Kehidupan Para Pendekar 1
Kehidupan Para Pendekar Karya Nein Arimasen Bagian 1
"Kehidupan Para Pendekar
Oleh : Nein Arimasen
Bagian 1 -- Hakim Haus Darah
Matahari yang masih malu-malu di ufuk timur menyambangi hari itu bersama dengan kicauan burung-burung sebagai latarnya. Sinar sang surya yang masih temaram menambah gagah ketinggian tebing yang menjulang menghujam langit itu. Gunung Berdanau Berpulau. Gunung tersebut membentang megah pada arah timur-barat, sampai ribuan kambing dewasa panjangnya. Sangar dan tampak seperti berwibawa. Seorang pemuda tampak berdiri di kaki gunung itu. Ia memandang ke arah utara, ke arah di mana Gunung Berdanau Berpulau berakar pada bumi. Ingin dikenangnya saat-saat ia dididik ayah dan ibunya di gunung itu. Dilatih ilmu mengolah salah satu sumber tenaga di alam ini. Tenaga yang mengalir, akan tetapi kadang dapat memudar seperti uap, atau kadang dapat mengeras seperti es. Itulah jenis tenaga dalam yang dilatihnya. Diajarkan oleh kedua orang tuanya. Sudah saatnya sekarang ia menambah ilmunya dengan merantau dan mencari guru untuk belajar ilmu bela diri. Ya, ilmu beladiri. Walaupun ia sudah dapat menghimpun tenaga dalam atau hawa untuk menguatkan tubuh, tapi ia belum memiliki ilmu beladiri. Ilmu itu tak diajarkan oleh orang tuanya, karena mereka pun tak mengerti akan ilmu itu. Sudah turun-temurun keluarganya menyimpan suatu rahasia bagaimana mengolah tenaga lembut tapi menyimpan kekuatan yang luar biasa itu, Tenaga Air. Dan karena keluarganya hanya merupakan semacam 'Pelestari Ilmu' dari Tenaga Air tersebut, mereka tidak ambil pusing tentang bagaimana cara memanfaatkan ilmu itu dalam pertempuran. Tugas mereka hanya menjaga agar cara-cara melatih ilmu itu tidak punah. Itu saja.
Akan tetapi pemuda itu lain. Ia tidak ingin hanya menjadi Pelestari Ilmu, melainkan juga pengguna ilmu itu. Untuk itu ia perlu belajar ilmu beladiri. Suatu ilmu di mana ilmu tenaga yang telah dimilikinya dapat diterapkan dalam gerakan-gerakan. Baik gerakan melindungi diri sendiri ataupun menyerang orang yang menjadi lawannya. Dipandangnya sekali lagi gunung itu. Setelah puas merekam gambaran dari obyek yang ada dihadapannya, dibalikkan tubuhnya. Sekarang ia memandang pada bentangan luas suatu konstruksi geografis yang terdiri dari batu-batu belaka. Luas menutupi seluruh matanya, bahkan sampai ke sudut kiri dan kanannya. Padang Batu-batu. Suatu entitas lansekap yang berada di selatan Gunung Berdanau Berpulau.
Masih diingatnya pembicaraan terakhir dengan ayah dan ibunya, di saat ia meminta ijin untuk pamit menimba ilmu di rantau.
"Telaga, sudah bulatkah tekadmu itu, nak?" tanya ibunya perlahan. Bergetar suaranya saat menanyakan itu. Perasaan seorang ibu yang tidak mau berpisah dengan anaknya, membuatnya tidak seperti biasanya. Nyi Sura yang umumnya terlihat dingin tanpa senyum akan tetapi gagah, tampak agak rapuh di saat akan berpisah dengan anaknya. Anak satu-satunya itu.
Lain halnya dengan suaminya, Ki Sura. Ia tenang-tenang saja. Seorang anak lelaki tak jauh beda dengan ayahnya nanti, begitu pikirnya. Dulu sewaktu ia muda, ia pun pergi merantau. Dan sekarang anaknya pasti akan pula mengikuti jejak sang ayah. Oleh karena itu sudah lebih siap dirinya begitu mendengar keinginan anaknya untuk pergi merantau menimba ilmu.
Mendengar pertanyaan ibunya, mengangguklah Telaga. Lalu katanya kemudian menegaskan, "ya ibu, saya sudah membulatkan tekad."
"Tapi..," jawabnya ibunya tercekat. Tak ditemukannya kata-kata untuk menghalangi keinginan anaknya saat itu.
Sudah sejak lama Telaga mempunya niat untuk merantau. Dan sudah berulang alasan diutarakan oleh Nyi Sura. Alasan-alasan yang harus dipenuhinya sebelum ia diperbolehkan untuk merantau. Dengan patuh Telaga memenuhi semua tuntutan-tuntutan ibunya. Termasuk di dalamnya adalah belajar Tenaga Air sampai tingkatan ibunya, yaitu tingkat tujuh dari dua belas tingkatan yang ada. Selain itu ia harus pula menghafal teori dari sisa tingkatan yang belum dicapainya. Ayahnya sendiri baru mencapai tingkat sepuluh. Umumnya hanya orang-orang berbakat dan amat tekun yang dapat mencapai tingkat sebelas dan dua belas. Tingkatan ayahnya sudah termasuk cukup tinggi untuk orang-orang biasa.
"Lalu ke arah mana rencanamu merantau?" tanya ayahnya memecah keheningan yang timbul di antara mereka bertiga itu.
"Ke arah selatan, ayah," jawab Telaga cepat. "Aku pernah mendengar bahwa di Padang Batu-batu terdapat sebuah tempat yang menarik untuk dikunjungi."
Ayahnya mengangguk-angguk mendengar jawab anaknya. Katanya kemudian, "hati-hatilah. Berangkatlah pagi-pagi sekali, sehingga saat tiba di Padang Batu-batu masih pagi. Berhenti saat malam dan carilah tempat yang baik untuk bermalam. Dan selalu hati-hati di sana."
Telaga mengangguk mendengar wejangan ayahnya. Beberapa petuah lainnya masih diberikan oleh ayahnya, untuk kewaspadaan dirinya yang baru kali ini bepergian jauh seorang diri.
Sekarang membentang hari dan petualangan di depannya. Padang Batu-batu. Melompatlah ia perlahan ke bawah, benar-benar meninggalkan wilayah Gunung Berdanau Berpulau, memasuki sebenar-benarnya wilayah Padang Batu-batu. Di dalam Padang Batu-batu, terdapat banyak batu-batu yang menjulang keluar dari tanah, seperti tiang-tiang, yang besar dan tingginya bervariasi. Kadang terdapat batu-batu yang setinggi orang dewasa kadang lebih. Kadang selebar kerbau atau gajah, kadang pula lebih. Batu-batu yang lebih lebih kecil dari orang pun ada. Tapi untuk itu mungkin lebih tepat disebut kerikil dari pada batu.
Sulit untuk menentukan arah setelah masuk ke wilayah Padang Batu-batu. Mirip hutan belantara, di mana pemandangan dan sinar matahari dihalangi oleh kanopi dari insan-insan nabati. Di sini pemandangan dihalangi oleh tiang-tiang atau gundukan batu-batu yang sangar, dingin dan menantang. Untuk menentukan arah, dipanjatnya salah satu batu yang cukup besar di hadapannya. Dengan lincahnya Telaga dapat naik dengan mudah. Dalam setiap cengkeramannya tercipta legokan-legokan dalam batu keras tersebut. Cengkeraman Kristal Es. Jurus cengkeraman yang amat keras, dan menghujam juga dingin. Dengan menggunakan jurus itu Telaga memanfaatkannya untuk menciptakan pijakan-pijakan dan pegangan-pegangan pada batu yang dipanjatnya.
Tak berapa lama sampailah ia di atas batu tersebut. Dipandangnya berkeliling. Masih tampak Gunung Berdanau Berpulau di salah satu sisinya. Dalam arah yang berlawanan dilihatnya hanya batu-batu yang berdiri berderet-deret acak, membentuk suatu pemandangan yang indah dan juga menyeramkan. Menyeramkan bagi mereka yang tersesat di dalamnya. Bisa selama-lamanya tidak dapat keluar dari lingkungan ini. Untuk saat ini tidaklah terlalu sulit menentukan arah. Dengan memanjat suatu batu besar dan melihat di mana arah beradanya Gunung Berdanau Berpulau, ke arah berlawananlah ia harus menuju. Meloncatlah ia turun dengan gerakan yang ringan dan beranjaklah ia menuju arah yang sudah diingat-ingatnya tadi sewaktu berada di atas batu itu.
Empat hari itu berlangsung tanpa ada kejadian yang berarti. Telaga berjalan dengan cepat ke arah selatan. Sejak kemarin sudah agak sulit untuk menentukan arah dengan menggunakan Gunung Berdanau Berpulau sebagai patokan, karena sudah tak begitu jelas terlihat. Gunung itu telah terhalang oleh batu-batu yang lebih tinggi dari batu-batu yang dipilihnya untuk berpijak menentukan arah. Untuk itu ia mengambil patokan lain, yaitu matahari. Ia harus berjalan ke suatu arah dengan matahari berada di sebelah kirinya saat pagi hari dan di sebelah kanannya pada sore hari. Menuju selatan.
Jika malam tiba, dicarinya ceruk yang cukup rapat akan tetapi kering untuk bermalam. Pada malam hari angin bertiup agak keras di Padang Batu-batu. Selain itu ditambah dengan sempitnya ruang antara tiang-tiang batu, semakin cepat angin mengalir di antaranya. Prinsip ini diperkenalkan oleh seorang Pengujar Benoli (Bernoulli), yang juga menjelaskan mengapa burung dapat memanfaatkan udara untuk mengapung ke atas atau ke bawah. Untuk makannya selain telah membawa bekal, Telaga menangkap pula ikan-ikan kecil berupa Beunteur dan Julung-julung atau Keuyeup (kepiting air tawar) yang hidup di sela-sela tiang batu-batu yang dialiri air. Terdapat aliran kecil-kecil air di sela-sela Padang Batu-batu. Tidak bisa dikatakan sebagai sungai, karena kadang genangan tersebut berhenti dan tidak mempunyai keluaran. Mengendap dan mengalir lewat bawah tanah atau batu-batu yang perpori. Muncul di tempat lain seakan-akan sebagai genangan baru dan mulai kembali mengalirkan air. Benar-benar lokasi geografis yang menawan hati.
Pada awalnya sulit juga Telaga menangkap ikan-ikan Benteur dan Julung-julung serta Keuyeup karena mereka dapat dengan cepat menyembunyikan dirinya ke dalam batu-batu di bawahnya. Bukan di balik batu, melainkan di dalam rongga-rongga batu besar. Air yang jernih membuat mereka dapat melihat Telaga secara langsung. Alam ini memang indah dan juga pengasih sebagai karya cipta Sang Penguasa Alam. Sebagai contoh misalnya, Telaga mendapat pelajaran bertahan hidup untuk menangkap ikan-ikan dan kepiting dari beberapa ekor burung mirip bangau yang berukuran sebesar ayam. Burung-burung itu tidaklah langsung menyerang ikan-ikan dan kepiting begitu melihatnya. Mereka memutarinya, sampai ke suatu sudut di mana binatang yang akan menjadi mangsanya itu tak dapat melihatnya lagi. Selain karena batasan pandangan juga karena efek pembiasan dari air. Pengujar Senelius (Snellius) menerangkan mengenai efek pembiasan cahaya ini. Untuk mempelajari ini Telaga sampai berendam dalam air dalam suatu ceruk yang cukup dalam untuk melihat dari dekat bagaimana burung-burung itu bisa berhasil dan juga bagaimana posisi ikan dan kepiting yang diincarnya.
Sekarang Telaga telah memiliki "perlengkapan" untuk menangkap ikan dan kepiting, yaitu tombak-tombak setinggi dirinya. Dengan meniru burung-burung yang berparuh panjang itu ia membuat tombak-tombak tersebut. Tombak-tombak itu tidaklah cukup untuk menangkap ikan dan kepiting, apabila tidak mengikuti cara mereka untuk mengelabui mangsanya. Ada saat-saat tertentu dalam satu hari, yang dibantu dengan posisi matahari, untuk mencari ikan dan kepiting. Pada saat-saat seperti itu binatang-binatang itu dapat dikelabui dengan mengambil arah tertentu, arah di mana binatang-binatang itu tidak dapat melihat dengan baik, sehingga serangan dapat dilakukan. Umumnya dapat diperoleh hasil dengan cara ini. Telaga saat itu memahami mengapa burung-burung tersebut hanya berburu pada saat-saat tertentu dan tidak sepanjang hari.
Hari keenam, sampailah Telaga di suatu tempat yang agak terbuka. Terbuka bukan karena tiada lagi tiang batu-batu, melainkan karena tiang-tiang yang ada agak terbenam ke dalam suatu cekungan. Cekungan itu membentuk suatu genangan air yang cukup lebar, walaupun tidak selebar Danau Tengah Gunung di mana dia dulu pernah tinggal. Mendapati tempat yang indah dan menyenangkan itu. Mengingatkan dirinya akan masa kecilnya, maka mengasolah Telaga di atas sebuah batu ceper di balik sebuah batu tinggi besar yang melindunginya dari sinar matahari pagi yang telah berada cukup tinggi di langit. Tak terasa datanglah kantuk dan Telaga pun tertidur.
Tak tahu berapa lama ia tertidur, Telaga terbangun saat ia mendengar bisik-bisik orang. Walaupun amat lamat-lamat, akan tetapi karena ia telah memiliki tenaga dalam yang cukup tinggi, dapat ia mendengarnya.
"Sudah.., lemparkan saja di sini," kata orang pertama.
"Jangan, nanti cepat ketahuan," sanggah orang kedua temannya.
"Bagaiamana bila diberi pemberat dulu, batu," usul temannya yang lain. Orang ketiga.
Tak ada suara. Tak tahu Telaga apa usul itu disetujui oleh dua teman pertamanya itu. Dengan berjingkit-jingkit mengendap-endap Telaga mencari-cari dengan matanya, di mana orang-orang itu berada. Akhirnya ditangkapnya tiga sosok orang di pinggir lain genangan air itu. Dari kejauhan mereka bertiga tampak sedang mengerjakan sesuatu pada semacam gundukan atau bungkusan dari kain yang ada di antara mereka. Setelah memeriksa dengan seksama, kemudian ketiganya membawa bungkusan itu di atas kepalanya dan mulai berjalan menyeberangi genangan air itu. Berjalan mereka perlahan-lahan, mungkin karena beratnya bungkusan itu atau karena lantai genangan air yang tidak rata, walaupun jernih.
Setelah kira-kira air mencapai pinggang mereka, berkata seorang dari padanya, "nah itu ada sebuah legokan dalam air yang cukup dalam. Lempar saja di sini."
Dengan berkecipuk keras, masuklah bungkusan itu ke dalam air setelah dilempar oleh ketiga orang itu. Perlahan mulai tenggelam bungkusan itu dengan disertai gelembung-gelembung udara yang menyembul ke atas permukaan air. Ketiganya masih di sana. Menunggu sampai tiada lagi gelembung-gelembung yang timbul. Kemudian berlalulah ketiganya.
Telaga terdiam melihat kejadian itu. Ia tidak tahu dan tidak memiliki gagasan mengenai apa sebenarnya yang tengah berlangsung. Bungkusan itu cukup besar dan berat. Entah apa isinya. Yang pasti mereka tidak mau bungkusan itu diketahui orang. Di Padang Batu-batu memang susah untuk menyembunyikan sesuatu. Tidak ada tanah. Oleh sebab itu mereka bertiga memilih menyembunyikannya dalam suatu legokan yang cukup dalam di tengah-tengah genangan air itu. Jurang yang cukup dalam, sehingga walaupun airnya jernih, tidak dapat dengan jelas terlihat dasarnya karena kurangnya sinar matahari yang mencapai dasar.
Niatan Telaga, yang tadi gembira melihat adanya orang di Padang Batu-batu, untuk menyapa akhirnya diurungkan begitu melihat sesuatu yang serba misterius itu. Hati kecilnya membisikkan agar ia tidak ikut campur. Maka ditunggunya sampai ketiga orang itu pergi.
Alih-alih pergi ketiganya malah duduk di salah satu batu ceper di seberang sana. Ketiganya membuka pakaiannya dan menjemurnya di atas batu-batu. Kelihatannya ketiganya tidak ingin dicurigai telah berendam di dalam air. Suatu pikiran yang cerdas. Tapi tidak cukup cerdas karena mereka tidak tahu kehadiran Telaga yang tertidur di seberang lain dari genangan air itu.
Lapar juga Telaga menunggu ketiganya pergi. Sambil terus mengintai dimakannya pelan-pelan bekalnya. Sepotong ubi yang dibawanya dari rumah dan ikan Julung-julung kering dan remukan Keuyeup bakar yang ditangkapnya kemarin. Sudah habis makan siangnya tapi ketiganya belum juga beranjak, walau telah dikenakan kembali pakaian mereka yang kering itu. Tampak seperti sedang menunggu sesuatu mereka itu.
Selang tak berapa lama, tampak sebuah iring-iringan datang. Sekelompok gadis-gadis sambil membawa keranjang cuciannya. Mereke hendak mencuci dan mungkin juga mandi di genangan air itu. Ketiga pemuda yang telah sedari tadi berada di sana tampak sumringah melihat rombongan yang mereka tunggu-tunggu itu tiba. Bergegas mereka menyelinap ke sebuah batu besar di salah satu sudut genangan itu. Masih dalam pinggiran yang sama. Tak lama kemudian sampailah gadis-gadis itu di pinggir genangan.
Kata salah seorang dari mereka, "eh, rasa-rasanya tadi ada orang yang berjemur di sini. Tapi kok tidak ada siapa-siapa ya?"
"Ah, kamu mimpi kali?" jawab temannya, "siang-siang gini 'kan jarang yang datang. Makanya kita nyucinya siang."
"Sekalian mandi..," jawab temannya terkekeh-kekeh genit.
Lainnya hanya mengiyakan.
Gadis yang curiga tadi tidak percaya begitu saja pada ucapan temannya, ia pun berjalan berkeliling ke satu sisi dan kemudian ke sisi lain pinggiran untuk memeriksa siapa tahu ada yang bersembunyi untuk mengintip mereka saat mencuci dan mandi di sana. Tak ditemuinya seorang pun. Andai saja ia maju setombak dua lagi, akan ditemuinya tiga orang yang bersembunyi di sana. Mereka telah beringsut mundur dan pindah dari persembunyiannya semula saat gadis itu mencari-cari.
Telaga yang begitu melihat gadis-gadis itu akan mencuci dan mandi di sana merasa risih, dan ingin segera menjauh. Tapi dengan adanya tiga orang itu yang tadi telah membuang sesuatu, membuatnya menjadi bertanya-tanya. Menyelinap rasa kuatirnya akan keselamatan rombongan gadis-gadis itu.
Mereka pun mulai mencuci barang-barang bawaaannya. Setelah beberapa saat beberapa orang mulai pula menanggalkan kain yang dipakainya untuk kemudian merendam dirinya sebatas dada. Tak tampak ketelanjangan mereka karena dihalangi oleh air. Walaupun demikian pemandangan itu mau tak mau membuat Telaga sedikit berdesir. Membayangkan tubuh-tubuh itu dalam air yang jernih dan bergoyang-goyang, membersitkan sedikit khayalan yang mengalirkan darah lebih cepat ke beberapa organ tubuhnya. Dialihkan pandangannya dari rombongan itu ke arah ketiga pemuda yang bersembunyi di pinggiran lain. Ketiganya telah kembali ke tempat mengintipnya semua, setelah gadis yang memeriksa tadi mulai mencuci. Hanya gadis itu yang tidak membuka pakaiannya. Ia hanya mencuci dengan duduk di pinggiran genangan. Selebihnya telah berendam di tengah.
"Sarini, ayo mandi..!" ajak temannya yang telah berendam dan berenang-renang. Dibiarkannya keranjangnya mengapung. Diayunkan lengannya dan melajulah ia perlahan.
Yang dipanggil hanya tersenyum dan kembali mencuci pakaiannya. Tak tergoda atas ajakan itu. Udara yang panas memang membuat orang ingin berendam di dalam air genangan itu, tapi pesan orang tuanya mengingatkan bahwa hal itu tidak aman. Salain itu perasaannya mengisyaratkan ada sesuatu. Sesuatu yang ia tidak dapat jelaskan. Keragu-raguannya membuatnya tidak ikut mandi. Ia mandi biasanya hanya pada pagi hari, di mana belum ada matahari. Sehingga orang tidak dapat mengintipnya dengan mudah. Tidak di siang hari bolong seperti ini. Kawan-kawannya telah diperingatkan, akan tetapi mereka hanya tertawa-tawa. Penakut disebutkan dirinya.
Tak lama kemudian selesailah gadis-gadis itu mencuci juga Sarini. Sementara Sarini tampak beristirahat di pinggiran sambil mencuci mukanya. Sisa gadis-gadis dalam rombongan itu tampak berenang-renang ke tengah. Telanjang. Tak sadar mereka bahaya yang mengintai mereka.
Ketiga pemuda yang tengah mengintai itu, tampak oleh Telaga, seling mengangguk satu sama lain. Lalu salah seorang dari mereka seperti menarik sesuatu dari dalam air. Sepotong tali. Kemudian mereka bertiga bergegas diam-diam pergi. Tidak seorang gadis pun, juga Sarini yang melihat kepergian mereka.
Saat Telaga masih bingung dengan kelakuan tiga pemuda itu, tiba-tiba jerit salah seorang gadis yang sedang mandi itu terdengar, "mayat, ada mayat...!" katanya sambi menunjuk sebuah benda yang terapung di tengah-tengah genangan air.
Akibat teriakan itu teman-temannya bergegas keluar dari air untuk menyambar kain mereka masing-masing dan berpakaian. Tak urung Telaga sempat pula menikmati kemulusan tubuh mereka saat mereka keluar dari air untuk menyambar kain mereka. Tanpa membawa keranjang cucian mereka, bergegas rombongan itu pergi untuk memberi tahu orang-orang di desanya.
Tak lama kemudian tampak berduyun-duyun orang-orang desa muncul sambil membawa-bawa tongkat. Sebagian dari mereka terjun ke dalam air dan mencoba menggapai gundukan itu dengan tongkat mereka. Menepikannya dan mengamati. Di antara mereka tampak pula ketiga pemuda tadi. Ketiga orang yang membuang mayat tersebut.
"Ini adalah Ki Rontok, si pedagang keliling," ucap salah seorang dari mereka. "Bagaimana orang Desa Batu Barat bisa berada di sini?"
"Iya, benar itu Ki Rontok," jawab yang lain menegaskan, "wah bisa berabe nih kita.."
Rekan-rekannya pun mengangguk-angguk.
"Habis kita nanti sama Hakim Haus Darah.." ucap salah seorang dari mereka.
Tak lama kemudian bersahut-sahutanlah ucap-ucapan di antara mereka sehingga Telaga tidak lagi dapat mengerti ucapan-ucapan itu. Hanya kata-kata "Hakim Haus Darah" yang jelas-jelas dapat didengarnya. Benar-benar menarik kata-kata itu. Menumbuhkan minatnya untuk lebih lanjut melihat kelanjutan dari peristiwa itu.
Setelah berunding sebentar kemudian mereka pun mengangkat mayat itu, yang dikenali sebagai Ki Rontok, dengan tandu dari kain yang mereka bawa. Bersama-sama mereka membawanya. Ujung-ujung kain itu dipegang oleh satu orang, sementara di tengah-tengahnya ada orang lain yang membantu. Enam orang membantu membawa jenasah Ki Rontok.
Telaga masih menunggu beberapa saat untuk melihat sampai orang-orang itu pergi. Untuk kemudian mengikuti. Ia ingin melihat lebih jauh apa yang akan terjadi dengan jenasah itu. Dan juga ingin melihat orang yang disebut-sebut sebagai "Hakim Haus Darah" yang terdengar ditakuti oleh orang-orang itu. Bersamaan pula ia ingin tahu apa peran dari ketiga orang itu. Orang-orang yang tadinya menyembunyikan bungkusan di dalam genangan itu, yang mengatur sehingga seolah-olah ditemukan oleh rombongan gadis-gadis yang akan mandi dan mencuci di sana.
Menunggu adalah pekerjaan yang membosankan. Tapi itu harus dilakoni Telaga. Ia tidak ingin terlihat berada di sana selama peristiwa itu terjadi. Bisa-bisa ia yang dituduh. Bisa-bisa fatal akibatnya. Untuk itu ia perlu meyakinkan diri agar tidak terlihat oleh siapapun saat meninggalkan tempatnya itu.
Akhirnya ia merasa yakin bahwa tidak ada lagi orang yang berada di sana, setidaknya dalam jarak yang bisa melihat dirinya. Ia kemudian beranjak untuk pergi ke arah orang-orang itu tadi menghilang. Ke sebuah jalan setapak di antara tiang-tiang batu. Saat ia bangkit dan hendak berputar ke arah pinggir genangan, tampak olehnya seorang tua sedang menatapi dirinya. Kehadirannya yang tak disadari Telaga itu membuat hampir copot jantung pemuda itu. Selain karena peristiwa yang baru terjadi itu, juga menandakan ketinggian ilmu meringankan tubuh dari si orang itu.
Orang tua itu tersenyum. Ia tahu kegundahan yang sepersekian saat tersirat di wajah pemuda itu, lalu katanya, "Jangan kuatir. Aku si orang tua, tahu siapa yang salah dan siapa yang benar."
Telaga hanya tersenyum kecut mendengar itu. Walaupun ia bukan pelaku dari peristiwa itu, tapi ia kedapatan sedang mengintip. Dan perbuatan itu bukanlah suatu perbuatan "benar".
Telaga tidak tahu harus berbuat apa, dipandangi sajalah orang tua itu. Tampak belum tua benar ia. Malah lebih ke arah seorang setengah baya yang tampak dituakan oleh masalah. Sehingga terlihat jauh lebih tua dari usia sebenarnya. Ketuaan yang dikarbit pemikiran yang tidak terkendalikan. Dari postur tubuhnya yang tegap dan dibalut kain bermotif kasar itu, terlihat tubuh yang terlatih. Tampak pula warna busana yang aneh, yaitu sebelah kanan biru muda dan sebelah kiri hijau muda. Telaga baru menyadari suatu keanehan lagi, yaitu bahwa orang itu memiliki kulit yang agak kehijauan. Keanehan ini dirasakan pula saat melihat orang-orang tadi, yang dari kejauhan terlihat seperti kebiruan. Tadinya dipikirnya karena warna pakaian mereka atau pantulan langit dan air. Akan tetapi setelah melihat orang tua ini dari dekat, yakinlah ia bahwa itu adalah warna kulit mereka. Warna-warna kulit yang aneh. Warna-warna yang dimiliki oleh Undinen, akan tetapi terdapat pada manusia seperti dirinya.
Orang tua itu pun masih mematut-matut Telaga, sibuk dengan pikirannya sendiri. Tak dibukanya percakapan, melainkan terus mengamat-amati Telaga. Seakan-akan ada sesuatu yang sedang dinilainya. Selang tak berapa lama, tiba-tiba menghilanglah ia ke arah kanan, setelah sebelumnya ia mendekat amat cepat ke arah Telaga, bergetar dadanya saat orang itu menyentuhnya perlahan untuk kemudian menarik kembali tanggannya dan pergi. Lamat-lamat dari kejauhan terdengar ucapannya, "kita akan bertemu lagi, anak muda. Teruskanlah perjalananmu dan puaskan keingintahuanmu! Dan ingat jangan sembunyikan kebenaran..!"
Bergidik Telaga menyaksikan halus dan tak terduganya gerakan orang tua yang belum dikenalnya itu. Dari caranya bergerak, lebih tinggi ilmu orang itu dari ayahnya dalam meringankan tubuh. Seram rasanya membayangkan orang itu menjadi lawannya.
Kata-kata "puaskan keingintahuanmu" mengingatkan Telaga akan rencananya semula untuk mengikuti orang-orang itu, orang-orang yang tadi membawa jenasah Ki Rontok. Dan juga perihal Hakim Haus Darah yang diomong-omongkan oleh mereka.
*** Desa Batu Barat dan Desa Batu Timur adalah dua buah desa yang berada di sekitar danau kecil Danau Genangan Batu di tengah-tengah Padang Batu-batu. Kedua desa itu berlokasi agak jauh satu sama lain dengan di tengah-tengahnya terdapat danau kecil tersebut. Umumnya jarang orang-orang dari mereka menuju danau itu jika tidak untuk mencuci atau berenang-renang. Untuk kebutuhan air minum, umumnya mereka dapat memperolehnya dari rembesan air yang keluar dari batu-batu di sekitar desa mereka.
Konstruksi rumah-rumah mereka pun agak sedikit menarik, bukan dibangun di atas bumi yang kadang-kadang berair di kawasan Padang Batu-batu melainkan di atas batu-batu atau tiang-tiang batu yang cukup besar dan kokoh. Di atas beberapa tiang batu setinggi pohon kelapa itu mereka lintangkan batu dan kayu membentuk semacam panggung. Di atas panggung tersebut baru dibangun rumah dari kayu atau bambu. Di Padang Batu-batu tidak banyak pepohonan yang dapat tumbuh, akan tetapi entah bagaimana dan dari mana orang-orang itu dapat memperolehnya. Mungkin mereka memang memiliki cara tersendiri untuk menumbuhkan pohon-pohon itu untuk kemudian mereka panen sebagai bahan pembuat rumah.
Kedua desa itu, Desa Batu Barat dan Desa Batu Timur, yang terletak sesuai dengan namanya di sebelah barat dan timur, dapat dibedakan dari penghuni-penghuninya. Di bagian barat tinggal orang-orang yang memiliki kulit agak kehijauan sedangkan di sebalah timur tinggal mereka-mereka yang memiliki kulit agak kebiruan. Pembagian itu sudah lama terjadi sejak nenek moyang mereka. Tidak banyak terjadi kawin campur di antara kedua penghuni desa yang belainan. Selain adat, juga ada rasa kesombongan dan merendahkan desa lain yang menghalangi pencampuran itu.
Akan tetapi jika ada orang-orang yang memandang golongan lain lebih rendah dan golongannya sendiri lebih tinggi, ada pula orang-orang yang menghargainya. Dan bahkan dapat saling jatuh cinta. Orang itu adalah Walinggih dari Desa Batu Barat dan Sarnini dari Desa Batu Timur. Sudah tentu hubungan mereka itu tidak direstui. Baik oleh kedua orang tua maupun penduduk dari kedua belah desa. Keduanya tidak peduli dan memilih tetap memelihara cinta mereka. Dan membangun sebuah rumah jauh dari kedua desa itu, agak ke selatan lagi dari Danau Genangan Batu.
Tahun-tahu berlalu dan keduanya hidup dalam penuh cinta dan kasih. Buah hati pun lahir dari rahim Sarnini. Seorang bocah yang memiliki warna kulit biru kehijauan atau hijau kebiruan. Perpaduan warna dari ayah dan ibunya. Walinggih dan Sarnini amat bangga terhadap anak mereka. Gembira hati mereka. Hanya sayang kegembiraan itu dinodai oleh rasa tidak senang beberapa orang baik dari Desa Batu Barat maupun Desa Batu Timur. Mereka tidak suka Walinggih dan Sarnini bahagia. Bila keluarga itu hidup tenteram dan bahagia sampai tua, akan terhapus mitos pertentangan antara kedua desa itu. Akan terjadi peleburan. Dan itu bisa menghancurkan mereka para pedagang, yang bisa-bisanya mengadu-adu Desa Batu Barat dan Desa Batu Timur agar dagangan mereka laku. Kedua kelompok ini, walaupun berasal dari desa yang berbeda tapi tahu sama tahu kegiatan mereka. Mereka biasa memanas-manasi penduduk salah satu desa, bahwa desa lain lebih maju karena adanya satu produk. Oleh karena itu supaya tidak ketinggalan, desa yang lain juga harus turut serta dengan membeli produk yang lebih baik. Selain itu terdapat pula semacam penjaga keamanan dari kedua kelompok yang seakan-akan menjaga keamanan, sementara konco-konco mereka dari kelompok yang berlawanan melakukan kerusuhan. Dengan adanya para penjaga keamanan, situasi menjadi aman dan terkendali. Pernah suatu saat warga desa tidak mau membayar pajak penjagaan, langsung saja terjadi perampokan dan penculikan, yang dituduhkan pada desa yang berlawanan.
Cara-cara ini sudah tentu tidak baik, hampir sama dengan para pedagang senjata yang mendapat untung bila ada konflik atau perang antar daerah. Tapi para pedagang atau preman ini tidak peduli. Bagi mereka Tigaan lebih penting. Budaya Tigaan ini pun mereka bawa dari luar Padang Batu-batu, saat mereka berdagang ke Kota Pinggiran Sungai Merah, jauh di barat daya sana. Di kota itu mendengar adanya dua desa yang berbeda dan tidak akur, seorang pedagang menjelaskan suatu cara berdagang yang lebih menguntungkan. Mengadu-domba. Dengan cara ini pasti akan lebih laku, jelasnya. Juga intimidasi seakan-akan adanya ancaman, untuk kemudian menawarkan jasa-jasa pengamanan. Kedua kelompok itu mengangguk-angguk setuju mendengar ide itu. Tigaan telah membutakan mereka akan semangat kebersamaan dan kekeluargaan kehidupan di desa. Yang penting untung dapat diraup. Perubahan sosial dan kultur menjadi ke arah yang lebih buruk bukanlah urusan mereka. Akibatnya keluarga Walinggih dan Sarnini menjadi ancaman bagi konflik antara kedua desa. Bila kedua desa bersatu, bisa tahu orang-orang bahwa hal-hal yang dipanas-panasi oleh para pedagang itu adalah bohong belaka. Hal ini tidak boleh terjadi. Oleh karena itu disepakati di antara kedua kelompok itu bahwa keluarga itu harus dibasmi. Kejamnya politik perdagangan. Bahkan dalam ruang lingkup sekecil itu.
Lalu diupahlah beberapa orang dari luar Padang Batu-batu untuk membunuh keluarga itu. Perlu diubah orang-orang yang cukup berilmu karena Walinggih sendiri memiliki ilmu beladiri yang cukup tinggi. Ia pernah merantau jauh ke utara dan menjadi guru orang pandai di sana. Mungkin akibat ilmunya itu pula, ia menjadi tak masalah memperistri orang dari Desa Batu Timur. Malam yang naas itu Walinggih kebetulan sedang berada di Danau Genangan Batu, bermalam untuk mencari sejenis ikan yang hanya muncul di malam hari. Ikan itu dapat dimanfaatkan untuk obat istrinya yang sedang sakit. Sebenarnya istrinya minta ditemani malam itu, akan tetapi mengingat sakit sang istri yang sudah berlarut-larut, Walinggih tak tega. Ingin ia mencari obat untuk kesembuhan istrinya itu. Minta tolong ke penduduk kedua desa, tidak mungkin. Ia dan keluarganya sudah seakan-akan dikucilkan.
Andai saja Walinggih ada di rumah, sudah tentu tidak mudah bagi Asasin untuk membunuh kedua anak dan istrinya. Asasin yang merupakan kelompok terdiri dari empat orang itu berhasil dengan mudah membantai Sarnini dan anaknya. Kemudian mereka menunggu Walinggih yang diduga akan pulang larut malam. Karena ditunggu-tunggu tidak datang. Akhirnya mereka, Asasin, pulang dan melaporkan itu kepada orang yang menyuruh mereka. Kedua kelompok pedagang. Sudah tentu kedua kelompok itu takut dan menyatakan, bahwa Walinggih pun harus dibunuh, bisa berabe nanti jika ia mengamuk, mengingat ilmunya yang tinggi. Akan tetapi para pembunuh tidak mau. Perjanjian mereka adalah dibayar satu hari satu malam untuk pekerjaan itu. Untuk kelebihan waktu, harus dibayar lain. Pulanglah mereka kembali ke kota mereka. Salah satu kota-kota di Pinggiran Sungai Merah di barat sana.
Walinggih yang baru saja pulang membawa ikan untuk obat istrinya yang sakit, seakan-akan tidak percaya pada penglihatannya. Ia melihat anak dan istrinya telah terbujur bersimbah darah di ruang tengah rumahnya. Bagai gila ia berteriak di tengah pagi buta. Menggiriskan hati suaranya, serta memekakkan telinga. Asasin sebagai kelompok pembunuh profesional biasa meninggalkan tanda di lokasi korban mereka. Sebagai bukti kesombongan mereka juga sebagai iklan bagi orang-orang yang ingin menggunakan jasa mereka. Akan tetapi dalam kasus ini berakibat fatal. Demi mengetahui bahwa pembunuhnya adalah Asasin, kelompok pembunuh bayaran terkenal, Walinggih memburunya ke kota tempat kelompok itu membuka layanannya. Dengan ilmunya yang telah mumpuni dan juga kemarahannya dibantainya semua orang yang ikut membunuh keluarganya, setelah sebelumnya dikorek keterangan siapa yang menyuruh mereka. Berbekal informasi itu kembalilah Walinggih ke Padang Batu-batu. Dicarinya satu-satu orang-orang dari kedua kelompok pedagang itu. Dihasibisinya langsung dengan pedang panjangnya. Dibelah persis di tengah-tengah. Simetris. Dan ditinggalkannya begitu saja. Tidak ada orang dari kedua desa itu yang bisa meredamnya.
Setelah semua orang yang bersalah habis. Walinggih pun kembali ke rumahnya dan meratapi nasibnya. Pandangannya berubah terhadap kerukunan. Tidak bisa kerukunan antara kedua desa itu dicapai dengan cara baik-baik, pikirnya. Ia akhirnya mengambil sikap. Jika ada pertentangan, tidak pedulu siapa yang mulai akan dibantainya. Ia kemudian menjadi musuh dari kedua desa itu, juga penolong. Orang-orang yang saling menimbulkan kerusuhan dibantainya. Orang-orang yang hidup rukun bersyukur karena ada dirinya. Ia kemudian dikenal sebagai Hakim Haus Darah karena kejamnya itu. Dalam setiap perkara kejahatan, biasanya harus ada yang tersembelih simetris, jadi dua bagian. Katanya suatu ketika, "potongan pedangku ini akan memisahkan sisi baik dan sisi jahatnya. Semoga arwahnya nanti damai di sana." Benar-benar pikiran yang gila. Tapi itulah kenyataannya. Mengingat kejamnya Walinggih yang hampir seperti jagal, membuat jarang orang mengadukan sesuatu kepadanya, kecuali kasus-kasus yang parah. Atau kadang Walinggih sendiri yang turun tangan apabila terjadi perkelahian antar kedua desa itu.
Akibatnya kehidupan menjadi tenang. Tiada lagi pertentangan di antar kedua desa itu. Akan tetapi bukan ketenangan sebenarnya, melainkan ketenangan dalam paksaan. Jika bertikai dan berlarut-laru, sampai Hakim Haus Darah turun tangan, fatal akibatnya. Yang tertangkap basah bertikai akan dibantai. Alasannya boleh berbicara belakangan. Telah pula ada upaya dari beberapa orang baik-baik untuk mengadukannya ke pemerintah pusat. Ya, walaupun Walinggih membuat keadaan tenang tanpa pertentangan akan tetapi bisa jadi suatu saat kehausdarahannya akan memakan korban yang tak bersalah. Orang yang terkena fitnah misalnya. Tapi tak ada balasan atau pun upaya dari pemerintah pusat mengenai hal itu.
Oleh sebab itu cemaslah penduduk Desa Batu Timur yang menemukan jenasah Ki Rontok yang adalah warga Desa Batu Barat. Ini bisa jad merupakan upaya untuk menyulut pertentangan. Bila terjadi pertentangan dan terdengar oleh Hakim Haus Darah, sudah pasti akan ada pembantaian. Terlepas dari siapa yang bersalah, sudah pasti fatal akibatnya dari kedua belah pihak.
*** Penduduk Desa Batu Timur pun berkumpul di pendopo desa mereka. Di tengahnya berbaring tubuh kaku Ki Rontok. Seorang pedagang dari Desa Batu Barat. Cemas-cemas tertampak dari wajah-wajah mereka. Ujung-ujung dari peristiwa ini yang akan menjadi masalah bagi mereka.
"Bagaimana ini, kepala desa?" tanya seorang warga.
"Lebih baik kita urus secara kekeluargaan dengan Desa Batu Barat, sebelum Walinggih mendengarnya," usul seseorang.
Beberapa mengangguk-angguk mengiyakan. Alternatif itu lebih baik. Jika orang-orang Desa Batu Barat mau menerima hal ini dan tidak mempersoalkan, akan selesai masalah. Tidak ada korban dari Walinggih, si Hakim Haus Darah. Akan tetapi siapa pelaku dari pembunuhan ini, perlu pula diusut.
"Ada yang bisa menceritakan, bagaimana kejadian sebenarnya?" tanya seorang tua-tua sambil menatap berkeliling.
Rombongan gadis-gadis yang tadi saat mencuci dan mandi di Danau Genangan Batu menemukan jenasah Ki Rontok saling dorong-mendorong. Sampai akhirnya terdorong ke tengah Sarini, gadis yang tadi tidak ikut mandi. Setelah tak mungkin mungkir sebagai wakil dari saksi mata, berceritalah Sarini tentang apa yang ia dan kawan-kawannya tadi lihat. Bagaimana mayat itu mulai mengapung dan ditemukan oleh mereka-mereka yang berenang-renang agak ke tengah.
Salah seorang dari ketiga orang yang dilihat Telaga tadi maju dan memeriksa korban. Kehadirannya tidak terlalu diperhatikan oleh para warga desa yang sedang tegang itu. Mereka masih membayangkan siapa yang akan nanti jadi sasaran dari Hakim Haus Darah. Kemudian kata orang itu setelah memeriksa, "lihat seperti ada bekas potongan dan kemudian dijahit kembali..!" katanya sambil menunjuk pada jenasah Ki Rontok yang telah dibuka bajunya.
Dan memang benar, seperti ditunjukkannya, bahwa dari ujung kepala sampai ke dada, terdapat suatu celah, seakan-akan Ki Rontok pernah dibelah dan direkatkan kembali.
"Mirip Potongan Simetris dari Hakim Haus Darah," gumam seorang takut-takut.
Berapa suara-suara lain pun mengiyakan.
"Jika demikian pasti Hakim Haus Darah pelakunya," ucap seorang.
Ucapan itu bagai hantu yang lewat di siang bolong. Suasana pun menjadi sunyi menakutkan. Seakan-akan sang Hakim Haus Darah ada sendiri di sana dan mendengarkan ucapan itu.
Bingunglah warga Desa Batu Timur mendengar ungkapan itu dan juga kenyataan bahwa Ki Rontok mati mengenaskan akibat Potongan Simetris. Sebuah jurus yang hanya dimiliki oleh Hakim Haus Darah, sejauh pengetahuan penduduk desa itu. Bagaimana ini dapat terjadi" Biasanya Hakim Haus Darah akan turun tangan bila terlebih dulu ada konflik, di mana konflik itu telah berlarut-larut sehingga menimbulkan pertempuran di antara dua desa. Saat itulah ia turun tangan. Tak pandang bulu. Semua pelaku pertempuran akan dibantainya habis dan dipotong masing-masing setiap orang menjadi dua bagian.
Jika sekarang Hakim Haus Darah sudah membunuh orang tanpa terlebih dahulu adanya konflik yang berwujud pertempuran, semakin merinding orang-orang Desa Batu Timur. Mereka membayangkan bahwa kapan saja mereka dapat dibantai oleh sang hakim tanpa perlu alasan yang jelas. Seperti halnya Ki Rontok, tak jelas alasannya, tahu-tahu sudah terbujur kaku di dalam danau.
Melihat orang-orang desa yang terdiam seribu bahasa, seorang yang agak tua tapi berwibawa angkat bicara, "warga desa yang terhormat, perkenalkan kami... Kami adalah tiga orang utusan dari pemerintah pusat. Berkaitan dengan laporan yang menyatakan adanya seorang pembantai yang dikenal sebagai Hakim Haus Darah di kawasan ini, kami datang untuk menangkapnya." Sementara orang yang tadi menunjukka bekas luka itu entah sudah hilang kemana.
Terdiam lagi penduduk desa mendengar pernyataan itu. Orang-orang yang semula dikenal hanya sebagai pedagang dari kota besar itu, ternyata adalah perwira-perwira yang menyamar. Mereka ditugaskan untuk menangkap Hakim Haus Darah. Kemudian diceritakan oleh mereka bahwa pengamatan akan sang hakim telah dilakukan lama sebelumnya. Akan tetapi dengan tidak adanya peristiwa "pembantaian" tak dapat sang hakim di tangkap. Perintah dari pusat adalah bahwa harus terjadi peristiwa saat pengamatan dilakukan dan akan dijalankan penangkapan. Dengan adanya peristiwa ini, sebagai bukti, dapatlah sang hakim saat ini ditangkap.
Beberapa orang yang selama ini merasa tertekan dengan kehadiran Hakim Haus Darah bersorak dalam hatinya. Sementara yang lain, dengan tanpa adanya sang hakim telah hidup dengan damai, agak menyesalkan juga kedatangan ketiga perwira itu. Mereka yang terakhir ini kuatir, apabila Hakim Haus Darah ditangkap, akan kembali ke masa lalu keadaan di sini. Dikuasai kembali oleh para preman dan pedagang. Tapi orang-orang ini tak berani menyuarakan hatinya.
Lalu kata seorang dari ketiga perwira itu, "ada baiknya bila kita menghubungi orang-orang dari Desa Batu Barat. Kita berkumpul untuk menuju ke kediaman Hakim Haus Darah. Kalian penduduk desa, hanya perlu menjadi saksi. Kami yang akan menangkap sang hakim. Tak perlu takut!"
Orang-orang desa yang sedang dicekam kebingungan itu tak tahu harus berbuat apa. Sang kepala desa tampaknya membiarkan saja ketiga orang yang mengaku perwira dari pemerintah pusat itu mengatur-atur. Tak lama kemudian dikirim kabar ke Desa Batu Barat mengenai apa yang terjadi dan agar mereka berkumpul di kediaman Hakim Haus Darah, untuk bersama-sama dengan warga Desa Batu Timur menjadi saksi penangkapan sang hakim. Rencana itu akan dilaksanakan besok pagi, karena saat ini hari telah menjelang senja.
Sementara itu jauh di ujung pelosok desa tampak seorang pemuda berjalan perlahan-lahan memasuki pintu desa. Telaga adalah pemuda itu. Masih berdebar-debar ia mengingat pertemuannya dengan orang tua berbaju kasar dua warna itu. Tak ingin ia melibatkan diri sebenarnya, tapi rasa ingin tahunya mengalahkan nalar untuk menyelamatkan diri. Ingin dicarinya keterangan, bagaimana akhir dari peristiwa ini.
Dilihatnya kerumunan orang dikejauhan telah bubar. Masing-masing orang bergegas berjalan ke arah masing-masing. Tak tahu harus ke mana, Telaga menuju ke suatu warung makanan yang ada di pinggir jalan. Ditujunya sebuah meja yang masih kosong. Beberapa meja telah terisi oleh orang-orang yang berkumpul dan berbicara dengan meriah. Sebagian orang berasal dari kerumunan tadi, sebagian tetap duduk di meja untuk mendengarkan hasil pendengaran rekannya yang bergabung dalam kerumunan tadi.
"Mau makan apa, nak?" sapa seorang pelayan yang menghampiri meja Telaga dengan ramah.
"Yang murah saja, paman," jawab Telaga sopan. Lalu tanyanya sambil lalu, "ada peristiwa besar ya, paman" Kok orang-orang itu pada sibuk ngobrol-ngobrol."
"Ya, nak. Anak pasti bukan orang sini," katanya sambil melihat Telaga. Sudah jelas dapat terlihat dari warna kulit dan juga pakaian yang dikenakan Telaga. Sudah banyak memang pedangan dan orang luar yang berdiam di sini sejak Hakim Haus Darah "memerintah", akan tetapi tetap saja penduduk asli kedua desa adalah mereka-mereka yang berkulit kebiruan dan kehijauan.
"Iya, paman. Saya lagi merantau. Saya berasal dari utara," jawabnya cepat. Tak ingin ia membicarakan asal-usulnya kepada orang yang belum dikenalnya.
Mengangguk-angguk sang pelayan mendengar jawaban yang sopan akan tetapi pendek dan tegas itu. Lalu dengan senang hati diceritakannya apa yang terjadi. Mengenai ditemukannya jenasah Ki Rontok oleh gadis-gadis yang sedang mencuci dan mandi. Lalu munculnya dugaan bahwa itu dilakukan oleh Hakim Haus Darah dan juga adanya perwakilan dari pusat, tiga perwira, yang ditugaskan untuk menangkap Hakim Haus Darah. Sudah tentu cerita itu ditambah-tambahinya dengan bumbu-bumbu sehingga semakin menarik dan dramatis.
Telaga yang telah tahu sebagian besar kejadian sebenarnya hanya tersenyum menangguk-angguk, sambil sesekali memberi komentar pendek dan bertanya sana-sini. Semua dijawab dengan lancar oleh sang pelayan, yang amat senang ceritanya dilayani dengan antusias. Sampai-sampai ia kemudian dipanggil oleh atasannya untuk melayani. Dikatakan bahwa ia bertugas mencatat dan mengantarkan pesanan, bukan bercerita. Dengan malu-malu sang pelayan meminta maaf sambil kembali menegaskan pesanan yang diminta Telaga. Kemudian ditinggalkannya Telaga.
Tak berapa lama pesanannya pun datang. Cukup sederhana Pepes Keuyeup, Gule Julung-julung, Daun Singkong Bakar dan Sejumput Sagu Rebus. Takjub pula Telaga melihat makanan yang belum pernah dilihatnya dipadukan sedemikian rupa. Agak ragu dicobanya makanan-makanan itu. Rasa aneh tapi lezet tercipta saat rupa-rupa makanan itu menyentuh lidahnya. Tiada lagi ragu sekarang, dilahapnya semua yang dihidangkan sampai licin tandas. Setelah selesai dipanggilnya lagi pelayan itu dan dibayarkannya makanan yang tadi telah disantapnya.
Sekarang Telaga tak tahu harus bagaimana, perut telah terisi dan hari telah menjelang malam. Ia tidak punya tempat menginap. Di desa itu kelihatannya hanya ada warung itu dan tidak penginapan. Dicarinya sebuah tempat di antara batu-batu untuk merebahkan badannya. Dipilihnya suatu legokan yang terletak agak di luar desa. Saat akan merebahkan dirinya, tampak olehnya pelayan yang di warung tadi. Begitu melihat dirinya, pelayan itu pun tersenyum dan menghampiri, lalu sapanya, "tidak tidur di rumah nak?"
"Maaf, paman. Saya tidak kenal siapa-siapa di sini. Jadi bermalam saja saya di luar. Sudah biasa kok," jawabnya sopan.
"Marilah mampir," katanya, "kebetulan saya tinggal hanya dengan putri saya. Cukup tempat bagi kami untuk masih menampung satu orang lagi. Marilah..!" Tangannya sambil menggapai mengisyaratkan Telaga untuk ikut padanya.
Maka berjalanlah mereka berdua menuju rumah paman pelayan itu, yang kemudian memperkenalkan dirinya sebagai Arasan. Arasan tinggal di rumah itu hanya dengan putri satu-satunya. Istrinya telah meninggal karena sakit, sejak putrinya masih kecil. Arasan mengatakan pada Telaga bahwa rumahnya agak di luar desa letaknya. Ia lebih suka kesunyian saat beristirahat, akan tetapi suka keramaian saat bekerja. Itulah sebabnya mengapa ia bekerja sebagai pelayan. Dengan bekerja sebagai pelayan dapatlah ia banyak bercakap-cakap dengan pengunjung, sebagaimana dilakukannya tadi dengan Telaga. Dan juga bisa banyak informasi yang diperolehnya dari orang-orang yang mampir untuk makan di warung tempatnya bekerja itu.
Tak berapa lama sampailah mereka di sebuah rumah yang cukup sederhana apabila dibandingkan dengan rumah-rumah di atas batu yang terdapat di dalam Desa Batu Timur. Tidak dihias macam-macam, melainkan hanya berwarna alami. Batu dan kayu belaka. Akan tetapi lingkungannya yang masih alami dan juga adanya sebuah aliran kecil air di dekatnya, membuatnya lebih terlihat natural ketimbang rumah-rumah di atas batu yang telah ditambah-tambahi pernak-pernik.
"Beda ya, sama yang di dalam desa..?" pancing Arasan. "Saya tidak suka aneh-aneh seperti orang-orang. Selain tidak bagus juga mahal."
Telaga mengangguk-angguk, lalu jawabnya, "bagus juga, paman. Malah lebih terlihat alami dan cocok dengan lingkungannya. Tidak terlihat asal dalam menatanya." Lalu tanyanya, "Paman sendiri yang buat?"
Arasan tersenyum menggeleng, "bukan, tapi putriku. Nanti kuperkenalkan. Senang pasti hatinya, bertemu dengan orang yang memuji hasil karyanya."
Bertanya-tanya Telaga dalam hati, bagaimana rupa dari putri Arasan. Sekilas dibayangkannya apabila begitu wajah Arasan, pastilah ada mirip-mirip darinya pada wajah putrinya. Seakan-akan pernah dirinya melihat wajah itu. Tapi lupa.
Lalu naiklah mereka ke atas rumah melalui sebuah tangga batu yang dipahat sedemikan rupa pada batu-batu sebesar lima-enam kerbau bunting itu. Sampai depan rumahnya, berseru Arasan memanggil putrinya,
"Sarini, putriku! Ayah pulang. Lihatlah ada tamu kubawa serta.."
Tak lama menyahut suara dari dalam rumah itu, "Ayah, selamat datang."
Lalu muncullah putri Arasan. Hampir berhenti jantung Telaga begitu melihat wajah gadis itu. Wajah salah seorang gadis yang dilihatnya tadi di Danau Genangan Batu. Untung saja gadis itu tidak tahu bahwa ia ada di sana. Walaupun ia tidak mengintip mereka dengan sengaja, tetap saja ia merasa malu. Arasan yang tidak mengerti duduk persoalannya, merasa bahwa Telaga adalah pemuda yang masih malu-malu terhadap seorang gadis. Seorang pemuda yang lugu.
"Mari.., mari masuk..!" ajaknya.
Sang gadis pun mempersilahkan ayahnya dan tamu ayahnya masuk. Diambilnya barang-barang ayahnya yang merupakan bahan makanan bagi mereka besok pagi. Biasanya keluarga itu makam malam terpisah. Sarini makan sendiri, sedangnya ayahnya telah makan di warung tempat ia bekerja. Telaga juga kebetulan telah makan tadi di sana. Jadi tidak ada acara makan malam saat itu.
Rumah itu cukup besar, dengan tidak terdapat ruangan lain di dalamnya. Akan tetapi terdapat sekat-sekat dari daun kelapa yang berfungsi membentuk ruang. Ruang depan dan ruang belakang, tempat yang berfungsi sebagai dapur. Arasan pun meluruskan kakinya pada salah satu sudut dari ruang depan. Telaga mengikutinya. Tak lama kemudian muncul Sarini membawa sejenis minuman yang dihidangkan dalam gelas atau mangkuk yang terbuat dari batok kelapa yang dipancung atasan. Bibuat sedemikian rupa sehingga pada salah satu ujungnya ada tempat untuk meletakkan bibir, sehingga mudah untuk mengunakan gelas atau mangkuk itu untuk menghirup isinya.
Setelah sedikit melepaskan lelah kemudian mereka pun terlibat dalam pembicaraan, terutama pembicaraan mengenai peristiwa yang terjadi hari ini yang berkaitan dengan kasus Hakim Haus Darah. Juga mengenai munculnya ketiga perwira yang akan menangkap sang hakim. Ibu Sarini ternyata bukan berasal dari desa ini melainkan dari Desa Batu Barat. Mirip seperti kasus Walinggih si Hakim Haus Darah. Akan tetapi Sarini tidak mewarisi kulit ibunya, melainkan ayahnya. Jika orang tidak mengenal sejarah keluarga itu, pastilah dikira bahwa Sarini merupakan penghuni asli Desa Batu Timur.
Tak lama kemudian mereka tidurlah. Memang sudah menjadi kebiasaan keluarga yang terdiri hanya dari anak dan ayah itu tidur tidak terlalu larut. Salah satu hal karena mereka harus bangun pagi-pagi untuk kembali bekerja, juga secara diam-diam Arasan ternyata adalah seorang berilmu juga. Ia melatih anaknya Sarini diam-diam, hanya di pagi hari. Di saat orang-orang belum bangun. Hal ini diketahui Telaga pada esok paginya.
"Huut, hyaaaaa..!" teriak suara seorang gadis. Sambil meloncat disabetkan tangannya miring ke atas menuju kepala seorang tua di depannya. Orang tua itu mengelak tipis, memutar tubuhnya, menangkap tanggan yang lewat lembat karena telah mencapai batas sendinya, menekuk dan melemparkan gadis itu. Alih-alih terjatuh, gadis itu bersalto sekali di udara dan mendarat dengan teguh pada kedua kakinya. Pendaratan yang ringan, hampir tidak memperdengarkan suara, hanya terdengar napasnya yang tersengal sedikit. Dan sedikit keringat menetes pada wajahnya yang manis kemerahan itu. Gadis itu adalah Sarini dan orang tua itu adalah Arasan. Mereka berdua sedang melatih ilmu keluarga mereka Sabetan dan Tangkapan Tangan. Ilmu beladiri tangan kosong yang menggunakan telapak tangan untuk menyabet bagian-bagian tubuh seperti kepala dan pundak leher. Juga adanya tusukan-tusukan, tetap dengan menggunakan telapak tangan yang dibuka. Tujuaannya adalah ulu hati dan tengah hidup di antara kedua mata. Selain serangan ada pula tangkisan dan tangkapan. Barusan yang diperagakan oleh Sarini adalah jurus Menebang Kelapa dan dibalas oleh ayahnya dengan jurus Berkelit Membanting Padi, mirip gerakan-gerakan membanting-banting rumput padi yang ingin dirontokkan butir-butiran gabahnya.
Terbangun oleh hentakan-hentakan itu, Telaga lalulah turun dan menyaksikan dari dekat penyebab bunyi-bunyian itu. Kedua orang yang sedang berlatih itu menyadari kehadirannya dan menghentikan latihan dan kemudian menyapanya. Tanpa berbasa-basi lebih lanjut Arasan kemudian mengajak Telaga untuk ikut berlatih. Ia memperagakan sedikit-sedikit gerakan dan menyuruh Arasan untuk menirukannya. Dikarenakan telah mempelajari Tenaga Air, dapat dengan mudah Telaga menirukan gerakan-gerakan yang pada dasarnya lemas itu. Sampai pada gerakan yang menghentak, agar susah ia mencobanya.
"Nak Telaga, pernah belajar ilmu beladiri?" tanya Arasan begitu melihat kemudahan Telaga dalam menirukan jurus-jurus lemas yang diperagakannya.
"Belum, paman Arasan. Saya hanya belajar cara menghimpun hawa saja," jawabnya jujur.
"Ah, itu sebanya engkau bisa menirukan dengan baik jurus-jurus lemas tapi tidak yang menghentak," kata Arasan sambil mengangguk-angguk. Lalu tanyanya kemudian, "boleh paman tahu apa nama ilmu penghimpun hawa yang engkau telah pelajari?"
Ragu sejenak Telaga mendengar pertanyaan itu, ia tidak tahu apakah pertanyaan itu harus dijawab apa tidak. Sebagai keturunan terakhir Pelestari Ilmu dari Tenaga Air sudah seharusnya ia merahasiakan hal itu.
Melihat keragu-raguan Telaga, berkatalah Arasan kemudian, "tak perlu kau katakan pun, kelihatannya aku dapat menebak asal ilmumu. Engkau pernah berkata bahwa engkau datang dari utara. Salah satu penerus ilmu-ilmu lemas adalah sebuah keluarga yang tinggl di Danau Tengah Gunung di Gunung Berdanau Berpulau di utara Padang Batu-batu. Guruku pernah bercerita mengenai mereka itu. Orang-orang yang hanya melatih Tenaga Air, akan tetapi tidak melatih bagaimana cara menggunakannya. Mereka hanyalah orang-orang yang bertugas sebagai Pelestari Ilmu dari Tenaga Air. Betulkan demikian?"
Telaga hanya tersenyum kecut begitu mendengar uraian Arasan. Banyak pengalaman ternyata paman yang berkerja sebagai pelayan di warung ini. Tak terlihat dari sosoknya yang sederhana.
"Marilah, nak Telaga. Guruku sendiri pernah berujar, sayang sekali bahwa orang-orang Pelestari Ilmu Tenaga Air itu tidak mempelajari ilmu bela diri. Mereka memang melestarikan ilmu itu tapi tidak mengamalkannya. Suatu saat jika ada kelompok yang tidak suka pada mereka, bisa saja mereka ditumpas dan ilmu-ilmu penghimpun hawa itu akan punah selamanya," jelasnya kemudian.
"Paman Arasan..," tanya Telaga bimbang, "bolehkan saya mengangkat paman sebagai guru.., maksud saya belajar ilmu beladiri dari paman.."
Tersenyum Arasan mendengar permintaan itu. Benar pikirnya. Anak muda ini bukanlah seorang pemuda biasa. Sudah tentu senang hatinya menjadi guru seorang pemuda yang telah mempelajari Tenaga Air.
"Sudah tentu, nak Telaga. Tapi jangan panggil aku guru. Dan hal ini harus dirahasiakan bahwa kamu belajar ilmu beladiri dari aku. Perihal mengapa, suatu saat akan kami ceritakan," jawabnya.
Telaga pun mengangguk. Mulai pagi itu Arasan pun mengajarkan ilmu-ilmunya, yaitu Sabetan dan Tangkapan Tangan. Awalnya Telaga memang terlihat tertinggal bila dibandingkan dengan Sarini akan tetapi lambat laun ia dapat menyusul dan terlihat lebih pandai, terutama untuk gerakan-gerakan yang memanfaatkan kelemasan. Ini sudah tentu dibantu dengan hawa dalam yang telah dimilikinya, yaitu Tenaga Air.
Setelah matahari mulai sedikit tampak, mereka pun menghentikan latihan. Arasan memang sembunyi-sembunyi dalam melatih anaknya Sarini. Ia tidak ingin dikenal sebagai seorang yang bisa ilmu bela diri. Ia ingin hidupnya aman-aman saja. Akan tetapi sebagai seorang ayah, sudah tentu ia tidak bisa selamanya bersama-sama dengan putrinya terus-menerus dan menjaganya. Untuk itulah ia mengajari putrinya ilmu Sabetan dan Tangkapan Tangan, untuk menjaga diri belaka.
Setelah sarapan Arasan dan Sarini mengajak Telaga untuk mengikuti kelanjutan peristiwa yang terjadi kemarin di daerah itu, yaitu penangkapan Hakim Haus Darah. Hari ini Arasan tidak bekerja, juga warung tempatnya menjadi pelayan tidak buka. Hal ini dikarenakan semua penduduk dari kedua desa akan berada di kediaman Hakim Haus Darah untuk memenuhi himbauan dari ketiga orang perwira dari pemerintah pusat, yang katanya akan menangkap Hakim Haus Darah atas tuduhan membunuh Ki Rontok.
Dalam perjalanan mereka apabila bertemu dengan orang-orang desanya, Arasan selalu memperkenalkan Telaga sebagai anak dari saudara jauhnya di kota besar, yang saat ini sedang menginap di tempatnya. Dengan cara itu orang-orang tidak akan curiga bahwa Telaga berguru kepadanya. Lagi pula saat itu topik mengenai Hakim Haus Darah sedang pada puncaknya, tidaklah keberadaan Telaga menjadi perhatian orang. Telaga dalam pada itu tak lupa menceritakan mengenai apa yang dilihatnya waktu ia berada di Danau Genangan Batu, tentu saja dengan muka merah mengingat adanya Sarini di situ. Sarini yang mendengar cerita itu amat tertarik, selain juga menjadi malu. Untung saja ia saat itu tidak ikut mandi bertelanjang tubuh. Jika tidak, pastilah seluruh penjuru tubuhnya telah dilihat Telaga dari kejauhan. Arasan mendengarkan cerita Telaga dengan serius, lalu usulnya agar Telaga untuk sementara menyimpan rahasia itu di tengah mereka bertiga dan juga kakek aneh yang ditemuinya itu. Arasan berpendapat bahwa jika persoalannya menjadi genting, bisa-bisa Telaga tersangkut-paut. Belum lagi alasan mengapa ketiga perwira pemerintah pusat itu menyembunyikan mayat Ki Rontok di legokan dalam Danau Genangan Batu. Masih banyak misteri yang tersimpan dalam peristiwa itu. Baiknya Telaga berhati-hati dulu. Mendengar alasan dan nasihat itu Telaga pun mengiyakan. Lalu berbicaralah mereka hal-hal lain yang lebih ringan, melihat sudah banyak orang yang berpapasan dan juga berjalan bersama-sama mereka ke tempat kediaman Hakim Haus Darah.
*** Telah berkumpul banyak orang di suatu tempat agak jauh ke selatan dari Danau Genangan Batu. Tempat kediaman Hakim Haus Darah, Walinggih. Sebuah rumah di atas batu, tampak sederhana. Di hadapannya tampak halaman atau bebatuan lapang cukup luas. Terlihat guratan-guratan pada halaman berbatu itu. Sesekali seperti guratan kaki, akan tetapi juga tampak seperti guratan yang dibuat menggunakan logam panjang. Pedang mungkin. Orang-orang yang pernah melihat Hakim Haus Darah melatih ilmunya, dapat mengenali bahwa gurata-guratan itu merupakan hasil peninggalannya saat ia berlatih pedang panjangnya di pelataran itu. Meninggalakn jejak kaki di atas tanah batu dan juga angin sabetan-sabetan pedangnya.
"Walinggih atau yang dikenal sebagai Hakim Haus Darah, keluarlah engkau..!" salah seorang dari tiga perwira perwakilan pemerintah pusat itu.
Sunyi tak terdengar jawaban. Penduduk yang mendengar ucapan itu menjadi merinding. Belum pernah sampai saat itu mereka mendengar ada orang yang berani menyapa Walinggih seperti itu. Baru kali ini. Mereka, para penduduk kedua desa berada pada keadaan terjepit. Ingin tidak hadir, akan tetapi berarti melawan wakil dari pemerintah pusat. Ingin ikut tapi jerih terhadap Walinggih.
Tak lama kemudian tampak pintu rumah di atas batu itu berderit terbuka. Seorang tua muncul dari dalamnya. Hampir saja Telaga menyeru perlahan karena miripnya wajah orang itu dengan orang tua yang ditemuinya di Gunung Genangan Batu saat dulu itu terjadi. Tapi setelah diperhatikannya dengan seksama, tampak perbedaan-perbedaan yang ada pada orang yang baru keluar itu. Memang sama-sama tua, dan tua karena pikiran, akan tetapi orang ini, Walinggih masih terlihat lebih segar dibandingkan orang tua kemarin. Juga rambutnya berbeda. Orang tua kemarin sudah putih semua, sedangkan Walinggih masih tercampur-campur antar rambut yang putih dan hitam. Hanya ada satu persamaan, yaitu baju yang dipakainya. Sama seperti yang dikenakan oleh orang tua kemarin dulu itu, yaitu sebelah berwarna kanan biru muda dan sebelah kiri berawarna hijau muda. Tapi tidak seperti orang tua kemarin yang berbusana bersih, baju Walinggih tampak kotor oleh bercak-bercak coklat kehitaman. Seperti bercak darah yang mengering.
"Huh, mau apa kalian orang-orang desa kemari?" jawabnya kasar. "Ada yang mau disembelih?"
Kecut hati sebagian hati orang-orang mendengarnya. Hanya beberapa yang cukup berilmu tidak, termasuk di antaranya ketiga perwira dari pemerintah pusat, Sarini, Arasan ayahnya dan Telaga. Juga beberapa orang yang berdiri di kejauhan, di atas batu tinggi. Ketiga orang yang pernah dilihat Telaga di Danau Genangan Batu tampak di antara orang-orang tersebut.
"Walinggih atau Hakim Haus Darah, kami tiga orang wakil dari pemerintah pusat, atas permintaan dari kedua desa ini hendak menangkapmu atau tuduhan telah membunuh Ki Rontok dari Desa Batu Barat," terang seorang dari mereka sambil dilemparkannya sebuah gulungan kertas. Kertas yang berisi perintah untuk menangkap Walinggih.
Lemparan itu bukan sembaran lemparan. Dalam jarak yang cukup jauh orang masih dapat mendengar deru gulungan itu. Kertas yang ringan akan tetapi dapat menderu dan menempuh jarak setinggi pohon kelapa untuk mencapai Walinggih yang berada di depan pintu rumahnya, menandakan kuatnya tenaga yang dimiliki oleh perwira tersebut.
Walinggih dengan santainya menangkap sambitan itu, membacanya sekilas kemudian lemparkannya melambung turun. Bersamaan dengan itu diayunkan pedang pajangnya menyilang beberapa kali dengan kecepatanya yang sukar diikuti oleh mata. Saat ia menapakkan kakinya dengan berdebam di atas bebatuan di pelataran di depan rumahnya. Turun potongan-potongan kertas perintah penangkapan atas dirinya tadi. Halus bagai salju atau serbuk sari bunga yang terbawa angin. Benar-benar ilmu pedang yang dahsyat.
"Hmm..," kata seorang dari mereka bertiga, "apakah itu artinya bahwa engkau menolak perintah pemerintah pusat?"
Walinggih tersenyum jumawa, lalu katanya, "Bila pedang sudah bicara, tak perlu ada kata-kata lagi. Mana pemerintah pusat saat di sini ada penekakan oleh pedagang dan preman" Mana pemerintah pusat waktu keluargaku dibantai" Giliran sekarang sudah beres, baru datang. Huh!"
Seorang dari ketiga perwira itu masih berusaha membujuk, "serahkan dirimu, Walinggih! Kami akan beri peradilan bagimu. Juga dengan melihat latar belakang tindakanmu itu. Biarkan hakim sebenarnya yang memutuskan."
Alih-alih menyetujui saran itu, Walinggih malah mendengus dan meludah ke kanan-kirinya. Melihat penghinaan itu dan juga sikap bahwa ia masih mengandalkan kekuatannya, ketiga perwira itu saling bertukar pandangan mata. Lalu secara bersamaan mereka bergerak maju.
Ketiganya telah mengelilingi Walinggih. Bersenjatakan tongkat setinggi pinggang. Dua buah. Satu di tangan kanan dan satu di tangan kiri. Tongkat khas penjaga penjara para tahanan. Ketiganya kemudian menyerang bersamaan. Satu menyabet ke arah kepala, yang kedua ke arah perut dan yang ketiga ke arah kaki. Hampir tertutup semua ruang gerak Walinggih, diserang dari ketiga arah pada ketiga ketinggian yang berbeda. Benar-benar serangan yang lengkap.
Akan tetapi bukan Hakim Haus Darah apabila dengan serangan seperti itu dapat langsung ditumbangkan. Dengan tenang ia melangkah mundur mendekati orang yang menyabetkan tongkatnya ke arah kepalanya. Ditundukkan kepalanya sehingga serangan itu luput. Akibat mundurnya itu, dua serangan yang di depan kiri dan kanannya pun tak mengena. Bersamaan dengan itu diayunkan pedang panjangnya ke kiri dan kanan. Pedangnya lebih panjang dari tongkat ketiga orang itu, akibatnya kedua orang yang menyabet kaki dan perutnya terpaksa mundur setelah serangan mereka gagal. Tidak sempat ada serangan kedua karena pedang Walinggih telah mendekati. Hampir mencium perut-perut mereka.
Selagi orang yang di belakang Walinggih tertegun melihat serangannya gagal, diputarnya pedang panjangnya sedemikian rupa sehingga ujungnya berarah ke belakang. Lalu dihujamkannya ke arah di mana orang itu berada. Tak diduganya bahwa Walinggih akan menyerangnya tanpa membalikkan badanya membuat kewaspadaan orang itu berkurang. Untung saja refleksnya masih bekerja, digesernya badannya sedikit ke samping sehingga pedang Walinggih hanya menderukan angin di pinggir kulit pinggangnya.
Bekeringat dingin ketiga perwira itu. Dalam serangan pertama, dalam satu jurus mereka hampir dikalahkan oleh Walinggih. Serangan mereka yang umumnya membuahkan hasil dapat dimentahkan dengan serta-merta.
"Bagus..!" ucap salah seorang dari mereka.
Kembali ketiganya maju serantak, tapi kali ini tidak berani sekaligus menyerang melainkan satu per satu. Saat satu orang menyerang, temannya membantu dengan menjaga serangan balik Walinggih. Cara ini ternyata lebih berhasil, sulit Walinggih menyerang balik dengan tepat. Ada dukungan dari kawan di kiri-kanan dari sasarannya.
Pertempuran itu pun berlangsung seru. Sudah setengah hari tiada tanda-tanda akan berkesudahan. Matahari sudah menempati titik kulminasinya. Sebagai seorang manusia, sudah pasti dimiliki batas daya tahan untuk terus bertempur. Bagitu pula dengan ketiga orang perwira itu. Mereka tidak biasanya menangkap para penjahat sampai selama ini. Belum pernah sebelumnya. Pada Walinggih tidak terlihat tanda-tanda ia menjadi lelah. Mungkin kegilaannya itu yang membuat ia tidak bisa lelah. Menyadari bahwa jika pertempuran berlarut-larut berlangsung, dapat saja kekalahan menyambangi pihaknya, salah seorang dari ketiga perwira itu memberi isyarat pada sekelompok orang yang berdiri di atas batu tinggi di kejauhan. Kelimanya bergerak ringan, turun dari batu dan bagai melayang tiba di arena pertempuran.
Semakin kecut penduduk kedua desa melihat bahwa akan ada lagi tokoh-tokoh yang berlaga. Arasan, Sarini dan Telaga juga semakin tertarik melihat bahwa kelima orang yang tadi tak begitu jerih pada Walinggih ternyata juga orang-orang yang berilmu.
"Hehehe, akhirnya muncul juga orang-orang Asasin," kata Walinggih begitu melihat kedatangan lima orang itu. "Jadi begitu...! Perwira wakil pemerintah pusat bekerja sama dengan pembunuh bayaran. Hahahaha, benar-benar 'penegakan hukum'."
Tak terpancing emosi ketiga perwira itu juga para Asasin. Lalu ucap salah seorang perwira, "Walinggih, urusan apa pekerjaan mereka kami tidak tahu-menahu. Mereka-mereka ini hanya membantu kami dalam menunaikan tugas untuk menangkapmu. Itu saja."
"Hehehe, tak usah berpura-pura," kata Walinggih, "sudah jelas mengapa dulu wakil pemerintah tidak datang, rupanya sudah sekongkol pemerintah dengan preman-preman dan pembunuh bayaran."
Mendengar itu berkecamuk pikiran dalam benak Telaga. Sedari tadi belum sekalipun Walinggih mengaku telah membunuh Ki Rontok. Dan dengan adanya kelima orang itu, yang disebut sebagai Asasin. Di mana tiga di antaranya adalah orang-orang yang dilihatnya menyembunyikan mayat, menjadi semakin bingun Telaga. Masih dicobanya untuk memahami kejadian itu. Saat itu tangan Sarini menyentuh tangannya lembut, dengan isyarat dikatakannya bahwa Telaga sebaiknya tidak berbicara mengenai apa yang dilihatnya itu.
Kedelapan orang yang telah mengurung Walinggih itu, alih-alih menjawab pernyataanya, malah bergerak berputar, langsung menyerang. Dongkol pula Walinggih bahwa ucapannya tidak ditanggapi. Di tariknya pedang panjangnya ke dadanya sehingga ujungnya menghadap ke atas. kakinya meregang terbuka selebar dada. Satu ke depan satu ke belakang. Ia sedang merapal jurus Sabetan Tunggal Menuai Dua, yaitu suatu jurus dari ilmu pedang panjangnya, di mana dalam satu serangan dua titik yang dituju. Dua titik dari dua orang lawan yang berbeda. Biasanya dua titik itu berada bukan pada dua orang lawan yang berdekatan atau berurutan melainkan berseberangan. Dengan cara ini biasanya dua orang lawan tidak akan sadar bahwa mereka berdua yang akan dituju. Lain halnya bila dua orang yang berurutan yang menjadi sasaran. Teman sebelahnya tentu waspada apabila rekan terdekatnya sedang diserang.
Walinggih belum tahu berapa lihai kelima orang Asasin yang beru berlaga itu. Ia pun tak punya waktu untuk mencari tahu. Dari pikirannya, dipandang mereka lebih lemah dari ketiga perwira perwakilan pemerintah pusat itu. Jika tidak, mengapa mereka butuh ketiga perwira itu untuk membalaskan dendamnya. Dugaan itu tidak salah. Kelima orang itu memang ingin membalaskan dendam kepada Walinggih atas pembunuhan yang dilakukannya pada rekan-rekan mereka dulu. Saat Walinggih membalaskan dendam atas kematian keluarganya. Sebagai seorang pembunuh bayaran, Asasin tidak mengerti kesedihan Walinggih. Pembunuhan bagi mereka adalah suatu profesi. Akan tetapi para Asasin pun menyadari bahwa Walinggih bukan orang sembarangan. Mereka saja tidak akan mampu menanganinya, untuk itu mereka berpura-pura meminta pertolongan pada pemerintah pusat, sehingga ketiga orang perwira itu dikirim.
Sebelum kedelapan orang itu bergerak, telah dengan cepat Walinggih mendahului menyerang. Diserangnya salah seorang Asasin yang berada di kirinya dengan tipuan tusukan. Akibatnya rekan-rekannya berupaya melindungi. Dengan menggunakan saat yang tepat diubahnya serangan itu ke arah dua orang di kanan dan belakangnya. Dua orang yang jauh dari sasaran pertama, juga kedua Asasin, tidak sadar akan kembangan serangan dari Walinggih. Mereka masih tenang karena merasa berada pada jarak yang aman.
"Settt...!" serangan kedua membuahkan hasil. Sasaran itu tertusuk pada pinggangnya dan berguling ke samping. Tak berhenti diputarnya pedangnya ke atas kepala dan dibacokkan ke tujuan berikutnya.
"Cappp...!" serangan ini pun membuahkan hasil. Terbelah simetris Asasin ini. Tak sempat ia menghindar karena masih terpesona pada luka yang diderita rekan sebelumnya.
Melihat hasil ini, keenam orang yang tersisa segera melompat mundur karena pedang Walinggih masih berpusing ke beberapa arah. Hanya tipuan. Tapi pada keadaan genting seperti itu tak ada yang berani coba-coba apa serangan susulah itu benar-benar atau hanya gertak belaka.
Kembali Walinggih memegang pedangnya rapat ke dada dengan ujung menuju ke atas. Kaki dibuka selebar bahu, ke depan dan belakang. Diatur napasnya tenang. Siap untuk serangan berikutnya.
Kecewa tampak wajah salah seorang perwira. Bantuan dari Asasin yang tampaknya akan memperkuat penangkapan ini ternyata sia-sia. Asasin hanyalah gentong kosong belaka, pikirnya. Omong besar di depan. Tak ada hasil setelahnya.
Tiga orang Asasin yang tersisa tampak geram. Sekilas melihat tahulah mereka bahwa kedua rekannya telah merengkuh ajal. Tak ada yang dapat dilakukan kali. Ketiganya saling menukar pandang dan mengambil sesuatu dari sakunya. Masing-masing membawa sebatang tabung kecil sepanjang lengan. Diujungnya terlihat sumbat kain terlekat.
"Hei..! Apa mau kalian..?" tegur salah seorang perwira demi melihat apa yang dilakukan oleh ketiga Asasin tersebut. "Tunggu dulu..!"
Akan tetapi terlambat, ketiganya telah melemparkan tabung itu yang telah dibuka sumbatnya ke arah Walinggih. Bukan ke atas melainkan ke tanah di sekitar Walinggih berdiri. Sekilas terlihat asap putih kekuningan keluar. Cairan kuning muda tampak mengalir keluar dari ketiga tabung itu dan langsung meresap ke dalam tanan.
Walinggih yang melihat itu tetap diam tak bergeming. Ia tak ingin hilang konsentrasinya pada posisinya untuk menyerang. Keenam orang itu masih di luar jangkauan pedangnya, tak dapat ia menyerang keenammnya. Oleh karena itu dibiarkannya tabung-tabung itu dilemparkan di sekelilingnya.
Tak berapa lama, seperti menunggu sesuatu bergeraklah sisa orang Asasin itu menyerang Walinggih. Dengan cara yang sama Walinggih menyerang mereka bertiga secara acak.
"Wuttt..!" hampir saja salah seorang dari mereka terkena. Masih sempat calong korban Walinggih itu bergeser mundur sehingga pedang panjang Hakim Haus Darah hanya lewat tipis di atas rampbutnya. Terasa sehelai dua rambutnya terpapas ringan. Keringat dingin menetes dengan sendirinya dan juga merindingnya bulu kuduk, membayangkan bila tadi bukan ramput yang terpapas melainkan kepala.
Walinggih kembali ke tengah. Kembali ke posisi semula. Tegak dan lemas. Siap melepas serangan lagi bagi pegas. Menyerang untuk kembali pada posisi bertahan.
Tiba-tiba terasa sesuatu pada kakinya. Tak berani ia melihat ke bawah, takut di saat sekejap itu ketiga orang musuhnya menyerang balik.
Orang-orang di sekitar Walinggih melihat bahwa cairan kuning susu yang tadi meresap ke dalam tanah, tampak muncul kembali dan tepat di bawah kaki Walinggih. Perlahan-lahan kumpulan-kumpulan cairan itu merayap naik. Seakan-akan hidup merambat merambat mereka pada kaki dan betis Walinggih.
Pada saat itulah sambil melempar senyum ketiga orang Asasin yang tersisa menyerang Walinggih sang Hakim Haus Darah dengan serentak. Membacokkan golokn mereka secara bersamaan.
Walinggih yang akan bergerak, tiba-tiba mearasa bahwa kakinya tidak lagi dapat digerakkan. Terpaku bagai akar pohon. Ini sudah tentu disebabkan oleh cairan kuning susu itu. Entah apa namanya. Masih dengan tenang Walinggih mendengus. Alih-alih menggeser kedudukannya, ia memutar pedang panjangnya sedemikian rupa sehingga terlihat ia akan membacok paha depannya sendiri. Di saat ketiga orang yang sedang mendekat padanya itu terpesona pada gerakan itu, Walinggih mencengkeram ujung pedangnya yang sedang mengayun. Ternyata pedang panjang itu bisa dibuat menjadi dua bagian yang kira-kira sama panjangnya. Dengan cantik serangan yang tadi diduga akan membelah pahanya itu menjadi melengkung ke atas dan membacok lawan-lawannya di kedua arah.
"Crakkk!" dan "croott!" lawan yang ada di kanan dan dirinya terpancung dagunya dari bawah. Bersamaan dengan terbelahnya muka mereka, terbang pula nyawa mereka dari raganya semula. Bersamaan dengan itu dua bagian pedang panjang yang masih bergerak ke atas kanan dan kiri itu melingkar ke atas menuju punggung Walinggih, di mana orang ketiga sedang menyerang.
"Heggg..!!" menyelinap golok orang ketiga ke pinggang Walinggih. Luka bacokan tak dapat dihindari. Akan tetapi pada saat yang bersamaan "crott!!" menghujam kedua potong goloknya ke kepala seorang Asasin yang masih tersisa itu.
Benar-benar pemandangan yang mengerikan. Ketiga Asasin tampak terbujur menjadi mayat. Sementara itu Walinggih si Hakim Haus Darah tampak masih gagah berdiri di tengah-tengah. Walaupun kakinya tak dapat bergerak dari atas tanah dan pinggangnya telah meneteskan luka, masih tampak wibawa dan keangkerannya.
Sunyi. Tak tahan akan keadaan itu tiba-tiba Telaga melesat. Ia menyobek lengan bajunya untuk disematkan pada luka di pinggang Walinggih. Andai saja Walinggih belum terkuras habis tenaganya dan juga belum terluka, bisa tak selamat Telaga. Bisa dikira musuh yang akan menyerang oleh Walinggih. Tapi pada saat itu ia tidak bisa lain hanya menerima saja. Dan ia amat bersyukur bahwa anak muda itu hanya membalut lukanya.
Ketiga perwira itu tampak tertegun menyaksikan perbuatan Telaga. Mereka sebagai perwira tak ingin menyerang orang yang sudah tak berdaya. Mereka juga malu bahwa orang-orang yang menolong mereka ternyata menggunakan cara licik dengan memakai sejenis cairan yang tidak mereka kenal itu. Ketiganya tampak termangu. Seakan-akan menunggu Telaga sampai selesai membalut luka di pinggang Walinggih.
Walinggih merasa amat terharu atas sikap Telaga itu. Dipandangnya anak muda yang masih membalutnya itu. Teringat akan anaknya. Jika anaknya masih hidup, sudah pasti sebesar ini tentunya. Tiba-tiba dilihatnya suatu tanda di dada anak muda itu, yang bajunya sedikit tersingkap saat ia menyobekkan lengan bajunya, untuk dibuat bahan membalut. Terkesiap ia melihat semacam sinar temaram. Sinar yang hanya dimiliki oleh orang-orang seperti dirinya, yang pernah belajar ilmu dari guru yang sama.
"Siapakah, kau?" tanyanya tergagap.
"Maaf, paman.. Saya hanya tak tega melihat paman terluka. Sudah itu mereka-mereka ini licik sekali. Bertempur, kok menggunakan racun..," jawab Telaga sedikit malu. Ia seharunya tidak mencampuri urusan orang, akan tetapi perkataan orang tua yang berbusana sama dengan Walinggih ini mengingatkannya bahwa ia harus mengatakan kebenaran. Jangan disimpan.
Lalu Telaga pun menceritakan apa-apa yang dilihatnya kepada Walinggih juga kepada ketiga perwira wakil pemerintah tersebut. Isyarat Sarini untuk mencegahnya diabaikannya. Diceritakannya dari sejak awal ia berada di Danau Genangan Batu sampai perjumpaannya dengan orang tua yang berbusana sama dengan Walinggih. Orang itu juga dapat menjadi saksi mengenai apa yang terjadi.
Mendengar cerita Telaga, bergumam orang-orang yang berkerumun di sana. Juga ketiga perwira menjadi bingung mengenai apa yang harus dilakukan. Setelah mereka bertiga berunding, akhinya diputuskan bahwa untuk kasus ini sudah selesai. Dalam hal ini Walinggih tidak bersalah karena pelaku pembunuhan Ki Rontok adalah kelompok Asasin itu. Salah seorang perwira yang kemudian memeriksa saku-saku mayat Asasin kemudian menemukan jarum jahit dan benang kulit yang digunakan untuk menjahit kembali tubuh Ki Rontok. Rupanya mereka berlima sudah tidak sabar untuk membalaskan dendamnya kepada Walinggih, akhirnya dengan cara membunuh dan memfitnah Walinggih, diharapkan rencana mereka dapat berjalan. Sayangnya kemampuan silat mereka masih jauh dari mumpuni. Itupun masih dibantu dengan cairan kuning susu tadi.
Ketiga perwira pun membubarkan orang-orang desa. Akhirnya di sana hanya tinggal mereka bertiga, Walinggih, Telaga, Sarini dan Arasan. Ketiga perwira wakil pemerintah pusat yang tadinya berwajah keren dan galak itu, membantu Telaga memamapah Walinggih ke rumahnya di atas batu. Mereka tadi bersikap garang kepada Walinggih karena mereka yakin Walinggih adalah yang bersalah. Yang telah membunuh Ki Rontok. Akant tetapi sekarang, setelah terbukti bukan, bersikap mereka ramah seperti ke kebanyakan orang. Setelah itu mereka pamit, sambil tak lupa berpesan kepada Walinggih untuk meninggalkan tabiatnya yang cepat marah dan main hakim sendiri. Di kedua desa telah ada perangkat pemerintah, biarkan mereka yang mengatur, ucap mereka. Walinggih yang telah tersentuh oleh perawatan Telaga berjanji akan mengubah dirinya, tidak seganas dulu.
Tinggalah saa itu Walinggih yang terbujur lemah masih menahan sakit dan tiga orang di sekitarnya.
"Katakan sekali lagi, nak Telaga.. Bagaimana rupa orang tua itu?" pintanya pada Telaga.
Telaga kemudian menceritakan bagaimana rupa orang tua yang ditemuinya di Danau Genangan Batu dan apa yang dilakukannya sebelum berpisah. Mendorong dadanya secara halus dan menggetarkan isinya. Dikatakannya pula bahwa rupanya mirip dengan Walinggih, juga busana yang dikenakannya.
Tersenyum Walinggih mendengarkan kejadian itu. Katanya menghela napas, "kakangku itu Wananggo, masih saja mengawasiku dari jauh. Ia masih juga belum mau bertemu denganku."
Terdiam ketiga orang pendengar itu. Orang tua itu ternyata adalah kakak dari Walinggih. Wanaggo namanya. Pantas Telaga melihat banyak kemiripan di antara mereka berdua itu.
Walinggih kemudian bercerita bahwa Wananggo juga mengalami kesedihan yang sama dengan dirinya. Ia mengalami pula ditinggal keluarganya. Akan tetapi berbeda dengan Walinggih, istri dan anaknya meninggal karena penyakit, bukan dibunuh orang. Ada satu hal yang sama dari ketiga orang itu, Walinggih, Arasan dan Wananggo, yaitu mereka sama-sama beristrikan wanita bukan dari desa asal mereka. Jika Walinggih dan Wananggo yang berasal dari Desa Batu Barat yang kemudian memperistri wanita dari Desa Batu Timur. Sebaliknya Arasan yang berasal dari Desa Batu Timur memperistri wanita dari Desa Batu Barat.
Diterangkannya pula oleh Walinggih bahwa kakaknya itu mendorong halus dada Telaga untuk mengoperkan sedikit tenaga pada Telaga yang juga menjadi kesepakatan dari mereka bahwa Telaga adalah seorang yang cocok untuk dijadikan murid. Mendengar itu Telaga kemudian menceritakan bahwa ia sedang berguru pada Arasan. Arasan sendiri, sang guru tidak berkeberatan jika Telaga juga berguru pada Walinggih. Ia melihat bahwa Walinggih perlu teman. Dengan adanya teman akan lebih baik hidupnya. Dapat membantunya keluar dari kebiasaanya yang ganas seperti pada masa lalu. Walinggih pun berkata bahwa selama ia masih sakit, ia belum dapat mengajarkan Telaga. Jadi bisa saja Telaga berguru padanya setelah ia sembuh. Akhirnya disepakati bahwa Telaga tinggal bersama Walinggih dan baru berkunjung pagi-pagi buta untuk belajar. Selain itu para penduduk juga telah tahu bahwa Telaga bukanlah anak dari saudara jauhnya lagi, melainkan hanya mampir. Tidak baik bagi seorang gadis seperti Sarini bila ada seorang pemuda seperti Telaga, yang bukan keluarganya, tinggal serumah. Kedua orang tua itu tertawa-tawa mendiskusikan bagaimana mereka akan melatih Telaga kelak. Sedangkan orang yang dibicarakan tidak diberi kesempatan.
Melihat itu semua Sarini hanya tertawa kecil sambil sesekali melihat ayahnya. Belum pernah dilihatnya Arasan sesemangat itu membicarakan sesuatu. Apalagi terhadap orang yang ditakuti, Hakim Haus Darah.
*** Pemuda itu berjalan pelan mendaki gunung tinggi di depannya. Gunung Hijau. Gunung yang puncaknya tidak jelas karena tertutup awan. Paras Tampan nama pemuda itu. Ia adalah seorang dari lima pemuda yang sedang menghadapi ujian akhir dari gurunya Ki Tapa salah seorang penghuni Rimba Hijau. Di atas gunung ini terdapat persembunyian kitab-kitab ahli-ahli silat tinggi. Belum jelas bagaimana kabarnya mengapa banyak ahli-ahli silat tinggi menyembunyikan kitab-kitab mereka di gunung itu pada akhir hayat mereka. Ada yang menyembunyikannya di balik batu, di rumah di atas pohon, dalam ceruk, di lobang-lobang karang dan sebagainya. Saking sulitnya menemukan kitab-kitab itu, bolah dikatakan nasiblah yang menentukan. Atau dengan kata lain, kitab-kitab itu yang mencari penerusnya, bukan sebaliknya. Itu yang dikatanan gurunya Ki Tapa.
Paras Tampan berjalan perlahan masih saja tebing-tebing yang dilihatnya. Walau kadang ada jalan setapak, tapi tidak mengisyaratkan bahwa itu akan membawanya ke suatu tempat. Ia memutuskan untuk selalu mencari jalan yang lebih menuju atas, apabila menemui persimpangan. Semakin tinggi, mungkin semakin sakti orang yang meninggalkan kitab itu, pikirnya.
Berbagai tebing dan batu-batu telah ditelitinya. Batu-batu yang tinggi dan pendek. Celah yang lebar dan sempit. Juga pohon-pohon yang terdapat di sana. Sampai saat ini baru dua rumah pohon ditemuinya. Akan tetapi di sana tidak terdapat kitab apapun. Hanya beberapa baris tulisan. Tulisan dari orang yang juga mencari kitab. Tulisan mengenai keputusasaanya bahwa ia belum juga menemukan apa yang dicari. Tersenyum kecil Paras Tampan membaca tulisan itu. Ia tidak akan berkeluh kesah seperti orang yang menorehkan tulisan itu pada dinding rumah pohon. Ia akan berusaha sekuatnya untuk mencari kitab-kitab itu. Atau tepatnya ia akan terus berjalan, sampai kitab-kitab itu menemukan dirinya.
Hari telah menjelang senja. Paras Tampan telah sampai ke suatu batas di mana kabut tipis di atas Gunung Hijau terlihat bertambah lebat. Ia harus beristirahat. Sulit dalam kegelapan kabut dan juga malam untuk terus berjalan, bahkan dengan adanya bantuan obor yang telah dibekalnya tadi. Umumnya pantulan api obor akan malah menghalangi pandangan. Jalan yang dapat dilihat tidak sampai dua kambing ke muka. Benar-benar hampir buta rasanya.
Sementara masih berpikir untuk terus berjalan atau beristirahat, Paras Tampan mencari suatu tempat untuk melepaskan lelah dan memakan bekal yang menyertainya. Akhirnya diperoleh suatu tempat yang cukup nyaman. Legokan dalam batu-batu sebesar gajah. Memberikan ruang yang cukup untuk berlindung dari angin dan juga bila nanti turun hujan. Dibukanya perlengkapan yang dibawa. Lauk-pauk, obor, beberapa tali dan barang-barang lainnya. Dicarinya di sudut-sudut legokan itu, yang ternyata lebih menyerupai sebuah gua yang dangkal, dan didapatinya ranting-ranting bekas sarang binatang. Diambilnya beberapa buah yang kering-kering. Kembali ke tempat perbekalannya semula diletakkan dan mulailah ia membuat api sambil memakan perbekalannya.
Selang tak berapa lama dirasakannya kantuk dan juga lelah menyerang. Tak dapat ditahankannya. Ia pun lalu tertidur. Lelap sekali sehingga tidak diketahuinya beberapa mata sejenis makhluk menatapnya. Mata-mata yang dapat bersinar dalam gelap. Bila saja Paras Tampan tersadar, mungkin terkejut pula dirinya. Beberapa makhluk itu muncul mengitari dirinya dan menjamah beberapa barang-barangnya.
Geliat Paras Tampan dalam tidurnya mengagetkan mereka. Makhluk-makhluk itu langsung kabur sambil tak lupa membawa barang-barang yang bagi mereka menarik itu. Sebagian masih tercecer. Juga tali-tali yang dibekal oleh Paras Tampan.
Sinar matahari yang hangat datang menggelitik pelupuk mata Paras Tampan yang tertidur di legokan batu itu. Usikan sang surya membuatnya menggeliat sesaat untuk kemudian tersadar dan bangun. Masih galau ingatannya, di mana ia saat ini berada. Diingat-ingatnya kembali. Akhirnya disadarinya bahwa dirinya sedang mendaki Gunung Hijau untuk mencari kitab-kitab peninggalan para pendekar yang menyimpannya di sini. Di suatu tempat di gunung ini. Setelah ingatannya pulih sepenuhnya, dirasakan lapar menggaruk-garuk perutnya. Diedarkannya pandangan mata berkeliling. Seharusnya sisa perbekalannya kemarin ada di suatu tempat di sekitar tempat ia tertidur.
Tapi apa yang dilihatnya" Barang-barangnya berserakan, berceceran. Seperti ada seseorang atau sekelompok orang yang mengacak-acak barang-barang bawaannya itu. Makanannya tercecer-cecer juga obor dan lain-lainnya. Sejumput tali yang dibawanya masih tampak, akan tetapi lainnya telah raib. Penasaran Paras Tampan melihat hal ini. Geram dan juga bergidik. Bila benar ada seseorang atau sesuatu yang tadi malam mampir tanpa disadarinya, benar-benar berbahaya. Untuk saja tidak terjadi apa-apa dengan dirinya. Ia benar-benar telah teledor, dengan membiarkan dirinya terlelap begitu saja.
Setelah menenangkan dirinya dengan sedikit mengheningkan cipta, beranjak Paras Tampan keluar dari legokan batu itu. Dilihatnya langit cerah telah menantinya untuk kembali mencari kitab-kitab seperti yang dituturkan oleh gurunya, Ki Tapa. Di bawah sana, di bawah tebing di mana legokan tempat Paras Tampan tadi malam tertidur, tampak kabut awan tebal. Gumpalan putih itu menghalangi pandangan Paras Tampan ke kaki gunung, di mana Rimba Hijau berada. Bisanya ia berada di bawah sana tidak bisa melihat ke atas sini. Kali ini malah sebaliknya. Ia berada di atas sini dan tidak bisa melihat ke bawah sana. Pagi hari kedudukan gumpalan putih itu ternyata lebih rendah dibandingkan pada sore hari. Mungkin panasnya hari yang membawa gumpalan-gumpalan itu naik pada siang hari dan dinginnya malam yang membawanya kembali turun pada malam hari.
Teringat kembali Paras Tampan akan hilangnya perbekalannya. Dicari-carinya dengan matanya ke berbagai arah, siapa tahu tercecer masih barang-barangnya. Tak berapa jauh, kira-kira dua tiga tombak dilihatnya sejumput tali-tali yang dibawanya tergeletak terurai menuju ke suatu arah. Bergegas ia menghampiri. Menggulung kembali tali itu. Mungkin diperlukannya kelak. Baru dua gulung diperolehnya. Semua seharusnya tujuh gulung tali-tali sebesar ibu jari. Cukup kecil tapi ulet dan kuat. Terbuat dari rumput-rumputan yang diberi ramuan. Ringan tapi ulet, begitu kata gurunya.
Dengan berbekal ceceran tali-tali yang terurai itu berjalan Paras Tampan ke suatu legokan lain yang lebih lebar agak ke atas dari tempat ia tertidur tadi malam. Legokan ini sudah dilihatnya tadi malam. Dikarenakan bentuknya yang lebih luas dan lapang sehingga angin lebih leluasa untuk masuk, dipilihnya legokan yang kemarin dan bukan ini. Walaupun demikian ia telah juga memeriksa legokan ini. Kalau-kalau terdapat ruang atau gua tempat meletakkan kitab-kitab. Dan kali ini dijumpainya hal yang menarik.
Di ujung legokan batu tersebut, di tengah sebuah batu besar yang retak, tampak seutas tali yang dibawanya tersembul. Mustahil. Bagaimana talinya dapat tesembul dari retakan batu itu" Apa ada orang atau makhluk yang iseng menyisipkannya di situ. Bingung Paras Tampan memikirkan hal itu. Saat sedang termenung, datang kembali usikan sang usus. Meminta makan ia. Belum pagi ini perut Paras Tampan diisi. Sudah sewajarnya tuntutan alamiah itu datang. Teringat itu, kembalilah Paras Tampan ke bawah. Ke tempat ia tertidur semalam. Barang-barangnya masih berserakan di bawah. Dirapikannya. Dikemasnya. Masih tersisa sedikit penganan yang tidak terambil oleh suatu malam tadi. Dimakannya perlahan sambil kembali berjalan ke legokan di atas. Kembali memikirkan bagaimana tali itu dapat tersisipkan pada legokan batu.
Hari berlangsung dengan cepat tanpa dirasa bila ada yang dikerjakan. Begitu pula yang dirasakan oleh Paras Tampan. Tidak terasa senja telah kembali datang menjelang. Dan ia boleh dikatakan hampir tidak meninggalkan legokan itu. Dicari-carinya lubang-lubang. Diketuk-ketuknya batu. Dipanjatnya batu retak itu. Digali-galinya sedikit pasir yang terdapat dikakinya. Tapi hasilnya nihil Tak ada petunjuk sedikitpun bagaimana tali itu dapat masuk ke dalam retakan batu. Retakan itu seakan-akan begitu rapat. Tidak dapat dibuka. Tapi bagaimana tali itu dapat masuk" Makin bingung Paras Tampan dibuatnya.
Tiba-tiba datang gagasan pada diri pemuda itu. Bagaiman jika sesuatu yang mencuri tali-tali dan barang-barangnya itu datang kembali malam ini. Mungkin dari balik batu itu. Baiknya ditunggu saja. Ia kemudian memilih suatu tempat agak ke atas dari retakan itu. Kebetulan di sana terdapat pula legokan mirip liang. Bisa dimasukinya dengan memanjat. Kaki duluan baru kepala. Cukup luas, tapi ia tidak bisa sampai menekut lutunya. Cukup hanya untuk berbaring. Tapi cukuplah, ini hanya untuk keperluan mengintai, pikirnya.
Tunggu punya tunggu, hampir saja Paras Tampan yang terkantuk-kantuk itu tertidur. Kalau saja kakinya tidak kesemutan, bisa saja terulang kembali kejadian kemarin malam. Kembali tertidur saat sesuatu itu menggerayangi barang-barangnya.
"Kriiittt...!" suatu suara muncul memecah keheningan malam yang hanya diisi oleh suara jengkerik.
Mendengar itu semakin diam badan Paras Tampan. Diatur teratur nafasnya sehingga sedapat mungkin tidak terdengar. Diatur hawanya supaya tanda-tanda keberadaanya tidak dapat dideteksi oleh sesuatu itu. Sambil memicingkan matanya, dilihatnya bahwa batu tempat talinya tersembul dari retakan itu, terbelah. Perlahan tapi pasti sebuah liang gelap tersembul dari dalamnya. Teryata batu itu bisa berputar ke kanan dan kiri membuka.
Meloncat keluar dari dalamnya beberapa orang kerdil gemuk dengan hidung yang amat panjang, dua tiga kali hidung seorang dewasa, dilengkapi dengan rambutnya yang gondrong dan kusam. Telapak kaki dan tangan mereka lebar-lebar, menandakan mereka penggenggam dan penginjak yang kuat. Paras Tampan tertakjub melihat makhluk-makhluk itu melihat waspada ke kiri dan kanan. Ia pernah membaca mengenai makhluk itu dalam salah satu kitab di rumah gurunya. Di sana disebutkan makhluk itu bernama Troll, salah satu dari makhluk-makhluk elemen tanah atau Roh Tanah, di samping Manusia Tiga Kaki, Gnomen dan Orang Gunung (Bergm?nnchen). Disebut roh karena kadang mereka mempunyai kemampuan yang tidak dimiliki oleh seorang manusia, seperti kekuatan dan juga kebisaan untuk menghilang atau tidur lama sekali.
Para Troll itu memandang sekeliling ruang di depannya dengan waspada. Dilihatnya berkali-kali spasial di depannya. Berhati-hati agar tidak berjumpa dengan musuh-musuh mereka. Setelah yakin bahwa tiada yang mengintai mereka, para Troll itu pun beranjak pergi. Salah seorang diantaranya menggulung tali yang terjepit di retakan batu karang itu. Rupanya ia yang membawa-bawa tali itu sejak kemarin. Di pinggangnya terselip tali-tali lain milik Paras Tampan. Senang kelihatannya ia bermain-main dengan tali.
Temannya pun memanggil mereka. Mereka semua kembali ke lekukan batu, di mana mereka tadi malam menemukan Paras Tampan sedang tertidur. Para Troll itu mencoba mengulangi penjelajahannya kemarin. Malam ini mereka mengharapkan Paras Tampan tidak bergerak, sehingga mereke dapat melihat-lihat dan mengambil barangnya tanpa takut-takut. Sebenarnya seorang dari mereka terlihat enggan untuk ikut. Akan tetapi atas ajakan yang lain, mau tidak mau ia turut. Lebih besar rasa ingin tahunya ketimbang ketakutannya untuk melihat lagi manusia yang tertidur di sana seperti kemarin malam.
Tersenyum Paras Tampan melihat para Troll itu menghilang di balik batuan untuk berbelok ke bawah. Di lekukan tempat ia tertidur kemarin malam telah diletakkannya berbagai perlengkapan juga anyam-anyaman yang dibuatnya dari tali dan juga ranting-ranting. Mainan buat Para Troll agar mereka memberinya kesempatan untuk menyelidiki rekahan batu karang yang terbuka itu.
Setelah merasa yakin bahwa Troll-trol itu sedang sibuk dengan mainan-mainan dan perlengkapan yang dibuatnya, berbegas Paras Tampan beringsut keluar dari persembunyiannya. Hampir ia terjatuh bila tidak mengingat kakinya yang masih agak kesemutan. Jatuh dari ketinggian pohon pepaya itu, benar-benar dapat membuatnya remuk. Apalagi dengan kepala terlebih dahulu menyentuh lantai tanah berbatu itu. Selah kakinya agak baikan dengan digosok-gosok perlahan, mulai ia merambat turun. Perlahan, agar tidak memperdengarkan bunyi-bunyian yang dapat memancing para Troll untuk kembali. Ia belum mengetahui bagaimana mekanisma pembukaan dan penutupan pintu karang itu. Biarlah, yang penting sekarang ia masuk dan mencari-cari di dalam karang itu. Siapa tahu di sana terdapat kitab-kitab yang dicarinya.
Berbekal dengan keyakinan masuklah Paras Tampan ke dalam rekahan batu karang yang terbuka itu. Dibiarkannya dahulu agar matanya terbiasa dalam kegelapan. Tidak berani ia menggunakan obor karena takut terlihat oleh para Troll. Setelah agak lama, keadaan di dalam lorong itu ternyata tidak segelap dugaannya semula. Di dasar lorong terdapat sinar-sinar temaram yang berasal dari sejenis rumput-rumputan. Rupanya para Troll sengaja menanam tumbuh-tumbuhan itu sebagai penerang jalan mereka. Benar-benar suatu pemikiran yang maju. Melengkapi lorong-lorong mereka dengan penerangan.
Paras Tampan pun maju selangkah demi selangkah. Tak berani ia terlalu cepat karena tak tahu apa yang akan dihadapinya di depan sana. Lebih baik perlahan agar dapat lebih hati-hati. Sudah lebih dari sepeminum teh ia berjalan, hanya dipandu oleh rumput-rumbut yang bercahaya di dalam gelap itu. Sampai akhirnya ia menemui dua buah percabangan. Bingung hatinya. Tak tahu ia harus ke mana.
"Buk-buk-buk-buk..!" tiba-tiba terdengar langkah-langkah datang dari belakangnya. Terkejut Paras Tampan mendengar hal itu. Pasti itu para Troll yang telah bosan dengan hal-hal yang ditemuinya, dan mereka sekarang akan kembali ke dalam tempat tinggalnya ini. Paras Tampan berpikir keras dan cepat, kemana ia harus beranjak. Harus dipilihnya satu dari dua percabangan ini, ke arah ke mana para Troll itu tidak akan berjalan. Tapi tak ada pandung ke arah mana mereka akan menuju, sehingga ia bisa mengambil arah yang berlawanan. Cepat diperhatikannya kedua lorong di hadapannya itu. Lorong yang kiri tampak agak terang karena terdapat masih rumput-rumput penunjuk jalan yang ditanam di kiri dan kanannya, sedangkan lorong sebelah kanan tampak lebih suram. Malah boleh dikatakan tak ada tanaman berkilau dalam gelap itu di dalam lorong tersebut. Akhirnya dengan dasar bahwa lorong itu tidak digunakan, ia berjalan cepat memilih lorong yang kanan. Lorong yang serin gigunakan haruslah ditanami rumput-rumput itu, begitu pikirnya.
Dengan tersandung-sandung Paras Tampan berjalan memasuki lorong yang gelap itu. Sampai suatu saat tangannya menyentuh suatu legokan dalam dinding batu. Ditariknya badangnya untuk merapat dalam legokan itu. Dari sana masih dapat dilihatnya percabagan yang tadi. Bersinar temaram karena adanya Rumput-Rumput Berkilau Dalam Gelap di sana.
"Buk-buk-buk-buk..!!" terdengar langkah-langkah mereka semakin dekat. Sampai di persimpangan itu rombongan itu berhenti. Hal ini dikarenakan Troll terdepan menghentikan langkahnya. Nampaknya ia ingin berjalan ke arah di mana Paras Tampan bersembunyi. Berdegup Paras Tampan melihat adegan ini. Bila mereka berarah ke sini, bisa tertangkap dirinya. Uratnya pun menegang. Bersiap-siap untuk hal-hal yang akan terjadi.
Tampak temang sang Troll menggoyang-goyangkan tangannya sambil menunjuk-nunjuk arah lorong yang lain. Digeleng-gelengkan kepalanya, seakan-akan hendak mengatakan bahwa jangan memasuki lorong di sebelah kanan itu. Sebaiknya kita cepat kembali pulang, kira-kira katanya. Akhirnya Troll yang paling depan itu pun menurut, dan mereka mulai berjalan kembali melewati lorong yang sebelah kanan.
"Buk-buk-buk-buk..!" suara langkah-langkah itu terdengar lamat-lamat menjauh dan menghilang. Sunyai. Hanya tinggal suara degug jantung Paras Tampan yang masih dapat dirasakannya sendiri. Perlahan-lahan dilepaskannya ketegangan itu. Duduklah ia untuk mengatur napasnya.
Sunyi dan sepi, juga gelap.
Setelah ketenangan dan keberaniannya pulih kembali Paras Tampan berdiri. Mulai memperhatikan lorong di mana ia berada. Di arah berlawanan dengan percabangan itu tak dilihatnya sama sekali apapun. Benar-benar gelap gulita adanya. Akhirnya diputuskan untuk kembali ke percabangan, mengambil berapa Rumput-rumput Berkilau Dalam Gelap untuk dijadikan penerangan. Tak dapat ia berjalan begitu saja dalam gelap.
Dengan hati-hati ia kembali ke percabangan itu. Diambilnya sedikit rumput dari sejumput yang ada, begitu pula dari jumput lainnya. Tak ingin ia mengambil banyak dari satu jumput. Bisa ketahuan nanti kalau ada yang mencabut jumput itu. Paras Tampan telah memperhatikan bahwa jumput-jumput itu ditanam pada ukuran yang kira-kira sama berjarak satu sama lainnya. Benar-benar ditanam beraturan.
Sudah cukup banyak rumput-rumput di tangannya, Rumput-rumput Berkilau Dalam Gelap. Dilangkahkah lagilah kakinya kembali ke lorong sebelah kanan yang sama sekali gelap itu. Kali tidak terlalu karena telah ada rumput-rumput sebagai penerangan itu di tangannya.
Perlahan-lahan ia melangkah dengan melihat langkah-langkahnya dibantu rumput-rumput itu. Lorong itu ternyata berbeda dengan lorong sebelum percabangan. Dindingnya lebih halus dan terbuat dari bahan yang terlihat lebih keras dan dingin tapi kering. Akibatnya dirasakan juga tubuhnya sedikit agak menggigil saat melalui lorong itu. Berjalan ia perlahan-lahan tanpa tahu kapan atau apa yang akan ditemuinya nanti.
Waktu pun berlalu dengan amat lambat dalam lorong yang gelap itu. Paras Tampan akan tetapi tidak putus asa. Tak ada jalan lain, lebih baik ia terus menyusuri lorong ini. Untuk kembali resikonya lebih besar, yaitu selain akan bertemu Troll, juga ia belum tahu bagaimana cara membuka batu karang yang retak tengahnya itu. Bisa dikatakan jalan kembali tak ada kesempatan.
Tak berapa lama dilihatnya seperti ada cahaya di depan sana. Lamat-lamat. Ia bergegas berjalan cepat. Ada pintu keluar, pikirnya. Kegembiraan itu menurunkan kewaspadaanya, sehingga tiba-tiba, "dukkk!" Kepalanya terantuk dengan langit-langit lorong. Rupanya lorong itu sedikit memendek dan jalan di bawahnya menanjak. Karena cahaya datang dari tengahnya masih temaram, tak dilihat Paras Tampan perubahan itu.
Setelah mengusap-usap kelanya yang agaknya benjol, Paras Tampan mulai agak berhati-hati berjalan. Untung itu hanya langit-langit, bagaimana bila lubang atau jurang. Sudah mati dia bisa-bisa. Lorong itu pun bertambah pendek sehingga ia harus merangkat untuk melewatinya. Akan tetapi cahayanya yang terlihat dari ujung sana semakin jelas dan terang. Ini menambah semangat Paras Tampan untuk terus melangkah, akan tetapi tetap dengan hati-hati. Setelah merangkak beberapa saat sampailah Paras Tampan di suatu ruang yang cukup lapang.
Ruang itu terbuat dari batu cadas dengan tinggi kira-kira lima kali dirinya dan seluas sebuah sawah kecil. Udaranya bersih dan cahaya yang dilihatnya berasal dari lubang-lubang pada dinding batu sebesar pelukan tangan orang dewasa. Puluhan lubang terdapat di dinding batu berlawanan arah dengan lorong yang membawanya ke ruangan itu. Seperti jendela saja layaknya lubang-lubang udara itu terpasang pada dinding batu tersebut. Seakan-akan terpancing dengan adanya cahaya tersebut berjalan pelan Paras Tampan menyeberangi ruangan menuju jendela-jendela alam itu.
Di luar sana, dibalik dinding batu cadas besar tebal dan berlubang-lubang alami itu, sedikit dapat diintip oleh Paras Tampan hanya langit dan awan putih yang terlihat. Di kejauhan baru dilihatnya pepohonan dan juga sungai serta sawah. Lain tidak. Dicobanya untuk merampat naik ke salah satu lubang-lubang itu. Ingin dilihatnya hal lain yang ada di ujung sebelah sana.
Perlahan ia merangkak. Pelan. Sampai dua tombak lebih, sampailah ia di ujung sana. Hampir loncat jantungnya saat menyadari bahwa lubang-lubang itu bermuara pada suatu tebing yang tinggi di Gunung Hijau. Di bawahnya terdapat dinding cadas dan tinggi. Awan-awan putih susu tampak sesekali menghalangi pemandangan ke pada pohon-pohon hijau di bawahnya. Sudah pasti bukan jalan keluar lubang-lubang ini.
Dengan masih merinding mengingat ketinggian dinding di mana lubang-lubang itu berada dari bawah sana, Paras Tampan merangkak mundur. Ia tidak bisa berputar. Lubang itu terlalu kecil untuk berputar atau duduk. Satu-satunya jalan hanyalah mundur perlahan-lahan.
Paras Tampan telah berada kembali pada ruang semula. Diperiksanya dengan seksama, apa-apa yang ada di sana. Dua sisi lainnya selain lubang-lubang jendela dan lorong tempat ia datang tidak terdapat apa-apa melainkan hanya dinding batu cadas belaka. Hitam dan dingin. Berbeda dengan udara yang agak hangat akibat masuknya sinar matahari dari lubang-lubang itu. Kemudian ia berputar kembali pada dinding di mana terdapat lorong ia masuk ke ruangan itu. Lubang ke lorong terdapat di ketinggian sepinggangnya. Jauh di atasnya terdapat sebuah lubang lain. Cukup lebar dan tinggi. Akan letaknya jauh di atas, hampir dekat dengan langit-langit. Oleh karena tinggi dan kerasnya dinding itu tak memungkin kiranya ia untuk memanjat naik.
Kehidupan Para Pendekar Karya Nein Arimasen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Diraba-rabanya dinding di hadapannya itu dengan tangannya, sampai ketinggian yang dapat dicapainya. Tiba-tiba ia bersorak girang, ada seperti anak tangga di atas itu. Tak terlihat karena warna dinding yang kelam dan tingginya tempat tersebut. Bergegas ia bergerak mundur mendekati lubang-lubang jendela. Dicobanya untuk meloncat-loncat agar tempat yang diduganya itu lebih jelas terlihat. Ada, soraknya dalam hati. Ada pijakan atau anak tangga di ketinggian lebih dari tinggi dirinya. Mungkin itu semacam anak tangga yang dirancang supaya lubang yang di atas itu tidak mudah dicapai.
Tiba-tiba didapatnya akal, dipanjatnya dinding tempat lubang-lubang jendela itu terletak. Mudah karena jarak masing-masing jendela tidak berjauhan. Setelah memanjat kira-kira dua kali tinggi badannya, Paras Tampan bersorak gembira.
Di hadapannya, di dinding di mana terdapat jalan masuk ke ruangan ini, terdapat semacam anak tangga. Anak tangga pertama lebih tinggi dari dirinya dan masuk lebih dalam ke arah dinding. Yang kedua setinggi dirinya dan masuk lagi lebih ke dalam. Berikutnya semakin rendah dan akhinya mengarah pada sebuah lubang di sampingnya. Lubang di mana jauh di bawahnya terdapat lubang tempat ia masuk tadi. Benar-benar akal yang cerdik untuk membuat anak tangga melebihi pandangan orang. Orang yang cepat putus asa tidak akan melihat anak tangga itu.
Sekarang tinggal bagaimana caranya ia melewati anak tangga pertama itu. Bila bisa, anak tangga berikutnya lebih rendah. Dan berikutnya lebih rendah lagi. Ada lima anak tangga semuanya. Setelah berada kembali pada dinding yang dimaksud ia berusaha meloncat ringan. Tangannya berhasil mencengkeram lantai di atas dinding itu. Tapi tidak cukup kuat untuk mengangkat dirinya naik. Berulang kali dicobanya. Masih saja gagal. Paras Tampan pun berpikir keras bagaimana naik ke atas dinding tersebut.
Salah satu cara adalah bahwa ia harus dapat melompat tinggi, setidaknya setengah pinggah lebih tinggi dari daya lompatnya saat ini. Kemampuan itu sulit untuk dilatihnya dalam waktu hanya beberapa saat saja. Butuh waktu lama. Harus ada pemecahan bagaimana caranya sehingga ia bisa melompak jauh lebih tinggi dari sebelumnya. Cara lain adalah dengan mencari pijakan sehingga ia dapat merambat naik. Cara ini mungkin lebih masuk akal. Akan tetapi dalam ruangan yang kosong ini bagaimana ia dapat menemukan sesuatu untuk mendukungnya"
Mungkin di lorong sana, tempat dari mana ia datang tadi ada sesuatu. Dengan berbekal pikiran itu Paras Tampan pun kembali ke lorong tersebut. Merangkat pelan. Agak sukar dibandingkan tadi karena sumber cahaya berada di belakangnya. Setelah sampai di tempat ia terantuk kepalanya tadi diedarkan pandangannya. Di salah satu sudut lorong, setelah diraba-raba ditemuinya dua buah batu yang cukup besar dan berat dengan permukaan atasnya rata. Seperti dipotong dengan sengaja. Dengan berdebar-debar penuh semangat didorongnya kedua batu itu perlahan-lahan pelan tapi pasti. Hampir habis tenaga Paras Tampan mendorong kedua batu tersebut, karena selain jarak yang jauh juga beratnya.
Duduklah Paras Tampan terpekur di dalam ruangan yang terang dan berudara bersih itu. Dua buah batu persegi empat yang rapih terpotong itu telah berhasil didorongnya. Ia perlu beristirahat sebentar untuk beristirahat. Tak lama kemudian pulih kembali tenaganya. Dengan bersemangat ia geser kedua batu itu berganti-ganti mendekati dinding, di mana lantai diatasnya paling rendah terlihat. Kemudian diangkatnya salah satu batu untuk ditumpangkannya di atas batu yang lain. Yang lebih kecil di atas yang lebih besar, agar lebih stabil. Berkeringat tubuh dan wajah Paras Tampan, menandakan banyak sudah tenaga yang dikeluarkannya untuk usaha itu.
Kemudian ia menarik napas panjang. Puas melihat pekerjaannya. Sekarang tinggal saatnya memanjat naik. Berhasil, tangannya sekarang dapat menggapai lantai di atas itu sampai siku. Dengan cara ini ia dapat menggapai lantai itu untuk menarik dirinya. Lalu melompatlah ia dengan menjejak ke kedua batu yang menjadi tumpuannya. Dan naiklah ia. Anak tangga kedua tidak begitu menjadi masalah karena memang lebih rendah ukurannya. Juga yang berikutnya sampai yang kelima. Akhirnya sampailah ia di lubang yang berbentuk mirip pintu itu. Hitam di dalamnya dengan sedikit cahaya terlihat di sisi kanannya. Sisi itu merupakan suatu pintu tanpa penutup yang mengarah pada suatu ruangan yang besar. Lebih besar dari ruangan sebelumnya dan lebih tinggi.
Hal yang membuat Paras Tampan gemetar menahan kegembiraannya adalah bahwa selain lubang-lubang yang sama seperti dalam ruang sebelumnya yang berisikan lubang-lubang udara, terdapat pula lubang-lubang lain yang berada di antaranya. Lubang-lubang yang berisikan berjilid-jilid kitab. Ruangan yang seakan-akan merupakan sebuah perpustakaan. Perpustakaan kitab-kitab kuno.
Bagian 2 -- Penjaga Keseimbangan
Pemuda itu melihat berkeliling. Di semua dinding dalam ruangan itu bertahta lubang-lubang yang masing-masing berisikan kitab-kitab kuno. Beratus-ratus jumlahnya. Dicobanya untuk melirik beberapa judul yang ada. Diantaranya bernama Jaga Kesehatan Tubuh dan Jiwa, Pukulan Inti Es dan Salju, Racun Selaksa Macam, Angin-angin, Tenaga Air, Seribu Ramuan, Batu-batu, Pukulan Tanpa Tanding, Seni Beperang, Ilmu Muda Selamanya, Tujuh Rahasia, Rancang Jiwa Raga dan masih banyak lainnya. Aneh-aneh judulnya. Gemetar pemuda itu membaca judul-judul yang ada. Ia hanya pernah mendengar salah satu dari judul-judul kitab tersebut dari gurunya. Dan Sekarang kitab-kitab tersebut berada di depan matanya. Siap untuk dilahap. Dipelajari.
Han Bu Kong 6 Kisah Pedang Bersatu Padu Karya Okt Musuh Dalam Selimut 1
"Kehidupan Para Pendekar
Oleh : Nein Arimasen
Bagian 1 -- Hakim Haus Darah
Matahari yang masih malu-malu di ufuk timur menyambangi hari itu bersama dengan kicauan burung-burung sebagai latarnya. Sinar sang surya yang masih temaram menambah gagah ketinggian tebing yang menjulang menghujam langit itu. Gunung Berdanau Berpulau. Gunung tersebut membentang megah pada arah timur-barat, sampai ribuan kambing dewasa panjangnya. Sangar dan tampak seperti berwibawa. Seorang pemuda tampak berdiri di kaki gunung itu. Ia memandang ke arah utara, ke arah di mana Gunung Berdanau Berpulau berakar pada bumi. Ingin dikenangnya saat-saat ia dididik ayah dan ibunya di gunung itu. Dilatih ilmu mengolah salah satu sumber tenaga di alam ini. Tenaga yang mengalir, akan tetapi kadang dapat memudar seperti uap, atau kadang dapat mengeras seperti es. Itulah jenis tenaga dalam yang dilatihnya. Diajarkan oleh kedua orang tuanya. Sudah saatnya sekarang ia menambah ilmunya dengan merantau dan mencari guru untuk belajar ilmu bela diri. Ya, ilmu beladiri. Walaupun ia sudah dapat menghimpun tenaga dalam atau hawa untuk menguatkan tubuh, tapi ia belum memiliki ilmu beladiri. Ilmu itu tak diajarkan oleh orang tuanya, karena mereka pun tak mengerti akan ilmu itu. Sudah turun-temurun keluarganya menyimpan suatu rahasia bagaimana mengolah tenaga lembut tapi menyimpan kekuatan yang luar biasa itu, Tenaga Air. Dan karena keluarganya hanya merupakan semacam 'Pelestari Ilmu' dari Tenaga Air tersebut, mereka tidak ambil pusing tentang bagaimana cara memanfaatkan ilmu itu dalam pertempuran. Tugas mereka hanya menjaga agar cara-cara melatih ilmu itu tidak punah. Itu saja.
Akan tetapi pemuda itu lain. Ia tidak ingin hanya menjadi Pelestari Ilmu, melainkan juga pengguna ilmu itu. Untuk itu ia perlu belajar ilmu beladiri. Suatu ilmu di mana ilmu tenaga yang telah dimilikinya dapat diterapkan dalam gerakan-gerakan. Baik gerakan melindungi diri sendiri ataupun menyerang orang yang menjadi lawannya. Dipandangnya sekali lagi gunung itu. Setelah puas merekam gambaran dari obyek yang ada dihadapannya, dibalikkan tubuhnya. Sekarang ia memandang pada bentangan luas suatu konstruksi geografis yang terdiri dari batu-batu belaka. Luas menutupi seluruh matanya, bahkan sampai ke sudut kiri dan kanannya. Padang Batu-batu. Suatu entitas lansekap yang berada di selatan Gunung Berdanau Berpulau.
Masih diingatnya pembicaraan terakhir dengan ayah dan ibunya, di saat ia meminta ijin untuk pamit menimba ilmu di rantau.
"Telaga, sudah bulatkah tekadmu itu, nak?" tanya ibunya perlahan. Bergetar suaranya saat menanyakan itu. Perasaan seorang ibu yang tidak mau berpisah dengan anaknya, membuatnya tidak seperti biasanya. Nyi Sura yang umumnya terlihat dingin tanpa senyum akan tetapi gagah, tampak agak rapuh di saat akan berpisah dengan anaknya. Anak satu-satunya itu.
Lain halnya dengan suaminya, Ki Sura. Ia tenang-tenang saja. Seorang anak lelaki tak jauh beda dengan ayahnya nanti, begitu pikirnya. Dulu sewaktu ia muda, ia pun pergi merantau. Dan sekarang anaknya pasti akan pula mengikuti jejak sang ayah. Oleh karena itu sudah lebih siap dirinya begitu mendengar keinginan anaknya untuk pergi merantau menimba ilmu.
Mendengar pertanyaan ibunya, mengangguklah Telaga. Lalu katanya kemudian menegaskan, "ya ibu, saya sudah membulatkan tekad."
"Tapi..," jawabnya ibunya tercekat. Tak ditemukannya kata-kata untuk menghalangi keinginan anaknya saat itu.
Sudah sejak lama Telaga mempunya niat untuk merantau. Dan sudah berulang alasan diutarakan oleh Nyi Sura. Alasan-alasan yang harus dipenuhinya sebelum ia diperbolehkan untuk merantau. Dengan patuh Telaga memenuhi semua tuntutan-tuntutan ibunya. Termasuk di dalamnya adalah belajar Tenaga Air sampai tingkatan ibunya, yaitu tingkat tujuh dari dua belas tingkatan yang ada. Selain itu ia harus pula menghafal teori dari sisa tingkatan yang belum dicapainya. Ayahnya sendiri baru mencapai tingkat sepuluh. Umumnya hanya orang-orang berbakat dan amat tekun yang dapat mencapai tingkat sebelas dan dua belas. Tingkatan ayahnya sudah termasuk cukup tinggi untuk orang-orang biasa.
"Lalu ke arah mana rencanamu merantau?" tanya ayahnya memecah keheningan yang timbul di antara mereka bertiga itu.
"Ke arah selatan, ayah," jawab Telaga cepat. "Aku pernah mendengar bahwa di Padang Batu-batu terdapat sebuah tempat yang menarik untuk dikunjungi."
Ayahnya mengangguk-angguk mendengar jawab anaknya. Katanya kemudian, "hati-hatilah. Berangkatlah pagi-pagi sekali, sehingga saat tiba di Padang Batu-batu masih pagi. Berhenti saat malam dan carilah tempat yang baik untuk bermalam. Dan selalu hati-hati di sana."
Telaga mengangguk mendengar wejangan ayahnya. Beberapa petuah lainnya masih diberikan oleh ayahnya, untuk kewaspadaan dirinya yang baru kali ini bepergian jauh seorang diri.
Sekarang membentang hari dan petualangan di depannya. Padang Batu-batu. Melompatlah ia perlahan ke bawah, benar-benar meninggalkan wilayah Gunung Berdanau Berpulau, memasuki sebenar-benarnya wilayah Padang Batu-batu. Di dalam Padang Batu-batu, terdapat banyak batu-batu yang menjulang keluar dari tanah, seperti tiang-tiang, yang besar dan tingginya bervariasi. Kadang terdapat batu-batu yang setinggi orang dewasa kadang lebih. Kadang selebar kerbau atau gajah, kadang pula lebih. Batu-batu yang lebih lebih kecil dari orang pun ada. Tapi untuk itu mungkin lebih tepat disebut kerikil dari pada batu.
Sulit untuk menentukan arah setelah masuk ke wilayah Padang Batu-batu. Mirip hutan belantara, di mana pemandangan dan sinar matahari dihalangi oleh kanopi dari insan-insan nabati. Di sini pemandangan dihalangi oleh tiang-tiang atau gundukan batu-batu yang sangar, dingin dan menantang. Untuk menentukan arah, dipanjatnya salah satu batu yang cukup besar di hadapannya. Dengan lincahnya Telaga dapat naik dengan mudah. Dalam setiap cengkeramannya tercipta legokan-legokan dalam batu keras tersebut. Cengkeraman Kristal Es. Jurus cengkeraman yang amat keras, dan menghujam juga dingin. Dengan menggunakan jurus itu Telaga memanfaatkannya untuk menciptakan pijakan-pijakan dan pegangan-pegangan pada batu yang dipanjatnya.
Tak berapa lama sampailah ia di atas batu tersebut. Dipandangnya berkeliling. Masih tampak Gunung Berdanau Berpulau di salah satu sisinya. Dalam arah yang berlawanan dilihatnya hanya batu-batu yang berdiri berderet-deret acak, membentuk suatu pemandangan yang indah dan juga menyeramkan. Menyeramkan bagi mereka yang tersesat di dalamnya. Bisa selama-lamanya tidak dapat keluar dari lingkungan ini. Untuk saat ini tidaklah terlalu sulit menentukan arah. Dengan memanjat suatu batu besar dan melihat di mana arah beradanya Gunung Berdanau Berpulau, ke arah berlawananlah ia harus menuju. Meloncatlah ia turun dengan gerakan yang ringan dan beranjaklah ia menuju arah yang sudah diingat-ingatnya tadi sewaktu berada di atas batu itu.
Empat hari itu berlangsung tanpa ada kejadian yang berarti. Telaga berjalan dengan cepat ke arah selatan. Sejak kemarin sudah agak sulit untuk menentukan arah dengan menggunakan Gunung Berdanau Berpulau sebagai patokan, karena sudah tak begitu jelas terlihat. Gunung itu telah terhalang oleh batu-batu yang lebih tinggi dari batu-batu yang dipilihnya untuk berpijak menentukan arah. Untuk itu ia mengambil patokan lain, yaitu matahari. Ia harus berjalan ke suatu arah dengan matahari berada di sebelah kirinya saat pagi hari dan di sebelah kanannya pada sore hari. Menuju selatan.
Jika malam tiba, dicarinya ceruk yang cukup rapat akan tetapi kering untuk bermalam. Pada malam hari angin bertiup agak keras di Padang Batu-batu. Selain itu ditambah dengan sempitnya ruang antara tiang-tiang batu, semakin cepat angin mengalir di antaranya. Prinsip ini diperkenalkan oleh seorang Pengujar Benoli (Bernoulli), yang juga menjelaskan mengapa burung dapat memanfaatkan udara untuk mengapung ke atas atau ke bawah. Untuk makannya selain telah membawa bekal, Telaga menangkap pula ikan-ikan kecil berupa Beunteur dan Julung-julung atau Keuyeup (kepiting air tawar) yang hidup di sela-sela tiang batu-batu yang dialiri air. Terdapat aliran kecil-kecil air di sela-sela Padang Batu-batu. Tidak bisa dikatakan sebagai sungai, karena kadang genangan tersebut berhenti dan tidak mempunyai keluaran. Mengendap dan mengalir lewat bawah tanah atau batu-batu yang perpori. Muncul di tempat lain seakan-akan sebagai genangan baru dan mulai kembali mengalirkan air. Benar-benar lokasi geografis yang menawan hati.
Pada awalnya sulit juga Telaga menangkap ikan-ikan Benteur dan Julung-julung serta Keuyeup karena mereka dapat dengan cepat menyembunyikan dirinya ke dalam batu-batu di bawahnya. Bukan di balik batu, melainkan di dalam rongga-rongga batu besar. Air yang jernih membuat mereka dapat melihat Telaga secara langsung. Alam ini memang indah dan juga pengasih sebagai karya cipta Sang Penguasa Alam. Sebagai contoh misalnya, Telaga mendapat pelajaran bertahan hidup untuk menangkap ikan-ikan dan kepiting dari beberapa ekor burung mirip bangau yang berukuran sebesar ayam. Burung-burung itu tidaklah langsung menyerang ikan-ikan dan kepiting begitu melihatnya. Mereka memutarinya, sampai ke suatu sudut di mana binatang yang akan menjadi mangsanya itu tak dapat melihatnya lagi. Selain karena batasan pandangan juga karena efek pembiasan dari air. Pengujar Senelius (Snellius) menerangkan mengenai efek pembiasan cahaya ini. Untuk mempelajari ini Telaga sampai berendam dalam air dalam suatu ceruk yang cukup dalam untuk melihat dari dekat bagaimana burung-burung itu bisa berhasil dan juga bagaimana posisi ikan dan kepiting yang diincarnya.
Sekarang Telaga telah memiliki "perlengkapan" untuk menangkap ikan dan kepiting, yaitu tombak-tombak setinggi dirinya. Dengan meniru burung-burung yang berparuh panjang itu ia membuat tombak-tombak tersebut. Tombak-tombak itu tidaklah cukup untuk menangkap ikan dan kepiting, apabila tidak mengikuti cara mereka untuk mengelabui mangsanya. Ada saat-saat tertentu dalam satu hari, yang dibantu dengan posisi matahari, untuk mencari ikan dan kepiting. Pada saat-saat seperti itu binatang-binatang itu dapat dikelabui dengan mengambil arah tertentu, arah di mana binatang-binatang itu tidak dapat melihat dengan baik, sehingga serangan dapat dilakukan. Umumnya dapat diperoleh hasil dengan cara ini. Telaga saat itu memahami mengapa burung-burung tersebut hanya berburu pada saat-saat tertentu dan tidak sepanjang hari.
Hari keenam, sampailah Telaga di suatu tempat yang agak terbuka. Terbuka bukan karena tiada lagi tiang batu-batu, melainkan karena tiang-tiang yang ada agak terbenam ke dalam suatu cekungan. Cekungan itu membentuk suatu genangan air yang cukup lebar, walaupun tidak selebar Danau Tengah Gunung di mana dia dulu pernah tinggal. Mendapati tempat yang indah dan menyenangkan itu. Mengingatkan dirinya akan masa kecilnya, maka mengasolah Telaga di atas sebuah batu ceper di balik sebuah batu tinggi besar yang melindunginya dari sinar matahari pagi yang telah berada cukup tinggi di langit. Tak terasa datanglah kantuk dan Telaga pun tertidur.
Tak tahu berapa lama ia tertidur, Telaga terbangun saat ia mendengar bisik-bisik orang. Walaupun amat lamat-lamat, akan tetapi karena ia telah memiliki tenaga dalam yang cukup tinggi, dapat ia mendengarnya.
"Sudah.., lemparkan saja di sini," kata orang pertama.
"Jangan, nanti cepat ketahuan," sanggah orang kedua temannya.
"Bagaiamana bila diberi pemberat dulu, batu," usul temannya yang lain. Orang ketiga.
Tak ada suara. Tak tahu Telaga apa usul itu disetujui oleh dua teman pertamanya itu. Dengan berjingkit-jingkit mengendap-endap Telaga mencari-cari dengan matanya, di mana orang-orang itu berada. Akhirnya ditangkapnya tiga sosok orang di pinggir lain genangan air itu. Dari kejauhan mereka bertiga tampak sedang mengerjakan sesuatu pada semacam gundukan atau bungkusan dari kain yang ada di antara mereka. Setelah memeriksa dengan seksama, kemudian ketiganya membawa bungkusan itu di atas kepalanya dan mulai berjalan menyeberangi genangan air itu. Berjalan mereka perlahan-lahan, mungkin karena beratnya bungkusan itu atau karena lantai genangan air yang tidak rata, walaupun jernih.
Setelah kira-kira air mencapai pinggang mereka, berkata seorang dari padanya, "nah itu ada sebuah legokan dalam air yang cukup dalam. Lempar saja di sini."
Dengan berkecipuk keras, masuklah bungkusan itu ke dalam air setelah dilempar oleh ketiga orang itu. Perlahan mulai tenggelam bungkusan itu dengan disertai gelembung-gelembung udara yang menyembul ke atas permukaan air. Ketiganya masih di sana. Menunggu sampai tiada lagi gelembung-gelembung yang timbul. Kemudian berlalulah ketiganya.
Telaga terdiam melihat kejadian itu. Ia tidak tahu dan tidak memiliki gagasan mengenai apa sebenarnya yang tengah berlangsung. Bungkusan itu cukup besar dan berat. Entah apa isinya. Yang pasti mereka tidak mau bungkusan itu diketahui orang. Di Padang Batu-batu memang susah untuk menyembunyikan sesuatu. Tidak ada tanah. Oleh sebab itu mereka bertiga memilih menyembunyikannya dalam suatu legokan yang cukup dalam di tengah-tengah genangan air itu. Jurang yang cukup dalam, sehingga walaupun airnya jernih, tidak dapat dengan jelas terlihat dasarnya karena kurangnya sinar matahari yang mencapai dasar.
Niatan Telaga, yang tadi gembira melihat adanya orang di Padang Batu-batu, untuk menyapa akhirnya diurungkan begitu melihat sesuatu yang serba misterius itu. Hati kecilnya membisikkan agar ia tidak ikut campur. Maka ditunggunya sampai ketiga orang itu pergi.
Alih-alih pergi ketiganya malah duduk di salah satu batu ceper di seberang sana. Ketiganya membuka pakaiannya dan menjemurnya di atas batu-batu. Kelihatannya ketiganya tidak ingin dicurigai telah berendam di dalam air. Suatu pikiran yang cerdas. Tapi tidak cukup cerdas karena mereka tidak tahu kehadiran Telaga yang tertidur di seberang lain dari genangan air itu.
Lapar juga Telaga menunggu ketiganya pergi. Sambil terus mengintai dimakannya pelan-pelan bekalnya. Sepotong ubi yang dibawanya dari rumah dan ikan Julung-julung kering dan remukan Keuyeup bakar yang ditangkapnya kemarin. Sudah habis makan siangnya tapi ketiganya belum juga beranjak, walau telah dikenakan kembali pakaian mereka yang kering itu. Tampak seperti sedang menunggu sesuatu mereka itu.
Selang tak berapa lama, tampak sebuah iring-iringan datang. Sekelompok gadis-gadis sambil membawa keranjang cuciannya. Mereke hendak mencuci dan mungkin juga mandi di genangan air itu. Ketiga pemuda yang telah sedari tadi berada di sana tampak sumringah melihat rombongan yang mereka tunggu-tunggu itu tiba. Bergegas mereka menyelinap ke sebuah batu besar di salah satu sudut genangan itu. Masih dalam pinggiran yang sama. Tak lama kemudian sampailah gadis-gadis itu di pinggir genangan.
Kata salah seorang dari mereka, "eh, rasa-rasanya tadi ada orang yang berjemur di sini. Tapi kok tidak ada siapa-siapa ya?"
"Ah, kamu mimpi kali?" jawab temannya, "siang-siang gini 'kan jarang yang datang. Makanya kita nyucinya siang."
"Sekalian mandi..," jawab temannya terkekeh-kekeh genit.
Lainnya hanya mengiyakan.
Gadis yang curiga tadi tidak percaya begitu saja pada ucapan temannya, ia pun berjalan berkeliling ke satu sisi dan kemudian ke sisi lain pinggiran untuk memeriksa siapa tahu ada yang bersembunyi untuk mengintip mereka saat mencuci dan mandi di sana. Tak ditemuinya seorang pun. Andai saja ia maju setombak dua lagi, akan ditemuinya tiga orang yang bersembunyi di sana. Mereka telah beringsut mundur dan pindah dari persembunyiannya semula saat gadis itu mencari-cari.
Telaga yang begitu melihat gadis-gadis itu akan mencuci dan mandi di sana merasa risih, dan ingin segera menjauh. Tapi dengan adanya tiga orang itu yang tadi telah membuang sesuatu, membuatnya menjadi bertanya-tanya. Menyelinap rasa kuatirnya akan keselamatan rombongan gadis-gadis itu.
Mereka pun mulai mencuci barang-barang bawaaannya. Setelah beberapa saat beberapa orang mulai pula menanggalkan kain yang dipakainya untuk kemudian merendam dirinya sebatas dada. Tak tampak ketelanjangan mereka karena dihalangi oleh air. Walaupun demikian pemandangan itu mau tak mau membuat Telaga sedikit berdesir. Membayangkan tubuh-tubuh itu dalam air yang jernih dan bergoyang-goyang, membersitkan sedikit khayalan yang mengalirkan darah lebih cepat ke beberapa organ tubuhnya. Dialihkan pandangannya dari rombongan itu ke arah ketiga pemuda yang bersembunyi di pinggiran lain. Ketiganya telah kembali ke tempat mengintipnya semua, setelah gadis yang memeriksa tadi mulai mencuci. Hanya gadis itu yang tidak membuka pakaiannya. Ia hanya mencuci dengan duduk di pinggiran genangan. Selebihnya telah berendam di tengah.
"Sarini, ayo mandi..!" ajak temannya yang telah berendam dan berenang-renang. Dibiarkannya keranjangnya mengapung. Diayunkan lengannya dan melajulah ia perlahan.
Yang dipanggil hanya tersenyum dan kembali mencuci pakaiannya. Tak tergoda atas ajakan itu. Udara yang panas memang membuat orang ingin berendam di dalam air genangan itu, tapi pesan orang tuanya mengingatkan bahwa hal itu tidak aman. Salain itu perasaannya mengisyaratkan ada sesuatu. Sesuatu yang ia tidak dapat jelaskan. Keragu-raguannya membuatnya tidak ikut mandi. Ia mandi biasanya hanya pada pagi hari, di mana belum ada matahari. Sehingga orang tidak dapat mengintipnya dengan mudah. Tidak di siang hari bolong seperti ini. Kawan-kawannya telah diperingatkan, akan tetapi mereka hanya tertawa-tawa. Penakut disebutkan dirinya.
Tak lama kemudian selesailah gadis-gadis itu mencuci juga Sarini. Sementara Sarini tampak beristirahat di pinggiran sambil mencuci mukanya. Sisa gadis-gadis dalam rombongan itu tampak berenang-renang ke tengah. Telanjang. Tak sadar mereka bahaya yang mengintai mereka.
Ketiga pemuda yang tengah mengintai itu, tampak oleh Telaga, seling mengangguk satu sama lain. Lalu salah seorang dari mereka seperti menarik sesuatu dari dalam air. Sepotong tali. Kemudian mereka bertiga bergegas diam-diam pergi. Tidak seorang gadis pun, juga Sarini yang melihat kepergian mereka.
Saat Telaga masih bingung dengan kelakuan tiga pemuda itu, tiba-tiba jerit salah seorang gadis yang sedang mandi itu terdengar, "mayat, ada mayat...!" katanya sambi menunjuk sebuah benda yang terapung di tengah-tengah genangan air.
Akibat teriakan itu teman-temannya bergegas keluar dari air untuk menyambar kain mereka masing-masing dan berpakaian. Tak urung Telaga sempat pula menikmati kemulusan tubuh mereka saat mereka keluar dari air untuk menyambar kain mereka. Tanpa membawa keranjang cucian mereka, bergegas rombongan itu pergi untuk memberi tahu orang-orang di desanya.
Tak lama kemudian tampak berduyun-duyun orang-orang desa muncul sambil membawa-bawa tongkat. Sebagian dari mereka terjun ke dalam air dan mencoba menggapai gundukan itu dengan tongkat mereka. Menepikannya dan mengamati. Di antara mereka tampak pula ketiga pemuda tadi. Ketiga orang yang membuang mayat tersebut.
"Ini adalah Ki Rontok, si pedagang keliling," ucap salah seorang dari mereka. "Bagaimana orang Desa Batu Barat bisa berada di sini?"
"Iya, benar itu Ki Rontok," jawab yang lain menegaskan, "wah bisa berabe nih kita.."
Rekan-rekannya pun mengangguk-angguk.
"Habis kita nanti sama Hakim Haus Darah.." ucap salah seorang dari mereka.
Tak lama kemudian bersahut-sahutanlah ucap-ucapan di antara mereka sehingga Telaga tidak lagi dapat mengerti ucapan-ucapan itu. Hanya kata-kata "Hakim Haus Darah" yang jelas-jelas dapat didengarnya. Benar-benar menarik kata-kata itu. Menumbuhkan minatnya untuk lebih lanjut melihat kelanjutan dari peristiwa itu.
Setelah berunding sebentar kemudian mereka pun mengangkat mayat itu, yang dikenali sebagai Ki Rontok, dengan tandu dari kain yang mereka bawa. Bersama-sama mereka membawanya. Ujung-ujung kain itu dipegang oleh satu orang, sementara di tengah-tengahnya ada orang lain yang membantu. Enam orang membantu membawa jenasah Ki Rontok.
Telaga masih menunggu beberapa saat untuk melihat sampai orang-orang itu pergi. Untuk kemudian mengikuti. Ia ingin melihat lebih jauh apa yang akan terjadi dengan jenasah itu. Dan juga ingin melihat orang yang disebut-sebut sebagai "Hakim Haus Darah" yang terdengar ditakuti oleh orang-orang itu. Bersamaan pula ia ingin tahu apa peran dari ketiga orang itu. Orang-orang yang tadinya menyembunyikan bungkusan di dalam genangan itu, yang mengatur sehingga seolah-olah ditemukan oleh rombongan gadis-gadis yang akan mandi dan mencuci di sana.
Menunggu adalah pekerjaan yang membosankan. Tapi itu harus dilakoni Telaga. Ia tidak ingin terlihat berada di sana selama peristiwa itu terjadi. Bisa-bisa ia yang dituduh. Bisa-bisa fatal akibatnya. Untuk itu ia perlu meyakinkan diri agar tidak terlihat oleh siapapun saat meninggalkan tempatnya itu.
Akhirnya ia merasa yakin bahwa tidak ada lagi orang yang berada di sana, setidaknya dalam jarak yang bisa melihat dirinya. Ia kemudian beranjak untuk pergi ke arah orang-orang itu tadi menghilang. Ke sebuah jalan setapak di antara tiang-tiang batu. Saat ia bangkit dan hendak berputar ke arah pinggir genangan, tampak olehnya seorang tua sedang menatapi dirinya. Kehadirannya yang tak disadari Telaga itu membuat hampir copot jantung pemuda itu. Selain karena peristiwa yang baru terjadi itu, juga menandakan ketinggian ilmu meringankan tubuh dari si orang itu.
Orang tua itu tersenyum. Ia tahu kegundahan yang sepersekian saat tersirat di wajah pemuda itu, lalu katanya, "Jangan kuatir. Aku si orang tua, tahu siapa yang salah dan siapa yang benar."
Telaga hanya tersenyum kecut mendengar itu. Walaupun ia bukan pelaku dari peristiwa itu, tapi ia kedapatan sedang mengintip. Dan perbuatan itu bukanlah suatu perbuatan "benar".
Telaga tidak tahu harus berbuat apa, dipandangi sajalah orang tua itu. Tampak belum tua benar ia. Malah lebih ke arah seorang setengah baya yang tampak dituakan oleh masalah. Sehingga terlihat jauh lebih tua dari usia sebenarnya. Ketuaan yang dikarbit pemikiran yang tidak terkendalikan. Dari postur tubuhnya yang tegap dan dibalut kain bermotif kasar itu, terlihat tubuh yang terlatih. Tampak pula warna busana yang aneh, yaitu sebelah kanan biru muda dan sebelah kiri hijau muda. Telaga baru menyadari suatu keanehan lagi, yaitu bahwa orang itu memiliki kulit yang agak kehijauan. Keanehan ini dirasakan pula saat melihat orang-orang tadi, yang dari kejauhan terlihat seperti kebiruan. Tadinya dipikirnya karena warna pakaian mereka atau pantulan langit dan air. Akan tetapi setelah melihat orang tua ini dari dekat, yakinlah ia bahwa itu adalah warna kulit mereka. Warna-warna kulit yang aneh. Warna-warna yang dimiliki oleh Undinen, akan tetapi terdapat pada manusia seperti dirinya.
Orang tua itu pun masih mematut-matut Telaga, sibuk dengan pikirannya sendiri. Tak dibukanya percakapan, melainkan terus mengamat-amati Telaga. Seakan-akan ada sesuatu yang sedang dinilainya. Selang tak berapa lama, tiba-tiba menghilanglah ia ke arah kanan, setelah sebelumnya ia mendekat amat cepat ke arah Telaga, bergetar dadanya saat orang itu menyentuhnya perlahan untuk kemudian menarik kembali tanggannya dan pergi. Lamat-lamat dari kejauhan terdengar ucapannya, "kita akan bertemu lagi, anak muda. Teruskanlah perjalananmu dan puaskan keingintahuanmu! Dan ingat jangan sembunyikan kebenaran..!"
Bergidik Telaga menyaksikan halus dan tak terduganya gerakan orang tua yang belum dikenalnya itu. Dari caranya bergerak, lebih tinggi ilmu orang itu dari ayahnya dalam meringankan tubuh. Seram rasanya membayangkan orang itu menjadi lawannya.
Kata-kata "puaskan keingintahuanmu" mengingatkan Telaga akan rencananya semula untuk mengikuti orang-orang itu, orang-orang yang tadi membawa jenasah Ki Rontok. Dan juga perihal Hakim Haus Darah yang diomong-omongkan oleh mereka.
*** Desa Batu Barat dan Desa Batu Timur adalah dua buah desa yang berada di sekitar danau kecil Danau Genangan Batu di tengah-tengah Padang Batu-batu. Kedua desa itu berlokasi agak jauh satu sama lain dengan di tengah-tengahnya terdapat danau kecil tersebut. Umumnya jarang orang-orang dari mereka menuju danau itu jika tidak untuk mencuci atau berenang-renang. Untuk kebutuhan air minum, umumnya mereka dapat memperolehnya dari rembesan air yang keluar dari batu-batu di sekitar desa mereka.
Konstruksi rumah-rumah mereka pun agak sedikit menarik, bukan dibangun di atas bumi yang kadang-kadang berair di kawasan Padang Batu-batu melainkan di atas batu-batu atau tiang-tiang batu yang cukup besar dan kokoh. Di atas beberapa tiang batu setinggi pohon kelapa itu mereka lintangkan batu dan kayu membentuk semacam panggung. Di atas panggung tersebut baru dibangun rumah dari kayu atau bambu. Di Padang Batu-batu tidak banyak pepohonan yang dapat tumbuh, akan tetapi entah bagaimana dan dari mana orang-orang itu dapat memperolehnya. Mungkin mereka memang memiliki cara tersendiri untuk menumbuhkan pohon-pohon itu untuk kemudian mereka panen sebagai bahan pembuat rumah.
Kedua desa itu, Desa Batu Barat dan Desa Batu Timur, yang terletak sesuai dengan namanya di sebelah barat dan timur, dapat dibedakan dari penghuni-penghuninya. Di bagian barat tinggal orang-orang yang memiliki kulit agak kehijauan sedangkan di sebalah timur tinggal mereka-mereka yang memiliki kulit agak kebiruan. Pembagian itu sudah lama terjadi sejak nenek moyang mereka. Tidak banyak terjadi kawin campur di antara kedua penghuni desa yang belainan. Selain adat, juga ada rasa kesombongan dan merendahkan desa lain yang menghalangi pencampuran itu.
Akan tetapi jika ada orang-orang yang memandang golongan lain lebih rendah dan golongannya sendiri lebih tinggi, ada pula orang-orang yang menghargainya. Dan bahkan dapat saling jatuh cinta. Orang itu adalah Walinggih dari Desa Batu Barat dan Sarnini dari Desa Batu Timur. Sudah tentu hubungan mereka itu tidak direstui. Baik oleh kedua orang tua maupun penduduk dari kedua belah desa. Keduanya tidak peduli dan memilih tetap memelihara cinta mereka. Dan membangun sebuah rumah jauh dari kedua desa itu, agak ke selatan lagi dari Danau Genangan Batu.
Tahun-tahu berlalu dan keduanya hidup dalam penuh cinta dan kasih. Buah hati pun lahir dari rahim Sarnini. Seorang bocah yang memiliki warna kulit biru kehijauan atau hijau kebiruan. Perpaduan warna dari ayah dan ibunya. Walinggih dan Sarnini amat bangga terhadap anak mereka. Gembira hati mereka. Hanya sayang kegembiraan itu dinodai oleh rasa tidak senang beberapa orang baik dari Desa Batu Barat maupun Desa Batu Timur. Mereka tidak suka Walinggih dan Sarnini bahagia. Bila keluarga itu hidup tenteram dan bahagia sampai tua, akan terhapus mitos pertentangan antara kedua desa itu. Akan terjadi peleburan. Dan itu bisa menghancurkan mereka para pedagang, yang bisa-bisanya mengadu-adu Desa Batu Barat dan Desa Batu Timur agar dagangan mereka laku. Kedua kelompok ini, walaupun berasal dari desa yang berbeda tapi tahu sama tahu kegiatan mereka. Mereka biasa memanas-manasi penduduk salah satu desa, bahwa desa lain lebih maju karena adanya satu produk. Oleh karena itu supaya tidak ketinggalan, desa yang lain juga harus turut serta dengan membeli produk yang lebih baik. Selain itu terdapat pula semacam penjaga keamanan dari kedua kelompok yang seakan-akan menjaga keamanan, sementara konco-konco mereka dari kelompok yang berlawanan melakukan kerusuhan. Dengan adanya para penjaga keamanan, situasi menjadi aman dan terkendali. Pernah suatu saat warga desa tidak mau membayar pajak penjagaan, langsung saja terjadi perampokan dan penculikan, yang dituduhkan pada desa yang berlawanan.
Cara-cara ini sudah tentu tidak baik, hampir sama dengan para pedagang senjata yang mendapat untung bila ada konflik atau perang antar daerah. Tapi para pedagang atau preman ini tidak peduli. Bagi mereka Tigaan lebih penting. Budaya Tigaan ini pun mereka bawa dari luar Padang Batu-batu, saat mereka berdagang ke Kota Pinggiran Sungai Merah, jauh di barat daya sana. Di kota itu mendengar adanya dua desa yang berbeda dan tidak akur, seorang pedagang menjelaskan suatu cara berdagang yang lebih menguntungkan. Mengadu-domba. Dengan cara ini pasti akan lebih laku, jelasnya. Juga intimidasi seakan-akan adanya ancaman, untuk kemudian menawarkan jasa-jasa pengamanan. Kedua kelompok itu mengangguk-angguk setuju mendengar ide itu. Tigaan telah membutakan mereka akan semangat kebersamaan dan kekeluargaan kehidupan di desa. Yang penting untung dapat diraup. Perubahan sosial dan kultur menjadi ke arah yang lebih buruk bukanlah urusan mereka. Akibatnya keluarga Walinggih dan Sarnini menjadi ancaman bagi konflik antara kedua desa. Bila kedua desa bersatu, bisa tahu orang-orang bahwa hal-hal yang dipanas-panasi oleh para pedagang itu adalah bohong belaka. Hal ini tidak boleh terjadi. Oleh karena itu disepakati di antara kedua kelompok itu bahwa keluarga itu harus dibasmi. Kejamnya politik perdagangan. Bahkan dalam ruang lingkup sekecil itu.
Lalu diupahlah beberapa orang dari luar Padang Batu-batu untuk membunuh keluarga itu. Perlu diubah orang-orang yang cukup berilmu karena Walinggih sendiri memiliki ilmu beladiri yang cukup tinggi. Ia pernah merantau jauh ke utara dan menjadi guru orang pandai di sana. Mungkin akibat ilmunya itu pula, ia menjadi tak masalah memperistri orang dari Desa Batu Timur. Malam yang naas itu Walinggih kebetulan sedang berada di Danau Genangan Batu, bermalam untuk mencari sejenis ikan yang hanya muncul di malam hari. Ikan itu dapat dimanfaatkan untuk obat istrinya yang sedang sakit. Sebenarnya istrinya minta ditemani malam itu, akan tetapi mengingat sakit sang istri yang sudah berlarut-larut, Walinggih tak tega. Ingin ia mencari obat untuk kesembuhan istrinya itu. Minta tolong ke penduduk kedua desa, tidak mungkin. Ia dan keluarganya sudah seakan-akan dikucilkan.
Andai saja Walinggih ada di rumah, sudah tentu tidak mudah bagi Asasin untuk membunuh kedua anak dan istrinya. Asasin yang merupakan kelompok terdiri dari empat orang itu berhasil dengan mudah membantai Sarnini dan anaknya. Kemudian mereka menunggu Walinggih yang diduga akan pulang larut malam. Karena ditunggu-tunggu tidak datang. Akhirnya mereka, Asasin, pulang dan melaporkan itu kepada orang yang menyuruh mereka. Kedua kelompok pedagang. Sudah tentu kedua kelompok itu takut dan menyatakan, bahwa Walinggih pun harus dibunuh, bisa berabe nanti jika ia mengamuk, mengingat ilmunya yang tinggi. Akan tetapi para pembunuh tidak mau. Perjanjian mereka adalah dibayar satu hari satu malam untuk pekerjaan itu. Untuk kelebihan waktu, harus dibayar lain. Pulanglah mereka kembali ke kota mereka. Salah satu kota-kota di Pinggiran Sungai Merah di barat sana.
Walinggih yang baru saja pulang membawa ikan untuk obat istrinya yang sakit, seakan-akan tidak percaya pada penglihatannya. Ia melihat anak dan istrinya telah terbujur bersimbah darah di ruang tengah rumahnya. Bagai gila ia berteriak di tengah pagi buta. Menggiriskan hati suaranya, serta memekakkan telinga. Asasin sebagai kelompok pembunuh profesional biasa meninggalkan tanda di lokasi korban mereka. Sebagai bukti kesombongan mereka juga sebagai iklan bagi orang-orang yang ingin menggunakan jasa mereka. Akan tetapi dalam kasus ini berakibat fatal. Demi mengetahui bahwa pembunuhnya adalah Asasin, kelompok pembunuh bayaran terkenal, Walinggih memburunya ke kota tempat kelompok itu membuka layanannya. Dengan ilmunya yang telah mumpuni dan juga kemarahannya dibantainya semua orang yang ikut membunuh keluarganya, setelah sebelumnya dikorek keterangan siapa yang menyuruh mereka. Berbekal informasi itu kembalilah Walinggih ke Padang Batu-batu. Dicarinya satu-satu orang-orang dari kedua kelompok pedagang itu. Dihasibisinya langsung dengan pedang panjangnya. Dibelah persis di tengah-tengah. Simetris. Dan ditinggalkannya begitu saja. Tidak ada orang dari kedua desa itu yang bisa meredamnya.
Setelah semua orang yang bersalah habis. Walinggih pun kembali ke rumahnya dan meratapi nasibnya. Pandangannya berubah terhadap kerukunan. Tidak bisa kerukunan antara kedua desa itu dicapai dengan cara baik-baik, pikirnya. Ia akhirnya mengambil sikap. Jika ada pertentangan, tidak pedulu siapa yang mulai akan dibantainya. Ia kemudian menjadi musuh dari kedua desa itu, juga penolong. Orang-orang yang saling menimbulkan kerusuhan dibantainya. Orang-orang yang hidup rukun bersyukur karena ada dirinya. Ia kemudian dikenal sebagai Hakim Haus Darah karena kejamnya itu. Dalam setiap perkara kejahatan, biasanya harus ada yang tersembelih simetris, jadi dua bagian. Katanya suatu ketika, "potongan pedangku ini akan memisahkan sisi baik dan sisi jahatnya. Semoga arwahnya nanti damai di sana." Benar-benar pikiran yang gila. Tapi itulah kenyataannya. Mengingat kejamnya Walinggih yang hampir seperti jagal, membuat jarang orang mengadukan sesuatu kepadanya, kecuali kasus-kasus yang parah. Atau kadang Walinggih sendiri yang turun tangan apabila terjadi perkelahian antar kedua desa itu.
Akibatnya kehidupan menjadi tenang. Tiada lagi pertentangan di antar kedua desa itu. Akan tetapi bukan ketenangan sebenarnya, melainkan ketenangan dalam paksaan. Jika bertikai dan berlarut-laru, sampai Hakim Haus Darah turun tangan, fatal akibatnya. Yang tertangkap basah bertikai akan dibantai. Alasannya boleh berbicara belakangan. Telah pula ada upaya dari beberapa orang baik-baik untuk mengadukannya ke pemerintah pusat. Ya, walaupun Walinggih membuat keadaan tenang tanpa pertentangan akan tetapi bisa jadi suatu saat kehausdarahannya akan memakan korban yang tak bersalah. Orang yang terkena fitnah misalnya. Tapi tak ada balasan atau pun upaya dari pemerintah pusat mengenai hal itu.
Oleh sebab itu cemaslah penduduk Desa Batu Timur yang menemukan jenasah Ki Rontok yang adalah warga Desa Batu Barat. Ini bisa jad merupakan upaya untuk menyulut pertentangan. Bila terjadi pertentangan dan terdengar oleh Hakim Haus Darah, sudah pasti akan ada pembantaian. Terlepas dari siapa yang bersalah, sudah pasti fatal akibatnya dari kedua belah pihak.
*** Penduduk Desa Batu Timur pun berkumpul di pendopo desa mereka. Di tengahnya berbaring tubuh kaku Ki Rontok. Seorang pedagang dari Desa Batu Barat. Cemas-cemas tertampak dari wajah-wajah mereka. Ujung-ujung dari peristiwa ini yang akan menjadi masalah bagi mereka.
"Bagaimana ini, kepala desa?" tanya seorang warga.
"Lebih baik kita urus secara kekeluargaan dengan Desa Batu Barat, sebelum Walinggih mendengarnya," usul seseorang.
Beberapa mengangguk-angguk mengiyakan. Alternatif itu lebih baik. Jika orang-orang Desa Batu Barat mau menerima hal ini dan tidak mempersoalkan, akan selesai masalah. Tidak ada korban dari Walinggih, si Hakim Haus Darah. Akan tetapi siapa pelaku dari pembunuhan ini, perlu pula diusut.
"Ada yang bisa menceritakan, bagaimana kejadian sebenarnya?" tanya seorang tua-tua sambil menatap berkeliling.
Rombongan gadis-gadis yang tadi saat mencuci dan mandi di Danau Genangan Batu menemukan jenasah Ki Rontok saling dorong-mendorong. Sampai akhirnya terdorong ke tengah Sarini, gadis yang tadi tidak ikut mandi. Setelah tak mungkin mungkir sebagai wakil dari saksi mata, berceritalah Sarini tentang apa yang ia dan kawan-kawannya tadi lihat. Bagaimana mayat itu mulai mengapung dan ditemukan oleh mereka-mereka yang berenang-renang agak ke tengah.
Salah seorang dari ketiga orang yang dilihat Telaga tadi maju dan memeriksa korban. Kehadirannya tidak terlalu diperhatikan oleh para warga desa yang sedang tegang itu. Mereka masih membayangkan siapa yang akan nanti jadi sasaran dari Hakim Haus Darah. Kemudian kata orang itu setelah memeriksa, "lihat seperti ada bekas potongan dan kemudian dijahit kembali..!" katanya sambil menunjuk pada jenasah Ki Rontok yang telah dibuka bajunya.
Dan memang benar, seperti ditunjukkannya, bahwa dari ujung kepala sampai ke dada, terdapat suatu celah, seakan-akan Ki Rontok pernah dibelah dan direkatkan kembali.
"Mirip Potongan Simetris dari Hakim Haus Darah," gumam seorang takut-takut.
Berapa suara-suara lain pun mengiyakan.
"Jika demikian pasti Hakim Haus Darah pelakunya," ucap seorang.
Ucapan itu bagai hantu yang lewat di siang bolong. Suasana pun menjadi sunyi menakutkan. Seakan-akan sang Hakim Haus Darah ada sendiri di sana dan mendengarkan ucapan itu.
Bingunglah warga Desa Batu Timur mendengar ungkapan itu dan juga kenyataan bahwa Ki Rontok mati mengenaskan akibat Potongan Simetris. Sebuah jurus yang hanya dimiliki oleh Hakim Haus Darah, sejauh pengetahuan penduduk desa itu. Bagaimana ini dapat terjadi" Biasanya Hakim Haus Darah akan turun tangan bila terlebih dulu ada konflik, di mana konflik itu telah berlarut-larut sehingga menimbulkan pertempuran di antara dua desa. Saat itulah ia turun tangan. Tak pandang bulu. Semua pelaku pertempuran akan dibantainya habis dan dipotong masing-masing setiap orang menjadi dua bagian.
Jika sekarang Hakim Haus Darah sudah membunuh orang tanpa terlebih dahulu adanya konflik yang berwujud pertempuran, semakin merinding orang-orang Desa Batu Timur. Mereka membayangkan bahwa kapan saja mereka dapat dibantai oleh sang hakim tanpa perlu alasan yang jelas. Seperti halnya Ki Rontok, tak jelas alasannya, tahu-tahu sudah terbujur kaku di dalam danau.
Melihat orang-orang desa yang terdiam seribu bahasa, seorang yang agak tua tapi berwibawa angkat bicara, "warga desa yang terhormat, perkenalkan kami... Kami adalah tiga orang utusan dari pemerintah pusat. Berkaitan dengan laporan yang menyatakan adanya seorang pembantai yang dikenal sebagai Hakim Haus Darah di kawasan ini, kami datang untuk menangkapnya." Sementara orang yang tadi menunjukka bekas luka itu entah sudah hilang kemana.
Terdiam lagi penduduk desa mendengar pernyataan itu. Orang-orang yang semula dikenal hanya sebagai pedagang dari kota besar itu, ternyata adalah perwira-perwira yang menyamar. Mereka ditugaskan untuk menangkap Hakim Haus Darah. Kemudian diceritakan oleh mereka bahwa pengamatan akan sang hakim telah dilakukan lama sebelumnya. Akan tetapi dengan tidak adanya peristiwa "pembantaian" tak dapat sang hakim di tangkap. Perintah dari pusat adalah bahwa harus terjadi peristiwa saat pengamatan dilakukan dan akan dijalankan penangkapan. Dengan adanya peristiwa ini, sebagai bukti, dapatlah sang hakim saat ini ditangkap.
Beberapa orang yang selama ini merasa tertekan dengan kehadiran Hakim Haus Darah bersorak dalam hatinya. Sementara yang lain, dengan tanpa adanya sang hakim telah hidup dengan damai, agak menyesalkan juga kedatangan ketiga perwira itu. Mereka yang terakhir ini kuatir, apabila Hakim Haus Darah ditangkap, akan kembali ke masa lalu keadaan di sini. Dikuasai kembali oleh para preman dan pedagang. Tapi orang-orang ini tak berani menyuarakan hatinya.
Lalu kata seorang dari ketiga perwira itu, "ada baiknya bila kita menghubungi orang-orang dari Desa Batu Barat. Kita berkumpul untuk menuju ke kediaman Hakim Haus Darah. Kalian penduduk desa, hanya perlu menjadi saksi. Kami yang akan menangkap sang hakim. Tak perlu takut!"
Orang-orang desa yang sedang dicekam kebingungan itu tak tahu harus berbuat apa. Sang kepala desa tampaknya membiarkan saja ketiga orang yang mengaku perwira dari pemerintah pusat itu mengatur-atur. Tak lama kemudian dikirim kabar ke Desa Batu Barat mengenai apa yang terjadi dan agar mereka berkumpul di kediaman Hakim Haus Darah, untuk bersama-sama dengan warga Desa Batu Timur menjadi saksi penangkapan sang hakim. Rencana itu akan dilaksanakan besok pagi, karena saat ini hari telah menjelang senja.
Sementara itu jauh di ujung pelosok desa tampak seorang pemuda berjalan perlahan-lahan memasuki pintu desa. Telaga adalah pemuda itu. Masih berdebar-debar ia mengingat pertemuannya dengan orang tua berbaju kasar dua warna itu. Tak ingin ia melibatkan diri sebenarnya, tapi rasa ingin tahunya mengalahkan nalar untuk menyelamatkan diri. Ingin dicarinya keterangan, bagaimana akhir dari peristiwa ini.
Dilihatnya kerumunan orang dikejauhan telah bubar. Masing-masing orang bergegas berjalan ke arah masing-masing. Tak tahu harus ke mana, Telaga menuju ke suatu warung makanan yang ada di pinggir jalan. Ditujunya sebuah meja yang masih kosong. Beberapa meja telah terisi oleh orang-orang yang berkumpul dan berbicara dengan meriah. Sebagian orang berasal dari kerumunan tadi, sebagian tetap duduk di meja untuk mendengarkan hasil pendengaran rekannya yang bergabung dalam kerumunan tadi.
"Mau makan apa, nak?" sapa seorang pelayan yang menghampiri meja Telaga dengan ramah.
"Yang murah saja, paman," jawab Telaga sopan. Lalu tanyanya sambil lalu, "ada peristiwa besar ya, paman" Kok orang-orang itu pada sibuk ngobrol-ngobrol."
"Ya, nak. Anak pasti bukan orang sini," katanya sambil melihat Telaga. Sudah jelas dapat terlihat dari warna kulit dan juga pakaian yang dikenakan Telaga. Sudah banyak memang pedangan dan orang luar yang berdiam di sini sejak Hakim Haus Darah "memerintah", akan tetapi tetap saja penduduk asli kedua desa adalah mereka-mereka yang berkulit kebiruan dan kehijauan.
"Iya, paman. Saya lagi merantau. Saya berasal dari utara," jawabnya cepat. Tak ingin ia membicarakan asal-usulnya kepada orang yang belum dikenalnya.
Mengangguk-angguk sang pelayan mendengar jawaban yang sopan akan tetapi pendek dan tegas itu. Lalu dengan senang hati diceritakannya apa yang terjadi. Mengenai ditemukannya jenasah Ki Rontok oleh gadis-gadis yang sedang mencuci dan mandi. Lalu munculnya dugaan bahwa itu dilakukan oleh Hakim Haus Darah dan juga adanya perwakilan dari pusat, tiga perwira, yang ditugaskan untuk menangkap Hakim Haus Darah. Sudah tentu cerita itu ditambah-tambahinya dengan bumbu-bumbu sehingga semakin menarik dan dramatis.
Telaga yang telah tahu sebagian besar kejadian sebenarnya hanya tersenyum menangguk-angguk, sambil sesekali memberi komentar pendek dan bertanya sana-sini. Semua dijawab dengan lancar oleh sang pelayan, yang amat senang ceritanya dilayani dengan antusias. Sampai-sampai ia kemudian dipanggil oleh atasannya untuk melayani. Dikatakan bahwa ia bertugas mencatat dan mengantarkan pesanan, bukan bercerita. Dengan malu-malu sang pelayan meminta maaf sambil kembali menegaskan pesanan yang diminta Telaga. Kemudian ditinggalkannya Telaga.
Tak berapa lama pesanannya pun datang. Cukup sederhana Pepes Keuyeup, Gule Julung-julung, Daun Singkong Bakar dan Sejumput Sagu Rebus. Takjub pula Telaga melihat makanan yang belum pernah dilihatnya dipadukan sedemikian rupa. Agak ragu dicobanya makanan-makanan itu. Rasa aneh tapi lezet tercipta saat rupa-rupa makanan itu menyentuh lidahnya. Tiada lagi ragu sekarang, dilahapnya semua yang dihidangkan sampai licin tandas. Setelah selesai dipanggilnya lagi pelayan itu dan dibayarkannya makanan yang tadi telah disantapnya.
Sekarang Telaga tak tahu harus bagaimana, perut telah terisi dan hari telah menjelang malam. Ia tidak punya tempat menginap. Di desa itu kelihatannya hanya ada warung itu dan tidak penginapan. Dicarinya sebuah tempat di antara batu-batu untuk merebahkan badannya. Dipilihnya suatu legokan yang terletak agak di luar desa. Saat akan merebahkan dirinya, tampak olehnya pelayan yang di warung tadi. Begitu melihat dirinya, pelayan itu pun tersenyum dan menghampiri, lalu sapanya, "tidak tidur di rumah nak?"
"Maaf, paman. Saya tidak kenal siapa-siapa di sini. Jadi bermalam saja saya di luar. Sudah biasa kok," jawabnya sopan.
"Marilah mampir," katanya, "kebetulan saya tinggal hanya dengan putri saya. Cukup tempat bagi kami untuk masih menampung satu orang lagi. Marilah..!" Tangannya sambil menggapai mengisyaratkan Telaga untuk ikut padanya.
Maka berjalanlah mereka berdua menuju rumah paman pelayan itu, yang kemudian memperkenalkan dirinya sebagai Arasan. Arasan tinggal di rumah itu hanya dengan putri satu-satunya. Istrinya telah meninggal karena sakit, sejak putrinya masih kecil. Arasan mengatakan pada Telaga bahwa rumahnya agak di luar desa letaknya. Ia lebih suka kesunyian saat beristirahat, akan tetapi suka keramaian saat bekerja. Itulah sebabnya mengapa ia bekerja sebagai pelayan. Dengan bekerja sebagai pelayan dapatlah ia banyak bercakap-cakap dengan pengunjung, sebagaimana dilakukannya tadi dengan Telaga. Dan juga bisa banyak informasi yang diperolehnya dari orang-orang yang mampir untuk makan di warung tempatnya bekerja itu.
Tak berapa lama sampailah mereka di sebuah rumah yang cukup sederhana apabila dibandingkan dengan rumah-rumah di atas batu yang terdapat di dalam Desa Batu Timur. Tidak dihias macam-macam, melainkan hanya berwarna alami. Batu dan kayu belaka. Akan tetapi lingkungannya yang masih alami dan juga adanya sebuah aliran kecil air di dekatnya, membuatnya lebih terlihat natural ketimbang rumah-rumah di atas batu yang telah ditambah-tambahi pernak-pernik.
"Beda ya, sama yang di dalam desa..?" pancing Arasan. "Saya tidak suka aneh-aneh seperti orang-orang. Selain tidak bagus juga mahal."
Telaga mengangguk-angguk, lalu jawabnya, "bagus juga, paman. Malah lebih terlihat alami dan cocok dengan lingkungannya. Tidak terlihat asal dalam menatanya." Lalu tanyanya, "Paman sendiri yang buat?"
Arasan tersenyum menggeleng, "bukan, tapi putriku. Nanti kuperkenalkan. Senang pasti hatinya, bertemu dengan orang yang memuji hasil karyanya."
Bertanya-tanya Telaga dalam hati, bagaimana rupa dari putri Arasan. Sekilas dibayangkannya apabila begitu wajah Arasan, pastilah ada mirip-mirip darinya pada wajah putrinya. Seakan-akan pernah dirinya melihat wajah itu. Tapi lupa.
Lalu naiklah mereka ke atas rumah melalui sebuah tangga batu yang dipahat sedemikan rupa pada batu-batu sebesar lima-enam kerbau bunting itu. Sampai depan rumahnya, berseru Arasan memanggil putrinya,
"Sarini, putriku! Ayah pulang. Lihatlah ada tamu kubawa serta.."
Tak lama menyahut suara dari dalam rumah itu, "Ayah, selamat datang."
Lalu muncullah putri Arasan. Hampir berhenti jantung Telaga begitu melihat wajah gadis itu. Wajah salah seorang gadis yang dilihatnya tadi di Danau Genangan Batu. Untung saja gadis itu tidak tahu bahwa ia ada di sana. Walaupun ia tidak mengintip mereka dengan sengaja, tetap saja ia merasa malu. Arasan yang tidak mengerti duduk persoalannya, merasa bahwa Telaga adalah pemuda yang masih malu-malu terhadap seorang gadis. Seorang pemuda yang lugu.
"Mari.., mari masuk..!" ajaknya.
Sang gadis pun mempersilahkan ayahnya dan tamu ayahnya masuk. Diambilnya barang-barang ayahnya yang merupakan bahan makanan bagi mereka besok pagi. Biasanya keluarga itu makam malam terpisah. Sarini makan sendiri, sedangnya ayahnya telah makan di warung tempat ia bekerja. Telaga juga kebetulan telah makan tadi di sana. Jadi tidak ada acara makan malam saat itu.
Rumah itu cukup besar, dengan tidak terdapat ruangan lain di dalamnya. Akan tetapi terdapat sekat-sekat dari daun kelapa yang berfungsi membentuk ruang. Ruang depan dan ruang belakang, tempat yang berfungsi sebagai dapur. Arasan pun meluruskan kakinya pada salah satu sudut dari ruang depan. Telaga mengikutinya. Tak lama kemudian muncul Sarini membawa sejenis minuman yang dihidangkan dalam gelas atau mangkuk yang terbuat dari batok kelapa yang dipancung atasan. Bibuat sedemikian rupa sehingga pada salah satu ujungnya ada tempat untuk meletakkan bibir, sehingga mudah untuk mengunakan gelas atau mangkuk itu untuk menghirup isinya.
Setelah sedikit melepaskan lelah kemudian mereka pun terlibat dalam pembicaraan, terutama pembicaraan mengenai peristiwa yang terjadi hari ini yang berkaitan dengan kasus Hakim Haus Darah. Juga mengenai munculnya ketiga perwira yang akan menangkap sang hakim. Ibu Sarini ternyata bukan berasal dari desa ini melainkan dari Desa Batu Barat. Mirip seperti kasus Walinggih si Hakim Haus Darah. Akan tetapi Sarini tidak mewarisi kulit ibunya, melainkan ayahnya. Jika orang tidak mengenal sejarah keluarga itu, pastilah dikira bahwa Sarini merupakan penghuni asli Desa Batu Timur.
Tak lama kemudian mereka tidurlah. Memang sudah menjadi kebiasaan keluarga yang terdiri hanya dari anak dan ayah itu tidur tidak terlalu larut. Salah satu hal karena mereka harus bangun pagi-pagi untuk kembali bekerja, juga secara diam-diam Arasan ternyata adalah seorang berilmu juga. Ia melatih anaknya Sarini diam-diam, hanya di pagi hari. Di saat orang-orang belum bangun. Hal ini diketahui Telaga pada esok paginya.
"Huut, hyaaaaa..!" teriak suara seorang gadis. Sambil meloncat disabetkan tangannya miring ke atas menuju kepala seorang tua di depannya. Orang tua itu mengelak tipis, memutar tubuhnya, menangkap tanggan yang lewat lembat karena telah mencapai batas sendinya, menekuk dan melemparkan gadis itu. Alih-alih terjatuh, gadis itu bersalto sekali di udara dan mendarat dengan teguh pada kedua kakinya. Pendaratan yang ringan, hampir tidak memperdengarkan suara, hanya terdengar napasnya yang tersengal sedikit. Dan sedikit keringat menetes pada wajahnya yang manis kemerahan itu. Gadis itu adalah Sarini dan orang tua itu adalah Arasan. Mereka berdua sedang melatih ilmu keluarga mereka Sabetan dan Tangkapan Tangan. Ilmu beladiri tangan kosong yang menggunakan telapak tangan untuk menyabet bagian-bagian tubuh seperti kepala dan pundak leher. Juga adanya tusukan-tusukan, tetap dengan menggunakan telapak tangan yang dibuka. Tujuaannya adalah ulu hati dan tengah hidup di antara kedua mata. Selain serangan ada pula tangkisan dan tangkapan. Barusan yang diperagakan oleh Sarini adalah jurus Menebang Kelapa dan dibalas oleh ayahnya dengan jurus Berkelit Membanting Padi, mirip gerakan-gerakan membanting-banting rumput padi yang ingin dirontokkan butir-butiran gabahnya.
Terbangun oleh hentakan-hentakan itu, Telaga lalulah turun dan menyaksikan dari dekat penyebab bunyi-bunyian itu. Kedua orang yang sedang berlatih itu menyadari kehadirannya dan menghentikan latihan dan kemudian menyapanya. Tanpa berbasa-basi lebih lanjut Arasan kemudian mengajak Telaga untuk ikut berlatih. Ia memperagakan sedikit-sedikit gerakan dan menyuruh Arasan untuk menirukannya. Dikarenakan telah mempelajari Tenaga Air, dapat dengan mudah Telaga menirukan gerakan-gerakan yang pada dasarnya lemas itu. Sampai pada gerakan yang menghentak, agar susah ia mencobanya.
"Nak Telaga, pernah belajar ilmu beladiri?" tanya Arasan begitu melihat kemudahan Telaga dalam menirukan jurus-jurus lemas yang diperagakannya.
"Belum, paman Arasan. Saya hanya belajar cara menghimpun hawa saja," jawabnya jujur.
"Ah, itu sebanya engkau bisa menirukan dengan baik jurus-jurus lemas tapi tidak yang menghentak," kata Arasan sambil mengangguk-angguk. Lalu tanyanya kemudian, "boleh paman tahu apa nama ilmu penghimpun hawa yang engkau telah pelajari?"
Ragu sejenak Telaga mendengar pertanyaan itu, ia tidak tahu apakah pertanyaan itu harus dijawab apa tidak. Sebagai keturunan terakhir Pelestari Ilmu dari Tenaga Air sudah seharusnya ia merahasiakan hal itu.
Melihat keragu-raguan Telaga, berkatalah Arasan kemudian, "tak perlu kau katakan pun, kelihatannya aku dapat menebak asal ilmumu. Engkau pernah berkata bahwa engkau datang dari utara. Salah satu penerus ilmu-ilmu lemas adalah sebuah keluarga yang tinggl di Danau Tengah Gunung di Gunung Berdanau Berpulau di utara Padang Batu-batu. Guruku pernah bercerita mengenai mereka itu. Orang-orang yang hanya melatih Tenaga Air, akan tetapi tidak melatih bagaimana cara menggunakannya. Mereka hanyalah orang-orang yang bertugas sebagai Pelestari Ilmu dari Tenaga Air. Betulkan demikian?"
Telaga hanya tersenyum kecut begitu mendengar uraian Arasan. Banyak pengalaman ternyata paman yang berkerja sebagai pelayan di warung ini. Tak terlihat dari sosoknya yang sederhana.
"Marilah, nak Telaga. Guruku sendiri pernah berujar, sayang sekali bahwa orang-orang Pelestari Ilmu Tenaga Air itu tidak mempelajari ilmu bela diri. Mereka memang melestarikan ilmu itu tapi tidak mengamalkannya. Suatu saat jika ada kelompok yang tidak suka pada mereka, bisa saja mereka ditumpas dan ilmu-ilmu penghimpun hawa itu akan punah selamanya," jelasnya kemudian.
"Paman Arasan..," tanya Telaga bimbang, "bolehkan saya mengangkat paman sebagai guru.., maksud saya belajar ilmu beladiri dari paman.."
Tersenyum Arasan mendengar permintaan itu. Benar pikirnya. Anak muda ini bukanlah seorang pemuda biasa. Sudah tentu senang hatinya menjadi guru seorang pemuda yang telah mempelajari Tenaga Air.
"Sudah tentu, nak Telaga. Tapi jangan panggil aku guru. Dan hal ini harus dirahasiakan bahwa kamu belajar ilmu beladiri dari aku. Perihal mengapa, suatu saat akan kami ceritakan," jawabnya.
Telaga pun mengangguk. Mulai pagi itu Arasan pun mengajarkan ilmu-ilmunya, yaitu Sabetan dan Tangkapan Tangan. Awalnya Telaga memang terlihat tertinggal bila dibandingkan dengan Sarini akan tetapi lambat laun ia dapat menyusul dan terlihat lebih pandai, terutama untuk gerakan-gerakan yang memanfaatkan kelemasan. Ini sudah tentu dibantu dengan hawa dalam yang telah dimilikinya, yaitu Tenaga Air.
Setelah matahari mulai sedikit tampak, mereka pun menghentikan latihan. Arasan memang sembunyi-sembunyi dalam melatih anaknya Sarini. Ia tidak ingin dikenal sebagai seorang yang bisa ilmu bela diri. Ia ingin hidupnya aman-aman saja. Akan tetapi sebagai seorang ayah, sudah tentu ia tidak bisa selamanya bersama-sama dengan putrinya terus-menerus dan menjaganya. Untuk itulah ia mengajari putrinya ilmu Sabetan dan Tangkapan Tangan, untuk menjaga diri belaka.
Setelah sarapan Arasan dan Sarini mengajak Telaga untuk mengikuti kelanjutan peristiwa yang terjadi kemarin di daerah itu, yaitu penangkapan Hakim Haus Darah. Hari ini Arasan tidak bekerja, juga warung tempatnya menjadi pelayan tidak buka. Hal ini dikarenakan semua penduduk dari kedua desa akan berada di kediaman Hakim Haus Darah untuk memenuhi himbauan dari ketiga orang perwira dari pemerintah pusat, yang katanya akan menangkap Hakim Haus Darah atas tuduhan membunuh Ki Rontok.
Dalam perjalanan mereka apabila bertemu dengan orang-orang desanya, Arasan selalu memperkenalkan Telaga sebagai anak dari saudara jauhnya di kota besar, yang saat ini sedang menginap di tempatnya. Dengan cara itu orang-orang tidak akan curiga bahwa Telaga berguru kepadanya. Lagi pula saat itu topik mengenai Hakim Haus Darah sedang pada puncaknya, tidaklah keberadaan Telaga menjadi perhatian orang. Telaga dalam pada itu tak lupa menceritakan mengenai apa yang dilihatnya waktu ia berada di Danau Genangan Batu, tentu saja dengan muka merah mengingat adanya Sarini di situ. Sarini yang mendengar cerita itu amat tertarik, selain juga menjadi malu. Untung saja ia saat itu tidak ikut mandi bertelanjang tubuh. Jika tidak, pastilah seluruh penjuru tubuhnya telah dilihat Telaga dari kejauhan. Arasan mendengarkan cerita Telaga dengan serius, lalu usulnya agar Telaga untuk sementara menyimpan rahasia itu di tengah mereka bertiga dan juga kakek aneh yang ditemuinya itu. Arasan berpendapat bahwa jika persoalannya menjadi genting, bisa-bisa Telaga tersangkut-paut. Belum lagi alasan mengapa ketiga perwira pemerintah pusat itu menyembunyikan mayat Ki Rontok di legokan dalam Danau Genangan Batu. Masih banyak misteri yang tersimpan dalam peristiwa itu. Baiknya Telaga berhati-hati dulu. Mendengar alasan dan nasihat itu Telaga pun mengiyakan. Lalu berbicaralah mereka hal-hal lain yang lebih ringan, melihat sudah banyak orang yang berpapasan dan juga berjalan bersama-sama mereka ke tempat kediaman Hakim Haus Darah.
*** Telah berkumpul banyak orang di suatu tempat agak jauh ke selatan dari Danau Genangan Batu. Tempat kediaman Hakim Haus Darah, Walinggih. Sebuah rumah di atas batu, tampak sederhana. Di hadapannya tampak halaman atau bebatuan lapang cukup luas. Terlihat guratan-guratan pada halaman berbatu itu. Sesekali seperti guratan kaki, akan tetapi juga tampak seperti guratan yang dibuat menggunakan logam panjang. Pedang mungkin. Orang-orang yang pernah melihat Hakim Haus Darah melatih ilmunya, dapat mengenali bahwa gurata-guratan itu merupakan hasil peninggalannya saat ia berlatih pedang panjangnya di pelataran itu. Meninggalakn jejak kaki di atas tanah batu dan juga angin sabetan-sabetan pedangnya.
"Walinggih atau yang dikenal sebagai Hakim Haus Darah, keluarlah engkau..!" salah seorang dari tiga perwira perwakilan pemerintah pusat itu.
Sunyi tak terdengar jawaban. Penduduk yang mendengar ucapan itu menjadi merinding. Belum pernah sampai saat itu mereka mendengar ada orang yang berani menyapa Walinggih seperti itu. Baru kali ini. Mereka, para penduduk kedua desa berada pada keadaan terjepit. Ingin tidak hadir, akan tetapi berarti melawan wakil dari pemerintah pusat. Ingin ikut tapi jerih terhadap Walinggih.
Tak lama kemudian tampak pintu rumah di atas batu itu berderit terbuka. Seorang tua muncul dari dalamnya. Hampir saja Telaga menyeru perlahan karena miripnya wajah orang itu dengan orang tua yang ditemuinya di Gunung Genangan Batu saat dulu itu terjadi. Tapi setelah diperhatikannya dengan seksama, tampak perbedaan-perbedaan yang ada pada orang yang baru keluar itu. Memang sama-sama tua, dan tua karena pikiran, akan tetapi orang ini, Walinggih masih terlihat lebih segar dibandingkan orang tua kemarin. Juga rambutnya berbeda. Orang tua kemarin sudah putih semua, sedangkan Walinggih masih tercampur-campur antar rambut yang putih dan hitam. Hanya ada satu persamaan, yaitu baju yang dipakainya. Sama seperti yang dikenakan oleh orang tua kemarin dulu itu, yaitu sebelah berwarna kanan biru muda dan sebelah kiri berawarna hijau muda. Tapi tidak seperti orang tua kemarin yang berbusana bersih, baju Walinggih tampak kotor oleh bercak-bercak coklat kehitaman. Seperti bercak darah yang mengering.
"Huh, mau apa kalian orang-orang desa kemari?" jawabnya kasar. "Ada yang mau disembelih?"
Kecut hati sebagian hati orang-orang mendengarnya. Hanya beberapa yang cukup berilmu tidak, termasuk di antaranya ketiga perwira dari pemerintah pusat, Sarini, Arasan ayahnya dan Telaga. Juga beberapa orang yang berdiri di kejauhan, di atas batu tinggi. Ketiga orang yang pernah dilihat Telaga di Danau Genangan Batu tampak di antara orang-orang tersebut.
"Walinggih atau Hakim Haus Darah, kami tiga orang wakil dari pemerintah pusat, atas permintaan dari kedua desa ini hendak menangkapmu atau tuduhan telah membunuh Ki Rontok dari Desa Batu Barat," terang seorang dari mereka sambil dilemparkannya sebuah gulungan kertas. Kertas yang berisi perintah untuk menangkap Walinggih.
Lemparan itu bukan sembaran lemparan. Dalam jarak yang cukup jauh orang masih dapat mendengar deru gulungan itu. Kertas yang ringan akan tetapi dapat menderu dan menempuh jarak setinggi pohon kelapa untuk mencapai Walinggih yang berada di depan pintu rumahnya, menandakan kuatnya tenaga yang dimiliki oleh perwira tersebut.
Walinggih dengan santainya menangkap sambitan itu, membacanya sekilas kemudian lemparkannya melambung turun. Bersamaan dengan itu diayunkan pedang pajangnya menyilang beberapa kali dengan kecepatanya yang sukar diikuti oleh mata. Saat ia menapakkan kakinya dengan berdebam di atas bebatuan di pelataran di depan rumahnya. Turun potongan-potongan kertas perintah penangkapan atas dirinya tadi. Halus bagai salju atau serbuk sari bunga yang terbawa angin. Benar-benar ilmu pedang yang dahsyat.
"Hmm..," kata seorang dari mereka bertiga, "apakah itu artinya bahwa engkau menolak perintah pemerintah pusat?"
Walinggih tersenyum jumawa, lalu katanya, "Bila pedang sudah bicara, tak perlu ada kata-kata lagi. Mana pemerintah pusat saat di sini ada penekakan oleh pedagang dan preman" Mana pemerintah pusat waktu keluargaku dibantai" Giliran sekarang sudah beres, baru datang. Huh!"
Seorang dari ketiga perwira itu masih berusaha membujuk, "serahkan dirimu, Walinggih! Kami akan beri peradilan bagimu. Juga dengan melihat latar belakang tindakanmu itu. Biarkan hakim sebenarnya yang memutuskan."
Alih-alih menyetujui saran itu, Walinggih malah mendengus dan meludah ke kanan-kirinya. Melihat penghinaan itu dan juga sikap bahwa ia masih mengandalkan kekuatannya, ketiga perwira itu saling bertukar pandangan mata. Lalu secara bersamaan mereka bergerak maju.
Ketiganya telah mengelilingi Walinggih. Bersenjatakan tongkat setinggi pinggang. Dua buah. Satu di tangan kanan dan satu di tangan kiri. Tongkat khas penjaga penjara para tahanan. Ketiganya kemudian menyerang bersamaan. Satu menyabet ke arah kepala, yang kedua ke arah perut dan yang ketiga ke arah kaki. Hampir tertutup semua ruang gerak Walinggih, diserang dari ketiga arah pada ketiga ketinggian yang berbeda. Benar-benar serangan yang lengkap.
Akan tetapi bukan Hakim Haus Darah apabila dengan serangan seperti itu dapat langsung ditumbangkan. Dengan tenang ia melangkah mundur mendekati orang yang menyabetkan tongkatnya ke arah kepalanya. Ditundukkan kepalanya sehingga serangan itu luput. Akibat mundurnya itu, dua serangan yang di depan kiri dan kanannya pun tak mengena. Bersamaan dengan itu diayunkan pedang panjangnya ke kiri dan kanan. Pedangnya lebih panjang dari tongkat ketiga orang itu, akibatnya kedua orang yang menyabet kaki dan perutnya terpaksa mundur setelah serangan mereka gagal. Tidak sempat ada serangan kedua karena pedang Walinggih telah mendekati. Hampir mencium perut-perut mereka.
Selagi orang yang di belakang Walinggih tertegun melihat serangannya gagal, diputarnya pedang panjangnya sedemikian rupa sehingga ujungnya berarah ke belakang. Lalu dihujamkannya ke arah di mana orang itu berada. Tak diduganya bahwa Walinggih akan menyerangnya tanpa membalikkan badanya membuat kewaspadaan orang itu berkurang. Untung saja refleksnya masih bekerja, digesernya badannya sedikit ke samping sehingga pedang Walinggih hanya menderukan angin di pinggir kulit pinggangnya.
Bekeringat dingin ketiga perwira itu. Dalam serangan pertama, dalam satu jurus mereka hampir dikalahkan oleh Walinggih. Serangan mereka yang umumnya membuahkan hasil dapat dimentahkan dengan serta-merta.
"Bagus..!" ucap salah seorang dari mereka.
Kembali ketiganya maju serantak, tapi kali ini tidak berani sekaligus menyerang melainkan satu per satu. Saat satu orang menyerang, temannya membantu dengan menjaga serangan balik Walinggih. Cara ini ternyata lebih berhasil, sulit Walinggih menyerang balik dengan tepat. Ada dukungan dari kawan di kiri-kanan dari sasarannya.
Pertempuran itu pun berlangsung seru. Sudah setengah hari tiada tanda-tanda akan berkesudahan. Matahari sudah menempati titik kulminasinya. Sebagai seorang manusia, sudah pasti dimiliki batas daya tahan untuk terus bertempur. Bagitu pula dengan ketiga orang perwira itu. Mereka tidak biasanya menangkap para penjahat sampai selama ini. Belum pernah sebelumnya. Pada Walinggih tidak terlihat tanda-tanda ia menjadi lelah. Mungkin kegilaannya itu yang membuat ia tidak bisa lelah. Menyadari bahwa jika pertempuran berlarut-larut berlangsung, dapat saja kekalahan menyambangi pihaknya, salah seorang dari ketiga perwira itu memberi isyarat pada sekelompok orang yang berdiri di atas batu tinggi di kejauhan. Kelimanya bergerak ringan, turun dari batu dan bagai melayang tiba di arena pertempuran.
Semakin kecut penduduk kedua desa melihat bahwa akan ada lagi tokoh-tokoh yang berlaga. Arasan, Sarini dan Telaga juga semakin tertarik melihat bahwa kelima orang yang tadi tak begitu jerih pada Walinggih ternyata juga orang-orang yang berilmu.
"Hehehe, akhirnya muncul juga orang-orang Asasin," kata Walinggih begitu melihat kedatangan lima orang itu. "Jadi begitu...! Perwira wakil pemerintah pusat bekerja sama dengan pembunuh bayaran. Hahahaha, benar-benar 'penegakan hukum'."
Tak terpancing emosi ketiga perwira itu juga para Asasin. Lalu ucap salah seorang perwira, "Walinggih, urusan apa pekerjaan mereka kami tidak tahu-menahu. Mereka-mereka ini hanya membantu kami dalam menunaikan tugas untuk menangkapmu. Itu saja."
"Hehehe, tak usah berpura-pura," kata Walinggih, "sudah jelas mengapa dulu wakil pemerintah tidak datang, rupanya sudah sekongkol pemerintah dengan preman-preman dan pembunuh bayaran."
Mendengar itu berkecamuk pikiran dalam benak Telaga. Sedari tadi belum sekalipun Walinggih mengaku telah membunuh Ki Rontok. Dan dengan adanya kelima orang itu, yang disebut sebagai Asasin. Di mana tiga di antaranya adalah orang-orang yang dilihatnya menyembunyikan mayat, menjadi semakin bingun Telaga. Masih dicobanya untuk memahami kejadian itu. Saat itu tangan Sarini menyentuh tangannya lembut, dengan isyarat dikatakannya bahwa Telaga sebaiknya tidak berbicara mengenai apa yang dilihatnya itu.
Kedelapan orang yang telah mengurung Walinggih itu, alih-alih menjawab pernyataanya, malah bergerak berputar, langsung menyerang. Dongkol pula Walinggih bahwa ucapannya tidak ditanggapi. Di tariknya pedang panjangnya ke dadanya sehingga ujungnya menghadap ke atas. kakinya meregang terbuka selebar dada. Satu ke depan satu ke belakang. Ia sedang merapal jurus Sabetan Tunggal Menuai Dua, yaitu suatu jurus dari ilmu pedang panjangnya, di mana dalam satu serangan dua titik yang dituju. Dua titik dari dua orang lawan yang berbeda. Biasanya dua titik itu berada bukan pada dua orang lawan yang berdekatan atau berurutan melainkan berseberangan. Dengan cara ini biasanya dua orang lawan tidak akan sadar bahwa mereka berdua yang akan dituju. Lain halnya bila dua orang yang berurutan yang menjadi sasaran. Teman sebelahnya tentu waspada apabila rekan terdekatnya sedang diserang.
Walinggih belum tahu berapa lihai kelima orang Asasin yang beru berlaga itu. Ia pun tak punya waktu untuk mencari tahu. Dari pikirannya, dipandang mereka lebih lemah dari ketiga perwira perwakilan pemerintah pusat itu. Jika tidak, mengapa mereka butuh ketiga perwira itu untuk membalaskan dendamnya. Dugaan itu tidak salah. Kelima orang itu memang ingin membalaskan dendam kepada Walinggih atas pembunuhan yang dilakukannya pada rekan-rekan mereka dulu. Saat Walinggih membalaskan dendam atas kematian keluarganya. Sebagai seorang pembunuh bayaran, Asasin tidak mengerti kesedihan Walinggih. Pembunuhan bagi mereka adalah suatu profesi. Akan tetapi para Asasin pun menyadari bahwa Walinggih bukan orang sembarangan. Mereka saja tidak akan mampu menanganinya, untuk itu mereka berpura-pura meminta pertolongan pada pemerintah pusat, sehingga ketiga orang perwira itu dikirim.
Sebelum kedelapan orang itu bergerak, telah dengan cepat Walinggih mendahului menyerang. Diserangnya salah seorang Asasin yang berada di kirinya dengan tipuan tusukan. Akibatnya rekan-rekannya berupaya melindungi. Dengan menggunakan saat yang tepat diubahnya serangan itu ke arah dua orang di kanan dan belakangnya. Dua orang yang jauh dari sasaran pertama, juga kedua Asasin, tidak sadar akan kembangan serangan dari Walinggih. Mereka masih tenang karena merasa berada pada jarak yang aman.
"Settt...!" serangan kedua membuahkan hasil. Sasaran itu tertusuk pada pinggangnya dan berguling ke samping. Tak berhenti diputarnya pedangnya ke atas kepala dan dibacokkan ke tujuan berikutnya.
"Cappp...!" serangan ini pun membuahkan hasil. Terbelah simetris Asasin ini. Tak sempat ia menghindar karena masih terpesona pada luka yang diderita rekan sebelumnya.
Melihat hasil ini, keenam orang yang tersisa segera melompat mundur karena pedang Walinggih masih berpusing ke beberapa arah. Hanya tipuan. Tapi pada keadaan genting seperti itu tak ada yang berani coba-coba apa serangan susulah itu benar-benar atau hanya gertak belaka.
Kembali Walinggih memegang pedangnya rapat ke dada dengan ujung menuju ke atas. Kaki dibuka selebar bahu, ke depan dan belakang. Diatur napasnya tenang. Siap untuk serangan berikutnya.
Kecewa tampak wajah salah seorang perwira. Bantuan dari Asasin yang tampaknya akan memperkuat penangkapan ini ternyata sia-sia. Asasin hanyalah gentong kosong belaka, pikirnya. Omong besar di depan. Tak ada hasil setelahnya.
Tiga orang Asasin yang tersisa tampak geram. Sekilas melihat tahulah mereka bahwa kedua rekannya telah merengkuh ajal. Tak ada yang dapat dilakukan kali. Ketiganya saling menukar pandang dan mengambil sesuatu dari sakunya. Masing-masing membawa sebatang tabung kecil sepanjang lengan. Diujungnya terlihat sumbat kain terlekat.
"Hei..! Apa mau kalian..?" tegur salah seorang perwira demi melihat apa yang dilakukan oleh ketiga Asasin tersebut. "Tunggu dulu..!"
Akan tetapi terlambat, ketiganya telah melemparkan tabung itu yang telah dibuka sumbatnya ke arah Walinggih. Bukan ke atas melainkan ke tanah di sekitar Walinggih berdiri. Sekilas terlihat asap putih kekuningan keluar. Cairan kuning muda tampak mengalir keluar dari ketiga tabung itu dan langsung meresap ke dalam tanan.
Walinggih yang melihat itu tetap diam tak bergeming. Ia tak ingin hilang konsentrasinya pada posisinya untuk menyerang. Keenam orang itu masih di luar jangkauan pedangnya, tak dapat ia menyerang keenammnya. Oleh karena itu dibiarkannya tabung-tabung itu dilemparkan di sekelilingnya.
Tak berapa lama, seperti menunggu sesuatu bergeraklah sisa orang Asasin itu menyerang Walinggih. Dengan cara yang sama Walinggih menyerang mereka bertiga secara acak.
"Wuttt..!" hampir saja salah seorang dari mereka terkena. Masih sempat calong korban Walinggih itu bergeser mundur sehingga pedang panjang Hakim Haus Darah hanya lewat tipis di atas rampbutnya. Terasa sehelai dua rambutnya terpapas ringan. Keringat dingin menetes dengan sendirinya dan juga merindingnya bulu kuduk, membayangkan bila tadi bukan ramput yang terpapas melainkan kepala.
Walinggih kembali ke tengah. Kembali ke posisi semula. Tegak dan lemas. Siap melepas serangan lagi bagi pegas. Menyerang untuk kembali pada posisi bertahan.
Tiba-tiba terasa sesuatu pada kakinya. Tak berani ia melihat ke bawah, takut di saat sekejap itu ketiga orang musuhnya menyerang balik.
Orang-orang di sekitar Walinggih melihat bahwa cairan kuning susu yang tadi meresap ke dalam tanah, tampak muncul kembali dan tepat di bawah kaki Walinggih. Perlahan-lahan kumpulan-kumpulan cairan itu merayap naik. Seakan-akan hidup merambat merambat mereka pada kaki dan betis Walinggih.
Pada saat itulah sambil melempar senyum ketiga orang Asasin yang tersisa menyerang Walinggih sang Hakim Haus Darah dengan serentak. Membacokkan golokn mereka secara bersamaan.
Walinggih yang akan bergerak, tiba-tiba mearasa bahwa kakinya tidak lagi dapat digerakkan. Terpaku bagai akar pohon. Ini sudah tentu disebabkan oleh cairan kuning susu itu. Entah apa namanya. Masih dengan tenang Walinggih mendengus. Alih-alih menggeser kedudukannya, ia memutar pedang panjangnya sedemikian rupa sehingga terlihat ia akan membacok paha depannya sendiri. Di saat ketiga orang yang sedang mendekat padanya itu terpesona pada gerakan itu, Walinggih mencengkeram ujung pedangnya yang sedang mengayun. Ternyata pedang panjang itu bisa dibuat menjadi dua bagian yang kira-kira sama panjangnya. Dengan cantik serangan yang tadi diduga akan membelah pahanya itu menjadi melengkung ke atas dan membacok lawan-lawannya di kedua arah.
"Crakkk!" dan "croott!" lawan yang ada di kanan dan dirinya terpancung dagunya dari bawah. Bersamaan dengan terbelahnya muka mereka, terbang pula nyawa mereka dari raganya semula. Bersamaan dengan itu dua bagian pedang panjang yang masih bergerak ke atas kanan dan kiri itu melingkar ke atas menuju punggung Walinggih, di mana orang ketiga sedang menyerang.
"Heggg..!!" menyelinap golok orang ketiga ke pinggang Walinggih. Luka bacokan tak dapat dihindari. Akan tetapi pada saat yang bersamaan "crott!!" menghujam kedua potong goloknya ke kepala seorang Asasin yang masih tersisa itu.
Benar-benar pemandangan yang mengerikan. Ketiga Asasin tampak terbujur menjadi mayat. Sementara itu Walinggih si Hakim Haus Darah tampak masih gagah berdiri di tengah-tengah. Walaupun kakinya tak dapat bergerak dari atas tanah dan pinggangnya telah meneteskan luka, masih tampak wibawa dan keangkerannya.
Sunyi. Tak tahan akan keadaan itu tiba-tiba Telaga melesat. Ia menyobek lengan bajunya untuk disematkan pada luka di pinggang Walinggih. Andai saja Walinggih belum terkuras habis tenaganya dan juga belum terluka, bisa tak selamat Telaga. Bisa dikira musuh yang akan menyerang oleh Walinggih. Tapi pada saat itu ia tidak bisa lain hanya menerima saja. Dan ia amat bersyukur bahwa anak muda itu hanya membalut lukanya.
Ketiga perwira itu tampak tertegun menyaksikan perbuatan Telaga. Mereka sebagai perwira tak ingin menyerang orang yang sudah tak berdaya. Mereka juga malu bahwa orang-orang yang menolong mereka ternyata menggunakan cara licik dengan memakai sejenis cairan yang tidak mereka kenal itu. Ketiganya tampak termangu. Seakan-akan menunggu Telaga sampai selesai membalut luka di pinggang Walinggih.
Walinggih merasa amat terharu atas sikap Telaga itu. Dipandangnya anak muda yang masih membalutnya itu. Teringat akan anaknya. Jika anaknya masih hidup, sudah pasti sebesar ini tentunya. Tiba-tiba dilihatnya suatu tanda di dada anak muda itu, yang bajunya sedikit tersingkap saat ia menyobekkan lengan bajunya, untuk dibuat bahan membalut. Terkesiap ia melihat semacam sinar temaram. Sinar yang hanya dimiliki oleh orang-orang seperti dirinya, yang pernah belajar ilmu dari guru yang sama.
"Siapakah, kau?" tanyanya tergagap.
"Maaf, paman.. Saya hanya tak tega melihat paman terluka. Sudah itu mereka-mereka ini licik sekali. Bertempur, kok menggunakan racun..," jawab Telaga sedikit malu. Ia seharunya tidak mencampuri urusan orang, akan tetapi perkataan orang tua yang berbusana sama dengan Walinggih ini mengingatkannya bahwa ia harus mengatakan kebenaran. Jangan disimpan.
Lalu Telaga pun menceritakan apa-apa yang dilihatnya kepada Walinggih juga kepada ketiga perwira wakil pemerintah tersebut. Isyarat Sarini untuk mencegahnya diabaikannya. Diceritakannya dari sejak awal ia berada di Danau Genangan Batu sampai perjumpaannya dengan orang tua yang berbusana sama dengan Walinggih. Orang itu juga dapat menjadi saksi mengenai apa yang terjadi.
Mendengar cerita Telaga, bergumam orang-orang yang berkerumun di sana. Juga ketiga perwira menjadi bingung mengenai apa yang harus dilakukan. Setelah mereka bertiga berunding, akhinya diputuskan bahwa untuk kasus ini sudah selesai. Dalam hal ini Walinggih tidak bersalah karena pelaku pembunuhan Ki Rontok adalah kelompok Asasin itu. Salah seorang perwira yang kemudian memeriksa saku-saku mayat Asasin kemudian menemukan jarum jahit dan benang kulit yang digunakan untuk menjahit kembali tubuh Ki Rontok. Rupanya mereka berlima sudah tidak sabar untuk membalaskan dendamnya kepada Walinggih, akhirnya dengan cara membunuh dan memfitnah Walinggih, diharapkan rencana mereka dapat berjalan. Sayangnya kemampuan silat mereka masih jauh dari mumpuni. Itupun masih dibantu dengan cairan kuning susu tadi.
Ketiga perwira pun membubarkan orang-orang desa. Akhirnya di sana hanya tinggal mereka bertiga, Walinggih, Telaga, Sarini dan Arasan. Ketiga perwira wakil pemerintah pusat yang tadinya berwajah keren dan galak itu, membantu Telaga memamapah Walinggih ke rumahnya di atas batu. Mereka tadi bersikap garang kepada Walinggih karena mereka yakin Walinggih adalah yang bersalah. Yang telah membunuh Ki Rontok. Akant tetapi sekarang, setelah terbukti bukan, bersikap mereka ramah seperti ke kebanyakan orang. Setelah itu mereka pamit, sambil tak lupa berpesan kepada Walinggih untuk meninggalkan tabiatnya yang cepat marah dan main hakim sendiri. Di kedua desa telah ada perangkat pemerintah, biarkan mereka yang mengatur, ucap mereka. Walinggih yang telah tersentuh oleh perawatan Telaga berjanji akan mengubah dirinya, tidak seganas dulu.
Tinggalah saa itu Walinggih yang terbujur lemah masih menahan sakit dan tiga orang di sekitarnya.
"Katakan sekali lagi, nak Telaga.. Bagaimana rupa orang tua itu?" pintanya pada Telaga.
Telaga kemudian menceritakan bagaimana rupa orang tua yang ditemuinya di Danau Genangan Batu dan apa yang dilakukannya sebelum berpisah. Mendorong dadanya secara halus dan menggetarkan isinya. Dikatakannya pula bahwa rupanya mirip dengan Walinggih, juga busana yang dikenakannya.
Tersenyum Walinggih mendengarkan kejadian itu. Katanya menghela napas, "kakangku itu Wananggo, masih saja mengawasiku dari jauh. Ia masih juga belum mau bertemu denganku."
Terdiam ketiga orang pendengar itu. Orang tua itu ternyata adalah kakak dari Walinggih. Wanaggo namanya. Pantas Telaga melihat banyak kemiripan di antara mereka berdua itu.
Walinggih kemudian bercerita bahwa Wananggo juga mengalami kesedihan yang sama dengan dirinya. Ia mengalami pula ditinggal keluarganya. Akan tetapi berbeda dengan Walinggih, istri dan anaknya meninggal karena penyakit, bukan dibunuh orang. Ada satu hal yang sama dari ketiga orang itu, Walinggih, Arasan dan Wananggo, yaitu mereka sama-sama beristrikan wanita bukan dari desa asal mereka. Jika Walinggih dan Wananggo yang berasal dari Desa Batu Barat yang kemudian memperistri wanita dari Desa Batu Timur. Sebaliknya Arasan yang berasal dari Desa Batu Timur memperistri wanita dari Desa Batu Barat.
Diterangkannya pula oleh Walinggih bahwa kakaknya itu mendorong halus dada Telaga untuk mengoperkan sedikit tenaga pada Telaga yang juga menjadi kesepakatan dari mereka bahwa Telaga adalah seorang yang cocok untuk dijadikan murid. Mendengar itu Telaga kemudian menceritakan bahwa ia sedang berguru pada Arasan. Arasan sendiri, sang guru tidak berkeberatan jika Telaga juga berguru pada Walinggih. Ia melihat bahwa Walinggih perlu teman. Dengan adanya teman akan lebih baik hidupnya. Dapat membantunya keluar dari kebiasaanya yang ganas seperti pada masa lalu. Walinggih pun berkata bahwa selama ia masih sakit, ia belum dapat mengajarkan Telaga. Jadi bisa saja Telaga berguru padanya setelah ia sembuh. Akhirnya disepakati bahwa Telaga tinggal bersama Walinggih dan baru berkunjung pagi-pagi buta untuk belajar. Selain itu para penduduk juga telah tahu bahwa Telaga bukanlah anak dari saudara jauhnya lagi, melainkan hanya mampir. Tidak baik bagi seorang gadis seperti Sarini bila ada seorang pemuda seperti Telaga, yang bukan keluarganya, tinggal serumah. Kedua orang tua itu tertawa-tawa mendiskusikan bagaimana mereka akan melatih Telaga kelak. Sedangkan orang yang dibicarakan tidak diberi kesempatan.
Melihat itu semua Sarini hanya tertawa kecil sambil sesekali melihat ayahnya. Belum pernah dilihatnya Arasan sesemangat itu membicarakan sesuatu. Apalagi terhadap orang yang ditakuti, Hakim Haus Darah.
*** Pemuda itu berjalan pelan mendaki gunung tinggi di depannya. Gunung Hijau. Gunung yang puncaknya tidak jelas karena tertutup awan. Paras Tampan nama pemuda itu. Ia adalah seorang dari lima pemuda yang sedang menghadapi ujian akhir dari gurunya Ki Tapa salah seorang penghuni Rimba Hijau. Di atas gunung ini terdapat persembunyian kitab-kitab ahli-ahli silat tinggi. Belum jelas bagaimana kabarnya mengapa banyak ahli-ahli silat tinggi menyembunyikan kitab-kitab mereka di gunung itu pada akhir hayat mereka. Ada yang menyembunyikannya di balik batu, di rumah di atas pohon, dalam ceruk, di lobang-lobang karang dan sebagainya. Saking sulitnya menemukan kitab-kitab itu, bolah dikatakan nasiblah yang menentukan. Atau dengan kata lain, kitab-kitab itu yang mencari penerusnya, bukan sebaliknya. Itu yang dikatanan gurunya Ki Tapa.
Paras Tampan berjalan perlahan masih saja tebing-tebing yang dilihatnya. Walau kadang ada jalan setapak, tapi tidak mengisyaratkan bahwa itu akan membawanya ke suatu tempat. Ia memutuskan untuk selalu mencari jalan yang lebih menuju atas, apabila menemui persimpangan. Semakin tinggi, mungkin semakin sakti orang yang meninggalkan kitab itu, pikirnya.
Berbagai tebing dan batu-batu telah ditelitinya. Batu-batu yang tinggi dan pendek. Celah yang lebar dan sempit. Juga pohon-pohon yang terdapat di sana. Sampai saat ini baru dua rumah pohon ditemuinya. Akan tetapi di sana tidak terdapat kitab apapun. Hanya beberapa baris tulisan. Tulisan dari orang yang juga mencari kitab. Tulisan mengenai keputusasaanya bahwa ia belum juga menemukan apa yang dicari. Tersenyum kecil Paras Tampan membaca tulisan itu. Ia tidak akan berkeluh kesah seperti orang yang menorehkan tulisan itu pada dinding rumah pohon. Ia akan berusaha sekuatnya untuk mencari kitab-kitab itu. Atau tepatnya ia akan terus berjalan, sampai kitab-kitab itu menemukan dirinya.
Hari telah menjelang senja. Paras Tampan telah sampai ke suatu batas di mana kabut tipis di atas Gunung Hijau terlihat bertambah lebat. Ia harus beristirahat. Sulit dalam kegelapan kabut dan juga malam untuk terus berjalan, bahkan dengan adanya bantuan obor yang telah dibekalnya tadi. Umumnya pantulan api obor akan malah menghalangi pandangan. Jalan yang dapat dilihat tidak sampai dua kambing ke muka. Benar-benar hampir buta rasanya.
Sementara masih berpikir untuk terus berjalan atau beristirahat, Paras Tampan mencari suatu tempat untuk melepaskan lelah dan memakan bekal yang menyertainya. Akhirnya diperoleh suatu tempat yang cukup nyaman. Legokan dalam batu-batu sebesar gajah. Memberikan ruang yang cukup untuk berlindung dari angin dan juga bila nanti turun hujan. Dibukanya perlengkapan yang dibawa. Lauk-pauk, obor, beberapa tali dan barang-barang lainnya. Dicarinya di sudut-sudut legokan itu, yang ternyata lebih menyerupai sebuah gua yang dangkal, dan didapatinya ranting-ranting bekas sarang binatang. Diambilnya beberapa buah yang kering-kering. Kembali ke tempat perbekalannya semula diletakkan dan mulailah ia membuat api sambil memakan perbekalannya.
Selang tak berapa lama dirasakannya kantuk dan juga lelah menyerang. Tak dapat ditahankannya. Ia pun lalu tertidur. Lelap sekali sehingga tidak diketahuinya beberapa mata sejenis makhluk menatapnya. Mata-mata yang dapat bersinar dalam gelap. Bila saja Paras Tampan tersadar, mungkin terkejut pula dirinya. Beberapa makhluk itu muncul mengitari dirinya dan menjamah beberapa barang-barangnya.
Geliat Paras Tampan dalam tidurnya mengagetkan mereka. Makhluk-makhluk itu langsung kabur sambil tak lupa membawa barang-barang yang bagi mereka menarik itu. Sebagian masih tercecer. Juga tali-tali yang dibekal oleh Paras Tampan.
Sinar matahari yang hangat datang menggelitik pelupuk mata Paras Tampan yang tertidur di legokan batu itu. Usikan sang surya membuatnya menggeliat sesaat untuk kemudian tersadar dan bangun. Masih galau ingatannya, di mana ia saat ini berada. Diingat-ingatnya kembali. Akhirnya disadarinya bahwa dirinya sedang mendaki Gunung Hijau untuk mencari kitab-kitab peninggalan para pendekar yang menyimpannya di sini. Di suatu tempat di gunung ini. Setelah ingatannya pulih sepenuhnya, dirasakan lapar menggaruk-garuk perutnya. Diedarkannya pandangan mata berkeliling. Seharusnya sisa perbekalannya kemarin ada di suatu tempat di sekitar tempat ia tertidur.
Tapi apa yang dilihatnya" Barang-barangnya berserakan, berceceran. Seperti ada seseorang atau sekelompok orang yang mengacak-acak barang-barang bawaannya itu. Makanannya tercecer-cecer juga obor dan lain-lainnya. Sejumput tali yang dibawanya masih tampak, akan tetapi lainnya telah raib. Penasaran Paras Tampan melihat hal ini. Geram dan juga bergidik. Bila benar ada seseorang atau sesuatu yang tadi malam mampir tanpa disadarinya, benar-benar berbahaya. Untuk saja tidak terjadi apa-apa dengan dirinya. Ia benar-benar telah teledor, dengan membiarkan dirinya terlelap begitu saja.
Setelah menenangkan dirinya dengan sedikit mengheningkan cipta, beranjak Paras Tampan keluar dari legokan batu itu. Dilihatnya langit cerah telah menantinya untuk kembali mencari kitab-kitab seperti yang dituturkan oleh gurunya, Ki Tapa. Di bawah sana, di bawah tebing di mana legokan tempat Paras Tampan tadi malam tertidur, tampak kabut awan tebal. Gumpalan putih itu menghalangi pandangan Paras Tampan ke kaki gunung, di mana Rimba Hijau berada. Bisanya ia berada di bawah sana tidak bisa melihat ke atas sini. Kali ini malah sebaliknya. Ia berada di atas sini dan tidak bisa melihat ke bawah sana. Pagi hari kedudukan gumpalan putih itu ternyata lebih rendah dibandingkan pada sore hari. Mungkin panasnya hari yang membawa gumpalan-gumpalan itu naik pada siang hari dan dinginnya malam yang membawanya kembali turun pada malam hari.
Teringat kembali Paras Tampan akan hilangnya perbekalannya. Dicari-carinya dengan matanya ke berbagai arah, siapa tahu tercecer masih barang-barangnya. Tak berapa jauh, kira-kira dua tiga tombak dilihatnya sejumput tali-tali yang dibawanya tergeletak terurai menuju ke suatu arah. Bergegas ia menghampiri. Menggulung kembali tali itu. Mungkin diperlukannya kelak. Baru dua gulung diperolehnya. Semua seharusnya tujuh gulung tali-tali sebesar ibu jari. Cukup kecil tapi ulet dan kuat. Terbuat dari rumput-rumputan yang diberi ramuan. Ringan tapi ulet, begitu kata gurunya.
Dengan berbekal ceceran tali-tali yang terurai itu berjalan Paras Tampan ke suatu legokan lain yang lebih lebar agak ke atas dari tempat ia tertidur tadi malam. Legokan ini sudah dilihatnya tadi malam. Dikarenakan bentuknya yang lebih luas dan lapang sehingga angin lebih leluasa untuk masuk, dipilihnya legokan yang kemarin dan bukan ini. Walaupun demikian ia telah juga memeriksa legokan ini. Kalau-kalau terdapat ruang atau gua tempat meletakkan kitab-kitab. Dan kali ini dijumpainya hal yang menarik.
Di ujung legokan batu tersebut, di tengah sebuah batu besar yang retak, tampak seutas tali yang dibawanya tersembul. Mustahil. Bagaimana talinya dapat tesembul dari retakan batu itu" Apa ada orang atau makhluk yang iseng menyisipkannya di situ. Bingung Paras Tampan memikirkan hal itu. Saat sedang termenung, datang kembali usikan sang usus. Meminta makan ia. Belum pagi ini perut Paras Tampan diisi. Sudah sewajarnya tuntutan alamiah itu datang. Teringat itu, kembalilah Paras Tampan ke bawah. Ke tempat ia tertidur semalam. Barang-barangnya masih berserakan di bawah. Dirapikannya. Dikemasnya. Masih tersisa sedikit penganan yang tidak terambil oleh suatu malam tadi. Dimakannya perlahan sambil kembali berjalan ke legokan di atas. Kembali memikirkan bagaimana tali itu dapat tersisipkan pada legokan batu.
Hari berlangsung dengan cepat tanpa dirasa bila ada yang dikerjakan. Begitu pula yang dirasakan oleh Paras Tampan. Tidak terasa senja telah kembali datang menjelang. Dan ia boleh dikatakan hampir tidak meninggalkan legokan itu. Dicari-carinya lubang-lubang. Diketuk-ketuknya batu. Dipanjatnya batu retak itu. Digali-galinya sedikit pasir yang terdapat dikakinya. Tapi hasilnya nihil Tak ada petunjuk sedikitpun bagaimana tali itu dapat masuk ke dalam retakan batu. Retakan itu seakan-akan begitu rapat. Tidak dapat dibuka. Tapi bagaimana tali itu dapat masuk" Makin bingung Paras Tampan dibuatnya.
Tiba-tiba datang gagasan pada diri pemuda itu. Bagaiman jika sesuatu yang mencuri tali-tali dan barang-barangnya itu datang kembali malam ini. Mungkin dari balik batu itu. Baiknya ditunggu saja. Ia kemudian memilih suatu tempat agak ke atas dari retakan itu. Kebetulan di sana terdapat pula legokan mirip liang. Bisa dimasukinya dengan memanjat. Kaki duluan baru kepala. Cukup luas, tapi ia tidak bisa sampai menekut lutunya. Cukup hanya untuk berbaring. Tapi cukuplah, ini hanya untuk keperluan mengintai, pikirnya.
Tunggu punya tunggu, hampir saja Paras Tampan yang terkantuk-kantuk itu tertidur. Kalau saja kakinya tidak kesemutan, bisa saja terulang kembali kejadian kemarin malam. Kembali tertidur saat sesuatu itu menggerayangi barang-barangnya.
"Kriiittt...!" suatu suara muncul memecah keheningan malam yang hanya diisi oleh suara jengkerik.
Mendengar itu semakin diam badan Paras Tampan. Diatur teratur nafasnya sehingga sedapat mungkin tidak terdengar. Diatur hawanya supaya tanda-tanda keberadaanya tidak dapat dideteksi oleh sesuatu itu. Sambil memicingkan matanya, dilihatnya bahwa batu tempat talinya tersembul dari retakan itu, terbelah. Perlahan tapi pasti sebuah liang gelap tersembul dari dalamnya. Teryata batu itu bisa berputar ke kanan dan kiri membuka.
Meloncat keluar dari dalamnya beberapa orang kerdil gemuk dengan hidung yang amat panjang, dua tiga kali hidung seorang dewasa, dilengkapi dengan rambutnya yang gondrong dan kusam. Telapak kaki dan tangan mereka lebar-lebar, menandakan mereka penggenggam dan penginjak yang kuat. Paras Tampan tertakjub melihat makhluk-makhluk itu melihat waspada ke kiri dan kanan. Ia pernah membaca mengenai makhluk itu dalam salah satu kitab di rumah gurunya. Di sana disebutkan makhluk itu bernama Troll, salah satu dari makhluk-makhluk elemen tanah atau Roh Tanah, di samping Manusia Tiga Kaki, Gnomen dan Orang Gunung (Bergm?nnchen). Disebut roh karena kadang mereka mempunyai kemampuan yang tidak dimiliki oleh seorang manusia, seperti kekuatan dan juga kebisaan untuk menghilang atau tidur lama sekali.
Para Troll itu memandang sekeliling ruang di depannya dengan waspada. Dilihatnya berkali-kali spasial di depannya. Berhati-hati agar tidak berjumpa dengan musuh-musuh mereka. Setelah yakin bahwa tiada yang mengintai mereka, para Troll itu pun beranjak pergi. Salah seorang diantaranya menggulung tali yang terjepit di retakan batu karang itu. Rupanya ia yang membawa-bawa tali itu sejak kemarin. Di pinggangnya terselip tali-tali lain milik Paras Tampan. Senang kelihatannya ia bermain-main dengan tali.
Temannya pun memanggil mereka. Mereka semua kembali ke lekukan batu, di mana mereka tadi malam menemukan Paras Tampan sedang tertidur. Para Troll itu mencoba mengulangi penjelajahannya kemarin. Malam ini mereka mengharapkan Paras Tampan tidak bergerak, sehingga mereke dapat melihat-lihat dan mengambil barangnya tanpa takut-takut. Sebenarnya seorang dari mereka terlihat enggan untuk ikut. Akan tetapi atas ajakan yang lain, mau tidak mau ia turut. Lebih besar rasa ingin tahunya ketimbang ketakutannya untuk melihat lagi manusia yang tertidur di sana seperti kemarin malam.
Tersenyum Paras Tampan melihat para Troll itu menghilang di balik batuan untuk berbelok ke bawah. Di lekukan tempat ia tertidur kemarin malam telah diletakkannya berbagai perlengkapan juga anyam-anyaman yang dibuatnya dari tali dan juga ranting-ranting. Mainan buat Para Troll agar mereka memberinya kesempatan untuk menyelidiki rekahan batu karang yang terbuka itu.
Setelah merasa yakin bahwa Troll-trol itu sedang sibuk dengan mainan-mainan dan perlengkapan yang dibuatnya, berbegas Paras Tampan beringsut keluar dari persembunyiannya. Hampir ia terjatuh bila tidak mengingat kakinya yang masih agak kesemutan. Jatuh dari ketinggian pohon pepaya itu, benar-benar dapat membuatnya remuk. Apalagi dengan kepala terlebih dahulu menyentuh lantai tanah berbatu itu. Selah kakinya agak baikan dengan digosok-gosok perlahan, mulai ia merambat turun. Perlahan, agar tidak memperdengarkan bunyi-bunyian yang dapat memancing para Troll untuk kembali. Ia belum mengetahui bagaimana mekanisma pembukaan dan penutupan pintu karang itu. Biarlah, yang penting sekarang ia masuk dan mencari-cari di dalam karang itu. Siapa tahu di sana terdapat kitab-kitab yang dicarinya.
Berbekal dengan keyakinan masuklah Paras Tampan ke dalam rekahan batu karang yang terbuka itu. Dibiarkannya dahulu agar matanya terbiasa dalam kegelapan. Tidak berani ia menggunakan obor karena takut terlihat oleh para Troll. Setelah agak lama, keadaan di dalam lorong itu ternyata tidak segelap dugaannya semula. Di dasar lorong terdapat sinar-sinar temaram yang berasal dari sejenis rumput-rumputan. Rupanya para Troll sengaja menanam tumbuh-tumbuhan itu sebagai penerang jalan mereka. Benar-benar suatu pemikiran yang maju. Melengkapi lorong-lorong mereka dengan penerangan.
Paras Tampan pun maju selangkah demi selangkah. Tak berani ia terlalu cepat karena tak tahu apa yang akan dihadapinya di depan sana. Lebih baik perlahan agar dapat lebih hati-hati. Sudah lebih dari sepeminum teh ia berjalan, hanya dipandu oleh rumput-rumbut yang bercahaya di dalam gelap itu. Sampai akhirnya ia menemui dua buah percabangan. Bingung hatinya. Tak tahu ia harus ke mana.
"Buk-buk-buk-buk..!" tiba-tiba terdengar langkah-langkah datang dari belakangnya. Terkejut Paras Tampan mendengar hal itu. Pasti itu para Troll yang telah bosan dengan hal-hal yang ditemuinya, dan mereka sekarang akan kembali ke dalam tempat tinggalnya ini. Paras Tampan berpikir keras dan cepat, kemana ia harus beranjak. Harus dipilihnya satu dari dua percabangan ini, ke arah ke mana para Troll itu tidak akan berjalan. Tapi tak ada pandung ke arah mana mereka akan menuju, sehingga ia bisa mengambil arah yang berlawanan. Cepat diperhatikannya kedua lorong di hadapannya itu. Lorong yang kiri tampak agak terang karena terdapat masih rumput-rumput penunjuk jalan yang ditanam di kiri dan kanannya, sedangkan lorong sebelah kanan tampak lebih suram. Malah boleh dikatakan tak ada tanaman berkilau dalam gelap itu di dalam lorong tersebut. Akhirnya dengan dasar bahwa lorong itu tidak digunakan, ia berjalan cepat memilih lorong yang kanan. Lorong yang serin gigunakan haruslah ditanami rumput-rumput itu, begitu pikirnya.
Dengan tersandung-sandung Paras Tampan berjalan memasuki lorong yang gelap itu. Sampai suatu saat tangannya menyentuh suatu legokan dalam dinding batu. Ditariknya badangnya untuk merapat dalam legokan itu. Dari sana masih dapat dilihatnya percabagan yang tadi. Bersinar temaram karena adanya Rumput-Rumput Berkilau Dalam Gelap di sana.
"Buk-buk-buk-buk..!!" terdengar langkah-langkah mereka semakin dekat. Sampai di persimpangan itu rombongan itu berhenti. Hal ini dikarenakan Troll terdepan menghentikan langkahnya. Nampaknya ia ingin berjalan ke arah di mana Paras Tampan bersembunyi. Berdegup Paras Tampan melihat adegan ini. Bila mereka berarah ke sini, bisa tertangkap dirinya. Uratnya pun menegang. Bersiap-siap untuk hal-hal yang akan terjadi.
Tampak temang sang Troll menggoyang-goyangkan tangannya sambil menunjuk-nunjuk arah lorong yang lain. Digeleng-gelengkan kepalanya, seakan-akan hendak mengatakan bahwa jangan memasuki lorong di sebelah kanan itu. Sebaiknya kita cepat kembali pulang, kira-kira katanya. Akhirnya Troll yang paling depan itu pun menurut, dan mereka mulai berjalan kembali melewati lorong yang sebelah kanan.
"Buk-buk-buk-buk..!" suara langkah-langkah itu terdengar lamat-lamat menjauh dan menghilang. Sunyai. Hanya tinggal suara degug jantung Paras Tampan yang masih dapat dirasakannya sendiri. Perlahan-lahan dilepaskannya ketegangan itu. Duduklah ia untuk mengatur napasnya.
Sunyi dan sepi, juga gelap.
Setelah ketenangan dan keberaniannya pulih kembali Paras Tampan berdiri. Mulai memperhatikan lorong di mana ia berada. Di arah berlawanan dengan percabangan itu tak dilihatnya sama sekali apapun. Benar-benar gelap gulita adanya. Akhirnya diputuskan untuk kembali ke percabangan, mengambil berapa Rumput-rumput Berkilau Dalam Gelap untuk dijadikan penerangan. Tak dapat ia berjalan begitu saja dalam gelap.
Dengan hati-hati ia kembali ke percabangan itu. Diambilnya sedikit rumput dari sejumput yang ada, begitu pula dari jumput lainnya. Tak ingin ia mengambil banyak dari satu jumput. Bisa ketahuan nanti kalau ada yang mencabut jumput itu. Paras Tampan telah memperhatikan bahwa jumput-jumput itu ditanam pada ukuran yang kira-kira sama berjarak satu sama lainnya. Benar-benar ditanam beraturan.
Sudah cukup banyak rumput-rumput di tangannya, Rumput-rumput Berkilau Dalam Gelap. Dilangkahkah lagilah kakinya kembali ke lorong sebelah kanan yang sama sekali gelap itu. Kali tidak terlalu karena telah ada rumput-rumput sebagai penerangan itu di tangannya.
Perlahan-lahan ia melangkah dengan melihat langkah-langkahnya dibantu rumput-rumput itu. Lorong itu ternyata berbeda dengan lorong sebelum percabangan. Dindingnya lebih halus dan terbuat dari bahan yang terlihat lebih keras dan dingin tapi kering. Akibatnya dirasakan juga tubuhnya sedikit agak menggigil saat melalui lorong itu. Berjalan ia perlahan-lahan tanpa tahu kapan atau apa yang akan ditemuinya nanti.
Waktu pun berlalu dengan amat lambat dalam lorong yang gelap itu. Paras Tampan akan tetapi tidak putus asa. Tak ada jalan lain, lebih baik ia terus menyusuri lorong ini. Untuk kembali resikonya lebih besar, yaitu selain akan bertemu Troll, juga ia belum tahu bagaimana cara membuka batu karang yang retak tengahnya itu. Bisa dikatakan jalan kembali tak ada kesempatan.
Tak berapa lama dilihatnya seperti ada cahaya di depan sana. Lamat-lamat. Ia bergegas berjalan cepat. Ada pintu keluar, pikirnya. Kegembiraan itu menurunkan kewaspadaanya, sehingga tiba-tiba, "dukkk!" Kepalanya terantuk dengan langit-langit lorong. Rupanya lorong itu sedikit memendek dan jalan di bawahnya menanjak. Karena cahaya datang dari tengahnya masih temaram, tak dilihat Paras Tampan perubahan itu.
Setelah mengusap-usap kelanya yang agaknya benjol, Paras Tampan mulai agak berhati-hati berjalan. Untung itu hanya langit-langit, bagaimana bila lubang atau jurang. Sudah mati dia bisa-bisa. Lorong itu pun bertambah pendek sehingga ia harus merangkat untuk melewatinya. Akan tetapi cahayanya yang terlihat dari ujung sana semakin jelas dan terang. Ini menambah semangat Paras Tampan untuk terus melangkah, akan tetapi tetap dengan hati-hati. Setelah merangkak beberapa saat sampailah Paras Tampan di suatu ruang yang cukup lapang.
Ruang itu terbuat dari batu cadas dengan tinggi kira-kira lima kali dirinya dan seluas sebuah sawah kecil. Udaranya bersih dan cahaya yang dilihatnya berasal dari lubang-lubang pada dinding batu sebesar pelukan tangan orang dewasa. Puluhan lubang terdapat di dinding batu berlawanan arah dengan lorong yang membawanya ke ruangan itu. Seperti jendela saja layaknya lubang-lubang udara itu terpasang pada dinding batu tersebut. Seakan-akan terpancing dengan adanya cahaya tersebut berjalan pelan Paras Tampan menyeberangi ruangan menuju jendela-jendela alam itu.
Di luar sana, dibalik dinding batu cadas besar tebal dan berlubang-lubang alami itu, sedikit dapat diintip oleh Paras Tampan hanya langit dan awan putih yang terlihat. Di kejauhan baru dilihatnya pepohonan dan juga sungai serta sawah. Lain tidak. Dicobanya untuk merampat naik ke salah satu lubang-lubang itu. Ingin dilihatnya hal lain yang ada di ujung sebelah sana.
Perlahan ia merangkak. Pelan. Sampai dua tombak lebih, sampailah ia di ujung sana. Hampir loncat jantungnya saat menyadari bahwa lubang-lubang itu bermuara pada suatu tebing yang tinggi di Gunung Hijau. Di bawahnya terdapat dinding cadas dan tinggi. Awan-awan putih susu tampak sesekali menghalangi pemandangan ke pada pohon-pohon hijau di bawahnya. Sudah pasti bukan jalan keluar lubang-lubang ini.
Dengan masih merinding mengingat ketinggian dinding di mana lubang-lubang itu berada dari bawah sana, Paras Tampan merangkak mundur. Ia tidak bisa berputar. Lubang itu terlalu kecil untuk berputar atau duduk. Satu-satunya jalan hanyalah mundur perlahan-lahan.
Paras Tampan telah berada kembali pada ruang semula. Diperiksanya dengan seksama, apa-apa yang ada di sana. Dua sisi lainnya selain lubang-lubang jendela dan lorong tempat ia datang tidak terdapat apa-apa melainkan hanya dinding batu cadas belaka. Hitam dan dingin. Berbeda dengan udara yang agak hangat akibat masuknya sinar matahari dari lubang-lubang itu. Kemudian ia berputar kembali pada dinding di mana terdapat lorong ia masuk ke ruangan itu. Lubang ke lorong terdapat di ketinggian sepinggangnya. Jauh di atasnya terdapat sebuah lubang lain. Cukup lebar dan tinggi. Akan letaknya jauh di atas, hampir dekat dengan langit-langit. Oleh karena tinggi dan kerasnya dinding itu tak memungkin kiranya ia untuk memanjat naik.
Kehidupan Para Pendekar Karya Nein Arimasen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Diraba-rabanya dinding di hadapannya itu dengan tangannya, sampai ketinggian yang dapat dicapainya. Tiba-tiba ia bersorak girang, ada seperti anak tangga di atas itu. Tak terlihat karena warna dinding yang kelam dan tingginya tempat tersebut. Bergegas ia bergerak mundur mendekati lubang-lubang jendela. Dicobanya untuk meloncat-loncat agar tempat yang diduganya itu lebih jelas terlihat. Ada, soraknya dalam hati. Ada pijakan atau anak tangga di ketinggian lebih dari tinggi dirinya. Mungkin itu semacam anak tangga yang dirancang supaya lubang yang di atas itu tidak mudah dicapai.
Tiba-tiba didapatnya akal, dipanjatnya dinding tempat lubang-lubang jendela itu terletak. Mudah karena jarak masing-masing jendela tidak berjauhan. Setelah memanjat kira-kira dua kali tinggi badannya, Paras Tampan bersorak gembira.
Di hadapannya, di dinding di mana terdapat jalan masuk ke ruangan ini, terdapat semacam anak tangga. Anak tangga pertama lebih tinggi dari dirinya dan masuk lebih dalam ke arah dinding. Yang kedua setinggi dirinya dan masuk lagi lebih ke dalam. Berikutnya semakin rendah dan akhinya mengarah pada sebuah lubang di sampingnya. Lubang di mana jauh di bawahnya terdapat lubang tempat ia masuk tadi. Benar-benar akal yang cerdik untuk membuat anak tangga melebihi pandangan orang. Orang yang cepat putus asa tidak akan melihat anak tangga itu.
Sekarang tinggal bagaimana caranya ia melewati anak tangga pertama itu. Bila bisa, anak tangga berikutnya lebih rendah. Dan berikutnya lebih rendah lagi. Ada lima anak tangga semuanya. Setelah berada kembali pada dinding yang dimaksud ia berusaha meloncat ringan. Tangannya berhasil mencengkeram lantai di atas dinding itu. Tapi tidak cukup kuat untuk mengangkat dirinya naik. Berulang kali dicobanya. Masih saja gagal. Paras Tampan pun berpikir keras bagaimana naik ke atas dinding tersebut.
Salah satu cara adalah bahwa ia harus dapat melompat tinggi, setidaknya setengah pinggah lebih tinggi dari daya lompatnya saat ini. Kemampuan itu sulit untuk dilatihnya dalam waktu hanya beberapa saat saja. Butuh waktu lama. Harus ada pemecahan bagaimana caranya sehingga ia bisa melompak jauh lebih tinggi dari sebelumnya. Cara lain adalah dengan mencari pijakan sehingga ia dapat merambat naik. Cara ini mungkin lebih masuk akal. Akan tetapi dalam ruangan yang kosong ini bagaimana ia dapat menemukan sesuatu untuk mendukungnya"
Mungkin di lorong sana, tempat dari mana ia datang tadi ada sesuatu. Dengan berbekal pikiran itu Paras Tampan pun kembali ke lorong tersebut. Merangkat pelan. Agak sukar dibandingkan tadi karena sumber cahaya berada di belakangnya. Setelah sampai di tempat ia terantuk kepalanya tadi diedarkan pandangannya. Di salah satu sudut lorong, setelah diraba-raba ditemuinya dua buah batu yang cukup besar dan berat dengan permukaan atasnya rata. Seperti dipotong dengan sengaja. Dengan berdebar-debar penuh semangat didorongnya kedua batu itu perlahan-lahan pelan tapi pasti. Hampir habis tenaga Paras Tampan mendorong kedua batu tersebut, karena selain jarak yang jauh juga beratnya.
Duduklah Paras Tampan terpekur di dalam ruangan yang terang dan berudara bersih itu. Dua buah batu persegi empat yang rapih terpotong itu telah berhasil didorongnya. Ia perlu beristirahat sebentar untuk beristirahat. Tak lama kemudian pulih kembali tenaganya. Dengan bersemangat ia geser kedua batu itu berganti-ganti mendekati dinding, di mana lantai diatasnya paling rendah terlihat. Kemudian diangkatnya salah satu batu untuk ditumpangkannya di atas batu yang lain. Yang lebih kecil di atas yang lebih besar, agar lebih stabil. Berkeringat tubuh dan wajah Paras Tampan, menandakan banyak sudah tenaga yang dikeluarkannya untuk usaha itu.
Kemudian ia menarik napas panjang. Puas melihat pekerjaannya. Sekarang tinggal saatnya memanjat naik. Berhasil, tangannya sekarang dapat menggapai lantai di atas itu sampai siku. Dengan cara ini ia dapat menggapai lantai itu untuk menarik dirinya. Lalu melompatlah ia dengan menjejak ke kedua batu yang menjadi tumpuannya. Dan naiklah ia. Anak tangga kedua tidak begitu menjadi masalah karena memang lebih rendah ukurannya. Juga yang berikutnya sampai yang kelima. Akhirnya sampailah ia di lubang yang berbentuk mirip pintu itu. Hitam di dalamnya dengan sedikit cahaya terlihat di sisi kanannya. Sisi itu merupakan suatu pintu tanpa penutup yang mengarah pada suatu ruangan yang besar. Lebih besar dari ruangan sebelumnya dan lebih tinggi.
Hal yang membuat Paras Tampan gemetar menahan kegembiraannya adalah bahwa selain lubang-lubang yang sama seperti dalam ruang sebelumnya yang berisikan lubang-lubang udara, terdapat pula lubang-lubang lain yang berada di antaranya. Lubang-lubang yang berisikan berjilid-jilid kitab. Ruangan yang seakan-akan merupakan sebuah perpustakaan. Perpustakaan kitab-kitab kuno.
Bagian 2 -- Penjaga Keseimbangan
Pemuda itu melihat berkeliling. Di semua dinding dalam ruangan itu bertahta lubang-lubang yang masing-masing berisikan kitab-kitab kuno. Beratus-ratus jumlahnya. Dicobanya untuk melirik beberapa judul yang ada. Diantaranya bernama Jaga Kesehatan Tubuh dan Jiwa, Pukulan Inti Es dan Salju, Racun Selaksa Macam, Angin-angin, Tenaga Air, Seribu Ramuan, Batu-batu, Pukulan Tanpa Tanding, Seni Beperang, Ilmu Muda Selamanya, Tujuh Rahasia, Rancang Jiwa Raga dan masih banyak lainnya. Aneh-aneh judulnya. Gemetar pemuda itu membaca judul-judul yang ada. Ia hanya pernah mendengar salah satu dari judul-judul kitab tersebut dari gurunya. Dan Sekarang kitab-kitab tersebut berada di depan matanya. Siap untuk dilahap. Dipelajari.
Han Bu Kong 6 Kisah Pedang Bersatu Padu Karya Okt Musuh Dalam Selimut 1