Pencarian

Wanita Gagah Perkasa 9

Wanita Gagah Perkasa Karya Liang Ie Shen Bagian 9


lantas setelah itu. Keksie Hujin peroleh pengaruhnya, karena
mana, dia sambut anaknya untuk pulang. Inilah ketika yang
baik bagi Kongsun Toanio untuk turut serta dengan muridnya
pergi ke kota raja, akan berdiam di dalam keraton. Sampai
kemudian Kaisar Kong Cong wafat dan Yu Kauw naik di tahta,
waktu itulah Keksie Hujin berpengaruh benar-benar sebab Yu
Kauw, kaisar yang sekarang ini, adalah bekas bocah
asuhannya. Kongsun Toanio segera dapat ketahui adanya perhubungan
yang tidak sehat di antara Keksie Hujin dan Gui Tiong Hian,
yang mempermainkan pemerintahan, dia memikir hendak
berlalu dari kota raja Akan tetapi sebelum ia berangkat,
justeru datang Kim Tok Ek, yang ia memang niat cari. Maka
keduanya lantas membuat pertemuan rahasia. Anghoa Kuibo
menasihatkan pula suami itu untuk pulang, tetapi di lain pihak,
Kim Tok Ek beritahu isterinya itu bahwa ia sedang dikejarkejar
Tiat Hui Liong dan Giok Lo Sat yang membuat ia jeri.
Pada mulanya Anghoa Kuibo tidak mau ambil pusing urusan
suami ini. adalah kemudian, sesudah pertempuran di rumah
Keluarga Yo, di mana Kim Tok Ek kalah dan terluka hebat,
pikirannya Anghoa Kuibo telah berubah. Sebabnya ialah Kim
Tok Ek mengadu kepadanya sambil menangis dan
mengatakannya, kecuali sakit hatinya ini dapat dibalaskan,
tidak sudi ia ikut pulang. Iapun menjelek-jeleki Tiat Hui Liong
dan Giok Lo Sat, yang dikatakan sangat kejam. Ia kata, jikalau
kedua satru itu tidak disingkirkan, ia tidak akan hidup senang
dan tenteram...
Hatinya Kongsun Toanio menjadi lemah.
"Baiklah, aku nanti bantu kau," katanya. "Tapi ini adalah
untuk yang penghabisan kali. Satu hal hendak aku terangkan,
oleh karena Tiat Hui Liong itu gagah, aku tidak dapat
memastikan bahwa aku dapat menangkan padanya."
"Asal kau sudi membantu aku, akupun hendak minta
bantuan lain orang lagi," Kim Tok Ek membujuki terus
isterinya itu. Tapi mendengar ini, berubahlah wajahnya Anghoa Kuibo.
"Belum pernah aku mengandalkan jumlah yang banyak
untuk merebut kemenangan!" katanya dengan sengit.
"Jikalau kau minta bantuan lain orang lagi, aku tidak mau
pergi!" "Baik, baik," Tok Ek mengalah.
Tapi diam-diam ia mengatur lain di luar tahu isterinya.
Demikian hal ikhwal Kongsun Toanio, yang dituturkan Tiat
Hui Liong kepada anak pungutnya. Hui Liong menghela napas
setelah penuturannya itu.
"Sudah aku katakan, hatinya Kongsun Toanio tidak buruk."
berkata dia, "apa yang aku kuatirkan ialah dia tidak sanggup
pertahankan diri dari bujukan suaminya. Apabila itu benar
terjadi, sukar diramalkan, apa yang akan terjadi kelak. Sekali
terbujuk, dia akan menjadi bengis tanpa tandingan. Kalau
bukan demikian, cara bagaimana dia bisa dapatkan gelarannya
itu?" Mendengar kata-kata ayah angkat itu, Giok Lo Sat tertawa
gelak-gelak. "Anak Lian, kenapa kau tertawa?" sang ayah tanya.
"Bukankah Raksasi ketemu Biang Hantu?" tertawa anak itu.
"Maka lihat saja nanti, siapa lebih tangguh dan siapa lebih
bangpak! Ayah. aku menyesal tidak sekarang juga aku dapat
tempur dia!"
"Bukankah besok tengah hari ada janjimu dengan Pek Sek
Toojin" Nah, sehabis melayani imam itu, tak mungkin sorenya
kau dapat bertempur pula!"
"Bukankah ayah telah kata bahwa mereka bertempat di
Pitmo gay dari mana mereka pasang mata terhadap kita"
Besok kita tempur Pek Sek Toojin. sehabis itu terus kita
tempur Anghoa Kuibo. Dua urusan dapat dilakukan sekali
pukul, tidakkah itu sangat menyenangkan hati" Sedari aku
tempur kau, tempo hari, sampai sekarang ini sudah lama.
belum pernah aku merasakan bertempur pula secara
memuaskan, sekarang tanganku gatal!"
Hui Liong kerutkan kening.
"Ah, anak, kau tahunya cuma bertempur saja!..." ujarmja,
agaknya ia menyesali. Ia menegur, tapipun ia menyayangi
anak pungut ini yang Jenaka dan manis.
"Besok, ayah, besok kau biarkan aku yang turun tangan
lebih dahulu!" kata anak itu tanpa perdulikan tegurannya sang
ayah. Hui Liong tidak layani lagi anak ini bicara, hanya ia pergi ke
jendela untuk memandang keluar.
"Cepat sekali akan sampai jam empat, masih keburu!"
katanya seorang diri, kata-katanya seperti orang yang
menggerutu. "Apa katamu, ayah?" si anak tanya. Ia mendengarnya
samar-samar. "Asalkan aku dengar ada tandingan dengan
siapa dapat aku bertempur, segera kegembiraanku terbangun!
Sekalipun mesti tidak tidur tiga hari tiga malam, dapat aku
melayani terus!"
Mau atau tidak Hui Liong tertawa juga.
"Kau benar mirip dengan adatku di waktu muda!" dia
berkata. Lalu mendadak ia perlihatkan roman sungguhsungguh
dan menambahkannya: "Aku bukannya kuatirkan kau tidak
punyakan kegembiraan, aku hanya ingin kau menyiapkan
obat..." Si Raksasi Kumala menjadi heran.
"Menyiapkan obat?" tanyanya. "Obat apakah itu"
Pertempuran masih belum dilakukan, apa perlunya obat sudah
harus disiapkan sekarang?"
"Ah, anak, kau mana tahu liehaynya Anghoa Kuibo?"
berkata sang ayah. "Ilmunya Toksee Ciang, yakni tangan
beracun, ada lebih liehay daripada Kim Laokoay, dengan
digabungnya ilmu BianCiang, Tangan Kapas, dia bisa
meremukkan batu menjadi seperti pupur. Maka apabila kita
tidak siap sedia dari siang-siang, sulitlah untuk kita dapat
melayaninya."
"Dengan cara bagaimana kita bersiap sedia?"
"Sekarang lekas kau pergi ke kota kepada piauwsu Liong
Tat Sam dari Tiangan Piauwkiok, untuk pinjam dua perangkat
kaca tembaga Hoksim keng daripadanya. Liong Piauwsu itu
adalah sahabat kekalku, dengan membawa suratku, pasti dia
akan kasih pinjam kacanya untuk melindungi dadaku. Setelah
itu, di waktu terang tanah, kau harus menyiapkan obat."
Ayah angkat ini bicara dengan terus bekerja, tapi di situ
tidak ada kertas dan alat tulis, maka ia robek ujung bajunya
dibikin jadi dua potong, dan ia ambil sebatang arang sebagai
pitnya. Lebih dahulu ia tulis surat untuk Liong Piauwsu, lalu ia
tulis surat obatnya.
"Demikian banyak obatnya?" kata Giok Lo Sat, yang lihat
ayah itu mencatat nama-nama obat hampir dua puluh macam.
"Bagaimana jikalau obat ini tidak lengkap?"
"Dari obat-obat ini, kecuali satu dua, semua yang lainnya
adalah bahan obat biasa saja," Hui Liong terangkan. "Apabila
kau tidak dapat beli semuanya, kau pergi minta bantuannya
Liong Piauwsu. Inipun masih belum semua," ayah ini
menambahkan, dan ia tulis pula tujuh rupa nama obat lainnya.
"Sudah lengkapkah?" tanya sang anak dengan keningnya
dikerutkan. "Sudah cukup." ayah itu jawab, "kecuali kau tambahkan
dua potong Hionghong. Setelah dapat beli semuanya, kau
tumbuk di dalam piauwkiok untuk dibikinkan menjadi obat
pulung yang kecil-kecil. Kalau besok kita bertempur. Mesti kita
mendapat luka, obat ini berguna untuk melenyapkan rasa
sakit, khasiatnya teristimewa guna melindungi peparu. Nah,
pergilah lekas!"
Begitu sungguh-sungguh ayah ini. hingga Giok Lo Sat tidak
bersangsi-sangsi lagi untuk bekerja menuruti apa yang
diperintahkannya.
Kalau Hui Liong ada demikian sibuk, pihak Pek Sek Toojin
tak kurang tegangnya, terutama anak perempuannya, Ho Gok
Hoa. Nona ini berkuatir sekali mendengar ayahnya bentrok
kepada Giok Lo Sat. Pek Sek Toojin bawa sikap tenang, inilah
di luar saja, di dalam hatinya diapun sama berkuatir sebagai
gadisnya. Di hari kedua, pagi-pagi Pek Sek Toojin sudah bangun dari
tidurnya, murid-murid Butong pay pada datang menemui dia.
Di antara mereka ini tampak nyata ketegangan hatinya, pun
banyak yang mengutarakan kekuatirannya karena mereka
ketahui Ang In Tooj in. salah satu tetua mereka, pernah
dikalahkan si Raksasi Kumala.
"Susiok, baik kami semua turut kau," berkata Lie Hong Siu,
murid kepala untuk di kota raja.
"Aku telah tantang Giok Lo Sat bertempur satu sama satu,
buat apa kalian ikut aku?" si imam berkata.
"Kami ikut hanya untuk turut menyaksikan. buat tambah
pengaruh," Hong Siu jawab.
Pek Sek tahu maksud hati yang sebenarnya dari muridmurid
itu, ia menggelengkan kepala.
"Tidak boleh," sahutnya. "Tidak seorangpun dari kalian aku
ijinkan turut serta."
Imam ini bersikap demikian karena ia berpendapat bahwa
meski benar Giok Lo Sat tangguh tetapi turut katanya Ang In,
dia cuma mahir dalam ilmu silat pedang, dalam hal ilmu silat
tangan kosong dan tenaga, dia masih di bawahnya Uy Yap
Toojin, suheng mereka yang kedua, atau seimbang dengan
kepandaiannya sendiri. Dalam hal ilmu pedang, di antara
saudara-saudaranya, dialah yang paling liehay, maka dia
percaya mungkin dia dapat menandingi si nona. Jikalau dia
ajak semua murid itu. mungkin disebabkan rasa cinta dan
bersatu padunya mereka ini, di saat yang genting mereka
akan turun tangan membantui padanya. Kalau ini kejadian,
pasti nama Butong pay akan tercemar karenanya
"Mustahil untuk menonton saja tidak boleh?" Hong Siu
masih membandel.
Pek Sek menjadi tidak senang.
"Siapa lancang menonton, dia akan dihukum!" katanya
dengan bengis. Lie Hong Siu semua bungkam.
"Ayah, aku mau turut." Gok Hoa berkata.
Ayah itu menghela napas.
"Anak yang baik, jangan kau turut aku," sahutnya. "Giok Lo
Sat itu sangat ganas, turut kepergianmu cuma-cuma akan
menambahkan berabesaja!"
Anak ini tidak puas. Sudah sepuluh tahun ia belajar silat,
meski ia dengar Giok Lo Sat liehay namun ia ingin mencobacobanya,
ia tidak sangka bahwa iapun ditolak ayahnya.
Terpaksa ia tutup mulut.
Pek Sek Toojin sudah lantas rapikan pakaiannya, lalu
semua murid mengantar ia keluar, sesampainya di luar
agaknya ia ragu-ragu. tapi akhirnya, ia gapaikan It Hang.
"Kau boleh turut aku," katanya. "Kau kenal Giok Lo Sat,
kaupun ketua kami, pantas untuk kau hadir bersama."
Sama sekali It Hang tidak inginkan paman guru itu
bertempur dengan Giok Lo Sat, sikapnya paman guru ini
membikin ia bingung. Iapun sangsi untuk membuka mulut,
supaya ia diajak turut serta. Ia sebenarnya ingin sekali
batalkan pertempuran itu. Maka giranglah ia ketika mendengar
paman guru itu akhirnya mengajak juga padanya.
Malam itu Giok Lo Sat telah pergi ke dalam kota. Dalam
ilmu enteng tubuh ia lebih atas daripada Tiat Hui Liong, inilab
sebabnya kenapa Hui Liong suruh ia yang pergi ke kota. Ia
berangkat dari Lengkong sie kira-kira jam empat, ketika ia
sampai di dalam kota di Tiangan Piauwkiok belum lagi terang
tanah. Congpiauwtauw Liong Tat Sam, pemimpin dari Tiangan
Piauwkiok. adalah sahabat karibnya Tiat Hui Liong. Hubungan
persahabatan itu telah berjalan dua puluh tahun sehingga kini.
Pada waktu itu, Liong Tat Sam antar piauw ke Barat utara, di
tengah jalan ia dicegat dan dikurung gerombolan, sampai
sukar untuk ia meloloskan diri. Kebetulan sekali, Hui Liong
dengar kabar perihal pembegalan itu, dia segera datang.
Dengan mengandalkan nama besarnya, Hui Liong bisa
bubarkan pengurungan dengan kesudahan, tidak saja
piauwnya Liong Tat Sam terhindar dari pembegalan, nama
baiknya pun turut terlindung juga. Karena itulah. Liong
Piauwsu jadi sangat berterima kasih kepada jago dari Barat
utara itu, selama dua puluh tahun dia ingat benar akan
budinya Hui Liong, dia menyesal selama itu tidak ada
ketikanya untuk dia membalas budi itu.
Juga Liong Tat Sam mempunyai persahabatan yang kekal
dengan Busu Liu See Beng, kemarin ini dia seoranglah yang
Liu See Beng mohon bantuannya, untuk secara diam-diam
bantu melindungi Him Kengliak. Di sana secara kebetulan ia
dengar halnya Tiat Hui Liong, yang berada sama satu nona
cantik ia menjadi girang sekali. Maka lantas saja ia tanya Liu
Busu tempat pemondokannya jago dari Barat utara itu.
"Orang tua itu sangat aneh," berkata Liu See Beng. "Di
dalam pertempuran, dia bersama si nonalah yang keluarkan
tenaga paling banyak, namun sedikitpun dia tidak
menginginkan pahala, setelah pertempuran selesai, mereka
lantas ngeloyor pergi sampai mereka tidak sempat bicara
kepada kita. Belakangan setelah aku tanya Pek Sek Toojin,
baru aku dapat tahu, bahwa dia adalah Tiat Hui Liong.
Menurut pendengaranku, nona yang cantik itu katanya adalah
bandit wanita bernama Giok Lo Sat yang baru hari? hari
paling belakang ini muncul di wilayah Barat daya."
"Oh, Giok Lo Sat!" seru Liong Tat Sam. "Pada waktu
belakangan ini aku dengar namanya disebut-sebut orang!
Kabarnya dia sangat ganas, hingga orang julukkan iblis wanita
yang membunuh orang tanpa berpejam mata. Tiat Hui Liong
memang aneh tabiatnya, akan tetapi dia termasuk orang yang
jujur, aku merasa heran dia bisa berada bersama nona itu?"
Liong Tat Sam cuma ketahui kekejamannya Giok Lo Sat, ia
tidak tahu bahwa si nona membunuh bukan sembarang
bunuh, bahwa Giok Lo Sat mempunyai banyak satru di
kalangan kangouw, yang menyiarkan cerita burung menjeleki
dirinya si nona yang dikatakannya sangat kejam. Baru saja
namanya Giok Lo Sat tersohor sebagai hantu wanita yang
jahat dan kejam...
Dalam pembicaraan dengan Liu See Beng mengenai Giok
Lo Sat, Tat Sam yang terpengaruh cerita di luaran, "masih


Wanita Gagah Perkasa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menganggapnya si nona benar jahat dan kejam, ia tidak puas
mengetahui Tiat Hui Liong bergaul sama nona itu.
Dalam hal ini, See Beng tidak kata apa-apa. tetapi
mengenai Pek Sek Toojin, dia tertawa.
"Kalau dibicarakan, sungguh lucu!" katanya guru silat ini.
"Pek Sek Toojin sudah berusia lanjut tetapi dia tetap masih
suka menang sendiri, tentulah dia ingin adu silat pedang
dengan Giok Lo Sat."
Guru silat ini tidak ketahui jelas peristiwa antara Giok Lo
Sat dan Butong pay, karenanya ia anggap, imam itu memang
masih dipengaruhi tabiat suka menang sendiri, tabiat suka
berkelahi... "Pek Sek Toojin adalah salah satu dari Butong Ngoloo,"
berkata Liong Tat Sam, "ilmu silat pedangnya, yakni Citcapjie
Ciu Lianhoan Toatbeng kiam, kesohor di empat lautan, hantu
wanita benar-benar cari mampusnya sendiri..."
"Maka itu aku tidak ingin campur tahu urusan mereka itu,"
See Beng berkata. "Pek Sek Toojin tampaknya sangat
sungguh-sungguh
menumplakkan semua perhatiannya dalam urusan piebu
pedang itu, sampai urusan menjaga aksi penghianat dan
melindungi Him Kengliak. dia ke sampingkan. Inipun sebabnya
mengapa aku minta bantuanmu."
"Him Kengliak itu seorang yang berhati baik." Tat Sam
kata. "Pada tahun yang lalu Him Kengliak urus pengiriman
rangsum, dia hargai aku, dia suruh aku bantu melindunginya.
Selama aku menjadi piauwsu, hanya sekali itulah, aku
melindungi angkutan paling gembira, meski aku hanya jadi
pembantu tapi aku merasakan sebagai juga aku adalah
piauwsu utama. Kesemuanya itu disebabkan sikapnya Kengliak
yang baik budi itu!"
Liu Busu menjadi kagum.
"Secara demikian, kau dapat dikatakan salah seorang
sahabatnya Him Kengliak!" Liu Busu berikan pujiannya.
"Itulah pujian yang aku tidak berani menerimanya.
Seumurku aku hanya kagumi dua orang, seandainya mereka
itu memerintahkan aku. walau mesti tempuh api yang
berkobar sekalipun, tidak nanti aku menolaknya!"
Liu See Beng tertawa.
"Dua orang itu," katanya sambil tertawa, "tentulah seorang
tua Tiat Hui Liong dan Kengliak Tayjin! Benar tidak" Lucu
adalah aku, kita berdua telah bersahabat untuk banyak tahun
tetapi aku tidak ketahui bahwa terhadap Him Kengliak kau
sedemikian mengaguminya! Ketika tadi aku kunjungi kau, aku
merasa ragu-ragu dan kuatir. berhubung kerepotan di dalam
piauwkiok, kau akan terganggu karenanya."
Liong Tat Sam juga tertawa.
"Dalam hal itu akulah yang bersalah," ia akui. "Ketika tahun
itu Him Kengliak minta bantuanku mengantar angkutan
rangsum tentara, aku tidak memberitahukannya kepada
sahabat-sahabatku."
"Tetapi dengan begitu kau berbuat benar," berkata Liu
Busu. "Angkutan rangsum itu sangat penting, hal itu memang
tidak dapat diberitahukan kepada sembarang orang."
"Karena hari ini kau ajak aku, aku pun baru
menceritakannya. Kau jangan kuatir, toako, seandainya benar
Gui Tiong Hian hendak tutup piauwkiokku atau dia hendak
menghukum picis padaku, tetap aku akan membantu Him
Kengliak!"
Benarlah itu malam, meski ia menjadi Congpiauwtauw,
pemimpin sebuah piauwkiok, Liong Tat Sam tidak merasa
rendah untuk menyelusup ke dekat-dekat gedungnya Keluarga
Yo, guna melindungi Him Teng Pek secara sembunyi, sampai
kira-kira jam empat, baru ia bergilir dan pulang ke rumahnya.
Tentang rumah atau kantornya sendiri Tat Sam tidak
kuatirkan, baik siang maupun malam ada orangnya yang
menjaga. Malam itu belum lama Tat Sam pulang, lantas ada
orangnya yang membanguni padanya
memberitahukan kedatangannya satu nona yang mengetok
pintu mencari dia.
"Heran!" katanya. "Kenapa satu nona malam-malam
mencari aku" Tak dapatkah dia menanti sesudah terang
tanah?" Ia lantas mengenakan pakaian, ia keluar untuk menemui
nona itu, yang usianya kurang lebih baru dua puluh tahun,
alisnya panjang dan lentik, romannya cantik, matanya
bercahaya tajam hingga membikin orang yang bentrok mata
dengan cahaya matanya nona itu, merasa jeri sendirinya. Mau
tidak mau ia terkejut.
"Kau... kau... kau toh Giok Lo Sat?" dia tanya dengan
gugup. Segera ia merasa hatinyapun tidak tenteram. 'Giok Lo
Sat' adalah nama julukan, cara bagaimana ia lancang
menyebutkan julukan itu"
Tapi si nona agaknya tidak memperhatikannya. Dia malah
tertawa. "Tidak keliru dugaanmu, aku benar Giok Lo Sat," ia
menjawabnya dengan sabar.
"Kau... kau... Liehiap. kau datang
piauwsu ini tanya, ia masih tetap gugup. Kekuatirannya pun
datang mendadak: musuhkah yang kifim Giok Lo Sat untuk
menyatrukan padanya" la baru merasa lega ketika ia ingat,
nona itu ada bersama Tiat Hui Liong, tidak bisa jadi
kedatangannya untuk memusuhi padanya.
Giok Lo Sat tertawa pula.
"Inilah surat ayahku untukmu!" ia kata sambil
mengeluarkan kepingan ujung baju yang ada tulisannya, yang
terus ia serahkan pada piauwsu itu.
Liong Tat Sam sambuti robekan baju itu, apabila ia sudah
beber dan lihat, giranglah hatinya. Di situ dilukiskan seekor
naga yang sedang mementangkan cengkeramannya.
Kemudian ia jadi lebih girang lagi setelah baca bunyinya surat,
hingga iapun ketahui, nona ini adalah anak pungutnya jago
dari Barat utara itu, bahwa dengan surat itu Tiat Hui Liong
mohon bantuannya.
Menampak surat dari robekan baju dan tintanya bukan bak
tapi arang, Liong Tat Sam mengerti bahwa " urusan ada
sangat penting. Dan datangnya si nona pun di waktu tengah
malam. "Titahnya Tiat Loo tidak akan kutampik," dia lantas kata.
"Sebenarnya liehiap hendak menitahkan apa padaku?"
Orang berbudi ini segera sediakan dirinya.
"Aku hendak berkelahi !" sahut Giok lo sat, sambil tertawa.
Masih sempat dia berjenaka.
Tat Sam melengak.
"Inilah sulit..." pikirnya. "Bagaimana aku harus bersikap"
Tiat Hui Liong adalah penolongku, aku berhutang budi
kepadanya, sedang Pek Sek Toojin sahabatku juga, malah dia
sekarang menumpang di rumahnya Liu See Beng. Sekarang
Giok Lo Sat hendak adu pedang dengan Pek Sek Toojin,
rupanya Tiat Hui Liong kuatir anak pungutnya kalah, maka dia
suruh Giok Lo Sat datang padaku untuk minta bantuan
tenagaku. Hanya belum tahu, Tiat Hui Liong hendak minta aku
bantu pihaknya atau untuk mengakurkan mereka, kalau hanya
untuk mengakurkan, aku dapat mengajukan diri, tapi kalau
diminta membantui pihaknya, di manakah aku mesti taruh
mukaku?" Giok Lo Sat lihat orang berdiri diam saja. iapun heran.
"Kenapa orang ini begini tolol?" pikirnya. "Baru saja dengar
aku hendak berkelahi, ia sudah bingung tidak keruan! Orang
begini bisa jadi satu piauwsu kepala?"
Tat Sam mencoba menenangkan hatinya.
"Liehiap, mengapa kau bermusuh dengan Butong pay?" dia
tanya, suaranya tidak lancar.
Bangun alisnya si nona karena pertanyaan itu.
"Lain orang taku tkepada Butong pay, yang banyak
orangnya dan besar pengaruhnya, aku sendiri tidak!" ia kata
dengan nyaring.
"Aku tahu liehiap tidak takut," kata Tat Sam, yang masih
bingung, "akan tetapi aku berpendapat bahwa permusuhan
haruslah dibikin habis dan bukannya diperbesar. Bagaimana
jikalau aku datang sama tengah, untuk minta liehiap serta Pek
Sek Toojin memberi muka kepadaku dengan hadiri sebuah
perjamuan untuk mengadakan perdamaian?"
Nona itu tertawa.
"Adu pedang di antara aku dan Pek Sek Toojin sudah
ditetapkan," katanya, suaranya tetap. "Ilmu silatnya Pek Sek
Toojin sudah mahir, meski demikian, bolehlah dia menjadi
tandinganku. Bila kau tidak menghendaki aku adu pedang
dengan Pek Sek Toojin, itu baru bisa terjadi kalau kau dapat
carikan seorang lain sebagai gantinya untuk menjadi
tandinganku itu. Di kolong langit ini, urusan yang paling
menyenangkan adalah mengadu silat! Kau hendak cegah aku
adu silat, tak mungkin kau dapat menghalanginya."
Tat Sam mengeluh, ia perlihatkan wajah dari
kemenyesalan, tak dapat ia buka mulutnya lagi.
"Bagaimana, dapat tidak kau bantu aku?" Giok Lo Sat
menegasi. "Cuaca akan segera menjadi terang dan aku mesti
cepat-cepat kembali!"
Piauwsu itu jadi sangat terdesak.
ayahmu, sekarang dia menitahkan aku, sudah tentu aku
turut," katanya dengan sangat terpaksa. "Hanya terlebih dulu
ingin aku temui ayahmu itu, satu kali saja. Ilmu silat
pedangnya Pek Sek Tooj in tergolong nomor satu di kolong
langit ini, apabila aku tempur dia, sudah pasti aku bakal mati,
karena itu hendak aku mohon kepada ayahmu supaya sukalah
dia tengok-tengok anakku..."
Tat Sam menyangka pasti Giok Lo Sat hendak minta ia
membantui berkelahi, dari itu ia ingin bertemu dulu kepada
Tiat Hui Liong guna tuturkan kesulitannya.
Giok Lo Sat tertawa terpingkal-pingkal, sampai air matanya
keluar. Tat Sam lihat itu, ia heran bukan main, tapi di dalam
hatinya ia amat mendongkol.
Masih si Raksasi Kumala tertawa.
"Sudah setengah harian kita bicara, kiranya kau anggap
aku cari kau untuk mohon bantuanmu guna hantui aku
berkelahi," katanya, sekarang dengan sabar. "Pek Sek itu
orang macam apa" Untuk layani dia, tidak perlu aku minta
bantuan orang lain! Walau menghadapi musuh yang jauh
terlebih liehay daripada Pek Sek pun aku dan ayahku tidak
takut sama sekali!"
Baru sekarang lega hatinya Tat Sam, meskipun ia masih
belum tahu apa maksud si nona sebenarnya. Urusan tetap
membingungkan dia.
"Habis, nona hendak menitahkan apa?" tanya dia akhirnya.
"Aku cari kau bukan buat melayani Pek Sek Toojin," si nona
mulai berikan keterangannya. "Lawan yang aku akan hadapi
adalah Anghoa Kuibo."
Keterangan ini membuat Tat Sam kaget pula.
"Apakah Anghoa Kuibo Kongsun Toanio masih hidup?" Dia
kaget tetapi tidaklah sehebat tadi. Sekarang dia kaget karena
herannya. Giok Lo Sat tertawa pula.
"Apakah kau tidak berani lawan padanya?" ia tanya.
Sekarang baru Tat Sam bisa tertawa, malah tertawa besar.
"Jikalau aku takut mati, tidak nanti aku buka piauwkiok!"
jawabnya. "Kau hendak lawan Anghoa Kuibo, baiklah, aku suka bantu
kau! Untuk itu aku bersedia binasa!"
Sekarang adalah gilirannya Giok Lo Sat yang menjadi tidak
mengerti. Bukankah Anghoa Kuibo jauh lebih liehay daripada
Pek Sek Toojin" Kenapa piauwsu ini tidak berani lawan si
imam tetapi berani terhadap Anghoa Kuibo" Apakah
sebabnya" Tapi karena Tat Sam mengutarakan keberaniannya
itu secara cepat, dengan sendirinya berubahlah pandangan
Giok Lo Sat terhadap piauwsu ini.
"Apakah kita pergi sekarang?" Tat Sam tanya pula selagi si
nona masih berdiam. Ia jadi menantang...
Mau tidak mau si Raksasi Kumala tertawa pula.
"Aku bukan hendak minta bantuan tenagamu untuk
berkelahi," ia menjelaskan.
Tat Sam heran, tetapi sekarang hilanglah kekuatirannya.
Giok Lo Sat tidak ayal lagi akan menuturkan maksud
kedatangannya yang sebenarnya.
"Hoksim khia memang aku ada punya," kata Tat Sam. "Tapi
obat yang demikian banyak macamnya itu membuat aku raguragu...
Bisakah itu didapatkan lengkap semuanya" Tapi,
baikkah, silakan kau menanti sebentar di sini, aku mau
perintah orang segera mencarinya!"
Giok Lo Sat suka menantikan. Tapi ia tidak sabaran. Ia
sudah duduk hingga cuaca mulai menjadi terang, sampai sinar
matahari mulai menyorot masuk ke dalam jendela, orangnya
piauwsu itu masih belum kembali.
"Kenapa dia masih belum kembali?" dia tanya Tat Sam.
"Obat ada berpuluh macam, pasti sukar dicarinya,"
jawabnya Tat Sam.
Terpaksa nona ini sabarkan diri, sampai kira-kira waktu
makan nasi, kali ini barulah pegawai piauwkiok itu kembali.
"Bagus, belum terlambat," dia kata, hatinya lega.
Pegawai itu segera beri laporannya: "Dari dua puluh lima
macam obat, kecuali Himtha, semuanya telah didapat,"
katanya. "Kurang serupa tidak apa," kata Giok Lo Sat.
Tetapi Liong Tat Sam kerutkan kening.
"Himtha itu justeru obat utama," katanya "Itulah obat yang
tak dapat dikurangkan. Himtha memang berharga tetapi
bukanlah barang yang sukar didapatkannya, di pasar bisa
kehabisan?"
Himtha adalah nyali biruang, karenanya, piauwsu ini heran.
"Kabarnya." berkata si pegawai, "selama dua hari ini,
thaykam dari istana telah cari himtha dalam jumlah yang
besar, semua obat itu dari rumah-rumah obat di sini telah
dibeli habis."
Giok Lo Sat jadi mendongkol.
"Kalau bukannya sekarang juga aku membutuhkan obat itu,
pasti aku akan pergi menyatroni istana untuk mencurinya!" dia
kata dengan sengit, Tat Sam berpikir, tiba-tiba ia berjingkrak
bagaikan orang dipagut ular.


Wanita Gagah Perkasa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ada satu tempat di mana mungkin Himtha itu bisa
didapatkan!" katanya selang sedetik.
"Di mana letaknya?" tanya Giok Lo Sat. "Sekarang juga aku
mau pergi ke sana!"
"Himtha berasal dari tapal batas, panglima perbatasan pasti
punyakan barang itu," kata Liong Piauwsu.
"Tentulah Kengliak mempunyai barang itu," kata si nona
"Benar," sahut Tat Sam. "Kengliak, seorang pembesar jujur,
untuk barang-barang bingkisan, ia tidak mampu menyediakan
segala bulu binatang yang mahal-mahal, sebaliknya himtha,
meski di sini harganya mahal, di tapal batas tentunya murah,
mesti Kengliak ada bawa itu untuk dihadiahkan kepada
sahabat-sahabat dan sanaknya Nah, mari kita pergi bersama"
Giok Lo Sat ingat pertempuran malam itu, iajadi bersangsi.
Beng Kie tentu ada di sana. Tapi segara ia pikir: "Umpama
Beng Kie cegah Kengliak memberikan obat itu padaku, dia
benar-benar tidak dapat dihargai!..."
Tat Sam dengar perkataan si nona tetapi ia tidak mengerti,
ia heran. "Apa kata liehiap?" demikian ia menanya
Si nona mendadak tertawa.
"Ah, tidak!" sahutnya.
"Sebenarnya aku kurang cocok dengan salah satu perwira
sebawahannya Kengliak..."
"Itulah soal kecil," kata Tat Sam. "Mari kita pergi
sekarang!"
***** Dua kali Him Teng Pek telah alami "onar", seharusnya dia
gusar, akan tetapi dia dapat mengatasi diri, dia bisa berlaku
tenang. Keesokannya pun dia terus menungkulkan diri seperti
kemarinnya. Itu hari menteri-menteri telah majukan kepada kaisar
rencana mereka akan tetapi kaisar tidak datang hadir di
singgasana. Biasanya surat-surat penting diterimakan kepada
pembesar istana yang berpangkat tiongkun, yang akan
menyampaikannya lebih jauh kepada thaykam atau orang
kebiri yang bertugas untuk itu, baru oleh si thaykam
dihaturkan kepada raja. Pun biasanya, apabila ada urusan
sangat "penting, kaisar harus segera memeriksa dan
mengurusnya. Tapi kali ini, semua menteri menantikan sampai
matahari naik tinggi, belum ada gerakan apa juga dari dalam
keraton, malah tidak ada pesuruh kaisar yang memanggil
menteri atau menteri yang bersangkutan. Maka itu, akhirnya
semua menteri bubaran dari istana
Him Teng Pek jalan mundar-mandirdi dalam kamarnya,
teranglah ia sedang kusut pikirannya Beng Kie tahu
kebiasaannya sep ini, ia tidak mau menggerecok. Karena tiaptiap
menghadapi soal besar atau sulit, beginilah kelakuannya
sep itu. Kira-kira mendekati tengah hari, barulah raja kirim dua
Iweekam, orang kebiri dari keraton, membawa sebuah
keranjang surat-surat untuk menteri dari perbatasan itu.
Kedua orang kebiri ini dapat pesan bahwa surat-surat itu
harus Him Kengliak periksa semuanya.
Seberlalunya kedua Iweekam, Teng Pak lantas periksa
surat-surat itu. Ia lantasjadi masgul, mendongkol dan putus
asa. Surat-surat yang memenuhi keranjang itu semuanya
mendakwa padanya. Semua dakwaan, atau tuduhan itu
datangnya dari menteri-menteri dorna.
"Habis, habislah!..." panglima ini mengeluh, ia menghela
napas. "Legakan hatimu, Kengliak Tayjin," Yo Lian menghibur.
"Semua surat-surat ini Sri Baginda kirimkan pada tayjin tanpa
dibuka dahulu, itu menandakan kepercayaan Sri Baginda atas
diri tayjin."
"Duduknya hal tidak demikian, Yo Tayjin," kata Teng Pek.
"Jikalau semua surat ini diserahkan padaku sebelum surat
dakwaan kita dimajukan, itulah memang pantas, tetapi ini di
kirimkan sesudah kita ajukan surat dakwaan, maka dengan ini
teranglah Sri Baginda hendak mengatakan: Kau dakwa lain
orang, lain orang juga mendakwa padamu. Nyata Sri Baginda
tidak membeda-bedakan lagi menteri setia dan dorna, keduaduanya
beliau pandang sama saja!"
"Mungkin tidak demikian," kata pula Yo Lian.
Him Kengliak gendong kedua tangannya, kembali ia jalan
bulak-balik. Menampak demikian, Yo Lian bungkam.
Selang tidak lama mendadak kengliak itu berkata: "Ambil
kertas dan pit!"
"ApaKah tayjin hendak ajukan dakwaan pula?" Yo Lian
tanya. "Tidak. Aku hendak ajukan permohonan meletakkan
jabatan." Menteri she Yo itu terkejut.
"Jangan, jangan," dia mencegahnya. "Janganlah karena
kegusaran satu waktu, Tayjin melupakan negara!"
"Saudara Yo, kau tidak tahu," kata kengliak itu. "Karena
sekarang kawanan dorna dapat menguasai istana, sekalipun
aku bisa kembali ke tapal batas, aku tentu terus dalam
pengendalian mereka, tidak bisa aku gunai tentara untuk
melakukan perlawanan. Maka itu, lebih baik aku undurkan diri
saja. Dengan ini, akupun sekalian bisa uji hati Sri Baginda.
Menurut ilmu perang, inilah siasat yang dinamakan:
didudukkan di tempat kematian tetapi bisa hidup pula.
Umpamanya Sri Baginda benar tidak terlalu tolol, beliau pasti
akan panggil aku menghadap di dalam keraton untuk
ditanyakan duduknya hal dengan jelas."
Sebenarnya, walaupun Yu Kauw masih sangat muda, ia
tidak terlalu tolol, ia malah ketahui baik, bahwa Him Teng Pek
adalah seorang tiongsin, menteri yang setia. Tapi ia telah
dipengaruhi Gui Tiong Hian dan Keksie Hujin yang berkongkol
satu pada lain. Mereka ini cegah kaisar mengetahui segala
urusan di luar keraton, setindak demi setindak raja dijejal
dengan pelesiran, yang selalu siap sedia di dalam keratonnya,
hingga kaisar lupa segala urusan lainnya. Maka itu, pelbagai
suratnya menteri-menteri semuanya tidak sampai ke tangan
kaisar, semua surat-surat itu dibekap oleh babu susunya
Pernah kaisar mengatakan, keranjang surat-surat hendak di
kirimkan pada Him Kengliak. Keksie Hujin dan Gui Tiong Hian
ketahui itu, maka keduanya bermupakatan, lantas mereka
anjurkan kaisar dengan kata: "Him Kengliak sudah pulang,
sekarang Sri Baginda boleh kirimkan semua surat-surat
kepadanya!"
"Jikalau dia sudah pulang, lebih baik panggil dia
menghadap ke istana, untuk surat-surat itu diserahkan di
tangannya sendiri," kata kaisar. "Tidakkah itu ada terlebih
baik?" Gui Tiong Hian tertawa dengan tertawa kansin (dorna)nya.
"Eh, kenapa kau tertawa?" tegur Yu Kauw.
Dorna kebiri itu menyahutinya dengan perlahan sekali:
"Harap Sri Baginda ketahui, Him Teng Pek itu baik dalam
semua hal, kecuali satu..."
"Apakah itu yang tidak baik?" tanya raja yang menjadi
heran. "Dia mempunyai adat yang kukoay!" sahut orang kebiri itu.
"Jikalau dia lihat Sri Baginda gemar pelesiran, dia tentunya
akan mengoceh tidak putusnya!..."
Yu Kauw ini sejak wafatnya ayahnya, tidak ada yang
kendalikan, dia jadi sangat merdeka, malah berandalan.
Begitulah di dalam keraton, dia gemar sekali dengan
permainan adu ayam jago, adu anjing lari, main bola atau
main sandiwara. Tegasnya setiap hari dia memain saja Maka,
mendengar adat aneh dari Teng Pek, ia kuatir juga.
"Bagaimana kalau dia dipanggil tetapi jangan kasih dia lihat
tiga pendopo?" kata raja ini. "Bisakah?"
Raja maksudkan pendopo tempatnya dia pelesiran,
pendopo itu ada tiga buah.
"Tidak bisa, Sri Baginda," Gui Tiong Hian dustai rajanya.
"Satu kali dia sudah datang, mesti ada orang yang telah
beritahukan kepadanya, kalau nanti dia menghadap Sri
Baginda, pasti sekali dia akan mengoceh tidak keruan." Lalu
dorna ini menambahkan. "Selama beberapa hari ini, bungabunga
bwee dan seruni sedang mekar seperti saling
bersaingan, sekarang adalah saatnya untuk membuat pesta
bunga seruni dan bwee itu. Baiklah dayang-dayang
diperintahkan menyamar jadi bidadari-bidadari bunga bwee
dan seruni, biarlah mereka itupun saling adu keelokan mereka.
Maka, kalau sebaliknya Sri Baginda tengok wajahnya menteri
she Him yang tua itu, apakah kegembiraan Sri Baginda tidak
akan tersapu habis?"
Yu Kauw kena dibujuk. Tapi, masih ia mengatakan: "Biar
bagaimana, aku toh mesti temui dia?"
"Ah, anak tolol!" KeksieHujin tertawa di damping kaisar
muda ini. Sedari tadi babu susu ini diam saja, menunggu
gilirannya membuka mulut untuk timpali Gui Tiong Hian,
rekannya itu. "Toh boleh ditunggu sampai nanti dia hendak
kembali ke perbatasan, baru Sri Baginda menjumpai padanya
sekalian mengantar dia pergi."
Dasar masih terlalu muda, Yu Kauw kena dibujuk kedua
orang itu. Kasihan Teng Pek, walaupun ia ketahui kaisar dipengaruhi
Keksie Hujin dan Gui Tiong Hian. tetapi ia tidak tahu bahwa
pengaruhnya kedua orang itu ada demikian rupa. Ia tetap
jalan mundar-mandir, ia menduga-duga apa maksud
sebenarnya dari rajanya untuk perlihatkan padanya surat-surat
itu. "Saudara Him," berkata Yo Lian, "kalau kau hendak
mengajukan surat permohonan untuk meletakkan jabatan
guna menguji Sri Baginda, aku tidak akan menentanginya,
tetapi tak usahlah kau menulisnya sekarang juga. Sekarang ini
Pengpou Siangsie Yo Kun sedang desak Kiubun Teetok untuk
menanyakan orang-orang yang dibekuk kemarin, untuk
mengetahui sampai di mana Teetok itu telah periksa
komplotan yang menyamar sebagai berandal itu. Baik kita
tunggu sampai dia sudah peroleh jawaban, baru kita
bermupakatan pula. Bagaimana pikiranmu?"
"Baiklah," sahut Teng Pek akhirnya. Tapi masih ia mundarmandir
memutari ruangan.
Yo Lian kuatir panglima ini nanti jatuh sakit.
"Lao Him, mari kita main catur -- maukah kau?" dia
mengajak. "Boleh juga." sahut Teng Pek dengan singkat. Mereka
lantas memulai dengan mengatur dan menjalankan biji-biji
caturnya. Justeru itu Ong Can masuk mengabarkan bahwa Piauwsu
Liong Tat Sam yang pernah bantu mengantar rangsum serta
nona yang kemarin ini membantui bertempur datang mohon
bertemu. "Kali ini anggap saja aku yang kalah," kata panglima itu.
sambil ia tolak papan catur ke samping, dan ia teruskan
berkata kepada perwiranya: "Undang mereka masuk!"
Beng Kie heran. Ia menduga Giok Lo Sat datang untuk
gerecoki pula padanya. Tentu sekali, urusan mereka itu tak
dapat diberitahukan kepada Him Kengliak.
Teng Pek lihat wajah yang tak wajar dari perwiranya itu.
"Kau memikirkan apa?" dia tanya.
"Wanita itu berandalan, aku kuatir dia nanti berlaku yang
tak kenal kepantasan," Beng Kie menjawab dengan
menyimpang. Tapi Him Kengliak tertawa terbahak-bahak.
Beng Kie heran.
Teng Pek tertawa pula, lalu ia kata: "Selama dua hari ini
aku telah lihat binatang-binatang bersayap dan berkaki empat
yang berpakaian sebagai manusia, maka aku ingin tengok
juga manusia berandalan bagaikan orang hutan..."
Lega juga hati Yo Lian menampak Kengliak ini bisa
bergurau. "Wanita itu tinggi ilmu pedangnya," berkata dia. "Ketika
pertempuran kemarin, aku telah mengintai dari balik pintu,
aku lihat hebat serangan-serangannya, aku kagum sekali."
Mendengar begitu, Beng Kie tidak mencegah lebih jauh. Ia
berdiri tetap di damping sepnya
Sebentar kemudian Ong Can telah kembali bersama Liong
Tat Sam dan Giok Lo Sat. Piauwsu itu memberi hormat sambil
berlutut. Tapi Giok Lo Sat yang dandan sebagai pria memberi
hormat hanya dengan menjura, sedang terhadap Beng Kie, ia
menoleh pun tidak.
Him Teng Pek tidak pedulikan sikap sebawahannya itu.
"Kemarin dengan suka rela kau telah menolong aku, belum
sempat aku tanyakan namamu yang harum," dia kata.
Sekonyong-konyong Giok Lo Sat tertawa geli.
"Apa sih nama harum dan tidak harum," katanya. "Namaku
Lian Nie Siang, akan tetapi kaum kangouw menyebut aku Giok
Lo Sat, hingga namaku yang benar orang tidak sebut-sebut
lagi. Kalau kau senang, kau boleh panggil aku Lian Nie Siang,
kalau kau lebih suka menyebut Giok Lo Sat, itupun boleh!"
Him Kengliak bersenyum.
"NonaLian, kau sungguh polos!" katanya.
Ong Can menyuguhkan dua cangkir teh wangi.
Giok Lo Sat sambuti secangkir yang ia terus minumnya.
"Cangkir ini terlalu kecil!" katanya.
"Bagus!" seru Him Kengliak. "Tukar dengan yang lebih
besar! Eh, Nona Lian, kau suka minum arak atau tidak" Buat
aku, kalau aku minum arak, selamanya aku pakai cawan yang
besar." "Mengapa tidak?" jawabnya si nona. "Akan tetapi
sebaliknya, kalau aku minum arak, aku pakai cawan yang
kecil. Sayang, hari ini aku pantang minum arak, jadi kau tak
usah menyediakannya. Teh ini harum, aku boleh minum lebih
banyak!" Teng Pek sedang pepat pikiran, kata-katanya nona yang
polos ini dapat juga membikin hatinya lega. Ia tertawa.
"Bagus!" katanya. "Mari duduk, kita pasang omong!"
Giok Lo Sat sikut Tat Sam.
"Maaf, kita tidak dapat duduk pasang omong," jawabnya
Liong piauwsu itu.
Kelakuan kedua tetamunya itu membingungkan Teng Pek.
Tetapi ia tertawa.
"Apakah ada urusan penting untuk mana kalian datang
menemui aku?" kata panglima ini. "Tat Sam, hayo kau bicara!"


Wanita Gagah Perkasa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Piauwsu itu anggukkan kepala.
"Kengliak Tayjin telah bekerja untuk negara, sekarang
tayjin telah kembali dari tempat ribuan lie, selagi hambamu
tidak punya apa-apa untuk dihadiahkan, sebaliknya..." terhenti
dengan tiba-tiba. Sebab Giok Lo Sat memotong omongannya.
Nona itu kata: "Hai, kenapa kau bicara begini rupa, tidak
segera menjelaskan kepada pokoknya"..."
Teng Pek tidak gusar, sebaliknya, ia tertawa gelak-gelak.
"Nona ini benar!" katanya, ia tampaknya gembira. "Liong
Loosam, kau harus didenda satu cawan! Lekaslah omong,
urusan apa kau punyai yang mungkin aku dapat
membantunya?"
Mukanya Liong Piauwsu menjadi merah, dia jengah,
"Apakah tayjin membawa pulang himtha?" demikian dia
menanya, suaranya tidak lancar. "Aku memikir untuk mohon
tayjin menghadiahkannya sedikit kepadaku..."
Kembali Kengliak itu tertawa.
"Ini toh urusan sangat kecil!" katanya. "Benar, himtha itu
berguna untuk menghentikan darah dan membuyarkan darah
yang beku. obat itu memang dibutuhkan piauwkiok. Ong Can,
pergi kau paruhkan himtha yang aku bawa pulang itu untuk
sahabatku ini!" Lantas dia menambahkan: "Memang aku telah
sediakan itu untuk dibagikan kepadamu, sayang dalam dua
hari ini aku mempunyai sangat banyak urusan hingga aku
menjadi lupa!"
Sepasang matanya Giok Lo Sat berputar mendengar katakatanya
panglima ini, lalu tiba-tiba saja ia tertawa dan kata:
"Kau adalah seorang pembesar yang tidak dapat dicela!
Tabiatmu hampir tiada bedanya dengan kami orang-orang
gagah kaum Rimba Hijau!"
Mendengar itu Yo Lian kaget sampai pucat wajahnya. Teng
Pek sebaliknya tertawa terbahak-bahak.
"Kau jadinya ada satu nona gagah kaum Rimba Hijau?"
"Tidak berani aku mengatakan itu." sahut si Raksasi Kumal
a. "Aku sendiripun tak tahu aku seorang gagah atau bukan..."
Lagi-lagi panglima perbatasan itu tertawa. Tapi ketika ia
bicara pula, kali ini ia menunjukkan roman sungguh-sungguh.
"Tidak apalah menjadi orang gagah kaum Rimba Hijau
yang bekerja seperti mewakilkan Thian menjalankan
keadilan," demikian katanya "Tetapi sekarang ini bangsa
TatCu dari BoanCiu segera bakal datang menyerbu negara
kita, sudah selayaknya j ikalau orang-orang gagah kaum
Rimba Hijau menerima panggilan negara untuk menjadi
serdadu guna sama-sama menangkis penghinaan dari luar!"
"Jikalau pembesar yang memanggilnya sebangsa kau,
mungkin ada orang-orang gagah yang suka mendengar katakatamu."
kata Giok Lo Sat. "Kalau lain-lain pembesar, aku
kualirkan tidak ada yang sudi terima panggilan itu! Tapi
menurut aku, tidak usah kita bicara lagi siapa yang memanggil
dan siapa yang dipanggil, asal bangsa BoanCiu itu datang
menyerbu, segera kita sama-sama menghajar padanya!"
Teng Pek bungkam ternganga mendengar pengutaraan itu.
Nona itu telah bicara demikian polos dan dengan sebenarnya
tepat sekali. Him Kengliak ketahui baik keburukannya pihak pemerintah,
kalau tadi ia menyebutkannya "memanggil orang gagah kaum
Rimba Hijau", itu adalah cita-citanya sendiri, karena ia
memang telah memikir memanggil mereka itu, guna
memperkuat kedudukannya. Juga benar katanya Giok Lo Sat
bahwa lain pembesar tidak akan dibantunya
Si nona lihat orang mengawasi saja padanya.
"Apakah kataku tadi salah?" dia tanya.
"Kau tidak keliru," Teng Pek menj awabnya segera.
Yo Lian tercengang mendengar pembicaraannya kedua
orang itu. Ia adalah menteri perang, baru dua hari yang lalu ia
terima titah kaisar (atau lebih benar titah tak langsung dari
Keksie Hujin) untuk menugaskan perwira yang bernama Lauw
Teng Goan pergi membasmi kawanan penyamun di Siamsay.
Ia ingat bahwa dalam surat cepat permohonan bala bantuan
dari Siamsay ada disebutkan bahwa pemimpin penyamun itu
bernama Giok Lo Sat. Ia telah perhatikan nama penyamun itu,
karena penyamun itu adalah seorang wanita, maka sama
sekali ia tidak sangka bahwa Giok Lo Sat itu adalah nona
cantik bagaikan bidadari di depannya ini. Maka dengan
sendirinya ia menjadi bingung.
Him Kengliak lihat romannya menteri itu, Ia bisa duga
orang bersangsi. Maka ia tertawa.
"Saudara Yo, nona ini sekarang telah datang menghadap
aku," katanya separuh menggoda "maka dia adalah
sahabatku!"
"Tentu saja, tayjin," sahut Yo
Lian, suaranya tidak wajar. Ia merasa aneh sekali akan
sifatnya kengliak ini, hingga ia anggap orang benar-benar
aneh. Kenapa kengliak ini bicara kepada satu kepala
penyamun demikian merdeka, seperti benar-benar sahabat
kekal satu pada lain"
Namun, di akhirnya menteri ini legajuga hatinya.
Sementara itu Ong Can sudah kembali bersama satu
bungkus besar himtha.
"Oh, terlalu banyak!" kata Liong Tat Sam dengan kaget.
"Kantormu membutuhkan banyak, ambillah semua!"
Kengliak kata. Terpaksa piauwsu itu menerimanya, ia mengucap terima
kasih. Selagi ia hendak pamitan, ia dengar pembesar itu bicara
kepada Giok Lo Sat, ia tahan langkahnya.
Teng Pek sangat suka kepada Nona Lian, hingga ia
menyesal sangat yang ia tidak punya anak perempuan sebagai
nona ini. Ia dapat lihat pedangnya si nona, lantas sambil
tertawa ia tanya: "Nona Lian, siapakah yang ajarkan kau ilmu
silat pedang?"
"Untuk apa kau tanyakan hal ini?" Giok Lo Sat balik tanya
Saking polos, ia berani bicara secara demikian merdeka.
"Sebab ilmu pedangmu sangat mahir!" sahut panglima itu.
"Aku tidak pandai ilmu silat pedang tetapi aku paling senang
menyaksikan orang adu pedang!"
"Sayang kau seorang pembesar berpangkat tinggi, kalau
tidak, pasti hari ini aku akan ajak kau pergi menyaksikan
orang adu pedang!" kata nona kita
Teng Pek tidak menjawab si nona, hanya tiba-tiba ia tunjuk
Beng Kie seraya terus berkata: "Nona Lian, inilah perwira
sebawahanku pangkat CamCan nama Gak Beng Kie..."
"Aku tahu!" si nona memotong.
Teng Pek tidak mempedulikannya. Ia berkata pula: "Dalam
pasukan tentaraku, ilmu silat pedangnya sebawahanku ini
adalah nomor satu, maka sudikah kau mencoba-coba adu
pedang dengan dia" Tentu saja syaratnya ialah saling sentuh
saja, aku larang saling melukai!"
Mendengar itu, sekonyong-konyong Giok Lo Sat tertawa.
"Ha, Gak Beng Kie, kiranya kau masih belum puas!"
katanya. "Baik, marilah kita mencoba-coba pula!"
Dan tanpa tunggu jawaban lagi, "Sret!" nona ini
menghunus pedangnya.
Yo Lian kaget hingga ia menyingkir ke belakang kursi.
Teng Pek sebaliknya menjadi heran. Kata-katanya si nona
mesti ada sebabnya
"Tunggu dulu!" ia mencegah. "Beng Kie, apakah sebelum
ini pernah kau adu pedang dengan nona ini?"
"Bukan hanya baru satu kali!" kata si nona, yang kembali
memotong pembicaraannya panglima itu. Lalu ia berseru: "Ha,
sudah siang! --- Jikalau kau belum mau kembali ke
perbatasan, baik lain kali saja aku memberitahukannya
padamu! -- Dan kau, Beng Kie, adu pedang ini kau boleh catat
saja!" Teng Pek jadi semakin heran, ia juga berat untuk segera
berpisah dari nona ini. Ia pun tidak berkecil hati atau merasa
tersinggung untuk sifat yang berandalan dari si nona itu.
Sebaliknya, ia jadi semakin ketarik hati. Iapun lantas lihat
cuaca. "Hampir tengah hari," katanya. "Mengapa kau kata sudah
siang?" Giok Lo Sat kuatir kengliak ini akan menahan terus
kepadanya, untuk layani dulu Beng Kie adu pedang, maka
segera ia omong terus terang.
"Aku sebenarnya hendak adu pedang dengan AnghoaKuibo,
kau tahu tidak?" katanya.
"Siapa itu Anghoa Kuibo?" tanyanya Teng Pek. "Nama itu
aneh sekali kedengarannya!..."
Sebaliknya dari sep itu, Beng Kie kaget bukan main.
Gurunya, Hok Thian Touw, adalah satu tertua dalam kalangan
Rimba Persilatan, yang banyak penglihatannya dan
pendengarannya, semasa Beng Kie masih berada di atas
gunung Thiansan
- pernah ia dengar gurunya
omong tentang Anghoa Kuibo, maka tahulah ia, siapa Biang
Hantu itu. Ia lantas tarik tangan sepnya "Mari, taysu aku
hendak bicara..." katanya.
Giok Lo Sat tidak tahu apa yang Beng Kie hendak katakan
kepada sepnya itu, tapi ia sudah lantas beri peringatan:
"Jangan kau paksa aku berdiam di sini untuk adu pedang!"
"Nona jangan kuatir," Teng Pek berkata. "Kau mempunyai
urusan penting, adu pedang ini boleh dibicarakan belakangan.
Harap kau tunggu sebentar saja." Lalu ia berkata kepada
sebawahannya: "Nah, Beng Kie, kau hendak bicara apa" lekas
katakan!" Beng Kie tuntun sepnya sampai di belakang pintu angin.
Liong Tat Sam lihat orang pergi sampai sekian lama masih
belum kembali juga, ia jadi bingung, hatinya lantas memukul.
Ia kuatir Gak Beng Kie tidak ingin lepaskan Giok Lo Sat. Di
dalam hatinya iapun berkata:
"Ha, iblis wanita ini sungguh besar nyalinya, di depan
Kengliak dia berani beber hal dirinya sendiri... "Kalau aku tahu
akan terjadi begini, tidak nanti aku ajak dia kemari -- biar
bagaimana, tidak! Him Teng Pek adalah seorang panglima
perang dan di depannya berdiri satu kepala penyamun,
bagaimana bisa dia tidak menawannya" Kali ini Giok Lo Sat
tidak bakal dapat meloloskan diri lagi..."
Sebaliknya Giok Lo Sat tampak tenang-tenang saja. Ia
percaya betul kepada Kengliak yang sifatnya agung itu, yang
jujur katanya. Ia diakui sebagai sahabatnya, tentulah Kengliak
artikan itu dengan sebenar-benarnya. Maka ia tidak
sependapat dengan Tat Sam, yang bahna bingungnya, tidak
bisa memikir jauh.
Sedetik kemudian, barulah terlihat Teng Pek dan Beng Kie
keluar bersama, dan Kengliak itu lantas saja tertawa.
"NonaLian, mari!" ia memanggil.
Dengan sikap wajar, Giok Lo Sat menghampiri.
"Sebenarnya aku telah memikir untuk menghadiahkan
sesuatu kepadamu," kata panglima itu, "sayang di tempat
asing bagiku ini, aku tidak punya barang apa-apa yang
berharga..."
"Ah!" bersenyum si nona. "Sangkaku kau hendak omong
suatu hal penting dengan aku, tidak tahunya kau hendak
berlaku sungkan! Untuk ikat persahabatan tidak usah orang
main hadiah menghadiahkan. Dan seumurku, aku melainkan
terima hadiah dari kepala berandal, sebaliknya barangnya
sahabat-sahabat aku tidak kehendaki."
Teng Pek tidak hiraukan penampikannya nona itu, ia kata:
"Meski aku tidak punya barang berharga untuk dihadiahkan
kepadamu, namun aku hendak juga meminjamkan kau serupa
barang, setelah nanti kau selesai memakainya, kau harus
kembalikan padaku."
Nona itu agaknya heran.
"Ha, kau hendak pinjamkan barang padaku?" katanya.
"Inilah soal baru bagiku! Barang apakah ttu?"
Him Teng Pek keluarkan sepasang sarung tangan.
"Nona Lian, sudikah kau pandang aku sebagai sahabat?"
tanyanya sambil tertawa.
Si nona bersenyum.
"Jikalau aku tidak memandang kau sebagai sahahatku,
mustahil aku kesudian pasang omong demikian lama dengan
kau seorang pembesar agung?" sahutnya
Baru sekarang Teng Pek perlihatkan roman sungguhsungguh.
"Kalau begitu ingin aku meminta sesuatu kepadamu,
sudikah kau mengabulkannya?"
Agaknya si nona jadi sangat gembira
"Ah, kau hendak mohon sesuatu kepadaku?" katanya.
"Haha! Aku suka, suka sekali! Walau aku mesti terjun ke
dalam air berdidih atau terjang api, pasti tidak aku tampik!"
"Bagus!" berkata panglima dari perbatasan itu.
"Permintaanku adalah: Jikalau sebentar kau tempur lawanmu
yang namanya entah apa Anghoa Kuibo, aku minta dengan
sangat kau harus memakai sarung tangan ini, nanti sesudah
pertandingan itu selesai, kau mesti antarkan kembali padaku."
Giok Lo Sat pandang sarung tangan itu, yang bersinarkan
kuning emas yang indah, tampaknya bukan terbuat dari sutera
biasa, ia menjadi suka dan hatinya girang.
"Baiklah, aku suka turut katamu!" ia beri jawabannya.
Teng Pek serahkan sarung tangan itu, yang pun lantas
diterimanya oleh nona itu.
"Sekarang bolehlah kau pergi." kata Kengliak kemudian,
malah dia mengantar sampai di ambang pintu di mana mereka
berpisahan. Bersama Liong Tat Sam, Giok Lo Sat cepat-cepat berangkat
pulang ke piauwkiok. Pegawai piauwkiok sudah tumbuk semua
obat, sudah diaduk juga, hanya tinggal tunggui, himtha saja,
untuk terus dicampurkan diaduk lebih jauh, untuk segera
dipulung menjadi pil.
Tat Sam terus masuk ke dalam, untuk ambil Hoksimkhia,
kaca semacam tameng pelindung dada, yang ia lantas
serahkan kepada si nona dengan diberikuti dua bungkus
belirang. "Sekarang ini sudah siang," kata piauwsu-'itu," "tidak dapat
kau berjalan dengan mengguna; ilmu enteng tubuh, maka
baiklah kau tunggang kudaku yang bisa lari cepat. Setelah
sampai di kaki gunung, baru kau tinggalkan kuda itu untuk
kau mendaki dengan berjalan kaki."
Giok Lo Sat terima baik usul itu.
"Terima kasih!" ia mengucap.
Kuda sudah lantas disediakan, nona ini lompat naik atas
bebokong binatang itu, yang segera ia kaburkan.


Wanita Gagah Perkasa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ia Ingin memburu tempo. Ketika ia keluar dari pintu kota,
matahari baru saja lintasi garis tengah hari.
"Cade, inilah yang pertama kali aku salah janji!" ia
mengeluh seorang diri. Maka ia bedal kudanya lebih hebat.
Sementara itu Pek Sek Toojin, sekeluarnya dari rumah Busu
Liu See Beng. telah menuju keluar kota sebelah barat.
"Susiok, kenapa kau menjanjikan dia piebu di Pitmo gay?"
It Hang tanya paman gurunya di tengah jalan.
"Kau tidak tahu tentang lembah Pitmo gay itu," sahut sang
paman guru. "Di dalam Pitmo gay ada sebuah rumah batu.
Menurut cerita, di jaman Ahala Tong di sana hidup satu
pendeta bernama Louw Su ?" Guru Louw -- pendiri dari
kaum persilatan Kunlouw Kiampay, dia tinggal di rumah batu
itu. Ilmu silat dari golongan itu sudah lama hilang, apa yang
dinamakan ilmu silat Kunlouw Kiam sekarang ini melainkan
kulit atau bulunya saja. Kabarnya di dalam rumah batu itu
masih ada tanda-tanda peninggalannya pendeta itu, maka
setiap penggemar silat, satu kali dia sampai di rumah batu itu,
katanya lantas lupa pulang. Kau adalah bakal ketua partai kita,
sudah selayaknya kaupun belajar kenal dengan rumah batu
yang berhikayat itu. Pitmo gay juga tersohor sebagai suatu
lembah yang berbahaya. Di pinggiran kota
Pakkhia ini, sukar dicari tempat adu pedang yang terlebih
baik daripada Pitmo gay itu."
Mendengar itu. It Hang berpikir: "Kau hendak adu pedang
dengan Giok Lo Sat. mana dapat kau membikin aku
menontonnya dengan gembira?" Maka berbareng dengan itu,
ia asah otaknya mencari jalan pemecahan untuk membatalkan
pertandingan itu.
Tanpa merasa, sampailah mereka di Seesan, Gunung Barat
itu. Pek Sek segera menjadi tidak puas, karena ia tampak
keponakan muridnya itu tidak gembira seperti hilang
semangatnya. Keponakan murid ini seperti tidak punya
perasaan apa juga...
Menjadi tawarlah hatinya paman guru ini. Ia sengaja ajak It
Hang berjalan sama-sama puterinya, dan sampai sebegitu
jauh ia lihat pemuda itu suka juga bicara kepada Gok Hoa,
kadang-kadang mereka tertawa, akan tetapi ia dapatkan,
orang bicara dan tertawa dipaksakan.
Pek Sek Toojin angkat kepalanya dan dongak.
"Kita datang terlalu pagi," katanya. "Masih belum tengah
hari!" "Kita boleh pergi lebih dahulu ke Pitmo gay, untuk tunggui
dia di sana," It Hang kata.
"Tunggu dia" Dia begitu agung" Hm!" kata paman guru ini.
It Hang tidak kata apa-apa lagi. Tapi dalam hatinya ia
berkata: "Kenapa susiok selama ini jadi makin cupat pikirannya"
Selama dalam perjalanan, kenapa susiok seperti memaksa aku
supaya senantiasa berdampingan dengan putrinya"
Dan mungkinkah perselisihannya dengan Giok Lo Sat itu
ada hubungannya dengan sikapnya mengenai puterinya ini"
Tapi ia tidak dapat jawaban atau pemecahannya, ia jadi
masgul sendirinya.
"Eh. apa yang kau pikirkan?" tegur Pek Sek, yang lihat
orang termangu saja "Tidak apa-apa," It Hang jawab. "Susiok,
aku berpendapat baiklah piebu ini disudahi saja..." ia
tambahkan. "Ngaco!" bentak paman guru itu.
"Orang Butong pay tidak pernah merasajeri!"
Di mulut imam ini mengatakan demikian, tetapi di dalam
hatinya, ia berpikir: "Baik aku lihat dulu Pitmo gay, untuk
periksa keletakannya. Pasti ini akan ada faedahnya bagiku..."
Ia lantas mendaki gunung sambil berlari-lari. Tidak lama
kemudian ia sudah menghadapi sebuah lembah, yang seperti
ditawungi suatu batu besar yang dari atas bukit melonjor di
tepian lamping jurang. Di lembah itu ada sebuah tanah
kosong, yang merupakan wujud seperti singa pentang mulut.
"Itu dia Pitmo gay," kata Pek Sek.
"Mari!"
It Hang menurut.
Keduanyamenggunai ilmu enteng tubuh akan lari mendaki.
Begitu ia sampai di atas, si imam perdengarkan seman dari
keheranan: "Ai!"
Di tanah yang datar kedapatan tumpukan-tumpukan batu,
romannya mirip dengan tintouw, barisan rahasia (tin).
"Entah Giok Lo Sat gunai akal apa?" katanya. Ia lantas ajak
It Hang jalan di antara tumpukan-tumpukan batu itu. Ia
seperti merasa memasuki ratusan ribu pintu yang terpasang
kusut. Benar-benar tempat itu mirip dengan barisan rahasia
yang berdasarkan ngoheng dan patkwa.
Tentang barisan rahasia itu, Ngoheng Patkwa Tin, dalam
Butong Pitkip --- Kitab rahasia Butong pay --- ada dimuat
cuma Pek Sek Toojin sendiri belum sempat memahaminya
sampai sempurna, maka itu sekarang, setelah jalan mundarmandir
sekian lama, ia tidak juga menemui jalan keluar.
"Kurang ajar!" dia menjadi gusar. "Tidak peduli iblis itu atur
apa di sini, aku hendak sapu habis dulu tumpukan-tumpukan
batunya ini!"
Dalam murkanya itu, imam ini menyapu dengan kakinya,
hingga satu tumpukan batu buyar berantakan, ada yang
membentur tumpukan batu lainnya, hingga batu itu
terpentalnya lebih jauh lagi.
Menampak itu, puas hatinya Pek Sek, maka ia tertawa
berkakakan. Tapi, belum habis suara tertawanya itu, iapun
dengar suara tertawa lain, yang dingin, yang ditambahkan
dengan teguran: "Bocah dari mana sudah begitu bernyali
besar berani mengacau tumpukan batuku untuk berlatih?"
Suara itu tajam didengarnya, hingga Pek Sek Toojin
terperanjat. Ia segera menoleh kesekitarnya. Di empat
penjuru, ia tidak lihat satu jua bayangan manusia.
"Kau setan apa?" dia tanya akhirnya. Dia telah dengar
nyata suara itu, dia merasa pasti mesti ada orangnya, saking
sengitnya, dia bersikap kasar.
Sekonyong-konyong satu bayangan berkelebat dari
belakang suatu batu besar dari sebelah bawah. Itulah seorang
perempuan tua yang kurus kering dan kuning wajahnya,
rambutnya ubanan, kulitnya telah kerut, sebelah tangannya
menyekal sebatang tongkat. Pada rambut di ujung kupingnya
tampak setangkai bunga merah. Pakaiannyapun tidak keruan
macam. Maka dipandang seluruhnya nenek ini bagaikan hantu
gunung yang baru menjelma. Dia juga perlihatkan wajah
seperti orang sedang murka berbareng tertawa...
Walau nyalinya besar, menampak romannya nenek yang
luar biasa itu, Pek Sek menggigil juga. Dengan tindakan tetap,
nenek itu maju ke dalam tin batunya.
"Hai, dua orang golongan muda, siapa namamu?" dia
menegur. "Dan siapa guru kamu" Untuk apa kalian datang
kemari" Lekas kalian kasih keterangan yang sebenarbenarnya!"
Pek Sek ada salah satu dari ButongNgoloo, iajugatelah
berusia lima puluh satu tahun, ia tidak muda lagi seperti It
Hang. Ia juga belum pernah orang hinakan. Ia menjadi gusar
dikatakannya sebagai golongan muda.
"Namanya Butong Ngoloo, pernah kau dengar atau tidak?"
dia balik menegur.
Nenek itu membelalakkan matanya.
"Apa itu Butong Ngoloo" Aku belum pernah
mendengarnya!" katanya, seperti mengejek.
Nama kesohor dari Butong Ngoloo didapat baru belasan
tahun yang silam, sebaliknya nenek ini hidup menyendiri
sudah tiga puluh tahun. Maka pada tiga puluh tahun yang lalu
itu, Pek Sek baru berumur kira-kira dua puluh tahun. Di kala
itu nama Butong Ngoloo belum ada, tidak heran kalau nenek
ini tidak mengetahuinya. Jadi nyatalah nenek ini telah bicara
dengan sebenarnya. Pek Sek sementara itu anggap nama
Butong Ngoloo, untuk di kolong langit ini tidak ada orang yang
tidak mengetahuinya. Oleh karenanya, ia jadi sangat gusar. Ia
menganggapnya nenek ini sudah menghina Butong pay.
Beda daripada paman gurunya, It Hang tidak menjadi
kurang senang atau gusar, ia malah segera memberi hormat
sambil menjura dalam-dalam.
"Harap dimaafkan, aku ingin ketahui nama besar
Cianpwee," kata ia dengan merendah.
Wanita tua itu buka mulutnya dan tertawa.
"Ah, anak, kau mengerti juga adat istiadat," katanya. Dia
lantas tunjukkan bunga merah di samping kupingnya. "Kau
sanggup mendaki Pitmo gay, kau boleh dibilang mempunyai
kepandaian juga, kau tentunya dapat pelajaran dari orang
berilmu. Apakah tetuamu tidak pernah omong tentang halnya
bungaku ini" Tahukah kau riwayatnya bunga merah ini?"
It Hang menggeleng kepala, agaknya ia bingung.
Baru sekarang Pek Sek Toojin ingat namanya Anghoa
Kuibo, dengan sendirinya ia menjadi kaget, tapi berbareng
iapun gusar. "Ha, perempuan siluman, kau kiranya masih hidup!" dia
membentak. Anghoa Kuibo pun gusar, dia segera angkat tongkatnya.
"Imam bangsat, rasai tongkatku ini!" dia berteriak.
Anghoa Kuibo, telah berumur enam puluh lebih, dibanding
dengan almarhum Cie Yang Toojin, dia cuma lebih muda
beberapa tahun saja
Tentang Anghoa Kuibo itu, Pek Sek pernah dengar
penuturan suheng-nya akan keliehayannya nyonya tua ini,
bahwa dulu tiga belas jago dari Barat utara telah dikalahkan.
Tapi ia menganggapnya tiga belas jago itu bukannya jagojago
kelas satu, jadi kekalahan mereka itu tidaklah
mengherankan. Maka ia anggap, kegagahan nenek ini adalah
omong besar belaka. Ini pula sebabnya, sekarang ia tidak
merasa jeri. Ia hendak berlaku sabar, meskipun ia dicaci dan
dituding, ia tidak mau segera menggerakkan tangan.
"Orang rendah, kau masih tidak mau maju?" nenek itu
menantang. "Perempuan siluman, kau pun tidak hendak mulai
menyerang?" imam ini balas menantang.
Anghoa Kuibo memukul kepada tumpukan batu, yang
menjadi hancur berhamburan. Ada batu-batu yang terpental
ke arah Pek Sek Toojin tetapi dengan berkelit imam ini
menghindarkan diri, cuma abu batu yang mengotori jubanya.
Hal ini barulah membuat si imam gusar, dengan sebat ia
hunus pedangnya, pedang Cengkong kiam, dengan apa ia
segera menikam dengan gerakan "KimCiam touwsian" atau
"Jarum emas ditembusi benang". Ujung pedangnya
menyambar ke tenggorokan sinenek.
Dengan hanya menggerakkan tangannya satu kali, dari atas
Anghoa Kuibo menindih dengan tongkatnya, dengan begitu ia
memunahkan serangannya imam itu, yang mesti berkelit
dengan lompat ke samping, pedangnya lekas ditarik pulang.
Karena tindihan itu yang berbareng pun merupakan
penyerangan, telah membikin tubuhnya Pek Sek terhuyung
beberapa tindak. Tapi yang menjadikan dia kaget berbareng
mendongkol adalah telapak tangannya, yang menyekal
pedang, dirasakan panas dan sakit akibat tindihan tongkat
nenek itu, tenaga siapa nyata ada besar luar biasa. Dalam
murkanya, Pek Sek Toojin segera menyerang, untuk mana ia
lantas bersilat dengan ilmu pedangnya. C itcapj ie C iu
Lianhoan Toatbeng kiam -- ialah ilmu pedang berantai untuk
"merampas jiwa" yang semuanya terdiri dari tujuh puluh dua
jurus. Ia bergerak dengan sangat cepat dan tegas ketika ia
menyerang beruntun dua kali.
Kedua-dua kalinya, Anghoa Kuibo gempur serangan pedang
dengan gerakan toya sekali pukul, dan dia kata dengan
jumawa: "Kau dapat lolos dari ujung tongkatku, kau boleh
jugalah!" Pek Sek terus berada dalam kemurkaan, maka ia ulangi
serangannya terus-terusan sampai tujuh jurus. Tapi masih
saja si nenek dapat memecahkannya satu demi satu seranganserangan
itu. Kembali nenek ini kata: "Eh, ilmu pedangmu ini
rasanya pernah aku lihat, entah di mana... Di jaman ini orang
yang bisa bersilat dengan pedang begini rupa, dia termasuk
juga golongan kelas utama!"
Nenek ini bicara sambil tertawa tetapi dengan terus
melakukan serangan balasan, hingga Pek Sek terdesak
mundur, untuk mana dia sampai lewati beberapa tumpuk
batu. Dengan demikian, dia mulai terdesak ke dalam tin
istimewa dari Anghoa Kuibo.
Imam ini lantas insyaf bahwa sulit untuk ia meloloskan diri,
karenanya, ia memasang mata ke delapan penjuru, pedangnnya
diputar cepat hingga umpama kata tubuhnya tak kena
tersampok angin atau terserang hujan. Secara demikian dapat
juga ia pertahankan diri. Akan tetapi, sesudah didesak selama
lima puluh jurus lebih, ia lantas bermandikan keringat. Dengan
hati mantap dan tenaganya yang ulet, tidak pernah ia
memberi lowongan kepada musuhnya yang liehay itu.
Sesudah menyerang hebat sekian lama, tiba-tiba Anghoa
Kuibo memperlunak serangannya.
"Cie Yang Toojin itu apamu?" mendadak dia tanya.
Pek Sek malu berbareng mendongkol, tidak lagi dia hendak
menyebut-nyebut Butong Ngoloo, maka dia terus
membungkam, bahkan selagi orang berlaku kendor, dia
berbalik menyerang secara hebat dengan dua serangannya
"Burung garuda menerjang ke udara!" dan "Sang ikan
menyelusup ke dasar air". Ujung pedangnya mencari sasaran
yang berupajalan darah.
Anghoa Kuibo menjadi sangat gusar.
"Bocah, kau tidak tahu diri!" serunya sambil ia angkat
tongkatnya menangkis yang berbareng memunahkan dua
serangan musuh. Menyusul itu, ia ulur tangan kirinya guna
balas menyerang dengan totokan. sesudah mana, juga
kembali tongkatnya menyambar menyerang terlebih jauh.
Dalam murkanya itu tampak sikapnya menjadi bengis.
Pek Sek sanggup tangkis semua serangannya si nyonya,
akan tetapi segera juga ternyata ia telah kena didesak, ia
repot menghindarkan diri dari serangan tangan kiri dan
tongkatnya Anghoa Kuibo. Sekarang barulah ia insyaf
liehaynya si nyonya Bahna hebatnya desakan, permainan
pedangnya dengan cepat mulai menjadi kalut.
It Hang berkuatir menampak keadaannya paman guru itu,
dengan tidak menghiraukan lagi kepada tumpukan-tumpukan
batu yang merupakan barisan rahasia itu, ia pun hunuskan
pedangnya dan lompat membantui paman gurunya itu.


Wanita Gagah Perkasa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hai, kau juga turut ambil bagian?" seru si nyonya, yang
pun terus menyerang pemuda itu, untuk dikurungnya bersama
Pek Sek, untuk bikin mereka tidak bisa keluar dari dalam tin
batu. Sekali It Hang tangkis tongkat musuh, ia segera ketahui
tenaga besar dari nyonya tua itu, ia merasakan tangannya
bergetar, maka untuk dapat melayani terus, ia lantas gunai
kelincahannya supaya tak usah adu tenaga lagi.
Anghoa Kuibo nampaknya memperhatikan pemuda ini.
Setelah beberapa jurus, tidak lagi ia menyerang dengan
bengis, bahkan setiap serangannya It Hang ia menangkisnya
secara ringan. Ilmu silatnya It Hang, di dalam kalangannya sendiri, yaitu
generasi kedua, adalah yang paling mahir, malah bila
dibandingkan dengan Pek Sek Toojin, ia cuma~kalah satu
tingkat. Karena ini, dengan bantuannya itu, si nyonya seperti
tidak ingin melukai padanya, Pek Sek Toojin menjadi peroleh
keringanan, juga ia jadi dapat ketika untuk melakukan
penyerangan. Banyak jurus telah dilalui dalam pertempuran dua lawan
satu ini, tiba-tiba Anghoa Kuibo perdengarkan suaranya yang
bengis: "Ketika dahulu aku layani tiga belas jago yang
berserikat dan mengepung aku, aku telah merobohkannya tak
lebih daripada lima ratus jurus, sekarang sesudah tiga ratus
jurus maka tidak bisa lagi aku beri kelonggaran!"
Nyonya dengan bunga merah di kuping ini buktikan
ancamannya itu dengan memperkeras serangannya hingga
tongkatnya bertambah berbahaya.
Dengan lantas It Hang menjadi gelisah, apapula ketika ia
tampak ujung tongkat menyambar ke dada paman gurunya,
dengan melupakan bahaya, ia lantas serang si nyonya,
menyerang iga kirinya, walaupun ia tahu ia tidak akan peroleh
hasil, tetapi sedikitnya ia harap paman gurunya dapat
tertolong.___ "Pergi!" bentaknya si nyonya, yang keluarkan tangan
kirinya menyampok belakang pedang, atas mana, tubuhnya It
Hang terlempar dan terpelanting jatuh keluar tin. Akan tetapi
ketika ia merayap bangun ia dapatkan dirinya tidak terluka
sama sekali, hingga ia menjadi heran sendirinya. Ia tidak
mengerti kenapa ia dapat disampok demikian dahsyat.
Belum sempat It Hang maju pula, atau segera ia dengar
jeritan dari kekagetan atau kesakitan, lantas ia tampak
tubuhnya Pek Sek Toojin terlempar keluar tin seperti dia tadi.
Dalam kagetnya itu ia lompat kepada paman gurunya, yang ia
tampak baju di depan dadanya robek dan darah mengucur
keluar dari dua guratan pedang. Mukanya paman guru itu
pucat pasi, napasnya seperti berhenti jalan. Ia menangis
tanpa merasa, lalu dengan gesit ia lompat ke arah nyonya itu,
dengan nekat ia hendak menyerangnya.
"Perempuan siluman!" bentaknya.
"kau telah lukai paman guruku, aku hendak adu jiwa
denganmu!"
"Hai, kau juga memanggil aku perempuan siluman?" si
nyonya berseru. Ia agaknya tidak senang, akan tetapi ia tidak
bersikap bengis seperti terhadap Pek Sek Toojin.
Sekonyong-konyong terdengar suara orang memanggil
namanya: "It Hang! ItHang!"
Itulah suara panggilan dari arah belakang It Hang,
mendengar mana, ia segera berhentikan tindakannya dan
berpaling. "EnCie Lian, lekas!" ia berseru. Karena ia segera kenali
orang yang memanggil namanya itu. "Man lekas bantui aku
membunuh perempuan siluman ini!"
Dalam tempo yang pendek Giok Lo Sat telah sampai di
kalangan pertempuran bersama Tiat Hui Liong.
Anghoa Kuibo lihat orang itu, ia tertawa dingin berulang
kali. "Kongsun Toanio, kali ini kelirulah sikapmu!" Hui Liong
berkata. Si bungamerah mencilak matanya.
"Keliru bagaimana?" dia tanya.
"Kim Tok Ek telah terlalu sering berbuat yang tiada
kepantasan dan sekarang ia justeru turut titahnya segala
dorna kebiri untuk mencelakai menteri setia! Kenapa kau belai
padanya?" sahutnya Hui Liong.
Nyonya kosen itu tertawa dingin.
"Meski benar iblis tua itu berbuat keliru, itulah bukan
urusanmu untuk turut campur!" kata dia.
Hui Liong jadi mendongkol.
"Dengan demikian aku telah bikin renggang pada kau
suami isteri!" katanya dengan sengit. "Kongsun Toanio, oh,
Kongsun Toanio!" ia tambahkan, "sungguh
mentertawakan, kau seorang dari satu keluarga kenamaan
telah berbuat begini sembrono, kau tidak bisa bedakan pri
keadilan!"
Kongsun Toanio angkat tongkatnya.
"Tiat Hui Liong, jangan kau banyak omong!" dia
membentak. "Hari ini aku datang tidak lain justeru dengan
maksud belajar kenal dengan ilmu silatmu Luiteng
PatkwaCiang!"
Hui Liong tertawa besar, terus ia lompat masuk ke dalam
tin batu. "Bagus!" serunya. "Kiranya kau sengaja datang untuk
mencoba-coba aku si Tiat tua!"
Dengan lompatannya itu, jago tua ini menempatkan kaki, di
belakangnya satu tumpukan batu.
Wanita tua itu lepaskan tongkatnya.
"Dengan sikapmu ini kau hendak gunai tin batu ini untuk uji
tenaga tangan?"
"Benar!" sahut Hui Liong, yang segera mengibaskan kedua
tangannya. Maka batu di hadapannya itu tersampok dan
terbang berhamburan...
Anghoa Kuibo pun menggerakkan sebelah tangannya, ia
bikin gempur satu tumpuk batu hingga berhamburan juga.
Keduanya saling menggempur, setiap kali batu menyambar
ke arah mereka, mereka masing-masing berkelit untuk
mengelakkan diri dari sambaran batu.
Hui Liong menaruh kaki menurut keletakan patkwa, sehabis
menggempur ia lompat.
"Bangsat tua she Tiat, kau licik!" mendamprat Anghoa
Kuibo. Dampratan ini disusul dengan gerakan kedua
tangannya menggempur dua tumpuk batu lainnya, la
menggempur dari kiri dan kanan, dengan begitu Tiat Hui Liong
terserang dari kiri kanan juga.
Hui Liong lompat berkelit, dari apa yang dinamakan pintu
"Kammui" ke pintu "tweemui", lalu dengan cepat ia balas
menyerang dengan sebelah tangannya, hingga sinyonya juga
mesti singkirkan diri, dari pintu "kianmui" ke pintu "kunmui".
Demikian mereka serang menyerang dengan cepat, sama
cepatnya dengan elakan diri masing-masing untuk
menghindarkan bahaya. Karena hebatnya serangan mereka
kepada tumpukan-tumpukan batu, batupun berhamburan
kalang kabutan. Tapi keduanya gesit dan awas matanya, tidak
ada batu yang mengenai tubuh mereka.
Giok Lo Sat yang tonton pertempuran yang luar biasa itu,
hatinya sangat tertarik, ingin ia ambil bagian.
Tiat Hui Liong berkelahi dengan ilmu silat Luiteng Patkwa
Ciang, yang benar-benar berdasarkan delapan penjuru
patkwa. Ia sengaja berkelahi dengan cara ini, karena ia tahu,
Anghoa Kuibo sangat liehay, tepat ia pilih tin batu itu untuk
melayaninya. Mengenai tin ini, atau barisan patkwa, ia lebih
berpengalaman, maka ia bisa bergerak dengan sebat sekali.
Karena ini juga, sampai sekian lama mereka masih sama
tangguhnya. Anghoa Kuibo jadi murka sekali, karena sudah demikian
lama ia tidak peroleh keputusan. Ia telah lihat dengan tegas,
dalam hal ilmu silat Hui Liong keteter daripadanya, tetapi di
dalam tin ia tak sanggup atasi kegesitannya Hui Liong.
Hui Liong cerdik dan berpengalaman, dari wajahnya ia bisa
duga nyonya tua itu sedang murka besar atau sangat
mendongkol, lalu sengaja ia menggunai akal. Begitulah
dengan tiba-tiba ia menyerang, menyusul itu, ia tertawa hahahaha
mengejek musuhnya.
Amarahmja Anghoa Kuibo meluap-luap, ia balas menyerang
dengan kedua tangannya saling susul, dengan cara yang
paling hebat, hingga ia bikin batu-batu berterbangan. Akan
tetapi, sambil unjuk kegesitannya Hui Liong perdengarkan
pula tertawanya.
"Berhenti!" mendadak Giok Lo Sat berseru, selagi ayah
angkatnya masih terus tertawa.
Hui Liong dengar suara anaknya, tanpa bersangsi lagi ia
lompat keluar dari kalangan.
"He, apakah artinya ini?" teriak Anghoa Kuibo.
Giok Lo Sat awasi nyonya tua itu. ia tertawa tawar.
"Apa?" mengulangi Giok Lo Sat. "Tin batumu sudah gempur
semua, dengan sendirinya pertempuranpun harus
diberhentikan!"
Anghoa Kuibo segera pandang barisannya yang istimewa
itu. Benarlah barisan batunya telah tidak lagi menjadi barisan
batu, karena semua tumpukan sudah gempur, malah ada
batu-batu yang masih bergelindingan turun ke kaki gunung...
Ia sedang gusar, maka menampak itu ia tambah mendongkol.
Ia jemput tongkatnya, dengan itu ia mengemplang batu.
hingga terdengarlah satu suara nyaring.
"Bangsat she Tiat, anggaplah pertandingan ini seri!" dia
berkata dengan sengit. "Mari kita bertempur pula dengan lain
cara!" Tidak tunggu lagi ayahnya terima tantangan itu, Giok Lo
Sat tertawa pula. Sengaja ia mendahului.
"Anghoa Kuibo, kau berlaku tidak adil!" dia berkata.
"Kenapa tidak adil?" bentak si nyonya, dalam murkanya.
"Karena kau memegang senjata dan ayahku tidak!"
jawabnya si nona.
"Itulah tidak menjadikan halangan!" kata nyonya itu. "Kita
boleh bertempur pula dengan tangan kosong!"
"Tadi toh kalian telah bertanding seri, untuk apa bertempur
pula?" Giok Lo Sat mengejek.
Anghoa Kuibo mendeluh juga Memang benar apa yang si
nona katakan. Tadi walaupun mereka bertempur di dalam tin
batu, namun sebenarnya mereka sedang adu kepandaian silat
tangan kosong. Selain daripada itu, tin adalah kepunyaannya
yang ia atur sendiri, seharusnya ia menang di atas angin.
Bahwa nyonya ini hendak tantang Hui Liong lebih jauh.
itulah pantas. Ia pandai silat dengan tangan kosong atau
bersenjata. Dan Hui Liong biasa bersilat dengan tangan
kosong selalu, karena peryakinannya ilmu silat Luiteng Patkwa
Ciang itu. Tidak pernah jago tua ini gunai gegaman. Akan
tetapi, apa yang dikatakan Giok Lo Sat pun tidak keliru.
Memang tidaklah seimbang-kalau dua orang bertanding, yang
satu memakai senjata dan yang lainnya tidak.
"Biar bagaimana, hari ini aku tidak puas, tetap aku hendak
lanjutkan pertandingan!" kata si nyonya tua, yang menjadi
ngotot. Dia telah dipengaruhi sangat oleh penasarannya.
Walau demikian, dia tidak dapat segera menyebutkan dengan
cara apa dia hendak bertanding pula.
Giok Lo Sat berlaku tenang. Ia girang melihat orang
dipengaruhi nafsu amarah. Dengan sabar, ia loloskan
beberapa lembar benang merah dari kepalanya, ia pakai itu
untuk melibat ujung bajunya.
"Anghoa Kuibo, jangan kau gusar," katanya dengan sabar.
"Kau hendak bertempur itulah gampang sekali. Ada orang
yang bersedia akan iringi kehendakmu!"
Nyonya tua itu tercengang.
"Apakah kau, bocah, yang hendak melayani aku?"
Giok Lo Sat tertawa, sepasang alisnya yang bagus memain.
"Ha, kau menerka jitu!" katanya, dan ia tertawa pula.
Selama beberapa tahun yang paling belakang, namanya
Giok Lo Sat sangat terkenal, akan tetapi Anghoa Kuibo tidak
dengar itu, disebabkan ia sedang hidup menyendiri dan
barulah sekarang ia muncul pula benar ketika di kota raja dari
suaminya, Kim Tok Ek, ia pernah dengar tentang si Raksasi
Kumal a. tapi ia tidak menyangka sama sekali bahwa si
Raksasi Kumala adalah nona muda dan cantik di depannya ini.
Tentu saja ia jadi heran, Tapi ia besar kepala dan pula ia tidak
memandang mata. Ia tidak ingin melayani anak muda.
"Baiklah kau belajar silat dahulu lagi sepuluh tahun!" ia
mengejek sambil menuding dengan tongkatnya.
Giok Lo Sat pun segera hunus pedangnya, kembali ia
tertawa. "Eh, Anghoa Kuibo, apakah dengan kata-kata ini kau
hendak artikan kau ada jauh terlebih gagah daripada aku?"
Nyonya itu melirik, tidak mau ia menjawab.
Giok Lo Sat tertawa pula.
"Sungguh sayang, kau tak lebih daripada satu buntalan
besar!" katanya.
Bukan main murkanya nyonya tua itu.
"Kau ngoceh tak keruan!" bentaknya.
"Jikalau kau bukan satu buntalan besar," sahut si nona,
"kenapa kau tidak mengerti tentang pepatah: 'Belajar itu tak
ada yang lebih dahulu atau lebih belakang, siapa yang berhasil
dialah yang jadi guru" Benarkah kau tidak ketahui ini?"
Si Raksasi Kumala tidak belajar surat akan tetapi kata-kata
itu baru saja ia dengar dari It Hang, maka kebetulan sekali,
menghadapi Anghoa Kuibo yang jumawa dan kepala besar, ia
gunai kata itu untuk mengejek, guna membangkitkan amarah
orang. Dan ia berhasil.
Dalam murkanya yang meluap-luap, nyonya tua itu
menuding dengan tongkatnya.
"Apabila kau sanggup menangkan aku, aku nanti angkat
kau jadi guruku!" ia berseru.
"Itulah tak berani aku menerimanya!" tertawa si nona.
"Baiklah kita atur begini saja: Jikalau kau dapat memenangkan
aku, kami berdua ayah dan anak akan menyerah, kau boleh
perbuat sesuka hatimu atas diri kami. Sebaliknya kalau akulah
yang menang, maka kau mesti serahkan suamimu si setan
bangkotan yang busuk itu kepadaku! Aku hendak bunuh dia
atau menghukum picis, kau tidak dapat membantu lagi
kepadanya!"
Bukan main mendongkolnya Anghoa Kuibo.
"Asalkan kau mampu lawan aku sampai seri, aku akan pergi
sembunyikan diri lagi tiga puluh tahun!" ia berikan janjinya.


Wanita Gagah Perkasa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Giok Lo Sat tertawa.
"Bagus!" serunya. "Sekarang kau boleh mulai!"
"Selamanya jikalau aku tempur orang satu sama satu,
belum pernah aku turun tangan lebih dahulu!" kata nyonya
tua itu. Giok Lo Sat mainkan alisnya, ia tertawa. Ia ulur pedangnya
ke mukanya nyonya tua itu. gerakannya sangat perlahan, lalu
ia putarkan pedangnya di muka si nybnya sekali, bagaikan
orang menggurat.
"Hai, kau mainkan apa ini?" bentak nyonya itu. "Kau
sebenarnya hendak bertempur atau tidak?"
Belum sampai Anghoa Kuibo tutup mulutnya, tiba-tiba
ujung pedang si nona telah sampai di mukanya sekali.
Demikian sebat gerakan nona itu, sampai lawannya yang
liehay itu tidak menyangkanya.
Si Raksasi Kumala sangat cerdik, ia sudah lihat ilmu silatnya
nyonya tua itu mahir sekali, maka itu ia menggunai akal untuk
membangkitkan amarahnya, guna mengacaukan ketenangan
hatinya, setelah itu, sengaja ia mainkan pedangnya di muka
orang, ia bergerak demikian ayal, guna membuat orang alpa
dengan penjagaannya, lalu dengan sebat luar biasa ia
menikam! Dalam kagetnya, Anghoa Kuibo menangkis dengan
tongkatnya, tapi begitu lekas tongkatnya terangkat, atau
ujung pedang si nona sudah ditarik pulang, untuk diteruskan
ditikamkan kepada tenggorokannya. Maka lagi sekali ia
menjadi kaget. Untuk selamatkan diri, ia pengkeratkan pundak
dan kepalanya, berbareng tangan kirinya menyambar untuk
merampas pedang lawannya.
Giok Lo Sat ada sangat awas dan cerdik, ia telah tujukan
ujung pedangnya ke arah tenggorokan. namun setelah orang
berkelit, pedangnya ia miringkan dipakai menyerang ke
samping, ke arah mana nyonya itu berkelit.
Bahna terperanjatnya, Anghoa Kuibo mencelatkan diri
lompat menyingkir, tetapi selagi ia lompat, ia rasakan hawa
dingin menyambar di samping kupingnya, menyusul mana
tahu-tahu bunganya yang merah dan besar itu telah jatuh
tertabas pedang.
"Ha-ha-ha-ha!" nona itu tertawa.
Nona ini berhasil menindih kesombongan lawannya.
"Hm!" bersuara si nyonya tua.
"Ilmu pedangmu ini benar bagus tetapi bukanlah ilmu yang
sejati!" Meski demikian, benar-benar Anghoa Kuibo gentar juga.
Lagi-lagi nona manis itu tertawa.
"Baik!" katanya. "Baik, nanti aku perlihatkan padamu ilmu
silat pedang yang sejati!"
Dan kata-katanya ini ia akhiri dengan serangannya,
beruntun beberapa kali, semua dengan gerakan sangat gesit,
tetapi di antaranya ada yang gertakan belaka.
Anghoa Kuibo tidak pernah menduga, untuk penyerangan
semacam ini, iapun merasa aneh atas gerakan-gerakannya
ilmu pedang itu, tanpa merasa ia kena didesak mundur.
Untung dia mempunyai kepandaian yang liehay, kalau lain
orang yang menghadapi nona itu, mungkin telah
menjadi.korbannya.
To It Hang yang saksikan pertempuran itu diam-diam
hatinya girang, hingga ia 1upa kepada paman gurunya, Pek
Sek Toojin, yang telah mendapat luka parah.
Tiat Hui Liong sebaliknya merasa kuatir menampak
jalannya pertempuran itu.
"EnCie Lian menang cerdas, perempuan tua siluman itu
bukanlah tandingannya," It Hang kata.
"Masih terlalu siang pendapatmu!" berkata Hui Liong.
It Hang terus memandang kepada pertempuran, tetapi
segera ia menjadi kuatir, karena cepat sekali ia tampak
perubahan. Dari terdesak dan repot menangkis, sekarang
Anghoa Kuibo sudah mulai membalas menyerang, berbalik dia
merangsek. Hebat adalah tangan kirinya, yang saban-saban
menyambar lowongan selagi tongkatnya melayani pedang si
nona. Dari pihak penyerang, Giok Lo Sat sekarang berbalik
menjadi pihak pembela diri, pedangnya seperti tak dapat
digunakan lagi untuk menyerang. Malah sekarang sinar
tongkatlah yang berkelebatan tak hentinya, seperti
mengurung si nona. Dalam keadaan seperti itu Giok Lo Sat
mesti lakukan perlawanan sungguh-sungguh. Karena ini juga,
keduanya bergerak sangat cepatnya.
It Hang menggigil sendirinya menyaksikan kehebatan itu.
Akan tetapi sebaliknya Tiat Hui Liong, dari merasa kuatir,
sekarang dia nampaknya berlega hati. Malah jago tua ini
segera berkata:
"Walaupun ilmu silatnya perempuan siluman itu sangat
mahir, kini dia tidak dapat berbuat sesuatu terhadap Giok Lo
Sat..." Giok Lo Sat gesit, tadi ia menang di atas angin karena
kecerdikannya, tapi lawannya pun memang benar-benaV
liehay. Nyonya tua ini ada lebih gagah daripada Tiat Hui Liong.
Di mana Giok Lo Sat cuma sedikit lebih atas daripada ayah
angkatnya itu, iapun kalah daripada si nyonya. Tambahan pula
nyonya inipun sangat berpengalaman. Tadi dia didesak karena
terbangkit hawa amarahnya yang menjadikan dia
mendongkol, setelah kena didesak, segera dia insyaf. Maka
lantas dia dapat tenangkan diri, lalu dia berkelahi dengan
tenang dan sungguh-sungguh. Setelah tiga puluh jurus, dapat
dia perteguhkan kedudukannya, cepat dia berubah menjadi
pihak penyerang, karena dengan tangan kirinya yang liehay "
tangan Toksee Ciang yang beracun -- membantu banyak
tongkatnya yang tak kurang liehaynya itu.
Maka lawannya lantas seperti kena terkurung tongkat dan
tangan kirinya itu.
Suasana yang berbalik itu membikin tetap hatinya Anghoa
Kuibo, hingga pikirnya segera ia akan dapat rebut
kemenangan. Akan tetapi Giok Lo Sat sangat mantap hatinya
dan cerdas otaknya, walaupun dia telah terangsek, dia tidak
menjadi gugup dan kalut pikirannya, sama sekali dia tidak
menjadi takut. Dengan kelincahannya dia menghindarkan diri
dari setiap saat berbahaya.
"Hebat..." akhirnya Anghoa Kuibo mesti akui kegagahan
lawannya itu. Karena ini, dalam penasaran, ia perhebat
serangannya. Tibalah saat yang sangat berbahaya bagi Giok Lo Sat,
setelah didesak secara demikian, satu kali ujung tongkat
menyambar kepadanya. Tidak ada ketika untuk menangkis,
juga berbahaya untuk ia lompat berkelit. Tapi nona ini tidak
gempur hatinya, ia tetap tabah. Di dalam keadaan bahaya itu,
ia sambuti ujung tongkat dengan ujung pedangnya. Agaknya
ia membela diri dengan menahan senjata lawan. Tapi ia bukan
cuma pertahankan diri, ia mempunyai maksud lain. Dengan
mengamprokkan kedua ujung senjata, ia justeru hendak
pinjam tenaga lawan. Selagi kedua senjata bentrok, mendadak
ia menjejak tanah untuk mengapungkan diri. Dan ia berhasil
meminjam tenaga lawannya. Tapi ia tidak berhenti sampai
kepada pembelaan diri saja justeru sedang tubuhnya mencelat
maka pedangnya, yang ia telah tarik pulang dengan sebat, ia
teruskan menyerang musuh dari atas selagi tubuhnya
mengapung! Anghoa Kuibo terperanjat untuk liehaynya nona ini, ia
mundur sambil menangkis. Dengan begitu, si nona dapat
menaruh kaki dengan tidak kurang suatu apa, hingga ia dapat
bersiap sedia untuk mulai dengan pertandingannya lebih jauh,
yang telah berlangsung pula banyak jurus.
Setelah hatinya Hui Liong lega, ingatlah ia kepada Pek Sek
Toojin. "Coba tengok paman gurumu," ia kata kepada It Hang.
Pemuda itu seperti baru sadar, tidak membuang tempo lagi
ia bertindak dengan cepat kepada paman gurunya itu.
Pek Sek Toojin duduk termangu, kedua matanya
dimeramkan. Ia sedang bersemedhi. Ketika ia dengar
suaranya Hui Liong, ia buka kedua matanya, wajahnya
nampaknya gusar.
Tiat Hui Liong juga menghampirkan.
"Inilah obat manjur untuk melawan racun/' kata dia yang
keluarkan dua butir obat pulung. Imam itu menggeleng
kepala, ia tidak mengucap apa-apa. Ia sudah makan obat
buatannya sendiri, obat Butong pay, maka tak sudi ia makan
lain obat lagi, apapula obatnya pihak musuh. Ia telah anggap
Hui Liong dan Giok Lo Sat sebagai musuh-musuh.
Hui Liong mendongkol berbareng geli di hati. Ia segera
dekati kupingnya imam itu katanya: "Aku tidak suka
menghadapi seorang kenamaan terbinasa secara demikian
kecewa. Obatmu itu cuma dapat menahan untuk sementara
waktu, tetapi obatku adalah obat yang tepat. Kalau toh kau
tidak puas, tidak apa kau makan dulu obatku ini, nanti setelah
kau sembuh, kau boleh tetapkan hari untuk kita bertanding."
Pek Sek berdiam, ia tutup rapat kedua matanya.
TiatHui Liong jadi mendongkol sekali, tiba-tiba ia ulur
sebelah tangannya ke muka imam dari Butong pay itu yang ia
pencet. Pek Sek Toojin terkejut, ia buka mulut tanpa ia kehendaki.
Tapi, baru saja ia buka mulutnya atau dua butir obat telah
diceploskan oleh Hui Liong ke dalam mulutnya itu, malah obat
itu segera ia kena telan!
Benar mujarab obatnya orang she Tiat itu, begitu obat
masuk ke dalam perut, si imam lantas merasakan sedikit hawa
panas; tapi untuk sebentar saja rasa panas itu telah hilang,
lalu ia merasakan tubuhnya lebih enak. Hingga terpaksa ia
bungkam terus, tidak lagi ia umbar kemarahannya
Hui Liong mengawasi, ia tertawa sendirinya.
"Pamanmu ini berkepala batu tanpa alasan!" kata ia pada It
Hang. Sambil berkata demikian, ia tarik pemuda itu mendekati
padanya, lalu sambil buka kancing bajunya sendiri, ia kata
kepada pemuda ini: "Kau lihat ini!"
It Hang terkejut. Ia dapatkan kaca pelindung di depan
dadanya orang tua itu telah pecah remuk, apabila tidak ada
kawat-kawat pegangannya, semua pecahan kaca tentulah
telah jatuh belarakan.
Hui Liong mengancing pula bajunya, ia tertawa.
"Tanpa kaca pelindung ini, pasti akupun terluka hebat," dia
kasih keterangan. "Paman gurumu ini telah terhajar Anghoa
Kuibo yang kuat sekali tenaga dalamnya, maka itu, walaupun
sekarang dia dapat ditolong dari bahaya maut, untuk ia dapat
pulih kembali, kurasa ia membutuhkan tempo sedikitnya satu
bulan..." It Hang terperanjat, ia berkuatir, tapi di samping itu ia
berlega hati karena ia sendiri tidak terluka Inilah disebabkan
nyonya tua itu merasa kasihan kepadanya. Karena ini, ia
sedikitpun tidak benci nyonya tua itu. Tetapi ketika ia ingat
kepada Giok Lo Sat, timbullah kekuatirannya bahaya yang
dihadapi nona itu. Bukankah si nona sedang adu jiwa dengan
nenek liehay itu" Bagaimana andaikata si nona terluka seperti
pamannya ini"
Segera It Hang berpaling ke arah pertempuran.
Sekarang pertandingan itu telah memperlihatkan
perubahan pula.
Tongkatnya Anghoa Kuibo telah bergerak ke barat dan ke
timur, sesuatu serangannya nampaknya sangat berat, tetapi
sekarang, gerak-gerakannya banyak lebih kendor daripada
tadi. Tetapi gerakannya Giok Lo Sat juga turut berubah, dia
tampaknya tidak hanya tidak dapat menyerang, bahkan tak
dapat meloloskan diri. Maka itu, dengan cara berkelahi ini,
kedua tubuh mereka, setiap gerakannya, jadi tertampak tegas,
hingga mereka nampaknya bukan sedang berkelahi, tapi
sedang berlatih... Toh wajah mereka sama bersungguhsungguh,
malah si nona yang biasanya tertawa, sekarang
bersenyum pun tidak, kedua matanya terus ditujukan kepada
gerak tongkat lawannya itu.
Ternyata Anghoa Kuibo, setelah melayani demikian banyak
jurus dengan sia-sia, menjadi gelisah sendirinya. Insyaflah ia
sekarang akan liehaynya si nona, yang tadinya ia tidak
pandang mata. Terpaksa, untuk rebut kemenangan atau untuk
membela muka, ia keluarkan ilmu silatnya yang istimewa,
ialah "Thayit Hiankong". Dengan gunai ilmu silat ini, ia telah
pindahkan tenaganya kepada genggamannya.
Giok Lo Sat menjadi heran begitu lekas si nyonya tua
menukar siasat. Ia merasa sulit untuk datang terlalu dekat
kepada lawan yang tua ini. Begitu lekas pedangnya bentrok
dengan tongkat si nenek, ia merasa pedangnya itu seperti
terbetot besi berani, dan makin keras bentroknya, makin kuat
juga tenaga membetot itu. Oleh karena ini, meskipun ia mahir
mainkan pedang, sekarang ia repot juga.
Tongkatnya si nyonya tua, walaupun gerakannya
tampaknya pelahan, tetapi ujungnya senantiasa mencari jalan
darah. Inilah yang membuat si nona gelisah, sedikit saja ia
berlaku alpa dan ayal. ia bisa celaka
Terpaksa ia mesti utamakan pembelaan diri. Ia mesti main
mundur, karena untuk maju ketikanya sudah tidak ada. Benarbenar
ia telah terkurung secara istimewa itu.
Sesudah mengawasi dengan seksama, It Hang kata pada
Hui Liong: "Baik suruh dia angkat kaki!" Pikirnya, walaupun
jago tua ini tidak bisa lawan si nenek, namun untuk bantu i
Giok Lo Sat meloloskan diri, tentulah dia sanggup.
Tiat Hui Liong menghela napas, kepalanya digoyanggoyangkan.
"Tadi masih bisa, sekarang sudah terlambat," ia jawab.
"Sekarang ini kecuali Cie Yang Toojin hidup pula atau Thian
Touw Kiesu yang datang kemari, sudah tidak ada orang yang
ketiga yang sanggup memisahkan kedua orang ini..."
It Hang kaget bukan main. Ia segera menoleh pula ke arah
kedua orang yang sedang adu jiwa itu. Kembali ia menjadi
kaget. Justeru ia lihat tongkat si nenek menyambar ke
kepalanya Giok Lo Sat selagi pedang si nona terangkat di
samping hingga satu lowongan telah terbuka. Hampir ia
menjerit, syukur Hui Liong keburu membekap mulutnya.
"Jangan bersuara, nanti kau bikin anakku kaget dan pecah
pemusatan pikirannya," jago tua ini berbisik.
It Hang berdiam, matanya terus mengawasi. Ia dapat
kenyataan tongkat si nenek, selagi mendekati kepalanya si
nona, mendadak miring sendirinya, entah apa sebabnya,
hingga ia jadi heran.
"Ilmu pedangnyaNie Siang benar-benar luar biasa!" Hui


Wanita Gagah Perkasa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Liong kata sambil tertawa perlahan. "Bagus sekali
tangkisannya barusan, hingga ia dapat meloloskan diri. Inilah
tidak aku sangka!..."
Orang tua ini angkat tangan bajunya, untuk dipakai
menyeka peluh di dahinya yang mengucur keluar dengan tibatiba.
Maka tahulah It Hang, bahwa tadi si orang tua tak kalah
berkuatirnya daripada ia sendiri.
Memang berbahaya ancaman kemplangan Anghoa Kuibo
tadi, akan tetapi Giok Lo Sat dengan menempuh bahaya,
cepat-cepat menikam iga lawan kepada jalan darah Ciangbun
hiat. Kalau si nenek tidak tolong diri, dia bakal bercelaka
bersama si nona. Maka itu, karena dia sayang jiwa, dia tolong
diri dengan egoskan tubuhnya hingga dengan sendirinya
sasaran tongkatnyapun turut gagal.
"Ilmu dalamnya (lweekang) bocah ini kalah mahir
daripadaku, maka untuk apa aku layani dia sama-sama
menempuh mala petaka" Baiklah aku kurung padanya, supaya
dia lelah sendirinya..."
Maka, lantas ia bersilat dengan Thayit Hiankong itu, hingga
si nona benar-benar tidak bisa menyerang juga tidak bisa
mundur. Sebagai ahli, Hui Liong dapat lihat perubahan suasana itu,
ia mulai berkuatir pula untuk anak angkatnya.
"Satu kali Anghoa Kuibo peroleh ketenangannya, itulah
berbahaya bagi Nie Siang," pikir orang tua ini. "Walau Nie
Siang liehay, tidak dapat ia bertahan terlalu lama..."
Gelisahnya orang tua ini karena ia sendiri tidak mampu
maju untuk mencegah.
It Hang tidak mengerti tapi, melihat si orang tua keluarkan
keringat pula, ia turut menjadi gelisah dan berkuatir. Iapun
lihat roman yang bersungguh-sungguh dari Giok Lo Sat. Ia
jadi sangat menyesal karena ia juga tidak bisa berbuat lain
daripada menyaksikan saja...
Hui Liong tapinya berpikir keras. Mendadak ia ingat sesuatu
hingga tanpa merasa ia adu kedua telapak tangannya, sampai
perdengarkan tepukan yang nyaring.
It Hang lihat tingkah laku orang, ia heran.
"Mungkinkah orang tua ini terganggu urat syarafnya?" ia
menduga-duga. Tidak hanya orang yang menonton gelisah hatinya, juga
mereka yang sedang adu kepandaian itu. Anghoa Kuibo
semula menduga, dalam lima puluh jurus ia akan sudah dapat
robohkan lawannya, tapi ternyata sekarang, sesudah
berlangsung seratus jurus lebih, ia cuma menang di atas angin
tapi nona itu belum dapat dikalahkan, si nona tetap dapat
bertahan diri dengan ulet. Sebaliknya ia dengan gunakan ilmu
silatnya itu, telah memakai tenaga yang istimewa, maka kalau
pertandingan berlanjut terus, seandainya menangpun
akhimnya ia akan dapat sakit.
Giok Lo Sat sendiri gelisah karena ia sudah bertempur
sekian lama, ia cuma menjadi pihak pembela diri. Ia
menginsyafi bahwa keadaan ini berbahaya baginya. Dengan
tidak bisa balas menyerang atau mundur, tidakkah ia seperti
sedang tunggui kematiannya" Adalah sedangnya ia berpikir
keras, ia dengar tepukan tangan. Tiba-tiba saja ia sadar!
Lian Nie Siang ketahui baik, dalam lweekang -- ilmu dalam
-- kalah dari nenek itu, karena itu, tidak berani ia adu keras
dengan keras, akan tetapi untuk menyingkir dari bahaya
mampus tanpa berdaya, ia harus berani menempuh bahaya
juga. Maka diam-diam ia kertek gigi, kumpulkan tenaga
dalamnya, untuk bersiap sedia di saat yang paling berbahaya.
Saat berbahaya itu tak usah ditunggu lama. Karena Anghoa
Kuibo senantiasa mencarinya. Saat itu digunakan dengan
penyerangannya yang dahsyat.
Giok Lo Sat berlaku nekat, ia lintangkan pedangnya untuk
menangkisnya. Dengan tidak dapat dicegah lagi, tongkat dan pedang
bentrok dengan keras, sampai lelatu apinya meletik ke empat
penjuru. Giok Lo Sat terpental mundur sampai tiga tindak,
syukur ia tidak roboh terguling.
Anghoa Kuibo tidak terpental mundur, tetapi ia tidak dapat
pertahankan kuda-kudanya, tubuhnya terhuyung dua kali,
hingga menjadikan dia kaget bukan main.
Segera setelah bentrokan ini hatinya Giok Lo Sat menjadi
besar. Kiranya masih dapat ia bertahan diri dari lweekangnya
nyonya tua itu. Timbulah keberaniannya. Maka dengan tak
kuatir bentroknya pula senjata-senjata mereka, ia maju pula
untuk menyerang dengan bengis.
Anghoa Kuibo heran dan kagum untuk tenaga dalam nona
ini. Dengan itu telah ternyata babwa lweekang mereka tidak
beda banyak terpautnya. Sedang sebenarnya tenaganya itu
berkurang sebab tadi ia telah layani lama pada Pek Sek Toojin
dan kemudian juga Tiat Hui Liong, hingga mau tidak mau
tenaganya telah berkurang dengan sendirinya. Amarah dan
kemendongkolannyapun telah mengurangi tenaga dalamnya
itu karena ia kehilangan ketenangan diri. Apabila tidak
demikian, dengan Thayit Hiankong, sebelum seratus jurus,
seharusnya ia sudah dapat robohkan nona lawannya itu.
Hui Liong terus memasang mata, kembali ia bernapas lega,
diam-diam ia tertawa dalam hatinya, karena siasatnya tadi
telah berhasil. Memang ia sengaja waktu ia bangkitkan
amarahnya Anghoa Kuibo, sampai ia tempur nyonya itu dan
akhirnya ia adu orang dengan anak angkatnya, supaya anak
angkat yang lincah dan cerdik ini dapat gunai kecerdasannya.
Giok Lo Sat tidak kenal patkwa tapi gerak tubuhnya sangat
enteng dan gesit, maka itu, dapat ia berkelahi di dalam tin
batu itu, yang lebih dahulu sudah rusak diubrak-abrik Hui
Liong. Kembali pertempuran berjalan seru, sebab walaupun Giok
Lo Sat menyerang hebat tapi si nenek masih tetap gigih. Si
nenek hanya heran, dia merasakan dirinya demikian kesohor
dan kosen, sekarang dia harus bertempur dengan satu bocah
yang sama tandingan. Tentu sekali dia jadi sangat penasaran.
Kembali sekian lama, lalu mendadak Anghoa Kuibo
menyerang dengan tangan kirinya yang liehay.
Giok Lo Sat lihat serangan itu, ia berkelit. Tapi justeru ia
egos tubuhnya, lawan yang tua itu seret tongkatnya dan
lompat keluar kalangan. Inilah satu gerakan luar biasa.
Menampak demikian. Giok Lo Sat tertawa. Tanpa berayal
lagi, iapun enjot tubuhnya lompat menyusul, lalu dengan
tubuh masih di atas, ia menyerang.
"Waspada, anak Siang!" Hui Liong berseru
memperingatkan.
Berbareng dengan itu Anghoa Kuibo mengayunkan sebelah
tangannya, lantas melesatlah tiga sinar merah mencorong,
menyambar ke arah musuhnya.
Giok Lo Sat lihat senjata rahasia itu, ia rupanya telah siap
sedia, ia dapat mengelakkan diri dan lolos dari serangan
mendadak itu. "Hai, kau mainkan peran apa?" tegurnya sambil tertawa.
Sedangnya nona ini pentang mulutnya, satu sinar merah
seperti tadi menyambar pula padanya, kali ini tepat masuk ke
dalam mulutnya itu, menyusul mana, si nenek liehay maju
menyerang dengan tongkatnya. Serangan tongkat ini hebat
sekali. Giok Lo Sat tidak dapat berkelit lagi, tetapi ia tidak kurang
daya ia menyambut dengan ujung pedangnya, lalu dengan
kerahkan tenaganya meminjam tenaga tongkat ia mencelat
mundur sampai setombak lebih, ketika iajatuh di tanah
dengan kedua kaki berdiri, ia cuma terhuyung sedikit!
To It Hang kaget bukan main, tetapi Tiat Hui Liong
bersenyum. Anghoa Kuibo merasa sangat puas, berulang kali ia
perdengarkan seruan aneh. lantas ia lompat maju lagi,
tongkatnya ditusukkan ke arah dada nona itu.
"Hai, bocah cilik, apakah kau masih tak hendak lemparkan
pedangmu untuk menyerah?" tegurnya. "Apakah kau hendak
tunggui kematianmu?"
Giok Lo Sat tidak menjawab, dia hanya berkelit ke samping,
hingga tusukan tongkat mengenai tempat kosong.
Si nenek maju pula, ia membentak lagi: "Kau telah terkena
mutiaraku yang beracun, jiwamu tidak akan hidup lebih lama
daripada satu jam tiga perempat, lekas kau menyerah supaya
dapat aku obati padamu!"
Giok Lo Sat mundur pula, ia tak gubris peringatan itu.
"Ha, sungguh kau kepala batu, bocah!" pikir si nenek, yang
sekarang maju dengan ulur tangannya untuk menjambak.
Kali ini si nona tidak lagi mundur, justeru ia dijambak, ia
mementang mulutnya menyemburkan atau memuntahkan
satu sinar merah darah yang menyambar kepada si nenek,
berbareng dengan itu, pedangnyapun menyambar kepada
tangan nenek itu.
Bukan kepalang terkejutnya Anghoa Kuibo. Ia sudah
menyangka si nona telah terluka, tidak tahunya, orang masih
bisa melakukan perlawanan. Dalam keadaan mogok seperti
itu, ia tidak berdaya kecuali lompat mundur sambil
mendahulukan tarik pulang tangannya yang dipakai
menjambak itu. Ia dapat selamatkan diri tetapi ujung bajunya
telah terbabat kutung!
Giok Lo Sat tertawa gelak-gelak.
"Hai, perempuan tua siluman, masihkah kau tidak mau
menyerah kalah?" tanyanya dengan ejekannya.
"Apakah kau hendak tunggui kematianmu?"
Nenek itu jadi sangat malu dan mendongkol. Apa yang ia
namakan mutiara mustika adalah "Ciatok Cu" atau "mutiara
merah beracun". Itu adalah senjata rahasianya yang istimewa.
Biasanya, tidak pernah ia sembarang gunakan senjata rahasia
itu. Senjata itu terbuat dari mutiara yang direndam dalam bisa
ular, sampai warna putih berubah menjadi merah tua, maka
bisalah dimengerti hebatnya racun itu.
Syukur bagi Tiat Hui Liong, Bok Kiu Nio telah perlihatkan
padanya tiga biji mutiara mustika itu dengan diterangkan juga
tentang liehaynya, maka siang-siang ia telah bikin persediaan
untuk menjaga diri, yaitu dibuatnya macam-macam obat itu,
yang dibuatnya menjadi pil dan dimasukkan ke dalam mulut
untuk dikemuh, guna lawan senjata rahasia beracun itu.
Untung Giok Lo Sat telah mempunyai kepandaian istimewa
akan sambuti senjata rahasia dengan mulutnya tanpa terluka,
karena mana, ia dapat balas menyerang lawan dengan senjata
rahasia itu juga sambil dibarengi tabasan pedangnya.
Dalam murkanya, Anghoa Kuibo lompat menyerang Giok Lo
Sat, pedang siapa ia sampok sehingga terpental, syukur tidak
terlepas dari cekalan.
Menampak demikian, Tiat Hui Liong berteriak: "Anghoa
Kuibo, apakah benar kau tidak mempunyai muka?"
Wanita tua itu tetap bungkam, ia hanya mengulangi
serangannya. Giok Lo Sat tertawa dingin.
"Perempuan siluman tua, apa lagi kepandaianmu?" dia
sengaja menantang sambil terus melayani lawan yang sudah
kalap itu. Hingga lagi sekali mereka bertempur seru.
Setelah satu serangan, Anghoa Kuibo mundur dua tindak,
sekonyong-konyong ia berlompat tinggi menyerang dari atas
ke bawah. Giok Lo Sat lihat caranya orang menyerang, dengan tangan
kiri menekan belakang pedang, ia menangkis dengan
pedangnya itu, hingga ketika kedua senjata beradu,
terdengarlah satu suara nyaring dan panjang. Tapi karena
bentrokan itu, tongkat si nenek terpental ke samping, dari
ujung tongkat mendadak muncul sebilah pisau tajam yang
panjangnya kira-kira satu kaki. Setelah ini, kembali dengan
kesehatannya nenek itu menyerang pula dengan tongkatnya,
dengan tambahan pisau itu menuju langsung ke ulu hati!
Dalam keadaan seperti itu, terutama disebabkan
kesehatannya Anghoa Kuibo, Giok Lo Sat tidak sempat
berdaya, menampak demikian Hui Liongjadi sangat gusar,
karena teringatlah ia kepada lukanya Pek Sek Toojin tadi. Ia
mencelat ke dalam kalangan sambil berteriak: "Anghoa Kuibo,
kau gunai tangan jahat melayani satu anak muda, apakah kau
tidak malu?"
Nyonya tua itu terkejut, rupanya ia insyaf atas teguran itu,
tetapi ia sudah turun tangan, tidak dapat ia membatalkannya.
Di saat tubuh Hui Liong sampai di kalangan, ia dengar satu
jeritan dari kesakitan, apabila ia telah menaruh kakinya di
tanah, ia tampak Giok Lo Sat dan lawannya itu telah pisahkan
diri satu dari lain, si nona sendiri beroman tabah, malah
dengan tertawa dingin dia menantang: "Mari, mari! Mari kita
bertempur pula lagi tiga ratus jurus!"
Bukan main herannya ayah-angkat itu, tidak pernah ia
sangka anaknya mempunyai kepandaian demikian luar biasa
sampai dia bisa lolos dari ancaman bahaya maut.
Sebenarnya berhasilnya Giok Lo Sat bukan melulu karena
kepandaiannya, di sebelah ketabahannya, iapun
mengandalkan sarung tangannya Gak Beng Kie, yang
dipinjamkan kepadanya secara tidak langsung dengan
perantaraan Him Kengliak.
Selagi pisau tajam istimewa dari Anghoa Kuibo mengancam
ke ulu hatinya, dengan kesehatan luar biasa Nona Lian angkat
tangan kirinya yang memakai sarung ke depan dadanya, tepat
di waktu menyambarnya pisau, maka telapak tangannyalah
yang tertikam. Benar hebat sarung tangan itu, yang tak dapat
ditembusi pisau, bahkan pisau itulah yang melengkung
sendirinya. Justeru selagi si nyonya tua kaget bahna herannya,
kembali dengan kesehatannya yang luar biasa, nona ini
menikam tulang pundaknya wanita tua jagoan itu.
Anghoa Kuibo tidak keburu mengelakkan diri, ia menjerit,
tapi sambil meringis ia tertawa dan berkata:
"Bagus!" serunya. "Inilah yang disebut gelombang
Tiangkang terbelakang mendorong gelombang terdahulu! Ya,
sejak sekarang hingga selanjutnya, di dalam dunia kangouw
tidak lagi ada orang yang bergelar Anghoa Kuibo!..."
Dengan gerakan tubuhnya yang gesit, sambil bawa
tongkatnya, nyonya tua itu angkat kaki hingga tak tampak lagi
sekalipun bayangannya!
Giok Lo Sat tertawa.
"Sarung tangan ini benar-benar mustika!" pujinya.
Ketika ia buka kancing bajunya, kaca pelindung dadanya
dengan mengeluarkan suara telah meluruk jatuh. Karena kaca
itu telah pecah remuk, la kaget. Dengan lekas ia telan dua
butir pil yang ia bekal, sambil mengempos semangatnya.


Wanita Gagah Perkasa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Syukur aku tidak terluka dalam tubuhku!" katanya sambil
tertawa. It Hang kaget tak kepalang.
"EnCie Lian!" ia memanggil.
Giok Lo Sat manggut.
"Dengan pihak Butong pay mu aku masih punya
sangkutan," kata dia seraya terus bertindak menghampiri Pek
Sek Toojin. Setelah makan obatnya Tiat Hui Liong, imam dari
Butongsan itu jadi segar banyak, sekarang ia dapat berdiri.
Di depan imam ini Giok Lo Sat ayunkan pedangnya.
"Eh, apa kau hendak bikin?" seru It Hang dengan kaget.
Pek Sek Toojin segera raba gagang pedangnya.
Si nona tidak menyerang, dia hanya kata: "Pek Sek Toojin,
kau telah terluka parah, maka perhitungan kita baik dicatat
saja sampai lain waktu!"
"Ah, mengapa mesti adu silat juga"' kata It Hang. Ia
masgul. "Baik," menjawab si imam. "Di dalam tempo tiga tahun
kemudian aku nanti tunggui kau di Butong san!"
Giok Lo Sat tertawa dingin.
"Tidak nanti aku membikin kau kecele!" katanya.
Baru saja si nona tutup mulutnya atau Hui Liong telah
dengar suara berisik yang datangnya dari bawah Pitmo gay. Ia
segera lompat ke atas sebuah batu besar untuk melongok ke
bawah. Untuk herannya, ia tampak serombongan pahlawan
TongCiang sedang kepung seorang yang bertubuh besar,
sementara satu nona muda kedapatan teringkus di atas kuda.
Adalah nona itu yang menjerit berulang-ulang.
Pek Sek Toojin pun segera dengar jeritan itu, ia kaget.
"It Hang, dengar!" serunya "Bukankah itu suaranya Gok
Hoa yang memanggil-manggil aku?"
"Aku tidak mendengar nyata!" jawab It Hang.
Tapi suara itu yang terbawa angin, mendatangi makin
dekat. "Tidak salah, itulah Gok Hoa!" Pek Sek berseru pula. Tanpa
berpikir lagi ia lompat ke atas batu.
Hui Liong terkejut.
"Kau cari mampus?" tegurnya.
Inilah disebabkan lukanya yang belum sembuh, tidak
membolehkan Pek Sek menggunai tenaga terlalu besar, maka
ketika dia sampai di batu, tubuhnya limbung, hampir dia jatuh
terguling. Kalau dia jatuh, pasti dia akan tergelincir ke bawah.
"It Hang, pergi kau gendong paman gurumu pulang!" Hui
Liong teriaki pemuda itu.
Ketika itu ada belasan pahlawan, yang mencoba mendaki
Pitmo gay, di antaranya, ada yang melapai naik dengan
bantuan rotan. Dengan tidak banyak pikir lagi, Hui Liong jemput beberapa
butir batu, lalu ditimpukkannya kepada pahlawan-pahlawan
itu. hingga mereka itu kaget, antaranya ada yang menjerit,
lekas-lekas mereka merayap turun pula.
Pendekar Sakti Suling Pualam 2 Pendekar Gila Karya Cao Re Bing Rajawali Hitam 5
^