Pencarian

Kemelut Di Cakrabuana 2

Kemelut Di Cakrabuana Karya A Merdeka Permana Bagian 2


Untuk mengusir sepi, pemuda itu mencoba melemparkan sebuah kerikil kecil ke permukaan. Aneh sekali manakala dia melempar, ada dua muncratan air di kiri dan kanannya sepertinya air itu dilempar dua buah kerikil. Tapi siapa lagi yang melempar air selain dirinya"
Purbajaya menoleh ke belakang.
"Nyimas .... bisiknya bergetar. Mengapa tak begitu sebab benar penglihatannya, di belakangnya berdiri anggun Nyimas Waningyun. Gadis itu memakai baju kurung kain satin warna biru, sebuah jenis kain halus yang tak mungkin dimiliki gadis biasa sebabab harganya sangat mahal dan didatangkan dari Nagri Campa. Gadis itu tidak menggelungkan rambutnya yang hitam berombak, melainkan sengaja membiarkan rambut itu terurai panjang. Sebagai pencegah agar rambut bagus itu tak awut-awutan kena angin sore, Nyimas Waningyun mengikat kepalanya dengan kain tipis halus warna kuning yang ujung-ujungnya menjurai ke bawah menutupi bagian dadanya. Kain batik trusmi warna gelap sedikit tertutup baju satin hingga ke bagian lutut. Purbajaya mengedipkan matanya beberapa kali, kemudian mengucak-ngucaknya beberapa kali pula.
"Nyimas, mata pemuda itu tampaknya kemasukan debu," terdengar suara gadis pengiringnya. Setelah itu ada suara cekikikan dari beberapa gadis lainnya. Purbajaya baru sadar, Nyimas Waningyun diantar tiga orang gadis pengiring yang cantik-cantik dan berpakaian bagus.
"Bersihkan matamu di kolam, anak muda," kata gadis lainnya.
"Saya tak kelilipan," jawab Purbajaya gagap.
"Habis dari tadi kedap-kedip saja" Atau kau tak senang dengan kehadiran Nyi Mas ke sini?" kata yang lain.
"Sengajakah Nyimas datang ke sini?" tanya Purbajaya menatap gadis itu. Namun kemudian, Purbajaya memalingkan muka sebab tak kuat saling bertatap mata.
"Mengapa mesti sengaja" Tempat ini tak menimbulkan kenangan buat Nyimas," kata suara lain. Purbajaya menatap ke arah Nyimas Waningyun. Sejak tadi gadis itu hanya menatap.
"Aku memang sengaja datang ke sini karena melihatmu," gumam gadis itu pada akhirnya. Purbajaya sudah barang tentu terbelalak matanya. Gadis itu datang karena dia"
"Sudah tiga kali aku melihatmu bertandang ke sini. Ada apakah, padahal kolam ini sepi," gumam gadis itu.
Gadis itu sudah tiga kali memergokinya" Purbajaya celingukan. Kira-kira dari arah mana gadis itu mengintipnya"
"Saya menyukai yang sepi-sepi, Nyimas ..." tutur Purbajaya sekenanya.
"Wah, kalau begitu kita harus segera pergi dari tempat ini, Nyimas sebab dengan kehadiran kita, tempat ini jadi tak sepi dan anak muda itu pasti jadi tak menyukainya," ajak seorang gadis pengiring.
"Hey, jangan!' teriak Purbajaya khawatir benar-benar ditinggalkan.
"Beraninya engkau memerintah Nyimas!" cetus gadis pengiring ketus.
"Bukan begitu. Maksud saya ... maksud saya,"
"Maksudnya apa?" potong gadis pengiring dengan bawel.
"Sudahlah jangan terus diganggu," gumam Nyimas Waningyun halus tapi sedikit tersipu melihat ulah Purbajaya. "aku memang datang mengunjungimu ...." tutur Nyimas Waningyun.
"Mengunjungi saya" Untuk Apa?" Purbajaya gagap.
"Untuk minta maaf padamu ..."
"Minta maaf ...?"
"Ya."
"Pada saya?"
"Ya."
"Heran ..."
"Mengapa orang minta maaf mesti dibuat heran" tanya Nyimas Waningyun mengerutkan dahinya yang putih mulus.
"Nyimas tak punya dosa. Malah saya yang sebetulnya berdosapadamu," tutur Purbajaya.
"Tidak. Akulah yang berdosa padamu," balas gadis itu setengah menunduk.
"Dosa apakah itu?"
"Bulan lalu aku memarahimu, padahal tak sepantasnya aku marah-marah padamu," gumam gadis itu masih menunduk.
"Engkau pantas memarahi saya. Bukankah saya ini orang culas?" kata Purbajaya. Dari belakang Nyimas Waningyun terdengar suara tawa kecil.
"Mengapa ditertawakan?" Nyimas Waningyun menoleh ke belakang.
"Dia ngaku sendiri orang culas," tutur suara orang di belakang.
"Engkau tidak culas, Purba, asal saja ..."
"Asal saja apa, Nyimas?" tanya Purbajaya tak sabar.
"Asal saja engkau berlaku jujur,"
"Saya akan mencoba berlaku jujur, Nyimas ..."
"Dan jangan bengal,"
"Saya akan mencoba tak bengal, Nyimas"
"Jangan sekali-kali mencederai orang lain,"
"Saya tidak akan mencederai orang lain, Nyimas,"
"Nah itu baru anak baik," tutur suara dari belakang.
"Hus," Nyimas Waningyun menegur pembantunya. Tapi yang ditegur masih terkekeh-kekeh sambil memandang Purbajaya, sehingga yang dipandang semakin tersipu.
Namun kendati merasa malu dan berdebar, yang jelas hati pemuda itu sepertinya mendapatkan durian runtuh. Ow, jangan samakan Nyimas dengan durian yang berduri runcing itu. Ya, Purbajaya sepertinya mendapatkan siraman air mawar, atau mendapatkan taburan bunga sedap malam, harum, hangat, dan mesra. Hanya saja, kebahagiaan pemuda itu tak berlangsung lama sebab dari arah lain datang serombongan pemuda.
Celaka, ada Ranggasena, keluh Purbajaya dengan hati terkejut.
Ranggasena datang dengan langkah tegap dan gagah. Atau lebih pantas lagi disebut menakutkan sebab sepasang matanya melotot, mulutnya mengatup dan giginya terdengar gemelutuk sebagai tanda marah.
Ranggasena jalan di muka, diiringkan oleh empat orang pemuda lainnya. Mereka datang menghampiri dan semua mendekati Purbajaya dengan sikap mengancam.
"Kurang ajar! Lagi-lagi engkau ganggu Nyimas. Dasar pemuda cabul, tak tahu malu! Hajar tikus kecil itu!" teriak Ranggsena kepada teman-temannya.
Keempat pemuda itu serentak meloncat dan menyerang Purbajaya dengan membabi-buta. Gerakan-gerakan mereka memang memperlihatkan sebagai orang yang memiliki ilmu berkelahi. Namun dalam pandangan Purbajaya, ilmu mereka rendah saja. Kalau dia mau, dalam satu gerakan, selain bisa meloloskan diri juga sekaligus bisa balas menyerang. Namun Purbajaya ingat akan janjinya kepada Nyimas untuk tidak mencederai orang lain. Pemuda itu takut sekali kalau dibenci atau dimarahi gadis itu. Dan karena itu, akhirnya dia memilih diam. Maka dalam waktu singkat saja terdengar suara bakbikbuk-bakbikbuk karena tubuh Purbajaya dihujani pukulan dari sana-sini.
"Bagus! Nah begitu! Pukul dia! Pukul dia!" teriak Ranggasena sambil sesekali terdengar kekeh gembira karena semua pukulan teman-temannya tak ada yang lolos.
"Hey, apa-apaan ini! Hentikan! Hentikan!" teriak Nyimas Waningyun yang amat terkejut dengan peristiwa mendadak ini.
"Jangan berhenti! Teruskan, pukul si cabul ini!" teriak lagi Ranggasena. Berkata begitu, dia pun menghambur ke depan dan melayangkan beberapa kali pukulan ke arah wajah Purbajaya.
Purbajaya masih berdiri kokoh namun sudah terlihat lelehan darah dari mulut dan hidungnya. Nyimas Waningyun dan para pengiringnya menjerit-jerit ngeri. Mereka ingin mencegah tapi tak bisa bagaimana harus mencegahnya.
Jeritan-jeritan para gadis itu membuat perhatian orang-orang yang akan berangkat sembahyang ke Masjid Sang Ciptarasa. Beberapa orang prajurit bahkan perwira puri tergopoh-gopoh datang menghampiri dan serta-merta menghentikan peristiwa ini.
"Hentikan perkelahian. Apakah kalian tak malu orang lain hendak sembahyang magrib, kalian malah berkelahi?" teriak perwira tua yang datang menengahi.
Yang disebut "perkelahian" ini bisa dihentikan. Kelima pemuda yang mengepung Purbajaya mundur teratur dan nampaknya mereka cukup menyegani perwira tua itu.
"Kami hanya mencoba menghalangi perbuatan pemuda bejat itu. Dengan tak tahu malu, dia menggoda Nyimas. Ini adalah perbuatan yang kedua kalinya, Paman!" tutur Ranggasena mendelik ke arah Purbajaya.
"Betulkah Nyimas, engkau diganggu pemuda itu?" tanya perwira tua itu. Namun sungguh mencengangkan, sebagai jawabannya tidak dengan kata-kata, melainkan gadis itu menghambur ke arah Purbajaya. Serta-merta Nyimas Waningyun membuka kain satin yang mengikat rambutnya. Kain halus warna kuning itu digunakannya untuk menyeka darah di bibir dan hidung Purbajaya sehingga warna kuning kain kini bercampur noda darah.
"Dasar pemuda bodoh, mengapa tak kau lawan mereka?" teriak gadis itu ketus, namun sambil mengelus luka di wajah Purbajaya.
Kejadian dan adegan ini tentu membuat semua orang tercengang, terutama bagi perwira tua dan pemuda pengeroyok itu. Ranggasena giginya berkerot dan sepasang matanya terbelalak. Wajahnya sebentar pucat sebentar merah padam melihat adegan mesra ini. Dan tanpa bicara sepatah pun, pemuda itu meloncat pergi meninggalkan tempat itu. Keempat orang temannya pun akhirnya melakukan hal yang sama.
"Cepat kembalilah ke puri, hari hampir menjelang magrib," kata perwira tua bernada perintah.
"Mengapa kau tadi diam saja, Purba?" tanya Nyimas Waningyun sekali lagi.
"Lho, saya taat keinginanmu. Bukankah saya jangan mencederai orang lain?" jawab Purbajaya lirih.
"Dasar bodoh dan dungu. Dilarang mencederai bukan berarti malah dicederai! Ah, kadang-kadang aku kesal melihat kedunguanmu ini!" kata Nyimas Waningyun cemberut.
Nyimas Waningyun pulang diiringi yang lain. Sementara Purbajaya masih termangu sambil menyusuti darah di hidung dengan kain satin milik gadis itu.
*** INILAH kenyataan aneh. Yang namanya sakit itu sebenarnya bukan di badan tapi di hati. Dengan perkataan lain, sesuatu yang bernama perasaan itu sebenarnya ada di hati bukan di tempat lain. Tubuh Purbajaya sebenarnya lebam-lebam karena hujan pukulan. Namun karena hatinya tengah berbunga-bunga, tak ada rasa sakit sebab yang muncul adalah kebahagiaan. Sampai jauh malam kerjanya hanya mengelus-elus kain satin yang warna kuningnya terpoles darah kering bekas luka di tubuhnya. Dengan kain halus itu, serasa Nyimas Waningyun selalu dekat dengannya.
Hati pemuda itu terus bernyanyi melantunkan lagu cinta. Sudah tak diragukan lagi, gadis itu pasti mencintainya. Kalau tak begitu, mengapa dia begitu baik padanya, begitu penuh perhatian padanya. Memang gadis itu beberapa kali berteriak marah padanya. Tapi Purbajaya tahu, itu adalah kemarahan karena rasa kasih sayang.
"Oh dewiku, bagaimana caranya agar aku pun bisa menyampaikan perasaanku yang sebenarnya?" kata hatinya.
Purbajaya akhirnya tertidur dengan sesungging senyum di sudut bibirnya kendati dalam selintas ada juga perasan khawatir dan tak enak. Kejadian tadi sore di samping amat membahagiakan hatinya, juga telah membuat rasa sakit orang lain. Tak syak lagi, kejadian tadi sore akan semakin menyulut permusuhan di hati pemuda bernama Ranggasena itu.
*** PURBAJAYA hanya punya waktu sore hari. Pagi hari dia berlatih perang-perangan bersama para prajurit dan perwira, sedangkan siang hari menerima pendidikan teori kemiliteran dan taktik peperangan.
Itulah sebabnya, pada sore itu, dia kembali ke luar Puri Arya Damar. Dia akan melakukan perjalanan menuju Puri Suwarga. Tempatnya agak sedikit jauh tapi masih ada di lingkungan benteng Keraton Pakungwati.
Pemuda itu tetap penasaran untuk berkunjung dan bertemu dengan Pangeran Suwarga. Dia tetap merasa tertarik akan pendapat dan gagasan pangeran itu tentang filsafat dan arti peperangan. Pemuda itu perlu mengenal lebih jauh sebab baginya peperangan tak bisa diartikan sebagai membunuh atau dibunuh. Bukankah kata Pangeran Suwarga sendiri bahwa kemenangan yang paling bagus adalah menundukkan musuh dan bukan menghancurkannya" Ini yang ingin Purbajaya pelajari dan pahami. Dia punya misi penting ke Pajajaran. Dan rasanya misi ini bukanlah sebuah perjuangan untuk menghancurkan, melainkan untuk menundukkan dan pada akhirnya menjadikannya sebagai kawan, tak ubahnya seperti perjuangan Carbon dalam menundukkan Karatuan Talaga, Karatuan Raja Galuh, dan sebagainya. Dulu mereka menjadi musuh dan berada di pihak Pajajaran, namun kini semuanya sudah berada di lingkungan kerajaan Islam bernama Carbon.
Purbajaya berkeinginan, misi Nagri Carbon tak pernah berubah. Dan menurut pengamatannya, jalan pikiran Pangeran Suwarga masih sesuai dengan prinsip-prinsip yang dipunyai nagri ini. Atau ...Purbajaya merandek. Tidakkah apa yang jadi buah pikiran Pangeran Suwarga sebenarnya merupakan sesuatu yang didambakan hatinya" Dan bagaimana pula yang sebenarnya tengah diingini nagri ini dalam upaya mempertahankan keberadaannya" Apakah jalan pikiran yang dimiliki Pangeran Arya Damar pun mewakili keinginan Nagri Carbon"
Pemuda itu puyeng sendiri memikirkannya. Di Carbon ada banyak pejabat. Semua mengaku berjuang ingin mempertahankan kebesaran negri ini tapi dengan banyak pendapat dan jalan pikiran berbeda. Pantas saja Paman Jayaratu pernah berkata musti hati-hati masuk istana. Mungkin salah satu bahaya tinggal di istana adalah bila terumbang-ambing banyak pengaruh dan pendapat.
Purbajaya hanya merasa tertarik akan jalan pikiran Pangeran Suwarga. Tapi apakah pendapat pejabat ini yang terbaik, entahlah.
Itulah sebabnya, untuk lebih meyakinkan perasaannya, Purbajaya ingin berkunjung ke Puri Suwarga. Dia ingin bertemu, bertanya, dan kalau mungkin berdiskusi.
Namun untuk masuk ke puri tak semudah berjalan-jalan di kolam Petratean. Mungkin Purbajaya dikenal baik di Puri Arya Damar, tapi tidak di Puri Suwarga. Buktinya, begitu dia tiba di gerbang puri sudah dihadang dua orang penjaga.
"Mau ke mana?"
"Mau menghadap Gusti Pangeran,"
"Engkau dipanggil?"
"Tidak."
"Jadi, mau apa datang ke sini?"
"Ah, sekadar ingin bertemu saja," jawab Purbajaya.
"Tidak semudah itu bertemu Gusti Pangeran, apalagi bagi orang sembarangan. Engkau siapa dan datang dari mana?"
"Nama saya Purbajaya, datang dari Puri Arya Damar," jawab pemuda itu.
Tapi demi mendengar Arya Damar, kedua orang penjaga itu mengerutkan dahi.
"Ada apa?" tanya Purbajaya bingung.
"Tidak apa-apa. Tapi tadi sudah kami katakan, tak sembarangan orang bisa menemui Gusti Pangeran," tutur penjaga lagi.
Purbajaya kecewa dengan sikap penjaga ini. Tapi barangkali sudah begitu peraturannya, bahwa orang sembarangan yang tak dikenal asal-usulnya tak begitu saja bisa bertemu dengan kaum bangsawan.
Pemuda itu hendak undur diri ketika secara tiba-tiba terdengar bentakan nyaring.
"Tangkap bedebah itu!" teriak seseorang. Purbajaya menoleh ke belakang. Ternyata yang berteriak adalah pemuda Ranggasena. Dia mengerutkan dahi, mengapa pemuda itu tiba-tiba ada di sini"
"Tangkap orang itu, dia pengacau!" teriak Ranggasena gemas. Kedua orang penjaga nampak begitu takut dan mentaati keinginan pemuda itu. Keduanya menghambur ke depan dan bertindak mengepung Purbajaya.
"Bunuh dia! Bunuh dia!" teriak Ranggasena. Tapi kedua orang penjaga hanya bersikap mengepung saja. Barangkali mereka berpikir tak perlu sampai membunuh Purbajaya untuk hal yang belum jelas persoalannya. Tapi Ranggasena tetap memerintahkan. Dan karena kedua orang penjaga itu masih berdiam diri, pemuda bengal itu membentak-bentak seraya mendorong-dorong tubuh penjaga. Hal ini membuat Purbajaya gemas. Di hadapan Nyimas Waningyun pemuda ini berdiam diri karena takut tindakannya tak disukai gadis itu. Tapi di sini tak ada yang patut disegani. Purbajaya ingat kemarin dulu wajahnya lebam karena mandah saja dikerjai teman-teman Ranggasena. Sekarang pemuda bengal itu harus menebus kekeliruan berlaku bengal. Maka dengan gerakan cepat, Purbajaya menghambur ke arah Ranggasena, melewati dua penjaga yang ternganga heran. Hanya dalam satu gerakan saja telapak tangan Purbajaya sudah berhasil mengemplang ubun-ubun Ranggasena. Tidak terlalu keras tapi membuat tubuh pemuda itu berputar-putar beberapa kali. Ranggasena jatuh berdebuk, duduk tercenung seperti merasa-rasakan kemplangan di ubun-bunnya.
Namun melihat Purbajaya menyerang Ranggasena, kedua orang penjaga mulai melakukan penyerangan. Yang seorang mengayunkan gobang (pedang), seorang lainnya memutar tombak. Namun serangan mereka terlalu mentah untuk disebut berbahaya. Purbajaya hanya mengelak ke kiri dan kanan, serangan itu sudah bisa dihindari.
"Tolong! Tangkap pembunuh! Tangkap pembunuh!" suara ini keluar dari mulut Ranggasena. Dan tak lama kemudian muncul belasan prajurit serta-merta mengepung Purbajaya dengan ketatnya.
Purbajaya menjadi bingung. Dia datang ke tempat ini tidak untuk membuat keributan. Akhirnya menjadi panik sendiri. Kepungan itu begitu ketat. Beberapa prajurit bahkan melakukan serangan kendati tujuannya tidak untuk membunuh. Namun, Purbajaya harus mati-matian berkelit kesana-kemari kalau tak mau terluka oleh serangan senjata. Kini kepungan semakin rapat, apalagi datang beberapa perwira memiliki kepandaian tinggi.
Purbajaya terus berkelit ke sana-kemari tanpa berani balik menyerang. Dia tak mau menyerang di samping tak punya niat bertempur, juga tak ingin membuat para pengepung semakin beringas. Menghadapi lawan tanpa balik menyerang adalah sebuah pertahanan yang buruk. Kalau tak tepat melakukan gerakan hindar, bisa-bisa rugi sendiri. Tapi karena di hatinya tak punya niat membuat keributan, pemuda itu tetap memilih jalan diam, artinya tak berupaya melakukan serangan balik.
"Aku menyerah!" teriak Purbajaya tiba-tiba. Dia mengacungkan tangan ketika ujung-ujung senjata diarahkan pada tubuhnya.
"Bunuh dia! Bunuh dia!" teriak Ranggasena parau karena masih merasa sakit. Tapi tak seorang prajurit pun melakukan titah itu.
Ranggsena serta-merta merebut sebatang padang dari seorang prajurit. Pedang mengkilap itu diayunkannya mengarah ubun-ubun Purbajaya. Pemuda itu segera bersiap untuk menghindar. Namun sebelum batang pedang mengenai ubun-ubunnya, sebatang tombak melayang lewat di bawahnya. Pedang terlontar lepas ke udara sedangkan batang tombak terus meluncur lurus dan menancap dalam di batang pohon. Purbajaya terkagum-kagum kepada si pelontar tombak. Pelempar itu pertanda orang pandai dan bertenaga besar.
"Tak perlu dibunuh. Orang itu sudah menyerah, Raden," tutur seseorang yang barusan melempar tombak. Purbajaya menatapnya. Ternyata dia adalah seorang perwira tua.
"Tapi dia penjahat! Dia pembunuh," teriak Ranggasena.
"Siapa yang dibunuh, Raden?" tanya perwira itu sabar. Ranggasena tak bisa menjawabnya segera.
"Tidakkah Paman lihat, bedebah itu hendak membunuhku" Coba tanyakan kepada dua orang prajurit itu. Si bedebah itu mau bunuh aku" Benar, kan" Benar, kan?" tanya Ranggasena memaksa. Kedua orang prajurit itu tak bisa apa-apa kecuali mengangguk karena dipelototi pemuda bengal itu.
"Tuh, kan! Ayo bunuh dia!" teriak Ranggasena.
"Orang bersalah bisa diadili. Dan untuk itu ada bagiannya," kata perwira tua itu.
Ranggasena menatap tajam, kurang puas atas pendapat itu.
"Baik. Bawalah kepada ayahku," desisnya tajam.
Purbajaya ditangkap. Tapi berhubung hari sudah malam, dia tak sempat dibawa menghadap pada pejabat yang dianggap berwewenang mengurus perkara ini. Kata Ranggasena, sebaiknya dititipkan dulu di rumah tahanan.
Dan di rumah tahanan berjeruji besi inilah balas dendam pemuda itu terbalaskan. Ranggasena memanggil semua teman-temannya. Di antaranya yang kemarin dulu ikut mengeroyok Purbajaya.
Untuk kedua kalinya, mereka mengerjai Purbajaya. Tubuh pemuda itu menjadi bulan-bulanan dihajar beberapa orang pemuda.
"Kalian ingat, bukan" Nah, si jelek inilah yang dulu di pesta muludan sok aksi menjadi pahlawan, menyebabkan Nyimas Waningyun jauh dariku," kata Ranggasena gemas sambil menampar kepala Purbajaya. Beberapa gebukan singgah pula ke punggung pemuda itu.
Tubuh Purbajaya matang-biru tapi dia tak berniat menghindar. Menghindar berarti melawan. Dan hal ini hanya akan semakin mengobarkan kebencian mereka saja.
*** TIGA hari Purbajaya disekap di kamar tahanan. Selama itu, dia disiksa habis-habisan oleh Ranggasena dan teman-temannya.
Baru dilepas setelah ada utusan Pangeran Danuwangsa yang memerintahkan agar tahanan dibawa menghadap.
Utusan itu menegur, mengapa ada tahanan lama disekap dan disiksa sampai babak-belur.
"Maafkan saya, Raden Ranggasena yang memasukkan orang ini ke tahanan," kata penjaga itu.
"Lantas kalian menyiksa tahanan ini?"
"Saya tak menyiksanya."
"Orang ini babak-belur."
"Raden Ranggasena dan teman-temannya yang melakukan penyiksaan. Katanya atas perintah ayahandanya, Pangeran Danuwangsa."
"Itu bohong. Bahkan Pangeran Danuwangsa yang kaget ketika ada yang memberitahu peristiwa itu. Tahanan ini tak terdaftar dan Pangeran pada mulanya tak mengetahui ada tahanan. Sudah, bersihkan tubuh orang ini. Jangan sampai Gusti Pangeran tahu ada tahanan disiksa," tutur sang utusan.
Purbajaya keluar dari ruang tahanan tapi langsung dibawa ke hadapan Pangeran Danuwangsa.
Dengan tubuh sedikit limbung, Purbajaya berlutut dan menyembah. Dia menundukkan muka sehingga belum bisa mengenal pangeran ini lebih saksama. Namun jauh sebelumnya, pemuda ini sudah tahu Pangeran Danuwangsa. Bangsawan ini adalah ayahanda Raden Ranggasena dan menjabat sebagai kepala keamanan istana. Yang dia tak tahu, Pangeran Danuwangsa ternyata adik misan Pangeran Suwarga.
Jadi kalau begitu, Raden Ranggasena pun masih punya pertalian kerabat dengan Pangeran Suwarga. Ini mengherankan Purbajaya, mengapa Raden Ranggasena berperangai bengal, sedangkan Pangeran Suwarga begitu berwibawa dalam kelemah-lembutan" Purbajaya menjadi penasaran, tabiat Ranggasena itu tiruan siapa"
"Anak muda, siapa namamu?" tanya Pangeran Danuwangsa.
"Saya bernama Purbajaya, Gusti ..."
"Dari mana engkau datang?"
"Dari Puri Arya Damar,"
"Dari Puri Arya Damar?"
Purbajaya mengangkat muka dan memandang wajah pangeran itu.
Pemuda ini tak sadar melakukannya karena dia merasa heran akan suara pangeran itu yang menyuarakan rasa terkejut yang amat sangat.
Dua orang itu saling memandang. Dan Purbajaya kini berkesempatan menatap wajah pejabat ini. Kalau pangeran ini tak berkumis tebal, tentu wajahnya mirip Raden Ranggasena. Yang menandakan bahwa mereka memang anak-beranak juga ketika melihat sorot mata Pangeran Danuwangsa yang bagaikan mata elang. Satu sorot mata yang sama persis dengan Raden Ranggasena.
Purbajaya pernah mendapat pesan dari Paman Jayaratu, hati-hati menghadapi orang yang bermata cekung dengan sorot dalam bagaikan mata elang. Terlebih-lebih yang memiliki hidung melengkung seperti paruh burung ekek. Orang-orang seperti itu selalu punya pikiran yang ganjil dan sulit ditebak. Ingat ini, Purbajaya bingung memikirkannya. Pangeran Danuwangsa memang memiliki sorot mata bagaikan mata elang tapi hidung bengkok malah dimiliki Pangeran Arya Damar. Jadi, kalau memiliki ciri separo-separo seperti ini, bagaimana menilainya"
"Siapa yang menjebloskanmu ke tahanan" Aku lihat, wajahmu juga memar-memar. Aku tak suka tahanan disiksa seperti ini.
Santarupa, siapa yang menyiksa anak muda ini?" tanya Pangeran Danuwangsa kepada utusan yang menjemput Purbajaya.
"Saya tak berani mengatakannya,"
"Sepertinya ada yang engkau takuti lagi selain aku, Santa," gumam Pangeran Danuwangsa.
"Ampun beribu ampun, bukan itu maksud saya," Santarupa menyembah takzim.
"Kalau begitu, katakan saja."
"Raden Ranggsenalah yang berbuat, Gusti ..."
"Anakku" Beraninya anak itu ... Panggil dia!" ujar Pangeran Danuwangsa.
"Saya rasa tak usah diperpanjang, Gusti..." Purbajaya menyembah.
"Tapi aku perlu tahu permasalahannya," tukas Pangeran Danuwangsa pendek.
Dan Raden Ranggasena akhirnya dipanggil. Pemuda itu ditanyai oleh ayahandanya yang ingin tahu duduk persoalan yang sebenarnya.
Selintas tindakan itu benar, Pangeran Danuwangsa ingin tahu "duduk persoalan sebenarnya". Namun bila diamati lebih seksama ternyata penelusuran tidak adil. Pangeran itu menanyai anaknya tanpa sepatah pun bertanya kebenarannya kepada Purbajaya. Dengan kata lain, Pangeran Danuwangsa hanya membuat kesimpulan dari penjelasan sepihak saja.
Beruntung, Raden Ranggasena berkata jujur. Mungkin merasa takut kepada ayahandanya, atau bisa juga merasa tak ada untungnya berbuat kebohongan. Tapi, kejujuran yang disodorkan Ranggasena ini, ternyata merugikan Purbajaya.
"Saya benci kepada pemuda itu. Dia tak sopan," ujar Raden Ranggasena.
"Tak sopan bagaimana?" tanya Pangeran Danuwangsa.
"Betapa tak sopannya si dungu ini. Dia berani-beraninya menggoda Nyimas Waningyun. Dengan segala cara dan akal bulusnya si dungu ini telah menempatkan dirinya menjadi orang yang mendapat simpati dan rasa kasihan Nyimas Waningyun dan sebaliknya memfitnah saya sehingga saya dibenci Nyimas. Bukankah ini tindakan yang jahat, Ayahanda?" Mendapat penjelasan serupa ini, Pangeran Danuwangsa mengerutkan dahinya seperti tengah mengingatingat sesuatu.
"Bukankah engkau pernah punya masalah dengan pemuda ini pada pesta muludan beberapa tahun lalu?"tanya pangeran itu. Ranggasena mengiyakan. Dan kembali Pangeran Danuwangsa mengerutkan dahi.
"Engkau hanya membuat kesulitan saja, anak tolol," tegur Pangeran Danuwangsa. Ucapan ini ditujukan kepada anaknya sendiri dan amat mencengangkan Purbajaya.
"Sudah aku katakan, aku tak kerasan berurusan dengan Ki Jayaratu," tutur Pangeran Danuwangsa.
"Pemuda itu sudah tak punya kaitan lagi dengan Ki Jayaratu.
Sekarang dia sudah jadi orangnya Pangeran Arya Damar, Ayahanda," kata Ranggasena.
"Itu merupakan ketololanmu yang kedua, anak dungu. Dengan menangkap pemuda ini, berarti kau harus berurusan dengan pihak Arya Damar. Dasar anak dungu!" teriak Pangeran Danuwangsa gusar.
Raden Ranggasena nampak takut melihat kemarahan ayahandanya. "Apakah kita bebaskan saja pemuda hina ini sekarang juga, Ayahanda?" tanya Raden Ranggasena kemudian.
"Jangan," gumam Pangeran Danuwangsa setelah merenung sejenak. "Masukkan lagi anak muda ini ke dalam kamar tahanan, Santa!" sambungnya.
Purbajaya disuruh berdiri dan sepasang tangannya ditelikung ke belakang oleh Santarupa.
"Awas, kau jangan ikut campur perihal tawanan ini!" kata Pangeran Danuwangsa kepada anaknya.
Purbajaya mandah saja dibawa ke kamar tahanan. Selama menuju tempat itu, benaknya berputar-putar mencoba menebak keganjilan tindakan penghuni Puri Danuwangsa ini.
Belakangan baru Purbajaya tahu, bahwa dirinya ditahan dan dijadikan sandera untuk sebuah tuntutan. Isi tuntutan ini amat memukul perasaan pemuda itu. Betapa tidak, sebab pihak Pangeran Danuwangsa menuntut, Purbajaya bisa dibebaskan kalau pihak Pangeran Arya Damar mau berbesan dengan pihak Pangeran Danuwangsa.
Ini jelas memukul ulu hati Purbajaya sebab siapa lagi yang dijodohkan kalau bukan Raden Ranggasena dengan Nyimas Waningyun. Menyedihkan tapi juga menimbulkan hal yang aneh. Paling tidak ini yang dipikirkan Purbajaya. Aneh sekali, mengapa hal ini bisa terjadi. Artinya, mengapa keluarga Danuwangsa mengajak berbesan dengan cara seperti ini" Sepengetahuan Purbajaya, hubungan kedua keluarga bangsawan itu sungguh baik. Dalam setiap pertemuan baik pertemuan resmi di Pakungwati maupun pertemuan-pertemuan secara pribadi, mereka nampak bersahabat.
Sekarang Pangeran Danuwangsa nampak seperti menekan. Purbajaya bisa bebas dari tuduhan asalkan ada pertalian jodoh.
Tuduhan kepada Purbajaya cukup berat, yaitu melakukan penyerbuan secara gelap. Mengapa melakukan penyerangan" Maka diciptakanlah berbagai perkiraan. Dan berbagai perkiraan yang dilontarkan ini hanya memberikan pengetahuan baru bagi Purbajaya. Ternyata di kalangan kaum bangsawan Negri Carbon ini terdapat semacam persaingan dalam menempatkan diri sebagai orang atau kelompok yang paling dipercaya oleh Kangjeng Sunan.
Pangeran Arya Damar adalah termasuk bangsawan yang punya kekerabatan erat dengan keluarga Sultan. Dengan demikian, diperkirakan punya pengaruh kuat di Pakungwati. Mudah ditebak, Pangeran Danuwangsa ingin mendekatkan diri kepada orang yang punya pengaruh. Tapi sungguh aneh, mengapa cara pendekatannya dengan melakukan tekanan" Yang paling aneh lagi adalah sikap Pangeran Arya Damar.
Mendapatkan tekanan ini, dia bukan melawan melainkan malah mengabulkan pihak Danuwangsa.
Menghadapi kenyataan seperti ini, Purbajaya menjadi bingung dan sedih. Dia tak mau dihukum karena tuduhan melakukan penyerbuan gelap. Tapi dia pun tak mau bebas sambil mengorbankan Nyimas Waningyun.
Bab 4 Berpikir sampai di sini, Purbajaya merasa aneh. Nyimas Waningyun! Mengapa Pangeran Arya Damar mau mengorbankan putrinya sendiri untuk menolong bawahannya, pemuda bernama Purbajaya yang katanya orang keturunan Pajajaran" Berhargakah dirinya" Purbajaya bingung dengan kejadian ini.
"Aku ingin tahu, ada keperluan apa kau keluyuran ke puri itu," tanya Pangeran Arya Damar ketika Purbajaya sudah kembali ke purinya.
Apa yang harus dia jawab" Semuanya tak enak buat dilaporkan. Puri Suwarga dan Puri Danuwangsa berada dalam satu kompleks. Tak dinyana, maksud hati ingin bertemu Pangeran Suwarga, malah bertemu Raden Ranggasena. Purbajaya dituduh melakukan serangan gelap ke puri Danuwanagsa. Untuk menepiskan tudingan ini tentu harus berterus-terang tentang tujuan sebenarnya. Dan ini jelas tak mungkin sebab Pangeran Arya Damar tak akan suka mendengarnya.
"Saya tak sengaja memasuki puri itu dan di sana terjadi kesalahpahaman dengan Raden Ranggasena," tutur Purbajaya berbohong. Pangeran Arya Damar tidak mendesak. Purbajaya tak tahu, apakah Pangeran Arya Damar merasakan atau tidak bahwa dia berbohong" Hanya yang jelas, pangeran itu mengatakan kalau dirinya tak senang kalau orang-orangnya keluyuran ke puri orang lain.
"Tanpa sepengetahuanku, kau tak boleh meninggalkan puri ini," kata Pangeran Arya Damar bernada perintah.
"Saya patut dihukum. Hanya karena kesemberonoan saya maka Nyimas Waningyun menjadi korban ..." Purbajaya berkata penuh sesal. Dia menunduk lesu. Namun ternyata Pangeran Arya Damar hanya tersenyum tipis. Senyum ini penuh misteri. Ada apa di balik senyum ini"
*** Ini merupakan kejadian besar buat Purbajaya. Besar dan membuat nestapa. Tapi aneh sekali, peristiwa ini tak diketahui umum. Peristiwa "penyerbuan gelap" yang pernah dilakukan Purbajaya tak jadi perbincangan. Malah yang ramai dibicarakan adalah pertalian jodoh antara Raden Ranggasena dan Nyimas Waningyun.
Berbagai komentar dan pendapat bermunculan. Tapi pendapat paling umum mengatakan bahwa akan ada pengaruh kekuatan baru di Istana Pakungwati. Para pengamat beranggapan, gabungan Pangeran Arya Damar dan Pangeran Danuwangsa adalah sebuah kekuatan baru. Bila begitu, tentu sebelumnya ada sebuah kekuatan lama. Siapakah dia"
Ternyata yang dimaksud kekuatan lama adalah Pangeran Suwarga. Semakin lama Purbajaya mengamati keadaan di lingkungan puri, semakin terasa bahwa memang ada semacam perebutan pengaruh. Pada dasarnya terdapat beberapa pangeran yang menginginkan mendapatkan kepercayaan dari penguasa Pakungwati.
Tahun-tahun belakangan ini sebetulnya Nagri Carbon ada dalam keadaan lemah. Demak sebagai negri pendukung utama Cirebon sebetulnya sudah lama kehilangan kharismanya. Kekuatannya menurun sebab kerapkali diganggu oleh pertikaian di dalam negri yaitu perebutan kekuasaan di antara sesama keluarga istana. Di lain pihak, Kesultanan Banten semakin hari semakin nampak nyata kekuatannya. Wilayah Banten semakin menjadi wilayah perdagangan muslim yang ramai, melebihi Negri Cirebon hyang dulu membebaskan diri dari Pajajaran. Banyak yang khawatir, suatu saat kelak, Banten menjadi kekuatan tersendiri dan memisahkan pula dari Cirebon.
Beberapa bangsawan Carbon ada yang tak puas dengan keadaan seperti ini. Maka dengan berbagai cara, mereka ingin menjadikan dirinya sebagai kepercayaan pihak penguasa dan dengan inisiatifnya sendiri ingin berusaha mengembalikan kejayaan kehidupan militer Cirebon sebagai sediakala.
Mereka punya pendapat bahwa kekuatan sebuah negara terletak pada kekuatan militernya. Bila militer kuat, maka negara pun kuat. Itulah sebabnya, beberapa bangsawan Carbon atau Cirebon berusaha ingin mendapatkan kepercayaan dalam memegang kendali militer. Ada pemeo mengatakan, barangsiapa menguasai militer, dialah menguasai negara. Jadi tak heran, banyak bangsawan ingin berkecimpung dalam kehidupan kewiraan (militer).
Sekarang, kekuatan prajurit Carbon boleh dikatakan dikuasai oleh tiga orang: Pangeran Suwarga, Pangeran Danuwangsa dan Pangeran Arya Damar. Namun yang dipercaya sebagai pengendali utama dengan jabatan hulu jurit panglima adalah Pangeran Suwarga. Dua orang lainnya bertindak sebagai pembantu. Pangeran Danuwangsa sebagai pengendali keamanan dalam negri dan Pangeran Arya Damar bertindak sebagai pengendali keamanan di luar. Pangeran Arya Damar merupakan perwira tangguh yang sudah banyak makan asam-garam pertempuran.
Puluhan tahun dia berhasil melumpuhkan dan merebut beberapa wilayah utara yang tadinya dikuasai Pajajaran. Bahkan ketika beberapa pelabuhan penting milik Pajajaran direbut Carbon, Pangeran Arya Damar merupakan perwira handal yang banyak jasanya. Dia memiliki peranan penting dalam menyukseskan berbagai penyerbuan. Karena berbagai kesuksesan itu, maka banyak orang menduga bahwa pada akhirnya dialah yang akan menjadi orang yang paling dekat dengan Kangjeng Susuhunan Pakungwati, Sang Susuhunan Jati. Namun belakangan, ramalan itu tak begitu tepat. Buktinya, pengendali utama kekuatan militer setelah Kangjeng Susuhunan mendekati uzur, adalah Pangeran Suwarga, seorang bangsawan yang sebelumnya tidak pernah disebut-sebut. Mengapa hal itu bisa terjadi, orang tak pernah mempertanyakannya, tidak juga Pangeran Arya Damar sendiri.
Semua orang maklum dan percaya bahwa Kangjeng Susuhunan selalu memikirkan yang terbaik buat negri beserta keselamatannya.
Pangeran Arya Damar memang tetap mengabdi kepada jabatan yang dipercayakan kepadanya, kendati akhir-akhir ini terlihat tengah membuat sesuatu gerakan.
Gerakan yang paling kentara adalah usaha penggabungan kekuatan dengan Pangeran Danuwangsa. Dengan adanya rencana hubungan besan, kedua pengamat memperkirakan, kedua pangeran ini berusaha ingin menjalin kerja-sama. Kerja-sama dalam hal apa, tak pernah ada yang tahu. Hanya saja yang patut diperhatikan, baik Pangeran Arya Damar mau pun Pangeran Danuwangsa, punya hubungan yang kurang begitu mesra dengan Pangeran Suwarga. Menurut khabar, kendati mereka tak pernah bertentangan, tapi sebetulnya berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh Pangeran Suwarga kurang mendapatkan sambutan penuh dari dua pembantunya.
"Suwarga itu kurang terampil dalam mengendalikan prajurit sehingga kekuatan yang kita miliki kurang berperan dalam mempertahankan keberadaan negri," kata Pangeran Arya Damar dalam sebuah perbincangan dipaseban (bangsal tempat pertemuan penting).
***** Hari itu Pangeran Arya Damar duduk berhadapan dengan para pembantu dekatnya, yaitu Ki Aspahar, Ki Aliman, Ki Marsonah dan Ki Albani. Sementara Purbajaya duduk di belakang keempat perwira itu.
"Suwarga terlalu lemah dalam menghadapi musuh. Akibatnya, musuh punya peluang untuk memperkuat kembali posisinya," kata Pangeran Arya Damar.
Sudah berkali-kali Purbajaya mendengar keluhan ini. Menurut Pangeran Arya Damar, musuh kini semakin punya peluang untuk memperkuat dirinya hanya karena Carbon kurang menekan. Yang dimaksud musuh di sini adalah Pajajaran. Kata Pangeran Arya Damar, Pajajaran sebetulnya cenderung lemah. Tapi karena oleh Carbon tetap dibiarkan, maka Pajajaran tetap berdiri.
"Tapi pada akhirnya, kita tidak perlu mencari siapa salah siapa benar. Yang penting, Carbon memiliki keberadaannya seperti semula. Kalau ada rekan kita yanag lemah, harus kita tutup dengan kekuatan yang kita miliki. Itulah sebabnya, sudah sejak dulu aku rencanakan untuk menyerang Pajajaran," kata Arya Damar. Ketika mengatakan kalimat terakhir mengenai Pajajaran, dia ucapkan dengan nada berapi-api.
"Saya sebenarnya sudah tak sabar untuk memulainya," tutur Ki Aliman."Sudah bertahun-tahun kami hanya berlatih dan berlatih. Ibarat mata pisau, kami ini hanya diasah melulu tanpa dipergunakan. Kalau terlalu banyak diasah, suatu saat logam akan menipis," ungkapnya membuat perbandingan.
"Atau bisa juga suatu saat akan kembali berkarat bila kita bosan mengasahnya," sambung Ki Aspahar. Pangeran Arya Damar mengangguk-angguk mengiyakan.
Purbajaya hanya tersenyum tipis. Dia ingat hari-hari lalu, betapa Ki Aliman sebenarnya hanya besar mulut saja. Begitulah kata Paman Jayaratu, tong kosong nyaring bunyinya. Ki Aliman mungkin lupa bahwa dirinya yang berpangkat perwira pernah jatuh-bangun olehnya yang berstatus calon perwira dan bahkan sekarang di sini hanya ditempatkan sebagai prajurit saja. Barangkali bukan karena Ki Aliman terlalu bodoh. Dia kecolongan karena kesombongannya saja.
"Justru pertemuan ini untuk memulai rencana yang telah lama kita simpan," kata Pangeran Arya Damar menjelaskan.
Dan kembali pangeran itu mengutarakan gagasannya untuk melakukan serangan ke wilayah Pajajaran.
"Maksudku, kita akan berusaha melumpuhkan kekuatan-kekuatan yang selama ini menghambat perjalanan kita," tuturnya.
Beberapa waktu lalu Pangeran Arya Damar memang pernah berkata akan mengirimkan pasukan secara diam-diam ke puncak Gunung Cakrabuana. Di puncak itu dikhabarkan tersembunyi tombak pusaka bernama Cuntangbarang, mengambil nama seorang perwira sakti asal Karatuan Talaga. Tombak itu memang dulunya benda pusaka milik Karatuan Talaga. Banyak orang berupaya menguasai tombak itu. Salah satunya adalah seorang bekas perwira Pajajaran bernama Ki Darma.
"Kita harus berhasil membunuh orang itu!" kata Pangeran Arya Damar mengepal tinjunya.
"Haruskah kita bunuh dia, Pangeran?" tanya Purbajaya tiba-tiba.
"Sudah aku katakan, dia adalah kerikil tajam yang bisa menghalangi kelancaran perjalanan kita ke pusat kekuatan Pajajaran. Lain daripada itu, kita pun musti berupaya menyelamatkan pusaka Cuntangbarang yang sudah jelas-jelas milik Carbon karena Talaga telah berpihak pada kita. Sekali mengayuh dayung dua tiga pulau terlampaui. Itulah sebabnya, perjalanan ke Cakrabuana harus dilakukan," kata Pangeran Arya Damar, matanya berkelilingf menatap ke semua orang.
Dan semua orang mengangguk-angguk, kecuali Purbajaya.
Pemuda itu merasakan, semakin hari semakin nyata, betapa ganjilnya jalan pikiran Arya Damar. Purbajaya memang mengerti, pangeran ini dulunya perwira handal yang banyak makan asam-garamnya pertempuran. Purbajaya pun mengerti bahwa Pangeran Arya Damar adalah juga perwira militer yang menguasai banyak prajurit. Namun Panageran Arya Damar sebetulnya masih punya atasan. Artinya wewenang dirinya sebetulnya tetap terbatas. Mana mungkin sekarang punya inisiatif sendiri untuk melakukan operasi militer tanpa persetujuan bahkan sepengetahuan Pangeran Suwarga"
"Purbajaya, camkan, ini adalah tugas berat pertama bagimu sebelum menjalankan misi sesungguhnya," kata Pangeran Arya Damar membuyarkan pikiran pemuda itu.
Purbajaya hanya menunduk dan mengangguk kecil. Tugas pertama sebelum menjalankan misi sesungguhnya" Yang dia ingat, misi sesungguhnya bagi dirinya adalah melakukan penyusupan ke wilayah Pajajaran dan mempengaruhi sendi-sendi kekuatan didayo (ibukota) Pakuan untuk berkiblat ke Carbon. Tak ada penekanan tugas-tugas kewiraan, misalnya menyerang Pakuan. Paling tidak, itu yang pertama kali disebutkan Paman Jayaratu. Namun pada kenyataannya, tugas pertama baginya adalah bergabung dengan sebuah pasukan rahasia untuk melakukan pertempuran.
Benarkah ini tugas negara dan benarkah Pangeran Arya Damar punya wewenang untuk melakukan hal itu"
"Pangeran, apakah yang Pangeran pikirkan sudah benar-benar matang?"tanya Purbajaya tiba-tiba.
Semua orang memandang kaget kepada pemuda itu, tidak pula Pangeran Arya Damar.
"Aku tak mengerti pertanyaanmu, anak muda!" jawab Pangeran Arya Damar dan nampak tersinggung atas pertanyaan Purbajaya ini.
"Tidakkah sebaiknya rencana ini Pangeran rundingkan dulu dengan Pangeran Suwarga sebagaihulu-jurit (panglima) di Nagri Carbon?" tanya lagi Purbajaya semakin berani dan semakin mengagetkan semua orang.
"Hati-hati bicaramu, anak muda," dengus Ki Aliman dengan wajah merah-padam saking tersinggungnya dengan ucapan Purbajaya.
"Bicaramu sungguh kurang ajar, Purba!" Ki Aspahar malah sudah mendelik dan membentak.
"Dasar orang Pajajaran. Kalau aku tahu kau masih berkiblat ke sana, seharusnya sejak dulu aku bunuh engkau!" teriak pula Ki Albani geram. Malah orang tua ini sudah beranjak dari duduknya dan berniat menyerang Purbajaya. Pangeran Arya Damar cepat mencegah dan menyuruh Ki Albani duduk dengan tenang.
"Lihatlah Purbajaya, betapa berbahayanya ucapanmu barusan," tutur Pangeran Arya Damar bernada tenang namun alisnya berkerut tanda tak senang.
"Saya hanya bicara apa adanya, Pangeran," Purbajaya menyembah hormat.
"Banyak orang berbicara bahwa hidupnya berjuang untuk Nagri Carbon. Namun pada kenyataannya mereka bertindak keliru sehingga hanya kehancuran yang didapat. Engkau harus paham anak muda, sejak dulu Carbon selalu berada di bawah bayang-bayang kekuatan negri lain. Kekuatan Carbon selalu bergantung kepada Demak. Dan hingga poada suatu saat Demak mengalami kemunduran, maka Carbon pun ikut mundur. Salah siapakah ini" Ini karena kesalahan orang yang berada di Carbon sendiri. Aku yang selama ini selalu berjuang untuk kepentingan dan kebesaran Carbon, tak mau disalahkan oleh generasi sesudah aku. Carbon harus bangkit. Dan untuk itu harus berani mengubah pola pikir dan mengoreksi kekeliruan selama ini," tutur Pangeran Arya Damar panjang-lebar dengan suara menggebu."Dengan jalan membuka peperangankah upaya mengubah pola pikir itu, Pangeran?" tanya Purbajaya penasaran.
"Gusti Pangeran, izinkan saya mengajari anak dungu ini!" Ki Aliman tak kerasan dan lkangsung berdiri untuk kemudian menerjang ke arah Purbajaya yang masih duduk bersila.
Ki Aliman menyodok lurus ke depan, sedikit menyuruk ke bawah pusar Purbajaya. Maksudnya tentu ingin menyerang bagian paling lemah dari tubuh pemuda itu.
Purbajaya sudah barang tentu tak mau dicederai begitu saja. Dia segera melempar tubuhnya ke belakang, itu pun sambil memutar kaki kanannya sebagai perlindungan.
"Berhenti!" teriak Pangeran Arya Damar.
"Tapi dia jelas pengkhianat. Hatinya masih berada di Pajajaran.Kalau tidak begitu, mengapa dia tak setuju kita menggempur Pajajaran?" Ki Aliman bicara sambil dadanya kembang-kempis pertanda menahan kemarahan.
"Purbajaya, betulkah hatimu kembali ke Pajajaran?" Pangeran Arya Damar matanaya menyorot tajam ke arah pemuda itu.
Ditekan dengan pertanyaan seperti itu, hati Purbajaya luluh-lantak. Ini adalah serangan yang melumpuhkan hatinya. Selama ini dia selalu rendah diri hanya karena dia ditempatkan sebagai anak musuh Carbon yang dipungut dari arena peperangan. Sedikit saja dia berpikiran aneh-aneh, maka orang selalu mengkaitkan dirinya dengan pengkhianatan. Itulah sebabnya, Purbajaya terkejut dengan tudingan barusan. Di antara sedih dan kecewa tersembul rasa khawatir yang sangat.
"Saya adalah orang Carbon, Gusti ... " gumam Purbajaya sedih.
"Kalau begitu, berpikirlah seperti aku," ujar Pangeran Arya Damar pendek."Duduklah engkau ... " kata pangeran itu lagi. Purbajaya kembali duduk, demikian pun Ki Aliman.
Perundingan kembali dilanjutkan, sepertinya tak pernah terjadi peristiwa panas yang mengawalinya.
Putusan Pangeran Arya Damar sudah mantap. Bulan depan akan mengirimkan pasukan rahasia, dipimpin oleh keempat orang perwira Puri Arya Damar. Mereka akan memimpin belasan prajurit tangguh menuju puncak Gunung Cakrabuana.
*** RENCANA ini demikian rahasia. Hanya sekali pun begitu, bukan berarti tak diketahui. Paling tidak, perjalanan ke wikayah puncak Cakrabuana ini diketahui dan direstui Pangeran Suwarga.
Pangeran Arya Damar memang cerdik. Perjalanan ini dilaporkannya sebagai pemeriksaan rutin ke wilayah bawahan Carbon. Cakrabuana adalah gunung tinggi yang puncaknya selalu diselimuti kabut. Gunung itu oleh sementara orang suka dikeramatkan, berada di wilayah Karatuan Talaga.
Seperti sudah diketahui, wilayah Karatuan Talaga yang dulunya masuk wilayah Pajajaran, sejak tahun 1530 Masehi telah bergabung kepada Carbon. Untuk memantapkan pembinaan agar keamanan tetap terjamin, kontrol dari pusat setiap waktu tertentu selalu dilakukan. Jadi tak ada hal yang aneh bila kini Pangeran Arya Damar mengirimkan pasukan kecil ke wilayah itu. Dan Pangeran Suwarga pun sebagai pucuk pimpinan militer tertinggi, tidak ada alasan untuk menolaknya.
Tapi malam hari sebelum berangkat, Purbajaya tak bisa tidur. Akhir-akhir ini memang banyak pikiran bergayut di benaknya.
Purbajaya merasa bingung akan hidupnya, mengapa jadi begini" Selama tinggal bersama Paman Jayaratu, Purbajaya tak pernah punya persoalan hidup. Namun kini sesudah bergabung dengan Pangeran Arya Damar, masalah jadi bermunculan. Pertama memasuki puri, Purbajaya sudah dikejutkan oleh kenyataan bahwa dirinya bukan orang Carbon. Dia dipungut dari sebuah kemelut pertempuran di wilayah Pajajaran, sesudah itu diurus sebagai anak pungut oleh Carbon. Karena kedudukan seperti inilah maka usaha pengabdian pengabdian pemuda itu terhadap negara lebih menyerupai sebagai utang-budi. Orang lain tak menganggap pengabdian pemuda itu sebagai rasa cinta, melainkan sebagai budi yang harus dibalas. Ini yang membuat dirinya merasa tak enak dan merasa kedudukannya berbeda dengan yang lain.
Yang lebih sedih dari itu, orang mudah curiga ke padanya. Seperti kejadian kemarin dulu ketika dia tak setuju ada semacam penyerbuan kepada orang-orang Pajajaran, maka semua orang mudah menudingnya sebagai pengkhianat berkepala dua.
Penyakit rendah diri melanda hatinya karena kedudukannya ini.
Dalam hal bercinta, perasaan ini pun terasa amat mengganggunya. Dia begitu rendah diri bila berhadapan dengan Nyimas Waningyun. Benar, sesekali bisa bercanda. Tapi bila ingat akan kedudukannya, kembali hatinya tersiksa. Nyimas Waningyun adalah keluarga bangsawan sedangkan dirinya hanya prajurit dari keluarga yang tak diketahui asal-usulnya. Kalau pun pernah disebutkan sebagai keluarga bangsawan, hanyalah bangsawan Pajajaran yang sulit dilacak kebenarannya.
Bersaing dengan kalangan bangsawan Carbon mustahil bisa menang. Itulah sebabnya, walau pun Raden Ranggasena merupakan pemuda bengal, angkuh dan sombong tapi Purbajaya tak akan sanggup berebut simpati.Di saat terjadi pertalian jodoh sesama keluarga bangsawan, Purbajaya tak bisa apa. Padahal Purbajaya amat mendambakan hidup bersama Nyimas Waningyun. Ini mungkin mimpi.
"Harapan semakin jauh ... " keluhnya.
Purbajaya segera duduk dari tidur telentangnya. Dia bahkan keluar dari kamarnya dan pergi berjalan-jalan menyusuri kompleksksatriaan (asrama prajurit). Pemuda itu melangkagh pelan di atas jalan berbalay yang nampak lengang dan sepi. Ada rembulan melayang di atas awan. Sesekali cahayanya redup lantaran sang awan terlalu tebal, namun sesekali cahayanya bersinar terang membuat alam sekeliling menjadi benderang. Namun, baik ketika dalam keadaan terang, mau pun redup, semuanya tidak mengubah hati Purbajaya yang sedang gulana.
Purbajaya terus berjalan dan tak terasa langkahnya menuju luar kompleks.
Sebetulnya di pintu depan ada dua orang penjaga. Namun entah mengapa, Purbajaya lolos dari perhatian mereka. Barangkali langkah Purbajaya terlalu halaus, atau bisa juga lantaran dua penjaga itu terkantuk-kantuk dalam tugas jaganya.
Ini sudah larut malam dan udara poun terasa dingin. Sepi dan dingin akan membuat orang mudah terbuai kantuk, tidak juga yang tengah bertugas.
Sekarang Purbajaya lewat ke benteng kaputrwen. Hatinya langsung ingat Nyimas Waningyun. Sedang apa Nyimas di tengha sepinya malam ini" Purbajaya merunduk. Mungkin hanya sementara saja gadis itu tinggal dalam sepi. Tokh tak berapa lama lagi dia akan swegera punya pengayom, punya pelindung dan tak akan merasakan arti sepi.


Kemelut Di Cakrabuana Karya A Merdeka Permana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Duh, Nyimas ... Mengapa bukan aku yang jadi pelindungmu?" keluhnya seorang diri.
Esok subuhnya, Purbajaya sudah akan berangkat bersama pasukan. Entah kapan akan kembali.Kalau nasib buruk, barangkali juga akan mati dan tak kembali. Kalau begitu, maka putuslah harapannya bertemu Nyimas Waningyun. Padahal ingin sekali, di saat-saat akhir gadis itu berumah-tangga, dia ingin menatapnya dengan lama.
"Duh, Nyimas ... betapa pilu hatiku. Engkau menggodaku dan engkau membuatku nestapa ... " keluhnya berkali-kali.
Kerinduan begitu menerpa dirinya. Itulah sebabnya, di saat punya kesempatan, dengan nekadnya dia menyelundup masuk kaputren. Memang mustahil bisa bertemu Nyimas Waningyun sebab suasana masih malam.Namun paling tidak, dia bisa menatap bangku kecil di bawah pohon taman yang biasa diduduki gadis ayu itu.
Purbajaya mendekati tempat itu. Purbajaya menatap ke arah bangku kecil sebab di sana terlihat ada Nyimas Waningyun tengah merenung. Mula-mula Purbajaya terkejut setengah mati, namun belakangan bibirnya tersenyum tipis.
Purbajaya merasa, karena dirinya telah begitu tergila-gila dan selalu membayangkan tubuh Nyimas Waningyun, maka ke mana pun dia memandang, yang nampak selalu saja gadis itu. Demikian pun malam itu. Ada bayangan gadis itu. Ya, Nyimas Waningyun duduk merenung di bangku kecil. Kepalanya tertunduk lesu menatap kolam ikan hias.
Purbajaya sadar, ini hanya tiopuan mata. Namun demikian, pemuda itu tetap gembira. Biarlah, tidak dengan orangnya, dengan bayangannya pun sudah terpuaskan, demikian bisik hatinya. Tipuan-tipuan pandang sudah jadi miliknya sudah biasa menghibur dirinya.
Purbajaya tersenyum dalam kebahagiaan semu. Sekarang ada bayangan gadis itu. Maka matanya tak boleh dikecapkan, takut bayangan manais itu segera hilang. Tapi Purbajaya tak kuat matanya terus melotot. Dengan jengkelnya dia terpaksa berkedip. Hanya aneh sekali, bayangan itu tak mau hilang.
Bulan kembali memisahkan diri dari himpitan awan dan kini cahayanya cemerlang menerangi alam sekeliling. Purbajaya terpana, nyatanya bayangan Nyimas Waningyun tak mau hilang dari pandangannya.
Purbajaya semakin terpana sebab tubuh indah itu semakin nampak nyata. Sekarang rambut ikal gadis itu malah terlihat tergerai dan berombak terkena tiupan angin malam. Hidung kecil mancung gadis itu nampak nyata ketika dia menoleh ke pinggir.
"Terima kasih sang rembulan membuat hatiku amat bahagia ... " kata Purbajaya tiba-tiba. Tapi Purbajaya jadi terkejut sebab tubuh gemulai itu cepat berdiri dan membalik menghadap ke arahnya.
"Purbajaya!" terdengar pekik merdu dari arah sana.
"Nyimas ... " bisik Purbajaya dengan suara bergetar.
Mula-mula dia berdiri mematung. Tubuh Purbajaya tak mau bergerak. Takut ini masih berupa tipuan. Tapi ketika langkah gadis iti bergerak menuju ke padanya, Purbajaya pun mulai berani melangkah. Dan akhirnya, baik Purbajaya mau pun gadis itu, sama-sama berlari saling mendekat. Sampai pada suatu saat tubuh mereka bertubrukan, berpelukan dan sulit dipisahkan.
"Purbajaya ... "
"Nyimas ... Ah, Nyimas !"
Lama mereka berpelukan dalam diam. Rembulan pun untuk sementara seperti malu menampakkan diri dan sembunyi di balik awan.
Lain lagi dengan sepasang muda-mudi itu. Kalau bulan merasa malu dan sembunyi di balik awan, maka remangnya cuaca malah dijadikannya sebagai kesempatan untuk saling melepas rindu. Tubuh dua orang itu saling merapat seperti tak ingin dilepas lagi. Beberapa kali mereka saling pandang dan beberapa kali pula mereka saling dekap.
"Purbajaya ... "
"Nyimas ..."
Mereka saling berdekapan lagi untuk beberapa lama.
"Nyimas ... benarkah engkau ini ada di hadapanku" bisik Purbajaya dengan suara bergetar.
"Aku malah yang bertanya, benar-benarkah engkau yang berdiri di hadapanku?" Nyimas Waningyun balik bertanya.
Tak sadar Purbajaya menarik tangan gadis itu. Mula-mula dipegangnya halus, lama-lama diremasnya dengan cukup keras sehingga Nyimas Waningyun meringis kesakitan.
"Aduh, kau sakit, Nyimas" Aku khawatir, kau hanyalah bayangan semu semata," tutur Purbajaya masih menggenggam tangan gadis itu.
"Ya, Tuhan, engkau benar-benar Nyimasku. Betapa halus jari-jari tanaganmu, betapa hangat telapak tanganmu. Nyimas, mengapa engkau malam-malam berada di sini?" Purbajaya nyeroscos bicara sampai napasnya kembang-kempis karena tak putus-putus.
"Aku malah yang harus tanya, mengapa engkau malam-malam berada di sini?" untuk ke sekian kalinya gadis itu malah yang balik bertanya. Dia pun balik meremas tangan Purbajaya
"Maafkan Nyimas. Ini semua karena aku ingat engkau ..." bisik Purbajaya sejujurnya.
"Aku pun lama menyepi dalam dingin ini karena ingat engkau ... " jawab gadis itu pun dengan berani.
Dua pasang mata saling berpandangan, pegangan tangan masing-masing pun semakin kuat. Dan tak bisa dibendung, keduanya pun akhirnya larut dalam peluk. Kuat, tak habis-habisnya.
Rembulan masih sembunyi.
"Aku menerima khabar, sebentar subuh engkau sudah akan berangkat tugas," bisik gadis itu sambil pipinya bersandar di dada Purbajaya yang bidang.
"Aku datang ke sini memang mau pamit. Entah kapan bisa kembali," kata Purbajaya setengah mengeluh.
"Wilayah Karatuan Talaga tak begitu jauh. Sebentar kemudian kau pasti kembalai. Yang terpenting dari kesemuanya, kau musti ingat aku," kata gadis itu manja menyandarkan pipinya di dada yang bidang.
"Aku butuh doamu dan aku pun butuh cintamu." bisik Purbajaya. Tanpa ragu-ragu dikecupnya kening gadis itu.
"Akan aku berikan cintaku sepenuhnya padamu ..." bisik Nyimas Waningyun lirih. Tangannya semakin erat memeluk dan melingkar di punggung Purbajaya. Sda desah napas memburu dari gadis itu. Kemudian terdengar pula keluh-keluh lirih dan sedikit merintih.
Purbajaya tersentak ketika merasakan hal ini. Dengan serta-merta dia melepaskan rangkulan gadis itu. Purbajaya mencoba menjauh dan memberi jarak terhadap gadis itu. Kini mereka hanya saling berpeganagan tangan saja. Untuk sementara Nyimas Waningyun kecewa, mengapa Purbajaya melepaskan kesempatan ini. Dia menatap nanar kepada pemuda pujaannya.
"Jangan berbuat itu, Nyimas ... " kata Purbajaya namun sambil mengelus pergelangan tangan gadis itu.
"Purba, bukankah engkau cinta padaku" Percayalah, aku pun cinta engkau," kata Nyimas Waningyun, masih heran dengan sikap Purbajaya.
Purbajaya menggelengkan kepala beberapa kali.
"Tak cintakah engkau ke padaku?"
"Bukan begitu, Nyimas. Kalau ada orang yang menyuruhku mati demi cintaku padamu, maka akan kulakukan. Tapi menjamah kesucianmu, itu soal lain. Jangan anggap cintaku hanya sebatas berahi, Nyimas ... " Purbajaya berkata sungguh-sungguh.
Nampak ada garis-garis kecewa di wajah gadis itu.
"Sungguh, Nyimas, aku cinta padamu ... " bisik Purbajaya sambil kembali meremas jari-jemari gadis itu.
"Tapi kesempatanmu hanya itu, Purba ... " gumam gadis itu sambil menunduk lesu.
Purbajaya menghela napas panjang. Dia mengerti maksud gadis itu.
"Aku telah dijodohkan kepada Ranggasena ..." keluh Nyimas Waningyun.
"Ya ... aku pun tahu."
"Tapi aku tak suka dia. Ranggasena sifatnya kekanak-kanakan. Tolonglah Purba, aku tak berdaya menepisnya ..." kembali Nyimas Waningyun mengeluh. Kini bahkan ada lelehan air mata di pipinya.
"Tidakkah kau mencoba menolaknya?" tanya Purbajaya.
Nyimas Waningyun menghela napas. Kini kedua orang muda itu duduk berdampingan di bangku kecil sambil mengawasi ikan-ikan berenang di kolam. Ada satu ikan dikejar-kejar sesamanya, namun ada juga ikan yang kesepian sendiri di sudut kolam.
"Ini bukan sekadar perjodohan. Kami musti bersatu karena orangtua kami menginginkan persatuan di antara mereka.
"Ya, aku pun tahu, ini hanyalah kepentingan para orangtua kalian ... " kata Purbajaya lagi.
"Itu pun tidak persis begitu, sebab keluarga kami sebetulnya tidak pernah bersahabat. Setiap saat kerjanya hanya saling curiga-mencurigai," kata Nyimas Waningyun.
"Jadi, untuk apa perjodohan ini?"
"Mereka harus bersatu demi kepentingan politik negri ini," jawab gadis itu.
Purbajaya terpekur. Ini adalah berita yang ke sekian kalinya. Kali ini datang dari mulut Nyimas Waningyun. Demi kepentingan politik, perasaan orang dikorbankan.
"Maukah Nyimas menungguku?" tanya Purbajaya tiba-tiba.
"Menunggu apa?"
"Aku akan berusaha memperjuangkan nasib kita."
Nyimas Waningyun hanya menatap lemah, sepertinya dia sangsi akan ucapan Purbajaya.
"Engkau ingin memberikan kesucianmu karena cintamu padaku. Maka tekadku pasti, ingin memperjuangkan nasib kita," kata Purbajaya bersemangat. Tak ada anggukan pasti dari gadis itu, kecuali menjatuhkan kepalanya lagi pada dada Purbajaya. Sepertinya gadis itu tetap merasa hanya ini peluang bagi mereka berdua. Kini malah terdengar suara gadis itu menangis sesenggukan.
*** PURBAJAYA kembali dari kaputren sambil meloncat-loncat di atas kutha (benteng) dengan amat hati-hati. Baru belakangan ini saja dia sadar, betapa berbahayanya bila ada orang yang memergoki perbuatannya ini. Memasuki kaputren dan apalagi mengencani putri penguasa puri adalah sebuah pelanggaran berat. Bila diketahui penghuni puri, barangkali hukumannya mati. Betapa tidak, sebab sebenarnya dia telah berani mengotori tempat ini. Nyimas Waningyun adalah gadis pingitan sebab sebentar lagi akan menjadi jodohnya Raden Ranggasena. Betapa terhinanya keluarga Pangeran Danuwangsa kalau diketahui calon mantunya dikotori oleh lelaki yang bukan haknya. Barangkali akan terjadi percekcokan dengan pemilik puri ini. Betapa marahnya Pangeran Arya Damar kalau yang menghina martabatnya ini adalah prajuritnya sendiri.
Purbajaya menyesal, mengapa dia bertindak semberono seperti ini. Mencuri masuk ke kaputren dan mengencani Nyimas Waningyun adalah tindakan amat memalukan. Beruntung, setan tak menggoda lebih dalam, sebab kalau tak begitu, dirinya sudah terjerumus ke jurang kehinaan.
Ingat Nyimas Waningyun dia menjadi sedih. Kalau dilayani, tentu gadis itu telah ternoda. Purbajaya itu sedih, gadis itu punya batin yang lemah. Purbajaya memang boleh bangga bahwa hatinya tak bertepuk sebelah tangan. Hanaya yang disesalkan, ternyata gadis itu salah dalam menafsirkan cinta. Padahal bagi Purbajaya, berahi hanyalah satu perangkat kecil dari masalah besar bernama cinta. Purbajaya menginginkan, cinta sebetulnya bukan sekadar masalah beraahi.
"Nyimas salah mengerti ... salah mengerti ..." keluh Purbajaya.
Karena ada dua orang prajurit tengah tugur (meronda), Purbajaya tak berani langsung memasuki gerbang kompleks ksatrian. Dia harus jalan memutar menyisir benteng. Namun benteng ini pun akhirnya memutar ke arah puri yang didiami Pangeran Arya Damar. Purbajaya harus hati-hati lewat sana, jangan sampai ada orang tahu.
Dia meloncati satu benteng dan menyisir kompleks belakang kediaman Pangeran Arya Damar. Dia jalan mengendap-endap sebab harus menerobos dan memotong lahan kebun bunga. Namun sebelum hal itu dilakukan, telinganya mendengar suara dua orang lelaki tengah berdebat. Walau dengan kata-kata dan kalimat yang diucapkan pelan, Purbajaya bisa hapal siapa yang tengah berdebat. Hatinya berdebar keras sebab itu adalah suara perdebatan antara Pangeran Arya Damar dan Paman Jayaratu.
"Engkau tak bisa ikut campur urusanku," terdengar suara Pangeran Arya Damar.
"Aku memang tak bisa ikut campur urusanmu tapi aku bisa menghalang-halanginya," kata Paman Jayaratu dengan suara tegas.
"Maksudmu, kau akan lapor kepada Pangeran Suwarga?" tanya Pangeran Arya Damar."Hahaha! Sudah belasan tahun dia tak mau menemuimu dan apalagi mempercayai omonganmu," katanaya lagi.
"Tentu, aku orang terbuang dari kalangan istana tapi tak terbuang dalam mencintai Nagri Carbon. Aku masih mempunyai hak menjaga Carbon dari kehancuran," kata Paman Jayaratu dengan suara pelan tapi tajam.
Hening sejenak. Purbajaya tak tahu, apa yang dilakukan kedua orang itu di saat tak saling berbicara. Purbajaya tak berani bergerak, apalagi berusaha melongok ke arah tempat di mana kedua orang itu tengah bercakap-cakap. Baik Paman Jayaratu mau pun Pangeran Arya Damar adalah orang-orang pandai dan mungkin akan mudah curiga kepada setiap gerakan asing sebagaimana halus pun.
"Rencana-rencanamu membahayakan Carbon, Arya ... " kata Paman Jayaratu menyebut nama bangsawan itu begitu saja.
"Tidak lebih berbahaya dibandingkan dengan kebijakan Pangeran Suwarga yang memilih diam. Kau harus tahu, Carbon lemah dan kedudukannya selalu berada di bawah Demak hanya karena ada beberapa pejabat Carbon yang tak memiliki ambisi. Kau harus tahu, sebuah kemajuan perlu ambisi," kata Pangeran Arya Damar tak kurang sengitnya dalam mengutarakan pendapat.
"Tapi ambisi membuat orang tergelincir," kata Paman Jayaratu memotong kalimat.
"Tergelincirkah aku?"
"Boleh dibilang ya!"
"Kau menganggapku tergelincir hanya karena aku berpaling dari Pangeran Suwarga. Sementara itu kau tak melihat manfaatnya usahaku dalam mengupayakan keberadaan negri," sergah Pangeran Arya Damar.
"Justru jalan pikiran ini yang membuat dirimu tergelincir," kembali Paman Jayaratu memotong omongan orang."Bahwa Carbon tak akan menyerang Pajajaran, itu bukan saja sejadar kebijakan seoranghulu-jurit bernama Suwarga, melainkan juga sudah jadi kesepakatan Carbon. Semenjak Carbon oleh seluruh para wali (Wali Sanga) diputuskan menjadi puser bumi Islam di Jawa Kulon, maka tak lagi ada kekerasan. Penyebaran agama baru harus dilalui dengan jalan damai tanpa salah satu menekan lainnya dan tanpa salah satu menyakiti lainnya.
"Keliru! Pajajaran harus dihancurkan sebab tak mau masuk Islam!" kata Pangeran Arya Damar tegas.
"Jangan campur-adukkan kepentingan agama dan politik. Engkau bertekad menghancurkan Pajajaran bukan karena urusan agama, melainkan karena ambisi politikmu. Sudah sejak lama engkau membayangkan, bila kau berhasil melumpuhkan Pajajaran dan membawanya masuk ke bawah kekuasaan Carbon, maka kau akan dapat bintang. Bintang apakah itu" Aku tak bisa memperkirakannya, sejauh mana kau punya ambisi. Barangkali kau ingin menggeser kedudukanhulu-jurit , atau bisa juga kau ingin ditempatkan di wilayah Pajajaran dengan jabatanmangkubumi bahkan lebih tinggi dari itu. Itu hanya kau yang tahu tentang cita-citamu," tutur Paman Jayaratu lagi dengan berani.
Hening sejenak. Kemudian terdengar kekeh kecil Pangeran Arya Damar.
"Engkau orang cerdik. Sebetulnya aku perlu orang-orang sepertimu. Daripada kau hidup terasing dan terlunta-lunta di negri sendiri, mengapa tidak gabung saja denganku?"
"Aku memang punya keinginan tapi tak sama dengan ambisimu," gumam Paman Jayaratu.
"Apakah engkau akan terus begini, hidup tak punya pijakan dan masa depan" Ingat, hanya aku yang akan bisa mengangkat kembali derajatmu!" kata Pangeran Arya Damar.
"Hm ... Tinggi-rendahnya derajat tidak ditentukan oleh tinggal di istana ... "
Suasana hening lagi sejenak.
"Sejak lama kita tak pernah punya kesesuaian paham. Padahal kalau kita bersatu, akan merupakan sebuah kekuatan yang dahsyat. Barangkali seluruh Carbon akan dapat kita kuasai!" gumam Pangeran Arya Damar.
"Kau menginginkan hal itu?"
"Mengapa tidak" Untuk kebesaran sebuah negara, semua orang yang merasa memiliki kemampuan, harus berupaya menampilkan kemampuannya. Kalau aku merasa memiliki kemampuan untuk memimppin negara, mengapa hal itu tidak aku coba?" kilah Pangeran Arya Damar.
"Omonganmu kian melantur. Sikap-sikap seperti inilah yang tidak dikehendaki oleh Kangjeng Susuhunan Jati, di mana bila semua orang merasa mampu melakukan sesuatu, maka orang itu akan berusaha untuk duduk paling tinggi dan berjalan paling depan. Itulah sebabnya, Kangjeng Susuhunan Jati pernah berkata kalau mengurus sebuah negri maka landasan acuannya adalah agama.Dengan berlandaskan kepada kebenaran agama, maka orang tak akan saling berebut pengaruh dan kekuasaan atau juga saling merasa punya hak karena berdasarkan garis turunan. Betapa melencengnya jalan pikiranmu, Arya ... " keluh Paman Jayaratu.
Suasana kembali diam. Dan ketika terdengar ada salah seorang dari mereka berjingkat, maka Purbajaya pun ambil kesempatan untuk berjingkat. Dengan demikian, gerakan dia ketika meninggalkan tempat itu suaranya kurang bisa diikuti orang pandai.
*** SEUSAI menyimak obrolan dua orang itu, kian bertambah pula kebingungan di hatinya. Ini sekaligus telah menambah nilai misteri yang ada di lingkungan istana. Dan Paman Jayaratu adalah orang yang paling diselimuti kabut misteri. Ya, mendengar obrolan barusan, siapakah sebenarnya Paman Jayaratu ini"
Bila bertemu dengan Pangeran Arya Damar di muka umum, Paman Jayaratu nampak sekali rasa hormatnya, seperti layaknya hormat seorang hamba-sahaya kepada majikannya, atau hormat dari seorang yang derajatnya rendah kepada orang yang memiliki derajat jauh lebih tinggi. Namun peristiwa malam ini di kebun belakang puri Arya Damar telah membuktikan lain. Mendengar nada suara dan tutur kata Paman Jayaratu kepada Pangeran Arya Damar, amat menunjukkan bahwa derajat mereka sebenarnya sama. Atau paling tidak, Paman Jayaratu merasa bahwa derajatnya tidak lebih rendah dari bangsawan bernama Pangeran Arya Damar itu. Akan halnya Pangeran Arya Damar, dia pun amat kentara kalau dirinya sebetulknya segan kepada Paman jayaratu. Sungguh hebat, sungguh ajaib dan sungguh misterius.
Sebenarnya bukan orang sembarangan. Barangkali Paman Jayaratu dulunya pejabat penting juga. Hanya entah karena apa orang tua itu akhirnya mundur dari istana.
Purbajaya jadi ingin sekali mengorek dan menguak tabir misteri ini. Maukah Paman Jayaratu membeberkan rahasia ini ke padanya" Orang tua itu serba merahasiakan dirinya. Sudah barang tentu yang namanya rahasia tak boleh diketahui siapa pun. Kalau Purbajaya tanya langsung, belum tentu Paman Jayaratu mau membeberkannya. Dan apa pula kepentingan dirinya untuk mengetahui rahasia Paman Jayaratu" Yang patut disimak adalah isi obrolan mereka. Dari hasil pendengaran Purbajaya, terdapat kesan bahwa rencana yang dibuat Pangeran Arya Damar sebetulnya menyerempet bahaya. Boleh dikata, itu adalah sebuah rencana liar yang tak diketahui negara. Berbahayakah kalau Purbajaya memaksakan diri terlibat di dalamnya"
Hati pemuda itu akhirnya merasa muak dengan yang jadi urusan pangeran ini. Ingin sekali dia kabur dari puri ini dan kembali berkumpul dengan Paman Jayaratu. Tapi kalau tiba-tiba dia mengundurkan diri, tentu akan membuat kecurigaan berbagai pihak. Pangeran Arya Damar akan marah dan curiga. Purbajaya sulit mengajukan alasan perihal kesaksiannya tadi malam. Kalau hal ini diketahui, bahaya lebih besar akan mengancam nyawanya. Maka dengan alasan apa dia bisa mengundurkan diri dari libatan jaring pangeran itu" Bukankah ketika dia mempertanyakan kepentingan menyerang Cakrabuana pun semua orang lantas curiga kalau dirinya masih berkiblat ke Pajajaran" Belum lagi kalau memikirkan Nyimas Waningyun. Kalau dia menjauhkan diri dari rencana Pangeran Arya Damar, hanya punya arti dirinya memutuskan hubungannya dengan gadis itu, padahal dia tengah memiliki rencana besar dengan gadis itu.
Terus-terang, di benaknya ada terpikir untuk menggagalkan perjodohan Nyimas Waningyun dengan Raden Ranggasena. Tidak dengan jalan kekerasan, melainkan dengan menyodorkan logika yang sekiranya bisa terpikir oleh Pangeran Arya Damar.
Namun untuk meyakinkan hal ini, hambatannya sungguh berat. Selama ini Pangeran Arya Damar selama ini tak pernah menghargai jalan pikirannya.Perlu satu hal agar dirinya terperhatikan, yaitu membuat Pangeran Arya Damar percaya dan menghargainya. Kalau dia berjasa, maka Pangeran Arya Damar akan mau melirik padanya. Salah satu peluang untuk mendapatkan kepercayaan adalah keikutsertaan dirinya dalam rencana perjalanan ke Cakrabuana. Purbajaya harus sanggup menampilkan kesungguhannya dalam mengikuti perjalanan ini.
"Aku tak sanggup kehilanganmu, Nyimas. Makanya, apa pun yang terjadi, aku sudah tak mau meninggalkan puri ini..." gumam Purbajaya.
Pemuda ini tidur dengan hati gundah. Mungkin karena terlalu banyak yang jadi pikirannya. Akibatnya, pada subuh harinya dia terlambat bangun, sehingga pintu kamarnya perlu digedor orang.
*** "PURBA, cepat bangun!" seru suara dari luar sambil menggedor daun pintu keras-keras.
Dengan mata masih terasa pedih, Purbajaya membuka pintu. Di luar sudah berdiri dua orang prajurit.
"Engkau tengah ditunggu Raden Yudakara di depan puri!" tutur salah seorang di antaranya.
"Raden Yudakara?" Purbajaya mengerutkan alais. Dia tak kenal bangsawan ini.
"Ya, beliaulah yang akan memimpin perjalananmu ke Cakrabuana!" kata lagi prajurit.
Alis Purbajaya semakin berkerut. Namun diturutinya perintah dua prajurit itu. Purbajaya hanya punya waktu membasuh muka. Dia segera menjinjing perbekalan kecil yang telah dipersiapkan, sudah itu segera keluar.
Benar saja, di paseban dia sudah ditunggu. Di sana ada Pangeran Arya Damar, lengkap dengan para pembantunya, yaitu Ki Albani, Ki Aspahar, Ki Aliman dan Ki Marsonah, yang padahal menurut rencana, merekalah sebetulnya yang akan memimpin pasukan kecil ini.
Namun Purbajaya juga melihat seorang pemuda yang Purbajaya baru tahu hari ini. Dia adalah seorang pemuda dewasa. Barangkali usinya sekitar 35 tahun. Dia berpakaian hitam-hitam, juga memakai ikat kepala warna hitam. Yang mencolok dari kesemuanya wajahnya tampan berkulit putih. Hidungnya mancung walau sedikit melengkung. Matanya tajam setengah berkilat. Ada kumis tipis hitam menghiasi bagian atas bibirnya. Yang Purbajaya tak suka, sepasang bibirnya terkatup rapat seperti menampakkan ejekan. Dia bersila tegak di hadapan Pangeran Arya Damar. Sepasang tangannya bersedekap melintang di dada.
Purbajaya menduga, tentu dialah Raden Yudakara.
Dan benar, lelaki tampan itu diperkenalkan Pangeran Arya Damar sebagai Raden Yudakara. Purbajaya disuruhnya agar memberikan hormatnya kepada pemuda itu.
"Purba, engkau akan melakukan perjalanan ke wilayah Cakrabuana bersama Raden Yudakara," kata Pangeran Arya Damar.
"Ada perubahan rencana, Gusti?" tanya Purbajaya.
"Tidak. Rencana berjalan seperti semula, yaitu kita mengirimkan pasukan rahasia ke puncak Gunung Cakrabuana, tapi engkau melakukan perjalanan lebih dahulu bersama Raden Yudakara," jawab Pangeran Arya Damar.
Bab 5 Purbajaya mencoba melirik ke arah pemuda itu.
"Engkau pasti belum kenal. Raden Yudakara adalah orang kita namun banyak ke luar-masuk wilayah Pajajaran dan bertindak sebagai mata-mata. Orang Pajajaran bahkan menganggapnya sebagai warga di sana. Hebat bukan?" kata Pangeran Arya Damar."Kelak angkau akan memasuki wilayah Pajajaran bersama Raden Yudakara," sambung pangeran itu.
"Aku dengar, engkau inipuhawang (ahli kelautan) dan terbiasa hidup di Muhara Jati. Pajajaran khabarnya butuh tenagapuhawang sebab mereka merencanakan menghidupkan kembali kejayaannya di lautan. Kelak kau bisa menyusup menjadi pegawai di lautan," kata Raden Yukadara nadanya sudah seperti memerintah.
Rundingan kembali diadakan. Tapi intinya hanya mengatur teknis perjalanan. Mereka berunding, kapan dan di mana bisa bergabung dengan pasukan inti yang dipimpin oleh keempat orang perwira itu.
"Sebelum hari terang tanah, kalian harus segera meninggalkan tempat ini," kata Pangeran Arya Damar.
Mereka semuanya diberi hidangan penghangat badaan. Sesudah itu, baru beranjak untuk pergi.
Beberapa orang penghuni puri melepas kepergian mereka. Para prajurit dilepas oleh sesama teman-temannya yang tak ikut pergi dan di pintu depan, mereka diberi ucapan selamat jalkan oleh deretan gadis cantik.
"Nyimas ... " Purbajaya tak terasa berbisik.
"Ow, rembulan di atas sana sudah mulai pudar cahayanya. Tak dinyana di bawah sini malah bersinar cemerlang. Wahai gadis, siapakah gerangan?" kata Raden Yudakara dengan suara merdu merayu.
"Beliau adalah putri terkasih Pangeran Arya Damar, Raden ... kata Purbajaya sebab Nyimas Waningyun hanya menunduk tersipu.Sepasang mata gadis itu sembab. Mungkin kurang tidur atau mungkin habis menangis. Kalau dua-duanya benar, tidakkah ini karena peristiwa semalam"
Nyimas Waningyun mungkin tak sempat tidur dan kini mencegatnya di sini bersama barisan gadis cantik yang bertugas mengantarkan rombongan.
Sayang ada Raden Yudakara, sehingga pertemuan perpisahan ini tak sempoat dinikmati oleh Purbajaya. Bahkan lebih dari itu, kehadiran pemuda bangsawan itu serasa mengganggu kenyamanan Purbajaya.
"Tak disangka, di puri ini ada mawar yang tengah merekah indah. Tapi, hai gadis, wajahmu muram, sorot matamu suram. Kalau ada awan hitam menggayut di hatimu, singkirkanlah dengan senyum bahagia," Raden Yudakara menggoda Nyimas Waningyun dengan nada manis menawan.
Yang digoda hanya menunduk dengan senyum dikulum.
"Pangeran Arya Damar pandai menyembunyikan halaman indah sehingga tak ada orang tahu isinya," kata Raden Yudakara sambil beberapa kali berdecak kagum.
Namun tak ada tanya-jawab penting di sana sebab Nyimas Waningyun keburu dibawa pergi oleh beberapa gadis lainnya. Dan Purbajaya berdegup jantungnya ketika gadis itu masih sempat menoleh ke belakang dan menatapnya sejenak.
"Sepertinya mawar harum itu mengenalmu, Purba ... " gumam Raden Yudakara melirik kepada Purbajaya.
"Tentu saja. Bukankah saya tinggal di puri ini, Raden?" jawab Purbajaya.
Kedua orang itu akhirnya melanjutkan perjalanan dengan menggunakan kuda terbagus milik puri itu. Dari Carbon menuju wilayah Karatuan Talaga akan memakan waktu sehari penuh kalau dilakukan dengan cepat. Namun demikian, mereka tidak akan memasukidayo (kota) Karatuan Talaga, melainkan hanya akan singgah di sebuah dusun kaki Gunung Cakrabuana saja.
Paman Jayaratu pernah bercerita kepada Purbajaya bahwa nama Cakrabuana sebetulnya diambil dari sebuah peristiwa bersejarah yang pernah terjadi di puncak gunung itu.
Dulunya, gunung itu hanya dikenal sebagai Gunung Cangak. Namun demikian, sudah sejak dulu gunung ini suka dipakai tempat tinggal orang-orang berilmu, baik ilmu kewiraan mau pun ilmu kebatinan termasuk agama.Karuhun (nenek-moyang) orang Sunda menganggap Gunung Cangak sebagai tempat keramat sebab di sana orang mendalami agamakaruhun . Di wilayah Teja (Lemahputih) ada bekas tempat persemayaman tokoh amat terkenal dengan julukan Ki Jago. Di lereng timur ada Candi Batulawang, bekas para akhli agama Hindu bersemayam. Semakin ke atas, juga didapat petilasan bernama Batucakra.
Batucakra ini punya riwayatnya. Dulu Kangjeng Walangsungsang, putra Sang Prabu Siliwangi dari Pajajaran, mengembara mencari ilmu kehidupan. Beliau pun tiba pula di wilayah Gunung Cangak. Di sana lama mempelajari ilmu agama (Islam). Dan karena pernah tersesat di sana, maka beliau membuat peta dengan goresan-goresan kuat di atas batu. Orang mengatakan kalau Sang Walangsungsang ketika itu membuat goresan-goresan menyerupai cakra. Maka sejak saat itu, Walangsungsang dijuluki Cakrabuana bahkan gunung itu pun dikenal sebagai Gunung Cakrabuana hingga kini.
Kangjeng Cakrabuana adalah pendiri Karatuan Carbon (1445 Masehi) dan bergelar pangeran.
"Dulu namanya Caruban. Artinya campuran. Ini karena Carbon sebelum berubah menjadi sebuah negara sudah dihuni oleh orang-orang dari berbagai bangsa, berbagai adat-istiadat, berbagai agama dan juga macam-macam bahasa dan tulisan. Penduduk menamakan dirinya sebagaiwong grage . Asal kata darigarage . Semenjak berkembang menjadi negara dan dikepalai oleh Kangjeng Pangeran Cakrabuana, Carbon memang berubah menjadinagara gede (garage) . Kangjeng Pangeran Cakrabuana adalah uwaknya Sang Susuhunan Jati yang memerintah kini," kata Paman Jayaratu ketika itu.
Selama dalam perjalanan, Purbajaya selalu memperhatikan perangai lelaki tampan ini. Ternyata Raden Yudakara adalah seorang yang periang. Baginya, alam sekelilingnya adalah kebahagiaan semata. Dia menyenangi pemandangan alam, sehingga menuju ke tempat pertempuran dianggapnya sebagai perjalanan pesiar saja. Dia pun amat romantis. Pencinta berbagai keindahan, termasuk keelokan wanita muda. Di sepanjang jalan, bila masuk ke sebuah dusun dan kebetulan berpapasan dengan wanita yang meneurut seleranya cantik, Raden Yudakara selalu mengerling tajam dan senyum manis dikulum. Wanita desa mana yang jantungnya tak berdegup bila diajak senyum seorang bangsawan berkuda gagah" Maka tak ayal, mereka tersipu, menunduk malu dengan rona merah di wajah, atau pura-pura cemberut, namun akhirnya ada kerling penasaran di matanya.
"Rupanya Raden amat menyukai wanita ... " kata Purbajaya di tengah jalan sepi.
Dikatakan begini, Raden Yudakara tertawa lepas dan bebas. Dan nampaknya ada kegembiraan menerima pernyataan ini.
"Tidak persis begitu. Yang sebetulnya kurasakan, aku adalah mencintai keindahan. Keindahan apa saja. Namun karena wanita itu pun bagian dari keindahan, maka sudah barang tentu aku amat menyukainya. Tuhan memberikan warna keindahan kepada apa yang ada di dunia, termasuk keindahan wanita. Kalau aku mencintai keindahan, itulah tandanya aku memuji kepada kepandaian Tuhan," jawab Raden Yudakara berfilsafat.
"Dan aku tak memilah-milah. Keindahan ada di mana saja. Tidak melulu ada di lingkungan puri. Keindahan di alam bebas barangkali keindahan yang sebenarnya sebab di sana tak ada polesan. Tapi ... " Raden Yudakara mendadak berhenti seperti mau tersedak.
"Ada apa Raden?"
"Gadis di puri Arya Damar demikian cantik. Mungkin yang tercantik dari semu kembang di taman. Dia demikian anggun, demikian indah. Mungkin penuh harum. Ow, aku akui gadis di Pajajaran elok dan indah. Namun yang namanya putri puri Arya Damar, mengapa sepertinya terpisah dari yang lainnya?"
Purbajaya sedikit goyah mendengar pujian ini. Benar, mendengar Nyimas Waningyun dipuji setinggi langit, hanya menegaskan bahwa dirinya adalah seorang normal, mencintai gadis maha-cantik. Namun yang dirinya tak enak, pujian habis-habisan yang diucapkan Raden Yudakara hanya menandakan bahwa pemuda bangsawan ini pun secara khusus tertarik kepada Nyimas Waningyun. Hati Purbajaya mengeluh, semakin bertambah saingannya dalam mendapatkan cinta gadis itu.
Yang membikin hati Purbajaya agak terobati, adalah ketika mendapatkan kenyataan bahwa Raden Yudakara kerjanya mengobral pujian kepada setiap gadis. Dalam satu hari itu saja, sudah belasan gadis yang kebetulan berpapasan, selalu dia puji setinggi langit. Purbajaya berdoa, semoga pujian-pujian Raden Yudakara kepada Nyimas Waningyun tidak singgah di hatinya, melainkan hanya pujian sejenak saja.
"Tapi gadis puri itu sepertinya memendam kesedihan besar. Aku sungguh ingin tahu, ada apakah ini?" Raden Yudakara membuat Purbajaya goyah lagi.
"Betul, Raden. Gadis itu sedang punya masalah. Ada sebuah perjodohan yang gadis itu tak menyukainya ... " tak terasa Purbajaya memaparkan persoalan gadis itu.
"Hm ... di mana-mana gadis bangsawan nasibnya selalu begitu. Perjodohan dan nasib cintanya selalu dikaitkan dengan kepentingan lain. Aku bisa duga, gadis itu dijodohkan dengan sesama anak bangsawan demi kepentingan kedua orangtua anak-anak muda itu," Raden Yudakara menebaknya dengan jitu.
"Tebakan Raden benar ... "
Raden Yudakara hanya senyum kecil.
"Kasihan Nyimas Waningyun ... " gumam Purbajaya tak sadar.
"Aku pastikan, gadis itu sudah punya pilihannya sendiri."
"Benar sekali, Raden ... "
"Siapa kira-kira?"
Ditanya seperti itu, giliran Purbajaya yang terkatup bibirnya.
Ini rahasia pribadi. Mengapa musti diobral kepada banyak orang"
Tapi Purbajaya akhirnya mulai berpikir lain. Di mata Pangeran Arya Damar, kedudukan Raden Yudakara sepertinya tidak berada di bawahnya. Mungkin juga keberadaan pemuda bangsawan ini cukup diperhitungkan oleh Pangeran Arya Damar. Kalau benar begitu, mengapa Purbajaya tidak minta tolong saja kepada pemuda periang ini"
"Yang saya lihat, Nyimas Waningyun tak suka kepada pemuda pilihan keluarganya," kata Purbajaya.
"Gadis yang malang ..." guman Raden Yudakara.
"Dia perlu pertolongan." sambung lagi Purbajaya.
"Ya, dia perlu ditolong dari kesedihannya. Penderitaan cintanya harus dilenyapkan. Kalau pun perjodohan itu diatur orang, paling tidak harus menyertakan kepentingan gadis itu sendiri," kata Raden Yudakara sambil mencongklang kudanya.
Purbajaya tak sanggup menebak, apa arti ucapan pemuda bangsawan ini. Hanya yang jelas, Raden Yudakara memang sepertinya punya perhatian yang khusus kepada Nyimas Waningyun. Purbajaya berdoa, mudah-mudahan Raden Yudakara memang bersikap penuh perhatian kepada nasib orang dan mau menolong kesedihan orang lain.
Perbincangan mengenai Nyimas Waningyun cukup sampai di situ. Bahkan seperti terlupakan ketika secara tiba-tiba di tengah perjalanan bertemu lagi dengan seorang gadis. Dia adalah gadis dusun, terlihat dari dandanannya yang amat sederhana, terbuat dari kain kasar dan sedikit lusuh. Hanya yang jadi perhatian, paras gadis itu cukup manis kendati kulitnya agak sawo matang karena banyak kena sinar matahari.
Gadais itu tengah melangkah dengan perlahan dan terkesan lunglai tak bersemangat. Bisa jadi lantaran kecapaian berjalan jauh. Gadis itu berjalan sambil menggendong bakul, entah berisi apa.
Raden Yudakara serta-merta menghentikan langkah kudanya tepat di samping gadis itu.
"Kalau kerja-keras diselingi keluh-kesah maka bakalan lekas capek dan rasa bahagia akan berkurang, hai gadis manis," kata Raden Yudakara.
Tentu saja gadis itu terkejut setengah mati karena ada lelaki asing tampan dan gagah menyapanya. Purbajaya menduga, seperti biasanya gadis ini pasti akan tersipu-sipu malu, menunduk dan wajahnya bersemu merah. Begeitu yang pernah dilihat pada gadis yang sudah-sudah.
Namun Purbajaya kecele. Gadis itu tidak menunduk, apalagi tersipu dengan rona merah di pipi. Dahi gadis itu malah berkerut ketika disapa Raden Yudakara seperti itu. Dia berjalan dengan langkah lebih cepat dan mepet ke pinggir jalan berdebu.
"Mulutmu yang cemberut tidak akan mengubah wajah manismu. Tapi cemberutmu hanya akan merugikanmu sebab hatiku jadi tersiksa, hai gadis," kata lagi Raden Yudakara tak bosan menggoda.
"Kalau hatiku gundah, maka engkaulah yang berdosa," jawaab gadis itu pendek. Raden Yudakara tersenyum kecil dan tak menampakkan rasa tersinggung, padahal menurut penilaian Purbajaya, gadis itu tak sopan, kepada seorang bangsawan bicara ketus.
"Amboi, sikapku yang baik ini malah menjadikannya sebuah dosa," sergah Raden Yudakara sambil tertawa renyah.
"Ya, engkau berdosa ... " kata gadis itu kian mepet karena kuda Raden Yudakara semakin mendekat saja.
"Tolonglah hai gadis manis, jangan biarkan aku berbuat dosa!" Raden Yudakara merintih namun jelas hanya olok-olok belaka.
Dan gadis itu akhirnya merandek.
"Biarkan aku melangkah tanpa gangguanmu!" katanya ketus sekali.
"Gadis secantikmu terlalu sayang untuk dilewatkan. Berdosakah bila aku menatap paras elokmu?" lagi-lagi Raden Yudakara menantang.
"Tentu berdosa sebab engkau sepertinya tak tahu dan tak bisa memilih-milih kepada siapa rayuanmu kau sampaikan," ujar gadis itu lantang.
"Oh, hai ... Tak pantaskah rayuanku dilayangkan padamu?"
"Tentu tak pantas."
"Kenapa gerangan?"
Gadis itu tak menjawabnya, membuat Raden Yudakara penasaran untuk mendesaknya.
"Karena ... "
"Karena apa, manis" Cepatlah jawab gadisku, sebab hari semakin siang, sebab kaki-kaki kuda semakin tak sabar untuk merambah indahnya cinta. Katakanlah, apa penyebab tak pantasnya sapaan cintaku padamu?" Raden Yudakara semakin mendesak dan menantang sampai Purbajaya malu sendiri menyimaknya.
"Aku sudah ada yang punya!" jawab gadis itu pendek. Lalu rona merah merebak di pipinya.
"Amboi, sungguh beruntung suamimu ..."
"Aku belum bersuami!"
"Lho?"
"Aku sudah terikat perjodohan!"
"Ow, tentu calon suamimu amat tampan!"
"Tidak!"
"Engkau cinta padanya?"
"Apakah perasaan cinta musti dikaitkan dengan keelokan wajah" Engkau hai laki-laki asing, wajahmu memang tampan. Pakaianmu gagah. Mungkin kau anak orang kaya atau keluarga kaum bangsawan. Tapi aku tak suka padamu. Kau tak sopan!" hardik gadis itu.
Sejenak Raden Yudakara menghentikan congklang kudanya. Mungkin dia sedikit terhenyak dengan perkataan gadis itu. Hingga gadis itu berlari menjauh, Raden Yudakara masih terpana di atas kudanya.
"Mari Raden, kita lanjutkan perjalanan ... " kata Purbajaya sepertinya tak pernah melihat adegan itu.
Raden Yudakara membedol tali kekang kuda dengan marahnya. Sepertinya dia kesal dan terhina oleh gadis dusun itu.
*** Ada sedikit kebosanan melihat sikap Raden Yudakara ini. Dalam pandangan Purbajaya, pemuda ini punya watak hidung belang. Masa di sepanjang jalan kerjanya hanya menyapa dan menggoda perempuan saja. Sangat beruntung, rasa bosan Purbajaya tidak memuncak menjadi rasa muak sebab sikap pemuda bangsawan itu ada batasnya juga. Sekali pun benar setiap kali bertemu gadis dia menggoda, tapi hanya sebatas godaan kata-kata saja.
"Apa Raden tak sakit hati didamprat gadis dusun seperti itu?"
Ditanya seperti itu, Raden Yudakara hanya tersenyum saja.
"Dia tak tahu aku seorang bangsawan," tuturnya.
"Benar. Kalau pun tadi gadis itu bilang kau anak bangsawan, tapi sebatas baru mengira-ngira saja. Padahal kalau tahu yang sebenarnya, gadis itu pasti wajahnya pucat-pasi," kata Purbajaya "memberi angin".
"Itulah sebabnya, aku senang berpakaian orang kebanyakan, biar mereka jujur mengemukakan pendapatnya," tuturnya."Aku pernah bersua wanita yang telah bersuami. Ketika kugoda dia mau saja hanya karena aku mengaku keluarga bangsawan. Aku campakkan dia dengan muak. Selain pengkhianat, dia pun ambisius. Coba kalau aku anak petani, apa dia mau?" sambungnya.
"Barangkali gadis barusan pun akan terpikat kalau Raden terang-terangan mengaku sebagai pejabat," sela Purbajaya.
"Mungkin juga begitu. Tapi kalau benar, aku pasti muak dan akan kucampakkan dia. Aku paling tak senang pengkghianatan, termasuk dalam urusan cinta," tutur Raden Yudakara tegas. Purbajaya menatap agak lama. Hatinya bertanya-tanya, apa benar Raden Yudakara begitu tegas dalam urusan cinta"
Namun demikian, Purbajaya pun memuji sikap ini. Raden Yudakara benci pengkhianatan. Dia pun adalah orang yang tak mudah tersinggung dan sakit hati. Sebuah sikap yang sebetulnya bisa dianggap baik namun juga bisa dianggap jelek.
Orang yang tak mudah tersinggung bisa juga tak begitu tebal punya rasa malu. Dan yang ini bisa bahaya sebab bisa saja orang itu melakukan hal-hal yang hina tapi tidak merasa bahwa tindakan itu hina karena dirinya tak malu melakukannya.
Dan kalau ingat ini, ciut juga nyali Purbajaya. Kalau Raden Yudakara berkarakter begitu, pemuda bangsawan penggemar wanita cantik ini bisa jadi gangguan terhadap dirinya.
"Ah ... mudah-mudahan dia tak ganggu Nyimas Waningyun. Mudah-mudahan dia malah membantuku dalam memperjuangkan cintaku terhadap gadis itu," pikir Purbajaya.
*** ROMBONGAN yang akan menuju puncak Cakrabuana memang dibagi dua kelompok. Kelompok berkuda yang jumlahnya lebih besar dipimpin oleh empat pembantu utama Pangeran Arya Damar, melakukan perjalanan melewati Gunung Ciremai bagian selatan. Mereka akan menuju puncak Cakrabuana melewati Talaga. Ini perjalanan yang cukup sulit sebab akan melewati kaki bukit yang terjal dan berhutan lebat serta memiliki hawa amat dingin berkabut. Rombongan ini sengaja memilih jalan ini sambvil sekalian mengadakan perondaan.
Di wilayah-wilayah terpencil seperti ini kerapkali didengar ada pasukan pengacau keamanan. Mereka bisa saja hanya perampok biasa, namun bisa juga karena latar belakang politik. Sudah tak aneh, di masa peralihan pengaruh dan kekuasaan banyak melahirkan kelompok yang pro dan kontra. Khabar selentingan, di wilayah kekuasaan baru Negri Carbon seperti wilayah selatan dan barat, diisukan banyak kelompok pembangkang. Mereka adalah yang tak mau tunduk kepada penguasa baru dan memilih memisahkan diri dari kehidupan bernegara. Kendati Karatuan Sindang Kasih, Rajagaluh atau pun Talaga sudah resmi bernaung di bawah Carbon, namun masih ada kelompok kecil yang tak setuju dengan itu dan tetap bertahan dengan keyakinan lama. Jumlahnya memang tak seberapa. Namun demikian, tetap merupakan duri dalam daging. Maka itulah sebabnya, rombongan yang dipimpin empat perwira menyusuri daerah rawan keamanan. Di samping memang sudah jadi tugasnya, namun juga bisa diartikan sebagai kamuplase.Sebab, bukankah tujuan utama dari kesemuanya adalah menyerang sarang Ki Darma di puncak Cakrabuana"
Ingat ini, Purbajaya jadi penasaran. Dia amat tertarik kepada tokoh bernama Ki Darma ini. Hanya satu orang saja, namun mengapa Pangeran Arya Damar begitu tegang menghadapinya, sehingga upaya menyerang Ki Darma dijadikan gerakan amat khusus" Kalau kelak tiba di Cakrabuana, yang Purbajaya inginkan adalah bertemuu dengan Ki Darma.
Rombongan kedua jumlahnya lebih kecil, hanya Purbajaya dan Raden Yudakara. Perjalanan mereka lebih enteng sebab hanya menyusuri jalan pedati di dataran rendah dan banyak melewati kampung-kampung besar.
Diatur sedemikian rupa dengan berbagai pertimbangan. Melakukan perjalan melalui utara seperti yang dilakukan Purbajaya dan Raden Yudakara adalah perjalanan paling mudah. Namun hal ini tidak bisa dilakukan dengan rombongan besar. Walau pun menyandang tugas "resmi" yang direstui pimpinan tertinggi militer, namun perjalanan ini tetap memendam tugas rahasia yang tak diketahui negara. Pasukan ini diusahakan jangan terlalu banyak bertemu orang ramai.
Jalur utara itu daerah ramai tapi juga kerawanannya lumayan. Walau pun wilayah ini sudah masuk ke Carbon, namun yang namanya daerah perbatasan berbagai kemungkinan bisa terjadi. Orang Pajajaran kerapkali menyusup ke wilayah Carbon. Mungkin hanya sebatas melakukan perdagangan gelap, namun bisa juga karena keperluan mata-mata. Oleh sebab itu, memamerkan pasukan berkuda ke daerah ramai seperti ini amat mengundang perhatian. Lain halnya dengan perjalanan yang dilakukan kedua orang itu. Kalau ada orang Carbon melihat Raden Yudakara keluyuran di sini, tidak akan menimbulkan perhatian khusus sebab pemuda banagsawan ini dikenal gemar keluyuran. Namun kalau pun dia memasuki wilayah Pajajaran, maka giliran orang Pajajaranlah yang tak bercuriga apa pun, sebab khabar menunjukkan bahwa Raden Yudakara pun di sana diakui sebagai warga.
Raden Yudakara adalah mata-mata bagi kepentingan Carbon. Dan kalau pemuda tampan ini senang keluyuran dan berpelesir, barangkali juga karena didesak oleh kebutuhannya sebagai mata-mata. Tidakkah kegemarannya terhadap wanita pun berangkat dari kepentingan tugasnya"
Purbajaya berpikir, begitu berbahayanya sebenarnya permainan politik itu. Kehidupan politik telah membutakan kemanusiaan. Dalam lingkaran politik orang sulit melihat kebenaran sebab segalanya sepertinya diatur untuk sebuah kepentingan tertentu.Orang membunuh, belum tentu dikatakan jahat. Bahkan sebaliknya, orang berbuat kebajikan, belum tentu dasarnya kemanusiaan.
Bermain dalam politik, orang sulit menilai kemanusiaan yang hakiki. Sebab ada kalanya, kesulitan dan kesengsaraan sengaja direkayasa agar nantinya bisa dijadikan alat untuk memenangkan kepentingan politiknya. Begitu mungkin yang tengah dilakukan Raden Yudakara. Dia bisa bermain ke sana ke mari, bisa menjadi ini dan itu hanya karena sebuah kepentingan dan bukan lahir dari nilai kemanusiaannya. Sebagai contoh, di wilayah Carbon, pemuda ini dikenal sebagai keluarga bangsawan. Namun kedudukannya sebagai apa, tak banyak orang mengenalnya. Paling orang kebanyakan hanya menilai dia adalah seorang pemuda yang doyan pelesiran dan amat menyenangi berbagai keindahan, termasuk keindahan kodrat wanita. Hanya sedikit saja orang yang tahu, betapa sebenarnya dia tengah mengemban tugas sebagai mata-mata. Menurut pengakuan Pangeran Arya Damar, Raden Yudakara ini di Pajajaran adalah kerabat pejabat di sana juga. Khabarnya Pangeran Yudakara adalah kerabat dekatnya Ki Sunda Sembawa, seorang kandagalante (pejabat setingkat wedana kini) di wilayah Sagaraherang ( sekitar Subang kini). Apakah benar merupakan kerabat dekatnya Sunda Sembawa atau bukan, Purbajaya tak bisa memastikan. Keluarga dekat pun bisa jadi, tokh antara Pajajaran dan Carbon sebenarnya masih setunggale seturunan. Banyak kekerabatan di kalangan orang Carbon dan Pajajaran, kendati secara politis terpisah oleh dua negri berbeda dan dua paham berbeda. Namun hanya sekadar rekayasa pun bisa saja. Tokh seperti tadi diutarakan, untuk kepentingan politik, hal apa pun bisa terjadi. Dan benar atau tidak hal ini terjadi, yang pasti kehidupan akal-akalan tidak mungkin bisa berdiri sendiri. Tentu yang keluyuran di Pajajaran sebagai mata-mata bukan Raden Yudakara seorang. Tentu Ki Sunda Sembawa sebagai pejabat penting di wilayah Sagaraherang pun ikut terlibat di dalamnya. Berapa jumlah orang Pajajaran yang sama-sama ikut terlibat mempunyai misi "dua muka" barangkali sudah sulit dihitung. Dan orang-orang yang demikian sebenarnya amat membahayakan tatanan negara. Oleh orang Pajajaran, Raden Yudakara mungkin dianggap warga yang baik dan terhormat. Mereka salah penilaian. Padahal yang sebenarnya terjadi, Raden Yudakara itu orang yang kelak akan sangat merugikan mereka. Beruntung Raden Yudakara bekerja untuk kepentingan Carbon. Bagaimana halnya kalau keadaan sebenarnya terbalik" Ow, Purbajaya tak mau melantur jauh seperti itu. Namun yang tetap dia yakini, permainan politi ini benar-benar berbahaya sebab nilai kemanusiaan bisa buram dana sulit ditentukan warna aslinya.
Purbajaya ngeri, sebab suatu saat peranan Raden Yudakara pun akan jatuh padanya. Melalui Raden Yudakara, dia pun kelak akan menjadi "warga" Pajajaran. Dia akan disuruh "mengabdi" kepada Pajajaran. Sungguh ngeri, mengabdi tapi untuk menghancurkan. Di sana dia harus berbuat baik tapi untuk melakukan kebohongan. Kebaikan yang dia kerjakan nanti, sebetulnya untuk menciptakan kejahatan, paling tidak mengkhianati sesama manusia dan menghancurkan kepercayaan kemanusiaan. Inilah yang mengerikan baginya. Dia akan melakukan penipuan. Bagaimana penilaian agama terhadap perilaku seperti ini" Purbajaya tak sanggup memikirkannya.
Purbajaya bingung. Sejauh mana agama memperkenankan perilaku manusia dalam melakukan pembelaan terhadap negara. Apakah menipu untuk mempermainkan kepercayaan orang demi kepentingan negara diperkenankan agama"
Purbajaya sama sekali tak sanggup mengira-ngira. Hanya saja melihat sikap dan tindak-tanduk Raden Yudakara di perjalanan dalam tugasnya sebagai mata-mata di mata Purbajaya terasa keji. Di saat-saat tertentu Raden Yudakara harus mengecoh orang. Apa yang dia kemukakan kepada siapa pun selalu diimbuhi kebohongan. Mungkin bukan tabiat Raden Yudakara begitu. Namun tugasnya sebagai mata-mata mengharuskannya begitu. Tak boleh mengemukakan apa yang sebetulnya terjadi atau apa yang sebetulnya tengah dilakukan.
Sampai pada suatu hari, Raden Yudakara betul-betul menemukan sebuah khabar yang amat mengejutkan. Bahkan Purbajaya pun sama terkejut mendengar berita ini.
"Betulkah ada serombongan pasukan Pakuan yanag menuju Cakrabuana?" tanya Raden Yudakara sambil santai membenahi pelana kudanya. Suaranya datar, pertanyaan pun dilakukan sambil lalu saja. Padahal Purbajaya menduga, berita ini amat mengejutkan Raden Yudakara.
"Betul. Semuanya terdiri dari kaum perwira, belasan jumlahnya," tutur seorang tua setengah baya. Dia adalah pedagang penyelundup dari wilayah perbatasan utara yang dengan susah-payah menyelundupkan kain halus ke wilayah Pajajaran. Semenjak perdagangan antarpulau Pajajaran terhambat oleh gerakan Carbon, wilayah mereka kesulitan mendatangkan kain halus dari Nagri Cina, Parasi atau pun Campa. Agar kain halus tetap didapat, maka pedagang Pajajaran harus "minta tolong" kepada pedagang Carbon. Maka jadilah perdagangan gelap antara dua negri. Secara politik mereka bermusuhan namun dagang jalan terus. Mengapa tidak boleh dilakukan, tokh orang Carbon (pesisir) pun butuh hasil bumi dari wilayah pegunungan atau pedalaman. Pajajaranlah yang menguasainya.
"Betul, belasan jumlahnya," pedagang asal Carbon ini seperti ingin lebih memberi keyakinan.
"Di Cakrabuana memang banyak binatang buruan. Namun rasanya jumlahnya sudah semakin berkurang ... " gumam Raden Yudakara masih bicara sambil lalu.
"Berburu" Masa serombongan perwira Pajajaran jauh-jauh dari wilayah barat berburu ke timur?" pesdagang itu melkecehkan pendapat Raden Yudakara.
"Habis, apa yang mereka kerjakan di sana?" tanya Raden Yudakara.
"Mereka akan mengejar seorang buruan!"
"Siapa yang akan mereka buru?"
"Ki Darma!"
"Ki Darma" Siapa dia?" Raden Yudakara pura-pura tak kenal.
"Dia orang terkenal di Pajajaran. Namun sungguh aneh, dia dicintai rakyatnya, namun dibenci penguasa negri. Orang Pajajaran kok aneh-aneh. Sepertinya apa yang dianggap baik oleh rakyatnya, tidak demikian oleh penguasanya. Aneh sekali ada beda pendapat antara pemerintah dan rakyatnya," tutur pedagang itu.
Raden Yudakara tidak mengomentari pertanyaan orang itu yang bagi pandangan pemuda itu, ini hanyalah pendapat dungu dari masyarakat awam semata.
Namun demikian, Raden Yudakara tetap memperlihatkan mimik, seolah-olah dia menyimak dan menghargai wawasan politik pedagang gelap itu.
"Hanya sedikit saja yang aku tahu. Ki Darma itu pemberontak dan pengkhianat." Raden Yudakara mencoba menggiring pendapat orang itu.
"Pengkhianat bagi penguasa tidak berarti penjahat bagi rakyat. Oleh rakyatnya, Ki Darma malah dianggap pembela."
"Apa sih yang dia bela?"
"Paling tidak, Ki Darma berani mengeritik penguasa. Sang Prabu Ratu Sakti orang kejam. Ayahandanya malah gemar berperang, sehingga kerapkali rakyat sengsara karena peperangan. Hanya Ki Darma yang berani memperingatkan, bahwa peperangan membuat rakyat menderita dan pembangunan terhambat."
Raden Yudakara mengangguk-angguk, entah apa maksudnya.
Tapi sampai pedagang gelap itu pergi, Raden Yudakara masih termenung. Purbajaya tak tahu, apa yang sebenarnya tengah dipikirkan pemuda bangsawan itu.
"Saya kira, perjalanan kita sedikit terganggu, Raden ..." gumam Purbajaya.
"Sangat terganggu ..." jawab Raden Yudakara masih merenung."Kita pasti bentrok dengan mereka," sambungnya dengan wajah sedikit tegang.


Kemelut Di Cakrabuana Karya A Merdeka Permana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kita harus berusaha memberitahu rekan-rekan kita yang tengah bergerak di selatan. Mungkin sebaiknya perjalanan mereka diurungkan dulu agar bentrokan dengan musuh tidak terjadi," kata Purbajaya.
"Justru kita dipaksa harus bentrok dengan musuh," ujar Raden Yudakara.
"Mengapa" Tujuan kita hanya menempur Ki Darma. Sekarang tugas kita ringan sebab tanpa kita tempur, Ki Darma sudah diserang orang lain. Kita hemat tenaga, Raden," kata Purbajaya mengeluarkan pendapatanya.
"Belasan perwira Pakuan datang ke Cakrabuana mungkin bukan hanya sekadar mau menangkap Ki Darma saja, melainkan juga akan mencari tombak pusaka Cuntangbarang," ujar Raden Yudakara.
Purbajaya jadi ingat perbincangan beberapa waktu lalu di paseban Puri Arya Damar. Bahwa penyerbuan ke Cakrabuana yang direncanakan ini, selain ingin melumpuhkan Ki Darma juga akan mencoba merebut tombak pusaka itu yang diduga dikuasai tokoh itu.
Purbajaya terkejut. Kalau begitu, benar yang dikatakan Raden Yudakara, bentrokan dengan musuh tak bisa dielakkan sebab satu sama lain memiliki keinginan yang sama, yaitu merebut tombak pusaka Cuntang Barang.
"Mari, kita harus berpacu melawan waktu. Pasukan di selatan harus kita hubungi dan jangan sampai terlambat datang," kata Raden Yudakara membedal tali kekang kudanya. Kuda warna hitam dengan tubuh tinggi besar itu mendadak berlari kencang karena hentakan-hentakan keras dari penunggangnya. Purbajaya pun ikut membedal kuda sehingga dia pun sama-sama mencongklang keras di atas punggung kuda.
Kata Raden Yudakara, bersama pasukan yang tengah bergerak di selatan, harus membuat siasat melepas domba bertarung dengan domba untuk kemenangan srigala.
"Biarkan dulu Ki Darma dan para perwira Pakuan saling timpuk. Kemenangan salah satu dari mereka adalah kelelahan. Maka di saat itulah pasukan Carbon menggempurnya," kata Raden Yudakara membayangkan rencananya dengan bibir tersenyum puas, seolah-olah rencana itu sudah benar-benar tengah berjalan.
Begitu cerdik dan ganas siasat ini. Namun demikian, Purbajaya hanya bisa membedal kudanya keras-keras agar bisa mengikuti kecepatan lari kuda yang dimiliki Raden Yudakara.
Mereka berdua benar-benar harus berpacu melawan waktu. Mereka harus bisa mencegat pasukan Carbon sebelum pasukan itu telanjur bertemu musuh. Namun usaha ini amatlah sulit. Kedua orang ini tadinya tak dipersiapkan untuk melakukan perjalanan tergesa-gesa. Mereka tak dibekali kuda yang bisa merambah perjalanan sulit dan keras sebab kuda-kuda mereka biasanya dilatih untuk kepentingan upacara kenegaraan saja. Kuda-kuda itu hanya berpenampilan bagus dan gagah namun kurang tangguh kekuatannya terutama bila digunakan untuk perjalanan keras.
Hanya beberapa saat saja kuda-kuda itu bisa memacu langkah dengan cepat. Namun untuk selanjutnya, kuda-kuda tinggi besar itu kedodoran. Kuda milik Purbajaya bahkan sudah tersungkur duluan.
"Raden ...!" Purbajaya berteriak takut ditinggal. Raden Yudakara pun terpaksa turun dari kudanya. Untuk beberapa saat dia memeriksa kudanya. Ada buih putih di mulutnya. Barangkali sebentar lagi kuda hitam tegap itu pun akan mengalami nasib yang sama yang dialami kuda milik Purbajaya.
Pendekar Sadis 2 Pusaka Rimba Hijau Karya Tse Yung Pendekar Pengejar Nyawa 24
^