Pencarian

Kisah Dewi Kwan Im 2

Kisah Dewi Kwan Im Karya Siao Shen Sien Bagian 2


begitu melihatmu, aku langsungjatuh cinta !"
"Tak ada gunanya kau berputar lidah", kata Miao Siang,
"sebaiknya kau lekas tinggalkan aku dan meneruskan tugasmu
sehari-hari".
"Benar-benar aneh kau ini, diajak senang tak mau, malah ingin
menyengsarakan diri!"
"Menolong orang jauh lebih bahagia dari pada menyusahkan
orang lain", kata Miao Siang, "kuharap dalam hidupmu
selanjutnya janganlah menyakiti orang lain, apa lagi
membuatnya sengsara".
"Akan kuingat baik-baik kata-kata mutiaramu itu !", kata si
pemuda sambil tersenyum lebar.
Tiba-tiba saja telah terjadi sesuatu yang luar biasa. Pemuda itu
mendadak lenyap, sebagai gantinya di hadapan Miao Siang
berdiri Ji Lay Hud.
"Aku adalah Budha dari Barat", kata Ji Lay Hud, sabar lagi
berwibawa sikapnya, "aku sengaja ke mari untuk melihat
sampai di mana tekadmu dalam mencari kesempumaan
hidup"! Harus kau ketahui, bukan di sini tempatmu untuk mencari dan
menyebarkan Dharma di bumi ini, tapi di gunung Siang-san
yang terietak di pulau Pu To".
Miao Siang segera berlutut di hadapan sang Budha seraya
berkata : "Biarpun bermata tapi ternyata hamba buta, hingga
tak dapat mengenali Maha Budha, yang telah jauh-jauh datang
ke mari " Hamba mohon maaf atas sikap hamba barusan.
Dapatkah hamba diben petunjuk di mana letak pulau Pu To
itu?" "Jaraknya lebih dari 3000 Li dari sini, di Laut Selatan (Lam
Hay)", menerangkan Ji Lay Hud, "di atas gunung Siangsan itu
terdapat sebuah Vihara tua, dihuni oleh para makhluk suci".
"Hamba kuatir akan terlampau letih untuk menempuh jarak
sejauh itu".
"Seperti katamu tadi, asal kita memiliki kemauan dan bulat
tekad kita, apapun dapat kita capai !", kata Ji Lay Hud, yang
mengulang kata-kata Miao Siang.
"Baik, hamba akan segera ke sana !", Miao Siang bersemangat
kembali. "Aku tak menyalahkanmu, sebagai manusia biasa, memang
akan sulit kau capai jarak sejauh itu", kata Ji Lay Hud, "aku
sengaja membawa buah Sian-too (Buah Dewa) untukmu,
setelah kau makan buah mi, kau bukan saja takkan merasa
lapar atau hausJuga hidupmu akan abadi!"
Miao Siang menyambut Buah Dewa itu sambil berulang-ulang
mengucapkan terima kasih, lalu memakannya. Ji Lay Hud gaib
dari pandangnya.
Terasa segar dan ringan tubuh Miao Siang setelah memakan
Buah Dewa tersebut. Mulailah ia melakukan perjalanan menuju
ke pulau Pu To di Lam Hai.
Biarpun perjalanan itu cukup jauh dan sulit medan yang harus
dilalui, tapi telah bulat tekad Miao Siang untuk dapat mencapai
tempat tujuan itu.
Sementara itu, dari atas awan, Dewa Utara telah menyaksikan
keadaan Miao Siang, yang harus keluar masuk hutan sendirian,
mendaki dan menumni gunung, cukup payah dia kelihatannya.
Sang Dewa kasihan menyaksikan segalanya itu, segera
memanggil Touw Ti, Dewa penunggu di tempat itu : "Kasihan
Miao Siang yang harus menempuh perjalanan yang begitu jauh
dan sulit seorang diri, bila dibiarkan saja, tentu akan memakan
waktu yang cukup lama baru dia dapat mencapai tempat tujuan
Bantulah dia dengan merobah dirimu menjadi harimau, agar dia
dapat menunggangmu sampai ke pantaiChe-kiang. Menurut
perhitunganku, di pantai itu sudah menunggu Oey Liong
(NagaKuning), yang akan menyeberangkannya ke pulau Pu To
dari daratan Tiongkok. Jadi tugasmu hanya mengantar sampai
ke pantai saja!"
Menurut kepercayaan, cukup banyak Dewa Penimggu Bumi
(Touw Ti Kong), di tempat/daerah tertentu terdapat Dewa
seperti itu. Touw Ti memenuhi permintaan Dewa Utara, menjelma menjadi
seekor harimau dan menunggu di tempat yang akan dilalui oleh
Miao Siang. Beberapa waktu kemudian Miao Siang lewat di situ, sang
harimau penjelmaan Dewa itu langsung memperdengarkan
aumannya yang amat keras sambil memperlihatkan taringnya
yang tajam. Pada mulanya Miao Siang terkejut juga, tapi segera dapat
menenangkan diri, berkata : "Saya adalah seorang gadis yang
malang karena tak mendengar kata-orang tua. Bila sekiranya
kau lapar, boleh kau terkam dan memangsa saya, aku takkan
melawan". Berdasarkan kepercayaan, bagi orang yang Put-hauw (tak
berbakti terhadap orang tua), akan selalu mendapatkan
gangguan dalam perjalanan hidupnya; sedangkan orang yang
U Hauw (Berbakti terhadap orang tua), selalu terhindar dan
dilindungi dalam menghadapi segala persoalan dan kesulitan
hidup. Tapi sang harimau, bukannya menerkam, malah telah berkata :
"Saya tahu siapa Kung-cu, bukan saja tak sampai hati untuk
melahapmu, malah bermaksud mengantar Kung-cu sampai ke
pantai, untuk mempersingkat waktumu yang amat berharga
dalam perjalanan ke Siang-san ?" Lekas naik ke punggung
saya, Kung-cu!"
Tanpa ragu-ragu lagi Miao Siang naik ke punggung harimau itu,
ia berkeyakinan, mati hidup seseorang berada di tangan
ThianJadi tak periu takut pada apapun.
"Terima kasih atas kebaikanmu. Bila nanti saya berhasil
mencapai kesempumaan, saya takkan melupakan budimu'.".
ujamya kemudian.
"Aku membantu tanpa pamrih, tak usah Kung-cu memikirkan
soal balas budi segala. Hatiku sudah senang bila Kung-cu
dapat mencapai tempat tujuan dalam waktu singkat". Sang
harimau mulai lari, cepat bagaikan angin gerakannya itu.
Dalam waktu yang tak begitu lama, Miao Siang sudah tiba di
pantai Che-kiang.
"Maaf Kung-cu, aku hanya dapat mengantarmu sampai di sini
saja", kata sang harimau.
"Terima kasih atas kebaikanmu, harimau".
Harimau itu mendadak lenyap dari hadapan Miao Siang. Miao
Siang segera bersujud dan mengangguk-anggukkan kepalanya
sebanyak tiga kali, sebagai ungkapan terima kasihnya kepada
Dewa yang telah menolongnya.
Lalu diarahkan pandang ke muka, sejauh mata memandang,
hanya laut lepas yang terlihat. Dengan apa ia harus
menyeberangi lautan"
Tak ada perahu nelayan di situ, kalaupun ada, belum tentu
sang nelayan bersedia membantu menyeberangkannya.
Selagi Miao Siang bengong, tiba-tiba dari dalam laut muncul
seekor naga. Miao Siang agak terkejut, tanpa terasa mundur beberapa
langkah. "Jangan takut Kung-cu, saya Oey Liong yang pemah
mengantar rohmu ke Sorga, inilah bentuk asliku".
"Oh kau Oey Liong", Miao Siang tak pemah dapat melupakan
peristiwa itu, "senang sekali dapat bertemu denganmu lagi".
"Saya meinang ditugaskan oleh Shakymuni Budha (Ji Lay Hud)
untuk menjemput Kung-cu di sini, menyeberangkanmu ke pulau
Pu To". Miao Siang amat bersyukur.
"Naiklah ke punggung saya, akan saya antar Kung-cu sampai
ke pulau itu".
Miao Siang naik ke atas punggung Naga Kunmg. Sang Naga
meluncur cepat sekali, bagaikan melesatnya anak 'panah,
hingga tak lama kemudian, tibalah Miao Siang di pulau yang
dimaksud. "Terima kasih Oey Liong", kata Miao Siang setelah
menginjakkan kaki di pulau tersebut. "Bila suatu ketika Kung-cu
membutuhkan bantuan saya, panggil saja nama saya sambil
menepuk permukaan air laut tiga kali, saya akan segera
datang". "Baik Oey Liong", Miao Siang mengangguk, benar-benar amat
tergugah perasaannya.
Berdasarkan petunjuk dari Oey Liong, Miao Siang
mendaki gunung Siangsap (Gunung Harum).
Namun belum jauh dia mendaki, telah dicegat oleh seekor ular,
yang temyata siluman ular yang telah mengangkat dirinya
sebagai Raja di gunung itu.
"Apa maksudmu datang ke mari?", tanya ular siluman itu.
"Aku telah diminta oleh Ji Lay Hud untuk datang ke mari", Miao
Siang menerangkan, "untuk bergabung dengan para Makhluk
Suci yang bermukim di Vihara di atas gunung ini".
"Di atas gunung ini memang ada Vihara tua, tapi tak ada
penghuninya", kata siluman ular itu, "setiap orang yang ingin ke
sana harus mendapat izin dariku".
"Kenapa harus minta izin dulu darimu?", tanya Miao Siang.
"Sebab aku adalah Raja dari pulau Pu To ini!", kata si ular
siluman dengan pongahnya, "tanpa izinku, siapapun yang telah
masuk ke mari takkan dapat ke luar lagi".
"Tapi datangku ke mari adalah atas anjuran dari Ji Lay Hud,
Dewa dari Barat!".
"Aku tak peduli, pokoknya, siapa saja yang ke mari, baik itu
manusia ataupun Dewa, harus minta izin dariku, sebagai
penguasa tunggal di sini!"
"Berdasarkan apa kau mengangkat dirimu sebagai Raja
disini?", tanya Miao Siang.
"Sejak leluhurku mendaulat pulau ini sebagai miliknya pada
beberapa ribu tahun yang silam!"
"Atau begini saja, anggap aku meminjam pulau ini", Miao Siang
mengusulkan, "bukan untuk kepentingan pribadiku, tapi buat
seluruh orang yang ingin mencari kesempumaan hidup".
"Enak saja bicaramu", siluman ular mulai naik pitam, "kau
anggap apa diriku?"
"Kau tetap sebagai penguasa di sini", kata Miao Siang,
"kedudukan pulau ini adalah pinjaman".
"Tidak bisa, kecuali kalau kau bisa mengalahkan kesaktianku",
siluman ular itu menantang.
"Sampai di mana kesaktianmu?", tanyaMiao Siang sambil
senyum. "Aku dapat merobah diriku ke bentuk asli, dapat melilit gunung
ini sampai tiga putaran", kata sang siluman dengan
sombongnya. "Kalau kau dapat membuktikan kata-katamu, aku akan
membatalkan maksudmu untuk meminjam pulau ini darimu.
Tapi bagaimana kalau tak berhasil melilit gunung Siang-san
sebanyak tiga lingkaran dengan tubuhmu?"
"Tak mungkin aku gagal, telah berulang kali aku melakukannya
dan selalu berhasil baik", ujar siluman ular itu penuh keyakinan
diri, "seandainya aku gagal, aku bersedia meminjamkan pulau
ini padamu Tapi bila aku berhasil, kau akan kujadikan tawanan seperti
makhluk lainnya, kusekap di Vihara tua. Bagaimana?"
"Aku tak keberatan, tapi kalau kau gagal, di samping
meminjamkan pulau ini padaku, kau juga harus membebaskan
para tawananmu!"
"Baik!"
"Jangan ingkar janji kau!", Miao Siang minta kepastian.
"Aku tak pemah menjilat ludah kembali!", tetap pongah sikap
siluman ular tersebut.
Begitu selesai berkata, langsung dia menggerakkan tubuh,
seketika menjelma menjadi ular yang amat menyeramkan,
besar lagi panjang sekali, perlahan-lahan mulai melingkari
gunung Siang-san dengan tubuhnya.
Miao Siang memanjatkan doa, mengharapkan Dewa
membantunya. Diam-diam Ji Lay Hud telah membantunya, dan segera terjadi
perkembangan yang luar biasa. Gunung Siang-san perlahan-
lahan berobah makin besar dan terus membesar.
Siluman ular itu terus berusaha memelarkan tubuhnya, untuk
dapat membelit gunung itu sampai tiga lingkaran.
Tapi gunung itu seakan terus mengikuti perkembangan tubuh
siluman ular, melar juga. Maka biar bagaimana si ular siluman
mengeluarkan kesaktiannya untuk lebih memelarkan badannya,
ia tetap tak berhasil mempertemukan ekor dengan kepalanya
pada lingkaran yang terakhir.
Sekujur tubuh ular itu penuh keringat, namun dia masih terus
berusaha sedapatnya untuk membuktikan kata-katanya.
Biarpun keadaan itu telah beriangsung lebih dari setengah hari,
usahanya tak juga membawa hasil, malah dirinya jadi
kehabisan tenaga yang diempos terus menerus. Akhimya dia
terpaksa menyerah, tubuhnya mengecil lagi, bahkan wujudnya
jadi berobah sebagai manusia, namun di kedua sisi mulutnya
bertaring. "Setelah gagal usahamu ini, berarti kini aku telah berhak
meminjam pulau ini serta membebaskan para Makhluk Suci
yang kau tawan itu", Miao Siang tersenyum.
"Aneh, biasanya aku tak pemah gagal", kata siluman ular itu
sambil menggaruk-garuk kepala, "tapi kenapa hari ini bisa
begini!?" "Tak usah kau heran, kejadian itu telah membuktikan kalau
Dewa lebih sakti darimu!"
"Aku tak keberatan untuk meminjamkan pulau ini padamu, tapi
hendaknya kau juga harus memperlihatkan kesaktianmu, agar
aku benar-benar merasa takluk", kata siluman itu kemudian.
"Baik!", Miao Siang mengangguk, "bila di zinkan oleh Dewa di
Kahyangan, begitu aku menunjuk ke atas batu itu, di
permukaannya akan muncul pohon bambu".
"Aku tak percaya! Coba buktikan!", siluman ular itu masih
penasaran. Miao Siang memanjatkan doa, memohon bantuan Ji Lay Hud
yang telah menyarankannya datang ke pulau itu. Lalu
ditunjuknya batu di hadapannya dan temyata memang terbukti
ucapannya, di atas batu itu muncul sekelompok pohon bambu.
(Pohon-pohon bambu itu di kemudian hari telah menyatu
dengan batu, hingga merupakan ukiran/relif di batu).
Konon kabamya, bagi penganut agama Budha yang datang
sembahyang di Vihara di Siang-san, banyak yang membawa
pulang batu yang berukiran pohon bambu itu sebagai
kenangan. Inilah asal-muasal rimba bambu di pulau Pu To.
Biarpun Miao Siang telah mempertunjukkan kesaktian sang


Kisah Dewi Kwan Im Karya Siao Shen Sien di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Budha di hadapan siluman ular itu, tapi sang siluman masih
minta penegasan, kapan Miao Siang akan mengembalikan
pulau itu padanya.
Miao Siang mengheningkan cipta, memohon petunjuk dari Ji
Lay Hud dan permohonannya segera dipenuhi oleh sang Maha
Budha. Selang sesaat Miao Siang berkata sesuai dengan petunjuk dari
Ji Lay Hud: "Beri aku waktu sepuluh tahun, selewatnya waktu
itu, kau boleh datang lagi ke mari, bila kau tak mendengar ada
yang menabuh 'Bok Hee' (Ikan Kayu) dan suara ombak setiap
harinya, berarti kau boleh mengambil kembali pulau ini dari
tanganku. Tapi selama masih terdengar suara tabuhan 'Bok
Hee' dari para muridku dan pengikut Budha serta deburan
ombak, kau belum berhak mengambil kembali pulau ini".
Ular siluman itu menyetujui usul itu, mengantarkan Miao Siang
ke Vihara tua di atas gunung, membebaskan tawanannya.
Kemudian meninggalkan pulau itu, bertapa di dalam goa untuk
memperdalam ilmunya, sambil menunggu tiba saatnya baginya
untuk mengambil kembali pulau tersebut dari tangan Miao
Siang, yang setelah berhasil mencapai kesempumaannya, lebih
populer dengan sebutan Kuan She Yin Pu Sa (Dewi Kwan Im).
Kenyataannya, sampai ke anak-cucu siluman ular itu tak
pemah berhasil mengambil kembali pulau tersebut, sebab
setiap harinya selalu terdengar tabuhan 'Bok Hee' dan ombak
terus memecah di pulau karang itu, tak peduli sedang angin
apa pada saat itu.
Orang-orang yang ingin mencari kesempumaan hidup di pulau
itu, juga Makhluk Suci yang telah lebih dulu jadi penghuni
Vihara tua, yang kemudian jadi tawanan siluman ular, amat
bersyukur atas pertolongan Miao Siang, mengangkatnya
sebagai pemimpin mereka.
Beikat kebulatan tekadnya, ketekunan serta memiliki dasar
yang kuat, maka setelah sembilan tahun Miao Siang
mengasingkan diri di Vihara tua di gunung Siang-san,
berhasil ah dia mencapai puncak kesempumaan.
Tee Chong Ong (Raja Akhirat) yang suatu ketika datang
menemui Touw Ti yang jadi penunggu gunung itu, jadi sangat
heran menyaksikan kemajuan luar biasa yang berhasil dicapai
Miao Siang. "Benar-benar kagum dan takjub aku menyaksikan
perkembangan diri Miao Siang itu", kata Tee Chong Ong.
"Selain Ji Lay, tak ada lagi orang suci yang dapat menyamai
keagungan, kewelas-asihan dan kesempumaannya", kata
Dewa penunggu pulau Pu To. "Rupanya memang sudah
menjadi takdir, bahwa Miao Siang akan menjadi pemimpin dari
beberapa ribu Pu Sa(PoSatatau Bodhisatva). Untuk itu, pada
Lakgwee Cap-kauw (tanggal 19 bulan keenam menurut
penanggalan Tionghoa), kita akan memperingati sebagai hari di
mana ia telah berhasil mencapai kesempumaan, dan
mendaulatnya ke atas takhta kesucian, agar seluruh dunia
memperoleh berkahnya".
"Aku setuju", kata Tee Chong Ong, si Raja Akhirat.
Dewa penunggu pulau itu segera mengundang para Dewa dan
orang-orang suci yang dianggap memiliki keagungan dan
kesempumaan yang sama dengan Miao Siang.
Setiba hari yang telah ditentukan, Miao Siang menempati
singgasananya yang berbentuk bunga teratai. Tampak hadir
dalam pertemuan itu : Pat Sian (Delapan Dewa), 10 Raja
Neraka, Raja Naga dari Barat dan banyak lagi Dewa dan
Makhluk Suci lainnya.
Mereka menobatkan Miao Siang resmi sebagai Dewi,
berhubung te'ah berhasil mencapai puncak kesempumaan.
Tinggal lagi pengesahan dari Giok Tee, Maha-raja Dewata,
yang akan menyusul kemudian. Yang hadir rata-rata
berpendapat, bahwa kurang begitu cocok bagi Miao Siang
untuk tinggal sendirian di Siang-san, paling tidak harus ada dua
orang yang membantunya, seorang laki-laki dan seorang lagi
perempuan. Sebab, para Makhluk Suci lainnya yang semula bersama Miao
Siang menghuni Vihara sejak mereka dibebaskan dari tangan
siluman ular, kini sudah pada berpencar untuk melaksanakan
tugasnya masing-masing.
Para Dewa kemudian bersepakat, meminta Touw Ti
mencarikan pembantu untuk Miao Siang dalam membantu
orang-orang yang membutuhkan pertolongan serta
menyebarkan Dharma.
Touw Ti segera berangkat, mencari-cari orang yang
dianggapnya tepat. Pada suatu waktu dia telah bertemu
dengan Bikhu muda yang bemama Shan Chai, yang sedang
bertapa di gunung Ta Hua-san setelah orang tuanya
meninggal. Melalui 'mata bathtn'-nya, Miao Siang tahu kalau Bikhu muda
itu adalah titisan dari Kim Tong (Anak Emas), yang memang
mendapat tugas melayaninya di dunia.
Miao Siang segera mengerahkan kesaktiannya untuk
menggerakkan hati pemuda itu agar datang ke tempatnya.
Shan Chai bagaikan orang yang terkena kontak bathin, segera
menyudahi tapanya, langsung berangkat ke pulau Pu To.
Beberapa waktu kemudian, dia telah tiba di hadapan Miao
Siang. Untuk tidak sampai menimbulkan kecurigaan Shan Chai, Miao
Siang pura-pura bertanya : "Siapa kau?"
"Saya seorang yang sebatang-kara, sejak kecil telah msnjalani
kehidupan sebagai Bikhu dan sering bertapa untuk dapat
memperoleh kesempumaan hidup. Beberapa waktu yang lalu,
saya mendengar dari penuturan orang, bahwa di sini berdiam
Dewi yang sangat sakti lagi welas-asih. Banyak sudah manusia
yang sakit dan sedang mengalami kesulitan ditolongnya. Itu
sebabnya saya jadi memberanikan diri ke mari, dengan
harapan, memperoleh petunjuk untuk mencapai kesempumaan
hidup". "Sudah bulatkah tekadmu?", tanyaMiao Siang.
"Masih belum yakinkah Dewi atas kesungguhan saya ini"
Bila masih ragu, saya takkan sudi jauh-jauh datang kemari".
"Sudah sejauh mana yang kau ketahui mengenaijalan yang
menuju kesempumaan?"
"Saya belum pemah mempelajarinya", sahut Shan Chai, "yang
ada di diri saya hanya tekad mgin mempelajarinya - - Saya
harap Dewi sudi membimbing saya ke arah itu".
"Baiklah, untuk sementara berdiamlah kau di gunung di
seberang sana itu, sampai aku memperoleh cara untuk
membantumu mencapai apa yang kau cita-citakan!"
"Terima kasih Dewi", Shan Chai pamit dan berangkat ketempat
yang ditunjuk Miao Siang. Miao Siang mencari cara untuk
menguji hati Shan Chai.
Dalam waktu yang tidak terialu lama, telah diperoleh cara yang
dianggapnya cukup baik.
Miao Siang segera memanggil Touw Ti, memintanya
menyampaikan kepada beberapa Dewa, untuk membantunya
melaksanakan maksudnya, dengan menyamar sebagai
penjahat, yang mengurung gunung itu sambil membawa obor
dan senjata tajam, berpura-pura ingin membunuh Miao Siang.
"Aku akan lari ke gunung di seberang sana, berusaha
berlindung di sana", Miao Siang menerangkan lebihjauh, "tapi
karena terdesak terus, akhimya aku akan terjatuh ke dalam
jurang " Akan dapat kita saksikan nanti, bagaimana sambutan
Shan Chai, hingga dapat kita ketahui, sampai di mana
kesungguhan dan kejujurannya".
Touw Ti segera melaksanakan permintaan itu.
Beberapa waktu kemudian, Vihara di Siang-san telah diserbu
oleh sekelompok penjahat, amat buas sikap mereka.
Miao Siang berpura-pura ketakutan, melarikan diri ke tempat
berdiamnya Shan Chai sambil berteriak-teriak minta tolong.
Gerombolan penjahat terus mengejarnya sambil menggerak-
gerakkan golok dan kapak mereka yang amat tajam.
Miao Siang berusaha lari secepat-cepatnya, kemudian mendaki
pinggang gunung yang terjal.
Saking terbum-buru dan gugupnya, Miao Siang terpeleset dan
tergulingjatuh ke dalamjurang. Shan Chai yang sempat
menyaksikan perkembangan itu, tanpa fikir panjang lagi,
langsung saja terjun ke jurang, bermaksud menolong Miao
Siang. Setiba di tempat Miao Siangjatuh, Shan Chai segera bertanya :
"Dewi tak apa-apa" Kenapa harus takut pada penjahat?"
"Mereka amat garang lagi sakti", kata Miao Siang.
"Dewi kan tak memiliki benda yang berharga, hingga
seharusnya tak usah lari ketakutan, bahkan mendaki tebing
yang curam, yang mengakibatkan jatuh ke mari dan teriuka
parah seperti sekarang ini", Shan Chai amat terharu
menyaksikan tubuh Miao Siang yang penuh luka itu.
Tergugah perasaan Miao Siang ketika menyaksikan sikap Shan
Chai, namun ia telah berpura-pura seperti orang yang sudah
sekarat, berkata lemah : "Rupanya sudah menjadi kehendak
Thian, bahwa akan begini akhir hidupku".
"Percayalah Dewi, kau pasti akan sembuh ?" Kenapa tak kau
manfaatkan kesaktian yang kau miliki?"
"Kesaktianku seakan tiba-tiba punah, diriku kini tak bedanya
dengan orang kebanyakan, manusia biasa", tetap lemah suara
Miao Siang, sengaja membuat nafasnya tersengal-sengal.
Shan Chai jadi semakin gugup, langsung dia berdoa kepada
Yang Maha Kuasa, agarjiwa Miao Siang diselamatkan.
"Kau memang pemuda yang baik lagi jujur, Shan Chai", kata
Miao Siang. "Bagaimana keadaanmu sekarang, Dewi?", timbul lagi harapan
di diri Shan Chai.
"Tak usah kau cemaskan diriku, sesungguhnya aku tidak apa-
apa!", kata Miao Siang, yang mendadak jadi segar bugar
kembali dan luka-luka di tubuhnya sembuh^seketika. "Kau telah
memperlihatkan kegagahan dan kejujuranmu, hingga bersedia
menolongku tanpa menghiraukan keselamatan diri sendiri.
Padahal sedikit pun aku belum sempat memberikan apa yang
kau harapkan".
"Apakah untuk menolong fihak lain harus selalu disertai pamrih,
Dewi?" "Seharusnya memang tidak, tapi orang-orang zaman sekarang,
banyak yang membantu orang lain dengan pamrih. Kau
termasuk yang sedikit jumlahnya itu ?" Coba kau tengok, apa
yang terdapat di sana!?"
Shan Chai mengarahkan pandang ke bagian yang ditunjuk oleh
Miao Siang, berkata : "Kalau saya tak salah lihat . . ., itu
sesosok mayat".
"Benar", Miao Siang mengangguk, "itu adalahjenazahmu,
hancur akibat melompat ke dalam jurang ini untuk menolongku.
Saking kerasnya hasratmu untuk menyelematkanku, hingga tak
kau sadari kalau rohmu telah meninggalkan jasadmu itu ?"
Kini kau telah menjadi Makhluk Suci, yang dapat melayang ke
mana kau suka!"
Shan Chai segera beriutut di hadapan Miao Siang,
mengangguk-anggukkan kepala sebagai pengungkapan rasa
terima kasihnya".
"Mulai sekarang dan sampai kapanpun, saya akan mengabdi
padamu, Dewi!", katanya kemudian.
"Kuterima pengabdianmu itu", Miao Siang menyuruhnya
bangun, "tapi untuk sementara, aku akan tetap memanggilmu
Shan Chai dan bila telah tiba waktunya nanti, kau akan
menerima gelar yang sama dengan wujudmu terdahulu!"
"Bagaimana sebenamya wujud hamba terdahulu, Dewi?"
"Itu rahasia alam, pada saatnya nanti akan kau ketahui sendiri,
siapa sebenamya kau ini! Untuk itu kau hams sabar dan tekun".
"Baik Dewi".
Sejak saat itu, Shan Chai membantu Miao Siang melaksanakan
kebajikan sambil menyebarkan Dharma. Dalam pemunculannya
di muka umum, Shan Chai selalu berwujud seorang anak yang
mungil lucu, tapi sangat cekatan melaksanakan tugas yang
diperintahkan Miao Siang.
Banyak sekali orang yang sakit, fisik maupun mental, yang
disembuhkan oleh Miao Siang. Tak sedikit pula orang sesat
yang jadi sadar dan kembali ke jalan yang benar oleh petuah-
petuah dan kemurahan hati Miao Siang.
Setiap ada yang membutuhkan pertolongan, kaya atau miskin,
selalu dipenuhi oleh Miao Siang.
Pulau Pu To makin lama makin ramai dikunjungi orang.
Tambah padat penguujung yang datang bersembahyang di
Vihara tempat bersemayamnya Miao Siang.
Orang-orang pada memujanya sebagai 'Dewi hidup', yang
selalu membantu manusia yang membutuhkan pertolongan,
kesulitan apapun yang dihadapinya.
Mengingat kesibukan yang semakin meningkat, Miao Siang
membutuhkan bantuan Makhluk Suci lainnya, yang sesuai
dengan anjuran para Dewa beberapa waktu yang silam. Namun
sejauh itu, dia belum berhasil memperoleh Makhluk Suci mana
yang cocok untuk dijadikan pembantunya dalam menjalankan
kebajikan. Suatu ketika Miao Siang mengheningkan cipta, meminta
petunjuk dari Dewa Agung, siapa kira-kira yang cocok untuk
dijadikan pembantunya.
Tak lama 'mata bathin'-nya seperti melihat suatu adegan yang
menarik. Terlihat di situ, bagaimana Giok Lie yang pemah
mendampingi rohnya dalam perjalanan ke Sorga, telah menitis
pada anak Hay Liong Ong (Raja Naga) yang ketiga.
Menyusul.terlihat anak perempuan dari Raja Naga tersebut,
yang diberi nama Liong Lie, yang pada saat itu telah meningkat
remaja, sedang menghadapi kesulitan.
Liong Lie yang atas perintah ayahnya, telah menjelma sebagai
seekor ikan besar, selagi berenang di Laut Selatan, telah
terjaring oleh seorang nelayan, yang kemudian dibawa ke darat
untuk dijual. Begitu puma menyaksikan adegan melalui 'mata bathin'nya itu,
Miao Siang segera menyuruh Shan Chai, yang menjelma
sebagai seorang pelayan, untuk membeli ikan penjelmaan
Liong Lie. Shan Chai dibekali uang seribu Tang-cee (uang tembaga) bagi
keperiuan itu. Setelah berhasil membeli ikan itu, Shan Chai
harus melepaskannya di perairan pulau Pu To, agar ikan itu
dapat berenang kembali ke lautan bebas.
Liong Lie amat bersyukur atas bantuan tersebut dan setiba di
istana ayahnya, dia langsung menuturkan pengalamannya
kepada Hai Liong Ong : "Kalau saja saya tidak ditolong oleh
Shan Chai atas suruhan Miao Siang, mungkin saya takkan
dapat bertemu dengan ayah lagi".


Kisah Dewi Kwan Im Karya Siao Shen Sien di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sang Raja Naga merasa berhutang budi atas bantuan Miao
Siang tersebut, berkata kepada puterinya : "Kau haros
mengantarkan sejumlah mutiara terbaik pada Miao Siang,
sebagai pengungkapan rasa syukur kita yang tak terhingga
padanya, agar dia dapat memanjatkan doa-doanya di malam
hari dalam suasana terang!"
"Baik ayah", sahut Liong Lie.
Hai Liong Ong memilih sejumlah mutiara yang terbaik dan amat
menyilaukan pandang, lalu menyumh puterinya segera
membawanya ke tempat bersemayamnya Miao Siang.
Liong Lie berangkat ke pulau Pu To, mempersembahkan
mutiara itu sebagai ungkapan terima kasih darinya, juga dari
ayahnya. Semula Miao Siang tak sudi menerima pemberian itu :
"Aku menolongmu tanpa pamrih apa-apa".
"Maksud ayah memberikan mutiara ini sebagai pengungkapan
rasa terima kasihnya, sekaH-gus dapat menerangi ruangan
pada malam hari, agar Sian-kouw atau umat-umat Budha
lainnya yang datang ke mari, dapat lebih leluasa membaca
Keng (Sutra) pada malam hari".
Miao Siang menganggap kata-kata itu cukup beralasan,
segera menyuruh Shan Chai untuk meletakkan tumpukan
mutiara itu di tengah ruang baca doa.
"Kedatangan saya ke mari, di samping untuk mengucapkan
rasa syukur, sayajuga ingin memahami ajaran Budha, sudah
kiranya Sian-kouw memberi petunjuk pada saya dengan
menerima saya sebagai muridmu!"
Miao Siang yang sebelumnya telah mendapat petunjuk dari
Thian yang Maha Kuasa, bahwa Liong Lie yang mempakan
titisan dari Giok Lie itu, memang berjodoh untuk jadi muridnya,
yang akan membantunya menjalankan kebaikan sambil
menyebar-luaskan ajaran-ajaran Budha, maka langsung
diterimanya kehadiran Liong Lie tersebut.
Miao Siang sering mengajak kedua muridnya itu mengunjungi
tempat-tempat orang yang membutuhkan pertolongan.
Semakin banyak orang yang bersyukur karena telah ditolong
oleh Miao Siang keluar dari kesulitan yang dihadapinya.
Tentang kisah dua pembantu Miao Siang (yang di kelak
kemudian hari lebih dikenal sebagai Dewi Kwan Im), agak
berbeda dengan yang dituturkan dalam cerita Sie Yu atau
Perjalanan ke Barat.
Dalam cerita Sie Yu itu disebutkan, bahwa anak laki-laki yang
membantu Dewi Kwan Im adalah Ang Hai Ji, yang disebut juga
Anak Merah atau Siluman Api. Tatkala Tong Hian Chong
(Hsuan Chuang) lewat di daerah kekuasaan Siluman Api ini, dia
telah ditawan oleh Ang Hai Ji (Hung Hai Erl), yang bermaksud
menyajikan daging Bikhu itu pada ayahnya, Raja Siluman
Kerbau. Sun Go Kong telah bemlang kali berusaha
membebaskan gurunya dari tangan sang siluman, biarpun dia telah banyak
menciptakan Sun Go Kong tetiron (palsu) dari bulunya, tapi tak
juga berhasil, sebab bulu-bulunya itu selalu dibakar oleh api
sang siluman. Sun Go Kong terpaksa datang ke pulau Pu To,
meminta tolong pada Dewi Kwan Im untuk membebaskan
gurunya. Dewi Kwan Im berhasil menangkap sang Siluman Api dengan
kesaktiannya. Ang Hai Ji langsung meminta ampun, menyesali segala
perbuatan sebelumnya, bersumpah untuk selanjutnya akan
melakukan kebajikan buat menebus semua dosa yang pemah
dilakukannya. Dewi Kwan Im mengangkatnya sebagai muridnya.
Kisah Liong Lie, puteri Raja Naga juga berbeda dengan yang
telah diceritakan di bagian atas.
Kisah di Sie Yu begini: Seekor ikan siluman yang berkepala
Naga, telah merobah bentuknya menjadi seorang wanita cantik,
berhasil membujuk Tong Hian Chong untuk mampir ke
istananya yang terletak di dasar laut. Siluman Ikan ini langsung
menyelenggarakan pesta besar-besaran, merayakan
pemikahannya dengan Bikhu muda yang telah berhasil dibikin
lupa daratan olehnya.
Usaha Sun Go Kong dan Ti Pat Kay untuk menolong gurunya,
sia-sia belaka; bahkan kemudian mereka berhasil ditawan oleh
Siluman Ikan itu.
Untung kejadian itu diketahui oleh Dewi Kwan Im, yang segera
menaklukkan sang siluman dan merobah bentuknya sebagai
gadis remaja yang manis, yang diberinya nama Liong Lie
(Gadis Naga). Setelah menyatakan penyesalannya atas segala dosa yang
pemah dilakukan sebelumnya dan bersumpah untuk
selanjutnya akan berbuat baik, Dewi Kwan Im mengangkatnya sebagai mu-
ridnya dan selalu mengajaknya ke manapun sang Dewi pergi.
Kedua pengiring Dewi Kwan Im ini sering terdapat dalam
lukisan, bersama sang Dewi seperti yang dapat anda saksikan
da- lam lukisan sampul buku 'Riwayat Dewi Kwan Im' ini.
Kalau sebfelumnya, banyak pelukis atau pemahat yang me-
lukiskan Liong Lie, yang kemudian dinamakan Giok Lie (Gadis
Batu Kumala) ini berdiri di kanan sang Dewi, sedangkan Shan
Chai yang kemudian lebih dikenal sebagai Kim Tong (Anak
Emas) berdiri di kiri Dewi Kwan Im. Tapi oleh pelukis Tony G.,
keduanya, Kim Tong dan Giok Lie, ditempatkan di kiri Dewi
Kwan Im, sama sekali tak ada maksud lain, tapi semata-mata
hanya untuk keindahan komposisi gambar belaka. Keadaan ini
sama-halnya dengan gambar Kwan Kong (Kuan Tee Kun),
yang dilukiskan atau dipahat sedang duduk sambil memegang buku
dengan tangan kiri. Tapi kemudian banyak pelukis atau pema-
hat yang menggambarkan Kwan Kong memegang buku
dengan tangan kanannya. Harap pembaca maklum.
SEMBILAN Perbuatan Raja Miao Chuang yang telah membakar Pek
Chiao Chan-su (Vihara Burung Putih) dan begitu sampai hati
menyuruh algojo untuk membunuh puteri bungsunya, hanya
lantaran sang puteri tak sudi mendengar kata-katanya; telah
me- nimbulkan kemarahan para Dewa dan Dewi dari
Kahyangan (De- wachan), terutama sekali Dewi Chieh Lan,
yang langsung mem- protes kepada Giok Tee : "Kita tak boleh
membiarkan perbuat- an yang sewenang-wenang dari Miao
Chuang itu Baginda, kita harus mengajar adat padanya".
Sesungguhnya Maha-raja Dewata itu juga merasa tak se-
nang atas perbuatan Miao Chuang. la segera memerintahkan
Poan Koan, petugas Neraka yang bertugas mencatat waktu hi-
dup-matinya manusia.
Poan Koan segera membalik-balik buku catatannya, untuk
memeriksa hal-hal yang menyangkut diri Miao Chuang.
Di situ terlihat, bahwajangka waktu memerintah kerajaan-
nya bagi Miao Chuang masih akan beriangsung belasan tahun
lagi. Giok Tee menghela nafas, berkata lirih : "Apa yang telah
tertera di dalam buku catatan itu tak dapat dirobah, tapi kita
juga tak dapat membiarkan perbuatannya yang sewenang-
wenang". "Ya Baginda, Miao Chuang harus diberikan hukuman yang
setimpal dengan perbuatannya itu", kata salah seorang Dewa
yang hadir. "Benar Baginda", kata Dewa lainnya.
"Memang harus kita hukum dia", kata Giok Tee, "dan
hukumanyang paling tepat adalah membuatnya menderita sa-
kit yang beikepanjangan ?"" Bagaimana pendapat kalian?"
"Akur! Setuju!", sambut para Dewa dan Dewi yang hadir.
Giok Tee segera memanggil Dewa Penyakit, memerintah-
kannya, agar Miao Chuang, Raja dari negara Sing Lin, menderi-
ta bisul-bisul di sekujur tubuhnya dan penyakitnya itu tak dapat
disembuhkan oleh obat apapun, kecuali bila diobati oleh puteri
bungsunya yang ingin dibunuhnya itu.
Sang Dewa Penyakit segera melaksanakan perintah itu.
Beberapa waktu kemudian, Raja Miao Chuang mulai me-
rasakan tubuhnya gatal-gatal dan semakin digaruk jadi semakin
gatal dan membengkak.
Mulanya sang Raja mengira, bahwa gatal tubuhnya itu lan-
taran musim panas yang berkepanjangan, atau dia salah
makan sesuatu. Dipanggilnya tabib istana.
Sang tabibpun mengira, hanya sakit kulit biasa saja, maka
disamping memberi obat dalam, dia juga memberikan yok-san
(obat bubuk) untuk diborehkan ke tubuh sang Raja.
Akan tetapi sang Raja bukannya sembuh, malah semakin
parah sakitnya. Kini bukan hanya sekedar gatal tubuhnya, tapi
mulai berasa sakit akibat bisul yang tumbuh di sekujur tubuh-
nya, membuatnya hams terus berbaring di ranjang.
Sinshe (tabib) yang palingjempolan dari segala pelosok ke-
rajaan telah diundang, tapi tak seorang pun yang tahu, sakit
apa sebenamya yang diderita Raja.
Para Bikhu yang dianggap pandai, telah pula diminta untuk
mendoakan, agar kesehatan Raja Miao Chuang dapat segera
pulih. Namun sakit Raja tetap tak dapat disembuhkan.
Keadaan itu terus berlangsung sampai bertahun-tahun
lamanya. Kedua puteri Raja Miao Chuang : Miao Yuan dan Miao Yin
beserta suaminya masing-masing, bukannya merasa sedih atas
sakit yang diderita ayahnya, malah terus saja mengumbar
kesenangan sendiri-sendiri.
Hanya Ratu Pao Te yang sedih menyaksikan penderitaan
suaminya, namun dia tak berdaya untuk meringankan penderi-
taan sang Raja; yang dapat dilakukannya hanyalah berdoa,
agar Thian sudi memberi kesembuhan bagi suaminya.
Sakitnya Raja telah mengakibatkan semakin tak teratumya
roda pemerintahan. Para pembantu Raja yang berhati serong
menggunakan kesempatan itu untuk memperkaya diri sendiri.
Korupsi tambah meraja-lela, penyalah-gunaan kekuasaan
semakin meruadi-jadi, akibatnya rakyat kian tertindas, hingga
tambah melaratlah kehidupan mereka. Keyakinan terhadap
agama semakin luntur, dekadensi moral kian subur.
Sementara itu, setelah bertahun-tahun tak sembuhjuga sa-
kitnya, telah mengakibatkan Raja Miao Chuang kian tak mau
tahu soal pemerintahan, dirinya sudah mendekati putus asa.
Hingga kemudian dia mengeluarkan maklumat, yang me-
' nyatakan, barang siapa dapat menyembuhkan sakitnya, akan
di jadikan sebagai pewaris takhta kerajaannya.
Maka kian banyaklah orang yang berikhtiar untuk dapat
menyembuhkan Raja Miao Chuang.
Tapi sakitnya sang Raja bukannya sembuh, malah bertam-
bah parah saja.
Di lain fihak, Miao Siang yang telah memperoleh kesem-
pumaan hidup, mendapat firasat yang kurang enak.
la tahu, pasti telah terjadi sesuatu yang kurang menyenang
kan di lingkungan keluarga orang tuanya. Dengan melalui ke-
saktiannya, Miao Siang dapat melihat apa yang sedang terjadi
di istana orang tuanya.
Ayahnya menderita sakit aneh.
Sebagai anak yang berbakti, tak sampai hati ia membiarkan
ayahnya menderita terlalu lama, walaupun sebelumnya
ayahnya telah menyakitinya, bahkan menyuruh algojo
memenggal batang lehemya.
Setelah memesan pada Shan Chai dan Liong Lie untuk
menjaga pulau Pu To serta membantu orang yang butuh perto-
longan, Miao Siang segera merobah wujudnya sebagai seorang
tabib pengelana, menggantung tempat obat di pinggangnya.
Dengan kesaktiannya, dalam waktu sekejap saja Miao Si-
ang telah berada di muka pintu gerbang kerajaan, berpura-pura
membaca pengumuman Raja yang ditempel di sisi pintu, kemu-
dian mengoyaknya.
Beberapa orang pengawal istana langsung menangkapnya :
"Siapa kau" Tahukah kau, apa hukumannya bagi orang yang
berani mengoyak pengumuman itu?"
"Saya adalah tabib pengelana yang kebetulan lewat di si-
ni", sahut Miao Siang, "saya merasa yakin dapat menyembuh-
kan sakit Baginda, itu sebabnya saya memberanikan diri
mengoyak pengumuman itu".
"Tabib-tabib terpandai saja tak berhasil menyembuhkan
sakit Raja, apa lagi tabib dekil sepertimu!", kata salah seorang
petugas, yang mpanya menjadi komandan pasukan pengawal
itu, jelas kalau dia memandang enteng pada tabib yang kumal
pakaiannya. "Aku telah mempelajari resep-resep leluhurku yang man-
jur, siapa tahu aku adajodoh, hingga berhasil menyembuhkan
sakit Baginda Raja".
"Jangan bicara seenakmu, bila sampai terjadi hal-hal yang
tak di nginkan atas diri Raja kami, kau harus bertanggung ja-
wab", kata sang komandan pasukan pengawal dengan nada
mengancam. "Saya bersedia dipenggal bila sampai mencelakai Raja",
Miao Siang yang merobah wujud sebagai tabib itu, berusaha
meyakinkan. "Baik, akan kami antar kau menghadap Ratu", kata ko-
mandan pengawal.
Miao Siang terharu ketika bertemu dengan Ratu Pao Te,
ibunya, yang teri hat lesu-sedih. Tapi ia telah mengeraskan hati,
tak mau memberitahukan siapa sesungguhnya dirinya. la
segera menyembah pada sang Ratu, sebagaimana lazimnya
rakyat yang bertemu dengan junjungannya : "Terimalah
sembah sujud hamba, Sri Ratu!"
"Bangunlah", kata Ratu Pao Te, yang seakan mendapat
firasat, bahwa orang yang ada di hadapannya sekarang
bukanlah orang biasa, biarpun sederhana sekali dandanannya.
"Siapa kau?"
"Hamba Cie Seng, tabib pengelana", sahut Miao Siang.
"Kau yakin dapat menyembuhkarfsakit Baginda?"
"Hamba yakin, sebab hamba telah mewarisi resep-resep
obat yang sangat manjur dari leluhur hamba telah banyak
penderita sakit aneh yang berhasil hamba sembuhkan!"
"Baiklah, tolonglah kau usahakan untuk menyembuhkan
sakit Baginda".
"Bila memang jodoh, tentu akan sembuh", Miao Siang
mengikutiRatu ke mang dalam istana.
Suasana di dalam istana tak jauh bedanya ketika Miao Siang


Kisah Dewi Kwan Im Karya Siao Shen Sien di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

masih berdiam di situ, mewah dan antik, bedanya hanya ki-
ni terlihat kurang terawat.
Setiba di ruang peraduan Raja, Miao Siang menyembah
di tepi pembaringan ayahnya sambil berkata : "Terimalah sem-
bah sujud dari hamba, Baginda!"
"Siapa dia?", tanya Raja pada Permaisurinya, lemah sekali
suaranya. "la seorang tabib pengelana yang bermaksud mengobati
sakit Hu-ong!", menerangkan sang Permaisuri.
"Percuma saja, sudah ribuan tabib dan orang pandai ke
mari memeriksa penyakitku, tapi tak seorangpun yang berha-
hasil menyemouhkan sakitku ini. Rupanya hidupku ini takkan
lama lagi. Dan memang lebih baik aku cepat-cepat mati, dari
pada harus hidup menanggung siksa selama bertahun-tahun".
Tetap periahan suara Raja Miao Chuang, bahkan kini mengan-
dung kesedihan yang mendalam.
"Janganlah cepat berputus-asa Hu-ong, siapa tahu kalau
tabib ini adajodoh untuk menyembuhkan sakitmu".
"Benar Baginda, akan hamba usahakan sebisanya untuk
menyembuhkan gering Paduka", kata Miao Siang sambil
berusaha menahan rasa harunya.
"Baiklah", kata sang Raja.
Miao Siang diam sejenak, memusatkan fikiran, kemudi-
an baru memegang tangan ayahnya, memeriksa denyut
nadinya. Selesai memeriksa, Miao Siang diam.
"Kenapa kau bengong?", tanya Ratu Pao Te, "tak berha-
sil menemukan sumber penyakitnya?"
"Penyakit Baginda memang agak aneh", Miao Siang meng-
hela nafas. "Sakit apa sebenamya yang kuderita?", tanya Raja Miao
Chuang. "Denyut nadinya baik, berarti sesungguhnya tubuh Bagin-
da sehat", kata Miao Siang, "menurut dugaan hamba, penyakit
ini mungkin berasal dari gangguan lain".
"Bisa kau obati?", tanya Ratu Pao Te agak cemas.
"Berilah hamba waktu beberapa saat", kata Miao Siang-
"Ingin apa kau?"
"Hamba ingin mengheningkan cipta untuk meminta petun-
juk dari Thian".
"Di mana?", tanya Ratu Pao Te.
"Di ruang ini juga bisa", sahut Miao Siang sambil menuju
ke sudut ruang, bersamadhi di situ.
Berkat kesaktiannya, sesungguhnya Miao Siang telah me-
ngetahui penyebab sakit ayahnya, tapi karena kini dia sedang
menyamar sebagai tabib biasa, tak mau dia memperlihatkan
kesaktiannya di hadapan orang tuanya, berpura-pura meminta
petunjuk dari Yang Maha Kuasa.
Selang sesaat barulah dia menyudahi Samadhinya.
"Bagaimana" Telah kau peroleh petunjuk dari Thian?",
tanya Ratu Pao Te, tak sabar.
"Sudah Sri Ratu, tapi sangat sukar untuk mendapatkan
obatnya". Miao Siang memberitahu.
"Setiap penyakit kan pasti ada obatnya", Raja mulai ikut
bicara. "Memang Baginda", kata Miao Siang hormat sekali, "ada
penyakit yang mudah diobati, tapi terkadang sulit diperoleh
obatnya Obat dari penyakit Bagmda ini takkan dapat di-
peroleh di rumah obat!"
"Lalu di mana dapat kami peroleh?", sang Raja mulai tak
sabar juga, "di gunung, di hutan, Vihara atau tempat lainnya?"
"Di manapun tak ada!", tabib penjelmaan Miao Siang me-
negaskan. "Rupanya kau sengaja ingin mempermainkan kami!", sang
Raja jadi sangat marah, "kupenggal batang lehermu baru tahu
rasa". "Ampun Baginda, hamba sama sekali tak bermaksud mem-
permainkan Paduka", kata Miao Siang tetap tenang, "sesung-
guhnya obat itu amat langka dan orang yang diminta tolong su-
lit untuk dapat memenuhinya".
"Kepada siapa lagi aku harus meminta tolong?", Raja tam-
bah tak sabar. "Tolong Baginda memanggil puteri dan menantu Paduka",
Miao Siang menyarankan.
"Memangnya aku-akan segera mati?", agak terkejut hati
sang Raja ketika mendengar saran itu.
Diam-diam Ratu Pao Te jadi mengucurkan air mata, sebab
ia berfirasat kurang enak.
Miao Siang berkata tenang : "Umur Baginda masih cukup
panjang, hamba meminta Baginda memanggil anak dan menan
tu Padnka, agar mereka juga dapat mendengar dan sudi
berikhtiar untuk memecahkan kesulitan dalam memperoleh
obat itu".
"Baiklah", karena tak ada jalan lain, sang Raja terpaksa
menyetujuinya. Tak lama kemudian Miao Yuan dan Miao Yin bersama
suaminya masing-masmg telah hadir di peraduan Raja. Dalam
benak kedua menantu Raja mengira, kalau sang mertua akan
mewariskan takhtanya pada salah seorang dari mereka.
Itu sebabnya, sejak semula tak pemah mau memusingkan
soal penyakit sang Raja, malah mengharapkan Raja Miao
Chuang segera mangkat.
Mereka berdiri di sisi selesai menyembah Raja, menanti pe-
rintah sang Raja.
"Nah, sekarang lekas kau terangkan, di mana bisa diper-
oleh obat itu!?", kata Raja pada sang tabib penjelmaan puteri
bungsunya. "Obat itu harus berupa mata dan tangan kiri dari salah
seorang puteri Baginda, yang diramu menjadi sejenis obat go-
sok..." "Apa kau bilang?", Raja dan Ratu membelalakkan mata.
"Ngaco!", teriak Miao Yuan dan Miao Yin tanpa terasa.
"Saya telah menyebutkan yang sebenamya!", tetap te-
nang sikap sang tabib, "tanpa obat itu, penyakit Baginda tak-
kan dapat disembuhkan".
Sang Raja diam.
Ratu Pao Te memandang kedua puterinya.
"Tidak! Saya tak sudi!", teriak Miao Yuan, bagaikan orang
yang kerasukan setan.
"Janganlah kau ngaco-belo tabib dekil!", Miao Yin menu-
ding sang tabib, "kita toh tak saling kenal, apa lagi berdendam.
Kenapa kau mengusulkan cara pengobatan sekeji itu!?"
"Awas, kupenggal batang lehennu bila berani bicara yang
bukan-bukan lagi!", suami Miao Yin mengancam.
"Saya bersedia dipenggal bila obat itu temyata tidak manjur!"
Miao Yuan dan Miao Yin jadi menangis sedih sekali.
"Sungguh kejam kau!", suami Miao Yuan ikut marah.
"Tidak! Aku tak sudi jadi perempuan cacad!", jerit Miao
Yuan, "bagaimana aku bisa hidup tanpa tangan dan mata kiri!?"
"Tak ada obat lainnya lagi?", tanya Ratu Pao Te coba me-
nengahi, karena tak sampai hati harus mengorbankan diri
puterinya demi kesembuhan suaminya.
"Hanya itulah satu-satunya obat yang manjur Sri Ratu ..."
Belum selesai si tabib bicara, Miao Yuan dan Miao Yin te-
lah menerjang ke arahnya.
"Akan kumampuskan kau sebelum diriku kau celakai!"
"Maaf, saya tak bermaksud mencelakai kalian", si tabib
mengelak, menjauhi kedua puteri Raja.
"Kalau isteri kami sampai celaka, kami takkan dapat me-
ngampunimu!", ancam Ho Geng, - suami Miao Yin, sambil
memegang gagang pedangnya erat-erat.
"Benar, kau takkan dapat lolos dari hukuman bila sampai
terjadi apa-apa terhadap isteri kami!", Chao Kwe, suami Miao
Yuan, ikut mengancam.
"Diam kalian! Dianggap apa diriku ini!?", hardik sang Raja.
Seketika ruang itu menjadi hening.
"Benarkah hanya itu obatnya?", Raja Miao Chuang minta
penegasan sang tabib.
"Benar Baginda".
"Bohong'", teriak Miao Yuan.
"Ngaco!", jerit Miao Yin bagaikan orang kerasukan hantu.
"Saya harap kalian tenang", ucap sang tabib penjelmaan
Miao Siang itu, tenang sekali sikapnya, "saya kan hanya
mengatakan tangan dan mata kiri puteri Raja, bukannya
menunjuk kalian!"
"Siapa lagi kalau bukan kami?", teriak mereka hampir ber-
samaan. "Ada berapa puteri Baginda?", tanya sang tabib pada Raja
Miao Chuang. "Sebenamya ada tiga, tapi yang seorang telah kubunuh ka-
rena membangkang perintahku, hingga yang tinggal sekarang
hanya dua inilah".
"Tapi menurut penglihatan 'mata bathin' hamba, puteri
bungsu Baginda bukan saja tak mati, malah kini telah berhasil
mencapai kesempumaan hidup! ?"" Hamba rasa ia akan
bersedia mengorbankan dirinya demi kesembuhan Paduka".
"Benarkah itu?", tanya Raja Miao Chuang.
"Adik kami masih hidup?", hampir bersamaan suara Miao
Yuan dan Miao Yin.
Seketika legalah perasaan mereka.
"Berkat perlindungan Thian, ia bukan saja masih hidup,
malah telah berhasil mencapai kesempumaan!", menerangkan
sang tabib. "Di manakah Miao Siang sekarang?", sang Ratu yang amat
kangen pada puteri bungsunya, segera bertanya.
"Di Siang-san yang terletak di pulau Pu To", menerangkan
sang tabib. "Jauhkah dari sini?", sekali ini Raja yang bertanya.
"Lebih dari 3000 Li dari kota raja. Setiba di pantai Che-
kiang, orang dapat naik perahu ke sana!"
"Baik, akan kuutus orang ke sana!", kata Raja segera.
"Sebaiknya Baginda mengutus orang yang benar-benar taat
pada agama,.sebab kalau orang yang dirinya kotor, takkan bisa
sampai di sana. Malah ada kemungkinan akan mengalami
kecelakaan di tengah perjalanan".
"Baik, akan kuutus Chao Chen, Perdana Menteri merang-
kap besanku. Dia terkenal sebagai orang yang taat
menjalankan perintah agama".
"Sebaiknya ditemani seorang lainnya", ucap sang tabib,
"nanti akan hamba tunjukkan jalan pintas, agar dapat cepat
sampai ke sana".
Raja segera mengutus Cliao Chen, yang dilampingi
pembantunya, Lauw Chin, dengan dilengkapi kuda dan
perleng- kapan lainnya yang terbaik.
Sang tabib segera memberikan petunjuk jalan yang harus
mereka tempuh, agar cepat sampai di tempat tujuan.
"Segeralah berangkat dan cepat kembali!", pesan Raja.
"Siap Baginda".
Kemudian Raja Miao Chuang meminta pada kepala rumah
tangga istana agar menemani sang tabib selama berdiam di
istana, sampai Chao Chen dan Lauw Chin kembali.
Di fihak lainnya, di dalam kamar yang disediakan, Miao
Siang telah menggunakan kesaktiannya untuk bantu
mempercepat perjalanan Chao Chen dan pembantunya itu.
Kepada kepala rumah tangga istana, Miao Siang berpesan,
untuk melarang siapa saja masuk ke kamamya bila tidak di-
panggil olehnya.
Miao Siang menciptakan bantal kepala sebagai tabib pen-
jelmaannya, sedangkan ia sendiri gaib dari mang itu, melayang
di angkasa. Sebelum kembali ke tempat pefsemayamannya di Siang-
san, Miao Siang telah memanggil roh suci Yu le, yang hari itu
ditugaskan untuk mengamati keadaan dunia, memintanya
segera masuk ke istana Raja Miao Chuang secara gaib dan
menghalangi komplotan yang ingin membunuh Raja. Sebab,
sebelum dia meninggalkan istana ayahnya tadi, telah
diketahuinya ada komplotan yang ingin menggulingkan
kerajaan, serta membu nuh tabib perobahan wujud dirinya.
Yu le.segera melaksanakan perintah Miao Siang.
Tenanglah kini perasaan Miao Siang meninggalkan istana
orang tuanya. SEPULUH Di sebuah ruang rahasia di tempat tinggal Kepala Rumah
Tangga Istana, tampak tiga orang yang sedang berunding. Se-
rius sikap mereka, tampaknya mereka sedang merundingkan
se suatu yang amat penting.
Dua orang di antaranya adalah menantu Raja, Ho Feng dan
Chao Kwe. Dan seorang lainnya adalah Ho Li, Kepala Rumah
Tangga Istana. "Bila Raja berhasil disembuhkan, akan sia-sialah rencana
kita sebelumnya", kata Chao Kwe.
"Ya, cita-citamu untukjadi Raja takkan dapat terlaksana",
kata Ho Feng, "sebab Raja akan mewariskan takhtanya kepa-
da orang yang berhasil menyembuhkan sakitnya".
"Tanpa adanya perkembangan baru ini, Raja juga belum
tentu akan memilihku", kata Chao Kwe, "mungkin juga kau
yang iliangkat scbagai pciiggantinya".
"Tapi peluangmu jauh lebih besar dariku", kata Ho Feng.
"sebab di samping menantu pertamanya, kau adalah putera
Per dana Menteri".
"Sebaiknya tak usah kita memperbmcangkan dulu siapa
yang akan diangkat sebagai pewarisnya", kata Chao Kwe, "po-
koknya, bila salah seorang dari kitajadi Raja yang lainnya akan
menempati juga kedudukan yang empuk. Dan tentunya Ho Li
juga akan memegangjabatan penting dalam kerajaan yang
akan kita bentuk nanti".
"Ya, yang penting sekarang harus kita atur siasat untuk
membunuh Raja", sela Ho Li, "soal lainnya dapat kita atur ke-
mudian". "Benar, bila ayahku keburu pulang, akan sulit bagi kita
melaksanakan rencana ini", kata Chao Kwe.
"Kau takut pada ayahmu?"
"Takut sih tidak, tapi biar bagaimana juga ayahku adalah
seorang Perdana Menteri yang disegani banyak orang. Kalau
sekarang kita berfiasil membunuh Raja dan segera
mengumumkan maklumat palsu, bahwa Raja telah membunuh
diri karena putus asa dengan sakit yang dideritanya dan
m'engangkat salah seorang dari kita sebagai penggantinya.
Seandainya ayahku pulang nanti, beliau takkan bisa berbuat
apa-apa selain mematuhi maklumat palsu itu".


Kisah Dewi Kwan Im Karya Siao Shen Sien di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bagus sekali akalmu itu", Ho Li langsung menyetujuinya.
"Baiklah, kita atur begitu saja", kata Ho Feng, "yang pen-
ting sekarang harus kita adakan pembagian tugas".
"Dalam hal ini, aku dan kau harus berada di belakang layar",
kata Chao Kwe pada Ho Feng, "sebab biar bagaimanajuga
kita adalah menantu Raja. Maka pelaksanaan dari rencana kita,
sebaiknya kita serahkan pada Ho Li".
'Tapi apa yang harus kulakukan?", tanya Ho Li.
"Kau beri racun dalam minuman Raja, katakan padanya,
bahwa itu merupakan obat yang diberikan tabib, untuk mengu-
rangi rasa sakit sebelum utusan Raja kembali membawa obat
yang di nginkan", kata Hu Feng. "Di samping itu, kau harus
menyumh pembunuh bayaran untuk menghabiskan nyawa
sang tabib. Hal-hal lainnya dapat kita atur kemudian".
"Aku kenal baik seorang jago silat yang pemah beihutang'
budi padaku", kata Ho Li "dia pasti mau melaksanakan tugas
itu bila kuminta tolong".
"Bagus, untuk sementara kita atur begitu saja", kata Chao
Kwe. "Harus kita laksanakan malam ini juga".
Sesuai dengan rencana, setelah malam semakin larut, Ho Li
mengetuk pintu kamar peraduan Raja dan kemudian masuk
sambil membawa mangkok berisi cairan yang telah dicampur
racun. "Apa yang kau bawa?", tanya Ratu Pao Te.
"Tabib sakti itu menyuruh hamba membawakan obat un-
tuk dimmum Baginda", Ho Li menerangkan, "katanya dapat
mengurangi rasa sakit, sementara kita menanti kembalinya Per-
dana Menteri yang membawa obat mujarab".
Ratu Pao Te menyambut mangkok pemberian Ho Li, ber-
maksud memberikannya kepada Raja.
Tapi tiba-tiba Yu le, yang tak menampakkan diri, telah
masuk ke peraduan Raja Miao Chuang juga, dengan kecepatan
luar biasa telah berhasil mengambil mangkok dari tangan sang
Ratu dan membuangnya ke lantai. Lalu dengan kecepatan luar
biasa, dia memukul setiap orang yang berada di mang
peraduan Raja hinggajatuh pingsan.
Sementara itu, jago silat yang diminta oleh Ho Li untuk
membunuh sang tabib, telah memasuki kamar tabib itu dan
langsung saja mengayunkan pedangnya yang sangat tajam,
memenggal kepala sang tabib. Tampaknya tabibitu akan
segera mati terbunuh.
Namun mendadak telah terjadi suatu yang luar biasa, tu-
buh si jago silat yang bemama Su Ta itu, telah terjerat oleh ju-
bah si tabib. Biar dia bemsaha meronta bagaimana keras pun
dan terus menggerak-gerakkan pedangnya untuk memutuskan
iubah yang melibat dirinya, tapi usahanya sia-sia belaka, mem-
buatnya tak dapat kabur.
Roh Suci Yu le yang diminta oleh Miao Siang untuk me-
lindungi keselamatan Raja dan tabib ciptaannya, segera mengi-
kat tubuh Su Ta.
Selesai menjalankan tugasnya, barulah Yu le meninggalkan
istana Raja Miao Chuang, melayang ke Siang-san dan
melaporkan segalanya kepada Miao Siang.
Dengan kesaktiannya, Miao Siang telah membuat 'tabib
ciptaannya' itu tetap terlihat hidup, bahkan dapat bicara se-
perti roanusia....
Ketika Raja Miao Chuang siuman pada keesokan harinya,
segera menerima laporan, bahwa ada orang yang bermaksud
membunuh sang tabib, tapi telah terjadi suatu keajaiban, sang
pembunuh terikat oleh jubah sang tabib tanpa dapat berkutik
lagi. Sementara tabib itu sendiri selamat jiwanya.
Raja segera memerintahkan hakim Chu Teng Liat untuk
memeriksa perkara tersebut.
Pada mulanya Su Ta menyangkal segala tuduhan, coba
membela diri dengan menyatakan, masuknya dia ke kamar
sang tabib karena mengejar musuhnya yang lari ke situ,
bukannya ingin membunuh tabib.
Tapi setelah didesak dan disiksa, terpaksa Su Ta berterus
terang dan terbongkarlah komplotan yang ingin membunuh
Raja. Su Ta dan Ho Li langsung dihukum cincang.
Sedangkan Chao Kwe dan Ho Feng dipenggal batang le-
hemya. Saking marahnya, Raja juga bermaksud menghukum mati
kedua puterinya yangjadi isteri kedua pemberontak itu.
Tapi Ratu Pao Te telah memohon dengan sangat, agar Ra-
ja sudi mengampuni mereka. Sekalipun Miao Yuan dan Miao
Yin isteri kedua pemberontak, tapi biar bagaimana juga mereka
mempakan darah daging Raja, di samping itu tak tahu menahu
akan rencana busuk dari suami mereka.
Berdasarkan pertimbangan dan permohonan Permaisuri-nya,
Raja Miao Chuang bersedia membebaskan kedua puteri-
nya dari hukuman mati, tapi tetap mengurung mereka dalam
istana, melarang mereka keluar dari lingkungan istana.
*** Berkat petunjuk dan bantuan dari kesaktian Miao Siang,
perjalanan sejauh 3000 Li lebih, dapat ditempuh oleh Chao
Chen dan Lauw Chin dalam beberapa hari saja.
Begitu mereka menginjakkan kaki di pulau Pu To, telah
disambut oleh Shan Chai dan Liong Lie, yang langsung meng-
antar mereka menghadap Miao Siang di Vihara yang dibangun
di gunung Siang-san.
Setiba di hadapan Miao Siang, kedua pejabat tinggi dari
kerajaan Sing Lin langsung menyembah : "Terimalah sembah-
sujud kami, Kung-cu".
"Bangunlah paman", sabar sekali suara Miao Siang, tapi
amat berwibawa sikapnya, membuat setiap orang yang berha-
dapan dengannya tunduk padanya.
Chao Chen dan Lauw Chin bangkit.
"Saya diutus oleh Baginda untuk menemui Kung-cu",
kata Chao Chen sambil mengeluarkan surat Raja,
menyerahkan-nya pada Miao Siang.
Miao Siang mengambil surat itu, membacanya.
Surat itu nantinya menceritakan mengenai sakit sang Raja,
berupa bisul-bisul di sekujur tubuhnya dan terasa sakit sekali.
Sudah ratusan tabib terkenal berusaha mengobatinya, tapi tak
juga sembuh, membuat Raja Miao Chuang hampir putus asa.
Sebab sudah hampir sepuluh tahun dirinya mengidap penyakit
itu. Sampai suatu ketika, datang seorang tabib pengelana,
yang menyatakan, bahwa sakit Raja baru dapat disembuhkan
oleh ramuan obat yang terdiri dari organ tubuh puterinya,
yaitu tangan dan mata kiri. Miao Yuan dan Miao Yin tak sudi
mengorbankan organ tubuhnya itu, bahkan menuduh sang ta-
bib telah berkata yang bukan-bukan. Belakangan tabib itu
memberitahukan, bahwa Miao Siang yang tempo hari telah di-
jatuhi hukuman mati, temyata bukan saja tidak mati, malah
telah berhasil mencapai kesempumaan hidup dan kini berse-
mayam di gunung Siang-san di pulau Pu To.
Dalam suratnya itu, Raja juga telah menyatakan penye-
salan yang amat dalam, atas keputusannya tempo hari, yang
menjatuhkan hukuman mati atas diri puteri bungsunya, meng-
harapkan Miao Siang sudi memaafkannya.
Sebenamya dia merasa malu untuk mengirim utusan un-
tuk menemui Miao Siang, tapi tabib itu telah menyatakan, tan-
pa ramuan yang disebutkan di atas, sakit Raja takkan pemah
dapat disembuhkan. Maka dengan menebalkan muka dan be-
rat hati, Raja Miao Chuang terpaksa juga mengirimkan surat-
nya itu, dengan harapan, semoga puteri bungsunya dapat
memberinyajalan terbaik.
Tapi seandainya Miao Siang keberatan untuk menolong-
nya, Raja juga takkan kecewa. Atau barang kali Miao Siang da-
pat menunjukkan jalan lain bagi penyembuhan sakitnya, tanpa
hams mengorbankan organ tubuhnya.
Akhimya Raja mendoakan agar hidup Miao Siang selalu
dilimpahi ketenangan dan kedamaian. Mengharapkan, bila ada
kesempatan, Miao Siang sudi menjenguknya.
Terharu hati Miao Siang ketika selesai membaca surat dari
ayahnya. "Berhubung hari telah gelap, sebaiknya malam ini paman
berdua mengmap di sini", kata Miao Siang pada kedua utusan
ayahnya, "soal ini baik kita perbincangkan besok saja".
"Baik Kung-cu", sahut Chao Chen dan Lauw Chin dengan
suara hampir bersamaan.
Miao Siang memanggil Shan Chai, kemudian berkata :
"Tolong kau antarkan kedua paman ini ke kamar belakang,
Shan Chai!"
Keesokan harinya, selesai sarapan pagi, Miao Siang berkata
pada Chao Chen dan Lauw Chin : "Harap paman ambil pedang
untuk memotong tangan dan mengorek mata kiri saya".
Chao Chen dan Lauw Chin saling pandang tanpa bersuara.
'Tak usah ragu, cepat ambil pedang itu!", Miao Siang me-
ngangsurkan pedang ke hadapan Lauw Chin.
Lauw Chin mengambil pedang itu, tapi tak berani melak-
sanakan perintah Miao Siang.
"Cepat lakukan!", kata Miao Siang lagi, "bukankah ayah-
ku telah menitah kalian agar lekas kembali?"
"Maaf Kung-cu", walau tak tega, Lauw Chin terpaksa me-
nebas lengan kiri dan mencungkil mata kiri Miao Siang.
Darah yang mengalir dari luka itu memancarkan bau yang
harum semerbak.
Tangan dan mata kiri Miao Siang diletakkan di atas baki
emas, dibungkus rapi.
"Sekarang, cepatlah kalian kembali ke kerajaan Sing Lin",
kata Miao Siang tanpa memperlihatkan rasa sakit sedikitpun.
Chao Chen dan Lauw Chin menyembah sambil mengu-
capkan terima kasih, kemudian pamit.
Tapi tatkala Chao Chen ingin melangkah keluar, telah di-
panggil oleh Miao Siang.
"Ada apa Kung-cu?", Chao Chen menghampirinya.
"Wajah paman tampak gelap, tampaknya akan menghadapi
cobaan yang cukup berat. Tapi hendaknya paman jangan ce-
pat putus asa, harus tabah menghadapi apapun yang terjadi".
"Terima kasih atas petunjuk Kung-cu", Chao Chen benar-
benar amat terharu, biarpun sedang terluka, tapi Miao Siang
masih mau memperhatikan keadaan orang lain.
Seperti Chao Chen dan Lauw Chin, dengan kesaktiannya,
keadaan Miao Siang pulih kembali seperti sedia kala, tak
kurang sesuatu apapun.
Miao Siang memanggil Shan Chai dan berpesan : "Seka-
rang aku akan berangkat ke Sing Lin untuk membuat ramuan
guna niengobati sakit Raja. Seandainya nanti ada utusan dari
sana lagi dan meminta tangan dan mata kanan, kau boleh me-
nyamar sebagai diriku, penuhi pennintaan mereka".
"Baik Dewi", sahut Shan Chai.
Miao Siang segera lenyap dari hadapan pembantunya,
melayang menuju ke kerajaan ayahnya.
*** Chao Chen dan Lauw Chin menempuh jalan semula yang
ditunjuk oleh Miao Siang, hingga dalam waktu yang tak begitu
lama, mereka telah tiba kembali di kerajaan Sing Lin.
Ratu Pao Te amat bersyukur serta campur haru ketika me-
nerima tangan serta mata kiri itu. Apa pula kemudian ia menge-
nali, bahwa tangan itu memang benar-benar milik puteri bung-
sunya, sebab di pinggir telapak tangannya terdapat tahi lalat.
"Ini memang tangan Ah Siang", ucapnya haru, air mata-
nya tak lagi dapat dibendung, mengalir deras sekali.
"Lihat Hu-ong, ini memang tangan Ah Siang", Ratu Pao
Te mengangsurkan baki yang berisi tangan dan mata kiri itu ke
hadapan Raja. Anehnya, tangan dan mata itu, biarpun telah dipotong
beberapa waktu, tapi tidak membusuk, malah tetap meman-
carkan bau harum semerbak.
"Dia memang anak yang amat berbakti", sang Raja meng-
hela nafas, "aku amat menyesal akan perbuatanku yang amat
ceroboh tempo hari".
Chao Chen bermaksud pamit, tapi segera dipanggil oleh
Raja : "Jangan pergi dulu, ada kabar kurang enak yang ingin
kusampaikan".
"Kabar apa, Baginda?", tanya Chao Chen, yang telah siap
menghadapi segala resiko.
Di dalam perjalanan pulang ke kota raja, dia memang telah
mendengar akan perbuatan anaknya yang merencanakan
membunuli Raja dengan memakai tangan orang lain. Tapi
rencananya gagal, Chao Kwe dan komplotannya dihukum mati.
Sebenamya, ketika mendengar kabar itu, Chao Chen telah
bermaksud membunuh diri, karena merasa mali mempunyai
anak seperti Chao Kwe, untung dapat dicegah oleh Lauw Chin,
yang menasehatinya untuk menyelidiki dulu kabar itu setiba-
nya mereka di kota raja.
Di samping itu, pesan Miao Siang yang memintanya ta-
bah menghadapi apapun, tems mengiang-ngiang di telinganya,
hingga untuk sementara Chao Chen jadi membatalkan maksud-
nya. Maka Chao Chen tidak merasa kaget lagi ketika mendengar
Raja ingin menyampaikan kabar buruk itu.
Secara singkat Raja Miao Chuang menceritakan perbuatan
anak Chao Chen, yangjuga merupakan menantunya.
"Jadi kabar itu memang mempakan kenyataan!?", ujar
Chao Chen sambil mencabut pedangnya, bermaksud
memotong lehemya sendiri.
Raja Miao Chuang yang sedang sakit, tak berdaya untuk
mencegah perbuatan pembantunya yang setia.
Ratu Pao Te berteriak kaget, tapi juga tak mampu men-
cegah. Tampaknya, tak lama lagi jiwa Chao Chen akan segera me-
layang oleh senjatanya sendiri.
Namun tiba-tiba seperti ada tenaga.luar biasa yang me-
nyampok pedang itu hingga lepas dari pegangan Chao Chen.
Tabib penjelmaan Miao Siang masuk, memungut pedang
seraya berkata : "Hanya orang tolol saja yang mau membunuh
diri, sebab rohnya takkan dapat diterima di Nirwana!".
"Tapi saya malu . . .", Chao Chen tak dapat meneruskan
ucapannya. "Suatu keluarga seperti juga sebatang pohon buah", suara
tabib itu lagi, sambil mengusap-usap pedang Chao Chen, "biar-
pun dari pohon yang sama, tapi buahnya berbeda-beda, ada
yang manis, ada yang asam dan ada pula yang busuk sebelum
masak. Jangan gara-gara ada satu buah yang busuk,
pohonnya yang ditebang, tapi buah yang busuk itulah yang


Kisah Dewi Kwan Im Karya Siao Shen Sien di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

harus disingkirkan, Bukankah Ciang-kun masih memiliki anak
lain-nya?"
Semua orang yang berada di ruang itu pada diam, mere-
sapi kata-kata bertuah itu.
Si tabib berkata lagi : "Setiap manusia yang hidup di du-
nia ini takkan luput dari cobaan, kurang tabah kita menghadapi-
nya, akan jadi sampah. Tapi bila kita tabah, bukan saja dapat
menembus segala kesulitan, juga akan dapat mengambil
hikmah dari padanya, hingga untuk selanjutnya dapat lebih
tenang dan pandai menghadapi segala kesulitan!"
"Tepat sekali ucapannya itu", kata sang Raja, "diriku sendiri
sering kali mendapat cobaan, seperti sakitku ini misalnya, yang
membuatku hampir-hampir putus asa. Tapi untung berkat
dorongan semangat Permaisuri dan beberapa pejabat yang
setia, membuatku dapat menguatkan diri untuk menghadapi
segalanya".
"Terima kasih atas segala petuah itu", kata Chao Chen
pada sang tabib, "untuk selanjutnya saya akan lebih mengabdi-
kan diri untuk kepentingan kerajaan".
"Bagus", sang tabib mengangguk sambil senyum.
"Memang begitulah seharusnya", kata Raja Miao Chuang,
"sesungguhnya aku amat membutuhkan bantuanmu untuk me-
merintah kerajaan ini ?"" Yang salah adalah puteramu,
bukan-nyakau!"
"Terima kasih Baginda", Chao Chen memberi hormat
kepada junjungannya.
"Sekarang kau boleh istirahat dulu", ucap Raja Miao Chu-
ang pada Perdana Menterinya yang setia.
Chao Chen pamit.
Sang tabib mengambil baki yang berisi tangan dan mata
kiri itu, kemudian berkata : "Dengan berhasilnya utusan Bagin-
da memperoleh ini, sakit Baginda niscaya akan segera
sembuh" Tabib yang berasal dari perobahan wujud (Pian Hoa) Miao-
Siang, meninggalkan ruang peraduan Raja.
*** Kurang dari sehari, tabib itu telah selesai meramu obat ter-
sebut. "Harap Sri Ratu menitah pelayan untuk mengoleskan ra-
muan ini ke tubuh Baginda bagian kiri", pesan sang tabib
sambil menyerahkan ramuan itu pada Ratu Pao Te, "semoga
gering Baginda dapat segera sembuh".
"Terima kasih", kata Ratu Pao Te.
Suatu keajaiban telah teijadi!
Begitu ramuan itu dioleskan ke tubuh bagian kiri Raja
Miao Chuang, tak lama bisul dan bengkak-bengkak di bagian
itu lenyap, sembuh seperti sedia kala.
Namun rasa sakit dan bisul di bagian kanan tetap saja.
"Kalau saja obat ini dioleskan ke seluruh tubuhku, tentu-
nya kini diriku telah sembuh sama sekali", kata Raja Miao
Chuang. "Menurut aturannya harus begitu, Baginda", sang tabib
menerangkan, "tangan dan mata kiri itu hanya mampu me-
nyembuhkan tubuh bagian kiri, tidak untuk bagian lainnya.
Maka seandainya Baginda ingin sembuh sama sekali,
sebaiknya mengirim lagi uusan ke gunung Siang-san untuk
meminta to-long pada puteri bungsu Baginda, agar sudi
menyerahkan tangan dan mata kanannya untuk kesembuhan
Baginda". "Tapi kasihan dia", kata sang Raja, "demi kesembuhanku,
akan membuatnya cacad seumur hidup".
Raja Miao Chuang merasa berat untuk memenuhi saran
sang tabib. Merelakan membuntungkan tangan dan mata
kirinya saja, sudah mempakan suatu pengorbanan yang amat
besar, tak ada satu dalam sejuta anak yang mau berbakti
sedemikian rupa terhadap orang tuanya (U Hauw).
Akan hersedia lagikah dia menyerahkan tangan kanan daft
mata kanannya"
Bagaimana keadaannya nanti setelah cacad total"
Raja Miao Chuang benar-benar tak tega!
'Terserah Baginda-lah'* terdengar lagi suara sang tabib,
"bila ingin sembuh sama sekali, harus dengan cara itu!"
'Tak ada cara lainnya?", sela sang Ratu yang tampaknya
juga tak sampai hati membuat anak perempuannya menderita
lebihjauh. "Aku tak tega mengorbankan anak untuk kepentingan di-
riku", perlahan suara Raja Miao Chuang, "nanti aku akan dicap
sebagai orang yang hanya mementingkan diri sendiri".
"Sudah kepalang tanggung Baginda", kata tabib itu lagi,
"biarpun Baginda tak sampai hati, puteri bungsu Baginda telah
terianjur cacad. Dan hamba yakin, bila Baginda mengutus
orang lagi ke sana nanti, sebagai puteri yang U Hauw, ia tentu
berse- dia memenuhi apa yang Baginda butuhkan".
"Tapi bagaimana keadaannya nanti?", Raja Miao Chuang
tetap ragu, "ia akan cacad sekali. Keadaannya itu akan mem-
buat diriku merasa berdosa".
"Setiap manusia takkan luput dari kesalahan dan dosa,
tapi bila kita menyadarinya dan untuk selaiy'utnya berbuat ke-
baikan bagi masyarakat banyak, hamba kira itu sudah cukup
baik". "Aku bersumpah, untuk selanjutnya aku akan berusaha
mendahulukan kepentingan orang banyak dari pada kepen-
tingan pribadi".
"Hamba kira puteri bungsu Baginda akan sangat senang
hatiriya bila tahu akan tekad Baginda itu", kata sang tabib, "se-
karang, apa lagi yang Baginda ragukan"!"
Raja Miao Chuang mempertimbangkan sejenak, seperti
kata sang tabib, diminta tolong atau tidak, keadaan Miao Siang
telah cacad. Dan obat untuk menyembuhkan sakitnya hanya dimiliki
oleh puteri bungsunya itu.
"Sebagai orang yang telah mencapai tingkat kesempuma-
an", terdengar suara sang tabib lagi, "puteri bungsu Baginda
tentu memiliki kesaktian untuk menyembuhkan cacad dirinya
itu". "Baiklah", kata Raja Miao Chuang pada akhimya, "aku
akan mengutus Chao Chen ke sana lagi!"
Raja menyuruh seorang pengawalnya untuk memanggil
Chao Chen menghadap padanya.
Namun tak lama kemudian diperoleh kabar, bahwa Chao
Chen telah meninggal akibat serangan jantung, sekembalinya
dari istana. Raja Miao Chuang amat bermurung diri, segera mengutus
orang-orang kepercayaannya, untuk mengurus jenazah Chao
Chen sebagaimana mestinya, sekaligus memberinya gelar Raja
Muda, hingga jenazahnya dapat disemayamkan di tempat pe-
makaman Raja. "Meninggalnya Chao Chen telah membuatku jadi kehi-
langan pembantu yang paling setia, sulit bagiku untuk mencari
gantinya", Raja Miao Chuang menghela nafas.
"Rupanya memang sudah jalannya harus begitu", sang ta-
bib coba menghibur, "biarbagaimanakitacegah,kalau memang
sudah ditakdirkan untuk mati, kita tak dapat berbuat apa-apa
keputusan Baginda sudah cukup adil, dengan memberi-
nya gelar kehormatan sebagai Raja Muda, berarti Baginda tidak
melupakan jasa-jasanya; yang penting sekarang, jagalah kese-
hatan Baginda, agar nantinya dapat memerintah secara
bijaksana dan adil".
Lauw Chin yang diutus Raja datang ke Siang-san untuk
kedua-kalinya, didampingi oleh seorang pembantunya yang
ber-nama Lie Sing.
Kedatangan Lauw Chin sekali ini membawa surat Raja
Miao Chuang, di samping untuk mengucapkan terima kasih
atas Apertolongan terdahulu, sang Raja juga mengharapkan
puteri bungsunya sudi membantunya sekali lagi dengan
memberikan tangan kanan dan mata kanan, agar diri sang Raja
dapat sembuh secara menyeluruh.
Tapi kemudian Raja juga menegaskan, seandainya Miao
Siang keberatan dan permintaan sang ayah itu dapat
membaha- yakan jiwanya, Miao Siang dapat saja menolaknya
dan ayahnya takkan berkecil hati.
Setiba Lauw Chin dan Lie Siang di Siang-san, langsung di-
sambut oleh Shan Chai yang menyamar sebagai Miao Siang,
yang telah kehilangan tangan kiri dan mata kirinya.
"Maaf kami mengganggu Kung-cu lagi", kata Lauw Chin
setelah dipersilakan duduk, menyerahkan surat Raja Miao Chu-
ang. "Tak apa-apa, saya senang sekali dapat membantu orang,
apa lagi ayah sendiri", Miao Siang tetiron menyambut surat itu,
membacanya. Selang sesaat dia berkata lagi pada Lauw Chm : "Silakan
paman membuntungi tangan kanan dan mengorek mata saya
satunya lagi".
Lauw Chin ragu, tak sampai hati dia melakukan hal itu lagi.
"Cepatlah", kata Miao Siang tetiron lagi, "agar tidak ter-
lambat mengobati sakit ayah saya!"
Lauw Chin terpaksa meminta Lie Sing yang melaksanakan
Tugas itu. Pada mulanya Lie Sing ragu, tapi setelah didesak dan demi
tugas juga, terpaksa dia melakukannya dengan berat hati.
Tangan kanan dan mata kanan Miao Siang tetiron itu dile-
takkan di atas baki, kemudian dibungkus rapi.
Pari bekas luka Miao Siang tetiron itu, mengalir darah
yang cukup banyak dan memancarkan bau yang harum semer-
bak. Lauw Chin tak sampai hati menyaksikan segalanya itu,
segera mengajak Ue Sing pamit dan cepat-cepat meninggalkan
tempat itu. Setelah berjalan cukup jauh, Lauw Chin mengungkapkan
suara hatinya kepada bawahannya : "Sungguh keji tabib itu,
untuk dapat menyembuhkan sakit Raja, telah menimbulkan
korban seorang gadis yang begitu suci ?"" Sedang hasilnya
nanti adalah untuk kepentingan diri tabib itu sendiri, yang akan
diangkat sebagai pewaris takhta kerajaan Sing Lin".
"Kalau difikir-fikir memang keterlaluan sikap tabib itu,
tapi untuk sementara waktu, baiklah kita singkirkan dulu pe-
rasaan semacam itu, sebab saya yakin Thian tidak buta", kata
pembantu Lauw Chin, "yang penting sekarang, kita harus se-
cepatnya membawa obat yang dibutuhkan Raja, agar Baginda
lekas sembuh. Setelah itu baru kita lihat perkembangan selan-
jutnya, kalau tabib itu masih mengajukan permintaan yang bu-
kan-bukan, barulah kita menentukan sikap".
Lauw Chin tak berkata lebihjauh.
Mereka bergegas kembali ke Kota Raja.
Berkat bantuan Miao Siang secara diam-diam, Lauw Chin
dan temannya dapat tiba di Sing Lin jauh lebih cepat dari pada
menempuhjalan yang wajar.
Raja Miao Chuang amat girang mendengar kembalinya me-
reka, segera menyuruh mereka menghadap dan menyerahkan
'tangan dan mata Miao Siang' itu pada sang tabib.
Sebaliknya, Ratu Pao Te diam-diam mengucurkan air ma-
ta. la bersyukur, bahwa puteri bungsunya telah begitu berbak-
ti kepada orang tua, tapi ia juga merasa sedih, karena untuk ke-
sembuhan suaminya, sampai harus mengorbankan sebagian
dari anggota tubuh puteri bungsunya.
Tapi ia tak berdaya untuk mencegah atau melakukan hal
lainnya, agar hal itu dapat terhindar.
"Mungkin segalanya ini sudah menjadi kehendak Thian!",
demikian ia selalu menghibur diri.
Sementara itu, sang tabib segera membuatkan ramuan,
yang begitu selesai, langsung dibawa ke hadapan Raja.
Raja Miao Chuang juga tak mau membuang-buang waktu
lagi, segera memerintahkan untuk mengoleskan obat mujizat
itu ke tubnh bagian kanannya.
Langsung saja terjadi keluar-biasaan, semua bisul dan rasa
sakit-sakitnya lenyap seketika.
Wajah Raja Miao Chuang yang telah sekian tahun tampak
murung, kini meiyadi cerah kembali.
Para pejabat, sipil maupun militer pada mengucapkan se-
lamat pada sang Raja.
Suasana di dalam istana diliputi keriangan.
Di dalam kesempatan itu, Raja Miao Chuang memberi ge-
lar 'Tabib Sakti' pada tabib yang telah berhasU menyembuhkan
penyakitnya dan sekali-gus memenuhi janjinya, mengangkat
sang tabib sebagai pewarisnya.
Tapi perkembangan yang terjadi sungguh berada di luar
dugaan orang banyak.
Tabib itu tiba-tiba bersujud di hadapanRajaMiaoChuang:
"Hamba yang hina ini merasa sangat bersyukur karena Baginda
berkenan memberi hamba gelar yang begitu luar biasa. Tapi
hamba rasa sulit untuk menyandang gelar tersebut, sebab se-
sungguhnya hamba hanyalah tabib biasa yang kebetulan
mendapat petunjuk dari Thian, hingga berhasil menyembuhkan
sakit Baginda, maka kepada Thian-lah seharusnya Paduka
bersyukur"
"Sudah barang tentu aku takkan melupakan Thian, juga
sifat yang amat berbakti dari puteri bungsuku", kata Raja.
"Memang demikianlah seharusnya", kata sang tabib, "itu
pula sebabnya hamba tak berani menerima anugerah Paduka
untuk menerima warisan kerajaan Sing Lin ini", kata tabib itu
lagi. "Kenapa memang?", Raja dan orang-oratig yang hadir di
situ pada membelalakkan mata.
Ucapan si tabib paling belakang benar-benar berada di luar
dugaan mereka. "Hamba hanyalah sekedar perantara dalam menyembuh-
kan sakit Baginda ini", kata sang tabib, "di samping itu, hamba
juga telah biasa berkelana, hingga tak betah untuk berdiam di
suatu tempat terialu lama dan hamba juga tak memiliki kemam-
puan untuk memerintah suatu negara. Dan yang terutama, ham
ba telah memalingkan diri akan kesenangan dunia ini".
"Kau benar-benar tabib luar biasa", puji Raja tanpa terasa.
"Hamba hanya manusia biasa saja", kata tabib penjelmaan
Miao Siang itu terus merendah, "rupanya sudah menjadi jalan
hidup (suratan takdir), bahwa hidup hamba ini adalahimtuknae-
nolong orang sakit, baik yang sakit badan maupun jiwanya tan-
pa mengharapkan imbalan apa-apa; dan sudah senang hati
hamba sekiranya orang yang berhasil hamba sembuhkan itu
mau mempertebal keyakinannya terhadap agama, tidak lagi
mehdewakan kekuasaan dan harta dunia, yang sifatnya hanya
sementara".


Kisah Dewi Kwan Im Karya Siao Shen Sien di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Begitu selesai berkata, sang tabib menggerakkan jubahnya.
Terjadi pula suatu keajaiban lainnya.
Tiba-tiba dari luar mang berarak masuk gumpalan awan,
berhenti persis di depan sang tabib.
Tabib itu segera duduk di atas awan, melayang keluar. Da-
lam sekejap saja, telah lenyap dari pandangan orang banyak.
Hampir bersamaan dengan lenyapnya tabib itu, dari ang-
kasa melayang turun selembar kertas.
Seorang pembantu Raja memungut kertas itu, menyerah-
kannya kepada Raja Miao Chuang.
Temyata kertas itu berisi tulisan : "Aku adalah salah se-
orang guru dari Sie Thian (Barat), yang sengaja datang ke mari
untuk menyembuhkan sakit Raja. Semoga kalian dapat men-
coritohnya, juga menyebarkan kewelas-asihan di antara
sesama manusia, yang sesuai dengan pedoman agama yang
kalian anut. Ajaklah manusia yang sesat untuk kembali kejalan yang benar.
Bimbmg dan sadarkan mereka yang bersalah dengan kasih sa-
yang". Selesai membaca surat itu, Raja Miao Chuang segera ber-
lutut di depan istananya dan berkata : "Terima kasih Hok Hud
(Budha Hidup), mulai sekarang hamba akan menjalankan pe-
merintahan kerajaan Sing Lin sesuai dengan ajaran agama.
Dan hamba akan segera berangkat ke Siang-san untuk
menyampaikan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada
puteri bungsu saya, Miao Siang!".
SEBELAS Raja Miao Chuang menyelenggarakan sembahyang besar-
besaran, sebagai pengungkapan rasa syukumya kepada Thian,
bahwa dia telah diberikan kesembuhan dari penyakit aneh,
yang membuatnya menderita lahir bathin bertahun-tahun
lamanya. Para pejabat dan rakyat banyak yang'ikut dalam sembah-
yang syukuran itu.
Beberapa minggu seusai sembahyang, Raja Miao Chuang
mengajak Permaisuri dan beberapa orang menterinya dan
sejumlah pasukan pengawal menuju ke Siang-san untuk
menemui puteri bungsunya, yang sangat berbakti terhadap
orang tua. Di tengah perjalanan, selagi mereka melewati sela-sela gu-
nung, telah dihadang oleh gerombolan penjahat yang dipimpin
oleh gadis berpakaian serba hyau dan pemuda beijubah putih.
"Berhenti!", seru pemimpin gerortibolan.
"Apa maksud kalian menghentikan perjalanan kami?", ta-
nya komandan pasukan pengawal, "belum tahu dengan siapa
kau berhadapan?"
"Kami tak peduli siapapun", kata pemuda berjubah pu-
tih itu, "pokoknya setiap orang yang melewati tempat ini ha-
rus menyerahkan seluruh barang bawaannya, bila tidak, jangan
harap bisa lewat!"
"Terhadap Raja juga kau berani kurang ajar!?", kata ko-
mandan pengawal, "ayo lekas berlutut untuk minta ampun atas
kekurang-ajaranmu!'
"Kenapa aku harus berlutut!?", tantang pemuda itu, "jus-
teru kalian yang harus menyembahku, sebab aku Raja di gu-
nung ini!"
"Sungguh kurang ajar kau! Lekas tangkap dia!", perintah Raja.
Pasukan pengawal Raja langsung menyerbu, tapi sebelum
mereka sempat menyerang, si Raja penyamun telah
menggerak-kan kipasnya, mendadak pasukan pengawal Raja
Miao Chuangpada berdiri kaku.
Raja dan Permaisuri serta para menteri tercengang menyak-
sikan perkembangan yang di luar dugaan itu.
"Tangkap mereka!", kini giliran si pemuda jubah putih
yang memerintahkan anak buahnya.
"Siap Tay Ong!", sahut anak buah perampok itu, menyer-
bu rombongan Raja Miao Chuang.
Sang Raja dan beberapa menterinya coba melawan, tapi
sia-sia belaka, anak buah rampok itu rata-rata kebal, tak mem-
pan oleh senjata yang bagaimana tajam pun!
Dalam waktu singkat, Raja berikut Permaisuri dan para
menterinya telah menjadi tawanan perampok dan digiring ke
dalam goa. "Kita akan pesta besar dik!", kata pemuda itu pada gadis
yang berpakaian serba hijau, "daging Thian-cu (Anak Langit/
Raja) dan Permaisuri tentunya sangat empuk!"
"Sebaiknya kita sekap dulu", kata si gadis, "kita makan
pada saat bulan pumama nanti".
"Saran yang bagus . . . Huaaa ha ha . . . ", pemuda itu ter-
tawa besar. Raja Miao Chuang dan lain-lainnya dimasukkan ke dalam
tahanan di bawah tanah.
"Celaka, kita telah ditangkap oleh siluman", Raja Miao
Chuang agak cemas.
"Siluman apa mereka?", Ratu Pao Te tak kurang cemas-nya.
"Entahlah", Raja menggeleng pelan.
Di luar kamar tahanan terlihat kesibukan yang luar biasa
dari pasukan siluman itu. Mereka menyiapkan perapian, yang
di atasnya diletakkan kwali besar.
"Malam nanti Raja kita akan merebus para tawanan itu",
kata seorang siluman, "untuk disantap besok pada saat bulan
sedang pumama".
"Kenapa tidak dipanggang saja" Kan lebih wangi!", kata
prajurit lainnya.
"Daging Raja harus direbus, agar tidak hilang kasiatnya",
kata yang pertama.
"Apa kasiatnya?"
"Bila dagingnya dimakan bersama air rebusannya, akan
dapat memperpanjang umur!"
"Kalau begitu, aku juga ingin mencicipinya, agar paiyang
juga umurku", kata prajurit satunya.
'Tahu dirilah kau!", kata prajurit yang pertama, "santap-
an kita adalah pasukan pengawal yang berdiri kaku di luar.
Daging merekajuga ada kasiatnya".
"Apa?"
"Bikin perut jadi kenyang!" '
"Itu sih tanpa kau sebutjuga aku tahu!", temannya agak
dongkol campur lucu.
"Ah Hek! Ah Pek! Jangan mengobrol saja, lekas selesai-
kan tugasmu!", perintah prajurit yang berdiri di sisi.
"Baik komandan!"
Percakapan itu telah membuat hati Raja Miao Chuang jadi
bertambah ciut.
"Tak sangka, setelah berkuasa selama beberapa puluh ta-
hun, riwayatku akan berakhir secara menyedihkan begini", ke-
luhnya. "Tenang Hu-ong", hibur Permaisurinya, walau perasaannya
sendiri tak kurang cemasnya, "siapa tahu akan datang pertolo-
ngan". "Siapa yang akan menolong kita" Para pengawal terbaikku
sudah dibikin tak berdaya oleh mereka".
"Mungkin para Dewa mau menolong kita", sang Permaisuri
masih bemsaha menenangkan perasaan Raja Miao Chuang,
"mari kita berdoa".
"Memang benar kata Ah Siang tempo hari", Raja mulai
menyelami kata-kata puteri bungsunya, "betapa besamya ke-
kuasaan dan harta kita di dunia ini, tapi semuanya itu hanyalah
untuk sementara saja".
"Itulah, kita tak boleh angkuh bila sedang berada di atas!",
kata Ratu Pao Te.
"Kalau saja aku dapat bebas dari sini, untuk selanjutnya
aku akan memerintah dengan adil, selalu mengutamakan
kepentingan rakyat banyak".
Baru saja Raja selesai berkata, di luar goa telah terdengar
suara ribut-ribut, suara bentakan berbaur dengan dentingan
senjata dan teriakan kesakitan.
Rupanya telah terjadi pertempuran yang cukup seru di
luar. Tak lama kemudian terdengar suara hardikan di luar goa :
"Cheng Say! Pek Siong! Ayo lekas keluar!"
Si pemuda berjubah putih dan gadis baju hijau keluar dari
dalam kamamya masing-masing.
"Makhluk dari mana yang bemyali begitu besar, hingga be-
rani mengganggu ketenangan kita!?", gerutu pemuda berjubah
putih. "Rupanya mereka ingin direhus bersama Raja Miao Chn-
ang, Pek Koko", ucap si gadis.
"Baik kita rebus sekalian!", sambut si pemuda.
"Tak ada gunanya kalian bersembunyi", suara di luar lagi,
"ingin menunggu kami serbu!?"
'Tak perlu!", si pemuda segera melompat keluar, ringan
sekali gerakannya.
Gadis baju hijau segera mengikuti.
"Siapa kalian?", tanya pemuda itu setiba di luar.
"Ji Lay telah meminta bantuan kami untuk menangkap ka-
lian!", sahut yang ditanya, "ayo lekas ikut kami, Pek Siong!"
Pemuda yang dipanggil Pek Siong tertawa terbahak-bahak,
tinggi lagi bergelombang suara tawanya itu.
"Kalian ingin mengajakku ke mana?", tanya-nya kemudian.
"Kami bukan ingin mengajakmu, tapi menangkapmu dan
membawamu ke hadapan Ji Lay!"
"Enak sekali bicara kalian!", Pek Siong kembali memper-
dengarkan tawanya, "mungkin sebelum kalian menangkapku,
aku telah lebih dulu menangkap dan merebus kalian bersama-
sama dengan Raja Miao Chuang!"
"Sungguh besar sekali bicaramu! Rasakan hajaranku!",
Dewa utusan Ji Lay Hud mengayunkan pukulan, yang disertai
dengan sampokan angin yang luar biasa besamya.
"Huuaaa . . . ha . . . ha. .. , anak kecil mungkin takut pa-
da permainan sulapmu ini!", Pek Siong balas menggerakkan ta-
ngan. Segera terdengar benturan yang amat keras di angkasa, se-
bagai tanda beradunya dua kekuatan yang maha dahsyat, disu-
sul dengan mundumya sang Dewa!
"Ha . . . ha . . . ha . . ., hanya sebegitu saja kepandaian-
mu!", Pek Siong berdiri dengan pongahnya.
"Jangan sombong kau!", Dewa Angin yang diutus Ji Lay
Hud segera melancarkan serangan lagi.
Setiap kali dia menggerakkan tangan, selalu menimbulkan
sampokan angin yang amat keras.
Tapi Pek Siong ternyata aniat tanggi h, selalu berhasil
menghalau serangan sang Dewa.
Segera terjadi pertarungan sengit di antara mereka.
Begitu cepat dan gesitnya mereka berkelahi, hingga yang
terlihat hanyalah dua buah bayangan hitam yang beigerak kian
ke mari. Touw Ti, si Dewa Tanah, mulai pula melancarkan serang-
an, yang ditujukan ke diri si gadis berbaju hijau.
Namun gadis itu temyata berilmu cukup tinggi juga, sega-
la serangan Touw Ti dapat disanggah maupun dielakannya.
"Sebaiknya kau kembali ke tempat tugasmu Ceng Say,
mungkin Ji Lay masih bersedia memaafkanmu!", Touw Tiber-
usaha membujuk.
"Aku sudah bosan menjaga Vihara Budha itu terus mene-
rus!", kata Ceng Say.
"Dapat kau kemukakan pada Ji Lay, mungkin saja kau
akan ditugaskan di tempat lainnya!", bujuk Touw Ti lagi.
"Sudah, jangan banyak bipara kau! Pokoknya kami tak
ingin kehilangan kebebasan yang baru kami peroleh sekarang
ini!" "Tapi cara kalian salah..."
"Jangan banyak bacot kau!", kini Ceng Say yang menda-
hului menyerarig.
"Kalian memang kepala batu!", Touw Ti mengelak, ke-
mudian balas menyerang.
Terjadilah perang tanding yang cukup seru di antara mereka.
Sementara itu, Dewa Gledek menghadapi anak buah Pek
Liong dan Ceng Say.
Pada mulanya dia menghadapi mereka dengan tangan ko-
song, tapi berhubung banyak sekali jumlahnya, agak kewalah-
an juga. Kemudian Dewa Gledek mengeluarkan kesaktiannya,
setiap pukulannya mengeluarkan bunyi menggelegar dan lawan
yang kena hajar langsung hangus.
Akan tetapi ilmu anak buah Pek Siong dan Ceng Say cu-
kup tinggi, temyata tubuh mereka hanya hangus sementara dan
di lain saat telah pulih lagi seperti sedia kala, meneijang maju
pula. Pusing juga si Dewa Gledek menghadapi lawan yang 'alot'
seperti itu, tak tahu dia, ilmu apa yang dimiliki lawannya, hing-
ga dapat bertahan dari pukulan Gledek!
Pertempuran antara para Dewa dengan kelompok siluman
itu berlangsung amat seru. Biarpun telah berlangsung hampir
sehari penuh, belum juga ada yang berhasil dijatuhkan, apa lagi
ditangkap. Malah kemudian, Touw Ti dan Dewa Angin agak terdesak
,mundur setelah Pek Siong dan Ceng Say mengeluarkan
kesaktiannya. Pek Siong terus menerus menyemburkan air, yang diarah-
kan ke muka Dewa Angin.
Sedangkan sekujur tubuh Ceng Say diliputi kobaran api
dan sekali-kali menyemburkan api ke diri Touw Ti.
Touw Ti bukan saja tak dapat mendekat, malah sesekali
terpaksa harus melompat mundur bila dirinya sedang disembur.
'Tampaknya mereka sangat sulit ditundukkan", Touw Ti
mengeluh di dalam hati.
Tiba-tiba dari langit meluncur turun dua buah sinar yang
amat cemerlang. Di lain saat, telah terlihat Ang Hai Ji dan Hay
Uong Ong (Raja Naga).
"Serahkan mereka pada kami!", kata mereka pada Dewa
Angin dan Dewa Tanah.
Ceng Say dan Pek Siongjadi agak terkejut dengan muncul-
nya dua musuh baru itu, tapi cepat dapat menenangkan diri.
"Sebaiknya kalian ikut kami secara baik-baik menghadap
Ji Lay", kata Hay Liong Ong, "jangan menunggu sampai kami
ringkus!" "Tak usah banyak bicara", tantang Pek Siong, "bila ka-
lian benar-benar memiliki kesaktian, hadapilah kami!"
"Rupanya kau harus dihajar dulu baru mau tunduk!",
agak dongkol juga Hay Liong Ong ineliliat sikap kepala batu la-
wannya.

Kisah Dewi Kwan Im Karya Siao Shen Sien di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dia langsung melancarkan serangan yang bertubi-tubi,
membuat Pek Siong terdesak mundur.
Namun begitu, Pek Siong tetap tak mau menyerah.
Di flhak lainnya, Ang Hai Ji juga telah mendesak Ceng Say.
"Kau takkan menang melawanku", kata Ang Hai Ji sambil
mendesak terus lawannya, "kita sama-sama siluman dan sama-
sama mengandalkan kekuatan api. Tapi lmukujauhlebihtinggi
darimu!" "Sudah jangan banyak mulut! Keluarkan saja seluruh ke-
pandaianmu, kita lihat nanti, siapa sebenamya yang lebih sak-
ti!" "Sungguh bandel kau!", Ang Hai Ji menggencarkan serang-
annya, yang memaksa Ceng Say harus mundur berulang kali.
Dalam keadaan terdesak, tiba-tiba Ceng Say membuka mu-
lutlebar-lebar, menyemburkan api.
"Ha, ha, permainan begini aku juga bisa", Ang Hai Ji sege-
ra mengetuk hidungnya dua kali, membaca mantera, dari
mulutnya segera me.nyemburkan api dan dari hidungnya
mengepulkan asap yang sangat tebal.
Api yang berasal dari Ceng Say terdesak, bahkan dirinya
telah terkurung asap, membuatnya sulit membuka mata dan
agak sesak nafasnva.
Wajah Ceng Say yang semula cantik mempesona, tiba-
tiba berobah menjadi seorang laki-laki menyeramkan : Be-
rambut panjang, kumis dan jenggotnya lebat serta panjang
juga. Di tangannya memegang golok bertangkai panjang.
Dia langsung menerobos kumngan asap ciptaan Ang Hai
Ji, membabat si Bocah Merah (Ang Hai Ji).
Ang Hai Ji cepat menangkis dengan tombaknya, hingga ter-
jadi lagi pertempuran yang amat seru di antara mereka.
Sementara itu, pertarungan antara Hay Liong Ong dengan
Pek Siong bertambah seru.
Pek Siong telah mengeluarkan seluruh kepandaian silatnya,
lapi temyata masih setingkat di bawah Hay Liong Ong, mem-
buatnya terus menems terdesak mundur.
Namun dia tak sudi menyerah begitu saja, mengeluarkan
ilmu simpanannya, menyemburkan air ke muka Hay Liong Ong.
"Kau telah salah alamat dengan ilmumu tni, ha, ha, ha, ha
. . . ", Hay Liong Ong membuka mulut lebar-lebar, menyedot
air yang disemburkan Pek Siong.
Tak lama kemudian Pek Siong berhenti menyemburkan air.
"Sudah kering air di perutmu?", olok Hay Liong Ong.
Namun Pek Siong tetap belum mau mengaku kalah, tiba-
tiba wajahnya yang semula tampan, telah berobah menjadi
kepala Gajah Putih. Langsung dia menggerakkan belalainya,
menghantam Hay Uong Ong.
Hay Liong Ongjuga memperi hatkan wujudaslinya, menja-
di seekor Naga Perkasa.
Kembali berlangsung perang tanding yang seru.
Belalai Pek Siong (Gajah Putih), temyata dapat bergerak
lebih cepat dari Hay Liong Ong, hingga tubuh Hay liong Ong
sering terkena sabetan belalai, atau mulutnya yang kena dilibat
oleh belalai siluman Gajah Putih itu, membuat sang Raja Naga
jadi gelagapan. Namun begitu, berkat kesaktian dan pengala-
mannya, Hay Liong Ong masih mampu bertahan ...
Sama keadaannya dengan Ang Hai Ji yang mulai kewalah-
an menghadapi Ceng Say (Singa Hijau). Sejak Ceng Say mero-
bah bentuk wajah menjadi laki-laki brewok, kesaktiannya se-
akan bertambah, golok tangkai panjangnya digerakkan ke sana
ke mari cepat sekali lagi amat besar tenaganya, membuat Ang
Hai Ji harus melompat ke sana ke mari dalam menghindari se-
rangan siluman Singa Hyau itu.
Celakanya, begitu dia melompat ke dekat Ceng Say, siluman
itu segera membuka mulut, bemsaha menyedot si Bocah
Merah ke dalam perutnya.
Ang Hai Ji harus cepat-cepat menjauh. Pemah sekali, tubuhnya
kena sedot, tapi untungnya dia cepat mengetuk hidung dan
membaca mantera, hingga dapat menyemburkan api
ketika dirinya sudah berada di pinggir mulut Ceng Say.
Akibatnya, Ceng Say meiuerit kaget dan kesakitan, karc-
na brewoknya terbakar, langsung hilang daya sedotnya dan
Ang Hai Ji terhindar masuk ke dalam perut siluman itu.
Namun Ceng Say hanya sebentar saja merasa kesakitan.
Begitu hilang rasa sakitnya,diamerangsekmaju lagi, makin
ganas serangannya sekarang.
Semakin kewalahan Ang Hai Ji menghadapinya.
Untung tiba-tiba telah muncul Ji Lay Hud, yang dengan
kesaktiannya, telah berhasil merobah Pek Siong dan Ceng Say
kembali ke bentuk asalnya, yaitu Gajah Putih dan Singa Hyau.
Kedua siluman ini temyata amat tunduk pada sang Maha
Budha (Ji Lay Hud), tak berani berkutik sedikitpun.
'Sedangkan anak buah Pek Siong telah pula kembali ke ben-
tuk aslinya, menjadi batu-batu gunung.
"Sayang sekali kalian kurang memiliki keuletan", kata Ji
Lay Hud, "kalau saja kalian bisa bersabar beberapa waktu lagi,
berdiam di muka Vihara sambil tems memperdalam ilmu, kini
kalian tentu telah berhasil mencapai apa yang kalian cita-cita-
kan, sebagai manusia yang sempuma ?" Tapi mpanya ini se-
mua sudah mempakan jalan hidup kalian, kehendak takdir!"
Lalu Ji Lay Hud mengucapkan terima kasihnya atas bantu-
an para Dewa. Kemudian meminta Ang Hai Ji dan Hay Liong
Ong untuk membebaskan Raja Miao Chuang, Ratu Pao Te dan
para pembantunya dari tahanan sang siluman, memberi bantu-
an pada rombongan Raja itu dalam perjalanan selanjutnya,
agar dapat tiba di tempat bersemayamnya Miao Siang di Pulau
Pu To dengan selamat.
Selesai memberi amanat, Ji Lay Hud membawa Ceng Say
dan Pek Siong meninggalkan tempat itu, di kuti oleh para
Dewa. Tinggal kini Ang Hai Ji dan Hay Liong Ong yang bertugas
membebaskan Raja Miao Chuang beserta Permaisuri dan para
pembantu lainnya.
Raja Miao Chuang amat hersyukur atas bantuan para De-
wa. Berulang kali dia mengucapkan terima kasih sebelum me-
lanjutkan perjalanan ke Siang-san (Gunung Harum) di pulau
PuTo. Ang Hai Ji dan Hay Liong Ong gaib dari pandangan rom-
bongan Raja Miao Chuang. Mereka tidak mendampingi lang-
sung perjalanan Raja selanjutnya, tapi melindungi secara diam-
diam dan memberi bantuan bila mana diperiukan.
Perjalanan rombongan Raja Miao Chuang menuju ke tem-
pat bersemayamnya Miao Siang tidak mengalami hambatan/
gangguan apa-apa lagi.
Ketika mereka tiba di pulau Pu To, langsung disambut
oleh Shan Chai atas perintah Miao Siang, mengajak rombong-
an Raja itu untuk bersembahyang di Vihara di gunung Siang-
san. Miao Siang sendiri duduk di altar dalam keadaan sangat
menyedihkan : Buta matanya dan buntung sepasang tahgan-
nya. Darah segar masih terus mengalir dari bekas lukanya itu.
Raja Miao Chuang amat menyesal ketika menyaksikan
keadaan puteri bungsunya.
"Tahu begini, biarlah aku menanggung sakit, dari pada Ah
Siang yang harus menanggung sengsara".
Sedangkan Ratu Pao Te langsungjatuh 'pingsan.
Raja Miao Chuang dan para pembantunya sibuk menolong
Pemiaisurinya, selang beberapa saat, barulah Ratu Pao Te
sium-an kembali.
"Jangan ayah dan ibu bersedih menyaksikan keadaan saya
ini, segalanya rupanya sudah mempakan jalan yang harus saya
lalui, sudah menjadi kehendak Thian Yang Maha Kuasa", sabar
sekali suara maupun sikap Miao Siang.
"Tapi gara-gara sakitku, kau jadi begini", kata Raja Miao
Chuang penuh penyesalan.
"Sudahlah ayah, hal itu tak usah difikirkan lagi", Miao
Siang berusaha menghibur ayahnya, "tanpa pengorbanan dari
saya, sakit ayah takkan dapat disembuhkan".
Ratu Pao Te tenis menangis tanpa dapat berkata.
Miao Siang menceritakan, bagaimana Roh-nya telah
berkunjung ke Sorga dan Neraka setelah menjalani hukuman
mati, kemudian kembali lagi ke bumi. Atas petunjuk Ji Lay Hud,
tiba- lah ia di pulau ini dan berhasil mencapai kesempumaan
hidup seperti yang dicita-citakan sebelumnya.
"Besar sekali pengorbananmu nak", baru pada saat itu Ra-
tu Pao Te dapat berkata.
"Lazim bagi seorang anak untuk berbakti terhadap orang
tua, bu", kata Miao Siang, "bakti seorang anak pasti akan
meng-hasilkan berkah bagi anak itu sendiri nantinya".
"Mudah-mudahan kau akan memperoleh berkah itu nak",
kata Raja Miao Chuang dengan nada haru.
"Saya telah memperolehnya, ayah", Miao Siang tersenyum.
"Tak seharusnya aku, apa lagi sebagai seorang Raja,
terlampau mementingkan diri dan kedudukan, hingga anak
sendiridijadikan korban".
"Lazirn manusia bersifat begitu, kadang kala sifat 'aku'-
nya jauh lebih menonjol dari sifat lainnya", kata Miao Siang,
"tapi asal kemudian manusia itu menyadari kesalahan dan mau
merobah sifatny.a yang kurang baik, iti saja sudah cukup baik".
Raja Miao Chuang diam.
Lebih jauh Miao Siang mengungkapkan : "Sesungguhnya
sakit ayah itu merupakan hukuman dari Giok Tee atas perbuat-
an ayah sebelumnya. Banyak sekali korban berjatuhan akibat
nafsu ayah menjadi Raja yang disegani dan meluaskan
kekuasaan. Tak sedikit manusia yang tak bersalah telah
menjadi korban akibat perang yang ayah lancarkan. Dan demi
gengsi dan wibawa, ayah telah menitahkan untuk membakar
Vihara Pek Chiao Chan-su, yang mengakibatkan para Bikhuni
di Vihara itu menemui ajalnya tanpa tahu apa salahnya.
Setelah berhasil mencapai kesempumaan, barulah saya
mengetahui sakit ayah itu, segera saya berangkat ke Kota Raja
dengan merobah bentuk (Pian-hoa) sebagai tabib pengelana.
Keniudiai saya serahkan tangan dan mata untuk dibuatkan
ramuan yang dapat menyem- Auhkan sakit ayah itu. Tatkala
ayah dan ibu ditawan oleh silu- man Gajah Putih dan Singa
Hyau, saya telah meminta tolong pada Maha Budha Ji Lay
untuk membebaskan ayah, ibu dan para pembantu ayah dari
tahanan siluman itu".
Begitu selesai mendengar penuturan anaknya, Raja Miao
Chuang segera beriutut sambil pasang hio (dupa-lintmg),
berkata pada langit dan bumi : "Saya benar-benar telah
berdosa dengan menitahkan untuk membunuh puteri bungsu
saya. la bukan saja tak berdendam, malah demi baktinya
terhadap orang tua, telah merelakan sepasang tangannya
dibuntungkan dan dicongkel kedua belah matanya untuk
menyembuhkan sakit saya".
Baru saja Raja Miao Chuang selesai berkata, mendadak te-
lah terjadi sesuatu yang luar biasa.
Miao Siang yang semula nampak cacat menyedihkan, bah-
kan mengerikan, mendadak keadaannya pulih seperd sedia-
kala. Anggota tubuhnya utuh kembali.
Semua yang hadir pada bengong seraya membelalakkan
mata, heran dan takjub.
Miao Siang turun dari altar, menghampiri orang tua dan ke-
dua kakaknya. Miao Yuan dan Miao menunduk malu.
Sedangkan wajah Miao Siang tampak cantik berseri, sama
sekali tak dendam, walau dirinya telah sering disakiti oleh ayah
maupun kedua kakaknya.
"Maafkan kami, dik Siang", kata kedua saudaranya, per-
lahan suara mereka.
"Sudahlah, tak periu kita persoalkan lagi masa silam", ka-
ta Miao Siang, "yang penting sekarang kita bina hidup baru
yang baik dan sejalan dengan ajaran agama".
Secara bergantian Miao Siang memeluk ayah-bundanya,
juga kedua kakaknya. Mereka saling bertangisan saking haru
campur girang. ..
Miao Siang mengajak kedua orang tua dan lain-lainnya me-
nyaksikan panorama yang indah di sekitar gunung Siang-san,
kemudian meminta ayah, ibu dan saudara-saudaranya untuk
me nginap selama beberapa hari di situ.
Raja Miao Chuang seakan mendapat ketenangan selama be-
rada di pulau Pu To, suatu ketenangan jiwa yang belum pemah
dirasakan sebelumnya.
Tiada keruwetan, tiada ketegangan dan hilang segala ambi-
si untuk dapat memperoleh sesuatu yang lebih dari apa yang
telah dimilikinya.
Beliau kerasan setelah mengmap beberapa malam di situ.
Waktu-waktu luangnya digunakan untuk membaca doa, juga
kitab-kitab suci.
Oalam setiap kesempatan, Miao Siang juga menerangkan
makna hidup ini.
Baru sekarang Raja Miao Chuang dapat meresapi, bahwa
segala yang terdapat di dunia ini hanyalah untuk sementara,
termasuk harta dan kekuasaan!
Akhimya bulatlah sudah tekadnya untuk mengikuti jejak
puteri bungsunya : Berusaha memperoleh kehidupan yang ke-
kal, yang abadi.
Ketika hal itu dikemukakan kepada Permaisuri dan kedua
puterinya, langsung saja disambut baik.
Malam berikutnya Raja Miao Chuang mengambil kepu-
tusan, memanggil para Menteri dan pengawal yang menyertai-
nya. Mereka berkumpul di muka Vihara.
Miao Siang yang telah maklum akan maksud ayahnya, pu-
ra-pura tak tahu, bertanya : "Ayah sudah tak kerasan lagi ting-
gal di sini?"
"Kerasan sekali", sahut sang Raja sambil tersenyum lebar.
'Tadinya saya kira dengan mengumpulkan para pengiring,
ayah ingin segera kembali ke Kota Raja".
"Ayah memang ingin menyuruh mereka kembali ke Kota
Raja. Tapi kami, aku, ibu dan kedua kakakmu akan mengikuti
jejakmu, ingin mencari kesempumaan ?" Kau keberatan?"
"Tidak, malah saya merasa senang sekali", Miao Siang ter-
senyum manis. "Bagus", Raja Miao Chuang mengangguk puas.
Lalu dipanggilnya Chu Chieh, Panglima Angkatan Perang-
nya. "Ada tugas yang hams hamba laksanakan, Baginda?", ta-


Kisah Dewi Kwan Im Karya Siao Shen Sien di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nya sang Panglima setelah memberi hormat kepada Rajanya.
"Bukannya perintah, tapi akan kuserahkan kedudukanku
sebagai Raja kepadamu", Raja Miao Chuang memberitahukan.
"Tapi Baginda..."
Sebelum Chu Chieh sempat menemskan ucapannya, te-
lah dipotong oleh Raja Miao Chuang : "Kau bersama Chao
Chen adalah pembantuku yang paling setia, sangat besar
jasamu bagi kerajaan Sing Lin. Kini Chao Chen telah tiada,
maka kuanggap kau adalah satu-satunya orang yang paling
tepat untuk mewa-risi kedudukanku. Sebab aku sendiri ingin
mengikuti jejak Ah Siang. Selama ini hidupku telah beigelimang
dosa, semoga dengan bertaubat dan tekun mempelajari ajaran
agama, dosa dosaku dapat diampuni, sedikitnya diberi
keringanan".
Chu Chieh tak menolak permintaan itu.
"Hanya satu pesanku, jadilah kau Raja yang adil lagi bi-
jaksana!" "Akan hamba usahakan dengan sekuat kemampuan hamba".
"Bagus".
Serah terima kedudukan Raja berlangsung sederhana tapi
khidmat di dalam Vihara. Dan dengan diserahkan cap kerafaan
pada Chu Chieh, maka Panglima Angkatan Perang yang setia
itu sah menjadi Raja baru dari kerajaan Sing Lin.
"Semoga tercapai apa yang Paduka cita-citakan", kata
Chu Chieh pada bekas Rajanya, selesai serah terimajabatan
itu. "Seharusnya kini aku yang memanggilmu Paduka, sebab
aku telah menjadi orang biasa", Miao Chuang tersenyum.
Sang Raja baru, tertawa.
Keesokan harinya Raja Chu Chieh pamit, mengajak para
pengiring kembali ke Kota Raja.
Miao Chuang bersama anak istrinya menetap di gunung Siang
san. DUA BELAS Ji Lay Hud mulai memeriksa kesalahan siluman Gajah Pu-
tih dan Singa Hijau, setelah menahan mereka selama beberapa
waktu. "Sudah sadarkah kalian dari kesalahan yang kalian laku-
kan?", tanya Ji Lay Hud.
"Ampunilah kami, Budha yang Agung!", kata Ceng Say
dan Pek Siong dengan suara hampir bersamaan.
"Aku pribadi bersedia mengampunimu, tapi Tiukum la-
ngit' harus dilaksanakan!", ujar Ji Lay Hud.
"Kami benar-benar telah taubat, tak berani lagi menentang
perintah Maha Budha".
"Aku memang kasihan terhadap kalian, yang telah bertapa
ratusan tahun, yang dari binatang buas ingin menjadi manusia
seutuhnya. Tapi di kala hampir tercapai yang kalian inginkan
itu, temyata kalian kurang kuat menghadapi godaan iblis, hing-
ga kabur dari tempat tugas dan membuat keonaran di dunia,
Bila kesalahan kalian dibebaskan dari hukuman, tentunya
perbuatan kalian akan banyak dicontoh oleh fihak lain, akibat-
nya akan kacaulah dunia dan meresahkan para Dewa di Kah-
yangan". "Hamba mengaku salah, mengharapkan sekali kebijaksana-
an Maha Budha dalam menjatuhkan hukuman pada kami", ka-
ta Pek Siong. "Hukuman yang paling tepat bagi kalian, adalah kerja
paksa seumurhidup di Neraka!"
"Ampun Maha Budha", Ceng Say memohon sedih, "ham-
ba bersedia menjadi apa saja, asaljangan dihukum di Neraka!"
Tiba-tiba Ji Lay Hud menerima laporan dari seorang mu-
ridnya, bahwa Miao Siang ingin bertemu dengannya.
"Silakan dia masuk", kata Ji Lay Hud.
Tak lama kemudian Miao Siang masuk, memberi honnat
pada sang Maha Budha.
"Silakan duduk Miao Siang", Ji Lay Hud menyambut
ramah, "angin apa yang membawamu ke mari?"
"Maaf Maha Budha, kedatangan saya bukan ingin men-
campuri urusan Paduka", kata Miao Siang.
"Dalam soal apa, Miao Siang?", tanya Ji Lay Hud.
"Mbngenai Ceng Say dan Pek Siong, bila sekiranya Maha
Budha tak keberatan, sudilah kiranya mengampuni kesalahan
mereka". "Bukankah mereka ingin melahap kedua orang tua dan
kakak-kakakmu?", sabar lagi berwibawa sikap Ji Lay Hud.
"Tapi maksud mereka belum sampai teriaksana", kata
Miao Siang sambil berpaling ke siluman Gajah Putih dan Singa
Hu'au yang sedang menunduk sedih, "lagi pula kesalahan
mereka baru pertama kali ini. Saya anggap wajar, biarpun telah
ber-tapa ratusan tahun, tapi sekali waktu timbul juga sifat
kebinatangan mereka. Jangankan mereka yang berasal dari
binatang, manusia sendiri, bila tak pandai-pandai
mengendalikan nafsu dan sifat tamaknya, wataknya malah
melebihi binatang buas!"
Ji Lay Hud diam, seakan sedang mempertimbangkan kata-
kata Miao Siang.
Miao Siang melanjutkan : "Asal mereka menyadari kesa-
lahan dan bersedia merobahnya, sebaiknya diberi kesempatan
sekali lagi kepada mereka, untuk dapat hidup seperti sekarang
ini, malah sedapat mungkin, mereka meningkatkan pelajaran
yang telah diperolehnya sekarang ini, supaya nantinya dapat
mencapai taraf hidup yang lebih tinggi, menjadi manusia se-
utuhnya!" "Cukup beralasan kata-katamu", Ji Lay Hud mengangguk.
"Sering sudah saya dibantu dan ditolong oleh Maha Bu-
dha, yang sampai sekarang belum dapat saya balas kebaikan
itu". "Tak usah kau fikirkan itu, setiap makhluk hidup, apa lagi
yang telah mensucikan diri seperti kita, patutlah membentang-
kan Dharma".
"Berdasarkan Dharma pula saya ke mari", kata miao Si-
ang, "semoga Maha Budha dapat memenuhi harapan saya
sekali ini". Ji Lay Hud diam sejenak, kemudian mengangguk : "Baik-
lah Miao Siang".
"Terima kasih Maha Budha", berseri wajah Miao Siang.
Di wajah Ceng Say dan Pek Siong mulai timbul harapan lagi.
Ji Lay Hud berpaling kepada kedua siluman itu : "Seha-
rusnya dosa kalian mendapat ganjaran yang setimpal, tapi de-
ngan memandang kewelas-asihan Miao Siang, kuserahkan
kalian untuk menghamba padanya. Mulai sekarang, kalian
harus tunduk pada perintahnya, jangan sekali-kali melakukan
perbuatan yang dapat merusak ketenangan dunia lagi!"
"Terima kasih Maha Budha", Pek Siong menyembah pada
Ji Lay Hud, "hamba benar-benar kapok dan bersumpah akan
patuh terhadap segala permtah Dewi yang welas asih ini".
"Demikian pula hamba", kata Ceng Say.
Di bawah bimbingan Miao Siang, Pek Siong dan Ceng Say
telah berhasil melepaskan sifat kebinatangannya, setia
mengabdi kepada Miao Siang.
Orang tua dan kedua kakak Miao Siang sangat tekun mem-
pelajari Dharma.
Miao Siang sendiri, tanpa mengenal lelah, terus menye-
barkan Dharma. Banyak sudah umat Budha yang ditolong dan diselamatkan
jiwanya. Kian banyak orang yang datang ke Siang-san untuk me-
minta tolong pada Miao Siang.
Orang yang semula telah kosong hatinya, begitu bertemu
dengan Miao Siang, seakan langsung terisi lagi, kembali timbul
kepercayaan diri dan hilaftglah penderitaannya.
Yang ingin memperoleh keturunan, asal kehadirannya de-
ngan hati yang tulus, segera teriaksana harapannya.
Miao Siang sering pula menyelamatkan jiwa orang yang
tengah dilanda bencana alam.
Saking murah hatinya, sampai orang-orang yang datang
untuk memperoleh kekayaan, dipenuhinya juga, dengan pesan,
agar kekayaan yang telah diperolehnya itu digunakan untuk
membantu fakir miskin, bukannya untuk menindas apa lagi
mencelakai orang lain. Bila dilanggar pesannya itu, harta yang
telah diperolehnya, akan lenyap kembali.
Pokoknya Miao Siang telah dijadikan sandaran bagi orang-
orang yang sedang mengalami kesulitan, penderitaan,
kesedihan dan kebingungan!
Pemunculan Miao Siang bagaikan cahaya terang dari se-
suatu yang tak temoda.
Sinar kebyaksanaannya menghilangkan semua kegelapan,
yang dapat menaklukkan segala mala-petaka.
Kehadirannya. bagaikan hujan Dhanna, yang dapat mema-
damkan nyalanya api penderitaan.
Nama Miao Siang mulai tertanam di hati sanubari orang-
orang yang pemah ditolongnya dan kiai hari kian tersebarluas
akan kewelas-asihan dan kesaktiannya.
Sampai suatu ketika, telah datang utusan Giok Tee, Thay
Pek Kim Seng, ke tempat bersemayamnya Miao Siang,
membawa Firman dari Maha-raja Dewata tersebut, yang
langsung dise rahkan kepada Miao Siang.
Miao Siang menghaturkan banyak terima kasih kepada
utusan Maha-raja Langit itu, lalu membaca isi Firman, yang pa-
da pokoknya menyatakan, bahwa kehidupan Miao Chuang
selama memerintah kerajaan Sing lin amat tercela, karena lebih
mementmgkan nafsu dan kekuasaan pribadi serta harta, hingga
lunturlah keyakinannya terhadap agama, yang telah
menimbulkan banyak korban yang tak berdosa dan krisis moral
melanda kerajaannya. Sepak terjang Miao Chuang itu
seharusnya takkan dapat lepas dari Hukum Langit, kalau saja
tidak mengingat akan tekad bulat Miao Siang dalam
mensucikan diri, yang tak meng hiraukan segala kesulitan,
derita selama bertahun-tahun, malah
acap kali membahayakanjiwanya sendiri.
Selain itu, Miao Siang juga amat berbakti terhadap orang
tua, yang telah rcla mengorbankan sebagian dari anggota
tubuhnya untuk mengobati sakit ayahnya. Di samping itu Miao
Siang sering pula menolong orang yang sedang menghadapi
kesulitan lainnya, membuat terkenal sebagai orang suci yang,
welas asih. Perbuatan terpuji Miao Siang itu telah berhasil menebus
semua dosa yang pemah dilakukan oleh ayahnya. Sekaligus te-
lah mengetuk hati Giok Tee untuk menumnkan Firman : meng-
anugerahinya gelar Pu Sa (Po Sat; Dewa/Dewi), yang welas
asih, menjadi penolong siapa saja yang sedang menghadapi
kesulitan, sekaligus sebagai Dewi Pelindung manusia. Daerah
bersemayam nya ditetapkan di Lam Hay (Laut Selatan) dan
Pulau Pu To. Berkat bimbingan Miao Siang, bukan saja orang tua dan kedua
kakaknya telah menyadari kesalahan dan melepaskan kese-
nangan hidup duniawi yang bersifat sementara, bahkan kini
telah mengikuti jejak Miao Siang untuk mencari kesempumaan
hidup. Dengan menimbang kebajikan yang banyak dilakukan
Miao Siang dan juga melihat kesungguhan dan ketekunan
orang tua serta kedua kakaknya dalam menempuh hidup
bamnya, maka kepada ayah bunda dan kedua kakak Miao
Siang, diberikan juga gelar Pu Sa.
Miao Chuang diangkat sebagai Pu Sa (Po Sat) yang
memeriksa kebajikan yang pemah dilakukan oleh manusia.
Ibu Miao Siang, bekas Ratu Pao Te, memperoleh gelar Pu Sa
dari kebajikan dan bertugas memeriksa ulah wanita dan orang-
orang terkenal di Mayapada (dunia).
Miao Yuan meiyadi Pu Sa yang bijak dan cantik, dengan Singa
Hijau (Ceng Say) sebagai binatang tunggangannya.
Dan Miao Yin digelari pula sebagai Pu Sa yang amat bajik dan
gemUang, menunggang Gajah Putih (Pek Siong).
Sedangkan Shan Chai dikembalikan kepada nama makhlnk
sud yang menitisinya, yaitu Kim Tong atau Anak Emas; Liong li
memperoleh gelar Giok Ue (Gadis Batu Kumala).
Selesai membaca Firman dari Maha-raja Dewata, Miao Siang
dan lain-lamnya pada berlutut untuk mengucapkan rasa syukur
mereka yang tak terhingga.
Dari langit, sayup-sayup terdengar lagu :
Semoga jasa dan kebaikan serta kewelas-asihannya, akan
memperindah Tanah Suci para Budha; membalas empat Budi
besar, menyelamatkan mereka dari tiga alam sengsara.
Semoga mereka yang mendengwkan Dharma ini, semua
bertekad membangkitkan Bodhicita, sampai di akhir zaman,
bersama-sama lahir di alam bahagia!
Menurut kepercayaan, cinta yang tulus-mumi dari manusia
suci, bukan saja dapat mempengaruhi Karma manusia lainnya,
bahkan dapat pula melenyapkan dosa dari roh jahat hingga da-
pat mencapai Nirwana.
TAMAT SEKILAS MENGENAI
PULAU PU TO Di dalam kepercayaan Agama Budha, di Tiongkok terdapat
empat gunung yang dianggap suci, karena merupakan tempat
bersemayamnya para Dewa dan Dewi.
Keempat gunung suci itu adalah :
Ngo Tay-san di San-sie, tempat bersemayamnya Dewa Wen
Chu. Go Bi-san di Sie-chuan, tempat bersemayamnya Dewa
Puffian. Kiu Hua-san di An-hwie, tempat bersemayamnya Dewa Tee
Chong Ong. 4. Pu To-san di Lam Hai, Che-kiang, tempat bersemayam-nya
Dewi Kwan Im. Tapi dari keempat gunung yang disucikan itu, gunung Pu To
atau lazim disebut Pulau Pu To, karena pulau itu terdiri dari
pegunungan, yang paling banyak dikunjungi dan dibicarakan
oleh para umat Budha.
Pulau Pu To berasal dari terjemahan bahasa Sanskerta, yang
sering pula disebut Pu To Lok-cia-san, itu pula sebabnya,
dalam cerita Sie Yu (Perjalanan ke Barat), disebutkan, bahwa
tempat bersemayamnya Dewi Kwan Im terietak di Lok Cia-san.
Tap'i sementara orang Tionghoa menamakan pulau itu Siauw
Pek Hua-san. Konon menurut cerita, Vihara tempat Dewi Kwan Im (Kuan She


Kisah Dewi Kwan Im Karya Siao Shen Sien di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Yin Pu Sa = Avalokites'vara Bodhisatva), dibangun di atas
gunung dupa, hingga gunung itu kemudian disebut Siangsan
(Gunung Hamm). Pulau itu sendiri, yang tennasuk dalam kawasan kepulauan
Chu-san, lebamya 4 mil dan panjangnya 3 mil, sedangkan
gunung tertingginya dinamakan Hud Teng-san atau Puncak
Budha. Di situ terdapat sekitar 80 Vihara besar dan kecil.
Adapun cerita mengenai arca Dewi Kwan Im yang pertama tiba
di pulau Pu To, memiliki jalai cerita yang amat menarik ;
Tersebutlah, penyebaran agama Budha mengalami
perkembangan pesat di bawah pemerintahan Kaisar Liang
Beng Chin, hingga meluas ke Jepang. Cukup banyak penganut
Budhis di negara Sakura itu yang bermaksud memperdalam
pelajarannya mengenai agama Budha di Tiongkok.
Salah seorang adalah Bikhu Hwie Ngo, yang begitu besar
niatnya memperdalam ilmunya, memutuskan pada tahun ke
dua pemerintahan Raja Liang Beng Chin (915 Masehi), telah
meninggalkan tempat kelahirannya di Jepang, mengarungi
lautan luas, menuju ke daratan Tiongkok.
Berbagai tempat suci umat Budha telah dikunjunginya dan
setibanya di Ngo Tay-san, propinsi San-sie, Bikhu Jepang itu
amat tertarik pada patung Dewi Kwan Im yang amat
indahmempesona lagi agung, langsung timbul keinginannya
untuk membawa pulang patung itu ke Jepang.
Semula dia ingin bertems terang mengemukakan maksudnya
itu pada pimpinan Vihara/tapi kuatir ditolak, maka kemudian
diputuskannya untuk mengambil tanpa setahu pemiliknya.
Begitu berhasil usahanya, dia tak berani berdiam lamalama di
Ngo Tay-san, segera naik perahu dari teluk Hang-chouw, untuk
segera pulang ke negaranya dengan membawa benda pusaka
yang tak temilai harganya itu.
Namun selagi perahunya beriayar di kepulauan Chu-san yang
masuk ke dalam wilayah kercsidenan Teng Hai di Chekiang,
tiba-tiba perahunya tak lagi dapat melaju, karena terhalang
gundukan pohon bunga Lily air yang muncul secara ajaib.
Biar bagaimana Bikhu Jepang itu bemsaha, perahunya tetap
mandeg di situ. Di sekitamya sepi, tak ada yang dapat dimintai
tolong. Tiba-tiba sang Bikhu menyadari kesalahannya, tak patut dia
sebagai seorang pemeluk agama, mengambil barang orang lain
tanpa seizin pemiliknya.
Ingat akan hal itu, Bikhu Hwie Ngo jadi malu sendiri, berlutut di
hadapan arca Dewi Kwan Im seraya berkata : "Tay-su, saya
amat terpesona melihat patung Tay-su yang begitu indah
agung, yang tak pemah ada di negeri saya. Maka saya
bermaksud membawa pulang ke Jepang, agar Tay-su juga
dipuja oleh umat Budha di sana. Tapi seandainya Tay-su tak
berkenah saya boyong ke Jepang, biarlah saya yang akan ikut
ke tempat yang dikehendaki oleh Tay-su".
Barusaja sang Bikhu selesai berkata, tetumbuhan airyang
semua menghalangi jalan majunya perahunya, mendadak
lenyap dan perahu sang Bikhu meluncur sendiri bagaikan
didorong oleh kekuatan gaib, melaju ke pulau Pu To.
Perahu itu berhenti di pantai pulau tersebut. Takjauh dari situ
terietak Chao Im Tong (Goa suara baliknya/Gema air pasang).
Kala itu keadaan pulau Pu To masih sangat sepi, hanya ada
beberapa rumah sederhana yang dibangun di celah gunung,
dihuni oleh para nelayan.
Setelah berjalan sesaat, Bikhu Hwie Ngo bertemu dengan
seorang nelayan.
Sang Bikhu menceritakan pengalamannya pada Thio le Ong
(Nelayan dari marga Thio).
Thio le Ong bersedia menyerahkan pondoknya untuk dIJAdikan
tempat ibadah yang dikemudian hari terkenal sebagai 'Pu Ken
Ci Kwan Im Yan' atau 'Vihara Dewi Kwan Im yang tak sudi
pergi'. Hwie Ngo merupakan pelopor dari berdirinya Vihara di pulau
tersebut, yang kemudian dikenal sebagai Hwie Ngo Chouw-su.
*** Sebenamya, setelah Miao Siang berhasil mencapai
kesempumaan, ia dapat menikmati kehidupan yang tenang
damai lagi menyenangkan di Nirwana.
Tapi Miao Siang, yang kemudian lebih dikenal sebagai Kuan
She Yin Pu Sa (Dewi Kwan Im), telah bertekad, selama di dunia
ini masih terdapat makhluk-makhluk berdosa dan yang
membutuhkan pertolongan, dia akan tetap bekerja terus untuk
menyadarkan mereka dan membantu orang yang
membutuhkan pertolongan.
Itu sebabnya, sampai abad ke 20 ini, masih banyak orang yang
menyaksikan pemunculan Dewi Kwan Im.
Bahkan Dr. Sun Yat Sen, pendiri Tiongkok Nasionalis, ketika
berkuru'ung ke pulau Pu To pada tanggal 25 Agustus 1916,
telah sempat menyaksikan Dewi Kwam Im yang sedang berdiri
di puncak gunung Budha. Walau hanya sekejap, tapi Dr. Sun
Yat Sen yakin benar, bahwa apa yang disaksikannya adalah
Dewi Kwan Im. Demikian pula, pada tanggal 19 Juni 1973, seorang anggota
Angkatan Udara Amerika yang sedang melakukan pemotretan
di udara Taiwan, setelah fbto-fotonya dicetak, salah sebuah di
antaranya ada yang berwujud seperti Dewi Kwan Im yang
berdiri di atas naga (hasil reproduksinya kami terakan di buku
ini). Karena itu, orang tambah yakin, bahwa sampai sekarang pun
Dewi Kwan Im tetap rajin membantu dan memberi pertolongan
pada manusia yang membutuhkannya.
Tidaklah mengherankan, kalau dalam salah satu pertemuan
dengan para muridnya, sang Maha Budha telah
mengungkapkan prihal Dewi yang Welas Asih ini. Antara lain
dikatakan begini : "Dari masa ke masa, janganlah meragukan
kemuliaan Dewi Kwan Im, baik terhadap yang sedang
menghadapi penderitaan, kebingungan, kematian dan kesulitan
lainnya. Dapatlah beliau dijadikan sandaran ?" Segala budi
fasa diliputinya, seluruh makhluk dipandang dengan penuh
kasih sayang. Berkahnya bagaikan lautan. Itu sebabnya,
hendaknya dipuja dengan penuh kehormatan".
Tamat Memanah Burung Rajawali 10 Ksatria Negeri Salju Karya Sujoko Neraka Hitam 8
^