Pencarian

Wanita Gagah Perkasa 1

Wanita Gagah Perkasa Karya Liang Ie Shen Bagian 1


" Wanita Gagah Perkasa
(Giok Lo Sat) Karya : Liang Ie Shen (Liang Yu Shen)
Penyadur : OKT PENGANTAR Buku ini adalah cetak ulang dari hasil kerja Uy Kim Tiang yang dulu diterbitkan di sekitar tahun 1959 oleh Bagian Penerbitan Keng Po di Jakarta. Sesudah 45 tahun, barulah buku cerita silat yang sangat memikat ini dapat diterbitkan kembali dengan seizin (ahli waris) penutur aslinya.
Giok Lo Sat dan Pek Hoat Mo Lie mengisahkan lika-liku kehidupan Lian Nie Siang, seorang endekar wanita yang bergelar Giok Lo Sat atau Rasaksi Cantik (oleh OKT diterjemahkan engan Wanita Gagah Berani), ia adalah seorang luar biasa pada masa ahala Beng mendekati keruntuhannya di perempat pertama dan kedua abad ke 17.
Ia luar biasa karena ilmu silat yang dikuasainya sangat tinggi, tetapi juga karena tingkah lakunya yang amat bebas (modern, sebenarnya). Di masa ketika wanita kebanyakan tidak pernah melangkah keluar dari pekarangan rumah, maka Lian Nie
Siang menjadi kepala begal dan menentukan nasibnya sendiri,tanpa bantuan orang lain. Ia benar-benar cerminan wanita modern masa kini, di masyarakat industri, yang mengakui
kesetaraan antara pria dan wanita...
Kisah bagian pertama berakhir pada salah satu titik balik kehidupan Giok Lo Sat. Peristiwa penyerbuan markasnya di Beng Goat Kiap yang mengakibatkan ia harus hengkang dari sana merubah arah hidupnya. Ia terpaksa harus kembali menjadi wanita biasa yang membutuhkan dampingan laki-laki agar ia paripurna sebagai wanita. Lanjutan itu dikisahkan dalam bagian kedua, yang sayangnya berujung pada kekecewaan, yang membuat tokoh kita dalam semalam
rambutnya berubah menjadi putih semua. Karena inilah ia memperoleh julukan barunya, Pek Hoat Mo Lie, atau Hantu
Wanita Berambut Putih.
Entah mengapa OKT memisah cerita silat ini menjadi dua judul, yaitu Giok Lo Sat untuk bagian pertama yang terdiri dari 7 jilid dan Pek Hoat Mo Lie untuk bagian kedua yang terdiri
hanya 3 jilid. Padahal seharusnya cerita ini satu kesatuan dengan judul Pek Hoat Mo Lie {Baifa Monu). Kami berpendapat bahwa kedua buku itu tidak terpisahkan, maka kedua judul ini kami satukan kembali dalam penerbitan ulang ini.
Kisah ini merupakan bagian dari rangkaian cerita Thian San
yang amat panjang. Dalam urutan penulisan, Pek Hoat Mo Lie adalah nomor dua sesudah Cit Kiam Hee Thian San (QijianXia
Tiansan), walaupun dalam keseluruhan siklus Thian San
menduduki nomor enam yaitu di antara Khong Ling Kiam
(Guang Ling Jian) dan Cauw Goan Eng Hiong (Sai Wai QiXia
Zhuari). Episode ini menjadi sangat penting karena dalam
kisah inilah dipaparkan para cikal-bakal tokoh-tokoh Thian San
(Gunung Langit) yang nantinya akan mencapai klimaksnya di
Cit Kiam Hee Thian San (Tujuh Pedang di bawah Gunung
Langit) yang legendaris itu.
Dalam buku inilah tokoh-tokoh tua yang berdiam di Gunung
Langit itu diperikan masa mudanya dan pertautan nasib dia
antara mereka. Gak Beng Kie (Ye Mingji), yang kemudian
bergelar Hui Beng Siansu (Feiming Xianzi atau Begawan
Cahaya Berkilauan) adalah pendiri Thian San Pay atau
Persaudaraan Gunung Langit. Lian Nie Siang sendiri juga
bertapa di Gunung Langit ini, disusul oleh To It Hang yang
bekas Ketua Bu Tong Pay (Wudangbai). Ketiga tokoh inilah
yang nantinya akan menurunkan rangkaian pendekar yang
mengisi sebutan Thian San Cit Kiam (Tujuh Pedang dari
Gunung Langit).
Nasib perorangan yang berbenturan dengan peristiwaperistiwa
besar dalam sejarah terjalin dengan sangat pas,
seakan tokoh-tokoh itu benar-benar pernah ada. Arah
kehidupan nasib tokoh-tokohnya tak bisa dilepaskan dari
kekuatan-kekuatan sosial yang menghempas mereka sebagai
manusia biasa. Banyak pembaca yang memperoleh anggapan
bahwa tokoh cerita ini memang pernah ada dan peristiwa
sejarah memang terjadi seperti dikisahkan disini. Jika Anda
membaca sampai baris ini, sangat mungkin Anda akan
menjadi salah satu dari mereka yang terbius, terbuai oleh
kepiawaian cerita ini.
I Pada suatu hari di bulan sembilan dalam musim rontok
ketika di jalan pegunungan Taypa san di perbatasan kedua
propinsi SuCoan dan Siamsay tampak bererot jalan
serombongan kereta tengah menuju ke arah barat. Orang
yang jalan terdepan adalah satu penunggang kuda yang
dandan sebagai satu busu, seorang yang mengerti ilmu silat.
Dalam sebuah kereta keledai, di tengah-tengah rombongan
itu ada berduduk seorang tua umur kira-kira enam puluh
tahun, dandanannya sebagai seorang bekas pembesar negeri,
sikapnya agung. Sebagai pakaian luarnya adalah selembar
mantel. Satu penunggang kuda mendampingi kendaraan orang tua
ini. usianya masih muda, romannya cakap dan gagah, sedang
sebilah pedang di pinggangnya saban-saban berbunyi
sendirinya disebabkan goncangan kudanya yang tinggi dan
besar itu. Orang tua di dalam kendaraan itu bernama To Tiong Liam,
bekas Congtok (gubernur jenderal), dari kedua propinsi Inlam
" Kwesay. Baru saja dia meletakkan jabatannya. Dia dapat dikatakan
tepat juga dengan namanya (Liam ?" sederhana), sebab
walaupun berpangkat besar tetapi dia tidak rakus, cocok
dengan pepatah: "Sam lian Ceng tiehu, Sipban soat hoa gin"
atau "Tiga tahun menjadi residen yang putih bersih, hartanya
toh sepuluh laksa tail perak putih bagaikan salju". Memang,
sebagai Congtok dia tidak usah serakah atau rakus, dengan
hasilnya dari uang komisi dan hadiah dari pelbagai
sebawahannya saja sudah tidak sedikit. Maka itu. untuk
pulang ke kampung halamannya sekarang, dia minta
bantuannya beberapa piauvvsu atau pelindung, untuk
melindungi padanya di sepanjangjalan.
Melainkan pemuda di dampingnya itu, yang romannya
cakap dan gagah bukanlah salah satu piauwsu, dia ikut
mengiringnya karena suatu sebab lain.
Bekas Congtok To Tiong 1am ini orang asal Siamsay Utara,
dari keluarga berpangkat turun-temurun, tidak hartawan besar
tapi dalam kecukupan, selalu dari turunan tunggal, seperti
sekarang dia hanya mempunyai satu anak dan satu cucu.
Puteranya itu, Kee Hian namanya, menjabat pangkat di kota
raja sebagai Houwpou sielong, ketua muda Departemen
Pendapatan dan Penduduk. Sedang cucunya, yang bernama It
Hang, mengikuti ayahnya berdiam di kota raja.
To It Hang sudah berumur delapan atau sembilan belas
tahun, seorang pemuda yang cerdik, dia sangat disayang oleh
engkongnya. Maka itu, ketika Tiong Liam meletakkan
jabatannya, ia telah tulis surat kepada puteranya. Kee Hian,
minta supaya cucunya diantar pulang ke kampung
halamannya. Di luar dugaannya, bukan cucunya yang datang
tetapi seorang pemuda cakap dan beroman gagah yang
menjenguk padanya.
Pemuda ini, yang perkenalkan diri sebagai Keng Ciauw
Liam, membawa serta suratnya Kee Hian, yang menerangkan
bahwa, karena It Hang sedang belajar keras untuk menempuh
ujian, tak dapat dia pulang. Dan tentang Ciauw Lam ini, dalam
surat itu diterangkan sebagai teman sekolahnya It Hang, dia
mengerti ilmu silat, kebetulan dia hendak pergi ke Siamsee,
maka ia minta sang ayah ajak dia bersama.
Hanya mengenai Ciauw Lam ini, Tiong Liam merasa aneh
dan lucu. Ciauw Lam katanya belajar bersama It Hang, tetapi
ketika ditanya ini dan itu yang berhubungan sama ilmu
sastera. pemuda ini lebih banyak menjawab "tak tahu". Maka
ia anggap kalau satu sasterawan meyakinkan ilmu silat, pasti
ilmu silatnya tidak sempurna, kedua-duanya akan menjadi
kepalang tanggung. Tapi yang membuat ia heran dan tidak
mengerti ialah beberapa piauwsu yang ia sewa itu, semuanya
bersikap sangat hormat kepada pemuda ini. Inilah yang ia
sangat tak mengerti!
Ketika itu di tahun Banlek ke 43 dari kerajaan Beng, di
timur utara, bangsa BoanCiu telah membangun diri, sering
mereka melanggar tanah perbatasan Tionggoan, sedang di
lain pihak, Kaisar Sin Cong sudah mengadakan pemungutan
cukai berat yang dibebankan kepada rakyat tani, tidak perduli
daerah barat utara itu tanahnya tandus dan rakyatnya
melarat, hingga karenanya, di sana-sini telah muncul
rombongan-rombongan penyamun. Disebabkan itu pula To
Tiong Liam telah pakai beberapa piauwsu di samping
pengiring-pengiringnya sendiri, tetapi ia masih saja tak
tenteram hatinya.
Hari itu baru saja rombongan ini melewati lamping
pegunungan Pajukwan, mereka telah dilombai dua
penunggang kuda yang larinya pesat sekali. Menampak kedua
penunggang kuda itu. air mukanya beberapa piauwsu jadi
berubah sendirinya!
Keng Ciauw Lam majukan kudanya kepada si piauwsu.
"Siapa mereka itu?" ia tanya.
"Itulah SeeCoan Siangsat!" sahut piauwsu tertua.
"Oh, dua saudara Peng!" mengatakan Ciauw Lam. "Mereka
itu tersohor untuk kekuatan tangannya yang dinamakan
Tiatsee Ciang, Tangan Pasir Besi, yang telah dilatih untuk
banyak tahun. Baiklah berhati-hati saja."
Pemuda ini segera putar kembali kudanya, tanpa ia
menoleh lagi. "Melihat gerak-geriknya, mereka agaknya tidak niat turun
tangan," kata si piauwsu.
Ciauw Lam bersenyum dan terus tahan kudanya.
Lekas sekali, kereta keledainya Tiong Liam telah datang
mendekat. "Aman, lootayjin, tidak apa-apa." mengatakan pemuda ini
dengan tawar kepada bekas Congtok itu. "Yang barusan lewat
hanyalah dua penjahat cilik yang tiada artinya."
Mereka jalan terus, sampai mereka dilombai pula oleh tiga
penunggang kuda lainnya, tetapi mereka ini berpalingpun
tidak kepada kereta-kereta barang.
"Heran, ketiga toCu dari Liongbun pang sampai keluar
berbareng!" kata si piawsu tua, agaknya dia heran sekali.
"Mungkinkah telah terjadi sesuatu yang hebat dalam kalangan
Rimba Persilatan"..."
Tampaknya piawsu ini kenal baik orang-orang kaum
kangouw. "Perduli apa mereka dari kaum Rimba Hijau atau bukan!"
kata Keng Ciauw Lam dengan jumawa. "Jikalau mereka berani
ganggu kita, tidak usah aku gunakan gegamanku yang biasa,
dengan hanya panah peluru aku nanti bikin mereka seperti
bunga rontok atau air mengalir!"
Semua piauwsu manggut-manggut, agaknya mereka
mengiakan. To Tiong Liam lihat orang sangat jumawa, tak puas
hatinya. "Kelihatannya anak muda ini terlalu kepala besar" pikirnya.
Rombongan kereta jalan terus ke baiat. Di waktu magrib
mereka sudah mendekati Citpoankwan. jalan lamping gunung
di luar kota Kiangleng. Lamping ini sempit sekali, pula yang
paling berbahaya di perbatasan SuCoan dan Siamsay. Sebab,
di belakangnya jalan ini menyender kepada gunung, di
depannya berdampingan dengan sungai yang gili-gilinya tinggi
bagaikan tergantung, airnya mengalir deras sehingga
muncrat-muncrat sendirinya, nampaknya seperti kabut saja.
Dengan waspada rombongan melalui jalan ini. Sekeluarnya
dari mulut gunung, mereka tampak di depannya kira-kira
setengah lie jauhnya, satu penunggang kuda sedang kasih
jalan kudanya -- kuda putih -- dengan perlahan-lahan ke
jurusan yang sama, nampaknya tenang sekali. Dia dapat
tertampak tegas, karena pakaiannya serba putih seperti
putihnya bulu kudanya.
"Pemuda di depan itu rupanya seperti satu anak sekolah."
kata To Tiong Liam. "Dia jalan seorang diri tanpa kawan,
apakah tidak berbahaya bagi dirinya" Mari kita susul dia untuk
jalan bersama-sama."
Atas ajakan itu, Keng Ciauw Lam menggoyang-goyangkan
tangan. Dapat dikatakan berbareng dengan penolakannya pemuda
she Keng ini, dari belakangnya mereka dengar riuh suara
derapnya kaki kuda disertai berisiknya kelenengan dari
pelbagai binatang tunggangan itu, yang dalam sekejap saja
telah kabur melewati rombongan keretanya bekas Congtok itu.
Sama sekali mereka terdiri dari tujuh penunggang kuda.
Pemuda serba putih di depan itu justeru berada dijalan
yang sempit. "Celakalah kalau dia tidak lekas-lekas minggir!" seru si
piauwsu tua, bahna kagetnya.
Piauwsu ini belum sempat tutup mulutnya, ketika itu dari
arah depanpun muncul belasan penunggang ke arah si
pemuda serba putih itu. Dengan demikian pemuda itu jadi
terjepit dua rombongan dari kedua jurusan itu...
To Tiong Liam kaget hingga ia menjerit keras sekali.
Berbareng pemuda serba putih itupun perdengarkan
suaranya, sambil berseru dia larikan kudanya ke arah sungai,
atas mana kuda itu kabur sambil terus berlompat melewati kali
itu dan sampai di seberangnya dengan tidak kurang suatu
apa! Tiong Liam ternganga dan akhirnya bernapas lega...
Kedua rombongan penunggang kuda itupun tidak bentrok
satu dengan lain. Keduanya dengan cepat dan tangkas telah
dapat tahan binatang tunggangannya masing-masing. Setelah
itu, rombongan yang tadi lewati rerotan kereta segera
memutar diri, hingga kedua rombongan itu sekarang menjurus
berhadapan dengan rombongannya Tiong Liam, yang terus
mendatangi semakin dekat.
Keng Ciauw Lam majukan kudanya, untuk memapaki
rombongan itu. "Para hoohan, mohon kalian membagi jalan," ia minta
sambil bersoja. (Hoohan ialah "orang gagah").
Seorang berewokan yang rupanya menjadi kepala,
mengawasi pemuda ini.
"Kau punyakan alasan apa untuk memohon jalan?"
tanyanya dengan katak. "Hartanya pembesar rakus, setiap
orang dapat mengambilnya!"
"Tetapi harus kalian ketahui, dia ini bukannya pembesar
rakus," Ciauw Lam kata.
"Untuk memohon jalan juga tidak sukar," kata satu
penyamun lainnya. "Asal kalian tinggalkan semua barangbarangmu!"
Kata-kata ini disusul dengan majunya beberapa penyamun
ke arah kereta barang-barang.
Keng Ciauw Lam tidak banyak omong lagi, dengan sebat ia
ambil busur peluru dari bebokongnya. akan di lain saat
beberapa butir pelurunya sudah menyerang beberapa
penyamun itu. yang berkaok kesakitan dan roboh, sebab tepat
sekali mereka terserang.
Si penyamun berewokan tertawa terbahak-bahak.
Masih Ciauw Lam tidak sudi bicara, sebagai gantinya
peluru, ia cabut sebatang panah, dengan itu ia memanah
patah sebatang bendera hitam di antara rombongan penjahat
itu. Wajahnya si berewok lantas saja berubah, dia lompat maju.
"Tahukah kau undang-undang dari kaum Rimba Hijau?"
tegurnya. Ciauw Lam tidak jawab teguran itu. malah ia melepaskan
pula beberapa peluru beruntun ke arah pemimpin penyamun
ini, hingga dia ini terpaksa mainkan goloknya menangkis
serangan peluru-peluru itu, yang dapat ditangkisnya terpental
berhamburan jatuh ke tanah semuanya.


Wanita Gagah Perkasa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ciauw Lam tidak hiraukan atau ia memang penasaran
orang dapat tangkis semua pelurunya, ia teruskan
serangannya yang bertubi-tubi, hingga kali ini ia membuat
repot kepada penyamun itu, yang menjadi keteter menghalau
peluru-peluru yang terus menerus menyerang padanya.
Dalam rombongan penyamun ada seorang yang alisnya
gompiok dan mata gede. "Jikalau kehormatan tidak dibalas,
kita telah berlaku tidak hormat!" katanya dengan suaranya
yang keren sambil diapun turunkan busurnya, untuk balas
menyerang. Panahnya yang dinamakan "CoayamCian" atau
"ular berkobar", biru tua warnanya.
Ciauw Lam tangkis jatuh setiap panah berapi yang menuju
ke arah tubuhnya, tetapi ia tidak berdaya untuk panah yang
menyambar ke kereta, maka ketika sebatang panah mengenai
sebuah kantong, terdengarlah suara menghembus, lantas
kantong itu menyala, apinya lantas berkobar!
Dalam kantong ada uang perak, dengan terbakarnya itu,
berhamburanlah uangnya! Akan tetapi, si berewok yang
melihat itu telah menggeleng-geleng kepala, nampaknya ia
kecewa. Masih Ciauw Lam menyerang dengan pelurunya, ia telah
gunakan ilmu memanah "Pathong hongie", yaitu "Hujan angin
di empat penjuru", maka salah satu pelurunya mengenai
gelang-gelangan tangan kirinya si berewok itu hingga dia ini
lompat mundur. Tapi dia tidak gusar atau niat membalasnya,
bahkan ia rangkap kedua tangannya memberi hormat!
"Ilmu panah peluru Butong pay benar-benar liehay!"
katanya dengan nyaring. "Kami telah keliru melihat,
maafkanlah kami!"
Penyamun yang menggunakan panah api itu. yang telah
lompat turun ke tanah, kinipun lompat naik pula ke atas
kudanya, iapun berkata dengan keras: "Tolong sampaikan ke
hadapan Cie Yang Tootiang, kami semua mengharap
kesehatannya! Tolong sampaikan juga terima kasih kami,
Hweeleng wan dan Poan San Houw, atas kebaikan hatinya
Tootiang dahulu yang tidak membinasakan kami"
Sehabis mengucap demikian, dia perdengarkan satu
seruan, atas mana kawan-kawan-nya lantas menolongi
mereka yang terluka untuk sama-sama berlalu...
Keng Ciauw Lam kasih turun busurnya, ia dongak dan
tertawa besar. "Tuan, sungguh kau pandai sekali memanah!" tiba-tiba satu
suara. Orang she Keng ini terkejut, dia segera menoleh ke
belakang dari mana suara itu datang. Dalam sedetik itu ia
ternganga bahna herannya.
Entah kapan menyeberangnya dan datangnya, pemuda
serba putih itu tahu-tahu sudah berada di belakangnya.
"Kepandaian tidak berarti yang sebenarnya hanya
memalukan saja," ia kata. "Justeru kaulah yang liehay sekali!"
"Akupun tidak punyakan kepandaian, melulu mengandalkan
kuda ini, yang tidak terlalu mengecewakan, baru aku dapat
lolos dari bahaya tabrakan," sahut pemuda serba putih itu.
To Tiong Lam sementara itu telah awasi pemuda itu, yang
tidak bawa barang-barang apapun di bebokong kudanya,
halus bicaranya seperti satu anak sekolah. Tiong Lam ketarik
hati. "Apakah Ciokhee sedang pesiar mencari kepandaian?"
tanyanya. (Ciokhee artinya "tuan"). "Sekarang di jalan sangat tidak
aman, maka untuk lakukan suatu perjalanan jauh sungguh
berbahaya..."
Pemuda serba putih itu menjura.
"Boanseng datang dari kota Yananhu." berkata dia, yang
membahasakan dirinya sebagai "yang muda" (boanseng).
"Boanseng ingin sekali lekas-lekas pulang sampai di rumah.
Bolehkah boanseng ketahui nama loope?" (Loope ialah
"mamak". Itulah panggilan untuk orang yang usianya lebih tua
daripada orang tua seseorang). Sambil tersenyum, To Tiong
Liam beritahukan she dan namanya.
Pemuda itu agaknya jadi sibuk sekali. "Oh, kiranya To
Lootayjin dari sesama kampung halaman!" katanya dengan
cepat. "Maaf" lootayjin, maaf!" Iapun segera perkenalkan diri
sebagai Ong Ciauw Hie.
"Boanseng lakukan perjalanan tanpa kawan," katanya pula,
"maka itu boanseng ingin minta perkenan untuk dapat
berjalan di belakang rombongan lootayjin, untuk dapatkan
berkah perlindungan..."
Keng Ciau Lam sudah lantas lirik pemuda ini.
Tiong Liam memang seorang yang murah hati. ia sudah
lantas mengabulkan.
"Ada apa halangannya untuk jalan bersama?" katanya.
"Tidak usah Ciokhee buat banyak pikiran."
Ciauw Lam perdengarkan suara dingin ketika ia turut
bicara: "Tuan adalah satu mahasiswa tetapi tuan telah
menunggang seekor kuda yang jempol sekali, sungguh aku
kagum terhadapmu!" demikian katanya.
"Inilah kuda turunan Khan Besar dari tanah barat," berkata
pemuda ini dengan suara halus. "Kuda ini aku berikan nama
YasayCu tetapi dia jinak sekali." (YasayCu berarti "singa
malam"). Di wilayah Barat utara ada banyak kuda jempolan dan
umumnya penduduk setempat pandai menunggang kuda,
karena demikian Tiong Liam tidak curiga.
Selama Keng Ciauw Lam layani penyamun, semua piauwsu
mengurung kereta-keretanya untuk melindungkannya, tadi
mereka repot memadamkan api, akan tetapi setelah bahaya
lewat, mereka datang menghampiri dan turun dari kudanya
untuk beri hormat pada Ciauw Lam. malah piauwsu kepala
memberi hormatnya sambil tekuk sebelah kakinya separuh
berlutut. "Mataku sudah lamur." kata dia. "Telah aku duga bahwa
Keng Enghiong seorang yang gagah, tetapi aku tak
menyangkanya kau seorang anggauta dari Butong pay yang
kenamaan. Keng Enghiong, aku hendak mohon kau hadiahkan
kami sesuap nasi!"
Tiong Liam tidak mengerti akan ucapan piauwsunya itu,
herannya bertambah-tambah terhadap pelindungnya ini.
Ciauw Lam bersenyum, dengan kedua tangannya ia
memimpin bangun.
"Sebenarnya aku tidak punya guna." katanya dengan
merendah, "akan tetapi tadi aku sudah kepalang tanggung,
tidak nanti aku mundur setengah jalan. Harus kau ketahui,
ikut sertaku ini bukan untuk popiauw (melindungkan angkutan
barang sebagai piauwsu). aku hanya bekerja untuk sahabatku.
Loopiauwtauw, jangan kuatir."
Tiong Liam pun dapat dengar perkataan itu, ia jadi semakin
heran. Bekas Congtok ini pasti tidak ketahui bahwa pemuda she
Keng itu bukannya satu sasterawan atau mahasiswa tapi salah
satu murid angkatan kedua (generasi ke-2) dari Butong pay.
Dalam kalangan ilmu silat, Siauwlim pay dan Butong pay
terhitung sebagai gunung Taysan atau Paktauw, Bintang
Utara, keduanya ternama besar dan tersohor. Ketua Butong
pay. atau pemegang waris, adalah Cie Yang Toojin, yang
liehay ilmu silatnya, yang bersama empat adik
seperguruannya yakni Uy Yap Toojin. Pek Sek Toojin, Ang In
Toojin dan Ceng Soo Toojin, adalah yang dikenal sebagai
"Butong Ngoloo" -- Lima Tertua dari Butong pay. Mereka
mempunyai ratusan murid, dan Keng Ciauw Lam adalah murid
kepala dari Pek Sek Toojin. maka dapat dimengerti tentang
kepandaiannya. Dari rombongan pembegal, yang berewokan adalah
Hoansanhouvv Ciu Tong si Harimau Gunung, dan yang
matanya gede dan alis gompiok adalah Hweelengwan Cu Poo
Ciang si Kera Api. dua penjahat besar di perbatasan SuCoan
dan Siamsay, tetapi keduanya jeri terhadap pihak Butong pay,
maka itu tadi mereka sudah lantas menyerah kalah.
Di kalangan Butong pay ada dua larangan utama, yaitu
pertama larangan menjadi penjahat, dan kedua larangan
untuk menjadi piauwsu, karena inilah maka perbuatannya
Keng Ciauw Lam dapat dikatakan luar biasa. Ia tidak jadi
piauwsu tetapi ia melindungi piauw, atas nama sahabatnya
seperti ia katakan tadi.
Piauwsu itu jeri terhadap rombongan Hweelengwan, dia
juga heran atas sikapnya Keng Ciauw Lam. dia sengaja
mengucap demikian hanya untuk "ikat" jago Butong ini supaya
tetap turut mengiringnya.
To Tiong Liam di lain pihak baru sekarang ia insyaf Keng
Ciauvv Lam gagah, hanya ia tidak mengerti mengapa cucunya
bisa bersahabat kepada orang semacam ini. Ia menghaturkan
terima kasih kepada pelindungnya ini.
Ciauw Lam sangat gembira karena ia telah berhasil
menunduki kawanan penyamun, tapi terhadap Tiong Liam ia
lantas bersikap sangat jumawa, ketika bekas Congtok itu
menanyakan padanya hal perkenalannya dengan cucunya, ia
menjawabnya dengan senantiasa mengegos, atau lawan
tertawa. Di samping itu. Ong Ciauw Hie pemuda serba putih itu.
sangat alim sekali, baik terhadap Tiong Liam maupun
terhadap Ciauw Lam, ia bersikap sangat menghormat.
Dua hari sudah mereka berjalan bersama, Kiangleng telah
dilalui. Selagi mendekati lamping Pengyangkwan, saban-saban
mereka melihat orang-orang dengan tingkah laku yang
mencurigakan, jalannya selalu berombongan bertiga atau
berlima, baik dengan menunggang kuda atau dengan naik
kereta keledai.
Si piauwsu tua menjadi tidak enak hatinya. Ia tahu bahwa
mereka itu adalah pengintai-pengintai terhadap
rombongannya. Syukur baginya, sampai sebegitu jauh
perjalanan dilalui dengan selamat.
Selewatnya Pengyangkwan, semua orang-orang yang
mencurigakan itu tidak tertampak lagi.
Sesampainya di perhentian Tayantek, rombongan itu
singgah untuk bermalam, lega hatinya Tiong Liam. Ia telah
pilih hotel yang terbesar.
"Besok selewatnya gunung Iengkun san, jalan akan sudah
rata!" katanya. Artinya ialah, tidak lagi mereka jalan dijalan
pegunungan. Semua piauwsu juga bernapas lega.
Keng Ciauw Lam sebaliknya menganggap lain. Ia malah
nampaknya gelisah, beda sikapnya dengan hari-hari yang lalu.
Di dalam hotel tiba-tiba Ong Ciauw Hie menjura pada Tiong
Liam. "Boanseng menghaturkan banyak-banyak terima kasih yang
selama di perjalanan, boanseng telah peroleh perlindungan,"
katanya dengan tegas. "Sama sekali boanseng tidak berani
dustakan lootayjin. sebenarnya boanseng mempunyai satu
musuh yang liehay sekali, yang di sepanjang jalan telah
menguntit aku. Bilamana malam ini dapat dilewatkan dengan
tidak kurang suatu apa. selanjutnya selamatlah aku. Sebentar
malam, kalau lootayjin dapat dengar sesuatu, boanseng minta
lootayjin jangan kuatir. Asal lootayjin gantung tengloleng
(tanglung) Congtok dari lnlam dan KwieCiu, aku berani
pastikan lootayjin tidak akan terembet-rembet."
To Tiong Liam terkejut tak kepalang. Ia telah dipesan
piauvvsunya dengan sangat, selama di tengah jalan supaya ia
bawa sikap sebagai satu saudagar, jangan sekali-kali ia
perlihatkan lagak sebagai pembesar negeri, sebab umumnya
kaum Rimba Hijau paling gemar membegal pembesarpembesar
pensiunan. Tetapi sekarang, Ong Ciauw Hie sudah
minta sebaliknya daripada pesan piauwsunya itu.
"Sebegitu jauh aku menyangka dia seorang mahasiswa, tak
aku sangka dia justeru seorang kangouw," pikir bekas Congtok
ini. (Kangouw = "sungai telaga", yakni nama umum untuk
segolongan orang kosen, termasuk kaum Bulim = Rimba
Persilatan, dan Lioklim = Rimba Hijau). "Dia bukan sanak
ataupun pamili, maksud apa yang dikandungnya terhadap
diriku..."
Selagi orang tua ini ragu-ragu, Keng Ciauw Lam dengan
kedua biji matanya berputar campur bicara.
"Sekarang ini, bersatu kita selamat, berpisah kita
terancam!" katanya dengan nyaring. "Ciokhee, lootayjin pasti
turut saranmu ini. Untuk bicara terus terang bagi kepentingan
kita bersama, mari kita bekerja sama dan bersatu hati, untuk
menjaga diri dari angkara murka malam ini!"
Orang she Ong itu bersenyum manis.
"Itulah pasti." ia berikan janjinya. Sikapnya tetap tenang
sekali. Seorang diri Ong Ciauw Hie ambil sebuah kamar berikut
hoathia, ruang depan. Ia telah titahkan jongos atur sebuah
hioto. meja sembahyang, berikut pedupaan kayu cendana
serta dua batang lilin besar, yang dinyalakan terang-terangan.
Ia juga minta dua poci arak wangi.
Pelana, berikut injakan kakinya, ia gabrukkan di sudut
kamar. "Silakan kalian semuanya sembunyi di kedua kamar
samping itu," kata ia kemudian pada Keng Ciauw Lam dan
para piauwsu. "Kecuali aku panggil, jangan kalian lancang
keluar!" Ciauw Lam semua undurkan diri dengan keheran-heranan.
Walaupun mereka luas pengetahuan, mereka tak dapat terka
maksudnya pemuda serba putih ini. Merekapun tidak tahu
pemuda itu sebenarnya orang macam apa.
Malam itu kebetulan angin menderu-deru, tapi bintangbintang
tampak bertaburan di langit. Selagi malam berlarut,
jagat lantas menjadi sepi. Ong Ciauw Hie duduk seorang diri di
ruang hoathia itu, matanya mengawasi keluar, tubuhnya tidak
bergerak. TiongLiam dan lain-lainnya tidak berani tidur.
"Mungkinkah dia akan duduk bercokol demikian rupa terus
sampai terang tanah?" kata si piauwsu tua dalam herannya.
"Hus, diam!" tiba-tiba Keng Ciauw Lam berbisik. "Ada orang
datang!" Baru sekarang Ong Ciauw Hie gerakkan tangannya, sedang
tubuhnya tetap diam tak bergerak. Ia angkat sebuah poci
arak. "Tuan-tuan telah datang dari tempat jauh, maaf,
maafkan aku yang telah tidak menyambut sebagaimana
layaknya!" terdengar suaranya yang nyaring.
Dari pintu luar segera muncul empat orang, yang semua
berperawakan besar, terutama yang maju di muka, sepasang


Wanita Gagah Perkasa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

matanya mencilak, sikapnya sebagai juga di situ tidak ada
orang lain. "Sahabat, jangan rewel, mari turut kami!" berkata dia.
Ong Ciauw Hie menyambutnya sambil tertawa.
"Untuk apakah?" sahutnya dengan sabar.
Muram wajahnya orang tadi, hampir dia berseru ketika
tampak tengloleng bekas Congtok dari Inlam dan SuCoan
tergantung di kamar samping. Dia kaget.
"Sebenarnya apa yang kau sedang kerjakan?" tanyanya.
"Bukankah kau..."
"Aku sedang lindungkan piauw!" Ciauw Hie memotong.
"Tuan-tuan, aku mohon sukalah kalian memandang padaku,
yang baru pertama kali ini bekerja, jangan kau bikin pecah
mangkok nasiku... Jikalau kalian hendak pergi cari untung,
pergilah ke lain tempat..."
"Hm!" orang itu berseru, terus dia kata: "Kausalah lihat!"
Kata-kata itu disusul dengan gerakan tubuhnya ke arah
kamar samping. To Tiong Liam sedang mengintai, ia lihat empat orang itu.
"Dia toh Kimiewie dari kota raya?" serunya tak disengaja.
Kimiewie, Barisan Baju Sulam, adalah suatu organisasi
istimewa dari pemerintah, orang yang menjadi kepala,
touwCiehui, adalah Cio Ho. To Tiong Liam kenal kepala
Kimiewie itu ketika ia masih menjabat pangkat, pernah kepala
itu datang padanya untuk menawan satu pembesar tinggi
yang dianggap bersalah, untuk dibawa ke kota raja. Sekarang
tiba-tiba touwCiehui Cio Ho muncul di sini.
Baru Cio Ho mendekati pintu kamar, atau Ciauw Lam sudah
lompat keluar sambil angkat tangannya menghalaunya.
"Siapa kau?" bentaknya. "Kau berani bikin kaget lootayjin?"
Dua tubuh, atau lebih benar dua tangan, bentrok dengan
keras, dengan kesudahan kedua-duanya terhuyung mundur
sendirinya. Tiong Liam segera menampakkan diri.
"Cio Ciehui, pieCit di sini!" bekas Congtok ini perkenalkan
diri. Ia menggunakan kata-kata "pieCit" ?" yang rendah ?"
untuk bahasakan dirinya. "Apakah Sri Baginda menitahkan
memanggil pieCit?"
Di jaman Beng, memang biasa raya memperlakukan bengis
pada menteri-menteri nya, untuk perkara yang sangat
kecilpun orang bisa dicekuk Kimiewie, untuk dihukum siksa
hingga binasa. Tiong Liam baru meletakan jabatan, maka ia
kuatir ditangkap raja, karenanya, suaranya agak menggetar.
Cio Ho lantas awasi bekas Congtok itu. iapun masih ingat.
"Ah benar-benar To Lootayjin di sini," katanya kemudian.
"Hamba hendak tawan orang jahat, di sini hamba berlaku
kurang ajar, harap lootayjin suka memberi maaf." Tapi ia
tertawa dan terus menambahkan: "Sri Baginda senantiasa
ingat lootayjin, sehingga ia mengatakan bahwa lootayjin
adalah satu pembesar yang baik..."
Mendengar itu, lega juga hatinya Tiong Liam. Lantas ia
memberi hormat.
"Silakan duduk! Mari minum!" ia mengundang.
"Lootayjin begini sungkan, tidak dapat hamba
menerimanya," berkata Cio Ho. "Hamba sedang diberi tugas
oleh Sri Baginda, tidak berani hamba berdiam lama di sini,
harap lootayjin maafkan."
Segera dia ajak tiga anggauta Kimiewie kawannya itu
mengundurkan diri. Selagi lewat di depan Ciauw Lam dan
Ciauw Hie. dia melirik kepada kedua pemuda itu. Tiba-tiba dia
tertawa. "Lootayjin, sungguh hebat kedua piauwsumu ini!" katanya.
Tetapi Tiong Liam diam saja.
Keng Ciauw Lam melihat ke bawah, ia dapatkan tapak kaki
dalamnya setengah dim di lantai, ia tertawa dingin.
"Budak-budak itu gemar sekali mempertontonkan
Iweekangnya, tetapi mereka masih tidak dapat lawan saudara
she Ong ini. yang tidak banyak lagak seperti kosong tiada
berkepandaian!" katanya secara mengejek. (Iweekang adalah
ilmu "dalam", pokok dasarnya lemas).
Dengan tiba-tiba terdengar suara kesusu dari Tiong Liam di
dalam kamar: "Keng Hiantit, mari! Mari lekas!"
Dengan tindakan pesat anak muda itu taati panggilan itu.
Bekas Congtok ini adalah seorang ulung dalam
kalangannya, setelah hatinya tenteram, dia segera dapat
berpikir. Lantas dia menduga jelek terhadap Ong Ciauw Hie,
sekarang ia menyangkanya, bahwa pemuda serba putih ini
adalah satu penjahat yang sedang dicari pahlawan-pahlawan
Kimiewie itu. Dia anggap dirinya sudah digunakan sebagai
tameng oleh pemuda itu. Hal ini membuat ia berkuatir sekali
Apabila hal ini diketahui raja mungkin ia akan dipandang
berdosa sampai kepada seluruh keluarganya. Karenanya, ia
segera teriaki Ciauw Lam. untuk mengutarakan dugaan dan
kekuatirannya itu.
Ciauw Lam tertawa dingin.
"Hal ini siang-siang aku telah dapat melihatnya," katanya.
Tiong Liam masih hendak bicara tetapi Ciauw Lam sudah
mendahului keluar.
Di hoathia. sepasang lilin besar masih menyala
menggenclang. Di situ Ong Ciauw Hie masih berduduk
seorang diri, akan tetapi sekarang ia sedang tenggak araknya
dengan cawan yang besar. Ia menenggak dengan bernapsu.
Ciauw Lam datang menghampiri, wajahnya muram.
"Hiantee, kau benar-benar seorang kangouw ulung, aku
sangat kagum!!" kata orang she Keng ini sambil berulangulang
perdengarkan suara "Hm! Hm!"
"Jangan gusar, saudara Keng." sahut Ciauw Hie dengan
tenang. "Aku lakukan ini karena terpaksa..."
Sepasang matanya Ciauw Lam berputar, sekonyongkonyong
tangan kanannya menjambak, sambil berbuat
demikian, ia membentak: "Nyalimu besar sekali sudah berani
permainkan orang Butong pay!"
Ciauw Hie egos turun pundaknya yang hendak dijambak
itu, tapi Ciauw Lam segera susul dengan tonjokan tangan kiri
ke arah dadanya.
Ciauw Hie bersenyum, ia mengkeratkan dadanya dan
mengelak ke samping hingga jotosan lewat di sisinya. Karena
ia tidak mengangkat tubuh untuk berbangkit, maka ia masih
tetap bercokol di atas kursi, sikapnya pun sebagai tidak terjadi
sesuatu. Ciauw Lam heran berbareng penasaran sekali, ia
menyerang pula, tangan kirinya menjambak, dan tangan
kanannya menotok. Inilah serangan yang merupakan salah
satu dari tiga puluh enam jurus dari Taykimna Ciu, Tangan
Menawan, dari Butong pay.
Ong Ciauw Hie sedang duduk bercokol, nampaknya sukar
untuk ia dapat bebaskan diri dari serangan hebat itu, akan
tetapi kesudahannya adalah di luar sangkaannya murid dari
Pek Sek Toojin itu.
Sebat luar biasa, dari samping Ciauw Hie bentur tangan kiri
penyerangnya, hingga ia lolos dari cengkeraman, berbareng
pula tangan kanannya menolak sikut kanannya penyerang itu.
hingga kembali ia luput dari bahaya. Hanya kali ini ia terus
berseru: "Saudara Keng, tahan dahulu! Lihat, musuh tangguh
sudah datang! Kalau bersatu kita selamat, berpisah kita
celaka!" Ciauw Lam tidak ulangi serangannya walaupun hatinya
sangat penasaran. Ia sudah lantas dengar suara apa-apa dari
kejauhan, hingga wajahnya menjadi berubah.
Ong Ciauw Hie tertawa.
"Kali ini yang datang adalah penjahat sejati!" katanya.
"Buat omong terus terang, ke lima rombongan penjahat yang
paling liehay dari wilayah perbatasan SuCoan " Siamsay.
malam ini datang semuanya!"
Keng Ciauw Lam menjadi sangat gusar.
"To Tayjin tidak membawa banyak uang, mengapa kau
main gila secara demikian ini, kau bersandiwara di dalam
untuk sambut yang di luar?" ia menegur.
Masih Ciauw Hie tertawa.
"Kau sangka aku menjadi cecolok di sebelah dalam?" dia
tegaskan. "Kau keliru! Sasaran mereka itu adalah aku, bukan tayjinmu
itu! Namun mereka akan sekalian mengulur tangan untuk
menuntun kambing, yaitu setelah merampas aku, mereka
akan rampas juga pihakmu!"
Ciauw Lam semakin dibikin terbenam dalam keragu-raguan.
"Pundakmu tidak menggendol, tanganmu kosong kiri
kanan, apa yang hendak dirampasnya darimu?" pikirnya.
Ciauw Hie tidak berikan orang kesempatan untuk melamun,
"lekas mundur ke dalam kamar!" serunya, dengan sungguhsungguh.
"Lekas singkirkan tengloleng kepangkatan itu!
Mungkin bencana tidak merembet kepadamu..."
Ciauw Lam masih agak sangsi, hingga ia berdiri diam saja.
Ciauw Hie lompat bangun akan membisikkan piauwsu
istimewa itu. Baru sekarang orang she Keng itu angguk-anggukkan
kepala dan. lantas undurkan diri.
Suara berisik tadi datang semakin dekat.
Ciauw Hie pergi kepintu untuk dipentangkan lebar-lebar,
menyusul kemudian belasan orang merubut masuk,
perawakan mereka ada yang jangkung dan cebol tidak
berketentuan. Kong Ciauw lam lihat, di antara mereka itu terdapat ketiga
toCu. ketua dari Liongbun pang, partai dari Pintu Naga
(Liongbun). Melihat mereka itu, mukanya si piauwsu tua menjadi pucat
pias. "Celaka kali ini..." katanya dengan perlahan pada Ciauw
Lam"Telah datang tiga rombongan penjahat yang paling
liehay. Di samping dari Liongbun SamtoCu itu, datang juga
Puisie Hengtee dari Hekhouw gjam dari Taypa san dan Beksie
Samhiong dari Tengkun san."
Puisie Hengtee adalah dua saudara she Pui dan Beksie
Samhiong tiga jago she Bek.
"Masih ada dua rombongan yang belum sampai," Ciauw
Lam kasih tahu. "Kau tunggu saja!"
Di antara belasan orang yang baru muncul itu. tampak
berdiri di tengah Lootoa Bek Hong Cun. tertua dari Beksie
Samhiong dari gunung Tengkun san. Matanya mencilak
memain, lantas dia tertawa terbahak-bahak. Dia awasi Ciauw
Hie dengan tajam.
"Benar kau seorang cerdik!" katanya. "Di mana kau simpan
barang-barang permatamu" Apakah kau tidak mau lekas-lekas
mengeluarkan-nya" Apakah kau campurkan dengan barangbarangnya
si pembesar anjing?"
Ong Ciauw Hie sedikitpun tidak menjadi takut, malah ia
perdengarkan suara nyaring.
"Bek Lootoa. kau seorang kangouw ulung, mustahil kau
masih tidak dapat melihatnya?" katanya. Inilah teguran yang
berupa ejekan. " Sudah lama aku dengar namamu yang besar,
tak kusangka, kau kiranya begini saja! Belum kau gerakkan
tangan, kau sudah kalah satu gebrakan!"
Kata-kata ini disusul dengan tertawanya gelak-gelak Tie
Keng Hiong, CongtoCu atau ketua dari Liongbun pang tertawa
besar, dia perlihatkan jempolnya.
"Saudara, kau cerdik sekali!" katanya. "Sekarang cobalah
kau keluarkan untuk kami semua menambah pengalaman,
supaya selanjutnya kita bisa ikat tali persahabatan !*'
Ong Ciauw Hie, yang tadi sudah duduk kembali lalu
berbangkit dengan perlahan-lahan, dan dengan tindakan yang
tenang ia menghampiri pelananya yang tadi digabrukkan di
sudut kamar, la angkat dan bawa pelananya itu, ditaruh di
atas meja hioto. Enteng tampaknya ia angkat pelananya itu,
akan tetapi waktu mengenai meja, pelana itu perdengarkan
satu suara bentrokan berat.
Dengan mulut bungkam pemuda ini cabut pedangnya,
dengan apa ia potong kulit pelananya itu. Pelana yang hitam
dan tadinya tidak menarik perhatian itu segera
memperlihatkan isinya yang bercahaya gemerlapan, ialah
lempengan emas yang ditabur dengan belasan mutiara besar,
hingga sinarnya menyilaukan mata.
Tiga saudara Bek saling mengawasi dengan ternganga.
Orang Rimba Hijau yang ulung pandai sekait menaksir
berat atau banyaknya isi buntalan orang pelancongan,
taksirannya jarang gagal. Demikian ke lima rombongan jagojago
dari perbatasan SuCoan " Siamsay ini. Sudah berharihari
mereka memasang mata terhadap Ong Ciauw Hie.
mereka menduganya dia bawa barang berharga, tetapi
mereka belum dapat menerkanya di mana ditaruh atau
disimpannya harta besar itu. Baru sekarang mereka kecele
menyaksikan harta itu hanya diumpetkan di dalam pelana!
Ong Ciauw Hie tertawa, ia angkat injakan kaki pelananya
itu. "Semua sesama orang sendiri," katanya dengan tegas,
"karena aku tak punyakan lain barang untuk dihaturkannya,
aku serahkan saja injakan kaki ini untuk saudara-saudara. Aku
minta supaya barang ini dipandang sebagai bingkisan yang
tidak berarti."
Semua jago Rimba Hijau itu saling mengawasi.
"Kau cerdik, kami menyerah kalah!" kata Bek Hong Cun
dengan suara yang dalam. Ia tidak sambutkan injakan kaki itu,
ia hanya putar tubuhnya dan pergi.
Keng Ciauw Lam di dalam kamar saksikan kejadian itu,
bukan main lega hatinya. Saat hebat telah lewat.
Bek Hong Cun baru hendak melangkah di ambang pintu,
atau dari luar terdengar suara tertawa hihi-hihi. menyusul
berkelebat menerobos masuknya seorang. Setelah berada di
dalam thia. orang lihat dia adalah seorang tua kate dan
gemuk, sambil mengepulkan asap hunCweenya.
"Ha, bagus sekali!" katanya tiba-tiba. "Tidak menunggui
aku lagi. kalian sudah membagi-bagi harta!"
"Siauw Toako, kita telah jatuh pamor!" kata Bek Hong Cun.
"Hm! siapa yang jatuh?" kata orang tua kate terokmok itu.
"Dari siang-siang aku telah dapat melihatnya, dalam
pelananya itu ada hantunya! Semua pembicaraanmu aku telah
dapat dengar, tetapi aku bukannya satu pengemis! Aku tidak
mau orang mengamatnya kepadaku hanya dengan injakan
kaki saja!..."
Ciauw Lam belum pernah bertemu si kate ini, akan tetapi


Wanita Gagah Perkasa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan melihat perawakan dan gerak-geriknya orang, tahulah
ia bahwa orang ini Siauw Soan Yang. begal tunggal di Siamsay
Selatan, yang biasa bekerja seorang diri saja. Iapun tahu
bahwa hunCweenya itu " pipa panjang sebenarnya adalah
penganggan-nya yang dapat digunakan sebagai alat penotok
jalan darah berbareng sebagai pedang Ngoheng kiam. Ia
hanya tidak sangka, orang yang kenamaan ini kelakuannya
demikian rendah.
Ong Ciauw Hie bersenyum, agaknya ia tak jeri terhadap si
kate ini. "Siauw LootiaCu." katanya, "kau seorang dari angkatan tua.
jikalau injakan kakiku ini dipersembahkan kepadamu memang
tidak ada artinya, akan tetapi di sini ada seorang sahabatku,
dia tidak menyetujuinya."
"Siapakah sahabatmu itu?" Soan Yang tanya. "Silakan dia
keluar..."
Belum habis ucapan itu dikeluarkan, dari dalam kamar
sudah lompat keluar satu orang, siapa terus saja berkata:
"Keng Ciauw Lam murid Butong pay memberi hormat kepada
semua Cianpwee!"
Kedua matanya Siauw Soan Yang berputar.
"Oh, kau murid Butong pay?" katanya. "Mari kita ikat
persahabatan!"
Ia angsurkan tangannya untuk berjabatan tetapi diam-diam
ia kerahkan tiga jarinya untuk menyerang dengan ilmu silat
Hunkin Cokut hoat ialah ilmu "Memecah urat membagi
tulang". Keng Ciauw Lam bisa duga serangan gelap itu ketika
tangannya bentrok satu dengan lain. ia elakkan diri dengan
gunakan tipu silat "Samhoan togoat" atau "Mengalungi
rembulan".
"Bagus!" seru Soan Yang sambil ia angkat tangan kirinya,
akan tepuk pundak kanan orang.
Ciauw Lam kumpul tenaga di kedua lengan, yang ia
rangkap satu dengan lain, lalu ia egos pundaknya dengan
gerakan "Giehoc seebong" atau "Nelayan menjemur jala".
Secara demikian, ia luput pula dari ancaman bahaya.
"Ha-ha-ha-ha!" Soan Yang tertawa. "Benar-benar murid
Butong pay!"
Kemenangannya Ciauw Lam ini berkat kecerdikannya, pula
karena pamor partainya. Mengenai ilmu silat, ia masih kalah
dari Siauw Soan Yang, akan tetapi begal tunggal ini telah
dipengaruhi nama partai itu. Butong pay tersohor sekali dan
dimalui. Akan tetapi Soan Yang masih penasaran.
"Kenapa Ciokhee campur air keruh ini?" tanyanya
kemudian. "Siapa kata air keruh?" kata Ciauw Lam. "Kita adalah
sesama golongan. Emas adalah perkara kecil tetapi nama
Butong pay tak dapat dijatuhkan di sini."
Soan Yang tertawa secara tawar.
"Murid-murid Butong tidak pernah menjadi piauwsu.
mereka tidak pernah menjadi penjahat, kenapa kau dan dia
bisa menjadi dari satu golongan?" dia tanya pula.
"Bukankah urusan kangouw setiap orang berhak
mengurusnya?" Ciauw Lam balik tanya. "Kau hendak
membegal karena andalkan jumlah yang jauh lebih banyak,
maka aku yang telah melihatnya tidak dapat membiarkannya!"
Masih begal tunggal dari Siamsay itu tertawa.
"Adakah perbuatanmu ini karena suruhan gurumu?" dia
tanya tegas-tegas. "Dan mengapa dia hanya utus kau
seorang?" "Untuk membela keadilan, mengapa mesti tunggu titah
guru?" Baru Ciauw Lam mengucap demikian, ia lihat lirikannya
Ciauw Hie, ia lantas sadar dengan tiba-tiba. maka lekas-lekas
ia menambahkan: "Sekarang ini angkatan kedua dan Butong
pay sedang berkumpul di Siamsay, rombongan itu memang
ada niatan untuk membuat pertemuan dengan orang-orang
Rimba Persilatan sebangsamu yang kenamaan."
Soan Yang terperanjat. Ia baru saja dapat pikir, kalau
orang Butong pay ini tidak mempunyai lain kawan separtai, ia
hendak mengerjakannya, dan mayatnya disingkirkan untuk
melenyapkan bekas, tetapi sekarang mendengar pihak Butong
itu sedang berapat, ia menjadi jeri. la menduganya pihak itu
tentulah berjumlah banyak. Maka walau nyalinya besar, ia
tidak berani bentrok murid-murid Butong pay itu.
"Jangan gusar, Ciokhee," katanya setelah sedot
hunCweenya dan tertawa. "Karena dia sahabatmu, mustahil
kami tidak ingat kepada persahabatan?"
Mendengar demikian, lega hatinya Ciauw Lam hingga tanpa
merasa ia menyeka jidatnya yang telah mengeluarkan
keringat. Dua kali ia telah berhasil elakkan diri dari serangan
Soan Yang, ia insyaf, bahwa ia bukannya tandingan begal
tunggal itu. Iapun mengerti, begal ini telah dapat digertak
olehnya, yang mengatakan hal berapatnya murid-murid
Butong pay angkatan kedua. Keterangannya ini bukan tidak
benar anteronya. Rapat memang tidak ada, akan tetapi Cie
Yang Toojin telah utus empat muridnya ke Siamsay untuk
suatu tugas, melainkan di antara ia dan empat saudara
seperguruannya itu tidak ada hubungannya.
Siauw Soan Yang lihat orang menyeka keringat, mendadak
hatinya tergerak, karenanya ia terus berdiri tegak, kedua
matanya mengawasi dengan sinarnya yang tajam.
"Inilah hebat..." Ong Ciauw Hie mengeluh dalam hatinya.
Sekonyong-konyong Soan Yang tertawa sambil melenggak,
lalu terdengar suaranya yang nyaring tegas: "Kwie Toako,
bagus kau telah datang! Bagaimana pendengaranmu, bocah
ini sedang berdusta atau tidak?"
Pertanyaan itu disambut dengan berkelebatnya satu
bayangan hitam dari luar melesat kedalam. Sehingga
tertampak seseorang tua dengan muka merah, tubuhnya
tinggi dan besar. Lantas orang ini tertawa gelak-gelak.
"Memang Butong pay telah kirim empat muridnya tetapi
mereka semua telah orang dapat bekuk!" katanya dengan
suara dahsyat. "Lain orang berani bentur Butong pay,
mengapa kita tidak" Bocah ini berada sendirian di sini, mari
kita hajar mampus padanya, mayatnya kita lemparkan
ketegalan untuk dikasihkan srigala berpesta! Bila Butong
Ngoloo datang kemari mencari padanya, perhitungan ini tidak
mengenai kita, sudah ada orangnya yang akan jadi
sasaranya!"
Hatinya Keng Ciauw Lam goncang dan berkuatir. Ia
menduga pasti bahwa orang tua muka merah ini tentu
Engjiauw Ong Kwie Yu Ciang si Raja Kuku Garuda, satu begal
tunggal pula yang kenamaan di SuCoan Timur. Ia heran
bagaimana orang ini dapat ketahui pihaknya hanya kirim
empat orang. Ia lebih heran lagi, orang ini ketahui juga ke
empat saudara seperguruan itu telah ditawan lain orang.
Siapakah pihak penawan itu"
Pun Siauw Soan Yang turut heran juga.
"Kwie Toako, tunggu dulu!" ia berkata "Apakah kau artikan
si Iblis Wanita ini telah turun tangan" Di sini toh bukan
wilayah yang masuk lingkungan pengaruhnya?"
Kwie Yu Ciang pandang sahabat itu.
"Hai, mengapa nyalimu demikian kecil?" kata dia. "Kita
kaum Rimba Hijau dari perbatasan SuCoan " Siamsay, tak
dapat membiarkan diri kita ditindih oleh satu bocah cilik
wanita!" Sambil mengucap demikian, begal tunggal inipun berbareng
sudah lantas bekerja. Dengan bergerak pundaknya, tangannya
yang besar dan lebar seumpama payung sudah menyambar ke
arah Keng Ciauw Lam.
Murid Butong pay itu kaget sekali, terutama karena ia
tampak, telapakan tangannya orang she Kwie itu bersinar
merah bagaikan nyalanya arang. la tidak berani
menyambutinya, maka ia hanya berkelit dengan segera. Tapi
di samping itu ia tidak mau menyerah dengan begitu saja, kaki
kanannya telah diterbangkan ke arah jalan darah "peksiehiat"
didengkul orang tua itu.
Kwie Yu Ciang tertawa dingin. Cepat ia geser kakinya, lalu
terus dimajukan kembali untuk berlompat menerjang, lima jari
tangan kanannya menyambar kaki penendang yang sedang
ditarik pulang itu.
Ciauw Lam tampak ancaman bahaya, ia berlaku sebat
menarik pulang kakinya itu. Akan tetapi Engjiauw Ong segera
rangsek padanya, hingga ia mesti mundur berulang-ulang. Ia
lantas jadi mendongkol terhadap Ong Ciauw Hie, yang ia lihat
tidak maju membantui padanya.
Kwie Yu Ciang mendesak terus. Terdengar nyata sambaran
angin dari serangannya yang bertubi-tubi itu, yang
merepotkan sangat lawannya.
Ciauw Lam telah didesak sampai di pojok tembok.
Di saat Engjiauw Ong hendak turunkan tangan jahatnya
yang berupa serangan terakhir, mendadak ia dengar
ucapannya Ciauw Hie: "Kalian mengarah! pelanaku, itulah
tidak sulit! Akan tetapi pernahkah kalian menanyakannya
kepada Giok LoSat?"
Waktu itu bukan hanya Siauw Soan Yang seorang yang
sedang desak Keng Ciauw Lam, juga Puisie Hengtee dan
Beksie Samhiong sudah maju mengurung untuk menjaga
orang loloskan diri, tetapi ketika mereka dengarsuaraitu,
mereka menjadi kaget malah Kwie Yu Ciang sudah lantas
mencelat mundur.
"Apa" Giok Lo Sat si Wanita Raksasa katamu?" dia tegaskan
sambil matanya mengawasi. Ong Ciauw Hie tidak gubris
pertanyaan itu.
"Bagi orang-orang Rimba Hijau, dia boleh garong seribu
rumah, tapi tidak rampas barang sumbangsih!" demikian dia
kata, sikapnya tenang tetapi suaranya keras. "Ini adalah
bingkisan orang untuk Giok Lo Sat! Apakah benar kalian
hendak hitam gegares hitam?"
Wajahnya Siauw Soan Yang menjadi pucat sekali.
"Kwie Toako. tunggu dulu!" ia cegah kawannya.
Tapi Yu Ciang sudah lantas maju pula, maju sambil
berlompat. "He, bocah! Kau hendak gertak aku dengan namanya Giok
Lo Sat?" kata dia dengan bengis karena murka
"Siapa gertak kau?" membaliki Ciauw Hie, tetap tenang. Ia
angkat pelananya untuk di balik, hingga di kulit belakangnya
dari pelana itu kelihatan ukiran dari beberapa huruf, bunyinya:
"Dipersembahkan kepada Nona Lian Nie Siang."
"Ini toh bukannya ukiran yang baru saja aku buat?" dia
menambahkan dengan pertanyaannya.
Soan Yang segera tarik Yu Ciang ke samping.
"Kwie Toako. urusan ini kita harus percaya akan
kebenarannya," kata begal tunggal dari Siamsay Selatan itu.
"Turut pendapatku baiklah bocah ini kita berikan kebebasan."
Kwie Yu Ciang bersuara MHm, hm!" beberapa kali, lantas
dia tunduk untuk berpikir.
Ketiga saudara Bek dan ketigajago Liongbun pang datang
mengerumuni. Tinggal persaudaraan Pui, yang masih
melakukan pengawasan.
Keng Ciauw Lam heran, hingga ia berdiri terpaku.
"Siapa itu Giok Lo Sat?" ia menerka berulang-ulang. "Nama
ini belum pernah aku mendengarnya... Kenapa semua jago ini
tampaknya ketakutan sangat?"
la masih menerka-nerkanya, tanpa hasil.
Baru lewat beberapa detik, terlihatlah Kwie Yu Ciang si
begal tunggal dari SuCoan Timur tiba-tiba angkat kepalanya,
kedua matanya memperlihatkan sinar tajam.
"Tidak perduli barang kepunyaan Giok Lo Sat, aku hendak
merampasnya juga!" kata ia separuh mengerutu.
Siauw Soan Yang berjingkrak.
"Toako. toako!..." katanya dengan suaranya tertahantahan.
"Hm!" bersuara pula begal she Kwie itu. dibarengkan
sebelah tangannya diayun, lalu: "Brak!" dan ujung meja hiotoh
dihajar patah. Dia terus berseru dengan sengitnya: "Dalam
satu tahun ini sudah cukup banyak kita terima gangguannya
bocah perempuan itu, maka baiklah kita gunakan ketika ini
untuk membebaskan diri dan lawan padanya!"
Siauw Soan Yang mundur beberapa tindak.
"Ini...ini..." katanya, suaranya menggetar.
"Kecewa namamu yang termasyur!" seru Kwie Yu Ciang
pula. "Mengapa kau ketakutan demikian rupa" Toh tentang
keliehayannya kita hanya baru dengar dari ceritanya orang,
kita belum lihat dengan mata kepala sendiri! Hayo, siapa
berani mari turut aku! Sudah pasti aku hendak rampas
pelananya bocah ini!"
Persaudaraan Bek dan jago-jago Liongbun pang berdiam
saja. Tapi persaudaraan Pui berikan jawabannya.
"Kita suka turut Kwie Toako!" demikian katanya.
Kwie Yu Ciang berpaling kepada Siauw Soan Yang.
matanya bersinar.
"Baiklah!" kalanya, dengan kecele. "Persaudaraan kita
selama beberapa puluh tahun nyata sia-sia belaka!..."
Soan Yang tertawa meringis
"Jikalau sudah pasti toako hendak turun tangan, baiklah
aku turut." kata dia dengan sangat terpaksa.
Kwie Yu Ciang tertawa puas, lalu dengan tiba-tiba ia ulur
sebelah tangannya, dengan melalui meja ia jambak Ciauw Hie.
Pemuda she Ong itu berkelit dengan sebat
Dua saudara Pui. menerjang berbareng dari kiri kanan.
Ciauw Hie memutar tubuh, lantas dia pentang kedua
tangannya, dengan sikap "Co yu kay kiong" -- "Mementang
busur ke kiri dan kanan". Dengan cara ini, ia tangkis
serangannya Puisie Hengtee itu.
Kwie Yu Ciang maju. kembali ia menyerang dengan kedua
jari tangannya ditujukan ke arah sepasang matanya Ciauw
Hie. Dengan gerakan "Hong hong tiam tauw" --- "Burung hong
menggoyang kepala", pemuda ini mencelat ke samping,
menyingkir dari ancaman itu yang bisa menyebabkan mata
buta. lalu ia tertawa dengan dingin.
"Kwie Lootoa, kau telah terjebak ke dalam tipuku
memperlambat waktu!" ia kata sambil mengejek. "Jikalau kau
hendak merampas, seharusnya kau lakukan sejak siang-siang.
Sekarang baru kau turun tangan, nyata kau terlambat! Coba
kau dengar, suara apa itu di luar?"
Yu Ciang melengak. ia memasang kuping. Ia dengar suara
kentongan dipalu lima kali, tanda bahwa sang malam yang


Wanita Gagah Perkasa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

panjang sudah lewat dan mendekati pagi-
Ong Ciauw Hie lantas saja tertawa besar.
"Kau sudah dengar, bukan" Itulah jam lima!" katanya
dengan gembira. Sedikitpun ia tidak kenal takut. "Giok Lo Sat
segera akan datang, maka. Kwie Lootoa, apakah kau masih
tidak hendak berhenti" Ingat, jikalau nanti kau mampus, kau
akan tidak punyakan tempat untuk kubur dirimu!"
"Hm. binatang, kau hendak memperlambat-lambatkan
tempo?" bentak Kwie Yu Ciang. "Baiklah terlebih dahulu aku
akan antarkan kau kepada Giam Lo Ong si Raja Akherat!"
Benar-benar jago dari SuCoan Timur ini kirim pula
kepalannya yang mengeluarkan suara angin.
Dengan kegesitannya, Ong Ciauw Hie kelit serangan dari
kematian itu, segera terdengar suara tertawanya yang nyaring
dan panjang, dibarengkan dengan kesehatan kedua
tangannya yang bergerak bagaikan kilat, menyebabkan kedua
api lilin padam dalam sekejap, hingga hoathia pun menjadi
gelap petang seketika itu juga!
Keng Ciauw Lam menempelkan tubuhnya ke tembok dan
menahan napas. Dalam tempat gelap itu, walaupun mereka berjumlah
banyak, kawanan begal itu tidak berani sembrono turun
tangan. Kwie Yu Ciang pun berdiri diam untuk memasang
kuping dan mata. untuk dapat melihat di tempat gelap itu.
Segera juga dan luar terdengar suara tertawa yang nyaring
tetapi halus, agak jauh terdengarnya, akan tetapi dalam
sekejap suara itu sudah berada di depan pintu, hingga semua
mata lantas berpaling ke arah pintu itu, yang kedua daunnya
sekarang telah terpentang, mata mereka segera bentrok
kesilauan cahaya api tengloleng! Mereka pun menjadi kaget!
Di muka pintu yang lebar berbaris masuk serombongan
wanita, empat yang jalan di muka masing-masing menenteng
tengloleng berkembang, di belakangnya tampak pula empat
wanita lainnya, yang jalan menjadi dua baris di kiri kanan,
mengapit satu nona cantik bagaikan bidadari. Nona ini
mengenakan baju warna kuning jeruk dan pinggangnya
terlibat angkin sutera warna putih. Alisnya yang lentik panjang
menaungi kedua matanya yang bersih jernih. Dia bertindak
sambil tertawa perlahan dengan sangat manisnya.
Di dalam ruang itu. semua begal berdiri terpaku bagaikan
patung-patung, antaranya ada yang mukanya pucat seperti
mayat, ada juga yang merengkal.
Dalam keadaan seperti itu, terdengarlah suara riang dari
Ong Ciauw Hie. "Lian Liehiap, ayahku menanyakan kesehatanmu!"
demikian suaranya yang nyaring terdengar nyata di dalam
ruang sunyi senyap itu. (Liehiap = nona gagah).
Nona itu manggut-manggut.
"Diapun banyak sehat, bukan?" balasnya, suaranya halus.
"Terima kasih!" Ciauw Hie mengucap. "Ayahku telah minta
aku menyampaikan pelana ini kepadamu.
akan tetapi mereka ini..."
Alisnya nona itu bergerak-gerak, dia tertawa.
"Ya, aku telah ketahui," dia memotong. "Bukankah mereka
ini mengiler atas pelanamu itu?" Kembali alisnya bergerak, tapi
sekarang bergerak berdiri.
"Aku tak tahu bahwa pelana mi kepunyaanmu..." kata
Siauw Soan Yang dengan cepat, suaranya tidak wajar.
Mendengar sangkalan itu, Keng Ciauw Lam tertawa di
dalam hatinya. "Nona ini masih demikian muda, mungkin usianya belum
dua puluh tahun." pikirnya, "tetapi aneh tua bangka ini sangat
jeri kepadanya!..."
Lagi-lagi alisnya si nona bergerak, lantas ia bersenyum.
"Siapa tidak tidak tahu, dia tidak bersalah." katanya. "Mari
kalian semua turut aku pulang ke gunung..." Ia merandek
sebentar, lalu ia tertawa. Ia pandang Kwie Yu Ciang "Oh. Kwie
Lootoa. kau juga datang kemari?" katanya, menambahkan:
"Upetimu bagian bulan ini masih belum diantarkan, apakah
kau lupa?"
Jago SuCoan Timur itu berdiri tegak mengawasi, tapi tibatiba
ia perdengarkan suaranya:
"Giok Lo Sat, lain orang jeri terhadapmu, aku tidak! Di sini
bukan daerah pengaruhmu, aku kehendaki pelanamu itu!"
Jago ini tidak hanya membentak, diapun lompat maju.
Si nona yang orang sebutnya Giok Lo Sat itu berdiri diam,
sikapnya tenang.
"Hayo tuan-tuan, siapa lagi yang hendak turut memiliki
pelana itu?" tanyanya dengan sabar.
Beksie Samhiong undurkan diri berbareng bersama pihak
Liongbun pang. "Kami tidak campur," kata mereka.
Siauw Soan Yang yang mukanya menjadi pucat, tidak dapat
buka mulutnya. Puisie Hengtee juga berdiam, akan tetapi mereka berdiri di
belakangnya Engjiauw ong Kwie Yu Ciang yang nyalinya besar
itu. Nona itu awasi semua orang, lalu ia tertawa panjang.
"Kwie Lootoa, memang siapa orangnya yang membuat kau
takut?" dia kata.
Kwie Yu Ciang tidak menjawab, hanya tangannya ia ulur
untuk menjambret
Dengan sekonyong-konyong saja tubuhnya si nona seperti
lenyap dari hadapan jago SuCoan Timur itu. hingga jago ini
kaget tak terkira, dia segera mundur Akan tetapi sudah kasep.
bebokongnya mendadak dia rasakan sangat sakit, tidak
ampun lagi dia roboh terbanting!
Dua saudara Pui juga kaget tak kepalang, tapi seperti Yu
Ciang, sebelum tahu apa-apa keduanya menjerit dengan tibatiba
dan roboh bergulingan!
Setelah itu, barulah terlihat lagi si nona berdiri dengan
tertawanya yang manis, ia seperti tidak menghadapi peristiwa
apa juga. Beksie Samhiong dan Liongbun Samto lantas maju memberi
hormat. "Kalian bangun, inilah bukan urusanmu!" berkata si nona.
Siauw Soan Yang lantas minta maaf berulang-ulang. Akan
tetapi, menghadapi begal dari Siamsay Selatan ini, si nona
hanya tertawa dingin.
Di dalam rombongan penjahat itu. Kwie Yu Ciang adalah
yang paling kosen, ia empos semangatnya untuk lawan rasa
sakit dari serangan yang ia peroleh itu, karenanya, ia, tidak
usah menjerit dan merintih-rintih sebagai persaudaraan Pui
itu. Tapi ia hanya dapat berlawan sebentar saja, ia tidak dapat
bertahan pula. rasa sakitnya bukan main, sebagai juga
digigitnya ular-ular berbisa, sehingga ia tidak bisa bersuara
lagi. Peluhnya (keringat) membasahi seluruh tubuhnya, ia
bergelisah tidak keruan.
"Nona, aku meminta kau segera bunuh kami, agar kami
tidak menderita siksaan lebih lama," dua saudara Pui akhirnya
memohon. Yu Ciang sendiri tetap tidak bisa bicara, hanya matanya
seperti hendak copot karena menahankan sakit.
Giok Lo Sat tertawa memandang kedua saudara Pui itu.
"Persaudaraan Pui, kalian melainkan ikut-ikutan, dapat
kalian diberi setingkat keringanan untuk peroleh kebebasan
lebih cepat." katanya. Lantas ia angkat kedua kakinya saling
susul menendang dua saudara itu hingga keduanya menjerit,
terus mereka berdiam.
Keng Ciauw Lam yang menyaksikan itu kaget tak terkira. Ia
tidak sangka, nona secantik itu mempunyai hati demikian
telengas. seperti raja iblis.
Setelah bereskan Puisie Hengtee. Giok Lo Sat menggapai
kepada Siauw SoanYang.
"Mari kau!" demikian suara panggilannya,
Dengan tubuh gemetar seluruhnya, Soan Yang
menghampiri dengan tindakannya yang perlahan, sambil jalan
kedua tangannya meraba-raba kepada tembok.
"Kau dengan Kwie Lootoa adalah saudara-saudara angkat
dari beberapa puluh tahun, pasti erat sekali persahabatanmu!"
kata si nona. suaranya sabar.
Hancur rasa hatinya Soan Yang. "Aku harap nona dapat
maklumi bahwa di dalam urusan ini aku tidak ambil bagian."
jawabnya. Wajahnya si nona bermuram durja karena jawaban ini.
"Percuma kau telah menjadi begal untuk banyak tahun!"
dia menegur "Apakah kau masih belum mengerti
pantangannya satu penjahat"
Matamu seperti tidak ada sinarnya, namun kau masih
berani menjagoi dalam kalangan Rimba Hijau! Pikirlah masakmasak!
Dia satu anak muda, tanpa tulang punggung, apakah
dia berani bawa harta besar dengan bersendirian saja" Baik
aku beri tabukan kau, jikalau barang bingkisan itu bukan
untukku, tak berani aku datang kemari untuk mencampuri
pekerjaanmu. Mengapa sebelum kau cari keterangan dahulu
tentang dia ini, kau sudah turut saja ojokan orang dengan
bekerja sama untuk ganggu padanya" Bukankah itu berarti
kau buta melek?"
Soan Yang terus membungkam, tetapi makin dicaci-maki
makin hatinya lega. hingga akhirnya tenteramlah hatinya yang
tadinya goncang keras. Ia ketahui baik adat tabiatnya Giok Lo
Sat. Selagi menghadapi nrusan besar, kalau si nona berseriseri,
dan kata-katanya halus dan sabar, itu artinya dia akan
menggunakan kekerasan, sebaliknya, kalau dia berlaku bengis,
itu berarti tak akan terjadi kehebatan. Ia tunggu sampai si
nona berhenti menegur, ia segera membarengkan dengan
kedua tangannya ia gaploki mukanya sendiri berulang-ulang.
"Ya, mataku buta. tidak berhak aku menjadi begal!" ia
mengoceh seorang diri, mengakui kesalahannya "Harap nona
sudi beri pengajaran kepadaku."
"Jikalau kau insyaf akan kesalahanmu, aku suka
memaafkannya." kata Giok Lo Sat kemudian. "Sekarang hayo
kau bikin habis saudara angkatmu ini!"
Soan Yang kaget sehingga pucat mukanya. Kwie Yu Ciang
adalah sahabatnya untuk puluhan tahun, sampai hatikah dia
membunuh sahabat ini"
Kwie Yu Ciang bergulingan pergi pulang, ia bergelisah tidak
keruan, kemudian ia berguling mendekati Soan Yang kepada
siapa ia mengawasi, sinar matanya memohon supaya sahabat
ini lekas-lekas bunuh padanya.
Bukan main sangsinya Soan Yang, ia merasa berat
tetapipun hatinya takut...
Ciauw Lam yang sedari tadi diam melihatkan semua
kejadian itu. mendadak lompat maju.
"Kwie Yu Ciang adalah begal tunggal yang jahat sekali dan
sesat, jikalau kau bunuh padanya, itulah sebagai kau
mewakilkan kaum Rimba Hijau menyingkirkan satu manusia
busuk!" katanya dengan nyaring. "Dengan singkirkan begal ini.
orang tidak akan menyalahi tindakanmu ini. Akan tetapi untuk
memaksa mereka berdua saling bunuh, aku anggap tidak
tepat, bukan perbuatannya orang terhormat!"
Berubah wajahnya Giok Lo SaL tetapi ia tertawa.
"Kau dari golongan mana?" dia tanya.
"Murid Butong pay angkatan kedua!" sahut Ijiauw Lam
dengan angkuh. "Oh. dari Butong pay! Maaf. maaf..." katanya, matanya
memain. Terus ia pandang Soan Yang dan kata: "Siauw Soan
Yang. aku sebenarnya sedang uji hatimu. Kau dan Kwie Yu
Ciang adalah orang-orang segolongan, tetapi aku tahu kau
tidak sejahat dia. Aku suruh kau bunuh dia. kau tidak lancang
melakukan titahku itu, inilah bagus. Baik. karena sifatmu ini,
aku tidak memaksa untuk kau menjadi algojo."
Sehabis mengucap demikian, nona ini ayun sebelah kakinya
terhadap Kwie Yu Ijiang. Habislah riwayat begal tunggal dari
SuCoan Timur itu. ia berpulang ke tanah baka.
Lalu. nona ini berpaling kepada semua orang.
"Sekarang kau semuanya ikut aku ke Tengkun san!"
katanya. lapun tertawa. Kemudian ia tunjuk Keng Ciauw Lam,
akan tanya: "Kau hendak pergi ke mana" Apakah kau hendak
lanjutkan melindungi To Tayjin" Kau juga harus turut aku.
berikut To Tayj in serta semua barang bawaannya mesti
diangkut ke atas gunung!"
Ciauw Lam kaget tidak kepalang. "Sungguh besar nyalinya
Giok Lo Sat," pikirnya. "Bagaimana berani dia membentur aku
dan Butong pay!"
Butong pay telah jadi terlalu kesohor hingga ada banyak
muridnya yang menjadi keras kepala, Keng Ciauw Lam tidak
terkecuali, akan tetapi sekarang ia toh bersangsi menghadapi
sikapnya Giok Lo Sat. Jikalau tidak menurut, ia kualir kena
dikalahkan, sebaliknya kalau turut, ia kuatirkan pamornya
jatuh yang bersangkut paut dengan nama baiknya Bodong
pay. Ong Ciauw Hie melirik dan mengedipkan mata. ketika orang
Butong pay itu tengah terbenam dalam keragu-raguan.
"Saudara Keng memang sangat pangeni Lian Licin.ip." kata
Ciauw Hie dengan terang tegas, "malah selama di perjalanan,
dia telah utarakan niatnya mengunjungi liehiap kepadaku."
Mendengar ini, mengertilah Ciauw Lam bahwa orang
hendak cegah ia bertindak secara sembrono, maka ia merasa
tidak puas, ia harus kendalikan diri. la juga pikir: "Tidak boleh
aku terima penghinaan di depan banyak mata. Baik aku turut
padanya akan lihat apa yang hendak ia lakukan, andaikan dia
tidak memberi muka dengan merampas juga harta benda To
Tayjin, terpaksa aku mesti undang saudara-saudara
seperguruanku untuk tempur padanya!"
Lantas ia masuk ke dalam kamar untuk memberitahukan
Tiong Liam, iapun minta bekas Congtok ini bersabar dan ikut
ke gunung. Tiong Liam bisa berpikir, apapula piauwsunya pun
membujuknya untuk mengikut saja. Maka ia kata: "Baiklah,
asal jiwaku selamat. Harta benda adalah barang sampingan."
Demikian, setelah kekacauan itu, selagi cuaca remangremang.
Giok Lo Sat serta delapan pengiringnya mengiringkan
rombongannya To Tiong Liam dan kawanan begal itu menuju
ke gunung Tengkun san. yang menjadi cabang dari
pegunungan Taypa san. Pesanggrahannya di atas gunung itu
merupakan sebagai benteng, dari kaki gunung sampai di atas,
dengan berjarak-jarak, ada bandit-bandit wanita yang
melakukan penjagaan dan menyambut rombongan. Semua
mereka nampaknya gagah.


Wanita Gagah Perkasa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ong Ciauw Hie kagum melihat serdadu-serdadu wanita itu,
di dalam hatinya ia kata: "Tampaknya nona-nona ini mungkin
lebih gagah daripada serdadu-serdadunya ayahku."
Sesampainya di atas gunung. Giok Lo Sat berikan titahnya
supaya rombongan To Tiong Liam diantar ke kamar tetamu
yang besar, dan barang-barang berikut kereta-keretanya
dibawa ke belakang. Ong Ciauw Hie dapat satu ruang
tersendiri, akan tetapi ia bebas merdeka untuk temui Keng
Ciauw Lam dan lain-lainnya.
"Loopiauwtauw," berbisik Cjauw Lam kepada si kepala
piauwsu. "kau telah lama popiauw di Barat utara, tahukah kau
Giok Lo Sat ini orang macam apa?"
"Dia adalah penyamun wanita yang baru muncul selama
dua tahun ini." jawab orang yang ditanya. "Orang mengatakan
dia bernama Lian Nie Siang akan tetapi di dalam kalangan
Rimba Persilatan tidak ada orang yang ketahui jelas tentang
asal-usulnya, lebih-lebih tidak ada yang tahu dari mana dia
peroleh kepandaiannya yang liehay itu. Aku dengar orang
bercerita, walaupun dia baru muncul, dengan tangan kosong
serta sebatang pedangnya dia pernah robohkan delapan belas
penjahat besar, dan pertempurannya itu telah dilihatnyaoleh
Lie Jie Hu, jago silat kesohor dari Siamsee itu dengan mata
kepala sendiri. Lie Jie Hu nyatakan, ilmu silat bertangan
kosong dan ilmu pedangnya si nona beda daripada orang
banyak umumnya, belum pernah ia melihatnya, maka itu ia
mau percaya, tidak usah sampai sepuluh tahun nona itu
tentulah akan menjagoi seluruh golongan, mengalahkan
semua jago silat lainnya."
Ciauw Lam perdengarkan suara "Hm!"
Piauwsu tua itu segera insyaf bahwa ia telah omong terlalu
banyak, lantas ia tertawa dan menambahkannya: "Lie Jie Hu
luas penglihatannya akan tetapi mengenai Giok Lo Sat
mungkin ia agak berlebihan. Dari pihakmu. Butong pay. ilmu
tangan kosong Kiockiong Sinheng Ciang dan ilmu pedang
CitCapjie Ciu Lianhoan kiam adalah ilmu asli Rimba
Persilatan, tak dapat dibandingkan dengan lain kaum..."
Piauwsu ini mengatakan demikian karena ia ingat, selama
beberapa puluh tahun ini kaum Bulim atau Rimba Persilatan
telah memandangnya Cie Yang Toojin dari Butong pay sebagai
ahli silat nomor satu. Kata-katanya tadi tidakkah ia telah
menindih toojin itu"
Ciauw Lam bersenyum mendengar perkataannya piauwsu
ini, ia masih bersikap jumawa, akan tetapi hatinya puas.
Seantero hari itu, To Tiong Liam dan rombongannya telah
disekap di dalam kamar, selindakpun mereka tak dapat keluar,
akan tetapi mendekati sore. dua serdadu wanita datang
kepada mereka. "CeeCu kam i undang To Tayjin dan Keng Enghiong
menghadiri perjamuan!" demikian katanya. (Dengan "CeeCu"
diartikan ketua pesanggrahan).
Undangan ini diterima dengan baik.
Ruang pesanggrahan diterangi dengan banyak lentera, di
situ disiapkan dua buah meja perjamuan, kecuali Giok Lo Sat
Lian Nie Siang yang cantik bagaikan bidadari, ada berkumpul
Hoansanhouw Ciu Tong. Hweelengwan Cu Poo Ciang dan
lainnya, berikut SeeCoan Siangsat yang dikeiemukan di tengah
jalan. Dua belas nona-nona disediakan untuk melayani hadirin.
Di luar ruang pesanggrahan dijaga serdadu-serdadu (liauwlo)
wanita. Meskipun mereka menghadapi pesta, tapi jago-jago Rimba
Hijau itu semua kuncup hatinya
"inilah pesta paling aneh." Keng Ciauw Lam berpikir. "Di
sini pria tunduk terhadap wanita..."
Ia tetap tidak puas tetapi ia kagumi juga Giok Lo Sat
"Silakan minum!" nona rumah mengundang. Kemudian,
sesudah tiga edaran, dia berikan titah kepada orangnya:
"Bawa bingkisan untuk Ong KongCu kemari!"
Titah ini diturut dengan segera.
Lima liauwlo membawa datang lima buah nenampan yang
ditutupi cita merah. Giok Lo Sat lantas buka tutupnya dua
nenampan di sebelah kiri. melihat mana. Tiong Liam kaget
hingga ia berseru.
Di atas nenampan itu ada dua kepala manusia berlumuran
darah! Giok Lo Sat bersenyum, ia terus pandang Ciauw Hie,
"Inilah yang dikehendaki ayahmu!" katanya.
Sekarang si nona singkap kain penutup tiga nenampan
lainnya, semua itupun bermuatkan masing-masing satu kepala
orang yang darahnya masih berlepotan. la angkat setiap
kepala yang ia ayun-ayun. kemudian ia bersenyum.
"Mcreka bertiga telah berlaku kurang ajar terhadap kongCu.
maka itu, aku ambil kepala mereka," katanya. "Aku harap
kongCu pandang ini sebagai bingkisan untukmu. Mereka ini
masih mempunyai satu kawan lainnya, yang telah mendapat
bagiannya pula, aku percaya dia selanjutnya tidak akan berani
membikin pusing pula kepada kongCu."
Kembali Tiong Liam menjadi kaget. Ia dapat mengenali tiga
kepala itu adalah tiga anggauta Kimiewie yang kemarin ikuti
TouvvCiehui Cio Ho. Tidak disangka mereka semua roboh di
tangannya nona luar biasa ini. Satu kawan lainnya yang
dimaksudkan oleh si nona mungkin TouwCiehui Cio Ho.
Ong Ciauw Hie berbangku dengan hormat.
"Tidak sanggup aku terima bingkisan semacam ini."
katanya. "Lagipun. untuk sementara ini aku masih belum
memikir untuk berangkat pulang."
"Aku tahu kongCu hendak melakukan perjalanan jauh
ribuan lie." berkata pula si nona. "Baiklah, bingkisan ini aku
nanti titahkan orang mengamarkannya kepada ayahmu
sekalian bersama surat perjanjian ikatan kita."
"Terima kasih!" Ciauw Hie mengucap.
Si nona tertawa manis sekali, la awasi semua hadirin
bandit. "Jikalau tidak bentrok lebih dahulu, kalian tidak akan
mengenal satu dengan lain," berkata dia.
"Baiklah di sini aku menjelaskannya, bahwa ayahnya Ong
KongCu ini adalah Ong Kee In dari Siamsay Utara."
Mendengar itu, semua berandal tertawa.
"Benar-benar hebat!" kata mereka. "Inilah yang dapat
dikatakan, air bah menerjang kuilnya raja naga, orang tidak
mengenali sesama orang sendiri! Kalau sedari siang-siang
kami telah kenalkan Ong Toako, tak mungkin kami berani
menguntit dan turun tangan!"
Ong Kee In adalah kepala dari kaum Rimba Hijau di
Siamsay Utara, di bawahnya adalah Kho Geng Siang, Ong Coh
Kwa, Hui San Houw. dan Tay Ang Long, pelbagai penyamun
kesohor itu, tetapi pengaruhnya rombongan dari Siamsay
Utara ini tidak sampai di Siamsay Selatan.
Di propinsi Siamsay semuanya ada tiga belas gerombolan
berandal, mereka tidak takluk satu pada lain. Salah satu di
antaranya, Ong Kee In-lah yang bercita-cita besar, setelah
bersama Kho Geng Siang mengangkat saudara, belum ada
sepuluh tahun ia telah dapat diangkat menjadi bengCu. kepala
dari pelbagai rombongan di Siamsay Utara. itu. Karenanya
pula ia dapat bekerja secara luas. Melainkan rombonganrombongan
dari Siamsay Tengah dan Siamsay Selatan, yang
tidak suka terima segala titahnya. lapun seorang yang cerdik,
baru dua tahun munculnya Giok Lo Sat. berbareng mendapat
tahu ada dua musuh di Siamsay Selatan yang hendak satrukan
padanya, ia lantas utus puteranya, yaitu Ong Ciauw Hie,
membawa hadiah untuk Giok Lo Sat, guna ikat persahabatan.
Pelbagai penyamun mempunyai daerahnya masing-masing,
di manapun terdapat musuh, Ong Ciauw Hie tidak mau
berangkat secara menyolok mata, ia sengaja berangkat
seorang diri dengan gunakan akal menyimpan barang hadiah
di dalam pelana. Akan tetapi di luar dugaannya, pihak
Kimiewie yang liehay itu dapat mencium bau, maka lantas
ditugaskan Cio Ho berempat untuk menguntit dan turun
tangan. Di samping itu. lima rombongan penyamun di
perbatasan SuCoan " Siamsay dapat dengar selentingan juga,
bahna mengilerkan harta besar itu. merek a pun turut
menguntit. Demikianlah telah terjadi, Ciauw Hie tempel
rombongannya To Tiong Liam sambil gunakan akalnya yang
cerdik itu. Setelah mengetahui kelicinannya orang she Ong ini, Keng
Ciauw Lam mencaci di dalam hatinya, karena ia telah
kenadiabui oleh pemuda ini.
"Sungguh celaka bocah ini! Dia telah berkongkol sama Giok
Lo Sat, dia telah pakai nama Butong pay sebagai tameng, dia
juga tempel pengaruhnya To Tayjin, tetapi sekarang setelah
muncul, si Raksasi Kumala, dia telah bikin kami menjadi
orang-orang tawanannya Raksasi Kumala ini," demikian
pikirnya. Giok Lo Sat sudah lantas berkata pula: "Mulai saat ini. kita
kaum Rimba Hijau di seluruh propinsi Siamsay telah menjadi
satu keluarga. Aku telah berserikat kepada Toako Ong Kee In,
aku harap semua saudara kelak sudi saling bantu. Andaikata
saudara-saudara tidak memikir lainnya, silakan saudarasaudara
keringkan cawan ini!"
Ia angkat cawannya, untuk segera diceguk habis lebih
dahulu. Tidak ada berandal yang berani menentangnya, merekapun
keringkan cawan mereka masing-masing.
Giok Lo Sat letakkan cawannya, ia tertawa, kemudian ia
gapaikan seorang serdadunya, kepada siapa ia berbisik.
Serdadu itu lantas masuk ke dalam tidak lama, ia sudah
kembali tetapi tidak seorang diri, hanya bersama empat orang
yang ia iringkan, menampak empat orang itu, Keng Ciauw
Lam ternganga. Empat orang itu adalah saudara-saudara seperguruannya
Ciauw Lam yang diberi tugas oleh guru mereka untuk
mengerjakan sesuatu di Siamsay, mereka sudah berangkat
terlebih dahulu daripadanya, ia tidak sangka, bahwa mereka
sekarang muncul di sarang penyamun ini.
"Apakah benar, seperti katanya Kwie Yu Ciang tadi, mereka
sudah jadi tawanannya Giok Lo Sat?" pikir Ciauw Lam. Akan
tetapi, melihat keadaannya mereka itu, nampaknya mereka
bukan sebagai orang-orang tawanan.
Giok Lo Sat mengulapkan tangan, lantas ada orangnya
yang mengeluarkan pula barang hidangan yang baru, yang
disajikan di sebuah meja lain. Ia undang empat orang itu
duduk di meja ini.
"Mari kita duduk di meja sana!" kata dia pada Keng Ciauw
Lam. "Biarlah aku diberikan ketika untuk bersahabat dengan
orang-orang pandai dari Butong pay!" Dia tertawa manis.
Keng Ciauw Lam tetap merasa heran, akan tetapi melihat
orang bersikap ramah tamah. hatinya lega. Ia berpikir:
"Butong pay sangat kenamaan, walau dia sangat ganas,
rupanya dia masih j eri juga terhadap kaumku, maka sekarang
dia berlaku manis dan meminta persahabatan..."
Kepercayaannya Ciauw Lam ini jadi semakin tebal setelah ia
lihat si nona bersikap semakin ramah tamah.
Ciauw Lam bicara kepada empat saudara seperguruannya
itu, tetapi mereka agaknya ada ganjelan di hati, sikapnya tidak
gembira, malah dua di antaranya hanya menyengir, hingga
pemuda ini menjadi heran.
Lagi-lagi Giok Lo Sat panggil satu serdadunya, ia ucapkan
beberapa perkataan perlahan, setelah mana, serdadu itu
segera undurkan diri.
"Entah apa lagi tindakannya lebih jauh," Ciauw Lam
menduga-duga. "Mari minum!" Giok Lo Sat mengundang secara sangat
gembira. Ia tenggak pula araknya.
Ciauw Lam berlima juga minum arak mereka.
Sebentar kemudian terdengarlah suara roda-roda kereta di
muka hoathia, wajahnya si nona bercahaya sedang Ciauw Lam
berlima segera lihat beberapa serdadu menolak datang kereta
barangnya To Tiong Liam. untuk ditunda di bawah tangga
muka pesanggrahan
Dengan tiba-tiba Giok Lo Sat berbangkit.
"To Tayjin, mari kita membuat perhitungan!" tiba-tiba juga
dia berkata kepada Tiong Liam.
Bekas Congtok itu heran, akan tetapi dia bisa tetapkan hati.
"Itulah jumlah yang kecil, CeeCu, silakan kau ambil semua,"
berkata dia. yang menduga hartanya akan dirampas "Di
rumah aku masih mempunyai sedikit milik, aku tidak
mengharapi harta bekas jabatanku ini."
Mendengar demikian, si nona perlihatkan tampang
sungguh-sungguh.
"Aku Lian Nie Siang, walaupun menjadi penyamun, aku
berpegang kepada keadilan!" katanya dengan nyaring.
"Tanyakan semua hadirin di sini, kapan dan di mana Lian Nie
Siang pernah ambil harta orang secara serampangan.
Terhadap pembesar yang putih bersih, uangnya satu bun pun
aku tidak akan merampasnya! Tapi kalau dia satu pembesar
rakus, uangnya tentu aku rampas, batok kepalanyapun aku
maui! Apakah kau telah dengar nyata?"
Tiong Liam kaget hingga tubuhnya menggigil.
"Celaka, celaka, habislah jiwa tuaku di sini..." ia mengeluh
dalam hatinya. Akan tetapi sikapnya si nona kemudian nampaknya menjadi
tenang pula. "To Tiong Liam, kau dengarlah!" demikian katanya. "Kau
telah menjabat pangkat belasan tahun, selama itu kau telah
terima hadiah dari orang-orang sebawahanmu serta pelbagai
hartawan setempat berjumlah tujuh puluh enam ribu tujuh
ratus tail. Uang itu tidak halal, aku hendak ambil semuanya! Di
samping itu, kau masih mempunyai tiga puluh dua ribu lima
ratus tail. hadiah dari pemerintah, tetapi uang" itu berasal
uang rakyat, maka aku hendak ambil juga untuk kemudian
diamalkan kembali kepada rakyat yang melarat. Sekarang
masih ada sisa enam belas ribu delapan ratus tail uang
stmpananmu sendiri, itulah hakmu, sejumlah itu akan aku
kembalikan kepadamu. Kau telah menjabat pangkat belasan
tahun, kau punyakan hasil demikian banyak, walau kau
bukannya satu pembesar bersih, tetapipun tidak termasuk
pembesar rakus. Sekarang aku telah membuat perhitunganku,
katakanlah terang-terang, kau puas atau tidak?"
Tiong Liam kaget berbarengpun hatinya girang. Ia kaget
karena ia tidak mengerti mengapa dan dari mana si nona
ketahui demikian jelas tentang jumlah seluruh hartanya yang


Wanita Gagah Perkasa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diperolehnya Itu. Dan girangnya, kepul Lisannya si nona itu
berarti jiwanya tidak akan diganggu dan hartanya tidak ludas
semua. Setelah mengatakan demikian, sambil tertawa dengan
manis. Giok Lo Sat duduk kembali di kursinya. Ia
cenderungkan tubuh kepada Keng Ciauw Lam, yang duduk di
sampingnya "Orang pandai dari Butongpay." katanya sambil tertawa
pula, "siauwmoay masih berusia muda dan cetek
pengetahuannya, bilamana kau anggap perbuatanku ini tidak
layak dan adil. sudi kau berikan petunjukmu."
Ia gunakan kata-kata "siauwmoay" = "adik kecil", pula
suaranyapun halus.
Ciauw Lam kagum sekali, hingga ia unjukkan jempolnya.
"Pantaslah Lian Liehiap menggetarkan dunia Rimba Hijau,
nyata kau pandai sekali mengambil keputusan!" dia memuji.
"Kau membuatnya orang kagum terhadapmu!"
Si nona bersenyum, ia menukar arak yang hangat, untuk
minum bersama pemuda shc Keng ini, wajahnya ramai dengan
senyumnya yang berseri-seri.
Tanpa merasa Ciauw Lam mulai terpengaruhi air kata-kata.
Ia duduk dekat sekali kepada si nona, hidungnya dapat
mencium bau harum dari tubuh nona itu.
"Giok Lo Sat sungguh menarik hati," pikirnya. "Sayang,
demikian elok dia ada. ia kesudian menjadi penyamun. Kalau
dia kembali kepada jalan yang benar, entah berapa banyak
pemuda gagah yang akan roboh hatinya..."
Kemudian tiba-tiba ia tanya: "Lian Liehiap. kau demikian
gagah, siapakah gurumu yang pandai itu" Bila ada ketikanya.
sungguh aku si orang she Keng ingin mohon pengajaran d asi
padamu Bagaimana menggirangkan... Aku kuatir sekali, lain
waktu tidak mungkin ada pula ketika yang sehaik ini..."
Ong Ciauw Hie yang mendengar ucapanny a orang she
Keng ini merasa kuatir. segera ia menyelak dan berkata:
"Saudara Keng. kau sudah sinting, jangan minum lebih jauh!"
Ciauw Lam menggeleng-geleng kepala.
"Aku belum mabuk! Siapa katakan aku mabuk?" kata dia
yang menyangkalnya.
Mendadak wajahnya si nona menjadi gelap suram, tetapi
sedetik kemudian ia tertawa pula, terus ia angkat cawannya.
"Keng Lnghiong, kau terlalu memuji aku!" katanya.
"Sebenarnya aku seorang anak perempuan yang tak berayah
ibu, tidak mempunyai guru juga, beberapa jurus ilmu silatku
yang jelek adalah buah hasil dari belajar seorang diri, tidak
dapat dibandingkan dengan kau yang dapat pimpinan dari
perguruan kenamaan, dari kalangan persilatan yang asli!"
Nona ini singkap rambut di dahinya.
"Sebenarnya akupun ingin sekali mohon pengajaran
darimu. Keng Enghiong," ia menambahkan. "Ketikanya yang
baik tentu mesti ada. kau tak usah sibuki."
Lantas ia duduk pula, matanya melirik jago muda dari
Butongpay itu dengan senyumnya yang sangat menggiurkan.
Ciauw Hie berkuatir sangat hingga ia rasakan bulu ramanya
bangun berdiri. Di samping itu. diam-diam ia mentertawai
orang she Keng ini, yang ia katakan tolol. Tapi ia segera
berbangkit dan kata: "CeeCu. terima kasih untuk perjamuan
ini! Saudara Keng sudah mabuk, akupun tak kuat minum
banyak, harap CeeCu maafkan kami, kami ingin undurkan
diri." Giok Lo Sat merasa tidak puas. muram wajahnya.
"Kelihatannya kau hendak bantu dia." katanya dengan
dingin. Terbanglah semangatnya Ciauw
Hie, tetapi ia menjawabnya dengan perlahan: "Sebetulnya
aku tidak kenal saudara Keng ini, hanya dapat berkenalan di
tengah jalan, aku berterima kasih kepadanya yang telah bantu
sedikit merintangi pihak lawan yang menguntit aku. karena dia
anggap aku sebagai sahabat, akupun sudah selayaknya
perlakukan dia sebagai sahabat."
Giok Lo Sat perdengarkan suara tidak tegas, lalu ia ulapkan
tangannya dan berkata dengan nyaring: "Tutup perjamuan!"
Meski demikian, dengan suara perlahan ia ucapkan katakata
pada Keng Ciauw Lam: "Besok pagi harap kau datang kc
tengah gunung untuk kita membuat pertemuan di dalam
lembah. Harap Keng Enghiong jangan lupa."
Sepasang alisnya Ciauw Lam berdiri, ia nampaknya sangat
gembira. "Tidak nanti aku lupakan titahmu mi. CeeCu!" sahutnya.
Perjamuan sudah lantas ditutup, tapi Giok Lo Sat masih
suruh orang-orangnya antar Keng Ciauw Lam berlima ke
sebuah kamar yang terpisah dari Ong Ciauw Hie. hingga
pemuda ini. yang masih hendak bicara kepada murid Bulong
pay itu. tidak dapatkan kesempatannya.
Keesokannya pagi. belum lagi pengaruh air kata-kata
menghilang seluruhnya dari kepalanya Ciauw Lam, satu
serdadu wanita telah datang padanya.
"Keng Enghiong, CeeCu kami undang padamu." kata
serdadu ini. Ciauw Lam lantas saja dandan dengan cepat, segera ia ikut
serdadu itu menuju ke lembah di mana sudah ada empat
saudara seperguruannya, sedangkan To Tiong Liam duduk
seorang diri di atas sebuah batu ditemani dua serdadu wanita.
Giok Lo Sat muncul tidak lama kemudian, jalan mendatangi
di antara batu-batu gunung yang berserakan tak teratur,
wajahnya ramai dengan senyuman. Rambutnya bergelang
emas, pedangnya yang panjang tergantung di pingggangnya.
Hingga selainnya cantik, iapun tampaknya sangat gagah.
Bukan main kagumnya Ciauw Lam. Hanya ia tidak sangka
di situ telah berkumpul orang-orang lainnya, sedang pada
mulanya ia menduga ia seorang dirilah yang diundangnya.
"Selamat pagi, Keng Enghiong!" menegur si nona. "Apakah
kau dapat tidur tenang semalam?"
Suara itu menyatakan perhatian yang sungguh-sungguh.
"Terima kasih," sahut Ciauw Lam dengan jengah. "Harap
CeeCu pun dapat tidur tenang."
"Aku tadinya kuatir kau tak dapat tidur nyenyak," tertawa si
nona. "Jikalau kau tidak dapat tidur nyenyak, pun sebentar
lagi kau akan kurang tidur, oh, sungguh kau harus dikasihani!"
Ciauw Lam merasa heran dalam hatinya.
"Aneh, cara bagaimana ia ketahui aku semalam tidak dapat
tidur?" pikirnya. "Tidakkah dia melainkan menduga-duga
saja?" Giok Lo Sat lantas berkata pula: "Jikalau kau dapat luka
parah, umpama ada salah satu anggauta tubuhmu menjadi
cacat, pasti sebentar malam kau tidak dapat tidur senang,
bukankah?"
Walau masih dalam keheranan, Ciauw Lam tertawa juga.
"Di atas bumi ada angin dan mega yang tak berketentuan,
seperti juga manusia bisa terancam bencana siang dan
malam," menyahut dia, "maka jikalau benar-benar ada bahaya
yang mengancam aku, apa daya" Kecuali CeeCu niat
membikin susah padaku, maka dari manakah datangnya
angkara murka itu?"
"Kau nyata terbuka pikiranmu," kata Giok Lo Sat. "Aku tidak
berani membuat kau susah! Aku hanyalah hendak mohon
pengajaran daripadamu. Aku dapat dengar ilmu pedang
Butong pay tidak ada keduanya di kolong langit, karenanya
aku memikir hendak membuka mataku."
Keng Ciauw Lam menjadi tidak puas.
"Oh, kiranya benar-benar CeeCu niat mencoba aku?"
katanya. "Satu taytianghu lebih suka binasa daripada terhina,
karenanya, meski aku bakal terima tiga bacokan dan enam
tikamannya CeeCu, tidak nanti aku bikin jatuh nama baiknya
Butong pay!"
Nona itu tertawa dengan manis.
"Bagus!" katanya. Sekarang kau sedikit waspada, aku
hendak mulai dengan dengan seranganku..."
Giok Lo Sat hunus pedangnya, terus ia menusuk.
Ciauw Lam lihat gerak tangannya si nona yang enteng
tetapi perlahan, agaknya seperti sedang main-main, ia tidak
dapat menduganya orang menyerang ia dengan benar-benar
atau gertakan belaka, meski demikian, ia toh menangkis.
Akan tetapi, ketika pedang si nona kena bentur, mendadak
nona itu putar tangannya dan tahu-tahu ujung pedangnya
sudah ancam tenggorokan'
"Kali ini gagal, mesti ditukar dengan yang lainnya!" kata
nona ini sambil tertawa.
Ciauw Lam kaget berbareng mendongkol, karena ia telah
terpedaya. Tusukan si nona tidak diteruskan dan ia diejek.
Dengan tiba-tiba ia mengelakkan tubuhnya ke samping sambil
terus berikan tikaman, dengan salah satu dari tiga tusukan
berantai, ialah "KimCiam touwsian" = "Jarum emas
dimasukkan benang". Ketika serangan ini gagal, ia segera
melanjutkan dengan tikaman y ang kedua yakni "Cusat
lianhoan" atau "Tarik dan lepas bergantian" mengarah
tenggorokan si nona Cepat serangannya yang berantai ini.
akan tetapi serangan yang kedua inipun gagal pula. Maka ia
hendak meneruskannya dengan runtunan yang ketiga. Tapi,
belum ia sempat bergerak, ia telah rasakan pedang lawan
menempel di bebokongnya. karena nona itu dengan tidak
diketahui lagi sudah melejit ke sampingnya. Terpaksa ia
berlompat sambil memutar tubuh, untuk menyelamatkan diri.
Baru ia lompat, berbareng juga sambaran angin lewat di
atasan kepalanya, hingga ia kaget tak terkira. Sambaran angin
itu menyebabkan segumpal kecil rambutnya terbabat jatuh.
Si nona tertawa ketika lawannj-a menaruh kaki di tanah.
"Aku suruh kau waspada, mengapa kau justeru lengah?"
tanya nona ini. la berdiri diam sambil rangkul pedangnya,
kemudian dengan tangan kanannya ia menggapai kepada
orang Butong lainnya sambil berkata juga: "Orang-orang
gagah Butong pay, tegakah kalian akan tonton saja orang
sesama perguruan main topeng monyet di sini?"
Empat orang Butong itu memang hatinya tidak puas, maka
mendengar kata-kata si nona yang berupa tantangan itu.
segera mereka maju menyerang dengan berbareng. Mereka
tidak mengucap sepatah kata juga.
"Nah, ini barulah menggembirakan!" tertawa si nona.
Lalu, di antara sambaran-sambarannya lima batang pedang
lawan, ia berkelebatan dengan pedangnya juga. Meski ia
dikepung, ternyata ia adalah di pihak penyerang.
Menampak demikian, Ong Ciauw Hie merasa tidak enak
hati. "Lian Liehiap sudahilah!" ia berseru sambil lompat maju.
"Harap kau menaruh rasa kasihan!..."
Suaranya pemuda ini belum berhenti, tiba-tiba terdengar
bentrokannya pedang dengan pedang disusul jeritan-jeritan
dari kesakitan. Nyatalah pedangnya ke lima jago Butong pay
putus buntung, dua jarinya Keng Ciauw Lam turut berpisah
dari tangannya, dan empat yang lainnya hilang masing-masing
satu jari tangannya
Giok Lo Sat balingkan pedangnya, wajahnya suram.
"Sekarang kalian baru mengerti bahwa di luar langit masih
ada langit, jangan kalian membuta mengandalkan nama besar
dari rumah perguruanmu!" dia kata dengan nyaring. "Keng
Ciauw Lam. tadi malam kau berlaku sedikit tidak tahu adat.
sebenarnya aku hendak buntungkan lenganmu dan korek
kedua biji matamu, akan tetapi karena barusan kau
perlihatkan juga semangatmu, aku kasih keringanan padamu!
Sekarang lekas kalian pergi menggelinding turun dari gunung
ini!" Mendengar bentakan itu, hatinya Ciauw Hie menjadi lega.
Ia lantas menghampiri Ciauw Lam.
Pucat mukanya murid Butong pay ini, tanpa mengucapkan
kata-kata lagi ia membalik tubuhnya lari turun gunung.
Empat orang Butong pay lainnya rangkap tangan mereka
"Terima kasih untuk kemurahan hati CeeCu," kata mereka.
"Budi kebaikanmu ini pasti kami tak akan lupakan untuk
selama-lamanya!"
Giok Lo Sat tertawa dingin.
"Aku bersedia menanti tuntutan pembalasanmu!" katanya.
Ciauw Hie mengedipkan mata kepada empat orang itu,
untuk cegah mereka berkata-kata lebih jauh
Salah satu yang tertua dari ke empat orang itu hadapi
Ciauw Hie dan menjura. katanya: "Ong KongCu. terima kasih
yang kau sudah melindungi sutee kami. Sayang kami tidak
lebih siang dapai ketemui kau. Aku ada membawa suratnya
Beng Busu untukmu!"
Orang Butong pay itu rogoh sakunya akan keluarkan
sesampul surat.
Agaknya Ciauw Hie terkejut, ia lirik si nona.
"Dari tempat ribuan lie orang datang antarkan surat, sudah
selayaknya kau haturkan terima kasihmu!" berkata Giok Lo Sat
dengan nyaring.
Ciauw Hie tahu si nona tidak kandung maksud lain, barulah
ia sambuti surat itu.
"Terima kasih!" katanya.
Orang Butong pay itu serta tiga saudaranya bersenyum
tawar, tanpa memberi hormat lagi mereka segera berlalu.
Ciauw Hie merasa sangat bersusah hati dan menyesal,
karena ia merasa telah tidak berbuat sebagaimana mestinya
terhadap orang-orang Butong pay itu.
Giok Lo Sat awasi Ciauw Lam berlima sampai mereka
lenyap dari pandangan mata, lalu ia berpaling kepada Ong
Ciauw Hie. "Saudara Ong, kau tentunya katakan aku terlalu kejam,
bukan?" tanyanya dengan wajar.
"Tidak berani aku mengatakan demikian," sahut Ciauw Hie.
Tetapi dalam hatinya sebenarnya ia mencela.
"Tabiatku adalah paling tidak sanggup menghadapi orang
atau orang-orang yang terlalu andalkan pengaruhnya," kata si
nona kemudian, suaranya sabar. "Murid-murid Butong pay
berjumlah besar, di antara mereka ada banyak yang tolol dan
pintar, yang sesat juga, dan di antara mereka ini, tidak sedikit
yang menjadi sombong karena terlalu mengandal kepada guru
mereka yang termasyur. Di antara Butong Ngoloo, kecuali Cie
Yang Toojin. empat lainnya mempunyai cacatnya masingmasing,
karenanya, murid-murid mereka banyak yang
congkak. Mungkin di antara murid-murid itu perbuatannya
tidak ada yang keterlaluan, akan tetapi mereka toh
menjemukan. Maka kali ini aku hendak tindas kejumawaan
mereka, untuk kasihkan sedikit hajaran pada mereka itu!"


Wanita Gagah Perkasa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ong Ciauw Hie membungkam, ia tidak mau mengutarakan
pendapatnya. Si nona berdiam sebentar, lalu ia menanya: "Kabarnya Busu
Beng Can di kota raja dengan ayahmu mengangkat saudara,
benarkah?" (Busu = guru silat).
"Dia adalah mertuaku," sahut Ciauw Hie dengan singkat.
"Oh, kiranya sanak dekat!" kata si nona. "Bagus! Aku tahu
nona she Beng itu, yang bagus ilmu silatnya dan elok
orangnya. Toh belum menikah, bukan?"
Mukanya Ciauw Hie kemerah-merahan karena malunya.
"Belum." sahutnya. "Ayahku telah pesan supaya sehabisnya
temui kau, aku mesti langsung menuju kota raja untuk sambut
mertuaku itu serta gadisnya."
"Memang sudah selayaknya kau sambut mereka," berkata
Giok Lo Sat. "Apa artinya berdiam di kota raja menjadi guru
silat di dalam istana kaisar" --- Oh, saudara Ong, harap kau
jangan kecil hati, aku memang biasa omong terus terang."
"Tidak, nona. Ayahkupun bersependapat denganmu,"
jawab Ciauw Hie.
Nona itu berkata pula: "Jikalau tidak ada suratnya Beng
Busu ini, empat orang itu pasti akan merasakan penderitaan
lainnya lagi. Mereka telah menyamar sebagai saudagarsaudagar
kulit, di tengah jalan mereka dicegat oleh orangorang
sebawahannya Hwee Leng Kauw dan Cu Poo Ciang.
Kalau mereka perkenalkan diri, urusan pasti tidak ada, akan
tetapi mereka sudah unjukkan kejumavvaannya. Mereka
sudah lukai empat tauwbaknya Hwee Leng Kauw! Dengan
menunggang seekor kuda aku segera susul mereka. Di depan
mereka aku pertontonkan ilmu pukulan BianCiang memukul
batu sehingga hancur bagaikan tepung, setelah itu aku
undang mereka naik ke gunungku, aku kata supaya kita samasama
meyakinkan ilmu silat pedang."
Ong Ciauw Hie mengeluh di dalam hatinya.
"Itulah hebat, mustahil untuk saling meyakinkan ilmu silat
mesti diberikan semacam pertunjukan kekuatan tenaga..."
pikirnya. (BianCiang ialah Tangan Kapas).
Tadinya pemuda ini hendak mengutarakan sesuatu, tapi
sebelum ia sempat mengucapkannya, ia telah dengar si nona
berseru, katanya: "Ai, di mana pembesar she To itu?" Lalu" dia
memanggilnya, sampai dua kali.
Tidak ada jawaban.
"Mari kita lihat!" mengajak Giok LoSat.
Ternyata Tiong Liam telah rebah pingsan, karena tadi dia
lihat pemandangan yang menggoncangkan sangat hatinya.
II "Hm, beginilah satu Congtok!" Giok Lo Sat mengejek.
"Nyalinya demikian kecil!" Ia lantas tepuk dua kali tubuhnya
bekas gubemurjenderal itu.
Dengan perlahan-lahan Tiong Liam sadar akan dirinya.
Si nona ambil keluar selembar lengkie (bendera), ia
lemparkan bendera itu kepada Congtok itu sambil berkata:
"Semua piauwsumu aku telah suruh pergi, maka aku berikan
lengkie ini untukmu."
Bekas Congtok itu tercengang, ia tidak mengerti untuk apa
lengkie itu "Kau ambil bendera itu, dan tancap di atas keretamu," si
nona mengajarkan, "kau nanti akan dapat membuktikan, di
dalam seluruh propinsi Siamsay ini tidak akan ada seorang
pun yang berani ganggu padamu. Bendera ini ada jauh
terlebih tangguh daripada semua orang Butong pay yang
menjadi piauwsumu itu!"
Tiong Liam mau percaya "keterangan ini, ia menjadi
girang secara tiba-tiba. Lekas-lekas ia jemput bendera itu.
Ia menghaturkan terima kasihnya sambil menjura. "Terima
kasih!" katanya.
Tapi si nona dan Ong Ciauw Hie sudah pergi jauh!
Pemuda she Ong itu buka surat dari bakal mertuanya itu.
Dalam surat itu ditulisnya ia diminta datang ke Pakkhia, kota
raja, untuk sambut bakal isterinya. Ditulisnya pula bahwa di
antara guru-guru silat di kota raja telah terjadi pergulatan
gelap yang hebat, terutama di dalam istana keadaannya
berbahaya sekali, maka itu ia diminta lekas datang untuk
berdamai. Ayahnya Ong Ciauw Hie adalah satu siuCay yang jebol
dalam menanjak lebih jauh. Pada dua puluh tahun yang
lampau selama di kota raja, dia telah angkat saudara dengan
Busu Beng Can. Perangkapan jodoh masing-masing anaknya
itu terjadi dengan jalan saling "menunjuk perut," ialah
sebelum anak-anak mereka terlahir. Keduanya menghormati
janji mereka. Di masa Ciauw Hie masuk umur tujuh tahun, ia ikut
ayahnya pulang ke Siamsay, maka sejak itu, kedua pihak tidak
pernah salingketemu lagi.
Pada enam tahun yang baru berselang, Beng Can diundang
pemerintah untuk jadi guru silat di keraton Cukeng K i ong.
istana putera mahkota, ia memangku jabatan Titthiah Busu. Di
pihak lain, di Siamsay Utara, Ong Kee In telah menjadi
bengCu, pemimpin kaum Rimba Hijau di wilayah itu. Tatkala
Kee In dengar bakal besannya itu bekerja kepada pemerintah,
ia merasa sayang sekali. Ia tidak mengerti mengapa Beng
Can, seorang kangouw kenamaan, sudi terima jabatan itu.
Sejak Beng Can menjadi guru silat istana, setiap tahun
tentu satu atau dua kali ia minta perantaraan orang kangouw
menyampaikan suratnya pada besannya. Demikian kali ini, ia
minta pertolongannya murid Butong pay kakak
seperguruannya Keng Ciauw Lam itu.
Sudah sedari belasan hari yang lalu, Ong Ciauw Hie ketahui
bakal mertuanya telah kirim surat, bahwa surat di kirim
dengan perantaraannya orang Butong pay, tadinya ia
menyangka pembawa surat itu adalah Keng Ciauw Lam, maka
ia sengaja berkenalan kepada pemuda she Keng ini, akan
tetapi ternyata bahwa pembawa surat itu adalah suheng-nya
Ciauw Lam. Sehabis membaca surat itu, Ciauw Hie segera pamitan dari
Giok Lo Sat. untuk lantas berangkat ke kota raja. Ia lakukan
perjalanan cepat. Namun sesudah selang beberapa bulan
barulah ia tiba di kota raja. Ketika itu adalah di permulaan
musim pertama, dan pada hari ia tiba, hujan salju tengah
turun secara hebat.
Ciauw Hie memasuki kota dengan ambil jalan pintu Hianbu
mui, justeru jalan di situ ramai, penuh orang yang jalan
berdesak-desak. Dari jauh-jauh ia sudah dengar riuhnya suara
gembreng diseling seru-seruan, ia tidak tahu apa yang
menyebabkannya. Maka ia lantas tanya seorang yang berada
di dekatnya. "Tuan tidak tahu?" sahut orang yang ditanya. "Selama
beberapa hari ini di kota ini sudah terjadi satu perkara besar
sekali, banyak pembesar negeri turut terembet. Malah hari ini
Houwpou Sielong To Kee Hian telah digusur keluar Ngomui
untuk dihukum potong kepala. Kata-kata umum bahwa '
Menemani raja sama juga menemani harimau'sangatlah tepat.
To Sielong itu kabarnya seorang pembesar baik."
Ciauw Hie kaget sekali. To Kee Hian itu adalah puteranya
bekas Congtok To Tiong Liam. Justeru Kee Hian-lah yang
minta Keng Ciauw Lam tolongmelindungi ayahnya yang pulang
kampung itu. Kenapa sekarang dengan tiba-tiba Sielong itu
dihukum mati"
Ciauw Hie yang cerdik lalu masuk ke sebuah restoran untuk
menyelidikinya. Di sini ada banyak orang yang mengobrol
tentang macam-macam soal. Tidak ambil tempo lama. lantas
tahulah ia duduknya perkara To Sielong itu.
Kaisar Sin Cong, yakni Kaisar Ban Lek. yang bernama Cu le
Kun, mempunyai dua putera: Putera sulung Siang Lok
namanya, dilahirkan oleh honghouw (permaisuri), dan putera
kedua Siang Sun. dilahirkan oleh The Kuihui, selir yang tersayang.
Selir she The itu cerdik dan berambekan besar, dia niat
merampas kerajaan, supaya puteranya yang nanti naik tahta.
Soal kedudukan thayCu (putera mahkota) pun belum dapat
kepastian, karena Kaisar Sin Cong menunda-nunda untuk
mengangkatnya. Baru belakangan, setelah menteri-menteri
mengajukan permohonan. Siang Lok diangkat jadi thayCu.
Karena ini, Siang Sun lantas diangkat jadi Hok Ong, pangeran
di Lokyang, Hoolam. Mula-mula Siang Sun tak sudi berlalu dari
kota raja, sesudah ada permohonan pelbagai menteri, baru ia
berangkat juga.
Baru satu tahun sejak Hok Ong tinggal di Lokyang, pada
suatu hari telah terjadi seorang yang bersenjatakan sebatang
toya menyerang satu pahlawan pengawal keraton Cukeng
Kiong, setelah menerjang sampai di muka istana, baru
penyerang itu dapat diringkus.
Inilah rangkaian peristiwa antara "tiga perkara besar dan
aneh" semasa pemerintahan kerajaan Beng, ialah yang
dinamakan "Teng Kie An" atau "Perkara Serangan Toya".
Inipun peristiwa yang menggemparkan kota raja.
Putera mahkota tidak sampai kena diserang, akan tetapi
kejadian itu di waktu siang terang berderang di mana orang
berani serbu istana untuk melakukan penyerangan, sampai
satu pahlawan istana terluka. adalah peristiwa yang belum
pernah terjadi.
Penyerang yang akui dirinya bernama The ToahunCu itu
tidak keruan lagak lagunya, kelakuannya surup seperti
namanya: HunCu = "campur aduk." Tabib istana yang
diperintahkan memeriksanya, tak dapat menetapkan
penyerang ini sakit jiwa atau tidak.
Tatkala penyerang ini di hadapkan ke muka Sam Hoat Su,
pengadilan tinggi, untuk didengar pengakuannya, ia telah
berikan pengakuan yang tidak keruan, ia telah rembet-rembet
namanya beberapa menteri serta thaykam (orang kebiri).
Pengakuan ini entah benar entah palsu, tetapi telah
membawa akibat bagi mereka yang disebut-sebut namanya
jadi bentrok satu pada lain, mereka saling sangkal dan saling
tuduh, di antaranya ada yang saling berkongkoljuga
Kaisar Sin Cong tidak mempunyai ketetapan hati dan tipis
kuping, satu waktu ia turut suaranya, menteri ini. dan lain
waktu ia percaya menteri itu. Maka dengan sendirinya,
menteri-menteri merasa tidak tenteram hatinya.
To Kee Hian adalah seorang menteri yang tidak usilan, dia
telah terembet-rembet, malah lacur baginya, tanpa
menantikan pemeriksaan yang mendalam lagi. dia dijatuhkan
hukuman mati dan mesti menjalankan hukumannya di Ngomui
(muka pintu istana raja).
Mengetahui duduknya hal. Ciauw Hie menghela napas. Ia
berkasihan terhadap Kee Hian, ia sayangi kekusutan dalam
istana itu. Lebih celaka lagi justeru waktu itu di Timur utara
bangsa BoanCiu sedang terbangun semangatnya untuk
meluaskan daerahnya, sedang di Timur selatan, kawanan
bajak bangsa kate (Jepang) saban-saban datang menyerbu
pesisir Tiongkok. Karenanya, berbayanglah keadaan yang
mengancam bagi kerajaan Beng itu.
"Tapi, inipun ada baiknya," berpikir Ciauw Hie kemudian.
"Jikalau Keluarga Cu tetap tidak punya kemampuan, biarlah
aku dari Keluarga Ong yang menggantikan mengurus
negara!..." (Keluarga Cu ialah keluarga raja-raja Beng).
Sekeluarnyadari restoran, Ciauw Hie lantas ambil jalan
menuruti peta kota raja seperti yang ia pernah ditunjukkan
ayahnya, langsung ia menuju ke jalan PoCu Hotong. Samarsamar
ia masih ingat rumahnya Keluarga Beng. Baru saja ia
memasuki gang dan angkat kepalanya mengawasi rumah, ia
segera menjadi kaget sekali.
Rumah nampaknya sepi. kedua daun pintunya pun ditutup
rapat dengan ditempelkan melintang sepotong kertas
pembesar negeri. Nyatalah rumah itu telah ditutup karena
disegel! Itupun ada tanda segelan Kimiewie, sedang di muka pintu
ada berdiri dua pengawal barisan Baju Sulam itu. yang
rupanya ditugaskan menjaga rumahnya Beng Busu. Dua
pengawal itu bertubuh besar dan tegap.
Walaupun ia kaget dan heran, Ciauw Hie tidak berani
mengawasi lama-lama, ia terus ngeloyor pergi akan berlalu
dari gang itu, melainkan hatinya yang agak goncang. Ia mulai
memikirkan keselamatan bakal mertuanya serta bakal
isterinya... Dalam kesangsiannya. Ciauw Hie menuju ke Thiankio, di
situ ada bertinggal satu sahabat ayahnya yang juga satu guru
silat kenamaan, bernama Liu See Beng. Ia bersyukur, dengan
cepat ia dapat cari rumah guru silat itu.
Liu See Beng terperanjat akan kedatangannya anak muda
ini. Dengan tersipu-sipu ia tutup pintu depannya, terus ia
tuntun tetamunya ini ke dalam.
"Hai, benar besar nyalimu!" tegurnya guru silat itu "Ayahmu
adalah orang yang hendak ditangkap pemerintah, dan bakal
mertuamu sudah ditangkap, entah bagaimana dengan
keselamatan jiwanya! Bagaimana jikalau ada orang yang
kenali kau?"
Di luar dugaan sang guru silat, Ciauw Hie tertawa.
"Kota raja sedang perhatikan urusan besar, dia tak sempat
perhatikan aku!" katanya. "Aku justeru hendak mohon
keterangan siokhu. Bakal mertuaku menjadi guru silatnya
putera mahkota, apa sebabnya dia ditangkap" Mungkinkah dia
tersangkut perkara Teng Kie An itu?"
Liu Busu menghela napas.
"Aku juga tidak dapat tahu," sahutnya dengan masgul.
"The ToahunCu itu justeru adalah ayahmu sendiri yang
membekuknya, maka andaikata ia tidak hendak diberikan
hadiah, ia toh tidak bersalah dosa. Sekarang keadaan jadi
terbalik, dia telah ditangkap."
Ciauw Hie sudah lantas berpikir, tetapi ia diam saja
"Kau tinggallah di sini, jangan sembarangan perlihatkan
diri," kata Liu Busu akhirnya, la tidak kuatir ketumpangan anak
sahabatnya, meski ia tahu bahwa pemuda ini adalah
puteranya Ong Kee In dan bakal mantunya Busu Beng Can.
yang kedua-duanya tersangkut perkara dengan pembesar
negeri. Dua hari telah lalu, penjagaan di depan rumahnya Beng
Busu dihapus. Malam itu. sehabis bersantap, Ciauw Hie segera dandan
dengan ringkas. Ia mengenakan yahengie. pakaian yang
diperuntukkan keluar di waktu malam, yang berwarna hitam
mulus.

Wanita Gagah Perkasa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Siokhu. malam ini aku hendak pergi ke rumah bakal
mertuaku untuk melakukan penyelidikan," ia kata kepada See
Beng. (Siokhu - paman).
"Bagaimana kau dapat lakukan itu. anak?" tanya Liu Busu.
Dia ragu-ragu. "Pasti aku tidak rembet-rembet pada siokhu." Ciauw Hie
kasih tahu. "Apakah kau telah pikir masak-masak?"
"Ya, siokhu."
See Beng menggoyang-goyang kepala, ia menghela napas.
"Terserah!" katanya, yang tidak dapat mencegah lagi.
Segera juga Ciauw Hie keluar dari rumah sahabat ayahnya
itu. Di kota raja, rumah-rumah umumnya rendah, tidak
terkecuali rumah orang-orang hartawan. Jarang ada rumah
yang tinggi bertingkat tiga Inilah disebabkan raja-raja
melarang rakyat mendirikan rumah yang lebih tinggi daripada
loteng istana Ngohong Lauw, supaya kalau raja atau anggauta
keraton naik ke loteng, mereka bisa memandang seluruh
panorama di sekitar istana. Sebaliknya rakyat dari rumahnya
tidak dapat memandang ke arah istana.
Dengan cepat Ciauw Hie telah sampai di PoCu Hotong.
dengan kegesitan dan keentengan tubuhnya, ia lompat naik ke
genteng rumah yang paling dekat dengan rumah mertuanya.
Pendekar Sakti Suling Pualam 21 Pendekar Riang Karya Khu Lung Anak Harimau 1
^