Pencarian

Sejengkal Tanah Sepercik Darah 6

Sejengkal Tanah Sepercik Darah Karya Kho Ping Hoo Bagian 6


naga, dan mata keris itu lidahnya yang terjulur keluar. Nurseta menerimanya dengan girang.
Setelah para orang gagah dijamu makan dalam sebuah pesta kemenangan oleh para senopati, merekapun lalu bubar. Nurseta sendiri meninggaikan tempat itu untuk kembali ke padepokan Panembahan Sidik Danasura di Teluk Prigi, pantai laut selatan. Ayah angkatnya" Ki Baka, tentu berada di sana pula untuk berobat seperti yang pernah mereka rundingkan.
Dugaan Nurseta ternyata tepat. Ketika dia. tiba di padepokan Sang Panembahan Sidik Danasura, ternyata Ki Baka memang berada di tempat itu. Hatinya menjadi girang sekali, terutama ketika meiihat betapa ayah angkatnya itu telah sembuh sama sekali akibat pukulan beracun Margaparastra. Dengan wajah berseri Nurseta memberi hormat dengan sembah kepada Ki Baka dan Panembahan Sidik Danasura yang duduk bersila di dalam padepokan itu.
"Gembira sekali hatiku meiihat kau sudah tiba di sini dalam keadaan selamat, Raden Nurseta. Dan berkat pertolongan Paman Panembahan luka di dalam tubuhku sudah sembuh sama sekali dan aku memang sengaja menantimu di sini"
"Heh-heh, melihat kau kembali dalam keadaan selamat, kami dapat menduga bahwa tentu tugas yang kau laksanakan itu telah berhasii dengan baik. Raden Nurseta, ceritakanlah tentang usaha menenteramkan keadaan dan mengatasi pemberontakan Mahesa Rangkah itu, angger"
Berkerut alis Nurseta mendengar betapa Ki Baka dan Panembahan Sidik Danasura menyebutnya "Raden" Ia cepat menghaturkan sembah dan berkata dengan lembut, namun mengandung teguran. "Bapak dan Eyang Panembahan, mengapa kalian berdua menyebut Raden kepada saya" Biasanya Eyang berdua menyebut nama saya begitu saja, kenapa sekarang harus ditambah embel-embel Raden" Sungguh tidak enak kata itu memasuki telinga. Saya mohon agar Bapak dan Eyang tidak menyebut seperti itu"
Kedua orang tua itu saling pandang lalu tertawa. "Ha-ha-ha, Raden Nurseta. Sebutan-sebutan itu hanyalah untuk memenuhi tata-susila saja! Kenapa kau menyebut Ki Baka ini dengan sebutan bapak" Karena ia bapak angkatmu. Kenapa pula kau menyebut aku Eyang Guru" Karena aku gurumu dan sepatutnya menjadi eyangmu. Dan kenapa pula kami berdua menyebutmu Raden" Karena kau adalah putera mendiang Raden Panji Hardoko, seorang pangeran dari Kediri. Siapa yang menyimpang dari tata-susila ini, dianggap tidak tahu aturan dan kami tentu saja bukan orang-orang yang tidak tahu aturan."
Kakek itu tertawa halus dan Nurseta merasa terpukul. Kenapa ia harus meributkan urusan panggilan saja" Dan apa yang dikemukakan gurunya itu memang tepat. Urusan itu sepenuhnya menjadi tanggung jawab si pemanggil, mengapa ia yang dipanggil barus meributkannya"
"Maafkan saya, Eyang, dan terima kasih atas wejangan yang menyadarkan saya." Nurseta lalu menceritakan semua pengalamannya, tentang pertempuran antara pasukan Singosari yang dipimpin oleh Senopati Ronggolawe dan Raden Wijaya, dan betapa akhirnya Mahesa Rangkah tewas dan pasukan pemberontak itu dapat dihancurkan.
"Dan saya telah dapat bertemu dengan kakek iblis yang telah merampas Ki Ageng Tejanirmala dan melukaimu, ayah"
Wajah Ki Baka berseri. "Wiku Bayunirada?"
Nurseta menggeleng kepalanya. "Namanya adalah Ki Buyut Pranamaya, Dialah yang telah merampas tombak pusaka kita"
"Tapi.....yang merampas dan memukul adalah Wiku Bayunirada, yang kedua kakinya hanya berjari empat"
Nurseta mengangguk. "Memang betul ia, ayah. Ki Buyut Pranamaya adalah guru Mahesa Rangkah dan pendukung pemberontakan itu. Tadinya sayapun tidak mengira bahwa dia adalah juga Wiku Bayunirada karena bentuk wajahnya berbeda sekali dengan yang ayah ceritakan tentang perampas pusaka itu. Akan tetapi ketika ia mendesak saya dengan tendangan-tendangan maut, nampaklah oleh saya bahwa kedua kakinya kehilangan ibu jarinya, dan tahulah saya bahwa dia adalah Wiku Bayunirada. Agaknya Ki Buyut Pranamaya pandai menyamar dan ketika dia merampas pusaka itu, dia menyamar dengan nama Wiku Bayunirada agar jangan dikenal orang lain."
"Jagad Dewa Bathara.......1 Kiranya Ki Buyut Pranamaya pula yang mempunyai ulah merampas Tejanirmala dan menggerakkan pemberontakan" Sungguh tidak tahu diri, dalam usia tua menghadapi kematian tidak mencari jalan terang namanya.........." Panembahan Sidik Danasura mengelus jenggotnya dan meng-geleng-geleng kepala.
"Lalu bagaimana, Raden" Berhasilkah kau merampas kembali pusaka itu?"
"Saya telah mengenalnya dan kami berkelahi, ayah. Ia memang sakti mandraguna sehingga saya terdesak, terutama oleh tendangan-tendangannya yang ampuh......... "
"Itulah tendangan sakti yang bernama Ajii cakrabairawa" kata Panembahan Sidik Danasura,
"Ketika saya sedang terdesak hebat, tiba-tiba muncul seorang penolong dan ia bukan lain adalah diajeng Wulansari......."
"Jagat Dewa Barbara....... ! Nini Wulansari.......?"' Panembahan itu berseru, wajahnya berseri gembira dan sepasang mata yang lembut Itu bersinar-sinar.
"Siapakah Wulansari?" Ki Baka bertanya kepada anak angkatnya karena ia belum mengenalnya.
"Diajeng Wulansari pernah menjadi murid Eyang Panembahan. Ia pergi dengan tiba-tiba, dibawa pulang kakeknva ke Blambangan dan secara tiba-tiba pula ia muncul dan bantuannya mengeroyok Ki Buyut Pranamaya menyelamatkan saya. Kemudian, dalam perkelahian selanjutnya, Diajeng Wulansari berhasil merampas tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala dan ia membawanya pergi karena menurut keterangannya, eyangnya amat membutuhkan tombak pusaka itu dan ia memang diutus eyangnya untuk mencari pusaka itu."
"Ahh.......! Kenapa kau tidak merampasnya, Raden Nurseta?" Ki Baka menegur.
Tentu saja Nurseta merasa malu untuk men-ceritakan keadaan yang sebenarnya, betapa dia dan Wulansari telah saling jatuh cinta dan tentu saa ia tidak tega untuk merampas tombak pusaka itu dengan kekerasan dari tangan kekasihnya itu. "Tidak mungkin, ayah. la telah meloncat ke Kali Brantas dan menghilang." Nurseta tidak merasa berbohong ketika mengatakan ini.
Ki Baka terbelalak. "Apa" Ia terjun ke dalam Kali Brantas dan menghilang" Apakah ia tewas ataukah........ia siluman air?"
Terdengar Panembahan Sidik Danasura tertawa lembut. "Ha-ha, kiranya ia telah mewarisi ilmu di dalam air dari Cucut Kalasekti"
Kembali Ki Baka terkejut dan memandang kakek itu. "Cucut Kalasekti, datuk sesat yang sakti mandraguna dari Blambangan itu?"
Panembahan itu mengangguk. "Ketahuilah, Ki Baka. Ki Jembros menyelamatkan Wulansari dari bahaya tenggelam dan membawanya ke sini untuk diobati. Kemudian, selama lima tahun, sejak berusia sepuluh tahun, Wulansari belajar di sini. Ketika Ki Jembros datang hendak mengambilnya, kebetulan Raden Nurseta juga berada di sini, muncullah Cucut Kalasekti yang membawa pergi Wulansari karena dia mengaku bahwa gadis itu adalah cucunya. Nah, demikianlah. Kini, Wulansari muncul dan telah memiliki ilmu kepandaian tinggi, bahkan pandai bermain dalam air sehingga ia mampu melarikan tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala."
Mendengar keterangan itu, Ki Baka menarik napas panjang. Sunguh celaka, pikirnya. Tombak pusaka itu tadinya terampas oleh Ki Buvut Pranamaya yang menyamar dengan naraa Wiku Bayunirada. Setelah Nurseta berhasil menemukan kakek. itu, tombak pusaka kini terjatuh ke tangan cucu seorang datuk sesat lain yang juga amat sakti mandraguna, yaitu Cucut Kalasekti.
"Aih, sungguh berbahaya. Ketika Ki Ageng Tejanirmala terjatuh ke tangan Ki Buyut Pranamaya, pusaka itu dipergunakan untuk menghimpun kekuatan memberontak. Pusaka dapat dirampas dan pemberontakan gagal. Akan tetapi, kini pusaka berada di tangan seorang datuk lain seperti Cucut Kalasekti, tentu akan disalahgunakan lagi! Sungguh, dunia tidak akan menjadi aman sebelum pusaka itu dapat kembali ke tangan kita dan kita serahkan kepada kekuasaan yang bijaksana"
Melihat wajah yanq penuh keprihatinan dari ayah angkatnya Nurseta diam-diam merasa bersalah. Seolah-olah dia yang telah melepaskan pusaka itu ke tangan Wulansari.
"ayah, saya berjanji akan mencari pusaka Ki Ageng Tejanirmala sampai dapat. Saya akan pergi ke Blambangan."
Ki Baka mengangguk-angguk. "Memang sudah menjadi tugasmu untuk mendapatkan kembali pusaka lambang ketenteraman dan perdamaian itu, Raden. Akan tetapi, sebelum kau pergi, marilah ikut bersarmku lebih dulu, kembali ke lereng Kelud."
Ki Baka dan Nurseta lalu berpamit dari Panembahan Sidik Danasura dan Ki Baka menghaturkan terima kasih atas pertolongan kakek sakti itu yang telah menyembuhkannya dari ancaman maut karena luka pukulan Aji Margaparastra. Juga Narseta mohon doa restu dari gurunya itu yang memberkahi mereka dengan doa dan puja.
*** "Akan tetapi, ayah. Sesungeuhnya saya.....saya belum mempunyai niat untuk mengikatkan diri dengan pernikahan."
Untuk kesekian kalinya Nurseta menyatakan keberatan ketika Ki Baka menyatakan maksud hatinya untuk melamarkan Pertiwi, gadis dusun yang bermata lebar, manis dan lembut itu, setelah mereka tiba di padepokan Ki Baka di dekat puncak Gunung Kelud.
Mereka duduk berhadapan di atas tikar, duduk bersila dan kini Ki Baka menatap wajah putera angkatnya dengan penuh selidik. "Raden Nurseta, kau sudah kuanggap sebagai anakku sendiri dan satu-satunya keinginan di hatiku adalah melihat kau menikah dan aku dapat menimang cucuku. Sudah digariskan oleh Sang Hyang Wisesa bahwa dalam kehidupan hanya ada tiga perkara yang terpenting, yaitu lahir, menikah dan meninggal dunia. Suatu saat, kau pasti akan menikah dengan seorang wanita dan aku tidak menginginkan kau menikah dengan wanita yang keliru. Pertiwi adalah seorang gadis yang amat baik, lahir batin dan hal ini sudah kuketahui benar Raden. Coba katakan, apakah Pertiwi mempunyai kekurangan dan cacat-cela, dan apakah la tidak pantas untuk menjadi isterimu?"
Nurseta merasa terharu mendengar ini. Ia tahu betapa besar kasih sayang Ki Baka kepadanya dan dia membayangkan Pertiwi sebagai seorang gadis yang memang amat baik. Akan tetapi, wajah Wulansari terbayang di depan matanya, mengusir bayangan wajah Pertiwi dan ia merasa amat berat untuk mene-rima usul ayah angkatnya itu.
"Ayah, memang saya tahu bahwa Pertiwi adalah seorang gadis yang amat baik, akan tetapi........ sungguh menyesal bahwa saya tidak....... tidak mencintanya"
Ki Baka mengerutkan alisnya. "Hemmm, witing tresno jalaran soko kulino (cinta tumbuh dari pergaulan), Raden. Kalau kau sudah bergaul dengan Pertiwi, dalam waktu beberapa minggu saja, aku yakin kau akan jatuh cinta"
Nurseta merasa terdesak dan tiba-tiba ia merasa kasihan kepada ayah angkatnya. Perlu apa berbohong" Bukankah ayah angkatnya ini adalah seorang yang amat bijaksana" Lebih baik berterus terang, bahkan dia dapat mengharapkan bantuan ayah angkatnya untuk mempertimbangkan keadaannya. Ia menenangkan atinya yang berguncang, lalu berkata dengan suara yang tenang pula.
"Maaf, ayah. Sesungguhnya, sudah ada gadis yang saya cinta dengan sepenuh hati saya."
"Benarkah" Dan siapa gadis itu, kalau aku boleh mengetahuinya?"
Nurseta menggigit bibirnya. Dalam pertanyaan itu sudah terkandung kepahitan dari kekecewaan. Akan tetapi ia tidak boleh kepalang tanggung, membuat pengakuan setengah- setencah saja. "Ayah, gadis itu bukan lain adalah Wulansari."
"Ee-lha-dha-lah......! Sudah kukhawatirkan hal itu yang telah terjadi! Anakku, angger Raden Nurseta, sekali ini terpaksa aku mengatakan bahwa kau telah membuat kekeliruan"
Nurseta mengangkat muka memandang wajah ayah angkatnya itu dengan heran dan serkejut. "Bapak, kekeliruan apakah yang telah saya lakukan?"
"Pilihanmu itulah yang keliru! Anakku. memilih seorang calon isteri harus mempertimbangkan beberapa hal, sedikitnya dua hat terpenting tak boleh dilewatkan. Pertama adalah keadaan gadis itu sendiri dan ke dua. adalah keadaan orang tuanya. Gadis itu tidak diketahui asal usulnya, dan mendengar ceritanya bahwa ia membawa pergi Ki Ageng Tejanirmala, sudah mendatangkan keraguan apakah ia seorang gadis baik-baik. Kemudian kalau kita meiihat keadaan orang tuanya, lebih meragukan lagi. Ia adalah cucu dari Cucut Kalasekti, dan tahukah kau siapa Cucut Kalasekti itu" Seorang datuk sesat yang terkenal amat jahatnya, menjadi raja sekalian penjahat di daerah Blambangan! Kalau kakeknya seperti itu, mana mungkin mengharapkan cucunya adalah seorang yang baik-baik dan boleh dipercaya" Tidak, angger, terus terang saja, aku tidak setuju dengan pilihanmu itu, tidak setuju kalau kau memilih Wulansari sebagai calon isterimu."
--oo0dwoo"
Jilid 9 - Jurang
"WAJAH NURSETA sebentar merah sebentar pucat. Terjadi perang di dalam batinnya. Da ingin menolak semua tuduhan dan pertimbangan ayah angkatnya, akan tetapi dia tidak tega. Ayah angkatnya telah demikian baiknya memeliharanya sejak kecil, mengasihinya seperti anak sendiri. Dan diapun tidak merasa heran kalau ayah angkatnya itu meragukan kebaikan Wulansari, karena memang dia sendiri belum yakin benar akan kebaikan gadis itu, belum ada bukti buktinya sehingga sukar baginya untuk membela Wulansari. Wulansari kini telah menjadi seorang gadis yang sakti mandraguna, makin cantik menarik, dan kalau dia mau berterus terang, Wulansari juga kini menjadi seorang gadis yang berbati keras dan ganas, tidak ragu untuk membunuhi orang begitu saja seperti yang pernah ia lakukan terhadap para bajak sungai dan terhadap Jumirah. Sebaliknya, ayah angkatya sudah tahu benar akan watak Pertiwi"
"Bagaimana, angger" Dapatkah kata-kataku tadi kau terima, ataukah kau masih dapat menunjukkan bahwa pendapatku tentang Wulansari tadi salah dan hendak membela gadis itu?"
Dia menggeleng kepala. "Tidak, ayah. Terus terang saja, saya sendiri juga masih ingin menyelidiki keadaannya yang sesungguhnya kalau saya mencari pusaka kita itu di Blambangan"
"Wah, sudah jelas, bukan" Pertiwi jauh lebih baik dan lebih meyakinkan untuk menjadi seorang isteri yang baik"
"Akan tetapi........ bagaimana kalau ia tidak suka kepada saya, ayah" Tidak seperti Wulansari yang mencinta saya"
Ki Baka tertawa. "Hahahi, Pertiwi amat mengagumimu dan cinta kepadamu, Raden. Hal ini kuketahui benar semenjak ia bertemu denganmu. Karena itu, jangan kau khawatir dan sekarang juga kita berkunjung kepada orang tuanya dan mengajukan pinangan"
Nurseta tidak dapat mengelak lagi, tidak berani membantah. Ki Baka telab melimpahkan kebaikan kepadanya dan belum pernah dia membalas orang tua ini. Kalau sekarang dia menolak, tentu Ki Baka akan menjadi berduka sekali dan hal itu dianggapnya tidak semestinya. Biarlah, dia akan membalas segala kebaikan Ki Baka dengan mentaati permintaannya ini.
Nurseta tidak berani membantah dan dia hanya lkut saja ketika Ki Baka mengajaknya berkunjung ke dusun itu, ke rumah Ki Purwoko, ayah Pertiwi yang tinggat di dusun Sintren, di lereng Gunung Kelud. Kedatangan mereka tentu saja disamhut penuh pmghormatan oleh Ki Purwoko, isterinya dan puterinya dan mereka dijamu seperti dua orang tamu kehormatan.
Ketika pinangan diajukan, tentu saja keluarga itu menyambutnya dengan penuh kebanggaan dan kegembiraan, dan Pertiwi, tanpa ditanya dua kali, sudah lari sambil membuang kerling ke arah Nurseta dan tersenyum manis, bersembunyi ke dapur rumah! Ketika ia dibujuk lbunya untuk meugeluarkan hidangan dan minuman, ia telah berganti pakaian baru dan bersisir rapi, dan dengan sikap malu-malu, namun menambah keayuannya, ia menghidangkan makanan dan minuman itu kepada dua orang tamunya.
Ketika mereka meninggalkan dusun Sintren. Nurseta berkata kepada Ki Baka, suaranya lembut namun mengandung ketegasan. "Ayah, saya sudah memenuhi keinginan hati ayah, akan tetapi harap ikatan jodoh ini tidak dilangsungkan pernikahan dengan tergesagesa. Saya masih mempunyai janji dan tugas, yaitu saya akan mencari Ki Ageng Tejanirmala sampai berhasil membawa pulang pusaka itu. barulah saya akan mau melangsungkan pernikahan. Sebelum itu, harap ayah maafkan, saya belum bersedia untuk melakukannya"
Ki Baka memandang anak angkatnya, Diam-diam ada juga kekhawatiran di dalam hatinya. 'Kau hendak pergi ke Blambangan, Raden" Dan dapatkah kupercaya bahwa kau tidak akan terpikat oleh wanita lain dan melupakan ikatan perjodohan dengan puteri Ki Purwoko di lereng Kelud?"
Nurseta mengerutkan alisnya. "Sejak kecil saya menerima gemblengen dan petunjuk dari ayah bahwa bagi seorang satria, kehormatan lebih berharga dari pada nyawa. Saya sudah berjanji dan hanya kematian yang dapat membuat saya ingkar janji terhadap keluarga calon isteri saya di dusun Sintren"
"Bagus! Tenanglah kini naitku, Raden. Kapan kau hendak berangkat?"
"Secepatnya lebih baik, ayah. Hari ini juga saya akan berangkat" Setelah tiba di pondok Ki Baka. Nurseta lalu mengemasi pakaian bekalnya untuk perjalanan yang jauh itu, lalu, pamit dan mohon doa restu dari Ki Baka yang melepas kepergiannya dengan hati lapang. Bagaimanapun juga, dia merasa yakin bahwai anak angkatnya itu tidak akan ingkar janji terhadap ikatan jodoh itu,
*** Rumah itu besar dan angker, seperti sebuah istana tua yang menyendiri, berdiri bagaikan seorang raksasa bertapa di tempat sunyi itu, di lembah Kali Setail sebelah utara Rumah besar kuno itu tidak mempunyai tetangga karena tempat itu jauh dari pedusunan, dan dukuh yang paling dekat adalah dukuh Benculuk, masih jauh di sebelah utaranya, terpisah oleh daerah yang liar berhutan dan berawarawa.
Bagi orang yang belum mengenal daerah ini tentu akan merasa ngeri melihat rumah besar yang nampak sunyi tak berpenghuni itu, akan mengira bahwa rumah itu tentulah rumah setara atau rumah orang jaman dahulu yang kini sudah tidak dipergunakan lagi dan menjadi tempat tinggal iblis dan setan penjaga hutan bukit dan sungai. Akan tetapi bagi mereka yang mengenal daerah ini, rumah besar itu lebih mengerikan lagi. Bahkan mereka, orang-orang sekitar daerah Blambangan dan Banyuwangi, tidak ada yang berani memasuki daerah lembah Kali Setail di mana terdapat rumah Itu. Semua orang tahu belaka, atau pernah mendengar bahwa rumah besar itu adalah tempat tinggal Ki CuCut Kalasekti, seorang kakek yang selain sakti mandraguna, juga berwatak aneh dan dapat berbuat luar biasa kejamnya terhadap siapapun juga. Ki Cucut Kalasekti terkenal sebagai datuk sesat yang ditakuti penjahatpenjahat biasa, seperti perampok, bajak sungai, maling dan sebagainya, merasa ngeri untuk bertemu dengan datuk ini! Salahsalah, sekali tampar atau sekali tendang saja nyawa mereka akan melayang kalau kakek itu sedang marah.
Memang ada yang kadang kadang mernasuki daerah itu dan berkunjung ke rumah besar, akan tetapi mereka ini adalah orang-orang yang sudah mempunyai hubungan, misalnya mereka yang datang untuk memenuhi pesanan keperluan seharihari dari para pembantu rumah besar itu. Dan mereka ini tidak pernah diganggu, bahkan tidak pernah bertemu muka dengan Ki Cucut Kalasekti. Yang mereka kenal hanyalah dua orang wanita tua yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga di rumah besar itu, dan mereka mengenal pula seorang gadis cantik jelita yang bernama Wulansari, cucu Ki Cucut Kalasekti yang kadang-kadang menemui mereka kalau mereka datang mengantarkan telur, daging, sayursayur dan sebagainya lagi.
Memang, rumah besar menyeramkan itu adalah tempat tinggal Ki Cucut Kalasekti. Sudah puluhan tahun dia bertapa seperti menyembunyikan diri di rumah besar itu, tanpa teman seorangpun. Hanya kadang-kadang saja dia keluar dan setiap kali dia keluar rumah, sudah pasti terjadi sesuatu yang mengerikan dan hebat di sekitar daerah Blambangan atau Banyuwangi. Tidak ada perbuatan jahat yang bagaimanapun dipantang oleh datuk ini. Benda apapun yang dikehendakinya, wanita manapun yang disukainya, milik orang atau bukan, bahkan barang milik seorang adipati sekalipun, atau wanita isteri orang, pasti takkan terlepas dari tangannya. Dan setiap kali ada yang berani mencoba menghalanginya, tentu orang itu akan tewas secara mengerikan.
Akan tetapi, terjadi perubahan semenjak kurang lebih lima tahun yang lalu dalam kehidupan Ki Cucut Kalasekti. Pada suatu hari, dia pulang bersama seorang gadis remaja, yaitu Wulansari dan gadis yang diaku sebagai cucunya itu tinggal bersamanya di rumah besar itu. Atas permintaan Wulansari pula maka Ki Cucut Kalasekti lalu mempergunakan dua orang wanita pembantu, dan semenjak itu, rumah itu nampak lebih bersih, dan ada beberapa orang langganan mengantarkan barangbarang kebutuhan mereka. Anehnya, biarpun tinggal di rumah terasing, temyata Ki Cucut Kalasekti memiliki banyak uang sehingga Wulansari tak pernah kekurangan uang untuk membeli segala keperluan rumah tangga itu.
Tentii akan mengherankan hati orang lain kalau melihat betapa sikap Ki Cucut Kalasekti terhadap gadis itu. Biasanya, orang sakti ini amat keras dan tidak pernah mau mengalah, juga sombong dan kasar. Namun, terhadap Wulansari, cucunya, dia bersikap manis dan sabar sekali, bahkan dengan teliti dia mulai menggembleng gadis itu dengan ilmuilmunya vang aneh dan menggiriskan. Karena sikap yang amat baik ini, Wulansari juga merasa suka kepada kakeknya yang baik kepadanya itu, apa lagi karena eyangnya itu mengajarkan ilmuilmu yang hebat kepadanya. Untuk ilmu bermain di dalam air, Ki Cucut Kalasekti membawa gadis itu ke Teluk Pangpang dan di tempat yang sunyi itu, di antara gulungan ombak Selat Bali yang kadang-kadang menggelora dan sebesar bukit, gadis itu digembleng dengan ilmu bermain di dalam air laut seperti seekor ikan saia !
Di bagian depan kisah ini telah diceritakan betapa Ki Cucut Kalasekti membawa lari Wulansari dari Teluk Prigi Segoro Wedi secara paksa, dan tak seorangpun dapat menghalanginya, bahkan Panembahan Sidik Danasura juga tidak berdaya karena dia melarikan Wulansari melalui lautan. Setelah berhasil melarikan Wulansari, kakek itu langsung mengajak Wulansari menuju ke timur, daerah Blambangan.
Mulamula Wulansari memang ketakutan dan tidak percaya kepada Ki Cucut Kalasekti, akan tetapi kakek itu mernbujuk dengan kata-kata halus dan sikap yang ramah dan baik sehingga akhirnya gadis itu percaya bahwa kakek itu memang eyangnya dan bersikap amat baik kepadanya.
"Eyang, aku tidak ingat lagi bahwa engkau adalah eyangku, juga aku tidak ingat lagi siapa adanya orang tuaku. Bagaimanakah aku sampai dapat berada di tempat yang jauh itu, mendapat kecelakaan, perahu yang kutumpangi terbalik dan aku hampir saja tewas kalau tidak ditolong oleh Ki Jembros dan Eyang Panembahan Sidik Danasura" Dan mengapa baru sekarang eyang datang mencariku" Mengapa pula eyang datang dan melarikan aku, tidak terang terangan saja minta kepada Eyang Panembahan yang tentu akan mengijinkan aku ikut pergi bersama eyangku sendiri?"
Hujan pertanyaan dari Wulansari ini disambut dengan tertawa bergelak oleh Ki Cicut Kalasekti. Mereka sedang berhenti melepaskan lelah di daratan, di tepi laut dan membuat api unggun di pantai itu. Kakek itu dengan kesaktiannya telah dapat membunuh beberapa ekor burung camar dengan sambitan batu dan memanggacg dagibg burung di api unggun.
"Wah, haha ha, pertanyaanmu seperti hujan datangnya! Ketahuilah, cucuku yang manis. Engkau adalah seoraog anak yatimpiatu, ayah ibumu tewas ketika mereka membantu gerakan perjuangan Ki Baya rrsetawan Singosari. Ayahlbumu tewas oleh para senopati di Singosaro, ingat hal ini baik-baik. Semua senopati Singosari adalah musuhmusuhmu. Engkau sendiri dilarikan seorang musuh dari Singosari, entah siapa. Dan mungkin engkau dilarikan dengan perahu di lautan sehingga engkau tibi di tempat ketika perahu itu terguling dan engkau diselamatkan Ki Jembros dan Panembahan Sidik Danasura. Ketika itu, aku sedang bertapa dan tidak mendengar tentang nasib ayah ibumu dan nasibmu. Ayahmu adalah mantuku, ibumu adalah anakku. Ketika aku menghentikan tapaku, baru aku mendengar bahwa beberapa tahun yang lalu orang tuamu tewas dan engkau dilarikan orang. Aku lalu mulai mencarimu dan akhirnya aku mendengar bahwa engkau berada di padepokan Panembahan Sidik Danasura. Aku mengenal siapa dia, dan karena dia amat sakti apa lagi di sana masih ada Ki Jembros, maka aku terpalsa melarikanmu, cucuku"
"Tapi, Eyang Panembahan adalah seorang yang berhati mulia. Kalau eyang datang menemuinya dan menerangkan duduknya perkara, tentu dengan senang hati beliau akan mengembalikan kepadamu"
"Hohohohaha ! Engkau lupa bahwa kita adalah musuhmusuh Kerajaan Singosan, ayah ibumu tewas di tangan para senopati Singosari. Tahukah engkau siapa Panembahan Sidik Danasura dan siapa pula Ki Jembros" Mereka adalah tokohtokoh yang setia kepada Singosari dan kalau mereka melihat aku, tentu mereka akan berusaha membunuhku yang dianggap musuh besar!"
Demikianlah, Wulansari lalu mengikuti kakeknya menuju ke rumah besar yang menyeramkan itu. Ia amat disayang oleh Ki Cucut Kalasekti, maka iapun menganggap bahwa kakeknya itu seorang yang amat baik dan iapun berlatih ilmu kedigdayaan dengan amat tekun. Cerita kakeknya tentang ayah ibunya yang terbunuh oleh para senopati Singosari membuat gadis ini menjadi bingung dan hal ini merubah wataknya menjadi dingin dan ganas. Apa lagi karena kakeknya selalu membangkitkan dendam sakit hati terhadap Singosari yang dianggapnya pembunuh kedua orang tuanya.
Dalam keadaan seperti itulah Nurseta menjumpai gadis itu, ketika Wulansari menerima tugas dari kakeknya untuk menyeltdiki, tidak mencampuri, pemberontakan Mahesa Rangkah, dan kalau mungkin untuk mencari dan merampas tombak pusaka Ki Ageng Tejenirmala.
Dapat dibayangkan betapa gembira rasa hati Wulansari ketika ia mendapat kenyataan bahwa Nurseta, pemuda yang selalu dikenang dan dirindukannya itu, mencinta dirinya! Dan lebih gembira lagi karena ia berhasil merampas tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala seperti dipesan guru atau juga kakeknya. Setelah berpisah meninggalkan Nurseta yang telah menjadi kekasihnya, gadis ini lalu melakukan perjalanan secepatnya pulang ke Blambangan.
Tentu saja kedatangannya disambut gembira oleh ki Cucut Kalasekti. Ketika kakek ini menerima tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala, dia mengamati tombak itu dan setelah merasa yakin bahwa tombak itu adalah tombak pusaka aseli, dia mencium tombak itu, mengangkatnya tinggi-tinggi di atas kepala dan diapun menari-nari saking girangnya.
"Bagus, bagus sekali! Engkau memang hebat, Wulansari cucuku yang manis! Banyak tokoh sakti memperebutkan pusaka ini tanpa hasil, dan kini engkau cucuku yang manis mampu menguasainya! Hahaha, sekarang kita akan menjadi orang-orang mulia, menjadi orang-orang yang kaya raya. Hahaha!"
Melihat kakeknya menari-nari seperti anak kecil itu, Wulansari terbelalak keheranan. Kakeknya adalah seorang yang amat sakti, berusia sudah tua dan seorang ahli tapa, akan tetapi sekarang menari-nari seperti anak kecil diberi kembang gula atau seorang yang kesurupan setan. Kalau orang lain yang melihat kakek itu, tentu akan menjadi seram. Kakek itu mukanya kebiruan, bentuk mukanya seperti seekor ikan dengan moncong meruncing, dan tubuhnya demikian dekil dan penuh keriput sehingga kelihatannya seperti bersisik. Jubahnya adalah jubah pertapaan berwarna kuning. Dan kini dia menari-nari berlenggak-lenggok girang sekali.
"Eyang, apa yang eyang maksudkan" Bagaimana tombak pusaka ini akan dapat membuat kita menjadi orang mulia dan kaya raya?"
Kakek itu masih tertawa-tawa, akan tetapi tidak menari-nari lagi ketika menjawab sambil menyimpan tombak pusaka itu ke balik jubahnya. "Tombak pusaka ini kalau kubawa ke Kediri dan kupersembahkan kepada Sang Prabu Jayakatwang dari Kerajaan Dhaha, tentu akan ditukar dengan harta yang amat banyak bahkan kedudukan yang tinggi, sedikitnya adipati atau bupati yang menguasai suatu daerah, hahaha!"
"Akan tetapi, eyang. Aku merampas tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala ini untukmu, bukan untuk raja di Kediri!"
"Benar, dan akulah yang akan mendapat untung besar, termasuk juga engkau. Apa artinya kedudukan tinggi, kemuliaan dan harta benda bagiku, kalau bukan untukmu, cucuku" Engkau akan menjadi seorang puteri bangsawan, cucu seorang adipati, kaya raya dan dhormati, hahaha. Dan engkau kelak hanya pantas berjodoh dengan seorang pangeran atau raja, atau adipati!"
"Akan tetapi, eyang. Tombak pusaka itu hanya kupinjam saja, dan sepatutnya dikembalikan kepada pemiliknya"
Tawa itu segera lenyap dan wajah yang menyeramkan itu kini berubah kemerahan, sepasang mata yang besar seperti mata ikan itu mendelik "Apa" Pinjam saja" Dikembalikan" Apa maksudmu?"
"Begini, eyang. Tombak pusaka itu milik ayah dari kakangmas Nurseta yang dirampas oleh Ki Buyut Pranamaya, yaitu guru dari Mahesa Rangkah yang memberontak terhadap Singosari. Di dalam pertempuran, kakangmas Nurseta berebutan pusaka itu dengan Ki Buyut Pranamaya. Aku membantu kakangmas Nurseta dan aku berhasil merampas tombak pusaka ini dan kubawa lari, eyang. Aku hanya pinjam saja dan pusaka ini harus dikembalikan kepada kakangmas Nurseta" kalau dia datang ke sini"
"Dia akan datang ke sini?" Kakek itu memandang ke luar dan nampaknya khawatir. "Siapa sebetulnya Nurseta itu?"
"Eyang pernah berjumpa dengan dia, ketika eyang hendak melarikan aku dari Teluk Prigi Setoro Wedi dahulu itu. "
"Ah, bocah nekat itu?"
"Benar, eyang. Dia adalah murid Eyang Panembahan Sidik Danasura"
"Mau apa dia datang ke sini?"
Setelah hidup bersarna kakeknya, Wulansari tak pernah menyembunyikan rahasia hatinya maka kinipun dengan jujur ia berkata, "Dia datang untuk meminang aku, eyang. Kami sudah saling mencinta"
"Pouahh........!" Kakek itu meludah, "Saling mencinta" Enak sajal Engkau adalah seorang calon puteri adipati. Tidak mungkin sembarang orang saja meminangmu!"
"Tapi, eyang......."
"Sudahlah, Wulansari. Urusan itu kita selesaikan kelak saja kalau dia sudah datang" kata Ki Cucut Kalasekti dengan cerdik, karena dia tahu akan kekerasan hati cucunya itu. "Sekarang, yang terpenting kita harus segera pergi ke Kediri, mengbadap Sang Prabu di Dhaha. Bawalah bekal pakaianmu yang terbaik, kita berangkat sekarang juga"
Mendengar ucapan kakeknya yang agaknya tidak berkeras menolak Nurseta, Wulansari tidak membantah. Dia harus dapat dibujuk agar suka menerima kakangmas Nurseta, pikirnya, dan untuk itu, kakeknya harus ditaati perintahnya, disenangkan hatinya Ia lalu pergi berkemas dan pada hari itu juga, berangkatlah kakek dan cucunya itu menuju ke pantai karena Ki Cucut Kalasekti lebih suka melakukan perjalanan dengan perahu, melalui sepanjang pantai laut selatan. Tidak sembarang orang berani melakukan perjalanan dengan perahu seperti ini karena laut selatan terkenal dengan ombaknya yang dahsyat Namun, kakek dan cucu itu sama sekali tidak merasa gentar, bahkan semakin besar ombak mengalun dan mempermainkan perahu mereka, keduanya merasa semakin gembira. Dengan cekatan sekali, mereka memainkan dayung dan menguasai perahu itu sepenuhnya, meluncur di atas ombak yang kadang-kadang setinggi bukit itu! Permainan itu sungguh berbahaya sekali, bercanda dengan maut. Para nelayan, betapapun pandainya dan penuh pengalaman, tidak akan berani menentang maut seperti ini. Perahu mereka tentu akan dihempaskan ke batu karang oleh ombak yang dahsyat dan akan hancur berkeping-keping bersama tubuh mereka. Namun, Ki Cucut Kalasekti dan Wulansari memiliki tenaga sakti yang kuat sehingga mereka dengan mudahnya dapat menguasai petahu sehingga tetap berada di atas air. Sedikit saja dayung mereka menyentuh permukaan air, perahu mereka itu sudah meloncat ke atas dengan ringannya, mengatasi lidah-lidah ombak. Mereka berdua menuju ke barat, ke arah pantai Kerajaan Dhaha atau Kediri.
*** "Kakangmas Nurseta.........I"
"Eh, engkaukah itu diajeng Pertiwi........?"
"Nurseta yang turun dari padepokan Ki Baka ketika hari masih pagi sekali, melihat gadis itu muncul dalam keremangan pagi buta dan tahulah dia bahwa gadis itu agaknya memang menghadangnya di situ sejak masih gelap tadi. Dengan langkah perlahan dan sikap malu-malu Pertiwi mendekat. Kaku dan canggung rasanya menghadadapi pemuda ini yang biasanya dianggapnya sebagai seorang pemuda bangsawan, yang disebutnya raden, dan kini ia menghadapinya sebagai seorang tunangan, seorang calon suami. Dikuat-kuatkan hatinya untuk menghadang di situ, sejak ayam belum berkokok tadi, betapapun canggung dan malunya, karena di sudut hatinya, ia merasa amat berat ditinggalkan pemuda calon suaminya ini yang sejak dahulu telah dipandangnya dan dikenangnya dengan hati penuh kagum.
"Kakangmas Nurseta, aku mendengar....., kakangmas hendak........ hendak pergi jauh
sekali?" "Hemm, bagaimana gadis ini dapat mendengar bahwa dia hendak pergi ?" Nurseta maklum bahwa tentulah ayah angkatnya, Ki Baka yang memberitahukan. Siapa lagi kalau bukan ayah angkatnya yang tahu akan niatnya untuk pergi jauh ke Blambangan "
"Benar, diajeng Pertiwi. Aku hendak pergi jauh ke timur, ke Blambangan"
"Ahh........I Tentu amat jauh sekali dan ........ amat lama sekali, kakangmas........"
"Ya, jauh dan mungkin lama, diajeng. Akan tetapi aku melaksanakan tugas yang amat penting, dan aku tidak akan pulang sebelum. tugas itu selesai, diajeng Pertiwi"
Gadis itu menundukkan mukanya, menahan keharuan dan Kedukaan hatinya, bahkan menahan air matanya "Aku tahu....... aku mengerti" ia mengangguk-angguk, "dan aku........aku akan menantimu dengan setia, kakangmas Nurseta"
Tersentuh rasa bati Nurseta. Pemuda ini memang memiliki perasaan yang amat peka.
Gadis ini seorang gadis pegunungan yang polos, jujur dan gadis seperti ini memiliki cinta kasih dan kesetiaan yang tiada bandingnya. Sungguh kasihan kalau dia harus menipu seorang sadis seperti Pertiwi. Sebaiknyalah kalau dia berterus terang terhadap gadis ini, dari pada kelak menyakiti hatinya. Lebih baik pahit sekarang namun jujur. Pahit di muka menjadi jamu, sebaliknya pahit di belakang kelak akan menjadi penyakit, pikirnya dengan hati tetap.
"Tentu saja, diajeng Pertiwi. Kita sudah bertunangan, sudah teutu engkau akan setia kepadaku dan akupun akan setia kepadamu. Setelah selesai tugasku, sudah pasti aku akan kembali dan melangsungkan pernikahan kita. Akan tetapi, ada suatu pengakuan yang kuharap engkau akan dapat menerimanya dengan hati lapang, diajeng. Siapkah engkau menerima, pengakuanku, betapapun pahitnya hal itu bagimu?"
Pagi hari yang remang-remang itu tidala mampu menyembunyikan kilatan sepasang mata yang jernih itu ketika Pertiwi mengangkat muka, membelalakkan matanya mengamati wajah pria yang telah meruntuhkan hatinya. Ada sesuatu dalam kata kata dan sikap calon suaminya itu yang membuat hatinya merasa tegang dan tidak nyaman.
"Pengakuan apakah itu, kakangmas" Jangan meragu, katakanlah. Aku telah menjadi milikmu lahir batin, apapun yang kau kehendaki, bahkan selembar nyawa inipun kalau kau minta akan kuserahkan dengan hati dan tangan terbuka penuh kerelaan"
Nurseta memejamkan matanya. Bukan main gadis ini, polos dan murni! Bagaimana mungkin dia akan menipunya" Tidak, dia harus berterus terang karena gadis seperti ini berhak penuh untuk mengetahui segalanya. Dia harus mengbadapi kepolosan dan kemurnian gadis ini dengan kejujuran pula.
"Diajeng Pertiwi, ketahuilah bahwa perjodohan kita terlaksana karena kehendak ayahku, karena aku harus mentaati kehendak beliau. Sesungguhnya, diajeng, walaupun aku merasa kagum, suka dan hormat kepadamu, namun terus terang saja aku.......... tidak cinta
padamu, diajeng, karena sudah ada gadis lain yang menempati hatiku" Nurseta berhenti sebentar, melihat betapa leher gadis itu terkulai dan mukanya menunduk dalam sehingga dia tidak dapat melihat bagaimana keadaan wajah gadis itu. Maka disambungnya cepat, "Maafkan aku, aku harus berterus terang padamu, aku tidak ingin menipumu dan aku ingin jujur. Engkau berhak mengetahui keadaan hatiku, diajeng. Maafkan aku......"
Sampai lama mereka berdiam diri. Pertiwi masih menundukkan mukanya dan kini nampak oleh Nurseta betapa ada air mata menetes, namun gadis itu tetap bertahan, tidak terisak. Agaknya gadis itu menerima tusukan batin yang dipertahankan sekuat mungkin. Kemudian, akhirnya ia menganggkat mukanya dan terkejutlah Nurseta. Muka itu demikian pucat! Walaupun cuaca masih remang-remang, namun dia melihat perubahan yang besar itu, dan sepasang mata yang basah itu nampak demikian sayu.
"Kakangmas Nurseta, pernahkah engkau melihat sebuah kelenting (tempat air) air jatuh dan pecah berkeping-keping " Seperti itulah perasaanku, hancur luluh tak mungkin utuh lagi, hanya bukan air yang mengalir keluar melainkan darah. Akan tetapi biarlah. Hanya aku ingin tahu, kalau memang demikian, kenapa engkau mau ketika Paman Baka mengajakmu meminang aku?"
"Sudah kukatakan tadi, diajeng, aku menerima kehendak Ayah Baka karena hendak membalas budi kebaikan beliau. Akan tetapi, aku telah menerimamu sebagai calon isteri, telah meminangmu dengan sah. Oleh karena itu, bagaimanapun juga, aku akan setia dan akan menetapi janji, kelak kalau sudah selesai urusanku, aku pasti akan kembali dan melangsungkan pernikahan kita"
Sepasang mata itu terbelalak. "Pernikahan ........ tanpa........ tanpa........ cinta........?"
Kembali Nurseta merasa terharu. "Apa boleh buat, diajeng. Agaknya Sang Hyang Tunggal sudah menghendaki demikian......."
Tiba-tiba Pertiwi mengangkat kedua tangan ke atas, memegangi kepalanya dan iapun menjerit, "Tidaaaak....... tidaaaak.......!" dan iapun lari pergi dari situ.
Nurseta yang merasa iba dan terharu sekali, menggerakkan kaki hendak mengejar, namun ditahannya. Tidak ada gunanya, pikirnya, bagaimanapun juga, dia tidak boleh menghibur gadis itu dengan kepura-puraan. Biarlah, kenyataan pahit itu akan menjadi obat bagi Pertiwi. Dan diapun melanjutkan perjalanannya turun dari Pegunungan Kelud.
Pertiwi berlari terus sampai kakinya tersangkut rumput alang-alang (ilalang) yang tebal dan iapun terjerembab, jatuh terduduk di atas rumput ilalang. Dan di sini ia menangis tersedu-sedu, membiarkan semua perasaannya hanyut melalui air mata. Kecewa dan duka menghunjam-hunjam ulu hatinya dan tangisnya menjadi sesenggukan. Teringat ia betapa nasib buruk menantinya. Menikah dengan pria yang dipuja dan dicintanya, akan tetapi pria itu tidak mencintanya! Teringat ia akan bujukan ibunya, ibu tiri yang baru dua tahun dinikahi ayahnya, seorang janda tanpa anak dari dusun tetangga, Ibu tirinya membujuknya agar suka menjadi isteri putera lurah di dusun asal ibunya, Untuk apa menjadi isteri putera Ki Baka, demikian kata ibunya. Biarpun katanya bangsawan akan tetapi hidupnya miskin, untuk makan saja sukar ! Sebaliknya, kalau menjadi isteri anak lurah yang kaya raya itu, tentu akan hidup mulia dan serba kecukupan. Dan tentu saja ia menolak bujukan ibunya, karena ia tidak mencinta putera lurah itu. Ia hanya mencinta Nurseta, akan tetapi sekarang" Nurseta telah meminangnya dan ia merasa seperti diayun di surgaloka, di taman sorga yang indah dan membahagiakan. Hanya untuk mengalami kehancuran di pagi buta ini! Nurseta tidak mencintanya! Nurseta mencinta gadis lain. Nurseta hanya memperisteri ia karena hendak membalas budi Ki Baka. Ah, semua kenyataan itu menghantamnya bertubi-tubi, seolah-olah ada yang meneriakkannya berulang kali.
Gadis yang sedang tenggelam dalam duka ini sama sekali tidak tahu bahwa ada sepasang mata mengamatinya dari balik semak-semak Sepasang mata yang tajam dan bersinar-sinar penuh gairah dari sebuah muka yang tampan. Dan pemilik mata itu, seorang pria berusia hampir lima puluh tahun yang tampan dan berpakaian mewah, tersenyum-senyum.
*** "Ki Ageng Tejanirmala........! Ya Jagad Dewa Bathara.......! Ha haha, benar ini Ki Tejanirmala. Sembah sujud dan terima kasihku kepada Sang Hyang Wisesa !" Sang Prabu Jayakatwang, raja di Kediri itu berulang kali mengucap syukur dan menjunjung tinggi tombak pusaka itu di atas ubun-ubun kepalanya, tertawa-tawa dan tersenyum penuh kepuasan ketika dia menerima persembahan Ki Cucut Kalasekti yang datang menghadap kepadanya bersama Wulansari, cucunya.
"Hahaha, Ki Cucut Kalasekti! Pusaka ini memang benar Ki Ageng Tejanirmala dan kau menyerahkan pusaka ini kepadaku ?"
"Benar sekali, Sribaginda. Hamba sengaja datang dari Blambangan untuk menghaturkan pusaka ini kepada paduka, agar dengan pengaruh pusaka Ki Ageng Tejanirmala ini paduka dapat menaklukkan dan memerintah dunia dengan bijaksana"
Sang Prabu Jayakatwang mengangguk angguk, akan tetapi alisnya berkerut dan matanya menyambar dengan penuh kecerdikan. "Paman Cucut Kalasekti, kami telah mendengar bahwa
kau adalah seorang sakti dari Blambangan akan tetapi mengapa kau menyerahkan pusaka ini kepada kami yang menjadi raja di Dhaha ?" Sambil berkata demikian, sepasang mata yang cerdik dari Sang Prabu Jayakatwang mengamati wajah kakek itu penuh selidik.
"Ampunkan hamba, gusti. Sesungguhnya, tidak ada pamrih Iain dalam hati hamba selain ingin menghambakan diri dan berbakti kepada paduka yang hamba anggap satu-satunya junjungan yang paling bijaksana dan tepat untuk memerintah dunia"
Kembali Sang Prabu Jayakatwang mengangguk-angguk. Sebagai seorang yang berpengalaman, diapun maklum bahwa dengan kata-kata "ingin mengabdi dan berbakti", kakek ini mengharapkan kedudukan sebagai imbalan jasanya. Hal ini baik sekali, pikirnya. Selain memang sudah sepatutnya kalau pusaka sehebat Ki Ageng Tejanirmala itu ditukar dengan kedudukan dan kemuliaan, juga dia sudah mendengar bahwa Ki Cucut Kalasekti merupakan seorang jagoan yang sakti mandraguna dan tenaganya tentu saja amat berguna bagi Kediri.
"Baiklah, Paman Cucut Kalasekti, kami berterima kasih sekali kepada kau. Pusaka Ki Ageng Tejanirmala kami terima dan kami akan mengangkat kau menjadi seorang adipati, akan tetapi dengan satu syarat"
Bukan main girangnya rasa hati Ki Cucut Kalasekti mendengar bahwa dia akan diangkat menjadi seorang adipati, akan tetapi perasaan orang ini disimpannya dengan baik. dan wajahnya nampak biasa saja ketika dia berkata dengan sembab, "Harap paduka jelaskan, apakah syarat itu, pasti hamba akan sanggup memenuhinya"
"Syarat itu juga merupakan kewajiban, Paman Adipati!" kata Sang Prabu Jayakatwang. "Pertama. tentang Ki Tejanirmala yang kini berada di tangan kami, harap dirahasiakan dari siapapun juga. Dan ke dua, setelah kau menjadi adipati, tentu saja kami mengharapkan kesetiaan dan bantuanmu apa bila Kerajaan Kediri membutuhkannya sewaktu-waktu"
Ki Cucut Kalasekti segera menyembab. "Tentu saja, gusti. Hamba akan memegang teguh kedua syarat itu, dan hamba bersumpah setia"
"Bagus! Nah, Paman Adipati, mulai sekarang kau menjadi Adipati Satyanegara di Bendowinangun. Akan tetapi, siapakah gadis yang ikut menghadap bersamamu ini, Paman Adipati?"
Saking girangnya menerima pangkat adipati, ingin rasanya Ki Cucut Kalasekti bersorak dan tertawa. Akan tetapi ditahannya semua keriangan itu dan diapun memperkenalkan.
"Ia adalah cucu hamba bernama Wulansari, gusti, dan sesungguhnya, ialah yang berhasil memperoleh pusaka Ki Tejanirmala"
*Ee, lhadhalah! Sudah cantik jelita dan manis, masih sakti mandraguna lagi!" Sang Prabu Jayakatwang memuji. Raja ini sebagai seorang pria normal tentu saja tertarik akan kecantikan Wulansari, akan tetapi dia bukan sekedar pria mata keranjang, melainkan lebih lagi, yaitu memiliki kecerdikan. Kalau saja dia bisa mendapatkan gadis ini, sebagai selirnya berarti dia memiliki seorang pengawal pribadi yang amat boleh diandalkan untuk menjaga keselamatannya. "Kalau kau ingin menghambakan diri di dalam istana, kami akan menerimamu dengan gembira sekali, Nini Walansari" katanya.
Wulansari menghaturkan sembah. "Ampunkan hamba, gusti. Akan tetapi hamba lebih suka membantu kakek hamba yang baru saja menduduki jabatan baru"
"Haha, seorang cucu yang manis dan berbakti. Baikiah, hal itu dapat dibicarakan kelak" Sang Prabu Jayakatwang lalu mengeluarkan perintah agar semua yang menyaksikan pemberian pusaka Ki Tejanirmala itu merahasiakan hal ini, dan juga mengumumkan pengangkatkan Ki Cucut Kalasekti menjadi Adipati Satyanegara di Bendowinangun, daerah dekat Kali Cempur di sebelah selatan.
Ssng Prabu Jayakatwang memang seorang yang amat cerdik. Dia tidak dapat dibandingkan dengan orang-orang ambisius seperti Mahesa Rangkah yang didukung gurunya, Ki Buyut Pranamaya, yang begitu memperoleh tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala lalu cepat berusaha melakukan pemberontakan. Tidak, Sang Prabu Jayakatwang penuh perhitungan, tidak sembrono seperti itu. Walaupun dia percaya akan keampuhan Ki Tejanirmala, namun dia tetap waspada. Biarpun sejak dahulu ada dendam dalam hatinya untuk membangun kembali kejayaan Kediri, untuk menundukkan Singosari dan semua daerah, namun dia tahu bahwa hal itu tidaklah mudah dan sekali gagal berarti kehancuran Kediri dan keluarganya. Biarpun Tejanirmala telah berada di tangannya, namun dia harus memupuk kekuatan, dia harus bersabar dan menanti tibanya saat yang paling tepat untuk bergerak.
Ki Cucut Kalasekti dan Wulansari kembali ke gedung tua mereka di Blambangan untuk berkemas dan bersiap-siap pindah ke tempat kediaman mereka yang baru, yaitu sebagai adipati di Bendowinangun. Rumah kadipaten di Bendowinangun juga sedang diperbaiki dan dibangun, untuk menjadi tempat tinggal baru bagi adipati baru itu. Kini, kakek dan cucu itu kembali ke Blambangan untuk berkemas. Semenjak meninggalkan istana kerajaan Kediri, Ki Cucut Kalasekti nampak gembira sekali, sebaliknya Wulansari tidak kelihatan gembira. Ia bahkan merasa tidak senang harus meninggalkan rumah lama di Blambangan, di dekat Kali Setail itu karena tempat yang sunyi itu amat disenanginya. Selelah nanti pindah, ia akan tinggal di sebuah istana kadipaten dan di tempat ramai, dikelilingi hamba sahaya dan banyak pembantu.
Ada satu hal yang membuat Wulansari menjadi semakin tidak senang dan wajahnya cemberut saja, yaitu ketika kakeknya menyatakan bahwa ia patut menjadi selir Sang Prabu Jayakatwang. Bahkan pagi hari ini, ketika mereka berkemas, kakeknya mengulang lagi keinginan hatinya.
"Kau tahu, Wulan, Sang Prabu Jayakatwang jatuh hati kepadamu!"
"Ihh! Eyang ini ada-ada sajal" kata Wulansari cemberut. "Aku tidak percaya!"
"Sungguh, cucuku. Betapa sinar mata beliau itu penuh gairah ketika memandang kepadamu"
Wulansari mencibirkan bibirnya yang merah membasah. "Huh, setiap orang laki-lakipun
memandang kepadaku seperti itu, eyang. Apa anehnya itu?"
"Hahaha, memang benar, karena engkau seorang gadis yang arrat menggairahkan, cantik jelita, manis dan memiliki bentuk tubuh yang hebat. Akan tetapi, pandang mata para laki-laki itu tidak masuk hitungun, cucuku. Tidak demikian dengan pandang mata yang keluar dari sepasang mata Sribaginda Rija!"
"Ah, sudahlah, Eyang Aku tidak ingin mendengar lagi, dan aku tidik perduli apakah Sribaginda suka kepadaku atau tidak. Aku tetap tidak percaya, mungkin Eyang hanya mengada-ada saja!"
"Hushh, siapa mengada-ada, Terus terang saja, sebelum kita berangkat, ada utusan pribadi Sribaginda rnenemui aku dan menyampaikan pesan bahwa apa bila kita setuju, Sribaginda akan suka sekali menarikmu ke dalam keputren istana untuk menjadi seorang garwaselir beliau......"
"Apa" Aku tidak sudi menjadi selir!" teliak Wulansari"
"Jangan bodoh, cucuku! Menjadi selir lebih tinggi derajatnya dari pada menjadi isteri Adipati sekalipun. Lebih lagi, kalau engkau menjadi selir raja, dengan kemudaanmu, kecantikanmu dan dengan ilmu yang akan kuajarkan kepadamu, tentu raja akan tergila-gila dan bukan tidak mungkin dari selir terkasih engkau diangkat menjadi permaisuri! Wah, kalau sudah begitu, dunia berada di telapak kakimu, cucuku, dan aku akan ikut terangkat tinggi keatas, hahaha!"
"Sudah, sudah, Eyang, aku tidak mau dengar lagi! Ah, aku akan keluar mencaii hawa segar!" Gadis itu lalu meloncat keluar dari dalam rumah besar itu dan lari ke tempat yang menjadi kesukaannya, yaitu di tebing yang curam sekali. Jauh di bawah sana nampak air laut. Dari tempat setinggi itu, air laut di bawah nampak tenang saja, padahal air laut di bawah itu bergelora terus, menghantam dinding karang di bawah. Tempat ini amat indah, juga amat sunyi dan sering sekali Wulansari pergi ke tempat ini, seorang diri untuk melamun atau untuk berlatih pencak silat. Hawanya sejuk. angin laut bersilir lembut, kadang-kadang amat kuatnya, dan udara sedemikian jernihnya sehingga langit selalu nampak cerah. Terutama sekali di waktu pagi hari, matahari nampak muncul dari permukaan laut di sebelah timur dan di waktu senja matahari tenggelam di balik bukit sebelah barat.
Kini Wulansari tidak dapat menikmati keindahan pemandangan alam di atas tebing itu dan ia duduk melamun, di dekat tebing. Orang lain akan merasa ngeri duduk di dekat tebing yang curam itu, karena sekali orang tergelincir jatuh ke bawah, kecuali kalau dia mempunyai sayap dan dapat terbang seperti burung, tubuhnya tentu akan hancur lebur menimpa batu-batu karabg di bawah sana, lalu diterima ombak yang ganas. Akan tetapi Wulansari adalah seorang gadis yang sakti dan amat tabah. Ia duduk melamun, kadang-kadang menjenguk ke bawah.
Sudah berkali-kali kakeknya memperingatkan agar ia jangan bermain-main di tebing itu. Terlalu berbahaya tempat itu, pesan eyangnya. Namun, semakin dilarang, semakin tertarik hatinya dan akhirnya ia seperti jatuh cinta pada tempat itu. Dan kakeknya akhirnya mendiamkannya saja karena maklum bahwa cucu itupun dapat melindungi diri sendiri dengan baiknya.
Tiba-tiba Wulansari membalikkan mukanya, memandang ke arah belakang karena pendengarannya yang tajam dan perasaannya yang peka seperti memberitahu bahwa ada orang datang menghampirinya. Dan benar saja, ia melihat seorang pria muda mendaki tebing itu dan begitu meiihat bentuk tubuh pria itu, ia meloncat berdiri dan menyongsong kedatangannya.
"Kakangmas Nurseta.......!" teriaknya dengan penuh keriangan, berlari menghampiri sambil merentangkan kedua lengannya.
"Diajeng Wulansari........!"
Mereka berpelukan, Wulansari merangkul dengan eratnya, seolah-olah hendak melekatkan lubuhnya dengan tubuh pemuda itu agar lidak sampai berpisah lagi.
"Kakang....... kakangmas Nurseta........, betapa rinduku kepadamu, kakangmas........!" katanya lagi dan entah siapa yang rnendabului, akan tetapi mereka sudah saling rangkul, saling cium, melepasban seluruh kerinduan hati mereka.
Akhirnya Nurseta yang dapat menenangkan diri dan dengan lembut dia merangkul pundak gadis itu dan berkata, "Diajeng, mari kita duduk vang baik di sana dan bicara dengan tenang"
Wulansari mengangguk, dan dapat menenangkan hatinya, lalu sambil bergandeng tangan mereka menuju ke tepi tebing di mana terdapat beberapa buah batu yang halus dan enak untuk menjadi tempat duduk.
Di atas sebuah batu panjang, mereka duduk berdampingan dan Wulansari dengan sikap manja dan rnencina , menyandarkan kepalanya di dada pemuda itu. Nurseta merangkulnya dan mengusap-usap rambut kepala yane hitam halus dan panjang itu.
"Kakangmas Nurseta, sungguh aku merasa berbahagia sekali bahwa engkau datang begini cepat, tepat pada saat aku amat men butuhkanmu. Enckau tentu datang untuk melamarku, bukan?"
Pertanyaan ini menusuk perasaan Nurseta. Kaiau saja dia dapat membenarkan dan mengangguk. Akan tetapi tidak, dia menggeleng dan menarik napas panjang.
"Sayang sekali tidak, diajeng. Aku datang untuk minta kembali tombak pusaka Ki Ageng Teianirmala darimu" Melihat gadis itu tersentak kaget, Nurseta melanjutkan, "Aku telah bertanya-tanya dan mendapatkan di mana tempat tinggal eyangmu. Ki Cucut Kalasekti dan tadi aku melihat engkau berlari keluar dari rumah besar itu. Aku lalu mengikutimu dan menemuimu di sini. Untung sekali engkau keluar dari rumah itu sehingga aku tidak perlu menemui eyangmu......"
"Tapi..........tapi engkau sudah berjanji untuk datang melamarku! Mari kita temui eyang dan kau pinang aku untuk menjadi isterimu, kakangmas!"
"Nurseta menggeleng dan tersenyum pahit. "Tidak, diajeng, aku datang untuk minta kembali tombak pusaka......."
"Persetan dengan tombak pusaka itu!" teriak Wulansari marah. "Tombak pusaka itu uruan kecil, yang terpenting adalah perjodohan kita, kakangmas!"
"Aku sudah siap menghadapi ini" pikir Nurseta, Memang, di dalam perjalanannya, dia sudah membayangkan betapa dia harus berani menghadapi Wulansari dan berani pula mengadakan pengakuan seperti yang telah dilakukan di depan Pertiwi, hanya sekali ini, pengakuannya berbeda dan terbalik!
"Maaf, diajeng, terpaksa harus kukatakan bahwa aku tidak dapat melamarmu"
"Kenapa" Kenapa" Bukankah engkau cinta padaku, kakangmas?"
"Benar, diajeng......"
"Nah, engkau cinta padaku dan aku mencintaimu, apa lagi" Mengapa engkau tidak dapat melamarku?" Desak gadis itu, penuh penasaran membayang di pandang matanya yang tajam menyelidik.
"Memang, aku cinta padamu, diajeng dan tidak ada wanita lain di dunia ini kecuali engkau yang kucinta. Akan tetapi, aku tidak mungkin dapat berjodoh denganmu karena aku telah dijodohkan dengan wanita lain"
"Ahhhh........" Gadis itu menjerit. "Engkau cinta padaku akan tetapi engkau dijodohkan dengan gadis lain" Kenapa engkau mau?"
Nurseta menundukkan mukanya. "Karena itu kehendak ayah angkatku, dan aku tidak dapat menolak, aku harus berbakti kepadanya, membalas budi kebaikannya"
"Gila I Engkau gila, kakangmas Nurseta ! Akupun hendak dijodohkan dengan orang lain, bukan orang sembarangan. Aku telah dilamar oleh Sang Prabu Jayakatwang sendiri, Raja Dhaha! Dengar baik-baik, Sang Prabu Jayakatwang melamarku untuk menjadi selirnya dan aku menolak keras, karena aku cinta padamu, karena aku mengharapkan lamaranmu untuk menjadi isterimu. Dan kini engkau datang hanya untuk mengatakan bahwa engkau tidak dapat berjodoh denganku karena engkau telah berjodoh dengan gadis lain." Di dalam suara gadis itu terkandung kemarahan besar.
"Terserah pendapatmu, diajeng. Agaknya memang Hyang Maha Tunggal telah menentukan bahwa kita tidak saling berjodoh"
"Mustahil! Ini bukan kehendak Hyang Maha Tunggal, melainkan kehendakmu! Kakangmas Nurseta, bersikaplah jantan, katakan terus terang apakah engkau mencinta gadis yang lain itu seperti engkau mencinta aku seperti katamu tadi?"
Nurseta menggeleng kepalanya dengan pasti. "Tidak, diajeng, aku tidak cinta padanya"
"Engkau tidak cinta padanya namun akan menjadi suaminya, dan engkau cinta padaku akan tetapi tidak dapat menjadi jodohku. Adakah yang lebih gila dari ini " Kakangmas Nurseta, siapakah nama gadis itu dan di mana ia tinggal ?" Di dalam pertanyaan itu terkandung ancaman yang membuat hati Nurseta merasa ngeri.
"Engkau tidak perlu tahu, diajeng, tidak ada gunanya bagimu. Aku datang untuk minta kembali tombak pusaka Ki ageng Tejanirmala, harap kau suka memberikan kepadaku"
"Tidak! Tidak akan kuberikan, kecuali kalau engkau membatalkan perjodohanmu dengan gadis itu kemudian menikah dengan aku !"
"Tidak mungkin, diajeng!"
Keduanya telah berdiri dan saling berhadapan, dan Wulansari mengepal kedua tangannya, matanya berlinang air mata akan tetapi mengeluarkan sinar yang ganas penuh kemarahan. "Sekali lagi, kakangmas Nurseta, demi cinta kita, maukah engkau membatalkan perjodohanmu dengan gadis itu lalu menikah dengan aku?"
"Tidak! Tidak mungkin......."
"Nurseta! Engkau menghaucurkan kebahagiaanku, engkau mematahkan semua harapanku! Kalau begitu, dari pada engkau terjatuh ke tangan wanita lain, lebih baik aku melihat engkau mati!" Setelah berkata demikian secara Tiba-tiba sekali Wulansari sudah menerjang dengan serangan kilat yang amat dahsyat ! Nurseta terkejut bukan main melihat pukulan yang datang bagaikan halilintar menyambar itu. Itulah Aji Gelap Sewu, suatu ilmu pukulan yang dipelajari dengan tekun oleh Wulansari dari Ki Cucut Kalasekti. Nurseta cepat meloncat ke samping, jauh, untuk menghindarkan diri dari hantaman tangan yang mengandung Aji Gelap Sewu itu. Wulansari yang melihat betapa serangannya luput, cepat membalik dan bergerak hendak mengejar dan menyerang lagi.
"Diajeng Wulansari, jangan.......!" Nurseta mengeluh dan mengangkat kedua tangannya. Namun, gadis yang sudah marah sekali karena kecewa dan duka itu, tidak perduli dan sudah menerjang lagi dengan pukulan seperti tadi, hanya lebih dahsyat karena ia mengerahkan seluruh tenaganya. Agaknya ia memang ingin membunuh pria yang dicintanya akan tetapi hendak meninggalkannya untuk menikah dengan gadis lain itu.
"Ihhhhb.......!" Wulansari mengeluarkan lengkingan nyaring ketika menyerang. Melihat betapa serangan itu sekali ini demikian dah syatnya sehingga amat membahayakan dirinya kalau dielakkan saja, terpaksa Nurseta mengerahkan tenaganya, yaitu tenaga Sari Patala, dan kedua kakinya memasang kuda-kuda dengan Aji Wandiro Kingkin, seolah-olah kedua kakinya itu tumbuh akar dan kedua lengannya menangkis datangnya pukulan kedua tangan gadis itu.
"Dukkkk!" Hebat bukan main pertemuan antara dua pasang lengan itu dan akibatnya, tubuh Wulansari terdorong mundur dan ia terhuyung.
"Diajeng Wulansari........I" Nurseta melangkah menghampiri untuk menolong kalau-kalau gadis itu menderita luka. Akan tetapi, Wulansari hanya terdorong karena kalah kuat tenaganya, ia tidak terluka, bahkan menjadi semakin marah. Melihat Nurseta menghampirinya, Tiba-tiba gadis itu mengeluarkan suara mendesis seperti ular atau seperti suara air laut mendidih. Mendengar suara ini, Nurseta terkejut karena merasa betapa tubuhnya seolah-olah menjadi kaku. Dan pada saat itu, Wulansari sudah menyerang lagi.
Pukulan-pukulannya datang bergelombang seperti ombak samudera.
Nurseta masih ingat untuk mengerahkan Aji Jagad Pralaya. "Hyaaaat I" dia mengeluarkan bentakan nyaring dan seketika tubuhnya dapat bergerak lagi, lalu dia berloncatan ke belakang sambil mengelak. Namun, serangan Wulansari datang bertubi-tubi, susul menyusul seperti ombak lautan kidul yang sedang marah. Memang itulah Aji Pukulan Segoro Umub (Lautan Mendidih) yang amat ganas dan buas. Datangnya serangan itu bertubi dan bersambung-sambung, amat cepatnya tidak memberi kesempatan kepada lawan untuk membalas.
Namun, Nurseta memiliki tingkat yang lebih tinggi dan tentu dia akan mampu membalas serangan gadis itu kalau dia mau. Akan tetapi tidak, dia tidak sampai hati untuk membalas dan hanya mengelak atau menangkis saja. Kalau menangkispun, dia tidak mengerahkan seluruh tenaganya, hanya cukup untuk menahan dan mengimbangi pukulan lawan.
Ketika semua serangannya gagal, Wulansari menjadi semakin marah. Saking jengkelnya air mata menetes-netes di atas kedua pipinya, akan tetapi ia tidak mengeluarkan suara tangisan, melainkan menyerang terus, makin lama semakin dahsyat.
"Diajeng, tenanglah, aku bukan musuhmu, aku cinta padamu, diajeng Wulansari.......!"
Berkali kali Nurseta memperingatkan. Akan tetapi, diingatkan tentang cinta pemuda itu kepadanya, cinta yang tidak di Ianjutkan dengan perjodohan, hati Wulansari terasa semakin sakit dan iapun menyerang terus tanpa menjawab. Ia mendesak terus dan mereka berdua berkelahi di dekat tebing yang amat curam itu.
Tiba-tiba muncul Ki Cucut Kalasekti! Melihat cucunya berkelahi melawan seorang pemuda, kakek itu mengerutkan aiisnya. Dia segera mengenal pemuda yang dahulu pernah menyerangnya ketika dia melarikan Wulansari dan teringatlah dia betapa Wulansari mengaku
saling mencinta dengan pemuda ini. Dan sekarang, mereka berkelahi! Diapun terkejut melihat betapa pemuda itu sama sekali tidak membalas, mengalah dan hanya mengelak dan menangkis. Hal ini menunjukan bahwa pemuda itu memang memiliki tingkat kepandaian yang lebih tinggi dari pada cucunya. Pemuda ini cukup sakti dan berbahaya pikirnya.
Diam-diam kakek ini meraba baju yang menempel ketat di dadanya, baju yang seperti sisik ikan. Ternyata ada tujuh buah "sisik" lepas dari baju itu dan berada di tangannya, terselip di antara jari-jari tangan kanan. Sisik itu sebesar kuku ibu jari kaki, tipis dan melengkung terbuat dari baja putih dan ternyata benda ini ketika masih menempel di baju menjadi perisai yang membuat tubuh menjadi kebal, kini jetelah dilepas dapat dipergunakan sebagai senjata rahasia yang ampuh dan beracun! Kemudian, kakek itu meloncat ke depan, menyerang Nurseta sambil membentak dengan suara mendesis parau.
Nurseta yang sedang didesak oleh Wulansari, terkejut sekali ketika Tiba-tiba diserang oleh kakek yang dikenalnya sebagai Ki Cucut Kalasekti. Kembali dia merasa tubuhnya kaku begitu mendengar suara mendesis seperti yang dilakukan Wulansari tadi, akan tetapi sekali ini lebib kuat lagi pengaruhnya. Dan pukulan kedua tangan kakek itu sudah datang menyambar dengan dahsyatnya!
"Hyaaaaatttt....!" Cepat Nurseta mengerahkan Aji Jagad Pralaya untuk menyelamatkan diri. Hawa pukulan yang luar biasa keluar dari kedua tangannya. Wulansari terdorong roboh, juga Ki Cucut Kalasekti terhuyung ke belakang, tidak kuat menghadapi hawa pukulan Jagad Pralaya yang luar biasa ampuhnya itu. Akan tetapi, dari tangan Kanan kakek itu sudah menyambar tujuh buah benda yang mengeluarkan sinar berkilauan. Enam di antara tujuh buah benda yang ternyata adalah sisik beracun tadi, menyeleweng oleh hawa pukulan Jagad Pralaya dan tidak mengenai sasaran, akan tetapi sebuah di antaranya masih dapat mengenai pundak kanan Nurseta.
"Auhh........!" Nuraseta berseru kaget dan kesakitan, tubuhnya terjengkang dan karena dia berdiri di tepi tebing, maka ketika tubuhnya terjengkang ke belakang, otomatis diapun terjatuh ke bawah tebing yang amat curam itu!
"Kakangmas Nurseta.......I Ah, kakangmas .......!" Wulansari menjerit-jerit dan Ki Cucut
Kalasekti terpaksa harus merangkul dan memeganginya erat-erat agar gadis itu jangan sampai ikut meloncat ke bawah tebing. Wulansari menjerit-jerit memanggil nama Nurseta, menangis sesenggukan seperti anak kecil. Hal ini mengejutkan hati Ki Cucut Kalasekti karena belum pernah gadis yang berhati baja ini menangis seperti ini!
"Tenanglah, Wulan! Engkau tadi menyerangnya mati-matian, akan tetapi setelah dia terjatuh ke tebing, kenapa engkau menangis seperti ini?"
"Eyang, kau telah membunuhnya! Aku......aku menyerangnya karena kecewa dan marah, bukan untuk membunuhnya. Engkau........ membunuhnya, eyang. Dia terjatuh ke sana........
ah, kakangmas Nurseta,......"
Kakek itu menggeleng-geleng kepalanya, lalu menggaruk-garuk belakang telinga. "Sungguh bingung aku. Engkau tadi menyerangnya mati-matian, hal itu aku tahu benar. Kemudian aku membantumu dan dia terkena sambitan Sisik Nogo, andai tidak terjatuhpun dia akan mati oleh racun senjata rahasiaku itu. Sekarang dia sudah tewas, apa perlunya kau menangis" Dan pula, mengapa tadi engkau menyerangnya mati-matian?"
Wulansari sudah dapat menguasai hatinya. Ia duduk terkulai di atas tanah, air matanya masih bercucuran akan tetapi tidak terisak lagi.
"Eyang, engkau menghancurkan kebahagiaanku, engkau membunuh orang yang kucinta. Tadi dia datang untuk minta kembali Tejanirmala, aku mengingatkan dia akan cinta antara kami dan menuntut agar dia melamarku. Tapi dia....... dia bilang tidak dapat melamarku, karena dia telah dijodohkan dengan gadis lain dan dia setuju untuk berbakti kepada Ki Baka, ayah angkatnya itu. Ah, keparat! Akan kucari dan kubunuh gadis itu!" Wulansari mengepal tinju dan matanya mengeluarkan sinar ganas.
Diam-diam Ki Cucut Kalasekti merasa girang sekali. Dengan kematian pemuda itu, maka hilanglah gangguan besar di kemudian hari, dan ada harapan cucunya akan menerima pinangan Sang Prabu Jayakatwang! "Sudahlah, cucuku. Mari kita pulang. Tiada gunanya memikirkan lagi orang yang sudah tiadaDan tentang gadis lain itu, apa sukarnya kelak kaucari dan kau bunuh, kalau memang hatimu masih penasaran?"
"Tapi...... mungkin dia masih hidup......"
Gadis itu berkata sambil memandang ke tepi tebing.
"Ah, tidak mungkin ! Hanya burung bersayap saja yang akan mampu menyelamatkan diri kalau tergelincir ke bawah sana" Mereka lalu menjenguk ke bawah dan tidak nampak sesuatu kecuali air laut dan batu-batu karang yang dari atas nampak kecil-kecil. Wulansari bergidik. Tak dapat disangsikan lagi, Nurseta pasti sudah tewas jauh di bawah sana, tubuhnya hancur dan lenyap dihempaskan ke batu-batu karang oleh ombak laut selatan yang ganas.
"Kakangmas Nurseta......." ia berbisik dan menurut saja ketika lengannya ditarik oleh kakeknya, diajak pulang ke rumah kuno yang besar itu. Mereka melanjutkan pekerjaan mereka berkemas dan setelah selesai merekapun boyongan ke tempat tinggal baru mereka, yaitu di Bendowinangun, di mana Ki Cucut Kalasekti menjadi adipati, dengan julukan Adipati Satyanegara !
*** Tidak salah pendapat Ki Cucut Kalasekt bahwa hanya burung bersayap saja yang mampu menyelamatkan diri kalau tergelincir ke bawah tebing yang curam itu. Ini adalah pendapat manusia, menurut perhitungan dan kekuasaan manusia. Akan tetapi, ada kekuasaan rahasia yang tertinggi, yang merupakan rahasia bagi kita manusia, yang mengatur mati hidupnya seseorang. Kekuasaan tertinggi yang penuh rahasia ini begitu sering terjadi di depan mata kita. Bencana besar terjadi, kecelakaan yang mengerikan di mana manusia-manusia dewasa yang kuat dan berakal budi menjadi korban dan tewas, akan tetapi ada anak bayi yang lemah tak berdaya malah selamat. Siapakah yang mengatur semua ini kalau bukan kekuasaan yang tertinggi"
Inilah yang membuat Nurseta waspada sehingga ketika tubuhnya melewati sebatang pohon yang tumbuh melintang dan yang KEBETULAN sekali searah dengan kejatuhannya, tangan kanan kiri meraih dan mencengkeram, dan....... dahan pohon itu cukup kuat untuk
menahan Iuncuran tubuhnya!
Biarpun kini luka di pundaknya ditambah lagi rasa nyeri pada kedua pangkal lengannya ketika pegangan kepada dahan pohon itu menahan Iuncuran tubuhnya sehingga dia tersentak kuat-kuat, Nurseta masih dapat merayap ke dalam pohon itu, duduk di atas dahan terbesar, terengah-engah dan perlahan-lahan diapun dapat memulihkan keadaan tubuhnya. Dengan menghirup udara segar secara mendalam, dia dapat memulihkan tenaganya dan dapat menyalurkan hawa sakti dalam tubuhnya untuk melawan rasa panas dan nyeri pada pundak kanannya. Dia melihat ke atas. Puncak tebing dari mana dia terjatuh tadi amat tinggi, bahkan pohon itupun dari atas hanya akan nampak seperti semak-semak rumput kecil saja. Ketika menjenguk ke bawah, nampak gelombang besar menghempaskan lidah-lidah ombak ke batu karang ! Masih setinggi pohon kelapa dari pohon itu ke bawah ! Dan andaikata dapat merayap ke bawah, hal yang kiranya tidak mungkin atau amat sukar dan berbahaya, dia hanya akan diterima air laut yang ganas dan tentu akan menghancurkan tubuhnya pada batu-batu karang. Turun tak mungkin, naik lebih tidak mungkin lagi! Hemm, apa bedanya terbanting hancur di bawah sana dan tertahan di pohon ini untuk kemudian tidak ada jalan keluar dan mati pula" Tidak, tidak mungkin, pikirnya. Tidak mungkin Tuhan Yang Maha Kuasa menyelamatkannya dari ancaman maut hanya untuk dibiarkan mati perlahan-lahan di pohon itu ! Semua peristiwa sudah dikehendaki Tuhan dan pasti ada hikmahnya ! Dia merasa yakin akan hal ini dan mulailah pemuda yang tak pernah mengenal putus asa ini mencari-cari sekitar pohon itu dengan pandang matanya.
Ketika pandang matanya bertemu sebuah lubang goa tak jauh dari pohon itu, dia tidak merasa heran. Dia sudah yakin bahwa Tuhan menghendaki dia hidup, dan goa itu agaknya sudah siap untuk menampung dirinya, di mana dia dapat menyelamatkan diri. Betapapun juga, dia seorang manusia biasa dan melihat goa besar itu, jantungnya berdebar tegang. Mampukah dia merayap ke goa yang jauhnya masih kurang lebih sepuluh meter dari pohon itu " Dia harus bisa! Kalau saja dia tidak terluka, pekerjaan itu tentu saja amat mudah baginya. Jangankan hanya merayap melalui permukaan dinding tebing yang kasar dan banyak terdapat bagian yang menonjol sehingga dapat dijadikan pegangan dan injakan sejauh sepuluh meter, biar merayap turun sampai ke dasar tebing yang setinggi pohon kelapa itu dia tentu dapat, kalau dalam keadaan biasa dan tidak terluka. Namun, luka di pundak kanannya terasa nyeri dan kini membengkak I
Nurseta mengumpulkan kekuatannya dan diapun mulai merayap meninggalkan pohon itu, bergantungan di dinding tebing yang kasar, setapak demi setapak menuju ke lubang goa yang menganga. Akhirnya, berhasil juga dia mencapai mulut goa yang lebarnya tidak kurang dari tiga meter itu, dan kini dia berdiri di mulut goa. Ternyata goa itu dalam sekali dan dari luar nampak kegelapan di sebelah dalam.
Tiba-tiba dia mendengar suara ketawa yang mengerikan. Biarpun Nurseta seorang pemuda gemblengan yang gagah perkasa, mau tidak mau dia merasa tengkuknya dingin mendengar suara ketawa ini. Suara ketawa wanita, atau lebih tepat lagi, suara ketawa iblis betina!
"Hlhi hik hehheh, laki-laki iblis, engkau datang mengantar nyawa, hi hik!" Dan Tiba-tiba saja ada angin menyambar dari dalam goa. Untung Nurseta bersikap waspada, maka dengan cepat dia dapat mengelak kekiri lalu ke kanan ketika dua buah batu sebesar buah kelapa itu menyambar ke arah tubuhnya. Akan tetapi, begitu sambitan yang amat kuat itu luput, kini dari dalam goa itu meloncat sesosok tubuh yang membawa sebatang bambu runcing dan orang itu menyerangnya dengan tusukan-tusukan dahsyat sekali!
Nurseta terkejut. Kini matanya sudah terbiasa dengan keremangan dalam goa itu dan dia melihat bahwa yang menyerangnya mati-matian adalah storang wanita! Seorang wanita setengah tua, berusia empatpuluh lebih sedikit, dan biarpun wanita itu berpakaian buruk dan lusuh, dengan rambut panjang riap-riapan, namun wajah itu cantik. Dan serangan dengan tusukan-tusukan bambu runcing itupun aneh dan berbabahaya sekali, gerakannya cepat dan bertubi-tubi. Sungguh. merupakan gerakan silat merepergunakan senjata bambu runcing yang amat dahsyat, dan untungnya dia melihat bahwa tenaga yang terkandung dalam serangan-serangan itu tidak begitu kuat. Oleh karena itu, setelah mengelak dengan berloncatan ke sana-sini untuk beberapa lamanya, Tiba-tiba dia berhasil menangkap bambu runcing itu dan dengan pengerahan tenaganya, dia mencengkeram dan wanita itu tidak mampu menggerakkan senjatanya lagi.
"Maafkan, bibi. Akan tetapi, aku bukan musuhmu!" katanya sambil memandang tajam.
Setelah kini tidak bergerak menyerang, wanita itu terbelalak memandang dengan matanya yang bagus, dan agaknya ia terkejut melihat bahwa yang diserangnya itu seorang pemuda tampan, bukan musuh yang ditunggu dan amat dibencinya selama bertahun-tahun ini.
"Ahh........ engkau bukan dia........ kau ......kau siapakah, orang muda" Dan bagaimana
engkau dapat tiba di sini......." Hemm, engkau tentu kaki tangannya! Engkau tentu datang karena diutus olehnya!" Dan wanita itu mencoba untuk menarik kembali bambu runcingnya. Akan tetapi Nurseta tetap memegang ujungnya sehingga wanita itu tidak mampu menarik lepas. Sejenak wanita itu memandang heran. "Kau........ kau siapakah dan mau apa datang ke sini?" Akhirnya ia bertanya, wajahnya memperlihatkan kecemasan,
"Bibi yang baik, tenanglah, bibi, Saya bukan orang jahat, bukan musuh bibi, dan saya dapat tiba di goa ini karena kebetulan saja. Saya terjatuh dari atas tebing sana, bibi......."
Tiba-tiba wanita itu terkekeh, ketawa dan melihat sikapnya, tahulah Nurseta bahwa dia berhadapan dengan seorang wanita yang tidak waras atau yang agak miring otaknya! Wanita ini amat menderita, dan agaknya guncangan batin membuat ia menjadi gila atau setidaknya, dalam keadaan tidak waras. Timbul perasaan iba di hatinya terhadap wanita ini.
"Hihihik, jatuh dari atas sana" Dan engkau tidak mati, akan tetapi dapat sampai ke sini" Aneh....... hehheh, aneh......"
"Memang kedengarannya aneh, bibi, akan tetapi apakah keanehannya kalau Tuhan Yang Maha Kuasa menghendaki demikian" Buktinya, bibi sendiripun dapat berada di sini dalam keadaan selamat. Ketika terjatuh, aku tersangkut pada pohon di sana itu, lalu dapat merayap ke sini dengan selamat"
"Tapi, kenapa engkau bisa terjatuh dari atas" Apakah engkau hendak bunuh diri?"
Tiba-tiba sepasang mata yang bagus itu mengeluarkan sinar iba sehingga Nurseta merasa terharu. Bagaimanapun juga, pada dasarnya hati wanita di depannya ini baik.
"Tidak, bibi. Aku dipaksa orang sampai terjatuh, diserang dan terluka pundakku......."
"Hemm, dunia memang kotor, banyak dikotori manusia-manusia jahat! Siapa yang menyerangmu sampai engkau jatuh dari atas tebing, orang muda" Siapa dia yang jahat itu?"
"Dia bernama Ki Cucut Kalasekti........."
Tiba-tiba wanita itu melepaskan bambu runcingnya dan melompat ke depan goa sambil menjerit, mengejutkan hati Nurseta.


Sejengkal Tanah Sepercik Darah Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dia! Siapa lagi kalau bukan dia yang sejahat itu! Iblis busuk, manusia jahanam dia itu. Akan kubunuh engkau, Cucut Kalasekti ........!" Dan Tiba-tiba wanita itu menangis terisak-isak.
Nurseta menarik napas panjang. Agaknya Ki Cucut Kalasekti pulalah musuh wanita ini, dan mungkin sekali kakek jahat itu yang membuat wanita ini sengsara di tempat ini. Kini wanita itu telah berhenti menangis dan ketika wanita itu menurunkan kedua tangan yang tadi menutupi mukanya, dan karena ia berdiri di depan goa sehingga mukanya tertimpa sinar matahari pagi, Nurseta dapat melihat wajahnya dengan jelas dan diapun tercengang.
"Kau.......!" Tanpa disadarinya mulutnya berseru dan matanya terbela!ak memandang wajah wanita itu.
Wanita itu balas memandang dengan heran, lalu menghampiri, "Orang muda, apa maksudmu ?" Agaknya kini pikirannya sudah waras kembali.
Nurseta menyadari kekeliruannya. "Maaf, bibi akan tetapi aku........ rasanya pernah melihat bibi, pernah mengenal bibi, entah di mana......."
Wanita itu mengerutkan alisnya dan mengamati wajah Nurseta, lalu menggeleng kepalanya. "Tidak mungkin. Aku tidak pernah melihatmu, dan berapa sekarang usiamu ?"
"Duapuluh satu tahun, bibi"
"Dan aku sudah sepuiuh tahun berada di sini, di neraka ini. Ketika aku masuk ke sini, engkau baru berusia sebelas tahun, bagaimana mungkin bertemu dengan aku " Sudahlah, sekarang ceritakan bagaimana engkau dapat bertentangan dengan Cucut Kalasekti sehingga engkau terlempar jatuh dari atas tebing itu"
Mereka duduk di mulut goa, Nurseta bersila di atas lantai dan wanita itu duduk di atas sebuah batu, saling berhadapan. Nurseta masih mengamati wajah itu dengan penuh keheranan karena wajah wanita itu sungguh tidak asing haginya. "Begini, bibi, pagi tadi saya sedang bicara dengan ......" Tiba-tiba dia terbelalak menatap wajah wanita itu karena sekarang dia teringat.
"Bibi ........wajah bibi ....... serupa benar dengan diajeng Wulansari........!!"
Tiba-tiba wajah wanita itu menjadi pucat, matanya terbelalak dan iapun menangkap lengan tangan Nurseta. Dicengkeramnya lengan itu, akan tetapi Nurseta mengerahkan tenaga dan karena tenaga wanita itu memang tidak berapa kuat baginya, dia mampu bertahan, dan tetap siap siaga dan waspada kalau-kalau wanita yang setengah gila ini kumat lagi gilanya.
"Wulansari......." Kaukenal Wulansari ......" Ia.........ia anakku ........ ohhh, Wulan anakku
......." Dan wanita itu menangis lagi, terisak-isak ia menangis dengan sedihnya. Nurseta menjadi bengong pula, Kalau wanita ini ibu kandung Wulansari, dan agaknya hal ini tidak diragukan kebenarannya melihat persamaan wajah antara mereka, lalu berarti wanita ini puteri Ki Cucut Kalasekti yang mengaku sebagai kakek Wulansari. Akan tetapi mengapa wanita ini begitu membenci Cucut Kalasekti" Dia membiarkan wanita itu menangis dan akhirnya tangis itupun terhenti,
"Engkau mengenal anakku Wulan" Ah, orang muda, ceritakan padaku, bagaimana ia sekarang" Bagaimana rupanya" Apakah ia sudah besar dan selamat?" Wanita itu mendekat dan duduk di depan Nurseta. Pemuda ini Diam-diam merasa heran. Wanita ini berpakaian kumal dan rambutnya riap-riapan, akan tetapi tubuhnya nampak bersih dan tidak mengeluarkan bau apak.
"Ia sudah dewasa, bibi, dan ia........ ia cantik sekali, wajahnya mirip dengan wajah bibi. Ia manis dan sederbana, kulitnya kuning, matanya tajam seperti mata bintang, hidungnya kecil mancung dan bibirnya indah sekali. Ada lesung pipit di sebelah kiri mulut, dan di atas pipi kanan ada sebuah tahi lalat kecil"
"Benar, benar! Ia anakku Wulan, memang sejak kecil mirip sekali dengan aku. Orang muda yang baik, kau ceritakanlah, bagaimana engkau bertemu dengan Wulan, dan bagaimana pula riwayatnya........ ah, ceritakanlah, aku berterima kasih sekali padamu......" Kini wanita itu nampak waras dan dari pandang matanya, suaranya, terkandung permohonan.
Nurseta mengangguk-angguk, merasa kasihan sekali kepada wanita ini. "Begini ceritanya, bibi. Sepuluh tahun yang lalu, diajeng Wulansari diselamatkan oleh Ki Jembros ketika perahu yang ditumpanginya terbalik di lautan. Ki Jembros membawa diajeng Wulansari kepada Eyang Panembahan Sidik Danasura yang berhasil mengobatinya, akan tetapi biarpun diajeng Wulansari sembuh, namun ia kehilangan ingatannya. Yang diingat hanya namanya saja, yaitu Wulansari. Ia tidak ingat lagi dari mana, siapa keluarganya dan mengapa perahunya terbalik"
"Ahhh....... Wulansari anakku, sungguh kasihan sekali engkau......" Wanita itu menyusut air matanya yang jatuh berderai mendengar akan kemalangan puterinya. "Maaf, orang muda, masfkan kelemahanku, dan lanjutkanlah ceritamu tentang anakku"
"Setelah ia menjadi murid Eyang Panembahan Sidik Danasura selama lima tahun, yaitu ketika ia berusia limabelas tahun, saya bertemu dengan diajeng Wulan ketika saya datang berkunjung ke padepokan Eyang Panembahan. Dan pada saat itu, dari laut muncul Ki Cucut Kalasekti yang mencilik diajeng Wulansari........"
"Ah, si keparat! Si jahanam busuk, iblis betupa manusia!" wanita itu mengepal kedua tangannya dan memaki-maki.
"Maaf, bibi, akan tetapi dia mengaku sebagai kakek dari diajeng Wulansari......."
"Kakek apa" Dia bohong besar! Ah, kasihan anakku Wulan, dalam keadaan kehilangan ingatan, ia tertipu dan terbujuk oleh iblis busuk itu"
"Akan tetapi, bibi, diajeng Wulansari agaknya disayang oleh kakek itu, bahkan menjadi muridnya yang sakti"
"Celaka........celaka........ anakku. Sudahlah, lanjutkan ceritamu tadi, orang muda"
"Ki Cucut Kalasekti menculik diajeng Wulansari, saya hendak mencegah akan tetapi ketika itu saya bukanlah lawannya dan saya dirobohkan, diajeng Wulansari dilarikan melalui lautan, Keinudian, tidak ada kabar ceritanya tentang diajeng Wulansari sampai empat tahun kemudian, saya beberapa kali bertemu dengan diajeng Wulansari" Nurseta menceritakan tentang kemunculan Wulansari sebagai seorang gadis yang sakti, bahkan kemudian gadis itu merampas tombuk pusaka Ki Ageng Tejanirmala.
"Dan pagi ini, saya datang untuk meminta kembali tombak pusaka itu dari diajeng Wulansari....."
"Nanti dulu, orang muda. Engkau menyebat diajeng kepada anakku, dan nampaknya engkau amat akrab dengannya. Sampai berapa jauh perhubungan antara kaliau?"
"Bibi, kami...... kami saling mencinta" jawab Nurseta sejujurnya.
"Ah.......! Ahh........! Anakku......... aku girang sekali, aku setuju, engkau anak baik!" Wanita itu tiba tiba merangkul din Nurseta diam saja walaupun hatinya merasa tegang. Wanita itu lalu melepaskan rangkulannya dan mengamati wiijah Nurseta. "Eit kau tampan dan gagah. Siapakah uamumu, nak?"
"Nama saya Nurseta, kanjeng bibi" katanya penuh hormat.
"Nurseta, nama yang bagus! Dan siapakah orang tuamu, Nurseta?"
"Ayah saya Pangeran Panji Hardoko, sudah meninggal dunia....... "
"Pangeran Panji Hardoko dari Kediri" Jadi engkau orang Kediri, anakku?"
Nurseta mengangguk. "Namun sejak kecil sekali saya dipelihara dan dididik sebagai anak angkat oleh Ayah Ki Baka, seorang kawula Singosari yang setia. Karena itu saya menganggap diri saya juga kawula Singosari" jawab pula Nurseta dengan sejujurnya.
---ooo0dw0ooo---
Jilid 10 " Gagak Wulung Melamar
JAWABAN itu agaknya menyenangkan hati wanita itu, la mengangguk-angguk lalu bertanya, "Dan bagaimana engkau sampai dapat terjatuh dari atas tebing ?"
"Saya datang mencari diajeng Wulansari untuk minta kembali tombak pusaka Ki Tejanirmala yang tadinya milik ayah angkat saya. Di atas tebing itu, dan muncullah Ki Cucut Kalasekti vang menyerang saya dengan senjata rahasia, Pundak kanan saya terkena dan saya terjatuh ke bawah tebing. Hyang Maha Wisesa agaknya belum menghendaki saya mati, maka saya dapat meraih dahan pohon di sana itu, kemudian melihat goa ini dan saya berhasil merayap ke sini, kanjeng bibi" Nurseta tidak berani bercerita tentang perkelahiannya dengan Wulansari karena dia tidak dapat melamar gadis itu, Wanita ini sedang mengalami guncangan batin, kalau sampai mendengar itu lalu marah mungkin akan kambuh kembali penyakitnya. Maka dia merasa lebih baik kalau tidak diceritakannya hal itu.
"Aih, anakku. Engkau terluka " Coba aku melihatnya!" Wanita itu lalu mendekat dan memeriksa luka di pundak kanan Nurseta. Luka itu kini nampak menghitam.
"Wah, kau terluka oleh senjata rahasia Sisik Nogo yang beracun. Kau tahankan nyerinya, benda itu barus dikeluarkan dan akan kuberi obat penolak racun" Berkata demikian, wanita itu menggunakan jari-jari tangannya untuk memijat di kanan kiri luka itu. Perasaan nyeri hebat menusuk sampai ke tulang sumsum, namun Nurseta mematikan rasa dan menahan rasa nyeri.
"Hebat, engkau memang gagah perkasa, patut menjadi mantuku" wanita itu memuji setelah berhasil mencabut keluar benda sebesar kuku ibu jari kaki itu. Darah menghitam keluar dari luka dan wanita itu lalu masuk ke dalam goa, keluar lagi membawa sebuah botol tanah liat. Dituangkannya semacam minyak tanah ke luka itu, digosok-gosok sampai rata.
"Nah. racun itu tidak akan menjalar masuk dan sedikit demi sedikit dapat dikeluarkan melalui pijitan. Juga akan kumasakkan jamu untukmu"
"Terima kasih, kanjeng bibi. Saya kira sudah cukup, dan dengan samadhi dan mengumpulkan hawa sakti, saya akan dapat mendorong keluar racun itu sedikit demi sedikit"
Wanita itu mengangguk angguk, "Engkau memiliki keberanian dan juga ilmu kepandaian yang tinggi. Akan tetapi agaknya masih belum mampu menandingi iblis tua itu, anakku. Karena itu, selagi engkau di sini dan belum ada kesempatan keluar dari tempat ini, engkau berlatihlah ilmu-ilmu yang telah kau kuasai agar mahir benar. Kecuali itu, selama sepuluh tahun lebih ini, aku telah menciptakan ilmu bela diri yang berdasarkan ilmu tombak yang pernah kupelajari dari suamiku dahulu, dengan mempergunakan bambu yang tumbuh di bagian dalam goa ini, Ilmu ini kunamakan Aji Tombak Bambu Runcing.
"Ada rumpun bambu tumbuh di dalam, kanjeng bibi?" Nurseta bertanya heran.
Wanita itu mengangguk dan tersenyum. Baru sekali ini tersenyum dan Nurseta teringat akan wajah Wulansari. "Goa ini merupakan terowongan panjang dan di sebelah dalam luas sekali, anakku. Ada bagian terbuka di belakang, dan karena matahari dapat masuk dari situ, maka banyak pohon tumbuh di sana, di antaranya rumpun bambu kuning, pohon pisang dan juga beberapa pohon obat-obatan.
Ada pula air tawar mengalir dari celah-celah batu, tiada hentinya. Airnya jernih sekali, Mari, mari kita lihat-lihat keadaan di dalam sana"
Nurseta bangkit dan mengikuti wanita itu masuk Ternyata goa itu merupakan terowongan dan di sebelah dalamnya luas sekali dan ada pula bagian terbuka yang luas sehingga di situ ditumbuhi banyak pohon, karena ada tanah yang cukup tebal di lantainya, Sayang bahwa bagian terbuka ini terkurung batu karang yang lurus ke atas, tak mungkin dipanjat karena tingginya, dan ke bawah juga merupakan jalan mati. Di bawah sana, setinggi pohon kelapa, hanya nampak air laut dan batu batu tajam meruncing !
"Dari buah pisang dan daun daun pohon, juga tanaman-tanaman ini aku hidup. Ada kalanya dapat kutangkap burung camar yang kadang-kadang kesasar ke tempat ini. Dan lblis tua itu meninggalkan banyak bibit tanaman obat dan pohon buah"
Nurseta memandang kepada wanita itu. Pada waktu itu, matahari telah naik tinggi dan sinarnya memasuki bagian terbuka itu sepenuhnya. "Kanjeng bibi maksudkan bahwa Ki Cucut Kalasekti pernah ke sini?"
Wanita itu mengangguk, "Kau kira siapa yang meninggalkan aku di neraka ini" Ah, benar, engkau belum mengetahui siapa aku, kecuali bahwa aku adalah ibu kandung Wulansari, dan bagaimana aku dapat berada di neraka ini. Mari, Nurseta, mari kita duduk di petak rumput itu, dan kau dengarkan ceritaku"
Wanita itu lalu menceritakan riwayatnya. Wanita yang usianya empatpuluh dua tahun itu bernama Warsiyem, cantik berkulit kuning mulus, dan ia adalah isteri seorang laki-laki gagah perkasa bernama Ki Medang Dangdi. Kurang lebih sepuluh tahun yang lalu, suaminya, Ki Medang Dangdi berpamit kepadanya, meninggalkan ia dan anak mereka Wulansari, untuk pergi merantau ke Singosari mencari pekerjaan. Ketika itu mereka tinggal di sebuah dusun di daerah Blambangan. Maklum bahwa suaminya adalah seorang satria yang jngin menyumbangkan tenaganya kepada kerajaan besar itu, Warsiyem menyetujui dengan janji bahwa kalau suaminya sudah memperoleh pekerjaan, ia dan puterinya akan dijemput dan diboyong ke Singosari.
Akan tetapi, malapetika tiba dua bulan semenjak kepergian suaminya. Warsiyem terkenal sebagai bunga dusun itu, cantik manis dan pada waktu itu, usianyapun baru tigapuluh dua tahun. Maka, sepeninggal suaminya, tidak mengherankan kalau banyak pria yang gandrung kepadanya. Hanya, para pria itu tidak berani sembarangan mengganggunya. Mereka mengenal siapa Warsiyem. Isteri Ki Medang Dangdi yang gagah perkasa dan mereka tahu pula bahwa wanita itu sedikit banyak telah mempelajari ilmu pencak silat dari suaminya.
Akan tetapi, muncullah Ki Cucut Kalasekti yang kebetulan lewat di dusun itu. Dan datuk kaum sesat ini mendengar akan kecantikan Warsiyem yang ditinggal suaminya, hanya hidup berdua bersama Wulansari, seorang anak perempuan yang baru berusia kurang lebih sepuluh tahun. Di antara semua perbuatan jahat yang tidak dipantangnya, mempermainkan wanita cantik adalah satu di antara kesukaan Ki Cucut Kalasekti. Akan tetapi tidak serabarang wanita dia suka, harus yang pilihan. Maka, mendengar akan kecantikan Warsiyem, diapun datang berkunjung untuk membuktikan sendiri kabar yang didengarnya. Dan begitu bertemu dengan Warsiyem, Ki Cucut Kalasekti pun terpesona. Entah mungkin karena kecocokan selera, namun diam-diam dia mengakui bahwa selama hidupnya, belum pernah dia tergila-gila kepada wanita lain seperti ketika dia melihat Warsiyem. Langsung saja dia melamar, tidak perduli bahwa wanita itu bukan seorang janda, melainkan isteri orang yang baru ditinggal pergi suaminya mencari pekerjaan.
Warsiyem, sebagai isteri seorang satriya tentu saja sudah pernah mendengar akan nama besar Ki Cucut Kalasekti yang tersohor itu, maka iapun bersikap lembut kepada kakek yang pada waktu itu berusia sekitar enampuluh tahun.
"Harap Paman Cucut Kalasekti suka memaafkan saya" katanya lembut, "sesungguhnya saya masih bersuami. Suami saya adalah Ki Medang Dangdi yang kini sedang merantau ke Singosari untuk mencari pekerjaan. Oleh karena itu, harap paman suka menaruh kasihan kepada kami ibu dan anak dan mencari piHhan wanita lain yang bebas"
"Brakkkk!" Sekali tangan kirinya menghantam, meja di depannya hancur berkeping-keping dan Ki Cucut Kalasekti bangkit berdiri, menudingkan telunjuknya penuh ancaman kepada Warsiyem.
"Heh, perempuan, dengar baik-baik. Biasanya, setiap kali tertarik kepada seorang wanita, aku langsung membawanya pergi dan memaksanya untuk melayani aku, mau atau tidak, baik dia isteri orang atau bukan! Akan tetapi kepadamu aku tidak melakukan kekerasan itu, hanya karena aku cinta padamu! Aku ingin engkau membalas cintaku, menyerah dengan suka rela. Suamimu, Ki Medang Dangdi, pergi ke Singosari untuk menjadi pengkhianat, menghambakan diri kepada raja lain. Kelak kalau bertemu dengan aku, pasti dia akan kubunuh! Nah, anggap saja suamimu sudah mampus, engkau menjadi janda dan menjadi isteriku!"
Biarpun diancam, Warsiyem tidak memperlihatkan rasa takut. "Maaf, Paman Cucut Kalasekti, akan tetapi aku adalah seorang isteri yang setia kepada suami, juga seorang ibu yang menjaga nama dan kehormataa keluargaku. Aku tidak mungkin dapat menerima keinginan hatimu, paman"
"Keparat! Berani engkau menolak pinangan Cucut Kalasekti" Apa kau ingin aku marah dan membunuh seluruh warga dusun ini, dan memaksamu menjadi isteriku" Dengar, aku memberi waktu tiga hari. Tiga hari lagi aku datang ke sini dan engkau harus siap untuk menyerahkan diri menjadi isteriku dengan suka rela. Kalau engkau tetap menolak, aku akan bunuh puterimu ini dan menyeret kau pergi bersamaku dari sini!" Setetah berkata demikian, Ki Cucut Kalasekti meninggalkan tempat itu.
Gegerlah penduduk dusun itu mendengar ancaman Kt Cucut Kalasekti itu. Mereka semua menganjurkan agar Warsiyem dan puterirnya segera pergi saja dari dusun itu, pertama untuk menyelamatkan diri mereka berdua, dan kedua untuk membebaskan penghuni dusun itu dari ancaman K Cucut Kalasekti.
Akan tetapi, Warsiyem menggeleng kepalanya dengan sedih. "Siapa yang mampu melarikan diri dari seorang sakti mandraguna seperti Cucut Kalasekti" Ke manapun aku melarikan diri dengan anakku, pasti dia akan dapat menyusul dan menangkap aku. Yang penting adalah keselamatan puteriku. Asal anakku selamat, aku tidak takut menghadapi ancamannya. Matipun aku tidak takut asal anakku selamat"
Warsiyem lalu memanggil adiknya, seorang laki laki berusia duapuluh lima tahun yang masih belum berkeluarga, lalu minta tolong kepada adiknya itu untuk membawa Wulansari lari ke barat.
"Bawalah ia dengan perahu, lebih aman melarikan din dengan perahu di sepanjang pantai, jauh lebih aman dari pada iari melalui darat. Dan bawalah ia mencari ayahnya di Singosari" Demikian pesannya. Sarjito, adik laki-laki itu, lalu berangkat membawa Wulansari. Dia seorang nelayan yang pandai, akan tetapi dia harus bekerja keras melawan ombak lautan selatan yang ganas untuk melayarkan perahunya terus ke barat. Akan tetapi, seperti diketahui kemudian, perahu itu yang ditumpangi Sarjito, Wulansari dan tiga orang teman-teman Sarjito, terbalik di daerah Teluk Prigi dan semua penumpangnya tewas, kecuali Wulansari yang berhasil diselamatkan oleh Ki Jembros.
Tiga hari kemudian, ketika Ki Cucut Kalasekti muncul, Warsiyem menyambutnya dengan serangan tombak! Tentu saja serangan ini sama sekali tidak ada artinya bagi kakek sakti itu. Sekali renggut saja, tombak itu telah dirampasnya dan dibuangnya. Warsiyem menolak pinangannya, dan tidak mau mengatakan ke mana puterinya pergi. Ki Cucut Kalasekti marah, membujuk dan mengancam, namun Warsiyem tetap bertahan, tidak sudi menyerahkan diri dengan suka rela. Ki Cucut Kalasekti lalu menangkapnya dan menyeretnya pergi dari dusun itu, dan semua penghuni dusun hanya mampu melihat dengan tubuh panas dingin.
Ki Cucut Kalasekti membawa Warsiyem ke rumahnya yang besar dan menyeramkan. Dia masih tergila gila kepada Warsiyem, dan dibujuknya wanita itu, diberinya barang barang berharga dan dijanjikan kemuliaan. Namun Warsiyem tetap menolak, meronta dan berusaha melarikan diri. Akhirnya Ki Cucut Kalasekti memperkosa wanita itu berulang kali sambil tetap membujuk, Namun, Warsiyem tetap saja melawan sekuat tenaga walaupun akhirnya ia tidak mampu lagi melindungi dirinya, ia memaki, menangis, mencakar dan hanya dengan kekerasan saja Ki Cucut Kalasekti dapat menguasai dan memperkosanya. Dibujuk bagaimanapun, Warsiyem tidak pernah mau menyerahkan diri dengan sukarela seperti yang amat diharapkan dan dirindukan Ki Cucut Kalasekti.
Kalau saja Warsiyem seperti wanita lain, tentu sudah dibunuh oleh kakek iblis itu. Akan tetapi entah bagaimana, Ki Cucut Kalasekti tetap tergila gila dan mencinta wanita itu, mengharapkan balasan cintanya, dan betapapun kecewa dan marahnya, dia tetap tidak mau membunuh Warsiyem.
Setelah hampir tiga bulan dikecewakan wanita yang tidak pernah mau melayaninya dengan suka rela itu, dan dia menjadi bosan dengan perkosaan yang sama sekali tidak dia kehendakinya, akhirnya Ki Cucut Kalasekti membawa Warsiyem naik perahu menuju ke pantai yang bertebing tinggi itu. Dengan kepandaiannya yang luar biasa, perahunya dapat mendekati pantai tebing itu pada saat air laut surut, dan dia memanggul tubuh wanita yang sudah dibuat lemas tak dapat bergerak itu, lalu mendaki tebing, menuju ke sebuah goa yang besar dan yang berada di dinding tebing itu, setinggi pohon kelapa dari bawah. Di dalam goa inilah Ki Cucut Kalasekti membiarkan Warsiyem seorang diri, meninggalkan obat-obatan, bahan makanan bahkan dia menanam banyak tanaman obat dan pohon berbuah di bagian yang terbuka di sebelah dalam terowongan goa. Dia hendak membiarkan wanita yang dicintanya itu tetap hidup, akan tetapi juga menghukumnya. Dan kadang kadang, tadinya sebulan sekali lalu semakin jarang, dia datang berkunjung, untuk tetap membujuk, dan untuk tetap ditolak yang berakhir dengan perkosaan yang hanya menghancurkan hati Warsiyem dan mendatangkan kecewa dan penyesalan di hati Ki Cucut Kalasekti yang merindukan kasih sayang dari wanita itu !
"Demikianlah, anakmas Nurseta, riwayatku, sekarang kakek iblis itu bahkan telah menjadikan Wulansari anakku sebagai cucunya dan muridnya pula. Ah, sungguh aku merasa khawatir sekali. Engkau tidak tahu bagaimana jahatnya manusia berhati iblis itu!" kata Warsiyem dengan wajah gelisah.
"Kanjeng bibi, saya berjanji bahwa begitu saya berhasil keluar dan sini, saya akan mencari Ki Cucut Kalasekti dan mengadu nyawa dengannya untuk menyelamatkan diajeng Wulansari"
Namun janji ini ternyata jauh iebih mudah diucapkan dari pada kenyataannya. Sampai lelah Nurseta menyeiidiki tempat itu dan akhirnya dia mendapatkan kenyataan bahwa tiidak mungkin dia dapat meninggalkan goa itu. Mendaki naik tidaklah mungkin, terlalu tinggi. Mendaki naik sama dengan bunuh diri. Kalau merayap turun, yang tingginya hanya setinggi pohon kelapa, dia sanggup, akan tetapi lalu bagaimana setelah tiba di bawah" Dia akan disambut air laut bergelombang ganas, dan batu batu karang yang amat tajam dan runcing. Tidak ada jalan keluar pula di bawah sana.
Hanya orang macam Ki Cucut Kalasekti yang dapat datang dengan perahu ke bawah sana, lalu mendaki ke sini. Satu satunya haapan untuk melarikan diri dari tempat ini hanyalah kalau dia datang berkunjung. "Kalau dia berkunjung, engkau boleh menyergapnya di sini, kemudian turun dan mempergunakan perahunya untuk membebaskan diri selagi air laut surut. Itulah satu satunya jalan untuk meninggalkan tempat ini" kata Warsiyem.
Terpaksa Nurseta menunggu. Dan bertahun-tahun dia harus menunggu karena yang dinanti tidak juga muncul. Namun, dia tidak menyianyiakan waktu bertahun-tahun itu. Selain bersamadhi memperkuat tenaga saktinya, diapun berlatih semua ilmu yang dikuasainya sehingga menjadi matang dan di samping itu, diapun membuat bambu runcing dan mempelajari ilmu memainkan bambu runcing itu seperti yang diciptakan Warsiyem. Dan ilmu in memang hebat. Kalau Warsiyem kurang berhasil menjadi sakti dengan ilmu itu hanyalah karena ia kurang tenaga. Andaikata ia memiliki tenaga sakti yang kuat dengan ilmu itu, mungkin saja ia sudah mampu membunuh atau setidaknya melukai Ki Cucut Kalasekti.
Kita tinggalkan dulu Nurseta yang hidup terasing di tempat itu bersama Warsiyem yang sudah menganggap Nurseta sebagai putera mantunya, untuk melihat perkembangan yang terjadi di dunia ramai, di atas sana, sebetulnya tidak begitu jauh namun tak mungkin terjangkau oleh mereka berdua yang menjadi penghuni goa.
*** Gadis itu menangis tersedu-sedu di atas rumput tebal di pagi hari itu. Menangis sejadi-jadinya, melepaskan seluruh kepedihan perasaan hatinya. Tidak ada kepedihan bagi hati seseorang gadis melebihi kenyataan bahwa pria yang dicintanya, dipuja dan diharapkannya itu mengaku telah mencinta gadis lain !
Pertiwi adalah seorang gadis yang sejak kecil hidup di pedusunan, berwatak polos dan jujur. Ibunya telah meninggal dunia sejak la masih kecil, dan beberapa tahun yang Ialu ketika ayatnya yang sudah lama menduda itu menikah lagi dengan seorang janda, ia mengalami pukulan bafin untuk yang pertama kalinya Biarpun ibu tirinya itu bersikap baik kepadanya, namun ia merasa tidak senang secara diam-diam ketika ibu tirinya itu membujuk nya agar ia suka menjadi isteri putera lurah, dan ibu tirinya itu menjelek-jelekkan Nurseta yang dianggap pemuda pengangguran yang miskin. Dan kini, Nurseta yang dibelanya, yang diharapkan dan dipujanya, dengan terang-terangan, setelah menjadi tunangannya, mengaku bahwa pemuda itu tidak cinta kepadanya melainkan mencinta gadis lain. Hati siapa tidak akan hancur "
Pertiwi sama sekali tidak tahu bahwa semenjak ia bertemu dan bicara dengan Nurseta tadi, sampai sekarang ia menangis di atas rumput, ada sepasang mata yang terus mengamatinya dan pemilik mata itu membayanginya sampai ke tempat itu, Pemilik mata itu seorang laki-laki berusia antara limapuluh tahun, masih nampak tampan dan gagah dengan tubuh sedang namun tegap, matanya bersinar-sinar tajam dan pakaiannya mewah. Dia seorang laki-laki pesolek yang tampan dan dia bukan lain adalah Gagak Wulung, seorang tokoh sesat yang amat berbahaya bagi semua orang gadis cantik seperti Pertiwi!
Siapa tidak mengenal Gagak Wulung, tokoh sesat yang terkenal mata keranjang dan cabul itu, yang tidak pernah mau membiarkan seorang wanita cantik lewat begitu saja tanpa diganggunya" Apa lagi seorang wanita semanis Pertiwi, seorang perawan dusun yang polos lagi. Bagaikan setangkai mawar hutan bermkaun embun, segar dan menggairahkan, membuat Gagak Wulung terpesona dan sejak tadi mengintai dengan pandang mata yang semakin buas. Kini matanya seperti mata harimau yang melihat seekor kelinci muda gemuk lewat di depan hidungnya. Akan tetapi, sebagai seorang yang berpengalaman sekali dalam mengejar kesenangan melalui kecabulan, dia ingin mendapatkan gadis ini tanpa harus menggunakan kekerasan, dia ingin gadis ini menyerah dengan manis, dengan suka rela, dengan penuh kepasrahan dan kehangatan. Maka, wajahnya berubah menjadi manis, pandang matanya lembut ketika dia keluar dari tempat sembunyinya dan menghampiri gadis yang sedang menangis itu.
"Aduh, juwita, mengapa kau menangis" Kau seperti Dewi Nawangwulan yang kehilangan pakaiannya karena disembunyikan Ki Jaka Tarup! Akan tetapi, sungguhpun engkau secantik Dewi Nawangwulan, engkau tentu bukan bidadari itu, dan sungguhpun aku bukan Ki Jaka Tarup, namun aku akan suka sekali menolongmu"
Mendengar suara orang yang demikian balusnya, Pertiwi mengusap kedua matanya dan memandang, terkejut dan heran melihat seorang pria yang pakaiannya menunjukkan bahwa dia seorang priyayi, wajahnya tampan dan menyenangkan, mulutnya tersenyum penuh daya pikat Akan tetapi karena pria itu seorang yang tidak dikenalnya, ia cepat menundukkan mukanya dan berkata halus.
"Aku....... aku tidak minta tolong kepada mu, kisanak"
Gagak Wulung tersenyum dan mendekat. "Biar kau tidak minta tolong, akan tetapi aku bersedia menolongmu, cahayu"
"Akan tetapi kau tidak akan dapat menolongku, dan siapapun tidak akan dapat menolongku. Kebahagiaanku sudah lenyap, kehidupanku sudah hancur......" Pertiwi bangkit berdiri dan hendak pergi, tidak memperdulikan kainnya yang agak basah oleh air embun di rumput. Bagian yang basah ini melekat pada kulitnya, memperlihatkan lekuk lengkung tubuhnya yang membuat Gagak Wulung merasa sesak napas.
"Aku tahu, nimas. Cintamu ditolak oleh Nurseta, bukan?"
Pertiwi terbelalak memandang wajah pria itu. "Kau....... kau........ tahu..........?"
Gagak Wulung tersenyum. "Tentu saja, aku tahu segalanya. Nurseta itu tunanganmu, akan tetapi dia tidak cinta padamu, bukan " Untuk apa menangisi orang yang tidak cinta kepadamu" Di dunia ini masih ada pria yang jauh lebih baik dari Nurseta, yang akan mencintamu dengan seluruh jiwa raganya"
Pertiwi makin heran, "Apa........ apa maksudmu.......?" tanyanya sagap dan bingung.
Diam-diam Gagak Wulung sudah mengerahkan aji kesaktiannya. Tidak percuma orang yang cerdik ini lama menjadi kekasih Ni Dedeh Sawitri wanita tokoh sesat yang cantik dan cabul itu. Demi keuntungan dirinya sendiri dia telah berbasil membujuk kekasihnya itu untuk mengajarkan aji pengasihan Asmoro Limut kepadanya. Dan kini, diam diam dia memperpunakan aji itu untuk menguasai diri Pertiwi. Dia berkemak-kemik, lalu tersenyum-senyum dan suaranya terdengar lembut membujuk ketika dia berkata sambil menatap tajam wajah gadis gunung itu, di antara kedua alisnya. Dia telah mengenal nama gadis ini ketika tadi mengintai dan mendengarkan percakapan antara gadis ini dan Nurseta.
"Nimas Pertiwi........ pandanglah mukaku, tataplah kedua mataku........ nah, begitu........
engkau hanya akan melihat wajahku yang tampan dan menyenangkan...... wajah yang
penuh kasih sayang........ ya, ya....... dan engkau akan tunduk, menyerah, percaya........ semua kasihmu untukku..... dan engkau menurut segala kehendakku yang mengasihimu......"
Pertiwi memandang dengan mata terbelalak, nampak bingung, mulutnya berbisik, "Apa....." Apa.........?" Akan tetapi tubuhnya limbung dan ketika Gagak Wulung merangkulnya dan memondongnya, iapun terkulai dan mandah saja, bahkan ketika Gagak Wulung menundukkan muka dan mencium pipinya, ia memejamkan mata dan melemaskan diri, kepalanya bersandar pada bahu pria itu seperti seorang anak kecil mencari perlindungan dan kehangatan.
Sambil menyeringai seperti iblis yang berbasil dengan pekerjaan jahatnya, Gagak Wulung memondong tubuh yang ringan itu, pergi dari situ dengan cepat. Biarpun ia hanya seorang perawan desa di gunung, andaikata Pertiwi tidak baru saja mengalami guncangan batin karena keterus-terangan Nurseta yang menyatakan tidak cinta padanya, belum tentu akan semudah itu ia terkulai dan terjatuh ke dalam kekuasaan sihir Gagak Wulung yang masih belum berapa kuat itu. Namun, gadis itu sedang lemah batinnya, terguncang dan ketika Gjgak Wulung merangkulnya dan memondongnya, iapun terkulai dan pasrah saja, bahkan ketika Gagak Wulung menundukkan muka dan mencium pipinya, ia memejamkan mata.
Gagak Wulung bukan secara kebetulan saja berada di Pegunungan Kelud. Seperti telah kita ketahui, dia adalah seorang diantara para pembantu Mahesa Rangkah dalam pemberontakannya, yang secara pengecut telah melarikan diri begitu melihat bahwa pemberontakan Mahesa Rangkah menghadapi kegagalan. Dalam pelariannya ini, Gagak Wulung yang juga merupakan seorang mata-mata rahasia dari Kerajaan Dhaha, iapun kembali ke Kediri. Akan tetapi dia bertemu dengan ki Buyut Pranamaya. Gagak Wulung maklum akan kesaktian kakek ini, maka diapun menerima dengan gembira ketika Ki Buyut Pranamava mengajaknya untuk bekerja sama dan menjadi pembantunya.
"Kegagalan muridku Mahesa Rangkah adalah karena tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala terampas orang dari tanganku" demikian antara lain Ki Buyut Pranamaya membujuk. "Andaikata tombak pusaka itu tidak hilang dari tanganku, aku jamin bahwa perjuangan muridku itu akan berhasil menumbangkan Singosari. Sekarang, yang terpenting adalah mencari kembali tombak pusaka itu, dan kalau sudah kembali ke tanganku, tidak akan sukar menumbangkan Kerajaan Singosari"
Gagak Wulung melihat kemungkinan kemungkinan yang akan menguntungkan Kediri kalau dia dapat mendekati kakek sakti ini. Kalau tombak pusaka itu sudah didapatkan kembali oleh kakek sakti ini, maka terbuka harapan baginya untuk menguasainya, atau setidaknya, untuk membujuk kakek itu menyerahkannya kepada Kerajaan Kediri, dan kakek inipun dapat menjadi pembantu yang amat berguna bagi Kediri. Dan dialah yang akan berjasa besar kalau hal itu dapat terjadi, dan Sang Prabu Jayakatwang tentu Tidak akan melupakan jasa besarnya itu.
Demikianlah, setelah menjadi pembantu Ki Buyut Pranamaya, pada suatu hari Gagak Wulung bersama kakek yang sakti mandraguna itu pergi ke Pegunungan Kelud untuk mencari Ki Baka, menurut perhitungan Ki Buyut Pranamaya, tentu Ki Baka tahu di mana adanya tombak pusaka itu. Yang merampas tombak itu dari tangannya adalah seorang gadis baju hijau yang sama sekali tidak dikenalnya. Akan tetapi gadis itu membantu Nurseta, putera Ki Baka. Tentu ada hubungan antara gadis itu dan putera Ki Baka, dan tentu tombak pusaka itu kini sudah kembali ke tangan Ki Baka. Dengan perhitungan ini, maka dia mengajak Gagak Wulung untuk pergi ke Pegunungan Kelud, mencari Ki Baka.
Rahasia 180 Patung Mas 2 Manusia Yang Bisa Menghilang Pendekar 4 Alis Karya Khu Lung Pendekar Sadis 11
^