Pencarian

Kemelut Kerajaan Mancu 1

Kemelut Kerajaan Mancu Seri Huang Ho Sianli 2 Karya Kho Ping Hoo Bagian 1


Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Seri Huang Ho Sianli 2
Kemelut Kerajaan Mancu
Karya : Asmaraman S Kho Ping Hoo
Sumber djvu : Tiraikasih http://kangzusi.com
Convert & Edit by : Dewi KZ
Ebook oleh : Dewi KZ
TIRAIKASIH WEBSITE
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
KEMELUT KERAJAAN MANCU
Karya: ASMARAMAN S. KHO PING HOO
Pelukis: YOHANES H.
Percetakan & Penerbit CV GEMA Mertokusuman 761 RT 02
RW VII Telp./Faks. (0271) 635801 Surakarta 57122
Hak c ipta dari cerita ini sepenuhnya berada pada CV
GEMA di bawah lindungan Undang - Undang. Dilarang
mengutip / menyalin / menggubah tanpa ijin tertulis dari CV
GEMA. CV. GEMA Jilid I MATAHARI memuntahkan panasnya melalui cahayanya
yang membakar seluruh permukaan bumi. Hari menjadi amat
cerah, langit bersih seolah semua awan ketakutan menyingkir
dari cahaya matahari. Namun Sungai Kuning (Huang-ho)
seolah tidak merasakan teriknya matahari. Di sepanjang
sungai dan kedua tepinya yang dihias pohon-pohon dan
tumbuh-tumbuhan subur itu tampak hijau dan sejuk. Seolah
sungai yang lebar itu menyerap semua hawa panas yang
mengandung kehidupan itu. Burung-burung dan binatang
lain mencari perlindungan di bawah pohon-pohon dan di
antara daun-daun yang sejuk. Bahkan para nelayan yang
biasanya menjala atau memancing ikan, pada siang hari yang
terik itu pergi mengaso, tidak kuat menahan panasnya sinar
matahari. Huang-ho (Sungai Kuning) tampak sepi pada siang
hari itu. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tiba-tiba dari jauh tampak meluncur seorang, wanita di
atas air sungai. Kalau ada yang melihatnya pada saat itu,
tentu dia akan tercengang keheranan, mungkin lari ketakutan
dan mengira bahwa wanita itu adalah setan yang dapat
berjalan di atas air! Akan tetapi kalau dilihat dari jarak agak
dekat, tentu dia akan mengira bahwa yang meluncur di atas
aif itu adalah seorang Dewi atau Bidadari.
Ia memang cantik jelita. Rambutnya yang digelung ke atas
itu agak terurai karena hembusan angin sehingga beberapa
gumpalan anak rambut bermain-main di dahi dan pipinya.
Rambut yang hitam lembut panjang dan agak berikal.
Mukanya berbentuk bulat te lur, sepasang matanya mencorong
tajam dan memiliki daya tarik yang memikat, hidungnya
mancung dan mulutnya bersaing indah dengan matanya,
memiliki daya pikat yang akan menimbulkan gairah dalam hati
setiap orang pria yang melihatnya. Apalagi di kanan kiri
mulutnya terdapat lesung pipi yang amat manis. Kulitrfya
putih bersih dan kini kedua pipinya kemerahan karena panas
matahari. Ia bukanlah seorang dewi apalagi setan penunggu sungai.
Ia seorang gadis yang usianya sekitar dua puluh tahun,
bertubuh sintal denok dan berwajah cantik jelita. Pakaiannya
dari sutera putih dan kalau ia tampak seperti orang berjalan di
atas air sesungguhnya ia sedang meluncur dengan cepat di
atas air! Bukan berdiri di atas kedua kakinya, melainkan ia
menggunakan terompah papan selancar. Dengan ilmu gin-
kang (meringankan tubuh) yang sudah tinggi tingkatnya, ia
dapat berdiri di atas papan lalu dengan pengerahan khi-kang
ia dapat mendorong kedua kaki yang menginjak papan itu
sehingga ia meluncur dengan cepat di atas air!
Gadis itu bernama Ciu Thian Hwa, seorang pendekar wanita
yang selain cantik jelita juga amat lihai. Ia malang melintang
di dunia kang-ouw, membela kebenaran dan keadilan,
menentang kejahatan dengan keras sehingga ia terkenal
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dengan julukan Huang-ho Sian-li (Dewi Sungai Kuning).
Setelah mengalam i banyak hal yang menimbulkan kepahitan
dan kekecewaan hati yang membuat hatinya terasa sedih,
akhirnya ia mengambil keputusan untuk mencari gurunya
yang juga menjadi kakek angkatnya. Gurunya adalah Thian
Bong Sianjin yang dulu sebelum bertobat menjadi pendeta
berjuluk Huang-ho Sui-mo (Setan Air Sungai Kuning).
Thian Hwa makin mempercepat luncuran papan selancarnya di atas air. Setelah berada di atas Sungai Huang-
ho kembali, ia merasa gembira dan sedikit demi sedikit
lenyaplah segala kekecewaan dan kepahitan yang dideritanya.
Ia merasa telah kembali ke tempat yang sesuai dan cocok
baginya, yaitu Sungai Huang-ho dan karena ia tahu bahwa ia
seolah kembali di sungai itu, dan ibu kandungnya lenyap pula
di situ, maka ia merasa seolah-olah kini ia berada dekat
dengan ibunya. Ia merasa seakan-akan ia telah mendapatkan
kembali ibunya, yakni sungai dengan airnya yang luas itu! Ia
meluncur dan memandang permukaan air dengan hati
terharu, dan dengan cekatan ia membungkuk untuk
menggunakan tangannya menyendok air lalu air ia siramkan
ke mukanya! Angin Sungai Huang-ho meniup mukanya yang
menjadi segar dan nyaman. Lenyaplah segala kesedihannya!
Ketika air Sungai Huang-ho mulai sukar ditempuh karena
banyak terdapat air terjun dan terkadang penuh dengan batu-
batuan Thian Hwa lalu mendarat dan berlari cepat menyusuri
Lembah Sungai Huang-ho. Setiap kali bertemu dusun nelayan
ia bertanya-tanya barangkali ada yang melihat Thian Bong
Slari-jin. Beberapa kali ia mendapat keterangan bahwa kakek
itu menuju ke hulu Sungai Huang-ho, ke arah barat. Maka ia
pun melanjutkan perjalanan menyusuri pantai ke hulu, daerah
yang belum pernah ia jelajahi.
Setelah melakukan perjalanan selama sebulan lebih, pada
suatu hari tibalah la disebuah dusun di tepi sungai. Dusun Itu
cukup ramai dihuni oleh para petani dan nelayan sebanyak
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sekitar lima puluh rumah atau keluarga. Di dusun ini Thian
Hwa mendengar bahwa tiga hari yang lalu seorang kakek
membasmi gerombolan perampok yang mengganggu dusun
itu. Hatinya girang bukan main mendengar bahwa kakek itu
berusia sekitar lima puluh enam tahun, berpakaian serba
putih, pakaian pendeta To dan mukanya tanpa kumis atau
jenggot dan di punggungnya tergantung sebatang pedang.
Gambaran itu adalah gambaran kong-kongnya! Ia lalu mencari
keterangan ke mana kakek itu pergi dan seorang penduduk
dusun menceritakan bahwa dia melihat kakek penolong
mereka itu tinggal di sebuah, kuil tua yang tidak terpakai lagi,
di puncak sebuah bukit kecil di tepi sungai.
Thian Hwa cepat mendaki bukit itu dan kagum melihat
keindahan pemandangan alam di atas bukit itu. Melihat
keadaan bukit yang tanahnya subur dan hawanya sejuk itu ia
merasa betah dan senang sekali. Apalagi ketika ia menemukan
kuil kosong di puncak bukit dan melihat Thian Bong Sianjin
duduk bersila di atas sebuah batu depan kuil!
"Kong-kong....!" Ia berseru dan berlari cepat menghampiri.
Thian Bong Sianjin memandang gadis itu dan tersenyum
dengan wajah berseri.
"Aha, Thian Hwa, akhirnya engkau datang juga! Bagaimana
hasilnya dengan penyelidikan selama beberapa bulan ini?"
Ditanya demikian, Thian Hwa teringat akan semua
pengalamannya dan ia lalu menjatuhkan diri berlutut di atas
tanah depan kakek itu dan tak dapat menahan diri lagi
menangis terisak-isak!
"Aih, inikah cucuku yang biasanya gembira, pemberani,
keras hati dan jujur itu" Mengapa kini menjadi cengeng?"
Kakek itu lalu turun dari atas batu dan membungkuk,
mengelus rambut kepala Thian Hwa. Gadis itu bangkit berdiri
dan merangkul, menangis di atas dada kakek yang selama ini
ia anggap sebagai pengganti orang tuanya itu. Thian Bong
Sianjin membiarkan gadis itu menangis sehingga air matanya
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
membasahi jubah bagian dadanya, hanya mengelus kepala
gadis yang amat dikasihinya itu. Dia maklum bahwa cara
terbaik bagi seorang untuk melepaskan himpitan duka dalam
hati adalah melalui cucuran air matanya.
Setelah tangis Thian Hwa mereda, kakek itu berkata halus.
"Tenangkan hatimu, Cucuku. Duduklah di atas batu di
depanku ini dan ceritakan semuanya kepadaku. Tidak ada
perkara apa pun di dunia ini yang tidak dapat kita atasi,
asalkan kita menerimanya sebagai suatu kenyataan yang
wajar. Tidak ada masalah dalam hidup ini kecuali kalau kita
menerima suatu peristiwa sebagai masalah. Kita sendiri yang
membuat masalah dan kita pula yang mengakhiri masalah
itu." Thian Hwa sudah menumpahkan semua ganjalan hati
melalui air matanya. Kini dadanya terasa lapang dan ia
memperoleh kembali ketenangannya. Ia menggunakan sehelai
saputangan untuk mengusap sisa air mata dari mata dan
mukanya sampai kering, baru ia menaati ucapan kakeknya
dan duduk bersila di atas sebuah batu di depan kakek itu
yang kini sudah duduk kembaii di tempat semula.
"Nanti dulu, Kong-kong," katanya dan kini suaranya sudah
tenang dan biasa kembali. "Sebelum aku menceritakan semua
pengalamanku, aku ingin tahu lebih dulu apa maksud Kong-
kong ketika mengatakan bahwa tidak ada masalah dalam
hidup ini. Bagaimana mungkin tidak ada masalah kalau dalam
kehidupan ini banyak terjadi peristiwa menimpa kita yang
mendatangkan kekecewaan, penasaran, dan kedukaan?"
Kakek itu tersenyum ramah, matanya yang bersinar tajam
namun lembut itu menatap wajah cucunya dengan penuh
pengertian. "Hidup ini sendiri akan menjadi masalah kalau kita
menerimanya sebagai masalah. Peristiwa apa pun yang terjadi
para diri kita merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat
diubah pula. Kenyataan apa adanya itu adalah suatu
kewajaran. Biasanya, nafsu yang mengaku-aku dan selalu
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mementingkan diri sendiri, mengejar kesenangan sendiri itulah
yang menimbulkan penilaian terhadap apa yang terjadi, lalu
timbul apa yang disebut menyenangkan atau menyusahkan.
Kalau merugikan, lalu dianggap sebagai suatu masalah yang
menimbulkan rasa khawatir, takut, penasaran, kecewa, benci
atau duka."
Thian Hwa mengerutkan alisnya, merasa bingung. "Kong-
kong, tolong diberi contoh agar aku tidak menjadi bingung."
"Misalnya hujan lebat turun. Peristiwa yang menimpa kita
ini adalah satu kenyataan yang tak dapat diubah oleh siapa
pun juga. Baikkah atau burukkah peristiwa ini" Menjadi
masalah ataukah suatu kewajaran" Tergantung bagaimana
kita menerimanya. Kalau kita terima sebagai hal yang
merugikan kita, timbullah kekecewaan dan kedukaan. Kalau
kita terima sebagai kenyataan apa adanya, suatu kewajaran,
maka akan timbullah kebijaksanaan dalam batin kita sehingga
kita dapat mengatasinya, misalnya dengan ber-teduh, bahkan
dapat memanfaatkan peristiwa itu membuat bendungan
menyalurkan airnya dan sebagainya. Demikian sebaliknya
kalau hari panas sekali. Kita dapat berlindung dari sengatan
sinar matahari dan dapat memanfaatkan sinar yang panas itu
untuk menjemur dan se-bagainya, bukan menerimanya
sebagai suatu masalah yang menimbulkan nafsu marah,
kecewa, penasaran, takut yang mendatangkan duka.
Mengertikah engkau, Thian Hwa?"
Thian Hwa diam sejenak, lalu mengangguk-angguk
perlahan. "Ah, aku mulai mengerti, Kong-kong. Jadi, apa pun
yang menimpa diri kita, dari yang paling menyenangkan
sampai yang paling tidak menyenangkan, seperti penyakit dan
ke-matiah, adalah suatu hal yang wajar dan tidak dapat
diubah lagi, suatu kenyataan sehingga
kita harus menerimanya tanpa menjadikannya suatu masalah. Begitukah" Akan tetapi bagaimana mungkin manusia dapat
hidup tanpa dipengaruhi segala macam perasaan, terutama
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
susah senang itu" Manusia hidup tanpa perasaan menjadi
seperti mati!"
"Bukan demikian, Cucuku. Manusia hidup memang tidak
mungkin mematikan atau menghilangkan nafsu. Nafsu
menjadi peserta manusia dalam hidupnya di alam fana ini.
Yang terpenting adalah keseimbangan, menjaga agar nafsu
jangan memperhamba kita, melainkan menjadi peserta dan
pembantu kita. Ada pelajaran dari Guru Besar Khong Cu yang
bijaksana dalam Kitab Tiong Yong, begini bunyinya: HI HOU Al
LOK CI BI HOAT, WI Cl TIONG. HOAT JI KAI TIONG CIAT, WI
CI HO. Artinya: Sebelum perasaan Girang Marah Duka dan
Suka timbul, batin berada dalam keadaan Tegak Lurus.
Apabila berbagai perasaan itu timbul namun mengenal batas
(dapat mengendalikan), batin berada dalam keadaan selaras
(seimbang)."
Gadis itu mengangguk-angguk. "Sekarang aku mengerti,
Kong-kong."
"Nah, sekarang ceritakanlah apa saja yang kaualami
sehingga engkau hampir kehilangan keseimbanganmu."
Dengan lancar dan tabah Thian Hwa menceritakan semua
pengalamannya. Betapa ia bertemu dengan Cui Sam atau


Kemelut Kerajaan Mancu Seri Huang Ho Sianli 2 Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang sebutannya Lo Sam, kakeknya atau ayah dari ibunya
yang kini bekerja sebagai pelayan Pangeran Cu Kiong. Dari
kakeknya ini ia mengetahui" bahwa ibunya bernama Cui Eng
yang menjadi selir Pangeran Ciu Wan Kong, kemudian ketika
melahirkan anak perempuan, yaitu dirinya, ibunya itu diusir
oleh keluarga Pangeran Ciu Wan Kong. Menurut cerita
kakeknya, Kakek Cui Sam dan Cui Eng hendak kembali ke
kampung halaman mereka di selatan, akan tetapi ketika
menyeberangi Sungai Huang-ho, perahu mereka terbalik dan
Cui Sam, Cui Eng dan bayinya hanyut.
"Kakek Cui Sam dapat menyelamatkan diri, akan tetapi dia
kehilangan ibu dan aku yang dia kira tentu tewas tenggelam."
kata Thian Hwa melanjutkan ceritanya. "Aku merasa sakit hati
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sekali kepada Pangeran Ciu Wan Kong dan pada suatu malam
kudatangi gedungnya, akan kubunuh untuk membalaskan
kematian Ibu kandungku. Akan tetapi ketika tiba di kamarnya
dan melihat dia berduka cita mengamati gambar Ibuku, aku
menjadi tidak tega. Apalagi dia ketika melihat aku mengira
bahwa aku adalah Ibuku, dan dia... dia... tertawa menangis
seperti orang gila!"
"Siancai....! Kekuasaan Thian (Tuhan) Yang Maha Adil tak
pernah berhenti bekerja. Setiap orang manusia takkan
terhindar dari akibat perbuatannya sendiri. Siapa menanam,
dia akan memetik buahnya. Hukum ini berlaku di seluruh alam
semesta dan sudah wajar dan adil! Lanjutkan ceritamu, T hian
Hwa." Thian Hwa melanjutkan ceritanya, betapa sebelumnya, ia
juga telah menolong Pangeran Ciu Wan Kong yang ternyata
ayah kandungnya sendiri itu dari serangan ular air. Kemudian
betapa ia terlibat perkara dengan Pangeran Leng Kok Cun
yang merencanakan pemberontakan. Akhirnya ia ketahuan
bahwa ia hanya seorang penyelundup dan dikeroyok para
jagoan dan ia melarikan diri berlindung ke gedung Pangeran
Cu Kiong yang dianggap saingan Pangeran Leng Kok Cun.
"Hemm, ternyata terjadi perebutan kekuasaan di antara
para pangeran! Ha-ha-ha, penyakit lama itu selalu terdapat
dalam setiap pemerintahan kerajaan. Agaknya Kerajaan
Mancu tidak terkecuali,
diam-diam terjadi perebutan
kekuasaan di antara mereka sendiri. Lalu bagaimana, Thian
Hwa?" "Setelah aku mengalami guncangan akibat pertemuanku
dengan Ayah kandungku, aku mengalami guncangan kedua
yang amat menyakitkan hati, Kong-kong. Pangeran Cu Kiong
yang masih muda, tampan dan halus budi bahasanya itu amat
baik kepadaku, bahkan dia mengaku cinta kepadaku dan
hendak memperisteri aku. Aku bodoh sekali, Kong-kong, aku
terpikat dan tertarik kepadanya. Aku percaya padanya. Baru
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kemudian aku mendengar dia bicara dengan tujuh orang
pengawalnya, yaitu Kam-keng Chit-sian, dan baru aku ketahui
bahwa dia hanya ingin mempergunakan tenagaku. Dia
bermaksud mengambil aku sebagai seorang selirnya dan
memanfaatkan tenagaku untuk membantu dia dalam
perebutan kekuasaan itu. Aih, Kong-kong, perasaan ku sakit
sekali. Bahkan ketika aku hendak pergi meninggalkan dia,
Pangeran Cu Kiong hendak menahanku dengan paksa,
mengerahkan tujuh orang pengawalnya untuk mengeroyok
dan menangkap aku. Aku melawan akan tetapi nyaris aku
celaka di tangan tujuh orang yang cukup tangguh itu kalau
tidak muncul Bun-ko yang membantuku."
"Ah, jadi Yan Bun menyusulmu dan dapat menolongmu?"
"Benar, Kong-kong. Dengan bantuan Bun-ko akhirnya kami
dapat merobohkan empat dari tujuh orang Kam-keng Chit-sian
itu. Kemudian kami meninggalkan gedung Pangeran Cu Kiong
dan aku lalu pergi mencarimu, Kong-kong."
"Hemm, lalu bagaimana dengan Pangeran Cu Kiong"
Engkau tidak melakukan apa-apa terhadap dirinya?"
Thian Hwa menghela napas panjang dan menggeleng
kepalanya. "Aku tidak tega membunuhnya."
"Hemm, engkau masih mencintanya, Thian Hwa?" Tanya
kakek itu dengan alis berkerut.
Thian Hwa menghela napas
lagi. "Aku memang
mencintanya, Kong-kong, akan tetapi aku juga membencinya!"
"Siancai....! Kasihan, Cucuku mulai menjadi permainan
cinta. Dan bagaimana dengan Yan Bun" Setelah dia
menolongmu, lalu di mana dia?"
"Kami berpisah, Kong-kong dan Bun-ko... dia pun berterus
terang bahwa dia dan Paman Ui Hauw mengharapkan agar
aku menjadi jodohnya. Akan tetapi aku menolak, Kong-kong,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
karena selain aku sama sekali tidak mempunyai perasaan lain
terhadap Bun-ko kecuali merasa dia sebaga kakakku, juga aku
merasa muak kepada laki-laki yang cintanya palsu seperti
kutemui pada diri Ayah kandungku sendiri dan pada Pangeran
Cu Kiong! Aku merasa jera untuk jatuh cinta lagi, Kong-kong!"
Kakek itu mengangguk-angguk. "Aku dapat memahami
perasaanmu, Thian Hwa. Dikecewakan dalam hubungan cinta
memang menyakitkan sekali dan membuat kita merasa jera.
Akan tetapi, perasaan itu sama sekali tidak benar, T hian Hwa.
Aku sendiri sudah merasakan. Karena jera akibat cinta gagal,
aku membujang selama hidup dan akibatnya, aku tidak
mempunyai keturunan. Untung aku menemukan engkau,
kalau tidak, di masa tuaku ini aku akan hidup sebatang kara
dan bukan tidak mungkin matiku nanti akan terlantar karena
tidak ada keluarga yang merawat."
"Kong-kong! Jadi Kong-kong juga pernah gagal dalam
cinta" Bagaimana riwayatnya, Kong-kong" Siapa wanita yang
pernah engkau cinta?"
Kakek itu menghela napas panjang. "Sesungguhnya cerita
lama itu sudah tak pernah kuingat lagi, Thian Hwa. Akan
tetapi agar dapat engkau jadikan bahan pertimbangan, boleh
juga kau ketahui. Dua puluh tahun lebih yang lalu aku pernah
saling mencinta dengan seorang pendekar wanita yang lihai.
Ilmu silatnya setingkat denganku dan kami sudah saling
berjanji untuk menjadi suami isteri."
"Siapakah nama pendekar wanita itu, Kong-kong?"
"Namanya" Aih, mengapa engkau menanyakan namanya
segala" Baiklah, namanya Souw Lan Hui, murid Bu-tongpai
dan di dunia kang-ouw ia mendapat julukan Sin Hong-cu
(Burung Hong Sakti)."
"Uih! T entu ia secantik burung Hong!"
Thian Bong Sianjin menghela napas. 'Siancai! Ia memang
cantik dan pada waktu itu aku merasa bangga dan bahagia
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sekali. Akan tetapi segala sesuatu tidaklah abadi. Pada suatu
hari kami bertemu dengan seorang pangeran muda. Begitu
bertemu, mereka saling tergila-gila dan kami pun berpisah. Ia
menikah dengan pangeran itu!"
"Ihh! Kenapa begitu" Cintanya kepada Kong-kong hanya
palsu!" seru Thian Hwa penasaran. "Siapa sih pangeran itu"
Hemm, tidak urung dia akan disia-siakan seperti halnya Ibu
kandungku!"
"Tak perlu diketahui siapa pangeran itu. Dugaanmu keliru.
Siapa orangnya berani mempermainkan Si Burung Hong Sakti"
Kalau pangeran itu berani mengambil seorang selir saja, pasti
dia akan menjadi korban siang-kiam (sepasang pedang) Souw
Lan Hui! Apalagi sampai berani menyia-ny iakan! Dan tentang
kepalsuan cinta, Cucuku, semua cinta yang dimiliki manusia
dan yang didorong nafsu semuanya berpamrih, semuanya
palsu. Engkau tahu sekarang, bukan hanya laki-laki saja yang
suka mempermainkan cinta, wanita pun ada. Jadi, jangan
menganggap semua laki-laki itu tukang mempermainkan cinta
dan wanita! Sudahlah, sekarang engkau masih amat muda,
baru delapan belas tahun. Kelak engkau akan mengerti
sendiri. Sekarang kita membicarakan orang tuamu. Pangeran
Ciu Wan Kong itu jelas adalah Ayah kandungmu dan engkau
bermarga Ciu, keturunan seorang pangeran!"
"Aku tidak sudi menggunakan marga pangeran yang jahat
dan yang mengusir Ibu kandungku, menyebabkan kematian
Ibuku!" T hian Hwa berkata ketus.
"Nanti dulu, Thian Hwa. Melihat dia masih berduka dan
mengingat Ibumu, berarti dia mencinta Ibumu. Perlu
kauketahui dulu mengapa Ibumu dulu diusir dan siapa yang
mengusirnya. Mungkin Cui Sam, Kakekmu itu dapat
menceritakannya. Selain itu, belum tentu pula kalau Ibumu
sudah mati."
"Eh" Apa maksudmu, Kong-kong?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Dulu, ketika aku menemukan engkau yang masih bayi,
kupikir tentu ada orang-orang dewasa yang hanyut pula.
Mungkin orang tuamu. Maka aku sudah berusaha mencari,
akan tetapi tidak menemukan sebuah pun mayat terapung.
Bukan mustahil kalau Ibumu juga dapat menyelamatkan diri
seperti Kakekmu itu, atau mungkin juga diselamatkan orang,
seperti engkau kuselamatkan."
"Ahh....!" Wajah gadis itu berseri, matanya bersinar-sinar
penuh harapan. "Kalau begitu, aku akan mencarinya, Kong-
kong!" "Tenang dulu, Thian Hwa. Agaknya, untuk menyelidiki
tentang Ibumu, engkau harus mulai dari kota raja, menemui
Kakekmu. Dan mengingat akan pengalamanmu di kota raja, di
sana sedang terjadi pertentangan dan persaingan dalam
memperebutkan kekuasaan dan di sana terdapat orang-orang
pandai yang mungkin akan mengancam keselamatanmu. Oleh
karena itu, sebelum engkau pergi lagi, perlu sekali engkau
memperdalam ilmu kepandaianmu. Akan kuajarkan semua
ilmu yang kukuasai agar kepandaianmu meningkat dan tidak
mudah engkau tertimpa bencana."
Thian Hwa tidak berani membantah dan ia memang
maklum bahwa di kota raja banyak terdapat orang pandai
yang jahat, maka perlu ia membekali diri dengan kepandaian
yang tinggi. Maka mulai hari itu, ia tekun memperdalam
ilmunya dibawah gemblengan Thian Bong Sianjin yang amat
mengasihinya. Sejak jaman kuno sekali, Cina memang memiliki
kebudayaan yang sangat tinggi. Maka tidaklah mengherankan
apabila bangsa-bangsa yang pernah menjajah Cina, seperti
bangsa Kin dan bangsa Mongol dahulu, setelah menjajah Cina
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mereka itu malah terseret oleh kebudayaan Cina. Para
penjajah itu tidak mungkin dapat mengubah kebudayaan dan
dari rakyat Cina yang jumlahnya berpuluh kali lipat lebih
banyak dari pada jumlah rakyat penjajah. Karena kebudayaan
Cina memang lebih tinggi, pula untuk dapat menyesuaikan diri
sehingga cepat menarik hati dan menguasai rakat Cina
dengan baik, para penjajah itu mengubah diri menjadi Cina,
baik budayanya, adat istiadat, sastra dan bahasanya, bahkan
namanya! Demikian pula dengan bangsa Mancu. Biarpun bangsa
Mancu telah menguasai sebagian besar daratan Cina bagian
utara, yaitu dengan perbatasan Sungai Yang-ce ke utara,
sedangkan bagian selatan Surgai Yang-ce masih dikuasai sisa
pendukung Kerajaan Beng yang dipimpin oleh Wu Sam Kwi di
barat daya dengan ibu kota Yunnan-hu dan dua orang
pemimpin rakyat lain yang tidak begitu besar kekuatannya,
namun tetap saja penjajah Mancu juga menyesuaikan diri
dengan tata-cara hidup bangsa pribumi Han. Bahkan terkenal
ejekan di antara para pendekar pejuang pribumi Han bahwa
para pangeran, bangsawan dan pembesar tinggi penjajah
Mancu itu menjadi "lebih Cina daripada pribumi Cina sendiri"!
Namun, siasat penjajah Mancu ini memang berhasil, karena
dengan membaurkan diri dengan pribumi Han, Kerajaan Ceng
(Mancu) ini menarik simpati orang-orang Han. Kerajaan Ceng
menghargai orang-orang pribumi yang memiliki kepandaian
tinggi, memberi mereka kedudukan penting. Pemerintah
Mancu memang mengharuskan rakyat yang laki-laki
memelihara rambut yang dikuncir, akan tetapi mereka sendiri,
para pangeran dan bangsawan, juga menggunakan kebiasaan
ini sehingga rakyat Han tidak merasa terhina. Pula, para
bangsawan itu sengaja mengubah nama Mancu menjadi nama
Cina sehingga sukarlah diketahui apakah seorang pembesar
itu berdarah Mancu ataukah Han, apalagi karena orang-orang
Mancu itu juga memakai bahasa Han dan tata-cara hidup dan
kebudayaan Han!
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Pada waktu kisah ini terjadi, yang menjadi kaisar Kerajaan
Ceng (Mancu) adalah Kaisar Shun Chi (1644-1661). Ketika
Thian Hwa memperdalam ilmu-ilmunya di atas bukit di
Lembah Huang-ho, pada waktu itu Kaisar Shun Chi sudah tua.
Kaisar ini memang berwatak lemah sehingga dia mudah
dipengaruhi oleh para Thaikam (Sida-sida, orang kebiri), yang
menjadi pengurus terpercaya dalam istana. Kaisar Shun Chi
bagaikan boneka dan jalannya pemerintahan seolah
dikendalikan para Thaikam. Pada waktu itu, Kepala Thaikam
yang menjadi penasehat utama kaisar adalah seorang Sida-
sida bernama Boan Kit yang berusia lima puluh tahun. Boan
Kit yang biasa disebut Boan Thaijin (Pembesar Boan) adalah
seorang yang amat cerdik. Dia pandai membawa diri, bersikap
merendah dan menjilat di depan Kaisar Shun Chi akan tetapi
bersikap agung dan berwibawa di depan para pembesar
sehingga mereka semua segan dan tunduk padanya. Selain
pandai dan cerdik, juga Boan Kit yang peranakan Mancu/Han
ini adalah seorang ahli silat yang amat lihai dan juga dia
memiliki kemampuan ilmu sihir.
Karena pengaruh sihirnya itulah maka Kaisar Shun Chi
semakin tunduk dan percaya padanya.
Kaisar Shun Chi menjadi semakin lemah dan tidak
mengacuhkan urusan pemerintahan ketika dia semakin tertarik
dengan pelajaran Agama Buddha. Dia menganggap bahwa
semua urusan duniawi hanya menyeretnya ke dalam
pertentangan, kemelekatan dan duka nestapa. Yang lebih
sering dilakukan hanyalah berdoa dan bermeditasi.
Inilah sebab utama terjadinya persaingan di antara para
pangeran untuk memperebutkan tahta kerajaan itu. Kaisar
Shun Chi lemah dan tidak mempedulikan, bahkan agaknya
pernah mengatakan siapa yang akan menggantikannya.


Kemelut Kerajaan Mancu Seri Huang Ho Sianli 2 Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kekuasaan berada di tangan para Thai-kam, atau lebih tepat
lagi, di tangan Thaikam Boan atau Boan Thaijin!
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Thaikam Boan Kit bukan seorang bodoh. Tidak, dia cerdik
bukan main. Tentu saja dia maklum bahwa, sebagai seorang
Thaikam, tidak mungkin dia akan dapat menggantikan
kedudukan Kaisar.
Kalau dia merampas kedudukan Kaisar, semua pangeran
pasti akan mengeroyok dan menumpasnya. Maka dia harus
mengadakan pilihan, kiranya siapa yang patut dijagokan
sebagai pengganti kaisar yang sudah tua itu, tentu saja
seorang kaisar baru yang akan dapat dia kuasai pula! Dan
sudah sejak beberapa bulan dia menjatuhkan pilihannya
kepada Pangeran Leng Kok Cun! Pangeran Leng Kok Cun yang
berusia empat puluh tahun itu adalah putera seorang selir
kaisar yang ke tujuh. Menurut urut-urutan para pangeran,
tidak mungkin dia yang akan diberi hak menggantikan
ayahandanya kelak. Pangeran Leng Kok Cun berambisi besar
untuk kelak menggantikan kedudukan kaisar dan tentu saja
dia menjadi semakin bersemangat ketika Thaikam Boan Kit
mengulurkan tangan untuk mengadakan kerja sama. Tentu
saja dengan perjanjian kelak Thaikam Boan Kit yang akan
menjadi penasehat utama atau istilahnya Kok-su (Guru
Negara) yang akan mengatur semua politik yang dikeluarkan
kaisar yang berkuasa! Dengan penuh semangat,
Pangeran Leng Kok Cun lalu mengerahkan segala daya
untuk memperkuat diri. Dia bahkan mengundang orang-orang
yang sakti untuk membantunya, dan menyerahkan kepada
Pat-chiu Lo-mo untuk menghubungi para jagoan itu.
Selain Pangeran Leng Kok Cun, yang ingin sekali dapat
mewarisi tahta kerajaan adalah Pangeran Cu Kiong, putera
dari selir ke tiga dari Kaisar Shun Chi. Tidak seperti Pangeran
Leng Kok Cun yang tidak mempunyai harapan untuk menjadi
kaisar kecuali dia melakukan pemberontakan atau merebut
dengan kekerasan, Pangeran Cu Klong lebih banyak harapan.
Saingannya hanya seorang saja, yaitu Pangeran Kang Shi,
putera Kaisar Shun Chi dari permaisuri. Akan tetapi saingan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
utamanya ini, yang tentu saja berhak menjadi putera
mahkota, baru berusia sembilan tahun! Dan selir ke dua hanya
mempunyai seorang puteri. Maka, dia mempunyai harapan
besar, setidaknya menjadi penjabat kaisar atau untuk
sementara mewakili kaisar yang - masih belum cukup umur!
Karena itu, Pangeran Cu Kiong berusaha sedapat mungkin
untuk menyenangkan hati ayahandanya Kaisar Shun Chi dan
tentu saja dia menentang gerakan Pangeran Leng Kok Cun!
Adapun Pangeran Kang Shi yang berusia sembilan tahun itu
sejak berusia lima tahun oleh Kaisar Shun Chi telah diserahkan
kepada adiknya untuk mendidiknya. Kaisar mengenal adiknya,
Pangeran Bouw Hun Ki yang kini berusia sekitar lima puluh
dua tahun, sebagal seorang pangeran yang jujur, ahli sastra
dan tata-negara, juga saling mengasihi dengan dia. Selain itu,
Pangeran Bouw Hun Ki memiliki seorang putera yang terkenal
sebagai seorang ahli silat yang amat tangguh sehingga tidak
pernah ada orang-orang jahat berani mengganggu Pangeran
Bouw Hun Ki sekeluarga. Putera Pangeran Bouw Hun Ki ini
bernama Bouw Kun Liong, berusia sekitar dua puluh tiga
tahun dan orang-orang mengenalnya sebagai Bouw Kongcu
(Tuan Muda Bouw) dan semua orang segan dan
menghormatinya karena pemuda ini biarpun terkenal lihai,
sikapnya ramah dan lembut.
Biarpun dia sendiri lemah dan tidak mengacuhkan
pemerintahan, agaknya Kaisar Shun Chi merasa bahwa di
antara para pangeran terjadi pertentangan secara diam-diam.
Sebagai seorang ayah dia dapat merasakan hal ini. Untuk
urusan pemerintahan dia memang lebih condong menuruti
nasehat Thaikam Boan Kit. Akan tetapi untuk urusan keluarga
dia lebih percaya kepada adiknya, yaitu Pangeran Bouw Han
Ki. Pada suatu malam diam-diam dia mengundang Pangeran
Bouw Hun Ki datang ke istana dan diajak bicara empat mata
dalam kamarnya. Dalam kamar itu, tanpa didengar atau dilihat
orang lain, Kaisar Shun Chi memesan wanti-wanti kepada
adiknya itu agar membimbing, melindungi dan membela
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Pangeran Kang Shi sebagai putera mahkota yang kelak berhak
penuh untuk menggantikan dia sebagai kaisar. Dalam
kesempatan ini, Pangeran Bouw Hun Ki bersumpah setia untuk
menaati perintah kaisar. Setelah meninggalkan pesan ini,
barulah hati Ka isar Shun Chi menjadi tenang.
Pangeran Ciu Wan Kong adalah adik Kaisar Shun Chi dan
adik Pangeran Bouw Hun Ki pula. Biarpun kini Pangeran Ciu
Wan Kong tidak mau memegang jabatan dan tampak lemah,
namun dia juga seorang pangeran yang setia-kepada Kaisar
Shun Chi. Beberapa kali Pangeran Leng Kok Cun mencoba
untuk membujuknya agar pamannya itu suka menjadi
pendukungnya seperti beberapa orang pangeran dan
bangsawan lain yang dapat dia pengaruhi. Dukungan
Pangeran Ciu Wan Kong tentu saja amat penting karena
sebagai adik kaisar, tentu saja suara pangeran ini mempunyai
pengaruh yang cukup kuat. Namun Pangeran Ciu Wan Kong
bukan saja menolak keras bujukan itu, bahkan dia sering
menegur keponakannya yang ambisius itu. Tentu saja hal ini
membuat Pangeran Leng Kok Cun membenci pamannya itu
dan menganggap bahwa Pangeran Ciu Wan Kong merupakan
seorang di antara mereka yang menjadi penghalang
ambisinya. Sang Waktu lewat seperti biasa, wajar dan sesungguhnya
cepat atau lambat tergantung kepada kita yang merasakan
dan menilainya. Akan tampak lama sekali kalau kita tergesa-
gesa menantikan sesatu dan memperhatikan waktu,
sebaliknya akan tampak cepat bukan main kalau kita tidak
memperhatikannya.
Karena tidak diperhatikan, Sang Waktu melesat dengan
cepatnya sehingga tahu-tahu setahun telah lewat semenjak
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Thian Hwa tinggal bersama Thian Bong Sianjin di bukit kecil di
Lembah Huang-ho. Bukit itu dinamai Yang-liu-san (Bukit
Pohon Cemara) karena di situ banyak ditumbuhi pohon
cemara beraneka macam. Karena memang sesungguhnya
Thian Hwa telah mencapai tingkat tinggi dalam ilmu silatnya,
maka yang masih dapat diajarkan Thian Bong Sianjin hanya
sedikit, namun yang sedikit itu menyempurnakan ilmu
kepandaian Thian Hwa. Kini, setelah selama setahun ia
digembleng dan berlatih dengan tekun tak mengenal jenuh
dan lelah, akhirnya tingkat kepandaian gadis yang kini berusia
sembilan belas tahun itu sudah seimbang dengan tingkat yang
dikuasai Thian Bong Sianjin sendiri! Ilmu pedang Kwan-im
Kiam-hoat yang dikuasa inya semakin dahsyat, juga ilmu
pedang Huang-ho Kiam-hoat yang merupakan hasil gubahan
Thian Bong Sianjin sendiri, telah dikuasai dengan amat
baiknya. Selain kedua ilmu pedang andalannya ini, juga ilmu
silat tangan kosong Kauw-jiu Kwan Im (Dewi Kwan Im
Berlengan Sembilan) merupakan ilmu yang amat cepat
gerakannya sehingga kalau ia mainkan, seolah-olah ia memiliki
sembilan buah lengan! Di samping itu semua, Sin-kang
(Tenaga Sakti), Khi-kang (T enaga Hawa Murni), Lwee-kang
(Tenaga Dalam), dan Gin-kang (Ilmu Meringankan Tubuh)
telah diperkuat dengan latihan yang tekun siang malam. Masih
ada sebuah ilmu andalannya, yaitu menggunakan Pek-hwa-
ciam (Jarum Bunga Putih), yang berupa senjata rahasia jarum
dengan kepala bunga putih kecil.
Pada hari itu, Thian Bong Sianjin dihadap murid yang juga
cucu angkatnya ini. Mereka duduk bersila berhadapan di atas
bangku di ruangan depan kuil yang kini menjadi tempat
tinggal Thian Bong Sianjin. Thian Hwa mengenakan pakaian
putih sehingga ia tampak bersih dan cantik segar, dengan
pedang tergantung di punggungnya dan sebuah buntalan
pakaian berada di atas meja. Kiranya gadis ini sudah siap
untuk melakukan perjalanan dan kini ia menerima pesan dan
nasehat gurunya atau juga kakek angkatnya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Thian Hwa, kiranya semua pesan dan nasehatku yang lalu
masih engkau ingat semua. Yang perlu kuulangi lagi agar tidak
akan kaulupakan ialah agar engkau selalu bertindak sebagai
seorang pendekar sejati. Ingat baik-baik, Thian Hwa.
Sekarang bukan waktunya lagi untuk memperjuangkan tanah
air dari tangan penjajah. Pemerintah Kerajaan Ceng (Mancu)
terlalu kuat dan agaknya, pemberontakan tidak akan berhasil.
Lihat saja betapa kini kekuatan Wu Sam Kwi makin me lemah
dan dia, seperti juga para raja kecil di selatan, bukan lagi
memperjuangkan kemerdekaan tanah air, melainkan memperjuangkan kekuasaan dan kesenangan diri masing-
masing. Aku mendengar bahwa bangsa Mancu menghargai
kebudayaan Han, bahkan mereka seolah melebur diri menjadi
sama dengan bangsa pribumi. Ini pertanda yang baik. Kalau
memang mereka merupakan penguasa yang adil dan mencinta
rakyat, juga suka mempergunakan tenaga pribu.ni untuk
mengatur negara, maka kita tidak perlu menentang mereka.
Ergkau bertindak saja seperti seorang pendekar pembela
keadilan dan kebenaran. Siapa yang jahat, tidak peduli dia
bangsa dan golongan apa, sepatutnya engkau tentang.
Sebaliknya, belalah mereka yang lemah tertindas, tidak peduli
dia bangsa apa. Ingat, engkau sendiri pun mempunyai darah
Mancu, bahkan Ayah kandungmu seorang Pangeran Mancu,
akan tetapi Ibumu seorang wanita Han. Maka, jangan biarkan
dirimu terseret ke dalam pertentangan antar bangsa,
melainkan tempatkanlah dirimu di pihak kebenaran. Dan ingat,
Cucuku, bagaimanapun juga, Pangeran Ciu Wan Kong adalah
Ayah kandungmu. Bersikaplah bijaksana terhadap Ayah
kandungmu. Kalau dia ternyata seorang yang baik budi,
andaikata dia dulu bersalah terhadap Ibumu, bersikaplah
untuk memaafkannya. Sebaliknya kalau dia terperosok ke
dalam kejahatan, sudah menjadi kewajibanmu sebagai anak
yang berbakti, engkau harus menyadarkan dan mengingatkannya. Jangan lupakan pesanku ini, Thian Hwa."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Baik, Kong-kong. Aku akan selalu menaati semua
pesanmu. Selama aku pergi, harap Kong-kong suka menjaga
diri baik-baik."
"Jangan khawatir, Thian Hwa. Tanah di sini subur dan
sungainya mengandung banyak ikan. Aku tidak akan
kekurangan. Agaknya, aku sudah bosan merantau dan akan
menetap di Bukit Cemara ini. Aku akan selalu berada di sini
kalau engkau ingat padaku dan ingin menemuiku."
Setelah berpamit dari kakeknya, Thian Hwa menuruni Bukit
Cemara. Pagi itu cerah dan pemandangan dari atas bukit itu
amat indahnya. Dari puncak tampak Sungai Huang-ho yang
amat lebar. Airnya memantulkan s inar matahari pagi sehingga
menyilaukan mata. Thian Hwa kini berusia sembilan belas
tahun.- Pakaiannya tetap serba putih, dari sutera. Rambutnya
disanggul secara sederhana, diikat tali sanggul berwarna
merah muda. Ikat pinggangnya seperti akan membelah
pinggangnya yang ramping. Menaati pesan Thian Bong
Sianjin, kini disembunyikan nya pedangnya dalam buntalan
pakaian. Memang pada jaman itu, Pemerintah Kerajaan Ceng
(Mancu) melarang orang membawa senjata tajam, maka
untuk menjaga agar jangan memancing keributan, Thian Hwa
oleh gurunya dipesan agar tidak membawa pedangnya secara
mencolok. Buntalan pakaiannya itu digendong di belakang
punggung dan ia tampak cantik jelita ketika menuruni puncak
Yang-liu-san. Bagaikan setangkai bunga sedang mekar, Thian
Hwa memang cantik menarik. Wajahnya berbentuk bulat te lur
berkulit putih mulus, di sana sini kemerahan tanda sehat.
Rambutnya hitam lebat dan panjang, halus seperti benang
sutera dan terawat bersih. Anak rambut halus berjuntai di atas
dahinya dan melingkar di kedua pelipisnya, membuat
sepasang telinga yang bentuknya indah itu tampak semakin
manis. Alisnya hitam kecil melengkung seperti dilukis hasil
lukisan alam yang sewajarnya tidak dibuat tangan manusia
namun amat indahnya. Sepasang matanya bening dan jeli,
sinarnya tajam dan terkadang mencorong membayangkan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
keberanian dan wibawa yang kuat. Bulu matanya panjang
lentik membuat bayang-bayang di bawah matanya. Hidungnya kecil mancung dengan ujungnya agak menjungat
ke atas berkesan agung. Mulutnya merupakan bagian yang
paling menarik. Mulutnya menggairahkan, dengan sepasang
bibir yang lembut dan penuh, kulitnya tipis bagaikan buah
yang masak, merah tanpa gincu. Kalau tersenyum tampak
kilatan gigi yang berderet rapi dan putih seperti mutiara.
Lebih manis lagi mulut itu karena ada lesung pipi di kanan
kirinya dan dagunya agak meruncing. Bentuk tubuh dara ini
menambah daya tarik yang menggairahkan. Ramping padat
dengan lekuk lengkung sempurna seorang wanita yang
sedang tumbuh dewasa!
Seperti terbang cepatnya ia lari menuruni Bukit Cemara dan
tak lama kemudian ia telah berdiri di tepi Sungai Huang-ho.
Beberapa lamanya ia berdiri di tepi sungai yang sunyi itu,
menanti kalau-kalau ada perahu lewat. Akan tetapi setelah
cukup lama menanti dan tidak ada perahu yang dapat
ditumpanginya ke hilir, Thian Hwa lalu memotong batang
pohon cemara yang cukup besar, membuat sepasang kayu
papan peluncur dan sebatang ranting panjang untuk dayung.
Setelah terompah peluncur itu selesa i dibuatnya, ia lalu
melanjutkan perjalanan dengan bersilancar di atas air dengan
amat cepatnya. Karena kini ia me lakukan perjalanan


Kemelut Kerajaan Mancu Seri Huang Ho Sianli 2 Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bersilancar mengikuti arus sungai ke hilir, maka tentu saja ia
tidak perlu menggunakan banyak tenaga.
Beberapa hari kemudian Thian Hwa tiba di Terusan Besar
yang menghubungkan Sungai Huang-ho ke utara. Ia lalu
melanjutkan perjalanan melalui daratan, menyusuri sepanjang
Terusan ke utara karena di Terusan itu terdapat banyak
perahu dan ia tidak ingin menarik perhatian orang dengan
bersilancar. Pada suatu pagi, setelah me lewatkan malam di sebuah
dusun, Thian Hwa me lanjutkan perjalanan dan kota besar
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Thian-cin sudah tinggal belasan mil lagi. Ia melalui jalan yang
sunyi dan tiba-tiba ia mendengar suara ribut-ribut di depan
ketika ia memasuki daerah berhutan. Karena suara ribut-ribut
itu seperti suara orang berkelahi, Thian Hwa mempercepat
langkahnya menuju ke arah suara.
Setelah tiba di tempat perkelahian yang agak jauh dari
jalan sepanjang Terusan, Thian Hwa mengintai dari balik
pohon besar, dan melihat seorang pemuda berpakaian serba
kuning dikeroyok oleh dua orang dan ada dua belas orang
berpakaian tentara Mancu berjaga-jaga dan mengepung
dalam lingkaran besar. Pemuda itu berusia sekitar dua puluh
empat tahun, bertubuh sedang dan wajahnya tampan.
Dengan memegang senjata siang-kek (sepasang tombak
cagak) pendek pemuda itu menghadapi pengeroyokan dua
orang dan gerakannya mantap dan kokoh. Dari kedudukan
kuda-kuda kaki dan gerakan silatnya, T hian Hwa yang sudah
mendapat banyak petunjuk dari Thian Bong Sianjin segera
mengenal bahwa pemuda gagah itu tentu seorang murid
Siauw-pim-pai yang tangguh.
Akan tetapi ketika ia memandang kepada dua orang yang
mengeroyok pemuda itu, ia mengerutkan alisnya. Ia segera
mengenal dua orang itu. Yang seorang berusia sekitar empat
puluh dua tahun, bertubuh gemuk pendek dan berwajah
sombong, yang bukan lain adalah Phang Houw yang berjuluk
Hui-eng-to (Si Goiok Elang Terbang) orang yang pernah
bertempur dengannya ketika mengunjungi Perkumpulan
Liong-bu-pang di kota Tui-lok sekitar satu setengah tahun
yang lalu. Adapun orang ke dua yang mengeroyok pemuda
Siauw-lim-pai itu adalah Louw Cin, Ketua Liong-bu-pang! Ia
tahu betul bahwa dua orang itu adalah kaki tangan atau para
pendukung Pangeran Leng Kok Cun dan melihat se losin orang
tentara Mancu mengepung tempat perkelahian itu, tahulah ia
bahwa pemuda Siauw-lim-pai itu tentu dianggap musuh pula
oleh mereka. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kagum juga hati Thian Hwa melihat sepak terjang pemuda
Siauw-lim-pai itu. Dengan gagahnya dia melawan dua orang
pengeroyoknya. Phang Houw yang bersenjata golok besar dan
berat itu ia anggap tidak berbahaya, hanya sombong saja.
Akan tetapi Ketua Liong-bu-pang, yaitu Louw Cin yang tinggi
kurus dan berusia empat puluh tahun lebih itu merupakan
lawan yang cukup berbahaya. Ketua Liong-bu-pang ini
memegang senjata sebatang ruyung yang berduri dan terbuat
dari baja sehingga tampak berat dan menyeramkan. Akan
tetapi pemuda Siauw-lim-pai itu me lakukan perlawanan gigih.
Sepasang tombak cagaknya yang hanya sepanjang lengan
digerakkan dengan mantap sekali. Setiap kali dia menangkis
serangan lawan, terdengar suara berdentang nyaring dan
bunga api berpijar berhamburan. Phang Houw selalu tampak
tergetar setiap kali goloknya tertangkis tombak cagak,
menunjukkan bahwa dia kalah kuat. Akan tetapi Louw Cin
dapat mengimbangi tenaga pemuda Siauw-lim-pai itu.
Pertandingan satu lawan dua itu berlangsung amat serunya
dan setiap serangan kedua pihak merupakan ancaman maut.
Biarpun di dalam hatinya Tl.ian Hwa tentu saja berpihak
kepada pemuda Siauw-lim-pai karena ia memang tidak suka
kepada para pendukung Pangeran Leng Kok Cun yang hendak
membentak itu, namun melihat betapa pemuda Siauw-lim-pai
itu cukup tangguh, untuk membela diri, maka Thian Hwa juga
tidak turun tangan membantu pemuda itu.
Akan tetapi, tiba-tiba Louw Cin memberi komando kepada
pasukan Mancu yang terdiri dari selosin perajurit itu dan
segera pasukan itu maju mengeroyok Si Pemuda! Melihat ini,
tentu saja Thian Hwa merasa penasaran dan ia sudah siap
untuk terjun ke dalam pertempuran membantu pemuda
Siauw-lim-pai yang kini dikeroyok empat belas orang itu.
Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara melengking nyaring
dan tampak sesosok bayangan berkelebat didahului sinar
merah. Thian Hwa menahan diri tidak jadi turun tangan
membantu dan ia melihat betapa sinar merah bergulung-
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
gulung dan menyambar-nyambar, mengamuk di antara para
perajurlt Mancu. Ke mana pun sinar merah menyambar, tentu
ada seorang perajurit yang roboh! Ketika ia memperhatikan,
Thian Hwa melihat bahwa bayangan dengan sinar merah itu
adalah seorang wanita muda cantik jelita yang memegang
sebuah payung berwarna merah. Hebat bukan main wanita
itu, payung merahnya yang indah itu setiap kali menyambar,
tentu merobohkan seorang perajurit dan ternyata bahwa
gagang payung merah itu merupakan sebatang pedang yang
ujungnya menonjol di
atas payung! Wanita itu usianya
sekitar dua puluh satu
atau dua puluh dua
tahun, tampak masih
muda dan cantik sekali walaupun sikap,
pandang mata dan
senyumnya yang mengandung ejekan
itu menunjukkan bahwa ia seorang yang telah matang
dalam pengalaman hidup. Tubuhnya ramping dan menggairahkan, agak
tinggi. Rambutnya digelung ke atas model rambut puteri bangsawan. Pakaiannya juga indah
mewah, dengan perhiasan lengkap, anting-anting, tusuk
sanggul emas permata, kalung, gelang kemala, cincin
permata, pendeknya serba lengkap, mewah dan indah. Akan
tetapi T hian Hwa harus mengakui bahwa wanita itu lihai bukan
main. Senjatanya berupa payung pedang itu dapat dipakai
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sebagai pelindung sinar matahari dan hujan, juga sebagai
pelengkap dandanannya karena payung itu merah dan
berbentuk indah, dapat pula dipergunakan sebagai senjata
yang ampuh sekali. Payung itu dapat dipergunakan sebagai
perisai merangkap pedang dan amat berbahaya bagi lawan.
Dengan lincahnya gadis berpayung merah itu mengamuk
dan dua belas orang perajurit Mancu itu kocar-kacir! Sebentar
saja sudah enam orang perajurit roboh oleh gadis itu. Melihat
ini, para perajurit yang tinggal enam orang lagi menjadi jerih.
Juga Louw Cin dan Phang Houw agaknya menjadi gentar juga.
Baru mengeroyok pemuda Siauw-lim-pai itu saja sudah sukar
untuk mengalahkannya, sekarang muncul gadis yang aneh
dan lihai bukan main itu! Maka, maklum akan bahaya yang
mengancam mereka, Louw Cin dan Phang Houw lalu
berloncatan jauh meninggalkan lawannya. Enam orang tentara
Mancu juga mengambil langkah seribu mengikuti dua orang
pemimpin mereka. Tak lama kemudian terdengar derap kaki
kuda. Agaknya mereka menambatkan kuda mereka tak jauh
dari situ ketika menghadang dan menyerang pemuda Siauw-
lim-pai tadi dan kini mereka kabur menunggang kuda,
meninggalkan enam orang anggauta pasukan yang telah
tewas di tangan wanita bersenjata payung itu!
Pemuda Siauw-lim-pai itu kini berdiri berhadapan dengan
penolongnya. Dia menggantungkan kembali siang-kek di
punggungnya dan mengangkat kedua tangannya menjura
kepada gadis berpayung itu.
"Bantuan Nona yang amat berharga telah menyelamatkan
nyawaku dan aku Bu Kong Liang mengucapkan banyak terima
kasih." Gadis berpakaian sutera hijau berkembang merah itu
tersenyum dan senyumnya amat manis, matanya yang jeli
seperti mata Burung Hong itu mengerling dengan agak genit.
"Bu-enghiong (Pendekar Bu), tidak enak bicara di depan
mayat-mayat ini, mari kita mencari tempat yang bersih di
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mana kita bicara dengan nyaman." kata gadis itu sambil
memanggul payungnya untuk melindungi wajah dan lehernya
dari sinar matahari yang mulai menghangat. Kemudian ia
berjalan cepat meninggalkan hutan itu ke utara. Pemuda itu
mengikutinya. Thian Hwa juga membayangi dari jauh. Ia sendiri juga
sedang menuju ke utara, maka perjalanan mereka searah dan
ia. memang ingin sekali mengetahui siapa pemuda dan gadis
itu dan mengapa mereka bertentangan dengan anak buah
Pangeran Leng Kok Cun.
Ketika melihat dua orang, itu berhenti di tepi Sungai
Terusan, di tempat yang sunyi, Thian Hwa juga berhenti dan
bersembunyi di balik sebuah batu besar. Mereka telah
meninggalkan tempat tadi sejauh sekitar dua mil. Pemuda itu
duduk di atas batu di tepi sungai, akan tetapi wanita cantik itu
masih berdiri, menutup payungnya karena tempat itu cukup
teduh, sinar matahari terhalang daun-daun pohon. Tiba-tiba
gadis itu menggerakkan kakinya mencokel sebuah batu
sebesar kepalan tangan dan batu itu dengan amat cepatnya
meluncur ke arah kepala Thian Hwa yang keluar dari balik
batu besar! "Wuuuuuttt... plakk!" Batu itu kini berada di tangan kiri
Thian Hwa yang menyambut sambitan itu. Wanita itu tertawa,
tawanya merdu, terkekeh seperti mengandung ejekan.
"Adik yang manis, mengapa mengikuti kami sejak tadi"
Kalau ingin bicara, keluarlah menemui kami!" katanya.
Thian Hwa merasa malu karena ternyata perbuatannya
membayangi sejak tadi telah ketahuan. Mungkin sejak tadi
wanita itu juga mengetahui ketika ia mengintai pemuda
Siauw-iim-pai yang dikeroyok orang. Ia pun keluar dan
sengaja ia meremas hancur batu yang di-sambitkan tadi,
Diremas dalam tangannya yang mungil, batu itu hancur dan
Thian Hwa menyebarkan debunya ke atas tanah. Lalu ia
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
melangkah dengan dada terangkat dan kepala ditegakkan,
menghampiri dua orang itu.
Gadis berpakaian sutera hijau berkembang-kembang merah
itu tersenyum dan mengangguk-angguk. "Bagusi Adik yang
manis, gin-kangmu (ilmu meringankan tubuh) ketika
membayangi kami cukup hebat dan sin-kangmu (tenaga
saktimu) ketika meremas hancur batu juga hebat. Tidak tahu
di pihak manakah engkau berdiri" Ka lau engkau kawan antek-
antek Mancu tadi, jangan buang waktu lagi, seranglah aku!"
Ditantang begitu, Thian Hwa membalas senyuman gadis
itu. Tentu saja ia tidak sudi berpihak kepada orang-orang nya
Pangeran Leng Kok Cun.
"Aku tidak berpihak siapa pun. Aku kebetulan lewat dan
menonton pertempuran. Karena tertarik kepada kalian maka
aku mengikuti kalian." katanya, jujur dan bersahaja.
?"Bagus, kalau begitu mari kita bertiga saling berkenalan.
Silakan duduk, Adik manis." Gadis itu duduk di atas batu di
depan pemuda Siauw-lim-pai dan Thian Hwa juga mengambil
tempat duduk di atas batu depan mereka. Biarpun ia
berhadapan dengan seorang gadis cantik yang tampaknya
seperti bangsawan, dan dengan seorang pemuda pendekar
Siauw-lim-pai, namun Thian Hwa tidak mau bersikap rendah
diri. Gurunya atau kakeknya sering memesan kepadanya agar
menjadi seorang gagah ia jangan sekali-kali bersikap tinggi
hati, akan tetapi juga jangan sekali-kali merasa rendah diri.
Tinggi hati mendatangkan kesombongan dan suka sewenang-
wenang terhadap orang lain yang direndahkan, sebaliknya
rendah diri mendatangkan rasa takut dan menjadi penjilat
yang di atas. Ia harus selalu rendah hati akan tetapi harus
pula menjaga tinggi harga dirinya.
Maka, berhadapan dengan dua orang muda itu, ia bersikap
tenang dan biasa saja, tidak menganggap mereka lebih tinggi
atau lebih rendah.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sejenak mereka bertiga hanya duduk diam dan saling
pandang. T hian Hwa kini dapat melihat jelas wajah dan sikap
pemuda itu. Seorang pemuda yang sikapnya gagah perkasa
namun sederhana, baik pakaian maupun sikapnya. Matanya
membayangkan keteguhan hati,
dan biarpun jarang
tersenyum namun wajahnya cerah. Usianya sekitar dua puluh
empat tahun. Pakaiannya berwarna kuning, dari kain kasar
sederhana, namun bersih. Gadis cantik itu sebaliknya, memiliki
wajah yang penuh senyum dan gembira, dengan sinar mata
yang tajam dan nakal, mulut dengan senyumnya itu seolah
mengejek. Namun harus diakui bahwa gadis itu memiliki daya
tarik yang kuat.
"Nah, sekarang kita berkenalan dan memberitahukan nama
masing-masing. Twako (Kakak) ini bernama Bu Kong Liang
seperti yang tadi dia akui, dan aku hanya dikenal sebagai
Ang-mo Niocu (Nona Berpayung Merah) dan engkau, Adik


Kemelut Kerajaan Mancu Seri Huang Ho Sianli 2 Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

manis, siapakah namamu?"
Karena gadis itu tidak memperkenalkan nama, hanya
memperkenalkan julukannya, maka ia pun menirunya.
"Aku biasa disebut Huang-ho Sian-li."
"Hemm, dengan julukan Dewi Sungai Huang-ho, engkau
tentu memiliki kepandaian yang hebat, Nona." kata pemuda
murid Siauw-lim-pai yang bernama Bu Kong Liang itu,
ucapannya jujur dan tidak mengandung maksud lain.
Ang-mo Niocu terkekeh. "Hi-hik, bagus sekali julukanmu,
Sian-li. Sebaiknya aku menyebutmu Sian-li saja, engkau
setuju?" Thian Hwa mengangguk, "Boleh, dan aku akan
menyebutmu Niocu saja."
"He-he-heh! Bagus, engkau terbuka dan jujur, seperti juga
Bu-twako ini, aku suka itu! Nah, sekarang setelah kita
berkenalan, perlu kita menceritakan keadaan kita masing-
masing, bukan" Apa artinya mempunyai kenalan tanpa
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mengetahui keadaannya" Bisa menimbulkan sa lah paham dan
pertentangan. Hayo, engkau yang laki-laki sepatutnya
mengalah dan ceritakan dulu keadaan dirimu, Bu-twako!"
Bu Kong Liang tersenyum. "Baiklah, memang tidak ada
rahasia tentang diriku. Namaku Bu Kong Liang, sebatang kara
di dunia ini, yatim piatu sejak kecil. Sejak berusia lima tahun
aku telah menjadi kacung dan murid di Siauw-lim-si (Kuil
Siauw-lim). Setelah tamat belajar, para Suhu di Siauw-lim-pai
mengutus aku untuk pergi ke kota raja, menyelidiki keadaan
kota raja setelah pemerintahan dipegang Kerajaan Ceng. Dan
tadi, ketika aku sedang berjalan menyusuri Terusan, tiba-tiba
saja aku dihadang pasukan Kerajaan Ceng (Mancu) yang
hendak menangkap aku dengan tuduhan hendak melakukan
pemberontakan. Sungguh aneh! Mungkin mereka tahu dari
para penyelidik bahwa aku murid Siauw-lim-pai dan mereka
mencurigai aku."
"Bagus! Biarpun riwayat itu pendek saja, namun sudah
dapat menjelaskan bahwa Bu-twako adalah seorang pendekar
Siauw-lim-pai yang tentu saja tidak akan merendahkan diri
menjadi antek penjajah Mancu! Sekarang, bagaimana dengan
engkau, Sian-li" Tiba giliranmu untuk menceritakan keadaanmu agar kami dapat lebih mengenalmu dengan baik.
Aku percaya bahwa engkau pasti murid seorang yang amat
pandai sehingga semuda ini engkau telah memiliki gin-kang
dan sin-kang sedemikian hebatnya,"
Thian Hwa menjawab dengan tegas. "Niocu, engkau tadi
minta agar Bu-twako yang pertama memperkenalkan diri dan
keadaannya, itu sudah tepat karena memang dia yang paling
tua dan sudah sepatutnya mengalah. Sekarang, karena
engkau lebih tua daripada aku, Niocu, sebaiknya engkau yang
lebih dulu menceritakan keadaanmu."
"He-he-heh, engkau ini anak yang cerdik, Sian-li. Tentu
engkau belum percaya benar padaku karena belum
mengetahui siapa aku dan bagaimana latar belakangku.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Baiklah, aku akan menceritakan keadaanku dengan sejujurnya
karena aku yakin bahwa Bu-twako dan engkau sendiri
bukanlah antek-antek penjajah Mancu, bukan orang-orang di
pihak musuhku. Aku datang dari Barat-daya, dari kota raja
Yunnan-hu, dan aku adalah seorang puteri kepala suku
bangsa Yao. Sejak kecil aku suka mempelajari ilmu silat dan
guruku yang terakhir adalah Suhu Lam Hai Cinjin yang di
selatan terkenal sebagai Datuk Selatan dan kini menjabat
sebagai Koksu (Guru Negara) yang membantu usaha gerakan
pasukan Jenderal Wu menentang penjajah Mancu."
"Hemm, kalau begitu engkau adalah seorang pejuang dari
selatan, Niocu?" tanya Bu Kong Liang sambil memandang
kagum. Pada waktu itu, bagi para pendekar, terutama yang
datang dari selatan nama Wu Sam Kwi merupakan nama
seorang pemimpin pejuang yang patriotik, menentang
penjajah Mancu.
Ang-mo Niocu tersenyum girang dan mengangguk. "Dapat
dianggap demikian, Twako. Aku diutus oleh Jenderal Wu
untuk melihat-lihat keadaan pemerintah Kerajaan Ceng
(Mancu). Maka, ketika tadi aku melihat seorang pemuda
dikeroyok tentara Mancu, tanpa ragu lagi aku membantumu.
Nah, demikianlah riwayat diriku, agar kalian berdua
mengetahui bahwa aku adalah orang yang bekerja untuk
jenderal Wu Sam Kwi yang dengan gigih hendak
mempertahankan sebagiar tanah air daerah Baratdaya dan
bercita-cita membebaskan seluruh tanah air dari cengkeraman
penjajah Mancu. Sekarang tiba giliranmu, Sian-li. Cerita
tentang dirimu tentu jauh lebih menarik daripada riwayat Bu-
twako dan riwayatku."
"Nanti dulu, Niocu, engkau belum menceritakan apakah
Ayah Ibumu masih ada dan tinggal di mana?" tanya Thian
Hwa. Ang-mo Niocu terkekeh. "Hi-hik! Tadi sudah kuceritakan
bahwa Ayahku adalah seorang kepala suku bangsa Yao. Ayah
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dan Ibu masih ada dan tinggal di Yunnan-hu. Mengapa
engkau menanyakan orang tuaku, Sian-li?"
Thian Hwa menghela napas panjang. Tentu saja ia tidak
dapat menceritakan keadaan dirinya yang sesungguhnya. Dua
orang ini agaknya adalah pendekar-pendekar pejuang rakyat
yang anti penjajah Mancu. Ia sendiri keturunan seorang
Pangeran Mancu, ayahnya, Pangeran Ciu Wan Kong, adalah
adik Kaisar Shun Chi yang sekarang masih berkuasa.
Walaupun ibunya seorang wanita Han pribumi akan tetapi
kalau ia mengaku ayah kandungnya seorang Pangeran Mancu,
dua orang ini pasti akan mencurigainya, bahkan mungkin
sekali akan memandangnya seperti seorang musuh!
"Niocu, riwayatku lebih tidak menarik lagi. Engkau masih
beruntung karena mempunyai orang tua. Aku, seperti Bu
Twako, juga hidup seorang diri, sebatang kara. Sejak kecil aku
menjadi murid Suhu Thian Beng Sianjin dan hidup di
sepanjang Sungai Kuning (Huang-ho), menentang kejahatan
dan membela yang lemah tertindas sehingga orang-orang
menyebut aku Huang-ho Sian-li." Thian Hwa merasa lega
karena agaknya dua orang sahabat barunya itu tidak
mengenal nama gurunya.
Bu Kong Liang bertanya, "Sian-li, tadi aku sudah
menceritakan bahwa aku diutus para Suhu di Siauw-lim-pai
untuk menyelidiki keadaan di kota raja sete lah pemerintahan
dipegang Kerajaan Ceng (Mancu). Juga Niocu sudah
menceritakan bahwa ia menjadi utusan Jenderal Wu Sam Kwi
untuk menyelidiki keadaan Kerajaan Ceng di kota raja. Nah,
sekarang engkau sendiri hendak ke manakah" Dan apa yang
hendak kaulakukan?"
Thian Hwa menjawab dengan tegas, tanpa ragu. "Aku
meninggalkan Lembah Huang-ho untuk merantau ke tempat-
tempat ramai untuk mencari pengalaman kini sedang menuju
ke kota Thian-cin."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kalau begitu, Sian-li, mari kita melakukan perjalanan
bersama! Engkau dapat membantu aku karena aku percaya
engkau tentu seorang pendekar wanita yang menentang
penjajah Mancu!" kata Ang-mo Niocu.
Thian Hwa menggelengkan kepalanya. "Tidak, Niocu. Aku
tidak ingin melibatkan diri dalam perang. Aku hanya akan
menentang mereka yang melakukan kejahatan dan membela
yang lemah tertindas, tidak peduli siapa atau golongan mana.
Sekarang tidak ada perang lagi dan yang terpenting bagiku
adalah membela dan menegakkan kebenaran dan keadilan di
antara rakyat."
Ang-mo Niocu mengerutkan alisnya, tampak tak senang
mendengar ucapan Thian Hwa. "Mengapa begitu, Sian-li"
Sudah jelas bahwa bangsa Mancu itu jahat sekali, menjajah
tanah air kita. Setiap orang pendekar seharusnya menentang
Kerajaan Ceng yang menjajah!"
"Tidak, Niocu. Sekarang belum saatnya bagi rakyat untuk
bangkit melawan Kerajaan Ceng. Nanti kalau muncul seorang
pemimpin patriot sejati yang menghimpun pasukan rakyat
untuk menentang dan memerangi penjajah, barulah mungkin
aku akan membantunya. Sekarang aku hanya menjadi
penentang kejahatan, bukan penentang pemerintah Kerajaan
Ceng, seperti yang dipesan Guruku."
"Ah!. Bukankah Jenderal Wu Sam Kwi merupakan
pemimpin patriot sejati" Setiap orang gagah harus
membantunya untuk membebaskan tanah air dari penjajah
Mancu." Ang-mo Niocu. bicara penuh semangat. "Kalau tidak,
maka orang gagah itu membiarkan dirinya menjadi
pengkhianat!"
"Sesukamulah engkau hendak bicara apa saja, Niocu! Akan
tetapi bagiku, terus terang saja aku sekarang belum melihat
adanya seorang pemimpin sejati yang patut menghimpun
kekuatan rakyat!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kalau begitu engkau menghina Jenderal Besar Wu Sam
Kwi, Sian-li! Sikapmu ini dapat menimbulkan permusuhan
antara kita berdua!"
"Terserah kepadamu, Niocu. Pendirianku sudah tetap dan
tidak dapat diubah lagi. Aku tidak mencari permusuhan
dengan siapa pun, akan tetapi juga tidak akan menolak kalau
ada yang memusuhi aku!" Kata-kata Thian Hwa juga
mengandung kekerasan karena ia pun sudah marah
mendengar ucapan Ang-mo Niocu yang nadanya menentang
tadi. Melihat dua orang gadis cantik itu berdiri dengan sikap
seperti dua ekor singa betina siap untuk saling serang, Bu
Kong Liang cepat menengahi.
"Aih, bagaimana sih kalian ini" Baru saja saling berkenalan
sekarang sudah ribut dan bertengkar" Niocu, kukira orang
bebas untuk menentukan jalan pikiran dan pendapatnya
masing-masing. Yang penting kita mempunyai satu sasaran,
yaitu menentang kejahatan. Engkau tidak boleh memaksakan
kehendakmu agar orang lain menyetujui dan mengikuti
pendapatmu sendiri."
JILID II ANG-MO NIOCU yang tadinya bersikap manis dan ramah
sekali kepada pemuda itu, kini memandang kepadanya dengan
muka merah dan mata bersinar marah. "Bagus, Bu Kong
Liang! Baru saja aku membantumu menghadapi pengeroyokan
pasukan Mancu, dan sekarang engkau malah menentangku
dan membela gadis ini?" bentaknya.
"Niocu, yang kubela adalah kebenaran. Dalam urusan ini,
Huang-ho Sian-li mempertahankan pendiriannya dan ia tidak
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
salah, akan tetapi hendak memaksakan kehendakmu agar
diikuti orang lain, maka engkaulah yang bersalah, Niocu."
"Biarlah Bu-twako, agaknya Niocu yang tadi membantumu
tanpa kau undang bukan menolongmu, melainkan memberi
hutang dan kini menagih! Kalau ia hendak memaksakan
kehendaknya, aku tetap menolak, dan apa pun akibatnya,
akan kuhadapi! Aku tidak menentang siapa pun, akan tetapi
kalau ada yang menantangku, aku tidak akan mundur
selangkah pun!" Thian Hwa yang memang pada dasarnya
memiliki watak pemberani, jujur dan keras itu berkata dengan
nada tegas, matanya mencorong memandang kepada Ang-mo
Niocu. "Kau...! Kau...!" Ang-mo Niocu marah sekali dan agaknya
kedua orang gadis itu segera akan saling serang.
Melihat ini, Bu Kong Liang melangkah maju menghadapi
Ang-mo Niocu dan berkata, "Niocu, kuharap engkau
menyadari bahwa kedatanganmu dari selatan ke sini bukan
untuk memusuhi para pendekar yang tidak sehaluan
denganmu."
Mendengar ucapan pemuda itu, Ang-mo Niocu menekan
kemarahannya. "Huh, kalian menjemukan!" Setelah berkata
demikian, ia memutar tubuhnya dan berkelebat pergi dengan
gerakan cepat, sebentar saja menghilang dari situ.
Kini Thian Hwa berhadapan dengan Bu Kong Liang dan ia
berkata, "Bu-twako, sekarang aku hendak melanjutkan
perjalananku."
"Nanti dulu, Sian-li. Engkau hendak ke Thian-cin, bukan"
Aku pun hendak ke sana, karena tujuanku ke kota raja. Kalau
engkau tidak merasa keberatan, bagaimana kalau kita
melakukan perjalanan bersama" Aku ingin membicarakan
denganmu tentang banyak hal, tentu saja kalau engkau suka,
karena aku tidak ingin memaksakan kehendakku padamu
seperti yang dilakukan Ang-mo Niocu tadi."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Karena sikap pemuda itu sopan dan kata-katanya
mengandung kejujuran, Thian Hwa tidak merasa keberatan
untuk melakukan perjalanan bersama. Mereka lalu melanjutkan perjalanan ke utara, menyusuri tepi Terusan
menuju ke Thian-cin sambil bercakap-cakap. Mereka berjalan
seenaknya, tidak tergesa-gesa.
"Sian-li, aku tertarik sekali ketika engkau mengatakan
kepada Ang-mo Niocu, bahwa sekarang belum muncul
pemimpin rakyat yang sejati untuk memimpin rakyat melawan
pasukan penjajah Mancu. Padahal, semua orang mengetahui
bahwa sekarang, pemimpin yang dengan terang-terangan
menentang Kerajaan Ceng (Mancu), hanyalah Jenderal Wu
Sam Kwi. Mengapa engkau tidak menganggap jenderal itu
sebagai pemimpin perjuangan yang sejati?"
Thian Hwa menghela napas. Ia sudah banyak mendengar
dari Thian Bong Sianjin tentang perlawanan terhadap bangsa
Mancu yang dulu dilakukan oleh Pemimpin Laskar Rakyat Li Cu
Seng dan Wu Sam Kwi yang jenderal.
"Aku mendengar dari guruku, bahwa sejarah merupakan
saksi betapa orang-orang yang tadinya memimpin rakyat


Kemelut Kerajaan Mancu Seri Huang Ho Sianli 2 Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

untuk menggulingkan sebuah pemerintahan, setelah perjuangan itu berhasil dan dia diangkat menjadi kaisar, lalu
luntur kepem impinannya, dan dia hanya menggunakan
kekuasaannya untuk memakmurkan dirinya dan keluarganya
saja. Mereka lalu menjadi gila kekuasaan dan lupa akan rakyat
yang sejak dulu mendukung perjuangannya, lupa bahwa
rakyatlah yang memungkinkan dia menjadi kaisar. Hidup dia
dan keluarganya makin mewah berlebihan, kekayaan
ditumpuk sebanyaknya dan tidak mengenal puas, sementara
itu rakyat atau lebih tepat sebagian besar dari rakyat hidup
serba kekurangan. Hanya segerombolan orang yang dekat
dengan kaisar, yang mau menjilat dan mencari muka saja
yang kebagian hidup makmur."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Aduh, keras sekali penilaianmu terhadap para pemimpin
pejuang, Sian-li!" Bu Kong Liang berseru sambil menahan
senyum. "Pemimpin-pemimpin yang terakhir menentang
masuknya pasukan Mancu adalah Li Cu Seng dan Jenderal Wu
Sam Kwi. Nah, mengapa sekarang engkau menganggap
mereka berdua itu bukan pemimpin sejati?"
"Aku sendiri tidak mengenal mereka, akan tetapi aku
mendengar banyak, tentang mereka, dari guruku. Dahulunya,
Li Cu Seng merupakan pemimpin Laskar Rakyat yang
bijaksana dan cita-citanya besar. Dia memulai sebagai seorang
pahlawan bangsa, seorang patriot sejati. Akan tetapi setelah
dia berhasil memimpin rakyat menduduki Peking dan
mengakhiri Kerajaan Beng yang ketika itu dipimpin para
penguasa yang lalim dan korup, dia juga menjadi gila
kekuasaan, sehingga banyak di antara para pendukungnya
yang terdiri dari para pendekar yang gagah perkasa
meninggalkannya. Kemudian, dia pun diserbu oleh Jenderal
Wu Sam Kwi yang bekerja sama dengan bangsa Mancu,
terusir dan mati dalam pelarian. Jelas Li Cu Seng tidak dapat
mempertahankan kemurniannya sebagai seorang pemimpin
sejati. Dia bahkan pernah tergila-gila kepada seorang wanita
yang tadinya menjadi selir tercinta Jenderal Wu Sam Kwi.
Kemudian ketahuan bahwa Jenderal Wu Sam Kwi menyerang
Li Cu Seng karena terdorong untuk membalas dendam dan
merampas kembali selirnya itu. Jenderal Wu Sam Kwi
merampas Peking atas bantuan bangsa Mancu yang kemudian
mempertahankan kota raja itu sebagai milik mereka. Jenderal
Wu melarikan diri ke Barat Daya, akan tetapi di sana pun dia
hidup sebagai raja kecil. Mereka semua bukanlah pemimpin
sejati yang benar-benar berjuang demi rakyat dan tidak
menjadi gila kekuasaan lalu menggendutkan perut sendiri
sebagai hasil kemenangannya yang sesungguhnya merupakan
kemenangan rakyat jelata."
Mendengar Thian Hwa bicara panjang lebar, Bu Kong Liang
memandang penuh kagum, lalu menghela napas panjang dan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
berkata. "Ah, tidak kusangka engkau akan dapat mengemukakan pandangan yang demikian luas, Sian-li.
Memang kukira pendapatmu itu tidak menyimpang terlalu jauh
dari kenyataannya. Para suhu di Siauw-lim-pai juga sering kali
mengatakan bahwa betapa pun gagah perkasanya seorang
laki-laki, dia harus berhati-hati terhadap tiga hal yang akan
mempengaruhi wataknya, yaitu Kekuasaan, Kekayaan, dan
Wanita. Tiga kekuatan ini dapat menyelewengkan seorang
yang gagah perkasa dan patriotik menjadi lalim dan mengejar
kesenangan diri pribadi."
"Ah, jangan memujiku, Twako. Sesungguhnya aku hanya
mengetahuinya dari keterangan guruku."
"Kalau begitu aku yakin bahwa gurumu pasti seorang yang
selain sakti, juga amat bijaksana. Sian-Ii, tadi sudah
kuceritakan bahwa aku hendak pergi ke kota raja untuk
memenuhi perintah para suhu di Siauw-lim-pai, yaitu melihat
keadaan hidupnya rakyat di desa sampai di kota raja, setelah
kini pemerintahan dipegang Kerajaan Ceng (Mancu). Kalau
boleh aku mengetahui, apakah engkau mempunyai tujuan
dalam perjalananmu ini?"
"Sebelum aku menjawab pertanyaanmu itu, Twako, aku
ingin bertanya lebih dulu. Apakah engkau juga anti Kerajaan
Mancu dan menentangnya seperti halnya Ang-mo Niocu?"
"Ah, tidak, Sian-li. Keadaanku tiada bedanya denganmu.
Para suhu di Siauw-lim-pai juga tidak ingin mengadakan
permusuhan secara terbuka menentang Kerajaan Ceng,
karena hal itu akan sia-sia belaka. Tidak mungkin Siauw-lim-
pai yang hanya memiliki beberapa ratus anggota mampu
menandingi pasukan Mancu yang ratusan ribu jumlahnya.
Tidak, aku hanya disuruh menyelidiki dan melakukan tugas
sebagai murid Siauw-lim-pai, yaitu menentang kejahatan dan
membela yang lemah tertindas."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kalau begitu, mengapa tadi engkau diserang pasukan
Mancu yang dipimpin oleh Hui-eng-to Phang Houw dan Liong-
bu Pangcu Louw Cin?"
"Eh" Engkau mengenal dua orang yang memimpin pasukan
itu, Sian-li?"
"Aku mengenal mereka, akan tetapi jawab dulu
pertanyaanku tadi, Bu-twako."
"Seperti sudah kuceritakan tadi, aku sendiri tidak tahu
mengapa aku diserang pasukan Mancu. Dengan tiba-tiba saja
mereka menyerangku. Ini menguatkan dugaan para pimpinan
Siauw-lim-pai bahwa Pemerintah Mancu diam-diam mencurigai
para perkumpulan persilatan besar, terutama sekali Siauw-lim-
pai. Karena ketika terjadi perlawanan terhadap balatentara
Mancu, banyak terdapat ahli-ahli silat, pendekar-pendekar, di
antaranya banyak pendekar Siauw-lim-pai berada di pihak
Kerajaan Beng. Mungkin saja ada mata-mata mereka yang
mengetahui bahwa aku seorang murid Siauw-lim-pai, maka
mereka langsung mengeroyokku."
Thian Hwa mulai percaya kepada pemuda itu, akan tetapi
untuk mengaku sebenarnya tentang dirinya, bahwa ia adalah
puteri seorang pangeran, ia masih belum mau. Maka untuk
menjawab pertanyaan pemuda itu tadi, ia lalu memberitahu
sebagian saja. "Bu-twako, engkau tadi menanyakan tujuan
perjalananku. Aku juga hendak pergi ke kota raja, akan
mencari kakekku yang dulu berada di kota raja, bekerja
sebagai pelayan pada sebuah keluarga pangeran. Dan
mengenai dua orang yang memimpin pasukan yang
menyerangmu, memang aku mengenal mereka, bahkan aku
pernah bentrok dengan mereka. Hui-eng-to Phang Houw dan
Louw Cin Ketua Liong-bu-pang itu adalah kaki tangan seorang
pangeran lain yang agaknya mempunyai ambisi hendak
merampas kedudukan Kaisar yang sudah tua. Begitulah, Bu-
twako, apa yang dapat kuterangkan kepadamu sementara ini
dan harap engkau tidak bertanya lagi tentang itu."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Bu Kong Liang mengangguk-angguk. Diam-diam pemuda
itu merasa kagum kepada Thian Hwa dan dia menduga bahwa
tentu ada sesuatu yang dirahasiakan oleh gadis itu. Gadis
yang begini cantik jelita, sederhana, memiliki ilmu yang tinggi
akan tetapi seperti ada rahasia yang menyelubungi dirinya.
Gadis ini agaknya mengenal keadaan para pangeran di kota
raja sehingga mengetahui akan adanya pangeran yang hendak
ingin merampas tahta kerajaan yang berarti pemberontakan
dan pernah bentrok dengan kaki tangan pemberontak itu.
Gadis aneh yang agaknya menyembunyikan pula namanya,
hanya memperkenalkan diri dengan julukannya, Huang-ho
Sian-li! Akan tetapi dia menahan keinginan tahunya, khawatir
kalau-kalau akan menyinggung gadis itu dan membuatnya
marah. Dia ingin mengenal gadis itu lebih baik lagi yang dia
percaya tentu seorang gadis pribumi Han mengingat akan
keterangannya tadi bahwa ia cucu seorang yang bekerja
sebagai pelayan di sebuah keluarga pangeran. Pada waktu itu,
yang bekerja sebagai pelayan keluarga bangsawan Mancu
pastilah seorang pribumi Han!
"Terima kasih, Sian-li. Keteranganmu itu sudah cukup dan
terima kasih atas kepercayaanmu padaku. Aku senang sekali
dapat melakukan perjalanan bersamamu ke kota raja karena
engkau tentu sudah mengenal kota raja, sedangkan aku
belum pernah melihatnya."
"Aku pun baru satu kali berkunjung ke sana, hampir dua
tahun yang lalu," kata Thian Hwa, merasa lega bahwa pemuda
itu tidak mendesak dan bertanya lebih jauh tentang riwayat
dirinya. Ia merasa semakin suka kepada Bu Kong Liang yang
agak pendiam, berwibawa, sopan dan bersikap hormat itu.
Mereka melanjutkan perjalanan ke utara, menuju kota
Thian-cin. 0odw-jTno0 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dusun Kia-jung terletak di dekat Terusan, hanya sekitar
dua puluh mil jauhnya dari kota Thian-cin. Karena letaknya di
tepi T erusan dan dekat kota besar, maka dusun itu ramai dan
menjadi pusat pengumpulan hasil bumi yang akan dikirim ke
Thian-cin, bahkan ada yang dikirim ke Peking. Penduduknya
memiliki kehidupan yang cukup makmur dan biarpun di dusun
itu tidak terdapat pasukan keamanan yang besar, hanya
terjaga keamanannya oleh belasan orang pemuda penduduk
dusun itu sendiri, namun selama ini keamanannya cukup baik.
Tidak pernah terjadi gangguan keamanan yang besar. Yang
pernah ada hanyalah pencurian kecil-kecilan.
Sore hari itu, keadaan dusun Kia-jung sudah mulai sepi.
Kesibukan perdagangan hasil bumi terjadi dari pagi sampai
siang tadi, dan pada sore hari ini orang-orang sudah mengaso
setelah lelah bekerja pada pagi dan siang harinya. Dua belas
orang pemuda malas-malasan berada di gardu penjagaan
yang berada di pintu gerbang dusun sebelah selatan. Mereka
bercakap-cakap dengan seorang laki-laki tua. Laki-laki tua itu
berusia sekitar enam puluh enam tahun, pakaiannya biarpun
sederhana, namun lebih rapi dan bersih dibandingkan pakaian
seorang kakek dusun. Juga ketika dia bicara, cara bicaranya
juga menunjukkan bahwa dia sudah biasa bicara halus dan
sopan. Akan tetapi dia ramah sekali dan agaknya disuka oleh
para pemuda itu yang menghujani pertanyaan kepadanya
tentang segala hal yang belum mereka ketahui. Ternyata
kakek itu pandai sekali bercerita, terutama cerita mengenai
kehidupan di kota raja. Agaknya dia tahu benar keadaan di
kota raja, bahkan dia dapat menceritakan keadaan di istana-
istana para pangeran. Ketika dia bercerita betapa dia pernah
mengiringkan seorang pangeran berkunjung ke istana kaisar,
para pemuda itu mendengarkan dengan penuh kekaguman.
Kakek itu pandai sekali menggambarkan keadaan dan
kemewahan istana kaisar yang belum pernah mereka
bayangkan dalam mimpi sekalipun!
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Sam Lopek (Paman Tua Sam), benarkah para puteri istana
itu memiliki kecantikan seperti bidadari dari langit?" seorang di
antara mereka bertanya dan pertanyaan ini disambut tawa ria
para pemuda itu.
"Tolong gambarkan kecantikan mereka, Lopek!" kata yang
lain, dan riuh rendahlah para pemuda itu minta agar kakek itu
suka menggambarkan kecantikan para puteri istana yang
sudah mereka dengar namun belum pernah mereka saksikan.
Kakek yang dipanggil Sam Lopek itu tersenyum dan tampak
deretan giginya yang tidak utuh lagi, sudah terdapat ompong
di sana-sini sehingga wajahnya yang masih memiliki bekas
ketampanan itu tampak lucu.
"Heh-heh, para pemuda itu di mana-mana sama saja. Di
kota maupun desa, yang tinggal di istana maupun yang
tinggal gubuk, semua sama. Selalu bersemangat kalau
mendengar tentang wanita cantik!" katanya, dan ucapan ini
disambut sorak dan tawa para pemuda itu.
Kembali kakek itu tersenyum. "Wah, puteri-puteri istana
memang cantik jelita seperti bidadari, akan tetapi bagi aku,
para dayang istana, gadis-gadis yang menjadi pelayan istana
bahkan lebih cantik manis dibandingkan para puterinya."
"Eh, benarkah itu, Lopek" Masa pelayannya lebih cantik
daripada majikannya?" seorang pemuda bertanya tak percaya.
"Sebetulnya mereka itu sama-sama cantiknya, hanya
bedanya, kalau puteri-puteri istana yang menjadi majikan itu
memakai bedak terlalu tebal, gincu terlalu merah dan celak
terlalu hitam, sehingga kecantikan mereka seperti topeng,
sebaliknya para gadis dayang atau pelayan itu, yang tidak
diperbolehkan berias terlampau tebal, malah tampak
kecantikan aselinya. Kalau boleh diumpamakan bunga, para
puteri itu adalah bunga kertas, sedangkan para pelayan itu
bunga murni!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Para pemuda itu kembali tertawa riuh. Tiba-tiba mereka
dikejutkan oleh munculnya belasan orang yang bertubuh
tinggi besar dan berwajah seram. Usia mereka antara tiga
puluh sampai empat puluh tahun, dan di pinggang mereka
tergantung senjata tajam seperti pedang atau golok atau
ruyung. Melihat ini, dua belas orang pemuda itu berlompatan
dengan kaget, akan tetapi mereka siap, biarpun para pemuda
yang melakukan penjagaan itu hanya mempunyai sebatang
tongkat di tangan masing-masing. Akan tetapi kakek itu
memberi isyarat kepada para pemuda untuk mundur. Dia
melihat bahwa belasan orang bertampang seram itu
berbahaya sekali kalau dihadapi dengan kekerasan, maka dia
pun melangkah maju dan mengangkat tangan depan dada
memberi hormat kepada seorang di antara mereka yang jelas
menunjukkan diri sebagai pemimpin. Orang ini bermuka
hitam, bertubuh tinggi besar dan pakaiannya berbeda dengan
yang lain. Pakaiannya lebih mentereng dan di pinggangnya
tergantung sepasang golok besar. Kumisnya panjang
melingkar, tanpa jenggot dan sepasang matanya lebar,
memandang bengis.
"Selamat datang di dusun Kia-jung kami! Apakah yang


Kemelut Kerajaan Mancu Seri Huang Ho Sianli 2 Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dapat kami bantu untuk Cu-wi (Anda Sekalian)?"
Tiba-tiba Si Muka Hitam itu menggerakkan tangan kirinya
dan tahu-tahu dia sudah mencengkeram baju kakek itu, dan
sekali angkat, tubuh kakek itu pun terangkat ke atas!
"Kamu ini anjing tua antek para pangeran penjajah Mancu!
Orang-orang di s ini tentu sudah engkau pengaruhi!"
Melihat kakek itu diangkat, beberapa orang pemuda maju
hendak menolong. Akan tetapi kakek itu dibanting ke atas
tanah sedemikian kerasnya sehingga seketika pingsan di
depan kaki Si Muka Hitam yang galak itu. Si Muka Hitam lalu
mencabut sebuah golok, menempelkan golok pada leher kakek
yang pingsan itu sambil membentak.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kalian berani melawan kami" Kakek ini akan kubunuh dulu
sebelum kami membunuh kalian dan seisi dusun kalau berani
melawan kami!"
Mendengar ini, belasan orang pemuda itu terkejut dan
menjadi jerih. Mereka bukanlah jagoan-jagoan dan kini
berhadapan dengan sekitar tujuh belas orang yang tinggi
besar, berwajah bengis menyeramkan dan semua membawa
senjata tajam, tentu saja mendengar gertakan itu, hilang
keberanian mereka. Baru melihat mereka itu membawa
senjata tajam dengan terang-terangan saja mereka sudah
jerih. Pada waktu itu, Pemerintah Mancu melarang orang
membawa senjata tajam di tempat umum, dan sekitar tujuh
belas orang ini demikian terang-terangan membawa senjata
tajam, padahal dusun Kia-jung letaknya dekat kota raja Thian-
cin dan tidak begitu jauh dari kota raja Peking. Ini saja
menunjukkan bahwa mereka pasti bangsa perampok atau
segerombolan penjahat.
Melihat para pemuda itu mundur-mundur ketakutan, kepala
gerombolan itu lalu berseru kepada anak buahnya. "Hayo
cepat kumpulkan sumbangan dari para penduduk dusun ini.
Kalau mereka tidak mau menyerahkan sumbangan yang cukup
demi perjuangan kita, berarti mereka itu antek Mancu dan
kalian bunuh saja!"
Belasan orang itu mulai bergerak memasuki rumah-rumah
penduduk. Akan tetapi mereka memilih dan hanya rumah
yang kelihatan besar dan kelihatan sebagai tempat tinggal
keluarga kaya saja yang mereka masuki. Segera terdengar
jerit ketakutan dari rumah-rumah itu dan para anggota
gerombolan itu keluar dari rumah sambil membawa kantung-
kantung yang sudah diduga tentu berisi uang atau benda
berharga yang lain.
Akan tetapi baru enam rumah mereka jarah rayah, tiba-tiba
pemimpin gerombolan bermuka hitam itu berteriak memanggil
mereka. Enam belas orang anak buahnya sambil membawa
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kantung-kantung jarahan berlari-lari kembali ke pintu gerbang
selatan itu. Apa yang terjadi sehingga kepala gerombolan yang
bermuka hitam itu memanggil anak buahnya" Kiranya ketika
enam belas orang anak buah gerombolan itu sedang sibuk
merampasi barang-barang berharga dari beberapa buah
rumah besar di sepanjang jalan raya, dan kepala gerombolan
bermuka hitam itu masih berdiri dengan sikap sombong di
sana, tak jauh dari tubuh kakek yang masih pingsan,
sedangkan belasan orang pemuda dusun itu berdiri agak jauh
dengan penasaran akan tetapi juga ketakutan, datang ke
tempat itu seorang pemuda dan seorang gadis yang bukan
lain adalah Bu Kong Liang dan Thian Hwa!
Begitu melihat beberapa orang pemuda dusun berdiri
ketakutan dan melihat pula seorang laki-laki tinggi besar
bermuka hitam dan bengis berdiri dengan kedua kaki
terpentang lebar dan lagaknya sombong, sedangkan seorang
kakek rebah menelungkup pingsan tak jauh dari kaki laki-laki
muka hitam itu, Bu Kong Liang segera bertanya kepada para
pemuda itu. "Apa yang terjadi?"
Seorang di antara pemuda itu menggerakkan muka ke arah
laki-laki muka hitam sambil berbisik, "Dia dan anak buahnya
sedang merampok rumah-rumah penduduk kita."
Mendengar ini, tanpa banyak cakap lagi Thian Hwa lalu
menghampiri laki-laki muka hitam dan Bu Kong Liang cepat
mengikutinya. Laki-laki muka hitam itu dengan alis berkerut
dan sikap memandang rendah melotot kepada gadis dan
pemuda yang berani menghampirinya itu.
"Kalian mau apa" Apakah kalian hendak membela para
antek Mancu?" tanyanya dengan suara membentak galak.
Mendengar ini, Bu Kong Liang merasa heran. Sebelum
Thian Hwa berkata atau berbuat sesuatu, dia cepat bertanya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Sobat, kami tidak ingin membela antek Mancu. Siapakah
engkau?" Pertanyaan Bu Kong Liang dilakukan dengan sikap
dan suara lembut, dan Si Muka Hitam itu membusungkan
dadanya yang lebar dan tebal.
"Hemm, mau mengenal aku" Aku adalah Tiat-thou Hek-go
(Buaya Hitam Kepala Besi) yang memimpin seregu pejuang
yang gagah perkasa!"
"Hemm, apa yang terjadi dengan orang tua itu?" Thian
Hwa menuding ke arah tubuh kakek yang telungkup di atas
tanah. "Huah-ha-ha, dia adalah antek Mancu. Ketika tadi kami
datang, dia menceritakan kepada para pemuda itu tentang
pangeran dan istana. Aku menamparnya!"
"Dan apa yang dilakukan anak buahmu itu?" tanya Bu Kong
Liang, menahan kemarahannya.
"Kami minta sumbangan kepada penduduk. Yang tidak mau
menyumbang berarti mereka itu antek Mancu dan akan kami
basmi semua! Kami pejuang rakyat, patriot-patriot bangsa
yang menentang penjajah Mancu dan semua anteknya!" Si
Muka Hitam itu semakin berlagak, apalagi dihadapi T hian Hwa
yang cantik jelita, aksinya makin hebat, mulutnya senyum-
senyum, matanya melirik-lirik dan dadanya diangkat
membusung. Thian Hwa merasa muak melihat betapa orang
itu melirik-lirik sambil cengar-cengir kepadanya.
Bu Kong Liang tak dapat menahan kemarahannya lagi. Dia
menudingkan telunjuk kirinya ke arah hidung Si Muka Hitam
lalu berkata dengan nyaring.
"Beginikah macamnya pejuang rakyat" Kamu ini bukan lain
hanyalah perampok yang bertopeng pejuang! Orang macam
kamu ini yang mengotorkan dan menodai nama pejuang dan
patriot! Manusia tak bermalu!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Si Muka Hitam terbelalak dan matanya yang melotot
menjadi merah saking marahnya. Akan tetapi sebelum dia
mampu membuka mulut atau bergerak, Thian Hwa sudah
menyambung dengan ucapan yang lebih ketus lagi.
"Yang macam begini bukan manusia lagi, melainkan buaya
yang kotor dan jahat, yang tidak patut dibiarkan hidup. Kamu
buaya kepala besi" Aku
berani bertaruh, kepalamu tidak sekeras
besi melainkan selunak
tahu, sekali pukul juga
hancur!" Sepasang mata itu
semakin me lotot seperti
mau melompat keluar
dari kelopaknya, hidung
dan mulutnya seolah
mengeluarkan asap panas saking marahnya
dan sambil mengeluarkan gerengan
seperti seekor biruang,
raksasa muka hitam yang berjuluk Buaya Hitam Berkepala Besi itu menerkam ke arah Thian Hwa. Kedua
lengannya yang panjang dan besar itu hendak merangkul dari
kanan kiri dan agaknya gadis itu tidak akan dapat
menghindarkan diri lagi.
Akan tetapi menghadapi serangan kasar yang hanya
mengandalkan kekuatan otot itu tentu saja merupakan
ancaman kecil sekali bagi Thian Hwa. Dengan kedua tangan
terbuka, ia menyambut dua lengan itu dengan pukulan tangan
miring untuk menangkis dan pada saat itu juga, kaki kirinya
mencuat ke arah perut lawan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Plak-plak, bukk...!" Tubuh kepala rombongan itu
terjengkang dan terbanting roboh. Rasa kepalanya seperti
tujuh keliling karena kedua lengannya terasa nyeri seperti
ditangkis besi, perutnya mulas dicium ujung sepatu kaki kiri
Thian Hwa, ditambah lagi belakang kepalanya terbanting ke
atas tanah. Akan tetapi saking marahnya, dia tidak mau
merasakan semua kenyerian itu dan cepat bangkit berdiri lalu
memanggil anak buahnya!
Kini tujuh belas orang laki-laki tinggi besar itu mengepung
Thian Hwa dan Bu Kong Liang dan mereka sudah mencabut
senjata mereka, pedang, golok, atau ruyung. Kini yang
menonton tak jauh dari situ bukan hanya dua belas orang
pemuda dusun Kia-jung, akan tetapi bertambah menjadi dua
puluh orang lebih, semuanya laki-laki tua muda yang tertarik
dan berdatangan ke situ. Akan tetapi mereka semua tidak
berani menentang tujuh belas orang yang tampak kuat dan
bengis itu, dan kini mereka memandang dengan penuh
kekhawatiran akan nasib gadis cantik dan pemuda tampan
yang tidak mereka kenal itu. Kakek Sam telah mereka angkat
dan kini direbahkan di tepi jalan, masih dalam keadaan
pingsan. Akan tetapi dua orang yang amat dikhawatirkan penduduk
dusun itu, Thian Hwa dan Bu Kong Liang, tenang-tenang saja
walaupun dikepung dan diancam tujuh belas orang yang
tampaknya buas dan kejam itu.
"Bagaimana, Twako. Akan kita apakah para pejuang
patriotik ini?" tanya Thian Hwa.
"Pejuang" Huh, gerombolan perampok mengaku patriot
pejuang! Kita hajar mereka baru tahu rasa!" kata Bu Kong
Liang. Thian Hwa mengangguk setuju, dan tiba-tiba tujuh belas
orang itu menerjang maju, menyerang dengan senjata
mereka. Akan tetapi Thian Hwa dan Bu Kong Liang maklum
dari gerakan mereka bahwa mereka itu hanya bertenaga kuat
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
saja, sama sekali tidak memiliki ilmu silat yang berarti. Maka
tubuh gadis dan pemuda ini berkelebatan cepat dan para
pengeroyok menjadi kacau! Mereka merasa kehilangan dua
orang yang mereka keroyok, yang tiba-tiba berubah menjadi
bayangan yang berkelebatan dan semua serangan mereka
tidak pernah mengenai sasaran. Bahkan kini terdengar
teriakan-teriakan mereka, dan senjata di tangan mereka
terlepas dari pegangan dan terlempar ke sana-sini.
Melihat ini, para penduduk, terutama pemudanya, tidak
merasa takut lagi. Timbul semangat mereka dan mereka pun
datang menyerbu. Celakalah tujuh belas orang perampok itu.
Setiap ada yang roboh oleh tendangan atau tamparan Thian
Hwa atau Kong Liang, penduduk menyerbu, membawa
pentungan atau senjata-senjata tajam memukul dan
membacok para perampok yang berserakan dan habislah
tubuh perampok yang roboh itu, hancur dihujani bacokan dan
pukulan. Dalam waktu singkat saja tujuh belas orang
perampok bertopeng pejuang itu pun mati semua dikeroyok
penduduk! Ketika para penduduk mencari dua orang yang telah
menyelamatkan mereka itu, mereka tidak menemukan gadis
dan pemuda tadi! Juga Kakek Sam tidak tampak di s itu. Kakek
yang tadinya masih pingsan itu kini lenyap!
Akan tetapi para penduduk tidak sempat memikirkan ke
mana perginya gadis dan pemuda gagah perkasa itu, juga
mengira bahwa Kakek Sam sudah siuman dan pulang ke
rumahnya. Mereka kini sibuk menyambut sepasukan tentara
Mancu yang kebetulan lewat di dusun Kia-jung, datang dari
Thian-cin dan tadi dilapori seorang penduduk. Akan tetapi
ketika pasukan yang terdiri dari dua losin prajurit itu tiba di
tempat pertempuran, tujuh belas orang gerombolan perampok
itu telah mati semua! Karena gerombolan perampok itu
mengaku sebagai pejuang yang menentang Pemerintah
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kerajaan Ceng, tentu saja penduduk Kia-jung mendapat pujian
dari komandan pasukan.
Ke manakah perginya Thian Hwa dan Kong Liang" Dan ke
mana pula menghilangnya Kakek Sam" Tadi, setelah
merobohkan semua penjahat dan penduduk membantai para
penjahat yang sudah roboh terluka oleh tamparan dan
tendangan Thian Hwa dan Kong Liang, tiba-tiba Thian Hwa
mendengar suara panggilan.
"Cucuku Thian Hwa...!"
Thian Hwa terkejut dan cepat memandang. Kiranya Kakek
Sam yang tadinya roboh pingsan terpukul kepala gerombolan,
telah siuman dan ketika dia melihat Thian Hwa, dia segera
mengenalnya sebagai cucunya! Kiranya kakek itu adalah Cui
Sam yang ketika menjadi pengawal Pangeran Cu Kiong
disebut Lo Sam. T hian Hwa juga segera mengenal kakeknya,
maka ia cepat menghampiri dan karena ia tidak ingin dirinya
dikenal banyak orang, ia lalu mengajak Cui Sam pergi dari
situ. Bu Kong Liang mengikuti dari belakang. Thian Hwa
menggandeng tangan kakeknya dan karena ia mempergunakan ilmu berlari cepat, kakek itu merasa dirinya


Kemelut Kerajaan Mancu Seri Huang Ho Sianli 2 Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seolah dibawa terbang!
Setelah tiba jauh di luar dusun Kia-jung, Thian Hwa
menghentikan larinya. Kong Liang juga berhenti dan dia
memandang kepada gadis itu dengan heran, lalu menoleh
kepada kakek itu. Kakek Cui Sam menghela napas panjang
dan karena masih merasa pening setelah baru saja siuman
dari pingsan diajak "terbang" oleh cucunya, dia lalu duduk di
atas sebuah batu yang banyak terdapat di tepi jalan itu.
Thian Hwa me lihat betapa Kong Liang memandangnya
dengan mata mengandung pertanyaan dan keheranan, maka
setelah tadi ia menyaksikan sepak terjang Kong Liang
menghadapi para perampok yang mengaku pejuang, ia tidak
ragu lagi untuk memperkenalkan diri sebenarnya. Selama
beberapa hari melakukan perjalanan bersama pemuda itu, ia
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mendapat kenyataan bahwa Kong Liang seorang pemuda
yang selain gagah perkasa dan ramah, juga jujur dan sopan.
"Perkenalkan, Twako, ini adalah kakekku, ayah dari ibuku,
bernama Cui Sam." Lalu gadis itu berkata kepada kakeknya.
"Kong-kong (Kakek), ini adalah Twako (Kakak) Bu Kong Liang,
seorang pendekar dari Siauw-lim-pai, sahabatku."
Ciu Sam cepat membalas penghormatan Bu Kong Liang dan
dia berkata, "Terima kasih kepada Bu Thaihiap (Pendekar
Besar Bu) yang telah menolong penduduk Kia-jung membasmi
para perampok tadi."
"Ah, Paman Cui Sam, yang banyak merobohkan para
perampok adalah Sian-li ini."
"Sian-li" Ah, engkau maksudkan cucuku ini" Aih, kalau tidak
melihat sendiri setelah saya siuman tadi, saya tidak dapat
percaya bahwa cucu saya sekarang telah menjadi seorang
pendekar wanita yang berilmu tinggi!"
"Wah, bukan tinggi lagi, Paman. Ia malah terkenal sebagai
Huang-ho Sian-li!" kata Kong Liang sambil tersenyum senang
melihat kebanggaan kakek itu akan kehebatan cucunya.
"Sudahlah, Twako, jangan terlalu memuji. Sekarang hari
sudah hampir gelap, kita harus mencari tempat penginapan.
Kong-kong kelelahan dan perlu beristirahat. Kota Thian-cin
tidak jauh lagi, mari kita cepat melanjutkan perjalanan ke sana
agar jangan terlalu malam tiba di T hian-cin."
"Biar Paman Cui Sam kugendong saja agar perjalanan
dapat dilakukan lebih cepat," kata Kong Liang.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Thian Hwa menyetujui dan kini kakek itu digendong di
punggung Kong Liang, dan mereka berdua menggunakan ilmu
berlari cepat sehingga yang tampak hanya berkelebatnya dua
bayangan. Apa lagi cuaca mulai remang, maka andaikata ada
orang melihat mereka, tentu hanya mengira bayangan pohon
atau burung yang lewat. Yang menjadi terkagum-kagum
bercampur takut adalah Cui Sam. Biarpun dia mengetahui
bahwa terdapat banyak ahli silat yang pandai dan memiliki
ilmu kepandaian yang menakjubkan, namun baru tadi ketika
digandeng Thian Hwa dia
merasakan, apalagi sekarang dengan digendong, pemuda itu
dapat berlari secepatnya
sehingga dia merasa seolah-olah dibawa terbang ke angkasa!
Setibanya di T hian-cin,
mereka menyewa tiga
buah kamar, dan melihat
kakeknya kelelahan, Thian Hwa tidak mau
mengganggunya. Setelah
mereka makan malam,
Kakek Cui Sam lalu memasuki kamarnya dan
tidur. "Besok saja kita bicara," kata Thian Hwa dan biarpun Kong
Liang ingin benar mengetahui lebih banyak tentang kakek itu,
dia maklum bahwa dia harus bersabar sampai besok.
0odw-jTno0 Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali sete lah mandi,
Thian Hwa memasuki kamar kakeknya. Cui Sam juga telah
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
membersihkan diri dan setelah menutupkan daun pintu kamar
itu, mereka lalu duduk bercakap-cakap.
"Kong-kong, aku ingin sekali mendengar ceritamu tentang
ibu dan ayah kandungku."
Kakek itu mengangguk-angguk. "Memang, Thian Hwa,
ketika kita bicara dulu, baru sedikit kuceritakan kepadamu
tentang mereka karena Pangeran Cu Kiong muncul."
"Sekarang lebih dulu beritahukan, mengapa Kong-kong
berada di dusun itu" Bukankah engkau bekerja di gedung
Pangeran Cu?"
"Aku dikeluarkan setelah terjadi keributan denganmu
dahulu itu, Thian Hwa. Masih baik dia tidak menggangguku,
hanya memecat dan mengusirku. Setelah pergi dari kota raja,
aku kembali ke dusun Kia-jung yang menjadi kampung
halamanku ketika aku masih muda."
"Nah, sekarang ceritakan dari permulaan sejak ibu
kandungku menjadi isteri Pangeran Ciu Wan Kong. Aku ingin
sekali mendengar semuanya tentang kehidupan ibu dan
ayahku." Kakek Cui Sam lalu bercerita. Di waktu mudanya, Cui Sam
adalah penduduk dusun Kia-jung. Dia hidup dengan isterinya
dan mereka mempunyai seorang anak perempuan yang
mereka namakan Cui Eng. Akan tetapi keluarga ini tertimpa
malapetaka ketika terjadi perang yang berkecamuk di daerah
Cina terutama di bagian utara pada waktu Kerajaan Ceng
mulai berdiri sebagai kejayaan jaman Mancu yang semakin
berkembang. Dalam keributan perang, isteri Cui Sam saking
terkejut dan ketakutan karena harus berlari mengungsi dari
satu ke lain tempat, jatuh sakit sampai meninggal dunia.
Tinggal Cui Sam seorang diri bersama puterinya, Cui Eng yang
baru berusia sepuluh tahun.
Cui Sam lalu mengembara ke utara dan sampai ke Peking.
Dia lalu menghambakan diri, menjadi pelayan di gedung
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Pangeran Ciu Wan Kong dan keluarganya. Ketika dia diterima
menjadi pelayan, Pangeran Ciu Wan Kong berusia dua puluh
tahun. Pangeran tua Ciu, ayah Pangeran Ciu Wan Kong dan
semua keluarga itu suka kepada Cui Sam yang rajin dan
pandai membawa diri sehingga mereka memperkenankan Cui
Sam membawa Cui Eng tinggal di kamar-kamar pelayan dari
gedung itu. Setelah Cui Eng menjadi dewasa, ia amat cantik jelita dan
ia pun ikut bekerja sebagai pelayan bagian dalam,
membersihkan kamar-kamar, melayani makan dan sebagainya. Akhirnya terjalin perasaan saling mencinta antara
Pangeran Ciu Wan Kong yang tampan dengan Cui Eng. Niat
Cui Sam untuk menjodohkan puterinya, selalu ditentang
Pangeran Ciu Wan Kong. Bahkan diam-diam pangeran muda
dan gadis pelayan itu mengadakan hubungan. Ketika Cui Eng
berusia dua puluh satu tahun, Pangeran Ciu Wan Kong
memberitahu ayah ibunya bahwa dia ingin mengangkat Cui
Eng menjadi isterinya. Tentu saja Pangeran Tua Ciu dan
isterinya tidak menyetujui niat putera mereka! Bahkan ketika
Pangeran Ciu Wan Kong mohon agar diperbolehkan
mengambil Cui Eng sebagai selirnya, orang tuanya, terutama
ibunya menyatakan tidak setuju.
"Wan Kong, bagaimana engkau dapat melakukan hal yang
memalukan itu" Seorang pangeran mengambil pelayan yang
rendah derajatnya, pelayan keluarga sendiri lagi" Ah, nama
kita akan tercemar dan menjadi bahan gunjingan para
bangsawan. Tidak, aku tidak setuju! Banyak wanita yang
dapat kauambil menjadi selirmu, akan tetapi jangan pelayan
sendiri!" Akan tetapi, ketika Ciu Wan Kong memberitahu bahwa Cui
Eng sedang mengandung hasil hubungannya dengan dia,
orang tuanya terpaksa tidak dapat menolak lagi. Akan tetapi
ibunya yang amat menjaga nama dan kehormatan
kebangsawanan mereka, mengajukan sebuah syarat.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Baik, engkau boleh mengambil Cui Eng sebagai selir, akan
tetapi setelah ia melahirkan seorang anak laki-laki! Kalau nanti
ia melahirkan seorang anak perempuan, engkau tidak boleh
mengakuinya dan ia harus minggat dari s ini!"
Keputusan ibunya itu tidak dapat diganggu-gugat lagi.
Bahkan ayahnya juga tidak berdaya. Akhirnya Cui Eng
melahirkan dan... yang terlahir adalah seorang anak
perempuan! Tanpa ampun lagi, dan tanpa mempedulikan
puteranya yang menangis, ibu Pangeran Ciu Wan Kong
mengusir Cui Sam dan Cui Eng dari gedung itu dengan
memberi uang pesangon sekadarnya. Diam-diam Pangeran
Ciu Wan Kong yang tidak berdaya itu memberi bekal uang
yang cukup banyak kepada Cui Sam.
Demikianlah, Cui Sam membawa anaknya, Cui Eng, dan
cucunya, pergi dari kota raja. Akan tetapi ketika mereka
menyeberangi Sungai Huang-ho, datang badai mengamuk dan
perahu mereka terbalik.
"Aku tidak melihat lagi anakku Cui Eng dan bayinya.
Kuanggap mereka itu telah hanyut atau tenggelam dan tewas.
Sungguh tak kusangka, ketika engkau menjadi tamu Pangeran
Cu Kiong, yang menjadi majikanku setelah aku hidup sendiri
dan kembali ke kota raja, engkau menceritakan riwayatmu
dan aku yakin bahwa engkau adalah cucuku, anak Cui Eng
karena wajahmu persis wajah ibumu!"
"Kong-kong, kalau engkau dapat menyelamatkan diri dari
Sungai Kuning (Huang-ho), dan aku yang masih bayi saja
dapat ditolong orang yang kemudian menjadi guruku, juga
kakek angkatku, apakah tidak mungkin ibuku itu dapat
diselamatkan orang dan sekarang masih hidup?"
Kakek itu menghela napas panjang. "Bertahun-tahun aku
mengharapkan hal itu terjadi, akan tetapi sete lah hampir dua
puluh tahun ini tidak ada kabar darinya, aku sudah putus asa
dan menganggap bahwa anakku Cui Eng sudah meninggal
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dunia. Kalau ia dapat terbebas dari kematian, tidak mungkin
selama ini ia tidak memberi kabar kepadaku."
Thian Hwa merasa kecewa, akan tetapi ia tidak putus asa
tentang ibunya. Sebelum ia mendapat bukti atau mendengar
saksi akan kematian ibunya, ia masih mempunyai harapan.
"Kong-kong, sebetulnya siapakah namaku" Nama yang
diberi Ibu padaku?"
Kakek itu menghela napas panjang. "Ketika itu, kami pergi
meninggalkan kota raja dalam keadaan tenggelam ke dalam
duka. Sampai beberapa kali aku menyinggung tentang
pemberian nama padamu, namun ibumu hanya menangis dan
mengatakan belum memikirkan hal itu. Maka, sampai
terjadinya kecelakaan yang mengakibatkan engkau hilang,
engkau belum diberi nama oleh ibumu. Oleh karena itu,
pakailah nama pemberian gurumu, Thian Hwa. Nama itu
sudah bagus sekali."
"Akan tetapi aku adalah keturunan marga Ciu, sedangkan
marga Thian adalah marga suhuku."
"Hemm, kalau begitu pakai saja keduanya dan namamu
menjadi Ciu Thian Hwa. Bagus, bukan?"
"Baiklah, Kong-kong. Aku mulai sekarang bernama Ciu
Thian Hwa. Kong-kong, benarkah wajah ibuku sama dengan
aku?" "Serupa benar, seperti kembar. Hanya bedanya, di atas
bibir ujung kiri terdapat sebuah tahi lalat hitam."
Thian Hwa tertegun. Dan gurunya dahulu bermimpi melihat
wanita bertahi lalat seperti itu yang menitipkan anaknya
kepadanya. Ia merasa khawatir sekali. Bukankah yang dapat
menampakkan diri dalam mimpi itu arwah seorang yang sudah
mati" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kong-kong, sekarang ceritakan tentang Ayah kandungku
itu. Bagaimanakah watak Pangeran Ciu Wan Kong itu" Apakah
dia jahat seperti para pangeran yang pernah kukenal?"
"Ah, sama sekali tidak, Cucuku! Pangeran Ciu Wan Kong
sejak mudanya adalah seorang yang baik budi, hanya agak
lemah terhadap orang tuanya, terutama terhadap ibunya yang
keras. Dan dia amat mencinta ibumu, Thian Hwa. Setelah
ibumu diusir ibunya, dia sering termenung dan berduka.
Bahkan sampai sekarang tidak mau menikah, tidak
mempunyai isteri yang resmi, bahkan kabarnya dia
memulangkan semua selirnya. Dia juga tidak mau memegang
jabatan walaupun dia amat setia kepada Sribaginda Kaisar.
Hidupnya kesepian, seringkali melancong seorang diri, mabok-
mabokan dan yang paling akhir... aku mendengar bahwa dia
terkadang kelihatan seperti orang... sinting...."
Tak terasa lagi kedua mata Thian Hwa menjadi basah. Ia
merasa terharu dan iba sekali kepada ayah kandungnya, juga
senang mendengar bahwa ayah kandungnya tidak jahat
seperti para pangeran lain.
"Setelah sekarang ayah ibunya meninggal dunia, Pangeran
Ciu Wan Kong hidup seorang diri di gedungnya, hanya
dikelilingi para pelayan. Bahkan dia tidak mempunyai pasukan
pengawal seperti halnya para pangeran lain."
Thian Hwa mengangguk-angguk. "Dan bagaimana dengan
Pangeran Cu Kiong itu, Kong-kong?"
"Pangeran muda Cu Kiong" Hemm, dia juga termasuk
seorang pangeran yang baik. Kalau dia jahat, mana mungkin


Kemelut Kerajaan Mancu Seri Huang Ho Sianli 2 Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

aku menghambakan diri padanya" Pangeran Cu Kiong itu
adalah putera Sribaginda dari selir ke tiga. Sesudah Putera
Mahkota, Pangeran Kang Shi yang masih kecil, maka Pangeran
Cu Kiong merupakan orang
pertama yang berhak
menggantikan kedudukan Kaisar."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Hemm, kalau dia orang baik-baik, mengapa dia
menghinaku, merendahkan aku yang hanya akan diambil
sebagai selirnya?"
"Hal itu karena dia tidak tahu bahwa engkau keturunan
Pangeran Ciu Wan Kong, Cucuku. Kalau dia tahu, aku yakin
dia mau menjadikan engkau isterinya, bukan sekadar selirnya.
Akan tetapi sesungguhnya dia sendiri telah ditunangkan sejak
kecil dengan seorang puteri dari keluarga Pangeran Bouw.
Itulah sebab-sebabnya mengapa dia tidak dapat mengangkatmu sebagai isterinya."
"Hemm, dia hendak memperalat aku untuk memusuhi
Pangeran Leng Kok Cun, hendak menggunakan aku untuk
dapat mencapai cita-citanya. Apakah dia bukan bermaksud
merampas kekuasaan di istana Kaisar?"
"Kukira tidak, Thian Hwa. Dia memang mengharapkan
kedudukan Kaisar, akan tetapi hanya sebagai wakil, atau
sementara adiknya Pangeran Kang Shi yang putera mahkota
itu masih kecil. Dia memang memusuhi Pangeran Leng Kok
Cun, karena Pangeran Leng agaknya mengumpulkan banyak
orang pandai dan dicurigai akan merebut tahta dengan
kekerasan."
"Hemm, betapapun juga, aku benci Pangeran Cu Kiong. Dia
bahkan hendak membunuhku dengan mengerahkan pengawal-pengawalnya, yaitu Kim-keng Chit-sian."
"Mungkin hal itu dia lakukan karena engkau memusuhinya
dan karena dia khawatir engkau kelak akan menjadi pembantu
Pangeran Leng."
"Apa pun alasannya, aku benci padanya, Kong-kong.
Sekarang setelah aku mendengar akan riwayat Ibu dan Ayah
darimu, kuharap engkau pulang dulu ke Kia-jung. Aku hendak
melanjutkan perjalananku ke kota raja. Akan kuselidiki
keadaan ayah kandungku itu."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Akan tetapi, Thian Hwa. Kapan engkau akan datang ke
Kia-jung, menjenguk kakekmu yang kini hidup sebatang kara
ini?" "Jangan khawatir, Kong-kong. Kelak aku pasti akan datang
menengokmu. Nah, berangkatlah, Kong-kong, selagi hari
masih pagi. Ini sedikit uang boleh Kong-kong bawa untuk
bekal." Thian Hwa menyerahkan beberapa potong uang, akan
tetapi Cui Sam menolak dan berkata, "Aku tidak memerlukan
uang, Thian Hwa. Ketahuilah bahwa ketika dulu, Pangeran Ciu
memberi banyak emas kepada aku dan ibumu sehingga
sampai sekarang aku tidak pernah kekurangan. O ya, aku
ingat. Ibumu dulu, sebelum perahu
kami terbalik, menyerahkan perhiasan-perhiasannya padaku. Ada sebuah
perhiasan yang dulu amat disayang ibumu, dan barang itu
pemberian ayah kandungmu sebagai tanda kasih. Barang itu
tidak pernah berpisah dariku, sebagai kenangan akan ibumu,
ke mana-mana kubawa. Mari, Thian Hwa, terima lah barang
ini, barang peninggalan ibumu yang paling ia sayang."
Kakek itu mengeluarkan sebuah hiasan rambut berbentuk
burung Hong kecil dari emas dan bermata intan. Ukiran hiasan
rambut itu halus dan indah bukan main. T hian Hwa menerima
dengan terharu, lalu mencium benda itu.
"Terima kasih, Kong-kong."
Cui Sam lalu meninggalkan rumah penginapan itu,
langsung keluar dari kota Thian-cin menuju ke selatan, ke
dusun Kia-jung. Hati kakek itu gembira bukan ma in. Dia
merasa berbahagia sekali telah bertemu lagi dengan cucunya
dan tentu saja dia merasa amat bangga melihat cucunya,
puteri Cui Eng, kini menjadi seorang gadis pendekar yang
sakti! Bahkan yang telah menolong penduduk Kia-jung
kemarin! Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sementara itu, Thian Hwa juga merasa lega. Ternyata ayah
kandungnya bukan orang jahat, bukan seburuk yang tadinya
ia duga. Yang jahat dan mengusir ibunya adalah orang tua
Pangeran Ciu Wan Kong, terutama ibu pangeran itu. Akan
tetapi kedua orang tua itu telah wafat dan kini ayah
kandungnya hidup kesepian seorang diri, bahkan saking
sedihnya kehilangan ibunya, sampai sekarang, walaupun telah
lewat hampir dua puluh tahun, ayah kandungnya itu masih
merasa berduka! Diam-diam ia merasa bangga akan kasih
sayang yang sedemikian besar dari ayahnya terhadap ibunya
dan ia merasa iba sekali kepada pangeran yang menjadi ayah
kandungnya itu.
"Selamat pagi, Sian-li!" kata Kong Liang ketika dia melihat
gadis itu duduk termenung di atas bangku yang berada di
depan kamarnya.
Thian Hwa memandang. Pemuda itu sudah mandi dan
berganti pakaian kuning yang baru. "Selamat pagi, Twako."
"Sian-li, mana Paman Cui Sam" Apakah dia belum bangun
dari tidurnya?"
"Dia sudah pergi, Twako. Pagi sekali tadi Kong-kong telah
berangkat, pulang ke dusun Kia-jung."
"Ah, mengapa begitu tergesa-gesa" Sebetulnya aku ingin
berkenalan lebih baik dengan kakekmu, Sian-li."
"Dia ingin segera kembali ke Kia-jung untuk mengurus
sawah ladangnya, Twako. Dan aku sendiri pagi ini hendak
melanjutkan perjalananku ke kota raja."
"Ah, kalau begitu mari kita berangkat. Akan tetapi
sebaiknya kita sarapan lebih dulu, Sian-li. Tadi aku sudah
pesan kepada pelayan untuk menyediakan makan pagi untuk
kita bertiga. Akan tetapi karena Paman Cui Sam sudah pergi,
mari kita makan berdua saja."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Thian Hwa tidak dapat menolak, maka mereka lalu pergi ke
ruangan depan di mana memang dibuka sebuah rumah makan
untuk melayani keperluan makan para tamu rumah
penginapan itu. Setelah makan bersama, Thian Hwa dan Kong
Liang segera meninggalkan rumah penginapan itu untuk
melanjutkan perjalanan mereka menuju Peking.
0odw-jTno0 Mereka berdua melakukan perjalanan dengan santai. Dua
hari kemudian, pada suatu pagi mereka meninggalkan kota
Gu-an yang terletak di sebelah selatan sungai.
"Bagaimana kalau kita melanjutkan perjalanan dengan
menggunakan perahu?" Bu Kong Liang mengajukan usul. Usul
ini bagaikan penawaran kepada seekor domba untuk
mengambil jalan me lalui padang rumput bagi Thian Hwa. Ia
memang sudah rindu untuk me lakukan perjalanan di atas air
yang mudah, tidak melelahkan, lancar dan ia dapat menikmati
suara gemerciknya air dan pemandangan yang amat
dikenalnya di sepanjang tepi sungai.
Setelah tiba di tepi sungai mereka hendak mencari perahu.
Bu Kong Liang ingin menyewa perahu, akan tetapi T hian Hwa
mencegahnya. "Twako, lebih baik membeli saja sebuah
perahu. Tidak leluasa kalau mengajak tukang perahu, bahkan
kalau ada apa-apa malah merepotkan."
"Wah, membeli sebuah perahu" Tentu mahal harganya,
Sian-li!" "Tidak mahal, Twako. Kita membeli perahu tua yang buruk
dan sederhana saja. Itu di sana ada perahu tua, tentu tidak
mahal kalau kita beli."
Kong Liang memandang yang ditunjuk dan dia melihat
seorang kakek sedang membetulkan perahunya yang tua dan
agaknya bocor. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Wah, perahu seperti ini jangan-jangan akan terbalik di
sungai dan kita akan hanyut atau tenggelam! Aku sama sekali
Kisah Sepasang Rajawali 26 Rahasia Ciok Kwan Im Pendekar Harum Seri Ke 2 Karya Gu Long Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San 5
^