Pencarian

Kesatria Baju Putih 4

Kesatria Baju Putih Pek In Sin Hiap Karya Chin Yung Bagian 4


Berselang beberapa saat, Tio Cie Hiong berhenti dan monyet putih pun ikut berhenti.
"Kauw heng! Aku sudah bisa!" ujar Tio Cie Hiong girang.
Monyet putih bercuit-cuit lagi, kemudian meloncat ke atas setinggi lima enam depa, berjungkir
balik di situ dan tubuhnya melambung ke atas lagi lima enam depa, lalu berjungkir balik lagi
sehingga tubuhnya melambung ke atas lima enam depa.
Bukan main kagumnya Tio Cie Hiong menyaksikannnya. Namun dia tidak tahu bawwa itu adalah
ilmu ginkang tingkat tinggi. Setelah itu, tubuh monyet putih melayang turun dengan ringan sekali.
Setelah sepasang kakinya menyentuh tanah, monyet itu pun bercuit-cuit.
"Engkau menyuruhku meniru gerakanmu itu?" tanya Tio Cie Hiong.
Monyet putih mengangguk.
Tio Cie Hiong meloncat ke atas. Ternyata ia pun meloncat setinggi lima enam depa, lalu
berjungkir balik meniru gerakan monyet putih. Akan tetapi, badan Tio Cie Hiong tidak melambung
ke atas, sebaliknya malah merosot ke bawah. Buuuk! Tio Cie Hiong jatuh tertelentang. Monyet
putih bercuit-cuit dan berloncat-loncatan, seakan mentertawakannya.
"Kauw heng!" Tio Cie Hiong penasaran. "Engkau mentertawakan aku ya?"
Monyet putih menganguk sambil bertepuk-tepuk tangan. Tio Cie Hiong melotot. Ia meloncat ke
atas lagi, juga berjungkir balik. Tapi badannya tetap tidak bisa melambung ke atas, melainkan
merosot ke bawah.
Buuuk! Tio Cie Hiong jatuh lagi.
Monyet putih bertepuk-tepuk tangan. Tio Cie Hiong mengerutkan kening sambil bangkit berdiri.
"Kauw heng! Kenapa bisa begitu?" tanya Tio Cie Hiong heran.
Monyet putih mengangkat-angkat dadanya menarik-narik nafasnya, seperti sedang memberi
petunjuk pada Tio Cie Hiong.
"Maksudmu aku harus menarik nafas di saat berjungkir balik?" tanya Tio Cie Hiong.
Monyet putih mengangguk.
Tio Cie Hiong meloncat ke atas lagi. Ketika berjungkir balik, is segera menarik nafasnya dalamdalam.
Akan tetapi, badannya tetap tidak bisa melambung ke atas, melainkan merosot ke bawah.
Hanya kali ini badannya merosot dengan ringan sekali, tidak jatuh seperti tadi.
"Kauw heng! Kenapa badanku tetap tidak bisa melambung ke atas?" tanya Tio Cie Hiong heran
sambil memandang monyet putih.
Monyet putih menggeleng-gelengkan kepala, kelihatannya tidak mengerti akan hal itu.
Tio Cie Hiong tidak begitu memusingkan tentang itu, seminggu kemudian, Tio Cie Hiong
berpamit kepada monyet putih. Seketika mata monyet itu tampak basah.
"Kauw heng, janganlah engkau berduka!" ujar Tio Cie Hiong sambil membelainya. "Kita akan
berjumpa lagi kelak."
Monyet putih manggut-manggut. Tio Cie Hiong membelainya lagi seraya berkata.
"Kauw heng! Selamat tinggal!" Tio Cie Hiong melangkah pergi meninggalkan goa itu. Monyet
putih mengantarkan sampai di depan goa.
Ketika Tio Cie Hiong sampai di kaki Gunung itu, mendadak ia mendengar suara ringkikan kuda.
"Haah...." Tio Cie Hiong terperangah. Ia sama sekali tidak menduga kalau kuda tunggangnya masih
menunggu di situ.
"Kuda yang setia kawan, engkau tidak ke mana-mana selama seminggu ini?" Kuda itu meringkik
lagi. Tio Cie Hiong membelai kepalanya lalu meloncat ke atas punggungnya.
"Mari kita ke Gunung Wu San, aku ingin menengok Sok Beng Yok Ong!" ujar Tio Cie Hiang.
Kuda itu meringkik kemudian berlari kencang meninggalkan Gunung Thian San. Tio Cie Hiong
yang duduk di atas punggung kuda itu tertawa riang gembira. Ia sama sekali tidak tahu bahwa
dirinya telah memiliki Iweekang yang amat tinggi, bahkan juga memiliki Kiu Kiong San Tian Pou,
ginkang yang memang belum sempurna tapi sudah bisa membuat gerakannya menjadi cepat dan
rinagn juga tubuhnya pun kebal terhadap racun apapun.
Sepuluh hari kemudian, ia sudah sampai di lembah Persik di Gunung Wu San. Bukan main
gembiranya karena akan bertemu kembali dengan Sok Beng Yok Ong.
"Paman Tua! Paman Tua..." serunya sambil meloncat turun dari kuda. "Paman Tua! Paman tua,
aku datang!"
Tiada sahutan dan tidak tampak Sok Beng Yok Ong keluar dari gubuk itu. Hal itu membuat Tio
Cie Hiong tercengang dan bertanya dalam hati, apakah Sok Beng Yok Ong telah meninggalkan
gubuk itu, ataukah pergi mencari akar obat"
Akan tetapi, pintu gubuk itu terbuka lebar. Tio Cie Hiong mengerutkan kening sambil berjalan ke
pintu. Ketika melongok ke dalam, ia terbelalak dan wajahnya berubah pucat pias.
Keadaan di dalam gubuk itu porak poranda. Tampak Sok Beng Yok Ong tergeletak di lantai tak
bergerak sama sekali, pakaiannya penuh noda darah.
"Paman Tua!" teriak Tio Cie Hiong sambil berlari mendekatinya. "Paman Tua!"
Tio Cie Hiong membungkukkan badannya. Pada waktu bersamaan badan Sok Beng Yok Ong
bergerak sedikit sambil matanya terbuka.
"Cie Hiong...." panggil Sok Beng Yok Ong dengan suara lemah.
"Paman Tua...." Mata Tio Cie Hiong bersimbah air. Ia tahu, Sok Beng Yok Ong sudah tidak bisa
bertahan lama lagi.
"Nak... engkau sudah... kembali...."
"Paman Tua, aku sudah makan buah Ling Che." Tio Cie Hiong memberitahukan dengan air mata
bercucuran. "Bagus... bagus ...."
"Paman Tua, siapa yang melakukan semua ini?" tanya Tio Cie Hiong terisak-isak.
"Cie Hiong, sejak kecil... aku menekuni obat-obatan. Tujuanku... hanya untuk... menolong...
orang, tapi... akhirnya... aku... aku malah... disiksa... oleh orang yang... kutolong itu."
"Paman Tua, siapa orang itu?"
"Cie Hiong, dengarkanlah baik-baik... engkau harus... harus belajar ilmu silat. Cie Hiong...
berjanjilah!"
Keadaan di dalam gubuk itu porak poranda. Tampak Sok Beng Yok Ong tergeletak di lantai tak
bergerak sama sekali, pakaiannya penuh noda darah.
"Paman Tua!" teriak Tio Cie Hiong sambil berlari mendekatinya. "Paman Tua!"
Tio Cie Hiong membungkukkan badannya. Pada waktu bersamaan badan Sok Beng Yok Ong
bergerak sedikit sambil matanya terbuka.
"Cie Hiong...." panggil Sok Beng Yok Ong dengan suara lemah.
"Paman Tua...." Mata Tio Cie Hiong bersimbah air. Ia tahu, Sok Beng Yok Ong sudah tidak bisa
bertahan lama lagi.
"Nak... engkau sudah... kembali...."
"Paman Tua, aku sudah makan buah Ling Che." Tio Cie Hiong memberitahukan dengan air mata
bercucuran. "Bagus... bagus ...."
"Paman Tua, siapa yang melakukan semua ini?" tanya Tio Cie Hiong terisak-isak.
"Cie Hiong, sejak kecil... aku menekuni obat-obatan. Tujuanku... hanya untuk... menolong...
orang, tapi... akhirnya... aku... aku malah... disiksa... oleh orang yang... kutolong itu."
"Paman Tua, siapa orang itu?"
"Cie Hiong, dengarkanlah baik-baik... engkau harus... harus belajar ilmu silat. Cie Hiong...
berjanjilah!"
"Ya," sahut Tio Cie Hiong dengan air mata berderai-derai. "Paman Tua, beritahukanlah! Siapa
yang turun tangan jahat terhadap Paman?"
"Aku... aku tidak sia-sia bertahan, akhirnya... akhirnya engkau ke mari...." Suara Sok Beng Yok
Ong semakin lemah.
"Paman Tua, siapa orang itu?" tanya Tio Cie Hiong lagi.
"Mereka... mereka adalah...." Mendadak kepala Sok Beng Yok Ong terkulai, orang tua itu telah
mati. "Paman Tua! Paman Tua....!!!!!" teriak Tio Cie Hiong dengan air mata berlinang-linang.
Setelah menguburkan mayat Sok Beng Yok Ong, barulah Tio Cie Hiong mendekati kudanya.
"Kuda yang baik!" ujarnya sambil membelai-belai kepala kuda itu. "Engkau dan monyet putih itu
adalah binatang, namun kalian lebih berperasaan dan lebih setia kawan dari pada manusia.
Aaakh... kenapa hati manusia begitu kejam" Haruskah saling membunuh" Katanya binatang sangat
kejam, buktinya manusia malah lebih kejam dari pada binatang!"
Kuda itu meringkik dan memanggut-manggutkan kepalanya. Apakah kuda itu mengerti apa yang
dikatakan Tio Cie Hiong" Tentu tidak. Hanya saja kuda tersebut mempunyai perasaan yang amat
dekat dengan pemuda itu.
"Ma heng (Saudara kuda)!" ujar Tio Cie Hiong sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Paman
Tua itu selalu menolong orang, hidupnya dicurahkan pada obat-obatan, sehingga tidak mempunyai
anak isteri. Tapi... akhirnya dia malah mati ditangan penjahat. Kenapa orang-orang rimba persilatan
begitu kejam" Aaakh" Ma heng, setelah aku berhasil mencari Ku Tok Lojin, alangkah baiknya kita
hidup tenang di puncak Gunung Thian San bersama monyet putih itu!"
Kuda itu meringkik lagi.
Tio Cie Hiong meloncat ke punggung kudanya kemudian memegang tali les seraya berkata. "Aku
tidak tahu harus ke mana, terserah engkau mau membawaku ke mana."
Kuda itu meringkik nyaring, lalu berlari pergi meninggalkan Lembah Persik.
Sepanjang jalan, Tio Cie Hiong selalu menolong orang-orang sakit tanpa menerima pembayaran.
Dari desa ke desa, dari kota ke kota ia selalu mengobati orang-orang sakit dan tetap tidak
menerima upah. Namun ada beberapa hartawan mendesak memberinya uang, membuat Tio Cie
Hiong terpaksa menerimanya. Bahkan jika orang miskin yang diobatinya tidak punya uang untuk
membeli obat, Tio Cie Hiong lah yang memberi mereka uang untuk membeli obat.
Oleh karena itu, para orang miskin menganggapnya sebagai dewa penolong. Para gadis cantik
berusaha mendekatinya, namun ia hanya bersikap biasa saja dan mau bergaul dengan siapapun.
Perlu diketahui, kini Tio Cie Hiong telah tumbuh menjadi seorang pemuda yang amat tampan. Tutur
bahasanya halus sekali, maka gadis mana yang akan tidak tertarik kepadanya"
Suatu hari mulai senja, kuda itu membawanya ke dalam sebuah rimba. Mendadak ia melihat
seorang berpakaian putih berjalan terhuyung-huyung, tak lama orang itu terkulai.
Tio Cie Hiong segera meloncat turun dari kudanya, dan cepat-cepat mendekati orang itu.
Setelah melihat jelas, terbelalaklah Tio Cie Hiong, karena orang itu adalah Pek Ih Mo Li, seperti
telah diceritakan Sok Beng Yok Ong bahwa Pek Ih Mo Li lah yang menolongnya ketika ia terpukul
oleh Ngo Tok Ciang.
Segeralah Tio Cie Hiong memeriksanya, namun. kemudian menggeleng-geleng kepala, karena
urat nadi Pek Ih Mo Li telah putus tergempur oleh Iweekang yang amat dahsyat. Pek Ih Mo Li
masih bisa bertahan, karena ia pun memiliki Iweekang tinggi.
Tio Cie Hiong mengeluarkan dua butir pil warna merah, yaitu Sok Beng Tan. Kedua butir pil
tersebut dapat menyambung nyawa Pek Ih Mo Li beberapa saat.
Setelah menelan dua butir pil Sok Beng Tan, sesaat kemudian Pek Ih Mo Li membuka matanya.
Begitu melihat Tio Cie Hiong, ia tersenyum.
"Adik kecil..." panggilnya dengan suara lemah.
"Terimakasih atas pertolongan Nona yang telah membawaku ke Lembah Persik, sehingga
nyawaku dapat diselamatkan," ucap Tio Cie Hiong.
"Adik kecil...." Pek Ih Mo Li menatapnya.
"Waktu Nona tidak begitu banyak lagi, mau berpesan apa pesanlah kepadaku" Aku pasti
melaksanakannya," ujar Tio Cie Hiong sungguh-sungguh.
"Adik kecil, aku... aku mempunyai seorang adik. Usianya sudah tujuh belas, tolong cari dial"
pesan Pek Ih Mo Li.
"Nama Adikmu?" tanya Tio Cie Hiong. "Namanya... Tio Cie Hiong," jawab Pek Ih Mo Li.
"Apa"!" terbelalak Tio Cie Hiong mendengarnya. "Adikmu bernama Tio Cie Hiong?"
"Benar... Kenapa?"
"Aku... akulah Tio Cie Hiong," Air matanya mulai mengucur. "Kalau begitu, engkau pasti...."
"Haaah...!" Pek Ih Mo Li tertegun, kemudian tersenyum dengan air mata berderai-derai. "Cie
Hiong, adikku...."
"Kakak! Kakak!" panggil Tio Cie Hiong sambil memeluknya erat-erat. "Kakak...."
"Adik..., aku... aku gembira sekali. Akhirnya kita dapat bertemu." Pek Ih Mo Li juga memeluk Tio
Cie Hiong erat-erat.
"Kakak, siapa ayah dan ibu?" tanya Tio Cie Hiong mendadak.
"Ayah adalah Hui Kiam Tek-Tio It Seng, sedangkan ibu adalah Sin Pian Bijin-Lie Hui Hong."
jawab Pek Ih Mo Li memberitahukan. "Belasan tahun lampau, tanpa sengaja ayah memperoleh
Kotak Pusaka yang berisi kitab ilmu silat Pak Kek Siang Ong. Tapi... ayah dan ibu mati dibunuh oleh
Bu Lim Sam Mo. Aku tergelincir ke dalam jurang. Untung tertolong oleh seorang biarawati sakti, lalu
beliau menerimaku sebagai murid. Pada waktu itu, Paman Tio Sam membawamu pergi...."
"Ayah! Ibu..." gumam Tio Cie Hiong terisak-isak. "Kakak, kenapa Bu Lim Sam Mo membunuh
kedua orang tua kita?"
"Karena ingin memperoleh Kotak Pusaka itu."
"Aaakh...!" Tio Cie Hiong menggeleng-gelengkan kepala dengan air mata bercucuran.
"Adik, engkau harus membalas dendam kedua orang tua kita dan membalas dendamku!" pesan
Pek Ih Mo Li. "Adik, berjanjilah!"
"Ya, Kak." Tio Cie Hiong mengangguk.
"Omitohud!" Tiba-tiba terdengar suara pujian kepada Sang Budha, kemudian muncul seorang
padri tua di hadapan mereka.
"Sin Ceng!" Panggil Pek Ih Mo Li.
"Omitohud! Ternyata engkau Pek Ih Mo Li!" Padri tua itu adalah Lam Hai Sin Ceng.
"Dua tahun lalu, Sin Ceng pernah bilang, semuanya itu telah merupakan takdir. Pada waktu itu,
Sin Ceng pun berpesan kepadaku harus ber hati-hati, aku bilang kalau sudah merupakan takdir,
berhati-hati pun pasti terjadi. Buktinya aku tidak terlepas dari takdir ini" ujar Pek Ih Mo Li sambil
tersenyum getir, kemudian wajahnya meringis.
"Omitohud!" Lam Hai Sin Ceng menarik nafas panjang.
"Adik...." Suara Pek Ih Mo Li mulai melemah. Ia menggenggam tangan Tio Cie Hiong erat-erat.
"Belasan tahun lampau, kaum golongan hitam mengeroyok kedua orang tua kita sampai kedua
orang tua kita terluka. Engkau... engkau harus menumpas golongan hitam!"
"Ya." Tio Cie Hiong mengangguk dan mulai terisak-isak lagi.
"Adik...." Pek Ih Mo Li menatap Tio Cie Hiong dengan mata redup. "Engkau harus membunuh Bu
Lim Sam Mo dan....."
"Pek Ih Mo Li!" tanya Lam Hai Sin Ceng mendadak. "Siapa yang melukaimu sampai begini?"
"Mereka... mereka adalah..." jawab Pek Ih Mo Li terputus-putus. "Mereka adalah Empat Dhalai
Lhama Tibet...."
Bagian 8 "Omitohud! Bu Lim Sam Mo belum muncul, kini malah muncul Empat Dhalai Lhama Tibet!"
gumam Lam Hai Sin Ceng sambil menghela nafas. "Pasti akan banjir darah dalam rimba
persilatan...."
"Adik......" Pek Ih Mo Li mengeluarkan sebuah kitab dari dalam bajunya, lalu diberikan kepada
Tio Cie Hiong. "Kitab ini... pemberian guruku, sekarang... kuberikan kepadamu...."
"Kakak!" Tio Cie Hiong menerima kitab itu dengan air mata berderai. Ia tahu, bahwa ajal
kakaknya telah tiba. "Kakak...."
"Adik..." ujar Pek Ih Mo Li. "Kenapa gelap sekali...?"
"Omitohud! Dosamu tidak berat, akan muncul cahaya untuk menuntunmu. Omitohud..." ucap
Lam Hai Sin Ceng.
"Terimakasih, Sin Ceng!" Wajah Pek Ih Mo Li mulai berseri. "Adikku...."
Tiba-tiba kepala Pek Ih Mo Li terkulai, dan seketika juga Tio Cie Hiong berteriak.
"Kakak! Kakak! Kakak...." Tio Cie Hiong menangis sedih.
"Omitohud! Dia pergi dengan tenang, janganlah memberatkannya dengan tangisanmu!" ucap
Lam Hai Sin Ceng.
"Kakak...." Tio Cie Hiong berhenti menangis, namun air matanya tetap berderai-derai. Belasan
tahun ia berpisah dengan kakaknya, kini telah berjumpa tapi kakaknya justru menemui ajalnya
dalam pelukannya.
Kemudian Tio Cie Hiong mengubur mayat kakaknya, setelah itu barulah ia mendekati Lam Hai
Sin Ceng, sekaligus memberi hormat.
"Maaf, Sin Ceng!" ucapnya. "Tadi aku lama sekali tidak mengacuhkan Sin Ceng, sebab
kakakku...."
"Omitohud! Aku tahu itu." Lam Hai Sin Ceng tersenyum lembut, lalu memberitahukan. "Dua
tahun lampau, engkau terluka karena terpukul oleh Ngo Tok Ciang hingga pingsan. Kemudian
muncullah Pek Ih Mo Li. Dia telah membunuh Hek Pek Siang Koay yang kejam itu. Kebetulan aku
lewat di tempat itu, maka aku menyuruhnya membawamu ke Lembah Persik, sebab hanya Sok
Beng Yok Ong yang dapat menolongmu."
"Terimakasih, Sin Ceng!" ucap Tio Cie Hiong, kemudian menggeleng-gelengkan kepala. "Sok
Beng Yok Ong telah mati di bunuh penjahat...."
"Omitohud!" Lam Hai Sin Ceng menghela nafas. "Ohya, dua tahun lalu aku pernah
memeriksamu. Dalam tubuhmu mengalir hawa hangat melindungi jantungmu, maka engkau tidak
mati terpukul oleh Ngo Tok Ciang. Apakah engkau pernah belajar Iweekang?"
"Pernah." Tio Cie Hiong mengangguk.
"Maukah engkau memberitahukanku Iwekang apa itu?" tanya Lam Hai Sin Ceng.
"Maaf, Sin Ceng! aku tidak boleh memberitahukan kepada siapa pun tentang Iwekang itu"
"Omitohud! Itu tidak apa-apa." Lam Hai Sin Ceng tersenyum lembut. "Sekarang aku ingin
memeriksa tubuhmu, engkau tidak berkeberatan kan?"
"Ya." Tio Cie Hiong mengangguk.
Lam Hai Sin Ceng memegang nadi Tio Cie Hiong. Seketika wajah padri sakti itu tampak
tercengang. "Bukan main!" gumam Lam Hai Sin Ceng sambil melepaskan tangannya. "Sungguh luar biasa!"
"Kenapa, Sin Ceng?" tanya Tio Cie Hiong heran.
"Mari kita duduk di bawah pohon, aku ingin bercakap-cakap denganmu sejenak!" ujar Lam Hai
Sin Ceng. Mereka berdua berjalan ke bawah sebuah pohon rindang, lalu duduk. Tio Cie Hiong terheranheran,
karena padri sakti itu ingin bercakap-cakap dengan dirinya.
"Sin Ceng ingin bercakap-cakap tentang apa?" tanyanya.
"Omitohud! Kini telah muncul Empat Dhalai Lhama Tibet, dan tidak lama lagi akan muncul Bu
Lim Sam Mo." Lam Hai Sin Ceng menghela nafas. "Sudah barang tentu akan terjadi banjir darah
dalam dunia persilatan."
"Sin Ceng, aku bukan kaum rimba persilatan," ujar Tio Cie Hiang. "Jadi aku tidak perlu
mengetahui hal itu."
"Omitohud!" Lam Hai Sin Ceng tersenyum penuh rasa kasih. "Apakah belum lama ini engkau
mengalami sesuatu?"
"Maksud Sin Ceng?"
"Berapa usiamu sekarang?" tanya Lam Hai Sin Ceng mendadak.
"Tujuh belas."
"Karena itu, tidak mungkin engkau memiliki Iweekang yang begitu hebat dan luar biasa. Apakah
belum lama ini engkau pernah makan semacam obat?"


Kesatria Baju Putih Pek In Sin Hiap Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sin Ceng, belum lama ini aku memang telah makan buah Kiu Yap Ling Che, yang tumbuh di
puncak Gunung Thian San." Tio Cie Hiong memberitahukan.
"Omitohud!" Lam Hai Sin Ceng manggut-manggut. "Engkau seorang diri datang ke puncak
Gunung Thian San?"
"Ya." Tio Cie Hiong mengangguk. "Sok Beng Yok Ong yang menyuruhku ke sana. Katanya
tubuhku akan kebal terhadap racun apa pun setelah makan buah itu, maka aku ke puncak Gunung
Thian San."
"Omitohud! Itu memang sudah takdir!" Lam Hai Sin Ceng tersenyum, kemudian wajahnya
berubah serius. "Sekarang aku ingin memberi tahukan, tidak lama lagi Bu Lim Sam Mo akan muncul
dalam rimba persilatan. Tentunya engkau sudah tahu, merekalah yang memperoleh Kotak Pusaka
itu sebelum membunuh Hui Kiam Bu Tek dan isterinya. Kotak Pusaka itu berisi kitab ilmu silat
peninggalan Pak Kek Siang Ong yang sangat tersohor dua ratusan tahun lampau...."
Tio Cie Hiong terus mendengarkan. Kelihatannya ia mulai tertarik akan penuturan Lam Hai Sin
Ceng. "Dua ratus tahun lampau, dalam rimba persilatan muncul empat orang berkepandaian amat
tinggi." lanjut Lam Hai Sin Ceng. "Salah seorang dari mereka adalah wanita yang sangat cantik,
julukannya Cian Ciu Kwan Im. Sedangkan tiga orang lainnya adalah Lam Hai Sianjin, Pak Kek Siang
Ong dan Im Sie Hong Jin.
Pada masa itu, mereka bertiga sama-sama jatuh cinta pada Cian Ciu Kwan Im, tapi pilihan Cian
Kiu Kwan Im jatuh pada Lam Hai Sianjin. Betapa gusarnya Pak Kek Siang Ong, kemudian
menantang Lam Hai Sianjin, sehingga terjadilah pertarungan yang sangat dahsyat. Namun akhirnya
Pak Kek Siang Ong harus mengakui keunggulan Lam Hai Sianjin, sebab kepandaiannya Pak Kek
Siang Ong masih setingkat di bawah kepandaian Lam Hai Sianjin. Karena itu, Pak Kek Siang Ong
pergi dengan kecewa. Im Sie Hong Jin yang tergila-gila pada Cian Ciu Kwan Im, mulai menyusun
suatu rencana busuk. Secara diam-diam ia mengundang Cian Ciu Kwan Im ke suatu tempat, lalu
mengajaknya minum. Ternyata minuman yang Im Sie Hong Jin berikan kepadanya telah dicampur
semacam obat perangsang, sehingga terjadilah hubungan intim di antara mereka. Saking malunya,
Cian Ciu Kwan Im tidak berani memberitahukan hal itu kepada Lam Hai Sianjin. Namun akhirnya
Lam Hai Sianjin tahu juga. Dia tidak mempersalahkan Cian Ciu Kwan Im, melainkan seorang diri
pergi mencari Im Sie Hong Jin. Cian Ciu Kwan Im mengetahuinya, lalu dengan diam-diam mengikuti
Lam Hai Sianjin...."
"Kemudian bagaimana?" tanya Tio Cie Hiong. "Setelah Lam Hai Sianjin bertemu Im Sie Hong
Jin...." Lam Hai Sin Ceng melanjutkan penuturannya. "Mereka berdua pun bertarung. ternyata Im
Sie Hong Jin berkepandaian tinggi sekali, sehingga Lam Hai Sianjin kewalahan menghadapinya.
Mendadak muncul Cian Ciu Kwan Im membantu Lam Hai Sianjin, maka Im Sie Hong Jin
dikeroyok...."
"Im Sie Hong Jin pasti kalah, bukan?" tanya Tio Cie Hiong.
"Dugaanmu meleset." ujar Lam Hai Sin Ceng melanjutkan. "Walau dikeroyok berdua, Im Sie
Hong Jin masih mampu melawan mereka, bahkan tampak di atas angin."
"Kalau begitu, kepandaian Im Sie Hong Jin tinggi sekali." ujar Tio Cie Hiong semakin tertarik
akan penuturan Lam Hai Sin Ceng.
"Ya." Lam Hai Sin Ceng mengangguk. "Kepandaian Im Sie Hong Jin memang tinggi sekali. Pada
saat pertarungan sedang berlangsung, mendadak...."
"Apa yang terjadi?" tanya Tio Cie Hiong karena Lam Hai Sin Ceng tidak melanjutkan
penuturannya. "Mendadak Im Sie Hong Jin tertawa terbahak-bahak, lalu tertawa terkekeh-kekeh," jawab Lam
Hai Sin Ceng. "Setelah itu, suara tawanya berubah seram sekali...."
"Lho?" Tio Cie Hiong heran. "Kenapa begitu?"
"Im Sie Hong Jin telah mengeluarkan jurus-jurus yang sangat aneh dan luar biasa."
"Bagaimana sesudah itu?"
"Lam Hai Sianjin dan Cian Ciu Kwan Im dilukainya, tapi Im Sie Hong Jin pun berlari pergi entah
kemana. Sejak itu tiada kabar beritanya lagi."
"Kemudian bagaimana dengan Lam Hai Sianjin dan Cian Ciu Kwan Im?"
"Cian Ciu Kwan Im meninggalkan Lam Hai Sianjin, karena merasa dirinya sudah tidak bersih."
Lam Hai Sin Ceng menghela nafas. "Lam Hai Sianjin patah hati, lalu pulang ke Lam Hai, dan sejak
itu dia tidak pernah meninggalkan Lam Hai lagi."
"Kok Sin Ceng begitu jelas tentang kejadian rimba persilatan dua ratusan tahun lampau itu?"
tanya Tio Cie Hiong heran.
"Omitohud!" ucap Lam Hai Sin Ceng dan memberitahukan. "Lam Hai Sianjin adalah kakek
guruku." Tio Cie Hiong manggut-manggut.
"Kakek guru mewariskan sebuah kitab kepada guruku, namun guruku tak mampu
mempelajarinya, maka diberikan kepada adik seperguruanku," ujar Lam Hai Sin Ceng sambil
menghela nafas. "Pada waktu itu, aku sedang pergi berkelana. sehingga kitab itu...."
"Kenapa kitab itu?"
"Entahlah sepertinya hilang bersama adik seperguruanku... Sedangkan Kotak pusaka yang
diperebutkan itu pasti berisi kitab ilmu silat Pak Kek Siang Ong. Pak Kek Sing Kang mengandung
hawa yang amat dingin, siapa yang terpukul Pak Kek Ciang Hoat, pasti menggigil dan akhirnya mati
beku!" Tio Cie Hiong terbelalak. "Begitu lihay pukulan itu!"
"Ya." Lam Hai Sin Ceng mengangguk. "Karena itu, kiranya hanya ilmu Iweekang yang ada di
dalam kitab warisan gurulah yang dapat mengatasi Pak Kek Sin Kang. Tapi... sudah puluhan tahun
adik seperguruanku itu tiada kabar beritanya."
"Sin Ceng, sebetulnya kitab itu kitab apa?" tanya Tio Cie Hiong.
, "Kitab Pan Yok Hian Thian Sin Kang." Lam Hai Sin Ceng memberitahukan.
"Apa"!" Tio Cie Hiong tertegun. "Kitab Pan Yok Hian Thian Sin Kang?"
"Ya." Lam Hai Sin Ceng menatapnya tajam. "Kenapa engkau tampak tertegun?"
"Sin Ceng!" jawab Tio Cie Hiong jujur. "Terus terang, yang kupelajari itu adalah Pan Yok Hian
Thian Sin Kang."
Lam Hai Sin Ceng terbelalak. "Omitohud! Memang sudah merupakan takdir!"
"Tapi...." Tio Cie Hiong mengerutkan kening. "Aku tidak mau belajar ilmu silat, sebab aku tahu,
siapa yang mengerti ilmu silat, pasti saling membunuh. Buktinya kedua orang tuaku dan kakakku."
"Omitohud!" Lam Hai Sin Ceng tersenyum. "Kakakmu pernah bilang, kalau sudah merupakan
takdir, apapun pasti terjadi!"
"Sin Ceng, tiada seorang pun yang dapat memaksaku untuk belajar ilmu silat," ujar Tio Cie
Hiong sungguh-sungguh.
"Sejak kecil engkau belajar ilmu sastra, kemudian tanpa sengaja engkau belajar Pan Yok Hian
Thian Sin Kang, setelah itu engkau pun berhasil dengan ilmu pengobatan. Sungguh luar biasa!"
Lam Hai Sin Ceng tersenyum lagi dan bertanya, "Tadi kakakmu memberikanmu kitab apa?"
"Entahlah." Tio Cie Hiong menggelengkan kepala, lalu memperlihatkan kitab pemberian
kakaknya kepada Lam Hai Sin Ceng.
"Itu adalah huruf-huruf Thian Tok (India). Entah kakakmu memperoleh kitab ini dari mana?"
ujar Lam Hai Sin Ceng setelah melihat kitab itu.
"Katanya dari gurunya."
"Dari gurunya..." gumam Lam Hai Sin Ceng. "Ciat Lun Sin Ni...."
Tio Cie Hiong tertegun, karena ketika Lam Hai Sin Ceng mengguman nama tersebut, wajahnya
berubah agak aneh.
"Sin Ceng mengerti huruf Thian Tok?" tanya Tio Cie Hiong.
"Tidak mengerti," jawab Lam Hai Sin Ceng. "Dia memberikan kitab ini kepadamu, tentunya
berharap engkau mempelajarinya."
"Tapi...." Tio Cie Hiong menggelengkan kepala. "Bagaimana mungkin aku mempelajari kitab ini"
Aku sama sekali tidak mengerti tulisan Thian Tok."
"Cie Hiong!" ujar Lam Hai Sin Ceng. "Sebelum ajal, kakakmu menyerahkan kitab ini kepadamu.
Maka engkau tidak boleh mengecewakan orang yang sudah tiada!"
"Ya." Tio Cie Hiong mengangguk. "Tapi...."
"Ada seorang mengerti tulisan Thian Tok, engkau harus pergi menemuinya, mohon padanya
untuk menterjemahkan kitab ini!" ujar Lam Hai Sin Ceng
"Sin Ceng, siapa orang itu?"
"Beliau adalah Thian Thay Siansu." Lam Hai Sin Ceng memberitahukan. "Beliau bermukim di
Gunung Thian Thay, engkau bisa kesana menemuinya! Tapi engkau harus sabar, sebab kadangkadang
Siansu itu tidak mau menemui siapa pun!"
"Sin Ceng kenal Thian Thay Siansu?"
"Aku pernah bertemu satu kali, itu sudah puluhan tahun lampau. Kini usia Thian Thay Siansu
mungkin sudah mencapai seratus tiga puluh tahun."
"Haah...?" Mulut Tio Cie Hiong ternganga lebar. "Sudah begitu tua?"
"Ya." Lam Hai Sin Ceng mengangguk, "Engkau harus tahu, kakakmu memberimu kitab ini agar
engkau mempelajarinya, maka engkau tidak boleh mengecewakannya yang telah tiada."
Tio Cie Hiong mengangguk.
"Pembicaraan kita cukup sampai di sini," ujar Lam Hai Sin Ceng sambil bangkit berdiri.
"Sin Ceng mau kemana?" tanya Tio Cie Hiong dan bangkit berdiri juga.
"Aku akan ke jurang di Pek In Nia menemui Ciat Lun Sin Ni untuk memberitahu tentang
kematian Pek Ih Mo Li" jawab Lam Hai Sin Ceng.
"Sin Ceng! Bolehkah aku bertanya sesuatu?" Tio Cie Hiong menatapnya.
"Tanyalah!" Lam Hai Sin Ceng tersenyum.
"Apakah padri boleh berbohong?" tanya Tio Cie Hiong mendadak.
"Maksudmu?" Lam Hai Sin Ceng tertegun.
"Sin Ceng telah berbohong" sahut Tio Cie Hiong sambil tersenyum.
"Apa?" Lam Hai Sin Ceng terbelalak. "Kapan aku berbohong?"
"Sesungguhnya Sin Ceng mau ke jurang di Pek In Nia, hanya ingin menemui Ciat Lun Sin Ni.
Namun Sin Ceng mengganti alasan untuk memberitahukannya tentang kematian kakakku, bukan?"
Tio Cie Hiong tersenyum lagi.
"Omitohud! Aku memang telah berbohong," ucap Lam Hai Sin Ceng sambil menghela nafas. "Cie
Hiong, kenapa engkau bisa menduga itu?"
"Ketika Sin Ceng bergumam menyebut Ciat Lun Sin Ni, wajah Sin Ceng berubah agak aneh." Tio
Cie Hiong memberitahukan. "Boleh dikatakan penuh mengandung cinta kasih."
"Omitohud!" Lam Hai Sin Ceng menghela nafas lagi. "Sudah puluhan tahun aku menjadi padri,
namun masih tidak dapat menghapus cinta kasih itu. Engkau memang luar biasa, dapat melihat
itu." "Sin Ceng!" ucap Tio Cie Hiong. "Semoga Sin Ceng bertemu Sin Ni itu!"
"Omitohud!" Lam Hai Sin Ceng tersenyum, lalu melesat pergi seraya berkata. "Engkau harus
segera berangkat ke Gunung Thian Thay!"
"Ya, Sin Ceng," sahut Tio Cie Hiong, kemudian mendekati kudanya. "Ma heng, kita akan
berangkat ke Gunung Thian Thay."
Kuda itu meringkik dan manggut-manggut.
Tio Cie Hiong meloncat ke punggungnya. Kemudian kuda itu berlari meninggalkan tempat
tersebut. Bagian 9 Bab 16 Hok Mo Cin Keng (Kitab Suci Penakluk iblis)
Tio Cie Hiong terus memacu kudanya menuju Gunung Thian Thay. Beberapa hari kemudian,
tibalah dia di sebuah lembah, dan kuda itu berlari agak perlahan. Mendadak muncul tiga orang
menghadang di depannya, maka Tio Cie Hiong cepat-cepat menghentikan kudanya.
"Ayo, turun-" bentak salah seorang.
"Kalian...." Tio Cie Hiong menatap mereka. Kemudian keningnya berkerut karena ia merasa
kenal mereka, yang tidak lain oey San Sam Hiong. Dua tahun lalu oey San Sam Hiong (Tiga orang
Ganas oey San) membunuh seseorang di depan gubuk Sok Beng yok ong.
"Bukankah kalian oey San Sam Hiong?"
"Anak muda" oey San Sam Hiong menatapnya tajam.
"Engkau kenal kami?"
"Dua tahun lalu, kalian bertiga pernah membunuh seseorang di Lembah Persik di Gunung ,Wu
San. Tentunya kalian belum lupa kan?"
"Engkau...." Salah seorang memperhatikannya,
"oooh Ternyata engkau anak lelaki itu Sungguh kebetulan kita bertemu di sini, maka engkau
harus menyerahkan kuda itu dan lainnya pada kami Kalau tidak...."
"oey San Sam Hiong Kenapa kalian selalu melakukan kejahatan?" tanya Tio Cie Hiong.
"Melakukan kejahatan memang pekerjaan kami" sahut oey San Sam Hiong sambil tertawa
terkekeh. "oey San Sam Hiong, lebih baik kalian kembali kejalan yang benar" ujar Tio Cie Hiong
menasehati mereka.
"Kalian harus ingat, bahwa perbuatan yang jahat pasti akan mendapat ganjaran...."
"Diam" bentak oey san sam Hiong.
"Engkau berani banyak omong di hadapan kami?"
"Aku banyak omong adalah demi kebaikan kalian" sahut Tio Cie Hiong.
"Hm" dengus oey san sam Hiong.
"Cepatlah serahkan kuda itu dan segala apa yang kau bawa Kalau tidak, nyawamu pasti
melayang di ujung golok kami"
"Aku masih harus melanjutkan perjalanan, bagaimana mungkin kuserahkan kudaku kepada
kalian." Tio Cie Hiong memandang mereka.
"Aku masih mempunyai belasan tael perak, akan kuberikan pada kalian, tapi aku harap kalian
jangan mengganggu kudaku"
"Tidak bisa" sahut oey san sam Hiong.
"Biar bagaimana pun engkau harus menyerahkan kuda itu kepada kami"
"Maaf" ucap Tio Cie Hiong sambil menggelengkan kepala.
"Aku tidak bisa menyerahkan kudaku"
oey san sam Hiong saling memandang sekaligus saling memberi isyarat kemudian dua orang
mendekati Tio Cie Hiong, sedangkan seorang lagi menghampiri kudanya.
Tio Cie Hiong mengerutkan kening ketika melihat dua orang itu mendekatinya. Dua orang itu
langsung menyerangnya dengan golok- Pada waktu bersamaan, badan Tio Cie Hiong bergerak,
tahu-tahu sudah hilang dari hadapan kedua orang itu.
Bukan main terkejutnya mereka berdua, sebab Tio Cie Hiong sudah berdiri di belakang mereka.
Kedua orang itu membalikkan badannya, lalu menyerang Tio Cie Hiong lagi, tapi Tio cie Hiong
tetap berkelit dengan ilmu langkah kilat.
Mendadak Tio cie Hiong mendengar suara ringkikkan kudanya, la segera menoleh, dilihatnya
kudanya sedang melawan orang yang mendekatinya. orang itu ingin membawa kabur kuda Tio Cie
Hiong, namun kuda itu mengadakan perlawanan sengit, orang itu gusar bukan main dan langsung
menusuk dan membacok kuda itu.
"Haah..." Tio cie Hiong terbelalak dan melesat ke arah kudanya menggunakan Kiu Kiong san
Tian Pou. Kudanya telah roboh bermandi darah sambil meringkik lemah. Dua pasang kakinya masih
tampak bergerak-gerak-
"Ma heng Ma heng?" teriak Tio Cie Hiong dengan air mata bercucuran. "Ma heng"- "
sepasang mata kuda itu memandangnya, kemudian mulutnya mengeluarkan suara ringkikan
rendah, seakan mengucapkan "selamat berpisah" pada Tio Cie Hiong.
"Ma heng...." Tio Cie Hiong merangkul kepala kuda itu.
"Tak terduga sama sekali, engkau akan mati di tempat ini."
Kuda itu meringkik perlahan dan memandang Tio Cie Hiong dengan mata basah- sementara oey
san sam Hiong saling berpandangan, lalu per-lahan-lahan mendekati Tio Cie Hiong.
"Ma heng-,-" Tio cie Hiong terisak-isak- la tidak tahu kalau oey san sam Hiong sedang
mendekatinya dengan golok terangkat siap membacoknya. Tio Cie Hiong masih merangkul kepala
kudanya dengan badan membungkuk, air matanya pun terus mengucur. Kuda itu meringkik lemah,
kemudian diam dan dua pasang kakinya tak bergerak lagi, pertanda kuda itu telah mati. "Ma heng--
.." Pada saat bersamaan, oey san sam Hiong mengayunkan golok mereka ke punggung Tio Cie
Hiong. Pemuda itu merasakan adanya sambaran angin di belakangnya, maka secara reflek ia
mengibaskan lengan bajunya.
"Aaakh?" Terdengar suara jeritan. Tampak oey san sam Hiong terpental bagaikan layanglayang
putus. Ternyata ketika Tio Cie Hiong mengibaskan lengan bajunya, tanpa sengaja mengerahkan Pan
yok Hian Thian sin Kang pada lengannya, maka oey san sam Hiong terpental tergempur oleh
Iwekang itu. Mereka bertiga terpental belasan depa jauhnya lalu jatuh dengan mulut mengeluarkan
darah segar. Tio Cie Hiong sama sekali tidak mengetahui kejadian itu, sebab ia terus-menerus membelai
kudanya yang telah mati itu.
"Ma heng..." Tio Cie Hiong terisak-isak-
"Engkau begitu baik dan setia kawan, tapi aku justru tak mampu menolongmu- Ma heng,
Maafkan aku"
Entah berapa lama kemudian, barulah Tio Cie Hiong berdiri tegak dan sekaligus menoleh ke
belakang, namun oey san sam Hiong sudah tidak kelihatan lagi.
Tio Cie Hiong memandang sedih kudanya yang telah mati itu. Berselang sesaat barulah
menguburkannya.
la duduk di sisi gundukan tanah yang baru diurugnya. Wajahnya tampak begitu berduka sekali.
"Kenapa begitu banyak penjahat dalam rimba persilatan" Kuda yang tak bersalah apa-apa juga
dibunuh dengan tak berperasaan sama sekali." gumam Tio Cie Hiong sambil menghela nafas.
"Setelah bertemu Thian Thay siansu, aku tidak akan mau mengembara dalam rimba persilatan
lagi...." Belasan hari kemudian, Tio Cie Hiong telah sampai di gunung Thian Thay San. Pemandangan di
gunung itu indah sekali. Pepohon menghijau dan bunga liar indah menakjubkan. sayup,sayup
terdengar pula suara air terjun bagaikan irama musik. gunung Thian Thay san memang amat
terkenal, konon merupakan tempat tinggal para buddha dan dewa. oleh karena itu banyak sekali
kaum hweeshio, biarawati dan pendeta Taosme bertapa di gunung tersebut.
Berselang beberapa saat kemudian, Tio Cie Hiong telah tiba di depan sebuah biara tua yang
sangat besar, la berjalan ke dalam halaman biara itu, lalu berdiri di depan pintu biara yang tertutup
rapat. Tio cie Hiong termangu sejenak, setelah itu barulah ia mengetuk pintu biara tersebut.
Tak seberapa lama kemudian, pintu biara itu terbuka dan tampak dua h wees hio berdiri di situ
sambil memandangnya.
"Maaf" ucap Tio Cie Hiong cepat.
"Aku telah mengganggu ketenangan biara ini"
"omitohud" kedua hweeshio itu menatapnya.
"Mau apa engkau ke mari?"


Kesatria Baju Putih Pek In Sin Hiap Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku ke mari mau menemui Thian Thay sian-cu,"jawab Tio Cie Hiang memberitahukan.
"omitohud" ucap salah seorang hweeshio itu.
"Thian Thay siansu tidak mau menemui siapapun. Lebih baik engkau pergi saja-"
Setelah berkata begitu, kedua hweeshio itu menutup pintu biara. Tio cie Hiong diam saja- la
masih ingat akan pesan Lam Hai sin Ceng, kalau ingin menemui Thian Thay siansu, haruslah
bersabar. oleh karena itu, segeralah ia berlutut di depan pintu biara. Tanpa setahunya, kedua hweeshio itu
mengintip ke luar melalui sebuah lubang kecil, setelah itu, barulah kedua hweeshio itu melangkah
ke dalam. Udara di situ dingin sekali, namun Tio cie Hiong tetap berlutut tanpa bergerak sama sekali-
Tak terasa hari sudah mulai malam- Tio Cie Hiong tetap berlutut di depan pintu biara-
Keesokan harinya, pintu biara itu terbuka- Tampak beberapa hweeshio berjalan ke luar dengan
membawa sapu- Mereka melihat Tio Cie Hiong berlutut di situ, tapi tidak menghiraukannyasedangkan
Tio Cie Hiong pun tidak bersuara maupun bergerak, tetap berlutut dengan kepala
tertundukseusai
menyapu di halaman, para hweeshio itu kembali masuk ke biara, dan pintu pun ditutup
kembali- Tio cie Hiong tetap tak bergerak- sementara sang waktu terus berlalu, tak terasa sudah tiga hari
tiga malam pemuda itu berlutut di situ tanpa makan dan minum maupun bergerak-
Pada hari keempat di pagi hari, pintu biara itu terbuka, tampak dua hweeshio mendekatinya
sambil tersenyum ramah dan lembut-
"Mari ikut kami ke dalam" ujar hweeshio itu
"Terima kasih" ucap Tio Cie Hiong.
Kedua hweeshio itu ingin memapahnya, tapi Tio Cie Hiong telah bangkit berdiri membuat kedua
hweeshio tersebut tercengang. Padahal pemuda itu lelah berlutut tiga hari tiga malam di situ tanpa
makan dan minum maupun bergeraki namun wajahnya masih tampak begitu seaar dan cerah
bukan main kagumnya kedua hweeshio itu. Mereka melangkah ke dalam, dan Tio cie Hiong
mengikuti mereka dari belakang.
Tak seberapa lama mereka sudah sampai di sebuah ruang besar. Tampak seorang hweeshio tua
berjenggot putih panjang duduk bersila di situ. Tio cie Hiong, yakin bahwa hweeshio tua itu adalah
Thian Thay siansu, maka ia cepat-cepat berlutut di hadapannya.
"omitohud" Hweeshio tua itu tersenyum.
" Engkau sudah berlutut tiga hari tiga malam di luar, maka kini engkau tidak perlu berlutut lagi.
Bangunlah"
"Terima kasih, siansu" Tio Cie Hiong duduk.
"Engkau berlutut selama tiga hari tiga malam di luar, tentunya ingin bermohon sesuatu
kepadaku, bukan?" tanya hweeshio tua yang tidak lain memang Thian Thay siansu yang telah
berusia seratus tiga puluhan tahun.
"Betul, siansu" Tio cie Hiong mengangguk-
"Engkau ingin memohon apa kepadaku?" Thian Thay siansu menatapnya lembut.
Tio Cie Hiong segera mengeluarkan sebuah kitab pemberian kakaknya, lalu disodorkan ke
hadapan hweeshio tua seraya berkata.
"Aku bermohon sudilah kiranya siansu menterjemahkan kitab ini."
Thian Thay siansu menerima kitab itu. setelah melihat, hweeshio tua itu tersenyum.
"Ini adalah Hok Mo Cin Keng (Kitab Suci Penakluk iblis) dari Thian Tok (India)." Thian Thay
siansu memberitahukan.
"Padahal sesungguhnya, kitab ini kepunyaanku, yang telah kuberikan kepada seorang hweeshio
di Thian Tok- Bagaimana caramu memperoleh kitab ini?"
"Dari kakakku sebelum dia mati. gurunya yang memberikan kitab ini kepadanya," jawab Tio cie
Hiong. "Kalau begitu...." Thian Thay siansu tersenyum lagi.
"Pasti hweeshio Thian Tok itu yang memberikan kepada guru kakakmu.Jadi engkau ingin belajar
Hok Mo Cin Keng?"
"ya, siansu," Tio Cie Hiong mengangguk-
"omitohud" Thian Thay siansu manggut-manggut-
" Aku pasti mengajarmu"
"Terima kasih, siansu? ucap Tio Cie Hiong girang.
" Engkau berlutut tiga hari tiga malam di luar tanpa makan, minum dan bergerak- Namun
wajahmu tetap terang dan cerah pertanda engkau memiliki semacam Iweekang yang sangat tinggi.
Pernahkah engkau belajar ilmu silat?"
"siansu, aku memang telah berhasil mempelajari Pan yok Hian Tiiian sin Kang, tapi aku tidak
pernah belajar ilmu silat." Tio Cie Hiong memberitahukan.
"omitohud" Thian Thay siansu tersenyum,
"Itu merupakan berkah bagimu- Bolehkah aku memeriksa sejenak tubuhmu?"
"silahkan siansu? Tio Cie Hiong mengangguk-
Thian Thay siansu menjulurkan tangannya untuk memegang urat nadi Tio Cie Hiong. setelah
menyentuh urat nadinya, hweeshio tua itu manggut-manggut sambil tersenyum lembut penuh rasa
kasih. "omitohud sungguh luar biasa" ucapnya perlahan.
"Tentunya engkau pun pernah makan semacam buah yang langka kan?"
" ya." Tio Cie Hiong mengangguk dan memberitahukan.
" Aku pernah makan Kiu yap Ling Che yang tumbuh di Thian san."
"omitohud Lima ratus tahun Kiu yap Ling che berbuah sekali, engkau telah makan buah itu,
sungguh merupakan berkah bagi dirimu." Thian Thay siansu memandangnya.
"Sebelum aku mengajarmu Hok Mo Cin Keng, terlebih dahulu engkau harus menceritakan
riwayat hidupmu."
"ya, siansu." Tio cie Hiong segera menceritakan riwayat hidupnya, termasuk apa yang
dialaminya tanpa merahasiakan sesuatu.
"omitohud" ucap Thian Thay siansu seusai mendengar ucapannya.
"Kedua orang tuamu mati di tangan Bu Lim sam Mo, kakakmu mati di tangan Dhalai Lhama
Tibet. Walau begitu, engkau tetap tidak mau belajar ilmu silat untuk menuntut balas?"
"Siansu" Balas-membalas dan bunuh-membunuh, hingga kapan baru bisa habis?" sahut Tio Cie
Hiong. "omitohud" Thian Thay siansu tersenyum dan manggut-manggut.
"Baiklah- Besok aku akan mulai mengajarmu Hok Mo Cin Keng."
"Terima kasih, siansu" ucap Tio Cie Hiong.
"Tahukah engkau, apa gunanya engkau belajar Hok Mo Cin Keng?" tanya Thian Thay siansu
mendadak. "Maaf, siansu Aku sama sekali tidak tahu." Tio Cie Hiong menggelengkan kepala-
"Setelah berhasil mempelajari Hok Mo Cin Keng, engkau akan mampu melawan ilmu sesat, ilmu
hitam maupun ilmu sihir-" Thian Thay siansu memberitahukan sambil tersenyum-
"Kini engkau telah memiliki ilmu Iweekang, ilmu pengobatan dan tubuhmu pun kebal terhadap
segala macam racun, maka memang harus ditambah lagi dengan ilmu Penakluk iblis."
"Terima kasih, siansu" ucap Tio Cie Hiong.
"Mulai sekarang, engkau boleh bersemadi di ruang ini," ujar Thian Thay siansu.
"ya." Tio cie Hiong mengangguk-
Di ruang tengah markas pusat Kay Pang, tampak Bu Lim Ji Khie sedang berbicara serius dengan
Lim Peng Hang, si Tongkat Maut ketua Partai Pengemis, hadir pula Lim Ceng Im di situ sebagai
pendengar, la masih mengenakan pakaian pengemis, dan wajahnya tetap dekil.
sesungguhnya Lim Ceng Im adalah gadis yang cantik jelita, tapi terikat oleh peraturan Kay Pang
yang turun temurun, maka ia harus berpakaian pengemis dan membikin dekii wajahnya, bahkan
juga harus menyamar sebagai anak lelaki- oleh karena itu, Tio Cie Hiong sama sekali tidak tahu
bahwa Lim Ceng Im adalah anak gadis-
"Peng Hang" sam Gan sin Kay menatapnya-
"Apakah sudah ada tanda-tanda kemunculan Bu Lim sam Mo?"
"Ayah"jawab Lim Peng Hang-
"Aku telah mengutus beberapa pengemis handal untuk menyelidiki tentang itu, namun mereka
tidak memperoleh berita atau tanda-tanda."
"Oh?" sam cian sin Kay mengerutkan kening.
"Mungkinkah firasat padri keparat itu meleset?"
"Kukira tidak" sahut Kim Siauw suseng.
"Mungkin belum waktunya Bu Lim Sam Mo muncul."
"Ayah Tapi aku telah menerima dua berita yang sangat mengejutkan." Lim Peng Hang
memberitahukan.
"Dua berita apa?" tanya sam Gan sin Kay dan Kim siauw suseng serentak.
"Berita pertama yakni Hong Lui Po (Puri Angin Halilintar) telah musnah dalam waktu semalam,"
jawab Lim Peng Hang sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Hong Lui Kiam Khek Ku Tiok Beng dan para pelayan terbunuh semua."
"Haah?" sam Gan sin Kay dan Kim siauw suseng terbelalak, kemudian sam Gan sin Kay
bertanya, "siapa yang membunuh mereka?"
"penduduk di situ memberitahukan, malam itu mereka melihat segerombolan orang berpakaian
hitam dengan kepala ditutup dengan kain hitam, orang-orang berpakaian hitam itu menuju Hong
Lui Po. Keesokan harinya, penduduk setempat melihat Hong Lui Po itu telah porak-poranda dan
mayat pun bergelimpangan."
"siapa orang-orang berpakaian hitam itu?" Kim siauw suseng mengerutkan kening.
"Mungkinkah para anak buah Bu Lim sam Mo?"
"Itu memang mungkin," sam Gan sin Kay manggut-manggut.
"Aaakh Rimba persilatan mulai digenangi darah"
"Lim Pangcu Apa berita kedua?" tanya Kim siauw suseng.
"Berita kedua juga sangat mengejutkan,"jawab Lim Peng Hang memberitahukan dengan wajah
agak berubah- "Empat Dhalai Lhama Tibet telah muncul dalam rimba persilatan Tionggoan."
" Ha a a h?" sam Gan sin Kay dan Kim siauw suseng tampak terkejut bukan main.
"Keempat Dhalai Lhama itu sangat kejam dan berkepandaian amat tinggi," ujar Lim Peng Hang.
"Aaakh?" sam Gan sin Kay menghela nafas-
"Rimba persilatan Tionggoan pasti akan dilanda banjir darah- Bu Lim sam Mo belum muncul,
malah empat Dhalai Lhama Tibet muncul duluan."
"Itu sungguh mengherankan" Kim siauw suseng mengerutkan kening.
"Padahal selama puluhan tahun, Dhalai Lhama Tibet tidak pernah memasuki Tionggoan. Kenapa
kini Empat Dhalai Lhama muncul di Tionggoan" Apa tujuan mereka?"
"Memang mengherankan" sahut sam Gan sin Kauj.
"Apakah telah terjadi sesuatu di Tibet?"
"Empat Dhalai Lhama itu pun mulai membunuh para murid Tujuh Partai besar-" Lim Peng Hang
memberitahukan.
"oh?" sam Gan sin Kay terbelalak-
"sastrawan sialan Kelihatannya kita sudah tidak boleh makan tidur di sini lagi-"
"Benar." Kim siauw suseng mengangguk-
"sudah cukup kita memperdalam kepandaian kita dua tahun lebih di sini, kini sudah waktunya
kita muncul dalam rimba persilatan."
"Ayah" Lim Peng Hang mengerutkan kening.
"Bagaimana kepandaian ayah dan cian-pwee dibandingkan dengan kepandaian Dhalai Lhama
itu?" "Kalau satu lawan satu, aku pasti menang." sahut sam Gan sin Kay sungguh-sungguh dan
melanjutkan. "Tapi kalau mereka berempat mengeroyok kami berdua, mungkin kami berdua di bawah angin."
"Ayah kok tahu itu?" Lim Peng Hang heran.
"Sekitar lima puluh tahun lampau, aku pernah berkunjung ke Tibet." sam Gan sin Kay
memberitahukan.
"Kebetulan bertemu dengan beberapa Dhalai Lhama di sana. Karena aku usil menggoda mereka,
maka terjadilah pertarungan. Aku memang satu lawan satu, namun ketika aku dikeroyok berdua,
aku jadi kewalahan. Di saat itulah muncul seorang Dhalai Lhama tua, kami pun berhenti bertarung.
Ternyata Dhalai Lhama tua itu adalah guru keempat Dhalai Lhama itu. Mereka berempat
mengenakan jubah cerah kuning, hijau dan putih,?"
"Ayah" sela Lim Peng Hang.
"Keempat Dhalai Lhama yang baru muncul itu pun mengenakan jubah warna tersebut."
"Oh?" sam Gan sin Kay mengerutkan kening.
"Kalau begitu pasti mereka berempat. Tapi Dhalai Lhama tua itu tampak pengasih, kenapa
keempat muridnya...."
"Pengemis busuki ujar Kim siauw suseng.
"Kupikir mungkin Dhalai Lhama tua itu telah meninggal, maka keempat Dhalai Lhama itu
sekarang bertingkah di rimba persilatan Tionggoan."
"Mungkin," sam Gan sin Kay manggut-manggut, kemudian memandang Lim Ceng Im yang
duduk diam. "Cucu Bagaimana dengan engkau?"
"Aku... aku...." Lim Ceng Im tersentak-
"Aku baik-baik saja."
"Maksudku engkau sudah memperoleh berita tentang Tio cie Hiong apa belum?" tanya sam Gan
sin Kay. "Aku sudah mengutus beberapa pengemis untuk mencarinya, tapi...." Wajah Lim Ceng Im
tampak murung. "sama sekali tiada kabar beritanya."
"Cucu" sam Gan sin Kay tertawa.
"Engkau tidak usah cemas, aku dan Kim siauw suseng akan mencarinya, sementara ini engkau
jangan berkeluyuran dulu, sebab rimba persilatan mulai kacau."
"Ya." Lim Ceng Im mengangguk-
" Heran?" gumam Lim Peng Hang. "Sebetulnya anak itu berada di mana?"
-ooo00000ooosetengah
tahun kemudian, Tio cie Hiong telah berhasil mempelajari Hok Mo cin Keng di bawah
bimbingan Thian Thay siansu, sudah barang tentu hweeshio itu merasa gembira sekali.
"Cie Hiong" ujar Thian Thay siansu ketika mereka berdua sedang duduk di halaman.
"Kini engkau telah berhasil menguasai ilmu Penakluk iblis, maka engkaupun boleh meninggalkan
biara ini."
"Siansu" Tio Cie Hiong memandang hweeshio tua itu.
"Aku sudah betah di sini, maka aku tidak mau pergi."
"Omitohud" ucap Thian Thay siansu.
"Cie Hiong, dalam hatimu terdapat sang Budha. Tapi engkau tidak berjodoh tinggal di dalam
biara-" "Kenapa?" tanya Tio Cie Hiong heran.
"Sebab engkau memikul suatu tugas, lagi pula engkau ditakdirkan harus mempunyai isteri, anak
dan cucu."
Thian Thay siansu memberitahukan.
"Siansu" Tio Cie Hiong bingung.
"Aku memikul suatu tugas apa?"
"Menolong sesama manusia dengan ilmu pengobatanmu, dan menyelamatkan rimba persilatan."
Thian Thay siansu menberitahukan.
"Menolong sesama manusia dengan ilmu pengobatan memang harus, tapi menyelamatkan rimba
persilatan bukanlah tugasku," ujar Tio Cie Hiong.
"Tapi engkau telah memiliki Pan yok Hian Thian sin Kang, itu berarti engkau harus
menyelamatkan rimba persilatan." Thian Thay siansu menjelaskan.
"Pan yok Hian Thian sin Kang hanya untuk menyehatkan tubuh, bukan untuk menyelamatkan
rimba persilatan. Lagi pula aku tidak pernah belajar ilmu silat."
"omitohud" Thian Thay siansu tersenyum. "Bukankah engkau pernah belajar semacam gerakkan
dari monyet putih?"
"Benar- Tapi pada waktu itu aku hanya iseng," sahut Tio cie Hiong.
"Itu sudah merupakan takdir-" Thian Thay Siansu menatapnya.
"Maka engkau harus menyelamatkan rimba persilatan."
"Tapi aku tidak mau membunuhi" tegas Tio Cie Hiong.
"Kedua orang tuamu mati di tangan Bu Lim sam Mo, sedangkan kakakmu mati di tangan Empat
Dhalai Lhama. Apakah engkau mau diam saja?" tanya Thian Thay siansu.
" Kedua orang tuaku mati karena sebuah kotak pusaka, kakakku mati lantaran melawan
keempat Dhalai Lhama itu," jawab Tio Cie Hiong seakan menjelaskan.
"Lalu kenapa engkau terpukul oleh Hek Pek siang Keay?" tanya Thian Thay siansu mendadak.
"Mereka menghendaki aku menjadi pelayan mereka, tapi aku tidak mau karena harus pergi
mencari Ku Tok Lojin. oleh karena itu, Hek Pek siang Koay melukaiku dengan pukulan Ngo Tok
Gang," jawab Tio cie Hiong.
"Bukan hanya melukai, bahkan mereka ingin membunuhmu. Kalau engkau tidak memiliki Pan
yok Hian Thian sin Kang, bukankah engkau sudah mati di tangan mereka?" ujar Thian Thay siansu
sambil menatapnya lembut.
Tio Cie Hiong diam saja-
"sok Beng yok ong selalu menolong orang, tapi akhirnya malah dibunuh oleh penjahat-Kudamu
tidak bersalah apa-apa, tapi dibunuh oleh oey san sam Hiong Jadi engkau tetap akan membiarkan
penjahat merajarela?" lanjut Thian Thay siansu-
"satu penjahat bisa membunuh puluhan orang, kalau engkau membunuh satu penjahat, itu
berarti engkau telah menyelamatkan puluhan nyawa orang."
"siansu, bukankah membunuh itu dosa?" tanya Tio Cie Hiong.
"Membunuh memang dosa,tapi membunuh penjahat demi menolong orang banyaki itu bukanlah
dosa." jawab Thian Thay siansu.
"Bukankah para Budha juga harus membunuh para setan iblis?"
"siansu" Tio Cie Hiong menundukkan kepala.
"Aku...tidak mau membunuh-"
"Engkau boleh tidak membunuh, cukup memusnahkan kepandaian para penjahat saja- Maka
mereka tidak bisa melakukan kejahatan lagi-" Thian Thay siansu memberi petunjuk.
"Terima kasih atas petunjuk siansu" ucap Tio Cie Hiong-
"Kini engkau sudah mengerti?" tanya Thian Thay siansu sambil tersenyum.
"Aku sudah mengerti, siansu-" Tio cie Hiong mengangguk-
"Bagus" Thian Thay siansu tersenyum lagi.
"Maka aku akan menggunakan waktu tiga hari untuk memberi petunjuk kepadamu mengenai
Pan yok Hian Thian sin Kang dan lain sebagainya."
"Terima kasih, siansu" ucap Tio Cie Hiong dengan mata agak terbelalak.
"siansu mengerti tentang ilmu Iweekang?"


Kesatria Baju Putih Pek In Sin Hiap Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"seratus tahun lebih aku membaca berbagai macam kitab, maka aku mengerti ilmu Iwekang"
jawab Thian Thay siansu memberitahukan.
"Bahkan aku pun akan mengajarmu tulisan Thian Tok dan tulisan Han (Cina) kuno"
"Terima kasih, siansu" ucap Tio Cie Hiong kagum.
"omitohud" Thian Thay siansu tersenyum.
"Nah, sekarang engkau boleh mencoba mengerahkan Pan yok Hian Thian sin Kang."
"ya." Tio cie Hiong sebera mengerahkan Iwekang tersebut.
"Ngmmm" Thian Thay siansu manggut-manggut.
"Engkau masih belum bisa menghimpun dan menyalurkan Iwekang itu, bukan?"
"ya, siansu." Tio Cie Hiong mengangguk.
"Menghimpun harus dengan cara...." Thian Thay siansu mulai memberi petunjuk kepada Tio Cie
Hiong bagaimana caranya menghimpun dan menyalurkan Iwekang tersebut.
"Engkau sudah mengerti?"
"Aku sudah mengerti, siansu," ucap Tio Cie Hiong girang.
"Sekarang engkau harus memperlihatkan gerakan-gerakan monyet putih itu," ujar Thian Thay
siansu. Tio Cie Hiong segera memperlihatkan Kui Kiong san Tian Pou (Ilmu Langkah Kilat).
"Luar biasa" ujar Thian Thay siansu setelah Tio Cie Hiong berhenti,
"gerakkan itu berdasarkan unsur Ngo Heng, Pat Kwa dan Kiu Kiong. Apabila engkau diserang,
pergunakanlah ilmu langkah ini"
Tio Cie Hiong mengangguk- Tiba-tiba ia teringat sesuatu dan berkata.
"siansu, aku pun pernah meniru semacam gerakan monyet putih itu, tapi tidak bisa sempurna."
"oh" Cobalah engkau perlihatkan" sahut Thian Thay siansu.
Tio cie Hiong segera meloncat ke atas setinggi lima depa, kemudian menarik nafas dalam-dalam
sambil berjungkir balik. Badannya melayang turun dengan ringan sekali.
"siansu Monyet putih itu berjungkir balik, tapi badannya melambung ke atas. Kenapa badanku
malah melayang ke bawah?" tanya Tio Cie Hiong.
"omitohud" Thian Thay siansu tersenyum.
"Itu adalah ginkang tingkat tinggi, tngkau menarik nafas dalam-dalam sekaligus berjungkir balik,
itu memang benar. Hanya saja engkau tidak tahu caranya"
"Mohon petunjuki siansu"
"Ketika engkau menarik nafas dalam-dalam, Iwekangmupun harus dihimpun, lalu sepasang
tanganmu menekan ke bawah di saat engkau berjungkir balik, maka badanmu akan melambung ke
atas" "oh?" Tio Cie Hiong kurang percaya, namun ia cepat-cepat mencobanya.
la meloncat ke atas, kemudian mengikuti petunjuk hweeshiotua itu. seketika juga badannya
melambung ke atas. Bukan main girangnya Tio Cie Hiong. la berjungkir balik lagi sesuai dengan
petunjuk itu, badannya melambung ke atas lagi lima enam depa tingginya.
" Cukup, seru Thian Thay siansu sambil tertawa.
"Apakah engkau ingin terus-menerus berjungkir balik seperti sun Hgo Kong (Kera sakti yang
mengawal Padri Tong sam Cong ke barat) hingga ke sorga?"
Tio Cie Hiong sebera melayang turun dengan ringan sekali. Thian Thay siansu menatapnya
sambil tersenyum.
"Kini engkau telah berhasil menguasai ilmu ginkang itu," ujar hweeshio tua itu.
"Tapi engkau tidak bisa menyerang, jadi?""
Thian Thay siansu berpikir lama sekali, kemudian wajahnya tampak berseri-
"Engkau bisa mengibaskan lengan bajumu, tapi harus mengerahkan tweekang pada lengan
bajumu itu." katanya memberi petunjuk-
Tio Cie Hiong mengerahkan Iweekang pada lengan bajunya, lalu dikibarkan ke arah sebuah
pohon yang berjarak sekitar enam depa-Braaak Pohon itu langsung tumbang.
Tio Cie Hiong terbelalak menyaksikannya, sedangkan Thian Thay siansu manggut-manggut.
"Engkau mengerahkan berapa bagian Iwekangmu?" tanya hweeshio tua itu.
"Cuma lima bagian,"jawab Tio Cie Hiong memberitahukan.
"Bagus" Thian Thay Siansu tersenyum.
"Kini engkau pasti sudah tahu, berapa tingginya Iweekang mu."
"Ya." Tio Cie Hiong mengangguk-
"Di dalam tubuh kita terdapat tiga ratus lebih titik Hiat to {Jalan Darah), Hiat to kematian,
lumpuh dan lain sebagainya." Thian Thay siansu menjelaskan.
"Maka ada semacam ilmu khusus menotokjalan darah orang. Tapi engkau tidak usah takut,
sebab engkau telah memiliki Pan yok Hian Thian sin Kang, yang membuat tubuhmu tidak mempan
ditotok- Namun sebaliknya engkau malah mampu menotok jalan darah orang dari jarak jauhi?"
Thian Thay siansu memberi petunjuk kepada Tio Cie Hiong mengenai ilmu totok jalan darah,
dan pemuda itu mendengarkan dengan penuh perhatian.
"Karena engkau tidak mau membunuhi maka engkau harus memutuskan salah satu nadi di
dalam tubuh mereka," ujar Thian Thay siansu memberi petunjuk lagi.
"Jadi kepandaian mereka pasti musnah, tentunya mereka tidak bisa melakukan kejahatan lagi.
Engkau jangan memusnahkan kepandaian mereka dengan cara menotok Jalan darah mereka,
sebab ada semacam ilmu dapat membuka totokan."
"ya." Tio Cie Hiong mengangguk.
"Mulai hari ini aku akan mengajarkan kepadamu beberapa bahasa dan tulisan, termasuk tulisan
Han kuno," ujar Thian Thay siansu memberitahukan.
"Terima kasih, siansu" ucap Tio Cie Hiong dengan wajah berseri dan memandang Thian Thay
siansu dengan kagum sekali-
"Sungguh luas pengetahuan siansu"
"cie Hiong" Thian Thay siansu menatapnya lembut sambil tersenyum-
"Ayahku adalah orang Han, ibuku orang Thian Tok- sejak kecil aku tinggal di Thian Tok- Ketika
berusia lima tahun, aku sudah menjadi hweeshio, sekaligus belajar berbagai bahasa dan tulisan,
setelah itu, aku pergi merantau tapi tidak lupa membaca berbagai macam kitab- Aku mencurahkan
perhatianku pada ilmu pengetahuan, maka tidak belajar ilmu silat. Namun aku mengerti tentang
ilmu Iweekang. &ngkau masih mengerti ilmu pengobatan, aku malah tidak, oleh karena itu, engkau
harus mengembangkan semua ilmu itu untuk menolong sesama manusia, sekaligus menyelamatkan
rimba persilatan yang akan dilanda banjir darah"
"Ya, siansu" Tio Cie Hiong mengangguk,-
"omitohud" ucap Thian Thay siansu sambil tersenyum, kemudian menatap Tio Cie Hiong dalamdalam
seraya berkata-
"Walau kelak engkau akan menghadapi suatu bahaya, tapi engkau tetap akan selamat?"
"siansu" Tio Cie Hiong mengerutkan kening.
"Aku akan mengalami bahaya apa kelak?"
"Engkau tidak perlu cemas, sebab engkau pasti selamat," ucap Thian Thay siansu.
"Omitohud Itu adalah rahasia langit, maka aku tidak boleh memberitahukan, omitohud"-"
-ooo00000ooo- Bab 17 Menolong seorang Hartawan
Tampak seorang pemuda berpakaian putih meninggalkan biara tua yang di gunung Thian Thay
san. Pemuda itu adalah Tio Cie Hiong yang telah menguasai beberapa ilmu.
Mendadak ia teringat pada Paman Tam di Hong Lui Po- sudah hampir empat tahun ia berpisah
dengan orang tua itu- Kini timbullah rasa rindunya pada orang tua tersebut, maka ia berangkat
menuju Vuri Angin Halilintar..
Dalam perjalanan, Tio Cie Hiong selalu menolong orang sakit tanpa menerima upah. la sungguhsuhgguh
mengamalkan ilmu pengobatannya.
Tiba-tiba ia pun teringat Tok Pie sin Wan (Lutung sakti Lengan Tunggal) yang keliru melatih
semacam ilmu, sehingga membuat dirinya takut akan sinar matahari, dan harus menghisap darah
ayam. Dalam perjalanan ini, ia memang harus melewati Cing san. Maka ia mengambil keputusan untuk
singgah di goa Angin Puyuh, tempat tinggal Tok Pie sin wan.
Beberapa hari kemudian, Tio Cie Hiong tiba di gunung cing san, langsung menuju goa tersebut,
setibanya di goa itu, hari sudah malam,
"cianpwee cianpwee" serunya di depan goa-
Tiba-tiba berkelebat sosok bayangan, yang ternyata Tok Pie sin Wan. orang tua itu menatap Tio
Cie Hiong dengan mata terbelalak-
"Engkau" Cie Hiong?" seru Tok Pie sin wan girang,
"cianpwee, aku memang Tio Cie Hiong," sahut pemuda itu.
"Ayohi masuk" Tok Pie sin wan mengajaknya ke dalam goa. Mereka lalu duduk berhadapan.
"wah engkau sudah besar sekarang Bagaimana" Apakah engkau sudah bertemu Ku Tok Lojin?"
"Belum. Tapi aku malah sudah bertemu dengan kakak kandungku,"jawab Tio Cie Hiong
memberitahukan.
"Tapi... dia mati dalam pelukanku."
"oh?" Tok Pie sin wan terkejut.
"Siapa yang membunuhnya?"
"Empat Dhalai Lhama Tibet."
Wajah Tok Pie sin wan berubah hebat
"Empat Dhalai Lhama Tibet?"
"ya." Tio Cie Hiong mengangguki
"Cianpwee kenal mereka?"
"Tidaki tapi aku pernah mendengar dari almarhum guruku." Tok Pie sin wan memberitahukan.
"Mereka berempat adalah murid seorang Dhalai Lhama tua Tibet. Tapi- kenapa mereka
memasuki Tionggoan?"
Tio cie Hiong menggeleng-gelengkan kepala- Tok Pie sin Wan menatapnya seraya bertanya.
"Engkau sudah tahu siapa kedua orang tuamu?"
"sudah." Tio Cie Hiong mengangguk dengan wajah murung.
"Ayahku adalah Hui Kiam Bu Tek-Tio H seng, sedangkan ibuku adalah sin Pian Bijin-Lie Hui
Hong. Tapi kedua orang tuaku telah dibunuh oleh Bu Lim sam Mo belasan tahun lampau."
"Haah?" Tok Pie sin wan terbelalak-
"Kalau begitu. Ku Tok Lojin adalah kakek ibumu"
"Oh?" Tio cie Hiong tertegun.
"Bukankah aku pernah menceritakan tentang Ku Tok Lojin?" ujar Tok Pie sin wan.
"Ya." Tio Cie Hiong baru ingat akan apa yang pernah diceritakan Tok Pie sin wan kepadanya.
"Aaakh?" Tok Pie sin wan menghela nafas.
"Bu Lim sam Mo yang membunuh kedua orang tuamu, itu...."
"Dikarenakan sebuah kotak pusaka," ujar Tio Cie Hiong dan menambahkan.
"Aku harus mencari mereka untuk memusnahkan kepandaian mereka bertiga."
"Cie Hiong...." Tok Pie sin wan mengerutkan kening.
"Kepandaian Bu Lim sam Mo sangat tinggi, bagaimana mungkin...."
"Cianpwee, ternyata aku memiliki Pan Yok Hian Thian sin Kang...." Tio Cie Hiong
memberitahukan tentang semua itu.
Tok Pie Sin Wan mendengarkan dengan mulut ternganga lebar, dan memandang Tio Cie Hiong
dengan mata tak berkedip-
"Luar biasa Itu sungguh luar biasa" ujar Tok Pie sin wan seusai Tio Cie Hiong memberitahukan.
"Jadi engkau pun telah bertemu Thian Thay siansu?"
"ya-" Tio cie Hiong mengangguk-
"siansu itulah yang memberi petunjuk kepadaku mengenai Iweekang dan lain sebagainya."
"Itu sungguh di luar dugaan" gumam Tok Pie sin wan.
"Aku pernah mendengar dari almarhum guruku, bahwa Thian Thay siansu telah mencapai
tingkat kesempurnaan. engkau dapat bertemu siansu itu, boleh dikatakan berjodoh-"
"ohya, Cianpwee Aku ingin memeriksa nadi Cianpwee," ujar Tio Cie Hiong dan menambahkan.
"Mudah-mudahan aku dapat mengobati Cianpwee"
"Engkau boleh dikatakan murid sok Beng yok ong, tentunya dapat menyembuhkanku," sahut
Tok Pie sin Wan sambil tertawa gembira-
"Mudah-mudahan, cianpwee" ucap Tio Cie Hiong dan mulai memeriksa nadi Tok Pie sin Wan,
dan setelah itu ia berkata-
"Cianpwee pernah melatih semacam ilmu yang mengandung racun, dan karena kurang berhatihati
maka racun itu malah menyerang diri Cianpwee, bukan?"
"ya." Tok Pie sin Wan mengangguki
"Aku pernah melatih Pek Kut Ciang (Ilmu Pukulan Tulang putih), namun akhirnya diriku malah
menjadi begini-"
"Tidak apa-apa," ujar Tio Cie Hiong sambil tersenyumTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
"Aku akan membersihkan racun dalam tubuh Cianpwee dengan Iweekang ku. Harap cianpwee
duduk bersila"
Tok Pie Sin Wan menurut. Setelah orang tua itu duduk bersila, Tio Cie Hiong pun duduk bersila
di belakangnya, kemudian menempelkan sepasang telapak tangannya pada punggung orang tua
itu. seketika juga Tok Pie sin wan merasa ada hawa hangat mengalir ke dalam tubuhnya, dan makin
lama ia merasa makin nyaman. Berselang beberapa saat kemudian, barulah Tio Cie Hiong
melepaskan tangannya seraya berkata.
"Racun di dalam tubuh Cianpwee telah bersih, tapi Cianpwee masih harus makan obat. Mulai
besok pagi, Cianpwee sudah tidak takut sinar matahari dan tak perlu menghisap darah ayam lagi."
Tio Cie Hiong mengeluarkan sebutir pil, lalu diberikannya kepada Tok Pie sin wan. Betapa
gembira dan terharunya orang tua itu.
"Terima kasih, Cie Hiong" ucap Tok Pie sin wan sesudah makan pil tersebut.
"Cianpwee" Tio Cie Hiong tersenyum.
"Menolong orang memang sudah merupakan kewajibanku, sebab aku mengerti ilmu
pengobatan."
"Engkau sungguh berbudi luhur"Tok Pie sin Wan memandangnya kagum.
"ohya, engkau bisa meniup suling?"
"sejak kecil aku sudah meniup suling," jawab Tio Cie Hiong.
"Memangnya kenapa?"
"Ha ha ha" Tok Pie sin wan tertawa girang.
"Ini sungguh kebetulan. Ketika baru menghuni goa ini, aku menemukan suling kumala. Karena
engkau bisa meniup suling, maka akan kuhadiahkan padamu."
Tok Pie sin Wan segera mengambil suling kumala tersebut, lalu diberikan kepada Tio cie Hiong.
"Terima kasih, Cianpwee" ucap Tio Cie Hiong gembira.
"Sungguh indah suling kumala ini"
"Cie Hiong, cobalah tiup suling kumala itu sebentar" ujar Tok Pie sin wan.
"ya." Tio Cie Hiong segera meniup suling kumala itu. Bukan main merdu dan nyaringnya suara
suling tersebut. Kemudian Tio Cie Hiong pun mengerahkan Pan yok Hian Thian sin Kang, sehingga
seketika itu juga Tok Pie sin wan terbelalak dan diam tak bergerak-
Berselang sesaat, barulah Tio Cie Hiong berhenti- Ketika menyaksikan Tok Pie sin wan tak
bergeraki ia pun terheran-heran.
"Cianpwee Cianpwee" panggil Tio Cie Hiong.
Tok Pie sin wan tersentak kaget.
"Aku... aku berada di mana?"
"Eeeh?" Tio cie Hiong terperangah-
"Bukan-kah cianpwee berada di dalam goa" Kok lupa?"
"Aku" aku"-" Mendadak Tok Pie sin wan berseru.
"Bukan main suara suling kumala itu, aku terpengaruh sehingga melupakan diri Ha ha ha Bu Lim
Ji Khie Kim siauw suseng masih tidak bisa dibandingkan denganmu Dia memiliki suling emas,
engkau memiliki suling kumala Ha ha ha?"
"Cianpwee" ujar Tio Cie Hiong sungguh-sungguhTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
"Lain kali di saat meniup suling kumala ini, aku tidak berani mengerahkan Pan yok Hian Thian
sin Kang lagi. sebab akan mempengaruhi orang yang mendengarnya. Aku akan meniup tanpa
mengerahkan Iweekang itu."
"Oh?" Tok Pie sin wan terbelalaki lalu tertawa terbahak-bahaki
"Sungguh tak terduga, ternyata suling kumala itu termasuk benda pusaka"
"Benar-" Tio Cie Hiong mengangguki
"Kim Siauw Suseng terkenal akan Toh Hun Mi Im (suara Pembetot Sukma), suara sulingmu
itu..." "Khong sim Mi Im (suara mengosongkan Hati)," sambung Tio Cie Hiong sambil tertawa kecil.
"Tepat sekali," sahut Tok Pie sin wan sambil tertawa gembira.
"Cianpwee, kini penyakit Cianpwee boleh dikatakan telah sembuh, maka aku mohon pamit."
"Tapi--, sudah malam." Tok Pie sin wan ingin menahannya.
"Itu tidak apa-apa," sahut Tio Cie Hiong. Kemudian ia melesat pergi menggunakan ginkang, dan
seketika juga telah hilang dari pandangan Tok Pie sin wan. orang tua itu terbelalak dengan mulut
ternganga lebar, lama sekali barulah bergumam.
"Sungguh luar biasa sekali ginkang apa itu?"
-ooo0000ooo- Tio Cie Hiong terus melakukan perjalanan menuju Hong Lui Po- Ketika sampai di sebuah jalan
yang sepi, tiba-tiba ia melihat belasan orang sedang bertempur. Tampak beberapa ekor kuda dan
sebuah kereta mewah di pinggir jalan itu, dua orang berpakaian piauws u (Pengawal) terkapar
berlumuran darah, dan tiga orang piauws u sedang bertempur mati-matian.
setelah menyaksikan, Tio Cie Hiong yakin bahwa para penyerang itu adalah perampok-segeralah
ia melesat ke sana menggunakan ginkang sambil membentak keras-
"Berhenti" suara bentakannya disertai Iwee-kang, maka sangat mengejutkan orang-orang yang
sedang bertempur itu, sehingga mereka berhenti bertempur.
Tio Cie Hiong melayang turun. Pada waktu bersamaan, seorang tua berpakaian indah mengintip
ke luar dari dalam kereta mewah itu Ter-belalaklah orang tua tersebut ketika melihat Tio Cie Hiong
melayang turun.
setelah sepasang kakinya menginjak tanah, Tio Cie Hiong menatap para perampok itu dengan
dingin- "Cepatlah kalian pergi, jangan sampai aku turun tangan terhadap kalian" ujar Tio Cie Hiong.
semula para perampok tersebut memang terkejut sekali mendengar suara bentakan keras itu,
sebab telinga mereka terasa sakit sekali. Tapi setelah melihat yang melayang turun itu seorang
pemuda, tertawalah mereka.
"Hei Anak muda Lebih baik engkau jangan ikut campur cepatlah tinggalkan tempat ini Kalau
tidak-?" "Kalian ingin membunuhku?" sahut Tio Cie Hiong sambil mengerutkan kening.
"ya." sahut kepala perampoki lalu memberi isyarat kepada para anak buahnya untuk menyerang
Tio cie Hiong. Tampak tujuh orang mendekati Tio Cie Hiong sambil mengangkat senjata masing-masing. Tio
Cie Hiong tetap berdiri di tempat tak bergerak sama sekali. Ketika melihat tujuh orang itu


Kesatria Baju Putih Pek In Sin Hiap Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyerangnya, ia cuma menggeleng-gelengkan kepala. Di saat senjata-senjata itu mengarah ke
dirinya, Tio Cie Hiong mengibaskan lengan bajunya.
Bukan main kibasan lengan bajunya Tampak orang-orang itu terpental belasan depa jauhnya,
bahkan senjata-senjata mereka pun telah patah semua. "Aaaakh..." jerit mereka ketika jatuh
terkaparTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
Kepala perampok terbelalak seakan melihat hantu di siang hah bolong. Begitu pula para
piauwsu, mulut mereka ternganga lebar, sedang-kan orang tua yang ada didalam kereta mewah itu
mengucek mata, seakan tidak percaya apa yang dilihatnya didepannya.
"Kalian sudah sering merampoki maka hari ini aku terpaksa turun tangan terhadap kalian
semua" ujar Tio Cie Hiong dan mendadak badannya berkelebat ke sana ke mari laksana kilat.
Dalam waktu sekejap, kepala perampok beserta anak buahnya telah roboh semua sambil
merintih-rintih-
"Mulai sekarang kalian sudah tidak bisa melakukan kejahatan lagi, maka selanjutnya baik-baiklah
menjadi orang" ujar Tio cie Hiong.
"siauw hiap" salah seorang piauwsu mendekatinya sambil menjura.
"Terima kasih atas pertolongan siauw Hiap Tapi para perampok itu harus dibunuh- Kalau tidaki
mereka pasti akan merampok lagi."
"Tidak perlu membunuh mereka," sahut Tio Cie Hiong sambil tersenyum.
"Kenapa?" Piauwsu itu tercengang.
"sebab aku telah memusnahkan kepandaian mereka, maka kini mereka telah berubah seperti
orang biasa." Tio cie Hiong memberitahukan.
"oooh" Piauwsu manggut-manggut dan kagum sekali pada Tio Cie Hiong.
"Kepandaian siauw Hiap sungguh tinggi"
"Kepandaianku hanya biasa-biasa saja," sahut Tio Cie Hiong merendah-
"Kini sudah aman, kalian boleh melanjutkan perjalanan."
"Siauw Hiap orang tua berpakaian indah berjalan mendekati Tio Cie Hiong.
"siauw Hiap.."
"Ada apa. Tuan?" tanya Tio Cie Hiong.
"siauw Hiap telah menyelamatkan nyawaku, maka aku harus mengucapkan terima kasih pada
siauw Hiap." ujar orang tua itu.
"Tuan tidak usah mengucapkan terima kasih kepadaku" Tio cie Hiong tersenyum.
"Berterima-kasihlah pada Thian (Tuhan), sebab kebetulan aku lewat dijalan ini, tentunya
merupakan kehendak Thian."
orang tua itu melongo mendengar ucapan itu, kemudian manggut-manggut meraya berkata.
"Mungkin aku sering berbuat amal, maka di saat nyawaku terancam, muncul siauw Hiap
menolongku. Tapi-?" Mendadak orang tua itu menarik nafas panjang.
Tio cie Hiong tahu bahwa hati orang tua itu terganjel sesuatu, tapi karena orang tua itu tidak
memberitahukan, maka ia tidak mau bertanya.
"Tuan dari mana?" tanya Tio Cie Hiong kemudian sambit memandangnya.
"siauw Hiap jangan memanggilku tuan, panggil saja Paman?" ujar orang tua itu.
"Baik Tapi Paman juga jangan memanggilku siauw hiap- Namaku Tio Cie Hiong, maka Paman
cukup memanggil namaku saja," ujar pemuda itu.
"Ng" orang tua itu mengangguk dan memperkenalkan dirinya-
"cie Hiong, aku adalah hartawan Lie bertempat tinggal di kota Pie Hong. cie Hiong, aku
mengundangmu ke rumahku."
"Paman...." Tio Cie Hiong menggelengkan kepala.
"cie Hiong, engkau tidak mau memberi sedikit muka padaku?" tanya hartawan Lie sambil
menghela nafas.
Tio cie Hiong berpikir sejeNak, kemudian mengangguki sebab ia memang harus melewati kota
itu. "Baiklahi paman"
"Terima kasih" ucap hartawan Lie tanpa sadar saking girang.
"Kok Paman yang berterima kasih kepadaku?" Tio Cie Hiong tersenyum.
"seharusnya aku yang berterima kasih kepada Paman"
"sama-sama." Hartawan Lie tertawa dengan wajah agak memerah-
"Ayohi kita masuk ke kereta"
"Tunggu, Paman"sahut Tio Cie Hiong memberitahukan.
"Aku harus mengobati piauwsu-piauwsu yang terluka."
Tio cie Hiong segera mengobati beberapa piauwsu yang terluka, setelah itu barulah ia masuk ke
dalam kereta dan duduk di sisi hartawan Lie.
Tak lama berangkatlah mereka menuju Kota Pie Hong. sementara hartawan Lie tak hentihentinya
memandang Tio Cie Hiong dengan kagum. Kini usia pemuda itu sudah hampir delapan
belas. gerak- geriknya halus, sopan dan sangat tampan pula, sehingga hartawan Lie menaruh
perhatian kepadanya. "Sebetulnya Paman dari mana?" tanya Tio Cie Hiong.
"Pulang sembahyang dari biara Ceng Tek Bio-"jawab hartawan Lie memberitahukan.
"Di tengah jalan muncul perampok-perampok itu. Para piauwsu yang kusewa untuk mengawalku
itu tidak becus sama sekali."
"Mereka bukan tidak becus, melainkan para perampok itu berkepandaian tinggi." Tio Cie Hiong
tersenyum. "Jadi para piauwsu kewalahan melawan mereka, namun mereka telah melawan secara matimatian
karena harus melindungi Paman. oleh karena itu, Paman harus menambah uang imbalan
mereka." "Ngram" Hartawan Lie manggut-manggut dan semakin kagum, sebab Tio Cie Hiong begitu
bijaksana. "ohya, kenapa Paman pergi sembahyang ke biara itu?" tanya Tio Cie Hiong heran.
"Aaakh?" Hartawan Lie menghela nafas.
"sudah seminggu isteriku menderita sakit, semua tabib di kota tak mampu mengobatinya,
karena itu aku pergi sembahyang."
"isteri Paman menderita sakit apa?"
"Entahlah" Hartawan Lie menggelengkan kepala dan menghela nafas lagi.
" Kadang-kadang menggigil kedinginan, kemudian badannya panas dan mengoceh tidak karuan.
Maka ada beberapa tabib mengatakan bahwa isteriku terganggu oleh arwah gentayangan Karena
itu, kemarin dulu aku pun mengundang seorang tosu (Pendeta Taosme) ke rumah untuk mengusir
arwah gentayangan itu. Dia minta dua ribu tael perak. katanya uang itu untuk berbagai keperluan.
Tapi--, isteriku tetap tidak sembuh, sehingga tosu itu kusuruh pergi. Pagi ini atas saran seorang
temanku, berangkatlah aku ke biara Ceng Tek Bio untuk sembahyang di sana."
"Paman" Tio Cie Hiong tersenyum.
"Aku mengerti sedikit ilmu pengobatan, aku akan coba mengobati isteri Paman."
"oh?" Hartawan Lie terbelalak-
"Engkau masih begitu muda tapi mengerti ilmu pengobatan?"
"Cuma mengerti sedikit," jawab Tio Cie Hiong merendah.
Hartawan Lie tidak percaya Tio Cie Hiong dapat mengobati isterinya. Para tabib yang terkenal
pun sudah angkat tangan, apa lagi Tio Cie Hiong yang masih begitu muda. Maka tidak heran
hartawan Lie agak ragu, tapi juga berharap pemuda itu dapat menyembuhkan penyakit isterinya.
Ketika hari mulai gelap, barulah mereka memasuki kota Pie Hong, langsung menuju ke rumah
hartawan Lie. Bukan main besar, indah dan mewahnya rumah hartawan itu. Halaman yang luas dihiasi sebuah
taman bunga, kolam ikan dan lain sebagainya. Hartawan Lie mengajak Tio Cie Hiong turun.
Terpesona juga pemuda itu ketika menyaksikan keindahan halaman tersebut.
"Mari kita ke dalam" ajak hartawan Lie.
"Terima kasih" ucap Tio Cie Hiong.
Hartawan Lie berjalan di depan, Tio Cie Hiong mengikutinya dari belakang. Para pelayan
memandang Tio Cie Hiong dengan mata terbelalaki karena merasa heran majikan mereka pulang
bersama seorang pemuda yang begitu tampan.
"Tuan Besar Tuan besar..." seru seorang pelayan wanita sambil menghampiri hartawan Lie
dengan wajah pucat pias.
"Nyonya besar...."
"Nyonya besar kenapa?" tanya hartawan Lie cemas.
"Hari ini pingsan beberapa kali, tadi" tadi terus menggigil kedinginan." teriak wanita itu
memberitahukan.
"Nona terus-menerus menangis?"
"Cie Hiong Mari ikut aku ke kamar" ajak hartawan Lie- harapannya ditumpahkan pada pemuda
itu. Tio Cie Hiong mengangguk- Hartawan Lie bergegas-gegas menuju kekamar dengan hati
tercekam. Beberapa pelayan berdiri di sisi tempat tidur. Tampak seorang gadis menangis sambil
memegang tangan seorang wanita tua yang berbaring di tempat tidur itu. gadis itu cantik sekali,
tapi wajahnya pucat pias-
"Ayah,?" berunya ketika melihat hartawan Lie. Namun kemudian ia tertegun melihat seorang
pemuda mengikuti ayahnya ke dalam.
Tio Cie Hiong tidak memperhatikan gadis itu, sebab matanya tertuju pada wanita tua yang
terbaring di tempat tidur- Walau diselimuti, tapi tubuh wanita tua itu masih menggigil.
"isteriku, ba" bagaimana keadaanmu?" tanya hartawan Lie dengan suara bergemetar.
"sua" suamiku...." Wanita tua itu memandangnya dengan mata redup,
"Cie Hiong, tolonglah isteriku" ujar hartawan Lie dan nyaris berlutut di hadapannya.
"Tenang, Paman" Tio Cie Hiong segera mendekati tempat tidur itu, sekaligus memegang nadi
yang di tangan wanita tua. seketika juga kening Tio cie Hiong berkerut. Kemudian ce-pat-cepat ia
mengerahkan Pan yok Hian Thian sin Kang.
Berselang beberapa saat kemudian, wanita tua itu sudah tidak menggigil, bahkan wajahnya pun
tidak begitu pucat lagi.
Hartawan Lie menarik nafas lega- la juga merasa heran karena Tio cie Hiong hanya memegang
nadi isterinya, tapi membuat isterinya tidak menggigil lagigadis
yang berdiri di sisi hartawan Lie memandang Tio Cie Hiong dengan mata terbelalak. Diamdiam
ia tertarik sekali padanya-
Tio cie Hiong melepaskan tangannya, kemudian tersenyum sambil berkata kepada hartawan Lie-
"Untung kita cepat sampai, kalau terlambat satu jam saja bibi pasti tidak tertolong."
"oh?" Hartawan Lie terperanjat-
"Syukurlah kita tidak terlambat"."
"Paman" Tio Cie Hiong memberitahukan secara jujur.
"Kalau aku tidak memiliki semacam Iwekang, mungkin juga bibi tidak akan tertolong."
"oh?" Hartawan Lie memandangnya dengan kagum sekali-
"Apa hubungan penyakit isteriku dengan Iweekang mu?"
"Sebab bibi boleh dikatakan sudah sekarat, maka aku harus mengerahkan Iweekang ku untuk
melindungi jantungnya, agar tidak berhenti mendadak-" Tio Cie Hiong menjelaskan sambil
tersenyum- "Terima kasih, Cie Hiong" ucap hartawan Lie-
"Kalau tidak bertemu engkau, nyawaku dan nyawa isteriku pasti tak tertolong."
"Paman" Tio cie Hiong tersenyum lagi.
"Ber-Terima kasihlah pada Thian"
"cie Hiong" ujar hartawan Lie sungguh-sung-guh-
"Aku pasti mengeluarkan seperempat ke-kayaanku untuk menolong fakir miskin-"
"Paman berbuat amal, itu pasti ada pahalanya," ujar Tio Cie Hiong. Kemudian ia mengambil
sebutir pil, lalu diberikan kepada hartawan Lie seraya berkata.
"Tolong berikan kepada bibi"
Hartawan Lie menerima pil itu, sekaligus menyuruh salah seorang pelayan wanita untuk
mengambil secangkir air minum, setelah itu, barulah ia berikan pil tersebut kepada isterinya.
Tak seberapa lama setelah makan obat itu, nyonya Lie sudah bisa bangun duduk-
"isteriku" panggil hartawan Lie girang.
"Suamiku" sahut Nyonya Lie dan wajahnya tampak agak cerah-
"siapa pemuda itu?"
"Dia bernama Tio Cie Hiong. Dia telah menyelamatkan hidup kita berdua," ujar hartawan Lie dan
menutur tentang kejadiannya di tengah perjalanan. "oh?" nyonya Lie terbelalak. "Nak, terima-kasih"
"Bibi" Tio Cie Hiong tersenyum.
"Jangan berTerima kasih kepadaku, berterima kasih la h kepada Thian"
Nyonya Lie manggut-manggut. gadis yang berdiri diam itu semakin tertarik pada Tio Cie Hiong,
bahkan boleh dikatakan telah jatuh hati padanya. "Ayah Ibu, sui sien mau ke kamar." ujar gadis itu.
Hartawan Lie dan isterinya mengangguk- gadis itu lalu melangkah pergi, tapi masih sempat
melirik ke arah Tio Cie Hiong- Akan tetapi, pemuda itu sama sekali tidak memperhatikannya-
"Paman Aku harus membuka resep untuk bibi" Tio Cie Hiong memberitahukan.
"Baik" Hartawan Lie mengangguk dan segera menyuruh seorang pelayan menyiapkan kertas,
tinta hitam dan pit (Potlot Cina kuno).
Tio cie Hiong segera membuka sebuah resep, kemudian diberikan kepada hartawan Lie-
"Kalau toko obat masih buka, beli saja obat sekarang" ujar Tio Cie Hiong dan menambahkan.
" cukup tiga bungkus saja- obat itu untuk tiga hari, tiga hari kemudian, bibi pasti sudah pulih
seperti sediakala."
"ya." Hartawan Lie mengangguki Ketika melihat tulisan Tio Cie Hiong, ia terbelalak karena
tulisan itu sungguh indah-
"cie Hiong, tulisanmu indah sekali"
"sejak kecil aku sudah belajar menulis-" Tio Cie Hiong memberitahukan sambil tersenyum-
"oh?" Hartawan Lie menatapnya dengan mata tak berkedip- Tio Cie Hiong masih begitu muda,
namun sudah memahami ilmu pengobatan dan lain sebagainya, sehingga membuat hartawan Lie
tidak habis pikir-
"cie Hiong, tentunya engkau sudah lapar- Bagaimana kalau kita makan dulu?"
"Terima kasih, Paman" Tio Cie Hiong mengangguk-
"Aku memang sudah lapar."
"Kalau begitu...." Hartawan Lie tersenyum karena Tio Cie Hiong tidak berpura-pura sungkan.
"Mari kita makan"
-ooo00000ooo- Pada pagi yang cerahi tampak putri hartawan Lie dan pelayan pribadinya sedang berjalan-jalan
di halaman samping, pelayan yang bernama siauw Cing itu terus-menerus memandang gadis itu.
"Nona Kenapa dari tadi Nona berjalan mondar-mandir saja?" tanya siauw Cing.
"Siauw Cing, aku...." Lie sui sien menundukkan kepala-
"oooh" siauw Cing tertawa kecil-
"Aku tahu kenapa Nona terus-menerus berjalan mondar- mandir. "
"Engkau tahu apa?" tanya Lie sui sien.
"gara-gara itu tuh" siauw Cing tersenyum, kelihatannya ia memang sengaja menggoda gadis itu-
"gara-gara apa" Ayohi beritahukan"
"Pemuda yang tampan itu," sahut siauw Cing.
"Aku tahu. Nona sudah jatuh hati padanya-"
"siauw Cing" Lie sui sien dengan wajah kemerah-kemerah-
"Jangan omong sembarangan"
"Nona" siauw Cing tampak serius.
"Pemuda itu memang tampan, mahir ilmu pengobatan dan ilmu silatnya pun sangat tinggi. Aku
mendengar dari seorang piauwsu, pemuda itu telah merobohkan belasan perampok, sehingga
nyawa para piauwsu dan nyawa tuan besar tertolong, setelah itu, dia pun menyembuhkan penyakit
nyonya besar-"
"Aku sudah tahu itu," ujar Lie sui Sien.
"Wajar Nona jatuh hati kepadanya, sebab dia-?"
"Siauw Cing jangan banyak omong" wajah Lie sui sien memerah lagi-
"ohya, siauw Cing Ambilkan aku kertas dan peralatan, aku mau melukis"
"ya."siauw Cing segera pergi mengambil apa yang dipesankan Lie sui sien. Tak lama, ia sudah
kembali dengan membawa segulung kertas putih dan peralatan melukis-
Setelah Siauw Cing menaruh kertas itu di atas meja batu, mulailah Lie Sui sien melukis
pemandangan gunung, namun sebelum usai, gadis itu sudah berhenti melukis, kemudian duduk
melamun. "Eh?" siauw Cing heran.
"Nona kenapa?"
"Tidak apa-apa," sahut Lie sui sien sambil menghela nafas.
"Aku tahu...." siauw Cing yang cerewet itu manggut-manggut.
"Nona pasti sedang memikirkan pemuda tampan itu."
"siauw Cing" wajah Lie sui sien memerahi sebab perkataan siauw Cing memang jitu.
"Mau tidak sih engkau diam"
"Nona, pemuda itu...." siauw Cing masih nyerocos.
"siauw Cing &ngkau kok masih belum mau diam sih?" Lie sui sien mengerutkan kening.
"Maaf, Nona" ucap siauw Cing sambil menundukkan kepala,
"siauw Cing" Lie sui sien memandangnya,
"ya. Nona," siauw Cing mendongakkan kepalanya.
"Tolong ambilkan kecapi"
siauw cing mengangguk dan seaera pergi mengambil alat musik tersebut. Berselang beberapa
saat, ia sudah kembali dengan membawa kecapi sekaligus ditaruh di hadapan Lie sui sien.
Tak seberapa lama kemudian, terdengarlah suara kecapi yang sangat merdu menyedapkan
pendengaran. siauw Cing berdiri di sisinya. Mendadak ia terbelalaki karena mendengar suara suling yang
merdu mengiringi suara kecapi. Tak lama muncullah seorang pemuda sambil meniup suling.
Pemuda itu adalah Tio Cie Hiong.
Ketika ia sedang menghirup udara segar di halaman samping, mendadak ia mendengar suara
kecapi. Karena tertarik, maka ia mengeluarkan suling kumalanya lalu ditiupnya sambil berjalan ke
arah suara kecapi.
Terjadilah perpaduan suara yang sangat merdu dan serasi, siauw Cing mendengarkan dengan
mulut ternganga lebar.
Berselang beberapa saat kemudian, barulah suara kecapi dan suling itu berhenti- Tio Cie Hiong
mendekati Lie sui sien, lalu menjura seraya berkata dengan sopan.
"Maaf Aku telah berlaku lancang mengganggu Nona"
"Ti... tidak apa-apa," sahut Lie sui sien sambil menundukkan kepala.
"Tuan sungguh pandai meniup suling, aku kagum sekali."
"Nona pun mahir sekali memainkan kecapi. Karena tertarik, maka aku lalu meniup sulingku
untuk mengiringi suara kecapi Nona," ujar Tio cie Hiong sambil tersenyum.
"ohya Aku mengucapkan terima kasih kepada Tuan, karena Tuan telah menyelamatkan nyawa
kedua orang tuaku," ucap Lie sui Sien mendadak.


Kesatria Baju Putih Pek In Sin Hiap Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Nona tidak usah mengucapkan Terima kasih kepadaku, berterima kasihlah pada...."
"Thian" sambung Lie sui sien dengan cepat.
"ya, kan?"
"Betul." Tio cie Hiong tersenyum lagi.
"Bagaimana sih?" sela siauw Cing mendadak sarnbh memandang mereka. Yang satu memanggil
Nona, Yang satu memanggil "Tuan". Lebih baik saling memanggil nama saja"
"Eh" Siauw Cing, engkau kok banyak omong?" tegur Lie Sui sien dengan wajah kemerah-merahan,
namun bergirang dalam hati.
"Apa yang dikatakannya memang benar" ujar Tio Cie Hiong.
"Nona, namaku Tio Cie Hiong."
"Aku sudah tahu." Lie sui sien tersenyum manis.
"Namaku... Lie sui sien, panggil saja namaku"
"ohya, berapa usiamu?" tanya Tio Cie Hiong mendadak-
"Tujuh belas," sahut Lie sui sien sambil menundukkan wajahnya dalam- dalam.
"Usiaku sudah hampir delapan belas-" Tio Cie Hiong memberitahukan.
"Bagaimana kalau aku memanggilmu Adik sien?"
" Kalau engkau memanggilku Adik sien, aku pun harus memanggilmu Kakak Hiong, bukan?"
"Ya." Tio Cie Hiong mengangguk.
" Kakak Hiong" panggil Lie sui sien dengan suara rendah-
"Maukah engkau meniup suling lagi?"
"Baiklah" Tio Cie Hiong mengangguk dan mulai meniup suling kumalanya-
Lie sui sien dan siauw Cing mendengar dengan mulut ternganga, karena suara suling itu sangat
menggetarkan kalbu. Kemudian jari tangan Lie sui sien pun mulai bergerak memetik tali senar
kecapinya, sehingga terdengarlah suara kecapi mengiringi suara suling.
Tanpa mereka tahu, hartawan Lie dan isterinya berdiri dekat pintu samping, sambil memandang
mereka dengan wajah berseri-seri, lalu saling memandang dan manggut-manggut.
(Bersambung keBagian 10)
Bagian 10 Berselang beberapa saat, barulah Tio Cie Hiong berhenti meniup suling, dan suara kecapi itu
pun ikut berhenti.
"Wah Luar biasa sekali" seru Siauw Cing sambil bertepuk-tepuk tangan,
"itu merupakan perpaduan suara yang amat cocok dan serasi Begitu pula...."
"Siauw Cing" Wajah Lie Sui Sien langsung memerah. Jangan omong stmharangan Tahu sopan
dikit" "Hi hi" Siauw Cing tertawa geli.
"Eeh?" Tio Cie Hiong memandang ke arah lukisan yang belum selesai itu.
"Adik Sien, engkau bisa melukis juga?"
"Ya." Lie Sui Sien mengangguk.
"Kenapa tidak diselesaikan?" tanya Tio Cie Hiong heran.
"Karena mendadak aku ingin main kecapi," sahut Lie Sui Sien.
"Maka aku tidak menyelesaikan lukisan itu"
"oooh" Tio Cie Hiong manggut-manggut, lalu mendekati lukisan yang di atas meja batu itu.
Karena tertarik, mencoba melukis menyelesaikan lukisan tersebut.
Lie Sui Sien dan Siauw Cing terbelalak menyaksikannya. Mereka berdua sama sekali tidak
menyangka kalau Tio Cie Hiong mahir seni lukis. Mendadak mulut mereka berdua ternganga lebar,
karena Tio Cie Hiong menambahkan beberapa bait syair di sisi kanan lukisan itu. Bukan main
indahnya tulisan Tio Cie Hiong, dan bunyi syair itupun sangat mengesankan.
" Ha a a h?"" Mulut siauw Cing ternganga semakin lebar.
" Kakak Hiong..." seru Lie sui Sien dengan penuh kekaguman.
"Engkau mahir seni lukis dan sastra Itu sungguh di luar dugaan"
"Adik Sien" Tio Cie Hiong memberitahukan.
"sejak kecil aku belajar membaca, menulis, melukis, meniup suling dan ilmu sastra."
"oh?" Lie sui Sien kagum bukan main.
"Wah" seru siauw Cing yang cerewet itu.
" Itu sih bukan Bun-Bu Coan Cat (Mahir Ilmu sastra dan ilmu silat) lagi, sebab Tuan muda juga
mahir ilmu pengobatan, seni lukis dan seni musik. Wah sungguh luar biasa"
"Kenapa engkau wah-wahan dari tadi?" tanya Tio Cie Hiong sambil tersenyum.
"Karena kagum. Tuan muda," sahut siauw Cing dan menambahkan.
"Nonapun pasti kagum sekali pada Tuan muda."
"siauw cing...." Lie sui sien segera menundukkan wajahnya dalam-dalam.
Pada saat bersamaan, muncul seorang pelayan wanita menghampiri mereka sambil tersenyumsenyum.
"Nona Tuan muda" Lapor pelayan wanita itu.
"Tuan besar dan nyonya besar sudah menunggu di ruang makan."
" Kakak Hiong, mari kita makan dulu" ajak Lie sui sien. Tio Cie Hiong mengangguk. Mereka lalu
berjalan ke dalam menuju ruang makan. Wajah
gadis itu terus berseri-seri-
Tiga hari kemudian, nyonya Lie sudah sembuh dari sakitnya, karena itu Tio cie Hiong memohon
pamit kepada hartawan Lie, namun hartawan Lie terus menahannya.
"cie Hiong jangan buru-buru pergi, tinggal di sini lagi beberapa hari"
"Paman.,.."
"Berilah sedikit muka pada paman" Karena hartawan Lie terus mendesak, akhirnya Tio Cie Hiong
terpaksa mengabulkannya. Betapa gembiranya hartawan Lie dan isterinya, terutama Lie sui Sien
yang cantik jelita itu.
"Paman", para piauwsu yang terluka itu sudah sembuh?" tanya Tio Cie Hiong mendadak-
"Mereka sudah sembuh semua" sahut hartawan Lie sambil tersenyum-
" Kepala piauwsu sudah ke mari, maksudnya ingin mengucapkan terima-kasih padamu- Tapi
kubilang, berterima kasih lah kepada Thian."
"Benar, Paman?" Tio Cie Hiong manggut-manggut.
"Bagaimana tingkah laku kepala piauwsu beserta anak buahnya?"
"Kepala piauwsu itu sangat baik terhadap para penduduk di sini, jadi mereka pun boleh
dikatakan sebagai keamanan kota ini." Hartawan Lie memberitahukan.
" Kalau begitu..." ujar Tio Cie Hiong setelah berpikir sejenak-
"T0long Paman undang kepala piauwsu itu ke mari, aku ingin berbincang-bincang dengannya-"
"Baik" Hartawan Lie langsung menyuruh seorang pelayan lelaki untuk pergi mengundang kepala
piauwsu itu tanpa bertanya apa pun.
"Nak" Nyonya Lie menatapnya heran.
"Engkau ingin berbincang-bincang apa dengan piauwsu itu?"
"isteriku" sahut hartawan Lie.
"Jangan banyak bertanya, sudah pasti cie Hiong mempunyai maksud tertentu"
"Benar Bibi" sambung Tio Cie Hiong.
"Karena para anak buah tidak dapat melawan para perampok tempo hari, maka... aku ingin
mengetahui bagaimana kepandaian kepala piauwsu itu."
"ooh" Nyonya Lie manggut-manggut.
Berselang beberapa saat kemudian, pelayan lelaki itu telah muncul bersama seorang lelaki
gagah berusia empat puluhan.
"Tuan memanggilku ke mari, apakah ada sesuatu yang penting?" tanya kepala piauwsu sambit
menjura memberi hormat.
"Ini...." Hartawan Lie memandang ke arah Tio Cie Hiong.
"Maaf" ucap Tio Cie Hiong.
"Sesungguhnya aku yang mengundang cong piauwtau (Kepala Piauwsu) ke mari."
"oh?" Kepala piauwsu itu menatap Tio Cie Hiong. Kalau bukan para anak buah yang telah
menutur tentang kejadian tempo hari itu, tentunya ia tidak akan percaya bahwa Tio Cie Hiong yang
masih muda itu mampu merobohkan belasan perampok-
"Apakah saudara adalah Tio siauw hiap?"
"Cong Piauwtau" Tio Cie Hiong tersenyum.
"Jangan memanggilku siauw hiap, namaku Cie Hiong, panggil saja namaku"
"Itu mana boleh" Kepala piauwsu itu tertawa.
"Lebih baik aku memanggilmu saudara Tio saja."
"Tidak apa-apa." Tio Cie Hiong menatapnya.
"Cong piauwtou berasal dari perguruan mana?"
"Kun Lun." Kepala piauwsu memberitahukan dan bertanya.
"sauara Tio menyuruhku ke mari, sebetulnya ada urusan apa?"
"Maaf" ucap Tio Cie Hiong.
"Aku ingin melihat ilmu silatmu."
"oh?" kepala piauwsu itu tertegun.
"Cong piauwsu, maukah engkau memperlihatkan ilmu andalanmu?" tanya Tio Cie Hiong
mendadak- "Boleh, namun...." Kepala piauwsu itu memandangnya.
"Akupun ingin menyaksikan kepandaian saudara Tio- Tentunya saudara Tio tidak berkeberatan
kan?" "Tentu." Tio Cie Hiong mengangguk sambi tersenyum-
"Kalau begitu, mari kita ke halaman saja" ajak kepala piauwsu itu.
"Baiklah" Tio Cie Hiong manggut-manggut-
Mereka berdua berjalan ke halaman depan, hartawan Lie dan isterinya juga ikut ke sana, Lie sui
Sien dan siauw Cing pun tidak mau ketinggalan.
"Maaf, saudara Tio Bolehkah aku mohon petunjuk kepadamu beberapa jurus?" tanya kepala
piauwsu. "Boleh-" Tio Cie Hiong mengangguk-
"Maaf" ucap kepala piauwsu, kemudian menghunus pedangnya, dan langsung menyerang Cie
Hiong. Mendadak badan Tio cie Hiong bergerak- seketika juga kepala piauwsu itu melongo. karena
pemuda itu telah lenyap dari hadapannya.
Ternyata Tio cie Hiong sudah berada di belakangnya, siauw cing yang cerewet itu seoera
berseru. "Cong piauwtau Tuan muda berada di belakangmu"
Kepala Piauwsu segera membalikkan badannya, tapi di saat bersamaan Tio Cie Hiang bergerak
sehingga tetap berada di belakang kepala piauwsu.
Kepala piauwsu itu melongo lagi, sebab Tio cie Hiong tetap tidak kelihatan, sehingga siauw cing
tertawa geli, lalu berseru.
"Cong piauwtou, tuan muda tetap berada di belakangmu"
"Haah?" terkejutlah kepala piauwsu.
"saudara Tio, jangan terus berkelit"
"Baiklah-" Tio Cie Hiong langsung muncul di hadapannya- Ternyata pemuda itu menggunakan
Kiu Kiong san Tian Pou-
"saudara Tio, cobalah tangkis seranganku" ujar kepala piauwsu penasaran.
"Baik," Tio Cie Hiong mengangguk-
"Hiyaaat" Kepala piauwsu berteriak keras sambil menyerang.
Tio Cie Hiong tetap berdiri di tempat, kemudian mendadak mengibaskan lengan bajunya.
"Trang" Pedang di tangan kepala piauwsu patah jadi beberapa potong, sedang kan tubuh orang itu
terhuyung-huyung beberapa depa, lalu jatuh gedebuk.
"Aduuh" Yang menjerit malah siauw Cing, pelayan pribadi Lie sui sien. la menjerit gara-garanya
terkejut melihat kepala piauwsu jatuh gedebuk- Kepala piauwsu bangkit berdiri, lalu menghampiri
Tio Cie Hiong sambil menjura-
"Saudara Tio, engkau memang hebat sekali," ujarnya dan menambahkan.
"Pantas para perampok itu tak berkutik terhadapmu."
"Kepandaianku biasa-biasa saja." sahut Tio Cie Hiong merendah.
"Cong piauwtou, sudikah engkau perlihatkan ilmu silatmu?"
"ya." Kepala piauwsu tergirang dalam hati, la yakin tahwa Tio Cie Hiong akan memberi petunjuk
kepadanya, maka segeralah ia memperlihatkan ilmu pedang andalannya. Berselang sesaat, tarulah
ia terhenti- "Saudara Tio, tagaimana" Mohon petunjuk"
"Cong piauwtou, kepandaianmu baru mampu menghadapi perampok biasa. Kalau menghadapi
perampok yang berkepandaian tinggi, engkau pasti roboh- Karena itu, aku ingin menamtah
beberapa jurus dalam ilmu pedangmu, agar engkau dapat menghadapi perampok berkepandaian
tinggi," "Terima kasih, saudara Tio" Kepala piauwsu girang tukan main.
Tio cie Hiong memberi petunjuk kepadanya. Kepala piauwsu mendengarkan dengan penuh
perhatian. "Nan Cobalah engkau terlatih sekarang" ujar Tio Cie Hiong.
Kepala piauwsu segera terlatih- setelah terlatih beberapa kali, giranglah kepala piauwsu, setat
ilmu pedangnya sudah tertamtah lihay. "Terima kasih, saudara Tio" ucap kepala piauwsu sambil
menjura. "Cong piauwtou" sahut Tio Cie Hiong sungguh-sungguh-
"Kini engkau tidak usah cemas lagi menghadapi perampok berkepandaian tinggi"
"saudara Tio, engkau sungguh luar biasa" Kepala piauwsu itu kagum sekali pada Tio Cie Hiong,
lalu bermohon pamit.
"Nak" Nyonya Lie menatapnya lembut.
"Ilmu silatmu sungguh tinggi sekali"
"Bibi" Tio Cie Hiong tersenyum.
"Aku hanya memiliki ilmu silat yang biasa saja."
"Yang biasa sudah begitu hebat, apa lagi yang luar biasa." sela siauw Cing mendadak.
"Tuan muda pasti bisa terbang."
"Siauw Cing" tegur Lie sui sien.
"Engkau kok banyak omong?"
"Tidak apa-apa," ujar Tio Cie Hiong sambil tersenyum, lantaran siauw Cing berkata, sehingga
menimbulkan sifat kanak Tio Cie Hiong.
"siauw Cing, engkau mau melihat aku terbang?"
"Mau," sahut siauw Cing cepat.
"Kakak Hiong...." Lie sui sien memandangnya bingung.
"engkau bisa terbang ya?"
Tio Cie Hiong tersenyum, lalu mendadak badannya melesat ke atas tujuh delapan depa
tingginya, setelah itu berjungkir balik di udara dan badannya melambung ke atas lagi tujuh delapan
depa, kemudian berjungkir balik lagi sehingga badannya makin melambung ke atas. Hartawan Lie
dan isterinya menyaksikan itu dengan mulut ternganga lebar, begitu pula Lie sui sien dan siauw
Cing. setelah itu, Tio Cie Hiong melayang turun perlahan-lahan. Ternyata ia mengerahkan Pan yok
Hian Thian sin Kang ketika badannya merosot turun, agar badannya melayang turun dengan ringan
dan perlahan. sesungguhnya Tio Cie Hiong tidak bermaksud memamerkan kepandaiannya, hanya
saja perkataan siauw Cing tadi telah menimbulkan sifat kekanak-kanakannya. Di saat badannya
melayang turun, ia mengeluarkan suling kumala, sekaligus meniupnya mengiringi gerak badannya.
Betapa menakjubkan, suara suling mengalun merdu, sedang pakaiannya berkibar-kibar terhembus
angin. Be-berapa pelayan lain yang menyaksikannya, tanpa sadar langsung menjatuhkan diri
berlutut karena menganggapnya sebagai sang dewa yang turun dari khayangan-
Hartawan Lie dan isterinya mematung, sedangkan Lie sui sien dan siauw Cing memandang
dengan mata tak berkedipsetelah
melayang ke bawah, barulah Tio Cie Hiong menyimpan suling kumalanya ke dalam
bajunya, la tertegun, sebab hartawan Lie, nyonya Lie, Lie sui sien dan siauw Cing masih berdiri tak
bergerak- "Paman Bibi?" panggil Tio Cie Hiong.
"cie Hiong...." Hartawan Lie menatapnya terbelalak.
"Sebetulnya siapa engkau?"
"Paman" Tio Cie Hiong tercengang.
"Aku Tio Cie Hiong, kenapa Paman bertanya begitu?"
"Engkau... engkau kok bisa terbang?" tanya hartawan Lie
"sebetulnya aku tidak bisa terbang,"jawab Tio Cie Hiong sambil tersenyum-senyum.
"Itu adalah ginkang."
"oooh" Hartawan Lie manggut-manggut. Ke-kagumannya terhadap Tio Cie Hiong sudah tidak
bisa dilukiskan lagi.
"Tuan Muda...." siauw Cing memandangnya dengan bola mata berputar-putar.
" Kalau Tuan muda terus berjungkir balik, bukankah akan sampai di sorga?"
"Tentu tidak-" Tio cie Hiong tersenyum lagi.
"Jangan-jangan...." siauw Cing teringat sesuatu.
"Tuan muda jelmaan sun go Kong (Kera sakti yang pernah mengacau di sorga, kemudian
ditangkap oleh sang Budha dalam dongeng Perjalanan ke Barat)"
"Siauw Cing" Tio Cie Hiong tertawa kecil.
"Sun go Kong begitu nakal, sedangkan aku sama sekali tidak nakal, bagaimana mungkin aku
jelmaan sun go Kong?"
"Kakak Hiong...." Lie sui sien menatapnya dengan mata berbinar-binar. Terkejutlah Tio cie
Hiong, dan seketika juga ia tahu bahwa gadis itu telah jatuh hati kepadanya.
"Ada apa. Adik sien?" tanyanya.
Lie sui sien tidak menyahut, hanya menundukkan wajahnya dalam-dalam.
"Lho?" goda siauw Cing yang cerewet itu.
"Kok Nona jadi malu-malu kucing?"
"Ha ha ha" Hartawan Lie tertawa terbahak-bahak-
Bab 18 Ang Lian si (Biara Teratai Merah)
Pagi ini seusai makan, hartawan Lie, Nyonya Lie dan Tio Cie Hiong duduk di ruang depan.
Namun sungguh mengherankan, Tio Cie Hiong tampak termenung.
"cie Hiong" Hartawan Lie memandangnya.
"Engkau sedang memikirkan apa?"
"Aku sedang memikirkan para tabib di kota ini," jawab Tio Cie Hiong.
"Itu kenapa?" Hartawan Lie heran.
"Padahal waktu itu Bibi hanya menderita sakit radang usus, kenapa tiada seorang tabib pun
mengetahuinya?" Tio Cie Hiong menggeleng-gelengkan kepala.
"Mungkin ilmu pengobatan mereka masih rendah," sahut nyonya Lie.
"ya." Tio Cie Hiong manggut-manggut.
"Karena itu, aku harap Paman bersedia mengundang mereka ke mari."
"Baik-" Hartawan Lie langsung menyuruh beberapa pelayan lelaki untuk pergi mengundang para
tabib di kota tersebut.
Hartawan Lie sangat terkenal di kota Pie Hong, sudah barang tentu tiada seorang tabib pun
berani menolak undangannya.
Berselang beberapa saat kemudian, para tabib itu telah berkumpul di ruang depan di rumah


Kesatria Baju Putih Pek In Sin Hiap Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hartawan Lie- sebelum mereka hadir, Tio Cie Hiong telah menyuruh seorang pelayan untuk
menyediakan selembar kertas putih yang lebar berikut tinta hitam dan sebatang pit (Potlot Cina
Kuno). Hartawan Lie dan isterinya, bahkan Lie siu sien dan siauw Cing juga ikut serta di ruang itu.
"Hartawan Lie, sebetulnya ada urusan apa kami diundang ke mari?" tanya seorang tabib berusia
lima puluhan. Mereka semua sudah tahu Tio Cie Hiong berhasil menyembuhkan penyakit Nyonya
Lie- Karena Tio Cie Hiong masih begitu muda, maka para tabib menganggap itu hanya kebetulan
saja. "sesungguhnya..." jawab hartawan Lie sambil tersenyum.
"yang mengundang kalian ke mari adalah Tio siauw hiap ini-"
Para tabib itu langsung memandang Tio Cie Hiong, dan mereka tampak tercengang.
"Ada apa gerangannya Tio siauw hiap mengundang kami ke mari?" tanya tabib berusia puluhan
itu dengan kening berkerut.
"Maaf" ucap Tio Cie Hiong dan melanjutkan.
"Aku mengundang Paman-paman ke mari untuk membahas ilmu pengobatan."
"oh?" Para tabib itu saling memandang.
"Tio siauw hiap" ujar tabib berusia lima puluhan dengan wajah tidak senang.
"engkau jangan mengira telah berhasil menyembuhkan Nyonya Lie, maka ingin berbangga diri di
hadapan kami"
"Sesungguhnya aku tidak berbangga diri, sebaliknya malah ingin merendah diri," sahut Tio cie
Hiong sambil tersenyum,
"sekarang aku ingin bertanya,"
"sebetulnya Nyonya Lie menderita sakit apa?"
Para tabib diam. Berselang sesaat, tabib berusia lima puluhan itu membuka mulut.
"Sebetulnya itu bukan penyakit, tapi Nyonya Lie terganggu oleh arwah penasaran."
"oh?" Tio Cie Hiong tersenyum.
"Maaf, bolehkah aku tahu nama tabib?"
"Aku dipanggil Tabib Lim," sahut tabib itu.
"Tabib Lim" Tio Cie Hiong menatapnya.
"Apakah Tabib Lim mengerti penyakit dalam?"
"Tentu mengerti."
"Kalau mengerti, kenapa Tabib Lim tidak tahu penyakit apa yang diderita nyonya Lie?"
"Sudah kukatakan tadi bahwa Nyonya Lie terganggu oleh arwah penasaran."
"Tabib Lim" Tio cie Hiong menggeleng-gelengkan kepala.
"Kalau begitu berarti aku si Penangkap Arwah Penasaran?"
"Hi hi" siauw Cing tertawa geli mendengar ucapan itu.
"Diam siauw cing" bisik Lie siu sien.
"Kira-kira begitulah" sahut Tabib Lim tak mau kalah-
"Tio siauw hiap berhasil menyembuhkan penyakit Nyonya Lie, itu hanya kebetulan saja"
"Tabib Lim Penyakit yang diderita Nyonya Lie waktu itu semacam penyakit dalam." Tio cie Hiong
memberitahukan.
" ya itu penyakit radang usus, maka membuat Nyonya Lie menggigil kedinginan, kemudian
badannya panas seperti terbakar, oleh karena itu. Nyonya Lie mengoceh tidak karuan sebab suhu
badannya sangat tinggi"
Tabib-tabib lain saling memandang, sedangkan Tabib Lim masih tetap meremehkan pengobatan
Tio Cie Hiong. "Tio siauw hiap, itu hanya omong kosong." sahutnya agak sinis.
"sendirinya tidak becus malah berani mengatai orang lain" siauw cing menyela mendadak karena
merasa tidak senang melihat Tabib Lim menyahut sinis.
"Dasar tak tahu diri"
"Diamlah siauw Cing" bisik Lie siu Sien.
siauw Cing segera diam, tapi tirus mencibir ke arah Tabib Lim, namun sebaliknya Tio Cie Hiong
malah tersenyum.
"Tabib Lim tidak percaya tidak jadi masalah" ujar Tio Cie Hiong.
"Namun aku tetap akan menguraikan beberapa macam penyakit dalam."
Tio Cie Hiong mengambil gulungan kertas putih yang di atas meja, lalu ditempelkannya pada
dinding. sebetulnya Tabib Lim mau pergi, tapi ia tahu tindakannya akan menyinggung perasaan
hartawan Lie, maka terpaksa diam saja. setelah menempelkan kertas itu pada dinding, Tio Cie
Hiong menggambar sesosok tubuh manusia, kemudian memberikan puluhan titik dan belasan
lingkaran kecil pada sosok tubuh manusia itu.
"Titik-titik itu merupakan pusat jalan darah manusia, jadi ada beberapa macam penyakit dapat
disembuhkan dengan cara tusuk jarum...." Tio Cie Hiong memberi penjelasan tentang ilmu tusuk
jarum. Para tabib saling memandang, mereka tercengang karena tidak menyangka Tio Cie Hiong yang
masih muda itu mahir ilmu tusuk jarum, mulailah mereka mendengarkan dengan penuh perhatian.
Makin mendengarkan mereka mulai kagum, sementara tabib yang semula acuh tak acuh itu pun
mulai mendengarkan dengan penuh perhatian.
"Ilmu tusuk jarum mementingkan peredaran darah manusia, juga harus menggunakan jarum
perak-..-" Tio cie Hiong juga memberitahukan mengenai ukuran jarum perak tersebut-
"Nah, apakah Paman sekalian sudah mengerti?"
Para tabib itu manggut-manggut bagaikan murid sekolah, sehingga membuat siauw Cing
tertawa geli- "sekarang aku akan menguraikan mengenai penyakit dalam"." Tio Cie Hiong mulai
menguraikan tentang berbagai macam penyakit dalam. Tentunya sangat menggirangkan para tabib
itu, termasuk Tabib Lim. Kini ia tidak berani memandang rendah Tio cie Hiong lagi, sebaliknya
Harpa Iblis Jari Sakti 4 Sepasang Golok Mustika Karya Chin Yung Elang Pemburu 1
^