Sekali-kali tidak
menghendaki jiwanya. Andaikata suamimu berkeras kepala, toh paling-paling hanya dicopot dari
kedudukannya sebagai bengcu saja. Siapa bilang Thiat piauko mau membunuh suamimu?"
Tiau-ing menghela napas: "Kau hanya tahu tentang rencana piauko-mu tetapi tak tahu
bagaimana watak suamiku. Sebagai seorang yang berhati tinggi mana dia mau menerima hinaan
semacam itu" Kurasa saat ini dia tentu sudah bunuh diri! He, he, tahukah kau sekarang apa
sebabnya kutawan kau kemari?"
Khik-sia seram dengan nada tertawa Tiau-ing: "Mau apa kau" Apa mau membunuh aku sebagai
balas dendam kematian suamimu?" tanyanya.
Sahut Tiau-ing dingin: "Sekalipun Se-kiat tidak langsung mati di tanganmu, tapi sebagian besar
kaulah yang menjadi gara-gara. Tetapi aku tak mau membunuhmu. Aku menginginkan supaya kau
menemani aku!"
"Bunuhlah aku saja!" teriak Khik-sia seperti orang kalap.
Tiau-ing memberi sebuah kicupan mata yang mengasih. Tertawalah ia: "Khik-sia, apa kau kira
karena teringat akan hubungan kita yang lampau, aku lantas tak sampai hati membunuhmu" Tidak!
Aku menikah dengan Se-kiat dan akupun berusaha untuk menjadi isterinya yang baik. Tindakanku
sekarang ini, kesemuanya demi untuk kepentingan Se-kiat."
Tak mengerti Khik-sia kemana jatuhnya perkataan nona itu. Tapi diam-diam ia berjanji dalam
hati, kalau Tiau-ing benar-benar berbuat untuk kepentingan suaminya, ia bersedia memaafkan
wanita itu. Tapi ai sangsi itikad baik Tiau-ing.
"Apa maksudmu, aku masih belum mengerti?" tanyanya.
Wajah Tiau-ing memerah, ujarnya: "Ya, aku terpaksa tak malu-malu lagi kepadamu. Di dalam
perutku sekarang ini terisi anak Se-kiat yang baru berumur tiga bulan. Kutahu kamu semua
membenci diriku. Suhuku, suhengmu, Thiat-mo-lek, Hong-git Wi Gwat dan kawan-kawanmu
semua ingin membunuh aku ...."
"Tidak, jika mereka tahu kau sedang mengandung tentu takkan membunuhmu," buru-buru
Khik-sia menyatakan!
Tiau-ing tertawa tawar: "Aku tak percaya pada siapa saja. Kau kira sepatah katamu tadi dapat
menjamin jiwaku. Dan dengan begitu karena percaya pada ucapanmu aku lantas melepaskanmu"
Tidak, bagiku satu-satunya jaminan untuk melindungi jiwaku ialah dengan menawan dirimu!"
Khik-sia mengeluh dalam hati: "Karena wataknya ganas, ia tentu banyak curiga. Ia mengukur
orang lain menurut ukuran hatinya sendiri. Untuk menyakinkan wanita ini, tentu akan makan
waktu lama."
"Khik-sia," tiba-tiba Tiau-ing berkata pula, "aku terpaksa meminta pengorbananmu. Kau harus
menemani aku. Kau tentu sudah bagaimana kelihayan obat Soh-kut-san itu. Jika tak mendapat obat
penawarnya, dalam waktu sebulan kau akan mati secara pelahan. Tetapi dengan ikut padaku, setiap
setengah bulan, akan kuberimu separuh pil penawar agar jiwamu lebih panjang. Kau tak bisa
gunakan ilmu silatmu lagi tapi kau masih tetap mempunyai tenaga untuk menemani barang kemana
aku pergi. Kelak apabila anakku sudah berumur tiga tahun baru akan kuberimu kebebasan penuh
untuk pulang menemui tunanganmu nona Su. Kawan-kawanmu tentu tak berani membunuh aku.
He, he, jika mereka sampai berbuat yang tidak-tidak, kaulah yang akan kubunuh dulu. Kuberjanji
setelah anakku berumur tiga tahu, kau tentu akan kusembuhkan. Pada waktu itu jika kau hendak
membunuh aku karena mendendam atas perbuatanku itu, akupun tak keberatan."
"Ah, tak usah kau berbuat begitu. Jika Se-kiat benar sudah mati, asalkan bertobat dan kembali
ke jalan yang benar, mengasuh anakmu dengan baik-baik sebagai seorang ibu yang bijaksana,
mereka tentu takkan mendendam padamu," kata Khik-sia.
"Bagus, jika kau masih simpati dan kasihan padaku. Kuminta kau lakukan sebuah hal bagiku."
"Apa?"
"Selama dalam perjalanan kau harus menggunakan sebutan suami-isteri padaku," kata Tiau-ing.
"Kau gila!" teriak Khik-sia.
"Ai, kau memang buta perasaan. Coba pikirlah. Seorang pria dan seorang wanita bersamasama
dalam perjalanan. Terus terang saja aku tak dapat membiarkan kau berjalan terpisah jauh-jauh
dariku. Di waktu bermalam di hotel, kita harus tinggal sekamar. Jika tidak memakai sebutan suami
isteri, apakah tidak akan menimbulkan kecurigaan orang?"
Nyata hati Tiau-ing gundah sekali. Memang benar rencana menawan Khik-sia itu untuk
menajmin keselamatan dirinya dan calon bayinya. Tetapi pun rasa cintanya terhadap Khik-sia nyata
belum padam. Bahwa mulutnya selalu menekankan kalau perbuatannya diperuntukkan kepentingan
Se-kiat, itu hanya untuk menghilangkan kecurigaan Khik-sia saja.
"Jangan, jangan! Bagaimanapun juga, aku tak mau berbahasa suami-isteri dengan kau!" Khiksia
merah mukanya. Sekonyong-konyong terdengar orang tertawa geli dan berseru: "Nona Su, kalau budak itu tak
mau menjadi suamimu, biarlah aku yang mewakili!"
Sebuah bayangan loncat dari atas pohon. Kepalanya lancip, pipi tirus seperti monyet. Ai,
kiranya Ceng-ceng-ji.
"Kunyuk tua, kau berani kurang ajar terhadap aku?" Tiau-ing marah.
"Toh kau mencuri suami" Pura-pura atau suami sesungguhnya, aku bersedia melamar," sahut
Ceng-ceng-ji. "Begitulah manusia yang mengaku bersahabat baik dengan Se-kiat" Cis, tak tahu malu!"
damprat Tiau-ing.
"Ceng-ceng-ji, muka suhu telah kau lumuri kotoran. Mengapa kau berani menghina seorang
wanita yang tengah hamil" Jika toa-suheng tahu, pasti dia akan mencabut tulangmu, dan membeset
kulitmu!" Khik-sia turut memaki.
"Huh, jiwamu sekarang berada di tanganku, masih berani membacot!" sahut Ceng-ceng-ji.
Khik-sia tak berdaya. Sekali Ceng-ceng-ji menutuk jalan darah pembisunya, iapun tak dapat
bersuara lagi. Sehabis itu Ceng-ceng-ji berpaling dan tertawa meringis: "Nyonya Bo, sia-sia saja
kau paksa budak itu menjadi suamimu. Hm, hm, mengapa begitu jerih payah" Kau bukan wanita
terhormat, akupun bukan lelaki baik. Setali tiga uang , cocok!"
Mengkal dan murkan sekali Tiau-ing. Biarpun ia banyak akal, tapi pada saat itu ia belum dapat
menemukan akal untuk menghadapi Ceng-ceng-ji.
Ceng-ceng-ji terbahak-bahak: "Apakah karena budak itu berparas cakap dan aku jelek, kau


Tusuk Kondai Pusaka Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lantas menampik aku?"
"Jangan ngaco belo! Kutawan dia karena untuk barang tanggungan. Ah, paman Ceng-ceng,
peribahasa mengatakan: asal masih ada sinar matahari, kemudian hari tentu dapat bertemu lagi.
Harap kau lepaskan tangan, siapa tahu kelak kemudian hari kita masih dapat bekerja sama," kata
Tiau-ing. "Itulah baru pantas. Baiklah, sekarang kita bicara sungguh-sungguh. Aku tak menjadi
suamimu, tak apa. Tetapi budak itu harus diserahkan padaku."
Tiau-ing terperanjat: "Apa" Kau mau membawanya" Kiranya kau juga menaruh minat
padanya!" "Benar, memang ucapan budak itu benar. Aku memang takut ancaman Gong-gong-ji dan Shin
Ci-koh, maka aku hendak mengambilnya sebagai barang tanggungan."
"Nanti dulu, paman Ceng-ceng. Mari kita berunding lagi," buru-buru Tiau-ing menyusuli kataKANG
ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
kata. "Berunding apa" Apa kau suka pura-pura menajdi suami-isteri dengan aku?"
Tiau-ing tak dapat berbuat apa-apa. Akhirnya ia menawarkan untuk bersama-sama membawa
Khik-sia. Ia insyaf kepandaiannya kalah dengan Ceng-ceng-ji. Walaupun tak senang tetapi ia
terpaksa gunakan siasat begitu.
Atas pertanyaan Ceng-ceng-ji kemana rencana Tiau-ing hendak membawa Khik-sia nanti, Tiauing
mengatakan: "Aku hendak mencari suhuku yang satunya Hoan Gong hwatsu."
Hoang Gong hwatsu adalah kepala biara Ogemi di Cenghay. Dahulu waktu tentara Su Su-bing
berpangkalan di Cenghay, dia bersekutu dengan paderi itu. Hoan Gong hwatsu suka akan
kecerdikan Tiau-ing dan mengambilnya sebagai murid luar biasa. Yaitu tidak seperti hubungan
guru dan murid pada umumnya. Walaupun ilmu silat Hoan Gong hwatsu tinggi, tapi karena Tiauing
masih kecil maka tidak diajari ilmu silat. Seluruh kepandaiannya didapat dari Shin Ci-koh.
Sekalipun demikian Hoan Gong tetap sayang pada Tiau-ing. Beberapa tahun yang lalu,ketika Su
Tiau-gi (kakak Tiau-ing) hendak menggerakkan pemberontakan lagi, Hoan Gong pernah datang
menjenguk Tiau-ing. Kala itu ketika Tiau-ing menawan Khik-sia hidup-hidup, pun dibantu oleh
paderi itu. Ceng-ceng-ji pun kenal lama dengan Hoan Gon, tetapi hubungan mereka tak rapat. Ia girang
dengan keterangan Tiau-ing itu. Pikirnya: "Kini aku sedang keputusan jalan. Sebenarnya tujuanku
hendak menggabung pada Leng Ciu siangjin. Tetapi karena tempo hari ia dikalahkan Shin Ci-koh,
ia tentu tak mau menerima aku. Hoan Gong hwatsu lebih sakti, apalagi dia masih mempunyai
beberapa suheng dan sute yang tak kalah lihaynya. Jika aku dapat meneduh dalam lindungannya,
itulah yang paling tepat. Asal aku dapat menggenggam Khik-sia, biar Tiau-ing banyak muslihat,
tapi tak usah kuatir dapat mencelakai diriku."
Dari air mukanya, Tiau-ing tahu kalau Ceng-ceng-ji setuju. Diam-diam ia muak dengan
tampang eng-ceng-ji, namunia tahankan hati. Ujarnya: "Paman Ceng-ceng, kita bersama-sama
mengamat-amati anak muda ini. Tetapi selama dalam perjalanan kau harus menurut sebuah
perjanjianku."
Waktu Ceng-ceng-ji menanyakan, Tiau-ing menjawab: "Dalam perjalanan kita bertiga harus
pura-pura satu keluarga. Terpaksa agak mencemoohkan paman Ceng-ceng sedikit. Kuminta kau
menjadi seperti bujang kami."
Ceng-ceng-ji memoncat kaget: "Apa" Aku disuruh jadi bujang" Mengapa tak jadi suami atau
sekurang-kurangnya jadi ayah saja?"
"Telah kukatakan aku tak mau bersandiwara menjadi suami isteri denganmu. Kalau jadi ayah,
ah, wajahmu terpaut jauh sekali. Cobalah berkaca, bagaimana bentuk wajahmu itu" Maka yang
paling tepat, jadi bujang saja," kata Tiau-ing.
Ceng-ceng-ji menggumam, belum membuka mulut Tiau-ing sudah berkata lagi: "Budak itu
sudah termakan obat Soh-kut-san, hanya aku yang mmepunyai obat penawarnya. Jika kau cobacoba
menculiknya, tak sampai sebulan dia tentu mati tanpa sakit. Paman Ceng-ceng, aku takut
hukuman suhuku dan kau takut suhengmu membunuhmu. Jadi kita senasib. Asal kita dapat
memiliki anak muda itu sebagai barang tanggungan, ya sekalipun kau harus menerima sedikit
cemoohan, tapi kita tentu akan selamat."
Ceng-ceng-ji tergelak-gelak: "Baiklah, nyonya Bo. Kau memang cerdik, aku menurut saja.
Tetapi akan kau ujikan apa bocah itu" Apakah hendak kau jadikan suami tetiron?"
"Menjadi adikku yang bisu. Setiap kali sebelum menginap di hotel, tutuklah jalan darah
pembisunya. Sebagai bujang kau boleh tidur bersamanya. Bukankah baik pengaturan itu?" sahut
Tiau-ing. Mati hidupnya Khik-sia itu tak berarti apa-apa bagi Ceng-ceng-ji. Yang penting ia sekarang
mendapat jalan bonceng Tiau-ing untuk mencari perlindungan pada Hoan Gong hwatsu. Maka
dapat menyetujui rencana Tiau-ing itu. Begitulah setelah terdapat persepakatan, Ceng-ceng-ji lantas
memanggul Khik-sia. Ia tertawa mengejek: "Bocah bagus, bukankah ji-suhengmu memperlakukan
kau baik-baik" Beberapa kali kau menghina dan memaki aku, tetapi aku teap suka merawatmu."
Khik-sia tak dapat berbuat apa-apa. Tapi diam-diam ia terhibur juga. Dengan ikut sertanya
Ceng-ceng-ji jauh lebih baik daripada kalau menempuh perjalanan seorang diri dengan Tiau-ing.
Paling tidak ia dapat terhindar dari rayuan wanita itu. Pikiran Khik-sia jadi tenang, ia pasrah pada
nasib. Dengan gunakan gin-kang, Ceng-ceng-ji dapat mengimbangi lari kuda Tiau-ing. Mereka
menempuh perjalanan siang malam. Setelah keluar dari daerah Hok-gu-san, mereka menuju ke
Ceng-hay. Sekarang mari kita ikuti rombongan yang mencari jejak Khik-sia. Lebih dulu kita tinjau Coh
Ping-gwan. Kudanya juga kuda istimewa, walaupun masih kalah dengan kuda Tiau-ing. Hanya
jurusan yang diambilnya, memang tepat. Sayang jarak mereka makin lama makin terpisah jauh.
Hari ketiga Ping-gwan baru keluar dari daerah Hok-gu-san. Di kaki gunung ia berpapasan dengan
seorang penebang pohon. Ia mencari keterangan orang itu. Kebetulan pagi harinya ketika Tiau-ing
turun gunung, penebang itu melihatnya. Ia heran melihat seorang kunyuk besar memanggul
seorang pemuda, berlari mengejar seorang wanita muda yang naik kuda.
Ping-gwan menduga, kunyuk yang dimaksudkan si penebang pohon itu, tentulah Ceng-ceng-ji.
Ia makin gelisah dibuatnya.
Hari itu ketika Ping-gwan tiba di tempat pos pemberhtian di kaki gunung, tiba-tiba ada dua
penunggang kuda mencongklang datang dengan pesat sekali. Kedua penunggang itu berpakaian
seperti orang asing. Ping-gwan buru-buru mengejar. Kini makin jelas. Ia terkejut girang. Kedua
orang asing itu bukan lain anak buah U-bun Hong-ni yang dahulu pernah mencuri kudanya (Pinggwan
dan Khik-sia). Ping-gwan teringat, Tiau-ing pernah coba merapati Hong-ni. Ia kuatir jangan-jangan wanita itu
akan menggabung pada Hong-ni. Waktu ia hendak keprak kudanya mengejar, dari belakang
kembali datang dua penunggang suku asing lagi. Yang satu seorang berumur 20-an tahun,
berpakaian mentereng seperti bangsawan. Yang satu seorang pertengahan umur. Rupanya
pengawal pemuda tadi.
Kedua anak buah Hong-ni congklangkan kudanya makin keras. Pemuda mentereng berseru
keras: "Hai, berhentilah!"
Tetapi kedua anak buah Hong-ni itu malah semakin mencongklang pesat.
"Kurang ajar, berani membangkang perintahku!" ia keprak kudanya mengejar.
Kini Ping-gwan baru tahu kalau mereka itu bukan sekawanan. Ia duga pemuda itu tentu
bangsawan Hwe-ki yang berpengaruh. Ia pun keprak kudanya membuntuti. Tiba di pinggir hutan,
didengarnya di dalam hutan seperti ada orang bertengkar.
"Hai, budak yang tak tahu mati. Di mana nona majikanmu sekarang" Bilang lekas, kalau tidak
tentu kucabut jiwamu!" pemuda itu marah-marah.
"Lebih baik kami dipenggal kepala tetapi di mana tempat beradanya nona, tak dapat kukatakan
padamu," sahut kedua bujang itu.
"Budak kurang ajar, kamu hendak berontak!" teriak pemuda itu.
"Ya, memang kami budak tetapi hanya budak dari nona kami, bukan budak bangsamu Hwe-ki!"
tiba-tiba kedua bujang itu berseru keras.
"Pemberontak, tangkap kedua budak hina ini!" seru si pemuda. Kedua bujang tadi hendak
menerjang, tapi cukup dengan sebuah ingsaran tubuh, mereka menubruk angin. "Kalian tak
berharga bertempur dengan aku," pemuda itu tertawa menghina.
Diam-diam Ping-gwan terkejut melihat gerakan si pemuda.
"Rubuh!" sebelum kedua bujang yang terhuyung-huyung itu sempat berdiri tegak, kaki kiri si
pemuda mengait dan tangan kanannya menghantam. Yang kena terkait, terjerembab jatuh. Yang
kena kepukul, mendekap pinggangnya sambil berjongkok.
"Tahu rasa, sekarang" Jika kalian kepingin mati, nanti tentu kukirim. Ruyung kiau-pian ini
dapat memecahkan dagingmu sampai busuk, coba saja kalau kalian tetap tak mau memberitahu,"
pemuda asing itu tertawa sinis.
Bermula Ping-gwan tak mau campur tangan. Tapi demi mendengar percakapan mereka, ia tak
kuat menahan kemarahannya lagi. Segera ia lari menghampiri dan berseru: "Hak apa kau hendak
menghina orang?"
Pemuda bangsawan itu terkesiap melihat ada orang muncul dari dalam hutan. "Siapa" Kau
berani turut campur urusanku!" bentaknya seraya ayunkan ruyung.
"Enyah!" Ping-gwan menyambut dengan tangan kiri hendak merampas ruyung. Tetapi di luar
dugaan, permainan ruyung pemuda bangsawan itu aneh sekali. Ruyung melingkar seperti naga
melilit dan dari arah yang tak diduga Ping-gwan, ruyung itu menghantamnya. Terpaksa Ping-gwan
gunakan gerak Poan-hong-yan-poh (naga melingkar langkah) dalam detik-detik yang berbahaya, ia
rubah pukulannya menjadi gaya menutuk. Pluk, ruyung kena dipentalkan. Tapi sekalipun begitu,
tak urung ujung bajunya tersabat pecah.
Si pengawal maju: "Siau-ong-ya, mengapa perlu meladeni bedebah itu. Biarlah hamba yang
memberesinya!"
Siau-ong-ya artinya anak raja. Jadi pemuda itu memang benar seorang pangeran atau anak raja
dari Hwe-ki. Ia mengikan dan pesan Ih-sin, pengawalnya itu supaya berhati-hati. Rupanya
pangeran itu tahu Ping-gwan seorang 'berisi'.
Ih-sin memang panglima kenamaan dari suku Hwe-ki. Tapi sebenarnya ia tak begitu tinggi ilmu
silatnya. Melihat Ping-gwan dalam sekali gebrak saja kena disabat hancur lengan bajunya oleh
junjungannya (pangeran), Ih-sin tak memandang mata padanya.
Ping-gwan pura-pura mengunjukkan sebuah lubang kelemahan. Begitu Ih-sin maju, ia biarkan
saja. Ih-sin seorang jago gumul (semacam judo). Begitu tangan kirinya disusupkan ke bawah siku
Ping-gwan, sekali sentak tubuh Ping-gwan terangkat ke atas.
"Ha, ha, bedebah ini hanya.... aduh!" Ih-sin mengganti ketawanya dengan jeritan mengaduh.
Ternyata dengan gerak kilat, Ping-gwan mencengkeram pergelangan tangan lawan, sebelum si
pangeran sempat menolong, dengan kecepatan luar biasa Ping-gwan memelintir lengan orang terus
di balik tubuhnya dan dilemparkan sampai beberapa tombak jauhnya. "Aduh ...!" kembali Ih-sin
menjerit karena tempat jatuhnya kebetulan dalam sebuah semak-semak berduri. Kaki dan
tangannya dimakan duri, ia tak dapat berkutik lagi.
"Hai, kau orang Han, sungguh besar sekali nyalimu! Tahukah kau siapa aku" Sekalipun rajamu
kalau bertemu aku tentu akan memberi hormat dengan khidmat. Tetapi kau berani melawan aku"
Heh, heh, jika kau ingin merampas uang, aku suka memberimu beberapa tail perak. Dan kalau kau
suka ikut padaku, itu yang paling baik lagi," kata si pangeran. Ia tak kenal siapa Ping-gwan.
Dikiranya pemuda itu bangsa penyamun. Tapi diam-diam ia jeri juga akan kepandaian Ping-gwan.
Ia pamerkan dirinya agar orang takut. Kemudian coba membujuknya.
"Aku tak peduli siapa kau ini. Mungkin lain orang takut padamu, tetapi aku tidak. Kalau kau
andalkan pengaruhmu untuk menghina orang, aku tak dapat tinggal diam," sahut Ping-gwan.
Pangeran itu menggumam. Dengan mimik memandang rendah ia berkata pula: "Negeri Su-tho
adalah negeri jajahan kami. Kedua bujang itu, orang sebawahan dari rakyat taklukanku. Hidup
matinya terletak di tanganku. Mengapa kau salahkan aku menghina mereka" He, he, lucu benar."
"Tutup mulutmu! Aku tak kenal kalian ini tuan atau budak. Yang kuketahui, mereka berdua itu
adalah sahabatku. Jika kau berani menghinanya, aku terpaksa membuatmu tak bisa tertawa nanti.
Pergilah, dengar tidak?"
Masih pangeran itu tertawa menghina: "Kau bersahabat dengan mereka" He, he, itu namanya
membikin merosot hargamu sendiri. Hm, tahulah aku, mungkin nona U-bun itulah yang sebenarnya
menjadi sahabatmu."
"Kalau benar, mau apa" Sudah jangan banyak omong, pergilah!"
Rupanya pangeran itu merasa cemburu, ia tertawa sinis: "Oh, makanya ia selalu menyingkir dari
aku. Hm, budak, aku ingin jiwamu!"
Dirangsang oleh rasa cemburu, rasa jeri terhadap Ping-gwan hilang seketika. Ia tak
menghiraukan segala apa dan menyerang Ping-gwan dengan ruyungnya.
Kali ini Ping-gwan sudah siap. Memutar tumit kakinya, ia berputar. Tapi sang pengeran
mengirim lagi tiga buah hantaman ruyung. Melihat lawan pandai ilmu silat, Ping-gwan tak berani
meremehkan. Iapun segera mencabut golok pusakanya.
"Kau iniraja atau budak, tetapi tanah orang Han sini tak mengijinkan kau berbuat sewenangwenang.
Unjuk kegaranganmu di negerimu sendiri sana. Lihat golok!" serunya.
Ping-gwan keluarkan permainan golok yang terdiri dari 36 jurus. Ruyung dan golok bermain
dengan cepat. Di sela-sela sambaran angin, terdengar beberapa kali suara menggeletar. Punggung
Ping-gwan termakan dua buah cambukan tapi ruyung si pangeranpun kena terpapas kutung tiga
kali. Tiap bagian dari permainan golok Ping-gwan terdiri dari 36 jurus. Setelah selesai, lalu bagian
yang kedua yang juga terdiri dari 36 jurus. Kini ruyung pangeran Hwe-ki tak mampu mengenai
lawan, sebaliknya Ping-gwan berhasil memapas lagi empat kali. Dengan begitu ujung ruyug itu
hilang satu meteran.
Ping-gwan lanjutkan dengan bagian yang ketiga yang juga berisi 36 jurus. Dalam babak ini, dia
menang angin. Si pangeran terkurung dalam sinar golok. Ruyung makin pendek makin mudah
terbentur golok. Boleh dikata setiap dua jurus, Ping-gwan tentu dapat memapas beberapa inci.
Waktu bagian ketiga selesai, ruyung si pangeran tinggal seperempat meter.
"Apa kau tetap tak mau melepaskan ruyungmu?" bentak Ping-gwan seraya gunakan gigir golok
menyodik siku si pangeran. Sodokan itu membuat si pangeran terpaksa lepaskan ruyungnya.
Untung Ping-gwan tak mau membikin onar. Coba ia pakai mata golok, lengan si pangeran tentu
sudah terpisah dari tubuhnya.
Ping-gwan sarungkan goloknya dan berseru: "Apa masih mau berkelahi terus?"
Wajah si pangeran berubah membesi. Matanya melotot memandang Ping-gwan. Tanpa
menyahut ia putar tubuh dan berlalu. Saat itu Ih-sin bru berhasil keluar dari semak berduri. Ia
menyongsong tuannya: "Siau-ong-ya, mengapa tak memberi hukuman pada kedua bujang itu?"
Plak, si pangeran memberi sebuah tamparan ke pipi Ih-sin dan membentaknya: "Lekas naik
kuda!" Kuda kedua orang Hwe-ki itu, kuda perang yang terlatih mahir. Begitu tuannya naik di
punggungnya, binatang itu segera lari sepesat angin.
"Pangeran itu patah sebuah tulang tangannya, paling tidak dalam satu bulan ia baru dapat
menggunakan ruyung lagi. Biarlah dia pergi dan kalian perlu kuberi obat," kata Ping-gwan.
Tubuh kedua bujang itu berlumuran luka, untung hanya luka luar. Tampaknya mengerikan tapi
sebenarnya tak berbahaya. Setelah dilumuri obat oleh Ping-gwan, luka itupun berhenti
mengucurkan darah.
"Coh tayhiap, nona kami hendak membunuhmu. Pun kami mendapat perintah nona untuk
mengepungmu. Mengapa kau balas kejahatan dengan kebaikan?" kedua bujang itu terheran-heran.
Ping-gwan tertawa: "Sebenarnya aku tak mempunyai dendam apa-apa dengan nonamu.
Peristiwa dahulu, kalian tentu mengetahui juga. Jika mencari biang keladinya, yang membunuh
ayah nonamu itu adalah bangsa Hwe-ki."
Kedua bujang itu entah berapa kenyangnya menerima hinaan orang Hwe-ki. Mereka
mengiakan: "Benar, karena tak mengerti duduk perkaranya, nona melimpahkan kesalahan
padanya." "Rupanya siau-ong-ya itu hendak paksa menikah dengan nonamu. Bagaimana duduk
perkaranya?" tanya Ping-gwan.
Kedua bujang itu menghela napas: "Adalah nona sendiri yang nasibnya sial, Ayah dari anjing
pangeran tadi adalah paman dari raja Hwe-ki. Namanya Topace, menjabat sebagai tay-goanswe
(jenderal besar) angkatan perang Hwe-ki. Dia merupakan orang yang paling berkuasa di negeri
Hwe-ki. Anjing pangeran itu bernama Topayan. Dua tahun berselang ketika berburu nona telah
berpapasan dengan dia. Setelah itu dia terus-terusan merayu, hendak mengambil nona jadi
isterinya. Dengan alasan bahwa menurut adat istiadat Su-tho sebelum membalas dendam ayah tak
dapat menikah, nona main mengulur waktu. Tahun ini ketika kerajaan Tay Tong minta bantuan
pemerintah Hwe-ki untuk menindas pemberontakan, Topayan mengusahakan pamannya nona itu
dapat kesempatan untuk membalaskan sakit hati ayah nona. Kemudian ia mendesak nona tinggal
dalam rumahnya. Setelah sakit hati terbalas, segera lepaskan pakaian berkabung dan
melangsungkan perkawinan. Nona tak sudi menerima anjuran itu. Ia menyatakan hendak
melakukan permbalasan sendiri. Ia ajak kami lari ke Tay Tong."
"Oh, kiranya ia mencari balas padaku itu karena ada sebabnya," kata Ping-gwan.
Kedua bujang itu melanjutkan keterangannya: "Tak tersangka-sangka anjing pangeran itu juga
menyusul langkah kami. Ia bertekad hendak membawa pulang nona. Mendengar berita itu, nona
tak berani pulang dan tak berani menemui pamannya di Tiang-an. Ia membagi rombongan
pengikutnya menjadi beberapa kelompok agar anjing itu bingung mencarinya. Kami berdua sejalan
tapi lacur bertemu dengan anak pangeran itu. Coh tayhiap, kali ini banyak membikin repot
padamu." "Kemana nonamu lari, aku perlu menemuinya," kata Ping-gwan.
Kedua budak itu saling berpandangan. Beberapa jenak kemudian, baru mereka berkata: "Coh
tayhiap, kami berhutang jiwa padamu. Kami percaya kau tentu tak bermaksud jelek terhadap nona.
Baik-, kami akan memberitahukan. Nona pergi ke tempat kepala daerah In-ge-sau-meng yang
bernama Popa ong-kong (raja suku). Dia menjadi saudara angkat dari raja kita dahulu. Dia
mempunyai seorang anak perempuan yang sebaya dengan nona. Keduanya amat baik sekali seperti
saudara. Ketika tanah kami diduduki bangsa Hwe-ki, Popa dan puterinya pernah sekali datang
membawanya pulang. Tetapi kala itu si anak pangeran belum memaksa nona untuk menikah. Dan
pemerintah Hwe-ki sedang memerlukan tenaga paman nona. Karena itu nona berat meninggalkan
rumah dan terpaksa menolak. Ah, jika tahu sekrang bakal begini, itu waktu lebih baik turut Popa
ong-kong saja."
"Tapi apakah ong-kong itu tak takut kepada pangeran Hwe-ki?" tanya Ping-gwan.
Waktu kecil Ping-gwan pernah ikut ayahnya ke Su-tho. Dalam perjalanan melalui daerah In-gesau-
beng juga. Samar-samar ia masih ingat tempat itu.
"Sekalipun belum mendapat berita Khik-sia, tak apalah kalau menjenguk Siau-ni dulu. Ia
sungguh kasihan sekali nasibnya, mungkin aku dapat membantu memberi penjelasan dendam sakit
hati yang tak keruan ini," pikirnya.
Ia ambil selamat berpisah dengan kedua bujang Hong-ni dan seorang diri menuju ke barat.
In-ge-sau-meng itu terletak di sebelah barat gunung Ki-lian-san, merupakan seubah padang
rumput seluas seribu li. Setelah sebulan menempuh perjalanan akhirnya tibalah Ping-gwan di
daerah itu. In-ge-sau-meng ternyata merupakan desa penggembala yang primitif. Rakyat penggembala itu
tiada mempunyai tempat tertentu, pun rajanya (ong-kong) juga tak punya istana tertentu, melainkan


Tusuk Kondai Pusaka Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perkemahan yang selalu berpindah-pindah. Setiap perintah dibawa oleh seorang petugas berkuda.
Di daerah padang rumput itu untuk beberapa hari jarang berjumpa dengan orang. Dan kalau
berjumpa, orang itupun tak tahu di mana perkemahan kepala mereka.
Ping-gwan tak hiraukan rintangan-rintangan itu. Dia menjelajahi padang rumput mencari Popa
ong-kong. Hari itu ketika sedang berkuda, tiba-tiba ia berpapasan dengan segerombolang
penunggang kuda. Ping-gwan hendak mencari keterangan tetapi beberapa penunggang kuda yang
berada di bagian depan saling kejar-kejaran. Dua orang penunggang kuda lari menghampiri Pinggwan.
Tiba-tiba penunggang kuda yang belakang mencambuk yang di muka. Tetapi orang yang
dicambuk itu ternyata pandai sekali berkuda. Ia keprak kudanya lewat di sisi Ping-gwan. Tar,
cambuk mengenai Ping-gwan.
Kawan-kawannya yang berada di belakang terdiri dari pemuda dan pemudi. Mereka tertawa
riuh. Seorang pemuda menyanyi: "Kuda si anak laki cepat larinya, cambuk si nona keras
pukulannya. Jatuh di badan sang kekasih, sakitkah hatimu" Aduh, cambukannya tak keras, tetapi
kukuatir dia akan lari secepat angin."
Kini baru Ping-gwan mengetahui bahwa yang mencambuknya tadi seorang gadis cantik. Gadis
itu merah mukanya: "Ai engkoh, aku tak sengaja mencambukmu." - Kemudian berpaling
mendamprat kawan-kawannya yang beryanyi tadi: "Cis, menjemukan. Sekarang toh belum saatnya
bermain Kambing-liar" Simpanlah nyanyianmu nanti malam untuk Keke."
Kawannya yang menyanyi itu tertawa: "Kau tak suka mendengar nyanyianku, masakan aku
berani menyanyikan di hadapan Pekeke?"
Thiau-yo atau Kambing liar, adalah permainan rakyat padang rumput. Semacam permainan
menunjukkan kepandaian naik kuda dan meminang gadis. Setiap tahun baru atau malam Purnamasidhi
(tanggal 15 bulan delapan) tentu diadakan permainan itu. Pemuda dan pemudi sama naik
kuda. Yang laki di depan, yang perempuan di belakang. Jika si pemuda kena dikejar, si gadis boleh
mencambuk sesukanya. Memang tak adil, tapi anak muda-muda itu memang lebih senang kalau
dicambuki anak gadis. Karena gadis itu tak sembarang mencambuk. Hanya pemuda pujaan hatinya
yang dicambuk. "Oh, apakah malam itu malam perayaan Purnama-siddhi?" kata Ping-gwan. Sudah sebulan ia
menempuh perjalanan sampai-sampai lupa sudah ia akan tanggal. Tapi ia ingat permainan
Kambing-liar itu hanya dilakukan pada tahun baru dan pertengahan bulan delapan.
"Eh, engkoh ini, menilik dandananmu kau tentu bukan suku kami" Dari mana kau?" tanya
pemuda yang menyanyi tadi.
"Aku orang Han dari selatan," sahut Ping-gwan. Ia tahu bahwa rakyat In-ge-sau-meng itu
ramah tamah terhadap tetamu asing.
"Oh, makanya kau tak tahu. Malam ini Papo ong-kong menyelenggarakan perayaan Kambingliar.
Dia suruh anak-anak muda datang. Kabarnya ia hendak mencari menantu untuk puterinya
Pekeke." Kuatir Ping-gwan tak mengerti, salah seorang anak muda menjelaskan lagi: "Kami menyebut
puteri ong-kong dengan panggilan Keke. Namanya Yangpe, puteri tunggal dari ong-kong."
Rupanya anak perempuan yang mencambuk Ping-gwan tadi masih tak enak hati, ujarnya:
"Engkoh orang Han, sukalah menjadi tetamu kita. Dapatkah kau menyanyi lagu-lagu kami"
Biarlah kuajari kau menyanyi."
Gadis-gadis padang rumput memang lebih supel dan ramah. Dia tahu kalau kawan-kawannya
menertawakan, tapi tak dipedulikan.
Ping-gwan tertawa: "Malam nanti aku hanya melihat-lihat keramaian Kambing-liar saja, tak
turut main. Tetapi nyanyian kalian merdu benar, jika kau suka mengajari, sungguh
menggembirakan sekali."
Di dalam kawanan anak muda itu sebenarnya ada seorang yang diam-diam menaruh hati pada
gadis itu. Mendengar Ping-gwan tak mau ikut main, legalah hatinya. Maka iapun ikut juga
mengajar Ping-gwan bernyanyi. Demikianlah perjalanan mereka amat menggembirakan sekali. Di
sepanjang jalan menyanyi riang gembira.
Menjelang petang, bulanpun mulai memancarkan cahyanya. Ping-gwan mengikuti rombongan
anak-anak muda itu masuk ke dalam sebuah lembah. Lembah itu penuh direntangi rumput halus
dan ditaburi dengan bunga-bunga terompet warna putih. Selayang pandang, bagaikan permadani
yang bertaburan mutiara.
Dekat gunung sana, terdapat rumput penuh dengan pemuda pemudi yang berkuda. Malah ada
sementara yang memetik alat tetabuhan, menyanyi dan menari-nari.
"Kita datang tepat waktunya. Terlambat sedikit saja tentu tak keburu nonton pertunjukan
gumul," kata gadis yang mencambuk Ping-gwan tadi.
Tari " nyanyian-nyanyian, gumul dan thian-yo, adalah acara pokok dalam keramaian Purnamasiddhi
itu. Setelah mengikat kudanya, Ping-gwan ikut kawanan anak muda itu memasuki lingkungan
keramaian. Nona tadi membisiki: "Tuh, lihatlah, cantik tidak Yangpe keke kami" Tuh, di sana. Ya,
benar, memang itu. Orang tua itu adalah ong-kong suku kami."
Di depan kemah yang di tengah-tengah, duduk Papo ong-kong dan puterinya. Waktu Ping-gwan
memandang dengan seksama, dilihatnya puteri itu mengenakan selendang tipis dan berpakaian
warna putih. Kecantikannya sungguh sukar dicari tandingannya.
"Engkoh orang Han, kau terpesona dengan keke kami" Tapi sayang, keke kami tak dapat
menikah dengan orang Han," kata nona tadi demi melihat Ping-gwan terpikat.
Padahal Ping-gwan hanya mencari-cari U-bun Hong-ni. Di antara beberapa dayang yang
mengelilingi Yangpe, pun tak terdapat U-bun Hong-ni.
oooooOOOOOooooo
Ping-gwan putus asa, pikirnya: "Jika Siau-ni berada di sini, tentu bersama puteri itu. Mengapa
ia tak kelihatan, apakah sudah pergi ke lain tempat?"
"Jangan melamun, mari kita cari makanan," nona itu tertawa.
Kiranya dalam keramaian itu selain ketiga acara pokok tadi, pun merupakan pesta ria. Di
pohon-pohon digantungkan kambing-kambing kecil yang sudah dibakar dan kantong-kantong kulit
berisi arak. Siapa saja boleh makan dan minum.
Ping-gwan mencabut golok dan menirukan si nona mengiris daging kambing. Si nona
mengambil kantong kulit, meminum seteguk lalu diberikan kepada Ping-gwan: "Arak ini agak
masam, apakah kau suka minum?"
Ping-gwan meneguk beberapa kali dan memuji enak. Tiba-tiba ia mendengar orang mendengus
lirih. Ping-gwan tersirap, ia tak asing dengan nada suara itu. Buru-buru ia mendongak dan
memandang ke empat penjuru. Karena kantong kulit tak disongsongkan ke atas, maka tumpahlah
araknya. Buru-buru nona tadi mencekal kantong kulit, tegurnya: "Kau bagaimana, kehilangan
semangat?"
"Aku, aku hendak melihat-lihat kesana," sahut Ping-gwan. Kiranya yang didengarnya tadi ialah
nada suara U-bun Hong-ni. Tetapi anehnya ia tak melihat orangnya.
"Mau lihat apa" Jangan kemana-mana, pertandingan gumul akan segera dimulai!" kata nona itu.
Memang suara mudik di lapangan berhenti. Sekawanan anak muda maju ke tengah lapangan.
Pertandingan gumul dimulai, semua hadirin sama menaruh perhatian. Terpaksa Ping-gwan sungkan
untuk pergi. "Pertandingan gumul nanti direncanakan dalam delapan pasangan. Semua jago-jago pilihan
dari suku kami. Orang menduga mungkin ong-kong akan memilih sang juara untuk menjadi
menantunya," kata si nona.
Pertandingan dimulai. Cengkam mencangkam, banting membanting, sodok menyodik
berlangsung ramai. Cara bergumul berjalan dalam gaya bebas. Namun Ping-gwan tak ada minat
menontonnya. Di tempat tambatan kuda, datang sekawan kuda terdiri dari empat orang. Orang-orang tak
mempedulikan siapa-siapa yang datang itu karena perhatian mereka tengah dicurahkan pada
jalannya pertandingan. Pertandingan berlangsung cepat. Pada saat keempat penunggang kuda itu
datang, hanya tinggal dua pasang yang bertanding. Sebaliknya Ping-gwan terperanjat sekali
melihat pendatang baru-baru itu.
Kiranya keempat pendatang itu adalah si pangeran Topayan, pengawalnya Ih-sin, seorang
pemuda yang lebih muda dari Topayan dan seorang lelaki yang sebaya dan serupa dandanannya
dengan Ih-sin. Pemuda itu sikapnya angkuh. Dia berjalan di sebelah muka bersama Topayan,
sedang Ih-sin dan orang itu menggiring di belakangnya.
"Apakah dia juga mendengar berita dan hendak menawan Hong-ni" Biarlah, lihat saja
bagaimana tindakannya nanti," Ping-gwan menimang dalam hati.
Kedatangan Topayan berempat itu tak mengejutkan para hadirin. Setelah menambatkan kuda
merekapun menggabung dalam kalangan penonton.
Saat itu pertandingan sudah mencapai final. Dua jago pemenang sedang bergulat seru. Mereka
saling mencengkau dan menjegal. Yang seorang bernama Pasan yang satu Luse. Waktu Pasan
berhasil memelintir lengan lawan, Lusepun dapat mengait kaki Pasan hingga tubuhnya menjorok ke
muka. Dengan begitu merek terpencar lagi. Beberapa jurus, pertandingan tetap seri. Penonton
memberi tepuk sorak pujian.
Entah bagaimana tahu-tahu Luse dapat menyengkelit tubuh Pasan terus dibanting ke tanah.
Gerakannya mengagumkan, bantingannya menyakinkan. Sorak-sorai penonton memecah angkasa.
Selagi penonton menyangka kemenangan tentu di pihak Luse, tiba-tiba terjadi adegan yang luar
biasa. Ketika kepala Pasan hampir mengenai tanah, secepat kilat kepalanya menyusup ke selakang
dan mencekal kaki lawan. Dengan sebuah gemboran keras, Pasan meronta sekuat-kuatnya dan
tahu-tahu Luse dijumpalitkan ke atas. Luse tak mampu berkutik lagi dan terpaksa mengaku kalah.
"Kejadian itu membuat penonton melongo. Lain kejab terdengar sorak gegap gempita.
"Bagus, bagus, akupun juga ingin turut ramai-ramai ini," sekonyong-konyong sebuah seruan
melengking nyaring.
Semua mata tertuju pada orang itu. Kiranya yang bersuara itu ialah pemuda kawan Topayan
tadi. Ketiga kawannya mengikuti di belakangnya. Melihat pendatang itu, seketika berubahlah
wajah Papo. Tersipu-sipu ia berdiri menyambut. Tengah para penonton tercengang-cengang, Papo
berseru: "Pangeran Topahiong berkenan datang. Maaf, hamba terlambat menyambut."
Kiranya pemuda itu adik dari putera mahkota hwe-ki. Namanya Topahiong. Ayah Topayan
adalah pernah pamannya. Topahiong lebih muda dua tahun dari Topayan tapi kedudukannya lebih
tinggi. Maka dialah yang mempelopori maju menemui Papo ong-kong.
Walaupun daerah In-ge-sau-meng itu tak diduduki pasukan kuda Hwe-ki, tapi pernah diobrakabrik.
Maka walaupun para rakyat In-ge-sau-meng menghormat kedatangan anak raja itu, tetapi
dalam hati mereka tak senang. Diam-diam Papo ong-kong cemas.
"Malam ini malam keramaian Purnama-siddi. Kudengar kau mengadakan keramaian Kambingliar,
maka aku sengaja datang kemari. Jago-jagomu tadi hebat benar sampai aku tertarik untuk
bermain-main dengannya," kata Topahiong.
Jawab Popa ong-kong: "Ini, mungkin kurang baik. Keselamatan ongcu amat berharga, kalau
sampai ...."
Topahiong terbahak-bahak: "Jangan kuatir, ong-kong. Malah aku yang kuatir dia tak mampu
membanting aku. Jika dia dapat membanting aku satu kali saja, akan kuhadiahinya seratus tail
emas!" Habis berkata ia menghampiri ke muka Yangpe keke, memberi hormat: "Telah lama kudengar
kecantikan keke laksana bidadari. Setelah menyaksikan sendiri, benar-benar memang melebihi
bidadari. Apabila aku beruntung menang, harap kau sudi memberi hadiah padaku."
Para penonton marah melihat tingkah laku pangeran yang kurang ajar itu.
"Nanti kalau ongcu menang, kita bicara lagi," sahut Yangpe.
"Bagus, bagus, bagus! Kalau begitu segera dimulai saja, ayo kemarilah!" pangeran Hwe-ki itu
melagak tertawa.
"Biar dimarahi ong-kong, tapi aku takkan membiarkan bedebah Hwe-ki ini menghina pepe
kami," diam-diam Pasan membulatkan tekad. Lalu berkata: "Ongcu adalah tetamu yang terhormat,
silahkan!"
Pasan mengira pangeran itu tentu mudah dibanting. Tapi di luar dugaan ternyata lihay sekali.
Pangeran itu maju menyambar siku tangan orang. Jika kena, lengan Pasan tentu akan patah
tulangnya. Pasan pentang kedua tangannya untuk mengacip lengan pangeran itu licin seperti
diminyaki. Gebrak pertama tiada yang berhasil. Tapi diam-diam Pasan terperanjat.
Begitulah keduanya segera mulai bergumul lagi. Ada kalanya merapat, ada kalanya terpencar.
Belasan jurus, pun keduanya masih sama kuatnya. Beberapa kali tampaknya Pasan menang angin,
tapi dalam detik-detik yang berbahaya Topahiong selalu dapat memecahkan ancaman lawan. Para
penonton terheran-heran dan gelisah. Pasan sendiripun bingung memikirkan. Hanya Ping-gwan
yang tahu rahasianya.
Kiranya pangeran Hwe-ki itu memiliki ilmu silat tinggi. Pada saat menangkis serangan Pasan,
Topahiong selalu gunakan lwekang melekat untuk menghapus tenaga orang dan diselingi juga
dengan ilmu Kin-na-chiu (menangkap). Tapi pangeran itu juga mahir dalam ilmu gumul. Orang
yang tak mengeri ilmu silat, tentu takkan mengetahui rahasia kelihayan Topahiong.
Diam-diam Ping-gwan menilai. Dalam ilmu gumul terang pangeran itu tak menang dengan
Pasan. Tapi ilmu silatnya lebih tinggi. Jika bertanding terus, Pasanlah yang akan kalah. Tapi
pangeran itu menjadi tetamu agung dari Popa ong-kong, kalau ia (Ping-gwan) sampai
menyalahinya, Popa ong-kong tentu mendapat kesukaran.
Tiba-tiba Pasan mengeluarkan ilmu simpanannya. Ia turunkan tubuhnya menunggu si pangeran
menyerang terus hendak disambar tumit kakinya. Tetapi ternyata kaki Topahiong itu seperti tumbuh
akarnya. Pasan menindih sekuat-kuatnya tetap tak dapat menggoyangkan tubuh si pangeran. Tibatiba
Topahiong balikkan tangan menyambar lengan lawan. Dengan gunakan ilmu Hun-kin-jo-kut
(memelintir tulang), ia berhasil mematahkan sebuah tulang tangan Pasan. Pasan menjerit ngeri.
Tahu-tahu tubuhnya diangkat Topahiong terus dibanting.....
Suku In-ge-sau-meng sama terbeliak dan buru-buru lari menolong Pasan. Mata jago itu merah,
mulutnya mengeluh: "Dia, dia tidak...." - Sebenarnya ia hendak mengatakan kalau Topahiong tidak
menurut peraturan gumul. Tapi karena tak kuat, ia sudah pingsan.
Orang-orang segera menggotongkan ke dalam kemah. Beberapa jago gumul merasa curiga tapi
karena Topahiong tadi membanting dengan gaya gumul apalagi dia seorang pangeran Hwe-ki, maka
merekapun tak berani membuka suara.
Dengan kebanggaan, Topahiong menghadap ke muka Yangpe, ujarnya: "Keke, aku berhasil
menang. Sekarang hendak minta hadiah darimu."
Pangeran itu ulurkan tangan terus hendak menarik Yangpe.
"Ongcu, berlakulah sopan sedikit!" wajah Yangpe mengerut keren.
Topahiong cekikikan: "Keke, aku hanya akan minta kepadamu untuk menari dengan aku.
Menurut peraturan kami, sehabis menang bergumul, siapa yang diminta menari dengannya, tidak
boleh menolak. Bukankah adat rakyatmu juga begitu?"
Sekonyong-konyong Ping-gwan berbangkit, berjalan ke muka. Si nona yang pernah
mencambuknya tersentak kaget: "Hai, mau apa kau?"
Tetapi sudah kasip. Ping-gwan sudah tiba di hadapan Yangpe keke dan memberi hormat
menurut adat rakyat In-ge-sau-meng. Puteri itu dongakkan kepala. Ping-gwan mengira tentu akan
terkejut. Siapa tahu Yangpe tenang sekali wajahnya malah mengulum senyum dan berkata: "Kau
seorang Han" Apa keperluanmu?"
"Aku akan mohon tanya kepadamu, keke. Apakah aku juga diperbolehkan ikut dalam
pertandigan gumul?"
"Siapa kau" Apakah seorang katak busuk seperti kau juga ingin makan daging angsa?" bentak
Topahiong serta terus menjotos punggung Ping-gwan.
Ping-gwan melangkah maju selangkah hingga tinju Topahiong menemui angin. Hampir saja
pangeran itu terjorok ke muka. Ping-gwan gunakan gerak langkah Su-giong-poh-hwat (langkah
empat gajah) untuk menghindari. Topahiong belum menyadari kalau pemuda itu berilmu tinggi, ia
kira hanya secara kebetulan saja.
Setelah berdiri jejak, pangeran itu berputar tubuh hendak mnyerang lagi tapi Yangpe berkata
dengan serius: "Yang datang padaku, baik kaya atau hina, semua adalah tetamuku. Aku
menghendaki para tetamuku sama-sama memegang peraturan, sama-sama menikmati kegembiraan
pesta malam ini."
Merah wajah Topahiong. Terpaksa ia telan kemarahannya.
Yangpe berpaling dan berkata dengan nada riang kepada Ping-gwan: "Apakah kau juga
mengerti bergumul" Kau ingin bertanding dengan ongcu?"
Ping-gwan mengiakan: "Benar, jika keke mengijinkan, aku ingin menyumbangkan tenagaku,
harap keke jangan menertawakan. Aku tak meminta hadiah apa, apa, juga takkan meminta keke
supaya menari dengan aku. Jika beruntung menang, aku hanya ingin bicara beberapa patah
perkataan dengan keke."
"Kalian adalah tetamuku yang terhormat. Ongcu boleh ikut ambil bagian dalam pertandingan
gumul, kaupun boleh juga. Siapa yang menang nanti, aku bersedia meluluskan permintaannya.
Tapi entah apakah ongcu sudi bertanding dengan kau atau tidak" Jika ongcu tak mau, hal ini
kuanggap tidak ada semua."
Topahiong tersengsem dengan kecantikan Yangpe. Sudah tentu dia tak mau melepaskan
kesempatan untuk menari bersama si cantik itu. Dia benci benar kepada Ping-gwan. Ingin sekali ia
menghajarnya. Maka ia segera menerima: "Baik, kau budak yang tak tahu diri, mari!"
Tetapi Topayan yang kenal pada Ping-gwan, buru-buru meneriaki: "Bagus, kau juga
menyelundup kemari budak! Aku justeru hendak membikin perhitungan padamu."
"Bagus, kalau begitu kalian berdua boleh maju bareng!" sahut Ping-gwan.
"Kau berani menghina aku" A-yan, menyingkirlah. Carilah pacarmu sana, jangan mengganggu
aku," Topahiong berseru murka.
Begitu Topayan menyingkir, Topahiong segera mengerjakan Ping-gwan dengan sebuah kaitan
tangan dan sodokan siku. Ping-gwan gunakan lwekang menghapus. Sebuah dorongan tangan
untuk membuyarkan kaitan lawan dan lututnya diangkat untuk menumbuk perut orang. Topahiong
terkejut. Buru-buru ia kempiskan dada dan papaskan tangannya ke lutut orang. Ping-gwan putar
kakinya menghindar. Dua-duanya sama tak memperoleh hasil.
Dari gebrak pertama itu, kedua pihak sama tak berani memandang rendah lawannya. Setelah
mundur, Topahiong maju pula. Kedua lengan dipentang setengah melingkar untuk mengancam
lengan lawan. Ping-gwan tahu kalau gerakan itu disebut jurus Jong-eng-can-ki (rajawali pentang
sayap). Sebuah jurus dari ilmu Toa-kin-na-chiu. Tapi gerakan itu dimainkan begitu rupa oleh
Topahiong hingga tak ubah dengan gaya orang bergumul.
Langkah kaki Ping-gwan lincah sekali. Tiba-tiba ia berputar tubuh dan gunakan jurus Siat-koatan-
pian (menggantung miring ruyung) untuk mengancam pergelangan tangan lawan.
"Hai, gerakan apa yang kau lakukan ini?" Topahiong menggumam. Ia tekuk siku lengannya
sambil condongkan tubuh ke kiri. Menghindar sambil menyerang. Jari Ping-gan meluncur di sisi,
tangannya hanya terpaut setengah dim dari pergelangan tangannya.
"Dan kau gunakan gerak apa itu?" Ping-gwan mendengus. Setelah saling merapat keduanya
berpencar lagi.
Jurus Siat-koa-tan-pian itu sebenarnya termasuk jurus maut dari ilmu pukulan Thian-kong-ciang
dari partai Siau-lim-pay. Tapi karena dimainkan Ping-gwan secara cepat sekali, maka tampaknya
seperti gaya bergumul saja.
Sekalian penonton termasuk Yangpe sendiri, sama mengharap agar pangeran Hwe-ki itu dapat
dirubuhkan. Jangan lagi mereka tak mengetahui bahwa gaya permainan Ping-gwan itu sebenarnya
bukan ilmu bergumul, sekalipun tahu, mereka tetap menjagoi Ping-gwan.


Tusuk Kondai Pusaka Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Seperti telah diterangkan di atas, Topahiong menyakinkan dengan serius ilmu bergumul.
Sekalipun bukan termasuk jago kelas satu namun permainannya cukup lihay juga. Sedang Pinggwan
hanya pernah belajar setengah tahun ketika ia masih kecil ikut ayahnya di Su-tho. Sudah
tentu kalah mahir dengan Topahiong. Sekalipun dia juga menyusupkan ilmu lwekang dalam
permainan gumulnya, tapi karena ia tak berani terlalu menonjolkan gerakan-gerakan yang bukan
termasuk gumul, maka dalam pertandingan itu Topahiong-lah yang menang angin.
Selagi dia mencari daya untuk merebut kemenangan tak terduga-duga tangan si pangeran dapat
mendorong dan menekannya. Ping-gwan terputar hampir jatuh.
Banyak di antara penonton yang berteriak tertahan. Di antaranya terdengar sebuah nada yang
melengking tinggi seperti suara anak perempuan.
"Tak salah, memang Siau-ni!" pikir Ping-gwan. Saat itu kakinya belum berdiri tegak.
Mendengar lengking suara itu, otomatis ia memandang ke jurusan suara tersebut untuk mencari
Hong-ni. Dengan begitu perhatiannya terpencar dan ini suatu kesempatan bagus bagi sang lawan.
Topahiong cepat kaitkan ujung kakinya. Begitu Ping-gwan sempoyongan mau jatuh, ia barengi
menyambar lengannya dengan ilmu Hun-kin-jo-kut. Tetapi sayang, Ping-gwan bukan Pasan,
maklum Pasan tak mengerti lwekang, maka mudah diremukkan tulangnya. Sebaliknya Ping-gwan
hanya merasa kesemutan lengannya tapi tak sampai terluka.
Keduanya bergerak cepat sekali. Sebelumpenonton tahu apa yang terjadi, tahu-tahu Ping-gwan
beerseru 'rubuh' dan entah dengan gerakan bagaimana, si pangeran Hwe-ki sudah terpelanting ke
tanah. Kiranya walaupun pikirannya terpencar tadi, tapi Ping-gwan masih dapat menguasai
permainannya. Begitu si pangeran maju, cepat ia menutuk jalan darah di bagian rusuk
pinggangnya. Benar lwekang Topahiong cukup tinggi, tapi dalam sekejab mata mana ia dapat
menyalurkan lwekang membuka jalan darahnya itu.
Sebelumnya rakyat In-ge-sau-meng mengharap-harap agar pangeran Hwe-ki itu terbanting.
Mereka siap dengan sorak sorai bergembira. Tapi demi pangeran itu menggeletak di tanah tak
berkutik, penonton sama menjerit dan pucat wajahnya. Kalau pangeran itu sampai mati, celakalah
rakyat In-ge-sau-meng nanti!
Topayan juga terkejut sekali. Pikirnya setelah pertandingan selesai, ia segera mencari Hong-ni.
Tapi kini terpaksa ia harus menolongi saudara sepupunya itu dulu. Sebagai seorang yang mengerti
silat, tahulah ia kalau Topahiong kena tertutuk jalan darahnya. Ia segera memijat jalan darah
pembukanya. Berbareng itu Topahiongpun kerahkan lwekangnya.
"Ai...." Topahiong berteriak lega. Tapi karena tutukan Ping-gwan tadi menggunakan Ciongchiu-
tiam-hiat (tutukan keras), sekalipun jalan darahnya sudah terbuka namun peredaran darahnya
masih belum lancar. Untuk sesaat pengeran itu masih belum dapat bicara.
Tetapi karena nyata pangeran itu masih hidup, kini hilanglah kegelisahan rakyat In-ge-saumeng.
Sebaliknya mereka tengah memberi pernyataan dukungan kepada Ping-gwan. "Dalam
bertanding gumul, sudah tentu ada yang menang ada yang kalah. Yang kalah harus menyalahkan
dirinya sendiri mengapa tak becus. Jangan menyalahkan siapa-siapa! - Dalam gelanggang
pertandingan, tak ada perbedaan diapa kaya siapa hina. Mana boleh mengandalkan pengaruh untuk
menghukum lawan!"
Demikian sana sini terdengar ucapan-ucapan yang membela Ping-gwan, sebaliknya
menyalahkan dan mengejek Topahiong.
Tiba-tiba Yangpe berbangkit: "Tetamu agung tak kena apa-apa, tak usah saudara hadirin gelisah.
Sekarang permainan thiau-yo dimulai!"
Seekor kuda lari keluar dari sebuah kemah. Setelah memberi pengumuman, Yangpe pun loncat
ke kudanya dan mengejar penunggang kuda itu.
Melihat Yangpe mengejar seorang pemuda sambil membawa cambuk, sekalian orang menjadi
terkesiap. Beberapa pemuda diam-diam putus asa. "Ah, kiranya keke sudah punya pilihan!"
Tetapi mata Ping-gwan yang celi segera mengetahui bahwa pemuda yang dikejar Yangpe itu
bukan lain U-bun Hong-ni dalam penyaruan sebagai seorang pemuda.
Kawanan gadis sama naik kuda mengejar pemuda yang disetujuinya. Dalam kekacauan itu
Ping-gwan pun juga loncat ke atas kudanya dan mencongklang keluar lembah menuju ke padang
rumput. Rakyat In-ge-sau-meng segan mengganggu keke mereka yang tengah mengadakan rendervouz
(pertemuan) dengan sang kekasih. Mereka sama bubaran mencari tempat sendiri-sendiri. Kini
tinggal Ping-gwan seorang diri yang larikan kudanya mengejar Yangpe.
"Perlu apa kau mengejar kemari?" tegur Hong-ni dengan alis mengerut.
"Aku hendak menyampaikan berita padamu. Urusanmu, aku sudah tahu semua. Tempo hari
aku berpapasan dengan dua bujangmu...."
"Akupun tahu tindakanmu menghalau Topayang, menolong bujangku itu," tukas Hong-ni.
"Aku hendak menyampaikan berita, siapa tahu mereka sudah datang kemari. Siau-ni,
bagaimana rencanamu hendak menghadapi hal itu?"
"Urusanku, tak perlu kau urus. Kau sudah menyampaikan berita, silahkan pergi."
Ping-gwan tak menyangka kalau nona itu sedemikian dingin kepadanya. Letikan api asmara
yang baru mulai timbul hatinya, telah disiram air dingin oleh nona itu, Ping-gwan tegak seperti
patung tak tahu apa yang harus dilakukan.
"Siau-ni, kau yang salah. Orang datang dari ribuan li jauhnya dengan membawa itikad baik.
Sebaliknya tanpa mengucapkan sepatah terima kasih kau malah mengusirnya. Mana ada aturan
begitu macam" Coh tayhiap, atas pertolonganmu kepadaku tadi, terimalah pernyataan terima
kasihku," kata Yangpe.
Hati Ping-gwan menjadi tawar, ujarnya: "Siau-ni, aku sudah berterima kasih kalau kau sudah
batalkan niatmu membunuh aku. Mana aku berani mengharap lebih banyak untuk menjadi
kawanmu" Baik, selamat tinggal Siau-ni!"
Air mata mulai mengembang di sudut pelaput Hong-ni. Pada lain saat pecahlah tangisnya.
Ping-gwan tertegun dan buru-buru berputar diri. "Siau-ni, jangan menangis. Kalau ada
omongan silahkan mengatakan!"
Hong-ni menghapus air matanya. Dengan terisak-isak ia bertanya: "Coh toako, mengapa kau
begitu baik kepadaku?"
"Bukankah kita berkawan sejak kecil" Kalau kau mendapat hinaan orang, bagaimana aku bisa
tinggal diam saja?"
Berkata Hong-ni dengan nada rawan: "Coh toako, kau balas kejahatan dengan kebaikan. Dari
tempat ribuan li jauhnya kau perlu menyampaikan berita padaku. Sebenarnya akupun merasa
berterima kasih. Tapi apa daya aku telah minum arak darah di hadapan arwah ayahku...."
"Ai, lagi-lagi kau begitu, Siau-ni," buru-buru Yangpe menyelutuk, "Bukankah sudah berkalikali
kukatakan kepadamu" Mengapa kau tetap limbung saja" Ayahmu belum tentu terbunuh oleh
ayahnya. Taruh kata dalam kekacauan pertempuran kala itu, tak sengaja ayahmu terluka,
keterangan Coh siangkong ini benar sekali. Pada hakekatnya, orang Hwe-kilah yang menjadi garagaranya!"
Yangpe seperti saudara dengan Hong-ni. Hong-ni telah menceritakan apa kata Ping-gwan
kepadanya. Hong-ni diam saja. Kata Yangpe pula: "Dan aku masih menaruh kecurigaan. Jangan-jangan
ayahmu itu telah dicelakai sendiri oleh orang Hwe-ki. Pertempuran itu dilakukan pada malam yang
gelap. Pasukan berkuda Hwe-ki membantu ayahmu. Dalam rencana orang Hwe-ki untuk
melenyapkan negerimu, ayahmu dianggap sebagai perintangnya yang besar. Maka dengan
menggunakan kesempatan itu, dengan sebuah anak panah saja, bukankah cukup untuk
membinasakan ayahmu?"
"Ai, benar! Mengapa aku tak memikir sampai di situ" Itu namanya siasat 'sekali tepuk dua
lalat'. Mereka dapat menghilangkan perintang, pula dapat menyuruh rakyat Su-tho benci kepada
orang Han," seru Ping-gwan.
"Kuharap mudah-mudahan begitu. Tetapi sekalipun tidak begitu sejak ini aku takkan
menganggapmu sebagai musuh. Ai, aku tak hiraukan segala bisak-bisik orang lagi. Terima kasih,
Coh toako," akhirnya Hong-ni memberi pernyataan dan berjabatan tangan.
Lama nian tangan mereka saling merapat, hati berdebar. Yangpe menutupi mulutnya yang
tertawa seraya menyingkir ke samping.
"Siau-ni, bagaimana rencanamu menghadapi siau-ong-ya?" tanya Ping-gwan.
"Aku dikejar-kejarnya sampai bingung lari kemana" Entah tak tahu bagaimana untuk
menghadapi dia. Coh toako, maukah kau memberi petunjuk?"
"Memang, bersembunyi bukan cara yang baik. Cara yang manjur ialah mengenyahkan orang
Hwe-ki dari negerimu," sahut Ping-gwan.
"Ini.... hem, tidakkah kau mengetahui bahwa negeriku Su-tho itu kecil" Bagaimana dapat
melawan Hwe-ki?"
"Berapa jumlah tentara Hwe-ki yang menduduki Su-tho?" tanya Ping-gwan.
"Tiga ribu pasukan berkuda!"
"Berapa banyak orang lelaki rakyatmu yang dapat berperang?" tanya Ping-gwan pula.
"Hanya 30-an ribu. Wanita kamipun bisa berperang tetapi total jenderal semua hanya berjumlah
50-an ribu."
"Hanya 50-an ribu" Hm, bukankah itu sudah hampir dua puluh kali lipat dari tentara musuh?"
Ping-gwan tertawa.
"Tetapi Hwe-ki dapat mendatangkan bala bantuan dari Se-gak. Jika pasukan berkuda mereka
melanda dari negeri tetangga, kita pasti hancur!"
Ping-gwan membuat beberapa puluh lingkaran di tanah, ujarnya: "Sekalipun tentara berkuda
Hwe-ki itu pandai berperang tapi mereka terpencar di beberapa negara. Berarti kekuatan mereka
tersebar di mana-mana. Jika negeri-negeri di daerah Se-gak mau bersatu padu, apa susahnya
menghancurkan musuh?" kata Ping-gwan.
"Dikuatirkan tak mudah untuk mempersatukan mereka," sahut Hong-ni.
"Tetapi rakyat daerah Se-gak mana yang sudi negerinya dijajah orang! Asalkan kalian
mempelopori perlawanan itu, masing-masing negeri tentu akan memberi reaksi. Kirimlah utusan
untuk menghubungi negeri-negeri itu," Ping-gwan memberi usul positif.
Hong-ni menghela napas: "Memang bagus sekali usulmu itu. Tetapi, ai, dengan kekuatan apa
kita mengadakan perlawanan?"
"Bukankah pamanmu sekarang sedang menjabat panglima pendudukan di Tiang-an" Jika kau
dapat mempengaruhinya supaya memberontak terhadap Hwe-ki, membangun negara Su-tho.
Kurasa hal itu mengontungkan Tay Tong dan Hwe-ki."
Hong-ni membelalakan matanya, kemudian berkata dengan rawan: "Ah, pamanku itu sudah
seperti dikenakan tahanan oleh orang Hwe-ki. Panglima besar Topace adalah ayahnya Topayan si
bangsat itu. Kemarin lusa bujangku datang memberi laporan, Topace telah memberi perintah
supaya kau pulang dan menikah dengan anaknya. Kalau aku menurut, barulah pamanku
dibebaskan."
"Baik, marilah kita sekarang pulang," tiba-tiba Ping-gwan berkata.
"Pulang kemana?"
"Kepada Popa ong-kong sana. Kita tawan Topahiong dan Topayan untuk ditukarkan dengan
pamanmu," sahut Ping-gwan.
Yangpe keke segera menyatakan hendak memanggil pemuda-pemuda yang turut dalam
keramaian Thiau-yo itu supaya membantu tangkap kedua pangeran itu. Tetapi Ping-gwan menolak:
"Lebih baik jangan ramai-ramai. Mereka toh hanya berjumlah empat orang, tak usah pakai sekian
banyak tenaga."
Waktu mereka hendak naik kuda, tiba-tiba dari kejauhan terdengar derap kaki kuda riuh
mendatangi dan di sana Topahiong berseru sekeras-kerasnya: "Jangan kasih mereka lolos!"
Menurut perhitungan paling tidak satu jam anak raja Topahiong itu baru dapat sembuh dari
tutukan tadi. Tak nyana ternyata lwekang dari Topahiong yang berasal dari aliran Tibet itu, hebat
sekali. Walaupun tak sesakti dengan lwekang persilatan Tiong-goan, tapi dalam hal membuka jalan
darah memang mempunyai kegunaan yang khas. Apalagi dibantu diurut-urut oleh Topayan. Belum
setengah jam pangeran itu sudah pulih dan segera melakukan pengejaran.
Kalau menurut rencana Yangpe yang hendak mengerahkan rakyatnya untuk menangkap
pangeran-pangrean itu, tentulah mudah terlaksana. Tapi sekarang situasinya berubah. Yang hendak
ditangkap malah mau menangkap. Kekuatan mereka pun lebih besar.
Namun Ping-gwan tak jeri. Ia membisiki Hong-ni supaya melindungi keke. Kemudian ia cabut
gan-ling-to dan maju menyongsong musuh.
Kuda tunggangan Topahiong paling hebat. Dialah yang lebih dahulu datang menyerang.
Dengan menggerung keras Ping-gwan putar goloknya membabat kaki kuda lawan. Tetapi kuda
yang terlatih baik itu melonjak ke atas melampaui kepala Ping-gwan. Ping-gwan luput membabat
kaki terus tusukkan ujung goloknya ke perut kuda. Kuda rubuh, penunggangnyapun terbanting.
Pengawalnya yang bernama Utotong berteriak: "Jangan melukai junjunganku!" - Ia loncat dari
kudanya terus menombak Ping-gwan.
Dia adalah ko-chiu nomor dua di negeri Hwe-ki. Tombaknya laksana naga keluar dari laut atau
harimau tinggalkan sarang. Permainan ilmu golok Ping-gwan yang terdiri dari 36 jurus, dapat
ditangkis dengan baik oleh tombak Utotong. Keduanya sama menahan kesakitan dari tangannya
yang linu. Topahiong loncat bangun, tertawa keras: "Hai, kalian berdua nona, kawinlah dengan kami
berdua saudara! Yangpe keke, tak usah kau pulang. Nanti pada hari perkawinan kita baru kusuruh
menjemput ayahmu."
Alis keke mengerut naik saking murkanya. Ia memaki: "Bangsat kecil, kau berani menghina
aku di daerahku sini!"
Kembali Topahiong tertawa: "Biar kau puteri ong-kong, tapi akupun akan raja Hwe-ki. Kau
jadi isteriku, sudah sepantasnya, masakan kau anggap menghina?"
"Jangan menghina taciku!" bentak Hong-ni yang terus menusuk punggung putera raja itu.
Topayan yang sudah tiba, ayunkan cambuknya untuk menghalangi Hong-ni.
"Siau-ni, kali ini kau tak nanti mampu lari. Mari, ikut aku saja pulang," kata pangeran itu.
Gerakan cambuk pangeran itu membuat lingkaran seluas beberapa tombak. Hong-ni gunakan ginkang
untuk berlincahan menghindar kian kemari. Yang satu naik kuda, yang lain jalan kaki.
Cambuk lawan pedang. Memang cambuk si pangeran tak mungkin dapat melibat pedang Hong-ni,
tapi Hong-ni pun tak berdaya untuk menolong Yangpe.
Pada saat Topahiong akan berhasil mengudak Yangpe, tiba-tiba Ping-gwan tinggalkan Utotong
terus lari memburu si anak raja. Karena kalah dalam ilmu gin-kang, Utotong tak dapat mengejar
Ping-gwan. Ia lontarkan saja sebatang hui-ja (garu terbang).
"Bagus!" tanpa berpaling, Ping-gwan balikkan tangan menyambuti hui-ja itu terus dilemparkan
ke arah Topayan.
Topayan sudah pernah merasakan kelihayan Ping-gwan. Ia tak berani menyambuti lemparan
itu. Buru-buru ia gunakan gerak Teng-li-ciang-sim, berjumpalitan ke bawah perut kuda. Hui-ja
melayang di atas punggung kuda, sedang Topayanpun jatuh ke tanah. Hong-ni cepat menghampiri
dengan sebuah tabasan. Karena tak sempat loncat bangun, terpaksa Topayan gerakkan cambuknya
untuk menangkis.
Saat itu jika Ping-gwan memburu dengan mudah ia tentu dapat menghabisi jiwa pangeran itu.
Tapi kala itu Topahiong sudah dekat sekali dengan Yangpe keke. Apa boleh buat, terpaksa Pinggwan
harus menolong keke itu lebih dulu.
"Siau-ni, hadapilah dia dulu!" mulutnya berseru, kakinya sudah bergerak dalam Pat-poh-kamsian
(delapan langkah memburu tenggoret). Belum habis kumandang ucapannya, Ping-gwan sudah
melesat di belakang Topahiong.
Topahiong tersipu-sipu menangkis serangan Ping-gwan. Benar dia kalah lihay tapi
kepandaiannya tak terpaut jauh dari Ping-gwan. Dalam beberapa kejab saja Ping-gwan sudah
melancarkan 18 kali tabasan dan memaksa Topahiong mundur terus-menerus. Cuma dia masih
dapat menghindari tabasan. Utotong berlari-lari menghampiri dan menyerang dengan tombaknya.
Dengan begitu kini Ping-gwan diserang dari muka dan belakang.
Saat itu Topayanpun sudah loncat bangun dan bertempur dengan Hong-ni. Keduanya samasama
tak naik kuda. Topayan lihay ilmu ruyungnya, kuat dan gagah perkasa. Hong-ni lincah
permainan pedang dan gerakan tubuhnya. Kekuatan mereka berimbang.
"Cici, lekas larilah!" dalam bertempur itu Hong-ni sempat meneriaki Yangpe. Yangpe loncat ke
atas kudanya dan segera meniup terompet.
Topahiong menertawakan: "Pada saat orang-orangmu datang, kau tentu sudah menjadi
tawananku," - Ia lempar hui-ja untuk menghantam jatuh terompet Yangpe, setelah itu mengeroyok
Ping-gwan lagi.
Tombak Utotong itu dapat mencapai beberapa tombak. Sedang Topahiong selalu siap memberi
pukulan maka satu-satunya jalan bagi Ping-gwan ialah harus mengundurkan anak raja itu dulu baru
nanti mengganyang Utotong. Sebenarnya mudah untuk merobohkan Topahiong, tapi tombak
Utotong itu selalu mengancam saja.
Ping-gwan menyempatkan diri untuk memandang ke sekeliling. Dilihatnya Yangpe keke
berlari-larian mencari jalan lolos. Rupanya tenganya sudah lelah. Pun karena bertempur lama,
tenaga Hong-ni pun makin lemah. Kini nona itu hanya dapat bertahan diri, tak mampu balas
menyerang Topayan lagi. Ping-gwan makin gelisah karena ia sendiri sukar untuk lolos dari
kepungan kedua lawannya.
Dalam kegelisahan itu tiba-tiba terdengar lengking ketawa yang menusuk telinga. Tahu-tahu si
kunyuk Ceng-ceng-ji muncul. Dengan ginkangnya yang hebat, dalam bebrapa loncatan saja ia
sudah dapat menyambar Yangpe untuk diserahkan pada Ih-sin.
"Orang she Coh, tempo hari kau beruntung lolos. Coba saja sekarang kau mampu lolos lagi
atau tidak" Pangeran Topa, beruntung aku dapat memberikan jasaku. Untuk itu aku tak berani
mengharap apa-apa kecuali minta perlindungan," seru Ceng-ceng-ji.
"Baik, jika kau dapat membunuh budak itu, akan kuangkat kau jadi pemimpin pelatih pasukan
raja," sahut Topahiang.
Diam-diam Ping-gwan mengeluh. Sebenarnya ia hendak mencari jejak Ceng-ceng-ji dan Tiauing,
sungguh tak terduga dapat bertemu di situ. Tapi munculnya pada saat dan tempat seperti itu,
sungguh tak menguntungkan Ping-gwan. Dia ambil putusan mengadu jiwa.
Dengan berani ia merangsek. Setelah berhasil menghalau tombak, tiba-tiba ia balikkan tangan
menyambar golok pangeran itu. Karena tak menduga sama sekali golok Topahiong kena direbut.
Dan sebelum sempat menurunkan kepala, tahu-tahu pundaknya termakan ujung golok. Itu saja
untung tak mengenai tenggorokannya. Sekalipun begitu, luka di pundaknya itu berat sekali.
Tulangnya sampai retak. Waktu Ping-gwan hendak menyusuli tabasan lagi, Ceng-ceng-ji keburu
menolong. Sekali tabas, golok Ping-gwan kutung jadi dua.
Ih-sin bergegas-gegas mengangkat Topahiong yang sudah berlumuran darah, kemudian
memberinya obat penghenti darah. Anak raja itu masih muda dan sebat serta memiliki lwekang
tinggi. Setelah tak ingat diri beberapa saat, iapun tersadar lagi.
"Kalian harus mencincang bangsat itu, aduh, aduh...." anak raja itu mengerang kesakitan.
"Ong-cu, jangan kuatir, tentu kubalaskan!" seru Ceng-ceng-ji.
Mengapa mendadak sontak Ceng-ceng-ji muncul dan minta perlindungan pada Hwe-ki"
Kiranya dia telah tertipu Tiau-ing. Setelah tiba di Ogemi, dia tetap berhati-hati. Dia selalu tinggal
sekamar dengan Khik-sia. Setiap makanan yang diantarkan Tiau-ing, lebih dulu ia suruh Khik-sia
mencicipi baru kemudian dimakannya. Ini untuk menjaga kemungkinan Tiau-ing meracuninya.
Tapi obat yang diberikan Tiau-ing kepada Khik-sia setiap bulannya, sudah tentu Ceng-ceng-ji
tak dapat turut mencicipi. Justeru dalam obat itulah Tiau-ing menjalankan siasatnya. Kali itu ia
mencampurkan obat penawar dari obat pembius. Begitu minum, Khik-sia tentu akan segera pulih
tenaganya. Tapi lewat sepenyulut dupa tentu akan kembali pingsan.


Tusuk Kondai Pusaka Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tiau-ing tahu kepandaian mereka berimbang. Dalam waktu yang singkat itu terang Khik-sia tak
mampu mengalahkan Ceng-ceng-ji. Untuk itu Tiau-ing telah mengadakan persiapan seperlunya. Ia
dapat menghasut Hoan Gong hwatsu untuk turut mengganyang Ceng-ceng-ji.
Rencana Tiau-ing telah berjalan semerstinya. Ceng-ceng-ji menerima obat dari Tiau-ing tapi tak
mengijinkan nona itu masuk ke kamar. Begitu Khik-sia minum, tiba-tiba ia rasakan tenaganya
pulih kembali. Segera ia menempur Ceng-ceng-ji. Tiau-ing dan Hoan Gong yang bersembunyi di
luar kamar segera turut melabraknya. Ceng-ceng-ji terpaksa melarikan diri. Hanya berselang
beberapa detik Ceng-ceng-ji kabur, Khik-siapun kembali pening dan pingsan. Dia tetap jatuh di
tangan Tiau-ing.
Ceng-ceng-ji muring-muring dengan pengkhianatan itu. Namun apa daya. Sekarang yang
menjadi pemikirannya ialah kemana ia harus mencari tempat berlindung. Tiba-tiba ia teringat Ubun
Hong-ni. Ia belum mengetahui urusan Topayan dengan Hong-ni. Ia memutuskan pergi kepada
Hwe-ki dengan mengatakan kalau kenal pada U-bun Hong-ni. Ia mengharap mudah-mudahan
panglima Hwe-ki menerimanya.
Panglima Hwe-ki ialah Topace, ayah dari Topayan. Justeru ayah dan anak itu sedang mencari
Hong-ni untuk dipaksa kawin. Mendengar pengakuan Ceng-ceng-ji kalau kenal dengan si nona,
Topace segera memerintahkan supaya orang itu ditangkap. Ceng-ceng-ji lari tunggang langgang.
Setelah menyelidiki ke sana-sini, barulah ia tahu apa sebabnya. Maka pada suatu malam
kembali ia menemui Topace dan menyatakan keinginannya. Ia sanggup mencapai dan menangkap
U-bun Hong-ni. Melihat Ceng-ceng-ji berkepandaian tinggi, Topace menerimanya tetapi dengan syarat harus
dapat menangkap U-bun Hong-ni. Setelah hal itu berhasil, ia akan membantu Ceng-ceng-ji untuk
menangkap Tiau-ing dan Khik-sia. Begitu pula Ceng-ceng-ji diperbolehkan tinggal di istana Hweki.
Girang Ceng-ceng-ji tak kepalang. Dia bakal memiliki Khik-sia sebagai tanggungan dan
dilindungi raja Hwe-ki. Ancaman Gong-gong-ji tak perlu dikuatirkan lagi.
Kala itu Topayan dan pangeran Topahiong sudah menuju ke daerah In-ge-sau-meng. Cengceng-
ji siang malam menempuh perjalanan ke daerah itu. Dan secara kebetulan ia datang tepat pada
waktu kedua pangeran itu memerlukan bantuan.
Ceng-ceng-ji punya pandangan dendaman dengan Ping-gwan. Mendengar perintah anak raja
Hwe-ki supaya membunuh Ping-gwan, Ceng-ceng-ji girang sekali. Setelah sekian lama bertempur,
tenaga Ping-gwan mulai berkurang. Sebenarnya kepandaiannya berimbang dengan Ceng-ceng-ji,
tapi karena sudah lelah, ia tak dapat mengimbangi. Apalagi ketambahan seorang seperti Utotong
yang bertenaga kuat. Dalam waktu yang singkat, Ping-gwan berbahaya sekali keadaannya!
Dengan ginkangnya yang hebat, Ceng-ceng-ji mainkan ilmu pedang Wan-kong-kiam. Dalam
sejurus saja, ia dapat menusuk tujuh buah jalan darah orang. Ilmu golok Ping-gwan juga serba
cepat. Tring, tring, dalam sekejab saja terdengar suara dering senjata beradu sampai tujuh kali.
Golok pusaka beradu dengan pedang pusaka.
Utotong putar tombaknya menusuk dada Ping-gwan. Karena tak sempat menangkis, Ping-gwan
ayunkan kakinya menendang tombak lawan. Tapi tombak Utotong berat sekali. Benar Ping-gwan
dapat menendangnya terpental tapi tak urung kakinya terhuyung-huyung. Dan kesempatan itu tak
dilewatkan Ceng-ceng-ji. "Kena!" pedang berkelebat dan punggung Ping-gwan berhias selarik
luka. "Kau atau aku yang mati!" teriak Ping-gwan. Luka itu membuatnya kalap. Dan karena kalap ia
makin gagah. Bangsa Hwe-ki paling menghormati orang gagah. Diam-diam Utotong menimang dalam hati:
"Anak muda ini sungguh gagah perkasa. Sayang ia melukai junjunganku, sukar untuk mengampuni
jiwanya. Toh dia takkan lolos, baik kubiarkan si kunyuk itu saja yang membunuhnya."
Utotongpun rubah permainannya, dari menyerang jadi bertahan. Sebaliknya karena Ping-gwan
kalap hendak mengadu jiwa, Ceng-ceng-ji pun segan. Ia tahu ginkangnya lebih unggul dari lawan.
Maka ia merubah gaya permainannya menjadi berputar-putar untuk menghabiskan tenaga orang.
Dan siasatnya itu berhasil. Karena terlalu bernapfsu menyerang, mata Ping-gwan mulai berkunangkunang,
kepalanya pening.....
"Coh toako, kita mati berdua!" Hong-ni berteriak dan mendesak Topayan terus hendak
menggabung pada Ping-gwan.
"Oh, makanya kau tak mau menikah dengan aku, kiranya kau suka dengan budak itu!" Topayan
iri hati dan menghadang nona itu.
Tenaga Hong-ni kalah dengan lawan. Beberapa kali ia hendak menerobos tapi paling banyak
hanya beberapa belas tindak saja. Jaraknya masih jauh dengan Ping-gwan. Untung Topayan hanya
akan menawannya hidup-hidup, maka terpaksa ia main mundur.
Adalah Ping-gwan, tergugah semangatnya demi mendengar pernyataan Hong-ni tadi. "Siau-ni,
kalau kau dapat lolos, lekaslah lolos!" serunya. Sebenarnya ia sudah groggy, tapi mendadak
kakinya tegak kembali. Dalam serangkai serangan ia dapat memaksa Ceng-ceng-ji mundur.
"Boleh saja kau bertingkah beberapa saat, toh tak nanti mampu lolos!" Ceng-ceng-ji tertawa
mengejek. Baru dia berkata begitu, tiba-tiba terdengar derap kaki kuda. Tiga penunggang kuda
mencongklang datang dengan pesat. Yang di sebelah muka, seorang nona berseru: "Bukankah itu
Coh toako" Ai, nona U-bun juga berada di situ!"
Pendekar Jembel 1 Pedang Dan Kitab Suci Puteri Harum Dan Kaisar Karya Khu Lung Kilas Balik Merah Salju 9
^