Pencarian

Kemelut Di Cakrabuana 6

Kemelut Di Cakrabuana Karya A Merdeka Permana Bagian 6


Purbajaya menatap tajam kepada Raden Yudakara.
"Sekali lagi kutegaskan, hidupmu tergantung padaku. Begitu pun derajatmu. Hanya aku yang tahu pengkhianatanmu di Cakrabuana. Jadi dengan amat mudah aku bisa mencampakkanmu. Namun sebaliknya, aku pun dengan mudah mengangkat derajatmu bila kau tetap ikut aku, sesuai yang diperintahkan Carbon."
Purbajaya menjadi bimbang mendengar perkataan Raden Yudakara ini. Kalau tadi dia bertekad memisahkan diri, kini malah timbul keraguan. Memang benar omongan pemuda bangsawan itu, posisi Purbajaya tergencet. Kalau dia memisahkan diri dari Raden Yudakara, semua orang akan mudah menuduhnya sebagai pengkhianat.
Tanpa dilaporkan perihal peristiwa di Cakrabuana pun, kalau Purbajaya tak ikut Raden Yudakara, ini sudah pengkhianatan sebab dianggapnya melanggar perintah negara. Kalau dia tetap menolak ikut Raden Yudakara, dia mungkin terlunta-lunta sebab tak mungkin kembali ke Carbon, Sumedanglarang atau ke mana pun. Pulang ke Sumedanglarang pasti akan dihadang pertanyaan mengenai tewasnya tiga calon ksatria itu. Kalau Ki Bagus Sura masih hidup, Purbajaya pasti tak tahu bagaimana musti bertanggungjawab. Amanat dan keinginan orang tua itu, tidak satu pun yang bisa dikerjakan dengan baik.
Satu-satunya jalan terbaik, tentu hanya ikut ke mana Raden Yudakara pergi.
"Bagaiamana ...?" tanya Raden Yudakara.
Tanpa menjawab sepatah pun, Purbajaya bangun dari duduknya. Namaun demikian Raden Yudakara sepertinya mengerti akan pilihan Purbajaya. Buktinya dia segera berjalan duluan.
Dia yakin betul bahwa Purbajaya akan mengikutinya dari belakang.
*** DENGAN amat lesunya Purbajaya melangkah di belakang Raden Yudakara. Sementara pemuda bangsawan itu kelihatannya kalem-kalem saja. Dia sepertinya tak mau tahu atau pura-pura tak tahu kalau selama ini Purbajaya enggan ikut bersamanya. Raden Yudakara tak mau tahu kalau selama dalam perjalanan Purbajaya membisu seribu-bahasa.
Sementara itu, Raden Yudakara hahah-heheh selama di perjalanan. Sesekali terdengar bersenandung. Senandungnya memang merdu dan enak didengar kendati isi lantunannya Purbajaya tak suka.
Kalau tidak mendapatkan cahaya matahari
tidak apa cahaya rembulan pun
Kalau tidak ada cahaya rembulan
tidak apa tanpa cahaya pun
Hidup susah dicaridan hidup mudah dicari
yang susah kalau bertahan dengan kejujuran
yang mudah kalau penuh keberanian
Bukan berpikir untuk hari esok
tapi berpikirlah esok
sebab yang namanya hidup
adalah hari ini!
"Hmm ... Tak bertanggungjawab!" Purbajaya mencemooh.
Dan Raden Yudakara menghentikan langkahnya sejenak. Lantunan nyanyiannya pun mendadak berhenti.
"Mengapa tak bertanggungjawab?" tanyanya melirik ke belakang.
"Orang yang hanya berpikir tentang hari ini saja dan sambil menolak kejujuran adalah kejahatan!" Purbajaya hanya bicara seperti kepada dirinya. Balas memandang kepada Raden Yudakara pun dia tidak.
"Hahaha! Hidup ini persaingan. Bersaing sesama lawan hanya berpikir tentang bagaimana caranya agar hanya kita yang memetik kemenangan. Jangan katakan tipu-muslihat sebagai kejahatan sebab itu hanyalah sebuah perangkat dalam mencapai kemenangan," kata Raden Yudakara sambil tersenyum renyah menatap matahari pagi yang menyongsong di kanannya.
Purbajaya tak bersemangat untuk menyimak pendapat serakah ini. Yang paling tak bersemangat, perjalanan kali ini akan kembali menuju ke utara. Mungkin akan kembali merambah wilayah Sumedanglarang. Sebab seperti yang telah dikatakan Raden Yudakara, mereka akan melakukan perjalanan ke barat, ke wilayah Pajajaran, untuk menjalankan "misi negara" seperti versi yang dikemukakannya.
Bagaimana Purbajaya tidak akan merasa lesu. Perjalanan kali ini serasa penuh tekanan. Ada pemaksaan kehendak dari Raden Yudakara. Pemuda itu menekan Purbajaya dengan berbagai kesulitan. Dan memang tekanan itu sungguh tepat. Purbajaya tak bisa tidak musti ikut keinginan pemuda aneh itu. Kalau dia tak mau maka tak akan ada jalan kembali. Pulang ke Carbon akan dimintai pertanggungjawaban mengenai peristiwa di Cakrabuana. Begitu pun kalau dia kembali ke Sumedanglarang, sama-sama akan dihadang oleh pertanyaan mengenai peristiwa terbunuhnya tiga orang calon ksatria murid Ki Dita.
Satu-satunya lubang yang bisa menyelamatkan dirinya adalah melanjutkan misi penyusupan ke wilayah Pajajaran. Bila dia mentaati kehendak Raden Yudakara maka dia dijanjikan menerima perlindungan dari pemuda itu.
Maka walau pun dengan terpaksa, tentu saja pada akhirnya Purbajaya memilih ikut kehendak Raden Yudakara. Memang serasa terpaksa sebab gerakan-gerakan pemuda itu dalam melaksanakan misi Carbon telah mendomplengkan cita-citanya sendiri. Purbajaya malah menilai, keamanan sudah menjadi rawan karena kepentingan-kepentingan pribadi ini.
Kemunculan Pasukan Siluman Nyi Rambut Kasih misalnya, jelas-jelas direkayasa guna mendukung kepentingan tertentu dengan memanfaatkan dan mengipasi tuntutan sebagian kecil orang-orang Sindangkasih. Ini yang amat membahayakan sebab dengan demikian terjadi adu-domba di antara kelompok-kelompok yang sebenarnya tidak perlu bertikai.
Ini sungguh menyebalkan. Kalau saja Purbajaya tak tertarik dengan sebuah urusan, mungkin dia lebih memilih mati ketimbang melibatkan diri ke dalam kancah politik jahat ini.
Ya, di hati Purbajaya ada juga sedikit rasa penasaran. Dia ingin menguak kabut misteri yang menyelimuti dirinya. Orang mengatakan kalau dirinya adalah anak seorang kandagalante (pejabat setingkat wedana masa kini) di wilayah Tanjungpura (daerah Karawang). Benarkah kedua orangtuanya terbunuh dalam pertempuran antara pasukan Carbon dan Pajajaran" Benar atau tidak, yang jelas hati kecilnya memendam rasa penasaran yang sangat. Dengan adanya misi ke wilayah Pajajaran, maka sedikit banyaknya Purbajaya akan bisa menyilidiki perihal keberadaan dirinya.Itulah sebabnya, biar pun sebal dia ikut juga.
Namun yang hatinya tak enak, perjalanan menuju utara ini akan mengingatkan dirinya kepada peristiwa terbunuhnya tiga orang calon ksatria Sumedanglarang. Bagaimana dia mempertanggungjawabkan kejadian ini kepada Ki Dita sebagai guru mereka" Bagaimana pula musti bertanggungjawab kepada orangtua mereka dan kepada penguasa Sumedanglarang, tokh bagaimana pun ketiga orang calon ksatria itu tengah melaksanakan tugas negara.
Perasaan tak enak lainnya menderanya pula bila dia ingat Ki Bagus Sura. Jelas, dia telah gagal melaksanakan keinginan orang tua itu. Purbajaya tak bisa menyelamatkan surat daun lontar dan Purbajaya pun tak bisa melaksanakan keinginan orang tua itu agar dia menikahi Nyimas Yuning Purnama. Jangankan bisa memepertanggungjawabkan amanat orang tua itu, sekadar ingin merawat luka Ki Bagus Sura saja dia tak bisa. Memalukan sekali!
Bila akan menuju wilayah Pajajaran musti lewat Sumedanglarang, hati Purbajaya memang berat sekali.
Namun, berani pulakah Raden Yudakara lewat Ciguling (wilayah ibu kota Sumedanglarang)" Purbajaya pun sangsi kalau pemuda itu berani menampakkan diri di pusat keramaian sebab Raden Yudakara diduga punya masalah juga. Malah bisa saja masalah yang dia hadapi di Sumedanglarang lebih berat ketimbang masalah yang dialami Purbajaya.
Bagaimana pun Raden Yudakara jelas sudah dicurigai pihak penguasa Sumedanglarang. Walau pun tidak sampai ditangkap, mungkin pemuda itu akan ditolak masuk bila diketahui keluyuran di Ciguling. Bila demikian halnya, maka Purbajaya menduga kalau pemuda itu tak akan membawanya ke pusat ibu kota Sumedanglarang. Dan itu artinya harus menyisir jalan yanag lebih berat untuk menghindari jalan pedati yang banyak dilalui umum.
Purbajaya mengeluh. Tidak melalui jalanan umum berarti cari penyakit lagi. Dia sudah bosan musti bertemu lagi dengan kelompok orang jahat dan bertempur dengan mereka. Purbajaya merasa kalau kelak akan kembali dihadang penjahat di daerah sunyi dan terpencil.
Benar perkiraan Purbajaya, Raden Yudakara tak membawanya ke jalan besar, melainkan memotong ke arah jalan setapak yang sunyi dan lebat oleh pepohonan.
Raden Yudakara sungguh berani, padahal cuaca sudah mulai mendung oleh kabut tebal karena senja telah mulai jatuh.
Keberanian ini cukup mengundang pujian di hati Purbajaya. Hanya orang yang memiliki keyakinan kuatlah yang tidak pernah ragu-ragu dalam setiap tindak-tanduknya.
Kalau mengingat akan hal ini, sebetulnya Purbajaya boleh merasa malu kepada Raden Yudakara. Perilaku antara dia dan pemuda bangsawan itu sungguh jauh berbeda. Raden Yudakara serba optimis dan penuh keyakinan dalam menghadapi persoalan apa pun, sementara dirinya selalu banyak pertimbangan. Apakah memang benar orang yang terlalu berkutat dengan pertimbangan sulit maju sementara yang punya keberanian akan mudah menggapai cita-cita, Purbajaya tak bisa memastikannya.
Hanya yang jelas, dirinya telah banyak gagal hanya karena terlalu banyak perasaan dan pertimbangan, sementara Raden Yudakara banyak menerima kesuksesan hanya karena mengandalkan keberanian dan rasa optimisnya.
Namun demikian, Purbajaya tak percaya kalau kesuksesan yang diraih oleh Raden Yudakara mewakili kebenaran. Ambillah contoh keberhasilan pemuda bangsawan itu dalam mempersunting Nyimas Waningyun. Dia memang berhasil. Namun keberhasilan ini tidak dilalui oleh perbuatan yang mengatasnamakan kebenaran. Dia bisa merebut sukses tapi tidak terhormat.
Baginya yang penting adalah menang, bagaimana pun caranya. Rupanya begitu pula yang dilakukan kepada diri Nyimas Yuning Purnama. Gadis yang jujur dan baik hati ini tidak merasa perlu berhati-hati kepada keteguhan seorang lelaki bernama Raden Yudakara. Disangkanya, pemuda bangsawan berwajah tampan ini memiliki hati yang tampan pula.
Mengapa seseorang yang berhati jujur musti mencurigai orang lain, begitu kebiasaan berpikir orang Pajajaran. Mungkin cara berpikir seperti ini pula yang dipunyai oleh Nyimas Yuning yang lugu dan jujur itu. Dan mungkin itu pula kiat kesuksesan Raden Yudakara, dia memanfaatkan kejujuran dan kepercayaan yang diberikan orang lain untuk kepentingan dan keuntungannya sendiri. Pemuda itu menenggak kesuksesan dari pengorbanan dan kejujuran orang lain.
Berjalan di tengah hutan lebat di saat senja menjelang memang perlu keberanian. Bukan saja binatang buas yang akan menghadang namun juga orang jahat.
Tapi sesudah agak lama merambah hutan dan malam pun tiba, mereka berdua tidak mendapatkan gangguan yang berarti kecuali kegelapan dan tebalnya kabut dingin. Berjalan di kabut yang pekat, kedua orang itu harus bertindak amat hati-hati sebab jalan setapak di hutan pegunungan ini meniti tepian jurang.
Sungguh Purbajaya tak mengerti akan sikap pemuda bangsawan ini. Menurut hemat Purbajaya, sebaiknya perjalanan dihentikan guna beristirahat dan dilanjutkan esok harinya. Namun kelihatannya Raden Yudakara sengaja melakukan perjalanan malam guna mengejar waktu. Apa yang dia kejar, sungguh Purbajaya tak tahu.
Purbajaya menghentikan lamunannya ketika secara tiba-tiba Raden Yudakara memberi aba-aba agar Purbajaya menghentikan langkahnya.
"Di sini dia rupanya ... " gumam Raden Yudakara.
"Ada apa?" tanya Purbajaya heran.
"Lihat cahaya di mulut gua itu ... " Raden Yudakara menunjuk sambil bicara pelan.
"Memang itu cahaya api," jawab Purbajaya ikut bicara pelan.
"Kau pergilah sana, cari tahu!" perintah pemuda itu.
Purbajaya tercenung sebentar. Raden Yudakara memang cerdik. Untuk hal-hal yang membahayakan, dia tak mau semberono menantang maut dan diserahkannya kepada orang lain.
Dan dengan hati dongkol, Purbajaya terpaksa mentaati perintah ini. Dia berjingkat akan segera pergi ketika tangannya ditarik kembali oleh Raden Yudakara.
"Kau hati-hatilah. Tugasmu hanya mengintip siapa di dalam. Sudah itu kau kembali lagi ke sini," perintahnya lagi.
Dan Purbajaya berindap-indap kembali mendekati mulut gua.
Itu adalah gua batu, namun banyak ditumbuhi semak pohon paku dan terlihat rimbun sekali. Hanya karena cahaya api saja Purbajaya bisa melihat di mana arah mulut gua.
Purbajaya terus bergerak dengan amat hati-hati. Dia khawatir kalau yang ada di dalam gua adalah orang jahat berkepandaian tinggi.
Dan sebentar kemudian dia sudah ada di mulut gua. Purbajaya berhenti sebentar untuk mengatur pernapasan dan sekalian menunggu, apakah penghuni gua mengetahui kedatangannya atau tidak"
Setelah yakin bahwa tak ada gerakan mencurigakan dari dalam gua, Purbajaya segera melanjutkan pengintaiannya.
Sungguh hati Purbajaya terkejut ketika dia tahu siapa yang ada di dalam gua.
"Ki Dita ... " bisiknya pelan sekali.
Purbajaya jadi heran, mengapa Ki Dita berada di sini. Seorang diri lagi. Lantas ke mana Ki Bagus Sura dan Paman Ranu"
Namun tentu saja, untuk langsung memasuki gua dan menemui Ki Dita dia tak berani. Di samping Raden Yudakara tak memerintahkan demikian, juga karena terselip perasaan curiga. Jangan-jangan Raden Yudakara berjalan di gelap malam secara terburu-buru adalah untuk bertemu dengan Ki Dita.
Karena pertimbangan inilah maka Purbajaya secepatnya kembali menemui Raden Yudakara.
Dan sungguh mencengangkan, ketika Purbajaya melapor siapa yang ada di dalam gua, Raden Yudakara gembira.
"Sudah aku duga, dia menunggu kita di sini ..." gumamnya. Kemudian serta-merta dia meloncat dari tempat sembunyi dan menuju arah gua.
Purbajaya pun mengikutinya dari belakang dengan perasaan ingin tahu.
Ki Dita yang tengah duduk di dalam terlihat bersila mengatur pernapasan. Dia terkejut sekali ketika secara tiba-tiba ada yang datang. Namun setelah tahu yang datang adalah Raden Yudakara, wajah orang tua itu terlihat tegang.
"Raden ... "
"Betul, ini aku."
Untuk kedua kalinya Purbajaya terkejut. Nyatanya antara Raden Yudakara dan Ki Dita sudah saling kenal.
"Kau telah melaksanakan tugas dengan baik, Dita," kata Raden Yudakara gembira. Namun yang dipuji nampak murung.
"Tapi engkau keterlaluan, Raden. Mengapa ketiga orang murid saya engkau bunuh?" keluh Ki Dita menunduk.
"Aku hanya bunuh satu. Satunya dibunuh Si Purba ini," Raden Yudakara menunjuk hidung Purbajaya. Nada bicaranya enteng saja sepertinya ini hanya urusan bunuh membunuh hewan piaraan.
Demi mendengar ucapan Raden Yudakara, Ki Dita celingukan seperti tengah mencari seseorang. Rupanya Ki Dita tak melihat kalau yang datang adalah dua orang sebab Purbajaya berdiri di belakang tubuh Raden Yudakara.
Dan wajah Ki Dita beringas ketika pandangan matanya beradu dengan mata Purbajaya. Dia cepat berdiri dan menghambur ke arah di mana Purbajaya berdiri.
"Dia anak buah Ki Bagus Sura, tak sangka membunuh muridku!" teriak Ki Dita menyerang Purbajaya.
Sudah barang tentu Purbajaya gelagapan diserang mendadak seperti ini. Namun ketika Ki Dita melayangkan pukulan, tangan kanan orang tua itu segera tertahan oleh cekalan ketat tangan Raden Yudakara. Cekalan itu disertai tenaga dalam. Buktinya, Ki Dita nampak menyeringai karena kesakitan.
Purbajaya mengeluh di dalam hatinya. Ternyata kepandaian Raden Yudakara berada di atas tingkat kepandaian Ki Dita. Padahal kalau dirinya bertanding melawan Ki Dita, belum tentu dia memenangkannya.
"Jangan serang dia. Si Purba bukan anak buah Ki Bagus Sura!" teriak Raden Yudakara.
"Tapi dia telah bunuh murid saya!" teriak pula Ki Dita penasaran.
"Maksudmu, engkau pun kelak akan membunuhku" Ingat, aku pun telah bunuh muridmu!" kata Raden Yudakara.
Dikatakan begini, Ki Dita menjatuhkan tubuhnya dan meloso tak bertenaga. Dia menutupi wajahnya, sedih dan kesal.
"Ada memar biru di leher Wista. Saya hapal, Radenlah itu yang berbuat. Anak itu tak berdosa, mengapa musti dibunuh?" keluh Ki Dita.
"Gara-garanya Si Purba ini. Kalau tidak terjadi kejadian seperti itu, Si Purba ini tak nanti mau bergabung lagi denganku. Dia hampir jadi pengkhianat. Makanya aku ciptakan masalah agar Si Purba punya keterkaitan dan ditekan oleh masalah itu."
Ki Dita melongo, apalagi Purbajaya.
"Sudahlah. Ketiga muridmu adalah orang tiada guna. Kerjanya hanya membesar-besarkan masalah kecil. Tak pantas untuk jadi abdi negara. Kalau ikut kita, mungkin hanya mengganggu gerakan kita saja," kata Raden Yudakara.
Namun Ki Dita masih terlihat tak puas.
"Aku malah punya masalah dengan Si Aditia. Anak ini kerjanya menjelek-jelekkan aku. Hampir saja aku tak bisa menikahi Nyimas Yuning karena gangguan pemuda brengsek itu. Coba, apakah kau merasa terhormat memiliki murid manja dan tak hormat kepada orang yang semestinya dihormat dan disegani?" tanya Raden Yudakara. Lantas pemuda ini ikut duduk dan segera mengambil daging burung walik yang terpanggang di atas api unggun. Daging burung itu dimakannya sendiri dengan lahapnya tanpa menawari yang lainnya.
Perut Purbajaya keruyukan ketika melihat Raden Yudakara makan dengan lahapnya.
Sejak kemarin siang mereka berdua memang belum makan apa-apa.
"Ketiga orang murid saya memang bodoh-bodoh. Dan mereka sungguh tak tahu apa-apa perihal kegiatan kita ini ..." gumam Ki Dita masih murung.
"Justru karena tak tahu apa-apa maka kemungkinan mengganggu kita semakin mudah. Sementara kalau mereka kita libatkan ... Ah, orang-orang itu memang dungu, kekanak-kanakan dan selalu membesar-besarkan masalah sepele saja. Aku benci anak-anak. Mereka rewel dan manja. Aku malah heran, engkau yang setangguh ini hanya memiliki murid-murid sampah seperti itu ..." omel Raden Yudakara.
"Saya sebetulnya hanya pekerja biasa, Raden. Ketiga orang itu anak-anak bangsawan semata dan pengaruh orangtua mereka lumayan. Saya hanya diberi kemudahan, makanan, pakaian dan perumahan yang layak, sesudah itu saya tak bisa apa-apa untuk menolak keinginan para pejabat itu," kata Ki Dita dengan pandangan mata sayu tak bersemangat.
Hanya dikomentari oleh Raden Yudakara dengan dengus ejekan.
"Selanjutnya saya musti bagaimana", Raden?" tanya Ki Dita setelah lama berdiam diri.
"Pasukan Siluman Nyi Rambut Kasih sedang kembali ke wilayahnya. Kuanggap untuk sementara, tugas mereka selesai. Yang aku inginkan, engkau tetap berada di Sumedanglarang," Raden Yudakara memerintah sambil masih mencemili sisa-sisa daging di sela-sela tulang burung walik panggang.
"Tapi saya susah untuk memberikan alasan perihal korban yang begitu banyak yang diderita oleh anggota pasukan kami. Bayangkanlah Raden, dari seluruh pasukan, hanya saya sendiri yang selamat. Ki Bagus Sura dan Ki Ranu tewas karena luka-lukanya terlambat menerima pengobatan."
Purbajaya terkejut setengah mati ketika Ki Dita melaporkan hal ini.
"Mengapa engkau begitu takut menghadapi masalah ini padahal jauh sebelumnya engkau telah tahu kalau misi kalian ini akan gagal?" tanya Raden Yudakara menegur tak suka akan ucapan Ki Dita.
"Saya memang tahu kalau misi kami pasti gagal. Tapi yang saya tidak duga, mengapa semua orang musti tewas" Akhirnya saya sendiri pasti musti mempertanggungjawabkan perkara ini ... " keluh Ki Dita.
"Sudahlah. Wajar kalau setiap perjuangan memerlukan pengorbanan. Dan karena pasti akan ada yang korban, kita musti memilih jangan sampai kita sendiri yang jadi korban. Sejauh ini kau kan selamat, bukan?" tanya Raden Yudakara enteng saja."Lagi pula, jangan salahkan pasukan siluman bila Ki Bagus Sura dan Ki Ranu tewas. Kesalahan terletak pada mereka sendiri, mengapa punya kepandaian tak seberapa" Kau yang berkepandaian hebat, bukankah tidak mengalami suatu apa dalam pertempuran melawan pasukan siluman itu, bukan?" lanjutnya.
Serasa menggigil tubuh Purbajaya karena menahan amarahnya. Bagaimana tak begitu, Raden Yudakara semakin nyata selalu menghalalkan segala cara dalam mencapai tujuannya.
Purbajaya sedih dan marah. Ki Bagus Sura, Paman Ranu, bahkan siapa pun, tewas sia-sia karena permainan orang lain. Dan semua musibah ini terpusat kepada perilaku Raden Yudakara.
Yang tak kurang menyebalkannya, orang tua bernama Ki Dita ini. Purbajaya menyangka kalau Ki Dita hanya sekadar anak buah Ki Sanjadirja yang selalu berseteru dengan Ki Bagus Sura. Kenyataan membuktikan kalau Ki Dita malah di Sumedanglarang itu tak ikut ke mana-mana selain kepada Raden Yudakara.
Purbajaya berpikir kalau gerakan Raden Yudakara ini terasa semakin berbahaya karena jaringannya meluas dan ada di mana-mana. Siapakah pengendali utama dalam gerakan ini" Benarkah hanya Raden Yudakara seorang diri"
Dan ingat ini, Purbajaya jadi semakin penasaran untuk lebih mengetahui gerakan sesungguhnya. Untuk melampiaskan rasa penasarannya, tidak ada jalan lain selain Purbajaya terus ikut ke mana Raden Yudakara pergi.
"Tidak. Apa pun yang terjadi, engkau harus tetap kembali ke Sumedang." Suara Raden Yudakara memerintah dengan pasti dan tak boleh dibantah.
Ki Dita menatap, sepertinya mencoba mengajukan penawaran.
"Kau diperlukan di sana guna memata-matai gerakan Kangjeng Pangeran. Dia curiga padaku tapi belum bisa mencari bukti. Namundemikian, aku tak mau perasaan curiga ini semakin menyebar ke sana ke mari. Makanya engkau aku tempatkan di sana. Kau pun bertugas mengikis habis faham-faham yang sekiranya merugikan perjalananku," kata Raden Yudakara.
Dan akhirnya Ki Dita tak bisa membantah lagi kendati di wajahnya nampak ada keraguan.
Malam itu mereka tidur di gua. Tapi Purbajaya hanya tiduran saja. Hatinya penuh rasa gelisah. Dia gelisah memikirkan tindakan Raden Yudakara yang kesemuanya selalu di luar perkiraannya.
Sampai malam menjelang pagi, Purbajaya tidak tidur barang sekejap.
Raden Yudakara yang semalaman tidur mendengkur, malah bangun duluan. Serta-merta dia membangunkan Purbajaya yang kepalanya terasa berat dan matanya merah karena kurang tidur.
"Ada apa?" tanya Purbajaya heran. Dia sangka, pasti ada hal-hal yang mengejutkannya lagi.
"Cepat ajak Ki Dita menangkap burung hutan yang seperti tadi malam, atau binatang tangkapan apa saja yang sekiranya bisa kita gunakan sebagai sarapan pagi," kata Raden Yudakara menarik tangan Purbajaya agar cepat bangun.
Purbajaya mengangguk, demikian pun Ki Dita yang juga telah ikut bangun karena diganggu celoteh pemuda bangsawan itu yang ribut.
Dari sini tersirat keyakinan Raden Yudakara. Menyuruh Purbajaya pergi tanpa kawalannya hanya menandakan bahwa dia yakin kalau Purbajaya tak akan pergi memisahkan diri.
Tapi Purbajaya memang tidak berniat lari. Selain akan percuma saja, juga karena dia memang ingin terus mengikuti pemuda aneh itu.
Hanya yang dia khawatirkan adalah Ki Dita. Purbajaya disuruh berburu binatang bersama orang itu dan Ki Dita terlihat begitu bersemangat untuk melaksanakan perintah ini. Purbajaya khawatir kalau Ki Dita bergegas menerima perintah itu sebenarnya untuk berurusan dan melakukan perhitungan atas kematian ketiga orang muridnya.
"Cepat berangkat Purba! Ki Dita sudah berangkat duluan!" kata Raden Yudakara kembali memerintah.
Dengan sedikit waswas, Purbajaya akhirnya pergi juga menuju luar gua.
Di luar memang sudah dinantikan oleh Ki Dita.
"Mari berangkat. Kau pergi di depan!" Ki Dita berkata dingin semakin hati Purbajaya menjadi waswas.
Purbajaya memang berjalan duluan di muka. Mula-mula berjalan biasa. Namun karena langkah kaki yang menyusulnya dari belakang terdengar cepat, Purbajaya pun jadi mempercepat langkahnya. Begitu Purbajaya mempercepat langkah, Ki Dita pun semakin mempercepat langkah pula. Dan karena ini, maka Purbajaya segera berlari cepat. Ki Dita pun sama berlari cepat. Maka dalam sebentar saja, dua orang itu seperti saling susul. Yang berlari di depan berusaha tak ingin tersusul, sebaliknya yang di belakang seperti berusaha menyusul.
Purbajaya berlari kencang menggunakan ilmu larinapaksancang (berlari cepat meringankan tubuh) yang pernah diajarkan Paman Jayaratu, gurunya. Larinya seperti tak menapak tanah saking cepatnya. Bahkan ketika menginjak rumput, ujung rumput hampir tak bergoyang.
Namun celakanya, Ki Dita pun memiliki ilmu yang sama. Ketika Purbajaya menengok ke belakang, nyatanya Ki Dita tak terpaut begitu jauh jaraknya. Hanya menandakan bahwa ilmu mereka seimbang.
Sekarang Purbajaya mencoba menambah tenaganya. Namun Ki Dita pun sama menambah tenaganya. Purbajaya mencoba menaiki lereng bukit, berloncatan dari satu tonjolan batu ke tonjolan batu lainnya, namun Ki Dita pun melakukan hal yang sama.
Sampai pada suatu ketika, Purbajaya terpaksa musti menghentikan langkahnya sebab di depannya jurang menganga lebar.
Purbajaya tak tahu seberapa dalam dasar jurang itu. Melihat ke bawah, keadaan gelap oleh tebalnya kabut. Dan karena tak berani meloncat, akhirnya Purbajaya hanya pasrah apa yang akan dilakukan Ki Dita terhadapnya.
"Engkau lihat binatang buruan di bawah sana?" tanya Ki Dita.
Purbajaya undur setindak. Ki Dita nampak tengah bersiap dengan kuda-kuda menyerang.
"Mana saya tahu, dasar jurang tertutup kabut," ujar Purbajaya sambil sama-sama memasang kuda-kuda untuk bertempur.
"Coba loncatlah kau ke sana!" Ki Dita menyuruh tapi dengan sikap mengancam.
Purbajaya diam mematung tapi dengan urat-urat nadi menegang keras.
"Ayo loncat!" teriak Ki Dita. Dia membuat gerakan seperti akan melakukan pukulan jarak jauh dan Purbajaya pun mencoba membuat gerakan seolah-olah akan menahan serangan jarak jauh itu.
"Ha, kau takut mati, ya ... "
"Siapa pun takut mati selama belum bosan hidup," jawab Purbajaya.
"Kau pandai bicara dan sepertinya hanya engkau sendiri yang masih betah di dunia. Dengarkan anak pengecut, ketiga orang muridku penuh dengan cita-cita tapi dengan entengnya kau pupuskan harapan hidup mereka. Sekarang cobalah kau rasakan, betapa sakitnya orang yang ingin bertahan hidup tapi selalu di bawah ancaman kematian," kata-kata Ki Dita ini disusul sebuah serangan jarak jauh.
Purbajaya tak berani menahan pukulan ini, melainkan jongkok menghindar. Dahan pohon di belakangnya berkerotokan karena patah. Daunnya rontok beterbangan dan akhirnya melayang ke bawah jurang.
"Saya memang bersalah membunuh muridmu ... " gumam Purbajaya sedih.
"Kalau begitu, terimalah hukumannya!" lagi-lagi Ki Dita melakukan serangan. Kali ini Purbajaya meloncat ke atas dan tangannya bergayut pada batang pohon lain.
"Berilah saya kesempatan untuk menjelaskannya!" teriak Purbajaya.
"Apa yang musti dijelaskan?"
"Saya tak sengaja melukai Aditia karena pemuda ini akan membunuh Yaksa. Dengan amat kejamnya Aditia membabat kutung tangan Yaksa. Hati siapa tak teriris melihat kejadian mengerikan ini. Jadi saya marah dan tak bisa tahan emosi," tutur Purbajaya sebenar-benarnya. Kemudian Purbajaya menerangkan kembali urutan peristiwa itu.
"Aditia marah karena Yaksa tak mau membunuh saya yang diduganya telah bunuh Wista. Padahal engkau sendiri telah menduga kalau Wista dibunuh Raden Yudakara," kata Purbajaya.
Mendengar penjelasan ini, Ki Dita mengendurkan urat-uratnya.
"Ah ... lagi-lagi pemuda itu!" keluh Ki Dita akhirnya.
"Mengapa Ki Dita bergabung dengan Raden Yudakara" Saya tadinya berpikir, engkau adalah pengabdi setia di Sumedanglarang," Purbajaya berkata dengan nada menyesalkan sikap orang tua ini yang ditudingnya sebagai mendua.
"Dan engkau sendiri bagaimana, anak muda?" Ki Dita balik menyindir sehingga membuat sepasang pipi Purbajaya terasa panas.
"Hhhh ... Saya terperangkap akal liciknya," jawab Purbajaya mengeluh.
Mendengar keluhan Purbajaya, Ki Dita pun sama mengeluh.
"Mungkin kita bernasib sama, anak muda. Raden Yudakara itu licin dan cerdik. Aku pun memang masuk perangkapnya ..." kata Ki Dita akhirnya.Ketegangan berakhir setelah kedua orang ini saling mengeluhkan nasibnya yang persis sama. Lalu keduanya duduk di tanah berumput dan saling memaparkan riwayat sampai tergelincir menjadi "anak-buah" Raden Yudakara.
Ki Dita ini sebenarnya seorang pengabdi. Namun kelemahannya, pengabdiannya selalu dipertautkan dengan imbalan.
"Aku ini pengajar kewiraan. Ya, sebenarnya hanya sebagai pengajar belaka dan bukan pengabdi seperti sangkamu. Aku mengajar karena telah mendapatkan berbagai kemudahan di istana. Aku diberi pakaian, aku diberi pangan, aku pun diberinya perumahan," kata Ki Dita.
Namun, kata Ki Dita, kadang-kadang fungsi dia sebagai pengajar tak bisa berjalan sesuai dengan yang sebenarnya. Menurut aturan, tugas Ki Dita adalah menggembleng para pemuda Sumedanglarang agar menjadi ksatria tangguh. Namun dalam kenyataannya, banyak pemuda pejabat ketangguhannya diragukan tapi lolos menjadi ksatria.
"Mengapa Ki Dita mau membodohi diri sendiri?" tanya Purbajaya.
"Karena dipaksa oleh keinginan orang-orang yang memberiku berbagai kemudahan," jawab Ki Dita.
"Seperti yang terjadi pada pemuda Wista, misalnya?"
"Ya, begitulah kira-kira. Banyak pejabat keliru dalam menafsirkan kasih sayang kepada keluarga. Karena anak mereka keberadaannya bisa dilihat orang bila menjadi ksatria negri, maka banyak pejabat kasak-kusuk agar putranya lolos dalam pelatihan, bagaimana pun caranya."
"Bagaimana caranya?"
Ditanya seperti ini, Ki Dita menghela napas.
"Ini memang salahku juga. Aku terlalu silau oleh kekayaan." Nada bicara Ki Dita seperti mengandung penyesalan.
"Para pejabat memberimu kekayaan?"
Ki Dita mengangguk.
"Aku butuh kekayaan yang banyak. Keinginan seperti itu terlahir karena di sekelilingku banyak orang yang hidupnya papa menderita. Semakin banyak orang yang papa, semakin tergerak hatiku mengejar harta."
"Untuk menolong orang-orang papa itu?"
"Bukan. Aku ingin kaya karena aku tak ingin seperti mereka, hidup tak punya masa depan dan tak bisa mengurus keluarga dengan baik. Itulah sebabnya aku ingin kaya. Dan karena peluang menjadi orang berkecukupan hanya bisa dicari lewat melatih kewiraan, maka itu pula yang aku kerjakan."
"Kendati tidak menghasilkan perwira-perwira tangguh?" potong Purbajaya mengetawakan.
"Ya, aku banyak gagal melahirkan perwira tangguh ..." keluh Ki Dita.
"Lantas apa hubungannya dengan keberadaan Raden Yudakara?" tanya Purbajaya lagi.
"Dia kan lama tinggal di seputar benteng karaton."
"Ya, bahkan sampai berhasil mempersunting Nyimas Yuning Purnama ..." sambung Purbajaya. Dan bicara perihal ini hati Purbajaya menjadi sakit.
"Betul. Raden Yudakara pandai mempengaruhi orang. Ki Bagus Sura pun mudah dibujuk sehingga dengan amat mudahnya menyerahkan anak gadisnya. Ini hanya karena iming-iming yang dijanjikan anak bangsawan Carbon itu," kata Ki Dita."Aku pun tergoda iming-iming. Raden Yudakara menjanjikan jabatan dan harta melimpah asalkan ... "
"Asalkan apa?"
"Menyelidiki situasi di lingkungan karaton."
"Apa yang musti diselidiki di sana?"
"Ah, sebenarnya sungguh membahayakan. Dia ingin mendata orang-orang yang tak menyukai Kangjeng Pangeran ..."
"Mengapa melakukan ini?"
"Entahlah. Namun Raden Yudakara berkata kalau dirinya sanggup membantu menyelesaikan masalah."
"Masalah bagi siapa?"
"Tentu, masalah bagi kelompok yang tak menyukai Kangjeng Pangeran," jawab Ki Dita.
"Membahayakan ..."
"Tentu membahayakan. Itulah sebabnya, kini rasa sesal menghantuiku ..." jawab Ki Dita dan wajahnya penuh rasa khawatir.
Bab 14 "Tapi engkau telanjur mau karena iming-iming itu, Ki Dita?"
Ki Dita mengangguk lesu.
"Namun sebetulnya, yang menekanku bukan semata karena iming-iming itu."
"Ada hal lain lagi yang menekanmu?"
"Raden Yudakara tahu kalau aku gila kekayaan dan gemar menerima suap dari pejabat. Maka itu pula yang digunakan Raden Yudakara dalam menekankan keinginannya. Katanya, apa yang jadi kebiasaanku akan ditutup rapat selama aku ikut dirinya. Yang penting, turuti apa yang jadi perintahnya maka kedudukanku aman. Begitu katanya. Kelemahanku sudah dipegang oleh Raden Yudakara. Aku jadi benar takut didepak dari istana. Makanya aku laksanakan keinginannya ..."
"Saya tak percaya kalau ada pejabat di bawahnya yang tidak menyukai Kangjeng Pangeran ... " gumam Purbajaya.
"Banyak orang menilai baik buruknya seseorang karena didasarkan pada kepentingannya sendiri. Kita akan menganggap orang lain baik karena telah menguntungkan kita, sebaliknya akan menilai buruk karena orang itu merugikan kita," kata Ki Dita sambil menatap berkeliling. Hutan lebat ini ternyata sudah tak diselimuti kabut lagi. Burung walik pun mulai terdengar kicaunya di atas dahan pohon carik angin.
"Apakah Ki Sanjadirja masuk kelompok ini?" tanya Purbajaya penuh minat.
"Kau pandai menebak orang," jawab Ki Dita.
"Bukan karena kecerdikan saya, melainkan karena sudah diketahui betapa Ki Sanjadirja kalah bersaing dengan Ki Bagus Sura dalam mendapatkan perhatian Kangjeng Pangeran," jawab Purbajaya menepiskan pujian orang.
Dan Ki Dita mengangguk mengiyakan.
"Kau mengabdi pada Ki Sanja pasti atas saran Raden Yudakara." Purbajaya coba menebak dan ternyata tebakannya ini benar.
"Aku disuruh Raden Yudakara untuk memanas-manasi Ki Sanjadirja agar semakin membenci Kangjeng Pangeran ..." jawab Ki Dita polos.
Purbajaya menghela napas panjang. Dan kelakuan Purbajaya ini ternyata diikuti oleh elahan napas Ki Dita juga.
"Saya bingung ... " Purbajaya bergumam.
"Aku pun bingung ..." tiru Ki Dita seperti burung beo saja.
Purbajaya menoleh.
"Bayangkanlah Purba, tiga orang pemuda di bawah bimbinganku mati semua. Aku pasti dipecat mereka, padahal aku sudah akan diusulkan sebagai anggota pelatih kewiraan di lingkungan lebih tinggi lagi. Putuslah reputasiku ..."
"Yang saya bingungkan soal perilaku Raden Yudakara," bantah Purbajaya sebab merasa tak punya kesamaan dalam memiliki kebingungan ini."Saya bingung, apa pula maksud sebenarnya mengacau dan mengadu-domba pejabat di Sumedanglarang?" tanya Purbajaya seperti bicara pada dirinya sendiri.
"Aku tak pernah ingin tahu apa keinginan pemuda aneh itu. Yang aku pikirkan sekarang, bagaimana nasibku selanjutnya" Kembali ke Ciguling (ibukota Sumedanglarang) aku tak berani. Namun ikut Raden Yudakara pun aku tak kerasan. Jalan pikirannya aneh-aneh, mungkin terlalu tinggi dan aku tak bisa mengerti maknanya. Padahal keinginanku tak muluk, hanya ingin hidup aman sejahtera hingga akhir hayat. Itu saja," kata Ki Dita sambil mengeluh dan memukul jidatnya sendiri beberapa kali.
Dalam pandangan Purbajaya, Ki Dita sudah tak tampak sebagai seorang guru kewiraan yang bisa melahirkan generasi bangsa yang tangguh, melainkan tampak hanya berupa seorang pencari upah yang gagal dalam usahanya. Bersyukur ada Raden Yudakara, sebab orang seperti ini bisa terusir dari Sumedanglarang.
Namun dua orang itu tak bisa lama-lama mengobrol sebab tugas berburu binatang harus segera dilakukan. Kalau berlarut-larut tak kembali, khawatir Raden Yudakara lama menunggu dan dia akan curiga.
Itulah sebabnya, baik Purbajaya mau pun Ki Dita, berusaha mengejar binatang buruan. Di daerah itu hanya burung-burung walik yang banyak berkeliaran. Mereka beterbangan atau berloncatan dari dahan ke dahan. Itulah sebabnya, baik Purbajaya mau pun Ki Dita hanya mencoba mengintai mangsa seperti itu saja. Masing-masing siap dengan beberapa kerikil. Dan setiap ada burung menclok, mereka lempar dengan kerikil disertai pengerahan tenaga dalam yang amat kuat. Mereka bersaing mengejar buruannya sebanyak-banyaknya.
"Aku dapat tiga ekor!" teriak Ki Dita gembira.
"Wah ... saya hanya dapat dua ekor ... " kata Purbajaya "tak puas" sambil membuang dua ekor burung walik lainnya yang sudah dia dapatkan. Purbajaya tak mau orang tua itu kalah bersaing. Itulah sebabnya lebih baik dia saja yang mengalah.
"Coba lihat tangkapanmu. Wah, hanya dua ekor, kecil-kecil lagi. Tapi biarlah, untuk sarapan pagi cukup segini saja," kata Ki Dita gembira. Dia pulang duluan menenteng buruannya. Purbajaya mengikuti dari belakangnya.
Di dalam gua, Raden Yudakara sudah siap menunggu. Pemuda itu ketawa renyah ketika melihat Purbajaya dan Ki Dita sama-sama menenteng hasil buruan.
"Cepat buatkan api. Purba, kau giliran mengumpulkan dahan-dahankaso yang sudah kering."
Raden Yudakara kerjanya memang hanya memerintah. Tapi ketika makanan sudah terhidang, dia dapat giliran paling awal dalam melahap makanan itu.
"Musti dengan nasi yang ditanak di Rajagaluh ..." kata Raden Yudakara yang mulutnya penuh dijejali serpihan daging walik sampai-sampai minyak berlelehan di sudut bibirnya.
Purbajaya pun dapat bagian daging walik ini. Dan ketika makan, teringat Paman Jayaratu.
Membakar daging burung walik memang kegemaran Paman Jayaratu. Tapi bersama Paman Jayaratu, memasaknya tidak sederhana seperti ini. Sebaiknya, sesudah daging dikuliti, tubuh burung dilabur bumbu tumbuk campuran bawang putih, bawang merah, merica atau jahe. Kalau ada minyak samin buatan Nagri Parasi bisa lebih bagus. Sambil digarang di atas bara api, daging burung dilabur minyak samin. Maka harumnya daging yang dibakar berpadu dengan harum khas bumbu-bumbu itu, bakal semakin menggoda perut yang lagi lapar.
Pagi ini daging burung hanya dibakar tanpa bumbu atau pun juga tanpa garam barang sejumput. Namun bagi orang yang perutnya lama tak diisi, ini adalah makanan yang amat istimewa. Hanya dalam waktu tidak terlalu lama, semua daging sudah habis dilahap tiga orang. Yang tinggal hanya tulang-belulangnya saja.
"Mari!" ajak Raden Yudakara berjingkat setelah membersihkan mulut dan tangannya.
"Ke mana?" tanya Ki Dita menatap heran.
"Ke mana" Apa kau sangka kita ini sedang pesiar?" Raden Yudakara balik bertanya dengan nada ketus.
Tapi Ki Dita masih tak mau beranjak.
"Kau harus kembali ke Ciguling!" kata Raden Yudakara.
Tapi Ki Dita masih diam.
"Kalau begitu, kau ikut aku langsung ke wilayah barat! Kau takut bertemu orang-orang Sumedanglarang, kan?" tanya Raden Yudakara.
"Benar, Raden."
"Kau pengecut. Tapi tak mengapa. Ayo ikut saja ke wilayah barat."
"Saya juga tak mau ikut. Saya ingin di sini saja ..." jawab Ki Dita pelan dan menunduk.
"Maksudmu, di dalam gua ini?"
Lagi-lagi Ki Dita tidak menjawab.
"Kalau tak ikut aku, kau tak bisa ke mana-mana," tutur Raden Yudakara dingin. Kemudian dia tepuk-tepuk bagian belakang pakaiannya yang kotor oleh debu.
"Benar kau tak akan ke mana-mana?"
"Tidak Raden ..."
"Mau tinggal di sini saja?"
"Mungkin begitu, Raden ..."
"Benar?" nada suara Raden Yudakara semakin dingin.
"Saya ini orang kecil, Raden. Ikut dengan orang besar dan pintar sepertimu, saya tak akan mengerti. Jalan pikiranmu terlalu tinggi dan susah dimengerti. Daripada saya pusing sendiri, lebih baik saya tak ikut saja," kata Ki Dita akhirnya.
"Kau akan mati di sini ..." desis Raden Yudakara.
"Tidak. Justru saya akan mati bila terus-terusan ikut Raden ..." kata Ki Dita."Jauh-jauh hari sebelum kenal engkau, hidup saya tentram. Namun setelah kau hadir, hidup saya kacau. Saya dipaksa untuk menilai orang, untuk bercuriga ke sana ke mari, padahal jauh sebelumnya, mereka baik-baik belaka kepada saya. Jadi, jalan pikiran Radenlah yang meracuni saya ..." kata Ki Dita mulai berani sebab Raden Yudakara seperti tetap memaksanya.
Wajah Raden Yudakara merah-padam.Purbajaya tahu kalau pemuda ini paling murka pendapatnya tak diikuti. Dia khawatir, Ki Dita dihadapkan kepada mara-bahaya karena hal ini.
"Jadi, kau tak akan ikut aku, ya?"
"Betul, Raden ..."
"Sudah kau putuskan, ya?"


Kemelut Di Cakrabuana Karya A Merdeka Permana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sudah saya putuskan, Raden ..."
"Baik kalau bagitu. Tinggallah kau di sini!" teriak Raden Yudakara. Dan dengan kecepatan sulit diduga, pemuda itu melakukan pukulan jarak jauh dengan amat dahsyatnya. Saking dahsyatnya, suara angin berciutan dan batu-batu di dalam gua berguguran.
Purbajaya hanya sanggup berdiri mematung dengan mulut melongo. Dia sudah punya firasat kalau Raden Yudakara akan mencelakai Ki Dita, namun gerakan dahsyat yang dilakukan pemuda itu sama sekali tak bisa diduganya. Dengan amat pedihnya, Purbajaya hanya bisa menyaksikan, betapa tubuh Ki Dita yang tak pernah mempersiapkan diri terlontar keras dan berdebuk di dinding gua. Tubuh itu meloso ke bawah, kemudian tertimpa reruntuhan batuan gua. Tak ada gerakan sesuatu dari tubuh Ki Dita selain sebelah tangannya tersembul tak berdaya dari sela-sela gundukan bebatuan.
Purbajaya berhenti dari keterpanaannya dan segera menghambur ke arah reruntuhan batu kemudian mencoba menolong tubuh Ki Dita yang tertimbun di bawahnya.
"Sudahlah, dia sudah tewas ... " kata Raden Yudakara dengan nada biasa seolah-olah itu bukan peristiwa penting dan mencekam.
Purbajaya coba memeriksa nadi di tangan Ki Dita yang menyembul ke atas. Benar saja, sudah tak ada denyut nadi.
"Kau membunuhnya, Raden ... " desis Purbajaya.
"Dia yang minta ... " jawab Raden Yudakara enteng saja.
"Kau kejam. Kau tanpa perasaan sehingga nyawa begitu tak berarti bagimu!" Purbajaya mengecamnya.
Dikecam seperti ini wajah Raden Yudakara merah-padam kembali. Tapi Purbajaya tak takut. Paling-paling dia dibunuhnya. Mengapa takut dibunuh, tokh selama ini mati-hidupnya telah ada di tangan pemuda kejam ini.
Tapi Raden Yudakara tak memukulnya, melainkan hanya menjambak bajunya di bagian dada dan mengangkat tubuh Purbajaya tinggi-tinggi.
"Dengarkan kau manusia dungu. Justru aku melakukan hal ini karena aku menghargai nyawa. Tapi nyawa siapakah" Apa kau pikir kita musti menghargai nyawa orang lain ketimbang nyawa kita sendiri" Aku bunuh orang itu karena kalau dibiarkan maka nyawa kita yang terancam. Dia sudah tahu perjalanan dan rencana kita. Kalau dia memisahkan diri dari kita tentu hanya untuk menghalangi jalan kita saja."
"Aku tak paham jalan pikiranmu!"
"Memang tidak akan paham sebab orang kecil sepertimu tak akan mengerti jalan pikiran orang besar sepertiku. Kau orang kecil dan bodoh hanya mampu berpikir akan masalah-masalah kecil saja dan tidak akan memahami masalah-masalah besar yang tengah aku pikirkan."
"Tapi perkara nyawa bukanlah urusan kecil!" bantah Purbajaya dengan dada sakit karena keberadaan dirinya dihina seperti ini.
"Itulah sebabnya aku bunuh orang dungu itu sebab kalau kubiarkan lepas, akan banyak nyawa melayang. Keselematanku, keselamatan kau dan keselamatan banyak nyawa lainnya," kata Raden Yudakara.
"Siapa yang lainnya?"
"Siapa" Tentu adalah mereka yang sepaham dengan kita," tukas Raden Yudakara lagi dengan tegas."Sudahlah. Kau memang dungu. Dengarkan, selama dunia berkembang, maka selkama itu pula akan selalu terdapat perbedaan pendapat di antara manusia. Bila semua orang telah sama-sama memiliki keinginan untuk berkembang, maka akan bersaing dengan yang lainnya dan terjadilah pertikaian. Kau harus pahami itu. Hanya orang bodoh dan tanpa keinginan yang sanggup melahirkan kedamaian tapi kedamaian sepi tak berarti. Dan aku tak mau itu. Aku tak mau jadi orang mati hanya karena mendambakan kedamaian. Tapi aku harus jadi orang nomor satu kendati dunia dalam keadaan apa pun. Dan untuk menjadi orang nomor satu, aku harus berhjuang, apa pun perjuanganku!" Raden Yudakara berkata lantang dan mengejutkan.
Kalau saat itu ada guruh mengguntur, maka hanya suara pemuda ambisius itu saja yang paling keras suaranya. Barangkali burung dan binatang hutan pun hanya akan takut mendengar suara Raden Yudakara ketimbang suara halilintar di siang hari bolong.
"Cita-citamu akan mengancam keselamatan orang lain," gumam Purbajaya parau karena bulu-kuduk berdiri mendengar isi hati pemuda aneh ini.
"Aku bukan orang sadis sebab aku pun butuh teman. Namun terus-terang, aku tak bisa menyelamatkan banyak nyawa di tengah-tengah persaingan dalam saling menekan dan saling mengalahkan. Kalau pun akan menyelamatkan nyawa, maka itu adalah nyawa kita sendiri, atau nyawa orang-orang yang membantu kita dan bukan nyawa orang-orang yang memusuhi atau menyaingi kita," kata lagi pemuda itu.
Purbajaya hanya termangu-mangu.
"Nah, ini perkataanku yang terakhir. Kalau kau banyak bertanya dan apalagi banayak mendebat lagi, maka kuanggap kau bukan orang sehaluan denganku," desis Raden Yukadara dengan suara dingin. Sesudah itu, pemuda ini keluar dari gua lebih dahulu dan meninggalkan Purbajaya yang masih termangu.
Dengan perasaan tak berketentuan, Purbajaya pun bangun dari duduknya dan ikut keluar gua. Jasad Ki Dita dibiarkan terkubur bebatuan gua karena Raden Yudakara tak memberi waktu untuk merawat jasad itu.
Purbajaya memang harus ikut ke mana pemuda itu pergi. Bukan dia takut mati oleh ancaman Raden Yudakara, tapi semakin lama meneliti perilaku pemuda itu, maka semakin besar juga rasa penasaran di hati Purbajaya. Kalau benar Raden Yudakara orang jahat, biarlah Purbajaya tahu secara keseluruhan, sampai di mana kejahatan pemuda itu. Purbajaya merasa kalau Raden Yudakara ini bukan hanya bekerja sebagai mata-mata saja. Menjadi mata-mata hanayalah sebuah perangkat untuk menutupi kegiatan sesungguhnya. Kepada siapa dia menutupi identitas sebenarnya"
*** Raden Yudakara terus membawanya ke utara. Purbajaya di sepanjang jalan tidak bertanya lagi sebab Purbajaya tahu kalau pemuda bangsawan ini akan menuju wilayah Pajajaran.
"Kita akan singgah di wilayahkandagalante (pejabat setingkat wedana kini) Sagaraherang," kata Raden Yudakara menebasi tetumbuhan yang menghalangi jalan dengan ranting kayu.
Selama melakukan perjalanan, Raden Yudakara memang tak mau lewat jalan pedati yang banyak dilalui umum, melainkan memotong-motong belukar atau bahkan ngarai. Kentara sekali bahwa di wilayah yang berdekatan dengan Ciguling (ibukota Sumedanglarang), dia tak berani menampakkan diri. Pusat kota Sumedanglarang tidak mereka lewati.
Sagaraherang adalah daerah yang terletak di dataran rendah sebelah utara Sumedanglarang. Bila di wilayah Sumedanglarang mereka harus berjalan turun-naik bukit dan meniti jurang terjal, maka ketika memasuki wilayah Sagaraherang, jalanan mulai rata. Di daerah ini, kalau mau sembunyi dari pandangan umum sebetulnya agak sulit sebab dataran rendah ini banyak terdiri dari padang alang-alang terbuka dan juga rawa. Satu dua memang terlihat bukit dengan pepohonan dataran rendah namun jumlahnya tidak banyak.
Sagaraherang adalah wilayah yang masih dikuasai Pajajaran. Namun demikian, pengaruh dari pusat kekuasaan sudah terasa lemah. Wilayah ini malah sudah begitu dekat dengan pesisir utara, padahal pesisir utara hampir semuanya dikuasai Nagri Carbon. Sebagai daerah perbatasan, kontak penduduk dari dua wilayah mudah dilakukan.
Seperti apa kata Raden Yudakara, orang kecil memang tak bisa berpikir besar. Namun karena ini pula, jalan pikiran orang kecil ternyata bisa bebas dari kemelut besar hanya karena secara lugu telah mengartikan nilai kehidupan secara sederhana saja. Buktinya, dua penduduk dari dua wilayah berlainan paham ini. Secara politis antara Carbon dan Pajajaran ini bermusuhan. Tapi, apalah arti perbedaan politik bagi orang yang tak mengerti politik. Sebab yang sebenarnya dipahami oleh mereka hanyalah bagaimana agar bisa bertahan hidup sesuai kemampuan.
Penduduk dari dua negri berlainan paham ini satu sama lain sebetulnya tetap saling memerlukan. Penduduk pedalaman (Pajajaran), amat memerlukan garam, ikan asin atau barang-barang hasil produksi orang pesisir bahkan kain halus buatan negri sebrang seperti kain satin buatan Campa atau kain sutra buatan Cina. Sebaliknya penduduk pesisir memerlukan hasil bumi dari wilayah pedalaman, seperti kapas, asam, berbagai rempah-rempah atau bahkan anggur agar kelak oleh orang pesisir bisa dijual lagi ke negri sebrang. Oleh sebab itu politik bagi orang awam dan kaum pedagang tak diperhatikan benar sebab mereka tetap saling membutuhkan.
Di pinggiran wilayah Sagaraherang bahkan amat sulit membedakan, mana orang Carbon dan mana orang Pajajaran. Logat bahasa mereka malah seperti campur-aduk. Tak mengapa orang Pajajaran logatnya jadi "kecarbon-carbonan" karena kental dan baur oleh perdagangan. Jenis pakaian yanag digunakan pun sudah bercampur-baur. Ada orang Sagaraherang tapi sudah terbiasa menggunakan bendo citak atau baju takwa padahal itu biasa digunakan oleh orang Demak atau pun Carbon. Orang Pajajaran di wilayah ini adat-istiadatnya memang terpengaruh oleh orang Carbon.
Namun kesederhanaan perilaku penduduk ini suka dimanfaatkan oleh "orang pintar" yang mengaku tahu politik. Hubungan perdagangan dari kedua penduduk ini dimanfaatkan untuk kepentingan penyamaran dan penyelundupan dengan kepentingan politik pula. Kerap terjadi orang Pajajarana memasuki Carbon melalui perbatasan ini atau pun sebaliknya orang Carbon memasuki wilayah Pajajaran dengan maksud untuk kepentingan politik.
Sesudah tiba di wilayah Sagaraherang, Raden Yudakara tak mengajak Purbajaya untuk main sembunyi lagi. Mereka berdua malah kembali menyusuri jalan pedati yang ramai digunakan lalu-lintas perdagangan.
Apalagi sesudah memasukilawang -kori(gerbang) kota, di mana orang yang hilir-mudik semakin banyak pula. Kata Raden Yudakara, keberadaan Purbajaya sudah tak diketahui sebagai orang Carbon lagi.
"Kau hanya perlu menyelaraskan bahasa yang dipakai saja. Ini adalah wilayah Sunda dan tak banyak orang menggunakan bahasa Demak," kata Raden Yudakara sambil menyebutkan bahwa di wilayah Pajajaran Purbajaya harus belajar bahasa setempat.
"Sedikit-sedikit saya sudah dilatih bahasa Pajajaran oleh Paman Jayaratu ... " jawab Purbajaya.
"Itu malah lebih bagus!" Raden Yudakara mengacungkan jempol memuji.
Kini Purbajaya dibawa menghadap kepada penguasa wilayah itu.
"Jangan sungkan. Kandagalante Sunda Sembawa adalah kerabat dekatku," kata Raden Yudakara.
"Oh ... " Purbajaya hanya bergumam.
"Betul. Sementara, Ki Sunda Sembawa pun punya kekerabaan yang erat dengan penguasa Pajajaran sekarang. Dengan demikian, kalau ditelusuri, sebetulnya aku pun masih kerabat Pajajaran juga. Tapi jangan cemas, Ki Sunda Sembawa adalah tetap teman sendiri," kata Raden Yudakara.
Purbajaya termangu. "Teman sendiri" punya arti khusus. Secara politis, apakah Ki Sunda Sembawa pun sudah memihak Carbon"
Purbajaya tersenyum kecut, sekaligus dia pun tak mengerti, mengapa ini terjadi"
Purbajaya pernah menerima penjelasan dari Paman Jayaratu, antara Pajajaran dan Carbon sebenarnya punya kaitan kekerabatan yang amat erat. Kangjeng Pangeran Cakrabuana pendiri Nagri Carbon (asal kata daricaruban , artinya negri bermacam-macam bangsa), adalah salah seorang putra Prabu Sri Baduga Maharaja penguasa Pajajaran. Pangeran Cakrabuana dulunya bernama Walangsungsang.
Sementara itu, penguasa Nagri Carbon kini yaitu Sang Susuhunan Jati adalah cucu dari Sri Baduga Maharaja, dan punya kekerabatan uwak kepada Kangjeng Pangeran Cakrabuana. Sang Susuhunan Jati ditunjuk sebagai penguasa Carbon pun oleh Kangjeng Pangeran Cakrabuana. Namun kekerabatan yang kental ini tidak lantas membangun sebuah persaudaraan dan persahabatan antarnegri. Oleh keyakinan berbeda, kedua negri malah menjadi seteru.
Kalau benar Kandagalante Sunda Sembawa kini menjadi "orang sendiri", padahal dia jelas-jelas orang Pajajaran, maka semakin kecut hati Purbajaya. Betapa karena urusan keyakinan sesama kerabat menjadi saling seteru dan saling ingin menjatuhkan. Atau tidakkah karena keadaan seperti ini maka dikipasi dan dimanfaatkan oleh orang-orang yang ingin cari keuntungan" Purbajaya melihat perbuatan Pangeran Arya Damar dan Raden Yudakara sebagai kelompok yang memperkeruh keadaan karena memiliki ambisi tertentu dari kekeruhan ini.
"Bila kau kusebutkana sebagai anak buahku, maka Ki Sunda Sembawa tak akan ragu-ragu menyambutmu sebab kau akan dianggap sebagai orang sendiri baginya," kata Raden Yudakara membuyarkan lamunan Purbjaya."Kau pasti akan gembira. Setiap kedatangan tamu Ki Sunda Sembawa selalu mengadakan pesta penyambutan. Dia senang foya-foya," sambung pemuda itu sambil tertawa-tawa seolah tengah membayangkan hal yang amat menyenangkan baginya.
Memasuki sebuah kompleks rumah-rumah besar dari kayu berukir dan genting sirap musti melalui pintu jaga dulu. Ada dua orang jagabaya mencegat dan memeriksa. Namun setelah mereka tahu yang datang adalah Raden Yudakara mereka terbungkuk-bungkuk menghormatnya. Dengan tergopoh-gopoh salah seorang dari mereka bahkan mengantarkan Raden Yudakara dan Purbajaya menghadap Ki Sunda Sembawa.
Kediaman Ki Sunda Sembawa adalah bangunan rumah panggung paling besar yang posisinya ada di tengah, dikelilingi bangunan lain yang ukurannya lebih kecil berjumlah empat buah.
Rumah yang berdiri kokoh di tengah ini punya beranda besar. Masih berupa panggung dengan lantai papan kayu jati berwarna coklat kehitam-hitaman dan amat halus serta mengkilap.
Raden Yudakara dipersilakan duduk di hamparan alketip beludru buatan Nagri Campa, sementara Purbajaya pun duduk di belakangnya.
"Saya akan sampaikan perihal kedatangan Raden berdua ..." kata penjaga sambil pergi dengan tergopoh-gopoh pula.
Dan Raden Yudakara serta Purbajaya perlu menunggu waktu agak lama pula untuk menerima sambutan tuan rumah.
Ketika pintu kayu berderit terbuka, muncullah Ki Sunda Sembawa. Usianya barangkali sekitar limapuluhan. Tubuhnya tidak terlalu tinggi namun berpostur tegap dengan kumis melintang tipis di bawah hidungnya yang sedikit mancung.
Yang membuat hati Purbajaya tertarik, Ki Sunda Sembawa datang menyambut tamu sambil menggunakan jenis pakaian yang biasa digunakan oleh bangsawan Istana Pakungwati, Carbon.
Ki Sunda Sembawa memakai pakaian jenis bedahan lima dan kainnya jelas bukan buatan negri sendiri. Purbajaya tahu kalau jenis kain ini sering diturunkan di Pelabuhan Muhara Jati, Carbon, melalui kapal-kapal jung bangsa asing.
Lelaki gagah ini pun menggunakan tutup kepala dari jenis bendo citak dengan ornamen logam warna emas sebagai penghiasnya. Bila ornamen itu bergoyang-goyang, maka ada pantulan cahaya berkeredip dengan amat indahnya.
Ki Sunda Sembawa tertawa renyah ketika menerima penghormatan baik dari Raden Yudakara mau pun dari Purbajaya.
"Siapa pemuda tampan ini, Yuda?" tanya pejabat itu menunjuk ke arah Purbajaya.
"Dia Purbajaya, anak buah saya ... " jawab Raden Yudakara hormat.
"Datang dari Carbon?" Ki Sunda Sembawa penuh selidik.
"Benar. Tapi masih orang sendiri," jawab lagi Raden Yudakara."Kendati Pajajaran baginya adalah negrinya juga," sambungnya melirik ke arah Purbajaya.
Ki Sunda Sembawa mengerutkan alis.
"Anak ini punya kekerabatan erat dengan penguasa wilayah Tanjungpura yang lama."
Hati Purbajaya tak enak, mengapa seluruh riwayat hidupnya musti diceritakan di sini.
"Bagus. Semua orang yang merasa berhak atas tanah kelahirannya musti merasa memiliki negri ini. Baguslah engkau mau bergabung dengan kami, anak muda ... " kata Ki Sunda Sembawa. Dan lagi-lagi ucapan ini amat membingungkan Purbajaya. Mengapa tak begitu. Tadi Ki Sunda Sembawa menatapnya dengan penuh curiga ketika Raden Yudakara mengenalkan dirinya sebagai orang Carbon.
Namun ketika disusul dengan pernyataan tambahan sebagai "orang sendiri" barulah Ki Sunda Sembawa terlihat lega. Ini hanya membuktikan bahwa kendati Raden Yudakara mengabarkan bahwa Ki Sunda Sembawa pun sudah berkiblat ke Carbon, namun musti diperjelas lagi "Carbon yang mana".
Dan lagi-lagi Ki Sunda Sembawa mengerutkan alis manakala dikatakan Purbajaya pun sebagai orang Pajajaran juga. Namun sesudah tahu dari mana Purbajaya "berasal" maka pejabat itu pun kembali lega. Dengan demikian, Purbajaya pun dapat kesimpulan bahwa kendati Ki Sunda Sembawa pejabat Pajajaran, namun nama "Pajajaran" bisa bermacam-macam baginya.Ya, amat membingungkan tapi sekaligus juga membuat Purbajaya semakin merasa penasaran. Purbajaya merasa, betapa pemuda bernama Raden Yudakara ini semakin banyak mengandung misteri.
Ki Sunda Sembawa dan Raden Yudakara saling bertutur-sapa namun tidak secuil pun membicarakan hal-hal khusus. Begitu yang mereka lakukan sampai hari menjelang senja. Tapi manakala kembali dari sembahyang magrib, dia mendengar obrolan yang amat menarik perhatiannya.
Purbajaya musti menyelinap dulu di balik pepohonan rimbun sebelum dia bisa menyimak apa yang diobrolkan mereka.
"Apakah Paman sudah menyiapkan segalanya sedemikian rapi?" terdengar pertanyaan Raden Yudakara.
"Aku sudah menempatkan orang-orangku di lingkungan Karaton Pakuan, Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati. Boleh dikata, satu dari sepuluh pejabat Pakuan adalah orang-orangku. Kita sedang melatih pasukan di sini. Namun jumlahnya masih kurang, perlu dibantu pasukan Carbon." Ini adalah jawaban dari Ki Sunda Sembawa.
"Jangan khawatir. Pada saatnya nanti, saya kerahkan Pasukan Siluman Nyi Rambut Kasih," jawab Raden Yudakara.
Mendengar jawaban ini, ada elahan napas terdengar. Purbajaya yakin, itu adalah elahan napas Ki Sunda Sembawa.
"Ada apa, Paman?" tanya Raden Yudakara.
"Kau ini membingungkan, Yuda. Katanya pasukan itu kau pengaruhi agar membenci Carbon dan mencintai Pajajaran. Sekarang, bagaimana mungkin mau kau belokkan lagi untuk melawan Pajajaran?" tany Ki Sunda Sembawa.
"Ah, mereka orang-orang dungu yang mudah dihasut. Mereka hanyalah orang-orang yang mendambakan kehidupan masa lalu. Saya memang pengaruhi mereka karena Pajajaran bagi mereka adalah sisa masa lalu. Namun harus diingat, kerinduan mereka sebenarnya hanya kepada ratunya saja, yaitu Nyi Rambut Kasih. Jadi kalau kelak saya katakan bahwa Pajajaran pun tidak pernah membela ketika Sindangkasih digempur Carbon, maka otomatis mereka akan membenci Pajajaran. Mudah, kan?" jawab Raden Yudakara sambil tertawa. Ki Sunda Sembawa pun sama tertawa.
"Hanya yang saya masih kesal," sambung Raden Yudakara,"Tindakan Pangeran Suwarga sebagaiManggala atauHulu-jurit (panglima perang) Nagri Carbon bertele-tele. Kendati sudah saya hembuskan bahwa Pasukan Siluman Siluman Nyi Rambut Kasih yang mengacau Sumedang dan Talaga kekuatannya dipasok dari Pajajaran, namun pejabat pikun dan kurang tenaga itu tetap tak mau mengerahkan kekuatannya untuk menyerang Pajajaran. Ini tentu menjengkelkan. Sebab bila pasukan resmi Carbon tetap tak mau menyerbu Pakuan, maka hanya punya arti bahwa kita bekerja sendirian," kata Raden Yudakara.
"Hm ... Bila benar begitu, maka tugas kita menjadi berat dalam menghimpun jumlah pasukan. Beruntung ada Ki Banaspati yang membantu," kata Ki Sunda Sembawa.
"Ki Bnaspati, siapakah dia?" suara Raden Yudakara bernada heran.
"Dia adalah pembantu dekat Bangsawan Soka, pejabatmuhara (pejabat urusan pajak) untuk wilayah timur Pajajaran."
"Apakah dia pun orang sendiri?"
"Lebih dari itu sebab bahkan aku pun memiliki ide dan rasa semangat dalam mengambil hak di Pajajaran karena dia juga. Betapa dia tak henti-hentinya memberikan pengertian kalau aku sebenarnya paling berhak dalam menerima warisan kekuasaan negri ini. Kalau aku mau mengambil apa yang sudah jadi hakku, maka dia bersedia membantu apa saja. Katanya, sebagai petugas muhara, maka segala kekuatan dana sebenarnya ada padanya. Ini amat menguntungkan bagi kita," kata Ki Sunda Sembawa dengan nada ceria.
Hanya saja ucapan gembira ini tak ditanggapi oleh suara Raden Yudakara. Kalau pemuda itu berperilaku begini, maka Purbajaya hapal, Raden Yudakara pasti tak berkenan mendengar pernyataan Ki Sunda Sembawa ini.
Purbajaya tak bisa lama-lama sembunyi di rumpun dedaunan. Dan bila dia tak mau dicuriga, maka Purbajaya harus segera bergabung kembali dengan mereka.
Ketika Purbajaya muncul, maka obrolan penting pun selesai. Amat memberikan kesan bahwa obrolan barusan bersifat rahasia.
"Kalian lelah tentu harus beristirahat dengan nyaman dan penuh kegembiraan di sini," kata Ki Sunda Sembawa sambil kemudian berteriak menyuruh para pembantunya datang ke tempat itu.
Maka tak berapa lama kemudian, dua orang pelayan, dua-duanya wanita muda usia dan berwajah cantik datang mendekat dan dengan amat hormatnya duduk bersimpuh.
"Hari ini kita kedatangan tamu penting, lekas sampaikan pada yang lain agar nanti malam menyiapkan segala sesuatunya dibale-kambang (bangunan panggung tempat bersantai terletak mengambang di tengah kolam). Amah, datangkanjuru-kawih (akhli menembang) yang terbaik ke tempat kita," kata Ki Sunda Sembawa memerintah.
Pelayan yang muda-muda dan ranum-ranum itu segera mengundurkan diri.
"Kalian harus percaya, betapa gadis Sagaraherang molek-molek," kata Ki Sunda Sembawa tertawa renyah ketika dilihatnya mata Radwen Yudakara tak pernah lepas menatap kedua orang pelayan itu.
Dengan tak malu-malu, Raden Yudakara tertawa ceria dengan mata berbinar-binar karena senangnya. Sepertinya dia tahu kalau dirinya dijanjikan sesuatu yang amat didambakan hatinya oleh tuan rumah.
Dan benar saja, sesudah Purbajaya sembahyang isya, dia diundang menghadiri acara pesta di bale kambang.
Sebetulnya Purbajaya tak mau bergabung dengan mereka. Lagi pula badannya terasa lelah karena perjalanan tiada henti dari wilayah Sumedanglarang. Namun Purbajaya pun merasa tak enak bila menolak ajakan ini, padahal sudah jelas, pesta diadakan hanaya karena menyambut kedatangan mereka berdua semata. Hanya yang membuat Purbajaya waswas, karena penguasa wilayah ini "menjanjikan" wanita cantik.
Pesta apakah ini sehingga Ki Sunda Sembawa perlu bicara soal wanita cantik"
Namun diputuskan juga untuk beranjak dari kamarnya. Purbajaya diantar oleh seorang prajurit yang berbekal pelita minyak kelapa.
Bale kambang terletak agak terpisah dari semua bangunan. Letaknya pun agak berada di bagian bawah.
Ketika Purbajaya dipandu menuruni trap tanah berbalay kerikil, bangunan bale kambang sudah terlihat jelas karena di dalam ruangan terbuka dan hanya diberi atap ijuk ini terlihat cahaya benderang karena pelita dipasang di berbagai sudut dan jumlahnya cukup banyak. Ada lantera besar dipasang tergantung di tengah ruangan. Cahayanya amat menerangi ruangan bale kambang.
Ketika Purbajaya masuk, di sana sudah banyak orang, pria dan wanita duduk bercampur-baur tak ada batas tertentu. Hampir semuanya larut dalam kegembiraan., padahal sepertinya acara belum dimulai kalau yang dimaksud di sini adalah pesta penyelenggaraan pertunjukan kesenian seperti apa yang dikatakan Ki Sunda Sembawa tadi sore.
Ki Sunda Sembawa pun sudah nampak larut dalam kegembiraan. Dia bersila di tengah dan dikelilingi beberapa orang gadis cantik dan masih berusia muda-muda pula. Dua gadis yang duduk menghimpitnya dari kiri dan kanan, terkekeh-kekeh genit dan menggeliat-geliat kegelian dalam duduknya karena tangan-tangan Ki Sunda Sembawa ngelayap ke sana ke mari. Sementara dua orang gadis lainnya sibuk memijiti bagian-bagian tubuh pejabat itu.
Sementara Raden Yudakara di saudut lainnya tak kalah "gesit"nya dalam mengerjai tubuh wanita-wanita molek ini. Dia malah garang dan cabul. Dua gadis dikiri-kanannya dikempit erat dan dua-duanya secara bergantian dia cium pipinya. Kalau ada gadis pelayan yang lewat untuk membagikan minuman, dia jawil pantatnya, dagunya bahkan buah dadanya. Anehnya, diperlakukan tak sopan seperti itu, para gadis malah tertawa senang. Memang ada sikap pura-pura marah dengan cemberut dan bahkan mencubit tangan Raden Yudakara, namun amat terlihat itu hanyalah marah manja saja. Purbajaya melihat betapa sebetulnya Raden Yudakara tengah mabuk berat karena minuman tuak. Kepalanya oleng ke sana ke mari dan kulit wajahnya merah.
Ketika Purbajaya baru tiba, dia disambut tawa renyah Ki Sunda Sembawa.
"Ah, anak muda ini, ke mana sajakah" Ayo jangan sungkan, ini semua untuk kalian semata. Di saat bulan purnama, di saat langit demikian cerah, kita berpesta sepuasnya!" kata Ki Sunda Sembawa yang nampak sudah mulai oleng pula.
Purbajaya hendak berjingkan untuk mengambil tempat duduk agak terpisah dengan mereka, namun tangan pemuda itu ditarik oleh Ki Sunda Sembawa.
"Hai, ayo layani pemuda ini dengan baik," katanya menyodorkan tangan Purbajaya kepada seorang gadis. Sesudah tangan Purbajaya digenggam gadis itu, Ki Sunda Sembawa terkekeh dan menepuk pantat gadis itu agar pergi membawa Purbajaya.
Purbajaya akan melepaskan tanagannya yanag digenggam erat oleh gadis cantik ini.
"Ayo, apa yang Kakang mau?" tanya gadis itu menjawil dagu Purbajaya.
"Saya ... saya hanya mau nonton pergelaran kesenian saja, Nyai ..." Purbajaya gagap dan panik karena perlakuan gadis itu. Dan untuk ke sekian kalinya dia terpaksa menepis tangan gadis itu karena akan berbuat mesum.
"Wah ... ini kan sudah pergelaran, Kakang!" kata gadis itu. Lagi-lagi pipi Purbajaya dijawilnya.
Tapi Purbajaya jadi kesal dibuatnya. Minuman keras dan bermain perempuan adalah maksiat. Jadi mengapa dia musti bergabung di sini"
Purbajaya melihat berkeliling. Nyatanya semua orang memang larut dalam pesta dengan perilaku dan kebebasan yang berbeda. Purbajaya ingin pergi namun ada juga rasa segan terhadap tuan rumah. Bagaimana pun Ki Sunda Sembawa adalah pejabat dan penguasa di daerah ini. Kalau dia menolak bergabung di tempat ini barangkali akan tak hormat dan menyinggung perasaannya. Itulah sebabnya, kendati amat sebal, Purbajaya tetap bertahan di sana.
Untung saja para penembang sudah datang sehingga Purbajaya punya alasan utuk tetap tinggal.
Dan ketika rombongan kesenian telah hadir, ternyata mereka yang tengah berpesta-pora pun mendadak menghentikan kagiatannya dan berbalik memperhatikan rombongan ini.
Beberapa orang nayaga (penabuh gamelan) naik ke panggung bale kambang sambil menentengtatabeuhan (gamelan) guna mengiringi tembang. Ada yang menjinjing kecapi, rebab,kulanter (gendang ukuran kecil), angklung danbende (gong ukuran kecil).
Sesudah semuanya siap, maka pergelaran pun dimulai. Sederetan juru kawih yang berwajah cantik-cantik, secara bergiliran melantunkan tembang. Jenis lagunya macam-macam, dari mulai nadaanca (pelan) sampai kepada nada gerakankaratagan (cepat bersemangat). Ada lagu yang syairnya memelas penuh kesedihan sampai kepada lagu yang gembira berisisisindiran dan amat lucu serta mengundang tawa kalau yang mendengar merasa tersindir.
Di saat para juru kawih melantunkan lagu segar, para penonton pun ikut larut melantun. Hanya saja mereka menembang tidak tertib dan tak sesuai dengan ketukan gendang. Penonton ikut menembang dengan nada sumbang seadanya dan terkesan dimain-mainkan karena sambil tertawa-tawa. Para gadis bahkan kerjanya hanya menjerit-jerit kecil karena acap kali tubuhnya digerayangi tangan-tangan jahil.
Malam semakin larut dan jenis kesenian yang ditampilkan pun datang silih berganti.
Sebagai acara penutup, maka ditampilkan pertunjukan pantun . Pantun adalah seni bercerita yang dipaparkan dengan lantunan merdu dan diiringi dawai kecapi. Pembawa cerita adalah seorang lelaki tua tunanetra. Dia membawakan cerita perihal kegagahan ksatria Pajajaran.
Ada yang datang ada yang pergi
yang datang membawa napas baru
yang pergi menutup masa lalu
pergilah pergi, datanglah datang
yang pergi dan yang datang
tidak perlu bersilang paham
Purbajaya menyimak pertunjukkan pantun ini dengan seksama dan amat setuju dengan lantunan ki juru pantun yang barusan dilantunkan ini. Purbajaya membayangkan, kalau yang dimaksud dan tengah digambarkan ki juru pantun adalah kehadiran Nagri Carbon untuk menggantikan Pajajaran sebagai simbol kehidupan lama.
Tapi lain orang lain penafsiran. Ki Sunda Sembawa malah menafsirkan lain.
"Ya, akulah si pembawa kehidupan baru!" teriaknya parau karena sejak tadi kerjanya berceloteh saja seperti orang mengigau.
"Tapi akulah yang paling sempurna dalam menghembuskan napas pembaharuan!" timpal Raden Yudakara mengangkat wadah tempat tuak tinggi-tinggi sehingga isinya tumpah ke wajahnya.
Ki Sunda Sembawa nampak kaget mendengar teriakan Raden Yudakara ini.
Penguasa Sagaraherang ini bahkan menatap tajam ke arah Raden Yudakara dengan penuh curiga. Namun pemuda bangsawan itu menanggapinya dengan tatapan yang sama pula.
"Maksud saya, pembawa kehidupan baru bagi Pajajaran, haruslah orang yang paling sempurna segalanya," kata Raden Yudakara akhirnya, masih menatap Ki Sunda Sembawa dengan tajam.
"Siapakah itu?" tanya Ki Sunda Sembawa penuh selidik.
"Ya, siapa lagi kalau bukan yang pada hari ini memiliki kekuasaan?" Raden Yudakara menjawab dengan sebuah pertanyaan pula.
"Bukankah itu aku?" tanya lagi Ki Sunda Sembawa menepuk dada sendiri.
Raden Yudakara masih menatap tajam wajah Ki Sunda Sembawa. Sesudah itu dia menyeringai dan diakhiri dengan tawa mengakak. Tangannya menyodorkan tempat tuak ke arah Ki Sunda Sembawa.
"Tuaknya penuh, jadi jangan sampai air tuak muncrat ke mana-mana. Itulah seorang sempurna, sanggup menghimpun seluruh kekuatan tanpa yang dihimpun bercerai-berai!" kata Raden Yudakara menyorongkan tempat tuak agar ditangkap Ki Sunda Sembawa sehingga permukaannya muncrat keluar dan kembali membasahi wajah pemuda itu.
Ki Sunda Sembawa serentak menerima tempat tuak namun dia tak berhasil menjaga air tuak tidak muncrat. Maka giliran wajahnyalah kini yang kena tumpahan.
Karena dua-duanya bernasib sama, lantas dua-duanya saling pandang beberapa saat dan saling mengumbar tawa. Purbajaya tak bisa menduga, tawa mereka menyiratkan apa. Apakah punya maksud dan arti yang sama atau masing-masing saling menilai keberadaannya"
Maka pertunjukan pun dilanjutkan lagi. Ki juru pantun mendayu-dayu lagi memaparkan kisah-kisah kepahlawanan ksatria Pajajaran.
"Itulah aku! Itulah aku!" teriak Ki Sunda Sembawa keras-keras sambil mengacungkan guci kecil berisi tuak.
Hampir menjelang dini hari, barulah pesta usai. Ki Sunda Sembawa dipapah dari bale kambang oleh dua orang prajurit. Sementara para bawahannya bergeletakan ketiduran di lantai, tidak pria tidak wanita.
Raden Yudakara pun pulang meninggalkan bale kambang dengan dipapah dua orang.
"Biarkan aku jalan sendiri! Biarkan aku jalan sendiri! Aku sanggup berdiri tegak tanpa dibantu siapa pun!" teriaknya menepis bantuan orang.
"Biarkan dia jalan sendiri," kata Purbajaya yang mengawal di belakangnya.
Namun karena tubuh Raden Yudakara beberapa limbung dan hampir masuk kolam, Purbajaya terpaksa memapahnya. Di sepanjang jalan, Raden Yudakara berceloteh sambil sesekali tertawa sendirian.
"Hahaha! Dasar dungu! Tak akan ada tikus bernyali harimau. Sekali tikus tetap tikus! Heh, atau dia bukan tikus sebab badannya memang gede. Keledai cukuplah. Tubuhnya gede tapi dungunya tak ketulungan. Hahaha!" celoteh Raden Yukadara tak berketentuan.
Rumah panggung di mana Raden Yudakara istirahat terletak agak terpisah dari yang lainnya, sehingga agak lega ocehan ngawur Raden Yudakara tidak didengar penghuni puri ini. Ya, ocehan pemuda bangsawan ini bisa membuat penghuni puri marah sebab Purbajaya mengerti kalau Raden Yudakara tengah menyumpahi Ki Sunda Sembawa.
Namun dari sini saja sebetulnya Purbajaya sudah harus mengerti, kendati dua orang itu kerabat dekat dan sepertinya bahu-membahu, tapi di hati kecil mereka masing-masing sedang memiliki ambisi tersendiri. Ambisi untuk kepentingan sendiri tapi membonceng kepada kekuatan lain. Ya, betapa tak begitu. Ki Sunda Sembawa membutuhkan pasukan besar dari Carbon, begitu pun yang dilakukan Raden Yudakara. Pasukan selalu dikaitkan dengan pertempuran. Tidakkah kedua orang itu memang punya cita-cita untuk menggempur Pakuan guna kepentingan masing-masing"
Bab 15 Purbajaya berdebar memikirkan hal ini. Benarkah Ki Sunda Sembawa akan membawa pasukan kedayo (ibukota) Pajajaran" Betulkah Pakuan akan diserbu" Siapa yang akan menyerang, jelas bukan Carbon namun mereka terkesan amat membutuhkan bantuan Carbon. Atau dengan kata lain, serbuan ke Pakuan harus dilakukan Carbon sehingga Carbon yang bertanggungjawab namun mereka berdua yang memetik keuntungannya. Benarkah begitu cita-cita mereka" Mereka" Siapa pula yang dimaksud "mereka" ini" Benarkah hanya Ki Sunda Sembawa dan Raden Yudakara saja"
Bila menyimak percakapan mereka, sepertinya hanya Ki Sunda Sembawa tokoh utamanya. Namun Raden Yudakara pun sepertinya memiliki cita-cita pribadi yang sama pula. Di saat dalam keadaan mabuk berat seperti ini, Raden Yudakara terus mengoceh membuat hati Purbajaya terkejut.
"Hahaha! Dasar dungu. Cobalah lihat, siapa penguasa sebenarnya. Hahaha!" celotehnya lagi.
Saking mabuknya, akhirnya Raden Yudakara tak sanggup berdiri lagi. Dia ambruk di tengah jalan.
Purbajaya hendak mencoba membangunkan tubuh pemuda itu, ketika secara tiba-tiba ada desiran angin di hadapannya. Dan dengan terkejut Purbajaya melihat ada seseorang berdiri di sana. Dia seorang lelaki tegap, berdiri dengan kaki terpentang lebar.
Purbajaya tak kenal, siapa lelaki ini karena cahaya bulan tak sanggup menerangi wajah orang itu. Hanya yang jelas, dia berpakaian jubah dan sorban kepala, seperti biasa dipakai ulama Carbon.
"Siapa anda?" Purbajaya bertanya sambil siap-siap menjaga kemungkinan yang tak diharapkan.
Raden Purbajaya mencoba tengadah dan coba menyipitkan matanya agar bisa meneliti siapa yang datang.
"Aku Rangga Guna," jawab lelaki asing itu.
"Rangga Guna" Aku pernah dengar namamu. Kau adalah murid Ki Darma dan seperti gurumu, kau pun dikejar-kejar penguasa Pakuan karena dianggap membangkang dan suka mengkritik Raja," kata Raden Yudakara dengan suara parau.
Purbajaya terkejut dan mengeluh. Kalau orang ini murid Ki Darma pasti akan mengganggunya.
"Minggirlah, kau pemberontak!" kata Raden Yudakara.
"Tidak disenangi Raja bukan berarti pemberontak sebab aku tetap cinta Pajajaran dan akan membela Pajajaran," jawab Ki Rangga Guna menegaskan.
Purbajaya semakin bersiap untuk menghadapi hal-hal tak diinginkan.
"Tapi kau sudah ikut agama baru, kan?"
"Betul ... "
"Nah, kalau begitu, mari kita hancurkan Pajajaran. Kemudian di atas puing-puingnya kita dirikan kehidupan baru," kata lagi Raden Yudakara. Kepalanya tak mau diam, mungkin menahan pusing karena mabuk yang berat.
"Tatanan negri Pajajaran sudah bagus. Kerajaan Sunda yang kemudian berlanjut menjadi Pajajaran, telah hidup sejak tahun 669. Kini usianya sudah lebih dari delapan ratus tahun. Tidak mudah sebuah negri bisa berumur ratusan tahun seperti ini, kecuali punya tatanan yang kuat. Kalau pun sekarang sedang sakit, itu karena para pemegang tampuk pemerintahannya sedang sakit. Orang sakit harus disembuhkan dan bukannya dibunuh atau dihancurkan. Kalau kini Pajajaran sedang sakit, maka aku ingin menyembuhkannya dengan tatanan agama baru. Aku ingin agama baru berkembang di Pajajaran dan Pajajaran menjadi besar karena agama baru ini," kata Ki Rangga Guna panjang-lebar.
Raden Yudakara tidak mengiyakan atau menolaknya. Yang terdengar hanya kekehnya saja.
"Bagus juga jalan pikiranmu. Dan aku akan dukung itu asal engkau pun mendukungku. Kau boleh pertahankan Pajajaran dengan tatanan agama baru, tapi akulah kelak penguasa Pajajaran," kata Raden Yudakara sambil tertawa-tawa kembali.
"Pajajaran sudah sakit karena banyak diperebutkan orang-orang penuh ambisi. Engkau akan kuhalangi bila berniat menerjang Pajajaran," kata Ki Ranga Guna dengan suara mengancam.
"Ouw, begitukah" Aku ingin tahu sejauh mana kehebatan ilmu yang dimiliki murid Ki Darma ini," kata Raden Yudakara sambil bangkit namun dengan limbung.
"Akulah penguasa pembaharuan. Ayo, lawanlah aku!" tantang Raden Yudakara bertolak pinggang.
Namun hanya satu gerakan tangan kiri, angin deras berdesir dan tubuh Raden Yudakara terlontar ke belakang, hampir mencapai empat depa, jatuh berdebuk.
"Pajajaran terlalu besar untukmu. Negri ini tak membutuhkan orang sombong tapi tak punya kepandaian apa-apa," ejek Ki Rangga Guna. Dan sesudah menatap sebentar, lelaki itu menghilang di balik rimbunnya pohon.
Purbajaya terpana saking kagetnya. Peristiwa ini begitu cepat terjadi sehingga Purbajaya tak bisa berbuat apa-apa.
Ki Rangga Guna sungguh hebat. Raden Yudakara yang menurut penilaian Purbajaya memiliki ilmu tinggi, hanya dalam satu gebrakan saja tubuhnya terlontar ke belakang bagaikan daun kering tertiup angin. Melihat ini, Purbajaya bergidik. Kalau muridnya saja demikian tinggi ilmunya, apalagi gurunya. Pantas saja di Cakrabuana Ki Darma tak punya selera untuk ambil bagian dalam perkelahian. Barangkali pertempuran seru antara pasukan Carbon dan pasukan Pajajaran waktu itu, hanya berupa permainan anak kecil belaka dalam pandangan Ki Darma.
Purbajaya memburu tubuh Raden Yudakara dan coba memeriksa kalau-kalau pemuda itu terluka parah. Namun sungguh aneh, tak ada luka sedikit pun di tubuh pemuda itu. Buktinya, Raden Yudakara sudah bangkit sendiri dan tetap tertawa-tawa.
"Sialan Si Rangga Guna. Dia mempermainkan aku di saat aku tak berdaya ..." celotehnya sambil disambung oleh kekehnya lagi.
Kembali hati Purbajaya terkejut. Bagaimana mungkin Raden Yudakara tidak menderita luka sedikit pun padahal angin pukulan Ki Rangga Guna begitu keras" Ini bukan tubuh Raden Yudakara yang kuat, melainkan Ki Rangga Guna pandai mengatur tenaga dalam yang dikeluarkannya. Keras tapi tak memukul. Sungguh hebat. Jarang orang memiliki ilmu seperti yang diperagakan Ki Rangga Guna ini.
"Ayo kita tidur, Purba ..." kata Raden Yudakara melangkah gontai.
Namun ketika tiba di depan pintu, serta-merta pemuda itu menendang daun pintu dengan amat marahnya dan daun pintu berantakan.
"Sialan kau Rangga Guna! Kau hina aku! Kau rendahkan martabatku!" Raden Yudakara marah-marah dan menendang apa yang bisa dia tendang. Dia memang marah. Namun dalam kemarahannya ini terselip nada kesedihan yang sangat. Mungkin pemuda ini sedih dan kecewa karena dipermalukan Ki Rangga Guna.
"Purba, jawablah! Apakah aku terlalu lemah untuk menguasai Pajajaran?" tanyanya tiba-tiba. Ini mengejutkan Purajaya sebab dia tak punya persiapan untuk menjawabnya.
"Ayo jawab, kalau tidak, kau akan kubunuh!" teriak pemuda aneh itu.
"Saya belum punya jawaban sebab saya baru kali tahu kalau Raden punya cita-cita besar dalam menguasai Pajajaran," jawab Purbajaya tak langsung.
"Ya, sekarang kau telah tahu. Jadi apa pendapatmu?" desak pemuda itu.
"Saya belum tahu kekuatan Raden yang sebenarnya," jawab pula Purbajaya.
"Dasar orang dungu. Dengarkan, kekuatan itu bukan terletak pada kepalan tangan, melainkan pada isi kepala ini. Jangan kau sangka Si Rangga Guna orang pandai hanya karena dalam satu gebrakan melumpuhkanku. Seekor kerbau pun bisa menubruk mati orang sepertimu, namun tak berarti bahwa kerbau itu punya otak dan memiliki kecerdikan. Makanya engkau harus percaya aku. Apa yang aku pikirkan, tak pernah orang lain pikirkan. Itulah kelebihanku," kata Raden Yudakara percaya diri.
Namun baru saja bicara begitu, pemuda itu segera meraung-raung seperti orang menderita kepedihan yang hebat. Purbajaya hampir sedikit panik melihat perilaku aneh pemuda ini, apalagi Raden Yudakara berteriak-teriak sambil menjambak-jambak rambutnya sendiri. Purbajaya khawatir, orang-orang akan datang kalau mendengar teriakan ini. Namun untunglah, rupanya semua penghuni puri sudah dibius pesta semalam. Semua pulas karena mabuk.
"Sialan kau Rangga Guna edan! Hati-hati kau. Kalau Pajajaran runtuh, maka satu-satunya yang pertama aku bunuh adalah engkau!" teriak Raden Yudakara berkali-kali.
Purbajaya tahu, pukulan Ki Rangga Guna tidak menyakitkan. Namun penghinaannya itulah yang membuat Raden Yudakara terlolong-lolong bagaikan srigala disakiti ini.
Setelah mengucapkan sumpah serapah kepada Ki Rangga Guna, Raden Yudakara nampak kecapaian sendiri. Lantas dia duduk termangu di lubang pintu dan matanya menerawang entah ke mana. Sesudah agak lama, dia tertawa-tawa lagi dan bersenandung dengan suara parau dan perlahan.
Kalau tak mendapatkan cahaya matahari
tidak apa cahaya rembulan pun
kalau tak mendapatkan cahaya rembulan
tidak apa tanpa cahaya pun
Hidup susah dicari
dan hidup mudah dicari
yang susah kalau bertahan dengan kejujuran
yang mudah kalau penuh keberanian
Bukan berpikir untuk esok hari
namun berpikirlah esok
sebab yang namanya hidup
adalah hari ini.
Lantunan itu benar-benar parau dan tak punya nada teratur. Kalau orang lain ada yang dengar, mungkin sudah mual menyimaknya. Purbajaya pun sebal. Namun dia sudah terbiasa dengan lantunan gombal tak bertanggungjawab secara kemanusiaan ini. Ya, inilah karakter Raden Yudakara. Ambisius dan serba oiptimis karena segalanya tak perlu dipertautkan dengan harga diri dan kemanusiaan.
Lantunan yang tak enak didengar itu kian lama terdengar kian lemah sampai akhirnya hilang sama sekali dan tergantikan oleh dengkurnya. Sungguh hebat, pemuda itu sudah terbebas dari penderitaannya karena dengkurnya mudah muncul.
*** YANG puyeng adalah Purbajaya. Betapa sesudah kejadian tadi, hatinya jadi tak tenang. Pertama kali dikejutkan oleh kenyataan kalau tindak-tanduk Raden Yudakara selama ini sama sekali tak ada kaitannya dengan kepentingan Carbon, atau bahkan dengan ambisi yang dimiliki Pangeran Arya Damar, kecuali pemuda ini hanya ingin memanfaatkan kekuatan orang lain untuk kepentingan ambisinya.
Dia berupaya dengan berbagai akal dan tipu-muslihat agar para pengambil kebijakan di Pakungwati bisa memutuskan untuk mengirimkan pasukan guna menyerang Pakuan. Dan barangkali dia pun terus memanas-manasi mertuanya sendiri, yaitu Pangeran Arya Damar yang ambisius agar melanjutkan tindakannya dalam menyerang Pajajaran.
Hari ini, dia malah memanasi Ki Sunda Sembawa agar merebut kekuasaan dari penguasa Pajajaran kini. Namun apa pun tindakan-tindakannya, kesemuanya pada akhirnya hanya akan diabdikan buat kepentingan dan cita-citanya sendiri. Sungguh berbahaya orang ini, pikir Purbajaya.
Cita-cita apakah ini" Sudah barang tentu cita-cita akan sebuah kepentingan yang menurut Raden Yudakara disebutnya sebagai rencana besar. Dengan ambisinya yang besar, Raden Yudakara ingin menguasai Pajajaran.
Memang betul ini rencana besar, sekaligus juga rencana gila. Raden Yudakara ingin menyaingi ambisi siapa pun yang tengah memiliki ambisi. Kalau Pangeran Arya Damar hanya punya ambisi meruntuhkan Pajajaran secara militer karena kelak dia menginginkan sebuah penghargaan, Pangeran Suwarga hanya ingin menundukkan Pajajaran dengan pendekatan agama, maka Raden Yudakara ingin menguasai Pajajaraan untuk kepentingan sendiri.
Sungguh sebuah keinginan gila. Pemuda ini tengah bermain api. Bunga api memercik, bahayanya akan muncrat mana-mana. Tapi Raden Yudakara memang berani menantang bahaya. Dan orang yang berani menantang bahaya karena sadar punya kekuatan.
Purbajaya berpikir, bisa jadi benar Raden Yudakara memiliki kekuatan. Paliing tidak, dia punya kekuatan untuk mempengaruhi orang. Pangeran Arya Damar bisa tunduk di bawah pengaruhnya. Pasukan Siluman Nyi Rambut Kasih yang para anggotanya rata-rata memiliki kepandaian tinggi pun bisa dia pengaruhi. Atau paling tidak, pemuda itu pun pandai bergayut kepada kekuatan lain.
Sepertinya dia ingin membantu kekuatan lain untuk ikut mendorong cita-cita orang itu, padahal sebetulnya dia tengah berupaya menggiring orang agar bisa dimanfaatkan untuk ambisi pribadinya sendiri. Begitu hebatnya Raden Yudakara mempengaruhi orang, sehingga semuanya bisa dia kendalikan, seperti kerbau dicocok hidungnya.
Purbajaya bingung namun sekaligus juga sebal. Semakin hari semakin kentara, betapa selama banyak menganal orang, banyak pula perilaku yang dia kenal. Dalam urusan Pajajaran ini saja, Purbajaya jadi mengenal macam-macam ambisi orang. Taruhlah Ki Sunda Sembawa. Hanya karena dia kerabat dekat penguasa Pajajaran, lantas dia tepuk dada sendiri kalau yang paling berhak menguasai Pajajaran adalah dirinya sendiri.
Dia semakin bersemangat untuk mensukseskan ambisinya karena ada pihak lain yang mengaku mau melicinkan jalan ke arah cita-citanya. Maka kenallah Purbajaya dengan nama Ki Banaspati. Namun siapa pula dia" Purbajaya hanya diberi tahu kalau orang ini adalah tokoh penting di Pakuan. Dia adalah pejabatmuhara (petugas penarik pajak) di wilayah timur dan punya peranan besar dalam memakmurkan pemerintahan dari hasil penarikan pajak, padahal wilayah timur Pajajaran adalah wilayah rawan karena pengaruh musuhnya (Carbon) demikian terasa.
Kalau Ki Banaspati sanggup melakukan pekerjaan dengan baik, hanya punya arti dia bekerja dengan sungguh-sungguh untuk negara. Tapi mengapa tokoh sepenting ini malah mau membantu pihak lain yang ingin merebut kekuasaan negri"
Purbajaya jadi tak mengerti makna hidup. Dalam mengarungi kehidupan ini, sebenarnya apa yang dimaui orang" Di Carbon negrinya sendiri, acapkali dia melihat ada orang menjelekkan pemerintah karena dia merasa tersisih dan dirugikan kepentingannya oleh pihak penguasa. Orang-orang yang tak puas oleh pergantian agama dari agama lama ke agama baru juga sembunyi di hutan, memisahkan diri dari keramaian dunia, atau memusuhi penguasa yang baru. Mereka mencari bahaya karena berani melawan penguasa.
Untuk hal-hal seperti ini, di mana orang bereaksi berpaling kesetiaannya karena merasa dirugikan, Purbajaya bisa memaklumi. Namun perilaku yang diperlihattkan oleh sebagian orang lagi, sungguh Purbajaya tidak mengerti. Taruhlah contoh sikap yang diperlihatkan oleh Raden Yudakara, Ki Sunda Sembawa atau Ki Banaspati yang Purbajaya belum pernah jumpa itu. Mereka adalah orang-orang yang tengah dipercaya oleh para atasannya dan mereka pun dihargai dengan jabatan tinggi sesuai dengan pekerjaan dan kemampuannya.
Namun kenyataannya, mereka sepertinya tengah gelisah dan selalu berkutat memperjuangkan "nasibnya" dengan melakukan hal-hal bahaya yang bisa merusak reputasinya yang telah ada kini. Kehidupan apalagi yang mereka inginkan, yang menurut penilaian Purbajaya sebetulnya telah mapan ini"
Dan ingat mereka, Purbajaya jadi ingat dirinya. Sekarang, di tengah pergolakan ambisi ini, apa sebetulnya yang dikejar olehnya" Keuntungan ataukah bahaya"
Tugasnya memang tak pernah berubah, mencoba menyusup ke wilayah kekuasaan Pajajaran, yaitu Pakuan, seperti apa yang diamanatkan penguasa Carbon. Yang jadi atasannya pun tetap tak berubah, yaitu Raden Yudakara, seperti apa yang diamanatkan pihak penguasa Carbon. Namun benarkah tugasnya ini mulus untuk kepentingan negara, padahal dia curiga atasannya yang bernama Raden Yudakara ini telah membelokkan tujuan negara yang sebenarnya" Inilah mungkin bahaya bagi dirinya.
Belum lagi dia ingat pertemuannya dengan tokoh bernama Ki Rangga Guna. Orang ini mengakui kendati dimusuhi penguasa namun perjuangannya dalam membela Pajajaran tidak akan musnah. Dia akan melawan siapa saja yang diketahui akan mengganggu Pajajaran.
Pertemuan dengan tokoh ini hanya membuktikan bahwa kasak-kusuknya Raden Yudakara atau pun Ki Sunda Sembawa sebenarnya sudah diketahui oleh Ki Rangga Guna. Otomatis, keberadaan Purbajaya pun tak bisa mengelak dari incaran bahaya yang datang dari tokoh ini. Rencana penyusupan ke wilayah pusat kekuasaan Pajajaran paling tidak sudah diketahui oleh Ki Rangga Guna.
"Apakah Ki Rangga Guna akan menggagalkan rencana penyusupanku?" pikirnya seorang diri.
Purbajaya mengeluh. Bahaya memang mengancam dari mana-mana. Dia tak bisa mengelak dari tugas sebagai penyususp karena selalu berada di bawah ancaman Raden Yudakara, namun untuk melanjutkan pergerakan pun sudah diketahui lawan. Ya, akhirnya Purbajaya terperangkap di tengah-tengah. Lari dari tugas, dia sulit sembunyi. Pulang ke Carbon akan dituding sebagai pengkhianat, begitu pun kembali ke Sumedanglarang, akan dipertanyakan perihal korban-korban berjatuhan.
Boleh dikata, dari semua anggota muhibah ke Karatuan Talaga yang tak pernah tiba, semuanya telah tewas dan hanya dia sendiri saja yang selamat. Bagaimana dia bisa bertanggungjawab, padahal kematian semua anggota muhibah tak berketentuan. Mereka tewas oleh cara-cara yang amat memalukan walau pun macamnya berbeda-beda.
Melarikan diri ke wilayah Pajajaran" Ah, ini pengkhianatan lebih berat lagi. Kendati orang mengatakan dia punya darah Pajajaran namun Purbajaya mengatakan kalau dirinya adalah orang Carbon dan hanya mau mengabdi kepada kepentingan Carbon saja. Carbon adalah tanah airnya dan Paman Jayaratu adalah satu-satunya keluarganya. Tak ada kecintaan lain pada dirinya selain Carbon dan Paman Jayaratu. Walau pun dia sebal kepada Pangeran Arya Damar, juga kepada Raden Yudakara, namun Purbajaya tak menganggap bahwa mereka adalah figurwong grage . Dua orang itu tak mewakili karakter orang Carbon.
Hanya yang menyebalkannya, agar dia bisa menempatkan diri sebagai orang Carbon, maka dia harus selalu dekat kepada Raden Yudakara sebab hanya orang ini saja yang bisa "melindungi" dirinya dari tuduhan sebagai pengkhianat Carbon. Purbajaya pun bahkan memutuskan kalau dirinya tak boleh lepas dari genggaman pemuda aneh itu. Purbajaya menganggap, Raden Yudakara ini misterius dan membahayakan Carbon. Namun karena ini maka Purbajaya jadi ingin lebih tahu, sejauh mana pemuda itu merancang tipu muslihat dalam melicinkan jalan ke arah ambisinya. Kalau ternyata gerakan Raden Yudakara telah amat mendekati titik-titik rawan bagi Carbon, apa pun yang terjadi, Purbajaya harus memutuskan sesuatu demi keselamatan negara.
Namun tak dibantah oleh hatinya, bahwa Purbajaya ikut ke mana Raden Yudakara pergi pun berkenaan pula dengan kepentingan pribadinya sendiri. Benar atau tidak dia keturunan pejabat di wilayah Pajajaran, yang jelas khabar ini amat menggelitik hatinya dan membuatnya merasa penasaran. Ya, siapa pun akan merasa punya keinginan untuk mengetahui siapa orangtuanya. Sementara itu, Raden Yudakara mengaku tahu siapa orangtua Purbajaya. Jadi mau tak mau antara Rden Yudakara dengannya telah terjalin sesuatu yang intinya saling memerlukan. Purbajaya perlu Raden Yudakara karena berkaitan dengan penelusuran keluarga, sementara Raden Yudakara butuh tenaga Purbajaya untuk melicinkan kepentingan politiknya.
*** PURBAJAYA tak sempat tidur sebab pagi sudah menjelang. Baru saja dia menyelesaikan sembahyanag subuh, seorang prajurit Sagaraherang telah mengetuk daun pintu kamarnya.
Prajurit itu mengabarkan kalau Raden Yudakara telah bersiap akan pergi dan mengajak Purbajaya agar berkemas.
Benar saja, Raden Yudakara telah siap-siap. Kali ini dua ekor kuda gagah telah disiapkan Ki Sunda Sembawa.
"Aku harap kalian tidak mengalami gangguan di Pakuan nanti," kata Ki Sunda Sembawa mengantarkan sampai halaman rumah.
Raden Yudakara diberi bekal uang logam sepundi banyaknya. Lain daripada itu, Ki Sunda Sembawa pun membekali sebuah ikatan daun lontar yang diikat pita sutra wara merah.
"Surat apakah ini, Paman?" tanya Raden Yudakarta menerima sambil alis berkerut.
"Ini adalah surat untuk mempertemukan engkau dengan Ki Banaspati. Pejabat ini tak sembarangan terima tamu. Tapi bila dibekali surat dariku, dia akan mementingkannya. Kekuatanmu dan pengaruhmu di Pakuan akan berlipat kalau mau berkenalan dengan Ki Banaspati," tutur Ki Sunda Sembawa bangga dengan nama itu.
Walau dengan sedikit kerut di dahinya, Raden Yudakara menerima lipatan daun lontar dengan penuh hormat.
"Hati-hatilah ... " untuk ke sekian kalinya pejabat Sagaraherang ini memberikan amanatnya.
"Tentu, saya akan hati-hati, Paman ... " jawab pemuda itu.
Keduanya saling pandang dengan penuh arti. Namun Purbajaya tak memahami arti makna ini. Bisa saja dua-duanya saling memberikan pengertian sama, namun bisa juga masing-masing berbicara dengan maksud sendiri-sendiri. Apalagi isi hati Raden Yudakara susah diduga. Apa yang dikatakan, belum tentu itu yang dimaksud.
Keyakinan Purbajaya terbukti tak lama kemudian. Setelah kuda mereka mencongklang agak jauh dari wilayah kota, serta-merta Raden Yudakara menghancurluluhkan bekal surat yang diberikan Ki Sunda Sembawa.
"Mengapa kau hancurkan, Raden" Bukankah dengan surat itu perjalanan kita di Pakuan agak lebih lancar?" tanya Purbajaya tapi dengan nada biasa karena sudah tak heran akan keganjilan jalan pikiran Raden Yudakara.
"Ah, aku benci orang bernama Ki Banaspati. Siapa pun dia, aku tak mau tunduk di bawah pengaruhnya."
Purbajaya termangu-mangu. Jelas di sini, apa pun terjadi, Raden Yudakara hanya inginkan dialah nomor satu. Bukan dia yang memohon pada orang lain, melainkan, orang lainlah yang harus tunduk ke padanya. Raden Yudakara mungkin punya firasat kalau Ki Banaspati bukan sekadar bertindak sebagai pemberi semangat semata, melainkan jauh lebih dalam dari itu. Barangkali Raden Yudakara menganggap kalau kehadiran Ki Banaspati tak ubahnya sebagai pesaing yang membahayakan kedudukannya.


Kemelut Di Cakrabuana Karya A Merdeka Permana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

*** Perjalanan menggunakan kuda tentu jauh lebih cepat ketimbang dengan berjalan kaki. Tenaga pun bisa dihemat dengan baik. Oleh karena itu, perjalanan menuju wilayah Tanjungpura tidak terlalu sulit dan tidak pula terasa lelah. Apalagi dari Sagalaherang menuju Tanjungpura, perjalanan selalu melalui dataran rendah dan tidak banyak lewat pegunungan. Hanaya saja jalanan pedati di wilayah ini terdiri dari tanah merah dan berdebu bila kemarau seperti ini. Kalau kaki-kaki kuda berlari agak cepat, maka akan menimbulkan debu-debu yang beterbangan di belakangnya.
Ketika memasuki kampung di mana ada orang lalu-lalang, Raden Yudakara tidak mau mengurangi kecwepatan lari kuda. Maka takayal terdengar sumpah-serapah karena debu beterbangan ke wajah pejalan kaki. Purbajaya merasa tak enak hati. Namun dia pun terpaksa ikut memacui kuda cepat-cepat takut jalannya tertinggal.
Di sepanjang jalan Raden Yudakara tak banyak berceloteh. Kerjanya memacu kuda keras-keras seperti orang dikejar setan. Mungkin ada sesuatu yang diburu, mungkin juga kesal karena ingatannya tentang Ki Banaspati.
Tidak makan waktu sampai dua hari, kuda yang dipacu cepat sudah tiba di wilayah kerajaan kecil bernama Karawang. Sementara Tanjungpura sendiri berupa wilayah yang dipimpin oleh seorangkandagalante (pejabat setingkat wedana kini).
Tanjungpura ini memiliki wilayah yang luas. Ke sebelah barat dibatasi Sungai Citarum dan ke utara berupa lautan perhumaan. Dulu sebelum wilayah pesisir dikuasai Carbon, maka pesisir dan laut pun adalah wilayahnya juga. Namun kini, Tanjungpura hanya punya lautan huma saja dan akan berubah jadi payau dan rawa di saat musim penghujan.
Dulu ketika Tanjungpura masih memiliki wilayah seutuhnya, sungai Citarum benar-benar menjadi wilayah perdagangan air yang amat maju. Hasil dari wilayah selatan (pegunungan) dibawa berlayar sampai ke Ujung Karawang dan dijual atau ditukar dengan barang dagangan milik bangsa asing seperti Portegis, Cina, Campa (Kamboja), Madagaskar, Parasi (Parsi, Iran kini) atau negri-negri sebrang seputar Nusantara. Atau sebaliknya, kaum pedagang di wilayah pesisir mengangkut hasil pesisir untuk ditukar dengan hasil dari wilayah selatan. Sekarang pelayaran di sungai Citarum tidak dilakukan secara utuh. Derasnya dan lancarnya alunan sungai Citarum seperti terputus dan tak sampai menuju wilayah Ujung Karawang karena garis politik telah memisahkannya.
Sampai sekarang, wilayah Tanjungpura tetap menjadi wilayah "panas" sebab selalu terjadi tarik-menarik pengaruh antara Carbon dan Pakuan. Hal ini terjadi karena Tanjungpura berada di daerah utara yang potensil untuk jalur ekonomi internasional. Pajajaran tetap bertekad agar wilayah ini tetap berada di bawah pengaruhnya. Sementara Carbon pun berupaya agar sedikit sedikit pengaruh yang sudah masuk di wilayah pesisir bisa semakin merembes ke wilayah pedalaman (selatan). Tanjungpura dan Karawang strategis karena alus sungai Citarum itulah.
Sementara sungai lebar itu kini dianggap benteng alam bagi wilayah Pakuan. Bila Citarum seutuhnya bisa dikuasai Carbon, maka satu "benteng" bisa ditembus. Sungai Citarum adalah jalur lalulintas menuju pedalaman. Kalau sungai ini dikuasai Carbon, artinya wilayah pedalaman Pajajaran bisa dikuasai. Padahal tak mudah menguasai wilayah pedalaman di wilayah barat ini. Itulah sebabnya, Purbajaya dikirim menyelusup ke wilayah barat. Tugasnya adalah membantu para penyelusup yang lainnya agar ikut "membobol" wilayah-wilayah pedalaman ini.
Namun ketika memasuki wilayah ini, tidak terlihat hal-hal istimewa. Di pasar orang sibuk dengan urusan ekonomi. Mereka mengadakan tukar-tukar menukar barang atau mengadakan transaksi jual-beli bagi pedagang besar yang memiliki persediaan uang logam, baik uang logam Portegis, Cina atau negri-negri lain.Penduduk yang bukan pedagang pun tidak terlihat risau dalam melakukan kegiatan lainnya. Nelayan dengan senangnya mengambil ikan di rawa atau di sungai, petani pun damai menanam padi di huma. Mungkin hanya masyarakat yang kenal politik saja yang risau. Mereka menjalani hidup ini dengan penuh waswas dan curiga. Setiap saat mereka musti bercuriga kepada siapa saja. Bisa bercuriga kepada pedagang yang datang dari pesisir, bisa juga bercuriga kepada nelayan yang mengarungi sungai Citarum, dan menyangka mereka adalah bekerja ganda sebagai mata-mata.
Mereka bercuriga ke sana ke mari karena sadar Tanjungpura dan Karawang seluruhnya sedang dijadikan ajang rebutan pengaruh antara yang tengah mempertahankan dengan yang ingin merebut. Sementara karena wilayah ini amat berdampingan dengan wilayah batas, maka sulit dibedakan, mana yang benar-benar penduduk asli dan mana yang datang dari wilayah utara. Mana orang-orang utara yang benar-benar pedagang dan mana pula yang hanya datang karena urusan politik.
Penguasa Tanjungpura tidak bisa bekerja pukul rata, misalnya orang utara tak boleh masuk selatan atau pun sebaliknya. Karena mereka butuh perdagangan, maka hal-hal yang bersifat ekonomi lebih dipentingkan. Dan karena hal ini, nampaknya orang-orang Pajajaran tidak bersikap atau berupaya membuat pencegahan, melainkan hanya melakukan tindakan bagi yang terbukti membuat kekisruhan politik saja.
Tentu saja ini amat menguntungkan Purbajaya yang datang ke wilayah ini tidak secara khusus. Apalagi bagi Raden Yudakara yang dikenal sebagai pemuda tukang melancong dan terbiasa keluar-masuk wilayah ini. Beberapa pedagang besar yang sempat dia temui di pasar bahkan ada mengenal Raden Yudakara sebagai kemenakan dari pejabat Sagaraherang.
Namun demikian, Purbajaya harus tetap hati-hati. Tokh bagi dirinya, Pajajaran adalah wilayah yang baru dikenalnya. Kalau tak perlu benar, dia jarang bicara.
"Engkau akan kuperkenalkan dengan salah seorang kerabatmu, Purba ... " kata Raden Yudakara sambil membelokkan arah kuda menuju ke jalan simpang lebih kecil. Jalanan itu penuh bebatuan bercampur tanah merah.
Berdebar hati Purbajaya. Ini memang janji Raden Yudakara, bahwa bila Purbajaya ikut padanya, maka akan diperkenalkan kepada kerabat-kerabatnya.
Siapakah yang jadi kerabatnya itu" Hubungan keluarga sebagai apa dengannya" Purbajaya begitu bergairah untuk segera mengetahuinya.
"Engkau akan bertemu dengan paman misanmu sendiri ... " kata Raden Yudakara seperti ingin membantu rasa penasaran di hati Purbajaya.
"Maksud Raden, adik ayahandaku?"
"Ya, tidak persis begitu. Namun Ki Jayasena benar-benar merupakan kerabat dekatmu yang tersisa oleh ... "
"Maksud Raden yang tersisa oleh peperangan antara Carbon dan Pajajaran, bukan?" sambung Purbajaya karena Raden Yudakara terlihat ragu-ragu membicarakannya.
"Benar. Tapi maafkan mertuaku ... " gumam Raden Yudakara tersenyum pahit.
Purbajaya menerimanya dengan senyum kecut.
"Tidak ada urusan pribadi di sini. Mertuaku Pangeran Arya Damar berjuang melaksanakan misi negara dan ayahandamu berjuang membela serta mempertahankan negri. Kesalahannya mungkin terletak pada siapa kalah dan siapa menang saja," Raden Yudakara mencoba meluruskan persoalan.
Namun Purbajaya masih tersenyum kecut. Bukan saja karena karena urusan peperangan yang melibat dua negri yang telah menewaskan ayahanda dan keluarganya, namun juga karena mendengar sebutan "mertua" yang diucapkan Raden Yudakara untuk Pangeran Arya Damar. Dia tersenyum kecut sebab dengan demikian, Raden Yudakara hanya mengingatkan perihal keculasannya kepada Purbajaya dalam urusan Nyimas Waningyun. Ya, bukankah pemuda pecumbu gadis ini telah "merebut" cinta Nyimas Waningyun dari genggaman Purbajaya"
Purbajaya berpikir, betapa sebenarnya Raden Yudakara tak pernah memiliki perasaan bersalah terhadap tindakan apa pun yang sebenarnya bisa melukai hati orang. Purbajaya khawatir, kalau orang-orang yang hanya bergelut dengan urusan dan kepentingannya sendiri bisa menguasai dunia, maka isi dunia akan kacau oleh peperangan dan ketidakadilan. Kalau orang seperti Raden Yudakara diberi keleluasaan berkuasa maka kemelut akan terus terjadi sebab dia selalu tak pernah punya rasa bersalah atas tindakan-tindakan yang merugikan orang lain.
"Singkirkan perasaan pribadimu. Engkau adalah milik negara, maka hanya negara yang harus engkau pikirkan, Purba ... " kata Raden Yudakara memecahkan lamunan Purbajaya.
Purbajaya tersenyum kecil. Aneh rasanya, orang seperti Raden Yudakara bisa memberi "petuah" sebagus ini. Namun berbareng dengan pujian ini, hatinya pun merasa bergidik. Begitulah mungkin orang yang tak pernah introspeksi kepada perilakunya sendiri. Karena tak pernah sadar akan kekeliruannya, maka dia tak akan malu-malu memberikan nasihat kepada orang lain sepertinya dirinya orang benar dan tak pernah cacat perilakunya. Purbajaya bergidik sebab orang seperti ini hanya melihat keluar saja.
Kitab Pusaka 15 Pendekar Kidal Karya Tong Hong Giok Jodoh Rajawali 34
^