Kasih Diantara Remaja 12
Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo Bagian 12
dengan suaranya bindeng.
Geli juga hati Han Sin mendengar orang bindeng ini bicara. Kalau Bi Eng berada di sini, tentu ia
akan terpingkal-pingkal, pikirnya.
"Apa kau yang bernama Kalisang?" tanyanya tak acuh.
"Betul, aku Kalisang dan kau akang mengjadi makangang macangku! Ha ha, dagingmu lebih
empuk tengtu dali pada daging olang Mancu .....!"
Kalisang melangkah maju, mengeluarkan sebatang kunci dan membuka pintu depan kerangkeng
yang dikuncinya itu. Dengan muka menyeringai ia lalu menarik pintu kerangkeng terbuka. Akan
tetapi, ia merasa heran melihat harimaunya tidak lekas menubruk maju. Biasanya, begitu
kerangkeng dibuka, harimaunya itu terus saja menubruk maju dan menyerang calon mangsanya di
dalam kerangkeng. Sekarang ini si macan hanya menggereng-gereng memperlihatkan taringnya dan
matanya mencorong ke arah Han Sin.
"Anakku .....hayo maju, makang dia ..... hayoh .....!" Kalisang mendesak harimaunya.
Han Sin tidak takut sama sekali menghadapi harimau itu, akan tetapi ia merasa kurang leluasa kalau
harus melawan harimau di dalam kerangkeng yang sempit. Maka ia mendahului keluar dari
kerangkeng menghadapi Kalisang dan harimaunya dengan tangan kiri tergantung.
"Kalisang, aku tidak ingin bermusuhan denganmu. Kedatanganku ini hanya hendak bertanya, ke
mana perginya anak perempuan yang belasan tahun yang lalu kaurampas dari tangan Ang-jiu
Toanio?" Sambil bertanya demikian, pandang mata Han Sin menyambar-nyambar dari Kalisang
kepada harimau itu dan meremang bulu tengkuknya kalau ia membayangkan betapa adik
kandungnya itu sudah dijadikan mangsa harimau ini!
"Kau ....kau bilang apa ....?" Kalisang bertanya, wajahnya agak berubah. "Kau siapa ....?"
"Tak perlu kau mengenal aku siapa, hanya patut kauketahui bahwa anak perempuan yang masih
bayi, yang kaurampas dari tangan Ang-jiu Toanio dulu itu, dia adalah adik kandungku. Di mana
dia?"" Kini di dalam suara Han Sin terkandung ancaman hebat.
Kalisang menepuk pantat harimaunya dan binatang itu kini mulai menyerang, menubruk dengan
kuat sekali ke arah Han Sin. "Heh heh, kau mau mampus masih benglagak .......!"
Akan tetapi alangkah kagetnya hati Kalisang ketika melihat betapa pemuda itu hanya dengan
sebelah tangan, menggeser kaki ke samping lalu tangan itu bergerak cepat, menampar mulut macan.
"Prakk!" Harimau terbanting dan mulut harimau itu hancur, giginya pada copot dan bibirnya
berdarah sampai ke hidungnya! Harimau itu kesakitan dan marah sekali. Kembali ia meloncat
dengan tubrukannya, kini kedua kakinya juga ikut mencakar.
Kembali Han Sin bergerak cepat, dua kali tangan kanannya bergerak dan "Plak! Plak!" Harimau itu
sekali lagi terbanting dan bergulingan sambil menggereng-gereng kesakitan. Ternyata semua tulang
kaki depannya telah remuk oleh tamparan Han Sin tadi! Setelah tulang kaki depannya patah-patah
dan mulutnya berikut gigi-giginya rusak, harimau besar ini tak berdaya lagi.
Kalisang membelalakkan matanya. la marah bukan main, sambil mengeluarkan seruan panjang dan
aneh ia melangkah maju dan tangan kanannya bergerak ke depan. Lengan ini terus mulur panjang
dan biarpun jarak antara dia dan Han Sin ada satu setengah meter lebih jauhnya, tangannya masih
dapat mencengkeram ke arah pundak kanan pemuda itu! Han Sin merasa heran karena belum
pernah ia melihat ilmu seperti ini, akan tetapi ia sengaja bergerak lambat dan memberi kesempatan
kepada tangan lawan untuk mencengkeram pundaknya.
Kalisang berseru kaget ketika tangannya mencengkeram pundak yang menjadi lunak seperti kapas
saja sehingga semua tenaganya amblas dan lenyap ke pundak lawan, dan lebih-lebih kagetnya
ketika tiba-tiba tangan Han Sin sudah menotok jalan darah di dekat sikunya yang sekali gus
membuat tangannya itu lumpuh! Belum sempat ia bergerak, tubuh Han Sin berkelebat dan Kalisang
roboh terguling, tak dapat bergerak lagi!
Kakek ini disamping kesakitan dan kekagetan, juga merasa heran setengah mati. Bagaimana ada
orang masih amat muda lagi, dapat membikin dia tak berdaya hanya dalam segebrakan saja" Belum
pernah selama hidupnya ia mengalami hal aneh seperti ini!
"Hayo kaukatakan, Kalisang. Di mana bocah perempuan yang kaurampas dari tangan Ang-jiu
Toanio dulu itu?" Han Sin membentak.
Kalisang berusaha bangun, akan tetapi tidak berhasil. Ia malah tidak kuasa lagi menggerakkan kaki
tangannya. Akhirnya ia mengeluh,
"Aduuhhh ...... kau hebat sekali ..... angak itu ..... sudah dingampas ...... Hoa Hoa Cingjing ....."
Han Sin melompat maju, mencengkeram lengan Kalisang demikian eratnya sampai kakek itu
meringis. Ia merasa betapa tulang-tulang lengannya seperti hancur luluh dicengkeram tangan
pemuda aneh ini.
"Jangan bohong! Anak itu tentu sudah kauberikan kepada macanmu menjadi mangsanya!"
"..... ooohh, enggak ..... enggak ..... aduhh lepaskan lengangku ......., betung betung ..... dulu
dingampas Hoa Hoa Cingjing ..... mana aku bengani melawang dia ....?"
"Dirampas Hoa Hoa Cinjin ...." Kau maksudkan ...... Hoa-ji itu ......"
"Aku tidak tahu siapa nangmanya .... kau boleh tanyakan saja sama dia ......?"
Han Sin bangun berdiri. Sekali menyambar, ia sudah mengangkat kerangkeng itu dengan sebelah
tangan, lalu membanting kerangkeng itu di atas tubuh harimau yang masih berkelojotan di atas
tanah. Kerangkeng pecah berantakan dan kepala harimau pecah.
"Kali ini baru kerangkeng dan macanmu yang kuhancurkan. Awas, kalau ternyata kelak kau
membohongiku tentang bocah itu, aku akan mencarimu dan menghancurkan kepalamu juga, jangan
harap kau akan dapat terlepas dari tanganku!"
"Tidak ..... tidak bohong ....!" keluh Kalisang yang tidak berdaya sama sekali melihat binatang
peliharaan dan kerangkengnya hancur. Han Sin lalu meninggalkan tempat itu dan terus menuju ke
utara. Di sepanjang jalan ia tak dapat menahan jantungnya yang berdebaran tidak karuan. Kalau betul
cerita Kalisang bahwa adik kandungnya itu dirampas oleh Hoa Hoa Cinjin, apakah tak boleh jadi
kalau adik kandungnya itu adalah Hoa-ji si gadis berkedok" Dan ia sedang mencari Hoa-ji yang
menjadi kekasih Pangeran Yong Tee. Betul-betulkah dia adik kandungku ...."
Han Sin ragu-ragu, akan tetapi sekarang semangatnya mencari Hoa-ji menjadi berlipat kali lebih
besar lagi. Ia akan mencari Hoa-ji, bukan saja hanya untuk memenuhi permintaan Pangeran Yong
Tee, akan tetapi sekarang, terutama sekali, untuk membuktikan apakah Hoa-ji betul-betul adik
kandungnya yang selama ini ia cari-cari. Betapapun juga, legalah hatinya mendengar dari Kalisang
bahwa adik kandungnya tidak dimakan harimau seperti yang tadinya ia khawatirkan.
Aku harus menyerbu ke utara, kalau perlu kudatangi markas besar tentara Mongol. Harus kujumpai
Hoa-ji. Siapa tahu dia betul-betul adik kandungnya! Hati Han Sin berdebar keras. Dia merasa sudah
hampir dapat membuka rahasia ini. Rahasia Bi Eng, rahasia Tilana, dan rahasia adik kandungnya!
Mungkin rahasia kematian orang tuanya. Dengan penuh semangat, biarpun tangan kirinya masih
harus digantung, pemuda ini melakukan perjalanan cepat menuju ke utara.
**** "Ibu, ada sebuah hal yang kuharap ibu suka berkata terus terang kepadaku." Demikian Tilana
berkata kepada ibunya, begitu ia memasuki rumah dan menghadap ibunya itu. Ibunya adalah Balita,
seorang Puteri Hui yang tersohor, seorang pemimpin Suku Hui yang mempunyai nama besar di
dunia kang-ouw, apalagi akhir-akhir ini. Sepak terjangnya aneh dan ganas sekali, sungguhpun ia
pada hakekatnya membenci kejahatan dan membasminya, namun dengan cara yang ganas dan
kejam tak kenal ampun. Oleh karena itulah maka Balita mendapat julukan Jin-cam-khoa (Algojo
Manusia). Di waktu mudanya, Balita terkenal seorang wanita cantik jelita jarang bandingnya. Akan tetapi,
seperti telah diceritakan dalam jilid terdahulu, setelah wanita ini menjadi rusak hatinya karena
tergila-gila kepada Cia Sun dan oleh pendekar itu cinta kasihnya ditolak, Balita menjadi buas dan
seperti berubah ingatannya. Ia menjadi kejam, ganas sekali, dan tidak lagi memperdulikan
kecantikan dirinya.
Sekarang ia telah menjadi seorang wanita tua yang biarpun masih ada tanda-tanda bekas
kecantikannya, namun ia kelihatan seperti orang liar. Rambutnya riap-riapan panjang, pakaiannya
sederhana dan tidak karuan. Akan tetapi hebatnya, karena ia tekun memperdalam ilmunya, ia
menjadi makin lihai dan tak seorangpun Bangsa Hui yang tidak tunduk dan takut kepadanya.
Kedatangan puterinya yang sudah membuka kerudungnya itu, membuat Balita mengerutkan kening
dan memandang tajam. Cantik sekali wajah anaknya ini, cantik jelita. Mendengar ucapan Tilana
tadi, Balita makin tajam pandang matanya.
"Ada hal apa yang aku sembunyikan darimu?" balas tanyanya.
"Ibu, pernah aku mendengar ibu berkata bahwa anak ibu hanya aku seorang diri, akan tetapi .....
benarkah itu, ibu" Apakah selain aku, tidak ada lain orang anak perempuan lagi" Apakah tidak ada
adikku?" Seketika pucat wajah Balita mendengar pertanyaan ini. Ia bergerak maju dan lengan tangan anaknya
sudah dipegangnya erat-erat, seperti seekor burung rajawali menangkap kelinci.
"Apa katamu" Dari mana kau mendengar hal itu" Dan .... eh, kenapa kau sudah membuka
kerudungmu" Tilana, kau telah melanggar sumpahmu! Hayo katakan, siapa yang membuka
kerudungmu?" Tiba-tiba saja, mungkin karena dibangkitkan kekagetannya mendengar pertanyaan
Tilana tadi, Balita menjadi marah tidak karuan.
Tilana terpukul hatinya oleh pertanyaan yang memang sudah disangka-sangkanya ini. la
menundukkan mukanya. Tidak biasa gadis ini berbohong kepada ibunya.
"Ada orang yang sudah membukanya, ibu .... akupun hendak menceritakan hal ini kepadamu. Ada
.... seorang pria yang sudah membukakannya ....."
"Setan! Dan kau sudah bunuh dia, sudah cincang hancur tubuhnya?"
Tilana menggeleng kepalanya.
Tiba-tiba Balita mencengkeram pundaknya, dan pikiran yang sudah kacau-balau dari wanita
setengah tua ini tiba-tiba teringat akan hal lain. "Eh, katakan lekas apakah kau sudah dapat
memenggal leher Cia Han Sin putera Cia Sun" Kenapa tidak kaubawa ke sini kepalanya"!?"
Tilana sudah biasa menghadapi keadaan ibunya seperti itu. Pikiran ibunya berpindah-pindah tidak
karuan. Karena soal membalas dendam kepada Han Sin ada hubungannya dengan kerudung yang
direnggut dari mukanya, maka Tilana lalu menjawab,
"Tidak, ibu. Dia terlalu lihai bagiku, kepandaiannya tinggi sekali ..... dan aku telah gagal
membunuhnya. Sedikitnya aku harus berlatih sepuluh tahun lagi kalau harus menghadapi ilmu
silatnya."
Balita menarik napas panjang dan menjatuhkan dirinya di atas bangku, nampak kecewa sekali.
Sampai lama ia diam tak bergerak, lalu terdengar ia berkata perlahan, "Cia Sun .... Cia Sun ....,
sampai kapan aku dapat membalasmu?" Dan wanita ini menangis terisak-isak.
Tilana memeluk ibunya. "Ibu, harap kau jangan berduka, ibu ..... dan soal sakit hati itu kurasa
takkan mungkin dapat dilakukan pembalasan lagi ...."
Mendadak Balita meloncat lagi berdiri dan memandang bengis kepada anaknya. "Percuma saja
selama ini kudidik kau! Tidak becus membikin mampus anak Cia Sun. Eh, bagaimana tentang lakilaki
yang merenggut kerudungmu tadi" Kau bilang tidak membunuhnya" Kenapa kau tidak bunuh
diri atau menyerahkan diri menjadi isterinya?"
Wajah Tilana menjadi merah sekali dan dua titik air mata menetes turun di atas pipinya. "Ibu .... aku
.... aku sudah menjadi isterinya ....."
Balita membelalakkan mata. "Menjadi isterinya tanpa setahuku" Setan! Siapa itu yang menjadi
menantuku" Kalau dia tidak berharga, akan kucincang hancur tubuhnya. Hayo bilang, siapa dia
yang menjadi pilihanmu itu!"
Makin merah muka Tilana, sampai ke lehernya merah sekali. Kemudian dengan perlahan ia
menjawab, "Cia .... Cia Han Sin ......"
Balita melengak seperti disambar petir. Ia tidak percaya akan pendengarannya sendiri, maka ia
mendekatkan kepala dan bertanya mendesak, "Siapa kau bilang" Yang keras!"
"Dia Cia Han Sin, ibu ......"
Balita mengeluarkan jerit melengking menyayat hati, tangannya diangkat ke atas, siap hendak
dijatuhkan kepada tubuh Tilana yang sudah meramkan mata. Akan tetapi gadis yang tidak takut
mati ini tidak merasa datangnya pukulan itu, malah tiba-tiba terdengar suara berkakakan.
Ketika ia membuka mata, ibunya tertawa bergelak-gelak, tubuhnya terguncang-guncang dan
kepalanya berdongak. "Ha ha ha! Hi hi hi, kau menjadi isterinya" Ha ha, hi hi ..... Cia Sun ..... Cia
Sun, apakah sekarang kau tidak akan bangun dari dalam kuburmu" Ha ha ha!" Dan Balita lalu lari
keluar dari pondoknya, berlari-lari di sepanjang padang pasir sambil tertawa bergelak-gelak dan
kadang-kadang menangis!
Untuk sesaat Tilana melengak. Ia kaget, bingung dan heran. Sikap ibunya merupakan teka-teki
baginya. Ia cukup mengenal ibunya dan biarpun ibunya bersikap aneh, akan tetapi semua yang
diucapkan masih mudah ditangkapnya. Namun kali ini benar-benar ia tidak mengerti. Kenapa
ibunya bersikap seperti itu ketika mendengar bahwa ia sudah menjadi isteri Cia Han Sin" Karena
penasaran, apalagi karena pertanyaan pertama belum dijawab, Tilana lalu berkelebat dan lari
mengejar ibunya.
Orang-orang Hui yang melihat ibu dan anak ini berkejar-kejaran, hanya tersenyum dan mengangkat
pundak. Memang mereka itu mempunyai dua orang pemimpin ibu dan anak ini, yang luar biasa
anehnya. Betapapun juga, mereka berdua adalah pemimpin-pemimpin yang amat baik, amat mereka
takuti, amat lihai!
Tilana melihat ibunya sudah duduk di dekat batu besar dan berlindung dalam bayangan batu itu,
masih tertawa-tawa dan kadang-kadang menangis.
"Cia Sun ..... Cia Sun .... apakah sekarang mayatmu tidak membalik di dalam kubur" Ha ha, hi hi hi
..... puas hatiku ....., puas ....."
Tilana berlutut di dekat ibunya. Dirangkulnya ibunya penuh kasih sayang. "Ibu, tenanglah, ibu."
Balita memandang kepadanya, lalu tertawa lagi bergelak-gelak sambil menuding kepada Tilana,
"Kau ..... ha ha .... kau kawin dengan dia ....!"
"Ibu, kau kenapa begini, ibu" Harap kau terangkan dan sekalian jawab pertanyaanku apakah selain
aku, kau masih mempunyai seorang anak perempuan lagi."
Tiba-tiba Balita menghentikan sikapnya yang luar biasa itu, kini ia merenung dan ketika pandang
matanya bertemu dengan mata Tilana, gadis ini terkejut bukan main. Dalam pandang mata ini
lenyaplah semua kasih sayang ibunya, terganti kebencian yang mengerikan hatinya.
"Hmmm, kau mau mengerti, bocah" Memang sebaiknya kau tahu agar aku dapat menyaksikan
kehancuran hatimu. Dengar! Memang aku mempunyai seorang anak perempuan lain, anak
kandungku. Dan kau bukan anakku. Dengar, Tilana, dengar baik-baik. Kau bukan anakku, akan
tetapi kau anak Cia Sun! Ha ha ha! Kau anak Cia Sun, mengerti" Kau adik Cia Han Sin dan kau
telah menjadi isteri kakak kandungmu sendiri! Ha ha ha ha .... gadis yang sekarang bersama Cia
Han Sin, yang dianggap adiknya selama ini ... dia itulah anakku yang sejati .... dia anak kandungku
.....! Ha ha, hi hi hi .....!"
Kalau ada geledek menyambar kepalanya di siang hari terang itu, Tilana takkan sekaget ketika
mendengar ini. Pukulan hebat ini tidak kuat ia menerimanya dan seketika ia roboh terguling
pingsan! Balita tertawa-tawa memandang tubuh Tilana yang pingsan itu. Kemudian berjalan pergi sambil
tertawa-tawa dan kadang-kadang menangis sedih. Matahari bergerak perlahan, bayangan batu
karang itu makin menggeser sampai akhirnya tubuh Tilana tertimpa cahaya matahari. Namun tubuh
itu belum juga bergerak.
**** Sesosok bayangan putih bergerak perlahan memasuki kota Ta-tung. Bayangan seorang wanita muda
yang cantik jelita. Tilana! Wajah gadis ini pucat bagaikan mayat hidup, sinar matanya aneh sekali,
sayu dan terbenam dalam kedukaan hebat, rambutnya yang panjang dan tertutup kerudung agak
kusut, demikianpun pakaiannya yang berwarna putih. Sinar bulan yang menerangi mukanya yang
cantik menimpa sepasang pipi yang basah, basah air mata.
Siapa orangnya yang takkan merasa hancur hatinya, takkan merasa perih dan sakit kalbunya,
seolah-olah tertusuk ratusan jarum berbisa" Dia telah menjadi isteri ...... kakak kandungnya sendiri!
Dia telah mencintai kakak kandungnya. Cia Han Sin, orang yang dicintainya, orang yang telah
menjadi suaminya biarpun secara tak sadar ternyata adalah kakaknya sendiri!
Dan Bi Eng, nona yang dianggapnya amat baik hati, yang membantu menjadi isteri Han Sin, yang
ia anggap sebagai adik ipar yang ia sayang, ternyata malah bukan adik kandung Han Sin, tepat
seperti yang dikatakan oleh pemuda itu. Benar-benar Bi Eng adalah puteri Balita yang selama ini ia
anggap sebagai ibunya.
Dunia serasa hancur bagi Tilana kalau ia teringat akan semua ini. Untuk ke sekian kalinya, dua butir
air mata berlinang lalu menetes ke atas kedua pipinya perlahan-lahan mengalir ke bawah. Tak
diusapnya, tak diperdulikan.
Dan Han Sin mencinta Bi Eng! Bi Eng sudah begitu baik terhadapku. Dan sekarang keadaan
berbalik. Bi Eng puteri Balita, dicinta Han Sin. Dia sendiri adik kandung Han Sin sekarang tiba
gilirannya untuk membalas budi Bi Eng dengan Han Sin! Kemudian, ah .... untuk apa lagi hidup di
dunia" Dia telah melakukan sesuatu yg amat hina. Menjadi isteri kakak kandung sendiri. Dia harus
mati! Bi Eng sedang bercakap-cakap dengan Li Goat dan Yan Bu di ruangan dalam, ketika seorang
pelayan memberi tahu bahwa ada seorang wanita Hui mencari Bi Eng.
"Tilana ....." berkata Bi Eng girang dan berdebar hatinya. Cepat ia berlari keluar dan ..... benar saja.
Tilana berdiri di depan rumah seperti sebuah patung dari marmer.
"Cici Tilana ....!" Bi Eng menubruk dan memeluknya. Girang bukan main hatinya dapat melihat
gadis ini dan tidak melihat gadis ini membunuh diri karena perbuatan Han Sin.
Makin terharu hati Tilana melihat sikap Bi Eng. Benar-benar seorang gadis yang berhati tulus dan
jujur. Tak terasa lagi air matanya bercucuran ketika ia membalas pelukan Bi Eng. Bi Eng sendiri
mengira bahwa Tilana masih merasa berduka karena penolakan Han Sin, maka cepat ia
menghiburnya, "Cici Tilana, harap kau jangan berduka. Aku senang sekali kau datang, biarlah kau tinggal dulu
dengan aku di sini. Sin-ko sedang ke utara, tak lama lagi tentu ia datang kembali dan ......,
"Bi Eng, kau mulia sekali ....., tapi aku mempunyai sebuah urusan yang amat penting, yang akan
kubicarakan denganmu. Bi Eng, maukah kau ikut dengan aku ke luar kota, ke tempat yang sunyi di
mana kita bisa bicara secara enak tak terganggu?"
"Tentu saja, cici Tilana. Biar aku pamit dulu ke dalam ....."
"Tak usahlah, urusannya penting sekali, adikku ......"
Kebetulan sekali pada saat itu Li Goat dan Yan Bu keluar. "Li Goat dan saudara Yan Bu, aku akan
pergi sebentar bersama cici ini ......." Bi Eng tak melanjutkan kata-katanya karena Tilana sudah
menggandeng dan menariknya pergi dari situ.
Li Goat dan Yan Bu saling pandang dan heran. "Siapakah wanita cantik yang aneh itu?"
"Entahlah ......." Yan Bu mengangkat pundak lalu termenung, penuh kekhawatiran, akhirnya ia
menghibur hati sendiri dan berkata, "Tentu seorang kenalan yang baik, orang-orang seperti dia itu
memang amat terkenal di dunia kang-ouw dan banyak hubungannya. Tadi kulihat sikap mereka
amat mesra, tidak ada yang perlu dikhawatirkan."
Sementara itu, Bi Eng dan Tilana berlari-lari cepat di malam hari itu menuju ke luar kota, kalau ada
yang melihat mereka, yang melihat ini takkan heran karena di kota ini adalah pusat tempat orangorang
kang-ouw yang aneh dan lihai, hanya mungkin mereka akan kagum sekali melihat dua orang
gadis yang amat cantik jelita ini.
35. Rahasia Bayi Perempuan Min-san
DI TEMPAT yang sunyi, tempat terbuka sehingga takkan ada orang dapat mengintai dan
mendengarkan percakapan mereka, Tilana berhenti dan gadis ini duduk di atas rumput. Bi Eng juga
duduk di depannya sambil tersenyum dan berkata,
Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Cici Tilana, kau amat aneh. Bercakap-cakap saja mengajak di tempat yang begini sunyi. Kalau kita
tadi pergi ke rumah makan sambil makan-makan kita mengobrol, kan lebih enak?"
Tilana menatap wajah Bi Eng yang cemerlang dan berseri ditimpa sinar bulan purnama itu, lalu
menarik napas. Kasihan, pikirnya. Gadis ini begini jujur, terbuka hati baik budi. Baru sekarang ia
melihat betapa mata dan bibir Bi Eng ini sama benar bentuknya dengan mata dan bibir ...... ibunya,
Balita. Makin terharu hati Tilana. Gadis ini senasib dengan dirinya, semenjak kecil tak mengenal ibu
sendiri, dipermainkan oleh nasib yang ditimbulkan oleh orang-orang tua yang tak bertanggung
jawab. Tak terasa lagi Tilana merangkul Bi Eng dan menangis.
"Aduh, adikku, Bi Eng ......, kasihan sekali kau ......"
Bi Eng makin terheran, tak enak hatinya, ia melepaskan rangkulan Tilana dengan halus, menentang
pandangnya lalu bertanya sungguh-sungguh, "Cici Tilana harap jangan berlaku penuh rahasia, kau
membikin gelisah. Sebetulnya, ada apakah yang terjadi" Kenapa kau malah menaruh kasihan
kepadaku?"
"Adikku Bi Eng, tak tahukah engkau bahwa ..... bahwa kanda Han Sin sebetulnya hanya mencinta
kau seorang" Kaulah yang dicintanya, bukan wanita lain ......."
Merah muka Bi Eng. "Aahhh, kau ini aneh-aneh saja cici Tilana. Kalau tidak mencinta aku habis
bagaimana" Akukan adiknya!" la mencoba bergembira.
Akan tetapi Tilana memegang tangannya dan berkata sungguh-sungguh, "Aku tidak main-main, Bi
Eng. Ketahuilah sesungguhnya kau bukanlah adik kandung kanda Han Sin, kau malah bukan apaapanya,
bukan sanak, bukan kadang ......"
"Apa ...... apa artinya ini ....." Jangan kau main gila!" Bi Eng menjadi pucat, hatinya berdebar.
"Aku bicara sesungguhnya, dan aku berterus terang karena aku suka kepadamu. Kanda Han Sin
sendiri yang berkata kepadaku tentang dirimu ketika akhir-akhir ini aku bertemu dengan dia. Malah
Siauw-ong pun di tinggalkan di tempatku. Bi Eng, kau bukanlah adik kandungnya, apakah selama
ini kau tidak merasanya" Apakah sikapnya terhadapmu sewajarnya?"
Makin pucatlah wajah Bi Eng, jantungnya berdebar tidak karuan. Dia bukan adik kandung Han Sin"
Pemuda itu bukan kakaknya" Mana mungkin" Sejak ia dapat mengingat ia selalu berada di sisi
kakaknya itu. "Tak mungkin! Kau bohong!" katanya dengan bibir menggigil. "Sejak aku dapat mengingat, dia
selalu berada di sisiku, menjadi kakakku ......"
Tilana mengangguk. "Aku mengerti, demikianpun aku, adikku. Orang yang kukira ibuku, yang
semenjak kecil kusangka, ibu kandung sendiri, ternyata orang lain dan bukan apa-apaku. Semenjak
kecil kau berada di sisi kanda Han Sin, akan tetapi tahukah kau apa yang terjadi ketika kau masih
bayi" Kau bukan adik kandungnya, Bi Eng dan hal ini aku yakin benar karena aku tahu anak siapa
kau ini, malah ibumupun masih hidup ......."
Bi Eng mengeluarkan jerit tertahan dan ia memegang tangan Tilana erat-erat seakan-akan hendak
menghancurkan tangan itu dalam cengkeramannya. Baiknya Tilana adalah seorang gadis berilmu,
kalau tidak, bisa remuk tulang tangannya dicengkeram seperti itu oleh Bi Eng.
"Tilana! Awas kau kalau bohong ....!"
Tilana menentang pandang mata itu dan menggeleng kepala.
"Kalau begitu, siapa ibuku yang betul" Ayoh bilang, siapa dia" Aku anak siapa?"
"Ibumu adalah orang yang selama ini kuanggap ibuku. lbumu adalah Balita, Puteri Hui ......."
"Tak mungkin .....! Tak mungkin .....! Aku anak Jim-cam-khoa si iblis betina ........?"
"Memang banyak sekali hal yang kelihatan tak mungkin telah terjadi di masa kita masih kecil,
adikku. Kau memang anak tunggal Balita dan hal ini sudah diakui secara terang-terangan oleh
Balita. Lihat matamu, bibirmu, serupa benar dengan Balita. Dan kanda Han Sin juga sudah tahu
akan hal ini ....."
"Tidak bisa!! Tidak bisa jadi! Aku harus mendengar sendiri dari wanita Hui itu! Harus mendapat
keterangan yang jelas! Tak mungkin ......" Bi Eng lalu menangis terisak-isak.
Tiba-tiba ia teringat akan keterangan Han Sin tentang tahi lalat merah di dekat telinga Tilana,
tentang kenyataan bahwa Tilana ini puteri Ang-jiu Toanio. Tanpa disadarinya, tangannya
menyingkap rambut di dekat telinga Tilana dan benar saja, ia melihat tanda merah ...... Bi Eng
menjerit lirih dan merangkul Tilana lalu menangis terisak-isak lagi di pundak Tilana. Hati Bi Eng
tidak karuan rasanya. Terharu, sedih, bingung dan anehnya .... ada juga rasa girang! Ibunya masih
hidup. Dan ..... dia bukan adik kandung Han Sin!
"Bi Eng, adikku yang baik. Memang kau harus mendengar sendiri dari ibumu, dari Balita. Mari
kubawa kau ke sana, biar kupertemukan ibu dan anak yang sudah berpisah semenjak kau masih bayi
......" Seperti dalam mimpi, Bi Eng digandeng bangun dan diajak berlari-lari oleh Tilana. la bingung dan
gelisah. Kalau Han Sin sudah mengetahui akan hal itu, kenapa diam saja tidak memberi tahu
kepadanya" Pantas saja sikap Han Sin aneh sekali. Dan menurut Tilana, Han Sin hanya mencinta
dirinya seorang! Bi Eng menjadi panas mukanya dan berdebar jantungnya.
Dan Tilana ...... ah, kalau ia ingat betapa ia sudah mendorong-dorong Han Sin supaya mengawini
Tilana ...... peristiwa di Min-san itu ....... pedih, sakit rasa hatinya. Han Sin ...... Han Sin ......, kenapa
kau diam saja" Kalau dia betul anak Balita dan Tilana ini anak Ang-jiu Toanio, di mana adik
kandung Han Sin" Apa yang telah terjadi sesungguhnya"
Di tengah perjalanan Tilana diam saja. Wajahnya yang cantik amat pucat seperti mayat dan wajah
itu layu dan murung, diliputi kedukaan maha besar. Bi Eng mencoba untuk memancing keterangan,
akan tetapi Tilana hanya menggeleng kepala, menarik napas panjang dan ...... menangis.
Tentu saja Bi Eng tidak tahu apa yang terkandung dalam hati Tilana. Gadis ini merasa dunia sudah
kiamat, matahari sudah tak bersinar lagi baginya. Ia hanya ingin hidup untuk bertemu dengan Han
Sin, untuk bertanya kepada pemuda yang sebetulnya adalah kakaknya sendiri ini, kenapa Han Sin
tidak berterus terang saja dahulu, sehingga terjadi peristiwa memalukan itu.
Kalau Han Sin dulu berterus terang bahwa dia adalah adik kandungnya, lebih baik dia mati dari
pada melakukan perbuatan yang memalukan. Kenapa Han Sin tidak mau mengaku terus terang"
Malah akhir-akhir ini di padang pasir, mengapa pemuda itu malah bersikap mesra kepadanya"
Apakah Han Sin orang serendah itu, yang tega hati mempermainkan adik sendiri" Demikian
hinakah tabiat pemuda yang menjadi kakak kandungnya itu"
Dengan masing-masing tenggelam ke dalam lautan pikiran sendiri, dua orang gadis itu melakukan
perjalanan cepat dan akhirnya tibalah mereka di tempat tinggal Balita, di perkampungan orangorang
Hui. Begitu tiba di tempat itu, dari sebuah pohon meloncat seekor monyet, yang langsung meloncat ke
pundak Bi Eng. "Siauw-ong ....!" Bi Eng berseru girang, akan tetapi hanya untuk dua detik saja karena pikirannya
segera dipengaruhi oleh urusan dirinya. Ia terus mengikuti Tilana yang membawanya ke sebuah
pondok besar. Tilana bersuit keras dan segera dari dalam pondok muncul seorang wanita setengah tua. Wanita itu
berdiri di depan pintu, memandang kepada Bi Eng dengan mata terbelalak. Sebaliknya Bi Eng juga
terpaku di atas tanah, menatap wajah Balita, wanita Hui itu, dengan muka pucat, mata terbelalak
lebar, kedua kaki lemas dan gemetar dan bibir menggigil. Entah bagaimana, bertemu dengan wanita
ini mendatangkan getaran aneh dalam tubuhnya, seakan-akan ia sering bertemu dengan wanita aneh
ini, entah di mana ....."
Bi Eng, dia inilah ibumu, ibu kandungmu. Dia inilah orangnya yang menukar-nukar kita, ketika kita
masih bayi, dia yang membikin celaka hidupku, yang sengaja menjebloskan aku ke dalam jurang
penghinaan. Balita, di balik semua kebaikan budimu terhadap aku semenjak aku kecil, ternyata kau
menyembunyikan maksud yang amat jahat terhadap aku. Sekarang terimalah pembalasanku!"
Secepat kilat Tilana yang sudah mencabut pedangnya itu menyerang Balita.
Balita yang semenjak tadi berdiri mematung seperti kena sihir, hanya berbisik berkali-kali, "Ini ..
anakku ..." Anakku ..." Ahh ... anak kandungku ..."
Karena keadaannya seperti orang linglung inilah maka ketika serangan Tilana datang, ketika pedang
di tangan gadis itu menusuk dadanya, ia terlambat mengelak, sehingga biarpun ia sudah berusaha
mengelak, tetap saja pundaknya tertikam pedang. Darah muncrat keluar membasahi pakaiannya dan
pada saat itu terdengar jerit Bi Eng,
"Jangan bunuh dia .......!"
Pada saat itu Tilana sudah mengirim tusukan kedua, akan tetapi pedangnya terpental kembali karena
sudah ditangkis oleh Bi Eng yang berdiri menghadapinya dengan wajah keren. "Cici Tilana! Setelah
kau membawaku ke sini, setelah kau membuka rahasia ini, apakah kau hanya ingin menyuruh aku
melihat kau membunuh orang yang kausebut ibu kandungku" Tidak boleh!"
Tilana sadar dan memandang Bi Eng dengan mata terbelalak. Ia mengeluh dan berkata, "Selamat
tinggal!" Kemudian segera ia lari meninggalkan tempat itu. Sebentar saja bayangan Tilana lenyap di
antara pondok-pondok yang berdiri di kampung itu.
"Kau ..... kau anakku ...... tak salah lagi ......"
Mendengar bisikan ini, Bi Eng menjadi lemas, pedangnya terlepas dan ia membalikkan tubuhnya.
Balita sudah berdiri di dekatnya, memegang kedua lengannya dan mata itu memandang kepadanya
penuh selidik. Akhirnya, bagaikan besi dengan besi semberani, keduanya saling tubruk, saling peluk
dan keduanya menangis. Siauw-ong berdiri bingung dan menyeringai.
"Kau anakku! Ha ha, hi hi, kau anakku!"
Bi Eng kasihan melihat orang tua ini dan tanpa berkata apa-apa ia lalu membalut luka di pundak
Balita. Kemudian ia menekan perasaan dan berkata,
"Kalau betul apa yang dikatakan Tilana bahwa aku adalah anakmu, harap kausuka ceritakan
sejelasnya mengapa semenjak kecil aku berada di Min-san."
"Aduuhh ...... anakku .... anakku ...., nasib buruk menimpaku, semua gara-gara Cia Sun ......." Balita
lalu menarik tangan Bi Eng, memasuki rumah dan sambil memangku anaknya dengan penuh kasih
sayang dan membelai-belai rambut Bi Eng, ia bercerita,
"Dulu di waktu aku masih muda sekali, aku telah dikawinkan oleh orang tuaku dengan seorang
pemuda Hui. Aku tidak suka kepadanya, akan tetapi orang tuaku memaksaku, akhirnya kawinlah
aku dengan dia. Lalu aku bertemu dengan Cia Sun ......" Balita berhenti lalu termenung, matanya
yang masih indah itu memancarkan sinar ganjil. "....... dia menjatuhkan hatiku, ..... aku ...... aku
cinta padanya dan ..... diapun membalas cintaku .... aku tergila-gila kepadanya sampai akhirnya aku
bunuh suamiku sendiri ....." Kembali Balita termenung.
Bi Eng terkejut, kemudian teringat akan keadaan Tilana dengan Han Sin, kakaknya ...... eh, bukan,
bukan apa-apa malah! "Apakah ........ apakah kau menggunakan obat bubuk putih berbau wangi
dicampur dalam minumannya?" Pertanyaan ini keluar begitu saja dari mulutnya tanpa disadarinya
terbawa oleh renungannya tentang Tilana dan Han Sin.
Akan tetapi akibatnya membuat Balita kaget sekali. Wanita itu memegang pundaknya, memandang
tajam dan bertanya, "Bagaimana kau bisa tahu?"
Bi Eng menarik napas panjang. "Tilana pun menggunakan obat itu terhadap .... Han Sin ......"
Balita tertawa terkekeh-kekeh, nampaknya girang sekali. "Sejarah terulang .... heh heh heh, sejarah
terulang pembalasan ....... pembalasan ......! Biarlah arwah Cia Sun melihat betapa dua orang
anaknya sekarang melakukan perbuatan hina, hi hi hi, kakak dan adik menjadi suami isteri ........."
Bi Eng melengak, merasa bulu tengkuknya berdiri. "...... apa ....." Apakah Tilana itu adik .....
adiknya ......?"
Mata Balita berkilat-kilat. "Siapa lagi kalau bukan adiknya" Tilana puteri Cia Sun, dan kau anakku
....." Jantung Bi Eng berdebar tidak karuan. Ya Tuhan, apakah yang telah ia lakukan. la telah membantu
Tilana, telah mendorong-dorong Han Sin, ia telah berusaha mati-matian menjodohkan mereka.
Mereka, kakak beradik saudara kandung!
"Bagaimana bisa begitu" Ceritakan ... ceritakan ....!" ia mendesak Balita.
"Aku bunuh suami sendiri karena cintaku kepada Cia Sun. Tapi ..., dasar laki-laki tak berbudi. Dia
meninggalkan aku, aku mengejarnya, akan tetapi dia menolakku ...., ketika kau terlahir aku lagi-lagi
mencarinya dan mohon supaya dia menerimaku, baik sebagai pelayan atau penjaga ....., akan tetapi
dia menolakku ....."
"Kejam .......!" Tak terasa seruan ini keluar dari mulut Bi Eng.
Balita senang mendengar ini dan memeluk anaknya. "Laki-laki memang jahat, tidak setia ......"
Tiba-tiba Bi Eng tersentak kaget. "Kalau begitu ..... aku ini anakmu bersama ...... dia?"
"Bukan, anakku. Kau telah satu bulan dalam kandunganku ketika aku tergila-gila dalam
pertemuanku dengan Cia Sun. Kau anak suamiku yang kubunuh dengan terpaksa karena cinta
kasihku kepada Cia Sun. Dapat kaubayangkan betapa marah dan sakit hatiku ketika aku diusir oleh
Cia Sun, disaksikan oleh isterinya. Waktu itu isteri Cia Sun sudah mempunyai seorang anak lakilaki
......." "Sin-ko ......."
"Ya, yang bernama Cia Han Sin itulah. Anak siluman, entah bagaimana sekarang dia bisa begitu
lihai, jauh melebihi ayahnya dulu. Dendamku tak dapat kutahankan lagi. Melihat bayi perempuan,
dan mengingat aku takkan dapat membunuh Cia Sun karena aku begitu mencintanya sampai tidak
tega membunuhnya, maka aku lalu menggunakan lain jalan. Aku menukarkan kau dengan anaknya
yang kemudian menjadi Tilana itulah. Dan kau hidup sebagai adik Cia Han Sin ........."
"Dan kau membunuh Cia Sun dan isterinya?"
"Tidak ........, tidak ....." Balita menarik napas panjang, tiba-tiba menangis terisak-isak. "Kasihan Cia
Sun ......! Aku melihat dia menggeletak mandi darah ....... Aku melepaskan kerudungku dan
kuselimutkan padanya ....... entah siapa yang membunuhnya ........"
Bi Eng tergerak hatinya. "Selimut kuning berkembang, halus sekali dan di ujungnya ada sulaman
burung merpati?" tanyanya.
"Betul ......, betul ......, itulah kerudungku ......"
Kini tak ragu-ragu lagi hati Bi Eng. Memang betul dia anak Balita. Selimut itu memang berada di
Min-san, di waktu kecilnya sering ia pakai kalau tidur.
"Ibu ........., kau memang ibuku ..... alangkah banyaknya penderitaan hidupmu ....." Bi Eng memeluk
dan keduanya saling peluk sambil menangis.
Setelah mereda tangisnya, Balita melanjutkan ceritanya. "Karena masih mendendam, setelah Tilana
menjadi dewasa, aku menyuruh membunuh Cia Han Sin putera Cia Sun. Tentu saja aku tidak
mendendam kepada engkau, anak kandungku. Akupun benci kepada Tilana karena dia itu keturunan
Cia Sun, akan tetapi oleh karena semenjak bayi berada di sisiku, aku tidak tega membunuhnya
dengan tangan sendiri. Maksudku, aku hendak menanam permusuhan antara dia dan Cia Han Sin,
biarlah kakak beradik sekandung itu saling bunuh!"
"...... tapi akhirnya mereka malah ..... berjodoh ...." Bi Eng berkata perlahan seperti dalam mimpi.
"..... dan aku aku mendorong mereka ......."
"Bagus sekali! Kau betul-betul puteriku. Ha, biarlah mereka menderita, anak Cia Sun itu. Menderita
lahir batin!" Tiba-tiba Balita menangis lagi dan entah bagaimana, Bi Eng merasa sedih sekali dan
ikut menangis. **** Kita tinggalkan dulu Bi Eng yang baru saja bertemu kembali dengan ibu kandungnya dan mari kita
mengikuti perjalanan Cia Han Sin yang menuju ke utara untuk mencari Hoa-ji, anak angkat Hoa
Hoa Cinjin. Kini ia mencari Hoa-ji bukan semata-mata untuk memenuhi permintaan Pangeran Yong
Tee kekasih gadis itu, melainkan terutama sekali karena timbul dugaan keras di dalam hatinya
bahwa Hoa-ji itulah adik kandungnya! Kiranya takkan keliru lagi kalau menurut penuturan yang
didengarnya dari Ang-jiu Toanio, kemudian munculnya Tilana dan penuturan Kalisang. Dengan
kecerdikan otaknya Han Sin dapat merangkai semua peristiwa dahulu dalam bayangannya.
Ang-jiu Toanio bersakit hati kepada ayahnya, seperti juga Balita. Kedua orang wanita itu karena
agaknya tidak berdaya menghadapi ayahnya, lalu mengambil jalan keji untuk membalas dendam,
yaitu dengan jalan menukarkan anak.
Agaknya Ang-jiu Toanio yang lebih dulu menukarkan anaknya dengan adik kandungnya, kemudian
muncul Balita yang kemudian menukarkan anaknya dengan anak Ang-jiu Toanio, tentu saja yang
dikiranya anak Cia Sun. Dengan demikian, anak kandungnya berada di tangan Balita dan anak
Balita ditinggal di Min-san!
Tegasnya, Bi Eng adalah anak Balita, Tilana anak Ang-jiu Toanio dan adik kandungnya sendiri,
dari tangan Ang-jiu Toanio dirampas Kalisang kemudian dari tangan Kalisang dirampas Hoa Hoa
Cinjin dan menjadi seorang gadis berkedok, Hoa-ji!
Dalam penyelidikannya, ia mendengar bahwa Bhok-kongcu atau Pangeran Galdan bermarkas besar
di Pegunungan Yin-san. Han Sin berlaku sangat hati-hati. Ia maklum bahwa dengan memasuki
daerah Mongol ini, ia seperti telah memasuki gua harimau dan naga.
Maka ia melakukan penyelidikan secara bersembunyi. Tidak mau ia bentrok dengan orang-orang
Mongol, karena kalau sampai diketahui ia berada di daerah ini, tentu Bhok-kongcu takkan tinggal
diam dan ia akan ditangkap atau dibunuh. Dengan adanya banyak orang-orang pandai, kalau sampai
dikeroyok, mana dia dapat menang" Pula, kalau sampai ketahuan maksud kunjungannya ini, tentu
akan makin sukar baginya untuk mencari Hoa-ji.
Pada suatu pagi Han Sin berjalan di daerah pegunungan di kaki Gunung Yin-san. Sudah semenjak
beberapa hari ia mulai bertemu dengan orang-orang Mongol dan tentara-tentara Mongol. Selalu
pemuda ini menghindarkan pertemuan dan memilih jalan sunyi untuk mendaki Gunung Yin-san.
Selagi ia berjalan dan diam-diam mengagumi pemandangan alam yang masih bebas dan asli itu,
tiba-tiba ia mendengar suara perlahan di belakangnya. Cepat ia menengok, namun tidak kelihatan
sesuatu. Ia merasa ragu-ragu dan berjalan terus. Tiba-tiba terdengar pula suara langkah orang di
belakangnya. Cepat Han Sin memutar tubuh dan seperti juga tadi, tidak kelihatan orangnya.
Salahkah pendengarannya" Tiba-tiba terdengar langkah kaki di sebelah kiri, ketika ia menengok ke
kiri, langkah itu berpindah ke kanan.
"Celaka, apakah ada setan di pagi hari?" gerutunya dengan mendongkol, akan tetapi juga terheranheran.
Ia tidak perduli dan berjalan terus. Ketika ia tiba di sebuah tebing jurang, tiba-tiba dari kanan
muncul begitu saja, seakan-akan melayang dari dalam jurang, dua orang laki-laki yang luar biasa
sekali. Mereka ini merupakan dua orang laki laki kembar, kembar segala-galanya sampai rambutrambut
dan jenggotnya.
Tubuh mereka besar dan nampak kuat sekali, dengan kepala yang besar pula. Rambut tak
terpelihara, riap-riapan, hidung seperti paruh burung kakatua, mulut besar dengan gigi besar-besar
seperti bertaring, pakaian mereka juga aneh, seperti jubah luar yang amat panjang, diikat tali
pinggang yang panjang pula. Kaki mereka memakai sepatu yang tinggi, sepatu dari kulit. Amat
menarik, kulit tubuh mereka berwarna putih sekali, putih dengan totol-totol merah.
Lebih mengherankan lagi, tangan mereka hanya berjari satu, atau tegasnya, empat buah jari tangan
telah lenyap, buntung tinggal ibu jarinya saja pada masing-masing tangan. Tapi ibu jari ini berkuku
runcing. Benar-benar makhluk yang amat mengerikan, melihatnya saja cukup membuat orang lari
ketakutan! Han Sin terkejut juga, akan. tetapi ia segera dapat menenangkan hatinya. la maklum bahwa ia
berhadapan dengan dua orang yang tak boleh dipandang ringan. Gerakan mereka kelihatan ringan
sekali, gerak kaki mereka biarpun bertubuh besar, amat cepat dan tidak mengeluarkan suara. Ini saja
sudah membuktikan bahwa dua orang yang seperti raksasa berkulit putih dengan mata agak
kebiruan ini amat lihai. Dugaannya memang terbukti karena sambil mengeluarkan suara aneh, dua
orang itu bergerak dan tahu-tahu Han Sin sudah dikurung dari kanan kiri!
Han Sin adalah seorang pemuda yang suka sekali mempelajari bahasa asing, akan tetapi ketika dua
orang itu bersuara, ia sama sekali tidak mengerti bahasa apakah yang mereka gunakan. Melihat
bentuk pakaian mereka, ia menduga bahwa tentu mereka ini ada hubungannya dengan orang-orang
Hui, maka ia segera memberi hormat dan bertanya dalam bahasa Hui,
"Tuan berdua ini siapakah dan ada keperluan apa menghadang perjalananku?"
Dua orang raksasa itu saling pandang, lalu tertawa bergelak. "Kau bisa bicara Hui" Bagus .....,
Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bagus ......!" kata seorang di antara mereka dalam bahasa ..... Han! Biarpun suara mereka kaku dan
janggal, namun cukup dapat dimengerti.
"Maaf, kiranya ji-wi (tuan berdua) dapat berbahasa Han. Tidak tahu siapakah ji-wi yang terhormat
dan ada keperluan apa gerangan menahan perjalananku?" Han Sin mengulang dengan sikap hormat.
"Kau orang Han berkeliaran di sini, tentu mata-mata bangsa Mancu. Ayoh lekas mengaku siapa kau
dan apa keperluanmu di tempat ini!" mereka membentak dengan sikap keren dan mengancam.
Han Sin mengerutkan kening. Ia maklum bahwa setelah ia dilihat orang, tentu akan timbul pelbagai
kesukaran. Apa lagi dua orang ini kelihatan aneh dan lihai, mungkin tokoh-tokoh besar pembantu
Bhok-kongcu. Melihat mereka mengerti bahasa Hui dan pakaian merekapun seperti orang Hui, Han
Sin lalu memancing untuk membaiki mereka,
"Aku bernama Han Sin, she Cia. Apakah ji-wi sudah mengenal seorang puteri Hui bernama Balita
dan anak perempuannya bernama Tilana" Aku kenal baik mereka itu."
Dua orang itu kembali saling pandang. "Cia Han Sin" Apa hubungannya dengan Cia Sun dari Minsan?"
Celaka, pikir Han Sin. Lagi-lagi ada orang mengenal mendiang ayahnya dan melihat sikap mereka,
ia sangsi apakah mereka ini sahabat-sahabat ayahnya. Akan tetapi, bukan watak Han Sin untuk
menyangkal ayahnya sendiri. Apapun akan terjadi atas dirinya, tak mungkin ia menyangkal
ayahnya. Tidak mengakui ayah sendiri hanya untuk menyelamatkan diri adalah perbuatan pengecut
dan rendah. "Cia Sun adalah mendiang ayahku...."
Baru saja Han Sin berkata sampai di sini, seorang raksasa yang berdiri di sebelah kirinya
menyerang dengan hebat, memukul menggunakan tangan kanan yang berjari satu itu. Pukulan ini
hebat sekali, mendatangkan angin bersiutan dan datangnya cepat bukan main, hampir saja mengenai
kepala Han Sin. Baiknya pemuda ini sudah memiliki gerakan yang otomatis sehingga begitu
pukulan menyambar, otomatis ia sudah menarik diri dan mengelak sambil mengibaskan tangan kiri
menangkis. "Plakk!" Han Sin terkejut bukan main ketika mendapat kenyataan betapa tangan kirinya terasa
panas dan sakit ketika bertemu dengan tangan lawan. Cepat ia melompat mundur karena raksasa di
kanannya sambil tertawa-tawa juga sudah menyerangnya dengan sama hebat dan cepatnya.
"Eh, kalian mengapa menyerangku" Apa salahku?" tanyanya, penasaran. Raksasa itu terkejut dan
heran juga melihat pemuda itu dapat menghindarkan pukulan-pukulannya.
"Kau bukan orang sembarangan," kata seorang di antara mereka. "Baiklah kauketahui agar jangan
mati penasaran. Jin-cam-khoa Balita adalah adik seperguruan kami. Nah, bocah she Cia, siaplah
untuk binasa!" Kembali mereka menyerang dengan pukulan-pukulan aneh yang datangnya cepat
dan kuat sekali.
Namun kali ini Han Sin sudah bersiap sedia. Dengan langkah-langkah Liap hong-sin-hoat ajaran
Ciu-ong Mo-kai, tubuhnya bergerak ke sana ke mari menghindarkan diri dari ancaman pukulan dua
orang pengeroyoknya. Tidak demikian saja, malah kini telunjuk tangannya dipergunakan untuk
mainkan ilmu silat Lo-hai Hui-kiam yang amat sakti.
Bukan main herannya dua orang raksasa itu ketika berkali-kali serangan mereka hanya mengenai
angin kosong belaka. Dan lebih-lebih kaget hati mereka ketika dua buah jari telunjuk pemuda itu
menyerang mereka dengan totokan yang luar biasa hebatnya sehingga angin serangannya saja sudah
terasa amat berbahaya seperti ujung dua batang pedang runcing!
Mereka berusaha mempertahankan diri, namun terhadap Lo-hai Hui-kiam, mereka benar-benar mati
kutu. Baru belasan jurus saja mereka telah terkena tusukan hawa totokan jari tangan Han Sin, cepat
mengenai pundak membuat mereka mengeluarkan gerengan kesakitan lalu melarikan diri tunggang
langgang! "Bhok Hong-ong ......, tolong kami ......!" Mereka berseru ketakutan dan dalam anggapan mereka,
Han Sin bukanlah manusia biasa, tentu sebangsa siluman. Kalau tidak, mana bisa seorang muda
memiliki kepandaian demikian hebat dan anehnya"
Tadinya Han Sin hanya tersenyum saja membiarkan mereka pergi. Akan tetapi demi mendengar
teriakan mereka minta tolong kepada Bhok Hong-ong, hatinya tergerak. Bhok Hong adalah Pakthian-
tok ayah Bhok-kongcu. Kalau ayahnya berada di situ, tentu Bhok-kongcu juga berada di situ,
dan bukan tak mungkin kalau Hoa Hoa Cinjin berada di situ pula bersama anak angkatnya, Hoa-ji
yang ia cari-cari" Maka ia lalu cepat meloncat dan mengikuti larinya dua orang raksasa kembar itu
dari jauh. Mereka berdua itu ternyata dapat berlari cepat sekali, namun tidak sukar bagi Han Sin
untuk mengikuti mereka.
Setelah berlari-larian setengah hari lamanya, dua orang raksasa itu memasuki sebuah pondok kecil
di tengah lapangan yang kering. Nampaknya tempat itu sunyi saja. Pondok itu sendiri tidak besar,
terbuat dari papan dan gentengnyapun atap. Heran hati Han Sin. Rumah siapakah ini" Masa Bhok
Hong tinggal di dalam rumah seperti itu" Namun ia terus mengikuti dan menyelinap di belakang
rumah secara cepat dan tidak mengeluarkan suara.
Tiba-tiba ia melihat betapa tanah di sekeliling pondok itu dalam jarak dua tiga ratus meter,
bergerak-gerak dan tiba-tiba tersembul kepala-kepala orang dari dalam tanah. Makin lama makin
banyak dan dalam sekejap mata saja pondok itu, atau lebih tepat dirinya, telah terkurung oleh
ratusan orang tentara Mongol yang bersenjata lengkap! Bukan main hebatnya baris pendam ini.
Baru sekarang Han Sin sadar bahwa dia memang dipancing oleh dua orang raksasa lihai itu dan
diam-diam ia kagum sekali melihat rapinya barisan pendam dari bala tentara Mongol. Ketika ia
menuju ke pondok itu, tidak terlihat sesuatu, tidak terdengar sesuatu. Tidak tahunya ratusan orang
serdadu bersembunyi di dalam lubang-lubang di tanah yang tertutup batu-batu, demikian indah dan
hebat tempat persembunyian itu.
Di samping kekagumannya, Han Sin menjadi panas hatinya. Apa orang mengira dia takut"
Sekarang tahulah dia bahwa Bhok-kongcu memang lihai sekali. Kiranya perjalanannya ini sudah
diketahui orang orang Mongol dan siang-siang ia telah diikuti orang.
Tiba-tiba ia mendengar suara orang bicara di dalam pondok ketika barisan itu sudah siap
mengurung rapat tanpa membuka suara, dengan sikap yang angker seperti patung batu, agaknya
menanti perintah atasan. Ia mengenal suara itu seperti suara dua orang kakek raksasa tadi yang
berkata dengan nada gelisah, "Akan tetapi, Ong-ya, bagaimana bisa menangkap dia hidup-hidup"
Dia lihai sekali dan kami ingin membunuhnya untuk membalas sakit hati sumoi (adik seperguruan)
kami Balita ....."
Terdengar suara yang dalam dan besar, suara yang gagah dan juga segera dikenal Han Sin sebagai
suara Pak-thian-tok Bhok Hong! Suara Bhok Hong menjawab si raksasa tadi, mengejek nadanya,
"Bocah macam itu saja mengapa diributkan" Tentara pendam sudah mengepungnya, dia bisa
terbang ke mana lagi" Dia sudah menjadi antek Pangeran Yong Tee, ini kesempatan baik. Tangkap
dia hidup-hidup, jadikan umpan untuk menangkap Yong Tee sendiri. Bukankah ini kesempatan baik
sekali" Tentang menangkap dia, serahkan saja kepadaku kalau kalian tidak sanggup. Ha, ha, ha,
anak patriot itu sudah menjadi anjing Mancu, apa sih hebatnya?"
Han Sin boleh dianggap lihai sekali ilmu silatnya, malah mungkin pada masa itu jarang ada tokoh
persilatan yang dapat menandinginya. Akan tetapi ia masih bisa dibilang hijau dalam pengalaman
kalau dibandingkan orang-orang seperti Pak-thian-tok Bhok Hong, masih hijau dan kalah jauh
menghadapi tipu-tipu muslihat di dunia kang-ouw yang sebetulnya jauh lebih lihai dan berbahaya
dari pada tajamnya pedang runcingnya tombak.
Mendengar ucapan yang keluar dengan nada mengejek dari mulut Pak-thian-tok Bhok Hong,
pemuda ini menjadi naik darah. Dia dimaki sebagai antek Pangeran Mancu, malah sebagai anjing
Mancu, bagaimana dia tidak akan menjadi naik darah" Apalagi ketika ia mendengar dua orang
kakek raksasa yang ternyata adalah suheng (kakak seperguruan) Balita kemarahan Han Sin tak
dapat dipertahankan lagi. Ia menjadi nekat.
Memang, kalau dia mau, biarpun dikepung rapat oleh para tentara Mongol, agaknya
mempergunakan kepandaiannya ia masih akan dapat lolos, asal saja tokoh-tokoh di dalam pondok
itu tidak keluar menghalanginya. Akan tetapi, melarikan diri adalah soal kedua baginya pada saat
itu. Soal terpenting adalah menghadapi orang-orang yang menghinanya sedemikian rupa.
"Pak-thian-tok iblis sombong, jangan sembarangan membuka mulut!" bentaknya dan tubuh pemuda
ini meloncat ke atas lalu menerobos memasuki pondok dengan menggerakkan kedua tangan
digerakkan melakukan pukulan dengan jurus Cio-po thian-keng dari Ilmu Silat Thian-po Cin keng.
36. Benteng Pertahanan Pangeran Galdan
"BRAKKKKK!" Papan dari pondok itu pecah berantakan ketika tubuh pemuda ini melayang ke
dalam. Ia melihat di antara asap-asap hitam yang memenuhi kamar itu, muka sepasang raksasa dan
muka seorang tua tertawa bergelak. Ia tidak mengenal orang tua bertopi seperti seorang yang
berpangkat itu, yang dicarinya adalah muka Pak-thian-tok Bhok Hong yang tidak nampak.
Saking marahnya, Han Sin berlaku ceroboh, tidak mengira bahwa ia sengaja dipancing. Tubuhnya
melayang ke dalam pondok, napasnya menjadi sesak, bau yang amat keras menyengat hidungnya!
Seketika Han Sin menjadi pening kepalanya. Cepat-cepat ia menahan napas, lalu mengerahkan
lweekangnya untuk menghembuskan keluar hawa beracun yang telah disedotnya. Ia berhasil, akan
tetapi pada saat itu ia merasa ada dua serangan menyambar dari kanan kiri. la maklum bahwa
raksasa kembar itu telah menyerangnya dari kanan kiri.
Cepat digerakkannya kedua tangan melindungi tubuh dengan gerak tipu Khai-peng-twi-san
(Pentang Sayap Mendorong Bukit) dari Ilmu Silat Thian-po Cin-keng! Hebat tangkisan ini,
terdengar dua orang raksasa itu mengeluh perlahan dan roboh bergulingan. Ternyata tangkisan ini
sekaligus membuka jalan darah mereka sehingga obat pemunah racun asap hitam yang mereka telah
pakai pemberian Pak-thian-tok menjadi hilang khasiatnya.
Mereka telah terpukul oleh pukulan sendiri yang membalik, ditambah terluka oleh hawa sinkang
yang keluar dari tangkisan Han Sin, kini menjadi lebih parah oleh karena mereka telah menyedot
asap hitam oleh hidung mereka yang sudah tak terlindung pula. Dua orang itu bergulingan dan
dalam keadaan sekarat!
Akan tetapi, karena mereka berdua bukan orang sembarangan, pukulan-pukulan mereka yang
dilakukan secara tiba-tiba dan hebat sekali kepada Han Sin yang repot menghadapi asap hitam,
sedikit banyak mendapatkan hasilnya pula. Pemuda itu memang betul dapat menangkis pukulanpukulan
itu, namun pergerakan yang membutuhkan pergerakan sinkang ini "membocorkan"
penutupan napasnya sehingga tanpa ia sadari, sedikit asap hitam beracun telah memasuki dadanya.
Hal ini diketahui setelah ia merasa napasnya sesak sekali dan kepalanya pening, hendak muntahmuntah
rasanya. Terkejutlah hati Han Sin, maklum bahwa tubuhnya kemasukan racun. Ia mencurahkan seluruh
perhatian. Sedikit gerakan saja yang dibuat oleh orang berpakaian seperti pembesar tadi telah
menarik perhatiannya. Benar saja, "pembesar" itu yang ternyata adalah seorang Han yang menjilat,
mengekor kepada orang-orang Mongol dan sudah puas karena diberi janji akan diberi kedudukan
sehingga belum apa-apa dia sudah berpakaian sebagai pembesar, menyerangnya dengan sebatang
pedang. Dari gerakan orang ini, Han Sin dapat menduga bahwa ia berhadapan dengan seorang ahli
pedang dari Kun-lun-pai.
Namun, Han Sin sedang marah sekali, apalagi ia sedang menderita bahaya besar dari racun, maka ia
tidak sudi membuang banyak waktu. Pada saat itu, siapa yang menyerangnya dia itulah musuhnya.
Tanpa menoleh, tangannya bergerak ke belakang diikuti tubuhnya yang diputar dan di lain saat,
lima jari tangan Han Sin sudah berhasil mencengkeram pedang yang tajam itu!
Benar-benar pemuda ini sudah mendapatkan ilmu yang sakti, sudah memperoleh kemajuan yang
luar biasa. Siapa akan mengira bahwa dalam waktu singkat, setelah berturut-turut ia mewarisi ilmu
silat yang tinggi, ia akan seberani dan sekuat itu. Orang itu tentu saja akan membelalakkan kedua
matanya saking herannya, lalu berusaha membetot pedang agar tangan pemuda itu terbabat putus.
Akan tetapi jangan harap akan terjadi demikian, malah ketika ia cabut, pedang itu sama sekali tidak
bergeming seakan-akan sudah terpegang oleh sebuah tanggem yang kuat dan besar.
Han Sin mengerahkan tenaga pada tangannya, disentakkannya sedikit dan "krekk!" pedang itu patah
menjadi dua potong! Ujungnya berada di tangan Han Sin sedangkan pangkal dan gagangnya berada
di tangan "pembesar" itu. Murid Kun-lun-pai yang menyeleweng itu kaget dan penasaran, terus
membentak dan menyerang lagi.
Han Sin sudah mulai gelap matanya karena pengaruh racun, namun ia masih dapat melihat
berkelebatnya pedang buntung ke arah perutnya. Cepat ia miringkan tubuh, mengebutkan tangan
kiri yang tepat mengenai pergelangan tangan lawan sehingga pedang buntung terlepas, lalu kakinya
menendang ke depan. Orang itu menjerit ngeri, tubuhnya terpelanting keluar pondok melalui lubang
yang tadi dibuat oleh Han Sin.
Di luar pondok terdengar ia memekik kesakitan ketika tubuhnya terbanting ke atas batu-batu yang
keras. Kulitnya lecet-lecet, babak belur, dagingnya biru-biru, pakaiannya koyak-koyak, tidak patut
lagi ia menjadi pembesar, lebih menyerupai seorang pengemis gila!
"Bocah, jangan menjual lagak di sini!" terdengar bentakan keras.
Han Sin yang sudah pening itu cepat membuang diri ke kiri ketika dari kanan menyambar angin
pukulan yang luar biasa dahsyatnya. Ia maklum bahwa Pak-thian tok Bhok Hong sudah keluar dari
tempat sembunyinya dan mengirim serangan dengan tangan yang mengandung Hek-tok sin-kang.
Han Sin tidak takut akan Hek tok-sin-kang karena darahnya sudah mengandung racun pek-tok dari
darah ular Pek-hiat-sin-coa. Akan tetapi, tenaga pukulan kakek berbaju perang itu amat hebat, juga
ilmu silatnya luar biasa ganas dan kuatnya, selain ini kepalanya sendiri sudah amat pening, pandang
matanya berkunang-kunang dan ia sudah terlalu lama menahan napas.
Di dalam keadaan pening dan seperti mabok itu, Han Sin masih ingat bahwa satu kali saja ia
menarik napas, tentu paru-parunya akan penuh racun dan ia akan celaka. Dia harus lari dari tempat
ini, kalau ingin selamat. Akan tetapi Pak-thian-tok Bhok Hong sudah menyerangnya,
mengurungnya rapat-rapat dengan hawa pukulan-pukulan yang amat dahsyat. Sampai berdesingdesing
angin pukulan menyambar ke arahnya dari segala jurusan! Akan tetapi, di dalam
kepusingannya, panca indera Han Sin malah dapat bekerja baik sehingga kemanapun juga lawan
menyerangnya, selalu ia dapat menangkisnya dengan tepat.
Beberapa jurus lewat dengan cepatnya dan selalu terdengar suara tangan beradu, suaranya keras
menggetarkan pondok. Bhok Hong untuk kesekian kalinya terheran-heran. Bocah ini terlalu hebat,
terlalu lihai dan harus disingkirkan dari muka bumi. Kalau tidak, nama besarnya tentu akan rusak.
Sambil mengerahkan semangat dan tenaga, Bhok Hong mendesak terus dan pada suatu saat yang
amat baik, ia memukulkan tangan kanannya ke arah ulu hati Han Sin. Pukulan yang keras, cepat,
dan mengandung tenaga maut sukar untuk dihindarkan lagi!
Namun Cia Han Sin murid tak langsung dari Tat Mo Couwsu sendiri setelah pemuda ini
mempelajari Thian-po-cin keng. Di samping ini, ia sudah pula mempelajari ilmu silat aneh dan sakti
seperti Lo-hai Hui-kiam maka tentu saja serangan maut ini tidak membuatnya kehilangan akal.
Malah menghadapi serangan maut ini Han Sin melihat jalan terbuka baginya untuk membebaskan
diri dari kepungan serangan Bhok Hong.
Ia menanti pukulan sudah datang dekat sehingga hawa pukulan sudah menghantam ulu hatinya,
cepat ia menggerakkan tangan menerima kepalan tangan lawan dengan telapak tangan,
menggunakan hawa "menyedot" sehingga tenaga pukulan itu amblas ke dalam tangannya, akan
tetapi tenaga dorongnya yang mengandung tenaga gwakang (kasar) itu diterimanya. Berkat
dorongan tenaga kasar yang amat kuat ini tubuhnya terlempar ke belakang dan memang sudah ia
perhitungkan, tepat sekali tubuhnya itu melayang melalui lubang di papan dinding pondok tadi.
Ia mendengar Bhok Hong berseru kaget dan heran, kemudian disusul suara ketawa bergelak dari
kakek itu. Han Sin terkejut dan menduga adanya jebakan lain, namun sudah terlambat baginya.
Kepalanya terlampau pening dan begitu mendapatkan hawa segar, ia membuka penahanan
napasnya. Hal ini membuat matanya menjadi berkunang dan ia tidak dapat menjaga diri lagi ketika
tiba-tiba dari sekelilingnya banyak orang melemparkan jala ke arah tubuhnya.
Tanpa dapat mengelak lagi pemuda ini roboh terbungkus jala yang ternyata terbuat dari pada bahan
yang amat kuat, yaitu otot-otot binatang yang sudah dimasak dengan minyak sehingga ulet dan tak
mungkin dapat putus! Ketika Han Sin mencoba memberontak, ia merasa leher belakangnya sakit,
gatal-gatal dan pedih sekali, ia terkejut, maklum bahwa Bhok Hong sudah keluar dan melukainya.
Matanya gelap dan sebelum pingsan, Han Sin masih sempat mendengar suara ketawa Bhok Hong
......! **** "Memang hebat dia ......" kata Ciu ong Mo-kai yang sedang duduk bercakap-cakap dengan para
tokoh kang-ouw yang membantu bala tentara Mancu. Mereka ini sedang membicarakan Lie Ko
Sianseng yang mengirim dua peti batu dan diterima oleh utusan Pangeran Yong Tee seperti telah
dituturkan di bagian depan. Memang tadinya Ciu-ong Mo-kai dan tokoh-tokoh lain merasa
terheran-heran mengapa Pangeran Yong Tee agaknya mementingkan barang-barang yang ternyata
hanyalah batu-batu kasar belaka. Juga mereka terheran kalau memikirkan bagaimana Han Sin mau
membawakan dua peti itu dan malah membela dengan gagahnya.
Baru sekarang, beberapa hari kemudian mereka mendengar berita dari kota raja bahwa batu-batu
kasar itu sebenarnya merupakan sebuah peta! Kalau batu-batu itu dijajar-jajar dan disusun menurut
rahasia yang ditentukan, akan tergambarlah sebuah peta daerah utara, peta yang menunjukkan
rahasia pertahanan bala tentara Mongol!
"Memang lihai si tukang catut. Entah berapa dia mendapatkan hadiah dari Pangeran Yong Tee
untuk usahanya itu," kata pula Ciu-ong Mo-kai setelah menenggak araknya.
"Kabarnya mengumpulkan keterangan-keterangan untuk membuat peta seperti itu bukannya
pekerjaan mudah," sambung seorang tosu. "Di bagian utara, bala tentara Mongol sedang
membangun sebuah benteng, dan Li Ko Sianseng memasukkan beberapa orang mata-mata sebagai
pekerja-pekerja di benteng ini. Mereka inilah yang membuat guratan-guratan pada batu-batu yang
kemudian mengumpulkan lalu mengirim batu-batu bergurat itu kepada Lie Ko Sianseng ........"
"Memang tukang catut banyak akalnya ........ ha ha ha, betapapun juga, dia orang gagah," kata pula
Ciu-ong Mo-kai dengan kagum.
Pada saat itu, datang Phang Yan Bu pemuda putera Ang-jiu Toanio. Pemuda itu memberi isyarat
kepada Ciu-ong Mo kai, minta bicara berdua. Ciu-ong Mo kai lalu bangkit berdiri, meninggalkan
kawan-kawannya dan pergi keluar bersama Yan Bu.
"Ada apakah, Phang-hiante" Kau kelihatan gelisah."
Dengan kening berkerut Phang Yan Bu berkata, "Lo-enghiong, saya amat menggelisahkan
kepergian muridmu, nona Cia Bi Eng ......"
Ciu-ong Mo-kai Tang Pok memandang tajam. Sebagai seorang tua yang sudah berpengalaman
banyak, tentu saja ia sudah mendengar tentang perasaan pemuda ini yang dulu mencinta Bi Eng,
akan tetapi sekarang melihat pula betapa Yan Bu agaknya dekat dengan Li Goat puteri mendiang
Thio-ciangkun. "Ada apa dengan Bi Eng?" tanyanya pendek.
"Malam kemarin ketika nona Cia bercakap-cakap dengan saya dan teman-teman lain, tiba-tiba
muncul seorang gadis asing yang tidak kami kenal. Akan tetapi, agaknya nona Cia mengenalnya
dengan baik gadis berbangsa Hui itu. Kemudian, entah apa yang mereka bicarakan, nona Cia lalu
ikut pergi bersama gadis Hui yang ia sebut namanya Tilana, katanya tidak lama perginya, tidak
tahunya ....... sampai sekarang belum juga pulang."
Biarpun di luarnya tidak kentara, malah lalu menenggak araknya, akan tetapi di dalam hatinya Ciuong
Mo-kai tertarik dan kaget juga. Disebutnya nama seorang gadis Hui sekaligus mengingatkan
kepadanya akan Balita puteri Hui itu, musuh besar keluarga Cia.
"Lalu bagaimana?" desaknya karena dari wajahnya, pemuda itu kelihatan masih mempunyai
penuturan yang menarik.
"Itulah yang menggelisahkan hati saya, lo-enghiong. Tadi gadis Hui itu muncul pula, hanya
sebentar. Kebetulan sekali aku yang melihatnya dan ia berkata kepadaku bahwa nona Cia Bi Eng
takkan kembali lagi ke sini, karena sudah berkumpul dengan ibunya. Di samping pemberitahuan ini
ia bertanya di mana adanya Han Sin.
Ketika kuberi tahu bahwa saudara Cia Han Sin pergi ke utara, ia berkelebat dan pergi. Gerakannya
cepat sekali, dan aku merasa curiga, ingin menahannya. Akan tetapi bagaimana aku dapat
Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melakukan hal itu terhadap seorang gadis" Karena tidak berdaya maka kuberitahukan lo-enghiong."
Ciu-ong Mo-kai makin terkejut. Celaka, pikirnya. Jangan-jangan Bi Eng terjatuh ke dalam tangan
Balita! "Kau tunggu saja di Ta-tung, Phang hiante. Kalau sewaktu-waktu Han Sin muncul, beritahu bahwa
aku hendak mencari Bi Eng, mungkin ke utara. Kudengar dua orang suheng dari Balita juga
membantu Bhok Kian Teng. Bukan tak mungkin kalau Balita dan orang-orang Hui juga membantu
pasukan Mongol."
Setelah meninggalkan pesan ini, Ciu?ong Mo-kai lalu berangkat ke utara untuk mencari Bi Eng dan
sekalian menyusul Han Sin. Kakek ini maklum bahwa kepandaian Han Sin jauh lebih tinggi dari
padanya maka lebih baik lagi memberi tahu pemuda itu tentang hilangnya Bi Eng sehingga mereka
berdua dapat mencari gadis itu.
Seperti juga Han Sin, kakek raja arak ini melakukan perjalanan cepat dan hati-hati sekali agar
jangan sampai ketahuan orang-orang Mongol. Namun, dia memandang orang-orang Mongol terlalu
rendah kalau mengira bahwa perjalanannya tidak dilihat orang. Semenjak dia meninggalkan Tatung
dan menginjak daerah Mongol, perjalanan kakek sakti ini sudah diketahui oleh para mata-mata
Mongol yang amat cerdik.
Pada suatu hari, ketika tiba di daerah yang berhutan selagi Ciu-ong Mo kai berjalan di tempat sunyi
ini, tiba tiba terdengar suara kaki kuda dan dari belakangnya muncul seorang pemuda menunggang
kuda. Cepat bagaikan kilat kakek ini meloncat dan tubuhnya sudah lenyap bersembunyi di dalam
semak-semak. Penunggang kuda itu nampaknya tidak tergesa-gesa, kudanya berjalan perlahan saja
malah setelah memasuki hutan, pemuda yang berdandan seperti orang terpelajar dari selatan itu
bernyanyi! "Melihat pengemis mabok
malas berkeliaran
sungguh membuat orang
jadi penasaran!
Mengejar cita-cita
itulah tugas seorang perkasa!
Warisan nenek moyang
takkan terbuang sia-sia.
Bumi kuinjak, langit kuraih
demi terlaksana cita-cita!"
Nyanyian itu dinyanyikan dengan suara yang nyaring gagah penuh semangat dan Ciu-ong Mo-kai
tersenyum mengejek ketika mengenal bahwa penunggang kuda itu bukan lain adalah Bhok-kongcu,
Bhok Kian Teng atau Pangeran Galdan pemimpin pemberontak Mongol! Tak perlu kakek itu
bersembunyi lagi karena dalam nyanyiannya tadi, Bhok-kongcu sudah menyindirnya, berarti sudah
melihat dan mengetahui tempat persembunyiannya.
"Bagus memang nyanyian cucu Jenghis Khan! Memang bersemangat dan bagus, tapi bagus untuk
siapa" Untukmu dan untuk bangsamu! Ha ha ha, kau memang seorang bun-bu-coan-jai (ahli silat
dan sastera), Bhok-kongcu ..... eh, Pangeran Galdan!" kata Ciu-ong Mo-kai sambil melompat keluar
dari tempat persembunyiannya.
Pemuda itu memang Bhok-kongcu yang sudah kita kenal. Dia adalah Bhok Kian Teng putera
Pangeran Bhok Hong ong, seorang pemuda tampan yang penuh rahasia, pandai ilmu silat, pintar
dalam hal kesusasteraan, pesolek, pemuda cabul yang pandai main suling, main thioki (catur), dan
pandai pula dalam hal racun. Kini, biarpun pakaiannya masih seperti seorang pemuda Han
terpelajar, dia sebetulnya adalah Pangeran Galdan, pemimpin pemberontak Mongol yang amat
ditakuti orang.
Dengan senyum menghias bibirnya, pangeran itu menganggukkan kepalanya tanda menghormat,
tanpa turun dari kudanya.
"Eh, kiranya si raja arak yang sakti berada di sini. Ciu-ong Mo-kai, kau jauh jauh dari selatan
sampai tersesat di sini, apa yang kaucari" Apakah kau sudah begitu rendah untuk melakukan
pekerjaan mata-mata dari pemerintah penjajah Mancu" Mana sifat patriotmu dahulu?" Pangeran itu
tertawa mengejek dan tiba-tiba saja wajah yang tampan tadi berubah menyeramkan.
"Tidak ada pekerjaan yang buruk, apapun juga pekerjaan itu. Yang buruk hanya tujuannya, yang
jahat adalah pamrihnya, heh heh ....." jawab Ciu-ong Mo-kai sambil menenggak araknya tanpa
perdulikan pangeran yang ditakuti puluhan ribu orang ini.
Pangeran Galdan mengerutkan alisnya yang hitam panjang. "Ciu-ong Mo-kai, tak perlu kau
berpura-pura dan membohongi aku. Siapa tidak tahu bahwa kau tadinya berada di Ta-tung
membantu bala tentara Mancu" Apa kau hendak menyangkal bahwa kau telah menjadi kaki tangan
Mancu?" Kakek itu kembali tertawa bergelak, suara ketawanya bergema di hutan itu. "Siapa hendak
menyangkal" Tidak ada yang perlu disangkal karena tidak ada yang perlu disembunyikan. Memang
aku berada di Ta-tung, memang aku membantu tentara Mancu! Apa salahnya" Siapa membantu
siapa apa bedanya" Di mana ada arak wangi, di situlah ada Ciu-ong! Tapi, ketahuilah, Pangeran
Mongol, kali ini aku datang ke sini bukan karena perang yang sedang berlangsung antara bangsamu
dan bangsa Mancu. Aku tersesat ke sini karena hendak mencari muridku. Hemmm, kebetulan sekali
bertemu denganmu, kau tentu tahu di mana adanya Bi Eng yang sudah tertawan oleh Balita si
perempuan Hui. Ayoh kau kembalikan muridku!"
Bhok-kongcu tersenyum kecil. "Setan arak, kau selalu memandang rendah dan menyangka buruk
kepadaku. Kalau saja aku tidak memandang kepandaianmu dan tidak sayang kepada orang selihai
engkau mana aku sudi bertemu dan bercakap-cakap denganmu" Perkara muridmu Bi Eng itu,
mudah kita urus belakangan, kalau memang betul dia berada di wilayah ini, aku yang tanggung
bahwa dia takkan ada yang mengganggu. Akan tetapi, yang terpenting sekarang, bagaimana kalau
kau membantu aku" Kau seorang patriot, apa kau suka melihat bangsa dan tanah airmu dijajah oleh
orang Mancu" Bantulah aku, mari kita membasmi penjajah itu dan mengusir orang-orang Mancu
dari tanah airmu. Bagaimana?"
Di dalam hatinya Ciu-ong Mo-kai mendongkol sekali. Hemm, orang Mongol ini betul-betul gila,
mengira aku seorang bocah. Membantumu mengusir orang Mancu sama artinya dengan
membantumu menjajah tanah airku! Akan tetapi, apa bedanya" Biarlah orang-orang Mongol dan
orang-orang Mancu berkelahi sendiri, berperang sendiri sampai habis. Membantu yang manapun
sama saja, yang penting ia harus berusaha menyelamatkan Bi Eng. Ia tertawa bergelak.
"Pangeran yang cerdik! Sudah kukatakan tadi, di mana ada arak wangi di situ ada Ciu-ong (Raja
Arak). Pangeran Yong Tee dari Mancu tahu akan kesukaanku itu, apakah kau juga dapat
menyediakan arak wangi yang paling baik?"
Pangeran Galdan atau Bhok-kongcu tertawa senang. "Kalau kau ikut bersamaku, kau boleh minum
sampai pecah perutmu."
"Dan kau akan bersikap penuh hormat seperti Pangeran Yong Tee" Dan tidak akan mengganggu
wanita seperti Pangeran Yong Tee?"
Bhok-kongcu mengerutkan kening. "Pengemis kelaparan kaukira aku boleh kau bandingbandingkan
dengan segala macam pangeran cilik seperti si Yong Tee itu" Huh, Kau tidak mau
membantuku juga tidak apa!" Setelah berkata demikian, Bhok-kongcu menarik kendali kudanya,
memutar tubuh kuda itu dan membalapkan kuda itu meninggalkan Ciu-ong Mo-kai.
"He he, nanti dulu, pangeran! Belum selesai kita bercakap-cakap!" seru Ciu?ong Mo-kai sambil
mengejar. Bhok-kongcu mempercepat larinya kuda, menarik kendali dan mengempit perut kuda. Kuda itu
adalah kuda utara yang kuat sekali, larinya kencang seperti angin. Memang pangeran ini hendak
mencoba atau menguji kepandaian Ciu-ong Mo-kai yang hendak ditarik menjadi pembantunya itu.
Sebaliknya, Ciu-ong Mo?kai yang melihat kesempatan baik baginya untuk menyelamatkan Bi Eng,
tentu saja merasa menyesal mengapa Bhok Kian Teng hendak pergi meninggalkannya. Kesempatan
baik ini tak boleh disia-siakan, pikirnya, maka ia lalu mengerahkan tenaga ginkangnya dan cepat
mengejar. Baru saja Bhok-kongcu keluar dari hutan itu, tiba-tiba tubuh kudanya tersentak berhenti. Ketika ia
menengok, ia melihat Ciu-ong Mo-kai sambil tertawa-tawa sudah berada di belakangnya dan sudah
mencekal ekor kuda yang tebal dan panjang itu. Ternyata kakek aneh itu sudah berhasil menyusul
larinya kuda! Terpaksa kuda itu berhenti dan tak dapat lari lagi.
"Heh heh heh, Bhok-kongcu ..... eh, Pangeran Galdan. Kalau lohu (aku) menghendaki, bukan buntut
kuda yang kucekal, melainkan nyawa orang yang menunggangi kudanya. Kau lihat, aku tidak
mempunyai maksud buruk, heh heh heh .......!"
Bhok-kongcu tersenyum mengejek. "Kau salah duga, Ciu-ong Mo-kai. Bukan kau yang
memperlihatkan maksud baik, melainkan aku yang sengaja tidak mau mencelakaimu, karena
memang aku mempunyai maksud bersahabat dengan engkau. Lihat!" Bhok-kongcu mengeluarkan
sebuah bendera kuning dan melambaikan bendera itu. Tiba-tiba, seperti iblis-iblis di siang hari,
bermunculan tentara Mongol dari segenap penjuru dan dalam beberapa puluh detik saja tempat itu
sudah dikurung oleh ratusan orang tentara Mongol yang sudah siap dengan anak panah di gendewa
masing-masing! Diam-diam Ciu-ong Mo-kai melengak dan kagum. Kiranya kemunculan Bhok-kongcu ini bukan
secara kebetulan, melainkan sengaja diatur dan lebih dulu sudah ada ratusan orang tentara Mongol
yang melindungi kongcu itu sehingga andaikata terjadi hal yang tidak beres, tentu dia sudah
dihujani anak panah!
"Ha ha ha ha! Pangeran Galdan benar-benar hebat sekali. Asal ada arak wangi, pengemis bangkotan
macam aku ini tentu saja suka membantu memukul orang-orang Mancu!"
Girang hati Bhok-kongcu. Ia memang sudah mendengar dan menyaksikan sendiri akan kelihaian
pengemis aneh ini yang kepandaiannya kiranya tidak kalah, atau hanya sedikit selisihnya, dengan
Hoa Hoa Cinjin. Tentu saja kalau dia bisa mendapat bantuan tenaga seperti Ciu-ong Mo-kai,
keadaannya akan menjadi lebih kuat, selain itu, juga ia melemahkan keadaan pasukan Mancu yang
kehilangan Ciu-ong Mo-kai.
"Bagus, Ciu-ong Mo-kai. Kalau benar-benar kau suka bekerja sama, jangan khawatir, arak wangi
telah tersedia untukmu. Akan tetapi kau harus bersumpah." Pangeran ini cerdik dan sudah mengenal
watak orang-orang kang-ouw dari selatan. Orang-orang kang-ouw ini menjunjung tinggi kegagahan,
selalu memegang janji, apa lagi sumpah takkan dilanggarnya biarpun harus mengorbankan nyawa!
"Aku, Ciu-ong Mo-kai, bersumpah bahwa aku selalu akan memusuhi penjajah tanah airku!"
"Dan sekarang kau memusuhi orang-orang Mancu!" sambung Bhok-kongcu yang masih belum
puas. "Aku bersumpah memusuhi orang orang Mancu sekarang!" Ciu-ong Mo-kai bersumpah tanpa raguragu.
Memang, di dasar hatinya ia memusuhi semua bangsa yang menjajah Tiongkok, mengapa
tidak" Baik Mancu maupun Mongol, adalah musuhnya.
Girang dan puas hati Bhok-kongcu. Segera ia mengajak Ciu-ong Mo-kai menuju ke Pegunungan
Yin-san, markas besarnya. Juga ia berjanji untuk membebaskan Bi Eng apabila benar-benar ternyata
bahwa gadis itu ditawan oleh Balita.
"Jangan khawatir, dua orang suheng dari Balita bekerja sama dengan kami. Biarkan mereka
menghadapi Balita untuk minta Bi Eng, tentu akan diserahkan dengan baik," kata pangeran ini.
Rombongan ini tak lama kemudian sudah tiba di Yin-san dan di dalam sebuah istana darurat yang
indah dan mewah, Ciu-ong Mo-kai dijamu dengan sebuah pesta. Benar saja, Bhok-kongcu
mempunyai simpanan arak yang baik. Dengan gembira Ciu-ong Mo-kai makan minum dan sama
sekali ia tidak berkeberatan untuk duduk bersama-sama dengan Hoa Hoa Cinjin, Tung-hai Siangmo,
Huang-ho Sam-ong, dan beberapa orang tokoh kang-ouw yang cukup terkenal dan yang
ternyata menjadi kaki tangan Bhok-kongcu!
Selagi Bhok-kongcu dan orang-orangnya berpesta gembira, tiba-tiba datang laporan bahwa ada
sepasukan tentara utusan Pak-thian-tok mengantar seorang tawanan untuk minta keputusan
Pangeran Galdan!
Kedengarannya memang aneh bagaimana Bhok Hong sebagai ayah Pangeran Galdan, tidak berani
memutuskan sendiri atas diri seorang tawanan, melainkan minta keputusan puteranya. Memang
demikianlah. Entah bagaimana, Bhok Hong ternyata amat bangga akan puteranya.
Malah mengabarkan di antara bangsanya bahwa puteranya itu, Pangeran Galdan, adalah pemimpin
besar Bangsa Mongol, penjelmaan Raja Besar Jenghis Khan dan karenanya adalah kekasih dewata
yang harus ditaati, oleh siapapun juga, bahkan oleh dia sendiri! Tentu saja di balik keanehan
sikapnya yang seakan-akan taat dan tunduk kepada putera sendiri ini, ada maksud tersembunyi di
dalam hati Bhok Hong sebagai seorang bapak yang ingin melihat anaknya menjadi raja besar seperti
Jenghis Khan. Dia sendiri sudah tua, pula tidak ada minat tentang pemerintahan, biarlah puteranya yang menjadi
Jenghis Khan kedua! Bhok-kongcu atau Pangeran Galdan yang sedang bergembira karena berhasil
menarik tenaga baru yang amat kuat, mengerutkan kening. Kalau bukan tawanan yang amat
penting, tak nanti ayahnya sampai mengirimnya pada saat seperti itu.
"Bawa dia masuk akan kutanyai!" katanya dengan sikap agung kepada tentara pelapor.
"Ampun, pangeran. Tawanan itu terluka dan pingsan tak dapat ditanyai lagi ......."
"Jangan cerewet, bawa dia masuk kataku! Biar kulihat siapa dia!" bentak Pangeran Galdan marah.
Tentara itu cepat memberi hormat dan mundur. Tak lama kemudian masuklah empat orang tentara
yang tinggi besar, menyeret tubuh seorang laki-laki yang berada di dalam jala, menggeletak dengan
muka pucat seperti mayat. Sukar diduga siapa yang lebih kaget di antara Ciu-ong Mo-kai dan Bhokkongcu
ketika melihat siapa adanya tawanan yang pingsan seperti mati itu.
"Han Sin ........!" Ciu-ong Mo-kai tak dapat menyembunyikan kagetnya, malah kakek yang sudah
kenyang makan asam garam dunia ini seperti sengaja memamerkan kagetnya.
Pangeran Galdan menoleh ke arah kakek itu sambil tersenyum, matanya menatap tajam. "Ehem,
kau tentu mengenalnya, Ciu-ong Mo-kai ......." katanya penuh sindir.
"Tentu saja!" jawab Ciu-ong Mo-kai dengan suara wajar. "Untuk apa aku harus berpura-pura tidak
mengenalnya kalau dia itu adalah kakak dari muridku, atau hampir boleh dibilang dia itupun
muridku karena pernah belajar teori silat dariku?"
Tiba-tiba Bhok-kongcu tertawa terbahak dengan muka geli, "Dia itu belajar teori silat dari padamu"
Ha ha ha, menggelikan sekali! Ciu-ong Mo-kai, apakah kau pura-pura tidak tahu bahwa dia itu
sepuluh kali lebih lihai darimu" Ha ha, hanya ayahku yang sakti saja dapat mengalahkannya dan
menawannya!"
"Tentu saja aku tahu, Pangeran Galdan. Memang sekarang dia telah menjadi amat lihai, dan
agaknya ayahmu yang terhormat itupun belum dapat mengalahkannya dalam pertandingan terbuka
dan jujur." Setelah berkata demikian, Ciu-ong Mo-kai menenggak araknya. Orang-orang yang
berada di situ diam-diam merasa heran sekali atas keberanian dan kelancangan mulut si pengemis
bangkotan ini yang sama sekali tidak menghormat kepada "Pangeran Keturunan Dewata"!
Adapun Bhok-kongcu sudah tidak memperdulikan Ciu-ong Mo-kai lagi. Dia mendengar laporan
dari pengawal yang membawa Han Sin tentang ditangkapnya Cia Han Sin oleh Pak-thian-tok Bhok
Hong. Kemudian dengan amat marah Bhok-kongcu mendengar laporan pula betapa di mana-mana
pasukannya dipukul hancur atau dipukul mundur oleh pasukan-pasukan Mancu yang amat kuat.
"Keparat!" bentak Pangeran Galdan sambil membanting kakinya. "Sampai titik darah terakhir
dalam tubuhku, aku harus melawan dan menghancurkan Mancu!" Ia lalu memandang ke arah tubuh
Han Sin yang masih menggeletak terbungkus jala.
"Keluarkan dia dari jala, belenggu kaki tangannya tapi jangan bunuh dia. Aku harus memaksanya
untuk membantuku kalau dia masih belum bosan hidup. Hanya ada dua jalan baginya." Pangeran itu
menoleh kepada Ciu-ong Mo-kai seakan-akan kakek itu dijadikan wakil Han Sin untuk
mempertimbangkan keputusannya, "Membantuku melawan Mancu atau kupenggal kepalanya!"
Ciu-ong Mo-kai pura-pura tidak melihat atau mendengar ini. Ia terus saja menenggak araknya dan
menyambar makanan yang paling enak di atas meja. Agaknya keadaan Han Sin yang tertawan dan
berada dalam keadaan mengenaskan, entah hidup atau mati itu sama sekali tidak diperdulikannya.
Empat orang pengawal yang kuat kuat itu sudah membuka jala dan menarik tubuh Han Sin yang
sudah tak berdaya dan lemas itu keluar dari jala. Mereka mengeluarkan tali otot kerbau yang kuat
untuk mengikat kaki tangan pemuda Min-san itu.
Akan tetapi, tiba-tiba terdengar gerengan keras sekali dan tahu-tahu hujan arak menyembur ke arah
muka keempat orang pengawal. Hujan arak yang tersembur dari mulut Ciu-ong Mo-kai sama
lihainya dengan hujan jarum. Empat orang itu menutupi muka dengan kedua tangan sambil
mengaduh-aduh karena mata mereka sudah seperti buta dan muka mereka sakit seperti ditusuk
ratusan jarum! "Aduh ..... aduh ..... Aduh ...........!"
Sebelum semua orang hilang kaget mereka, tubuh Ciu-ong Mo-kai berkelebat dan tahu-tahu ia
sudah menyambar tubuh Han Sin dan dipanggulnya tubuh pemuda yang pingsan itu.
37. Kehancuran Benteng Mongol
"PENGKHIANAT busuk!" Hoa Hoa Cinjin membentak marah sekali. Semenjak tadi, melihat Ciuong
Mo-kai diterima sebagai pembantu oleh Bhok-kongcu, Hoa Hoa Cinjin sudah merasa tak
senang dan curiga. Dia sudah mengenal baik-baik pengemis tua ini, yang berjiwa patriotik sampai
ke rambut-rambutnya. Paling gigih, pengemis ini melawan penjajah, malah secara rahasia
memimpin seluruh perkumpulan pengemis di selatan untuk bangkit melawan penjajah. Bagaimana
orang seperti dia itu bisa membantu orang-orang Mancu yang sekarang menjajah tanah airnya dan
bagaimana mungkin lagi dapat menghambakan diri kepada Bhok-kongcu, seorang Pangeran
Mongol" Kalau dia datang membantu, tentu di belakangnya terselip maksud-maksud lain yang tidak baik.
Akan tetapi tentu saja la tidak berani membantah kehendak Bhok-kongcu karena iapun maklum
bahwa makin banyak orang pandai seperti Ciu-ong Mo-kai dapat membantu mereka, betul-betul
membantu dengan setia, akan makin baiklah. Maka Hoa Hoa Cinjin yang duduk tak jauh dari Bhokkongcu,
selama pesta berjalan, hanya diam saja dan hanya mengawani makan minum. Namun diam
diam matanya yang tajam seperti mata burung rajawali itu selalu menaruh perhatian dan mengawasi
setiap gerak-gerik Ciu-ong Mo-kai.
Maka begitu ia melihat Ciu-ong Mo kai menyemburkan arak menyerang empat orang Mongol yang
hendak membelenggu Han Sin, kemudian kakek pengemis itu menyambar tubuh Han Sin, Hoa Hoa
Cinjin mengeluarkan teriakan marah lalu menyerang dengan hebat.
Ciu-ong Mo-kai bukan seorang yang ceroboh. la memang berlaku nekat ketika menolong Han Sin,
maklum bahwa perbuatannya kali ini bukan main-main dan nyawalah taruhannya. Maka sebelum
melakukan perbuatan itu, ia telah lebih dulu menghitung-hitung dan tahu bahwa ia akan berhadapan
dengan orang-orang kosen dan lihai, terutama Hoa Hoa Cinjin. Hal ini membuat dia berlaku
waspada dan tak pernah mengalihkan perhatiannya dari sai-kong ini.
Serangan dari Hoa Hoa Cinjin amat dahsyat datangnya, merupakan sebuah pukulan tangan kanan ke
arah lambung Ciu-ong Mo-kai dibarengi dengan cengkeraman ke arah tubuh Han Sin yang
dipanggul kakek pengemis itu. Sambaran angin serangan ini sudah membuat pakaian Ciu-ong Mokai
di bagian lambung dan baju Han Sin di bagian pundak robek!
Ciu-ong Mo-kai kaget juga, akan tetapi tidak gugup. la maklum bahwa cengkeraman ke arah tubuh
Han Sin itulah yang lebih berbahaya karena pemuda itu sedang pingsan tak dapat menjaga diri.
Cepat ia mengangkat tangan menangkis cengkeraman, sedangkan pukulan ke arah lambungnya ia
hindarkan dengan sebuah gerakan mengegos yang lincah dari langkah kaki Ilmu Silat Liap hongsin-
hoat. Ilmu silat ciptaan Ciu-ong Mo-kai ini, sesuai dengan namanya, yaitu Liap-hong-sin-hoat (Ilmu Sakti
Mengejar Angin), memang mengandalkan kecepatan dan gerakan-gerakan kaki teratur yang amat
cepat perubahannya. Dengan ilmu silat ini, tanpa balas menyerang Ciu-ong Mo-kai akan dapat
menghadapi serangan serangan orang dengan enak saja, tubuhnya menjadi licin bagaikan belut dan
trengginas, cepat bagaikan burung walet.
Akan tetapi sekarang ia menghadapi serangan Hoa Hoa Cinjin, seorang tokoh besar ilmu silat yang
Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tingkat kepandaiannya tidak kalah tinggi olehnya. Memang ia berhasil menangkis cengkeraman ke
arah Han Sin, akan tetapi pukulan ke arah lambungnya itu biarpun sudah dapat ia elakan, namun
sebuah terdangan kaki yang boleh dibilang berbarengan saatnya dengan pukulan itu sendiri, tak
dapat dihindarkannya lagi. Tendangan itu mengenai perut Ciu-ong Mo-kai.
Tubuh kakek pengemis ini terpental, namun hebat sekali, dia masih dapat meminjam tenaga
tendangan ini untuk terus meloncat lari dari tempat itu sambil memanggul tubuh Han Sin dan
membawa lari pula luka ringan di bagian dalam perutnya akibat tendangan tadi!
"Tangkap dia! Kejar!" Bhok-kongcu atau Pangeran Galdan memerintah dengan suara marah sekali.
"Tangkap hidup-hidup!"
Masih untung bagi Ciu-ong Mo-kai bahwa pangeran itu saking marahnya dan saking bernafsu
hendak melampiaskan amarahnya kepada Ciu-ong Mo-kai dan Han Sin, mengeluarkan perintah
supaya menangkap mereka hidup-hidup. Andaikata tidak demikian, mana kakek ini mampu keluar
dari kepungan dengan tubuh masih bernyawa" Serangan senjata-senjata rahasia dan anak panah
tentu akan merenggut nyawanya dan nyawa Han Sin yang masih pingsan.
Betapapun juga, bukanlah hal mudah bagi Ciu-ong Mo-kai untuk dapat melarikan diri. Biarpun ia
sudah berlari secepatnya, tetap saja tiga orang dapat menyusulnya, yaitu Hoa Hoa Cinjin dan kedua
saudara Tung-hai Siang-mo. Seperti telah dikenal dalam cerita yang lalu, dua orang saudara Tunghai
Siang-mo ini amat lihai, dengan maju bersama tingkat kepandaian mereka hampir menandingi
tingkat Hoa Hoa Cinjin. Maka dengan majunya dua orang ini, sekarang Ciu-ong Mo-kai dikejar tiga
orang yang amat lihai!
"Pengemis kelaparan, kauhendak pergi ke mana?" bentak Hoa Hoa Cinjin yang sudah datang dekat
sambil menyerang lagi dengan pukulan dahsyat ke arah punggung kakek pengemis itu. Juga dua
orang kakek Tung-hai Siang-mo (Sepasang Iblis Laut Timur) sudah menyerang dari kanan kiri
sehingga Ciu-ong Mo-kai kini dikeroyok tiga!
"Ha ha ha, pentolan-pentolan kang-ouw main keroyok. Tak tahu malu!" Kakek itu tertawa
mengejek, mainkan Ilmu Silat Liap-hong-sin-hoat sambil mempergunakan guci araknya sebagai
senjata. Dengan gagah sekali kakek ini sambil menggendong tubuh Han Sin di pundak kiri,
melakukan perlawanan mati-matian. Kadang-kadang ia menenggak arak dan menggunakan
semburan-semburan araknya sebagai senjata rahasia yang ampuh.
Setiap kali mendapat kesempatan, Ciu-ong Mo-kai lari lagi untuk menjauhkan diri dari pada
kepungan tentara Mongol. Dengan cara begini, terutama sekali karena Hoa Hoa Cinjin tidak berani
melanggar perintah Pangeran Galdan, yaitu tidak mau membunuh Ciu-ong Mo-kai, pengemis ini
dengan menderita beberapa luka di tubuhnya dapat melarikan diri sampai turun Gunung Yin-san!
Namun tiga orang kosen itu tetap membayanginya terus dan tiap kali ia tentu tersusul untuk
mengalami keroyokan dan tak dapat dicegah lagi ia tentu terkena pukulan-pukulan yang amat
berbahaya dari tiga orang itu.
Amat payah keadaan Ciu-ong Mo kai. Apa lagi pukulan terakhir dari Hoa Hoa Cinjin yang tepat
mengenai siku lengan kanannya, membuat guci arak di tangannya terlempar dan tangan itu sendiri
menjadi lumpuh karena sambungan tulang pada siku terlepas. Ciu-ong Mo-kai memindahkan tubuh
Han Sin ke atas pundak kanan dan ia masih terus melawan dengan tangan kiri sambil tertawa-tawa
mengejek! Dan hebatnya, selama itu kakek ini masih terus berhasil melindungi tubuh Han Sin
sehingga belum sekali juga tubuh pemuda pingsan ini terkena serangan tiga orang pengeroyoknya.
"He he, Hoa Hoa Cinjin pengecut curangl" Ia masih sempat mengejek. "Kalau satu lawan satu mana
kau mampu mengalahkan aku?"
Hati Hoa Hoa Cinjin panas sekali. Kalau menurut nafsunya, ingin ia mengandalkan serangan maut
untuk membunuh kakek pengemis itu. Namun ia takut akan Bhok-kongcu atau Pangeran Galdan
yang amat berpengaruh dan berkuasa. Sekali pangeran itu bilang "tangkap hidup-hidup", ia harus
dapat melaksanakannya.
Memang tentu saja amat sukar untuk menundukkan kakek pengemis ini tanpa melakukan seranganserangan
maut. Beberapa kali sudah ia melakukan penyerangan hebat, akan tetapi begitu melihat
bahwa serangannya ini akan merenggut nyawa Ciu-ong Mo-kai, ia menarik kembali serangannya
dan tentu saja hal ini membuat pertempuran menjadi amat lama.
Demikian pula halnya dengan Tung-hai Siang-mo. Mereka lebih lebih tidak berani melanggar
perintah Pangeran Galdan. Memang harus diakui kehebatan Ciu-ong Mo-kai yang benar-benar amat
"ulet". Pukulan-pukulan hebat yang biarpun mengenai tubuh orang lain sebetulnya sudah cukup
untuk merobohkan orang itu. Namun kakek ini tetap melawan dan bahkan pada saat ia
menyemburkan arak yang terakhir, yang masih tersimpan di mulut, dan melihat tiga orang
lawannya mengelak, kakek ini masih dapat meloncat jauh dan lari lagi sambil tertawa-tawa.
"Hayo kejar aku! Hayo, kejar dan keroyok. Ha ha ha."
Hoa Hoa Cinjin menjadi penasaran bukan main. Kalau orang-orang kang-ouw melihat dia bersama
Tung-hai Siang-mo tak dapat menangkap seorang pengemis bangkotan yang sudah terluka di
beberapa tempat, malah sambungan siku kanannya sudah terlepas, alangkah akan malunya!
"Siang-mo, kita maju bareng dan tangkap dia!" katanya marah. Dua orang kawannya itu
menyanggupi dan cepat-cepat mereka mengejar kakek itu yang kini larinya biarpun masih cepat,
namun sudah terhuyung-huyung, napasnya empas-empis dan mukanya penuh keringat menahan
nyeri yang hebat.
Ciu-ong Mo-kai maklum bahwa kali ini ia takkan dapat tertolong lagi. Dia tidak perduli lagi. Dia
tidak perdulikan keselamatan sendiri. Aku sudah tua, pikirnya, tidak penasaran mati dalam
pengeroyokan Hoa Hoa Cinjin dan Tung-hai Siang-mo, akan tetapi sayang kalau Han Sin sampai
tewas. Dia adalah harapan kita untuk memimpin orang-orang gagah kelak ......
Pada saat itu, secara tiba-tiba saja muncullah dari sebuah tikungan seorang laki-laki gendut
menuntun dua ekor kuda yang besar lagi kuat. Ciu-ong Mo-kai melihat bahwa orang itu yang
menyeringai aneh bukan lain adalah ..... Swi-poa-ong Lie Ko Sianseng si tukang catut! Biarpun
kakek pengemis ragu-ragu akan diri Raja Swipoa itu, namun ia cepat menghampiri dan berkata,
"Lekas ...... kau selamatkan dia ini ....... aku tak kuat lagi ......."
Lie Ko Sianseng cepat menerima tubuh Han Sin, akan tetapi ia tidak lupa untuk memandang cerdik
dan bertanya, "Berapa upahnya?"
Mau tak mau Ciu-ong Mo-kai melotot kepadanya. "Tukang catut sialan! Nyawaku upahnya!"
Lie Ko Sianseng biarpun bicara namun ia tidak membuang waktu. Ia sudah meloncat ke atas kuda
sambil mengempit tubuh Han Sin. "Pengemis bangkotan, nyawamu dan doamu supaya aku selamat.
Pakai kuda ini!"
Ciu-ong Mo-kai yang sudah lelah sekali meloncat ke atas punggung kuda kedua dan sekali tepuk
saja dua ekor kuda itu sudah meloncat dan berlari cepat. Akan tetapi, melihat dua orang buronan
mereka kabur, Hoa Hoa Cinjin tentu saja tidak mau membiarkan. Terpaksa sekarang ia melanggar
pantangan Pangeran Galdan dan secepat kilat ketika tangannya bergerak, sinar hijau menyambar ke
arah Ciu-ong Mo-kai dan Lie Ko Sianseng.
"Lie Ko Sianseng, kaupun menjadi pengkhianat?" Ji Kong Sek, orang pertama dari Tung-hai Siangmo
berseru terheran-heran. Swi-poa-ong Lie Ko Sianseng sudah lama membantu Mongol, malah
dipercaya oleh Pangeran Galdan. Kenapa sekarang menolong Ciu-ong Mo-kai"
Melihat sinar hijau menyambar, Ciu ong Mo-kai yang kudanya berada di belakang, cepat
mengebutkan tangan kiri ke arah Lie Ko Sianseng. Ia berhasil menyampok runtuh sinar hijau ini,
akan tetapi sinar hijau yang tertuju ke arah dirinya tak sempat ia elakkan lagi. Bawah pundak
kirinya tertancap beberapa buah Cheng-tok-ciam (Jarum Racun Hijau) yang terus memasuki daging
dan jalan darah.
Rasa nyeri yang hebat menyerang diri Ciu-ong Mo-kai. Kakek ini menggigit bibirnya dan berkata
kepada Lie Ko Sian?seng. Menahan rasa nyeri,
"Lekas balapkan kuda, bawa dia kepada Yok-ong Phoa Kok Tee ....... di ........"
"Aku tahu. Di Tai-hang-san, bukan?" jawab Lie Ko Sianseng yang segala tahu itu.
"Betul ..... biar aku menahan mereka, tosu-tosu bangsat itu ......"
"Ciu-ong ....... mari kau ikut lari. Kau sudah terluka hebat, kau takkan menang, kau akan mati ......"
"Ha ha ha, apakah artinya mati" Membantu Mancu atau Mongol hanya main-main belaka, akan
tetapi kali ini ... menyelamatkan dia ... hemm, sama dengan menyelamatkan bangsa, dia harapanku
.... dan untuk menyelamatkan bangsa, untuk membela tanah air .... aku ingin mati seribu kali ...."
Tiba-tiba Ciu-ong Mo-kai menampar tubuh belakang kuda yang ditunggangi oleh Lie Ko Sianseng.
Kuda itu terkejut, kesakitan dan membalap secepat keempat kakinya mampu lari! Adapun Ciu-ong
Mo-kai sendiri lalu memutar kuda, menanti datangnya tiga orang pengeroyoknya. Dengan senyum
mengejek ia menanti sampai mereka dekat, lalu berkata,
"Kalian mau tangkap aku" Tangkaplah. Akan tetapi jangan mengejar Lie Ko Sianseng, kalau kalian
mengejar, terpaksa aku melawan kalian sampai mati di tangan kalian. Hasilnya, kalian takkan dapat
menangkap Han Sin, juga kalian takkan dapat menangkapku hidup-hidup sehingga kalian akan
dihukum oleh Pangeran Galdan. Ha ha ha!"
Hoa Hoa Cinjin dan dua orang kawannya saling pandang. Mereka tahu bahwa biarpun sudah terluka
hebat, kakek pengemis ini masih tak boleh dipandang ringan dan kalau benar-benar hendak
menghalang mereka bertiga mengejar Han Sin, tentu akan terjadi pertempuran lagi. Pula, kuda yang
ditunggangi Lie Ko Sianseng luar biasa cepat larinya, tak mungkin mereka yang sudah lelah itu
dapat menyusulnya.
"Pangeran akan menyiksamu!" Hanya demikian Hoa Hoa Cinjin dapat berkata untuk melampiaskan
kemendongkolan hatinya. Mereka bertiga lalu kembali ke Yin-san membawa "tawanan" yang
menunggang kuda sambil tertawa-tawa dan kadang-kadang bernyanyi-nyanyi sajak To-tik-keng
untuk menyindir tiga orang "pengawal" itu.
Ketika mereka berempat itu tiba di kaki Gunung Yin-san, terkejutlah mereka melihat betapa di
lereng tempat markas besar Pangeran Galdan itu ternyata telah terjadi perang hebat. Nampak asap
bergulung-gulung naik dan sorak-sorai gemuruh menandakan bahwa ada pihak yang menang. Pihak
mana yang kalah mudah diduga karena markas besar itu telah menjadi lautan api! Bukit itu penuh
dengan pasukan dan kini nampaklah nyata betapa pasukan Mongol cerai-berai dan lari turun
gunung dari segala jurusan, dikejar-kejar oleh pasukan-pasukan yang bukan lain adalah pasukan
Mancu! Ciu-ong Mo-kai yang melihat ini tiba-tiba tertawa bergelak lalu meloncat dari kudanya dan sekuat
tenaga ia menghantam dada Hoa Hoa Cinjin! Kakek ini tadi sedang terheran-heran dan terkejut
melihat peristiwa hebat di atas gunung, maka kini dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika ia
diserang secara tiba tiba oleh Ciu-ong Mo-kai.
Cepat ia mengelak dan menangkis, akan tetapi terlambat dan tentu ia akan terkena pukulan maut itu
apabila dua orang saudara Tung-hai Siang-mo tidak bertindak cepat. Dua orang saudara ini melihat
Ciu-ong Mo?kai meloncat turun, sudah dapat menduga bahwa kakek ini akan melawan, maka
mereka lalu menyerang dari kanan kiri menggunakan senjata rahasia Toat-beng-cui (semacam bor
pencabut nyawa).
Senjata-senjata ini datang lebih cepat dari pada pukulan Ciu-ong Mo-kai pada Hoa Hoa Cinjin,
maka sebelum pukulan itu mengenai tubuh Hoa Hoa Cinjin, kakek pengemis yang sakti ini telah
lebih dulu "termakan" senjata rahasia dan terhuyung-huyung, Hoa Hoa Cinjin marah sekali,
tangannya bergerak menghantam dada dan ...... robohlah Ciu-ong Mo-kai dengan isi dada remuk.
Nyawanya melayang pada saat ia roboh.
Hoa Hoa Cinjin bertiga lalu berlari lari cepat mendaki bukit. Benar saja kekhawatiran mereka.
Ternyata markas besar tentara Mongol itu telah diserbu secara tiba-tiba oleh barisan Mancu. Hal ini
benar-benar amat mengherankan. Bagaimana bala tentara Mancu sampai bisa muncul secara tibatiba
di situ tanpa dapat diketahui lebih dahulu"
Sebetulnya hal ini adalah jasa dari "dua peti batu" yang dulu dibawa oleh Han Sin. Batu-batu itu
setelah diatur oleh Pangeran Yong Tee, merupakan sebuah peta yang menggambarkan kedudukan
tentara Mongol di Yin-san, bahkan semua tempat-tempat di mana ditaruh barisan pendam dan
tempat-tempat penjagaan para penyelidik Mongol, terdapat dalam peta itu! Karena inilah maka
menurutkan petunjuk peta, Pangeran Yong Tee berhasil menyelundupkan bala tentaranya yang
besar dan kuat sampai ke kaki Gunung Yin-san dan melakukan penyerbuan serentak.
Hoa Hoa Cinjin dan kawan-kawannya ikut pula mengamuk, akan tetapi akhirnya mereka harus
melindungi Pangeran Galdan dan bersama tokoh-tokoh lain yang berkepandaian tinggi, di antaranya
Pak-thian-tok Bhok Hong, mereka terpaksa lari turun gunung mengambil jalan belakang. Di antara
rombongan yang berhasil melarikan diri ini terdapat Hoa-ji, si gadis berkedok, anak angkat Hoa
Hoa Cinjin. Bala tentara Mancu yang memperoleh kemenangan besar lalu mengadakan pembersihan dan
pengejaran sehingga boleh dibilang bala tentara Mongol yang tadinya amat kuat, kini sudah ceraiberai
merupakan kelompok-kelompok pasukan yang tidak ada artinya, terlepas dari pada induk
pasukan, tidak memliki pimpinan lagi.
**** Swi-poa-ong Lie Ko Sianseng membalapkan kudanya tak pernah berhenti. Akhirnya, menjelang
senja, kudanya terjungkal roboh dan ..... mati. Baiknya kakek gendut ini cukup sigap untuk
melompat turun sebelum ia ikut terguling, sambil mengempit tubuh Han Sin. Ia menarik napas lega
ketika mendapatkan dirinya sudah berada dekat dengan Bukit Tai-hang-san yang dituju. Sudah
cemas hatinya kalau melihat keadaan Han Sin. Pemuda ini sepucat mayat, napasnya lemah hampir
berhenti, tubuhnya sudah dingin!
Lie Ko Sianseng yang maklum bahwa ia tidak boleh, lambat-lambatan, memaksa tubuhnya yang
gendut dan sudah lelah itu untuk berlari cepat mendaki Bukit Tai hang-san. Dia tahu di mana
tempat tinggal Yok-ong Phoa Kok Tee si Raja Obat. Tidak ada tempat kediaman tokoh kang-ouw
yang tidak diketahui oleh Raja Swipoa ini.
Kebetulan sekali si Raja Obat, Yok-ong Phoa Kok Tee, berada di atas bukit itu, tidak sedang pergi
berkelana. Tokoh kang-ouw yang kenamaan ini memang semenjak terjadi perang antara Mongol
dan Mancu, tidak meninggalkan tempat kediamannya. Dia sendiri tidak mau mencampuri perang
antara dua bangsa asing itu, akan tetapi ia tidak keberatan, malah menganjurkan ketika muridnya,
Phang Yan Bu menghadap dan minta ijin untuk ikut menggempur Mongol yang merupakan bahaya
besar yang mengancam keselamatan rakyat.
Ketika Yok-ong Phoa Kok Tee melihat bahwa orang yang terluka parah yang dibawa Lie Ko
Sianseng adalah Cia Han Sin, cepat-cepat ia memeriksanya. Setelah meraba nadi, memeriksa dada
dan membuka pelupuk mata yang terpejam itu, kakek ini mengerutkan keningnya, lalu menggelenggeleng
kepala. "Hebat .... memang keji Pak-thian-tok, bekas tangannya mengerikan ...."
Lie Ko Sianseng nampak gelisah. "Yok-ong kau tolonglah dia .....ini pesanan terakhir Ciu-ong Mokai
dan aku sendiri, aku amat suka orang muda ini. Berapa ongkos pengobatannya sampai sembuh,
aku bersedia menguras semua milikku untuk memberikannya kepadamu."
Yok-ong Phoa Kok Tee tersenyum. "Orang seperti kau ini, Swi-poa-ong, di sorga atau neraka
sekalipun tentu akan berusaha membujuk penjaga-penjaga di sana untuk menuruti kehendakmu
dengan cara menyogok!"
Merah muka Swi-poa-ong. "Sesukamulah kau mengatakan, akan tetapi dia ini bukan sanak bukan
kadang kita semua. Meskipun begitu, Ciu-ong Mo-kai sudah rela mengorbankan nyawa untuknya.
Akupun sudah menyaksikan kepandaiannya dan kegagahannya, dia inilah harapan kita kaum tua.
Terserah kepadamu kausuka mengobati atau tidak, aku hendak kembali mencari si Raja Arak .......
eh, setidaknya mencari jenasahnya untuk diurus ....."
Yok-ong Phoa Kok Tee tidak menjawab, hanya memandang bayangan yang gendut itu sambil
menggeleng-geleng kepala dan menarik napas panjang. Banyak manusia aneh di dunia ini, manusia
aneh yang sukar diduga wataknya, yang kadang-kadang kelihatan jahat tapi kadang-kadang
membayangkan watak manusia sejati, seperti Swi-poa-ong Lie Ko Sianseng itu. Teringatlah ia akan
muridnya yang terkasih, Phang Yan Bu dan kembali kakek ini menarik napas panjang sambil
menggerutu, "Semua orang mengaku patriot .... semua orang ingin bertindak sebagai patriot ...." Ia maklum
bahwa memang pada dasar hati setiap orang yang berbangsa dan bertanah air, sudah ada watak
patriotik ini, watak cinta nusa bangsa, berbakti kepada tanah air.
Seperti juga pada dasar hati setiap orang memang sudah ada watak cinta orang tua, berbakti kepada
orang tua. Akan tetapi, tebal tipisnya cinta dan bakti ini, baik kepada tanah air maupun kepada
orang tua, tergantung kepada tebal tipisnya orang itu mencintai diri sendiri. Makin tebal cintanya
kepada diri sendiri, makin tipislah cintanya kepada yang lain. Namun demikian, setiap sikap, setiap
tindakan yang menyatakan jiwa patriotik memang amat mengagumkan, amat mengharukan.
Yok-ong Phoa Kok Tee memandang tubuh Han Sin yang terlentang di atas tanah di hadapannya.
Pemuda yang hebat, pikirnya. Keturunan seorang pahlawan besar. Masih begini muda sudah
mewarisi ilmu yang amat tinggi. Hal ini sudah ia ketahui karena pernah ia bertemu dan
menyaksikan kelihaian Han Sin beberapa waktu yang lalu.
"Dia masih begini muda ..., dan aku sudah amat tua .... apa salahnya kalau aku tolong dia, biarpun
harus menukar nyawa?"
Dengan keputusan bulat kakek raja obat itu lalu mengangkat tubuh Han Sin, mendudukkan tubuh
yang masih pingsan itu di bawah sebatang pohon, dan menyandarkannya di pohon itu. Kemudian
Yok-ong yang tadi ketika bertemu dengan Lie Ko Sianseng sedang membawa sebuah pikulan
keranjang obat, mengeluarkan beberapa bungkus obat dari keranjangnya.
Tubuh Han Sin yang luka-luka lalu diobati, ada yang sengaja ia buka kulitnya dengan pisau untuk
mengeluarkan darahnya. Han Sin sama sekali tidak merasa apa-apa, masih tetap pingsan. Akan
tetapi, setelah banyak darah yang terkena racun dikeluarkan, wajahnya mulai bersinar kembali.
"Hebat ......" terdengar Yok-ong bicara seorang diri penuh kekaguman, "Hek-tok dan Cheng-tok
(Racun Hitam dan Hijau) yang amat berbahaya tertahan saja di bawah kulit tidak dapat menjalar,
benar benar luar biasa! Darah orang muda ini mengandung sesuatu yang dahsyat."
Ia memeriksa lagi dengan amat teliti. "Hemmm, semua tenaganya berkumpul di dada dan perut,
melindungi semua isinya ...... tenaga sinkang yang gaib berputaran terus ...... amat kuatnya sehingga
melumpuhkan semua syaraf ....." Kakek itu bicara terus, kadang-kadang terdengar, kadang-kadang
tidak, keningnya berkerut. Kemudian ia merasa puas dengan pemeriksaannya dan mundur sambil
berkata, "Cia Han Sin, tidak ada lain jalan. Hanya It-yang-ci (Totokan Satu Jari) yang akan dapat membuka
lubang hawa yang tertutup sehingga hawa sinkang dapat pulih dan menyembuhkan hawa beracun
yang membekukan semua syarafmu."
la menarik napas panjang lalu duduk bersila tak jauh dari Han Sin. Kakek ini maklum bahwa ilmu
totok It-yang-ci yang dimilikinya adalah ilmu yang luar biasa dan sekali dipergunakan untuk
menolong nyawa Han Sin, mungkin sekali hal itu berarti akan mengorbankan nyawa sendiri, atau
setidaknya merusak sumber sinkang di dalam tubuhnya sendiri. Hanya dengan pengerahan tenaga
dalam yang luar biasa menggunakan It-yang-ci ia akan dapat menyembuhkan pemuda ini. Dan
sekali sumber sinkang di tubuhnya rusak oleh pengerahan tenaga yang berlebihan ini,
kepandaiannya akan lenyap pula.
Yok-ong menenteramkan batinnya, mengumpulkan semangat dalam samadhi. Setelah merasa diri
kuat betul-betul, ia membuka mata dan tiba-tiba meloncat berdiri. Sepasang matanya memancarkan
cahaya berapi, topinya yang lebar terlepas di atas tanah. Dengan gerakan lambat ia melonggarkan,
semua ikatan pakaiannya, malah membuka baju sehingga ia bertelanjang sebatas perut.
Kemudian kakek ini mengeluarkan suara aneh dan tubuhnya bergerak cepat sekali menotok dengan
jari telunjuk kanannya ke arah leher Han Sin. Totokan ini disusul oleh telunjuk kiri yang menotok
ke arah ulu hati. Kemudian disusul totokan-totokan yang amat cepat, bertubi-tubi dan dilakukan
dengan kecepatan yang membuat tubuh kakek itu seakan-akan tampak menjadi empat lima orang!
Makin lama makin cepat totokan totokan itu dilakukan dan mulailah terdengar napas terengahengah
Romantika Sebilah Pedang 5 Balada Pendekar Kelana Karya Tabib Gila Rahasia 180 Patung Mas 17
dengan suaranya bindeng.
Geli juga hati Han Sin mendengar orang bindeng ini bicara. Kalau Bi Eng berada di sini, tentu ia
akan terpingkal-pingkal, pikirnya.
"Apa kau yang bernama Kalisang?" tanyanya tak acuh.
"Betul, aku Kalisang dan kau akang mengjadi makangang macangku! Ha ha, dagingmu lebih
empuk tengtu dali pada daging olang Mancu .....!"
Kalisang melangkah maju, mengeluarkan sebatang kunci dan membuka pintu depan kerangkeng
yang dikuncinya itu. Dengan muka menyeringai ia lalu menarik pintu kerangkeng terbuka. Akan
tetapi, ia merasa heran melihat harimaunya tidak lekas menubruk maju. Biasanya, begitu
kerangkeng dibuka, harimaunya itu terus saja menubruk maju dan menyerang calon mangsanya di
dalam kerangkeng. Sekarang ini si macan hanya menggereng-gereng memperlihatkan taringnya dan
matanya mencorong ke arah Han Sin.
"Anakku .....hayo maju, makang dia ..... hayoh .....!" Kalisang mendesak harimaunya.
Han Sin tidak takut sama sekali menghadapi harimau itu, akan tetapi ia merasa kurang leluasa kalau
harus melawan harimau di dalam kerangkeng yang sempit. Maka ia mendahului keluar dari
kerangkeng menghadapi Kalisang dan harimaunya dengan tangan kiri tergantung.
"Kalisang, aku tidak ingin bermusuhan denganmu. Kedatanganku ini hanya hendak bertanya, ke
mana perginya anak perempuan yang belasan tahun yang lalu kaurampas dari tangan Ang-jiu
Toanio?" Sambil bertanya demikian, pandang mata Han Sin menyambar-nyambar dari Kalisang
kepada harimau itu dan meremang bulu tengkuknya kalau ia membayangkan betapa adik
kandungnya itu sudah dijadikan mangsa harimau ini!
"Kau ....kau bilang apa ....?" Kalisang bertanya, wajahnya agak berubah. "Kau siapa ....?"
"Tak perlu kau mengenal aku siapa, hanya patut kauketahui bahwa anak perempuan yang masih
bayi, yang kaurampas dari tangan Ang-jiu Toanio dulu itu, dia adalah adik kandungku. Di mana
dia?"" Kini di dalam suara Han Sin terkandung ancaman hebat.
Kalisang menepuk pantat harimaunya dan binatang itu kini mulai menyerang, menubruk dengan
kuat sekali ke arah Han Sin. "Heh heh, kau mau mampus masih benglagak .......!"
Akan tetapi alangkah kagetnya hati Kalisang ketika melihat betapa pemuda itu hanya dengan
sebelah tangan, menggeser kaki ke samping lalu tangan itu bergerak cepat, menampar mulut macan.
"Prakk!" Harimau terbanting dan mulut harimau itu hancur, giginya pada copot dan bibirnya
berdarah sampai ke hidungnya! Harimau itu kesakitan dan marah sekali. Kembali ia meloncat
dengan tubrukannya, kini kedua kakinya juga ikut mencakar.
Kembali Han Sin bergerak cepat, dua kali tangan kanannya bergerak dan "Plak! Plak!" Harimau itu
sekali lagi terbanting dan bergulingan sambil menggereng-gereng kesakitan. Ternyata semua tulang
kaki depannya telah remuk oleh tamparan Han Sin tadi! Setelah tulang kaki depannya patah-patah
dan mulutnya berikut gigi-giginya rusak, harimau besar ini tak berdaya lagi.
Kalisang membelalakkan matanya. la marah bukan main, sambil mengeluarkan seruan panjang dan
aneh ia melangkah maju dan tangan kanannya bergerak ke depan. Lengan ini terus mulur panjang
dan biarpun jarak antara dia dan Han Sin ada satu setengah meter lebih jauhnya, tangannya masih
dapat mencengkeram ke arah pundak kanan pemuda itu! Han Sin merasa heran karena belum
pernah ia melihat ilmu seperti ini, akan tetapi ia sengaja bergerak lambat dan memberi kesempatan
kepada tangan lawan untuk mencengkeram pundaknya.
Kalisang berseru kaget ketika tangannya mencengkeram pundak yang menjadi lunak seperti kapas
saja sehingga semua tenaganya amblas dan lenyap ke pundak lawan, dan lebih-lebih kagetnya
ketika tiba-tiba tangan Han Sin sudah menotok jalan darah di dekat sikunya yang sekali gus
membuat tangannya itu lumpuh! Belum sempat ia bergerak, tubuh Han Sin berkelebat dan Kalisang
roboh terguling, tak dapat bergerak lagi!
Kakek ini disamping kesakitan dan kekagetan, juga merasa heran setengah mati. Bagaimana ada
orang masih amat muda lagi, dapat membikin dia tak berdaya hanya dalam segebrakan saja" Belum
pernah selama hidupnya ia mengalami hal aneh seperti ini!
"Hayo kaukatakan, Kalisang. Di mana bocah perempuan yang kaurampas dari tangan Ang-jiu
Toanio dulu itu?" Han Sin membentak.
Kalisang berusaha bangun, akan tetapi tidak berhasil. Ia malah tidak kuasa lagi menggerakkan kaki
tangannya. Akhirnya ia mengeluh,
"Aduuhhh ...... kau hebat sekali ..... angak itu ..... sudah dingampas ...... Hoa Hoa Cingjing ....."
Han Sin melompat maju, mencengkeram lengan Kalisang demikian eratnya sampai kakek itu
meringis. Ia merasa betapa tulang-tulang lengannya seperti hancur luluh dicengkeram tangan
pemuda aneh ini.
"Jangan bohong! Anak itu tentu sudah kauberikan kepada macanmu menjadi mangsanya!"
"..... ooohh, enggak ..... enggak ..... aduhh lepaskan lengangku ......., betung betung ..... dulu
dingampas Hoa Hoa Cingjing ..... mana aku bengani melawang dia ....?"
"Dirampas Hoa Hoa Cinjin ...." Kau maksudkan ...... Hoa-ji itu ......"
"Aku tidak tahu siapa nangmanya .... kau boleh tanyakan saja sama dia ......?"
Han Sin bangun berdiri. Sekali menyambar, ia sudah mengangkat kerangkeng itu dengan sebelah
tangan, lalu membanting kerangkeng itu di atas tubuh harimau yang masih berkelojotan di atas
tanah. Kerangkeng pecah berantakan dan kepala harimau pecah.
"Kali ini baru kerangkeng dan macanmu yang kuhancurkan. Awas, kalau ternyata kelak kau
membohongiku tentang bocah itu, aku akan mencarimu dan menghancurkan kepalamu juga, jangan
harap kau akan dapat terlepas dari tanganku!"
"Tidak ..... tidak bohong ....!" keluh Kalisang yang tidak berdaya sama sekali melihat binatang
peliharaan dan kerangkengnya hancur. Han Sin lalu meninggalkan tempat itu dan terus menuju ke
utara. Di sepanjang jalan ia tak dapat menahan jantungnya yang berdebaran tidak karuan. Kalau betul
cerita Kalisang bahwa adik kandungnya itu dirampas oleh Hoa Hoa Cinjin, apakah tak boleh jadi
kalau adik kandungnya itu adalah Hoa-ji si gadis berkedok" Dan ia sedang mencari Hoa-ji yang
menjadi kekasih Pangeran Yong Tee. Betul-betulkah dia adik kandungku ...."
Han Sin ragu-ragu, akan tetapi sekarang semangatnya mencari Hoa-ji menjadi berlipat kali lebih
besar lagi. Ia akan mencari Hoa-ji, bukan saja hanya untuk memenuhi permintaan Pangeran Yong
Tee, akan tetapi sekarang, terutama sekali, untuk membuktikan apakah Hoa-ji betul-betul adik
kandungnya yang selama ini ia cari-cari. Betapapun juga, legalah hatinya mendengar dari Kalisang
bahwa adik kandungnya tidak dimakan harimau seperti yang tadinya ia khawatirkan.
Aku harus menyerbu ke utara, kalau perlu kudatangi markas besar tentara Mongol. Harus kujumpai
Hoa-ji. Siapa tahu dia betul-betul adik kandungnya! Hati Han Sin berdebar keras. Dia merasa sudah
hampir dapat membuka rahasia ini. Rahasia Bi Eng, rahasia Tilana, dan rahasia adik kandungnya!
Mungkin rahasia kematian orang tuanya. Dengan penuh semangat, biarpun tangan kirinya masih
harus digantung, pemuda ini melakukan perjalanan cepat menuju ke utara.
**** "Ibu, ada sebuah hal yang kuharap ibu suka berkata terus terang kepadaku." Demikian Tilana
berkata kepada ibunya, begitu ia memasuki rumah dan menghadap ibunya itu. Ibunya adalah Balita,
seorang Puteri Hui yang tersohor, seorang pemimpin Suku Hui yang mempunyai nama besar di
dunia kang-ouw, apalagi akhir-akhir ini. Sepak terjangnya aneh dan ganas sekali, sungguhpun ia
pada hakekatnya membenci kejahatan dan membasminya, namun dengan cara yang ganas dan
kejam tak kenal ampun. Oleh karena itulah maka Balita mendapat julukan Jin-cam-khoa (Algojo
Manusia). Di waktu mudanya, Balita terkenal seorang wanita cantik jelita jarang bandingnya. Akan tetapi,
seperti telah diceritakan dalam jilid terdahulu, setelah wanita ini menjadi rusak hatinya karena
tergila-gila kepada Cia Sun dan oleh pendekar itu cinta kasihnya ditolak, Balita menjadi buas dan
seperti berubah ingatannya. Ia menjadi kejam, ganas sekali, dan tidak lagi memperdulikan
kecantikan dirinya.
Sekarang ia telah menjadi seorang wanita tua yang biarpun masih ada tanda-tanda bekas
kecantikannya, namun ia kelihatan seperti orang liar. Rambutnya riap-riapan panjang, pakaiannya
sederhana dan tidak karuan. Akan tetapi hebatnya, karena ia tekun memperdalam ilmunya, ia
menjadi makin lihai dan tak seorangpun Bangsa Hui yang tidak tunduk dan takut kepadanya.
Kedatangan puterinya yang sudah membuka kerudungnya itu, membuat Balita mengerutkan kening
dan memandang tajam. Cantik sekali wajah anaknya ini, cantik jelita. Mendengar ucapan Tilana
tadi, Balita makin tajam pandang matanya.
"Ada hal apa yang aku sembunyikan darimu?" balas tanyanya.
"Ibu, pernah aku mendengar ibu berkata bahwa anak ibu hanya aku seorang diri, akan tetapi .....
benarkah itu, ibu" Apakah selain aku, tidak ada lain orang anak perempuan lagi" Apakah tidak ada
adikku?" Seketika pucat wajah Balita mendengar pertanyaan ini. Ia bergerak maju dan lengan tangan anaknya
sudah dipegangnya erat-erat, seperti seekor burung rajawali menangkap kelinci.
"Apa katamu" Dari mana kau mendengar hal itu" Dan .... eh, kenapa kau sudah membuka
kerudungmu" Tilana, kau telah melanggar sumpahmu! Hayo katakan, siapa yang membuka
kerudungmu?" Tiba-tiba saja, mungkin karena dibangkitkan kekagetannya mendengar pertanyaan
Tilana tadi, Balita menjadi marah tidak karuan.
Tilana terpukul hatinya oleh pertanyaan yang memang sudah disangka-sangkanya ini. la
menundukkan mukanya. Tidak biasa gadis ini berbohong kepada ibunya.
"Ada orang yang sudah membukanya, ibu .... akupun hendak menceritakan hal ini kepadamu. Ada
.... seorang pria yang sudah membukakannya ....."
"Setan! Dan kau sudah bunuh dia, sudah cincang hancur tubuhnya?"
Tilana menggeleng kepalanya.
Tiba-tiba Balita mencengkeram pundaknya, dan pikiran yang sudah kacau-balau dari wanita
setengah tua ini tiba-tiba teringat akan hal lain. "Eh, katakan lekas apakah kau sudah dapat
memenggal leher Cia Han Sin putera Cia Sun" Kenapa tidak kaubawa ke sini kepalanya"!?"
Tilana sudah biasa menghadapi keadaan ibunya seperti itu. Pikiran ibunya berpindah-pindah tidak
karuan. Karena soal membalas dendam kepada Han Sin ada hubungannya dengan kerudung yang
direnggut dari mukanya, maka Tilana lalu menjawab,
"Tidak, ibu. Dia terlalu lihai bagiku, kepandaiannya tinggi sekali ..... dan aku telah gagal
membunuhnya. Sedikitnya aku harus berlatih sepuluh tahun lagi kalau harus menghadapi ilmu
silatnya."
Balita menarik napas panjang dan menjatuhkan dirinya di atas bangku, nampak kecewa sekali.
Sampai lama ia diam tak bergerak, lalu terdengar ia berkata perlahan, "Cia Sun .... Cia Sun ....,
sampai kapan aku dapat membalasmu?" Dan wanita ini menangis terisak-isak.
Tilana memeluk ibunya. "Ibu, harap kau jangan berduka, ibu ..... dan soal sakit hati itu kurasa
takkan mungkin dapat dilakukan pembalasan lagi ...."
Mendadak Balita meloncat lagi berdiri dan memandang bengis kepada anaknya. "Percuma saja
selama ini kudidik kau! Tidak becus membikin mampus anak Cia Sun. Eh, bagaimana tentang lakilaki
yang merenggut kerudungmu tadi" Kau bilang tidak membunuhnya" Kenapa kau tidak bunuh
diri atau menyerahkan diri menjadi isterinya?"
Wajah Tilana menjadi merah sekali dan dua titik air mata menetes turun di atas pipinya. "Ibu .... aku
.... aku sudah menjadi isterinya ....."
Balita membelalakkan mata. "Menjadi isterinya tanpa setahuku" Setan! Siapa itu yang menjadi
menantuku" Kalau dia tidak berharga, akan kucincang hancur tubuhnya. Hayo bilang, siapa dia
yang menjadi pilihanmu itu!"
Makin merah muka Tilana, sampai ke lehernya merah sekali. Kemudian dengan perlahan ia
menjawab, "Cia .... Cia Han Sin ......"
Balita melengak seperti disambar petir. Ia tidak percaya akan pendengarannya sendiri, maka ia
mendekatkan kepala dan bertanya mendesak, "Siapa kau bilang" Yang keras!"
"Dia Cia Han Sin, ibu ......"
Balita mengeluarkan jerit melengking menyayat hati, tangannya diangkat ke atas, siap hendak
dijatuhkan kepada tubuh Tilana yang sudah meramkan mata. Akan tetapi gadis yang tidak takut
mati ini tidak merasa datangnya pukulan itu, malah tiba-tiba terdengar suara berkakakan.
Ketika ia membuka mata, ibunya tertawa bergelak-gelak, tubuhnya terguncang-guncang dan
kepalanya berdongak. "Ha ha ha! Hi hi hi, kau menjadi isterinya" Ha ha, hi hi ..... Cia Sun ..... Cia
Sun, apakah sekarang kau tidak akan bangun dari dalam kuburmu" Ha ha ha!" Dan Balita lalu lari
keluar dari pondoknya, berlari-lari di sepanjang padang pasir sambil tertawa bergelak-gelak dan
kadang-kadang menangis!
Untuk sesaat Tilana melengak. Ia kaget, bingung dan heran. Sikap ibunya merupakan teka-teki
baginya. Ia cukup mengenal ibunya dan biarpun ibunya bersikap aneh, akan tetapi semua yang
diucapkan masih mudah ditangkapnya. Namun kali ini benar-benar ia tidak mengerti. Kenapa
ibunya bersikap seperti itu ketika mendengar bahwa ia sudah menjadi isteri Cia Han Sin" Karena
penasaran, apalagi karena pertanyaan pertama belum dijawab, Tilana lalu berkelebat dan lari
mengejar ibunya.
Orang-orang Hui yang melihat ibu dan anak ini berkejar-kejaran, hanya tersenyum dan mengangkat
pundak. Memang mereka itu mempunyai dua orang pemimpin ibu dan anak ini, yang luar biasa
anehnya. Betapapun juga, mereka berdua adalah pemimpin-pemimpin yang amat baik, amat mereka
takuti, amat lihai!
Tilana melihat ibunya sudah duduk di dekat batu besar dan berlindung dalam bayangan batu itu,
masih tertawa-tawa dan kadang-kadang menangis.
"Cia Sun ..... Cia Sun .... apakah sekarang mayatmu tidak membalik di dalam kubur" Ha ha, hi hi hi
..... puas hatiku ....., puas ....."
Tilana berlutut di dekat ibunya. Dirangkulnya ibunya penuh kasih sayang. "Ibu, tenanglah, ibu."
Balita memandang kepadanya, lalu tertawa lagi bergelak-gelak sambil menuding kepada Tilana,
"Kau ..... ha ha .... kau kawin dengan dia ....!"
"Ibu, kau kenapa begini, ibu" Harap kau terangkan dan sekalian jawab pertanyaanku apakah selain
aku, kau masih mempunyai seorang anak perempuan lagi."
Tiba-tiba Balita menghentikan sikapnya yang luar biasa itu, kini ia merenung dan ketika pandang
matanya bertemu dengan mata Tilana, gadis ini terkejut bukan main. Dalam pandang mata ini
lenyaplah semua kasih sayang ibunya, terganti kebencian yang mengerikan hatinya.
"Hmmm, kau mau mengerti, bocah" Memang sebaiknya kau tahu agar aku dapat menyaksikan
kehancuran hatimu. Dengar! Memang aku mempunyai seorang anak perempuan lain, anak
kandungku. Dan kau bukan anakku. Dengar, Tilana, dengar baik-baik. Kau bukan anakku, akan
tetapi kau anak Cia Sun! Ha ha ha! Kau anak Cia Sun, mengerti" Kau adik Cia Han Sin dan kau
telah menjadi isteri kakak kandungmu sendiri! Ha ha ha ha .... gadis yang sekarang bersama Cia
Han Sin, yang dianggap adiknya selama ini ... dia itulah anakku yang sejati .... dia anak kandungku
.....! Ha ha, hi hi hi .....!"
Kalau ada geledek menyambar kepalanya di siang hari terang itu, Tilana takkan sekaget ketika
mendengar ini. Pukulan hebat ini tidak kuat ia menerimanya dan seketika ia roboh terguling
pingsan! Balita tertawa-tawa memandang tubuh Tilana yang pingsan itu. Kemudian berjalan pergi sambil
tertawa-tawa dan kadang-kadang menangis sedih. Matahari bergerak perlahan, bayangan batu
karang itu makin menggeser sampai akhirnya tubuh Tilana tertimpa cahaya matahari. Namun tubuh
itu belum juga bergerak.
**** Sesosok bayangan putih bergerak perlahan memasuki kota Ta-tung. Bayangan seorang wanita muda
yang cantik jelita. Tilana! Wajah gadis ini pucat bagaikan mayat hidup, sinar matanya aneh sekali,
sayu dan terbenam dalam kedukaan hebat, rambutnya yang panjang dan tertutup kerudung agak
kusut, demikianpun pakaiannya yang berwarna putih. Sinar bulan yang menerangi mukanya yang
cantik menimpa sepasang pipi yang basah, basah air mata.
Siapa orangnya yang takkan merasa hancur hatinya, takkan merasa perih dan sakit kalbunya,
seolah-olah tertusuk ratusan jarum berbisa" Dia telah menjadi isteri ...... kakak kandungnya sendiri!
Dia telah mencintai kakak kandungnya. Cia Han Sin, orang yang dicintainya, orang yang telah
menjadi suaminya biarpun secara tak sadar ternyata adalah kakaknya sendiri!
Dan Bi Eng, nona yang dianggapnya amat baik hati, yang membantu menjadi isteri Han Sin, yang
ia anggap sebagai adik ipar yang ia sayang, ternyata malah bukan adik kandung Han Sin, tepat
seperti yang dikatakan oleh pemuda itu. Benar-benar Bi Eng adalah puteri Balita yang selama ini ia
anggap sebagai ibunya.
Dunia serasa hancur bagi Tilana kalau ia teringat akan semua ini. Untuk ke sekian kalinya, dua butir
air mata berlinang lalu menetes ke atas kedua pipinya perlahan-lahan mengalir ke bawah. Tak
diusapnya, tak diperdulikan.
Dan Han Sin mencinta Bi Eng! Bi Eng sudah begitu baik terhadapku. Dan sekarang keadaan
berbalik. Bi Eng puteri Balita, dicinta Han Sin. Dia sendiri adik kandung Han Sin sekarang tiba
gilirannya untuk membalas budi Bi Eng dengan Han Sin! Kemudian, ah .... untuk apa lagi hidup di
dunia" Dia telah melakukan sesuatu yg amat hina. Menjadi isteri kakak kandung sendiri. Dia harus
mati! Bi Eng sedang bercakap-cakap dengan Li Goat dan Yan Bu di ruangan dalam, ketika seorang
pelayan memberi tahu bahwa ada seorang wanita Hui mencari Bi Eng.
"Tilana ....." berkata Bi Eng girang dan berdebar hatinya. Cepat ia berlari keluar dan ..... benar saja.
Tilana berdiri di depan rumah seperti sebuah patung dari marmer.
"Cici Tilana ....!" Bi Eng menubruk dan memeluknya. Girang bukan main hatinya dapat melihat
gadis ini dan tidak melihat gadis ini membunuh diri karena perbuatan Han Sin.
Makin terharu hati Tilana melihat sikap Bi Eng. Benar-benar seorang gadis yang berhati tulus dan
jujur. Tak terasa lagi air matanya bercucuran ketika ia membalas pelukan Bi Eng. Bi Eng sendiri
mengira bahwa Tilana masih merasa berduka karena penolakan Han Sin, maka cepat ia
menghiburnya, "Cici Tilana, harap kau jangan berduka. Aku senang sekali kau datang, biarlah kau tinggal dulu
dengan aku di sini. Sin-ko sedang ke utara, tak lama lagi tentu ia datang kembali dan ......,
"Bi Eng, kau mulia sekali ....., tapi aku mempunyai sebuah urusan yang amat penting, yang akan
kubicarakan denganmu. Bi Eng, maukah kau ikut dengan aku ke luar kota, ke tempat yang sunyi di
mana kita bisa bicara secara enak tak terganggu?"
"Tentu saja, cici Tilana. Biar aku pamit dulu ke dalam ....."
"Tak usahlah, urusannya penting sekali, adikku ......"
Kebetulan sekali pada saat itu Li Goat dan Yan Bu keluar. "Li Goat dan saudara Yan Bu, aku akan
pergi sebentar bersama cici ini ......." Bi Eng tak melanjutkan kata-katanya karena Tilana sudah
menggandeng dan menariknya pergi dari situ.
Li Goat dan Yan Bu saling pandang dan heran. "Siapakah wanita cantik yang aneh itu?"
"Entahlah ......." Yan Bu mengangkat pundak lalu termenung, penuh kekhawatiran, akhirnya ia
menghibur hati sendiri dan berkata, "Tentu seorang kenalan yang baik, orang-orang seperti dia itu
memang amat terkenal di dunia kang-ouw dan banyak hubungannya. Tadi kulihat sikap mereka
amat mesra, tidak ada yang perlu dikhawatirkan."
Sementara itu, Bi Eng dan Tilana berlari-lari cepat di malam hari itu menuju ke luar kota, kalau ada
yang melihat mereka, yang melihat ini takkan heran karena di kota ini adalah pusat tempat orangorang
kang-ouw yang aneh dan lihai, hanya mungkin mereka akan kagum sekali melihat dua orang
gadis yang amat cantik jelita ini.
35. Rahasia Bayi Perempuan Min-san
DI TEMPAT yang sunyi, tempat terbuka sehingga takkan ada orang dapat mengintai dan
mendengarkan percakapan mereka, Tilana berhenti dan gadis ini duduk di atas rumput. Bi Eng juga
duduk di depannya sambil tersenyum dan berkata,
Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Cici Tilana, kau amat aneh. Bercakap-cakap saja mengajak di tempat yang begini sunyi. Kalau kita
tadi pergi ke rumah makan sambil makan-makan kita mengobrol, kan lebih enak?"
Tilana menatap wajah Bi Eng yang cemerlang dan berseri ditimpa sinar bulan purnama itu, lalu
menarik napas. Kasihan, pikirnya. Gadis ini begini jujur, terbuka hati baik budi. Baru sekarang ia
melihat betapa mata dan bibir Bi Eng ini sama benar bentuknya dengan mata dan bibir ...... ibunya,
Balita. Makin terharu hati Tilana. Gadis ini senasib dengan dirinya, semenjak kecil tak mengenal ibu
sendiri, dipermainkan oleh nasib yang ditimbulkan oleh orang-orang tua yang tak bertanggung
jawab. Tak terasa lagi Tilana merangkul Bi Eng dan menangis.
"Aduh, adikku, Bi Eng ......, kasihan sekali kau ......"
Bi Eng makin terheran, tak enak hatinya, ia melepaskan rangkulan Tilana dengan halus, menentang
pandangnya lalu bertanya sungguh-sungguh, "Cici Tilana harap jangan berlaku penuh rahasia, kau
membikin gelisah. Sebetulnya, ada apakah yang terjadi" Kenapa kau malah menaruh kasihan
kepadaku?"
"Adikku Bi Eng, tak tahukah engkau bahwa ..... bahwa kanda Han Sin sebetulnya hanya mencinta
kau seorang" Kaulah yang dicintanya, bukan wanita lain ......."
Merah muka Bi Eng. "Aahhh, kau ini aneh-aneh saja cici Tilana. Kalau tidak mencinta aku habis
bagaimana" Akukan adiknya!" la mencoba bergembira.
Akan tetapi Tilana memegang tangannya dan berkata sungguh-sungguh, "Aku tidak main-main, Bi
Eng. Ketahuilah sesungguhnya kau bukanlah adik kandung kanda Han Sin, kau malah bukan apaapanya,
bukan sanak, bukan kadang ......"
"Apa ...... apa artinya ini ....." Jangan kau main gila!" Bi Eng menjadi pucat, hatinya berdebar.
"Aku bicara sesungguhnya, dan aku berterus terang karena aku suka kepadamu. Kanda Han Sin
sendiri yang berkata kepadaku tentang dirimu ketika akhir-akhir ini aku bertemu dengan dia. Malah
Siauw-ong pun di tinggalkan di tempatku. Bi Eng, kau bukanlah adik kandungnya, apakah selama
ini kau tidak merasanya" Apakah sikapnya terhadapmu sewajarnya?"
Makin pucatlah wajah Bi Eng, jantungnya berdebar tidak karuan. Dia bukan adik kandung Han Sin"
Pemuda itu bukan kakaknya" Mana mungkin" Sejak ia dapat mengingat ia selalu berada di sisi
kakaknya itu. "Tak mungkin! Kau bohong!" katanya dengan bibir menggigil. "Sejak aku dapat mengingat, dia
selalu berada di sisiku, menjadi kakakku ......"
Tilana mengangguk. "Aku mengerti, demikianpun aku, adikku. Orang yang kukira ibuku, yang
semenjak kecil kusangka, ibu kandung sendiri, ternyata orang lain dan bukan apa-apaku. Semenjak
kecil kau berada di sisi kanda Han Sin, akan tetapi tahukah kau apa yang terjadi ketika kau masih
bayi" Kau bukan adik kandungnya, Bi Eng dan hal ini aku yakin benar karena aku tahu anak siapa
kau ini, malah ibumupun masih hidup ......."
Bi Eng mengeluarkan jerit tertahan dan ia memegang tangan Tilana erat-erat seakan-akan hendak
menghancurkan tangan itu dalam cengkeramannya. Baiknya Tilana adalah seorang gadis berilmu,
kalau tidak, bisa remuk tulang tangannya dicengkeram seperti itu oleh Bi Eng.
"Tilana! Awas kau kalau bohong ....!"
Tilana menentang pandang mata itu dan menggeleng kepala.
"Kalau begitu, siapa ibuku yang betul" Ayoh bilang, siapa dia" Aku anak siapa?"
"Ibumu adalah orang yang selama ini kuanggap ibuku. lbumu adalah Balita, Puteri Hui ......."
"Tak mungkin .....! Tak mungkin .....! Aku anak Jim-cam-khoa si iblis betina ........?"
"Memang banyak sekali hal yang kelihatan tak mungkin telah terjadi di masa kita masih kecil,
adikku. Kau memang anak tunggal Balita dan hal ini sudah diakui secara terang-terangan oleh
Balita. Lihat matamu, bibirmu, serupa benar dengan Balita. Dan kanda Han Sin juga sudah tahu
akan hal ini ....."
"Tidak bisa!! Tidak bisa jadi! Aku harus mendengar sendiri dari wanita Hui itu! Harus mendapat
keterangan yang jelas! Tak mungkin ......" Bi Eng lalu menangis terisak-isak.
Tiba-tiba ia teringat akan keterangan Han Sin tentang tahi lalat merah di dekat telinga Tilana,
tentang kenyataan bahwa Tilana ini puteri Ang-jiu Toanio. Tanpa disadarinya, tangannya
menyingkap rambut di dekat telinga Tilana dan benar saja, ia melihat tanda merah ...... Bi Eng
menjerit lirih dan merangkul Tilana lalu menangis terisak-isak lagi di pundak Tilana. Hati Bi Eng
tidak karuan rasanya. Terharu, sedih, bingung dan anehnya .... ada juga rasa girang! Ibunya masih
hidup. Dan ..... dia bukan adik kandung Han Sin!
"Bi Eng, adikku yang baik. Memang kau harus mendengar sendiri dari ibumu, dari Balita. Mari
kubawa kau ke sana, biar kupertemukan ibu dan anak yang sudah berpisah semenjak kau masih bayi
......" Seperti dalam mimpi, Bi Eng digandeng bangun dan diajak berlari-lari oleh Tilana. la bingung dan
gelisah. Kalau Han Sin sudah mengetahui akan hal itu, kenapa diam saja tidak memberi tahu
kepadanya" Pantas saja sikap Han Sin aneh sekali. Dan menurut Tilana, Han Sin hanya mencinta
dirinya seorang! Bi Eng menjadi panas mukanya dan berdebar jantungnya.
Dan Tilana ...... ah, kalau ia ingat betapa ia sudah mendorong-dorong Han Sin supaya mengawini
Tilana ...... peristiwa di Min-san itu ....... pedih, sakit rasa hatinya. Han Sin ...... Han Sin ......, kenapa
kau diam saja" Kalau dia betul anak Balita dan Tilana ini anak Ang-jiu Toanio, di mana adik
kandung Han Sin" Apa yang telah terjadi sesungguhnya"
Di tengah perjalanan Tilana diam saja. Wajahnya yang cantik amat pucat seperti mayat dan wajah
itu layu dan murung, diliputi kedukaan maha besar. Bi Eng mencoba untuk memancing keterangan,
akan tetapi Tilana hanya menggeleng kepala, menarik napas panjang dan ...... menangis.
Tentu saja Bi Eng tidak tahu apa yang terkandung dalam hati Tilana. Gadis ini merasa dunia sudah
kiamat, matahari sudah tak bersinar lagi baginya. Ia hanya ingin hidup untuk bertemu dengan Han
Sin, untuk bertanya kepada pemuda yang sebetulnya adalah kakaknya sendiri ini, kenapa Han Sin
tidak berterus terang saja dahulu, sehingga terjadi peristiwa memalukan itu.
Kalau Han Sin dulu berterus terang bahwa dia adalah adik kandungnya, lebih baik dia mati dari
pada melakukan perbuatan yang memalukan. Kenapa Han Sin tidak mau mengaku terus terang"
Malah akhir-akhir ini di padang pasir, mengapa pemuda itu malah bersikap mesra kepadanya"
Apakah Han Sin orang serendah itu, yang tega hati mempermainkan adik sendiri" Demikian
hinakah tabiat pemuda yang menjadi kakak kandungnya itu"
Dengan masing-masing tenggelam ke dalam lautan pikiran sendiri, dua orang gadis itu melakukan
perjalanan cepat dan akhirnya tibalah mereka di tempat tinggal Balita, di perkampungan orangorang
Hui. Begitu tiba di tempat itu, dari sebuah pohon meloncat seekor monyet, yang langsung meloncat ke
pundak Bi Eng. "Siauw-ong ....!" Bi Eng berseru girang, akan tetapi hanya untuk dua detik saja karena pikirannya
segera dipengaruhi oleh urusan dirinya. Ia terus mengikuti Tilana yang membawanya ke sebuah
pondok besar. Tilana bersuit keras dan segera dari dalam pondok muncul seorang wanita setengah tua. Wanita itu
berdiri di depan pintu, memandang kepada Bi Eng dengan mata terbelalak. Sebaliknya Bi Eng juga
terpaku di atas tanah, menatap wajah Balita, wanita Hui itu, dengan muka pucat, mata terbelalak
lebar, kedua kaki lemas dan gemetar dan bibir menggigil. Entah bagaimana, bertemu dengan wanita
ini mendatangkan getaran aneh dalam tubuhnya, seakan-akan ia sering bertemu dengan wanita aneh
ini, entah di mana ....."
Bi Eng, dia inilah ibumu, ibu kandungmu. Dia inilah orangnya yang menukar-nukar kita, ketika kita
masih bayi, dia yang membikin celaka hidupku, yang sengaja menjebloskan aku ke dalam jurang
penghinaan. Balita, di balik semua kebaikan budimu terhadap aku semenjak aku kecil, ternyata kau
menyembunyikan maksud yang amat jahat terhadap aku. Sekarang terimalah pembalasanku!"
Secepat kilat Tilana yang sudah mencabut pedangnya itu menyerang Balita.
Balita yang semenjak tadi berdiri mematung seperti kena sihir, hanya berbisik berkali-kali, "Ini ..
anakku ..." Anakku ..." Ahh ... anak kandungku ..."
Karena keadaannya seperti orang linglung inilah maka ketika serangan Tilana datang, ketika pedang
di tangan gadis itu menusuk dadanya, ia terlambat mengelak, sehingga biarpun ia sudah berusaha
mengelak, tetap saja pundaknya tertikam pedang. Darah muncrat keluar membasahi pakaiannya dan
pada saat itu terdengar jerit Bi Eng,
"Jangan bunuh dia .......!"
Pada saat itu Tilana sudah mengirim tusukan kedua, akan tetapi pedangnya terpental kembali karena
sudah ditangkis oleh Bi Eng yang berdiri menghadapinya dengan wajah keren. "Cici Tilana! Setelah
kau membawaku ke sini, setelah kau membuka rahasia ini, apakah kau hanya ingin menyuruh aku
melihat kau membunuh orang yang kausebut ibu kandungku" Tidak boleh!"
Tilana sadar dan memandang Bi Eng dengan mata terbelalak. Ia mengeluh dan berkata, "Selamat
tinggal!" Kemudian segera ia lari meninggalkan tempat itu. Sebentar saja bayangan Tilana lenyap di
antara pondok-pondok yang berdiri di kampung itu.
"Kau ..... kau anakku ...... tak salah lagi ......"
Mendengar bisikan ini, Bi Eng menjadi lemas, pedangnya terlepas dan ia membalikkan tubuhnya.
Balita sudah berdiri di dekatnya, memegang kedua lengannya dan mata itu memandang kepadanya
penuh selidik. Akhirnya, bagaikan besi dengan besi semberani, keduanya saling tubruk, saling peluk
dan keduanya menangis. Siauw-ong berdiri bingung dan menyeringai.
"Kau anakku! Ha ha, hi hi, kau anakku!"
Bi Eng kasihan melihat orang tua ini dan tanpa berkata apa-apa ia lalu membalut luka di pundak
Balita. Kemudian ia menekan perasaan dan berkata,
"Kalau betul apa yang dikatakan Tilana bahwa aku adalah anakmu, harap kausuka ceritakan
sejelasnya mengapa semenjak kecil aku berada di Min-san."
"Aduuhh ...... anakku .... anakku ...., nasib buruk menimpaku, semua gara-gara Cia Sun ......." Balita
lalu menarik tangan Bi Eng, memasuki rumah dan sambil memangku anaknya dengan penuh kasih
sayang dan membelai-belai rambut Bi Eng, ia bercerita,
"Dulu di waktu aku masih muda sekali, aku telah dikawinkan oleh orang tuaku dengan seorang
pemuda Hui. Aku tidak suka kepadanya, akan tetapi orang tuaku memaksaku, akhirnya kawinlah
aku dengan dia. Lalu aku bertemu dengan Cia Sun ......" Balita berhenti lalu termenung, matanya
yang masih indah itu memancarkan sinar ganjil. "....... dia menjatuhkan hatiku, ..... aku ...... aku
cinta padanya dan ..... diapun membalas cintaku .... aku tergila-gila kepadanya sampai akhirnya aku
bunuh suamiku sendiri ....." Kembali Balita termenung.
Bi Eng terkejut, kemudian teringat akan keadaan Tilana dengan Han Sin, kakaknya ...... eh, bukan,
bukan apa-apa malah! "Apakah ........ apakah kau menggunakan obat bubuk putih berbau wangi
dicampur dalam minumannya?" Pertanyaan ini keluar begitu saja dari mulutnya tanpa disadarinya
terbawa oleh renungannya tentang Tilana dan Han Sin.
Akan tetapi akibatnya membuat Balita kaget sekali. Wanita itu memegang pundaknya, memandang
tajam dan bertanya, "Bagaimana kau bisa tahu?"
Bi Eng menarik napas panjang. "Tilana pun menggunakan obat itu terhadap .... Han Sin ......"
Balita tertawa terkekeh-kekeh, nampaknya girang sekali. "Sejarah terulang .... heh heh heh, sejarah
terulang pembalasan ....... pembalasan ......! Biarlah arwah Cia Sun melihat betapa dua orang
anaknya sekarang melakukan perbuatan hina, hi hi hi, kakak dan adik menjadi suami isteri ........."
Bi Eng melengak, merasa bulu tengkuknya berdiri. "...... apa ....." Apakah Tilana itu adik .....
adiknya ......?"
Mata Balita berkilat-kilat. "Siapa lagi kalau bukan adiknya" Tilana puteri Cia Sun, dan kau anakku
....." Jantung Bi Eng berdebar tidak karuan. Ya Tuhan, apakah yang telah ia lakukan. la telah membantu
Tilana, telah mendorong-dorong Han Sin, ia telah berusaha mati-matian menjodohkan mereka.
Mereka, kakak beradik saudara kandung!
"Bagaimana bisa begitu" Ceritakan ... ceritakan ....!" ia mendesak Balita.
"Aku bunuh suami sendiri karena cintaku kepada Cia Sun. Tapi ..., dasar laki-laki tak berbudi. Dia
meninggalkan aku, aku mengejarnya, akan tetapi dia menolakku ...., ketika kau terlahir aku lagi-lagi
mencarinya dan mohon supaya dia menerimaku, baik sebagai pelayan atau penjaga ....., akan tetapi
dia menolakku ....."
"Kejam .......!" Tak terasa seruan ini keluar dari mulut Bi Eng.
Balita senang mendengar ini dan memeluk anaknya. "Laki-laki memang jahat, tidak setia ......"
Tiba-tiba Bi Eng tersentak kaget. "Kalau begitu ..... aku ini anakmu bersama ...... dia?"
"Bukan, anakku. Kau telah satu bulan dalam kandunganku ketika aku tergila-gila dalam
pertemuanku dengan Cia Sun. Kau anak suamiku yang kubunuh dengan terpaksa karena cinta
kasihku kepada Cia Sun. Dapat kaubayangkan betapa marah dan sakit hatiku ketika aku diusir oleh
Cia Sun, disaksikan oleh isterinya. Waktu itu isteri Cia Sun sudah mempunyai seorang anak lakilaki
......." "Sin-ko ......."
"Ya, yang bernama Cia Han Sin itulah. Anak siluman, entah bagaimana sekarang dia bisa begitu
lihai, jauh melebihi ayahnya dulu. Dendamku tak dapat kutahankan lagi. Melihat bayi perempuan,
dan mengingat aku takkan dapat membunuh Cia Sun karena aku begitu mencintanya sampai tidak
tega membunuhnya, maka aku lalu menggunakan lain jalan. Aku menukarkan kau dengan anaknya
yang kemudian menjadi Tilana itulah. Dan kau hidup sebagai adik Cia Han Sin ........."
"Dan kau membunuh Cia Sun dan isterinya?"
"Tidak ........, tidak ....." Balita menarik napas panjang, tiba-tiba menangis terisak-isak. "Kasihan Cia
Sun ......! Aku melihat dia menggeletak mandi darah ....... Aku melepaskan kerudungku dan
kuselimutkan padanya ....... entah siapa yang membunuhnya ........"
Bi Eng tergerak hatinya. "Selimut kuning berkembang, halus sekali dan di ujungnya ada sulaman
burung merpati?" tanyanya.
"Betul ......, betul ......, itulah kerudungku ......"
Kini tak ragu-ragu lagi hati Bi Eng. Memang betul dia anak Balita. Selimut itu memang berada di
Min-san, di waktu kecilnya sering ia pakai kalau tidur.
"Ibu ........., kau memang ibuku ..... alangkah banyaknya penderitaan hidupmu ....." Bi Eng memeluk
dan keduanya saling peluk sambil menangis.
Setelah mereda tangisnya, Balita melanjutkan ceritanya. "Karena masih mendendam, setelah Tilana
menjadi dewasa, aku menyuruh membunuh Cia Han Sin putera Cia Sun. Tentu saja aku tidak
mendendam kepada engkau, anak kandungku. Akupun benci kepada Tilana karena dia itu keturunan
Cia Sun, akan tetapi oleh karena semenjak bayi berada di sisiku, aku tidak tega membunuhnya
dengan tangan sendiri. Maksudku, aku hendak menanam permusuhan antara dia dan Cia Han Sin,
biarlah kakak beradik sekandung itu saling bunuh!"
"...... tapi akhirnya mereka malah ..... berjodoh ...." Bi Eng berkata perlahan seperti dalam mimpi.
"..... dan aku aku mendorong mereka ......."
"Bagus sekali! Kau betul-betul puteriku. Ha, biarlah mereka menderita, anak Cia Sun itu. Menderita
lahir batin!" Tiba-tiba Balita menangis lagi dan entah bagaimana, Bi Eng merasa sedih sekali dan
ikut menangis. **** Kita tinggalkan dulu Bi Eng yang baru saja bertemu kembali dengan ibu kandungnya dan mari kita
mengikuti perjalanan Cia Han Sin yang menuju ke utara untuk mencari Hoa-ji, anak angkat Hoa
Hoa Cinjin. Kini ia mencari Hoa-ji bukan semata-mata untuk memenuhi permintaan Pangeran Yong
Tee kekasih gadis itu, melainkan terutama sekali karena timbul dugaan keras di dalam hatinya
bahwa Hoa-ji itulah adik kandungnya! Kiranya takkan keliru lagi kalau menurut penuturan yang
didengarnya dari Ang-jiu Toanio, kemudian munculnya Tilana dan penuturan Kalisang. Dengan
kecerdikan otaknya Han Sin dapat merangkai semua peristiwa dahulu dalam bayangannya.
Ang-jiu Toanio bersakit hati kepada ayahnya, seperti juga Balita. Kedua orang wanita itu karena
agaknya tidak berdaya menghadapi ayahnya, lalu mengambil jalan keji untuk membalas dendam,
yaitu dengan jalan menukarkan anak.
Agaknya Ang-jiu Toanio yang lebih dulu menukarkan anaknya dengan adik kandungnya, kemudian
muncul Balita yang kemudian menukarkan anaknya dengan anak Ang-jiu Toanio, tentu saja yang
dikiranya anak Cia Sun. Dengan demikian, anak kandungnya berada di tangan Balita dan anak
Balita ditinggal di Min-san!
Tegasnya, Bi Eng adalah anak Balita, Tilana anak Ang-jiu Toanio dan adik kandungnya sendiri,
dari tangan Ang-jiu Toanio dirampas Kalisang kemudian dari tangan Kalisang dirampas Hoa Hoa
Cinjin dan menjadi seorang gadis berkedok, Hoa-ji!
Dalam penyelidikannya, ia mendengar bahwa Bhok-kongcu atau Pangeran Galdan bermarkas besar
di Pegunungan Yin-san. Han Sin berlaku sangat hati-hati. Ia maklum bahwa dengan memasuki
daerah Mongol ini, ia seperti telah memasuki gua harimau dan naga.
Maka ia melakukan penyelidikan secara bersembunyi. Tidak mau ia bentrok dengan orang-orang
Mongol, karena kalau sampai diketahui ia berada di daerah ini, tentu Bhok-kongcu takkan tinggal
diam dan ia akan ditangkap atau dibunuh. Dengan adanya banyak orang-orang pandai, kalau sampai
dikeroyok, mana dia dapat menang" Pula, kalau sampai ketahuan maksud kunjungannya ini, tentu
akan makin sukar baginya untuk mencari Hoa-ji.
Pada suatu pagi Han Sin berjalan di daerah pegunungan di kaki Gunung Yin-san. Sudah semenjak
beberapa hari ia mulai bertemu dengan orang-orang Mongol dan tentara-tentara Mongol. Selalu
pemuda ini menghindarkan pertemuan dan memilih jalan sunyi untuk mendaki Gunung Yin-san.
Selagi ia berjalan dan diam-diam mengagumi pemandangan alam yang masih bebas dan asli itu,
tiba-tiba ia mendengar suara perlahan di belakangnya. Cepat ia menengok, namun tidak kelihatan
sesuatu. Ia merasa ragu-ragu dan berjalan terus. Tiba-tiba terdengar pula suara langkah orang di
belakangnya. Cepat Han Sin memutar tubuh dan seperti juga tadi, tidak kelihatan orangnya.
Salahkah pendengarannya" Tiba-tiba terdengar langkah kaki di sebelah kiri, ketika ia menengok ke
kiri, langkah itu berpindah ke kanan.
"Celaka, apakah ada setan di pagi hari?" gerutunya dengan mendongkol, akan tetapi juga terheranheran.
Ia tidak perduli dan berjalan terus. Ketika ia tiba di sebuah tebing jurang, tiba-tiba dari kanan
muncul begitu saja, seakan-akan melayang dari dalam jurang, dua orang laki-laki yang luar biasa
sekali. Mereka ini merupakan dua orang laki laki kembar, kembar segala-galanya sampai rambutrambut
dan jenggotnya.
Tubuh mereka besar dan nampak kuat sekali, dengan kepala yang besar pula. Rambut tak
terpelihara, riap-riapan, hidung seperti paruh burung kakatua, mulut besar dengan gigi besar-besar
seperti bertaring, pakaian mereka juga aneh, seperti jubah luar yang amat panjang, diikat tali
pinggang yang panjang pula. Kaki mereka memakai sepatu yang tinggi, sepatu dari kulit. Amat
menarik, kulit tubuh mereka berwarna putih sekali, putih dengan totol-totol merah.
Lebih mengherankan lagi, tangan mereka hanya berjari satu, atau tegasnya, empat buah jari tangan
telah lenyap, buntung tinggal ibu jarinya saja pada masing-masing tangan. Tapi ibu jari ini berkuku
runcing. Benar-benar makhluk yang amat mengerikan, melihatnya saja cukup membuat orang lari
ketakutan! Han Sin terkejut juga, akan. tetapi ia segera dapat menenangkan hatinya. la maklum bahwa ia
berhadapan dengan dua orang yang tak boleh dipandang ringan. Gerakan mereka kelihatan ringan
sekali, gerak kaki mereka biarpun bertubuh besar, amat cepat dan tidak mengeluarkan suara. Ini saja
sudah membuktikan bahwa dua orang yang seperti raksasa berkulit putih dengan mata agak
kebiruan ini amat lihai. Dugaannya memang terbukti karena sambil mengeluarkan suara aneh, dua
orang itu bergerak dan tahu-tahu Han Sin sudah dikurung dari kanan kiri!
Han Sin adalah seorang pemuda yang suka sekali mempelajari bahasa asing, akan tetapi ketika dua
orang itu bersuara, ia sama sekali tidak mengerti bahasa apakah yang mereka gunakan. Melihat
bentuk pakaian mereka, ia menduga bahwa tentu mereka ini ada hubungannya dengan orang-orang
Hui, maka ia segera memberi hormat dan bertanya dalam bahasa Hui,
"Tuan berdua ini siapakah dan ada keperluan apa menghadang perjalananku?"
Dua orang raksasa itu saling pandang, lalu tertawa bergelak. "Kau bisa bicara Hui" Bagus .....,
Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bagus ......!" kata seorang di antara mereka dalam bahasa ..... Han! Biarpun suara mereka kaku dan
janggal, namun cukup dapat dimengerti.
"Maaf, kiranya ji-wi (tuan berdua) dapat berbahasa Han. Tidak tahu siapakah ji-wi yang terhormat
dan ada keperluan apa gerangan menahan perjalananku?" Han Sin mengulang dengan sikap hormat.
"Kau orang Han berkeliaran di sini, tentu mata-mata bangsa Mancu. Ayoh lekas mengaku siapa kau
dan apa keperluanmu di tempat ini!" mereka membentak dengan sikap keren dan mengancam.
Han Sin mengerutkan kening. Ia maklum bahwa setelah ia dilihat orang, tentu akan timbul pelbagai
kesukaran. Apa lagi dua orang ini kelihatan aneh dan lihai, mungkin tokoh-tokoh besar pembantu
Bhok-kongcu. Melihat mereka mengerti bahasa Hui dan pakaian merekapun seperti orang Hui, Han
Sin lalu memancing untuk membaiki mereka,
"Aku bernama Han Sin, she Cia. Apakah ji-wi sudah mengenal seorang puteri Hui bernama Balita
dan anak perempuannya bernama Tilana" Aku kenal baik mereka itu."
Dua orang itu kembali saling pandang. "Cia Han Sin" Apa hubungannya dengan Cia Sun dari Minsan?"
Celaka, pikir Han Sin. Lagi-lagi ada orang mengenal mendiang ayahnya dan melihat sikap mereka,
ia sangsi apakah mereka ini sahabat-sahabat ayahnya. Akan tetapi, bukan watak Han Sin untuk
menyangkal ayahnya sendiri. Apapun akan terjadi atas dirinya, tak mungkin ia menyangkal
ayahnya. Tidak mengakui ayah sendiri hanya untuk menyelamatkan diri adalah perbuatan pengecut
dan rendah. "Cia Sun adalah mendiang ayahku...."
Baru saja Han Sin berkata sampai di sini, seorang raksasa yang berdiri di sebelah kirinya
menyerang dengan hebat, memukul menggunakan tangan kanan yang berjari satu itu. Pukulan ini
hebat sekali, mendatangkan angin bersiutan dan datangnya cepat bukan main, hampir saja mengenai
kepala Han Sin. Baiknya pemuda ini sudah memiliki gerakan yang otomatis sehingga begitu
pukulan menyambar, otomatis ia sudah menarik diri dan mengelak sambil mengibaskan tangan kiri
menangkis. "Plakk!" Han Sin terkejut bukan main ketika mendapat kenyataan betapa tangan kirinya terasa
panas dan sakit ketika bertemu dengan tangan lawan. Cepat ia melompat mundur karena raksasa di
kanannya sambil tertawa-tawa juga sudah menyerangnya dengan sama hebat dan cepatnya.
"Eh, kalian mengapa menyerangku" Apa salahku?" tanyanya, penasaran. Raksasa itu terkejut dan
heran juga melihat pemuda itu dapat menghindarkan pukulan-pukulannya.
"Kau bukan orang sembarangan," kata seorang di antara mereka. "Baiklah kauketahui agar jangan
mati penasaran. Jin-cam-khoa Balita adalah adik seperguruan kami. Nah, bocah she Cia, siaplah
untuk binasa!" Kembali mereka menyerang dengan pukulan-pukulan aneh yang datangnya cepat
dan kuat sekali.
Namun kali ini Han Sin sudah bersiap sedia. Dengan langkah-langkah Liap hong-sin-hoat ajaran
Ciu-ong Mo-kai, tubuhnya bergerak ke sana ke mari menghindarkan diri dari ancaman pukulan dua
orang pengeroyoknya. Tidak demikian saja, malah kini telunjuk tangannya dipergunakan untuk
mainkan ilmu silat Lo-hai Hui-kiam yang amat sakti.
Bukan main herannya dua orang raksasa itu ketika berkali-kali serangan mereka hanya mengenai
angin kosong belaka. Dan lebih-lebih kaget hati mereka ketika dua buah jari telunjuk pemuda itu
menyerang mereka dengan totokan yang luar biasa hebatnya sehingga angin serangannya saja sudah
terasa amat berbahaya seperti ujung dua batang pedang runcing!
Mereka berusaha mempertahankan diri, namun terhadap Lo-hai Hui-kiam, mereka benar-benar mati
kutu. Baru belasan jurus saja mereka telah terkena tusukan hawa totokan jari tangan Han Sin, cepat
mengenai pundak membuat mereka mengeluarkan gerengan kesakitan lalu melarikan diri tunggang
langgang! "Bhok Hong-ong ......, tolong kami ......!" Mereka berseru ketakutan dan dalam anggapan mereka,
Han Sin bukanlah manusia biasa, tentu sebangsa siluman. Kalau tidak, mana bisa seorang muda
memiliki kepandaian demikian hebat dan anehnya"
Tadinya Han Sin hanya tersenyum saja membiarkan mereka pergi. Akan tetapi demi mendengar
teriakan mereka minta tolong kepada Bhok Hong-ong, hatinya tergerak. Bhok Hong adalah Pakthian-
tok ayah Bhok-kongcu. Kalau ayahnya berada di situ, tentu Bhok-kongcu juga berada di situ,
dan bukan tak mungkin kalau Hoa Hoa Cinjin berada di situ pula bersama anak angkatnya, Hoa-ji
yang ia cari-cari" Maka ia lalu cepat meloncat dan mengikuti larinya dua orang raksasa kembar itu
dari jauh. Mereka berdua itu ternyata dapat berlari cepat sekali, namun tidak sukar bagi Han Sin
untuk mengikuti mereka.
Setelah berlari-larian setengah hari lamanya, dua orang raksasa itu memasuki sebuah pondok kecil
di tengah lapangan yang kering. Nampaknya tempat itu sunyi saja. Pondok itu sendiri tidak besar,
terbuat dari papan dan gentengnyapun atap. Heran hati Han Sin. Rumah siapakah ini" Masa Bhok
Hong tinggal di dalam rumah seperti itu" Namun ia terus mengikuti dan menyelinap di belakang
rumah secara cepat dan tidak mengeluarkan suara.
Tiba-tiba ia melihat betapa tanah di sekeliling pondok itu dalam jarak dua tiga ratus meter,
bergerak-gerak dan tiba-tiba tersembul kepala-kepala orang dari dalam tanah. Makin lama makin
banyak dan dalam sekejap mata saja pondok itu, atau lebih tepat dirinya, telah terkurung oleh
ratusan orang tentara Mongol yang bersenjata lengkap! Bukan main hebatnya baris pendam ini.
Baru sekarang Han Sin sadar bahwa dia memang dipancing oleh dua orang raksasa lihai itu dan
diam-diam ia kagum sekali melihat rapinya barisan pendam dari bala tentara Mongol. Ketika ia
menuju ke pondok itu, tidak terlihat sesuatu, tidak terdengar sesuatu. Tidak tahunya ratusan orang
serdadu bersembunyi di dalam lubang-lubang di tanah yang tertutup batu-batu, demikian indah dan
hebat tempat persembunyian itu.
Di samping kekagumannya, Han Sin menjadi panas hatinya. Apa orang mengira dia takut"
Sekarang tahulah dia bahwa Bhok-kongcu memang lihai sekali. Kiranya perjalanannya ini sudah
diketahui orang orang Mongol dan siang-siang ia telah diikuti orang.
Tiba-tiba ia mendengar suara orang bicara di dalam pondok ketika barisan itu sudah siap
mengurung rapat tanpa membuka suara, dengan sikap yang angker seperti patung batu, agaknya
menanti perintah atasan. Ia mengenal suara itu seperti suara dua orang kakek raksasa tadi yang
berkata dengan nada gelisah, "Akan tetapi, Ong-ya, bagaimana bisa menangkap dia hidup-hidup"
Dia lihai sekali dan kami ingin membunuhnya untuk membalas sakit hati sumoi (adik seperguruan)
kami Balita ....."
Terdengar suara yang dalam dan besar, suara yang gagah dan juga segera dikenal Han Sin sebagai
suara Pak-thian-tok Bhok Hong! Suara Bhok Hong menjawab si raksasa tadi, mengejek nadanya,
"Bocah macam itu saja mengapa diributkan" Tentara pendam sudah mengepungnya, dia bisa
terbang ke mana lagi" Dia sudah menjadi antek Pangeran Yong Tee, ini kesempatan baik. Tangkap
dia hidup-hidup, jadikan umpan untuk menangkap Yong Tee sendiri. Bukankah ini kesempatan baik
sekali" Tentang menangkap dia, serahkan saja kepadaku kalau kalian tidak sanggup. Ha, ha, ha,
anak patriot itu sudah menjadi anjing Mancu, apa sih hebatnya?"
Han Sin boleh dianggap lihai sekali ilmu silatnya, malah mungkin pada masa itu jarang ada tokoh
persilatan yang dapat menandinginya. Akan tetapi ia masih bisa dibilang hijau dalam pengalaman
kalau dibandingkan orang-orang seperti Pak-thian-tok Bhok Hong, masih hijau dan kalah jauh
menghadapi tipu-tipu muslihat di dunia kang-ouw yang sebetulnya jauh lebih lihai dan berbahaya
dari pada tajamnya pedang runcingnya tombak.
Mendengar ucapan yang keluar dengan nada mengejek dari mulut Pak-thian-tok Bhok Hong,
pemuda ini menjadi naik darah. Dia dimaki sebagai antek Pangeran Mancu, malah sebagai anjing
Mancu, bagaimana dia tidak akan menjadi naik darah" Apalagi ketika ia mendengar dua orang
kakek raksasa yang ternyata adalah suheng (kakak seperguruan) Balita kemarahan Han Sin tak
dapat dipertahankan lagi. Ia menjadi nekat.
Memang, kalau dia mau, biarpun dikepung rapat oleh para tentara Mongol, agaknya
mempergunakan kepandaiannya ia masih akan dapat lolos, asal saja tokoh-tokoh di dalam pondok
itu tidak keluar menghalanginya. Akan tetapi, melarikan diri adalah soal kedua baginya pada saat
itu. Soal terpenting adalah menghadapi orang-orang yang menghinanya sedemikian rupa.
"Pak-thian-tok iblis sombong, jangan sembarangan membuka mulut!" bentaknya dan tubuh pemuda
ini meloncat ke atas lalu menerobos memasuki pondok dengan menggerakkan kedua tangan
digerakkan melakukan pukulan dengan jurus Cio-po thian-keng dari Ilmu Silat Thian-po Cin keng.
36. Benteng Pertahanan Pangeran Galdan
"BRAKKKKK!" Papan dari pondok itu pecah berantakan ketika tubuh pemuda ini melayang ke
dalam. Ia melihat di antara asap-asap hitam yang memenuhi kamar itu, muka sepasang raksasa dan
muka seorang tua tertawa bergelak. Ia tidak mengenal orang tua bertopi seperti seorang yang
berpangkat itu, yang dicarinya adalah muka Pak-thian-tok Bhok Hong yang tidak nampak.
Saking marahnya, Han Sin berlaku ceroboh, tidak mengira bahwa ia sengaja dipancing. Tubuhnya
melayang ke dalam pondok, napasnya menjadi sesak, bau yang amat keras menyengat hidungnya!
Seketika Han Sin menjadi pening kepalanya. Cepat-cepat ia menahan napas, lalu mengerahkan
lweekangnya untuk menghembuskan keluar hawa beracun yang telah disedotnya. Ia berhasil, akan
tetapi pada saat itu ia merasa ada dua serangan menyambar dari kanan kiri. la maklum bahwa
raksasa kembar itu telah menyerangnya dari kanan kiri.
Cepat digerakkannya kedua tangan melindungi tubuh dengan gerak tipu Khai-peng-twi-san
(Pentang Sayap Mendorong Bukit) dari Ilmu Silat Thian-po Cin-keng! Hebat tangkisan ini,
terdengar dua orang raksasa itu mengeluh perlahan dan roboh bergulingan. Ternyata tangkisan ini
sekaligus membuka jalan darah mereka sehingga obat pemunah racun asap hitam yang mereka telah
pakai pemberian Pak-thian-tok menjadi hilang khasiatnya.
Mereka telah terpukul oleh pukulan sendiri yang membalik, ditambah terluka oleh hawa sinkang
yang keluar dari tangkisan Han Sin, kini menjadi lebih parah oleh karena mereka telah menyedot
asap hitam oleh hidung mereka yang sudah tak terlindung pula. Dua orang itu bergulingan dan
dalam keadaan sekarat!
Akan tetapi, karena mereka berdua bukan orang sembarangan, pukulan-pukulan mereka yang
dilakukan secara tiba-tiba dan hebat sekali kepada Han Sin yang repot menghadapi asap hitam,
sedikit banyak mendapatkan hasilnya pula. Pemuda itu memang betul dapat menangkis pukulanpukulan
itu, namun pergerakan yang membutuhkan pergerakan sinkang ini "membocorkan"
penutupan napasnya sehingga tanpa ia sadari, sedikit asap hitam beracun telah memasuki dadanya.
Hal ini diketahui setelah ia merasa napasnya sesak sekali dan kepalanya pening, hendak muntahmuntah
rasanya. Terkejutlah hati Han Sin, maklum bahwa tubuhnya kemasukan racun. Ia mencurahkan seluruh
perhatian. Sedikit gerakan saja yang dibuat oleh orang berpakaian seperti pembesar tadi telah
menarik perhatiannya. Benar saja, "pembesar" itu yang ternyata adalah seorang Han yang menjilat,
mengekor kepada orang-orang Mongol dan sudah puas karena diberi janji akan diberi kedudukan
sehingga belum apa-apa dia sudah berpakaian sebagai pembesar, menyerangnya dengan sebatang
pedang. Dari gerakan orang ini, Han Sin dapat menduga bahwa ia berhadapan dengan seorang ahli
pedang dari Kun-lun-pai.
Namun, Han Sin sedang marah sekali, apalagi ia sedang menderita bahaya besar dari racun, maka ia
tidak sudi membuang banyak waktu. Pada saat itu, siapa yang menyerangnya dia itulah musuhnya.
Tanpa menoleh, tangannya bergerak ke belakang diikuti tubuhnya yang diputar dan di lain saat,
lima jari tangan Han Sin sudah berhasil mencengkeram pedang yang tajam itu!
Benar-benar pemuda ini sudah mendapatkan ilmu yang sakti, sudah memperoleh kemajuan yang
luar biasa. Siapa akan mengira bahwa dalam waktu singkat, setelah berturut-turut ia mewarisi ilmu
silat yang tinggi, ia akan seberani dan sekuat itu. Orang itu tentu saja akan membelalakkan kedua
matanya saking herannya, lalu berusaha membetot pedang agar tangan pemuda itu terbabat putus.
Akan tetapi jangan harap akan terjadi demikian, malah ketika ia cabut, pedang itu sama sekali tidak
bergeming seakan-akan sudah terpegang oleh sebuah tanggem yang kuat dan besar.
Han Sin mengerahkan tenaga pada tangannya, disentakkannya sedikit dan "krekk!" pedang itu patah
menjadi dua potong! Ujungnya berada di tangan Han Sin sedangkan pangkal dan gagangnya berada
di tangan "pembesar" itu. Murid Kun-lun-pai yang menyeleweng itu kaget dan penasaran, terus
membentak dan menyerang lagi.
Han Sin sudah mulai gelap matanya karena pengaruh racun, namun ia masih dapat melihat
berkelebatnya pedang buntung ke arah perutnya. Cepat ia miringkan tubuh, mengebutkan tangan
kiri yang tepat mengenai pergelangan tangan lawan sehingga pedang buntung terlepas, lalu kakinya
menendang ke depan. Orang itu menjerit ngeri, tubuhnya terpelanting keluar pondok melalui lubang
yang tadi dibuat oleh Han Sin.
Di luar pondok terdengar ia memekik kesakitan ketika tubuhnya terbanting ke atas batu-batu yang
keras. Kulitnya lecet-lecet, babak belur, dagingnya biru-biru, pakaiannya koyak-koyak, tidak patut
lagi ia menjadi pembesar, lebih menyerupai seorang pengemis gila!
"Bocah, jangan menjual lagak di sini!" terdengar bentakan keras.
Han Sin yang sudah pening itu cepat membuang diri ke kiri ketika dari kanan menyambar angin
pukulan yang luar biasa dahsyatnya. Ia maklum bahwa Pak-thian tok Bhok Hong sudah keluar dari
tempat sembunyinya dan mengirim serangan dengan tangan yang mengandung Hek-tok sin-kang.
Han Sin tidak takut akan Hek tok-sin-kang karena darahnya sudah mengandung racun pek-tok dari
darah ular Pek-hiat-sin-coa. Akan tetapi, tenaga pukulan kakek berbaju perang itu amat hebat, juga
ilmu silatnya luar biasa ganas dan kuatnya, selain ini kepalanya sendiri sudah amat pening, pandang
matanya berkunang-kunang dan ia sudah terlalu lama menahan napas.
Di dalam keadaan pening dan seperti mabok itu, Han Sin masih ingat bahwa satu kali saja ia
menarik napas, tentu paru-parunya akan penuh racun dan ia akan celaka. Dia harus lari dari tempat
ini, kalau ingin selamat. Akan tetapi Pak-thian-tok Bhok Hong sudah menyerangnya,
mengurungnya rapat-rapat dengan hawa pukulan-pukulan yang amat dahsyat. Sampai berdesingdesing
angin pukulan menyambar ke arahnya dari segala jurusan! Akan tetapi, di dalam
kepusingannya, panca indera Han Sin malah dapat bekerja baik sehingga kemanapun juga lawan
menyerangnya, selalu ia dapat menangkisnya dengan tepat.
Beberapa jurus lewat dengan cepatnya dan selalu terdengar suara tangan beradu, suaranya keras
menggetarkan pondok. Bhok Hong untuk kesekian kalinya terheran-heran. Bocah ini terlalu hebat,
terlalu lihai dan harus disingkirkan dari muka bumi. Kalau tidak, nama besarnya tentu akan rusak.
Sambil mengerahkan semangat dan tenaga, Bhok Hong mendesak terus dan pada suatu saat yang
amat baik, ia memukulkan tangan kanannya ke arah ulu hati Han Sin. Pukulan yang keras, cepat,
dan mengandung tenaga maut sukar untuk dihindarkan lagi!
Namun Cia Han Sin murid tak langsung dari Tat Mo Couwsu sendiri setelah pemuda ini
mempelajari Thian-po-cin keng. Di samping ini, ia sudah pula mempelajari ilmu silat aneh dan sakti
seperti Lo-hai Hui-kiam maka tentu saja serangan maut ini tidak membuatnya kehilangan akal.
Malah menghadapi serangan maut ini Han Sin melihat jalan terbuka baginya untuk membebaskan
diri dari kepungan serangan Bhok Hong.
Ia menanti pukulan sudah datang dekat sehingga hawa pukulan sudah menghantam ulu hatinya,
cepat ia menggerakkan tangan menerima kepalan tangan lawan dengan telapak tangan,
menggunakan hawa "menyedot" sehingga tenaga pukulan itu amblas ke dalam tangannya, akan
tetapi tenaga dorongnya yang mengandung tenaga gwakang (kasar) itu diterimanya. Berkat
dorongan tenaga kasar yang amat kuat ini tubuhnya terlempar ke belakang dan memang sudah ia
perhitungkan, tepat sekali tubuhnya itu melayang melalui lubang di papan dinding pondok tadi.
Ia mendengar Bhok Hong berseru kaget dan heran, kemudian disusul suara ketawa bergelak dari
kakek itu. Han Sin terkejut dan menduga adanya jebakan lain, namun sudah terlambat baginya.
Kepalanya terlampau pening dan begitu mendapatkan hawa segar, ia membuka penahanan
napasnya. Hal ini membuat matanya menjadi berkunang dan ia tidak dapat menjaga diri lagi ketika
tiba-tiba dari sekelilingnya banyak orang melemparkan jala ke arah tubuhnya.
Tanpa dapat mengelak lagi pemuda ini roboh terbungkus jala yang ternyata terbuat dari pada bahan
yang amat kuat, yaitu otot-otot binatang yang sudah dimasak dengan minyak sehingga ulet dan tak
mungkin dapat putus! Ketika Han Sin mencoba memberontak, ia merasa leher belakangnya sakit,
gatal-gatal dan pedih sekali, ia terkejut, maklum bahwa Bhok Hong sudah keluar dan melukainya.
Matanya gelap dan sebelum pingsan, Han Sin masih sempat mendengar suara ketawa Bhok Hong
......! **** "Memang hebat dia ......" kata Ciu ong Mo-kai yang sedang duduk bercakap-cakap dengan para
tokoh kang-ouw yang membantu bala tentara Mancu. Mereka ini sedang membicarakan Lie Ko
Sianseng yang mengirim dua peti batu dan diterima oleh utusan Pangeran Yong Tee seperti telah
dituturkan di bagian depan. Memang tadinya Ciu-ong Mo-kai dan tokoh-tokoh lain merasa
terheran-heran mengapa Pangeran Yong Tee agaknya mementingkan barang-barang yang ternyata
hanyalah batu-batu kasar belaka. Juga mereka terheran kalau memikirkan bagaimana Han Sin mau
membawakan dua peti itu dan malah membela dengan gagahnya.
Baru sekarang, beberapa hari kemudian mereka mendengar berita dari kota raja bahwa batu-batu
kasar itu sebenarnya merupakan sebuah peta! Kalau batu-batu itu dijajar-jajar dan disusun menurut
rahasia yang ditentukan, akan tergambarlah sebuah peta daerah utara, peta yang menunjukkan
rahasia pertahanan bala tentara Mongol!
"Memang lihai si tukang catut. Entah berapa dia mendapatkan hadiah dari Pangeran Yong Tee
untuk usahanya itu," kata pula Ciu-ong Mo-kai setelah menenggak araknya.
"Kabarnya mengumpulkan keterangan-keterangan untuk membuat peta seperti itu bukannya
pekerjaan mudah," sambung seorang tosu. "Di bagian utara, bala tentara Mongol sedang
membangun sebuah benteng, dan Li Ko Sianseng memasukkan beberapa orang mata-mata sebagai
pekerja-pekerja di benteng ini. Mereka inilah yang membuat guratan-guratan pada batu-batu yang
kemudian mengumpulkan lalu mengirim batu-batu bergurat itu kepada Lie Ko Sianseng ........"
"Memang tukang catut banyak akalnya ........ ha ha ha, betapapun juga, dia orang gagah," kata pula
Ciu-ong Mo-kai dengan kagum.
Pada saat itu, datang Phang Yan Bu pemuda putera Ang-jiu Toanio. Pemuda itu memberi isyarat
kepada Ciu-ong Mo kai, minta bicara berdua. Ciu-ong Mo kai lalu bangkit berdiri, meninggalkan
kawan-kawannya dan pergi keluar bersama Yan Bu.
"Ada apakah, Phang-hiante" Kau kelihatan gelisah."
Dengan kening berkerut Phang Yan Bu berkata, "Lo-enghiong, saya amat menggelisahkan
kepergian muridmu, nona Cia Bi Eng ......"
Ciu-ong Mo-kai Tang Pok memandang tajam. Sebagai seorang tua yang sudah berpengalaman
banyak, tentu saja ia sudah mendengar tentang perasaan pemuda ini yang dulu mencinta Bi Eng,
akan tetapi sekarang melihat pula betapa Yan Bu agaknya dekat dengan Li Goat puteri mendiang
Thio-ciangkun. "Ada apa dengan Bi Eng?" tanyanya pendek.
"Malam kemarin ketika nona Cia bercakap-cakap dengan saya dan teman-teman lain, tiba-tiba
muncul seorang gadis asing yang tidak kami kenal. Akan tetapi, agaknya nona Cia mengenalnya
dengan baik gadis berbangsa Hui itu. Kemudian, entah apa yang mereka bicarakan, nona Cia lalu
ikut pergi bersama gadis Hui yang ia sebut namanya Tilana, katanya tidak lama perginya, tidak
tahunya ....... sampai sekarang belum juga pulang."
Biarpun di luarnya tidak kentara, malah lalu menenggak araknya, akan tetapi di dalam hatinya Ciuong
Mo-kai tertarik dan kaget juga. Disebutnya nama seorang gadis Hui sekaligus mengingatkan
kepadanya akan Balita puteri Hui itu, musuh besar keluarga Cia.
"Lalu bagaimana?" desaknya karena dari wajahnya, pemuda itu kelihatan masih mempunyai
penuturan yang menarik.
"Itulah yang menggelisahkan hati saya, lo-enghiong. Tadi gadis Hui itu muncul pula, hanya
sebentar. Kebetulan sekali aku yang melihatnya dan ia berkata kepadaku bahwa nona Cia Bi Eng
takkan kembali lagi ke sini, karena sudah berkumpul dengan ibunya. Di samping pemberitahuan ini
ia bertanya di mana adanya Han Sin.
Ketika kuberi tahu bahwa saudara Cia Han Sin pergi ke utara, ia berkelebat dan pergi. Gerakannya
cepat sekali, dan aku merasa curiga, ingin menahannya. Akan tetapi bagaimana aku dapat
Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melakukan hal itu terhadap seorang gadis" Karena tidak berdaya maka kuberitahukan lo-enghiong."
Ciu-ong Mo-kai makin terkejut. Celaka, pikirnya. Jangan-jangan Bi Eng terjatuh ke dalam tangan
Balita! "Kau tunggu saja di Ta-tung, Phang hiante. Kalau sewaktu-waktu Han Sin muncul, beritahu bahwa
aku hendak mencari Bi Eng, mungkin ke utara. Kudengar dua orang suheng dari Balita juga
membantu Bhok Kian Teng. Bukan tak mungkin kalau Balita dan orang-orang Hui juga membantu
pasukan Mongol."
Setelah meninggalkan pesan ini, Ciu?ong Mo-kai lalu berangkat ke utara untuk mencari Bi Eng dan
sekalian menyusul Han Sin. Kakek ini maklum bahwa kepandaian Han Sin jauh lebih tinggi dari
padanya maka lebih baik lagi memberi tahu pemuda itu tentang hilangnya Bi Eng sehingga mereka
berdua dapat mencari gadis itu.
Seperti juga Han Sin, kakek raja arak ini melakukan perjalanan cepat dan hati-hati sekali agar
jangan sampai ketahuan orang-orang Mongol. Namun, dia memandang orang-orang Mongol terlalu
rendah kalau mengira bahwa perjalanannya tidak dilihat orang. Semenjak dia meninggalkan Tatung
dan menginjak daerah Mongol, perjalanan kakek sakti ini sudah diketahui oleh para mata-mata
Mongol yang amat cerdik.
Pada suatu hari, ketika tiba di daerah yang berhutan selagi Ciu-ong Mo kai berjalan di tempat sunyi
ini, tiba tiba terdengar suara kaki kuda dan dari belakangnya muncul seorang pemuda menunggang
kuda. Cepat bagaikan kilat kakek ini meloncat dan tubuhnya sudah lenyap bersembunyi di dalam
semak-semak. Penunggang kuda itu nampaknya tidak tergesa-gesa, kudanya berjalan perlahan saja
malah setelah memasuki hutan, pemuda yang berdandan seperti orang terpelajar dari selatan itu
bernyanyi! "Melihat pengemis mabok
malas berkeliaran
sungguh membuat orang
jadi penasaran!
Mengejar cita-cita
itulah tugas seorang perkasa!
Warisan nenek moyang
takkan terbuang sia-sia.
Bumi kuinjak, langit kuraih
demi terlaksana cita-cita!"
Nyanyian itu dinyanyikan dengan suara yang nyaring gagah penuh semangat dan Ciu-ong Mo-kai
tersenyum mengejek ketika mengenal bahwa penunggang kuda itu bukan lain adalah Bhok-kongcu,
Bhok Kian Teng atau Pangeran Galdan pemimpin pemberontak Mongol! Tak perlu kakek itu
bersembunyi lagi karena dalam nyanyiannya tadi, Bhok-kongcu sudah menyindirnya, berarti sudah
melihat dan mengetahui tempat persembunyiannya.
"Bagus memang nyanyian cucu Jenghis Khan! Memang bersemangat dan bagus, tapi bagus untuk
siapa" Untukmu dan untuk bangsamu! Ha ha ha, kau memang seorang bun-bu-coan-jai (ahli silat
dan sastera), Bhok-kongcu ..... eh, Pangeran Galdan!" kata Ciu-ong Mo-kai sambil melompat keluar
dari tempat persembunyiannya.
Pemuda itu memang Bhok-kongcu yang sudah kita kenal. Dia adalah Bhok Kian Teng putera
Pangeran Bhok Hong ong, seorang pemuda tampan yang penuh rahasia, pandai ilmu silat, pintar
dalam hal kesusasteraan, pesolek, pemuda cabul yang pandai main suling, main thioki (catur), dan
pandai pula dalam hal racun. Kini, biarpun pakaiannya masih seperti seorang pemuda Han
terpelajar, dia sebetulnya adalah Pangeran Galdan, pemimpin pemberontak Mongol yang amat
ditakuti orang.
Dengan senyum menghias bibirnya, pangeran itu menganggukkan kepalanya tanda menghormat,
tanpa turun dari kudanya.
"Eh, kiranya si raja arak yang sakti berada di sini. Ciu-ong Mo-kai, kau jauh jauh dari selatan
sampai tersesat di sini, apa yang kaucari" Apakah kau sudah begitu rendah untuk melakukan
pekerjaan mata-mata dari pemerintah penjajah Mancu" Mana sifat patriotmu dahulu?" Pangeran itu
tertawa mengejek dan tiba-tiba saja wajah yang tampan tadi berubah menyeramkan.
"Tidak ada pekerjaan yang buruk, apapun juga pekerjaan itu. Yang buruk hanya tujuannya, yang
jahat adalah pamrihnya, heh heh ....." jawab Ciu-ong Mo-kai sambil menenggak araknya tanpa
perdulikan pangeran yang ditakuti puluhan ribu orang ini.
Pangeran Galdan mengerutkan alisnya yang hitam panjang. "Ciu-ong Mo-kai, tak perlu kau
berpura-pura dan membohongi aku. Siapa tidak tahu bahwa kau tadinya berada di Ta-tung
membantu bala tentara Mancu" Apa kau hendak menyangkal bahwa kau telah menjadi kaki tangan
Mancu?" Kakek itu kembali tertawa bergelak, suara ketawanya bergema di hutan itu. "Siapa hendak
menyangkal" Tidak ada yang perlu disangkal karena tidak ada yang perlu disembunyikan. Memang
aku berada di Ta-tung, memang aku membantu tentara Mancu! Apa salahnya" Siapa membantu
siapa apa bedanya" Di mana ada arak wangi, di situlah ada Ciu-ong! Tapi, ketahuilah, Pangeran
Mongol, kali ini aku datang ke sini bukan karena perang yang sedang berlangsung antara bangsamu
dan bangsa Mancu. Aku tersesat ke sini karena hendak mencari muridku. Hemmm, kebetulan sekali
bertemu denganmu, kau tentu tahu di mana adanya Bi Eng yang sudah tertawan oleh Balita si
perempuan Hui. Ayoh kau kembalikan muridku!"
Bhok-kongcu tersenyum kecil. "Setan arak, kau selalu memandang rendah dan menyangka buruk
kepadaku. Kalau saja aku tidak memandang kepandaianmu dan tidak sayang kepada orang selihai
engkau mana aku sudi bertemu dan bercakap-cakap denganmu" Perkara muridmu Bi Eng itu,
mudah kita urus belakangan, kalau memang betul dia berada di wilayah ini, aku yang tanggung
bahwa dia takkan ada yang mengganggu. Akan tetapi, yang terpenting sekarang, bagaimana kalau
kau membantu aku" Kau seorang patriot, apa kau suka melihat bangsa dan tanah airmu dijajah oleh
orang Mancu" Bantulah aku, mari kita membasmi penjajah itu dan mengusir orang-orang Mancu
dari tanah airmu. Bagaimana?"
Di dalam hatinya Ciu-ong Mo-kai mendongkol sekali. Hemm, orang Mongol ini betul-betul gila,
mengira aku seorang bocah. Membantumu mengusir orang Mancu sama artinya dengan
membantumu menjajah tanah airku! Akan tetapi, apa bedanya" Biarlah orang-orang Mongol dan
orang-orang Mancu berkelahi sendiri, berperang sendiri sampai habis. Membantu yang manapun
sama saja, yang penting ia harus berusaha menyelamatkan Bi Eng. Ia tertawa bergelak.
"Pangeran yang cerdik! Sudah kukatakan tadi, di mana ada arak wangi di situ ada Ciu-ong (Raja
Arak). Pangeran Yong Tee dari Mancu tahu akan kesukaanku itu, apakah kau juga dapat
menyediakan arak wangi yang paling baik?"
Pangeran Galdan atau Bhok-kongcu tertawa senang. "Kalau kau ikut bersamaku, kau boleh minum
sampai pecah perutmu."
"Dan kau akan bersikap penuh hormat seperti Pangeran Yong Tee" Dan tidak akan mengganggu
wanita seperti Pangeran Yong Tee?"
Bhok-kongcu mengerutkan kening. "Pengemis kelaparan kaukira aku boleh kau bandingbandingkan
dengan segala macam pangeran cilik seperti si Yong Tee itu" Huh, Kau tidak mau
membantuku juga tidak apa!" Setelah berkata demikian, Bhok-kongcu menarik kendali kudanya,
memutar tubuh kuda itu dan membalapkan kuda itu meninggalkan Ciu-ong Mo-kai.
"He he, nanti dulu, pangeran! Belum selesai kita bercakap-cakap!" seru Ciu?ong Mo-kai sambil
mengejar. Bhok-kongcu mempercepat larinya kuda, menarik kendali dan mengempit perut kuda. Kuda itu
adalah kuda utara yang kuat sekali, larinya kencang seperti angin. Memang pangeran ini hendak
mencoba atau menguji kepandaian Ciu-ong Mo-kai yang hendak ditarik menjadi pembantunya itu.
Sebaliknya, Ciu-ong Mo?kai yang melihat kesempatan baik baginya untuk menyelamatkan Bi Eng,
tentu saja merasa menyesal mengapa Bhok Kian Teng hendak pergi meninggalkannya. Kesempatan
baik ini tak boleh disia-siakan, pikirnya, maka ia lalu mengerahkan tenaga ginkangnya dan cepat
mengejar. Baru saja Bhok-kongcu keluar dari hutan itu, tiba-tiba tubuh kudanya tersentak berhenti. Ketika ia
menengok, ia melihat Ciu-ong Mo-kai sambil tertawa-tawa sudah berada di belakangnya dan sudah
mencekal ekor kuda yang tebal dan panjang itu. Ternyata kakek aneh itu sudah berhasil menyusul
larinya kuda! Terpaksa kuda itu berhenti dan tak dapat lari lagi.
"Heh heh heh, Bhok-kongcu ..... eh, Pangeran Galdan. Kalau lohu (aku) menghendaki, bukan buntut
kuda yang kucekal, melainkan nyawa orang yang menunggangi kudanya. Kau lihat, aku tidak
mempunyai maksud buruk, heh heh heh .......!"
Bhok-kongcu tersenyum mengejek. "Kau salah duga, Ciu-ong Mo-kai. Bukan kau yang
memperlihatkan maksud baik, melainkan aku yang sengaja tidak mau mencelakaimu, karena
memang aku mempunyai maksud bersahabat dengan engkau. Lihat!" Bhok-kongcu mengeluarkan
sebuah bendera kuning dan melambaikan bendera itu. Tiba-tiba, seperti iblis-iblis di siang hari,
bermunculan tentara Mongol dari segenap penjuru dan dalam beberapa puluh detik saja tempat itu
sudah dikurung oleh ratusan orang tentara Mongol yang sudah siap dengan anak panah di gendewa
masing-masing! Diam-diam Ciu-ong Mo-kai melengak dan kagum. Kiranya kemunculan Bhok-kongcu ini bukan
secara kebetulan, melainkan sengaja diatur dan lebih dulu sudah ada ratusan orang tentara Mongol
yang melindungi kongcu itu sehingga andaikata terjadi hal yang tidak beres, tentu dia sudah
dihujani anak panah!
"Ha ha ha ha! Pangeran Galdan benar-benar hebat sekali. Asal ada arak wangi, pengemis bangkotan
macam aku ini tentu saja suka membantu memukul orang-orang Mancu!"
Girang hati Bhok-kongcu. Ia memang sudah mendengar dan menyaksikan sendiri akan kelihaian
pengemis aneh ini yang kepandaiannya kiranya tidak kalah, atau hanya sedikit selisihnya, dengan
Hoa Hoa Cinjin. Tentu saja kalau dia bisa mendapat bantuan tenaga seperti Ciu-ong Mo-kai,
keadaannya akan menjadi lebih kuat, selain itu, juga ia melemahkan keadaan pasukan Mancu yang
kehilangan Ciu-ong Mo-kai.
"Bagus, Ciu-ong Mo-kai. Kalau benar-benar kau suka bekerja sama, jangan khawatir, arak wangi
telah tersedia untukmu. Akan tetapi kau harus bersumpah." Pangeran ini cerdik dan sudah mengenal
watak orang-orang kang-ouw dari selatan. Orang-orang kang-ouw ini menjunjung tinggi kegagahan,
selalu memegang janji, apa lagi sumpah takkan dilanggarnya biarpun harus mengorbankan nyawa!
"Aku, Ciu-ong Mo-kai, bersumpah bahwa aku selalu akan memusuhi penjajah tanah airku!"
"Dan sekarang kau memusuhi orang-orang Mancu!" sambung Bhok-kongcu yang masih belum
puas. "Aku bersumpah memusuhi orang orang Mancu sekarang!" Ciu-ong Mo-kai bersumpah tanpa raguragu.
Memang, di dasar hatinya ia memusuhi semua bangsa yang menjajah Tiongkok, mengapa
tidak" Baik Mancu maupun Mongol, adalah musuhnya.
Girang dan puas hati Bhok-kongcu. Segera ia mengajak Ciu-ong Mo-kai menuju ke Pegunungan
Yin-san, markas besarnya. Juga ia berjanji untuk membebaskan Bi Eng apabila benar-benar ternyata
bahwa gadis itu ditawan oleh Balita.
"Jangan khawatir, dua orang suheng dari Balita bekerja sama dengan kami. Biarkan mereka
menghadapi Balita untuk minta Bi Eng, tentu akan diserahkan dengan baik," kata pangeran ini.
Rombongan ini tak lama kemudian sudah tiba di Yin-san dan di dalam sebuah istana darurat yang
indah dan mewah, Ciu-ong Mo-kai dijamu dengan sebuah pesta. Benar saja, Bhok-kongcu
mempunyai simpanan arak yang baik. Dengan gembira Ciu-ong Mo-kai makan minum dan sama
sekali ia tidak berkeberatan untuk duduk bersama-sama dengan Hoa Hoa Cinjin, Tung-hai Siangmo,
Huang-ho Sam-ong, dan beberapa orang tokoh kang-ouw yang cukup terkenal dan yang
ternyata menjadi kaki tangan Bhok-kongcu!
Selagi Bhok-kongcu dan orang-orangnya berpesta gembira, tiba-tiba datang laporan bahwa ada
sepasukan tentara utusan Pak-thian-tok mengantar seorang tawanan untuk minta keputusan
Pangeran Galdan!
Kedengarannya memang aneh bagaimana Bhok Hong sebagai ayah Pangeran Galdan, tidak berani
memutuskan sendiri atas diri seorang tawanan, melainkan minta keputusan puteranya. Memang
demikianlah. Entah bagaimana, Bhok Hong ternyata amat bangga akan puteranya.
Malah mengabarkan di antara bangsanya bahwa puteranya itu, Pangeran Galdan, adalah pemimpin
besar Bangsa Mongol, penjelmaan Raja Besar Jenghis Khan dan karenanya adalah kekasih dewata
yang harus ditaati, oleh siapapun juga, bahkan oleh dia sendiri! Tentu saja di balik keanehan
sikapnya yang seakan-akan taat dan tunduk kepada putera sendiri ini, ada maksud tersembunyi di
dalam hati Bhok Hong sebagai seorang bapak yang ingin melihat anaknya menjadi raja besar seperti
Jenghis Khan. Dia sendiri sudah tua, pula tidak ada minat tentang pemerintahan, biarlah puteranya yang menjadi
Jenghis Khan kedua! Bhok-kongcu atau Pangeran Galdan yang sedang bergembira karena berhasil
menarik tenaga baru yang amat kuat, mengerutkan kening. Kalau bukan tawanan yang amat
penting, tak nanti ayahnya sampai mengirimnya pada saat seperti itu.
"Bawa dia masuk akan kutanyai!" katanya dengan sikap agung kepada tentara pelapor.
"Ampun, pangeran. Tawanan itu terluka dan pingsan tak dapat ditanyai lagi ......."
"Jangan cerewet, bawa dia masuk kataku! Biar kulihat siapa dia!" bentak Pangeran Galdan marah.
Tentara itu cepat memberi hormat dan mundur. Tak lama kemudian masuklah empat orang tentara
yang tinggi besar, menyeret tubuh seorang laki-laki yang berada di dalam jala, menggeletak dengan
muka pucat seperti mayat. Sukar diduga siapa yang lebih kaget di antara Ciu-ong Mo-kai dan Bhokkongcu
ketika melihat siapa adanya tawanan yang pingsan seperti mati itu.
"Han Sin ........!" Ciu-ong Mo-kai tak dapat menyembunyikan kagetnya, malah kakek yang sudah
kenyang makan asam garam dunia ini seperti sengaja memamerkan kagetnya.
Pangeran Galdan menoleh ke arah kakek itu sambil tersenyum, matanya menatap tajam. "Ehem,
kau tentu mengenalnya, Ciu-ong Mo-kai ......." katanya penuh sindir.
"Tentu saja!" jawab Ciu-ong Mo-kai dengan suara wajar. "Untuk apa aku harus berpura-pura tidak
mengenalnya kalau dia itu adalah kakak dari muridku, atau hampir boleh dibilang dia itupun
muridku karena pernah belajar teori silat dariku?"
Tiba-tiba Bhok-kongcu tertawa terbahak dengan muka geli, "Dia itu belajar teori silat dari padamu"
Ha ha ha, menggelikan sekali! Ciu-ong Mo-kai, apakah kau pura-pura tidak tahu bahwa dia itu
sepuluh kali lebih lihai darimu" Ha ha, hanya ayahku yang sakti saja dapat mengalahkannya dan
menawannya!"
"Tentu saja aku tahu, Pangeran Galdan. Memang sekarang dia telah menjadi amat lihai, dan
agaknya ayahmu yang terhormat itupun belum dapat mengalahkannya dalam pertandingan terbuka
dan jujur." Setelah berkata demikian, Ciu-ong Mo-kai menenggak araknya. Orang-orang yang
berada di situ diam-diam merasa heran sekali atas keberanian dan kelancangan mulut si pengemis
bangkotan ini yang sama sekali tidak menghormat kepada "Pangeran Keturunan Dewata"!
Adapun Bhok-kongcu sudah tidak memperdulikan Ciu-ong Mo-kai lagi. Dia mendengar laporan
dari pengawal yang membawa Han Sin tentang ditangkapnya Cia Han Sin oleh Pak-thian-tok Bhok
Hong. Kemudian dengan amat marah Bhok-kongcu mendengar laporan pula betapa di mana-mana
pasukannya dipukul hancur atau dipukul mundur oleh pasukan-pasukan Mancu yang amat kuat.
"Keparat!" bentak Pangeran Galdan sambil membanting kakinya. "Sampai titik darah terakhir
dalam tubuhku, aku harus melawan dan menghancurkan Mancu!" Ia lalu memandang ke arah tubuh
Han Sin yang masih menggeletak terbungkus jala.
"Keluarkan dia dari jala, belenggu kaki tangannya tapi jangan bunuh dia. Aku harus memaksanya
untuk membantuku kalau dia masih belum bosan hidup. Hanya ada dua jalan baginya." Pangeran itu
menoleh kepada Ciu-ong Mo-kai seakan-akan kakek itu dijadikan wakil Han Sin untuk
mempertimbangkan keputusannya, "Membantuku melawan Mancu atau kupenggal kepalanya!"
Ciu-ong Mo-kai pura-pura tidak melihat atau mendengar ini. Ia terus saja menenggak araknya dan
menyambar makanan yang paling enak di atas meja. Agaknya keadaan Han Sin yang tertawan dan
berada dalam keadaan mengenaskan, entah hidup atau mati itu sama sekali tidak diperdulikannya.
Empat orang pengawal yang kuat kuat itu sudah membuka jala dan menarik tubuh Han Sin yang
sudah tak berdaya dan lemas itu keluar dari jala. Mereka mengeluarkan tali otot kerbau yang kuat
untuk mengikat kaki tangan pemuda Min-san itu.
Akan tetapi, tiba-tiba terdengar gerengan keras sekali dan tahu-tahu hujan arak menyembur ke arah
muka keempat orang pengawal. Hujan arak yang tersembur dari mulut Ciu-ong Mo-kai sama
lihainya dengan hujan jarum. Empat orang itu menutupi muka dengan kedua tangan sambil
mengaduh-aduh karena mata mereka sudah seperti buta dan muka mereka sakit seperti ditusuk
ratusan jarum! "Aduh ..... aduh ..... Aduh ...........!"
Sebelum semua orang hilang kaget mereka, tubuh Ciu-ong Mo-kai berkelebat dan tahu-tahu ia
sudah menyambar tubuh Han Sin dan dipanggulnya tubuh pemuda yang pingsan itu.
37. Kehancuran Benteng Mongol
"PENGKHIANAT busuk!" Hoa Hoa Cinjin membentak marah sekali. Semenjak tadi, melihat Ciuong
Mo-kai diterima sebagai pembantu oleh Bhok-kongcu, Hoa Hoa Cinjin sudah merasa tak
senang dan curiga. Dia sudah mengenal baik-baik pengemis tua ini, yang berjiwa patriotik sampai
ke rambut-rambutnya. Paling gigih, pengemis ini melawan penjajah, malah secara rahasia
memimpin seluruh perkumpulan pengemis di selatan untuk bangkit melawan penjajah. Bagaimana
orang seperti dia itu bisa membantu orang-orang Mancu yang sekarang menjajah tanah airnya dan
bagaimana mungkin lagi dapat menghambakan diri kepada Bhok-kongcu, seorang Pangeran
Mongol" Kalau dia datang membantu, tentu di belakangnya terselip maksud-maksud lain yang tidak baik.
Akan tetapi tentu saja la tidak berani membantah kehendak Bhok-kongcu karena iapun maklum
bahwa makin banyak orang pandai seperti Ciu-ong Mo-kai dapat membantu mereka, betul-betul
membantu dengan setia, akan makin baiklah. Maka Hoa Hoa Cinjin yang duduk tak jauh dari Bhokkongcu,
selama pesta berjalan, hanya diam saja dan hanya mengawani makan minum. Namun diam
diam matanya yang tajam seperti mata burung rajawali itu selalu menaruh perhatian dan mengawasi
setiap gerak-gerik Ciu-ong Mo-kai.
Maka begitu ia melihat Ciu-ong Mo kai menyemburkan arak menyerang empat orang Mongol yang
hendak membelenggu Han Sin, kemudian kakek pengemis itu menyambar tubuh Han Sin, Hoa Hoa
Cinjin mengeluarkan teriakan marah lalu menyerang dengan hebat.
Ciu-ong Mo-kai bukan seorang yang ceroboh. la memang berlaku nekat ketika menolong Han Sin,
maklum bahwa perbuatannya kali ini bukan main-main dan nyawalah taruhannya. Maka sebelum
melakukan perbuatan itu, ia telah lebih dulu menghitung-hitung dan tahu bahwa ia akan berhadapan
dengan orang-orang kosen dan lihai, terutama Hoa Hoa Cinjin. Hal ini membuat dia berlaku
waspada dan tak pernah mengalihkan perhatiannya dari sai-kong ini.
Serangan dari Hoa Hoa Cinjin amat dahsyat datangnya, merupakan sebuah pukulan tangan kanan ke
arah lambung Ciu-ong Mo-kai dibarengi dengan cengkeraman ke arah tubuh Han Sin yang
dipanggul kakek pengemis itu. Sambaran angin serangan ini sudah membuat pakaian Ciu-ong Mokai
di bagian lambung dan baju Han Sin di bagian pundak robek!
Ciu-ong Mo-kai kaget juga, akan tetapi tidak gugup. la maklum bahwa cengkeraman ke arah tubuh
Han Sin itulah yang lebih berbahaya karena pemuda itu sedang pingsan tak dapat menjaga diri.
Cepat ia mengangkat tangan menangkis cengkeraman, sedangkan pukulan ke arah lambungnya ia
hindarkan dengan sebuah gerakan mengegos yang lincah dari langkah kaki Ilmu Silat Liap hongsin-
hoat. Ilmu silat ciptaan Ciu-ong Mo-kai ini, sesuai dengan namanya, yaitu Liap-hong-sin-hoat (Ilmu Sakti
Mengejar Angin), memang mengandalkan kecepatan dan gerakan-gerakan kaki teratur yang amat
cepat perubahannya. Dengan ilmu silat ini, tanpa balas menyerang Ciu-ong Mo-kai akan dapat
menghadapi serangan serangan orang dengan enak saja, tubuhnya menjadi licin bagaikan belut dan
trengginas, cepat bagaikan burung walet.
Akan tetapi sekarang ia menghadapi serangan Hoa Hoa Cinjin, seorang tokoh besar ilmu silat yang
Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tingkat kepandaiannya tidak kalah tinggi olehnya. Memang ia berhasil menangkis cengkeraman ke
arah Han Sin, akan tetapi pukulan ke arah lambungnya itu biarpun sudah dapat ia elakan, namun
sebuah terdangan kaki yang boleh dibilang berbarengan saatnya dengan pukulan itu sendiri, tak
dapat dihindarkannya lagi. Tendangan itu mengenai perut Ciu-ong Mo-kai.
Tubuh kakek pengemis ini terpental, namun hebat sekali, dia masih dapat meminjam tenaga
tendangan ini untuk terus meloncat lari dari tempat itu sambil memanggul tubuh Han Sin dan
membawa lari pula luka ringan di bagian dalam perutnya akibat tendangan tadi!
"Tangkap dia! Kejar!" Bhok-kongcu atau Pangeran Galdan memerintah dengan suara marah sekali.
"Tangkap hidup-hidup!"
Masih untung bagi Ciu-ong Mo-kai bahwa pangeran itu saking marahnya dan saking bernafsu
hendak melampiaskan amarahnya kepada Ciu-ong Mo-kai dan Han Sin, mengeluarkan perintah
supaya menangkap mereka hidup-hidup. Andaikata tidak demikian, mana kakek ini mampu keluar
dari kepungan dengan tubuh masih bernyawa" Serangan senjata-senjata rahasia dan anak panah
tentu akan merenggut nyawanya dan nyawa Han Sin yang masih pingsan.
Betapapun juga, bukanlah hal mudah bagi Ciu-ong Mo-kai untuk dapat melarikan diri. Biarpun ia
sudah berlari secepatnya, tetap saja tiga orang dapat menyusulnya, yaitu Hoa Hoa Cinjin dan kedua
saudara Tung-hai Siang-mo. Seperti telah dikenal dalam cerita yang lalu, dua orang saudara Tunghai
Siang-mo ini amat lihai, dengan maju bersama tingkat kepandaian mereka hampir menandingi
tingkat Hoa Hoa Cinjin. Maka dengan majunya dua orang ini, sekarang Ciu-ong Mo-kai dikejar tiga
orang yang amat lihai!
"Pengemis kelaparan, kauhendak pergi ke mana?" bentak Hoa Hoa Cinjin yang sudah datang dekat
sambil menyerang lagi dengan pukulan dahsyat ke arah punggung kakek pengemis itu. Juga dua
orang kakek Tung-hai Siang-mo (Sepasang Iblis Laut Timur) sudah menyerang dari kanan kiri
sehingga Ciu-ong Mo-kai kini dikeroyok tiga!
"Ha ha ha, pentolan-pentolan kang-ouw main keroyok. Tak tahu malu!" Kakek itu tertawa
mengejek, mainkan Ilmu Silat Liap-hong-sin-hoat sambil mempergunakan guci araknya sebagai
senjata. Dengan gagah sekali kakek ini sambil menggendong tubuh Han Sin di pundak kiri,
melakukan perlawanan mati-matian. Kadang-kadang ia menenggak arak dan menggunakan
semburan-semburan araknya sebagai senjata rahasia yang ampuh.
Setiap kali mendapat kesempatan, Ciu-ong Mo-kai lari lagi untuk menjauhkan diri dari pada
kepungan tentara Mongol. Dengan cara begini, terutama sekali karena Hoa Hoa Cinjin tidak berani
melanggar perintah Pangeran Galdan, yaitu tidak mau membunuh Ciu-ong Mo-kai, pengemis ini
dengan menderita beberapa luka di tubuhnya dapat melarikan diri sampai turun Gunung Yin-san!
Namun tiga orang kosen itu tetap membayanginya terus dan tiap kali ia tentu tersusul untuk
mengalami keroyokan dan tak dapat dicegah lagi ia tentu terkena pukulan-pukulan yang amat
berbahaya dari tiga orang itu.
Amat payah keadaan Ciu-ong Mo kai. Apa lagi pukulan terakhir dari Hoa Hoa Cinjin yang tepat
mengenai siku lengan kanannya, membuat guci arak di tangannya terlempar dan tangan itu sendiri
menjadi lumpuh karena sambungan tulang pada siku terlepas. Ciu-ong Mo-kai memindahkan tubuh
Han Sin ke atas pundak kanan dan ia masih terus melawan dengan tangan kiri sambil tertawa-tawa
mengejek! Dan hebatnya, selama itu kakek ini masih terus berhasil melindungi tubuh Han Sin
sehingga belum sekali juga tubuh pemuda pingsan ini terkena serangan tiga orang pengeroyoknya.
"He he, Hoa Hoa Cinjin pengecut curangl" Ia masih sempat mengejek. "Kalau satu lawan satu mana
kau mampu mengalahkan aku?"
Hati Hoa Hoa Cinjin panas sekali. Kalau menurut nafsunya, ingin ia mengandalkan serangan maut
untuk membunuh kakek pengemis itu. Namun ia takut akan Bhok-kongcu atau Pangeran Galdan
yang amat berpengaruh dan berkuasa. Sekali pangeran itu bilang "tangkap hidup-hidup", ia harus
dapat melaksanakannya.
Memang tentu saja amat sukar untuk menundukkan kakek pengemis ini tanpa melakukan seranganserangan
maut. Beberapa kali sudah ia melakukan penyerangan hebat, akan tetapi begitu melihat
bahwa serangannya ini akan merenggut nyawa Ciu-ong Mo-kai, ia menarik kembali serangannya
dan tentu saja hal ini membuat pertempuran menjadi amat lama.
Demikian pula halnya dengan Tung-hai Siang-mo. Mereka lebih lebih tidak berani melanggar
perintah Pangeran Galdan. Memang harus diakui kehebatan Ciu-ong Mo-kai yang benar-benar amat
"ulet". Pukulan-pukulan hebat yang biarpun mengenai tubuh orang lain sebetulnya sudah cukup
untuk merobohkan orang itu. Namun kakek ini tetap melawan dan bahkan pada saat ia
menyemburkan arak yang terakhir, yang masih tersimpan di mulut, dan melihat tiga orang
lawannya mengelak, kakek ini masih dapat meloncat jauh dan lari lagi sambil tertawa-tawa.
"Hayo kejar aku! Hayo, kejar dan keroyok. Ha ha ha."
Hoa Hoa Cinjin menjadi penasaran bukan main. Kalau orang-orang kang-ouw melihat dia bersama
Tung-hai Siang-mo tak dapat menangkap seorang pengemis bangkotan yang sudah terluka di
beberapa tempat, malah sambungan siku kanannya sudah terlepas, alangkah akan malunya!
"Siang-mo, kita maju bareng dan tangkap dia!" katanya marah. Dua orang kawannya itu
menyanggupi dan cepat-cepat mereka mengejar kakek itu yang kini larinya biarpun masih cepat,
namun sudah terhuyung-huyung, napasnya empas-empis dan mukanya penuh keringat menahan
nyeri yang hebat.
Ciu-ong Mo-kai maklum bahwa kali ini ia takkan dapat tertolong lagi. Dia tidak perduli lagi. Dia
tidak perdulikan keselamatan sendiri. Aku sudah tua, pikirnya, tidak penasaran mati dalam
pengeroyokan Hoa Hoa Cinjin dan Tung-hai Siang-mo, akan tetapi sayang kalau Han Sin sampai
tewas. Dia adalah harapan kita untuk memimpin orang-orang gagah kelak ......
Pada saat itu, secara tiba-tiba saja muncullah dari sebuah tikungan seorang laki-laki gendut
menuntun dua ekor kuda yang besar lagi kuat. Ciu-ong Mo-kai melihat bahwa orang itu yang
menyeringai aneh bukan lain adalah ..... Swi-poa-ong Lie Ko Sianseng si tukang catut! Biarpun
kakek pengemis ragu-ragu akan diri Raja Swipoa itu, namun ia cepat menghampiri dan berkata,
"Lekas ...... kau selamatkan dia ini ....... aku tak kuat lagi ......."
Lie Ko Sianseng cepat menerima tubuh Han Sin, akan tetapi ia tidak lupa untuk memandang cerdik
dan bertanya, "Berapa upahnya?"
Mau tak mau Ciu-ong Mo-kai melotot kepadanya. "Tukang catut sialan! Nyawaku upahnya!"
Lie Ko Sianseng biarpun bicara namun ia tidak membuang waktu. Ia sudah meloncat ke atas kuda
sambil mengempit tubuh Han Sin. "Pengemis bangkotan, nyawamu dan doamu supaya aku selamat.
Pakai kuda ini!"
Ciu-ong Mo-kai yang sudah lelah sekali meloncat ke atas punggung kuda kedua dan sekali tepuk
saja dua ekor kuda itu sudah meloncat dan berlari cepat. Akan tetapi, melihat dua orang buronan
mereka kabur, Hoa Hoa Cinjin tentu saja tidak mau membiarkan. Terpaksa sekarang ia melanggar
pantangan Pangeran Galdan dan secepat kilat ketika tangannya bergerak, sinar hijau menyambar ke
arah Ciu-ong Mo-kai dan Lie Ko Sianseng.
"Lie Ko Sianseng, kaupun menjadi pengkhianat?" Ji Kong Sek, orang pertama dari Tung-hai Siangmo
berseru terheran-heran. Swi-poa-ong Lie Ko Sianseng sudah lama membantu Mongol, malah
dipercaya oleh Pangeran Galdan. Kenapa sekarang menolong Ciu-ong Mo-kai"
Melihat sinar hijau menyambar, Ciu ong Mo-kai yang kudanya berada di belakang, cepat
mengebutkan tangan kiri ke arah Lie Ko Sianseng. Ia berhasil menyampok runtuh sinar hijau ini,
akan tetapi sinar hijau yang tertuju ke arah dirinya tak sempat ia elakkan lagi. Bawah pundak
kirinya tertancap beberapa buah Cheng-tok-ciam (Jarum Racun Hijau) yang terus memasuki daging
dan jalan darah.
Rasa nyeri yang hebat menyerang diri Ciu-ong Mo-kai. Kakek ini menggigit bibirnya dan berkata
kepada Lie Ko Sian?seng. Menahan rasa nyeri,
"Lekas balapkan kuda, bawa dia kepada Yok-ong Phoa Kok Tee ....... di ........"
"Aku tahu. Di Tai-hang-san, bukan?" jawab Lie Ko Sianseng yang segala tahu itu.
"Betul ..... biar aku menahan mereka, tosu-tosu bangsat itu ......"
"Ciu-ong ....... mari kau ikut lari. Kau sudah terluka hebat, kau takkan menang, kau akan mati ......"
"Ha ha ha, apakah artinya mati" Membantu Mancu atau Mongol hanya main-main belaka, akan
tetapi kali ini ... menyelamatkan dia ... hemm, sama dengan menyelamatkan bangsa, dia harapanku
.... dan untuk menyelamatkan bangsa, untuk membela tanah air .... aku ingin mati seribu kali ...."
Tiba-tiba Ciu-ong Mo-kai menampar tubuh belakang kuda yang ditunggangi oleh Lie Ko Sianseng.
Kuda itu terkejut, kesakitan dan membalap secepat keempat kakinya mampu lari! Adapun Ciu-ong
Mo-kai sendiri lalu memutar kuda, menanti datangnya tiga orang pengeroyoknya. Dengan senyum
mengejek ia menanti sampai mereka dekat, lalu berkata,
"Kalian mau tangkap aku" Tangkaplah. Akan tetapi jangan mengejar Lie Ko Sianseng, kalau kalian
mengejar, terpaksa aku melawan kalian sampai mati di tangan kalian. Hasilnya, kalian takkan dapat
menangkap Han Sin, juga kalian takkan dapat menangkapku hidup-hidup sehingga kalian akan
dihukum oleh Pangeran Galdan. Ha ha ha!"
Hoa Hoa Cinjin dan dua orang kawannya saling pandang. Mereka tahu bahwa biarpun sudah terluka
hebat, kakek pengemis ini masih tak boleh dipandang ringan dan kalau benar-benar hendak
menghalang mereka bertiga mengejar Han Sin, tentu akan terjadi pertempuran lagi. Pula, kuda yang
ditunggangi Lie Ko Sianseng luar biasa cepat larinya, tak mungkin mereka yang sudah lelah itu
dapat menyusulnya.
"Pangeran akan menyiksamu!" Hanya demikian Hoa Hoa Cinjin dapat berkata untuk melampiaskan
kemendongkolan hatinya. Mereka bertiga lalu kembali ke Yin-san membawa "tawanan" yang
menunggang kuda sambil tertawa-tawa dan kadang-kadang bernyanyi-nyanyi sajak To-tik-keng
untuk menyindir tiga orang "pengawal" itu.
Ketika mereka berempat itu tiba di kaki Gunung Yin-san, terkejutlah mereka melihat betapa di
lereng tempat markas besar Pangeran Galdan itu ternyata telah terjadi perang hebat. Nampak asap
bergulung-gulung naik dan sorak-sorai gemuruh menandakan bahwa ada pihak yang menang. Pihak
mana yang kalah mudah diduga karena markas besar itu telah menjadi lautan api! Bukit itu penuh
dengan pasukan dan kini nampaklah nyata betapa pasukan Mongol cerai-berai dan lari turun
gunung dari segala jurusan, dikejar-kejar oleh pasukan-pasukan yang bukan lain adalah pasukan
Mancu! Ciu-ong Mo-kai yang melihat ini tiba-tiba tertawa bergelak lalu meloncat dari kudanya dan sekuat
tenaga ia menghantam dada Hoa Hoa Cinjin! Kakek ini tadi sedang terheran-heran dan terkejut
melihat peristiwa hebat di atas gunung, maka kini dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika ia
diserang secara tiba tiba oleh Ciu-ong Mo-kai.
Cepat ia mengelak dan menangkis, akan tetapi terlambat dan tentu ia akan terkena pukulan maut itu
apabila dua orang saudara Tung-hai Siang-mo tidak bertindak cepat. Dua orang saudara ini melihat
Ciu-ong Mo?kai meloncat turun, sudah dapat menduga bahwa kakek ini akan melawan, maka
mereka lalu menyerang dari kanan kiri menggunakan senjata rahasia Toat-beng-cui (semacam bor
pencabut nyawa).
Senjata-senjata ini datang lebih cepat dari pada pukulan Ciu-ong Mo-kai pada Hoa Hoa Cinjin,
maka sebelum pukulan itu mengenai tubuh Hoa Hoa Cinjin, kakek pengemis yang sakti ini telah
lebih dulu "termakan" senjata rahasia dan terhuyung-huyung, Hoa Hoa Cinjin marah sekali,
tangannya bergerak menghantam dada dan ...... robohlah Ciu-ong Mo-kai dengan isi dada remuk.
Nyawanya melayang pada saat ia roboh.
Hoa Hoa Cinjin bertiga lalu berlari lari cepat mendaki bukit. Benar saja kekhawatiran mereka.
Ternyata markas besar tentara Mongol itu telah diserbu secara tiba-tiba oleh barisan Mancu. Hal ini
benar-benar amat mengherankan. Bagaimana bala tentara Mancu sampai bisa muncul secara tibatiba
di situ tanpa dapat diketahui lebih dahulu"
Sebetulnya hal ini adalah jasa dari "dua peti batu" yang dulu dibawa oleh Han Sin. Batu-batu itu
setelah diatur oleh Pangeran Yong Tee, merupakan sebuah peta yang menggambarkan kedudukan
tentara Mongol di Yin-san, bahkan semua tempat-tempat di mana ditaruh barisan pendam dan
tempat-tempat penjagaan para penyelidik Mongol, terdapat dalam peta itu! Karena inilah maka
menurutkan petunjuk peta, Pangeran Yong Tee berhasil menyelundupkan bala tentaranya yang
besar dan kuat sampai ke kaki Gunung Yin-san dan melakukan penyerbuan serentak.
Hoa Hoa Cinjin dan kawan-kawannya ikut pula mengamuk, akan tetapi akhirnya mereka harus
melindungi Pangeran Galdan dan bersama tokoh-tokoh lain yang berkepandaian tinggi, di antaranya
Pak-thian-tok Bhok Hong, mereka terpaksa lari turun gunung mengambil jalan belakang. Di antara
rombongan yang berhasil melarikan diri ini terdapat Hoa-ji, si gadis berkedok, anak angkat Hoa
Hoa Cinjin. Bala tentara Mancu yang memperoleh kemenangan besar lalu mengadakan pembersihan dan
pengejaran sehingga boleh dibilang bala tentara Mongol yang tadinya amat kuat, kini sudah ceraiberai
merupakan kelompok-kelompok pasukan yang tidak ada artinya, terlepas dari pada induk
pasukan, tidak memliki pimpinan lagi.
**** Swi-poa-ong Lie Ko Sianseng membalapkan kudanya tak pernah berhenti. Akhirnya, menjelang
senja, kudanya terjungkal roboh dan ..... mati. Baiknya kakek gendut ini cukup sigap untuk
melompat turun sebelum ia ikut terguling, sambil mengempit tubuh Han Sin. Ia menarik napas lega
ketika mendapatkan dirinya sudah berada dekat dengan Bukit Tai-hang-san yang dituju. Sudah
cemas hatinya kalau melihat keadaan Han Sin. Pemuda ini sepucat mayat, napasnya lemah hampir
berhenti, tubuhnya sudah dingin!
Lie Ko Sianseng yang maklum bahwa ia tidak boleh, lambat-lambatan, memaksa tubuhnya yang
gendut dan sudah lelah itu untuk berlari cepat mendaki Bukit Tai hang-san. Dia tahu di mana
tempat tinggal Yok-ong Phoa Kok Tee si Raja Obat. Tidak ada tempat kediaman tokoh kang-ouw
yang tidak diketahui oleh Raja Swipoa ini.
Kebetulan sekali si Raja Obat, Yok-ong Phoa Kok Tee, berada di atas bukit itu, tidak sedang pergi
berkelana. Tokoh kang-ouw yang kenamaan ini memang semenjak terjadi perang antara Mongol
dan Mancu, tidak meninggalkan tempat kediamannya. Dia sendiri tidak mau mencampuri perang
antara dua bangsa asing itu, akan tetapi ia tidak keberatan, malah menganjurkan ketika muridnya,
Phang Yan Bu menghadap dan minta ijin untuk ikut menggempur Mongol yang merupakan bahaya
besar yang mengancam keselamatan rakyat.
Ketika Yok-ong Phoa Kok Tee melihat bahwa orang yang terluka parah yang dibawa Lie Ko
Sianseng adalah Cia Han Sin, cepat-cepat ia memeriksanya. Setelah meraba nadi, memeriksa dada
dan membuka pelupuk mata yang terpejam itu, kakek ini mengerutkan keningnya, lalu menggelenggeleng
kepala. "Hebat .... memang keji Pak-thian-tok, bekas tangannya mengerikan ...."
Lie Ko Sianseng nampak gelisah. "Yok-ong kau tolonglah dia .....ini pesanan terakhir Ciu-ong Mokai
dan aku sendiri, aku amat suka orang muda ini. Berapa ongkos pengobatannya sampai sembuh,
aku bersedia menguras semua milikku untuk memberikannya kepadamu."
Yok-ong Phoa Kok Tee tersenyum. "Orang seperti kau ini, Swi-poa-ong, di sorga atau neraka
sekalipun tentu akan berusaha membujuk penjaga-penjaga di sana untuk menuruti kehendakmu
dengan cara menyogok!"
Merah muka Swi-poa-ong. "Sesukamulah kau mengatakan, akan tetapi dia ini bukan sanak bukan
kadang kita semua. Meskipun begitu, Ciu-ong Mo-kai sudah rela mengorbankan nyawa untuknya.
Akupun sudah menyaksikan kepandaiannya dan kegagahannya, dia inilah harapan kita kaum tua.
Terserah kepadamu kausuka mengobati atau tidak, aku hendak kembali mencari si Raja Arak .......
eh, setidaknya mencari jenasahnya untuk diurus ....."
Yok-ong Phoa Kok Tee tidak menjawab, hanya memandang bayangan yang gendut itu sambil
menggeleng-geleng kepala dan menarik napas panjang. Banyak manusia aneh di dunia ini, manusia
aneh yang sukar diduga wataknya, yang kadang-kadang kelihatan jahat tapi kadang-kadang
membayangkan watak manusia sejati, seperti Swi-poa-ong Lie Ko Sianseng itu. Teringatlah ia akan
muridnya yang terkasih, Phang Yan Bu dan kembali kakek ini menarik napas panjang sambil
menggerutu, "Semua orang mengaku patriot .... semua orang ingin bertindak sebagai patriot ...." Ia maklum
bahwa memang pada dasar hati setiap orang yang berbangsa dan bertanah air, sudah ada watak
patriotik ini, watak cinta nusa bangsa, berbakti kepada tanah air.
Seperti juga pada dasar hati setiap orang memang sudah ada watak cinta orang tua, berbakti kepada
orang tua. Akan tetapi, tebal tipisnya cinta dan bakti ini, baik kepada tanah air maupun kepada
orang tua, tergantung kepada tebal tipisnya orang itu mencintai diri sendiri. Makin tebal cintanya
kepada diri sendiri, makin tipislah cintanya kepada yang lain. Namun demikian, setiap sikap, setiap
tindakan yang menyatakan jiwa patriotik memang amat mengagumkan, amat mengharukan.
Yok-ong Phoa Kok Tee memandang tubuh Han Sin yang terlentang di atas tanah di hadapannya.
Pemuda yang hebat, pikirnya. Keturunan seorang pahlawan besar. Masih begini muda sudah
mewarisi ilmu yang amat tinggi. Hal ini sudah ia ketahui karena pernah ia bertemu dan
menyaksikan kelihaian Han Sin beberapa waktu yang lalu.
"Dia masih begini muda ..., dan aku sudah amat tua .... apa salahnya kalau aku tolong dia, biarpun
harus menukar nyawa?"
Dengan keputusan bulat kakek raja obat itu lalu mengangkat tubuh Han Sin, mendudukkan tubuh
yang masih pingsan itu di bawah sebatang pohon, dan menyandarkannya di pohon itu. Kemudian
Yok-ong yang tadi ketika bertemu dengan Lie Ko Sianseng sedang membawa sebuah pikulan
keranjang obat, mengeluarkan beberapa bungkus obat dari keranjangnya.
Tubuh Han Sin yang luka-luka lalu diobati, ada yang sengaja ia buka kulitnya dengan pisau untuk
mengeluarkan darahnya. Han Sin sama sekali tidak merasa apa-apa, masih tetap pingsan. Akan
tetapi, setelah banyak darah yang terkena racun dikeluarkan, wajahnya mulai bersinar kembali.
"Hebat ......" terdengar Yok-ong bicara seorang diri penuh kekaguman, "Hek-tok dan Cheng-tok
(Racun Hitam dan Hijau) yang amat berbahaya tertahan saja di bawah kulit tidak dapat menjalar,
benar benar luar biasa! Darah orang muda ini mengandung sesuatu yang dahsyat."
Ia memeriksa lagi dengan amat teliti. "Hemmm, semua tenaganya berkumpul di dada dan perut,
melindungi semua isinya ...... tenaga sinkang yang gaib berputaran terus ...... amat kuatnya sehingga
melumpuhkan semua syaraf ....." Kakek itu bicara terus, kadang-kadang terdengar, kadang-kadang
tidak, keningnya berkerut. Kemudian ia merasa puas dengan pemeriksaannya dan mundur sambil
berkata, "Cia Han Sin, tidak ada lain jalan. Hanya It-yang-ci (Totokan Satu Jari) yang akan dapat membuka
lubang hawa yang tertutup sehingga hawa sinkang dapat pulih dan menyembuhkan hawa beracun
yang membekukan semua syarafmu."
la menarik napas panjang lalu duduk bersila tak jauh dari Han Sin. Kakek ini maklum bahwa ilmu
totok It-yang-ci yang dimilikinya adalah ilmu yang luar biasa dan sekali dipergunakan untuk
menolong nyawa Han Sin, mungkin sekali hal itu berarti akan mengorbankan nyawa sendiri, atau
setidaknya merusak sumber sinkang di dalam tubuhnya sendiri. Hanya dengan pengerahan tenaga
dalam yang luar biasa menggunakan It-yang-ci ia akan dapat menyembuhkan pemuda ini. Dan
sekali sumber sinkang di tubuhnya rusak oleh pengerahan tenaga yang berlebihan ini,
kepandaiannya akan lenyap pula.
Yok-ong menenteramkan batinnya, mengumpulkan semangat dalam samadhi. Setelah merasa diri
kuat betul-betul, ia membuka mata dan tiba-tiba meloncat berdiri. Sepasang matanya memancarkan
cahaya berapi, topinya yang lebar terlepas di atas tanah. Dengan gerakan lambat ia melonggarkan,
semua ikatan pakaiannya, malah membuka baju sehingga ia bertelanjang sebatas perut.
Kemudian kakek ini mengeluarkan suara aneh dan tubuhnya bergerak cepat sekali menotok dengan
jari telunjuk kanannya ke arah leher Han Sin. Totokan ini disusul oleh telunjuk kiri yang menotok
ke arah ulu hati. Kemudian disusul totokan-totokan yang amat cepat, bertubi-tubi dan dilakukan
dengan kecepatan yang membuat tubuh kakek itu seakan-akan tampak menjadi empat lima orang!
Makin lama makin cepat totokan totokan itu dilakukan dan mulailah terdengar napas terengahengah
Romantika Sebilah Pedang 5 Balada Pendekar Kelana Karya Tabib Gila Rahasia 180 Patung Mas 17