Pencarian

Dendam Dan Prahara 3

Dendam Dan Prahara Di Bhumi Sriwijaya Karya Yudhi Herwibowo Bagian 3


sambil mengikatkan tali perahunya di salah satu patok yang
berderet di sekitar dermaga. Ia memang bisa memahami
tingkah pemuda itu. Sudah hampir satu purnama Kara Baday
tak keluar dari Pulau Karang. Temunya kesempatan seperti ini sudah begitu lama dirindukannya.
Rombongan kecil itu terus berjalan ke dalam, meninggalkan
dua orang anak buah lainnya menunggu perahu.
Saat akhirnya mereka memasuki sebuah kerumunan, Kara
Baday tak henti-hentinya tersenyum.
"Akhirnya, aku melihat manusia juga," ujarnya berlebihan.
"Manusia?" Paman Kumbi Jata melirik. "Memangnya selama ini kau menganggap apa kami ini?"
Kara Baday hanya tertawa. Segera saja ia melangkahkan
kakinya masuk di kerumunan itu.
Keadaan pasar hari ini memang cukup ramai. Beberapa
pedagang ikan dan buah-buahan menggelar dagangannya,
membuat jalur panjang dari timur ke barat. Di antara para
pedagang itu terlihat beberapa orang yang sedang
mempertontonkan suatu pertunjukan, dari sekadar tukang
cerita sampai pendekar-pendekar yang memperagakan
kemampuannya. Kara Baday hanya memperhatikan itu sebentar saja.
Matanya tampak masih terus mencari-cari sesuatu.
"Kau mencari apa?" Paman Kumbijata merasakan hal itu.
Kara Baday menoleh, "Apa di sini ada penjual makanan
seperti yang dijual di Telaga Batu?" tanyanya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Paman Kumbijata hanya mengangkat bahunya. Namun, tak
urung, dilemparkannya pandangan ke sekeliling kerumunan.
Beberapa purnama yang lalu mereka memang sempat datang
ke Telaga Batu dan menemukan seorang penjual makanan
yang belum pernah mereka lihat. Penjual makanan itu
memang bukanlah penduduk Sriwijaya dan ia menjual sejenis
makanan bundar berwarna putih yang berisi cacahan daging
yang kemudian dikukus di atas sebuah tungku. Penjual itu
menyebutnya bakpao.
Selama ini mereka hanya memakan nasi, ikan, dan buah-
buahan. Tentunya melihat makanan baru seperti itu, mereka
akan langsung mencobanya. Dan, saat makanan itu dibawa
pulang ke Pulau Karang, orang-orang hanya bisa memandang
dengan heran makanan itu. Namun, ketika mencoba rasanya,
mereka semua menyukainya. Maka itulah, saat Kara Baday
berencana lagi datang ke Pantai Timur, beberapa anak
buahnya yang tak ikut, memesan makanan itu. Terutama
Aulan Rema. Namun, sayangnya, walau sudah berjalan hingga di ujung
kerumunan, Kara Baday dan Paman Kumbijata tak menemui
penjual makanan itu.
"Sepertinya tak ada," Paman Kumbijata menyimpulkan.
"Tampaknya kita harus pergi ke Telaga Batu bila
menginginkan makanan itu
Kara Baday hanya mengangguk kecewa. Namun, ketika ia
baru saja akan berlalu, matanya tanpa sengaja tertumbuk
pada sesosok tubuh.
Tiba-tiba saja, entah mengapa, hatinya berdesir.
Tak jauh dari tempatnya berdiri, sesosok perempuan
tengah melangkah membelakangi dirinya. Bentuk tubuh dan
gerakannya, terutama bentuk rambutnya yang diikat tinggi ke
samping, dengan sebuah ikat kain berwarna putih, sepertinya
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
begitu dikenalnya. Sungguh, ia benar-benar mengingatkannya
pada seseorang ....
Tanpa berpikir panjang, Kara Baday segera berlari ke arah
itu. Disentuhnya pundak perempuan itu sambil berucap,
"Phrijandi?"
Sosok itu segera berpaling dan memandang Kara Baday
dengan tatapan tak mengerti, "Ya?"
Kara Baday tertegun, "Maaf, maaf, kukira engkau
temanku...."
-ooo0dw0ooo- Saat kepulangan rombongan itu, pikiran Kara Baday seperti
melayang. Phri Jandi... Phri Jandi... Phri Jandi.... Ia adalah gadis
pertama bagi Kara Baday. Gadis yang dicintainya dan gadis
yang mencintainya.
Kenangan akan raut wajahnya masih begitu lekat. Seakan
baru kemarin gadis itu menghilang dari dirinya. Ia masih ingat saat pertama kalinya gadis itu mengucapkan namanya. Waktu
itu, di sepotong hari yang belum lama merekah, seperti saat
ini. Juga di keramaian sebuah pasar yang hiruk-pikuk, juga
sama seperti saat ini. Ia pertama kalinya melihat Phrijandi
dengan rambut yang diikat tinggi ke samping, dengan sebuah
ikat kain berwarna putih. Saat itu tak ada gadis yang
memperlakukan rambutnya seperti itu. Maka itulah, Kara
Baday muda begitu memperhatikannya. Terutama saat gadis
itu berpaling ke arahnya. "Engkaukah salah satu penduduk baru itu?" tanya gadis itu.
Kara Baday hanya tertegun ketika itu. Bukan karena
pertanyaan itu, tetapi karena kejelitaan gadis itu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Bagaimana mungkin kalian pindah secara bersamaan?"
tanya gadis itu lagi.
Dan, pertanyaan itu menyadarkannya. Ia, ayahnya, dan
sekitar seratus lima puluh orang pengawal ayahnya memang
baru saja memutuskan menetap di pinggiran datu ini. Mereka
terus mencoba menghindari kejaran pasukan Sriwijaya.
Maka itulah, pertemuan pertamanya itu kadang sangat
disayangkannya. Karena pertanyaan itu, mau tak mau, harus
dijawab dengan sebuah kebohongan. Selama ini, sudah
berkali-kali keberadaan mereka diketahui pasukan Kerajaan
Sriwijaya. Maka itulah, mereka harus pandai-pandai
menyembunyikan jati diri mereka.
"Datu kami baru diserang oleh gajah-gajah liar," ujarnya.
"Maka itulah, kami pindah kemari."
"Akan tetapi, mengapa begitu menepi?" tanya gadis itu lagi.
"Bukankah lebih baik membaur bersama kami?"
Dan, kembali kebohongan yang ia ucapkan, "Kami... hanya sementara di situ."
Dan, gadis itu tampaknya puas dengan jawabannya. "Oya,
aku Kara," ujar Kara sambil menangkupkan kedua telapaknya di depan dadanya untuk memulai perkenalan.
Gadis itu melakukan gerakan yang sama sambil sedikit
menundukkan kepalanya. "Aku Phri Jandi," ujarnya.
Dan, nada suara itu sepertinya terus bergema lembut di
telinganya ... hingga saat ini ....
Phri Jandi... Phri Jandi... Phri Jandi.....
Sungguh, kala itu ia berharap bahwa saat itu adalah
kepindahannya yang terakhir. Letak datu ini begitu jauh dari Telaga Batu dan jauh juga dari datu-datu yang menjadi
bawahan Sriwijaya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Akan tetapi, ternyata harapannya tinggallah harapan.
Belum lama ia mengenal Phri Jandi, merasakan kedekatan
hubungan di antara keduanya, keberadaan mereka kembali
tercium oleh pasukan Sriwijaya ....
Saat itulah mimpinya seketika buyar!
Melihat Kara Baday yang terccnung-cenung begitu lama di
buritan perahu, Paman Kumbi Jata dan lima anak buahnya
yang lain pun hanya diam memperhatikan pemuda itu.
"Mengapa Kara?" seseorang mencoba bertanya.
Paman Kumbi Jata hanya bisa menggeleng.
'Apa kita perlu menyanyi agar suasana menjadi lebih
enak?" seorang anak buah yang lain mengusulkan. Dan,
sebelum Kumbi Jata menjawabnya, ia sudah mencoba
bernyanyi kecil, "Kucoba-coba melempar monyet.... Monyet kulempar, singa kudapat..."
Paman Kumbi Jata langsung melotot. "Apa-apaan kalian
ini?" ia membentak dengan nada tertahan. "Sudah sana, kalian mendayung saja!"
-ooo0dw0ooo- Mereka sampai di Pulau Karang keesokan harinya.
Beberapa penduduk segera menyambut kedatangan mereka.
Namun, Kara Baday tampaknya tetap tak seperti biasanya.
Senyumnya tidak lebar saat menerima sambutan orang-orang
itu. Bahkan, ketika bocah-bocah kecil berlari mengitarinya
sambil berteriak-teriak meminta cerita, ia tak lagi
menghiraukannya. Ia terus berjalan ke arah rumahnya.
Akan tetapi, di situ, sosok Aulan Rema sudah menghadang
di pintu rumahnya.
"Aku menemukan sesuatu," ujarnya dengan senyum lebar.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kara Baday mencoba tersenyum, "Aku lelah, bisakah aku
beristirahat dulu?"
Aulan Rema menggeleng, "Aku harus menunjukkannya
kepada Kakak sekarang!"
Lalu, segera ia menarik tangan Kara Baday yang tampak
tak bersemangat. Dibawanya Kara Baday berlari cepat ke arah
tebing. "Adik Aulan, kau berlari terlalu cepat." Kara Baday hanya bisa mengikuti langkah-langkah kecil itu.
Aulan Rema tertawa kecil, "Kau hanya malas saja, Kakak,"
ujarnya. "Bukankah biasanya kau bisa berlari lebih cepat dariku?"
"Sudah kukatakan aku lelah ...."
Aulan Rema tak peduli. Ia terus menarik Kara Baday
menaiki bukit yang seakan memagari pulau itu. Kara Baday
pun tak lagi memprotes. Ia membiarkan dirinya dibawa Aulan
Rema hingga berada di satu puncak bukit karang itu.
Kara Baday memandang sekitarnya, "Nah, sekarang kita
telah ada di puncak, apa yang mau kautunjukkan padaku,
Aulan?" Aulan Rema tersenyum, "Masak Kakak tak melihatnya"' ia
menggerakkan tangannya ke arah hamparan bunga-bunga
beraneka warna yang tumbuh di celah-celah karang.
'Aku ingin menunjukkan ini kepada Kakak," tambahnya
dengan senyum lebar.
Kara Baday hanya bisa menggaruk-garuk kepalanya,
"Hanya ini?" ujarnya.
Aulan Rema langsung cemberut, "Apa maksud Kakak
dengan berkata hanya ini?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Tidak, tidak, maksudkuKara Baday langsung mengoreksi
ucapannya. "Hmmm, bunga-bunga ini belum cukup mekar
Bibir Aulan Rema tampak kembali normal, "Benarkah" Apa
ia akan tumbuh lebih besar lagi?"
Kara Baday mengangguk, "Mungkin dalam beberapa hari ini kita bisa ke sini lagi. Sekarang aku harus beristirahat dulu. Aku benar-benar ingin bermimpi indah
Aulan Rema tertawa. "Memangnya Kakak ingin bermimpi
apa?" ujarnya sambil mendekati Kara Baday.
"Huh," Kara Baday berlagak berpaling, "tentu saja rahasia."
Aulan Rema segera melendot pada tangan Kara Baday.
"Pasti bermimpi tentang ... aku?" ia langsung memainkan bibirnya.
Kara Baday langsung tertawa. Dicubitnya hidung gadis kecil
di depannya, "Kau ini, terlalu yakin ...."
"Habis siapa lagi?" Aulan Rema masih memainkan bibirnya.
"Di sini tak banyak gadis^muda, selain aku" Kalaupun ada itu juga pasti istri dari anak-anak buah Kakak" Dan, itu tak
banyak Kara Baday kembali menggelengkan kepalanya. "Kau ini
tampaknya lupa," ujarnya. "Kau ini belum termasuk gadis muda, tetapi... anak kecil!" sehabis berkata demikian, Kara Baday langsung tertawa lebar. Aulan Rema langsung saja
mencoba untuk mencubitnya.
Akan tetapi, Kara Baday berlari menghindar. Ia segera saja
melompati beberapa terjalan bukit untuk menghindari cubitan
itu. Sampai di bawah Aulan Rema terus memasang muka
cemberut. "Kakak yang menyebalkan," desisnya.
Kara Baday hanya tersenyum sambil berjalan turun dengan
sedikit menjauh.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Hmmm, iya hampir lupa aku bercerita," Kara Baday
menghentikan langkahnya. "Tadi aku seperti bertemu dengan ayuk1-mu ..."
Aulan Rema menoleh tak percaya, "Ayuk (Sebutan kepada
perempuan yang lebih tua. seperti halnya sebutan 'mbak' di
Jawa) Phrijandi?"
Kara Baday mengangguk. "Ya, semula aku pikir ia. Cara
mengikat rambut dan kain pengikatnya benar-benar sama.
Namun, begitu kudekati... ternyata bukan," Kara mencoba tertawa, tetapi nada suaranya terasa tak lepas. Aulan Rema
mendadak menjadi terdiam. "Mengapa kau?" Kara Baday tampak heran. Segera ia mendekat.
Aulan Rema menggeleng, "Tidak, tidak apa-apa." Ia
kemudian meneruskan langkahnya, agak menjauh dari Kara
Baday. "Sepertinya," suaranya kemudian terdengar, "kakak masih belum bisa melupakan Ayuk Phri Jandi, ya?" Ia menoleh
sekilas, dengan tatapan yang langsung membuat Kara Baday
terdiam. Lalu, sebelum sempat Kara Baday menjawab pertanyaan
itu, Aulan Rema kembali menarik napas panjang. "Sepertinya juga," ujarnya lagi, "selama ini Kakak belum bisa percaya, atau tak mau percaya, bahwa Ayuk Phri Jandi memang sudah
meninggal saat itu."
Kara Baday tertegun. Kini tatapan Aulan Rema yang sedikit
berkaca seakan menusuk hatinya.
"Bukan begitu maksudku," Kara Baday mencoba mencari kata-kata. "Tetapi...."
Belum sempat kata-katanya keluar, sebuah suara tiba-tiba
memecah percakapan di antara mereka .... "KARAAAAA!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Keduanya segera menoleh. Paman Kumbijata terlihat
tengah berlari dengan gerakan terburu-buru ke arah
keduanya. "Abah Kara jatuh!" teriak Paman Kumbijata sebelum benar-benar dekat. "Abah Kara jatuuuh!" ulangnya
Kara Baday seketika tersadar. Lalu, dengan secepat kilat, ia melompat ke depan dan berlari menuju rumahnya.
-ooo0dw0ooo- Kara Baday menerobos kerumunan itu. Paman Kumbijata
dan Aulan Rema mengikutinya dari belakang.
Rumah itu telah penuh sesak. Bahkan di luar, orang-orang
sudah berdiri berderet-deret. Sepertinya semua orang di Pulau Karang ini telah hadir di sini. Mereka segera saja memberi
jalan kepada Kara Baday.
Di dalam, di ruangan yang tampak terawat rapi, Abah Kara,
atau Dapunta Abdibawasepa, terbaring di tikarnya dengan
wajah sangat pucat.
"Abah," Kara Baday langsung menjatuhkan dirinya,
memegang tangan ayahnya.
"Abah tak apa-apa?" suaranya terdengar khawatir. Abah Kara terbatuk. 'Aku tak apa-apa, Kara," ujarnya dengan suara nyaris tak terdengar. "Ini mungkin ... memang sudah waktuku
...." Kara Baday tertegun. Dipandanginya dalam-dalam wajah
yang ada di dekatnya itu. Keriput di wajah dan tubuh ayahnya seakan terlihat untuk pertama kali olehnya ini. Baru kini ia menyadari ketuaan ayahnya. Dan, hal itu serta-merta
membuat matanya berkaca-kaca.
"Sudahlah," ujar Abah Kara lagi. "Aku sudah cukup puas hidup selama ini...."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Abah.."Kara Baday menunduk. "Hanya saja aku ingin berpesan kepadamu, juga kepada kalian semua," ujarnya
melirik kepada Paman Kumbi Jata yang berdiri satu langkah di belakang Kara Baday.
Ia terbatuk beberapa kali. "Aku ingin," suaranya terdengar lebih keras, tetapi tetap terasa tercekat di tenggorokan,
"kalian berhentilah menjadi... bajak laut"
Ucapan ini cukup mengagetkan semua yang ada dalam
ruangan ini. Dulu, dalam keadaan yang terus diburu, Abah


Dendam Dan Prahara Di Bhumi Sriwijaya Karya Yudhi Herwibowo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kara terus menyaksikan satu demi satu pengawalnya gugur
membela dirinya. Namun, ia terus bertahan tanpa melawan.
Puluhan kali Paman Kumbi Jata dan beberapa pengawalnya
mengusulkan untuk membalas, tetapi ia selalu menolak.
Akan tetapi, adakah seseorang yang mampu menyimpan
luka yang terus menoreh hatinya" Adakah seseorang yang
akan tetap diam melihat orang-orang yang mengorbankan
nyawa untuknya mulai gugur satu demi satu" Dan, Abah Kara
pun tak mampu. Kesabarannya pun akhirnya musnah.
Diputuskannya tak lagi hanya berlari. Ia memilih untuk
membalas semua sakit hati ini.
Maka itu, setelah menemukan tempat yang begitu
tersembunyi di gugusan Pulau Karang ini, ia pun mulai
membentuk pengawal yang tersisa menjadi pasukan bajak
laut! Paman Kumbijata masih begitu hafal semua kejadian itu. Ia
masih begitu ingat penyerangan pertamanya. Saat itu Kara
Baday masih menjadi bocah ingusan yang menangis saat
perahu-perahu itu meninggalkan dirinya bersama beberapa
perempuan di Pulau Karang itu.
Paman Kumbijata masih bisa melihat tuannya berdiri di atas
salah satu perahu, membiarkan rambut panjangnya terurai
sehingga mengaburkan usianya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Oleh karena itu, Paman Kumbijata dan yang lainnya sama
sekali tak menyangka ucapan itu akan keluar dari bibir
tuannya. Namun, dalam kondisi seperti ini, tak ada yang
benar-benar berpikir tentang kalimat itu. Keadaan Abah Kara
lebih penting dari sekadar itu.
Abah Kara kembali terbatuk. Sekilas Kara Baday melihat
darah memercik karena batuk itu. Namun, Abah Kara tak
memedulikannya. Ia kembali melanjutkan ucapannya, "Lalu, jalankan ... kehidupan kalian ... dengan baik"
Kembali Abah Kara terbatuk. Kali ini batuk yang
berkepanjangan.
"Dapunta, sudahlah," Paman Kumbijata mendekat. "Jangan bicara lagi! Beristirahatlah saja dulu!"
Akan tetapi, Abah Kara menggeleng. Dipandanginya Paman
Kumbijata dengan sinar mata yang semakin sayu.
"Dan, kau Kumbi," ia berucap pelan, membuat Paman
Kumbijata menggeser dirinya lebih mendekat. "Sampaikan ...
kepada yang lainnya... permohonan maafku... yang sudah ...
menjerumuskan kalian semua
Paman Kumbijata menggelengkan kepalanya, "Tidak,
Dapunta, tidak.."
"Tolong dengarkan aku, Kumbi," ujarnya lagi. "Seharusnya aku ... tak membawa kalian semua... dalam dendam yang
berkepanjangan ini
Paman Kumbi Jata tetap menggeleng kuat-kuat.
"Maafkan ... aku ...," air mata Abah Kara perlahan bergulir dari matanya.
Melihat itu, Paman Kumbi Jata memejamkan matanya kuat-
kuat. Namun, tak urung air matanya tetap tak terhalangi
untuk jatuh ke pipinya ....
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Abah Kara terbatuk. Namun, kali ini napasnya seakan
tercekat. "Abah ..."suara Kara Baday terdengar panik.
"Dapunta ...."
"Kumbisuara Abah Kara masih terdengar di sela-sela
napasnya, "jaga ...jaga ... ia ... baik-baik
Dan, sebelum Paman Kumbi Jata mengangguk, kepala
Abah Kara telah terkulai terlebih dahulu ....
Kara Baday seketika menubruk tubuh itu dan memeluknya
erat-erat. Tangisannya pecah mengisi celah-celah waktu di
antara desiran angin yang ada di Pulau Karang ini. Lalu,
menyebarkannya pada telinga-telinga orang-orang yang ada di
seluruh Pulau Karang ini. Semua mata kemudian menitikkan
air matanya, terutama Paman Kumbi Jata. Lepas dari ucapan
terakhir Abah Kara, ia benar-benar tak perlu mengucapkan
kata-kata lagi untuk mengiyakannya. Sejak dulu, ia telah
mematri hatinya untuk tetap setia kepada tuannya itu hingga
sepanjang hidupnya. Maka kini, ia tak perlu lagi kembali
mengucapkan janji itu di dalam hatinya. Karena, tanpa diminta pun ia akan tetap menjaga keturunan Dapunta Abdibawasepa
hingga ajal menjemputnya ....
-ooo0dw0ooo- Lalu, hari-hari berikutnya berlalu dengan lebih hening ....
Beberapa hari setelah pembakaran jenazah ayahnya, Kara
Baday menyebarkan abu jenazah itu di seluruh pulau. Ini
merupakan keputusannya sendiri. Di tahun-tahun terakhir di
sini, ayahnya tak bisa lagi mengingkari dirinya yang begitu
mencintai pulau kecil ini. Bahkan, beberapa kali ia mendengar, ayahnya bergumam ingin terus berada di sini. Maka itulah, ia menaburkan abu jenazah ayahnya di sini. Ia ingin menyatukan
seluruh pulau ini dengan ayahnya!
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sepanjang hari ia melakukannya sendiri tanpa ingin
ditemani. Ia mau menikmati saat-saat terakhir itu berdua saja dengan ayahnya. Dari jauh, Aulan Rema dan Paman Kumbi
Jata serta beberapa orang lainnya hanya bisa
memperhatikannya tanpa bisa berbuat apa-apa.
Beberapa hari berselang, setelah keadaan mulai sedikit
membaik, Paman Kumbi Jata mendatangi Kara Baday di
rumahnya. "Kau baik-baik saja, Kara?" tanyanya sambil masuk ke dalam rumah.
Kara Baday hanya mengangguk. Penampilannya sekarang
tampak begitu tak teratur. Rambutnya tampak begitu kusut.
Kumis dan jambangnya juga tumbuh tak teratur. Beberapa
hari ini, ia memang mengurung diri di dalam rumahnya, tanpa
mau diganggu oleh siapa pun.
"Sebaiknya kau membersihkan diri!" ujar Paman Kumbi Jata lagi. "Dengari penampilan seperti itu, tak akan ada gadis yang mau melirikmu ...."
Kara Baday tersenyum juga, "Kupikir tidak seburuk itu ...."
Paman Kumbi Jata mendekat, "Sekarang ini sudah selesai
waktumu untuk bersedih, Kara! Kini waktunya kau
melanjutkan hidup!"
Kara Baday terdiam. Dipandanginya wajah Paman Kumbi
Jata seiring terngiangnya pesan terakhir ayahnya saat itu....
"Aku ingin, kalian berhenti menjadi bajak laut...."
"Aku tahu, Paman," ujarnya. "Akan tetapi, aku ... tak tahu harus melakukan apa. Bukankah pesan Abah saat itu, kita tak
lagi menjadi bajak laut?"
Paman Kumbijata tertawa, "Kau ini memang masih terlalu
muda, Kara. Tentu saja kita akan menuruti amanat ayahmu.
Itu merupakan amanat terakhir. Jadi, kita harus mengikutinya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Maka itulah, kami di sini menunggumu untuk menanti perintah
darimu "Aku ...," Kara Baday menelan ludah. "Kara, sebenarnya kau cukup menyebutkan sesuatu," ujar Paman Kumbijata lagi,
"dan kami akan mengikutimu. Kau ingin kami menjadi
nelayan" Atau menjadi pengumpul kayu bakar" Atau mencari
tanah baru" Sungguh, kami akan tetap mengikutimu
Kara Baday terdiam. Sungguh, selama ini ia tak pernah
berpikir hingga sejauh itu. Sekian lama ia bersama dengan
pengawal-pengawal ayahnya ini, ia sama sekali tak tahu
sampai sedalam apa kesetiaan pengikut ayahnya ini.
Diam-diam ini membuat hatinya terasa sejuk. Namun,
sebuah pikiran lain seketika terlintas di kepalanya, apa yang bisa dijanjikannya kepada mereka semua" Bukankah ia lak
memiliki apa-apa lagi"
Tengah Kara Baday berpikir demikian, tiba-tiba sebuah
suara terdengar mengagetkan.
'Ada yang dataaang!" suara itu terdengar bergema.
Awalnya hanya teriakan dari seorang anak yang tengah
bermain di atas bukit. Namun, akibatnya begitu mengejutkan.
Semua orang yang ada di situ tiba-tiba menghentikan
geraknya. Awalnya mereka berpikir telah salah mendengar. Ya,
bagaimana mungkin ada yang datang kemari" Bukankah pulau
ini pulau yang tak pernah diketahui keberadaannya"
Akan tetapi, teriakan itu tak berhenti. Beberapa orang
dewasa segera saja memanjat tebing.
Dan, benar, sebuah perahu kecil ternyata terlihat tengah
menuju ke Pulau Karang ....
Saat itulah, orang-orang itu segera berlari memberi tahu
Kara Baday di rumahnya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Hanya sebuah perahu kecil," ujar orang itu. Di dalamnya hanya terlihat tiga orang penumpang dan beberapa
pendayung. "Mereka bukan nelayan?" Paman Kumbi Jata masih
menyangsikan. Orang itu menggeleng, "Tidak mungkin mereka nelayan.
Sejak tadi mereka memutari pulau ini, jelas sekali kalau
mereka memang mencari kita."
Kara Baday terdiam. Ia berpikir keras. Dengan mengitari
gugusan pulau ini secara saksama, tentu mereka akan segera
menemukan celah ini!
Menyadari hal itu, hati Kara Baday tiba-tiba bergelora,
"Bersiaplah! Siapkan semuanya!"
Lalu, dengan gerak cepat, semua orang yang ada di situ
segera berlari bersiap. Sebagian lelaki mengambil senjata-
senjata mereka dan sebagian yang lain mulai mendorong
perahu-perahu mereka ke arah pantai. Beberapa wanita juga
menyiapkan busur panah beserta anak panahnya sambil
mengambil posisi di tempat-tempat tersembunyi. Sedang
anak-anak segera berlari semakin ke dalam, menuju ke rumah
Abah Kara yang berada di paling ujung untuk bersembunyi.
Semuanya tampak begitu terorganisasi. Jelas sekali bila
Abah Kara telah melatih semuanya dengan matang.
Kara Baday mengambil pedangnya.
"Kakak," Aulan Rema muncul di dekatnya. Tangannya
mengangsurkan sebuah ikat kepala yang biasa digunakan Kara
Baday. Kara Baday menerimanya dengan gerakan perlahan.
"Kau bersiaplah," ujarnya sambil mengikatkan ikat kepala itu. "Ini mungkin saja bisa menjadi peperangan pertamamu
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Aulan Rema mengangguk. Ia segera bergabung dengan
beberapa wanita lainnya, mengambil busur panah beserta
anak panahnya. Kara Baday terus melangkah ke depan, menyaksikan
semuanya bersiap. Seorang anak buahnya yang bersembunyi
di balik bukit, memberi tanda dengan kain putih.
"Mereka telah menemukan kita," desis Paman Kumbi Jata yang ada di sebelah Kara Baday.
"Baguslah bila begitu, Paman," ujar Kara Baday dengan mata berkilat. "Hanya sebuah kapal, kita akan dengan mudah mengalahkannya
Paman Kumbijata hanya terdiam. Ia merasa Kara Baday
terlalu percaya diri, tetapi ia tak mencoba berucap apa-apa. Ia menenangkan hatinya dengan terus berpikir bahwa apa yang
diucapkan Kara Baday memang benar adanya.
Hanya sebuah kapal... kita akan dengan mudah
mengalahkannya ....
Lalu, seiring degup jantung yang semakin keras, sebuah
perahu bertiang layar satu muncul dari celah karang itu.
Bergerak pelan, membelah ketenangan air di situ. Seorang
lelaki berjenggot putih dengan pakaian biasa tampak berdiri di depan perahu.
"Ambilkan panah!" Kara Baday meminta.
Paman Kumbijata segera mengangsurkan busur panah
berikut anak panahnya. Lalu, dengan gerakan terlatih, Kara
Baday mengangkat busur panahnya dan mulai membidik ke
arah perahu. Wuuush.... Sesaat anak panah itu meluncur ke angkasa. Semua mata
memandangnya membelah langit. Lalu ...jatuh tepat di depan
kaki lelaki yang berdiri di depan perahu itu ....
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kara Baday tersenyum.
Lelaki berjenggot putih itu mengangkat tangannya. Seorang
pemuda yang sedari tadi berdiri di belakangnya, segera maju
dan langsung berteriak, "Kami datang untuk bicara!"
Kara Baday menoleh ke arah Paman Kumbijata. "Mereka
ingin bicara," desisnya, "Bagaimana menurut, Paman?"
Paman Kumbijata berpikir sebentar, "Kupikir tak ada
salahnya kita bicara dulu," ujarnya. "Bukankah bila mereka bermacam-macam, kita bisa langsung membunuh mereka?"
Kara Baday tersenyum. "Kau majulah!" serunya kepada salah seorang anak buahnya yang lain, "Beri jalan buat perahu itu!"
Lalu, anak buah itu segera berlari ke arah dermaga.
Tangannya terus bergerak-gerak, memberi tanda kepada yang
lainnya. Semua kemudian menunggu. Perahu itu bergerak pelan
hingga sampai di dermaga. Ketiga orang yang ada di dalam
perahu itu segera naik ke dermaga ....
"Panglima SamudraJara SinyaPaman Kumbijata langsung
bergumam dengan tak percaya. Selama ini, ia telah beberapa
kali bertemu dengan Panglima Samudra Kerajaan Sriwijaya
itu.... Kara Baday tertegun mendengar gumaman itu, "Panglima
Samudra Jara Sinya" Mau apa ia kemari, Paman?"
Paman Kumbijata menggeleng pelan. "Kita akan tahu
setelah bicara nanti," ujarnya. "Namun hati-hatilah dengannya! Sejak dulu, Dapunta Abdibawasepa sering
mengatakan bahwa ia merupakan panglima yang cerdik"
Kara Baday mengangguk.
Ketiga orang yang berdiri di atas dermaga itu memang-lah
Panglima Samudra Jara Sinya dan putra keduanya Sang-
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
gatrasima serta Panglima Muda Patakanandra. Mereka tak
langsung dikenali karena sekarang ketiganya hanya
berpakaian biasa, tanpa terlihat membawa senjata sama
sekali. "Kami hanya ingin bertemu dengan tuanmu!" ujar Panglima Muda Patakanandra dengan nada hati-hati. Sepanjang
perjalanan dari celah itu, ia sudah bisa melihat orang-orang yang bersiap di sekitar pulau ini.
Beberapa anak buah Kara Baday menyuruh ketiganya
berjalan mendekat.
"Kuakui keberanian kalian," ujar Kara Baday ketika mereka sudah begitu dekat. "Panglima SamudraJara Sinya...."
Panglima Samudra Jara Sinya tersenyum, ia maju ke depan
sambil mendekapkan kedua telapak tangannya di dadanya,
"Keberanian ini, tentu bukanlah apa-apa ...."
Kara Baday tersenyum sinis, "Aku tak memiliki waktu
banyak. Segera saja sebutkan, apa tujuanmu kemari?"
Panglima Samudra Jara Sinya mencoba kembali tersenyum.
"Aku hanya ingin bertemu dengan Dapunta Abdibawasepa,"
ujarnya. "Aku datang... sebagai kawan lama
Kara Baday terdiam. Ia tak langsung menjawab pertanyaan
itu. Walau selama ini ia tahu antara ayahnya dan Panglima
Samudra Jara Sinya memang saling mengenal, tetapi ia sama
sekali tak tahu sedekat apa perkenalan keduanya.
Paman Kumbi Jata yang melihat jeda kediaman itu segera
maju selangkah. "Semua urusan di sini sekarang diurus oleh putra Dapunta, Kara Baday!" ujarnya.
Kening Panglima Samudra Jara Sinya seketika berkerut.
"Apakah Dapunta Abdibawasepa... tak lagi bersama kalian?"
tanyanya dengan nada tak yakin. "Atau ... aku yang datang terlambat?" sambungnya ragu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kara Baday mengangkat tangan. "Sudahlah, tak periu
berbasa-basi!" ujarnya dengan nada tegas. "Katakan saja mau apa kau kemari, Panglima?"


Dendam Dan Prahara Di Bhumi Sriwijaya Karya Yudhi Herwibowo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Panglima Samudra Jara Sinya mengangguk-angguk,
"Tentu, aku akan mengatakannya. Aku tak akan menyita
waktumu lebih lama," ujarnya. "Kedatanganku kemari hanya ingin menawarkan sesuatu kepadamu
Panglima Samudrajara Sinya maju selangkah lagi
mendekati Kara Baday, "Aku ingin kalian semua bergabung ber-samaku
-ooo0dw0ooo- 13 Bocah yang tersisa dari
pembantaian Kepulangan kali ini adalah kepiluan ....
Awalnya keduanya sama sekali tak melihat asap hitam yang
mengepul di atas langit. Pohon-pohon tinggi masih
menutupinya seakan tak ingin menyampaikan berita duka itu.
Tunggasamudra masih terus berlari-lari kecil di depan Biksu
Wang dengan wajah yang tak sabar.
Barulah ketika batas hutan terlewati dan pohon terakhir
tersibak, keduanya mendapati bubungan asap hitam itu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ketertegunan muncul di wajah keduanya. Tampak oleh
mereka datu tempat tinggal mereka telah terbakar dengan
hebatnya. Api menyala di semua sudut, meluluhlantakkan
rumah-rumah yang telah tegak berkat bantuan Biksu Wang itu
.... Sungguh, tak ada lagi tanda-tanda kehidupan di sana....
Semuanya benar-benar telah mati!
-ooo0dw0ooo- Setelah sehari berselang, api barulah berhenti. Sebenarnya
tak sepenuhnya berhenti, masih ada geliatnya terlihat di
beberapa tempat. Namun, ini sudah cukup bagi Biksu Wang
dan Tunggasamudra untuk mendekatinya. Saat itulah
keduanya baru dapat memeriksa keadaan datunya secara
jelas. Semuanya kini tinggal puing-puing hitam yang berasap di
mana-mana. Bau asap yang tajam masih menyelimuti,
membuat Tunggasamudra sesekali terbatuk. Namun, itu tak
mengurungkan niatnya untuk menapaki seluruh tanah di datu
itu pelan-pelan, dengan kakinya yang tanpa alas.
Saat itu, ia sempat melihat Biksu VVang di kejauhan,
tengah juga memperhatikan puing-puing di sekitar
kediamannya. Namun, ia tak lama memperhatikan itu.
Pikirannya seakan bergerak sendiri.
Perlahan ia kembali menyusuri setapak itu ....
Ia masih begitu hafal letak rumah-rumah di sini satu demi
satu. Ia masih hafal setapak yang selalu dibersihkannya setiap memulai harinya. Ia masih hafal letak beberapa barang milik
penduduk. Ia bahkan masih begitu hafal nada-nada suara
yang berlainan memanggilnya .... .
Muara... Muara... Muara....
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sungguh, ia masih begitu hafal semuanya. Bukankah baru
kemarin saja ia merasakan itu semua"
Tunggasamudra tercekat. Tanpa terasa air matanya jatuh.
Muara... Muara... Muara ....
Untuk sesaat Tunggasamudra benar-benar terhanyut dalam
keadaan ini. Namun, ia buru-buru menghapus air matanya
saat langkah kaki Biksu Wang dirasakannya mendekat ke
arahnya. "Semua yang hidup akan kembali ke tanah," suara Biksu VVang langsung membuatnya berpaling.
Tunggasamudra kembali menghapus air matanya dengan
lengannya. "Aku ... hanya merasa sendirian," ujarnya.
Biksu mencoba tersenyum, "Kau ini!" ia menepuk-nepuk pundak Tunggasamudra, "Lalu, kau anggap apa lelaki gundul ini, heh?"
Mau tak mau, Tunggasamudra menarik sedikit bibirnya
untuk tersenyum.
"Dengar," ujar Biksu Wang lagi, "sekarang tak ada apa-apa lagi di sini. Engkau ... bisa ikut bersamaku bila mau!" ujarnya seakan telah melupakan tujuannya berpamitan.
Dan, Tunggasamudra hanya bisa menatap Biksu Wang
lekat-lekat. Ucapan yang hanya pelan saja itu, benar-benar
menenteramkan hatinya. Seiring dengan itu, tiba-tiba suara
derap kuda terdengar dalam keheningan menjelang matahari
terbenam. Bunyinya sedikit bergemuruh, tanda ada beberapa
orang yang datang sekaligus.
Awalnya Biksu Wang hendak menarik Tunggasamudra
untuk segera bersembunyi di balik semak-semak. Namun,
begitu tahu pasukan Sriwijaya yang datang, keduanya segera
keluar dari tempat persembunyian.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Pemimpin pasukan berkuda itu segera mendekati Biksu
Wang, "Hanya kalian yang selamat?" tanyanya. Biksu Wang hanya bisa mengangguk. Pemimpin pasukan itu kemudian
memberi tanda dengan tangannya kepada pasukannya untuk
menyebar dan mengamati sekelilingnya. Tujuh anggota
pasukan segera menyebar. Ada yang memeriksa sisa-sisa
jejak di tanah, ada yang memeriksa puing-puing rumah, dan
ada yang memeriksa barang-barang yang tercecer di
sepanjang setapak ....
"Tampaknya ini perbuatan bandit-bandit dari Kerajaan
Malaya," ujar pemimpin itu setelah mendengar laporan dari pasukan yang lain. "Mereka tak banyak mengambil harta
penduduk. Tak ada sisa-sisa barang yang tercecer ...."
Tunggasamudra terdiam sambil terus memandang orang-
orang itu. Tanpa ada yang mengetahuinya, otaknya merekam
semua ucapan lelaki itu baik-baik ....
Tak lama kemudian pasukan itu pun berlalu bersamaan
dengan tenggelamnya matahari di ufuk barat.
Sesaat dalam sisa-sisa cahaya yang ada, Tunggasamudra
masih menatap datu itu. Perasaan kehilangannya kembali
muncul. Namun, sentuhan tangan Biksu VVang di pundaknya
kembali dapat membuatnya tenang.
"Waktunya kita pergi," ujar Biksu Wang.
Tunggasamudra mengangguk dalam diam dan mulai
berpaling dan melangkah di belakang Biksu Wang. Ia sama
sekali tak tahu akan ke mana Biksu Wang membawanya pergi.
Ia hanya membiarkan kakinya terus melangkah mengikutinya
.... Dalam perjalanan itu, Tunggasamudra sama sekali tak
memperhatikan sebuah kotak panjang yang kini menggantung
di pundak Biksu Wang, menempel di punggungnya ....
-ooo0dw0ooo- Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Lalu, perjalanan menjadi sahabatnya ....
Hari demi hari dilalui keduanya dengan berjalan melintasi
bukit, hutan, dan sungai. Mereka menyinggahi satu tempat
dan tempat lainnya untuk terus kembali melanjutkan
perjalanannya. Terus seperti itu, seakan perjalanan itu tak
pernah berujung.
Pernah satu kali, Tunggasamudra bertanya, "Sebenarnya,
kita akan ke mana, Biksu?"
Dan, Biksu Wang hanya akan menggelengkan kepalanya,
"Aku sendiri tak tahu pasti, Tungga. Aku hanya mengikuti kakiku ...."
Dan, Tunggasamudra tak berucap apa-apa lagi.
Mereka terus berjalan seperti semula. Kembali melintasi
bukit, hutan, dan sungai. Berhenti di setiap datu yang dilalui.
Tinggal untuk beberapa saat untuk menolong para penduduk
yang membutuhkan tenaga mereka. Dan kemudian, kembali
melanjutkan perjalanan.
"Hidup itu adalah penderitaan," suatu kali Biksu Wang berucap. "Sejak dulu aku tahu kau telah melalui penderitaan yang panjang. Maka itulah, aku tak akan memaksa dirimu
untuk mengikuti aku
Tunggasamudra mengangguk sambil tersenyum, "Aku tahu,
Biksu," ujarnya. "Hidup memang penderitaan, tetapi aku sama sekali tak merasa sedang menjalani penderitaan itu ....
Biksu Wang tersenyum pahit. Sebenarnya, tadi ia berniat
akan mengucapkan sebuah kalimat lagi, tentang niatannya
menitipkan Tunggasamudra di sebuah datu yang kini
dilewatinya. Namun, melihat wajah yang tampak bersemangat
itu, ia mengurungkan niatnya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Maka itulah, Tunggasamudra pun terus bersamanya melalui
setapak-setapak waktu yang panjang. Namun, tidak sekadar
itu lagi, di setiap kesempatan yang ada, di saat keduanya
beristirahat di sela-sela perjalanan mereka, atau di saat
tengah menetap di sebuah datu, Biksu Wang akan
mengajarkan gerakan-gerakan dari jurus-jurus bela diri yang
dikuasainya. Sejak dulu ia memang sudah mengajarkan
gerakan-gerakan dasar bela diri kepada Tunggasamudra
hingga ketahanan dan otot-otot Tunggasamudra telah
terbentuk pada tubuhnya.
Kini ia mulai mengajarkan jurus-jurusnya dengan
memotong dua bambu menjadi sama panjangnya. Dan, tanpa
Tunggasamudra menyadarinya, ia telah mempelajari jurus
Pedang Membelah Gunung, yang merupakan jurus terpendam
dari Aliran Liang Giang...
-ooo0dw0ooo- Suatu ketika mereka tiba di sebuah datu dengan awan
hitam yang selalu menggantung di atas kepala.
Ketika pertama kali melangkahkan kaki ke tanah Padang
Roco yang ada di hulu Batanghari ini, Biksu Wang dan
Tunggasamudra hanya bisa memandang dengan keheranan.
Suasananya terasa sangat lain dari datu-datu yang pernah
mereka datangi sebelumnya.
Di sepanjang setapak, arca Heruka, sebuah dewa dalam
panteon Buddha, dengan mudah ditemukan di berbagai sudut.
Sebagian besar tampak di depan rumah-rumah penduduk.
Ukurannya pun bermacam-macam. Dari yang sebesar telapak
tangan hingga yang sebesar ukuran manusia normal.
"Buddha sepertinya sudah masuk kemari," Biksu Wang memandang sekelilingnya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Saat seorang lelaki tampak melintasi mereka, Biksu Wang
mencoba menahannya. "Maaf," ujarnya dengan nada ramah,
"kiranya di mana kami berada sekarang ini?"
Dengan wajah tak suka, lelaki itu mengerutkan keningnya,
"Ini Datu Dharmasraya," ujarnya ketus sambil berusaha pergi dari hadapan Biksu Wang.
"Terima kasih," Biksu Wang membungkukkan tubuhnya
sambil membiarkan tubuh lelaki itu berlalu dari hadapannya.
Dharmasraya,, dalam hati Biksu Wang mengeja nama itu.
Sepanjang perjalanan, ia belum pernah mendengar nama itu.
Ini agak mencengangkan. Keadaan datu ini tampak jauh lebih
maju dari datu-datu lainnya. Bagaimana mungkin teman-
temannya sesama biksu Buddha sama sekali tak menyebutkan
keberadaan datu ini" Juga penduduk-penduduk di sekitarnya"
Biksu Wang kembali berjalan sambil terus mengamati
sekelilingnya. Agak jauh dari tempatnya berdiri, sempat
dilihatnya sebuah tempat pemujaan ajaran Hindu.
Tampaknya, kembali pikiran Biksu Wang menebak, ajaran
Hindu pun pernah masuk di sini ....
"Biksu," tangan Tunggasamudra menyentuhnya.
"Ada apa?" Biksu Wang menoleh.
"Kain baju mereka aneh," bisik Tunggasamudra.
Dengan tak mengerti, Biksu Wang segera saja mengamati
kain baju yang dipakai penduduk. Kain itu berwarna cokelat
seperti kain-kain kebanyakan yang mereka temui di datu-datu
yang mereka lalui sebelumnya, tetapi yang membuat aneh
adalah coraknya yang bergambar kepala tengkorak. Biksu
Wang menelan ludah.
Saat itu ia begitu ingin bicara dengan seseorang. Namun,
penduduk di sini tampaknya tak menyukai kehadiran
keduanya. Orang-orang itu hanya memandangi lekat-lekat
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kepada keduanya, tetapi ketika didekati, mereka akan buru-
buru pergi menjauh.
Untunglah ada seorang tua yang tak beranjak sama sekali
ketika Biksu Wang mendekatinya.
"Maaf," ujar Biksu Wang berusaha lebih ramah. "Di mana aku bisa bertemu dengan seorang biksu Buddha?"
Sambil memotong kayu bakarnya, lelaki tua itu hanya
menoleh sekilas. "Tak ada biksu Buddha di sini," ujarnya dengan nada tak peduli. "Kami penganut Wijrayana."
Biksu Wang terdiam. Sedikit banyak ia sudah mendengar
kata itu. Awalnya aliran Buddha Wijrayana adalah bagian dari aliran
Buddha Mahayana yang banyak dianut masyarakat saat ini.
Aliran ini diperkirakan datang bersamaan dengan datangnya
Wangsa Syailcndra dari Bhumijawa. Namun, karena adanya
kekuasaan raja saat itu, aliran ini mengalami begitu banyak
pergeseran. Seperti yang terjadi di Dharmasraya ini, raja selalu
disimbolkan dengan sosok Bhairawa, yaitu sesosok raksasa
yang begitu menyeramkan dan tengah menaklukkan lawan-
lawannya. Sungguh, Biksu Wang dapat melihat dengan jelas
gambaran itu karena di tempat yang tampaknya menjadi
lokasi berdiamnya pemimpin datu ini, Biksu Wang dapat
melihat dua buah arca Bhairawa yang tengah duduk di atas
singgasana! Ini membuat Biksu Wang hanya bisa menelan ludah.
Kekecewaan sedikit melanda hatinya. Aliran ini tampak sudah
begitu melenceng dari ajaran Buddha yang sebenarnya.
Sejenak saat itu ia merasa bimbang.
"Apa kita akan menginap di sini, Biksu?" suara
Tunggasamudra sedikit mengagetkannya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Biksu Wang terdiam. Ia tampak berpikir sebentar sambil
menatap sekelilingnya. Tak dapat dielakkan perasaan tak enak yang begitu besar dalam hatinya. Apalagi rasa tanggung
jawabnya telah membawa bocah ini sedemikian jauh.
Dengan gerakan perlahan, akhirnya Biksu Wang
menggelengkan kepalanya, "Kupikir, sebaiknya kita
melanjutkan perjalanan ...."
Entah keputusan ini tepat atau tidak bagi Biksu Wang.
Karena bila ia memutuskan menetap di datu ini, ia mungkin
akan melihat para penganut aliran Wijrayana ini saat mereka
melakukan ritual menari di atas tumpukan tulang belulang
manusia sambil meminum darah binatang dan bermabuk-
mabukan .... Bila ia melihat itu, mungkin ia tak lagi bisa mengontrol
dirinya untuk berbuat sesuatu di datu yang beberapa abad
kemudian akan menjadi kerajaan sendiri!
-ooo0dw0ooo- Lalu, seakan bunga yang tumbuh, menguncup,
bermekaran, layu, dan kemudian mati, lalu kembali tumbuh,
menguncup lagi, bermekaran lagi, layu lagi, dan kemudian
kembali mati, terus seperti itu, tahun demi tahun pun berjalan tanpa bisa berhenti....
Bersamaan dengan iring-iringan burung-burung bangau
yang membelah angkasa secara teratur dan kecipak ikan yang
memainkan nada-nada gembira di sepanjang sungai, bocah
Tunggasamudra itu kini telah tumbuh menjadi pemuda
dengan tubuh tegap.
Wajahnya tampak keras dengan rahang-rahang yang kuat.
Matanya tajam dan tampak selalu menyelidik. Rambutnya


Dendam Dan Prahara Di Bhumi Sriwijaya Karya Yudhi Herwibowo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang sebahu dibiarkan terurai tanpa ikatan. Tubuhnya yang
selalu terbuka tampak padat berotot. Dan, luka bekas tangan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
ketiganya dulu masih terlihat dengan samar di balik
pundaknya. Kini bersama dengan Biksu Wang, ia menetap di pinggiran
sebuah datu kecil bernama Kayet, yang ada di tepian Danau
Toba. Keduanya membuat sebuah rumah kecil yang sederhana
dari bambu. Letaknya memang sedikit terpisah dari rumah-
rumah penduduk lainnya yang ada di sebelah utara. Angin
danau memang membuat para penduduk itu tak terlalu
tertarik membangun rumah di pinggir danau. Namun, tidak
bagi Biksu Wang. Ia merasa ini adalah tempat paling
sempurna untuk mengajari Tunggasamudra ilmu-ilmunya.
Dan, ini mungkin sudah tahun ketujuh sejak mereka pergi
dari tanah yang binasa itu. Entahlah, keduanya tak pernah
benar-benar menghitungnya. Namun, yang pasti mereka
sudah begitu lama tinggal di sini. Datu Kayet adalah datu
terindah yang pernah dilihat Biksu Wang. Udara yang begitu
segar dan pemandangan yang begitu alami sangat
menenteramkan dirinya yang mulai merasakan ketuaannya.
Terlebih pemandangan yang ada di danau. Setiap fajar
menyingsing dan senja yang tertinggal, danau itu seakan
berselimut jubah emas. Kemilaunya yang indah begitu
membuai mata siapa pun yang menatapnya.
Ia teringat saat Asoka, seorang pengikut Buddha yang
berasal dari seorang raja yang telah membunuh ratusan
manusia, menyesal dan merendamkan diri di sebuah danau
untuk memohon pengampunan. Danau itu pun dilukiskan
dengan jubah keemasannya ....
Maka itulah, ia kemudian memutuskan untuk tinggal di sini.
Apalagi saat itu Tunggasamudra hampir mencapai puncak
pelajarannya. Ia benar-benar merasa membutuhkan waktu
yang lebih banyak dan lebih tenang untuk mengajarkan ilmu
pamungkasnya. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tunggasamudra sendiri menyukai datu ini sejak pertama
kali kakinya menginjakkan tanah di sini. Waktu itu ia melihat seorang perempuan tua tengah bercerita dengan dikelilingi
puluhan anak-anak kecil yang duduk di depannya. Ia segera
saja bergabung dengan anak-anak itu dan mulai
mendengarkan dengan saksama suara parau perempuan tua
itu .... "Cerita tentang Danau Toba dimulai dari kisah cinta
seorang pemuda yatim piatu yang tinggal di bagian utara
pulau. Pemuda itu hidup dari hasil bertani dan menangkap
ikan. Suatu hari ia begitu sial hingga tak mendapatkan seekor ikan pun. Namun, saat akan pulang, ia menangkap seekor
ikan besar dan indah dengan warna kuning keemasan. Sampai
di rumah, rasa lapar menyulut niatnya untuk memasak ikan
itu. Namun, keindahan ikan itu membuatnya membatalkan
niat. Maka, ikan itu pun dipeliharanya.
"Esok harinya, pemuda itu seperti biasanya berangkat ke ladang. Selepas tengah hari, ia kembali menuju rumah untuk
makan. Alangkah terkejutnya ia ketika didapati di dalam
rumahnya telah tersedia masakan yang tertata rapi dan siap
disantap. Rasa lapar mendorong sang pemuda untuk sejenak
mengesampingkan keheranannya itu. Ia pun segera
menyantap hidangan itu.
"Anehnya, kejadian itu selalu terulang. Tiap kali si pemuda kembali dari ladang untuk santap siang, ia selalu menemukan
makanan siap dimakan di dalam rumahnya. Kecurigaan pun
memuncak. Sang pemuda lalu mencoba mengintainya. Ia
bersembunyi di antara pepohonan tak jauh dari rumahnya.
Selama beberapa waktu, tak ada apa pun yang terjadi.
Namun, tiba-tiba muncul asap yang mengepul di dapur rumah.
Maka dengan langkah perlahan, ia pun mendekati rumahnya
untuk melihat siapa orang di balik asap yang terkepul itu.
"Sampai di dapurnya, ia terkejut melihat seorang wanita cantik berambut panjang. Dengan tangkas ditangkapnya sang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
wanita. Singkat cerita, sang pemuda kemudian tahu bahwa
wanita yang ada di dapurnya itu merupakan jelmaan ikan
yang ditangkapnya. Setelah kejadian itu, keduanya menikah
dengan satu syarat: si pemuda tak akan membocorkan
identitas asli perempuan itu kepada anak mereka kelak.
"Sang pemuda setuju. Pernikahan dilangsungkan dan
kehidupan mereka berjalan dengan baik. Sampai suatu ketika,
mereka akhirnya mempunyai anak. Namun, anak itu tumbuh
menjadi anak yang nakal dan sulit untuk dinasihati. Suatu
saat, ketika usia anak mereka enam tahun, sang perempuan
penjelmaan ikan itu menyuruh anaknya mengantar nasi ke
ladang tempat ayahnya bekerja. Sang anak menurut. Namun,
di tengah perjalanan, rasa lapar menyergap perut si anak.
Lalu, ia pun nekat memakan isi bungkusan itu dan hanya
menyisakan tulang-tulangnya saja.
"Tulang sisa ikan yang telah ia makan kemudian ia bungkus kembali. Bungkusan itulah yang kemudian diserahkan kepada
bapaknya. Melihat bungkusan itu, yang berisi tulang belaka,
sang ayah pun marah sambil menampar pipi anaknya dan
berkata, 'Dasar anak ikan!' Mendapat tamparan dan makian
itu, sang anak kemudian pulang dan mengadu kepada ibunya.
Mendengar kisah itu, sang ibu menangis sambil berkata dalam
hati, 'Suamiku telah melanggar sumpahnya. Sekarang, aku
harus kembali ke alamku.'
"Lalu, langit pun gelap. Petir menyambar dan hujan badai datang dengan deras. Kemudian, sang anak dan ibu raib. Dari
bekas tempat berpijak keduanya, muncullah mata air yang
memancar sederas-derasnya hingga akhirnya membentuk
sebuah danau. Danau itu kemudian dikenal sebagai Danau
Tuba atau 'danau tak tahu belas kasih'.
"Lama-kelamaan danau itu berganti sebutan menjadi
Danau Toba. Konon, sang ibu berubah wujud kembali menjadi
ikan yang sangat besar dan berperan sebagai penunggu
danau dan akan meminta tumbal tiap tahunnya. Karena mitos
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
ini pula, konon, Danau Toba dianggap angker dan sampai
sekarang belum bisa dipastikan berapa kedalamannya karena
mereka yang mencoba menyelam ke dasarnya konon tak
pernah kembali.... "
Selesai perempuan tua itu bercerita, Tunggasamudra yang
masih setengah terpana segera berlari ke tepi danau.
Di situ, dipandanginya danau itu tak habis-habisnya ....
-ooo0dw0ooo- 14 Sebuah Keputusan di Bawah
Petir Yang Menyambar
"Kakak.."
Kepala Aulan Rema muncul di ambang pintu. Tanpa
menunggu jawaban, ia sudah melangkah masuk sambil
membawakan beberapa potong ikan bakar di atas selembar
daun pisang. Kara Baday yang duduk dalam posisi meditasi membuka
matanya sesaat.
"Kakak sedang bermeditasi?" Aulan Rema mendekat sambil mengibaskan bajunya yang sedikit basah karena gerimis di
luar. "Aku membawakanmu ikan bakar ...."
"Maaf, jadi terus merepotkanmu," ujar Kara Baday.
"Ini tidak merepotkan," ujar Aulan Rema sambil tersenyum.
"Ayo, makanlah selagi hangat!" ia mengangsurkan daun itu lebih mendekat kepada Kara Baday.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kara Baday tersenyum samar. Sedikit, ia mencuil daging
ikan itu dan memakannya pelan-pelan.
"Tampaknya Kakak sedang banyak berpikir, ya?" tanya Aulan Rema.
Kara Baday terdiam, "Aku hanya tak terbiasa mengambil
keputusan sendiri," ujarnya pelan. "Kau tahu sendiri, selama ini Abah Kara yang mengambil semua keputusan. Dan,
sekarang Abah...," Kara Baday tercekat. "Tampaknya Abah pergi terlalu cepat.."
Aulan Rema mendekat, "Kakak hanya masih memikirkan
Abah Kara," ujarnya. "Kupikir Kakak akan bisa mengambil keputusan sebaik Abah Kara
Kara Baday tersenyum, "Tidak semudah itu, Aulan...."
"Kakak bisa bertanya kepada Paman Kumbi Jata, bukan?"
tanya Aulan Rema lagi.
Kara Baday menghela napasnya. Tentu saja ia telah
bertanya kepada Paman Kumbi Jata. Namun, masalah ini pun
membuat Paman Kumbi Jata tak bisa memutuskan dengan
tegas. Percakapan dengan Panglima Samudra Jara Sinya hari itu
seolah kembali terngiang di telinga ....
"Apa kalian ingin selamanya menjadi penjahat?"
Ucapan itu benar-benar menyentaknya. Ia sempat terdiam
beberapa saat, sebelum akhirnya Paman Kumbi Jata yang
menjawab pertanyaan itu.
"Penjahat?" serunya dengan nada keras. "Kami sama sekali lak pernah berpikir balava kami ini penjahat. Keluarga kami
masih berpikir kami pahlawan bagi mereka. Juga penduduk
sepanjang Pantai Muara Besar. Tidakkah kau tahu,
hasilyangkami dapatkan selalu kami bagikan kepada penduduk
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
di sepanjang pantai itu" Sungguh, hanya kalianyang
menganggap kami penjahat...."
Kara Baday menerawang. Tangannya tak lagi mengambil
ikan bakar di depannya. Ia melihat ke arah laut. Dari
jendelanya, rintik-rintik gerimis telah menjadi hujan. Suasana sore menjadi muram. Seiring dengan itu, ucapan Panglima
Samudra Jara Sinya kembali terngiang di angannya.
'Aku menawanmu sebuah kesempatan membersihkan nama
baik keluargamu. Terserah kau mau menerimanya atau tidak.
Namun, berpikirlah, berpikirlah sekali lagi. Apa kau tetapyakin bila selamanya kami lak bisa menghancurkan kalian?"
Kara Baday memejamkan matanya kuat-kuat. Mengapa
tawaran ini bisa datang di saat ayahnya meminta dirinya dan
yang lainnya untuk berhenti menjadi bajak laut" Apakah ini...
memang sudah menjadi garis takdir"
Tiba-tiba mata Kara Baday terbuka. Ia beranjak bangkit
berdiri. "Kakak?" Aulan Rema tampak kaget.
"Kau tunggulah di sini dulu!" lalu tanpa berucap apa-apa lagi, ia beranjak keluar.
Air hujan segera menyerbu tubuhnya, seiring langkahnya
menuju rumah Paman Kumbijata. Hanya beberapa langkah
saja, tubuhnya telah basah kuyup.
"Kara?" suara Paman Kumbijata tampak tak percaya, "Apa-apaan kau?"
"Aku ingin bicara dengan Paman!" Kara Baday berteriak.
Paman Kumbijata segera keluar. Hujan tanpa ampun juga
langsung membasahi dirinya.
"Aku akan menerima tawaran itu, Paman," serunya lebih keras karena suara hujan makin lama terdengar makin
gemuruh. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kau benar-benar sudah memikirkannya?" Paman
Kumbijata ikut berteriak.
Kara Baday mengangguk.
"Ya, aku sudah memikirkannya matang-matang," ujarnya lagi. 'Aku tak ingin terus hidup dengan bersembunyi, -Paman.
Aku tak ingin hidup dengan selalu diliputi kecemasan. Selama ini setiap ada perahu yang melintas pulau-pulau karang ini,
kita selalu bersiaga dengan hati waswas. Akan sampai kapan
itu terjadi, Paman?"
Paman Kumbijata tak menyahut.
"Apalagi, kupikir ... ini adalah kesempatanku membersihkan nama baik ayah dan nama baik keluargaku, juga nama baik
kita semua ..." ujarnya lagi.
Lalu, ia terdiam. Sesaat dibiarkannya hujan yang menderu
di antara mereka. Titik-titiknya terasa semakin deras,
menghajar kulit tubuh. Sesekali kilatan petir muncul di langit, sekilas-sekilas menerangi keduanya.
"Akan tetapiapakah keputusan ini sudah benar, Paman?"
Kara Baday terdengar memelan. "Apakah keputus-anku ini
tidak akan mengkhianati Abah?"
Paman Kumbi Jata tak langsung menjawab. Ia membasuh
wajahnya dengan lengannya, mencoba menepiskan air.
Namun, itu terasa percuma karena hujan terus kembali
membasahi wajahnya. Ia pun kemudian maju selangkah
hingga kedua tangannya dapat menyentuh pundak Kara
Baday. "Tidak, Kara," ia kemudian berucap sambil memandang Kara Baday lekat-lekat. "Kupikir Dapunta Abdibawasepa bisa memahami keputusan ini. Aku yakin .... Aku yakin
-ooo0dw0ooo- Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Lalu, hanya beberapa hari berselang, seperti burung-
burung camar yang mendarat di pantai, dua belas perahu
datang dari arah timur. Mereka segera merapat di salah satu
dermaga di muara besar, yang ada di Muara Manan.
Dapunta Mawaseya, penguasa muara besar ini, bersama
penasihatnya, Pu Punja Supa, segera menyambutnya. Ia
berjalan menuju dermaga diiringi puluhan prajurit dengan
senjata lengkap.
Orang-orang yang ada di dermaga itu seketika
menghentikan semua kegiatannya. Mereka yang sebagian
besar adalah pedagang-pedagang lokal, maupun pedagang-
pedagang dari Malaya, Cina, bahkan India, segera
memperhatikan kedatangan dan penyambutan ini.
Tak lama kemudian, Kara Baday sudah teriihat melompat
turun dari salah satu perahu. Gerakan itu langsung disambut
oleh pasukan penjaga dermaga dengan tombak yang terarah
kepadanya. Juga pasukan panah yang ada tak jauh di
belakangnya. Mereka semua sudah terlihat merentangkan
busur panahnya.
Sesaat Kara Baday hanya terdiam memperhatikan ini
semua. Paman Kumbijata dan anak buah lainnya diam-diam
juga telah bersiap dengan kemungkinan terburuk. Namun, di
saat ketegangan itu memuncak, Dapunta Mawaseya muncul
dari balik tubuh-tubuh yang mengepungnya.
"Bajak Laut Semenanjung Karang," ucapnya sambil
mengangkat tangannya, memberi tanda pasukannya untuk
menurunkan senjatanya. "Selamat datang di Muara Manan.
Aku sudah sejak lama menanti kedatangan kalian..."
-ooo0dw0ooo- Kara Baday, Paman Kumbijata, dan semua anak buahnya
segera diantar menuju Telaga Batu. Tampak sekali kehadiran
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mereka telah begitu diperkirakan. Mereka telah menyiapkan
puluhan kuda untuk itu.
Sebenarnya jauh di dalam hati Dapunta Mawaseya, ia
sempat merasa tak yakin dengan keputusan Panglima
Samudra Jara Sinya ini. Sejak kepulangan Panglima Samudra
Jara Sinya dari Pulau Karang beberapa hari yang lalu, ia hanya bertanya satu kata: Bagaimana" Dan, Panglima Samudra Jara
Sinya hanya tersenyum tipis sambil berkata, "Kau siapkan saja kuda-kuda terbaikmu. Sebentar lagi orang yang sudah lama
kaucari akan datang menghampirimu. Kau cukup mengantar
mereka kepadaku sesegera mungkin
Maka kini, di ruangan utama di kediaman Panglima
Samudra Jara Sinya, duduk menunggu Kara Baday dan Paman
Kumbi Jata serta semua anak buahnya. Kara Baday yang
duduk paling depan, di samping Paman Kumbijata, tampak
sedikit tak tenang. Diam-diam, tanpa diketahui siapa pun,
jantungnya berdegup lebih kencang. Namun, senyum Paman
Kumbijata sedikit menenangkannya.


Dendam Dan Prahara Di Bhumi Sriwijaya Karya Yudhi Herwibowo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tak lama kemudian Panglima Samudra Jara Sinya akhirnya
muncul juga, diikuti oleh kedua putranya, Luwantrasima dan
Sanggatrasima. Ia langsung mendekati Kara Baday dengan
wajah gembira. 'Aku senang dengan keputusanmu," ujarnya sambil
tersenyum. "Maka, kupikir ini perlu dirayakan."
Lalu, segera Panglima Samudra Jara Sinya bertepuk
beberapa kali. Tak lama berselang, belasan pelayannya
muncul membawa berbagai makanan yang langsung
dihidangkan tepat di depan Kara Baday dan Paman Kumbi Jata
serta anak buahnya yang duduk lebih di belakang.
Bersamaan dengan itu sepuluh gadis jelita muncul di
tengah mereka. Lalu, dengan diiringi suara serdam (bambu)
dan tingkah (sejenis gendang), mereka pun menari dengan
gerakan yang halus mengikuti irama.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
'Ayo, kita makan!" ujar Panglima Samudra Jara Sinya.
"Kalian pastilah lelah setelah perjalanan ini. Aku sudah menyiapkan banyak makanan bagi_ kalian. Ayo, makan!"
Lalu, tanpa menunggu lagi, Panglima Samudra Jara Sinya
langsung mengambil beberapa makanan ke dalam piring
peraknya dan langsung menyantapnya.
Kara Baday hendak mengambil makanan di depannya,
tetapi Paman Kumbi Jata tiba-tiba meliriknya dan memainkan
alis matanya membuat percakapan batin. Dan, Kara Baday
segera menahan gerakannya. Ia bisa menangkap maksud
Paman Kumbi Jata yang memintanya untuk berhati-hati
terhadap makanan di depannya!
Lalu, seakan menggantikan gerakan Kara Baday, Paman
Kumbi Jata segera mengambil makanan di depannya. Dengan
gerakan sedikit terburu-buru, dimakannya makanan itu
dengan lahap. Kara Baday menunggu beberapa saat. Sebenarnya sangat
mengherankan, bila seorang tamu menunggu terlalu lama
untuk makan. Namun, tampaknya Panglima Samudra Jara
Sinya tak menghiraukan soal ini dan hanya memandangnya
sesaat, tanpa berucap apa pun.
Beberapa saat kemudian barulah Paman Kumbijata kembali
memberi tanda dengan memainkan alis matanya. Kara Baday
pun segera mengambil makanannya dan memakannya.
"Kau harus mencoba yang ini," ujar Panglima Samudra Jara Sinya. "Namanya mi, ini makanan dari Cina ...."
Kara Baday lalu mulai mengambil makanan berbentuk tali-
tali panjang itu dan segera mencobanya. Pada tahun 500 mi
telah ditemukan di Cina pada saat pemerintahan Dinasti Han.
Namun, sebenarnya adonannya telah ditemukan ratusan
tahun sebelumnya. Karena banyak disukai, mi cepat menyebar
di negara-negara lainnya, terutama Jepang dan Korea. Di
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Bhumi Sriwijaya, para pedagang dari Cinalah yang
menyebarkannya.
Beberapa saat kemudian, selesailah penyambutan itu.
Bersamaan dengan para pelayannya yang bergegas
mengemasi makanan, Panglima Samudra Jara Sinya menyuruh
para penari di depannya segera mengakhiri tariannya.
Ia kemudian tersenyum menebarkan keramahan kepada
semua yang hadir.
"Kupikir sebelum memulai pembicaraan yang lebih jauh,
akan lebih baik kalau kita semua di sini sepakat melupakan
permasalahan yang pernah terjadi sebelumnya di antara kita,"
Panglima Samudra memulai ucapannya. "Kita mulai hubungan ini bagai lembaran baru, tanpa dendam, dan tanpa prasangka
...." Ia menatap Kara Baday yang segera mengangguk. "Ya,
kupikir memang itu yang harus kita lakukan pertama kali,"
ujarnya sambil melirik Paman Kumbijata yang mengangguk
pelan. Panglima Samudra Jara Sinya tersenyum. "Aku senang kau
hadir di sini bersama seluruh anak buahmu," ujarnya.
"Demikian juga Sri Maharaja Balaputradewa. Aku yakin
kehadiranmu akan banyak membantu kami
Panglima Samudra Jara Sinya kembali tersenyum, "Namun
begitu, aku harus melihat terlebih dahulu kesetiaanmu pada
Bhumi Sriwijaya. Kupikir ini adalahuesuatu yang wajar,
bukan?" Sekilas Kara Baday kembali melirik Paman Kumbi Jata
sebelum menjawab pertanyaan itu. "Ya, kupikir itu sesuatu yang wajar," ujarnya.
Panglima Samudra Jara Sinya tertawa. "Bagus, kalau kau
pun berpikir demikian," serunya. "Sehingga aku tak akan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sungkan mengirimmu bersama seluruh anak buahmu ke
Pantai Barat sana...."
Kara Baday terdiam, mencoba menebak ke arah mana
pembicaraan ini.
Panglima Jara Sinya melanjutkan, "Aku ingin kalian
menghancurkan semua bajak laut yang ada di sepanjang
pantai itu ...."
Kara Baday seketika tertegun. Secara bersamaan, ia dan
Paman Kumbi Jata saling berpandangan.
"Aku tahu ini tugas yang berat," ujar Panglima Samudra Jara Sinya lagi. "Namun, bila kau berhasil melakukannya, Sri Maharaja Balaputradewa pastilah akan sangat berterima kasih
kepadamu. Dalam kondisi seperti itu, tentu saja aku tak akan segan-segan meminta Sri Maharaja Balaputradewa untuk
menganugerahi gelar Panglima Muda kepadamu..."
-ooo0dw0ooo- 15 Bhumi Baru Minanga Tamwa
Sampaikan'. Sampaikan kepada semua rakyat di bhumi ini tentang
hadirnya bhumi baru yang berdiri di atas kaki sendiri: Minanga Tamwa, tanah bagi perwujudan siddhayatra (Ziarah untuk
mencari kekuatan gaib. menuju kesempurnaan, biasanya
dilakukan oleh Dapunta Hyang (bahasa Sanskerta)).
Sampaikan kepada semuanya!
-ooo0dw0ooo- Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tanyakan! Tanyakan tentang Minanga Tamwa! Apa yang
terlihat pada bhumi ini" Dan, apa juga yang akan tercium di
udara yang ada di atas bhumi itu" Rasanya sungguh berbeda
dengan bhumi lainnya. Sangat berbeda. Bhumi yang ada di
dekat Muara Tebo ini, yang berada di tepian Batanghari, sama sekali tidak beraroma sungai, juga tidak beraroma tanah
basah. Namun, berbau rumput segar. Entah mengapa bisa
demikian. Akan tetapi, setiap orang yang baru pertama kali
berada di sini akan merasakan aroma itu begitu dominan. Ini
menjadi sebuah sensasi yang tak pernah dirasakan
sebelumnya ....
Hamparan tanahnya yang begitu luas pun terlihat sangat
berbeda. Di waktu-waktu tertentu sinar matahari akan
memantulkan kilauan yang tak berkesudahan, di antara
rumah-rumah yang berderet padat.
Saat itu bhumi itu memang terlihat begitu ramai dan sangat
maju. Tak berbeda jauh dari perdatuan yang ada di Telaga
Batu. Di dermaganya yang ada di Muara Tcbo mudah ditemukan
pedagang asing yang sedang berdagang dengan penduduk
lokal. Yang terbanyak adalah pedagang-pedagang dari Malaya
dan Cina. Sejak lebih dua ratus tahun yang lalu, bhumi ini
memang sudah begitu dikenal. Orang-orang Cina
menyebutnya chin chou (bahasa cina untuk pulau emas) atau
pulau emas karena Minanga Tamwa memanglah sejak dahulu
menjadi penghasil emas. Sebuah bukit besar di sana konon
terbuat dari gundukan emas sepenuhnya. Itulah yang
kemudian membuat pedagang-pedagang asing sejak lama
berdatangan ke bhumi itu.
Dulu, di sinilah pusat Kerajaan Malaya berada. Hingga
tahun 683, Dapunta Hyangjasanasa bersama dua laksa atau
dua puluh ribu pasukannya menundukkan bhumi ini.
Kemudian, Kerajaan Malaya menjadi bagian dari Sriwijaya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Pelabuhannya tetap diaktifkan seperti sedia kala. Ini yang
kemudian membuat Sriwijaya menguasai jalur perairan di
Malaya. Kedatuan Sriwijaya di Telaga Batu selalu menempatkan
dapunta terbaik mereka untuk memimpin bhumi itu. Namun,
sepanjang waktu, keadaan bhumi itu tak pernah benar-benar
aman. Sisa-sisa orang-orang dari Kerajaan Malaya yang lari ke utara kerap melakukan pemberontakan.
Sampai saat sekarang, beberapa kali terjadi pemberontakan
dari Kerajaan Malaya. Walau selalu dapat digagalkan, tetapi
sedikit banyak membuat Kerajaan Sriwijaya menjadi tidak
stabil. Pemberontakan terbesar yang tercatat dalam sejarah
adalah pemberontakan tahun 686 saat Kundra Kayet merebut
beberapa datu di bawah Kerajaan Sriwijaya, terutama Minanga
Tamwa. Waktu itu terjadi peperangan besar yang
mengorbankan ribuan manusia. Walau pada akhirnya Kerajaan
Sriwijaya dapat mengalahkan pemberontakan itu dan
membunuh Kundra Kayet, tetapi mereka harus kehilangan
panglima terbaiknya, Tandruh Luah.
Tak hanya sekadar pemberontakan dari luar yang kerap
terjadi. Dapunta Minanga Tamwa yang dipilih langsung oleh
Dapunta Hyangpun beberapa kali berganti haluan memihak
Kerajaan Malaya. Kejadian paling diingat adalah saat Datu
Minanga Tamwa di bawah pimpinan Dapunta Mahak Ilir yang
membelot dua puluh lima tahun yang lalu. Dapunta Mahak Ilir
sebenarnya memanglah seorang dapunta keturunan Kerajaan
Malaya. Ia dipilih oleh Kerajaan Sriwijaya karena diharapkan bisa mencairkan hubungan Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan
Malaya yang selalu dalam ketegangan. Namun, usaha itu
ternyata tak berhasil. Tak lebih dari setahun memerintah,
Dapunta Mahak Ilir sudah memutuskan untuk membelot!
Dapunta Abdibawasepa yang saat itu menjadi penguasa
Datu Muara Jambi, salah satu datu paling kuat yang
mendukung Kerajaan Sriwijaya, mengobarkan perang besar
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
untuk merebutnya. Perang itu kemudian dikenal dengan nama
Perang Merah dan sampai sekarang merupakan perang
terbesar yang pernah terjadi di bhumi ini. Kemenangan
memang ada di pihak Dapunta Abdibawasepa, tetapi ribuan
pasukannya gugur kala itu. Ia seakan-akan memberi jalan bagi Panglima Bhumi Tambu Karen yang baru datang dari Telaga
Batu untuk mengamankan Minanga Tamwa. Maka itulah,
Dapunta Chra Bukadhasa kemudian menunjuknya menjadi
dapunta di situ.
Dan kini, kejadian pembelotan seperti itu kembali terjadi
hari ini. Panglima Tambu Karen, yang kala itu ditunjuk sebagai penguasa bhumi itu, tiba-tiba mengumumkan lepasnya Bhumi
Minanga Tamwa dari Kerajaan Sriwijaya.
Tentu ini sesuatu yang sangat mengejutkan. Sejak Perang
Merah, Minanga Tamwa adalah bhumi yang selalu diawasi
lebih ketat oleh Kedatuan Sriwijaya. Bagaimana mungkin tiba-
tiba bisa memisahkan diri"
Yang lebih mengejutkan, mengapa kelompok rahasia
Wangseya seperti tidak mencium keadaan ini" Mengapa juga
mereka bisa begitu terlambat mendengar kabar ini" Hingga
seakan-akan benteng Minanga Tamwa kini tiba-tiba berdiri
dengan kukuh, tanpa adanya proses panjang. Dan, banyak
sekali perahu yang tiba-tiba datang memenuhi perairannya
begitu saja! Apakah mungkin karena Kedatuan Sriwijaya sama sekali tak
pernah mengira keadaan seperti ini" Apakah mereka memang
begitu percaya kepada Panglima Tambu Ka-ren" Memang,
selama ini Panglima Tambu Karen merupakan tokoh penting di
Kerajaan Sriwijaya. Dulu, nama besarnya begitu harum, jauh
di atas nama besar Panglima Samudra Jara Sinya. Ia telah
menaklukkan tak kurang seratus datu untuk kejayaan
Sriwijaya. Alasan inilah yang kemudian membuat dirinya ditempatkan
di bhumi yang selalu bergejolak itu. Karena hanya ialah yang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dianggap paling mampu meredam semua aksi dari sisa-sisa
kekuatan Kerajaan Malaya.
Maka itulah, tak pernah ada yang menyangka pembeelotan
ini ! -ooo0dw0ooo- "Bagaimana mungkin ini terjadi?"
Suara Sri Maharaja Balaputradewa terdengar tak percaya.
Ia sudah mendengar hampir semua sepak terjang Panglima
Tambu Karen. Ia bahkan beberapa kali bertemu saal panglima
bhumi itu datang di Bhumijawa. Sungguh, kesan setialah yang
langsung ditangkapnya ketika ia berkcnal.m dengan sosok itu.
Walau tak banyak bicara, ia bisa merasakin kesetiaannya pada Sriwijaya.
Selain itu, kesaktian Panglima Tambu Karen juga tak
pernah diragukan lagi. Berita tentang kisah-kisah
pertarungannya telah menyebar Seantero negeri. Para tukang
dongeng akan terus mengulang dan mengulang kisah-
kisahnya menaklukkan seratus datu dan anak-anak kecil yang
tengah bermain pedang-pedangan akan selalu berebutan
meniru sosoknya.
Pu Chra Dayana menyembah untuk bicara. "Hamba pikir,"
ujarnya, "mungkin ia mendapat dukungan dari Malaya ...."
Sri Maharaja Balaputradewa menyapukan pandangannya
kepada semua yang hadir. Di undakan yang kedua itu, selain
Pu Chra Dayana, terlihat juga Panglima Bhumi Cangga Tayu
dan Panglima Samudra Jara Sinya, serta pemimpin kelompok
rahasia Wangseya, Wantra Santra. Satu sosok yang biasanya
tak terlihat, tetapi kini selalu hadir di antara mereka adalah Dapunta Cahyadawasuna. Ia kini memang telah diangkat
sebagai salah satu penasihat Sri Ma-liaraja Balaputradewa.
Kedudukannya sama seperti yang lainnya. Namun, karena
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
proses pengangkatannya baru saja terjadi, Dapunta
Cahyadawasuna lebih banyak diam dalam silanya.
Sri Maharaja Balaputradewa kemudian teringat dengan
kedatangan Wantra Santra beberapa malam lalu. Wantra
Santra ketika itu melaporkan tentang Minanga Tamwa yang
mulai mengadakan perekrutan pasukan besar-besaran. Waktu
itu ia masih menduga-duga saja, tak menyangka bahwa
Minanga Tamwa bertindak lebih cepat dengan mengumumkan
pelepasan dirinya dari Sriwijaya.
Di sisi yang lain, Panglima Samudra Jara Sinya juga tampak
tengah berpikir dalam. Ia merasakan beberapa keganjilan
dalam masalah ini. Ia mengenal Panglima Bhumi Tambu Karen
dengan baik. Ia telah berperang bersamanya hingga puluhan
kali. Ia selalu bahu-membahu dengan panglima bhumi itu
untuk menaklukkan lawan. Tak dimungkirinya, sosok Panglima
Bhumi Tambu Karen adalah sosok dengan kesaktian luar
biasa. Hingga, tak ada seorang pun di Sriwijaya ini yang dapat menandingi kesaktiannya.
Akan tetapi, bukan kenangan itu yang mengganggu
pikirannya, tetapi ucapannya saat Panglima itu akan
meninggalkan Telaga Batu.
Ia masih ingat kalau hari itu mendung menggantung di atas


Dendam Dan Prahara Di Bhumi Sriwijaya Karya Yudhi Herwibowo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kepalanya. "Jagalah dirimu baik-baik, Panglima,"ujarnya ketika itu.
Dan, Panglima Bhumi Tambu Karen hanya tertawa kecil
dan menepuk punggungnya, "Kau yang harus menjaga dirimu, Jara," ujarnya. "Semoga kau ... tak bernasib seperti aku, hahaha ...."
Saat itu ia hanya mengerutkan keningnya mencoba
mencerna kalimat itu. Namun, ucapan lanjutan dari Panglima
Bhumi Tambu Karen kembali terdengar, "Satu pesanku
kepadamu, Jara," suaranya memelan. "Perhatikan baik-baik...
Wantra Santra.."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Perhatikan ia baik-baik ...'tambahnya.
Sungguh, ucapan itu membuat Panglima Samudra Jara
Sinya terdiam cukup lama. Sebelumnya ia tak pernah
menemukan adanya persaingan antara dua tokoh itu. Namun,
kepindahan Panglima Tambu Karen dari Telaga Batu memang
sedikit banyak lebih menguntungkan Wantra Santra.
Tanpa sadar Panglima Samudra Jara Sinya melirik sosok
Wantra Santra yang bersila tak jauh darinya.
Ya, keganjilan itu memang jelas ada pada kelompok rahasia
Wangseya! Bukankah merekalah yang mengamati secara
langsung keadaan di seluruh Bhumi Sriwijaya" Bagaimana
mungkin informasi sedemikian penting bisa begitu saja
terlewatkan" Apalagi perahu-perahu perang yang sekarang
memenuhi perairan Minanga Tamwa yang sebesar sambau-
sambau Sriwijaya. Itu pastilah dibeli di sebuah tempat.
Bukankah di Bhumi Sriwijaya sendiri belum ada perakitan
pcrahu-perahu berukuran besar" Sehingga sangat mungkin
perahu-perahu besar tersebut dibeli di Bhumijawa ataupun di
Pugu, daerah yang kini disebut Myanmar. Hanya di situlah
terdapat perakitan perahu besar dengan dua tiang layar,
bahkan lima tiang layar.
Ya, ini memang terasa sangat ganjil. Mungkin untuk
membeli perahu dari Bhumijawa tentulah tak mungkin karena
perlintasannya dari arah selatan akan melewati banyak patroli sambau Sriwijaya. Satu-satunya kemungkinan adalah
membelinya dari Pugu dan melintasinya melalui sebelah barat
Batanghari. Bukankah itu jelas wilayah yang diawasi oleh
kelompok rahasia Wangseya"
Semua pikiran itu berkecamuk di kepala Panglima Samudra
Jara Sinya. Namun, ia tak mencoba berkata apa-apa. Hanya
saja sejak hari itu, ia memutuskan akan lebih mengawasi
sosok penuh misterius di sebelahnya ini.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Bertepatan dengan itu suara Sri Maharaja Balaputradewa
kembali membuatnya memalingkan kepalanya.
"Kupikir untuk menghadapi semua ini, sudah waktunya kita kembali melakukan perekrutan pasukan besar-besaran,"
ujarnya. "Dan, juga ... memilih seorang pandaya!"
-ooo0dw0ooo- Ke mana kancil berlari Di ujung sana awan menyendiri Di
sini sahabat lama kemari Menyambangi kawan sejati
Dan, kedua lelaki itu saling pandang dengan tatapan tajam.
Lalu, seakan ada yang memberi aba-aba, keduanya tiba-tiba
mengentakkan kaki, melompat bersamaan ke udara, membuat
debu ikut beterbangan.
HIAAAT.... HIAAAAAAAT.... Kedua tangan lelaki itu berbenturan beberapa kali. Buk,
buk, buk! Yang satu melentingkan tubuhnya ke atas disusul
oleh tubuh yang lainnya. Sesaat pertarungan beberapa jurus
terjadi tanpa menjejak tanah.
Lalu, seorang memutar tubuhnya bagai gasing, memberi
serangan beruntun. Namun, yang lainnya menahan dengan
mengikuti arah gerak putaran tubuh lawannya.
Tak bisa dihindari lagi, pertarungan jurus-jurus tingkat
tinggi terjadi. Namun, beberapa saat kemudian, setelah
beberapa kali melakukan benturan kuat, keduanya pun
mundur beberapa langkah.
Pelan-pelan debu yang semula beterbangan mulai
mengendap kembali seiring tawa panjang keduanya.
Kini baru terlihat dengan jelas bahwa kedua sosok itu
adalah Panglima Samudra jara Sinya dan Panglima Bhumi
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Cangga Tayu. "Dasar lelaki tua!" ujar Panglima Bhumi Cangga Tayu.
"Kau semakin lemah!"
Panglima Samudra Jara Sinya balas tertawa, "Bukan aku
yang semakin lemah, tetapi kau yang semakin cepat, Cangga!"
Keduanya kembali tertawa panjang. Lalu, mereka duduk di
taman yang bersebelahan dengan sebuah kolam ikan besar
yang ada di belakang kediaman Panglima Samudra Jara Sinya.
Beberapa pelayan segera menyeduhkan air madu, juga
inang. "Aku beberapa tahun lebih tua darimu, Cangga," ujar Panglima Samudra Jara Sinya lagi. "Walau kau jelas lebih kuat, tetapi aku masih sanggup menahan seluruh seranganmu. Kau
sepertinya tak ada kemajuan!"
Panglima Bhumi Cangga Tayu tertawa, "Hahaha, kau ini.
Benar-benar lelaki tua yang congkak!"
Panglima Samudra Jara Sinya kembali tertawa. "Sudahlah, sudahlah! Mari kita minum saja," ujarnya mencoba
menghentikan tawanya sendiri dengan mempersilakan
Panglima Bhumi Cangga Tayu. "Aku baru mendapat kiriman
inang yang begitu nikmat dari Gujarat. Sebaiknya, kita nikmati bersama."
Sejak muda keduanya memang telah saling mengenal.
Puluhan tahun lalu, keduanya mulai tampil di Sriwijaya. Saat itu keduanya masih sangat muda. Panglima Samudra Jara
Sinya memang sepuluh tahun lebih tua. Kariernya sebagai
panglima pun dimulai lebih awal.
Semula keduanya hanya sebagai rekan dalam armada
perang Sriwijaya. Namun, ketika keduanya menjadi panglima,
keduanya mulai lebih kerap berhubungan. Bila ada waktu
senggang atau dalam keadaan genting, keduanya akan saling
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mengunjungi. Dan, di saat saling mengunjungi itulah,
biasanya keduanya pasti tak akan melewatkan diri untuk
saling menguji jurus-jurus mereka.
"Tentang pemilihan pandaya itu," ujar Panglima Bhumi Cangga Tayu, "Aku merasa perlu bertanya, walaupun aku
sendiri bekas seorang pandaya. Apa perlu kita
mengadakannya lagi" Sudah sekian tahun kita tak
mengadakannya. Rasanya aneh bila pemilihan itu kembali
diadakan. Apalagi kini kita memiliki panglima-panglima muda
yang berbakat besar...."
Panglima Samudra Jara Sinya menggelengkan kepalanya,
"Entahlah, Cangga, sepertinya kita memang akan merekrut banyak pasukan. Padahal kupikir untuk menghadapi Minanga
Tamwa, kita tak perlu menyiapkan pasukan sampai sebanyak
itu." "Apa" Panglima Bhumi Cangga Tayu menoleh, "apa
mungkin ini ada hubungannya dengan kekalahan Sri Maharaja
di Bhumijawa?"
"Mungkin saja," Panglima Samudra Jara Sinya
mengembuskan napasnya. "Menurut Pu Chra Dayana, sudah
beberapa kali Sri Maharaja menanyakan peta kekuatan
pasukan kita. Bahkan, ia juga telah membanding-bandingkan
dengan pasukan Jatiningrat di Bhumijawa ...."
"Itu memang benar," ujar Panglima Bhumi Cangga Tayu sambil mengangguk-angguk. "Sri Maharaja sendiri pernah
menanyakan soal itu langsung kepadaku."
Panglima Samudra Jara Sinya menoleh, "Berarti memang
ada kemungkinan kita menyerang Bhumijawa," desisnya.
Panglima Bhumi Cangga Tayu mengangguk, "Akan tetapi,
dalam kondisi seperti ini, rasanya akan sangat berat
Panglima Samudra Jara Sinya mengangguk setuju. Sesaat
ia ingin membicarakan apa yang dipikirkannya pada
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
pertemuan beberapa hari yang lalu, tentang kecurigaannya
pada kelompok rahasia Wangseya. Namun, entah mengapa ia
urung melakukan itu. Tampaknya masih terlalu pagi baginya
untuk menyimpulkan keadaan.
Maka, Panglima Samudra Jara Sinya pun tetap diam dan
meneguk minumannya.
Panglima Bhumi Cangga Tayu sendiri segera ikut
menenggak cawan minumannya. "Namun, kedatanganku
kemari sebenarnya adalah ingin membahas perihal pengiriman
pasukan kita ke Minanga Tamwa," ujarnya. "Kupikir di pertemuan kita saat itu, rencana ini hanya disinggung sekilas saja oleh Sri Maharaja Balaputradewa."
Panglima Samudra Jara Sinya mengangguk, "Ya, benar,"
jawabnya. "Tetapi, kupikir ini memang belumlah menjadi saat genting. Kita baru akan mengawasinya saja, bukan?"
Panglima Bhumi Cangga Tayu mengangguk-angguk, "Apa
kau yakin kita hanya perlu mengirimkan beberapa sam-bau-
mu saja ke sana?"
Panglima Samudra Jara Sinya mengangguk, "Untuk
mengawasi tanah itu dari perairan sungai, kupikir itu sudah
cukup." Panglima Bhumi Cangga Tayu berpikir sejenak. "Ya, kupikir itu memang cukup," ujarnya sepakat. "Apalagi akan sangat lama bila kita harus mengirim pasukan bhumi kita ke sana "
"Betul, itu akan memakan waktu."
Panglima Bhumi Cangga Tayu menghela napas panjang.
"Ya, semoga semuanya lancar," ucapannya terdengar seakan bergumam. "Namun, rasanya sangat berat mendapat lawan
yang dulu merupakan kawan kita. Bukan begitu, Jara?"
Panglima Samudra Jara Sinya hanya mengangguk.
-ooo0dw0ooo- Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
15 Tiga Panglima Muda
Saat Panglima Bhumi Cangga Tayu tak lagi di sisinya,
Panglima Samudra Jara Sinya masih terus berpikir. "Apa ada sesuatu yang mengganggu pikiran, Abah?" putra pertamanya, Luwantrasima, tiba-tiba sudah menghampirinya.
Panglima Samudra Jara Sinya menggeleng "Tak ada apa-
apa, tak ada apa-apa
"Tetapi, Ayah tampak berpikir keras?"
Panglima Samudra Jara Sinya menghela napasnya, "Ya, aku memang sedang berpikir tentang pembicaraan yang lalu.
Pembicaraan di kedatuan itu dan pembicaraan bersama
Cangga Tayu tadi
"Apa Ayah tengah berpikir tentang pengiriman tiga
panglima muda ke sana?"
"Tidak hany*itu," ujar Panglima Samudra Jara Sinya. "tetapi juga hal lainnya. Terlalu banyak yang kupikirkan, terlalu
banyak" Lalu, Panglima Samudra Jara Sinya memandang ke
hamparan taman yang ada di luar jendela. Luwantrasima
segera memahami. Ia pun beranjak mundur secara perlahan
dan berlalu dari ruangan ayahnya.
Dalam kesendiriannya, Panglima Samudra Jara Sinya masih
bergulat dengan pikirannya. Pembelotan Panglima Tambu
Karen di Minanga Tamwa benar-benar membuat banyak
masalah muncul begitu saja ....
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Saat di kedatuan semalam, ia memang langsung diserahi
tugas untuk mengirim beberapa sambau-nya guna mengawasi
dan menjaga perairan Batanghari. Saat itu semuanya memang
mendapat tugas dari Sri Maharaja Balaputradewa. Panglima
Bhumi Cangga Tayu diserahi tugas untuk segera membangun
pasukan di utara. Sedang Pu Chra Dayana ditugaskan untuk
mulai merekrut pasukan-pasukan baru. Bahkan, dapunta yang
baru saja ditunjuk menjadi pu itu, Dapunta Cahyadawasuna,
juga diserahi tugas untuk memilih seorang pandaya....
Sungguh, Panglima Samudra Jara Sinya merasa semua ini
terlalu terburu-buru ....
Akan tetapi, ia tak bisa berbuat apa-apa lagi, selain
menentukan tiga panglima mudanya untuk pergi ke perairan
Batanghari. Mereka yang kemudian terpilih adalah Panglima
Muda Kra Dawang, Panglima Muda Patakanandra, dan
Panglima Muda Mandrasiya....
-ooo0dw0ooo- Hanya beberapa hari berselang, sembilan sambau Sriwijaya
telah meluncur di perairan Batanghari. Mereka merayapi
Batanghari dari arah muara ke arah barat. Awalnya, memasuki
perairan sungai tidaklah mudah. Arus kencang dan angin yang
bertiup ke laut kadang membuat posisi sambau oleng. Hanya
perahu-perahu besar saja yang bisa melalui perairan ini. Dan, untungnya bila telah berada masuk ke dalam perairan sungai,
keadaannya lebih mudah. Pada masa-masa ke-marau,
Batanghari yang merupakan batang terbesar (Batanghari
sendiri merupakan perairan yang cukup luas. Pada masa
sekarang saja lebarnya mencapai enam puluh meter. Pada
abad ke-8 dan ke-9, penelitian menunjukkan lebar sungai ini
mencapai dua ratus meter lebih. Ini dibuktikan adanya kerak
bekas air purba yang ada di daratan. Maka, dengan lebar lebih dari seratus lima puluh tombak, beberapa sambau dapat
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
berjejer sekaligus saat melintasinya) yang ada di Bhumi
Sriwijaya, bersama Sungai Musi, hanya berarus lembut.
Sambau Panglima Muda Kra Dawang berada di posisi
terdepan. Ini merupakan sambau terbesar di antara sambau
lainnya, sambau dengan empat tiang layar dan dilengkapi
hampir dua puluh pelontar panah di setiap sisinya.
Pelontar panah adalah sejenis panah berukuran besar
untuk menghancurkan kapal ataupun benteng musuh, di mana
anak panahnya terbuat dari bambu besar, yang biasanya
dilapisi minyak untuk disulut api. Biasanya pelontar panah
dibuat di atas roda agar dapat dibawa sesuai keinginan.
Kini dengan rasa percaya diri, Panglima Muda Kra Dawang
berdiri mengamati sekitarnya. Dua perahu besar dilihatnya
tengah berlayar ke arah muara dan beberapa perahu kecil
milik nelayan terlihat di beberapa titik. Mereka segera menepi ketika melihat iring-iringan sambau Sriwijaya mulai lewat.
Akan tetapi, semakin sambau-sambau itu masuk ke dalam,
keadaan perairan tampak semakin sepi.
Panglima Muda Kra Dawang berpaling. "Ini
mengherankan," ujarnya kepada dua panglima muda lainnya.
"Mengapa di sini semakin sepi" Bukankah sebentar lagi kita akan memasuki wilayah perairan Datu Muara Jambi?"
Panglima Patakanandra mengangguk setuju, "Benar,
harusnya kita melihat sambau Datu Muara Jambi di sini. Tetapi ia membuang pandangannya, "sama sekali tak ada satu pun sambau yang kita lihat
Panglima Muda Kra Dawang berpikir sejenak. Pengamatan
ini memang tergolong mendadak. Namun, apakah pihak
kedatuan di Telaga Batu sama sekali belum memberi informasi
kepada Datu Muara Jambi"
Berpikir demikian, Panglima Muda Kra Dawang segera
memberi tanda. "Tampaknya kita harus bersiap!" ujarnya
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sambil menoleh kepada salah seorang pengawalnya.
"Kabarkan pada sambau yang lain untuk bersiap!"
Tanpa banyak bicara, pengawal itu segera berlari ke arah
dek kapal yang ada di bagian buritan. Di sana ia segera
membuat gerakan-gerakan dengan selembar kain yang
diikatkan pada sebatang tongkat untuk memberi tanda pada
kapal-kapal yang posisinya ada di bagian belakang.
Akan tetapi, hingga sekian lama bersiap, tak ada apa-apa
yang terjadi. Perairan ini semakin tampak sepi saja. Tak ada apa-apa yang terjadi selain kedatangan mereka sendiri.
Panglima Muda Kra Dawang dan anak buahnya diam-diam
bernapas lega. Namun, ketika sambau Panglima Muda Kra
Dawang melalui sebuah kelokan, matanya tiba-tiba saja
terbelalak. Juga berpasang-pasang mata lainnya.


Dendam Dan Prahara Di Bhumi Sriwijaya Karya Yudhi Herwibowo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Seharusnya yang mereka jumpai adalah sebuah sungai
yang sedikit menyempit, yang biasanya menjadi tanda bahwa
pelabuhan Datu Muara Jambi telah terlihat. Namun, yang ada
kini adalah sebuah tembok tinggi yang mirip dengan benteng,
berderet panjang di dua sisi sungai.
"Apa-apaan ini?" seru Panglima Muda Patakanandra tak percaya.
"Aku belum pernah melihat ini," Panglima Muda Man-
drasiya menyambung. "Dan, belum pernah juga mendengar
pembangunan ini...."
"Hentikan sambau." teriak Panglima Muda Kra Dawang.
"Hentikan juga yang lain!"
Lalu, dua orang pengawal segera berlari. Yang satu menuju
ke atas dek untuk memberi tanda berhenti dan yang lainnya
berlari ke bawah dek tempat para pendayung berada.
Tak berapa lama, sambau terasa memelan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Rasanya terlalu berisiko bila kita harus melewati celah itu,"
ujar Panglima Muda Patakanandra. "Aku tak bisa
membayangkan bila di sisi dua benteng itu ada pasukan
Minanga Tamwa yang menunggu kita"
Panglima Muda Kra Dawang menggeleng, "Tidak mungkin.
Bukankah Muara Jambi masih menjadi bagian wilayah kita"
Mereka akan segera mengenali sambau kita"
Panglima Muda Mandrasiya mengangguk setuju, "Kupikir ini merupakan persiapan Datu Muara Jambi untuk menahan
Minanga Tamwa Panglima Muda Kra Dawang menatap Panglima muda
Mandrasiya. "Ya, kupikir benar apa katamu, Panglima," ujarnya.
"Dapunta Ih Yatra penguasa Muara Jambi adalah orang yang bisa dipercaya!"
Maka, Panglima Muda Kra Dawang pun kembali
memerintahkan sambau-nya. untuk bergerak. Kali ini
gerakannya terasa lebih pelan dan diikuti oleh sambau-
sambau lainnya yang ada di belakang.
Perlahan, sambau Panglima Muda Kra Dawang mulai
memasuki perairan di antara kedua tembok tinggi yang
menyerupai benteng itu. Ia pun mulai memperhatikan tembok
itu dengan saksama. Tembok itu terbuat dari bata merah,
seperti yang biasa digunakan untuk membuat benteng. Hanya
tembok setinggi kira-kira dua tombak, tanpa celah dan lubang sama sekali.
Sekian lama Panglima Muda Kra Dawang memperhatikan
itu semua. Dan, sejauh ini, sama sekali tak ada tanda-tanda
yang terlihat di sekitar tembok tinggi itu.
"Untuk apa tembok ini dibuat?" gumamnya seakan kepada dirinya sendiri.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Akan tetapi, sebelum panglima muda lainnya menjawab,
tiba-tiba secara mengejutkan Panglima Muda Kra Dawang
melihat sebuah asap di balik tembok tinggi itu.
Ia terkesiap. Namun, belum sempat ia bertindak, secara
mengejutkan muncul orang-orang di atas tembok itu. Ternyata
di balik tembok itu, telah dibuat sebuah pijakan, bagai sebuah benteng pertahanan. Lalu, puluhan, bahkan ratusan orang,
kini telah terlihat berderet di balik tembok itu, dengan busur panah terarah pada sambau.
Panglima Muda Kra Dawang segera saja berteriak,
"HENTIKAAAN! PUTAR HALUAN! PUTAR HALU-AAAN!"
Akan tetapi, seiring teriakan itu, ratusan panah sudah
meluncur ke arah sambau. Wuush .... Wuuush .... Wuuuuush
.... Suasana pun seketika kacau. Para anak buah sambau yang
tak siap, mencoba mengambil perisai mereka. Beberapa yang
lain mencoba berlari berlindung. Namun, panah-panah telah
begitu menghujan. Beberapa di antara mereka tak lagi bisa
menghindar. Bahkan, satu-dua orang yang terkena panah,
langsung jatuh terjerembap ke dalam sungai.
Tiga panglima muda yang ada di dalam sambau segera
menyebar sambil memerintahkan perlindungan bagi anak
buahnya. Berbeda dengan sebagian anak buahnya yang hanya
bertelanjang dada, para panglima muda dan beberapa anak
buah dengan pangkat cukup tinggi memang menggunakan
jubah dengan lapisan tameng dari rotan di dada dan
punggung mereka. Ini tentu saja membuat mereka lebih aman
dari serangan panah-panah itu.
Di tengah kepanikan itu, tiba-tiba secara mengejutkan
hujan panah itu mendadak terhenti. Namun, hanya beberapa
saat saja. Hujan panah itu kemudian digantikan dengan
lemparan sesuatu yang berasap ke arah sambau. Panglima
Muda Kra Dawang tertegun. Hanya dengan sekilas mencium
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
bau asap itu saja, ia langsung tahu apa yang dilempar ke arah sambau-nyz.. Itu adalah daun pohon upas (pohon racun) yang
beracun. Pohon upas dikenal oleh masyarakat sebagai daun
yang memabukkan. Dan, dalam jumlah yang banyak bisa
sampai menimbulkan kematian. Hanya dengan asapnya saja,
orang bisa dibuat pusing dan tak sadarkan diri. Cara ini
sebenarnya telah lama dipakai dalam perang, terutama untuk
menaklukkan benteng lawan karena untuk menggunakannya
cukup mudah. Hanya diperlukan beberapa lembar daun upas,
kemudian diikat hingga beratnya dapat untuk dilemparkan.
Kini ikatan daun-daun yang terbakar itu mulai berjatuhan di
atas sambau bagai hujan. Asapnya segera saja menyelimuti
sambau. Panglima Muda Kra Dawang hanya bisa berteriak keras,
"TAHAN NAPAS! PUTAR HALUAAAN!"
Suasana benar-benar tak terkendali lagi. Beberapa anak
buahnya tampak jatuh ke air, entah terbunuh atau
menyelamatkan diri. Yang lain segera membuangi ikatan
daun-daun upas yang berserakan ke dalam sungai. Namun,
usaha ini tak berhasil banyak karena asap daun itu telah
tersebar terlebih dahulu. Sedang pasukan yang lain lagi
mencoba membalas dengan mengambil panah. Namun,
ternyata jangkauan panah mereka sama sekali tak dapat
melewati benteng itu. Sungguh, semuanya tampak percuma
.... Di dalam kondisi seperti inilah, tiba-tiba lemparan daun upas itu terhenti dan kembali digantikan dengan hujan ratusan anak panah. Kali ini, serangan panah-panah itu terasa lebih
gencar dari yang pertama.
Teriakan-teriakan kematian segera terdengar bersahutan.
Panglima Kra Dawang mencoba bertahan dengan menepis
dengan pedangnya. Ekor matanya sempat melihat putaran
sambau-nya yang mencoba berbalik arah, tetapi tampaknya ...
tak berhasil ....
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ia tercekat. Sungguh, keadaan ini tampaknya tak lagi
terkendali. Ia pun segera berteriak lantang, "TERJUN KE
SUNGAI! TERJUUUN!"
Lalu, di antara hujan panah-panah itu, anak buahnya yang
tersisa segera berlompatan ke dalam sungai. Para pendayung
pun segera keluar dan menyusul yang lainnya. Mereka
mencoba menyelamatkan diri dengan berenang ke sambau
yang ada di belakangnya, yang sejak tadi telah berhenti
sesaat setelah serangan pertama!
Panglima Muda Kra Dawang menatap nanar. Hanya
beberapa saat saja sambau-nya menjadi kosong. Gerakannya
berbelok benar-benar tak lagi terkendali. Ia pun kemudian
segera ikut melompat keluar dari sambau-nya
Seiring tubuhnya yang jatuh ke air, sambau itu menabrak
sisi benteng itu dan hancur seketika!
-ooo0dw0ooo- Panglima Kra Dawang masih bisa berenang menuju sambau
di belakangnya. Namun, dari tiga ratus pasukan di sambau-
nya, hanya tersisa tak lebih dari seratus orang. Panglima Muda Patakanandra dan Panglima Muda Mandrasiya adalah yang
termasuk bisa selamat.
Mereka semua segera diselamatkan oleh sambau yang ada
di belakang mereka.
Ketika Panglima Muda Kra Dawang berhasil diangkat, ia
segera berujar penuh kemarahan, "Kirimkan segera berita ini ke Telaga Batu! Katakan: Muara Jambi telah memberontak!"
Dan, berita yang dibawa oleh seekor merpati itu sampai ke
tangan Panglima Samudra Jara Sinya hanya berselang sehari
kemudian. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tentu saja ini merupakan pukulan berat bagi Panglima
Samudra Jara Sinya. Bagaimana mungkin Datu Muara Jambi
ternyata juga memberontak" Bukankah Dapunta Ih Yatra
cukup loyal terhadap Sriwijaya" Apalagi bukankah selama ini
Datu Muara Jambi selalu menjadi pendukung Sriwijaya untuk
mengalahkan pemberontakan di Minanga Tamwa"
-ooo0dw0ooo- Panglima Samudra Jara Sinya hanya bisa menarik napas
panjang. Sepanjang ingatannya, baru sekali saja Datu Muara Jambi
bermasalah. Itu ketika Dapunta Abdibawasepa diduga akan
melakukan pembelotan. Namun, kabar itu pun belumlah
sepenuhnya benar.
Sungguh, lepas dari kekalahan itu, kembali kecurigaannya
menggelitik dirinya. Ya, bagaimana mungkin informasi seperti ini kembali bisa dilewatkan oleh Sriwijaya begitu saja" Benteng panjang di dua sisi sungai" Bagaimana bisa pembangunan itu
terlewat dari pantauan"
Panglima Samudra Jara Sinya hanya bisa menggeleng-
gelengkan kepalanya. Sekilas bayangan sosok misterius yang
selalu tampil dengan jubah hitam berkelebat di benaknya.
Wantra Santra....
Aaah, informasi sepenting ini bukankah seharusnya
merupakan tanggung jawab kelompok rahasia Wangseya"
Panglima Samudra Jara Sinya hanya bisa merenungi pikiran
itu. Terutama saat memikirkan pembelotan yang ada di Datu
Muara Jambi. Sungguh, tak banyak yang mengetahui bahwa Datu Muara
Jambi adalah tanah yang memiliki kenangan sendiri bagi
Panglima Samudra Jara Sinya. Hampir tiga tahun yang lalu ia
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
datang di sana, sebagai salah satu panglima muda yang akan
membantu mengawasi perairan di sana. Saat itu Dapunta Chra
Bukadhasa yang mengutusnya sendiri untuk menjalin
hubungan yang lebih dekat dengan Datu Muara Jambi.
Ia mengagumi Muara Jambi lebih dari Telaga Batu.
Suasananya tampak asri dan udaranya terasa sangat sejuk.
Lebih dari itu, ia sangat mengagumi penguasa datu ketika itu, Dapunta Abdibawasepa.
Nama Dapunta Abdibawasepa cukup terkenal di Telaga
Batu. Ia dikenal sangat bijaksana dan begitu dicintai
rakyatnya. Selain itu, ia juga memiliki ribuan pasukan. Dan, pasukannya yang paling terkenal adalah pasukan gajah. Lebih
dari lima ratus gajah liar telah dijinakkan untuk menjadi
bagian dari pasukannya. Dua puluh lima tahun yang lalu saat
Minanga Tamwa memberontak, pasukan gajah itulah yang
membantu Sriwijaya dalam PerangMerah untuk menaklukkan
benteng Minanga Tamwa. Karena itulah, kemudian Keda-tuan
Telaga Batu sampai mendatangkan orang-orang khusus untuk
mendalami bagaimana cara menjinakkan gajah. Dan
kemudian, segera membentuk pasukan gajahnya sendiri.
Saat Panglima Samudra Jara Sinya datang ke tanah itu, ia
memang belumlah menduduki posisi strategis di Kerajaan
Sriwijaya. Namun, tak bisa dimungkiri bahwa ia datang dalam
kondisi matang. Saat pertama kali bertemu dan bercakap-
cakap dengan Dapunta Abdibawasepa, ia bisa melihat
keistimewaan pada dapunta itu. Saat itu ia menyambutnya
seperti seorang sahabat lama. Ia mendekat dan memegang
bahunya. "Akan kutunjukkan Muara Jambi kepadamu," ujarnya.
Lalu, mereka berkuda berdua ke seluruh pelosok Datu
Muara Jambi, tanpa seorang prajurit pun yang mengawal. Ini
tak pernah dilakukan dapunta lainnya. Apalagi di sepanjang
jalan, semua penduduk yang mereka temui menunduk hormat
dengan senyum mengembang. Bahkan, beberapa di antaranya
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tak sungkan mendekati mereka dan menawarkan makan siang
bersama. Sungguh, sebelumnya Jara Sinya muda tidak pernah
melihat keadaan seperti ini.
Hingga kemudian perjalanan mereka sampai juga di sebuah
bukit tempat seluruh Datu Muara Jambi dapat terlihat
"Kau lihatlah Batanghari di sana," Dapunta Abdibawasepa menunjuk ke arah utara di kejauhan. 'Aku yakin suatu hari
batangilu akan menjadi jalur penting bagi tanah kita
Lalu, Dapunta Abdibawasepa kembali menyuruhnya
melanjutkan perjalanan. Jara Sinya muda hanya mengangguk.
Mereka terus berjalan ke atas bukit. Karena belum terlalu
terjal, kuda mereka masih mampu berjalan setapak demi
setapak. Sampai di puncak bukit,Jara Sinya memandang takjub. Kini
seluruh Datu Muara Jambi terlihat begitu jelasnya. Batanghari yang berkelok-kelok dan cabang-cabangnya pun terlihat
begitu nyata. Seluruh aktivitasnya terekam dengan baik.
Saat itu Batanghari memang telah difungsikan sebagai
sarana umum bagi masyarakat Muara Jambi. Di setiap cabang
anak sungai akan berkumpul perahu-perahu kecil yang
membawa penumpang. Dan, di cabang yang lebih kecil lagi,
perahu yang lebih kecil lagi akan terlihat juga menunggu para penumpang.
"Ini... luar biasa," gumam Jara Sinya muda.
Dapunta Abdibawasepa tersenyum. "Sayangnya, ini adalah
akhir perjalanan kita karena kita tak lagi bisa ke atas,"
ujarnya. "Di sana penuh dengan Bunga Kusang ...."
"Bunga Kusang?" Jara Sinya muda bertanya tak mengerti.
Dapunta Abdibawasepa tertawa, "Kau belum
mendengarnya" Itu bunga racun. Serbuk bunganya dapat
memabukkan seseorang dan bila dihirup terus-terusan akan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
membuat orang tak sadarkan diri, bahkan ... dapat
menyebabkan kematian!"
Jara Sinya muda menatap tak percaya.
"Maka itulah, tak ada orang yang tinggal di sekitar bukit ini," ujar Dapunta Abdibawasepa lagi. "Terutama di bagian selatan sana karena angin terus bertiup ke sana ...."
Maka, akhirnya keduanya pun segera berbalik.
Ya, itulah pengalaman pertama Panglima Samudra Jara
Sinya di Datu Muara Jambi. Sampai beberapa tahun kemudian
ia tinggal di sana dan semuanya berlangsung dengan baik.
Hingga akhirnya ia harus kembali lagi ke Telaga Batu untuk
menerima pengangkatannya sebagai Panglima Samudra.
Hanya setahun berselang dari itu, terdengar berita
pembelotan Datu Muara Jambi dari Kerajaan Sriwijaya.
Sungguh, sampai sekarang, kejadian itu tak pernah benar-
benar dipercayainya!
Panglima Samudra Jara Sinya menggelengkan kepalanya
dengan perasaan sangsi. Rasanya ia masih tak bisa percaya
bahwa kini... ia harus kembali dihadapkan dengan pembelotan
di tanah itu! -ooo0dw0ooo- 17 Penaklukan Para Bajak Laut
Pantai Barat Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Jauh dari Telaga Batu, jauh dari kejadian memalukan di


Dendam Dan Prahara Di Bhumi Sriwijaya Karya Yudhi Herwibowo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Batanghari itu, empat buah sambau tengah melaju kencang
membelah lautan di Pantai Barat....
Berbeda dengan Pantai Timur yang tampak landai, tempat
kadang keramaian dapat terlihat di tepian pantai, Pantai Barat tampak lebih berbukit. Pantai-pantainya hampir semuanya
berlatar bukit. Dari arah utara hingga ke selatan, bukit-bukit memang berjejer memanjang, membuat Pantai Barat ini
seakan menjadi tempat yang terpisah dari Sriwijaya.
Beberapa datu kecil tersebar di sepanjang Pantai Barat. Kini semuanya merupakan bagian dari Kerajaan Sriwijaya. Satu
datu yang terbesar di antara yang lain adalah Datu Singkep.
Sebelumnya Datu Singkep merupakan kerajaan kecil yang
berdiri sendiri. Panglima Samudra Jara Sinya, yang saat itu
masih menjadi Panglima Muda, berhasil menaklukkannya
dalam sebuah peperangan pendek. Sejak itu Datu Singkep pun
takluk. Kini di generasi kedua Datu Singkep, Dapunta Kangga Kiya,
yang menguasai tanah itu, meminta pertolongan Kedatuan
Sriwijaya untuk memberantas bajak laut yang semakin berani
di perairannya.
Letak Datu Singkep memang cukup strategis, berada di
hulu sebuah sungai besar yang disebut Batang Tigo, yang
letaknya tak jauh dari Batanghari. Sehingga dapat dikatakan
Datu Singkep-lah penguasa Batanghari di bagian Pantai Barat.
Pelayaran empat sambau itu dipimpin oleh Kara Baday.
Setelah bergabung dengan Sriwijaya, Panglima Samudra Jara
Sinya menggantikan dua belas perahu kecil miliknya dengan
empat buah sambau berukuran sedang, berlayar dua tiang.
Empat sambau itu tentu saja terlalu besar bagi sekitar seratus orang bekas bajak laut Pulau Karang yang tersisa. Maka itulah, kemudian Panglima Samudra Jara Sinya pun menyerahkan
kepadanya lima puluh anggota pasukan baru untuknya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kini, dengan tak kurang dari 150 pasukan, Kara Baday
memulai perjalanan melalui jalur selatan. Sengaja ia
melakukan pelayaran dari jalur selatan yang memutar karena
ia ingin sekaligus menyisir bajak laut yang ada di sepanjang Pantai Barat itu.
Sampai hari ini, di hari kedua puluh pelayarannya, Kara
Baday dan pasukannya telah menghancurkan empat kelompok
bajak laut kecil. Dua di antaranya ditemukan ketika sedang
beraksi. Yang lainnya ditemukan ketika sedang mengemasi
barang rampokan di markas mereka.
Walau penaklukan ini terdengar mudah, tetapi sebenarnya
cukup sulit. Mungkin bisa terlihat mudah karena semuanya
dilakukan oleh bekas bajak laut sendiri.
Pada kenyataannya, mengejar bajak laut adalah sesuatu
yang sulit. Perlu perasaan dan pengalaman untuk itu.
Terutama saat menebak waktu mereka beraksi, juga saat
pengejarannya. Sungguh, tak mudah membuat jalur potong
saat pengejaran para bajak laut itu. Perlu perasaan untuk
melakukan itu. Dan, Kara Baday menguasai itu dengan baik.
Terlebih untuk menemukan tempat persembunyian bajak
laut, ini lebih sulit lagi, atau bisa dikatakan hampir tak
mungkin. Biasanya para bajak laut bersembunyi di tempat
yang sangat tersembunyi atau ... di tempat yang sama sekali
tak terduga. Satu di antara kelompok bajak laut yang
dihancurkan itu bahkan ditemukan Kara Baday ada di pantai
yang sama di mana pelabuhan datu itu berada.
Dan kini, memasuki hari kedua puluh pelayaran ini, sambau
Kara Baday tengah menuju Datu Singkep. Ini menjadi
pelayaran terpanjang bagi dirinya selama ini. Tubuhnya sudah tampak lelah, walau raut wajahnya masih kelihatan
bersemangat. "Aku rindu daratan," ujarnya kepada Paman Kumbi Jata yang selalu ada di sampingnya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Paman Kumbi Jata tertawa, "Kau ini. Kita semua
merindukan daratan."
Kara Baday tersenyum. Untuk sejenak ia membiarkan
sambau-nya meluncur halus. Matanya melihat sebuah daratan
tak jauh dari sana ....
Tiba-tiba Paman Kumbi Jata mendekat kepadanya. "Kara,"
nada suaranya terdengar ragu. "Sebenarnya ada yang ingin kubicarakan kepadamu
Kara Baday menoleh, "Ada apa, Paman?"
"Entahlah," Paman Kumbi Jata membuang pandangannya jauh ke depan. "Kadang aku merasa bahwa kita hanya ...
dimanfaatkan oleh Panglima Samudra Jara Sinya ...."
Kara Baday mengerutkan keningnya, "Mengapa kau merasa
begitu, Paman" Bukankah kau juga yang ...."
"Aku tahu, aku tahu," Paman Kumbi Jata memotong cepat.
"Ini hanya perasaan yang datang tiba-tiba saja. Seharusnya mungkin ... tak perlu kuucapkan kepadamu!" Paman Kumbi
Jata mencoba tersenyum, "Maafkan aku ...."
Kara Baday mencoba tersenyum, "Tak perlu minta maaf,
Paman. Aku bisa memahaminya. Karena kadang ... aku sendiri
berpikir seperti itu. Namun, tentu saja itu keraguan yang tak beralasan. Kita sama sekali tidak dimanfaatkan, Paman. Sama
sekali tidak. Kita ... hanya sedang diberi kesempatan!"
Kara Baday menatap Paman Kumbijata lebih lekat,
"Panglima Samudra Jara Sinya adalah lelaki terhormat. Ia tak mungkin menarik ucapan untuk memberikan gelar panglima
muda itu kepadaku bila kita berhasil menaklukkan para bajak
laut itu, bukan?"
Paman Kumbijata mengangguk-angguk, "Ya, aku paham,
aku paham Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kara Baday tertawa kecil, "Dan, bisa kaubayangkan setelah itu, Paman?" Ia masih menatap Paman Kumbijata, "Kita semua tak lagi hidup dalam pelarian. Tak perlu lagi kita
dikejar-kejar sesuatu yang selalu membuat kita terus
berpindah-pindah dan bersembunyi. Kita tak akan lagi seperti itu, Paman. Istri, anak-anak, dan siapa saja yang selama ini mendampingi kita tak perlu lagi... hidup dengan ketakutan!"
Kara Baday menyentuh kedua pundak Paman Kumbi Jata,
"Kita akan hidup dengan normal, Paman. Dan kita akan hidup dengan rasa bangga....."
Paman Kumbi Jata mengatupkan bibirnya sambil
mengangguk-angguk. "Ya, kau benar, Kara. Kau benar,"
ucapnya mencoba menyembunyikan gejolak hatinya.
'Jadi," ujar Kara lagi, "kita harus berusaha habis-habisan untuk ini, Paman!"
"Tentu saja, Kara, tentu saja," Paman Kumbijata masih terus mengangguk-angguk.
-ooo0dw0ooo- Hanya sehari berselang, sambau mereka berlabuh di
pelabuhan Datu Singkep. Karena sambau terlalu besar, ia tak
bisa berhenti tepat di dermaga. Maka, sambau itu berhenti
beberapa tombak di depan dermaga, lalu dengan perahu yang
lebih kecil, Kara Baday, Paman Kumbijata, dan tiga orang anak buah lainnya, segera menepi ke pantai.
Beberapa orang dari Kedatuan Singkep segera menyambut
kedatangan mereka dengan hormat.
"Kalian utusan Dapunta Hyang?" seorang yang tampaknya merupakan pu di kedatuan ini maju mendekat sambil
membungkuk. Sebutan Dapunta Hyang di beberapa datu yang
jauh dari Telaga Batu memang masih kerap digunakan
daripada sebutan Sri Maharaja.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ya," Kara Baday mengangguk mantap, "kami ditugaskan Panglima Samudra Jara Sinya untuk membantu di sini!"
Sekilas pu itu memperhatikan Kara baday, "Kalau boleh
kutahu, siapa nama Panglima?" tanyanya.
Kara Baday tersenyum. Ini pertama kalinya seseorang
menyebutnya dengan sebutan panglima. 'Aku Kara Baday,"
ujarnya kemudian.
Lelaki itu membungkukkan badannya, "Selamat datang di
Datu Singkep, Panglima Kara Baday. Hamba Pu Kawelu siap
melayani."
Lalu, iring-iringan itu segera berjalan ke utara. Letak
Kedatuan Singkep dengan dermaga memanglah tidak terlalu
jauh. Maka itulah, mereka menempuhnya dengan berjalan
kaki. Hanya beberapa langkah saja, gerbang Datu Singkep
sudah terlihat dengan jelas.
"Kami telah menghancurkan empat kelompok bajak laut di
sepanjang perjalanan kemari," ujar Kara Baday.
Pu Kawelu tersenyum, "Syukurlah"
"Kami hanya ingin tahu hal ihwal bajak laut lainnya,"
tambah Kara Baday lagi.
Pertanyaan itu tak terjawab saat itu. Pu Kawelu sudah
membawa rombongan kecil itu ke ruang pertemuan utama
yang ada di depan Kedatuan Singkep. Di situ ternyata telah
menunggu Dapunta Kangga Kiya, penguasa Datu Singkep.
Kara Baday dan Paman Kumbi Jata segera masuk dan
memberi hormat kepadanya.
"Hamba Kara Baday dari Telaga Batu," ujar Kara Baday.
Lelaki yang tampak masih sangat muda ini mengamati
kedatangan Kara Baday dengan tatapan tak percaya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kau masih tampak sangat muda," komentarnya. Kara
Baday tersenyum. Bersama Paman Kumbijata, Kara Baday
kemudian duduk bersila di depan Dapunta Kangga Kiya.
"Sebenarnya kedatangan kalian cukup terlambat," ujar Dapunta Kangga Kiya tanpa berbasa-basi lagi. "Tetapi, aku bersyukur akhirnya kalian datang juga."
Ia membuang pandangannya ke arah lautan, "Sudah sekian
lama Bajak Laut Pande Wayu menguasai perairan kami,"
ujarnya lagi. "Mereka adalah bajak laut paling kejam yang pernah kutemui...."
Kara Baday melirik sekilas ke arah Paman Kumbijata yang
bersila sedikit di belakangnya. Sedikit banyak keduanya
memang pernah mendengar nama bajak laut itu.
Suara Dapunta Kangga Kiya kembali terdengar, "Mereka
muncul sekitar dua tahun yang lalu. Hingga kini, mereka
sudah menjadi kelompok bajak laut yang sangat kuat.
Pengikutnya mencapai ratusan orang. Dan, mereka tak hanya
bergerak di perairan besar, tetapi juga bergerak di batang-
batang yang tersebar di Pantai Barat ini
Kara Baday mendengarkannya dengan saksama, "Dapunta
yakin mereka bajak laut yang sama?"
Dapunta Kangga Kiya mengangguk, "Ya, berdasarkan
penyelidikan kami, itu benar mereka. Aksi mereka begitu
mudah dikenali "Mereka sangat brutal dan kejam," Pu Kawelu
menambahkan. Kara Baday terdiam. Sesaat ia kembali melirik kepada
Paman Kumbijata.
Sebenarnyalah nama Bajak Laut Pande Wayu memang
sudah begitu terkenal hingga di Pantai Timur Bhumi Sriwijaya.
Mereka adalah kelompok bajak laut terbesar di Pantai Barat.
Pemimpin bajak laut itu bernama Pande Wayu. Anak buahnya
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mencapai seratus orang lebih. Ia biasanya beraksi dalam tiga perahu besar berlayar tiga tiang, dengan jelajah wilayah yang sama sekali tak bisa ditebak. Dalam setiap aksinya ia tak
pernah menyisakan satu orang pun di perahu yang baru
dirampoknya. Tak hanya sampai di sini, konon menurut kabar, kesukaan
Pande Wayu adalah memakan daging manusia. Maka itulah, di
setiap aksinya, ia akan memilih korban paling muda untuk
disantapnya. Dan, itu biasanya adalah bocah-bocah kecil.
"Aku ingin kalian menghancurkan bajak laut itu," Dapunta Kangga Kiya berucap tegas. Kara Baday tak menyahut.
Kali ini, ia tak lagi bisa terlalu sesumbar. Bagaimanapun
lawan yang dihadapinya adalah lawan yang berat, tidak
seperti empat kelompok bajak laut yang dihancurkan
sebelumnya. "Apa yang paling sering dirampok oleh mereka?" tanya Kara Baday sejurus kemudian.
"Tentunya perahu para saudagar," jawab Dapunta Kangga Kiya. "Ia tak pernah mencari masalah dengan mengusik
perahu-perahu milik datu-datu
"Ya, karena itulah belakangan ini mereka tak lagi beraksi,"
tambah Pu Kawelu. "Mungkin karena mereka sudah tahu
tentang kehadiran sambau Sriwijaya
Kara Baday berpikir sejenak, ia menyuruh Paman Kumbi
Jata mendekat kepadanya. Keduanya lalu berbisik-bisik sesaat.
Tak lama kemudian Kara Baday kembali berpaling kepada
Dapunta Kangga Kiya, "Saat ini ada berapa perahu saudagar yang tengah merapat di pelabuhan ini?"
Dapunta Kangga Kiya tak bisa menjawab, ia segera
menoleh kepada Pu Kawelu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Tampaknya sedang ada satu perahu milik saudagar
Gujarat," jawab Pu Kawelu.
Kara Baday mengangguk-angguk, "Baguslah kalau begitu,"
ujarnya. "Aku ingin meminjam perahu itu."
-ooo0dw0ooo- Di tempat yang tak terduga. Beberapa pasang mata selalu
mengawasi keadaan pelabuhan Datu Singkep. Seorang
pemuda bertubuh kecil baru saja turun dari sebuah pohon
kelapa yang menjulang tinggi, lalu berlari menuju sebuah
rumah. "Sambau itu telah pergi," ujarnya memecah
keheningan. Lelaki yang tengah duduk di potongan batang
pohon itu berdiri. Tubuhnya yang besar dan bertelanjang
dada, sesaat berkilauan tertimpa sinar matahari. Ratusan luka akibat sabetan pedang terlihat hampir di seluruh tubuhnya.
Ialah yang dikenal dengan nama Pande Wayu, sang
pemimpin kelompok bajak laut Pande Wayu.
Ia segera mendekat kepada lelaki bertubuh kecil itu. "Kau yakin?" suaranya terdengar serak.
"Ya, hamba mengamatinya sejak kemarin. Hampir semua
orang di kapal itu turun untuk beristirahat di daratan. Dan, esok paginya, semua orang sudah kembali ke sambau, dan
kembali melanjutkan perjalanan
Seorang lelaki tua berwajah lonjong mendekat pada
keduanya. Ia adalah Kakek Cangko, kakek dari Pande Wayu.
'Aneh," gumamnya seakan kepada dirinya sendiri.
"Mengapa mereka tak berusaha menangkap kita terlebih
dahulu?" Pande Wayu tertawa mendengar itu, "Tentu saja karena
mereka takut kepada kita!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kakek Cangko menggeleng, "Tidak, tidak, kupikir ini
merupakan strategi mereka. Sungguh, tak mungkin mereka
pergi begitu saja. Mereka baru saja tiba di sini kemarin ...."
Pande Wayu tampak tak senang dengan jawaban kakeknya
itu. Namun, ia hanya bisa mendengus kesal.
"Kita amati saja terus sambau itu!" ujar Kakek Cangko lagi.
Pande Wayu mengangguk berat, "Tentunya esok hari, kita
bisa kembali menyerang.'
Kakek Cangko mendekat kepada Pande Wayu. "Sabarlah,"
ujarnya, "menunggu beberapa hari lagi tak membuat kita
mati!" "Tetapi, aku...," Pande Wayu menelan ludah.
"Aku...."
"Mengapa?" Kakek Cangko semakin mendekat. "Kau sudah ingin kembali memakan bocah, heh?" Pande Wayu tak
menjawab. "Sudah kukatakan kepadamu, kebiasaanmu itu akan
menghancurkan dirimu sendiri!" Kakek Cangko meludah,
"Kenikmatan tak akan benar-benar membawa kenikmatan!"
Pande Wayu mendengus kesal. Segera saja ia beranjak
pergi. Masih sempat didengarnya kakeknya berujar kepada
anak buahnya, "Kau kembali lagi ke pohon itu dan perintahkan kepada beberapa orang untuk berpura-pura menjadi nelayan
dan mengamati pelabuhan lebih dekat
Dan, pemuda berbadan kecil itu kembali naik ke atas
pohon. Diperhatikannya perairan di kejauhan sana. Namun,
sampai lama, tak ada kejadian apa pun. Keempat sambau
Sriwijaya itu benar-benar menghilang di cakrawala di sebelah selatan sana. Dan, keadaan normal seperti biasa begitu nyata terlihat di sekitar pelabuhan Datu Singkep.
Menjelang sore hari, lelaki kurus itu kembali menghadap.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Sambau itu benar-benar telah pergi," ujarnya. "Aku sudah tak melihatnya lagi...."
Pande Wayu tersenyum senang, menampakkan gigi-giginya
yang hitam. Dan, sebelum senyum itu benar-benar terhenti,


Dendam Dan Prahara Di Bhumi Sriwijaya Karya Yudhi Herwibowo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tiga orang berpakaian nelayan sudah menghadapnya.
"Kapal saudagar Gujarat itu akan segera berlayar," ujarnya.
Pande Wayu tertawa, "Hahaha, ini sudah waktunya!"
teriaknya. Akan tetapi, Kakek Cangko muncul dari belakangnya,
berjalan ke depan, melewati Pande Wayu dengan lirikan
sinisnya. 'Apa tidak ada yang mencurigakan?" tanyanya
kepada tiga orang berpakaian nelayan itu.
Ketiganya saling memandang. Salah satu mengangkat
kepalanya, "Sepertinya tak ada yang mencurigakan," ujarnya
"Mereka tak tampak membawa orang lebih banyak?" Lelaki itu berpikir sejenak. Namun, saat itu semuanya memang terasa
sangat normal. Orang-orang Gujarat itu berlayar dari perahu
kecil menuju ke perahu mereka yang besar. Lelaki itu
memperhatikan semuanya dengan baik. Tak ada penambahan
Rahasia Peti Wasiat 1 Golok Halilintar Karya Khu Lung Cinta Bernoda Darah 5
^