Pencarian

Wanita Gagah Perkasa 4

Wanita Gagah Perkasa Karya Liang Ie Shen Bagian 4


kecurigaannya, dia berkuatir untuk dirinya To It Hang, maka
segera dia kirim mata-matanya untuk menyelidiki. Ia telah
peroleh kabar hal ditawannya It Hang itu.
Juga Ong Ciauw Hie telah dapat kabar hal It Hang ditawan,
dia sudah lantas kepalai satu pasukan, di tengah perjalanan ia
ketemu Giok Lo Sat. ia persatukan pasukannya di bawah
pimpinannya nona itu, terus malam itu juga mereka
menggempur kota. Tidak sampai satu jam pintu kota dapat
dipecahkan, barisan penolong ini langsung menyerbu ke
kantor residen, hingga Kim Cian Giam beri peringatan pada In
Yan Peng. Ketika simuka merah sampai di luar kamar tahanan, sejarak
tiga tumbak di depannya ia tampak sahabatnya sedang
bertempur dengan satu nona, dalam keadaan terdesak dan
berbahaya, karena dikurung sinar pedangnya si nona. Maka ia
segera siap dengan ikat pinggangnya dan terus maju
menyerang nona itu dengan tipu silat "Kimkauw soCu" ---
"Naga emas melilit tiang". Ia ancam tubuh dan pedangnya si
nona berbareng.
Giok Lo Sat lihat datangnya satu musuh baru, Ia tertawa
ketika ia diserang, terus saja dengan pedangnya ia sampok
ikat pinggang musuh yang baru itu.
Dua senjata bentrok keras, In Yan Peng rasakan telapak
tangannya sakit, hingga ia mesti kendorkan cekalannya
Justeru itu pedangnya si nona sudah berkelebat pula. Kali ini
terdengar suara getas, ikat pinggang si muka merah nyata
telah terbabat kutung!
In Yan Peng dapat adu Iweekang dengan To It Hang tapi
tidak demikian terhadap Giok Lo Sat. Ia tidak berhasil melilit si
nona. sebaliknya ia sendiri yang menjadi korban.
Kim Cian Giam gunakan ketika selagi si nona layani In Yan
Peng, dia menyerang dengan kedua tangannya yang liehay,
tujuannya adalah kedua lengan nona itu.
Giok Lo Sat awas matanya dan gesit gerakannya, sehabis
membabat ikat pinggang Yan Peng, ia memutarkan tubuhnya,
hingga ia dapat lihat datangnya serangan dari musuhnya yang
pertama, maka dengan sebat ia mendahului menikam sebelum
kedua tangan musuh sampai kepadanya Ujung pedang
menjurus ke arah tenggorokan.
Orang she Kim itu kaget. Ia mesti berdaya untuk menolong
diri. Dengan demikian, dengan sendirinya pecahlah
serangannya itu.
In Yan Peng keluarkan napas lega Dalam keadaan seperti
itu ia mesti berlaku nekat, maka iapun menyerang pula. Kali
ini ia gunakan ilmu silat menangkap Kimna Sippat Ciang.
Secara demikian, berdua Kim Cian Giam ia mencoba kurung
nona kosen itu. Namun tetap mereka masih keteter.
To It Hang muncul di saat pertempuran sedang berjalan
dengan serunya akan tetapi belum ia datang mendekati, Giok
Lo Sat sudah teriaki padanya: "Lekas kau pergi ke belakang
membantu Ong C iauw Hie! Biarkan kedua anak kelinci ini aku
yang layani!"
Pemuda itu adalah satu ahli, dengan melihat sepintas lalu,
ia bisa lantas buktikan nona itu bukannya omong besar, maka
ia batal maju terus, ia balik lari memburu ke belakang. Baru ia
sampai di lorong, di situ ia sudah lihat sepasang orang sedang
bertarung sambil separuh berlari-lari. Orang yang di depan ia
kenali sebagai Ong Ciauw Hie adanya. Dua orang itu
adasetanding, sebab kalau Ciauw Hie mainkan pedangnya
dengan hebat, lawannya tidak kurang dahsyatnya.
Amarahnya It Hang meluap apabila ia sudah kenali
lawannya Ong Ciauw Hie itu, ialah salah satu opsir yang telah
bantu Ong Pengpie menangkap padanya Maka ia lantas saja
lompat maju menerjang opsir itu.
Opsir itu adalah punggawa kosen dari Congtok, gubernur
jenderal, dari kedua propinsi Siamsay dan Kamsiok, akan
tetapi ketika dikepung oleh Ciauw Hie dan It Hang, ia menjadi
repot seketika. Baru ia lolos dari sepasang kepalannya pemuda
she To, atau pedangnya Ciauw Hie sudah sampai. Begitulah,
sebelum sempat ia memikir untuk angkat kaki. selagi It Hang
desak padanya, ujung pedangnya Ciauw Hie telah mampir di
pundaknya, kepada jalan darah thianCu hiat, maka tak ampun
lagi tubuhnya lantas roboh dengan jiwanya melayang pergi.
"Saudara To, aku datang terlambat, aku telah bikin kau
menderita lama," kata Ciauw Hie sehabis pertempuran.
It Hang manggut, tetapi ia tidak kata apa-apa Sekarang ia
tahu pasti bahwa pemuda she Ong itu adalah satu penjahat
besar dari Siamsay Utara. Ia merasa sungkan bergaul dengan
bangsa penjahat.
"Mari kita tengok Nona Lian," Ciauw Hie mengajak, tanpa
perdulikan sikap orang itu. "Mari kita tonton dengan cara
bagaimana dia bereskan dua penghianat itu."
It Hang tidak mempunyai alasan menampik kebaikannya
anak muda itu, maka ia manggut pula Ia lantas ikut untuk
kembali ke depan. Ia sendiri memang ingin lihat Giok Lo Sat,
yang kedatangannya bersama Ciauw Hie justeru guna
menolong padanya.
Pertempuran di depan masih berlangsung. Biar bagaimana
Kim Cian Giam dan In Yan Peng adalah orang-orang kosen,
mereka dapat bertahan terhadap serangan luar biasa hebat
dari Nona Lian. Dari kejauhan seperti tidak terlihat tubuh
mereka yang sedang bertempur itu, melainkan yang dapat
tampak hanya sinarnya senjata mereka.
Setelah mengawasi, Ong Ciauw Hie memuji: "Benar-benar
Giok Lo Sat liehay! Aku lihat, kedua penghianat itu akan
segera mati dengan tidak mempunyai tempat untuk mengubur
tubuhnya!"
Baru Ciauw Hie tutup mulutnya, atau ia dengar seruan
halus tapi tajam yang menyangkal pujiannya itu. "Aku tidak
percaya!" Demikian seruan itu.
Mendengar suara seruan itu, parasnya Ciauw Hie berubah.
Menyusul suara itu, dari atas payon lompat turun seorang
wanita muda dengan muka bertopeng, nampaknya dia lebih
muda daripada Giok Lo Sat.
"Mau apa kau datang kemari?" Ciauw Hie tegur nona itu.
"Kau sendiri boleh datang-mustahil aku tidak?" si nona balik
menanya. "Tahukah kau ada orang sedang menantikanmu!
Tunggu sebentar, sehabis aku menemui Giok Lo Sat, baru aku
terangkan padamu!"
"Siapa dia?" It Hang tanya Ciauw Hie. "Kau kenal nona itu,
saudara Ong?"
Ciauw Hie nampaknya jengah.
"Boleh dikatakan juga aku kenal padanya..." sahutnya,
yang lantas saja lari menyusul nona itu, yang lari menuju ke
tempat pertempuran.
Dalam pertempuran itu, Kim Cian Giam lebih banyak
bersikap membela diri, karena sesudah banyak jurus dilalui, ia
insyaf meskipun bersama In Yan Peng, sulit baginya untuk
dapat merebut kemenangan. Beberapa kali ia telah
menyerang dengan Imhong Toksee Ciang, tapi selalu gagal,
jangankan tubuh musuh, bajunyapun ia tak dapat langgar.
Inilah karena sangat lincahnya nona itu, yang pun
penyerangannya terus bertambah hebat.
Di saat Giok Lo Sat hendak beri pukulan yang terakhir, tibatiba
ia tampak bayangan berkelebat di arah belakangnya dan
anginpun menyambar, maka cepat-cepat ia memutar tubuh
sambil menangkis.
Dengan menerbitkan suara nyaring, kedua pedang beradu
keras, sampai lelatunya pun muncrat.
Giok Lo Sat heran akan dapati pedang penyerangnya tidak
terpental. Ia pun heran setelah dapat lihat, bahwa penyerang
itu adalah satu nona bertopeng.
"Hai. kau cari mampus?" ia lantas menegur.
Nona yang bertopengkan muka itu menyahut: "Setiap
orang puji ilmu silat pedangmu, maka ingin aku belajar kenal!"
"Baik, kau sambutlah!" berkata Giok Lo Sat dengan sengit.
Dan ia menikam tanpa bersangsi pula
Nona tidak dikenal itu gerakkan pedangnya, ia berhasil
memunahkan serangan si Raksasi Kumala.
Kim Cian Giam dan In Yan Peng bernapas lega, dengan
menggunakan ketika yang baik itu keduanya lompat naik ke
atas genteng untuk angkat kaki.
"Ong Ciauw Hie, cegat mereka!" seru Giok Lo Sat, yang
lihat orang mencoba untuk kabur. "Aku segera akan
menyusul!"
Ong Ciaw Hie menurut, dengan enjot tubuhnya ia lompat
ke genteng. "Aku harap kau menaruh belas kasihan, Lian Liehiap..."
katanya selagi ia lompat naik.
Melihat kawannya menguber dua penghianat itu, It Hang
pun segera lompat ke genteng untuk menyusul karena ia tahu
kepandaiannya Kim Cian Giam dan In Yan Peng adajauh lebih
liehay daripada pemuda she Ong itu.
Giok Lo Sat layani si nona bertopeng. Tadinya ia sangka,
dalam tiga jurus saja ia akan dapat mengalahkan nona itu,
akan tetapi ternyata nona itu bisa mengelakkan serangannya
Ia menjadi gusar ketika ia dengar pertempuran di atas
genteng agaknya jadi semakin jauh. Maka ia menyerang
lawannya semakin hebat.
Nona yang bertopeng itu telah keluarkan antero
kepandaiannya, baru dia dapat melayani lawannya dalam tiga
jurus, sekarang ia insyaf keliehayannya Giok Lo Sat, karena
inilah baru ia memikir untuk menyingkirkan diri.
Dalam murkanya, Giok Lo Sat masih bisa tertawa.
"Eh, bocah, kau masih berani balas menyerang aku?" kata
ia sambil tertawa, tetapi ia perhebat serangannya dengan
tikamannya beruntun beberapa kali, membikin lawannya
terkurung pedangnya dan menjadi sangat repot.
"Tidak sanggup aku lawan kau, aku suka menyerah," kata
si nona bertopeng kemudian. "Mengapa kau desak aku
demikian rupa?"
"Sekarang mengaku kalahpun tak dapat!" sahut si Raksasi
Kumala. "Jikalau benar kau gagah, mari turut aku menemui
ayahku..." kata pula si nona bertopeng itu.
"Sekarang aku hendak lihat tampangmu dulu!" sahut Giok
Lo Sat. Dan ujung pedangnya menyambar.
Nona itu kaget tak alang kepalang. Ia rasakan hawa dingin
menyambar berulang-ulang di depan mukanya. Bahna kaget ia
menjerit, topengnya yang terbuat dari citapun lantas terlepas.
Giok Lo Sat lihat satu nona cantik di hadapannya. "Baiklah,
aku tidak akan bunuh kau," ia kata. "Tetapi aku harus berikan
kau serupa pertandaan saja!" Dan ujung pedangnya memain
pula di muka si nona lawannya.
Dalam kuatir dan repotnya, nona itu berikan
perlawanannya* menangkis pedang lawan. Ia masih sempat
unjukan kecerdikannya. Sehabis menangkis, ia menyerang ke
kiri, tetapi mendadak ia ubah sasarannya dengan balik
menyerang ke kanan, ke arah jalan darah Ciangtay hiat di
buah dada kanan lawannya itu.
Giok Lo Sat berkelit, ia tercengang akan serangan liehay
dari si nona bertopeng itu. Justeru sedangnya ia tercengang,
nona itu gunakan ketika itu untuk lompat naik ke atas
genteng. "Hai, dari mana kau dapatkan ilmu pedangmu itu?" teriak si
Raksasi Kumala sambil lompat naik juga ke genteng untuk
menyusul. Si nona bertopeng yang topengnya telah lenyap, lari terus.
Di lain pihak Kim Cian Giam dan In Yan Peng telah tempur
Ong Ciauw Hie dan To It Hang. Tapi mereka baru bertempur
sepuluh jurus, lantas saja kedua pemuda ini kena didesak.
Sebabnya ialah karena kelemahannya Ciauw Hie menghadapi
dua penghianat jagoan itu. Syukur bagi mereka dua
penghianat itu memikir untuk lari kabur. Maka setelah peroleh
ketikanya, mereka segera lompat menyingkir.
"Kita kejar atau jangan?" tanya Ciauw Hie pada It Hang. Ia
bersangsi, sebab ia insyaf liehaynya dua penjahat itu.
"Kejar!" sahut It Hang. "Mereka adalah penghianatpenghianat
yang berkongkol sama bangsa Boan!"
Ketika itu, gedung residen telah dimakan api yang
disebabkan oleh orang-orangnya Ong Ciauw Hie. Api
berkobar-kobar dan asap bergulung-gulung mengepul naik.
Ciauw Hie bersama It Hang ketika sampai di luar gedung,
mereka kehilangan kedua penghianat yang licin itu. Selagi It
Hang memandang ke sekitarnya, ia lihat satu tubuh putih
mengkelebat lewat di sampingnya. Ia segera kenali si nona
bertopeng tadi, hanya sekarang topengnya itu sudah hilang.
Nona itu lari di antara asap yang tebal.
Menyusul si nona itu, lewat berkelebat pula satu tubuh
lainnya. "Dua penghianat itu lolos!" Ong Ciauw Hie teriaki orang
yang belakangan ini. "Lian Liehiap, mari kita memecah diri
menjadi tiga untuk cari mereka itu!"
Pemuda ini segera kenali Giok Lo Sat.
"Lebih penting, aku susul bocah perempuan itu!" jawab si
Raksasi Kumala "Dua penjahat itu adalah penkhianat-penghianat, lebih baik
kita kejar mereka!" It Hang campur bicara.
"Aku kata. lebih perlu kejar si bocah perempuan!" berkukuh
Giok Lo Sat. Ong Ciauw Hie kewalahan juga, terpaksa bersama It Hang
ia lari mengikuti si nona.
It Hang sangat tidak mengerti akan sikapnya Giok Lo Sat
yang membiarkan penghianat-penghianat lolos, sebaliknya
mengutamakan mengejar satu nona. Tentu sekali ia tidak tahu
bahwa si Raksasi Kumala telah dibikin heran dan penasaran
oleh tipu silat yang terakhir dari nona bertopeng itu. Karena
itu adalah salah satu tipu silatnya sendiri, yang istimewa.
Sejak kecil Giok Lo Sat telah ikuti gurunya hidup menyendiri
di dalam gua, ia tahu betul gurunya tidak mempunyai lain
murid, maka aneh yang si nona bertopeng itu justeru pandai
tipu silat itu. Karena ini, ia menduga-duga pada kemungkinan
Gak Beng Kie serta To It Hang secara diam-diam sudah
berbuat lancang memberikan ketika kepada orang lain
mencuri dan melihat kitab ilmu silat itu" Ia memang
penasaran ketika itu hari ia tidak sanggup mengalahkan orang
she Gak itu. Dan ketika ia kembali ke dalam guanya, tidak saja
kitabnya lenyap, pun semua ukiran di tembok lenyap musnah.
Karena ini, ia ambil putusan akan mencari kitab ilmu silat itu.


Wanita Gagah Perkasa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sekarang ia dapatkan si nona bertopeng mengerti tipu silat
itu, tidaklah heran kalau ia berkeinginan untuk menawan nona
itu, untuk korek keterangan dari padanya.
Si nona bertopeng lari pesat sekali, tapi si Raksasi Kumala
mengubernya lebih pesat lagi, di belakangnya menyusul It
Hang dan Ciauw Hie. Yang semakin lama semakin jauh
ketinggalan di belakang. Di lain pihak, Giok Lo Sat berhasil
menyusul si nona bertopeng.
"Ayah! Ayah!" nona itu berteriak-teriak apabila ia dapatkan
dirinya terancam bahaya.
Giok Lo Sat dengar teriakan itu, ia kendorkan larinya. Iapun
tertawa. "Baik aku nanti tunggui ayahmu, untuk aku menanyakan
keterangan dari dia!" ia kata
Mereka sekarang telah sampai di luarkota, di kaki bukit
Cenghong san. Si nona bertopeng lari terus, sambil terus juga berteriakteriak.
Giok Lo Sat tetap membayangi di belakang nona itu. Ia
tidak hendak menyandak tapipun tidak mau membikin dirinya
ketinggalan. Hanya beberapa kali ia ulurkan pedangnya ke
bebokong si nona, hingga ancaman itu membuat dia sangat
ketakutan, tiap kali dia mesti berkelit ke kiri atau ke kanan.
Dia mencobanya lari sekeras-kerasnya tapi tetap dia tidak bisa
menjauhkan diri dari pengejarnya itu.
Bagaikan seekor kucing permainkan tikus, demikian tingkah
polahnya Giok Lo Sat. Berulang kali ia tertawa cekikikan di
belakang orang yang dikejarnya, hingga nona itu bahna
takutnya, menjerit berulang-ulang.
Setelah lari sekian lama, mendadak si nona bertopeng
lompat ke depan dan terus dia roboh, dari mulutnya terdengar
jeritan: "Ayah!"
Lalu dari atas gunung terdengar jawaban, suaranya luar
biasa. Giok Lo Sat berhenti mengejar, sambil lintangkan
pedangnya ia mengawasi ke atas gunung, ia telah dengar
suara sambutan dari atas gunung tadi. Tidak lama menantikan
tampak olehnya melayang satu tubuh turun mendatangi, lalu
berhenti pada jarak dua tindak di depannya
Itulah seorang yang tubuhnya tinggi besar dan lanjut
usianya, hidungnya bagaikan hidung garuda dan mulut
bagaikan mulut singa dengan muka penuh berewokan pendek.
Satu roman yang jelek sekali dan bengis.
"Siapa berani perhina anakku?" demikian orang tua itu
berseru. Si nona bertopeng segera merayap bangun untuk
sembunyikan diri di belakang orang tua itu. Ia menangis, air
matanya memenuhi mukanya.
"Ayah, tolong kau korek matanya wanita bangsat ini!" kata
ia pada orang tua itu dengan lagak sangat manja.
Giok Lo Sat perdengarkan tertawa dingin. Ia juga menuding
dengan pedangnya.
"Bangsat tua. lekas kau bayar kembali kitab ilmu
pedangku!" ia bentak.
Orang tua itu melengak.
"Kitab ilmu pedang apa?" dia menegasi, suaranya keras
tetapi dalam. "Ayah, perempuan bangsat ini tuduh aku jadi bangsat!"
menangis pula si nona bertopeng. "Kapan dan di mana aku
pernah lihat kitab ilmu pedangnya" Dia telah berulang kali
menyodokkan ujung pedangnya di bebokongku, dia menghina
sangat padaku... Ayah. kau mesti tolong balaskan anakmu
mengorek biji matanya!..."
Giok Lo Sat gusar karena berulangkah ia dikatai bangsat,
benar ia bisa bersenyum akan tetapi pedangnya sudah lantas
menikam. Si orang tua keluarkan seruan: "Ah!..." Ia mundur tiga
tindak, sebelah tangannya menolak mundur tubuh gadisnya,
kepada siapa ia berkata: "Pergi kau mundur ke batu di sana,
aku larang kau membantui aku. Aku mengerti sekarang!"
Giok Lo Sat tidak perdulikan sikap orang, setelah
tikamannya yang pertama gagal, ia maju mengulangi
serangannya pula sampai tiga kali, sebab si orang tua mundur
terus. Adalah setelah ini, orang tua itu berseru karena
murkanya, tubuhnya mencelat maju, tangan kirinya
menyambar ke atas, tangan kanannya ke bawah. Inilah
serangan yang mirip dengan tipu silat "Cengtoan Ciu" (Tangan
Menahan Penglari) dari ilmu silatnya Keluarga Gak (Gak Hui),
malah gerakannya orang tua ini terlebih sebat.
Diserang secara demikian mendadak, Giok Lo Sat terdesak.
Maka, tidak ada lain jalan, ia apungkan diri sambil jumpalitan
ke belakang, dengan gerakan "YanCu Coanin" atau "Burung
walet menembus mega". Ketika ia turun pula, ia injak sebuah
batu besar di belakangnya.
Si orang tua maju memburu, karena ia sangat gusar. Ia
berkata dengan bengis: "Seumurku belum pernah aku
mengalami ada orang berani menantang aku di hadapanku!
Mengapa kau berani demikian kurang ajar" Siapakah
gurumu?" Wajahnya si Raksasi Kumala juga berubah sedikit, tapi ia
masih tertawa besar.
"Aku juga!" katanya mengejek. "Aku juga seumurku belum
pernah ketemukan orang yang berani buka suara besar
membentak-bentak di depanku! Siapakah gurumu dan apakah
namanya?" Orang tua itu anggap dirinya dari kalangan tertua, dengan
tanyakan gurunya si nona, dia pernahkan dirinya sebagai
orang yang lebih tua tingkatannya, maka tidaklah dia sangka
nona yang begitu muda usianya, berani bawa sikap seperti dia
sendiri, berani juga menanyakan nama gurunya, sedang
gurunya sudah menutup mata pada tiga puluh tahun yang
lampau. Teranglah nona itu pandang dia yang usianya lanjut
sebagai orang dari tingkatan muda!
Bergerak-geraklah berewok dan jenggotnya orang tua ini,
bahna gusarnya yang tak tertahankan.
"Anak muda kurang ajar, rasakanlah tanganku!" dia
berseru. Giok Lo Sat tidak takut, ia menyambutnya sambil tertawa,
sesudah mana, dari batu di sebelah atas itu, ia berlompat
turun, untuk menghampiri jago tua ini.
Segerajuga si orang tua itu berikan kepalannya, yang keras
sampai mendatangkan suara angin. Teranglah ia pandai
lweekang (ilmu dalam).
Giok Lo Sat tidak takut, malah ia menikam terus dengan
pedangnya, hingga mau tidak mau orang tua itu mesti berkelit
ke samping. Dari sini barulah ia bergerak cepat untuk
menyerang pula, dengan kedua tangannya berbareng!
Giok Lo Sat gerakkan sedikit tubuhnya, untuk menangkis
sambil menyontek dengan tipu "KimCiam touwshoa" -- "Jarum
emas dimasuki benang".
Orang tua itu seperti sudah menduga nona ini akan
menggunakan tipu demikian, ia ubah gerakkannya, sambil
berkelit ia merangsek, dengan begitu, ujung pedang si nona
lewat di samping iganya, menyusul mana, kedua tangannya
dirangkap dalam sikap "TongCu pay Koan Im" atau "Kacung
suci menghormat Dewi Koan Im". Dengan gerakan ini ia
mengancam, tapi sebenarnya serangannya ialah "Imyang
siangtong Ciang" --- yaitu "Kedua benturan tangan im dan
yang". Juga Giok Lo Sat kenal tipu serangan semacam itu, ia tarik
kembali pedangnya, dan sambil berkelit, dengan cepat sekali
ia kembali menyerang ketiak lawan kepadajalan darah kiebun
hiat. Orang tua itu mengkerutkan tubuh tanpa mengubah kudakudanya,
sesudah tusukan lewat bebas, ia membarengi
menyerang dengan "Hengsin pahouw" atau "Sambil miring
menyerang harimau". Hebat serangannya ini.
Giok Lo Sat selamatkan dirinya dengan jalan melompat
tinggi. "Bocah, kau sambutlah!" serunya si orang tua selagi tubuh
si nona turun. Ia buktikan ancamannya itu sambil lompat
maju. Si Raksasi Kumala tertawa riang.
"Bangsat tua, kau sambutlah!" dia juga berseru. Dan dia
menyabetkan pedangnya melintang di depan dadanya
Orang tua itu tahu si nona gunakan tipu silat "Hengkang
huitouw" ?" "Melompat menyeberangi sungai", maka ia
pasang kuda-kuda di kedudukan "kham" lalu ia berputar maju
di kedudukan "lie", setelah luput dari babatan pedang, ia
hendak mencoba menangkap lengan lawan yang menyekal
pedang itu. Giok Lo Sat menyerang dengan "Hengkang huitouw" tidak
sepenuhnya. Ia menggunakan siasat. Ialah baru ia membabat
setengah jalan, ia sudah tarik kembali pedangnya untuk
diteruskan menyerang ke jurusan ke mana lawannya
menghindarkan diri.
Bukan kepalang kagetnya orang tua itu. Untung ia bermata
jeli dan tubuhnya enteng, ia masih dapat berkelit, menggeser
dari kedudukan "lie" itu, berbareng dengan itu dua jari tangan
kirinya ditotokkan ke pundak si nona di bagian jalan-darah
honggan hiat. Karena ia tak puas jikalau ia menolong diri
tanpa balas menyerang.
Giok Lo Sat tidak takut akan serangannya orang tua itu.
Dengan sebat ia membabat tangan lawannya, ia mendesak
sebegitu lekas dan lawan itu membatalkan serangannya,
hingga orang tua itu terpaksa mundur.
Demikian mereka bertempur dengan seru, yang satu
bersenjatakan pedang, yang lain bertangan kosong. Kalau
jurus-jurusnya si nona senantiasa berubah-ubah karena
menggunakan kepandaiannya pelbagai cabang persilatan,
demikian pula si orang tua, yang pelajaran silatnya rupanya
dari banyak partai juga. Maka itu keduanya sama tangkas dan
sama liehay. Nyata sekali orang tua ini gunakan gerakan dari tindak kaki
"patmui" dan "ngopou", yaitu "delapan penjuru (pintu)" dan
"lima tindakan". Patmui ambil dasar dari Patkwa (delapan
segi), dan Ngopou dari Ngoheng, yaitu kim, bok, sui, hwee,
touw atau emas, kayu, air, api dan tanah. Tapi semua itu
berpokok dasar ilmu silat "Thaykek Sipsam sie" -"Tiga belas
jurus Thaykek Kun" dari Thio Sam Hong. Pendiri dari Thaykek
pay (Butong pay). Gesit dan tetap, keras dan lemas, adalah
setiap tindak si orang tua, baikpun tangan, tubuh dan kakinya.
Giok Lo Sat heran juga sesudah melayani puluhan jurus, ia
masih belum bisa menang di atas angin, apalagi untuk dapat
pecundangkan lawan tua ini. Maka selanjutnya ia bersilat
dengan sungguh-sungguh dengan keluarkan kepandaian
warisan gurunya. Ia tidak lagi berkelahi sambil berguyon dan
tertawa. Juga si orang tua heran tidak kepalang. Iapun tidak bisa
berbuat suatu apa terhadap si nona, yang semula ia tidak
pandang mata. Ia kagum untuk kegagahannya nona ini, yang
muda dan cantik tapi sedemikian lincah dan liehay. Inilah
lawan yang seumurnya belum pernah ia hadapi.
Setelah bertempur sekian lama Giok Lo Sat merasa bahwa
dalam lweekang ia kalah setingkat daripada orang tua itu.
Selagi pertempuran berlangsung terus, mendadak hatinya
Giok Lo Sat terkesiap karena ia dengar seman dari kekagetan,
yang datangnya dari arah belakang bukit itu. Itulah seperti
suaranya To It Hang. Di luar keinginannya, gerakan
pedangnya menjadi kendor sendirinya. Justeru itu, dari
kedudukan "kun" si orang tua menyerang dengan pukulan
"Sengheng tauwCoan" -- "Bintang-bintang melintang dan
berputar".
Dengan demikian, kedudukan kedua pihak menjadi
berbahaya. Apabila tangannya orang tua itu mengenai
sasarannya, ujung pedang si nona juga akan demikian pula Di
saat keduanya menghadapi bahaya, mendadak orang tua itu
lompat mundur sambil berseru: "Jangan kau maju!"
Giok Lo Sat benar-benar batalkan gerakannya. Ia lihat
orang tua itu memandang ke atas bukit, iapun melirikkan mata
ke arah bukit itu. Maka ia lantas dapat lihat, di atas sebuah
batu gunung ada berdiri seorang perempuan cantik dari usia
pertengahan. Dan si orang tua bicara kepada wanita itu.
Diam-diam ia akui keliehayannya orang tua itu. Ia yang
demikian liehay, masih tidak ketahui datangnya si nyonya.
Teranglah bahwa ia kalah pengalaman dari lawannya itu. Ia
insyaf, kealpaannya ini disebabkan ia terlalu pusatkan
perlawanannya Di dalam hatinya ia berkata: "Menghadapi
lawan liehay, mata dan kuping harus tetap melihat dan
mendengar ke empat penjuru".
"Mari kita bertempur pula!" sekonyong-konyong si orang
tua berkata setelah penundaan itu sambil berlompat maju
pula. Giok Lo Sat jadi sangat mendongkol.
"Mustahil aku jeri terhadapmu?" dia berseru. "Kecewa kau
dengan kepandaianmu setinggi ini, kau sudi menjadi kurcaci
yang hina dina! Jikalau hari ini kau tidak kembalikan kitab ilmu
pedangku, aku bersumpah akan merebutnya dari tanganmu si
tua bangka!"
Dalam murkanya, si Raksasi Kumala mendahului
menyerang dengan dua sabetan beruntun.
Si orang tua juga menjadi murka sekali, ia sambut
serangan itu dengan tipu silat "Paysan tohay" -- "Merobohkan
gunung untuk menguruk lautan". Maka kembali keduanya
bertarung dengan seru sekali.
Pertempuran itu ditonton si nyonya elok setengah tua, di
samping siapa sekarang berdiri si nona yang bertopengkan
muka tadi. "Leie, pergilah kau ajar adat kepada perempuan galak ini!"
kata si nona kepada nyonya di sampingnya itu.
"Tetapi, A Ho, Ouwtiap piauwmu lebih liehay daripada
kepunyaanku, mengapa kau inginkan aku yang pertontonkan
kejelekanku?" si nyonya berkata
"Itulah sebabnya ayah melarang aku membantuinya,"
jawab si nona Nyonya itu berdiam. Lalu ia berbisik: "Dia bicara tentang
kitab ilmu pedang, kitab apakah itu" Mungkinkah kitab itu
kepunyaannya?"
Wajahnya si nona berubah agak pucat.
"Jangan kau sebut-sebut itu!" dia peringatkan sambil
berbisik juga. "Kalau ayah dapat mendengarnya, kita bisa
celaka!"

Wanita Gagah Perkasa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Si nyonya bersenyum, di dalam hatinya dia berkata: "Tua
bangka tak mau mampus itu sedang berkelahi mengadu jiwa,
walaupun suaraku terlebih keras daripada ini dia pasti tak
akan dapat mendengarnya." Sementara itu ia tampak si nona
agak gelisah, maka dari sakunya ia keluarkan tiga batang
Ouwtiap piauw, yaitu senjata rahasia yang macamnya mirip
kupu-kupu. "Baiklah, aku tidak akan menyebutkannya," dia kata sambil
tertawa. "Kau lihatlah aku hajar padanya!"
Nyonya ini lantas mengayunkan tangan kanannya, ketiga
ouwtiap piauw segera melesat dengan perdengarkan suara
nyaring, menyambarnya cepat bagaikan kilat, ke arah si
Raksasi Kumala yang sedang melayani orang tua dalam
pertempuran yang semakin menghebat itu.
Kali ini Giok Lo Sat tidak berlaku alpa pula, apapula ia
segera dengar suara melayangnya senjata rahasia, yang ia
dapat menduganya kepada ouwtiap piauw mengarah tiga
jalan darahnya: kiebun hiat, tongbun hiat dan pekhay hiat.
Mau tidak mau ia kaget juga. Sekarang ia bukannya sedang
dalam keadaan biasa, ia hanya hadapi musuh-musuh liehay.
V Walaupun senjata rahasia sedang mengaung menyambar
ke jurusannya, dan wajahnya pun berubah, namun si Raksasi
Kumala masih bisa tertawa -- tertawa dingin, dan berkata
dengan mengejek: "Tua bangka tidak tahu malu! Bagaimana
kau berani gunakan senjata rahasia?"
Sambil mengatakan demikian, namun si nona tidak gubris
ancaman ouwtiap piauw, bahkan ia menikam dengan hebat
kepada lawannya. Ia menikam susul menyusul ke arah urat
Ciangtay hiat dan kiekut hiat. Pikirnya, tidaklah sukar baginya
untuk menyingkir dari senjata rahasia, sebaliknya akan
membahayakan dirinya kalau ia berkelit, karena musuh dapat
menggunakan ketika itu untuk menyerang padanya. Maka ia
bersedia dihajar piauw, asal iapun bisa tancapkan pedangnya
di tubuh lawan untuk binasa bersama! Itulah kebinasaan
secara terhormat!
Karena sikap yang nekat ini, sebatang ouwtiap piauw bisa
menuju langsung ke arah tenggorokannya si nona.
Orang tua itu juga dengar suara senjata rahasia. Itu waktu
ia sedang murka disebabkan ejekannya si nona. Iapun
mendongkol kepada serangan senjata rahasia itu. Akan tetapi
serangannya si nona membuat ia berada dalam kedudukan
yang terdesak dan berbahaya. Tapi ia liehay, selagi ia kelit
pundaknya dari tikaman pedang, ia maju sambil mengulurkan
tangan kirinya menyampok jatuh ouwtiap piauw yang
pertama! Giok Lo Sat heran. Ia tidak sangka lawan ini mau menolong
padanya dari ancaman piauw maut itu! Di samping itu.
pedangnya tidak keburu ia tarik kembali, meski orang tua itu
berkelit, tapi karena dia berkelit sambil maju, tidak urung
tangan bajunya kena tertikam, kulit lengannyakeserempet
pedang, hingga darahnya lantas saja mengucur keluar!
Dengan tidak buka suara, orang tua itu lompat minggir.
Justeru itu piauw yang kedua dan ketiga sudah sampai
kepada si nona.
Akan tetapi sekarang tanpa musuh liehay di depannya,
dengan mudah Giok Lo Sat dapat sampok kedua piauw itu,
yang beruntun terlempar jatuh ke tanah.
Si orang tua sudah lantas lari mendaki, dia tuding si nyonya
dengan tegorannya yang keras: "Siapa yang suruh kau
lancang melepaskan senjata rahasia?"
Kedua matanya sinyonya memain, nampaknya ia
manjasekali. Tapi ia menunjukkan roman menyesal, ia seperti
penasaran sudah ditegur demikian. Dia jawab: "LooyaCu, kau
toh tidak larang aku, bukan" Kau lihatlah putrimu, A Ho, dia
telah diperhina. perlukah kita berlaku sungkan-sungkan
terhadapnya" LooyaCu, tidakkah perbuatanku ini berguna
untukmu ayah dan anak?"
Lalu kedua matanya menjadi merah, mengembeng air...
Di saat kedua orang itu bicara, Giok Lo Sat pun sudah
mendaki datang. Ia terus lompat ke depannya nyonya itu.
"Kiranya kau, bangsat wanita, yang melepaskan senjata
rahasia?" demikian tegurnya. Dan ia susuli dengan
mengayunkan tangannya, dari mana melayang melesat tiga
batang jarum. Si orang tua kaget, dia lompat maju dengan mengebutkan
tangan bajunya. Dia dapat sampok jatuh dua batang, tetapi
jarum yang ketiga mengenai sasarannya, menancap di
pundaknya nyonya itu, hingga berkaok-kaok kesakitan!
Orang tua itu menjadi panas hatinya.
"Hai, bangsat wanita, kau sangat kurang ajar!"
mendampratnya. "Kau telah perhina anakku, kau juga melukai
gundikku, aku tidak dapat menyudahinya begitu saja! Mari kita
janjikan suatu hari untuk kita bertempur pula satu sama satu,
siapapun tidak boleh undang kawan pembantu! Beranikah kau
terima tantanganku ini?"
Giok Lo Sat menjawab dengan ketawanya.
Maka berubah pucatlah wajahnya orang tua itu.
"Kalau kau inginkan, sekarangpun kita boleh bertempur
lagi!" Orang tua itu menantang. Dia sangka si nona
mentertawai padanya karena lukanya itu, dia meminta waktu
untuk melanjutkan pertempuran.
Akan tetapi Giok Lo Sat tertawakan kelicikannya orang tua
itu. Sebenarnya tiga jarumnya tadi, kalau si orang tua
inginkan, dengan gampang dia bisa sampok jatuh semuanya.
Tapi orang tua ini sengaja membiarkan jarum yang ketiga
menyambar melukai nyonya itu, supaya mendapat
"hukumannya". Orang tua ini liehay sekali, ia percaya bahwa
gundiknya tidak akan terluka parah oleh serombongan senjata
rahasia jarum itu. Ia hanya tidak menyangkanya bahwa Si
Raksasi Kumala dapat menerka akal muslihatnya ini.
"Sekarang kedua pihak sudah letih, umpama pertempuran
itu dilanjutkan hasilnya pun tidak akan memuaskan siapa juga!
Kau tinggal di mana" Lain hari pasti aku akan mengunjunginya
untuk mohon pengajaran daripadamu!"
Suaranya nona kosen dan katak ini menjadi sabar, diajuga
tidak sebut-sebut lukanya si orang tua.
Orang tua itu adalah seorang kenamaan, ia tidak menjadi
gusar karena lukanya itu. Meski benar gundiknya membantui
padanya, namun hampir saja nama baiknya menjadi runtuh.
Maka ia berlaku sabar. .Ia dapat berpikir atas kata-katanya si
nona. "Baiklah," katanya kemudian. "Di dalam satu bulan aku
menantikan kau di dusun Tiat keeCung di Liongbun!"
Mendengar alamat itu Giok Lo Sat terkejut, hatinya gentar
juga Si orang tua dengan tidak perdulikan si nona lagi lantas
berlalu dengan cepat turun dari gunung itu sambil tuntun
gundik dan gadisnya.
Giok Lo Sat hendak mengejar, tetapi mendadak dari tengah
gunung ia dengar seruannya To It Hang dan Ong Ciauw Hie
saling susul: "Lian Liehiap, lekas, lekas kemari!"
"EnCie Lian, lekas, lekas kemari!"
Seruan "EnCie Lian" itu adalah panggilannya It Hang.
Mendengar itu, hatinya si nona memukul. Suara itu merdu
terdengarnya di kupingnya si nona. Ia kuatirkan orang
terancam bahaya, maka ia batal menyusul si orang tua serta
gundik dan anak daranya itu, terus ia memutarkan tubuhnya
untuk lari ke belakang gunung.
Segera ia tampak di depan sebuah gua, Ong Ciauw Hie dan
To It Hang tengah berjongkok. Di sekitarnya banyak batu
besar berserakan.
"Eh kalian sedang bikin apa?" dia tanya sambil terus lari
menghampiri. It Hang lompat bangun.
"Ceng Kian Toojin telah dibinasakan orang!" demikian
jawabnya. Giok Lo Sat kaget hingga ia berjingrak.
"Apa" Orang telah bunuh Ceng Kian Toojin?" tanyanya.
Ia lihat Ceng Kian Toojin rebah dengan mengeluarkan
darah dari hidung, mulut, mata dan kuping, keadaannya
sangat mengiriskan dan menyedihkan. Kettka ia raba nadinya
Ceng Kian, nadi itu sudah berhenti jalan, tapi seluruh
tubuhnya masih hangat, suatu tanda dia melepaskan
napasnya belum lama.
"Pasti ada orang yang ketahui ia membawa kitab ilmu
pedang maka orang telah aniaya padanya," It Hang
mengutarakan dugaannya.
Giok Lo Sat berdebar-debar jantungnya.
"Kitab ilmu pedang apa?" ia tanya
"Kitab ilmu pedang gurumu," sahut It Hang. "Saudara Beng
Kie minta tolong Ceng Kian Tootiang antarkan kitab itu kepada
Thian Touw Loojin, aku tak sangka tootiang telah dibinasakan
orang di sini, kitabnyapun lenyap.
Tiba-tiba si Raksasi Kumala menjadi gusar.
"Inilah pasti perbuatannya bangsat tua she Tiat itu!" dia
berseru. "Tadinya aku anggap dia seorang dari golongan yang
lebih tua, bahwa dia seorang gagah sejati, tapi ternyata dia
telah curi kitab ilmu pedang, juga menganiaya Ceng Kian
Tootiang!"
Ciauw Hie heran.
"Bagaimana liehiap dapat menduga demikian?" ia tanya
"Kepandaian silatnya Ceng Kian Tootiang liehay, jikalau
bukannya bangsat tua she Tiat itu, siapa lagi yang sanggup
robohkan padanya?" jawab si nona. "Eh, Ciauw Hie, bukankah
kau kenal baik bangsat tua she Tiat itu?"
"Berulang-ulang kau sebut bangsat tua she Tiat itu,
siapakah dia?" It Hang tanya.
"Aku keluar dari perguruan belum cukup tiga tahun akan
tetapi tentang kaum Golongan Hitam dan Golongan Putih, aku
tahu banyak juga" sahut Giok Lo Sat. "Di Liongbun, Shoasay.
ada tinggal Tiat Hui Liong si makhluk aneh dari barat utara.
Benarkah dia atau bukan?" ia menegasi Ciauw Hie.
"Dia adalah satu makhluk dari kedua golongan itu,"
sahutnya Ong Ciauw Hie. "Perbuatan baik dia lakukan,
perbuatan jahat dia lakukan juga. Siapa berani main gila
terhadapnya" Akan tetapi seumurnya dia sangat angkuh, aku
sangsi bahwa dia yang curi kitab ilmu pedang itu."
Si nona pelototkan matanya
"Mungkinkah aku keliru menyangka?" katanya. "Perempuan
muda yang bertopeng muka tadi toh gadis orang tua itu?"
Ciauw Hie menjadi likat, ia manggut.
"Benar," ia menjawabnya dengan perlahan.
"Ilmu silat pedang gadis itu adalah ilmu silat dari kaumku!"
Giok Lo Sat kata.
Ciauw Hie heran hingga ia pentang kedua matanya.
"Begitu?" tanyanya.
Giok Lo Sat tertawa dingin.
"Rupanya kau silau akan kecantikannya perempuan itu,
maka kau hendak lindungi padanya?" ia kata dengan tajam.
Ciauw Hie terkejut, hingga tanpa merasa ia mundur dua
tindak. "Tua bangka itu kenal baik dengan ayahku," kata ia dengan
sikap menghormat. "Dan aku sendiri mengenai dia, hanya
dapat mendengarnya dari cerita orang, aku tidak tahu hal
yang sebenarnya."
Sebetulnya di antara Tiat Hui Liong dan Ong Kee In ada
suatu "urusan" yang masih harus dibereskan, akan tetapi
karena nona ini sedang murka, Ciauw Hie tidak berani
menjelaskannya, terpaksa ia ke sampingkan soal itu.
"Tadi aku telah bertempur seru dengan tua bangka she Tiat
itu," Giok Lo Sat kasih tahu. "Pada mulanya aku masih belum
tahu siapa dia, aku baru mengetahuinya sesudah dia
menyuruh aku pergi ke Tiat keeCung di Liongbun untuk cari
padanya. Benar-benar dia besar nyalinya, dia telah merampas
kitab dan binasakan orang, dia masih berani beritahukan she
dan namanya. Tidak dapat tidak aku mesti cari padanya untuk
membuat perhitungan!"
Ketika itu To It Hang berseru "Aha!"
Giok Lo Sat heran, ia berpaling dan mengawasi.
Ong Ciauw Hie pun menengok ke arah sahabat itu.
"Aku ingat sekarang!" katanya It Hang. "Bukankah roman
hidung tua bangka itu seperti garuda, mulut seperti singa,
mukanya penuh berewokan dengan kumis dan jenggot?"
"Apakah kau pun kenal dia?"
"Aku tidak kenal dia tetapi aku tahu dia siapa," It Hang
jawab. "Itulah kejadian pada tujuh atau delapan tahun yang
lampau. Pada suatu hari dia datang mencari guruku, untuk
diajak mencoba ilmu silat tangan kosong. Suhu-ku tidak sudi
melayani, dia suruh paman guruku yang ke empat lawan
padanya. Kesudahannya, paman guruku itu kena dikalahkan.
Tentu sekali beberapa paman guru lainnya sesalkan suhu yang
tidak mau turun tangan, sehingga nama baiknya Butong pay
telah dinodai. Atas itu, suhu mengatakan: 'Menghadapi orang
yang suka menang sendiri, kita harus mengalah. Butong pay
kita ada seumpama pohon kayu besar, yang mengundang
damparan angin, maka kenapa kita mesti melayani orang
mengadu mulut hingga mendatangkan kesulitan sendiri"
Lagipun aku berani pastikan, walau dia telah dapat
mengalahkan sutee, terhadap kita kaum Butong pay, dia tentu
akan tetap menghormatinya.' Ke empat paman guruku tanya
apakah alasannya maka suhu beranggapan demikian. Suhu
menjawabnya hanya dengan ketawa. Baru belakangan, suhu
memberi keterangan padaku, bahwa ke empat paman guruku
itu pun adalah orang-orang yang mau menang sendiri, karena
itu suhu tidak ingin omong terus terang kepada mereka. Hui
Liong dapat mengalahkan paman guruku dengan
menggunakan ilmu pukulan yang dinamakan Hangliong Ciu.
Tangan Menakluki Naga, salah satu pukulan terliehay dari
Luiteng Patkwa Ciang. Setelah kemenangannya itu, bukan
main puas hatinya. Dia telah bicarakan ilmu pukulannya
kepada guruku, katanya ilmu pukulan itu tidak ada
tandingannya di kolong langit ini. Terhadap kejumawaannya
itu, guruku tetap membungkam. Ketika suhu antar dia keluar,
di ambang pintu suhu memasang kuda-kuda Patkwa, dari
kedudukan sunwie menghadap lurus ke arah kianwie, lalu
menyamping sedikit ke arah liewie. Di situ suhu rangkapkan
kedua tangannya menjura terus tangannya diturunkan dibuka
ke kiri dan kanan. Nampaknya dengan cara menghormat itu,


Wanita Gagah Perkasa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

suhu memimpin dia keluar, akan tetapi sebenarnya suhu telah
aku pecahkan tipu Hangliong Ciu. Hui Liong seorang yang ahli,
tentu saja dia menginsafi itu, maka juga keluarnya dari kuil,
dia berpaling untuk memberi hormat pada suhu sambil
menghaturkan maaf."
"Sungguh sabar gurumu itu!" Ong Ciauw Hie memuji.
Tetapi Giok Lo Sat tertawa dingin.
"Terhadap orang buruk semacam dia, aku tidak sudi
mengasih hati!" katanya.
Tiat Hui Liong tidak mempunyai anak laki-laki, ia hanya
mempunyai seorang anak perempuan, namanya San Ho yang
sangat dimanjakan. Tabiatnya Hui Liong suka menang sendiri,
dan aneh pula adatnya, dengan kaum Rimba Persilatan ia
tidak suka bergaul luas. Tetapi di samping itu, orang-orang
kangouw pun tidak berani main gila terhadapnya.
Tiat San Ho, sang gadis, cantik sekali, akan tetapi dalam
umurnya delapan belas tahun itu, dia masih belum menikah
ataupun bertunangan.
Hui Liong pernah ajak gadisnya ini merantau, sampai
sebegitu jauh dia belum mendapatkan pemuda yang dipenuju
untuk dijadikan pasangan puterinya itu.
Ong Kee In, ayahnya Ciauw Hie, dalam kalangan Rimba
Hijau di Siamsay Utara telah peroleh nama baik. Hui Liong
kenal baik pada Ong Kee In, diapun dengar nama yang
kesohor dari Ciauw Hie, tertariklah hatinya. Seorang diri dia
tertawa dan berkata: "Genta wajar tak mau aku tabuh,
sebaiknya aku lebur kuningan untuk membuatnya yang baru!"
Lantas dia ajak puterinya pergi ke Yanan. untuk sambangi Ong
Kee In. Kee In tahu Hui Liong adalah seorang liehay, dia girang
mendapat kunjungannya, ia menyambutnya dengan baik.
Di sini Hui Liong dan gadisnya dapat melihat wajahnya
Ciauw Hie, keduanya ayah dan anak pcnuju pada pemuda itu.
Sehabisnya perjamuan, dengan langsung Hui Liong
utarakan keinginannya untuk ikat tali persanakan dengan tuan
rumah, dengan jalan menjodohkan putera puteri mereka.
Kee In menjadi tak enak hati. Itulah bukan karena ia
mencela nona Tiat, tetapi ia mempunyai keberatan lainnya.
Dengan terpaksa ia menampiknya dengan manis. Ia
menerangkan bahwa puteranya itu sudah ditunangkan dengan
puterinya Busu Beng Can di kota raja. bahwa pertunangan itu
diikat semenjak mereka masih dalam kandungan masingmasing.
Maka itu. tuan rumah minta tetamunya suka pilih lain
pemuda saja. Begitu keras keinginannya Hui Liong akan bermenantukan
Ciauw Hie, hingga ia membawa adatnya yang aneh. Begitulah
ia gebrak meja dan kata dengan keras: "Kecewa kau menjadi
ketua kaum Rimba Hijau! Kenapa kau sudi mengikut tali
persanakan dengan garuda dan anjing Pemerintah" Di
manakah cacatnya anak perempuanku" Lekas kau batalkan
pertunangan anakmu itu!"
Ong Kee In tahu bahwa sahabat ini tidak boleh dilayani
keras dengan keras, lagi pula ia sedang mengikhtiarkan suatu
usaha besar, ia tidak ingin bentrok dengan orang semacam
Hui Liong, maka ia tetap berlaku sabar. Ia menjawab:
"Umpama pertunangan mesti dibatalkan, adalah selayaknya
hal itu dibicarakan dahulu dengan jelas kepada Beng Busu.
Perjalanan ke kota raja bukanlah dekat, tak dapat dilakukan
dengan hanya sehari semalam."
Hui Liong tidak puas dengan alasan penampikan itu, terus
saja ia ajak gadisnya pergi.
Setelah tetamunya berlalu. Ong Kee In tanya pendapat
puteranya. Kepada ayahnya Ciauw Hie mengatakan bahwa terhadap
Tiat San Ho ia tidak mempunyai kesan jelek, tetapi ia tidak
ingin putuskan pertunangannya dengan Nona Beng. Karena
ini. merekajadi menghadapi kesulitan, karena merekapun tidak
mau bentrok dengan jago she Tiat itu. Maka ayah dan anak
lantas berdamai, untuk memecahkan kesulitan itu. Akhirnya
diambil keputusan. Ciauw Hie mesti pergi ke kota raja untuk
menyambut bakal isterinya. Akan tetapi di luar dugaan,
sesampainya Ciauw Hie di Pakkhia, Beng Busu tengah
mengalami nasib celaka dan binasa secara mengenaskan.
Selain itu juga Pek Bin menjadi persoalan, yang disangkanya
menyintai Nona Beng, atau Nona Beng suka akan pemuda
tolol itu yang menjadi murid Beng Busu. karena itu Ciauw Hie
lantas kabur...
Ciauw Hie menjadi serba salah menghadapi urusannya Giok
Lo Sat dengan Tiat Hui Liong itu. Kalau si nona satroni Hui
Liong, kesudahannya mungkin hebat, pasti ia akan dicurigai
orang she Tiat yang adatnya aneh itu. Tapi ini masih dalam
teka-teki. Yang ia kuatirkan ialah usahanya nanti menjadi
gagal disebabkan bentroknya si nona dan si tua bangka itu.
Bukankah mereka ayah anakjusteru sedang kumpulkan orangorang
gagah" Suatu kerugian besar kalau Tiat Hui Liong tidak
berada di pihaknya hanya karena urusan sekecil itu. Ia juga
sangsi Hui Liong sudi melakukan perbuatan yang
merendahkan dirinya dengan mencuri kitab ilmu silat pedang
itu. Tapi sekarang Giok Lo Sat berkeras hendak tempur orang
she Tiat itu! Benar-benar sulit.
Sementara itu, semua orang letih, berdahaga dan lapar.
Mereka telah bertempur sejak malam, dan sekarang sudah
jauh siang. Sinar matahari telah menyorot hebat ke arah gua,
dari mana tercium bau amis dari darahnya Ceng Kian Toojin.
Giok Lo Sat robek sepotong tangan bajunya, dengan itu ia
menyeka darahnya si imam. Ia berlaku hati-hati sekali. Darah
itu bersemu hitam, rupanya disebabkan tercampurnya bisa.
Melihat darah itu, si nona jadi ragu-ragu.
"Tiat Hui Liong lebih gagah daripada Ceng Kian Toojin,
jikalau dia hendak rampas kitab ilmu pedang, tak perlu dia
menggunakan bisa," begitu ia berpikir.
Oleh karena ini. Giok Lo Sat lalu memeriksa kepalanya si
imam, hingga ia dapatkan tulang-tulang rahang yang remuk.
Teranglah serangan itu dilakukan oleh tangan yang liehay.
Karena ini, ia meneliti kedua belah pipi itu. Sekarang terlihat
tanda-tanda bekas totokan jari tangan. Totokan itu juga
mengenai tenggorokan. Itulah totokan yang mirip dengan
totokan tangannya Tiat Hui Liong.
Maka bukan main bingungnya nona ini.
Ceng Kian Toojin itu kenal baik kepada To It Hang, juga
kepada gurunya Giok Lo Sat, maka dapat dimengerti
kedukaannya It Hang dan si Raksasi Kumala. Dengan dibantu
Ciauw Hie mereka menggali lubang untuk mengubur
mayatnya imam itu. Mereka melelehkan air mata.
Giok Lo Sat ambil tanah basah yang ia pulung-pulung
dijadikan seperti hio, lantas ia memberikan hormatnya sambil
paykui, sambil bersembahyang secara sangat sederhana itu, ia
sumpah kepada Thian bahwa ia akan menuntut balas untuk
imam ini. Setelah penguburan selesai, mereka mencari sumber air
untuk mencuci tangan, lalu mereka dahar rangsum kering.
Ketika kemudian mereka turun dari gunung, di kaki gunung itu
mereka disambut oleh tentaranya Ong Ciauw Hie.
Pek Bin telah dapat ditolong. Ketika bertemu Giok Lo Sat, ia
menghaturkan terima kasih sambil menjura.
It Hang sangat berduka, keningnya tampak berkerut.
"Jangan kau terlalu berduka, saudara To," Giok Lo Sat
menghiburkan. "Tentang jenazah engkongmu, aku sudah
titahkan orang membawanya ke Wayauwpo. Kalau nanti kau
sampai di sana, kau boleh urus penguburannya lebih jauh.
Perihal bujang-bujangmu, akupun sudah atur beres semuanya
dengan berikan mereka uang untuk pulang ke masing-masing
kampungnya."
It Hang berdiam untuk ambil keputusan. Kalau ia pulang,
tentulah ia akan dibekuk pembesar negeri, karena ia
melakukan perlawanan. Maka akhirnya ia terima baik cara
pengaturannya si nona. Sebenarnya ia tidak ingin turut Ong
Ciauw Hie pergi ke Wayauwpo, tetapi karena jenazah
engkongnya sudah diangkut Giok Lo Sat ke sana, terpaksa ia
ikut juga. Wayauwpo terpisah seratus lima puluh lie dari kotaYanan.
Ciauw Hie mengajak Giok Lo Sat dan It Hang, serta Pek Bin
berangkat lebih dahulu daripada tenteranya, dengan
menunggang kuda. Maka mereka bisa sampai lebih cepat pada
waktu tengah malam.
Ong Kee In menyambut sendiri ketika ia terima kabar
sampainya Giok Lo Sat beramai, ia girang sekali bertemu
dengan nona kosen itu, juga ia utarakan kegirangannya
terhadap To It Hang.
Tentang pemuda she To ini, Ciauw Hie berikan keterangan
kepada ayahnya dengan jelas.
"Jarang ada orang yang pandai ilmu surat dan silat
berbareng seperti kau, saudara To!" Kee In memujinya sambil
tertawa. "Kami serombongan orang-orang kasar justeru
kekurangan seorang cerdik pandai untuk mengatur tata tertib
dan rencana pergerakan kami."
It Hang merangkapkan kedua tangannya.
"Urusan itu harap dibicarakan belakangan saja," ia kata,
sikapnya tawar.
Kee In merasa kecele, ia tidak sangka akan mendapat
jawaban demikian rupa.
Ciauw Hie segera menyelak.
"Saudara To sedang berkabung," katanya, sebagai kisikan
kepada ayahnya.
"Oh, maaf!" kata Kee In kemudian. Terus ia suruh
orangnya siapkan pakaian berkabung untuk tetamunya itu,
untuk juga pernahkan layonnya To Tiong Liam. Maka
keesokannya, walaupun dengan cara sederhana, It Hang bisa
urus pemakaman jenazah engkongnya itu. Iapun minta
pertolongannya Ciauw Hie untuk melihat-lihat kuburannya.
Giok Lo Sat telah membuat pertemuan dengan semua
pemimpin dari Wayauwpo yang mengambil waktu satu hari.
maka baru pada sore harinya, ia mempunyai kesempatan
untuk unjuk hormat di makam To Tiong Liam.
It Hang layani nona itu memasang lilin dan hio.
Meski si nona unjuk hormatnya, tapi di dalam hatinya ia
tertawa Inilah disebabkan sebelumnya ia tidak menyangkanya
bahwa hari ini ia mesti soja kui di hadapan arwah seorang
yang dulu ia pesta porakan hartanya!
It Hang lihat si nona tidak menunjukkan roman duka, ia
tidak puas. Ia duga nona ini berduka hanya dengan pura-pura
saja. Ia tidak tahu bahwa nona itu sebenarnya sedang
memikirkan sesuatu. Kalau bukan ia yang diberati si nona,
tidak nanti dia sudi unjuk hormatnya itu.
Bulan baru saja muncul ketika It Hang temani si nona
berjalan pulang dari kuburan, merekajalan berendeng dengan
langkahnya yang perlahan.
Giok Lo Sat jalan sambil pegangi lengannya pemuda kita, ia
seperti bergelendot diri, matanya senantiasa melirik. Satu kali
ia memalingkan kepalanya, agaknya ia ingin bicara, tapi
mulutnya tetap bungkam.
It Hang merasakan hembusan napas si nona yang berbau
wangi, tanpa merasa hatinya memukul. Maka lekas-lekas ia
menjauhkan diri.
"Apakah sampai sekarang ini kau masih jeri terhadapku?" si
nona tanya sambil tertawa.
"Aku tidak tahu kenapa kau menyebabkan orang jeri
padamu?" balik tanya pemuda kita.
"Apakah kau tidak tahu bahwa aku telah menjadi besar di
bawah asuhannya biang srigala?" kata si nona. "Sebenarnya
tidak ada niatku untuk membuat jeri siapa juga. Mungkin
disebabkan sifat keliaranku belum hilang semuanya maka
orang jadi jeri terhadap aku..."
It Hang tidak menjawab, ia hanya menghela napas. Ia
sayangi nona ini, yang demikian cantik dan cerdas tetapi tidak
dapat pimpinan ke jalan lurus...
"Tidak keruan-keruan kau menghela napas, kenapa?" si
nona tanya. "Aku memikirkan kau... Kau demikian gagah, mengapa kau
ceburkan diri dalam kalangan Rimba Hijau?" jawabnya anak
muda ini. Air mukanya nona itu berubah.
"Apa jeleknya kalangan Rimba Hijau?" tanyanya. "Di
mataku atau pendapatku kalangan Rimba Hijau jauh lebih
bersih daripada golongan pembesar negeri!"
It Hang tunduk dan diam.
"Bagaimana pikirmu tentang hari kemudianmu?" tanyanya
si nona pula. "Apakah kau berniat memangku pangkat seperti
engkongmu, seperti ayahmu juga" Apakah kau hendak
menjual jiwa untuk raja?"
"Selama hidupku, pasti aku tidak sudi memangku pangkat!"
jawab It Hang dengan suara tetap. "Tetapi pun tak sudi aku
menjadi penjahat!"
Giok Lo Sat jadi mendongkol. Kalau orang yang bicara di
hadapannya bukan pemuda she To itu, niscaya tangannya
Giok Lo Sat sudah melayang.
"Aku adalah murid Butong pay," berkata pula It Hang,
suaranya sabar. "Aturan kaumku, kesatu kami dilarang
menjadi penjahat, kedua dilarang menjadi piauwsu. Mustahil
kau tidak tahu aturan kami itu?"
Nona cantik itu tertawa dingin.
"Mungkinkah engkong dan ayahmu itu bukannya
penjahat?" dia tanya.
Pemuda itu menjadi gusar.
"Bagaimana kau dapat mengatakan demikian?"
"Orang yang menjadi pembesar, dia memeras si melarat
untuk mengumpulkan harta," sahut si nona, "dan kami yang
menjadi penjahat, kami merampas si kaya guna menolong si
miskin! Maka kita adalah sama-sama penjahat! Tapi penjahat
sebagai aku ada jauh lebih baik daripada penjahat yang
berselimut kepangkatan!"
"Baiklah, kau boleh katakan apa kau suka! Sesuatu orang
mempunyai cita-citanya masing-masing, cita-cita itu tidak
selayaknya saling dipaksakan!"
Tubuhnya Giok Lo Sat bergemetar, ia sangat berduka
It Hang lirik nona itu, ia tampak matanya si nona merah
dan mengembengkan air, yang hendak meluncur turun.
Dengan tiba-tiba datanglah rasa kasihnya. Maka dengan
pelahan-lahan, ia genggam tangannya nona itu.
"Cita-cita kita berlainan tetapi persahabatan kita harus


Wanita Gagah Perkasa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terus tetap kekal," kata dia.
Si nona tidak katakan suatu apa, hanya dengan lagu suara
sedih dia tanya: "Bila kau hendak berangkat?"
"Besok!" sahutnya pemuda kita.
Giok Lo Sat menghela napas Ia berdiam.
Sekian lama keduanya membungkam, kemudian It Hang
yang mulai membuka suara.
"Coba kau ceritakan tentang kaum kangouw," ia meminta,
dengan maksud mencoba mengenyampingkan pokok
pembicaraan. Giok Lo Sat suka bicara, dan ia menuturkan beberapa
kejadian di kalangan kaum kangouw.
Pemuda itu sendiri bicara dari hal keindahan kota raja.
Segerajuga mereka menjadi seperti sahabat-sahabat kekal,
mereka jalan perlahan-lahan di bawah terangnya rembulan.
Mereka tidak berani pula bicara secara mendalam, tetapi kini
mereka telah lebih saling mengerti.
Sampai jauh malam barulah mereka berpisahan.
Keesokannya pagi-pagi sekali, It Hang pamitan dari Ong
Ciauw Hie. Tuan rumah yang muda tahu, sudah keras niatnya sahabat
ini berangkat, ia tidak mau mencegah. Maka mereka
berpisahan dengan sama-sama merasa masgul
Hatinya It Hang menjadi tawar karena pengalamannya
yang hebat itu, namun ia tidak gampang-gampang dapat
melupakan kepentingan negara, yang sedang terancam
bahaya kemusnahan. Maka setelah lama menimbangnimbang,
ia mengambil keputusan akan berangkat ke kota
raja, walaupun akan menghadapi bahaya. Ia hendak beberkan
pada putera mahkota tentang persekongkolan kaum
penghianat dengan bangsaBoan. Denganjalan ini juga ia ingin
membersihkan diri, supaya ia tidak terfitnah.
Pemuda ini ambil jalan yang menuju Shoasay, akan
kemudian memutar ke Hoopak. Dalam waktu kira-kira delapan
hari, ia sudah memasuki wilayah propinsi Shoasay itu. Hari itu
ia tiba di kecamatan Liongbun. Di sepanjang jalan ia tampak
air sungai yang kuning dengan di kedua tepinya terdapat
batu-batu tebing.
Tengah berjalan, tiba-tiba pemuda ini ingat, Tiat Hui Liong
berkampung halaman di dalam kecamatan ini. Tanpa ia
merasa, tergeraklah hatinya. Ia lantas memandang ke
sekitarnya. Kebetulan pada waktu itu, di situ tidak kedapatan
seorang lain jua, kecuali di tengah sungai di kejauhan tampak
ada beberapa buah perahu layar. Ia jalan terus dengan
merasa kesepian. Ketika akhirnya ia jalan menikung, terlihat
olehnya sebuah kampung di depannya.
"Mungkin itulah Tiat keeCung..." ia menduga-duga.
Pemuda ini agak sangsi, ia harus mampir atau jangan di
rumahnya orang she Tiat itu. Karena kesangsiannya itu, ia
keluarkan kata-kata yang tidak jelas bagaikan orang melamun.
Ia menjadi terperanjat sendirinya ketika tiba-tiba ia dengar
tertawa dingin dari arah belakangnya, cepat ia memutar
tubuh. Untuk keheranan dan kekagetannya, ia lihat In Yan
Peng dan Kim Cian Giam sedang berdiri sambil mentertawai
dia. "Hai, manapelindungmu, si Giok Lo Sat?" tanya ln Yan Peng
dengan mengejek. "Bocah, jikalau dia tetap berada di
sampingmu, aku memang tidak dapat berbuat suatu apa
terhadap dirimu. Tapi toh ada kalanya kau jalan sendirian saja
seperti sekarang ini!"
It Hang insyaf akan bahaya yang mengancam dirinya maka
ia segera hunus pedangnya.
"Biarpun aku seorang diri, aku tidak takut!" katanya dengan
gusar. "Sungguh satu enghiong!" Kim Cian Giam turut mengejek.
"Berapakah beratnya timbanganmu" Jangan kau mengebul!"
Sambil berkata bekas pahlawan ini datang mendekati, lalu
sekonyong-konyong ia menyambar dengan
sebelah tangannya-itu tangan
yang liehay! It Hang berkelit, pedangnya menyabet!
Orang she Kim itu mengelakkan tubuhnya, menyamping,
dari mana, dengan kecepatan luar biasa ia menyerang pula,
kali ini dengan kedua tangannya.
It Hang lompat sambil memutarkan tubuhnya
membebaskan diri dari serangan yang berbahaya itu, setelah
tarik pulang pedangnya, ia juga balas menyerang. Ia
menerjang dari samping, ia tidak mau kalah sebat.
Kim Cian Giam ketawa terbahak-bahak! Dengan berani ia
ulurkan tangan kanannya, menggunakan dua jarinya mementil
pedangnya It Hang hingga terpental, diteruskan dengan
serangan tangan kirinya.
It Hang mundur dengan cepat. Kembali ia mundur sambil
memutar tubuh, dan di waktu berbalik, lagi-lagi ia balas
menyerang, untuk menabas lengan musuhnya. Itulah
serangan "Tosay kimCie" -- "Menyawer uang emas".
Tentu saja Cian Giam tidak membiarkan tangannya ditabas
kutung, ia segera menariknya pulang. Tapi ia tidak mau begitu
saja. Maka ia mengulangkan serangannya, kali ini berbareng
dengan kedua tangannya, yang pada telapaknya
memperlihatkan sinar merah yang sasarannya adalah batok
kepalanya pemuda kita.
It Hang juga tidak mau menjadi korban tangan yang jahat
itu, sambil menyabet ke atas ia mendek diri, untuk kasih lewat
kepalanya di sebelah bawah kedua tangan musuh. Setelah itu,
iapun menyerang, malah ia mendesak untuk dapat cegah
musuh datang dekat padanya.
Kim Cian Giam liehay, ia hanya kalah gesit daripada
pemuda kita. Syukur It Hang mahir lweekangnya, maka ia dapat
bertahan untuk sambaran-sambaran angin dari setiap pukulan
musuh itu. Sudah lima puluh jurus kedua orang itu bertempur, It Hang
agak keteter, tapi Cian Giam tidak mampu segera
merobohkannya. Selama itu, In Yan Peng berdiri menonton
sambil memasang mata, siap sedia kalau-x kalau kawannya
membutuhkan bantuannya.
Akhirnya, It Hang menjadi ibuk juga Maka ia segera
memikirkan daya untuk meloloskan diri. Ia kuatir kedua
musuh nanti kepung padanya. Itulah berbahaya Dengan tibatiba
saja ia lompat mundur, terus melarikan diri ke jurusan
kampung. "Hai! Ke mana kau hendak mabur?" bentak In Yang Peng.
Dia memang mahir dalam ilmu enteng tubuh, ia lantas
mengenjot tubuh untuk lompat mengejar. Hanya dengan tiga
kali enjotan saja, ia sudah dapat menyandak, segera ia
menyabet dengan ikat pinggangnya, untuk dapat melibat anak
muda itu. It Hang tahu bahaya mengancam dirinya, setelah beberapa
kali dapat kelitkan diri dari serangan-serangan ikat pinggang
musuh sambil lari terus, di lain saat, ia sudah memasuki
halaman kampung.
In Yan Peng terus mengejar, membayangi pemuda kita.
Selagi It Hang terancam bahaya, dari samping tempat dia
lari, di mana terdapat pohon-pohon kembang yang lebat,
terdengar suara tertawanya seorang perempuan. Justeru Yan
Peng lewat di situ, mendadak dari dalam semak-semak itu
sebuah gunting menyambar ikat pinggangnya, hingga dia
mesti berhenti mengejar. Menyusul itu, dari semak-semak itu
muncul dengan bergantian dua orang perempuan, satu muda
dan yang lain dari usia pertengahan.
Nyatalah si nyonya itu adalah wanita yang kemarin
terserang jarumnya Giok Lo Sat. dan si nona adalah Tiat San
Ho, puterinya Tiat Hui Liong.
In Yan Peng kenal kedua wanita Itu, ia lantas memberi
hormat. "Kiu Nio, bocah ini bukan orang baik-baik" kata dia pada si
nyonya. Dan dia teruskan kepada si nona: "Nona San Ho, aku
harap kau menjadi orang baik-baik dari mula sampai akhir! Itu
hari kau telah bantu kami, maka sekarang aku minta sukalah
kau bekuk bocah ini!"
Nona itu tertawa.
"Aku lakukan urusanku sendiri, siapa yang telah bantu
padamu?" dia membaliki.
Si nyonyapun menegur:
"LooyaCu telah mengatakan bahwa dia tidak sudi menemui
kalian, mau apa kalian lancang masuk pula kemari?" Dan ia
perlihatkan tampang keren.
"Kami sedang mengejar bocah itu," sahut Yan Peng.
"Apakah loojinkee tidak dapat lihat?" (Loojinkee=orang tua,
kata hormat untuk "kau").
"Siapa usil urusanmu itu?" bentaknya si nyonya. "Apakah
Tiat keeCung ini tempat di mana kau dapat lancang
memasukinya" Pergi! Lekas pergi!"
Yan Peng dan Kim Cian Giam yang telah menyusul saling
mengawasi. Nyonya itu adalah Bok Kiu Nio, ialah ibu tirinya Tiat. San
Ho, atau gundiknya Tiat Hui Liong, yang beristerikan Bok Kiu
Nio ketika dalam umur setengah abad ditinggal mati isterinya
yang pertama. Kiu Nio adalah gadisnya penjual silat. Hui Liong
hormati almarhum isterinya, ia tidak mau anggap Kiu Nio
sebagai isteri sah. Meski demikian, Kiu Nio disayang olehnya.
Karena ini Yan Peng dan Cian Giam malui juga nyonya itu.
"Mengapa diundang minum arak, kalian tidak minum, tapi
sekarang kalian hendak minum arak dendaan?" Kiu Nio
menegur pula. "Dan disuruh pergi kalian tidak mau pergi!
Apakah kalian sengaja hendak bikin kaget looyaCu supaya
nanti looyaCu undang kalian masuk?"
"Maaf, Kiu Nio," kata Yan Peng akhirnya. "Kita akan segera
berlalu dari kampungmu ini," Lantas dengan bengis ia awasi It
Hang, terus bersama Cian Giam ia berlalu dengan cepat dari
kampung itu. It Hang juga hendak berlalu, ketika si nyonya sambil
tertawa mencegahnya.
"Kau hendak pergi ke mana" Mari!" katanya.
Pemuda itu memberi hormat.
"Tidak berani aku menggerecoki kau." ia berkata.
"Hai anak tolol!" tertawa pula si nyonya. "Bagaimana, kau
bisa berlalu sekarang, sedangkan mereka belum pergi jauh!
Bukankah kau bukannya tandingan mereka" Apakah kau
hendak antarkan jiwamu cuma-cuma?"
Mukanya si anak muda menjadi merah. Benar juga katanya
nyonya ini. Ia pasti akan dicegat pula oleh Cian Giam berdua
apabila ia keluar dari kampung itu. Maka dengan terpaksa, ia
ikut si nyonya dan nona masuk ke dalam.
Bok Kiu Nio persilakan tetamu yang datangnya tidak
diundang itu. duduk di hoathia. ruang dari bagian rumah
sebelah barat. San Ho di lain pihak sudah lantas menyuguhkan
air teh. "Bukankah Ong Ciauw Hie ada bersama kau?" si nona
tanya. "Tidak," sahut It Hang.
Agaknya nona itu kecele, terus saja ia keluar pula. Akan
tetapi tidak lama ia datang kembali, dengan menuntun
ayahnya --- Tiat Hui Liong.
Cepat-cepat It Hang berbangkit memberi hormat.
"Apa she dan namamu?" Hui Liong tanya.
It Hang perkenalkan dirinya.
"Oh, jadinya kau ada turunannya To Tiong Liam?"
"Dia adalah kakekku." Di waktu menjawab, It Hang
berbangkit pula.
Tampak wajahnya tuan rumah kurang puas.
"Ong Ciauw Hie itu sahabatmu, atau bukan?" Hui Liong
tanya pula. "Boleh juga dikatakan kenalanku," It Hang jawab.
Tuan rumah itu tertawa dingin.
"Ong Kee In seorang penjahat besar dari kaum Rimba
Hijau, mengapa dia suka bergaul kepada pihak pembesar
negeri?" dia tanya.
It Hang tidak menjawab. Ia pun merasa kurang senang.
"Bangsat wanita yang tempo hari menantangi aku, adakah
dia segolongan dengan kau?" tanya pula tuan rumah ini.
Memang It Hang tidak puas Giok Lo Sat menjadi penjahat,
akan tetapi ia gusar juga ketika mendengar orang katakan
"bangsat wanita" kepada nona itu.
"Lounghiong," katanya, dengan dingin, "kau agaknya
membenci pembesar negeri, tetapi juga kau mencaci maki
bangsa penjahat, apakah sebabnya" Boanseng ingin sekali
mendengar penjelasanmu."
Dengan sengaja pemuda ini memakai istilah "boanseng"
(aku yang muda) untuk "aku".
Tiat Hui Liong menjadi tidak senang.
"Bocah tidak tahu adat!" dia membentak. Terus ia ulurkan
sebelah tangannya untuk menjambak.
It Hang miringkan pundaknya, mengelak dari jambakan itu,
ia terus geser tubuhnya, akan tetapi ia toh merasa sakit sekali
seperti kena terbakar besi panas. Syukur ia masih dapat
loloskan dirinya
Wajahnya tuan rumah itu berubah.
"Apakah kau muridnya Cie Yang Tootiang?" dia tanya.
"Tidak salah dugaanmu." sahut si pemuda yang berlaku
terus terang. Tuan rumah itu perdengarkan seruan tertahan: "Oh!"
"Pada tujuh atau delapan tahun yang lampau, ketika aku
mengikuti suhu di Butong san. pernah aku bertemu dengan
looCianpwee," kata It Hang.
"Oh!..." kata pula Hui Liong, yang air mukanya lantas
menjadi sabar. "Kau duduklah!"
It Hang menurut, ia lantas duduk.
"Dengan gurumu aku pernah berjodoh ketemu satu kali.
maka aku tidak niat mengganggu kau." kata tuan rumah
kemudian. "Tapi aku ingin kau omong terus terang. Siapa
sebenarnya nona yang tempo hari bertempur melawan aku?"
It Hang menjawab sambil unjuk roman angkuh.
"Dialah Giok Lo Sat yang namanya membikin runtuh
nyalinya jago-jago Rimba Hijau!" demikian katanya.
Tiat Hui Liong lompat bangun.
"Oh, dia kiranya Giok Lo Sat?" serunya. "Tadinya aku
sangka kaum Rimba Hijau terlalu puji dia, nyatalah dia benarbenar
mempunyai kepandaian!" Lantas dia meneruskan


Wanita Gagah Perkasa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan pertanyaannya: "Apakah dia pamilimu?"
"Boleh dibilang dia adalah sahabatku juga." It Hang sahuti.
Sekonyong-konyong jago tua itu tertawa besar.
Sehabis tertawa, Hui Liong berkata: "Aku memang ingin
undang Giok Lo Sat dan Ong Ciauw Hie datang berkunjung
kemari, kebetulan sekali kau bersahabat dengan mereka,
itulah bagus! Sekarang ini biarlah kau mesti tinggal di gubukku
ini untuk beberapa hari, kalau nanti mereka datang, baru aku
perkenankan kau pergi!"
It Hang menjadi gusar. Itu artinya orang hendak tahan dia.
"Apakah looCianpwee hendak tahan aku sebagai manusia
tanggungan?" dia tanya.
"Memang!" jawab tuan rumah. "Aku pandang muka
gurumu, aku tidak mau ringkus padamu, tetapi juga kau.
jangan melamun hendak minggat!"
Orang tua ini ulurkan tangannya menyekal tangannya
pemuda kita, yang ia tuntun keluar dari hoathia dibawa ke
sebuah gudang kayu, ke dalam mana pemuda kita didorong
masuk, pintunya ia segera tutup.
"Kamar ini tak dapat dikatakan bagus, baik kau
merendahkan diri untuk tinggal di sini beberapa hari," kata
dia. It Hang tahu orang beradat kukoay, ia tidak membuat
perlawanan. Di dalam kamar itu lantas saja ia duduk untuk
bersemedhi, guna kasih jalan ambekannya.
Ketika sang malam datang, Kiu Nio muncul dengan barang
makanan. "Sungguh kau rajin!" memuji si nyonya sambil tertawa.
It Hang tidak gubris nyonya ini, ia dahar tanpa banyak
omong. Bok Kiu Nio mengawasi anak muda ini, mendadak air
mukanya bersemu dadu.
Pemuda kita yang dapat lihat perubahan wajah orang, diam
tunduk. Sejak itu, terus beberapa hari beruntun senantiasa Kiu Nio
mengantarkan barang santapan, malah sayurannya makin
lama makin lezat rasanya, tidak hanya daging ayam, juga ikan
gabus dari sungai Hongho.
Setiap kali datang, nyonya ini tentu ajak It Hang bicara,
bicara dari segala hal yang tidak ada juntrungannya. It Hang
tetap tidak sudi melayaninya hingga nyonya itu kebogean.
Pada suatu malam, Kiu Nio kembali datang untuk
mengobrol. "Orang mengatakan gurumu seorang ahli pedang nomor
satu di kolong langit ini," demikian katanya, "karena itu, ilmu
pedangmu pun tentunya sangat sempurna, cobalah kau
bersilat sebentar, untuk dapat membuka pandangan mataku!"
It Hang tidak bergeming sedikit juga.
"Aku adalah orang tavvananmu, mana berani aku mainkan
golok atau pedang?" dia kata dengan adem. "Ah, kau sesalkan
CungCu kami?" kata si nyonya. "Ya, kalau ditimbang-timbang
kau benar juga. Kau adalah puteranya seorang bangsawan,
sudah tentu kau tidak sanggup menderita seperti ini! Apakah
kau memikir untuk angkat kaki?"
It Hang tidak berikan jawabannya.
"Tahukah kau kenapa CungCu tahan kau di sini ?" tanya
pula si nyonya.
It Hang memang tidak tahu, maka ia terus membungkam.
"Itulah untuk kepentingan puteri mustikanya!" kata Kiu Nio.
"Apa?" It Hang heran bukan kepalang. Ia masgul. Di dalam
hatinya, ia kata: "Satu sudah sukar dilayani, sekarang tambah
lagi satu tukang menggerecok..."
Bok Kiu Nio mengawasi, ia tertawa. Tanpa ditanya, dia
berkata pula. "San Ho ingin sangat menikah dengan Ong Ciauw Hie. akan
tetapi Ong Ciauw Hie sudah mempunyai tunangan," demikian
katanya. Ia berhenti dengan tiba-tiba.
"Celaka!" ItHang mengeluh dalam hati.
"Itulah sebabnya kenapa kau ditahan di sini," Kiu Nio
lanjutkan. Anak muda itu menjadi gelisah.
"Ada apa hubungannya denganku?" dia tanya. "Di kolong
langit ini toh banyak pemuda-pemuda lainnya"..."
Kiu Nio tertawa geli sekali.
It Hang heran, ia awasi nyonya itu.
Sesudah berhenti tertawa. Kiu Nio angkat tangannya,
menempelkan dua jarinya ke mukanya, untuk mengejek.
"Tidak tahu malu!" katanya, lagi-lagi dia tertawa. "Apakah
kau sangka dia. jatuh hati padamu" San Ho sengaja tahan kau
dalam kamar ini untuk memancing datang Ong C iauw Hie.
Untuk kemudian..."
Pemuda itu jengah, akan tetapi dia mengeluarkan napas
lega. Ia lantas mentertawai dirinya yang terlalu bercuriga
Juga Kiu Nio, kemudian tiba-tiba menghela napas.
"Tetapi mungkin ada orang yang tertarik padamu..."
katanya dengan perlahan, romannya lesu.
It Hang duduk bersila, ia tidak memperdulikannya.
Kiu Nio jadi tidak enak hati, ia datang mendekati untuk
duduk berendeng.
"Apakah pedangmu ini pemberiannya gurumu?" dia tanya
dan tangannya menunjuk kepada pedang itu. Ia mencari
alasan pula untuk dapat bicara terus.
It Hang tetap duduk diam, membungkam.
Mendadak pedang yang digantung di pinggangnya anak
muda itu oleh Kiu Nio dicabutnya.
It Hang terkejut, hingga ia berlompat bangun.
"He, kau mau apa?" demikian ia menegur.
"Apakah tidak boleh kau kasih lihat pedangmu ini?" Kiu Nio
balik tanya sambil tertawa.
It Hang niat merampas kembali pedangnya itu, tetapi Kiu
Nio menyembunyikannya di belakang badannya, sebaliknya
dadanyalah yang dia majukan.
Dengan terpaksa It Hang mundur pula, ia batal
merampasnya. Berbareng dengan itu, di luar terdengar suara tertawa
dingin yang disusuli dampratan: "Perempuan rendah yang
tidak tahu malu!"
Dan dengan satu suara "Brak!" pintu kamar ditendang
terbuka. Bok Kiu Nio kaget hingga lompat berjingkrak. Ia lihat
lompat masuknya satu nona.
Itulah nona Giok Lo Sat, si Raksasi Kumala.
"EnCie Lian!" It Hang berseru.
Giok Lo Sat tidak menyahut, ia hanya mengawasi Bok Kiu
Nio dengan bengis.
"Apa kau bikin di sini?" ia menegur. "Hm, sungguh tidak
tahu malu!"
Belum pernah Bok Kiu Nio terima dampratan semacam ini,
dari malunya ia menjadi gusar. Ia tahu bahwa ia bukannya
tandingan si nona, akan tetapi karena teipengaruh hawa
amarahnya, ia lantas serang nona itu dengan tikamannya.
Giok Lo Sat tertawa dingin, ia menangkis untuk terus balas
menyerang. Pedangnya Kiu Nio terpental, tapi ia masih sempat
menangkis, setelah ini barulah ia mencelat ke jendela, untuk
lompat keluar. Giok Lo Sat kembali melengak. Tangkisannya nyonya itu
kembali serupa dengan tangkisan istimewa ajaran gurunya,
yang lain kaum tidak mempunyainya. Tapi ia segera lompat ke
jendela untuk menyusul. Dengan satu lompatan lainnya pula.
ia dapat mendahului dengan melewati atas kepala si nyonya,
hingga di lain saat ia telah berdiri di hadapan nyonya centil itu
dibarengi dengan tikamannya. Terus ia menikam.
Ketika ia ditangkis, ia segera merubahnya menyontek dari
kanan tetapi sebelum mengenai sasaran, ia merubahnya pula
menyerang dari kiri.
Itulah cara serangan istimewa yang biasanya tidak dapat
ditangkis, kecuali oleh lain jurusnya sendiri, atau orang yang
kepandaiannya lebih tinggi daripadanya.
Kiu Nio dapat mainkan pedangnya ke kiri dan kanan, ia bisa
bela diri, hingga serangannya si nona gagal. Gerak-geriknya
tidak sebat, tetapi teranglah dengan caranya ia bersilat itu
tentu ia dapat pelajari dari kitab ilmu pedang kepunyaan
gurunya Giok Lo Sat. Demikian Giok Lo Sat dapat memastikan.
Ia lalu tertawa nyaring, ia seperti umbar kegembiraannya,
tetapi gerakkan tangannya tidak mengenal kasihan,
serangannya semakin hebat, mengarah kedua iga si nyonya.
Repot Bok Kiu Nio melayani nona yang gagah ini, maka
segera j uga bajunya kena dibikin robek, iganyapun tertikam,
hingga ia roboh seketika.
Si nona hentikan penyerangannya, tetapi ia masih terus
tertawa, sekarang tertawa puas. Ia mendekati nyonya itu
dengan niat mengorek keterangan perihal kitab ilmu
pedangnya. Belum sempat ia menanya, Tiat Hui Liong sudah
muncul! Tuan rumah ini merah mukanya, kedua matanya bersinar,
bahna gusarnya. Ia mengibaskan tangan.
"Giok Lo Sat kau terlalu menghina aku!" dia berteriak.
"Jikalau kau datang berkunjung untuk mengadu silat, kenapa
kau berlaku demikian tidak tahu aturan" Ada sakit hati apakah
di antara dia dan kau maka kau hendak turunkan tangan
jahatmu terhadap dirinya?"
Nona Lian tertawa menghina.
"Hm! Kau semua serumah tangga, memang ada bangsat
cilik yang hina dina!"
Tiat Hui Liong menggeram karena sangat gusarnya,
tangannyapun dikibaskan pula, kali ini untuk dipakai
menyerang si nona.
Giok Lo Sat berkelit ke samping untuk dari situ ia lompat
menikam. "Sebelum kau kembalikan kitab ilmu pedangku, aku tak
dapat menyudahi begitu saja," dia membentak.
Tiat Hui Liong mendesak sehingga si nona mundur dua
tindak. "Ngaco belo!" dia berteriak. "Kau bicara dari kitab ilmu
pedang apa?"
Giok Lo Sat menikam, ia tertawa pula.
"Tidak perlu kau masih berlagak pilon?" tegurnya. "Jikalau
benar kau tidak curi kitabku itu mengapa puterimu dan
perempuan centil ini bisa mainkan tipu-tipu silat pedang
istimewa kepandaiannya guruku itu?"
Kembali Tiat Hui Liong menggeram dan merangsek. sampai
si nona mundur lagi dua tindak. Tapi setelah itu, Hui Liong
sendiri lompat mundur, akan keluar dari kalangan.
"Tunggu sebentar!" katanya. "Aku hendak tanya dulu
mereka sampai jelas!"
Jago tua ini lompat kepada gundiknya, tubuh siapa ia
angkat bangun. Ia lihat darah mengalir dari kedua iga si manis
itu, ia merasa terharu berbareng menyinta. Berbareng dengan
itu, juga ia lihat sinar pedang yang berkilauan terletak di
samping gundiknya itu. Ia terkejut. Ia lantas kenali pedangnya
Cie Yang Tootiang, yaitu pedang Hankong kiam. Maka tahulah
ia, pedang itu tentunya diambil gundiknya ini dari tangannya
To It Hang. Karena ini, ia ingat akan dampratannya Giok Lo
Sat barusan yang mengatakan gundiknya si "perempuan
centil". Dengan sendirinya wajahnya menjadi berubah.
"Kenapa kau curi pedang orang?" ia segera tegur
gundiknya. Giok Lo Sat perdengarkan tertawa dinginnya. Ia ingin
sahuti tuan rumah itu, ketika ia tampak tubuhnya Bok Kiu Nio
menggigil, sinar matanya memperlihatkan roman dari
ketakutan. lapun segera ingat akan kata-kata It Hang selama
di dalam gua. Maka mendadak datanglah perasaan kasihnya.
Maka itu ia batal membuka mulutnya.
Bok Kiu Nio berlega hati melihat si nona tidak jadi bicara.
Tapi ia lantas menangis sesegukan.
"Aku lihat dia mendobrak pintu dan menerjang masuk
sambil membawa pedang," ia kata pada suaminya. Dengan
"dia" ia maksudkan Giok Lo Sat. "Karena aku tidak punya
senjata, terpaksa aku pinjam pedangnya To lt Hang."
Itulah keterangan yang beralasan.
"Bagaimana tentang kitab ilmu pedang itu!" Hui Liong
tanya pula. "Apakah benar kau yang telah curi?"
"Tidak, tidak!" Kiu Nio menyangkal dengan tebalkan kulit
mukanya. "Bukan aku yang curi!..."
"Panggil San Ho datang kemari!" bentak Hui Liong dengan
titahnya. Sang gundik kaget sampai wajahnya menjadi pucat.
Tentu saja suami itu menjadi bertambah curiga. Dia lompat
naik ke atas gunung-gunungan.
"San Ho! San Ho!" ia memanggil berulang-ulang. "San Ho!"
Tidak ?ada jawaban untuk panggilan itu. Sebaliknya,
dengan tiba-tiba terlihat berkelebat dua bayangan manusia
yang mencelat keluar dari balik tembok, menyusul mana,
dengan menerbitkan satu suara menggebus, sinar api
menyambar naik!
Hui Liong kaget dan murka.
"Manusia rendah, aku larang kau bergerak!" dia bentak
gundiknya yang ditudingnya.
Giok Lo Sat dengan pedangnya di tangan, tertawa
mengejek. Ia berdiri di sampingnya Bok Kiu Nio.
"Kau boleh pergi, ada aku di sini..." katanya dengan
perlahan. Berewoknya Hui Liong bangun bergerak-gerak bahna
gusarnya. Sejak puluhan tahun, belum pernah ada orang
berani "meraba kumisnya", tidak ia sangka, malam ini ada
orang berani bakar rumahnya. Berbareng iapun kuatirkan anak
daranya. Karena ia menduga, dua bayangan itu tentunya
berkepandaian tinggi, yang dapat dilihat dari gerakannya yang
sangat pesat itu. Maka tanpa pikir-pikir lagi ia lari ke arah
menyalanya api. Ia baru lewati dua kamar loteng, atau
mendadak, seperti dari dalam api, telah kelihatan munculnya
tiga orang -dua wanita, satu pria.
Dan ketiga orang itu adalah Ong Ciauw Hie bersama Beng
Ciu Hee dan Tiat San Ho, dan sang puteri itu pucat mukanya,
jalannya sambil dipegangi Nona Beng...
"Ah..." Hui Liong perdengarkan suara tertahan, setelah
mana, ia lompat memapaki ketiga orang itu, terutama Ong
Ciauw Hie. Dia lantas membentak: "Ong Ciauw Hie, sungguh
berani kau! Sudah cukup kau tolong tunanganmu, kenapa kau
melepaskan api membakar rumahku juga dan melukai


Wanita Gagah Perkasa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

puteriku?"
Dalam gusarnya, jago ini ulurkan tangannya menyambar
pemuda she Ong itu.
San Ho kaget, ia pentangkan matanya.
"Ayah, jangan!" dia berteriak. "Perbuatan itu bukan dia
yang melakukannya!"
Ong Ciauw Hie sendiri berkelit ke samping, sampai tiga
tindak. Tiat Hui Liong tarik kembali tangannya.
"Habis siapakah?" dia tanya puterinya.
San Ho banting-banting kaki.
"Itulah pamannya Kim Cian Giam!" sahutnya.
Merah padam mukanya Hui Liong, bukan kepalang heran
dan kagetnya. Juga ia sangat mendongkol.
"Sekarang paling perlu kita padamkan api!" Ong Ciauw Hie
segera turut bicara. "Belakang hari saja kita cari dia untuk
membuat perhitungan!"
Hui Liong anggap pemuda ini benar, amarahnya reda.
Pamannya Kim Cian Giam yang dikatakan Tiat San Ho itu
sebenarnya adalah Kim Tok Ek. asal dari perbatasan barat,
untuk tiga puluh tahun lamanya, belum pernah ia melangkah
keluar dari wilayah gunung Thiansan bagian Selatan dan
Utaranya. Ia seorang ahli tangarrjahat Imhong Toksee Ciang
yang liehay sekali, sedang Kim Cian Giam, keponakannya,
baru memperoleh enam atau tujuh bagian. Pada tiga puluh
tahun yang lampau, Hui Liong pernah ketemu jago dari Barat
itu, yang ketika itu Toksee Ciangnya masih belum sempurna,
meski demikian, waktu mereka adu kepandaian, mereka ada
sama kosennya. Adalah belakangan, sesudah mahir tangan
jahatnya, Tok Ek membuka rumah perguruan, ia (erima
banyak murid, tapi sepak terjangnya tetap aneh. Selagi Tok Ek
pentang pengaruh, Hui Liong sudah hidup menyendiri, ia tidak
begitu gemar lagi mencampuri segala urusan, jadi mereka
masing-masing ambil jalannya sendiri. Sampai pada tiga hari
di muka, Kim Ciam Giam datang secara mendadak bersama In
Yan Peng. Hui Liong tidak suka akan kelakuannya Kim Tok Ek
pamannya Cian Giam. maka iapun tidak senang terima
kunjungannya C ian Giam itu, di waktu orang baru bertindak
di pintu pekarangan, Hui Liong sudah suruh gundiknya
menggabrukkan daun pintu.
Hui Liong pikir: "Apakah benar makhluk aneh bangkotan
itu. karena aku menggabrukkan pintu pada keponakannya, dia
lantas datang untuk melulu menuntut balas" Jikalau benar
begitu, sungauh dia sangat cupet pandangannya! Tapi dia
sangat liehay, aku tidak mampu susul padanya. Baiklah aku
turut pikirannya Ong Ciauw Hie, buat lebih dahulu padamkan
api..." Karena demikian, jago ini tidak jadi mengejar Kim Tok Ek
Tentang munculnya Beng Ciu Hee di Tiat keeCung, adalah
suatu soal lain pula.
Nona Beng sudah lakoni satu perjalanan ribuan lie. untuk
cari tunangannya, sekarang setelah bertemu, di sini di antara
cahaya api ia dapat ketemukan tunangannya itu berada
bersama Tiat San Ho, ia pandang mereka bergantian, hatinya
memukul. Selama dalam perjalanan dari kota raja sampat di barat
utara, sebagai satu gadis dan seorang diri, Ciu Hee andalkan
kecerdasan dan nyalinya yang besar. Ia boleh bersyukur yang
ia tidak pernah dapat rintangan. Ketika di hari pertama ia
sampai di wilayah propinsi Shoasay, ia bertemu Tiat San Ho
dan Bok Kiu Nio. Mereka sama-sama orang kangouw, dengan
gampang mereka dapat berkenalan. Ciu Hee cerdik tetapi
polos, antaranya ia utarakan maksud perantauannya itu ialah
untuk mencari tunangannya. Tiat San Ho pun cerdik, lantas ia
gunai akal untuk pancing keluar kata-kata yang lebih tegas
dari Nona Beng itu. Tanpa ragu-ragu Ciu Hee sebutkan
namanya Ong Ciauw Hie. Hatinya San Ho bercekat, dia
tertawa dingin, lalu dengan tiba-tiba dia totok nona Beng itu!
Ciu Hee yang tidak curiga telah roboh tanpa berdaya.
Ketika kemudian ia sadar akan dirinya, ia sudah berada di
dalam Tiat keeCung. Tapi ia tidak diperlakukan kasar oleh San
Ho, sebaliknya ia dilayani sebagaimana layaknya satu tetamu.
Pada mulanya San Ho kuatir digusari ayahnya karena ia
sudah "tawan" Ciu Hee. Terhadap ayahnya ia tidak berani
merahasiakan perbuatannya itu. Maka dengan memberanikan
hati baru ia beritahukan ayahnya.
Tiat Hui Liong tertawa sambil mengurut-urut kumisnya
ketika ia dengar keterangan gadisnya itu.
"Ong Kee In adalah satu jago Rimba Hijau tetapi dia
kesudian berbesan kepada guru silatnya putera mahkota tidak
ada halangan apabila kau main-main dengan puterinya guru
silat dari istana itu!" kata ayah ini.
Hui Liong mengatakan demikian karena menuruti adatnya
yang luar biasa ia tidak senang bila lain orang menentang
kehendaknya. Begitulah ia tidak senang kepada Ong Kee In
yang telah menampik untuk berbesan kepadanya. Akan tetapi
kemudian pikirnya, jeleklah kalau ia turuti adatnya, ia dapat
kendalikan diri. Maka ia suruh San Ho berlaku baik pada Ciu
Hee. Sementara itu, iakirim kabar pada Ong Kee In perihal
bakal nona mantunya berada padanya.
Giok Lo Sat dengan Tiat Hui Liong sudah berjanji membuat
pertemuan dalam tempo satu bulan, ia hendak menepati janji
itu. Ketika ia dapat dengar halnya nona Beng, ia ajak Ong
Ciauw Hie sebagai kawan, untuk pergi ke Tiat keeCung.
Setelah sampai di luar kampungnya Hui Liong, Giok Lo Sat
kata pada kawan seperjalanannya itu: "Kita berdua jalan
sama-sama tetapi maksud kita berlainan. Aku dan si tua
bangka she Tiat sudah berjanji untuk adu kepandaian satu
sama satu tidak boleh ada yang membantunya, maka aku
minta kau tunggu dahulu sampai salah satu sudah peroleh
kepastian, baru kau turut masuk ke kampungnya."
Ong Ciauw Hie bernapsu sekali untuk segera menemui
tunangannya, akan tetapi ia tidak dapat menolak
permintaannya nona kosen itu. Begitulah, selagi si nona
masuk ke dalam, ia jalan mundar-mandir di luar pekarangan.
Giok Lo Sat sudah masuk lama juga, ia masih belum
kembali. Hal ini membuat Ciauw Hie menjadi heran dan
berkuatir. "Inilah hebat," pikirnya. Ia tahu bahwa si nona dan Hui
Liong kedua-duanya liehay, apabila mereka itu ngotot terus,
keduanya bisa celaka dan terluka parah, "Aku tidak bisa
tinggal diam menontonnya..." pikirnya pula.
Setelah berpikir demikian, Ciauw Hie ambil putusan akan
rela nanti ditegur Giok Lo Sat. Secara diam-diam ia bertindak
ke belakang, dari situ dengan lompati pagar ia masuk ke
pekarangan dalam, maksudnya ialah untuk saksikan dulu
bagaimana jalannya pertempuran.
Selain Giok Lo Sat dan Ong Ciauw Hie, pun malam itu Tiat
keeCung kedatangan dua orang lain. Mereka adalah Kim Tok
Ek serta seorang kawannya, yang juga liehay. Dan mereka itu
sudah lantas menjelajah ke dalam rumah.
Malam itu San Ho kebetulan keluar, ketika ia pergoki Kim
Tok Ek, segera ia menjerit, tapi ia lantas diserang jago she
Kim itu hingga roboh.
Ciu Hee menempati sebuah kamar berdampingan dengan
kamarnya San Ho, ia dengar jeritannya nona Tiat itu, karena
kaget ia lompat keluar dari kamarnya memburu ke tempat dari
mana jeritan datang. Justeru waktu itu Ong Ciauw Hie pun
sampai di tempat kejadian, maka mereka bertemu di luar
sangkaan mereka. Merekapun segera menolongi nona Tiat.
Kim Tok Ek terbitkan onar tanpa hasil, ia tidak mau
berdiam lama-lama di Tiat keeCung, ia lantas angkat kaki.
Akan tetapi selagi hendak mabur, ia sulut api belerangnya
untuk bakar rumahnya Hui Liong, baru ia menyingkirkan diri
dengan diikuti konconya.
Untung bagi Tiat Hui Liong, sebelum api sempat berkobar
besar, dengan hanya dua lembar selimut ia dapat
memadamkannya. Tuan rumah ini lompat turun dari loteng
yang terbakar itu. Pada waktu itulah ia saksikan Ciauw Hie dan
Ciu Hee sedang menolongi San Ho yang telah direbahkan di
tanah, tengah diuruti untuk membikin darahnya berjalan
seperti biasa pula.
Hatinya jago tua ini tergerak apabila ia lihat perbuatannya
Nona Beng. Memang selama beberapa hari ia telah dapat
kesempatan untuk bercakap-cakap dengan nona itu, ia dapat
kenyataan Ciu Hee lemah? lembut sikapnya. Inilah di luar
dugaannya. Sekarang ia buktikan benar-benar kebaikan
hatinya nona itu, yang dengan sungguh-sungguh menolong
puterinya. "Ciu Hee lakukan perjalanan jauh dan sukar untuk mencari
tunangannya, ia adalah satu nona luar biasa yang harus
dihargai," pikirnya jago she Tiat ini. "Sekarang diapun
menolongi San Ho, sama sekali sikapnya tidak bermusuhan,
malah nampaknya dia sangat sayangi puteriku..."
Ketika ia menghampiri, Ciauw Hie segera menyambut.
"Lounghiong!" kata anak muda itu. Ia hendak beritahukan
tuan rumah, bahwa luka gadisnya tidak parah, tetapi Hui Liong
sudah mendahului tertawa.
"Bangsat tua she Kim itu bernyali besar dan sembrono
sekali," katajago tua ini. "Jikalau dia benar-benar turunkan
tangan jahatnya, pasti sepuluh jiwanya San Ho pun akan
melayang semua..."
Sekarang baru Ciauw Hie tahu orang tua itu sudah
menduga terlebih dahulu yang gadisnya tidak dalam bahaya,
maka dia bisa tinggalkan gadisnya untuk memadamkan api.
Dengan lekas mukanya San Ho yang semula pucat itu
menjadi merah pula.
"Bangun lekas!" Hui Liong membentak pada gadisnya itu. Si
nona berbangkit dengan cepat.
"Ayah, mengapa kau gusar?" dia tanya.
Ong Ciauw Hie heran menampak sikapnya orang tua itu.
San Ho yang terluka bukan dihiburi, dia justeru dibentak.
"Aku hendak bicara padamu, mari ikut aku!" kata Hui Liong.
Dan ia tuntun gadisnya buat diajak pergi ke paseban luar.
Bersama Ciu Hee, Ong Ciauw Hie mengikuti.
Dengan lantas mereka sampai di suatu tempat di mana
terlihat Giok Lo Sat tengah berdiri di atas sebuah batu besar
dengan tangan menyekal pedang, wajahnya bersenyum tawar.
Dan di bawah batu itu, duduk mendeprok di tanah ada Bok
Kiu Nio, yang mukanya pucat sekali.
"Nah, Giok Lo Sat, kau dengar!" berkata Hui Liong dengan
nyaring. "Kau lihat, sedikitpun aku tidak akan berlaku berat
sebelah!" Terus ia berpaling pada gadisnya, akan tanya,
"Betulkah kau yang curi kitab ilmu pedang?"
"Tidak!" sahut San Ho dengan cepat.
"Hm! Hm!" Giok Lo Sat mengeluarkan suara dari hidungnya
berulang-ulang.
Hui Liong perlihatkan tampang merah padam, hingga ia
nampaknya sangat bengis.
"San Ho, hayo kau bicara terus terang!" dia bentak
puterinya. "Lagi satu kali aku tanya: Kau curi atau tidak kitab
ilmu pedang kepunyaannya dia itu?"
San Ho menangis.
"Kitab ilmu pedang itu pernah aku lihat tetapi bukan aku
yang mencurinya," jawabnya.
Kembali wajahnya Hui Liong berubah.
"Bagaimana caranya kau dapat lihat itu?" dia tanya dengan
tidak kurang bengisnya.
"Itulah karena kehendaknya ieie..." sahut gadis itu.
Wajahnya Bok Kiu Nio yang pucat dalam sekejap itu
menjadi semakin pucat bagaikan mayat.
Giok Lo Sat segera tertawa gelak-gelak.
Kedua matanya Tiat Hui Liong terbuka lebar, sinarnya
merah bagaikan api, mukanyapun menjadi merah padam.
Tiba-tiba, tertawanya si Raksasi Kumala berhenti.
"Tua bangka she Tiat, aku toh tidak sembarang
menuduhnya?" kata dia dengan dingin.
Dengan mukanya suram, Hui Liong tidak gubris ejekannya
Giok Lo Sat. Dia segera berpaling pula kepada puterinya.
"Sekarang kau ceritakan semua dengan sebenarnya, aku
larang kau sembunyikan sesuatunya!" dia kata pada puterinya
itu, suaranya bengis.
San Ho seka air matanya dengan ujung bajunya, lalu ia
menutur: "Pada dua bulan yang lalu. dari
Siamsay aku berjalan pulang. Pada suatu hari aku singgah
di dusun Ciphiantin, di sebuah rumah penginapan. Di situ aku
dapatkan satu imam yang mukanya hitam gelap duduk di
tanah tidak dapat bergerak. Tuan rumah kata, imam itu
mendapat sakit berat yang mendadak, karena dia kuatir imam
itu nanti mati di rumah penginapannya, dia hendak gotong
pergi. Melihat keadaannya imam itu, aku merasa kasihan.
Maka aku lantas mendekati. Imam itu bermata sangat tajam.
Dalam keadaannya sebagai itu, dia masih dapat lihat dan
ketahui bahwa aku mengerti ilmu silat. Dia berkata kepadaku:
"Nona, kau toh bawa pedang, bukan" Tolong, kau lekas buka
bajuku, dan potonglah daging yang busuk di pundakku, lantas
kau cabut keluar sebatang paku beracun yang menancap di
situ!" Mendengar itu, It Hang terkejut.
"Tidak salah lagi dia tentu Ceng Kian Toojin!" serunya It
Hang. Hui Liong antap orang she To itu.
"Apakah Ceng Kian Toojin tahu bahwa kau anakku?" dia
tanya gadisnya.
"Itu waktu tidak, tetapi belakangan aku perkenalkan
diriku," sahut San Ho. "Dia lantas berkata padaku, bahwa
sudah lama dia dengar nama ayah sebagai satu laki-laki sejati,
dia minta tolong aku untuk sampaikan kata-katanya kepada
ayah. Dia ada bawa satu jilid kitab ilmu silat pedang
kepunyaan seorang lain, yang minta pertolongannya untuk
disampaikan pada Hok Thian Touw di gunung Thiansan. Di
tengah jalan kitab itu dirampas orang. Umpama lukanya itu
karena tidak mendapat obat menjadikan matinya, dia minta
supaya ayah menyampaikan pesannya ke Thiansan, agar
supaya Hok Thian Touw dapat menuntut balas untuknya."
Hui Liong belum pernah dengar orang memuji dia sebagai
satu laki-laki sejati, pujiannya Ceng Kian Toojin membuat
wajahnya jadi lebih sabar karena senangnya, hingga ia uruturut
jenggotnya.

Wanita Gagah Perkasa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ceng Kian Toojin juga seorang kenamaan," ia kata. "Hayo
teruskan ceritamu!"
"Setelah itu. dia membuat selembar surat obat," San Ho
melanjutkan. "Dia minta pertolonganku untuk belikan obatnya.
Aku lalu pergi ke pasar. Rumah-rumah obat di sana tidak
lengkap obat-obatannya, kalau tidak kurang ini, tentu kurang
itu, maka setelah mengunjungi beberapa rumah obat, baru
aku dapat obat lengkap menurut obat itu. Kemudian aku
ketemu ieie yang datang cari aku..."
"Hm, kau pergi begitu lama, kau belum pulang juga, maka
aku suruh dia susul kau."
"Kepada ieie aku omong-omong tentang imam itu," San
Ho melanjutkan pula. "Lantas ieie ikut aku ke rumah
penginapan untuk lihat imam itu. Di luar dugaan imam tua itu
sudah tidak ada, entah ke mana perginya sebaliknya di sana
ada dua orang lelaki yang sedang tanya-tanya perihal imam
itu. Mereka itu berdua satu tua, satu muda. Waktu mereka
lihat ieie, mereka lantas memberi hormat akan menanyakan
kesehatan ayah. Lantas ieie katakan kepada salah seorang itu:
'Kim Loosam, mari kau turut aku!'"
Kembali Hui Liong perdengarkan seruan "Hm!" Terus ia
pandang gundiknya.
"Bagus benar perbuatanmu bersamaKimCian Giam!" suami
ini menegur. Bok Kiu Nio lantas saja menangis.
"Adalah keinginanku supaya imam itu bisa dipaksa
menyebutkan di mana adanya kitab itu," ia akui. Hui Liong
diam, ia berpaling pula kepada gadisnya.
"Nah, San Ho, lanjutkan penuturanmu!"
"Dua orang itu turut kami pergi ke suatu tempat sunyi,"
sang anak melanjutkan. "Di situ ieie berkata pada orang yang
tua: "Loosam, kau keluarkan kitab ilmu pedangnya imam itu!'
Mula-mulanya orang tua itu menyangkal, barulah kemudian
sesudah didesak dia mau mengaku..."
Giok Lo Sat terus mendengarkannya sambil dengan
matanya yang tajam, mengawasi Tiat Hui Liong.
Jago dari Tiat keeCung itu gusar.
"Giok Lo Sat, jangan kesusu!" dia membentak. "Kitab itu
memang kepunyaanmu, sudah pasti akan kembali padamu!"
Ia lantas pandang gadisnya, akan tanya pula: "Bagaimana
selanjutnya" Kim Cian Giam serahkan kitab itu atau tidak?"
"Semula dia tidak mau menyerahkannya," sahut San Ho.
Lalu ieie menjelaskan bahwa Ceng Kian Toojin mempunyai
pergaulan yang luas! Dan ieie berkata kepada orang itu.
'Apakah kau tidak takut sahabat-sahabatnya nanti cari
padamu" Serahkan kitab itu padaku, setelah habis aku
membacanya, aku akan segera kembalikan pula padamu.
Jikalau tidak... Hm. hm! Kau ketahuilah bahwa Bok Kiu Nio
bukannya itu orang yang dapat dipermainkan!' Orang tua she
Kim itu menyengir. Kemudian dia mengusulkan, ieie boleh
punyakan kitab itu selama dua bulan, sesudah itu dia akan
datang mengambilnya. Ieie setujui usul itu. Setelah perjanjian
beres, ieie dengan terburu-buru ajak aku ke gunung yang
berdekatan untuk cari tempat mondok guna mempelajari
isinya kitab itu."
"Kenapa kau tidak beritahukan hal itu padaku?" Hui Liong
tanya. "Leie melarang aku memberitahukannya. Sesudah ieie
pelajari beberapa jurus, dia jadi sangat girang, dia seperti
telah menemukan mustika. Ieie mengatakan kepadaku bahwa
kitab itu adalah kitab gaib nomor satu di kolong langit. Bahwa
siapa dapat memahami semua isinya, dia tidak akan ada
tandingannya lagi di dalam dunia ini! Ieie lantas ajak aku
sama-sama mempelajarinya secara diam-diam! Aku
dipesannya untuk tidak memberitahukan hal itu kepada ayah.
Aku anggap, belajar lebih banyak kepandaian bukannya satu
hal busuk, maka tanpa pikir-pikir lagi aku terima tawaran ieie
itu." Sebelum Hui Liong sempat berkata, It Hang sudah
nyeletuk: "Setelah itu semua, kemudian kalian dapat lihat pula
Ceng Kian Tootiang atau tidak?" dia tanya.
"Ya, belakangan, di gunung Cenghong san," sahut San Ho.
"Ieie yang ketemukan dia. Bukankah hari itu kau dan kawankawanmu
juga berada di atas gunung itu?"
"Hm!" Hui Liong perdengarkan suaranya. "Pada hari itu ada
orang janjikan aku membuat pertemuan di atas gunung, aku
pergi ke sana, tetapi aku tidak ketemu orang yang
menjanjikan aku itu. Rupanya urusan itu ada sangkut pautnya
dengan perkara ini.-Manusia hina kau, mengapa sampai waktu itu
kau masih tidak mau memberitahukannya padaku?"
Teguran ini ditujukan pada Bok Kiu Nio.
Gundik itu tidak berani berikan jawabannya. Memang dalam
pikirannya dia niat kangkangi kitab itu. Pada bulan yang lalu,
ketika Tiat Hui Liong pergi pula ke Siamsay Utara untuk cari
Ong Kee In, dengan diam-diam Kim Cian Giam sudah kirim
konconya untuk menyampaikan surat rahasia mengabarkan
bahwa Ceng Kian Toojin sedang bersembunyi di gunung
Cenghong san. Justeru itu, Tiat Hui Liong pun telah menerima
surat kaleng, yang menjanjikan pertemuan di atas gunung
Cenghong san itu, dan Hui Liong telah berangkat dengan
mengajak gundiknya itu. Di situlah sudah terjadi, karena garagaranya
Tiat San Ho, Giok Lo Sat datang juga ke gunung itu
hingga nona ini bertempur dengan jago dari Tiat keeCung itu.
Dan sedangnya Hui Liong dan si Raksasi Kumala bertempur,
KiuNio telah mencari gua tempat persembunyiannya Ceng
Kian Toojin. Mendengar keterangannya San Ho sampai di situ,
mengertilah Giok Lo Sat akan duduknya kejadian, maka lagilagi
ia tertawa mengejek. Lalu ia berkata: "Kau temahai kitab,
itu sudah cukup, bukan" Kenapa juga kau bunuh Ceng Kian
Tootiang?"
Hui Liong pentangkan matanya.
Sampai di sini Bok Kiu Nio turut bicara. Ia menyangkal.
"Aku telah ketemukan Ceng Kian
Toojin di dalam gua itu sudah hampir putus jiwa," demikian
bantahannya. "Ketika itu di sampingnya masih ada barangbarang
makanannya, rupanya ada orang yang rawati dia tapi
dia berada sendirian saja. Nampaknya dia sangat menderita,
dia telah beri tanda padaku supaya aku bantu dia agar dia bisa
mati lebih lekas. Adalah karena sangat terpaksa, aku telah
mengabulkan permintaannya itu..."
Memang benar apa yang dikatakan Kiu Nio itu, akan tetapi
di samping itu ia mempunyai maksud lain. Ialah dia kuatirkan
Ceng Kian Toojin nanti dapat tahu bahwa sebenarnya kitab
berada di tangannya, juga dia kuatir Hui Liong keburu pulang
hingga rahasianya ketahuan, maka dia percepat
membinasakan imam itu.
Tiat Hui Liong gusar tidak kepalang. Akan tetapi menampak
gundik yang disayang itu serta gadisnya demikian ketakutan,
ia merasa tidak tega, hingga ketika ia bicara, suaranya sedikit
menggetar. "Baiklah." demikian katanya pada gadisnya. "Sekarang kau
kembalikan kitab itu pada pemiliknya!"
San Ho nampaknya takut benar ketika berikan
penyahutannya: "Baru saja kitab itu telah dirampas orang..."
"Apakah siluman she Kim itu yang merampasnya?" tanya
Hui Liong, yang kaget.
"Betul," jawab puterinya.
Jago tua itu bagaikan orang yang baru sadar.
"Pada dua hari yang lalu Kim Cian Giam datang padaku,
rupanya ada berhubungan dengan urusan kitab ini," katanya.
Tapi Giok Lo Sat yang mendengar kitabnya itu hilang pula
pindah tangan, bangkit pula amarahnya, wajahnyapun
menjadi muram. Tiat Hut Liong dapat lihat perubahan wajahnya nona itu.
"Giok Lo Sat, serahkan urusan ini kepadaku!" dia kata
dengan suara nyaring. "Meskipun aku mesti menjelajah
sampai ke ujung langit, pasti aku nanti gantikan kau untuk
mencarinya!"
"Baik!" seru si nona. "Marilah sambil menunggang keledai
kita nonton wayang! Kita lihat saja nanti!"
Nyatalah dari kata-katanya si nona itu masih ragu-ragu.
Tiat Hui Liong tidak hiraukan kesangsiannya nona ini, dia
memandang puterinya kepada siapa ia ulur tangannya
mengusap-usap rambutnya San Ho seperti sedang
menghiburkan satu anak kecil.
San Ho memandang ayahnya, matanya anak ayah saling
bentrok, San Ho seperti merasakan kontak.
"Ayah, kau kenapa?" tanyanya dengan kaget.
"Anak, tahun ini kau telah berusia sembilan belas tahun,
bukan?" tanya ayah itu dengan sabar.
"Ah, ayah! Apa maksudmu?" tanya anak itu.
"Kau sekarang bukan lagi anak burung yang masih kecil,
kau telah tumbuh bulu sebagai burung dewasa, hingga sudah
seharusnya kau terbang tinggi dan jauh," berkata ayah itu.
"Tetapi, ayah, aku tetap ingin menjadi anak burung yang
masih kecil, agar dapat aku senantiasa berada di
dampingmu..." anak dara itu mengatakan.
Mendadak wajahnya ayah itu berubah menjadi keren.
Malah dia segera tolak tubuh anak itu! Dan dia kata dengan
keras: "Sejak hari ini, kau bukan lagi anakku! Lekas pergi!
Selama berada di luaran, aku larang kau sebut-sebut
namaku!" Tiat San Ho kaget, sampai tubuhnya menggigil. Ia hendak
menangis tetapi tidak bisa. Itulah pukulan yang tak disangkasangkanya.
"Kau sudah curi kitab ilmu pedang dari partai lain, kau juga
perhina ayahmu dengan mengelabuinya, jikalau aku tidak
memandang ibumu, tentu aku sudah lantas ambil jiwamu!"
seru ayah itu. Sejak masih kecil, belum pernah San Ho dibentak ayahnya,
inilah untuk yang pertama kali. Ia memang tahu baik tabiat
ayahnya itu. Kata-kata sang ayah tak dapat diubah pula.
Justeru itu ia lihat Giok Lo Sat sedang melirik mengawasi, ia
malu dan mendongkol. Lantas saja ia tekuk lutut di depan
ayahnya paykuy tiga kali.
"Ayah, kuharap kau rawat dirimu baik-baik..." katanya
dengan duka, kemudian ia berbangkit dan lari keluar tanpa
menoleh pula. Hatinya Giok Lo Sat keras sebagai batu, tapi sekarang
menampak kejadian di hadapannya itu, hatinya runtuh. Sejak
tadipun ia sudah merasa kasihan terhadap San Ho, ia niat
menasehatkannya, tapi tak dapat ia buka mulutnya, sekarang
sudah kasip, ia terlambat.
Tiat Hui Liong awasi anaknya pergi, agaknya ia
menenangkan diri, baru ia berpaling pada Bok Kiu Nio.
"Manusia hina, mari kau!" ia memanggil.
Mendadak Kiu Nio tertawa gelak-gelak, dia lepaskan
gelungan rambutnya hingga riap-riapan.
"Tua bangka bangkotan, sekarang aku tidak inginkan lagi
jiwaku!" dia menjerit sekuatnya. "Hayo kau pukul aku hingga
mati..." "Kau telah curi kitab orang, dengan itu kau cemarkan nama
baikku, kau memang harus dapatkan hukuman!" bentaknya
Hui Liong. "Kematian bagimu masih belum cukup, apa lagi
yang kau buat penasaran?"
"Memang aku penasaran!" teriak Bok Kiu Nio. "Dahulu aku
ikut ayahku, yang sakit dan mati di kampung orang lain, aku
tidak punya uang untuk menguburnya, terpaksa aku serahkan
diri dengan menikah padamu! Tapi lacur bagi diriku, kau tidak
perlakukan aku sebagai isteri kawin... Memang aku suka
bicara tertawa-tawa di hadapanmu, tetapi apakah kau kira
karena aku cinta padamu" Hm! Kau pukul mampus padaku,
itulah terlebih baik! Hidup secara begini, aku tak sanggup!..."
Memang, sejak masih kecil, Bok Kiu Nio ikuti ayahnya
merantau menjual silat, lalu karena kemalangan ayahnya itu,
ia menerima nasib dengan menikah kepada Tiat Hui Liong.
Suami tua dan ia masih muda, memang itu tidak sembabat. Di
samping itu, aneh dan keras tabiatnya Hui Liong, maka
bertambah tak puasnya Kiu Nio, kalau ia tidak jeri kepada
suaminya itu, pasti sudah sedari siang-siang ia pergi minggat.
Kiu Nio curi kitab ilmu silat pedang itu dengan niatnya yang
utama ialah meyakininya secara diam-diam, supaya nanti
setelah pandai, ia tidak usah takuti lagi suami tuanya itu.
Maka menyesallah ia, rahasianya telah terbongkar.
Tiat Hui Liong tidak menyangka Kiu Nio bisa mengatakan
demikian rupa. ia melengak. Ia memang tahu gundiknya
cantik dan sedangnya segar, sebaliknya ia sendiri sudah
ubanan. Pikirannya menjadi kusut, maka tangannya yang ia
telah angkat tadi ia tidak dapat turunkan, seperti macet di
tengah udara...
Giok Lo Sat yang melihat kelakuannya orang tua itu lompat
kepadanya dan menurunkan tangannya.
Tiba-tiba Hui Liong menghela napas panjang.
"Nah, pergilah kau!" kata ia dengan tangannya mengusir.
"Untuk selama-lamanya, jangan kau datang melihat aku pula!"
Bok Kiu Nio tertawa, lalu ia berlutut di depan Hui Liong,
akan paykui tiga kali.
"Looya, rawatlah dirimu baik-baik!..." ia mengucap.
Kemudian ia berbangkit lari keluar tanpa menoleh pula, seperti
San Ho tadi. Hui Liong berdiri termangu-mangu, hatinya hancur.
Sekarang ia merasakan bahwa ia benar-benar sudah lanjut
usianya. Ia hampirkan batu gunung-gunungan, di mana ia
senderkan diri, nampaknya ia seperti orang yang diserang
penyakit hebat. Akhir-akhirnya ia menghela napas.
"Ya, akupun harus pergi dari sini... " katanya kemudian.
Maka berakhirlah sebuah drama yang tragis...
Keesokan paginya. To It Hang yang paling dulu pamitan.
"Mudah-mudahan kau sampai dengan selamat di Pakkhia!"
Giok Lo Sat mendoakan.
"Dan kaupun semoga berhasil mendapatkan kembali kitab
ilmu pedangmu!" balasnya It Hang.
Kemudian Ong Ciauw Hie datang bersama Beng Ciu Hee
mengucapkan selamat tinggal kepada Hui Liong.
"Hiantit," berkata orang tua itu. "tolong sampaikan maafku
kepada ayahmu, aku insyaf bahwa segala perbuatanku
terhadap ayahmu dahulu terlalu sembrono!"
"Jangan mengucap demikian. I'oope," kata Ciauw Hie.
Hui Liong pandang Ciu Hee, dia tertawa meringis.


Wanita Gagah Perkasa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Nona Beng ini ada jauh lebih manis daripada San Ho,"
katanya. "Kalian telah menderita gangguan gelombang dan
taufan, semoga kalian dapat hidup beruntung sampai di hari
tua!" "Terimakasih, loope," Ciauw Hie mengucapkan, hatinya
lega bukan main. Itulah tanda bahwa selanjutnya orang tua
yang gagah dan galak ini tidak akan mengganggu pula
padanya. Di saat itu, dua perasaan mengudak dalam hatinya
Ciauvv Hie: girang dan duka. Ia girang karena C iu Hee nyata
benar-benar menyintai padanya. Dan ia berduka, nasib buruk
dari orang tua she Tiat ini, yang selanjutnya harus hidup sepi
menyendiri... "Aku sekalian hendak mengantarkan saudara To," Ciauvv
Hie tambahkan kemudian.
Hui Liong manggut.
"Giok Lo Sat! Bagaimana dengan kau?" ia berpaling kepada
si nona kosen. "Apakah kau tidak niat berangkat sekarang?"
Nona yang ditegur itu tertawa.
"Aku tidak bisa biarkan kau sendirian saja mencari kitab
pedangku itu!" jawabnya.
Hui Liong terharu, hatinya sangat tergerak.
"Tadi aku telah melepaskan kata, itulah urusanku,"
katanya. "Apakah kau anggap aku sendirian tidak sanggup
mendapatkan kembali kitab pedang itu?"
Diam-diam Giok Lo Sat tertawai besar kepalanya jago tua
ini. "Pasti aku percaya akan tenagamu. Akan tetapi dengan
sendirian saja keluar pintu untuk satu perjalanan yang jauh,
kau pasti akan kesepian, maka jikalau aku dapat
mengawaninya, sedikitnya kau dapat terhibur. Tidakkah itu
baik?" Hui Liong girang mendengar kata-kata si nona. Iapun
tergerak hatinya. Kata-kata itu mirip dengan kata-katanya satu
gadis terhadap ayahnya. Iajusteru baru kehilangan gadis yang
dimanjanya dan isterinyajuga.
Walaupun dia suka menang sendiri dan aneh tabiatnya, Hui
Liong toh sukai orang yang mempunyai kepandaian silat tinggi
dan jujur. Dua kali dia telah tempur Giok Lo Sat secara hebat,
selama itu dia telah saksikan juga adat-adatnya si nona. Maka
sekarang dari musuh, mereka berbalik telah menjadi sahabatsahabat
kekal. Di akhirnya, jago dari Tiat keeCung itu tertawa gelak-gelak.
"Sayang kau bukannya anakku..." katanya.
"Tapi akupun bisa menjadi anakmu!" kata Giok Lo Sat,
yang terus saja tekuk kedua lututnya untuk memberi hormat.
"Giehu!" ia memanggil. (Giehu -- ayah angkat).
Dengan tersipu-sipu Hui Liong pimpin bangun nona itu.
"Aku tidak berani menerimanya..." katanya.
"Kau tidak suka terima aku sebagai anak angkat, itulah
tentu disebabkan karena kau merasa telah dicaci dan diserang
olehku," Giok Lo Sat bongkar perasaan hatinya orang tua itu.
"Marilah kita omong dengan jelas! Jikalau kau hendak puaskan
hatimu baiklah kau ambil aku sebagai anak angkatmu! Setelah
aku menjadi anakmu maka merdekalah kau caci aku..."
Hui Liong tertawa terbahak-bahak. Ia anggap nona ini
benar-benar lucu.
"Baiklah kalau begitu!" katanya. "J ikalau aku tidak terima
kau sebagai anak angkatku, nyatalah kecupatan
pandanganku! Sayang aku tidak punya apa-apa untuk
dijadikan bingkisan sebagai tanda pengangkatan anak
padamu. Bugeemu lebih tinggi daripada bugeeku, benar-benar
aku tidak punya suatu apa lagi untuk dihadiahkan kepadamu.
Begini saja, dalam halnya lweekang aku lebih terlatih
daripadamu, baik nanti pelahan-lahan kita sama-sama
meyakininya lebih jauh."
Giok Lo Sat terima janji itu dengan girang sekali.
Sebenarnya itu adalah hadiah yang ia tidak pernah harap. Ia
Pendekar Latah 7 Ksatria Negeri Salju Karya Sujoko Peristiwa Bulu Merak 7
^