Pencarian

Kasih Diantara Remaja 7

Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo Bagian 7


diri Bhok Kian Teng yang lebih terkenal di dunia kang-ouw dengan sebutan Bhok-kongcu. Memang
dia seorang pemuda yang hebat, pandai, disegani semua orang kang-ouw. Sayang sekali dia ini
terlalu gila nafsu, dan hatinya lemah menghadapi wajah cantik. Kiranya tidak ada seorang laki-laki
mata keranjang melebihi Bhok-kongcu pada waktu itu!
Setelah disambut oleh lima orang pelayannya dan disuguhi minuman sambil duduk di ruangan
depan. Bi Eng berkata. "Bhok-kongcu, kita sudah sampai di puncak Lu-liang-san. Ke mana kita
harus mencari kakakku" Harap kau memberi petunjuk, hatiku tidak enak sekali kalau belum bisa
melihat dia."
"Orang yang begini menyinta kakaknya seperti kau benar sukar dicari keduanya, nona Cia. Kita
sudah lelah mendaki puncak, kau mengasolah dalam kamar yang sudah kusediakan. Biar aku akan
menyuruh orang-orangku untuk mencari di sekitar puncak, kalau-kalau terlihat kakakmu itu. Jangan
kau terlalu kuatir. Sudah dicari di Cin-ling-san, kakakmu tidak berada di sana. Kalau memang dia
hendak menuju ke puncak Lu-liang-san, kalau sekarang belum ada, tentu esok atau lusa dia akan
muncul juga. Tenangkanlah hatimu."
Karena ucapan ini beralasan, Bi Eng menahan kesabarannya dan ia lalu pergi ke kamarnya untuk
beristirahat. Kamar itu kecil saja akan tetapi sekali lagi ia mendapatkan kemewahan yang hebat.
Tidak kalah oleh kamar seorang puteri kaisar mewahnya! Bi Eng sampai merasa sungkan untuk
berbaring di atas pembaringan yang ditilami sutera putih berkembang itu dan mengganti dulu
pakaiannya dengan pakaian yang bersih, baru ia berani duduk di situ. Saking lelahnya, begitu ia
mencoba untuk merebahkan diri, sebentar saja ia sudah pulas.
Senja telah lewat ketika Bi Eng membuka matanya dengan kaget. Ia hampir berteriak karena telah
mimpi yang bukan-bukan. Dalam mimpinya ia melihat kakaknya dikeroyok ular yang amat banyak.
Pemandangan mengerikan dalam mimpinya itu membuat ia terbangun dengan keringat membasahi
leher biarpun hawa udara amat dingin. Bi Eng lalu turun dari pembaringannya, membuka jendela
kamar memandang keluar. Biarpun malam telah tiba, keadaan di luar tidak gelap karena bulan telah
muncul. Timbul keinginan hatinya untuk keluar sendiri, pergi mencari Han Sin. Mimpi tadi
mendatangkan kegelisahan dalam hatinya, seakan-akan ia mendapatkan bisikan bahwa kakaknya itu
terancam bahaya. Ia hendak minta diri kepada Bhok-kongcu.
Setelah membetulkan pakaian dan menggantungkan pedang, gadis ini lalu membuka pintu. Keadaan
di ruangan tengah dan belakang gedung itu sunyi saja, akan tetapi di ruang depan nampak sinar
terang dan terdengar suara banyak orang bercakap-cakap.
"Heran, Bhok-kongcu kedatangan begitu banyak tamu," pikir Bi Eng. "Tak perlu aku memberi
tahu, lebih baik aku menggunakan kesempatan ini untuk pergi mencari Sin-ko," Ia lalu ke belakang,
membuka pintu belakang. Karena belum mengenal jalan, ia lalu mengayun tubuh ke atas genteng
dan dari tempat tinggi itu ia melihat ke sekeliling.
Sunyi senyap di sekeliling gedung, hanya di ruang depan itu nampak sinar penerangan dan
terdengar ramai orang bicara. Samar-samar di bawah sinar bulan ia melihat puncak Lu-liang-san
menjulang tinggi. "Aku harus ke sana," pikirnya lagi. "Bukankah dulu Sin-ko bilang bahwa surat
wasiat itu mengharuskan dia pergi ke puncak" Siapa tahu dia sudah berada di sana dan diam-diam
aku dan dia bisa melanjutkan perjalanan tanpa terganggu orang lain."
Dengan hati penuh harapan ia lalu berlari di atas genteng sampai tiba di bagian paling belakang dari
gedung itu. Dengan ringan sekali ia melompat turun ke dalam taman. Tiba-tiba berkelebat bayangan
orang dan terdengar bentakan lirih.
"Siapa berani mati mencuri masuk di sini?"
Bi Eng terkejut dan segera mengenal orang itu yang bukan lain adalah Yo Leng Nio, gadis galak
yang menjadi tangan kanan Bhok-kongcu. Terpaksa ia tersenyum dan menjawab.
"Enci Yo Leng Nio, kiranya kau yang muncul. Sampai kaget aku, kusangka tadinya siluman yang
mencegatku di tempat ini."
"Kaulah silumannya! Kau siluman betina tak kenal malu, kau gadis sombong. Kau merasa telah
dapat merampas hati Bhok-kongcu" Hemmm, jangan harap! Paling-paling kau menjadi kekasih dan
permainannya untuk beberapa bulan. Hemmm, kelak kalau dia sudah bosan, akan kulihat kau
dijadikan apa. Sebaliknya aku, biarpun tidak menjadi kekasih istimewa seperti kau yang menjual
kecantikanmu, sudah delapan tahun aku tetap menjadi pembantunya yang dipercaya, Huh, manusia
macam kau ini bisa apa sih?"
Bukan main marah dan mendongkolnya hati Bi Eng mendengar makian dan ucapan yang kasar ini.
Mukanya menjadi merah sekali, malu dan jengah mendengar omongan yang rendah, omongan
wanita yang tak dapat digolongkan wanita sopan dan baik-baik. Saking marahnya Bi Eng mencabut
pedangnya dan menudingkan ujung pedang ke muka Leng Nio.
"Eh, eh, tahan tuh mulutmu yang kotor!" Bi Eng membentak. "Kau menjadi kaki tangan atau
kekasih Bhok-kongcu, apa sih hubungannya dengan aku" Jangan kau samakan aku dengan orang
macam kau. Kau dan orang seperti Ang-hwa dan kawan-kawanmu memang bukan perempuan baikbaik,
siapa sih yang hendak merebut .... laki-laki dari kalian" Cih, tak tahu malu!" Panas hati Bi Eng
karena berkali-kali ia dituduh hendak merebut hati Bhok-kongcu. Jangankan dia tidak mempunyai
hati sedemikian, andaikata adapun yakni andaikata dia suka kepada Bhok-kongcu, juga ia tentu
tidak sudi menerima penghinaan dan makian dari Yo Leng Nio.
"Perempuan sial, sudah terang-terangan berhari-hari melakukan perjalanan dengan Bhok-kongcu,
masih pura-pura menyangkal. Tak tahu malu!" Yo Leng Nio memaki lagi. Memang siapa bisa
percaya bahwa gadis ini tidak menjadi kekasih Bhok-kongcu setelah melakukan perjalanan berdua"
Gadis mana yang takkan senang hatinya diberi kesempatan seperti itu"
Bi Eng tak dapat menahan marahnya lagi mendengar ini. Pedangnya bergerak dan ia menyerang
Leng Nio dengan penuh amarah. Leng Nio mengeluarkan dengus mengejek, lalu iapun mencabut
siang-kiam (sepasang pedang) yang selalu terpasang di punggung.
Segera dua orang gadis itu bertempur dengan hebat seperti dua ekor singa betina. Akan tetapi,
biarpun Bi Eng sudah menerima warisan ilmu yang tinggi dari Ciu-ong Mo-kai, ia bukanlah
tandingan Yo Leng Nio. Ia kalah latihan dan kalah pengalaman. Memang harus diakui bahwa ilmu
silat yang ia warisi itu adalah ilmu yang tinggi, yang pada jurus-jurus pertama membuat Leng Nio
terkesiap dan terdesak hebat. Namun gadis ini kurang latihan, kurang matang ia mainkan pedangnya
dan tenaganya pun kalah kuat.
Yo Leng Nio sudah mendapat petunjuk-petunjuk dari Bhok-kongcu, maka kepandaiannya cukup
tinggi. Kalau tidak demikian mana dia bisa menjadi orang kepercayaan Bhok-kongcu" Setelah
lewat tiga puluh jurus, ia dapat mengubah gerakan-gerakannya dan kini ia membingungkan Bi Eng
dengan ilmu pedang pasangan yang lebih banyak menggertak dan memancing. Bi Eng merasa
seperti dikeroyok dua orang dan kalutlah permainannya, membuat ia terdesak.
"Huh, kalau tidak ingat kau kekasih baru Bhok-kongcu, ingin aku menggurat-guratkan pedang pada
mukamu, ingin aku memotong hidungmu!"
Yo Leng Nio mengejek dan memperhebat desakannya. Pedang kanannya melakukan serangan kilat
ke arah hidung Bi Eng. Gadis ini tentu saja terkejut sekali. Kata-kata Leng Nio tadi mengingatkan ia
akan nasib Ang-hwa yang dibuntungi hidungnya, membuat ia merasa ngeri bukan main. Maka
begitu melihat pedang kanan lawannya menyambar hidung, ia mengeluarkan seruan tertahan dan
cepat-cepat ia menangkis dengan pedangnya.
Kekagetannya ini mengurangi kewaspadaannya sehingga ia tidak tahu bahwa pedang kanan itu
hanyalah gertak sambal belaka atau pancingan sehingga ketika menangkis, tahu-tahu pedang kiri
Leng Nio berkelebat dari kiri menghantam pedangnya dekat gagang. Pedang ini menyambar dekat
jari tangannya yang memegang pedang. Bi Eng terkejut sekali dan terpaksa melepaskan gagang
pedangnya kalau ia tidak mau jari-jari tangannya terbabat putus. Dengan suara keras pedangnya
terpukul dan terlempar ke udara!
"Bunuhlah kalau kau mau bunuh!" Bi Eng menantang sambil melindungi mukanya. Ngeri dia, takut
kalau mukanya dirusak. Gadis berani mati ini tidak gentar menghadapi maut, akan tetapi kalau
mukanya dirusak, takut ia bukan main.
Leng Nio melihat ketakutan ini, ia tersenyum mengejek. "Biar kugurat sedikit pipimu, hendak
kulihat dia masih menyintamu atau tidak!" Pedangnya ditodongkan ke muka orang penuh ancaman.
Bi Eng mundur-mundur dengan pucat.
"Jangan .... bunuh saja aku ....." katanya.
Leng Nio mengeluarkan suara ketawa menyeramkan, pedangnya digerak-gerakkan seperti hendak
menggurat muka Bi Eng yang berusaha melindungi mukanya dengan kedua tangan. Sebetulnya,
memang tidak akan ada kesenangan lebih besar bagi Leng Nio di saat itu dari pada merusak muka
gadis ini, gadis yang amat dibencinya karena dianggap merebut hati Bhok-kongcu.
18. Para Pembantu Pangeran Mongol
KEBENCIAN yang timbul dari cemburu. Memang paling berbahayalah kalau wanita sudah dibakar
oleh cemburu, ia bisa menjadi nekad dan melakukan segala macam perbuatan mengerikan. Akan
tetapi, rasa takutnya terhadap Bhok-kongcu lebih besar lagi sehingga Leng Nio masih ingat bahwa
kalau ia mengganggu Bi Eng, tentu Bhok-kongcu takkan mengampuninya. Maka ia hanya
mempermainkan Bi Eng dan hanya mengancamnya. Melihat Bi Eng makin ketakutan, ia lalu
mendesak. "Aku takkan merusak mukamu asal kau suka memberitahukan di mana adanya surat wasiat Lie Cu
Seng." Tak dapat disangkal pula, memang Bi Eng merasa ngeri kalau memikirkan mukanya akan dirusak.
Akan tetapi dia bukan seorang pengecut. Kalau untuk melindungi mukanya ia harus membuka
rahasia tentang surat wasiat yang dibawa kakaknya, nanti dulu!
"Aku tidak tahu," jawabnya.
"Kalau begitu, betul-betul hidungmu akan kupotong!"
Pedang di tangan Leng Nio berkelebat, akan tetapi tiba-tiba pedang itu terlepas dari pegangan, juga
pedang di tangan kiri dan di lain saat Leng Nio sudah roboh tergelimpang. Bi Eng kaget sekali, juga
heran. Akan tetapi tahu-tahu ada bayangan berkelebat dan gadis ini telah disambar orang, dibawa
melompat tinggi ke atas genteng, terus dibawa berlari cepat sekali.
Leng Nio yang sudah dapat bangun lagi, tidak mengenal siapa penyerang gelap tadi karena
bayangan itu sudah lenyap bersama Bi Eng. Bukan main kagetnya. Ia tahu bahwa mengejar takkan
ada artinya karena sudah terang penyerang gelap tadi memiliki kepandaian yang luar biasa sekali,
jauh lebih tinggi dari pada kepandaiannya sendiri. Ia hanya melihat tubuh yang ramping dari
belakang ketika bayangan itu berkelebat pergi memondong tubuh Bi Eng.
"Apa dia Thio-siocia .....?" pikir Leng Nio.
Thio Li Hoa juga amat tinggi ilmu silatnya, akan tetapi kenapa Thio-siocia menculik Bi Eng" Pula,
ia mengenal gerakan-gerakan Li Hoa yang menjadi murid utama dari Coa-tung Sin-kai. Sedangkan
bayangan tadi yang jelas adalah bayangan seorang wanita, memiliki gerakan yang cepat dan aneh.
Apalagi serangan pukulan jarak jauh yang membuat pedangnya terlepas dan tubuhnya terguling
tanpa menderita luka, benar-benar merupakan serangan yang luar biasa dan aneh. Agaknya Thiosiocia
belum tentu mampu melakukan serangan macam itu. Siapa dia"
Harus kulaporkan kepada Bhok-kongcu, pikir Leng Nio dan gadis ini menjadi takut. Ia memutar
otak mencari akal bagaimana harus melaporkannya tanpa menimpakan kesalahan kepada diri
sendiri. Perlahan-lahan ia lalu memasuki gedung itu dari pintu belakang.
Bi Eng merasa dirinya tak berdaya dalam pondongan orang itu. Atau lebih tepat ia "dikempit"
karena orang itu membawanya seperti orang membawa sepotong balok saja. Tentu ia akan meronta
sekuatnya kalau saja yang merampasnya itu seorang pria.
Akan tetapi setelah ia tahu bahwa yang membawanya pergi adalah seorang wanita, ia menjadi
tertarik sekali dan ingin tahu apa yang hendak dilakukan wanita itu terhadap dirinya. Tentu tidak
bermaksud jahat, pikirnya. Buktinya, wanita ini sudah menolongku dari ancaman Leng Nio yang
galak. Ia kagum sekali melihat betapa wanita itu dengan ringan meloncat-loncat lalu turun dari atas
genteng dan membawanya lari memasuki sebuah hutan besar di lereng bukit. Tidak mudah berlarilari
secepat itu sambil memondongnya. Ketika ia melirik ke atas, hatinya berdebar. Wanita itu
memakai kedok yang menutupi seluruh muka dan kepalanya. Hanya sepasang mata yang bersinarsinar
aneh tampak dari dua lubang kecil di kedok itu.
Dia langsing sekali dan tubuhnya menunjukkan bahwa dia masih muda, tapi kepandaiannya sudah
hebat dan sikapnya aneh. Mengapa pakai kedok menutupi muka" pikir Bi Eng.
Setelah tiba di tengah hutan yang besar, si kedok itu melepaskan kempitannya, kemudian sekali ia
melayang, tubuhnya telah naik dan tahu-tahu ia telah duduk di atas cabang pohon. Bi Eng berdiri
dan memandang kagum.
"Siapa kau?" tanyanya. "Dan kenapa kau membawaku ke sini?"
"Kalau tidak membawamu ke sini, sekarang tentu hidungmu sudah putus dan pipimu sudah coratcoret
oleh luka," jawab si kedok itu dan ternyata suaranya merdu sekali.
Bi Eng tertawa. "Oh, betul juga. Aku belum mengucapkan terima kasih. Eh, enci berkedok yang
aneh. Agaknya mukamu sendiri bercacad hebat maka kau tidak tega melihat orang mau melukai
mukaku." "Kenapa kau bilang begitu?"
"Kalau mukamu tidak bercacad, mengapa kau tutupi mukamu itu" Melihat bentuk tubuh dan
mendengar suaramu, pantasnya kau seorang yang memiliki muka cantik sekali. Sayang bercacad,
maka kau tutupi."
Sampai lama gadis berkedok yang duduk di cabang pohon itu tidak menjawab. Akhirnya ia
menghela napas dan berkata, suaranya sedih.
"Aku berkedok atau tidak, apa hubungannya dengan kau" Apakah kau adik dari Cia Han Sin?"
Bi Eng seorang gadis periang, maka segera ia merasa senang melihat si kedok ini. "Betul, namaku
Cia Bi Eng, enci berkedok, apakah kau juga sudah mengenal kakakku" Agaknya orang-orang paling
aneh di dunia ini semua mengenal kakakku," katanya bangga. "Apa kau tahu di mana adanya
kakakku?" Akan tetapi gadis berkedok itu tidak perdulikan omongannya. "Perempuan tadi bilang kau
bersahabat dengan Bhok-kongcu. Betulkah kau melakukan perjalanan dengan pemuda itu" Apakah
kau sahabatnya?"
Bi Eng teringat akan ucapan-ucapan kotor yang dikeluarkan Leng Nio tadi. Wajahnya merah dan ia
menjawab, "Kalau betul, mengapa" Aku bukan orang macam Leng Nio. Aku memang sahabatnya
dan aku betul melakukan perjalanan dengan dia. Akan tetapi apa salahnya" Bhok-kongcu orangnya
baik sekali, sopan dan terpelajar. Dia malah membantuku mencari Sin-ko."
"Hemmmm ...... kau anak kecil tahu apa" Tidak tahu bahwa kau sudah terjerumus di tengah-tengah
bahaya maut, begitu pula kakakmu yang tolol dan terlalu baik itu. Hemmm ......"
"Bahaya maut ......." Apa maksudmu" Di mana kakakku?" Bi Eng tidak berani main-main lagi
karena ia mulai mengkhawatirkan keselamatan Han Sin.
Pada saat itu terdengar suara ketawa aneh, menyeramkan sekali seperti bukan suara manusia.
Datangnya dari jauh, makin lama makin dekat, lalu disusul suara seperti kuda meringkik, namun
bukan kuda. Suara kedua inipun amat tajam melengking menusuk telinga sehingga Bi Eng yang
berhati tabah tetap saja merasa bulu tengkuknya berdiri.
"Apa itu .....?" tanyanya.
Gadis berkedok itu tertawa kecil. Tangan kirinya menuding dan ia berkata. "Nah, kau dengar itu"
Mereka juga sudah datang, Tung-hai Siang-mo (Sepasang Iblis dari Laut Timur). Pasti makin ramai
dan semua itu datang untuk kakakmu dan kau. Marilah kau ikut aku dan lihat sendiri, akan tetapi
awas, jangan sekali-kali kau mengeluarkan suara kalau melihat apa-apa. Ini demi keselamatanmu
sendiri, mungkin demi keselamatan kakakmu, Cia Han Sin. Mau kau berjanji?"
Bi Eng menelan ludah, merasa seram. Ia mengangguk. "Aku berjanji."
Nona berkedok itu melompat turun, begitu ringan seperti sehelai daun kering tertiup angin,
membuat Bi Eng menjadi makin kagum. "Kau ikuti aku, kerahkan ginkangmu supaya jangan
menimbulkan suara berisik," kata nona berkedok itu yang lalu ke puncak, diikuti oleh Bi Eng.
"Eh, enci berkedok. Sebetulnya siapa namamu?" Di tengah perjalanan Bi Eng tak dapat menahan
hatinya lagi, bertanya.
Tanpa menoleh gadis berkedok itu berkata. "Namaku Hoa-ji."
"Bagus, kalau begitu mulai sekarang aku menyebutmu enci Hoa-ji, eh, tidak mungkin. Hoa-ji
berarti anak Hoa, mana bisa aku menyebut anak padamu. Enci Hoa, nah, baiknya Enci Hoa saja.
Enci Hoa yang baik, setelah kau suka menolongku, mengapa kau tidak mau memperlihatkan
mukamu yang cantik kepadaku?"
Kini gadis berkedok itu menoleh. "Kau berwatak gembira sekali, tidak seperti kakakmu. Bi Eng
apakah selama hidupmu kau belum pernah merasai duka?" Biarpun sambil bicara, nona berkedok
itu tidak menghentikan langkahnya.
"Duka" Kenapa, enci Hoa" Kata kakak Sin, hidup di dunia ini tidak abadi, tidak lama, mengapa
mesti membuang waktu untuk berduka" Nah, karena menuruti ucapan Sin-ko, aku selalu gembira.
Dan lagi, apa sebabnya kita mesti susah-susah?"
"Hemm, misalnya ..... mengenang orang tua. Bukankah orang tuamu sudah tidak ada lagi?"
Bi Eng menarik napas panjang. "Ayah ibuku sudah meninggal dunia, kenapa mesti susah-susah
lagi" Hanya penasaran yang ada karena mati mereka itu terbunuh orang. Akan datang saatnya aku
membalas dendam ini. Akan tetapi susah" Tidak, aku tidak susah. Disusahkan juga apa artinya"
Yang mati takkan kembali, paling-paling aku menjadi kurus kering." Gadis lincah jenaka ini
tertawa lagi, senyumnya manis menghias bibirnya.
"Bi Eng, kau baik .... Sekarang harap kau jangan bersenda gurau lagi, kita sudah mendekati puncak.
Kau diam saja, buka mata buka telinga tapi tutup mulut."
Dua orang gadis ini berindap-indap menuju ke puncak di mana terdapat bangunan mungil milik
Bhok-kongcu itu. Bi Eng masih mendengar suara orang banyak bercakap-cakap di ruangan depan.
Ke sinilah gadis berkedok membawanya. Berkali-kali gadis berkedok, Hoa-ji, memberi tanda
dengan telunjuk ke depan mulut supaya Bi Eng tidak mengeluarkan suara.
Setelah tiba di depan rumah, Bi Eng melihat bahwa Bhok-kongcu sedang menghadapi beberapa
orang tamu dan keadaan di situ ramai dan gembira. Cepat ia bersembunyi di belakang sebatang
pohon di tempat gelap seperti yang ditunjuk oleh Hoa-ji. Gadis berkedok itu sendiri setelah melihat
Bi Eng mendapatkan tempat sembunyi yang baik, lalu berkelebat menghilang di dalam gelap. Dari
tempat sembunyinya Bi Eng dapat melihat jelas dan dapat mendengar tegas.
Bhok Kian Teng duduk dengan wajah berseri menghadapi banyak orang yang aneh-aneh bentuk
wajahnya, ada belasan orang banyaknya duduk di kursi terdepan dan mereka ini rata-rata sudah
berusia lanjut. Masih ada dua puluh orang lebih yang dari tingkat muda duduk di bangku belakang.
Mereka semua menghadapi meja yang penuh hidangan dan arak.
Ketika Bi Eng menggerakkan pandang matanya menyapu orang-orang yang duduk di ruang itu,
dengan amat heran ia melihat dua orang tosu yang dikenalnya baik, yaitu It Cin Cu dan Ji Cin Cu
dari Cin-ling-pai! Pada saat itu Bhok-kongcu berkata sambil tersenyum ramah seperti biasanya dan
suaranya halus seperti biasa pula.
"Kutegaskan sekali lagi bahwa orang-orang gagah yang membantu pemerintah kita yang mulia
adalah jago-jago pilihan di dunia. Cuwi enghiong (tuan-tuan sekalian yang gagah) tidak usah raguragu
lagi bahwa ji-wi tosu It Cin Cu dan Ji Cin Cu dapat digolongkan sebagai orang-orang
segolongan dan orang-orang gagah pula." Sambil berkata demikian, Bhok-kongcu menganggukkan
kepalanya ke arah tempat duduk dua orang tosu Cin-ling-pai yang duduk dengan muka muram di
pojok. Semua orang yang duduk di situ memandang ke arah dua orang tosu itu, akan tetapi hanya seorang
saja yang membuka suara setelah mengeluarkan suara mendengus penuh ejekan. Orang ini adalah
seorang kakek kurus kecil yang pakaiannya membuat Bi Eng hampir tertawa karena geli hatinya.
Orangnya sudah tua, lagi buruk mukanya, akan tetapi pakaiannya dari sutera berkembang emas.
Benar-benar seperti seorang anak wayang yang ke sasar ke tempat itu!
Gadis ini tidak tahu bahwa kakek yang dianggapnya seperti badut wayang itu adalah seorang tokoh


Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kang-ouw yang terkenal, seorang di antara tiga "raja" sungai Huang-ho, yaitu yang terkenal dengan
julukannya Kim-i Tok-ong (Raja Racun Berbaju Emas)! Di lembah sungai Huang-ho banyak
didiami orang-orang jahat, dijadikan sarang perampok dan bajak sungai, akan tetapi yang terkenal
sebagai Huang-ho Sam-ong (Tiga Raja sungai Huang-ho) adalah Kim-i Tok-ong, Ban-jiu Touw-ong
(Raja Copet Tangan Selaksa), dan ketiga Hui-thian Mo-ong (Raja Iblis Terbang ke Langit).
Biarpun kecil kurus tubuhnya, paling kecil di antara tiga orang raja sungai itu, namun kepandaian
Kim-i Tok-ong bukanlah yang paling kecil. Ketika mendengar ucapan Bhok-kongcu yang memuji
dua orang tosu Cin-ling-pai sebagai orang-orang segolongan atau sejajar dengan kawan-kawannya
yang duduk di situ, Kim-i Tok-ong menjadi tak senang dan mengeluarkan dengus mengejek tadi. Ia
lalu berdiri dan berkata, matanya memandang ke arah It Cin Cu yang muram dan muka Ji Cin Cu
yang biarpun keningnya berkerut namun mulutnya tetap tersenyum lebar itu
"Hemm, sungguh aneh sekali, Bhok-kongcu. Sudah lama sekali saya mengenal Cin-ling-pai sebagai
sebuah partai yang angkuh dan menganggap diri sendiri tinggi dan bersih! Aha, masih teringat tiang
yang bersangkutan untuk memberi penerangan." Sambil berkata demikian, ia menoleh kepada It
Cin Cu dan Ji Cin Cu.
Ji Cin Cu mengeluarkan suara ketawa dan wajahnya yang bundar gemuk itu menjadi makin lucu
dan ramah. Memang tosu gemuk pendek ini lucu dan ramah. Memang tosu gemuk pendek ini
berjuluk Siauw-bin-hud (Buddha Tertawa), dan dalam keadaan bagaimana, wajahnya selalu ramah
dan bibirnya selalu tersenyum.
"Siancai .... siancai .... memang pinto dan twa-suheng selalu menyembunyikan diri selama ini
sehingga seperti kodok-kodok di dalam sumur, tidak tahu bahwa di luar sumur masih terdapat dunia
luas. Mana pinto tahu bahwa di dunia ini terdapat raja-raja berpakaian emas dan selalu melumur diri
dengan racun" Ha ha ha, memang benar ucapan Kim-i Tok-ong tadi, kami hanya dua orang tosu
dari Cin-ling-pai, akan tetapi biarpun tua, para sute kami kiranya masih akan mentaati perintah
kami. Terima kasih atas kepercayaan Bhok-kongcu, karena kepercayaan itu menebalkan kesetiaan
kami." Bhok-kongcu juga tertawa. Tentu saja siauwte percaya penuh akan kesetiaan dan kepandaian
Siauw-bin-hud Ji Cin Cu totiang."
Panas perut Kim-i Tok-ong mendengar ucapan tosu gendut itu dan mendengar dia tadi disindir
sebagai raja berpakaian emas yang selalu melumur diri dengan racun. Apalagi mendengar jawaban
Bhok-kongcu yang amat ramah terhadap tosu gendut itu. Ia bangkit berdiri dengan muka merah dan
kedua tangannya yang digerak-gerakkan itu berubah menjadi hitam!
Hui-thian Mo-ong yang melihat saudaranya sudah naik darah. Kuatir kalau terjadi apa-apa yang
akan membikin hati Bhok-kongcu tidak senang maka melihat kedua tangan saudaranya sudah hitam
tanda bahwa Raja Racun itu hendak menggunakan tangan maut, ia cepat berbangkit dan berkata.
"Kim-i Tok-ong loheng harap bersabar. Kasihanilah tosu-tosu tua ini yang sudah mendapat
kepercayaan Bhok-kongcu. Kongcu yang waspada takkan salah pilih orang. Malah kita harus
menghormati kedatangan dua orang pilihan baru dengan arak seperti biasa."
Sambil tersenyum Hui-thian Mo-ong yang bertubuh kurus tinggi dan berpakaian serba hitam itu
menghampiri meja di mana ditaruh sebuah guci arak yang amat besar. Guci ini tadi dipikul oleh
empat orang pelayan dan sekarang masih penuh arak. Beratnya tidak kurang dari dua ratus kati.
Sambil berjalan menghampiri guci arak, Hui-thian Mo-ong mengerling ke arah Bhok-kongcu.
Pemuda ini maklum bahwa Raja Iblis ini hendak mencoba kepandaian dua orang tosu Cin-ling-pai
tanpa bertempur, maka ia menjadi gembira dan menganggukkan kepalanya sambil mengipasi diri
dengan kipasnya.
Bi Eng yang bersembunyi di balik pohon, melihat semua ini dengan bengong dan alangkah
kagetnya ketika melihat Hui-thian Mo-ong menggunakan tangan kiri untuk mengangkat guci arak
besar itu, begitu ringan seperti orang-orang mengangkat tempat air teh yang kecil saja! Kemudian
Hui-thian Mo-ong berseru keras, "Harap ji-wi totiang dari Cin-ling-pai sudi menerima suguhan arak
dari Hui-thian Mo-ong!"
Dan tiba-tiba guci arak yang berat dan besar itu ia lontarkan ke atas. Guci arak itu melayang ke atas
kepala para tamu dan meluncur ke arah Ji Cin Cu si gendut yang masih enak-enak duduk sambil
tersenyum-senyum. Hampir saja Bi Eng mengeluarkan seruan kaget melihat hal ini.
Kalau guci itu turun menimpa kepala orang, bukankah kepala yang besar dan bulat itu akan remukremuk"
Guci itu, tanpa tumpah sedikitpun arak di dalamnya, kini dari atas meluncur ke bawah, tepat
ke arah kepala Ji Cin Cu dan terdengar suara angin meniup.
"Ho ho, biarpun golongan iblis, kalau sudah menjadi raja masih punya aturan. Kamsia .... kamsia ....
(terima kasih) ...!" Sambil berkata begini, Ji Cin Cu menggerakkan kedua lengannya ke atas sambil
menggerakkan tenaga dalamnya dan ..... sebelum guci arak itu tersentuh ujung tangannya, guci itu
terpental oleh hawa pukulannya, kembali ke atas dan di atas menjadi goyang sedikit sehingga ada
arak yang tertumpah ke bawah. Sambil membuka mulutnya untuk menerima arak yang sengaja ia
tuangkan itu, kembali kedua tangan Ji Cin Cu bergerak mendorong dan kini guci arak itu terbang ke
arah It Cin Cu.
"Twa-suheng, penghormatan orang harus diterima," kata Ji Cin Cu setelah menelan arak tadi. Ia
sengaja berkata begini untuk meredakan hati suhengnya yang ia tahu mudah tersinggung.
It Cin Cu mengangguk berkata singkat, "Kau yang disuguh, bukan aku!" Tangan kirinya diangkat
untuk menerima guci itu lalu didorongnya sekali gus ke arah Kim-i Tok-ong! Hebat tenaga
dorongan ini, lebih hebat dari pada dorongan Hui-thian Mo-ong tadi sehingga dengan mengeluarkan
suara mengaung guci itu terbang ke arah Kim-i Tok-ong dalam keadaan terputar seperti gasingan.
Kim-i Tok-ong maklum akan hebatnya serangan ini. Guci yang dilontarkan begitu saja masih
mudah disambut dan ditangkis. Akan tetapi dengan tenaga lweekang yang luar biasa It Cin Cu tidak
saja melontarkan, malah membikin guci terputar-putar dan inilah yang sukar bagi si penerima.
Namun Kim-i Tok-ong tidak percuma menjadi seorang di antara ketiga Huang-ho Sam-ong. Ia
bangkit berdiri dan begitu tangannya menyambut guci, kedua tangan itu ia putar-putar menurutkan
gerakan guci. Makin lama putaran tangannya makin perlahan, kemudian setelah habis tenaga
putaran guci, ia melontarkan guci itu tinggi sekali sampai hampir menyentuh langit-langit sambil
berkata. "It Cin Cu totiang, biar sekarang aku yang menyulangi arak kepadamu!"
Tiba-tiba guci yang melayang ke atas itu kini terbalik. Tentu saja arak di dalamnya tumpah keluar
dan menimpa turun dikejar gucinya. Arak dan guci melayang ke bawah menimpa ke arah kepala It
Cin Cu. Semua orang terkejut. Inilah serangan hebat dan sukar dihadapi. Biarpun guci itu sendiri
tentu saja dapat disambut atau dielakkan, namun bagaimana bisa menyambut datangnya arak yang
tumpah itu" Sungguhpun tersiram arak tidak berbahaya namun hal ini tentu saja akan memalukan
sekali. Namun It Cin Cu tenang-tenang saja. Dalam ketenangannya, ia dapat bergerak cepat sekali. Tibatiba
tubuhnya mencelat ke atas dan kedua tangannya menyambar guci lalu dibaliknya guci itu dan
digunakan untuk menadahi arak yang tumpah ke bawah. Gerakannya demikian cepat, melebihi
cepatnya arak yang turun sehingga semua arak dapat diterima ke dalam mulut guci, kecuali sedikit
yang diterimanya dengan mulut!
Terdengar tepuk tangan memuji dan Bhok-kongcu berseru saking girang dan kagumnya. Akan
tetapi suara pujiannya terhenti karena kagetnya melihat It Cin Cu melontarkan guci itu ke arah Banjiu
Touw-ong. Orang kedua dari Huang-ho Sam-ong. Agaknya It Cin Cu juga ingin sekali
mengukur kepandaian tiga orang ini dan setelah Kim-i Tok-ong dan Hui-thian Mo-ong tadi
memperlihatkan kepandaiannya, ia ingin melihat kepandaian si Raja Copet.
Hebatnya, kalau tadi guci arak berkali-kali dilontarkan ke atas dan hanya menyerang kepala orang
dari atas ketika jatuh ke bawah, sekarang It Cin Cu melontarkan dari samping dan guci itu langsung
melayang ke arah kepala Ban-jiu Touw-ong. Sambitan ini kuat sekali dan amat berbahaya kalau
orang berani menyambutnya, karena sambitan itu sudah menjadi berlipat ganda dengan beratnya
guci itu sendiri.
Semua orang terkejut, tak terkecuali Bhok-kongcu yang maklum akan kehebatan serangan ini.
Hanya dua orang di antara Huang-ho Sam-ong yang nampak tenang-tenang saja, agaknya mereka
ini percaya penuh akan kemampuan Ban-jiu Touw-ong.
Orangnya sendiri yang menghadapi serangan ini mengeluarkan suara seperti orang ketakutan.
Memang Ban-jiu Touw-ong orangnya suka berjenaka, tubuhnya juga serba panjang, pantas saja
menjadi raja tangan panjang, pakaiannya belang-belang dan terlalu besar untuknya seperti pakaian
badut tukang sulap. Menghadapi serangan ini ia menjatuhkan diri dari atas bangkunya sehingga
guci arak itu lewat di atas kepalanya, terus melayang keluar dari jendela yang kebetulan berada di
belakangnya! "Wah, Touw-ong tak berani menerima .....!" kata Bhok-kongcu, menyesal dan kecewa karena hal
ini berarti merendahkan nama Huang-ho Sam-ong yang sudah menjadi pembantu-pembantunya.
Akan tetapi tiba-tiba Ban-jiu Touw-ong tertawa dan tubuhnya berkelebat melayang keluar.
Semua orang menahan napas dan tak lama kemudian, nampak si tangan panjang itu sudah meloncat
kembali ke dalam ruangan sambil memanggul guci arak itu yang sama sekali tidak pecah, bahkan
araknya tidak ada yang tumpah. Dengan senyum ia menaruh guci itu ke tempat yang tadi, kemudian
ia memandang ke arah It Cin Cu lalu menjura, "Lihai sekali .... tangan tosu dari Cin-ling-pai benarbenar
berbahaya dan sekali turun tangan tidak kepalang tanggung!"
Ji Cin Cu hanya tertawa ha ha hi hi, lalu berkata, "Memang untuk menjadi tukang copet harus
memiliki gerakan cepat. Kagum ...... kagum ......"
Akan tetapi It Cin Cu masih merengut dan berkata singkat. "Tidak percaya sama dengan menghina,
menghina sama dengan menantang. Orang gagah tidak pantang mundur menghadapi tantangannya."
Di antara tiga orang raja ini, Kim-i Tok-ong terkenal berwatak berangasan. Mendengar ucapan It
Cin Cu, ia segera berdiri dan memandang tosu itu sambil berkata, "Ilmu silat Cin-ling-kun dan Imyang-
kun yang dibuat andalan Cin-ling-pai semua aku sudah melihatnya dan ternyata tidak sebesar
nama Cin-ling Sam-eng. Akan tetapi aku mendengar bahwa mendiang Giok Thian Cin Cu
mempunyai ilmu pedang simpanan yang disebut Lo-hai Hui-kiam. Entah berita angin ini ada
benarnya atau hanya omong kosong untuk menakut-nakuti orang saja. Kulihat ji-wi totiang dari
Cin-ling-pai ini mempunyai kedudukan tertinggi di samping Giok Thian Cin Cu, juga selalu
membawa pedang tentu ilmu pedang Lo-hai Hui-kiam itu dapat dipertontonkan di sini. Ingin kami
bertiga mencoba-coba sebentar kalau ji-wi totiang memang memiliki kepandaian dan tentu saja
kalau Bhok-kongcu memberikan izin."
It Cin Cu dan Ji Cin Cu saling pandang dengan heran. Memang pendengaran orang-orang kang-ouw
sangat tajam. Bagaimana Raja Racun ini bisa tahu bahwa mendiang ketua Cin-ling-pai memiliki
ilmu pedang yang amat rahasia itu" It Cin Cu memberi tanda dengan matanya kepada sutenya lalu
........"Sratt!" Ia sudah mencabut pedangnya, diturut oleh Ji Cin Cu.
"Dengan seizin Bhok-kongcu, pinto berdua siap melayani siapa saja yang memandang rendah Cinling-
pai," kata It Cin Cu tenang.
Bhok-kongcu memang ingin sekali menyaksikan kepandaian dua orang tosu Cin-ling-pai ini, maka
sambil tersenyum ia berkata, "Kalau sahabat-sahabat yang gagah suka mengingat bahwa kita adalah
orang-orang sendiri dan hendak menambah pengetahuan siauwte dengan mainan ilmu-ilmu silat
tinggi, tentu saja siauwte tidak keberatan."
Huang-ho Sam-ong mendengar ini, maklum bahwa tuan muda mereka itu ingin menggunakan
tenaga mereka untuk menguji dua orang tosu ini. Maka bertiga mereka lalu meloncat ke tengah di
mana tersedia ruangan cukup luas untuk bermain silat. Gerakan mereka bertiga cepat dan ringan
sekali dan begitu meloncat mereka sudah berdiri dalam keadaan teratur dengan bentuk segi tiga,
siap menghadapi lawan.
Kim-i Tok-ong tidak bersenjata hanya mengandalkan kedua tangannya yang sudah berubah
menghitam ketika ia menyalurkan tenaga beracun ke dalam tangannya itu. Ban-jiu Touw-ong, orang
kedua dari Huang-ho Sam-ong, mengeluarkan sepasang senjata yang aneh. Di tangan kirinya
terdapat sebatang pisau belati kecil yang amat runcing dan tajam, sedangkan di tangan kanannya ia
memegang senjata kaitan seperti sebuah pancing bentuknya, melengkung bentuknya dan di ujung
lengkungan ada kaitannya, persis pancing besar bergagang.
Adapun Hui-thian Mo-ong memegang sebatang golok tipis yang berkilauan. Tiga orang tua ini
sudah siap memasang kuda-kuda dan mata mereka memandang ke arah It Cin Cu dan Ji Cin Cu
dengan menantang.
Dua orang tosu ini bangkit berdiri dan menghampiri ruangan itu dengan tenang dan dengan pedang
di tangan. Mereka maju dan berdiri berendeng di depan tiga orang lawan itu, sikapnya tenang
sekali. "Ji-wi totiang lekas kalian bergerak, hendak kulihat bagaimana hebatnya Lo-hai Hui-kiam!" kata
Kim-i Tok-ong. Senyum Ji Cin Cu melebar. Dia tahu bahwa suhengnya tidak mau menyerang lebih dulu. "Suheng
berjuluk Thio-te-kong dan pinto dijuluki Siauw-bin-hud. Malaikat dan nabi tak pernah menyerang
orang, kecuali kalau mempertahankan diri. Sebaliknya kalian ini raja-raja racun, copet dan iblis
sudah biasa turun tangan, mengapa ragu-ragu?"
Kim-i Tok-ong marah mendengar sindiran ini. Sambil mengeluarkan bentakan keras ia mulai
menyerang dengan pukulan tangannya yang hitam ke arah perut Ji Cin Cu yang gendut. Hayaaa,
tanganmu hitam kotor, bisa bikin mulas perut," kata pendeta gendut ini dan dengan mudah saja ia
mengelak. Ban-jiu Touw-ong dan Hui-thian Mo-ong juga menggerakkan senjata masing-masing,
maju menyerang dua orang tosu Cin-ling-pai itu. Pertempuran hebat segera terjadi dan semua orang
yang hadir, yang terdiri dari ahli-ahli silat kenamaan, menjadi gembira dan kagum.
Memang amat menarik menonton pertempuran itu. Huang-ho Sam-ong memiliki kepandaian tinggi
dan karena mereka memang sering kali menghadapi lawan-lawan tangguh secara bersama, maka
mereka dapat bekerja sama dengan baik dalam setiap pertempuran. Dilain pihak, It Cin Cu dan Ji
Cin Cu adalah murid-murid paling tua dari Giok Thian Cin Cu. Selain mereka ini ahli-ahli ilmu silat
Cin-ling-kun, juga mereka sudah mempelajari dengan matang ilmu pedang Im-yang Kiam-hoat.
Dalam menghadapi tiga orang lawannya yang tangguh, mereka lalu menggunakan ilmu pedang ini
untuk mempertahankan diri dan balas menyerang.
Siauw-bin-hud Ji Cin Cu yang amat tinggi tenaga lweekangnya, mengambil kedudukan Im dan
menjadi penahan atau pelindung menghadapi setiap serangan lawan, sebaliknya It Cin Cu yang
gerak-geriknya cepat dan ganas, menduduki tempat Yang dan menjadi penyerang yang berbahaya.
Kadang-kadang dua orang kakak beradik seperguruan ini saling bantu dan saling menukar
kedudukan dalam saat-saat yang tak terduga oleh lawan sehingga makin repot. Akan tetapi tiga
orang tokoh sungai Huang-ho ini tentu saja pantang menyerah dan mereka mengerahkan tenaga
sehingga pertempuran makin lama makin ramai dan bukan merupakan menguji kepandaian lagi,
melainkan pertempuran mati-matian.
Bhok-kongcu adalah seorang pemuda yang amat luas pengetahuannya, juga amat tinggi ilmu
silatnya. Ia memang suka sekali menguji kepandaian orang-orang pandai dan diam-diam ia
mencatat semua gerakan-gerakan Im-yang Kiam-hoat sehingga setelah pertempuran berjalan seratus
jurus, sudah banyak jurus-jurus ilmu pedang Cin-ling-pai ini ia catat dan hafalkan! Akan tetapi,
melihat betapa pertempuran ini makin hebat, ia kuatir kalau ada kawan terluka, maka ia berkata,
"Cukuplah, di antara kawan sendiri tidak boleh mati-matian. Siauwte harap cuwi suka berhenti."
Akan tetapi, lima orang yang sudah mulai panas perutnya itu mana mau berhenti begitu saja"
Mereka bersikap seolah-olah tidak mendengar ucapan pemuda itu dan melanjutkan pertempuran
makin hebat lagi.
Tiba-tiba dari dalam gelap di luar gedung terdengar dua macam suara yang membikin semua orang
terkejut. Suara-suara itu adalah suara tertawa yang menyeramkan dan suara ringkik kuda yang lebih
seram lagi. Mendengar suara ini, Bhok-kongcu berseri mukanya dan bangkit berdiri.
"Ji-wi locianpwe dari Tung-hai telah tiba, bagus sekali ....!" katanya.
Suara-suara itu berhenti dan sebagai gantinya dua bayangan orang tua berkelebat masuk, langsung
tiba di tengah-tengah gelanggang pertempuran.
"Hai, apakah perebutan nama Thian-he-tee-it Kauwsu sudah dimulai" Jangan borong sendiri, beri
kesempatan kepada kami!" kata seorang di antara dua bayangan itu sambil tertawa.
Pada saat itu, di satu pihak pedang di tangan It Cin Cu dan Ji Cin Cu menusuk ke depan dan di lain
pihak Huang-ho Sam-ong juga sedang menyerang. Serangan dua tosu Cin-ling-pai mengancam
bayangan yang bertubuh tinggi besar sedangkan serangan ketiga Huang-ho Sam-ong menghantam
bayangan yang bertubuh pendek. Dua orang itu tertawa dan yang tinggi besar mengangkat kedua
tangannya. Juga yang pendek menggerakkan kedua tangannya. Sekaligus senjata-senjata kedua
pihak terkena gempuran tangan dua orang aneh ini terpental keras dan lima orang itu kaget sekali,
cepat mencelat mundur sambil mengeluarkan seruan kaget. Tangan mereka terasa sakit seakan-akan
mereka telah menyerang dinding baja yang kuat!
"Cuwi yang bertempur silahkan mundur. Sudah cukup memperlihatkan kepandaian masing-masing.
Jiwi locianpwe dari Tung-hai, harap jangan salah sangka. Perebutan gelar Thian-he-tee-it Kauwsu
(Jago Silat Nomor Wahid di Dunia) belum dimulai. Silahkan ji-wi mengambil tempat duduk."
Dengan ramah Bhok-kongcu turun tangan sendiri menyediakan dua kursi kehormatan di sebelah
kanannya dan dua orang itu sambil tertawa-tawa lalu duduk, tanpa mengacuhkan semua orang yang
berada di situ kecuali Bhok-kongcu, kepada siapa mereka menjura dan menghaturkan terima kasih.
Lalu Bhok-kongcu memperkenalkan dua orang tua yang baru datang ini kepada semua tamu.
Kiranya mereka ini adalah Tung-hai Siang-mo (Sepasang Iblis dari Laut Timur). Yang tinggi besar
bermuka hitam adalah Ji Kong Sek yang suka tertawa seram, sedangkan yang pendek tubuhnya tapi
panjang sekali lehernya adalah adik kandungnya bernama Ji Kak Touw, suka mengeluarkan suara
seperti ringkik kuda. Memang lehernya panjang dan bentuknya seperti leher kuda.
It Cin Cu dan Ji Cin Cu, juga ketiga Huang-ho Sam-ong, telah merasai kelihaian dua orang ini,
maka mereka lalu kembali ke tempat duduk masing-masing tidak berani lagi memperlihatkan
kepandaian. Akan tetapi, di antara para tamu, Tok-gan Sin-kai merasa marah dan kecewa sekali.
Seperti telah diketahui, Tok-gan Sin-kai si pengemis mata satu ini pernah menyerbu ke Cin-ling-pai
dan masih merasa penasaran dan benci kepada It Cin Cu dan Ji Cin Cu. Ketika tadi dua orang tosu
ini bertempur melawan Huang-ho Sam-ong, diam-diam ia mengharapkan dua orang tosu ini
mendapat hajaran. Maka kedatangan dua orang yang disebut Tung-hai Siang-mo membuat
harapannya itu gagal dan karenanya ia menjadi kecewa. Apalagi melihat betapa Bhok-kongcu amat
menghormati dua orang tamu baru ini, ia makin mendongkol.
Memang nama Tung-hai Siang-mo tidak begitu terkenal, maka Tok-gan Sin-kai memandang rendah
kepada mereka. Apalagi melihat mereka itu seperti orang biasa saja. Ia pikir bahwa belum tentu ia
kalah oleh dua orang itu, kenapa datang-datang diberi penghormatan demikian besar" Aku harus
unjuk gigi dan bikin malu mereka, pikirnya. Cepat ia lalu menuangkan dua cawan kosong dengan
arak sampai penuh sekali, kemudian sambil tertawa lebar ia bangkit dan menghampiri Tung-hai
Siang-mo. Tok-gan Sin-kai adalah sute (adik seperguruan) dari Coa-tung Sin-kai, tokoh besar di utara, maka
kepandaiannya tentu saja sudah amat tinggi. Ia sengaja membawa cawan-cawan arak dengan
terbalik, akan tetapi diam-diam mengerahkan lweekang yang "menyedot" sehingga tenaga sedotan
ini membuat arak di dalam cawan yang dibalikkan itu tak tumpah keluar!
"Sudah lama mendengar nama besar Tung-hai Siang-mo, aku Tok-gan Sin-kai menghormat dengan
secawan arak," katanya sambil tertawa dan memberikan cawan-cawan arak itu kepada Ji Kong Sek
dan Ji Kak Touw.
Dua orang iblis Laut Timur itu saling pandang, lalu keduanya tertawa terbahak-bahak. Dengan
gerakan sembarangan mereka menerima cawan-cawan arak yang terbalik itu. Arak di dalam cawan
yang dibalikkan itu tiba-tiba jatuh ke bawah ketika Tok-gan Sin-kai melepaskan cawan dan
sekaligus menarik kembali tenaga lweekang yang menyedot. Ia sudah girang sekali karena
menganggap usahanya berhasil, yaitu membikin malu dua orang tamu yang diagungkan itu. Akan
tetapi, tiba-tiba dua orang kakek itu berseru dengan suara perlahan, "Naik!" dan aneh sekali.
Arak yang sudah mulai tumpah itu, tiba-tiba tertahan seperti kena sedot dari atas sehingga ketika
cawan diturunkan, arak itu kembali ke dalam cawan yang sekarang sudah mereka pegang berdiri


Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sebagaimana mestinya. Pada saat itu juga, Tok-gan Sin-kai merasa kedua lututnya lemas.
"Celaka ....." serunya akan tetapi terlambat. Tidak terlihat olehnya bagaimana kedua lututnya tahutahu
sudah terkena totokan, juga ia tidak tahu siapa di antara dua orang kakek itu yang
melakukannya. Ia mencoba untuk menahan diri, akan tetapi tetap saja lututnya tidak bertenaga dan
di luar kehendaknya ia berlutut!
"Eh, eh .... Tok-gan Sin-kai sudah memberi arak, tak perlu melakukan penghormatan berlebihlebihan,"
kata Ji Kong Sek sambil tertawa seram dengan nada mengejek. Tahulah kini Tok-gan Sinkai
bahwa si tinggi besar itu yang menotok kedua lututnya.
Sementara itu, Ji Kak Touw si leher kuda itupun tertawa lalu menggunakan tangan kirinya menarik
pundak Tok-gan Sin-kai seperti orang mencegah si mata satu ini memberi hormat sambil berlutut
dan berkata. "Tak usah berlutut ..... tak usah berlutut, lebih baik kembali ke tempat dudukmu."
Hebat sekali, entah bagaimana, biarpun tangannya hanya kelihatan memegang pundak, tahu-tahu
tubuh Tok-gan Sin-kai mencelat, terlempar dan jatuh di atas tempat duduknya yang tadi seperti
barang ringan saja dilontarkan. Jatuhnya persis di tempat duduknya dan otomatis kedua lututnya
yang tertotok sudah bebas lagi. Karuan saja si mata satu menjadi tertegun, seluruh mukanya merah
dan dia tidak berani berkutik lagi! Kini tahulah dia dan orang-orang lain bahwa dua orang kakek
yang disebut Sepasang Iblis Laut Timur ini benar-benar memiliki kepandaian yang luar biasa
tingginya. Adapun Tung-hai Siang-mo lalu minum arak suguhan tadi sambil tertawa-tawa.
"Ha ha, Bhok-kongcu memang berbintang terang. Sampai ada pengemis luar biasa yang bermata
satu dan begitu tahu hormat mau membantunya," kata Ji Kong Sek.
"Bhok-kongcu telah memanggil datang kami yang tinggal jauh dari sini, entah di sini akan diadakan
perayaan apakah?" tanya Ji Kak Touw.
"Ji-wi loenghiong sudi datang dari tempat yang jauhnya ribuan li, benar-benar membuat siauwte
girang dan bangga," jawab Bhok Kian Teng, "Ada beberapa urusan maka cuwi sekalian siauwte
undang ke puncak Lu-liang-san ini. Pertama-tama untuk bersama menikmati keindahan
pemandangan puncak ini, sambil saling berkenalan di antara kawan segolongan sendiri. Tanpa
saling mengenal, bukankah mudah timbul salah paham yang akan memecah persatuan" Pada
dewasa ini, amat penting untuk mengenal siapa kawan untuk membedakan mana lawan. Kedua
kalinya, siauwte dalam pertemuan ini juga mengundang orang-orang gagah dari seluruh wilayah
untuk dapat insyaf dan sadar bahwa pemerintah kita akan mendatangkan kebahagiaan bagi rakyat
sehingga sudah selayaknya dibantu. Ketiga kalinya, untuk memenuhi perintah kaisar, dalam
pertemuan ini siauwte hendak mengadakan pemilihan jago silat nomor satu untuk menerima
kedudukan sebagai calon koksu di istana. Keempat kalinya, siauwte hendak mengajak cuwi sekalian
berunding dalam menghadapi gangguan-gangguan para pemberontak."
Pada saat itu terdengar suara lengking yang aneh dan menggetarkan kalbu para tamu. Semua orang
terkejut sekali, malah sebagian dari pada tamu muda yang duduk di barisan belakang, ada yang
roboh terguling, tidak kuat menahan lagi mendengar suara yang hebat ini. Bhok-kongcu cepat
bangun berdiri dan dengan muka berseri girang ia berseru.
"Hoa Hoa Cinjin locianpwe sudah datang! Silahkan .... silahkan masuk ....."
Ji Kak Tow berkata kepada suhengnya setelah saling pandang dengan suhengnya ini. "Diapun
pembantu Bhok-kongcu" Hebat. Dengan adanya dia di sini tak perlu lagi bicara tentang jago silat
nomor satu!" Ji Kong Sek mengangguk-angguk sambil memandang keluar.
Dari luar bertiup angin dan tahu-tahu seorang tosu bertubuh tegap dan gagah menyeramkan masuk
ke ruangan itu. Di punggungnya nampak gagang pedang dan yang amat menarik adalah sepasang
matanya yang tajam dan liar, bukan seperti mata manusia lagi. Atas sambutan Bhok-kongcu yang
amat menghormat, ia hanya membalas dengan menjura, sikapnya dingin dan tenang. "Bhok-kongcu
sudah berhasil mengumpulkan banyak pembantu, itu bagus," kata Hoa Hoa Cinjin dengan suaranya
yang serak seperti suara burung gagak. "Akan tetapi harus dipilih betul-betul jangan hanya
mengumpulkan segala kantong nasi yang tiada gunanya."
Dengan matanya yang luar biasa tosu ini menyapu semua tamu di situ. Tak seorangpun berani
menentang pandang mata yang hebat ini. Pandang mata Hoa Hoa Cinjin terhenti pada dua orang
tosu Cin-ling-pai. It Cin Cu dan Ji Cin Cu yang berani menentang pandang matanya dengan tabah.
"Kalian ini tosu-tosu tertua dari Cin-ling-pai, apa buktinya bahwa kalian benar-benar hendak
membantu pemerintah baru" Kalau kalian tidak bisa menyeret sute-sute kalian Cin-ling Sam-eng
dan dihadapkan kepada Bhok-kongcu, siapa percaya bahwa kalian benar-benar hendak mengabdi
dengan hati bersih?"
Dua orang tosu itu berubah air mukanya, dan Bhok-kongcu segera berkata. "Ji-wi tosu, siauwte
percaya penuh bahwa ji-wi tentu akan dapat memenuhi permintaan Hoa Hoa Cinjin yang memang
sepantasnya ini. Siauwte menanti di sini selama satu bulan."
Ucapan ini merupakan perintah, juga merupakan ujian bagi kesetiaan dua orang tosu Cin-ling-pai
itu. It Cin Cu dan Ji Cin Cu bangkit berdiri, menjura dan berkatalah It Cin Cu. "Dalam waktu
sebulan pasti pinto berdua akan membawa para sute datang menghadap Bhok-kongcu." Setelah
berkata demikian, keduanya berkelebat pergi dan turun dari puncak Lu-liang-san.
"Kongcu, bocah she Cia itu sedang menuju ke sini. Dia agaknya dilindungi oleh Thio-siocia.
Hemmm, sikap Thio-siocia amat aneh, harap kongcu berhati-hati terhadapnya. Dua orang puteri
Thio-ciangkun itu makin lama makin mencurigakan."
Bhok-kongcu mengangguk-angguk, senyumnya berubah pahit. "Memang banyak terjadi hal aneh,
locianpwe. Seperti baru-baru tadi, seorang kawan baruku, nona Cia telah diculik oleh nona
berkedok. Siauwte pernah mendengar bahwa locianpwe mempunyai seorang murid perempuan
yang selalu berkedok. Entah dia ......"
19. Terperangkap Siasat Bhok-kongcu
HOA HOA CINJIN mengeluarkan suara aneh, lalu mengomel, "Kau tahu satu tidak tahu dua,
kongcu. Apa hatimu akan senang kalau melihat nona Cia itu dibuntungi hidungnya oleh
pembantumu" Ha ha ha!"
Bhok Kian Teng menjadi pucat dan ia cepat menengok ke belakang di mana Leng Nio berdiri
dengan wajah pucat pula. "Aku .... aku hanya mengancamnya, kongcu, karena dia hendak melarikan
diri," kata Yo Leng Nio kepada Bhok Kian Teng. Pemuda ini mengangguk, percaya akan
keterangan Leng Nio.
Sementara itu, Hoa Hoa Cinjin tiba-tiba meloncat keluar dan di lain saat ia sudah melempar tubuh
Bi Eng ke dalam ruangan itu. Tadinya Bi Eng kaget setengah mati ketika tahu-tahu ada orang
melayang ke dekatnya, akan tetapi sebelumnya ia sempat bergerak, orang itu sudah mencengkeram
pundaknya dan melemparkannya ke dalam ruangan. Terpaksa Bi Eng menggunakan ginkangnya
untuk mengatur keseimbangan tubuhnya dan turun dengan tenang sambil menghadapi Bhokkongcu.
"Hoa-ji, turunlah kau," terdengar Hoa Hoa Cinjin berseru sambil memandang keluar.
Terdengar jawaban suara merdu dari luar yang gelap, "Tak usah, gi-hu. Biar aku di sini saja, terlalu
banyak orang menjemukan di sana."
Hoa Hoa Cinjin tertawa bergelak. "Sesukamulah, akan tetapi coba kau amat-amati di luar, jangan
sampai Thio-siocia membawa bocah she Cia itu ke lain tempat."
Pada saat itu terdengar suara nona Thio Li Hoa yang nyaring di luar pintu. "Hoa Hoa Cinjin, jangan
menjual omongan busuk. Aku datang bersama Cia Han Sin. Ayoh kaukeluarkan obat pemunah
pukulanmu yang busuk beracun!" Dan muncullah Li Hoa bersama Han Sin yang menggandeng
tangan Siauw-ong.
Diam-diam Hoa Hoa Cinjin memandang penuh perhatian dan kagetlah dia. Kenapa pemuda itu
tidak kelihatan seperti menderita sakit" Ia tahu betul bahwa beberapa hari yang lalu ia melukai
pemuda ini dengan pukulannya Tong-sim-ciang (Pukulan Menggetarkan Jantung) dan dalam waktu
sepuluh hari kalau tidak dia obati, tentu akan mati. Kenapa sekarang nampak segar bugar seperti
tidak menderita sama sekali"
Tentu saja kakek ini tidak tahu bahwa dengan lweekangnya yang luar biasa, ditambah daya tahan
dari racun Pek-hiat-sin-coa ditubuhnya, jangankan baru pukulan Tong-sim-ciang, biarpun pukulan
sepuluh kali lebih jahat, belum tentu akan dapat merampas nyawa pemuda ini.
"Sin-ko .....!" Bi Eng melompat dan menubruk kakaknya.
"Eh, Bi Eng .....!" Han Sin merangkul adiknya penuh kasih sayang. "Alangkah senangku bertemu
dengan kau dalam keadaan selamat di sini."
Siauw-ong yang nampak girang sekali dan monyet ini lalu menari-nari.
"Sin-ko, banyak sekali orang jahat di dunia ini ...." kata Bi Eng dengan suara mengandung
kekecewaan dan penasaran.
"Tidak jahat, Eng-moi, tidak jahat. Mereka itu hanya tersesat dari jalan kebenaran, terpengaruh oleh
nafsu. Kalau mereka sudah insyaf dan sadar dari pada kesesatan, mereka akan menyesal dan
menjadi baik kembali. Juga tidak semua orang tersesat, Eng-moi. Contohnya, seorang pemuda yang
bernama Phang Yan Bu adalah seorang baik, juga nona Thio Li Hoa ini amat baik kepadaku.
Mereka berdua tidak bisa digolongkan orang-orang yang sesat."
Bi Eng memandang ke arah Li Hoa dengan sinar mata penuh selidik, dan wajahnya berseri ketika
mendengar nama Phang Yan Bu. "Kau sudah bertemu dengan saudara Phang Yan Bu" Memang dia
orang baik. Koko, akupun tidak mau bilang bahwa semua orang jahat, Bhok-kongcu inipun amat
baik kepadaku." Ia menoleh kepada Bhok-kongcu dan memperkenalkan kakaknya. "Bhok-kongcu,
inilah kakakku Cia Han Sin."
Akan tetapi, alangkah heran dan kagetnya hati Bi Eng ketika melihat Bhok-kongcu tiba-tiba bangkit
berdiri dan dengan suara keren memberi perintah. "Tangkap pemuda ini." Ia memberi perintah
kepada Huang-ho Sam-ong, maka tiga orang ini lalu melompat maju dan di lain saat kedua tangan
Han Sin sudah mereka pegang dengan kuat. Terlalu heran hati Han Sin melihat ini sehingga ia tidak
sempat bergerak, malah tidak ada niat untuk melawan.
Li Hoa melompat maju. "Bhok-kongcu, dia telah terluka hebat oleh pukulan Hoa Hoa Cinjin. Aku
minta kau suka menyuruh Hoa Hoa Cinjin mengobatinya lebih dulu. Soal lain dapat diurus
belakangan.!"
Bhok-kongcu tersenyum masam. Aha, tidak nyana nona Thio Li Hoa yang biasanya angkuh dan
memandang rendah pria, agaknya sekarang hatinya terjerat oleh keturunan Cia! Aneh .... aneh ....!"
Merah muka Li Hoa. "Sratttt!" Pedangnya telah tercabut dan ia menudingkan ujung pedang di
depan hidung Bhok-kongcu sambil membentak.
"Bhok Kian Teng! Orang lain boleh takut kepadamu dan gentar kepada ayahmu, akan tetapi jangan
kira aku Thio Li Hoa boleh kau hina begitu saja!" Gadis ini menggerakkan pedangnya dan
"Siuuttt!" pedang itu telah melakukan serangan hebat, menusuk leher Bhok Kian Teng. Inilah hebat.
Bhok Kian Teng atau lebih terkenal Bhok-kongcu adalah seorang yang pada waktu itu memiliki
kekuasaan dan kedudukan tinggi, jauh lebih tinggi dari pada kedudukan Thio-ciangkun ayah Li
Hoa, jangankan menyerangnya, bersikap kurang ajar saja orang tidak berani. Malah Hoa Hoa Cinjin
tokoh besar yang ditakuti orang itupun bersikap hormat dan takut terhadap kongcu ini.
Sekarang Li Hoa mendamprat dan menyerangnya, ini menunjukkan betapa tabah hati nona ini.
Memang di antara gadis dan pemuda ini sudah ada permusuhan atau kebencian. Pihak Bhok-kongcu
benci karena ketika dahulu ia tergila-gila dan mencoba untuk mengganggu Li Hoa, ia menghadapi
dampratan. Pihak Li Hoa memang sudah lama benci melihat tingkah laku pemuda hidung belang
ini. Namun ilmu kepandaian Bhok-kongcu jauh lebih tinggi tingkatnya dari pada kepandaian Li Hoa.
Diserang secara hebat itu, ia tersenyum saja. Cepat kipasnya ia gerakkan dan tahu-tahu ujung
pedang di tangan Li Hoa sudah "ditangkap" oleh kipas itu yang tertutup secara mendadak. Selagi Li
Hoa berusaha menarik pulang pedangnya, Hoa Hoa Cinjin melangkah maju dan sekali totok
pergelangan nona itu, pedangnya terlepas dan nona itu sendiri terhuyung-huyung dengan lemas.
Bi Eng marah bukan main. Setelah dapat menindas keheranannya, ia melangkah maju dan
membentak. "Lepaskan kakakku! Bhok-kongcu, kenapa kau bersikap begini terhadap kakakku"
Ayoh, lepaskan dia!"
Bhok-kongcu menggerakkan tangannya dan dilain saat kedua lengan Bi Eng sudah dipegangnya
sehingga gadis itu tidak dapat bergerak lagi. "Nona Cia, menyesal sekali, aku tidak dapat memenuhi
permintaanmu ini. Jangan kau kuatir, kakakmu tidak apa-apa asal dia mau menunjukkan di mana
tempat penyimpanan warisan Lie Cu Seng. Maaf, nona. Aku benar-benar menyesal harus
mengecewakan hatimu, akan tetapi kita menghadapi urusan besar sehingga terpaksa aku
mengesampingkan perasaan pribadiku." Suaranya benar-benar mengandung penyesalan besar dan
sinar matanya dengan lembut memandang Bi Eng, membuat gadis ini bingung dan tidak mengerti.
Pada saat itu terdengar suara tertawa bergelak dan dari luar berkelebat bayangan orang. Bayangan
ini menyerbu ke arah Huang-ho Sam-ong sambil berkata, "Han Sin, kau ikut aku!"
Kim-i Tok-ong melihat bahwa yang menyerbu ini adalah seorang kakek pengemis yang rambutnya
awut-awutan, suaranya tinggi kecil, dan tangan kirinya memegang sebuah guci arak. Melihat
pengemis tua ini datang-datang hendak menarik lengan Han Sin yang menjadi orang tangkapannya,
Kim-i Tok-ong serentak mengirim pukulan dengan tangan kirinya ke arah telinga pengemis tua itu.
Juga Ban-jiu Touw-ong dan Hui-thian Mo-ong yang serentak mengenal pengemis tua itu, cepat
mengirim serangan.
"Hemmm, tiga manusia beracun, pergilah!" Pengemis tua itu yang bukan lain adalah Ciu-ong Mokai
Tang Pok, menggerakkan guci araknya, sekali gus menangkis serangan Ban-jiu Touw-ong dan
Hui-thian Mo-ong, kemudian lengannya yang memegang guci itu ditangkiskan ke arah kepalan
tangan Kim-i Tok-ong. Serangan tiga orang itu terpental kembali dan kuda-kuda mereka gugur!
Ciu-ong Mo-kai tertawa bergelak dan tiba-tiba dari mulutnya tersembur keluar sinar kuning emas
yang bukan lain adalah arak. Semburan arak ini seperti puluhan batang jarum yang menyerang
muka ketiga Huang-ho Sam-ong. Kaget bukan main tiga orang itu dan cepat mereka meloncat
mundur karena mereka sudah mendengar akan hebatnya senjata aneh dari Raja Arak ini.
Secepat kilat Ciu-ong Mo-kai sudah menarik lengan Han Sin. Akan tetapi sebelum ia dapat
membawa pemuda itu keluar, Hoa Hoa Cinjin bergerak mendekati sambil membentak, "Pengemis
busuk, di mana-mana kau mengacau saja!" Sambil berkata demikian ia menggerakkan tangan kiri
dan sinar hijau menyambar tiga belas jalan darah terpenting dari tubuh Ciu-ong Mo-kai. Itulah
Cheng-tok-ciam (Jarum Racun Hijau) yang amat ganas dari Hoa Hoa Cinjin. Hebat kepandaian Hoa
Hoa Cinjin, akan tetapi hebat pula pengemis tua itu.
Sekali ia meniup, semburan arak yang bersisa di mulutnya dengan tepat telah menahan jarum-jarum
itu sehingga terdengar suara halus ketika jarum-jarum itu runtuh di atas lantai. Sementara itu, Tunghai
Siang-mo yang tidak mau kalah dalam mencari jasa di depan Bhok Kian Teng, sudah melompat
maju. Tamu-tamu lain biarpun rata-rata berkepandaian tinggi, mereka jerih menghadapi Ciu-ong
Mo-kai dan tidak berani sembarangan turun tangan. Tung-hai Siang-mo menyerang Ciu-ong Mo-kai
dari kanan kiri dengan pukulan-pukulan tunggal yang keras dan kuat.
"Ha ha, iblis-iblis timur juga menjadi anjing-anjing Mancu" Bagus!" seru Ciu-ong Mo-kai sambil
menggerakkan kedua lengan menangkis. Kedua lengannya bertemu dengan lengan lawan dan
pengemis sakti ini terhuyung mundur dua langkah. Akan tetapi dua orang lawannya juga terhuyung
mundur sampai tiga tindak. Dari sini saja sudah dapat diukur kepandaian tiga orang tokoh besar ini
dan ternyata dalam hal tenaga lweekang, pengemis sakti itu masih menang setingkat.
Namun diam-diam Ciu-ong Mo-kai Tang Pok mengeluh. Baru dua orang iblis ini saja sudah amat
sukar dikalahkan. Dalam pertandingan sungguh-sungguh, tak mungkin dia bisa menang dalam
waktu dua tiga ratus jurus. Apalagi di situ masih ada Hoa Hoa Cinjin.
Hoa Hoa Cinjin menyesuaikan dirinya dengan kedudukannya yang tinggi. Karena sekarang Ciu-ong
Mo-kai tidak lagi memegangi lengan Han Sin, maka iapun diam saja, hanya siap untuk menghalangi
apabila pengemis itu hendak membawa pergi pemuda yang diperebutkan itu. Ciu-ong Mo-kai
menarik napas panjang, lalu memanggil muridnya.
"Bi Eng, budak tak tahu malu, kesinilah!"
Kaget sekali Bi Eng mendengar makian gurunya ini. "Suhu ...." serunya penasaran dan heran.
"Ke sini kau, pergi bersamaku!" bentak lagi gurunya. "Kau sudah begini tak tahu malu bergaul
dengan manusia-manusia rendah, memalukan aku saja. Ayoh pergi!" Ia menyambar lengan Bi Eng
yang sudah bertindak dekat, lalu membawa muridnya melompat pergi. Pengemis ini maklum bahwa
kalau ia mengajak pergi Bi Eng muridnya, takkan ada yang berani menentangnya dan pikirannya ini
ternyata tepat. Tak seorangpun melihat kepentingan dalam diri Bi Eng maka tidak ada yang berani
mengambil resiko menahan kepergian pengemis itu dengan muridnya.
"Han Sin, kalau kau membuka rahasia warisan, adikmu akan kubunuh!" terdengar Ciu-ong Mo-kai
berkata dan suaranya menandakan bahwa dia sudah tiba di tempat jauh.
"Kejar, tangkap pemberontak itu!" Bhok Kian Teng berseru marah. Tentu saja pemuda mata
keranjang yang sudah tergila-gila kepada Bi Eng itu tidak rela melihat gadis yang disayanginya itu
dibawa pergi. Banyak kaki tangannya mengejar keluar, akan tetapi di tempat gelap itu tidak kelihatan lagi
bayangan Ciu-ong Mo-kai dan Bi Eng. Dengan marah ditahan-tahan Bhok Kian Teng yang tadi ikut
mengejar, memasuki lagi ruangan itu dan ia memberi perintah kepada tiga orang hwesio yang sejak
tadi berada di situ, "Sam-wi losuhu harap bawa bocah she Cia ini ke dalam kamar tahanan dan
paksa sampai dia mengaku dan membuka rahasia warisan Lie Cu Seng!"
Tiga orang hwesio itu bukan lain adalah Thian-san Sam-sian, itu tiga orang hwesio yang dahulu
pernah memusuhi Cia Sun ayah Cia Han Sin di Min-san. Mereka memang sudah lama menjadi
pembantu-pembantu Bhok-kongcu. Adanya Bhok Kian Teng menyuruh mereka, karena pemuda
yang pintar ini tahu akan adanya dendam permusuhan yang terkandung di hati tiga orang tokoh
Thian-san itu terhadap keluarga Cia, maka ia maklum bahwa mereka tentu cukup tega dan kejam
untuk melakukan penyiksaan terhadap Han Sin.
"Baik, kongcu. Percayalah, pinceng bertiga pasti akan berhasil memaksa dia membuka mulut,
biarpun untuk itu pinceng harus menguliti atau membakar dia hidup-hidup!" jawab Gi Ho orang
termuda dari tiga hwesio itu.
Dengan kasar mereka menyeret Han Sin. "Tunggu dulu!" kata Hoa Hoa Cinjin. Kakek ini cepat
menggerakkan tangan menotok beberapa jalan darah di tubuh Han Sin dan pemuda ini yang masih
terlalu heran menyaksikan munculnya Ciu-ong Mo-kai dan dibawanya pergi adiknya oleh pengemis
itu, tidak mampu melindungi dirinya. Setelah menotok, Hoa Hoa Cinjin lalu mengeluarkan rantai
baja dan membelenggu kaki tangan pemuda itu. "Nah, sekarang seret dia pergi," katanya puas.
Bhok Kian Teng mengerutkan alisnya yang bagus. "Locianpwe, perlu apa mesti begini berhati-hati"
Apakah dia berlengan enam berkepala tiga?"
Hoa Hoa Cinjin menarik napas panjang. "Pemuda ini bermata iblis dan aneh sekali, lebih baik
jangan sampai gagal."
Sementara itu, Thian-san Sam-sian menyeret tubuh Han Sin yang sudah dibelenggu itu ke dalam.
Tiba-tiba Li Hoa melompat dan mendorong mereka dengan marah. "Mundur kalian! Jangan ganggu
dia!" Thian-san Sam-sian sudah mengenal Li Hoa. Mereka takut menghadapi kekuasaan Thio-ciangkun,
maka dengan bingung mereka memandang Bhok-kongcu, tak tahu harus berbuat apa. Sementara itu,
setelah Bi Eng hilang, muncul kekejaman Bhok-kongcu dan lenyaplah sifat lemah lembut yang
memang palsu dan dia keluarkan hanya di depan Bi Eng. Dengan kecepatan luar biasa pemuda ini
sudah meloncat ke depan Li Hoa, kipasnya bekerja dua kali dan Li Hoa roboh tertotok, tak mampu
bergerak lagi. "Bawa dia sekalian ke dalam kamar siksaan, biar dia menyaksikan dengan mata sendiri bagaimana
jantung hatinya disiksa!" katanya sambil menyeringai, kemudian disambungnya kepada Li Hoa.
"Thio Li Hoa, kau adalah seorang puteri Thio-ciangkun, akan tetapi sikapmu benar-benar
memalukan. Apakah kau mau berpihak kepada pemberontak" Biarlah aku melancangi, kuwakili
ayahmu untuk membikin kau merasai sedikit hukuman. Kelak ayahmu akan memaafkan dan
berterima kasih kepadaku."
Demikianlah, Han Sin diseret ke dalam kamar siksaan dan Li Hoa terpaksa harus mengikuti karena
orang menarik tubuhnya yang sudah lemas tak berdaya oleh totokan Bhok-kongcu yang lihai. Gadis
itu didudukkan di pojok kamar siksa, duduk di lantai tak berdaya. Dengan sedih ia memandang
kepada Han Sin yang masih tersenyum tenang.


Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pemuda itu tidak begitu kuatir lagi setelah melihat adiknya selamat dan kini adiknya dibawa pergi
Ciu-ong Mo-kai. Biarpun sikap pengemis tua itu marah-marah, namun seribu kali lebih baik Bi Eng
pergi dengan gurunya dari pada berada di sini, di antara orang-orang yang memusuhinya. Melihat
Li Hoa memandangnya begitu sedih, Han Sin berkata perlahan, "Li Hoa, jangan kuatir. Biar dipukul
mampus tak nanti aku membuka rahasia itu."
Pemuda itu tahu betul bahwa Li Hoa juga menghendaki warisan itu, maka ia salah kira.
Dianggapnya bahwa Li Hoa membelanya mati-matian karena tidak ingin warisan itu terjatuh ke
dalam tangan orang lain, maka ia mengeluarkan kata-kata hiburan ini.
Sementara itu, dengan muka menyeringai tiga orang hwesio itu sudah menggosok-gosok tangan,
nampaknya puas sekali mendapat kesempatan untuk membalas dendam kepada cucu Cia Hui Gan,
yang mereka anggap musuh besar karena Cia Hui Gan dahulu pernah membunuh seorang murid
mereka yang terkasih. Mereka tidak berhasil membalas kepada Cia Hui Gan karena sudah keburu
tewas, tidak dapat membalas Cia Sun pula karena ketika mereka dulu bermaksud membunuh Cia
Sun, muncul Balita yang menolong Cia Sun. Sekarang, mereka dengan mudah saja mendapat
kesempatan untuk menyiksa putera Cia Sun, tentu saja mereka yang sudah menjadi gila karena
benci dan dendam ini menjadi girang sekali.
"Eh, Orang muda she Cia. Tahukah kau siapa pinceng bertiga?" tanya Gi Ho Hosiang, yang
termuda. "Aku belum mendapat keberuntungan berkenalan dengan losuhu bertiga yang terhormat," jawab
Han Sin yang biasa amat menghormat orang-orang beribadat, apalagi terhadap tiga orang hwesio
yang berkepala gundul dan berpakaian sederhana, tanda manusia-manusia yang sudah menindas
hawa nafsu keduniawian.
Gi Thai Hosiang, yang tertua, tertawa mengejek. "Orang muda, kami adalah Thian-san Sam-sian
yang mempunyai dendam dan permusuhan besar dengan kakek dan ayahmu! Sekarang lekas kau
mengaku di mana adanya rahasia warisan Lie Cu Seng, kalau kau tidak mengaku, jangan harap
kami akan menaruh kasihan lagi kepada kau keturunan musuh besar kami."
"Ah, lebih baik jangan lekas-lekas kau mengaku, agar pinceng puas menyiksamu setengah mampus.
Ha ha ha!" kata Gi Hun Hosiang sambil mengepal tinjunya.
Han Sin melengak. Inilah sama sekali tak pernah ia sangka. Mungkinkah ada pendeta-pendeta
gundul begini jahat" Benar-benar jauh bedanya dengan apa yang ia baca dalam kitab-kitab. Ia
menarik napas panjang dan sambil mendongak pemuda itu berkata, "Sam-wi losuhu. Mengapa
kalian begini jauh tersesat" Apakah kalian tidak ingat lagi ujar-ujar Sang Buddha yang kalian puja"
Dengar, lupakah kau akan kata-kata ini:
"Usirlah benci, marah, dan nafsu dari pikiranmu,
Jangan hadapi kejahatan dengan kejahatan pula,
Melainkan kalahkan kejahatan dengan kebajikan,
Hadapi kemarahan dengan cinta kasih,
hadapi kejahatan dengan kebajikan,
hadapi ketamakan dengan kedermawanan,
hadapi kebohongan dengan kebenaran.
Karena orang yang dikuasai kebencian dan
kemarahan lalu menyiksa orang lain,
sebetulnya hanyalah akan menyiksa diri sendiri."
"Sa-wi losuhu, sedikit ujar-ujar yang kupetik dari kitab-kitab suci agamamu ini, apakah kalian
sudah lupa lagi" Aku tidak takut kalian siksa, juga tidak sudi membuka rahasia yang bukan menjadi
hak orang lain. Akan tetapi aku betul-betul kasihan kepada kalian yang sudah menyeleweng terlalu
jauh dari pada kebenaran dan dari pada ajaranmu sendiri.
Untuk sejenak tiga orang hwesio itu melengak dan saling pandang. Mereka, pendeta-pendeta
Buddha, sekarang mendapat kuliah dari seorang pemuda yang menjadi tawanan! Tentu saja mereka
kenal ujar-ujar itu yang terdapat di dalam kitab suci Dham-ma-pa-da. Akan tetapi, sebagaimana
patut disayangkan, sebagian besar di antara orang yang mempelajari kebatinan atau agama,
hanyalah menghafal dan mempelajari kata-katanya saja tanpa memperdulikan persesuaian antara
kelakuan dan kata-kata dalam pelajaran itu.
Alangkah menyedihkan kalau melihat seseorang yang baru saja keluar dari kelenteng setelah
mendengarkan atau membaca kitab-kitab pelajaran tentang cinta kasih antara sesama, begitu keluar
dari kelenteng serta merta membuka mulut memaki orang atau memukul karena sesuatu hal yang
merugikan. Alangkah menyedihkan mendengar seseorang bicara panjang lebar tentang cinta kasih
sesama manusia, akan tetapi di dalam rumahnya sendiri selalu ribut dengan anak isteri atau saudarasaudaranya!
Ah, kalau saja manusia bisa menyesuaikan kelakuan dengan isi pelajaran kitab-kitab suci, tidak
usah seratus persen, baru sepuluh persen saja, kiranya dunia ini akan aman, tidak muncul oknumoknum
yang angkara murka, ingin menjajah dan menguasai orang lain, ingin enaknya sendiri saja
tanpa memperdulikan orang lain, tidak segan-segan mengorbankan kepentingan bangsa atau negara
lain demi kesenangan bangsa dan negara sendiri.
Inilah kiranya yang membuat Nabi Locu selalu mencela adanya pelajaran-pelajaran kebatinan,
karena agaknya sudah dapat melihat bahwa yang penting adalah si manusia. Sebelum manusia
kembali kepada asalnya, yaitu seperti watak anak-anak, putih bersih dan suci, biarpun dilolohi
(diberi makan) seribu satu macam pelajaran kebatinan, tetap akan menyeleweng dan makin tersesat.
Demikian pula tiga orang hwesio itu. Karena hati dan pikiran mereka sudah dikotori oleh benci dan
dendam, mana sedikit kata-kata Han Sin itu bisa memasuki sanubari mereka" Bahkan ujar-ujar
beberapa kitab-kitab tebal sudah mereka lupakan isinya. Dengan marah Gi Hun Hosiang malah
mengayunkan kepalan tangan memukul mulut Han Sin. "Plakk!" Anehnya, bukan Han Sin yang
roboh, melainkan Gi Hun Hosiang sendiri yang memekik kesakitan sambil memegangi tangannya
yang mendadak menjadi matang biru dan bengkak-bengkak!
Kenapa bisa begini" Tiga orang hwesio itu terkejut bukan main. Pemuda tadi sudah ditotok oleh
Hoa Hoa Cinjin, kenapa sekarang setelah dipukul malah pemukulnya yang bengkak-bengkak
tangannya" Tentu saja mereka tidak tahu bahwa totokan Hoa Hoa Cinjin tadi sama sekali tidak
mempengaruhi Han Sin.
Pemuda ini sekarang sudah memiliki kepandaian cara menyalurkan jalan darahnya, sehingga ketika
ditotok tadi, otomatis ia menghentikan jalan darahnya dan totokan itu tidak ada artinya. Ia hanya
mandah di belenggu karena tadi ia terlalu heran dan kaget. Sekarang begitu menghadapi pukulan,
otomatis pikirannya lalu memerintahkan hawa sakti di dalam tubuhnya ke arah bagian yang
terpukul sehingga tenaga pukulan Gi Hun Hosiang membalik dan melukai si pemukul sendiri.
Gi Thai Hosiang dan Gi Ho Hosiang tentu saja masih belum percaya bahwa Gi Hun Hosiang tadi
memukul dengan tenaga besar dan menjadi korban hawa pukulannya sendiri. Merekapun
melayangkan pukulan dan terdengar suara "buk" dua kali ketika pukulan mereka itu mengenai
tubuh Han Sin. Akan tetapi, dua orang hwesio inipun memekik kesakitan dan merekapun menjadi
terheran-heran dan berbareng marah dan penasaran.
"Bocah setan, kau menggunakan ilmu siluman!" pekik Gi Hun Hosiang.
"Kalian bertiga ini hwesio-hwesio murtad, sudah memukul orang masih memaki-maki lagi," kata
Han Sin mendongkol juga. Sementara itu, Li Hoa yang menyaksikan peristiwa itupun menjadi
heran bukan main.
Thian-san Sam-sian yang menjadi marah dan penasaran, kini sibuk memikirkan cara untuk
menyiksa pemuda aneh itu. Gi Hun dan Gi Ho sudah mencabut pedang dan tasbeh masing-masing,
senjata yang mereka andalkan. Akan tetapi sebelum mereka bergerak, Gi Thai berkata.
"Tak usah menggunakan senjata. Bhok-kongcu tidak ingin melihat dia mampus sebelum dia
membuka rahasianya."
Setelah berkata demikian, Gi Thai Hosiang lalu mengeluarkan tiga buah obor dan menyuruh dua
orang suhengnya menyalakan obor-obor itu. Kemudian ia mengangkat obor itu dan mengancam,
"Cia Han Sin, apakah sekarangpun kau tidak mau mengaku?"
Han Sin menggigit bibirnya. "Hwesio sesat, kau mau bunuh aku boleh bunuh, jangan harap kau
dapat memaksaku membocorkan rahasia itu."
Gi Thai Hosiang tertawa mengejek, "Bagus, memang pinceng tidak ingin kau cepat-cepat mengaku.
Biar kau rasakan panasnya api, hendak kulihat apakah kau masih bisa menggunakan ilmu siluman
lagi." Ia lalu mendekatkan api pada muka Han Sin.
"Sam-wi losuhu, jangan!" Li Hoa menjerit. "Tidak boleh kalian menyiksa dia sampai begitu!"
Akan tetapi, tidak seperti tadi, tiga orang hwesio itu kini tidak menghiraukan larangan Li Hoa.
"Thio-siocia harap tenang saja, pinceng bertiga hanya menjalankan perintah Bhok-kongcu." Kata
Gi Thai Hosiang sambil mendekatkan api itu pada muka Han Sin. Pemuda itu terhuyung ke
belakang dan meramkan mata karena karena merasa amat panas pada mukanya. Akan tetapi dari
belakang ia dipapak obor oleh Gi Hun Hosiang sehingga sebentar saja tiga batang obor menyala
sudah didekatkan di sekeliling mukanya, seakan-akan kepalanya sedang dipanggang.
Muka pemuda ini menjadi merah sekali dan peluh bercucuran, namun ia hanya menggigit bibir dan
mengerutkan kening, sama sekali tidak mengeluarkan suara mengeluh. Melihat pemuda yang
dicintainya disiksa begitu rupa, Li Hoa yang tidak berdaya menolong, tidak kuasa memandang lebih
lama lagi dan gadis itu membuang muka, Air matanya tak dapat dicegah lagi, turun berlinang dan
membasahi kedua pipinya.
"Han Sin ?".. kasihan kau "." bisiknya dengan perasaan hancur.
Ia mendengar suara berdebuk dan ketika ia memberanikan hati menengok, ia melihat pemuda itu
sudah roboh bergulingan di atas lantai, akan tetapi tiga batang obor itu masih saja didekatkan pada
mukanya yang sudah menjadi merah sekali seperti udang direbus! Li Hoa tidak kuat lagi.
"Han Sin, demi keselamatanmu, kau mengakulah. Biarlah warisan terkutuk itu membawa mereka
ke neraka jahanam!"
Han Sin membuka matanya yang menjadi merah dan bengkak, ia memandang Li Hoa dan
menggeleng kepala. "Tidak bisa, Li Hoa. Aku tidak bisa mengorbankan nyawa adikku ".." suara
Han Sin terengah-engah.
"Ha ha ha, kau masih tidak mau mengaku?" ejek Gi Thai Hosiang.
"Bunuhlah ".. bunuhlah ?".. aku tidak takut "." Jawab Han Sin. Gi Thai Hosiang marah dan
menekan obornya pada leher pemuda itu maka terciumlah bau sangit ketika kulit leher itu termakan
api dan melepuh!
"Hwesio keji, tahan!" Li Hoa berseru keras dengan suara penuh ancaman. Gadis ini adalah puteri
Thio-ciangkun yang berkuasa besar di kota raja. Biarpun tiga orang hwesio itu sudah mendapat
perkenan dari Bhok-kongcu dan kebencian mereka kepada keturunan Cia Hui Gan amat besar,
namun terhadap Thio-siocia mereka masih mempunyai rasa jerih. Gi Thai Hosiang memberi tanda
kepada dua orang sutenya untuk menunda siksaan itu. Biarpun lehernya melepuh dan sakitnya
bukan main, namun tanpa mengeluh Han Sin berdiri tegak.
"Thio-siocia hendak bicara apakah?" tanya Gi Thai Hosiang.
"Biarkan aku bicara dengan dia, tunda siksaan yang keji ini."
Li Hoa lalu menghadap Han Sin, karena biarpun ia tak dapat menggerakkan kaki tangannya, ia
dapat menggerakkan leher dan dapat bicara seperti biasa. "Han Sin, jangan bodoh kau. Mereka ini
mana berani membunuhmu" Bhok-kongcu takkan membiarkan kau terbunuh. Mereka akan
menyiksamu setengah mati. Untuk apa kau memberatkan warisan Lie Cu Seng atau warisan
siapapun juga lebih dari pada nyawamu" Warisan, betapapun juga, hanyalah warisan duniawi,
biarpun di sana ada kitab pelajaran ilmu silat yang bagaimana hebatpun, untuk apa disembunyikan
terus dengan taruhan nyawa" Tentang adikmu, percayalah. Tidak ada guru yang mengganggu
muridnya. Ciu-ong Mo-kai tak mungkin akan mengganggu adikmu. Diapun bukan orang goblok
yang lebih suka melihat kau disiksa sampai mati dari pada memberikan rahasia tempat warisan Lie
Cu Seng." "Tapi ".. tapi ". Kalau warisan terjatuh kedalam tangan orang jahat ". Kalau Eng-moi betulbetul
dibunuh suhunya ?" apa artinya hidup bagiku?"
"Bodoh benar! Warisan berupa apapun juga terjatuh ke dalam tangan orang jahat, baik harta
ataupun kepandaian, itu hanya akan mempercepat mereka masuk neraka! Tentang adikmu,
andaikata dia tidak dibunuh, kalau kau mati di sini, bukankah itu sama saja" Apakah dia tidak akan
susah setengah mati melihat kau tewas" Han Sin, bukalah matamu, pergunakanlah pikiranmu.
Kalau kau menolak permintaan mereka, kemungkinan mati bagimu sudah seratus persen. Kalau
menuruti permintaan mereka, kemungkinan mati bagi adikmu hanya sepuluh persen. Kau pilih yang
mana" Han Sin kalah debat. Ia anggap pikiran gadis ini memang tepat sekali. Iapun tidak percaya kalau
Ciu-ong Mo-kai akan membunuh adiknya kalau dia memberikan rahasia tempat penyimpanan
warisan Lie Cu Seng itu kepada Bhok-kongcu. Ia lalu mengangguk dan berkata kepada Thian-san
Sam-sian. "Katakan kepada Bhok-kongcu bahwa aku akan membawanya ke tempat disimpannya warisan
menurut peta yang sudah kuhafal. Akan tetapi bukan sekali-kali karena aku takut akan siksaan
kalian, melainkan karena aku setuju akan kata-kata Thio-siocia tadi. Pergilah!"
Tiga orang hwesio itu kecewa. Memang mereka boleh dianggap berjasa telah berhasil menyiksa
pemuda ini sampai mengaku, akan tetapi mereka merasa belum puas. Gi Hun Hosiang menyeringai
sambil menghampiri pemuda itu. Hatinya masih sakit karena tangan kanannya bengkak-bengkak
dan belum sembuh karena tadi ia gunakan memukul Han Sin.
"Enak saja. Dengan kedua kakimu putus kau juga masih dapat membawa Bhok-kongcu ke tempat
itu!" Ia mencabut pedangnya dan mengayun pedang ke arah kedua kaki Han Sin.
"Hwesio busuk!" Li Hoa menjerit lalu menutup matanya, tak tahan menyaksikan pemuda yang ia
cinta itu dibuntungi kakinya. Akan tetapi ia mendengar suara keras dari beradunya senjata dan
terdengar suara keras hwesio itu menjerit kesakitan. Ketika gadis itu membuka matanya, ia melihat
Bhok-kongcu sudah berada di dalam kamar itu dan Gi Hun Hosiang menggeletak dengan lengan
berlumur darahnya sendiri.
Ternyata pada saat hwesio galak itu hendak membuntungi kaki Han Sin, Bhok-kongcu yang sejak
tadi memang mengintai, segera turun tangan mencegah, malah melukai tangan Gi Hun Hosiang.
Dan ini ia kerjakan dalam sekejap mata saja, menggunakan biji-biji catur sebagai senjata rahasia.
Dapat dibayangkan betapa lihainya pemuda ini.
"Tugasmu hanya menyiksa sampai dia mengaku, tidak boleh menurutkan nafsu dan kepentingan
pribadi." Bhok-kongcu mengomel dan Gi Hun Hosiang bersama dua saudaranya membungkukbungkuk
minta maaf lalu mundur.
Bhok Kian Teng kini menghadapi Han Sin sambil tersenyum, lalu melirik ke arah Li Hoa dengan
muka mengejek. Ia makin yakin bahwa Li Hoa ternyata jatuh cinta pada pemuda gunung itu, dan
diam-diam ia merasa sakit hati dan cemburu sekali. Pernah ia tergila-gila pada Li Hoa dan ditolak
dengan keras oleh gadis itu.
Sekarang ia melihat Li Hoa begitu menyinta Han Sin, bagaimana hati pemuda mata keranjang ini
takkan merasa sakit dan iri hati" Tapi, dasar Bhok Kian Teng orangnya luar biasa, perasaan hatinya
ini tak terbayang pada wajahnya yang tampan putih itu. Diam-diam ia memutar otak untuk
membalas sakit hati ini, maka ia tersenyum kepada Han Sin dan berkata, "Cia Han Sin, apakah kau
seorang laki-laki yang boleh dipercaya mulutnya?"
Tentu saja Han Sin menjadi marah. "Saudara she Bhok, aku tidak kenal kau dan tidak tahu kau
manusia bagaimana, akan tetapi percayalah bahwa aku Cia Han Sin sekali mengeluarkan omongan
takkan kutarik kembali!"
"Ha ha ha, bagus sekali. Kau benar-benar seorang laki-laki sejati. Kau tadi sudah berjanji hendak
membawaku ke tempat disimpannya warisan Lie Cu Seng. Apakah kau takkan menjilat kembali
ludahmu dan menarik kembali omongan dan janjimu itu?"
Pandai sekali Bhok Kian Teng memanaskan hati orang. Han Sin yang masih hijau itu makin marah,
dengan mata melotot ia membentak. "Orang she Bhok, ternyata kau tidak tahu akan aturan. Apa kau
kira aku ini orang yang tidak mengikuti syarat kebajikan jin-gi-lee-ti-sin (welas asih, pribudi,
peraturan, pengertian dan kepercayaan)" Ucapan yang keluar dari mulut seorang kuncu (budiman)
lebih berharga dari pada nyawanya. Tahukah kau?"
Bhok Kian Teng bertepuk-tepuk tangan. "Hebat .... hebat ..... pujian nona Bi Eng terhadap kakaknya
ternyata tidak berlebihan. Cia Han Sin, kau benar-benar seorang kuncu tulen." Kemudian Bhokkongcu
menoleh pada Li Hoa dan dengan gagang kipasnya ia menotok jalan darah nona ini,
membebaskan totokan Hoa Hoa Cinjin tadi. Setelah bebas dari totokan Hoa Hoa Cinjin tadi. Setelah
bebas dari totokan, Li Hoa meloncat bangun, memandang kepada Han Sin dengan mata berduka.
"Nona, Thio Li Hoa, benar-benar kaupun harus dipuji. Pandai sekali kau menjalankan siasatmu
sehingga bocah she Cia ini masuk perangkap dan mau mengaku di mana adanya warisan yang
diperebutkan itu. Ha ha ha, tidak percuma kau menjadi puteri Thio-ciangkun yang sudah menjerat
leher ratusan orang pemberontak. Ha ha, jangan kuatir, nona Li Hoa aku sendiri yang akan mencatat
jasa-jasamu dan menyampaikan kepada kaisar."
Han Sin kaget sekali, mukanya menjadi pucat dan ia menoleh kepada Li Hoa. "Li Hoa, kau .... kau
...." Ia lalu menarik napas panjang untuk menindas perasaannya yang tertusuk dan amat kecewa. Di
antara sekian banyaknya manusia sesat yang mengganggunya dan melakukan perbuatan jahat, ia
masih terhibur melihat Li Hoa yang ia anggap seorang baik-baik. Dalam diri Li Hoa ia melihat
seorang sahabat baik yang melindunginya. Eh, tidak tahunya itu semua hanya siasat. Hal ini
membuktikan bahwa gadis itu malah lebih jahat dan palsu dari pada yang lain!
Sementara itu, Li Hoa mendengar kata-kata Bhok-kongcu dan melihat pandang mata Han Sin
kepadanya, penuh penyesalan dan kekecewaan, segera melangkah maju. "Han Sin .... aku ... aku
tidak begitu .... jangan kau menyangka yang bukan-bukan ...."
"Ha ha ha, nona Thio Li Hoa. Kurasa tak perlu lagi kau bersandiwara di depan bocah she Cia ini!"
Bhok-kongcu memotong cepat. "Bagus sekali siasatmu tadi, berpura-pura membelanya, berpurapura
menangis tidak tega melihat dia disiksa. Bagus pula bujukanmu sehingga dia mau mengaku.
Sekarang tak perlu lagi, dia akan membawa kita ke tempat penyimpanan warisan. Ha ha ha!"
"Orang she Bhok, kubunuh kau!" Li Hoa melompat dan menyerang Bhok-kongcu dengan pukulan
keras. Namun Bhok Kian Teng dengan mudah mengelak sambil miringkan tubuh, lalu menyampok
ke samping. Tubuh gadis itu terlempar ke atas lantai. "Eh, eh, kau berani menyerangku" Kau tentu
menghendaki warisan itu, bukan" Celaka, apakah kau hendak memberontak karena warisan itu?"
Benar-benar pandai Bhok-kongcu. Ia bisa mengatur sedemikian rupa sehingga Han Sin terpedaya
dan makin marah pemuda ini karena menganggap Li Hoa benar-benar seorang yang berhati palsu.
Memang ia percaya bahwa Li Hoa menghendaki warisan, karena bukankah dahulu gadis itu sudah
secara terang-terangan menghendaki harta warisan Lie Cu Seng" Kiranya sikap manis dahulu itu
adalah karena warisan itu!
"Gadis berhati palsu!" katanya penuh kekecewaan. Li Hoa menjadi demikian berduka dan
mendongkol dan akhirnya gadis itu hanya bisa menangis.
Pada saat itu muncullah Hoa Hoa Cinjin sambil tertawa. "Selamat, Bhok-kongcu. Dia sudah mau
berjanji hendak membawa ke tempat penyimpanan harta. Lebih baik sekarang saja suruh dia
menjadi penunjuk jalan."
Bhok-kongcu sambil tersenyum menjawab, "Cinjin berkata benar, akan tetapi saudara Cia Han Sin
masih lelah, perlu beristirahat dulu. Sekarang kuminta kepada Cinjin sukalah memberitahu kepada
semua kawan di luar supaya pulang semua. Tentang pertempuran dan pemilihan jago diundurkan,
nanti pada cap-gwe-je-it (tanggal satu bulan sepuluh) di istana ayah di kota raja. Diminta saja
supaya masing-masing kawan membawa teman-teman baru sebanyak mungkin. Suruh Leng Nio
memberi bekal masing-masing seratus tail perak disertai ucapanku selamat jalan."
20. Guha Rahasia Warisan Lie Cu Seng
HOA HOA CINJIN mengangguk dan hendak keluar, akan tetapi Bhok-kongcu berkata lagi. "Harap
Cinjin menahan Tung-hai Siang-mo ji-wi loenghiong itu untuk menemani kita mengambil warisan.
" Hoa Hoa Cinjin mengangguk lagi, diam-diam memuji Bhok-kongcu yang selalu berhati-hati.
Memang, semua orang di dunia kang-ouw mengingini warisan itu, maka bukanlah hal yang tidak
ada bahayanya kalau nanti mereka mengambilnya. Perlu penjagaan yang kuat. Memang tidak usah


Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menguatirkan sesuatu dengan adanya dia di situ, akan tetapi kalau dibantu pula oleh dua orang iblis
dari laut timur itu, kedudukan mereka menjadi lebih kuat lagi.
Setelah Hoa Hoa Cinjin keluar, dengan wajah berseri Bhok-kongcu lalu menghampiri Han Sin,
"Saudara Cia, harap kau maafkan bahwa kau tadi telah menderita kaget. Kami tidak bermaksud
mengganggumu, hanya warisan Lie Cu Seng itulah yang menimbulkan semua urusan ini. Sekarang
kuharap kau suka mengaso dulu dan menerima hidanganku."
Dengan kedua tangannya sendiri Bhok-kongcu melepaskan belenggu pada kaki tangan Han Sin,
kemudian menuntun pemuda yang sudah lemas dan sakit-sakit tubuhnya ini menuju ke ruang
tengah. Ia menoleh kepada Thian-san Sam-sian supaya keluar dari situ, kemudian kepada Li Hoa ia
berkata, "Nona Thio, apakah kau juga hendak melihat aku mengambil warisan itu?" Ucapan ini
mengandung ejekan. Li Hoa yang tadi menundukkan muka sambil menangis, sekarang mengangkat
mukanya dan sepasang matanya yang indah itu memandang penuh kebencian kepada Bhok-kongcu
kemudian memandang kepada Han Sin dengan penuh keharuan.
"Han Sin, berhati-hatilah kau menjaga dirimu," katanya perlahan. Kemudian tanpa pamit kepada
Bhok-kongcu, gadis ini melompat keluar dari kamar itu dan terus melarikan diri turun puncak.
Bhok-kongcu tertawa bergelak,
"Saudara Cia, kau masih belum berpengalaman. Lain kali jangan kau terlalu mudah tertipu oleh
wajah cantik dan omongan manis. Dia itu bersama adiknya, sudah terkenal amat licik dan seringkali
menggunakan kecantikan mereka untuk menggoda orang."
Han Sin makin tak senang kepada Bhok-kongcu, juga makin kecewa kalau mengingat gadis itu.
Akan tetapi dia diam saja dan karena memang perutnya lapar dan tubuhnya lemas, ia tidak menolak
ketika orang menyuguhkan makanan dan arak. Setelah makan minum sampai kenyang, Han Sin lalu
tidur di dalam kamar yang indah.
Bhok-kongcu biarpun masih mudah namun pandangannya luas dan kecerdikkannya luar biasa.
Sekali bertemu dan melihat sikap Han Sin, ia sudah tahu bahwa pemuda Min-san itu adalah seorang
kutu buku yang terlalu banyak dipengaruhi kitab-kitab kuno dan karenanya tentulah seorang yang
selalu berusaha untuk bersikap sebagai seorang kuncu sebagaimana sering kali dimunculkan
sebagai teladan di dalam kitab-kitab. Maka ia segera memegang kelemahan Han Sin, yaitu
menyuruh pemuda itu berjanji. Ia yakin bahwa pemuda seperti itu takkan mungkin mau
mengingkari janjinya.
Ia tahu pula bahwa pemuda itu sudah menderita hebat, maka perlu diberi makan dan mengaso agar
pulih kembali tenaganya. Kalau dipaksa mencari warisan dan terlalu lelah menderita, mungkin akan
menjadi nekat karena tidak kuat menahan lagi. Itulah mengapa dia bersikap ramah dan menjamu
Han Sin, malah memberi kesempatan kepada pemuda itu untuk menghilangkan lelahnya dan tidur.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Han Sin sudah bangun dan merasa tubuhnya sehat dan
segar. Lehernya yang melepuh ternyata telah diberi obat oleh gadis pelayan atas perintah Bhokkongcu
dan bukan main manjurnya obat itu. Rasa sakit sudah lenyap, malah kulit yang melepuh
sudah pulih kembali. Ia tidak tahu bahwa obat ini adalah pemberian Hoa Hoa Cinjin, juga ia tidak
tahu betapa Hoa Hoa Cinjin diam-diam merasa terheran-heran ketika melihat bahwa pemuda ini
sama sekali sudah terbebas dari pengaruh pukulannya.
Tentu saja sebagai seorang tokoh besar, ia tidak mau membicarakan urusan ini dengan orang lain,
karena hal ini akan merugikan namanya sendiri. Diam-diam ia menduga barangkali Li Hoa telah
berusaha minta pertolongan orang pandai untuk mengobati luka Han Sin. Mungkin Ciu-ong Mo-kai
yang telah menyembuhkannya, pikirnya. Mana ia tahu bahwa pemuda itu dengan lweekangnya
yang ajaib telah dengan sendirinya melindungi tubuhnya dari pukulannya yang beracun"
Begitu Han Sin bangun, empat orang gadis-gadis pelayan yang mudah dan cantik, dengan sikap
genit memikat memasuki kamarnya dan segera pemuda ini mendapatkan pelayanan sebagai seorang
kongcu. Han Sin menjadi likat malu-malu, namun ia sama sekali tidak mau melayani sikap mereka
yang genit-genit itu. Malah diam-diam ia menjadi jemu dan menyuruh mereka keluar setelah ia
menerima bawaan mereka, yaitu air untuk mencuci muka, makanan pagi dan minuman hangat.
Tadinya mereka berkeras hendak melayaninya. Dengan kata-kata halus, senyum manis dan kerling
mata memikat mereka membujuk, namun Han Sin tetap menyuruh mereka keluar. Dengan bibir
dicibirkan dan dengus mengejek empat orang gadis pelayan yang mendapat tugas menyenangkan
hati Han Sin itu terpaksa keluar. Han Sin segera membersihkan diri lalu makan pagi.
Ketika Bhok-kongcu memasuki kamarnya, Han Sin sudah siap. "Selamat pagi, saudara Cia. Apakah
kau sudah segar kembali" Sudah siapkah mengantar siauwte pergi?"
"Aku sudah siap," jawab Han Sin sederhana.
Ketika mereka keluar, ternyata Hoa Hoa Cinjin dan kedua Tung-hai Siang-mo juga sudah menanti.
"Di mana tempat penyimpanan itu?" Bhok-kongcu bertanya ketika mereka sudah berada di luar
gedung. "Menurut petunjuk peta yang sudah lenyap, tempat itu berada di lereng sebelah sana. Marilah ikut
denganku," jawab Han Sin yang segera melangkah dengan kening berkerut, menuruni puncak.
Pemuda ini mencurahkan pikirannya, mengingat-ingat letak tempat penyimpanan itu. Di dalam peta
sudah dilukis dengan jelas, yaitu di lereng di mana terdapat sebuah batu besar berbentuk segi tiga.
Ia sudah hafal benar dan tahu ke mana harus mencarinya. Karena bukit di mana gedung Bhokkongcu
berada inipun tergambar di dalam peta, maka ia tahu bahwa ia harus menuruni puncak itu
menuju ke selatan.
Bhok-kongcu mengiringkan Han Sin, diikuti oleh Hoa Hoa Cinjin dan Tung-hai Siang-mo yang
menjadi penjaga atau pengawal. Beberapa jam setelah mereka turun dari puncak dan tiba di sebuah
hutan yang penuh pohon besar, terdengar suara berkresek di antara daun-daun pohon. Bhok-kongcu
mengira bahwa itu adalah suara binatang semcam tupai atau burung besar yang hinggap di dahan
pohon. Akan tetapi tiba-tiba Ji Kong Sek tertawa menyeramkan lalu membentak.
"Pengecut, keluarlah!" tangan kirinya bergerak dan sebatang paku atau bor yang disebut Toat-bengcui
(Bor Penyabut Nyawa) melayang ke arah pohon.
"Tahan .....!" Hoa Hoa Cinjin berseru dan lengan bajunya dikipatkan. Angin pukulan dahsyat
menyambar dan Toat-beng-hui menyeleweng arahnya, tidak mengenai tempat yang dijadikan
sasaran. Ji Kong Sek terheran dan tak senang, akan tetapi segera Hoa Hoa Cinjin berseru ke arah
pohon itu, "Hoa-ji, jangan main sembunyi, bisa-bisa disangka musuh. Ayoh, turunlah, ada apa kau di situ?"
Terdengar suara ketawa merdu sekali disusul suara yang bening dan manja, "Gi-hu pergi, masa
anak tidak boleh ikut?"
Hoa Hoa Cinjin tertawa bergelak. "Bocah manja! Turunlah di sini."
"Banyak orang di situ, aku malu, gi-hu (ayah angkat)!"
Bhok-kongcu yang segera tertarik dan kagum sekali mendengar suara yang demikian merdunya,
tersenyum bertanya, "Cinjin, apakah dia itu puteri angkatmu?"
"Betul, kongcu. Dia nakal dan bandel, bukan aku yang membawanya ke sini." Ucapan ini seakanakan
mengandung permintaan supaya puterinya itu diperbolehkan ikut.
"Tidak apa, tidak apa. Bukankah dia itu puterimu dan boleh dibilang orang sendiri" Suruhlah dia
turun, aku sudah lama mendengar namanya dan aku ingin sekali berkenalan."
"Hoa-ji, kalau kau tidak mau turun, kau tidak boleh mengikuti kami. Ayoh, turun!"
"Gihu, kau bilang semua laki-laki jahat belaka, biar dia itu pangeran atau sastrawan. Aku tidak mau
berkenalan dengan orang lelaki!" jawab suara itu. Kali ini tidak hanya Bhok-kongcu, malah Tunghai
Siang-mo juga tertawa bergelak.
"Betul sekali! Ha ha ha!" kata Ji Kak Touw yang panjang lehernya.
"Betul apa?" tiba-tiba terdengar suara Han Sin dengan suara mendongkol. Sifatnya sebagai "kuncu"
memberontak tiap kali mendengar pendapat yang dianggapnya salah. "Siapa berani bilang semua
laki-laki jahat belaka" Laki-laki maupun wanita sama saja, dan sudah jamak kalau ada yang tersesat
jalan hidupnya. Akan tetapi tidak kurang yang bijaksana, terutama manusia laki-laki malah.
Pernahkah orang mendengar tentang orang bijaksana atau Nabi wanita, kecuali Kwan im Pouwsat
seorang" Yang bilang laki-laki semua jahat adalah seorang sombong dan bodoh!"
Bhok Kian Teng bertepuk-tepuk tangan dan tertawa terbahak-bahak. "Hebat, hebat! Saudara Cia
Han Sin benar-benar hebat."
Sementara itu wanita yang bicara tadi, yang bukan lain adalah Hoa-ji si gadis berkedok puteri
angkat Hoa Hoa Cinjin, bukan main mendongkolnya mendengar ucapan Han Sin. Tampak
berkelebat bayangan dan tubuhnya yang ringan seperti sehelai daun kering itu melompat turun dari
pohon. Bhok-kongcu menghentikan tawanya dan mulutnya melongo. Baru sekarang ia melihat gadis
berkedok yang pernah ia dengar namanya ini. Bukan main kagumnya melihat bentuk tubuh yang
ramping dan molek itu, dengan pakaian sederhana yang ketat. Tubuh seorang gadis muda yang luar
biasa indahnya, dan kulit lengan yang keluar dari lengan baju pendek sebatas siku itu amat halus
dan putih, dihias gelang perak. Biarpun seluruh kepala ditutup kedok, Bhok-kongcu berani bertaruh
batok kepala bahwa di balik kedok itu tentu tersembunyi wajah yang cantik jelita. Hatinya
berdebar-debar dan cepat ia menjura dengan senyum manis dan suara ramah.
"Siauwte Bhok Kian Teng merasa bahagia sekali dapat bertemu dengan Hoa-kouwnio (nona Hoa)
yang sakti seperti bidadari kahyangan. Benar-benar hati siauwte dipenuhi kekaguman!"
Hoa-ji balas menjura karena maklum bahwa pemuda ini adalah seorang yang amat dihormat oleh
ayah angkatnya, namun ia tidak menjawab dan Bhok-kongcu tidak tahu bahwa dibalik kedok itu,
mulut si gadis tersenyum mengejek padanya. Akan tetapi muka dibalik kedok itu menghadap
kepada Han Sin dan berkata.
"Hemm, berbeda sekali dengan adiknya. Adiknya jenaka dan cerdik, kakaknya kok begini tolol dan
sombong. Gi-hu, kau mengantar si tolol ini hendak ke manakah?"
"Kami mengikutinya, dia hendak menunjukkan di mana tempat penyimpanan ....."
"Sst. Harap Cinjin hati-hati sedikit. Siapa tahu pohon-pohon ini bertelinga," kata Bhok-kongcu
perlahan, memotong kata-kata Hoa Hoa Cinjin. Hoa Hoa Cinjin sadar dan tidak melanjutkan katakatanya.
"Hoa-ji, mari kau ikut dengan kami."
Nona berkedok itu mengeluarkan suara ketawanya yang merdu. "Main teka-teki, apa dikira aku
tidak tahu" Hi hi hi!"
Rombongan itu berjalan terus karena Han Sin sudah mulai berjalan terus, tidak mau memperdulikan
gadis yang memakinya tolol dan sombong itu. Semua wanita, demikian pikirnya, kecuali Bi Eng,
adalah mahluk-mahluk yang berbahaya! Ia teringat akan Li Hoa, akan Leng Nio, lalu gadis-gadis
pelayan di gedung Bhok-kongcu yang amat genit-genit menjemukan. Gadis berkedok ini, sebagai
puteri angkat Hoa Hoa Cinjin, tentu juga bukan manusia baik-baik, pikirnya.
Bhok-kongcu berjalan mendekati Hoa-ji dan mengajak gadis itu bercakap-cakap dengan sikap
memikat sekali. Sebaliknya, dari balik kedoknya, Hoa-ji memandang Bhok-kongcu dengan jemu
dan benci. Hanya apabila ia memandang kepada Han Sin saja wajahnya menjadi berseri dan
pandangan matanya bersinar kekaguman.
Ia memang kagum melihat melihat pemuda yang kelihatan lemah itu demikian gagah beraninya,
sama sekali tidak kelihatan gentar padahal berada dalam tangan orang-orang seperti Bhok-kongcu
dan Hoa Hoa Cinjin yang ia tahu amat ganas dan paling gampang membunuh orang. Tokoh yang
bagaimana gagahnya di dunia kang-ouw, kalau berada dalam keadaan seperti pemuda Min-san itu,
pasti akan pucat dan ketakutan.
Han Sin membawa rombongan orang-orang itu ke sebuah lereng di mana terdapat sebuah batu
karang besar segi tiga dan di atas batu itu, bertumpuk di lereng yang terjal, terdapat batu besar.
Yang di depan sendiri, di belakang dan agak di atas batu segi tiga, adalah sebuah batu yang amat
besar. Di depan batu segi tiga ini Han Sin berhenti.
"Di sinilah tempatnya," katanya singkat.
Bhok-kongcu melompat maju dan melihat keadaan sekitarnya. Bukit ini tidak begitu besar, akan
tetapi tempatnya berada di bagian paling belakang dari Lu-liang-san, jadi agak terpencil dan
tersembunyi. Akan tetapi, tidak ada apa-apanya yang aneh, melainkan lereng yang terjal penuh
batu-batu yang besar. Ia menjadi curiga dan bertanya, agak ketus. "Cia Han Sin, jangan main-main.
Di tempat begini gundul, mana bisa untuk simpan harta pusaka?"
Han Sin menggeleng kepala. "Ucapan seorang laki-laki takkan ditarik kembali. Aku tidak mainmain
dan memang menurut peta di tempat inilah letaknya. Batu segi tiga ini menjadi tanda yang
amat jelas. Menurut peta di belakang batu segi tiga inilah tempatnya." Han Sin menudingkan
telunjuknya ke arah batu itu.
Bhok-kongcu menjadi pucat. "Di belakang ini?" Ia memandang lebih teliti. Batu segi tiga itu tidak
berapa tinggi, hanya setinggi orang. Akan tetapi tebal dan karena batu itu adalah batu hitam yang
sudah tua sekali, maka beratnya tentu paling sedikit ada dua ribu kati! Kalau tempat itu berada di
belakang batu segi tiga, berarti bahwa batu itu harus disingkirkan. Ia lalu berpaling pada Hoa Hoa
Cinjin dan bertanya,
"Cinjin, tanpa pembantu-pembantu yang banyak, bagaimana mungkin menggeser batu yang besar
ini?" Hoa Hoa Cinjin menggulung lengan bajunya dan menjawab, "Kongcu, dalam urusan ini, tidak baik
mendatangkan banyak pembantu. Biarlah pinto mencobanya."
Tosu tua yang bertubuh kekar ini lalu mendekati batu segi tiga dari samping. Ia melihat batu itu
hanya bersandar pada tebing karang, tidak menjadi satu dengan karang maka ia merasa masih
sanggup menggesernya. Dengan memasang kuda-kuda yang amat kuat, ia lalu menggunakan tenaga
Jeng-king-kang (Tenaga Seribu Kati) dan mendorong batu itu. Akan tetapi batu itu tidak bergeming.
Terdengar suara tertawa dan ternyata Tung-hai Siang-mo sepasang iblis itu yang tertawa.
Hoa Hoa Cinjin menjadi penasaran. Dikerahkan seluruh tenaga dan dari ubun-ubun kepalanya
sampai keluar uap, tulang-tulang tubuhnya berbunyi berkerotokan dan urat-urat di kedua lengannya
tersmbul seperti ular melilit-lilit. Batu besar itu bergerak sedikit, namun tetap tidak dapat bergeser.
Akhirnya terdengar suara dan batu yang sudah goyang itu membalik sedangkan kedua kaki Hoa
Hoa Cinjin amblas sampai selutut ke dalam tanah! Terpaksa tosu itu melepaskan dorongannya dan
menyusut peluh. Ia mencabut keluar kedua kakinya dan mencari injakan lain untuk mencoba pula.
"Gi-hu, batu itu terlampau berat. Tak mungkin tenaga seorang manusia menggesernya," kata Hoa-ji
mencegah ayahnya.
"Ha ha ha, kau benar, nona berkedok. Tenaga Hoa Hoa Cinjin seorang mana mampu?" kata Ji Kong
Sek mengejek. Adapun Ji Kak Touw tertawa-tawa mendengus.
Hoa Hoa Cinjin sudah melotot. Matanya yang mempunyai sinar menakutkan, luar biasa tajamnya
itu seperti mengeluarkan api. Ia marah sekali kepada Tung-hai Siang-mo yang mengejeknya.
Melihat ini, Bhok-kongcu mendahuluinya berkata kepada sepasang iblis itu.
"Ji-wi lo-enghiong berdua yang terkenal memiliki tenaga Pai-san-ciang (Tangan Mendorong
Gunung), tentu akan dapat mendorongnya."
Sepasang iblis itu saling pandang. Tidak enak kalau mereka diam saja tanpa turun tangan. Maka
keduanya lalu menghampiri batu itu. Tadi Hoa Hoa Cinjin mendorong dari kiri, sekarang karena di
bagian kiri itu tanahnya sudah amblong terinjak kuda-kuda kaki Hoa Hoa Cinjin, mereka
mendorong dari kanan. Berdua mengerahkan tenaga dan menyatukan kekuatan, mendorong batu
segi tiga itu. Kembali batu bergoyang-goyang, akan tetapi tetap tidak dapat bergeser. Sampai merah muka kedua
orang itu, juga dari kepala mereka mengebul uap karena mereka mengerahkan seluruh tenaga
dalam, namun tetap tidak berhasil. Akhirnya mereka menyerah dan melepaskan dorongan.
"Ha ha ha! Tenaga Pai-san-ciang kiranya hanya bisa untuk mendorong gunung-gunungan,
jangankan mendorong gunung sungguh-sungguh, mendorong batu saja tidak becus. Ha ha ha!" Hoa
Hoa Cinjin membalas kedua orang itu dengan ketawa mengejek. Hoa-ji tentu saja membela ayah
angkatnya dan nona inipun tertawa merdu dan nyaring.
Tung-hai Siang-mo malu dan marah. "Hoa Hoa Cinjin, kau sendiri tidak becus, kenapa kau
mentertawai orang" Setidaknya tenaga kami berdua tidak kalah oeh tenagamu!" kata Ji Kak Touw
sambil melotot.
Hoa Hoa Cinjin mengangkat dada. "Begitukah" Boleh kita coba!"
"Majulah!" dua orang iblis itu memasang kuda-kuda dan siap untuk mengadu tenaga.
Hoa Hoa Cinjin melompat maju, meluruskan kedua lengan dan di lain saat sepasang lengannya
sudah bertemu dengan dua pasang lengan Tung-hai Siang-mo dan tiga orang ini saling mendorong,
mengerahkan tenaga masing-masing! Ramai sekali adu tenaga ini sampai Hoa-ji bertepuk tangan
saking gembiranya. Bhok-kongcu berusaha mencegah, namun tiga orang kakek yang sudah panas
perutnya itu mana mau saja"
Han Sin benar-benar merasa mendongkol dan jemu melihat lagak orang-orang kang-ouw yang
sedikit-sedikit menonjolkan kepandaiannya ini. Agaknya bagi para tokoh kang-ouw itu, yang
terpenting dalam hidup hanyalah memamerkan kepandaian dan bertempur untuk mencari
kemenangan! Ia melangkah maju dan berkata tak senang.
"Sam-wi ini orang-orang tua seperti bocah-bocah saja! Kalian mengaku pembantu dari Bhokkongcu,
pembantu-pembantu macam apa ini" Ikut-ikutan ke sini bermaksud membantu Bhokkongcu
mencari pusaka itu atau hanya untuk saling cakar" Masing-masing tidak mampu menggeser
batu, malah saling gempur. Kalau tenaga itu semua disatukan mendorong batu, itulah lebih baik dari
pada saling dorong seperti bocah tak tahu aturan!"
Ucapan ini dikeluarkan dengan suara yang demikian nyaringnya sehingga pengerahan lweekang
tiga orang itu menjadi terganggu, bahkan Hoa-ji dan Bhok-kongcu sampai merasa sakit anak
telinganya. Mereka kaget bukan main dan memandang kepada Han Sin dengan bengong.
Adapun Hoa Hoa Cinjin dan Tung-hai Siang-mo, ketika mendengar omongan ini lalu sadar. Tadi
mereka hampir lupa bahwa mereka berada di situ atas perintah Bhok-kongcu, bahkan mereka telah
saling adu kekuatan di depan Bhok-kongcu, lupa akan tugas mereka diajak ke situ. Segera mereka
menarik tenaga masing-masing dan memandang kepada Bhok-kongcu dengan muka merah.
Pangeran muda ini agak cemberut.
"Maaf kongcu. Pinto telah menuruti nafsu," kata Hoa Hoa Cinjin dan dua orang iblis itupun
mengangguk-angguk di depan Bhok-kongcu.
"Hoa Hoa Cinjin, apa yang diucapkan bocah ini memang ada betulnya. Mari kita bertiga
mendorong batu keparat ini, masa tidak kuat?" kata Ji Kong Sek. Hoa Hoa Cinjin mengangguk dan
Persekutuan Tusuk Kundai Kumala 19 Pendekar Setia Pendekar Kembar Bagian Ii Karya Gan K L Anak Berandalan 1
^