Pencarian

Dendam Dan Prahara 4

Dendam Dan Prahara Di Bhumi Sriwijaya Karya Yudhi Herwibowo Bagian 4


penumpang yang mencolok. Mereka hanya membawa
beberapa kotak besar, yang berisi barang-barang dagangan
yang mereka beli di Datu Singkep.
Benar-benar normal. Bahkan, saat akan mulai melaut pun,
mereka tak melihat perahu-perahu lain di sekitar mereka.
Hanya nelayan-nelayan biasa yang mulai berangkat melaut.
Sungguh, tak ada yang berlebihan.
"Sepertinya semua tampak normal," ujarnya lagi. Pande Wayu kembali tertawa, "Sudahlah, Kakek," ujarnya. "Kau tak.perlu khawatir. Kurasa ketakutanmu sangat berlebihan!"
Kakek Cangko tak berucap apa-apa. Pande Wayu kemudian
segera berdiri, "Sekarang, siapkan semuanya!" ia berteriak.
"Malam ini kita menyerang perahu Gujarat itu!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dan, Kakek Cangko tak lagi berucap apa-apa lagi. Perahu
Gujarat itu memang mulai berlayar malam ini. Karena
banyaknya bajak laut, beberapa perahu memang lebih
memilih memulai pelayarannya pada malam hari. Walau
tampak lebih menakutkan, tetapi taktik ini kerap lebih berhasil digunakan saat melarikan diri dari kejaran para perampok.
Apalagi sesuai pengamatan, para bajak laut ternyata lebih
banyak beraksi di siang hari daripada di malam hari!
Maka, ketika malam menjelang dan angin laut berembus, di
tengah keheningan, tiga perahu besar tiba-tiba meluncur
mendekati perahu Gujarat itu.
Perahu Gujarat yang melaju sangat pelan sama sekali tak
merasakan apa-apa ketika perahu-perahu kecil mulai
mendekati mereka dan tali-tali berbandul besi berpengait
mulai melayang ke tepi perahu mereka. Disusul dengan
menggelantungnya beberapa tubuh di situ.
Akan tetapi, untunglah salah seorang anak buah perahu
segera menyadari itu.
"BAJAK LAUUU.T!" ia segera saja berteriak. Suaranya seketika mengoyak keheningan malam. Saat itulah, tiba-tiba
saja tanpa diduga, dari kotak-kotak yang dibawa ke perahu
sebelumnya, keluar sosok-sosok manusia yang sedari tadi
meringkuk di dalamnya.
Mereka adalah anak buah pasukan Kara Baday! Hanya
beberapa saat saja, Paman Kumbi Jata dan yang lainnya
secara tiba-tiba sudah melompat ke atas dek dan mengambil
alih pimpinan di perahu.
Sampai di sini, keadaan di dalam perahu Gujarat belum
juga disadari oleh perahu-perahu Pande Wayu. Bahkan, ketika
Paman Kumbi Jata berteriak untuk menyerang pun, Pande
Wayu belum menyadarinya.
"SIAPKAN PANAAAH!" seiring teriakan Paman Kumbi Jata, pasukan panah tiba-tiba berjejer di sepanjang tepi perahu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dan, tak perlu waktu lama, anak-anak panahnya segera
menghujan ke bawah.
Pande Wayu yang masih berada dalam perahu besarnya
sedikit merasa heran. Biasanya dalam keadaan panik karena
serangannya, tak pernah anak buah kapal bersiap secepat ini.
Akan tetapi, keheranan ini tak berlangsung lama. Serangan
hujan panah itu menyita pikirannya. Ia benar-benar belum
menyadari kehadiran pasukan Sriwijaya di atas perahu Gujarat itu. Maka itu, ia terus berteriak menyuruh anak buahnya untuk terus naik ke atas perahu. Dan, ini tentu saja membuat anak
buahnya menjadi sasaran empuk anak-anak panah dari atas
perahu. Di saat-saat seperti itu, tiba-tiba ekor matanya melihat
perahu-perahu nelayan yang sejak tadi menyebar di
sepanjang lautan tiba-tiba menuju ke arah mereka. Jumlahnya
mencapai tiga puluh perahu!
Seketika Pande Wayu tertegun. Namun, belum habis rasa
ketertegunannya, orang-orang dari perahu-perahu nelayan itu
tiba-tiba menutup gerakan kapal-kapalnya dalam sebuah
lingkaran dan didapatinya mereka sudah berdiri siap dengan
anak panah terarah pada kapal para bajak laut ....
Pande Wayu bergetar. Saat itulah ia baru menyadari bahwa
semua ini adalah perangkap! Dan lebih dari itu, ia tahu bahwa posisinya telah terkepung dari dua sisi!
Pande Wayu berteriak marah. Ia merasa telah dijebak.
Namun, hujan anak panah segera membungkam
kemarahannya. Anak buahnya pun terkulai satu demi satu.
Dan di saat ia merasa tak lagi bisa berbuat apa-apa, seorang pemuda berikat kepala putih, tiba-tiba sudah melompat ke
arah perahunya ....
Sementara itu, jauh, jauh dari pertempuran itu, Kakek
Cangko masih memandang ke arah lautan. Walau matanya
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
hanya bisa menemukan kegelapan di sana, perasaannya
seperti melukiskan sesuatu.
Teriakan-teriakan itu seakan sengaja dikirim angin hingga
telinganya seperti bisa mendengarnya dengan samar-samar.
Sungguh, ini membuat jantungnya berdegup kencang. Sampai
beberapa saat terus seperti itu.
Akan tetapi, ketika akhirnya tak ada lagi suara yang dapat
didengarnya dan keheningan menguasai suasana, ia pun
berbalik dengan langkah goyah.
Saat itu air matanya jatuh ....
-ooo0dw0ooo- 18 Datu Muara Jambi
5ri Maharaja Balaputradewa memandang gelapnya langit di
atas sana. Sedikit hatinya mengeluh. Ah, mengapa kini langit selalu tampak lebih gelap di matanya" Sepertinya dulu,
kepekatannya tak pernah seperti ini" Apakah langit di Telaga Batu berbeda dengan langit di Bhumijawa" Ataukah... langit
sejak peperangan itu tak lagi berubah"
Sri Maharaja Balaputradewa terdiam. Namun, bayangan
masa lalunya tanpa bisa ia halangi mengoyak ketenangan
hatinya. Langit yang gelap .... Langit yang sangat gelap ....
Sri Maharaja Balaputradewa tiba-tiba kembali teringat saat
kepergiannya dari istana ketika itu ....
Apa Paman Balaputradewa menginginkah takhta itu"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sebuah suara bergema di kepalanya. Itu suara Jatiningrat,
suami Pramodawardhani.
Apa Paman Balaputradewa masih menginginkah takhta itu"
Ya, benarkah ia menginginkan takhta yang seharusnya
menjadi hak Pramodawardhani itu" Batinnya seakan ikut
bertanya. Dan, Sri Maharaja Balaputradewa hanya bisa
menghela napas panjang. Ia sepertinya tak pernah benar-
benar bisa menjawab dua pertanyaan yang sama itu.
Lalu, suara Jatiningrat kembali menyeruak di labirin
hatinya, Paman, aku sama sekali tak tertarik dengan takhta
itu. Dan, aku tak akan mengingkari ucapanku ini. Suatu saat
akan kubuktikan kepadamu. Kini, yang ingin kulakukan
hanyalah menikahi Pramo-dawardhani....
"Entahlah, sepertinya ada sesuatu yang salah kepadaku
Sri Maharaja Balaputradewa terdiam sesaat. "Aku tak lagi bisa melakukan meditasi dengan baik .","
Ia kemudian menatap wajah Dapunta Cahyadawasuna
yang bersila di depannya, "Aku ingin kau mengajarkannya kepadaku.."
Dapunta Cahyadawasuna segera mengangkat wajahnya,
"Apa yang dapat hamba ajarkan" Hamba pikir itu mungkin
hanya karena Sri Maharaja kurang berkonsentrasi
"Tidak, tidak," ujar Sri Maharaja Balaputradewa, "aku ingin kau mengajarkannya dari awal. Mungkin... ada sesuatu yang
terlewat olehku
Dapunta Cahyadawasuna terdiam, "Baiklah, kalau itu yang Sri Maharaja inginkan."
Senyum Sri Maharaja Balaputradewa mengembang, "Kita
bisa mulai sekarang!"
Dapunta Cahyadawasuna mengangguk. Sesaat diamatinya
keadaan sekitar. Tak ada seorang pun di ruangan ini.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tampaknya Sri Maharaja Balaputradewa telah menyuruh
semua anak buahnya pergi.
Dapunta Cahyadawasuna menarik napas panjang. "Pikiran
yang tak terlatih," ia memulai, "akan mengakibatkan emosi yang tak menentu. Pikiran yang tenang dapat dengan mudah
menghadapi tantangan hidup seperti apa pun
Dapunta Cahyadawasuna menaikkan posisi tubuhnya.
Meluruskan tangannya dan meletakkannya pada tekukan
kakinya yang bersila.
"Mulailah berkonsentrasi pada napas," ujarnya. "Pejamkan mata, duduk tegak agar saluran pernapasan lancar dan
terbuka. Biarkan tubuh menjadi santai dan bernapaslah seperti biasa. Hitunglah satu untuk satu siklus napas, lalu lakukan
hingga hitungan kesepuluh. Lakukan berulang-ulang
Lalu, Dapunta Cahyadawasuna berucap panjang. Dan, Sri
Maharaja Balaputradewa dengan serius mengikuti semua yang
diucapkan Dapunta Cahyadawasuna.
Sampai sekian lama keduanya berada dalam keremang-an
ruangan itu. Saat itu Dapunta Cahyadawasuna memang
tengah mengajarkan dhyana, meditasi mengosongkan pikiran
Setelah beberapa saat mencoba hingga beberapa kali,
barulah Dapunta Cahyadawasuna memberi arahan untuk
prajna, meditasi untuk mengisi pikiran.
"Duduklah dengan tenang!" ujarnya kembali. "Pejamkan mata untuk mengurangi gangguan. Alihkan perhatian pada
napas, tetapi kali ini dengan memeditasikan secara berbeda.
Pusatkan perhatian pada proses bernapas. Pada saat menarik
napas, perhatikan bagaimana udara memenuhi paru-paru dan
menyebabkan rongga dada membesar. Ikuti aliran udara
selagi mengembuskan udara keluar melalui hidung
Kemudian, waktu seakan terlupa oleh keduanya. Hanya
desahan napas yang terdengar di ruangan itu. Namun, di
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tengah konsentrasi itu, tiba-tiba Pu Chra Dayana memasuki
ruangan dengan langkah ragu.
"Maafkan hamba telah mengganggu," ia membungkuk
dalam-dalam. "Panglima Samudra Jara Sinya, Panglima Bhumi Cangga Tayu, dan Wantra Santra sudah menunggu sejak
tadi." Sri Maharaja Balaputradewa menoleh. "Ah, aku ternyata
terlalu sibuk dengan latihan ini hingga melupakan urusan
lainnya," ia segera bangkit.
"Katakan aku akan segera ke sana, Pu Chra Dayana!"
Pu Chra Dayana mundur. Sri Maharaja segera
mempersiapkan dirinya dengan terburu.
"Tampaknya kita harus menunda dulu latihan ini!" ujarnya sambil beranjak dari ruangan itu.
"Maafkan hamba, Sri Maharaja," Dapunta Cahyadawasuna menahan langkahnya. "Hamba yakin, meditasi yang telah
dipelajari oleh Sri Maharaja sebelumnya, sama dengan yang
hamba ajarkan saat ini. Mungkin, bila itu tidak berjalan
dengan baik, itu karena permasalahan yang tengah dihadapi
oleh Sri Maharaja memanglah begitu beratnya hingga dapat
menyita pikiran Sri Maharaja ...."
Sri Maharaja Balaputradewa menganggukkan kepalanya.
"Ya, mungkin saja, mungkin saja ujarnya sambil berusaha tersenyum.
-ooo0dw0ooo- Pertemuan itu diadakan saat kelelawar mulai beterbangan
di langit-langit malam. Di ruangan paling dalam di Kcdatuan
Sriwijaya, di Telaga Batu, lima sosok tubuh tengah bersila di depan Sri Maharaja Balaputradewa. Mereka adalah Panglima
Samudra Jara Sinya, Panglima Bhumi Cangga Tayu, Pu Chra
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dayana, Dapunta Cahyadawasuna dan pemimpin kelompok
rahasia Wangseya, Wantra Santra.
"Datu Muara Jambi berkhianat?" suara Sri Maharaja
Balaputradewa terdengar tak percaya. "Bagaimana mungkin ini bisa lepas dari perhatianmu, Wantra Santra?"
Wantra Santra membungkuk dalam, "Maafkan kelalaian
hamba, Sri Maharaja. Namun, sungguh, semua ini tak hamba
duga____" Pu Chra Dayana meminta waktu bicara. "Mungkin ...
Kerajaan Malaya ada di belakang ini semua hingga kita tak
bisa mengetahuinya lebih awal...," ujarnya.
Sri Maharaja Balaputradewa menggeleng lemah, "Rasanya
tak mungkin bila ini dilakukan oleh Kerajaan Malaya. Bukankah tak ada lagi yang tersisa dari mereka?"
Pu Chra Dayana membungkuk, "Tentu saja
kemungkinannya itu tetap ada. Saat perebutan Minanga
Tamwa dari tangan Dapunta Mahak Ilir, banyak dari mereka
yang melarikan diri ke utara."
Sri Maharaja Balaputradewa kembali bertanya, "Tetapi,
siapa dari mereka yang cukup kuat dapat memengaruhi
Panglima Tambu Karen, penguasa Minanga Tamwa sekarang"
Dan juga Dapunta Ih Yatra penguasa Muara Jambi" Tentunya
orang itu haruslah menawarkan keadaan yang lebih baik dari
yang kita tawarkan, bukan?"
Sri Maharaja Balaputradewa menyapukan pandang-annya.
"Hamba setuju dengan Sri Maharaja," Panglima Samudra Jara Sinya yang sejak tadi diam akhirnya terdengar suaranya.
"Ini mungkin tak ada hubungannya dengan Kerajaan Malaya.
Panglima Tambu Karen dan Dapunta Ih Yatra bisa saja
bergerak sendiri. Hamba pikir tak ada lagi orang-orang dari
Kerajaan Malaya yang cukup mampu memengaruhi
keduanya...."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Semua terdiam, tak ada yang menyahut ucapan Panglima
Samudra Jara Sinya.
Lalu, Panglima Bhumi Cangga Tayu membungkuk, "Hamba
pikir, sebaiknya akan lebih baik kalau kita langsung bertindak sekarang, tanpa membuang waktu lagi."
Sri Maharaja Balaputradewa menoleh, "Bertindak?" .
"Posisi Muara Jambi sangatlah penting," ujar Panglima Bhumi Cangga Tayu lagi. "Namun, Dapunta Ih Yatra belumlah memiliki pasukan yang besar. Kita memiliki pasukan yang ada
di beberapa utik di sekitar tempat itu. Hamba pikir ditambah dengan pasukan rahasia milik Wangseya yang dapat bergerak
cepat, kita bisa merebut kembali datu itu
-ooo0dw0ooo- Kelalaian haruslah ditebus.'
Maka, hanya beberapa malam berselang, masih dalam
pekatnya malam, rencana perebutan Datu Muara Jambi
berlangsung. Tak perlu waktu lama semuanya dipersiapkan.
Wantra Santra yang seakan ingin membayar semua
kelalaiannya, langsung memanggil seluruh pasukan rahasianya
yang tersebar di pelosok negeri. Hanya beberapa hari saja,
ratusan sosok berpakaian serbahitam telah melayang
mengitari Datu Muara Jambi!
Panglima Bhumi Cangga Tayu yang menyaksikan
pemandangan itu hanya bisa memandang takjub. Ia sendiri
masih menunggu kedatangan pasukannya dari datu-datu di
sekitar Muara Jambi. Namun, kelompok rahasia Wangseya
tampaknya telah siap untuk menyerang.
Sungguh ini membuat Panglima Bhumi Cangga Tayu
semakin kagum. Sejak dulu ia sudah mengira bahwa Wantra
Santra memiliki banyak pasukan. Namun, ia sama sekali tak
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menyangka bila pasukan itu ternyata bisa sebanyak ini dan
dapat dikumpulkan dalam waktu begitu singkat.
Maka, ia pun kemudian membiarkan saja ketika Wantra
Santra memintanya untuk mendahului penyerangan ke dalam
Kedatuan Muara Jambi. Ia menganggap ini adalah waktu yang
tepat. Kedatuan Muara Jambi tak akan mengira bila pihak
Kerajaan Sriwijaya akan menyerangnya secepat ini. Apalagi
saat itu posisi Kedatuan Muara Jambi memang cukup jauh dari
pelabuhan mereka. Ia yakin sebagian besar pasukan Muara
Jambi pastilah menjaga pelabuhan itu, terutama di dua
benteng di tepi sungai itu!
Panglima Bhumi Cangga Tayu diam-diam tersenyum


Dendam Dan Prahara Di Bhumi Sriwijaya Karya Yudhi Herwibowo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sendiri. Tampaknya ini tak akan membutuhkan waktu lama.
Bukankah dengan menghancurkan pusatnya terlebih dahulu
akan lebih mudah menghancurkan pasukan yang tersisa di
tempat lainnya"
Maka, tak lama berselang, sosok-sosok serbahitam itu
berkelebat memenuhi seluruh celah malam menuju Kedatuan
Muara Jambi. Dan, sosok Wantra Santra melayang di posisi
paling depan di antara semuanya. Ia memimpin langsung
penyerangan ini.
Dengan kehadiran dirinya, tentu saja tak butuh waktu lama
untuk menghancurkan Kedatuan Muara Jambi. Kesaktian
Wantra Santra yang telah mencapai kesempurnaan, serta
serangan ratusan orang yang begitu mendadak dengan
mudah melumpuhkan semua pasukan yang berjaga.
Maka, di akhir penyerangan itu, Wantra Santra pun berhasil
membunuh Dapunta Ih Yatra dan delapan belas anak
lelakinya! Sungguh, kejadiannya begitu cepat. Matahari bahkan
belum menunjukkan tanda-tanda untuk terbit. Dan, penduduk
di sekitar kedatuan belum sepenuhnya menyadari
penyerangan ini.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Akan tetapi, saat pembantaian itu terasa akan usai, Wantra
Santra seakan tersadar akan sesuatu. "Anak perempuannya tak adadesisnya. Ia ingat sekali bila anak bungsu Dapunta Ih Yatra adalah seorang perempuan. Dan, itu tak ditemuinya
sekarang! Beberapa orang pengawalnya segera berlari mencari.
Namun, mereka tak menemui seorang perempuan pun di
seluruh kediaman ini, bahkan di antara mayat-mayat yang
bergeletakan. Hanya seorang pelayan yang masih hidup yang
kemudian mereka temukan tengah bersembunyi di dapur.
Segera saja mereka menariknya ke hadapan Wantra Santra.
"Katakan di mana anak perempuan Ih Yatra?" perintah anak buah itu sambil menempelkan pedangnya pada leher
pelayan itu. Dengan wajah ketakutan, lelaki tua itu membungkuk sambil
menangis tergugu, "Putri Agiriya ... ia ... ia pergi ... ke Panggrang Muara Gunung ...."
-ooo0dw0ooo- 19 Jelita dengan Ribuan Kupu-Kupu
disekeliling Tubuhnya
"Alirkan energi kalian dalam tiga tahap. Pertama penarikan napas panjang, disusul penyimpanan napas di dalam perut.
Tahan napas ini dan rasakan kehangatan yang mengalir di
dadamu. Baru setelah itu, lepaskan secara perlahan
Jauh dari tempat pembantaian itu, di Panggrang Muara
Gunung, Guru Kuyajadran tengah mengajari murid-muridnya
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
bermeditasi. Suasana hening, tanpa kata. Semuanya larut
dalam tarikan, tahanan, dan lepasan napas masing-masing.
Agiriya tampak bersila di antara yang lain. Ini adalah tahun ketiganya di sini. Kini ia tak lagi menjadi murid baru di sini.
Telah ada beberapa tingkat murid-murid baru di bawahnya.
Agiriya memang telah menjadi murid di tingkat menengah
yang paling populer di Panggrang Muara Gunung. Tak ada lagi
orang-orang yang berani kepadanya.
Latihan pengaliran energi melalui napas memang
berlangsung sangat lama. Itu pun selalu diulang kembali
beberapa hari sekali. Di tingkat inilah biasanya tak banyak
murid-murid yang bisa bertahan dan kemudian memutuskan
keluar karena bosan. Seperti kali ini, sejak matahari belum
tampak hingga tepat berada di atas kepala mereka, latihan itu barulah selesai.
Magra Sekta, yang saat ini bertugas menyediakan air bagi
murid lainnya, segera membawakan minuman dari kendi-kendi
yang terbuat dari tanah liat. Kini ia telah mengikat rambutnya.
Sejak hari itu, saat Agiriya membela dirinya, tak ada lagi
murid-murid lain yang berani mengganggunya. Namun, ini
tetap tak membuatnya banyak bicara dan bergaul dengan
bebas. Ia masih kerap menyendiri dan berjalan dengan
menunduk. Kini ia menyodorkan gelas bambu kepada Agiriya.
"Kau seharusnya menyerahkan tugas ini kepada murid
baru," ujar Agiriya.
"Tak apa," balas Magra Sekta. "Mereka pasti sedang berlatih juga."
Agiriya hanya menarik bibirnya, "Dulu kakak seperguruan kita pasti memerintah kita untuk melayani ini kapan pun itu!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Magra Sekta mencoba tersenyum. Sekilas ditatapnya wajah
Agiriya. Lalu, tanpa bicara apa-apa, ia bergeser ke temannya yang lain.
Sejak kejadian hari itu, ia tetap tak banyak bicara dengan
Agiriya. Hanya ada pembicaraan-pembicaraan pendek seperti
tadi atau sekadar basa-basi lainnya.
Akan tetapi, selepas latihan meditasi ini, secara
mengejutkan Magra Sekta menghadang Agiriya yang hendak
ke biliknya. "Ikutlah denganku!" ia tiba-tiba menarik tangan Agiriya.
"Mau apa kau?" Agiriya tampak terkejut. 'Aku ... aku ingin menunjukkan sesuatu kepadamu!" seru Magra Sekta tetap
mencoba menarik Agiriya. "Apa?"
"Nanti kau akan melihat sendiri!"
"Tetapi, kita harus beristirahat siang ini, Magra, untuk persiapan latihan nanti malam," Agiriya menyentak tarikan tangan Magra Sekta hingga lepas. "Kalau guru tahu kita pergi, kita pasti akan dihukum ...."
"Tidak akan ketahuan, Agiriya," ujarnya. "Percayalah kepadaku!"
Agiriya terdiam sesaat. Sejenak ia tampak ragu. Namun,
akhirnya dibiarkannya juga Magra Sekta kembali menarik
tangannya untuk menyelinap keluar dari Panggrang Muara
Gunung. Ia tak bicara apa-apa lagi saat Magra Sekta menarik
dirinya memasuki hutan lebat.
Hutan yang ada di belakang Panggrang Muara Gunung
memang biasa dijadikan tempat untuk mencari buah dan ikan
bagi murid-murid Panggrang Muara Gunung. Maka itulah,
sampai memasuki ratusan tombak pun, Agiriya masih tetap
menuruti ke mana Magra Sekta membawanya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Akan tetapi, ketika mereka tampak semakin jauh dan
suasana terasa semakin gelap karena cahaya matahari
semakin lama semakin tak bisa menembusnya, Agiriya segera
menghentikan langkahnya dan menarik tangannya dari
pegangan Magra Sekta.
"Mau kau bawa ke mana aku?" ia tiba-tiba berkacak
pinggang. "Ikuti aku saja, Agiriya!"
"Tidak," suara Agiriya keras. "Ini sudah terlalu jauh."
"Kumohon," Magra Sekta menelan ludah. 'Ada sesuatu yang indah, sangat indah, yang harus kaulihat...."
Agiriya menatap wajah Magra Sekta sesaat. Hatinya
tampak menimbang-nimbang.
"Kau pasti akan menyukainya...," tambah Magra Sekta lagi.
Agiriya menatap wajah Magra Sekta dengan penuh selidik.
Namun, akhirnya ia berujar juga dengan ancaman, "Awas,
kalau ternyata ini tidak menarik!"
Lalu, sambil cemberut, ia kembali mengikuti langkah Magra
Sekta yang berjalan di depannya. Pandangannya yang menjadi
tak begitu jelas karena gelapnya hutan membuatnya beberapa
kali tersandung. Magra Sekta segera mengulurkan tangannya,
"Pegang tanganku!" ujarnya. "Aku akan membimbingmu"
Tanpa berucap apa-apa, Agiriya menerima uluran tangan
itu. Entah mengapa, tidak seperu pegangan tangan yang
pertama tadi,'kali ini ia dapat merasakan tangan Magra Sekta yang sedikit basah. Namun, ia tak berkomentar apa-apa,
selain diam. Namun, ketika disadarinya keduanya terdiam
terlalu lama, ia segera saja berdeham, "Kau akan terus hanya memegangku seperti ini atau kita akan berjalan lagi?" Ia langsung memasang muka cemberut.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Maaf, maaf," Magra Sekta tersadar. Digaruk kepalanya dengan tangannya yang lain, lalu segera ia menarik tangan
Agiriya melanjutkan perjalanan. Sebenarnya, pandangan
Magra Sekta sendiri tak lebih jelas dari pandangan Agiriya.
Beberapa kali ia tersandung. Namun, setiap kali tersandung, ia akan memberi tanda kepada Agiriya hingga Agiriya tak pernah
tersandung sekali pun.
Ternyata yang dilakukan Magra Sekta adalah membawa
Agiriya menyeberangi bukit kecil yang ada di selatan
Panggrang Muara Gunung. Tentu saja, menyadari itu, Agiriya
kembali memprotesnya. Namun, Magra Sekta segera berujar,
"Sebentar lagi, Agiriya, sebentar lagi. Kita hanya perlu melewati bukit itu saja
Agiriya mendengus. Walau akhirnya ia tetap mengikuti
Magra Sekta, tetapi sepanjang perjalanan ia terus cemberut.
Barulah setelah melewati bukit itu, sinar matahari semakin
lama terasa semakin terang. Dari balik bukit itulah, kemudian terlihat oleh keduanya sebuah tanah lapang dengan bunga
beraneka warna dan ....
"Kupu-kupu," desis Agiriya tak percaya. Magra Sekta mengangguk di sela napasnya, "Ya, kupu-kupu. Jumlahnya
banyak sekali. Mungkin ratusan atau bahkan ribuan
Agiriya melangkah perlahan menuju hamparan tanah itu.
Matanya terus memandang dengan takjub.
Magra Sekta yang mengikutinya dari belakang hanya
berucap pelan, "Semoga ini tak mengecewakanmu, sudah
berjalan sejauh ini
Agiriya menoleh ke belakang. Sebentar ia menimbang-
nimbang ucapan Magra Sekta. Secara jujur sebenarnya ia
sedikit merasa kecewa. Perjalanan tadi cukup jauh dan ia
sempat tersandung beberapa kali. Ini tentu saja membuat
kakinya sedikit sakit atau bahkan lecet. Belum lagi, ia yakin, Guru Kuya Jadran, akan mengetahui kepergian ini. Rasanya ini
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
semua tetap tak sebanding bila hanya sekadar untuk melihat
kupu-kupu, walau jumlahnya begini banyak sekalipun ....
Akan tetapi, sebelum Agiriya berucap, Magra Sekta
melangkah mendekat. "Aku ... aku pernah melihatmu berjalan dikelilingi kupu-kupu di taman di belakang Panggrang Muara
Gunung," ujarnya. "Saat itu, kau ... kau tampak begitu senang Agiriya terdiam memandang Magra Sekta. Rasanya ia
masih saja tak percaya mendengar alasan dari mulut Magra
Sekta. Namun, entah mengapa, mendengar ucapan itu saja,
sudah membuat hatinya merasa begitu nyaman.
Agiriya pun akhirnya tersenyum. "Ya, ini indah, Magra, ini indah sekaliujarnya sambil kembali menatap taman bunga itu.
Seiring dengan itu, ia segera melangkahkan kakinya lebar-
lebar ke tengah-tengah hamparan bunga itu. Aroma wangi
yang tercium olehnya serta ratusan atau bahkan ribuan kupu-
kupu yang terus beterbangan seakan menyambut dirinya ....
-ooo0dw0ooo- "Sungguh, aku tak pernah melihat yang sebanyak ini!"
teriaknya lepas kepada Magra Sekta. "Sungguh ...."
Entah berapa lama keduanya berada di situ. Agiriya sendiri
baru menyadarinya ketika semburat warna Jingga mulai
tampak samar di atas langit.
"Tampaknya kita harus kembali, Magra," ujarnya. "Kita terlalu lama pergi...."
Magra Sekta hanya melihat ke atas langit, sebelum
akhirnya mengangguk pelan.
'Ah, pastilah, guru akan sangat marah bila tahu kita pergi
terlalu lama," ujar Agiriya tanpa bermaksud mengeluh.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Lalu, keduanya segera kembali memasuki hutan tadi.
Berjalan tanpa bicara menekuri setapak yang sama seperti
saat berangkat tadi. Mereka tak tahu berapa lama berjalan.
Hanya saja, tidak seperti saat berangkat tadi yang penuh
keheningan, dalam perjalanan pulang ini suara-suara serangga menemani keduanya. Ini membuat suasana terasa lebih
mencekam. Tanpa sadar Agiriya menyentuh tangan Magra Sekta dan
tanpa menoleh Magra Sekta menggenggam tangan itu dengan
erat. Sekian lama keduanya berpegangan tangan, tanpa bicara
apa-apa dan terus melangkah.
Sampai akhirnya keduanya tiba juga di ujung hutan.
Namun, saat baru saja akan melangkahkan kaki keluar dari
hutan itu, pandangan mata keduanya langsung tertumbuk
pada asap hitam yang membumbung tinggi ke angkasa.
"Apa itu?" mata Agiriya terbelalak. Ia tahu sekali posisi asap hitam itu, tepat di mana Panggrang Muara Gunung berada.
"Sepertinya...," Agiriya tak melanjutkan kata-katanya. Tiba-tiba saja, tanpa menunggu Magra Sekta lagi, ia sudah
melompat ke depan.
"Agiriya, tunggu!" Magra Sekta segera mengikuti lompatan itu.
Keduanya kemudian berlari cepat menuju ke arah itu.
Hanya dengan lompatan-lompatan ringan beberapa kali saja,
keduanya dapat berada jauh ke depan. Di situlah, keduanya
kemudian melihat Panggrang Muara Gunung telah terbakar
hebat. Agiriya hanya bisa terpana. Matanya sempat melihat tubuh-
tubuh tergeletak tak bergerak berserakan di mana-mana. Ia
tahu betul, mereka itu adalah murid-murid Panggrang Muara
Gunung. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Agiriya dan Magra Sekta sama sekali tak tahu bahwa
beberapa saat yang lalu, sosok-sosok berpakaian hitam telah
melayang masuk dari celah bukit, dan segera mengepung
Panggrang Muara Gunung. Saat itu, Guru Kuyajadran sendiri
yang langsung menyambut kedatangan itu.
"Di mana putri Datu Muara Jambi?" seru seseorang di antaranya.
Guru Kuyajadran melirik sekelilingnya, 'Aku tak tahu."
Dan, jawaban itu langsung disambut dengan sebuah
serangan mematikan.
"Aku akan membuatmu bicara!" seru sosok itu.
Dan, pertarungan itu kemudian disusul oleh serangan
sosok-sosok berpakaian hitam itu kepada murid-murid
Panggrang Muara Gunung. Pertarungan besar sungguh tak
bisa dihindari lagi. Namun, di tengah pertarungan itu, tiba-tiba sesosok tubuh tanpa penutup wajah dan dengan jubah hitam
panjang melayang dengan gerakan ringan dan langsung
berhadapan dengan Guru Kuyajadran.
Ialah Wantra Santra!
"Sebenarnya, kau cukup mengatakan ia ada di mana!"
ujarnya dengan suara sedingin es.
Guru Kuyajadran seketika merasakan kengerian saat
melihat sosok di depannya ini. Namun, bersamaan dengan itu,
ekor matanya melihat sekelilingnya. Saat itulah ia melihat
beberapa muridnya telah terbunuh begitu saja.
"Hanya karena mencari seseorang kau membunuhi
muridku?" bentaknya marah. "Kau sungguh ... berlebihan!"
Dan, bersamaan dengan selesai ucapannya, sebuah
serangan langsung mengarah kepada Wantra Santra. Namun,
dengan mudah Wantra Santra berkelit menghindarinya. Ia
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
segera mengibas jubahnya dan mengeluarkan tiga bola baja
dari balik jubahnya.
Guru Kujajadran tak memberinya waktu. Ia turut melompat
tinggi, kembali memberi serangan kepada Wantra Santra.
Namun, tiga bola baja milik Wantra Santra telah berputar
mengelilingi tubuhnya. Hingga mau tak mau, Guru Kuyajadra
menghentikan serangannya, dan berbalik menghindar.
Akan tetapi, tiga bola baja itu seakan memburunya. Dan,
hanya dengan beberapa jurus kemudian, tiga bola baja itu
akhirnya dapat menghantam tubuh tua Guru Kuyajad-ran
hingga terpelanting....
Agiriya menelan ludah. Ia seakan bisa membayangkan
keadaan gurunya ketika itu. Tangan Agiriya tiba-tiba
mengencang. Namun, baru saja ia akan melayang maju,
tangan Magra Sekta menahannya.
"Jangan, Agiriya!" ia menarik Agiriya untuk mundur. "Aku melihat ada beberapa orang berbaju hitam di sana...."


Dendam Dan Prahara Di Bhumi Sriwijaya Karya Yudhi Herwibowo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Agiriya segera membuang pandangannya ke depan,
"Baguslah kalau begitu," matanya berkilat. "Kita bisa menghabisi mereka...."
"Sadarlah engkau!" Magra Sekta, dengan gigi yang kini bergemeretak, menarik Agiriya ke belakang dengan kasar.
"Ka... kalau Panggrang Muara Gunung bisa dibakar seperti itu, tentunya mereka telah mengalahkan Guru Kuyajadran. Me ...
mereka pastilah bukan lawan kita ...."
"Aku tak peduli!" Agiriya berusaha melepaskan pegangan Magra Sekta.
"Agiriya!" Magra Sekta membentaknya. "Ki... kita akan mati sia-sia!"
"Kalau kau takut, kau di sini saja!" Agiriya menyentak tangan Magra Sekta hingga lepas.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Dasar pengecut!" sempat ia berteriak. Akan tetapi, belum sempat Magra Sekta kembali berucap, tiba-tiba keduanya
mendengar deru angin mendekati mereka. Agiriya dan Magra
Sekta segera menyadari kehadiran beberapa orang ke arah
mereka. Magra Sekta segera saja menarik tangan Agiriya. Dengan
tumpuan batu, ia melompat ke belakang. Agiriya kali ini tak
berusaha memberontak. Ekor matanya telah melihat puluhan
sosok berbaju serba hitam melayang ke arah mereka. Terlihat
jelas, bila ilmu meringankan tubuh orang-orang itu sangatlah baik.
"Dengar!" sambil berlari, Magra Sekta berteriak di antara gemeretakan giginya. "Kalau kau ingin benar-benar
membalaskan ini, kau harus tetap hidup!"
Kali ini Agiriya tak membantah. Ia bisa memahami ucapan
Magra Sekta. Tampaknya yang dihadapinya kini bukanlah
lawan yang sebanding dengan dirinya. Ia bisa mati dengan
mudah bila tetap nekat melakukan penyerangan. Dan, bila itu
terjadi, tak akan ada lagi yang akan membalaskan kehancuran
Panggrang Muara Gunung!
Maka, bersama Magra Sekta, ia pun segera berlari kembali
ke dalam hutan.
Kali ini hutan telah tampak gelap. Ini sedikit banyak
membantu pelarian mereka. Orang-orang berpakaian hitam
itu, tak lagi bisa melayang di tempat seperti ini.
Keduanya tetap berlari semakin memasuki hutan. Namun,
bukan melalui bukit yang sebelumnya mereka datangi, tetapi
terus ke utara. Di sini, keadaan hutan tampak lebih lebat.
Pohon-pohon tumbuh tak beraturan. Beberapa kali Magra
Sekta terjatuh tersandung akar. Namun, keduanya dapat terus
kembali berlari.
Hingga tibalah mereka di sebuah sungai kecil, yang
melintang menghalangi langkah mereka.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Keduanya terdiam sesaat, membiarkan bunyi gemericik air
masuk di telinga. Sebenarnya sungai itu tak terlalu lebar.
Hanya perlu dua lompatan besar untuk bisa melewatinya.
Namun, bukan itu yang membuat keduanya terdiam.
"Ini sungai yang ... dilarang oleh guru ... untuk kita le ...
lewatisuara Magra Sekta di antara desahan napasnya,
memecah kediaman.
Agiriya mengangguk sambil menoleh ke arah Magra Sekta,
"Kita tak punya pilihan lain, Magra!" suaranya masih tampak terkontrol di sela napasnya. "Kita harus tetap
menyeberanginya!"
Lalu, tanpa berucap apa-apa lagi, Agiriya melayangkan
tubuhnya ke arah batu besar yang ada di tengah sungai. Lalu, dijadikannya batu itu sebagai tumpuan untuk melayang
kembali hingga ke seberang.
Hanya sekedipan mata, Magra Sekta sudah melihat Agiriya
telah berada di seberang. Ia pun segera menarik napas
panjang dan mulai melompat mengikuti gerakan Agiriya tadi.
Bersamaan dengan itu, keduanya melihat puluhan sosok
berpakaian hitam itu muncul dari balik pohon-pohon besar itu.
Tanpa banyak bicara, semuanya segera melompati sungai itu.
Agiriya dan Magra Sekta kembali berlari. Namun, hanya
beberapa saat berselang, keduanya tiba-tiba harus
menghentikan langkah mereka. Di depan mereka, secara tak
terduga dan sangat mengejutkan, sebuah jurang telah
menganga lebar!
Seiring itu, sosok-sosok berpakaian hitam itu sudah
melayang di dekat mereka. Tangan mereka yang membawa
sebilah pedang, sudah terangkat....
Agiriya dan Magra Sekta terjebak. Puluhan sosok
berpakaian hitam itu satu per satu mulai berderet menutupi
ruang gerak keduanya. Seseorang yang tampaknya pemimpin
pengejaran itu segera maju ke depan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kalian tak bisa ke mana-mana lagi," suaranya terdengar berat dari balik penutup wajahnya.
Agiriya tersenyum sinis. Tanpa basa-basi, dengan hanya
sekali sentak, ia sudah menyerang lelaki itu. Dalam kondisi
seperti ini ia seharusnya menyerang dengan pedangnya.
Namun, kali ini pedang yang biasanya selalu tergantung di
pinggangnya, memang tengah tak terbawa.
Maka itulah, serangannya terasa mentah. Dengan gerakan
ringan saja, sosok berpakaian hitam itu dengan mudah
menghindarinya. Tubuhnya kemudian berputar dan membuat
gerakan tak terduga bagi Agiriya.
BUUUK! Tangan keduanya berbenturan dengan hebat. Magra Sekta
dengan gerakan ragu akhirnya melompat di antara keduanya.
Namun, hanya dengan sekali sentakan, sosok itu mengibasnya
hingga tubuhnya terjengkang ke belakang.
Magra Sekta jatuh terjajar. Segera ia bangun, tetapi kali ini dua sosok berpakaian hitam lainnya segera menyerangnya,
menutup gerakannya ke arah Agiriya.
Terjadilah kemudian dua perkelahian di tepi jurang itu.
Akan tetapi, hanya beberapa saat saja Agiriya dan Magra
Sekta sudah terdesak. Agiriya masih mampu mengeluarkan
serangannya. Namun, sosok yang dihadapinya selalu dengan
mudah menghindarinya.
WUUUSH... WUUUSH....
Beberapa serangannya hanya membentur angin. Namun,
itu tak membuat Agiriya mengendurkan serangannya. Di lain
pihak, Magra Sekta telah berkali-kali jatuh terkena pukulan.
Dua lawan yang dihadapinya jelas bukanlah lawan sebanding
dengannya. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sementara itu, sosok yang kini berhadapan dengan Agiriya
kembali mencoba membuka serangannya. Namun,
Agiriya pun tampaknya dapat selalu menghindar dengan
mudah. Bahkan, ia kembali dapat melakukan serangan
balasan. "Ternyata kemampuanmu cukup istimewa," sosok itu
berucap. Namun, hanya sekedipan mata kemudian, sebuah
serangan kembali terarah kepadanya.
Sosok itu terpaksa menahannya dengan tangannya.
BHUUUKH! Sebuah benturan keras terjadi. Posisi Agiriya yang tengah
melakukan serangan sambil membawa tubuhnya, membuat
tubuhnya ikut terpelanting ke belakang.
"Aaaah...."
Agiriya dapat mendarat tepat di pinggir jurang. Namun,
tanah yang terinjak kakinya tiba-tiba ambrol dan membuat
kakinya tergelincir dan tubuhnya limbung ....
Kejadiannya begitu cepat. Agiriya benar-benar tak bisa lagi
menahan tubuhnya. Ia pun terjatuh ke dalam jurang itu ....
Magra Sekta yang melihat itu, segera saja memaksakan
dirinya untuk melompat ke arah itu sambil berusaha
menggapai tubuh Agiriya.
"AGIRIYAAA!" ia berteriak panjang. Namun, gerakannya sudah sangat terlambat. Walau separuh tubuhnya telah ada di
bibir jurang sekalipun, tubuh Agiriya tak lagi bisa terjangkau.
"AGIRIYAAA!" Magra Sekta tergugu. Ia hanya bisa "melihat wajah Agiriya sesaat, seiring tubuhnya yang terus meluncur ke bawah.
Lalu, belum sempat Magra Sekta melakukan apa-apa lagi,
sebuah tendangan tiba-tiba sudah membuatnya terhempas.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Disusul seseorang yang melayangkan pedangnya dan
membabat perutnya!
-ooo0dw0ooo- 20 Panglima Samudra Ketiga Belas
Kepulangan Kara Baday membawa kemenangan.
Saat empat sambau-nya merapat di dermaga Muara Ma-
nan, dari tepi pantai orang-orang sudah berkumpul
menyambutnya dengan gembira.
Kara Baday, Paman Kumbijata, dan semua anak buahnya
yang lain hanya menatap kerumunan itu dengan tak percaya.
"Apakah mereka menyambut kita?" gumam Kara Baday
masih tampak sangsi.
Paman Kumbijata mengangguk dengan gerakan ragu.
"Lalu, dari mana mereka tahu kita sudah berhasil
mengalahkan semuanya?" Kara Baday menoleh dengan heran.
Paman Kumbijata menggeleng lemah, "Entahlah, bukankah
kita yang seharusnya menyampaikan berita ini?"
Kara Baday terdiam.
"Mungkin para pedagang yang menggunakan jalur darat
yang menceritakan ini," Paman Kumbi Jata menduga-duga.
"Atau mungkin merpati-merpati dari Datu Singkep yang
mengabarkannya Kara Baday mengangguk-angguk sambil terus tersenyum.
"Ya, itu mungkin saja," ujarnya. "Namun, bisa juga angin,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Paman, yang mengabarkannya. Bukankah angin yang selalu
mengabarkan berita-berita gembira?"
Paman Kumbi Jata tertawa mendengar perumpamaan itu.
Kemudian, mereka tak lagi bicara, selain mengamati kehiruk-
pikukan yang begitu terasa.
Diam-diam hati Kara Baday bergetar juga. Ini sama seperti
biasanya saat mereka pulang ke Pulau Karang itu. Para
perempuan, istri, dan anak-anak, ataupun kerabat anak
buahnya, selalu menyambut mereka seperti ini. Bahkan,
bocah-bocah kecil yang selalu berlari ke sana kemari akan
segera menghampiri dirinya untuk minta diceritakan
perjalanan kali ini. Sungguh, suasananya hampir sama seperti itu. Namun kali ini tampaknya lebih melibatkan banyak orang
dan membuat perasaannya... terasa lebih gembira dari
biasanya! "Kita gumam Paman Kumbi Jata nyaris tak terdengar, "kita menjadi pahlawan, Kara.."
-ooo0dw0ooo- Kara Baday menyodorkan sebuah keranjang besar ke arah
Panglima Samudra Jara Sinya.
"Ini untuk Panglima," ujarnya tanpa bisa menutupi rasa bangganya. "Ini adalah kepala pemimpin Bajak Laut Pande Wayu. Aku sendiri yang memenggalnya!"
Sambil menyentuh jenggotnya, Panglima Samudra Jara
Sinya tersenyum. "Kau tak perlu seperti itu, Kara," ujarnya.
Kara Baday tersenyum, "Aku harus melakukannya."
Panglima Samudra Jara Sinya kembali tersenyum. Tanpa
melihatnya terlebih dahulu, ia sudah menyuruh anak buahnya
untuk menyingkirkan keranjang yang mulai berbau busuk itu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ia kemudian menatap Kara Baday lekat-lekat. "Sekarang
ceritakan kepadaku," ujarnya, "bagaimana kau menaklukkan Bajak Laut Pande Wayu!"
Kara Baday menarik napas panjang Ia kemudian mulai
menceritakan dari awal perjalanannya. Dimulai saat ia
menghancurkan empat kelompok bajak laut kecil, sampai
ketika ia menyusun strategi untuk memancing Bajak Laut
Pande Wayu muncul. Saat itu ia menyuruh beberapa anak
buahnya untuk membawa empat sambau-nya. pergi jauh-jauh
dari Pantai Barat. Lalu, dengan bantuan Dapunta Kangga Kiya, ia bisa meminjam perahu Gujarat dan menggantikan seluruh
awaknya dengan pasukannya. Agar jumlahnya tak terlihat
mencolok, ia kemudian memasukkan pasukannya ke dalam
kotak-kotak barang yang akan dibawa pedagang Gujarat
tersebut. Tak hanya sampai di situ, ia juga menyebarkan tak
kurang dari lima puluh anggota pasukannya ke dalam perahu-
perahu kecil nelayan di sekitar perairan itu. Barulah setelah itu semua, hanya dengan bersenjatakan panah, tanpa satu pun
korban, ia berhasil menaklukkan gerombolan bajak laut itu. Ia yang saat itu berada di salah satu perahu nelayan, kemudian
melompat sendiri ke arah perahu Pandc Wayu untuk
berhadapan secara langsung dan mengakhiri penaklukan itu....
Panglima Samudra Jara Sinya hanya bisa memandang
kagum kepada Kara Baday. Tak henti-hentinya ia
menggelengkan kepalanya tak percaya. "Kau luar biasa," ia memuji. "Walau ini adalah serangan pertamamu, tetapi ini tampak seperti dilakukan oleh pasukan-pasukan Sriwijaya
yang telah lama mengabdi. Sungguh, ini luar biasa, Kara
Kara Baday hanya bisa tersenyum senang.
Lalu, tak lama kemudian Panglima Samudra Jara Sinya tiba-
tiba bangkit dari duduknya dan menghampiri Kara Baday yang
masih bersila di depannya.
"Menunduklah, Kara," ujar Panglima Samudra Jara Sinya
"Seperti janjiku kepadamu, kau telah berhasil menghancurkan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
para bajak laut di Pantai Barat. Maka, hari ini, kutunjuk kau, Kara Baday, putra dari Dapunta Abdibawa-sepa sebagai
Panglima Muda Sriwijaya
-ooo0dw0ooo- Kehidupan memang memiliki jalannya sendiri. Kadang
berliku, terjal, tetapi kerap tak pernah terduga.
Siapa yang dapat mengira, Kara Baday dan anak buahnya
yang selama ini dikenal dengan nama Bajak Laut
Semenanjung Karang, kini menjadi bagian dari Kerajaan
Sriwijaya yang dulu begitu bernafsu untuk menangkapnya"
Kehadirannya menjadi Panglima Muda Sriwijaya tentunya
cukup mengejutkan banyak orang. Terutama dalam jajaran
pasukan Sriwijaya sendiri. Beberapa di antaranya bahkan,
walau tak secara terang-terangan, menunjukkan
ketidaksukaan pada pengangkatan itu. Karena bagaimana
mungkin orang yang telah menghancurkan beberapa sambau
Sriwijaya sebelumnya, dan membunuh puluhan pasukan
Sriwijaya, terutama Panglima Muda Sru Suja yang diramalkan
menjadi panglima besar Sriwijaya, kini menjadi bagian dari
pasukan Sriwijaya itu sendiri"
Sungguh, ini tampak tak masuk akal. Namun, siapa yang
berani menggugat keputusan itu" Bukankah itu sama artinya
dengan menentang Panglima Samudra Jara Sinya"
Kara Baday menyadari itu. Ia tahu posisinya tak cukup
diterima. Saat melakukan pelatihan bagi anak buahnya di
Muara Manan, beberapa panglima muda secara terang-
terangan menunjukkan ketidaksukaan kepada dirinya dan
anak buahnya. "Mereka tak menganggap kita," ujarnya kepada Paman Kumbi Jata.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Paman Kumbi Jata hanya menepuk punggungnya. "Wajar
bila mereka bersikap begitu kepada kita. Bukankah dulu kita
sudah melakukan hal yang tak menyenangkan kepada
mereka?" ia tersenyum menenteramkan. "Sekarang tugas kita hanyalah melakukan semua perintah dengan baik. Semoga
waktu yang nanti akan melunakkan mereka ...."
Kara Baday tak bereaksi.
"Namun, sekarang ini kita hanya bisa diam menerima
perlakuan mereka," ujar Paman Kumbi Jata lagi. "Latihan ini pastinya akan berlangsung lama. Kalau engkau perlu
menenangkan pikiranmu, agar nanti kau bisa sepenuhnya
mengabdi di sini, kupikir Panglima Samudra Jara Sinya pasti
akan memberimu izin untuk pergi beberapa saat. Apalagi kau


Dendam Dan Prahara Di Bhumi Sriwijaya Karya Yudhi Herwibowo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tentunya sudah ... merindukan Pulau Karang kita, bukan?"
Kara Baday menoleh. Sedikit senyumnya muncul. Bayangan
Aulan Rema secara tiba-tiba muncul di pelupuk matanya.
"Namun,...."
"Aku yang akan mengurus pelatihan ini," ujar Paman Kumbi Jata. "Tetapi, syaratnya, kau harus menyampaikan salam kami kepada semua yang ada di sana ...."
Kara Baday tersenyum. Tentu saja itu syarat yang mudah.
Maka itulah, setelah mendapat izin dari Panglima Samudra
Jara Sinya, hanya beberapa hari berselang, dengan
menggunakan perahu lamanya, ia bersama dengan empat
anak buahnya segera mendatangi kembali Pulau Karang.
Sejak memasuki celah Pulau Karang itu, Aulan Rema sudah
melihatnya. Ia langsung berlari menyambut kedatangannya
sambil tak henti-hentinya tersenyum. Perempuan-perempuan
yang lain beserta anak-anak juga melakukan hal yang sama.
Mereka segera mengerubungi Kara Baday ketika pemuda itu
turun dari perahunya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kakak, Kakak ceritakan kepada kamianak-anak kecil itu
menarik-narik tangan Kara Baday. Namun, kali ini, sebelum
Kara Baday menjawab permintaan itu, para wanita yang ada
di situ segera menyuruh bocah-bocah itu pergi. Tampaknya
mereka sendiri ingin menanyakan kabar para suami mereka....
"Apa semua baik-baik saja, Kara?" istri Paman Kumbi Jata menyeruak di antara kerumunan itu.
"Tentu saja mereka semua baik-baik saja," ujar Kara Baday dengan nada riang. "Bahkan, tak ada yang terluka sedikit pun."
Suara Kara Baday yang terdengar ringan, benar-benar
membawa kelegaan.
"Tetapi," tambahnya, "mereka memang tak bisa pulang kemari karena harus melakukan banyak latihan
"Tetapi, mengapa Kakak bisa pulang?" Aulan Rema yang ada di antara kerumunan itu bertanya dengan heran.
Kara Baday tertawa, "Bukankah harus ada seseorang yang
mengabarkan berita ini?"
Akan tetapi, istri Paman Kumbi Jata segera saja menyentuh
hidung Aulan Rema dengan telunjuknya, "Kau ini, mengapa harus bertanya lagi?" ujarnya. "Ia tentu saja ingin bertemu denganmu, Aulan
Aulan Rema langsung tersenyum senang. Pipinya
mendadak merona merah. Namun, Kara Baday yang hanya
bisa tertawa, buru-buru menambahkan, "Haha, Bibi ini ada-ada saja. Aku memang harus mengabarkan berita ini, Bi.
Karena mungkin, akan lama bagi kami semua untuk bisa
pulang kemari lagi...."
Aulan Rema cemberut. "Huh, mengapa tak mengatakan iya
saja?" ia mencibir. 'Apa salahnya Kakak sedikit menyenangkan aku?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kara Baday tersenyum dan mengacak rambut Aulan Rema.
Semuanya awalnya bersama-sama melangkah ke arah
rumah Kara Baday. Namun, seakan ada yang memerintah,
satu per satu orang-orang dalam kerumunan itu menepi,
meninggalkan Kara Baday dan Aulan Rema. Hingga akhirnya,
hanya tinggal mereka berdua saja yang berdiri di ambang
rumah itu. Kara Baday menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Ke mana semua orang?" tanyanya heran.
Dan, Aulan Rema hanya mengangkat bahunya.
Keduanya lalu memasuki rumah itu. Tak langsung
melangkah ke dalam, hanya berdiri di ambang pintu. Di situ,
Kara Baday menyapukan pandangannya.
Keadaannya masih seperti saat ditinggalkan. Namun,
tampak lebih rapi dan tertata ....
"Engkau... yang membersihkannya?" Kara Baday berpaling kepada Aulan Rema.
"Ya, kalau bukan aku, siapa lagi?" Aulan Rema mencibir.
Kara Baday tersenyum. Kembali diacaknya rambut Aulan
Rema. "Tetapi, tak ada makanan," ujar Aulan Rema lagi. "Kakak harus menunggu aku memasaknya
"Tidak usah," ujar Kara Baday cepat. 'Aku belum lapar.
Apalagi aku hanya ingin bicara saja denganmu ...." Aulan Rema tersenyum, "Bicara apa?" Kara Baday menarik napas panjang. Entah mengapa, sejak ada di Bhumi Sriwijaya, ia
kerap berpikir tentang percakapannya yang terputus dengan
Aulan Rema ketika itu. Ia masih ingat ekspresi wajah Aulan
Rema yang tampak begitu sedih sebelum Paman Kumbi Jata
berteriak memanggilnya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Tentang pembicaraan kita yang terputus tempo hari,"
ujarnya kemudian.
Aulan Rema menoleh, "Pembicaraan yang mana?" "Tentang ayuk-mu" ujar Kara Baday. "Saat itu, aku bercerita bertemu dengan orang yang mirip dengan PhriJan-di di Pantai Timur
Aulan Rema berujar, "Oooh, itu ...." Kara Baday
melanjutkan, "Sebenarnya, saat itu aku hanya bercerita saja.
Tak ada maksud lainnya ...."
'Aku tahu," Aulan Rema mengangguk. "Lalu, mengapa
harus dibicarakan lagi sekarang" Sungguh, aku tak
memikirkannya lagi...."
Kara Baday terdiam sesaat.
"Sudahlah, Kakak Kara," ujar Aulan Rema lagi. "Kau tak harus menceritakan itu kepadaku. Sebenarnya, Kakak berhak
untuk terus mengingat Ayuk Phrijandi. Sungguh...." Aulan Rema berusaha tersenyum. Kara Baday hanya bisa menatap
Aulan Rema dengan tak percaya. Ucapan gadis ini sedikit
membuatnya bingung. Sebenarnya, ia masih ingin
mengatakan bahwa saat itu ia memang mengingat Phrijandi,
tetapi hanya saat itu saja, waktu itu saja, dan hari itu saja. Di waktu lainnya, ia hampir tak pernah lagi mengingat sosok itu lagi. Hanya wajah gadis di depannya inilah yang, entah
mengapa, kini begitu kerap diingatnya ....
Akan tetapi, Kara Baday hanya bisa terdiam. "Sudahlah,
Kakak, tak usah dipikirkan lagi!" Aulan Rema menarik tangan Kara Baday. "Kalau Kakak tidak lelah, kita ke tebing itu, yuk!"
Kara Baday hanya mengangguk. Lalu, segera Aulan Rema
menarik tangannya untuk berlari kecil menuju bukit di
belakang Pulau Karang ini.
Sambil terus berlari kecil, Aulan Rema menoleh, "Terakhir yang kuingat, Kakak malas-malasan kemari!" "Benarkah?"
Kara Baday berlagak mengingat. Aulan Rema hanya mencibir.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tak lama kemudian keduanya tiba juga di tebing itu. Sesaat
dibiarkan tubuh keduanya di sapu angin, mengibarkan rambut
mereka. Seiring itu, aroma harum menyusup rongga hidung
keduanya. "Saat itu mungkin belum begitu terasa, tetapi sekarang
Kakak bisa merasakan aromanya, bukan?" Aulan Rema
menoleh. "Aroma bunga-bunga itu?" tanya Kara Baday.
Aulan Rema mengangguk.
"Ya, kali ini sangat terasa," jawab Kara Baday.
Aulan Rema menarik napas dalam-dalam. 'Ah, aku begitu
suka di sini," ujarnya. "Apalagi... bila bersama Kakak....."
Kara Baday tersenyum, mencoba ikut menarik napasnya
dalam-dalam. "Dulu, apa Kakak ingat," tanya Aulan Rema lagi. "Pertama kalinya kita ke sini, Kakak yang menuntunku dari bawah
sana?" "Ya, aku ingat," ujar Kara Baday. "Ketika itu kau ... masih begitu kecil
Aulan Rema cemberut. "Tidak begitu kecil," protesnya.
Kara Baday tertawa, "Hahaha, ya, ya, tidak begitu kecil."
Aulan Rema tersenyum lagi, "Lalu, suatu kali, waktu kakiku terkena karang, Kakak Kara juga yang membopongku ke sini
Kara Baday mengangguk.
"Ya, aku ingat, aku ingat," ujar Kara Baday. "Saat itu, ternyata kau ... ehem berat juga
Aulan Rema mencibir, "Itu karena Kakak belum sekuat
sekarang!"
Keduanya tertawa.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Lalu, Aulan Rema duduk di salah satu batu. "Ternyata baru kusadari, kalau semua hal yang terjadi kepadaku untuk
pertama kali, selalu kulalui bersama Kakak...," Aulan Rema menoleh, menatap kepada Kara Baday yang masih berdiri di
sebelahnya. "Kakak yang pertama kali menggandeng tanganku Kakak
yang pertama kali menghentikan tangisankuKakak yang
pertama kali membopong aku Kakak juga yang pertama kali
memeluk aku ...," Aulan Rema terus menatap Kara Baday
dengan tersenyum. "Semuanya... selalu bersama Kakak
Sesaat Kara Baday terdiam, tetapi ia kemudian mencoba
untuk tersenyum, "Itu karena tak ada laki-laki lain yang semuda aku
Aulan Rema mengangguk, "Ya, mungkin saja," ujarnya pelan. "Tetapi aku ... senang bisa terus seperti itu
Kara Baday tertegun. Kali ini ia tak berucap apa-apa lagi. Ia hanya bisa menatap mata bening di depannya itu lekat-lekat.-
Tak bisa lagi dimungkirinya kalau gadis di depannya ini bukan lagi gadis kecil yang selalu diperlakukan seperti adiknya. Dulu secarajujur, ia kerap melihat kesamaan wajah gadis kecil ini dengan Phrijandi. Awalnya semakin lekat ia memandangnya,
ia akan semakin teringat Phrijandi. Namun, seiring berjalannya waktu, ia mulai merasakan perbedaan itu sedikit demi sedikit.
Hingga akhirnya menatap gadis ini tak lagi membuatnya
mengingat kekasihnya yang terdahulu.
Sungguh, kini Kara Baday dapat melihat kejelitaan yang
berbeda pada diri Aulan Rema .... +
Sampai ketika ia harus kembali ke pusat Kedatuan
Sriwijaya, Aulan Rema terus menemaninya hingga ke
dermaga. Beberapa perempuan yang awalnya berjalan
mengiringi satu per satu mulai menepi seperti kejadian saat
kedatangan Kara Baday. Mereka seakan memang memberi
waktu kepada keduanya untuk berdua.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sejenak keduanya kembali bertatapan.
"Kakak lebih pendiam dari biasanya," ujar Aulan Rema sambil tersenyum.
"Begitukah?" Kara menggaruk kepalanya yang tak gatal.
"Semoga bukan karena aku yang terlalu cerewet," ujar Aulan Rema lagi.
Kara Baday tersenyum. Sebenarnya, ia ingin membalas
dengan celetukan seperti biasanya. Namun, entah mengapa ia
urung melakukannya. Tiba-tiba rasanya ada sesuatu yang
lebih penting untuk diucapkannya. Sebuah kalimat yang sejak
tadi begitu dipikirkannya. Namun, entah mengapa bibirnya
terlalu kelu untuk berucap.
"Segera kembali pulang, ya," ujar Aulan Rema lagi. Lalu, tiba-tiba sudah diserahkan sesuatu ke tangan Kara Baday. "Ini kalung yang Kakak berikan waktu itu," ujarnya. "Hari ini aku menganggap Kakak belum memberikannya kepadaku
sehingga nanti di kepulangan Kakak selanjutnya, bawakan lagi kalung ini kepadaku"
Kara Baday terdiam sambil memandangi bergantian kalung
kerang di tangannya dan wajah Aulan Rema.
"Tentu esok akan kubawa lagi kalung ini, Aulan, tentu,"
ujarnya kemudian. Namun, karena suaranya yang tak terlalu
keras tertelan oleh deburan ombak, Aulan Rema seakan tak
mendengarnya. Akan tetapi, belum sempat Aulan Rema kembali bertanya,
Kara Baday sudah membalikkan tubuhnya dan melompat ke
dalam perahunya.
Dan, Aulan Rema hanya bisa melambaikan tangannya
perlahan .... Ini seperti selembar bulu .... Angin akan memainkannya
sepanjang waktu. Meliuk-liukkan dalam gemulainya. Terus dan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
terus seperti itu. Dan, selembar bulu itu akan membiarkannya, tanpa menolak, sepanjang waktunya hingga tangan seorang
anak kecil akan menggapainya dari angkasa. Saat itulah ia
baru akan merasakan kelelahannya dan menyadari bila waktu
telah begitu lama berputar ....
Di sudut sebuah rumah yang ada di tepi danau yang terus
berkilau Tunggasamudra tengah berdiri diam dengan kuda-
kudanya yang kukuh. Matanya tertutup memusatkan
konsentrasinya dengan desiran angin yang kencang. Tak ada
yang membantah, angin yang kencang akan menuntut
seseorang lebih berkonsentrasi. Angin yang kencang juga
sedikit banyak akan mengaburkan energi-energi yang coba
dialirkan ke tubuh sehingga untuk itu akan dibutuhkan usaha
yang lebih keras lagi.
Di sisi yang lain, setelah mengganti tuilian atau sajak
berpasangan dalam bahasa Tionghoa, yang telah tampak
rusak, Biksu Wang menusukkan dupa doanya pada hiolou1
atau tempat menancapkan dupa yang biasanya terbuat dari
timah. Setelah itu, ia pun mulai terpekur dengan doanya ....
-ooo0dw0ooo- 21 Pewaris Tiga gedang, Airan Dua
gedang Terpujilah Sang Bhagava, Yang Mahsuci yang telah
mencapai Penerangan Sempurna ....
Setiap hari, memang telah menjadi rutinitas baginya dan
Tunggasamudra untuk melakukan hal ini. Ia merapal doa dan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tunggasamudra berlatih. Tempatnya yang terpencil dari datu-
datu lainnya membuatnya merasa tak terganggu. Namun,
walau terpencil, untuk mencapai keramaian, ia tak perlu
terlalu jauh pergi. Di sebelah utara kediamannya, ada empat
datu kecil dan satu datu yang mengelilinginya.
Itulah mengapa Biksu Wang begitu menyukai tempat ini.
Setiap hari, ia akan menemani Tunggasamudra dengan
rapalan-rapalan doanya. Seperti hari ini, sejak tadi, dari saat matahari menerobos daun-daun pohon asem, ia mengamati
Tunggasamudra. Kini tubuh Tunggasamudra sudah sangat
kekar. Badannya yang selalu tak tertutup, secara langsung
menampakkan otot-otot yang padat.
Beberapa tahun tinggal di rumah di tepi danau ini, Biksu
Wang memang telah menggemblengnya dengan semua jurus-
jurus yang dikuasainya, terutama ilmu Pedang Membelah
Gunung. Ilmu yang terdiri dari sembilan puluh sembilan jurus ini
merupakan ilmu yang cukup rumit. Tak semua orang dapat
menguasainya dengan baik. Di ilmu ini setiap jurusnya
mengandung berbagai unsur, dari kekuatan tenaga dalam
hingga keluwesan gerak untuk membentuk gerakan-gerakan
mistis yang tak terduga.
Untunglah Tunggasamudra dapat menguasai semua itu
dengan baik. Walau belum matang, ia sudah dapat
memainkannya secara utuh. Tinggal waktu yang nantinya
akan mematangkan kemampuannya itu.
Kini, di saat matahari mulai menepi, bertepatan dengan
hari kedatangan Sri Maharaja Balaputradewa di Telaga Batu,
Tunggasamudra telah kembali menyempurnakan jurus-
jurusnya. "Cukup, Tungga, cukup!" suara Biksu Wang menyuruhnya berhenti. Kini suaranya terdengar lebih serak.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tunggasamudra melepaskan napasnya perlahan. Matanya
kemudian membuka. Keringat membasahi seluruh tubuhnya.
'Ah, kupikir ini sudah malam," ujarnya.
Biksu Wang tersenyum, "Tidak, tidak. Sejak tadi, aku sudah bisa merasakan seluruh energi ada di seluruh tubuhmu
"Benarkah, Biksu?" Tunggasamudra mendekati Biksu Wang sambil membasuh keringatnya.
Biksu Wang hanya mengangguk.
"Sekarang, buatkaniah aku makan," ujar Biksu Wang.
"Entah mengapa akhir-akhir ini aku selalu cepat lapar
Tunggasamudra tersenyum, "Cepat lapar atau... karena
masakanku sekarang terasa semakin enak, Biksu?"
Biksu Wang tertawa lepas.
-ooo0dw0ooo- Malamnya, seperti biasa, selalu menjadi malam yang
hening di tepian danau ini____
Kelelahan membuat Tunggasamudra segera tertidur di atas
pembaringannya yang dibuatnya dari rumput-rumput kering
yang ditutup kain. Entah berapa lama ia tertidur. Namun,
perasaannya yang terlatih tiba-tiba menangkap sesuatu.
Matanya seketika terbuka dan, seiring dengan itu, angin
kencang tiba-tiba menerpa ke arahnya, bersamaan dengan
kilatan pedang mengarah lehernya. Dengan satu entakan,
Tunggasamudra segera melempar tubuhnya ke samping. Lalu,
dengan tumpuan dinding bambu rumahnya, ia segera
melenting ke atas.


Dendam Dan Prahara Di Bhumi Sriwijaya Karya Yudhi Herwibowo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Siapa kau?" Tunggasamudra berteriak. Sesaat ia berpikir tentang Biksu Wang yang ada di ruangan sebelah, tetapi itu
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tak lama. Penyerang berpakaian serba hitam itu sudah
kembali melompat ke arahnya sambil mengayunkan pedang.
Dengan gerakan ringan Tunggasamudra kembali melompat,
menerobos jendela yang ada tak jauh darinya. Ia terus
menduga-duga siapa orang yang menyerangnya ini"
Perampokkah" Atau____
Akan tetapi, serangan sosok berbaju hitam itu seakan tak
memberi kesempatan sedikit pun kepada Tunggasamudra
untuk berpikir. Secepat kilat ia mengikuti gerakan
Tunggasamudra keluar dari jendela, dengan pedang yang
terus berkelebat.
Beberapa kali serangannya menyambar ke arah leher
Tunggasamudra. Gerakannya sama sekali tak bisa dianggap
remeh. Untuk sesaat Tunggasamudra merasa kesulitan. Ia
terus berusaha menghindar dan melompat mundur.
Tiba-tiba ia teringat dengan sepasang pedang kayu yang
biasa dipakainya untuk berlatih. Namun, kedua pedang kayu
itu ada di ruangan utama, tak mungkin ia mengambilnya.
Apalagi, serangan sosok berbaju hitam itu sama sekali tak
memberinya celah untuk menghindar jauh-jauh.
Untunglah ekor matanya kemudian melihat sebuah tongkat
yang biasa dipakai Biksu Wang untuk berjalan. Dengan satu
gerakan tipuan, ia segera melayang ke arah itu.
Sosok berbaju hitam itu berusaha menghalangi, tetapi
dengan gerakan bergulung, Tunggasamudra berhasil meraih
tongkat kayu itu. Bersamaan dengan itu sambaran pedang
lawan mengarah ke lehernya. TRAAAKK!
Tunggasamudra segera menahannya. Benturan dahsyat
antara tongkat dan pedang tak bisa dihindari. Seharusnya,
tongkat itu patah, tetapi ternyata Tunggasamudra menahan
tenaganya dan mengikuti arah gerak sambaran pedang itu. Ia
tahu dengan memaksa tenaganya, tongkat di tangannya akan
segera patah! Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sosok berbaju hitam itu kembali melakukan serangan.
Gerakan langkahnya terasa aneh. Namun, Tunggasamudra
melihat sesuatu dari gerakan itu ....
Serangan lawan kembali berkelebat ke arah
Tunggasamudra, menuju dadanya. Ia segera melangkah
mundur sambil membuat gerakan meliuk. Satu serangan bisa
kembali dihindarinya, tetapi serangan itu tak berhenti sampai di situ. Lelaki berbaju hitam itu terus melayang mengikuti ke mana dirinya menghindar. Mau tak mau Tunggasamudra
harus menahannya dengan jurus-jurus Pedang Membelah
Gunung..... Ia segera saja membuat gerakan mistis, meliukkan tongkat
kayu itu ke arah tenggorokkan lawan. Seharusnya serangan ini akan sangat dahsyat bila dilakukan dengan dua pedang, tetapi hanya dengan sebatang tongkat pun, sosok berbaju hitam itu
tampak tertekan. Bahkan, pada satu kesempatan, ia sampai
membuang tubuhnya menjauh.
Tunggasamudra kembali melanjutkan serangannya. Sosok
berbaju hitam itu mencoba menahannya dengan gerakan
memutar, seakan bisa menebak gerakan Tunggasamudra.
Lalu, di waktu yang sangat tepat, ia meluncurkan pedangnya
ke arah jantung Tunggasamudra.
TRAK! TRAAAK! TRAAAAAK! Tunggasamudra berusaha menahannya sambil terus
melangkah mundur. Sempat dilihatnya tongkatnya mulai
tergores cukup dalam. Sebentar lagi tongkat ini akan patah ....
Tunggasamudra pun segera memainkan kembali jurus-
jurus Pedang Membelah Gunung. Dengan bertumpu pada
sebuah batu, ia melentingkan tubuhnya menjauh, dengan
putaran yang mengarah kepada sosok berbaju hitam itu____
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kini tongkat di tangannya menyerang tepat ke arah leher
sosok berbaju hitam itu. Tentu saja gerakan tak terduga ini
begitu mengejutkan. Lelaki berbaju hitam itu segera mencoba
menahannya dengan sebuah gerakan berputar. Gerakan itu,
sungguh, persis seperti gerakan yang dilakukan
Tunggasamudra sebelumnya.
Tiba-tiba Tunggasamudra tersadar. Ia tersenyum tipis.
Namun, ia sama sekali tak menghentikan gerakannya. Dengan
satu gerakan mengibas ke tanah, ia segera mengarahkan
tongkatnya kepada sosok berbaju hitam itu. Namun, ia tak
langsung menusukkan ke depan, ia malah berbalik berputar
sambil kakinya mengibas pada tanah, membuat butir-butir
tanah itu beterbangan.
Mau tak mau, gerakan ini membuat sosok berbaju hitam itu
melompat ke atas, menghindari serpihan tanah itu. Dan, saat
itulah, Tunggasamudra berputar bagai gasing sambil menukik
mengikutinya. Serangannya begitu mendadak, penuh tenaga,
dan sama sekali tak terkira, terus menghunjam ke wajah sang
penyerang .... Ini merupakan jurus Pedang Membelah Gunung tingkat
akhir yang sangat mematikan, di mana pedang di tangan
seakan-akan menjadi berbayang dan langsung mengarah pada
kepala lawan. Lelaki berpakaian hitam itu terkejut. Ia
berusaha menahan, tetapi gerakannya telah terlambat!
Kayu itu meluncur bagai kilat ke arah kepalanya. Namun,
sebelum kayu itu benar-benar menghajar kepalanya,
Tunggasamudra mengganti gerakan menusuknya, dengan
memutar tusukannya ke samping. Saat itulah sosok berbaju
hitam itu, mengibaskan pedangnya ....
TRAAAK! Dan, kayu di tangan Tunggasamudra pun terbagi menjadi
dua. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Seiring dengan itu, Tunggasamudra segera melompat
mundur. Ia tiba-tiba sudah berlutut di hadapan sosok berbaju hitam itu.
"Biksu, kau tak apa-apa?" tanyanya.
Sosok berbaju hitam itu seketika tertawa. Suaranya
bergema di tanah sepi ini. Ia segera melepas kain hitam di
wajahnya, "Hahaha, kau bisa menebak juga rupanya?"
Tunggasamudra mengangguk, "Biksu sempat melakukan
gerakan yang sama," ujarnya
Biksu Wang kembali tertawa, "Hahaha, aku seharusnya bisa menahan untuk tak melakukan gerakan itu ...."
Biksu Wang kemudian mendekat kepada Tunggasamudra.
Dengan gerakan perlahan dibimbingnya Tunggasamudra
berdiri. "Kau masih begitu muda, tetapi kemampuanmu benar-
benar maju dengan pesat," ujarnya dengan tatapan tak
percaya. "Sungguh, tenaga dan jurus-jurus yang kaugunakan sudah begitu sempurna
Tunggasamudra kembali membungkukkan badannya,
"Semuanya berkat bimbingan, Biksu
Biksu Wang menggeleng-gelengkan kepalanya dengan
gerakan pelan. "Tidak sepenuhnya karena aku, Tungga,"
ujarnya. "Namun, dirimulah yang mampu menggali apa yang ada pada dirimu sendiri
Lalu, masih di penggalan malam itu juga, Biksu Wang
mengajak Tunggasamudra ke dalam ruangannya. Di situ
digesernya meja tempat biasanya ia meletakkan wadah dupa.
Lalu, diangkatnya kayu panjang yang menutupi lantai.
Tunggasamudra hanya mengamatinya dengan tak
mengerti. Terutama saat Biksu Wang mulai mengeluarkan
kotak panjang dari bawah celah kayu itu ....
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sambil membawa kotak itu di depannya, Biksu Wang duduk
di tempat biasanya ia melakukan meditasi.
"Kemarilah kau, Tungga" ujar Biksu Wang meminta
Tunggasamudra mendekat.
Perlahan Tunggasamudra mendekat. Entah mengapa tiba-
tiba jantungnya mulai berdegup lebih kencang dari biasanya,
terutama saat tangan Biksu Wang secara perlahan membuka
kotak itu .... Seiring dengan itu angin tiba-tiba terasa berdesir lebih
kuat, menerbangkan debu dan juga beberapa helai rambut
Tunggasamudra. Di situlah Tunggasamudra melihat tiga buah pedang
tersimpan rapi.
Pedang itu berbentuk berbeda dari pedang-pedang yang
biasa digunakan pendekar-pendekar di sini. Bentuknya lebih
panjang, lebih pipih, dan juga ukiran pegangannya lebih
indah. "Ini pedang dari tanahku," ujar Biksu Wang mengangkat satu di antaranya. "Aku mewarisinya dari guruku."
"Akan tetapimengapa jumlahnya tiga?" Tunggasamudra tak mengerti.
"Aku mewarisi dua pedang yang panjang ini," Biksu Wang menunjukkan dua pedang yang tampak sama. "Dan, yang ini
...," ia menghentikan ucapannya sebentar, "merupakan milik sumoy'-ku..."
"SumoyV kening Tunggasamudra berkerut.
'Adik seperguruan perempuanku," Biksu Wang mengangkat
pedang yang berukuran lebih pendek. "Seharusnya, pedang ini sepasang, tetapi satu bilah yang lain... telah hilang...."
Tunggasamudra terdiam. Sedikit ia merasakan getaran
yang dalam pada kata hilang yang diucapkan Biksu Wang tadi.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Maka itulah, ia pun membiarkan Biksu Wang terdiam sejenak,
menerawangkan pandangannya pada pedang di tangannya ....
Ia tak tahu di dalam diamnya, Biksu Wang mengingat
kejadian yang sudah puluhan tahun terjadi kepadanya. Ia
teringat saat sumoy-nya (adik seperguruan bahasa cina)
terluka dalam sebuah pertarungan. Pedangnya saat itu
terjatuh dan seorang lawan kemudian berhasil merebut dan
menusukkannya tepat di perutnya ....
Itu adalah saat terkelam dari hidupnya ....
Mereka baru saja memutuskan mundur dari dunia kangow
atau dunia persilatan. Mereka telah berencana akan menikah
dan menyepi. Namun, takdir meminta lain. Musuh-musuh
yang dulu pernah mereka kalahkan, datang saat itu untuk
menuntut balas ....
Biksu Wang menarik napasnya dalam-dalam. Itu adalah
lembaran terakhir dirinya sebagai pewaris aliran Liang Qiang atau aliran dua pedang. Kali terakhir ia membunuh puluhan
nyawa ... dan kali terakhir ia menyentuh sumoy-nya.....
Tanpa sadar, ia mengusap matanya yang berkaca.
"Aku akan mewariskan pedang ini kepadamu, Tungga,"
Biksu Wang kemudian menyodorkan sepasang pedang yang
lebih panjang. Tunggasamudra menerimanya dengan hati bergetar.
Disentuhnya pedang itu dengan perlahan sambil ditatapnya
lekat-lekat. Beberapa saat kemudian, setelah menekuri bentuk pedang itu cukup lama, baru dibukanya dengan gerakan
perlahan .... Dan, seiring keluarnya pedang itu dari tempatnya, embusan
angin semakin terasa menerpa dirinya ....
Tunggasamudra mengeluarkan pedang itu seluruhnya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Sudah berkarat," desisnya sambil memandangi pedang itu tak habis-habisnya.
Biksu Wang tertawa pendek. "Bukan sudah berkarat,"
ujarnya. "Namun, memang seperti itulah adanya. Sejak dulu wujud pedang ini memanglah telah berkarat."
Tunggasamudra menoleh. Ia semakin takjub dengan
pedang di tangannya. Selama ini ia selalu melihat pedang-
pedang yang bentuknya itu-itu saja. Namun, pedang di
tangannya ini sangat berbeda. Terlihat sekali ketuaannya.
Tem-paannya yang tampak kasar, sehingga terlihat berkarat,
jelas mencerminkan pedang ini terbuat dari bahan yang
terbaik. "Karena hanya kaulah pewarisku," suara Biksu Wang
kembali terdengar, "ambilah pedang itu untukmu."
Tunggasamudra mengangguk dengan wajah gembira,
tetapi melihat Biksu Wang hendak kembali menutup kotak
yang masih menyimpan satu pedang lagi, ia berujar, "Lalu, apakah Biksu akan kembali menyimpan pedang ketiga itu?"
Biksu Wang terdiam. Dalam hati ia merasa menyesal
mengapa dulu tak menguburkan pedang ini bersama sumoy-
nya. Ia memang menguburkan sebuah pedang bersamaan
sumoy-rrya kala itu. Namun, pedang yang lain ia simpan,
sekadar untuk kenangannya....
"Entahlah, Tungga, entahlah," Biksu Wang berucap ragu.
"Mungkin aku akan menguburkannya atau mungkin aku akan
... membuangnya
Tunggasamudra terkejut. "Biksu akan membuangnya?" ia menyahut cepat sambil buru-buru membungkukkan badannya.
"Kalau boleh, biarkan aku yang menyimpannya, Biksu...."
Biksu Wang terdiam. Ini tentu saja permintaan yang aneh.
Bukankah seorang dengan dua tangan hanya dapat
memainkan dua pedang"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tunggasamudra seperti dapat membaca keraguan Biksu
Wang. "Tentu Biksu ingat bahwa dulu aku dilahirkan dengan tiga tangan, bukan?" tanyanya kemudian.
Biksu Wang mengangguk pelan.
"Aku ingin tangan ketiga ini," ia melirik pundaknya, "tak merasa iri karena kedua tangan yang lainnya baru
mendapatkan pedang Itulah alasanku memintanya. Itu pun ...
bila Biksu berkenan
Biksu Wang mengangguk dengan pelan, sekilas ia
tersenyum mendengar alasan Tunggasamudra, "Ya, tentu saja kau dapat menyimpannya, Tungga. Tentu saja ...."
Tunggasamudra tersenyum lebar. Ia benar-benar seperti
mendapatkan sesuatu yang sangat berharga.
Sungguh, ia sama sekali tak pernah tahu bahwa pedang
ketiga inilah yang kelak akan membunuh sahabatnya ....
-ooo0dw0ooo- Dengan membaca kita mencapai pengertian;
Dengan melatih diri kita mencapai pembebasan;
Dengan kepercayaan kita mendapat pertolongan;
Dengan pembebasan kita menuju penerangan.
Sejak hari itu, masih ditemani dengan bau dupa dan
rapalan doa dari dalam rumah, Tunggasamudra terus melatih
jurus-jurusnya dengan dua pedang barunya. Gerakannya kini
terlihat lebih meyakinkan. Deru angin sesekali terdengar di
antara desiran yang biasa ....
Saat ia menyelesaikan latihannya, ia buru-buru mendekati
Biksu Wang yang tengah berdiri mematung menatap ke arah
timur laut. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Biksu," sambil mengelap tubuhnya yang penuh keringat,
"kau tengah melihat apa?"
Biksu Wang tak menoleh. "Entahlah," ujarnya setelah terdiam sesaat. "Aku hanya teringat tanah kelahiranku.
Pastinya tempat itu ada di sanatangannya perlahan terangkat
dan menunjuk ke arah timur laut.
Sebentar Tunggasamudra ikut melihat ke arah yang
ditunjuk. Namun, hanya cakrawala yang ditatapnya. Ia pun
kembali menoleh, "Apa Biksu ... berniat akan pulang?"
Biksu Wang tak langsung menjawab. Ia berjalan perlahan
ke depan beberapa langkah, "Aku ini sudah terlalu tua untuk melakukan perjalanan lagi, Tungga. Apalagi bila itu perjalanan yang sangat jauh
Tunggasamudra tak berucap apa-apa. Biksu menoleh
kepadanya sambil mencoba tersenyum. Namun,
Tunggasamudra malah mencoba mencari tanda-tanda ketuaan


Dendam Dan Prahara Di Bhumi Sriwijaya Karya Yudhi Herwibowo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pada wajah itu. Selama ini ia memang tak terlalu
memperhatikan. Biksu Wang tampak selalu bersemangat. Ia
masih mampu melakukan perjalanan ke datu-datu di sekitar
Danau Toba, bahkan ketika sesekali ia berlatih, gerakannya
pun masih luwes dan bertenaga.
"Aku telah lapar," ujarnya.
Tunggasamudra hanya tersenyum, "Kalau begitu, aku akan
memasakkan makanan dulu untuk Biksu. Sayur rebung
kesukaan Biksu."
Tunggasamudra kemudian segera melangkah ke belakang
rumah. Beberapa saat ia tampak sibuk memasak. Kini semua
masakan yang biasa mereka makan dibuat olehnya. Sejak
bertahun-tahun lalu, Biksu Wang telah mengajari semua menu
makanan yang ia bisa.
Setelah selesai, Tunggasamudra segera memanggil Biksu
Wang. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Biksu," ia muncul di pintu. Namun, Biksu Wang tidak menyahut. Ia masih tampak berdiri terpaku di tempat yang
sama seperti tadi sambil terus menatap ke arah cakrawala di
sebelah timur laut sana.
"Biksu," Tunggasamudra melangkah mendekati, "makanan sudah siap."
Akan tetapi, tetap tak ada sahutan. "Biksu Wang,"
Tunggasamudra semakin mendekat, lalu menyentuh pundak
Biksu Wang "Biksu, kau tak...," ucapannya seketika terhenti. Tubuh Biksu Wang yang baru saja tersentuh tangannya tiba-tiba
terkulai.... Wajah Tunggasamudra seketika memias. "Biksuuu!" ia langsung menubruk tubuh Biksu Wang sebelum tubuh itu
benar-benar jatuh ke tanah.
Dengan gerakan panik, digerak-gerakkannya tubuh itu.
Namun, tetap tak ada reaksi, selain mata tua yang tertutup di antara guratan wajahnya.
"Biksuuu Tunggasamudra hanya bisa menatap tak percaya.
Ia masih terus menggerak-gerakkan tubuh itu, tetapi tubuh itu telah kaku tak bergerak.
Tunggasamudra memejamkan matanya kuat-kuat. Air
matanya tak bisa dihalangi lagi untuk luruh.
Hari itu saat angin paling lembut berembus, Biksu Wang
Hou, pewaris aliran Liang Gjang, telah mengembuskan napas
terakhirnya....
Sadhu (semoga demikianlah adanya), sodhu, sadhu ....
-ooo0dw0ooo- 22 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Pandaya Sriwijaya
Hari-hari belakangan ini di Kedatuan Sriwijaya yang ada Adi
Telaga Batu tampak lebih sibuk dari biasanya. Di berbagai
datu dimulai perekrutan pasukan baru bagi armada pasukan
Sriwijaya. Hanya beberapa hari saja, Pu Chra Da-yana telah
menerima lebih dari lima ribu orang yang mendaftarkan diri.
Walau begitu, sebenarnya bukan perekrutan .itu yang
menarik perhatian para khalayak. Namun, pemilihan Panda-ya.
Sri Maharaja Balaputradewa saat pertemuan di malam itu
memang menyerahkan urusan pemilihan Pandaya Sriwijaya ini
kepada Dapunta Cahyadawasuna.
Pandaya adalah gelar bagi orang yang terpilih untuk
bergabung menjadi pengawal istimewa Kerajaan Sriwijaya. Ini
merupakan gelar bagi para pendekar yang akan diberikan
apabila pendekar tersebut berhasil mengalahkan semua
pendekar lainnya dalam pertandingan.
Dulunya, pencarian pandaya biasa dilakukan di setiap ulang
tahun Dapunta Hyang pemimpin Sriwijaya. Namun, sejak
beberapa tahun ini pemilihan ini tidak lagi diadakan karena
adanya sedikit kekisruhan pemimpin Sriwijaya di Bhumijawa.
Pandaya adalah sebuah impian. Ini merupakan sebuah
kesempatan emas bagi orang-orang dari kalangan jelata yang
bermimpi menjadi orang terhormat. Juga merupakan peluang
bagi para pendekar untuk menunjukkan kehebatan ilmu
mereka dan menjadi yang terbesar di antara semuanya.
Banyak panglima muda Sriwijaya merupakan seorang
pandaya. Contoh paling dikenal dari keberhasilan seorang
pandaya adalah Panglima Bhumi Cangga Tayu. Dulu, hampir
empat puluh tahun yang lalu, ia merebut gelar pandaya dari
ratusan pendekar yang juga mengikutinya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Maka dari itu, persiapan pemilihan ini tak berlangsung
main-main. Hampir dua ratus prasasti batu disebar di seluruh datu di sepanjang pulau. Ratusan prajurit terus berputar
memberi kabar pemilihan pandaya ini kepada seluruh
masyarakat. Ini tentu saja merupakan tugas besar bagi Dapunta Cah-
yadawasuna. Maka itulah, untuk menjalani tugas besar
pertamanya ini, ia dibimbing tak kurang dari sepuluh orang pu berpengalaman di Telaga Batu, terutama Pu Chra Dayana.
Tahukah engkau, mengapa engkau kunamakan
Tunggasamudra" Karena kuingin engkau menjadi orang yang
istimewa di hari esok. Karena Tunggasamudra adalah nama
yang kerap digunakan oleh pendekar-pendekar pada masa
lalu. Bahkan, raja-raja di Telaga Batu pun pernah memakai
nama itu .... Dan, kalimat dari kakeknya itulah yang kemudian
membawa Tunggasamudra melakukan perjalanan panjang ke
Telaga Batu. Ini adalah pertama kalinya ia menginjakkan kaki di pusat Kerajaan Sriwijaya. Dari Danau Toba yang ada di
utara, butuh perjalanan berhari-hari untuk sampai di sini.
Tubuhnya menjadi begitu kotor dan kain celananya telah
tampak begitu lusuh. Beberapa orang yang melewatinya
bahkan segera menutupi hidung mereka, menghindari bau
yang menusuk. Akan tetapi, Tunggasamudra tak menyadari itu. Setelah
membakar jenazah Biksu Wang, ia memang telah
memutuskan untuk pergi ke Telaga Batu. Entah apa yang
membuat kepu-tusan itu. Ia hanya merasa memang harus
pergi ke tanah itu. Ucapan kakeknya ketika itu benar-benar
membuat kedatangan ke tanah itu adalah sebuah kerinduan
untuk pulang....
Dan kini, ketika ia memasuki gerbang Telaga Batu, yang
dirasakannya hanyalah keterpanaan. Sebelumnya, ia tidak
pernah melihat sebuah datu yang seramai ini. Pasar berderet
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
panjang dan orang-orang berseliweran ke segala arah. Lelaki-
lelaki tak hanya bertelanjang dada, tetapi beberapa di
antaranya telah memakai sejenis rompi yang terbuka dadanya.
Para wanita tampak berdandan cantik dengan pakaian penuh
warna dan ketika lewat di depannya segera menguarkan
wewangian yang begitu harum.
Di beberapa sudut, tampak pasukan-pasukan dengan
tombak dan pedang berjaga dalam beberapa regu. Seorang
bahkan menggunakan kuda untuk mengamati sekitarnya.
Namun, yang membuatnya paling terpana adalah saat iring-
iringan pasukan gajah melewati keramaian itu. Gajah-gajah itu dilapisi dengan semacam kain yang indah pada punggung dan
kepalanya. Di atas punggung itu dipasang sebuah pelana kecil tempat dua orang prajurit duduk.
Ini benar-benar pemandangan yang belum pernah
dilihatnya. Sungguh, sekian tahun hidup terpencil di tepi
sebuah danau membuat Tunggasamudra tak menyadari
adanya dunia luar yang seramai ini!
Di saat ia memperhatikan itu, bau harum ikan bakar
langsung menusuk hidungnya. Baru dirasakan olehnya
perutnya ternyata begitu lapar. Sambil menahan liurnya,
Tunggasamudra segera menuju ke warung yang ada di
dekatnya. Namun, sesuatu membuatnya menahan
langkahnya. Sebuah prasasti batu diletakkan di pusat datu. Beberapa
orang terlihat tengah mengelilinginya. Karena penasaran,
Tunggasamudra kemudian segera membalikkan langkahnya
ke arah itu ....
Ia menyeruak di antara kerumunan dan segera membaca
tulisan di prasasti itu ....
Kepada semua rakyatku,
jadilah yang terpilih jadilah yang ditakdirkan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
jadilah pandaya untuk kejayaan Sriwijaya
Datanglah saat hari pertama bulan baru di tanah lapang
Telaga Batu, tempat berkumpul kalian yang telah
kubuatkan sejak lama.
Jadilah saksi para pendekar baru yang akan menjadi
penjaga Kerajaan Sriwijaya, membuat kejayaan Sriwijaya ....
Sri Maharaja Balaputradewa
"Anak muda," seorang kakek mendekat kepadanya. "Apa yang ditulis di situ?"
Tunggasamudra menoleh sambil menjawab, "Berita tentang
pencarian ... pandaya?"
"Oooh, itu," kakek itu mengangguk-angguk.
"Memangnya, apakah itu pandaya?" kali ini giliran
Tunggasamudra yang bertanya.
"Kau tak tahu pandaya?" kening kakek itu berkerut. 'Jelas sekali kau bukan orang dari sini. Itu sebutan untuk gelar bagi pendekar yang terpilih menjadi pasukan istimewa Sriwijaya
Tunggasamudra terdiam. Ucapan kakek tua itu seakan
dilafalkannya lagi di dalam hatinya.
Kakek itu menggeleng-geleng, "Ah, andai aku masih muda, aku pasti akan mengikutinya," ia melirik kepada
Tunggasamudra. Matanya sedikit terkejut ketika melihat tiga
pedang bersanding di punggung Tunggasamudra.
"Tampaknya kau seorang pendekar?" ia bertanya ragu.
"Tentunya kaudatangjauh-jauh akan mengikuti ini, bukan?"
Tunggasamudra tersenyum, "Aku ... malah baru
mengetahui ini, Kek."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kakek itu tertawa, "Tak ada salahnya kau mencoba.
Tampaknya kau pendekar yang tangguh. Lihat, pedangmu
saja tiga buah ...."
-ooo0dw0ooo- Ia datang di hari pertama bulan baru, saat pemilihan
pandaya akan digelar. Ini, sepertinya begitu kebetulan.
Namun, Tunggasamudra malah merasa ini seperti sebuah
petunjuk. Inilah takdirnya. Maka, rasa laparnya pun seketika hilang. Ia langsung melangkah ke tanah lapang yang ada di
depan Keda-tuan Sriwijaya.
Tunggasamudra melangkah dengan ragu. Ia mendekati
seorang berpakaian prajurit Sriwijaya yang tampak sibuk di
atas sebuah meja.
"Kau akan ikut?" tanyanya tanpa menoleh.
Tunggasamudra mengangguk, tetapi baru disadarinya
prajurit itu tak melihat kepadanya. Ia pun segera berujar, "Ya, aku akan ikut."
Masih tanpa menoleh, prajurit itu kembali bertanya,
"Nama?"
"Aku Tunggasamudra."
Barulah setelah ucapan itu, ia menengadahkan kepalanya.
Mungkin ia merasa nama itu sedikit berlebihan. Namun,
setelah mengamati Tunggasamudra sekilas, ia tak berucap
apa-apa, selain melemparkan sebuah tanda kayu kepada
Tunggasamudra. "Giliranmu setelah pendekar botak itu," ujarnya sambil menunjuk seorang pendekar yang berdiri jauh di pinggir tanah lapang.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tunggasamudra pun segera melangkah ke arah itu. Seiring
langkahnya, beberapa mata langsung mengamatinya dari
bawah hingga atas.
Akan tetapi, Tunggasamudra tak memperhatikan itu. Ia
terus berjalan. Kini di tengah tanah lapang itu, ia melihat dua orang pendekar tengah bertarung dengan tangan kosong.
Walau pertarungan itu tampak seru, tetapi Tunggasamudra
lebih memilih mengamati sekitarnya. Banyak hal baru yang
belum dilihat sebelumnya. Terutama keadaan sekitar tanah
lapang ini. Di sisi utara, Tunggasamudra dapat melihat sebuah panggung besar yang ditutupi oleh anyaman daun kelapa. Di
situlah para petinggi Sriwijaya menyaksikan pertarungan ini.
Di sisi barat dan timur tampak undak-undakan bagi penduduk
yang menonton dan bersorak-sorak dengan riuh. Sedang di
sebelah selatan para pendekar tampak berkumpul menunggu
giliran. Di setiap beberapa tombak terlihat prajurit bersenjata
lengkap berjaga-jaga. Tunggasamudra mendekati seseorang
dan menunjukkan papan kayu miliknya kepada prajurit itu.
"Giliranmu masih lama," ujar prajurit itu. "Sebaiknya, kau beristirahat dulu!"
Setelah mengucapkan terima kasih, Tunggasamudra
memilih mendekati sebuah pohon rambutan besar yang
tengah berbuah. Perutnya mendadak berkerucuk. Baru ia
sadari kalau ia tengah begitu lapar. Maka, sambil menyaksikan pendekar-pendekar yang bertarung di tengah tanah lapang, ia
memakan rambutan-rambutan itu ....
-ooo0dw0ooo- Pertarungan pertama Tunggasamudra adalah melawan
seorang pendekar bernama Jaja Hayang. Walaupun ia telah
mengamati pertarungan-pertarungan sebelumnya, tetapi
jantung Tunggasamudra bergetar juga mendengar namanya
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
disebut. Ia meninggalkan ketiga pedangnya kepada seorang
prajurit sebelum melangkahkan kakinya ke tengah tanah
lapang dengan diiringi gemuruh penonton.
Setelah saling memberi hormat, pertarungan pun dimulai.
Dan, ternyata hanya dengan beberapa gerakan saja,
Tunggasamudra berhasil merobohkan lawannya.
Pemilihan pandaya ini berlangsung dari pagi datang hingga
sore menjelang. Bila ternyata jumlah pertarungan masih
tersisa, maka akan dilanjutkan di hari berikutnya. Para
pendekar akan dipertemukan secara acak. Yang berhasil
mengalahkan lawannya akan maju melawan pendekar yang
lain, yang juga telah berhasil mengalahkan lawannya. Terus
seperti itu hingga ditemukan dua pendekar terakhir.
Cara penilaian akan dilakukan oleh seorang pendekar yang
ditunjuk oleh pihak Kerajaan Sriwijaya. Ia yang akan
mengamati pertandingan dengan saksama. Bila salah satu
sudah tampak unggul, ia akan menunjuk pemenangnya. Dua
orang prajurit yang ada di kedua sisinya akan membantunya.
Prajurit di sisi kiri memegang bendera merah dan di sisi kanan memegang bendera putih. Salah satu dari mereka akan segera
mengangkat bendera di sisi pendekar yang dianggap telah
memenangkan pertarungan.
Pada lawan berikutnya, Tunggasamudra berhadapan
dengan Ki Busak Dandra. Ki Busak Dandra adalah seorang
pendekar yang cukup terkenal di Telaga Batu. Ia memiliki
usaha pengantaran barang yang sangat terkenal, usaha
dengan anak buahnya mencapai lima puluh orang lebih.
Melawan Ki Busak Dandra cukup merepotkan bagi
Tunggasamudra. Sebagai pewaris aliran Liang Qiang, ia
terbiasa berlatih dengan menggunakan pedang. Walau Biksu
Wangjuga mengajari bela diri dengan menggunakan tangan
kosong, tetapi ia merasa kemampuan terbaiknya adalah saat
menggunakan pedang.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Akan tetapi, akhirnya ia bisa juga membuat roboh Ki Busak
Dandra. Seiring dengan itu matahari terus bergerak. Bergeser
sedikit demi sedikit ke arah barat. Semakin siang, penonton


Dendam Dan Prahara Di Bhumi Sriwijaya Karya Yudhi Herwibowo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tampak semakin banyak. Tak hanya para penduduk Telaga
Batu yang hadir, tetapi juga penduduk datu-datu sekitarnya,
bahkan juga orang-orang asing yang tengah mampir. Tak
heran bila keadaan sisi barat dan timur tanah lapang semakin penuh sesak.
Seorang pendekar langsung menarik perhatian. Nama
pendekar itu adalah Angkadhawatsu. Ia merupakan pendekar
dari Bhumijawa. Ia sengaja datang ke Sriwijaya untuk
mengadu peruntungan menjadi pendekar besar. Gerakan
jurus-jurusnya terlihat bagai elang terbang Maka itulah, di
belakang namanya ia diberi gelar Pendekar Elang Terbang.
Setiap ia tampil, penonton akan memberi sorakan paling
meriah. Dan, ini tampaknya sangat disukai Angkadhawatsu.
Maka, ia menjadi semakin bersemangat. Ia akan
mempermainkan lawannya terlebih dahulu hingga membuat
lawannya tampak bodoh. Baru setelah itu, ia melakukan
serangan yang membuat lawannya langsung tersungkur.
Pada akhirnya, setelah cakrawala sedikit memerah dan
Tunggasamudra telah melewati empat lawan lainnya, tinggal
dirinya bersama Angkadhawatsu yang tersisa.
Keduanya merupakan dua pendekar yang sudah menarik
perhatian penonton sejak awal. Angkadhawatsu terkenal
sebagai pendekar yang pandai menghibur, sedang
Tunggasamudra sebagai pendekar yang tampaknya tak
mengenal basa-basi.
Keduanya berhadapan saat seluruh penonton telah merasa
lelah dan para prajurit penjaga tak lagi tegak berdiri. Beberapa pu di atas panggung pun tampak sibuk dengan obrolan
sendiri, bahkan beberapa di antaranya tertidur pulas. Namun,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
ketika keduanya melangkah ke tengah lapangan, semua mata
seolah dipaksa tertuju kepada mereka. Para penonton
mendadak kembali bersemangat, para penjaga kembali berdiri
tegak, dan para pu kembali melemparkan pandangannya ke
tengah arena. Seorang anak kecil di tengah kerumunan menarik tangan
kakeknya. "Kakek, siapa yang nanti akan menang?" tanyanya dengan nada tak sabar.
Kakeknya hanya bisa menggeleng, "Entahlah, Cu. Mereka
tampaknya sama-sama kuat____"
Dan, angin yang mengembuskan debu-debu yang akan
bercerita kemudian ....
Tunggasamudra mulai memasang kuda-kudanya. Sejak tadi
gerakan ini memang menarik perhatian karena gerakannya
terasa asing. Kuda-kudanya terasa tidak kukuh, berbeda
dengan kuda-kuda yang biasa dikeluarkan pendekar-pendekar
lainnya. Tak heran bila lawannya akan selalu tersenyum
meremehkan, juga Angkadhawatsu. la tersenyum begitu
lebarnya dan sedikit menggeleng-gelengkan kepalanya.
Lalu, pertarungan pun dimulai dengan diawali teriakan
keduanya ____ HIAAATH! Angkadhawatsu langsung menyerang. Gerakannya ringan,
tubuhnya seakan melayang. Walau ia tampak meremehkan,
tetapi ia sama sekali tak gegabah menganggap lemah lawan.
Sudah ia perhatikan Tunggasamudra sejak awal. Melihat
Tunggasamudra mampu mengalahkan lawan-lawannya hanya
dalam beberapa jurus saja, ia bisa mengukur kekuatan
Tunggasamudra. Sesaat Tunggasamudra memperhatikan gerakan itu. Ini
sama seperti yang dilakukan sebelumnya. Dari arah energi
serangan tersebut, ia bisa menebak arah serangan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Angkadhawatsu. Biasanya yang terjadi, lawan akan segera
mengelak dari serangan seperti itu. Namun, tidak bagi
Tunggasamudra. Ia malah mengangkat tangannya ke atas.
Lalu, dengan gerakan mengejutkan, dilangkahkan kakinya
menyambut serangan itu.
BUUUK! BUUUUK! Benturan kedua tangan pendekar ini begitu terasa. Tubuh
Angkadhawatsu terdorong mundur beberapa langkah ke
belakang. Sejenak ia terdiam. Senyumnya seketika lenyap. Tenaga
dalam yang ada pada tangan Tunggasamudra membuat
tangannya sedikit kesemutan.
Ia pun menarik napas panjang, lalu dengan gerakan
mengejutkan kembali dilakukan serangan secara beruntun.
Kali ini Tunggasamudra menahannya dengan terlebih dulu
mundur beberapa langkah dan membentuk putaran pada
tubuhnya. Serangan Angkadhawatsu tak berhenti. Ia segera
melentingkan tubuhnya ke arah tubuh Tunggasamudra,
bagaikan seekor elang yang menyerang dari bawah.
BUUUUUKH! Sebuah benturan keras kembali terjadi. Namun, ini sama
sekali tak menyurutkan serangan Angkadhawatsu. Ia memutar
tubuhnya sambil melakukan tendangan ke arah kepala
Tunggasamudra, dengan begitu cepat Tunggasamudra segera
saja melempar tubuhnya dengan melakukan salto ke atas
beberapa kali....
Penonton dibuat berdecak kagum. Gerakan keduanya
semakin lama terasa semakin cepat, seakan kaki keduanya tak
menginjak pada tanah. Sungguh, tak bisa dimungkiri bila
keduanya merupakan pendekar-pendekar pilihan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dari arah panggung, Dapunta Cahyadawasuna dan
beberapa pu lainnya bahkan sampai berdiri dari kursinya dan
menuju ke tepi panggung agar dapat melihat lebih jelas
pertarungan itu.
"Keduanya luar biasa," seorang pu mengomentarinya.
"Ya," ujar Dapunta Cahyadawasuna tanpa menoleh.
"Terlebih lelaki dengan gerakan aneh itu ...."
Di tengah arena, untuk beberapa saat Tunggasamudra
tampak terus melakukan serangan. Kaki-kakinya melangkah
aneh, membuat gerakannya tak tertebak. Angkadhawatsu
menunggu, tetapi ini adalah sebuah kesalahan. Secara
mengejutkan, sebelum langkahnya selesai, sebuah serangan
tiba-tiba meluncur ke arah Angkadhawatsu.
Begitu cepat serangan itu. Mau tak mau Angkadhawatsu
segera melempar tubuhnya ke samping. Dengan gerakan
luwes, ia mencoba bertumpu pada tanah dan kembali
melayang, tetapi serangan Tunggasamudra tak berhenti
sampai di situ. Sambil ikut melayang mengikuti gerakan
Angkadhawatsu, ia sudah melancarkan beberapa pukulannya
.... BUK! BUK! BUK! Pukulan itu sesaat masih bisa ditahan. Namun, di pukulan
ketiga, Angkadhawatsu tak lagi bisa menahannya. Pukulan itu
bersarang di pundaknya. Walau bukan pukulan yang keras,
tetapi itu dapat langsung mendobrak pertahanan
Angkadhawatsu. Tubuhnya seketika oleng dan kuda-kudanya
menjadi gamang. Rasa panas terasa di sekujur dadanya.
Di saat ia tengah meringis kesakitan seperti itu, kembali
Tunggasamudra bergerak. Dilancarkannya sebuah tendangan
yang langsung mengarah ke kakinya, disusul sebuah pukulan
beruntun. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Angkadhawatsu mencoba menahan keduanya. Namun,
pertahanannya yang terbagi, membuat kekukuhannya hilang.
BUK! BUK! Dan, tanpa bisa dihindari lagi, sebuah pukulan akhirnya
mendarat dengan telak ke dadanya.
Angkadhawatsu pun terjungkal jatuh.
Saat itulah, seorang prajurit di sisi Tunggasamudra,
mengangkat bendera merah, tanda ia telah memenangkan
pertandingan. /yngin sesaal mereda ketika Tunggasamudra mulai mc-/
tiangkah ke arah panggung. Langkahnya pelan dengan
tatapan terus memandang ke depan. Sorak-sorak masih terus
bergema tanpa henti. Semua mata memandang ke arahnya
dengan kagum. Waktu itu, Tunggasamudra telah mengambil kembali ketiga
pedangnya dan menggantungkan di punggungnya. Ini tentu
saja semakin menarik perhatian orang-orang yang melihatnya.
"Pedangnya tiga," sebuah bisik-bisik terdengar di antara kerumunan.
"Dan, bentuknya juga aneh," sambung yang lain.
Dapunta Cahyadawasuna yang berdiri di atas panggung
menunggunya, memandang dirinya tak habis-habisnya dengan
tatapan kagum. Begitu Tunggasamudra telah cukup dekat
dengannya, tangannya terangkat ke atas, membuat semua
penonton di sekitar tanah lapang itu terdiam seketika.
Dapunta Cahyadawasuna kemudian melangkah ke depan.
"Hari ini, sesuai titah Sri Maharaja Balaputradcwa, kita kembali memilih seorang pandaya," ia berucap sambil menyapu ke
semua penduduk yang hadir. Diam-diam ia mengalirkan energi
ke dalam suaranya agar suaranya dapat bergaung di seluruh
tanah lapang. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
-ooo0dw0ooo- 23 Perempuan bercadar dengan
Rajah Kupu-Kupu di pipinya
Angin sesaat mereda ketika Tunggasamudra mulai
melangkah ke arah panggung. Langkahnya pelan dengan
tatapan terus memandang ke depan. Sorak-sorak masih terus
bergema tanpa henti. Semua mata memandang ke arahnya
dengan kagum. Waktu itu, Tunggasamudra telah mengambil kembali ketiga
pedangnya dan menggantungkan di punggungnya. Ini tentu
saja semakin menarik perhatian orang-orang yang melihatnya.
"Pedangnya tiga," sebuah bisik-bisik terdengar di antara kerumunan.
"Dan, bentuknya juga aneh," sambung yang lain.
Dapunta Cahyadawasuna yang berdiri di atas panggung
menunggunya, memandang dirinya tak habis-habisnya
deengan tatapan kagum. Begitu Tunggasamudra telah cukup
dekat dengannya, tangannya terangkat ke atas, membuat
semua penonton di sekitar tanah lapang itu terdiam seketika.
Dapunta Cahyadawasuna kemudian melangkah ke depan.
"Hari ini, sesuai titah Sri Maharaja Balaputradewa, kita kembali memilih seorang pandaya," ia berucap sambil menyapu ke
semua penduduk yang hadir. Diam-diam ia mengalirkan energi
ke dalam suaranya agar suaranya dapat bergaung di seluruh
tanah lapang. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Dan, hari ini," lanjutnya, "aku dan kalian semua, sudah menyaksikan siapa yang telah terpilih ...."
Lalu, sorak-sorai kembali bergemuruh. Suaranya
menimbulkan gema di mana-mana. Dapunta Cahyadawasuna
menoleh kepada Tunggasamudra. "Kuucapkan selamat
bagimu, Pendekar Tunggasamudra," ujarnya.
Tunggasamudra membungkukkan badannya. Entah apa
yang dirasakannya saat itu. Perasaan senang dan bangga
meliputi benaknya. Ia benar-benar teringat Kakek Bayak
Kungga saat ini. Terutama saat ia membiarkan dirinya duduk
dalam pangkuannya di hari-hari lalu. Ucapannya kala itu
seakan baru saja terdengar oleh telinganya ....
Tahukah engkau, mengapa engkau kunamakan
Tunggasamudra" Karena kuingin engkau menjadi orangyang
istimewa di hari esok. Karena Tunggasamudra adalah nama
yang kerap digunakan.oleh pendekar-pendekar pada masa
lalu. Bahkan, raja-raja di Telaga Batu pun pernah memakai
nama itu.... Diam-diam Tunggasamudra menelan ludah mendapati
keadaan ini. Sepertinya... ucapan yang dulu terdengar olehnya kini telah terwujud, tanpa pernah ia berpikir sekali pun akan mewujudkannya.
Akan tetapi, di tengah sorak-sorai itu angin yang semula
berembus lemah, tiba-tiba saja menjadi kencang. Menaburkan
debu-debu yang memerihkan mata semua yang ada di sekitar
tanah lapang ini.
Bersamaan dengan itu, tiba-tiba suara tawa yang dialirkan
dengan tenaga dalam yang cukup hebat, melengking,
bergema .... HAHAHAHAHAHA....
HAHAHAHAHAHA....
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tunggasamudra menengadah. Di antara debu yang
mengangkasa, ia melihat sebuah bayangan yang seakan
terbang di atas langit bergerak cepat menuju dirinya.
Tunggasamudra segera maju beberapa langkah seiring
bayangan tubuh itu yang semakin dekat. Saat itulah orang-
orang di sekitar tanah lapang mulai bisa melihat sesosok
tubuh perempuan, melayang ke tengah tanah lapang itu.
Gerakannya begitu halus, dengan hanya sesekali
menginjakkan tanah sehingga banyak orang yang
menyangkanya terbang.
Dan, masih diiringi suara tawanya, perempuan itu
menjejakkan kakinya tepat di tengah tanah lapang. Semua
orang mulai memperhatikannya. Ia jelas seorang perempuan
muda. Dengan pakaian serba hitam yang terbuat dari bahan
yang sangat halus, ia menyapu pandangannya kepada semua
orang yang ada di sekelilingnya. Rambut panjangnya diikat
bergulung indah, dengan ikatan yang biasa dilakukan oleh
putri-putri datu terkemuka. Namun, sebuah cadar tipis
berwarna hitam menyamarkan wajahnya.
Ia kemudian menatap ke arah panggung. "Aku ingin
bertemu dengan pandaya yang baru terpilih," ujarnya tanpa basa-basi. Walau suaranya pelan saja, tetapi dapat terdengar oleh seluruh yang hadir, bukti tenaga dalam wanita ini begitu luar biasa.
Pendekar yang sejak tadi menjadi pengawas pertandingan
itu segera maju, "Mau apa kau menemuinya?" bentaknya.
"Kau tak bisa begitu saja menantangnya. Tunggulah pada
pemilihan pandaya berikutnya!"
Dan, suara tawa perempuan itu kembali pecah menyambut
ucapan itu. Tiba-tiba selendangnya yang semula dibiarkan
teruntai ke bawah tanah, digerakkannya, dan langsung
meluncur ke arah pendekar tua itu seakan serangan seekor
ular raksasa. Wuuuuuush ....
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dengan gerakan terburu pendekar tua itu mencoba
melempar tubuhnya ke samping. Tunggasamudra yang tengah
berjalan ke arahnya segera menangkap pendekar tua itu
hingga ia tak sampai terjerembap jatuh ke tanah.
Selendang itu pun hanya memakan angin. Tunggasamudra
segera malangkah mendekati perempuan bercadar itu. Ia
sedikit membungkuk kepada perempuan itu, "Ada apa kau
mencari aku?" tanyanya.
Perempuan itu tersenyum di balik cadarnya, "Jadi, kau
pandaya yang terpilih?"
Dan, belum sempat Tunggasamudra menjawab, perempuan


Dendam Dan Prahara Di Bhumi Sriwijaya Karya Yudhi Herwibowo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu sudah kembali menggerakkan selendangnya, meluncur
tajam ke arah Tunggasamudra. Namun, Tunggasamudra
sudah sangat siap. Ia hanya berkelit sedikit untuk menghindari kibasan selendang itu.
"Hei, apa yang kaulakukan?" Tunggasamudra mencoba
menahan. Akan tetapi, serangan selendang selanjutnya yang
menjawab pertanyaan itu. Seakan menjadi ular yang terus
mematuk-matuk, tanpa henti selendangku menyerang
Tunggasamudra. Mau tak mau, Tunggasamudra melompat berkelit. Saat
itulah penonton kembali menduga akan terjadi lagi
pertarungan seru di antara kedua pendekar di tanah lapang
ini. Mereka yang semula hendak pulang segera kembali
bersorak-sorai riuh.
Seorang pu yang berdiri di dekat Dapunta Cahyadawasuna
segera berbisik, 'Apa yang harus kita lakukan kepada
pengganggu itu?"
Dapunta Cahyadawasuna mengangkat tangannya, "Tak
apa, kita lihat saja apa yang bisa ia lakukan kepada pandaya kita
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Berkali-kali serangan selendang perempuan bercadar itu
dapat dihindari Tunggasamudra. Namun, lama-kelamaan ini
terasa cukup menyulitkan juga. Maka itulah, dengan sebuah
gerakan kilat, Tunggasamudra kemudian mengeluarkan
sebuah pedang dari punggungnya dan langsung membabat
selendang itu hingga putus.
Putusnya selendangku membuat tenaga dalam perempuan
bercadar itu tertekan sehingga membuatnya terdorong
beberapa langkah ke belakang.
Dari balik cadarnya terlihat jelas perempuan itu mendengus
marah. Tanpa membuat selang waktu, tiba-tiba ia sudah
kembali melompat tinggi ke udara sambil menyerang
Tunggasamudra "HIIAAAAAT!" teriakannya diiringi dengan kilauan pedang yang secara mengejutkan sudah dikeluarkannya.
Tunggasamudra segera mempersiapkan kuda-kudanya.
Dengan satu gerakan berputar, ia mengibaskan pedangnya
untuk menghindari serangan itu.
TRANK! TRAAANK!
Benturan kedua pedang itu diiringi percikan api yang
menyilaukan sehingga membuat kedua pendekar segera
mundur dan mengambil napas. Namun, perempuan bercadar
itu tak melakukannya dengan berlama-lama. Hanya seke-
japan mata kemudian, ia sudah kembali melayang memberi
sebuah serangan kepada Tunggasamudra.
Sementara itu di tepi panggung, Dapunta Cahyadawasuna
bertanya tanpa melepaskan pandangannya, "Siapa perempuan itu?" tanyanya. "Kemampuannya cukup baik. Bagaimana bisa ia masuk tanpa dihalangi prajurit kita?"
Seorang pu yang berdiri paling dekat dengannya segera
menjawab, "Hamba tak tahu siapa ia, Dapunta. Namun,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tampaknya ia melalui tembok kedatuan, tidak melewati
gerbang ...."
Dapunta Cahyadawasuna tak menyahut. Dengan melewati
tembok kedatuan, berarti perempuan ini haruslah mengecoh
prajuritnya terlebih dahulu untuk dapat kemari. Ini tentulah bukan pekerjaan yang mudah. Dapunta Cahyadawasuna
semakin merasa tertarik. Tak lepas pandangannya untuk terus
memperhatikan pertarungan itu.
Kini perempuan bercadar itu tengah melompat ke atas.
Seiring tubuhnya menjauh, selendangnya yang masih tersisa
kembali digerakkannya mengarah ke kepala Tunggasamudra.
Tunggasamudra segera membanting tubuhnya ke kiri.
Namun, di waktu yang begitu singkat, perempuan bercadar
melakukan gerakan berbalik secepat kilat dan menyusulkan
tusukan pedangnya ke arah Tunggasamudra.
Kali ini posisi Tunggasamudra sama sekali tak
menguntungkan. Dengan mencoba menahannya berarti akan
beradu dengan dua serangan sekaligus. Tunggasamudra
sangat menyadari itu. Maka, tak ada pilihan lain, tiba-tiba ia sudah mengibaskan kakirtya ke tanah, membuat gerakan
mistis. Itulah jurus Pedang Membelah Gunung. Dengan gerakan
tak terduga ia tiba-tiba sudah ikut melenting ke udara
menyambut serangan itu. Bersamaan dengan itu secepat kilat
Tunggasamudra menarik pedang yang satunya lagi dari
punggungnya. Kini dengan menggulung tubuhnya ke udara
dan dengan dua pedang di tangannya, ia menyambut
serangan selendang itu dan mencoba menangkis serangan
pedang itu. TRANK! TRAAANK!
Benturan antara kedua pedang itu terjadi. Untuk sesaat
kedua pendekar itu terdorong mundur bersamaan. Namun,
dengan gerakan yang tak terduga, Tunggasamudra langsung
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dengan cepat menguasai tubuhnya dan melakukan serangan
memutar yang tak terduga sambil mengarahkan kedua
pedangnya. WUUUSH ... TRANK!
Benturan kali ini membuat perempuan bercadar itu
membuang tubuhnya menjauh. Sejenak, dalam gerakan yang
begitu singkat, ia memperhatikan gerakan Tunggasamudra
dengan saksama. Walau sedari tadi ia merasakan keanehan, ia
mengakui keampuhan tenaga yang ada pada pemuda itu ....
Di lain pihak, Tunggasamudra diam-diam mulai bisa
mengukur tenaga perempuan bercadar itu. Dalam hati ia
merasa yakin bahwa tenaga dalamnya unggul berapa tingkat
di atasnya. Lalu, dengan gerakan yang bersamaan, keduanya sudah
kembali melayang meluncurkan jurus rahasia masing-masing.
Tunggasamudra mengarahkan dua pedangnya berputar,
sedang perempuan bercadar itu menusuk dengan satu
tusukan tajam. TRAAANG! TRAAANG! TRAAANG! Pertarungan dengan diliputi permainan tenaga dalam yang
luar biasa serta jurus-jurus tertinggi tak bisa lagi terhindarkan.
Gerakan keduanya kini begitu cepat sehingga meniupkan
debu-debu ke atas. Beberapa penonton mulai tak bisa
menyaksikan pertarungan itu dengan baik. Dapunta
Cahyadawasuna sendiri sudah turun dari panggung dan
mendekat ke tepi tanah lapang agar dapat menyaksikan
pertarungan itu lebih jelas.
Hanya beberapa jurus kemudian dapat terlihat bahwa
perempuan bercadar itu sudah mulai terdesak.
Tunggasamudra terus merangsek maju dan perempuan itu
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
hanya bisa melayani setiap serangannya tanpa bisa sekali pun membalas. Kini, jelas terlihat bila kendali pertarungan ini telah ada pada Tunggasamudra.
Sampai suatu ketika, sebuah serangan kembali dilancarkan
Tunggasamudra sehingga perempuan bercadar itu harus
membuang tubuhnya ke belakang. Namun, gerakan
Tunggasamudra jauh lebih cepat dari itu. Pedangnya sudah
menyerobot ke arah depan.
Seharusnya bila Tunggasamudra berniat, ia bisa melukai
wajah perempuan bercadar itu. Namun, ia tak berniat sampai
sejauh itu. Maka dari itulah, ia kemudian sedikit menggeser
gerakan pedangnya, ke arah ke samping. Namun, tanpa
terduga, gerakan itu membuat pedangnya mengenai ikatan
cadar yang dipakai perempuan itu.
Seiring tubuh perempuan itu yang berputar ke. belakang
untuk menghindari serangan selanjutnya, cadarnya tiba-tiba
terlepas, dan melayang ke angkasa ....
Angin memainkannya sesaat, bagai kapuk yang terbuai,
hingga akhirnya cadar itu jatuh ke tanah. Perempuan itu
hanya bisa berdiri tanpa lagi bisa menutupi wajahnya.
Saat itulah Tunggasamudra terkesima. Di depannya kini
telah berdiri gadis jelita dengan rajah kupu-kupu berwarna
hitam di pipi kirinya. Sungguh, Tunggasamudra belum pernah
melihat wanita sejelita ini. Namun, raut marah perempuan itu, yang secara tajam menatapnya, membuat Tunggasamudra
segera tersadar. Segera diambilnya cadar yang tergeletak tak jauh darinya, lalu segera dilemparkannya kepada perempuan
itu. "Maafkan aku," ia sedikit membungkuk.
Perempuan itu menerima cadarnya, tanpa menyahut. Saat
ia tengah berusaha dengan cepat memasangnya, suara tepuk
tangan kemudian menyeruak di antara keduanya. Disusul
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
suara sorak-sorai tepuk tangan para penonton yang
bergemuruh. "Luar biasa, kalian berdua sungguh luar biasa," Dapunta Cahyadawasuna tiba-tiba sudah melangkah ke tengah tanah
lapang, berdiri di antara keduanya.
"Hari ini aku benar-benar tak mengira bisa melihat dua
pendekar istimewa bertarung di hadapanku," ujar Dapunta Cahyadawasuna lagi. "Sungguh, aku merasa sangat
bersyukur."
Tunggasamudra dan perempuan bercadar itu tak bereaksi.
Dapunta Cahyadawasuna kemudian segera menoleh
kepada perempuan bercadar itu. "Dan, kau, perempuan
bercadar," ujarnya, "walau baru melihat beberapa jurusmu saja, aku langsung mengagumi dirimu. Kau menyimpan bakat
yang luar biasa."
Dapunta Cahyadawasuna melangkah periahan ke arahnya,
"Kalau kau berkenan, bergabunglah bersamaku, menjadi
pandaya Sriwijaya...."
-ooo0dw0ooo- 24 Rencana Penyerangan di Hari
Tanpa Cahaya "Akan kuceritakan kepada kalian sebuah kisah tentang
seseribu orang pendekar"
Dapunta Cahyadawasuna memandang ke arah dua orang
yang bersila tak jauh dari tempatnya duduk. Keesokan harinya
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
setelah usai pemilihan pandaya itu, ia mengundang dua orang
pandaya itu untuk datang ke kediamannya.
"Seribu orang pendekar itu mendapat ajaran yang sama
dari seorang pendekar paling digjaya. Semua ajarannya benar-
benar sama, tak ada yang kurang dan tak ada yang lebih.
Setahun, dua tahun, tiga tahun, hingga sepuluh tahun berlalu.
Namun, apa yang kemudian terjadi" Apakah menurut kalian
seribu orang pendekar itu semuanya menjadi pendekar yang
tangguh" Tidak, tidak, semuanya tentu saja belum tentu
menjadi pendekar yang tangguh. Bahkan, mungkin hanya
akan ada satu pendekar atau dua pendekar yang benar-benar
tangguh, di atas semuanya .... "
Dapunta Cahyadawasuna memandang kepada
Tunggasamudra dan perempuan bercadar itu secara
bergantian, "Lalu, pertanyaannya, mengapa bisa demikian?"
Akan tetapi, Dapunta Cahyadawasuna tak sedang mencari
jawaban atas pertanyaan itu. Ia malah membuang
pandangannya jauh menerawang ke depan, "Ya, hanya akan
ada seorang atau dua orang yang terpilih," tambahnya.
"Dan, mungkin bila kita bisa mengamati setiap malam, saat tak ada seorang pun yang melihat, akan ada cahaya-cahaya
kecil datang dan masuk sedikit demi sedikit ke tubuh
pendekar-pendekar terlihai itu. Ya, mungkin
Dapunta Cahyadawasuna menarik napas panjang, "Itulah
yang disebut anugerah," ujarnya lagi. "Dan, tak semua orang mendapatkannya. Hanya orang-orang yang terpilih saja.
Orang-orang yang sangat... istimewa. Ya, seperti kalian.
Sangat jelas bila kalian berdua mendapatkan anugerah itu ...."
Tunggasamudra mendengarkan kisah itu dengan saksama.
Ia sama sekali tak pernah mengira bahwa apa yang
dipelajarinya selama ini bersama Biksu Wang merupakan
jurus-jurus yang luar biasa dan sangat... istimewa. Sungguh, ia sama sekali tak pernah mengira.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sekilas diliriknya perempuan bercadar hitam yang bersila di
dekatnya. Ia masih tampak diam dengan sinar mata yang
tajam. Entah mengapa, kejadian sore tadi kembali teringat di
benak. Terutama saat cadar itu melayang di udara, saat ia
dapat melihat wajah perempuan yang berajah gambar kupu-
kupu itu dengan begitu jelasnya. Sungguh, saat itu kejelitaan perempuan itu dapat membuat jantung Tunggasamudra
seakan terhenti.
Dan, kini ia duduk begitu dekat dengannya. Bahkan, aroma
wewangiannya dapat tercium secara samar oleh
Tunggasamudra. Beberapa saat yang lalu, ia telah mengenalkan namanya.
Namun, selain itu, ia tak mau menyebutkan apa-apa lagi. Ia
tak menyebutkan keluarganya, ia tak mau menyebutkan dari
mana asalnya, bahkan ia juga tak mau menyebutkan siapa
gurunya. Ia hanya menyebut namanya sekali saja: Sangda Alin!
Sungguh, ini membuat Tunggasamudra semakin ingin
mengenal sosok di sebelahnya ini. Ia sudah mendengar
banyak dari Biksu Wang bahwa di dunia persilatan, banyak
sekali pendekar dengan kemampuan luar biasa yang tersebar
di mana-mana. Beberapa memiliki sifat aneh dan sukar
dipahami. Maka, ia haruslah siap bertemu dengan pendekar-
pendekar semacam itu.
Suara tarikan napas Dapunta Cahyadawasuna membuat
konsentrasi Tunggasamudra kembali terpusat. Ia kembali
mendengar ucapan dapunta yang duduk hanya lima tombak di
depannya. "Saat aku diserahi tugas untuk memilih pandaya oleh Sri Maharaja Balaputradewa, sebenarnya aku sama sekali
belum memiliki bayangan pendekar seperti apa yang akan aku
temui. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Dan, aku sungguh bersyukur mendapatkan kalian,"
ujarnya lagi. "Aku sendiri dulu sempat mendalami bela diri, tetapi itu tak dapat berkembang dengan baik. Mungkin,
karena aku tak mendapat anugerah seperti kalian," ia
tersenyum. Pandangannya memandang Tunggasamudra dan
Sangda Alin secara bergantian, "Kalian sangat pantas terpilih menjadi pandaya
-ooo0dw0ooo- Pada akhirnya seorang pandaya akan ditempatkan dalam
posisi-posisi strategis di Kerajaan Sriwijaya. Biasanya karena kemampuan bela dirinya yang luar biasa, armada samudra
dan armada Bhumi yang akan menampung seorang pandaya.
Namun, tak jarang juga seorang pandaya ditempatkan di
sebuah datu dan menjadi dapunta.
Sebagai awal, untuk menumbuhkan kesetiaan pada
kerajaan, biasanya seorang pandaya akan menemani dapunta
yang ditunjuk untuk memilihnya, ke mana pun dapunta itu
berada. Seperti yang dilakukan Dapunta Cahyadawasuna
sekarang ini. Ialah yang kini akan mendidik pandaya itu
tentang segala tugas yang akan diembannya nanti. Dari sinilah nanti, selama dua belas purnama, Dapunta Cahyadawasuna
akan melaporkan hasil penilaiannya terhadap pan-daya-
pandaya itu kepada Sri Maharaja, serta menempatkannya
pada posisi yang paling sesuai dengan kebutuhan Kerajaan
Sriwijaya.

Dendam Dan Prahara Di Bhumi Sriwijaya Karya Yudhi Herwibowo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Maka, seperti itulah tugas awal Tunggasamudra dan
Sangda Alin. Keduanya kini tinggal di salah satu sudut di
kediaman Dapunta Cahyadawasuna yang ada di pinggir Telaga
Batu. Di sana mereka ditugaskan mengawal Dapunta
Cahyadawasuna setiap saat. Seperti yang terjadi hari ini saat matahari sepertinya terus bersembunyi di balik gumpalan
awan-awan yang memenuhi langit. Setelah beberapa hari
sebelumnya Dapunta Cahyadawasuna memberi gambaran
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tentang keadaan Kerajaan Sriwijaya, Tunggasamudra bersama
Sangda Alin kemudian bertugas mengawal Dapunta
Cahyadawasuna menuju Kedatuan Sriwijaya yang ada di
Telaga Batu. Dari kediaman Dapunta Cahyadawasuna ke Kedatuan
Telaga Batu sebenarnya tidaklah terlalu jauh. Apalagi bila
kuda dipacu dengan cepat. Namun, hari ini Dapunta
Cahyadawasuna ingin menikmati perjalanannya. Oleh karena
itu, ia menyuruh para pengawalnya memacu kudanya secara
perlahan, termasuk Tunggasamudra dan Sangda Alin yang kini
Kisah Para Pendekar Pulau Es 13 Peristiwa Merah Salju Karya Gu Long Kisah Pedang Di Sungai Es 17
^