Pencarian

Wanita Gagah Perkasa 10

Wanita Gagah Perkasa Karya Liang Ie Shen Bagian 10


"Lekas pergi!" Hui Liong teriaki It Hang sambil memberi
tanda dengan tangannya.
It Hang menurut, ia terus gendong paman gurunya, yang ia
bawa lari ke lain arah. ke mana Giok Lo Sat telah mendahului
membuka jalan. Hui Liong menyusul, sambil berlari ia kata: "Kim Laokoay
bukan manusia! Dia bujuk isterinya yang busuk menjanjikan
kita bertanding, tapi dia sendiri diam-diam ajak rombongan
pahlawan TongCiang pergi menawan orang!"
Giok Lo Sat kata dengan sengit: "Isterinya yang busuk itu
tentu tidak lagi mau membantu padanya, apabila dia bentrok
denganku, aku tanggung dia tak akan dapat lolos lagi!"
Bertiga mereka lari keras, kira-kira magrib mereka sudah
sampai di dalam kota.
"Tiat LooCianpwe," It Hang minta, "silakan kau turut kami
ke rumahnya Busu Liu See Beng."
Giok Lo Sat tertawa, ia wakilkan ayah angkatnya
menjawab: "Menolong orang harus dari permula hingga di
akhir. Paman gurumu terluka parah, sudah selayaknya kami
antarkan mereka hingga tiba di rumah dengan selamat."
Matanya Pek Sek Toojin mencilak bahna gusar tetapi ia
tidak bisa bilang suatu apa.
Sesampainya di rumah Liu Busu, See Beng menyambutnya
dengan kaget, sebab ia tampak imam itu terluka parah, dan
berbareng, Tiat Hui Liong dan Giok Lo Sat pun datang
bersama. Orang-orang Butong pay pun kaget dan heran, mereka
semua lantas mengepal-ngepal tinjunya, untuk bersiap
menyerang si nona. Mereka berbangkit serentak.
Giok Lo Sat lihat aksi mereka, ia tertawa.
"Inilah bukan urusanku!" kata dia.
Hui Liong lantas menuturkan tentang lukanya Pek Sek
Toojin itu. "Syukur aku telah siang-siang siapkan obat yang mustajab,"
ia tambahkan. "Dengan paksa aku telah kasih dia makan
obatku itu, dia juga punyakan latihan Iweekang yang baik,
maka setelah beristirahat tiga hari. dia akan bisa bergerak
seperti biasa, atau lagi satu bulan, dia akan sembuh betul."
Orang-orang Butong pay itu percaya akan keterangannya
jago tua ini, mereka batal menyerang si nona, mereka lantas
menghaturkan terima kasih kepada Hui Liong.
"It Hang, mari turut aku masuk ke dalam," kata Pek Sek
dengan wajah likat.
Dua murid Butong segera kata kepada ketua itu: "Sumoay
dan Lie Suheng pergi menyaksikan pertandingan, apakah
mereka tidak bertemu susiok?"
Imam itu ulapkan tangannya.
"Semuanya masuk, bicara di dalam!" katanya. Lalu ia
menoleh pada Hui Liong dan berkata: "Bukanlah aku yang
ingin makan obatmu!"
Hui Liong bersenyum mendengar kata-kata itu.
"Tapi aku telah terima kebaikanmu itu," Pek Sek
tambahkan. "Kami dari Butong pay dapat membedakan budi
dan dendaman, maka budimu yang besar itu mesti aku
membalasnya."
Hui Liong tetap bersenyum. Tapi Giok Lo Sat tertawa dan
berkata pada imam yang besar kepala dan kukuh itu: "Aku
sendiri tidak mempunyai budi terhadapmu, maka kalau nanti
kau telah sembuh betul, sembarang waktu kau boleh tantang
aku untuk kita adu pedang!"
It Hang segera ajak paman gurunya itu masuk ke dalam,
bersama ia turut semua orang Butong pay.
Liu Busu tertawa.
"Imam ini sangat jumawa," katanya, "biar bagaimana, dia
tidak mau kalah bicara! Beda jauh daripada Cie Yang Toojin
yang sangat ramah tamah dan manis budi."
Hui Liong tetap bersenyum tetapi tidak kata apa-apa.
"Halnya Anghoa Kuibo datang ke kota raja, aku telah
mendengarnya sejak dua hari yang lalu," berkata pula Liu
Busu. "Semula aku tidak tahu untuk apa dia datang kemari,
tak tahunya dia mencari onar terhadap kalian."
Mulutnya Hui Liong bergerak, akan tetapi ia batal untuk
bicara. See Beng lihat sikap orang itu, ia tidak berani
menanyakannya, sebab meski mereka kenal satu pada lain,
mereka bukanlah sahabat-sahabat karib.
It Hang muncul tak lama kemudian.
"Tidak leluasa untuk paman guruku keluar, ia titahkan aku
mewakilkannya mengantar tetamu-tetamunya," ia kata.
Hui Liong tertawa besar.
"Tanpa diantarpun aku memang sudah hendak pergi!"
katanya. Baru sekarang ia buka mulutnya.
Liu See Beng menjadi tak senang, la justeru tengah
memikir untuk ikat tali persahabatan kepada Tiat Hui Liong, ia
tak sangka bahwa Pek Sek Toojin telah lancang merampas
haknya, akan "usir" tetamu. Tapi karena masih ingat kepada
Butong pay dan persahabatannya dengan imam ini, sedapat
mungkin ia tahan kemendongkolannya. Maka terpaksa ja
angkat kedua tangannya, untuk memberi hormat pada Hui
Liong dan Giok Lo Sat.
It Hang mengantar sampai di luar.
"Paman guruku tidak kenal budi, aku minta sukalah Tiat
LooCianpwee memaafkannya," ia mohon.
"Tidak apa, tidak apa," berkata Hui Liong. "Apakah paman
gurumu itu ada omong lainnya lagi?"
Mukanya pemuda itu menjadi merah. Memang Pek Sek
telah mengatakan pada semua orang Butong bahwa Hui Liong
ada melepas budi terhadapnya tetapi Giok Lo Sat adalah
musuh partai mereka, dia larang semua murid Butong itu
bergaul kepada Giok Lo Sat. It Hang mengerti, meski pesan
larangan itu diucapkannya kepada semua saudara
seperguruannya tapi maksudnya yang utama adalah ditujukan
kepada dirinya. Dan dengan menyuruh calon ketua ini yang
antar tetamu, sang paman kandung maksud supaya
keponakan murid ini putus perhubungannya dengan nona itu.
Karena ini, It Hang menjadi jengah sendirinya.
Giok Lo Sat tertawa.
"Walaupun kau tidak menyebutkannya, sudah aku ketahui!"
kata ia. "Singkatnya ialah dia larang kau bergaul dengan aku!
Apakah kau takut untuk tetap bergaul denganku?"
Tambah merah mukanya It Hang, sampai ke kupingkupingnya.
Hui Liong lihat itu, ia tertawa.
"Anak Siang, mulutmu tidak ada remnya!" kata dia. "Kau
bikin orang malu."
Masih saja It Hang jengah, iapun ragu-ragu, tapi sejenak
kemudian ia kata kepada si nona: "EnCie Lian, aku ingin bicara
kepadamu..."
Mendengar itu, Hui Liong lantas angkat kakinya.
"Kau bicaralah!" Giok Lo Sat menyuruhnya.
"Paman guruku mempunyai satu anak perempuan," kata It
Hang, suaranya masih tak tenang, "anak itu diculik rombongan
pahlawan dari TongCiang... Pamanku sedang terluka parah, di
kota raja ini tidak dapat dicari lain orang yang dapat
menolongnya..."
Si nona tertawa.
"Jadi maksudmu meminta kami yang mendayakannya"..."
tanyanya "Benar," It Hang jawab dengan memberanikan diri. "Jikalau
pihakmu bisa tolong nona itu, mungkin perselisihanmu kedua
pihak akan habis sendirinya..."
"Beberapa ketuamu dari kaum Butong pay memang tidak
punya salah apa-apa," kata si Raksasi Kumala, "akan tetapi
lagak mereka sangat menjemukan, karena mereka tidak
senang terhadapku, aku justeru ingin menjadi musuh mereka
itu!" It Hang tercengang.
"Anaknya paman gurumu itu cantik atau tidak?" tiba-tiba si
nona tanya. "Pasti dia tak dapat dibandingkan denganmu, enCie Lian,"
It Hang jawab. Giok Lo Sat tertawa.
"Toh bukannya tak manis dipandangnya, bukankah?"
"Digolongkan kepada umumnya dia terhitung cantik juga"
It Hang akui. Si Raksasi Kumala seperti memikir sebentar, lalu dengan
wajah sungguh?sungguh ia pandang orang di hadapannya.
"Kau bicara terus terang!" katanya tiba-tiba: "Bukankah
benar paman gurumu itu berniat menjodohkan gadisnya
kepadamu?"
"Dia tidak mengatakan demikian," sahut It Hang, suaranya
perlahan. "Kau toh bukannya boneka?" kata pula si nona. "Mustahil
kau tidak dapat lihat maksud yang dikandung paman gurumu
itu?" "Aku lihat... mungkin benar dia kandung maksud
demikian..."
Nona itu tertawa dingin.
"Walau bagaimana, aku tak dapat lupakan kau, enCie..." It
Hang kata dengan perlahan sekali.
Berdenyut hatinya si nona. Inilah pengutaraan yang
pertama dari pemuda itu terhadap dirinya.
It Hang menambahkan: "Akan tetapi aturan kaum Butong
pay ada sangat keras..."
Sepasang alisnya si nona bangun dengan mendadak.
"Apa" Jadinya kau takut?" tanyanya.
"Seandainya kita tak dapat tinggal bersama," kata It Hang
dengan menyimpang, "walau di ujung laut atau pangkal dunia,
aku toh tidak nanti lupakan kau... Aku... untuk seumur
hidupku tak akan menikah..."
Kata-kata itu diucapkan demikian perlahan sampai sukar
didengarnya. Si Raksasi Kumala jadi putus asa.
"Sungguh tolol!" katanya dalam hatinya. "Menjadi ketua
begini penakut, tidak berani berterus terang..."
It Hang lihat wajah orang berubah, ia menghela napas.
"Aku mengerti bahwa apa yang aku minta memang tidak
selayaknya," ia kata. "Paman guruku bersalah terhadap kau
tetapi aku mohon kau menolongi gadisnya..."
Giok Lo Sat memandang ke udara, pikirannya bekerja
keras. Ia sengit untuk kelemahannya It Hang, tapi di samping
itu, ia tahu bahwa orang menyintai padanya... Hatinya sedikit
terhibur juga...
It Hang lirik nona itu, yang alisnya ia tampak bergerakgerak.
"Percuma saja perkenalan kita ini..." tiba-tiba si nona
berkata. Pemuda itu terkejut, hatinya memukul.
"Cade!" pikirnya.
"Ah, kau seperti sedikitpun tak kenal aku..." kata si nona
kemudian. It Hang bingung, tak dapat ia bicara.
"Aku jelaskan padamu, aku bukannya hendak cari muka
kepada Pek Sek Toojin," berkata pula si nona. "Tapi aku
berjanji aku akan berdaya menolongi adik seperguruanmu
itu." Mendengar ini. It Hang jadi sangat girang.
"Terima kasih!" katanya. Tapi mendadak dia memesan:
"Jikalau nanti kau berhasil menolongi dia, aku minta jangan
kau menyebutkannya bahwa akulah yang telah minta tolong
kepadamu. Paman guruku itu..."
"Aku tahu!" jawab Giok Lo Sat dengan mendongkol.
"Orang-orang Butong pay memang tak pernah mohon bantuan
orang dan kau takut langgar aturan kaummu itu! Baiklah,
sekarang kau boleh pulang!"
It Hang tidak kata apa-apa lagi, ia undurkan diri.
Begitu bayangan orang lenyap di balik pintu, Giok Lo Sat
menyesal sendirinya sudah bicara keras terhadap pemuda itu.
"Apakah yang dia katakan?" Hui Liong menghampirkan.
"Tidak apa-apa," sahut Giok Lo Sat dengan tawar.
Keduanya lantas pulang ke Seesan, di sepanjang jalan Giok
Lo Sat bungkam terus. Barulah setelah mereka sampai di
Lengkong sie, anak angkat itu buka mulutnya.
"Ayah, aku hendak minta sesuatu padamu..." katanya.
"Kau sebutkanlah!" sahut ayah angkat itu. Ia menjawab
dengan cepat. "Aku minta ayah bersama aku pergi menolongi gadisnya
Pek Sek Toojin," Giok Lo Sat berttahukan
Hui Liong heran hingga alisnya mengkerut
"Bersama Gak Beng Kie kau telah mengacau istana sampai
seperti langit roboh dan bumi amblas." katanya, "bagaimana
sekarang kau masih memikir untuk antarkan diri ke dalam
jaring?" "Tapi aku telah berikan janjiku, ayah..."
Hui Liong berpikir, ia berduduk Sampai sekian lama baru ia
berbangkit dengan cepat.
"Ada jalannya!" katanya. "Tak usah kita memasuki istana
untuk menolongnya."
Giok Lo Sat girang.
"Benarkah ayah mempunyai daya?" dia menegasi.
"Dalam hal itu aku belum dapat memastikan akan
hasilnya," Hui Liong jawab anaknya. "Kita coba saja. Besok
kita cari Liong Tat Sam."
Anak-angkat itu setuju.
X Ho Gok Hoa tidak puas ketika ayahnya menolak padanya
ikut pergi, maka seberlalunya ayah itu, ia cari Lie Hong dan
ajak saudara seperguruan itu pergi menyusul ke Pitmo gay.
Lie Hong adalah murid kepala untuk kaum Butong pay di
kota raja, ia berkedudukan sebagai Ciangbunjin. lapun
sebenarnya ingin turut ke Pitmo gay tapi karena ia tidak
berani tentangi Pek Sek, terpaksa ia tutup mulut, sekarang
Gok Hoa ajak padanya, ia girang sekali.
"Mari!" ia berikan persetujuannya.
Dengan diam-diam dua orang ini keluar dari kota. setelah
berjalan kira-kira setengah jam. mereka sudah mendekati
Seesan, Bukit Barat.
"Rupanya dua orang di belakang kita sedang menguntit
kita," kata Lie Hong pada kawannya selagi mereka jalan terus.
Dengan lagak acuh tak acuh Gok Hoa berpaling ke
belakang. Ia lihat dua orang, yang satu berumur kurang lebih


Wanita Gagah Perkasa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

empat puluh tahun, yang lainnya masih muda, kurang lebih
dua puluh tahun usianya dan cakap romannya, malah si nona
rasa pernah melihatnya, entah di mana.
Dua orang itu berjalan sambil omong-omong dan tertawatawa.
"Apakah kau kenal baik jalanan di sini?" tiba-tiba Gok Hoa
tanya Lie Hong.
"Aku hidup di Pakkhia, mustahil aku tidak tahu!" jawab Lie
Hong yang tertawa.
"Mari kita jalan mutar untuk menyingkir dari mereka." si
nona usulkan. Lie Hong manggut.
Tidak lama tibalah mereka di Seesan, yang mempunyai tiga
buah puncak yang permai, yakni Cuibie san. Louwsay san dan
Pengpo san. Untuk pergi ke Pitmo gay, harus melalui gua
PoCu tong dari puncak Pengpo san. terus belok ke utara,
tetapi Lie Hong sengaja ambil jalan dari kaki puncak Cuibie
san. Mereka berjalan cepat, mereka lintasi pohon-pohon lebat
dan selokan, maka di lain saat, kedua orang di sebelah
belakang itu sudah tidak tertampak.
"Mungkin aku terlalu bercuriga," kata Lie Hong kemudian.
"Mereka itu tidak terus menguntit kita"
Karena ini, mereka pertahankan tindakan mereka.
Tiba-tiba mereka dengar suara bicara sambil tertawa yang
datangnya dari arah belakang mereka, waktu Gok Hoa
menoleh, ia lihat dua orang tadi sedang mendaki bukit.
"Sumoay, benar-benar mereka menguntit kita," kata Lie
Hong, yang terus raba gagang pedangnya.
"Sabar, kita lihat dulu," Gok Hoa peringatkan.
Mereka berjalan terus di jalanan kecil.
Dua orang itu masih terus membayangi, jalannya kadangkadang
cepat dan kadang-kadang perlahan.
Mereka sudah melalui tiga atau empat lie, masih dua orang
tidak dikenal itu mengikuti bagaikan hayangan mereka.
"Baiklah kita kasih rasa pada mereka!" kata Lie Hong, yang
menjadi gusar. Ia segera hentikan tindakannya.
Nyata dua penguntit itu gerakannya sangat gesit. Ketika Lie
Hong berhenti jalan, tahu-tahu mereka telah sampai di sisinya
pemuda ini dan melewatinya dalam sejenak, hingga di lain
saat mereka sudah berada di sebelah depan di mana,
orarrg'yang setengah tua itu lantas membalik tubuh:
"Hai, kalian hendak pergi ke mana?" demikian tegurnya.
Lie Hong menjadi gusar.
"Kau kuntit kami, apakah kehendakmu?"
Orang itu tertawa.
"Ini adalah jalan umum, kau boleh melewatinya, mustahil
aku tidak?" jawabnya secara menantang. "Ah, anak muda
kenapa adatnya begini keras?"
Ia maju setindak, sebelah tangannya diulur untuk
menjambret pundak.
"Pergi!" bentak Lie Hong, yang angkat kedua tangannya
hendak menolaknya. Tapi sebelum tangannya mengenai tubuh
orang itu, tangannya itu seperti tertolak tenaga membalik.
Tentu saja ia jadi sangat gusar, hingga ia hunus pedangnya
"Jangan!" teriak Ho Gok Hoa, untuk mencegah. Lalu ia
bertanya kepada kedua orang itu: "Jiewie ke mana kalian
hendak pergi?"
"Kami justeru hendak menanyakan itu kepadamu!"
membaliki orang itu.
XI Lie Hong mendongkol bukan main, ia mengawasi dengan
tajam, pedangnyapun telah siap sedia.
"Kami hendak pergi ke Pitmo gay," sahut Gok Hoa dengan
terus terang. "Dan kalian?"
Selagi mereka bicara, pemuda kawannya orang itu
mengawasi si nona dengan tajam, sampai mendadak dia
perdengarkan suara heran.
"Kau toh adik Gok Hoa?" tanyanya.
Gok Hoa balik mengawasi, ia segera ingat, ia menjadi
girang. "Kau toh kakak Sien Sie?" dia menegaskan.
Pemuda itu berlompat saking girangnya, bagaikan orang
lupa daratan ia sambar tangannya nona Ho.
"Tidak kusangka kau telah jadi begini besar!" katanya.
"Ah, kaupun demikian juga," kata Gok Hoa. "Dulu kau sama
tingginya dengan aku tetapi sekarang kau jauh terlebih tinggi
hingga melewati kepalaku!"
Si orang usia pertengahan tertawa terbahak-bahak.
Pemuda itu terkejut bagaikan orang yang baru sadar, maka
buru-buru ia lepaskan cekalannya. Ia harus ingat bahwa
sekarang ia adalah satu "tayjin" "pembesar tinggi"...
Lie Hong masukkan pedangnya ke dalam serangkanya.
"Kiranya kau kenal satu pada lain," katanya.
"Kami bukan cuma kenal," Gok Hoa terangkan. "Kami biasa
bermalam sama-sama sejak masih kecil sampai besar. Ia
adalah kakak keponakanku."
Pemuda itu adalah Lie Sien Sie anaknya Ho Kie Hee, yang
setelah menjadi pendeta perempuan telah ganti nama, Cu Hui.
Anak ini didapat dari pernikahannya Kie Hee dengan Lie Thian
Yang. Orang she Lie itu terpincuk harta dan pangkat, dia ceraikan
Ho Kie Hee dan menikah pula dengan lain nona. Karenanya
Kie Hee sucikan diri di Thaysit san. Pek Sek Toojin titipkan dua
anak perempuannya kepada Kie Hee, untuk adik itu yang
merawatnya Lie Sien Sie dan Ho Gok Hoa bersamaan umur, semenjak
kecil sudah biasa mereka hidup bersama, karenanya, mereka
kenal baik satu pada lain, apapula merekapun bersanak satu
pada lain. Cu Hui Suthay telah mengalami kegetiran dalam
penikahannya, ia sangat sayang puteranya itu, dan sangat
dimanjakan. Sedari masih kecil, ia sudah ajarkan putera itu
ilmu silat bersama Gok Hoa Kemudian Cu Hui dapat
kenyataan, putera ini tidak peroleh kemajuan, ketinggalan dari
Gok Hoa, maka ingatlah ia akan kata-kata orang tua tentang
penukaran juru pendidik. Demikian, dalam usianya dua belas
tahun Lie Sien Sie di kirim ibunya kepada sahabatnya. Liong
Siauw In, untuk belajar di bawah pimpinannya sahabat itu.
Liong Siauw In adalah murid yang pandai dari Ngobie pay.
pada dua puluh tahun dulu, bersama Lie Thian Yang pernah
dia bersaing untuk dapati Ho Kie Hee, akan tetapi ia gagal,
maka dia pergi merantau jauh ke lain tempat, ketika kemudian
Ho Kie Hee menjadi niekouw, baru dia datang mencari bekas
kekasih itu, hingga kebetulan sekali Kie Hee lantas titipkan
puteranya itu dan memesannya: "Kalau nanti anakku itu
sudah selesaikan pelajarannya, baru kau ajak dia pulang
menemui aku."
Liong Siauw In terima permintaan itu, ia ajak Sien Sie ke
Ngobie san. Selama tujuh tahun ia didik bocah itu. Selama
tempo itu pernah ia minta pertolongan orang akan dengardengar
hal Kie Hee, tapi selama itu belum pernah ia bertemu
muka pula dengan niekouw itu.
Cu Hui Suthay penujui Gok Hoa, maka pernah ia kandung
niat akan bicara kepada kakaknya, Pek Sek Toojin, untuk
mempersoalkan jodoh anak-anak mereka itu. Akan tetapi Pek
Sek mempunyai pikiran lain. Imam ini lihat pelajarannya Sien
Sie perlahan majunya, ia anggap tidak cerdas otaknya, di
samping itu ia tertarik kepada It Hang yang berbakat, murid
Butong pay terjempol dalam tingkat kedua, turunan keluarga
terhormat, orangnyapun cakap dan berbudi pekerti halus,
selain ilmu silat juga pandai ilmu surat. Cie Yang Toojin pun
telah menunjuk It Hang sebagai calon ketua Butong pay, yang
dalam kalangan persilatan diakui umum sebagai pemimpin
partai. Karena ini, tanpa pedulikan kedua anak muda itu
berlainan sifatnya, imam ini memaksanya hendak
menjodohkan Gok Hoa dengan It Hang, hingga karenanya,
terbitlah gara-gara...
Bukan main gembiranya Gok Hoa dan Sien Sie yang dapat
bertemu satu pada lain dengan cara kebetulan itu. Tapi lekas
juga si nona ingat orang setengah tua, lantas ia tanya Sien
Sie: "Siapakah looCianpwee ini" Aku belum tahu namanya..."
Orang setengah tua itu tertawa mendengar pertanyaan
tersebut. "Inilah guruku," Sien Sie perkenalkan. Orang itu memang
Liong Siauw In adanya.
"Oh, LiongPehu!" kata Gok Hoa "Aku lupa, maaf."
"Ketika tujuh tahun yang lampau aku lihat kau, nona, kau
masih sangat kecil," kata orang she Liong itu, "tidak heran
kalau kau lupa."
Ingat pada Gok Hoa ini, wajahnya Siauw In menjadi suram.
"Bibi sering menyebut-nyebut kalian," Gok Hoa kata
kemudian. "Apakah bibimu baik?" tanya Siauw In.
"Ia ada baik, terima kasih," sahut -Gok Hoa. "Liong Pehu
berdua hendak pergi ke mana?" tanyanya untuk simpangkan
pembicaraan, karena ia tampak perubahan wajah dari orang
setengah tua itu.
"Seperti kalian, ke Pitmo gay," Sien Sie jawab.
"Kami dengar ayahmu hendak adu silat dengan Giok Lo
Sat, maka kami sudah lantas menyusul kemari," Siauw In
jelaskan. "Kami sampai di sini dua hari yang lalu," Sien Sie
menjelaskan lebih jauh. "Kami telah merancangkan, sehabis
pesiar beberapa hari. baru kami ingin tengok kalian di Thaysit
san. Kemarin Liong Pehu bertemu seorang sahabatnya,
piauwsu dari Tiangan Piauwkiok. Piauwsu itu omong halnya
ayahmu dan kau telah pergi ke'kota raja, katanya juga
bersama seorang yang bernama To It Hang. Dikatakannya
bahwa ayahmu sudah tantang iblis wanita Giok Lo Sat untuk
tengah hari ini bertempur di sini. Aku duga pasti kaupun akan
datang, benar saja kita bertemu di sini. Apakah saudara ini
yang bernama To It Hang itu?"
Waktu menyebut nama It Hang, mukanya Sien Sie
berubah, agaknya ia jengah atau menyesal, suaranya pun
kurang lancar. Ho Gok Hoa tertawa.
"Inilah suheng Lie Hong," ia perkenalkan. "Murid kepala
Butong pay di Pakkhia."
Mendengar ini, baru hatinya Sien Sie tenteram.
Sekarang mereka berjalan berempat, mereka bercakapcakap
sambil tertawa-tawa. Dari Cuibie san, mereka mulai
jalan menurun. "Selewatnya ini adalah puncak Louwsay san," Lie Hong
beritahu. "Pitmo gay letaknya di atas puncak itu."
Liong Siauw In dongak melihat matahari, yang sudah
berada di atasan kepala mereka.
"Mungkin mereka kini sudah mulai bertanding," ia kata.
"Giok Lo Sat itu orang macam apa?" Lie Sien Sie tanya.
"Mungkinkah ilmu pedangnya dapat menandingi engkuku itu?"
"Kabarnya dia seorang wanita yang umurnya kurang lebih
baru dua puluh tahun, yang liehay ilmu silatnya, aku belum
pernah bertemu muka dengan dia," sahut Siauw In.
"To Suheng kenal baik kepada Giok Lo Sat," kata Gok Hoa
sambil tertawa, "maka itu ayah larang aku ikut menyaksikan,
sebaliknya dia paksa To Suheng turut padanya!"
Segera mereka tiba di sebuah puncak yang bentuknya
seperti harimau atau singa (say), mereka berjalan ke lembah.
"Itulah dia Pitmo gay," Lie Hong menunjuk ke atas. "Lihat
itu lembah atau tanah datar di kaki puncak, yang mirip dengan
mulut singa Tentulah mereka adu silat di sana."
Baru Lie Hong berhenti bicara, atau di depan mereka, dari
antara batu-batu besar, lompat keluar empat orang, di
antaranya ada yang menegur: "Siapa yang hendak pergi ke
Pitmo gay?"
Gok Hoa kaget hingga ia keluarkan seruan tertahan.
Di antara empat orang itu, yang menjadi kepala adalah
seorang berumur kira-kira empat puluh tahun, romannya
gagah. Gok Hoa kenali orang itu yang pada tahun yang lalu
mendaki Thaysit san mencari bibinya, dan belakangan ia
ketahui bahwa dia sebenarnya adalah bekas suami bibi itu,
ialah pahlawan Kimiewie dari kota raja, Lie Thian Yang
namanya. Thian Yang tercengang mendengar suara si nona.
Liong Siauw In juga segera kenali orang itu.
"Lie Tayjin, sebagai seorang mulia sungguh kau banyak
urusanmu!" katanya dengan tawar. "Sampai halnya kami
hendak pergi ke Pitmo gay juga kau hendak mengurusnya."
"Ha, saudara Liong!" sahut Lie Thian Yang. "Sudah dua
puluh tahun kita berpisah, selama itu berulang kali aku cari
tahu tentang kau, senantiasa aku gagal. Sungguh aku
kangen." Liong Siauw In tertawa gelak-gelak sehingga tubuhnya
melenggak. "Satu orang hutan demikian dipikirkan tayjin, sungguh aku
berdosa dan harus mati!" katanya.
Waktu itu dari kedua tepi gunung kelihatan muncul pula
sejumlah pahlawan dari TongCiang dan SeeCiang.
Nyatalah Lie Thian Yang sudah mengatur barisan
tersembunyi. Atau lebih benar dialah salah satu
pemimpin dari orang-orang tersembunyi itu, yang bekerja
menuruti rencananya Kim Tok Ek dan Bouwyong Ciong.
Kim Tok Ek benar licik. Setelah ia baik kembali dengan
isterinya, yaitu AnghoaKuibo, ia bujuk dan anjurkan isteri ini
tantang Tiat Hui Liong dan Giok Lo Sat. Menurut niatnya, ia
ingin ajak kawan-kawan pergi ke tempat pertandingan untuk
membantui isteri itu, akan tetapi ia kenal habis perangainya
sang isteri, niat itu ia tidak wujudkan. Ia kuatir kalau isteri itu
ketahui orang bantu padanya, dia bisa gusar dan lantas
mundur sendiri. Maka tak berani ia pergi ke Pitmo gay.
Sebenarnya, Kim Tok Ek masih ragu-ragu. Di satu pihak ia
percaya kepandaian isterinya ada di atasan Tiat Hui Liong dan
Giok Lo Sat, di lain pihak ia kuatir isterinya tak sanggup
dikerubuti Hui Liong dan si Raksasi Kumala, atau Anghoa
Kuibo nanti bikin lolos kedua musuh itu. Maka di akhirnya, ia
mengadakan permupakatan dengan Bouwyong Ciong.
Bouwyong Ciong menjabat Congkoan, penguasa dari
rombongan pahlawan dari TongCiang, konco sehidup semati
dari Gui Tiong Hian, sudah tentu ia suka membantu Kim Tok
Ek, dari itu, ketika ia telah dengar kesulitannya Kim Laokoay,
ia berpikir sambil kerutkan keningnya.


Wanita Gagah Perkasa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Memang bagus sekali isterimu suka membantu," kata
orang she Bouwyong ini. "Hanya harus saudara ketahui bahwa
Giok Lo Sat dan Tiat Hui Liong itu adalah komplotannya Him
Teng Pek. Lupakah saudara ketika hari itu kita alami kerugian
di dalam pertempuran di gedungnya Yo Lian?"
"Mereka semua adalah orang-orang kenamaan dari
kalangan Rimba Persilatan," kata Tok Ek, "mereka sudah
berjanji akan bertempur satu sama satu, mereka larang
campur tangannya orang ketiga, maka itu mungkinkah Him
BanCu sebagai satu kepala perang akan membantui Giok Lo
Sat dan ayah angkatnya?"
Bouwyong Ciong tertawa mengejek.
"Tidak kusangka kau sedemikian jujur!" katanya. "Pasti
sekali Him Teng Pek pribadi tak akan datang! Akan tetapi Tiat
Hui Liong dan Giok Lo Sat adalah konco-konconya Him Teng
Pek, mereka itu mempunyai banyak kawan, maka siapa berani
pastikan Tiat Hui Liong dengan diam-diam tidak minta
bantuan kawan-kawannya?"
"Habis, bagaimana kau hendak bertindak?" Kim Tok Ek
tanya. "Isteriku itu aneh perangainya, kalau dia dapat tahu
kita membantuinya, dia bisa mengambek dan pergi, dia nanti
lepas tangan!..."
"Di antara orang-orangnya Him Teng Pek, Tiat Hui Liong
dan Giok Lo Sat adalah yang paling liehay,"
menyatakan Bouwyong Ciong, "dengan adanya isterimu itu,
sudah cukup untuk melayani mereka, yang lain-lainnya mudah
dibereskannya. Aku memikir hendak mengajak sejumlah
kawan yang liehay, kita atur barisan tersembunyi di dekatdekat
Pitmo gay. Aku percaya Tiat Hui Liong dan Giok Lo Sat
bukannya lawan dari isterimu, tapi jikalau mereka dua lawan
satu, walaupun mereka tidak bisa menang, mereka masih
punyakan kesempatan untuk angkat kaki. Baik kita tunggu
sampai mereka sedang kabur, kita cegat dan serang mereka
untuk ringkus hidup-hidup! Mereka baru habis berkelahi matimatian,
pasti mereka sangat letih, andaikan isterimu tidak
senang dan lepas tangan, pasti kita sanggup lawan mereka Ini
yang kesatu ... "
Kim Tok Ek tertawa, terus ia kata: "Jikalau ada kawankawan
mereka yang datang membantu, dengan kita punyakan
barisan sembunyi, kita bisa sekalian bekuk mereka semua.
Inilah yang kedua, bukankah?"
Kim Tok Ek merasa pasti, Tiat Hui Liong yang bersikap
jantan, tak mungkin mengundang kawan, akan tetapi dengan
berkata demikian, maksudnya hanya mengimbangi orang she
Bouwyong itu. Ia juga setujui pikirannya sahabat ini. karena ia
sangat benci Tiat Hui Liong dan Giok Lo Sat dan ingin sangat
melampiaskan dendam terhadap mereka.
Demikian pun Bouwyong Ciong, ia ingin sangat singkirkan
Tiat Hui Liong dan Giok Lo Sat, di satu pihak untuk
kepentingannya Gui Tiong Hian, di lain pihak untuk
melampiaskan dendamnya kepada kekalahannya di
gedungnya keluarga Yo.
Kim Tok Ek masih memikir panjang.
"Bagaimana jikalau di antara mereka ada tersangkut juga
pihak Butong pay?" dia tanya Bouwyong Ciong,
"Dalam pertempuran di gedung Yo Lian, kita sebenarnya
yang akan menang, kekalahan kita itu disebabkan Tiat Hui
Liong dan Giok Lo Sat dapat bantuan yang datangnya
mendadak," sahut Bouwyong Ciong. "Bantuan itu adalah dari
rombongan Pek Sek Toojin dan murid-muridnya. Butong pay
satu partai besar dan luas pergaulannya, meski demikian,
apabila mereka tidak rnenimbang-nimbang lagi dan hendak
membantui lawan kita, maka kita pun tak usah memandangmandang
lagi, sekalian saja kita lawan dan bekuk mereka satu
demi satu!"
Lantas Bouwyong Ciong usulkan orang-orang yang harus
dimintai bantuannya ialah Ciehui Lie Thian Yang, pemimpin
dari Kimiewie, dan Cio Ho, serta Congkoan Nie Seng Pek,
penguasa dari SeeCiang, dan lain-lainnya.
Selama kerajaan Beng, tiga badan rahasianya adalah
TongCiang, SeeCiang dan Kimiewie, dan di tahun-tahun
terakhir dari Kaisar Sin Cong, karena Gui Tiong Hian yang
berkuasa atas TongCiang, maka TongCiang-lah yang paling
besar pengaruhnya. Bouwyong Ciong usulkan Lie Thian Yang
dan lain-lainnya adalah untuk dapat ambil hatinya Gui Tiong
Hian. Dan Kim Tok Ek, tanpa ragu-ragu, terima usul ini.
Demikianlah sudah terjadi, di Pitmo gay telah bersembunyi
orang-orangnya Kim Tok Ek dan Bouwyong Ciong.
Selagi Lie Thian Yang berhadapan dengan Liong Siauw In,
di pihak Bouwyong Ciong dan Kim Tok Ek pun telah pimpin
maju rombongannya, dan orang she Bouwyong itu maju
sambil berteriak: "Tidak peduli siapa yang datang ke Pitmo
gay, tangkap padanya!"
Lie Thian Yang lupa segala apa karena ia sangat inginkan
pangkat, dan sekarang, selagi raja baru naik di tahta, ia
anggap inilah saatnya yang paling baik. Ia mengharap sangat
tunjangannya Gui Tiong Hian. Maka ia berkata kepada Siauw
In: "Saudara Liong, maafkan aku, sukalah kau turut kami ke
pusat Kimiewie!" katanya tapi wajahnya berubah.
Liong Siauw In jadi sangat murka.
"Budak tak tahu malu!" dia mendamprat. "Sungguh Kie Hee
sudah salah pilih suami!"
Lie Thian Yang pun murka. Ia tertawa dingin, lalu maju,
menikam. Tapi Siauw In menangkisnya dengan keras, hingga
kedua senjata bentrok hebat, sampai Lie Thian Yang
merasakan tangannya sakit dan panas.
Bertahun-tahun Liong Siauw In berlatih di gunung Ngobie
san, ia peroleh kemajuan pesat, kalau pada dua puluh tahun
yang lampau Lie Thian Yang ada lebih liehay daripadanya,
sekarang kepandaian mereka bertukar sifat. Lie Thian Yang
ketinggalan. Cio Ho maju hendak membantui kawannya, akan tetapi ia
dirintangi oleh Lie Sien Sie.
Lie Thian Yang ragu-ragu setelah ia pandang romannya
Sien Sie itu. yang ia rasa pernah melihatnya, entah di mana, ia
lupa. Ia merasa sangat tertarik perhatiannya, hingga timbul
keinginannya untuk menanyakan keterangan. Tapi justeru
pada waktu itu muncul Tok Ek bersama Bouwyong Ciong. Ia
berkelit ketika Siauw I n serang padanya, terus ia menyingkir,
supaya Bouwyong Ciong bisa gantikan padanya.
Ho Gok Hoa pun sudah turun tangan, melayani pihak
pahlawan istana. Ia berkelahi berendeng bersama Lie Sien Sie.
Di dalam hatinya. Lie Thian Yang berpikir: "Nona ini adalah
anaknya Pek Sek Toojin. tidak dapat dia dibiarkan menemui
ajalnya di sini...
Dengan Pek Sek aku bersanak, hal ini pun tak dapat
diberitahukan pada Bouwyong-Ciong..."
Ho Gok Hoa telah berlaku cepat, dengan desakan senjata
pedangnya, ia telah dapat lukai satu pahlawan.
Lie Thian Yang lihat itu, ia lantas berteriak: "Kasih aku yang
bekuk dia!"
Dan lantas ia maju menyerang si nona
Gok Hoa tidak tahu maksud orang, ia memang benci orang
ini, yang telah persakiti hati bibinya, menjadikan ia tidak sudi
memandang-mandang lagi, ia lantas menyerang dengan tidak
kurang sengitnya. Mula-mula ia mengarahkan tikamannya
kepada kening lawannya tapi segera ia ubah tujuannya
menabas lengan.
Lie Thian Yang kaget, hampir ia menjadi korban. Ia tidak
sangka nona itu berlaku demikian bengis. Akan tetapi ia ada
terlebih gagah daripada Nona Ho, begitu lekas ia mainkan
pedangnya, ia bikin pedang si nona tertahan, terus ia
menolaknya hingga nona itu mundur terhuyung. Belum lagi
Gok Hoa sempat perbaiki diri, Thian Yang lompat menyambar,
begitu jari tangannya mengenai sasaran, Gok Hoa lantas tidak
berdaya dan kena ditawan karena dia telah tertotok jalan
darahnya. Lie Sien Sie terkejut, ia tinggalkan pahlawan musuhnya
untuk lompat menolongi nona itu.
Ketika Lie Thian Yang ceraikan isterinya dan terus menikah
pula, Sien Sie belum berumur tiga tahun. Ho Kie Hee tidak
ingin anaknya nanti dipersakiti ibu tiri, dua tahun sejak
perceraiannya, ia minta kakaknya bawa pergi anaknya itu ke
Siongsan. Lima belas tahun telah berselang sejak itu, lima
belas tahun ayah dan anak tidak bertemu, tidak heran kalau
sekarang mereka tidak dapat mengenali satu pada lain.
Ketika tadi Lie Thian Yang dan Liong Siauw In bicara satu
sama lain, Sien Sie dengar samar-samar gurunya menyebutnyebut
nama "Kie Hee". Ia heran. Ia memikirkan kenapa
gurunya itu sebut-sebut nama ibunya di hadapan musuh.
Sekarang, setelah menghadapi musuh itu, roman siapa ia
dapatkan mirip dengan romannya sendiri, hatinya bercekat,
sampai lengannya pun menjadi lemas sendirinya. Justeru itu
satu pahlawan hajar pedangnya, lantas saja pedangnya itu
terlepas dari cekalannya dan jatuh ke tanah. Di waktu itulah,
Lie Thian Yang unjuk kesehatannya. Ia lompat pada Sien Sie
yang ia totok dengan segera. Maka di lain saat, Sien Sie pun
telah kena dibekuk seperti Gok Hoa.
Lie Thian Yang belum tahu pemuda ini ialah puteranya,
tetapi melihat orang datang bersama Liong Siauw In dan Ho
Gok Hoa, ia timbul kecurigaannya. Juga ketika ia gerakkan
tangannya, ia terpengaruh suatu perasaan luar biasa, hingga
ia tak ingin mencelakai pemuda itu. Ia benar-benar heran
sendirinya. Dari itu, selekasnya dapat bekuk pemuda itu,
iamenyerahkannyapadaCio Ho, supaya pemuda itu segera
dibawa pulang ke pusat Kimiewie, untuk nanti ia yang
memeriksanya. Liong Siauw In telah tempur Bouwyong Ciong. Tiga kali ia
menikam hebat, tapi ketiga-tiga kalinya lawannya dapat
berkelit. Ia jadi heran. Keheranan ini berubah menjadi kaget
ketika berbareng dengan itu, saban-saban ia rasakan
dorongan angin yang datangnya dari pihak lawan, hingga ia
mengerti bahwa pahlawan itu seorang yang liehay. Iapun
heran mengetahui di dalam istana ada pahlawan yang seliehay
lawan ini. Bouwyong Ciong juga berlaku hati-hati setelah ketahui
kegagalan lawannya ini, ia lantas berkelahi dengan ilmu Kimna
hoat, untuk dapat menawan lawan ini.
Liong Siauw In menyerang pula beberapa kali dengan siasia,
lantas ia dapat pikiran untuk tidak berkelahi terus.
Begitulah, setelah satu kelitan, ia lompat ke samping. Tapi di
sini ia dipapaki satu pahlawan TongCiang, yang dengan
sepasang gaetannya menyambar pedangnya. Ia tidak menjadi
kaget atau keder, malah dengan sebat ia mendahului, hingga
lima jari tangan pahlawan itu terbabat kutung!
"Minggir!" teriaknya dengan bengis, sambil ia lompat keluar
kalangan. Bouwyong Ciong liehay, tetapi menghadapi kegesitan
lawannya itu, sedang di situ ada banyak orang yang menjadi
rintangan baginya, ia tidak dapat menyusul untuk
mengejarnya. Kim Tok Ek berada di sebelah belakang, ia pegang
pimpinan mengatur pahlawan-pahlawan mencegat musuh,
kapan ia saksikan kelincahannya Liong Siauw In, hatinya
menjadi panas. Ia lompat maju merintangi.
Liong Siauw In tampak musuh yang romannya bengis, ia
tidak maju terus hanya lari ke samping, ke arah barat. Meski
demikian, Kim Tok Ek toh lompat menyambar kepadanya,
sehingga dua pahlawan yang mengadang di depannya tertolak
keras. Melihat orang hendak menjambak bebokongnya, Siauw In
mengelak sambil terus berbalik, pedangnya menabas lengan
penyerang yang liehay itu. Atas ini, Kim Tok Ek tarik pulang
tangannya itu. Tapi justeru itu, Bouwyong Ciong telah berhasil
menyandak. Segera Siauw In dikepung kedua musuh yang semuanya
liehay. Ia menjadi repot, ia berkelahi sambil mundur. Tapi ia
tidak dapat bertahan lama, selagi Kim Tok Ek mendesak
padanya, tangannya Bouwyong Ciong mampir tanpa dapat
dielakkan lagi, tubuhnya roboh, hingga dalam
sekejap ia telah jadi orang tawanan.
Di waktu itulah Tiat Hui Liong dan Giok Lo Sat menyaksikan
aksinya kawanan pahlawan itu, dan Hui Liong gunai sejumlah
batu menyerang dan melukai beberapa pahlawan itu.
Bouwyong Ciong titahkan membelenggu Liong Siauw In,
lalu ia kata pada Lie Thian Yang: "Kaujaga orang-orang
tangkapan ini, untuk cegah kalau-kalau ada kawan-kawannya
yang merampasnya, aku hendak naik ke atas!"
Dan ia menyerbu naik bersama Kim Tok Ek. Mereka sampai
di atas di mana mereka dapatkan tumpukan batu telah
menjadi rata, dan ia tampak bercecerannya darah segar. Hui
Liong dan Giok Lo Sat sudah tidak tertampak, malah Anghoa
Kuibo pun tak ada di situ!
Kim Tok Ek heran berbareng berkuatir. Ia memanggilmanggil
beberapa kali, isterinya tidak juga muncul, hingga ia
jadi semakin heran dan kekuatirannya bertambah.
"Mungkinkah dia terluka oleh musuh?" tanya Bouwyong
Ciong, yang turut bersangsi.
"Tak mungkin!" sahut Kim Tok Ek, yang masih tetap
berkepercayaan. Terus ia naik ke tempat tinggi, hingga ia
tampak jauh belakang badannya Giok Lo Sat beramai yang
sedang lari turun gunung, hingga tidak mungkin ia dan
Bouwyong Ciong dapat menyandaknya. Yang sangat
mengherankan padanya ialah Anghoa Kuibo tidak tertampak di
antara mereka itu.
"Mari kita turun!" mengajak Kim Laokoay.
Mereka ini bukan saja tidak ungkulan mengejar Giok Lo Sat,
bahkan mereka pun jeri. Tanpa Anghoa Kuibo yang mereka
sangat andalkan, mereka kalah semangat. Maka setelah
mencari pula sebentaran, mereka lantas turun.
Itu waktu. dalam satu pertempuran kalut, Lie Hong juga
telah kena ditawan kawanan pahlawan istana.
Lie Thian Yang, sambil menjagai orang-orang
tangkapannya, menantikan baliknya Kim Tok Ek dan
Bouwyong Ciong, ketika ia tampak mereka balik dengan
tangan kosong, ia sudah dapat duga kawannya itu tidak
berhasil, apapula wajah mereka menunjukkan kelesuan.
"Apakah Lie Tayjin sudah periksa mereka ini?" Bouwyong


Wanita Gagah Perkasa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ciong tanya. "Adakah mereka orang-orang undangannya Giok
Lo Sat dan itu tua bangka bangsat she Tiat?"
"Siapa kata kami orang-orang undangannya Giok Lo Sat?"
Ho Gok Hoa bersuara tanpa diminta. Ia mendongkol dan
gusar. "Ayahku adu silat dengan Giok Lo Sat. kami datang
untuk membantui ayahku. Kenapa kalian demikian kurang ajar
menangkap orang secara sembrono?"
Sambil membentak demikian, si nona pun pelototi Lie Thian
Yang, "Ah, buat apa kau mencomel lagi?" kata Liong Siauw In
pada nona itu. "Jikalau mereka kenal aturan, tidak nanti
mereka jadi hamba negeri!"
Bouwyong Ciong gusar, hingga matanya mencilak.
"Siapa ayahmu itu?" tegurnya.
Gok Hoa tunjukkan kejumawaannya.
"Ayahku adalah Pek Sek toojin, salah satu dari Butong
Ngoloo!" sahutnya. "Meski kau belum pernah bertemu, namun
sedikitnya kau pernah mendengar namanya!"
Bouwyong Ciong tertawa.
"Kiranya kau gadisnya Pek Sek Toojin!" dia kata dengan
kejumawaannya tak berkurang. "Jikalau begitu, kita tidak
menangkap salah! Siapa suruh ayahmu memusuhi kami?"
"Ngaco, ngaco!" Kim Tok Ek turut bicara dan tertawa
dingin, "Bagaimana bisa Pek Sek Toojin bertempur dengan
Giok Lo Sat" Kau ngoceh tidak keruan, pasti kau mendustai"
Gok Hoa jadi gusar.
"Di kolong langit di mana ada orang yang akui ayah palsu?"
teriaknya. Justeru itu Lie Sien Sie, dengan matanya terbuka lebar,
mengawasi Lie Thian Yang, hingga sinar mata mereka bentrok
satu pada lain. Tanpa merasa, Thian Yang menggigil
sendirinya. "Tidak perduli dia benar atau bukan anaknya Pek Sek
Toojin, paling benar bawa dahulu padanya untuk diperiksa
lebih jauh!" orang she Lie ini turut bicara.
"Dapatkah itu dilakukan?" tanya Bouwyong Ciong.
"Memang tak leluasa untuk bawa mereka ke keraton," Lie
Thian Yang jelaskan. "Baik mereka diserahkan padaku untuk
dibawa ke pusat Kimiewie."
TongCiang dan SeeCiang diadakan di dalam keraton,
kekuasaannya di tangan thaykam, orang kebiri, tugasnya ada
bagian dalam. Kimiewie sebaliknya mengurus bagian luar
keraton dan penguasanya adalah pembesar militer dengan
tugas menangkap dan memeriksa. Bouwyong Ciong ketahui
perbedaan tugas itu, maka justeru ia anggap empat tawanan
itu bukannya orang-orang yang penting, ia suka mengalah
untuk memberi muka kepada Lie Tayjin ini.
"Baiklah," demikian katanya.
Di dalam hatinya, orang she Bouwyong ini pun merasa
kecele. Ia sudah kerahkan pasukan pahlawan, namun Tiat Hui
Liorlg semua masih lolos juga.
Kim Tok Ek pun menyesal sekali, malah ia kehilangan
isterinyajuga. Semua mereka pulang dengan hilang kegembiraan. Di
dalam kota, Thian Yang pamitan untuk berpisahan
dengan membawa empat orang tawanan.
Sementara itu Anghoa Kuibo, yang nampaknya telah kalah
sudah lantas lari pulang, untuk segera beritahu anak dan
mantunya supaya mereka bersiap-siap untuk besok mereka
pulang bersama ke Ouwpak.
"Ibu, apakah kau telah bertemu dengan Giok Lo Sat?"
Kongsun Lui tanya.
"Jangan kau banyak rewel!" bentak ibu itu. "Kali ini,
sepulangnya kita ke rumah, aku larang kau muncul pula di
dalam dunia kangouw, aku larang kau omong pula segala hal
kaum Rimba Persilatan! Kau mesti dengar kata untuk berdiam
di rumah dengan tenteram! Jikalau kau berani membantah,
nanti aku kemplang patah kedua kakimu!"
Anak itu menjadi heran sekali.
"Ibu," katanya perlahan, "kenapa ibu tidak mau menetap di
dalam keraton yang indah permai ini dengan hidup manis
serumah tangga" Lagi pula kita berkumpul dengan ayah
belum ada satu bulan."
Ibu itu awasi anaknya dengan kedua matanya dibuka lebarlebar.
Orang tua ini berbeda pendapat dengan puteranya ini.
Ketika itu hari Anghoa Kuibo antar Kek Peng Teng ke
keraton, untuk diserahkan pada Keksie Hujin, yang menjadi
ibunya yang sejati, ia diajak Keksie berdiam di dalam keraton.
Segera ternyata, tidak biasa ia dengan cara hidup di dalam
istana, apapula kemudian ia mulai dengar hal tingkah laku
yang tak bagus dari Keksie Hujin itu. Ia memang bukannya
seorang yang buruk batinnya. Karena itu, ia jadi tidak suka
tinggal di dalam keraton. Benar ia tidak segera pulang ke
kampung halamannya tetapi ia sengaja sewa sebuah rumah di
luar istana. Di sini ia beri tempat pada Kongsun Lui dan Bok
Kiu Nio, yang ia larang tinggal di keraton.
Mendongkol nyonya kosen itu mendapatkan anaknya
kemaruk penghidupan mewah.
"Bagus, kau pintar ya!" bentaknya. "Kau hendak menelad
ayahmu! Sudah, jangan kau pulang pula padaku di sini!"
Kongsun Lui tidak berani buka mulut lagi, bersama Kiu Nio,
ia mulai bebenah.
Masih saja Anghoa Kuibo mendongkol disebabkan
penasaran dan kemasgulannya saling susun, dengan cekal
tongkatnya ia jalan mundar-mandir di pekarangan dalam,
beberapa kali ia mengetok lantai hingga menerbitkan suara
berisik. Kongsun Lui jeri kepada ibunya itu, ia terus sekap diri di
dalam kamar, ia sampai tak berani untuk menghibur ibunya
sekalipun. Sampai tengah malam, masih Anghoa Kuibo mundarmandir
saja. Ia terbenam dalam keragu-raguan. Satu ketika ia
memikir hendak melatih
diri lebih jauh untuk kelak tempur pula Giok Lo Sat, atau di
lain saat ia memikir keram diri di dalam rumah, untuk simpan
tongkatnya untuk selama-lamanya dengan tidak mau campur
lagi urusan apa juga...
Akhir-akhirnya, nenek ini tertawa sendirinya.
"Usiaku telah lanjut, untuk apa aku turuti adatku yang
keras berbentrok dengan lain orang?" demikian pikirnya.
"Kenapa untuk satu suami buruk aku mesti terbitkan onar"
Sungguh tak selayaknya..."
Karena ini, hatinya mulai menjadi adem.
Sekonyong-konyong pintu ada yang ketok dari luar.
"Siapa?" tanya Kongsun Toanio.
Di luar terdengar suaranya Kim Tok Ek.
"Aku, isteriku!" demikian jawabnya.
Anghoa Kuibo buka pintu pekarangan.
"Kau mau apa datang kemari?" tanyanya dengan dingin.
"Ah, kau tidak kurang suatu apa?" kata suami itu. "Aku
kuatir setengah mati..."
"Kau jadinya telah pergi ke Pitmo gay?" menegaskan isteri
itu. "Mustahil aku berani langgar pesanmu?" Tok Ek jawab.
"Karena kau pergi demikian lama, aku terpaksa pergi juga ke
sana untuk melihat keadaan."
Suami ini cerdik, ia mendusta dengan akalnya itu.
"Sekarang tidak usah kau mencari tahu lebih jauh halku!"
kata Anghoa Kuibo dengan getas. "Aku tidak dapat membantu
lagi padamu!"
Kim Tok Ek perlihatkan wajah heran.
"Isteriku," katanya kemudian, "kitatelah menjadi suami
isteri untuk banyak tahun, tegakah kau akan tidak
mempedulikan lagi aku mati atau hidup"..."
Isteri itu tidak segera menjawabnya, ia hanya mengunci
pintu. Ia bertindak menuju ke dalam thia, suaminya itu
mengikuti. "Sekalipun aku, aku bukan lagi tandingan orang, maka
tiada gunanya lagi aku membantu padamu," katanya sambil
berjalan terus.
Kim Laokoay kaget bukan main.
"Apa?" serunya. "Kau telah dikalahkan oleh mereka
berdua?" "Ya, aku telah dikalahkan Giok Lo Sat, itu bocah..." sahut
sang isteri. Kim Tok Ek menggeleng-gelengkan kepala.
"Aku tidak percaya!" katanya. Di dalam hatinya Kim
Laokoay berpikir: "Meskipun ilmu pedang Giok Lo Sat sangat
mahir, tapi kalau dia tempur aku satu sama satu masih
seimbang kepandaiannya, dan isteriku yang busuk ini jauh
lebih liehay daripada aku. cara bagaimana ia tak dapat
menandinginya?"
Anghoa Kuibo menyobek baju di pundaknya.
"Jikalau kau tidak percaya, kau lihatlah ini!" katanya. Dan
dia tunjukkan pundaknya.
Kim Tok Ek mendekati, ia lihat satu luka bekas ujung
pedang, sampai tulangnya pun kelihatan. Ia jadi sangat kaget.
"Mari aku obati!" katanya kemudian.
"Jangan kau berpura-pura baik hati!" sang isteri
menjengeki. "Mustahil aku tidak sanggup menahan derita luka
semacam ini?"
"Mari kita suami isteri berserikat untuk lawan pula mereka!"
kata Tok Ek, yang simpangkan jengekan isterinya itu.
Sang isteri tapinya tertawa dingin.
"Aku peringatkan padamu, baiklah kau kurangi membuat
onar!" katanya. Tapi lantas ia menghela napas, lalu ia tertawatawa
sedih. Kim Tok Ek bungkam, tidak berani ia lantas bicara pula.
"Kau telah membuat ayahku mati karena mendongkol,"
kata Anghoa Kuibo kemudian, setelah berkurang
kesedihannya. "Dan sudah banyak tahun kau menerbitkan
pelbagai keonaran di luaran, sekarang usiamu telah lanjut,
apakah kau masih tidak insyaf?"
Masih Tok Ek bungkam.
"Sebenarnya perhubungan kita suami isteri sudah putus,"
kata pula si nyonya tua itu. "Bahwa kali ini aku telah bantu
padamu, ini adalah bantuan yang terakhir. Sekarang aku tidak
dapat membantu lebih jauh, besok aku hendak pulang."
Kim Tok Ek berjingkrak saking kagetnya.
"Kau hendak pulang" serunya.
"Benar," sahut sang isteri dengan tenang.
Kim Tok Ek menjadi hilang sabar karena bingungnya.
Hampir-hampir ia umbar kemendongkolannya kalau ia tidak
tampak isterinya itu menghela napas.
"Jikalau kau ingin lindungi jiwamu," berkata isteri ini, yang
dengan mendadak telah ubah sikapnya, "lebih selamat kau
baik-baik turut aku pulang. Jangan kau mengacau pula di
sini." "Siapayang mengacau?" kata sang suami yang menyangkal.
"Kita tinggal di dalam istana dengan segala kemewahan.
Tidakkah itu jauh lebih menang daripada kita hidup terasing
dan sengsara di hutan?"
Mendadak kambuhlah tabiatnya si nyonya tua. Ia angkat
tongkatnya. . " Kau tidak berniat pulang?" tanya dia.
"Walau bagaimana akan terjadi atas diriku, aku tetap tidak
pulang!" sahut suami itu yang pun keras hatinya.
"Baik!" seru Anghoa Kuibo. "Selanjutnya, kau mati atau
hidup, aku tidak mau pedulikan lagi!"
Baru nyonya ini tutup mulutnya, tiba-tiba ia lihat di luar, di
para-para pohon semangka, berkelebatnya
bayangan orang. Kim Tok Ek tidak lihat bayangan itu.
"Turun kau!" bentaknya nyonya itu, suaranya sangat
nyaring dan bengis.
Sebagai jawaban, dari para-para pohon itu terdengar suara
tertawa, yang disusul dengan berlompat datangnya dua orang.
Giok Lo Sat adalah yang jalan di muka.
"Aku datang menyambangi kau!" kata nona ini sambil
memberi hormat dengan diberikuti tertawanya yang manis.
"Aku percaya, loojinkee, kau tidak lupa akan janji kita sewaktu
kita adu silat..."
Dengan membahasakan "loojinkee" atau "kau orang yang
tua" si nona telah unjuk penghormatannya. Inipun cocok
dengan sikapnya yang sabar dan ramah tamah itu.
"Kongsun Toanio senantiasa taat kepada janjinya!" turut
bicara Tiat Hui Liong, ialah orang yang bertindak di belakang
si Raksasi Kumala. "Apakah kau tak dengar barusan" Kenapa
kau banyak omong lagi?"
Giok Lo Sat berkeras hendak menolongi puterinya Pek Sek
Toojin, ia telah damaikan itu bersama ayah angkatnya. Tiat
Hui Liong berpikir, sampai ia dapat satu jalan. Maka itu, ia
pergi cari Liong Tat Sam, untuk mohon bantuan. Dari piauwsu
she Liong ia ketahui alamatnya Anghoa Kuibo. Ia duga pasti
Kim Tok Ek akan cari isterinya, maka ia ajak Giok Lo Sat
tengah malam itu juga pergi ke rumahnya nyonya tua itu.
Kebetulan sekali mereka tiba justeru Kim Tok Ek pun sampai,
hingga mereka dengar pembicaraannya suami isteri itu.
Setelah mendengar cukup, ayah dan anak itu keluar dari
tempat sembunyinya, hingga bayangan mereka terlihat
nyonya rumah. Kim Tok Ek tidak tahu isterinya telah bikin perjanjian apa
dengan musuh-musuhnya itu. Sebenarnya ia merasajeri
menghadapi kedua musuh itu, tetapi karena ia berada di
damping isterinya, ia tidak takut.
"Kalian datang untuk menghina kami?" ia membentak.
Memang ia gusar.
Anghoa Kuibo jatuhkan diri di sebuah kursi, romannya
sangat lesu. "Kami tidak berani, tidak biasa kami menghina orang!..."
sahut Giok Lo Sat sambil tertawa. "Tadi siang dalam jumlah
besar kalian pergi cari aku di Pitmo gay, sayang aku tidak
dapat diketemukan, pasti kalian jadi putus asa karenanya.
Maka sekarang sengaja kami datang padamu untuk mohon
kau beri pengajaran padaku!"
"Dengan jalan apa kau hendak perbuat" Sebutkanlah," Tok
Ek menantang. Belum Raksasi Kumala beri jawaban, Tiat Hui Liong yang
tetap berdiri di sisinya telah mendahului buka suara.
"Kami hendak pinjam tubuhmu!" kata jago dari Barat utara
ini. Iapun tertawa.
Kim Tok Ek naik darah seketika dan sebelah tangannya
tiba-tiba melayang menyambar Giok Lo Sat.


Wanita Gagah Perkasa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Si Raksasi Kumala lompat mundur untuk menghunus
pedangnya, tanpa buka suara lagi ia segera balas menyerang,
hingga di situ di hadapan
Anghoa Kuibo-mereka jadi bertarung.
Kongsun Lui dan Bok Kiu Nio dengar suara berisik, mereka
nerobos keluar, mereka menjadi heran. Kongsun Lui segera
hunus goloknya.
"Kau berani majulah!" bentak Tiat Hui Liong sambil
mempelototkan matanya
Bok Kiu Nio menjadi jengah, ia lekas-lekas tarik suaminya
"Kau berani perhina anakku?" tegur si nenek dengan
murka. Tiat Hui Liong perdengarkan tertawa dingin. Ia jawab
dengan tenang: "Anak perempuanku sedang lawan suamimu satu sama
satu, jikalau ada lain orang yang membantu suamimu itu,
pasti aku tidak dapat diam berpeluk tangan untuk menonton
saja!" Anghoa Kuibo menjerit keras sekali karena
kemendongkolannya tak dapat ia lampiaskan. Lalu ia
menggedrukkan tongkatnya.
"Anak Lui, mari kita pergi sekarang juga!" ia berseru. "Kita
pulang malam-malam!"
Nyonya ini telah berjanji dengan Giok Lo Sat, ia hendak
taati janjinya itu. Tentu sekali tidak dapat ia membantu
suaminya, tetapi di samping itu iapun juga tak dapat tonton
suaminya dibinasakan orang. Maka terpaksa, angkat kaki dari
situ adalah jalan paling tepat baginya.
Akan tetapi Kongsun Lui tidak suka berlalu. Ia tidak mau
berpisah daripada ayahnya itu. Karena itu, ia jadi "berkutet"
dengan ibunya: Yang satu mengajak dengan mendesak dan
memaksa, yang lain bertahan...
Sementara itu, pertempuran di antara Giok Lo Sat dan Kim
Tok Ek berjalan terus dengan seru sampai dengan tiba-tiba
terdengar jeritan "Aduh!" dari Kim Laokoay.
"Ibu!" seru Kongsun Lui dengan murka. "Apakah ibu tidak
mau tolong ayah dari bencana kematiannya" Kalau kita
puttiong dan puthauw, untuk apa kita jadi manusia?"
(Puttiong -- tidak setia/menyinta, Puthauw -- tidak
berbakti.) Biar bagaimana, Anghoa Kuibo ingat perhubungannya
sebagai suami isteri apapula mereka baru saja akur kembali.
Maka ia lantas membalik tubuh, ia angkat tongkatnya.
Tiat Hui Liong lantas menghalau.
"Lupakah kau kepada janjimu?" jago tua ini menegor.
"Tapi kalian berbuat jahat di rumahku, aku tidak ijinkan
perbuatanmu ini!" sahut sinyonya. Lalu dengan tongkatnya
ia serang Hui Liong.
Ketika itu di tangga rumah, Kim Tok Ek telah dihajar roboh
Giok Lo Sat. Dalam ilmu silat, Kim Laokoay tidak lebih bawah daripada si
Raksasi Kumala, tapi kali ini dia kalah disebabkan baru saja dia
sembuh dari luka-luka yang didapatnya beberapa hari yang
lalu, kesehatannya belum pulih seanteronya. Di samping itu, ia
tidak dapat gunakan Toksee Ciang "tangan pasir beracun"
dengan sempurna karena Giok Lo Sat memakai sarung
tangannya Gak Beng Kie yang tidak mempan senjata, hingga
ia tidak dapat berbuat suatu apa. Sebaliknya si nona dengan
hati besar, menyerang musuh ini. Kerugian ketiga bagi Kim
Tok Ek adalah hatinya yang mendongkol, yang seperti lumer,
karena isterinya tidak hendak membantu padanya, bahkan
isteri itu hendak ajak anak mantunya mengangkat kaki malam
itu juga di kala ia sedang berkelahi mati hidup. Maka dengan
hebatnya desakan Giok Lo Sat, tidak lagi ia mampu tolong
dirinya. Giok Lo Sat tidak berhenti dengan robohnya musuhnya itu,
selagi Kim Tok Ek terguling, ia lompat menyusul dengan
tendangan kakinya yang memakai sepatu berujung lancip,
denganjitu ia telah tendang patah dua potong tulang iga
musuhnya disusul pula dengan totokannya, hingga Kim Tok Ek
mati daya. Di lain pihak Tiat Hui Liong melayani dengan seru jago
wanita yang berkelahi sangat bernapsu itu, tetapi setelah
dapatkan desakannya si nyonya agak berkurang, ia berkata:
"Kami tidak niat bunuh suamimu, mengapa kau bergelisah tak
keruan?" Selagi sang ibu belum berikan penyahutan, Kongsun Lui
telah lari kepada ayahnya yang ia niat tolongi, akan tetapi dia
segera disambut oleh Giok Lo Sat, yang tabas kutung
goloknya, dibarengi tubuhnya disampok hingga terpelanting.
Anghoa Kuibo saksikan itu, mendadak saja ia berhenti
berkelahi. "Sebenarnya apa yang kalian kehendaki?" dia tanya.
"Seperti tadi aku telah katakan, kami hanya hendak pinjam
suamimu!" jawabnya Tiat Hui Liong.
Giok Lo Sat sudah lantas masukkan pedangnya ke dalam
serangkanya. Dengan langkah tenang ia menghampiri nyonya tua itu,
terus ia menjura dengan dalam.
"Kamipun hendak mohon bantuanmu," katanya sambil
tertawa. Anghoa Kuibo heran, tetapi ia tetap mendongkol.
"Ah, bocah, kau masih terus hendak mengganggu aku?"
katanya. "Jikalau kau tidak menimbang-nimbang, jangan
sesalkan aku apabila aku nanti tidak pegang janjiku!"
"Akan tetapi benar-benar aku tidak main-main," si nona
kata. "Dengan sesungguhnya aku hendak mohon bantuanmu.
Kau telah pandang lelaki busuk itu sebagai mustikamu, tentu
sekali kami suka pulangkan dia kepadamu, asal selanjutnya
kau tilik dia dengan keras."
Nyonya tua itu turunkan tongkatnya yang sudah diangkat
tadi. "Baik, kau bicaralah!" katanya, yang menjadi sabar pula.
Iapun ingin sekali ketahui, apa yang orang hendak minta
daripadanya. "anak perempuan-nya Pek Sek Toojin telah ditawan
Bouwyong Ciong," berkata Giok Lo Sat, "maka sekarang aku
ingin supaya kau mengatakan kepada orang she Bouwyong
itu, supaya dia merdekakan nona itu!"
"Ha!" seru sinyonya tua. "Jadinya kau hendak gencet aku,
kau hendak memaksa aku menukar suamiku dengan gadisnya
Pek Sek!" "Inilah bukannya gencetan," Hui Liong campur bicara.
"Suamimu adalah seorang kenamaan, gadisnya Pek Sek
adalah satu budak perempuan, jikalau dilakukan penukaran,
pihakmu pastilah tidak rugi. Andaikan Bouwyong Ciong tidak
pandang lagi padamu, apabila dia ketahui kejadian di sini,
pasti dia akan segera datang sendiri untuk menukarnya.
Binatang Bouwyong Ciong itu sangat sukar diketemuinya, dari
itu kami hendak minta pertolongan supaya kaulah yang pergi
ketemui padanya"
Anghoa Kuibo buka matanya lebar-lebar, alisnya berdiri.
"Baik, beginilah kita membuat perjanjian!" katanya. "Besok
malam, kira-kira jam tiga, kita nanti saling tukar orang di
Pitmo gay. Kalian harus berjanji bahwa kau tidak akan aniaya
suamiku!" "Pasti!" sahut Hui Liong,
"Kali ini aku larang kalian dengan diam-diam sembunyikan
orang," Giok Lo Sat omong terus terang. "Awas, atau nanti
pedangku tak kenal muka lagi!"
Hui Liong segera menyelak sama tengah.
"Kongsun Tbanio adalah satu Cianpwee dari Rimba
Persilatan, mustahil dia tidak kenal aturan umum ini di
kalangan Jalan Hitam!" katanya. "Besok malam kita datang
berdua, maka di pihak sana. kecuali Kongsun Toanio sendiri,
yang lainnya tentulah cuma Bouwyong Ciong seorang!"
Secara cerdik, jago dari Barat utara ini mencegat Anghoa
Kuibo. Giok Lo Sat pun tertawa.
"Masih ada dua orang tawanan yang harus ditukar!"
katanya pula Anghoa Kuibo jadi gusar pula.
"Sudah, kau jangan banyak omong lagi!" ia lampiaskan
hatinya. "Begini kita mengatur! Jikalau Bouwyong Ciong
membawa banyak orang, lebih
dahulu aku akan adu jiwaku dengan dia!"
Tiat Hui Liong tertawa. Ia rangkapkan kedua tangannya
memberi hormat sambil menjura, setelah mana ia memutar
tubuh menyambar tubuhnya Kim Tok Ek, dibawa lompat naik
ke atas genteng dan berlalu bersama anak angkatnya...
Si nyonya tua dan anak mantunya mengawasi dengan
ternganga. Sementara malam itu, ketika Lie Thian Yang pulang ke
kantornya dengan bawa empat orang tawanan, ia jadi berpikir
keras, hingga ia tak dapat lantas masuk untuk tidur karena
hatinya tak tenteram. Maka pada tengah malam, ia suruh
orang bawa Liong Siauw In menghadap padanya. Ia kunci
pintu. Dengan tangan sendiri ia bukakan borgolannya orang
she Liong itu. "Silakan duduk!" iapun mengundang.
Liong Siauw In tertawa dingin.
"Secara begini hormat Lie Tayjin perlakukan seorang
tawanan, apakah tayjin tak kuatir usahamu nanti gagal untuk
manjat di tangga kepangkatan dan keagungan?" tanyanya
dengan mengejek.
Merah mukanya Thian Yang.
"Pada kejadian dahulu itu akulah yang keliru," ia kata.
"Memang aku telah perlakukan Kie Hee tak selayaknya.
Sekarang walau aku menyesalpun sudah kasep..."
"Apa faedahnya sekarang kau bicara begini padaku?" Siauw
In tanya. Ia mengejek pula.
"Pada waktu dahulu kita bertiga adalah sahabat-sahabat
karib..." kata Thian Yang pula. Tapi ucapannya itu dicegat
Siauw In, yang perdengarkan hinaan: "Hm!"
"Kalau toh kau tidak sudi memandang aku sebagai sahabat,
sedikitnya kau harus pandang muka Kie Hee..." Thian Yang
menyambungkan. Ia tidak gubris hinaan bekas sahabat itu.
"Ah, benar-benar aneh!" seru Siauw In. "Tadi siang, bengis
bagaikan harimau, kau telah tawan aku, kenapa sekarang kau
bersikap begini baik kepadaku, seorang tawanan yang jiwanya
berada dalam genggamanmu" Kenapa keadaan jadi terbalik"
Kau hendak minta apa dari aku?"
Thian Yang tertawa meringis. Benar-benar ia tidak
pusingkan ejekan orang itu.
"Saudara Liong," katanya, "kau tahu yang aku telah berusia
hampir setengah abad, bahwa aku punyakan hanya satu anak
lelaki, kau tentu mengerti bagaimana hebat aku memikiri
anakku itu..."
Siauw In tidak menjawab, ia cuma perdengarkan suara:
"Hm!"
"Saudara Liong," tanya pula Thian Yang, "selama tahuntahun
ini, pernahkah kau bertemu dengan isteriku?"
"Pernah sekali aku temui Kie Hee tetapi tidak isterimu."
sahut Siauw In dengan sengaja. v
Thian Yang gusar sekali. Ia merasa sangat tersinggung.
Tapi sedapat-dapat ia atasi dirinya.
"Aku tahu pergaulanmu dengan Kie Hee adalah baik,"
katanya, dengan paksakan menahan kemendongkolannya.
"Itupun sebabnya mengapa sampai sekarang ini kau belum
juga menikah..."
Sekarang adalah Siauw In yang menjadi gusar.
"Aku menikah atau tidak, ada apa sangkutannya dengan
kau?" katanya. "Jangan kau sembarang menggoyang
lidahmu!" Thian Yang paksakan diri untuk tertawa.
"Bagaimana pikiranmu, saudara Liong?" tanyanya. "Harap
kau maafkan, aku yang tidak pandai omong. Oleh karena aku
sangat memikiri anakku, saudara, maka aku telah
menanyakan kepadamu. Saudara ketahui atau tidak tentang
anakku si Sien?"
"Aku sangsikan anakmu ketahui bahwa ayahnya adalah
semacam kau!" jawab Siauw In.
Habislah sabarnya Lie Thian Yang.
"Kau pernah apakah dengan anakku si Sien itu?" dia
berteriak. "Hak apa kau punyai untuk membikin anak itu tidak
kenal ayahnya" Beranikah kau membikin renggang darah
daging kami ayah dan anak?"
Liong Siauw In tertawa dingin.
"Apa perlunya aku untuk bikin renggang kau ayah dan
anak?" dia membalik!.
Terus dia tutup mulut, tak peduli orang caci padanya.
Lie Thian Yang gusar bukan main, ia umbar itu dengan
dampratannya, akan tetapi karena Siauw In tidak
meladeninya, ia borgol pula bekas kawan itu dan terus ia
suruh orang bawa ke kamar tahanan.
Masih sekian lama Thian Yang berpikir setelah Siauw In
dibawa pergi, lantas iatitahkan Ho Gok Hoa dihadapkan
kepadanya. Kembali ia menutup pintu.
"Tahukah kau bahwa aku adalah kohthio-mu?" tanya dia
dengan sabar kepada nona she Ho itu. (Kohthio = suami dari
bibi). Gok Hoa rapatkan kedua bibirnya.
"Pernah kudengar bibi kata bahwa dia mempunyai suami
semacam kau," iajawab.
Thian Yang mendongkol berbareng geli di hati.
"Apakah kau kenal Sien Sie?" dia tanya pula
"Kami hidup sama-sama dari kecil, kenapa aku tidak kenal
dia?" menjawab pula si nona.
Thian Yang girang mendengar penyahutan ini.
"Pernahkah Sien Sie tanyakan ayahnya?" tanya dia.
"Bibiku pernah kata pada si Sien bahwa ayahnya seorang
busuk, bahwa dia sejak masih bayi sudah disia-siakan, maka
itu sama sekali belum pernah dia tanyakan hal ayahnya!"
sahut Gok Hoa. Thian Yang bungkam. Ia tersinggung dan sangat masgul.
Ia berdiam sampai sekian lama
"Bagus," katanya. "Mari masuk ke kamarku dan duduk
sebentar."
Ia loloskan borgolan si nona dan mengajaknya ke dalam. Ia
tuangkan nona ini secangkir teh LiongCeng dan berikan juga


Wanita Gagah Perkasa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sebungkus angCoh.
"Kau duduk dulu, aku hendak pergi sebentar, nanti aku
kembali," ia kata.
"Kamar ini lebih enak daripada kamar tahanan," kata si
nona, agaknya ia polos sekali.
Thian Yang tertawa menyengir. Ia bertindak keluar, pintu
kamar ia tutup.
Selang tak lama, tayjin ini kembali bersama Lie Sien Sie. Ia
suruh anak muda ini duduk, lalu ia pandang. Makin lama ia
mengawasi, ia dapatkan pemuda itu makin mirip dengan
dirinya. Ia menyesal dan penasaran dengan berbareng.
Akhirnya ia loloskan borgolannya Sien Sie dan usap-usap
pundaknya. "Ah, kau terluka..." katanya
Lie Sien Sie mendapat luka enteng di kulit, tetapi
menampak itu. Lie Thian Yang merasa pedih hatinya.
"Jikalau dia benar Sien Sie, mungkin dia benci aku..."
pikirnya. Pemuda itu sendiri bingung, matanya jelilatan ke empat
penjuru. Ia agaknya sedang berpikir keras, entah apa yang
dipikirkan. Kamar sunyi sekian lama, karena Lie Thian Yang tetap
belum buka mulutnya.
Tiba-tiba kesunyian terpecahkan oleh suaranya Sien Sie.
"Apakah salahku" Kenapa kau mempenjarakan aku?"
demikian tanya Sien Sie.
"Itulah sebab orang curigai kau ada konconya Him Teng
Pek," sahut Thian Yang.
"Him Teng Pek adalah satu pendekar pembela negara yang
telah melawan musuh," kata Sien Sie, "meskipun aku masih
muda, aku pernah dengar dia dipuji orang di mana-mana!
Maka itu, jangankan kami bukan konconya, meski benar
konconyapun, kami tidak bersalah!"
Lie Thian Yang tertawa menyeringai.
"Kalian yang masih muda, belum tahu apa-apa," katanya.
Lie Sien Sie angkat kepalanya, sikapnya agung.
"Pendapatku, tayjinlah yang tidak tahu apa-apa!" ia kata.
Menggetar hatinya Lie Thian Yang, sampai ia tunduk.
Sejenak kemudian baru ia angkat pula kepalanya, terus ia
awasi pemuda itu,
"Kau pernah apa dengan nona Ho Gok Hoa ini?" tiba-tiba ia
tanya. "Dia adalah adik misanku," sahut Sien Sie. "Apa perlunya
kau menanyakan ini?"
Thian Yang jengah berbareng girang. Ia sudah duduk atau
mendadak ia berjingkrak bangun. Ia jemput sebuah kaca
muka, lalu diserahkannya kepada pemuda itu.
"Cobalah kau kacakan dirimu!" katanya.
Sien Sie heran.
"Apakah maksudmu!" dia tanya.
"Kacakan wajahmu dan lihat, sama atau tidak dengan
romanku." Thian Yang mendesak.
Sien Sie banting kaca itu ke lantai hingga hancur, terus saja
ia menangis. Thian Yang menjadi bingung. Ia tidak gusar.
"Kau... kau kenapa?" tanyanya. Ia maju, akan rangkul anak
muda itu. Ia berbisik: "Sien Sie, anakku, aku ini adalah
ayahmu..."
Sien Sie berontak dari rangkulan.
"Kenapa kau tidak mau kenal ayahmu?" Lie Thian Yang
tanya. "Ibuku kata ayahku sudah mati!" sahut pemuda itu.
"Mustahil, ada ayah yang lancang akui anaknya?" kata
Thian Yang. "Apakah kau tidak percaya bahwa aku ini
ayahmu?" "Ayahku pasti bukannya satu manusia yang tak dapat
membedakan seorang menteri setia daripada seorang dorna,
yang tak mengerti kebaikan dan kejahatan!" kata Sien Sie.
"Dan diapun pasti tidak akan menyuruh orang untuk
menangkap dan melukai anaknya!"
Thian Yang merasa sangat malu dan hatinya sakit.
Sekarang ia telah insyaf. Maka ia sambar tangannya Sien Sie
dan ditariknya.
"Sien, ayahmu benar-benar telah mati!" katanya.
Sien Sie tercengang, dengan ternganga ia awasi tayjin itu.
"Pernahkah kau mendengar kata-kata peribahasa: 'Macammacam
yang telah lampau adalah seperti yang telah mati
kemarin, macam-macam yang sekarang adalah seperti yang
terlahir hari ini'?" tanya Lie Thian Yang sambil mengawasi
muka anaknya itu.
Lie Sien Sie ketahui peribahasa itu, ia anggukkan kepala.
"Maka itu ayahmu yang telah mati itu telah hidup pula,"
kata Thian Yang. "Besok pagi ayahmu akan antar kau pulang
ke gunung Siongsan untuk menemui ibumu, untuk selanjutnya
tidak akan memangku pangkat pula, tidak peduli pangkat
apapun juga."
Lie Sien Sie girang mendengar pengutaraan ayahnya ini, ia
seka air matanya.
"Benarkah itu?" ia menegasinya.
Lie Thian Yang mengucurkan air mata.
"Masihkah kau tidak percaya, Sien?" tanyanya
Lantas saja anak itu memanggilnya dengan perlahan:
"Ayah..."
Baru sekarang Lie Thian Yang bisa tertawa.
"Selama sekian tahun kau berada di mana saja?" ayah ini
tanya kemudian.
"Aku berdiam di Ngobie san bersama guruku," jawab sang
anak. "Siapakah gurumu itu?" tanya Thian Yang.
"Itulah Liong Pehu yang tadi siang kau tawan di Pitmo
gay." "Oh, kiranya dia!" seru Thian Yang.
"Apakah kau kenal satu pada lain?"
"Ya, malah lebih daripada itu, dia adalah sahabat karibku!"
Lantas tayjin ini jalan mundar-mandir.
"Bagus kalau begitu," kata Sien Sie. "Liong Pehu perlakukan
aku baik sekali. Sekarang aku minta supaya kau merdekakan
adik Gok Hoa dan saudara Lie Hong sekalian."
"Baik, aku luluskan permintaanmu!" sahut Thian Yang. Ia
terus buka pintu dan memanggil orangnya, untuk bawa
datang Liong Siauw In, Lie Hong dan Ho Gok Hoa.
Di saat ayah itu membalik tubuh habis menutup pintu, Sien
Sie bangun merangkul padanya.
"Kalau sebentar kita pulang menemui ibu, selanjutnya kita
serumah tangga tidak bakal berpisah pula!" katanya dengan
kegirangan. Thian Yang pun girang, keduanya bersama tertawa dan
saling pandang dengan sinar mata dari kegirangan.
***** Sebagaimana telah dijanjikan di malam kedua. Giok Lo Sal
dan Tiat Hui Liong telah pergi ke Pitmo gay. Mereka bawa Kim
Tok Ek si orang tawanan. Di sana mereka menantikan Anghoa
Kuibo. "Sebenarnya aku benci sangat kepada Pek Sek Toojin,"
kata si nona pada ayah angkatnya. "Kalau sebentar anak
perempuannya telah dapat ditolong baik ayah saja seorang
diri yang antarkan anaknya itu!"
"Tapi lebih baik kaulah yang mengantarkannya," kata ayah
angkat itu. Sambil bicara mereka menantikan, sampai sang Puteri
Malam mulai naik, di waktu yang demikian itu, mereka tak
tampak manusia lainnya, lembah dan jurangpun telah menjadi
sunyi. "Kenapa Anghoa Kuibo masih belum datang juga?" kata si
Raksasi Kumala. Ia lantas tertawa. "Mungkinkah Bouwyong
Ciong tidak sudi serahkan orang tawanannya?"
"Tak mungkin Anghoa Kuibo melanggar janji," sahut Tiat
Hui Liong. "Bouwyong Ciong pun tak mungkin karena sayangi
satu budak perempuan dia bersedia mengorbankan sebelah
tangannya"
Giok Lo Sat tertawa pula.
"Memang, apabila mereka melanggar janji, kita harus
beset si manusia tanggungan!" katanya.
Kim Tok Ek kejam hatinya, tapi mendengar perkataan si
nona itu ia berkuatir bukan main, karenanya, ia telah ulur
lehernya untuk mengharap-harap datangnya isterinya.
Selang tak lama kemudian, beberapa orang nampak
mendatangi. Giok Lo Sat lompat ketempat tinggi untuk dapat
melihat jelas. "Berapa jumlah mereka?" tanya Hui Liong.
"Dua orang."
Sunyi sejenak. Lalu mendadak:
"Ah!" seru si nona. "Anghoa Kuibo tidak bawa orang di
bebokongnya!" Terus ia lompat turun akan hampiri Kim Tok
Ek, bebokong siapa ia jambak.
Kim Laokoay masih belum dapat bergerak, karena totokan
pada tubuhnya belum dipunahkan, maka dengan gampang ia
kena dijambak. Giok Lo Sat cabut pedangnya, ujungnya ia tempelkan di
bebokongnya jago tua yang bertangan pasir beracun itu.
"Ayah, aku mulai hendak merobek dia ini!" kata si nona
sambil tertawa.
Tok Ek takut bukan kepalang, rohnya sampai seperti telah
terbang pergi. "Sabar, anak Siang," kata Tiat Hui Liong. "Tunggu dulu
hingga tibanya Anghoa Kuibo."
Mereka tidak usah menantikan lama, si Biang Hantu Bunga
telah muncul bersama Bouwyong Ciong. Anghoa Kuibo benarbenar
tidak membawa orang, mukanya pucat sekali, hingga
wajahnya nampak jadi terlebih bengis.
"Mana orang yang kumaksudkan?" tegur Giok Lo Sat
dengan tertawa dinginnya.
"Hm!" ada jawabannya Bouwyong Ciong. "Kau telah
berkongkol dengan Lie Thian Yang, dia telah merdekakan
orang-orang tawanannya tetapi kau masih hendak minta
orang dari aku!"
Si Raksasi Kumala heran dan gusar. Ia tertawa dingin pula.
"Siapa Lie Thian Yang itu" Aku tidak kenal padanya"
Apakah kalian berniat menyangkal" Tidak dapat, sahabat!"
"Aku tidak peduli kau kenal atau tidak, tetapi dengan
sebenarnya orang semua sudah kabur!" kata Bouwyong Ciong.
"Karena itu, kaupun harus merdekakan orang pihak kami!"
"Siapa sudi percaya obrolan iblismu!" bentaknya Giok Lo
Sat. Ujung pedangnya lantas dikasih berkenalan kepada
kulitnya Kim Tok Ek, hingga jago ini menjerit bagaikan babi
yang hendak disembelih.
Anghoa Kuibo jadi gusar.
"Kali ini Bouwyong Ciong tidak mendusta!" ia kata dengan
sengit. "Aku telah pergi dan menyaksikannya sendiri di pusat
Kimiewie! Jikalau kau tidak percaya, tunggulah besok untuk
saksikan pengumuman penangkapan kepada Lie Thian Yang
serta empat orang tawanannya itu."
Si Raksasi Kumala tetap tertawa dingin.
"Ada orang, boleh tukar!" katanya. "Tidak ada orang, robek
orang tanggungan!"
Anghoa Kuibo ada sedemikian gusarnya hingga ia angkat
tongkatnya hendak menyerang si nona, untuk pertaruhkan
jiwanya. "Anak Siang, serahkan Kim Laokoay padanya," menyuruh
Hui Liong kepada anak angkatnya itu.
Giok Lo Sat perdengarkan suaranya yang nyaring dan
panjang. "Baik," katanya. "Tapi orang ini mesti diberi tanda mata!..."
dan ujung pedangnya disontekkan kepada pundaknya Kim Tok
Ek yang sudah tak berdaya itu, hingga putus sebatang tulang
pipa dari jago tua itu!
Kim Tok Ek menjerit bahna sakitnya.
Bagi mereka yang mengerti ilmu silat, tulang pipa adalah
yang paling penting. Satu kali tulang itu patah, habislah
tenaganya, percuma dia mempunyai kepandaian tinggi.
Tulang pipa bukan seperti tulang-tulang lainnya, yang kalau
patah dapat disambung pula dan diobati hingga sembuh
seperti sediakala dalam tempo yang pendek. Untuk mengobati
tulang pipa sedikitnya dibutuhkan waktu tiga sampai lima
tahun, itupun kalau obatnya tepat dan pandai merawatnya.
Maka itu, sebelum lima tahun, pasti Kim Tok Ek tak dapat
mengganas pula andaikata dia tak dapat ubah cara hidupnya.
Setelah dilukai tubuhnya orang she Kim itu oleh Giok Lo Sat
dilemparkan kepada Anghoa Kuibo. Anghoa Kuibo menyambuti
dengan kedua' tangannya, matanya merah karena gusar.
Barulah setelah melihat luka suaminya cuma di tulang pipa,
kemurkaannya itu reda sendirinya Karena ia mengerti tentang
luka itu. Iapun beranggapan: "Biarlah bangsat ini merasakan
hukumannya." Maka ia lantas panggul tubuh suaminya itu.
"Giok Lo Sat, aku terima budimu ini!" katanya. "Tentang
budi dan dendam kita, dengan ini habislah sudah!"
Kata-katanya ini ditutup dengan lompatannya yang jauh,
hingga dalam sekejap saja Biang Hantu Bunga itu telah lenyap
bersama suaminya itu.
Bouwyong Ciong terkejut menyaksikan sikapnya kawan itu,
yang tinggalkan padanya sendirian di jurang itu.
Dengan tertawa haha-hihi Giok Lo Sat sudah lantas berdiri
di hadapan pemimpin pahlawan ini.
"Bouwyong Ciong!" katanya, "kini adalah pertemuan kita
yang kedua kali!"
"Kalau aku tahu akan terjadi begini, tentu aku tak ikut tua
bangka itu datang sendirian kemari..." mcnyclak Bouwyong
Ciong dalam hatinya. Tadinya ia pikir bersama Anghoa Kuibo
berdua pasti ia akan sanggup layani Giok Lo Sat dan Tiat Hui
Liong. Akan tetapi sekarang"
"Ketika pertama kali kita bertemu, itulah di rumahnya Yo
Lian," kata pula Si Raksasi Kumala, yang masih saja tertawa.
"Ketika itu kalian hendak celakai Him Kengliak dan kami
hendak bekuk Kim Laokoay. Meski benar waktu itu kita telah
bertempur hebat tetapi kita masih belum punya sangkutan
satu dengan lain. Tapi sekarang pertemuan kita ini adalah
lain!" "Habis apa kau hendak perbuat?" tanya Bouwyong Ciong,
yang mencoba tetapkan hatinya.
"Him Kengliak itu adalah sahabatku, kau hendak celakai


Wanita Gagah Perkasa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

padanya, aku tidak dapat diam berpeluk tangan!" sahut si
nona. "Sekarang tidak dapat aku lepaskan kau!"
Biar bagaimana, Bouwyong Ciong adalah pahlawan nomor
satu, tidak peduli menghadapi dua lawan tangguh, tak suka ia
tunjukkan kelemahannya.
"Inilah urusan pemerintah, kau tidak berhak
mencampurinya!" katanya dengan galak.
Sepasang alisnya si nona bergerak.
"Aku justeru hendak mencampurinya!" dia berteriak, lalu
pedangnya dipakai menikam.
Bouwyong Ciong berkelit.
Giok Lo Sat ulangkan serangannya hingga Bouwyong Ciong
terpaksa melakukan perlawanan.
"Anak Siang!" berkata Hui Liong, "buat apa kau layani
padanya?" Seruan ayah angkatnya ini membuat lambat gerakannya
Giok Lo Sat, maka ketika itu digunai Bouwyong Ciong untuk
lompat melesat ke samping, terus ia lari turun gunung!
"Kenapa ayah mencegahnya?" tanya anak angkat itu.
"Sudah dua hari kau bertempur luar biasa seru,"
menerangkan ayah angkat itu, "kalau sekarang kau bertempur
pula setengah mateman, taruh kata kau menang, kau akan
dapat luka dalam tubuhmu."
Si nona berdiam. Benarlah katanya ayah angkat ini,
memang untuk dapat mengalahkan Bouwyong Ciong seorang
musuh tangguh, sedang untuk ia dihantui ayahnya, inilah ia
tak sudi. Ayah dan anak ini segera pulang untuk tidur, hingga malam
itu mereka dapat beristirahat. Keesoknya pagi mereka bangun
dengan rasakan tubuhnya lebih segar dan sehat.
"Mari kita pergi kepada Him Kengliak," Giok Lo Sat
mengajak. "Dia telah kasih pinjam sarung tangan yang
sungguh suatu benda mustika. Kemenangan kita justeru
mengandal kepada sarung tangan itu!"
"Mari," menyambut Hui Liong.
"Akupun ingin temui padanya untuk menghaturkan terima
kasihku." Maka pergilah mereka ke kota, ke rumahnya YoLian.
Ketika tuan rumah dilaporkan kedatangan kedua orang itu
dia sendiri segera keluar menyambutnya.
Sampai di thia, Giok Lo Sat tidak lihat Him Kengliak.
"Mana Kengliak tayjin?" tanyanya.
"Him Tayjin telah meletakkan jabatan dan pulang ke
kampung halamannya," sahut Yo Lian. "Dia pesan aku
beritahukan kalian, umpama di belakang hari kalian lewat di
Kanghee, Ouwpak, dia harap kalian sekalian mampir
kepadanya untuk kembalikan sarung tangannya. Tapi dia
menegaskannya, tak usah kalian datang melulu hanya untuk
keperluan mengembalikan sarung tangan itu."
"Oh, Him Tayjin tinggal di Kanghee?" tanya Hui Liong.
"Benar," menetapkan Yo Lian.
"Raja bocah itu sungguh tidak mengerti apa-apa!" seru
Giok Lo Sat. "Kenapa dia luluskan Him Tayjin meletakkan
jabatan?" Yo Lian tertawa meringis.
"Kau tidak mengerti urusan pemerintahan," ia kata.
Kata-kata ini tidak beda dengan kata-katanya Bouwyong
Ciong. Sebenarnya Giok Lo Sat mendongkol. Tapi Yo Lian
bukannya orang she Bouwyong itu, maka dapat ia sabarkan
diri. Tindakannya Kengliak Him Teng Pek adalah apa yang
dinamakan guyon menjadi benar. Ia majukan permohonan
meletakkan jabatan untuk mencoba kaisar. Tapi rekest paling
dulu sampai di tangan Keksie Hujin. Inilah rekest yang
memang sangat diharapkan nyonya yang agung itu.
"Him Teng Pek banyak pernik, biarkan dia pergi!" berkata
Keksie kepada Yu Kauw ketika ia serahkan rekestnya Teng Pek
pada junjungannya
"Tetapi ayahanda raja pernah mengatakan bahwa Him
Teng Pek adalah tiang negara," kata kaisar yang muda itu.
"Bagaimana dia bisa dibiarkan meletakkan jabatannya?"
Keksie tertawa "Ah, Yu Kauw!" katanya. "Kau cuma tahu akan kata-kata
ayahmu marhum itu, kau tidak menginsyafi akan jaman, lain
dahulu lain sekarang. Sekarang ini telah siap orangnya yang
dapat menjadi kepala perang besar. Lagi pula kurang baik
untuk biarkan seorang memegang kekuasaan terlalu lama,
kekukuhan semacam itu bukan menguntungkan negara
bahkan merugikan."
"Menteri setia dari jaman Sri Baginda almarhum tidak dapat
disia-siakan," kata pula Yu Kauw, "maka itu, tak dapat dia
diberhentikan dari jabatannya dalam ketentaraan."
"Tapi, dia sendirilah yang hendak meletakkan jabatan, ada
sangkut paut apakah dengan kau?" kata Keksie Hujin yang
tajam lidahnya "Kau juga tentu tidak tahu apa katanya Him
Teng Pek di luaran. Dia kata di perbatasan, Kerajaan Beng
mengandal sangat kepada tenaganya! Dapatkah kau terima
kejumawaan itu" Dia pun anggap dirinya seorang menteri
setia, maka jikalau kemudian dia ketahui sifatmu yang
berandalan, sudah tentu dia akan datang menggerecok! Bila
itu sampai terjadi, kau sebagai kaisar akan tidak bisa hidup
merdeka..."
Hati kaisar ini tergerak dengan hasutan itu.
"Siapakah yang dapat gantikan Teng Pek sebagai kengliak
di tapal batas?" dia tanya
"Turut katanya Gui Tiong Hian, Wan Eng Tay mempunyai
kepandaian untuk jadi panglima perang," sahut Keksie.
Yu Kauw segera ingat, Wan Eng Tay itu pernah
persembahkan kepadanya sepuluh ekor burung hoabie. beliau
berkesan baik terhadap orang yang dipujikan Gui Tiong Hian
itu. Maka lantas saja beliau menulis "Diluluskan" di atas surat
permohonannya Him Teng Pek.
Kasihan Him Kengliak, sampaipun menghadap raja ia tidak
bisa, maka bahna mendongkolnya, di hari kedua terus saja ia
berangkat pulang dengan ajak Gak Beng Kie dan Ong Can.
Giok Lo Sat menjadi putus asa atas kepergiannya kengliak
itu. "Apakah Gak Beng Kie turut bersama?" Hui Liong tanya Yo
Lian. la selalu ingat pemuda itu. yang telah menampik
lamarannya. "Semua sudah pergi!" sahut Yo Lian. "Bukan melainkan Gak
Beng Kie dan Ong Can. malah To KongCu dan semua orang
Butong pay telah sama pergi juga!"
Giok Lo Sat terperanjat.
"Habis, bagaimana dengan Pek Sek Toojin?" tanyanya.
"Siapa itu Pek Sek Toojin?" tanya Yo Lian. "Oh, kau
maksudkan imam yang kemarin datang kemari itu" Diapun
turut pergi bersama gadisnya."
Mendengar ini. tahulah Giok Lo Sat bahwa Anghoa Kuibo
benar tidak dusta. Maka itu, ia lantas pamitan dari tuan
rumahnya. "Apakah nona hendak pulang ke Siamsay Utara?" Yo Lian
tanya. "Aku hendak beritahukan kau suatu hal. Sekarang ini
pemerintah sedang menyiapkan pasukan tentara untuk di
kirim ke Siamsay Utara guna menindas gerombolan, maka
jikalau nona kenal orang-orang Rimba Hijau di sana, baiklah
nona anjurkan mereka supaya terima Ciauwan. (Ciauwan =
dipanggil dengan baik untuk menyerah dan bekerja kepada
pemerintah). Giok Lo Sat perdengarkan suara -Hm!" Tapi belum sempat
ia buka suara lebih jauh. Tiat Hui Liong sudah tarik padanya untuk
diajak pergi. Dengan sesungguhnya Pek Sek Toojin sangat gelisah
berhubung dengan lenyapnya puterinya yang terculik orang
terutama ia berkuatir karena ia tidak berdaya disebabkan ia
sedang terluka parah. Syukur baginya, ia tidak usah bergelisah
terlalu lama. Di malam kedua, puterinya itu pulang sendiri
bersama pula Lie Thian Yang ayah dan anak serta Liong Siauw
In dan Lie Hong. Tidak terkira lega dan girang hatinya imam
ini. Tatkala Lie Thian Yang memberi penjelasan, ia kata:
"Jangan kuatir, moayhu. Jikalau nanti kita pulang, aku akan
membicarakannya kepada adikku supaya perselisihan di antara
kalian dapat dihabiskan, supaya hidup rukun pula seperti
biasa." (Moayhu = suami dari adik perempuan).
"Kita telah menyingkir dengan cara luar biasa ini,
pemerintah tentu tidak mau mengerti dan akan keluarkan titah
penangkapan," kemudian Lie Thian Yang menjelaskan lebih
jauh. "Malah menurut suaranya Bouwyong Ciong, dia juga
tidak puas terhadap kau. Oleh karena ini besok pagi-pagi kita
mesti segera berlalu dari kota raja ini."
"Segala apa di sini telah beres, kita bisa segera berangkat!"
kata si imam. Oleh karena ini juga, It Hang lantas pamitan
dari Beng Kie. Kepada Him Kengliak, yang ia tahu hendak
berangkat pulang, ia kata: "Kawanan dorna di dalam istana
ada sangat berdengki terhadap kengliak, walaupun kengliak
telah meletakkan jabatan, aku kuatir mereka masih
mendendam dan berniat melampiaskannya, dari itu marilah
kita berangkat bersama!"
Beng Kie juga berkuatir, baik selama mereka masih berada
di kota raja maupun di tengah perjalanan, maka ia setujui
pikirannya It Hang itu.
"Memang inilah paling baik!" katanya, tertawa. "Kalian
hendak pulang ke Butong san, mari kita berangkat bersama.
Hanya paman gurumu itu tak menyenangkan untuk
ditemani..."
It Hang tidak dapat berkata apa-apa, ia hanya bersenyum.
Setelah pembicaraan, Him Kengliak dan Pek Sek Toojin
setuju untuk mereka berangkat bersama-sama. Tetapi dalam
perjalanan mereka terpisah menjadi dua rombongan, karena
Beng Kie dan Pek Sek tidak cocok satu pada lain. namun
apabila ada perlunya, mereka dapat saling tolong. Sebaliknya
di waktu malam, mereka singgah di satu tempat penginapan.
Yang jalan terdahulu adalah rombongannya Him Kengliak.
Sekeluarnya rombongan ini dari perbatasan propinsi
Hoopak, mereka sudah lantas dipapak Ang In dan Ceng Soo,
kedua sutee atau adik seperguruannya dari Pek Sek, yang
dititahkan oleh Uy Yap Toojin. Karena pihak Butong san cepat
sekali peroleh kabar tentang peristiwa di kota raja, hal
pengalamannya Pek Sek dan It Hang beramai, maka kedua
sutee itu segera ditugaskan pergi menyambut.
Kepada kedua sutee-nya Pek Sek omong banyak halnya
adu pedang, bahwa Giok Lo Sat sudah menantangnya dengan
sangat tidak memandang mata terhadap Butong san. It Hang
yang mendengar semua itu diam saja.
Ang In Toojin pernah mendapat malu dari Giok Lo Sat, ia
merasa tidak puas.
"Tidak dapat tidak, hantu wanita itu mesti diajar adat!"
katanya dengan sengit.
Meski orang mengucap demikian, It Hang tetap bungkam.
Pek Sek melirik kepada pemuda itu dan berkata: "Jikalau
kita kaum Butong san beragam satu hati, orang di kolong
langit tak mungkin ada yang berani memandang enteng
kepada kita!"
Setelah mengucap demikian, imam ini tertawa gelak-gelak,
karena maksudnya hanya untuk menyindir It Hang.
Perjalanan dilanjutkan terus ke selatan. Mereka tidak
menghadapi arah perintang. Mereka adalah orang-orang
tangguh, umpama Gui Tiong Hian mengutus pahlawanpahlawannya
untuk mengejarnyapun, belum tentu pahlawanpahlawan
itu berani dengan lancang turun tangan terhadap
mereka. Lewat beberapa hari, tibalah mereka di gunung Siongsan.
LieThian Yang ingin sangat menjumpai isterinya selekas
mungkin, isteri yang ia telah sia-siakan itu. Pek Sek
menyatakan suka menyertainya.
Juga Beng Kie suka turut bersama, karena ia ingin gunakan
ketika sebaik ini untuk temui Keng Beng Tiangioo, ketua dari
Siauwlim sie. Maka itu mereka mendaki gunung dalam satu
rombongan. Kala itu adalah di saat dari berlalunya musim dingin atau
mendatangnya musim semi, maka di sepanjang jalan, sampai
di atas gunung, rombongan ini bagaikan disambut kicauannya
burung-burung cilik dan bunga-bunga yang memekar dengan
harum baunya. Mereka sama-sama mendaki gunung tetapi pikirannya Lie
Thian Yang dan Pek Sek Toojin berlainan. Tapi umumnya
mereka sama bergirang. Thian Yang bisa berkata sambil
tertawa: "Hari ini barulah aku ketahui bahwa tinggal di
pegunungan ada jauh lebih menang daripada berdiam di
dalam istana."
"Eh!" seru Ang In yang tiba-tiba menyelak. "Siapakah itu
yang gerakannya demikian gesit?"
Imam ini lantas menunjuk ke bawah.
Semua orang berpaling, hingga merekapun tampak satu
orang sedang berlari-lari naik, cepat bagaikan terbang, hingga
di lain saat orang itu telah datang mendekati mereka.
Lie Thian Yang bersama puteranya dan It Hang, segera
ambil sikap melindungi Pek Sek Toojin, mereka jalan di depan,
sedang Ang In bersama Ceng Soo, dengan pedang terhunus,
jalan di sebelah belakang.
Dalam tempo sekejap orang itu sudah berada di hadapan
mereka, hingga Ang In tak saggup kendalikan diri lagi, segera
saja ia maju menyerang dengan pedangnya. Karena orang itu
tidak lain daripada Giok Lo Sat.
"Giok Lo Sat, kau terlalu menghina kami pihak Butong pay!"
berseru Ang In. "Pek Sek Suheng belum dapat melayani kau
piebu, maka sekarang baik aku saja yang melayaninya!"
Giok Lo Sat lompat menyingkir. Ia sangat gusar.
Kedatangannya itu bukan untuk menyusul Pek Sek Toojin,
hanya bersama ayahnya ia menyusul Him Kengliak dan Gak
Beng Kie, karena hebatnya ilmu berlari cepatnya, ia telah
tinggalkan ayah angkatnya di belakang. Ia tidak sangka bahwa
ia disambut secara demikian itu.
"Ang In Toojin!" katanya, "kau adalah pecundangku, untuk
apa kita adu pedang pula?"
Ejekannya nona itu membikin imam ini semakin gusar, ia
segera menyerang pula. Ia telah gunai jurus-jurus yang liehay
dari ilmu pedang kaumnya yaitu Citcapjie Ciu Lianhoan
Toatbeng kiam.

Wanita Gagah Perkasa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

It Hang bergelisah sendirinya. Ia sedang memapah paman
gurunya, ia tidak dapat maju untuk cegah pertempuran
walaupun ia kehendaki itu. Ia mengawasi dengan pikiran tak
keruan rasa. Si Raksasi Kumala lihat Ang In menyerang ia secara kalap,
ia melayaninya dengan kegesitannya. Ialah ia menyingkir dari
setiap serangan, ia menangkis dan mengancam dengan
serangan pembalasan sambil tertawa haha-hihi
mempermainkan imam itu.
Karena kemahirannya si nona, Ang In ada bagaikan
terkurung sinar pedang.
Ceng Soo Toojin menyaksikan sekian lama, lantas ia dapat
kenyataan, saudara seperguruannya bukanlah tandingan si
nona. Beberapa kali pedangnya Ang In telah disampok
terpental hampir terlepas. Maka untuk menolong saudara itu,
ia lupa bahwa ia adalah salah satu dari Butong Ngoloo, ia
lantas maju mengerubuti si nona.
Giok Lo Sat tidak keder walaupun dikepung kedua cabang
atas dari Butong san itu, ia tetap perlihatkan
kegesitan tubuhnya, ia berloncatan sekitar kedua lawan itu
sambil kadang-kadang menggertak dengan pelbagai
serangannya. Maka itu, meski Butong Ngoloo ada berdua,
mereka cuma dapat melayani dengan setanding.
Lie Thian Yang dan Liong Siauw In yang sedari tadi
menonton saja, menjadi sangat heran.
"Ah, benar-benar ilmu silat pedangnya nona ini sungguh
liehay!" kata Siauw In.
"Memang hebat," sahut Thian Yang.
Pek Sek dengar pembicaraan itu, wajahnya menjadi
muram. Ia merasa jengah.
"It Hang, tak perlu aku dipapah pula!" serunya. "Pergilah
kau bantui kedua susiokmu itu! Kali ini, kalau siluman
perempuan itu dibiarkan lolos, amblaslah nama harumnya
kaum Butong pay!"
It Hang juga sama menduga bahwa Giok Lo Sat datang
untuk mengejar Pek Sek, maka ia anggap perbuatan si nona
sangat keterlaluan, akan tetapi di samping itu ia beranggapan,
mungkin si nona hendak susul ia tapi telah disambut dengan
serangannya Ang In, maka terjadilah pertarungan terpaksa.
Karena ini, ia menjadi bingung, hatinya tak tenteram.
"It Hang, kau masih diam saja?" tegur Pek Sek. "Siluman
perempuan ini adalah musuh kita, kau jangan pikir-pikir lagi
kepada aturan kaum kangouw!"
Liong Siauw In tidak puas mendengar perkataannya jago
Butong pay itu. Sambil bersenyum ia berkata seorang diri:
"Nona ini sanggup melayani dua dari Butong Ngoloo, dalam
ilmu silat, ia adalah jago nomor satu dari jaman ini, sayang
kalau ia dibinasakan..."
It Hang yang mendengar itu menjadi semakin ragu-ragu,
hingga masih ia berdiri menjublek bagaikan patung saja.
"Kau tidak hendak maju?" Pek Sek menegur pula dalam
kemurkaannya yang hebat.
Sampai di situ, dengan terpaksa It Hang hunus pedangnya.
Giok Lo Sat sedang permainkan Ang In dan Ceng Soo
apabila ia tampak majunya si anak muda. Ia tertawa.
"It Hang, kau juga hendak maju?" tanyanya. "Ah, hari ini
benar-benar aku bakal menghadapi semua jago Butong!"
Dan ia lantas tertawa besar.
It Hang yang baru maju mendekati dua tindak, merandek
pula. Ia malu akan bertiga mengepung nona itu, apapula ia
kenal baik orang yang akan dikepungnya itu.
"Mari! Mari maju!" Giok Lo Sat menantang sambil terus
melayani kedua lawan yang ia coba desak. Ia tertawa pula.
Belum lagi It Hang mengambil sikap, tiba-tiba terdengar
seruan: "Lian Liehiap. tahan!" demikian seruan itu, yang orang
kenali sebagai teriakannya Gak Beng Kie. "Tahan! Tahan!"
Semua orang menoleh, maka tampaklah pemuda she Gak
itu berlari-lari mendatangi bersama satu pendeta tua.
Menggunai saat orang belum sampai, Giok Lo Sat
mendesak dengan serangannya "Soatkian Congsan" atau
"Salju menggulung gunung", dengan begitu ia paksa kedua
lawannya, Ang In dan Ceng Soo, mundur dua tiga tindak.
"Gak Beng Kie, kau mengundang bala bantuan?" tertawa si
nona. "Bagus! Marilah kita bertarung sampai puas!"
Justeru itu Beng Kie dan si pendeta telah sampai, si nona
papaki mereka dengan serangan "Hunhoa hutliu" atau
"Memecah bunga, mengebut cabang yangliu". Dengan begitu,
ke kiri ia menikam Beng Kie, ke kanan ia menusuk si pendeta
tua. Ia kerahkan tenaga sepenuhnya. Tapi begitu ia serang si
pendeta, begitu juga ia rasakan tolakan yang keras sekali
yang dibarengi pujian. "Omietoohud!" Dengan sendirinya,
tangannya yang menyekal pedang itu tertolak mundur sampai
ke dadanya. Ia sangat terperanjat.
Si pendeta sambil tertawa, terus berkata: "Omietoohud!
Gunung yang suci ini tidak senang mendengar beradunya
senjata-senjata, maka itu, liepousat, sudilah kau simpan
pedangmu."
Giok Lo Sat awasi pendeta itu.
"Kau siapa?" tanyanya. Diam-diam ia kerahkan tenaganya
untuk mencoba, lagi satu kali. Tapi belum sempat ia wujudkan
niatnya itu, ia segera dengar satu teriakan keras dan panjang,
yang segera muncul orangnya juga, ialah Tiat Hui Liong.
"Anak Lian, jangan tak tahu adat!" demikian suaranya ayah
angkat itu, yang sampai dengan segera.
Giok Lo Sat tercengang, ia urungkan serangannya.
Pendeta itu menoleh pada Hui Liong dan manggut.
"Tiat Kiesu, sejak perpisahan kita, adakah kau banyak
baik?" tanyanya.
Hui Liong cepat-cepat membalas hormat.
"Keng Beng Siansu, harap maafkan anakku ini," ia mohon.
Mendengar perkataan ayah angkat itu, tahulah Giok Lo Sat
bahwa pendeta di hadapannya ini adalah ketua dari Siauwlim
pay atau pendeta kepala dari Siauwlim sie, yang namanya
dapat merendengi C ie Yang Tootiang dari Butong pay.
"Kalau begitu, pendeta ini bukan namanya saja yang
kesohor," pikir nona ini kemudian. "Dia benar jauh lebih gagah
daripada Butong Ngoloo."
Keng Beng Siansu berkata pula pada Hui Liong:
"Sesudahnya Cie Yang Tootiang dan Thian Touw Kiesu, baru
sekarang pinCeng dapat lihat pula ilmu silat yang cemerlang.
Inilah yang dinamakan jodoh. Tiat Kiesu, pinCeng undang kau
bersama puterimu datang ke kuilku yang kecil untuk kita
pasang omong. Sudikah kau?"
Diam-diam si Raksasi Kumala girang karena pendeta ini
memuji-muji padanya.
Sementara itu Tiat Hui Liong lihat Beng Kie, ia
perdengarkan suara "Hm!" Ia menjadi tidak senang kalau ia
ingat bahwa dahulu gadisnya kabur karena pemuda ini.
"LooCianpwee..." kata Beng Kie dengan hormat.
Hui Liong perlihatkan wajah muram, ia tidak sahuti Beng
Kie, hingga pemuda she Gak ini menjadi jengah.
Keng Beng Siansu tidak tahu ada "ganjalan" di antara
kedua orang itu, ia kata pada Tiat Hui Liong. "SieCu muda ini
adalah orang kepercayaannya Him Kengliakjuga ahli waris
satu-satunya dari Thian Touw Kiesu, ilmu pedangnya dapat
direndengi dengan puterimu."
Mendengar itu, Giok Lo Sat tertawa dan campur bicara:
"Memang ilmu pedangnya tak dapat dicela, tapi tidak
demikian dengan perilakunya..."
Keng Beng Siansu heran, sedang Beng Kie menjadi merah
mukanya. Menampak demikian, tahulah pendeta ini apa
artinya kata-kata si nona. Lantas ia tertawa.
"Him Kengliak ada di dalam kuilku," katanya dengan
simpangkan pembicaraan. "Tadi Kengliak ada sebut-sebut juga
tentang kau ayah dan anak..."
"Bagus!" kata si nona. "Aku memang hendak kembalikan
sarung tangannya!"
Lantas ia tarik tangan ayahnya, iapun ajak si pendeta
berlalu. Memang benar katanya Keng Beng Siansu hal Him Kengliak
berada di kuilnya. Di sana Kengliak itu mampir bersama Beng
Kie. Hanya, belum mereka duduk lama, Beng Kie lantas
dengar suara senjata beradu. Ia menduga pada aksinya Giok
Lo Sat, maka itu ia ajak si pendeta pergi untuk melihat, ia
sendiri mendahului berseru. Dan dengan mempertunjukkan
kekosenannya, Keng Beng Siansu dapat memisahkan
pertempuran. Keng Beng tidak lantas undurkan diri, lebih dahulu ia beri
hormat pada Pek Sek Toojin, Ang In dan Ceng Soo bertiga,
yang ia sekalian undang ke kuilnya.
Tentu sekali Pek Sek tidak sudi terima undangan itu, ia
menolaknya dengan manis. Katanya "Ada urusan penting
untuk mana pintoo ingin ketemui adik perempuanku."
"Jikalau begitu, sebentar aku minta sukalah tootiang datang
bersama-sama Cu Hui Suthay," kata Keng Beng Siansu yang
manis budi. Kedua pihak lalu berpisahan.
Pek Sek Toojin bersama rombongannya terus mendaki
Thaysit san. Keng Beng Siansu balik ke kuilnya dengan ajak tamutamunya
masuk ke ruang Kayheng Cengsia, di situ Cun Seng
Siansu sedang duduk menemani Him Kengliak.
Giok Lo Sat segera menghampiri bekas panglima itu untuk
mengembalikan sarung tangan mustika.
Him Teng Pek tertawa.
"Nona Lian, kau telah lakukan perjalanan seribu lie untuk
menyusul aku untuk hanya mengembalikan benda tak
berharga ini, sungguh kau seorang yang telah menelad contoh
orang dahulu!" kata dia.
"Benda tak berharga" Ini justeYu benda mustika!" berkata
si nona. "Adalah dengan mengandalkan sarung tangan aku
dapat mengalahkan Anghoa Kuibo. Dengan mengandalkan
kepandaianku sendiri, aku bukanlah tandingannya siluman
wanita tua itu!"
Giok Lo Sat bicara demikian polos, hingga Him Teng Pek
tertawa bergelak-gelak.
"Lian Liehiap," kata bekas panglima ini, "apabila benar kau
hendak menghaturkan terima kasih, jangan kau
mengucapkannya itu terhadap aku, seharusnya terhadap
dia..." Dan ia sambuti sarung tangan itu untuk terus diserahkan
kepada Beng Kie.
Inilah di luar dugaan si Raksasi Kumala, hingga ia diam
dengan bengong.
"Inilah urusan kecil yang tiada artinya," kata Beng Kie
dengan tenang. "Budi besar tak ingin dibalas, tapi kebaikan
dan penasaran harus dibedakan, demikian kebiasaan kaum
kangouw," mengatakan Tiat Hui Liong. "Anakku Lian, urusan
telah selesai, mari kita berangkat!" Cun Seng Siansu heran.
"Tiat Kiesu," katanya, "kau baru sampai, bagaimana kau
hendak lantas berangkat pula?"
"Persahabatan sejati tetap tinggal di hati kenapa mesti
dinyatakan dengan omong sebentar atau omong lama?" sahut
Hui Liong, yang telah rangkap kedua tangannya untuk
memberi hormat pada Keng Beng Siansu semua, sesudah
mana, ia berlalu bersama anak pungutnya. Him Teng Pek
susul si nona. "Nona Lian, tunggu sebentar!" memanggil bekas
kengliak ini. "Aku hendak bicara sedikit kepadamu." Giok Lo
Sat berpaling. "Silakan," sahutnya. "Angkatan perang
pemerintah akan sampai di Siamsay lagi beberapa hari,"
berkata Teng Pek. "maka itu, andaikata nona tak sudi terima
Ciauwan, baiklah kau tak usah pulang."
Lian Nie Siang tertawa.
"Kengliak Tayjin, bagaimana kau pimpin tentara dahulu?"
dia tanya. Him Teng Pek ketahui maksud orang.
"Suasana berlainan, hal itu tak dapat disamakan," jawabnya
sambil tertawa.
Si nona masih berkata: "Satu kepala perang tidak nanti
mendahului tentaranya mengangkat kaki karena hanya
menghadapi kesulitan, hingga tak dapat dia menderita
bersama-sama tentaranya itu! Dahulu kau pimpin satu
angkatan perang dari seratus laksa jiwa, akan tetapi yang aku
kepalai adalah cuma beberapa ratus berandal wanita yang kau
tidak pandang sebelah mata! Keadaan memang berlainan,
akan tetapi semua itu di mataku sama saja." Mendengar itu,
Teng Pek menghela napas. Tahulah ia bahwa tak dapat ia
menasihati nona ini untuk tinggalkan penghidupan yang penuh
bahaya dalam kalangan Rimba Hijau, maka tak ingin ia
membujuk lebih jauh.
Seberlalunya ayah dan anak itu, Keng Beng Siansu
pandang Beng Kie.
"Turut lagu bicaranya orang tua she Tiat itu, dia tak puas
terhadap dirimu, apakah sebabnya itu?" tanya pendeta ini.
Beng Kie tidak berani mendusta, terpaksa ia tuturkan
lelakonnya yang mengenai urusan jodohnya Tiat San Ho.
"Kalau memang tak diniat-niat, nanti juga urusan akan
beres sendirinya," berkata pendeta itu.
"Kenapa kau tidak siang-siang beritahukan hal itu padaku?"
tanya Teng Pek. "Jikalau aku yang bicarakan kepada orang tua
itu, mungkin dia memaafkan, setelah itu bolehlah aku yang
nanti mengamprokkan jodohmu berdua..."
Beng Kie tidak menjawab, ia masgul sekali.
Selagi di kuil Siauwlim sie terjadi pertemuan seperti di atas.
Pek Sek Toojin bersama Lie Thian Yang beramai sudah jalan
memutari gunung Selatan untuk mendaki puncak gunung
Thaysit san di mana mereka sampai justeru Ho Lok Hoa,
gadisnya imam itu, sedang bermain seorang diri di atas
puncak. Ketika si nona lihat ayahnya datang ia tertawa dan
memanggil-manggil.
"Lekas ajak bibimu keluar!" Bek Sek menyuruh.
Lie Than Yang dengan hati tidak tenteram, berjalan paling
belakang sekali, tidak lama kemudian muncul Cu Hui Suthay.
Lie Sien Sie lari kepada ibunya
"Mama!" dia memanggil. Pendeta wanita- itu girang sekali
hingga air matanya meleleh keluar.
"Anakku!" katanya. Tapi ia masih ingat akan segera
haturkan terima kasih pada Liong Siauw In.
Lie Thian Yang mengawasi dengan diam saja la terharu


Wanita Gagah Perkasa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bukan main akan menyaksikan pertemuan di antara ibu dan
anak itu. Ia lebih terharu lagi ketika memandang isterinya
yang telah menjadi niekouw itu. , Cu Hui tidak tanya suaminya
itu, ia lebih repoti undangannya kepada Ang In beramai untuk
masuk ke dalam kuil, ia jalan sambil menuntun tangan
anaknya Sesudah tiba di dalam kuil, baru Sien Sie melihat ke
sekitarnya. "Ah! Mana ayah?" tanyanya.
Siauw In pun segera berpaling. Benar-benar ia tidak
tampak Thian Yang, yang rupanya diam-diam telah berlalu
pergi. "Buat apa ayah semacam itu!" berkata Cu Hui. "Bagaimana
dan di mana kau ketemu dia?"
Air matanya Sien Sie berlinang-linang.
"Ibu, kini ayah telah insyaf akan kekeliruan-kekeliruannya
yang lampau, jangan ibu tolak padanya."
Anak ini lantas tuturkan lelakon pertemuannya dengan
ayahnya itu, belum ia menutur habis, ibunya pun telah
berlinangkan air mata.
Thian Yang menyingkir dengan tindakan perlahan, rupanya
ia niat berlalu dari gunung, belum sampai ia di tengah
gunung, sekonyong-konyong ia dengar panggilan: "Thian
Yang!" Ia terkejut, lalu ia berpaling dengan perlahan. Segera
ia tampak isterinya berlari-lari ke arahnya dengan kedua belah
pipinya bermandikan air mata.
"Cu Hui Suthay, aku beri selamat kepada kau ibu dan anak,
yang telah bertemu kembali satu sama lain," kata dia dengan
sabar. "Aku sendiri tidak ada muka untuk berdiam lebih lama
pula di sini. Semoga kau baik-baik pelihara dirimu dan
merawat si Sien."
Cu Hui seka air matanya Tiba-tiba ia tertawa.
"Pada dua puluh tahun yang lalu kau tega meninggalkan
kami," katanya "apakah sekarang kau pun tega meninggalkan
kami pula?"
"Kejadian yang lampau itu membuat aku sangat malu,"
kata Thian Yang yang akui kekeliruannya "Baiklah kau anggap
saja bahwa aku telah meninggal dunia..."
Isteri itu mengawasi suaminya "Macam-macam yang telah
lampau adalah seperti yang telah mati kemarin, dan macammacam
yang sekarang adalah seperti yang terlahir hari ini,"
kata Cu Hui dengan perlahan.
Inilah kata-katanya Lie Thian Yang sendiri ketika ia kenali
puteranya. Maka, mendengar ucapan isteri itu, mengertilah ia
bahwa Sien Sie tentu telah menuturkan segalanya kepada
ibunya itu. Thian Yang balik mengawasi isterinya itu.
Cu Hui bersenyum. "Dan mulai hari ini, aku tidak lagi
dipanggil Cu Hui," ia tambahkan. "Kie Hee," kata Thian Yang,
dengan befnapsu, "apakah kau hendak kembali kepada
penghidupan yang umum pula?"
Jawab pendeta wanita itu: "Karena kau tidak sudi pangku
pangkat lagi, akupun tak ingin terus menjadi niekouw.
Tidakkah ini bagus?"
Air mata di kedua pipinya nyonya itu telah menjadi kering
sendirinya, cahaya matanyapun j adi bersinar.
Thian Yang girang bukan kepalang. Adalah di luar
dugaannya bahwa isterinya ini dengan cepat dapat mengubah
hatinya. Hingga sekarang mereka bagaikan kaca pecah yang
menjadi utuh pula
Maka dengan berpegangan tangan, keduanya lantas
mendaki gunung akan kembali ke kuil.
Pek Sek Toojin beramai bergelisah menampak Cu Hui tibatiba
berlalu, untuk cari suaminya, maka ketika melihat orang
kembali dengan telah akur kembali, mereka berlega hati
bahkan menjadi sangat girang. Mereka semua lantas
menghaturkan selamat.
Selagi orang tertawa riuh, Pek Sek Toojin tampak Gok Hoa
berdiri berendeng dengan Lie Sien Sie, nampaknya pemuda
dan pemudi itu erat sekali perhubungannya satu dengan lain.
"Engko, aku juga hendak memberi selamat kepadamu!"
tiba-tiba Kie Hee kata pada kakaknya itu. Pek Sek heran.
"Beri selamat untuk soal apa?" tanyanya.
"Mari masuk ke dalam," Kie Hee meminta. "Aku hendak
bicara dengan kau."
Pek Sek berdiam dan mengawasi adiknya itu. Tapi
kemudian ia turut adiknya masuk ke dalam.
"Engko, bagaimana penglihatanmu atas diri Sien Sie?" adik
itu tanya. "Dalam hal ilmu silat dan perilakunya, dia tiada kecela,"
sahut kakak itu.
"Setelah pelbagai pengalaman," kata Kie Hee, "sekarang
tahulah aku bahwa urusan pernikahan tak dapat dipaksakan.
Gok Hoa dan Sien Sie hidup bersama sedari masih kecil,
kelihatannya mereka rukun sekali satu pada lain, maka engko,
bagaimana pikiranmu andaikata persanakan kita ditambah
persanakan pula?"
Pek Sek Tooj in berdiam. Ia tidak dapat lantas berikan
jawabannya. Ia sudah lakukan perjalanan ribuan lie .mengikuti
To It Hang, ia dapat kenyataan pemuda itu bukanlah
pasangan puterinya. lapun telah saksikan sendiri kisah
percintaan dari adiknya ini. Maka ia jengah ketika mendengar
perkataan Kie Hee bahwa "urusan pernikahan tak dapat
dipaksakan", la sampai merasakan mukanya panas sendirinya.
"Katakanlah terus terang engko," Kie Hee mendesak. Ia tak
tahu apa yang dipikirkan kakak itu. "Apakah kau cela Sien Sie
tak sembabat untuk menjadi pasangannya Gok Hoa?"
Pek Sek tertawa, dengan terpaksa.
"Jangan mengatakan demikian, adikku," sahutnya. "Asal
keduanya setuju satu sama lain, kita yang menjadi orang tua
tak usah pusingkan kepala lagi."
Kie Hee bersenyum. Ia lantas panggil Sien Sie dan Gok
Hoa. Kepada mereka Kie Hee beritahu tentang perjodohan
mereka. "Engku..." memanggil Sien Sie kepada pamannya, dengan
selagu-lagunya "Anak tolol!" Kie Hee tegur puteranya, "sampaipun
membahasakan mertua kau tak tahu!..."
Sien Sie likat tapi ia lantas memanggil "gakhu" pada bakal
mertuanya itu dan terus paykui memberi hormat sambil
berlutut dan manggut.
Gok Hoa bersenyum, ia nampaknya sangat girang.
Menampak demikian, walaupun hatinya tidak cocok, Pek
Sek Tooj in pun bersenyum, ia terima usulnya Kie Hee itu.
Tapi ia lantas kata pada keponakan atau bakal baba mantunya
itu: "Sien, ilmu silatmu masih jauh daripada sempurna, kau
masih harus berlatih pula dengan sungguh-sungguh. Baiklah
kau turut aku ke Butong san, di sana aku nanti mohonkan
Suheng Uy Yap Toojin terima kau sebagai muridnya. Selama
sepuluh tahun ini, bukankah kau baru meyakinkan ilmu
pedang Ngobie pay" Ilmu pedang dari Liong Siauw ln cukup
baik, hanya..."
Imam ini tidak meneruskannya, ia menggeleng kepala.
Kie Hee tidak puas.
"Kau maksudkan ilmu pedang Ngobie pay tak dapat
menandingi ilmu pedang kaum Butong pay?"
"Aku bukan maksudkan demikian, aku hanya ingin si Sien
peroleh kemajuan," jawabnya engko itu yang menyimpang.
"Jikalau tidak ada Liong Siauw In, yang mengajarkannya,
bagaimana dia dapat jadi seperti sekarang?" kata pula Kie
Hee, yang menyatakan tak puasnya terhadap sikap kakaknya
itu. Justeru itu dari luar, terdengar suara memanggil:
"Sien Sie! Sien Sie!"
Itulah suaranya Liong Siauw In.
Mendengar panggilan itu, Sien Sie lantas kata pada bakal
mertuanya: "Terima kasih atas kebaikan hati gakhu. Tapi
Puteri Es 1 Musuh Dalam Selimut Karya Liang Ie Shen Cinta Bernoda Darah 17
^