Pencarian

Kehidupan Para Pendekar 2

Kehidupan Para Pendekar Karya Nein Arimasen Bagian 2


Pemuda itu, Paras Tampan, hanya pernah melihat satu kitab ilmu silat yang ditunjukkan oleh gurunya, Jalan Selaras dengan Alam Semesta. Ilmu itu telah diajarkan kepadanya. Dengan berbekal ilmu beladiri tersebut ia dan saudara-saudara perguruannya secara terpisah mencari ilmu-ilmu lain yang konon katanya terdapat di gunung ini. Gunung Hijau, gunung yang terletak di tengah Rimba Hijau. Atas kehendak Sang Pencipta, hari ini Paras Tampan dapat menemukan gua ini. Gua di mana tersimpan kitab-kitab ilmu-ilmu dari segala penjuru angin. Teringat Paras Tampan pada keempat saudara seperguruannya: Asap, Misbaya, Rintah dan Gentong. Jika saja ia bisa menghubungi keempatnya, pastilah diajak keempatnya itu untuk berdiam di sini. Mempelajari bersama-sama kitab-kitab yang ada di sini. Tak akan kurang mereka bagi mereka berlima. Sayangnya ia tidak tahu di mana mereka berempat berada. Ia berharap bahwa saudara-saudara seperguruannya pun seberuntung dirinya, dapat menemukan kitab-kitab yang cocok bagi mereka. Ia sendiri malah bingung harus mulai belajar dari kitab apa.
Ia teringat akan pembicaraan dengan gurunya Ki Tapa pada suatu saat. Hanya mereka berdua.
"Paras Tampan, apakah kamu tahu apa yang dimaksud dengan Jaga Kesehatan Tubuh dan Jiwa, Angin-angin, Batu-batu dan Seribu Ramuan" Pernahkah engkau mendengarnya?" tanya gurunya hati-hati.
"Pernah guru, Asap pernah menceritakan pada kami bahwa itu adalah kitab-kitab yang dibawa guru atau perintah kakek guru ke Rimba Hijau ini untuk disembunyikan," jawab Paras Tampan.
"Benar. Itu adalah kitab-kitab titipan dari guruku Ki Makam. Kitab-kitab yang harus disembunyikan dari orang-orang Perguruan Atas Angin. Tapi itu cerita lama..," kemudian lanjutnya, "dan sekarang.."
Bingung juga Paras Tampan mendengar cerita gurunya yang tidak jelas itu. Pembicaraan yang tahu-tahu membahas keempat kitab yang hanya pernah didengarnya dari Asap itu.
Akhirnya gurunya menceritakan bahwa kitab-kitab itu telah dicuri darinya, saat ia baru masuk ke dalam Rimba Hijau. Ia tidak persis tahu bagaimana peristiwa itu terjadi. Hanya diingatnya sebelum dan sesudah ia menyadari bahwa kitab-kitab itu tidak berada lagi pada tempatnya, telah terjadi pertarungannya antara dirinya dengan Hitam-Putih, pemimpin dari kaum Manusia Tiga Kaki. Akibat dari pertarungan yang berlangsung lama itu, ia baru menyadari jauh hari kemudian bahwa kitab-kitab tersebut tidak lagi berada di tempatnya semula. Di balik tempat tidurnya, dekat dengan bagian kepala.
Kitab Jalan Selaras dengan Alam Semesta yang ada di tangan gurunya saat itu adalah potongan bagian akhir dari kitab Jaga Kesehatan Tubuh dan Jiwa. Kitab Jaga Kesehatan Tubuh dan Jiwa ternyata terdiri dari dua bagian. Bagian pertama berisikan cara-cara mengolah keempat macam elemen sebagai tenaga yang tertuang dalam jurus-jurus: Jurus Air, Jurus Tanah, Jurus Api dan Jurus Air. Sedangkan bagian kedua adalah Jalan Selaras dengan Alam Semesta yang merupakan implementasi dari Jurus Air. Entah kenapa tidak ada bagian lain dari kitab yang menerangkan penggunaan jurus-jurus lainnya, selain jurus air ini.
Dikarenakan oleh gurunya, Ki Tapa hanya diajarkan kitab Jaga Kesehatan Tubuh dan Jiwa, maka ia pun tidak begitu menaruh perhatian pada kitab-kitab lainnya. Pun gurunya saat itu sebelum kematiannya hanya sempat mengajari bagaimana cara mengolah keempat elemen tenaga tersebut. Tidak pernah disinggungnya ada bagian penggunaan dari Jurus Air pada bagian belakang kitab tersebut, yang boleh dikatakan seakan-akan merupakan kitab tersendiri yang sepertinya ditambahkan belakangan. Entah oleh siapa. Oleh karena itu Ki Tapa mencopot bagian tersebut, karena menarik untuk dipelajari lebih lanjut. Dan sering dibawa-bawanya kitab itu. Kebetulan saja Ki Tapa mencobot bagian tersebut, sehingga bagian kitab itu tidak sempat hilang bersama dengan kitab-kitab lainnya.
Kembali Paras Tampan dari kenangannya diperhatikannya sekarang dinding di mana kitab-kitab yang menggoda untuk dipelajari itu bertengger.
Tiba-tiba padangannya tertumbuk pada sesuatu tulisan di dinding. Dinding di pinggir rongga atau lubang tempat menyimpan kitab-kitab itu. Tulisan itu mirip prasasti. Huruf-hurufnya tampak dipahatkan dalam keadaan yang buru-buru. Arahnya tidak rata tiap barisnya. Semakin ke bawah, semakin miring dengan guratan yang tidak lagi dalam. Seperti ditulis seseorang dalam saat-saat terakhir hidupnya. Di sana tertulis,
"Bagi seorang manusia yang bisa membaca tulisan ini, ia berarti berjodoh untuk menjadi muridku, Penjaga Keseimbangan. Ia yang berjodoh harus meneruskan apa yang sudah kumulai. Bacalah itu pada kitab-kitab awal. Untuk menunaikan tugas, pelajari hanya ilmu-ilmu yang masih murni. Jangan lupa untuk..."
Tulisan tersebut berhenti di sana. Tampak seperti sang penulis telah tidak lagi memiliki kemampuan untuk menuliskannya. Dicobanya lagi mencari-cari apa-apa yang dapat dijadikan petunjuk pada sambungan tulisan itu di sekitarnya. Tidak ada. Hanya lambang-lambang aneh di awal tulisan yang kemudian terlihat olehnya. Lambang-lambang yang mirip dengan lambang-lambang yang pernah dijelaskan gurunya.
Bertanya-tanya juga Paras Tampan dalam hati apa kelanjutan dari kalimat "Jangan lupa untuk...". Tapi kemudian hal itu dilupakannya karena ia lebih tertarik untuk melihat di lain tempat, judul-judul kitab yang ada. Sebelum ia belajar, ada baiknya ia membaca dulu semua judul-judul yang ada, biar ada gambaran ilmu-ilmu apa yang tersedia di dalam ruangan itu. Untuk sementara tulisan pada dinding itu tidak diambil pusing.
Setelah hampir setengah hari melihat-lihat dirasakan bahwa perutnya telah berkukuruyuk. Lapar. Minta untuk diisi. Badannya juga terasa lelah. Sudah sejak malam kemarin ia belum beristirahat. Sepanjang malam ia lewatkan di dalam terowongan hingga sampai ke ruangan ini. Sedari waktu itu, belum ada makanan yang dilewatkan ke lambungnya. Teringat itu, Paras Tampan melupakan dulu kitab-kitab itu untuk mencari apa-apa yang bisa dimakan untuk menyambung hidupnya di tempat itu.
Dilihatnya kembali berkeliling. Di salah satu ujung ruangan, berlawanan dengan ujung lain tempat ia masuk ke ruangan yang penuh dengan kitab-kitab itu Paras Tampan menemukan semacam lorong lain. Sedikit berliku dan tidak terlalu gelap keadaannya. Dengan hati-hati ia mengikuti lorong itu sampai tiba di suatu tempat terbuka yang cukup luas. Mirip seperti semacam balkon alam yang terbuat dari batu dengan pandangan tebing ke bawah pada sisi kirinya dan dinding tebing menjulang tinggi pada sisi kanannya. Sebuah sungai jernih dan dalam membelah pelataran batu tersebut.
Sungai itu mengalir keluar dari lubang besar di dinding sebelah kanan dan jatuh membentuk air terjun pada sisi sebelah kiri. Sungai Batu Jernih. Di seberang sungai tersebut terdapat lagi dinding tebing yang tinggi dengan banyak lubang-lubang gelap di permukaannya. Tebing tinggi seperti dalam arah ia datang tadi.
Sungai yang keluar dari lubang, air terjun dan juga lubang-lubang pada dinding batu di seberangnya tidak terlalu menarik Paras Tampan. Matanya melirik pada sesuatu agak ke atas dari arah padangan matanya. Sesuatu itu adalah buah-buahan yang tergantung pada pohon yang tumbuh pada dinding batu di mulut sungai. Ranum dan segar kelihatannya. Ditambah dengan laparnya, ingin ia meraih untuk memakannya.
Dan sebelum Paras Tampan sempat berpikir bagaimana cara mencapai buah-buahan yang menarik hatinya itu, tiba-tiba dari dalam air yang jernih itu melompat seekor ikan berduri yang cukup besar. Hampir seukuran dirinya. Benar-benar ikan yang mengagumkan karena tubuhnya dipenuhi dengan sisik-sisik kasar seperti batu. Ekor dan sirip-siripnya berbentuk kipas. Matanya besar. Warna tubuhnya biru tua keunguan. Belum pernah Paras Tampan melihat ikan seperti itu sebelumnya. Dari gurunya ia pernah diceritakan adanya sejenis ikan purba berciri demikian yang bernama Kolakan (coelacanth), yang dalam suatu bahasa (Yunani) berarti duri berlubang pada sirip. Dan hal ini memang cocok dengan keadaan ikan ini. Di mana pada sirip-siripnya yang seperti kipas terlihat lubang-lubang.
Ikan Kolakan itu dengan tangkas melompat ke arah buah-buahan itu, tidak cukup tinggi sehingga ia dapat mencapainya. Akan tetapi dengan menggunakan kecipakan air yang masih melekat ditubuhnya ikan tersebut mengibas sedemikian rupa sehingga percikan-percikan air melesat bagai butiran-butiran batu. Pesat menuju buah-buahan itu. Dan "tak-tak" beberapa buah-buahan yang ranum itu terjatuh ke dalam air. Mengambang.
Alih-alih memakannya ikan besar itu menyundulnya dengan mocongnya dan melemparkannya ke hadapan Paras Tampan. Tertegun pemuda itu melihat hal tersebut. Tak tahu ia apa yang seharusnya dilakukan.
Sementara itu, ikan Kolakan tersebut kembali mengulangi beberapa kali pertunjukkan yang luar biasa itu sampai didapatnya kira-kira enam butir buah-buahan dari pohon itu, dan kemudian dilontarkannya kembali buah-buahan ke hadapan Paras Tampan. Ia seakan-akan ingin berkata bahwa buah-buahan itu dapat dimakan oleh sang pemuda.
Ragu-ragu Paras Tampan mengambil sebuah darinya. Diperiksanya perlahan-lahan. Mirip buah pir bentuknya akan tetapi harum seperti durian dengan warna yang biru memikat. Masih di sana ikan Kolakan itu mondar-mandir dalam sungai yang jernih. Seakan-akan ikan tersebut menunggu sang pemuda untuk memakan buah-buahan yang diberikannya.
Akhirnya dicobanya untuk untuk memakan buah yang telah digenggamnya itu. Perutnya telah lapar. Dan peristiwa "diberi makan" oleh seekor ikan menumbuhkan kepercayaan bahwa buah-buahan itu tidaklah beracun. Digigitnya perlahan. Manis dan berair. Lembut menyegarkan. Seketika dirasakannya asupan tenaga yang sedari kemarin malam belum diperolehnya.
Melihat itu sang ikan pun kemudian berkecipak pelan dan kemudian menghilang. Entah kemana. Ke sungai dalam tebing batu itu, atau ke dalam rongga-rongga batu di dalam sungai jernih tersebut. Terlihat sekilas di dalamnya terdapat rongga-rongga yang tak terhitung banyaknya.
Setelah habis satu butir tersebut Paras Tampan pun membungkus buah-buahan yang tersisa hasil pemberian ikan tersebut dengan baju luarnya. Dibawanya kembali ke ruangan tempat terdapat kitab-kitab yang berjajar dalam lubang-lubang di dinding.
Sesampainya di sana. Tiba-tiba saja datang rasa kantuk. Mungkin karena kelelahan dan juga pengaruh dari buah yang dimakannya itu. Paras Tampan tak dapat menahan rasa itu. Akhirnya diputuskan untuk tidur di salah satu pojok ruangan tempat penyimpanan kitab-kitab itu. Ia pun tak lama kemudian mendengkur. Pulas.
Langkah-langkah ringan hampir tak terdengar mendekat perlahan. Muncul beberapa sosok orang bertubuh gemuk pendek dengan hidung yang panjang serta berambut kusam. Telapan kaki dan tangan mereka lebar-lebar dan kuat. Troll. Beberapa sosok makhluk itu berjalan hati-hati mendekati Paras Tampan. Tidak seperti kemarin dalam lorong gelap yang diterangi Rumput-rumput Berkilau Dalam Gelap, di mana mereka berjalan dengan langkah-langkah berat dan berdebam, kali ini mereka berjalan ringan perlahan. Seakan-akan tidak cocok dengan postur tubuh mereka yang terlihat gempal dan berat.
"Kakak Ikan Berduri Bersirip Kipas baru saja memberi tahu ada seorang pemuda datang dari arah Ruang Kitab," kata seorang dari mereka.
"Bukankah ini pemuda yang kemarin?" tanya yang lain.
"Hehehe, betul. Pemuda yang bermalam di lereng di luar sana," jawab orang ketiga dari mereka sambil tersenyum. Senyum Troll tidak terlihat sebagai senyum bagi makhluk lain. Bahkan menambah seram bagi yang melihatnya.
"Seorang pemuda yang cerdik," kembali kata orang pertama, "ia bisa mengecoh kita untuk bermain-main dengan barang-barangnya sementara ia masuk ke sini."
"Bukankah adik Gobagkh telah menunjukkan bahwa ada seseorang yang berjalan ke lorong sebelah kanan kemarin malam?" tanya yang lain.
"Benar, tapi kakak Bagadsh sudah memerintahkan bahwa kita tidak boleh menghalang-halangi orang yang masuk ke lorong sebelah kanan. Biarkan nasib yang membawa mereka. Toh kita sudah sering membersihkan orang-orang yang akhirnya mati kelaparan di sana. Tak sampai mereka mencapai Ruang Kitab," kata temannya.
"Tapi pemuda ini benar-benar beruntung dan juga cerdik. Sudah bisa selamat dari Lorong Panjang Gelap. Kemudian bahkan bisa mencapai Ruang Kitab dengan menggunakan dua buah Batu Persegi yang disembunyikan itu, untuk naik tangga dalam Ruang Dinding Berlubang," kata seorang yang lain, "benar-benar berjodoh."
"Jadi..?" tanya seseorang dari mereka.
"Kita layani dia, seperti janji kita pada Maling Kitab atau yang lebih senang disebut Penjaga Keseimbangan, kakak Rawarang," tegas salah seorang dari mereka.
Rekan-rekan yang lain menangguk-angguk. Lalu mereka kemudian beringsut pergi dengan ringan. Meninggalkan Paras Tampan yang masih tertidur pulas di salah satu sudut Ruang Kitab. Tak tahu dirinya, bahwa dirinya tadi telah jadi bahan pembicaraan beberapa sosok Troll.
Mulai saat itu jika tidak diberi makan oleh ikan Kolakan yang dipanggil Ikan Berduri Bersirip Kipas sebagai kakak oleh para Troll, Paras Tampan mendapatkan bungkusan makanan yang terdiri dari buah-buahan, sayuran tanpa daging dan nasi, pinggir sungai jernih dan dalam di tengah pelataran batu tersebut. Mula-mula ragu-ragu ia memakannya. Akan tetapi rasa laparnya menang.
Kemudian ditemukannya tulisan pada salah satu kitab yang sepertinya merupakan buku harian dari orang yang menuliskan guratan pada dinding. Guratan yang belum selesai itu. Dalam kitab tersebut dituliskan bahwa orang yang berjodoh akan ditemani dan diberi makan oleh ikan Berduri Bersirip Kipas dan para Troll. Membaca demikian, yakinlah Paras Tampan bahwa yang memberikan bungkusan makanan itu adalah makhluk-makhluk Troll itu. Hanya herannya ia, mengapa makhluk-makhluk itu tak mau menampakkan diri kepadanya.
Dengan tidak mengambil banyak pusing terhadap keanehan-keanehan yang ditemuinya, Paras Tampan mulai membaca-baca kitab-kitab yang ditemuinya. Ditelusurinya dulu kitab-kitab yang disebut-sebut dalam Guratan Di Dinding sebagai Kitab-kitab Awal. Petunjuk mengenai kitab-kitab tersebut ditemuinya pada akhir dari buku harian sang penulis Guratan Di Dinding. Dengan mempelajari Kitab-kitab Awal yang merupakan dasar dari kitab-kitab lainnya, Paras Tampan dapat menghemat waktu. Tidak terlalu banyak yang dipelajari akan tetapi telah cukup memiliki kehebatan.
Ruangan sebelah yang disebut sebagai Ruang Dinding Berlubang oleh makhluk-makhluk Troll ternyata berperan dalam salah satu latihan yang dituliskan dalam Kitab-kitab Awal. Dengan menggunakan lubang-lubang tersebut dengan masih berada di dalam ruangan Paras Tampan belajar memanjat naik dan turun. Kadang kepala di atas kadang di bawah. Dengan cara ini ia dapat merampat naik dan turun pada dinding itu, berpijak pada lubang-lubang yang ada. Setelah cukup mahir untuk naik sampai langit-langit, latihan selanjutnya dilakukan di sisi luar dari dinding. Ia harus terlebih dahulu merangkak dalam salah satu lubang untuk mencapai ujungnya di dinding sebelah luar. Dengan ketinggian yang menggiriskan Paras Tampan berlatih naik dan turun kembali pada dinding.
Awalnya takut juga Paras Tampan berlatih di dinding sebelah luar. Akan tetapi karena pada dasarnya latihan yang sama, akhirnya dapat ia menekan rasa takutnya. Latihan di bagian luar ruangan itu, selain disertai bahaya untuk jatuh, juga adanya angin menyebabkan tangan dan kaki harus lebih kuat mencengkeram dan berpijak.
Lebih lanjut pada lubang-lubang, baik di luar dan di dalam ruangan terpahatkan simbol-simbol kecil yang menjadi urut-urutan lubang-lubang mana yang harus dipanjat atau dilalui. Tahapan ini baru boleh dilakukan setelah orang yang belajar kitab tersebut yakin bahwa cengkeraman dan pijakannya kuat pada dinding dan lubang-lubang itu. Dengan melalui latihan ini Paras Tampan dapat masuk keluar suatu lubang dalam dinding dengan cepat, untuk kemudian masuk dan keluar pada lubang lainnya. Tak terasa bahwa ilmu memanjat dinding, cengkeraman, pijakan sekaligus meringankan tubuhnya berkembang dengan pesat.
Sejalan dengan semakin berkembang ilmu yang dipelajarinya, semakin jarang pula ikan Kolakan tersebut menyediakan buah-buahan itu. Ia sekarang harus memanjatnya sendiri sekarang. Mengambil buah-buahan pada pohon yang terletak lebih tinggi pada dinding di atas lubang tempat keluarnya Sungai Batu Jernih tersebut. Jauh lebih tinggi dari pohon yang dapat dikecipak dengan air oleh sang ikan Kolakan. Pohon-pohon yang tumbuh lebih rendah, telah habis buah-buahannya.
Berdasarkan tulisan dalam salah satu Kitab-kitab Awal, Paras Tampan sebagai orang yang sedang belajar, tidak diperbolehkan untuk meninggalkan tempat itu sebelum tamat. Hal itu termasuk menyeberangi sungai atau masuk ke dalam lubang tempat keluarnya Sungai Batu Jernih. Dan Paras Tampan pun mematuhi peraturan itu. Dikonsentrasikan pikirannya untuk benar-benar menyerap ilmu-ilmu yang tertuliskan ataupun tersirat dalam kitab-kitab yang dikenal sebagai Kitab-kitab Awal. Kitab-kitab lain hanya dilihatnya sepintas, jika ia merasa bosan mempelajari Kitab-kitab Awal.
Tak terasa waktu satu tahun pun berlalu. Sudah setengah waktu yang diberikan gurunya untuk berguru di atas Gunung Hijau. Pemuda itu, Paras Tampan, tampak semakin tegap. Badannya berisi. Dengan tidak memakan daging, hanya buah-buahan dan sayur yang disediakan oleh para Troll disertai latihan-latihan yang keras, membuat otot-ototnya tumbuh dengan baik. Badannya menjadi tampak pas sekali, tidak terlalu gemuk dan juga tidak terlalu kurus. Benar-benar menjadi pemuda yang menarik hati dengan wajah yang selalu ceria. Hanya mungkin rambutnya saja yang tidak terlalu diurus. Tumbuh panjang dan digelungnya asal saja. Walaupun demikian sering dicuci rambut dan badannya dengan cara mandi berendam di Sungai Batu Jernih.
Untuk pakaian, para Troll pun menyediakan bahan-bahan seperti yang mereka pakai, yaitu kulit binatang berbulu. Entah binatang apa. Yang penting nyaman dan hangat dipakai. Tidak terlalu banyak. Para Troll hanya memberikan bahan pakaian untuk dijahitnya sendiri setiap dua atau tiga bulan, saat mereka merasa pakaian yang dikenakan pemuda itu sudah tidak terlalu baik. Peralatan menjahit disediakan mereka, terdiri dari jarum yang berasal dari tulang, benang dari rumput-rumputan dan pisau batu untuk memotong. Sederhana tapi cukup memadai.
Dan selama itu pula para Troll belum sekalipun menampakkan dirinya. Pernah sekali waktu Paras Tampan ingin melihat makhluk-makhluk yang selama ini menyediakannya makan, ditunggunya mereka di luar ruangan. Di tepi Sungai Batu Bening. Tapi mereka tidak muncul-muncul. Alih-alih, malah makanannya dengan dibungkus rapat dengan daun-daun agar isinya tidak basah, dilontarkan oleh ikan Kolakan. Sang ikan pun berkecipak-cipuk, seakan-akan mengatakan bahwa belum saatnya untuk bertemu dengan para Troll.
Akhirnya Paras Tampan pun menyerah, tak lagi ia mencoba untuk menunggu-nunggu mereka hanya sekedar untuk melihatnya. Ditenggelamkan lagi dirinya pada pelajaran-pelajaran yang disebutkan dalam Kitab-kitab Awal.
Salah satu pelajaran yang menarik adalah bagian dari kitab Pukulan Inti Es dan Salju, dimana disebutkan bahwa orang bisa menggunakan air yang disertai dengan hawa dingin sehingga menjadi butir-butiran es untuk dilontarkan. Dan hal ini adalah yang dilakukan oleh ikan Kolakan saat ia dulu memyambit buah-buahan dari pohon yang tumbuh pada dinding mulut Sungai Batu Bening. Bukan hanya sekedar mencipak-cipuk air belaka, melainkan membekukannya untuk kemudian disambitkan dengan gerakan ekornya. Benar-benar mengagumkan.
Dan untuk belajar jurus itu, Sentilan Kelereng Es, Paras Tampan harus berendam dalam Sungai Batu Bening pada saat-saat di mana udara benar-benar terasa dingin. Mengambil energi dari hawa dingin itu untuk diolahnya membekukan sepercik air dan disambitkan. Jurus ini hanyalah sebagian kecil dari jurus yang tersimpan dalam kitab Pukulan Inti Es dan Salju. Petunjuk yang diperoleh tidak mengharuskan ia untuk mempelajari Pukulan Inti Es dan Salju secara menyeluruh karena selain lama, juga tempat ini tidak sesuai untuk melatih jenis pukulan tersebut. Perlu ia pergi ke daerah yang benar-benar dingin untuk melatihnya. Ke daerah di mana terdapat roh-roh air, Undinen misalnya.
Ikan Kolakan sendiri sebenarnya dapat dipandang memiliki sedikit hawa dingin sehingga bisa secara alami melakukan jurus Sentilan Kelereng Es. Akan tetapi ia tidak sehebat roh-roh air dalam menyimpan hawa dingin. Tempat di mana Paras Tampan saat ini berada lebih dikategorikan sebagai tempat Roh-roh Tanah. Contoh dari mereka adalah para Troll dan Manusia Tiga Kaki. Yang terakhir ini pernah diceritakan gurunya.
Dengan menggabungkan kedua unsur, Tenaga Air dan Tanah dapat diciptakan hawa dingin. Tenaga Tanah secara tak sengaja dilatih Paras Tampan dengan memperkuat pijakan-pijakan, cengkeraman dan panjatan-panjatan. Dengan cara ini ia bisa meminjam tenaga bumi untuk memindahkan berat tubuhnya ke arah yang ia inginkan. Akan tetapi itu belum Tenaga Tanah yang sebenarnya. Untuk memperoleh Tenaga Tanah perlu bantuan Roh-roh Tanah. Menurut petunjuk yang dibacanya. Apabila ia berlatih serius, akan tahulah mereka, para Troll, kapan ia siap untuk dilatih. Pada saat itulah makhluk-makhluk itu akan menampakkan dirinya. Memberinya petunjuk lebih jauh.
Hari ini, sesuai dengan tahapan yang telah ia pelajari dari petunjuk mengenai Kitab-kitab Awal, ia akan bertemu dengan para Troll untuk diuji apakah ia telah cukup mahir dalam memiliki gerakan-gerakan dasar untuk melatih Tenaga Tanah. Bila iya, para Troll akan mengajarinya. Akan tetapi bila ternyata ia belum siap, sesuai dengan petunjuk dari kitab tersebut, ia harus kembali melatih gerakan-gerakan tersebut. Termasuk di dalamnya keluar masuk lubang-lubang dalam Ruang Dinding Berlubang dan juga Sentilan Kelereng Es. Secara pribadi tak mau Paras Tampan menunggu lebih lama, ingin ia cepat memasuki tahap berikutnya. Waktu yang diberikan gurunya tidak tersisa banyak lagi.
Siang sudah belalu setengahnya. Belum ada tanda-tanda kedatangan para Troll. Sang Ikan Kolakan pun tidak tampak batang hidungnya. Semua seakan-akan ingin membuatnya bertanya-tanya atau penasaran dalam hatinya.
Sengaja hari itu Paras Tampan tidak berlatih berat. Dikosongkan pikirannya dan ditenangkan hatinya dengan Mengheningkan Cipta. Ia ingin dirinya siap untuk menerima petunjuk akan tahapan berikutnya. Juga apabila dirinya dinyatakan belum siap. Toh, satu hari latihan tidak akan mengubah hasil dari latihannya selama setahun ini.
Senja pun tiba. Matahari telah condong ke arah mana ia akan beranjak sembunyi. Tiba-tiba terdengar siulan tinggi rendah. Otaknya bereaksi seakan-akan ia mengerti arti dari siulan itu. Paras Tampan tidak menyadari bahwa ilmu-ilmu yang dipelajarinya secara bawah sadar menumbuhkan inderanya sehingga siulan semacam itu menjadi memiliki arti. Orang biasa yang mendengarnya tidak akan dapat menangkap maksudnya tanpa diberitahu terlebih dahulu.
Ia pun beranjak menyusuri lorong yang menuju ke Sungai Batu Jernih. Sesampainya di sana bergetar pula hatinya. Di seberang sungai sana tampak berjejer beberapa makhluk Troll. Berjajar menatap dirinya. Gagah walaupun terlihat tidak terlalu besar.
Tak tahu apa yang dilakukan, Paras Tampan pun berdiam diri. Menunggu. Dari siulan tadi, ia hanya mengerti bahwa ia diminta datang ke pinggir Sungai Batu Jernih. Tidak tersurat apa yang harus dilakukannya setelah berada di tempat itu.
"Kecipak..!" lalu terdengar bunyi air diganggu. Tampaklah wujud sang Ikan Kolakan. Ikan yang dipanggil sebagai Kakak Ikan Berduri Bersirip Kipas oleh para Troll. Ia juga menjadi bagian dari pemeriksaan kesiapan Paras Tampan untuk tahapan pembelajaran berikutnya.
Seorang dari mereka, makhluk-makhluk Troll yang berada pada sisi lain Sungai Batu Jernih, menggapai Paras Tampan agar mengikuti mereka. Lalu terlihatlah apa yang menurut Paras Tampan benar-benar mengagumkan.
Berjalan seorang dari mereka ke arah air dalam Sungai Batu Jernih. Tampak ia berkonsentrasi sebentar dan kemudian datanglah sang Ikan Kolakan. Keduanya tampak melihat pada arah yang sama. Dan kemudian muncullah seperti bongkah-bongkahan es. Perlahan tapi pasti. Menyebar lambat. Membesar. Tak jauh melebar melainkan memanjang. Jauh memanjang sampai ke seberang sungai tersebut, mencapai sisi di mana Paras Tampan berdiri.
Tidak berhenti sampai di sana, bekuan es itu merampat perlahan menyebar kembali ke hulu Sungai Batu Bening. Memasuki gua batu di tengahnya. Sekarang terlihat semacam jalur dari es yang melayang di atas air. Membentuk huruf 'T' terbalik. Garis mendatar menghubungkan kedua sisi sungai dan garis tegaknya menuju ke sisi dalam gua di hulu sungai.
Satu per satu dari mereka melangkah di atas Pematang Es itu, perlahan tapi pasti. Tak terlihat goyangan yang berarti. Padahal apabila dibayangkan, tidak cocok dengan postur tubuh mereka yang tampak besar dan berat.
Paras Tampan kemudian mengikut mereka berjalan di atas Pematang Es itu menuju gua di hulu Sungai Batu Jernih. Awalnya tak mudah untuk menjejakkan kaki dengan mantap di atas Pematang Es, tapi pengalaman latihannya di Ruang Dinding Berlubang membuat kaki-kakinya berpijak kuat dan juga lemas. Cepat berubah kedudukan apabila tempat pijakannya berubah posisinya. Dengan cara ini Paras Tampan akhirnya dapat mengikuti langkah makhluk-makhluk Troll itu memasuki gua di ujung kanan sana. Kanand dari arah ia tadi datang.
Troll yang didepan masih saja membuat Pematang Es yang baru, bersama-sama dengan sang Ikan Kolakan, Kakak Ikan Berduri Bersirip Kipas. Paras Tampan tidak berada paling belakang. Masih ada dua makhluk Troll sesudahnya. Ia tidak tahu apa yang mereka lakukan. Mungkin merusakkan Pematang Es yang mereka lewati, agar tidak ada yang mengikut mereka masuk ke dalam gua itu.
Sekarang keadaan telah berubah menjadi gelap. Selain malam telah menjelang, juga karena mereka telah berada di dalam gua di hulu Sungai Batu Jernih. Pintu masuk gua yang berada di tengah sungai yang cukup dalam tersebut tidak menggambarkan bahwa di dalamnya terdapat sungai bawah tanah yang cukup lebar dengan ruangan di atasnya mencapai tiga sampai empat tombak lebih tingginya. Benar-benar ruangan yang memukau. Dihiasi dengan Rumput Berkilau Dalam Gelap pada dinding-dindingnya. Terlihat sengaja di tanam dan dengan lantainya yang merupakan air belaka. Bagi orang yang tidak bisa berjalan di atas Pematang Es atau tidak memiliki perahu, tidak akan bisa masuk ke dalam tempat ini.
Mereka masih berjalan beberapa saat sampai ada semacam pantai atau dataran di ujung sana, di mana Sungai Batu Jernih berasal dari belokan sebelah kiri dan kanan dataran tersebut. Kecil dan di ujungnya tercurah dari lubang-lubang di atasnya.
Dataran itu cukup luas. Paras Tampan dan para makhluk Troll telah berada di tengah-tengah dataran itu dan masih juga terasa lengang. Ikan Kolakan, Kakak Ikan Berduri Bersirip Kipas, tampak berenang-renang di kejauhan. Tidak ikut ia naik ke dataran itu. Bukan tempat bagi makhluk air.
Paras Tampan melihat berkeliling di dinding di depannya tampak lubang-lubang seperti lubang-lubang pada Ruang Dinding Berlubang. Banyak celah-celah mengisi sampai ke langit-langitnya. Di atas langit-langit tampak beberapa lubang besar dan kecil. Yang besar kiranya cukup bagi dirinya dan makhluk Troll untuk masuk ke dalamnnya.
Salah seorang Troll tua yang memperkenalkan dirinya sebagai Bagadsh, yang terlihat sebagai pemimpin di sana, menerangkan ujian yang akan diterima oleh Paras Tampan. Dijelaskan bahwa ujian pertama tadi, yaitu berjalan di atas Pematang Es telah dilampaui. Mereka senang bahwa Paras Tampan bisa berjalan sampai ke tahap ini. Dan mereka berharap pula bahwa ia bisa menyelesaikan tahapan berikutnya.
Dijelaskan bahwa tujuan akhir dari ujian ini adalah memasuki ruangan dia atas sana. Ada beberapa lubang yang cukup besar di atas langit-langit ruangan itu. Paras Tampan harus bisa melampauinya dan masuk ke dalamnya. Ujian ini lebih berat dari latihan yang pernah dilakukannya di Ruang Dinding Berlubang. Umumnya ia melakukan latihan dalam lubang-lubang mendatar atau miring, tapi belum pernah yang tegak seperti ini.
Lalu ditambahkan bahwa proses untuk mecapai ruangan yang ada di atas itu, dapat dilakukan dalam waktu dua setengah hari. Jadi pemuda itu diberikan kesempatan sebanyak-banyaknya dalam dua setengah hari untuk masuk ke dalam ruangan itu.
Mulanya Paras Tampan agak bingung juga, apabila hanya masuk ke dalam ruangan di atas itu, mengapa diperlukan waktu sampai dua setengah hari. Tapi pertanyaan dalam hatinya itu terjawab selang tak berapa lama.
Setelah tak ada tanggapan dari Paras Tampan, para Troll itu menganggap ujian telah boleh dimulai. Mereka membagi dirinya menjadi tiga kelompok. Dua kelompok bergerak ke sisi kiri dan kanan dataran dan duduk Mengheningkan Cipta. Tidak ambil pusing lagi pada Paras Tampan dan rekan-rekannya.
Satu kelompok yang tersisa bergegas bergerak memanjat dinding-dinding yang berisikan lubang-lubang itu. Hampir tanpa bantuan tangan mereka berjalan di dinding itu sampai ke langit-langit yan berlubang-lubang itu. Dengan hanya mencengkeram sisi-sisi lubang atau tonjolan-tonjolan yang ada, para makhluk Troll itu dapat seakan-akan "melekat" dan "berjalan" di dinding dan langit-langit. Berdecak kagum Paras Tampan menyaksikan demonstrasi itu.
Ada empat orang yang bergantung pada kakinya. Mereka membawa sebatang tongkat setinggi dirinya. Sepanjang satu tombak kira-kira. Keempatnya berhenti pada sebuah lubang di tengah-tengah langit-langit. Berputar dan menjaganya dari empat arah secara terbalik.
Bagadsh yang tidak termasuk salah seorang dari mereka, mencoba kekuatan barisan itu. Ia melompat dari tanah, jauh tinggi mendekati langit-langit sambil mengayunkan tongkat yang dibawanya.
"Tak-tak-tak" seorang dari mereka memapaki serangannya dan seorang lagi menyerang jalan darah-jalan darah penting di tubuhnya. Terpaksa Bagadsh menghindar dengan bersalto beberapa kali dan melompat turun. Sekali lagi dicobanya dengan merambat pada dinding, menjejak terbalik pada langit-langit. Kembali keempat penjaga itu mempertahankan lubang itu dengan rapat. Setelah yakin akan kekuata nbarisan tersebut, kemudian sang pempimpin Troll itu pun membuang tongkatnya dan ia menyusup dengan lincah di antara pertahanan keempat penjaga tersebut. Ia menghilang di lubang di atas langit-langit sana. Menunggu Paras Tampan melewati lubang yang sama.
Berdesir Paras Tampan menyaksikan rapatnya penjagaan keempat penjaga lubang di langit-langit itu. Mereka dapat dengan enaknya bergantungan, berjalan di tembok dan langit-langit yang berlubang dan juga mempertahankan diri, seakan-akan berjalan di atas tanah datar saja. Bagaimana caranya ia bisa ke sana. Memanjat secara terbalik saja sudah rumit. Belum lagi ditambah dengan penjagaan yang dilakukan oleh keempat makhluk tersebut.
Akan tetapi bukan Paras Tampan, bila pemuda itu langsung menyerah menghadapi keadaan yang tidak masuk akal tersebut. Berbagai gagasan masuk ke dalam kepalanya, tentang bagaimana caranya bisa menyiasati keempat makhluk itu untuk masuk ke lubang yang dijaga mereka.
Pertama-tama dicobanya untuk memanjat dinding di hadapannya, untuk menjajal apakah ia juga bisa menggantung dengan mudah di langit-langit yang berlubang tersebut. Pada bagian dinding yang tegak, tidak ada masalah. Ia dapat dengan cepat menggunakan tangan dan kakinya yang mencengkeram kuat untuk mencapai awal dari langit-langit batu tersebut. Sekarang saat dimulai masalahnya. Ia mencoba untuk bergantung terbalik pada langit-langit. Pusing dirasakannya. Tak lama ia bisa bertahan. Kedudukan yang berbalik itu membuat banyak darah mengalir ke kepala. Akibatnya Paras Tampan tampak bergoyang-goyang cepat. Hampir lepas pegangannya.
Tiba-tiba, "tukk..!" sebutir es tampak menyentuh pembuluh darah di lehernya. Sekejap pandangan matanya menjadi lebih terang. Darah tidak mengalir deras seperti tadi. Rupanya saat bergantung terbalik itu, ia hanya boleh mengerahkan tenaga untuk memperkuat cengkeraman dan pijakan. Akan tetapi jangan sampai mengirim tenaga ke arah kepala. Totokan tadi membuat tenaga yang diarahkan ke kepala berbalik tersimpan.
Paras Tampan melirik ke dalam air di kejauhan. Ikan Kolakan itu tampak berenang menyelam menjauh. Tak tega sang ikan melihat pemuda itu terjatuh. Dikirimnya totokan menggunakan Sentilan Kelereng Es untuk mengambat peredaran tenaga pemuda itu yang membuncah ke kepala.
Sekarang Paras Tampan mulai bisa membiasan diri dalam posisi bergantung itu dan kemudian mengerahkan tenaga ke tangan dan kakinya, tapi membatasi aliran yang menuju kepala. Sesaat sulit juga, apalagi dalam posisi yang sama sekali baru baginya itu.
Waktu pun berjalan pelan. Paras Tampan mulai bisa menikmati posisi bergantung seperti itu. Tapi tenaganya sudah hampir habis. Bila dilanjutkan ia tidak ada tenaga untuk turun kembali. Ia kemudian memutuskan untuk turun terlebih dahulu dan mengumpulkan kembali tenaganya. Akan dicobanya lagi naik ke langit-langit untuk mendekat lubang yang menjadi tujuannya.
Setelah tiga kali dicobanya, sudah mulai terbiasa Paras Tampan untuk bergerak bolak-balik di langit-langit yang penuh lubang dan tonjolan itu. Walaupun belum selincah Troll, tapi ia sudah bisa berputar-putar ke sana kemari menyelidiki lubang-lubang yang ada. Lubang-lubang selain yang dijaga oleh para Troll berukuran terlalu kecil untuk dirinya. Tak ada jalan lain, memang ia harus menggunakan lubang yang dijaga tersebut.
Selain itu telah dicobanya pula untuk melompat dalam keadaan terbalik itu ke bawah. Dilepaskannya pegangan dan pijakan, berayun memutar beberapa kali dan mendarat dengan kaki sedikit bergetar. Setelah beberapa kali mencoba, dapat ia melompat dengan sempurna ke bawah. Dengan cara ini ia tidak takut lagi bila pegangannya terlepas atau jatuh.
Walaupun Paras Tampan telah terbiasa untuk bergerak di langit-langit, akan tetapi ia masih menggunakan kedua tangan dan kakinya. Belum bisa menggunakan kaki saja seperti para penjaga lubang itu. Dengan kondisi seperti ini ia tidak bisa menyerang mereka. Pernah dicobanya sekali mendekati lubang tersebut, dengan santai mereka menukil sedikit tubuhnya. Pada suatu jalan darah tertentu. Akibatnya pusing kembali diperolehnya. Untuk mencegahnya cepat ia melepaskan pegangannya bersalto beberapa kali dan mendarat dengan selamat di lantai di bawahnya.
Ia harus menemukan cara untuk berjalan seperti para Troll sehingga kedua tangannya dapat bebas untuk menyerang. Bisa juga cara lain sehingga ia bisa menangkis serangan-serangan mereka.
Tak terasa telah lewat tengah malam. Paras Tampan pun telah lelah. Seorang dari para Troll menghampirinya dan memberinya sesuatu untuk dimakan. Semacam buah yang mirip dengan buah yang dulu diberikan oleh sang Ikan Kolakan. Hanya saja yang ini berwarna keperakkan dan tidak biru. Mereka juga memakan satu setiap orang. Tidak lebih.
Dirasakan asupan tenaga yang nikmat. Menghilangkan sedikit rasa lelah dan juga rasa kantuknya. Para Troll tampak berganti kelompok. Empat orang tampak memanjat cepat ke arah keempat temannya yang sedang menjaga. Penjaga yang lama dengan sigap meloncat turun, bersalto beberapa kali di udara dan mendarat dengan ringan di atas dataran batu itu.
Kelompok yang baru beristirahat itu tampak juga memakan buah keperakan tadi, untuk kemudian Mengheningkan Cipta.
"Hmmm, berabe nih!" gumam Paras Tampan, "jika mereka semua berganti-ganti menjaga lubang itu, bagaimana aku dapat mencapainya." Berpikir keras ia bagaimana cara untuk mencapai lubang tujuan itu. Tapi sempat terlintas bahwa ia akan menunggu agar para penjaga itu lelah untuk kemudian menyerangnya. Tak dinyana bahwa mereka melakukan penjagaan berganti-ganti. Oleh karena itu perlu dicari siasat lain agar dapat memasuki lubang itu. Paras Tampan pun akhinya merasa lelah. Diputuskannya untuk Mengheningkan Cipta sementara. Memulihkan tenaga dan juga sembari memikirkan cara-cara untuk mengatasi penjagaan yang berganti-ganti itu.
*** Tiga orang tampak berhadapan di tengah tanah lapang yang luas di kaki sebuah gunung. Seorang dari mereka tampak senyam-senyum memandang kedua orang lawannya. Ia orang yang masih setengah baya dengan wajah yang selalu menebarkan keceriaan. Rambutnya yang panjang hitam sebahu dihiasi uban-uban putih akan tetapi hanya di sebelah kanan. Hal ini membuat sebelah kanan kepalanya berwarna terang dan sisi sebaliknya berwarna gelap. Perawakannya kekar dan dengan tubuh yang tinggi jangkung, jauh di atas tinggi rata-rata orang kebanyakan. Gerakannya ringan. Terlihat dari tidak banyak rusaknya rumput-rumput di sekitar tempatnya berdiri.
Kedua lawannya juga bukan orang biasa-biasa dan juga tidak terlihat jahat. Melainkan cenderung sebagai petapa yang sederhana hidupnya.
Seorang dari mereka rambutnya telah memutih semua. Tubuhnya kurus akan tetapi kekar. Rambutnya yang juga panjang digelung ke atas dan dikonde di atas kepalanya. Bajunya dari bahan yang kasar akan tetapi bersih. Sama seperti lawannya yang tampak jauh lebih muda darinya, sosok ini pun senang tersenyum.
Sedangkan temannya berambut pendek. Dengan wajah yang juga sudah lanjut, akan tetapi sosok ini terlihat lebih gemuk dari kawannya. Mungkin disebabkan dari potongan rambutnya yang pendek. Wajah sosok ini tidak seperti kawannya. Ia lebih serius terlihat.
"Rawarang..," ucap orang yang rambutnya digelung ke atas, "atau yang dikenal orang-orang sebagai Maling Kitab, apa maksudmu mengundang kami kemari?"
"Dari julukanku, sudah tentu ki sanak berdua dapat menduga, bukan?" jawab orang yang dipanggil Rawarang itu.
"Hmmm..., memberimu kitab ilmu-ilmu kami, atau jika tidak ada, kami harus menuliskannya dahulu. Benar-benar suatu sifat yang jumawa." kata orang yang berambut pendek itu.
"Maafkan saya, bila permintaan ini terdengar kurang ajar," jawab Rawarang, "Petapa Lain Pulau dan Petapa Gunung Es.." sambil ia membungkuk sedikit, menghormat kepada orang yang berkonde dan berambut pendek itu.
"Jika memang maksudmu demikian, mengapa perlu meninggalkan pesan, seakan-akan adik kami Seberang yang meminta kami datang ke sini," tanya orang berkonde yang dipanggil Petapa Lain Pulau itu.
Sebelum menjawabnya, Rawarang tersenyum kecil sambil memandang langit di atasnya. Lalu jawabnya, "siapa yang tidak tahu persaudaraan ketiga petapa sakti yang diikrarkan di Pulau Gunung Api. Orang-orang yang telah mencapai kesempurnaan dalam beladiri dan tidak lagi menginginkan pertentangan."
Kemudian ia menundukkan kepalanya sehingga kembali memandang ke arah kedua lawannya itu, "jika aku tidak menggunakan nama adik ki sanak berdua, Petapa Seberang, mana mungkin ki sanak berdua akan datang. Betul begitu?"
Petapa Lain Pulau tersenyum mendengar hal itu. Bila dipikir-pikir Rawarang ini memang benar. Mereka bertiga yang sudah tidak lagi mau ikut campur urusan duniawi, tidaklah begitu tertarik apabila diundang atau ditantang untuk berkelahi. Tapi lain halnya jika undangan itu berkaitan dengan salah seorang dari mereka. Sudah tentu yang lain akan datang untuk mencari tahu apa yang terjadi.
"Apa tidak ada jalan lain?" tanya Petapa Lain Pulau. "Haruskan kita berseteru untuk memuaskan keinginanmu itu?"
"Jika ki sanak berdua mau memberikan kitab ki sanak kepadaku, pastilah tak perlu kita bersilang pendapat," jawab Rawarang masih jenaka.
"Jika kami tidak memberikannya?" tanya Petapa Lain Pulau kembali. Ia mencoba-coba untuk memeriksa perangai sebenarnya dari Rawarang ini.
"Ya.., itu jadi susah," jawab Rawarang sambil menghilangkan senyumnya. "Jika tidak memberikan, sebaiknya ki sanak berdua menyerang saya, sehingga ada alasan untuk membalas."
Petapa Gunung Es yang jarang tersenyum, tak bisa ia menahan sunggingan di ujung bibirnya. Ia melihat bahwa Rawarang ini walaupun aneh, tapi tidaklah jahat. Lalu katanya, "kalau begitu jelaskan dulu, mau apa engkau dengan kitab-kitab kami. Dan kudengar juga engkau telah mencuri banyak kitab-kitab dari berbagai orang dan tempat."
Rawarang yang dikenal sebagai Maling Kitab itu tersenyum. Ia pun kemudian menceritakan mengapa ia getol mencuri kitab-kitab ilmu silat dan juga ujar-ujar kuno.
Ia pernah bertandang ke suatu tempat di seberang lautan. Di sana terdapat suatu kerajaan yang amat besar dan megah. Walapun besar dan megah, akan tetapi kerajaan itu tumbuh dan berkembang atas dukungan dari rakyat-rakyatnya. Hal ini terlihat dari selalu sumringah wajah orang-orang yang ditemui Rawarang di sana. Baik orang-orang yang terlihat berduit, maupun para rakyat kecil seperti petani dan pengrajin.
Makmurnya kerajaan tersebut tidak terlepas dari kebijaksanaan raja yang memerintah dan juga penasehat kerajaan yang pandai. Raja dari negara tersebut memiliki satu kelompok penasehat yang terdiri dari empat orang. Dinamai dengan arah-arah utama mata angin. Keempat penasehat ini tidak memiliki sanak keluarga sehingga konsentrasi mereka benar-benar tercurahkan untuk menghasilkan nasehat-nasehat dan keputusan-keputusan yang baik bagi masyarakat dan kerajaan tersebut.
Kepandaian para penasehat itu sebenarnya akibat dari kebiasaan masyarakat daerah tersebut yang dulunya berawal dari desa dan kota kecil, akan tetapi tumbuh dan berkembang menjadi suatu kerajaan. Kebiasaan yang dimaksud adalah membaca dan menulis.
Kebiasaan membaca, terutama buku-buku yang bermutu sudah tidak bisa dipungkiri lagi akan membawa pembacanya pada proses pembelajaran sehingga dapat menjadi lebih baik dalam menyikapi hidup ini. Tidak lagi perlu bertemu dengan pengalaman-pengalaman yang merugikan, yang telah diwanti-wanti para penulis dalam kisah-kisahnya.
Akan tetapi kebiasaan menulis pun penting. Jika tidak ada kebiasaan menulis, tidak akan ada buku yang bisa dibaca. Umumnya buku-buku yang ada adalah hasil dari orang-orang tertentu yang bisa atau mau menuliskan ide-ide atau pengalaman mereka. Dan ini sudah tentu terbatas. Akan tetapi dengan banyaknya orang-orang 'biasa' yang juga menulis, akan menciptakan sumber-sumber literatur yang tak ada habis-habisnya. Itulah yang terjadi di kerajaan tersebut.
Di negara itu, jauh sebelum negara berbentuk kerajaan itu terbentuk, nenek moyang mereka mempunyai kebiasaan untuk menuliskan apa-apa yang mereka alami. Mirip dengan buku harian dewasa ini. Dengan demikian anak-cucu mereka tidak lagi perlu mengulang kesalahan-kesalahan mereka. Pun hal-hal yang berguna, seperti waktu bercocok tanam, cara membuat perahu dan lainnya dapat dipelajari dengan mudah. Tidak lagi perlu mencoba-coba sendiri untuk mencari cara atau waktu yang tepat untuk bercocok tanam, atau mencari bahan yang tepat untuk membuat perahu.
Dengan menggunakan catatan-catatan leluhurnya, para penduduk negara itu dapat langsung memodifikasi apa-apa yang telah dicoba nenek-moyangnya. Hasil yang baik atau pun buruk dari modifikas itu kembali dicatat. Catatan-catatan yang telah ribuan tahun usianya itu pun tumbuh menjadi semacam basis ilmu pengetahuan bagi kerajaan mereka.
Kerajaan dalam hal ini pun mengakomodasi tumbuhnya kebiasaan mencatat ini. Buku-buku kosong dan alat tulis disediakan gratis oleh mereka. Begitu pula dengan sekolah-sekolah. Selain itu terdapat pula suatu fasilitas yang dikenal sebagai Perpustakaan Kerajaan. Namanya saja Perpustakaan Kerajaan yang menandakan bahwa perpustakaan itu dikelola oleh kerajaan, tapi pada pelaksanaannya semua orang dapat berperan di sana. Dari membantu melengkapinya, sampai memanfaatkannya.
Di dalam Perpustakaan Kerajaan terdapat pula tempat penitipan buku, dalam artian keluarga atau orang-orang yang tidak punya tempat cukup untuk menyimpan buku-bukunya, dapat menitipkan buku-buku mereka di sana. Dengan imbalan buku-buku mereka boleh dibaca orang lain di tempat. Tidak dibawa pulang. Hanya buku-buku umum yang benar-benar milik Perpustakaan Kerajaan yang dapat dipinjam untuk dibawa pulang.
Bagi orang-orang yang sudah wafat dan ahli warisnya tidak berkemampuan untuk mengurus buku-bukunya, dapat dilakukan penghibahan, sehingga koleksi orang-orang yang wafat tersebut menjadi milik Perpustakaan Kerajaan. Dengan cara ini koleksi-koleksi tersebut dapat dipinjam untuk dibawa pulang.
Melalui cara ini, Perpustakaan Kerajaan adalah salah satu gedung atau tempat yang paling banyak dikunjungi oleh orang-orang di kerajaan itu, selain pasar-pasar dan tempat-tempat ibadat tentunya. Di sana orang dapat menambah ilmunya dan juga menelurkan karya-karya yang langsung dapat dinikmati orang.
Ada pula bagian arsip orang-orang di Perpustakaan Negara. Di bagian ini orang-orang dapat meletakkan buku-buku yang berisikan perjalanan hidup mereka. Buku harian. Diurutkan berdasarkan tahun kelahiran dan abjad. Dalam tiap buku harian biasanya dicantumkan juga hubungan sanak keluarga yang ada. Dengan cara ini, seorang anak dapat melacak nenek moyangnya, dan apa-apa yang mereka lakukan. Langsung dari tulisan mereka sendiri dan bukan dari cerita orang-orang. Bila terdapat jasa besar atau hukuman dari negara, umumnya dituliskan dalam lembar tambahan dengan segel kerajaan. Dengan cara itu sejarah dapat diverifikasi dari para pelakunya sendiri. Walaupun belum tentu apa-apa yang ditulis selalu obyektif.
Rawarang yang saat itu sedang merantau ke sana, amat takjub pada kemegahan itu. Minatnya pada ilmu telah tumbuh sejak kecil. Ayahnya yang seorang pedagang perantau, sering membawakannya oleh-oleh buku-buku dari negeri-negeri asing jauh di sana. Dengan perantaraan buku-buku itulah, khayalan Rawarang kecil tumbuh dan membekas sampai ia dewasa, saat ia kemudian mewujudkan sendiri impian-impiannya untuk melihat luasnya dunia.
Banyak waktu dihabiskannya saat berada di kerajaan tersebut dengan membaca buku-buku di Perpustakaan Kerajaan. Buku-buku yang menarik perhatiannya antar lain adalah buku-buku sejarah, ilmu kanuragan, ilmu alam dan bahasa. Buku-buku lain tidak menjadi pilihan utamanya. Di sana pulalah ia bertemu dengan gurunya. Seorang penjaga tua yang mewariskan ilmu silat dan mencuri padanya. Penjaga itu dulunya adalah seorang yang gandrung terhadap ilmu-ilmu kanuragan sehingga berguru ke sana kemari. Ia juga punya kegemaran membaca buku-buku dan juga senang mencuri.
Ia dipekerjakan di sana karena selain memiliki kemampuan dalam ilmu pengetahuan, dan juga karena riwayat masa mudanya sebagai pencuri yang andal. Ia benar-benar mahir mencuri di berbagai tempat, termasuk di dalam istana kerajaan. Dengan berbekal kemahiran siasat dan berpikir keras keempat Penasehat Kerajaan menciptakan jebakan untuk menangkap sang pencuri tersebut. Setelah itu ia diadu kecerdikan dengan mereka dan kalah. Sampai akhirnya ia bersedia menjadi salah seorang penjaga dari Perpustakaan Kerajaan. Kesalahan-kesalahannya diampuni asal ia mau bekerja dan mengabdi demi kepentingan masyarakat.
Bakat sang mantan pencuri itu, digunakan oleh Perpustakaan Kerajaan untuk mencuri balik buku-buku yang dipinjam melewati tenggat waktu. Umumnya dilakukan oleh orang-orang yang malas mengembalikan buku. Buku-buku yang terlambat itu, 'dicuri' kembali oleh sang penjaga dan digantikan dengan tulisan untuk membayar denda. Umumnya orang-orang yang memperoleh kertas denda itu tak berani macam-macam. Keesokan harinya mereka datang ke Perpustakaan Kerajaan, meminta maaf atas keteledoran mereka sambil membayar denda yang dijatuhkan.
Dari penjaga perpustakaan ini, yang tidak mau memberitahukan namanya, Rawarang menimba ilmu sehingga seakan-akan ia menjadi sang penjaga di masa mudanya. Mahir ilmu silat dan juga ilmu mencuri. Ia dipesankan oleh sang penjaga untuk baik-baik mengamalkan ilmunya. Jangan seperti gurunya. Semahir-mahirnya tupai melompat, suatu saat jatuh juga. Untung saja kerajaan masih berbaik hati mau mempekerjakan guru Rawarang dan tidak menghukumnya. Sehingga di hari tuanya ia masih dapat hidup dengan tenteram dan damai.
Mendengar cerita itu kedua orang tua yang menjadi lawan Rawarang, Petapa Lain Pulau dan Petapa Gunung Es hampir bersamaan menghela nafas. Lalu kata seorang dari mereka, "jadi maksudmu, Rawarang, engkau ingin membangun suatu tempat yang bisa seperti Perpustakaan Kerajaan yang pernah engkau kunjungi itu, begitu?"
Agak malu Rawarang mengangguk mengiyakan.
"Tapi dengan mencuri kitab-kitab?" tanya Petapa Gunung Es tidak sabar. Umumnya Petapa Gunung Es tidak banyak berbicara. Biasanya ia membiarkan kedua adiknya yang mengajukan pertanyaan. Hanya kali ini tidak bisa ditahan penasarannya. Memang menurutnya, apabila tujuan dari Rawarang ini benar, membangun sesuatu pusat ilmu pengetahuan bagi tanah ini adalah baik. Tetapi tidak begitu caranya.
Sebaik manapun suatu tujuan, akan tetapi apabila dicapai dengan cara yang buruk, pastilah akan menodai kebaikan dari tujuan itu sendiri. Sekarang mencoba untuk membangun suatu perpustakaan di tanah ini, agar pengetahuan orang-orang di tanah ini dapat berkembang dengan baik akan tetapi fasilitas itu dilengkapi dengan cara mencuri kitab-kitab yang dimiliki oleh orang-orang. Para pesilat atau sastrawan.
"Saya tidak punya jalan lain," jawab Rawarang, "jika diminta begitu saja, pasti orang-orang tersebut tidak memberikannya. Biasanya saya menantang mereka dengan taruhan kitab-kitab mereka. Umumnya saya menang."
"Dan sekarang.." tanya Petapa Lain Pulau.
"Sekarang, jika ki sanak berdua tidak menyerang saya, atau tidak mau menanggapi saya, jadi susah. Saya jadi tidak punya alasan untuk bertarung dan menggunakan kitab-kitab ki sanak sebagai taruhan." Saat berkata begitu terlihat bahwa Rawarang masih berpikir keras, mengerahkan kecerdikannya untuk mengakali agar kedua petapa yang ada di depannya itu mau menyerahkan kitab-kitabnya, atau setidaknya melawan dirinya.
Tiba-tiba ia teringat siasat yang digunakannya saat dulu menghadapi Petapa Seberang, adik angkat dari Petapa Lain Pulau dan Petapa Gunung Es. Segera ia mengumpulkan tenaganya dan berkonsentrasi. Aliran hawa tampak berputar-putar di sepanjang aliran darahnya. Perlawan merambat ke seluruh urat-urat kecil di sepanjang tubuhnya. Tubuhnya tampak memucat dan memerah silih berganti, tergantung pada suatu saat ke mana aliran hawa hangat dan dingin mengalir.
"Hey.., apa maksudmu..?" tiba-tiba Petapa Lain Pulau mengamat-amati Rawarang, tiba-tiba ia bergerak cepat.
Bersamaan dengan itu bergerak pula Petapa Gunung Es. Keduanya memukul hampir bersamaan dada dan perut Rawarang.
"Buk-buk-buk...!" terdengar bunyi pukulan keras. Akibatnya Rawarang terhuyung dua tiga tindak dengan mata terpejam.
Tak lama kemudian ia pun batuk mengeluarkan darah, karena luka dalam yang dideritanya. Langsung ia duduk bersila untuk mengatur nafas dan membereskan jalan darahnya yang kacau-balau.
"Orang ini benar-benar berhati keras dan aneh," gerutu Petapa Gunung Es.
Dalam usahanya untuk mendapatkan ilmui-ilmu kedua petapa tersebut Rawarang telah membalik jalan darahnya sendiri sehingga ia terluka. Jika saja kedua petapa itu tidak menyadari maksudnya, dan memukulnya di dada dan perut untuk membuyarkan tenaga penghancurnya, sudah bisa dipastikan bahwa Rawarang akan terluka lebih parah dan mungkin mati.
Sekarang dalam keadaan yang terluka itu, mau tak mau, didasari rasa kemanusiaan, kedua petapa itu mengobati Rawarang. Secara tak langsung mereka harus mengoperkan sedikit tenaga dalam mereka. Dari jenis tenaga dalam yang diberikan itu, sedikit banyak Rawarang dapat mempelajari ilmu-ilmu mereka. Pengetahuan ini diperolehnya dari penjaga tua Perpustakaan Kerajaan, Merasai Hawa Pelajari Ilmu.
Setelah diobati oleh Petapa Lain Pulau dan Petapa Gunung Es, keadaan Rawarang berangsur-angsur membaik. Ia dapat kembali membuka matanya. Walaupun wajahnya masih pucat, berusaha ia menyunggingkan sedikit senyum di ujung mulutnya. Ia telah berhasil merasai sedikit aliran hawa kedua petapa itu. Kira-kira sudah diperolehnya satu dari sepuluh bagian ilmu-ilmu mereka dalam pengolahan hawa.
Selagi kedua petapa itu memperhatikan Rawarang yang masih berusaha untuk bangun, tiba-tiba terdengar suara lirih di udara. Mengambang tapi jelas.
"Kakak Gunung Es.., kakak Lain Pulau..., kena juga kalian diakali bocah nakal ini..!"
Tak berapa lama yang empunya suara pun tiba di hadapan mereka. Sama-sama berambut panjang seperti Petapa Lain Pulau, akan tetapi orang itu tidak mengikat rambutnya yang putih dan panjang. Dibiarkannya tergerai saja. Bajunya juga sederhana dan kasar. Wajahnya tampak lebih muda, paling muda dari ketiga petapa tersebut. Itulah adik angkat kedua petapa yang telah datang lebih dulu ke tempat itu. Petapa Seberang.
Gembira ketiganya saling merangkul dan berpelukan. Tak perlu kata-kata diucapkan. Pandangan dan sentuhan di pundak sudah mewakili rasa persaudaraan yang telah tumbuh sejak di Pulau Gunung Api.
Tak jauh dari sana tampak Rawarang memandangi ketiga orang itu. Ada suatu rasa yang hilang dirasakannya. Tidak seperti ketiga orang itu yang saling memiliki satu sama lain, ia tidak memiliki siapa-siapa. Tiba-tiba terselit rasa kesepian dalam hatinya.
Ketiga orang itu saling berbincang dengan ramai, seakan-akan Rawarang tidak lagi ada di dekat mereka. Petapa Gunung Es yang biasanya lebih senang mendengarkan pembicaraan, juga bertanya-tanya banyak hal pada adikn angkatnya, Petapa Seberang.
Menghadapai hujan pertanyaan dari kedua kakak angkatnya tersebut, Petapa Seberang hanya bisa tersenyum. Walaupun mereka sudah sama-sama tua dan mungkin hanya tinggal menunggu waktu, kapan mereka harus melepas nyawa dari tubuh yang rapuh ini, masih terlihat rasa saling menyayangi antar ketiga saudara angkat tersebut.
Petapa Seberang kemudian menjawab satu-persatu pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh kakak-kakaknya tersebut. Kadang-kadang penjelasan atau ceritanya disela oleh yang lain, karena ada hal-hal yang ingin ditanyakan. Ramai sekali suasananya.
Sampai suatu saat teringat kembali mereka akan orang yang 'mengerjai' mereka bertiga sehingga tiba di tempat ini. Rawarang si Maling Kitab. Mereka bertiga pun melihat berkeliling. Akan tetapi tak tampak wujud dari orang yang dicari itu. Kelihatannya saat mereka bertiga sedang asik bercengkrama beranjak pergi Rawarang. Tak tahan ia melihat keakraban yang ada di antara ketiga saudara angkat tersebut.
Petapa Seberang yang telah lebih dahulu datang ke tempat ini, Rimba Hijau, sudah tahu di mana harus mencari Rawarang. Tanpa bicara, digerakkan tangannya ke suatu arah sambil mengajak kedua kakak angkatnya beranjak dari sana. Keduanya pun mengangguk tanda mengerti.
Ketiganya kemudian melesat cepat bagai terbang. Hanya sesekali kaki-kaki mereka menotol tanah untuk kembali meloncat jauh bagai melayang di udara. Benar-benar ilmu meringankan tubuh yang sudah amat mumpuni. Menggirisi apabila menyaksikannya.
Setelah berbelok ke sana dan kemari dan berlari mendaki, sampaillah ketiganya di suatu tangga tinggi di lereng gunung itu. Gunung Hijau. Tangga itu terpahat indah di lereng yang terjal itu. Zig-zag ke kanan dan ke kiri. Dipahat sedemikian rapi dan halus. Entah siapa dan bagaimana bisa anak-anak tangga itu dibuat.
Seakan tidak memberi kesempatan bagi kedua orang kakaknya untuk sebentar mengagumi arsitektur tangga tersebut, Petapa Seberang bergegas menaikinya. Lima enam anak tangga sekaligus. Kedua saudara angkatnya pun tak mau kalah, bergegas mereka mendaki tangga-tangga batu itu. Cepat dan pesat. Menuju atas, melampau ratusan mungkin sampai seribu anak tangga. Menuju suatu tempat di atas sana.
Rawarang berjalan dengan sempoyongan. Hampir habis tenaganya. Luka-luka yang dideritanya menguras benar-benar tenaga dalamnya. Ada hal yang lebih penting, yang harus dilakukan ketimbang mengobati lukanya itu. Ia harus mencatat bagaimana kedua orang yang baru saja mencegahnya tewas itu mengolah tenaga dalamnya. Dengan ilmu Merasai Hawa Pelajari Ilmu ia sudah bisa mencerap satu dari sepuluh bagian ilmu kedua orang petapa itu. Dengan menganalisa arah tenaga mereka bisa sampai dua bagian lagi diperolehnya. Sudh cukup untuk dituliskan. Jadi buku yang akan menghiasi koleksi-koleksinya.
Tiba-tiba pandangannya gelap. Hampir ia terjadi dari anak tangga yang baru dua puluhan itu dilampauinya. Masih ratusan lain yang menunggu. Sebelum ia mencapai lereng puncak. Tempat ia menyimpan kitab-kitabnya. Tiba-tiba dirasanya sama sekali tak ada tenaga. Tubuhnya melemas seperti tak bertulang. Doyong dan bergerak jatuh.
Jika saja tidak ada tangan kekar dan sosok gempal pendek bergerak ringan memapahnya, jatuh pasti ia menggelundung ke bawah. Dan mungkin tak sadarkan diri lagi.
Sosok itu, seorang makhluk Troll muda, Bagadsh namanya tampak menyeringai seram menyanggahnya. Rawarang tersenyum lemah. Ia bersyukur makhluk yang dianggap adiknya itu ada di sana. Membantu dirinya sehingga tidak terjatuh.
Seakan-akan sudah mengerti apa kemauan dari Rawarang, Bagadsh langsung menggendongnya di punggung. Dengan langkah ringan dan cepat ia melompat-lompat melampau anak-anak tangga itu. Cepat dan lembut. Seakan-akan tak ada bobotnya. Tak cocok dengan perawakannya yang gempal dan terlihat berat.
Pada akhir dari anak tangga itu membentang tembok tinggi di atasnya. Pada sisi kirinya, tampak air terjun yang tinggi dan megah menjatuh turun. Membuat udara terasa basah dan segar. Sampai di sana Bagadsh berhenti dan kemudian mengeluarkan sesuatu dari balik bajunya. Secarik kain panjang. Kain itu akan digunakannya untuk membelit-belit tubuh Rawarang yang masih bersandar lemah di punggungnya.
Rupanya Bagadsh menyadari bahwa perjalan mendaki tebing karang ini lebih sulit dari hanya menaiki anak-anak tangga tadi. Ia mungkin membutuhkan kedua tangannya. Dan untuk itu tidak ada cukup tangan untuk mengendong Rawarang. Lebih baik diikat saja, agar ia bisa cepat memanjat ke atas.
Segera hal itu dikerjakannya dengan cepat. Tak perlu agak membungkuk karena makhluk Troll umumnya telah memiliki tubuh yang lebih pendek dari manusia, Bagadsh menyenderkan Rawarang yang masih sadar akan tetapi tidak memiliki tenaga lagi untuk bergerak itu di punggungnya. Dilemparkannya kain tersebut ke belakang bahunya dan disambar oleh kakinya yang melengkung ke belakang. Tangan yang satu masih memegang Rawarang agar tidak tergelincir dari punggungnya. Bergantian tangan yang melempar kain ke belakang bahu dan yang memegang Rawarang bekerja. Juga kaki-kakinya. Tak lama selesailah pekerjaan itu. Rawarang tampak telah terikat dengan erat tapi nyaman di punggung Bagadsh.
Seperti menarik napas sebentar untuk berkonsentrasi, Bagadsh termangu sebentar untuk kemudian melompat naik. Memanjat dengan cepat dinding batu dari tebing terjal di hadapannya itu.
Tak berapa lama sampailah makhluk itu dengan seorang manusia di punggungnya pada suatu ruang luas yang mirip balkon alam dari di atas dinding terjal itu, di mana di satu sisinya mengalirkan sungai bening ke bawah sebagai air terjun. Bagadsh kemudian membawa Rawarang ke sebuah lorong di sebelah kanannya. Berkelok-kelok sebentar dan sampailah pada suatu ruang luas tempat tersimpan banyak kitab-kitab yang tersusun pada lubang-lubang dalam dinding.
Usul Bagadsh agar Rawarang beristirahat lebih dahulu sebelum menuliskan suatu kitab, ditampiknya dengan lemas.
"Tak banyak lagi waktunya, adik Bagadsh, kitab ini harus diselesaikan. Mungkin dirimu berpikir aku agak gila, yang mau mengantar nyawa hanya sekedar untuk mencari tahu sesuatu untuk kemudian dituangkan dalam sebuah kitab..," ia berhenti sejenak karena hampir putus napasnya saat berbicara tadi, lalu lanjutnya, "tapi itulah diriku."
Makhluk Troll itu tidak bisa berbuat banyak. Lalu ia pun duduk bersila di belakang Rawarang, berkonsentrasi sebentar untuk kemudian menempelkan kedua telapak tangannya di punggung sang kakak. Mengalirkan hawa Tenaga Tanah, membantu Rawarang untuk menyelesaikan pekerjaan terakhirnya.
Penulisan kitab itu pun berlangsung. Ilmu Tiga Petapa, judulnya. Sunyi kemudian suasana, hanya terdengar goresan-goresan bulu bertinta yang beradu dengan kertas kasar bahan dasar kitab-kitab pada masa itu.
Sampai suatu saat Rawarang merasakan waktunya datang. Dihentakkannya punggungnya dari tangan Bagadsh. Tak ingin ia adiknya itu membuang terlalu banyak energi hanya untuk dirinya. Lalu bergegas ia menuju ke salah satu dinding batu di situ. Dinding yang telah lama dipersiapkannya untuk dituliskan pesan-pesan terakhirnya. Tak dipikirnya bahwa hari ini dinding itu akan ditulisiknya. Orang-orang yang beruntung bisa masuk ke sini harus menjadi penerusnya. Meneruskan cita-citanya. Membangun perpustakaan di tanah ini. Agar orang-orangnya dapat belajar dengan cuma-cuma. Membuat orang-orang menjadi lebih pintar dan maju.
Dikerahkan tenaga terakhirnya untuk menuliskan pesan-pesannya dengan guratan-guratan di atas dinding batu itu. Semakin lama semakin lemah. Coretan-coretannya semakin tak lagi dalam. Juga semakin lama semakin miring ke bawah. Condong ke arah ketiadaan tenaga untuk dikerahkan. Tangannya pun terkulai lemah. Dirinya akan terantuk lantai batu apabila tak ada tangan besar dan kasar dari Bagadsh yang menyambutnya. Memeluknya.
"Adik Bagadsh, selamat tinggal... Aku minta taruh jenasahku di ruang sana.., sebagai bagian dari kalian...," dan menutup matalah Rawarang di dalam pelukan adiknya, Bagadsh, sang makhluk Troll. Sang adik hanya bisa menggereng-gereng sedih. Tak ada air mata dalam kebiasaan mereka. Hanya ungkapan kecewa atas perginya orang-orang atau sanak-saudara yang dihormati dan dikasihi.
Bagadsh pun bergegas memanggul jasad Rawarang. Tak lupa disambarnya sejilid kitab yang belum selesai hasil karya sang kakak tadi. Berangkat ia menuju suatu ruangan, tempat di mana jasad Rawarang akan diletakkan.
Ruang yang dituju oleh Bagadsh disebut sebagai Ruangan Kediaman Terakhir, tempat jasad-jasad para Troll diletakkan di dinding dan dibiarkan mengering dimakan waktu. Mirip dengan yang dilakukan oleh orang-orang suatu bangsa dalam Katakombe (Katakombe) mereka. Rawarang ingin jasad dirinya pun dimakamkan di sana. Ia tidak ingin dirinya dibedakan dari makhluk-makhluk yang selama ini telah banyak membantunya. Makhluk-makhluk yang kesetiaannya kadang melebihi kesetiaan antar sesama manusia.
Dalam perjalanannya menuju ruangan tersebut Bagadsh berpapasan dengan ketiga petapa di Sungai Batu Bening. Ia hanya memandang sayu mereka. Mengangsurkan kitab setengah jadi yang ditulis Rawarang pada saat-saat terakhirnya. Dan menunggu.
Sebagai seorang Troll yang kemampuan dalam membedakan manusia yang jahat dan baik di atas manusia pada umumnya, ia dapat mengerti bahwa ketiga orang petapa ini bukanlah orang-orang yang berniat tidak baik. Hanya tak dimengertinya, mengapa kakaknya Rarawarang tidak berteman saja dengan mereka dalam mewujudkan cita-citanya.
Petapa Gunung Es yang menerima sejilid kitab tersebut, dibacanya dengan cepat tulisan-tulisan yang tertera di dalamnya. Tak tahan berkaca-kaca matanya membaca isi dari kitab tersebut. Tersentuh ia akan kesungguhan dari Rawarang yang ingin menuliskan apa-apa yang diketahuinya mengenai ilmu-ilmu mereka bertiga. Bahkan sampai merelakan nyawanya sebagai imbalannya. Lalu diangsurkannya kitab itu kepada kedua adiknya.
Sama pula yang dialami oleh kedua adiknya tersebut. Mereka benar-benar terharu atas kegigihan Rawarang yang ingin menuliskan kitab mengenai ilmu-ilmu mereka, demi melengkapi koleksinya untuk mewujudkan suatu perpustakaan yang di tanah ini.
Akhirnya diputuskan sebagai penghormatan mereka bagi Rawarang dan juga peringatan bagi dirinya serta orang-orang yang telah teracuni ambisi, akan diciptakan ilmu yang hanya dapat dipelajari oleh orang-orang yang berhati teguh. Pada orang-orang dengan keinginan yang utuh dan tekun, mengalirnya hawa akan berlainan dengan pada orang-orang yang malas ataupun amat ambisius. Ilmu ini yang memang ditujukan hanya bagi orang-orang yang sabar dan tekun, dan dinamakan oleh ketiga petapa itu sebagai Ilmu Menanti Tekun Memukul Tegas. Suatu ilmu yang gerakan awalnya lambat, akan tetapi dapat membalas dengan cepat dan keras.
Ilmu ini dirancang untuk orang-orang yang tidak suka mencari-cari masalah lebih dulu. Lebih banyak bertahan, akan tetapi dapat membalas dengan ampuh. Kelebihan dari ilmu Menanti Tekun Memukul Tegas ini terletak pada kuda-kuda dan posisi yang harus dilakukan dalam jangka waktu yang lama. Dengan cara ini mau tak mau lawan akan terlebih dahulu menyerang karena tak sabar. Saat mereka menyerang itulah muncul kelemahan-kelemahan yang harus segera dimanfaatkan untuk diserang.
Jika tidak tekun merapal ilmu ini, kesabaran untuk menanti terlebih dahulu serangan lawan tidak akan tercapai. Dengan sendirinya jurus-jurus yang dipelajari tidak akan banyak berguna dan seampuh seperti yang dituliskan.
Ketiga petapa itu pun akhirnya memutuskan untuk berdiam di tempat itu. Selain karena indahnya tempat itu juga untuk merampungkan sedikit-sedikit catatan-catatan yang pernah dimulai oleh Rawarang. Mereka kemudian merancang sedemikian rupa cara mencapai ruang kitab itu dan juga petunjuk-petunjuk untuk mempelajari kitab-kitab yang ada. Kitab-kitab tertentu apa saja yang perlu dipelajari untuk dapat memahami kitab-kitab yang lain. Mempelajari keseluruhan kitab-kitab yang dikumpulkan Rawarang akan menghabiskan waktu, dan tidak sempat mengamalkannya. Mengenai misi untuk melaksanakan rencana Rawarang lebih lanjut, hal itu diserahkan pada Bagadsh untuk menceritakannya, atau keturunan-keturunannya. Hal ini dikarenakan umur Troll yang relatif bisa tiga sampai empat kali lamanya umur manusia.
Setelah melihat ruangan Kediaman Terakhir yang menyerupai Katakombe, ketiga petapa itu pun berpesan kepada Bagadsh agar mereka bertiga apabila nanti juga telah tidak lagi bernyawa, agar dimakamkan pula di sana. Mengikuti tradisi dari para penghuni dataran tebing itu.
Atas permintaan Bagadsh dan hasil urung-rembug, kitab karangan ketiga petapa, yaitu ilmu Menanti Tekun Memukul Tegas itu tidak diletakkan di Ruang Kitab melainkan di Kediaman Terakhir, mengingat bahwa ilmu itu bukanlah hasil pencurian dari Rawarang melainkan hasil karya ketiga petapa itu. Ilmu yang boleh dipelajari oleh orang-orang yang dapat terlebih dahulu masuk ke Ruang Kitab dan mempelajari ilmu-ilmu yang di ada di sana sesuai dengan petunjuk yang ada.
Untuk pesan yang tidak selesai dituliskan oleh Rawarang, ketiga petapa itu tidak tahu apa yang harus dijelaskan. Mereka sendiri pun tidak memahami hal itu. Bahkan Bagadsh pun sebagai orang terdekat dari Rawarang tidak mengerti maksud dari pesan terakhir yang tidak selesai dituliskan kakaknya itu.
Dalam pada itu Bagadsh sempat menceritakan misi lain dari pencurian kitab-kitab yang dilakukan oleh Rawarang. Sang Maling Kitab juga melihat dirinya sebagai Penjaga Keseimbangan, yaitu ia juga mencuri kitab-kitab dari orang-orang yang juga dianggapnya jahat dan menguncinya dalam suatu tempat di gunung itu. Sedangkan kitab-kitab dari orang-orang yang dianggapnya baik diletakkan di Ruang Kitab. Dengan cara ini diharapkan tokoh-tokoh jahat tidak memiliki pewaris, sedangkan kitab-kitab tokoh-tokoh baik dapat dipelajari oleh orang-orang yang dapat mencapai ruangan itu.
Mendengar hal itu ketiga petapa hanya dapat tersenyum. Pemikiran dan ambisi Rawarang telah sedemikian jauh merasuki jiwanya, sehingga apapun tindakannya dapat ia benarkan dengan argumen-argumen tertentu.
Letak ruang tempat meletakkan kitab-kitab dari tokoh-tokoh sesat dunia persilatan tidak ditanyakan oleh ketiga petapa, hanya pesan mereka kepada Bagadsh, agar keterangan mengenai ruangan itu jangan sampai jatuh ke tangan orang-orang jahat. Perlu dituliskan cukup keterangan di ruangan itu, agar orang-orang yang tidak sengaja menemukan ruangan itu tidak mempelajari ilmu-ilmu yang terdapat di dalamnya. Hal itu untuk keselamatan mereka sendiri pula. Bagadsh pun mengiyakan hal ini. Ia melihat ada benarnya permintaan dari ketiga petapa itu.
Mulanya Kediaman Terakhir dapat dicapai dengan memanjat dinding tempat sungai Batu Bening mengalir ke luar, akan tetapi kemudian lubang di atas tebing itu ditutup dan digantikan dengan lubang di langit-langit dalam gua. Hal ini dilakukan oleh para Troll setelah ketiga petapa tersebut menutup mata. Mereka tidak ingin makam mereka mudah dicapai oleh orang-orang yang tidak berhak. Hanya orang-orang yang telah mereka restui saja akan diberi tahu di mana letak makam dalam gua atau Katakombe tersebut berada.
Di pintu tempat dulunya terdapat jalan masuk ke Kediaman terakhir ditanam beberapa pohon dalam rekahan-rekahan karang. Dengan cara ini diharapakan agar terlihat bahwa tempat itu tidak pernah sebelumnya menjadi jalan masuk ke suatu tempat di dalamnya, melainkan memang begitu adanya sejak lama. Suatu cara kamuflase yang dikenal oleh para Troll.
*** Hari pertama pun telah berakhir bagi Paras Tampan. Ia belum sekalipun berhasil memasuki lubang di langit-langit untuk mencapai ruang berikutnya itu. Walaupun demikian secara tak sengaja, ia sekarang telah terampil untuk bergerak secara terbalik di langit-langit, dengan hanya kakinya yang mencengkeram langit-langit batu. Akan tetapi belum sehandal para Troll yang bahkan dapat berlari secara terbalik. Paras Tampan baru dapat berjalan perlahan-lahan.
Dikarenakan telah dapat berjalan secara terbalik pada langit-langit, ia pun mulai membiasakan diri untuk melakukan serangan dengan menggunakan tongkat. Hanya saja sekarang lain rasanya. Umumnya saat menyerang kita juga memanfaatkan gaya berat bumi pada tongkat. Dalam posisi terbalik ini justru ungkitan ke atas yang memanfaatkan gaya berat tersebut. Bacokan ke bawah malah terasa lebih berat. Berlatih dengan cara terbalik ini mengembangkan kemampuan baru bagi Paras Tampan dalam penguasaan menggunakan tongkat.
Tak terasa hari kedua pun berlalu dengan cepatnya. Sudah mandi keringat Paras Tampan hari itu menyerang sana-sini para Troll yang menjaga lubang di langit-langit itu dari empat jurusan. Seakan-akan tanpa celah, tak pernah sampai pukulan atau sodokan tongkatnya pada bagian-bagian berbahaya dari tubuh mereka.
Dengan tubuh yang lelah dan mata penat, walaupun masih dilengkapi dengan semangat yang membara, Paras Tampan pun akhirnya harus beristirahat. Tak kuat badannya dipaksakan untuk terus bergayut terbalik dan melakukan serangan-serangan terus menerus. Perlu dipikirkan cara yang efesien untuk menyerang.
Terduduk dalam capainya, Paras Tampan pun kemudian bermimpi.
Ia sedang duduk dalam suatu ruangan beratap tinggi, kira-kira dua tiga tombak di hadapan seorang agak tua. Kira-kira setua gurunya Ki Tapa akan tetapi dengan tubuh yang jauh lebih tinggi dan besar. Paras Tampan yang untuk ukuran pemuda di kampungnya telah berbadang besar dan tinggi, masih terlihat lebih pendek apabila dibandingkan dengan orang itu. Rambutnya yang berwarna dua merupakan tanda yang khas dari orang itu, warna hitam dihiasi uban-uban putih di sebelah kanan dan warna hitam belaka di sebelah kiri. Entah apa yang menyebabkan hal itu.
Orang itu tersenyum-senyum sambil menatap Paras Tampan yang sedang duduk bersimpuh di hadapannya. Tak ada kata-kata di antara mereka.
Dicobanya Paras Tampan mengingat-ingat. Seakan-akan tidak lagi asing wajah orang itu. Atau hal lain pada orang itu yang rasa-rasanya pernah dikenalnya. Entah apa.
Tak lama kemudian muncul sesosok Troll tua di samping orang itu, Bagadsh. Ia hanya muncul sebentar sambil menunjuk pada orang itu, seakan-akan memberi tahu Paras Tampan bahwa ini adalah orang yang dimaksud. Setelah itu ia pun kembali menghilang.
Orang tua berambut putih sebelah itu pun melambaikan tangannya, meminta agar Paras Tampan mendekat.
Beringsut Paras Tampan mengikuti permintaan orang itu.
Setelah cukup dekat, orang tersebut kemudian mengambil sebuah batu yang ada di sekitarnya. Diletakkannya di atas telapak tangannya. Batu itu terlihat menempel. Kemudian dibalikkan telapak tangannya dan batu itu pun masih menempel, seakan-akan tidak mau lepas dari telapak tangannya.
Ia kemudian menggambarkan segitiga terbalik dengan garis mendatar di puncak bawah segitiga. Lambang Tanah. Lalu diangsurkan batu itu kepada Paras Tampan seakan meminta untuk mencobanya melakukan hal yang sama.
Dengan masih sedikit bingung Paras Tampan pun mencoba mengerahkan Tenaga Tanah yang pernah dipelajarinya. Umumnya dikeluarkan bersamaan dengan ia mencengkeram atau menjejak, dan digunakan saat memanjat lubang-lubang di Ruang Dinding Berlubang. Terlihat sedikit hasil. Batu itu sempat bertahan beberapa lama untuk kemudian terjatuh.
Orang itu menggeleng-gelengkan kepalanya, ia lalu memberi isyarat bahwa jangan terlalu keras, lembut tapi mengalirkan Tenaga Tanah. Ini bukan menjejak, tapi menempelkan benda.
Paras Tampan pun mencoba lagi. Kali ini berhasil. Ia berhasil membuat batu itu menempel pada telapak tangannya. Lama dan stabil.
Tersungging senyum pada wajah orang itu menyaksikan keberhasilan Paras Tampan melakukan petunjuknya. Lalu ia berdiri, mengisyaratkan Paras Tampan untuk mencoba kebisaan barunya itu pada dinding di sekitarnya.
Setelah beberapa kali mencoba Paras Tampan mengerti bahwa yang selama ini dilakukannya terlalu menguras tenaga. Tenaga Tanah dapat dikeluarkan tanpa perlu terlalu mengeluarkan tenaga fisik. Dengan cara ini ia tidak akan terlalu lelah saat menempel pada dinding atau bebatuan.
Saat ia sedang gembira akan pengertian dan pemanfaatan barunya mengenai Tenaga Tanah, orang itu menepuk bahunya dari belakang. Ia mengajak Paras Tampan menuju ke suatu tempat.
Paras Tampan pun mengikuti orang itu ke suatu ruangan terbuka beratapkan langit. Di sana tampak bertumpuk-tumpuk kerikil dan batu bersebaran. Bermacam-macam warna dan ukuran.
Orang itu kemudian mengambil sebuah batu yang cukup besar. Meminta Paras Tampan dengan isyarat tangannya untuk mencoba agar batu itu menempel pada telapak tangannya yang menghadap ke bawah. Paras Tampan pun mengiyakan.
Perbedaan struktur dan komposisi bahan dari batuan yang diberikan orang itu, menimbulkan sensasi yang berbeda saat Paras Tampan mencoba menempelkannya pada telapak tangannya. Hal itu juga tampak dari penjelasan orang itu, yang berusaha mengatakan bahwa tenaga yang dikeluarkan harus disesuaikan, sehingga efesien pemanfaatannya.
Setelah Paras Tampan dapat mengerti orang itu kemudian memberikan batu-batu yang lain dari berbagai jenis, agar ia dapat merasakan perbedaannya dari berbagai contoh.
Kemudian, seakan-akan mengatakan cukup, orang itu menunjukkan hal lain. Hal yang sebelumnya tidak terpikirkan oleh Paras Tampan. Dulunya ia menganggap Tenaga Tanah itu hanya bisa muncul sebagai tenaga menempel apabila bagian tubuhnya bersentuhan langsung, akan tetapi orang itu menunjukkan sesuatu yang sama sekali lain.
Diambilnya sebutir batu sembarang, diletakkannya di atas telapak tangannya dan kemudian dibalikkan. Batu itu menempel, dan kemudian perlahan-lahan turun ke atas tanah. Naik kembali mendekati telapak tangan dan kemudian turun kembali.
Ia menunjukkan pula bahwa hal yang sama bisa berlaku sebaliknya. Batu yang tadi diletakkan kembali ke atas telapak tangannya, akan tetapi ia tidak membalik telapak tangannya itu, melainkan membiarkannya menghadap ke atas. Kemudian tampak bahwa batu itu melayang jauh ke atas seakan-akan terdorong oleh tenaga tak tampak dari telapak tangannya. Naik terus sampai dua tombak lebih. Kemudian turun perlahan-lahan kembali ke telapak tangan orang itu.
Kagum Paras Tampan akan demonstrasi yang dilakukan oleh orang itu. Dicobanya untuk melakukan hal yang sama. Tapi ia hanya mampu untuk menahan batu itu tergantung di bawa tangannya sejauh dua kuku. Lebih jauh ke bawah, batu tersebut kehilangan kendali dan jatuh berdebam. Demikian pula untuk mengapungkan batu, ia hanya bisa sejauh satu jari di atas telapak tangannya. Ternyata lebih sulit membangkitkan tenaga tolak ketimbang tarik menggunakan Tenaga Tanah.
Belum Paras Tampan sempat mengucap sesuatu berkaitan dengan cara yang baik untuk membangkitkan tenaga tarik dan tolak itu, orang tersebut telah berdiri di tengah-tengah lapang yang dihiasi berbagai jenis batu itu. Ia mengisyaratkan agar Paras Tampan memperhatikan gerak-geriknya.
Orang itu tampak berkonsentrasi sebentar, mengatur nafasnya sehingga hampir tak lagi terdengar dan kemudian menggerakkan tubuhnya. Beberapa gerakan yang langsung dapat diserap oleh Paras Tampan yang memiliki ingatan baik. Hal yang dilihatnya seakan-akan tak akan terlupa kembali, yang merupakan salah satu kelebihannya. Hanya gurunya Ki Tapa yang mengetahui bakatnya ini.
Tak berapa lama terdengar suara bergemuruh, seakan-akan akan terjadi longsor atau badai. Seluruh batu-batu yang berada di lapangan itu bergetar, seperti halnya air yang mendidih. Di mana semua bagian dari air bergetar liar, ingin bergegas menjadi gas, uap air.
Selanjutnya orang itu menggerakkan tangan dan kakinya sedemikian rupa sehingga menghasilkan angin sapuan yang dasyat. Angin pukulan belaka bagi Paras Tampan mungkin tidak lagi menakutkan karena ia telah melihat demonstrasi gurunya akan hal itu, tapi di sini gerakan angin itu tidak hanya diikuti hawa belaka melainkan juga batu-batu. Serangkum batu-batu bergerak bergerombol mengambang di udara. Membentuk kelompok-kelompok yang berubah-ubah sesuai dengan gerakan orang itu. Liar.
Tak terasa Paras Tampan menahan nafas menyaksikan peragaan ini. Inilah apa yang dikenal sebagai Pukulan Badai Pasir. Pukulan yang menyertakan batu-batu dan pasir dalam hawa pukulannya. Ada hawa tenaga luar dan tenaga dalam secara bersamaan. Sejenis pukulan yang yang sulit untuk dihindari. Benar-benar pukulan yang mengerikan.
Setelah mengurangi tenaganya, batu-batu yang mengambang itu pun kembali terjadi ke atas tanah. Kembali mati seperti keadannya semula. Lalu orang itu mulai mengayunkan anggota-anggota tubuhnya. Menunjukkan sepuluh jurusa dari Pukulan Badai Pasir.
Paras Tampan menyaksikan dan mencoba mengingat-ingat sekecil-kecilnya perubahan yang dilihatnya. Sampai di akhir jurus ke sepuluh, orang itu merangkumkan kembali jurusnya dengan Tenaga Tanah sehingga kembali batu-batu kecil dan besar beterbangan bagai debu. Mengambang dan liar. Pada pukulan penutup diarahkannya jurus tersebut ke arah Paras Tampan. Ia tercengang akan serangan itu dan tak sempat mengelak. Padangannya tiba-tiba gelap, dan...
"Dukkk...!!"
Paras Tampan terbangun dari tidurnya karena kepalanya mengantuk batu yang ada di sisinya. Rupanya dalam posisi duduk tadi, perlahan-lahan tubuhnya membungkuk sampai posisi tertentu dan kemudian jatuh membentur dinding di sampingnya. Sakit.
Digosok-gosokkan kepalanya yang membenjol kecil. Teringat ia kembali akan mimpinya itu. Dicobanya untuk melakukan jurus-jurus yang tadi dilihatnya dalam mimpi. Perlahan. Sambil kadang berhenti untuk kembali merangkai ingatannya kembali. Tak berapa lama telah berhasil ia melakukan kesepuluh jurus itu, walaupun masih kaku. Kegiatannnya ini tak lepas dari pengamatan keempat penjaga Troll yang masih nemplok di langit-langit gua tersebut. Salah seorang dari mereka tampak tersenyum ala Troll melihat Paras Tampan yang sedang asik bergerak-gerak sendiri di bawah sana.
Karena belum menemukan alternatif untuk masuk ke lubang di langit-langit gua itu, Paras Tampan memutuskan untuk berlatih jurus-jurus dalam mimpinya itu. Pukulan Badai Pasir. Tapi ia belum dapat menggerahkan Tenaga Tanah seperti dalam mimpinya, untuk menarik dan menolak benda-benda padat. Pun di sana tidak terdapat batu-batu seperti dalam mimpinya.
Setengah hari pun lewat. Kesepuluh jurus dari Pukulan Badai Pasir telah dapat dilakukannya dengan lancar. Masih berupa gerakan saja, belum terisi oleh Tenaga Tanah. Sekarang ia berpikir untuk melatih jenis tenaga tersebut. Tapi tanpa batu.
"Kecipak..!" tiba-tiba terdengar deburan air yang diciptakan oleh ikan Kolakan, seakan-akan ia hendak memberikan jawaban atas kebingungan Paras Tampan yang sedang mencari-cari batu-batu.
Karena Paras Tampan tidak terlihat mengerti, ikan Kolakan tersebut kemudian menggerakkan ekornya setelah berputar beberapa kali, tampak sebongkah es terbentuk mengambang. Dilontarkannya bongkahan es tersebut. Cepat dan keras. Paras Tampan yang tidak siaga hampir saja benjol kepalanya untuk kedua kalinya. Untung ikan kolakan itu tidak bermaksud untuk benar-benar menyambitnya.
Dengan tipis mengelak Paras Tampan menangkap bongkahan es sebesar kepalan tangannya itu. Tiba-tiba ia mengerti. Batu yang tidak ada dapat digantikan dengan es. Untuk itu ia harus membuat air yang ada di sekelilingnya menjadi es dahulu, baru kemudian dikendalikan dengan Tenaga Tanah menjadi hawa pukulannya. Mendapatkan bantuan itu Paras Tampan pun membungkuk kepada sang ikan Kolakan untuk berterima kasih.
Penghormatannya dibalas dengan lompatan tinggi sang ikan yang kemudian menghilang dalam air yang jernih dan dalam itu.
Sunyi. Hari pun telah menjelang senja.
Buah yang berwarna keperakkan pun telah diberikan sebuah kepadanya. Saatnya untuk sedikit beristirahat. Para Troll sudah berganti kembali penjagaan. Yang baru turun dari langit-langit tampak Mengheningkan Cipta untuk memulihkan tenaganya, sedangkan rekannya menggantikan posisinya untuk menjaga lubang di langit-langit itu.
Paras Tampan tidak mempedulikan mereka. Ia memikirkan bagaimana cara yang paling cepat untuk melatih ilmu barunya. Pukulan Badai Pasir yang tidak menggunakan pasir dan batu melainkan butiran-butiran es. Lebih tepat disebut Pukulan Butiran Es. Ia masih bingung membagi tenaganya antara membekukan air dan menjalankan Tenaga Tanah untuk mengendalikan butiran-butiran padat tersebut. Dicobanya dengan sedikit butir-butiran es. Perlahan-lahan.
Tak terasa tengah malam telah menjelang. Akhir hari kedua. Tinggal setengah hari lagi sampai batas waktu yang diperbolehkan bagi Paras Tampan untuk mencapai ruangan di atas langit-langit itu. Sudah ditemukannya jenis pukulan dan serangan yang dapat digunakan. Tapi ia belum dapat menguasainya dengan baik.
Pukulan Badai Salju efektif apabila batu-batu es yang digunakan cukup banyak, akan tetapi untuk membentuk batu es yang cukup banyak diperlukan tenaga awal yang besar. Mengingat Paras Tampan tidak melatih Tenaga Air dengan mendalam, ia tidak bisa membuat bongkahan es melebihi kepalan tangannya. Dan lagi dalam memutar-mutarkan bongkahan es itu, semakin lama diputarkan semakin kecil bongkahan es jadinya karena bergesekan dengan udara. Jadi jurus yang harus digunakannya tidak boleh menggunakan banyak perputaran, melainkan harus langsung. Jika tidak serangan es itu tidak akan berhasil.
Selain itu Paras Tampan juga telah menemukan cara lain memanfaatkan Tenaga Tanah selain menolak dan menarik yang diajarkan orang agak tua itu dalam mimpinya. Sekarang ia bisa melakukan levitasi (levitation) atau mengambang di udara. Sebenarnya ia tidak benar-benar mengambang akan tetapi menyeimbangkan antara gaya tarik bumi, gaya tarik dari tubuhnya ke langit-langit dan gaya tolak dari tubuhnya terhadap lantai. Dengan cara ini ia bisa melompat lebih tinggi dan bertahan lebih lama di udara baru kemudian turun kembali dengan ringat. Hampir-hampir "terbang".
Ia merencanakan akan menggunakan tenaganya habis-habisan untuk menyerang keempat penjaga itu besok pagi. Sekarang yang ia butuhkan hanyalah istirahat. Capai sudah baik fisik maupun pikirannya untuk melatih jurus-jurus yang akan dirapalnya besok, juga siasat yang diaturnya.
Paras Tampan pun mencari posisi yang enak di salah satu sudut gua, melingkarkan tubuhnya dan tidur. Benar-benar tidur, tidak seperti dua malam berturut-turut yang lalu yang hanya setengah tidur.
***

Kehidupan Para Pendekar Karya Nein Arimasen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pagi telah datang. Tinggal setengah hari kurang waktu yang diberikan pada Paras Tampan untuk mencapai ruangan di atas langit-langit itu. Pemuda itu menggeliat bangun. Tidur enam jam sudah cukup baginya. Sekarang ia harus bersiap-siap untuk kembali mencoba masuk ke lubang di langit-langit itu. Percobaan terakhir. Jika gagal ia harus berlatih lagi ilmu-ilmu yang telah dipelajarinya, satu tahun lagi.
Saat ia bangun, tampak satu buah keperakan tampak telah tersedia di sampingnya. Ia memakannya dan segera terasa asupan tenaga segar menyebar ke seluruh pembuluh darahnya. Tenaga yang diperlukan untuk pertarungan terakhir hari ini, untuk memasuki ruangan di atas langit-langit sebagai tujuan ujiannya.
Paras Tampan pun segera berdiri. Digerak-gerakkan tubuhnya. Dilemaskan otot-otot yang kaku akibat tidurnya. Sudah tidak terasa lagi lelahnya kemarin malam. Semangat mulai mengisi tubuhnya. Ia kemudian mulai memperaktekkan jurus-jurus Pukulan Butiran Es yang ditemukannya kemarin. Gabungan dari Pukulan Badai Pasir dan Sentilan
Kelereng Es. Ia amat berterima kasih pada orang tua yang ditemuinya dalam mimpi dan juga sang ikan Kolakan.
Untuk menenteramkan jiwanya, Paras Tampan pun Mengheningkan Cipta sebentar. Memohon pada Sang Pencipta restu-Nya, agar ia dapat berhasil pada pagi hari ini.
Setelah merasa penuh oleh semangat dan juga aliran hawa, Paras Tampan pun bangkit dari sikap heningnya. Ia menegadah. Dilihatnya para Troll penjaga baru saja berganti tugas. Penjaga-penjaga yang baru tampak segar bergayut terbalik di atas sana. Menjaga lubang yang menjadi tujuan akhir dari ujiannya selama dua setengah hari ini.
Ia akan mulai menyerang para penjaga itu. Pertama-tama diambilnya tempat mangkuk minumnya yang terbuat dari semacam kayu yang berasal dari tempurung buah-buahan mirip kelapa. Satu tidak cukup. Dilihatnya bahwa para Troll pun menggunakan tempat yang sama. Dihampirinya para Troll yang sedang beristirahat, dimintanya ijin untuk menggunakan mangkuk minum mereka. Salah seorang dari mereka mempersilakannya.
Paras Tampan kemudian mengisi mangkuk-mangkuk kayu tersebut dengan air. Meletakkannya di atas lantai di bawah sekeliling posisi para penjaga lubang yang bergelantungan itu. Ditariknya napas dalam-dalam dan ia pun bersiaga untuk mulai menyerang.
"Heghh...!!" hentaknya. Ia pun melompat tinggi dengan membawa beberapa mangkuk kayu yang berisi air. Dihamburkannya isi mangkuk tersebut ke arah para penjaga dengan cara ditendang atau dilemparkannya. Sebelum para penjaga sadar apa yang akan menerima mereka Paras Tampan telat merapal sedikit Tenaga Air yang dimilikinya. Sekejap butir-butiran air yang sedang melaju itu mengeras menjadi es kecil-kecil.
Melihat itu para Troll penjaga menjadi bersiaga. Tapi mereka tidak terlihat panik karena butir-butir es yang kecil itu, apalah artinya bagi kulit mereka yang tebal.
Saat para Troll penjaga itu akan menangkis butiran-butiran es tersebut, Paras Tampan telah berganti menggunakan Tenaga Tanah. Ia memutar-mutar tangan dan kakinya dengan masih melayang di udara sedemikian rupa sehingga butiran-butiran es tersebut tidak lagi langsung menuju para penjaga melainkan menari-nari mengikui gerakan tangannya.
Setelah cukup membingungkan para penjaga dengan arah gerak butiran-butiran es-nya, Paras Tampan meluruskan tangannya ke depan. Akibat gerakan itu butir-butiran yang tadinya telah menyebar ke empat penjuru dari para penjaga, tiba-tiba terdiam di udara dan mendekat dengan pesat ke arah pusat lubang. Menyerang keempatnya dari empat penjuru sekaligus. Sasaran yang dituju adalah jalan darah-jalan darah penting dan juga mata. Hal ini tentu saja membuat sibuk pada penjaga yang berusaha melindungi bagian-bagian tubuhnya itu.
Pada saat mereka berempat sedang kebingungan akan serangan butiran-butiran es tersebut, Paras Tampan turun kembali dan melemparkan sisa air yang ada di mangkuk kayu yang masih belum digunakan. Kembali dengan cara yang sama, akan tetapi kali ini tidak memutar-mutar dulu, melainkan langsung dengan serangan langsung. Butiran-butiran yang terbentuk kali ini lebih besar, sampai sekepalan tangan.
Kembali serangan ini menambah bingung keempat pejaga Troll yang sedari tadi masih menangkis serangan butiran-butiran es yang lebih kecil. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Paras Tampan. Dengan merapal Tenaga Tanah untuk mengambangkan diri atau levitas, ia melompat, melesat menuju lubang itu. Di sisi-sisi tubuhnya tampak butiran-butiran es mengambang bergerak melingkar cepat, melindungi tubuhnya dari kemungkinan serangan-serangan tongkat para penjaga.
"Tak-tak-tak..!!" beberapa tongkat dari penjaga yang telah terlepat dari serangan butir-butiran es-nya mendarat di depan dan belakangnya, tapi luput karena terhalang perisai butir-butir es.
Dengan badan sedikit bergetar akibat hawa pukulan tersebut, Paras Tampan masih melaju memanjat lubang di atas langit-langit tersebut. Dan ia berhasil..! Masuk ia ke lubang di atas sana.
Masih terasa napasnya yang kembang-kempis karena mengeluarkan banyak tenaga untuk menggunakan sekaligus Tenaga Air dan Tenaga Tanah. Hampir habis tenaganya.
Tapi kelelahan itu tak ada artinya apabila dibandingkan dengan keberhasilannya memasuki ruang di atas langit-langit itu.
Ruang itu tidak setinggi dengan ruangan di bawahnya. Dan lebih terang. Tampak beberapa garis-garis sinar jatuh dari langit-langit. Semacam lubang-lubang yang dibuat untuk membiarkan sinar matahari masuk dan menerangi ruangan itu.
Kemudian ia mengedarkan pandangannya turun, berkeliling menjelajahi apa-apa yang bisa dilihat.
Apa yang dilihatnya dalam ruangan itu hampir-hampir membuatnya tersentak. Di sana. Di ruangan di atas langit-langit gua yang berhasil dicapainya terdapat berpuluh-puluh lubang di dinding sebesar manusia. Dan di dalam lubang-lubang tersebut terdapat sebuah kerangka mirip manusia yang lengkap dengan pakaian dan beberapa perlengkapannya.
Sebuah kuburan dalam gua (Katakombe). Bingung dan juga takjub Paras Tampan menyaksikan hal ini. Ia tidak mengerti mengapa ia harus diuji untuk masuk ke dalam kuburan ini.
Lamat-lamat terdengar suara, "Bagus nak Paras Tampan. Hampir habis waktu ujian. Dan anak telah berhasil."
Sunyai sebentar. Suara tersebut tidak dapat dipastikan berasal dari mana. Bisa dari depan atau belakangnya. Luband dari ruangan di bawahnya berada di tengah-tengah ruangan itu.
"Majulan terus, sampai ke suatu pintu di sebelah kananmu. Ikuti jalan itu. Bagadsh akan menunjukkan sesuatu bagimu," kembali suara terdengar memberinya petunjuk.
Ia pun melangkah mengikut petunjuk itu. Dilaluinya rongga-rongga yang berisikan tulang-belulang Troll. Ada kerangka yang benar-benar tinggal tulang saja, ada pula yang masih dilengkapi dengan kulit yang mengering. Wajah-wajah mereka menjadi lebih mengerikan dibandingkan di saat masih hidup. Kurus kering dan menyeringai dengan rongga mata yang bolong hitam. Rambut-rambut kasarnya menjadi terlihat lebih panjang, karena sebagaian akarnya terlihat akibat kulit kepala yang telah mengering atau terkelupas.
Paras Tampan pun berjalan terus hingga ke ruangan yang diisyaratkan oleh Bagadsh. Di sana tampak Troll tua tersebut menantinya.
Setelah dekat dengannya, Troll tersebut mengangsurkan tangannya menunjuk sesuatu di dinding. Di tempat yang ditunjukkannya tersebut terdapat empat buat lubang di dinding. Tiga buah kerangka tampat duduk bersila. Kerangka mereka belum tinggal tulang, melainkan masih terbalut kulit dan ditutupi dengan jubah yang sederhana. Pakaiannya mirip dengan pakaian para petapa pada umumnya. Di sisi mereka tampak sebuah lubang tegak cukup tinggi dengan kerangka orang yang jangkung di dalamnya. Samar-samar terasa Paras Tampan teringat pada sosok tubuh sejangkung itu.
"Ini adalah Rawarang yang oleh orang-orang dunia persilatan disebut sebagai Maling Kitab. Ia sendiri lebih senang menamakan dirinya Penjaga Keseimbangan," jelas Bagadsh sambil menunjuk pada kerangka manusia jangkung itu.
"Dan ketiga orang ini adalah tiga bersaudara petapa. Petapa Gunung Es, Petapa Lain Pulau dan Petapa Seberang. Mereka mengikat tali persaudaraan di Pulau Gunung Api," sambil ditunjukkan oleh Bagadsh ketiga kerangka yang duduk bersila dekat kerangkat Rawarang.
"Engkau seharusnya tahu mengenai Petapa Seberang, karena ilmu-ilmu yang engkau bawa sebelum ke sini bersumber dari beliau," jelas Troll tua tersebut.
Paras Tampan menggelengkan kepalanya. Ya, ia tak banyak tahu mengenai hal itu, mungkin gurunya Ki Tapa pernah sekali dua kali menyebutkan. Tapi tidak menegaskan siapa Petapa Seberang itu.
Melihat kebingungan Paras Tampan, Bagadsh sang Troll tua pun akhirnya menceritakan kisah ketiga Petapa tersebut. Pengembaraan mereka dari luar pulau sampai tidak di tanah ini. Murid-murid mereka dan hal-hal lain yang memang dititipkan oleh ketiga orang petapa itu untuk diceritakan pada orang yang dapat mencapai tempat ini.
Menangguk-angguk Paras Tampan mendengar cerita itu. Ia seakan-akan dibawa ke masa lampau, ke masa di mana orang-orang yang diceritakan itu masih hidup dan menjalani pengalaman hidup mereka. Kadang tegang, kadang juga sedih atau gembira. Bagadsh menceritakannya dengan kata-kata yang amat memukai bagi telinganya.
"Nah, sekarang setelah engkau berada di tempat ini. Engkau mempunyai tugas untuk belajar ilmu yang diciptakan oleh ketiga petapa itu pada akhir hidupnya. Ilmu untuk mengenang dan juga sebagai peringatan akan ambisi Rawarang. Semoga engkau dapat mempelajari dan mengamalkannya. Tidak mengulangi kesalahan yang sama," jelas Bagadsh.
Lalu diceritakannya perihal ilmu Menanti Tekun Memukul Tegas. Ilmu yang kelihatannya sederhana akan tetapi sulit untuk dilakukan karena terlihat kadang amat lambat. Satu jurus dapat dilakukan cukup lama, baru kemudian menyerang dengan cepat. Dan kemudian kembali diam. Bagadsh yang telah sedikit dilatih oleh ketiga petapa itu, memperagakan sebagian gerakan-gerakannya.
Paras Tampan mengangguk-angguk melihat peragaan itu. Ia pun mengiyakan akan mempelajari ilmu itu. Untuk waktu pembelajaran tersebut, tidak dibatasi. Terserah ia. Bisa juga ia turun gunung sekarang apabila telah hapal teori dari ilmu itu atau apabila ia dapat menyalinnya. Kitab yang asli tidak boleh dibawa, harus ditinggalkan di sini. Di Katakombe itu. Disamping keempat tokoh yang berkaitan dengan penciptaan ilmu tersebut.
"Aku Bagadsh, ada satu permintaan padamu, nak Paras Tampan," ucap sang Troll tua, "ku harap engkau mau mengabulkannya."
"Sejauh yang saya bisa, Ki Bagadsh..," jawab Paras Tampan sopan. Ia menghargai benar-benar kesetiaan Troll tua itu atas pesan Rawarang dan ketiga petapa, untuk masih menanti orang yang dapat dijadikan penerus ilmu-ilmu mereka.
"Setelah engkau keluar dari tempat ini, jangan ceritakan pada siapa-siapa tempat ini. Biarkan kami hidup dengan damai di sini. Kitab-kitab hasil curian Rawarang boleh engkau bawa keluar. Kembalikan pada keturunan-keturunan dari pemilik yang terdahulu. Bila mereka telah tiada, boleh engkau bangun suatu perguruan untuk menyimpannya dan mengamalkannya," kemudian lanjut Bagadsh, "tiap kitab yang telah dicurinya telah disalin ulang oleh Rawarang. Jadi di sini masih akan tersimpan arsipnya. Kitab yang asli dikembalikan agar orang-orang tidak lagi mendendam pada Rawarang si Maling Kitab, dan juga engkau selaku pewaris ilmunya."
Mengangguk-angguk Paras Tampan mendengarkan hal itu. Terlihat jelas rasa sayang dari Bagadsh pada Rawarang kakak angkatnya itu. Bahkan setelah sang kakak meninggal, masih ia berupaya agar sang kakak tidak meninggalkan dendam dan penasaran bagi keturunan orang-orang atau keluarga-keluarga yang kitab-kitabnya dicuri dulu.
Bagadsh tentu saja tidak menceritakan masih adanya tempat penyimpanan kitab-kitab yang dicuri Rawarang dari para tokoh-tokoh sesat. Ketiga petapa telah berpesan kepadanya, agar tempatt tersebut dirahasiakan sama sekali. Biar tidak ada orang yang memanfaatkan kitab-kitab yang tidak baik tersebut.
*** "Hiattt..!"
"Tringgg.., trangg.., takkk!!"
Terdengar dentang-denting beradunya senjata di pagi hari di dalam Rimba Hijau. Puluhan orang berseragam hitam-hitam tampak mengayunkan senjatanya melawan lima orang yang bersenjatakan tongkat belaka.
Rimba Hijau diserang.
Ya, Perguruan Kapak Ganda akhirnya dapat menguraikan pesan yang tertulis di bawah prasasti yang ada di perguruan mereka. Prasasti yang dicuri dari Air Jatuh dalam Perguruan Atas Angin oleh Murid Rahasia. Cermin Maut, Mayat Pucat dan Sabit Kematian bersepakat untuk menyerang saja Rimba Hijau untuk merampas kitab-kitab tersebut. Dengan kitab-kitab itu mereka akan dapat meningkatkan ilmu-ilmu mereka.
Di tengah kepungan para prajurit Perguruan Kapak Ganda itu, tampak Ki Tapa dan keempat muridnya, Asap, Gentong, Misbaya dan Rintah. Keempatnya telah turun gunung dari mencari kitab-kitab untuk menambah ilmu mereka. Hal ini terlihat dari cara mereka melangkah yang lain saat bila dibandingkan saat mereka naik dulu. Akan tetapi sayang, kali ini yang dihadapi adalah murid-murid tingkat atas Perguruan Kapak Ganda. Murid-murid yang dilatih khusus oleh ketiga pimpinannya.
Sudah cukup lama mereka bertanding. Stamina sudah menurun. Lain halnya dengan para penyerang. Mereka dapat berganti-ganti menyerang dan beristirahat karena jumlanya yang lebih banyak.
"Jika saja Paras Tampan ada di sini," kata Misbaya.
"Ya.., tapi belum tentu bantuannya berarti banyak..," sanggah Rintah, "kita yang baru turun gunung saja, tidak banyak kemajuannya apabila dibandingkan dengan mereka."
Ki Tapa sendiri tampak tegang. Ia yang selam ini yakin akan kerahasiaan dari Rimba Hijau benar-benar tidak dapat mempercayai bahwa musuh dapat masuk sampai sejauh ini. Masuk sampai ke pondokannya. Jalan-jalan rahasia dan juga tanda-tanda tidak lagi berarti untuk menyesatkan para penyerang. Bingung apabila ia memikirkan hal itu.
Hal yang tidak diketahui oleh Ki Tapa adalah bahwa di luar sana, di Kota Luar Rimba Hijau. Telah terjadi pembantaian oleh Perguruan Kapak Ganda ini. Penduduk kota itu telah dibunuh dan kotanya dibakar. Demi untuk mencari keterangan bagaimana memasuki Rimba Hijau. Akhirnya dengan siksaan-siksaan, diperoleh keterangan-keterangan dari Ki Tampar dan Ki Gisang yang akhirnya pun dibunuh oleh mereka.
Hanya dengan berbekal lontar yang dimiliki Ki Tampar dan Ki Gisang saja, ketiga pemimpin Perguruan Kapak Ganda dapat menguraikan jalan-jalan rahasia untuk masuk ke dalam Rimba Hijau. Hal ini dikarenakan mereka berasal dari negeri jauh di seberang lautan, di mana bahasa dan tanda-tanda yang dipergunakan dlaam lontar itu adalah sama artinya.
Dulu cara tersebut dirancang untuk menyulitkan orang-orang dari tanah ini, Tanah Tongkat Ditanam Jadi Tanaman, dan bukan untuk orang-orang dari seberang.
Akibatnya fatal. Orang-orang Perguruan Kapak Ganda dapat dengan leluasa masuk ke dalam Rimba Hijau dan melakukan serangan tiba-tiba. Kebetulan saja keempat murid Ki Tapa baru turun gunung, sehingg mereka bisa membantu gurunya untuk melawan musuh-musuh itu.
"Tahan...!" tiba-tiba terdengar suara merdu dan bening melayang di udara.
Mendengar ini para prajurit Perguruan Kapak Ganda pun menarik serangannya. Mundur dengan teratur dalam posisi masih mengepung kelima orang itu di tengah.
Bersamaan dengan itu melayangnya seorang wanita yang masih terlihat cantik walaupun telah berumur. Cermin Maut, salah satu dedengkok Perguruan Kapak Ganda. Ia turun dengan ringannya di hadapan kelima orang itu. Rambutnya yang hitam panjang tampak sebentar mengembang melayang untuk kemudian jatuh lurus di belakang kepalanya.
"Ki Tapa.., bila saya tak salah..," ucapnya sambi memandang lurus pada orang tua di depannya, "salah satu pewaris Petapa Seberang..!"
"Benar, saya Ki Tapa. Dengan siapa saya berhadapan?" tanya Ki Tapa kemudian.
"Hik-hik-hik, kemana saja engkau selama sini orang tua, sampai tidak mengenai kami. Tiga pimpinan Perguruan Kapak Ganda..," tawanya sambil menutup mulutnya. Berpura-pura sebagai perempuan baik-baik.
"Maaf bila kami tidak tahu," ucap Ki Tapa, "sejauh yang saya dengar. Bukankah Perguruan Kapak Ganda itu dipimpin oleh Naga Geni?"
"Orang tua, itu sudah cerita lama. Kakak Naga Geni telah berpulang lama. Dibunuh orang. Kami masih mencari siapa yang melakukannya. Untuk kita kami perlu meningkatkan ilmu kami. Jadi serahkan kitab-kitab tersebut kepada kami..!" jawabnya langsung dengan nada bicara yang tidak lagi ramah.
"Kitab-kitab mana yang dimaksud?" tanya Ki Tapa masih tidak mengerti, karena ia memang tidak mengerti apa yang dimaksud oleh wanita itu.
"Jangan berpura-pura...!" tiba-tiba melayang seorang lain. Tinggi kurus dengan wajah yang tertutup tudung panjang sehingga wajahnya tidak terlihat. Tersembunyikan oleh bayangan tudungnya. Sabit yang dibawanya, menunjukkan perangainya yang kejam. Hanya orang-orang kejam saja yang membawa senjata yang aneh-aneh dan menyerampkan. Orang itu Sabit Kematian.
Belum sempat Ki Tapa berbicara, telah melayang seorang lagi dari mereka. Wajahnya kurus putih pucat. Badannya agak tinggi. Rambutnya yang agak jarang tergerai kusam. Kuku-kuknya tampak panjang dan bewarna kuning kehitaman. Tanda racun yang amat ganas. Mayat Pucat.
Telah lengkap tiga pimpinan dari Perguruan Kapak Ganda. Mereka tidak sabar lagi karena para prajuritnya belum dapat mengalahkan kelima orang itu, bahkan yang empat masih amat muda tampangnya.
Orang yang baru datang itu lalu membuka pembicaraan, "Maaf Ki Tapa, jika adik-adikku ini tidak menjelaskan apa maksud kedatangn kami ini." Lalu ia menjelaskan apa yang dicari oleh mereka setelah sebelumnya memperkenal diri dan juga adik-adiknya. Berdasarkan ukiran lambang di bawah prasasti yang mereka peroleh, dikatakan bahwa kitab-kitab peninggalan Petapa Seberang berada di timur. Dan tempat di timur yang mungkin untuk menyimpan rahasia itu adalah di sini, Rimba Hijau.
"Jadi, tolong Ki Tapa serahkan saja kitab-kitab tersebut. Setelah itu kami akan angkat kaki dari ini," akhirnya Mayat Pucat menyelesaikan uraiannya.
"Kami tak punya kitab-kitab itu!" jawab Misbaya yang tak dapat menahan sabar melihat sikap mengalah terus dari gurunya, "pun jika kami punya tak akan kami berikan..!"
"Anak baik, tulang baik...!" gumam Mayat Pucat sambil melihat siapa yang berani berkata demikian.
Lain pula dengan Cermin Maut, berdesir darahnya menyaksikan kemudaan dari Misbaya. Cocok anak ini untuk melampiaskan kebiasaannya yang sesat. Memuaskan dahaganya, dan kemudian menyerap sari-sari dari anak itu. Tak terasa dileletkan lidahnya.
"Tak usah banyak bicara, kakak Mayat Pucat..," jawab Sabit Kematian tak sabar, "kita bunuh saja semua, seperti orang-orang di Kota Luar Rimba Hijau, baru kita geledah hutan ini."
Mendengar bahwa mereka telah membantai para penduduk Kota Luar Rimba hijau tak sadar ketiga orang yang memang berasal dari sana menjadi amat marah. Tak dapat lagi mereka menahan sabarnya. Gapaian tangan Ki Tapa tak dihiraukan lagi oleh mereka. Mereka menyerang dengan ganasnya. Ingin membalaskan kematian keluarga-keluarga mereka.
Asap sebagai bukan orang dari Kota Luar Rimba Hijau pun tak dapat menahan amarahnya mendengar hal itu. Ia pun juga menyerang ketiga orang itu dengan cepat, tapi tidak semarah ketiga rekannya.
Ki Tapa yang tidak memiliki kesempatan untuk meredakan amarah murid-muridnya mau tak mau ikut terjun ke dalam pertempuran itu. Setelah Cermin Maut, Sabit Kematian dan Mayat Pucat ikut dalam pertempuran itu, terlihat sudah ketimpangannya. Kelima orang Rimba Hijau boleh dikatakan sama sekali tidak memiliki kesempatan untuk menang. Kekalahan hanyalah masalah waktu saja.
Pertempuran itu berlangsung singkat. Satu persatu murid-murid Ki Tapa terjatuh di tangan ketiga dedengkok Perguruan Kapak Ganda dibantu dengan murid-murid tingkat satu mereka. Ki Tapa yang hanya tinggal sendiri tampak tak lagi bersemangat untuk melawan. Murid-murid yang dilatihnya untuk meneruskan tugasnya habis hari ini. Juga karena kesalahannya tidak sering lagi memeriksa kehidupan di luar rimba itu. Memang sejak ia mendidik murid-muridnya, seakan-akan telah putus hubungannya dengan luar rimba saking sibuknya.
Ia berharap Paras Tampan dan kedua murid lainnya selamat dan tidak muncul saat ini.
Tiba-tiba terdengar siulan yang melengking nyaring panjang dan pendek ditambah pukulan beberapa batang kayu. Tanda rahasia dari Perguruan Kapak Ganda.
"Hmm, mereka telah menemukan sesuatu, mari kita pergi..!" kata Mayat Pucat sambil tak lupa melemparkan sesuatu ke sekeliling Ki Tapa yang telah terluka sana-sini. Asap kekuningan tampak mengambang perlahan. Meninggalkan jejak gosong kehitaman pada rumput yang dikenai sesuatu itu.
Bergeges orang-orang Perguruan Kapak Ganda pun menghilang, menuju pemberi isyarat tadi.
Sunyi. Ki Tapa mencoba mengatur lagi pernafasannya. Lukanya telah cukup parah, ditambah lagi dengan racun yang baru saja disebarkan oleh Mayat Pucat. Tak ada kesempatan ia untuk beranjat dalam keadaan hidup dari sana.
"Coreng.., Moreng..," ucapnya lirih dengan sisa-sisa tenaganya, "beritahu Paras Tampan apa yang terjadi. Tak usah dibalas. Tapi tegakkan saja keadilan.. bagi.. semua orang..." Terhenti ucapannya karena racun yang dihirupnya telah tiba ke jantung dan juga otaknya. Ki Tapa berusaha tersenyum saat menghembuskan nafas terakhirnya.
Jauh di pinggir lapang sana, tampak dua orang Manusia Tiga Kaki menyaksikan sisa-sisa pertempuran yang menyedihkan itu. Mereka tadi telah dipesankan untuk tidak ikut campur. Urusan manusia bukan urusan mereka.
Pendekar Sadis 21 Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen Riwayat Lie Bouw Pek 6
^