Pencarian

Kemelut Di Cakrabuana 7

Kemelut Di Cakrabuana Karya A Merdeka Permana Bagian 7


Hanya orang lain yang terlihat banyak kekurangan dan banyak salah sehingga olehnya perlu dikoreksi dan perlu dinasihati, sementara dirinya dibiarkan lolos berbuat kesalahan karena dia tak merasakannya.
"Mari kita lanjutkan perjalanan, saya sudah terlalu kangen untuk bersua dengan satu-satunya kerabat saya, Raden ... " kata Purbajaya karena hatinya kesal dengan "nasihat" Raden Yudakara ini.
"Jalannya ke arah sini, Purba ... " kata Raden Yudakara membedal tali kekang kudanya. Dia memang belok ke simpang lainnya lagi.
"Kau nanti bisa bicara banyak. Kau akan tahu, siapa ayahandamu," kata Raden Yudakara di tengah perjalanan.
Berjalan beberapa lama melewati tanah luas beralang-alang, makatibalah di sebuah perkampungan kecil. Disebut kecil karena hanya terdiri dari beberapa rumah saja. Namun yang mencolok, dari kelompok rumah ini ada satu yang terlihat besar dan bagus. Rumah panggung cukup tinggi disangga kayu-kayu jati pilihan. Atapnya dari rumbia. Di depan ada beranda luas terbuka dan di tengahnya dipasang meja setinggi setengah depa. Purbjaya menduga, rumah besar ini milik Ki Jayasena yang disebut-sebut sebagai kerabatnya.
Untuk masuk ke perkampungan ini musti lewatlawang kori (gerbang) yang kalau malam mungkin ditutup rapat untuk menjaga diri dari gangguan binatang buas atau pun orang jahat.
Siang hari ini gerbang terkuak lebar sehingga Raden Yudakara dan Purbajaya leluasa memasuki halaman. Di sana segera disambut seseorang.
"Kami mau bertemu Ki Jayasena," kata Raden Yudakara.
"Kebetulan beliau ada di rumah. Mari saya antarkan," kata orang itu hormat sekali. Purbajaya mau ikut di belakang ketika tiba-tiba Raden Yudakara mencegahnya.
"Engkau tinggal dulu di sini, Purba," kata pemuda itu amat mengherankan Purbajaya. Dia berpikir, mengapa pertemuan dengan kerabatnya musti ditunda dulu. Padahal taka ada salahnya langsung dipertemukan saja.
Sementara Purbajaya berpikir begitu, Raden Yudakara sudah memasuki halaman rumah besar itu.
"Engkau bisa duduk menunggu dibalebesar , anak muda," kata penghuni yang akan mengantar Raden Yudakara.
Purbajaya yang sudah menambatkan kudanya segera menuju tempat yang sudah ditunjukkan, yaitu sebuah bangunan berupa paseban terletak di tengah tanah terbuka.
Orang itu tak berapa lama kemudian sudah datang dan menemani Purbajaya.
"Engkau datang dari mana, anak muda?" tanyanya. Tindak-tanduknya tak begitu menghormat seperti tadi. Barangkali dia sadar kalau yang perlu dihormat hanya Raden Yudakara saja. Purbajaya mungkin dianggapnyabadega (pelayan) Raden Yudakara, makanya disuruh tunggu di luar saja.
"Saya dari wilayah Sagaraherang," jawab Purbajaya singkat.
"Dia tadi majikanmu, ya?"
"Benar ... "
"Dia pejabat di Sagaraherang, ya?"
"Mana saya tahu?"
"Lho?"
"Saya belum begitu lama mengabdi padanya. Lagi pula, masa seorangbadega berani tanya ini-itu sama majikan?" Purbajaya berkata ketus karena jengkel ditanyai saja. Dia memang lagi jengkel. Rasanya tersinggung oleh perlakuan Raden Yudakara yang tak segera mempertemukan dirinya dengan Ki Jayasena, kerabatnya.
"Bekerjalah lebih lama pada majikanmu agar kau mendapatkan kemajuan," kata orang itu akhirnya.
Purbajaya menoleh.
"Bagaimana bisa bicara begitu, engkau kan belum kenal majikan saya?" Purbajaya heran dibuatnya.
"Aku hanya bisa duga saja, setiap yang berhubungan dengan Juragan Jayasena, pasti orang penting. Jadi aku pikir, yang bekerja pada orang penting, suatu saat hidupnya terangkat juga," jawab orang itu.
"Saya ini kerabat majikanmu," kata Purbajaya untuk menghapus rasa penasaran orang itu. Tapi diberitahu perihal ini, orang ini malah semakin penasaran. Matanya terlihat membelalak. Tahu rasa, kini kau harus membungkukkan punggungmu padaku, pikir Purbajaya.
Namun nyatanya, orang itu tak mengubah sikap, kecuali rasa herannya itu.
"Kok aneh, Juragan selama ini tak pernah bilang punya kerabat dari Sagaraherang atau dari mana pun juga. Lagi pula, kalau kau benar kerabat Juragan Jayasena, mengapa tak lantas masuk saja ke rumah beliau?" tanya orang ini menyangsikan sekali, membuat mulut Purbajaya cemberut karena tak dipercaya orang. Kermbali hati Purbajaya jengkel. Mau menerangkan, ceritanya bakal panjang. Lagi pula tak ada untungnya bicara pada orang ini.
"Aku putra penguasa Tanjungpura!" tandas Purbajaya agar orang itu jadi segan padanya. Namun kembali Purbajaya kecele. Ketika Purbajaya mengatakan hal ini, orang itu malah ketawa.
"Jangan ngaco kamu. Keluarga dari penguasa Tanjungpura tak mungkin keluyuran ke sini. Juragan Jayasena tak menyukai Kandagalante Subangwara," kata orang itu ketawa lepas.
"Dulu, dulu!" potong Purbajaya.
Orang itu sejenak menatap, tak mengerti ucapan Purbajaya.
"Maksud saya, saya ini anak kandagalante yang dulu."
"Dulu yang mana" Sejak dulu sudah belasan yang jadi penguasa wilayah ini," giliran orang itu yang jengkel karena Purbajaya dianggapnya bicara ngawur.
"Dulu ada kandagalante yang tewas saat diserbu pasukan Carbon" Nah, kau ingat, kan" Apalagi penguasa yang tewas itu adalah kerabat Ki Jayasena!" tandas Purbajaya jengkel.
"Kerabat?"
Keheranan orang itu tak bisa tuntas sebab Raden Yudakara keburu datang bersama seorang lelaki setengah baya berpakaian jenissantana (golongan masyarakat pertengahan). Yang membuat Purbajaya heran, lelaki itu datang sambil air mata deras bercucuran. Nampak sekali dia ingin dilihat orang kalau dirinya tengah menangis.
"Di mana kemenakanku" Di mana dia?" katanya tergopoh-gopoh mendekati Purbajaya.
"Oh, engkaukah Purbajaya" Benar, engkau rupanya kemenakanku!"
Purbajaya tak sempat menghindar ketika orang tua itu menubruk dan memeluk dirinya erat-erat. "Kau kemenakanku, kasihan nasibmu buruk. Oh, nasibmu buruk ... " lelaki itu menepuk-nepuk punggung Purbajaya.
"Dia Ki Jayasena, pamanmu sendiri, Purba. Berbaktilah kepadanya ... " ujar Raden Yudakara tersenyum tipis.
Ada sedikit ganjil memang. Namun apa pun, rasa haru ternyata menyelinap juga ke sanubari Purbajaya. Betapa tidak. Selama belasan tahun dia hidup, baru kali ini ada orang mengaku kerabatnya.
Lantas Purbajaya digandeng dibawa ke rumah besar. Itu adalah rumah yang tadi dikunjungi Raden Yudakara.
"Ini adalah peristiwa yang mengagetkan semua orang. Maafkan aku kalau kau tak langsung dibawa serta. Aku perlu menjelaskan secara rinci dan hati-hati agar tak mengagetkan dan juga agar kita dipercaya," kata Raden Yudakara seolah bisa menebak keheranan di hati Purbajaya.
"Memang tadinya sulit dipercaya. Aku sudah mengira kalau semua handai taulanku tewas dalam penyerbuan itu. Tak diduga masih tersisa kau. Maafkan aku. Kalau tak ada jasa Raden Yudakara, tak nanti kita bisa bertemu... " kata Ki Jayasena duduk dekat-dekat bersama Purbajaya.
Malamnya Purbajaya dijamu besar-besaran. Berbagai makanan dan minuman disediakan sebanyak-banyaknya.
Malam itu seisi kampung diundang hadir. Dan Purbajaya diperkenalkan sebagai keturunan satu-satunya dari Kandagalante Sura Manggala yang tewas dalam peperangan melawan Carbon, belasan tahun silam.
"Namun itu adalah peristiwa lama dan anak muda ini tak akan mengutak-atiknya lagi," kata Ki Jayasena. Ucapan ini menyiratkan maksud kalau masalah permusuhan dengan Carbon jangan dibesar-besarkan. Begitu arti ucapan yang tertangkap oleh Purbajaya.
Ki Jayasena ingin masalah dengan Carbon ditutup sampai di situ. Sebab kalau dibesar-besarkan, berarti Purbajaya punya niat "balas dendam" kepada Carbon. Dan kalau Ki Jayasena bicara begitu, hanya mengisyaratkan bahwa dirinya telah berkiblat pula ke Carbon.
Purbajaya tak berarti harus gembira dengan pernyataan ini. Pamannya ini sudah jadi orang Carbon, atau sekurang-kurangnya dia adalah orang Pajajaran yang hatinya telah berpaling ke Carbon. Namun siapakah yang mempengaruhinya" Purbajaya bisa tegar menerima kenyataan ini karena sejak kecil dia hidup dan dibesarkan dengan jiwa Carbon. Namun Ki Jayasena tetap berdiri sebagai orang Pajajaran. Amat mengherankan, kematian seorang saudara tidak menimbulkan kebencian kepada si penyebabnya bahkan sebaliknya dengan entengnya berpihak kepada lawan.
Purbajaya menduga kalau yang mempengaruhi Ki Jayasena ini adalah Raden Yudakara. Dan kalau benar begini, Purbajaya pun harus hati-hati. Ki Jayasena boleh jadi "saudara" tapi dalam politik tidak. Purbajaya merasa kalau Ki Jayasena walau pun berkata "Carbon" namun bukan berarti bekerja untuk kepentingan Carbon. Purbajaya yakin begitu karena melihat siapa yang berdiri di belakang Ki Jayasena ini.
Kebenarannya memang belum tentu begitu sebab Purbajaya baru menduga-duga saja. Namun demikian, Purbajaya akan menyelidikinya. Bila belakangan diketahui Ki Jayasena terseret pengaruh Raden Yudakara maka Purbajaya harus memperingatkannya.
*** PURBAJAYA masih sangsi akan kenyataan ini. Benarkah Ki Jayasena ini pamannya" Dia belum sepenuhnya percaya. Sikap Ki Jayasena mencurigakan. Purbajaya pernah memergoki Ki Jayasena marah habis-habisan kepada orang yang pernah ngobrol dengan Purbajaya di saat Purbajaya menunggu saat pertemuan dengannya. Purbajaya teringat, waktu itu pembantu Ki Jayasena heran ketika Purbajaya mengaku kerabat penghuni di sini.
Bahkan ketika disebutkan bahwa Ki Jayasena adalah kerabat ayahanda Purbajaya, pembantu itu pun heran. Sepertinya pembantu itu menyangsikan ucapannya ini. Dan Ki Jayasena memarahi pembantu itu karena masalah ini.
"Kalau kau banyak bicara lagi, kau akan kubunuh!" desis Ki Jayasena kepada pembantunya.
Purbajaya penasaran melihat peristiwa ini. Maka dia memutuskan untuk menemui pembantu itu. Namun sudah beberapa hari si pembantu tak kelihatan batang-hidungnya. Bahkan sepertinya orang itu lenyap ditelan bumi karena Purbajaya tidak bisa menemukan di mana dia berada. Purbajaya coba tanya sana-sini, tidak seorang pun berkata pernah kenal pembantu itu.
"Siapa sih namanya?" tanya seorang pembantu yang sempat Purbajaya tanyai.
Ditanya begini Purbajaya garuk-garuk kepala. Dia memang tak sempat mengetahui nama orang itu.
"Dia bertubuh gemuk, kumisnya jarang dan sudah beruban," kata Purbajaya menjelaskan. Namun yang ditanya hanya mengerutkan alis.
"Juragan Jayasena banyak memiliki pembantu. Kadang-kadang kerja belum begitu lama, sudah minta berhenti. Dengan begitu, kami tak sempat lama berkenalan dengan sesama pembantu," kata orang itu membuat Purbajaya kecewa.
Akhirnya pencarian dihentikan. Dia tanya sana-sini secara diam-diam karena tak mau dicurigai Ki Jayasena. Namun karena mengambil cara seperti itu, maka upaya pencarian semakin sulit. Pembantu yang dia cari, hilang misterius.
Namun ini bukan berarti Purbajaya putus asa. Hilangnya si gemuk berkumis jarang itu bahkan semakin menambah kecurigaan di hatinya. Rasanya seisi kampung ini bersikap aneh. Masa ada seorang pembantu yang hilang, seorang pun tak pernah mempertanyakannya.
*** KI Jayasena punya seorang anak gadis bernama Nyi Sumirah. Gadis ini sudah tak memiliki ibu karena sejak kecil telah ditinggal mati. Yang kaya dimiliki oleh gadis itu malah ibu tirinya. Kata penghuni di sini, bulan lalu Ki Jayasena baru saja melangsungkan pernikahan dengan gadis yang usianya sebaya putrinya. Herannya, Nyi Sumirah sendiri belum mau menikah. Usianya sudah cukup, sekitar tujuhbelasan. Padahal di tempat itu, banyak anak gadis usia dini sudah cerai-kawin beberapa kali.
Dalam beberapa hari saja, Purbajaya sudah kenal baik kepada Nyi Sumirah. Ternyata dia adalah gadis manja. Setiap hari kerjanya hanya ingin dilayani oleh inang pengasuhnya saja. Tak pernah mengerjakan pekerjaan yang bersifat kewanitaan kecuali bermain-main saja.
Nyi Sumirah pun banyak temannya, baik sesama wanita mau pun kaum pria. Dan nampaknya hubungan di antara mereka terlalu akrab dan hampir tak ada batasnya. Kalau bulan lagi purnama, katanya anak-anak muda di sini senang bergerombol saling bercengkrama.
Bab 16 Malam ini bulan lagi purnama. Purbajaya bisa menyaksikan, betapa di bangunan bernamabale gede banyak berkumpul pasangan remaja. Mereka mengobrol atau saling membuat lelucon dan yang pria menggoda yang wanita. Maka sebentar-sebentar terdengar kekeh dan tawa cekikikan. Ada juga selingan suara jeritan kecil wanita karena mungkin digoda pria.
Purbajaya tidak mau melibatkan diri ke sana. Terbayang kembali peristiwa buruk ribut-ribut sesama pemuda karena rebutan perhatian gadis. Itulah sebabnya, Purbajaya hanya menyaksikan saja dari tempat agak jauh.
Namun ketika dia tengah duduk-duduk di bale-bale dikejutkan oleh kedatangan seseorang. Ternyata Nyi Sumirah yang datang.
"Mengapa engkau memisahkan diri di sini?" tanya gadis itu dengan suara ketus.
Menerima kehadiran gadis ini sebenarnya hati Purbajaya merasa terganggu. Dia ingin menatap benderangnya cahaya bulan sambil mengawasi keceriaan anak-anak muda itu. Hatinya sudah terpuaskan karena pemandangan ini amat indah. Dan merasakan situasi ini, Purbajaya jadi ingat kenangan. Ya, cahaya bulan dan cinta baginya serasa sebuah perpaduan yang tak bisa terpisahkan. Hanya saja, bulan pun jadi kepedihan hatinya sebab dalam cahaya bulan ini cinta tak hadir dalam dirinya.
Sudah tak ada Nyimas Waningyun, sudah tak ada Nyimas Yuning Purnama. Pedih. Namun pedih dalam keindahan. Sebab kepedihan apa pun bila sudah menjadi kenangan, sebenarnya jadi terasa indah. Indah untuk direnungi sendiri tanpa siapa pun mengganggu. Sekarang malah Nyi Sumirah datang mengganggu. Sambil bicara ketus, lagi.
"Ada, Nyai?" tanya Purbajaya mengerutkan dahi.
"Engkau menyinggung perasaan orang lain, Purba ... " omel gadis itu masih cemberut.
"Saya" Menyinggung perasaan orang lain" Rasanya saya tak ganggu siapa pun. Dari tadi saya memisahkan diri di sini saja ..." jawab Purbajaya heran.
"Nah, itulah yanag membuat orang tersinggung. Melamun dan memisahkan diri dari yang lain, hanya membuat kegembiraan orang jadi terganggu. Bukankah itu menyinggung perasaan orang lain yang lagi gembira" Kau lihat petani miskin di daerah pesisir, betapa kemiskinan mereka mengganggu kegembiraan kita. Padahal kita yang hidup berkecukupan inginnya setiap waktu bergembira, tidak menyedih-nyedihkan diri kita sendiri atau pun tidak memelas karena melihat orang lain menderita. Tapi kalau aku sedang makan enak, lantas ada orang miskin lewat, selera makanku jadi berkurang. Dan aku terganggu sebab aku musti memberinya sedekah. Itu pula yang aku rasakan di saat aku lihat kau duduk termenung seorang diri. Serasa menggangggu kegembiraanku," kata Nyi Sumirah lantang.
"Jangan kau sombong hanya karena hidupmu bahagia, Nyai ..." kata Purbajaya tersenyum kecut.
"Bahkan aku rasakan, orang yang lagi menderitalah yang sombong!" tukas gadis itu membuat Purbajaya heran.
"Ya, banyak orang yang menyombongkan diri karena memiliki derita. Dia perlihatkan derita itu kepada semua orang. Dia katakan kepada orang lain kalau dirinyalah yang punya ependeritaan dan kepahitan hidup. Itulah sombong, disangkanya orang lain tak punya penderitaan. Kalau kau punya masalah hidup lantas memisahkan diri, apakah kau sangka aku yang senang bergembira dan senang berkumpul dengan orang lain ini tidak punya permasalahan hidup" Sombong sekali engkau ...." omel lagi Nyi Sumirah.
"Tapi Nyai ... "
"Maksudmu, penderitaanmu lebih besar dan lebih parah dari aku, begitu, ya" Nah, itulah kesombongan orang yang mengaku menderita," potong gadis itu tak memberi kesempatan Purbajaya berbicara.
"Malah saya tak punya penderitaaan apa pun, Nyai ..." Purbajaya memotong kalimat.
"Apalagi begitu, maka engkau semakin sombong juga!" tukas Nyi Sumirah tak memberi hati.
Purbajaya jadi serba salah untuk berdebat dengan gadis ini.
"Jadi saya musti bagaimana?" keluh Purbajaya akhirnya.
"Musti bagaimana, musti bagaimna. Ya, bergabunglah dengan kami, perlihatkan seolah-olah kau pun punya akewsatuan pendapat dalam hal kegembiraan di bulan purnama ini. Lagi pula kau musti gabung sabab ada seseorang ingin bertemu kau," kata Nyi Sumirah.
"Seseorang ...?"
"Ya. Sayang, ya ... "
"Mengapa sayang?"
"Kau saudaraku. Padahal kalau bukan, aku senang bercengkrama denganmu."
"Oh ... "
"Tapi kau bakal punya pasangan. Lihatlah dia datang!" kata Nyi Sumirah menunjuk seseorang yang datang. Seorang gadis.
Dia gadis rupawan. Wala hanya diterangi cahaya bulan, wajah gadis itu cantik. Mungkin kulitnya hitam manis sebab ketika terkena cahaya bulan, wajah itu tak putih pucat.
"Ini dia Nyimas Wulan. Purba, ayo kenalan dengannya!" Nyi Sumirah membetot tangan gadis yang baru datang dan ditempelkannya pada lengan Purbajaya. Sudah barang tentu Purbajaya melengos sambil tersipu malu. Gadis bernama Nyimas Wulan hanya tersenyum saja. Mungkin merasa lucu melihat Purbajaya tertunduk-tunduk malu.
"Ayo cepat kenalan dengan putri terkasih Juragan Ilun Rosa. Eh, kok seperti tikus takut kucing. Wulan, kenapa diam saja. Tadi kau cari-cari Purbajaya?" Nyi Sumirah terus menggoda keduanya"Hus, siapa bilang?"
"Nah, mau bohong, ya" Bila Purbajaya tak ada kau suka tanya sana-sini. Sekarang malah pura-pura tak butuh," kata lagi Nyi Sumirah.
"Ah ... bohong itu. Bohong itu!" Nyimas Wulan pura-pura marah menjadikan hati Purbajaya jadi canggung.
"Ah, kehadiran saya jadi mengganggu kalian. Saya mau pulang, ah ... " kata Purbajaya berjingkat karena selalu serba salah. Gadais-gadis Tanjungpura ternyata berani-berani dan amat menantang. Purbajaya tak biasa menghadapinya. Maka dia pilih pergi saja dari tempat itu.
"Hai jangan begitu. Sombong kau, ya?" lagi-lagi Nyi Sumirah mencercanya. Dan Purbajaya tak jadi pergi. Dia riskan dengan tuduhan sombong kepada dirinya itu.
Purbajaya kembali duduk di bale-bale tapi sambil hati tak enak sebab para pemuda di ruangan bale gede sudah terlihat memperhatikan dirinya.
"Saya mau pergi saja," Purbajaya kembali berjingkat. Dia takut disatroni para pemuda yang tersinggung karena terlihat "dikepung" dua gadis yang sebetulnya tadi tengah bergabung dengan mereka.
Untung saja dalam suasana serba kikuk itu hadir Raden Yudakara. Dengan demikian, keadaan agak berubah sebab pemuda pesolek ini mengambil-alih kendali percakapan. Namun demikian, Purbajaya timbul rasa sebalnya. Sudah pasti, bila pemuda ini berhadapan dengan wanita akan timbul penyakitnya.
"Oh hai, rembulan di atas sana sudah sedemikian indahnya ..."Raden Yudakara berpuisi dengan suara mendayu-dayu.
Para gadis yang mendengar buaian merdu ini pasti akan berbunga-bunga hatinya. Tapi tak demikian dengan Purbajaya. Dia sudah hapal betul taktik gombal pemuda hidung belang ini. Sebentar lagi pasti dia akan lanjutkan puisinya seperti ini." ... tapi indahnya rembulan tidak akan sanggup mengalahkan indahnya paras gadis-gadis ini ...."hati Purbajaya menduga.
Dan benar saja, Raden Yudakara berpuisi seperti itu.
" .... tapi indahnya rembulan tidak sanggup mengalahkan keelokan paras gadis-gadis ini ..."Raden Yudakara melantun dan mendayu. Dan Purbajaya melengoskan wajahnya ke samping.
"Tak sangka Ki Jayasena pandai menyembunyikan bunga-bunga indah di taman rumahnya ..." sambung Raden Yudakara. Kalimat indah ini pun jadi terasa sebal sebab bukan satu kali saja dia berkilah seperti ini. Mungkin dulu Pangeran Arya Damar terpikat sampai menyerahkan Nyimas Waningyun pun karena mendengar puisi gombal ini.
"Nyimas Wulan tidak tumbuh di taman pekarangan ayahanda, sebab dia adalah putri tunggal Juaragan Ilun Rosa," Nyi Sumirah menegaskan kalau di taman rumahnya bunga indah hanya dirinya seorang.
"Oh, ya" Nyatanya banyak pemilik halaman pandai menyemai bunga indah. Aku belum kenal Juragan Ilun Rosa. Namun wahai gadis berparas elok seelok rembulan, engkau semerbak, tubuhmu bertabur bintang. Kalau saja engkau belum dihinggapi kumbang ... "
"Hei, bukankah itu ucapanmu tadi malam padaku, Raden?" Nyi Sumirah mendelik marah.
"Oh, ya?"
"Oh,ya,oh,ya. Yang benar saja. Sebetulnya siapakah gadis yang engka puja, engkau puji dan engkau cintai itu" Aku ataukah yang lain-lainnya?" Nyi Sumirah berkata lantang sepertinya semua orang yang ada di situ bisa mendengarnya.
Keduanya bersilang pendapat. Maka sebelum mendengar lebih jauh pertengkaran ini, Purbajaya segera meninggalkan tempat itu. Dia semakin sebal kepada Raden Yudakara, sekaligus sebal pula kepada dirinya sendiri. Hanya karena kemampuannya yang terbatas saja maka selama ini dia tak bisa melepaskan diri dari kungkungan pemuda bangsawan aneh itu.
Tak dinyana, ketika dia berjalan sendirian, ada gerakan orang yang sepertinya mengikutinya dari belakangnya.
Purbajaya cepat menengok ke belakang,"Nyimas Wulan ... " katanya perlahan. Apakah gadis itu tengah mengikuti dirinya"
"Nyimas, kau mengikutiku?" tanya Purbajaya heran.
"Tidak, saya mau pulang ... " jawab gadis itu.
"Pulang" Purnama belum lagi sirna, pesta belum lagi usai dan teman-temanmu masih bergelimang kegembiraan, maka alangkah anehnya bila engkau malah memilih pulang," kata Purbajaya "menegur" gadis itu yang pulang duluan.
"Kau sendiri pun tak suka hura-hura. Kau bahkan angkuh dan sombong!" tukas gadis itu.
"Angkuh dan sombong?" Purbajaya melengak. Sudah dua orang gadis Tanjungpura yang menuduh dia berlaku sombong. Tadi Nyi Sumirah dan sekarang Nyimas Wulan. Karena heran, Purbajaya menghentikan langkahnya sehingga akhirnya mereka berdua bisa jalan berdampingan.
Bulan semakin benderang dan malam semakin indah.
"Saya tak mau diganggu Raden Yudakara, makanya lekas pulang," ujar gadis itu.
"Sendirian begini?"
"Mengapa tidak" Tak ada yang sudi mengantar saya pulang ..." jawab gadis itu.
Banyak gadis merasa bahagia disanjung Raden Yudakara, mengapa kau tidak" Padahal nampaknya Raden Yudakara menyenangimu dan kau pasti akan diantar pulang," kata Purbajaya menguji gadis itu. Karena jalanan agak berbatu, Purbajaya mencoba memegang tangan gadis itu untuk membimbing mencar jalan agak rata. Dan gadis itu balik memegang tanpa sungkan dan ragu.
"Gadis memang perlu disanjung. Tapi bila berlebihan seperti itu saya tak senang. Seorang gadis bahkan tak bakalan senang bila sanjungan dan pujian malah dibagi ke mana-mana," kata Nyimas Wulan. Dan Purbajaya mengangguk-angguk puas karena pemuda hidung belang itu dicerca gadis ini.
"Tapi saya pun tak menyenangi pemuda angkuh dan sombong,"kata gadis itu lagi melanjutkan.
Purbajaya merandek.
"Akukah itu?" tanyanya menuding hidungnya sendiri.
"Ya, mengapa tidak" Engkau pria sombong tak mau menegur gadis. Masa musti gadis duluan menegurmu?" tanya Nyimas Wulan.
"Aku berbuat seperti itu karena takut menyinggung perasaan orang lain," jawab Purbajaya. Dia tahu, beberapa pemuda Tanjungpura yang tengah berkumpul di sana sudah memperhatikan dirinya dengan penuh curiga dan perasaan tak senang ketika Purbajaya dikerubuti dua orang gadis sekaligus. Purbajaya musti hapal pengalaman, banyak pemuda benci dirinya karena disenangi gadis.
"Tapi saya malah tersinggung sikapmu. Sepertinya saya tak ada harganya di matamu," kata Nyimas Wulan dengan nada ketus namun manja.
Purbajaya melongo. Dia tak bisa mengerti kalau kelakuannya yang jujur dan sopan malah menyinggung perasaan gadis.
"Jadi, musti bagaimana?" tanyanya.
"Ya, gabung-gabunglah secara wajar. Kalau orang lain bersenda-gurau, maka ikutlah bersenda-gurau jangan seenaknya memisahkan diri."
"Kalau orang lain merayu wanita?"
"Ya ... Ah, kau ini dungu amat, sih?" Nyimas Wulan mencubit lengan Purbajaya keras sekali sehingga pemuda itu berteriak kesakitaan.
"Hai, lelaki malah teriak-teriak kesakitan. Bagaimana kalau ada orang lari ke sini mau menolongmu, apakah kau tega kalau saya dituding mengganggu dan menganiaya pria?" tanya gadis itu pura-pura cemas. Kepalanya celingukan ke sana ke mari sepertinya benar takut ada orang lain mendatangi tempat ini.
Wajah Purbajaya bersemu merah namun dengan tawa ceria. Baru kali ini dia tertawa karena melihat seorang gadis melucu.
"Gadis-gadis Tanjungpura gemar mengganggu pria, ya?" tanyanya.
"Ih,maunya!" sergah Nyimas Wulan sambil bersiap hendak mencubit lengan Purbajaya. Namun pemuda ini kali ini sudah siap-siap karena sudah menduganya. Maka dua pasang tangan saling berkutat. Yang satu hendak mencubit, lainnya hendak menghalau. Lantas keduanya terawa-tawa gembira.
Mereka berdua baru bertemu, baru berkenalan. Tapi dua-duanya sudah saling akrab. Melangkah pun sudah saling bergandengan tangan. Aneh rasanya. Purbajaya pun tak mengerti, mengapa ini bisa terjadi. Mungkin karena rasa akrab yang diberikan gadis itu, atau bisa juga karena naluri kelelakian Purbajaya yang haus akan kasih-sayang seorang gadis. Ketika secara berani gadis itu mengecup pangkal lengannya, pemuda itu pun dengan tak ragu berani membalasnya.
Purbajaya diantar pulang ke pekarangan rumahnya namun gadis itu akan masuk rumah secara sembunyi-sembunyi saja.
"Engkau sudah terbiasa keluar-masuk rumahmu secara sembunyi, Nyimas?" tanya Purbajaya heran.
"Siapa bilang?"
"Kalau begitu, mengapa tak berani jalan belakang?" tanya Purbajaya lagi.
"Saya pergi ke rumah Nyi Sumirah bersama sepupuku, Sedabanga. Sekarang malah pulang diantar lelaki asing. Coba, berani tidak engkau berhadapan dengan ayahandaku yang pemberang, sementara kau sudah berani pegang-pegang tangan saya?" tanya gadis itu sambil melihat pergelangan tangannya yang dipegang erat Purbajaya.
Purbajaya terkejut dan langsung melepaskan tangan gadis itu dengan wajah terasa merah karena malu.
"Nah, takut, ya" Jadi apalagi kalau musti ketemu muka,"Nyimas Wulan menakut-nakuti.
"Lantas, mengapa kau tak pulang bersama sepupumu itu?"
"Dia mabuk berat. Jangankan bisa jalan, duduk saja sudah oleng. Makanya saya pulang sendirian saja. Tapi, apakah engkau menyesal telah mengantar saya pulang?" katanya gadis itu.
"Ah ... Bukan itu maksudku, Nyimas ..."
"Kalau begitu, maukah kau mengantarku lagi?" Nyimas Wulan terus mendesak dengan pertanyaan susulan.
"Apakah engkau akan terus-terusan pulang malam, Nyimas?"
"Uh ... Baru segini saja sudah ngeluh. Apalagi kalau diperintah bertempur memperebutkan saya !" omel gadis itu cemberut."Yang benar saja, mana ada gadis keluyuran tiap malam?" lanjutnya ketus.
"Habis pertanyaanmu tadi, Nyimas ...?" Purbajaya gagap karena gadis ini aneh-aneh saja bicaranya.
"Dasar dungu. Sekali waktu kan bisa saja ada lagi keramaian. Kalau bulan lagi purnama, anak-anak di sini gemar bergembira. Para orang tua pun gemar berpesta-pora, apalagi kalau bulan purnama seusai panen, pesta selalu diadakan meriah," kata Nyimas Wulan. Makanya tak aneh bila kami keluar malam."
"Kami?"
"Ya, karena ayahandaku pun sama menyenangi kegembiraan. Seperti malam ini, ayahanda pasti minum-minum tuak di kedai," jawab gadis itu membuat Purbajaya agak tertegun.
"Sudahlah, cepat kau pulang. Bila ketahuan orang yang lagitugur (meronda), kau pasti ditangkap dan digebuki," kata gadis itu mendorong tubuh Purbajaya agar lekas pergi. Namun sebelumnya, ada kecupan manis dari bibir gadis itu membuat Purbajaya kelabakan karena malu sendiri.
"Eh, malah diam" Awas, kepergok tugur kau pasti dipaksa menikahiku!" celoteh gadis itu menahan tawa dan mencoba menakuti Purbajaya sepertinya urusan menikah amat ditakuti kaum lelaki.Purbajaya mengangguk dan berniat undur diri ketika secara tiba-tiba gadis itu kembali menciumnya. Hanya sejenak saja namun cukup membuat tubuh Purbajaya menggigil seperti menderita panas dingin mendadak.
Purbajaya pulang sendirian menuju rumah Ki Jayasena dengan perasaan tak berketentuan. Ini adalah kejadian luar biasa dan baru kali ini dialami dalam hidupnya. Bersama gadis seperti Nyimas Waningyun dan apalagi bersama Nyimas Yuning Purnama tak mudah cium-mencium. Namun bersama gadis Tanjungpura ini, kok segalanya berjalan serba cepat"
Ketika tiba di pelataran rumah, keramaian pesta bulan purnama sudah usai. Yang terlihat duduk sendirian di bale gede adalah Ki Jayasena sepertinya menunggu seseorang.
Nyatanya yang ditunggu adalah Purbajaya.
"Kau baru pulang, Purba?" tanya Ki Jayasena dengan suara dingin menatap tajam.
"Saya baru saja mengantar Nyimas Wulan ... " jawab Purbajaya. Perasaannya tak enak.
"Maksudmu mengantarkan putri Juragan Ilun Rosa?" tanya Ki Jayasena.
"Begitu menurut penuturan putrimu ... "
"Juragan Ilun Rosa adalah kerabat dekat Kandagalante Subangwara, penguasa Tanjungpura kini," kata Ki Jayasena.
Purbajaya menatap tajam karena tak tahu apa hubungannya dengan ini.
Lalu Ki Jayasena mengajak Purbajaya duduk di sana.
"Dengarkan, Ki Subangwara adalah musuh keluargamu," desis Ki Jayasena.
"Bukankah ayahanda tewas dalam peperangan melawan Carbon?" tanya Purbajaya heran.
"Memang benar. Tapi yang menyengsarakan hidup keluargamu bukan peperangan. Mati dalam peperangan ketika mempertahankan negara adalah kebanggaan. Yang disesalkan, ayahandamu adalah pejabat yang tak disukai penguasa Pakuan."
"Berdosakah ayahanda kepada negara?"
"Tidak disukai penguasa bukan karena berdosa. Fitnah dan persaingan tak sehat sesama pejabat pun bisa membuat pejabat lainnya terpuruk. Kandagalante Sura Manggala, ayahandamu, amat setia kepada negara namun difitnak pesaingnya bernama Ki Subangwara. Tanjungpura ini wilayah rawan karena amat berdempetan dengan wilayah yang sudah dikuasai Carbon. Subangwara melapor ke Pakuan dan mengabarkan seolah-olah ayahandamu sedikit demi sedikit memasukkan pengaruh Carbon ke wilayah Tanjungpura," kata Ki Jayasena.
"Terbuktikah tuduhan itu?"
"Yang jelas, semua orang tahu kalau ayahandamu telah mempertahankan keberadaan negri sampai titik darah penghabisan. Namun karena kuatnya pengaruh fitnah, kematian ayahandamu tidak mempengaruhi penilaian Raja terhadap pengorbanan ayahandamu. Ini yang amat disesalkan. Terbukti atau tidak, aku sebagai kerabat Ki Sura Manggala amat benci kepada Ki Subangwara. Lihatlah, betapa jabatan yang dia miliki sekarang berlumur darah ayahandamu," kata Ki Jayasena geram dan mengepalkan tinjunya."Aku akan hancurkan Si Subangwara ini!" teriaknya parau.
"Melawan pejabat Pakuan berarti memberontak terhadap negara," guman Purbajaya namun hatinya sedikit menyelidik isi hati Ki Jayasena.
"Mengapa musti takut dituduh melawan penguasa" Pakuan sedang menjelang kehancuran sebab sudah banyak negara bawahannya yang telah melepaskan diri," tutur Ki Jayasena.
"Maksud Paman, apakah Paman pun punya cita-cita memisahkan diri dari Pakuan?" tanya Purbajaya.
"Ya, mengapa tidak" Tapi bunuh dulu Si Subangwara, baru memisahkan diri!" kata Ki Jayasena bersemangat.
Tapi Purbajaya mendengarnya dengan elahan napas panjang.
"Engkau merupakan keturunan langsung Ki Sura Manggala. Kau harus punya semangat tinggi dalam membalas dendam."
"Saya datang ke sini bukan untuk membalas dendam ... " gumam Purbajaya.
"Ya, aku tahu, kau punya tugas lebih berat ketimbang hanya sekadar balas-dendam. Namun dua-duanya sebenarnya amat bersinggungan. Bila kau bekerja satu kali maka akan menghasilkan dua keuntungan," kata Ki Jayasena mengobarkan semangat kebencian. Ki Subangwara adalah musuh pribadimu tapi juga musuh negrimu, Carbon. Maka kalau kau bunuh Ki Subangwara, maka berarti kau bela negrimu juga," lanjut Ki Jayasena tetap mengobarkan kebencian.
"Ayahanda mati terhormat karena membela negri. Itu sudah amat membanggakan," tutur Purbajaya. Dan untuk ke sekian kalinya, Ki Jayasena mengerutkan keningnya karena merasa heran akan sikap Purbajaya.
"Engkau tidak merasa sakit hati atas perlakuan Ki Subangwara yang biadab?" tanya Ki Jayasena. Dan Purbajaya menggelengkan kepalanya.
Ki Jayasena melenggak heran dan menatap Purbajaya lama sekali.
"Tentu sakit hati tapi tak bisa dijadikan alasan untuk membunuh Ki Subangwara begitu saja," jawab Purbajaya. Tokh ayahanda tetap tak bisa dibuktikan sebagai pengkhianat. Kalau benar ayahanda kena fitnah, kebenaran akan datang sendiri, yang bersalah akan kena hukumannya. Karena pada suatu saat saya musti berhadapan, maka itu sebagai prajurit Carbon yang membela negrinya dan bukan hanya karena urusan pribadi," kata Purbajaya lagi.
"Bagus kalau begitu. Maka bunuhlah Kandagalante Subangwara karena dia adalah pentolan Pajajaran dan Pajajaran adalah musuh negaramu," kata lagi Ki Jayasena tetap mendesak.
"Benar, dia musuh negri saya. Tapi musuh tak selamanya musti dibunuh."
"Ah ... kau ini!" Ki Jayasena kecewa melihat sikap Purbajaya."Mengapa kau bilang musuh tak perlu dibunuh?" tanyanya heran.
"Kalau ada cara lain dalam menundukkan musuh, mengapa pembunuhan musti dilakukan?" Purbajaya balik bertanya.
"Musuh yang dikalahkan tanpa dibunuh hanya akan menanamkan rasa kebencian dan balas dendam. Dan bibit-bibit seperti ini kalau dibiarkan berkembang, selanjutnya hanya akan merepotkan saja," Ki Jayasena berkilah.Purbajaya menghela napas mendengar pendapat Ki Jayasena yang keras ini.
"Jangan artikan istilah musuh ini seperti yang kita kemukakan di saat hati kita dipengaruhi kemarahan dan kebencian. Seperti halnya kita memandang suatu penyakit di tubuh kita, kalau kita mau menghilangkan penyakit itu, bukannya dengan cara menghancurkan tubuh ini, melainkan berpikir bagaimana agar penyakit itu bisa diberantas akan tetapi tubuh kita tetap sehat tak kurang suatu apa. Kita pun suatu saat akan melihat orang lain berlaku jahat. Janganlah bunuh orang itu sebab kejahatan itu ada pada jalan pikirannya. Maka usahakanlah agar oraang itu menghilangkan pikiran jahatnya. Kalau berhasil, kejahatan akan lenyap tanpa kita melakukan pembunuhan sesama manusia," kata Purbajaya berpanjang-lebar.
Demi mendengar perkataan Purbajaya ini, Ki Jayasena nampak tersinggung.
"Kau anak muda bau kencur sudah berani mengguruiku sebagai orangtuamu, anak tolol!" kata Ki Jayasena ketus."Dari mana kau dapatkan jalan pikiran yang kacaubalau ini?" lanjutnya menahan kemarahan.
"Ampunkan saya, Paman ... " jawab Purbajaya sabar."Saya dibesarkan di Carbon. Sudah barang tentu saya mendapatkan jalan pikiran ini dari Carbon. Begitulah kebiasaan berpikir orang-orang Carbon ... " kata lagi Purbajaya.
"Tapi Raden Yudakara tidak berpikir ganjil seperti itu," potong Ki Jayasena geram.
Purbajaya kembali hanya menghela napas panjang. Ada banyak perkataan dan pendapat untuk melawan omongan Ki Jayasena namun Purbajaya tidak mau melakukannya. Dia sadar kalau Ki Jayasena yang disebutkan orang sebagai pamannya sendiri ini sebenarnya sudah kena cekok jalan pikiran Raden Yudakara ketimbang apa yang sebenarnya dititahkan oleh penguasa Carbon.
"Harap kau camkan, engkau dibawa ke sini oleh Raden Yudakara karena akan diperbantukan ke padaku untuk melawan Ki Subangwara dan bukannya berkilah atau bahkan menolak apa yang diperintahkan olehku. Jangan pula kau kacaukan jalan pikiranku dengan paham-paham baru yang terasa ganjil dan kacau ini," kata Ki Jayasena sebal.
"Akan saya pikirkan dalam-dalam, Paman ... " jawab Purbajaya merendah. Dan setelah menyembah hormat, Purbajaya mohon diri untuk segera beristirahat.
Purbajaya tak berkata benar, sebab sebetulnya dia ingin melihat apa yang akan dilakukan kemudian oleh Ki Jayasena. Purbajaya merasa, barusan telah terjadi silang pendapat yang keras antara Ki Jayasena dan dirinya. Barangkali Ki Jayasena akan segera melaporkan kejadian ini kepada Raden Yudakara.
Purbajaya tak peduli. Tokh selama ini Raden Yudakara telah tahu kalau Purbajaya selalu punya pendapat beda dengannya.
Namun demikian, Purbajaya pun sebenarnya ingin meneliti keberadaan Ki Jayasena secara utuh. Sejak berada di tempat ini hatinya bimbang sebab ada firasat mengatakan kalau Ki Jayasena perlu diragukan keberadaannya yang diakui orang lain sebagai pamannya itu.
Ingat ini, maka dia pun segera berjingkat mengikuti ke mana Ki Jayasena berlalu.
Benar dugaannya, Ki Jayasena mencari-cari Raden Yudakara. Namun setelah yang dicari tak ketemu, dia segera mengunjungi rumah panggung yang biasa didiami Nyi Sumirah.
Ketika Ki Jayaratu mengetuk-ngetuk daun pintu kamar putrinya, maka terdengar suara lelaki berdehem. Tak berapa lama kemudian, dari balik daun pintu nongol kepala Raden Yudakara dengan mimik wajah memberengut. Mungkin kesal karena merasa diganggu.
"Ada apa?"
"Ada yang perlu saya sampaikan, Raden ... " jawab Ki Jayasena hormat sekali.
"Soal apa?"
"Soal Si Purbajaya, Raden ...?"Lagi-lagi anak itu. Sebentar, aku berpakaian dulu ..." Raden Yudakara kembali menutupkan daun pintu.
Di dalam rumah terdengar rengekan manja dari suara wanita yang enggan ditinggal pergi. Dan Purbajaya hapal betul kalau itu suara Nyi Sumirah.
"Ah, perempuan tahu apa. Nanti aku balik lagi ke sini! Sampai pagi aku layani kau!" kata Raden Yudakara yang didengar jelas oleh Purbajaya yang sembunyi di rumpun pekarangan.
Raden Yudakara keluar lagi sudah berpakaian lengkap.
"Kita bicara di bale gede saja ... " kata Raden Yudakara masih terdengar bernada kesal karena diganggu.
Dua orang itu lantas pergi menuju bale gede yang terletak di tengah perkampungan. Terpaksa Purbajaya berindap-indap mengikuti mereka.
Dua orang itu duduk bersila di ruangan bale gede. Saling berhadapan dan saling berbicara. Ki Jayasena "melaporkan" ikhwal Purbajaya kepada Raden Yudakara.
"Saya sulit mengendalikan anak itu, Raden ... " kata Ki Jayasena bingung.
"Ah, dasar engkau dungu, Sena ... " gumam Raden Yudakara.
"Dia terus membangkang kepada pendapat saya ... " kata lagi Ki Jayasena kesal."Apa sebaiknya kita enyahkan saja si bedebah ini?" tanyanya gemas.
"Jangan."
"Habis dia menolak terus keinginan saya."
"Engkau kurang wibawa, tak bisa memperlihatkan kalau kau sebenarnya pamannya sendiri."
"Bagaimana saya bisa pura-pura memperlihatkan kasih-sayang padanya, sementara saya amat benci pada ayahnya. Bahkan saya pula penyebab kematian ayahandanya..." ucapan Ki Jayasena amat mengejutkan Purbajaya yang lagi sembunyi mengintip pembicaraan mereka.
Plak! Terdengar suara tamparan karena tangan kanan Raden Yudakara hinggap di pipi Ki Jayasena.
"Otakmu dungu, hanya berpikir melulu untuk kepentingan sendiri saja," serapah Raden Yudakara."Kau bunuh Ki Sura Manggala dengan harapan kau gantikan kedudukannya. Tapi yang dipercaya oleh penguasa Pakuan malah Ki Subangwara bukannya kau. Kau benci Ki Subangwara, lantas kebencian ini mau kau timpakan kepada Purbajaya dan kau mau pinjam tangan anak muda itu untuk balaskan dendammu itu, begitu, kan?"
"Tapi itu pun keinginanmu juga, Raden ... " jawab Ki Jayasena balik menuduh.
"Memang. Tapi aku tak berpikir tentang balas dendam. Dan yang tengah aku pikirkan pun tidak melulu perihal keinginan kecil sepertimu. Kandagalante, jabatan apa itu, tidak seujung kuku pun bila dibandingkan dengan cita-citaku. Dan kau yang hanya butuh sesuatu yang kecil-kecil saja, amat memualkan sebab telah menggangu rencana-rencana besarku," kata Raden Yudakara memarahi habis-habisan Ki Jayasena.
"Jadi, musti bagaimana saya berbuat?"
"Musti bagaimana, musti bagaimana ... Huh, dasar dungu!" omel Raden Yudakara."Apa yang anak muda itu katakan padamu?" ujarnya lagi.
"Purbajaya menolak membunuh Ki Subangwara," jawab Ki Jayasena."Yang lebih menyebalkan dari itu, dia malah mendekati Nyimas Wulan putri Juragan Ilun Rosa," sambung lagi Ki Jayasena dengan nada sebal.
"Siapa Ilun Rosa?"
"Dia kerabat dekat Kandagalante Subangwara, Raden ... "
"Hm ... Si Purbajaya bodoh dalam bercinta. Tapi biarkanlah dia becinta dulu, sehingga pemuda dungu itu semakin dekat juga kepada Ki Subangwara. Dari sana kita akan tentukan kemudian," guman Raden Yudakara dengan nada dingin.
"Kalau itu keinginanmu, Raden ...." suara Ki Jayasena terdengar lesu, sepertinya dia tak rela Purbajaya "diberi" kesempatan bercinta dengan Nyimas Wulan.
"Kau seperti kecewa mendengar anak gadis Ilun Rosa jatuh ke haribaan Si Purbajaya. Apakah kau pun berminat terhadap gadis molek itu?" tanya Raden Yudakara sinis.
Ki Jayasena tidak mengemukakan jawaban apa pun. Malah yang terdengar adalah kekeh Raden Yudakara.
"Dasar bandot ..." ejek Raden Yudakara.
*** MALAM itu Purbajaya tidak bisa tidur. Percakapan Raden Yudakara dan Ki Jayasena membuat dirinya merasa sebal namun sekaligus juga telah memecahkan salah satu misteri di wilayah Tanjungpura ini. Benar, dia adalah putra dari penguasa Tanjungpura yang lama dan tewas dalam pertempuran melawan Carbon. Namun penyebab kematian ayahandanya tidak berdiri sendiri.
Ayahandanya tidak tewas semata oleh penyerangan namun juga oleh semacam rekaperdaya orang atau kelompok yang tak menyukai keberadaan ayahandanya. Ayahanda Purbajaya adalah korban perebutan pengaruh dan kekuasaan di wilayah ini. Kalau mendengar obrolan mereka, Purbajaya bisa memastikan bahwa Ki Jayasena punya peranan kuat dalam kematian ayahandanya.
Kalau saja Purbajaya tak bertahan dengan pendapatnya, kalau saja dia tak dengar percakapan mereka, niscaya dia akan terlibat ke dalam kancah permasalahan dan kepentingan orang lain namun diatasnamakan sebagai masalah dirinya. Sungguh keji Ki Jayasena.
Dia melakukan kejahatan dengan menipu orang lain. Pertama dia menipu Purbajaya seolah-olah dia adalah satu-satunya kerabatnya dan penipuan yang kedua, mengipasi kebencian sehingga seolah-olah Ki Subangwara merupakan pelaku dan penyebab utama kematian ayahandanya. Amat beruntung Purbajaya mendengar percakapan mereka sebab kalau tak begitu, maka dia akan terjerumus ke jurang kejahatan pula dengan mengobarkan dendam membunuh Ki Subangwara seperti apa yang dikehendaki Ki Jayasena.
Ya, Purbajaya paham dengan tujuan Ki Jayasena ini. Namun Purbajaya belum bisa menguak teka-teki mengenai siasat yang tercetus dari benak Raden Yudakara. Katanya dia sengaja akan membiarkan Purbajaya bercinta dengan putri Juragan Ilun Rosa agar semakin mendekati Ki Subangwara. Kalau benar Purbajaya akhirnya bisa dekat dengan penguasa Tanjungpura ini, apa pula yang hendak dikerjakan pemuda aneh dan berbahaya ini"


Kemelut Di Cakrabuana Karya A Merdeka Permana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Purbajaya belum bisa menebak siasat yang tengah dibangun Raden Yudakara. Namun yang sudah bisa dia tebak, apa pun yang tengah mereka rancang, tujuannya tetap akan berbuat kejahatan dengan memanfaatkan dirinya. Untuk itu, di samping dia harus tetap menyelidiki, Purbajaya pun harus semakin hati-hati berhadapan dengan mereka ini.
*** Tapi masalah dan berbagai godaan terus datang silih berganti.
Purbajaya sudah memutuskan di dalam hatinya untuk tidak melibatkan perasaan cinta. Sudah dia putuskan untuk tidak melayani perilaku panas yang dilakukan Nyimas Wulan. Di samping sebenarnya dia tak memiliki perasaan apa-apa kepada gadis itu, dia pun tak mau hubungan dirinya dengan Nyimas Wulan dimanfaatkan orang untuk kepentingan hal-hal yang membahayakan.
Terus-terang, dia memuji, betapa gadis Tanjungpura ini elok-elok. Tapi udara panas wilayah pesisir yang setiap saat menerpa, telah membuat kaum wanita di wilayah ini berperilaku panas pula. Gadis-gadis di sini mudah bergelora. Mudah diganggu dan juga mudah mengganggu. Mereka pemberani kalau tak disebut sebagai tak tahu malu.
Lihat saja Nyi Sumirah, dengan tak canggung pernah berkata bersedia bercinta dengan Purbajaya kalau saja tak terikat sebagai "saudara". Belakangan Nyi Sumirah kecewa karena pertalian saudara ini dan dengan mudahnya memindahkan perasaan cintanya kepada Raden Yudakara.
Yang tak kurang menyebalkan adalah sikap kaum lelakinya. Betapa Ki Jayasena si bandot tua ini gemar gonta-ganti perempuan. Berapakali dia menikah bukan hitungan sebab perempuan yang tak dia nikahi namun diperlakukan sebagai istrinya jumlahnya sudah tak terhitung lagi. Sebalnya, bandot ini pun sepertinya tak mau kenyang.
Buktinya, hari-hari ini dia tengah mabuk kepayang karena seleranya lagi mengarah kepada Nyimas Wulan. Sekurang-kurangnya itu yang dituduhkan Raden Yudakara malam itu. Tuduhan ini mungkin benar sebab dua orang itu perilakunya setali tiga uang. Kedua-duanya sama-sama doyan perempuan. Yang sama-sama doyan perempuan akan mudah saling tebak kalau sesamanya sedang jatuh cinta.
Tapi, bagaimana pula dengan perilaku Nyimas Wulan anak keluarga kerabat bangsawan Tanjungpura ini" Samakah dia dengan gadis-gadis lainnya, yaitu mudah terperangkap gelora cinta"
Purbajaya memang ada sedikit bangga sebab malam itu Nyimas Wulan menjauhkan diri dari arena bale-gede di mana yang sibuk berpesta-pora. Apalagi Nyimas Wulan berkata, meninggalkan tempat itu karena tak mau diganggu dan dirayu Raden Yudakara. Purbajaya bangga sebab gadis itu mengaku terus-terang kalau dirinya hanya mau menerima Purbajaya saja. Siapa takkan bangga mendapat kenyataan seperti ini.
Namun demikian, pemuda ini tetap saja mencurigai kalau Nyimas Wulan pun mudah berperilaku "panas" pula, sama seperti yang lainnya. Masa baru bertemu sekali saja, gadis itu sudah tak canggung-canggung mengecup dirinya. Tentu saja, lelaki mana yang tak senang dikecup seorang gadis. Tapi kalau dipikir-pikir, bisa saja "kecup-mengecup" telah "biasa" dilakukan gadis itu.
Dan kalau ingat ini, Purbajaya jadi mengeluh. Susah memang mendapatkan cinta sejati kalau yang dimaksud cinta hanya berbicara perihal berahi saja.
"Aku perlu hati-hati ...perlu hati-hati," bisiknya di dalam hatinya.
Namun kenyataan yang terjadi tak demikian. Ketika berjauhan, Purbajaya boleh berjanji akan mengekang diri. Di saat terjadi lagi pertemuan rahasia, cinta berahi tak bisa dibendung. Di saat itu pula cinta berahi bergalau ramai. Segalanya serba panas.Udara Tanjungpura juga berahi gadis-gadisnya. Dan Purbajaya tak bisa menolaknya. Ketaatan kepada agama hampir tersisihkan karena tak pernah ada yang mengingatkan. Di lingkungan tempatnya kini, jarang-jarang melihat orang melakukan shalat menghadap Tuhan.
Yang membuat Purbajaya mau melayani rayuan gadis ini, karena Nyimas Wulan mengaku hanya mencintai Purbajaya satu-satunya dan mengaku hanya ingin punya teman hidup Purbajaya satu-satunya.
Purbajaya menghargai gadis itu karena Nyimas Wulan punya harapan. Sementara itu, dirinya menghargai harapan orang lain dan tidak mau melihat harapan itu terputus di tengah jalan. Purbajaya harus melindungi harapan Nyimas Wulan dan jangan sampai harapan gadis itu hancur-luluh oleh lelaki tak bertanggungjawab.
Namun ketika gadis itu bicara perkawinan, Purbajaya menolak dan minta waktu.
"Belum saatnya, belum saatnya, Nyimas ... " kata Purbajaya berbisik.
"Mengapa?" tanya gadis itu lirih dan manja sambil berteduh di dada Purbajaya yang bidang.
Ya, mengapa" Purbajaya tak bisa menjawab dengan tegas. Banyak pertimbangan yang dia pikirkan. Menikahi gadis ini memang sudah jadi kewajibannya. Namun dia teringat lagi akan ucapan Raden Yudakara yang katanya akan sengaja membiarkan dia bercinta dan semakin mendekatkan diri kepada Nyimas Wulan agar kelak bisa dekat kepada penguasa Tanjungpura.
Ini yang mengkhawatirkannya. Dia takut, perilaku dalam mengencani gadis itu dijadikan oleh Raden Yudakara sebagai upaya dalam melaksanakan rencana-rencana jahatnya.
Itulah sebabnya, kendati dengan Nyimas Wulan tetap dekat, tapi sejauh ini Purbajaya tidak pernah mencoba mendekatkan diri kepada kerabat gadis itu. Bahkan kepada kedua orangtuanya, Purbajaya pun tak mau mengenalkan diri. Setiap kali melakukan pertemuan, selalu main sembunyi.
Purbajaya bukannya pengecut. Melainkan tak mau keluarga gadis itu jadi korban kejahatan Raden Yudakara dan Ki Jayasena. Kalau pun suatu saat dia bertemu dengan keluarga Nyimas Wulan, itu karena Purbajaya sudah siap untuk meminang. Dan pinangan ini bisa dilakukan bila semuanya sudah aman dari ancaman kejahatan Raden Yudakara.
Itulah sebabnya, Purbajaya tak bisa menjawab pertanyaan dan keinginan Nyimas Wulan. Dia tak bisa kemukakan alasan seperti ini. Kejahatan Ki Jayasena dan Raden Yudakara susah dibuktikan dan Purbajaya tak bisa bicara sembarangan.
Purbajaya hanya berjanji kalau dirinya bersedia menikahi gadis itu. Dia sanggup sehidup semati dengan Nyimas Wulan.
"Namun kita tak melakukannya secara tergesa-gesa. Perkawinan harus dilakukan dengan persiapan yang matang," tutur Purbajaya.
Janji ini diucapkan serius kendati hati kecilnya berkata kalau sebetulnya dia tak mencintai gadis ini. Tapi, mengapa pula hidup bersama harus selalu didasarkan pada cinta-kasih semata" Tidak selalu. Rasa iba dan kasihan bahkan rasa tanggung jawab, bisa mengalahkan sebuah perasaan bernama cinta.
Hatinya berkata kalau cinta-kasihnya sebenarnya telah direbut oleh Nyimas Waningyun, wanita pertama yang dia temukan. Namun demikian, sejak saat itu pun dia sudah menyadarinya kalau dirinya tak mungkin bersatu dengan gadis bangsawan Nagri Carbon itu. Nyimas Yuning Purnama yang malah sudah bersedia ditikahi, dia buyarkan sebab Purbajaya tahu kalau gadis itu tidak mencintainya, melainkan hanya mau mentaati keinginan orangtua semata.
Dan kini Purbajaya tidak mencintai Nyimas Wulan namun bersedia mengawini gadis itu. Sungguh aneh memang. Bersedia menikahi padahal tidak merasa mencintai. Namun Purbajaya tetap bertekad dalam hatinya. Dia harus mengawini gadis itu. Dia harus menolong kehidupan gadis itu. Lingkungan di mana Nyimas Wulan berada tidak mendukung agar gadis itu mempertahankan keberadaan dirinya sebagai gadis terhormat. Godaan dan cobaan akan membuat gadis itu mudah terjerumus ke jurang penderitaan dan kehinaan.
Kehidupan di Tanjungpura sepertinya demikian "bebas". Kaum lelaki dengan amat mudahnya mencumbu dan mengawini kaum perempuan untuk kemudian dicampakkan begitu saja untuk kembali merayu yang lainnya. Nyimas Wulan begitu bertemu Purbajaya, langsung akrab langsung mesra. Melihat kenyataan ini, hati Purbajaya merasa terenyuh. Dia akan bersedih kalau gadis secantik dia, sejujur dia dan begitu mudah mempercayai lelaki, akan dipermainkan lelaki yang tak bertanggungjawab.
Itulah sebabnya, dia akan berusaha melindungi gadis itu. Akan dia selamatkan gadis itu melalui sebuah perkawinan yang syah dan murni. Lain daripada itu, Purbajaya pun akan bertanggungjawab. Nyimas Wulan yang ramah dan menyinta serta mudah percaya pada lelaki dan begitu relanya menyerahkan cintanya kepadanya, akan disambut oleh Purbajaya dengan sebuah perasaan tanggung jawab.
Ya,dia harus menikahi gadis itu!
*** Bab 17 HINGGA sampai pada suatu saat, cinta dan cumbu Nyimas Wulan tak bisa dibendung lagi oleh pertahanan iman Purbajaya.
Ketika itu panen padi telah usai dengan hasil cukup melimpah. Untuk menghormati Dewi Sri sebagai dewi pemberi padi-padian menurut kepercayaankaruhun (nenek-moyang) orang Pajajaran, maka di Tanjungpura diadakan upacarangidepkeun . Itu adalah suatu upacara tradisi menyimpan padi dileuit (lumbung) sesudah dikurangi untuk membayarseba (pajak), membayar para pekerja di huma dan sesudah disisihkan sebagian untuk bibit.
Ngidepkeun atau upacara menyimpan padi di lumbung akan dilalui pula dengan berbagai keramaian. Berbagai kesenian rakyat sepertipantun, wawayangan, ngekngek ataujentreng sama diadakan dengan meriah.
Upacara menyimpan padi ini diadakan di beberapa tempat, terutama di perkampungan besar yang banyak terdiri dari tuan tanah. Juragan Ilun Rosa dan Ki Jayasena adalah dua orang tuan tanah yang banyak memiliki kekayaan huma bahkanranca (rawa) yang di saat kemarau bisa ditanami padi dan di musim hujan diambil ikannya.
Di dua perkampungan di mana kedua orang tuan tanah itu tinggal, suka diadakan pesta ngidepkeun secara besar-besaran. Keduanya seperti bersaing mengadakan pesta hajatan. Kalau yang satu mengundang juru pantun terbaik, maka yang satunya lagi sama mencari juru pantun terbaik. Kalau salah satu di antara mereka mengundang panembang dan penari ngekngek yang muda dan cantik-cantik, maka yang satunya pun melakukan hal yang sama pula. Dua-duanya sepertinya tak mau kalah dari lainnya.
Malam itu kampung terang benderang karena cahayaoncor (obor) yang dipasang di mana-mana. Bahkandamar-sewu (pelita berjajar seribu) sama meramaikan malam indah itu. Baik Juragan Ilun Rosa mau pun Ki Jayasena sama-sama bersaing membuat kampung masing-masing menjadi terang-benderang.
Malam itu di kediaman Juragan Ilun Rosa diadakan kesenian jentreng dan pantun, sementara di kediaman Ki Jayasena, selain jentreng yang sudah baku, juga ditampilkan pertunjukan wawayangan. Seni pantun yang dipanggungkan di kediaman Juragan Ilun Rosa menampilkan ceriteraPua-pua Bermana Sakti , sementara di kediaman Ki Jayasena, pertunjukan wawayangan menampilkan ceritera mengenai Pendawa Lilima yang menjemput Dewi Sri(Mapag Dewi Sri) yang tengah berada di sorga maniloka agar sudi turun ke buana panca tengah untuk mensejahterakan umat manusia dengan menebar padi-padian.
Dewi Sri demikian lekat di hati masyarakat Pajajaran. Seolah benar, pemberi hidup di muka bumi ini adalah seorang dewi dari kayangan.
Dalam upacara ngidepkeun ada caraMapag Dewi Sri . LaguPamegat yanag dilantunkan oleh rombongan kesenian jentreng adalah sebuah lagu untuk mengundang Dewi Sri hadir di tempat itu. Setelah itu, disusul lagiPanimang , yaitu menurunkan seikat padi sebagai lambang turunnya Dewi Sri dari kayangan. Padi yang diturunkan, dijemput olehwali-puun (sesepuh) sambil membawa pakaian wanita dan kemudian dikenakan kepada ikatan padi sambil diiringi oleh laguPamapag (penjemput Dewi Sri).
Di belakangnya satu barisan wanita berpakaian indah-indah melakukan tarian sambil di tangannya membawa mangkuk-mangkuk yang berisi bunga-bungaan, minyak kelapa, pohon hanjuang, beras dantektek (lipatan dauan sirih). Ikatan padi yang dijemput itu ditaburi beras dan bunga-bungaan sebagai penghormatan kepada"Dewi Sri" yang telah berkenan "hadir".
Setelah upacaranetepkeun , yaitu menyimpan padi di lumbung, maka berlangsunglah acara hiburan. Kaum lelaki memakai bendo, berpakaian bedahan lima dan berkain batik dengan keris bersampur (diikat selendang sutra) di pinggang, menari bersama kaum wanita yang berpakaian indah dan berparas elok-elok. Sementara yang muda-muda, terutama para gadis, saling berebutan untuk mendapatkan bekas sesaji, bahkan butir-butir kemenyan untuk banyak keperluan, seperti ingin awet muda, ingin cantik atau karena ingin segera mendapatkan jodoh.
Dan ketika melihat pertunjukan ini, Purbajaya jadi ingat Nyimas Wulan. Purbajaya berada di tempat pesta keluarga Ki Jayasena, sementara Nyimas Wulan berada jauh di sebelah selatan di kediaman Juragan Ilun Rosa, ayahandanya. Apakah gadis itu pun tengah mengingat dirinya pula"
Maka ketika muda-mudi lain larut dalam kegembiraan, Purbajaya malah menyelinap pergi untuk pergi menuju kediaman Juragan Ilun Rosa.
Ya, sejauh ini Purbajaya masih tetap mengaku ak mencintai gadis itu namun bukan berarti tidak menyayanginya. Kini Purbajaya telah menyayangi gadis itu setelah Purbajaya merasa banyak menerima kebaikan cinta yang diberikan gadis itu. Dan manakala melhat muda-mudi brsuka-ria, Purbajaya tak bisa menahan kerinduan untuk menemui Nyimas Wulan. Itulah sebabnya dia menyelinap pergi untuk menemui gadis itu.
Rumah kediaman Juragan Ilun Rosa tidak begitu jauh. Letaknya agak ke sebelah selatan dari kediaman Ki Jayasena. Kedua orang itu termasuk keluargasantana (masyarakat pertengahan), Juragan Ilun Rosa malah disebut-sebut sebagai keluarga bangsawan karena kekerabatan yang dekat kepada Kandagalante Subangwara.
Namun baik Juragan Ilun Rosa mau pun Ki Jayasena, sama-sama sebagai orang kaya yang banyak memiliki tanah pertanian yang luas. Huma dan palawija di sekitar wilayah Tanjungpura boleh dikata mereka yang punya. Baik Juragan Ilun Rosa mau pun Ki Jayasena sama-sama memiliki usaha perikanan payau dan usaha perairan di sepanjang sungai Citarum. Keduanya dikenal oleh masyarakat Tanjungpura sebagai orang-orang kaya tapi keduanya tak pernah saling bersatu. Mereka memang tak bermusuhan namun juga tidak bersahabat. Dan keduanya selalu menjaga jarak untuk tidak saling berhubungan.
Mudah diduga bila hal ini terjadi sebab Ki Jayasena punya kebencian kepada Kandagalante Subangwara, sementara Juragan Ilun Rosa adalah kerabat dekatnya. Namun dasar bandot, kendati kepada bapaknya benci, kepada putrinya, Nyimas Wulan, Ki jayasena malah cinta setengah mati.
Tempo hari Purbajaya ditegur karena diketahui berdekatan dengan gadis itu. Teguran Ki Jayasena diartikan Purbajaya sebagai memiliki tujuan ganda. Ki Jayasena melarang Purbajaya mendekati Nyimas Wulan karena gadis itu keabat musuh besarnya. Namun juga Ki Jayasena melarang dia mencintai gadis itu karena dia yang ingin mengambil bunga mekar itu.
Purbajaya sebal dengan kejadian ini. Cintanya tak pernah mulus karena selalu dihadang pihak-pihak lain yang juga amat berkepentingan dengan urusan ini. Tak dinyana, pesaingnya kini adalah bandot tua. Mengaku "paman"nya lagi!
Namun kali ini, rasanya dia tak perlu mengalah. Kepada Raden Ranggasena dari Carbon atau pun kepada Aditia dari Sumedanglarang, dia mau mengalah sebab ingin beri kesempatan kepada sesama kaum muda. Tapi kepada Ki Jayasena lain lagi. Orang tua bangkotan itu sudah terbiasa kawin-cerai dan kepada gadis-gadis muda begitu lahapnya bagaikan kambing melahap daun muda. Jangan hanya karena gemar mengalah dalam urusan cinta, maka kali ini Purbajaya pun musti mengalah pula kepada bandot tua. Tidak, dia tak terima itu.
Maka keputusan batinnya ini telah dijadikannya sebagai pemicu semangat dalam mendapatkan kasih Nyimas Wulan.
Jalan berbatu dan terkadang bercampur debu tana merah tak menjadikannya sebagai halangan ketika Purbajaya berjalan di malam gelap. Yang penting, dia bisa menemui gadis itu.
Ketika dia tengah berjalan cepat, di depannya ada gelebur cahaya obor. Siapakah malam-malam berjalan sendirian berbekal obor" Purbajaya menyipitkan matanya karena ingin melihat jelas.
"Wulan!" teriak Purbajaya gembira. Dadanya berdebar.
Gadis pembawa obor itu sejenak berhenti karena kaget ditegur orang. Dia menyipitkan mata karena silau oleh cahaya obor. Setelah yakin yang memanggilnya adalah Purbajaya, Nyimas Wulan serta-merta melemparkan batang obor dan dia segera manghambur ke arah di mana Purbajaya berada. Purbajaya pun sama berlari mendekat. Hingga sampai suatu saat keduanya saling bertubrukan disertai peluk-cium.
"Nyimas ... "
"Purba ... "
Diam sejenak kecuali napas-napas dengan dengus keras karena hentakan-hentakan berahi yang tak tertahankan.
"Nyimas, mengapa kau kemari?"
"Engkau pun mengapa kemari, Purba ...?"
"Karena ingin bertemu denganmu ... "
"Itu pula yang aku inginkan, Purba ..."
"Oh, Nyimas ... "
"Purba ... "
Sepasang insan muda-mudi ini saling peluk erat, saling kecup mata, saling kecup pipi dan berakhir pada saling kecup bibir. Dua tubuh yang berkuketan tak mau lepas ini akhirnya jatuh berdebum di atas tanah berdebu warna merah. Namun debu kotor tidak mereka hiraukan sebab dua tubuh yang menyatu erat ini bergulingan ke sana ke mari seperti cacing kepanasan laiknya. Tanah berdebu yang kotor mereka jadikan alas tidur empuk dan udara terbuka dengan terpaan angin pesisir mereka jadikan selimut penghangat. Oh, ya. Semuanya sudah tak perlu lagi sebab gelora cinta mereka sudah merupakan penghangat berahi.
Entah berapa lama mereka bergumul. Tahu-tahu di tempat itu sudah berdiri seseorang berbekal obor. Purbajaya sungguh terkejut sebab yang datang ternyata Ki Jayasena. Maka buru-buru dia dan Nyimas Wulan bangun sambil menepuk-nepuk debu yang melekat di badan.
Ki Jayasena menatap adegan cumbu-rayu dengan mata melotot dan gigi berkerot saking marahnya.
"Hm .... Bagus. Bagus sekali, ya ...!" gumamnya dengan tubuh menggigil seperti kena demam. Serta-merta Ki Jayasena mencabut golok yang telah siap di pinggang. Obor yang dibawanya serta-merta dilemparkan ke tubuh Purbajaya. Sesudah itu, Purbajaya pun segera diserangnya dengan sabetan-sabetan golok.
Purbajaya terpaksa mendorong tubuh Nyimas Wulan yang ketika itu masih memeluk erat tubuhnya. Dia ingin serangan ganas ini hanya mengarah padanya saja dan tidak melukai tubuh molek Nyimas Wulan.
Lemparan batang obor yang cahayanya menggelebur, bukanlah lemparan biasa, melainkan sebuah lemparan yang disertai tenaga dalam yang cukup tinggi. Demikian pun ketika sabetan-sabetan golok itu tidak sekadar ganas saja, namun juga disertai tenaga dalam yang kuat. Desiran angin karena golok menyabet teasa dingn menerpa pipi Purbajaya. Kalau saja yang menerima serangan ini orang biasa, maka bukan saja tubuhnya akan hangus terpanggang api, namun juga akan kena sabetan golok yang terlihat mengkilap saking tajamnya.
Namun sebodoh-bodohnya Purbajaya, bagaimana pun dia adalah murid terkasih Ki Jayaratu, tokoh yang disegani di Nagri Carbon. Maka ketika menerima serangan deras dan membabi-buta dari Ki Jayasena, tangan kanannya segera melakukan tangkisan. Percikan bunga api muncrat ke sana ke mari ketika gagang obor hancur berantakan. Purbajaya terus mengebut-ngebutkan kedua tangannya agar bunga api tidak menempel, baik pada pakaian Nymas Wulan, mau pun pada pakaiannya sendiri.
Purbajaya masih belum mau membalas serangan, selain tidak berniat, ditambah lagi oleh ganasnya serangan Ki Jayaratu yang datang tiada hentinya. Dan melihat serangan-serangan ganas ini, Purbajaya merasa kalau Ki Jayasena ini berniat akan membunuhnya atau paling tidak ingin membuatnya terluka parah. Oleh karena ini, Purbjaya terpaksa melakukan tangkisan-tangkisan yang menyertakan tenaga dalam pula.
Terasa ngilu dan nyeri pergelangan tangan Purbajaya manakala melakukan sampokan ke arah golok, pertanda Ki Jayasena memiliki tenaa dalam yang kuat pula. Purbajaya harus melakukan perkelahian dengan amat hati-hati jangan sampai tubuhnya terluka oleh serangan ganas ini. Dia menahan serangan sambil berusaha melindngi Nyimas Wulan. Dia tak ingin gadis itu terluka oleh ganasnya serangan Ki Jayasena.
Namun untunglah, Ki Jayasena rupanya tak berniat mencelakakan Nyimas Wualan sebab yang dicecarnya hanya Purbajaya seorang.
Ketika serangan golok Ki Jayasena bisa ditepis, terlihat ada pertahanan yang kosong pada bagian tubuh orang tua ini. Pertahanan kosong terkuak karena serangan glok arahnya jadi melenceng oleh tepisan tangan Purbajaya. Namun peluang untuk melakukan serangan balik amatlah tipisnya karena Purbajaya yakin, Ki Jayasena pasti akan mengulangi serangannya yang barusan gagal. Namun sebelum golok kembali disabetkan mengarah ubun-ubun, dari arah bagian bawah Purbajaya segera menohok ulu hati Ki Jayasena dengan kecepatan yang sulit diukur.
Tohokan ini telak mengarah ulu hati dan terdengar Ki Jayasena mengeluh pendek namun bisa diduga ini merupakan keluhan tanda kesakitan. Sebelum Ki Jayasena hilang rasa erkejutnya, tohokan kedua sudah datang lagi. Kali ini lebih telak dan lebih keras. Akibatnya, tubuh Ki Jayasena terlontar ke belakang dan tubuhnya jatuh berdebuk di atas tanah yang mengandung bebatuan. Sudah barang tentu sakitnya bukan alang-kepalang sehingga tak sadar mulut Ki Jayasena terkaing-kaing seperti anjing kena gebuk batang rotan.
Purbajaya terkejut oleh ulahnya ini dan segera berjingkat hendak bangunkan tubuh Ki Jayasena, ketika secara tiba-tiba datang pula seseorang ke tempat itu.
Dan untuk kedua kalinya Purbajaya terkejut sebab yang datang kali ini adalah Raden Yudakara.
"Anak kurang ajar, masa kepada pamanmu sendiri berlaku tak senonoh seperti ini" Apa kesalahan dia, hah?" cerca Raden Yudakara menghambur mendekati Purbajaya.
Purbajaya tak mau menjawabnya, apalagi Raden Yudakara langsung melakukan serangan. Hanya anehnya, serangan tidak dilakukan sepenuh hati. Buktinya, serangan itu bisa dihindarkan dengan amat mudahnya. Siasat apa pula sehingga pemuda aneh ini tak melakukan serangan secara sungguh-sungguh"
Serangan yang kedua tak dilakukan Raden Yudakara. Dia hanya berkacak pinggang saja sambil menatap Purbajaya.
"Hati-hati Purba, dia adalah pamanmu sendiri," kata pemuda itu."Aku tak suka ada orang muda tak menghargai yang tua,"lanjutnya lagi.
Purbajaya tahu, kemarahan Raden Yudakara ini hanya sandiwara belaka, namun apa perlunya" Tokh yang dia bela sebenarnya jelas-jelas kaki-tangannya sendiri. Mustinya kalau mau bela, belalah dengan benar. Mengapa Raden Yudakara tidak menyerang sungguhan sehingga Purbajaya menderita luka, misalnya" Nampaknya dia pura-pura marah hanya agar Ki Jayasena merasa puas saja Purbajaya didamprat "atasan"nya.
Dan kali ini Purbajaya pun terpaksa jadi ikut bersandiwara, tak melakukan pembelaan apa-apa. Kerjanya hanya menunduk saja seperti seoang murid dimarahi gurunya.
"Ada apa ini, paman dan keponakan saling gebot seperti ini" Memalukan sekali ... " tanya lagi Raden Yudakara dengan nada menunjukkan tak senang.
"Dia!" Ki Jayasena menunjuk hidung Purbajaya.
"Dia apa?" tanya lagi Raden Yudakara.
"Dia bercinta dengan gadis itu!" jawab Ki Jayasena memberengut seperti anak kecil.
"Sudah biasa sesama anak muda saling bercinta, apanya yang aneh?" tanya Raden Yudakara heran.
"Tapi ... "
"Tapi apa, Jayasena?"
"Dia bercinta dengan anak seseorang yang saya tidak suka!"jawab Ki Jayasena akhirnya.
"Ah. Malah sungguh mulialah bila kita sanggup berbesan dengan orang yang tidak kita sukai. Dengan demikian kita bisa mengukir hidup baru melalui persahabatan. Bukan begitu, hai gadis elok?" tanya Raden Yudakara seraya mengerling tajam kepada Nyimas Wulan yang tersipu-sipu karena percakapan yang menyangkut dirinya ini. Namun demikan, gadis itu masih memiliki rasa penasaran. Buktinya dia mengajukan pertanyaan kepada Ki Jayasena.
"Sebenarnya apakah kesalahan ayahanda kepadamu, Paman?" ucapnya.
"Ah, hanya masalah kecil saja, gadis cantik," Raden Yudakara yang menjawab, membuat Nyimas Wulan tersipu karena pujian."Sesudah kau menjadi istri adikku Purbajaya, maka semua urusan bereslah sudah," lanjut Raden Yudakara membuat Nyimas Wulan tersenyum bahagia dan wajahnya penuh rasa terima kasih kepada Raden Yudakara yang mungkin terasa begitu memperhatikan dirinya.
"Terima kasih bila begitu," sambut Nyimas Wulan ceria."Selama ini Paman Jayasena selalu baik bahkan terlalu baik kepada saya. Makanya sungguh tak percaya kalau engkau bisa membenci ayahanda," tutur Nyimas Wulan lugu.
Sementara itu dari kejauhan dari arah selatan terlihat gelebur beberapa cahaya obor.
"Wulan, kau pasti dicari keluargamu ... " desis Raden Yudakara memperingatkan.
Purbajaya pun sama menduga kalau yang datang adalah rombongan yang tengah mencari Nyimas Wulan karena mungkin gadis itu pergi sendirian tanda meminta izin pada siapa pun. Dan kalau benar begitu, kejadian ini tentu akan jadi perhatian pihak keluarga Juragan Ilun Rosa.
"Cepat kau hampiri dan pulang bersama mereka," kata Raden Yudakara.
Rupanya Nyimas Wulan pun mengerti situasi. Maka sesudah berpandangan sejenak dengan Purbajaya, gadis itu segera berlari kecil menuju ke tempat dari mana rombongan itu muncul.
"Ayo kita pulang dan jangan biarkan mereka tahu kalau kita berada di sini ..." kata Raden Yudakara sambil duluan berlalu dari tempat ini.
"Si Purba ini yang menculik gadis itu, mengapa malah kita yang kelabakan?" tanya Ki Jayasena tak puas.
"Tentu. Tapi kesalahan dari kita seorang akan menjadi tanggung jawab bersama. Makanya kesulitan ini jangan sampai terjadi. Ayo cepat kita pergi!" ajak lagi Raden Yudakara.
Akhirnya mereka beriringan kembali ke wilayah utara.
*** Namun di kediaman Ki Jayasena terjadi lagi kegaduhan. Kali ini, Ki Jayasena kembali mendapat giliran kena semprot Raden Yudakara. Purbajaya mencuri dengar dari tempat sembunyi, betapa Raden Yudakara amat kesal terhadap ulah Ki Jayasena yang dianggapnya kekanak-kanakan.
"Si Purba itu bodoh dalam bercinta. Akan tetapi engkau yang bangkotan malah mau merendahkan diri rebutan perempuan dan menjadi pesaingnya!" cerca Raden Yudakara.
"Tapi Si Wulan sejak masih ingusan telah saya intip dan amati. Jadi siapa tidak akan kesal sesudah dia anum dan dewasa malah diambil orang, anak setan lagi!" jawab Ki Jayasena gemas. Namun kembali Raden Yudakara mencerca orang tua itu sebagai bangkotan yang dungu.
"Sudah aku katakan, Si Purba itu bodoh dalam bercinta. Coba saja simak, sebentar lagi gadis itu sudah lepas dari pelukannya," kata lagi Raden Yudakara dan terdengar amat menyakitkan telinga Purbajaya yang mencuri dengar.
"Tapi bukankah Raden tadi katakan kalau anak setan itu akan Raden jodohkan dengan Nyimas Wulan?" Ki Jayasena berkata khawatir.
"Yang namanya akan itu artinya belum, tolol! Mengapa perasaan khawatirmu sudah kau dahulukan" Uh, dasar bangkotan bodoh!" cerca lagi Raden Yudakara.
"Maksud Raden, di saat Si Wulan akan dijodohkan, maka gadis ranum itu cepat-cepat kita sabet, begitu?" tanya Ki Jayasena penuh semangat.
"Tidak persis seperti itu ... " gumam Raden Yudakara.
"Jadi, bagaimana?" Ki Jayasena tak sabar."Bagaimana kalau Si Sumirah anak saya saja kita berikan pada Si Purba agar pupuslah sudah persaingan kami?"
"Apa?" potong Raden Yudakara dengan suara geram.
"Maksud saya, kalau Raden sudah bosan kepada Si Sumirah, bolehlah dilepaskan dan berikan sama Si Purba ..." Ki Jayasena berkata penuh rasa takut.
"Engkau ini mengoper-oper perempuan seperti orang mengoper kambing saja, Sena ... " omel Raden udakara dengan nada sebal.
"Bukan itu maksud saya, Raden ... "
"Sudahlah, jangan ganggu aku, aku tengah berpikir!"
Diam sejenak. Sampai pada suatu saat Purbajaya mendengar siasat-siasat yang tengah dirancang pemuda aneh itu.
"Hanya Kandagalante Subangwara yang bisa mengirimkan Si Purbajaya ke Pakuan ... " gumam Raden Yudakara.
"Mengapa tidak Raden saja yang mengirimkannya?" tanya Ki Jayasena.
"Tidak. Tidak mungkin. Pamanku yang bodoh Ki Sunda Sembawa kerjanya buruk dan ceroboh. Aku sudah dengar kalau Ki Yogascitra pejabat Pakuan sudah mencurigai tindak-tanduk Ki Sunda Sembawa yanag selalu kasak-kusuk di Sagaraherang. Kalau aku datang ke Pakuan dan diketahui aku sebagai kerabat Ki Sunda Sembawa, bisa pupuslah semua rencanaku. Mati aku kalau semua orang Pakuan sama-sama jadi mencurigaiku ..."
"Ki Yogascitra" Bukankah dia pejabatpuhawang (akhli kebaharian di Pakuan?" tanya Ki Jayasena."Benar, Sena ..."
"Bukankah Si Purbajaya mau Raden pekerjakan di puri Yogascitra sebab anak dungu itu dianggap ahli kelautan?" tanya Ki Jayasena lagi.
"Memang benar sekali, Sena. Aku ingin susupkan Si Purbajaya ke puri Yogascitra untuk mengamati tindak-tanduk pejabat itu," jawab Raden Yudakara.
"Sungguh riskan melepas anak bengal itu berjalan sendirian. Bagaimana kalau dia malah bergabung dengan Pakuan dan membuka rahasia keberadaan kita?" Ki Jayasena bertanya penuh rasa khawatir.
"Anak itu rewel, gemar bertanya ini-itu dan sesekali suka membantah pada pendapatku. Namun sudah aku teliti, anak itu memang bodoh dan lugu. Dia buta politik. Hanya karena dia putra dari penguasa Tanjungpura yang amat disegani pihak Pakuan saja maka aku tetap mau memanfaatkan anak itu. Si Purba di Pakuan akan dihargai dan dipercaya karena ayahandanya amat dihargai kesetiaannya. Itu amat menguntungkan kita. Itulah sebabnya, aku tetap butuh dia. Dan aku pun percaya, dia akan tetap ikut kita. Di samping dia lugu dan awam terhadap kehidupan politik, dia pun terikat oleh sesuatu yang tak mungkin dia lepas. Dia banyak salah. Di Sumedanglarang dia bersalah, begitu pun di Carbon. Hanya aku yang bisa melindunginya. Itulah sebabnya dia akan tetap ikut aku untuk bisa kembali ke Carbon."
"Kalau dia tetap mau memisahkan diri dari kita?"
"Hm ... Di Pakuan belasan bahkan puluhan orang-orangku sudah siap-sedia mengawalnya. Kalau terlihat mencurigakan, anak-buahku akan membunuhnya di Pakuan sana ... " Raden Yudakara mendengus.
Ki Jayasena memuji jalan pikiran Raden Yudakara ini.
"Baru saya mengerti, mengapa Raden begitu "membela" anak setan itu. Saya pun mengerti, mengapa Si Purba harus punya hubungan baik dengan Ki Subangwara penguasa Tanjungpura yang sekarang," kata Ki Jayasena.
"Nah, otakmu mulai cemerlang, Sena. Memang begitulah maksudku," ujar Raden Yudakara."Kandagalante Subangwara dihargai oleh penguasa Pakuan karena kesetiaannya juga. Jadi kalau Si Purba dikirim ke Pakuan atas nama Kandagalante Subangwara, ini akan sangat memudahkan rencana-rencana kita," ujar Raden Yudakara lagi.
"Saya percaya padamu dan saya berjanji akan selalu mentaatimu, Raden ... " kata Ki Jayasena amat merendah da hormat sekali.
*** PURBAJAYA tak pernah punya ketenangan hati. Sampai dengan hari ini hidupnya tetap berada di bawah bayang-bayang orang lain. Raden Yudakara tak mau melepaskannya dan tetap berupaya agar Purbajaya ada di bawah kendalinya.
Entah siasat apa yang dia lakukan. Yang jelas, Raden Yudakara telah berhasil menjalin hubungan dengan Kanadagalante Subangwara secara mudah.
Bahkan tak lebih dari satu bulan, Raden Yudakara sudah menghasilkan kepercayaan yang membuat Purbajaya berdebar.
Di pagi hari yang cerah, Purbajaya dipanggil ke bale-gede rumah kediaman Ki Jayasena.
"Purba, sudah terlalu lama engkau tertahan di sini. Kali ini kau harus mulai melanjutkan tugasmu yang terhenti ini," kata Raden Yudakara bicara serius.
"Tugas apakah itu?" tanya Raden Yudakara dengan perasaan khawatir karena telah menduga sesuatu.
"Ini kotak surat daun nipah. Jangan kau sia-siakan sebab ini adalah surat untuk mengantarmu memasuki gerbang kehidupan di Pakuan. Kau harus menghubungi Ki Yogascitra pejabat terkenal di Pakuan. Berikan surat ini padanya dan engkau akan diterima di sana," kata Raden Yudakara seraya menyodorkan sebuah kotak mungil terbuat dari kayu cendana berukir dan berbau harum.
Purbajaya menerimanya dengana tangan agak gemetar. Mengapa tak begitu sebab penyusupan dirinya ke Pakuan dengan pura-pura menjadi akhli kelautan sudah merupakan siasat yang diatur secara resmi oleh penguasa Nagri Carbon namun kini dia menerima perintah itu dari pemuda bernama Raden Yudakara yang dia tahu memiliki ambisi pribadi dalam urusan besar ini. Dia tegang dan khawatir. Dia akan segera bisa menyusup ke pusat kota Pajajaran dengan dengan gandulan urusan pribadi pemuda bangsawan aneh ini.
Dan Purbajaya sulit untuk menghindar. Sejauh ini dia tak punya hubungan dengan orang-orang Carbon selan kepada Raden Yudakara. Sementara itu, Carbon telah mengatur agar selama bekerja sebagai mata-mata, Purbajaya harus selalu berhubungan dengan Raden Yudakara. Jadi bila melihat kenyataan ini, tidak terlihat kejanggalan dan secuil pun tidak melenceng dari perencanaan. Siapa yang bakal menyangka kalau dalam misi negara ini terselippula kepentingan pribadi"
Purbajaya sudah menduga bahwa Raden Yudakara memanfaatkan gerakan yang dilakukan Carbon guna melaksanakan ambisi politik tertentu. Hari ini dia menjadi mata-mata Carbon, hari lain dia sebaga mata-mata untuk kepentingan orang-orang Sagaraherang. Namun bila rencana sudah dilakukan dengan matang, maka hasil akhir ingin dia miliki sendiri.
Purbajaya tidak bisa melarikan diri dari genggaman pemuda itu sebab seperti yang sudah diketahui, Purbajaya akan dihadang tuduhan sebagai pengkhianat karena terbukti melawan dan menggagalkan misi Carbon ke puncak Cakrabuana. Purbajaya bahkan gurunya Ki Jayaratu akan dianggap pengkhianat dan pembelot sebab kegagalan misi di Cakrabuana juga karena "andil" mereka juga. Baik Paman Jayaratu mau pun dirinya, kukuh dengan pendapatnya bahwa pengiriman pasukan ke puncak Cakrabuana adalah tindakan sia-sia.
Purbajaya pun sama tidak bisa pulang ke Sumedanglarang sebab kematian beberapa orang dari Sumedanglarang yang ikut misi muhibah akan dipertanyakan kepadanya.
Dengan demikian, Purbajaya hanya bisa tetap bersama Raden Yudakara saja kendati dirinya amat muak.
"Itu adalah surat daun nipah dari Kandagalante Subangwara. Hanya dia yang dipercaya oleh Ki Yogascitra. Kau pasti diterima di sana. Maka bekerjalah dengan baik di sana," kata Raden Yudakara.
Purbajaya mengangguk kendati dia sangsi apa yang dimaksud "bekerja dengan baik" di sana.
"Percayakah dia pada saya?" tanya Purbajaya kemudian.
"Kalau kau ingin lihat tipe orang Pajajaran, maka simaklah sikap hidup Ki Yogascitra. Dia adalah pejabat jujur. Sedangkan orang jujur biasanya bodoh, mudah ditipu dan mudah dipermainkan orang, kata Raden Yudakara.
Purbajaya menatap wajah pemuda itu dengan senyum getir.
"Begini. Ki Yogascitra memang manusia cerdik. Itulah sebabnya, sejak Pajajaran dipimpin oleh Sang Prabu Surawisesa, (1521-1535 Masehi) sampai kepada Sang Prabu Ratu Dewata (1535-1543 Masehi) dan hingga kini di bawah kepemimpinan Sang Prabu Ratu Sakti (1543-1551 Masehi), Ki Yogascitra tetap bertahan sebagai pejabat negri. Menurut orang Pajajaran, dia adalah pemikir yang arif. Kalau mengeluarkan kritik, dia tidak terdengar sebagai kritik, bahkan Ratu (penguasa) menganggapnya pendapat Ki Yogascitra sebagai masukan yang berharga. Ki Yogascitra pun diakui sebagai pejabat yang sabar. Dia tak pernah haus kekuasaan juga tak pernah menyingkirkan saingan. Baginya jabatan adalah tanggungjawab yang harus dijalankan dan bukannya anugrah yang harus diterima. Tidak pendendam tidak pula pendengki. Tidak bercuriga dan tidak menganggap orang lain jahat." kata Raden Yudakara.
"Itulah sikap mulia ... " seru Purbajaya.
"Bukan. Itulah kebodohan," potong Raden Yudakara.
"Mengapa?"
"Kebaikan-kebaikan pejabat itu yang barusan aku paparkan adalah sebuah kelemahan. Sudah aku katakan tadi, orang jujur cenderung bodoh, sebab si jujur mudah dibodohi oleh sesuatu bernama siasat. Hanya karena dia tak pernah berbuat bohong maka dia percaya kalau orang lain tidak akan membohonginya. Hanaya karena dia tidak pernah berbuat khianat maka dia pun percaya kalau orang lain pun tidak akan berlaku khianat padanya. Itulah sebuah kedunguan, disangkanya semua kehidupan akan bersifat alamiah seperti air sungai yang mengalir selamanya dari hulu ke hilir atau seperti benda yang jatuh dari atas ke bawah dan tak akan terjadi kebalikannya. Tidak. Dan jangan dungu seperti itu sebab manusia bisa bicara hitam bisa bicara putih atau bahkan bicara hitam untuk putih atau malah sebaliknya bicara putih untuk hitam. Dan karena kita tahu Ki Yogascitra orang dungu, maka dari sudut itu pulalah kita mempermainkannya," kata Raden Yudakara panjang-lebar.
Purbajaya termangu-mangu mendengarnya. Dia memuji jalan pikiran pemuda ini yang sanggup menebak "kelemahan" orang lain namun sekaligus juga bergidik. Ini adalah jalan pikiran yang tak pernah dipikirkan oleh orang yang berpikiran wajar, kecuali atas dasar rencana-rencana jahat.
"Jangan bengong saja. Ayo cepat terima kotak kayu cendana ini dan simpan baik-baik sebab sebentar lagi kau harus segera pergi dari tempat ini," kata Raden Yudakara memotong lamunan Purbajaya.
"Kapan saya harus berangkat?"
"Malam ini juga!"
"Malam ini juga?"
"Ya, mengapa tidak?" Raden Yudakara balik bertanya.
"Rasanya perintah ini terlalu tergesa-gesa ... " Purbajaya mengerutkan dahi.
"Jangan kau katakan tergesa-gesa sebab inilah sesuatu pekerjaan yang musti dilakukan dengan cepat. Lebih cepat lebih baik sebab sesudah tugas ini, kau punya rencana kehidupan untuk mengukir masa depan," kata Raden Yudakara.
"Apakah itu?" tanya Purbajaya.
"Bukankah engkau akan menikahi Nyimas Wulan" Semakin cepat kau menyelesaikan tugas di Pakiuan, maka akan semakin cepat pula kau bersatu dengan kekasihmu," jawab Raden Yudakara. Hanya mengisyaratkan bahwa Purbajaya baru boleh menikahi Nymas Wulan bila sudah menyelesaikan tugasnya.
Purbajaya masih termangu.
"Apa yang engkau pikirkan?"
"Saya musti bertemu dulu dengan Nyimas Wulan ... "
"Gadis itu, biar aku yang urus!"
"Seperti halnya Raden "mengurus" Nyimas Waningyun tempo hari di Carbon?" Purbajaya menyindir membuat Raden Yudakara sedikit terhenyak malu. Pemuda itu melengos ke samping dan tertawa masam.
"Anggaplah aku bersalah padamu karena telah mengambil dan mempersunting gadis pujaanmu. Tapi kau harus ingat kepentingan lebih luas. Aku terpaksa menikahi Nyimas Waningyun karena semuanya demi kepentingan kita. Pangeran Arya Damar harus punya ikatan denganku agar kepercayaan yang dia berikan tidak setengah-setengah," kilah Raden Yudakara enteng-enteng saja bicaranya.
Purbajaya merasa sebal. Setiap Raden Yudakara bicara perihal kepentingannya selalu dikatakannya sebagai kepentingan "kita".
"Dan apa pula "kepentingan kita" atas diceraikannya Nyimas Yuning Purnama dari Sumedanglarang itu, Raden?" sindir lagi Purbajaya tak kepalang.
"Oh, ya?" Raden Yudakara garuk-garuk kepala. "Buat apa aku tinggal berlama-lama di wilayah itu" Dengan penguasa di sana aku tidak memiliki persesuaian paham, maka aku ceraikan gadis itu," jawab Raden Yudakara. Namun rupanya dia merasa kalau jawaban ini tidak memuaskan Purbajaya. Buktinya pemuda itu melanjutkan bualnya.
"Lagian kau harus tahu, Purba, bahwa semua yang aku lakukan tidak semata-mata karena urusan pribadi. Semuanya demi sesuatu kepentingan lebih besar. Kalau aku sudah tak punya kesesuaian paham dengan pihak penguasa, buat apa aku bercapek-capek punya istri di sana" Ingatlah, bukan cinta yang aku kejar, melainkan ambisi untuk mengejar kedudukan. Perkawinan hanyalah jembatan untuk menghubungkan diri kepada cita-cita sebenarnya sebab pada dasarnya kepercayaan penguasa hanya bisa diberikan melalui jalur kekerabatan. Kau harus tahu itu!" kilahnya.
"Pantas kau bunuhi semua orang yang tak mendukung ambisimu, Raden ..." gumam Purbajaya.
"Hm, mungkin benar begitu. Namun kematian murid-murid Ki Dita tak berkaitan dengan politik. Mereka mati mungkin karena alasan balas-dendam saja. Si Aditia itu membenciku. Syukurlah kau telah bunuh orang itu. Sementara Si Wista pemuda dungu bernyali kecil itu pernah mengadu pada ayahandanya perihal keberadaanku. Itu berbahaya. Makanya aku bunuh."
"Keji ... " gumam Purbajaya seperti lebih berkata pada dirinya saja.
"Tidak keji sebab itu untuk menjaga keselamatan diri. Kau lihatlah seekor harimau dalam mengoyak-oyak tubuh banteng. Kalau dia tak berbuat begitu, maka tubuhnyalah yang dikoyak tanduk banteng yang runcing dan kuat," kilah Raden Yudakara lagi tak habis-habisnya mengaluarkan alasan, sehingga Purbajaya hanya sanggup menghela napas saja.
"Sudahlah. Kau jangan tanya yang bukan-bukan. Jangan pula bercuriga padaku kalau gadismu takut kuganggu. Yang penting, pusatkan dulu pikiranmu dalam mengemban tugas di Pakuan," kata Raden Yudakara seperti ingin menutup obrolan.
"Tapi paman saya sepertinya ingin mengganggu keberadaan Nyimas Wulan ..." kata Purbajaya masih penasaran dan mengingatkan pemuda itu akan "sifat" Ki Jayasena.
"Dia takut padaku. Kalau aku katakan jangan ganggu, dia yakin takkan ganggu. Sudahlah, jangan kau rewelkan perihal perempuan. Aku jamin, bila kau sudah tiba di Pakuan, maka sebentar kemudian kau akan lupakan gadis lamamu sebab di Pakuana adalah sorganya segala kecantikan duniawi," potong Raden Yudakara yang mulai jengkel oleh kerewelan Purbajaya."Sebentar hari kau akan bermain-main di Taman Milakancana (taman bunga istana Pakuan). Itulah sorga dunia," lanjut Raden Yudakara lagi amat tak mengenakkan perasaan Purbajaya.
Namun demikian, akhirnya Purbajaya menerima kotak kayu cendana berisi lembaran surat daun nipah yang kata Raden Yudakara amat penting untuk dijadikan pembuka gerbang Pakuan.
Purbajaya berdiri dengan tubuh lunglai. Betapa tidak sebab kepergiannya ke Pakuan tak sempat dia khabarkan kepada Nyimas Wulan.
Tentu saja ini menyedihkan. Betapa kelak gadis itu akan kehilangan dan pasti akan merasa sedih.
*** Kalau kau punya teman satu
maka yang bisa dilihat cuma satu
kalau kau punya banyak teman
maka tak satu pun bisa dilihat
tapi kalau kau tak punya teman
maka siapa pun bisa dilihat
Ini adalah lantunan ciptaan Paman Jayaratu dan suka ditembangkan di saat santai atau di saat Paman Jayaratu termenung seorang diri.
Purbajaya kurang menyimak, apa makna lantunan ini. Kadang-kadang dia pun kuran kerasan mendengarnya sebab tembang itu dilantunkan dengan nada yang kurang enak didengar.
Namun di saat Purbajaya dalam kesendirian seperti ini, dia mencoba melantunkannya dengan suara amat perlahan. Nada lantunannya dia coba ubah agar terdengar sedikit merdu seperti tembang-tembang yang basa didengar di wilayah Pajajaran.
Orang Pajajaran kalau menyanyi selalu penuh perasaan baik temban-tembang sedih mau pun gembira.
Sambil berjalan santai menyusuri jalan setapak dan buntalan pakaian menggandul di bahu, Purbajaya bersenandung menahan sepi.
Dendang ciptaan Paman Jayaratu ini semakin dicerna semakin terasa maknanya
Kalau punya teman seorang, maka kita hanya bisa mengenal luar dalam dalam sahabat yang seorang ini. Purbajaya teringat ketika masih bersama Paman jayaratu. Dia benar-benar tak mau berpisah dengan orang tua itu sebab Purbajaya menganggap hanya Paman Jayaratulah orang terbaik baginya. Hanya Paman Jayaratu yanga sayang padanya dan yang mau mengerti perasaannya. Tak ada orang sebaik Paman Jayaratu.
Demikian pun halnya ketika dekat dengan seorang wanita. Maka wanita itu pula yang dia anggap paling baik. Ketika Purbajaya semakin dikelilingi banyak orang, maka tidak seorang pun perangai dan karakternya dia kenal dengan baik. Mereka bahkan bersaing mendekatinya dengan hati palsu. Atau bisa juga Purbajaya salah memilih karena tak hapal akan karakter sebenarnya. Dan menurut Paman Jayaratu, akan lebih baik bila kita tak memiliki teman, sebab dengan demikian kita akan menilai mereka secara objektif dan orang lain pun menilai kita secara objektif pula.
"Terkadang keberadaan seorang musuh masih lebih berguna ketimbang orang mengaku sahabat," tutur Paman Jayaratu ketika itu. Menurut orang tua ini, musuh selamanya akan membuat kita waspada dan memaksa kita melakukan instrospeksi karena dengan gamblang dan jujur seorang musuh akan selalu mencari-cari kejelekan kita.
Sebaliknya keberadaan seorang sahabat bisa tak berguna sebab yang bernama sahabat biasanya tak akan berani atau merasa segan memberitahu perihal kejelekan kita. Terkadang sahabat hanya akan meninabobokan kita dengan hal-hal yang baik saja karena ingin membuat kita senang dan sebaliknya khawatir kalau kita tersinggung oleh kritiknya.
Ya, akhirnya Purbajaya mengerti akan makna lantunan Paman Jayaratu ini. Namun demikian, sampai kini Purbajaya sulit memilih salah satu. Atau barangkali Purbajaya sulit menolak salah satu. Dia butuh cinta dan cinta bisa bersemi melalui persahabatan.Dia pun butuh banyak teman sebab teman yang banyak akan memberinya banyak keragaman dalam berpikir dan bertindak. Sementara kalau Purbajaya tak memiliki teman, rasanya hidup ini hampa. Semuanya memang bisa dilihat namun tak bisa dijamah. Semuanya ada di kejauhan dan semuanya tidak bisa dimiliki. Padahal seperti apa kata hatinya, semua orang perlu memiliki sesuatu.
Purbajaya memang belum bisa mengimbangi apa yang telah dicapai oleh pemikiran gurunya. Namun demikian, sebagai pengisi sepi Purbajaya terus berdendang. Sampai pada suatu saat dia menghentikan tembangnya karena jauh di depannya terdengar pula lantunan lain.
Ketika kau dikalahkan
maka hatimu sakit penuh dendam
namun ketika kau menang
kegembiraan tak memiliki kesempurnaan
sebab orang yang kau kalahkan
hatinya sakit penuh dendam
maka berbahagialah
orang yang mencapai kemenangan
tanpa mengalahkan
dia tak menyakiti
atau pun disakiti!
Purbajaya tertegun. Siapakah yang tengah melantun jauh di depannya"
Itu suara lantunan laki-laki. Pelan namun jernih dan kuat. Lantunannya bersahaja namun menggugah rasa. Mengapa pula orang di depannya sama melantunkan tembang" Apakah orang itu mau mengimbangi dan menyainginya" Mustahil. Purbajaya berdendan dengan suara pelan sekali, asal bisa didengar sendiri saja. Mungkin lelaki di depannya secara kebetulan saja berdendang, sama maksudnya sekadar mengusir rasa sepi.
Berpikir seperti itu, Purbajaya pun tak raGu-ragu lagi melangkah ke depan, namun kali ini dia jadi menghentikan lantunannya.
Sampai pada suatu kelokan jalan, di depannya terlihat seorang lelaki usia limapuluhan duduk bersila di atas batu bundar. Lelaki itu di kepalanya terlihat sorban putih yang ujungnya berkibar-kibar karena tertiup angin pagi. Pakaiannya serba putih dan ditutupi kain lebar sejenis jubah.
Purbajaya coba mengingat-ingat, serasa pernah melihat orang berpakaian seperti ini, namun di mana dan kapan, dia tak tahu.
Purbajaya tak mau berpikir lama, sebab dia sudah lantas menyapanya dengan sebuah salam yanag biasa diucapkan orang yang telah memeluk agama baru. Pakaian yang digunakan lelaki ini biasanya dipakai oleh orang yang telah memiliki agama baru.
"Bapak yang tengah duduk, maafkan saya numpang lewat ..." kata Purbajaya hormat sekali karena sorot mata orang itu sungguh tajam berwibawa.
"Silakan lewat. Tapi kalau boleh tanya, engkau anak muda datang dari mana dan hendak ke mana" Sepertinya engkau anak orang berada. Pakaianmu menunjukkan kau golongansantana (masyarakat pertengahan) dan bawaan di gendonganmu rupanya cukup berisikan barang berharga ... " bertanya lelaki asing ini.
Purbajaya ingin berskap hati-hati. Banyak orang jahat di sekelilingnya. Dan lelaki asing ini berani menilai keadaa dirinya. Namun Purbajaya tak percaya kalau orang yang punya sorot berwibawa ini hanya seorang penjahat belaka. Apalagi lelaki ini pandai melantunkan syair yang isinya padat penuh filsafat kendati isinya tidak benar-benar baru. Lantunan syair seperti ini Paman Jayaratu pun pernah mendendangkannya. Bahkan kalau Purbajaya tak salah mengingat, Pangeran Suwarga, Manggala (Panglima Prajurit) Nagri Carbon pun pernah berujar seperti ini.
"Tembangmu bagus, Bapak. Hanya sayang di dalam kehidupan sebenarnya hal itu tak pernah ada," Purbajaya mengritik lantunan ini.
Mendengar kritik ini sebentar dahinya terlihat berkerut namun sebentar kemudian sudah terdengar tawa rengahnya.
"Betul. Itu karena orang telah memiliki penyakit bernama ambisi. Orang cenderung ingin memiliki kelebihan dari yang lainnya, maka terjadilah saling kalah-mengalahkan," jawab lelaki berjubah putih dan berjanggut tebal ini.
"Aneh sekali, hampir semua orang berkata kalau ambisi itu penyakit, namun tokh dilakukan juga," kata lagi Purbajaya.
"Tanyakan itu pada dirimu sendiri, anak muda ..." potong orang tua setengah baya itu.
"Saya tak punya ambisi, Bapak!"
"Benarkah?"
Sejenak keduanya saling pandang namun akhirnya Purbajaya mengangguk pasti.
"Kau pernah merasa sakit hati?"
Purbajaya perlahan mengangguk.
"Nah, itulah ambisi!"
Bab 18 Purbajaya tercengang, tak mengerti akan ucapan orang tua ini. Purbajaya ikut duduk di sebuah batu lainnya sehingga akhirnya dua orang itu saling berhadapan.
"Saya tak mengerti, Bapak ... " tukas Purbajaya masih mengerutkan dahi.
"Kau punya kehendak untuk tak disakiti. Mungkin kau pernah ditinggal cinta, maka kau sakit hati. Rasa sakit hati itu muncul karena kau punya ambisi agar cinta tak lepas dari genggamanmu, agar gadis yang engkau cinta selamanya jadi milikmu dan tak ada oraang lain yang ganggu. Mungkin kau marah dan benci pada lelaki yang merebut cintamu. Nah, bukankah ini terjadi karena ambisi?" lelaki itu bicara panjang-lebar membuat Purbajaya terdesak karena benar dia pernah sakit hati karena urusan kehendak. Kehendak, bukankah ini pun ambisi"
"Bisakah manusia menghilangkan ambisinya?" tanya Purbajaya sesudah termenung sejenak.
"Mungkin tak bisa. Ambisi itu hawa-nafsu. Tuhanlah yang memberinya. Namun Tuhan pun memberi kita sebuah akal. Akal disimpan di otak. Orang bijaksana bisa memainkan perasaan, akal dan pikiran agar ambisi yang dipunyainya tidak menimbulkan huru-hara dan membahayakan kehidupan. Kau sudah diberi semuanya, tinggal kau pilih bagaimana cara memainkannya agar tak membahayakan kehidupan," kata lelaki itu masih tetap bersila dan bersuara tenang.
Purbajaya menghela napas mendengar uraian ini. Itulah sulitnya. Tidak semua orang sanggup memainkan akal, pikiran dan perasaannya untuk digunakan secara wajar tanpa membahayakan kehidupan. Terkadang orang hanya memainkan perangkat jiwanya untuk kepentingan pribadinya semata. Dan kalau sudah begini, maka perang ambisi akan timbul di mana-mana dan mencari kemenangan tanpa mengalahkan orang lain adalah bohong belaka.


Kemelut Di Cakrabuana Karya A Merdeka Permana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Saya ini anak keluarga santana dan buntalan ini berisi pakaian dan kepingan uanag logam. Dengan bekal yang cukup ini, saya ingin bertualang ke wilayah barat," kata Purbajaya mencoba memindahkan percakapan dari hal yang ruwet-ruwet.
"Bertualang ke wilayah barat tentu bukan untuk mencari keuntungan dan kesenangan, anak muda ..." kata lelaki itu.
Purbajaya kembali menatap penuh selidik.
"Ya, bukankah keramaian ada di wilayah timur seperti Carbon, misalnya?" lelaki itu menegaskan dengan nada khusus.
"Saya tak bermaksud berniaga ..."
"Kalau begitu, hati-hatilah. Kehidupan niaga penuh tipu-daya karena yang dicari hanyalah keuntungan. Kalau perniagaan tidak dilandaskan kepada aturan agama, itu akan membahayakan," kata lelaki itu."Namun harap kau ketahui, ada jenis tipu daya yang lebih berbahaya ketimbang tipu-daya dalam urusan dagang."
"Apakah itu?" tanya Purbajaya melirik.
"Bukankah sudah aku katakan kalau manausia itu penuh ambisi" Jagalah ambisimu agar ketika sampai di wilayah barat kau tidak terperosok ke dalam tindak-tanduk yang membahayakan kehidupan umat," kata lelaki itu amat mencurigakan Purbajaya.
"Siapakah Bapak ini" Saya punya keyakinan, Bapak bukan orang sembarangan. Barangkali Bapak sudah mengenal siapa saya sebenarnya," Purbajaya berjingkat dan berdiri. Dia siap menghadapi segala kemungkinan.
Lelaki itu pun ikut berdiri dan jubahnya berkibar-kibar kena tiupan angin pesisir utara.
"Kalau ketika berada di wilayah Sagaraherang kau tidak mabuk seperti raden Yudakara, barangkali kau akan tahu siapa aku," jawab orang itu bertolak pinggang dan tertawa.
Maka terbayang kembali di puri Ki Sunda Sembawa ada lelaki asing mencegat Raden Yudakara bahkan memukul roboh pemuda bangsawan itu. Purbajaya amat terkejut setelah mengingatnya.
"Anda Ki Rangga Guna?" teriak Purbajaya kaget dan memasang kuda-kuda siap untuk bertempur.
"Hahaha, aku memang Rangga Guna!" jawab lelaki itu.
Dan Purbajaya mengeluh. Belum lagi bergerak memasuki Pakuan sudah diketahui musuh. Ya, Ki Rangga Guna adalah pencinta Pajajaran. Bagaimana pun tetap akan menganggap Purbajaya sebagai musuhnya sebab diketahui berkomplot dengan Raden Yudakara. Purbajaya mengeluh. Ki Rangga Guna ini memiliki ilmu kewiraan amat tinggi. Terbukti Raden Yudakara yang pandai, hanya dalam satu gerakan santai saja telah terlontar tak berdaya oleh pukulan Ki Rangga Guna.
Urat-urat di tubuh Purbajaya menegang keras. Dia siap menghadapi ancaman baru yang datang dari Ki Rangga Guna. Namun aneh, Ki Rangga Guna hanya tertawa-tawa saja.
"Lanjutkanlah kalau kau mau melakukan perjalanan ke Pakuan," ujarnya membingungkan.
Purbajaya tetap terpaku di tempatnya.
"Mengapa masih diam" Katanya mau pergi?" Ki Rangga Guna berkata seperti mengejek.
"Mengapa engkau tidak menahanku, Ki Rangga?" tanya Purbajaya masih bercuriga.
"Karena engkau tengah mengemban misi!" kata Ki Rangga Guna.
"Misiku jahat!" Purbajaya langsung mengaku sebelum dituding orang.
"Tidak, asalkan engkau pandai memilih, anak muda ..."
Purbajaya tercengang. Aneh sekali, masa orang Pajajaran membiarkan negrinya disusupi musuh"
Sepertinya Ki Rangga Guna mengerti akan isi hati Purbajaya. Buktinya dia berkata dan mencoba menerangkan perihal sikapnya.
"Aku memang orang Pajajaran. Namun kuanggap, Carbon pun Pajajaran juga. Paling tidak, penguasa di Carbon adalah keturunan Pajajaran. Aku menghargai kepada keturunan yang mau mencoba meningkatkan keberadaan dan kebesaran leluhur. Namun menjaga kebesaran leluhur tidak selalu musti mengiktui tata-cara hidup leluhur. Kalau ada tata cara kehidupan baru yang lebih sempurna dan dijalankan untuk memperkaya kualitas hidup, aku setuju saja. Itu yang aku artikan tentang sikap-sikap Carbon selama ini."
"Tapi ... " bantah Purbajaya.
"Ya, aku tahu, ada beberapa orang Carbon yang tergelincir karena ambisi pribadinya. Itulah sebabnya aku katakan, kau harus pandai-pandai di Pakuan kelak. Sekali kau ikut tergelincir, maka tak akan ada maaf bagi petualang-petualang politik," kata Ki Rangga Guna.
"Benarkah perkataanmu, Ki Rangga?" Purbajaya masih tak percaya akan kesungguhan Ki Rangga Guna ini.
"Apa maksudmu, anak muda?" Ki Rangga Guna balik bertanya.
"Sebab saya tahu anda adalah orang Pajajaran yang ingin membela Pajajaran. Jadi, bagaimana mungkin membiarkan bahkan mendorong saya melakukan penyusupan ke Pakuan?" tanya Purbajaya masih belum yakin.
Ki Rangga Guna tersenyum mendengarnya.
"Tidak salah. Apa pun terjadi aku tetap orang Pajajaran. Namun aku pun pernah katakan, hanya kepada orang-orang yang akan merusak aku akan lawan dan halau, sementara kepada yang ingin membuat Pajajaran menjadi lebih besar aku akan bantu. Aku percaya kepada Kangjeng Susuhunan Jati dan aku pun percaya kepada pembantunya bernama Pangeran Suwarga," tutur Ki Rangga Guna lagi.
"Benarkah begitu" Lantas bagaimana dengan Raden Yudakara, misalnya?" tanya Purbajaya.
"Aku menentang orang itu sebab ia tak berdiri di atas kepentingan Carbon, melainkan karena ambisi pribadi semata," tutur Ki Rangga Guna lagi.
"Banyak yang memiliki kepentingan pribadi seperti itu ... " gumam Purbajaya sambil mengerutkan dahi, kemudian menundukkan wajah.
"Ya, aku tahu itu. Itulah sebabnya selama ini aku mengawasi mereka. Tujuan-tujuan mulia dari Kangjeng Susuhunan Jati jangan sampai ternoda oleh perilaku petualang-petualang macam mereka."
"Syukurlah Ki Rangga Guna berpikiran seperti itu," kata Purbajaya gembira.
"Ya, pergilah engkau segera sebab perjalanan masih jauh dan marabahaya akan selamanya mengancammu, anak muda ... "
Ki Rangga Guna berjingkat sepertinya memberi kesempatan kepada Purbajaya agar segera melanjutkan perjalanannya.
"Engkau bijaksana terhadap negrimu, Ki Rangga ... " Purbajaya memuji orang tua itu setulus hatinya.
Mendengar pujian ini, Ki Rangga Guna hanya tersenyum tipis. Dia berpaling dan menatap ke arah barat, ke dataran rendah wilayah Muaraberes nun jauh di sana.
"Kehidupan terus berputar, meninggalkan yang lama dan menghadirkan yang baru. Ibarat sebuah pertunjukanwawayangan , ki dalang sudah tahu jauh sebelumnya akan rentetan ceritera, sehingga dia bisa menjajarkan golek, kapan yang sudah berlakon dan musti masuk kotak, dan kapan pelakon baru yang musti naik panggung. Yang baru datang tak perlu sombong dan mencemooh kepada yang lama dan sebaliknya yang lama tak perlu dengki melihat kehadiran yang baru," kata Ki Rangga Guna dan akhirnya dia bersenandung dengan nada-nada penuh perasaan.
Tak akan ada yang baru
bila tak ada yang lama
yang lama peletak dasar kehidupan
yang baru penerus sejarah
yang lama memperjuangkan
kesempurnaan yang baru menyempurnakan
kalau hidup dan mati untuk kebaikan
maka tak perlu disesalkan yang hidup
dan tak perlu disesalkan yang mati
hidup dan mati sama-sama penuh arti!
*** MUDAH diduga kalau Raden Yudakara tidak mau melanjutkan hingga Pakuan. Di wilayah pusat kekuasaan Pajajaran ini, Raden Yudakara sebetulnya tidak terlalu bisa bergerak. Kalau pun dia memiliki pengaruh, itu terbatas di wilayah Pajajaan sebelah timur saja. Sementara di lingkungan dayo (ibu kota), Raden Yudakara tak berarti apa-apa. Pengaruh yang dia miliki di sana, hanya terbatas pada pejabat-pejabat yang sudah berpaling kesetiaannya pada penguasa sekarang.
Ketika Purbajaya tiba di tepian sungai Cihaliwung (Ciliwung), hari sudah mulai senja. Namun demikian, biduk-biduk kecil nampak hilir-mudik membawa muatan barang. Hanya biduk-biduk kecil semata. Menandakan bahwa kehidupan perdagangan di perairan tidak seramai manakala muara sungai ini masih dikuasai oleh Pajajaran.
Dulu semasa Pajajaran diperintah oleh Sang Prabu Sri Baduga Maharaja (1462-1521 Masehi), perdagangan internasional amat berkembang di sini sebab Pajajaran memiliki tujuh pelabuhan penting yang menghubungkan jalur ekonomi laut ke negri-negri sebrang. Perdagangan internasional ini terus berlanjut sampai Pajajaran diperintah oleh Sang Prabu Surawisesa (1521-1535 Masehi). Hubungan dengan bangsa asing kian dekat. Sampai pada suatu saat, situasi ini dianggap tak menguntungkan Kerajaan Demak. Sebagai negara yang berhaluan agama baru, Demak memiliki hubungan dagang dengan pedagang-pedagang muslim dari Gujarat.
Ketika Pajajaran mengadakan kerja-sama dagang dengan Portugis, saudagar muslim ruang-geraknya dibatasi oleh bangsa asing itu. Apalagi ketika Portugis menguasai Selat Malaka, para pedagang muslim terputus kegiatannya di Nusantara. Hal-hal semacam ini tentu merugikan Kerajaan Demak. Itulah sebabnya, Demak yang dibantu Carbon yang sudah memisahkan diri dari Pajajaran, segera menyerang dan merebut Banten, salah satu pelabuhan penting Pajajaran.
Mengapa Banten yang pertama kali direbut, sebab penduduk Banten kebanyakan sudah masuk agama baru tapi yang kehidupannya dibatasi oleh Portugis. Maka Banten mudah direbut sebab penduduknya membantu pihak penyerbu. Demikianlah, Banten menjadi milik Demak dan Carbon pada tahun 1526. Kemudian setahun sesudah itu (1527), Pelabuhan Kalapa (Sunda Kalapa kini), direbut pula oleh Demak dan Carbon dan namanya berubah menjadi Jayakarta.
Istana Tanpa Bayangan 3 Pendekar Sejagat Seri Kesatria Baju Putih Karya Wen Rui Ai Pendekar Panji Sakti 3
^