Pencarian

Tusuk Kondai Pusaka 21

Tusuk Kondai Pusaka Karya S D. Liong Bagian 21


Yang datang itu bukan lain adalah Su Yak-bwe, In-nio dan Bik-hu. Merekapun hendak mencari
keterangan tentang diri Hong-ni ke daerah Su-tho. Waktu lewat di situ, mereka mendengar bunyi
pertandaan terompet. Ketika menghampiri ternyata berjumpa dengan orang yang dicarinya.
"Oh, kalian sudah saling mengenal" Bagus, bagus, lekas tolongi dia!" Yangpe girang sekali.
Tar, begitu keprak kudanya maju, Bik-hu sudah ayunkan cambuknya. Kuat sekalipun tenaga Ihsin,
tapi mana mampu menghadapi kelihayan Bik-hu. Bik-hu gunakan gerakan pinjam tenaga orang
untuk menghantamnya. Tampaknya hanya perlahan-lahan saja ia menarik cambuknya, tapi Ih-sin
sudah tertarik jatuh dari kudanya. Disusuli dengan gerakan tangkai cambuk, jalan darah Ih-sin pun
tertutuk. Sekali gebrak, Bik-hu dapat membebaskan Yangpe keke.
Setelah suruh Yak-bwe membantu Hong-ni, Bik-hu dan In-nio loncat turun dari kudanya dan
berseru: "Bagus, kunyuk tua. Kau berani umbar kebiadaban lagi di sini" Kami justeru hendak
menangkapmu!" - Sepasang pemuda itu segera menyerang Ceng-ceng-ji.
"Dengan kepandaianmu berdua hendak menangkap aku?" Ceng-ceng-ji mengejek. Ia tak tahu
kepandaian In-nio dan Bik-hu sudah maju pesat sekali. In-nio sudah berhasil menyakinkan ilmu
pedang warisan suhunya. Bik-hu adalah keponakan Biau Hui sin-ni dan juga terhitung murid dari
Mo Kia lojin. Paling akhir ini dia telah menggabungkan ilmu pedang dari kedua tokoh itu menjadi
satu. Dan lagi selama dalam perjalanan dengan In-nio itu, tak putus-putusnya mereka saling
merundingkan pelajaran ilmu pedang. Karena berasal dari sesama perguruan, maka ilmu pedang
merekapun sesuai sekali.
Memang kalau satu lawan satu, terang mereka bukan tandingan Ceng-ceng-ji. Tetapi dengan
maju berbarengm kekuatan mereka dapat mengatasi Ceng-ceng-ji. Ceng-ceng-ji memandang
rendah In-nio yang dianggap hanya seorang anak perempuan. Ia hendak gunakan jurus menusuk
jalan darah untuk membuat In-nio tak berkutik. Tapi In-nio juga mahir ilmu pedang Hui-hoa-potiap
(bunga bertebar menangkap kupu-kupu).
Ceng-ceng-ji menemui tempat kosong. Waktu ia hendak merubah serangannya, Bik-hu sudah
menghalaunya dengan sebuah jurus Heng-hun-toan-hong. Dan In-niopun kembali kembangkan
permainannya untuk menimpali serangan sang kawan. Sepasang pedang bergabung, timbullah
selingkar bianglala perak yang mengurung diri Ceng-ceng-ji.
Ceng-ceng-ji keluarkan ilmunya berlincahan. Tapi tak urung ia lebih banyak bertahan daripada
menyerang alias kalah angin. Dan karena mendapat bantuan, semangat Ping-gwan timbul seketika.
Meskipun terluka, ia masih dapat menghadapi Utotong dengan berimbang.
Pun karena mendapat bantuan Yak-bwe, Hong-ni dapat mendesak Topayan. Untuk pertama kali
sejak mendapat pelajaran ginkang dari tunangannya, baru kali itu Yak-bwe menggunakan untuk
menghadapi seorang musuh. Permainan pedang disertai gin-kang, memang hidup sekali. Gerakan
pedang makin lama makin cepat. Diam-diam Topayan mengeluh dan merencanakan lari. Tapi Yakbwe
tak memberi hati lagi. Dalam sebuah serangan ia dapat melukai pangeran itu sampai tiga kali.
Hong-ni yang benci sekali kepada pangeran itu, kembali menambahinya dengan sebuah tusukan
yang tepat mengenai lutut. Topayan menjerit terus rubuh tak dapat berkutik lagi.
"Jika tak berguna, tentu sekarang juga kuhabisi jiwamu," kata Hong-ni.
Kini kedua nona itu berputar tubuh. Yak-bwe membantu In-nio dan Bik-hu, Hong-ni membantu
Ping-gwan. Utotong meremehkan kekuatan Hong-ni. Ia menyambut kedatangan itu dengan tombaknya.
Tetapi walaupun tenaganya lemah, Hong-ni lincah sekali. Sekali melesat ia dapat menghindar.
Karena tusukannya luput, tubuh Utotongpun menjorok ke muka. Ping-gwan balikkan golok,
dengan sebuah hantaman yang indah ia dapat memukul jatuh tombak lawan. Sedang Hong-ni pun
tak mau kalah. Sekali melesat ia tusuk jalan darah jago Hwe-ki itu.
"Uto ciangkun, kutahu kau seorang lelaki perkasa. Tapi karena kau hendak unjuk kesetiaanmu
kepada junjunganmu, aku terpaksa menyakitimu!" seru Hong-ni. Tapi ia masih kasihan.
Tusukannya hanya pelahan saja tak sampai membikin orang luka.
"Bagus, sekarang tinggal kunyuk tua itu. Jangan biarkan dia lari!" teriak Ping-gwan.
Menghadapi tiga anak muda saja Ceng-ceng-ji sudah kewalahan, apalagi ketambahan dua jago
muda lagi. Kini dia hanya dapat bertahan saja. Dikeroyok lima jago muda, dia sukar meloloskan
diri. Tiba-tiba terdengar bunyi pertandaan terompet. Pada lain saat terdengar gemuruh derap kaki
kuda. Di padang rumput muncul beratus-ratus kuda.
"Celaka, jika tak lekas lari aku tentu bakal celaka di sini," pikir Ceng-ceng-ji.
"Hai, kalian kepingin mendengar berita tentang Khik-sia atau tidak?" ia coba-coba memancing
perhatian anak-anak muda itu.
Tapi In-nio dan Bik-hu tak menghiraukan. Mereka tetap menyerang dari kanan-kiri. Untung
gingkang Ceng-ceng-ji hebat. Dengan sebuah gerakan yang istimewa, ia dapat melejit keluar dari
kacipan kedua pedang anak muda itu. Setelah menghalau pedang Hong-ni, kembali ia berseru: "Su
Tiau-ing, si wanita busuk itu, menipu aku. Aku ingin bersungguh hati membawa kalian utnuk
menghajarnya. Sungguh, tidak bohong! Kalau kalian tak percaya, tentu menyesal!"
"Baik, bohong atau tidak, biarkan dia bicara dulu," akhirnya Yak-bwe lambatkan serangannya.
"Dengarkan baik-baik! Khik-sia berada di biara Ogemi!" kata Ceng-ceng-ji.
Orang yang paling memperhatikan diri Khik-sia, adalah Yak-bwe. Ia mendengarkan dengan
penuh perhatian sampai lupa melakukan serangan. Tahu-tahu ujung pedang Ceng-ceng-ji menusuk
ke tenggorokannya. Untung Bik-hu dan Ping-gwan cepat melindungi Yak-bwe. Ceng-ceng-ji
mengamuk. Tiba-tiba ia rubah jurus permainannya. Ia ancamkan ujung pedangnya ke tenggorokan
In-nio, begitu In-nio mundur, secepat kilat Ceng-ceng-ji enjot tubuhnya melayang melampaui
kepala nona itu.
Beberapa pemuda In-ge-sau-meng yang datang atas panggilan terompet Yangpe tadi, begitu
melihat ada orang yang wajahnya seperti kunyuk, melayang di padang rumput, mereka segera turun
tangan. Ada yang menimpuk hui-to, ada yang melemparkan jaring penangkap binatang. Cengceng-
ji putar pedang untuk melindungi dirinya. Berpuluh-puluh batang hui-to kena dipukulnya
jatuh. Dalam beberapa kejap Ceng-ceng-ji sudah lenyap dari pemandangan.
Sebagai gantinya kini kawanan pemuda itu melihat pangeran dan anak raja Hwe-ki menggeletak
di tanah dengan mandi darah. Kejut mereka lebih hebat daripada melihat manusia seperti kunyuk
tadi. "Mereka menghina aku. Ringkus mereka, segala apa akulah yang tanggung," perintah Yangpe.
Dengan suara parau si anak raja Topahiong mengancam: "Awas, kalau berani mengikat aku.
Begitu aku pulang ke Hwe-ki tentu kukerahkan pasukan berkuda untuk meratakan perkemahan
kalian. Dan kalian seorangpun takkan kubiarkan hidup."
Di luar dugaan, rakyat padang rumput itu paling benci kalau menerima ancaman. Ancaman
Topahiong menimbulkan kemarahan pemuda-pemuda itu.
"Kami memperlakukan kau sebagai tetamu agung. Sebaliknya kau berani menghina keke kami,
berarti tak memandang mata kepada kami. Baik, terserah kau mau pulang mengerahkan pasukan
berkuda, pokok sekarang ini kami akan membongkokmu dulu."
Topahiong, Topayan dan kedua pengawalnya segera diikat.
Hong-ni berseri-seri girang. Waktu ia hendak menghaturkan terima kasih kepada Yak-bwe, tibatiba
Ping-gwan muntah darah terhuyung-huyung mau jatuh. Rupanya pemuda yang terluka itu tadi
bertahan diri sekuat-kuatnya. Kini setelah pertempuran selesai, dia tak kuat lagi.
"Coh, toako, bagaimana kau?" buru-buru Hong-ni memapahnya.
"Hanya terluka ringan, tak apa-apa," sahut Ping-gwan. Tetapi nyata sekali wajahnya pucat,
keringat dinginnya mengucur deras.
Bik-hu yang sedikit-sedikit mengerti ilmu pengobatan segera memeriksa. Ia dapatkan pemuda
itu kehabisan tenaga. Untung lwekangnya tinggi hingga tak sampai terluka dalam. Ia segera
memberi minum pil pada Ping-gwan.
Sekalian orang lega hatinya. Kawanan pemuda itu menghormat sekali pada Ping-gwan yang
telah menolong keke mereka. Mereka membuat semacam tandu dari dahan pohon dan mengangkut
Ping-gwan pulang ke perkemahan Popa ong-kong. Saat itu hari pun sudah fajar.
Popa ong-kong menyatakan kekuatirannya tentang peristiwa itu. Hong-ni minta maaf padanya
karena ia merasa yang menjadi gara-garanya.
"Anak raja itupun hendak menculik diriku. Kita tak bertindak, diapun akan mengganggu kita,"
Yangpe memberi keterangan.
Berkata Popa ong-kong dengan nada sungguh-sungguh: "Ajaran yang dianut suku kita ialah,
jika orang mengantar seekor kambing kepada kita, kita balas memberinya dua ekor kuda. Jika
orang menendang kita satu kali, kita harus membayarnya paling sedikit dengan dua pukulan.
Adanya selama ini aku bersikap mengalah terhadap orang Hwe-ki, karena aku tak menginginkan
pertumpahan darah, sekali-kali bukan karena takut pada mereka. Jangan kuatir anak-anakku.
Karena urusan sudah begini rupa, kita bersama-sama senasib. Tak nanti kubiarkan kalian dihina
orang Hwe-ki!"
Sebenarnya Yangpe dan Hong-ni akan menggunakan segala daya untuk mempengaruhi kepala
suku itu. Siapa tahu ternyata Popa ong-kong sudah mengadakan musyawarah dengan rakyatnya
dan memutuskan untuk melawan bangsa Hwe-ki. Jago-jago muda itu girang sekali dengan
peristiwa itu. Yangpe menjelaskan pada ayahnya bahwa rakyat In-ge-sau-meng tidak berdiri
sendiri. Ia menuturkan usul Ping-gwan tadi.
"Bersekutu dengan negeri-negeri di Se-gak untuk bersama-sama menentang Hwe-ki, memang
suatu rencana yang tepat. Sekarang ini juga kesempatan itu harus kita laksanakan. Hong-ni, tadi
petugas penyelidik pulang melaporkan sebuah berita."
Atas pertanyaan Hong-ni, Popa menerangkan: "Rakyat Tho-ko-hun yang tak puas terhadap
pendudukan Hwe-ki, tahun ini sudah hentikan pengiriman upetinya. Kini kedua negeri tengah
mempersiapkan perang."
Tho-ko-hun adalah sebuah negeri besar di daerah Se-gak. Daerahnya meliputi sebagian besar
Ceng-hay dan sebagian kecil tanah Tibet. Negeri itu banyak menghasilkan kuda yang bagus.
Pasukan berkuda yang menjadi kebanggaan kerajaan Hwe-ki, sebagian besar adalah kuda
persembahan upeti dari Tho-ko-hun. Tiga tahun yang lalu Tho-ko-hun mengangkat raja baru. Di
bawah pimpinan raja itu, negerinya makin bertambah kuat. Mereka tidak mau tunduk pada Hwe-ki
lagi. "Berita itu tepat pada waktunya. Karena menguatirkan Tho-ko-hun, pihak Hwe-ki tentu tak
berani sembarangan menggempur Su-tho," kata Popa.
Ping-gwan yang selama tadi berbaring di tanah mendengari, kini tiba-tiba berbangkit, ujarnya:
"Berita itu bukan saja berita girang bagi nona U-bun, pun juga bagi kalian semua." - Kata-katanya
itu ditujukan pada Yak-bwe bertiga.
"Mengapa?" tanya Yak-bwe.
"Biara Ogemi itu terletak di daerah Tho-ko-hun. Tho-ko-hun sudah bermusuhan dengan Hweki.
Itu berarti Hoan Gong tak nanti berani menyerahkan Khik-sia kepada Hwe-ki," kata Ping-gwan.
"Kalau begitu kau percaya omongan Ceng-ceng-ji bahwa Khik-sia berada di biara Ogemi?"
tanya Yak-bwe. "Menurut pengetahuanku, dahulu Su Su-bing pernah menduduki Tho-ko-hun dan bersahabat
dengan Hoan Gong. Malah dua tahun yang lalu Hoan Gong masih datang menjenguk Su Su-ging di
Tho-ko-hun. Kalau Ceng-ceng-ji mengatakan bahwa hwatsu itu menjadi gurunya Tiau-ing, tentulah
bukan membohong," sahut Ping-gwan.
Akhirnya Bik-hu mengusulkan karena sudah tak ada lain-lain urusan baik bersama menuju ke
Ogemi saja. "Paderi dari biara Ogemi berkepandaian tinggi. Aku menyesal sekali tak dapat membantu
kalian. Harap kalian berhati-hati," kata Ping-gwan.
"Nona U-bun, tolong kau sampaikan berita ini kepada Thiat cecu di Hok-gu-san," In-nio
meninggalkan pesanan. Memang cerdik sekali nona itu. Ia melakukan dua buah rencana. Sembari
menuju ke Ogemi sembari memberitahu pada Thiat-mo-lek.
Keesokan harinya berangkatlah Bik-hu bertiga menuju Tho-ko-hun. Negeri itu ribuan li
jauhnya. Harus melalui padang rumput, payau-payau dan padang pasir yang berbahaya. Sekalipun
mereka naik kuda pilihan tapi toh memerlukan waktu satu bulan untuk tiba di negeri itu. Kalau
dihitung mulai berangkat dari Hok-gu-san, dalam mencari jejak Khik-sia itu mereka sudah
menghabiskan waktu tujuh bulan lamanya.
Hari itu turun badai salju yang hebat. Kabut menyelubungi bumi. Pada jarak sepuluh langkah
tak dapat melihat apa-apa. Ketiga anak muda itu mengerudung mukanya dan tetap menempuh
perjalanan. "Telah kutanyakan pada penduduk daerah ini. Daerah Ogemi hanya kurang seratus li lagi.
Besok kita tentu sudah tiba di sana," kata Bik-hu.
Bahwa besok pagi bakal bisa berjumpa dengan sang kekasih, Yak-bwe girang tapi gelisah juga.
Ia bertanya pada In-nio apa yang akan dilakukan bila tiba di tempat itu.
"Bukankah kita sudah sepakat malam harinya baru melakukan penyelidikan?" In-nio
mengembalikan pertanyaan orang.
"Ah, hatiku tak tenteram," kata Yak-bwe.
"Eh, tinggal sehari saja masakan kau tak sabar lagi" Kalau yang kucemaskan ialah badai salju
yang kita hadapi ini," sahut Bik-hu.
"Kucemaskan kalau mengetahui kedatangan kita, siluman perempuan itu segera akan
melekatkan pedangnya ke leher Khik-sia. Saat itu...."
"Apa katamu" Khik-sia...." dalam kabut badai salju yang lebat kuda mereka terpencar maka
berteriaklah In-nio menegas.
Kutakut siluman perempuan itu akan membunuh Khik-sia," seru Yak-bwe. Pertama karena tak
dapat menahan luapan hatinya dan kedua karena kuatir In-nio tak mendengar, maka Yak-bwe
berseru sekuat-kuatnya.
Tiba-tiba terdengar suara benda mengaum. Sebatang hui-jui melayang ke arah Yak-bwe. Buruburu
Yak-bwe gunakan gerakan Teng-li-ciang-sim untuk menghindar. Senjata rahasia tepat lewat
menyusup di bawah kendali yang dicekalnya.
Dengan gunakan gin-kangnya yang lihay, Yak-bwe berjumpalitan di udara dan melayang ke
tanah. Tetapi penyerangnya itu juga tak kalah cepat. Sebelum Yak-bwe sempat mencabut pedang,
orang itupun sudah loncat dari kudanya terus menyerangnya dengan golok.
"Kurang ajar! Siapa kau" Menyerang orang secara gelap bukan laku seorang ksatria!" damprat
Yak-bwe yang dalam pada itu sudah menghindari 18 kali serangan golok. Jika ia belum mendapat
pelajaran ginkang dari Khik-sia terang ia tentu binasa.
Dalam lingkungan kabut dan salju tebal, tadi Yak-bwe tak tahu siapa penyerangnya itu. Tetapi
kini setelah bertempur barulah ia melihat jelas. Diam-diam ia terkejut. Kiranya seorang bocah
lelaki berumur empat lima belas tahun, lebih pendek dari Yak-bwe. Belum dewasa tetapi mengapa
ilmu goloknya sedemikian hebat"
"Huh, kau berani menghina aku bukan laki-laki ksatria" Membasmi dorna menghancurkan
kejahatan, adalah perbuatan seorang ksatria. Hatimu jahat, perlu apa aku bicara manis dengan
kau?" sahut bocah lelaki itu. Ucapannya memang seperti orang persilatan yang berpengalaman tapi
nadanya tetap seperti anak-anak.
Yak-bwe geli-geli mendongkol. Ia tak kenal siapa pemuda tanggung itu. Ia tak mengerti
kenapa bocah itu mengata-ngatainya begitu. Tapi ia tak berani berlaku ayal untuk menjaga
serangannya yang hebat. Akhirnya karena kewalahan Yak-bwe terpaksa mencabut pedang untuk
menangkisnya. Pedang Yak-bwe kena terpapas kutung. Buru-buru Yak-bwe gunakan lwekang
lekat untuk mendorong golok lawan ke samping. Setelah itu ia baru sempat berkata: "Kau siapa"
Tahukah kau aku siapa" Mengapa kau memaki-maki aku?"
Bocah itu menggumam: "Kutahu kau seorang jahat!"
"Bagaimana kau tahu aku jahat?"
"Bukankah kau orang she Su?" tanya bocah itu.
"Benar, apa salahnya aku she Su?" balas Yak-bwe.
"Itu sudah jelas. Kau jahat, jahat sekali! Lihat golok!" teriak bocah itu sembari terus
menyerang. Dalam sekejap saja ia sudah lancarkan 18 kali tabasan.
Saat itu badai salju sudah mulai reda. Bik-hu dan In-nio pun menghampiri. Karena lihat hanya
seorang bocah, mereka tak mau membantu. Heran juga mereka, siapa anak itu. Sebaliknya tahu
kalau Yak-bwe mempunyai dua orang kawan, anak itu tetap congkak, tetap menyerang Yak-bwe.
Tiba-tiba Yak-bwe teringat sesuatu, pikirnya: "Apakah kejadian lama terulang lagi" Janganjangan
bocah ini mengira kau si wanita siluman itu" Tetapi dia masih kanak-kanak, mengapa bisa
bermusuhan dengan Tiau-ing?"
Permainan golok pemuda tanggungitu hebat dan cepat. Yak-bwe belum pernah melihat
permainan golok yang lihay. Iapun masih suka berhati kanak-kanak. Ilmu golok lawan istimewa,
iapun lalu keluarkan seluruh kepandaiannya. Maka meskipun ia menduga telah terjadi salah paham,
tapi ia tak mau mencari penjelasan.
"Siluman perempuan, kau main apa ini" Mengapa tak berani bertanding sungguh-sungguh
dengan aku" Ayo, keluarkan seluruh kepandaianmu!" marah anak itu karena merasa dipermainkan
Yak-bwe. Yak-bwe tertawa mengikik. Waktu ia hendak hentikan pertempuran, tiba-tiba anak itu berteriak:
"Mah, lekas datang! Ini dia si perempuan siluman itu!"
Seekor kuda melesat datang. Penunggangnya seorang wanita pertengahan umur yang cantik.
Sekali loncat turun ia sudah mencabut pedang dan menyerang dengan jurus Giok-li-tho-ih. Ujung
pedangnya mengarah ke tenggorokan Yak-bwe.
Kejut Yak-bwe bukan kepalang. Untung ia sudah mahir dalam ilmu ginkang ajaran Khik-sia.
Dalam keadaan kepepet, ia gunakan gerak Si-hiong-hia-hoan-hun untuk menghindar. Pedang
nyonya cantik itu terpaut seujung rambut melalui muka Yak-bwe.
Belum Yak-bwe berdiri tegak, nyonya itu sudah menyerangnya lagi. Cepat dan ganas sekali,
melebihi dari serangan puteranya tadi. Terpaksa Yak-bwe kerahkan seluruh kepandaiannya. Ilmu
pedangnya Coan-hoa-kiam termasuk jenis permainan lunak. Hanya dua kali menangkis ia sudah
tak tahan lagi. Cret, pedang nyonya itu berkelebat menusuk lengan baju Yak-bwe. Untung Yakbwe
cepat menghindar. Terlambat sedikit perutnya tentu pecah.
Kini Yak-bwe keluarkan ilmu pedang Hui-hong-kiam (naga terbang) ajaran Khik-sia.
Permainan ini termasuk jenis keras. Trang, ketika saling berbentur, Yak-bwe rasakan tangannya
sakit sekali. Namun serangan yang amat ganas dari wanita itu dapat ditangkisnya.
Mulut wanita itu menggumam, wajahnya mengerut heran dan permainan pedangnya tiba-tiba
lambat. Pada kesempatan itu dengan terengah-engah Yak-bwe berseru: "Aku Su Yak-bwe, entah
membuat kesalahan apa kepada cianpwe, tolong dijelaskan!"
Wanita itu tertegun, serunya: "Kau ini Su Yak-bwe" Bukan Su Tiau-ing?"
"Memang mereka berdua she Su, tetapi yang satu hendak mencelakai Khik-sia, yang ini adalah
tunangan Khik-sia," In-nio menyelutuk tertawa.
"Astaga...." tiba-tiba anak tadi menjerit: "Apa" Kau tunangan dari engkohku Khik-sia?"
Merah selembar wajah Yak-bwe, sahutnya: "Engkoh kecil, engkau memanggil engkoh pada
Khik-sia, apakah kau...."
Wanita cantik itu menyimpan pedangnya, berkata: "Kiranya kau ini tunangannya Khik-sia,
makanya kau dapat memainkan ilmu pedang keluarga Toan. Akulah yang merawat Khik-sia sampai
dewasa." Girang dan kejut Yak-bwe tak terhingga, serunya: "Oh, jadi kau Bibi Lam!"
Wanita cantik itu mengiakan. Serta merta Yak-bwe berlutut memberi hormat. Wanita itu
mengangkat Yak-bwe, ujarnya: "Nanti dulu, perlihatkan tusuk kundai kumala di kepalamu itu!"
Yak-bwe segera memberikan benda itu. Berlinang-linanglah air mata wanita itu setelah
memeriksa tusuk kundai burung Hong dari keluarga Toan. "Kau benar menantu keponakanku" -
dan Yak-bwe segera dipeluknya dengan mesra.


Tusuk Kondai Pusaka Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Wanita pertengahan umur itu adalah He Leng-soang, isteri dari Lam Ce-hun. Lam Ce-hun
adalah saudara angkat dari Toan Kui-ciang (ayah Khik-sia). Sewaktu muda mereka bedua
berkelana dalam dunia persilatan dan digelari sepasang pendekar budiman. Kemudian ikut
bertempur melawan pemberontak An Lok-san dan gugur.
Waktu berumur 10 tahun, Khik-sia sudah kehilangan ayah-bundanya. Yang merawatnya adalah
He Leng-soang sampai dewasa. Ketika umur 16 tahun, barulah He Leng-soang memberitahukan
tentang soal pertunangannya dengan Yak-bwe. Sesuai dengan pesan mendiang ayah-bundanya,
Khik-sia disuruh turun gunung mencari tunangannya itu. Tusuk kundai Liong yang menjadi tanda
pengikat pertunangan Khik-sia dan Yak-bwe masih disimpan bibi He Leng-soang yang baik budi
itu. Waktu Khik-sia turun gunung, barulah diberikan kepadanya. "Liong Hong Po Cha" sepasang
tusuk kundai Naga dan burung Hong, merupakan sepasang pusaka yang serasi dan serupa satu sama
lain. Bentuknya sama hanya lukisan ukir-ukirannya yang berbeda. Maka dengan cepat He Lengsong
segera mengenali tusuk kundai burung Hong dari Yak-bwe itu.
"Bibi, engkoh Khik-sia telah menerima budi bibi sedalam lautan, tapi entah kelak dia dapat
membalas budi itu atau tidak. Dia sekarang diculik perempuan siluman itu, mungkin...."
"Hal itu sudah kuketahui semua. Justeru sekarang aku hendak mencarinya. Bagaimana" Apa
sampai sekarang kau belum mengetahui jejaknya?" sahut He Leng-soang.
He Leng-soang sayang Khik-sia seperti puteranya sendiri. Pun ia sudah kangen pada Thiat-molek
suami isteri yang sudah 10-an tahun tak bertemu. Sayang karena puteranya masih kecil jadi
sampai sekarang ia baru melaksanakan niatnya itu.
He Leng-soang mempunyai tiga orang anak laki dan seorang anak perempuan. Puteranya yang
sulung sekarang sudah berumur 15 tahun. Untuk mengenangkan Lui Ban-jun, sute Lam Ce-hun
yang gugur bersama-sama dalam membela negara, maka He Leng-soang memakaikan she Lui
untuk nama anak-anaknya. Puteranya yang kesatu diberi nama Lam He-lui. Yang kedua Lam Junlui,
yang ketiga (perempuan) Lam Jiu-lui dan yang keempat Lam Tong-lui. Kata-kata Lui itu dari
she Lui (Lui Ban-jun). Lam Tong-lui, puteranya yang keempat itu, ditinggalkan ayahnya sewaktu
masih dalam kandungan. Sekarang anak itu sudah berumur 10 tahun.
Dalam umur 15 tahun, Lam He-lui sudah dapat menyakinkan seluruh ilmu silat keluarga Lam.
Maka He Leng-soang segera mengajaknya keluar untuk cari pengalaman. Lam Jun-lui yang
berumur 14 tahun, Lam Jiu-lui yang berumur 12 tahun, meskipun kepandaian silatnya belum
sempurna tapi dapat mengalahkan 20-an orang biasa yang berani mengeroyoknya. Oleh karena itu
He Leng-soang berani tinggalkan mereka di rumah untuk menjaga adiknya Tong-lui yang baru
berumur 10 tahun itu.
He Leng-soang dalam perjumpaannya dengan Thiat-mo-lek, diberitahukan tentang peristiwa
Khik-sia diculik Tiau-ing. Ia segera ajak puteranya pergi lagi untuk mencari jejak Khik-sia.
"Sungguh kebetulan sekali kedatanganmu ini, Bibi Lam. Kini kami sudah mengetahui jejak
Khik-sia. Dia ditawan siluman perempuan itu di biara Ogemi. Kira-kira 100-an li dari sini. Paderipaderi
dari biara itu berilmu tinggi. Kami justeru gelisah menghadapi mereka. Bibi Lam, dengan
adanya bibi, nyali kami menjadi besar," kata In-nio.
"Sayang, sayang! Tempo hari aku berjumpa dengan Gong-gong-ji dan Shin Ci-koh yang juga
mencari Khik-sia. Kalau begini, suruh Gong-gong-ji mencuri Khik-sia saja, tak perlu membikin
kaget kawanan paderi Ogemi. Ah, sudahlah. Tak perlu tunggu Gong-gong-ji, kita sekarang
berangkat ke biara itu," demikian He Leng-soang.
Badai saljupun sudah berhenti. Mereka berlima segera menuju ke biara Ogemi. Mendapat
bantuan He Leng-soang, harapan Yak-bwe untuk mendapatkan Khik-sia menjadi besar sekali.
Sekarang mari kita tengok keadaan Khik-sia di biara Ogemi. Tanpa terasa sudah hampir tujuh
bulan ia ditahan di situ. Selama itu ia bergaul baik dengan Hoan Gong hwatsu.
Setelah Ceng-ceng-ji kabur, Khik-sia kuatir kalau Tiau-ing akan merayunya. Tapi ternyata
walaupun peraturan tak terlalu bengis, biara Ogemi itu merupakan pusat penyebaran agama Buddha
di daerah Se-gak. Paderi-paderinya pun bukan golongan jahat.
Sebagai murid angkat dari Hoan Gong, Tiau-ing bebas mengutarakan kesukarannya. Ia pun
memberi sejumlah besar uang guna memperbaiki biara itu. Karena dua alasan itu maka barulah
Tiau-ing diterima tinggal di biara situ.
Dalam pergaulan pria wanita, rakyat Se-gak lebih bebas dari rakyat Tiong-tho. Tiau-ing diberi
sebuah kamar dan seorang bujang wanita. Tapi tidak bercampur dengan Khik-sia. Pemuda itu
diserahkan di bawah pengawasan Hoan Gong. Hoan Gong mencukur rambut Khik-sia untuk
dijadikan seorang paderi muda. Karena terkena obat Soh-kut-san, tenaga Khik-sia hilang lenyap.
Maka Hoan Gong memberi keleluasaan padanya untuk berjalan-jalan di dalam biara. Ia tak takut
anak muda itu dapat kabur.
".....(tulisan kabur) bergaul dan sama-sama suka ilmu silat. Meskipun tenaganya lunglai tapi
Khik-sia dapat juga membicarakan ilmu silat dengan Hoan Gong. Keduanya sama memperoleh
manfaat. Setiap hari lahir Buddha, di biara Ogemi diadakan perayaan besar-besaran. Segenap paderi
harus melakukan sembahyangan di tiga ruangan. Pada hari itu kembali diadakan perayaan
sembahyangan besar untuk menghormat hari lahir sang Buddha. Khik-sia senang dengan
keramaian. Ia minta diperbolehkan untuk hadir. Karena dia sudah memakai pakaian paderi, Hoan
Gongpun mengijinkan.
Selama tujuh bulan itu, Khik-sia belum pernah menginjak ruangan besar. Dia memang tak
berminat menyembah Hud. Dia hanya berkeliaran melihat-lihat ukir-ukiran lukisan di tembok.
Waktu Hoan Gong hendak menegurnya, tiba-tiba Ti-khek-ceng 9paderi yang menyambut tetamu)
masuk melaporkan bahwa murid dari Kong Tik hwat-ong, kepala biara Putala telah datang hendak
turut dalam upacara sembahyangan.
Istana Putala adalah sebuah biara agung di daerah Tibet. Biara itu didirikan oleh puteri Bun
Song, anak perempuan baginda Li Si-bin yang diambil permaisuri oleh Raja Tibet. Walaupun
kemudian hari pengaruh kerajaan Tong makin lemah, tapi berdasarkan sejarahnya, Istana Putala itu
tetap menduduki tempat yang teratas di kalangan biara-biara daerah Se-gak. Kepala biara bergelar
Hwat-ong, lebih tinggi dan mulia dari semua kepala-kepala di biara lain.
Sebenarnya biara Ogemi itu tiada hubungan dengan Potala. Tapi demi mendengar biara agung
itu mengirim rombongan anak muridnya untuk turut hadir dalam upacara sembahyangan, Hoan Biat
hwatsu, hong-tiang (pemimpin) dari biara Ogemi, tersipu-sipu menyuruh Ti-khek-ceng
mempersilahkan rombongan tetamu itu masuk.
Tetapi Hoan Siok hwatsu, sute dari Hoan Biat hwatsu, seorang yang cermat. Ia sedikit menaruh
kecurigaan, ujarnya: "Mengapa mendadak sontak Istana Potala mengirim utusan kemari" Suheng,
kau harus menanyakan yang jelas!"
"Siapa sih yang berani memalsu sebagai utusan dari Potala" Biara kita ini biara terbesar di
negeri Tho-ko-hun. Kalau Kong Tik hwatsu mengirim utusan untuk mengadakan hubungan baik,
itulah sudah sepantasnya," sahut Hoan Biat.
"Tetapi aku tetap curiga. Tho-ko-hun sedang bentrok dengan Hwe-ki, kedua belah pihak sedang
bersiap-siap perang. Mengapa mendadak pihak Potala mengirim utusan kemari" Apakah hal itu
tidak mencurigakan?" bantah Hoan Siok.
"Lalu lintas amat jauh, hubungan beritapun terhambat. Mungkin pemerintah Hwe-ki belum
mengetahui tentang istana Potala mengirim utusan. Betapapun ganasnya pemerintah Hwe-ki itu,
mereka tentu tak berani mengganggu urusan anak murid dari Potala. Sudah sute, jangan banyak
curiga. Terhadap gengsi Potala yang sedemikian agungnya, kita harus menaruh kepercayaan penuh.
Jika kita mengajukan pertanyaan dan dijawab memang mereka itu betul rombongan anak murid
yang diutus dari Potala, bukankah kita akan malu?"
Karena suhengnya berkeras begitu rupa, Hoan Siok pun tak berani banyak omong lagi. Tak
berapa lama, paderi Ti-khek-ceng datang dengan rombongan utusan istana Potala. Semua hanya
berjumlah 4 orang. Salah seorang dari tetamu itu, kepalanya lancip, bentuknya lucu. Begitu masuk
ke ruangan besar, matanya jelalatan kian kemari.
Khik-sia terkejut. Ia seperti sudah kenal dengan tetamu itu. Dan setelah merenung, ia teringat
akan seseorang. Namun ia masih belum berani memastikan.
Hoan Biat hwatsu menghaturkan selamat datang pada rombongan utusan itu dan minta maaf
atas penyambutannya yang kurang memuaskan.
"Ah, hong-tiang kelewat merendah. Kita toh sama-sama anak murid Buddha, tak perlu
sungkan-sungkan. Aku membawa sebuah hwat-ci (amanat agama) dari Kong Tik hwat-ong, harap
hong-tiang terima," kata pemimpin paderi Lama dari Potala itu.
Hoan Biat terkesiap. Walaupun kedudukan Biara Potala itu yang tertinggi sendiri, tapi biara
Ogemi tidak dibawahinya. Mengapa Kong Tik hwat-ong mengirim Hwat-ci" Dan lebih curiga lagi
Hoan Biat ketika mendengar ucapan tetamunya itu tidak seperti paderi yang taat.
Kalau Biat melayani kepala rombongan Lama Potala, Hoan Gong, hoan Siok dan beberapa
paderi yang berkedudukan tinggi dari Ogemi, sama menyambut ketiga utusan yang lainnya itu.
Justeru yang disambut oleh Hoan Gong itu ialah paderi kepala lancip yang tak sedap dipandang itu.
Walaupun tak senang, namun Hoan Gong tetap menyambutnya dengan hormat.
Tiba-tiba terdengar orang berteraiak melengking: "Itulah Ceng-ceng-ji. Awas, jangan kena
ditipunya!"
Yang melucuti kedok Ceng-ceng-ji itu bukan lain ialah Khik-sia. Memang selain bentuk
wajahnya, pun tingkah laku Ceng-ceng-ji itu mirip dengan kunyuk. Sebagai sutenya yang sudah
bertahun-tahun bergaul, sudah tentu Khik-sia paham benar dengan diri suhengnya itu. Ia menaruh
curiga dan makin curiga, tapi ia merasa aneh juga mengapa wajah bekas suhengnya itu berubah
megitu macam"
Ceng-ceng-ji turun tangan secara kilat, saat itu tulang bahu Hoan Gong hendak
dicengkeramnya. Tapi untung Khik-sia berteriak memperingatkan. Dalam gusarnya Hoan Gong
gunakan gerak Tho-poh-ciat-ka, turunkan kedua pundaknya dan berputar tubuh dengan gerakan
tumit kaki. Dengan tepat ia dapat menghindari.
Ceng-ceng-ji mengusap wajahnya dan mengunjukkan roman mukanya yang asli. Kemudian
tertawa gelak-gelak: "Bagus, budak, matamu celi benar dapat mengenali suhengmu. Ayo, ikutlah
aku, jangan lari, ya?"
Kiranya Ceng-ceng-ji mengenakan topeng kulit. Dalam pada berkata-kata itu, tubuhnya sudah
melesat ke tempat Khik-sia. Tetapi rombongan paderi Ogemi banyak jumlahnya, untuk beberapa
saat Ceng-ceng-ji tak berhasil menangkap Khik-sia. Ceng-ceng-ji mengamuk. Setiap paderi yang
menghalang tentu dipukul atau ditutuk jalan darahnya. Dalam beberapa kejap saja, sudah belasan
paderi yang rubuh.
Melihat itu Hoan Gong marah. Ia menyambar sebatang tongkat terus dihantamkan ke punggung
Ceng-ceng-ji. Karena ruangan itu penuh dengan orang, Ceng-ceng-ji tak leluasa mengeluarkan ginkang.
Terpaksa ia cabut pedang untuk menangkis. Diam-diam ia heran kemana gerangan Khik-sia
bersembunyi. Bukankah tadi terang kalau bersuara"
Tiba-tiba rombongan paderi berteriak kaget. Waktu Hoan Gong berpaling, darahnyapun
terkesiap. Paderi yang mengepalai Kay-le-tong (bagian menjatuhkan hukuman biara) dan Hoan
Biat hwatsu, kena diringkus lawan.
Ketiga kawan Ceng-ceng-ji yang menyaru jadi paderi lhama dari Potala itu adalah jago-jago
pilihan dari Hwe-ki. Yang dua orang memang juga kaum paderi. Tetapi yang seorang, hanya secara
darurat mencukur rambut dan menyaru jadi paderi. Kedua paderi itu termasuk golongan partai
agama Bi-cong dari Tibet. Namanya Bu Ong dan Bu Ci. Mereka berhambat pada Hwe-ki tapi tak
punya hubungan apa-apa dengan Biara Agung Potala.
Rencana itu Ceng-ceng-ji dan panglima Hwe-ki Topace yang mengatur. Pada upacara
sembahyangan hari lahir sang Buddha, biara Ogemi tentu menerima tetamu. Saat itulah mereka
akan meyelundup masuk dan meringkus kepala biara untuk menyerahkan Khik-sia. Rencana itu
mempunyai dua pertimbangan. Pertama, karena paderi-paderi biara Ogemi itu pandai ilmu silat.
Tho-ko-hun sedang bentrok dengan Hwe-ki. Kalau terjadi perang, dikuatirkan paderi-paderi Ogemi
itu akan digunakan oleh pemerintah Tho-ko-hun. Kedua, karena Topace memerlukan tenaga Cengceng-
ji maka ia turuti saja keinginan orang untuk menculik Khik-sia.
Dalam melaksanakan rencana itu, Ceng-ceng-ji minta bantuan dari seorang jago Hwe-ki. Dan
demi suksenya rencana itu, mereka berdua rela menuckur rambut menjadi paderi gadungan.
Yang disambut Hoan Biat hwatsu adalah si jago Hwe-ki yang menyaru jadi paderi lhama.
Namanya Chili, bu-su (senopati) nomor satu dari negeri Hwe-ki. Kepandaiannya tak kalah dengan
Ceng-ceng-ji. Sebenarnya Hoan Biat juga tinggi ilmu silatnya. Tetapi karena mengira benar-benar berhadapan
dengan utusan dari Potala, maka ia tak bersiap-siap. Tutukan jalan darah yang dilancarkan secara
kilat oleh Chili, menyebabkan Hoan Biat hwatsu tak berdaya.
Pun tertangkapnya paderi kepala Ka-le-tong itu juga karena tak bersiap-siap. Hanya sekali
gerak, dia sudah dibikin tak berdaya oleh Bu Ong. Di kalangan empat paderi kepala dari biara
Ogemi, hanya Hoan Siok hwatsu yang sudah menaruh kecurigaan. Karena itu ia sudah bersiap-siap
dan tak sampai kena diringkus. Kini ia bertempur seru dengan paderi Tibet si Bu Ci.
Chili mengangkat tubuh Hoan Biat tinggi ke atas dan tertawa gelak-gelak: "Jiwa hong-tiang
kalian berada di tanganku. Siapa yang berani bergerak?"
Kawanan paderi yang sedianya hendak bergerak menyerang, terpaksa berhenti.
Ceng-ceng-ji tertawa bangga, serunya: "Hai, dengarlah sekalian paderi Ogemi. Hal yang
pertama harus kalian lakukan, serahkanlah budak Khik-sia itu padaku!"
Khik-sia tak enak karena telah membikin susah hong-tiang Ogemi. Baru ia hendak tampil ke
muka, tiba-tiba Chili berteriak keras dan lemparkan tubuh Hoan Biat sampai beberapa tombak
jauhnya. Kiranya Hoan Biat diam-diam kerahkan lwekang untuk membuka jalan darahnya yang
tertutuk. Karena dicengkeram, tangannya tak dapat bergerak, tapi ia dapat tekuk lututnya untuk
membentur ubun-ubun kepala orang.
Chili adalah jago nomor satu dari Hwe-ki, kepandaiannya pun luar biasa. Jika lain orang, tentu
sudah pecah kepalanya dengan gerakan Hoan Biat yang tak terduga-duga itu. Tapi dia dapat
menghindar dengan sebat. Cepat-cepat ia mendak sambil menarik tubuh orang. Lutut Hoan Biat
luput mengenai kepala tapi kena pundak Chili. Sakitnya bukan kepalang. Dalam marahnya ia
lemparkan tubuh Hoan Biat sekuat-kuatnya.
Dua orang paderi coba hendak menyambuti tubuh pemimpinnya. Tapi akibatnya
menggenaskan. Mereka tak kuat menyambuti tenaga lontaran yang begitu hebat sehingga
terhantam jatuh di tanah bergelundungan. Mulut menjeri ngeri, tubuh berkelojotan dan nyawa
melayang..... Untung karena ditahan oleh kedua paderi tadi, daya bantingan Chili berkurang tenaganya.
Begitu tiba di tanah, Hoan Biat dapat berjumpalitan bangun. Dia tak sampai terluka berat. Namun
karena hebatnya kegoncangan yang dideritanya, ia pun muntahkan segumpal darah.
Gelombang yang satu belum reda, gelombang lain timbul. Ci-hwat-ceng (paderi yang
menguasai peraturan biara) yang diringkus Bu Kiu siangjin, pada saat itupun menjerit ngeri.
Kiranya ia tak sudi dijadikan barang tanggungan untuk menekan kawan-kawannya. Tahu bahwa
kepandaiannya kalah dengan lawan, ia putuskan urat nadinya sendiri dan binasa....
Hoan Biat hwatsu murka. Menyambuti sebuah senjata Hong-ciang-jan dari seorang muridnya,
ia berseru dengan bengis: "Delapan murid dari tingkat lwe-sam-wan supaya tetap tinggal di
ruangan, yang lain-lain supaya keluar semua. Biara Ogemi tak dapat menerima hinaan sebesar ini!"
Mengetahui bahwa musuh yang datang pada saat itu termasuk jago-jago kelas satu, maka Hoan
Biat segera meminta kedelapan murid kepala Lwe-sam-wan tinggal. Yang lain-lain karena
dianggap masih belum cukup kepandaiannya, disuruh keluar agar jangan sampai jatuh korban
banyak. Hoan Biat bertiga saudara (Hoan Gong dan Hoan Siok) dengan kedelapan murid kepala itu
akan bertempur mati-matian dengan pengacau-pengacau itu.
"Jangan lagi hanya delapan murid kepala, sekalipun semua paderi-paderimu disuruh maju, aku
tak takut!" Chili tertawa mengejek. Ia cabut golok pusakanya dan menyambut serangan Hoan Biat.
Trang.... setelah terluka parah tenga Hoan Biat berkurang, ta tak kuat menahan gempuran golok.
Senjatanya rompal dan dia sendiri tersurut mundur sampai tiga langkah!
Hoan Gong dan Hoan Siok yang mempimpin sayap kanan dan kiri dari barisan paderi, segera
maju menahan serangan Chili dan Bu Ong. Barisan bergerak memencar dan merapat kembali.
Hoan Biat mundur ke dalam barisan. Ceng-ceng-ji beberapa kali hendak menerobos tapi tak
berhasil. Tapi sayang Hoan Biat yang paling tinggi kepandaiannya telah menderita luka dan di
antara delapan murid kepala itu sudah ada dua orang yang terluka ringan. Di bawah tekanan dari
empat jago kelas satu, rupanya barisan paderi itu mulai tak kuat bertahan.
Diam-diam Khik-sia menyesali dirinya karena sudah tak punya tenaga lagi. Coba tidak, tentu ia
dapat melayani Ceng-ceng-ji. Tiba-tiba ia teringat bahwa Ceng-ceng-ji itu bukan melainkan hendak
menangkap dirinya saja, pun termasuk Tiau-ing juga. Jika pihak Ogemi sampai kalah, Tiau-ing
tentu takkan lolos. "Ah, mengapa aku tak coba-coba membujuknya supaya memberi obat
penawar?" tanyanya sendiri.
Buru-buru ia keluar dari ruangan pertempuran. Pada waktu Hoan Gong menerima kedatangan
Tiau-ing dan Khik-sia, hanya beberapa paderi yang berkedudukan tinggi, tahu urusan itu. Yang
lain-lainnya hanya mengira Khik-sia itu sebagai calon paderi baru. Apalagi kala itu sedang dalam
kekacauan maka tak ada orang yang memperhatikan gerak-geriknya (Khik-sia) sama sekali. Tetapi
ia tak tahu di mana ruangan yang ditempati Tiau-ing. Yang didengarnya dari Hoan Gong ialah
bahwa hong-tiang telah menyediakan sebuah kamar istimewa untuk Tiau-ing dan melarangnya
keluar. Ah, kemana ia hendak mencari kamar itu" Ia coba-coba pergi ke taman belakang.
Di dalam taman itu terdapat belasan pondokan untuk paderi-paderi. Ketika ia hendak mencari
keterangan, tiba-tiba seorang wanita muncul berlari-larian sampai hampir menubruknya. Wanita itu
seorang perempuan tani. Karena sudah tak punya kekuatan, Khik-sia terpelanting jatuh terlanggar.
Wanita itu berhenti, menolongnya dan mengucapkan beberapa patah bahasa daerah yang tak
dimengerti Khik-sia.
"Apa kau yang melayani nona Su?" tanya Khik-sia.
Namun perempuan itu juga tak mengerti bahasanya Khik-sia. Setelah menatap Khik-sia dari
ujung kaki sampai ke kepala, ia mengunjuk wajah girang lalu mengeluarkan sebuah lukisan. Kini
giliran Khik-sia yang terheran-heran. Tapi yang nyata, lukisan itu merupakan seorang pemuda yang
bukan lain Khik-sia sendiri.
Perempuan itu mulutnya nyerocos sambil menggerak-gerakkan tangan. Akhirnya Khik-sia
dapat menangkap juga artinya. Lukisan itu Su Tiau-ing yang membuat. Ia suruh wanita itu mencari
Khik-sia. Khik-sia menunjuk diri, lalu menuding perempuan itu, ujarnya: "Apakah nona Su
memanggil aku?"
Rupanya perempuan itu juga mengerti bahasa isyarat Khik-sia. Ia angguk-anggukan kepalanya,
lalu menarik Khik-sia diajak lari. Taman itu dibuat di muka gunung. Tiba di tepi gunung,
jalananpun putus. Wanita itu melintasi sebuah gua. Di luar gua terdapat lagi sebuah perumahan.
Puncak gunung itu merupakan sebuah pintu yang memisah taman menjadi dua bagian.
Diam-diam Khik-sia bersyukur dapat bertemu dengan wanita itu. Tiba di sebuah ruang,
terdengar Tiau-ing merintih-rintih dan memanggil-manggil namanya (Khik-sia). Khik-sia terkejut.
Dengan lari terhuyung-huyung ia masuk dan mendorong daun pintu. Tampak Tiau-ing rebah di
pembaringan, wajahnya pucat kekuning-kuningan. Melihat Khik-sia, Tiau-ing tersentak kaget tapi
cepat mengusirnya: "Keluar!"
"Tapi bukankah kau sendiri yang memanggil aku?" Khik-sia tercengang.
Tiau-ing tak menghiraukannya lagi, rintihannya makin hebat. Perempuan desa tadi segera
mendorong Khik-sia keluar. Setelah memberi isyarat dengan menepuk-nepuk perutnya sendiri,
pintu terus ditutupnya lagi.
Merahlah wajah Khik-sia. Kini ia baru mengerti bahwa Tiau-ing akan melahirkan anak. Khiksia
makin bingung. Ia hendak minta obat penawar, siapa tahu Tiau-ing sedang akan melahirkan....
Saat itu kawanan paderi Ogemi sedang menghadapi pertempuran"....... (tulisan kabur, tak


Tusuk Kondai Pusaka Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terbaca) Ceng-ceng-ji putar pedangnya seperti angin puyuh dan berhasil membobolkan pertahanan
tuan rumah. Dua orang murid kepala Ogemi terbunuh olehnya. Satu-satunya yang masih dapat
memberikan perlawanan berarti hanyalah Hoan Biat seorang.
Tapi demi melihat pihaknya menderita kekalahan, Hoan Biat menghela napas dalam. Dia tak
sudi menerima hinaan dan terus hendak bunuh diri saja. Tapi tiba-tiba ada serombongan orang
menerobos masuk ke ruangan situ. Mereka adalah He Leng-soang dan puteranya serta Bik-hu dan
kawan-kawan. He Leng-soang kesima dengan pemandangan yang dijumpainya ruangan besar itu. Adalah Innio
yang dapat mengambil putusan cepat: "Bantu pihak Ogemi basmi kawanan durjana itu!"
"Benar!" sahut He Leng-soang yang segera melesat memasukkan pedangnya ke punggung
Ceng-ceng-ji. Pedang Ceng-ceng-ji tak mampu mengutungkan pedang nyonya itu, sebaliknya malah hampir
terlepas jatuh. "Huh, entah di mana wanita ini bersembunyi tahu-tahu kepandaiannya begini hebat,"
diam-diam Ceng-ceng-ji terkejut.
Buru-buru ia cabut pedangnya dan memainkannya dalam ilmu pedang Wan-kong-kiam. Dulu
Ceng-ceng-ji lebih unggul setingkat dari He Leng-soang. Tapi karena dalam sepuluh tahun ini dia
umbar kesenangan saja, kepandaiannya pun tak mendapat kemajuan yang berarti. Kini berbalik He
Leng-soang yang lebih unggul setingkat. Ilmu pedang nyonya itu dapat digunakan untuk bertahan
dan menyerang dengan dahysat. Biar Ceng-ceng-ji mati-matian memainkan pedangnya, tetap tak
dapat menemukan lubang kelemahan lawan.
Tapi sayangnya hanya He Leng-soang saja yang unggul. Anak-anak muda dalam
rombongannya itu payah-payah keadaannya. Yak-bwe mendapat lawan Chili. Bermula jago Hweki
ini memandang rendah, pikirnya hendak menangkap Yak-bwe hidup-hidup. Tapi ia segera
dikejutkan oleh serangan kilat dari pedang Yak-bwe. Untung ia cepat turunkan tubuh, coba tidak
tentu tulang pe-peh-kutnya tertusuk. Ia pun bersyukur hanya bajunya yang berlubang.
"Bagus, budak perempuan. Ternyata kau punya kepandaian yang berarti juga," Chili tertawa
mengejek sambil putar senjatanya Gwat-yu-wan-to (golok yang bengkok seperti bulan sabit).
Trang, pedang Yak-bwe hampir saja kena terhantam jatuh. Berbareng itu Chili ulurkan tangan
kirinya untuk menangkap si nona.
"Budak anjing, jangan kurang ajar!" In-nio melesat menyabat tangan Chili. Kepandaian nona
itu lebih tinggi dari Yak-bwe. Ilmu pedangnya pun lebih lihay. Chili tergetar juga hatinya. Ia
terpaksa menarik pulang tangannya tadi.
Tetapi bagaimanapun juga Chili itu tetap lebih unggul dari kedua nona. Ia tak mau menangkap
hidup-hidup lagi dan mainkan goloknya dengan keras. Anginnya sampai menderu-deru. Untung
karena seperguruan, ilmu pedang Yak-bwe dan In-nio itu dapat dimainkan bersama. Dan Yak-bwe
sudah mendapat ajaran ginkang dari Khik-sia. Dengan lincahnya, kedua nona itu berputar-putar
menyerang Chili. Meskipun harapan menang tipis, tapi sekurang-kurangnya dapat bertahan diri.
Waktu Bik-hu hendak membantu, dia dihadang oleh si paderi Tibet, Bu Ong. Ilmu Toa-chiu-in
(lekatkan tangan besar) dari Bu Ong siangjin merupakan ilmu pukulan lwekang istimewa dari aliran
Se-gak. Kedahsyatannya dapat dibandingkan dengan pukulan Kim-kong-ciang dari partai Siu-limpay.
Dalam sepuluh jurus, Bik-hu sudah terengah-engah dan mandi keringat. Untung ia memiliki
kepandaian dari Biau Hui sin-ni dan Mo Kia lojin. Bagaimanapun juga Bu Ong siangjin jeri juga
menghadapi pedang pemuda itu. Situasi Bik-hu memang sulit tapi belum sampai menghadapi
kekalahan. Di dalam pihak tuan rumah, Hoan Biat dan ketiga sutenya yang paling menggenaskan. Hoan
Biat terluka berat, ketiga sutenya itupun terluka juga. Dia tak mau berpeluk tangan melihat lain
orang mati-matian membelanya. Maka ia pimpin anak muridnya untuk mengganyang si paderi
Tibet Bu Ci yang belum dapat tandingan.
He Leng-soang yang selalu pasang mata memperhatikan situasi pertempuran, menjadi resah
juga hatinya. Benar ia menang angin, tapi untuk tinggalkan libatan Ceng-ceng-ji dan membantu
rombongannya, juga tak mudah.
Pada saat situasi tegang-meregang tiba-tiba terdengar suara suitan panjang. Bermula dari
kejauhan, tapi dalam sekejab saja sudah mengiang di telinga sekalian orang. Ceng-ceng-ji
terperanjat, setelah merangsang lawan, tiba-tiba ia loncat terus melarikan diri.
"Hai, Gong-gong-ji, kau datang?" teriak He Leng-soang dengan girang sekali.
Memang yang datang itu Gong-gong-ji. Ceng-ceng-ji cepat meloloskan diri, tapi Gong-gong-ji
lebih cepat lagi datangnya. Baru kaki Ceng-ceng-ji melangkah pintu, ia sudah kesampokan dengan
Gong-gong-ji. "Binatang, masih mau lari?" bentak Gong-gong-ji yang sekaligus merebut pedang Ceng-ceng-ji
dan meringkusnya.
Sebenarnya kepandaian Ceng-ceng-ji masih mampu melayani sang suheng sampai dua-tiga
puluh jurus. Tapi dikarenakan ia paling takut kepada Gong-gong-ji, maka begitu melihat sang
suheng, pecahlah semangatnya.
"Suheng, sukalah mengingat hubungan persaudaraan, mengampuni...."
Shin Ci-koh cepat menukas rintihan Ceng-ceng-ji itu dengan tertawa dingin: "Sekalipun
suhengmu mengampuni, tetapi aku tidak bisa!" - Plak, ia menampar muka Ceng-ceng-ji. Separuh
mukanya begap biru, sebuah giginya rontok.
"Dia berhutang sebuah tamparan padaku, aku sudah menagihnya. Sekarang terserah padamu,
dia itu sutemu," katanya kepada Gong-gong-ji.
Gong-gong-ji menghela napas: "Ceng-ceng-ji, adalah perbuatanmu sendiri yang tak
memperbolehkan kau hidup di dunia! Akan kuserahkan kepada Sunio, mati atau hidup tergantung
nasibmu." - Sekali menutuk dengan ciong-chiu-hwat, tubuh Ceng-ceng-ji yang terkulai itu segera
dilemparkan ke sudut ruangan.
"Kawanan kepala gundul itu hendak merampas Khik-sia. Kita bantu dulu pihak Ogemi,"
katanya kepada Shin Ci-koh.
Sekali kedua calon suami-isteri itu turun tangan, dalam beberapa kejab saja, Chili, Bu Ci dan Bu
Ong sudah dirubuhkan.
"Mereka diutus oleh pemerintah Hwee-ki. Harap Gong-gong sicu ijinkan kubawa mereka ke
kota raja, biar raja kami yang menghukumnya," kata Hoan Biat hwatsu.
"Ceng-ceng-ji itu suteku. Kecuali dia yang lain-lain terserah hong-tiang," jawab Gong-gong-ji.
Karena lwekangnya yang tinggi, Hoan Biat yang terluka berat masih dapat menghampiri Gonggong-
ji untuk menghaturkan terima kasih.
"Aku tak meminta terima kasih, tetapi akan meminta suteku Toan Khik-sia. Dia berada di sini,
bukan?" sahut Gong-gong-ji.
Hoan Biat mengiakan. Ia segera suruh beberapa muridnya yang kenal Khik-sia supaya
memanggilnya keluar. Lewat beberapa saat kemudian, murid-murid itu datang dengan laporan
bahwa Khik-sia tak dapat diketemukan.
P E N U T U P Memang saat itu Khik-sia tengah mondar-mandir di muka kamar Tiau-ing. Tiba-tiba ia
mendengar tangis orok melengking....
"Oh, kiranya ia sudah melahirkan. Mengapa aku menunggu di sini?" Khik-sia merasa malu dan
hendak kembali keluar. Tapi ia bersangsi. Selama tenaganya masih punah bagaimana ia dapat
membantu pertempuran itu.
Selagi ia maju mundur, tiba-tiba pintu kamar terbuka dan muncullah si perempuan desa tadi. Ia
memberi isyarat supaya Khik-sia masuk. Khik-sia merah mukanya dan membantah dengan terbataKANG
ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
bata. Tapi perempuan itu tak mengerti omongannya. Ia memberi isyarat lagi bahwa kamar itu
sudah dibersihkan. Malah setelah itu, Khik-sia diseretnya masuk. Khik-sia meronta-ronta.
"Khik-sia, masuklah. Aku hendak bicara padamu. Tak usah kau malu-malu. Maukah kau
masuk kemari" Akan kutolongmu!" tiba-tiba Tiau-ing berseru dengan nada lemah dan gemetar.
Iba juga hati Khik-sia. Tak lagi ia meronta dan biarkan dirinya ditarik masuk oleh si perempuan
tani. Tampak dengan wajah masih pucat kuning, Tiau-ing duduk setengah tidur di ranjang.
Kepalanya disandarkan pada dinding ranjang. Di atas ranjang terdapat seorang orok yang
dibungkus dengan selimut merah. Sebuah perapian memancarkan bau ratus wangi. Lantai ruangan
bersih mengkilap.
"Kuucapkan selamat padamu ibu dan anak, Nyonya Bo. Kau, kau hendak bilang apa padaku?"
kata Khik-sia. Tiau-ing tak menyahuti ucapan itu, sebaliknya menunjuk pada orok di sebelahnya: "Pondonglah
dia, biar kulihatnya."
Khik-sia menurut. Bayi dipondongnya ke muka Tiau-ing.
"Montok benar, ya" Bagaimana, mungil tidak" Miripkan dengan aku," kata Tiau-ing.
"Mungil sekali, sangat mirip dengan kau," sahut Khik-sia. Padahal bayi itu lebih mirip dengan
Se-kiat. Sebenarnya Khik-sia gelisah sekali hatinya. Ia ingin Tiau-ing lekas-lekas selesai berkata,
agar ia dapat mengatakan maksudnya. Maka sembarangan saja ia menyahut menuruti apa yang
dikehendaki Tiau-ing.
Wajah Tiau-ing yang pucat mengerut cahaya riang, ujarnya: "Benarkah mirip aku" Kau suka
dengan anak itu atau tidak?"
"Suka, suka!" tersipu-sipu Khik-sia mengiakan. Baru pertama dalam hidupnya ia memondong
seorang bayi. Dia berdebar-debar takut kalau-kalau jatuh atau terlalu kencang pondongannya.
Ngeeekk ... tiba-tiba orok itu menangis, tangannya yang kecil mencakar muka Khik-sia.
"Segala apa bisa dikerjakan orang lelaki, kecuali hanya dalam soal merawat bayi," kata Tiau-ing
yang lantas suruh perempuan tani tadi menyambuti si orok. Setalah diminumi susu kambing bayi
itupun berhenti menangis.
Setelah terlepas dari beban yang menghimpit perasaannya, Khik-sia terus hendak membuka
mulut. Tetapi didahului Tiau-ing: "Khik-sia, kaupun harus lekas menikah. Ai, entah apakah
kekasihmu nona Su itu masih membenci aku?"
"Sudah tentu ia telah membencimu karena kau menculik aku," batin Khik-sia. Tapi melihat
keadaan Tiau-ing saat itu, ia merasa kasihan dan terpaksa menghiburnya: "Jika aku bisa keluar
dengan tak kurang suatu apa, aku tentu dapat memberi penjelasan padanya. Meskipun ia seorang
nona yang keras perangainya tapi suka memberi maaf orang."
Tiau-ing memandang Khik-sia sejenak, seperti ada sesuatu yang direnungkan. Sampai beberapa
saat ia tak bicara.
"Nyonya Bo, jika kau tak ada lain-lain hal yang hendak dibicarakan, aku hendak memohon
sebuah hal padamu."
Tiba-tiba Tiau-ing dongakkan kepala dan bertanya: "Apa yang terjadi di luar itu" Aku seperti
mendengar suara orang bertempur!" - Setengah jam setelah melahirkan, kini semangat Tiau-ing
berangsur-angsur pulih. Pendengarannya mulai tajam.
"Ceng-ceng-ji dan beberapa jago lihay menyerbu ke biara ini. Dia hendak menangkap kau dan
aku. Hoan Biat hong-tiang, Hoan Gong hwatsu dan lain-lain tengah bertempur dengan mereka.
Untuk hal itulah maka aku datang kemari ...."
"Disini merupakan tempat rahasia. Hong-tiang telah berjanji takkan membocorkan tempat ini.
Tak mungkin kunyuk tua itu dapat mencari kemari, jangan kuatir," Tiau-ing tenang-tenang saja.
"Ah, mengapa kau hanya memikirkan kepentingan dirimu saja" Mereka lihay sekali, kukuatir
hong-tiang bukan tandingannya. Berikanlah obat penawar padaku, aku hendak membantu tuan
rumah. Kalau tidak, jika biara ini sampai hancur, toh kita juga akan jatuh ke tangan musuh," Khiksia
agak jengkel. Tiau-ing tertawa tawar: "Kau memaki aku dengan tepat. Memang aku terlalu memikirkan
keuntungan diriku saja. Bahkan saat inipun aku masih memerlukan bantuanmu untuk
kepentinganku. Tetapi permintaanku ini mungkin yang terakhir. Maukah kau mendengar
omonganku dengan sabar" Takkan makan banyak waktu!"
Saat itu suara pertempuran sudah tak kedengaran lagi. Khik-sia makin cemas. "Apakah pihak
Ogemi sudah kalah" Hoan Biat dan kawan-kawan sudah ditawan musuh?" pikirnya. Namun tanpa
obat penawar, ia tak dapat berbuat apa-apa. Akhirnya ia terpaksa minta Tiau-ing supaya
mengatakan permintaannya itu.
Lebih dulu Tiau-ing menghela napas, baru berkata: "Kutahu bahwa selama ini aku selalu
mencelakaimu. Tetapi kini aku sudah sebatang kara. Kau anggap aku sebagai musuh atau sahabat,
aku tetap menganggapmu sebagai kawan."
"Apa yang kau kehendaki supaya kukerjakan" Silahkan, bilang. Tentu akan kukerjakan sedapat
mungkin," kata Khik-sia.
Tiau-ing menatap dengan bola matanya: "Jadi kau memaafkan diriku?"
Supaya orang lekas bilang dan juga karena kasihan, Khik-sia mengangguk: "Aku bukan orang
yang suka mendendam. Ya, kumaafkan kau."
Wajah Tiau-ing berseri tawa: "Baik, kalau begitu kuminta kelak kau supaya merawat anakku itu.
Maukah?" Sayup-sayup Khik-sia seperti mendapat firasat yang tak baik, ujarnya: "Nyonya Bo, mengapa
kau ucapkan perkataan itu" Benar aku pernah mempunyai ganjalan dengan kalian suami isteri,
tetapi kini Se-kiat sudah meninggal. Segala dendam kesumat itu pun gugur sudah. Anakmu adalah
seperti keponakanku sendiri. Atas kepercayaanmu yang begitu besar, sudah tentu akan kurawat
anak itu. Harap kau mengaso untuk merawat kesehatanmu dengan tenang."
Mendengar ucapan Khik-sia yang dibawakan dengan nada bersungguh, wajah Tiau-ing
menggambarkan kelegaan. Ujarnya: "Terima kasih atas kelapangan hatimu menghapuskan
kesalahan lama. Aku sungguh merasa lega sekali."
Ia mengambil sebuah kotak emas dari bajunya dan berkata: "Obat penawar di dalam kotak ini,
ambillah sendiri. Minumlah dengan air, sejemput saja sudah cukup."
Girang sekali Khik-sia waktu menyambuti kotak itu. Waktu hendak meminumnya, Tiau-ing
kembali berkata: "Pokiam-mu juga harus kukembalikan."
Seperti diketahui, pedang pusaka Khik-sia itu telah dirampas Tiau-ing sejak pertama kali
pemuda itu ditawannya dahulu. Sewaktu Khik-sia hendak berputar tubuh menyambuti, tiba-tiba
terdengar suara "ces". Tiau-ing telah menusukkan ke dadanya sendiri.
"Ada kau yang merawat anakku, aku tak merasa kuatir lagi dengan nasib anak itu!" katanya
dengan sayu. Kejut Khik-sia tak terhingga, "Nyonya Bo, mengapa kau perlu berbuat begitu?" Ia menjerit
dan maju hendak mencegahnya tapi sudah kasip. Ketika Khik-sia menjamah tubuh Tiau-ing,
ternyata pedang pusaka itu sudah masuk separuh ke dadanya. Tiau-ing sukar ditolong jiwanya lagi
...... "Se-kiat, telah kukatakan aku tentu akan menyusul kau. Sekarang aku akan berjumpa padamu.
Kau tentu memaafkan diriku, bukan" Tidakkah kau mendengar Khik-sia memanggil aku Nyonya
Bo" Memang, aku tetap isterimu!"
Kalau pedang itu dicabut, Tiau-ing tentu mati seketika. Khik-sia tak berani melakukannya. Ia
hanya memapah tubuhnya, tak tahu apa yang harus dilakukan. Suara Tiau-ing makin lama makin
lemah. Tiba-tiba terdengar derap orang berlari mendatangi. Dan pecahlah dua buah teriakan.
"Khik-sia! Ing-ji!" Yang pertama nada suara Yak-bwe, yang belakangan suara Shin Ci-koh.
Adalah Shin Ci-koh yang menduga Khik-sia tentu berada di kamar Tiau-ing. Dan setelah
mendapat keterangan dari Hoan Biat, ia bersama In-nio dan Yak-bwe segera menuju ke sana.
Gong-gong-ji dan Bik-hu karena tak leluasa ikut, hanya menunggu di luar. Sayang kedatangan
mereka itu terlambat setindak.
Sepasang mata Tiau-ing sudah mengatup. Tapi demi mendengar suara suhunya, semangatnya
menyala dan membuka mata lagi. Ujarnya: "Khik-sia, berjanjilah padaku bahwa kau harus lekaslekas
menikah dengan nona Su. Hm, sekarang aku telah menyatakan terima kasihku dengan
kematian. Hanya masih ada suatu hal yang telah menjadi penyesalanku. Yakni tanggung jawabku
terhadap suhuku. Suhu, apakah pada detik-detik kematianku ini kau sudi menerima diriku kembali
ke dalam haribaanmu?"
Tepat pada saat ia mengucapkan kata-katanya itu, Shin Ci-koh melangkah masuk, menjerit dan
memeluk muridnya itu.
"Suhu, sudikah kau memaafkan muridmu ini?" kata Tiau-ing.
Dengan berlinang-linang Shin Ci-koh menjawab: "Sebagai suhu akupun bersalah juga. Ing-ji,
kau legakanlah hatimu. Anakmu akan kuwakili merawatnya. Kelak kalau sudah besar akan
kusuruh ikut Khik-sia agar dia jangan sampai terjerumus ke jalan yang sesat."
Tiau-ing tersenyum rawan: "Kini legalah hatiku. Ai, kalian memperlakukan aku dengan baik.
Sayang, sayang, aku yang tak dapat menjalankan kebaikan ....."
Berkata sampai disini, suara Tiau-ing makin hilang. "Ing-ji!" Shin Ci-koh menjerit. Tetapi
tubuh muridnya itu mulai dingin. Ketika dirabah hidungnya, ternyata nafasnya sudah berhenti.
Shin Ci-koh mencabut pedang di dada Tiau-ing. Setelah menghapus bekas darahnya lalu
diserahkan pada Khik-sia. Kemudian ia menutupi tubuh Tiau-ing dengan selimut lalu menurunkan
kain kelambu. Rupanya bayi itu merasa akan apa yang telah menimpa sang ibu. Ia menangis. Shin Ci-koh
mengemponya sambil menimang-nimang. "Jangan nangis, buyung. Kelak kalau besar janganlah
seperti ayah bundamu. Kau harus menjadi seorang lelaki yang jantan perwira. Khik-sia, kelak
kalau dia sudah besar akan kuserahkan padamu, kau setuju tidak?"
Khik-sia yang bermula kuatir tak dapat merawat bayi, girang sekali ketika Shin Ci-koh bersedia
menggantikannya. Sudah tentu ia setuju dengan pernyataan bakal susohnya itu.
Sewaktu Shin Ci-koh keluar dengan mengempo bayi, didapatinya Gong-gong-ji dan para paderi
biara Ogemi masih bercakap-cakap di ruangan besar. Ketika mendengar penuturan tentang
tindakan Tiau-ing, sekalian orang sama menaruh simpati karena Tiau-ing telah berlaku ksatria.
Menebus kesalahan dengan kematiannya.
Begitulah, setelah urusan selesai, Gong-gong-ji dan rombongannya segera minta diri. Atas
nama Biara Ogemi, sekali lagi Hoan Biat menghaturkan terima kasihnya.
Dalam perjalanan Gong-gong-ji menyatakan hendak bersama Shin Ci-koh pulang ke gunung. Ia
hendak menyerahkan Ceng-ceng-ji kepada su-nio (isteri suhunya) dan menyerahkan bayi itu.
"Nanti kita bertemu lagi di tempat Thiat-mo-lek. Khik-sia, kukira aku tentu masih keburu minum
arak kebahagiaanmu."
Khik-sia menyatakan yang tepat suhengnya itulah yang harus menikah dulu baru sutenya.
Gong-gong-ji mengambil pedang yang dipakai Ceng-ceng-ji untuk diberikan kepada Khik-sia:
"Pedang pusaka ini sebenarnya, milik keluarga Coh. Adalah karena kenakalanku sewaktu muda
maka kucuri pedang ini. Aku merasa bersalah pada keluarga Coh karena telah memberikan pedang
ini kepada Ceng-ceng-ji. Ping-gwan berusaha dengan susah payah untuk mendapatkan kembali
pedangnya ini. Kudengar ia sedang merawat lukanya di In-ge-sau-meng. Kembalikanlah pedang
itu kepadanya!"
Yak-bwe membenarkan tentang beradanya Ping-gwan di daerah itu. Dan ia agak menyalahkan
Khik-sia karena dianggap menjadi gara-garanya. Sudah tentu Khik-sia tercengang dan buru-buru
minta penjelasan. Setelah mendengar cerita Yak-bwe, Khik-sia menyatakan: "Adalah karena diriku
maka sampai membikin repot sekian banyak saudara. Dan Coh toako sampai terluka berat. Aku
merasa tak enak hati dan harus lekas-lekas menjenguk keadaannya."
Karena He Leng-song tak kenal dengan Ping-gwan maka ia menyatakan tak ikut tetapi akan
kembali ke tempat Thiat-mo-lek saja. Begitulah rombongan mereka terpecah. Keempat anak muda
yakni Khik-sia, Yak-bwe, In-nio dan Bik-hu meneruskan perjalanan mereka ke daerah In-ge-saumeng.
Selama dalam perjalanan mereka tak mau cari perkara dan sebulan kemudian barulah tiba di
negeri itu. Beberapa militasi kenal pada Bik-hu dan In-nio. Buru-buru mereka melapor pada Popa ongkong.
Popa ong-kong dan Yangpe Keke memerlukan keluar untuk menyambut. Begitu masuk ke


Tusuk Kondai Pusaka Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dalam kemah Khik-sia lantas menanyakan tentang keadaan Ping-gwan.
"Luka Coh tayhiap sudah sembuh tapi sekarang dia tak berada di sini," kata Popa ong-kong.
"Apa sudah pergi?" Khik-sia terkejut.
"Bukannya pergi. Kemarin penyelidik kami melaporkan pasukan berkuda Hwe-ki melanggar
tapal batas. Coh tayhiap bersama beberapa pejuang kami menyerang mereka. Mungkin besok pagi
tentu sudah kembali," kata raja itu.
Khik-sia menyatakan kalau ia hendak menyusul untuk memberi bantuan. Tapi ong-kong
mencegahnya. "Sekarang posisi pemerintah Hwe-ki tidak baik. Menurut penyelidik itu, jumlah
pasukan berkuda Hwe-ki itu tak berapa banyak. Mungkin hanya untuk menyelidiki keadaan daerah
kami saja. Paling-paling hanya menimbulkan insiden kecil-kecilan saja. Pemuda-pemuda kami
yang gagah berani sudah siap-siap di tapal batas apalagi mendapat bantuan Coh tayhiap, tentu dapat
mengundurkan musuh. Kurasa tak perlu merepotkan kalian."
Karena orang begitu yakin terpaksa Khik-sia menurut. Dalam pada itu In-nio meminta
keterangan tentang ucapan Popa yang menyatakan bahwa posisi Hwe-ki sekarang buruk sekali.
"Sekarang Tho-ko-hun sudah berperang dengan Hwe-ki. Tentara yang dipergunakan Hwe-ki
untuk menduduki Tiang-an pun kini sudah berontak. Mereka mengusir tentara Hwe-ki yang
menduduki Su-tho. Beberapa negeri di Se-gak pun sudah mengadakan persekutuan. Meskipun
belum memerangi tapi sudah tak mau taat pada perintah Hwe-ki lagi," menerangkan Popa ongkong.
"Oh, kalau begitu rencana nona U-bun sudah dilaksanakan," kata In-nio.
"Kesemuanya itu berkat bantuan kalian yang telah dapat menawan si pangeran dan anak raja
Hwe-ki," sahut Yangpe.
"Eh, kami hanya membantu sedikit tenaga. Yang utama ialah karena jasa Coh tayhiap
menyusun rencana itu," In-nio merendah.
Malamnya Popa ong-kong telah mengadakan perjamuan untuk menghormat para tetamunya.
Selagi perjamuan masih berlangsung, pengawal melaporkan tentang datangnya Coh Ping-gwan dan
Lu ciangkun. Popa ong-kong dan sekalian hadirin beramai-ramai keluar menyambut. Ternyata
yang dipanggil Lu ciangkun itu bukan lain ialah Luse, jago gumul nomor dua dari In-ge-sau-meng.
Yang paling terkejut adalah Ping-gwan ketika mendapatkan Khik-sia bersama Yak-bwe berada
di situ. "Tentang urusanku nanti saja, sekarang harap tuturkan pengalamanmu dulu," kata Khik-sia.
Pun Popa ong-kong juga meminta Ping-gwan: "Ya, benar. Mengapa selekas ini kalian pulang"
Kukira kembali besok pagi. Apakah memperoleh kemenangan?"
"Memangnya tak berperang karena kedatangan pasukan Hwe-ki itu hendak mengantarkan
barang hadiah padamu!" jawab Ping-gwan.
"Hadiah" Sungguh aneh," pemimpin In-ge"sau-meng itu tercengang.
"Memang benar, hadiah selaku permintaan maaf kepada kita. Tiga puluh ekor kuda tegar,
sungguh bukan hadiah yang kecil. Karena kuatir kita marah karena perbuatan anak raja Hwe-ki
tempo hari sehingga kita bersepakat dengan Su-tho untuk menyerang mereka maka raja Hwe-ki itu
perlukan memberi barang antaran itu. Ha, ha, mereka yang biasanya malang melintang melakukan
keganasan, sekarang harus mengambil hati kita," kata Luse.
Popa ong-kong tertawa gelak-gelak: "Memang demikianlah watak bangsa Hwe-ki yang
menginjak pada yang lemah tapi takut terhadap yang melawannya. Dulu kita takut, mereka selalu
menghina kita. Setelah kini kita unjuk kekerasan, dia terus menyatakan maaf. Di mana orang
mereka itu?"
"Sedang dikawal oleh Pasan ciangkun. Karena kuatir ong-kong mengharap-harap kami lebih
dulu pulang memberi kabar," kata Luse.
Pasan adalah si jago gumul nomor satu dari In-ge san-meng. Dialah yang memimpin pemudapemuda
negerinya untuk mempersiapkan perlawanan pada Hwe-ki.
Setelah urusan Hwe-ki selesai dibicarakan, barulah Khik-sia sempat berbicara dengan Pinggwan.
Mereka saling berterima kasih atas pengorbanan-pengorbanan yang mereka saling berikan.
Tali persaudaraan mereka terasa makin erat.
Atas pertanyaan Khik-sia, Ping-gwan menyatakan mau ikut pulang karena lukanya sudah
sembuh dan keadaan negara In-ge-sau-meng tak perlu dikuatirkan lagi. Waktu Khik-sia
menyatakan bahwa besok pagi akan kembali, Popa ong-kong mencegahnya.
"Oh, ong-kong tak tahu. Saudaraku ini akan melangsungkan perkawinan, maka ia harus buruburu
pulang," demikian Ping-gwan berolok-olok.
"Ai, kiranya begitu. Sudah tentu aku tak berani menahannya lagi," Popa tertawa gembira.
"Coh-tayhiap, apakah kau tak mau menunggu berita Hong-ni di sini" Kau ingin minum arak
temanten sahabatmu, akupun juga ingin minum arakmu."
"Soal itu baik besok saja dibicarakan. Sekarang peperangan antara Hwe-ki dan Tho-ko-hun
belum selesai, negeri kecil di daerah Se-gak menderita akibatnya juga. Kelak kalau sudah aman
saja, barulah aku datang lagi berkunjung kemari. Aku sudah kelewat lama berpisah dengan sahabatsahabatku
di selatan, aku kepingin menyambangi mereka."
Karena Ping-gwan bersungguh-sungguh, Popa ong-kong pun tak berani menghalangi.
Perjamuan berlangsung dengan gembira. Yangpe Keke mengajak hadirin minum arak guna
memujikan keberuntungan Khik-sia dan Yak-bwe. Setelah bubaran, Popa ong-kong mengatur
tempat untuk para tetamunya bermalam. Ping-gwan dan Khik-sia tidur dalam satu kemah. Dalam
kesempatan itu Ping-gwan mengajak Khik-sia berjalan-jalan keluar.
"Langit nan biru, alam nan raya. Angin berhembus, rumput membungkuk diendus kambing.
Hanya di tempat seperti padang rumput begini, baru kita dapat merasakan kebesaran jagad raya.
Coh toako, kalau aku menjadi kau, aku tentu tak mau pulang," kata Khik-sia.
"Aku sebaliknya ingin pulang. Tapi sungguh menyesal, mungkin aku tak keburu datang minum
arak pengantinmu," jawab Ping-gwan.
"Ai, bukankah besok pagi kau ikut kami pulang?" Khik-sia heran.
"Urusan ini tak ingin diketahui orang banyak. Terus terang saja, sebenarnya aku ingin pergi ke
Su-tho. Besok pagi setelah tinggalkan lembah ini, akupun hendak memisahkan diri dengan
rombonganmu," sahut Ping-gwan.
"Ho, kiranya kau hendak menemui Siau-nimu itu" Takut diketahui orang" Sungguh lucu benar.
Justeru kami ingin menghaturkan selamat padamu," Khik-sia mengolok.
"Bukannya aku hendak menjumpainya. Hanya kemarin ia mengutus orang untuk
menyampaikan surat padaku. Dalam surat ia mengatakan hendak bertemu padaku. Tetapi tak boleh
bilang pada lain orang, sekalipun Popa ong-kong. Hal ini memang aneh, tapi aku tak dapat tidak
pergi. Toan-hengte, jika aku sampai tak dapat menghadiri pesta perkawinanmu, haraplah
memaafkan."
"Aku juga meminta maaf karena tak dapat minum arak kebahagiaanmu, Coh toako. Apanya
yang aneh jika ia ingin bertemu padamu, apalagi kalau bukan menunggu kau meminangnya?"
"Tetapi dia sudah seperti saudara dengan Yangpe keke. Jika begitu kehendaknya kan dia
mestinya bisa minta tolong pada keke. Tetapi justeru sekarang ia minta jangan memberitahukan
keke," bantah Ping-gwan.
"Bagaimana ia tak malu minta tolong pada Yangpe keke" Tapi sebenarnya keke juga sudah
mengetahui isi hatinya. Tidakkah kau memperhatikan ucapan keke tadi?" kata Khik-sia. Rupanya
setelah mengalami gelombang pasang surut dalam love-affair dengan Yak-bwe, kini Khik-sia sudah
mempunyai pengalaman tentang perangai anak gadis.
Sebaliknya Ping-gwan tetap tak percaya. Namun karena toh sudah mengambil keputusan
memenuhi undangan si nona, ia tak mau banyak pikiran lagi.
Keesokan harinya rombongan anak muda itu meminta diri pada Popa ong-kong. Setelah keluar
dari lembah, seperti yang direncanakan semalam, Ping-gwan pun memisah diri menuju Su-tho.
Singkatnya saja, Khik-sia dan kawan-kawan telah tiba dengan selamat di gunung Hok-gu-san.
Thiat-mo-lek beramai-ramai menyambut keluar. Diantaranya terdapat He Leng-soang, Gong-gongji,
Shin Ci-koh dan lain-lain. Setelah memberi hormat, Khik-sia tertawa: "Suheng, cepat sekali kau
sudah datang."
"Suheng dan susohmu itu bergegas-gegas datang untuk menghadiri pernikahanmu. Mereka
sudah tiba tiga hari yang lalu. Tetapi mereka tak mau memberikan arak kebahagiaannya kepadamu.
Sekarang aku hendak denda mereka supaya membayar kerugianmu itu," Thiat-mo-lek tertawa.
"Oh, jadi suheng sudah, sudah menikah?" Khik-sia terkejut girang.
Seorang tokoh ugal-ugalan seperti Gong-gong-ji saat itu tampaknya kemalu-maluan juga.
Buru-buru ia memberi penjelasan: "Ibu guru sudah berusia lanjut. Beliau tak ingin turun gunung.
Untuk menyenangkan hati beliau, terpaksa kulangsungkan pernikahan di gunung. Tak seorangpun
yang kuundang."
Sebenarnya si jejaka tua Gong-gong-ji yang sudah berumur 40-an tahun itu, lebih pemaluan dari
anakmuda. Kuatir kalau pernikahannya dilangsungkan bersama-sama dengan Khik-sia, ia tentu
bakal digoda dan diolok-olok oleh para tetamu, maka setelah mendapat persetujuan Shin Ci-koh, ia
lalu melangsungkan pernikahan dengan secara diam-diam.
"Apakah ibu guru dalam keadaan sehat?" tanya Khik-sia.
"Sehat tak kurang suatu apa. Berhubung karena pernikahanku itu beliau agak reda
kemarahannya terhadap Ceng-ceng-ji. Coba tidak, Ceng-ceng-ji tentu sudah habis riwayatnya,"
kata Gong-gong-ji.
"Lalu Ceng-ceng-ji mendapat hukuman apa?" tanya Khik-sia.
"Ia dibikin hilang kepandaiannya dan tiap hari harus memikul air. Sunio tahu juga bahwa kau
akan menikah. Beliau pesan supaya kau ajak mempelaimu menghadap padanya."
Khik-sia mengiakan.
Diantara mereka hanya Bik-hu seorang yang kesepian karena tak punya sanak famili. Tiba-tiba
terdengar suara orang tua tertawa gelak-gelak: "In-niio, Bik-hu, kalian tentu tak mengira aku juga
datang kemari?"
Girang In-nio bukan kepalang: "Yah, mengapa kau berada di sini?" teriaknya. Kiranya orang
tua itu bukan lain ialah Sip Hong.
"Kerajaan menganggap aku tak berdaya menghadapi kawanan penyamun. Tapi mengingat jasajasaku
sewaktu menumpas pemberontak Su Tiau-gi, maka baginda hanya membebaskan tugasku
saja. Ini sesuai dengan keinginanku untuk pulang ke kampung halaman," kata Sip Hong.
"Kalau tidak begitu, mana ayahmu berani datang berkunjung ke sarang penyamun sini?" Thiatmo-
lek tertawa. Sip Hong menghela napas: "Semasa muda aku bercita-cita menjadi pendekar kelana. Sayang
aku kesasar jalan, ikut pada Sik Ko mengabdi kerajaan. Sekian banyak tahun menjadi panglima,
walaupun merasa bersyukur kepalaku tak sampai dihukum penggal, tapi kedosaanku juga tak
sedikit. Kuharap kalian dapat memperbaiki kesalahanku itu. In-nio, kupikir setelah menghadiri
pernikahan Toan hiantit aku segera akan mengajakmu pulang. Pernikahanmu dengan Bik-hu juga
harus segera dilaksanakan."
In-nio dan Bik-hu merah mukanya. Mereka tundukkan kepala tapi diam-diam bergirang.
"Ah, mengapa harus dilangsungkan di dua tempat. Toh lebih baik sekalian dirayakan di sini
saja?" tanya Gong-gong-ji.
"Handai taulanku berada di kampung semua. Aku hanya mempunyai seorang anak perempuan
ini. Rasanya biarlah mereka melangsungkan pernikahan di kampung halamannya saja. Kelak kalau
mereka hendak berkelana di dunia persilatan, terserah saja."
Thiat-mo-lek menengahi dengan mengatakan bahwa kalau memang begitu yang dikehendaki
Sip Hong, tak baik kalau dirubah lagi. Thiat-mo-lek lebih tajam perasaannya dan lebih luas
pengalamannya dari Gong-gong-ji. Ia tahu Sip Hong itu bekas seorang jenderal ternama. Kalau
puterinya sampai merayakan perkawinan di sarang penyamun, tentu akan merosotkan nama
baiknya. Berita pernikahan Khik-sia dengan Yak-bwe itu telah menggemparkan dunia persilatan. Orang
gagah dari 4 penjuru negeri, baik yang kenal maupun tidak kenal, bahkan yang tak menerima surat
undanganpun, berbondong-bondong datang memberi selamat. Mo Kia lojin (suhu Thiat-mo-lek),
Biau Hui sin-ni (suhu Yak-bwe), Hong-git Wi Gwat dan beberapa lo-cianpwe yang jarang turun
gunung, sama hadir dalam perayaan itu. Gunung Hong-gu-san seolah-olah sedang
menyelenggarakan sebuah rapat Eng-hiong-tay-hwe lagi.
Setelah melakukan upacara sembahyangan pada langit dan bumi, Khik-sia memimpin isterinya
untuk mengunjuk hormat pada bibi He Leng-soang, kemudian pada Gong-gong-ji dan Thiat-molek.
Tokoh-tokoh inilah yang menerima pesan dari mendiang Toan Kui-ciang (ayah Khik-sia). Kini
setelah Khik-sia dan Yak-bwe terangkap jadi suami isteri, mereka merasa telah menunaikan
tugasnya. Rasa haru telah membuat mereka berlinang-linang.
Setelah upacara selesai, tiba-tiba seorang thaubak melapor paa Thiat-mo-lek tentang kedatangan
seorang paderi. Ketika diundang masuk ternyata Hoan Gong hwatsu dari biara Ogemi. Hwatsu itu
disambut dengan penuh kehormatan dan kegirangan oleh kedua mempelai.
Menjawab pertanyaan tentang keadaan peperangan di negeri Tho-ko-hun, kepala biara Ogemi
itu menerangkan: "Karena beberapa negeri kecil di daerah Se-gak sama bersekutu menentang Hweki,
Hwe-ki pun tak berani gegabah melakukan serangan pada Tho-ko-hun. Mereka telah dikalahkan
oleh pasukan negeri kami. Kedatanganku kemari ini pertama untuk memberi selamat. Kedua, pun
hendak menyampaikan sebuah berita girang."
Khik-sia masih terkenang akan sahabatnya, Coh Ping-gwan. Ia menanyakan bagaimana
keadaan negeri Su-tho pada Hoan Gong.
"Yang kuketahui sekarang, Su-tho sudah berdiri merdeka lagi dan mengangkat seorang ratu,"
kata Hoan Gong.
Memang di beberapa negeri di daerah Se-gak, anak laki dan perempuan dipandang sama derajat.
Penobatan seorang raja perempuan, bukanlah hal yang mengherankan.
"Ratu itu tentu U-bun Hong-ni. Coh-toako tentu juga menikmati perkawinan yang bahagia di
negeri Su-tho," pikir Khik-sia.
Perjamuan berlangsung dengan meriah dan gembira sekali. Malamnya, setelah mengalami
godaan dan olok-olok dari para tamu, akhirnya bertemulah sepasang temanten itu di kamarnya.
Khik-sia mengleuarkan tusuk kundai Liong dan tertawa: "Ayahanda kita telah menetapkan
pernikahan kita sebelum kita dilahirkan. Sungguh menggembirakan sekali setelah mengalami
berbagai liku-liku kesalahan paham, akhirnya baru hari ini sepasang tusuk kundai pusaka ini dapat
bertemu." Yak-bwe merah pipinya. Ia girang dan sedih. Ujarnya: "Sayang, sejak lahir aku sudah tak
punya ayah lagi."
"Nama kita berdua ini adalah ayahmu yang memberi. Beliau menghendaki aku menjadi
pendekar keadilan dan kebenaran untuk membasmi kejahatan dan kemunafikan. Beliau
menghendaki kau menjadi pendekar wanita yang tak gentar menghadapi badai salju serta lebih
cantik dari bunga Bwe. Jika kita tak dapat melaksanakan harapan mereka, bukankah kita berdosa
terhadap arwah-arwah beliau di alam baka?"
"Ya, sejak saat ini aku akan mengikuti kau berkelana di dunia persilatan menjalankan dharma
kebaikan agar dapat meneruskan cita-cita mendiang ayahmu!" Yak-bwe memberi pernyataan.
Sepasang tusuk kundai pusaka Liong dan Hong saling bertemu di bawah pandangan mesra dari
empat mata, diiringi senyum tawa dan doa, muda-mudi sejoli yang menyanjung kebahagiaan .....
T A M A T Rahasia Ciok Kwan Im 5 Kait Perpisahan Serial 7 Senjata Karya Gu Long Cinta Bernoda Darah 17
^