Kasih Diantara Remaja 11
Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo Bagian 11
datang penyerangannya.
Benar Li Hoa, pikirnya, aku harus berhati hati menghadapi si gendut ini. Kalau sudah menanam
budi, orang macam ini tentu bukan menanam tanpa pamrih, tentu menghendaki balasan, bahkan
dengan bunga-bunganya! Lebih baik cepat-cepat membereskan perhitungannya dengan kakek ini,
pikirnya. "Lie Ko Sianseng, aku takkan lupa akan pertolonganmu sampai Siauw-ong menjadi sembuh.
Lekaslah kausebutkan, pekerjaan apa yang dapat kulakukan untuk membayar hutang budimu itu.
Akan tetapi tentu saja sekali lagi kutekankan bahwa aku hanya akan melakukan pekerjaan yang
tidak melanggar kebajikan, dan yang dapat kulakukan."
Merah wajah Lie Ko Sianseng. Akan tetapi dasar dia bermuka tebal, maka sambil menyengir kuda
ia berkata, "Tadi aku hanya main-main saja, Cia-taihiap." Kini ia menyebut "taihiap" untuk
mengam?bil hati. "Aku sudah tua, untuk apa mempelajari lain ilmu silat" Selain tiada gunanya, juga
belum tentu aku sanggup, tulang-tulangku yang tua sudah terserang penyakit encok, napasku sudah
pendek! Aku hanya ingin mencoba kepandaianmu, taihiap, agar aku tidak ragu-ragu untuk
menyerahkan tugas ini kepadamu, dan aku percaya kau akan suka menolongku."
"Tugas apa" Pertolongan bagaimana?" Han Sin bertanya, hati-hati.
"Begini Cia-taihiap. Aku telah membeli barang-barang berharga, perhiasan, sutera halus, kayu
wangi, dan lain-lain berjumlah dua peti. Nah, barang-barang ini akan kuangkut ke kota Ta-tung ....."
"Kota di mana berkumpul orang-orang gagah, ke mana adikku telah pergi?" tanya Han Sin.
"Betul, hendak kujual di sana. Kau sendiri mengerti, dalam keadaan perang seperti sekarang ini,
perjalanan amat tidak aman, dan aku ..... aku merasa takut untuk membawanya sendiri ke sana ......."
"Hemm, Lie lo-enghiong memiliki kepandaian tinggi, takut apa?"
Merah muka Lie Ko Sianseng. "Ahhh, kalau aku berkepandaian tinggi, kiranya aku takkan berani
menyusahkanmu. Aku mohon pertolonganmu, karena kau sendiripun hendak pergi menyusul
adikmu ke Ta-tung, tolonglah kaukawal dua buah peti itu menggunakan gerobak ini. Maukah kau
menolongku?"
Han Sin berpikir sebentar. Ia memang harus pergi ke Ta-tung menyusul Bi Eng. Apa salahnya
dititipi dua peti" Laginya, ia dapat melakukan perjalanan dengan gerobak, lebih enak dari pada
berjalan kaki. "Baiklah, lo-enghiong. Untuk membalas budimu, aku akan mengawalnya. Padahal
dengan adanya kau, kata-kata mengawal itu tidak tepat lagi ........"
"Jangan salah duga, taihiap. Aku sendiri sih tidak ikut ke Ta-tung. Masih banyak urusan yang harus
kuselesaikan ..... eh, urusan perdagangan tentunya ........"
Han Sin diam saja, namun di dalam hatinya ia tidak percaya. Orang seperti ini bukanlah pedagang
biasa, amat cerdik dan lihai. Entah barang apa yang berada di dalam dua buah peti. Akan tetapi hal
itu bukan urusannya, lebih cepat ia mengirimkan barang-barang itu ke Ta-tung lebih baik lagi.
"Dan di mana adanya barang-barang itu" Setelah sampai di Ta-tung, kepada siapa harus
kuserahkan?"
"Barang-barang itu berada di luar hutan ini, kusimpan dalam sebuah guha. Setelah kau tiba di Tatung,
akan ada orangku menerimanya. Dia akan membawa surat kuasa dariku, semua sudah
kupersiapkan."
Lie Ko Sianseng membawa pemuda itu ke sebuah guha di tempat yang sunyi. Benar saja. si gendut
ini setelah memasuki guha, lalu keluar membawa dua buah peti yang tidak berapa besar, akan tetapi
cukup berat. Segera dua buah peti dimasukkan ke dalam gerobak.
"Dari sini kauikuti jalan besar menuju ke timur. Hati-hatilah, Cia-taihiap. Perjalanan ini biarpun
tidak berapa jauh, akan tetapi cukup berbahaya. Setelah kau ke timur sampai di kota Tai-goan, kau
membelok ke utara. Jalan antara Tai-goan dan Ta-tung inilah yang berbahaya, kadang-kadang
muncul perampok-perampok lihai."
"Akan kulindungi barang-barangmu dengan sekuat tenaga. Jangan khawatir, lo-enghiong," jawab
Han Sin singkat. Mereka lalu berpisahan, Han Sin bersama Siauw-ong naik gerobak itu menuju ke
timur, sedangkan Lie Ko Sianseng memandang sambil tersenyum-senyum puas.
**** 31. Barang Titipan Mata-mata Mongol
SENANG juga rasanya melakukan perjalanan dengan gerobak bersama Siauw ong. Sayang, pikir
Han Sin. Kalau Bi Eng ikut melakukan perjalanan ini, tentu ia akan girang sekali! Teringat akan Bi
Eng, berkerut kening Han Sin, karena sekaligus ia teringat akan sikap Bi Eng mengenai urusannya
dengan Tilana. Ia maklum benar bahwa Bi Eng bermaksud baik. Gadis itu ingin sekali melihat kakaknya
berbahagia, mendapatkan seorang isteri cantik jelita dan pandai. Memang, siapa dapat menyangkal
bahwa Tilana adalah seorang gadis yang amat cantik dan jarang dapat dicari bandingnya" Dia
sendiri, terus terang saja, akan menerima Tilana dengan kedua tangan terbuka, akan merasa
berbahagia sekali mengambilnya sebagai isteri yang tercinta ..... andaikata ...... di dunia ini tidak ada
Bi Eng! Bi Eng bersusah payah dan bertekad hendak menjodohkan kakaknya dengan Tilana, karena sebagai
adik kandung gadis itu hendak memenuhi tugasnya, membahagiakan kakaknya. Akan tetapi,
sebaliknya, Han Sin yang sudah tahu bahwa Bi Eng bukan adik kandungnya, bahkan bukan sanakkadang,
dia yang sudah jatuh cinta sepenuh jiwa raganya kepada Bi Eng, bagaimana dapat
memperisteri gadis lain"
Han Sin merenung. Kasihan Tilana ......! Kau ampunkan aku, Tilana. Aku sudah berbuat dosa di
luar kesadaranku. Kau sendiri yang memancing malapetaka. Aku sudah melakukan hal terkutuk .....
dan sebagai seorang jantan, seperti kata-kata Bi Eng, sudah seharusnya aku bertanggung jawab
terhadap perbuatanku. Menurut patut, aku harus bertanggung jawab dan suka menjadi suamimu,
harus melindungimu selama hidupku. Akan tetapi ..... ah, ...... Bi Eng, aku cinta padamu ......
Pada saat itu, Han Sin dengan gerobaknya dikawani Siauw-ong sudah melewati kota Tai-goan dan
sudah membelok ke utara. Daerah ini mulai berubah penuh dengan daerah yang kering dan sunyi.
Mulai jaranglah orang berjalan, malah akhirnya, beberapa puluh li lagi, Han Sin sudah tak dapat
melihat orang di atas jalanan yang amat sunyi. Hanya kadang-kadang saja ada orang-orang
menunggang kuda, sikap mereka gagah seperti orang-orang pejuang, atau orang-orang kang-ouw.
Malah ada pula yang bersikap seperti perampok-perampok, akan tetapi kesemuanya tergesa-gesa
dan tidak memperdulikan pemuda bersama monyet di dalam gerobak kecil itu.
Diam-diam Han Sin geli sendiri. Lie Ko Sian?seng terlalu penakut. Kenapa untuk mengantar dua
buah peti itu harus merasa takut sampai minta bantuannya" Buktinya dia sudah melakukan
perjalanan jauh dan tak seorangpun mengganggu perjalanannya!
Tiba-tiba ia mendengar suara berisik dari depan. Suara itu makin lama makin jelas dan dapatlah ia
menduga bahwa dari depan datang iring-iringan kereta. Roda-roda kereta itu mendatangkan suara
gemuruh. Setelah melalui tikungan, benar saja dugaannya.
Dari jauh ia melihat empat buah kereta atau gerobak yang besar dan aneh bentuknya. Gerobak ini
tertutup dengan kain tebal, tiap gerobak ditarik dua ekor kuda yang tinggi besar. Yang mengusiri
gerobak adalah laki-laki semua, rata-rata bertubuh tinggi besar, berwajah tampan gagah dengan
kepala diikat kain kepala yang lebar. Di depan gerobak-gerobak itu terdapat seorang penunggang
kuda. Ketika Han Sin memandang ke arah penunggang kuda di depan iring-iringan kereta ini,
berdenyutlah jantungnya, pucat mukanya. Tak salahkah penglihatannya" Penunggang kuda itu
adalah seorang wanita, berpakaian sebagai wanita Bangsa Hui dan biarpun sebagian muka di bagian
bawah tertutup kain sutera, akan tetapi mata itu ....! Jidat itu ......! Dia Tilana, tak bisa salah lagi!
Mereka sudah berhadapan. Mata yang indah bening itu memancarkan cahaya aneh ketika melihat
Han Sin, kemudian menjadi berapi-api. Han Sin pura-pura tidak mengenal Tilana, lalu turun dari
gerobaknya, menuntun kuda supaya minggir dan memberi jalan kepada iring-iringan gerobak itu.
Akan tetapi gadis berkerudung mukanya itu memberi aba-aba dalam bahasa Hui yang dimengerti
Han Sin. Gadis itu menyuruh orang-orangnya berhenti. Kemudian gadis itu sendiri melompat turun
dari kuda, sekali melompat ia telah berdiri di depan Han Sin dan merenggut kerudung dari
mukanya. "Laki-laki berhati kejam! Kau masih berpura-pura tidak mengenal aku lagi?" bentak perempuan itu
yang bukan lain adalah Tilana! Gadis ini wajahnya agak pucat, mungkin karena pakaiannya yang
terbuat dari pada kain berwarna putih seperti orang berkabung itu. Han Sin merasa tertusuk hatinya.
"Tilana ..... aku .........."
"Tilana sudah mati! Kau tidak lihat pakaianku, aku berkabung untuk kematian Tilana, gadis malang
yang menyerahkan jiwa raganya kepala laki-laki yang kejam, yang tidak mengenal kasihan dan
tidak mengenal cinta kasihnya. Tilana sudah mati dan sudah sepatutnya ia mati karena membiarkan
kerudungnya dibuka orang, membiarkan dirinya dihina orang ......." Suaranya menjadi terganggu
sedu-sedan yang naik dadanya, akan tetapi ditahannya sehingga tidak sampai menangis.
Orang-orang lelaki bangsa Hui yang gagal" nampaknya itupun sudah pada turun dari gerobak.
Mereka ternyata ada dua belas orang banyaknya, sikap mereka keren sekali. Seorang di antara
mereka, yang kumisnya yang paling lebat dan tubuhnya paling besar, bertanya dalam bahasa Hui,
"Nyonya Cia, siapakah orang ini, yang berani menyebut nama kecil nyonya?"
Merah muka Tilana mendengar sebutan "nyonya Cia" ini, dan Han Sin seperti ditikam belati
hatinya. Ia terharu sekali. Pemuda yang memiliki kecerdikan luar biasa ini segera mengerti atau
dapat menduga bahwa Tilana malah sudah mempergunakan sebutan nyonya Cia atau mengaku
menjadi isterinya, isteri Cia Han Sin!
"Kau ..... kau menggunakan nama ...... nyonya Cia ....?"" tanyanya gagap dan wajahnya menjadi
pucat. Tilana mengangkat dadanya, sikapnya angkuh. "Seorang wanita sejati harus memiliki kesetiaan.
Memang aku isteri Cia Han Sin, kenapa tidak menyebut diri nyonya Cia" Tapi, Cia Han Sin, seperti
juga Tilana, telah mati! Kau ini laki-laki berhati keji, yang dengan kejam telah menghancurkan
hidup seorang gadis, malah sudah berpura-pura tidak mengenalku!"
"Nyonya, kalau dia jahat, biarlah hamba memberi hajaran kepadanya!" seru laki-laki tinggi besar
berkumis itu sambil menggerak-gerakkan cambuk di tangannya.
Han Sin makin perih hatinya. Makin jelas terbayang di depan matanya betapa ia telah berlaku tidak
adil kepada Tilana yang betul-betul mencintanya. Ia merasa amat terharu dan kedua kakinya
menjadi lemas. Kemudian ia menjatuhkan diri berlutut di depan Tilana!
"Tilana ....., Tilana ....... aku mengaku telah berbuat dosa besar. Kau boleh siksa aku, boleh bunuh
aku ...., memang aku laki-laki kejam .......!"
Orang Hui tinggi besar itu mencabut pedangnya dan hendak membacokkan senjatanya ke leher Han
Sin. Akan tetapi Tilana membentak, "Jangan bunuh dia! Boleh cambuki dia laki-laki kejam ini!"
Orang Hui itu menyeringai, menyimpan pedangnya lalu mengayun cambuknya. "Tar! Tar! Tar!"
cambuk menari-nari di atas tubuh Han Sin. Pemuda ini hendak menebus dosa. Ia rela disiksa. Kalau
dia mau, tentu saja dengan pengerahan tenaga lweekangnya ia dapat menerima cambukan itu tanpa
merasa sakit, malah kalau ia mau, sekali renggut saja ia mampu merampas cambuk atau mengelak.
Akan tetapi hatinya terlalu sedih dan pada saat itu ia hendak menebus dosanya, maka tanpa
mengerahkan tenaga ia menerima datangnya cambukan. Pakaiannya cabik-cabik, malah kulit
tubuhnya pecah berdarah. Cambuk menghantam terus ke punggung, ke muka, sampai mukanya
berdarah, bibirnya pecah pada ujungnya. Ia terguling dan dipukul terus.
Pada saat itu, terdengar pekik dan Siauw-ong melompat turun, terus meloncat ke atas pundak si
pemukul, menggigit pundak dan merampas cambuk. Orang Hui itu berseru kesakitan, cambuknya
terampas dan ia terhuyung ke belakang. Siauw-ong melompat turun dengan cambuk di tangan,
berdiri di depan majikannya, sikapnya mengancam, memperlihatkan gigi dan mengayun-ayun
cambuk dengan pekik menantang!
"Siauw-ong, jangan! Lepaskan cambuk, pergilah ke gerobak!" Han Sin masih sempat mencegah.
Monyet itu menoleh kepada majikannya, ragu-ragu, akan tetapi bertemu pandang dengan Han Sin,
monyet itu mengeluarkan keluhan panjang melemparkan cambuk ke atas tanah lalu berlari-lari ke
gerobaknya. Orang Hui itu mengambil cambuknya lagi, lalu mencambuki Han Sin lebih hebat pula, agaknya
untuk melampiaskan kemendongkolannya karena penyerangan monyet tadi. Sampai bergulingan
Han Sin dicambuki, tubuhnya sakit-sakit namun ia tidak melawan, juga tidak mengeluh. Akhirnya
ia jatuh pingsan di atas tanah yang berdebu, tubuhnya kotor terkena darah dan debu.
Ketika ia siuman kembali, ia mendapatkan dirinya berada di dalam sebuah gerobak besar. Gerobakgerobak
lain berada agak jauh dari tempat itu, dan ia berbaring dengan kepala di atas pangkuan
......... Tilana! Gadis itu menangis, membersihkan mukanya, mendekap kepalanya pada dada yang
berdebar-debar itu.
"Kau suamiku ...... bagaimana aku dapat membunuhmu .......?" Air mata bercucuran dan menjatuhi
muka Han Sin, air mata yang hangat dan bening.
Makin terharu hati Han Sin. Tak dapat disangkal lagi, Tilana adalah seorang wanita yang amat
cantik jelita, yang berwatak aneh, keras sekali, akan tetapi ...... amat mencintainya. Wanita lain
mungkin akan membunuhnya. Ia telah menolak cinta kasih wanita ini, malah sudah menghinanya,
sudah mengusirnya. Akan tetapi Tilana malah mengaku sebagai isterinya, kini malah agaknya tidak
tega melihat dia disiksa.
"Tilana ......, kau terlampau baik bagiku ...... menerima cintamu ....... aku sudah berbuat dosa
kepadamu, kalau kau mau bunuh aku, bunuhlah Tilana ........"
Tilana terisak, mempererat pelukannya. "Tidak ....., tidak .....! Kau laki-laki perkasa, kau terlalu
baik hati. Aku tahu, kau lihai dan kalau kau kehendaki, sepuluh orang aku dibantu seratus orangku
masih takkan mampu melukaimu seujung rambut. Akan tetapi kau sengaja mengalah, kau sengaja
membiarkan dirimu disiksa ......ah, Han Sin ......... Han Sin, aku tidak mengerti, bukankah ini berarti
bahwa kau ..... kau cinta kepadaku" Kenapa kau menolak cinta kasihku" Kenapa kau menolak
kehendak Tuhan bahwa kita ini berjodoh ......" Kenapa" Kenapa .........?"
Han Sin menggelengkan kepalanya. lalu bangun duduk sambil tersenyum sedih. "Tak mungkin,
Tilana ........, tak mungkin aku mencintai wanita lain. Memang kau baik sekali, kau cantik jelita,
halus budi, dan gagah perkasa, akan tetapi ...... sayang sekali ..... aku tak dapat mencintaimu "
Tilana menyusuti air matanya, lalu dengan mata merah ia memandang Han Sin dan bertanya, "Kau
tidak bisa mencinta wanita lain ..... berarti kau telah mencinta seorang wanita?"
Han Sin mengangguk.
"Siapa dia?" pertanyaan ini memperdengarkan kepanasan hati, membayangkan cemburu yang besar.
Han Sin menggeleng kepala. Bagaimana ia bisa menyatakan kepada Tilana bahwa ia mencinta Bi
Eng" "Kau bohong. Kalau betul ucapanmu tadi, kau harus mengaku siapa dia yang kaucinta. Barulah aku
akan puas, baru aku mau mengalah ........"
Han Sin berpikir sebentar. Kalau ia diam saja tidak mengaku, tentu ia akan membuat Tilana makin
penasaran dan sengsara hatinya lagi.
"Aku mencinta ...... Bi Eng ......."
"Plak! Plak!" Dua kali tangan Tilana menampar pipi Han Sin, sampai panas terasa oleh pemuda itu
yang hanya tersenyum sedih.
"Kau ini laki-laki macam apa" Bagaimana bisa seorang kakak mencinta adiknya sendiri seperti
cinta kasih seorang pria terhadap wanita?"
Sudah kepalang tanggung bagi Han Sin. Ia harus membuat pengakuan, agar Tilana tidak penasaran
lagi. "Bi Eng bukanlah adikku yang sesungguhnya ....., dia ......, dia itu ..... dia itu ....... dia puteri
Balita ....."
Tilana tersentak kaget, wajahnya pucat. "Apa ...... artinya kata-katamu ini" Anak ibu hanya aku
seorang!" Han Sin tersenyum. "Banyak rahasia terpendam, banyak hal aneh terjadi di waktu kau masih kecil,
Tilana. Sebaiknya kau tanyakan hal ini kepada Balita, orang yang selama ini kau anggap ibumu itu.
Aku sendiri masih belum tahu banyak "
Tilana dengan muka pucat memandang Han Sin bibirnya bergerak-gerak perlahan, "Bagaimana
mungkin ....." Masa dia itu saudaraku sendiri" Kakak atau adikku .........?" Kemudian, memandangi
muka Han Sin yang masih lecet-lecet kulitnya dan berdarah, cinta kasihnya timbul dan sambil
menangis ia menubruk pemuda itu.
"Han Sin ...... suamiku, jangan kau mempermainkan aku ...... bilang bahwa semua kata-katamu itu
bohong belaka. Aku akan mengampuni kau ....., kaulah orangnya yang akan dapat membahagiakan
hidupku. Biarkan aku ikut denganmu, biar aku hidup menderita dan kekurangan di sampingmu.
Biarkan aku yang menghiburmu, yang melayanimu, mencuci pakaianmu, memasakkan makananmu
....... Han Sin, kau kasihanilah aku ........"
Han Sin sedih sekali. Andaikata tidak ada Bi Eng, alangkah akan mudah dan senangnya baginya
untuk mencinta wanita ini. Ia mengelus-elus rambut yang hitam dan halus itu, membiarkan Tilana
menangis terisak-isak di dadanya, membiarkan Tilana melampiaskan kedukaannya. Setelah reda
tangis Tilana, Han Sin berkata lemah lembut,
"Tilana, kau seorang gadis yang berhati setia. Akupun demikian, Tilana. Selama hidupku aku hanya
dapat mencinta seorang wanita saja. Aku tak dapat mengkhianati cinta kasih di hatiku sendiri,
biarpun Bi Eng belum tahu akan perasaanku ini, akan tetapi di dalam hati aku sudah bersumpah
takkan mencinta wanita lain. Biarlah kita berpisah sebagai sahabat, Tilana, tentu saja ....... kalau kau
sudi mengampuniku. Kalau tidak, kau boleh membunuhku kalau hal itu kau kehendaki ......."
"Han Sin ......." Tilana menahan isaknya. "Aku ....... aku takkan kuat hidup berpisah darimu, setelah
apa yang terjadi ....... setelah aku menjadi isterimu ....... bila kita dapat bertemu kembali setelah
perpisahan ini ........?"
"Kelak kita tentu akan bertemu kembali, Tilana. Bertemu sebagai sahabat, atau sebagai saudara.
Sekarang biarkan aku pergi, masih banyak tugas yang harus kuselesaikan. Andaikata kita takkan
saling bersua di dalam dunia ini, akhirnya kitapun akan berkumpul di alam baka. Semua orang
akhirnya akan bersatu juga ......."
"Han Sin ......., Han Sin .... sekali bertemu aku jatuh cinta padamu, akan tetapi sekali bertemu kau
menghancurkan hatiku .........."
Han Sin hanya menarik napas panjang. Semalam suntuk Tilana menangis dan membujuk,
bermohon, merendahkan diri agar supaya Han Sin suka membawanya, suka diikutinya. Malah gadis
ini sampai menyatakan bahwa ia sudah akan merasa puas kalau diperbolehkan menjadi seorang
pelayannya, biar dia melayani Han Sin dan isterinya kelak, siapapun juga isterinya itu, asal saja ia
diperbolehkan ikut dan selalu berada di sisinya. Beginilah cinta kasih yang sudah berakar mendalam
di hati wanita.
Han Sin merasa amat terharu dan kasihan. Dia belum pernah mengenal cinta kasih wanita seperti
ini. Benar pernah ia merasai cinta kasih Li Hoa, akan tetapi tidak seperti sikap Tilana ini. Ia merasa
amat kasihan dan berusaha menghibur hati Tilana.
Pada keesokan harinya, dengan hati berat, mata merah bengkak karena banyak menangis, muka
sebagian ditutup kerudung agar tidak kelihatan oleh orang-orangnya bahwa ia masih saja menangis,
Tilana akhirnya melepaskan Han Sin. Malam tadi dia sendiri yang mengobati luka-luka di tubuh
Han Sin, malah ia menjahitkan pakaian Han Sin yang cabik-cabik bekas cambukan. Setelah tidak
ada harapan lagi untuk menahan Han Sin, Tilana mengajukan permintaan agar supaya monyet itu,
Siauw-ong dititipkan kepadanya.
"Aku akan memeliharanya baik-baik," katanya, "biarlah untuk sementara ini dia menjadi kawanku
biar dengan adanya dia di sampingku aku akan merasa berdekatan denganmu. Pula ...... dengan
adanya dia padaku, aku merasa yakin bahwa kau tidak bohong, bahwa tentu kau akan datang
mengunjungi aku di lembah Sungai Kuning di perbatasan Propinsi Shan-si."
Memang tadinya Han Sin berjanji hendak mengunjungi tempat tinggal Tilana yaitu di lembah
Sungai Kuning. Sekarang Tilana mengajukan permintaan ini, berat baginya untuk meninggalkan
Siauw-ong. Akan tetapi, kalau ia menolaknya, tentu akan membuat Tilana tidak percaya kepadanya
dan pula, memang di dalam tugasnya yang berat mencari Hoa-ji, lebih baik kalau ia meninggalkan
Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Siauw-ong di tempat yang aman.
Demikianlah, setelah banyak memberi tanda dengan kata-kata dan tangan kepada monyetnya
akhirnya Siauw-ong mengerti dan mau ditinggalkan, apalagi ketika dengan halus Tilana
memondongnya dan membiarkan monyet itu duduk di pundaknya. Monyet adalah seekor binatang
yang mudah mengenal baik buruknya maksud orang dan mudah mengenal isi hati dari gerakan
orang itu. Ia merasa bahwa wanita ini tidak bermaksud buruk kepadanya, maka karena takut kepada
Han Sin, iapun tidak membantah perintah ini.
Tilana berdiri dengan Siauw-ong di pundaknya, memandang ke arah gerobak kecil yang
ditunggangi Han Sin bergerak ke utara, sampai gerobak itu lenyap di sebuah tikungan. Dengan isak
tertahan ia lalu melompat ke atas kudanya dan memberi tanda kepada orang-orangnya untuk
melanjutkan perjalanan.
**** Makin ke utara, makin terasa suasana perang. Mulai ramailah jalan, berbondong-bondong orang
menuju ke selatan. Setiap kali bertanya, Han Sin mendapat jawaban bahwa pertempuranpertempuran
mulai pecah di perbatasan. Bala tentara Mongol sudah mulai menyerang dari beberapa
tempat dan selalu mendapat perlawanan yang gigih dari barisan Mancu yang dibantu oleh orangorang
Han. Penduduk yang tidak mau ikut terseret dalam pertempuran, melarikan diri ke selatan,
mengungsi. Memang tak dapat disangkal pula, semenjak jaman dahulu sampai sekarang, tiap kali terjadi
pertempuran dalam perebutan kekuasaan, tiap kali terjadi perang, yang paling hebat menderita
adalah rakyat. Bagi rakyat di daerah perbatasan ini, selalu menjadi korban. Kalau orang-orang
Mongol yang mendesak tentara Mancu keluar dari sebuah kampung, maka seisi kampung itu habis
dirampoki oleh orang orang Mongol, diambil barang-barangnya, diculiki wanita-wanitanya dan
dibunuhi orang-orang lelakinya.
Kalau orang-orang Mancu yang menang, nasib malang tidak banyak bedanya. Diperas, diambili
bahan makan untuk ransum tentara, diganggu wanitanya dan kalau membantah dicap membantu
musuh! Inilah sebabnya maka para penduduk itu merasa lebih aman mengungsi, meninggalkan
rumah dan kampung halaman, lebih aman mengungsi seanak isterinya, entah ke mana dan entah
bagaimana jadinya dan apa yang akan dimakannya. Pokoknya lebih dahulu meninggalkan tempat
pertempuran itu, meninggalkannya jauh-jauh neraka dunia itu.
Pasukan-pasukan Mancu mulai tampak, kadang-kadang berkelompok menunggang kuda, kadangkadang
berbaris tak teratur. Han Sin mulai menarik perhatian dan dicurigai. Ketika ia tiba di luar
kota Ta-tung, sepasukan tentara Mancu menyetopnya dan ia dengan gerobaknya segera dikurung.
"Siapa kau" Dari mana dan mau ke mana" membawa apa dalam gerobak ini?" Pertanyaan bertubitubi
menghujani Han Sin yang mendongkol juga melihat sikap mereka. Mereka ini adalah tentara
Mancu, berarti tentara penjajah tanah airnya, berarti musuh-musuhnya!
"Mungkin dia mata-mata Mongol!" terdengar seorang tentara berkata.
Akan tetapi, pada masa itu, para tentara Mancu tidak berani sembarangan mengganggu orang Han.
Hal ini adalah atas perintah yang keras dari para pembesar Mancu di bawah pimpinan Pangeran
Yong Tee. Mereka, orang-orang Mancu ini, dalam menghadapi pemberontakan Mongol amat
membutuhkan bantuan orang-orang Han, terutama sekali orang-orang gagah di dunia kang-ouw,
maka pada para anak buah dipesan supaya berhati-hati dan jangan sembarangan bersikap kasar
terhadap orang-orang Han dari selatan.
"Aku orang she Cia, datang dari Lu-liang-san hendak ke kota Ta-tung. Aku membawa barang
antaran, kalian ini menghadang mau apakah" Apa mau merampok?" jawab Han Sin dengan suara
bernada marah. Tidak biasanya Han Sin bersikap sekasar ini, akan tetapi bertemu dengan tentara
Mancu yang dianggap musuhnya, timbul kebenciannya.
Seorang tentara yang menjadi pemimpin pasukan itu, maju dan berkata dengan suara halus, "Sama
sekali tidak, saudara Cia. Orang-orang selatan adalah sahabat sahabat kami. Akan tetapi, kami
bertugas di sini dan dalam keadaan perang menghadapi pemberontakan penjahat-penjahat Mongol,
kami harus berlaku hati-hati dan memeriksa setiap orang yang memasuki Ta-tung yang menjadi
tempat pertahanan."
Kemarahan hati Han Sin tidak men?jadi reda dengan sikap halus ini.
"Kalian berperang dengan orang Mongol bukan urusanku. Aku sudah menjawab pertanyaan, sudah
mengaku she-ku, sudah memberi tahu bahwa aku mengantar barang ke Ta-tung. Kalian percaya
atau tidak, juga bukan urusanku. Harap kalian minggir dan membiarkan aku masuk kota."
Jawaban ini membikin marah semua tentara di situ. "Kasar sekali dia! Tangkap saja!" teriak seorang
yang berangasan. Akan tetapi kepala pasukan itu masih berkata halus,
"Saudara Cia, kami bersikap lunak kepadamu, kenapa kau bersikap begitu kasar" Kewajiban
kamilah untuk memeriksa isi gerobak ini. Harap kau suka membuka dua peti itu."
"Tak mungkin!" Han Sin makin marah. "Setelah menjajah tanah airku, apakah kalian masih hendak
menindas dan menghalangi pergerakan bebas seseorang" Peti-peti itu hanya titipan, bukan milikku.
Aku sendiri yang bertugas mengantar tidak berani membuka, apalagi orang lain, tentu tak
kuperbolehkan."
"Kau melawan?" Si berangasan tadi melangkah maju dan memukul kepala Han Sin. Pemuda ini
mengangkat tangan, dua lengan bertemu "dukk!" dan si berangasan menjerit kesakitan, roboh
terguling dengan tulang lengan patah-patah! Ia mengaduh-aduh dengan muka pucat.
"Seekor semut sekalipun akan melawan kalau diinjak, apalagi manusia yang tak bersalah tentu akan
melawan kalau diserang," kata Han Sin, sikapnya tenang namun sepasang matanya memancarkan
sinar yang amat tajam menusuk dan seakan-akan berkilat-kilat, membuat semua orang yang
mengepungnya menjadi gentar juga. Kepala pasukan maklum bahwa ia berhadapan dengan seorang
pandai, maka cepat ia menjura sambil bertanya,
"Maafkan kelancangan anak buahku. Sicu (tuan yang gagah) apakah mempunyai kenalan orang
gagah yang membantu pasukan kami di Ta-tung?"
Han Sin berpikir. Menurutkan perasaannya ia tidak sudi berbaik dengan mereka ini, malah ingin ia
menumpas mereka. Akan tetapi pikirannya yang sehat memaksanya bersikap lain. Ia sedang
bertugas tidak hanya harus melindungi dua buah peti titipan Lie Ko Sianseng. Ia sudah berjanji
melindunginya, kalau sampai terjadi keributan dan peti-peti itu hilang, bukankah berarti ia
melanggar janji" Pula, ia sedang mencari Hoa-ji, malah belum berkumpul kembali dengan Bi Eng.
Alangkah tidak baiknya kalau ia mencari musuh di sini.
"Aku kenal baik dengan nona Thio Li Hoa. Kalian percaya atau tidak, terserah!"
Kepala pasukan itu menjadi terkejut dan saling pandang juga anak buahnya. Nama Thio Li Hoa
siapakah yang tidak mengenalnya" Puteri Thio-taijin yang amat lihai, seorang pendekar wanita
yang gagah perkasa! Pada saat itu datang lagi serombongan orang. Mereka ini berpakaian seperti
pengemis-pengemis dan sebagian pula berpakaian sebagai tosu (pemeluk Agama To).
"Haii ....... bukankah itu Cia-taihiap dari Min-san .......?"" Tiba-tiba seorang tosu tua berseru girang.
Tosu ini tua dan gagah sikapnya, rambutnya digelung satu dan sekali ia menggerakkan kaki tahutahu
tubuhnya sudah melayang dan turun di depan Han Sin. Gerakkannya ringan dan cepat seperti
burung terbang saja. Han Sin segera mengenalnya. Cepat-cepat ia menju?ra. "Eh, kiranya Hee Tojin
berada di sini pula.........!"
Ternyata bahwa para tosu itu adalah anggauta-anggauta Cin-ling-pai dan pemimpin mereka adalah
Hee Tojin, seorang di antara Cin-ling Sam-eng yang semenjak tewasnya para pimpinan Cin-ling-pai
yaitu Giok Thian Cin Cu, It Cin Cu, dan Ji Cin Cu, telah dianggap sebagai ketua Cin-ling-pai. Tentu
saja ia mengenal Han Sin yang menjadi tuan penolongnya.
Di lain pihak, Han Sin menjadi heran sekali. Bagaimana orang-orang Cin-ling-pai yang tadinya
berjiwa patriotik sekarang tahu-tahu berada di situ dan agaknya bersatu dengan barisan Mancu"
Bukankah dahulu orang-orang gagah ini memusuhi Mancu" Lebih besar keheranan hatinya ketika ia
mengenal bahwa di antara para pengemis itu terdapat pula Sin-yang Kai-pangcu Kui Kong, murid
luar Ciu-ong Mo-kai yang dahulu juga seorang patriot! Kenapa dia dan kawan-kawannya itupun
berada di Ta-tung, padahal dulu amat membenci penjajah Mancu" Benar-benar amat mengherankan
semua perubahan ini dan andaikata ia belum mendengar keterangan Li Hoa, tentu ia akan merasa
tidak senang sekali kepada mereka.
Ketika para pengemis dan tosu kang-ouw ini mendengar dari pemimpin regu tentara Mancu tentang
dua buah peti yang dibawa Han Sin, mereka mendekati gerobak Han Sin. Hee Tojin mengerutkan
keningnya dan bertanya,
"Cia-taihiap, kita adalah orang-orang sendiri. Harap kau maafkan kalau prajurit prajurit kasar ini
tadi mengganggumu. Akan tetapi, pinto rasa kaupun takkan berkeberatan memberi tahu secara
berterus terang, siapakah yang mempunyai peti peti ini dan hendak dikirimkan kepada siapa?"
Han Sin maklum bahwa dia mendekati daerah berbahaya, daerah pertempuran dan sudah
semestinya kalau para pejuang yang menjaga di situ harus berlaku waspada. Dia sendiri andaikata
menjadi seorang pejuang yang berjaga, tentu akan berlaku waspada dan tidak mudah mempercayai
orang. Sambil tersenyum ia menjawab,
"Di jalan aku bertemu dengan Lie Ko Sianseng si Raja Swipoa. Nah, dialah yang mempunyai petipeti
ini dan dia minta aku menyerahkan dua peti ini kepada seorang penerima yang akan
menyambutku membawa surat kuasanya di Ta-tung.
Terdengar seruan-seruan curiga di antara para pengemis, bahkan Hee Tojin juga memandang tajam.
"Milik Swi-poa-ong Lie Ko Sianseng" Cia-taihiap, kenapa kau suka membawakan barangnya"
Itulah berbahaya sekali! Tak tahukah kau bahwa Lie Ko Sianseng itu adalah seorang kaki tangan
Mongol, orang yang dipercaya oleh Pangeran Galdan?"
Tak senang hati Han Sin mendengar ini. Andaikata mereka ini, para tosu dan pengemis kang-ouw
ini berjuang membela tanah air melawan penjajah asing, dia tentu akan turun tangan membantu
tanpa ragu-ragu lagi. Akan tetapi mereka ini biarpun memerangi orang Mongol, nyatanya
menghambakan diri kepada pemerintah penjajah Mancu!
"Dia itu kaki tangan orang Mongol atau kaki tangan orang Mancu, aku tidak perduli. Bukan
urusanku." Jawaban ini membuat para tosu dan pengemis kang-ouw itu merah mukanya. Sudah
tentu saja mereka merasa disindir.
"Ah, agaknya kau tidak tahu, taihiap. Apakah kau belum bertemu dengan Ciu-ong Mo-kai?" kata
Hee Tojin. "Siapapun juga takkan dapat merobah pendirianku tadi," jawab Han Sin. "Pendeknya, aku akan
membawa barang-barang ini ke Ta-tung, lalu mencari adikku dan pergi meninggalkan Ta-tung.
Perang antara Mancu dan Mongol bukan urusanku dan aku tidak mau ikut-ikut. Harap kalian suka
minggir dan jangan mengganggu aku."
Hee Tojin sudah mengenal kelihaian pemuda ini, malah pemuda ini adalah pewaris dari pada ilmuilmu
Giok Thian Cin Cu, jadi menurut tingkat masih terhitung paman gurunya sendiri! Juga orangorang
seperti Sin-yang Kai-pangcu Kui Kong dan beberapa orang lagi di antara tosu dan pengemis
kang-ouw itu sudah mengenal Han Sin.
Akan tetapi, ada beberapa orang kang-ouw yang belum mengenalnya dan mereka inilah yang
menjadi penasaran sekali. Menghadapi seorang pemuda begini sombong, mengapa saudara-saudara
mereka itu begitu bersabar hati dan mengalah"
"Cia-taihiap, harap kau maklumi keadaan kami. Karena barang-barang ini milik Lie Ko Sianseng,
terpaksa kami harus memeriksanya, bahkan sebetulnya harus kami sita!" kata pula Hee Tojin secara
terpaksa. Bangkit kemarahan Han Sin. "Tidak boleh! Siapapun juga tidak boleh mengganggu barang ini
selama aku masih hidup!"
Hee Tojin mengerutkan keningnya. "Cia-taihiap, kau agaknya sudah terkena bujukan Swi-poa-ong!
Kenapa kau sampai melindungi barang-barangnya seperti ini?"
Han Sin melompat dan tahu-tahu ia telah berada di atas atap gerobaknya. Dengan tenang dan gagah
pemuda ini bertolak pinggang, memandang ke sekelilingnya, kepada mereka yang mengurungnya,
lalu berkata tenang,
"Seorang laki-laki harus memenuhi janjinya. Aku sudah berjanji akan mengantar barang-barang ini
sampai ke Ta-tung, dan akan melindunginya mempertaruhkan nyawa! Kalian boleh menggunakan
alasan apapun juga, akan tetapi akupun tetap pada janjiku. Sebelum aku mati, jangan harap dapat
mengganggu barang-barang ini. Siapa hendak mencoba-coba, boleh maju!"
32. Perbedaan Pendapat Guru Dan Murid
UCAPAN ini terdengar sombong, memang Han Sin sudah marah sekali dan ia merasa menjadi
kewajibannya untuk melindungi barang-barang itu sebagai pelaksanaan dari pada janjinya. Memang
ia sudah nekat, hal ini bukan hanya karena pendiriannya sebagai seorang laki-laki yang satu kali
berjanji harus dipegang sampai mati.
Akan tetapi juga ada dua faktor penting yang mempertebal kenekatannya, yaitu pertama karena ia
merasa marah melihat orang-orang yang dulu dianggapnya patriot-patriot sejati itu sekarang mau
mengekor dan menghambakan diri kepada pemerintah penjajah, dan kedua kalinya karena semenjak
terjadi peristiwa dengan Tilana, ia memang merasa amat bingung dan berduka sehingga tidak
perduli lagi apakah ia akan mati ataukah hidup!
Tentu saja orang-orang yang mengelilinginya marah mendengar ini. Hee Tojin, Sin-yang Kaipangcu,
dan lain-lain tokoh yang sudah mengenal pemuda ini dan menghormatinya bukan saja
sebagai pendekar, akan tetapi juga sebagai putera Cia Sun taihiap, masih merasa ragu-ragu dan
tidak berani turun tangan. Akan tetapi, tokoh-tokoh kang-ouw yang belum mengenal Han Sin tak
dapat menahan marahnya lagi.
"Pemuda sombong, kau mengandalkan apa sih?" bentak seorang pengemis bertubuh tinggi besar.
Pengemis ini adalah seorang tokoh dari selatan, ketua dari perkumpulan pengemis Po-yang Kaipang,
namanya Can Kwan. Dia adalah seorang ahli gwakang dengan tenaga raksasa yang amat
hebat, senjatanya sebuah toya baja yang berat. Setelah membentak ia lalu melangkah maju dan
toyanya ia gerakkan menyambar ke arah kedua kaki Han Sin yang berdiri di atas gerobaknya.
Pemuda ini tersenyum mengejek, sama sekali tidak mengelak, bahkan ia lalu menggerakkan kaki
kirinya menendang ke arah ujung toya yang sudah menyambar dahsyat itu. Hee Tojin yang sudah
mengenal tenaga raksasa dari Can Kwan dan tahu akan kehebatan hantaman toya, merasa khawatir
juga. Mana bisa kaki pemuda itu menahan datangnya toya dengan tendangan" Tentu akan hancur
kakinya dan diam-diam Hee Tojin merasa tidak enak hatinya. Juga para tokoh lain memandang
dengan hati tegang, membayangkan betapa kaki itu akan hancur dan tubuh pemuda itu akan
terlempar jatuh ke bawah.
"Dukkk!" Ujung toya bertemu dengan ujung kaki Han Sin dan kesudahannya membuat semua
orang berseru kaget. Bukan kaki itu yang hancur, melainkan Can Kwan yang berteriak ngeri. Toya
itu terpental menghantam pundaknya sendiri, membuat tulang pundaknya remuk dan tak dapat
dicegah lagi ia roboh terguling-gu?ling sambil mengaduh-aduh lalu pingsan!
Gegerlah suasana di situ semua orang menjadi kaget dan marah. Beberapa orang pengemis kawankawan
Can Kwan mengayun tubuh melompat ke atas atap gerobak, dengan senjata masing-masing
menyerang Han Sin dengan maksud merobohkannya dari atas atap.
Akan tetapi, belum juga kaki mereka menyentuh atap gerobak, empat orang yang melompat
berbareng itu memekik dan roboh kembali seperti dibanting oleh tenaga raksasa. Mereka hanya
merasa ada tenaga yang menolak mereka. Tenaga ini demikian hebat dan tak dapat dilawan sampaisampai
mereka tak dapat menguasai diri ketika jatuh dan terbanting di tanah mengeluarkan suara
berdebuk. Empat orang itu meringis-ringis kesakitan, ada yang tulang kakinya patah, ada yang
perutnya mulas karena bantingan itu dan ada yang matanya berkunang-kunang dan kepala pusing!
Makin gemparlah orang-orang yang mengurung Han Sin. Tadi mereka tidak melihat pemuda itu
menyerang lawan, hanya menggerakkan kedua tangan saja, akan tetapi tanpa menyentuh keempat
orang lawannya, ia sudah berhasil merobohkan mereka. Benar-benar hal yang hampir tak dapat
dipercaya oleh mereka, kecuali Hee Tojin dan Sin-yang Kai-pang?cu yang keduanya sudah maklum
bahwa pemuda itu mewarisi ilmu silat Lo-hai-hui-kiam dari Giok Thian Cin Cu dan ilmu silat Liaphong
Sin-hoat dari Ciu-ong Mo-kai!
Para pengurung menjadi ragu-ragu dan jerih. Mereka saling menanti, akan tetapi tak seorangpun
berani mencoba-coba menyerang Han Sin yang masih berdiri di atap gerobaknya dengan sikap
tenang dan angker.
"Sin-ko ....!" Tiba-tiba terdengar seruan girang.
"Eng-moi .....!" Han Sin juga berseru girang ketika melihat Bi Eng datang berlari-lari bersama Li
Hoa. Di belakang dua orang gadis ini kelihatan tiga orang lagi, yaitu seorang pengemis berpakaian
tambal-tambalan berambut kusut awut awutan membawa sebuah guci arak, seorang gadis yang
cantik dan wajahnya mirip Li Hoa bersama seorang pemuda yang gagah dan tampan.
Han Sin tidak mengenal gadis itu, akan tetapi ia segera mengenal pemudanya yang bukan lain
adalah Phang Yan Bu, putera dari Ang-jiu Toanio. Adapun pengemis aneh itu bukan lain adalah
Ciu-ong Mo-kai! Gadis yang berada di sisi Phang Yan Bu itu bukan lain adalah Thio Li Goat, adik
Li Hoa. Kita sudah mengenal Li Goat ini sebagai puteri Thio-ciangkun, seorang gadis yang bersama
cicinya, Li Hoa, berjiwa patriotik seperti ibunya. Ketika orang-orang gagah yang tadinya berselisih
faham dan berlawanan, mereka yang pro dan yang anti pemerintah Ceng, kini bersatu dalam
menghadapi pemberontakan Bhok-kongcu alias Pangeran Galdan, dua orang enci adik yang gagah
perkasa ini tidak mau ketinggalan. Merekapun berangkat ke utara dan membantu pembasmian
pemberontak Mongol yang ingin menjajah kembali Tiongkok. Dalam perjuangan inilah Li Goat
bertemu dan berkenalan dengan Phang Yan Bu, dan keduanya saling tertarik, akhirnya mereka
menjadi sahabat baik.
Ketika Li Hoa muncul bersama Bi Eng di Ta-tung, Yan Bu dan Li Goat girang. sekali bertemu
dengan gadis dari Gunung Min-san ini. Phang Yan Bu masih bersikap ramah-tamah dan baik sekali
terhadap Bi Eng, sungguhpun sekarang pemuda ini menjadi ragu-ragu dalam menentukan pilihan
hatinya. Terhadap Bi Eng diam-diam ia masih menaruh hati kagum dan tertarik. Bi Eng adalah seorang
gadis yang lincah gembira, bersemangat dan panas seperti cahaya matahari, cantik manis dan jujur.
Di lain pihak, Li Goat adalah seorang gadis cantik jelita yang pendiam, bersungguh-sungguh, sopan
dan pengetahuannya luas. Bagaikan bunga, Bi Eng adalah setangkai bunga mawar hutan yang
semerbak harum, bergoyang-goyang gembira kalau terbawa angin. Sebaliknya Li Goat bagaikan
bunga seruni yang tenang, tak mudah tergoyangkan angin, akan tetapi memiliki daya penarik
tersendiri. Diam-diam Phang Yan Bu suka menbanding-bandingkan dua orang gadis kawan baiknya ini di
dalam hatinya, dan kadang-kadang ia mengeluh dan memaki diri. sendiri. "Kau pemuda gila, mata
keranjang, yang itu suka yang ini cinta. Bodoh, memalukan!"
Akan tetapi, pandang mata Li Goat yang kadang-kadang mengandung sinar kasih sayang
kepadanya, membuat Phang Yan Bu lebih condong kepada Li Goat. Ia dapat menduga bahwa Li
Goat "ada hati" kepadanya, sebaliknya, Bi Eng bersikap terbuka dan riang kepadanya, seperti juga
kepada orang lain.
Bi Eng juga girang sekali ketika di Ta-tung ia bertemu dengan teman-teman lama ini. Apalagi
ketika ia bertemu pula dengan Ciu-ong Mo-kai, gurunya.
"Bi Eng, kau datang ke sini mau apa?" tanya Ciu-ong Mo-kai setelah hilang keheranannya melihat
murid yang tak tersangka-sangka ini.
Setelah memberi hormat, Bi Eng berkata manja, "Teecu (murid) bertemu dengan enci Li Hoa dan
yang menolong Siauw-ong yang terluka. Karena Sin-ko hendak pergi mencarikan obat, teecu diajak
enci Li Hoa ke sini, bertemu dengan suhu dan teman-teman sambil menanti datangnya Sin-ko."
Ciu-ong Mo-kai cemberut. "Tempat ini menjadi tempat perang. Apa-apaan kau anak kecil datang ke
sini" Tempat berbahaya, tahu?"
Bi Eng mengerling manja. "Suhu sendiri datang ke sini, kenapa teecu tidak" Apa yang diperbuat
oleh gurunya, tentu selalu diturut dan dicontoh muridnya!"
Ciu-ong Mo-kai semenjak dulu tak pernah dapat marah kepada muridnya ini. Malah sering kali Bi
Eng yang "ngambul" dan marah kepada suhunya. Sekarang mendengar jawaban muridnya ini, Ciuong
Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mo-kai tertawa bergelak lalu menenggak arak wangi dari gucinya. "Aku tidak bisa berbantah
dengan kau. Tunggu saja sampai Han Sin datang, aku akan perintahkan dia membawamu pergi dari
sini, ke tempat aman!"
Demikianlah Bi Eng merasa senang berada di Ta-tung bersama orang-orang yang dikenalnya. Ia
bertemu dengan tokoh-tokoh persilatan dan merasa amat heran mengapa orang-orang yang dulu
bermusuhan sekarang bisa bekerja sama membantu pemerintah Ceng. Gadis ini biarpun masih hijau
namun berkat bimbingan Han Sin, memiliki kecerdikan pula. Maka setelah ia mendengar penuturan
Li Hoa dan yang lain-lain, ia mengerti bahwa semua ini tentulah hasil dari pada kebijaksanaan
Pangeran Yong Tee!
Pangeran itu amat bijaksana dan dengan kebijaksanaannya itulah ia dapat menarik para enghiong
sehingga orang-orang yang tadinya berjiwa patriot, orang-orang yang tadinya tidak rela melihat
tanah air dijajah bangsa lain, kini malah membantu pemerintah penjajah itu untuk menghadapi
ancaman Bangsa Mongol di bawah pimpinan Pangeran Galdan atau Bhok-kongcu!
Memang tepat dugaan Bi Eng ini. Pangeran Yong Tee-lah yang mengatur semua ini sehingga
tokoh-tokoh kang-ouw seperti Ciu-ong Mo-kai, tosu-tosu Cin-ling-pai dan banyak kai-pang
(perkumpulan pengemis kang-ouw) yang tadinya memusuhi pemerintah Mancu, sekarang
berbondong menuju ke utara untuk menghalau ancaman Bangsa Mongol yang bermaksud menyerbu
ke selatan dan menjajah kembali daratan Tiongkok.
Tentu saja dalih-dalih yang ditonjolkan oleh Pangeran Yong Tee untuk menggugah sikap
perlawanan para enghiong ini adalah untuk membela tanah air dan bangsa dari pada penindasan
orang-orang Mongol yang terkenal kejam. Malah dikeluarkannya dalih bahwa Bangsa Mancu
adalah Bangsa Tiongkok juga, dan karena itulah maka orang-orang Mancu bersiap sedia
mengorbankan nyawa untuk melindungi tanah air Tiongkok dari pada penindasan siapapun juga.
Orang-orang gagah itu digali ingatannya akan penderitaan rakyat selama dijajah oleh orang
Mongol. Dengan propaganda-propaganda yang dilakukan amat pandai inilah Pangeran Yong Tee berhasil
menarik bantuan banyak orang kang-ouw. Tentu saja di pihak Bhok-kongcu atau Pangeran Galdan
di Mongol, juga tiada hentinya menyebar propaganda untuk merobohkan penjajah Ceng, untuk
mengusir orang-orang Mancu dari Tiongkok dan dengan jalan ini Bhok-kongcu juga berhasil pula
menarik bantuan orang-orang gagah Bangsa Han sendiri.
Dengan demikian, maka dua orang tokoh pandai ini, Pangeran Yong Tee dari Mancu, Pangeran
Galdan dari Mongol, selain menggunakan bala tentara sendiri masing-masing, juga telah memecah
belah orang-orang Han untuk saling bertempur dan berperang sendiri, sepihak membantu Mancu,
lain pihak membantu Mongol!
Bangsa yang melupakan persatuan, tentu akan lemah sekali, demikian pula keadaan Bangsa Han di
Tiongkok di jaman dahulu. Selalu cakar-cakaran, selalu bunuh-membunuh dan bertempur di antara
mereka sendiri. Perang saudara susul-menyusul, rakyatnya sampai bingung dan sengsara
dipermainkan nafsu-nafsu berkuasa para pemimpin.
Dalam keadaan rakyat saling cakar di bawah pimpinan pembesar-pembesar yang memperebutkan
kekuasaan ini, keadaan negara menjadi lemah dalam arti menghadapi ancaman dari luar. Kalau
tidak demikian halnya, kalau rakyat bersatu padu, kekuasaan apakah di dunia ini yang dapat
mengalahkan Tiongkok yang begitu banyak rakyatnya"
Akan tetapi, karena tidak adanya persatuan sepanjang masa inilah, maka pernah Bangsa Mongol
menjajah Tiongkok sejak penyerangan pertama sampai berakhirnya Kerajaan Mongol selama dua
ratus tahun! Dan itu pulalah yang menjadikan sebab mengapa Bangsa Mancu sampai dapat
menjajah Tiongkok selama tiga ratus tahun!
Sepanjang keterangan yang diperoleh Bi Eng, pertempuran sudah terjadi di sekitar daerah Ta-tung
di bagian utara. Berkali-kali pihak Mongol hendak menerobos ke selatan melalui beberapa tempat
dan selalu mereka itu dapat dipukul mundur oleh pihak Mancu. Ta-tung dijadikan pusat pertahanan
Mancu dan di sinilah berkumpul "sukarelawan-sukarelawan" bangsa Han seperti Ciu-ong Mo-kai
dan yang lain-lain. Malah kabarnya Pangeran Yong Tee sendiri seringkali dari kota raja datang ke
Ta-tung untuk memeriksa keadaan dan memimpin sendiri siasat peperangan.
Bi Eng bertempat tinggal bersama Li Goat dan Li Hoa dan dalam pergaulannya dengan mereka
selama beberapa hari ini, tahulah Bi Eng bahwa ada "apa-apanya" di antara Li Goat dan Phang Yan
Bu. Diam-diam ia merasa girang dan bersyukur karena iapun mengerti bahwa dulu Phang Yan Bu
menaruh perhatian kepada dirinya.
Akan tetapi dia sendiri sampai sekarang tak dapat membalas cinta kasih setiap orang pria. Hanya
kepada Pangeran Yong Tee ia mempunyai perasaan yang mesra, akan tetapi inipun mungkin hanya
karena tertarik oleh sikap pangeran itu yang amat baik dan sopan kepadanya dan dia sendiri tidak
berani menentukan apakah ia mencinta pangeran itu ataukah tidak.
Bi Eng sedang bercakap-cakap dengan Ciu-ong Mo-kai, Phang Yan Bu, Li Hoa dan Li Goat ketika
datang seorang tentara Mancu dengan terengah-engah orang ini berkata kepada Li Hoa,
"Thio-lihiap, ada seorang muda mengamuk di luar kota dan menurut pengakuannya dia sudah
mengenal Thio-lihiap."
Bi Eng dan Li Hoa bertukar pandang Li Hoa segera bertanya, "Bagaimana orangnya?"
"Dia masih muda, tampan dan naik gerobak, menjadi pengawal barangnya Lie Ko Sianseng ....."
"Sin-ko ....." kata Bi Eng yang segera meloncat dan berlari keluar untuk menjemput kakaknya.
Yang lain-lain sambil tertawa juga berlari mengejarnya.
Demikianlah, mereka menyaksikan betapa Han Sin berdiri tegak di atas gerobak, dikurung oleh
banyak tentara dan orang-orang gagah. Malah melihat keadaannya, tentu sudah ada yang berkenalan
dengan kelihaian dengan pemuda itu.
Seperti sudah dituturkan di bagian depan, Bi Eng memanggil kakaknya dan Han Sin girang bukan
main melihat kedatangan Bi Eng, Ciu-ong Mo-kai, Phang Yan Bu, Li Hoa dan seorang gadis yang
tak dikenalnya. Tentu mereka akan dapat melepaskan, dia dari pengurungan yang tak enak ini.
"Sin-ko, mana Siauw-ong?" Bi Eng yang tak sabar lagi sudah meloncat naik ke atas atap gerobak
dan memegang lengan kakaknya.
Berdebar jantung Han Sin mendengar pertanyaan ini dan kembali terbayang di depan matanya
pengalaman yang baru saja ia alami bersama Tilana! Bagaimana ia bisa menceritakan semua itu
kepada Bi Eng" Mukanya menjadi merah sekali. Ia merasa malu dan jengah.
Alangkah lemahnya, biarpun di dalam hati yakin bahwa wanita satu-satunya yang ia cinta hanya Bi
Eng, namun begitu bertemu dengan Tilana yang cantik jelita, yang begitu mencintainya, kembali
pertahanan batinnya runtuh! Ia merasa telah mengkhianati, telah mencurangi, telah berlaku tidak
setia kepada Bi Eng.
"Sin-ko, mana dia" Mana Siauw-ong" Apa yang telah terjadi dengan dia" Apakah dia tak dapat
sembuh?" Dalam hujan pertanyaan ini terkandung isak tertahan dan kegelisahan.
"Jangan khawatir Eng-moi. Siauw ong sudah sembuh."
"Tapi mana dia?"
Han Sin yang merasa hangat hatinya karena dapat merasai pegangan tangan Bi Eng yang malah
memeluk dan mengguncang-guncangnya dalam kegelisahannya akan Siauw-ong, menghiburnya
dan berkata lirih, "Ssttt, nanti kuceritakan, semua. Lihat, kita menjadi tontonan orang disini. Lebih
baik lekas menghadap suhu."
Baru Bi Eng teringat bahwa mereka bukan hanya berdua saja di situ. Banyak sekali mata orang
memandang ke arah mereka, sebagian besar tidak sabar melihat adegan kakak dan adik ini. Sambil
menggandeng tangan Bi Eng, Han Sin meloncat turun dari atap gerobak, langsung menghadap Ciuong
Mo-kai dan memberi hormat.
Untuk beberapa detik sinar mata Ciu-ong Mo-kai bersinar kagum dan penuh keriangan melihat
pemuda itu yang sudah banyak ia dengar semenjak mereka berpisah. Diam-diam kakek ini
seringkali merasa geli hatinya betapa dulu ia sering kali putus harapan melihat Han Sin sebagai kutu
buku yang membenci ilmu silat!
Baru setelah ia mendapatkan kesempatan melihat pemuda itu melatih lweekang secara aneh luar
biasa di dalam kamarnya, kakek ini mendapat kenyataan bahwa tanpa disadari, pemuda itu telah
melatih diri menjadi seorang ahli silat yang luar biasa. Dugaannya ternyata benar karena iapun
sudah mendengar akan sepak terjang Han Sin yang amat ajaib, merobohkan orang-orang terkemuka
dan semua itu dilakukan tanpa disadari.
Kemudian ia mendengar pula betapa pemuda ini sudah memasuki gua dan menjadi ahli waris dari
kitab peninggalan Lie Cu Seng, maka sudah sewajarnya kalau kakek ini merasa kagum dan juga
bangga. Bukankah dia sendiri orangnya yang pertama-tama melatih pemuda ini"
Betapapun juga, karena semua kehebatan itu hanya didengarnya saja dari orang lain dan tak pernah
ia sendiri menyaksikannya, maka ia masih merasa ragu ragu. Han Sin masih kelihatan sederhana
seperti dulu, halus dan merendah, hanya sepasang mata yang dulu sinarnya berkilat seperti mata
harimau di dalam gelap, sekarang menjadi makin kuat dan berpengaruh, akan tetapi penuh
ketenangan. "Han Sin, betulkah bahwa kau mengawal barang-barang Lie Ko Sianseng dan apa sebabnya kau
ribut-ribut dengan mereka ini?" tanya Ciu-ong Mo-kai, terheran juga mengapa pemuda ini mau
membantu Lie Ko Sianseng si Raja Swipoa.
"Betul suhu. Lie Ko Sianseng telah berhasil membantu teecu mencarikan obat untuk Siauw-ong
sampai sembuh dan teecu sudah berjanji untuk membalas budinya dengan mengantar dua peti ini ke
Ta tung. Biarpun tadi teecu mendengar bahwa dia adalah mata-mata Mongol, akan tetapi janji teecu
tak mungkin dapat teecu langgar sendiri. Barang-barang ini harus teecu lindungi sampai ada orang
yang berhak menerimanya," jawab Han Sin, suaranya tegas karena pemuda ini sedikit banyak
merasa tidak senang bahwa orang tua yang ia hormati itupun di sini membantu pemerintahan Ceng.
"Siapakah dia yang berhak menerima?" tanya Ciu-ong Mo-kai.
"Teecu belum tahu. Menurut Lie Ko Sianseng, di Ta-tung akan ada orang yang menerimanya."
Orang-orang di situ makin ribut. Terdengar suara-suara memprotes, "Dia tentu mata-mata Mongol!
Dia kaki tangan Lie Ko Sianseng! Tangkap .....!"
Ciu-ong Mo-kai tertawa bergelak, lalu menghadapi para tentara Ceng dan para pengemis kang-ouw,
"Kalian lihat siapa dia" Dia ini adalah muridku, orang sendiri!"
Akan tetapi orang-orang di situ masih ribut, akhirnya Bi Eng tak sabar lagi dan membentak, "Siapa
berani mengganggu kakakku" Dengar, dia adalah gite (adik angkat) dari Pangeran Yong Tee. Hayo,
siapa berani mengganggunya?"
Suara ribut-ribut itu serentak berhenti dan semua orang memandang dengan heran dan terkejut.
"Eng-moi ......" Han Sin menegur adiknya. Tak senang ia diperkenalkan sebagai adik angkat Yong
Tee, Pangeran Mancu penjajah itu.
Pada saat itu, terdengar bunyi derap kaki kuda dan lima orang perwira Mancu datang dengan cepat
di atas kuda mereka. Melihat pakaian mereka,lima orang tersebut adalah perwira-perwira dari
pasukan pengawal pribadi kaisar. Mereka langsung menghampiri Han Sin setelah turun dari kuda,
dengan sikap hormat seorang di antara mereka berkata,
"Pangeran muda mengirim salam Cia-taihiap dan minta maaf bahwa penyambutan atas pengiriman
dua peti dari Lie Ko Sianseng agak terlambat."
Semua orang terkejut dan heran mendengar ini. Bagaimana pula ini" Lie Ko Sianseng terkenal
sebagai mata-mata atau kaki tangan Bhok-kongcu, kenapa sekarang mengirimkan dua peti yang
agaknya akan diterima oleh utusan pangeran muda atau Pangeran Yong Tee sendiri" Tidak hanya
mereka yang mengerti akan keadaan peperangan menjadi heran, bahkan Han Sin menjadi ragu-ragu.
"Bagaimana aku bisa yakin bahwa dua buah peti ini harus kuserahkan kepada kalian?" tanya Han
Sin dan ia sudah mengambil keputusan di dalam hatinya bahwa apapun yang akan terjadi, kalau
tidak ada tanda surat kuasa dari Lie Ko Sianseng sendiri, dia takkan mau memberikan dua peti yang
sudah diserahkan ke dalam perlindungannya itu.
Perwira tadi tersenyum, lalu mengeluarkan sebuah lipatan kain. "Lie Ko Sianseng tidak keliru
mengutus taihiap, karena memang taihiap amat hati-hati. Inilah surat kuasa dari Lie Ko Sianseng."
Han Sin menerima kain bertulis itu yang berbunyi bahwa Lie Ko Sianseng memberi kuasa kepada
pembawa surat untuk mengambil dua peti batu. Han Sin mengerutkan kening. Batu" Benarkah dua
peti itu berisi batu" Kenapa dianggap benda berharga dan kenapa sampai dijadikan rebutan"
"Kuharap kalian tidak keberatan kalau aku cocokkan dulu isi surat dengan isi peti," katanya
kemudian mengambil keputusan.
Perwira itu tersenyum lagi dan mengangguk-angguk. "Silakan ..... silakan memang pangeran muda
juga memerintahkan kami untuk memeriksa lebih dulu apakah isi peti-peti itu tidak palsu."
Han Sin lalu memasuki gerobaknya, dengan sekali renggut saja papan penutup peti terbuka dan
alangkah mendongkol dan herannya ketika ia melihat bahwa betul saja, dua peti itu terisi batu-batu
besar yang tidak berharga. Diam-diam ia mema?ki Lie Ko Sianseng yang dianggap telah
mempermainkannya. Sebaliknya, lima orang perwira itu nampak puas, mereka membantu Han Sin
menutup kembali peti?-peti itu dan setelah menghaturkan terima kasih kepada Han Sin, mereka lalu
memerintahkan sepasukan tentara mengawal ge?robak berisi dua peti itu ke kota raja!
Malam itu Han Sin dijamu oleh Phang Yan Bu dan melihat pemuda ini marah-marah kepada Lie Ko
Sianseng, Ciu-ong Mo-kai tertawa, "Kau tidak tahu! Lie Ko Sianseng benar-benar lihai sekali.
Pedagang tetap pedagang, dalam perang mau?pun damai. Di sana ia mencatut, di sini ia mencatut.
Ha, ha, ha!"
Han Sin tidak mengerti. "Apakah artinya ini semua, suhu" Dan setelah sekarang tidak ada orang
luar, teecu mohon penjelasan mengapa suhu dan orang-orang gagah yang lain datang ke tempat ini
membantu pemerintah penjajah?"
Yang berkumpul di situ hanyalah Ciu-ong Mo-kai, Hee Tojin, dua orang tosu Cin-ling-pai, dua
orang tokoh pengemis kang-ouw, Thio Li Hoa, Thio Li Goat, Phang Yan Bu, dan Bi Eng bersama
Han Sin sendiri. Setelah meneguk araknya, Ciu-ong Mo-kai menjawab perlahan,
"Aku maklum apa yang kau pikirkan, Han Sin. Tentu kau merasa heran dan penasaran kenapa kita
membantu Pemerintah Mancu. Akan tetapi, jangan kaukira bahwa kita membantu untuk berkhianat
kepada bangsa, menghambakan diri kepada penjajah. Sama sekali tidak, Han Sin. Ketahuilah bahwa
jauh lebih celaka dan berbahaya apabila orang-orang Mongol itu sampai mengalahkan Pemerintah
Mancu dan menjajah kembali di tanah air kita. Kita tidak punya pilihan lagi. Kalau dalam waktu
Mongol dan Mancu berperang kita melanjutkan usaha menggulingkan Pemerintah Mancu, itu sama
saja artinya dengan kita membantu Mongol dan amatlah berbahaya kalau sampai bala tentara
Mongol dapat menyerbu ke pedalaman. Jauh lebih baik kalau kita membantu Pemerintah Mancu
lebih dulu mengusir orang-orang Mongol yang amat kejam. Kelak mudah untuk mencari jalan
merampas kembali negara dari penjajah Mancu yang harus diakui tidak sehebat orang Mongol
menindas rakyat, bahkan ada usaha-usaha yang baik dari pemerintah baru ini."
Panjang lebar Ciu-ong Mo-kai memberi penjelasan kepada Han Sin, akan tetapi orang muda ini
mendengarkan dengan penasaran. Ia masih muda dan belum mengerti betul akan siasat-siasat dan
politik. Sebagai seorang gagah ia tidak bisa berpura-pura, maka kinipun ia tidak setuju dengan tindakan
orang-orang gagah itu.
"Bagaimanapun juga, penjajah tetap musuh, bagaimana aku dapat membantunya, mengeluarkan
keringat dan darah untuk membantunya?" bantahnya penasaran.
Semenjak dulu, Ciu-ong Mo-kai sering kali dibikin jengkel oleh sikap Han Sin yang dianggapnya
kutu buku yang merasa pintar sendiri. Sekarang mendengar bantahan Han Sin, kakek ini
menenggak araknya sampai terdengar bunyi menggelogok pada kerongkongannya kemudian ia
menurunkan gucinya dan berkata,
"Murid yang tidak mendengar kata kata gurunya itu melanggar peraturan namanya!" Dalam ucapan
ini Ciu-ong Mo kai menyinggung Han Sin menggunakan ujar-ujar kuno.
Han Sin adalah seorang ahli sastera, seorang yang amat memperhatikan segala macam filsafat kuno,
maka segera ia menjawab dengan ujar-ujar Nabi Khong Hu Cu, "Dalam membela kebenaran, tak
perlu mengalah kepada guru!"
Tentu saja Ciu-ong Mo-kai yang tidak begitu hafal akan ujar-ujar Nabi Khong Hu Cu, marah
mendengar ini, merasa dihina dan tidak dihormati sebagai guru. Tangan kirinya menepuk meja dan
.... amblaslah keempat kaki meja itu sampai satu dim lebih ke dalam lantai! Bukan main hebatnya
tenaga lweekang kakek ini.
"Bagus .....! Kalau sudah tidak mau mengaku guru kepadaku, sudahlah! Perlu apa harus ditonjoltonjolkan
menyolok mataku" Siapa tidak tahu bahwa Cia Han Sin, yang dulu pernah belajar dari
Ciu ong Mo-kai, sekarang sudah memiliki kepandaian tinggi sekali, jauh lebih lihai dari pada si
pengemis tua bangka" Ha, ha, ha!"
"Suhu .....!" Bi Eng berseru. "Harap suhu maafkan Sin-ko ......"
"Ha, ha, ha ...... Bi Eng, kau baru patut menjadi muridku ......" kata kakek itu tertawa-tawa dan
minum lagi araknya. Semua orang, yaitu Phang Yan Bu, Li Hoa, Li Goat, para tosu dan semua yang
hadir, tidak ada yang berani mencampuri urusan ini, tidak ada yang bergerak.
"Sin-ko, kenapa kau bersikap begini terhadap suhu" Sin-ko, harap kau suka minta maaf dari suhu."
Han Sin bangkit berdiri dari kursinya, tersenyum pahit. "Eng-moi, aku memang seorang murid yang
murtad, seorang yang tak mengenal aturan. Akan tetapi, tetap saja aku belum sampai hati untuk
mengekor kepada penjahat laknat. Suhu Ciu-ong Mo-kai, pendirian teecu bukan sebagai seorang
murid kali ini, melainkan sebagai seorang yang mencinta tanah air yang terjajah. Maafkan sikap
teecu kalau suhu anggap tidak betul. Nona Thio Li Hoa, harap kau suka mengawani Eng-moi, kau
tahu bahwa aku mempunyai tugas yang sudah kujanjikan. Kau di sinilah dulu bersama nona Thio Li
Hoa, setelah dia dapat kutemukan, aku akan menjemputmu dan bersama pergi dari tempat ini!"
Dalam suara pemuda ini terkandung penyesalan besar. Memang ia amat kecewa dan menyesal.
Dianggapnya bahwa orang-orang gagah yang sudah membantu Pemerintahan Mancu itu tidak
mempunyai pendirian. Kalau saja mereka itu bangkit untuk melawan penjajah, baik penjajah
Mongol maupun Mancu, tentu ia akan siap sedia membantu, rela mengorbankan jiwa raganya.
Bi Eng juga berduka sekali melihat keadaan kakaknya ini. Ia tidak berani mencegah karena maklum
bahwa kakaknya, berbeda dari pada biasanya, sedang marah sekali. Ia tahu pula bahwa kakaknya itu
tentu akan pergi mencari Hoa ji seperti yang dipesankan oleh Pangeran Yong Tee. Mencari seorang
di daerah musuh, di utara, bukanlah merupakan tugas ringan, bahkan amat berbahaya. Kalau ia ikut,
belum tentu ia dapat membantu, jangan-jangan malah merintangi gerakan Han Sin.
"Baiklah, Sin-ko. Kau hati-hatilah, akan tetapi, mana Siauw-ong?"
"Dia ..... dia ..... aku bertemu dengan Tilana di jalan dan Siauw-ong dibawanya. Kelak kita pergi
mengambilnya. Setelah berkata demikian, Han Sin yang tidak menghendaki adiknya itu mendesak
terus dan memaksanya menceritakan pertemuannya dengan Tilana, sudah berkelebat dan hanya
nampak bayangan putih menyambar, tahu-tahu ia sudah lenyap dari tempat itu! Hening sejenak,
kemudian Ciu-ong Mo-kai tertawa bergelak.
"Hebat ....., hebat ......, sama benar dengan ayahnya! Keras hati, bersemangat, tidak mudah tunduk.
Ayahnyapun dahulu menjauhkan diri dari orang lain, suka bekerja sendiri, betapapun juga .....
seratus persen patriot sejati ....." Kakek ini lalu menenggak araknya.
Bi Eng ikut dengan Li Hoa dan gadis ini tidak pernah meninggalkan Ta-tung, sungguhpun ia juga
tidak mau membantu pertempuran-pertempuran yang terjadi di daerah itu. Malah ada kalanya kalau
Li Hoa dan Li Goat serta yang lain-lain pergi dan ikut bertempur, Bi Eng tinggal seorang diri di Tatung,
melihat-lihat dan menanti kembalinya Han Sin. Tanpa Han Sin di sampingnya, tidak mau ia
ikut bertempur.
**** Di dalam perjalanannya meninggalkan Ta-tung, menyeberangi perbatasan dan memasuki wilayah
Mongol, beberapa kali Han Sin menyaksikan pertempuran antara pasukan Mongol dan pasukan
Mancu. Akan tetapi, ia selalu menjauhkan diri dan tidak mau mencampuri, malah menghindarkan
diri agar jangan bertemu dengan orang orang yang membantu Mongol seperti Coa-tung Sin-kai,
Tung-hai Siang-mo, apalagi dengan Bhok-kongcu atau Pak-thian-tok Bhok Hong.
Tugasnya hanya mencari dan menemukan Hoa-ji si gadis berkedok, kalau ia melayani segala
bentrokan dengan musuh-musuh lama, tentu akan menyulitkan pekerjaannya dan memakan banyak
Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
waktu. Tak enak meninggalkan Bi Eng terlalu lama di Ta-tung.
Biarpun demikian, beberapa kali ia sengaja menawan seorang Mongol dan memaksanya memberi
keterangan di mana adanya Hoa-ji atau Hoa Hoa Cinjin, karena ia menduga bahwa Hoa-ji tentu
tidak akan jauh dari ayahnya. Akhirnya ia mendapat keterangan bahwa Hoa-ji, seperti yang lainlain,
berkumpul di kaki Gunung Yin-san sebelah utara. Tempat ini sukar didatangi apalagi oleh
orang yang belum mengenal daerah gurun pasir ini. Akan tetapi, Han Sin tidak menjadi gentar dan
dengan cepat ia melanjutkan perjalanannya ke utara.
Pada suatu hari, dalam sebuah hutan, ia mendengar lagi pertempuran di dalam hutan. Tadinya ia
hendak menyimpang, tidak mau mencampuri pertempuran itu, akan tetapi tiba-tiba telinganya yang
tajam mendengar seruan-seruan yang sudah dikenalnya. Tak salah lagi, itulah suara Li Hoa!
Pada pasukan Mancu atau Mongol ia tak usah ambil perduli, akan tetapi terhadap Li Hoa, tak
mungkin ia meninggalkannya begitu saja. Gadis itu pernah menolongnya, bahkan berlaku amat baik
kepadanya, pernah malah melindunginya dan berani mempertaruhkan nyawa untuk
keselamatannya. Gadis itu baik dengan perbuatan, pandang mata, maupun ucapan, terang
mempunyai cinta kasih kepadanya. Sekarang ia mendengar gadis ini bertempur di dalam hutan,
mungkin sekali bertemu lawan yang tangguh, mungkin sekali terancam bahaya. Bagaimana ia bisa
berpeluk tangan saja"
Han Sin cepat berlari memasuki hutan. Betul saja dugaannya, di antara tentara Mancu yang
bertempur melawan tentara Mongol, tampak Li Hoa dengan pedangnya mengamuk hebat. Gadis
yang gagah perkasa ini dikeroyok oleh lima enam orang Mongol, namun gadis itu sama sekali tidak
terdesak. Sudah beberapa orang musuh dirobohkannya, akan tetapi selalu datang penggantinya dan
tetap saja ia dikeroyok sedikitnya lima orang lawan. Pihak Mancu mulai mendesak, apalagi di situ
selain Li Hoa, terdapat pula beberapa orang tosu yang membantu.
33. Duel menghadapi Racun Utara
DARI tempat sembunyinya, Han Sin menonton dan ketika melihat betapa Li Hoa sama sekali tidak
terancam bahaya bahkan mendesak, tidak mau muncul membantu. Ia tidak mau membantu pihak
Mancu, hanya kalau ia melihat Li Hoa terancam bahaya, ia akan keluar menolongnya, baru
sekarang ia menyaksikan pertempuran antara dua bangsa itu dan diam-diam ia merasa kagum
menyaksikan sepak terjang orang-orang Mongol.
Mereka itu rata-rata memiliki kepandaian bertempur yang lumayan, dan yang paling mengagumkan
adalah kenekatan mereka. Sudah banyak orang Mongol menggeletak tak bernyawa lagi, akan tetapi
sisa pasukan itu mengamuk terus tanpa mengenal rasa takut. Agaknya mereka memang pantang
mundur dan pantang lari!
Pada saat pasukan Mongol sudah terancam sekali kedudukannya, terutama sekali karena amukan
para tosu dan Li Hoa, tiba-tiba mendengar suara gemuruh dari jauh. Makin lama suara itu makin
keras dan kagetlah Han Sin ketika mendengarkan bahwa suara itu adalah suara nyaring dari banyak
kerincingan yang berbunyi terus-menerus. Teringat ia akan seorang tokoh besar yang pakaiannya
dipasangi benda-benda kecil ini. Pak-thian-tok Bhok Hong, si Racun Utara atau Raja Muda Bhok
Hong-ong, ayah dari Bhok-kongcu atau Pangeran Galdan pemimpin para pemberontak Mongol!
Agaknya bukan hanya Han Sin yang merasa kaget. Juga Li Hoa, para tosu dan para anggauta
pasukan Mancu terkejut dan nampak gelisah. Di lain pihak, orang-orang Mongol bersorak girang
mendengar suara ini. Semangat mereka terbangun dan dalam keadaan nekat mereka menyerang
orang-orang Mancu yang sedang ketakutan. Pasukan Mancu cerai-berai, banyak korban yang jatuh.
Suara nyaring dari seratus delapan puluh buah kerincingan itu berhenti secara tiba-tiba dan sebagai
gantinya terdengar suara tertawa bergelak. Tahu-tahu di situ telah berdiri seorang laki-laki tinggi
besar, bermuka tampan gagah dan usianya sudah lima puluh tahun lebih. Akan tetapi, dia masih
kelihatan muda dan gagah, pakaian perangnya indah dihias kerincingan pada pakaian dan topinya.
Di pinggangnya tergantung sebatang golok besar.
Suara ketawa ini pengaruhnya hebat sekali, sampai-sampai banyak tentara Mancu menggigil dan
senjata mereka terlepas dari tangan. Bahkan para tosu menjadi pucat, kemudian bersama sisa
pasukan Mancu, mereka mundur-mundur dan tidak berani menyerang. Sedangkan pasukan Mongol
juga berhenti berperang, lalu menjatuhkan diri berlutut, menghormat Pak-thian-tok Bhok Hong.
Dengan sikap tak sabar Pak-thian-tok menggunakan tangannya memberi isyarat supaya orang-orang
Mongol itu bangun berdiri, lalu terdengar suaranya yang nyaring, "Hayo pukul terus, hancurkan
anjing-anjing Mancu ini. Kenapa berhenti?"
Orang-orang Mongol itu tertawa, lalu mengeluarkan sorak sorai gembira dan bagaikan orang-orang
kemasukan setan mereka menyerbu pasukan Mancu yang sudah kehabisan semangat dan nyali itu.
Melihat ini Li Hoa menggigit bibir. Ia cukup maklum akan kelihaian Pak-thian-tok Bhok Hong.
Akan tetapi, dalam peperangan, seorang gagah pantang untuk merasa gentar. Melihat keadaan para
tentara Mancu yang ketakutan sehingga kini terdesak hebat oleh orang-orang Mongol, Li Hoa
menjadi gemas sekali.
"Hayo, lawan sampai titik darah penghabisan!" teriaknya. Suaranya melengking nyaring mengatasi
sorakan musuh sehingga terdengar oleh para tosu dan para tentara Mancu. Suara nona ini
merupakan minyak yang membuat api semangat mereka berkobar lagi. Benar-benar kini orangorang
Mancu itu menjadi nekat dan begitu mereka melakukan perlawanan mati-matian, kembali
orang-orang Mongol terdesak hebat.
Apalagi Li Hoa, gadis ini dengan pedangnya merupakan seekor naga yang mengamuk. Ke mana
saja pedangnya berkelebat, tentu ada seorang musuh yang terguling. Han Sin makin kagum saja
melihat sepak terjang Li Hoa ini.
Diam-diam ia teringat akan Bi Eng. Kalau Bi Eng berada di situ, tak dapat diragukan lagi tentu Bi
Eng juga akan mengamuk seperti Li Hoa, mungkin lebih hebat lagi. Teringat akan Bi Eng, Han Sin
mengerutkan keningnya. Kenapa Li Hoa meninggalkan Bi Eng dan tahu-tahu berada di tempat ini"
Selagi Han Sin termenung, ia mendengar jerit kemarahan Li Hoa. Cepat ia mengangkat muka
memandang. Alangkah kaget dan marahnya ketika ia melihat bahwa Pak-thian-tok Bhok Hong
sudah menerjang Li Hoa!
"Perempuan ganas, kau tentu anak pembesar penjilat she Thio itu" Berani bertingkah di depanku?"
Li Hoa melihat majunya Bhok Hong, cepat menusuk dengan pedangnya. Akan tetapi, tahu-tahu
ujung pedangnya itu tergetar dan ternyata telah disentil ujung jari Pak-thian-tok. Li Hoa
mempertahankan diri, namun tak sanggup. Getaran pedangnya hebat, membuat tangannya
menggigil dan di lain saat pedang itu sudah terlepas ke bawah menancap di atas tanah! Inilah yang
membuat Li Hoa menjerit marah. Dengan nekat gadis ini lalu menyerang lagi menggunakan
pukulan tangan kanan!
"Ha ha ha, perempuan liar!" Bhok Hong mengangkat tangannya menangkap pergelangan lengan Li
Hoa semudah orang mempermainkan anak-anak saja. Akan tetapi, selagi ia hendak memaksa Li
Hoa bertekuk lutut, tiba-tiba ia merasa pundaknya lemas dan tahu-tahu cekalannya terlepas. Li Hoa
sendiri merasa ditarik orang ke belakang, maka cepat-cepat ia menggunakan kesempatan itu untuk
melompat tiga tindak sambil memandang. Ternyata ...... Han Sin sudah berada di situ, menghadapi
Bhok Hong! "Seorang dari tingkatan atas menghina gadis muda, benar-benar tak tahu malu sekali!" kata Han
Sin, suaranya tenang dan sabar, namun tajam seperti ujung pedang menusuk jantung. Merah muka
Bhok Hong mendengar sindiran ini.
la segera mengenal Han Sin. Biarpun selama hidupnya baru satu kali ia betemu dengan Han Sin,
yaitu ketika mereka berada di dalam gua rahasia di Lu-liang-san, namun karena dalam pertempuran
itu terjadilah hal-hal aneh sampai dia terluka hampir mati oleh pukulan dari Thai-lek-kwi Kui Lok
yang dibantu oleh Han Sin, maka bagaimana ia dapat melupakan wajah pemuda ini" Kenangan ini
membuat wajah Pak-thian-tok Bhok Hong makin lama makin merah, malu dan marah bercampuraduk
menjadi satu. "Hemmm, bagus sekali. Kiranya kau yang muncul ini" Cia Han Sin, selama hidupku aku
mengandung penasaran dan dendam yang besar sekali terhadapmu. Sekarang, sengaja kucaripun
belum tentu mudah terdapat, tahu-tahu kau telah muncul. Bagus sekali! Apakah kau sudah mewarisi
semua ilmu dari dalam gua" Peninggalan si celaka Lie Cu Seng" Ha ha, hendak kulihat sampai di
mana sih lihainya ilmu itu." Sambil bicara Bhok Hong menggosok-gosok kedua telapak tangannya.
Makin lama tangan itu menjadi makin merah, kemudian berubah semu hijau, lalu agak kebiruan dan
akhirnya kedua tangan itu menjadi hitam sekali, sehitam arang!
Inilah penerapan tenaga beracun yang disebut Hek-tok-sin-kang, hebatnya bukan kepalang dan
karena inilah maka ia dijuluki Racun Utara. Namun jarang sekali Bhok Hong mengeluarkan ilmu
ini karena dengan kepandaiannya yang amat tinggi, tanpa mengeluarkan ilmu mukjijat dan dahsyat
inipun sudah jarang ia menemui tandingan. Sekarang belum juga bergebrak ia sudah mengerahkan
tenaga ini, hal itu hanya berarti bahwa ia dapat menduga bahwa pemuda di depannya ini tak boleh
dipandang ringan. Lebih hebat lagi, sambil tertawa mengejek Bhok Hong masih menggunakan
tangan kanan mencabut goloknya yang amat besar dan berat.
Melihat itu, Han Sin tenang-tenang saja. Akan tetapi, Li Hoa dengan wajah pucat lalu melompat ke
depan, memegang lengan Han Sin sambil berbisik,
"Jangan melawan ..... kau pergilah .... larilah ....!"
Namun Han Sin menggeleng kepalanya sambil tersenyum. "Jangan khawatir, Li Hoa. Aku dapat
melayaninya."
Li Hoa sudah maklum akan kelihaian Han Sin, akan tetapi melihat keadaan Pak-thian-tok, ia merasa
gentar bukan main. Mana bisa pemuda ini melawan tokoh besar yang khabarnya tak pernah
terkalahkan orang itu" Ia lalu melangkah maju menghadapi Pak-thian-tok Bhok Hong yang
keadaannya amat menyeramkan itu.
"Pak-thian-tok Bhok Hong! Apakah kau tidak malu" Kau disebut seorang tokoh besar di kalangan
persilatan, seorang yang berkedudukan tinggi, lebih tinggi dari Ciu-ong Mo-kai. Masa sekarang
kauhendak menghadapi seorang murid Ciu-ong Mo-kai dengan menggunakan semua ilmumu yang
jahat, ditambah senjata tajam pula" Ke mana kau menaruh mukamu kalau hal yang tidak patut ini
diketahui semua orang kang-ouw" Ketahuilah, Cia Han Sin sama sekali tidak mau mencampuri
urusan perang antara Mongol dan Mancu. Dia bukan musuhmu dan memang betul dengan mudah
kau dapat membunuhnya, akan tetapi kali ini akan rusak binasa nama besarmu, kau akan dipandang
sebagai seorang rendah tak tahu malu!"
Mendelik mata Bhok Hong mendengar ini. Sudah menggigil tangannya, ingin sekali dengan
pukulannya ia menghancurkan tubuh wanita yang berani mengeluarkan kata-kata seperti itu
kepadanya. Namun, ucapan itu menyadarkannya, membuka matanya bahwa memang tidak patutlah
kalau ia melawan pemuda ini seperti seorang melawan musuh yang setingkat. Untuk
menyembunyikan rasa malu dan penasarannya, ia tertawa bergelak sambil menyimpan kembali
golok besarnya.
"Ha ha ha ha ....., puteri orang she Thio yang sudah mampus ternyata sekarang tergila-gila kepada
bocah ini. Ha ha ha, kaukira aku tidak mengerti mengapa kau membelanya mati-matian! Kau cinta
kepadanya! Tapi benar pula ucapanmu tak perlu aku melawan bocah ini, mengotorkan tangan
mencemarkan nama saja. Heh, bocah she Cia. Melihat muka gadis yang membelamu mati-matian
ini, biar aku pukul kau sampai tiga kali, kalau kau bisa menahan tiga kali seranganku, biarlah
kuampunkan nyawamu!"
Baru saja ia berhenti bicara, secepat kilat dia sudah menyerang dengan pukulan tangan kanannya.
Pukulan ini dahsyat sekali. Angin pukulannya saja yang menyambar hebat membuat Li Hoa yang
berdiri di samping sampai terpelanting dan hanya dengan menggulingkan diri beberapa kali di atas
tanah gadis itu bisa menyelamatkan diri!
Tentu saja lebih hebat daya serangnya kepada Han Sin sendiri yang memang dijadikan sasaran.
Hawa pukulannya mendatangkan angin dahsyat, juga didahului bau amis yang memuakkan.
Tahulah Han Sin bahwa pukulan ini mengandung hawa beracun yang amat berbahaya. Namun ia
seorang laki-laki. Ucapan Bhok Hong tadi sudah mengandung tantangan dan sikap memandang
rendah. Biarpun dia belum memberi jawaban karena tak sempat lagi, namun di dalam hatinya ia menerima
tantangan ini dan kalau ia mengelak, ia akan merasa malu sendiri. Sambil menahan napas agar
jangan terpengaruh bau amis itu, ia mengerahkan tenaga pada lengan kirinya dan mengangkat
lengan kirinya menangkis pukulan ini. Tenaga sinkang yang amat dahsyat, yang mengandung hawa
racun Pek-hiat Sin-coa, mengalir di lengan kirinya.
"Dukk!!" Dua lengan yang jauh bedanya, yang satu kehitaman, besar dan kuat kekar, bertemu
dengan lengan yang berkulit putih halus. Akibatnya hebat. Pak-thian-tok Bhok Hong mengeluarkan
suara menggereng seperti harimau ketika tubuhnya terhuyung-huyung mundur. Juga Han Sin
tergempur kuda-kudanya, merasa betapa hawa yang panas sekali menyerangnya. Namun berkat
sinkang di tubuhnya yang kuat, biarpun ia juga terhuyung mundur namun hawa beracun itu tidak
dapat menembus pertahanannya.
Bhok Hong kaget dan heran bukan main. Pukulannya tadi biarpun baru dikeluarkan setengahnya,
kiranya sudah cukup kuat untuk merobohkan seorang tokoh persilatan setingkat dengan Hoa Hoa
Cinjin atau setidak-tidaknya setingkat dengan Ciu-ong Mo-kai. Kenapa bocah ini hanya terhuyung
saja, bahkan ia sendiri merasa adanya tenaga tolakan dahsyat yang membuat iapun terhuyung
mundur" la penasaran sekali, digerak-gerakkan kedua lengannya, digosoknya pula kedua telapak tangannya
dan dengan seruan keras ia sudah menyerang lagi. Serangannya amat aneh gerakannya, dua kali
tangan kirinya memukul dan mencengkeram namun ditarik kembali secara tiba-tiba dan tangan
kanannya yang betul-betul memukul secara tak terduga, yang dituju adalah pundak kiri Han Sin.
Pemuda ini bingung juga menghadapi serangan lawannya. Tadi di waktu Bhok Hong menyerang
dengan pukulan-pukulan ancaman, kalau dia mau dengan mudah saja ia akan mendahului dengan
serangan dengan jurus-jurus ilmu silat Lo-hai Hui-kiam atau Thian-po-cin-keng. Akan tetapi tadi
dalam hati ia berjanji untuk menghadapi tiga kali serangan kakek itu, kalau sekarang sebelum tiga
kali diserang ia membalas, bukankah itu berarti melanggar janji sendiri di dalam hati"
Keraguan ini membuat ia menderita rugi. Kalau tadi ia balas menyerang, setidaknya daya serangan
lawan akan berkurang. Akan tetapi karena melihat pemuda itu hanya menjaga diri dan nampak
bingung menghadapi gerakannya yang aneh,
Bhok Hong dapat mengacau pertahanannya dan pukulan ke arah pundak kiri itu datang tiba-tiba
tanpa dapat dielakkan atau ditangkis lagi.
Terpaksa Han Sin mengerahkan seluruh sinkangnya, disalurkan ke pundak kiri untuk menerima
pukulan. la maklum akan bahayanya hal ini, akan tetapi apa boleh buat. Dengan pencurahan
segenap panca indera dan hawa semangat di dalam tubuh sampai pundaknya terasa panas sekali, ia
siap menerima pukulan itu.
"Plakkk!" Telapak tangan yang hitam itu menampar pundak dengan tenaga yang bukan main
besarnya, tenaga dalam yang tidak kelihatan namun sebetulnya menyerang di bagian dalam tubuh.
Kalau bukan Han Sin yang menerima pukulan ini, tentu akan roboh binasa dengan jantung hangus
dan isi dada berantakan.
Dalam pukulan ini Bhok Hong menggunakan tiga perempat bagian dari tenaganya, karena kakek ini
yakin bahwa pukulannya pasti akan berhasil merobohkan Han Sin. Pula, ilmu pukulan Hek-tok-sinkang
ini memang tidak boleh sembarangan dipergunakan. Setiap kali menggunakan, kalau pukulan
ini membalik, dia sendiri akan terluka. Tadi dalam pukulan pertama ia sudah merasa betapa
pukulannya membalik. Baiknya hanya setengah bagian saja sehingga ia masih cukup tenaga untuk
menolak atau "menyimpan" hawa pukulannya yang membalik.
Bukan main hebatnya pukulan ini. Li Hoa menjerit ketika melihat betapa tubuh Han Sin tergoyanggoyang
dan wajah pemuda itu menjadi pucat sekali, kedua kakinya lemas seakan-akan hendak
roboh setiap saat. Gadis itu yang sepenuhnya memperhatikan Han Sin, tidak melihat betapa Bhok
Hong juga menjadi pucat mukanya dan bahkan kedua pundak kakek itu menggigil seperti orang
terserang penyakit demam malaria!
Han Sin meramkan matanya, mengatur napas. Ia merasa jantungnya terguncang dan hawa panas
memenuhi dadanya. Ini baik sekali karena itu berarti bahwa pukulan Bhok Hong yang tadi
membawa hawa dingin sekali, ternyata tidak sampai menguasai jantung dan isi dadanya, dapat
ditolak dengan hawa sinkangnya. Dia telah berhasil menerima pukulan kedua dengan pundaknya!
Diam-diam pemuda ini girang dan juga ada rasa bangga di dalam hatinya. Pukulan kedua tadi bukan
main dahsyat dan lihainya, namun berkat latihan-latihannya, ia berhasil menerimanya tanpa terluka
hebat di dalam dada. Memang kalau dilihat dari luar, hebat sekali bekas pukulan itu. Bajunya di
bagian pundak terlihat ada tanda lima jari tangan hitam, seakan-akan baju itu tadi dicap oleh lima
jari tangan dengan tinta bak.
"Han Sin ...... awas ....!" tiba-tiba Li Hoa menjerit ketakutan ketika melihat betapa Bhok Hong
mempergunakan kesempatan selagi Han Sin berdiri diam sambil meramkan mata, untuk menyerang
ketiga kalinya. Penyerangan yang dibarengi gerengan dahsyat karena kakek itu sudah berada di
puncak kemarahannya dan penasarannya!
Han Sin belum sempat membuka matanya, namun sebagai seorang ahli silat tinggi pemuda ini
sudah dapat mendengar angin pukulan yang mengarah kepalanya. Cepat ia miringkan kepala dan
mengangkat tangan kiri ke atas untuk menangkis. Pukulan itu melewati kepalanya, akan tetapi tibatiba
lengan tangan kirinya sudah dicengkeram oleh tangan kanan Bhok Hong!
Han Sin memandang dengan mata berkilat. Kakek itu tertawa liar dan kembali terdengar Li Hoa
menjerit karena Bhok Hong sudah mengangkat tangan kirinya untuk mencengkeram kepala Han
Sin. Dengan tangan kiri sudah dicekal, kiranya takkan mungkin lagi pemuda itu menyelamatkan
dirinya. Andaikata ia dapat menangkis pukulan atau cengkeraman dengan tangan kanannya, akan tetapi
lengan kiri yang dicengkeram oleh tangan yang mengandung Hek-tok-sin-kang itu, mana bisa
diselamatkan" Racun hitam dari segala macam binatang beracun akan menjalar dari tangan hitam
itu dan akan memenuhi tubuhnya, membuat ia mati dalam waktu singkat!
Han Sin bukan tidak maklum akan bahaya yang mengancam dirinya. Namun ia masih tenang dan
tidak terseret oleh kegemasan yang mempengaruhi hatinya. Melihat tangan kiri itu mencengkeram
ke arah kepalanya, secepat kilat tangan kanannya bergerak dan di lain saat sebelum Bhok Hong
sadar, pergelangan tangan kiri Bhok Hong sudah dicekal oleh tangan kanan Han Sin! Keadaan
mereka sekarang sama, saling dicekal pergelangan tangan kiri oleh lawan.
Li Hoa juga seorang ahli silat yang tahu akan seluk beluk tenaga lweekang (tenaga dalam). la
maklum bahwa kini dua orang itu tentu mengadu tenaga lweekang dan hal ini bahayanya seratus
kali lebih besar daripada mengadu pedang atau golok. Kalah menang hanya ditentukan oleh
kematian! Tak terasa lagi air mata bercucuran dari kedua mata gadis itu ketika melihat wajah Han
Sin yang tampan itu berkeringat, pucat dan kelihatannya menderita nyeri yang hebat.
"Han Sin ....., Han Sin ".." bisiknya lemah, tak berdaya untuk menolong.
Memang Han Sin merasa betapa lengannya sakit bukan main. Racun yang luar biasa didorong oleh
tenaga dalam yang dahsyat untuk memasuki tubuhnya dari lengan itu. Namun ia merasa lega bahwa
tenaga sinkangnya sendiri dapat menolak serangan itu, maka iapun lalu mengerahkan tenaga ke
tangan kanannya yang mencekal lengan kiri lawannya.
Kakek itu meringis kesakitan, mulutnya menyeringai, lalu menggigit bibirnya sendiri sampai
berdarah, matanya melotot memandang Han Sin dengan penuh penasaran, kemarahan, dan
keheranan. Selama hidupnya, baru kali ini dia bertemu dengan lawan begini muda namun
berkepandaian luar biasa tingginya!
Akan tetapi, keheranannya bertambah-tambah dengan hebat ketika ia melihat pemuda itu
menggerakkan bibir dan bicara kepadanya dengan suara tenang dan jelas, "Pak-thian-tok, kau
berjanji akan melepaskan aku setelah aku dapat menahan tiga kali seranganmu. Aku sudah menahan
tiga kali, kau tetap tidak mau melepaskan. Apakah kau menghendaki aku membikin serangan
balasan?" Bukan main kaget, heran dan takutnya hati Bhok Hong. Menghadapi atau menerima
penyerangannya berturut-turut secara aneh selama tiga jurus ini saja sudah hebat. Sekarang dalam
mengadu lweekang, ternyata pemuda ini tidak berada di bawah tingkatnya. Hebatnya, malah kini
Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dapat bicara! Padahal dalam mengadu tenaga lweekang, bicara merupakan pantangan terbesar.
Dengan bicara, orang memecahkan perhatian dan mengeluarkan hawa, bagaimana bocah ini dapat
bicara seenaknya tanpa mengurangi tenaga perlawanannya"
Sebelum habis Han Sin bicara, kakek itu mengangguk dan meloncat mundur melepaskan
cekalannya, akan tetapi lebih dulu sebelum Han Sin menutup mulut, ia mengerahkan seluruh tenaga
mencengkeram pergelangan tangan pemuda itu dengan maksud meremukkan tulangnya!
Akan tetapi, akibatnya, ia sendiri mengeluh perlahan dan ketika melihat, ternyata tangan kirinya
sudah lumpuh karena tulang lengan kirinya itu patah oleh cekalan Han Sin. Pemuda ini maklum tadi
akan kecurangan lawan, maka dengan gemas ia sambil mempertahankan tangan kirinya,
menggunakan kesempatan untuk menggencet tangan kiri lawan sampai patah tulang lengan kiri itu!
Bhok Hong, menjadi pucat, memandang ke kanan kiri lalu berkata keras,
"Hayo, mundur! Tak perlu berperang lagi di sini!" Sekali berkelebat, kakek ini pergi tanpa pamit
lagi diikuti oleh orang-orang Mongol yang lari tunggang langgang!
Setelah Bhok Hong pergi, barulah Han Sin menjatuhkan diri terduduk di atas rumput, bersila dan
mengatur napas. Li Hoa cepat menghampirinya. Gadis ini tidak berani mengganggu, karena
maklum bahwa jika orang memulihkan tenaga menghisap hawa murni untuk mengusir hawa
beracun dari tubuh, sama sekali tak boleh diganggu.
Hatinya merasa terharu dan kasihan sekali melihat betapa pergelangan lengan kiri pemuda itu
nampak hitam dan kulitnya seperti bekas dibakar api. Juga pundaknya sekarang kelihatan setelah
tanda hitam pada baju itu hancur menjadi abu ketika dipakai bergerak. Kulit di pundak inipun
seperti dibakar! Bukan main ngerinya kalau dibayangkan kepandaian kakek Racun Utara itu.
Li Hoa segera memberi tahu kepada semua orang Mancu supaya mengubur semua jenasah dan
membawa pulang kawan-kawan yang terluka. Ia sendiri menjaga Han Sin yang masih duduk
bersila. Dua jam kemudian, baru Han Sin membuka matanya. la merintih perlahan lalu berkata, "Lihai .....
hebat sekali Pak-thian-tok ....." Pemuda ini memang merasa kagum sekali. Mana ia tahu bahwa
pada saat itu, jauh dari situ, Pak-thian-tok Bhok Hong pun sedang merasa menderita lebih hebat
daripadanya, muntah-muntah darah dan cepat-cepat mengobati luka di dalam dadanya"
"Han Sin ..... kau telah menolong .... nyawaku dan kau terluka hebat. Biar kubalut luka di lengan
dan pundakmu ..... " kata Li Hoa terharu.
Meski gadis cantik ini berlutut di dekatnya. Han Sin menarik napas panjang. Teringat ia akan
pertemuannya yang pertama dengan gadis ini dahulu di jurang Can-tee-gak di Cin-ling-san, ketika
ia ditawan oleh para tosu Cin-ling-pai kemudian ia ditolong oleh gadis ini. Ia merasa terharu sekali.
Gadis ini mencintanya sepenuh hati, hal ini ia tahu benar.
Kinipun ia melihat tanda-tanda air mata yang belum kering di kedua pipi Li Hoa, juga teringat ia
betapa tadi Li Hoa beberapa kali menjerit ketika melihat ia terancam bahaya, teringat betapa Li Hoa
dengan berani mati mencoba untuk melindungi dan memaki Pak-thian-tok secara berani. Boleh
dibilang gadis ini yang menyelamatkannya. Pak-thian-tok terlalu lihai, bertangan kosong saja sudah
demikian lihai, bagaimana kalau tadi tidak disindir Li Hoa dan menyerangnya dengan golok, bukan
hanya tiga kali melainkan seterusnya sampai ia binasa"
"Li Hoa, bukan aku yang menolongmu, kaulah yang berkali-kali menolongku, kau baik sekali
kepadaku. Li Hoa, kenapa kau begini baik" Kenapa banyak orang baik kepadaku?"
Li Hoa menunduk, menyembunyikan sinar mata dan kemerahan pipinya. "Orang hidup memang
harus saling berbaik terhadap sesamanya, Han Sin. Mari kubalut lukamu."
"Jangan dulu, biar kukeluarkan racunnya." Han Sin memeriksa pergelangan lengannya. Ternyata
racun hitam hanya berkumpul di bawah kulit yang terluka, tak dapat menjalar terus, tertahan oleh
darahnya yang sudah mengandung racun Pek-hiat-sin-coa. "Li Hoa, apakah kau mempunyai tusuk
konde perak?"
Li Hoa mengangguk, lalu melolos tusuk konde perak dan diberikannya benda runcing itu kepada
Han Sin. Han Sin menusuk kulit yang hitam di lengannya itu sambil mengerahkan tenaga
sinkangnya. Keluar darah hitam dari luka itu dan sebentar saja lenyap warna hitam. Han Sin
menanti sampai darah hitam habis dan terganti darah merah, baru ia menghentikan dorongan
tenaganya. Luka di pundaknya tidak sehebat luka di lengannya, maka tak perlu mengeluarkan
racun. Setelah selesai mengeluarkan darah hitam dan mengembalikan tusuk konde perak, barulah Li Hoa
membalut lengan itu. Lukanya cukup berat, membuat lengan itu terasa sakit sekali dan tiap kali
digerakkan, urat-uratnya tertarik dan keluarlah darah dari luka di dekat urat besar di pergelangan.
Oleh karena itu, terpaksa lengan itu digantung dan saputangan besar itu oleh Li Hoa diikatkan pada
leher Han Sin. Menyaksikan sikap gadis yang begitu baik, gerak-geriknya yang penuh kasih sayang dan merasa
betapa jari-jari tangan itu dengan amat mesranya memasangkan balut. Begitu halusnya
menyentuhnya, melihat kulit pipi yang kemerahan dan sinar mata yang jelas mencurahkan isi hati
yang penuh kasih terhadapnya, Han Sin menarik napas panjang.
Teringatlah ia akan sikap Tilana kepadanya, juga ia merasa betapa semua itu sama benar dengan
yang ia rasakan terhadap Bi Eng. Cinta! Alangkah ganjilnya kalau cinta kasih hanya menyerang
sebelah pihak saja. Orang bisa menjadi seperti gila karena cinta. Sikapnya sendiri terhadap Bi Eng
tentu dianggap gila oleh Bi Eng. Kemudian tentang sikap Tilana, dan Li Hoa ini.
Bagai?mana ia dapat membalas cinta mereka kalau hatinya sudah melekat pada Bi Eng" Teringat
pula ia akan Pangeran Yong Tee, yang sampai menangis karena cinta kasih pula, karena Hoa-ji si
gadis berkedok. Lebih aneh pula. Bagaimana cinta bisa menembus kedok yang menutupi muka
selalu" "Li Hoa, kau baik sekali kepadaku. Kenapa .....?"
Li Hoa sudah selesai mengikatkan ujung pembalut ke belakang leher Han Sin, dan pada saat Han
Sin bertanya, gadis ini yang agaknya lupa diri karena gelora perasaannya, dengan mesra menyentuh
rambut yang terurai di kening pemuda itu. Kaget ia mendengar pertanyaan ini dan untuk menutupi
rasa malunya, ia menyelinap ke belakang Han Sin yang duduk di atas tanah.
"Ikatan rambutmu terlepas, biar kubereskan, bolehkah?" tanyanya lirih.
Han Sin mengangguk dan merasa betapa dari belakang, kedua tangan gadis itu dengan cekatan dan
mesra melepas tali pengikat rambutnya, mengumpulkan rambut itu dan merapikannya ke atas lalu
membungkus dan mengikatnya pula dengan beres. Terharu hati Han Sin. Alangkah baiknya Li Hoa.
Alangkah mesranya andaikata yang melakukan hal itu adalah tangan ..... Bi Eng!
"Li Hoa, kau belum menjawab pertanyaanku tadi."
Li Hoa sudah selesai mengikat rambut dan kini gadis itu berhadapan dengan Han Sin. Matanya
tajam menentang pandang mata Han Sin dan kedua pipinya kemerahan, cantik bukan main pipi dan
mata itu! "Kau sudah tahu akan isi hatiku sejak pertemuan kita dahulu, kenapa masih bertanya lagi?"
akhirnya gadis itu menjawab setelah menundukkan mukanya.
Tergetar hati Han Sin. Gadis seperti ini cantik jelita, gagah perkasa, apalagi mencintanya, sudah
sepatutnya dibela dengan nyawa. Gadis seperti ini jarang dapat ditemui keduanya di dunia.
Terkenang ia kepada Tilana dan rasa jengah dan malu menyelubungi hatinya.
Orang macam apakah dia ini" Menurutkan nafsu hatinya, seakan-akan ia mencinta Tilana yang
harus diakui paling cantik di antara semua gadis yang pernah ia kenal. Menurutkan bisikan
sanubarinya seakan-akan ia harus membalas cinta kasih Li Hoa yang begini murni. Akan tetapi
entah bagaimana, semua bisikan dan nafsu hati dan sanubarinya itu terkalahkan oleh perasaan yang
sudah melekat di seluruh hati dan pikirannya bahwa hanya Bi Eng-lah sebetulnya yang ia inginkan
agar selalu berada di sisinya selama hidup!
Tapi hati ini mau saja bertindak sendiri. Di luar kesadarannya, tangan kanannya bergerak dan
menangkap tangan Li Hoa. Gadis itu kaget, menatap wajah Han Sin, lalu menunduk kembali
dengan muka makin merah, akan tetapi kedua tangannya menyambut uluran tangan Han Sin. Tes ....
tes ..... dua butir air mata yang hangat menetes turun di atas tangan Han Sin.
Sampai lama mereka tidak bergerak, juga tidak bicara, hanya tangan mereka yang saling
berpegangan itu menjadi pengganti suara hati. Han Sin merasa amat tidak tega untuk mengaku terus
terang bahwa dia tak dapat menyambut cinta kasih gadis ini, selain tidak tega, juga tidak berani,
takut melihat akibat seperti yang telah terjadi pada diri Tilana. Akan tetapi, kalau ia diamkan saja
iapun merasa berdosa, seakan-akan ia menipu kasih sayang murni dari gadis itu.
"Li Hoa, kenapa kau berada di sini" Bukankah tadinya kau berada di Ta-tung" Dan bagaimana kau
meninggalkan Bi Eng ......?" Pertanyaan ini menjadi penolongnya, memecahkan suasana mesra
yang membahayakan pertahanan hatinya itu.
Li Hoa dengan malu-malu melepaskan kedua tangannya. Sinar matanya berseri dan cemerlang
ketika ia menatap wajah Han Sin. "Aku mendengar dari Bi Eng bahwa kau hendak mencari Hoa-ji
untuk memenuhi permintaan Pangeran Yong Tee ......"
Han Sin mengerutkan kening. Alangkah mudahnya wanita menyebar berita. Memang ia tidak
memesan kepada Bi Eng supaya jangan bercerita tentang hal itu kepada orang lain, akan tetapi
tidaklah Bi Eng dapat mengerti bahwa hal itu adalah rahasia hati Pangeran Yong Tee"
"Jadi dia sudah menceritakannya kepadamu?" katanya perlahan.
34. Terungkapnya Misteri Puteri Cia Sun
LI HOA dapat menangkap penyesalan dalam kata-kata singkat ini, maka khawatir kalau pemuda ini
marah kepada Bi Eng, ia cepat berkata, "Hal hubungan antara Pangeran Yong Tee dan Hoa-ji
memang rahasia bagi banyak orang, akan tetapi bukan rahasia lagi bagiku dan bagi mendiang
ayahku. Mereka memang sudah mengadakan perhubungan semenjak Hoa Hoa Cinjin masih berada
di kota raja."
"Ayahmu sudah meninggal dunia?"
Li Hoa mengangguk. "Bhok-kongcu jahanam besar itulah yang membunuh ayah!" katanya dengan
wajah bengis. "Justeru karena inilah maka aku dan Li Goat mati-matian membantu bala tentara
Mancu untuk membinasakan Pangeran Galdan atau Bhok-kongcu itu bersama antek-anteknya!"
Han Sin mengangguk-angguk. Ia dapat menduga mengapa Thio-ciangkun, ayah Li Hoa, dibunuh
oleh Bhok Kian Teng. Ia sudah maklum bahwa Thio-ciangkun adalah seorang yang amat setia
kepada Pangeran Yong Tee, karena itu maka dimusuhi Bhok-kongcu dan dibunuh. Sama sekali ia
tidak tahu bahwa dibunuhnya Thio-ciangkun sebetulnya adalah karena gara-gara .... Bi Eng!
Seperti pernah dituturkan di bagian depan dari cerita ini, Bi Eng pernah tertawan oleh Bhok-kongcu
dan berada dalam bahaya yang lebih mengerikan daripada maut. Baiknya Li Hoa yang tahu akan hal
ini mendesak ayahnya supaya minta pertolongan Yong Tee supaya minta gadis tawanan itu dari
tangan Bhok-kongcu. Inilah sebab terutama yang membuat Bhok-kongcu menaruh hati dendam
kepada Thio-ciangkun dan sebelum Pangeran Mongol ini melarikan diri ke utara dan memimpin
pemberontakan, lebih dulu ia bunuh ayah Li Hoa untuk melampiaskan kemarahan dan dendamnya.
"Akan tetapi, kenapa kau berada di sini?" tanya pula Han Sin.
"Setelah aku mendengar dari adikmu bahwa kau pergi mencari Hoa-ji di daerah ini, aku merasa
amat khawatir. Aku cukup maklum akan kelihaianmu, akan tetapi kau tidak mengerti bahwa di sini
banyak sekali berkumpul orang-orang lihai, terutama Pak-thian-tok tadi. Aku" aku sengaja
menyusulmu untuk memperingatkan kau akan tokoh ini ....., tidak tahunya aku sendiri bertemu
dengan dia!"
Terharu sekali hati Han Sin. Ingin ia menghibur Li Hoa, ingin ia berterus terang bahwa ia tak dapat
membalas budi dan cinta kasih sebesar itu, akan tetapi ia tidak kuasa membuka mulut. Tidak tega ia
melukai hati Li Hoa. Akhirnya berkata juga dia,
"Li Hoa, terima kasih atas segala kebaikan hatimu. Kuharap sekarang kau kemball ke Ta-tung,
harap kausuka menjaga Bi Eng. Jangan kau mengkhawatirkan aku, aku dapat menjaga diriku
sendiri. Kembalilah kau ......."
Setelah tadi menyaksikan betapa Han Sin dapat melawan Bhok Hong, memang tahulah Li Hoa
bahwa pemuda ini memiliki kepandaian yang luar biasa sekali dan bantuannya sama sekali tidak
akan ada artinya. Juga ia dapat menangkap bahwa permintaan ini tak dapat ia bantah lagi, maka ia
mengangguk dan berkata,
"Baik-baiklah kau menjaga diri ....."
"Selamat jalan, Li Hoa."
"Sampai berjumpa kembali di Ta-tung ..., koko (kanda) ......." kata gadis itu malu-malu dan cepat ia
meloncat lalu melarikan diri pergi dari situ! Han Sin menarik napas panjang, lalu menggerutu,
"Cinta ..... cinta ..... kau suka sekali mempermainkan hati muda sesukamu ...." Sampai lama ia
merenung seorang diri, namun tetap saja tak dapat ia memecahkan persoalan sulit daripada cinta
kasih yang mempermainkannya, yang menimbulkan liku-liku asmara yang membingungkan di
sekelilingnya. Tilana ...... Thio Li Hoa ..... Bi Eng ......!
Tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan keras dan muncullah belasan orang anggauta tentara Mancu
yang berlari-lari ketakutan. Ada di antara mereka yang pakaiannya cobak-cabik dan berdarah di
sana-sini. "Celaka kalau muncul si jangkung pemelihara harimau ......!" terdengar seorang di antara mereka
berkata. "Jangan-jangan orang Mongol akan mengajukan Kalisang siluman itu dan harimaunya .....!" kata
yang lain. "Aduh ... aduh!" seorang yang.pakaiannya koyak-koyak tiba-tiba terguling dan ketika dilihat oleh
kawan-kawannya ia telah tewas!
"Sudah lima orang kawan tewas. Celaka ...., lari ......!"
Akan tetapi kembali dua orang terguling dan tewas, biarpun luka-luka mereka itu tidak hebat.
Makin ketakutanlah sisa rombongan tentara Mancu ini dan mereka cepat melarikan diri. Namun
tiba-tiba berkelebat bayangan putih dan tahu-tahu Han Sin sudah berada di depan mereka.
Pemuda ini amat tertarik hatinya ketika mendengar percakapan mereka tentang seorang jangkung
berbangsa Mongol yang bernama Kalisang dan memelihara harimau. Teringat ia akan cerita
mendiang Ang-jiu Toanio ketika hendak meninggal dunia, yaitu tentang adik kandungnya yang
diculik oleh Ang-jiu Toanio, dan kemudian adik kandungnya itu dirampas oleh seorang Mongol
gundul yang memelihara harimau!
Orang-orang Mancu yang sedang ketakutan itu makin kaget ketika tiba-tiba entah dari mana
datangnya, muncul seorang pemuda tampan di depan mereka. Han Sin tak mau membuang banyak
waktu. "Lekas bilang, apakah siluman jangkung pemelihara harimau itu seorang Mongol yang berkepala
gundul?" "Betul ..... " kata seorang di antara mereka. Han Sin berkelebat dan lenyap lagi. Orang-orang Mancu
menjadi pucat, saling pandang, kemudian ...... lari tunggang-langgang.
"Celaka ....., di siang hari bertemu dengan siluman-siluman berkeliaran ......" keluh mereka
ketakutan. Han Sin berlari cepat menuju ke arah dari mana orang-orang itu datang. la tiba di sebuah hutan
berbatu-batu. la mencari-cari dengan matanya, akan tetapi tempat itu sunyi dan gelap. Tak terdengar
seekorpun binatang hutan kecuali burung-burung di udara dan di pohon-pohon. Agaknya binatangbinatang
hutan bersembunyi, sama sekali tidak berani memperlihatkan diri atau mengeluarkan
suara. Tiba-tiba terdengar geraman yang luar biasa kerasnya. Geram harimau! Akan tetapi, bukan main
hebatnya, serasa bergoyang bumi dibuatnya. Han Sin kagum sekali. Tentu seekor harimau yang
amat besar, biarpun ia sering kali melihat harimau dan mendengar aumnya, namun belum pernah
mendengar geraman harimau sedahsyat itu.
Selagi ia hendak lari ke arah suara harimau yang agak jauh dari situ, tiba-tiba ia mendengar teriakan
orang ketakutan dari arah berlainan, yaitu dari arah gunung-gunungan yang banyak gua-guanya.
Ada orang terancam bahaya, pikirnya, dan jiwa satrianya membuat ia membelokkan kaki menuju ke
arah suara ini lebih dulu untuk menolong orang yang berteriak-teriak ketakutan itu.
Ternyata suara itu datangnya dari sebuah gua besar dan ketika ia memasuki gua itu, ia melihat
seorang laki-laki Bangsa Mancu menjerit-jerit ketakutan dalam sebuah kerangkeng beruji besi yang
amat kokoh kuat. Laki-laki ini ketakutan setengah mati, agaknya setelah mendengar auman harimau
yang masih bergema itu.
Akan tetapi munculnya seorang pemuda tampan yang tangan kirinya dibalut dan digantung
membuat ia terdiam heran biarpun tubuhnya masih menggigil dan wajahnya pucat.
"Kenapa kau di sini" Siapa yang menawanmu?" tanya Han Sin.
"Tolonglah hamba ..... orang gagah, tolonglah ......" orang itu meratap dalam Bahasa Mancu yang
dimengerti baik oleh Han Sin. Memang pemuda ini dahulu di Min-san sudah mempelajari bahasabahasa
asing di sekitar Tiongkok. "Hamba .... ditawan oleh ..... Kalisang .... dan itu dia dan ....
harimaunya sudah terdengar suaranya ...... tolonglah ......."
Girang hati Han Sin. Kiranya orang ini seorang yang akan dijadikan korban, hendak dijadikan
santapan harimau peliharaan Kalisang! Kesempatan bagus untuk mencari keterangan perihal adik
kandungnya! Cepat ia menggunakan tangan kanannya merenggut putus beberapa buah ruji besi di
belakang orang itu yang memandang dengan mata terbelalak heran.
"Lekas keluarlah dan bersembunyilah. Kau harus lari dari jurusan lain supaya jangan jumpa di jalan
dengan harimau itu." Orang itu saking girangnya, lupa mengatakan terima kasih. Terus saja ia
meloncat keluar dan berlari sipat kuping menuju ke arah yang berlawanan dengan arah di mana
terdengar auman harimau itu. Han Sin lalu memasuki kerangkeng itu dari belakang, duduk
bersandar pada bagian yang sudah ia rusak rujinya, menanti tenang.
Suara auman harimau makin lama makin dekat dan tiba-tiba muncullah seekor harimau besar sekali
di depan gua, bersama seorang laki-laki yang aneh. Orang ini bertubuh tinggi kurus, kepalanya
gundul pelontos mengkilap seakan-akan kepala yang benjal-benjol itu digosok dan disemir selalu!
Kerut keningnya membayangkan watak yang pemarah dan lucunya, di kedua telinganya
bergantungan dua buah anting-anting! Adapun harimau itu benar-benar seekor harimau yang besar
sekali dan nampaknya amat kuat dan buas, akan tetapi jinak di dekat orang gundul tinggi kurus itu.
Inilah Kalisang, orang Mongol pemelihara macan yang pernah kita temui satu kali dalam jilid yang
lalu. Seperti telah dituturkan dalam cerita itu, Kalisang telah merampas bayi dalam gendongan Angjiu
Toanio di dalam hutan dan pada saat ia hendak memberikan bayi itu kepada harimaunya, muncul
Hoa Hoa Cinjin yang mengalahkannya dan merampas bayi itu.
Kini Kalisang memandang dengan muka muram ke dalam kerangkeng. Ia amat heran karena tadi
yang ditangkapnya untuk dijadikan mangsa harimaunya adalah seorang Mancu, musuh bangsanya.
Kenapa sekarang tahu-tahu telah berobah menjadi seorang pemuda Bangsa Han tampan" Tak
senang ia melihat mata pemuda itu yang mencorong tajam, malah harimaunya yang tadinya
menggeram melihat calon mangsanya, kini agak mendekam dan mengeluarkan gerengan takut
ketika matanya bertemu dengan pandang mata pemuda itu yang tidak kalah tajam dan berpengaruh!
"Ke manga pelginya olang Mancu itu" Kau ini setang dali manga belangi masuk ke sini?" tanyanya
Romantika Sebilah Pedang 5 Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo Suling Emas Dan Naga Siluman 9
datang penyerangannya.
Benar Li Hoa, pikirnya, aku harus berhati hati menghadapi si gendut ini. Kalau sudah menanam
budi, orang macam ini tentu bukan menanam tanpa pamrih, tentu menghendaki balasan, bahkan
dengan bunga-bunganya! Lebih baik cepat-cepat membereskan perhitungannya dengan kakek ini,
pikirnya. "Lie Ko Sianseng, aku takkan lupa akan pertolonganmu sampai Siauw-ong menjadi sembuh.
Lekaslah kausebutkan, pekerjaan apa yang dapat kulakukan untuk membayar hutang budimu itu.
Akan tetapi tentu saja sekali lagi kutekankan bahwa aku hanya akan melakukan pekerjaan yang
tidak melanggar kebajikan, dan yang dapat kulakukan."
Merah wajah Lie Ko Sianseng. Akan tetapi dasar dia bermuka tebal, maka sambil menyengir kuda
ia berkata, "Tadi aku hanya main-main saja, Cia-taihiap." Kini ia menyebut "taihiap" untuk
mengam?bil hati. "Aku sudah tua, untuk apa mempelajari lain ilmu silat" Selain tiada gunanya, juga
belum tentu aku sanggup, tulang-tulangku yang tua sudah terserang penyakit encok, napasku sudah
pendek! Aku hanya ingin mencoba kepandaianmu, taihiap, agar aku tidak ragu-ragu untuk
menyerahkan tugas ini kepadamu, dan aku percaya kau akan suka menolongku."
"Tugas apa" Pertolongan bagaimana?" Han Sin bertanya, hati-hati.
"Begini Cia-taihiap. Aku telah membeli barang-barang berharga, perhiasan, sutera halus, kayu
wangi, dan lain-lain berjumlah dua peti. Nah, barang-barang ini akan kuangkut ke kota Ta-tung ....."
"Kota di mana berkumpul orang-orang gagah, ke mana adikku telah pergi?" tanya Han Sin.
"Betul, hendak kujual di sana. Kau sendiri mengerti, dalam keadaan perang seperti sekarang ini,
perjalanan amat tidak aman, dan aku ..... aku merasa takut untuk membawanya sendiri ke sana ......."
"Hemm, Lie lo-enghiong memiliki kepandaian tinggi, takut apa?"
Merah muka Lie Ko Sianseng. "Ahhh, kalau aku berkepandaian tinggi, kiranya aku takkan berani
menyusahkanmu. Aku mohon pertolonganmu, karena kau sendiripun hendak pergi menyusul
adikmu ke Ta-tung, tolonglah kaukawal dua buah peti itu menggunakan gerobak ini. Maukah kau
menolongku?"
Han Sin berpikir sebentar. Ia memang harus pergi ke Ta-tung menyusul Bi Eng. Apa salahnya
dititipi dua peti" Laginya, ia dapat melakukan perjalanan dengan gerobak, lebih enak dari pada
berjalan kaki. "Baiklah, lo-enghiong. Untuk membalas budimu, aku akan mengawalnya. Padahal
dengan adanya kau, kata-kata mengawal itu tidak tepat lagi ........"
"Jangan salah duga, taihiap. Aku sendiri sih tidak ikut ke Ta-tung. Masih banyak urusan yang harus
kuselesaikan ..... eh, urusan perdagangan tentunya ........"
Han Sin diam saja, namun di dalam hatinya ia tidak percaya. Orang seperti ini bukanlah pedagang
biasa, amat cerdik dan lihai. Entah barang apa yang berada di dalam dua buah peti. Akan tetapi hal
itu bukan urusannya, lebih cepat ia mengirimkan barang-barang itu ke Ta-tung lebih baik lagi.
"Dan di mana adanya barang-barang itu" Setelah sampai di Ta-tung, kepada siapa harus
kuserahkan?"
"Barang-barang itu berada di luar hutan ini, kusimpan dalam sebuah guha. Setelah kau tiba di Tatung,
akan ada orangku menerimanya. Dia akan membawa surat kuasa dariku, semua sudah
kupersiapkan."
Lie Ko Sianseng membawa pemuda itu ke sebuah guha di tempat yang sunyi. Benar saja. si gendut
ini setelah memasuki guha, lalu keluar membawa dua buah peti yang tidak berapa besar, akan tetapi
cukup berat. Segera dua buah peti dimasukkan ke dalam gerobak.
"Dari sini kauikuti jalan besar menuju ke timur. Hati-hatilah, Cia-taihiap. Perjalanan ini biarpun
tidak berapa jauh, akan tetapi cukup berbahaya. Setelah kau ke timur sampai di kota Tai-goan, kau
membelok ke utara. Jalan antara Tai-goan dan Ta-tung inilah yang berbahaya, kadang-kadang
muncul perampok-perampok lihai."
"Akan kulindungi barang-barangmu dengan sekuat tenaga. Jangan khawatir, lo-enghiong," jawab
Han Sin singkat. Mereka lalu berpisahan, Han Sin bersama Siauw-ong naik gerobak itu menuju ke
timur, sedangkan Lie Ko Sianseng memandang sambil tersenyum-senyum puas.
**** 31. Barang Titipan Mata-mata Mongol
SENANG juga rasanya melakukan perjalanan dengan gerobak bersama Siauw ong. Sayang, pikir
Han Sin. Kalau Bi Eng ikut melakukan perjalanan ini, tentu ia akan girang sekali! Teringat akan Bi
Eng, berkerut kening Han Sin, karena sekaligus ia teringat akan sikap Bi Eng mengenai urusannya
dengan Tilana. Ia maklum benar bahwa Bi Eng bermaksud baik. Gadis itu ingin sekali melihat kakaknya
berbahagia, mendapatkan seorang isteri cantik jelita dan pandai. Memang, siapa dapat menyangkal
bahwa Tilana adalah seorang gadis yang amat cantik dan jarang dapat dicari bandingnya" Dia
sendiri, terus terang saja, akan menerima Tilana dengan kedua tangan terbuka, akan merasa
berbahagia sekali mengambilnya sebagai isteri yang tercinta ..... andaikata ...... di dunia ini tidak ada
Bi Eng! Bi Eng bersusah payah dan bertekad hendak menjodohkan kakaknya dengan Tilana, karena sebagai
adik kandung gadis itu hendak memenuhi tugasnya, membahagiakan kakaknya. Akan tetapi,
sebaliknya, Han Sin yang sudah tahu bahwa Bi Eng bukan adik kandungnya, bahkan bukan sanakkadang,
dia yang sudah jatuh cinta sepenuh jiwa raganya kepada Bi Eng, bagaimana dapat
memperisteri gadis lain"
Han Sin merenung. Kasihan Tilana ......! Kau ampunkan aku, Tilana. Aku sudah berbuat dosa di
luar kesadaranku. Kau sendiri yang memancing malapetaka. Aku sudah melakukan hal terkutuk .....
dan sebagai seorang jantan, seperti kata-kata Bi Eng, sudah seharusnya aku bertanggung jawab
terhadap perbuatanku. Menurut patut, aku harus bertanggung jawab dan suka menjadi suamimu,
harus melindungimu selama hidupku. Akan tetapi ..... ah, ...... Bi Eng, aku cinta padamu ......
Pada saat itu, Han Sin dengan gerobaknya dikawani Siauw-ong sudah melewati kota Tai-goan dan
sudah membelok ke utara. Daerah ini mulai berubah penuh dengan daerah yang kering dan sunyi.
Mulai jaranglah orang berjalan, malah akhirnya, beberapa puluh li lagi, Han Sin sudah tak dapat
melihat orang di atas jalanan yang amat sunyi. Hanya kadang-kadang saja ada orang-orang
menunggang kuda, sikap mereka gagah seperti orang-orang pejuang, atau orang-orang kang-ouw.
Malah ada pula yang bersikap seperti perampok-perampok, akan tetapi kesemuanya tergesa-gesa
dan tidak memperdulikan pemuda bersama monyet di dalam gerobak kecil itu.
Diam-diam Han Sin geli sendiri. Lie Ko Sian?seng terlalu penakut. Kenapa untuk mengantar dua
buah peti itu harus merasa takut sampai minta bantuannya" Buktinya dia sudah melakukan
perjalanan jauh dan tak seorangpun mengganggu perjalanannya!
Tiba-tiba ia mendengar suara berisik dari depan. Suara itu makin lama makin jelas dan dapatlah ia
menduga bahwa dari depan datang iring-iringan kereta. Roda-roda kereta itu mendatangkan suara
gemuruh. Setelah melalui tikungan, benar saja dugaannya.
Dari jauh ia melihat empat buah kereta atau gerobak yang besar dan aneh bentuknya. Gerobak ini
tertutup dengan kain tebal, tiap gerobak ditarik dua ekor kuda yang tinggi besar. Yang mengusiri
gerobak adalah laki-laki semua, rata-rata bertubuh tinggi besar, berwajah tampan gagah dengan
kepala diikat kain kepala yang lebar. Di depan gerobak-gerobak itu terdapat seorang penunggang
kuda. Ketika Han Sin memandang ke arah penunggang kuda di depan iring-iringan kereta ini,
berdenyutlah jantungnya, pucat mukanya. Tak salahkah penglihatannya" Penunggang kuda itu
adalah seorang wanita, berpakaian sebagai wanita Bangsa Hui dan biarpun sebagian muka di bagian
bawah tertutup kain sutera, akan tetapi mata itu ....! Jidat itu ......! Dia Tilana, tak bisa salah lagi!
Mereka sudah berhadapan. Mata yang indah bening itu memancarkan cahaya aneh ketika melihat
Han Sin, kemudian menjadi berapi-api. Han Sin pura-pura tidak mengenal Tilana, lalu turun dari
gerobaknya, menuntun kuda supaya minggir dan memberi jalan kepada iring-iringan gerobak itu.
Akan tetapi gadis berkerudung mukanya itu memberi aba-aba dalam bahasa Hui yang dimengerti
Han Sin. Gadis itu menyuruh orang-orangnya berhenti. Kemudian gadis itu sendiri melompat turun
dari kuda, sekali melompat ia telah berdiri di depan Han Sin dan merenggut kerudung dari
mukanya. "Laki-laki berhati kejam! Kau masih berpura-pura tidak mengenal aku lagi?" bentak perempuan itu
yang bukan lain adalah Tilana! Gadis ini wajahnya agak pucat, mungkin karena pakaiannya yang
terbuat dari pada kain berwarna putih seperti orang berkabung itu. Han Sin merasa tertusuk hatinya.
"Tilana ..... aku .........."
"Tilana sudah mati! Kau tidak lihat pakaianku, aku berkabung untuk kematian Tilana, gadis malang
yang menyerahkan jiwa raganya kepala laki-laki yang kejam, yang tidak mengenal kasihan dan
tidak mengenal cinta kasihnya. Tilana sudah mati dan sudah sepatutnya ia mati karena membiarkan
kerudungnya dibuka orang, membiarkan dirinya dihina orang ......." Suaranya menjadi terganggu
sedu-sedan yang naik dadanya, akan tetapi ditahannya sehingga tidak sampai menangis.
Orang-orang lelaki bangsa Hui yang gagal" nampaknya itupun sudah pada turun dari gerobak.
Mereka ternyata ada dua belas orang banyaknya, sikap mereka keren sekali. Seorang di antara
mereka, yang kumisnya yang paling lebat dan tubuhnya paling besar, bertanya dalam bahasa Hui,
"Nyonya Cia, siapakah orang ini, yang berani menyebut nama kecil nyonya?"
Merah muka Tilana mendengar sebutan "nyonya Cia" ini, dan Han Sin seperti ditikam belati
hatinya. Ia terharu sekali. Pemuda yang memiliki kecerdikan luar biasa ini segera mengerti atau
dapat menduga bahwa Tilana malah sudah mempergunakan sebutan nyonya Cia atau mengaku
menjadi isterinya, isteri Cia Han Sin!
"Kau ..... kau menggunakan nama ...... nyonya Cia ....?"" tanyanya gagap dan wajahnya menjadi
pucat. Tilana mengangkat dadanya, sikapnya angkuh. "Seorang wanita sejati harus memiliki kesetiaan.
Memang aku isteri Cia Han Sin, kenapa tidak menyebut diri nyonya Cia" Tapi, Cia Han Sin, seperti
juga Tilana, telah mati! Kau ini laki-laki berhati keji, yang dengan kejam telah menghancurkan
hidup seorang gadis, malah sudah berpura-pura tidak mengenalku!"
"Nyonya, kalau dia jahat, biarlah hamba memberi hajaran kepadanya!" seru laki-laki tinggi besar
berkumis itu sambil menggerak-gerakkan cambuk di tangannya.
Han Sin makin perih hatinya. Makin jelas terbayang di depan matanya betapa ia telah berlaku tidak
adil kepada Tilana yang betul-betul mencintanya. Ia merasa amat terharu dan kedua kakinya
menjadi lemas. Kemudian ia menjatuhkan diri berlutut di depan Tilana!
"Tilana ....., Tilana ....... aku mengaku telah berbuat dosa besar. Kau boleh siksa aku, boleh bunuh
aku ...., memang aku laki-laki kejam .......!"
Orang Hui tinggi besar itu mencabut pedangnya dan hendak membacokkan senjatanya ke leher Han
Sin. Akan tetapi Tilana membentak, "Jangan bunuh dia! Boleh cambuki dia laki-laki kejam ini!"
Orang Hui itu menyeringai, menyimpan pedangnya lalu mengayun cambuknya. "Tar! Tar! Tar!"
cambuk menari-nari di atas tubuh Han Sin. Pemuda ini hendak menebus dosa. Ia rela disiksa. Kalau
dia mau, tentu saja dengan pengerahan tenaga lweekangnya ia dapat menerima cambukan itu tanpa
merasa sakit, malah kalau ia mau, sekali renggut saja ia mampu merampas cambuk atau mengelak.
Akan tetapi hatinya terlalu sedih dan pada saat itu ia hendak menebus dosanya, maka tanpa
mengerahkan tenaga ia menerima datangnya cambukan. Pakaiannya cabik-cabik, malah kulit
tubuhnya pecah berdarah. Cambuk menghantam terus ke punggung, ke muka, sampai mukanya
berdarah, bibirnya pecah pada ujungnya. Ia terguling dan dipukul terus.
Pada saat itu, terdengar pekik dan Siauw-ong melompat turun, terus meloncat ke atas pundak si
pemukul, menggigit pundak dan merampas cambuk. Orang Hui itu berseru kesakitan, cambuknya
terampas dan ia terhuyung ke belakang. Siauw-ong melompat turun dengan cambuk di tangan,
berdiri di depan majikannya, sikapnya mengancam, memperlihatkan gigi dan mengayun-ayun
cambuk dengan pekik menantang!
"Siauw-ong, jangan! Lepaskan cambuk, pergilah ke gerobak!" Han Sin masih sempat mencegah.
Monyet itu menoleh kepada majikannya, ragu-ragu, akan tetapi bertemu pandang dengan Han Sin,
monyet itu mengeluarkan keluhan panjang melemparkan cambuk ke atas tanah lalu berlari-lari ke
gerobaknya. Orang Hui itu mengambil cambuknya lagi, lalu mencambuki Han Sin lebih hebat pula, agaknya
untuk melampiaskan kemendongkolannya karena penyerangan monyet tadi. Sampai bergulingan
Han Sin dicambuki, tubuhnya sakit-sakit namun ia tidak melawan, juga tidak mengeluh. Akhirnya
ia jatuh pingsan di atas tanah yang berdebu, tubuhnya kotor terkena darah dan debu.
Ketika ia siuman kembali, ia mendapatkan dirinya berada di dalam sebuah gerobak besar. Gerobakgerobak
lain berada agak jauh dari tempat itu, dan ia berbaring dengan kepala di atas pangkuan
......... Tilana! Gadis itu menangis, membersihkan mukanya, mendekap kepalanya pada dada yang
berdebar-debar itu.
"Kau suamiku ...... bagaimana aku dapat membunuhmu .......?" Air mata bercucuran dan menjatuhi
muka Han Sin, air mata yang hangat dan bening.
Makin terharu hati Han Sin. Tak dapat disangkal lagi, Tilana adalah seorang wanita yang amat
cantik jelita, yang berwatak aneh, keras sekali, akan tetapi ...... amat mencintainya. Wanita lain
mungkin akan membunuhnya. Ia telah menolak cinta kasih wanita ini, malah sudah menghinanya,
sudah mengusirnya. Akan tetapi Tilana malah mengaku sebagai isterinya, kini malah agaknya tidak
tega melihat dia disiksa.
"Tilana ......, kau terlampau baik bagiku ...... menerima cintamu ....... aku sudah berbuat dosa
kepadamu, kalau kau mau bunuh aku, bunuhlah Tilana ........"
Tilana terisak, mempererat pelukannya. "Tidak ....., tidak .....! Kau laki-laki perkasa, kau terlalu
baik hati. Aku tahu, kau lihai dan kalau kau kehendaki, sepuluh orang aku dibantu seratus orangku
masih takkan mampu melukaimu seujung rambut. Akan tetapi kau sengaja mengalah, kau sengaja
membiarkan dirimu disiksa ......ah, Han Sin ......... Han Sin, aku tidak mengerti, bukankah ini berarti
bahwa kau ..... kau cinta kepadaku" Kenapa kau menolak cinta kasihku" Kenapa kau menolak
kehendak Tuhan bahwa kita ini berjodoh ......" Kenapa" Kenapa .........?"
Han Sin menggelengkan kepalanya. lalu bangun duduk sambil tersenyum sedih. "Tak mungkin,
Tilana ........, tak mungkin aku mencintai wanita lain. Memang kau baik sekali, kau cantik jelita,
halus budi, dan gagah perkasa, akan tetapi ...... sayang sekali ..... aku tak dapat mencintaimu "
Tilana menyusuti air matanya, lalu dengan mata merah ia memandang Han Sin dan bertanya, "Kau
tidak bisa mencinta wanita lain ..... berarti kau telah mencinta seorang wanita?"
Han Sin mengangguk.
"Siapa dia?" pertanyaan ini memperdengarkan kepanasan hati, membayangkan cemburu yang besar.
Han Sin menggeleng kepala. Bagaimana ia bisa menyatakan kepada Tilana bahwa ia mencinta Bi
Eng" "Kau bohong. Kalau betul ucapanmu tadi, kau harus mengaku siapa dia yang kaucinta. Barulah aku
akan puas, baru aku mau mengalah ........"
Han Sin berpikir sebentar. Kalau ia diam saja tidak mengaku, tentu ia akan membuat Tilana makin
penasaran dan sengsara hatinya lagi.
"Aku mencinta ...... Bi Eng ......."
"Plak! Plak!" Dua kali tangan Tilana menampar pipi Han Sin, sampai panas terasa oleh pemuda itu
yang hanya tersenyum sedih.
"Kau ini laki-laki macam apa" Bagaimana bisa seorang kakak mencinta adiknya sendiri seperti
cinta kasih seorang pria terhadap wanita?"
Sudah kepalang tanggung bagi Han Sin. Ia harus membuat pengakuan, agar Tilana tidak penasaran
lagi. "Bi Eng bukanlah adikku yang sesungguhnya ....., dia ......, dia itu ..... dia itu ....... dia puteri
Balita ....."
Tilana tersentak kaget, wajahnya pucat. "Apa ...... artinya kata-katamu ini" Anak ibu hanya aku
seorang!" Han Sin tersenyum. "Banyak rahasia terpendam, banyak hal aneh terjadi di waktu kau masih kecil,
Tilana. Sebaiknya kau tanyakan hal ini kepada Balita, orang yang selama ini kau anggap ibumu itu.
Aku sendiri masih belum tahu banyak "
Tilana dengan muka pucat memandang Han Sin bibirnya bergerak-gerak perlahan, "Bagaimana
mungkin ....." Masa dia itu saudaraku sendiri" Kakak atau adikku .........?" Kemudian, memandangi
muka Han Sin yang masih lecet-lecet kulitnya dan berdarah, cinta kasihnya timbul dan sambil
menangis ia menubruk pemuda itu.
"Han Sin ...... suamiku, jangan kau mempermainkan aku ...... bilang bahwa semua kata-katamu itu
bohong belaka. Aku akan mengampuni kau ....., kaulah orangnya yang akan dapat membahagiakan
hidupku. Biarkan aku ikut denganmu, biar aku hidup menderita dan kekurangan di sampingmu.
Biarkan aku yang menghiburmu, yang melayanimu, mencuci pakaianmu, memasakkan makananmu
....... Han Sin, kau kasihanilah aku ........"
Han Sin sedih sekali. Andaikata tidak ada Bi Eng, alangkah akan mudah dan senangnya baginya
untuk mencinta wanita ini. Ia mengelus-elus rambut yang hitam dan halus itu, membiarkan Tilana
menangis terisak-isak di dadanya, membiarkan Tilana melampiaskan kedukaannya. Setelah reda
tangis Tilana, Han Sin berkata lemah lembut,
"Tilana, kau seorang gadis yang berhati setia. Akupun demikian, Tilana. Selama hidupku aku hanya
dapat mencinta seorang wanita saja. Aku tak dapat mengkhianati cinta kasih di hatiku sendiri,
biarpun Bi Eng belum tahu akan perasaanku ini, akan tetapi di dalam hati aku sudah bersumpah
takkan mencinta wanita lain. Biarlah kita berpisah sebagai sahabat, Tilana, tentu saja ....... kalau kau
sudi mengampuniku. Kalau tidak, kau boleh membunuhku kalau hal itu kau kehendaki ......."
"Han Sin ......." Tilana menahan isaknya. "Aku ....... aku takkan kuat hidup berpisah darimu, setelah
apa yang terjadi ....... setelah aku menjadi isterimu ....... bila kita dapat bertemu kembali setelah
perpisahan ini ........?"
"Kelak kita tentu akan bertemu kembali, Tilana. Bertemu sebagai sahabat, atau sebagai saudara.
Sekarang biarkan aku pergi, masih banyak tugas yang harus kuselesaikan. Andaikata kita takkan
saling bersua di dalam dunia ini, akhirnya kitapun akan berkumpul di alam baka. Semua orang
akhirnya akan bersatu juga ......."
"Han Sin ......., Han Sin .... sekali bertemu aku jatuh cinta padamu, akan tetapi sekali bertemu kau
menghancurkan hatiku .........."
Han Sin hanya menarik napas panjang. Semalam suntuk Tilana menangis dan membujuk,
bermohon, merendahkan diri agar supaya Han Sin suka membawanya, suka diikutinya. Malah gadis
ini sampai menyatakan bahwa ia sudah akan merasa puas kalau diperbolehkan menjadi seorang
pelayannya, biar dia melayani Han Sin dan isterinya kelak, siapapun juga isterinya itu, asal saja ia
diperbolehkan ikut dan selalu berada di sisinya. Beginilah cinta kasih yang sudah berakar mendalam
di hati wanita.
Han Sin merasa amat terharu dan kasihan. Dia belum pernah mengenal cinta kasih wanita seperti
ini. Benar pernah ia merasai cinta kasih Li Hoa, akan tetapi tidak seperti sikap Tilana ini. Ia merasa
amat kasihan dan berusaha menghibur hati Tilana.
Pada keesokan harinya, dengan hati berat, mata merah bengkak karena banyak menangis, muka
sebagian ditutup kerudung agar tidak kelihatan oleh orang-orangnya bahwa ia masih saja menangis,
Tilana akhirnya melepaskan Han Sin. Malam tadi dia sendiri yang mengobati luka-luka di tubuh
Han Sin, malah ia menjahitkan pakaian Han Sin yang cabik-cabik bekas cambukan. Setelah tidak
ada harapan lagi untuk menahan Han Sin, Tilana mengajukan permintaan agar supaya monyet itu,
Siauw-ong dititipkan kepadanya.
"Aku akan memeliharanya baik-baik," katanya, "biarlah untuk sementara ini dia menjadi kawanku
biar dengan adanya dia di sampingku aku akan merasa berdekatan denganmu. Pula ...... dengan
adanya dia padaku, aku merasa yakin bahwa kau tidak bohong, bahwa tentu kau akan datang
mengunjungi aku di lembah Sungai Kuning di perbatasan Propinsi Shan-si."
Memang tadinya Han Sin berjanji hendak mengunjungi tempat tinggal Tilana yaitu di lembah
Sungai Kuning. Sekarang Tilana mengajukan permintaan ini, berat baginya untuk meninggalkan
Siauw-ong. Akan tetapi, kalau ia menolaknya, tentu akan membuat Tilana tidak percaya kepadanya
dan pula, memang di dalam tugasnya yang berat mencari Hoa-ji, lebih baik kalau ia meninggalkan
Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Siauw-ong di tempat yang aman.
Demikianlah, setelah banyak memberi tanda dengan kata-kata dan tangan kepada monyetnya
akhirnya Siauw-ong mengerti dan mau ditinggalkan, apalagi ketika dengan halus Tilana
memondongnya dan membiarkan monyet itu duduk di pundaknya. Monyet adalah seekor binatang
yang mudah mengenal baik buruknya maksud orang dan mudah mengenal isi hati dari gerakan
orang itu. Ia merasa bahwa wanita ini tidak bermaksud buruk kepadanya, maka karena takut kepada
Han Sin, iapun tidak membantah perintah ini.
Tilana berdiri dengan Siauw-ong di pundaknya, memandang ke arah gerobak kecil yang
ditunggangi Han Sin bergerak ke utara, sampai gerobak itu lenyap di sebuah tikungan. Dengan isak
tertahan ia lalu melompat ke atas kudanya dan memberi tanda kepada orang-orangnya untuk
melanjutkan perjalanan.
**** Makin ke utara, makin terasa suasana perang. Mulai ramailah jalan, berbondong-bondong orang
menuju ke selatan. Setiap kali bertanya, Han Sin mendapat jawaban bahwa pertempuranpertempuran
mulai pecah di perbatasan. Bala tentara Mongol sudah mulai menyerang dari beberapa
tempat dan selalu mendapat perlawanan yang gigih dari barisan Mancu yang dibantu oleh orangorang
Han. Penduduk yang tidak mau ikut terseret dalam pertempuran, melarikan diri ke selatan,
mengungsi. Memang tak dapat disangkal pula, semenjak jaman dahulu sampai sekarang, tiap kali terjadi
pertempuran dalam perebutan kekuasaan, tiap kali terjadi perang, yang paling hebat menderita
adalah rakyat. Bagi rakyat di daerah perbatasan ini, selalu menjadi korban. Kalau orang-orang
Mongol yang mendesak tentara Mancu keluar dari sebuah kampung, maka seisi kampung itu habis
dirampoki oleh orang orang Mongol, diambil barang-barangnya, diculiki wanita-wanitanya dan
dibunuhi orang-orang lelakinya.
Kalau orang-orang Mancu yang menang, nasib malang tidak banyak bedanya. Diperas, diambili
bahan makan untuk ransum tentara, diganggu wanitanya dan kalau membantah dicap membantu
musuh! Inilah sebabnya maka para penduduk itu merasa lebih aman mengungsi, meninggalkan
rumah dan kampung halaman, lebih aman mengungsi seanak isterinya, entah ke mana dan entah
bagaimana jadinya dan apa yang akan dimakannya. Pokoknya lebih dahulu meninggalkan tempat
pertempuran itu, meninggalkannya jauh-jauh neraka dunia itu.
Pasukan-pasukan Mancu mulai tampak, kadang-kadang berkelompok menunggang kuda, kadangkadang
berbaris tak teratur. Han Sin mulai menarik perhatian dan dicurigai. Ketika ia tiba di luar
kota Ta-tung, sepasukan tentara Mancu menyetopnya dan ia dengan gerobaknya segera dikurung.
"Siapa kau" Dari mana dan mau ke mana" membawa apa dalam gerobak ini?" Pertanyaan bertubitubi
menghujani Han Sin yang mendongkol juga melihat sikap mereka. Mereka ini adalah tentara
Mancu, berarti tentara penjajah tanah airnya, berarti musuh-musuhnya!
"Mungkin dia mata-mata Mongol!" terdengar seorang tentara berkata.
Akan tetapi, pada masa itu, para tentara Mancu tidak berani sembarangan mengganggu orang Han.
Hal ini adalah atas perintah yang keras dari para pembesar Mancu di bawah pimpinan Pangeran
Yong Tee. Mereka, orang-orang Mancu ini, dalam menghadapi pemberontakan Mongol amat
membutuhkan bantuan orang-orang Han, terutama sekali orang-orang gagah di dunia kang-ouw,
maka pada para anak buah dipesan supaya berhati-hati dan jangan sembarangan bersikap kasar
terhadap orang-orang Han dari selatan.
"Aku orang she Cia, datang dari Lu-liang-san hendak ke kota Ta-tung. Aku membawa barang
antaran, kalian ini menghadang mau apakah" Apa mau merampok?" jawab Han Sin dengan suara
bernada marah. Tidak biasanya Han Sin bersikap sekasar ini, akan tetapi bertemu dengan tentara
Mancu yang dianggap musuhnya, timbul kebenciannya.
Seorang tentara yang menjadi pemimpin pasukan itu, maju dan berkata dengan suara halus, "Sama
sekali tidak, saudara Cia. Orang-orang selatan adalah sahabat sahabat kami. Akan tetapi, kami
bertugas di sini dan dalam keadaan perang menghadapi pemberontakan penjahat-penjahat Mongol,
kami harus berlaku hati-hati dan memeriksa setiap orang yang memasuki Ta-tung yang menjadi
tempat pertahanan."
Kemarahan hati Han Sin tidak men?jadi reda dengan sikap halus ini.
"Kalian berperang dengan orang Mongol bukan urusanku. Aku sudah menjawab pertanyaan, sudah
mengaku she-ku, sudah memberi tahu bahwa aku mengantar barang ke Ta-tung. Kalian percaya
atau tidak, juga bukan urusanku. Harap kalian minggir dan membiarkan aku masuk kota."
Jawaban ini membikin marah semua tentara di situ. "Kasar sekali dia! Tangkap saja!" teriak seorang
yang berangasan. Akan tetapi kepala pasukan itu masih berkata halus,
"Saudara Cia, kami bersikap lunak kepadamu, kenapa kau bersikap begitu kasar" Kewajiban
kamilah untuk memeriksa isi gerobak ini. Harap kau suka membuka dua peti itu."
"Tak mungkin!" Han Sin makin marah. "Setelah menjajah tanah airku, apakah kalian masih hendak
menindas dan menghalangi pergerakan bebas seseorang" Peti-peti itu hanya titipan, bukan milikku.
Aku sendiri yang bertugas mengantar tidak berani membuka, apalagi orang lain, tentu tak
kuperbolehkan."
"Kau melawan?" Si berangasan tadi melangkah maju dan memukul kepala Han Sin. Pemuda ini
mengangkat tangan, dua lengan bertemu "dukk!" dan si berangasan menjerit kesakitan, roboh
terguling dengan tulang lengan patah-patah! Ia mengaduh-aduh dengan muka pucat.
"Seekor semut sekalipun akan melawan kalau diinjak, apalagi manusia yang tak bersalah tentu akan
melawan kalau diserang," kata Han Sin, sikapnya tenang namun sepasang matanya memancarkan
sinar yang amat tajam menusuk dan seakan-akan berkilat-kilat, membuat semua orang yang
mengepungnya menjadi gentar juga. Kepala pasukan maklum bahwa ia berhadapan dengan seorang
pandai, maka cepat ia menjura sambil bertanya,
"Maafkan kelancangan anak buahku. Sicu (tuan yang gagah) apakah mempunyai kenalan orang
gagah yang membantu pasukan kami di Ta-tung?"
Han Sin berpikir. Menurutkan perasaannya ia tidak sudi berbaik dengan mereka ini, malah ingin ia
menumpas mereka. Akan tetapi pikirannya yang sehat memaksanya bersikap lain. Ia sedang
bertugas tidak hanya harus melindungi dua buah peti titipan Lie Ko Sianseng. Ia sudah berjanji
melindunginya, kalau sampai terjadi keributan dan peti-peti itu hilang, bukankah berarti ia
melanggar janji" Pula, ia sedang mencari Hoa-ji, malah belum berkumpul kembali dengan Bi Eng.
Alangkah tidak baiknya kalau ia mencari musuh di sini.
"Aku kenal baik dengan nona Thio Li Hoa. Kalian percaya atau tidak, terserah!"
Kepala pasukan itu menjadi terkejut dan saling pandang juga anak buahnya. Nama Thio Li Hoa
siapakah yang tidak mengenalnya" Puteri Thio-taijin yang amat lihai, seorang pendekar wanita
yang gagah perkasa! Pada saat itu datang lagi serombongan orang. Mereka ini berpakaian seperti
pengemis-pengemis dan sebagian pula berpakaian sebagai tosu (pemeluk Agama To).
"Haii ....... bukankah itu Cia-taihiap dari Min-san .......?"" Tiba-tiba seorang tosu tua berseru girang.
Tosu ini tua dan gagah sikapnya, rambutnya digelung satu dan sekali ia menggerakkan kaki tahutahu
tubuhnya sudah melayang dan turun di depan Han Sin. Gerakkannya ringan dan cepat seperti
burung terbang saja. Han Sin segera mengenalnya. Cepat-cepat ia menju?ra. "Eh, kiranya Hee Tojin
berada di sini pula.........!"
Ternyata bahwa para tosu itu adalah anggauta-anggauta Cin-ling-pai dan pemimpin mereka adalah
Hee Tojin, seorang di antara Cin-ling Sam-eng yang semenjak tewasnya para pimpinan Cin-ling-pai
yaitu Giok Thian Cin Cu, It Cin Cu, dan Ji Cin Cu, telah dianggap sebagai ketua Cin-ling-pai. Tentu
saja ia mengenal Han Sin yang menjadi tuan penolongnya.
Di lain pihak, Han Sin menjadi heran sekali. Bagaimana orang-orang Cin-ling-pai yang tadinya
berjiwa patriotik sekarang tahu-tahu berada di situ dan agaknya bersatu dengan barisan Mancu"
Bukankah dahulu orang-orang gagah ini memusuhi Mancu" Lebih besar keheranan hatinya ketika ia
mengenal bahwa di antara para pengemis itu terdapat pula Sin-yang Kai-pangcu Kui Kong, murid
luar Ciu-ong Mo-kai yang dahulu juga seorang patriot! Kenapa dia dan kawan-kawannya itupun
berada di Ta-tung, padahal dulu amat membenci penjajah Mancu" Benar-benar amat mengherankan
semua perubahan ini dan andaikata ia belum mendengar keterangan Li Hoa, tentu ia akan merasa
tidak senang sekali kepada mereka.
Ketika para pengemis dan tosu kang-ouw ini mendengar dari pemimpin regu tentara Mancu tentang
dua buah peti yang dibawa Han Sin, mereka mendekati gerobak Han Sin. Hee Tojin mengerutkan
keningnya dan bertanya,
"Cia-taihiap, kita adalah orang-orang sendiri. Harap kau maafkan kalau prajurit prajurit kasar ini
tadi mengganggumu. Akan tetapi, pinto rasa kaupun takkan berkeberatan memberi tahu secara
berterus terang, siapakah yang mempunyai peti peti ini dan hendak dikirimkan kepada siapa?"
Han Sin maklum bahwa dia mendekati daerah berbahaya, daerah pertempuran dan sudah
semestinya kalau para pejuang yang menjaga di situ harus berlaku waspada. Dia sendiri andaikata
menjadi seorang pejuang yang berjaga, tentu akan berlaku waspada dan tidak mudah mempercayai
orang. Sambil tersenyum ia menjawab,
"Di jalan aku bertemu dengan Lie Ko Sianseng si Raja Swipoa. Nah, dialah yang mempunyai petipeti
ini dan dia minta aku menyerahkan dua peti ini kepada seorang penerima yang akan
menyambutku membawa surat kuasanya di Ta-tung.
Terdengar seruan-seruan curiga di antara para pengemis, bahkan Hee Tojin juga memandang tajam.
"Milik Swi-poa-ong Lie Ko Sianseng" Cia-taihiap, kenapa kau suka membawakan barangnya"
Itulah berbahaya sekali! Tak tahukah kau bahwa Lie Ko Sianseng itu adalah seorang kaki tangan
Mongol, orang yang dipercaya oleh Pangeran Galdan?"
Tak senang hati Han Sin mendengar ini. Andaikata mereka ini, para tosu dan pengemis kang-ouw
ini berjuang membela tanah air melawan penjajah asing, dia tentu akan turun tangan membantu
tanpa ragu-ragu lagi. Akan tetapi mereka ini biarpun memerangi orang Mongol, nyatanya
menghambakan diri kepada pemerintah penjajah Mancu!
"Dia itu kaki tangan orang Mongol atau kaki tangan orang Mancu, aku tidak perduli. Bukan
urusanku." Jawaban ini membuat para tosu dan pengemis kang-ouw itu merah mukanya. Sudah
tentu saja mereka merasa disindir.
"Ah, agaknya kau tidak tahu, taihiap. Apakah kau belum bertemu dengan Ciu-ong Mo-kai?" kata
Hee Tojin. "Siapapun juga takkan dapat merobah pendirianku tadi," jawab Han Sin. "Pendeknya, aku akan
membawa barang-barang ini ke Ta-tung, lalu mencari adikku dan pergi meninggalkan Ta-tung.
Perang antara Mancu dan Mongol bukan urusanku dan aku tidak mau ikut-ikut. Harap kalian suka
minggir dan jangan mengganggu aku."
Hee Tojin sudah mengenal kelihaian pemuda ini, malah pemuda ini adalah pewaris dari pada ilmuilmu
Giok Thian Cin Cu, jadi menurut tingkat masih terhitung paman gurunya sendiri! Juga orangorang
seperti Sin-yang Kai-pangcu Kui Kong dan beberapa orang lagi di antara tosu dan pengemis
kang-ouw itu sudah mengenal Han Sin.
Akan tetapi, ada beberapa orang kang-ouw yang belum mengenalnya dan mereka inilah yang
menjadi penasaran sekali. Menghadapi seorang pemuda begini sombong, mengapa saudara-saudara
mereka itu begitu bersabar hati dan mengalah"
"Cia-taihiap, harap kau maklumi keadaan kami. Karena barang-barang ini milik Lie Ko Sianseng,
terpaksa kami harus memeriksanya, bahkan sebetulnya harus kami sita!" kata pula Hee Tojin secara
terpaksa. Bangkit kemarahan Han Sin. "Tidak boleh! Siapapun juga tidak boleh mengganggu barang ini
selama aku masih hidup!"
Hee Tojin mengerutkan keningnya. "Cia-taihiap, kau agaknya sudah terkena bujukan Swi-poa-ong!
Kenapa kau sampai melindungi barang-barangnya seperti ini?"
Han Sin melompat dan tahu-tahu ia telah berada di atas atap gerobaknya. Dengan tenang dan gagah
pemuda ini bertolak pinggang, memandang ke sekelilingnya, kepada mereka yang mengurungnya,
lalu berkata tenang,
"Seorang laki-laki harus memenuhi janjinya. Aku sudah berjanji akan mengantar barang-barang ini
sampai ke Ta-tung, dan akan melindunginya mempertaruhkan nyawa! Kalian boleh menggunakan
alasan apapun juga, akan tetapi akupun tetap pada janjiku. Sebelum aku mati, jangan harap dapat
mengganggu barang-barang ini. Siapa hendak mencoba-coba, boleh maju!"
32. Perbedaan Pendapat Guru Dan Murid
UCAPAN ini terdengar sombong, memang Han Sin sudah marah sekali dan ia merasa menjadi
kewajibannya untuk melindungi barang-barang itu sebagai pelaksanaan dari pada janjinya. Memang
ia sudah nekat, hal ini bukan hanya karena pendiriannya sebagai seorang laki-laki yang satu kali
berjanji harus dipegang sampai mati.
Akan tetapi juga ada dua faktor penting yang mempertebal kenekatannya, yaitu pertama karena ia
merasa marah melihat orang-orang yang dulu dianggapnya patriot-patriot sejati itu sekarang mau
mengekor dan menghambakan diri kepada pemerintah penjajah, dan kedua kalinya karena semenjak
terjadi peristiwa dengan Tilana, ia memang merasa amat bingung dan berduka sehingga tidak
perduli lagi apakah ia akan mati ataukah hidup!
Tentu saja orang-orang yang mengelilinginya marah mendengar ini. Hee Tojin, Sin-yang Kaipangcu,
dan lain-lain tokoh yang sudah mengenal pemuda ini dan menghormatinya bukan saja
sebagai pendekar, akan tetapi juga sebagai putera Cia Sun taihiap, masih merasa ragu-ragu dan
tidak berani turun tangan. Akan tetapi, tokoh-tokoh kang-ouw yang belum mengenal Han Sin tak
dapat menahan marahnya lagi.
"Pemuda sombong, kau mengandalkan apa sih?" bentak seorang pengemis bertubuh tinggi besar.
Pengemis ini adalah seorang tokoh dari selatan, ketua dari perkumpulan pengemis Po-yang Kaipang,
namanya Can Kwan. Dia adalah seorang ahli gwakang dengan tenaga raksasa yang amat
hebat, senjatanya sebuah toya baja yang berat. Setelah membentak ia lalu melangkah maju dan
toyanya ia gerakkan menyambar ke arah kedua kaki Han Sin yang berdiri di atas gerobaknya.
Pemuda ini tersenyum mengejek, sama sekali tidak mengelak, bahkan ia lalu menggerakkan kaki
kirinya menendang ke arah ujung toya yang sudah menyambar dahsyat itu. Hee Tojin yang sudah
mengenal tenaga raksasa dari Can Kwan dan tahu akan kehebatan hantaman toya, merasa khawatir
juga. Mana bisa kaki pemuda itu menahan datangnya toya dengan tendangan" Tentu akan hancur
kakinya dan diam-diam Hee Tojin merasa tidak enak hatinya. Juga para tokoh lain memandang
dengan hati tegang, membayangkan betapa kaki itu akan hancur dan tubuh pemuda itu akan
terlempar jatuh ke bawah.
"Dukkk!" Ujung toya bertemu dengan ujung kaki Han Sin dan kesudahannya membuat semua
orang berseru kaget. Bukan kaki itu yang hancur, melainkan Can Kwan yang berteriak ngeri. Toya
itu terpental menghantam pundaknya sendiri, membuat tulang pundaknya remuk dan tak dapat
dicegah lagi ia roboh terguling-gu?ling sambil mengaduh-aduh lalu pingsan!
Gegerlah suasana di situ semua orang menjadi kaget dan marah. Beberapa orang pengemis kawankawan
Can Kwan mengayun tubuh melompat ke atas atap gerobak, dengan senjata masing-masing
menyerang Han Sin dengan maksud merobohkannya dari atas atap.
Akan tetapi, belum juga kaki mereka menyentuh atap gerobak, empat orang yang melompat
berbareng itu memekik dan roboh kembali seperti dibanting oleh tenaga raksasa. Mereka hanya
merasa ada tenaga yang menolak mereka. Tenaga ini demikian hebat dan tak dapat dilawan sampaisampai
mereka tak dapat menguasai diri ketika jatuh dan terbanting di tanah mengeluarkan suara
berdebuk. Empat orang itu meringis-ringis kesakitan, ada yang tulang kakinya patah, ada yang
perutnya mulas karena bantingan itu dan ada yang matanya berkunang-kunang dan kepala pusing!
Makin gemparlah orang-orang yang mengurung Han Sin. Tadi mereka tidak melihat pemuda itu
menyerang lawan, hanya menggerakkan kedua tangan saja, akan tetapi tanpa menyentuh keempat
orang lawannya, ia sudah berhasil merobohkan mereka. Benar-benar hal yang hampir tak dapat
dipercaya oleh mereka, kecuali Hee Tojin dan Sin-yang Kai-pang?cu yang keduanya sudah maklum
bahwa pemuda itu mewarisi ilmu silat Lo-hai-hui-kiam dari Giok Thian Cin Cu dan ilmu silat Liaphong
Sin-hoat dari Ciu-ong Mo-kai!
Para pengurung menjadi ragu-ragu dan jerih. Mereka saling menanti, akan tetapi tak seorangpun
berani mencoba-coba menyerang Han Sin yang masih berdiri di atap gerobaknya dengan sikap
tenang dan angker.
"Sin-ko ....!" Tiba-tiba terdengar seruan girang.
"Eng-moi .....!" Han Sin juga berseru girang ketika melihat Bi Eng datang berlari-lari bersama Li
Hoa. Di belakang dua orang gadis ini kelihatan tiga orang lagi, yaitu seorang pengemis berpakaian
tambal-tambalan berambut kusut awut awutan membawa sebuah guci arak, seorang gadis yang
cantik dan wajahnya mirip Li Hoa bersama seorang pemuda yang gagah dan tampan.
Han Sin tidak mengenal gadis itu, akan tetapi ia segera mengenal pemudanya yang bukan lain
adalah Phang Yan Bu, putera dari Ang-jiu Toanio. Adapun pengemis aneh itu bukan lain adalah
Ciu-ong Mo-kai! Gadis yang berada di sisi Phang Yan Bu itu bukan lain adalah Thio Li Goat, adik
Li Hoa. Kita sudah mengenal Li Goat ini sebagai puteri Thio-ciangkun, seorang gadis yang bersama
cicinya, Li Hoa, berjiwa patriotik seperti ibunya. Ketika orang-orang gagah yang tadinya berselisih
faham dan berlawanan, mereka yang pro dan yang anti pemerintah Ceng, kini bersatu dalam
menghadapi pemberontakan Bhok-kongcu alias Pangeran Galdan, dua orang enci adik yang gagah
perkasa ini tidak mau ketinggalan. Merekapun berangkat ke utara dan membantu pembasmian
pemberontak Mongol yang ingin menjajah kembali Tiongkok. Dalam perjuangan inilah Li Goat
bertemu dan berkenalan dengan Phang Yan Bu, dan keduanya saling tertarik, akhirnya mereka
menjadi sahabat baik.
Ketika Li Hoa muncul bersama Bi Eng di Ta-tung, Yan Bu dan Li Goat girang. sekali bertemu
dengan gadis dari Gunung Min-san ini. Phang Yan Bu masih bersikap ramah-tamah dan baik sekali
terhadap Bi Eng, sungguhpun sekarang pemuda ini menjadi ragu-ragu dalam menentukan pilihan
hatinya. Terhadap Bi Eng diam-diam ia masih menaruh hati kagum dan tertarik. Bi Eng adalah seorang
gadis yang lincah gembira, bersemangat dan panas seperti cahaya matahari, cantik manis dan jujur.
Di lain pihak, Li Goat adalah seorang gadis cantik jelita yang pendiam, bersungguh-sungguh, sopan
dan pengetahuannya luas. Bagaikan bunga, Bi Eng adalah setangkai bunga mawar hutan yang
semerbak harum, bergoyang-goyang gembira kalau terbawa angin. Sebaliknya Li Goat bagaikan
bunga seruni yang tenang, tak mudah tergoyangkan angin, akan tetapi memiliki daya penarik
tersendiri. Diam-diam Phang Yan Bu suka menbanding-bandingkan dua orang gadis kawan baiknya ini di
dalam hatinya, dan kadang-kadang ia mengeluh dan memaki diri. sendiri. "Kau pemuda gila, mata
keranjang, yang itu suka yang ini cinta. Bodoh, memalukan!"
Akan tetapi, pandang mata Li Goat yang kadang-kadang mengandung sinar kasih sayang
kepadanya, membuat Phang Yan Bu lebih condong kepada Li Goat. Ia dapat menduga bahwa Li
Goat "ada hati" kepadanya, sebaliknya, Bi Eng bersikap terbuka dan riang kepadanya, seperti juga
kepada orang lain.
Bi Eng juga girang sekali ketika di Ta-tung ia bertemu dengan teman-teman lama ini. Apalagi
ketika ia bertemu pula dengan Ciu-ong Mo-kai, gurunya.
"Bi Eng, kau datang ke sini mau apa?" tanya Ciu-ong Mo-kai setelah hilang keheranannya melihat
murid yang tak tersangka-sangka ini.
Setelah memberi hormat, Bi Eng berkata manja, "Teecu (murid) bertemu dengan enci Li Hoa dan
yang menolong Siauw-ong yang terluka. Karena Sin-ko hendak pergi mencarikan obat, teecu diajak
enci Li Hoa ke sini, bertemu dengan suhu dan teman-teman sambil menanti datangnya Sin-ko."
Ciu-ong Mo-kai cemberut. "Tempat ini menjadi tempat perang. Apa-apaan kau anak kecil datang ke
sini" Tempat berbahaya, tahu?"
Bi Eng mengerling manja. "Suhu sendiri datang ke sini, kenapa teecu tidak" Apa yang diperbuat
oleh gurunya, tentu selalu diturut dan dicontoh muridnya!"
Ciu-ong Mo-kai semenjak dulu tak pernah dapat marah kepada muridnya ini. Malah sering kali Bi
Eng yang "ngambul" dan marah kepada suhunya. Sekarang mendengar jawaban muridnya ini, Ciuong
Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mo-kai tertawa bergelak lalu menenggak arak wangi dari gucinya. "Aku tidak bisa berbantah
dengan kau. Tunggu saja sampai Han Sin datang, aku akan perintahkan dia membawamu pergi dari
sini, ke tempat aman!"
Demikianlah Bi Eng merasa senang berada di Ta-tung bersama orang-orang yang dikenalnya. Ia
bertemu dengan tokoh-tokoh persilatan dan merasa amat heran mengapa orang-orang yang dulu
bermusuhan sekarang bisa bekerja sama membantu pemerintah Ceng. Gadis ini biarpun masih hijau
namun berkat bimbingan Han Sin, memiliki kecerdikan pula. Maka setelah ia mendengar penuturan
Li Hoa dan yang lain-lain, ia mengerti bahwa semua ini tentulah hasil dari pada kebijaksanaan
Pangeran Yong Tee!
Pangeran itu amat bijaksana dan dengan kebijaksanaannya itulah ia dapat menarik para enghiong
sehingga orang-orang yang tadinya berjiwa patriot, orang-orang yang tadinya tidak rela melihat
tanah air dijajah bangsa lain, kini malah membantu pemerintah penjajah itu untuk menghadapi
ancaman Bangsa Mongol di bawah pimpinan Pangeran Galdan atau Bhok-kongcu!
Memang tepat dugaan Bi Eng ini. Pangeran Yong Tee-lah yang mengatur semua ini sehingga
tokoh-tokoh kang-ouw seperti Ciu-ong Mo-kai, tosu-tosu Cin-ling-pai dan banyak kai-pang
(perkumpulan pengemis kang-ouw) yang tadinya memusuhi pemerintah Mancu, sekarang
berbondong menuju ke utara untuk menghalau ancaman Bangsa Mongol yang bermaksud menyerbu
ke selatan dan menjajah kembali daratan Tiongkok.
Tentu saja dalih-dalih yang ditonjolkan oleh Pangeran Yong Tee untuk menggugah sikap
perlawanan para enghiong ini adalah untuk membela tanah air dan bangsa dari pada penindasan
orang-orang Mongol yang terkenal kejam. Malah dikeluarkannya dalih bahwa Bangsa Mancu
adalah Bangsa Tiongkok juga, dan karena itulah maka orang-orang Mancu bersiap sedia
mengorbankan nyawa untuk melindungi tanah air Tiongkok dari pada penindasan siapapun juga.
Orang-orang gagah itu digali ingatannya akan penderitaan rakyat selama dijajah oleh orang
Mongol. Dengan propaganda-propaganda yang dilakukan amat pandai inilah Pangeran Yong Tee berhasil
menarik bantuan banyak orang kang-ouw. Tentu saja di pihak Bhok-kongcu atau Pangeran Galdan
di Mongol, juga tiada hentinya menyebar propaganda untuk merobohkan penjajah Ceng, untuk
mengusir orang-orang Mancu dari Tiongkok dan dengan jalan ini Bhok-kongcu juga berhasil pula
menarik bantuan orang-orang gagah Bangsa Han sendiri.
Dengan demikian, maka dua orang tokoh pandai ini, Pangeran Yong Tee dari Mancu, Pangeran
Galdan dari Mongol, selain menggunakan bala tentara sendiri masing-masing, juga telah memecah
belah orang-orang Han untuk saling bertempur dan berperang sendiri, sepihak membantu Mancu,
lain pihak membantu Mongol!
Bangsa yang melupakan persatuan, tentu akan lemah sekali, demikian pula keadaan Bangsa Han di
Tiongkok di jaman dahulu. Selalu cakar-cakaran, selalu bunuh-membunuh dan bertempur di antara
mereka sendiri. Perang saudara susul-menyusul, rakyatnya sampai bingung dan sengsara
dipermainkan nafsu-nafsu berkuasa para pemimpin.
Dalam keadaan rakyat saling cakar di bawah pimpinan pembesar-pembesar yang memperebutkan
kekuasaan ini, keadaan negara menjadi lemah dalam arti menghadapi ancaman dari luar. Kalau
tidak demikian halnya, kalau rakyat bersatu padu, kekuasaan apakah di dunia ini yang dapat
mengalahkan Tiongkok yang begitu banyak rakyatnya"
Akan tetapi, karena tidak adanya persatuan sepanjang masa inilah, maka pernah Bangsa Mongol
menjajah Tiongkok sejak penyerangan pertama sampai berakhirnya Kerajaan Mongol selama dua
ratus tahun! Dan itu pulalah yang menjadikan sebab mengapa Bangsa Mancu sampai dapat
menjajah Tiongkok selama tiga ratus tahun!
Sepanjang keterangan yang diperoleh Bi Eng, pertempuran sudah terjadi di sekitar daerah Ta-tung
di bagian utara. Berkali-kali pihak Mongol hendak menerobos ke selatan melalui beberapa tempat
dan selalu mereka itu dapat dipukul mundur oleh pihak Mancu. Ta-tung dijadikan pusat pertahanan
Mancu dan di sinilah berkumpul "sukarelawan-sukarelawan" bangsa Han seperti Ciu-ong Mo-kai
dan yang lain-lain. Malah kabarnya Pangeran Yong Tee sendiri seringkali dari kota raja datang ke
Ta-tung untuk memeriksa keadaan dan memimpin sendiri siasat peperangan.
Bi Eng bertempat tinggal bersama Li Goat dan Li Hoa dan dalam pergaulannya dengan mereka
selama beberapa hari ini, tahulah Bi Eng bahwa ada "apa-apanya" di antara Li Goat dan Phang Yan
Bu. Diam-diam ia merasa girang dan bersyukur karena iapun mengerti bahwa dulu Phang Yan Bu
menaruh perhatian kepada dirinya.
Akan tetapi dia sendiri sampai sekarang tak dapat membalas cinta kasih setiap orang pria. Hanya
kepada Pangeran Yong Tee ia mempunyai perasaan yang mesra, akan tetapi inipun mungkin hanya
karena tertarik oleh sikap pangeran itu yang amat baik dan sopan kepadanya dan dia sendiri tidak
berani menentukan apakah ia mencinta pangeran itu ataukah tidak.
Bi Eng sedang bercakap-cakap dengan Ciu-ong Mo-kai, Phang Yan Bu, Li Hoa dan Li Goat ketika
datang seorang tentara Mancu dengan terengah-engah orang ini berkata kepada Li Hoa,
"Thio-lihiap, ada seorang muda mengamuk di luar kota dan menurut pengakuannya dia sudah
mengenal Thio-lihiap."
Bi Eng dan Li Hoa bertukar pandang Li Hoa segera bertanya, "Bagaimana orangnya?"
"Dia masih muda, tampan dan naik gerobak, menjadi pengawal barangnya Lie Ko Sianseng ....."
"Sin-ko ....." kata Bi Eng yang segera meloncat dan berlari keluar untuk menjemput kakaknya.
Yang lain-lain sambil tertawa juga berlari mengejarnya.
Demikianlah, mereka menyaksikan betapa Han Sin berdiri tegak di atas gerobak, dikurung oleh
banyak tentara dan orang-orang gagah. Malah melihat keadaannya, tentu sudah ada yang berkenalan
dengan kelihaian dengan pemuda itu.
Seperti sudah dituturkan di bagian depan, Bi Eng memanggil kakaknya dan Han Sin girang bukan
main melihat kedatangan Bi Eng, Ciu-ong Mo-kai, Phang Yan Bu, Li Hoa dan seorang gadis yang
tak dikenalnya. Tentu mereka akan dapat melepaskan, dia dari pengurungan yang tak enak ini.
"Sin-ko, mana Siauw-ong?" Bi Eng yang tak sabar lagi sudah meloncat naik ke atas atap gerobak
dan memegang lengan kakaknya.
Berdebar jantung Han Sin mendengar pertanyaan ini dan kembali terbayang di depan matanya
pengalaman yang baru saja ia alami bersama Tilana! Bagaimana ia bisa menceritakan semua itu
kepada Bi Eng" Mukanya menjadi merah sekali. Ia merasa malu dan jengah.
Alangkah lemahnya, biarpun di dalam hati yakin bahwa wanita satu-satunya yang ia cinta hanya Bi
Eng, namun begitu bertemu dengan Tilana yang cantik jelita, yang begitu mencintainya, kembali
pertahanan batinnya runtuh! Ia merasa telah mengkhianati, telah mencurangi, telah berlaku tidak
setia kepada Bi Eng.
"Sin-ko, mana dia" Mana Siauw-ong" Apa yang telah terjadi dengan dia" Apakah dia tak dapat
sembuh?" Dalam hujan pertanyaan ini terkandung isak tertahan dan kegelisahan.
"Jangan khawatir Eng-moi. Siauw ong sudah sembuh."
"Tapi mana dia?"
Han Sin yang merasa hangat hatinya karena dapat merasai pegangan tangan Bi Eng yang malah
memeluk dan mengguncang-guncangnya dalam kegelisahannya akan Siauw-ong, menghiburnya
dan berkata lirih, "Ssttt, nanti kuceritakan, semua. Lihat, kita menjadi tontonan orang disini. Lebih
baik lekas menghadap suhu."
Baru Bi Eng teringat bahwa mereka bukan hanya berdua saja di situ. Banyak sekali mata orang
memandang ke arah mereka, sebagian besar tidak sabar melihat adegan kakak dan adik ini. Sambil
menggandeng tangan Bi Eng, Han Sin meloncat turun dari atap gerobak, langsung menghadap Ciuong
Mo-kai dan memberi hormat.
Untuk beberapa detik sinar mata Ciu-ong Mo-kai bersinar kagum dan penuh keriangan melihat
pemuda itu yang sudah banyak ia dengar semenjak mereka berpisah. Diam-diam kakek ini
seringkali merasa geli hatinya betapa dulu ia sering kali putus harapan melihat Han Sin sebagai kutu
buku yang membenci ilmu silat!
Baru setelah ia mendapatkan kesempatan melihat pemuda itu melatih lweekang secara aneh luar
biasa di dalam kamarnya, kakek ini mendapat kenyataan bahwa tanpa disadari, pemuda itu telah
melatih diri menjadi seorang ahli silat yang luar biasa. Dugaannya ternyata benar karena iapun
sudah mendengar akan sepak terjang Han Sin yang amat ajaib, merobohkan orang-orang terkemuka
dan semua itu dilakukan tanpa disadari.
Kemudian ia mendengar pula betapa pemuda ini sudah memasuki gua dan menjadi ahli waris dari
kitab peninggalan Lie Cu Seng, maka sudah sewajarnya kalau kakek ini merasa kagum dan juga
bangga. Bukankah dia sendiri orangnya yang pertama-tama melatih pemuda ini"
Betapapun juga, karena semua kehebatan itu hanya didengarnya saja dari orang lain dan tak pernah
ia sendiri menyaksikannya, maka ia masih merasa ragu ragu. Han Sin masih kelihatan sederhana
seperti dulu, halus dan merendah, hanya sepasang mata yang dulu sinarnya berkilat seperti mata
harimau di dalam gelap, sekarang menjadi makin kuat dan berpengaruh, akan tetapi penuh
ketenangan. "Han Sin, betulkah bahwa kau mengawal barang-barang Lie Ko Sianseng dan apa sebabnya kau
ribut-ribut dengan mereka ini?" tanya Ciu-ong Mo-kai, terheran juga mengapa pemuda ini mau
membantu Lie Ko Sianseng si Raja Swipoa.
"Betul suhu. Lie Ko Sianseng telah berhasil membantu teecu mencarikan obat untuk Siauw-ong
sampai sembuh dan teecu sudah berjanji untuk membalas budinya dengan mengantar dua peti ini ke
Ta tung. Biarpun tadi teecu mendengar bahwa dia adalah mata-mata Mongol, akan tetapi janji teecu
tak mungkin dapat teecu langgar sendiri. Barang-barang ini harus teecu lindungi sampai ada orang
yang berhak menerimanya," jawab Han Sin, suaranya tegas karena pemuda ini sedikit banyak
merasa tidak senang bahwa orang tua yang ia hormati itupun di sini membantu pemerintahan Ceng.
"Siapakah dia yang berhak menerima?" tanya Ciu-ong Mo-kai.
"Teecu belum tahu. Menurut Lie Ko Sianseng, di Ta-tung akan ada orang yang menerimanya."
Orang-orang di situ makin ribut. Terdengar suara-suara memprotes, "Dia tentu mata-mata Mongol!
Dia kaki tangan Lie Ko Sianseng! Tangkap .....!"
Ciu-ong Mo-kai tertawa bergelak, lalu menghadapi para tentara Ceng dan para pengemis kang-ouw,
"Kalian lihat siapa dia" Dia ini adalah muridku, orang sendiri!"
Akan tetapi orang-orang di situ masih ribut, akhirnya Bi Eng tak sabar lagi dan membentak, "Siapa
berani mengganggu kakakku" Dengar, dia adalah gite (adik angkat) dari Pangeran Yong Tee. Hayo,
siapa berani mengganggunya?"
Suara ribut-ribut itu serentak berhenti dan semua orang memandang dengan heran dan terkejut.
"Eng-moi ......" Han Sin menegur adiknya. Tak senang ia diperkenalkan sebagai adik angkat Yong
Tee, Pangeran Mancu penjajah itu.
Pada saat itu, terdengar bunyi derap kaki kuda dan lima orang perwira Mancu datang dengan cepat
di atas kuda mereka. Melihat pakaian mereka,lima orang tersebut adalah perwira-perwira dari
pasukan pengawal pribadi kaisar. Mereka langsung menghampiri Han Sin setelah turun dari kuda,
dengan sikap hormat seorang di antara mereka berkata,
"Pangeran muda mengirim salam Cia-taihiap dan minta maaf bahwa penyambutan atas pengiriman
dua peti dari Lie Ko Sianseng agak terlambat."
Semua orang terkejut dan heran mendengar ini. Bagaimana pula ini" Lie Ko Sianseng terkenal
sebagai mata-mata atau kaki tangan Bhok-kongcu, kenapa sekarang mengirimkan dua peti yang
agaknya akan diterima oleh utusan pangeran muda atau Pangeran Yong Tee sendiri" Tidak hanya
mereka yang mengerti akan keadaan peperangan menjadi heran, bahkan Han Sin menjadi ragu-ragu.
"Bagaimana aku bisa yakin bahwa dua buah peti ini harus kuserahkan kepada kalian?" tanya Han
Sin dan ia sudah mengambil keputusan di dalam hatinya bahwa apapun yang akan terjadi, kalau
tidak ada tanda surat kuasa dari Lie Ko Sianseng sendiri, dia takkan mau memberikan dua peti yang
sudah diserahkan ke dalam perlindungannya itu.
Perwira tadi tersenyum, lalu mengeluarkan sebuah lipatan kain. "Lie Ko Sianseng tidak keliru
mengutus taihiap, karena memang taihiap amat hati-hati. Inilah surat kuasa dari Lie Ko Sianseng."
Han Sin menerima kain bertulis itu yang berbunyi bahwa Lie Ko Sianseng memberi kuasa kepada
pembawa surat untuk mengambil dua peti batu. Han Sin mengerutkan kening. Batu" Benarkah dua
peti itu berisi batu" Kenapa dianggap benda berharga dan kenapa sampai dijadikan rebutan"
"Kuharap kalian tidak keberatan kalau aku cocokkan dulu isi surat dengan isi peti," katanya
kemudian mengambil keputusan.
Perwira itu tersenyum lagi dan mengangguk-angguk. "Silakan ..... silakan memang pangeran muda
juga memerintahkan kami untuk memeriksa lebih dulu apakah isi peti-peti itu tidak palsu."
Han Sin lalu memasuki gerobaknya, dengan sekali renggut saja papan penutup peti terbuka dan
alangkah mendongkol dan herannya ketika ia melihat bahwa betul saja, dua peti itu terisi batu-batu
besar yang tidak berharga. Diam-diam ia mema?ki Lie Ko Sianseng yang dianggap telah
mempermainkannya. Sebaliknya, lima orang perwira itu nampak puas, mereka membantu Han Sin
menutup kembali peti?-peti itu dan setelah menghaturkan terima kasih kepada Han Sin, mereka lalu
memerintahkan sepasukan tentara mengawal ge?robak berisi dua peti itu ke kota raja!
Malam itu Han Sin dijamu oleh Phang Yan Bu dan melihat pemuda ini marah-marah kepada Lie Ko
Sianseng, Ciu-ong Mo-kai tertawa, "Kau tidak tahu! Lie Ko Sianseng benar-benar lihai sekali.
Pedagang tetap pedagang, dalam perang mau?pun damai. Di sana ia mencatut, di sini ia mencatut.
Ha, ha, ha!"
Han Sin tidak mengerti. "Apakah artinya ini semua, suhu" Dan setelah sekarang tidak ada orang
luar, teecu mohon penjelasan mengapa suhu dan orang-orang gagah yang lain datang ke tempat ini
membantu pemerintah penjajah?"
Yang berkumpul di situ hanyalah Ciu-ong Mo-kai, Hee Tojin, dua orang tosu Cin-ling-pai, dua
orang tokoh pengemis kang-ouw, Thio Li Hoa, Thio Li Goat, Phang Yan Bu, dan Bi Eng bersama
Han Sin sendiri. Setelah meneguk araknya, Ciu-ong Mo-kai menjawab perlahan,
"Aku maklum apa yang kau pikirkan, Han Sin. Tentu kau merasa heran dan penasaran kenapa kita
membantu Pemerintah Mancu. Akan tetapi, jangan kaukira bahwa kita membantu untuk berkhianat
kepada bangsa, menghambakan diri kepada penjajah. Sama sekali tidak, Han Sin. Ketahuilah bahwa
jauh lebih celaka dan berbahaya apabila orang-orang Mongol itu sampai mengalahkan Pemerintah
Mancu dan menjajah kembali di tanah air kita. Kita tidak punya pilihan lagi. Kalau dalam waktu
Mongol dan Mancu berperang kita melanjutkan usaha menggulingkan Pemerintah Mancu, itu sama
saja artinya dengan kita membantu Mongol dan amatlah berbahaya kalau sampai bala tentara
Mongol dapat menyerbu ke pedalaman. Jauh lebih baik kalau kita membantu Pemerintah Mancu
lebih dulu mengusir orang-orang Mongol yang amat kejam. Kelak mudah untuk mencari jalan
merampas kembali negara dari penjajah Mancu yang harus diakui tidak sehebat orang Mongol
menindas rakyat, bahkan ada usaha-usaha yang baik dari pemerintah baru ini."
Panjang lebar Ciu-ong Mo-kai memberi penjelasan kepada Han Sin, akan tetapi orang muda ini
mendengarkan dengan penasaran. Ia masih muda dan belum mengerti betul akan siasat-siasat dan
politik. Sebagai seorang gagah ia tidak bisa berpura-pura, maka kinipun ia tidak setuju dengan tindakan
orang-orang gagah itu.
"Bagaimanapun juga, penjajah tetap musuh, bagaimana aku dapat membantunya, mengeluarkan
keringat dan darah untuk membantunya?" bantahnya penasaran.
Semenjak dulu, Ciu-ong Mo-kai sering kali dibikin jengkel oleh sikap Han Sin yang dianggapnya
kutu buku yang merasa pintar sendiri. Sekarang mendengar bantahan Han Sin, kakek ini
menenggak araknya sampai terdengar bunyi menggelogok pada kerongkongannya kemudian ia
menurunkan gucinya dan berkata,
"Murid yang tidak mendengar kata kata gurunya itu melanggar peraturan namanya!" Dalam ucapan
ini Ciu-ong Mo kai menyinggung Han Sin menggunakan ujar-ujar kuno.
Han Sin adalah seorang ahli sastera, seorang yang amat memperhatikan segala macam filsafat kuno,
maka segera ia menjawab dengan ujar-ujar Nabi Khong Hu Cu, "Dalam membela kebenaran, tak
perlu mengalah kepada guru!"
Tentu saja Ciu-ong Mo-kai yang tidak begitu hafal akan ujar-ujar Nabi Khong Hu Cu, marah
mendengar ini, merasa dihina dan tidak dihormati sebagai guru. Tangan kirinya menepuk meja dan
.... amblaslah keempat kaki meja itu sampai satu dim lebih ke dalam lantai! Bukan main hebatnya
tenaga lweekang kakek ini.
"Bagus .....! Kalau sudah tidak mau mengaku guru kepadaku, sudahlah! Perlu apa harus ditonjoltonjolkan
menyolok mataku" Siapa tidak tahu bahwa Cia Han Sin, yang dulu pernah belajar dari
Ciu ong Mo-kai, sekarang sudah memiliki kepandaian tinggi sekali, jauh lebih lihai dari pada si
pengemis tua bangka" Ha, ha, ha!"
"Suhu .....!" Bi Eng berseru. "Harap suhu maafkan Sin-ko ......"
"Ha, ha, ha ...... Bi Eng, kau baru patut menjadi muridku ......" kata kakek itu tertawa-tawa dan
minum lagi araknya. Semua orang, yaitu Phang Yan Bu, Li Hoa, Li Goat, para tosu dan semua yang
hadir, tidak ada yang berani mencampuri urusan ini, tidak ada yang bergerak.
"Sin-ko, kenapa kau bersikap begini terhadap suhu" Sin-ko, harap kau suka minta maaf dari suhu."
Han Sin bangkit berdiri dari kursinya, tersenyum pahit. "Eng-moi, aku memang seorang murid yang
murtad, seorang yang tak mengenal aturan. Akan tetapi, tetap saja aku belum sampai hati untuk
mengekor kepada penjahat laknat. Suhu Ciu-ong Mo-kai, pendirian teecu bukan sebagai seorang
murid kali ini, melainkan sebagai seorang yang mencinta tanah air yang terjajah. Maafkan sikap
teecu kalau suhu anggap tidak betul. Nona Thio Li Hoa, harap kau suka mengawani Eng-moi, kau
tahu bahwa aku mempunyai tugas yang sudah kujanjikan. Kau di sinilah dulu bersama nona Thio Li
Hoa, setelah dia dapat kutemukan, aku akan menjemputmu dan bersama pergi dari tempat ini!"
Dalam suara pemuda ini terkandung penyesalan besar. Memang ia amat kecewa dan menyesal.
Dianggapnya bahwa orang-orang gagah yang sudah membantu Pemerintahan Mancu itu tidak
mempunyai pendirian. Kalau saja mereka itu bangkit untuk melawan penjajah, baik penjajah
Mongol maupun Mancu, tentu ia akan siap sedia membantu, rela mengorbankan jiwa raganya.
Bi Eng juga berduka sekali melihat keadaan kakaknya ini. Ia tidak berani mencegah karena maklum
bahwa kakaknya, berbeda dari pada biasanya, sedang marah sekali. Ia tahu pula bahwa kakaknya itu
tentu akan pergi mencari Hoa ji seperti yang dipesankan oleh Pangeran Yong Tee. Mencari seorang
di daerah musuh, di utara, bukanlah merupakan tugas ringan, bahkan amat berbahaya. Kalau ia ikut,
belum tentu ia dapat membantu, jangan-jangan malah merintangi gerakan Han Sin.
"Baiklah, Sin-ko. Kau hati-hatilah, akan tetapi, mana Siauw-ong?"
"Dia ..... dia ..... aku bertemu dengan Tilana di jalan dan Siauw-ong dibawanya. Kelak kita pergi
mengambilnya. Setelah berkata demikian, Han Sin yang tidak menghendaki adiknya itu mendesak
terus dan memaksanya menceritakan pertemuannya dengan Tilana, sudah berkelebat dan hanya
nampak bayangan putih menyambar, tahu-tahu ia sudah lenyap dari tempat itu! Hening sejenak,
kemudian Ciu-ong Mo-kai tertawa bergelak.
"Hebat ....., hebat ......, sama benar dengan ayahnya! Keras hati, bersemangat, tidak mudah tunduk.
Ayahnyapun dahulu menjauhkan diri dari orang lain, suka bekerja sendiri, betapapun juga .....
seratus persen patriot sejati ....." Kakek ini lalu menenggak araknya.
Bi Eng ikut dengan Li Hoa dan gadis ini tidak pernah meninggalkan Ta-tung, sungguhpun ia juga
tidak mau membantu pertempuran-pertempuran yang terjadi di daerah itu. Malah ada kalanya kalau
Li Hoa dan Li Goat serta yang lain-lain pergi dan ikut bertempur, Bi Eng tinggal seorang diri di Tatung,
melihat-lihat dan menanti kembalinya Han Sin. Tanpa Han Sin di sampingnya, tidak mau ia
ikut bertempur.
**** Di dalam perjalanannya meninggalkan Ta-tung, menyeberangi perbatasan dan memasuki wilayah
Mongol, beberapa kali Han Sin menyaksikan pertempuran antara pasukan Mongol dan pasukan
Mancu. Akan tetapi, ia selalu menjauhkan diri dan tidak mau mencampuri, malah menghindarkan
diri agar jangan bertemu dengan orang orang yang membantu Mongol seperti Coa-tung Sin-kai,
Tung-hai Siang-mo, apalagi dengan Bhok-kongcu atau Pak-thian-tok Bhok Hong.
Tugasnya hanya mencari dan menemukan Hoa-ji si gadis berkedok, kalau ia melayani segala
bentrokan dengan musuh-musuh lama, tentu akan menyulitkan pekerjaannya dan memakan banyak
Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
waktu. Tak enak meninggalkan Bi Eng terlalu lama di Ta-tung.
Biarpun demikian, beberapa kali ia sengaja menawan seorang Mongol dan memaksanya memberi
keterangan di mana adanya Hoa-ji atau Hoa Hoa Cinjin, karena ia menduga bahwa Hoa-ji tentu
tidak akan jauh dari ayahnya. Akhirnya ia mendapat keterangan bahwa Hoa-ji, seperti yang lainlain,
berkumpul di kaki Gunung Yin-san sebelah utara. Tempat ini sukar didatangi apalagi oleh
orang yang belum mengenal daerah gurun pasir ini. Akan tetapi, Han Sin tidak menjadi gentar dan
dengan cepat ia melanjutkan perjalanannya ke utara.
Pada suatu hari, dalam sebuah hutan, ia mendengar lagi pertempuran di dalam hutan. Tadinya ia
hendak menyimpang, tidak mau mencampuri pertempuran itu, akan tetapi tiba-tiba telinganya yang
tajam mendengar seruan-seruan yang sudah dikenalnya. Tak salah lagi, itulah suara Li Hoa!
Pada pasukan Mancu atau Mongol ia tak usah ambil perduli, akan tetapi terhadap Li Hoa, tak
mungkin ia meninggalkannya begitu saja. Gadis itu pernah menolongnya, bahkan berlaku amat baik
kepadanya, pernah malah melindunginya dan berani mempertaruhkan nyawa untuk
keselamatannya. Gadis itu baik dengan perbuatan, pandang mata, maupun ucapan, terang
mempunyai cinta kasih kepadanya. Sekarang ia mendengar gadis ini bertempur di dalam hutan,
mungkin sekali bertemu lawan yang tangguh, mungkin sekali terancam bahaya. Bagaimana ia bisa
berpeluk tangan saja"
Han Sin cepat berlari memasuki hutan. Betul saja dugaannya, di antara tentara Mancu yang
bertempur melawan tentara Mongol, tampak Li Hoa dengan pedangnya mengamuk hebat. Gadis
yang gagah perkasa ini dikeroyok oleh lima enam orang Mongol, namun gadis itu sama sekali tidak
terdesak. Sudah beberapa orang musuh dirobohkannya, akan tetapi selalu datang penggantinya dan
tetap saja ia dikeroyok sedikitnya lima orang lawan. Pihak Mancu mulai mendesak, apalagi di situ
selain Li Hoa, terdapat pula beberapa orang tosu yang membantu.
33. Duel menghadapi Racun Utara
DARI tempat sembunyinya, Han Sin menonton dan ketika melihat betapa Li Hoa sama sekali tidak
terancam bahaya bahkan mendesak, tidak mau muncul membantu. Ia tidak mau membantu pihak
Mancu, hanya kalau ia melihat Li Hoa terancam bahaya, ia akan keluar menolongnya, baru
sekarang ia menyaksikan pertempuran antara dua bangsa itu dan diam-diam ia merasa kagum
menyaksikan sepak terjang orang-orang Mongol.
Mereka itu rata-rata memiliki kepandaian bertempur yang lumayan, dan yang paling mengagumkan
adalah kenekatan mereka. Sudah banyak orang Mongol menggeletak tak bernyawa lagi, akan tetapi
sisa pasukan itu mengamuk terus tanpa mengenal rasa takut. Agaknya mereka memang pantang
mundur dan pantang lari!
Pada saat pasukan Mongol sudah terancam sekali kedudukannya, terutama sekali karena amukan
para tosu dan Li Hoa, tiba-tiba mendengar suara gemuruh dari jauh. Makin lama suara itu makin
keras dan kagetlah Han Sin ketika mendengarkan bahwa suara itu adalah suara nyaring dari banyak
kerincingan yang berbunyi terus-menerus. Teringat ia akan seorang tokoh besar yang pakaiannya
dipasangi benda-benda kecil ini. Pak-thian-tok Bhok Hong, si Racun Utara atau Raja Muda Bhok
Hong-ong, ayah dari Bhok-kongcu atau Pangeran Galdan pemimpin para pemberontak Mongol!
Agaknya bukan hanya Han Sin yang merasa kaget. Juga Li Hoa, para tosu dan para anggauta
pasukan Mancu terkejut dan nampak gelisah. Di lain pihak, orang-orang Mongol bersorak girang
mendengar suara ini. Semangat mereka terbangun dan dalam keadaan nekat mereka menyerang
orang-orang Mancu yang sedang ketakutan. Pasukan Mancu cerai-berai, banyak korban yang jatuh.
Suara nyaring dari seratus delapan puluh buah kerincingan itu berhenti secara tiba-tiba dan sebagai
gantinya terdengar suara tertawa bergelak. Tahu-tahu di situ telah berdiri seorang laki-laki tinggi
besar, bermuka tampan gagah dan usianya sudah lima puluh tahun lebih. Akan tetapi, dia masih
kelihatan muda dan gagah, pakaian perangnya indah dihias kerincingan pada pakaian dan topinya.
Di pinggangnya tergantung sebatang golok besar.
Suara ketawa ini pengaruhnya hebat sekali, sampai-sampai banyak tentara Mancu menggigil dan
senjata mereka terlepas dari tangan. Bahkan para tosu menjadi pucat, kemudian bersama sisa
pasukan Mancu, mereka mundur-mundur dan tidak berani menyerang. Sedangkan pasukan Mongol
juga berhenti berperang, lalu menjatuhkan diri berlutut, menghormat Pak-thian-tok Bhok Hong.
Dengan sikap tak sabar Pak-thian-tok menggunakan tangannya memberi isyarat supaya orang-orang
Mongol itu bangun berdiri, lalu terdengar suaranya yang nyaring, "Hayo pukul terus, hancurkan
anjing-anjing Mancu ini. Kenapa berhenti?"
Orang-orang Mongol itu tertawa, lalu mengeluarkan sorak sorai gembira dan bagaikan orang-orang
kemasukan setan mereka menyerbu pasukan Mancu yang sudah kehabisan semangat dan nyali itu.
Melihat ini Li Hoa menggigit bibir. Ia cukup maklum akan kelihaian Pak-thian-tok Bhok Hong.
Akan tetapi, dalam peperangan, seorang gagah pantang untuk merasa gentar. Melihat keadaan para
tentara Mancu yang ketakutan sehingga kini terdesak hebat oleh orang-orang Mongol, Li Hoa
menjadi gemas sekali.
"Hayo, lawan sampai titik darah penghabisan!" teriaknya. Suaranya melengking nyaring mengatasi
sorakan musuh sehingga terdengar oleh para tosu dan para tentara Mancu. Suara nona ini
merupakan minyak yang membuat api semangat mereka berkobar lagi. Benar-benar kini orangorang
Mancu itu menjadi nekat dan begitu mereka melakukan perlawanan mati-matian, kembali
orang-orang Mongol terdesak hebat.
Apalagi Li Hoa, gadis ini dengan pedangnya merupakan seekor naga yang mengamuk. Ke mana
saja pedangnya berkelebat, tentu ada seorang musuh yang terguling. Han Sin makin kagum saja
melihat sepak terjang Li Hoa ini.
Diam-diam ia teringat akan Bi Eng. Kalau Bi Eng berada di situ, tak dapat diragukan lagi tentu Bi
Eng juga akan mengamuk seperti Li Hoa, mungkin lebih hebat lagi. Teringat akan Bi Eng, Han Sin
mengerutkan keningnya. Kenapa Li Hoa meninggalkan Bi Eng dan tahu-tahu berada di tempat ini"
Selagi Han Sin termenung, ia mendengar jerit kemarahan Li Hoa. Cepat ia mengangkat muka
memandang. Alangkah kaget dan marahnya ketika ia melihat bahwa Pak-thian-tok Bhok Hong
sudah menerjang Li Hoa!
"Perempuan ganas, kau tentu anak pembesar penjilat she Thio itu" Berani bertingkah di depanku?"
Li Hoa melihat majunya Bhok Hong, cepat menusuk dengan pedangnya. Akan tetapi, tahu-tahu
ujung pedangnya itu tergetar dan ternyata telah disentil ujung jari Pak-thian-tok. Li Hoa
mempertahankan diri, namun tak sanggup. Getaran pedangnya hebat, membuat tangannya
menggigil dan di lain saat pedang itu sudah terlepas ke bawah menancap di atas tanah! Inilah yang
membuat Li Hoa menjerit marah. Dengan nekat gadis ini lalu menyerang lagi menggunakan
pukulan tangan kanan!
"Ha ha ha, perempuan liar!" Bhok Hong mengangkat tangannya menangkap pergelangan lengan Li
Hoa semudah orang mempermainkan anak-anak saja. Akan tetapi, selagi ia hendak memaksa Li
Hoa bertekuk lutut, tiba-tiba ia merasa pundaknya lemas dan tahu-tahu cekalannya terlepas. Li Hoa
sendiri merasa ditarik orang ke belakang, maka cepat-cepat ia menggunakan kesempatan itu untuk
melompat tiga tindak sambil memandang. Ternyata ...... Han Sin sudah berada di situ, menghadapi
Bhok Hong! "Seorang dari tingkatan atas menghina gadis muda, benar-benar tak tahu malu sekali!" kata Han
Sin, suaranya tenang dan sabar, namun tajam seperti ujung pedang menusuk jantung. Merah muka
Bhok Hong mendengar sindiran ini.
la segera mengenal Han Sin. Biarpun selama hidupnya baru satu kali ia betemu dengan Han Sin,
yaitu ketika mereka berada di dalam gua rahasia di Lu-liang-san, namun karena dalam pertempuran
itu terjadilah hal-hal aneh sampai dia terluka hampir mati oleh pukulan dari Thai-lek-kwi Kui Lok
yang dibantu oleh Han Sin, maka bagaimana ia dapat melupakan wajah pemuda ini" Kenangan ini
membuat wajah Pak-thian-tok Bhok Hong makin lama makin merah, malu dan marah bercampuraduk
menjadi satu. "Hemmm, bagus sekali. Kiranya kau yang muncul ini" Cia Han Sin, selama hidupku aku
mengandung penasaran dan dendam yang besar sekali terhadapmu. Sekarang, sengaja kucaripun
belum tentu mudah terdapat, tahu-tahu kau telah muncul. Bagus sekali! Apakah kau sudah mewarisi
semua ilmu dari dalam gua" Peninggalan si celaka Lie Cu Seng" Ha ha, hendak kulihat sampai di
mana sih lihainya ilmu itu." Sambil bicara Bhok Hong menggosok-gosok kedua telapak tangannya.
Makin lama tangan itu menjadi makin merah, kemudian berubah semu hijau, lalu agak kebiruan dan
akhirnya kedua tangan itu menjadi hitam sekali, sehitam arang!
Inilah penerapan tenaga beracun yang disebut Hek-tok-sin-kang, hebatnya bukan kepalang dan
karena inilah maka ia dijuluki Racun Utara. Namun jarang sekali Bhok Hong mengeluarkan ilmu
ini karena dengan kepandaiannya yang amat tinggi, tanpa mengeluarkan ilmu mukjijat dan dahsyat
inipun sudah jarang ia menemui tandingan. Sekarang belum juga bergebrak ia sudah mengerahkan
tenaga ini, hal itu hanya berarti bahwa ia dapat menduga bahwa pemuda di depannya ini tak boleh
dipandang ringan. Lebih hebat lagi, sambil tertawa mengejek Bhok Hong masih menggunakan
tangan kanan mencabut goloknya yang amat besar dan berat.
Melihat itu, Han Sin tenang-tenang saja. Akan tetapi, Li Hoa dengan wajah pucat lalu melompat ke
depan, memegang lengan Han Sin sambil berbisik,
"Jangan melawan ..... kau pergilah .... larilah ....!"
Namun Han Sin menggeleng kepalanya sambil tersenyum. "Jangan khawatir, Li Hoa. Aku dapat
melayaninya."
Li Hoa sudah maklum akan kelihaian Han Sin, akan tetapi melihat keadaan Pak-thian-tok, ia merasa
gentar bukan main. Mana bisa pemuda ini melawan tokoh besar yang khabarnya tak pernah
terkalahkan orang itu" Ia lalu melangkah maju menghadapi Pak-thian-tok Bhok Hong yang
keadaannya amat menyeramkan itu.
"Pak-thian-tok Bhok Hong! Apakah kau tidak malu" Kau disebut seorang tokoh besar di kalangan
persilatan, seorang yang berkedudukan tinggi, lebih tinggi dari Ciu-ong Mo-kai. Masa sekarang
kauhendak menghadapi seorang murid Ciu-ong Mo-kai dengan menggunakan semua ilmumu yang
jahat, ditambah senjata tajam pula" Ke mana kau menaruh mukamu kalau hal yang tidak patut ini
diketahui semua orang kang-ouw" Ketahuilah, Cia Han Sin sama sekali tidak mau mencampuri
urusan perang antara Mongol dan Mancu. Dia bukan musuhmu dan memang betul dengan mudah
kau dapat membunuhnya, akan tetapi kali ini akan rusak binasa nama besarmu, kau akan dipandang
sebagai seorang rendah tak tahu malu!"
Mendelik mata Bhok Hong mendengar ini. Sudah menggigil tangannya, ingin sekali dengan
pukulannya ia menghancurkan tubuh wanita yang berani mengeluarkan kata-kata seperti itu
kepadanya. Namun, ucapan itu menyadarkannya, membuka matanya bahwa memang tidak patutlah
kalau ia melawan pemuda ini seperti seorang melawan musuh yang setingkat. Untuk
menyembunyikan rasa malu dan penasarannya, ia tertawa bergelak sambil menyimpan kembali
golok besarnya.
"Ha ha ha ha ....., puteri orang she Thio yang sudah mampus ternyata sekarang tergila-gila kepada
bocah ini. Ha ha ha, kaukira aku tidak mengerti mengapa kau membelanya mati-matian! Kau cinta
kepadanya! Tapi benar pula ucapanmu tak perlu aku melawan bocah ini, mengotorkan tangan
mencemarkan nama saja. Heh, bocah she Cia. Melihat muka gadis yang membelamu mati-matian
ini, biar aku pukul kau sampai tiga kali, kalau kau bisa menahan tiga kali seranganku, biarlah
kuampunkan nyawamu!"
Baru saja ia berhenti bicara, secepat kilat dia sudah menyerang dengan pukulan tangan kanannya.
Pukulan ini dahsyat sekali. Angin pukulannya saja yang menyambar hebat membuat Li Hoa yang
berdiri di samping sampai terpelanting dan hanya dengan menggulingkan diri beberapa kali di atas
tanah gadis itu bisa menyelamatkan diri!
Tentu saja lebih hebat daya serangnya kepada Han Sin sendiri yang memang dijadikan sasaran.
Hawa pukulannya mendatangkan angin dahsyat, juga didahului bau amis yang memuakkan.
Tahulah Han Sin bahwa pukulan ini mengandung hawa beracun yang amat berbahaya. Namun ia
seorang laki-laki. Ucapan Bhok Hong tadi sudah mengandung tantangan dan sikap memandang
rendah. Biarpun dia belum memberi jawaban karena tak sempat lagi, namun di dalam hatinya ia menerima
tantangan ini dan kalau ia mengelak, ia akan merasa malu sendiri. Sambil menahan napas agar
jangan terpengaruh bau amis itu, ia mengerahkan tenaga pada lengan kirinya dan mengangkat
lengan kirinya menangkis pukulan ini. Tenaga sinkang yang amat dahsyat, yang mengandung hawa
racun Pek-hiat Sin-coa, mengalir di lengan kirinya.
"Dukk!!" Dua lengan yang jauh bedanya, yang satu kehitaman, besar dan kuat kekar, bertemu
dengan lengan yang berkulit putih halus. Akibatnya hebat. Pak-thian-tok Bhok Hong mengeluarkan
suara menggereng seperti harimau ketika tubuhnya terhuyung-huyung mundur. Juga Han Sin
tergempur kuda-kudanya, merasa betapa hawa yang panas sekali menyerangnya. Namun berkat
sinkang di tubuhnya yang kuat, biarpun ia juga terhuyung mundur namun hawa beracun itu tidak
dapat menembus pertahanannya.
Bhok Hong kaget dan heran bukan main. Pukulannya tadi biarpun baru dikeluarkan setengahnya,
kiranya sudah cukup kuat untuk merobohkan seorang tokoh persilatan setingkat dengan Hoa Hoa
Cinjin atau setidak-tidaknya setingkat dengan Ciu-ong Mo-kai. Kenapa bocah ini hanya terhuyung
saja, bahkan ia sendiri merasa adanya tenaga tolakan dahsyat yang membuat iapun terhuyung
mundur" la penasaran sekali, digerak-gerakkan kedua lengannya, digosoknya pula kedua telapak tangannya
dan dengan seruan keras ia sudah menyerang lagi. Serangannya amat aneh gerakannya, dua kali
tangan kirinya memukul dan mencengkeram namun ditarik kembali secara tiba-tiba dan tangan
kanannya yang betul-betul memukul secara tak terduga, yang dituju adalah pundak kiri Han Sin.
Pemuda ini bingung juga menghadapi serangan lawannya. Tadi di waktu Bhok Hong menyerang
dengan pukulan-pukulan ancaman, kalau dia mau dengan mudah saja ia akan mendahului dengan
serangan dengan jurus-jurus ilmu silat Lo-hai Hui-kiam atau Thian-po-cin-keng. Akan tetapi tadi
dalam hati ia berjanji untuk menghadapi tiga kali serangan kakek itu, kalau sekarang sebelum tiga
kali diserang ia membalas, bukankah itu berarti melanggar janji sendiri di dalam hati"
Keraguan ini membuat ia menderita rugi. Kalau tadi ia balas menyerang, setidaknya daya serangan
lawan akan berkurang. Akan tetapi karena melihat pemuda itu hanya menjaga diri dan nampak
bingung menghadapi gerakannya yang aneh,
Bhok Hong dapat mengacau pertahanannya dan pukulan ke arah pundak kiri itu datang tiba-tiba
tanpa dapat dielakkan atau ditangkis lagi.
Terpaksa Han Sin mengerahkan seluruh sinkangnya, disalurkan ke pundak kiri untuk menerima
pukulan. la maklum akan bahayanya hal ini, akan tetapi apa boleh buat. Dengan pencurahan
segenap panca indera dan hawa semangat di dalam tubuh sampai pundaknya terasa panas sekali, ia
siap menerima pukulan itu.
"Plakkk!" Telapak tangan yang hitam itu menampar pundak dengan tenaga yang bukan main
besarnya, tenaga dalam yang tidak kelihatan namun sebetulnya menyerang di bagian dalam tubuh.
Kalau bukan Han Sin yang menerima pukulan ini, tentu akan roboh binasa dengan jantung hangus
dan isi dada berantakan.
Dalam pukulan ini Bhok Hong menggunakan tiga perempat bagian dari tenaganya, karena kakek ini
yakin bahwa pukulannya pasti akan berhasil merobohkan Han Sin. Pula, ilmu pukulan Hek-tok-sinkang
ini memang tidak boleh sembarangan dipergunakan. Setiap kali menggunakan, kalau pukulan
ini membalik, dia sendiri akan terluka. Tadi dalam pukulan pertama ia sudah merasa betapa
pukulannya membalik. Baiknya hanya setengah bagian saja sehingga ia masih cukup tenaga untuk
menolak atau "menyimpan" hawa pukulannya yang membalik.
Bukan main hebatnya pukulan ini. Li Hoa menjerit ketika melihat betapa tubuh Han Sin tergoyanggoyang
dan wajah pemuda itu menjadi pucat sekali, kedua kakinya lemas seakan-akan hendak
roboh setiap saat. Gadis itu yang sepenuhnya memperhatikan Han Sin, tidak melihat betapa Bhok
Hong juga menjadi pucat mukanya dan bahkan kedua pundak kakek itu menggigil seperti orang
terserang penyakit demam malaria!
Han Sin meramkan matanya, mengatur napas. Ia merasa jantungnya terguncang dan hawa panas
memenuhi dadanya. Ini baik sekali karena itu berarti bahwa pukulan Bhok Hong yang tadi
membawa hawa dingin sekali, ternyata tidak sampai menguasai jantung dan isi dadanya, dapat
ditolak dengan hawa sinkangnya. Dia telah berhasil menerima pukulan kedua dengan pundaknya!
Diam-diam pemuda ini girang dan juga ada rasa bangga di dalam hatinya. Pukulan kedua tadi bukan
main dahsyat dan lihainya, namun berkat latihan-latihannya, ia berhasil menerimanya tanpa terluka
hebat di dalam dada. Memang kalau dilihat dari luar, hebat sekali bekas pukulan itu. Bajunya di
bagian pundak terlihat ada tanda lima jari tangan hitam, seakan-akan baju itu tadi dicap oleh lima
jari tangan dengan tinta bak.
"Han Sin ...... awas ....!" tiba-tiba Li Hoa menjerit ketakutan ketika melihat betapa Bhok Hong
mempergunakan kesempatan selagi Han Sin berdiri diam sambil meramkan mata, untuk menyerang
ketiga kalinya. Penyerangan yang dibarengi gerengan dahsyat karena kakek itu sudah berada di
puncak kemarahannya dan penasarannya!
Han Sin belum sempat membuka matanya, namun sebagai seorang ahli silat tinggi pemuda ini
sudah dapat mendengar angin pukulan yang mengarah kepalanya. Cepat ia miringkan kepala dan
mengangkat tangan kiri ke atas untuk menangkis. Pukulan itu melewati kepalanya, akan tetapi tibatiba
lengan tangan kirinya sudah dicengkeram oleh tangan kanan Bhok Hong!
Han Sin memandang dengan mata berkilat. Kakek itu tertawa liar dan kembali terdengar Li Hoa
menjerit karena Bhok Hong sudah mengangkat tangan kirinya untuk mencengkeram kepala Han
Sin. Dengan tangan kiri sudah dicekal, kiranya takkan mungkin lagi pemuda itu menyelamatkan
dirinya. Andaikata ia dapat menangkis pukulan atau cengkeraman dengan tangan kanannya, akan tetapi
lengan kiri yang dicengkeram oleh tangan yang mengandung Hek-tok-sin-kang itu, mana bisa
diselamatkan" Racun hitam dari segala macam binatang beracun akan menjalar dari tangan hitam
itu dan akan memenuhi tubuhnya, membuat ia mati dalam waktu singkat!
Han Sin bukan tidak maklum akan bahaya yang mengancam dirinya. Namun ia masih tenang dan
tidak terseret oleh kegemasan yang mempengaruhi hatinya. Melihat tangan kiri itu mencengkeram
ke arah kepalanya, secepat kilat tangan kanannya bergerak dan di lain saat sebelum Bhok Hong
sadar, pergelangan tangan kiri Bhok Hong sudah dicekal oleh tangan kanan Han Sin! Keadaan
mereka sekarang sama, saling dicekal pergelangan tangan kiri oleh lawan.
Li Hoa juga seorang ahli silat yang tahu akan seluk beluk tenaga lweekang (tenaga dalam). la
maklum bahwa kini dua orang itu tentu mengadu tenaga lweekang dan hal ini bahayanya seratus
kali lebih besar daripada mengadu pedang atau golok. Kalah menang hanya ditentukan oleh
kematian! Tak terasa lagi air mata bercucuran dari kedua mata gadis itu ketika melihat wajah Han
Sin yang tampan itu berkeringat, pucat dan kelihatannya menderita nyeri yang hebat.
"Han Sin ....., Han Sin ".." bisiknya lemah, tak berdaya untuk menolong.
Memang Han Sin merasa betapa lengannya sakit bukan main. Racun yang luar biasa didorong oleh
tenaga dalam yang dahsyat untuk memasuki tubuhnya dari lengan itu. Namun ia merasa lega bahwa
tenaga sinkangnya sendiri dapat menolak serangan itu, maka iapun lalu mengerahkan tenaga ke
tangan kanannya yang mencekal lengan kiri lawannya.
Kakek itu meringis kesakitan, mulutnya menyeringai, lalu menggigit bibirnya sendiri sampai
berdarah, matanya melotot memandang Han Sin dengan penuh penasaran, kemarahan, dan
keheranan. Selama hidupnya, baru kali ini dia bertemu dengan lawan begini muda namun
berkepandaian luar biasa tingginya!
Akan tetapi, keheranannya bertambah-tambah dengan hebat ketika ia melihat pemuda itu
menggerakkan bibir dan bicara kepadanya dengan suara tenang dan jelas, "Pak-thian-tok, kau
berjanji akan melepaskan aku setelah aku dapat menahan tiga kali seranganmu. Aku sudah menahan
tiga kali, kau tetap tidak mau melepaskan. Apakah kau menghendaki aku membikin serangan
balasan?" Bukan main kaget, heran dan takutnya hati Bhok Hong. Menghadapi atau menerima
penyerangannya berturut-turut secara aneh selama tiga jurus ini saja sudah hebat. Sekarang dalam
mengadu lweekang, ternyata pemuda ini tidak berada di bawah tingkatnya. Hebatnya, malah kini
Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dapat bicara! Padahal dalam mengadu tenaga lweekang, bicara merupakan pantangan terbesar.
Dengan bicara, orang memecahkan perhatian dan mengeluarkan hawa, bagaimana bocah ini dapat
bicara seenaknya tanpa mengurangi tenaga perlawanannya"
Sebelum habis Han Sin bicara, kakek itu mengangguk dan meloncat mundur melepaskan
cekalannya, akan tetapi lebih dulu sebelum Han Sin menutup mulut, ia mengerahkan seluruh tenaga
mencengkeram pergelangan tangan pemuda itu dengan maksud meremukkan tulangnya!
Akan tetapi, akibatnya, ia sendiri mengeluh perlahan dan ketika melihat, ternyata tangan kirinya
sudah lumpuh karena tulang lengan kirinya itu patah oleh cekalan Han Sin. Pemuda ini maklum tadi
akan kecurangan lawan, maka dengan gemas ia sambil mempertahankan tangan kirinya,
menggunakan kesempatan untuk menggencet tangan kiri lawan sampai patah tulang lengan kiri itu!
Bhok Hong, menjadi pucat, memandang ke kanan kiri lalu berkata keras,
"Hayo, mundur! Tak perlu berperang lagi di sini!" Sekali berkelebat, kakek ini pergi tanpa pamit
lagi diikuti oleh orang-orang Mongol yang lari tunggang langgang!
Setelah Bhok Hong pergi, barulah Han Sin menjatuhkan diri terduduk di atas rumput, bersila dan
mengatur napas. Li Hoa cepat menghampirinya. Gadis ini tidak berani mengganggu, karena
maklum bahwa jika orang memulihkan tenaga menghisap hawa murni untuk mengusir hawa
beracun dari tubuh, sama sekali tak boleh diganggu.
Hatinya merasa terharu dan kasihan sekali melihat betapa pergelangan lengan kiri pemuda itu
nampak hitam dan kulitnya seperti bekas dibakar api. Juga pundaknya sekarang kelihatan setelah
tanda hitam pada baju itu hancur menjadi abu ketika dipakai bergerak. Kulit di pundak inipun
seperti dibakar! Bukan main ngerinya kalau dibayangkan kepandaian kakek Racun Utara itu.
Li Hoa segera memberi tahu kepada semua orang Mancu supaya mengubur semua jenasah dan
membawa pulang kawan-kawan yang terluka. Ia sendiri menjaga Han Sin yang masih duduk
bersila. Dua jam kemudian, baru Han Sin membuka matanya. la merintih perlahan lalu berkata, "Lihai .....
hebat sekali Pak-thian-tok ....." Pemuda ini memang merasa kagum sekali. Mana ia tahu bahwa
pada saat itu, jauh dari situ, Pak-thian-tok Bhok Hong pun sedang merasa menderita lebih hebat
daripadanya, muntah-muntah darah dan cepat-cepat mengobati luka di dalam dadanya"
"Han Sin ..... kau telah menolong .... nyawaku dan kau terluka hebat. Biar kubalut luka di lengan
dan pundakmu ..... " kata Li Hoa terharu.
Meski gadis cantik ini berlutut di dekatnya. Han Sin menarik napas panjang. Teringat ia akan
pertemuannya yang pertama dengan gadis ini dahulu di jurang Can-tee-gak di Cin-ling-san, ketika
ia ditawan oleh para tosu Cin-ling-pai kemudian ia ditolong oleh gadis ini. Ia merasa terharu sekali.
Gadis ini mencintanya sepenuh hati, hal ini ia tahu benar.
Kinipun ia melihat tanda-tanda air mata yang belum kering di kedua pipi Li Hoa, juga teringat ia
betapa tadi Li Hoa beberapa kali menjerit ketika melihat ia terancam bahaya, teringat betapa Li Hoa
dengan berani mati mencoba untuk melindungi dan memaki Pak-thian-tok secara berani. Boleh
dibilang gadis ini yang menyelamatkannya. Pak-thian-tok terlalu lihai, bertangan kosong saja sudah
demikian lihai, bagaimana kalau tadi tidak disindir Li Hoa dan menyerangnya dengan golok, bukan
hanya tiga kali melainkan seterusnya sampai ia binasa"
"Li Hoa, bukan aku yang menolongmu, kaulah yang berkali-kali menolongku, kau baik sekali
kepadaku. Li Hoa, kenapa kau begini baik" Kenapa banyak orang baik kepadaku?"
Li Hoa menunduk, menyembunyikan sinar mata dan kemerahan pipinya. "Orang hidup memang
harus saling berbaik terhadap sesamanya, Han Sin. Mari kubalut lukamu."
"Jangan dulu, biar kukeluarkan racunnya." Han Sin memeriksa pergelangan lengannya. Ternyata
racun hitam hanya berkumpul di bawah kulit yang terluka, tak dapat menjalar terus, tertahan oleh
darahnya yang sudah mengandung racun Pek-hiat-sin-coa. "Li Hoa, apakah kau mempunyai tusuk
konde perak?"
Li Hoa mengangguk, lalu melolos tusuk konde perak dan diberikannya benda runcing itu kepada
Han Sin. Han Sin menusuk kulit yang hitam di lengannya itu sambil mengerahkan tenaga
sinkangnya. Keluar darah hitam dari luka itu dan sebentar saja lenyap warna hitam. Han Sin
menanti sampai darah hitam habis dan terganti darah merah, baru ia menghentikan dorongan
tenaganya. Luka di pundaknya tidak sehebat luka di lengannya, maka tak perlu mengeluarkan
racun. Setelah selesai mengeluarkan darah hitam dan mengembalikan tusuk konde perak, barulah Li Hoa
membalut lengan itu. Lukanya cukup berat, membuat lengan itu terasa sakit sekali dan tiap kali
digerakkan, urat-uratnya tertarik dan keluarlah darah dari luka di dekat urat besar di pergelangan.
Oleh karena itu, terpaksa lengan itu digantung dan saputangan besar itu oleh Li Hoa diikatkan pada
leher Han Sin. Menyaksikan sikap gadis yang begitu baik, gerak-geriknya yang penuh kasih sayang dan merasa
betapa jari-jari tangan itu dengan amat mesranya memasangkan balut. Begitu halusnya
menyentuhnya, melihat kulit pipi yang kemerahan dan sinar mata yang jelas mencurahkan isi hati
yang penuh kasih terhadapnya, Han Sin menarik napas panjang.
Teringatlah ia akan sikap Tilana kepadanya, juga ia merasa betapa semua itu sama benar dengan
yang ia rasakan terhadap Bi Eng. Cinta! Alangkah ganjilnya kalau cinta kasih hanya menyerang
sebelah pihak saja. Orang bisa menjadi seperti gila karena cinta. Sikapnya sendiri terhadap Bi Eng
tentu dianggap gila oleh Bi Eng. Kemudian tentang sikap Tilana, dan Li Hoa ini.
Bagai?mana ia dapat membalas cinta mereka kalau hatinya sudah melekat pada Bi Eng" Teringat
pula ia akan Pangeran Yong Tee, yang sampai menangis karena cinta kasih pula, karena Hoa-ji si
gadis berkedok. Lebih aneh pula. Bagaimana cinta bisa menembus kedok yang menutupi muka
selalu" "Li Hoa, kau baik sekali kepadaku. Kenapa .....?"
Li Hoa sudah selesai mengikatkan ujung pembalut ke belakang leher Han Sin, dan pada saat Han
Sin bertanya, gadis ini yang agaknya lupa diri karena gelora perasaannya, dengan mesra menyentuh
rambut yang terurai di kening pemuda itu. Kaget ia mendengar pertanyaan ini dan untuk menutupi
rasa malunya, ia menyelinap ke belakang Han Sin yang duduk di atas tanah.
"Ikatan rambutmu terlepas, biar kubereskan, bolehkah?" tanyanya lirih.
Han Sin mengangguk dan merasa betapa dari belakang, kedua tangan gadis itu dengan cekatan dan
mesra melepas tali pengikat rambutnya, mengumpulkan rambut itu dan merapikannya ke atas lalu
membungkus dan mengikatnya pula dengan beres. Terharu hati Han Sin. Alangkah baiknya Li Hoa.
Alangkah mesranya andaikata yang melakukan hal itu adalah tangan ..... Bi Eng!
"Li Hoa, kau belum menjawab pertanyaanku tadi."
Li Hoa sudah selesai mengikat rambut dan kini gadis itu berhadapan dengan Han Sin. Matanya
tajam menentang pandang mata Han Sin dan kedua pipinya kemerahan, cantik bukan main pipi dan
mata itu! "Kau sudah tahu akan isi hatiku sejak pertemuan kita dahulu, kenapa masih bertanya lagi?"
akhirnya gadis itu menjawab setelah menundukkan mukanya.
Tergetar hati Han Sin. Gadis seperti ini cantik jelita, gagah perkasa, apalagi mencintanya, sudah
sepatutnya dibela dengan nyawa. Gadis seperti ini jarang dapat ditemui keduanya di dunia.
Terkenang ia kepada Tilana dan rasa jengah dan malu menyelubungi hatinya.
Orang macam apakah dia ini" Menurutkan nafsu hatinya, seakan-akan ia mencinta Tilana yang
harus diakui paling cantik di antara semua gadis yang pernah ia kenal. Menurutkan bisikan
sanubarinya seakan-akan ia harus membalas cinta kasih Li Hoa yang begini murni. Akan tetapi
entah bagaimana, semua bisikan dan nafsu hati dan sanubarinya itu terkalahkan oleh perasaan yang
sudah melekat di seluruh hati dan pikirannya bahwa hanya Bi Eng-lah sebetulnya yang ia inginkan
agar selalu berada di sisinya selama hidup!
Tapi hati ini mau saja bertindak sendiri. Di luar kesadarannya, tangan kanannya bergerak dan
menangkap tangan Li Hoa. Gadis itu kaget, menatap wajah Han Sin, lalu menunduk kembali
dengan muka makin merah, akan tetapi kedua tangannya menyambut uluran tangan Han Sin. Tes ....
tes ..... dua butir air mata yang hangat menetes turun di atas tangan Han Sin.
Sampai lama mereka tidak bergerak, juga tidak bicara, hanya tangan mereka yang saling
berpegangan itu menjadi pengganti suara hati. Han Sin merasa amat tidak tega untuk mengaku terus
terang bahwa dia tak dapat menyambut cinta kasih gadis ini, selain tidak tega, juga tidak berani,
takut melihat akibat seperti yang telah terjadi pada diri Tilana. Akan tetapi, kalau ia diamkan saja
iapun merasa berdosa, seakan-akan ia menipu kasih sayang murni dari gadis itu.
"Li Hoa, kenapa kau berada di sini" Bukankah tadinya kau berada di Ta-tung" Dan bagaimana kau
meninggalkan Bi Eng ......?" Pertanyaan ini menjadi penolongnya, memecahkan suasana mesra
yang membahayakan pertahanan hatinya itu.
Li Hoa dengan malu-malu melepaskan kedua tangannya. Sinar matanya berseri dan cemerlang
ketika ia menatap wajah Han Sin. "Aku mendengar dari Bi Eng bahwa kau hendak mencari Hoa-ji
untuk memenuhi permintaan Pangeran Yong Tee ......"
Han Sin mengerutkan kening. Alangkah mudahnya wanita menyebar berita. Memang ia tidak
memesan kepada Bi Eng supaya jangan bercerita tentang hal itu kepada orang lain, akan tetapi
tidaklah Bi Eng dapat mengerti bahwa hal itu adalah rahasia hati Pangeran Yong Tee"
"Jadi dia sudah menceritakannya kepadamu?" katanya perlahan.
34. Terungkapnya Misteri Puteri Cia Sun
LI HOA dapat menangkap penyesalan dalam kata-kata singkat ini, maka khawatir kalau pemuda ini
marah kepada Bi Eng, ia cepat berkata, "Hal hubungan antara Pangeran Yong Tee dan Hoa-ji
memang rahasia bagi banyak orang, akan tetapi bukan rahasia lagi bagiku dan bagi mendiang
ayahku. Mereka memang sudah mengadakan perhubungan semenjak Hoa Hoa Cinjin masih berada
di kota raja."
"Ayahmu sudah meninggal dunia?"
Li Hoa mengangguk. "Bhok-kongcu jahanam besar itulah yang membunuh ayah!" katanya dengan
wajah bengis. "Justeru karena inilah maka aku dan Li Goat mati-matian membantu bala tentara
Mancu untuk membinasakan Pangeran Galdan atau Bhok-kongcu itu bersama antek-anteknya!"
Han Sin mengangguk-angguk. Ia dapat menduga mengapa Thio-ciangkun, ayah Li Hoa, dibunuh
oleh Bhok Kian Teng. Ia sudah maklum bahwa Thio-ciangkun adalah seorang yang amat setia
kepada Pangeran Yong Tee, karena itu maka dimusuhi Bhok-kongcu dan dibunuh. Sama sekali ia
tidak tahu bahwa dibunuhnya Thio-ciangkun sebetulnya adalah karena gara-gara .... Bi Eng!
Seperti pernah dituturkan di bagian depan dari cerita ini, Bi Eng pernah tertawan oleh Bhok-kongcu
dan berada dalam bahaya yang lebih mengerikan daripada maut. Baiknya Li Hoa yang tahu akan hal
ini mendesak ayahnya supaya minta pertolongan Yong Tee supaya minta gadis tawanan itu dari
tangan Bhok-kongcu. Inilah sebab terutama yang membuat Bhok-kongcu menaruh hati dendam
kepada Thio-ciangkun dan sebelum Pangeran Mongol ini melarikan diri ke utara dan memimpin
pemberontakan, lebih dulu ia bunuh ayah Li Hoa untuk melampiaskan kemarahan dan dendamnya.
"Akan tetapi, kenapa kau berada di sini?" tanya pula Han Sin.
"Setelah aku mendengar dari adikmu bahwa kau pergi mencari Hoa-ji di daerah ini, aku merasa
amat khawatir. Aku cukup maklum akan kelihaianmu, akan tetapi kau tidak mengerti bahwa di sini
banyak sekali berkumpul orang-orang lihai, terutama Pak-thian-tok tadi. Aku" aku sengaja
menyusulmu untuk memperingatkan kau akan tokoh ini ....., tidak tahunya aku sendiri bertemu
dengan dia!"
Terharu sekali hati Han Sin. Ingin ia menghibur Li Hoa, ingin ia berterus terang bahwa ia tak dapat
membalas budi dan cinta kasih sebesar itu, akan tetapi ia tidak kuasa membuka mulut. Tidak tega ia
melukai hati Li Hoa. Akhirnya berkata juga dia,
"Li Hoa, terima kasih atas segala kebaikan hatimu. Kuharap sekarang kau kemball ke Ta-tung,
harap kausuka menjaga Bi Eng. Jangan kau mengkhawatirkan aku, aku dapat menjaga diriku
sendiri. Kembalilah kau ......."
Setelah tadi menyaksikan betapa Han Sin dapat melawan Bhok Hong, memang tahulah Li Hoa
bahwa pemuda ini memiliki kepandaian yang luar biasa sekali dan bantuannya sama sekali tidak
akan ada artinya. Juga ia dapat menangkap bahwa permintaan ini tak dapat ia bantah lagi, maka ia
mengangguk dan berkata,
"Baik-baiklah kau menjaga diri ....."
"Selamat jalan, Li Hoa."
"Sampai berjumpa kembali di Ta-tung ..., koko (kanda) ......." kata gadis itu malu-malu dan cepat ia
meloncat lalu melarikan diri pergi dari situ! Han Sin menarik napas panjang, lalu menggerutu,
"Cinta ..... cinta ..... kau suka sekali mempermainkan hati muda sesukamu ...." Sampai lama ia
merenung seorang diri, namun tetap saja tak dapat ia memecahkan persoalan sulit daripada cinta
kasih yang mempermainkannya, yang menimbulkan liku-liku asmara yang membingungkan di
sekelilingnya. Tilana ...... Thio Li Hoa ..... Bi Eng ......!
Tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan keras dan muncullah belasan orang anggauta tentara Mancu
yang berlari-lari ketakutan. Ada di antara mereka yang pakaiannya cobak-cabik dan berdarah di
sana-sini. "Celaka kalau muncul si jangkung pemelihara harimau ......!" terdengar seorang di antara mereka
berkata. "Jangan-jangan orang Mongol akan mengajukan Kalisang siluman itu dan harimaunya .....!" kata
yang lain. "Aduh ... aduh!" seorang yang.pakaiannya koyak-koyak tiba-tiba terguling dan ketika dilihat oleh
kawan-kawannya ia telah tewas!
"Sudah lima orang kawan tewas. Celaka ...., lari ......!"
Akan tetapi kembali dua orang terguling dan tewas, biarpun luka-luka mereka itu tidak hebat.
Makin ketakutanlah sisa rombongan tentara Mancu ini dan mereka cepat melarikan diri. Namun
tiba-tiba berkelebat bayangan putih dan tahu-tahu Han Sin sudah berada di depan mereka.
Pemuda ini amat tertarik hatinya ketika mendengar percakapan mereka tentang seorang jangkung
berbangsa Mongol yang bernama Kalisang dan memelihara harimau. Teringat ia akan cerita
mendiang Ang-jiu Toanio ketika hendak meninggal dunia, yaitu tentang adik kandungnya yang
diculik oleh Ang-jiu Toanio, dan kemudian adik kandungnya itu dirampas oleh seorang Mongol
gundul yang memelihara harimau!
Orang-orang Mancu yang sedang ketakutan itu makin kaget ketika tiba-tiba entah dari mana
datangnya, muncul seorang pemuda tampan di depan mereka. Han Sin tak mau membuang banyak
waktu. "Lekas bilang, apakah siluman jangkung pemelihara harimau itu seorang Mongol yang berkepala
gundul?" "Betul ..... " kata seorang di antara mereka. Han Sin berkelebat dan lenyap lagi. Orang-orang Mancu
menjadi pucat, saling pandang, kemudian ...... lari tunggang-langgang.
"Celaka ....., di siang hari bertemu dengan siluman-siluman berkeliaran ......" keluh mereka
ketakutan. Han Sin berlari cepat menuju ke arah dari mana orang-orang itu datang. la tiba di sebuah hutan
berbatu-batu. la mencari-cari dengan matanya, akan tetapi tempat itu sunyi dan gelap. Tak terdengar
seekorpun binatang hutan kecuali burung-burung di udara dan di pohon-pohon. Agaknya binatangbinatang
hutan bersembunyi, sama sekali tidak berani memperlihatkan diri atau mengeluarkan
suara. Tiba-tiba terdengar geraman yang luar biasa kerasnya. Geram harimau! Akan tetapi, bukan main
hebatnya, serasa bergoyang bumi dibuatnya. Han Sin kagum sekali. Tentu seekor harimau yang
amat besar, biarpun ia sering kali melihat harimau dan mendengar aumnya, namun belum pernah
mendengar geraman harimau sedahsyat itu.
Selagi ia hendak lari ke arah suara harimau yang agak jauh dari situ, tiba-tiba ia mendengar teriakan
orang ketakutan dari arah berlainan, yaitu dari arah gunung-gunungan yang banyak gua-guanya.
Ada orang terancam bahaya, pikirnya, dan jiwa satrianya membuat ia membelokkan kaki menuju ke
arah suara ini lebih dulu untuk menolong orang yang berteriak-teriak ketakutan itu.
Ternyata suara itu datangnya dari sebuah gua besar dan ketika ia memasuki gua itu, ia melihat
seorang laki-laki Bangsa Mancu menjerit-jerit ketakutan dalam sebuah kerangkeng beruji besi yang
amat kokoh kuat. Laki-laki ini ketakutan setengah mati, agaknya setelah mendengar auman harimau
yang masih bergema itu.
Akan tetapi munculnya seorang pemuda tampan yang tangan kirinya dibalut dan digantung
membuat ia terdiam heran biarpun tubuhnya masih menggigil dan wajahnya pucat.
"Kenapa kau di sini" Siapa yang menawanmu?" tanya Han Sin.
"Tolonglah hamba ..... orang gagah, tolonglah ......" orang itu meratap dalam Bahasa Mancu yang
dimengerti baik oleh Han Sin. Memang pemuda ini dahulu di Min-san sudah mempelajari bahasabahasa
asing di sekitar Tiongkok. "Hamba .... ditawan oleh ..... Kalisang .... dan itu dia dan ....
harimaunya sudah terdengar suaranya ...... tolonglah ......."
Girang hati Han Sin. Kiranya orang ini seorang yang akan dijadikan korban, hendak dijadikan
santapan harimau peliharaan Kalisang! Kesempatan bagus untuk mencari keterangan perihal adik
kandungnya! Cepat ia menggunakan tangan kanannya merenggut putus beberapa buah ruji besi di
belakang orang itu yang memandang dengan mata terbelalak heran.
"Lekas keluarlah dan bersembunyilah. Kau harus lari dari jurusan lain supaya jangan jumpa di jalan
dengan harimau itu." Orang itu saking girangnya, lupa mengatakan terima kasih. Terus saja ia
meloncat keluar dan berlari sipat kuping menuju ke arah yang berlawanan dengan arah di mana
terdengar auman harimau itu. Han Sin lalu memasuki kerangkeng itu dari belakang, duduk
bersandar pada bagian yang sudah ia rusak rujinya, menanti tenang.
Suara auman harimau makin lama makin dekat dan tiba-tiba muncullah seekor harimau besar sekali
di depan gua, bersama seorang laki-laki yang aneh. Orang ini bertubuh tinggi kurus, kepalanya
gundul pelontos mengkilap seakan-akan kepala yang benjal-benjol itu digosok dan disemir selalu!
Kerut keningnya membayangkan watak yang pemarah dan lucunya, di kedua telinganya
bergantungan dua buah anting-anting! Adapun harimau itu benar-benar seekor harimau yang besar
sekali dan nampaknya amat kuat dan buas, akan tetapi jinak di dekat orang gundul tinggi kurus itu.
Inilah Kalisang, orang Mongol pemelihara macan yang pernah kita temui satu kali dalam jilid yang
lalu. Seperti telah dituturkan dalam cerita itu, Kalisang telah merampas bayi dalam gendongan Angjiu
Toanio di dalam hutan dan pada saat ia hendak memberikan bayi itu kepada harimaunya, muncul
Hoa Hoa Cinjin yang mengalahkannya dan merampas bayi itu.
Kini Kalisang memandang dengan muka muram ke dalam kerangkeng. Ia amat heran karena tadi
yang ditangkapnya untuk dijadikan mangsa harimaunya adalah seorang Mancu, musuh bangsanya.
Kenapa sekarang tahu-tahu telah berobah menjadi seorang pemuda Bangsa Han tampan" Tak
senang ia melihat mata pemuda itu yang mencorong tajam, malah harimaunya yang tadinya
menggeram melihat calon mangsanya, kini agak mendekam dan mengeluarkan gerengan takut
ketika matanya bertemu dengan pandang mata pemuda itu yang tidak kalah tajam dan berpengaruh!
"Ke manga pelginya olang Mancu itu" Kau ini setang dali manga belangi masuk ke sini?" tanyanya
Romantika Sebilah Pedang 5 Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo Suling Emas Dan Naga Siluman 9