Pencarian

Sejengkal Tanah Sepercik Darah 7

Sejengkal Tanah Sepercik Darah Karya Kho Ping Hoo Bagian 7


Ki Buyut Pranamaya yang memandang ringan musuhnya, menanti di kaki pegunungan itu dan dia mengutus Gagak Wulung untuk melakukan penyelidikan keatas, untuk menyelidiki di mana adanya Ki Baka dan memberitahu kepadanya kalau sudah berhasil menemukan tempat tinggal Ki Baka.
Itulah sebabnya mengapa Gagak Wulung melakukan penyelidikan seorang diri ke puncak Pegunungan Kelud dan dia sudah berhasil menemukan tempat tinggal Ki Baka. Tentu saja Gagak Wulung tidak begitu bodoh untuk berani turun tangan sendiri. Dia sudah tahu akan kedikdayaan Ki Baka, apa lagi mengingat akan puteranya, Nurseta yang memiliki kesaktian bahkan melebihi bapaknya. Pada pagi hari itu, ketika dia hendak meninggalkan puncak setelah menemukan pondok Ki Baka, kebetulan dia melihat pertemuan antara Nurseta dan Pertiwi, gadis dusun yang manis itu. Gagak Wulung mendekat dan bersembunyi, mengintai dan mendengarkan percakapan mereka. Maka tahukah dia bahwa gadis itu, gadis manis bermata jeli, adalah tunangan Nurseta akan tetapi tidak dicinta pemuda itu. Dan dia terus membayangi gadis itu, melihat betapa gadis itu menangis sedih, dan melihat pula betapa Nurseta melanjutkan perjalanannya menuruni puncak.
Kesempatan itu tentu saja tidak disia-siakan oleh Gagak Wulung. Dia terkenal sebagai seorang penjahat yang cabul dan mata keranjang, selalu mengganggu wanita yang menarik perhatiannya. Dan Pertiwi merupakan gadis dusun yang memikat hatinya, bagaikan buah yang sedang ranum atau bunga yang mulai mekar. Kenyataan bahwa gadis itu adalah calon isteri Nurseta lebih mengobarkan gairahnya, maka dia lalu menghampiri Pertiwi, menegurnya dengan ramah dan mempergunakan aji pengasihan dan ilmu sihir yang dipela jarhya dari Ni Dedeh Sawitri untuk menunundukkan Pertiwi.
Ketika itu, Pertiwi sedang lemah batinnya oleh duka dan kecewa, maka dengan mudahnya iapun takluk dan menyerah, mandah saja ketika dirinya dipondong dari dipeluk Gagak Wulung, dibawa pergi tanpa melawan sedikitpun juga.
Gagak Wulung adalah seorang hamba nafsunya sendiri yang sudah tidak ketulungan lagi, sehingga dia terlena sebagai seorang tokoh sesat, seorang datuk dunia hitam yang jahat. Karena dia mendapatkan waktu tiga hari oleh Ki Buyut Pranamaya untuk melakukan penyelidikan, dan kini dia sudah berhasil mengetahui tempat tinggal Ki Baka, maka sisanya yang dua hari dia pergunakan untuk bersenang-senang. Kesenangan yang keji dan jahat terhadap diri Pertiwi, gadis dusun yang tak berdosa itu. Dia membawa Pertiwi ke sebuah hutan yang sunyi dan di tempat ini dia permainkan Pertiwi sesuka hatinya. Di bawah pengaruh aji pengasihan yang tidak wajar, ditambah lagi oleh keadaan hatinya yang lemah dan berduka, Pertiwi menyerahkan diri dalam keadaan setengah sadar. Pengaruh aji pengasihan membuat ia melihat bahwa pria yang menggaulinya itu adalah seorang pria yang menarik, tampan, perkasa, dan menghibur hatinya dari nyeri setelah mendengar pengakuan Nurseta bahwa calon suaminya itu tidak mencintanya, melainkan mencinta seorang gadis lain, Dalam diri Gagak Wulung dia menemukan pengganti, penghibur dan pengobat kepedihan hatinya.
Gagak Wulung masih belum puas biarpun dia sudah memiliki tubuh Pertiwi sepenuhnya.
Dia ingin pula memiliki hati gadis itu. Dia merasa tidak puas karena selama sehari semalam itu, Pertiwi menyerahkan dirinya kepadanya hanya karena pengaruh sihir dan aji pengasihan. Dia ingin gadis itu menyerahkan diri dengan suka rela, benar-benar mencintanya. Dia membutuhkan seorang kekasih baru semenjak dia berpisah dari Ni Dedeh Sawitri. Oleh karena itu, pada hari ke tiga, dia sengaja melepaskan sihirnya atas diri Pertiwi.
Gadis itu seperti baru tergugah dari tidurnya. Ketika ia mendapatkan dirinya dalam keadaan tidak wajar, berada dalam pelukan seorang laki-laki asing, ia menjerit dan menangis, sadar bahwa ia telah menyerahkan diri kepada pria itu. Ia menangis sejadi-jadinya, dan Gagak Wulung yang pandai merayu itu segera menghiburnya, merangkul dan mencumbunya.
"Sudahlah, nimas, simpan air matamu. Sayang, seorang wanita cantik jelita seperti engkau ini menangis dan berduka. Apa yang harus disedihkan" Kita telah menjadi suami isteri, aku sungguh cinta padamu, sayang, dan mengingat akan apa yang telah kita lakukan selama sehari semalam ini, aku percaya bahwa engkaupun cinta padaku. Bagaimanapun juga, engkau telah menjadi isteriku"
Pertiwi melepaskan diri dari rangkulan pria itu, bangkit dan mundur tiga langkah. Ia
mengamati wajah pria itu. Seorang pria setengah tua yang tampan dan gagah, parasnya seorang priyayi. Bjarpun usia pria itu jauh lebih tua darinya, namun tidak mengecewakan, bahkan cukup membanggakan. Bagaimanapun juga, ia sudah terlanjur menyerahkan dirinya. Tak mungkin ia utuh kembali. Pula, apa gunanya " Nurseta tidak mencintanya, apa lagi sekarang setelah ia bukan perawan lagi, sudah menjadi milik orang lain, disadarina maupun tidak. Melihat Pertiwi berdiri seperti orang melamun, mengamati wajahnya, Gagak Wulung juga berdri dan dia tersenyum manis. Biarkan gadis ini menilai dirinya, pikirnya. Dia membutuhkan gadis ini sebagai kawan barunya, sebagai kekasihnya, dan gadis ini harus mencintanya, atau setidaknya, menyerahkan diri dengan suka rela.
"Siapakah kau ?" Akhirnya Pertiwi bertanya, suaranya lirih. "Dan apa yang telah terjadi dengan aku ?"
Gagak Wulung tersenyum, dan wajahnya nampak menarik. "Aku bernama Raden Gagak Wulung, seorang senopati dari Kediri " Dia memang seorang jagoan dan mata-mata Kerajaan Dhaha, dan mengenai sebutan Raden, hal ini dia tidak berlebihan. Orang yang dekat dengan raja, apa sukarnya untuk mendapatkan gelar" Gelar adalah anugerah raja, dan siapa yang menyenangkan hati raja dan sudah berjasa, tentu akan mudah saja memperoleh gelar, bahkan mungkin lebih dari sekedar Raden. "Apakah kau lupa akan apa yang telah terjadi dengan dirimu, nimas Pertiwi?"
"Bagaimana paduka mengenal nama saya ?" Kini Pertiwi bersikap hormat dan menyebut paduka, karena ia merasa yakin bahwa pria ini adalah seorang priyayi besar.
Gagak Wulung memperlebar senyumnya, hatinya girang sekali. Bukan saja gadis ini tidak nampak menyesal dan berduka setelah tahu bahwa dirinya telah menjadi miliknya, bahkan kini menyebutnya paduka.
"Nimas, aku mengenal namamu karena selain aku mendengar namamu disebut oleh Nurseta, juga selama sehari semalam ini, beberapa kali kau menyebut namamu sendiri. Lupakah kau akan penghinaan yang kau terima dari Nurseta keparat itu" Dia menghinamu, calon isterinya sendiri, dengan mengatakan bahwa dia tidak cinta padamu, melainkan mencinta gadis lain. Ah, betapa kejamnya..."
Pertiwi merasa jantungnya tertusuk, akan tetapi ia tidak mau menangis karena Nurseta lagi. Melihat ini, Gagak Wulung merasa semakin gembira.
"Melihat kau menangis seorang diri di padang rumput itu, merasa terhina dan ditolak pria, aku merasa kasihan sekali, nimas. Aku lalu menghiburmu, kau pingsan dan kubawa ke sini. Selanjutnya, karena di antara kita terdapat perasaan kasih sayang, dan karena kau demikian cantik jelita, sehingga aku tidak dapat menahan diri lagi, maka terjadilah segalanya itu. Kita menjadi suam isteri......., akan tetapi aku tidak menyesal
karena aku cinta padamu"
"Bagimu tidak menyesal karena paduka seorang pria. Akan tetapi saya adalah seorang wanita, raden, dan karena itu, saya minta pertanggungan jawab paduka. Paduka harus mengajak saya menghadap ayah dan ibu, agar perjodohan antara kita disahkan "
Gagak Wulung mengangguk angguk, lalu melangkah maju, meraih dan memeluk, mencium bibir yang nampak agak cemberut itu. "Baiklah dan jangan khawatir, nimas. Aku cinta padamu, dan sekarang juga mari kita pergi berkunjung ke rumah orang tuamu"
Gagak Wulung menggandeng tangan Pertiwi pergi ke dusun tempat tinggal gadis itu. Biarpun Pertiwi merasa canggung digandeng pria yang sebenarnya masih terasa asing baginya, namun ia tidak berani menolak.
Akan tetapi, kedatangan mereka disambut oleh Ki Purwoko, ayah Pertiwi, dengan alis berkerut. Melihat gadisnya digandeng seorang pria asing, tentu saja dia merasa terkejut dan tidak senang sekali sehingga pandang matanya memancarkan kemarahan.
"Pertiwi, sungguh tidak pantas engkau" bentak ayah itu, "Siapa orang ini dan apa artinya engkau bergandeng tangan dengan dia"
"Bapak.........dia....... dia ini......" Tentu saja sukar bagi Pertiwi untuk menjawab karena bagaimana mungkin dia memperkenalkan seorang pria asing sebagai calon suaminya, bahkan telah menjadi suaminya yang tidak sah" Dan tentang bergandeng tangan itu, bukan ia yang menggandeng, akan tetapi ia digandeng dan ia tidak berani melepaskan gandengan tangan Gagak Wulung.
Melihat kegagapan kekasihnya, Gagak Wulung melepaskan tangan gadis itu, lalu dia melangkah maju menghadapi laki-laki berpakaian petani sederhana itu. Tentu saja dia memandang rendah dan memang sukar bagi seorang seperti Gagak Wulung untuk bersikap hormat kepada orang lain, apa lagi kalau orang lain itu hanya seorang yang berpakaian sebagai seorang petani yang miskin, sederhana dan bodoh.
Gagak Wulung tersenyum menyeringai, senyum sinis, senyum seorang yang merasa dirinya lebih besar dan lebih tinggi dari pada orang yang diajak bicara, lalu diapun berkata dengan suara dingin,
"Aku bernama Raden Gagak Wulung dan kedatanganku untuk minta agar kalian sebagai orang tua diajeng Pertiwi suka mengesahkan kami menjadi suami isteri"
Sepasang mata petani itu terbelalak dan mukanya menjadi merah sekali karena marahnya. Dia tahu bahwa yang berada di depannya adalah seorang priyayi, seorang Raden, akan tetapi kemarahan membuat dia tidak takut dan tidak bersikap menjilat seperti kebiasaan orang-orang dusun bersikap terhadap priyayi. Akan tetapi kemarahan Ki Purwoko tertumpah kepada puterinya, maka dengan mata meJotot dia membentak kepada anaknya itu.
"Pertiwi. Apa artinya ini" Engkau adalah tunangan Raden Nurseta"
"Bapak........, Raden Nurseta tidak cinta kepadaku......" jawab Pertiwi lemah sambil
menundukkan mukanya.
"Akan tetapi engkau sudah dipinang dan kami menerima, engkau adalah caion isteri orang. Bagaimana sekarang ....."
"Sudahlah, bapak" kata Gagak Wulung memotong, "Nurseta tidak cinta kepada diajeng Pertiwi dan diajeng Pertiwi juga tidak cinta kepada orang itu. Diajeng Pertiwi hanya cinta kepadaku dan akupun cinta padanya. Kamipun sudah menjadi suami isteri dan kedatangan kami hanya untuk memberitahu dan minta persetujuan kalian, karena semenjak saat ini diajeng Pertiwi telah menjadi isteriku dan akan kubawa ke mana aku pergi"
"Tidak. Tidak bisa, tidak mungkin. Enak saja anak gadis orang diambil begitu saja hendak dibawa pergi" bentak Ki Purwoko marah sekali.
Gagak Wulung tersenyum mengejek. "Petani dusun, jangan bicara terlalu galak. Diajeng
Pertiwi telah menjadi isteriku, telah tidur bersamaku. Kau mau apa ?"
Ki Purwoko menjadi pucat mukanya dan memandang kepada anaknya. "Pertiwi. Benarkah itu?"
Pertiwi tidak berani mengangkat mukanya, hanya mengangguk membenarkan. Tentu saja ayahnya menjadi marah bukan main mendengar bahwa puterinya yang sudah menjadi calon isteri Nurseta itu kini mengaku telah tidur dan menyerahkan diri kepada seorang pria Iain, seorang pria asing yang usianya sebaya dengan dia.
"Keparat. Kalau begitu, engkau telah mencemarkan nama keluarga kita, mendatangkan aib yang hanya dapat ditebus dengan nyawamu" Berkata demikian, Ki Purwoko yang sudah marah sekali lalu meloncat maju hendak menampar muka anaknya. Tangan kanannya melayang dengan kerasnya ke arah pipi kiri Pertiwi.
"Dukkk" Ki Purwoko mengaduh ketika lengannya tertangkis lengan Gagak Wulung yang telah menangkis melihat kekasihnya ditampar.
"Kau*....... kau......... berani mencampuri urusanku dengan anakku sendiri?" bentak Ki Purwoko, kemarahannya memuncak, membuat dia menjadi nekat dan berani.
"Petani busuk" kata Gagak Wulung, juga marah. "Dulu ia anakmu, akan tetapi sekarang ia isteriku dan siapapun, termasuk kau petani dusun, tidak boleh memukulnya. Sudahlah, tanpa persetujuanmu sekalipun diajeng Pertiwi sudah menjadi isteriku dan sekarang akan kubawa pergi. Aku muak melihat mukamu lebih lama lagi. Diajeng Pertiwi. mari kita pergi" berkata demikian, Gagak Wulung merangkul pundak kekasihnya dan hendak menariknya pergi.
"Lepaskan anakku" Ki Purwoko membentak marah. Bagaimanapun juga, ayah ini merasa curiga dan mempunyai persangkaan buruk terhadap Gagak Wulung. Biasanya, dia tahu bahwa Pertiwi mempunyai watak yang amat baik, maka rasanya tidak mungkin kalau anaknya itu kini secara tiba-tiba saja begitu tak tahu rnalu dan berubah sama sekali. Dia menerjang maju dan hendak menarik lengan puterinya. Akan tetapi, kaki Gagak Wulung melayang dengan cepatnya.
"Dessss......." Dan tubuh Ki Purwoko terjengkang dan terlempar sampai dua meter jauhnya, terbanting keras.
"Jahanam busuk" bentak Gagak Wulung. "Apakah engkau sudah bosan hidup?" Dia melepaskan rangkulannya dari pundak Pertiwi. "Kalau begitu, biar kubunuh dulu kau"
"Raden, jangan........" Tiba tiba Pertiwi menubruk dan berlutut di depan Gagak Wulung, menghalanginya untuk menerjang ayahnya. Melihat ini, Gagak Wulung lalu mendorong tubuh Pertiwi dengan tangan kirinya.
"Minggir kau. Biar kubunuh dulu petani busuk ini agar kelak tidak ada yang menghalangi kita lagi"
Dorongan itu membuat tubuh Pertiwi terjengkang dan bergulingan, dan Gagak Wulung lalu meloncat ke depan untuk menyerang Ki Purwoko. Agaknya, dengan sekali pukul saja, petani yang lemah itu tentu akan tewas, tidak kuat menaban pukulan ampuh jagoan ini. Akan tetapi, pada saat itu, nampak berkelebat bayangan orang dan angin menyambar dahsvat dari samping, menerjang ke arah Gagak Wulung yang menjadi terkejut bukan main. Gagak Wulung membalik ke kanan dan menggerakkan kedua tangan menangkis.
"Dessss......." Dna tenaga raksasa bertemu dan akibatnya, Gagak Wulung terhuyung keluar dari pintu rumah itu. Ki Baka, pendatang yang menyelamatkan Ki Purwoko, mengejar keluar. Mereka kini berhadapan dan Gagak Wulung terbelalak dengan hati gelisah ketika mengenal bahwa penyerangnya tadi bukan lain adalah Ki Baka, musuh lamanya yang dia tahu amat digdaya.
"Babo-babo ...... kiranya si keparat Gagak Wulung yang seialu mendatangkan keributan di manapun dia hadir dengan kejahatannya. Entah apa lagi yang menjadi penyebab ulahmu yang gila, hendak membunuh seorang yang tidak berdosa seperti Ki Purwoko?"
Gagak Wulung yang memang sudah gentar itu tidak dapat segera menjawab. Bagaimana dia berani berterus terang bahwa dia telah menodai seorang gadis yang menjadi calon mantu Ki Baka" Ingin dia mentertawakan musuh lama ini, ingin menghinanya, akan tetapi dia ngeri membayangkan akibatnya, betapa Ki Baka akan marah besar dan mendendam. Ki Baka dalam keadaan biasa saja sudah sukar dilawan. Apa lagi Ki Baka yang mendendam sakit hati dan marah.
Pada saat itu, Ki Purwoko sudah terhuyung keluar dari dalam rumahnya dan dia masih mendengar kalimat terakhir pertanyaan Ki Baka kepada orang yang telah merusak gadisnya itu. Maka dengan lantang diapun lalu berseru kepada Ki Baka.
"Dia telah menghina kami. Dia telah .......menodai Pertiwi dan hendak membawa pergi Pertiwi dengan paksa dari sini....."
"Keparat........." Ki Baka terkejut bukan main. Tentu saja dia tahu apa artinya itu. Dia sudah lama mengenal orang macam apa adanya Gagak Wulung, seorang penjahat yang cabul dan suka mengganggu wanita. Kiranya Pertiwi, calon mantunya, calon isteri Nurseta, telah diganggunya. "Jahanam keji, berani kamu menodai calon mantuku?"
Karena peristiwa itu sudah dibocorkan oleh ayah Pertiwi, maka Gagak Wulung merasa tidak perlu merahasiakannya lagi, dan hal itu bahkan dijadikan senjata untuk memukul perasaan Ki Baka.
"Hahahaha, Ki Baka . Gadis ini tidak mencinta anakmu akan tetapi mencinta aku, apa salahnya ia menjadi kekasihku" Apakah kau merasa iri hati" Hahaha "
"Keparat jahanam, engkau sungguh keji dan jahat, dan sudah menjadi kewajiban setiap orang satria untuk membasmi penjahat penjahat macam kau ini dari permukaan bumi, Haiiiiittt"
Ki Baka menerjang dengan pukulan Aji Bajradenta yang amat menggiriskan itu. Tangannya menyambar bagaikan kilat, mendatangkan angin pukulan yang kuat dan mengeluarkan suara menggebu.
Gagak Wulung sudah mengenal kehebatan kakek pendekar ini, maka diapun cepat meloncat sampai dua tombak ke belakang untuk mencari tempat yang luas dan mengatur posisi yang menguntungkan. Ketika Ki Baka meloncat mengejarnya, dia memapaki dengan pukulan Hasta Jingga, dan kedua telapak tangannya berubah merah oleh hawa beracun yang terkandung dalam aji pukulan itu. Diapun bersilat dengan ilmu silat Wanoro Sekti, tubuhnya berloncatan dengan lincahnya bagaikan seekor kera, dan Ki Baka juga menyambutnya dengan serangan dahsyat.
Terjadilah ulangan perkelahian antara kedua orang sakti ini seperti yang pernah terjadi beberapa tahun yang lalu. Akan tetapi, seperti pada perkelahian pertama, dalam perkelahian inipun segera Gagak Wulung merasa terdesak hebat oleh lawannya . Biarpun Gagak Wulung mengerahkan seluruh tenaganya dan mengeluarkan semua ilmu kepandaiannya, namun semua serangannya dapat dipatahkan Ki Baka dengan pertahanannya yang amat kuat, yaitu dengan Aji Wandiro Kinkin dan dengan pengerahan tenaga Sari Patala. Sedangkan serangan balasan Ki Baka semakin lama semakin mantap dan kuat sehingga beberapa kali Gagak Wulung nampak terhuyung oleh sambaran pukulan Bajradenta,
Akhirnya, setelah kembali dia terhuyung, bahkan terpaksa melempar tubuh ke belakang dan bergulingan, Gagak Wulung maklum bahwa kalau dilanjutkan, dia akan celaka. Maka dia bergulingan terus menjauh lalu meloncat dan melarikan diri .
Diapun bersilat dengan ilmu silat Wanoro Sekti, tubuhnya berloncatan dengan lincahnya bagaikan seekor kera, dan Ki Baka menyambutnya dengan serangan dahsyat.
Sekali ini, Ki Baka tidak ingin melepaskannya. Orang itu telah melakukan kejahatan besar, telah menodai Pertiwi, berarti bukan saja mendatangkan aib kepada keluarga gadis itu dan merusak kebahagiaan hidup Pertiwi, akan tetapi juga berarti telah menghina dia dan merusak kebahagiaan hidup Nurseta.
"Bedebah, hendak lari ke mana kau?" bentaknya dan diapun melompat dengan cepat, melakukan pengejaran menuruni lereng.
Gagak Wulung mengerahkan seluruh tenaganya untuk melarikan diri secepatnya menuruni lereng itu. Keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya. Dia ketakutan. Dia maklum bahwa sekali ini Ki Baka tidak akan mau memaafkannya, dan kalau dia tidak cepat dapat tiba di tempat di mana Ki Buyut Pranamaya menantinya, dia tentu akan celaka di tangan Ki Baka yang sedang marah itu.
Gagak Wulung memang cerdik. Dia dapat lari sambil menghindar, dengan cara berbelak belok dan tentu saja dia menuju ke kaki gunung di mana Ki Buyut Pranamaya yang diandalkannya itu berada. Dan memang pada hari itu sudah merupakan hari ke tiga, seperti yang dijanjikannya bahwa pada hari ke tiga dia akan turun memberi laporan.
Ketika Gagak Wulung mulai merasa semakin gelisah karena Ki Baka nampaknya semakin dekat, tiba tiba saja hatinya lega melihat munculnya Ki Buyut Pranamaya di depannya. Kiranya kakek ini menjadi tidak sabar karena pembantu yang dinanti nantikannya itu tak kunjung muncul, lalu kakek ini mendaki gunung untuk menyusul.
"Hemm, kenapa engkau lari lari seperti orang dikejar setan?" tanya Ki Buyut Pranamaya.
"Bu...... bukan setan....... tapi Ki Baka, paman" kata Gagak Wulung dengan gagap karena napasnya memburu dan muka serta lehernya penuh keringat.
"Hemm, dia?" Ki Buyut Pranamaya membalikkan tubuh memandang dan dia melihat Ki Baka berlari cepat menuruni lereng menuju ke tempat itu.
"Kau minggirlah, kebetulan sekali dia datang "
Ki Baka tiba di tempar itu dan begitu melihat kakek itu, alisnya berkerut menduga duga. Siapa gerangan kakek ini " Seorang kakek yang tubuhnya sedang, meski usianya sudah tinggi sekali namun tubuhnya masib tegak, muka dan kumisnya, juga jenggotnya sudah banyak uban, pakaiannya seperti pakaian petani berwarna hitam. Ketika matanya memandang ke bawah, dia terkejut sekali. Jelas nampak pada kaki yang bertelanjang itu masing-masing hanya ada empat jari, tanpa ibu jari.
"Wiku Bayunirada........ Dan kau juga Ki Buyut Pranamaya" kata Ki Baka, teringat akan cerita Nurseta tentang kakek itu.
Kumis dan jenggot kelabu itu bergerak-gerak ketika Ki Buyut Pranamaya tertawa btrgelak. "Hahahaha, bagus kalau kau masih ingat kepada Wiku Bayunirada, Ki Baka. Kau sudah merasakan ampuhnya tangan ini, oleh karena itu, sekarang kau serahkan Tejanirmaia, baru aku akan memberi ampun kepadamu"
Ki Baka maklum bahwa dia berhadapan dengan lawan yang jauh lebih pandai dan lebih tangguh dari dia, namun dia tidak memperhhatkan sikap gentar, bahkan tersenyum tenang.
"Ki Buyut Pranamaya, dengan menyamar sebagai Wiku Bayunirada, kau menipuku dan merampas Ki Ageng Tejanirmala, bahkan menurunkan tangan kejam kepadaku. Kemudian, kau tidak mampu mempertahankan pusaka itu sehingga terampas oleh orang lain. Bagaimana sekarang kau datang kepadaku menanyakan pusaka itu?"
"Huh, tidak perlu berpura-pura dan berlagak bodoh, Ki Baka. Yang merampas tombak pusaka itu adalah anakmu, si Nurseta yang dibantu oleh seorang gadis berbaju hijau. Maka, engkau tentu tahu di mana pusaka itu. Hayo cepat katakan di mana dan kembalikan kepadaku, ataukah aku harus mempergunakan kekerasan memaksamu?"
"Paman Buyut, robobkan saja dan tangkap dia, biar akan kusiksa dia sampai mengaku di mana adanya pusaka itu" kata Gagak Wulung yang kini timbul kembali kegalakannya setelah merasa aman.
"Ki Buyut Pranamaya, biarpun bukan aku dan bukan pula anakku yang merampas kembali tombak pusaka itu, aku tahu siapa yang merampasnya. Akan tetapi, jangan harap aku akan memberitahukannya kepadamu. Lupakah kau bahwa tombak pusaka itu bukan milikmu dan kau sama sekali tidak berhak untuk memilikinya?"
Ki Buyut Pranamaya menjadi marah, apa lagi mendengar bahwa Ki Baka tahu siapa perampasnva dan di mana tombak pusaka itu berada. "Ki Baka, sekali lagi, katakan di mana tombak pusaka itu"
Akan tetapi Ki Baka tidak menjawab, melainkan menggeleng kepala sambil mengerahkan aji kekuatannya untuk membela diri. Ki Buyut Pranamaya kini sudah marah sekali, Dia mengeluarkan suara melengking parau yang keluar dari perutnya melalui kerongkongan, dan tiba-tiba saja dia sudah menyerang dengan tamparan tangannya yang ampuh. Ki Baka maklum akan kehebatan serangan ini, maka diapun cepat mengelak ke samping. Akan tetapi, tamparan itu terus mengejarnya, seolah-olah di telapak tangan itu terdapat matanya yang dapat melihat ke mana dia mengelak dan tamparan itu tidak luput melainkan mengejar terus ke arah kepala Ki Baka.
"Haiiiittt........" Ki Baka mengerahkan seluruh tenaganya menangkis karena tidak mungkin lagi mengelak dari ancaman tangan yang terus mengejar ke manapun dia mengelak itu.
"Dukkk........" Lengannya bertemu dengan lengan kakek tua renta itu dan akibatnya, tubuh Ki Baka terdorong dan dia terhuyung keras. Pada saat itu, Ki Buyut Pranamaya telah menyerang terus dengan tendangan sakti Cakrabairawa yang datang bertubi-tubi dan amat berbahaya. Menghadapi serangkaian tendangan sakti ini, terpaksa Ki Baka harus melempar tubuhnya jauh ke belakang, lalu bergulingan di atas tanah untuk menghindarkan diri. Begitu tendangan dihentikan, Ki Baka meloncat bangun dan langsung dia mengirim serangan balasan berupa pukulan ampuh Bajradenta.
Ki Buyut, betapapun saktinya, tidak berani sembarangan menerima aji pukulan yang ampuh ini, maka kembali dia menangkis sambil mengerahkan tenaga mendorong. Untuk kedua kalinya tubuh Ki Baka terguling, sekali ini terpental agak jauh ketika tubuhnya terguling dekat kaki Gagak Wulung, orang ini tidak menyia-nyiakan kesempatan, lalu menendang ke arah kepala Ki Baka. Untung Ki Baka masih dapat memutar kepala ke samping sehingga tendangan itu luput mengenai kepala, akan ietapi masih imengenai pundak Ki Baka.
"Desss........ " Tubuh Ki Baka terlempar dan da meloncat bangun, merasa nyeri pada pundaknya. Masih untung bahwa tulang pundaknya tidak patah.
"Ki Baka, engkau masih belum juga mau mengaku ?" bentak Ki Buyut Pranamaya yang kembali sudah tiba di depannya. Kakek ini memang memiliki gerakan yang amat cepat, yaitu dengan ilmunya Garuda Nglayang, yang membuat tubuhnya ringan dan cepat gerakannya seperti seekor burung garuda terbang. Akan tetapi Ki Baka pantang undur. Bagi seorang satria seperti dia, kematian bukanlah apa apa, akan tetapi mempertahankan kebenaran jauh lebih penting. Apa lagi harus menunjukkan di mana adanya tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala, biar matipun dia tidak akan mau melakukannya. Berbahaya sekali kalau tombak pusaka itu sampai terjatuh ke dalam tangan seorang seperti kakek ini, Buktinya, sebentar saja tombak itu terampas oleh Ki Buyut Pranamaya. terjadilah pemberontakan Mahesa Rangkah yang.mengorbankan banyak nyawa manusia. Entah apa akan jadinya dengan, pemberontakan jtu kalau tombak pusaka itu tidak terlepas dari tangan Ki Buyut Pranamaya. Tentu pemberontakan itu tidak akan begitu. mudah dibasmi seperti yang telah terjadi sekarang ini. Maka tanpa menjawab, dia bahkan menyambut pertanyaan itu dengan serangannya, dengan pukulan Bajradenta dan pengerahan tenaga Aji Sari Patala.
Melihat ini, Ki Buyut Pranamaya menjadi marah. "Huh, agaknya engkau sudah bosan hidup bentaknya dan dia menangkis pukulan itu sambil membarengi dengan tendangan yang mengenai paha Ki Baka.
Tubuh Ki Baka terpelanting dan Ki Buyut Pranamaya mengejar menyusulkan pukulan yang ampuh bukan main, yaitu Aji Margaparastra (Jalan Kematian ) seperti yang pernah membuat Ki Baka menjadi penderita cacat dan nyaris mencabut nvawanya kalau saja dia tidak ditolong oleh Panembaban Sidik Danasura.
"Tahan pukulan itu" Tiba tiba terdengar bentakan halus sekali, akan tetapi di dalam kelembutannya terkandung wibawa yang amat kuat sehingga Ki Buyut Pranamaya sendiri otomatis menahan pukulan Margaparastra itu sambil menoleh ke arah suara tadi Kesempatan ini dipergunakan oleh Ki Baka untuk meloncat ke belakang menjauhkan diri.
"Sadhu, sadhu, sadhu........, semoga Hyang Widhi Wisesa mengampuni kita semua. Buyut Pranamaya, tidak takutkah kau akan murka Hyang Tunggal ketika kau hendak menjatuhkan pukulan maut kepada Ki Baka" Siapakah kau ini yang berani hendak mengakhiri hidup seseorang?"
Ki Buyut Pranamaya sudah berhadapan dengan kakek yang baru tiba itu. Kakek tinggi kurus yang usianya juga sudah tua renta, sebaya dengan Ki Buyut Pranamaya sendiri, tubuhnya agak bongkok, pakaian, ikat rambut, juga rambut kumis dan jenggotnya, semua putih. Tangan kirinya memegang seuntai tasbeh dari batu putih, dan tangan kanannya memegang sebatang tongkat bambu gading. Tentu saja dia mengenal siapa adanya kakek yang tadi menegurnya dengan lembut sehingga membuat dia menahan pukulan mautnya terhadap Ki Baka.
Panembahan Sidik Danasura adalah seorang tokoh yang kedudukannya amat tinggi dan biarpun dia jarang atau hampir tidak pernah mencampuri urusan duniawi, namun semua tokoh di dunia persilatan, baik dari golongan putih maupun golongan hitam, mengenal namanya.
"Hemm, kiranya Kakang Panembahan Sidik Danasura yang nadir" kata Ki Buyut Pranamaya dengan suara ditenangkan untuk menutupi perasaannya yang agak terguncang melihat munculnya kakek itu. Belum pernah dia sendiri menguji kesaktian panembahan itu, namun dari keterangan yang pernah didengarnya, kabarnya kakek pertapa di Teluk Pngi Segoro Wedi itu adalah seorang yang sakti mandraguna dan memiliki kepandaiau seperti dewa saja, dan yang lebih mengerikan lagi adalah wataknya yang bersih dan murni. Manusia dengan kebersihan dan kebebasan seperti inilah yang sukar dilawan dengan kedigdayaan.
"Benar, Adi Buyut Pranamaya, semoga para dewata memberi jalan terang kepada kau"
"Terima kasih, Kakang Panembahan. Akan tetapi agaknya kau hanya pandai memberi nasihat akan tetapi tidak pandai melaksanakannya sendiri, Kakang Panembahan"
Panembahan itu tersenyum dan mengelus jenggotnya, sikapnya tenang dan sinar matanya tak pernah melepaskan sinarnya yang lembut, mulutnyapun selalu tersenyum.
"Adi Buyut, apa maksudmu?"
"Kau menasihatkan orang untuk mengambil jalan terang dan membebaskan diri dari keramaian duniawi, akan tetapi mengapa kau datang datang mencampuri urusan orang lain, dalam hal ini urusanku dan kau sudah bertindak berat sebelah dengan memihak Ki Baka dan menghalangiku ?"
"Sadhu, sadhu, sadhu, semoga para dewata memberkahi semua mahluk di dunia ini. Adi Buyut, aku sama sekali tidak bermaksud mencampuri apa lagi memihak, melainkan aku melihat seseorang, dalam hal ini kau, hendak melakukan dosa besar dengan pembunuhan. Karena itu, aku segera mencegah dan mengingatkan, bukankah ini demi kebaikanmu sendiri?"
"Itu menurut pendapatmu, Kakang Penembahan. Dan pendapat orang dapat berbeda. bahkan berlawanan. Pencegahanmu tadi sama sekali bukan demi kebaikanku, bahkan sebaliknya, pencegahanmu itu amat merugikan aku kakang. Pusakaku dirampas oleh anak Ki Baka, dan aku datang untuk menuntut kembali pusaka itu, akan tetapi dia tidak mau menunjukkan di mana adanya pusaka itu. Bukankah sudah sepatutnya kalau aku memaksanya mengaku" Perbuatanku menuntut hakku sudah benar, sebaliknya perbuatanmu mencegah aku itulah yang sesat karena merugikan aku"
Panembahan Sidik Danasura kembali mengelus jenggotnya dan mengangguk angpuk. sikapnya tetap lembut dan ramah. "Jagad Dewa Batbara......... Belumkah kau mampu
meiihatnya, Adi Buyut" Setiap langkah perbuatan, apa bila mengandung pamrih, adalah perbuatan yang sesat dan palsu"
"Akan tetapi pamrihku baik"
"Yang ada hanya pamrih, tidak ada baik atau buruk. Pamrih merupakan keinginan demi kepentingan diri pribadi yang dapat meluas menjadi kepentingan goiongan dan seterusnya dari pribadi itu, terbuka maupun terselubung, dan keinginan itu menjadi dasar dari suatu perbuatan. Itulah pamrih, dan setiap perbuatan yang d dorong pamrih, sudah pasti akan menimbulkan bentrokan dan keributan belaka. Aku mencegahmu tadi sama sekali tanpa pamrih, sama sekali tanpa kepentingan pribadi, Adi Buyut. Sudahlah, coba ceritakan apa yang telah terjadi sehingga kau kulihat hendak menurunkan tangan maut kepada Ki Bika tadi"
Ki Buyut Pranamaya merasa serba salah. Tentu saja dia mengerti bahwa sesungguhnya, slialah yang merampas pusaka itu mula mula dan tangan Ki Baka. Akan tetapi karena sudah terlanjur, diapun menjawab dengan nekat saja.
"Sudah kukatakan tadi, pusakaku dirampas oleh anak Ki Baka yang bernama Nurseta bersama seorang gadis baju hijau, dan aku datang kepada Ki Baka untuk menuntut agar dia mengembalikan pusaka itu. Akan tetapi, dia bahkan hendak merahasiakan di mana adanya pusaka itu"
Panembahan itu menjawab, "Mendengarkan alasan haruslah dari kedua pihak, baru adi. namanya. Oleh karena itu, Ki Baka, coba ceritakan apa yang sesungguhnya telah terjadi sehingga kau berkelahi dengan Adi Buyut Pranamaya"
Ki Baka tentu saja mengenal baik panembahan yang baru baru ini telah menyelamatkannya dari akibat pukulan Margaparastra dari Wiku Bayunirada yang sesungguhnya adalah penyamaran dari Ki Buyut Pranamaya. Dia lalu memberi hormat kepada panembahan itu dan menjawab dengan sejujurnya, "Terima kasih atas pertolongan Paman Panembahan yang untuk kedua kalinya menghindarkan diri saya dari ancaman maut di tangan Ki Buyut Pranamaya. Awal peristiwa terjadi di dusun Sintren, di mana Gagak Wulung telah secara keji menodai gadis yang menjadi calon mantu saya, calon isteri Nurseta, bahkan dia hendak melarikan gadis itu. Saya menentangnya, kami berkelahi dan dia melarikan diri, saya kejar sampai di sini. Tahu tahu muncul Ki Buyut Pranamaya yang menyerang saya setelah dia menuntut agar saya mengembalikan Ki Ageng Tejanirmala atau memberitahu kepadanya di mana adanya pusaka itu sekarang"
"Sadhu, sadhu, sadhu......... Di manamana" manusia mengumbar nafsunya mengejar kesenangan tanpa rikuh mencelakakan orang lain" Pertapa itu menarik napas panjang dan ketika sinar matanya yang lembut bertemu dengan wajah Gagak Wulung, penjahat ini bergidik dan cepat menundukkan mukanya. "Ki Baka, bagaimana ceritanya dengan tombak pusaka itu sehingga Adi Buyut Pranamaya menuntut dikembalikannya pusaka itu?"
"Tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala tadinya milik saya yang dirampas oleh Wiku Bayunirada yang bukan lain adalah Ki Buyut Pranamaya juga. Dia merampas pusaka dan melukai saya sampai saya tertolong oleh pengobatan Paman Panembahan. Kemudian, Nurseta mencari pusaka itu untuk merampasnya kembali. Akan tetapi pusaka itu terampas oleh seorang gadis. Baik saya ataupun Nurseta tidak bekerja sama dengan gadis itu, akan tetapi Ki Buyut Pranamaya menuduh demikian dan memaksaku memberitahu di mana adanya pusaka itu. Biarpun saya tahu di mana, tentu saja saya tidak mau memberitahukan kepadanya karena dia sama sekali tidak berhak atas pusaka itu"
"Adi Buyut, bukankah perbuatanmu itu sewenang-wenang " Kau tidak berhak memiliki tombak pusaka itu, Sudahilah saja usahamu yang tidak patut itu agar kau tidak terjerat oleh perbuatan sendiri, karena setiap orang akhirnya akan memetik buah dari pohon yang ditanamnya sendiri"
"Aku mempergunakan wewenang dari yang menang. Yang menang itu kuasa melakukan apapun yang dikehendakinya. Pusaka itu telah berada di tanganku, maka harus kembali ke tanganku, dan aku akan memaksa Ki Baka untuk mengaku di mana adanya pusaka itu" Ki Buyut Pranamaya membentak.
"Kakang Panembahan. Kau hendak memihak Ki Baka, membelanya dan menentang aku ?" Ki Buyut Pranamaya membentak, matanya membelalak kemerahan.
Kakek tua renta itu tersenyum dan menggeleng kepala, seperti seorang guru melihat sikap muridnya yang masih bodoh dan nakal.
"Aku tidak membela dan menentang siapapun, kecuali membela yang benar dan lemah, dan menghindarkan yang sesat dan kuat dari pada perbuatan jahat"
"Babo babo, kau kira aku takut padamu, Panembahan Sidik Danasura" Kalau kau menentang aku, berarti kau seorang musuh bagiku" berkata demikian kakek yang berpakaian serba hitam ini sudah menerjang maju dengan pukulan dahsyatnya, yaitu Aji Margaparastra yang menggiriskan. Angin dingin menyambar ketika pukulan itu dilakukan bagaikan tangan Sang Dewa Maut sendiri menjahgkau untuk mencari korban.
"Sadhu, sadhu, sadhu......." Panembahan Sidik Danasura mengebutkan tangan kirinya yang tertutup lengan baju putih yang lebar Angin halus menyambar keluar dan dalam lengan baju itu, menyambut angin pukulan Margaparastra dan akibatnya, tubuh Ki Buyut Pranamaya terdorong dan terhuyung ke belakang, Kakek berpakaian serba hitam itu semakin marah. Sambil mengeluarkan suara menggereng seperti seekor harimau, diapun menerjang maju, sekali ini mengerahkan Aji Cakrabairawa yaitu ilmu tendangan yang dahsyat itu. Kedua kakinya bertubi-tubi melayang ke arah tubuh kakek berpakaian serba putih.
Panembahan Sidik Danasura dengan sikap tenang lalu menggunakan tongkatnya yang terbuat dari Bambu Gading itu menyambut, menggerakkan tongkat seperti memukul anjing dan akibatnya, tubuh penyerang itu terpelanting dan terjatuh. Namun, Ki Buyut Pranamaya meloncat bangkit kembali, memandang kepada lawannya dengan beringas, akan tetapi diapun tahu diri. Dia maklum bahwa dia tidak akan mampu mengalahkan kakek berpakaian serba putih yang amat sakti itu. Dan diapun tidak berani mengeluarkan ilmu hitam atau ilmu sihirnya, karena diapun tahu bahwa menghadapi kakek sakti ini, ilmu hitamnya hanya akan membalik dan memukul dirinya sendiri, dan hal ini jauh lebih berbahaya daripada tangkisan lawan terhadap serangannya tadi.
"Baiklah, Kakang Panembahan Sidik Danasura, aku mengaku saat ini belum mampu memaksa Ki Baka mengaku. Akan tetapi, masih ada saat lain. Hayo, Gagak Wulung" Dan Ki Buyut Pranamaya lalu membalikkan tubuh dan melangkah pergi dengan cepatnya, dengan wajah penuh kemarahan. Gagak Wulung juga cepat-cepat pergi meninggalkan tempat itu mengejar kakek berpakaian hitam.
"Gagak Wulung keparat, engkau harus mempertanggung jawabkan kejahatanmu " Ki Baka masih penasaran dan hendak mengejar, akan tetapi lengannya disentuh Panembahan Sidik "Danasura maka dia tidak melanjutkan usahanya melakukan pengejaran. Diapun maklum bahwa selama Gagak Wulung berdekatan dengan Ki Buyut Pranamaya, dia tidak akan mampu berbuat apapun terhadap penjahat cajul itu, bahkan dia yang akan terancam oleh kakek tua renta berpakaian hitam itu.
"Paman, mengapa paman melepaskan orang-orang jahat seperti iblis itu" Mereka berdua itu hanya akan mengancam kehidupan manusia lain, mengotori dunia saja" kata Ki Baka, dalam kemarahannya sampai lupa diri. Memang sesungguhnyalah, mengalahkan orang lain itu mudah, namun mengalahkan diri sendiri amat sulitnya. Ki Baka adalah seorang pertapa yang sudah cukup memiliki kebijaksanaan, maklum akan kelirunya menurutkan nafsu perasaan hati. Namun, melihat betapa calon mantunya dinodai orang, diapun dapat menjadi mata gelap dan lupa sehingga sikapnya tiada bedanya dengan orang yang masih mudah dikuasai nafsu amarah dan dendam. Kini, begitu bertemu pandang dengan Panembahan Sidik Danasura, tiba-tiba dia teringat dan tubuhnya terkulai lemas, jatuh berlutut di depan panembahan itu.
Panembahan Sidik Danasura memejamkan mata dan mengangkat mukanya ke atas. Dia
sengaja datang ke Pegunungan Kelud ini karena dia merasakan suatu hal yang mendorongnya untuk bertindak. Mata batinnya yang tajam seperti melihat akan keadaan Ki Baka yang terancam bahaya, dan selain ini, dia melihat pula bahwa Ki Baka masih akan lama dapat bertemu dengan Nurseta yang juga sedang mengalami cobaan atau ujian Yang Maha Kuasa Dia tahu bahwa ancaman Ki Buyut Pranamaya bukanlah gertak kosong belaka. Orang itu tentu tidak akan mau sudah sebelum berhasil merampas kembali Ki Ageng Tejanirmala, maka keamanan Ki Baka tentu akan terancam terus. Satu satunya jalan hanyalah mengajak Ki Baka ke padepokannya di mana dia akan aman dan gangguan Ki Buyut Pranamaya.
"Agaknya kau sudah mengerti mengapa kita tidak sepatutnya menilai dan mengukur jahat tidaknya seseorang, apa lagi menjatuhkan hukuman. Siapakah kita ini yang lancang menghakimi seseoran " Marilah, Ki Baka, mari ikut bersamaku, menikmati ketenteraman hidup di Teluk Prigi. Kalau sudah tiba saatnya, tentu Nurseta akan menyusul ke sana"
"Maaf, Paman Panembahan. Sebelum kita berangkat, saya ingin lebih dulu melihat keadaan Pertiwi, calon mantu saya"
Panembahan itu tersenyum. Dia maklum akan segala yang sudah dan akan teriadi maka dia tidak membantah, hanya tersenyum mengangguk dan keduanya lalu menuju ke dusun Sintren, tempat tinggal Ki Purwoko ayah Pertiwi.
Kedatangan Ki Baka disambut isak tangis oleh Pertiwi yang sejak tadi memang sudah menangis terus. Melihat calon ayah mertuanya ini, Pertiwi yang teringat akan semua peristiwa yang terjadi dengan dirinya, menjadi malu bukan main. Tiba tiba ia lari ke sudut kamar, mengambil sebilah keris milik ayahnya dan dengan keris itu ditsuknya dadanya sendiri. Akan tetapi, dengan satu loncatan saja Ki Baka telah berada di dekatnya dan dengan mudah Ki Baka meranpas keris itu dari tangan calon mantunya.
"Nini Pertiwi, apa yang akan kau lakukan ?" tanyanya dengan suara keren penuh wibawa.
"Paman........" Pertiwi menjatuhkan diri berlutut, menyembah di kaki Ki Baka, sedangkan Panembahan Sidik Dmasura hanya memandang sambil mengelus jenggotnya. "Mengapa paman menghalangiku yang hendak mengakhiri semua derita ini " Paman, apa gunanya hidup di dunia ini bagiku ?"
"Pertiwi. Apa gunanya hidup bukanlah urusam kita. Kita ini dihidupkan untuk kelak dimatikan bukan atas kehendak kita. Urusan kita hanyalah mengisi kehidupan ini, mengisinya dengan perbuatan-perbuatan yang bermanfaat baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain. Mengakhiri hidup dengan cara membunuh diri adalah lancang dan merupakan dosa besar
(Bersambung jilid ke XI)
Hal-hal yang tidak logis :
1. Nurseta memanggil Warsiyem dengan "kanjeng bibi"
2. Jatuh ke jurang malah ketemu dengan calon Mertua di Goa. Terlalu kebetulan.
3. Pohon bambu dan pisang bisa tumbuh dalam goa, karena goa yang ditempati oleh Nurseta adalah goa yang jauh dari permukaan tanah, pastilah tanahnya keras (batu) Kalau tanahnya lembek, pastilah akan runtuh.
4. Yang biasa tumbuh didalam goa adalah jamur.
5. Warsiyem dapat mengobati luka beracun, kapan belajarnya"
6. Warsiyem mengetahui jenis racun yang diderita oleh Nurseta.
7. Cucut Kalasekti memberi waktu tiga hari kepada Warsiyem. Semestinya culik aja. Kok repot2 nunggu tiga hari. Namanya juga penjahat.
8. Setelah diberi waktu tiga hari, kok Warsiyem tidak kabur" Kenapa nunggu"
9. Kenapa dipenjara di dalam goa, kenapa tidak dipenjara di dalam rumah saja dan dikunci kamarnya dari luar.
10. Kok Ki Buyut tahu ada Goa ditengah2 tebing yang tingi dan curam.
11. Ki Buyut dapat memanjat tebing dengan memanggul Warsiyem, sedangkan Nurseta yang mempunyai ilmu yang hampir sama, tidak bisa memanjat atau menuruni tebing tanpa memanggul beban.
12. Dua penjahat cabul tidak mau memperkosa.
13. Dua penjahat cabul jatuh cinta
14. Menanam pohon obat dalam goa. Tanaman obat biasanya berakar lembut, tidak akan tumbuh di lantai goa yang kerasnya seperti karang, atau memang batu.
15. Tidak ada yang tahu tempat tinggal Ki Baka sebelumnya, tetapi dalam waktu tiga hari saja, Gagak Wulung dapat menemukannya. Padahal pulau jawa sangat luas.
16. Pertiwi memanggil Gagak wulung dengan "Paduka" padahal dialah orang yang memperkosanya.
17. Gagak wulung tidak mau memperkosa, tetapi ia mempergunakan aji pengasihan. Ya sama aja dong.
18. Penjahat cabul kok melamar"
19. Ki Buyut dan Panembahan kok bisa sampai di rumahnya Pertiwi. Tau dari mana" Emang punya hidung seperti anjing"
20. Pertama, Ki Buyut memerintahkan Gagak Wulung untuk mencari alamat Ki Baka. Baru saja tiga hari, Ki Buyut sudah tidak sabar dan menyusul Gagak Wulung. Semestinya tunggu dulu, kalau sudah tidak datang2, barulah ikut mencari. Berarti".. Ki Buyut tidak menunggu, tetapi Ki Buyut ikut kemanapun Gagak Wulung pergi, hal ini akan masuk akal kalau Ki Buyut mempergunakan GPS.
21. Katanya : Pemberontakan ini tidak akan gagal, kalau saja pusaka Tejanirmala tidak terampas. Padahal sewaktu pusaka belum terampas-pun"., pasukan pemberontak sudah kewalahan. Emangnya pusaka itu bisa mengeluarkan pasukan gaib.
22. Semestinya nama pusaka yang dapat mengalahkan tentara singosari bukan "Tejanirmala" tetapi namanya adalah "Machine Gun" atau Granat atau BOM.
---ooo0dw0ooo--
Jilid 11 - Tanah Untuk Pertiwi
"AKAN tetapi, paman" Apa gunanva aku hidup terus " Aku hanya akan menjadi sampah yang mengotori dunia saja, aku telah mendatangkan aib dan malu kepada keluarga ayah, juga keluarga paman.......ah, bagaimana aku akan dapat menahan denta ini. Lebih baik aku mati....... mati......." Gadis itu menangis sesenggukan. Perasaan malu, menyesal, dendam dan duka tercampur aduk menjadi satu. la merasa malu karena ia telah menyerahkan diri kepada seorang laki-laki asing. Menyerahkan diri. Bukan dipaksa. Biarpuan ia sendiri merasa heran mengapa ia sampai dapat melakukan hal yang amat memalukan itu, namun ia ingat benar bahwa ia tidak dipaksa, tidak diperkosa, melainkan menyerahkan diri kepada orang bernama Raden Gigak Wulung itu. Ia merasa malu dan menyesal, akan tetapi setelah sadar, iapun merasa dendam kepada orang itu karena bagaimanapun juga, ia tahu bahwa ia menyerahkan diri dalam keadaan seperti orang tak sadar. Dan ia berduka kalau mengingat akan ucapan Nurseta, pernyataannya yang jujur bahwa pemuda yang dipujanya itu tidak mencintanya, melainkan mencinta seorang gadis lain.
"Sudahlah, nini Pertiwi. Tenanglah. Apakah kaukira bahwa dengan membunuh diri engkau akan terbebas dari penderitaan " Siapa tahu engkau malah akan menambah penderitaanmu ini. Tidak perlu engkau menyesali perbuatanmu, Ketahuilah bahwa Gagak Wulung adalah seorang penjahat besar yang keji dan suka mempermainkan wanita. Engkau tentu telah disihirnya maka engkau menjadi tidak sadar. Bukan semata-mata kesalahanmu, kalau engkau melakukan hal itu walaupun aku merasa heran mengapa seorang gadis seperti engkau selemah itu. Tentu ada sesuatu yang membuatmu lemah, tidak dapat menolak pengaruh sihirnya. Tenanglah dan buang jauh-jauh pikiran untuk membunuh diri itu. Kita tidak dapat melarikan diri dari kenyataan, betapapun pahitnya kenyataan itu, apa lagi melarikan diri dengan jalan bunuh diri. Kita harus berani menghadapi kenyataan dan berani menghadapi segala akibat dari pada apa yang kita lakukan atau apa yang telah terjadi menimpa diri kita"
Mendengar kata kata Ki Baka, Pertiwi menjadi agak tenang. "Akan tetapi, paman. Setelah apa yang terjadi, bukankah aku hanya akan menjadi cemoohan orang orang saja"
Apa lagi kakangmas Nurseta....... ah, aku....... aku malu untuk bertemu muka dengan dia, paman"
"Nini, Nurseta bukanlah seorang pemuda yang berpemandangan sempit. Apa yang menimpa dirimu itu bukan karena kesalahanmu, dan akan terjadi kepada semua wanita yang menjadi korban Gagak Wulung. Kita tunggu saja sampai Nurseta pulang. Ingat nini, jangan sekali kali engkau berani membunuh diri karena hal itu tidak akan menyelesaikan persoalan, bahkan akan melibatkan dirimu ke dalam persoalan lain yang lebih rumit. Hadapilah kenyataan dengan tabah karena bagaimanapun juga, engkau tidak melakukan perbuatan sesat dengan sadar, anakku. Aku akan pergi bersama Paman Panembahan, dan tunggulah saja sampai Raden Nurseta pulang"
"Saya........ saya akan mentaati pesan paman......." kata Pertiwi menahan isak. Bagaimanapun juga, kata-kata,Ki Baka membesarkan hatinya, membuat ia semakin percaya bahwa perbuatannya yang tidak tahu malu itu terdorong oleh kekuatan tidak wajar atau semacam guna guna yang dikeluarkan Gagak Wulung dan ditujukan kepada dinnya.
Tiba tiba Ki Purwoko melangkah maju "Akan tetapi, sungguh kami khawatir sekali. Bagaimana kalau orang jahat itu datang kembali dan memaksa Pertiwi pergi bersamanya, Apa yang dapat kami lakukan " Kalau kami menghalangi, kami pasti dibunuhnya dan kami tidak dapat melawannya"
Ki Baka termenung. Benar juga apa yang dikatakan ayah Pertiwi itu. Orang seperti Gagak Wulung tentu tidak akan mau mengalah begitu saja. Kalau Gagak Wulung mengetahui bahwa dia telah pergi, lalu penjahat itu datang kembali ke dusun Sintren, menculik Pertiwi, tentu takkan ada seorangpun yang dapat menentang atau menghalanginya.
Selagi Ki Baka bimbang, Panembahan Sidik Danasura berkata dengan suaranya yang lembut.
"Segala kejahatan dilakukan manusia, namun semua peristiwa yang dianggap baik maupun buruk ditentukan oleh kekuasaan Hyang Widhi Wisesa. Kita manusia hanya berkewajiban untuk berikhtiar saja agar selamat. Nini, jangan khawatir. Malapetaka yang menimpa dirimu disebabkan oleh kecantikanmu yang menimbulkan nafsu buruk Gagak Wulung. Nah, kau pergunakanlah segenggam tanah ini. Setiap kali ada yang datang hendak mengusikmu. pergunakanlah sedikit dari tanah ini, kau campur dengan ludahmu dan kau pakai sebapai bedak pada mukamu, tentu tidak akan ada yang mau mengganggumu lagi, nini"
Biarpun ucapan kakek tua renta itu lemah lembut, namun di dalamnya mengandung wibawa yang membuat orang mau tidak mau tunduk dan percaya sepenuhnya. Pertiwi yang mengangkat muka memanding kakek tua renta berambut putih itu, segera menyembah, menjulurkan kedua lengan menerima segenggam tanah dan membungkus tanah itu dengan ujung kembennya sambil menghaturkan terima kasih.
Ki Baka lalu pergi bersama Panembahan Sidik Danasura, meninggalkan dukuh Sintren menuju ke selatan, ke padepokan kakek berpakaian putih itu di Teluk Prigi, Segoro Wedi dekat pantai Segoro Kidul.
Setelah tiba di tempat itu, untuk kedua kaiinya Ki Baka tinggal di tempat itu dan diapun bertapa dan memperdalam llmunya, mendapat petunjuk dari Panembahan Sidik Danasura, Beberapa kali Ki Baka bertanya kepada kakek tua renta itu tentang anak angkatnya, namua Panembahan Sidik Danasura hanya menjawab bahwa kalau waktunya tiba, tentu Nurseta akan dapat berjumpa kembali dengan Ki Baka, karena jawabannya selalu demikian, akhirnya Ki Baka tidak berani bertanya lagi dan hanya menanti dengan penuh kesabaran, maklum sepenuhnya bahwa dia, sebagai seorang manusia, tidak berdaya menentang kehendak Yang Maha Kuasa. Bagaikan seorang anak wayang, dia hams tunduk dan patuh kepada Sang Sutradara yang sudah menenti kan jalan ceritanya, tugas utamanya hanyalah berkiprah dan bermain sebaik-baiknya dalam mengisi peran yang dipegangnya.
*** Setelah Ki Baka pergi, Pertiwi yang masih merasa nelangsa itu hampir tidak pernah lagi keluar dari rumah. Bahkan lebih banyak ia berada di dalam kamarnya, jarang makan jarang tidur. Hal ini mencemaskan ayahnya, dan menjengkelkan ibu tirinya, bahkan menjadi bahan percekcokan antara suami isteri itu. Akhirnya, Pertiwi minta kepada ayahnya agar dibuatkan sebuah pondok kecil, mirip gubuk sederhana di tengah ladang mereka. Ia ingin hidup menyendiri, mengerjakan ladangnva sendiri dan hidup menyepi agar tidak lagi mendatangkan keributan dalam rumah tangga ayahnya. Ki Purwoko tidak melihat jalan lain kecuali memenuhi permintaan puterinya. Dia tahu bahwa puterinya itu kini hanya tinggal menanti kembalinya Nurseta dan mendengar keputusan calon suami itu. Hati orang tua ini terenyuh sekali, akan tetapi bagaimanapun juga, di dalam hati kecilnya dia menyesali kelemahan anaknya yang mudah tergoda pria sehingga mudah begitu saja menyerahkan diri sehingga ternoda. Masih untung bahwa hasil hubungan itu tidak sampai membuahkan keturunan. Kalau hal itu terjadi, alangkah akan malunya dan dia tidak dapat membayangkan apa yang akan dilakukannya.
Kini Pertiwi hidup di dalam pondok atau gubuk itu. Ia mengerjakan ladangnya dengan rajin, dan hasil ladangnya itu diambil oleh ayahnya, cukup untuk keperluan hidup gadis itu yang tidak membutuhkan banyak barang. Makannya sederhana saja, dan sedikit karena gadis itu makan hanya untuk penyambung hidupnya saja, seperti makannya seorang pertapa. Pakaiannya juga amat sederhana, asal bersih. Kalau tidak bekerja di ladang, ia selalu berada dalam gubuknya, bersila dan bersamadhi memohon kepada Yang Maha Kuasa agar ia segera dibebaskan dari penderitaan batin dan diberi jalan untuk melanjutkan kehidupan yang ganas ini.
Bagaimanapun juga, Pertiwi adalah seorang gadis yang manis, yang terkenal di Sintren sebagai seorang gadis yang lemah lembut, baik budi dan juga memiliki wajah yang manis, bentuk tubuh yang denok indah. Peristiwa yang mendatangkan aib itu hanya diketahui oleh keluarga Pertiwi saja, dan tak seorangpun di luar keluarga itu yang mengetahuinya. Kini penghuni dusun itu hanya merasa terheran-heran melihat betapa gadis itu mengasingan diri di dalam pondok seorang diri, tidak lagi mau bergaul dengan penghuni dusun, bahkan jarang keluar dari pondok kalau tidak untuk bekerja di ladang, mencuci pakaian atau mandi di kali kecil yang mengalir di dekat pondoknya. Tentu saja kesendiriannya itu menarik pula perhatian para pemuda, bahkan membangkitkan gairah para pemuda yang nakal.
Pada suatu malam bulan purnama, tiga orang pemuda diam-diam menghampiri pondok Pertiwi. Agaknya sinar bulan purnama membangkitkan berahi mereka dan membayangkan betapa gadis manis itu tidur sendirian saja di dalam pondok yang sunyi dan terpencil dari rumah-rumah lain, timbul niat buruk dalam benak mereka.
Berindap-indap mereka menghampiri pondok dan mengetuk pintu pondok itu.
"Toktoktok" Mereka mengetuk perlahan sambil cekikikan.
"Siapa itu?" Terdengar suara Pertiwi, masih halus merdu suaranya, membuat tiga orang pemuda itu semakin bergairah.
"Pertiwi, keluarlah sebentar. Kami datang untuk mengajakmu bermain-main. Lihat, bulan bersinar indah, malam yang indah begini sayang kalau tidak dilewatkan dengan bergembira. Keluarlah, sayang"
"Keluarlah, Pertiwi manis, aku sudah rindu sekali kepadamu" kata pemuda yang kedua
"Diajeng Pertiwi, malam dingin begini, mari kuhangatkan dirimu" kata pemuda ketiga, semakin berani saja kata kata mereka.
Pertiwi yang sudah maklum bahwa yang datang tentulah pemuda-pemuda yang beriktikad buruk, segera mengambil sedikit tanah pemberian Panembahan Sidik Danasura, meludahinya dan membedaki mukanya dengan tanah lumpur di telapak tangannya itu. Ia tidak tahu apa jadinya dengan dirinya, namun ia mempunyai kepercayaan sepenuhnya kepada kakek tua renta berambut putih berbaju putih itu, lalu ia membuka daun pintu pondoknya sambil bertanya.
"Mau apa sih kalian ini, datang dan tega menggangu ketenanganku?"
Daun pintu terbuka, Pertiwi muncul dan tiga orang pemuda itu terbelalak, mulut mereka ternganga, kemudian dengan muka pucat dan tubuh gemetar, mereka lalu melarikan diri cerai berai sambil berteriak teriak ketakutan. dan tubuh gemetar, mereka lalu melarikan diri cerai berai sambil berteriak teriak. ketakutan.
Tentu saja Pertiwi merasa heran sekali. Ia lalu pergi ke dalam pondok kembali, merenungkan apa yang terjadi dan merasa berterima kasih sekali kepada Panembahan Sidik Danasura. Ia tidak tahu bahwa bedak lumpur yang sedikit iiu telah membuat ia kelihatan menyeramkan dan menakutkan sekali bagi tiga orang pemuda yang hendak mengganggunya tadi. Belum pernah selama hidup mereka, tiga orang itu pernah melihat wajah yang lebih menakutkan dari pada wajah Pertiwi ketika keluar dari dalam pondok. Inilah "senjata" Pertiwi, pemberian dan Panembahan Sidik Danasura yang menjamin keselamatan dan ketenangannya, karena dengan senjata ampuh itu, tak seorangpun pria akan berani atau mau mengganggunya. Siapakah orangnya yang mau mendekati seorang wanita yang wajahnya bukan hanya buruk, melainkan juga menakutkan seperti wajah setan dan iblis dalam dongeng"
Beberapa bulan kemudian, ketika pada suatu hari Pertiwi sedang panen jagung tanamannya, muncullah seorang gadis cantik di ladangnya. Pertiwi tidak melihatnya karena ia sedang asik memetik jagung-jagung yang sudah tua. Ayahnya tentu akan datang sore nanti untuk mengambil dan memikul hasil panennya itu. Ia tidak tahu betapa gadis berpakaian serba hijau dan berwajah cantik itu sejak tadi berdiri tak jauh darinya dan mengamati gerak geriknya dengan pandang mata heran. Agaknya, pandang mata gadis berpakaian hijau itu memiliki daya tarik, karena Pertiwi menengok ke belakang dan ia terkejut Imelihat seorang gadis berdiri di situ, seorang gadis asing dan ia yakin gadis itu bukanlah penghuni dusun Sintren.
"Engkaukah yang bernama Pertiwi ?"
Pertiwi semakin heran. Gadis cantik itu memiliki suara yang nyaring, akan tetapi logat bicaranya sungguh aneh dan asing sekali walaupun ia masih mampu menangkap artinya. Ia mengangguk heran.
"Benar, namaku Pertiwi. Kau siapakah dan ada keperluan apakah ?"
Gadis berpakaian hijau itu melangkah maju menghampiri. Pertiwi juga melepaskan jagung yang sedang dipegangnya dan melangkah maju. Kini mereka berdiri berhadapan, dalam jarak dua meter. Dua orang gadis yang sama sama memiliki bentuk tubuh yang bagaikan bunga sedang mekar, dan keduanya sama manis, keduanya sederhana pula. Hanya bedanya Pertiwi berkulit hitam, hitam manis, dan gadis itu berkulit kuning mulus.
"Namaku Wulansari" kata gadis itu sambil menatap tajam wajah Pertiwi seolah-olah hendak melihat apa reaksi gadis dusun Sintren itu mendengar namanya. Akan tetapi Pertiwi belum pernah mendengar nama ini, maka tentu saja tidak ada reaksi apapun kecuali terheran.
"Maaf, agaknya saya belum pernah mengenal kau. Ada keperluan apakah kau mencari saya ?"
Wulansari tersenyum dan Pertiwi harus mengakui betapa cantik jelita dan manisnya gadis itu kalau tersenyum, walaupun pandang matanya yang mencorong itu mendatangkan rasa was-was. Ada lesung pipit di pipi kiri, menjadi imbangan yang manis sekali dari tahi lalat kecil di pipi kanan.
"Pertiwi, aku datang mencarimu, dan keperluannya adalah untuk membunuhmu"
Kini Wulansari yang memandang heran dan bingung. Gadis dusun bernama Pertiwi ini, tunangan dan calon isteri Nurseta, sama sekali tidak bergeming mendengar ancamannya. ancaman hendak membunuh. Wajah yang hitam manis itu sama sekali tidak menjadi pucat, mata yang lebar jeli itu tidak terkejut, bahkan mulut yang manis itu masih tersenyum, seolah-olah berita yang didengarnya adalah berita biasa saja, seperti berita musim panen jagung telah tiba. Memang tidak mengherankan kalau sedikitpun Pertiwi tidak merasa takut. Kematian bagi Pertiwi sama sekali tidak menakutkan atau mengejutkan, bahkan kalau kematian yang wajar datang menjemputnya, bukan bunuh diri, ia akan menyambut dengan penuh kerelaan. Karena itu, ancaman orang untuk membunuhnya sama saja dengan penawaran untuk membebaskannya dari derita batin. Hanya ia menyayangkan kalau seorang gadis cantik seperti Wulansari ini akan menjadi seorang pembunuh tanpa sebab tertentu. Akan tetapi, pasti ada sebabnya maka gadis cantik ini datang hendak membunuhnya, dan ia harus mengetahui dulu apa alasannya itu.
"Kalau engkau benar-benar hendak membunuhku, Wulansari, aku akan berterima kasih sekali. Akan tetapi, sebelum engkau melakukannya, kiranya aku berbak untuk mengetahui apa sebabnya engkau hendak membunuh aku"
Biarpun masih merasa heran melihat ketenangan gadis dusun itu. Wulansari yang masih merasa "sakit hati" ingin menyakiti hati saingannya ini lebih dahulu sebelum membunuhnya, maka iapun menjawab dengan ucapan yang ketus, "Aku hendak membunuhmu karena engkau telah merampas kekasihku"
Pertiwi mengerutkan alisnya, menduga-duga apakah gadis ini kekasih pria bernama Gagak Wulung itu. Pantasnya demikian, mengingat bahwa Gagak Wulung adalah seorang penjahat dan melihat sikap gadis ini, pantas kalau menjadi seorang wanita jahat yang kejam.
"Wulansari, engkau salah duga, Aku tidak merampas kekasihmu Gagak Wulung itu, melainkan dialah yang telah menodai aku dengan kekuatan sihir dan ilmu hitamnya"
"Ngawur" Wulansari membentak. "Siapa kekasih Gagak Wulung" Jangan lancang mulut kau. Pria yang kucinta dan yang mencintaku di dunia ini hanya ada seorang saja, yaitu Nurseta"
Kini Pertiwi nampak terkejut, matanya yang lebar jeli dan indah itu menatap wajah Wulansari, seolah-olah tidak percaya. "Apa..... Kakangmas Nurseta" Jadi kau inikah gadis yang dicintanya itu" Sungguh sukar dipercaya, bagaimana mungkin kakangmas Nurseta yang demikian luhur budi, lemah lembut dan bijaksana dapat mencinta seorang gadis yang liar dan kejam seperti kau ini?"
Wajah Wulansari berubah merah. "Tutup mulutmu dan jangan memaki orang. Aku datang untuk membunuhmu karena engkau yang dipilih Nurseta menjadi calon isterinya, padahal, dia mencinta aku seorang" Wulansari lalu mencabut kerisnya, sebatang keris kecil melengkung terbuat dari emas atau setidaknya dilapis emas.
Kembali Pertiwi sama sekali tidak memperlihatkan sikap gentar, bahkan ia tenang saja ketika memandang keris itu, lalu menarik napas panjang dan membusungkan dadanya.
"Wulansari, kalau engkau hendak membunuhku. Bunuhlah, aku tidak akan lari atau melawan. Memang sudah lama aku rindu akan kematian yang wajar. Tiada gunanya lagi aku hidup di dunia ini, hanya mendatangkan aib dan duka saja kepada diri sendiri dan keluargaku, juga orang lain Bunuhlah"
Menghadapi gadis yang menyerahkan dadanya untuk ditusuk itu, Wulansari menjadi ragu. Teringat ia akan nama Gagak Wulung yang disinggung oleh Pertiwi tadi. Ia pernah mendengar dari eyangnya tentang nama orang orang di kalangan sesat, dan nama Gagak Wulung pernah disinggung eyangnya sebagai seorang penjahat penganggu dan pemerkosa wanita.
"Pertiwi, agaknya engkau telah menjadi korban Gagak Wulung?"
Pertiwi mengangguk. "Banar, aku telah ternoda dan aku bukan perawan lagi, maka tidak pantas aku menjadi isteri kakangmas Nurseta. Selain itu, kakangmas Nurseta yang amat kucinta dan kupuja itu ternyata secara terus terang mengatakan kepadaku bahwa dia tidak cinta kepadaku, melainkan mencinta seorang gadis lain yang kiranya kau orangnya. Nah, Wulansari, tusukkan kerismu itu, bunuhlah aku dan aku tidak akan mendendam kepadamu. bahkan berterima kasih. Semoga kau hidup berbahagia di samping kakangmas Nurseta sebagai isterinya yang tercinta"
Keharuan menyusup ke dalam hati Wulansari. Bagaimanapun juga, gadis ini sebenarnya memiliki dasar watak yang halus dan baik, hanya setelah dididik oleh Ki Cucut Kalasekti maka watak itu tertutup oleh perangai yang ganas dan aneh bahkan sadis. Kini, kekerasan hatinya tidak memperkenankan keharuan menyelinap di hatinya, segera ditutupnya dengan sikap yang sadis. Ia tertawa dan memperlihatkan wajah gembira.
"Bagus, bagus sekali" katanya gembira. "Kalau begitu, engkau menderita batin yang amat hebat. Aku senang sekali, aku puas sekali dan enak engkau kalau sekarang kubunuh, berarti engkau terbebas dari derita batin. Ah, aku tidak akan membunuhmu, biar engkau menderita selama hidupmu. Dan untuk menambab derita batinmu, ketahuilah engkau, wahai Pertiwi, bahwa orang yang kauanggap calon suamimu itu ialah Nurseta, sekarang telah mati. Telah mati, dengarkah kau" Telah mati...."
Tiba tiba Wulansari meloncat jauh dan cepat lari meninggalkan Pertiwi sambil terisak menangis karena ia tidak ingin Pertiwi melihat tangisnya, Namun, Pertiwi masih mendengar isak itu dan setelah Wulansari tidak nampak lagi, Pertiwi menarik napas panjang lalu termenung dengan wajah pucat sekali. Ketika ia diancam maut, ia menghadapi itu dengan tenang. Akan tetapi mendengar bahwa Nurseta telah mati, seketika ia menjadi pucat, tubuhnya panas dingin, kaki tangannya gemetar dan ia hampir jatuh pingsan ketika meninggalkan ladang, tidak perduli lagi akan jagungnya dan tak lama kemudian ia telah rebah di atas dipan bambu dalam pondoknya sambil menangis dan mengeluh lirih, memanggil manggil nama Nurseta.
*** Setiap orane manusia, disadari maupun tidak, selalu mendimbakan dan haus akan kekuasaan Baik itu kekuasaan seorang ayah terhadap anaknya, seorang suami terhadap isterinya atau sebaliknya, seorang atasan terhadap bawahannya, seorang guru terhadap muridnya, seorang kaya terhadap si miskin, orang kuat terhadap yang lemah dan selanjutnya. Seorang yang memiliki kekuasaan atas orang lain akan merasa aman, merasa terhormat, merasa lebih dan merasa diri besar. Akan tetapi, seperti juga segala kesenangan yang dikejarkejar manusia, kekuasaan akan sesuatu bukan merupakan tujuan terakhir. Haus akan kekuasaan ini selalu melar, selalu mengembang, tanpa batas dan seperti dengan nafsu mengejar apapun juga, makin terdapat makin baus dan ingin yang lebih dari apa yang telah didapatnya.
Demikian pula dengan yang dirasakan Sang Prabu Kertanegara. Dia makin haus akan kekuasaan, tidak merasa puas dengan keadaan kerajaannya, ingin meluaskan kekuasaannya sampai tanpa batas. Biarpun banyak pamong praja yang setia memperingatkan, dia tidafa memperdulikan semua itu dan pasukan besar dikerahkan sembilan tahun yang lalu untuk menuju ke negeri Malayu. Peristiwa ini tentu saja merupakan pelaksanaan dari keinginannya untuk memperluas, kekuasaan. Apa lagi setelah dia mendengar tentang hasil baik para senopatinya menindas kerusuhan atau pemberontakan yang diadakan Mahesa Rangkah, Sang Prabu Kertanegara merasa bahwa kedudukannya amat kuat. Biarpun lebih dari separuh pasukannya berada di Malayu dan belum kembali dia merasa bahwa pasukannya amat kuat. Hal ini mendorongnya untuk mengincar daerah di seberang lautan di timur, yailu Pulau Bali.
Sang Prabu Kertanegara lalu mengadakan sidang. Semua senopatinya yang utama nadir, diantaranya adalah Nambi, Banyak Kapub, Medang Dangdi, Lembu Sora, Gajah Pangon. Mahesa Wagal, Ronggo Lawe putera Wiraraja yang kini menjadi adipati di Madura, KeboKapetengan, Wirota Wiragati, Pamandana dan lain lam. Tentu saja Riden Wijaya sebagai keponakan dan juga mantu Sang Prabu, juga hadir. Selain para senopati, tentu saja Patih Mahesa Anengah dan pembantunya, Panji Angragani sudah lebih dahulu menghadap raja.
Kepada para senopati yang dipanggil menghadap, Sang Prabu Kertanagara lalu menyatakan niatnya untuk mengirim pasukan menyerbu dan menalukkan Pulau Bali. Raja ini menyatakan bahwa niatnya itu telah didukung sepenuhnya oleh Patih Mahesa Anengah dan Panji Angragani, dan dia minta kepada para senopati untuk mengemukakan pendapat mereka mengenai rencana penyerbuan ke Bali ini. Mendengar ini, para senopati saling pandang. Di dalam hati mereka, terkejut juga mendengar rencana ini. Pasukan besar mereka masih belum kembali dari Melayu, sedangkan bam saja mereka membasmi pemberontakan Mahesa Rangkah. Bagi mereka, yang terpenting adalah menjaga keamanan dalam negeri, bukan menyerang ke luar daerah. Belum tepat saatnya untuk meluaskan wilayah selagi pasukan terpecah seperti itu. Kalau sisa pasukan dikerahkan untuk menyerang Bali, lalu siapa yang akan menjaga keamanan di dalam negeri" Akan tetapi, sebagai senopati, tentu saja mereka tidak berani menolak perintah raja, dan hanya saling pandang.
Akhirnya, Wirota Wiragati yang merupakan seorang senopati yang sudah setengah tua, memberanikan diri berkata, mewakili teman-temannya. "Gusti, bamba semua telah siap untuk melaksanakan perintah paduka. Sewaktu-waktu hamba semua siap ditunjuk sebagai senopati yang memimpin pasukan menyerbu ke Pulau Bali. Hanya saja, kalau boleh hanba berianya, apakah gerangan yang mendorong niat paduka untuk menyerbu dan menalukkan Pulau Bali " Selama ini Pulau Bali tidak pernah melakukan suatu gangguan kepada kita, dan tentu ada maksud yang penting sehingga paduka mempunyai niat menalukkan Bali, mengirim pasukan ke sana meninggalkan Kerajaan. Singosari yang menjadi kosong dan lemah kalau pasukan dikerahkan ke sana"
Sang Prabu Kertanegara mengerutkan alisnya, lalu berkata, "Tentu saja niat kami itu telah kami pikirkan dan kami rundingkan masak-masak dengan Ki Patih Mahesa Anengah dan Panji Anggragani. Kalau kau ingin mengetahui alasannya, biarlah Ki Patih Mahesa Anengah yang akan menjelaskan"
Patih Mahesa Anengah kini memandang kepada Senopati Wirota Wirogati, Iaiu berkata lantang, "Kakang Senopati Wirota Wiragati sungguh saya merasa heran sekali mengapa seorang senopati kawakan seperti kau, masih hendak bertanya lagi akan alasan perintah Sribaginda, seolah-olah meragukan kebijaksanaan yang diambil oleh beliau"
Mendengar ucapan yang seolah-olah menegurnya itu, Wirota Wiragati mengerutkan alisnya. Dia dan kawan kawannya tahu belaka bahwa patih yang baru diangkat menggantikan patih tua Empu Pagananta ini adalah seorang yang selalu menjilat jilat untuk memancing perhatian Sribaginda.
"Gusti Patih" katanya, tegas namun juga dengan sikap hormat "Sama sekali kami tidak meragukan kebijaksanaan Sribaginda, melainkan kami merasa tidak mengerti akan kebijaksanaan yang diambil beliau ini, mengingat bahwa kalau pasukan dikerahkan ke timur, tentu keadaar dalam negeri menjadi kosong dari penjagaan dan agak lemah. Tentu ada alasan yang amat kuat dengan pengiriman pasukan ini, maka inilakyang kami ingin ketahui. Kecuali kalau alasan ini dirahasiakan dari para senopati, tentu saja kami tidak berani banyak bertanya"
Mendengar ucapan yang tegas ini, Patih Mahesa Anengah merasa tersudut dan diapun tersenyum lebar. "Sama sekali tidak dirahasiakan, hanya kami merasa heran mengapa para senopati tidak dapat melihat alasannya Baiklah, akan saya jelaskan. Masih dalam rangkaian mengirim pasukan ke Melayu maka sekarang Sribaginda hendak menalukkan Bali. Semua itu dilakukan dengan satu tujuan, yaitu memperkuat kerajaan dan mengadakan hubungan baik dengan negara-negara di sekeliling Pulau Jawa. Semua orang tahu betapa kini Negara Tartar di utara memperbesar kekuasaan mereka dengan penyerbuan ke selatan dan bukan rahasia lagi kalau negara itupun mengincar tanah air kita yang subur. Untuk menahan mereka, tidak ada jalan lain kecuali memperkuat diri dan juga mempererat hubungan dengan negara-negara tetangga. Kalau Malayu sudah menjadi sekutu kita, juga Pulau Bali, Kalimantan dan sekitar Pulau Jawa sudah tunduk kepada kita, maka kita seolah olah dikurung benteng yang merupakan perisai untuk menahan gelombang serangan pasukan Tartar. Bukankah ini merupakan siasat yang baik sekali dari Sribaginda ?"
Kini Senopati Ronggolawe yang berkata, "Memang merupakan siasat yang amat bijaksana. Akan tetapi kami semua mengkhawatiran keadaan keamanan Kerajaan Singosari kalau pasukan dikerahkan ke Bali. Bagaimaina kalau sampai terjadi pemberontakan?"
Kembali Patih Mahesa Anengah yang menjawab, "Adi Senopati Ronggolawe yang gagah perkasa. Mengapa kita harus menakuti bayangan yang kosong " Ingat, ketika Sang Prabu mengirim pasukan ke Pamalayu, banyak senopati yang khawatirkan akan terjadi sesuatu di sini. Buktinya, tidak ada apa-apa kecuali pemberontakan Mahesa Ringkah yang tidak ada artinya. Siapa yana akan berani memberotak terhadap Singosari" Sang Prabu telah memperlihatkan sikap yang adil dan bijaksana sehingga para adipati merasa puas dan setia. Pula, yang dikirim hanya sebagian pasiukan saja untuk menundukkan Raja Bali yang tidak berapa kuat. Sisanya tetap berjaga di sini dan sudah lebih dari cukup dan kuat untuk memadamkan setiap api pemberontakan kecil seperti yang dilakukan Mahesa Rangkah beberapa tahun yang lalu"
Sang Prabu Kertanagara mengangguk-annguk, puas dan girang mendengar alasan yang dikemukakan patihnya. Dia lalu memerintahkan agar para senopati siap siap, lalu meunjuk Raden Wijaya untuk mengatur persiapan itu dan menentukan siapa diantara para senopati yang akan memimpin pasukan untuk menyerbu ke Bali. Pertemuan lalu dibubarkan dan Raden Wjaya mengadakan perundingan dengan para senopati. Lalu diambil keputusan untuk menyerahkan pimpinan pasukan yang hendak menyerbu ke Bali itu kepada Senopati Nambi, dibantu oleh Senopati Medang Dangdi dan Mahesa Wagal sebagai pimpinan, dan beberapa orang senopati din perwira menengah. Maka berangkatlah pasukan itu meninggaikan Singosari menuju ke Bali. Penyerbuan ini terjadi pada tahun 1284.
Sang Prabu Kertanagara boleh jadi bercita-cita besar memperbesar kekuasaan dan hendak memperkuat kedudukan untuk menghadapi ancaman dari utara, yaitu Negara Cina yang pada waktu itu dikuasai oleh Bangsa Tartar atau Morgol, akan tetapi dia bukanlah seorang yang berkepala besar, bukan hanya mengandalkan kesombongan saja untuk melakukan penyerbuan ke mana-mana. Dia penuh perhitungan, maklum akan kehebatan para senopatinya, dan yakin akan ketanggoan pasukannya yang setia. Bukan hanya itu, juga sebelumnya telah banyak mata-mata dan penyelidik disebar dan dikirimkan ke Pulau Bali untuk melakukan penyelidikan sampai dimana kekuatan pasukan kerajaan yang akan digempurnya itu. Maka, hasil penyerbuan ke Bali itupun amat cemerlang, seperti yang telah diperhitungkan dengan masak masak. Pasukan Bali dapat dikalahkan, dan raja Bali ditawan, dibawa ke Singosari. Pada waktu pasukan Singosari berhasil mengalahkan pasukan Bali itulah, maka terjadi hal lain yang hebat di tebing yang curam dari pantai Laut Selatan.
Seperti kita ketahui, Nurseta terjebak di dalam goa di tebing itu akibat terjatuhnya dari atas tebing ketika dia terkena senjata rahasia Sisik Nogo oleh kakek Cucut Kalasekti. Di dalam goa dia bertemu dengan seorang wanita setengah tua bernama Warsiyem yang ternyata adalah ibu kandung Wulansari. Pemuda itu terpaksa uinggal di dalam goa selama empat tahun lebih karena memang tidak terdapat jalan keluar dari dalam goa itu.
Selama empat tahun lebih, dia tekun bersamadhi dan memperdalam ilmu-ilmunya, bahkan berhasil pula mengusai ilmu Bambu Runcing, yaitu permainan pencak silat dengan bambu yang diruncingkan ujungnya seperti tombak, ilmu yang diciptakan oleh Warsiyem selama bertahun tahun tinggal di dalam goa seorang diri sebelum Nurseta tiba di goa itu.
Dengan adanya Nurseta yang dianggap sebagai anak mantunya, dan mendengarkan keterangan pemuda itu mengenai kebatinan, Warsiyem dapat sembuh pula dari guncangan batin yang membuatnya seperti orang setengah gila. Mereka tekun berlatih dan Nurseta berhasil menghimpun tenaga sakti yang jauh lebih kuat dari pada sebelum dia terpaksa tinggal di dalam goa itu. Biarpun dia dan Warsiyem tidak pernah mau diganggu harapan dan keinginan untuk dapat segera terbebas dari situ, namun mereka tidak pernah mau menghentikan usaha mereka untuk mencari jalan keluar. Dengan kepandaiannya, Nurseta sudah mencoba untuk mencari jalan keluar. Merayap ke atas sungguh tidak mungkin. Hanya manusia yang bersayap seperti burung saja yang akan dapat terbang ke atas. Merayap sejauh itu merupakan pertaruhan yang tidak seimbang. Kemungkinan untuk berhasil merayap naik sampai ke puncak tebing hanya sedikit sekali, jauh lebih besar kemungkinan terpeleset dan terjatuh untuk hancur lebur di bawah sana. Merayap ke bawah lebih mungkin dilakukan, karena dari goa ke air laut di bawah sana hanya setinggi pohon kelapa. Bahkan sudah bcberapa kali dia mencoba merayap ke bawah dan berhasil mencapai dasar, Akan tetapi, tepat seperti pernah dikatakan oleh Warsiyem, di bawah sanapun merupakan jalan mati. Air laut bergelombang dahsyat, dan di waktu air surutpun, tidak mungkin turun ke air. Tempat itu penuh batu karang yang tajam dan runcing, dan bagaimana mungkin seorang biasa turun ke air laut dan berenang mencari tepian yang dapat dipakai mendarat" Kepandaiannya berenang terbatas sekali. Kalau saja dia memiliki ilmu renang seperti Cucut Kalssekti, atau Wulansari, mungkin saja berani dia turun ke air laut di waktu surut.
Juga Warsiyem pernah diajaknya merayap turun, dan wanita inipun melihat betapa tidak mungkinnya untuk turun ke air laut yang mungkin mengandung banyak ikan hiu itu.
Demikianlah, mereka berdua selalu mencari kesempatan untuk dapat keluar dari tempat itu. Akan tetapi mereka tidak mau tenggelam dalam harapan, karena maklum bahwa makin besar harapan dan makin besar keinginan untuk keluar dari situ, akan semakin parah pula kekecewaan dan kedukaan kalau eing nan itu tidak terlaksana.
Dan pada suatu hari, tanpa mereka sangka-sangka, datanglah kesempatan itu. Pagi itu, Nurseta dan Warsiyem seaang duduk di ruangan sebelah dalam di mana terdapat bagian terbuka, melakukan samadhi karena mereka berdua dapat menghirup hawa segar dan menikmati sinar matahari pagi yang mulai masak menyerong ke dalam goa itu. Mereka sudah mandi pagi dan keduanya nampak segar dan sehat. Kini Warsiyem sudah jauh berbeda dibandingkan empat tahun yang lalu. Biarpun usianya sudah mendekati limapuluh tahun. Wajahnya nampak cantik manis, dengan kulit yang bersih dan belum berkerut. Rambutnya juga bersih dan ada sedikit uban menghias diatas telinga, nampak karena rambut itu digelung ke atas secara sederhana. Pikaiannya memang penuh tambalan, namun bersih karena setiap hari ia berganti pakaian.
Nurseta juga mengalami perubahan. Dia bukan seorang pemuda yang mentah lagi, melainkan seorang pemuda yang mulai matang, sudah dewasa benar dengan usianya yang duapuluh lima tahun. Kumisnya berbentuk indah, godegnya menebal dan ada sedikit jenggot di dagunya. Sinar matanya kini mencorong dan penuh wibawa. Di pinggangnya terselip sebatang keris yang bergagang indah. Itulah keris Hat Nogo, hadiah dari Riden Wijaya setelah pemberontakan Mihesa Rangkah, empat tahun yang lalu, dihancurkan.
Keduanya tekun bersamadhi dan di dinding goa itu terdapat dua batang tombak Bambu Runcing yang mereka sering pergunakan untuk berlatih ilmu Bambu Runcing. Warsiyem kini juga memperoleh kemajuan pesat dalam ilmu bela diri karena bimbingan Nurseta yang dianggap anak mantu atau anaknya sendiri. Juga di atas tanah di bagian yang terbuka itu kini bertambah beberapa macam pohon buah yang terjadi karena ada bibit pohon yang terbawa oleh burung dan terjatuh ke tempat itu.
Tiba-tiba terdengar suara yang mengandung gema panjang. "Yeeemmm........ Siyeeem
......... Warsiyem........ Manisku, aku datang mengunjungimu, hahahaha"
Dua orang yang sedang bersila dengan anteng itu tersentak kaget. Wajah Warsiyem berubah pucat dan ia berbisik. "Itu dia........ Si keparat Cucut Kalasekti. Akan kubunuh dia" Wanita itu sudah meloncat dan menyambar sebatang tombak bambu runcingnya.
Akan tetapi Nurseta juga meloncat dan sudah menangkap lengan wanita itu.
"Kanjeng bibi" bisiknya. "Jangan tergesa-gesa. Ingat betapa saktinya dia. Bibi bukanlah lawannya, biar saya yang menghadapinya. Kalau perlu nanti, kanjeng bibi boleh membantu"
Mendengar ucapan ini, Warsiyem mengangguk, maklum bahwa ucapan pemuda itu memang tepat. Biarpun ia sudah memperoleh kemajuan, namun agaknya masih jauh untuk dapat mengimbangi kesaktian Cucut Kalasekti. Kalau ia tergesa-gesa menyerang dengan sembrono, lalu ia gagal bahkan ia yang terluka, hal itu berarti sia-sia belaka.
Nurseta sudah mempersiapkan diri, mengikat rambutnya dan ujung kainnya, mempersiapkan keris di pinggang, lalu menyambar sebatang bambu Runcing ryang biasa dia pakai berlatih. Kemudian, diapun berindap indap keluar, diikuti dari belakang oleh Warsiyem yang juga sudah memegang bambu Runcing dan siap untuk menyerang.
"Siyem, Warsiyem.......... Hahaha, masih hidupkah engkau" Sudah lima tahun aku tidak datang berkunjung, bagaimana sekarang" Apakah engkau masih tetap cantik manis, dan apakah engkau kini tidak akan menyambutku dengan senyumanmu" Ha ha ha" Suara Cucut Kalasekli makin dekat dan ketika Nurseta tiba di dalam goa, tiba tiba saja sosok bayangan Cucut Kalasekti muncul dari depan goa. Kakek itu, seingat Nurseta, masih sama seperti dulu, empat tahun yang lalu ketika menyerangnya di atas tebing. Mukanya masih membiru seperti muka ikan dengan mulut yang Runcing seperti moncong ikan, jubahnya kuning dengan baju dalam seperti sisik ikan. Akan tetapi kini jubah itu berbeda, biarpun warnanja masih kuning akan tetapi terbuat dari kain yang mewah, juga kedua lengannya terhias emas permata. Kakek ini sekarang berpakaian mewah seperti seorang bangsawan.
Karena sepasang mita kakek itu mencari Warsiyem, agaknya dia tidak perduli atau tidak melihat Nurseta. Melihat Warsiyem berdiri di sudut, dia terbelalak dan tertawa lagi.
"Hahaha, engkau makin tua makin cantik saja. Ah marilah manis. Aku datang untuk menjemputmu, mengajakmu hidup mulia di atas sana. Tahukah engkau bahwa aku sekarang telah menjadi seorang adipati. Ha ha ha, inilah Sang Adipati Satyanegara, adipati di Bendowinangun"
"Keparat jahanam. Manusia busuk kau, Cucut Kalasekti. Lebih baik mati saja bagiku dari pada ikut bersamamu" kata Warsiyem sambil mempersiapkan bambu runcingnya.
Tiba tiba saja kakek itu menjadi marah. "Hemm, manusia tak tahu diri. Aku datang dengan hati menyayang, dengan maksud baik, akan tetapi engkau memaki aku. Aku, seorang adipati, disembah sembah orang sekadipaten, dan engkau ini perempuan hina berani memaki aku " Engkau cepat berlutut menyembah, ikut dengan sukarela bersamaku, atau kubunuh sekarang juga"
"Manusia iblis. Sampai matipun aku tidak sudi tunduk kepadamu, sejak dahulu, sekarang mau pun kapan saja"
"Bedebah" Cucut Kalasekti marah sekali dan dia melepas dua buah sisik dari baju dalamnya. "Kalau begitu mampuslah kau" Tangan kirinya bergerak dan dua sinar meluncur ke arah wanita itu. Akan tetapi, Nurseta sudah menggerakkan bambu runcingnya ke arah sinar sinar yang meluncur itu.
"Tringgg. Tranggg........" Dua sinar itu terpukul dan membalik, yang sebuah runtuh ke
atas tanah, yang sebuah lagi menyambar ke arah pemiliknya.


Sejengkal Tanah Sepercik Darah Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ehhh........?" Cucut Kalasekti terkejut dan cepat mengelak sehingga sisik yang ke dua itu meluncur keluar goa dan lenyap. Kini barulah Cucut Kalasekti menoleh dan memandang penuh perhatian kepada Nurseta, dan dia terbelalak.
"Siapakah kau" Warsiyem, engkau telah menyembunyikan seorang laki-laki, ya " Jahanam, setelah kutinggal beberapa tahun saja, engkau telah mendapatkan gantinya, seorang gendak, seorang kekasih muda, ya" Dasar perempuan tak tahu malu, tidak setia dan menyeleweng"
Nurseta menggeleng geleng kepalanya. Kakek itu sungguh tak tahu diri. Dia melarikan Warsiyem, memaksa dan memperkosanya, membiarkan wanita itu bertahun-tahun lamanya berada di neraka itu, dan kini masih menuduhnya tidak setia dan menyeleweng. Sungguh sukar diikuti jalan pikiran seorang datuk sesat seperti Cucut Kalasekti itu. Dan agaknya kakek itu lupa kepadanya.
"Ki Cucut Kalasekti, jangan menyangka yang bukan bukan. Karena pikiranmu isinya kotor, maka kau menyangka yang kotor-kotor saja. Lihatlah baik-baik siapakah aku ?"
Melihat sikap tenang pemuda itu, dan suaranya yang lembut berwibawa, Ki Cucut Kalasekti mengamati wajah yang tampan gagah itu "Hemm. kau tidak kukenal. Orang muda, siapakah kau, dan kalau kau bukan gendak Warsiyem, bagaimana kau dapat berada di tempat ini?"
Akhirnya dia bertanya menekan kemarahannya karena dia kini ingin sekali tahu bagaimana ada seorang pemuda dapat berada di tempar iiu, padahal menurut keyakinannya, tak mungkin ada orang lain mampu datang ke goa itu.
"Ki Cucut Kalasekti, sudah dua kali selama hidup kita saling bertemu. Pertama kali di tepi Laut Selatan, sembilan tahun yang lalu ketika kau menculik diajeng Wulansari. Kedua kalinya, empat lima tahun yang lalu di puncak tebing ini, ketika kau menjatuhkan aku dengan senjata rahasia Sisik Nogo"
Tiba tiba kakek itu mengeluarkan suara erengan seperti seekor srigala kelaparan. "Aaaughhh, kiranya engkau, si bedebah. Jadi engkau belum mampus dan dapat berada di sini, ketika terjatuh dari atas tebing itu ?"
Nurseta tersenyum "Tuhan Maha Kuasa, Ki Cucut, dan kalau Tuhan belum menghendaki, biar ada seribu orang seperti tidak akan dapat membunuhku"
"Siapa bilang. Sekarang juga aku akan membunuhmu, kemudian membunuh perempuan tak tabu diri itu" Tiba tiba kakek itu mengeluarkan suara mendesis seperti ular-ular yang banyak sekali tiba-tiba datang menyerang. Suaara mendesis itu hebat sekali, dapat membuat tubuh lawan terasa kaku dan lumpuh. Warsiyem mengeluh karena Tiba-tiba saja tubuhnya terasa kaku dan kaki tangannya tidak dapat digerakkan. Ia teringat akan cara menghimpun tenaga sakti seperti yang dilatihnya atas petunjuk Nurseta, maka cepat ia mengatur pernapasan dan memusatkan perhatian, menghimpun kekuatan yang disalurkan ke arah kaki tangannya dan iapun merasa betapa pengaruh suara mendesis itu segera lenyap.
Nurseta sendiri pada waktu itu telah memiliki tingkat yang tinggi sehingga suara mendesis ini hanya sempat mengejutkannya saja, akan tetapi dapat dilawannya dengan pengerahan tenaga sakti, sehingga dia tidak terpengaruh sama sekali. Karena itu, maka ketika Cucut Kalasekti menerjangnya dengan pukuulan Aji Gelap Sewu, dia dapat mengelak dengan mudah.
Ki Cucut Kalasekti kaget, heran dan penasaran bukan main. Aji kesaktiannya melalui suara mendesis itu bukan hanya tidak dapat mempengaruhi pemuda ini sama sekali, bahkan nampaknya Warsiyem juga mampu menolaknya.
Kalau saja aji itu mempengaruhi Nurseta sedikit saja, disusul pukulannya Gelap Sewu tentu pemuda itu takkan mampu mengelak dan sekali pukul saja sudah roboh binasa. Dengan marah dan penasaran, diapun menyusulkan pukulan demi pukulan yang amat ampuh.
Nurseta maklum akan kesaktian lawan, maka diapun tidak membiarkan dirinya diserang terus menerus tanpa melawan. Dia memutar tombak Bambu Runcing ke bawah lengan kanan, dan mengangkat tangan kirinya ke atas untuk menangkis sebuah pukulan sambil mengerahkan tenaga saktinya.
"Dukkk" Dua tenaga raksasa yang dahsyat bertemu melalui dua buah lengan itu dan agaknya seluruh goa ikut tergetar. Akibatnya, tubuh kedua orang itu terguncang hebat dan mereka melangkah mundur dua langkah kebelakang. Makin terkejut rasa hati Ki Cucut Kalasekti. Bocah ini memiliki tenaga sakti yang hebat, yang dapat mengimbangi tenaganya sendiri. Tanpa membuang waktu lagi, dia lalu menerjang lagi, melompat ke depan dan kini kaki tangannya menyerang bagaikan gelombang lautan yang sedang mengamuk. Itulah ilmu pukulan yang disebut Aji Segoro Umub, demikian dahsyatnya dan bertubi-tubi, sementara mulutnya mengeluarkan suara mendesis seolah-olah lautan mendidib sedang menyerang lawan.
"Dukkk" Dua tenaga raksasa yang dahsyat bertemu melalui dua buah lengan itu dan agaknya seluruh goa ikut bergetar. Akibatnya, tubuh kedua orang itu terguncang hebat dan mereka melangkah mundur dua langkah ke belakang.
Nurseta melihat hebatnya serangan ini, cepat diapun menggerakkan tombak bambu Runcing di tangannya. Dia selama empat tahun ini setiap hari melatih ilmu mempermainkan bambu Runcing itu, dan telah memiliki kemahiran dan menguasai ilmu itu sepenuhnya. Karena bambu itu ringan dan mengandung keuletan dan kekuatan tertentu yang tidak terdapat pada logam, memiliki kelenturan bahkan ketajaman yang hidup, ditambah lagi digerakkan dengan tenaga sakti yang kini sudah mencapai tingkat tinggi, maka bambu Runcing itu merupakan senjata yang amat ampuh dan begitu bambu digerakkan, lenyaplah bentuk bambu itu dan yang nampak hanya gulungan sinar kehijauan yang mengeluarkan bunyi mendengung.
Kagetlah hati Ki Cucut Kalasekti melihat betapa ujung bambu yang Runcing tajam itu menyambut kedua tangannya, menusuk ke arah lelapak tangan dan juga ke arah jalan darah di pergelangan dan siku lengan. Gerakan bambu Runcing itu selain cepat. juga dia melihat seolah-olah ujung yang Runcing itu berubah menjadi banyak sekali, menusuk bertubi-tubi kearah kedua lengannya. Kedua lengan tangan yang tadinya menyerang, kini berbalik mengambil posisi membela diri, menangkisi tusukan-tusukan itu. Sebentar saja, kakek itu terdesak hebat dan hanya mampu menangkis sambil melangkah mundur dan berputar pular di ruangan mulut goa itu.
"Dukk. Plakkk" Sambil mengerahkan tenaga, Ki Cucut Kalasekti menangkis dengan kedua tangannya, namun dia tidak berhasil mematahkan bambu atau menolaknya terpental, hanya keduanya kembali tergetar oleh pertemuan dua tenaga dahsyat. Cucut Kalasekti melompat ke belakang dan tangan kanannya bergerak mencabut senjatanya yang hampir tidak pernah dicabutnya, yaitu sebatang keris yang bentuknya melengkung dan berlapis emas, presis seperti keris yang pernah dilihat Nurseta ketika dipergunakan Wulansari, hanya keris milik kakek ini lebih besar. Cucut Kalasekti hampir tidak pernah mempergunakan senjata ini, karena biasanya, hanya dengan kedua tangan dan kakinya, sudah cukuplah baginya untuk mengalahkan lawan. Bahkan jarang dia membawa keris itu. Setelah dia menjadi seorang adipati, barulah keris itu tak pernah berpisah dari badannya, bukan untuk melindungi diri, melainkan untuk penambah wibawa sebagai seorang adipati. Apa akan kata orang kalau seorang adipati tidak memiliki pusaka, tidak berkeris" Kini, menghadapi bambu Runcing yang dimainkan secara hebat oleh Nurseta, Cucut Kalasekti tidak merasa ragu atau rikuh untuk mencabut pusakanya itu.
"Babo babo. Nurseta. Pusakaku akan merobek dadamu" bentaknya dan diam diam kakek ini mengerahkan kekuatan batinnya untuk mempergunakan ilnu sihirnya menguasai lawan. Diapun mengeluarkan lagi suara mendesis tadi, akan tetapi kini lebih kuat dari pada tadi sehingga kembali Warsiyem yang berdiri di sudut seketika gemetar dan cepat wanita ini duduk bersila menghimpun tenaga sakti untuk melawan pengaruh suara mendesis itu. Nurseta sendiri terkejut bukan karena suara mendesis yang dapat ditahannya, akan tetapi dia melihat betapa kakek itu kini nampak menggiriskan, seolah-olah ada cahaya mencorong menerangi mukanya yang mirip ikan. Pemuda ini maklum bahwa lawan mempergunakan ilmu hitam, maka diapun mempergunakan telapak tangan kiri mengusap kedua matanya tiga kali dan keadaan kakek itu menjadi biasa kembali dalam pandang matanya. Akan tetapi pada saat itu, sinar keris meluncur ke arak dadanya.
"Cring trang trangg......Tiga kali Nurseta menggerakkan bambu runcngnya menangkis tusukan keris bertubi-tubi itu dan dia segera balas menyerang. Terjadilah perkelahian yang lebih hebat dari pada tadi. Serang menyerang teriadi dan keduanya bergerak amat cepat, menimbulkan debu di dalam goa. Warsiyem yang nonton perkelahian itu, diam-diam merasa bersukur bahwa Nurseta berada di situ Anda kata tidak, tentu ia sendiri tidak mungkin akan mampu mengalahkan Ci cut Kalasekti dan tentu ia akan mengalami penghinaan lagi, atau mungkin juga sekali ini dibunuh oleh kakek iblis itu.
Menyaksikan perkelahian hebat itu, iapun maklum bahwa kalau ia ikut terjun, hal itu tidak akan membantu Nurseta, bahkan mungkin mengacaukan permainan Bambu Runcing pemuda itu. Untuk membantu dengan sambitan batu, juga selain tidak ada gunanya karena kakek itu memiliki kekebalan juga tidak mudah melihar betapa kedua orang itu berkelahi dengan cepat sehingga tubuh mereka berkelebatan, sukar diikuti dengan pandang mata biasa.
Tiba tiba, serangkaian serangan keris yang dibantu dengan tamparan tamparan maut dari Aji Gelap Sewu, membuat Nurseta terpaksa terdesak mundur sampai mepet dinding goa. Tiba-tiba sinar keris meluncur, mencuat dengan cepat dan dahsyatnya. Dalam detik terakhir. Nurseta masih sempat melempar tubuh kesamping dan ujung keris itu menyentuh dinding goa. Nampak api berpijar dan dinding itu retak. Namun Nurseta sudah menghindarkan diri dan kini bambu di tangannya membalas dengan tusukan tusukan yang beruntun kearah tenggorokan, dada dan lambung lawan. Hebat bukan main pertandingan itu. Masing-masing memiliki tingkat kepandaian yang sudah tinggi sehingga sukar dapat terkena senjata lawan, sama cekatan dan juga sama-sama memiliki tenaga sakti yang kuat. Hampir satu jam mereka berkelahi, namun belum juga ada tanda tanda siapa yang akan kalah dan siapa akan keluar sebagi pemenang. Biarpun usianya sudah tujuhpuluh tahun lebih, ternyata Ki Cucut Kalasekti masih kuat dan memiliki daya tahan luar biasa, tidak kehabisan tenaga dan napas. Diam diam Nurseta harus mengakui bahwa kakek yang menjadi lawannya itu memang hebat. Kiranya setingkat dengan kedigdayaan Ki Buyut Pranamaya dan agaknya hanyalah Panembahan Sidik Danasura saja yang akan dapat mengatasinya. Namun diam-diam diapun merasa girang bahwa dengan pertapaannya selama empat tahun di dalam goa itu, kini dia telah mampu mengimbangi kesaktian Ki Cucut Kalasekti, dan permainan bambu runcingnya tidak pernah mengendur.
Kembali Cucut Kalasekti mengeluarkan bentakan hebat seperti gerengan harimau, kerisnya meluncur ke depan, menyilaukan mata menghunjam ke arah mata Nurseta. Pemuda itu maklum bahwa mengelak amat berbahaya, karena keris itu tentu akan merobah arah dan mengejar, maka diapun memutar tongkat bambunya, menangkis dari samping, menyambut keris itu dengan pukulan.
"Cappp" Keris itu menancap pada bambu dan tembus, terjepit. Ki Cucut Kalasekti menarik keris untuk mencabutnya, namun Nurseta sudah mengerahkan tenaga dalam sehingga bambu itu menjepit keris dengan kuatnya, tidak mau melepaskannya lagi.
Melihat ini, Ki Cucut Kalasekti lalu menggunakan tangan kiri menangkap bambu Runcing itu. Terjadi tarik menarik dan kakek itu menyeringai buas. Akan tetapi, dia tidak tahu bahwa memang Nurseta mempergunakan akal untuk menahan keris Melihat betapa kakek itu menggunakan kedua tangannya, secepat kilat tangan kiri Nurseta melepaskan bambu runcingnya dan melayang, menampar dengan Aji Jagad Pralaya, pukulan maut yang amat ampuh dan dahsyat yang di pelajarinya dari Panembahan Sidik Danasura.
Ki Cucut Kalasekti melihat datangnya pukulan, tidak dapat menangkis dan cepat dia mengelak dengan memiringkan kepalanya. Karena itu, pukulan tidak tepat mengenai kepala, melainkan meleset dan mengenai pundak dekat leher.
"Desss........" Hebat bukan main pukulan itu. Tubuh Ki Cucut Kalasekti terpelanting dan diapun roboh terkulai tak mampu bergerak lagi, entah mati ataukah pingsan. Melihat ini, Warsiyem meloncat menghampiri dan mengangkat bambu runcingnya, siap untuk menusuk dada atau lambung kakek itu dengan bambu runcingnya.
"Jangan, kanjeng bibi" Nurseta menangkap lengan itu dan mencegah dengan suara lembut namun tegas, "Membunuh lawan yang sudah tidak berdaya lagi adalah perbuatan kejam"
Sejenak wanita itu memandang kepada tubuh kakek yang sudah tak bergerak lagi itu, tangannya masih memegang bambu runcingnya dengan kiat, lalu ia menandang wajah Nurseta, nampak keraguan pada pandang matanya karena ptda saat itu terjadi perang di dalam batinnya antara membunuh Ki Cucut Kalasekti atau memenuhi permintaan Nurseta.
"Kanjeng bibi, ingat, sejahat-jahatnya dia, bagaimanapun juga, dialah yang mendidik diajeng Wulansari dengan penuh kasih sayang"
Ucapan ini mengingatkan Warsiyem dan ia terisak, lalu mengangguk dan tangannya yang tadi menegang, kini mengendur "Baiklah. Mari sekarang kita mempergunakan kesempatan ini untuk pergi dari sini. Dia tentu datang dengan perahu dan sekarang saatnya air laut surut" kata wanita itu.
Mendengar ini, Nurseta menjadi gembira sekali. Dengan penuh semangat mereka lalu meloncat ke mulut goa, dan tak lama kemudian keduanya sudah merayap turun. Benar saja, di bawah terdapat sebuah perahu yang tadi dipakai Ki Cucut Kalasekti menyeberang ke tempat itu, terikat dengan tali pada batu karang, dan air laut memang sedang surut dan tenang.
"Cepat, Nurseta. Air surut tidak lama, sebentar lagi kalau pasang, kita tidak mungkin dapat pergi dari sini" kata Warsiyem.
Nurseta tidak menjawab melainkan cepat meloncat ke bawah, membantu wanita itu mendarat di batu karang, melepaskan perahu dan mereka segera naik perahu yang didayungnya ke tengah menjauhi batu karang. Tak lama kemudian, nampaklah daratan jauh di depan sana dan bagaikan mendapat semangat baru, Nurseta dan Warsiyem segera mendayung perahu itu sekuat tenaga. Perahu meluncur cepat di permukaan laut yang sedang tenang itu, dan pohon kelapa di pantai sana seperti melambai-lambai menyambut kedatangan kedua orang itu. Tanpa mereka rasakan, air mata membasahi mata mereka, bahkan mengalir turun ke atas pipi ketika perahu itu akhirnya mendarat di pantai yang landai. Mereka berloncatan ke atas pasir, meninggalkan perahu yang hanyut
ke tengah kembali dibawa ombak, dan tiba-tiba Warsiyem merangkul leher Nurseta sambil menangis sesenggukan di atas dada pemuda itu, menangis seperti anak kecil.
Nurseta maklum apa yang dirasakan wanita itu. Dia sendiri yang baru empat tahun lebih berada di goa yang tidak ada jalan keluarnya itu, merasa terharu dan gembira sekali dapat berada di pantai datar kembali, seolah-olah ada perasaan bahwa dia baru saja bangkit dari kubur. Apa lagi wanita ini yang sudah berada di tempat itu selama belasan tahun.
Setelah keharuannya mereda, Warsiyem melepaskan rangkulannya, menghapus air matanya dan memandang kepada pemuda itu., Kini wajahnya berseri cerah, penuh semangat, matanya yang masih indah itu bersinar sinar dan mulutnya mengandung senyum penuh harapan, "Nurseta, anakku, sekarang cepatlah antar aku kepada anakku Wulansari"
"Baik, kanjeng bibi. Mudah mudahan ia masih berada di sana" Dia menunjuk ke arah, tebing tinggi itu dan mereka berdua memandang ke sana. Tebing itu agak jauh dari situ dan dari situ saja kelihatan amat tinggi. Nurseta bergidik. Memang tidak ada jalan menuju ke goa itu, kecuali dari laut bebas, dari laut itu jarang sekali tenang, selalu penuh dengan ombak bergemuruh dan perahu tentu akan hancur dihempaskan pada batu karang kalau berani mendekat ke tebing itu. Goa itu tidak nampak dari situ, tertutup oleh sudut tebing. Sejenak dia teringat kepada Ki Cucut Kalasekti yang masih rebah di dalam goa, akan tetapi bayangan ini segera diusirnya. Kakek itu jahat seperti iblis, lebih baik bagi kehidupan manusia di dunia ramai kalau kakek itu berada selamanya di tempat terasing itu sampai mati.
Mereka lalu meninggalkan pantai dan mendaki bukit batu karang menuju ke puncak tebing. Sejenak mereka berdiri di tepi puncak tebing di mana Nurseta terjatuh empat tahun yang lalu.
"Di sinilah saya bercakap cakap dengan diajeng Wulansari ketika Ki Cucut Kalasekti muncul dan menyerang saya dengan Sisik Nogo" kata Nurseta yang menjenguk ke bawah tebing. Bukan main tingginya. Pohon yang menyelamatkannya itu tidak nampak dari situ, apa lagi goa itu.
"Di mana ia tinggal " Apakah di istana kuno milik kakek iblis itu?" Warsiyem teringat akan rumah besar kuno di mana ia dahuiu dibawa oleh Cucut Kalasekti ketika ia dilarikan dari dusunnya. Selama beberapa bulan ia dikeram di dalam istana tua itu, diperkosa dan dibujuk, Karena ia tetap menolak untuk menyerahkan diri dengan sukarela, akhirnya ia dibawa ke dalam goa itu dan ditinggalkan. Karena selama berbulan di situ ia tidak pernah keluar dari rumah tua, maka iapun tidak tahu di mana letak rumah itu. Padahal dari puncak tebing itu tidak jauh lagi.
Nurseta mengajak wanita itu menuruni puncak tebing menuju ke gedung tua itu. Akan tetapi, ketika mereka tiba di sana, gedung tua itu telah kosong dan tidak terawat sama sekali, menjadi rumah yang menyeramkan dan angker, rumah tua yang penuh dengan kenangan pahit sekali bagi Warsiyem. Karena tidak dapat menemukan puterinya di gedung itu, Warsiyem lalu mengajak Nurseta untuk mencari anaknya di dusun asalnya di daerah Blambangan. Nurseta menyetujui dan merekapun segera meninggalkan rumah tua itu menuju ke timur, ke dusun Paguh, dusun yang menjadi tempat asal Warsiyem, isteri Medang Dangdi yang kini telah menjadi seorang senopati kenamaan di Singosari.
Penduduk dusun Paguh tidak mengenai lagi Warsiyem yang sudah meninggalkan dusun itu selama belasan tahun. Dulu ketika ia dibawa pergi Ki Cucut Kalasekti, usianya masih muda, baru tigapuluhan tahun dan cantik jelita. Kini, walaupun masih ada sisa kecantikannya, ia adalah seorang nenek setengah tua hampir limapuluh tahun usianya.
Dan kedatangannva di dusun itu disambut oleh suatu peristiwa yang amat hebat, yang mengguncangkan perasaan wanita itu dan hampir saja menghilangkan nyawanya.
Seperti telah diceritakan, pasukan Singosari menyerbu ke Bali, dan pasukan itu dipimpin oleh tiga orang senopati, yaitu Senopati Nambi yang dibantu oleh Senopati Medang Dangdi dan Mahesa Wagal. Penyerbuan itu, tepat seperti telah diperhitungkan oleh Sang Prabu Kertanegara, berhasil dengan baik. Pasukan Bali ditundukkan, rajanya dibawa pulang ke Singosari sebagai tawanan, dan pasukan Singosari pulang dengan gembira membawa kemenangan. Ketika pasukan Singosari dalam perjalanan pulang inilah Medang Dangdi minta perkenan dari Senopati Nambi untuk singgah di dusun Paguh, desa tempat asalnya. Pernah dia menyuruh orang untuk memboyong puteri dan anak perempuannya, akan tetapi suruhan itu gagal mendapatkan isteri dan puterinya.
Menurut pesuruh itu, isteri dan puterinya tidak lagi tinggal di dusun Paguh dan tidak ada seorangpun penduduk dusun itu tahu ke mana perginya mereka Selama belasan tahun ini, sudah beberapa kali dia mengirim utusan dan selalu gagal. Oleh karena itu, setelah kini pasukan yeng dipimpinnya berhasil menundukkan Bali, dalam perjalanan pulang, Senopati Medang Dangdi berkesempatan untuk singgah di dusunnya dan mencari tahu sendiri tentang isteri dan puterinya.
Ketika dia memasuki dusunnya, banyak orang sudah lupa kepadanya. Dahulu, Ki Medang Dangdi hanya terkenal sebagai seorang laki-laki gagah, akan tetapi tetap saja dia seorang penghuni dusun yang sederhana. Kini, dia berpakaian senopati, seperti seorang bangsawan yang gagah perkasa, menunggang seekor kuda yang besar, diiringkan beberapa orang perajurit pula. Medang Dangdi langsung saja pergi menjenguk rumahnya dan benar saja, rumahnya sudah kosong bahkan sudah hampir ambruk karena tidak diurus. Dari situ dia lalu pergi ke rumah kepala dusun.
Melihat seorang senopati datang ke kelurahan, tentu saja kepala dusun menyambut tergopoh-gopoh dan dengan hormat sekali mempersilakan tamunya masuk. Akan tetapi, ketika Medang Dangdi memperkenalkan diri kepada lurah tua itu siapa dirinya, Pak Lurah ini tertegun sejenak, kemudian menjabat tangan Medang Dangdi dengan penuh. kegembiraan dan keharuan. Akan tetapi, ketika dia ditanya tentang isteri dan puteri senopati itu, wajah ki lurah menjadi keruh sekali. Semua penghuni tua di dusun itu tahu belaka bahwa isteri Medang Dangdi telah dilarikan oleh Ki Cucut Kalasekti. Akan tetapi siapakah orangnya berani menceritakan hal ini kepada para suruhan Medang Dangdi" Mereka takut sekaii kepada Ki Cucut Kalasekti yan,g jahat seperti iblis, maka mereka merasa lebih aman untuk mengatakan bahwa mereka tidak tahu ke mana perginya ibu dan anak itu. Kini, setelah Medang Dangdi sendiri muncul, tetap saja tak seorangpun akan berani menyebut nama Ki Cucut Kalasekti sebagai penculik Warsiyem, dan ketika ditanya oleh senopati itu, ki lurah menjadi bingung.
"Kakang lurah, mengapa kakang menjadi ragu-ragu" Katakanlah, apa yang telah terjadi dan ke mana perginya isteriku dan juga anakku" Kakang lurah tentu masih ingat bukan kepada isteriku yang bernama Warsiyem dan anakku yang bernama Wulansari" Di mana mereka?"
Ki lurah menarik napas panjang. Bagaimanapun juga, dia tidak berani menyebut nama Ki Cucut Kalasekti yang kabarnya sakti seperti iblis dan akan tahu belaka kalau namanya disebut-sebut dan dikhianati. Akan tetapi, karena kini Medang Dangdi sendiri yang hadir, bahkan telah menjadi senopati, diapun tidak mungkin berbohong mengatakan tidak tahu. Mustahil dia yang menjadi lurah di dusun itu tidak tahu apa yang telab terjadi dengan penghuni dusunnya. Maka dia menarik napas panjang sekali lagi untuk menenteramkan hatinya yang gelisah.
"Sesungguhnya, para penghuni tidak berani mengaku terus terang karena mereka merasa sungkan kepada kau. Sesungguhnya, semua orang juga mengetahui bahwa isteri kau......
telah....... telah pergi bersama seorang laki-laki asing yang tidak kami kenal"
"Apa........?"" Medang Dangdi terbelalak, mukanya berubah merah dan dia tidak mau percaya bahwa isterinya akan melakukan hal itu. Isterinya yang tercinta, yang mencintanya, isterinya yang setia.
"Maaf, Ki Senopati...... terpaksa saya berterus terang. Malam itu ia pergi bersama seorang pria, kami tidak mengenai siapa pria itu......"
"Dan Wulansari?" Medang Dangdi memotong"
*Isterimu menyuruh adiknya untuk membawa nini Wulansari ke barat, menyusul kau ke Singosari. Apakah ia belum tiba di sana?"
Medang Dangdi tidak menjawab, hanya menggeleng kepala, masih belum percaya akan peristiwa yang telah terjadi. Akan tetapi, yang menceritakan ini adalah ki Lurah dusun itu. Jadi ternyata isterinya telah menyeleweng tidak setia kepadanya. Akan tetapi Wulansari" Di mana ia" Kenapa kalau diajak nenyusul ke Singosari, tidak sampai ke sana"
"Siapakah laki-laki yang mengajak pergi isteriku?" akhirnya dia bertanya kepada lurah itu. Yang ditanya menunduk dan menggeleng kepala.
"Sudah kukatakan tadi, tidak ada seorangpun di antara kami mengetahui siapa dia, seorang asing yang tidak kami kenal......"
Tiba tiba seorang laki-laki berlari lari memasuki pekarangan ke uranan dan dari jauh
dia sudah berteriak, "Bapak Lurah..........?
"Bapak Lurah........., perempuan itu datang....... la sudah datang, bersama seorang pemuda...." orang itu terengah-engah karena tadi berlari-lari, seorang laki-laki berusia empatpuluh tahun lebih dan ketika tiba di pendopo kelurahan, dia melihat Ki Lurah sedang duduk berhadapan dengan seorang bangsawan.
Harpa Iblis Jari Sakti 28 Perkampungan Misterius Seri Pendekar Cinta 4 Karya Tabib Gila Pendekar Kidal 21
^