Pencarian

Kasih Diantara Remaja 8

Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo Bagian 8


mereka lalu menghampiri batu segi tiga itu. Tenaga tiga orang yang tadinya diadu itu kini bersatu
mendorong batu. Hebat bukan main tenaga tiga orang ini. Batu itu perlahan-lahan tergeser.
Melihat bahwa di balik batu itu terdapat gua, Bhok-kongcu menjadi girang dan turun tangan ikut
mendorong, demikian pula Hoa-ji. Hanya Han Sin yang berdiri saja memandang, diam-diam ia pun
merasa girang bahwa peta itu ternyata tidak bohong. Tentu di dalam guha ini adanya pusaka rahasia
itu. Sedih hatinya kalau mengingat bahwa pusaka peninggalan ayah dan kong-kongnya, yang
diwariskan kepadanya, kini akan terjatuh ke dalam tangan orang-orang yang tidak berhak. Bukan
sekali-kali karena dia ingin sekali mendapatkan harta benda, melainkan menyayangkan kalau harta
pusaka jatuh ke dalam tangan orang-orang yang ia anggap tersesat ke jalan kejahatan ini.
Harta maupun segala benda keduniaan, apabila terjatuh ke dalam tangan orang bijaksana, akan
merupakan anugerah, bagi si orang itu sendiri maupun orang-orang lain karena benda dunia malah
dapat menjadi alat untuk orang melakukan kebajikan dalam hidup. Sebaliknya, apabila terjatuh ke
dalam tangan orang-orang yang sesat, benda itu akan mendatangkan malapetaka, baik bagi si
pemilik maupun bagi orang lain, karena benda itu akan dijadikan alat untuk pengumbar nafsu!
Setelah mendapat bantuan Bhok-kongcu dan Hoa-ji yang keduanya juga memiliki tenaga lweekang
luar biasa, batu segi tiga itu terguling mengeluarkan suara keras. Han Sin yang tertarik juga akan isi
guha yang kini kelihatan jelas, merupakan sebuah guha yang bentuknya seperti mulkut naga, cepat
melangkah masuk.
Tiba-tiba terdengar suara keras sekali dan ".. batu besar yang tadinya rebah miring di atas batu
segi tiga, kini bergerak turun! Agaknya pegangan batu itu pada gunung karang telah patah karena
batu segi tiga yang merupakan ganjalnya dipindahkan.
"Celaka ?"!" Bhok-kongcu berseru pucat.
"Satukan tenaga, tahan batu ini!" teriak Hoa Hoa Cinjin. Batu besar itu memang sudah turun
hendak menggencet mereka, maka dengan kedua lengan diangkat ke atas, Hoa Hoa Cinjin, kedua
Tung-hai Siang-mo, Bhok-kongcu, dan Hoa-ji menahan turunnya batu. Baiknya batu itu di bagian
atas masih menyandar kepada gunung karang sehingga bobotnya masih dapat diganjal oleh enam
pasang lengan itu. Kalau tidak ada gunung karang yang menahan, mana mereka kuat" Tentu tubuh
mereka akan tergencet gepeng.
Akan tetapi keadaan merekapun bukan tidak berbahaya. Mereka sudah menahan batu dan mereka
tidak mungkin dapat melepaskan lengan mereka dari bawah batu. Sekali mereka melepaskan diri,
batu itu akan menggencet ke bawah dan mereka akan menjadi hancur! Kalau terus melanjutkan
usaha menahan turunnya batu besar itu, merekapun takkan kuat menahan terlalu lama. Maju celaka,
mundur hancur! Bhok-kongcu agaknya maklum hal ini, maka pemuda ini sudah menjadi pucat dan
memutar otak mencari siasat.
Sementara itu, ketika Han Sin menyelinap masuk, ia melihat guha yang amat lebar dan gelap sekali.
Guha itu merupakan terowongan dan saking gelapnya ia tidak melihat apa adanya di sebelah dalam.
Selagi ia hendak memeriksa, ia mendengar suara-suara mereka yang sedang mati-matian menahan
batu. Ia menengok dan pemuda ini berdebar hatinya. Tanpa ragu-ragu lagi ia melompat sambil
berseru, "Celaka ....!" Kemudian serta merta iapun mengangkat kedua lengan dan ikut menyangga
batu. Kebetulan, tanpa disengaja tempat ia berdiri adalah di depan Hoa-ji sehingga ia hampir beradu
muka dengan gadis itu.
Mata dibalik kedok itu memandang penuh keheranan dan kekaguman.
"Kau ....." bisik Hoa-ji. "Kenapa membantu kami .......?"
"Kenapa tidak" Kalian terancam bahaya, mana bisa aku tidak membantu?" Han Sin balas bertanya
dengan heran. Setelah pemuda ini ikut menyangga batu, enam orang itu dapat bernapas seakan-akan
batu itu menjadi ringan. Akan tetapi tak seorangpun di antara mereka dapat menduga bahwa ini
adalah karena tenaga kedua lengan tangan Han Sin yang amat luar biasa! Dan pemuda itu masih
bisa kongkow (mengobrol)!
"Bodoh, kalau sekarang kau lari pergi, siapa yang bisa menghalangimu?" kata pula Hoa-ji.
Mendengar ini, Bhok-kongcu mendongkol sekali. Kenapa semua perempuan mengambil sikap
membela Han Sin bocah gunung itu" Ia benar-benar iri hati sekali.
"Kau yang bodoh!" jawab Han Sin membuat heran semua orang. "Kau kira aku manusia macam
apa melihat kau dan yang lain-lain terancam bahaya maut malah pergi dan tidak menolong" Huh,
aku bukan orang macam itu."
"Huh, kuncu tulen .....!" Semua orang terheran, juga Han Sin. Di antara mereka tidak ada yang
mengeluarkan kata-kata ini, dan anehnya, kata-kata ini keluarnya dari .... sebelah dalam guha yang
gelap itu. Akan tetapi begitu perlahan seperti bisikan dan begitu aneh suara itu seperti bukan suara
manusia. Biarpun amat perlahan namun terdengar jelas, benar-benar hebat.
Selagi semua orang terheran, dari luar terdengar suara kerincingan yang amat nyaring. Makin lama
suara kerincingan ini makin nyaring dan dekat.
"Ayah datang .......!!" seru Bhok-kongcu girang luar biasa. Mendengar ini, muka Hoa Hoa Cinjin
dan Tung-hai Siang-mo berubah pucat. Diam-diam mereka mengeluh. Biarpun mereka bertiga
memang suka membantu pemerintah baru untuk merebut kedudukan dan kemuliaan, namun diamdiam
kalau di atas pusaka rahasia peninggalan Lie Cu Seng benar-benar terdapat kitab pelajaran
ilmu silat tinggi seperti yang dikabarkan di dunia kang-ouw, mereka tentu akan berusaha
mendapatkannya.
Sekarang munculnya tokoh besar itu, Pak-thian-tok Bhok Hong yang namanya sudah membuat
semua orang ketakutan, mereka tentu saja menjadi kecewa. Biarpun mereka bertiga belum pernah
bertanding melawan Bhok Hong, akan tetapi pada masa itu di dunia persilatan hanya ada beberapa
orang saja yang dapat disejajarkan nama besarnya dengan Pak-thian-tok Bhok Hong. Ketika tentara
Mancu menyerbu ke selatan, entah sudah berapa banyak orang-orang gagah di dunia kang-ouw
yang roboh di tangan Bhok Hong ini. Malah kabarnya para gembong dari partai persilatan Kun-lunpai,
Khong-tong-pai, Bu-tong-pai, Siauw-lim-pai dan lain-lain sudah jatuh di bawah tangan besi
atau tangan racunnya.
Dari bawah lereng muncul seorang kakek tinggi besar yang amat angker sikapnya. Kakek itu
berusia kurang lebih lima puluh tahun, wajahnya seperti wajah pahlawan Kwan In Tiang, merah dan
gagah perkasa serta tampan. Pakaiannya seperti pakaian perang, di pinggangnya tergantung
sebatang golok. Kerincingan yang berbunyi amat nyaring itu adalah kerincingan-kerincingan perak
kecil-kecil berjumlah seratus delapan buah yang digantungkan pada pakaian serta topinya.
Anehnya, begitu kakek itu sudah datang dekat dengan tindakan yang luar biasa cepatnya,
kerincingan itu mendadak berhenti semua! Inilah keistimewaan Pak-thian-tok Bhok Hong. Sebagai
seorang cabang atas ia selalu memberi warta tentang kedatangannya dengan bunyi kerincingan itu
dan setelah dekat, dengan menggunakan kepandaian lweekang yang sudah amat tinggi ia bisa
membuat kerincingan-kerincingan itu tidak bergoyang biarpun tubuhnya bergerak-gerak dalam
pertempuran. Melihat keadaan puteranya dan orang-orang lain yang sedang menahan batu besar itu, tanpa berkata
sesuatu Bhok Hong lalu menyelinap masuk. Tangan kanannya menyangga batu itu dan tangan
kirinya mendorong tubuh puteranya keluar. "Keluar kau dan minggir!"
Bhok-kongcu percaya akan kesaktian ayahnya, maka ia menurut saja, menggunakan tenaga
dorongan ayahnya untuk melompat keluar dan berlindung di samping pada dinding gunung karang.
Pak-thian-tok Bhok Hong memandang kepada orang-orang lain yang masih menahan batu dengan
sikap tidak acuh.
"Kalian tidak lekas menggelinding pergi, tunggu apa lagi?"
Hoa-ji maklum bahwa batu itu akan dilontarkan oleh kakek sakti ini, memang paling selamat pergi
berlindung seperti Bhok-kongcu, maka ia lalu melepaskan kedua tangannya dan melompat keluar.
Akan tetapi, Hoa Hoa Cinjin dan dua orang iblis dari laut timur berpikir lain. Kedatangan Racun
dari Dunia Utara ini tentu menghendaki kitab rahasia di dalam guha. Maka mereka lalu melepaskan
tangan pula, akan tetapi tidak melompat keluar, sebaliknya malah melompat ke dalam guha!
Karena ditinggal oleh lima orang itu, batu yang menggencet terasa berat sekali sehingga Bhok Hong
harus mengerahkan tenaga sepenuhnya. Dia tidak tahu bahwa bantuan Han Sin memungkinkan dia
menahan batu itu. Andaikata Han Sin juga melepaskan batu, tidak mudah bagi orang sakti itu untuk
menahannya seorang diri. Sekarang, ia hanya mengira bahwa batu itu hanya kelihatan besar saja
akan tetapi tidak berapa berat, maka ia hanya menahan dengan lengan kanan sedangkan lengan
kirinya dilambaikan ke arah Hoa Hoa Cinjin dan Tung-hai Siang-mo.
"Kalian mau apa" Keluar kataku!"
Hoa Hoa Cinjin menjurah. "Bhok-taijin, pinto bertiga bertugas membantu Bhok-kongcu mencari
pusaka rahasia ......"
"Tikus-tikus macam kalian mana becus" Keluar!" Tangan kiri itu berkelebat dan ujung lengan baju
Bhok Hong bergerak tiga kali melakukan serangan totokan ke arah jalan darah maut di tenggorokan
tiga orang itu. Hebat sekali serangan ini, angin pukulannya saja sudah menderu tanda bahwa
tenaganya besar. Hoa Hoa Cinjin dan kedua Tung-hai Siang-mo tidak berani menangkis, melainkan
mengelak. Akan tetapi di lain saat, tiga kali tangan kiri Bhok Hong bergerak, menangkap belakang
leher tiga orang kakek kosen itu dan berganti-ganti mereka dilempar keluar.
Benar-benar hal ini amat ajaib, Hoa Hoa Cinjin dan Tung-hai Siang-mo pada masa itu adalah tokohtokoh
besar yang di dunia yang di dunia kang-ouw menduduki tempat tinggi. Jarang ada ahli silat
dapat melawan mereka. Apalagi Hoa Hoa Cinjin. Akan tetapi sekali gebrak saja Pak-thian-tok Bhok
Hong sudah berhasil melempar mereka. Benar-benar hal ini menunjukkan betapa tingginya tingkat
kepandaian raja muda ini. Memang ilmu silatnya aneh dan selain ilmu silat di daerah pedalaman
Tiongkok, raja muda bangsa Mongol keturunan Jenghis Khan inipun adalah seorang ahli ilmu gulat
Mongol yang sudah terkenal ketangkasan dan kekuatannya.
Kemudian Bhok Hong memandang Han Sin yang masih menyangga batu dengan kedua tangan. Ia
menjadi geli hati, tidak menyangka sama sekali bahwa tadi ia dapat menggunakan sebelah tangan
menjaga batu dan sebelah lagi melemparkan tiga orang tokoh kang-ouw, sebetulnya sepenuhnya
adalah atas bantuan Han Sin. Kalau saja pemuda ini tidak menggunakan kedua lengan untuk
menahan batu, dengan sebelah tangan saja mana Bhok Hong kuat menahan batu yang beratnya
ribuan kati itu"
"Eh, orang muda tolol. Kaupun belum pergi?" bentaknya.
"Locianpwe kuat dan kosen, akan tetapi tanpa dibantu, bisa berbahaya sekali kalau tertimpa batu
yang berat ini," jawab Han Sin dengan tenang.
"Cia Han Sin, ayoh kau melompat keluar. Lekas kalau menyayang jiwamu!" terdengar Hoa-ji
berseru dan kembali Bhok-kongcu merasa cemburu dan iri.
Akan tetapi jawaban Han Sin membuat semua orang melengak. Pemuda itu nampak marah. "Kalian
ini pengecut-pengecut besar yang tidak tahu malu! Locianpwe yang gagah ini datang hendak
membantu, masa kalian malah meninggalkannya" Benar-benar tak kenal budi. Aku mau
membantunya, biar mati tergencet batu aku tidak takut!"
Bhok Hong adalah seorang aneh dan di dunia kang-ouw ini, sudah seringkali ia melihat hal-hal
aneh, orang-orang berwatak lain dari pada yang lain dan yang baginya sudah tidak mengherankan
lagi. Akan tetapi baru sekarang ia bertemu dengan seorang muda yang demikian tolol dan berlagak
seperti seorang kuncu. Akan tetapi ketika mendengar suara Hoa-ji yang menyebutkan nama pemuda
itu, ia tertegun.
"Kau she Cia" Masih apanya Cia Hui Gan?"
"Beliau adalah kakekku," jawab Han Sin, girang bahwa orang tua sakti ini mengenal kakeknya.
"Bagus, nanti kau bawa aku ke dalam!" Setelah berkata demikian, dengan kedua tangannya Bhok
Hong mendorong batu itu sambil berteriak keras, "Keluar!"
Han Sin merasa bahwa kakek itu mendorong batu dan ia maklum apa yang dikendaki kakek itu.
Maka iapun mengerahkan tenaganya mendorong batu itu keluar. Terdengar suara hiruk-pikuk dan
batu besar itu terdorong keluar, bergulingan ke bawah lereng. Bhok-kongcu dan yang lain, yang
berlindung di samping, merasa betapa dinding gunung karang itu bergetar seperti ada gempa bumi!
Ledakan batu besar yang menimpa batu-batu di bawah itu disusul oleh suara hiruk-pikuk dari atas.
"Ayah, awas .....! Bhok-kongcu berteriak sambil melangkah mundur. Ternyata dari atas, batu-batu
besar kecil sekarang bergulingan ke bawah, karena batu besar yang tadi menjadi penahan telah tidak
ada. Semua batu itu gugur dan melongsor ke bawah menimpa ke arah guha di mana Han Sin dan
Bhok Hong berdiri.
"Han Sin, awas .....!" di antara gemuruh suara batu-batu bergulingan itu terdengar jerit Hoa-ji.
Sementara itu, Hoa Hoa Cinjin dan Tung-hai Siang-mo sibuk menangkisi batu-batu kecil yang
mencelat ke arah mereka berdiri.
Adapun Pak-thian-tok Bhok Hong, ketika melihat batu-batu besar kecil seperti air hujan menimpa
turun, cepat ia melangkah mundur dan kedua tangannya ia gerakan berkali-kali mendorong ke
depan. Gerakan ini mendatangkan angin dan demikian kuatnya sehingga batu-batu yang hendak
menggelinding ke dalam gua, dapat terdorong keluar. Makin lama batu-batu itu menumpuk makin
banyak dan di lain saat, guha itu sudah tertutup oleh timbunan batu-batu yang laksaan kati beratnya.
Mereka berdua seperti terpendam hidup-hidup di dalam guha itu!
Han Sin berdiri mepet dinding guha sambil memandang kagum. Ia amat kagum melihat kehebatan
kakek sakti itu. Akan tetapi makin lama keadaan di situ makin gelap dan setelah seluruh guha
tertutup timbunan batu, di situ menjadi gelap pekat.
Bhok Hong tertawa bergelak. "Ha ha ha ha, si pemberontak Lie Cu Seng sampai mampuspun masih
memusuhi aku. Akan tetapi, aku Bhok Hong masih hidup dan selama masih hidup, tak seorang pun
dapat menguasaiku. Ha ha ha!" Kemudian ia menoleh ke arah Han Sin ketika mendengar suara kaki
pemuda itu bergerak.
"Bocah she Cia! Kau datang mengantar Kian Teng mencari pusaka Lie Cu Seng. Katakan, di mana
itu" Di mana letaknya dalam guha ini."
"Locianpwe, kau adalah seorang kakek yang gagah perkasa. Kenapa agaknya kaupun tergila-gila
oleh harta pusaka warisan orang lain" Harap kau sadar, locianpwe, bahwa barang yang bukan
haknya amat tidak baik kalau diharapkan. Dalam dunia ini, hidup hanya sekejap mata, sementara
menanti datangnya kematian kenapa tidak melakukan perbuatan-perbuatan baik" Kenapa orangorang
gagah seperti locianpwe dan yang lain-lain itu memperebutkan barang yang bukan haknya"
Apalagi sekarang locianpwe dan aku sudah seperti dikubur hidup-hidup, masa masih memikirkan
harta warisan?"
Kembali Bhok Hong tertawa bergelak dan sifat suka ketawa ini mengingatkan Han Sin akan Bhok
Kian Teng. Agaknya hanya sifat ini yang sama antara ayah dan anak itu. Akan tetapi kalau suara
ketawa Kian Teng terdengar merdu, ramah dan menyenangkan, adalah suara ketawa kakek ini
sewajarnya, keras, kasar dan juga menakutkan.
"Barangkali kau sudah gila, bicaramu sudah tidak karuan lagi. Tapi aku suka kau begini berani.
Bosan aku melihat orang-orang menyembah-nyembahku, ketakutan setengah mati. Eh, cucu Cia
Hui Gan. Harta benda sedunia ini mana kukehendaki" Aku hanya ingin menambah satu dua
pukulan warisan Tat Mo Couwsu, karena sebelum mampus aku harus dapat mengalahkan si monyet
Hui-kiam Koai-sian!"
Begitu mendengar orang menyebut monyet, sekali gus Han Sin teringat akan Siauw-ong. "Aduh,
celaka! Di mana Siauw-ong ....?" katanya bingung dan mengingat-ingat. Ia teringat bahwa monyet
itu tidak nampak lagi ketika ia disiksa oleh Thian-san Sam-sian dulu, tidak tahu ke mana perginya.
Bhok Hong tentu saja makin bingung. "Siapa itu Siauw-ong" Tidak ada Siauw-ong (Raja Kecil)
kecuali aku, Raja Muda Bhok Hong! Bocah she Cia, apa kau sudah gila?"
Han Sin sadar dan berkata, "Locianpwe, yang kusebut tadi adalah monyetku yang hilang. Akupun
tidak mengerti apa yang kau maksudkan. Siapa itu Hui-kiam Koai-sian" Kenapa kau harus
mengalahkannya?"
"Duduklah Tidak ada orang orang lain di dunia ini boleh mendengarkan. Kau takkan lama lagi
hidup, maka tiada halangan kau menjadi satu-satunya orang yang mendengarnya. Aku, Pak-thiantok
Bhok Hong, selama menjagoi di daratan Tiongkok ini, entah sudah berapa ratus kali bertanding
melawan jago-jago dari seluruh pelosok dan selalu aku menang. Hanya dua kali aku menemui
tanding. Pertama-tama adalah seorang nenek pendeta sakti bernama Pek Sim Niang-niang. Kedua
adalah Hui-kiam Koai-sian yang baru-baru ini bertanding selama tiga hari dengan aku tanpa ada
yang kalah ataupun menang. Karena itu, aku harus memiliki kitab Tat Mo Couwsu yang berada
bersama benda warisan Lie Cu Seng, melihat kalau-kalau di situ terdapat jurus-jurus yang akan
dapat kupakai mengalahkan Hui-kiam Koai-sian, kemudian kalau mungkin, Pek Sim Niang-niang.
Nah, kau sudah tahu sekarang, lekas katakan di mana adanya tempat simpanan itu."
Pada saat itu terdengar suara keras dan tahu-tahu dinding sebelah dalam guha itu berlubang.
Sesosok bayangan merayap keluar di dalam gelap, tentu saja tidak kelihatan, hanya terdengar
suaranya saja. "Heh heh heh heh! Pak-thian-tok sudah tua bangka masih gila nama besar, heh heh!"
Pak-thian-tok Bhok Hong kaget sekali. Ia tidak dapat mengenal siapa adanya orang yang muncul
ini, entah manusia entah iblis. Akan tetapi ia maklum bahwa orang ini tentu berbahaya. Tanpa
banyak cakap ia lalu menyerang ke arah suara itu. Hebat sekali serangan Bhok Hong ini. Terdengar
suara keras dan batu karang yang terkena pukulannya hancur, akan tetapi orang yang diserangnya
telah dapat mengelak.
"Heh heh heh, orang Mongol! Mengadu kepandaian dalam gelap tidak ada artinya. Kalau kau betul
ingin menguji kepandaian, mari kejar aku! Heh heh heh!"
"Siluman maupun manusia, kau takkan terlepas dari tanganku!" teriak Bhok Hong sambil mengejar
ke depan dan dengan berani iapun ikut merayap melalui lubang pada dinding yang tadi jebol. Han
Sin dapat mendengar semua ini dengan jelas. Pendengarannya sudah amat tajam berkat sinkangnya
yang tinggi, maka biarpun matanya tidak dapat melihat di dalam gelap, namun dengan
pendengarannya ia seakan-akan dapat menyaksikan semua itu. Melihat Bhok Hong mengejar masuk
ke dalam terowongan kecil, iapun mengejar pula.
21. Apakah Cia Han Sin seorang Patriot"
KURANG lebih dua puluh tombak mereka merayap, tibalah mereka pada sebuah ruangan yang
besar dan di situ terdapat sinar terang. Sinar ini sebetulnya takkan cukup untuk menerangi ruangan
itu, karena cahaya matahari yang menembus celah-celah batu karang hanya sedikit.
Akan tetapi, pada dinding itu terdapat puluhan batu yang mengeluarkan cahaya, atau sebetulnya
yang memantulkan sinar matahari, membuat cahaya itu menjadi berlipat kali terangnya. Ketika Han
Sin memandang, ternyata bahwa batu-batu itu adalah batu-batu permata yang amat besar, yang
dipasang begitu saja pada dinding karang.
Akan tetapi perhatiannya tidak tertuju kepada kemewahan yang ganjil ini. Ia memandang ke depan
dan melihat bahwa orang yang tadi mengeluarkan suara, ternyata adalah mahluk yang hampir tidak
menyerupai orang lagi. Tubuhnya sudah melengkung ke depan sampai dagunya hampir menyentuh
tanah, mukanya kerut merut tanda usia yang sangat tua dan kulitnya hitam seperti tanah. Rambutnya
sudah habis dan kepala itu sekarang tertutup kotoran-kotoran menghitam. Ia tidak berpakaian lagi,
hanya di bagian bawah tertutup akar-akar pohon yang dibelit-belitkan. Kedua tangannya panjang
seperti tangan kera.
Orang mengerikan ini sedang berdiri membungkuk sambil tertawa-tawa, sedangkan Bhok Hong
menghadapinya sambil memandang tajam. Bhok Hong mengingat-ingat, kemudian ia berseru heran.
"Bukankah kau Thai-lek-kwi (Setan Bertenaga Besar) Kui Lok?"
"Heh heh heh, matamu masih awas. Heh heh heh, orang she Bhok, kau mengagulkan diri sebagai
keturunan Jenghis Khan. Akan tetapi sekarang kau mengekor kepada orang Mancu, menjilat-jilat
pantat seperti anjing. Aha, lebih rendah dari pada anjing, heh heh heh!"
"Bangsat! Kau berani memaki aku mengandalkan apa?" bentak Bhok Hong sambil menerjang maju.
Kedua tangannya bergerak dan terdengar angin pukulan bersiutan menyambar ke arah kakek
bongkok yang bernama Kui Lok itu.
Kakek bongkok itu biarpun tubuhnya sudah bercacad, namun gerakannya gesit sekali. Tadi di
dalam gelap ia mampu mengelak dari serangan Bhok Hong, akan tetapi di tempat terang tak
mungkin ada orang dapat mengelak dari serangan tokoh besar ini, dan jalan satu-satunya hanya
menangkis. Kui Lok agaknya maklum akan hal ini, maka iapun lalu menggerakkan kedua


Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tangannya yang panjang untuk menangkis.
"Bledukk!"
Dalam pertempuran antara tokoh-tokoh persilatan yang besar, tidak mungkin lagi mengandalkan
kegesitan untuk mengelak. Serangan-serangan yang dilakukan terlampau lihai dan berat, sehingga
jalan satu-satunya hanyalah menindih pukulan itu dengan tangkisan. Siapa yang lebih lihai silatnya,
lebih menguntungkan kedudukannya.
Maka dalam pertempuran pertama ini, biarpun kedudukan Kui Lok lebih menguntungkan karena
gerakan atau jurusnya memang aneh sekali, namun ia kalah tenaga lweekang. Ketika dua pasang
tangan bertemu, tubuh Kui Lok terlempar ke belakang sampai membentur dinding karang,
sedangkan tubuh Bhok Hong juga hampir terpelanting ke belakang.
"Hebat tenagamu!" seru Kui Lok.
"Setan, jurus apa yang kaugunakan tadi?" seru pula Bhok Hong kagum sekali.
Tiba-tiba tubuh Kui Lok yang terbentur karang itu membalik seperti sebuah bola karet dan tahutahu
dengan gerakan lebih aneh lagi sambil terkekeh-kekeh ia menyerang ke arah kempungan Bhok
Hong. Racun Utara ini kaget sekali biarpun ia menggunakan hawa pukulan menangkis, namun pukulan itu
masih terus menyelonong dan hampir saja perutnya kena disodok. Sekuat tenaga ia menangkis.
Betul sodokan tangan kanan Kui Lok dapat ia pukul sampai Kui Lok meringis kesakitan, namun
tangan kiri Kui Lok yang melakukan serangan mendadak dan tidak terduga-duga itu tahu-tahu telah
mampir di lehernya.
"Plakk "..!"
"Aduhhh "..!" Teriakan aduh ini keluar dari dua mulut. Bhok Hong merasa lehernya sakit dan
pandang matanya berkunang ketika leher itu kena dipukul. Baiknya sinkang di tubuhnya sudah kuat
sekali sehingga ia dapat menyalurkan tenaga ke arah yang dipukul dan tidak menderita luka berat.
Adapun Kui Lok mengaduh karena selain tangan kirinya serasa memukul baja, juga tangan kanan
yang ditangkis keras tadi menjadi bengkak.
"Kau menggunakan ilmu silat siluman!" Bhok Hong berseru lagi, marah.
"Heh heh heh, Pak-thian-tok kena kupukul. Heh heh heh!" Kui Lok berseru kegirangan. Akan tetapi
ia tidak dapat bergirang terus karena bagaikan seekor singa menubruk, tahu-tahu Bhok Hong sudah
menerjangnya dengan kedua tangannya. Kui Lok juga mementang kedua tangan dan di lain saat dua
pasang tangan itu sudah saling cengkeram dan saling dorong!"
Melihat cara dua orang kakek ini bertempur, Han Sin menjadi geli hatinya. Kenapa mereka
berkelahi seperti dua orang bocah sedang bergelut saja" Sama sekali tidak indah dilihat, lebih indah
kalau Bi Eng bersilat dan bertempur menghadapi lawan. Sekarang mereka saling cengkeram tangan,
apa-apaan ini" Akan tetapi alangkah kagetnya ketika ia melihat keadaan Kui Lok tergencet dan
terdesak hebat sekali. Tidak saja dari ubun-ubun kepalanya keluar uap putih, juga mukanya makin
lama menjadi makin hitam dan dari mulutnya sebelah kiri keluar darah!
Perasaan kasihan timbul di hati Han Sin. Terlalu sekali Bhok Hong, pikirnya. Sudah terang bahwa
kakek bongkok ini adalah penghuni guha, berarti tuan rumah. Masa ada tamu begitu kurang ajar
mendesak dan menyerang tuan rumah, bahkan hendak membunuhnya"
Ia segera meloncat ke belakang Kui Lok, dan mendorong kedua pundak Kui Lok. Ia sekarang sudah
tahu cara menyalurkan sinkang, maka begitu ia mengerahkan perhatian dan mengempos semangat,
kedua lengannya menjadi hangat dan di dalamnya mengalir hawa sinkang yang bukan main
hebatnya. Kui Lok merasai ini. Dari pundaknya datang hawa sinkang seperti air membanjir, melalui
kedua lengannya terus ke depan. Ia girang sekali dan juga heran, maka cepat ia menyalurkan hawa
ini untuk menggempur lawannya.
"Apa ini "..?" Bhok Hong berseru kaget, akan tetapi justru inilah yang mencelakakannya. Ia tidak
mengira bahwa akan datang serangan pembalasan dengan hawa sinkang begini kuatnya, maka tadi
ia telah membuka mulut saking herannya. Begitu ia bicara, pertahanannya mengurang dan ini hebat
akibatnya. Andaikata ia mengempos seluruh tenaga dan semangatnya, belum tentu ia akan kuat
menahan. Sekarang ia merasa tenaga itu mendorong terus, membuat tenaganya sendiri membalik
dan menghantam ke arah pundak dan dadanya.
"Celaka ?"!" Tubuhnya terpental bagaikan dilontarkan ke belakang dan ia roboh pingsan. Dari
mulut, hidung, dan telinganya keluar darah!
"Heh heh heh, Pak-thian-tok yang lihai mampus di tanganku. Heh heh heh!" Kui Lok menyambar
ke depan, tangannya diangkat hendak memukul kepala Bhok Hong. Tiba-tiba tangannya itu tak
dapat digerakkan dan ternyata telah dipegang dari belakang oleh Han Sin.
"Locianpwe, harap jangan membunuh orang," kata Han Sin.
Kakek bongkok itu membalikkan tubuh dan memandang Han Sin dengan mata terbelalak. "Siapa
bilang dia orang" Dia ini iblis, dia siluman jahat! Ah, kau tidak tahu betapa jahatnya dia. Entah
sudah berapa banyak patriot-patriot perkasa tewas di tangan Pak-thian-tok Bhok Hong! Dia
keturunan Jenghis Khan dan bangsa Mongol menjajah negara kita seratus tahun lebih! Sekarang dia
membantu bangsa Mancu yang datang menjajah dan memperbudak bangsa kita. Ah, bocah she Cia.
Kalau benar kau ini cucu pahlawan Cia Hui Gan seperti pengtakuanmu terhadap Pak-thian-tok tadi,
kalau benar kau putera taihiap Cia Sun pejuang rakyat yang mulia, kenapa kau melarang aku
membunuhnya" Sebetulnya, kaulah sebagai keturunan Cia Hui Gan yang malah harus turun tangan
membunuh jahanam ini!"
Han Sin menggeleng kepala. "Keliru, locianpwe. Membunuh tidak sama dengan membunuh!"
"Eh, ngacau! Apa bedanya membunuh dan membunuh" Jangan kau coba membadut."
"Yang kumaksudkan, membunuh musuh dalam perjuangan jauh sekali bedanya dengan membunuh
orang karena kebencian, apalagi kalau orang itu sedang pingsan tak dapat melawan. Kalau kau
membunuhnya dalam keadaan seperti sekarang, berarti locianpwe seorang pengecut!"
"Setan "..! Kakek bongkok itu menerjang hendak menyerang Han Sin yang sama sekali tidak
menangkis atau mengelak, akan tetapi pemuda ini memandang dengan sepasang matanya yang
bersinar-sinar. Kakek itu tiba-tiba mengeluh dan mengurungkan niatnya menerjang. "Matamu ".
matamu sama benar dengan mata Cia Hui Gan ".. akan tetapi luar biasa tajamnya. Kau " kau
aneh. Bocah, nanti kita bicara tentang peninggalan pahlawan Lie Cu Seng. Akan tetapi iblis ini
harus dikeluarkan dulu."
Kakek itu lalu menyeret kedua kaki Bhok Hong keluar terowongan, kemudian ia datang kembali ke
ruangan itu dan tiba-tiba kedua tangannya memukul ke kiri, ke arah batu karang yang menonjol. Ia
menggunakan seluruh tenaganya dan ". Han Sin terkejut sekali ketika mendengar suara
berdebukan keras dan lantai yang ia injak sampai tergetar hebat.
"Apa itu ?".?" tanyanya kaget.
Kakek bongkok tertawa bergelak. "Batu-batu gunung di atas tak terganjal lagi, merosot turun
menutupi terowongan. Nah, kita sekarang aman dari gangguan orang luar."
"Habis, bagaimana kita bisa keluar ?"?"
"Bodoh siapa bicara tentang keluar" Kau dituntun oleh arwah kong-kong dan ayahmu mendatangi
tempat ini. Memang kitab itu adalah menjadi hakmu. Aku menjaga di sini sampai puluhan tahun
dan sekarang, pada saat kau hendak menerimanya, kau bicara tentang keluar! Benar-benar tak tahu
terima kasih!"
"Locianpwe, apakah artinya ini semua" Aku tidak mengerti."
Thai-lek-kwi Kui Lok menyambar tangan Han Sin dan mengajak pemuda itu menuju ke ruangan
lain di dalam kamar-kamar di bawah tanah ini. Ternyata ruangan ini cukup lega dan terang, malah
di situ terdapat beberapa buah bangku batu yang kasar.
"Kau duduklah dan dengarkan ceritaku," kata si kakek. Tapi baru saja ia menjatuhkan diri duduk di
atas bangku, tiba-tiba ia muntahkan darah segar dari mulutnya. Han Sin melompat dan mencoba
menolong, akan tetapi dengan isyarat tangannya Kui Lok melarang dia dekat.
"Uuhh ".. uuhh ". jahat benar Pak-thian-tok ?"" keluhnya dan setelah beberapa kali muntahkan
darah, pernapasannya baru dapat berjalan normal kembali. "Iblis benar dia, dalam adu tenaga tadi ia
telah memasukkan pukulan maut yang berbisa. Ah, dia begitu lihai, siapa lagi kelak kalau bukan
kau lawannya" Uhhhh, Cia ". Cia-kongcu, berjanjilah kelak kau akan membalaskan ini ".."
Han Sin bingung. Kenapa tiba-tiba orang ini menyebutnya Cia-kongcu"
"Dia ?" dia pada saat terakhir telah berhasil melukaiku, aku takkan lama lagi hidup. Berjanjilah,
kelak kau akan membalaskan ini ?""
Karena kasihan kepada Kui Lok, juga karena ia menjadi penasaran sekarang melihat kekejaman
Pak-thian-tok, Han Sin tak dapat menolak permintaan orang yang sudah menghadapi kematian.
"Dia amat kuat dan lihai, bagaimana aku dapat membalaskan?"
Dalam keadaan yang menyedihkan, sambil terengah-engah, Kui Lok masih tertawa. "Heh heh heh
".. kau "., kau merendahkan diri ".., memang keturunan keluarga Cia manusia aneh ".., tidak
apa kau merendahkan diri, asal mau berjanji."
"Aku berjanji, locianpwe. Kalau mungkin, kelak akan kubalaskan kau untuk melukainya," akhirnya
Han Sin berkata tenang.
Ucapan ini menyenangkan hati Kui Lok dan ia lalu bercerita. Thai-lek-kwi Kui Lok ini puluhan
tahun yang lalu bukanlah orang yang tidak terkenal. Ilmu silatnya tinggi dan terutama sekali ilmu
pukulannya yang disebut Thai-lek-jiu pernah menggegerkan dunia persilatan. Namanya tidak saja
terkenal sebagai tokoh kang-ouw yang berkepandaian tinggi, juga ia terkenal sebagai seorang
pejuang rakyat yang gagah perkasa. Dia seorang patriot tulen yang selalu mengabdikan tenaga demi
kepentingan rakyat dan negaranya.
Seperti juga para orang gagah lain yang mencinta rakyat, Kui Lok juga amat tidak senang melihat
kelaliman kaisar dan para pembesar kerajaan Beng, biarpun kerajaan ini dipegang oleh bangsa
sendiri. Kaisar Beng yang terakhir mrpkan boneka belaka yang hidupnya hanya untuk menurutkan
hawa nafsu, bersenang-senang dengan para selir tanpa menghiraukan penderitaan rakyatnya.
Yang berkuasa adalah para thaikam yang boleh dibilang menguasai kendali pemerintahan. Korupsi
merajalela, Sogok dan suap menjadi kebiasaan yang mendarah daging, yang berpangkat mengandal
kedudukannya, yang kaya mengandalkan harta bendanya. Celakalah rakyat kecil yang miskin
karena mereka tidak mempunyai andalan. Petani-petani miskin digencet oleh tuan-tuan tanah yang
di lain pihak juga diperas oleh para pembesar setempat dan memindahkan tekanan itu, tentu saja,
kepada para buruh-buruh taninya.
Akhirnya pemberontakan tak dapat dicegah lagi. Pemberontakan kaum tani dan rakyat kecil yang
sudah tidak kuat menahan lagi. Pemberontakan yang disebabkan oleh desakan perut yang kelaparan.
Pemberontakan-pemberontakan inilah yang akhirnya menamatkan riwayat pemerintah kerajaan
Beng, yang diakhiri dengan pembunuhan diri oleh kaisar terakhir, yaitu kaisar Cung Cen di bukit
Ceng San di belakang istananya.
Lie Cu Seng adalah seorang di antara pemimpin-pemimpin pejuang rakyat yang paling terkenal.
Dengan gagah berani Lie Cu Seng memimpin barisan petani, barisan rakyat kecil. Dalam barisan
inilah termasuk Thai-lek-kwi Kui Lok yang menjadi tangan kanan Lie Cu Seng pula. Kui Lok
mengalami suka duka memimpin rakyat itu, malah ikut pula menderita ketika Lie Cu Seng dikejarkejar
oleh Bu Sam Kwi yang menjadi pengkhianat dan bersekongkol dengan bangsa Mancu.
Kui Lok ikut pula melarikan diri dan akhirnya, pada saat Lie Cu Seng menemui kematiannya, Kui
Lok mendapat tugas menyelamatkan sebuah peti berisi harta pusaka yang tadinya dipergunakan
oleh Lie Cu Seng untuk membiayai perjuangannya. Di antara harta pusaka ini terdapat sebuah kitab
pelajaran ilmu silat yang amat hebat, peninggalan Tat Mo Couwsu yang paling rahasia dan yang
selama ini belum pernah ada yang mampu mempelajarinya.
Kitab ini terjatuh ke dalam tangan Kui Lok yang menyembunyikan kitab di dalam gua rahasia di
Lu-liang-san. Kemudian Kui Lok membuat peta dan memberikan peta itu kepada Cia Hui Gan,
kawan seperjuangannya. Hanya kepada Cia Hui Gan seorang rahasia ini diketahui, karena bagi
dunia luar, Kui Lok sudah lenyap dan orang menyangka bahwa pendekar ini sudah tewas dalam
pertempuran melawan orang-orang Mancu.
"Demikianlah riwayatku yang singkat, Cia-kongcu "." Kui Lok mengakhiri ceritanya dengan
napas memburu. "Tadinya aku mengharapkan kedatangan ayahmu, Cia Sun. Kiranya aku harus
menanti sampai puluhan tahun dan sekarang kau, cucu Hui Gan, yang datang ".. agaknya roh
kakekmu yang menuntun kau ke sini, Cia-kongcu. Kaulah yang akan mewarisi ilmu silat tertinggi di
dunia ini ". Kau lihat, dahulu aku bukanlah lawan Bhok Hong si Racun Utara, akan tetapi
sekarang, biarpun kalah kuat, aku dapat menghadapinya. Dan ini karena aku baru mempelajari
seperseratus bagian dari kitab itu. Kau ternyata sudah memiliki lweekang yang hebat, melebihi
kakekmu. Ha ha, kau akan menjadi seorang taihiap yang tidak ada bandingnya! Alangkah girang
hatiku." "Akan tetapi, aku tidak ingin menjadi taihiap, tidak ingin mempelajari kitab ilmu silat dari Tat Mo
Couwsu. Ilmu silat tidak mendatangkan kebaikan bagi manusia, hanya alat untuk memukul.
Menyiksa, membunuh dan mencari permusuhan. Selama aku mempelajari kitab-kitab di Min-san,
aku hidup aman dan tenteram. Akan tetapi begitu mengenal ilmu silat dan turun gunung, hanya
permusuhan, perkelahian dan kejahatan saja kudapati. Tidak, Kui-locianpwe, aku masuk ke sini
hanya karena aku sudah berjanji kepada Bhok-kongcu untuk membawa dia ke tempat pusaka
disimpan. Setelah berhasil keluar dari sini, aku akan mencari adik perempuanku dan kuajak kembali
ke Min-san, hidup damai di sana."
Kui Lok melongo. Benar-benar ucapan ini tidak patut keluar dari keturunan Cia Hui Gan dan Cia
Sun, dua orang ayah anak yang terkenal sebagai pendekar-pendekar, sebagai pahlawan patriot
rakyat. "Dan kau membiarkan kitab terjatuh ke dalam tangan orang-orang kang-ouw yang jahat?"
"Masa bodoh. Makin sesat seseorang, makin besar malapetaka akan menimpanya. Hukum keadilan
Tuhan akan mengatur semua itu," jawab Han Sin sungguh-sungguh.
Kui Lok adalah seorang patriot, juga seorang sahabat setia dari Cia Hui Gan. Melihat sikap Han
Sin, ia menjadi kecewa, sedih dan marah sekali. Tak disangkanya bahwa keturunan Cia Hui Gan
akan begini lemah. Ia mengeluh dengan suara sedih,
"Aduhai .... Cia Hui Gan dan Cia Sun, alangkah menyedihkan ..... sia-sia saja kalian dahulu
berjuang mati-matian, mengorbankan nyawa untuk negara dan rakyat. Kiranya sekarang
keturunanmu begini lemah, nama besarmu akan putus sampai di sini saja. Penghormatan terhadap
keluarga Cia sekarang akan berubah menjadi penghinaan ........"
"Kui-locianpwe, siapa akan berani menghinaku" Penghormatan atau penghinaan orang tergantung
dari pada sikap kita sendiri. Kalau kita berpegang kepada kebenaran, siapa orangnya mau
menghina?"
"Eh eh, sudah dihina dan dipaksa mengantar sampai di sini, masih juga kau belum merasa betapa
orang telah menghinamu" Apakah orang-orang seperti Bhok-kongcu, Bhok Hong dan kaki
tangannya tadi itu tidak menghinamu?"
Han Sin menghela napas. Harus ia akui bahwa semenjak turun gunung, yang ia hadapi hanyalah
penghinaan-penghinaan dari orang-orang kang-ouw. "Salahku sendiri," katanya. "Itulah jadinya
kalau aku berhadapan dengan orang-orang ahli silat. Kalau aku berdiam saja di Min-san, tidak nanti
aku akan mendapat penghinaan. Oleh karena itu, aku akan mengajak adikku pulang saja ke Minsan."
"Bodoh kau!" Kui Lok tak dapat menahan sabar lagi. "Kalau kau dan adikmu pulang ke Min-san,
apa kau kira mereka itu tidak dapat mendatangimu dan menghinamu" Ketika ayah bundamu tewas,
bukankah mereka itupun berada di Min-san" Toh ada orang-orang jahat datang mengganggunya!"
"Itulah kalau ayah suka mempelajari ilmu silat," Han Sin coba membantah.
"Kau ini pemuda apakah" Jiwamu melempem! Kau tidak ada bedanya dengan seekor kacoa! Kau
ingat diri sendiri saja, mana ada harganya untuk hidup" Apa kau kira dengan menjaga diri jangan
sampai melakukan perbuatan jahat saja sudah cukup untuk membuat kau menjadi seorang kuncu"
Huh, kutu buku yang mabok filsafat! Kau benar-benar lebih goblok dari pada segala yang bodoh.
Kakekmu seorang patriot gagah perkasa, ayahmu seorang pendekar dan pahlawan yang mulia. Kau
ini orang apa" Lemah dan melempem, berjiwa tahu! Hah, muak aku mendengarmu, kau tidak patut
hidup di dunia sebagai putera seorang patriot!"
Melihat kakek ini menjadi marah-marah bukan main, Han Sin menjadi merah mukanya. Memang
bukan ia tidak tahu tentang jiwa patriot, akan tetapi ia memang terlalu "baik hati", terlalu lemah
karena kekenyangan isi kitab-kitab filsafat kebatinan yang menyingkirkan batinnya jauh-jauh dari
pada segala kekerasan. Pemuda ini memang kurang gemblengan maka sekarang menghadapi Kui
Lok, seorang patriot sejati yang jujur, ia merasa tertusuk dan menjadi malu sendiri.
"Aku memang muda dan bodoh, mengharapkan petunjuk Kui-locianpwe yang terhormat," katanya
perlahan. "Nah, itu baru ucapan seorang pemuda yang mengharapkan kemajuan. Kekenyangan buku-buku
filsafat membuat kau menjadi sombong, membuat kau menjadi penerawang awang-awang, tukang
melamun dan membangun istana-istana awan di angkasa. Perbuatan kebajikan bukan cukup
dilakukan dalam lamunan, mengerti" Usir semua lamunan-lamunan kosong itu dan bertindaklah!
Sebuah kebajikan kecil yang dilakukan jauh lebih berharga dari pada seribu kebajikan besar yang
hanya dilamunkan di dalam hati. Apa kau tahu apa kewajiban seorang manusia yang dilahirkan di
dalam dunia?"
"Menjadi seorang manusia yang menjauhkan kejahatan memupuk kebenaran. Pokoknya menjadi
seorang manusia yang baik."
"Huh, apa artinya baik saja kalau tidak berguna" Kau boleh menjadi seorang yang suci, tidak
pernah melakukan kejahatan, akan tetapi apa artinya kalau kau tinggal di dalam hutan, jauh dari
manusia. Hidup demikian itu tidak ada gunanya, lebih baik mati! Paling-paling hatimu sendiri yang
memuji-muji bahwa kau seorang manusia baik, lalu kau menjadi sombong karenanya, merasa lebih
bersih dari pada orang lain. Uh, itu bukan sifat seorang kuncu sejati. Sebagai seorang ahli filsafat,
kau tentu tahu akan sifat Thian bukan?"
"Thian Maha Kuasa, Maha Benar, Maha Suci, Maha Adil, pendeknya, kekuasaan tertinggi di alam
semesta." "Cukup! Kalau kau sebut Thian itu Maha Benar dan Maha Adil, tentu Thian menyukai kebenaran
dan keadilan. Nah, kau sebagai manusia harus membantu terlaksananya kebenaran dan keadilan di
dunia ini. Di mana terjadi hal-hal tidak benar dan tidak adil, kau harus berani memberantasnya.
Baik saja tanpa ada gunanya bagi orang lain, itu kosong namanya, bukan baik lagi. Kebajikan hanya
dapat ditampung dengan jalan perbuatan yang berguna bagi sesama manusia.
Pada masa ini, hukum manusia tidak berlaku, yang berlaku adalah hukum alam yaitu siapa yang
kuat dia menang. Celakalah kalau si kuat itu termasuk golongan jahat, tentu perbuatannya menjadi
sewenang-wenang. Sebaliknya, kalau si kuat itu termasuk golongan baik, barulah terdapat keadilan.
Maka, kewajibanmulah sebagai seorang pemuda untuk menggembleng diri, memperkuat diri
kemudian mengabdi kepada keadilan dan kebajikan.
Sekarang ini kejahatan merajalela, karena kekuasaan berada di tangan orang-orang sesat. Dunia
kang-ouw dikuasai manusia-manusia penjilat, manusia-manusia pengejar kemuliaan dunia seperti
Bhok Hong dan lain-lain. Kalau kau tidak memperdalam kepandaian ilmu silatmu, mana bisa kau
menghadapi orang-orang seperti mereka?"
Kui Lok berhenti sebentar untuk bernapas, karena tadi dalam keadaan bernafsu ia bicara tergesagesa
dan napasnya menjadi makin terengah-engah. Han Sin mendengarkan dengan tertarik sekali.
Baru sekarang ia mendengarkan filsafat yang baru baginya. Semua kitab agama dan filsafat yang
pernah dibacanya, hampir semua menganjurkan kebajikan dalam bentuk kehalusan budi, yang
menganjurkan dia selalu mengalah dan bersabar dalam segala hal.
Sebaliknya Kui Lok ini menganjurkan kekerasan demi keadilan. Ini lain sekali! Kui Lok
menganjurkan kekerasan untuk merebut kekuasaan, bukan kekuasaan untuk keuntungan diri sendiri,
melainkan kekuasaan untuk mengatasi dan mengalahkan si jahat demi keamanan orang-orang yang
tertindas. "Kau seorang keturunan patriot sejati. Kong-kong dan ayahmu adalah patriot-patriot tulen dan
sekarang dengarlah baik-baik apa yang menjadi kewajiban seorang patriot. Seorang patriot adalah
seorang pengabdi rakyat, seorang pembela negara dan bangsa. Kalau tanah air sedang diserang
musuh, kalau tanah air sedang diancam oleh bangsa lain, seorang patriot harus membelanya matimatian.
Kalau rakyat sedang tertindas, seorang patriot harus membela dan melindungi rakyat kecil


Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang tertindas itu. Dalam melakukan tugas ini kepentingan pribadi harus dikesampingkan, bukan
saja demikian, malah kalau perlu seorang patriot rela berkorban apa saja, berkorban harta,
kesenangan pribadi, bahkan berkorban nyawa."
Ucapan ini menggores dalam-dalam di hati Han Sin. Memang ia sudah banyak membaca tentang
patriot-patriot jaman dahulu, hanya dalam bacaan yang berupa sejarah itu tidak disertai nasehatnasehat
seperti ini. Ia mengangguk-angguk dan berkata, "Kurasa, locianpwe, setiap orang memang
harus bersikap demikian. Itulah kebajikan."
"Huh, bicara gampang! Kalau hanya bersikap dan berpikir saja, apa artinya" Apa kau kira mudah
melakukan semua tugas itu tanpa menggembleng diri, tanpa memodali diri dengan kepandaian
tinggi" Bagaimana kau hendak membela negara, bagaimana kau dapat mengusir musuh negara,
bagaimana kau dapat melawan melawan penjajah angkara murka" Kalau kau melihat rakyat yang
tertindas, diperlakukan sewenang-wenang oleh orang-orang jahat yang memiliki kepandaian tinggi,
bagaimana kau bisa membela rakyat" Apakah hanya dengan omongan-omongan dan teori-teori
muluk dari kitab-kitabmu kau akan bisa membikin orang-orang jahat itu tunduk" Huh, anak Cia Sun
taihiap, kau benar-benar perlu dibakar semangatmu, perlu dicuci otakmu!"
Mendengar ucapan yang penuh semangat dan dianggapnya penuh kebenaran itu, Han Sin benarbenar
tunduk hatinya. Serta merta ia menjatuhkan diri berlutut dan berkata,
"Aku yang muda dan bodoh benar-benar bahagia sekali mendengar wejangan locianpwe. Akan
tetapi, kalau aku mempelajari ilmu silat tinggi, untuk menjadi patriot apakah aku harus melakukan
pembunuhan-pembunuhan" Locianpwe, terus terang saja, sifat mudah membunuh sesama manusia
dari orang kang-ouw benar-benar mengerikan hatiku dan sampai matipun kiranya aku takkan dapat
melakukan hal itu."
Melihat sikap Han Sin, Kui Lok tertawa terbahak-bahak dan di luar tahunya Han Sin yang sedang
berlutut dan menundukkan muka, kakek itu mengusap darah yang mengalir dari mulutnya.
Sebetulnya kakek ini terluka hebat sekali di dalam tubuhnya, luka oleh hawa pukulan Pak-thian-tok
Bhok Hong. "Ha ha ha, anakku! Anakku yang baik, Cia-kongcu kau benar-benar seorang kuncu tulen. Begini
mudah kau sadar dan insyaf akan kesalahan jalan pikiranmu. Kau telah menanam welas asih yang
besar sekali terhadap sesama manusia, itu baik sekali. Cia-kongcu, justru karena menurutkan dasar
welas asih di antara sesama manusia inilah yang kadang-kadang mengharuskan kau membunuh
orang." Han Sin terkejut dan mengangkat keheranan. "Membunuh orang berdasar welas asih" Apa artinya
ini?" Thai-lek-kwi Kui Lok mengerti akan keheranan Han Sin dan dia tertawa lagi. "Coba kau jawab.
Andaikata kau melihat seorang yang dengan hati keji mengamuk dan membunuhi orang-orang tidak
berdosa sehingga jatuh banyak korban, apa yang hendak kau lakukan?"
Tanpa banyak ragu Han Sin menjawab dan teringat akan perbuatan Hoa Hoa Cinjin yang
membunuhi orang-orang kampung. "Tentu aku akan mencegah dia dan menasehatinya, melarang
dia melakukan pembunuhan lebih lanjut."
"Huh, nasehat lagi! Kalau dia tak mau dinasehati dan terus saja melakukan pembunuhan, kau mau
apa?" "Dengan sekuat tenaga aku akan menghalang-halanginya."
"Bagus, itu pendirian seorang gagah. Akan tetapi kalau dia tidak menurut dan malah hendak
membunuh?"
"Akan kulawan terus, biar aku berkorban nyawa demi menolong orang-orang itu."
"Baik sekali, tentu kau membela orang-orang yang terbunuh itu berdasarkan welas asih, bukan"
Nah, kalau si penjahat itu lebih baik mati dari pada menurut kehendakmu, apakah kau masih merasa
ragu-ragu untuk membunuhnya, yaitu andaikata kau memiliki kepandaian" Ataukah kau akan tidak
tega membunuhnya dan membiarkan dia membunuh orang-orang itu?"
Han Sin tak dapat menjawab. Di dalam hati kecilnya, harus ia akui bahwa tentu saja ia lebih
memberatkan orang-orang itu dari pada si pembunuh yang jahat. Akan tetapi untuk membunuh
orang itu ..... dia masih ragu-ragu apakah ia akan tega"
"Sekarang lain contoh lagi," kata pula Kui Lok yang mengerti bahwa pemuda itu mulai terbuka
pikirannya. "Andaikata kau melihat barisan-barisan asing menyerang tanah air, membakari rumahrumah
dan merampoki serta membunuh rakyat hendak menjajah tanah air kita, apakah kau juga
mau duduk memeluk lutut saja" Ataukah kau hendak menggunakan filsafat-filsafatmu untuk
menasehati barisan yang terdiri dari puluhan ribu orang itu" Ataukah kau ingin menggabungkan diri
dengan barisan para patriot bangsa dan melakukan perlawanan untuk membela ibu pertiwi dan
bangsa?" Kembali Han Sin tak dapat menjawab, hanya mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Seorang pemuda harus bersemangat gagah perkasa, harus berjiwa patriot pencinta tanah air dan
bangsa. Harus rajin belajar mengejar cita-cita dan membuang jauh-jauh kebiasaan yang buruk,
memupuk dan melatih diri dengan jalan kebenaran. Tentu kau sudah membaca sampai kenyang
semua ini dalam kitab-kitabmu, bukan begitu, Cia-kongcu?"
Han Sin mengangguk-angguk.
"Itu bagus sekali. Sayangnya, kau terlampau dalam terpendam dalam kata-kata emas dari kitabkitab
filsafatmu sehingga kau hanya penuh dengan teori tanpa mengenal prakteknya. Pemuda yang
tidak dapat menjadi pembela bangsa dan tanah air, pemuda macam itu tak patut menyebut diri
menjadi pemuda harapan bangsa. Segenap cita-cita harus diatasi dengan tugas suci yang utama,
yaitu kelak menempatkan diri sebagai seorang manusia yang berguna bagi masyarakat, kalau
mungkin menjadi pelindung, menjadi pemimpin, menjadi seorang yang menuntun bangsanya ke
tempat yang terang menuju kemakmuran dan ketentraman. Inilah seorang patriot sejati. Bukan
hanya mereka yang melakukan perjuangan dengan senjata saja, pendeknya semua orang, asalkan
dia itu benar-benar dengan hati ikhlas dan sebulatnya mempersiapkan diri untuk bekerja demi
kepentingan nusa bangsa tanpa menghiraukan kepentingan diri pribadi, dia adalah seorang patriot."
"Wejangan locianpwe benar-benar amat berharga, teecu yang bodoh akan selalu
memperhatikannya," kata Han Sin yang tidak ragu-ragu lagi menyebut diri sendiri teecu atau murid.
22. Pembicaraan Rahasia Pangeran Galdan
KUI LOK tersenyum pahit. "Dahulu akupun seorang pemuda yang menyeleweng, Cia-kongcu. Kau
seribu kali lebih baik dari pada aku. Akan tetapi, karena pergaulanku dengan pahlawan-pahlawan
bangsa seperti Lie Cu Seng, kakekmu Cia Hui Gan, dan yang lain-lain, terbukalah hatiku.
Bahagialah orang yang dalam hidupnya dapat menempatkan diri sebagai orang yang dibutuhkan
oleh negara, oleh bangsa atau setidaknya oleh masyarakat, dan paling tidak dibutuhkan oleh orangorang
lain di sekitarnya. Orang yang sudah tidak dibutuhkan apa-apanya oleh orang lain, kecuali
oleh nafsu diri sendiri, orang demikian itu tidak ada gunanya lagi hidup ..... seperti ..... seperti aku
ini ...." "Kui-locianpwe, jangan kau bilang begitu," Han Sin menghibur. "Aku orangnya yang masih amat
membutuhkan bimbinganmu."
"Hemmm, hatimu yang terlampau baik itu mendorongmu untuk menghiburku. Apa yang kau
butuhkan lagi dari diriku" Nasehat-nasehat seperti yang sudah kuucapkan tadi" Ah, aku bukan
seorang ahli filsafat ....."
"Tidak, Kui-locianpwe. Aku membutuhkan pelajaran ilmu silat! Sekarang terbukalah mataku.
Semua nasehat tadi memang tepat. Teecu ingin meniru jejak langkah kakek dan ayah, teecu ingin
berbakti kepada nusa dan bangsa. Teecu akan turun tangan menghadapi orang-orang yang tersesat,
orang-orang yang membikin celaka sesama manusia. Untuk semua itu, sekarang teecu tahu betulbetul,
teecu harus memiliki kepandaian tinggi dalam ilmu silat. Dan kiranya hanya Kui-locianpwe
yang akan dapat memberi bimbingan kepada teecu."
Tiba-tiba Kui Lok meloncat bangun, wajahnya yang kurus kering itu berseri. "Bagus! Begini baru
pantas kau menjadi seorang she Cia! Ha ha ha, Cia Hui Gan, Cia Sun, lihatlah keturunanmu ini.
Sudah sepatutnya kalau dia menjadi ahli waris Thian-po-cin-keng. Ha ha ha!" Ia lalu berlari ke
sebuah kamar lain di dalam terowongan di bawah tanah itu, dan tak lama kemudian ia datang lagi
membawa sebuah kitab.
"Kau terimalah ini, inilah Thian-po-cin-keng (Kitab Mustika Langit). Inilah yang sebetulnya
diperebutkan oleh orang-orang kang-ouw, bukan harta benda di dalam tempat ini. Terimalah dan
bersujudlah karena semenjak saat ini, kau langsung menjadi murid Tat Mo Couwsu!"
Han Sin menjatuhkan diri berlutut dan menerima kitab yang kelihatannya kuno sekali itu. Memang
dia seorang kutu buku, tentu saja melihat sebuah kitab, ia merasa seperti seorang kelaparan melihat
roti yang enak! Seperti seorang kelaparan yang terus saja makan dengan lahapnya roti yang
diberikan kepadanya. Han Sin juga sama halnya, begitu menerima kitab itu, lalu membalik-balik
lembarannya dan membaca.
Ia tidak tahu betapa Kui Lok memandang dengan terheran-heran melihat pemuda itu membaca kitab
dengan mudah seperti orang membaca cerita yang mengasyikkan saja. Padahal dia sendiri, dia harus
memeras otak setengah mati untuk dapat menangkap arti dari pada huruf-huruf kuno yang amat
sukar dibaca, sukar dimengerti, malah selama puluhan tahun ia hanya dapat memahami sebagian
kecil saja. Melihat pemuda itu begitu tekun membaca kitab Thian-po-cin-keng, saking girangnya Kui Lok
tidak mau mengeluarkan suara berisik, tidak mau mengganggunya malah menjauhkan diri dengan
diam-diam untuk merawat lukanya. Akan tetapi ia mendapat kenyataan bahwa lukanya di dalam
dada amat parah sedangkan racun hawa pukulan tangan Bhok Hong sudah meresap ke dalam jalan
darah dan jantungnya! Karena tahu bahwa ia takkan tertolong lagi, Kui Lok kembali ke ruangan itu
dan melihat Han Sin masih terus "tenggelam" ke dalam lautan huruf kitab kuno itu.
Berkali-kali Kui Lok menggeleng kepala dan di dalam hati terheran-heran melihat betapa Han Sin
terus membaca kitab sampai hari menjadi malam dan pemuda ini seperti tidak merasa betapa sinar
matahari telah diganti oleh sinar obor yang dibuat Kui Lok. Terus saja membaca dengan amat tekun
dan kelihatan tertarik sekali.
Mengapa Han Sin begitu tertarik" Hal ini bukan hanya disebabkan oleh karena dia memang seorang
kutu buku, akan tetapi terutama sekali karena isi pada kitab itu adalah tulisan huruf Tiongkok kuno
dan mengandung filsafat-filsafat yang lebih tinggi dari pada kitab-kitab yang pernah dibacanya!
Di samping ini, di antara filsafat-filsafat itu diselipkan pelajaran tentang pengerahan dan
penggunaan hawa sakti dalam tubuh, malah dengan lengkap diselipkan pelajaran-pelajaran mukjizat
berdasarkan tenaga lweekang seperti Coan-im-tong-te (Mengirim Suara Menggetarkan Bumi), Imkang-
hoan-hiat (Dengan Tenaga Lemas Pindahkan Jalan Darah) dan paling akhir, di antara sajaksajak
kuno terkandung pelajaran ilmu silat Thian-po-cin-keng sendiri.
Dan semua ini, semua pelajaran yang tinggi dan aneh ini ditulis di antara filsafat-filsafat tinggi dan
sajak-sajak indah. Kalau bukan seorang ahli tak mungkin dapat menangkap dan memisahkan sari
pelajaran dari filsafat dan sajak itu! Han Sin sekali baca saja sudah dapat membedakan mana
pelajaran silat mana filsafat atau sajak indah. Inilah yang membuat ia amat tertarik sampai lupa
waktu dan lupa diri. Apalagi ketika mendapat kenyataan bahwa semua filsafat yang terkandung di
situ adalah sejalan dengan filsafat yang pernah ia baca, malah peraturan-peraturan tentang cara
bersamadhi juga sejalan dengan cara-cara yang pernah ia latih.
Berbeda dengan Han Sin, Kui Lok bukanlah seorang ahli sastra. Huruf-huruf kuno itu baginya amat
sukar dimengerti, apalagi berisi filsafat dan sajak. Oleh karena itu, maka selama puluhan tahun itu
ia hanya berhasil menangkap sari ilmu silat Thian-po-cin-keng sebanyak dua belas jurus saja! Juga
karena sukarnya inilah maka semenjak kitab itu berada di tangan Lie Cu Seng, belum pernah ada
orang yang dapat menangkap seluruh inti sari pelajaran itu dengan lengkap, seperti hal Kui Lok.
Padahal, ketika Han Sin membaca habis, pemuda ini mendapat kenyataan bahwa ilmu silat Thianpo-
cin-keng, biarpun hanya terdiri dari tiga bagian saja, namun setiap bagian mempunyai tiga puluh
enam gerakan sehingga seluruhnya terdapat tiga kali tiga puluh enam menjadi seratus delapan jurus!
Karena semalam suntuk Han Sin terus membaca, Kui Lok yang terluka hebat itu tidak kuat
mengawani terus dan tahu-tahu kakek ini sudah tertidur bersandar dinding di ruangan itu.
Menjelang pagi, kakek ini kaget dan tersadar karena mendengar angin bersiutan yang amat aneh. Ia
membuka mata dan merasa betapa dadanya amat sakit, akan tetapi segera ia melupakan rasa sakit
ini ketika melihat apa yang dilakukan oleh Han Sin.
Pemuda ini ternyata sedang menggerak-gerakkan kaki, digeser ke sana ke mari sambil memukulkan
kedua tangan secara lambat sekali dan mulutnya menyebut jurus-jurus Thian-po-cin-keng.
Hebatnya, biarpun pukulan-pukulan itu lambat saja, namun angin pukulannya bersiutan seperti
pedang menyambar!
Ketika melihat pemuda itu melakukan gerakan Jip-hai-siu-to (Masuk Laut Sambut Mustika), sebuah
di antara jurus-jurus dari Thian-po-cin-keng yang telah ia pelajari, Kui Lok melompat. "Eh, tahan
....., jangan ......!"
Akan tetapi terlambat. Han Sin sudah melakukan gerakan itu, yaitu tangan kiri dipukulkan ke depan
lurus-lurus kemudian tangan kanan menyambar dari kanan dan ditarik ke arah dada sendiri secara
keras dan mendadak. Kui Lok mengeluh dan membelalakkan mata, akan tetapi ..... ia tidak melihat
pemuda itu roboh. Dengan penuh keheranan ia lalu melompat maju, melihat Han Sin sudah berhenti
bersilat dan sedang memandangnya dengan senyum.
Kui Lok dengan muka pucat meraba lengan dan dada Han Sin. "Kau ". Kau tidak terluka ".."
Gerakan tadi itu ".., dulu aku hampir mati karena hawa pukulanku membalik menyerang jantung
".." Han Sin menggeleng kepala. "Tidak apa-apa, locianpwe. Ilmu ini hebat sekali, teecu merasa semua
hawa di dalam tubuh bergerak-gerak tegang. Hebat, hebat ".!" Dan pemuda ini lalu bersilat lagi.
Kui Lok mengeluarkan teriakan perlahan dan ".. roboh terguling. Han Sin kaget dan cepat
menubruk, akan tetapi ternyata kakek itu telah menghembuskan napas terakhir dalam keadaan
tersenyum. Dari mulutnya mengalir darah yang mulai menghitam. Ternyata bahwa setelah
menderita luka hebat dari pukulan Bhok Hong yang beracun, dalam keadaan berbahaya ini Kui Lok
sekarang menerima getaran jantungnya saking heran dan girang melihat Han Sin dengan mudah
dapat mempelajari Thian-po-cin-keng, maka jantungnya menjadi pecah dan mengakibatkan
kematiannya. "Kui-locianpwe ?"!" Han Sin memanggil dan mengguncang-guncang tubuh kurus itu beberapa
kali. "Ah, dia sudah mati ?"" Pemuda itu tenang-tenang saja. Ia merasa kasihan kepada kakek ini,
akan tetapi tentang mati hidup, bagi pemuda itu bukan apa-apa. Dengan sepenuh hatinya ia yakin
bahwa mati atau hidup bagi manusia adalah hal yang sudah semestinya dan wajar.
Manusia mana yang takkan mati kalau saatnya sudah tiba" Tiba-tiba ia teringat bahwa ia tidak tahu
akan jalan keluar dari terowongan itu. Ia teringat pula di dalam kitab kuno bahwa ada jalan darah
tertentu di belakang otak yang kalau dihidupkan, akan dapat membuat syaraf bagian kepala bekerja
sehingga untuk sejenak tubuh yang sudah mati dapat bekerja kembali, sehingga otomatis mata,
telinga, hidung dan mulut berikut pikiran dapat bekerja.
Ia lalu mengerahkan seluruh semangat dan hawa saktinya, miringkan kepala Kui Lok dan menotok
jalan darah ini, memutar sedikit ke kiri untuk membuka jalan darah dan memberi tenaga pendorong
dengan hawa saktinya untuk menghidupkan atau menjalankan darah yang sudah hampir tak
bergerak. Karena dorongan hawa sakti dari lweekang yang tinggi, seketika darah di bagian itu
menjadi panas dan dapat didorong menggerakkan syaraf-syaraf di bagian kepala. Benar saja, Kui
Lok mengeluh perlahan dan bulu matanya bergerak-gerak.
"Locianpwe, mohon petunjuk terakhir. Bagaimana teecu bisa keluar dari sini?" Han Sin
membisikkan kata-kata ini di telinga Kui Lok lalu ia menempelkan telinganya sendiri ke mulut Kui
Lok untuk mendengarkan jawaban. Kebetulan sekali bagi Han Sin, memang hal inilah yang jadi
pikiran Kui Lok pada saat ia menghembuskan napas terakhir tadi, maka begitu syarafnya bekerja ia
berkata lemah. "Di ruang belakang ada Tiat-lo-han ". Dorong ke kiri .... tiga ....." hanya sampai di situ Kui Lok
sanggup mengeluarkan kata-kata, darah keburu membeku karena tidak mendapat dorongan dari
jantung yang sudah tidak bekerja lagi. Han Sin menarik napas panjang, hatinya lega, juga ada
keraguan. Terang bahwa ucapan itu masih belum habis, akan tetapi kata-kata "tiga" itu sudah
menjadi pegangan yang kuat baginya. Setelah merebahkan mayat Kui Lok, ia lalu cepat menambah
kayu kering pada api obor yang hampir padam dan membuat api unggun.
Hatinya makin tenang karena melihat kayu-kayu kering yang terkumpul di situ, ia merasa yakin
bahwa tentu ada jalan keluar, selain jalan keluar dari depan yang sudah teruruk oleh batu-batu besar
itu. Mengingat jalan keluar ini, hatinya berdebar. Bhok-kongcu adalah seorang yang mempunyai
kekuasaan besar. Apakah tidak mungkin dia mengerahkan ribuan orang untuk menyingkirkan batubatu
itu" Ah, tentu mereka akan menyerbu ke dalam, pikirnya.
Setelah tampak sinar matahari, Han Sin lalu menggunakan pedang Im-yang-kiam pemberian Giok
Thian Cin Cu yang selalu dipakai sebagai ikat pinggang, untuk membuat lubang kuburan. Digalinya
tanah di dalam ruangan itu dan berkat ketajaman Im-yang-kiam serta tenaga lweekangnya yang
besar, tak lama kemudian ia sudah dapat menggali lubang dan mengubur jenazah Kui Lok secara
sederhana. Setelah penguburan selesai, pemuda ini lalu memasuki lorong sampai ia tiba di ruang paling
belakang dan alangkah girangnya ketika ia melihat sebuah patung besi berdiri di pojok ruangan.
Patung itu kecil saja, paling tinggi dua kaki. Tentu inilah patung Tiat-lo-han, pikirnya. Ia melihat
patung itu menempel pada dinding karang. Cepat ia menghampiri dan berbisik, "Tiat-lo-han, harap
kau suka menunjukkan jalan keluar untukku."
Lalu dengan kuat ia mendorong ke kiri. Patung itu bergerak miring, akan tetapi memantul kembali
dan tidak terjadi sesuatu. Ia teringat akan kata-kata "tiga", maka lalu mendorong lagi untuk kedua
kalinya. Alangkah herannya ketika patung itu kini sama sekali tidak bergeming! Ia mengerahkan
tenaganya, namun tetap saja tidak dapat mendorong patung itu miring.
Han Sin menjadi gelisah. Ia meneliti patung itu dan meraba-raba. Akhirnya jari-jari tangannya
menyentuh ukiran-ukiran pada punggung patung. Cepat ia memeriksa dan ternyata di situ terdapat
ukiran beberapa buah huruf kecil yang berbunyi,
"Untuk mendorong ke dua dan ke tiga, pergunakan Heng-pai-koan-im (Puja Kwan Im Dengan
Tangan Miring) dan Cio-po-thian-keng (Batu Meledak Langit Gempar) dengan tenaga sempurna."
Han Sin girang sekali. Kiranya demikian. Dia sudah membaca Thian-po-cin-keng dan sekali
membaca saja dia sudah hafal sebagian besar dari seratus delapan jurus itu. Di antara yang ia ingat
adalah dua jurus yang disebut tadi. Segera ia melakukan jurus Heng-pai-koan-im untuk mendorong
patung, dilakukan dengan tangan miring. Akan tetapi, tetap saja patung tidak bergerak, hanya
bergoyang sedikit saja. Han Sin kecewa dan ia menduga bahwa tulisan "dengan tenaga sempurna"
itu tentu ada artinya. Bisa jadi karena karena belum berlatih betul-betul, jurus Heng-pai-koan-im
yang ia lakukan tadi tidak menggunakan takaran tenaga sebagaimana mestinya.
"Aku harus berlatih dulu sampai sempurna, baru berusaha mencari jalan keluar," pikirnya dan ia
mulai melakukan pemeriksaan di dalam terowongan itu. Alangkah girangnya ketika ia melihat
banyak persediaan makanan di situ, buah-buahan dan di situ bahkan ada daging binatang yang
sudah dikeringkan. Juga banyak kayu-kayu kering bahan bakar.
"Ah, Kui-locianpwe tentu telah mengambilnya dari jalan depan. Dengan persediaan ini aku dapat
berlatih dengan tenang."
Tidak saja bahan makan, malah airpun banyak di situ, karena dari batu karang di atas menetes
banyak sekali air jernih. Dengan menggunakan mangkok butut yang tersedia di situ sebentar saja
dapat menadahi air semangkok. Dengan hati amat tenang, Han Sin mulai melatih diri dengan ilmu
Thian-po-cin-keng, dari jurus pertama sampai terakhir.
Malah peraturan-peraturan melatih lweekang ia pelajari pula sehingga pengetahuannya tentang ilmu
ini sekarang menjadi sempurna, tidak lagi ia melatih lweekang secara "tidak sengaja" seperti dulu.
Di samping melatih Thian-po-cin-keng, pemuda ini juga melatih Liap-hong Sin-hoat dan Lo-hai
Hui-kiam. Gerakan-gerakannya lincah dan mantap, karena memang bahan-bahan ginkang dan
lweekang pada dirinya sudah cukup. Makin matang latihannya, makin girang hatinya. Tidak
disangkanya sama sekali bahwa latihan-latihan ilmu silat itu membuat ia merasa enak sekali


Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tubuhnya, membuat semangatnya bangun dan timbul sifat gembiranya. Entah mengapa, ia merasa
gembira dan tidak lagi ada sifat pendiam tenang dan agak pemurung seperti yang sudah-sudah.
Ia teringat akan adiknya dan tahulah kini ia mengapa adiknya itu selalu berseri dan bergembira
jenaka. Agaknya karena latihan-latihan ilmu silat itulah. Tentu saja hal ini hanya dugaan Han Sin.
Sebetulnya hal itu tergantung dari pada watak pembawaan masing-masing, hanya harus diakui
bahwa latihan ilmu silat memang betul mendatangkan rasa nyaman dan sehat pada tubuh, juga
membangun semangat dan mempertebal rasa kepercayaan kepada diri sendiri, mempertinggi harga
diri. Sebulan lebih Han Sin setiap saat melatih diri. Pemuda ini memang termasuk golongan sedikit
orang yang memiliki ketekunan luar biasa. Tiada bosannya ia melatih diri dan belum merasa puas
kalau belum sempurna gerakan-gerakannya. Setelah berlatih, baru ia mendapatkan kenyataan bahwa
biarpun Thian-po-cin-keng termasuk ilmu silat yang paling tinggi tingkatnya, namun dalam ilmu
silat Liap-hong Sin-hoat ajaran Ciu-ong Mo-kai, Im-yang-kun dan Lo-hai Hui-kiam ajaran Giok
Thian Cin Cu, masing-masing mengandung keindahan dan keampuhan tersendiri.
Harus ia akui bahwa di antara semua ilmu silat yang sudah ia pelajari, Lo-hai Hui-kiam
mengandung sifat yang paling ganas mengerikan, maka diam-diam ia berjanji kepada diri sendiri
takkan mempergunakan ilmu ini kalau tidak sangat terpaksa.
Pada suatu pagi ketika ia sedang membakar daging kering untuk dijadikan santapan pagi, ia
mendengar suara "duk duk duk" yang terus menerus dan makin lama makin keras suaranya. Suara
itu datang dari luar, dari timbunan batu-batu yang menutup jalan keluar. Namun ia tidak
memperdulikan dan berlatih terus. Sampai tiga hari ia mendengar suara ini dan pada hari keempat,
ia mendengar suara itu sudah keras sekali. Tiap kali terdengar suara "duk", lantai terowongan itu
tergetar. Menjelang tengah hari, ia malah mulai mendengar suara-suara orang!
"Ah, Bhok-kongcu tentu mengerahkan tenaga membongkar tempat ini. Hampir empat puluh hari
aku berada di sini dan baru ia akan dapat menembus timbunan batu. Hebat memang alat rahasia
guha ini, akan tetapi lebih hebat semangat tak kenal mundur dari Bhok-kongcu."
Tentu saja Han Sin tidak ingin diserbu oleh Bhok-kongcu dan kawan-kawannya, maka pemuda ini
lalu menjatuhkan diri berlutut, memberi hormat untuk pengabisan kali di depan kuburan Kui Lok,
kemudian ia menuju ke ruang belakang, tempat Tiat-lo-han berada.
Ia menjura kepada patung kakek tua itu. "Tiat-lo-han, harap kali ini kau tidak pelit dan mau
menunjukkan jalan keluar." Ia, seperti dulu, mendorong ke kiri. Patung itu bergerak dan memantul
kembali. Kemudian, Han Sin menggunakan Heng-pai-koan-im dan mendorong sambil mengatur
tenaganya dengan tepat. Terdengar bunyi "krekk" dan patung itu bergeser selangkah. Pemuda itu
girang sekali. "Terima kasih ......, terima kasih ......." katanya sambil tersenyum dan terbayanglah wajah Bi Eng.
Memang ia sudah amat rindu kepada adiknya itu dan setelah jalan keluar sudah dekat, ia ingin
cepat-cepat keluar untuk mencari adiknya yang tercinta itu.
Pada saat itu, sebelum ia melakukan dorongan ke tiga, terdengar suara keras sekali di depan dan
ternyata tumpukan batu-batu sudah dapat diruntuhkan. Lalu disusul suara-suara yang ramai-ramai
menyerbu ke dalam, di antaranya ia mendengar suara lengking ketawa yang menyeramkan dari Hoa
Hoa Cinjin! Aneh sekali, pada saat itu mendadak timbul semacam pikiran dalam kepala Han Sin untuk
menggoda dan mempermainkan orang-orang itu. Dia sendiri merasa heran. Pikiran untuk
mempermainkan orang biasanya hanya terdapat dalam kepala kecil Bi Eng! Kenapa sekarang ia
seperti ketularan dan bernafsu hendak mempermainkan orang"
Ia tertawa sendiri, kemudian ia melangkah mundur, membalikkan tubuh dan mengeluarkan pekik
menyeramkan. Han Sin sudah mempelajari Coan-im-tong-te (Mengirim Suara Menggetarkan
Bumi), maka ketika ia keluarkan ilmu ini dan memekik, suara itu menerjang keluar dan
menimbulkan getaran serta gema yang amat hebat sampai lantai terowongan itu tergetar karenanya!
Sekali gus suara lengking ketawa yang disertai khikang dari Hoa Hoa Cinjin itu tenggelam dan
tidak terdengar lagi.
Han Sin mendengar orang-orang menjerit. Dia tidak tahu bahwa suara pekik yang ia keluarkan itu
telah merobohkan belasan orang terdepan yang kurang kuat tenaga lweekangnya!
Suara orang-orang yang riuh rendah tadi sirap, untuk sesaat kemudian terdengar kegaduhan seperti
orang-orang melarikan diri disertai jerit ketakutan, "Ada setan ....! Ada siluman .....!!" Disusul suara
orang lari tunggang-langgang.
Han Sin tertawa geli sampai perutnya kaku. "Ah, kiranya begini menyenangkan menggoda orang.
Pantas saja Bi Eng suka sekali menggodaku dan suka main-main."
Pemuda ini merasa cukup menakut-nakuti orang yang pada menyerbu ke dalam guha. Ia mendengar
gerengan marah dari Hoa Hoa Cinjin, maka ia pikir tidak baik kalau ia berdiam terus di situ. Ia siap
melakukan dorongan ketiga pada patung Tiat-lo-han. Segera ia melakukan jurus Cio-po-thian-keng
(Batu Meledak Langit Gempar).
Jurus ini dilakukan dengan pengerahan tenaga lweekang, mendorong ke depan sambil membanting
kaki kanan dengan keras. Patung itu terdorong ke kiri dan tiba-tiba dinding batu karang sebelah
kanan berlubang sebesar tubuh orang.
Selagi Han Sin kegirangan, tiba-tiba lantai yang diinjaknya nyeplos ke bawah dan tubuhnya ikut
terbawa turun! Han Sin kaget sekali namun ia masih dapat menguasai diri, dapat dengan tenang
mengerahkan ginkangnya. Ia merasa tubuhnya terus melayang ke bawah sampai beberapa lama,
baru lantai itu berhenti dan tubuhnya tentu akan terbanting hancur kalau saja ia tidak menggunakan
ginkang. Dengan ilmu ini, kedua kakinya yang menginjak lantai seperti dipasangi per sehingga ketika lantai
berhenti, tubuhnya terpental kembali ke atas setinggi tiga kaki, lalu ia melompat turun dengan
tenang. Lantai yang nyeplos itu lebarnya dua meter persegi dan ia mulai meraba-raba di tempat
gelap. Di empat penjuru semua dinding batu karang yang kasar. Hal ini menggirangkan hatinya,
karena ia merasa sanggup untuk merayap naik.
Setelah mengumpulkan semangat dan mengerahkan hawa sinkang di tubuhnya, pemuda ini lalu
mulai merayap melalui dinding kasar, seperti seekor cecak saja! Tiba-tiba ia berhenti di tengahtengah
karena mendengar suara orang-orang bicara di atas. Untuk mendapatkan tempat yang enak ia
lalu menggunakan pedang Im-yang-kiam, menggores dan membuat lubang pada dinding itu untuk
tempat kaki berpijak dan tangan bergantung. Kemudian ia lalu memasang telinga mendengarkan.
Mula-mula ia mendengarkan suara Bhok-kongcu.
"Hemm, dia telah lolos dari sini. Yang ditinggalkan hanya harta pusaka. Tidak ada kitab. Cinjin,
bagaimana pikiranmu?"
"Bhok-kongcu, pinto sendiri masih sangsi apakah betul ada kitab yang didesas-desuskan orang itu
di sini. Kalaupun ada dan terjatuh ke dalam tangan bocah she Cia itu, apa susahnya kelak kita
merampasnya?"
"Hoa Hoa Cinjin, kau terlalu memandang rendah kitab itu. Ayah telah terluka hebat, sampai
sekarang masih beristirahat dan sakit, itu saja sudah membuktikan betapa hebatnya orang yang
tadinya berada di sini dan telah mempelajari isi kitab. Kalau kita bisa mendapatkan itu, terutama
sekali ilmu perang, bukankah itu akan menambah kekuatan untuk melakukan rencana kita, sesuai
yang dicita-citakan oleh bangsaku" Ah, betapa inginku dapat lekas-lekas menindas dan mengusir
bangsa Mancu yang tiada bedanya dengan anjing penjilat itu dari Tiongkok!"
Han Sin terkejut mendengar ini. Setahunya Bhok-kongcu adalah seorang penting dari pemerintah
Mancu, bagaimana sekarang bersama Hoa Hoa Cinjin bicara tentang mengusir bangsa Mancu dari
Tiongkok" "Ssttt, harap kongcu berhati-hati. Kalau ada mata-mata Mancu mendengar, bisa celaka ......."
terdengar suara Hoa Hoa Cinjin.
"Mereka semua di luar, orang-orang pengecut itu. Siapa berani masuk selain kau dan aku" Bangsa
Mancu pengecut, setelah menjajah Tiongkok malah menjilat-jilat orang Han. Mengangkat orangorang
Han sebagai pembesar dan pembantu, malah kaisar tolol itu berusaha melebur bangsanya
menjadi orang Han. Coba kau lihat, alangkah lucunya mereka itu bersikap seperti orang Han,
berbahasa Han, berpakaian Han. Ah, muak aku melihat mereka itu, kaisar dan orang-orangnya
seperti monyet-monyet meniru manusia!"
"Memang menjemukan," kata Hoa Hoa Cinjin. "Pinto sendiri yang mempunyai darah campuran,
darah Mongol dan darah Han, tetap merasa lebih tinggi dari pada orang-orang Han. Memang,
kongcu. Tiongkok harus diperintah lagi oleh bangsa kita, baru beres."
"Tak usah kau sangsi lagi, saat bangunnya kerajaan Mongol pasti akan tiba! Roh nenek moyang
kita, roh Yang Mulia Jenghis Khan pasti akan membantu usaha yang kurencanakan. Pangeran
Galdan takkan gagal. Kegagalannya hanya dapat dibeli oleh nyawaku!"
"Ssttt ....., pangeran ....., eh, kongcu. Harap berhati-hati. Ayahmu sendiri tak pernah berani
membuka rahasia pribadi."
"Kau betul, Cinjin. Biarlah mulai sekarang takkan kulupakan lagi bahwa sebelum kerajaan Goan
(Mongol) bangun kembali, aku adalah Bhok Kian Teng. Biarlah pangeran Galdan bersabar dan baru
muncul kalau kerajaan kita sudah bangun."
"Mari kita keluar, kongcu. Jangan sampai harta pusaka itu tercecer. Tentang bocah she Cia, tak usah
khawatir. Pinto akan mengejar dan menangkapnya. Lagi pula ......." Makin lama suara Hoa Hoa
Cinjin makin perlahan karena mereka berdua sudah mulai pergi meninggalkan ruang itu. Akan
tetapi setelah mengerahkan tenaga pendengarannya, Han Sin masih dapat menangkap sedikit
lanjutannya "... adiknya berada di tanganmu ........"
Han Sin menjadi gelisah. Celaka, kalau begitu Bi Eng masih berada dalam tangan Bhok-kongcu
atau sebetulnya adalah pangeran Galdan itu. Hemm, dan kongcu seorang pangeran Mongol yang
pada luarnya saja membantu pemerintah baru, akan tetapi sebetulnya hendak mengakangi daratan
Tiongkok sendiri, hendak membangun kembali kerajaan Goan-tiauw yang sudah hancur, hendak
menegakkan kembali kekuasaan Mongol sebagai penjajah di Tiongkok.
"Aduhai tanah airku ........, bangsaku ......., alangkah buruk nasib kita. Seorang musuh, penjajah
Mancu masih belum dapat kita usir, sekarang sudah ada ancaman penjajah baru, orang-orang
Mongol yang hendak kembali menindas kita ...."
Jiwa patriot yang sudah mulai bersemi di dalam hati Han Sin memberontak. Segera ia melanjutkan
usahanya, merayap naik keluar dari "sumur" itu. Diam-diam ia merasa puas bahwa jatuhnya ke situ
malah menguntungkan, karena memberi kesempatan kepadanya untuk mendengarkan percakapan
yang maha penting. Apakah untuk keperluan macam inikah maka jebakan sumur itu dibuat oleh
pencipta gua itu"
Sementara itu, di luar guha juga terjadi hal-hal yang menarik. Untuk mengetahui ini, baiklah kita
menengok apa yang terjadi selama Han Sin terkurung di dalam guha terowongan dan mempelajari
isi kitab Thian-po-cin-keng. Telah kita ketahui bahwa Pak-thian-tok Bhok Hong, juga terkurung di
sebelah luar terowongan karena pingsan dan terluka oleh tenaga gabungan dari Han Sin dan Kui
Lok. Adapun Bhok-kongcu, ketika melihat mulut guha itu tertimbun batu-batu besar, menjadi amat
khawatir akan keselamatan ayahnya. Juga nafsunya untuk mendapatkan harta pusaka rahasia dari
Lie Cu Seng makin membesar. Cepat ia memberi perintah kepada Tung-hai Siang-mo untuk pergi
memanggil bala bantuan. Tak lama kemudian sebuah pasukan terdiri dari ratusan orang datang ke
puncak gunung itu dan pembongkaran batu-batu itu mulai dilakukan. Pekerjaan ini memakan waktu
lama sekali karena batu-batu besar itu amat berat.
Setelah sepuluh hari, barulah tubuh Bhok Hong dapat ditemukan dalam keadaan terluka dan payah
karena selama sepuluh hari tidak makan dan minum. Hanya seorang dengan kekuatan tubuh luar
biasa seperti Bhok Hong dapat menahan derita hebat ini dan tidak menjadi mati karenanya. Namun
kakek kosen ini harus beristirahat dan berobat untuk memulihkan tenaganya. Oleh puteranya ia
segera dikirim ke kota raja untuk beristirahat di gedungnya.
Kemudian Bhok-kongcu memimpin orang-orang untuk melakukan pembongkaran terus. Pekerjaan
ini tidak mudah karena ternyata bahwa batu-batu yang menutup guha sebelah dalam ini malah lebih
banyak dan lebih sukar disingkirkan dari pada batu-batu yang menutupi sebelah luar.
Bhok-kongcu yang amat bernafsu untuk segera melihat isi guha dan kalau mungkin mendapatkan
kitab rahasia yang ia idam-idamkan, memimpin sendiri pekerjaan ini, malah ia menyuruh orangorangnya
membuatkan sebuah pondok kecil di tempat itu untuk dia bermalam! Iapun mengerahkan
tenaga orang-orang kang-ouw. Selain Hoa Hoa Cinjin dan Tung-hai Siang-mo, juga kongcu ini
mendatangkan Thian-san Sam-sian dan beberapa orang kosen lagi untuk membantu pekerjaan
membongkar batu-batu itu.
Pada suatu pagi ketika Bhok-kongcu sedang membongkar batu-batu yang seperti tiada habisnya itu,
tiba-tiba ia mendengar bentakan nyaring, "Bhok-kongcu, di mana kakakku?"
Bhok-kongcu berdebar hatinya dan cepat ia menoleh. Ternyata Bi Eng, gadis pujaan hatinya itu,
dengan segala kecantikannya telah berdiri di situ, wajahnya agak pucat namun kecantikannya malah
makin menonjol.
Selama ini tak pernah Bhok-kongcu dapat melupakan Bi Eng, akan tetapi karena ia menghadapi
pekerjaan yang lebih penting, untuk mendapatkan kitab rahasia yang amat ia rindukan maka
terpaksa ia menahan hatinya dan tidak pergi mencari Bi Eng yang sudah dibawa pergi oleh suhunya,
Ciu-ong Mo-kai. Sekarang, melihat kedatangan gadis ini tentu saja ia merasa kejatuhan bintang.
Cepat ia melangkah maju dengan wajah berseri dihias senyum, lalu menjura dengan sikap amat
hormat. "Ah, Cia-siocia ....! Alangkah girang hatiku melihat kau dalam keadaan selamat. Betapa gelisahku
selama ini karena tidak tahu kau berada di mana dan bagaimana keadaanmu. Cia-siocia, kebetulan
sekali kedatanganmu ini ....."
"Mana Sin-ko" Kau apakan dia ....?"" Bi Eng bertanya pula, matanya membayangkan kegelisahan
besar. "Nona Bi Eng, bagaimana kau bisa menyangka yang bukan-bukan" Aku tidak bermusuhan dengan
kakakmu, bagaimana aku bisa mencelakakan dia" Andaikata ada apa-apa antara aku dan dia,
melihat kau tentu aku takkan tega mengganggu kakakmu itu."
"Bhok-kongcu, tak usah putar-putar omongan! Di mana dia?" Bi Eng tidak sabar dan membanting
kakinya. "Sabar ....., sabarlah, nona manis. Dengan baik-baik kakakmu membawaku ke guha ini. Siapa
sangka, sesampainya di sini, ketika kakakmu sudah memasuki guha, tiba-tiba saja batu-batu besar
dari atas berjatuhan ke bawah dan menutup guha. Sekarang aku sedang memimpin orang-orangku
untuk membongkar batu-batu ini dan menolong kakakmu."
Saking pandainya Bhok-kongcu bersandiwara, Bi Eng yang masih hijau itu tentu saja dengan
mudah dapat ditipunya. Gadis ini percaya akan semua cerita Bhok-kongcu, karenanya ia merasa
sangat berterima kasih dan ikut membantu membongkari batu-batu dengan hati gelisah.
Ia merasa khawatir kalau-kalau kakaknya takkan dapat ditolong lagi. Dengan susah payah dia telah
dapat memberi penjelasan kepada Ciu-ong Mo-kai bahwa dia sama sekali bukannya menjadi
sahabat baik Bhok-kongcu seperti yang tadinya dikira oleh kakek pengemis ini, sebaliknya Bhokkongcu
malah hendak membantunya bertemu kembali dengan kakaknya di Lu-liang-san. Ciu-ong
Mo-kai menggeleng-geleng kepala ketika mendengar penuturan muridnya.
23. Upaya Sepasang Puteri Thio-ciangkun.
"SEMUA orang kang-ouw hendak menangkap kakakmu karena ingin merampas surat wasiat
peninggalan Lie Cu Seng," kata Ciu-ong Mo-kai Tang Pok kepada muridnya ini. "Dan di antara
semua orang kang-ouw itu, yang paling berbahaya hanyalah Bhok-kongcu itulah! Bahkan sebagian
besar orang kang-ouw itu bekerja untuk dia. Ah, Bi Eng! Kau tidak tahu orang macam apa adanya
Bhok-kongcu yang bernama Bhok Kian Teng itu. Dia putera Pak-thian-tok Bhok Hong.
Kepandaiannya tinggi sekali dan dia jahat sekali. Kalau melihat wanita ..... hemmm, aku tadinya
benar-benar gelisah melihat kau bersama orang macam dia itu."
Wajah Bi Eng memerah ketika mendengar omongan suhunya ini. Cepat-cepat dia berkata, "Suhu,
teecu bukan tidak tahu dia seorang pemuda yang kurang baik. Akan tetapi, terhadap teecu dia sopan
sekali dan teecu ..... teecu bukan macam wanita-wanita yang menjadi pelayan-pelayannya!"
Sepasang mata gadis ini bersinar-sinar marah ketika ia berkata demikian.
Gurunya tersenyum, mengangguk-angguk, "Aku percaya kepadamu, muridku. Akan tetapi,
pendirianmu itu takkan dapat menyelamatkan kau dari pada bahaya besar yang mengancammu
kalau kau berdekatan dengan manusia macam dia. Lain kali, melihat bayangannya saja kau harus
cepat-cepat pergi jauh-jauh dari padanya."
Bi Eng mengerutkan alisnya yang bagus. "Sebaliknya, suhu. Sekarang teecu ingin sekali kembali ke
sana, ke Lu-liang-san."
Ciu-ong Mo-kai kaget. "Apa katamu" Mau apa kau ke sana?"
"Suhu, Sin-ko berada di sana, tidak tahu bagaimana nasibnya. Bagaimana teecu bisa meninggalkan
dia" Teecu maklum bahwa suhu hendak menyelamatkan teecu. Akan tetapi sebaliknya, teecu takkan
bisa hidup kalau Sin-ko tidak berada di dekatku. Suhu, teecu harus kembali ke sana." Sepasang
mata itu sekarang menjadi basah dan suaranya penuh permohonan.
"Bi Eng, apa kau gila" Di sana ada Hoa Hoa Cinjin, ada Tung-hai Siang-mo, ada Bhok-kongcu dan
kaki tangannya yang banyak serta lihai. Ke sana sama artinya dengan memasuki guha harimau yang
ganas." "Teecu tidak takut! Untuk menolong Sin-ko, teecu rela mengorbankan selembar nyawa. Kalau ...
kalau suhu tidak berani, biar teecu pergi sendiri!" Kata-katanya penuh semangat dan kakek
pengemis itu tertawa masam.
"Bi Eng .... bocah bodoh. Kau masih terlalu hijau, tidak bisa membedakan antara takut dan
bersiasat. Menghadapi lawan banyak yang lebih kuat dari pada kita, kita harus menggunakan siasat.
Bukannya nekat saja mengandalkan keberanian, lalu roboh dan gagal. Kalau kita nekat dan roboh,
apa kau kira kakakmu masih akan dapat ditolong?"
Bi Eng kaget dan sadar. Ia lalu menjatuhkan diri berlutut dan memohon, "Suhu, kau harus tolong
Sin-ko. Teecu mohon petunjuk bagaimana kita harus menolongnya."
Ciu-ong Mo-kai Tang Pok tertawa. "Tanpa kau mintapun, apa kau kira aku akan membiarkan saja
dia dicelakai anjing-anjing penjilat penjajah itu" Bi Eng, setelah mendengarkan penuturan tadi, aku
mendapat siasat yang baik sekali. Tak dapat disangkal pula, agaknya iblis muda Bhok Kian Teng itu
jatuh hati kepadamu."
"Suhu ....!" Wajah Bi Eng menjadi merah sekali.
Tang Pok tertawa. "Apa anehnya! Setiap pria muda melihat kau tentu akan berhal demikian. Hanya
memang ajaib sekali kalau iblis muda itu betul-betul jatuh cinta kepadamu dengan wajar, dengan
murni. Tadinya kukira orang macam dia sudah mati perasaannya. Tidak bisa mengenal cinta murni
lagi, hanya menjadi budak dari nafsu buruknya. Ini kebetulan sekali. Melihat sikapnya terhadapmu
yang sudah-sudah, sekarang kau boleh kembali ke Lu-liang-san untuk melihat keadaan. Mungkin
dengan adanya kau di sana, keselamatan Han Sin lebih terjamin. Sementara itu, secara diam-diam
aku akan melindungimu dan mencari kesempatan baik untuk membawa kau dan kakakmu pergi dari
sana." Demikianlah, karena tahu bahwa diam-diam suhunya mengikuti perjalanannya dan melindunginya,
dengan berani dan tenang Bi Eng lalu muncul di depan Bhok-kongcu mencari kakaknya. Tentu saja
ia kaget sekali dan cepat membantu membongkar batu-batu ketika diberi tahu bahwa Han Sin
tertutup di dalam guha. Ketika Bi Eng tiba di situ, pembongkaran batu-batu sebelah luar guha sudah
selesai dan tubuh Pak-thian-tok Bhok-Hong sudah ditemukan dalam keadaan terluka hebat dan
sudah dikirim ke kota raja untuk berobat dan beristirahat, maka gadis ini tidak tahu akan hal itu
sama sekali. Pada malam kedua, ketika dengan hati gelisah Bi Eng termangu-mangu di depan pondok
memandang ke arah guha yang masih tertutup batu-batu, tiba-tiba dari samping melayang sebuah
benda kecil yang ringan ke arah dirinya. Gadis ini mengira ada senjata rahasia, maka cepat ia
miringkan tubuh dan mengulur tangan menyambar. Dengan gerakan indah ini ia dapat menangkap
benda itu yang ternyata adalah segumpal kertas kecil saja.


Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Cepat ia membawa kertas itu ke bawah lampu yang tergantung di pinggir pondok setelah ia
celingukan ke sana ke mari. Akan tetapi tidak melihat bayangan orang. Ia mengira bahwa tentu
surat itu datang dari suhunya. Ia membuka surat dan membaca, terheran ketika melihat tulisan
tangan wanita yang halus:
Mendekati Bhok-kongcu lebih berbahaya dari pada maut. Harus cepat-cepat menjauhkan diri.
Tunggu sampai pagi, aku berusaha mendapatkan kuda dan menjemputmu pergi dari sini. Urusan
kakakmu, aku tentu berusaha menolongnya. Bersiaplah!
Thio Li Hoa Bi Eng terkejut dan terheran. Pernah ia melihat gadis yang bernama Thio Li Hoa ini, malah ketika
Han Sin muncul di Lu-liang-san, dia datang bersama Li Hoa sebagai seorang gadis yang amat baik
kepadanya. Sekarang gadis ini yang tadinya telah dirobohkan oleh Bhok-kongcu, tiba-tiba muncul
hendak mengajak dia pergi dan berjanji hendak menolong Han Sin. Diam-diam Bi Eng dapat
menduga bahwa gadis yang cantik jelita itu tentulah jatuh cinta kepada kakaknya.
"Hemmm, karena cinta kepada Sin-ko, maka kau berusaha menolong aku dan kakakku. Akan tetapi
dengan kepandaianmu, menghadapi Bhok-kongcu saja kau tidak berdaya, apalagi di sini banyak
sekali kaki tangan Bhok-kongcu seperti Hoa Hoa Cinjin, Tung-hai Siang-mo dan lain-lain" Li Hoa,
kau mimpi!"
Demikian kata hatinya sambil meremas hancur surat itu. Betapapun juga, ia harus mendengarkan
dulu apa yang hendak direncanakan oleh gadis she Thio itu dalam usahanya. Aku akan menanti
sampai pagi, siapa tahu dia betul akan dapat menolong Sin-ko, pikirnya. Gurunya sendiri
mengatakan bahwa Bhok-kongcu adalah seorang pemuda jahat sekali. Sekarang Li Hoa bilang
bahwa Bhok-kongcu lebih berbahaya dari pada maut.
Akan tetapi mengapa terhadap dia pemuda itu begitu baik dan halus" Betulkah pemuda seramah dan
sehalus itu akan mengganggunya" Mukanya menjadi merah dengan sendirinya kalau ia teringat
betapa suhunya dengan terus terang bilang bahwa Bhok-kongcu cinta kepadanya! Apa itu cinta"
Dia tak pernah merasa, kecuali cinta kasihnya terhadap Han Sin. Dia selalu terkenang kepada Han
Sin dan selalu ingin berdekatan, merasa sunyi dan hampa kalau berjauhan. Dan dia rela berkorban
apapun juga, bahkan nyawanya, untuk kakaknya itu.
Bi Eng lalu teringat kepada Yan Bu. Juga pemuda itu amat baik, amat ramah dan halus. Dan
pandang mata pemuda itu ..... eh, kok ada persamaannya dengan pandang mata Bhok-kongcu jika
memandang kepadanya. Bersinar-sinar, berseri-seri namun mengandung suatu kelembutan dalam
sinar mata itu, sesuatu yang mengharap, memohon dan ...... seperti mata orang minta dikasihani.
"Aku tidak tahu tentang cinta," pikirnya kemudian, bingung dan tidak perduli lagi. "Apakah Yan
Bu dan Bhok-kongcu mencintaiku, masa bodoh. Aku suka kepada Yan Bu, akupun .... tidak bisa
membenci Bhok-kongcu, akan tetapi cinta" Entahlah. Akan kutanyakan kepada Sin-ko tentang cinta
ini kelak ....."
Setelah malam berganti pagi, Bhok-kongcu dan orang-orangnya mulai lagi dengan pekerjaan
membongkari batu-batu. Seperti biasa pada setiap pagi, pemuda ini menemui Bi Eng untuk diajak
sama-sama ke tempat pekerjaan. Akan tetapi gadis ini masih belum keluar dari kamarnya. Ketika ia
mengetuk dan memanggil-manggil, Bi Eng menjawab dari dalam.
"Bhok-kongcu, harap kau berangkat lebih dulu. Nanti aku akan menyusul!"
"Kau kenapakah, nona" Apakah tidak enak badanmu" Ataukah kau terlalu lelah" Biar aku
panggilkan Hoa Hoa Cinjin, agar kau diperiksa dan diberi obat ....."
Bi Eng menarik napas panjang di dalam kamarnya. Suara pemuda itu begitu halus, lemah lembut
dan penuh perhatian, terdengar amat khawatir dan mencinta. Betulkah dugaan Ciu-ong Mo-kai
bahwa Bhok Kian Teng ini mencintainya" Buru-buru ia menjawab.
"Tidak usah, Bhok-kongcu. Aku tidak apa-apa, hanya lelah sedikit dan malas bangun. Nanti kalau
sudah enakan, tentu aku akan menyusul. Kau pergilah!"
Dari dalam kamar terdengar betapa pemuda itu masih belum mau pergi, agaknya ragu-ragu.
Kemudian terdengar suaranya, "Aku .... aku amat khawatir, jangan-jangan kau sakit. Aku ingin
sekali melihatmu, nona Bi Eng. Kalau perlu akupun tidak pergi ke tempat pekerjaan. Ataukah aku
panggil seorang pelayan untuk menemanimu dan melayanimu?"
"Tak usah ...... tak usah, aku betul-betul tidak apa-apa." Untuk melenyapkan kecurigaan orang Bi
Eng lalu membuka pintu kamarnya. Ia melihat pemuda itu seperti biasa, sudah berpakaian rapi dan
bersih, wajahnya yang putih tampan itu nampak gelisah dengan sepasang mata penuh perhatian
memandangnya. "Aku tidak apa-apa, hanya ingin mengaso lebih lama. Kau berangkatlah dulu, nanti
aku menyusul."
Bhok Kian Teng dengan penuh kasih sayang dalam pandang matanya menatap wajah gadis itu.
Rambut Bi Eng masih kusut, juga pakaiannya kusut karena memang belum berganti pakaian dan
belum menyisir rambut. Akan tetapi dalam pandang mata pemuda yang sudah jatuh hatinya itu, ia
nampak makin jelita. Melihat betapa sepasang pipi gadis itu kemerah-merahan dan segar,
kekuatiran Kian Teng lenyap dan berserilah wajahnya.
"Ah, syukur kau tidak apa-apa, nona. Kalau kau merasa lelah tidurlah lagi. Tak usah kau membantu.
Kalau sudah merasa enakan, dan kau ingin melihat, kau datang melihat-lihat saja orang bekerja, tak
perlu kau mengeluarkan tenaga membantu mereka. Nah, aku pergi dulu." Ia menjura dan
mengundurkan diri.
Bi Eng bernapas lega. Semua orang sudah pergi, leluasa baginya untuk menanti datangnya Li Hoa
di situ. Gadis ini sama sekali tidak mengira bahwa Bhok Kian Teng adalah seorang pemuda yang
cerdik luar biasa. Ketika melihat gadis yang dikasihinya itu muncul dalam keadaan sehat dan segar
dengan pipi kemerahan, malah timbul kecurigaan di dalam hatinya.
Gadis ini amat rindu kepada kakaknya dan saking besar keinginan hatinya melihat sikap kakaknya
tertolong dari dalam guha, setiap hari sampai ikut-ikut mendorong batu-batu dengan kedua tangan
sendiri. Kecuali kalau jatuh sakit, tak mungkin gadis itu mau menghentikan bantuannya.
Sekarang melihat keadaannya demikian segar dan sehat, kenapa berdiam saja di kamar dan
mengajukan alasan tidak enak badan" Akan tetapi di depan Bi Eng ia tidak menyatakan apa-apa,
malah segera pergi dan meninggalkan gadis itu seorang diri di dalam pondok.
Belum lama Bi Eng berada seorang diri di dalam pondok yang telah menjadi sunyi itu, ia
mendengar suara kaki kuda di depan pondok, disusul suara perlahan seorang wanita, "Adik Bi Eng,
lekas keluar!"
Ketika Bi Eng berlari keluar dari pondok kecil itu, ia melihat dua orang gadis cantik yang
menunggang dua ekor kuda, seekor putih, seekor hitam. Gadis yang seorang bukan lain adalah si
cantik Li Hoa yang sudah pernah dilihatnya. Akan tetapi gadis kedua belum pernah ia melihatnya.
Gadis kedua ini lebih muda dari pada Li Hoa, juga cantik dan matanya bersinar gagah.
"Bi Eng, dia ini adalah adikku, Thio Li Goat." Gadis bernama Li Goat itu tersenyum manis kepada
Bi Eng, lalu ia melompat turun dari kuda hitamnya dan berkata.
"Enci Bi Eng, kau pakailah kudaku. Biar aku membonceng enci Li Hoa."
Bi Eng ragu-ragu. Hatinya tertarik melihat keramahan dua orang gadis cantik itu, akan tetapi karena
dia tidak mengenal mereka, tentu saja dia tidak merasa yakin apakah dia harus ikut mereka. Li Hoa
maklum akan isi hati Bi Eng, maka dengan suara perlahan dia berkata cepat,
"Bi Eng, tak usah kau ragu-ragu. Kau berada dalam bahaya besar. Bhok-kongcu sengaja
menahanmu untuk memaksa kakakmu menyerahkan kitab rahasia yang berada di dalam guha.
Marilah kau ikut dengan kami dan nanti kita berunding bagaimana baiknya untuk menolong
kakakmu." Biarpun masih agak ragu-ragu, akan tetapi Bi Eng dapat merasa dalam hatinya bahwa dua orang ini
tak mungkin termasuk orang-orang jahat. Maka sudah dengan sendirinya, ia lalu meloncat naik ke
atas punggung kuda hitam yang tangkas itu, sedangkan Li Goat juga meloncat ke atas punggung
kuda Li Hoa, dengan sigap tubuhnya melayang dan tahu-tahu ia sudah membonceng di belakang
encinya. Melihat gerakan Li Goat yang ringan dan tangkas, diam-diam Bi Eng kagum dan maklum
bahwa dua orang enci adik itu memiliki kepandaian silat yang tinggi.
"Mari kita pergi dari sini sebelum mereka mengetahui," ajak Li Hoa. "Kalau kita sudah berhasil
lari, mereka takkan mampu mengejar kuda-kuda pilihan kita ini!"
Bi Eng menarik kendali kudanya dan kuda itu melesat ke depan mengejar kuda putih yang
ditunggangi oleh Li Hoa dan Li Goat. Akan tetapi pada saat itu, berkelebat bayangan orang
dibarengi bentakan,
"Nona Cia Bi Eng, jangan kau percaya bujukan mereka!"
Kuda hitam itu berjingkrak, mengangkat kedua kaki depan ke atas ketika Bi Eng yang terkejut
menahan tali kendalinya. Juga dua orang gadis itu kaget sekali. Tadi secara diam-diam mereka telah
mengintai dan melihat Bhok Kian Teng bersama pembantu-pembantunya sudah pergi ke guha,
kenapa pemuda ini tahu-tahu muncul di situ"
Memang Bhok-kongcu orangnya cerdik. Dia memang pergi ke guha, akan tetapi cepat kembali,
secara diam-diam dan bersembunyi di dekat pondok mengintai hingga ia melihat segala yang terjadi
di depan pondok.
"Orang she Bhok! Biarkan dia pergi! Dia apamukah maka kau berani menahan seorang gadis" Apa
kau tidak malu?" bentak Li Hoa dengan marah.
"Dia tawananku dan kalian ini bocah-bocah nakal tak usah mencampuri urusanku!" jawab Bhok
Kian Teng. "Tawanan ......?" Bi Eng berseru kaget. "Aku bukan tawanan! Bagaimana kau berani bilang
demikian?"
"Nona yang baik, jangan kau mendengarkan bujukan mereka. Mereka itu dua orang gadis yang
jahat, suka mengacau ......."
"Kurang ajar kau! Kau kira kami boleh kau hina sembarangan" Awas senjata!" bentak Li Goat yang
menggerakkan tangan kanannya dan dua buah benda yang berkilauan dengan cepat sekali
menyambar ke arah tubuh Bhok-kongcu, mengarah dua jalan darah yang berbahaya. Itulah senjata
rahasia Lian-hoa-piauw (Piauw Bunga Teratai), yang selain indah bentuknya, menyerupai bunga
dengan dironce merah, juga amat cepat sambarannya dan amat berbahaya.
Namun Bhok-kongcu adalah seorang pemuda yang memiliki kepandaian tinggi. Sambil
mengeluarkan suara tawa mengejek, dengan mudah saja ia miringkan tubuh dan dua buah senjata
rahasia itu menyambar lewat di atas punggungnya.
Sebelum Bi Eng sempat melarikan kudanya lagi, tiba-tiba Bhok-kongcu yang berada di depan
kudanya itu menggerakkan tangan menarik kendali kuda. Kuda hitam kesakitan dan merontahrontah
sehingga tak dapat ditahan lagi tubuh Bi Eng terlempar dari punggungnya.
Alangkah kaget dan marah hati Bi Eng ketika tahu-tahu ia telah diterima oleh kedua lengan tangan
Bhok-kongcu, dipondong sehingga tidak terbanting jatuh. Ia merontah-rontah dalam pelukan
pemuda itu dan berteriak-teriak, "Lepaskan aku! Lepaskan!"
Akan tetapi mana Bhok-kongcu mau melepaskannya" Malah pemuda ini lalu menotok jalan darah
gadis itu sehingga membuat Bi Eng lemas tak berdaya lagi. "Bi Eng, kau harus percaya kepadaku,
harus! Jangan dengarkan obrolan orang lain."
Kemudian ia berseru kepada orang-orangnya dengan suara tinggi. "Ji-wi lo-enghiong Tung-hai
Siang-mo! Tolong tangkap dua orang gadis itu!"
Pada saat itu, mendadak terdengar suara keras, "Bocah she Bhok, jangan kau kurang ajar terhadap
muridku!" Muncullah tubuh Ciu-ong Mo-kai dan dari mulutnya tersembur arak ke arah muka Bhokkongcu.
Pemuda ini maklum akan kelihaian pengemis tua ini. Maka ia lalu melempar tubuh Bi Eng ke
bawah pohon sambil mengelak dari serangan semburan arak, ta?ngannya mencabut keluar
kipasnya. la ma?sih tersenyum mengejek melihat pengemis itu. "Aha, kiranya Ciu-ong Mo-kai si
pe?ngemis kelaparan yang datang. Setelah menerima hajaran, kau masih belum kapok dan berani
muncul lagi?"
Ciu-ong Mo-kai mengeluarkan seruan keras dan dengan marah menyerang de?ngan guci araknya,
dihantamkan ke arah kepala Bhok-kongcu. Pemuda ini cepat mengelak dan membalas dengan
totokan maut yang dimainkan dengan kipasnya. Sebentar saja dua orang jago tua dan mu?da ini
saling gempur dengan hebatnya.
Bhok-kongcu boleh jadi seorang pemuda yang pada jaman itu jarang dicari tandingnya. Sebagai
putera tunggal dari Pak-?thian-tok, tentu saja ia memiliki kepan?daian yang tinggi juga, berkat
kecerdikan otaknya ia telah banyak mempela?jari ilmu-ilmu silat yang luar biasa. Sa?yangnya dia
adalah seorang pemuda mata keranjang yang terlalu suka menuruti naf?su hatinya sehingga dalam
hal lweekang, tenaganya belum dapat dikatakan sempur?na.
Sekarang ia menghadapi seorang tokoh besar seperti Ciu-ong Mo-kai, tentu saja biarpun dengan
ilmu silatnya ia dapat melakukan perlawanan dan bahkan dapat membalas dengan seranganserangan
maut, namun perlahan-lahan ia terdesak oleh ha?wa pukulan-hawa pukulan yang amat
kuat dari pengemis sakti itu. la mencoba hen?dak mempergunakan senjata rahasianya yang beracun,
akan tetapi Ciu-ong Mo-?kai Tang Pok tidak memberi kesempatan kepadanya.
Sementara itu dua orang iblis laut timur, Tung-hai Siang-mo, setelah men?dapat perintah Bhokkongcu
tanpa ragu?-ragu lagi lalu melompat maju dan kuda putih yang ditunggangi oleh Li Hoa
dan Li Goat kaget dan berdiri di atas kedua kaki belakang ketika sepasang iblis itu menghadang di
depannya. Sambil mempertahankan diri agar jangan jatuh dari atas kuda, Li Hoa mem?bentak, "Tung-hai
Siang-lo-enghiong, apa?kah kalian berani kurang ajar kepada ka?mi" Ayah akan menghukum
kalian!" Tentu saja Tung-hai Siang-mo sudah mendengar tentang kekuasaan Thio-taijin, ayah kedua orang
gadis ini, akan tetapi merekapun tahu bahwa kedudukan Bhok-?kongcu lebih tinggi dari pada ayah
mereka. Maka mendengar ancaman Li Hoa ini, Ji Kong Sek tersenyum. "Heh-heh, nona ber?dua
yang manis, mana kami berani kurang ajar terhadap puteri-puteri Thio-taijin" Kami hanya
menerima tugas dan perintah Bhok-kongcu supaya kalian jangan lari pergi. Kalau ayah kalian
marah, biarlah marah kepada kongcu. Heh-heh-heh!"
Li Hoa mengeluarkan seruan marah. la tahu bahwa percuma saja menggunakan nama ayahnya
untuk menggertak, dan ia?pun tahu pula bahwa kalau ayahnya tahu akan sepak-terjangnya di sini
terhadap Bhok-kongcu dan orang-orangnya, ayahnya malah akan marah kepadanya! Maka tanpa
banyak cakap lagi gadis yang berani ini lalu memberi isyarat kepada adiknya. "Li Goat serang!"
Seperti dua ekor singa betina, enci dan adik ini lalu melompat turun dan me?nerjang Tung-hai
Siang-mo dengan pedang mereka. Ji Kong Sek dan Ji Kak Touw tertawa mengejek. Dengan girang
mereka lalu melayani dua orang nona muda yang cantik-cantik ini, menghadapi permainan pedang
mereka dengan tangan kosong saja. Memang tingkat kepandaian sepasang iblis ini tentu saja jauh
lebih tinggi, maka de?ngan enak dan mudah mereka dapat mempermainkan Li Hwa dan adiknya.
Di lain pihak, Bhok-kongcu yang li?hai itu ternyata tidak kuat menghadapi amukan Ciu-ong Mokai
yang hendak menolong muridnya. Jago tua ini mengeluar?kan ilmu silatnya Liap-hong-sin-hoat
dan setelah dengan mati-matian mempertahan?kan diri, akhirnya Bhok-kongcu mulai ter?desak dan
permainan kipasnya kalang-ka?but. Pada jurus ketiga puluh, dengan se?ruan keras sekali Ciu-ong
Mo-kai menga?yun guci araknya ke arah Bhok-kongcu sambil membentak, "Pangeran keji,
mampuslah!"
Bhok-kongcu terkejut sekali melihat sambaran guci yang amat tidak tersangka?-sangka dan cepat
sekali ini. la mengangkat kipas menangkis sambil menusukkan jari-jari tangan kirinya ke arah mata
lawannya. Akan tetapi mendadak dari mu?lut guci itu melesat keluar segumpal arak yang
menyambar ke arah muka Bhok-kong?cu!
Pemuda ini berusaha miringkan kepala, namun masih ada sebagian arak yang me?ngenai pipi dan
matanya, sehingga terpak?sa ia meramkan mata. la merasa pipinya pedas sekali dan serangan jarijari
tangan kirinya tidak mengenai sasaran. Adapun kipas di tangan kanannya bertemu dengan guci,
mengeluarkan suara keras dan ....... senjata istimewa di tangannya itu patah-?patah! Otomatis Bhokkongcu
melompat mundur ke belakang dan gerakannya ini amat indah dan baik karena kalau tidak
demikian, tentu ia telah tertimpa bencana oleh serangan susulan yang dilakukan oleh Tang Pok.
Pada saat itu, muncul Hoa Hoa Cin?jin yang mengeluarkan suara marah, "Tang Pok pengemis
kelaparan! Pinto lawanmu, bukan orang-orang muda!"
Angin menyambar dahsyat ketika Hoa Hoa Cinjin menyerang. Tosu ini tidak berlaku sungkan lagi.
Tangan kanannya menggerakkan pedangnya yang bersinar hijau, sedangkan tangan kiri dikepal dan
menyerang pula dengan pukulan-pukulan jarak jauh.
"Tosu keparat! Siapa takut padamu?" Ciu-ong Mo-kai Tang Pok yang maklum akan kelihaian Hoa
Hoa Cinjin, segera me?layani tosu ini dengan sungguh-sungguh. Pedang hijau di tangan tosu itu
sudah lihai, akan tetapi pukulan-pukulan tangan kirinya lebih berbahaya lagi. Namun, de?ngan Ilmu
Silat Liap-hong-sin-hoat, Tang Pok masih dapat membuat Hoa Hoa Cinjin yang lihai itu
menghadapi tembok baja dan sukarlah baginya untuk mengalahkan pengemis sakti ini.
Menyaksikan bahwa kekuatan kedua fihak berimbang Bhok-kongcu menjadi pe?nasaran dan tidak
sabar lagi. Li Hoa dan Li Goat kini sudah roboh tertawan oleh Tung-hai Siang-mo, akan tetapi dua
orang kakek ini tentu saja tidak sudi membantu Hoa Hoa Cinjin, karena merekapun orang-?orang
berkedudukan tinggi sehingga mema?lukan mengeroyok lawan. Maka setelah merobohkan Li Goat,
dua orang tua inipun hanya berdiri sambil tertawa-tawa menon?ton. Bhok-kongcu lalu minta
bantuan mereka untuk mengantar Li Hoa, Li Goat, dan Bi Eng ke kota raja.
"Serahkan dua orang gadis Thio itu kepada ayah mereka dan ceritakan semua sepak-terjang mereka
yang tidak semesti?nya, dan nona Cia ini harap ji-wi (kalian) bawa ke rumahku, biar mengaso di
sana," pesannya. Tung-hai Siang-mo menjadi gi?rang dengan tugas yang ringan ini, maka mereka
segera membawa tiga orang nona muda itu pergi turun gunung.
Setelah membereskan tiga orang no?na itu, Bhok-kongcu lalu maju membantu Hoa Hoa Cinjin.
Kipasnya sudah rusak, maka kini ia membantu dengan serangan?-serangan senjata rahasia ke arah
Ciu-ong Mo-kai. Tentu saja serangan-serangan yang cukup dahsyat ini membuat Tang Pok menjadi
kewalahan. Kakek pengemis ini sudah merasa bingung melihat Bi Eng di?bawa pergi Tung-hai Siang-mo, dan
meng?hadapi desakan Hoa Hoa Cinjin saja sudah amat berat. Sekarang ditambah lagi de?ngan
serangan-serangan senjata rahasia berupa jarum-jarum halus beracun dari Bhok-kongcu, ia kaget
dan cepat menyem?burkan arak untuk melindungi dirinya. la tahu bahwa senjata rahasia pemuda ini
Pedang Naga Kemala 7 Bahagia Pendekar Binal Karya Khu Lung Legenda Kematian 4
^