Pencarian

Sejengkal Tanah Sepercik Darah 9

Sejengkal Tanah Sepercik Darah Karya Kho Ping Hoo Bagian 9


Tiba-tiba, terdengar sorak sorai yang meng-gegap gempita, mengatasi riuhnya suara gamelan. Dengan sendirinya, tanpa diperintah lagi, para penabuh gamelan menghentikan tabuhari mereka dan para dayang menghentikan tarian dan nyanyian mereka. Semua orang menoleh ke arah pura di depan istana karena dari sanalah datangnya sorak sorai itu.
Muncullah Adhyaksa Empu Raganata yang tua dan Mantri Angabaya Wirakreti tergopoh-gopoh menghadap Sang Prabu Kertanagara. Melihat mereka menghadap, langsung saja sang prabu bertanya apa yang telah terjadi di luar maka demikian bising.
"Ampun, Kanjeng Ousti. Pasukan dari Kediri telah datang menyerbu!"
"Apa!?" Sang Prabu Kertanagara berteriak heran. "Bukakah Wijaya dan Mahesa Angragani telah mengerahkan pasukan untuk menggempur mereka ?"
"Ampun, Gusti. Yang kini menyerbu masuk ke Singosari bukankah pasukan yang 'menyerbu ke Mameling, melainkan pasukan Kediri lain yang menyerbu dari selatan, pasukan besar sekali yang dipimpin oleh Kebo Mundarang l"
"Patih Angragani, kerahkan seluruh sisa pasukan untuk menyelamatkan istana! Paman Raganata dan Wirakreti, ajak semua pengawal
untuk mempertahankan istana. Kami.....kami
menanti di sini dan berdoa......."
Ki Patih Angragani cepat keluar dari kepu-tren untuk melaksanakan perintah junjunganhya. Akan tetapi Adhyaksa Empu ftaganata Mantri Angabaya Wirakreti -menyembah kepada Sang Prabu Kertanagara. Kakek Empu Raga-, nata berkata dengan suara yang tegas. "Kanjeng Gusti, ampunkan kalau hamba mengeluarkan ucapan yang tidak sedap didengar. Akan tetapi, Gusti semenjak dahulu, para eyang paduka adalah raja-raja bijaksana yang berjiwa pahlawan. Tidak mabok kesenangan ka-' lau negara sedang makmur, dan tidak menyem-? bunyikan diri kalau negara sedang dilanda musibah. Bahkan pantang bagi seorang junjungan untuk bersembunyi di keputren di kala negara dilanda perang. Sungguh merupakan aib kalau sampai paduka ditemukan pihak musuh di dalam keputren. Hamba hanya mengingatkan paduKa, Gusti, agar paduka tidak mengecewakan para junjungan yang terdahulu."
Bangkit semangat Sang Prabu Kertanagara mendengar nasihat bekas patih yang tua dan bijaksana ini. Baru dia sadar akan kesetiaan dan kebijaksanaan Empu Raganata dan dia merasa menyesal mengapa sebelum ini dia tidak pernah mendengarkan nasihat - nasihat yang amat bijaksana darinya. Diapun bangkit dan merangkul bekas patih itu.
"Aduh paman Raganata, baru terbuka kesadaranku sekarang. Ucapanmu tadi sungguh tepat sekali. Bagi searang raja yang bertanggung jawab, Jebih'baik gugur sebagai kusuma: bangsa dari pada hidup menjadi tawanan perang pihak musuh dan menerima penghinaan ! Mari, paman, mari kita lawan para pengkhianat Kediri itu sampai titik darah penghabisan!"
"Sejengkal tanah, sepercik darah!" Kakek itu berseru sambil mengepal tinju, membangkitkan semangat semua orang yang mendengarnya,
Berbondong-bondong mereka keluar, Sang Prabu Kertanagara dengan tombak dan keris di tangan, Patih Anggragani yang sudah mendahului mereka, Empu Raganata dan Mantri Wirakreti- Mereka membawa pengawal, sisa pasukan kecil yang ada dan mengamuk menahan seibuan pihak musuh yang sudah mulai menyerbu istana. Akan tetapi, jumlah pasukan Kediri jauh lebih besar sehingga gagallah semua pertahanan dan perlawanan sisa pasukan Singosari mempertahankan istana dan melindungi raja mereka. Mereka semua gugur dan tewas di bawah hujan senjata pihak musun.
Ketika itu, pasukan yang dipimpin oleh Mahesa Anengah belum jauh meninggalkan Singosari, menuju ke utara untuk membantu Raden Wijaya yang menyambut serbuan pasukan Kediri' di Mameling. Ketika mendengar sora*k-sorai pasukan musuh yang menyerbu
Singosari dari selatan. Ki ?atih Mahesa Anengah lalu membalik dan kembali ke Singosari. bermaksud menyelamatkan rajanya. Namun, kedatangannya terlambat. Bukan saja Mahesa Anengah dan pasukannya tidak mampu menyelamatkan Sang Prabu Kertanagara, bahkan pasukan yang dipimpinnya juga dihancurkan oleh pihak musuh yang jauh lebih kuat. dan Ki Patih'Mahesa Anengah sendiri tewas dalam pertempuran itu.
Sambil bersorak sorai pasukan dari Kediri menyerbu istana dan pertempuran itu kini berubah menjadi pembantaian, perampokan dan perkosaan. Terdengar jerit tangis para wanita, teriakan mereka yang tersiksa dan terbunuh.
Perang, kapan dan di manapun juga, memang amat jahat dan kejam. Perang merupakan puncak keganasan mahluk yang dinamakan manusia. Dengan dalih apapun juga, di dalam peperangan manusia menjadi amat kejam dan buas melebihi binatang yang paling buas, siap membunuh atau dibunuh demi memperebutkan kemenangan. Perang merupakan bencana bagi umat manusia, di mana nyawa manusia tidak lebih berharga dari pada nyawa semut, di mana maut berpesta pora.
Selagi para perajurit Kediri menjarah-rayah, menculik dan memperkosa wanita, mcrampok! barang beiharga, membunuhi orang tua dan kanak-kanak, nampak ada dua orang puteri menyelinap keluar dari dalam istana melalui jalan rahasia yang berada di belakang taman istana. Mereka tidak menangis seperti para puteri istana yang lain, yang hanya mampu menangis dan tidak berdaya ketika pasukan musuh menyerbu keputren. Dua orang puteri ini adalah Sang Puteri Tribuwana dan Sang Puteri Giyatri, dua orang puteri dari Sang Prabu Kertanagara. Mereka berhasil lolos dari keputren sebelum pasukan musuh menyerbu bagian paling dalam dari istana itu, dan mereka melarikan diri lewat pintu rahasia di taman. Kini mereka melarikan diri, di antara rumah-rumah yang terbakar, tidak tahu arah tujuan, pokoknya menjauhi istana dan menjauhi pasukan musuh.
"Aduh, diajeng Pusparasmi, di mana-mana ada musuh. Kita hanya dapat mohon perlindungan para dewata semoga kita akan dapat meloloskan diri dari tangan mereka........"
keluh Puteii Tribuwana atau yang juga bernama Puspawati. Adapun Puteri Giyatri juga disebut dengan nama Pusparasmi.
Pusparasmi atau Puteri Gayatri maklum bahwa kakaknya merasa lebih aman kalau mereka berdua mempergunakan nama kecil itu. Ia mengeluh dan berhenti lari, bahkan lalu menjatuhkan dirinya duduk di bawah pohon di tepi jalan, memijit-mijit betisnya.
"Aduh, kakangmbok Puspawati........ aku sudah tidak kuat lagi. Lihat, kakiku bengkak-bengkak, ujung jarinya berdarah....... nyeri bukan main !"
Puspawati melibat ke arah betis adiknya, Kain itu disingkap ke atas, nampak di bawah sinar api kebakaran, betis yang memadi bunting berkulit kuning putih mulus dan memang benar, telapak kaki yang halus itu, yang tumitnya kemerahan, nampak bengkak - bengkak dan ujung jarinya luka berdarah. Keadaan kaki Pusparasmi menyedihkan, akan tetapi kaki Puspawati sendiripun tidak lebih baik keadaannya. Dua orang puteri ini tentu saja tidak biasa berjalan di atas batu kerakal yang tajam dan kasar. Akan tetapi Puspawati mencoba untuk men.bangunkan adiknya.
"Diajeng Pusparasmi, kita tidak boleh berhenti di sini. Hayo bangunlah, kita harus berlari terus sampai jauh agar jangan sampai tertangkap oleh iblis-iblis itu ......."
Pusparasmi dipaksa kakaknya bangkit lagi dan terhuyung - huyung ketika ia dipapah kakaknya melanjutkan lari mereka. Di sana-sini masih terjedi pertempuran yang berat sebelah. Banyak pula rakyat yang bangkit dan melawan para penyerbu karena melihat betapa barang
mereka dirampok, anak gadis dan isteri mereka diculik, orang tua dan anak kecil dibunuh. Banyak pula yang berbondong-bondong melarikan diri cerai berai. Keadaan Singosari geser seperti sekelompok semut ditiup, lari ke sana-sini tak menentu dan para wanita menangis, anak - anak memanggil - manggil ayah ibunya, kakek dan nenek lari tersaruk-saruk. Ada yang jatuh terinjak kuda, ada yang berkelahi mati - matian.
Ketika dua orang puteri itu tiba di jalan perempatan, datang serombongan pengungsi yang lari dikejar-kejar beberapa orang perajurit Kediri. Karena mereka lari tunggang-langgang, maka dua orang gadis bangsawan itu terseret dan akhirnya mereka berpisah karena tangan mereka yang saling berpegang itu terlepas oleh desakan orang-orang yang lari ketakutan.
Puteri Tribuwana terkejut dan panik. "Pusparasmi .........! Diajeng Pusparasmi ........!"
teriaknya berkali-kali sambil mengejar ke sana-sini. ia tidak berani memanggil adiknya dengan nama Gayatri karena kalau sampai terdengar oleh pasukan Kediri, tentu akan menjadi perhatian. Namun panggilannya tidak ada jawaban. Puteri Tribuwana lari ke sana ke mari sambil berteriak - teriak memanggil, tidak tahu bahwa ia mencari ke jurusan yang berlawanan sehingga semakin jauh terpisah dari adiknya. Iapun tidak tahu bahwa adiknya itu telah tertawan oleh perajurit-perajurit Kediri yang mengenal puteri itu, maka segera tawanan yang amat penting itu dipisahkan diperlakukan dengan hormat, menjadi tawanan yang akan dihaturkan ke hadapan Sang Prabu Jayakatwang di Kediri.
Puspawati atau Puteri Tribuwana terpaksa melarikan diri sambil memanggil - mang nama adiknya. Ia tidak menangis. Puteri ini memang tabah sekali dan tidak mudah putus asa.
Akan tetapi, tiba-tiba dari samping ada seorang laki-laki tinggi besar yang menubruknya. Sang puteri mengelak, akan tetapi lengannya dapat ditangkap orang itu, ia menoleh dan melihat bahwa yang menangkap lengannya adalah seorang perajurit Kediri yang bertubuh tinggi besar seperti raksasa, bercambang bauk mengerikan sekali.
"Lepaskan!" bentak sang puteri dan dengan gerakan mendadak, ia berhasil melepaskan lengannya dan melarikan diri.
"Ha - ha - ha, engkau cantik manis sekali! Hendak lari ke mana kau, manis ?" orang itu tertawa dan mengejar. Tentu saja dengan langkah-langkah yang lebar dengan mudah dia dapat menyusul Puspawati. Puteri ini mendengar langkah kaki yang berat dan dengus napas seperti kerbau gila di belakangnya, lalu berhenti dan mencabut sebatang keris keci! dari pinggangnya. Dengan keris di tangan ia. menanti pengejarnya lalu membentak dengan suara nyaring berwibawa.
"Berhenti, atau engkau akan mati di tanganku l"
Laki - laki tinggi besar itu terbelalak dan tertawa, "Ha-ha-ha, engkau semakin manis dan cantik jelita saja! Wah, tidak kalah oleh para; puteri istana ! Mari. manis, marilah engkau-ikut Yuyu Rumpung dan hidup dengan mulia. Aku perajurit gemblengan dan sebentar lagi naik pangkat !" Laki-laki itu menubruk, Puspawati menyambutnya dengan tusukan kerisnya. Akan tetapi yang dihadapinya adalah seorang perajurit kawakan yang sudah berpengalaman. Dengan mudahnya, lengan kanan gadis itu ditangkap, dipuntir sehingga kerisnya terlepas dan di lain saat, tubuh yang ramping itu telah dirangkul dan didekap. Akan tetapi sebelum mulut yang lebar dan basah itu sempat mencium, pundaknya ditampar orang.
"Lepaskan gadis itu "
Tamparan itu membuat Yuyu Rumpung terkejut dan rangkulannya terlepas, tulang pundaknya seperti patah - patah rasanya. Dengan penuh geram dia membalik dan melotot. Kiranya yang menamparnya itu seorang pemuda yang memanggul seorang kakek yang agaknya menderita luka-luka parah. Tentu saja Yuyu Rumpung memandang rendah dan kemarahannya memuncak. Dia adalah seorang perajurit Kediri yang sudah gemblengan dan terkenal di antara kawan-kawannya. Kini, melihat seorang pemuda biasa saja berani menampar pundaknya dan menghalangi kesenangannya, apa lagi menggagalkan dia memetik sekuntum mawar indah ini, tentu saja dia marah sekali. Gadis jelita yang terlepas dari pelukannya itu kini telah lari ke belakang pemuda tadi, agaknya mencari perlidungan.
"Babo-babo keparat! Engkau ini pamongan Singosari berani kurang ajar kepadaku" Haha, belum mengenal tangan besi Yuyu Rumpung kamu !" Setelah berkata demikian, Yuyu Rumpung menyerang dengan ganasnya, tangan ikanannya mencengkeram ke arah leher, tangan kanan dikepal menghantam ke arah muka pemuda itu.
Pemuda itu sedang memanggul tubuh seorang kakek yang agaknya pingsan, dengan tubuh yang luka - luka, memanggulnya di atas pundak kiri dan dirangkulnya dengan lengan kiri. Lengan kanannya saja yang bebas. Akan letapi menghadapi serangan Yuyu Rumpung yang dahsyat itu, dia bersikap tenang saja.
Ketika kedua tangan lawan itu sudah menyambar dekat, dia menggeser kaki ke kiri dan dari kiri tangan kanannya menyambar ke kanan, sekaligus menangkis kedua lengan Yuyu Rumpung. Tenaganya demikian dahsyat sehingga begitu kedua lengan Yuyu Rumpung bertemu dengan tangan pemuda itu, Yuyu Rumpung terpekik dan terpelanting roboh seperti dibanting oleh tenaga raksasa! Yuyu Rumpung penasaran dan semakin marah, akan tetapi begitu dia berusaha bangkit, kaki pemuda itu menyambar bagaikan kilat.
"Krokkkk !" Kaki itu mengenai dagu, demikian kerasnya sehingga tulang leher Yuyu Rumpung patah dan tubuhnya terbanting keras dengan kepala terpuntir ke belakang dan dia tewas seketika!
Sementara itu, Puspawati atau Puteri Tribuwana yang tadi ketakutan, ketika melihat penyerangnya itu mulai berkelahi melawan pemuda yang menolongnya, sudah cepat melarikan diri memasuki rombongan pengungsi. Pemuda itu membalikkan tubuh, dengan pandang matanya mencari-cari, dan ketika dia tidak melihat gadis yang ditolongnya, dia menghela napas.
"Hemm, kalau tidak keliru, dara tadi adalah Sang Puteri Kedaton Tribuwana....... Aduh,
sungguh malang nasib keluarga Sang Prabu...."
Pada saat itu, datang lima orang perajurit yang menjadi marah sekali melihat seorang kawannya menggeletak tewas. Mereka segera mengepung pemuda yang memanggul tubuh kakek itu, dengan parang di tangan. Kemudian, tanpa banyak cakap lagi, mereka menyerang dengan parang, membacok sekenanya, tidak perduli apakah parang mereka itu akan. mengenai si pemuda atau kakek yang dipanggulnya. Tugas mereka sebagai perajurit Kediri, hanyalah membunuh, merampok dan membasmi orang - orang Singosari !
Pemuda itu nampaknya sudah lelah sekali dan selain pakaiannya robek - robek, juga ada beberapa luka di tubuhnya. Kini, menghadapi pengeroyokan lima orang itu, dia mendahului dengan loncatan ke kiri, tangan kanannya menyambar dan robohlah seorang pengepung di sebelah kiri. Ketika empat orang lainnya maju mengejar, kakinya menendang dan kembali seorang di antara mereka roboh dan pemuda itu lalu meloncat dan menghilang di antara rumah - rumah yang mulai terbakar Tiga orang perajurit itu mengejar, namun tidak dapat menemukannya dan mereka menimpakan kemarahan kepada para penduduk yang sedang lari mengungsi. Mereka membabat siapa saja yang mereka temukan!
Siapakah pemuda perkasa itu" Dia adalak seorang pendekar muda yang sakti mandraguna, berjiwa ksatria dan namanya adalah Nurseta. Pemuda ini berusia tigapuluh tahun lebih, berwajah tampan dan bersikap halus dengan pakaian yang sederhana. Biarpun nampaknya saja dia seorang pemuda biasa yang lemah lembut, namun sesungguhnya di dalam tubuhnya mengalir banyak aji kesaktian yang ampuh ! Kalau belum mengenal orangnya, maka tidak akan ada yang menyangka bahwa pemuda tampan yang cambangnya agak tebal, kumis tipis tanpa jenggot ini memiliki kepandaian yang hebat, yang membuatnya menjadi seorang yang digdaya,
Nurseta adalah putera angkat dari Ki Baka, seorang kakek pendekar yang berjiwa pahlawan, seorang ksatria tulen yang ditakuti lawan disegani kawan. Sebagai putera angkat Ki Baka, tentu saja Nurseta mewarisi ilmu - ilmu kakek ini, antara lain yang amat terkenal adalah Aji Sari Patala yang mendatangkan kekuatan dahsyat dari bumi, aji pukulan Bajradenta dan ilmu memberatkan tubuh yang disebut Wandi-ro Kingkin. Kalau hanya mewarisi ilmu - ilmu dari ayah angkatnya saja, belumlah Nurseta dapat dianggap sebagai seorang pemuda yang sakti mandraguna. Dia bahkan mendapat gemblengan dari gurunya, yaitu mendiang Sang Panembahan Sidik Danasura, seorang pertapa .yang sudah mencppai tingkat tinggi dalam ilmu kebatinan. Dari Sang Panembahan ini dia mewarisi aji pukulan yang dinamakan Aji Jagad Pralaya (Dunia Kiamat)! Pemuda perkasa ini pernah membantu Kerajaan Singosari ketika membasmi pemberontakan Mahesa Rangkah dan Raden Wijaya, calon mantu Sang Prabu Kertanagara, dia memperoleh hadiah sebatang keris yang diberi nama Hat Nogo.
Biarpun Nurseta seorang pemuda gagah perkasa, seorang satria utama, namun dia memiliki rahasia pribadi yang amat memprihatinkan hatinya, yaitu kenyataan yang baru diketahuinya setelah dia dewasa bahwa dia hanyalah putera angkat dari Ki Baka dan bahwa sesungguhnya dia adalah putera kandung dari mendiang Pangeran Panji Hardoko dari Kerajaan Kediri l Dia masih darah keturunan keluarga Kerajaan. Daha atau Kediri! Ini masih belum menyedihkan hatinya. Yang membuat dia selama ini merasa prihatin dan terpukul adalah bahwa ibu kandungnya adalah Ni Dedeh Sawitri, seorang wanita tokoh sesat yang terkenal sakti mandraguna akan tetapi juga kejam, jahat, cantik, genit dan cabul, ahli menggunakan racun yang amat keji dan berbahaya!
Kenyataan inilah yang menghancurkan hatinya, yang memisahkan dia dari kekasihnya. Dia saling mencinta dengan Wulansari, gadis cantik jelita dan gagah perkasa yang kini menjadi -
pengawal pribadi Sang Prabu Jayakatwang-Wulansari adalah puteri dari Ki Medang Dangdi seorang di antara para senopati Kerajaan Singosari. Ketika Ki Medang Dangdi mendengar bahwa dia putera kandung Ni Dedeh Sawitri senopati itu dengan bersikeras tidak memperbolehkan puterinya menjadi isterinya! Inilah pukulan batin yang membuat Nurseta melarikan diri karena malu, sedangkan kekasihnya Wulansari juga melarikan diri. Mereka saling, berpisah dan tidak mengetahui keadaan masing-masing.
Ketika .Kerajaan Kediri memberontak dan menyerang Singosari, kebetulan sekali Nurseta. dan Ki Baka sedang berkunjung ke ibu kota-Singosari. Kunjungan ini bukan perjalanan biasa, melainkan karena Ki Baka yang usianya, sudah amat lanjut itu, sudah tujuhpuluh empat tahun lebih, ikut merasa prihatin melihat nasib putera angkatnya yang dikasihinya. Dia mengajak Nurseta ke ibu kota Singosari, untuk menemui Ki Medang Dangdi dan Ki Baka sendiri yang akan melamar Wulansari untuk putera angkatnya, meyakinkan hati Ki Medang Dangdi bahwa biarpun Nurseta putera kandung ibunya yang terkenal jahat, namun sejak kecil dialah yang mendidik Nurseta yang kemudian menjadi murid Sang Panembahan Sidik Danasura.
Pertemuan antara Ki Baka dan Ki Medang Dangdi berlangsung dengan akrab sekali. Ki Medang Dangdi menghormati Ki Baka yang terkenal sebagai seorang pendekar dan pahlawan, walaupun Ki Baka tidak pernah mau memegang jabatan di Kerajaan Singosari. Memang, Ki Baka adalah adik kandung dari mendiang Ki Baya atau Bayaraja yang pernah terkenal sebagai seorang tokoh sesat, seorang penjahat besar yang pernah memberontak kepada Kerajaan Singosari sehingga ditumpas dan tewas. Namun, Ki Baka amat berbeda dari kakaknya itu. Ki Baka selalu membantu pemerintah kerajaan untuk menentang semua pem-be ntakkan dan kejahatan. Inilah sebabnya maka Ki Baka diterima dengan penuh kehormatan oleh Ki Medang Dangdi, senopati Singosari itu.
Ketika Ki Baka mengutarakan maksud ke-datangannya, yaitu dengan resmi meminang Wulansari untuk dijodohkan dengan putera angkatnya dan dengan singkat dia menceritakan riwayat Nurseta, Ki Medang Dangdi menghela napas panjang, dan isterinya yang bernama Warsiyem, juga seorang wanita gagah, nampak berduka.
"Kami telah menyadari kekeliruan kami, Kakang Baka. Memang pada waktu kami mendengar bahwa anakmas Nurseta putera kandung Ni Dedeh Sawitri, hati kami terkejut bukan main. Siapa yang tidak akan merasa ngeri, mendengar nama........iblis betina itu" Maafkan, anakmas Nurseta, kalau aku memakinya. Dan penolakan kami terhadap ikatan jodoh itu ternyata berakibat besar. Puteri kami, Wulansari, lolos dari sini dan pergi tanpa pamit. Kami tidak tahu ke mana anak kami itu pergi-bahkan kabar yang amat menyusahkan hati kami adalah bahwa ia menghambakan diri di Kerajaan Daha."
Nurseta mengerutkan alisnya. Kalau Wulansari meninggalkan rumah, berarti gadis itu memang memberatkan dia dan sungguh - sungguh mencintanya. Mungkin saja gadis itu mengabdi di Kerajaan Kediri, karena bukankah gurunya, Ki Cucut Kalasekti, juga dianugerahi pangkat oleh Sang Prabu Jayakatwang, menjadi Adipati Satyanegara di Bendowinangun "
Ki Baka dapat mengerti akan perasaan hati Nurseta. "Adimas Medang Dangdi. Mengenai kepergian puterimu, biarlah Nurseta yang akan mencarinya, yang penting sekarang apakah adimas berdua dapat menerima pinangan-ku ataukah tidak. Kalau adimas menerima, serahkan saja kepada calon mantu kalian ini; untuk mencari Wulansari sampai dapat."
"Seperti kami telah menyatakan tadi, Kacang Baka, kami merasa menyesal akan kesalahan kami dan tentu saja kami menerima -dengan hati dan kedua tangan terbuka. Bahkan kami menghaturkan terima kasih kepada Ka-kangmas dan juga kepada anakmas Nurseta yang tidak menaruh hati dendam kepada kami, masih sudi datang mengajukan pinangan, Kami terima dengan hati gembira, Kakang. Akan tetapi, tentu saja kami menyerahkan selanjutnya kepada puteri kami sendiri, Kalau ia masih suka menjadi isteri anakmas Nurseta setelah penolakan kami dahulu, kami akan berbahagia sekali."
Lega rasa hati Ki Baka. Tugasnya yang terakhir telah diselesaikannya dengan baik. Dalam usianya yang sudah tua itu, dia merasa prihatin melihat kesengsaraan putera angkatnya yang gagal dalam bercinta, Mereka menjadi tamu yang dihormati di rumah keluarga Ki Medang Dangdi,
Akan tetapi baru sehari Ki Baka dan Nurseta berada di ibu kota, mendadak Ki Medang Dangdi menyampaikan berita akan penyerbuan pasukan Kediri dan bahwa dia harus berangkat untuk membantu Raden Wijaya yang mendapat tugas dari Sang Prabu untuk menyambut serbuan musuh dari utara!
Setelah Ki Medang Dangdi berangkat, Ki Baka dan Nurseta juga pergi untuk melihat keadaan. Demikianlah, ketika pasukan besar dari Kediri menyerbu ibu kota dari selatan, di waktu pasukan kosong karena Sang Prabu Kertanagara menguras semua pasukan untuk diberangkatkan ke utara, terkena tipu daya yang dilakukan pasukan Kediri, Ki Baka dan Nurseta yang berada di ibu kota lalu mengamuk !
"Sejengkal tanah sepercik darah, Nurseta!" bentak Ki Baka ketika mereka berhadapan dengan ratusan orang pasukan dari Kediri,
"Sejengkal tanah sepercik darah, Bapa!" Nurseta juga berseru penuh semangat kepahlawanan, berdiri tegak di samping ayah angkatnya sambil menghunus keris Tlat Nogo hadiah dari Raden Wijaya.
Anak dan ayah angkat itu mengamuk, dikeroyok oleh ratusan orang perajurit! Mereka berdua adalah orang-orang yang digdaya dan sakti mandraguna. Ki Baka yang sudah berusia tujuhpuluh lima tahunan itu mengamuk seperti banteng terluka, juga Nurseta mengamuk seperti seekor harimau kelaparan. Entah berapa banyaknya pihak musuh yang roboh malang melintang dan bertumpuk-tumpuk oleh pengamukan dua orang yang sakti ini. Akan tetapi, makin banyak saja pasukan yang muncul.
Tiba-tiba terdengar suara mendesis seperti" ular, disusul lengkingan panjang dan nyaringi Nurseta dan Ki Baka terkejut. Mereka berdua*, walaupun digdaya dan kebal, tetap saja kewalahan menghadapi pengeroyokan ratusan orang: musuh. Apa lagi Ki Baka yang usianya sudah" tua. Dia sudah lelah sekali, keringat membasahi seluruh tubuh, bahkan kelelahan membuat kekebalannya berkurang dan sudah ada beberapa bagian tubuhnya terluka bacokan Bahkan Nurseta sendiripun sudah mengalami beberapa luka yang ringan di pangkal lengan dan paha, bajunya sudah robek-robek. Lengkingan yang mengandung tenaga dahsyat itu menunjukkan akan munculnya seorang yang memiliki kepandaian tinggi dan kekuatan dahsyat !
Tiba-tiba, orang yang mengeluarkan lengking panjang itu muncul dan kedua orang pahlawan itu makin kaget lagi, Mereka segera mengenal orang ini, yang merupakan datuk sesat yang amat kejam dan licik, juga memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Seorang kakek yang usianya sebaya dengan Ki Baka. mukanya membiru seperti muka ikan dengan mulut yang meruncing. Jubahnya kuning menutupi pakaian adipati dan di sebelah dalam terdapat pakaian yang seperti sisik ikan. Inilah dia datuk sesat Ki Cucut Kalasekti yang1
Tcini telah menjadi Adipati Satyanegara, adipati yang berkuasa di Bendowinangun dekat Kali Campur, daerah Kerajaan Kediri. Kiranya, dalam penyerbuan ke Singosari ini, Adipati Satyanegara atau Ki Cucut Kalasekti juga diperbantukan.
Nurseta juga heran melihat munculnya kakek iblis itu, Dahulu, ketika dia terjerumus ke dalam jurang oleh perbuatan Ki Cucut Ka-? lasekti dan dia bertemu dengan Warsiyem isteri Ki Medang Dangdi atau ibu kandung Wulansari yang oleh Ki Cucut Kalasekti ditawan di dalam guha di tebing maut, dia berhasil memukul roboh datuk sesat itu sehingga pingsan. Kemudian, dia mengajak ibu Wulansari untuk menyelamatkan diri keluar dari guha, mempergunakan perahu milik datuk sesat itu. Datuk sesat itu ditinggalkannya di dalam guha di tebing laut yang curam. Tanpa adanya perahu, bagaimana mungkin kini kakek itu mendadak sudah muncul kembali " Akan tetapi dia lalu teringat akan satu di antara ilmu-ilmu kepandaian Ki Cucut Kalasekti yang luar biasa, yaitu ilmu ikan, atau ilmu bermain di dalam air seperti ikan. Agaknya, bagi kakek itu tidak sukar menyelamatkan diri dari guha di tebing itu dengan terjun ke lautan walaupun tidak ada perahu. TJentu dia pandai menyelam dan berenang di antara ombak-ombak sebesar bukit dari Lautan Selatan dan berhasil mendarat dengan selamat!
Melihat ayah dan anak itu, Adipati Satya-negara tertawa bergelak lalu berkata den u nada angkuh. "Babo - babo, kiranya Ki Baka dan Nurseta yang mengamuk di sini! Pan saja pasukan kocar kacir! Ha-ha-ha, sungguh, kebetulan sekali. Nurseta, di sinilah aku membuat pembalasan karena engkau dan Ki Bak tentu akan mampus di tanganku!" Dia lalu memberi aba-aba kepada pasukan untuk mengeroyok lagi, dan dia sendiri lalu menggerakkan sebatang pedang yang dicabut dari pinggangnya, menyerang Ki Baka
Nurseta hendak melindungi ayah angkatnya yang dia tahu sudah lelah sekali dari serangan lawan yang amat berbahaya itu. Akan tetapv banyak sekali perajurit Kediri sudah mengepung dan mengeroyoknya sehingga tidak ada lain jalan baginya kecuali mengamuk lagi,, mencoba untuk membobolkan kepungan agar dia dapat melindungi ayah angkatnya.
Ki Baka juga dikeroyok banyak perajurit bahkan kini ada bahaya yang selalu mengancam dari pedang Ki Cucut Kalasekti yang amar berbahaya itu. Kakek ini mengamuk dengan? hebatnya. Seorang kakek yang usianya sudah ujuhpuluh empat tahun lebih, akan tetapi tubuhnya yang tinggi besar itu masih kokoh kuat bagaikan batu gunung. Kumisnya yang sudah berwarna putih itu masih tebal dan matanya yang lebar melotot penuh kemarahan. Setiap tendangan atau tamparan tangannya tentu merobohkan seorang pengeroyok dan yang roboh itu tidak mungkin dapat bangkit kembali. Hal ini tidak mengherankan karena tendangannya itu mengandung tenaga sakti Aji Sari Patala, sedangkan tamparan tangannya adalah Aji Bajradenta. Akan tetapi pihak musuh terlalu banyak. Roboh satu maju dua, roboh dua maju empat! Terutama sekali serangan-serangan pedang di tangan Ki Cucut Kalasekti membuat kakek gagah perkasa itu menjadi repot sekali. Terpaksa dia merampas sebatang tombak dan dengan tombak ini dia menangkis sambaran pedang Ki Cucut Kalasekti. Namun, tetap saja tubuhnya menjadi sasaran banyak senjata lawan sehingga penuh luka-luka. luga dua kali ujung pedang Ki Cucut Kalasekti mengenai pundak dan pahanya. Luka oleh pedang ini terasa nyeri bukan main, panas menggigit dan gatal, tanda bahwa pedang itu tentu mengandung racun.
"Wuuuuttt....... desss......" Sebuah ruyung
besi menghantam punggung Ki Baka dari belakang. Ki Baka mengeluh dan muntah darah, tombaknya menyambar ke belakang, menembusi perut lawan yang menghantamkan ruyung.
Akan tetapi, Ki Baka sendiri terhuyung-huyung karena hantaman ruyung tadi membuat dia terluka dalam dadanya dan pandang matanya ber-kunang. Dia maklum bahwa keadaannya terancam maut, maka diapun memekik dengan suara dahsyat, "Sejengkal tanah sepercik darah!!" Tombaknya kembali menyambut para pengepung dan demikian kuatnya dia menusukkan tombaknya sehingga tombak itu menembus perut seorang pengeroyok, tembus ke punggung dan memasuki perut orang ke dua! Akan tetapi, dia mendapat kesulitan untuk mencabut tombak yang menembus tubuh dua orang lawan itu dan pada saat itu, tangan kiri Ki Cucut Kalasekti menyambar ganas,
"Desss........" Dada Ki Baka kena hantaman tangan terbuka dari Ki Cucut Kalasekti. Ki Baka mengeluh lirih dan tubuhnya terjengkang ke belakang dalam keadaan pingsan!
Sementara itu, Nurseta yang mengkhawatirkan keadaan ayah angkatnya, berhasil membobolkan kepungan dengan terjangannya yang dahsyat sehingga ketika dia menerjang maju itu, enam orang perajurit musuh terjengkang dan yang lain merasa jerih dan mundur. Kesempatan ini dipergunakan oleh Nurseta untuk melompat keluar dari kepungan. Pada saat itu dia melihat ayah angkatnya terjengkang oleh pukulan Ki Cucut Kalasekti yang tertawa-tawa bergelak melihat robohnya lawan.
Nurseta melompat ke arah Ki Cucut Kalasekti, mulutnya mengeluarkan teriakan melengking nyaring yang membuat banyak perajurit seperti lumpuh seketika dan banyak pula yang terguling roboh.
"Hyaaaaatttt ........' Angin dahsyat menyambar ke arah Ki Cucut Kalasekti yang terkejut sekali, Kakek ini mencoba untuk menangkis dentan pengerahan tenaganya sambil membacokkan pedangnya.
"Bressss!!" Pedang itu terpental lepas dari tangannya dan tubuh kakek itu sendiri juga terdorong sampai beberapa meter jauhnya kemudian roboh telentang. Hebat sekali pukulan itu, karena pukulan yang dilakukan Nurseta itu adalah Aji Jagad Pralaya! Kalau bukan Ki Cucut Kalasekti, tentu sudah remuk isi dadanya !
Nurseta cepat menyambar tubuh ayah angkatnya, dipanggulnya tubuh itu dan diapun melarikan diri. Ki Cucut Kalasekti bangkit duduk, tidak berani mengejar dan dia memandang ke arah dadanya, bergidik ngeri. Bajunya Sisik Nogo telah pecah ! Padahal, baju itu tidak dapat ditembus senjata tajam yang bagaimanapun ampuhnya.
Demikianlah, ketika dia sedang melarikan tubuh ayah angkatnya yang terluka parah dan pingsan, di dalam perjalanan itu Nurseta melihat Puspawati atau Puteri Tribuwana yang dihadang Yuyu Rumpung yang akan menangkapnya dan Nurseta menyelamatkan puteri itu yang melarikan diri setelah terlepas dari tangan Yuyu Rumpung.
Karena dia sendiri ingin menyelamatkan ayah angkatnya, maka Nurseta tidak dapat mencari lagi puteri itu dan diapun cepat melarikan diri keluar dari ibu kota Singosari yang sedang dilanda kemelut perang itu dan berhasil keluar dari pintu gerbang menuju ke sebuah bukit yang sunyi.
--oo0dw0oo- Maklum akan bahaya yang mengancam Singosari, Raden Wijaya yang mendapatkan tugas mengepalai pasukan untuk menanggulangi penyerbuan pasukan Kediri yang kuat, mengerahkan para pembantunya, yaitu para senopati yang setia kepadanya. Mereka itu antara lain adalah Lembu Sora, Gajah Pagon, Medang Dangdi, Mahesa Wagal, Nambi, Banyak Kapuk, Kebo Kapetengen, Wirota Wirogati, Pamandana dan banyak lagi. Mereka semua dengan semangat tinggi memimpin pasukan Singosari menuju ke Mameling di mana menurut para penduduk yang lari mengungsi, kini telah diduduki oleh pasukan Kediri. Yang menjadi pembantu utama atau juga wakilnya adalah Raden Ardaraja, mantu dari Sang Prabu Kertanagara. Raden Ardaraja ini adalah putera dari Sang Prabu Jayakatwang dari Kediri. Akan tetapi, di hadapan ayah mertuanya, Raden Ardaraja telah bersumpah untuk setia kepada Singosari dan akan menentang ayahnya sendiri yang dianggapnya memberontak dan tidak mengenal budi itu. Raden Wijaya juga sudah percaya sepenuhnya kepada saudara iparnya ini.
Begitu tiba di Mameling, Raden Wijaya dan Raden Ardaraja, dibantu oleh para senopati Singosari, segera mengerahkan pasukan menggempur balatentara musuh. Terjadilah perang tanding yang seru dan mati-matian antara pasukan Singosari dan pasukan Kediri. Akan tetapi segera ternyata bahwa pasukan Kediri yang berada di Mameling itu tidaklah berapa besar. Dengan mudah saja pasukan Singosari dapat mematahkan perlawanan pasukan Kediri dan mereka melarikan diri keluar dari Mameling.
Raden Wijaya merasa penasaran. Dia membagi pasukannya menjadi dua, dan mengadakan perundingan kilat dengan Raden Ardaraja dan para senopatinya.
"Musuh sudah dapat dipukul mundur. Kita harus terus melakukan pengejaran dan memasuki daerah Kediri. Kalau perlu kita terus menggempur Kediri, menghukum para pemberontak itu. Kakangmas Ardaraja, kita membagi pasukan menjadi dua, kakangmas memimpin sebagian menyerbu dari sayap kanan, yang sebagian lagi menyerbu dari kiri dan kupimpin sendiri bersama para pembantuku."
Raden Ardaraja menyetujui dan demikianlah, pisukan Singosari dibagi dua dan mereka melakukan pengejaran terhadap tentara Kediri yang mengundurkan diri. Juga para senopati dibagi dua. Kebo Kapetengeo, Wirota Wiragati dan Pamandana membantu Raden Ardaraja memimpin pasukan melakukan pengejaran dari sayap kanan, sedangkan para senopati lainnya membantu Raden Wijaya.
Akan tetapi, pada sore harinya, tiga orang senopati yang membantu Riden Ardaraja itu berlari-lari kembali menjumpai Raden Wijaya dalam keadaan luka-luka di tubuh mereka.
"Ah, kakang senopati sekalian mengapa mundur dan luka-luka" Apakah bertemu dengan musuh yang lebih kuat?" tanya Radan Wijaya terkejut.
"Celaka, Raden. Agaknya Raden Ardaraja telah berkhianat! Dia membawa pasukan menyeberang dan memihak pasukan Kediri!"
"Apa" Sungguh keparat " Raden Wijaya berseru marah.
"Hamba bertiga tidak setuju dan menolak keinginannya itu. Akibatnya, kami dikeroyok dan terpaksa melarikan diri untuk memberi laporan."
Raden Wijaya termenung. Di dalam batinnya, dia tidak dapat terlalu menyalahkan Ar-daraja. Bagaimanapun juga, yang memberontak adalah ayahnya sendiri Ardaraja berdiri di antara dua api! Di antara ayah kandung dan ayah mertua. Agaknya akhirnya dia memilih berpihak kepada ayahnya sendiri dan membawa pasukan itu untuk berpihak kepada Kerajaan Kediri.
"Kumpulkan sisa pasukan dan hitung ada berapa banyaknya."
Ketika pasukan dikumpulkan, ternyata hanya ada enamratus orang lebih saja. Berat, pikir Raden Wijaya. Kalau Ardaraja memihak Kediri, maka kekuatan pasukannya terlalu lemah untuk dapat mengimbangi pihak musuh yang jauh lebih besar dan banyak. Juga hatinya kesal mendengar akan pengkhianatan Ardaraja. Pada saat itu dia mendengar berita yang amat mengejutkan lagi, yaitu bahwa Singosari telah diserang dan diduduki pasukan Kediri yang menyerbu dari selatan. Mendengar ini, Raden Wijaya lalu menbiwa pasukannya kembali ke Singosari, melakukan perjalanan secepatnya untuk menyelamatkan Singosari.
Namun terlambat. Singosari telah diduduki musuh. Dengan semangat kepahlawanan yang berkobar, dengan nekat, Raden Wijaya memimpin para senopati dan sisa pasukannya untuk menyerbu ke dalam pura Singosari yang sudah diduduki tentara Kediri. Namun, pihak musuh terlalu banyak sehingga selalu usaha Raden Wijaya untuk merebut kembali Singosari itu gagal. Karena pasukannya hanya tinggal sedikit, maka dia hanya mampu mengadakan serangan - serangan kecil di waktu malam, yang hanya merupakan gangguan kecil saja bagi pasukan Kediri yang sudah menguasai Singosari sepenuhnya. Dan setiap hari terjadilah hal - hal mengerikan seperti lajim terjadi di waktu perang. Yang menang lalu mempergunakan kekuasaannya untuk bertindak sewenang-wenang. Perampokan, penyiksaan, perkosaan, penculikan dan pembunuhan terjadi setiap hari!
Keluarga Sang Prabu Kertanagara mengalami kehancuran. Sang Prabu Kertanagara sendiri tewas dalam pertempuran. Banyak selirnya yang ikut pula berbela sungkawa dan berbela pati membunuh diri. Banyak pula yang ditawan oleh pasukan musuh yang menawan mereka dan membawa mereka ke Kediri. Di antara para tawanan ini termasuk pula Sang Puteri Gayatri atau
Pusparasmi yang menjadi tawanan agung dan dibawa ke Kediri. Seperti kita ketahui? dua orang puteri istana itu, Puteri Tribuwana atau Puspawati dan adiknya, Puteri Gayatri atau Pusparasmi, lolos dari istana untuk melarikan diri ketika Singosari diserbu musuh. Akan tetapi mereka berdua berpisah di tengah jalan yang penuh sesak dengan para pengungsi yang melarikan diri. Puteri Gayatri bertemu dengan perajurit musuh, dikenal dan ditawan. Adapun Sang Puteri Tribuwana, hampir saja tertangkap oleh Yuyu Rumpung, seorang perajurit Kediri yang jahat. Untung ia bertemu dengan Nurseta yang berhasil menyelamatkannya dan puteri ini terus menyelinap dan bersembunyi di antara para pengungsi.
Raden Wijaya dan para pengikutnya yang tetia, di antaranya adalah para Senopati Lembu Sora, Gajah Pagon, Medang Dangdi, Mahesa Wagal, Nambi, Banyak Kapuk, Kebo Kapetengan, Wirota Wirogati, Pamandana dan beberapa orang lagi, dengan gigih mengadakan serangan-serangan gerilya di waktu malam untuk mengacaukan pihak musuh yang sudah menduduki Singosari.
Pada malam hari itu, Raden Wijaya dan para pengikutnya seperti biasa menyusup masuk ke dalam pura Singosari dan mengadakan kekacauan dan pembakaran di sana-sini. Pihak musuh membunyikan tanda bahaya dan terjadilah pertempuran kecil-kecilan. Ketika Raden Wijaya sedang mengintai daii tempat gelap, di bawah sinar api kebakaran rumah yang dilakukan para pejuang ini, nampaklah olehnya sesosok bayangan orang melarikan diri menyusup - nyusup antara rumah ke rumah yang sudah kosong ditinggalkan penghuninya yang lari mengungsi. Karena Raden Wijaya khawatir bahwa orang itu jadalah perajurit musuh atau mata-mata yang akan membahayakan kelompoknya kalau sampai diketahui tempat persembunyian mereka, diapun melompat dengan gerakan tangkas, dan di lain saat dia sudah menangkap orang itu pada pundak dan lengannya. Akan tetapi, orang itu mengeluarkan jerit tertahan dan pundaknya lunak dan lembut. Seorang wanitai Dan ketika sinar api menjilat wajah mereka berdua, mereka saling pandang.
"Diajeng Tribuwana......."
"Kakangmas Wijaya......" Gadis bangsawan itu menangis di dada tunangannya.
"Tenanglah, dia jeng dan mari kita cepat keluar dari sini." Raden Wijaya lalu memberi isarat kepada para pengikutnya untuk lolos keluar dari Singosari sambil menggandeng tangan puteri itu.
Baru setelah mereka berada jauh.dari pura dan di tempat aman, keduanya bertangisan dan Tribuwana Dewi menceritakan betapa ia ketika melarikan diri terpisah dari adiknya, Puteri Gayatri dan ia terpaksa bersembunyi di rumah rakyat agar jangan sampai tertawan. Karena keadaan semakin mendesak dan rumah-rumah rakyat setiap hari diserbu dan digeledah, akhirnya malam itu ia berusaha untuk menyelinap keluar dari pura Singosari dan kebetulan sekali bertemu dengah tunangannya. Ia mendengar dari rakyat yang masih setia kepadanya bahwa adiknya, Puteri Gayatri, telah tertawan musuh dan diboyong ke Kediri.
Dalam serbuan - serbuan yang dilakukan oleh Raden Wijaya, jatuh pula korban-korban sehingga pasukannya makin lama menjadi semakin lemah dan kecil jumlahnya. Akhirnya, para senopati membujuk sang pangeran itu untuk mundur saja dan meninggalkan Singosari yang kini sudah dikuasai oleh pasukan Kediri.
"Kalau paduka tidak cepat-cepat pergi mengungsi ke tempat yang aman, lambat laun tentu kita akan terkepung pasukan musuh dan hamba sekalian kiranya tidak akan dapat bertahan menghadapi musuh yang terlalu banyak dan tidak kuat melindungi paduka berdua." kata Lembu Sora kepada Raden Wijaya. Para senopati memang menjadi lebih khawatir setelah Raden Wijaya menemukan Puteri Tribuwana karena bagaimanapun juga, sang puteri itu lebih membutuhkan perlindungan yang ketat.
"Akan tetapi, ke manakah aku harus pergi, kakang Lembu Sora" Di manakah ada tempat yang aman untukku yang kini menjadi pelarian?" tanya Raden Wijaya.
"Maaf, Raden. Agaknya paduka lupa bahwa paduka masih mempunyai seorang kerabat jauh yang dapat dipercaya dan juga bijaksana dan setia kepada Singosari, yaitu Kanjeng Paman Bupati di Sumenep, Madura."
"Ah, Kanjeng Paman Arya Wiraraja" Engkau benar, kakang. Hanya beliau saja yang kiranya dapat kumintai perlindungan. Baik, kita pergi ke sana."
Raden Wijaya bersama para senopati setia yang menjadi pengikutnya, membawa sisa pasukan yang hanya tinggal beberapa ratus orang itu meninggalkan Singosari menuju ke utara. Mereka bermaksud untuk pergi ke Terung, untuk menemui Akuwu Agraja di Terung yang tentu akan suka membantu mereka dengan tenaga-tenaga muda yang menjadi pasukan
Rombongan ini melakukan perjalanan dengan hati-hati agar gerakan mereka tidak diketahui musuh, maka perjalanan banyak dilakukan pada malam ban. Akan tetapi ketika mereka tiba di dusun Kulawan, pada waktu fajar mereka diketahui .oleh pasukan Kediri yang segera menyerang mereka. Terjadilah pertempuran yang berat sebelah yang memaksa Raden Wijaya dan rombongannya untuk melarikan diri ke Kembangsri. Namun di tempat ini mereka juga disergap musuh. Jalan satu-satunya hanyalah menyeberang sungai yang pada saat itu airnya penuh mendekati banjir.
Terjadilah penyeberangan yang dipaksakan dan dalam penyeberangan ini sisa pasukan Raden Wijaya benar - benar hancur! Banyak sekali di antara mereka yang hanyut tenggelam, banyak pula yang tertawan musuh. Namun, Raden Wijaya, Puteri Tribuwana dan para pengikutnya, berjumlah hanya duabelas orang, berhasil menyeberang dan lolos dari pengejaran pasukan Kediri. Mereka terus melarikan diri ke dusun Kudadu dalam keadaan letih, lapar dan kehilangan semangat. Untung bahwa mereka telah berhasil terlepas dari jangkauan musuh, karena dalam keadaan seperti itu, kalau ada musuh menyerbu, mereka sudah tidak memiliki kekuatan lagi untuk melakukan perlawanan. Dalam keadaan seperti itu, Raden Wijaya melihat kenyataan betapa setianya para senopati yang mengikutinya, hal yang membuatnya terharu sekali dan diam-diam dia mencatat jasa mereka,
Perasaan letih, lapar dan lesu- itu segera terobati ketika penduduk dusun Kudadu menyambut pangeran mereka dengan ramah dan penuh kehormatan dan kasih sayang. Ketua dusun itu memimpin penduduknya untuk menanak nasi dan menyediakan lauk - pauknya, menghidangkan makanan dan minuman seadanya kepada rombongan pelarian dari Singosari itu. Bahkan, kepala dusun memesan kepada para penghuni dusun agar merahasiakan kedatangan Raden Wijaya dan Puteri Tribuwana, menyembunyikan mereka agar jangan sampai terdengar musuh akan kehadiran mereka didusun itu,........
Kemudian, setelah melepas lelah di dusun itu, kepala. dusun sendiri mengantar rombongan Raden Wijaya melanjutkan perjalanan, sampai ke Rembang. Semua jasa dari penduduk Kudadu inipun dicatat oleh Raden Wijaya yang merasa berterima kasih sekali. Pangeran yang bijaksana ini tidak pernah melupakan jasa yang sekecil - kecilnya dari mereka yang telah menolongnya ketika dia menderita kesengsaraan sebagai pelarian itu. Apa lagi sikap kepala dusun Kudadu, amat menggugah rasa sukur dan terima kasihnya. Kelak, setelah Raden Wijaya menjadi raja, seluruh daerah Kudadu diberikan kepada kepala dusun dan dinyatakan sebagai daerah merdeka, bebas dari pembayaran pajak dan dapat diwariskan kepada anak keturunan selama-lamanya
Ketika terjadi pertempuran selama penyeberangan sungai, seorang di antara pengikut Raden Wijaya terluka cukup parah. Dia adalah Senopati Gajah Pagon yang terluka oleh senjata musuh di pahanya, Biarpun pahanya terluka parah dan jalannya terpincang - pincang, namun Gajah Pagon tidak mengeluh sedikitpun juga. Jalannya terpincang-pincang dan mukanya agak pucat.
Kttika rombongan itu beristirahat karena selain Gajah Pagon merasa kakinya nyeri dan tubuhnya panas, juga sang puteri merasa lelah sekali, Raden Wijaya yang duduk dilingkari para senopati yang setia itu menyatakan perasaan khawatirnya.
"Kita sedang pergi mengungsi ke Sumenep, Madura. Kita belum tahu bagaimana nanti sikap Kanjeng Paman Bupati Wiraraja. Baik sekali kalah beliau menerima kedatanganku dengan senang hati. Kalau tidak" Tentu aku akan merasa malu sekali,"
"Raden, kiranya tidak ada alasan bagi beliau untuk menolak kedatangan paduka. Bukankah selama ini beliau seorang ponggawa yang amat setia dan bijaksana?" demikian para senopati itu membesarkan hatinya dan perjalanan yang amat melelahkan itupun dilanjutkan. Para senopati bergiliran memikul tandu yang diduduki Puteri Tribuwana.
Ketika mereka tiba di sebuah hutan, tiba-tiba saja dari balik pohon-pohon besar berlompatan sekitar duapuluh orang yang dipimpin oleh seorang kakek yang usianya sudah tujuhpuluh lima tahun, mukanya membiru, mulutnya meruncing seperti muka ikan. Inilah Adipati Bendowinangun, yaitu Adipati Satyanegara atau yang lebih terkenal dengan julukannya, Ki Cucut Kalasekti!
---ooo0dw0ooo--
Jilid 14 TENTU saja rombongan Raden Wijaya yang sudah lelah itu terkejut melihat kakek yang memimpin duapuluh orang itu menghadang di depan mereka. Dari pakaian para perajurit itu saja mereka mengenal bahwa para penghadang itu adalah orang-orang Kediri.
"Hahahaha, akhirnya dapat juga kukepung pelarian dari Singosari. Raden Wijaya, Sang Puteri Tribuwana dan para senopati yang sudah kelelahan. Kalian lebih baik menyerah agar dengan baik-baik kalian kugiring ke Kediri untuk kuhadapkan kepada Sribaginda" kata Ki Cucut Kalasekti dengan lagaknya yang congkak.
Raden Wijaya belum mengenal kakek itu. Dia tahu bahwa para senopatinya sedang lelah, maka kalau dapat dia hendak menghindarkan pertempuran. Sambil menggandeng tangan tunangannya, diapun melangkah maju dan dengan sikap tenang berwibawa, Raden Wijaya bertanya, "Siapakah kau, kakek tua " Kami idak pernah mengenal kau sebagai senopati Kediri, dan mengapa pula kau menghadang perjalanan kami ?"
"Hahaha, Sang Pangeran Raden Wijaya. Aku bukan sekedar seorang senopati, melainkan aku seorang adipati, yaitu Adipati Satyanegara dari Bendowinangun. Sebagai seorang ponggawa Kediri, tentu saja aku membantu Kediri dan aku ditugaskan untuk menangkap rombonganmu. Menyerahlah saja demi keselamatan kalian, dari pada kami harus mempergunakan kekerasan"
Melihat sikap congkak ini, Medang Dangdi melangkah maju. Tentu saja senopati ini marah sekali mendengar bahwa yang berada di depannya adalah orang yang pernah hampir menghancurkan kehidupan isterinya, yaitu, Warsiyem. Ketika dia mengembara ke Singosari, datuk sesat itu telah menculik Warsiyem, memperkosanya dan bahkan menawannya ke dalam goa di tebing, tempat yang seperti neraka di mana Warsiyem merana sampai bertahun-tahun. Akhirnya, Warsiyem dapat bertemu dengan Nurseta, dapat bersama pemuda itu menyelamatkan diri keluar dari goa dan lolos dari cengkeraman manusia iblis Ki Cucut Kalasekti itu, dan bertemu lalu berkumpul kembali dengan dia.
"Babo-babo, keparat laknat manusia iblis Cucut Kalasekti" bentaknya marah, mukanya merah dan dia sudah menghunus kerisnya. "Bukalah mata dan telingamu baik-baik. Kami para senopati Singosari akan melindungi junjungan kami sampai titik darah terakhir. Kami pantang menyerah sebelum nyawa meninggalkan badan. Kebetulan sekali, saat ini aku berkesempatan untuk membalaskan sakit hati yang telah kau timpakan kepada ibunya Wulansari"
Mendengar ini, Ki Cucut Kalasekti mengamati laki-laki yang gagah perkasa itu penuh perhatian. Terkejut juga dia mendengar disebutnya ibunya Wulansari. Akan tetapi, dia menutupi kekagetannya dengan tawanya yang congkak.
"Ha-ha-ha, kiranya engkau ini yang bernama Medang Dangdi" Bagus, kalau begitu memang kalian sudah bosan hidup" Berkata demikian, kakek ini memberi isarat kepada para perajuritnya untuk mengepung dan menyerang. Dia melihat betapa semua senopati Singosari telah mengeluarkan senjata, maka dia maklum bahwa tidak mungkin mereka itu akan sudi menyerah.
Terjadilah pertempuran mati-matian yang amat seru. Andaikata di situ tidak ada Ki Cucut
Kalasekti, tentu para senopati Singosari akan sanggup menandingi pengeroyokan duapuluh orang perajurit Kediri itu, bahkan dengan mudah akan mengalahkan mereka. Akan tetapi di pihak Kediri terdapat kakek sakti Cucut Kalasekti. Dia mengamuk dengan ilmu-ilmunya yang dahsyat. Pukulan dengan Aji Gelap Sewu, juga Aji Segoro Umub terlalu kuat bagi para senopati itu sehingga mereka terdesak. hebat, dan beberapa orang senopati bahkan telah menderita luka-luka, biarpun mereka semua, termasuk Raden Wijaya, masih terus membela diri dan melindungi Sang Putri Tribuwana.
Keadaan para senopati Singosari kini terdesak hebat dan agaknya tak lama kemudian mereka itu akan roboh satu demi satu. Pada saat itu, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring sekali.
"Ki Cucut Kalasekti, keparat jahanam yang selalu mengumbar nafsu kejahatan di mana-mana" Dan muncullah seorang kakek berusia hampir enampuluh tahun, berpakaian serba hitam dengan baju terbuka di bagian dada memperlihatkan dada yang berbulu, mukanya brewok, matanya lebar dan tajam mencorong. kurus akan tetapi tulang-tulangnya besar kokoh kuat, perutnya gendut. Dia adalah Ki Jembros seorang tokoh besar yang gagah perkasa, terkenal sebagai seorang gagah yang setia kepada Singosari walaupun dia tidak pernah menjadi senopati. Terkenal pula sebagai seorang penentang kejahatan.
Di samping Ki Jembros nampak seorang pemuda tampan yang bukan lain adalah Nurseta. Seperti kita ketahui, Nurseta bersama ayah angkatnya, yaitu Ki Baka, ikut mengamuk mempertahankan Singosari ketika pasukan Kediri menyerbu. Namun, Ki Baka terluka parah oleh pukulan Ki Cucut Kalasekti sehingga Nurseta menyelamatkannya dan membawanya lari. Dalam pelarian ini, Nurseta, sempat menyelamatkan Sang puteri Tribuwana dari tangan Yuyu Rumpung. Dia kehilangan sang puteri yang telah melarikan diri menyusup diantara para pengungsi. Melihat keadaan ayah angkatnya yang payah, Nurseta lalu melarikan Ki Baka keluar dari pura, membawanya ke dalam hutan. Dengan segala daya upayanya, dicobanya untuk mengobati ayah angkatnya, namun sia-sia. Pukulan Ki Cucut Kalasekti itu terlalu hebat, mengandung hawa beracun dan akhirnya Ki Baka yang usianya sudah tujuhpuluh lima tahun itupun meninggal dunia dalam rangkulan Nurseta.
Kematian Ki Baka diterima sewajarnya oleh Nurseta. Dia tidak mendendam kepada Ki Cucut Kalasekti, karena dia maklum bahwa Ki Baka tewas sebagai seorang pejuang, gugur sebagai kesuma bangsa seperti yang selal diharapkan oleh kakek yang gagah perkasa dan berjiwa pahlawan itu. Namun, kematian itu memperbesar semangatnya untuk membela Singosari yang sudah jatuh. Dia masih teringat akan pesan mendiang Panembahan Sidik Danasura bahwa kelak yang menjadi raja penerus di Nusantara adalah Raden Wijaya. Oleh karena itu, kini timbul semangatnya untuk mengabdikan diri atau membantu perjuangan Raden Wijaya. Dia mengubur jenazah ayah angkatnya, kemudian diapun melakukan penyelidikan di mana adanya Raden Wijaya yang hendak dibantunya itu. Ketika mendengar betapa pasukan Raden Wijaya dihancurkan musuh dan kini pangeran itu melarikan diri bersama pengikutnya, dia merasa prihatin sekali dan cepat-cepat dia melakukan pengejaran.
Demikianlah maka pada saat rombongan Raden Wijaya terancam malapetaka ketika diserang oleh Adipati Satyanegara atau Ki Cucut Kalasekti bersama pasukannya, dia muncul dan segera membentak nyaring.
"Ki Cucut Kalasekti, akulah lawanmu" berkata demikian, Nurseta sudah menerjang kakek itu. Melihat munculnya Nurseta, Ki Jembros menjadi girang bukan main. Dia tentu saja mengenal Nurseta yang dia tahu telah digembleng oleh mendiang Panembahan Sidik Danasura, dan kalau tadi dia nekat membant Raden Wijaya menghadapi Ki Cucut Kalasekti, adalah terdorong oleh kesetiaannya. Dia maklum bahwa dia sama sekali tidak akan mampu menandingi kakek dari Blambangan yang amat sakti itu.
"Bagus engkau datang, Nurseta" seru Ki Jembros. "Hadapi cucut busuk itu, aku akan menghajar anak buahnya" Dan diapun membantu para senopati, mengamuk dengan hebat. Kakek brewokan ini memiliki aji kekebalan yang disebut Aji Trenggiling Wesi. Kalau tubuhnya sudah bergulungan ke arah musuh, biar dihujani senjata bagaimanapun juga, tidak ada bacokan yang mampu menembus kekebalannya. Kemudian, Aji Hastobairowo, yaitu pukulan kedua tangannya yang ampuh, selalu merobohkan setiap orang pengeroyok yang, terkena pukulan ampuh itu.
Bangkitlah semangat para senopati melihat munculnya dua orang gagah perkasa ini dan merekapun menghajar anak buah Ki Cucut Kalasekti sehingga dalam waktu singkat saja, duapuluh orang anak buah Ki Cucut Kalasekti sudah roboh semua.
Sementara itu, perkelahian antara Ki Cucut Kalasekti dan Nurseta berlangsung amat hebatnya. Nurseta yang maklum betapa saktinya kakek yang menjadi lawannya, tidak mau membuang banyak waktu dengan ilmu-ilmu yang lain. Dia segera mengerahkan aji pukulan Jagad Pralaya yang dipelajarinya dari mendiang Panembahan Sidik Danasura. Memang kakek sakti itu sudah memesan kepadanya agar dia tidak sembarangan mengeluarkan aji pukulan ampuh ini kalau tidak amat terpaksa. Namun Nurseta maklum bahwa menghadapi Ki Cucut Kalasekti, kiranya hanya aji kesaktian ini sajalah yang akan mampu menahannya.
Kenyataannya memang demikian. Begitu menghadapi aji pukulan ini, Ki Cucut Kalasekti beberapa kali terdorong mundur sampai terhuyung. Tidak kuat dia menahan aji pukulan dahsyat yang mengandung hawa panas itu. Namun, dia memang amat pandai. Karena tidak; mungkin melawan aji pukulan pemuda itu dengan mengadu tenaga, diapun mempergunakan kelincahannya, selalu menghindarkan diri dari sambaran pukulan itu dan membalas dari samping atau dari belakang, mengandalkan kelincahan gerakannya. Maka, terpaksa Nurseta mengeluarkan Aji Brajadenta yang dipelajarinya dari mendiang Ki Baka, yang memiliki gerakan lebih cepat, namun aji pukulan ini, biarpun cukup hebat, tldaklah sedahsyat Jagad Pralaya (Dunia Kiamat).
Melihat betapa duapuluh orang anak buahnya sudah roboh, hati Ki Cucut Kalasekti menjadi semakin gentar. Apa lagi kini Ki Jembros dan para senopati Singosari, yang rata-rata merupakan ksatria-ksatria yang gagah perkasa, sudah maju dan siap mengeroyoknya. Dia dapat celaka di tangan mereka, pikirnya, maka tiba-tiba dia mengeluarkan suara mendesis seperti seekor ular dan dari mulutnya menyambar uap hitam. Semua senopati terkejut, tidak berani maju dan kesempatan itu dipergunakan oleh Ki Cucut Kalasekti untuk meloncat jaurr dan melarikan diri.
Ki Jembros dan Nurseta segera menghaturkan sembah kepada Raden Wijaya yang merasa girang sekali bahwa keselamatan dia serombongannya telah diselamatkan oleh dua orang gagah perkasa ini. Dari mereka dia memperoleh keterangan bahwa mereka itu muncul secara kebetulan saja.
"Kakangmas, ki sanak inilah yang telah menyelamatkan saya dari cengkeraman penjahat yang hendak menangkap saya ketika lari mengungsi, seperti pernah saya ceritakan padamu" kata Puteri Tribuwana.
Raden Wijaya berseru girang. "Ah, kiranya kau pula yang telah menyelamatkan sang puteri, Nurseta. Akan tetapi, benarkah ketika itu engkau memanggul seorang kakek yang terluka?"
"Benar sekali, Raden. Yang hamba panggul itu adalah mendiang Ki Baka, ayah angkat hamba yang terluka parah oleh pukulan Ki Cucut Kalasekti pula, yang kemudian menyebabkan kematiannya.
"Jagad Dewa Bathara........" tiba-tiba Ki Jembros berseru lantang. "Jadi Kakang Baka telah tewas........?"
"Benar sekali, paman" kata Nurseta.
Raden Wijaya lalu mengajak semua pengikutnya untuk mencari tempat yang bersih dan sunyi untuk berunding, agar tidak sampai percakapan mereka terdengar oleh para anak buah Ki Cucut Kalasekti yang diantaranya ada yang belum tewas dan hanya terluka.
Setelah memasuki sebuah hutan kecil, merekapun bercakap-cakap dengan leluasa. Tentu saja mereka membicarakan keadaan Singosari yang sudah terjatuh ke tangan orang-orang Kediri. Nurseta juga menceritakan keadaan Singosari seperti yang dilihatnya. Demikian pula Ki Jembros. Mendengar akan keadaan Singosari yang sudah sepenuhnya dikuasai musuh, Raden Wijaya merasa berduka sekali.
"Sungguh tidak kusangka sama sekali bahwa Paman Prabu Jayakatwang dari Kediri sampai hati menyerbu Singosari, pada hal Kerajaan Singosari telah memperlakukannya dengan baik-baik. Juga amat mengherankan bagaimana dia sampai berhasil" Pangeran Wijaya termenung sedih.
"Inilah akibat dari kelalaian yang telah dilakukan oleh Sang Prabu, Raden. Pasukan yang kuat dikirim ke Melayu, dan kekuatan pasukan anyak berkurang karena telah dipergunakan untuk menggempur Bali dan daerah lain. Dalam keadaan kosong dan kekuatan pasukan kecil, maka Raja Kediri lalu menyerbu dan pasukan mereka jauh lebih besar dan lebih kuat" kata Lembu Sora dengan penuh penyesalan.
Mendengar ayah mertuanya dipersalahkan, hati Raden Wijaya merasa tidak enak kepada tunangannya, yaitu Puteri Tribuwana, maka diapun cepat berkata, "Maksud dari Ramanda Prabu memang baik, meluaskan wilayah dan menjalin hubungan baik dengan negara lain di seberang, Akan tetapi sungguh mengherankan bagaimana Kediri dapat menghimpun kekuatan demikian cepatnya, dan kuat pula. Sekarang, yang menjadi persoalan adalah bagaimana kita akan mampu menjatuhkan kekuatan Kediri yang telah menguasai Singosari"
"Bagaimana mungkin hal itu dapat dilakukan tanpa memiliki pasukan yang kuat, Raden?" kata Lembu Sora. "Nanti setelah paduka menapatkan tempat yang aman, yaitu di Madura, barulah perlahan-lahan paduka menghimpun pula kekuatan pasukan untuk menggempur dan melakukan pembalasan, merebut kembali Singosari dan menjatuhkan Kediri"
Raden Wijaya menganggukangguk dan semua senopati menyetujui pendapat Lembu Sora itu. Melihat betapa Nurseta seolah-olah hendak bicara akan tetapi selalu ditahannya, Raden Wijaya lalu berkata.
"Nurseta, walaupun kau bukan senopati Singosari, namun sudah berkali-kali kau membuat jasa besar. Dahulu membantu penumpasan Mahesa Rangkah yang memberontak, sekarang juga engkau telah menyelamatkan kami. Bagaimana menurut pendapa melihat keadaan sekarang ini ?"
Memang tadinya Nurseta hendak mengemukakan sesuatu akan tetapi ragu-ragu karena dia tidak berani lancang bicara. Dia bukan seorang ponggawa Singosari dan bukan bawahan Raden Wijaya. Kini, mendengar uluran tangan Raden Wijaya, dia menjadi berani dan menyembah.
"Mohon maaf, Raden. Agaknya hamba dapat menduga apa yang menyebabkan Raja Kediri sampai berhasil menundukkan Singosari"
Para senopati dan Raden Wijaya memandang dengan penuh perhatian. "Benarkah, Nurseta " Lalu apa yang menyebabkannya ?"
"Karena Kediri memiliki tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala"
Semua orang terkejut, dan Raden Wijaya berseru. "Tejanirmala" Kami sudah mendengar tentang pusaka itu " Apakah itu merupakan pusaka yang mengandung wahyu kerajaan?"
"Mungkin saja, Raden. Pusaka itu peninggalan Sang Prabu Sanjaya di Kerajaan Mataram, lebih dari limaratus tahun yang lalu. Tadinya, pusaka Ki Ageng Tejanirmala menjadi milik mendiang Ki Baka, ayah angkat hamba"
"Eh " Lalu bagaimana sampai dapat terjatuh ke tangan Raja Kediri?" Raden Wijaya bertanya dengan penuh perhatian karena hatinya merasa tertarik sekali.
Nurseta melirik ke arah Ki Medang Dangdi, ayah Wulansari. Ki Medang Dangdi balas memandang. Senopati ini sejak tadi hanya mendengarkan saja, dan diam-diam dia amat kagum kepada pemuda yang pernah ditolaknya menjadi suami puterinya itu. Diapun merasa ikut berduka mendengar betapa Ki Baka, kakek perkasa yang baru saja bertamu di rumahnya, telah gugur dalam membela Singosari yang diserbu musuh.
"Pusaka itu terampas oleh Wiku Bayunirada dari tangan ayah angkat hamba, kemudian diperebutkan oleh banyak orang. Akhirnya pusaka itu dapat terampas dari tangan
Wiku Bayunirada dan terjatuh ke tangan...... diajeng Wulansari......" Kembali Nurseta me
lirik ke arah Ki Medang Dangdi karena merasa tidak enak harus menyebut nama gadis itu.
Melihat sikap pemuda ini, Ki Medang' Dangdi menganggukangguk perlahan seolaholeh memberi isarat kepada Nurseta agar jangan ragu-ragu menceritakan tentang puterinya itu.
"Wulansari" Siapakah ia?" tanya Raden Wijaya, makin tertarik.
Melihat keraguan Nurseta, Ki Medang Dangdi lalu berkata, "Raden, Wulansari adalah anak perempuan hamba yang sejak kecil berpisah dari hamba dan kemudian menjadi murid Ki Cucut Kalasekti. Anakmas Nurseta, lanjutkanlah ceritamu dan jangan ragu-ragu"
Raden Wijaya menjadi semakin tertarik, "Puterimu, Paman Medang Dangdi" Wah, sungguh menarik. Nurseta, lanjutkan ceritamu"
"Pusaka Ki Ageng Tejanirmala itu terjatuh ke tangan diajeng Wulansari dan hamba melakukan pengejaran ke daerah Kediri. Ternyata. pusaka itu oleh diajeng Wulansari telah diserahkan kepada gurunya, yaitu Ki Cucut Kalasekti"
"Hemm, sungguh aneh. Bagaimana puterimu" sampai dapat menjadi murid seorang sakti
yang jahat seperti Ki Cucut Kalasekti itu, paman?" kata Raden Wijaya kepada Ki Medang Dangdi. Senopati ini segera menyembah, hatinya terasa perih karena dia teringat akan semua peristiwa yang menimpa isterinya dan puterinya. Kinipun, dia teringat kepada isterinya berpisah pula darinya ketika terjadi penyerbuan pasukan Kediri di Singosari.
Dia mengikuti Raden Wijaya dan entah bagaimana dengan isterinya yang ketika itu dia ditinggalkan di rumah.
"Raden, anak perempuan hamba itu berpisah dari hamba sejak kecil dan kemudian ia diambil murid olah Ki Cucut Kalasekti" Hanya itulah yang dia katakan dan Raden Wijaya yang bijaksana itu dapat mengerti bahwa tentu ada suatu rahasia yang agaknya hendak disimpan oleh Ki Medang Dangdi, maka diapun tidak mendesak lebih jauh. Raden Wijaya adalah seorang yang bijaksana dan menghormati rahasia pribadi semua orang. Dia mengangguk, lalu bertanya kepada Nurseta.
"Lalu bagaimana lanjutan ceritamu, Nurseta"
"Pusaka Ki Tejanirmala yang terjatuh ke tangan Ki Cucut Kalasakti itu lalu diserahkan kepada Sang Prabu Jayakatwang dari Kediri dengan imbalan kedudukan adipati di Bendowinangun bagi Ki Cucut Kalasekti"
"Ah, pantas saja dia kini membela Kediri" kata Raden Wijaya. "Dan pantas saja keadaan Kediri demikian kuatnya. Ki Tejanirmala telah berada di sana" Ucapannya ini mengandung penyesalan besar sehingga Ki Medang Dangdi menundukkan mukanya, merasa terpukul karena bagaimanapun juga, puterinyalah yang menjadi gara-gara sehingga pusaka itu terjatuh ke tangan Raja Kediri.
"Habis, bagaimana baiknya sekarang" Pusaka itu telah berada di Kediri, apakah tidak ada harapan lagi bagi kita untuk merebut kembali Singosari?" Pertanyaan ini diajukan kepada semua yang hadir. Para senopati juga terdiam, masih terkesan oleh cerita Nurseta tadi. Tak mereka sangka bahwa pusaka yang dikabarkan amat ampuh itu kini telah menjadi pusaka Kerajaan Kediri. Mungkin pusaka itulah yang membuat Kediri menjadi jaya.
Melihat kekecewaan dan kedukaan membayang di wajah Raden Wijaya, Nurseta segera menyembah. "Raden, ketika ayah angkat hamba hendak meninggal dunia, beliau berpesan kepada hamba bahwa hamba harus mencari dan merampas kembali pusaka Ki Ageng Tejanirmala itu, kemudian kalau sudah hamba dapatkan, hamba harus menyerahkannya kepada paduka, Raden"
Mendengar ini, teibelalak mata Raden Wijaya dan dia memandang kepada Nurseta dengan wajah berseri. "Jagad Dewa Bhathara............. Begitu mulia hati mendiang Paman Baka, demikian setia. Nurseta, sebelumnya kami mengucap banyak terima kasih atas kemurahan hati mendiang ayah angkatmu, dan terima kasih kepadamu yang hendak merampas kembali Ki Ageng Tejanirmala. Apakah yang kau perlukan untuk tugas itu" Apakah engkau membutuhkan teman" Boleh kaupilih diantara para senopatiku"
Para senopati itu dengan penuh gairah siap untuk membantu. Akan tetapi Nurseta menggeleng kepala. "Raden, satu-satunya jalan untuk dapat merampas kembali pusaka itu hanyalah bahwa hamba harus menyusup ke dalam pura Kerajaan Kediri. Hal ini dapat hamba lakukan karena hamba tidak dikenal. Sebaliknya, tidak mungkin kalau seorang diantara senopati Singosari yang menyusup ke sana, tentu akan dikenal dan ditangkap. Biarlah hamba akan lakukan hal itu seorang diri saja, sebagai tugas yang diberikan oleh mendiang ayah angkat hamba, dan juga sebagai tugas dari paduka"
"Baiklah, Nurseta. Mulai saat ini juga engkau kutugaskan untuk mencari dan merampas pusaka itu, dan kelak kalau berhasil, engkau boleh minta apa saja dariku Sebagai imbalan, tentu akan kupenuhi permintaanmu itu"
Para senopati saling pandang dan mengerutkan alisnya. Janji yang diberikan Raden Wijaya itu terlalu muluk dan kalau orang yang menerima janji itu seorang yang rakus dan tamak, tentu akan dapat menimbulkan hal-hal yang menggegerkan kelak. Bayangkan saja, akan dipenuhi permintaan apa saja dari pangeran itu.
Nurseta menyembah, lalu minta diri dan meninggalkan tempat itu untuk mulai melaksanakan tugasnya yang sulit dan berat. Namun, Nurseta akan melaksanakan tugas ini dengan sepenuh batinya. Bagi dia, bukan hanya mencari dan merampas kembali Ki Ageng Tejanirmala saja inti dari perjalanan dan tugasnya itu, melainkan juga berarti mencari dan berusaha menguasai kembali hati Wulansari.
Rombongan Raden Wijaya juga melanjutkan perjalanan, diiringkan oleh para Senopatinya, sedangkan Ki Jembros sudah pula memisahkan diri karena ksatria ini tidak pernah mau terlibat langsung sebagai seorang ponggawa. Dia ingin bebas, walaupun dia selalu siap membela Raden Wijaya.
Kepala dusun Pandakan bernama Ki Macan Kuping. Ketika rombongan Raden Wijaya tiba di Pandakan, mereka disambut dengan penuh keramahan dan kehormatan oleh Macan Kuping dan seluruh penduduk dusun Pandakan. Mereka dipersilakan duduk di ruangan rumah kepala dusun dan dijamu hidangan nasi putih dengan lauk pauknya, dan kelapa muda. Kembali Raden Wijaya merasa terharu dan berterima kasih atas sambutan yang amat baik dari penduduk dusun Pandakan ini.
Ketika rombongan itu melanjutkan perjalanan menuju ke Madura. Gajah Pagon terpaksa ditinggalkan di dusun Pandakan itu. Luka di kakinya terlalu parah dan dia perlu beristirahat dan berobat. Karena Ki Macan Kuping maklum bahwa kalau Gajah Pagon yang merupakan seorang senopati Singosari itu sampai kedapatan pasukan Kediri, tentu orang-orang di seluruh Pandakan akan celaka. Maka dia lalu menyembunyikan Gajah Pagon di tengah-tengah kebun yang penuh ilalang, dan diamdiam dia dirawat oleh penduduk Pandakan.
Perjalanan Raden Wijaya dan Puteri Tribuwana sungguh merupakan perjalanan yang amat sukar. Terutama sekali bagi sang putri, sungguh perjalanan itu amat sengsara dan melelahkan. Untung bagi mereka bahwa para pengikut Raden Wijaya adalah orang-orang gagah yang amat setia kepada junjungan mereka. Mereka semua berusaha sedapat mungkin untuk membuat perjalanan itu tidak terlalu melelahkan bagi sang puteri.
Akhirnya, tibalah rombongan ini di daerah Sumenep setelah melakukan penyeberangan yang bukan tidak mengandung bahaya di tengah lautan atau selat yang lebar itu. Setelah tiba di daerah Sumenep, di pesisir mereka berhenti dan Raden Wijaya lalu mengutus Lembu Sora untuk melakukan penyelidikan ke Sumenep, melihat apakah Arya Wiraraja berada di kabupaten. Tentu saja Riden Wijaya dan para senopatinya sama sekali tidak pernah mimpi bahwa sesungguhnya penyerbuan pasukan dari Kediri yang menduduki Singosari itu adalah akibat dari bujukan Arya Wiraraja.
Lembu Sora segera melakukan penyelidikan dan dia melihat bahwa Sang Bupati itu sedang dihadap para ponggawanya di pendapa kabupaten. Lembu Sora segera melaporkan hal ini kepada Raden Wijaya. Rombongan itu lalu cepat memasuki kota Sumenep dan menuju ke Kabupaten.
Ketika itu, Arya Wiraraja, juga disebut Banyak Wide, Bupati Sumenep, Madura, sedang dihadap para ponggawa dan pembantunya. Mereka tentu saja membicarakan peristiwa yang menggegerkan Singosari, yaitu penyerbuan pasukan Kediri yang menduduki Singosari dan betapa Sang Prabu Kertanagara telah gugur. Di depan para ponggawanya yang sama sekali tidak tahu akan peranan yang dipegang bupati itu dalam peristiwa pengkhianatan Raja Kediri, Arya Wiraraja memperlihatkan sikap duka mendengar tewasnya Sang Prabu Kertanagara dan khawatir akan nasib keluarga raja itu. Akan tetapi, para ponggawanya juga tidak mengemukakan pendapat mereka, karena mereka tahu bahwa atasan mereka itu tidak ingin melibatkan diri dengan perang itu.
Selagi mereka berbincang-bincang, tiba-tiba mereka melihat rombongan Raden Wijaya berjalan di alun-alun depan pendapa, menghampiri pendapa itu. Melihat ini, tentu saja mereka semua terkejut. Arya Wiraraja lalu membubarkan semua ponggawanya yang juga menjadi bingung melihat munculnya pangeran dari Singosari yang tidak mereka sangka-sangka itu, sedangkan Bupati Arya Wiraraja juga tergesa-gesa meninggalkan balairung, pulang ke dalam rumah gedungnya tanpa menemui atau menyambut kedatangan rombongan itu.
Melihat ini, dan menemukan pendapa itu telah kosong, dan mendengar keterangan perajurit penjaga bahwa Sang Bupati telah pulang sedangkan para ponggawa juga pergi setelah persidangan Itu dibubarkan tiba-tiba, tentu saja hati Raden Wijaya merasa tidak enak sekali.
"Nah, terjadilah seperti apa yang kukhawatirkan" katanya menarik napas panjang.
"Jagad Dewa Bathara........ betapa malunya hati ini menerima kenyataan yang amat pahit ini. Jauh lebih baik kalau kita tinggal di Singosari dan gugur sebagai kesuma bangsa dari pada menjadi pelarian yang terhina dinegeri orang ......." Para senopati juga merasa terpukul dan mereka merasa kasihan mendengar keluh kesah junjungan mereka.
Selagi Raden Wijaya dan para pengikutnya kebingungan dan tidak tahu apa yang harus mereka lakukan selanjutnya, tiba-tiba saja mereka melihat Arya Wiraraja datang tergopoh-gopoh diiringkan seluruh keluarganya, dengan pakaian kebesaran dan membawa hidangan persembahan sirih dan juga kereta dan kuda, menyambut Raden Wijaya dan Puteri Tribuwana. Arya Wiraraja memberi hormat, demikian pula keluarganya, dan mengadakan penyambutan yang amat ramah dan penuh hormat, seolah-olah Raden Wijaya masih seorang pangeran dan junjungan dari Singosari, bukan seorang pelarian yang kalah perang
Tentu saja peristiwa ini melegakan hati Raden Wijaya. Kiranya tadi Arya Wiraraja membubarkan persidangan dan tergesa-gesa meninggalkan pendopo bukan untuk menghindarinya, melainkan untuk berkemas-kemas mengadakan penyambutan yang layak untuk menghormatinya.
Memang demikianlah apa yang dialami kemudian. Keluarga bupati itu menyambut penuh kehormatan, mempersilakan Raden Wijaya menunggang kuda dan puteri Tribuwana menunggang kereta, dan keluarga itu sendiri berjalan kaki mengiringkan di belakang. Setibanya di dalam gedung tamu-tamu agung itu mendapat pesalin pakaian bersih, bermandikan air bunga, dan memperoleh kamar-kamar yang terbesar, dijamu makan minum yang mewah.
Raden Wijaya bersukur bukan main. Setelah membicarakan peristiwa kejatuhan Singosari di tangan Raja Kediri, Bupati Wiraraja lalu berkata dengan sikap hormat.
"Dengan hati yang penuh duka dan penyesalan, namun tidak berdaya, kami telah mendengar tentang peristiwa itu, Raden. Lalu, apakah rencana paduka selanjutnya ?"
"Kanjeng paman, kalau sekiranya kanjeng paman mengijinkan, untuk sementara ini saya ingin tinggal dulu di sini, menghimpun kekuatan untuk kelak melakukan pembalasan atas pengkhianatan Paman Jayakatwang" jawab Raden Wijaya sambil mengepal tinju.
Arya Wiraraja menarik napas panjang. "Memang cita-cita itu baik sekali, Sang Pangeran. Tentu saja paduka dapat tinggal di sini dan anggaplah ini sebagai rumah paduka sendiri. Akan tetapi tentang pembalasan itu, sebaiknya paduka berhati-hati dan tidak tergesa-gesa, semua harus diatur bagaimana baiknya karena pada waktu ini, kekuatan pasukan Daha amatlah besarnya"
Demikianlah, Raden Wijaya dan para pengikutnya tinggal di Sumenep dengan aman walaupun hati mereka selalu ingin mencari kesempatan untuk membalas atas kekalahan Singosari yang amat menyakitkan hati itu.
*** Wulansari menerima sebuah tugas baru, yaitu menemani dan menjaga keselamatan seorang tawanan, yaitu Sang Puteri Gayatri atau Pusparasmi, Puteri yang ditawan ini adalah adik dari Puteri Tribuwana, puteri dari mendiang Sang Prabu Kertanagara yang sudah ditunangkan dengan Raden Wijaya. Ada pun Sang Puteri Tribuwana yang tadinya berlari dari istana bersama Puteri Gayatri kemudian mereka terpisah, telah ditemukan oleh Raden Wijaya. Puteri Gayatri ditangkap, ditawan dibawa ke istana Daha atau Kediri. Biarpun ia seorang tawanan, namun ia diperlakukan dengan hormat karena ia adalah puteri Raja Singosari. Bahkan seorang diantara saudaranya, seorang puteri yang lahir dari selir, telah menjadi mantu Raja Jayakatwang dari Daha atau Kediri itu.
Berbeda dengan Puteri Tribuwana yang berwatak halus dan Iembut, Puteri Gayatri atau juga disebut Pusparasmi ini, yang baru berusia tujuhbelas tahun, adalah seorang gadis remaja yang kenes, galak dan pemberani. Kecantikan dan daya tariknya juga berbeda dari kakaknya. Kalau Puteri Tribuwana seorang gadis yang berkulit kuning langsat, wajahnya cantik dan bulat seperti bulan purnama, wataknya halus lembut dan tenang, sebaliknya Puteri Gayatri ini berkulit hitam manis, wajahnya cantik manis dengan dagu meruncing. Wataknya agak keras, pemberani dan pandai bicara, manja, jenaka dan periang sehingga nampak kegenit-genitan. Namun, seperti juga para puteri istana lainnya, masih jelas nampak darah kebangsawanannya, nampak pada bulu mata yang lentik itu, sinar mata yang tajam, lekukan dagu dan bibir.
Biarpun hatinya merasa amat berduka mendengar bahwa ayahnya telah tewas, keluarganya hancur berantakan, banyak diantara puteri yang tewas atau menjadi korban kebiadaban para perajurit Daha, dan ia sendiri kehilangan kakaknya tercinta, yaitu Puteri Tribuwana, namun Puteri Gayatri tidak mau menangis lagi setelah tiba di istana Daha la memperlihatkan sikap angkuh, bukan seperti seorang puteri tawanan dan ia bahkan tidak pernah mau menjawab kalau ditanya oleh Raja Daha dan keluarganya. Bahkan puteri Singosari yang menjadi mantu Sang Prabu Jayakatwang, yaitu kakaknya sendiri berlainan ibu, tidak mampu menundukkan hati Puteri Gayatri, yang juga menganggap kakaknya ini sebagai keluarga pengkhianat dan musuh besarnya.
Keluarga Sang Prabu Jayakatwang kewalahan menghadapi sikap puteri yang galak ini, dan akhirnya Wulansari yang menerima tugas untuk menemaninya dan juga menjaga keselamatannya, bukan hanya dari ancaman luar, melainkan menjaga agar puteri yang berani itu tidak sampai nekat membunuh diri. Memang benar bahwa puteri itu tidak kelihatan berduka sehingga tidak ada alasan untuk dikhawatirkan membunuh diri, akan tetapi sejak ditawan, sudah dua hari lamanya setibanya di istana Daha, Puteri Gayatri tidak mau makan atau minum sehingga wajahnya mulai pucat. Dikhawatirkan kalau sang puteri akan berpuasa sampai mati.
Ketika pertama kali Wulansari menerima tugas ini, di dalam hati ia merasa penasaran. Ia adalah seorang wanita digdaya, biasanya ia diserahi tugas menjadi pengawal pribadi Sang Prabu jayakatwang dengan kesaktiannya, ia menjamin keamanan dan keselamatan raja, ia selalu waspada dan ia merasa dirinya besar dan berkedudukan tinggi. Betapa tidak " Sang Prabu Jayakatwang, Raja Daha, telah begitu mempercayainya sehingga ia menjadi orang nomor dua di dalam istana. Tidak ada rahasia raja yang tidak diketahuinya, bahkan benda-benda pusaka dapat diambilnya setiap saat. Semua orang dalam istana segan dan takut kepadanya, apa lagi ketika mereka mengetahui bahwa pengawal pribadi ini bukan seperti wanita biasa. Tidak mau tunduk dan tidak suka menjadi selir Sang Prabu Jayakatwang. Hal ini saja membuat para selir dan puteri istana tunduk dan segan kepadanya.
Kini, ia harus menjaga dan menemani seorang puteri tawanan, seorang gadis remaja yang kelihatannya manja. Ketika pertama kali ia memasuki kamar tawanan itu, sebuah kamar yang indah, membawa menampan (baki) terisi hidangan makanan dan minuman, ia melihat sang puteri sedang duduk bersila di atas pembaringan. Wajahnya penuh nestapa, akan tetapi begitu mendengar langkahnya, wajah itu menjadi keras kembali dan sepasang mata yang mencorong seperti mata kucing di dalam kegelapan malam, menatapnya. Mereka berdua saling pandang, dua pasang mata bertemu dan keduanya merasa tertarik dan kagum.
Sepasang mata Wulansari yang tajam itu memandang dan mengamati penuh perhatian selagi ia melangkah masuk dengan baki penuh hidangan itu. Ia melihat seorang gadis remaja yang usianya kurang lebih tujuhbelas tahun, bertubuh langsing dengan pinggang kecil, tubuh yang lekuk-lengkungnya mulai menjadi, seperti setangkai bunga yang mulai mekar dari kuncupnya. Gadis remaja itu berkulit hitam manis, mulus tanpa cacat, wajahnya yang bulat telur itu manis sekali dan setiap anggauta badannya seolah-olah memiliki daya tarik yang luar biasa. Sepasang matanya itu. Sepasang bintang cemerlang, bening dan jeli, bentuknya indah meruncing ke tepi dan agak berjungkit sedikit. dengan sepasang alis yang kecil panjang menghias dahi yang landai dengan sinom (anak rambut) yang merumbai dari atas, bulu mata yang panjang melengkung sehingga bayangannya menimpa pipi, hidung kecil mancung dengan cuping tipis yang dapat bergerak kembang kempis, mulut yang amat manis setiap kali bergerak, dengan lesung pipit di kanan kiri. Seorang gadis hitam manis yang amat cantik jelita.
Sebaliknya, Puteri Gayati juga memandang kagum. Ia seolah melihat seorang Srikandi di depannya. Wanita itu usianya tentu ada dua puluh lima tahun, seorang wanita yang sudah matang. Berkulit putih kuning, wajahnya manis namun membayangkan ketabahan dan keberanian yang menantang. Matanya seperti mata harimau mencorong dan hidup, bibirnya merah basah bukan oleh gincu, ada lesung pipit di pipi kiri dan tahi lalat di pipi kanan. Sepasang mata yang kadang-kadang menakutkan karena amat tajam itu dapat berubah menjadi redup. Tubuhnya penuh lekuk lengkung yang tentu akan menggairahkan setiap orang pria. Pakaiannya menunjukkan bahwa ia bukan pelayan, bukan pula puteri, melainkan pakaian yang ringkas sederhana namun gagah, seperti pakaian seorang perajurit perwira. Diam-diam Puteri Gayatri merasa heran sekali dan karena ia yakin bahwa wanita ini bukan keluarga raja, maka iapun bsrtanya, "Siapakah kau ?"
Wulansari adalah seorang wanita yang keras hati dan ia tidak pernah mau merendahkan diri, apa lagi kalau merendahkan diri itu untuk menjilat atau bermuka-muka. Ia memang biasa bersikap sopan kepada siapa saja, akan tetapi tidak mau sembarangan merendahkan diri. Bagaimanapun juga, ia telah diberi tahu bahwa gadis tawanan ini adalah seorang puteri, puteri Singosari yang kabarnya sudah dihancurkan dan sudah terjatuh ke tangan pasukan Kediri. Diam-diam ia merasa kasihan kepada gadis ini, dan karena maklum bahwa ia berhadapan dengan seorang istana Singosari, maka iapun bersikap sopan.
"Saya bernama Wulansari dan ditugaskan oleh Sribaginda untuk menemani dan menjaga keselamatanmu" Berkata demikian, Wulansari menurunkan baki itu dan meletakkannya ke atas meja dekat pembaringan. Kekerasan masih belum meninggalkan hati Puteri Gayatri, maka sambil cemberut iapun membalikkan tubuhnya dan duduk membelakangi Wulansari.
"Aku, Sang Dyah Gayatri dari Singosari bukan seorang yang sudi menerima kebaikan musuh Raja Daha telah berkhianat, dan sekarang hendak menjamu aku yang dijadikan tawanan" Lebih baik aku mati kelaparan"
Wulansari mengamati puteri itu dari belakang. Ia tersenyum kagum. Puteri ini masih remaja, bahkan masih kekanak-kanakan, akan tetapi tubuhnya itu sudah mulai mekar menggairahkan, dan sikapnya memang anggun dan berwibawa, juga sama sekali tidak memperlihatkan rasa takut pada wajahnya dan sikapnya, bahkan sebaliknya, sikapnya menantang dan tidak takut mati.
Dengan hati-hati Wulansari lalu duduk di atas bangku setelah menarik bangku itu dekat pembaringan di mana sang puteri duduk membelakanginya. "Saya mendengar bahwa seorang puteri sejati berjiwa ksatria dan luhur budinya. Kau adalah seorang puteri raja, tentu memiliki pula jiwa ksatria dan budi luhur. Akan tetapi mengapa kau mudah sekali putus asa ?"
Mendengar teguran ini, Puteri Giyatri cepat membalik lagi dan kini kedua kakinya turun tergantung di tepi pembaringan, matanya mengamati wajah Wulansari dan sikapnya menantang. "Mulutmu lancang sekali. Siapa yang mudah putus asa" Aku tidak putus asa. "Aku bukan pengecut. Aku tidak putus asal Kau....... lancang mulut dan berani menghina aku ?"
"Kau tidak mau makan, lebih baik mati kelaparan dari pada makan, bukankah itu sama halnya dengan membunuh din" Dan orang yang membunuh diri berati seorang pengecut yang putus asa. Saya yakin kau bukan orang. seperti itu"
Wulansari tersenyum girang. Pancingannya mengena dan ia tidak khawatir lagi gadis remaja ini akan bunuh diri. "Saya juga tidak percaya bahwa kau pengecut atau penakut. Akan tetapi, kalau sekarang saya beritahukan bahwa makanan dan minuman ini mengandung racun untuk membunuhmu, apakah kau berani memakan dan meminumnya". Sama-sama kita lihat saja nanti" berkata demikian, Wulansari sengaja meninggalkan puteri itu dan keluar dari dalam kamar, menutupkan pintu kamar itu dari luar. Akan tetapi, dengan kepandaiannya, ia menyelinap ke balik jendela dan mengintai ke dalam kamar. ia melihat sang, puteri marah-marah. Puteri itu kini sudah turun dari atas pembaringan dan ia berjalanjalan hilir mudik seperti seekor harimau betina dalam kurungan.
"Kau kira aku tidak berani dengan ancaman kematian itu " Huh, pelayan keparat, lancang mulut. Kita sama lihat saja" tiba-tiba puteri remaja itu duduk di atas bangku menghadapi meja, membuka tutup makanan yang dihidangkan tadi lalu mulai makan dengan lahapnya. Memang perutnya amat lapar, sudah hampir dua hari dua malam ia tidak makan apa-apa, dan diminum ya pula minuman yang tersedia. Sedikitpun ia tidak nampak ngeri atau takut,. bahkan setelah lidahnya terbiasa dan dapat menikmati lesatnya makanan, ia tidak ingat apa-apa lagi kecuali mengisi perutnya yang lapar. Di luar jendela, Wulansari tertawa tanpa suara dan iapun semakin tertarik kepada puteri remaja itu. Seorang puteri yang selain cantik jelita dan manis, juga amat menyenangkan, pemberani, lincah dan galak. Ia tidak mau masuk sebelum puteri itu selesai makan minum dan menutupi kembali baki tempat makanan.
Setelah sang puteri duduk kembali di tepi pembaringan, barulah Wulansari memasuki kamar setelah lebih dulu ia batuk-batuk agar kedatangannya didengar oleh puteri remaja itu. Ketika ia membuka pintu dan masuk, ia masih sempat melihat sang puteri untuk terakhir kalinya mengusap bibir dengan kain agaknya untuk yakin benar bahwa tidak ada tertinggal sebutir nasi di tepi mulutnya.
Wulansari pura-pura tidak tahu dan ia memandang ke arah baki terisi makanan yang nampaknya masih utuh dan ditutupi kain penutup. "Aih, ternyata kau benar-benar tidak mau menyentuh makanan dan minuman yang diberi racun ini " Sudah kuduga demikian,
Kau tidak akan berani......" kata Wulansari dengan nada suara seperti mengejek.
"Siapa yang tidak berani" Aku bukan penakut. Lihat, makanan itu telah kumakan. minuman itu telah kuminum dan aku menanti saat kematian tanpa rasa takut sedikitpun Wulansari pura pura terkejut dan ia membuka penutup baki itu, terbelalak. "Aih, kiranya kau telah makan minum " Hebat, kau memang puteri sejati, tidak takut mati, dan juga tidak ingin membunuh diri. Saya bicara sekali kepada paduka. Sesungguhnya, nakanan dan minuman itu sama sekali tidak mengandung racun, sebaliknya mengandung bumbu penyedap dan penguat badan"
Wajah yang manis itu menjadi merah sekali, sepasang mata bintang itu terbelalak dan seperti mengeluarkan sinar api. Puteri Gayatri meloncat turun dari atas pembaringan, telunjuk kirinya menuding ke arah muka Wulansari.
"Kau.....kau...... menipuku. Berani engkau mempermainkan aku, ya?" Tangan kanannya menyambar sebatang keris kecil yang selalu rerselip di ikat pinggangnya, lalu dengan gerakan cepat ia menusukkan keris kecil semaam candrik itu ke arah dada Wulansari Walita ini tidak mengelak maupun menangkis, melainkan diam-diam ia mengerahkan tenaga sakti ke arah dada yang ditusuk.
"Krekk........"
Sang Dyah Gayatri terbelalak dan menahan pekiknya, matanya melihat gagang keris yang tertinggal di tangannya sedangkan kerisnya sendiri telah patah dan jatuh ke atas lantai. Dengan tenang Wulansari membungkuk dan memungut dua potong besi patahan keris itu, meletakkannya di atas baki bersama sisa makanan.
"Kau....... kau......... begini digdaya......., siapakah sebenarnya engkau ini?" Puteri Gayatri berkata lirih, gagap.
"Nanti dulu puteri. Saya akan menyingkirkan dulu baki ini, sekarang untuk sementara cukuplah kau ketahui bahwa saya adalah seorang kawan, bukan saorang lawan. Saya kagum kepadamu dan ingin berbaik denganmu" Setelah berkata demikian, Wulansari membawa baki itu meninggalkan kamar Puteri Gayatri.
Sang puteri duduk melamun, masih merasa tegang dan heran. kalau mengingat peristiwa tadi. Kerisnya itu, biarpun kecil, merupakan keris yang terbuat dari besi mulia, atau besi aji, sebuah keris pusaka. Akan tetapi keris itu patah ketika dipakai menusuk dada wanita itu. Seorang gadis sakti. Dan gadis itu oleh Sang Prabu Jayakatwang diutus untuk menemani dan menjaganya. Bagaimana mungkin ia dapat mengharapkan perlindungan atau bantuan seorang punggawa pihak musuh" Ia harus berhati-hati.
Setelah memperingatkan para pelayan dan pengawal istana agar mereka itu jangan mengganggu atau memasuki kamar puteri tawanan itu kalau tidak ia panpgil. Semua karyawan di dalam istana itu, tidak ada yang tidak mentaati perintah kepala pengawal yang juga merupakan pengawal pribadi Sri baginda yang amat dipercaya ini. Apa lagi mereka semua tahu belaka betapa sakti mandraguna gadis cantik itu.
Ketika Wulansari memasuki kamar Puteri Gayatri, ia melihat.puteri itu duduk dan wajah yang tegang, sinar matanya mengamatinya penuh selidik dan mengandung kecurigaan besar. Iapun dapat menduga bahwa tentu puteri remaja itu mencurigainya dan masih belum percaya kepadanya, maka iapun mengambil tempat duduk di atas bangku, berhadapan dengan puteri itu.
"Nah, sekarang kita dapat bercakap-cakap dengan tenang. Kau boleh bertanya apa saja dan boleh pula menceritakan apa saja. Tentu saja kalau kau percaya kepada saya dan suka bersahabat dengan saya"
Gayatri melemparkan pandang mata penuh tuduhan. "Engkau........ ingin membujuk aku?"
"Aduh, puteri yang jelita. Apa gunanya saya membujukmu" Untuk apa" Bukankah kau telah menjadi seorang tawanan disini?"
"Tentu membujuk agar aku suka bersikap manis dan tunduk, menakluk kepada orang orang Kediri, mau makan seperti yang tela berhasil kau lakukan dengan tipuanmu tadi bukan" Jangan mengira aku akan mudah terkena bujuk rayumu lagi dan cepatlah engkau minggat dari kamar ini sebelum aku bersikap kasar dan memaki-makimu" Puteri itu bangkit dan biarpun ia masih remaja, tinggi tubuhnya, belum sepenuhnya, namun ia nampak angkuh, anggun dan berwibawa.
Wulansari memandang kagum dan tersenyum lebar, lesung pipit di pipi kirinya makin dalam dan mata bintangnya bersinar-sinar.
"Apa cengar-cengir. Jangan cengengesan. kau" Puteri Gayatri membentak. "Biarpun kau digdaya, jangan kira aku gentar dan takut padamu"
Wulansari tersenyum semakin lebar melihat sikap puteri itu Ia tahu bahwa puteri itu memaksakan diri untuk bersikap galak, pada hal pada pandang matanya jelas nampak bahwa puteri itu kagum kepadanya dan mulai suka padanya.
Ia harus dapat memenangkan kepercayaan puteri ini, pikir Wulansari dan iapun berkata dengan suara sungguh-sungguh, "Puteri, apakah kau mengenal seorang yang bernama Medang Dangdi ?"
"Tentu saja. Paman Medang Dangdi adalah seorang diantara para senopati Singosari yang gagah perkasa. Mengapa engkau memanyakan Paman Medang Dangdi?"
"Karena dia adalah ayah kandungku"
Sepasang mata itu terbelalak dan Putri Gayatri menatap wajah Wulansari penuh selidik, ketidak percayaan terbayang di wajahnya.
"Hemm, permainan apa pula yang kau lakukan ini" Aku tidak pernah melihat Paman Medang Dangdi mempunyai seorang anak perempuan"


Sejengkal Tanah Sepercik Darah Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sesungguhnya demikian, gusti. Mungkin tidak ada seorangpun di Singosari yang tahu bahwa dia mempunyai seorang anak perempuan" bahkan mungkin isterinya sendiripun baru beberapa tahun, sejak dia pulang dari penyerbuan Singosari ke Bali, tinggal bersamanya di Singosari"
"Hem, memang aku ada mendengar bahwa Paman Medang Dangdi telah mempunyai seorang isteri yang kabarnya juga digdaya....."
"Ia bernama Warsiyem dan ia adalah ibu kandung saya, gusti. Memang, sejak berusia sepuluh tahun, saya telah berpisah dari ayah dan ibu, dan baru setelah dewasa, saya berumpa dengan mereka" Wulansari lalu menceritakan riwayatnya secara singkat namuni meyakinkan sehingga Puteri Gayatri mulai percaya.
"Akan tetapi, kalau engkau puteri kandung seorang senopati Singosari, kenapa engkau menjadi hamba dari Kerajaan Daha yang menjadi musuh kami?" Setelah Wulansari mengakhiri ceritanya, Puteri Gayatri menegur dengan hati tidak puas.
"Harap kau ingat bahwa sebelum terjadi perang, Daha sama sekali bukanlah musuh
Singosari. Bukanlah antara kedua Sribaginda bahkan ada hubungan kekeluargaan dan menjadi besan" Hamba bekerja di sini menjadi pengawal Sribaginda dan hamba sama sekali tidak mau mencampuri urusun perang antara Singosari dan Kediri (Daha). Bahkan hamba sama sekali tidak tahu dan tidak mengerti mengapa ada perang antara kedua kerajaan ini, dan tidak tahu pula mengapa paduka menjadi tawanan di sini, pada hal seorang diantara kakak paduka menjadi mantu Sribaginda. Sungguh saya menjadi bingung, akan tetapi karena saya tidak mencampuri urusan perang, maka sayapun tidak perduli. Saya menghambakan diri di sini hanya untuk mendapatkan pekerjaan, dan juga untuk menghibur hati saya yang merasa sakit karena sikap ayah ibu saya"
Diam-diam Puteri Gayatri semakin tertarik. Tak pernah disangkanya bahwa gadis yang digdaya dan ditugaskan menjadi pelayan dan penjaganya ini adalah puteri dari Senopati Medang Dangdi di Singosari, seorang senopati yang terkenal setia.
"Hemm, bagaimana aku dapat mempercayai keteranganmu" Betapa mungkin engkau merasa sakit hati terhadap ayah dan ibumu sendiri?" Dengan cerdik ia memancing. Memang Puteri Gayatri ini lincah dan cerdik sehingga kini, dengan pandainya ia memutar balik keadaan sehingga Wulansari yang dituntut menceritakan keadaan dirinya.
Wulansari juga sadar akan hal ini, akan tetapi karena ia merasa kaguni dan suka kepada puteri lincah ini, ia tidak merasa berkeberatan untuk menceritakan riwayat hidupnya.
"Bagaimana hati ini tidak akan merasa sakit, puteri" Saya mempunyai seorang pilihan hati, seorang pemuda yang saya pilih untuk. menjadi jodoh saya. Kami saling mencinta. Akan "tetapi ayah dan ibu tidak menyetujui, terutama sekali ayah. Maka, saya lalu minggat dari rumah, dan mengabdi di istana. Daha ini"
Puteri Gayatri semakin tertarik. Cerita itu amat romantis dan menyenangkan hatinya. Ia, ikut merasa prihatin dan tanpa disadarinya, ia kini duduk lagi di tepi pembaringan, lalu dengan tangannya mempersilakan Wulansari duduk pula di atas bangku di depannya. Ia merasa kasihan kepada gadis itu.
"Ah, buruk sekali nasibmu, Wulansari. Siapakah perjaka yang menjadi pilihan hatimu itu?"
"Namanya Nurseta, Walaupun dia bukan seorang senopati Singosari, akan tetapi dia seorang pendekar sejati yang membela Singosari, walaupun sesungguhnya dia keturunan seorang pangeran Dhaha"
"Aih, sungguh menarik sekali" Gayatri menjadi semakin tertarik. Bayangkan saja, pikirnya, puteri senopati Singosari kini menjadi pengawal pribadi Raja Kediri, dan putera seorang pangeran Kediri menjadi seorang pahlawan Singosari. "Yang ingin sekali kuketahui tentang perasaanmu, bagaimana engkau rasakan sekarang setelah terjadi pengkhianatan rajamu terhadap Singosari" Kanjeng Rama telah memberi kesempatan kepada Raja Daha untuk tetap menjadi raja walaupun Kediri telah dikalahkan Singosari, bahkan telah memberi kehormatan untuk berbesan. Akan tetapi, secara pengecut sekali, Raja Kediri menyerang Singosari dan mengakibatkan hancurnya keluarga Kanjeng Rama, bahkan beliau sendiri gugur bersama banyak anggauta keluarga. Sekarang, engkau berpihak kepada siapa, Wulansari" Ingat, sekarang ayahmu itu, Paman Medang Dangdi, mungkin sudah gugur atau masih terus berjuang melawan pasukan Kediri. Dia
adalah seorang diantara para pembantu....... eh, tunanganku, yaitu Raden Wijaya"
"Saya bingung, gusti puteri. Saya tidak perjnah mencampuri urusan kerajaan, dan sekarang saya bingung sekali"
Melihat kesempatan ini, Puteri Gayatri lalu mulai menceritakan keadaan Kerajaan Singosari dan Kediri, hubungan antara kedua keraiaan itu dan perbuatan Raja Kediri yang berkhianat dan pengecut, menyerang Singosari sclagi kerajaan ini mengirim pasukan besar ke Negeri Melayu.
"Aku ingin bersikap keras dan menentang terhadap keluarga Raja Kediri, maka aku menolak untuk bicara dengan mereka, bahkan adinya aku nekat untuk berpuasa sampai mati. Akan tetapi engkau malah menggagalkan tekatku itu dan mempermainkan aku"
Sang Puteri kini duduk dan menutupi kedua matanya, menangis lirih.
"Ampunkan saya, puteri. Bukan sekali-kali saya bermaksud mempermainkan kau. Hanya saya melihat bahwa tekat itu sungguh tidak ada gunanya, Kenapa paduka putus asa " Kalau kau sampai tewas karena berpuasa, apa manfaatnya" Lebih baik kau menjaga kesehatan dan menanti saatnya. Saya selalu percaya bahwa orang yang benar selalu akan dilindungi Sang Hyang Widhi. Dan apakah kau tidak ingin bertemu dengan........ tunanganmu" Jangan putus asa, percayalah, saya akan melindungi di sini"
Demikianlah, percakapan antara kedua orang gadis itu membuat mereka menjalin persahabatan yang akrab, dan dalam kesempatan itu, Puteri Gayatri membangkitkan semangat Wulansari sehingga gadis perkasa ini mulai ragu-ragu akan kedudukannya sebagai hamba Sang Prabu Jayakatwang. Iapun mulai merasa khawatir akan keselamatan ayah ibunya ketika mendengar dari Puteri Gayatri betapa Singosari telah diduduki pasukan Kediri dan betapa pasukan itu telah menyebar maut, membunuhi rakyat yang tidak berdosa, merampok dan memperkosa. Biarpun ia tidak ikut perang, namun karena ia menghambakan diri kepada Kerajaan Daha, ia merasa seolah-olah ia ikut berada di pihak yang lalim dan jahat.
*** Malam telah agak larut dan istana Kerajaan Daha sudah sunyi. Para penghuninya sudah masuk ke dalam kamar masing-masing. Malam itu, para pangeran dan bangsawan tinggi lainnya dari Kerajaan Daha masih berpesta pora merayakan kemenangan Kediri atau Daha. Sang Prabu Jayakatwang sendiri sudah beristirahat. Akan tetapi para pangeran masih melanjutkan pesta itu dan seperti biasa, diadakan pertunjukan tari-tarian yang dilakukan oleha penari-penari muda yang cantik dan genit dan yang menjadi pasangan menari para pangeran yang sudah mulai mabuk.
Seorang diantara para pangeran itu, pangeran yang lahir dari selir, diam-diam meninggalkan tempat pesta. Sebagai seorang pangeran mudah saja baginya untuk memasuki istana melalui pintu samping. Para penjaga dan pengawal tidak ada yang berani menahannya dan demikianlah, Pangeran Sindumoyo, seorang pangeran berusia tigapuluh tahunan yang terkenal sebagai seorang pria yang gila wanita, menyelinap ke dalam taman bunga di bagian belakang istana. Pangeran ini terkenal sebagai seorang penaluk wanita dan dalam hal kesenangan ini, dia terkenal rakus dan tidak pandang bulu. Tak perduli wanita itu seorang peIayan rendah, atau isteri orang atau seorang dusun yang miskin, kalau mata keranjangnya sudah kumat, akan diganyangnya tanpa pandang bulu lagi. Dia mempergunakan harianya, atau kedudukannya, juga ketampanannya atau kekuasaannya, untuk menundukkan setiap orang wanita yang diinginkannya. Suami manakah berani banyak ribut kalau melihat isterinya dihina oleh seorang pangeran yang besar kekuasaannya. Ayah manakah berani berkutik kalau melihat puterinya dicemarkan, kemudian ditelantarkan begitu saja oleh Pangeran Sindumoyo "
Akan tetapi sekali ini Pangeran Sindumoyo tidak tertarik kepada para penari cantik itu. Tidak, dia tidak menginginkan mereka. Dia membutuhkan wanita yang lebih terhormat. Dia membutuhkan seorang perawan bangsawan tinggi, bukan seorang perempuan umum yang pernah melayani pria mana saja yang mampu menyewa tubuhnya. Dan dia sudah mendengar bahwa di istana terdapat beberapa orang puteri istana Singosari yang menjadi tawanan. Akan tetapi diantara semua itu, yang amat menarik perhatiannya adalah Sang Puteri Gayatri. Ketika puteri itu dibawa ke istana, dia sempat melihatnya dan dia terpesona, lalu sejak saat itu dia gandrung dan menundukan puteri yang dalam pandang matanya teramat cantik jelita dan manis itu. Setiap malam dia bermimpi
berjumpa dengan Puteri Gayatri, dan kalau tidak tidur, bayangan dan wajah puteri itu tak pernah meninggalkan ingatannya, Namun, dia tetap tidak berani karena maklum bahwa puteri itu merupakan seorang tawaran perang yang agung dan dihormati. Akan tetapi malam ini, setelah pengaruh minuman keras membuat keberanian dan kenekatannya menjadi berlipat ganda, dia memasuki taman istana dengan niat hendak mengunjungi Puteri Gayatri untuk melampiaskan rindu dendam dan naluri birahinya. apapun yang terjadi, malam ini dia harus mampu mendekap puteri ayu itu. Dia tahu dimana kamar puteri itu, hal ini sudah diselidikinya dari para dayang yang menjadi talukannya pula.
Malam telah larut. Para dayang dan pelayanpun sudah tidur. Hanya ada penjaga di luar keputren, namun melihat bahwa yang masuk adalah Pangeran Sindumoyo, para penjaga hanya memberi hormat dan tersenyum. Mereka sudah sering melihat pangeran ini memasuki keputren untuk berkencan dengan para dayang. Dan merekapun sudah seringkali menerima hadiah dan suapan pangeran itu yang royal sekali membagi hadiah kepada mereka yang sudah menutup mata dan membiarkan sang pangeran memasuki daerah keputren yang terlarang itu tanpa meiaporkan kepada atasan mereka.
Pangeran Sindumoyo lalu berindap-indap menuju ke bagian keputren itu, langsung melalui lorong yang meuuju ke bagian belakang karena dia tahu bahwa kamar puteri tawanan itu berada di kamar besar paling ujung dekar tamansari.
Malam itu, Wulansari tidur pulas dalam kamarnya. Karena mendapat tugas menjaga dan, melayani puteri tawanan, maka ia mendapatkan sebuah kamar di dekat kamar besar puteri itu. Setelah kini mereka menjadi sahabat yang akrab, seringkali Puteri Gayatri minta kepada Wulansari untuk tidur di kamarnya saja. Akan tetapi malam ini Wulansari minta diri dan tidur di kamarnya sendiri. Hatinya gundah dan makin ia pikirkan, makin gelisah hatinya. Semenjak ia bergaul dengan Puteri Gayatri dan mendengai urusan Kerajaan Singosari dan Daha, mulailah ia merasa ragu dan bingung ayahnya sendiri menjadi senopati Singosari, juga Narseta menjadi seorang pahlawan Singosari. Selain itu, juga ia tahu bahwa Ki Jembros dan Sang Panembahan Sidik Danasura, dua orang yang dahulu menyelamatkannya dari lautan, mereka adalah orang-orang yang setia kepada Singosari. Ibunya sendiri sekarangpun berada di Singosari dan tentu saja juga membantu kerajaan itu.
Akan tetapi, ia sendiri membantu Kerajaan Kediri. Padahal kakek yang amat jahat itu, kakek yang mengaku sebagai kakeknya, bahkan telah menjadi gurunya, Ki Cucut Kalasekti, membantu Kerajaan Kediri bahkan diangkat menjadi seorang Adipati. Kalau yang membantu Raja seorang seperti Cucut Kalasekti, maka sungguh meragukan kalau Kerajaan Daha berada di pihak yang benar. Mulailah ia ragu-ragu. Biarpun hatinya yang keras juga mempertahankan pendapat itu, namun kalau ia terkenang kepada Nurseta. satu-sntunya pria di dunia ini yang dicintanya, hatinya seperti tertusuk, perih dan sedih dan ia menjadi semakin bingung. Kin, Singosari sudah runtuh. Akan tetapi menurut Puteri Gayatri, masih ada keturunan Singosari yang menjadi tumpuan harapan seluruh rekyat, yaitu Raden Wiiaya. Dan semua senopati, termasuk ayahnya, bahkan juga Nurseta dan semua ksatria Singosari, berdiri di belakang Raden Wijaya yang dicalonkan untuk membangun kembali Singosari yang telah jatuh. Akan tetapi ia sendiri, masih berada di istana Kediri. Wulansari bimbang sekali, dan akhirnya karena lelah, ia tidur pulas di dalam kamarnya.
Jeritan itu hanya dua kali lalu terdiam.
Bagi orang lain tentu tidak menarik perhatian, apa lagi kalau orang itu tadinya sedang tidur pulas, tentu dianggap mimpi atau suara lain, namun, tidak demikian bagi Wulansari. Gadis perkasa ini seketika sadar. Pendengarannya yang terlatih amat tajam dan perasaannya amat peka sehingga begitu mendengar jeritan dua kali itu, la sudah menduga bahwa tentu terjadi sesuatu yang tidak wajar.
Rambutnya agak kusut, juga pakaiannya karena tadi ia tertidur nyenyak, akan tetapi ia tidak memperdulikan pakaian dan rambutnya. Tubuhnya sudah berkelebat cepat dan ia telah tiba di luar pintu kamar Putri Gayatri. Walaupun pintu kamar itu tertutup, namun pendengarannya dapat menangkap gerakan dan suara yang mencurigakan di dalam kamar itu. Sekali dorong saja, pintu kamar itu terbuka dan matanya terbelalak, mengeluarkan sinar kemarahan ketika ia melihat apa yang terjadi di dalam kamar itu. Di atas pembaringan sang puteri, Puteri Gayatri sedang bergumul dengan pria yang berusaha untuk menciumi dan merenggut lepas pakaian sang puteri.
Puteri Gayatri mempertahankan diri, meronta dan mencakar memukul, akan tetapi tidak mampu berteriak karena mulutnya dibungkam oleh tangan kiri pria itu.
"Keparat" Wulansari mencaci dalam hatinya dan sekali melompat ia telah berada di dekat pembaringan. Tangan kanannya diangkat, siap untuk menjatuhkan pukulan maut, akan tetapi segera ia mengenal siapa pria itu dain otomatis pukulannya berubah menjadi cengkeraman ke arah lengan pria itu dan sekali renggut, tubuh pria itu terlepas dari Puteri Gayatri dan terlempar sampai ke sudut kamar.
Puteri Gayatri terengah-engah, membetulkan bajunya yang hampir terlepas. rambut yang panjang itu terurai dan ia nampak cantik ayu bukan main, akan tetapi sepasang mata yang lebar itu terbelalak, masih membayangkan kengerian akan malapetaka yang hampir menimpa dirinya. Akan tetapi, melihat kehadiran Wulansari dan melihat betapa laki-laki itu telah terlempar bergulingan sampai ke sudut kamar, hatinya terasa lega dan kemarahannya bangkit.
Dengan sikap tenang, mata bersinar marah akan tetapi tetap menghormat, Wulansari berkata dengan suara dingin, memandang kepada pangeran yang mulai bangkit itu.
"Pangeraia Sindumoyo, tidak sepatutnya paduka mengganggu Gusti Putri Gayatri"
Mendengar bahwa pria yang hampir memperkosanya itu adalah seorang pangeran, Puteri Gayatri memandang dengan alis berkerut dan mata bernyala. "Henm, jadi kau seorang pangeran" Pangeran macam apa perbuatannya melebihi seorang manusia biadab" kata Puteri Gayatri.
Tentu saja Pangeran Sindumoyo tadi terkejut bukan main karena ada orang berani mencegahnva bahkan melemparkannya seperti itu. Akan tetapi ketika dia mehhat bahwa yang melakukan hal itu adalah seorang waniia cantik yang gagah, diapun mengenal Wulansari pengawal pribadi ayahnya dan pangeran ini sudah dapat memulihkan keangkuhan dan ketenangannya. Dia mengebutkan ujing bajunya yang terkena debu, lalu tersenyum.
"Ah, kiranya engkau Wulansari, pengawa pribadi kanjeng rama " Wulansari, engkau mengenal siapa aku. Mengapa engkau berani turun tangan terhadap aku, dan melindungi wanita ini" biarpun ia seorang puteri, akan tetapi ia puteri Singosari, puteri tawanan dan musuh kita, keluarlah kau, dan biarkan aku berdua dengan sang puteri ini"
Bentrok Rimba Persilatan 14 Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo Anak Harimau 7
^