Pencarian

Dendam Dan Prahara 6

Dendam Dan Prahara Di Bhumi Sriwijaya Karya Yudhi Herwibowo Bagian 6


Sementara di kejauhan, sambau di mana Kara Baday berada
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
masih terus diserang panah-panah yang menghujan tanpa
henti! "Sambau itu akan hancur," desis Sangda Alin yang
merasakan sambau itu semakin termakan api. Tunggasamudra
tercekat. "Tampaknya ... inilah strateginya, Tungga," Dapunta Cahyadawasuna akhirnya berujar pelan. "Ia... mengorbankan sambau itu
-ooo0dw0ooo- 29 Kematian Kara Baday
"Salam sejahtera bagi Sri Maharaja Balaputradewa.."
Lelaki berperut gendut itu membungkuk dalam-dalam. Sri
Maharaja Balaputradewa tersenyum lebar. Dengan gerakan
tangannya diperintahnya lelaki berperut gendut itu bangkit.
"Kabar apa yang kaubawa dari Bhumijawa, Soka-wajra?"
tanyanya kemudian.
"Tak banyak kabar yang hamba bawa, Sri Maharaja," ujar lelaki yang dipanggil Sokawajra itu. Ia merupakan seorang
panglima dari Bhumijawa, salah satu panglima yang terpilih
untuk melindungi seluruh keturunan Wangsa Sailen-dra.
Beberapa waktu sekali, ia memang selalu sengaja datang ke
Telaga Batu untuk mengunjungi Sri Maharaja Balaputradewa,
yang dulu menjadi junjungannya.
"Keadaan di Bhumijawa kini tampak tenang. Tak ada
sesuatu yang bergejolak," ujar Panglima Sokawajra lagi. "Sri MaharajaJatiningrat Rakai Pikatan tampaknya masih merasa
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sangat bersalah telah mengobarkan perang di Dusun Iwung.
Maka itulah, ia kini memilih mengasingkan diri di tanah Wantil dan mendirikan lingga yang sangat indah di sana
Sri Maharaja Balaputradewa tertegun, tetapi belum sempat
berucap apa-apa, Panglima Sokawajra kembali melanjutkan
ucapannya, "Lingga itu sebenarnya telah disiapkan sejak lama.
Bahkan, saat pembangunannya, semua orang memberikan
sumbangan Sri Maharaja Balaputradewa tetap tak bereaksi. Cerita
Panglima Sokawajra yang begitu lancar sedikit membuatnya
merasa tersindir. Namun, Sri Maharaja Balaputradewa bisa
mengerti keadaan ini. Ia telah begitu lama mengenal Panglima Sokawajra dan ia tahu sekali bahwa panglima ini adalah
seseorang yang jujur dan berterus terang.
Akan tetapi, lepas dari ucapan itu, Sri Maharaja
Balaputradewa kembali teringat pada ucapan Jatiningrat
sesaat peperangan keduanya akan terjadi ....
Aku sama sekali tak tertarik dengan takhta itu, Paman....
Aku hanya mencintai Pramodarwadhani ....
"Sekarang tampuk pimpinan ada pada Sri Maharatu
Pramodawardhani," lanjut Panglima Sokawajra. "Namun, beberapa tahun lagi pun, Raden Ayu Dyah Lokapala akan
menggantikannya
Dengan gerakan pelan, Sri Maharaja Balaputradewa bangkit
dan berjalan mendekati Panglima Sokawajra. Namun, matanya
menerawang jauh ke depan.
'Jadi, benar ia akan menyepi juga?" gumamnya seakan
kepada dirinya sendiri.
Panglima Sokawajra hanya menjawab dengan anggukan
kepalanya. "Kamulan Bhumisambhara sebentar lagi akan selesai. Kini pembangunannya hanya tinggal beberapa stupa saja,"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
ujarnya. "Kemungkinan besar Sri Maharatu Pramodawardhani akan menepi di situ
Sri Maharaja Balaputradewa mengangguk pelan. Ia ingat
dengan Kamulan Bhumishambara, bangunan megah yang
telah dibangun jauh sebelum peperangan itu. Itu merupakan
bangunan yang mulai dibangun sejak zaman pemerintahan
kakaknya, Samaratungga. Saat itu ia ingat sekali kakaknya
menunjuk Gunadarma untuk membuat candi dengan lima
ratus empat arca Buddha ....
"Ya, aku memang sudah mendengar sejak dulu keinginan
Pramodawardhani itu," Sri Maharaja Balaputradewa kembali menerawangkan pandangannya jauh ke depan.
'Jadi keduanya akan benar-benar meninggalkan takhta itu?"
gumamnya pelan, nyaris tak terdengar.
-ooo0dw0ooo- Setelah kehancuran sambau Kara Baday, Panglima
Samudra Jara Sinya, memerintahkan sambau-sambau
Sriwijaya lainnya untuk segera kembali ke Pelabuhan Muara
Jambi. Pertemuan segera digelar malam itu juga di Kcdatuan
Muara Jambi. Panglima Samudra Jara Sinya dan semua
panglima mudanya hadir di pertemuan itu, juga Dapunta
Cahyadawasuna, Tunggasamudra, dan Sangda Alin.
Sejenak di tengah keheningan sebelum pertemuan ini
dimulai, masih terbayang di benak semua yang hadir ketika
sambau Kara Baday yang terbakar akhirnya benar-benar
hancur dan tenggelam ....
"Ini berat buat kita semua," Panglima Samudra Jara Sinya memulai ucapannya sambil menyapukan pandangan kepada
semua yang hadir.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kau memang sengaja mengumpankan sambau itu untuk
mengukur kekuatan lawan," suara Tunggasamudra tiba-tiba terdengar tegas. Posisi duduknya yang ada di belakang
Dapunta Cahyadawasuna langsung menarik perhatian seluruh
mata ke arahnya.
Luwantrasima, putra pertama Panglima Samudra Jara
Sinya, langsung berdiri dan menunjuk Tunggasamudra, "Hai, jangan lancang kau!"
Dalam aturan pertemuan yang telah ada sejak turun-
temurun, memang tak sembarang orang bisa bicara di
pertemuan ini. Apalagi langsung bicara tanpa meminta izin
terlebih dahulu, seperti yang dilakukan Tunggasamudra!
Akan tetapi, Panglima SamudraJara Sinya segera memberi
tanda kepada anaknya untuk mundur. Dipandanginya
Tunggasamudra yang juga balas menatapnya tanpa rasa
takut. Ia telah tahu kehebatan pandaya yang kini selalu
mengikuti Dapunta Cahyadawasuna ini, tetapi selama ini, tak
ada yang berani bicara langsung kepadanya seperti ini, selain Panglima Bhumi Cangga Tayu, Wantra Santra, dan Pu Chra
Dayana. Maka dari itulah, di samping kemarahan itu, diam-
diam ia merasa kagum juga dengan keberanian
Tunggasamudra. "Kau jangan salah sangka, Anak Muda," ujarnya dengan nada pelan. "Aku sendiri tak menyangka kekuatan musuh
seperti itu. Gelondongan kayu-kayu itu akan menjebak
sambau-sambau kita bila kita nekat melaluinya. Apalagi aku ...
juga belum pernah melihat api-api di ujung pelontar panah.
Sungguh, bila aku meneruskan serangan itu, tentu saja akan
lebih banyak korban lagi...."
"Kau bisa menyuruhnya mundur!" bantah Tunggasamudra lagi.
"Tidak, tidak," ujar Panglima Samudra sambil menggeleng kepalanya, "Sungai terlalu sempit untuk sambau itu berbelok
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tunggasamudra terdiam.
"Kara Baday adalah pemuda pemberani," ujar Panglima Samudra Jara Sinya lagi. "Terlepas aku mengenal baik
ayahnya, aku ... menyukai dirinya. Dan, aku sama sekali tak
berniat mengorbankannya...."
Ia kembali menatap dalam-dalam kepada Tunggasamudra,
"Namunterkadang keputusan seperti inilah yang memang
harus diambil Panglima Samudra Jara Sinya menarik napas panjang,
"Maka itulah, malam ini kuminta kalian semua datang di sini.
Aku ingin kita semua memikirkan rencana baru untuk
membalas ini. Mungkin semuanya akan menjadi lebih mudah
karena beberapa hari lagi, pasukan Panglima Bhumi Cangga
Tayu sudah ada di selatan Minanga Tamwa
-ooo0dw0ooo- Dan, malam ini seusai pertemuan itu, semuanya
beristirahat di Kedatuan Muara Jambi.
Kedatuan Muara Jambi sangatlah luas, hampir tak kalah
dari kedatuan di Telaga Batu. Di belakang kedatuan, terdapat rumah besar bagi dapunta yang menjadi datu di sini. Di situlah puluhan kamar berderet panjang bagi para tamu dan prajurit.
Akan tetapi, tak ada seorang pun yang tahu bila berada di
lingkungan Datu Muara Jambi ini seakan mengoyak-ngoyak
kenangan Sangda Alin!
Sedari tadi ia berusaha tegar, mencoba tampak tak
bereaksi. Namun, hatinya selalu ingin menangis. Ia masih
hafal semua sudut di kedatuan ini. Dari awal ketika ia
menjejakkan kaki di gerbang ini, ia seperti telah terluka. Ia hafal jumlah anak tangga di gerbang masuk kedatuan-nya.
Anak tangga itulah yang dulu, ketika ia masih kanak-kanak,
kerap menjadi ajang berlomba dengan saudara-saudaranya
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
yang lain, terutama dengan Katra Wiren dan Jungga Dayo.
Mereka akan selalu mencoba menghitung bersama-sama
jumlah anak tangga itu. Dan, jumlahnya selalu saja berbeda
setiap harinya, 47, 48, 49, 50, bahkan 51. Tak ada yang
benar-benar yakin berapa jumlah anak tangga itu.
Semakin masuk ke dalam, ia seperti semakin terluka.
Terlebih saat menatap koridor-koridor ruangan di kedatuan ini.
Sungguh, semuanya tak ada yang berubah. Bahkan, beberapa
perabotan rumah milik ayahnya dulu masih dibiarkan tetap di
sana. Guci-guci hadiah dari saudagar-saudagar Cina dan
permadani dari Gujarat masih tampak berjejer di ruangan
kerja ayahnya. Sungguh, melihat ini semua, hati Sangda Alin seakan teriris.
Ia sangat ingin segera memasuki ruangannya dan menangis di
situ. Akan tetapi, suara Tunggasamudra menahannya, "Sangda!"
Sangda Alin berpaling sambil menguatkan hatinya. "Kau
akan segera beristirahat?" Tunggasamudra mendekat.
"Ya, aku sangat lelah," ujarnya.
Tunggasamudra mengangguk, "Ya, aku juga sangat lelah."
Keduanya kemudian berjalan bersama di koridor itu.
"O ya, Tungga," ujar Sangda Alin tanpa menghentikan langkahnya. "Kupikir tadi, kau sangat berani!"
Tunggasamudra menoleh. "Aku hanya sekadar
mengungkapkan apa yang kurasakan," ujarnya. "Semoga ini tak mempersulit Dapunta Cahyadawasuna."
"Sepertinya tidak," Sangda Alin berucap. "Walau bagaimanapun, posisimu sebagai pandaya cukup membuat
mereka segan. Coba kauamati saja, beberapa panglima muda
kerajaan ini merupakan bekas seorang pandaya. Contoh yang
paling jelas tentunya adalah Panglima Bhumi Cangga Tayu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sangda Alin menghentikan langkahnya, ia telah sampai di
depan biliknya.
"Akan tetapi, sungguh, aku suka keberanianmu tadi,"
ujarnya. "Terlebih melihat anak Panglima Samudra Jara Sinya tampak marah!"
Tunggasamudra tersenyum tipis. Ucapan Sangda Alin cukup
membuatnya tenang. Hatinya yang sejak tadi bergejolak
seakan sedikit teredam.
Akan tetapi, ketika Tunggasamudra berbaring di biliknya,
bayang-bayang sosok Kara Baday kembali muncul di
benaknya. Tewaskah ia saat itu" Pertanyaan itu kembali muncul di
benaknya. Saat itu dari arah sambau-nyzL, Tunggasamudra
memang tak terlalu dapat melihat apa yang terjadi di sambau
Kara Baday. Asap putih racun daun upas dan asap api seakan
menghalangi pandangan semua orang ke arah itu walau
sesekali masih dapat dilihat beberapa tubuh yang
menceburkan diri ke sungai.
Semoga ia bisa menyelamatkan diri, harap Tunggasamudra
lagi. Bersamaan dengan itu air hujan mulai menjatuhi atap
biliknya. Suaranya yang awalnya hanya pelan saja, semakin
lama terdengar semakin keras.
Di luar, tanpa Tunggasamudra sadari, bersamaan dengan
datangnya hujan, sesosok tubuh baru saja muncul dari balik
bayang-bayang pohon yang mengitari kedatuan.
Angin tiba-tiba saja mengembuskan napas kematian.
Sosok itu maju dengan langkah tertatih. Pakaiannya telah
compang-camping dengan darah di mana-mana. Rambutnya
pun terurai tak beraturan menutupi wajahnya yang kotor dan
penuh luka. Di tangannya tampak sebilah pedang yang siap
digunakan. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ia tak lain adalah Kara Baday!
Beberapa prajurit yang melihatnya hanya bisa membiarkan
sosok itu maju semakin mendekati kedatuan. Seorang di
antara mereka kemudian mengambil inisiatif untuk berlari ke
dalam kedatuan, untuk melaporkan kedatangan itu.
Panglima Samudra Jara Sinya yang baru akan mencoba
beristirahat hanya bisa tertegun mendengar laporan itu.
"Kau yakin?" tanyanya tak percaya kepada prajurit yang membawa berita.
"Ya, hamba yakin, Panglima," ujar prajurit itu sambil menunduk dalam.
Panglima Samudra Jara Sinya segera mengambil
pedangnya, "Panggil para panglima," ujarnya. 'Juga... pandaya itu!"
Dan, di antara langkah-langkahnya ke pelataran keda-tuan,
teriakan itu terdengar di antara bunyi hujan.
"JARA SINYAAA, KELUARLAH KAUUU"
Teriakan itu terdengar menggelegar, dibarengi dengan
suara guntur yang bersahutan. Tentu saja teriakan itu dapat
membangunkan orang-orang yang baru saja hendak
beristirahat, juga Tunggasamudra. Sebelum prajurit yang
ditugaskan memanggilnya sampai di biliknya, ia sudah keluar, berbarengan dengan keluarnya Sangda Alin.
Semuanya berpikir sama. Maka itulah, dengan gerakan
ringan keduanya melompat menuju pelataran kedatuan.
Tepat di situ, di bawah guyuran hujan yang semakin lebat,
dilihatnya beberapa prajurit Sriwijaya dengan tombak di
tangan, tengah mengitari Kara Baday yang tampak ter-luka.
Dapunta Cahyadawasuna yang juga telah muncul segera
mendekati Panglima Samudra Jara Sinya, "Ada apa,
Panglima?" tanyanya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ia ingin membunuhku' ujar Panglima Samudra Jara Sinya
pendek. Bertepatan dengan selesainya ucapan itu, Kara Baday tiba-
tiba melompat ke arah Panglima Samudra Jara Sinya berdiri.
Pedangnya bergerak menusuk dengan tajam. Namun, gerakan
itu terasa lambat. Dengan gerakan mudah, Panglima Samudra
Jara Sinya segera mengelak ke kiri sambil mengeluarkan
pedangnya untuk balik menyerang.
Serangan ini membuat Kara Baday kembali mundur.
Beberapa prajurit Sriwijaya kembali mengepungnya.
"Aku ingin kau yang menyelesaikan ini!" Panglima Samudra Jara Sinya menunjuk kepada Tunggasamudra yang baru saja
tiba. Tentu saja ucapan itu membuat Tunggasamudra tercekat.
Dapunta Cahyadawasuna yang berdiri tepat di sebelah
Panglima Samudra Jara Sinya segera berujar cepat,
"Kupikir, sebaiknya panglima yang lain yang menyelesaikan!"
"Tidak," bantah Panglima Samudra Jara Sinya cepat. "Kara Baday bukan lawan yang mudah. Hanya seorang pan-daya
yang bisa melawannya!"
Tunggasamudra hanya terdiam. Keraguan jelas tampak di
wajahnya, membuat semua mata yang ada di situ begitu jelas
bisa melihatnya.


Dendam Dan Prahara Di Bhumi Sriwijaya Karya Yudhi Herwibowo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Di saat seperti itulah, Kara Baday kembali melompat
menyerang Panglima Samudra Jara Sinya. Tunggasamudra
pun seperti tak memiliki pilihan lain. Ia segera bergerak cepat.
TRAAANGG! Dengan gerakan yang begitu tak terduga, Tunggasamudra
telah mengeluarkan sebilah pedangnya dan menahan
serangan Kara Baday Benturan ini langsung membuat Kara
Baday kembali terhuyung ke belakang untuk kedua kalinya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tunggasamudra segera melompat mengikuti Kara Baday ke
tengah arena. Hujan seketika mengguyur seluruh tubuhnya.
Dua sosok itu kini berdiri beberapa saat dengan jarak tak lebih dari lima tombak.
Di sela-sela tetesan air hujan di matanya, Tunggasamudra
menatap Kara Baday dengan nanar. Kini tubuh lelaki periang
itu begitu mengenaskan. Luka-luka begitu mencolok terlihat di sekujur tubuhnya, juga di wajahnya.
Kara Baday mengelap bibirnya dengan punggung
tangannya. Tanpa banyak basa-basi lagi, ia sudah melakukan
lompatan panjang untuk menyerang. Namun, dengan gerakan
berputar, Tunggasamudra segera menahan serangan itu....
TRAAAANK! Benturan kali ini membuat pedang Kara Baday terlempar
jauh. Tampak jelas bila tenaganya benar-benar telah habis.
"Maafkan aku Kara," Tunggasamudra berbisik. Namun, suaranya hanya tertelan deru hujan. Dengan satu gerakan,
Tunggasamudra sudah.melepaskan ikatan ketiga pedang di
^punggungnya. Lalu, dilemparkannya kedua pedang yang
tersisa hingga menancap tanah di depan Kara Baday.
"Kau boleh memakai pedang yang mana pun," ujar
Tunggasamudra, kali ini dengan suara yang lebih keras.
Kara Baday tersenyum. Dengan gerakan tertatih,
diambilnya sebilah pedang yang terdekat dengannya. "Tentu saja aku akan memakai pedang ketigamu ini, Tungga,"
ujarnya. "Bukankah ... kau tak pernah memakainya?"
Tunggasamudra menelan ludah. Entah seperti apa kecamuk
perasaannya saat itu. Ia benar-benar ingin berpaling, tak ingin melihat keadaan Kara Baday seperti sekarang ini. Namun,
Kara Baday sudah kembali menghunuskan pedangnya ke
arahnya. Namun, tak jauh berbeda dari serangan-serangan
sebelumnya, gerakan Kara Baday terasa mentah. Hanya
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dengan satu gerakan mudah, Tunggasamudra dapat mengelak
ke samping. TRANNNG! TRAAANG!
Beberapa kali kedua pedang itu beradu. Dan, ini selalu
membuat Kara Baday terhuyung di setiap benturannya.
Tak jauh dari situ, Panglima Samudra Jara Sinya, Dapunta
Cahyadawasuna, dan beberapa panglima muda, terus
mengamati pertarungan itu.
"Ia seharusnya sudah membunuh bajak laut itu," Lu-
wantrasima berkomentar kepada ayahnya.
Akan tetapi, Panglima Samudra Jara Sinya tak menyahut.
Dapunta Cahyadawasuna yang sebenarnya ingin menyahut
kata-kata itu, lebih memilih diam, dan memperhatikan
pertarungan di depannya.
Di tengah arena, Tunggasamudra baru saja menahan
sebuah sambaran pedang Kara Baday. Telah tampak jelas,
Kara Baday mencoba mengeluarkan seluruh tenaganya.
Dan, ini malah membuat dirinya tak bisa mengontrol
tenaganya hingga sebuah upaya pertahanan saja dari
Tunggasamudra dapat membuat dirinya terpelanting, jatuh
berguling-guling
Tunggasamudra mendekat. Dengan perasaan tak menentu,
ditatapnya Kara Baday yang masih mencoba bangkit.
"Aku ... memang bukan lawanmu Kara Baday terbatuk,
membuat darah langsung muncrat ke tanah dan bercampur
dengan air hujan dan lumpur.
Tunggasamudra hanya bisa tercekat melihat itu. Matanya
berkaca-kaca. Tiba-tiba ia mengangkat pedangnya tepat di
depan wajah Kara Baday. "Kumohon... pergilah engkau!"
bisiknya. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kara Baday tersenyum pahit. Ditatapnya Tunggasamudra
dengan matanya yang sayu. "Kau menyuruhku pergi,
Tungga?" ujarnya dengan suara nyaris tak terdengar.
"Bagaimana mungkin ... aku pergi" Bagaimana mungkin" Kau tahu ... aku seharusnya mati saat itu. Ribuan panah itu, apa mungkin bisa terus kuhindari?"
Kara Baday terus menatap Tunggasamudra. Air matanya
tiba-tiba telah jatuh bercampur dengan keringat dan
darahnya. "Namundi saat-saat terakhir itu mereka semua, para pasukanku, tiba-tiba memeluk tubuhku dengan rapat.
Mereka sama sekali tak membiarkan panah-panah itu
mengenai tubuhku....."
Kara Baday menggelengkan kepalanya, "Maka itulah, tak
ada satu pun panah yang mengenai diriku, bahkan menggores
tubuhku sekali pun. Tak ada, Tungga, tak ada. Namun itu
semua harus dibayar dengan nyawa mereka," suara Kara
Baday terdengar tercekat. "Dan, kini... kau memintaku untuk pergi?"
Kara Baday tersenyum di antara tangisannya. Sekilas
diingatnya lagi saat itu. Saat keadaan sambau telah begitu
kacaunya. Api telah membesar di beberapa titik. Bahkan, di
bagian buritan sambau hanya api dan asap hitam yang
tampak. Di saat seperti itulah, panah-panah seakan menjadi
hujan paling deras yang mematikan. Paman Kumbi Jata
akhirnya berteriak keras, "LINDUNGI KARAAA!" Lalu, sebelum sempat ia menyadarinya, Paman Kunibi Jata dan beberapa
anak buahnya yang lain segera mendekat kepadanya.
Memeluk tubuhnya dengan begitu rapat dan menggiringnya ke
tepi kapal. Ia menyadari apa yang akan terjadi saat itu.
Namun, pelukan Paman Kumbi Jata dan anak buahnya yang
lain sama sekali tak bisa dilepaskannya. Ia kemudian hanya
bisa merasakan tubuh-tubuh itu, dengan sekuat tenaga,
mengangkat dirinya dan melemparkannya ke dalam sungai.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sungguh, ia tak bisa berbuat apa-apa lagi selain itu. Seiring tubuhnya yang jatuh, ia masih melihat panah-panah itu
menghujan ke tubuh-tubuh itu, semuanya ....
Kara Baday tiba-tiba menundukkan kepalanya dalam-
dalam. "Semuanya telah mati ... telah mati ... dan tinggal aku yang tersisa isaknya terasa beberapa lama.
"Aku yang begitu bodoh," kini ia tertawa dengan nada pahit. "Begitu bodoh percaya kepada panglima itu. Begitu bodoh terbuai dengan semua janjinya ...."
Tunggasamudra menelan ludah. Pedangnya yang masih
terus terarah kepada wajah Kara Baday, perlahan tampak
melemah. "Kumohon Kara, pergilah!" desisnya. "Larilah sejauh mungkin yang kau bisa, aku akan membiarkanmu pergi
Kara Baday menggelengkan kepalanya. Ia tertawa tanpa
suara, 'Aku ... tak mau mempersulit dirimu, Tungga," ujarnya sambil memaksakan senyumnya. "Setidaknya... aku gembira, bisa mati oleh pedangmu."
Sambil berkata demikian dipandanginya pedang di
tangannya lekat-lekat. Dan, sebelum Tunggasamudra
menyadarinya, tiba-tiba saja dengan gerakan tak terduga,
Kara Baday sudah menusukkan pedang itu tepat di
jantungnya. Tunggasamudra terbelalak tak percaya. Secara refleks,
ditubruknya tubuh Kara Baday.
"Karaaa?" ia benar-benar tak lagi bisa menahan
perasaannya. Tak dipedulikannya pandangan semua orang
yang mengarah kepadanya.
Kini dalam pelukannya, Kara Baday hanya bisa menatapnya
di sela-sela napasnya. Perlahan tangannya terangkat, "Tolong, serahkan kalung ini kepada iaIa mengangsurkan sebuah
kalung kerang kepada Tunggasamudra dengan tangan
gemetar. "Ia... yang ada... di Pulau Karang itu, seperti yang ...
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
hampir kuceritakan kepadamu ia mencoba menarik bibirnya
untuk tersenyum. Namun, rasa perih yang menyebar di
tubuhnya seakan menyentaknya.
Tunggasamudra menerima kalung itu dengan gerakan
perlahan. Dan, hanya sekejapan mata, kalung itu berpindah
dalam genggamannya, Kara Baday pun terkulai....
Tunggasamudra hanya bisa memejamkan matanya kuat-
kuat. Hatinya benar-benar begitu bergejolak, seiring hujan
yang semakin bertambah deras dan gemuruhnya bersahutan
tanpa henti. Tak jauh dari arena itu, di tepi kedatuan, Panglima
Samudra Jara Sinya, Dapunta Cahyadawasuna, dan lainnya,
masih menatap ke arah dua sosok di tengah hujan itu. Walau
titik hujan mengaburkan pandangan, mereka masih cukup
jelas melihat semua kejadian itu. Mereka juga masih bisa
melihat dengan sangat jelas saat Tunggasamudra berdiri
memandang ke arah mereka dan berteriak kuat-kuat.
"Panglima," Luwantrasima memandang ayahnya. Ia merasa tindakan Tunggasamudra cukup menghina ayahnya.
Akan tetapi, Panglima Samudra Jara Sinya hanya berujar
pelan, "Biarkan saja, biarkan saja," ujarnya. "Ia hanya harimau yang terluka hari ini... hanya hari ini
-ooo0dw0ooo- 30 Cinta dengan Selaput Dendam
Dan, apa yang telah kaujejaki, Sahabat"
Sebuah kisah tentang diriku"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Atau... kematianku"
Masih di bawah guyuran hujan, Tunggasamudra membawa
tubuh itu menjauh dari Kedatuan Muara Jambi. Semula
beberapa prajurit mencoba mendekat untuk menghalanginya,
tetapi tatapan Panglima Samudra Jara Sinya di kejauhan
membuat mereka semua kemudian melangkah mundur untuk
memberi jalan kepada Tunggasamudra.
Hanya hujan yang menemaninya sepanjang setapak.
Tunggasamudra terus melangkah semakin jauh hingga
tubuhnya perlahan hilang tertelan guyuran air hujan yang
semakin deras. Keesokan harinya, saat hujan akhirnya berhenti dan pelangi
muncul begitu jelasnya di pagi yang terasa sendu,
Tunggasamudra membakar jenazah Kara Baday.
Ini seperti perulangan episode hidupnya saat lalu, waktu ia
membakar jenazah gurunya, Biksu Wang Hou, di tepi Danau
Toba. Kala itu api terbentuk menaburkan aroma abu yang
menusuk. Ia masih begitu hafal bunyi api yang me-ranggas
pada kayu-kayu, juga tariannya yang meliuk-liuk tak tertebak.
Sungguh, semuanya seperti baru terjadi kemarin. Dan kini,
hari seakan tercipta sama seperti kala itu atau ... hanya
perasaan hatinya saja yang sama"
Tunggasamudra tak habisnya memandang geliat api di
depannya. Seiring api yang mulai menggerogoti jenazah Kara
Baday, semua kenangannya bersama pemuda itu seakan
terulang.... Akan tetapi, maaf saja, gayamu dengan mengikat ketiga
pedangmu di punggungmu seperti itu, sungguh
mengingatkanku kepada... kepada penjual pedang!
Aku heran, baru bertemu denganmu beberapa kali saja,
aku seperti sudah mengenalmu sangat lama ....
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Aku tak mau mempersulit dirimu, Tungga. Setidaknya aku
gembira, bisa mati oleh pedangmu ....
Saat itulah, tiba-tiba sesosok bayangan melayang
mendekat kepadanya. Gerakannya yang ringan menandakan
penguasaan yang tinggi pada ilmu meringankan tubuhnya.
Namun, tanpa menoleh pun Tunggasamudra segera bisa
menebak siapa yang datang.
Sangda Alin melangkah ke sampingnya tanpa suara.
"Dapunta Cahyadawasuna mencemaskanmu," ujarnya sambil ikut menatap kobaran api.
Tunggasamudra tak menyahut. Ia hanya melirik sekilas
kepada Sangda Alin. Suara Sangda Alin tadi memanglah
didengarnya dengan jelas, tetapi entah mengapa, yang
bergema di hatinya tetaplah suara-suara Kara Baday.
Diam-diam Tunggasamudra mengeluh dalam hati sambil
menggenggam erat kalung kerang yang diberikan Kara Baday
sebelum kepergiannya.
Nanti, serahkan kalung ini kepada ia
Ia ...yang ada ... di Pulau Karang itu, sepertiyang ... hampir kuceritakan kepadamu....
Tunggasamudra kembali tercekat. Ia memejamkan
matanya kuat-kuat, seakan tak menyadari kehadiran Sangda
Alin di sampingnya. Seiring dengan itu, ia teringat pada
gumaman Biksu Wang yang kerap didengarnya ....
Sadhu ... sadhu ... sadhu ....
-ooo0dw0ooo- Menjelang tengah hari, Sangda Alin datang ke ruangan
Dapunta Cahyadawasuna.
"Aku sudah menjumpainya," ujarnya melaporkan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dapunta Cahyadawasuna menoleh. "Bagaimana ia?"
suaranya tampak terdengar khawatir.
"Ia tak banyak bicara, Dapunta.."
Dapunta Cahyadawasuna menarik napas panjang.
"Sungguh, ini memang menyedihkan," Dapunta
Cahyadawasuna menggeleng kepalanya. "Semoga ia bisa
tetap berpikir jernih. Karena... yang membuatku lebih takut
adalah ... bila ia tak bisa mengendalikan dirinya!"
Dapunta Cahyadawasuna menggeleng-geleng kepalanya,
"Walau bagaimanapun, Panglima Samudra Jara Sinya sama
sekali bukan orang yang bisa dilawan!"
Sangda Alin mengangguk, walau dalam hatinya ia merasa
ucapan Dapunta Cahyadawasuna terlalu jauh. Ia yakin
Tunggasamudra bukanlah sosok yang dapat dengan mudah
berbuat tanpa pertimbangan.
Dapunta Cahyadawasuna menghela napasnya, "Pikiranku
begitu tak enak," ujarnya. "Maukah kau menemaniku berjalan-jalan, Sangda?"
Sangda Alin hanya bisa mengangguk pelan. Keduanya pun
segera berjalan ke luar kedatuan. Datu Muara Jambi memang
sebuah datu yang cukup ramai dan sangat luas. Begitu keluar
dari pelataran kedatuan, akan langsung ditemui rumah-rumah
berderet panjang di beberapa sudut. Sebuah pasar yang
sangat ramai akan langsung menyita perhatian siapa saja
yang tengah berjalan di sekitarnya.
"Kau tahu setiap melihat keramaian ini, aku selalu teringat Datu Talang Bantas, datu tempatku memimpin dulu," ujar
Dapunta Cahyadawasuna. "Namun, bukan karena keramaian
seperti ini yang mengingatkan, tetapi karena ...
keheningannya ...."
"Ya, keheningannyaDapunta Cahyadawasuna menoleh
kepada Sangda Alin. "Dulu saat mengitari setapaknya, aku
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
selalu ditemani oleh seorang pu yang sudah sangat tua. Ia
adalah orang paling setia yang aku kenal. Kami bahkan telah
mengenalnya sejak ayahku memimpin datu itu
Dapunta Cahyadawasuna berhenti di sebuah penjual kura-
kura sungai. Diambilnya seekor, lalu diperhatikannya kura-
kura yang mencoba merangkak di dalam pegangan
tangannya. Ia tersenyum sambil meletakkan kembali kura-
kura itu. "Dulu, setiap aku menemukan sesuatu hal yang mengganjal hatiku, aku cukup menanyakan kepadanya. Dan, Pu Mula
Suma, demikian namanya, akan selalu menjawab semua
pertanyaanku. Terus seperti itu selama bertahun-tahun. Tak


Dendam Dan Prahara Di Bhumi Sriwijaya Karya Yudhi Herwibowo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ada yang tak bisa dijawabnya. Aku sampai berpikir bahwa ia
terbuat dari otak," Dapunta Cahyadawasuna tersenyum.
"Namun, tahukah engkau apa yang paling sering
kutanyakan kepadanya?"
Sangda Alin menggeleng.
Dapunta Cahyadawasuna menarik napasnya. "Bila tengah
melewati setapak yang sangat hening di sana, aku akan selalu bertanya, Apakah dulu Datu Talang Bantas ini juga sesepi
ini"'" ia mengucapkan dengan perlahan pertanyaan itu. "Ya, selalu seperti itu pertanyaanku."
Kening Sangda Alin berkerut, 'Apakah... memang datu itu
begitu sepinya?"
Dapunta Cahyadawasuna mengangguk. Saat itu keduanya
tanpa sadar telah berjalan jauh meninggalkan keramaian
pasar. Tak ada orang-orang lagi di sekitar mereka. Hanya
beberapa puluh langkah saja, mereka akan memasuki tepi
hutan bambu. Dapunta Cahyadawasuna memperhatikan sekelilingnya,
"Mungkin ... keadaannya seperti ini," gumamnya. "Ya, seperti di sini
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sangda Alin ikut memandang sekitarnya, mencoba mc-
rasakannya. Dapunta Cahyadawasuna menoleh, "Kau baru bisa
merasakan keheningannya bila kau memejamkan matu,
Sangda ujarnya lagi.
Dan, Sangda Alin mulai memejamkan matanya. Dicobanya
untuk merasakan keheningan yang ada di sekitar nya. Suara-
suara serangga di kejauhan, suara-suara gesekan daun-daun,
juga suara-suara tarikan dan embusan napasnya. Semuanya
seakan menyatu begitu halusnya.
Saat Sangda Alin membuka matanya, didapatinya Da punta
Cahyadawasuna telah berdiri begitu dekat di depannya.
Keterkejutannya seakan hendak membuatnya mundur
selangkah. Namun, kelembutan tatapan itu kemudian
membuatnya menahan langkah tadi.
"Sangda.."
Sangda Alin hanya bisa terdiam, membiarkan tubuhnya
sedemikian dekat dengan Dapunta Cahyadawasuna.
"Baru kusadari, bila aku ... ternyata begitu terpesona
olehmu suara Dapunta Cahyadawasuna terdengar lagi dengan
nada begitu lembut.
Dapunta Cahyadawasuna perlahan menyentuh jemari
Sangda Alin dalam genggamannya, 'Aku ingin ... bila tiba
waktunya nanti, engkau mau menjadi pendampingku ....
Sangda Alin terpana. Ia benar-benar tak percaya at.is apa
yang baru saja didengarnya. Satu sisi dalam dirinya segera
menyangkalnya dengan keras, tetapi perasaan lembut yang
tiba-tiba bersemayam di hatinyalah yang kemudian
menyadarkannya.
Perasaannya menjadi terasa begitu nyaman. Namun, entah
mengapa, kenyamanan itu hanya sekejap saja berlahan di
hatinya. Hanya beberapa saat kemudian, perasaan itu
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
berangsur hilang. Sebentuk bayangan lain, seakan tiba-tiba iur nyerobot ruang pikirannya. Bayangan sesosok lelaki lain ....
Bayangan ... Magra Sekta!
Ah, bagaimana mungkin wajahnya yang kuingat di saat
seperti ini" Sangda Alin mencoba menepisnya kuat-kuat.
Namun, wajah itu tetap menggantung di pelupuk matanya,
berputar-putar, dan menggemakan kata-kata yang kerap
diucapkannya ....
Selama ini aku mencarimu, Agiriya.... Sejak hari itu, saat
kau jatuh di jurang itu, aku... terus mencarimu....
Saat itu, aku... aku hanya ingin... menyelamatkanmu ....
Sungguh, Sangda Alin sama sekali tak bisa berbuat apa-apa
lagi. Kesungguhan wajah Dapunta Cahyadawasuna dan
sentuhan lembut jemarinya saat memegang tangannya,
seakan dapat kembali menenangkan hatinya ....
Jauh, jauh dari atas bukit yang ada di selatan gerbang
masuk perdatuan Muara Jambi, Tunggasamudra yang baru
saja hendak kembali, mengatupkan rahangnya kuat-kuat,
melihat kejadian itu.
Ia hanya bisa segera membuang pandangannya jauh-jauh.
-ooo0dw0ooo- Tak jauh dari Kedatuan Muara Jambi, sepasang suami istri
baru saja membenahi dagangannya. Mereka adalah pedagang
ubi daun. Ubi daun adalah sejenis makanan dari ubi yang
dipotong tipis-tipis dan dicampur dengan daun-daunan
penyedap rasa terutama jahe dan cabai, kemudian dibungkus
dengan daun pisang dan dibakar hingga matang ....
Biasanya penjual ubi daun menjual dagangannya di malam
hari. Namun, pada pagi hari pun, di keramaian pasar, tak
susah menemukan pedagang yang berjualan makanan ini. Bila
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
ada penjual ubi daun di sekitar gerbang kedatuan, seperti
pedagang suami istri ini, pelanggan mereka pastilah para
prajurit kedatuan yang tengah beristirahat.
"Hari-hari belakangan ini, tak banyak keping yang kita
dapat," ujar istrinya tanpa bermaksud mengeluh.
Sang suami hanya menghela napas panjang. Ini memang
saat yang berat bagi keduanya. Sejak Datu Muara Jambi ini
kembali direbut Kerajaan Sriwijaya, keadaannya memang lebih
sulit dibandingkan saat kepemimpinan sebelumnya, Dapunta
Ih Yatra. Kini pasukan diawasi dengan begitu ketat, tak banyak
prajurit yang dapat berseliweran tanpa tujuan. Hal ini semakin menjadi-jadi saat kedatangan armada samudra yang akan
berperang melawan Minanga Tamwa. Walau secara jumlah
tampak jelas jauh lebih banyak, tetapi tak ada pasukan yang
terlihat keluar dari pelataran kedatuan, selain pasukan yang tengah berjaga.
Suami istri itu memang tak bisa berbuat apa-apa lagi, selain pasrah. Di tengah kegalauan mereka itulah, tiba-tiba tampak
seekor kuda berderap kencang memecah keheningan.
Awalnya mereka sedikit berharap, pembeli datang, tetapi
ternyata penunggang kuda itu hanya melewati mereka, dan
memasuki gerbang kedatuan.
Ia jelaslah seorang prajurit dengan pangkat tinggi.
Beberapa penjaga gerbang langsung membiarkan dirinya
masuk tanpa pemeriksaan.
Dengan langkah tergesa, ia segera berlari masuk ke dalam.
"Aku ingin menjumpai Panglima Samudra Jara Sinya," ujarnya.
Prajurit penjaga segera menyilakan dirinya masuk.
Kini dengan langkah lebih lebar, ia memasuki ruangan
Panglima Samudra Jara Sinya berada. Dan, begitu dirinya
datang, pasukan penjaga pintu segera menutup pintu rapat-
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
rapat. Ia ternyata adalah salah satu pasukan rahasia milik
Panglima Samudra Jara Sinya.
"Apa yang kaudapatkan, Rahan Suja?" tanya Panglima Samudra Jara Sinya tanpa basa-basi lagi.
"Sebuah informasi yang amat penting, Panglima," ujarnya sembari mendekat. "Ini menyangkut langsung tentang ...
pemimpin Rahasia Wangseya, Wantra Santra!"
Panglima Samudra Jara Sinya tersenyum samar. Ini adalah
bagian yang ditunggu-tunggu. Sejak kecurigaannya saat itu,
diam-diam ia memang menyuruh beberapa pasukannya untuk
lebih mengamati Wantra Santra. Ia bahkan menyuruh
beberapa orang untuk mencari informasi masa lalu pemimpin
Pasukan Rahasia Wangseya yang selama ini tak banyak
diketahui orang.
"Hamba telah menemukan orangtua angkatnya," lanjut Rahan Suja.
Kali ini kening Panglima Samudra Jara Sinya terangkat,
"Benarkah?"
Rahan Suja mengangguk, "Orangtua angkat Wantra Santra
ternyata adalah... Dapunta Mahak Ilir. Ia merupakan
pemberontak di Minanga Tamwa puluhan tahun lalu, yang
mengobarkan Perang Merah melawan Dapunta Abdibawase-
pa. Bahkan, hamba juga mendapat kabar bila moyang
Dapunta Mahak Ilir merupakan keturunan langsung dari
pemberontak Kandra Kayet!"
Panglima Samudra Jara Sinya hanya bisa terpana
mendengar penjelasan panjang dari Rahan Suja. Ini sungguh
mengejutkan baginya. Dapunta Mahak Ilir adalah keturunan
langsung Kerajaan Malaya yang diangkat oleh Sriwijaya untuk
memimpin Minanga Tamwa, sebagai upaya untuk membina
hubungan yang lebih baik antara Sriwijaya dan Malaya.
Namun, kebaikan ini malah dijadikan Dapunta Mahak Ilir untuk mengumpulkan pasukan dan memberontak pada Sriwijaya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Untunglah kemudian pemimpin Datu Muara Jambi, Dapunta
Abdibawasepa, melakukan serangan mendadak menyerang
Minanga Tamwa, sebelum seluruh pasukan Minanga Tamwa
benar-benar berkumpul. Perang itulah yang kemudian dikenal
dengan nama Perang Merah ....
"Kau ... yakin?" tanya Panglima Samudra Jara Sinya sekadar meyakinkan.
"Hamba yakin, Panglima," jawab Rahan Suja tegas.
"Informasi ini sudah hamba dalami hingga ke tanah Wantra Santra dilahirkan. Beberapa orang tua di sana masih
mengingat dengan jelas tentang kisah seorang bayi yang
selamat dari letusan gunung berapi dan kemudian diangkat
anak oleh Dapunta Mahak Ilir..."
Pandangan Panglima Samudra Jara Sinya menerawang.
Hatinya terus menduga-duga. Ah, ada apa ini" Ia membatin,
Wantra Santra merupakan anak angkat dari Dapunta Mahak
Ilir penyebab Perang Merah, yang juga sebagai keturunan
langsung sebagai pemberontak terbesar di Sriwijaya"
Ah, apa ini ada hubungannya dengan informasi-informasi
yang tak sampai pada kedatuan di Telaga Batu"
-ooo0dw0ooo- Kedatangan utusan dari Panglima Bhumi Cangga Tayu
membuat pertemuan kembali diadakan di Kedatuan Muara
Jambi. Kali ini Pasukan Bhumi mengutus Panglima Muda
Tatasandwa, yang merupakan panglima paling muda di
pasukannya. "Salam sejahtera bagi Panglima Samudra Jara Sinya," ia membungkuk di depan Panglima Samudra Jara Sinya. "Kami
sekadar ingin melaporkan kepada Panglima, bila kami telah
menempatkan pasukan di beberapa titik. Tiga titik tepat di
sebelah selatan dan sebuah lagi di sebelah barat...."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Panglima Samudra Jara Sinya menatap kagum. "Bagus,
bagus. Gerakan kalian benar-benar cepat," ujarnya tanpa bisa menutupi senyumnya. "Kalau kalian sudah ada di barat, itu artinya kalian sudah melewati Batang Palepat?"
Panglima muda Tatasandwa mengangguk. Beberapa hari
yang lalu dua ratus Pasukan Bhumi memang telah melewati
salah satu anakan Batanghari. Pasukan itulah yang kini ada di sebelah barat Minanga Tamwa.
"Hanya saja," tambahnya, "kami masih berpikir bahwa penyerangan ini sesuatu yang sulit. Kami benar-benar tak
mengetahui secara pasti mana datu-datu yang mendukung
mereka ataupun yang mendukung kita ...."
Panglima Samudra Jara Sinya mengangguk-angguk, "Ya,
kupikir itu wajar
Tiba-tiba Luwantrasima muncul di ambang pintu. Ia segera
melangkah mendekat. "Panglima," ia berbisik di telinga Panglima Samudra Jara Sinya, "Wantra Santra datang
Panglima Samudra Jara Sinya segera bangkit, ia berpaling
kepada Panglima Muda Tatasandwa. "Wantra Santra ternyata datang kemari," ujarnya.
Tak lama setelah ucapan itu, sesosok tubuh berjubah hitam
tiba-tiba saja sudah muncul di ambang pintu. Dengan gerakan
pelan, ia mulai melangkah ke depan, ke arah Panglima
Samudra Jara Sinya.
"Lama tak berjumpa denganmu,Jara," ujarnya dengan nada dingin sambil melirik sekilas kepada Panglima Muda
Tatasandwa. 'Aku sengaja datang kemari untuk membantumu," ujarnya
lagi. Dan, sebelum Panglima Samudra Jara Sinya menyahut
ucapan itu, telinganya yang tajam tiba-tiba mendengar suara
gemuruh derap ratusan kuda di kejauhan yang semakin
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mendekati pelataran kedatuan ....
Ia yakin sekali kalau itu adalah pasukan Wantra Santra!
-ooo0dw0ooo- 31 Pembunuhan Kelompok
Wangseya Empat orang anak kecil tengah berlarian dengan riang
gembira. Yang satu tengah berlari membawa seekor burung
merpati dan yang tiga lainnya terus berlari di belakangnya.
"Sudah, di sini saja!" seorang bocah berteriak.
"Ini kurang jauh!" ujar bocah yang memegang merpati. Ia kemudian melanjutkan larinya, membawa teman-temannya
hingga sampai jauh ke atas bukit.
"Di sini saja!" ujar bocah yang sejak tadi meminta berhenti.
"Kita tak lagi bisa keluar!"
Kali ini bocah yang memegang merpati itu mengangguk,
"Baiklah, kita lepaskan saja di sini!"
Lalu, diiringi tatapan ketiga temannya, ia segera melepas
merpati itu. Sejenak burung kedi itu membubung tinggi ke
angkasa sebelum akhirnya mengepakkan sayapnya terbang ke
arah asalnya tadi. Hanya beberapa kejapan mata, kepakan
sayapnya pun telah membawanya semakin jauh dan tak
teriihat.... Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ia akan tetap kembali ke kandangnya, bukan?" seorang bocah bertanya sambil memandang kejauhan.
"Ya, tentu saja!" ujar bocah yang tadi memegang merpati,
"Kita sudah mengurungnya lebih dari satu purnama, aku yakin ia pasti kembali."
Bocah yang lain hanya tersenyum senang, "Asyik kalau
begitu. Nanti kalau sudah kembali, kita bisa menjualnya
dengan harga tinggi."
Keempat bocah itu tersenyum senang Pada masa itu,
merpati-merpati terlatih memanglah akan dibeli dengan tinggi oleh berbagai pihak, terutama oleh pihak kedatuan. Terlebih di akhir-akhir purnama ini, sepertinya pihak kera-jaan begitu
mencari merpati-merpati terlatih.
Bocah-bocah yang segera berlari meninggalkan bukit itu tak
menyadari bila merpati-merpati mereka nantinya akan
digunakan sebagai pengirim pesan bagi Minanga Tamwa,
terutama pesan-pesan peperangan!
Ya, tanpa ada yang memperhatikannya, Minanga Tamwa
memang telah bergerak cukup lama. Tanah itu awalnya
merupakan daerah yang cukup terbuka. Batanghari melintasi
tanah itu. Di bagian utara, daerahnya begitu terbuka. Hanya
sedikit bukit yang memagarinya. Maka itulah sejak dulu, telah dibangun benteng panjang yang melingkari tanah itu. Ini
dimaksudkan untuk menghindari penyerangan dari sisa-sisa
Kerajaan Malaya yang dulu banyak berlari ke arah utara.
Kini, seperti sebuah magnet, pasukan Sriwijaya mulai
mendekati Minanga Tamwa. Keberhasilan Pasukan Bhumi
menyeberangi Batanghari secara langsung mengukuhkan
penguasaan Batanghari di selatan Minanga Tamwa.
Penguasaan inilah yang membuat Pasukan Bhumi dapat terus
me-rangsek ke utara hingga dapat berada di sebelah barat
Minanga Tamwa, tanpa sedikit pun perlawanan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Di samping itu, kedatangan pasukan rahasia Wangseya
juga menambah kekuatan di sisi timur. Setelah beberapa hari
sebelumnya mereka datang di Datu Muara Jambi, dengan
jumlah hampir empat.ratus orang, kini hanya butuh satu hari


Dendam Dan Prahara Di Bhumi Sriwijaya Karya Yudhi Herwibowo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

saja pasukan berpakaian hitam itu bergerak ke timur.
Beberapa purnama lalu, saat kembali merebut Datu Muara
Jambi dari penguasaan Dapunta Ih Yatra, pasukan
Wangseya memang banyak yang letap berada di Datu M
nara Jambi untuk menunggu perintah selanjutnya. Maka
itulah, Wantra Santra dapat dengan mudah mengumpulkan
seluruh pasukannya untuk melanjutkan gerakannya.
Pasukan Wantra Santra memang telah disiapkan untuk
menguasai wilayah timur di sebelah Minanga Tamwa. Nanti
bila Pasukan Bhumi di bawah pimpinan Panglima Bhumi
Cangga Tayu telah berhasil berada di sebelah utara, tinggal
armada samudra saja yang bergerak ke arah selatan, di mana
pelabuhan Minanga Tamwa berada. Itu sama artinya Benteng
Minanga Tamwa telah dikepung di empat penjuru.
Dan, bila sudah demikian, barulah penyerangan dapat
dilakukan dari semua sisi!
-ooo0dw0ooo- Bulan tampak murung. Awan hitam masih menyelimuti
seluruh tubuhnya, seperti seorang bayi yang hendak terlelap.
Ini baru hari keempat sejak kepergian pasukan Kelompok
Rahasia Wangseya meninggalkan Datu Muara Jambi. Kini di
tengah perjalanan mereka menuju wilayah timur Minanga
Tamwa, mereka membuat sebuah tempat peristirahatan di
pinggir sebuah dusun tak bernama yang ada di barat Muara
Jambi. Ini merupakan sebuah tanah yang hanya terdiri dari
beberapa rumah saja, tepat di pinggir sebuah hutan bambu
yang cukup lebat. Di situ entah mengapa, langit terasa lebih
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
pendek. Pohon-pohon bambu besar dapat ditemui bagai kaki-
kaki raksasa yang menapak bumi.
Di celah-celah batang-batang bambu seperti itulah, sebuah
bayangan melesat secepat kilat. Malam kemarin, bayangan itu
juga muncul melompat di antara bambu-bambu itu. Dan, yang
terjadi setelahnya adalah Mu Sungka, salah satu dari tiga
tangan kanan Wantra Santra ditemukan mati dengan dada
tertembus sebuah pedang.
Maka itulah malam ini, Basa Kante dan Kung Mudra, dua
kaki tangan yang tersisa, masih terus memperbincangkan dan
menduga-duga kejadian kemarin.
"Kemungkinannya hanya satu," ujar Basa Kante.
Kung Mudra mengangguk setuju. "Siapa lagi kalau bukan
Minanga Tamwa," tambahnya. "Aku sudah mendengar
merekajuga telah membangun sebuah pasukan rahasia. Dan,
panglima mereka, Tambu Karen, yang memimpinnya secara
langsung."
"Huh, semua dipegangnya sendiri. Apa ia tak merasa
kesulitan?" Basa Kante meludah. "Coba perhatikan, ia memegang sendiri hampir semua pimpinan di Minanga
Tamwa. Ia menjadi dapunta, memegang tampuk pimpinan
perang, dan sekarang ini... memegang pasukan rahasia"
Benar-benar orang yang rakus!"
Kung Mudra menggeleng tak setuju, "Mungkin saja ia
rakus, tetapi kupikir bisa jadi ia merupakan orang yang terlalu percaya pada kemampuannya sendiri atau... tak bisa percaya
kepada orang lain!"
"Itu artinya tambah Basa Kante, "ia sama sekali tak menemukan orang-orang hebat di Minanga Tamwa!"
Keduanya langsung tergelak. Mereka tak menyadari bila
seseorang berpakaian serbahitam, terus mengintai mereka
dari balik puncak-puncak pohon bambu. Sampai lama ia
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mengamati kedua tubuh itu hingga keduanya selesai
berbincang dan memutuskan untuk beristirahat.
Saat itulah, Basa Kante tampak memisahkan diri dari yang
lainnya. Ia baru saja hendak masuk ke tendanya ketika ia
merasakan bayang-bayang berkelebat di dekatnya. Secara
refleks, Basa Kante pun langsung melompat mengikuti
bayangan tubuh itu.
Sesaat di bawah bayangan batang-batang bambu itu, tak
bisa dihindari lagi terjadi kejar-kejaran dua sosok tubuh yang menguasai ilmu meringankan tubuh dengan baik. Beberapa
kali Basa Kante bahkan sempat melemparkan senjata
rahasianya. Namun, itu selalu bisa dielakkan oleh sosok
berpakaian hitam itu.'
Hingga sampai di tempat yang agak jauh, barulah ?osok itu
berhenti. "Siapa kau?" Basa Kante membentak sambil melayang
mendekati. Akan tetapi, sosok berpakaian hitam itu menjawabnya
dengan gerakan pedangnya yang menusuk ke arah jantung.
Wuuush .... Basa Kante menghindar cepat. Kakinya bergerak ringan
membuat langkah lebar. Lalu, dengan satu tumpuan, ia segera
memutar tubuhnya seakan gasing dan berbalik mencabut
pedangnya untuk menahan serangan.
TRANG! TRAANG! TRAAANG!
Hanya beberapa jurus saja, Basa Kante tampak sedikit
kewalahan. Ia beberapa kali bergerak menghindar. Namun, si
penyerang sama sekali tak menyia-siakan waktunya. Ia terus
mengejar tubuh Basa Kante ke mana pun ia pergi, seakan
ingin membunuhnya secepat mungkin!
Maka, ketika ada sebuah kesempatan baik, sebuah tusukan
mematikan segera dilancarkan sosok berpakaian hitam itu. Kali
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
ini Basa Kante tak lagi bisa menghindar dengan sempurna.
Pedang itu begitu saja menghunjam di dadanya ....
Basa Kante hanya bisa meringis kesakitan untuk
menjemput ajalnya!
Dan, sebelum tubuh itu benar-benar tergeletak, sosok
berpakaian hitam itu segera melompat ke atas, dan berkelebat di celah-celah bayangan pohon-pohon bambu. Seekor kuda
ternyata sudah menantinya di balik semak-semak tak jauh dari tempat pertarungan tadi. Segera dinaiki dan disentaknya kuda itu untuk membawanya pergi cepat-cepat ke arah timur ....
-ooo0dw0ooo- "Dari mana saja kau, Sangda?"
Suara itu membuat Sangda Alin menghentikan langkahnya.
Ia berpaling dengan gerakan tak biasa dan mendapati
Tunggasamudra tengah berdiri di ambang biliknya.
"Eh," sesaat ia tampak mencari kata-kata. "Aku hanya mencari angin," jawabnya.
Tunggasamudra mendekat, "Mencari angin sampai
menjelang dini hari?" kerutan di kening Tunggasamudra
terlihat. "Dalam dua hari ini aku tahu ... kau keluar begitu lama ...."
Sangda Alin tersenyum di balik cadarnya, "Ngtentunya ada sesuatu yang aku lakukan," ujarnya. "Namun, tentu saja itu bukan urusanmu."
Lalu, tanpa menunggu reaksi Tunggasamudra, Sangda Alin
segera masuk ke dalam biliknya dan menutup pintunya rapat-
rapat. Sesaat ia hanya terdiam di balik pintunya, seakan masih merasakan tatapan Tunggasamudra tembus di pintu kayunya.
Akan tetapi, setelah merasa lebih tenang, cepat-cepat
Sangda Alin meletakkan pedangnya dan mulai membuka baju
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
hitamnya yang ada di balik bajunya. Ia melakukan dengan
gerakan cepat seakan-akan masih merasakan seseorang
memperhatikannya. Setelah itu disembunyikan baju hitam itu
di bawah pembaringannya.
Sambil duduk di tepi pembaringannya, Sangda Alin
kemudian memutuskan untuk membersihkan pedangnya
untuk membuang waktu. Di tengah-tengah kesibukannya
mengelap pedangnya dengan kainnya yang wangi itulah suara
langkah-langkah ringan tiba-tiba terasa di atas atap
ruangannya. Secara refleks tangannya segera mengambil
cadarnya. Lalu, ia keluar dengan cepat.
Sesosok tubuh tampak terlihat di atas atap biliknya.
Dengan gerakan ringan ia melayang ke arah itu. Namun,
sosok di atas atap itu segera melompat menjauh dengan
gerakan ringan dan segera berlari ke dalam hutan ....
Sangda Alin mencoba terus mengikutinya. Namun, ketika ia
akhirnya memasuki hutan, ia tak perlu lagi mengejar sosok itu.
Kini sosok yang dikejarnya telah berdiri menunggunya.
"Aku tahu apa yang kaulakukan dua malam ini, Agiri-ya,"
sambil berpaling ke arah Sangda Alin, sosok itu langsung
menyambutnya dengan kata-kata itu.
"Magra Sekta?" desis Sangda Alin tak percaya. "Kau ...
menguntit aku?"
"Ya, aku mengikuti dirimu hingga kemari."
Sangda Alin mendekat sambil berkacak pinggang, "Kau tak berhak melakukan itu!"
"Aku tahu," ujar Magra Sekta tampak tak bersalah.
Melihat itu, Sangda Alin hanya bisa mendengus dengan
kesal. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Magra Sekta kemudian sudah melangkah mendekatinya.
"Apa engkau benar-benar akan membunuh orang-orang
Wangseya itu?" tanyanya.
Sangda Alin terkejut. Wajahnya pias mendengar ucapan itu.
Namun, cepat ia menguasai dirinya.
"Ya, aku memang berniat membunuh mereka," ujarnya
keras, sama sekali tak berusaha menghindar. "Mereka...
pantas mendapat itu!"
Ya, dalam malam-malam belakangan ini, Sangda Alin
memang sudah memutuskan semuanya masak-masak.
Terutama ketika pasukan Wangseya itu datang ke Kedatuan
Muara Jambi. Ia telah berpikir bahwa inilah waktu yang tepat untuk mulai membunuh mereka, terutama ketiga orang kaki
tangan Wantra Santra!
Selama ini ia terus meyakini bahwa Kelompok Rahasia
Wangseya-lah yang telah salah memberikan informasi pada
Kedatuan Sriwijaya di Telaga Batu hingga membuat ayah dan
delapan belas saudaranya terpaksa dibunuh. Maka itulah, ia
kemudian memutuskan untuk membunuh orangorang penting
di Kelompok Rahasia Wangseya. Karena merekalah yang
dianggapnya memiliki andil besar terhadap pembunuhan itu,
terutama pemimpinnya, Wantra Santra.
Akan tetapi, tentu saja ia menyadari bahwa untuk
membunuh Wantra Santra bukanlah perkara mudah. Walau
kelak ia yakin akan tetap melakukannya, tetapi sekarang yang terlebih dulu dapat dikerjakannya adalah membunuh para kaki
tangannya. Maka itulah, dalam dua malam ini, Sangda Alin
bergerak cepat. Ia harus membunuh tiga orang kaki tangan
Wantra Santra secepat mungkin, sebelum Kelompok Rahasia
Wangseya bergerak semakin jauh ke Minanga Tamwa.
Magra Sekta semakin mendekati Sangda Alin.
"Agiriya," panggilnya pelan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sangda Alin menoleh. Walau wajahnya masih tampak kesal,
tetapi ekspresinya telah melunak. Entah mengapa ia menyukai
namanya disebut, terutama dengan nada suara seperti yang
diucapkan Magra Sekta. Sepertinya ini sudah begitu lama.
Sekian lama ia menutupi jati dirinya, rasanya tenang bila ada seorang yang tetap menganggapnya seperti dirinya dahulu ....
Tengah berpikir demikian, tiba-tiba secara mengejutkan,
Magra Sekta memegang tangannya. Tentu saja Sangda Alin
terkejut. Ia segera hendak menepis genggaman itu, tetapi
suara Magra Sekta telah membuat niatnya urung
"Kumohon ... ikudah bersamaku," ujar lelaki itu.
Sangda Alin hanya bisa terpaku. Entah mengapa ia tak lagi
mencoba menepis. Ucapan lelaki di depannya yang terasa
begitu bergetar, nyaris tak terdengar, sungguh, membuat
perasaannya begitu nyaman.
Akan tetapi, itu hanya sesaat saja. Ketika ia menyadari
kediamannya, Sangda Alin segera menepis tangan Magra
Sekta dengan kasar.
"Mengapa aku harus ikut denganmu, Magra?" ujarnya
dengan nada ketus. "Kau ... bukan siapa-siapaku!"
Magra Sekta kembali menarik tangan Sangda Alin, "Aku
ingin ... engkau melupakan dendammu
Sangda Alin kembali berusaha menepis tangan itu. Namun,
pegangan Magra Sekta kali ini terasa begitu kuat. Rontaannya malah membuat tubuhnya semakin dekat dengan tubuh Magra
Sekta. "Bersamaku ... akan kubantu engkau melupakan dendam
itu ujar Magra Sekta lagi.
Akan tetapi, Sangda Alin seakan tak mendengarnya. Terus
dicobanya untuk melepaskan pegangan itu. Namun, ia tak
mampu. Magra Sekta telah begitu kuat memegang tangannya
atau ... ia yang tak berusaha sekuat mungkin"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sangda Alin pun memilih menghentikan usahanya. Namun,
yang terjadi kemudian adalah Magra Sekta tiba-tiba menarik
dirinya hingga tubuhnya menjadi begitu dekat dengan tubuh
lelaki itu, seakan-akan keduanya berpelukan.
Sungguh, kejutan itu membuat Sangda Alin hanya bisa
terdiam. Lelaki yang dulu selalu diperolok oleh teman-
temannya, lelaki yang selalu tampak ketakutan, lelaki yang
pernah disebutnya sebagai pengecut, telah berani melakukan
ini kepadanya"
Sungguh, Sangda Alin seharusnya marah terhadap lelaki
ini. Namun, entah mengapa sisi batinnya yang lain menolak
kemarahan itu. Tak bisa dimungkirinya bahwa, seperti hari-
hari lalu, ia merasa begitu nyaman berdekatan dengan lelaki
ini. Ya, sejak pegangan tangannya dulu di sepanjang hutan
itu.... Ajakannya menuju padang rumput yang dihuni ribuan
kupu-kupu... dan ekspresi wajahnya saat akan menggapainya
ketika ia terjatuh di jurang itu ... Sungguh, semuanya masih terus kerap dikenangnya....
Aku ... aku pernah melihatmu berjalan dikelilingi kupu-kupu
di tamanyang ada di belakang Panggrang Muara Gunung. Saat
itu, kau ... kau tampak begitu senang....
Sangda Alin masih terdiam beberapa saat. Menekuri kata
demi kata dan bayangan demi bayangan, kenangan-kenangan
yang terjadi sebelumnya. Namun, itu tak lama. Tiba-tiba saja, tanpa apa pun yang terjadi lagi, bayangan sosok Dapunta
Cahyadawasuna sudah menyeruak di angannya, mengaburkan
kenangan-kenangan itu menjadi bayangan-bayangan kosong
yang tak berisi apa pun. Dan, seiring itu, gema-gema suara
yang semula terdengar pun kemudian seakan berganti....
Baru kusadari bila aku ... ternyata begitu terpesona olehmu
.... Aku ingin... bila tiba waktunya nanti, engkau mau menjadi pen-dampingku ....
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dengan sebuah sentakan keras, Sangda Alin tiba-tiba
melepaskan genggaman tangan Magra Sekta. Dengan gerakan
perlahan, ia kemudian mundur beberapa langkah.
"Pergilah kau, Magra!" ujarnya tanpa menatap wajah Magra Sekta. 'Aku... aku tak akan pernah pergi bersamamu
Kemudian dengan gerakan cepat, ia sudah melompat tinggi
dan hilang di tengah gelapnya malam. Meninggalkan Magra
Sekta yang masih berdiri dalam hening____
-ooo0dw0ooo- Wantra Santra menatap dengan tajam tubuh salah satu
kaki tangannya yang tergeletak tak bernyawa di depannya. Ini sama seperti kejadian kemarin. Waktunya pun hampir sama,
bahkan posisi tubuh di depannya pun begitu sama. Seperti
sebuah perulangan hidup ....
"Di mana kau menemukannya?" tanyanya.
Prajuritnya yang berpakaian serbahitam, dengan penutup
wajah yang juga hitam itu, membungkuk dalam. "Hamba


Dendam Dan Prahara Di Bhumi Sriwijaya Karya Yudhi Herwibowo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menemukannya di tempat yang sama seperu kemarin,"
ujarnya. "Apa ada yang mencurigakan di sana?" tanya Wantra
Santra lagi. Prajurit itu tampak berpikir, Wantra Santra menunggunya.
"Hamba tak yakin," ujarnya tampak ragu. "Namun, sepertinya waktu pertama kali hamba menemukan tubuh ini,
hamba mencium bau... nggg... bau harum. Entah dari mana
Kening Wantra Santra berkerut. Cepat ia mendekati tubuh
itu, mencoba mencium luka di dada kaki tangannya itu.
Ekspresinya pun tiba-tiba tampak berubah.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Maafkan hamba bila salah," ujar prajuritnya sambil kembali membungkuk.
Wantra Santra berdiri pelan, "Tidak, kau tak salah," ujarnya datar. "Aku juga masih mencium bau wangi yang nyaris hilang Wantra Santra melangkah menjauh dengan langkah
perlahan. Ah, wangi ini.... Apa ini artinya pembunuh anak buahnya ini
adalah seorang perempuan" Ia berpikir dalam. Semula saat
salah seorang kaki tangannya ditemukan mati, ia menduga itu
dilakukan oleh pasukan rahasia Minanga Tamwa. Namun,
dengan adanya kejadian kedua ini, terutama wangi samar
yang tercium pada luka korbannya, ia langsung mengabaikan
dugaan itu. Tampaknya seseorang yang mempunyai dendam kepada
dirinya atau pada Kelompok Rahasia Wangseya yang telah
melakukannya ....
-ooo0dw0ooo- 32 Duel Dua pendekar Tangguh
Dan, mimpi itu seakan memerangkapnya! Walau Magra
Sekta sebenarnya tak pernah benar-benar bisa mengingat
kembali mimpinya dengan jelas, tetapi ia benar-benar sadar
telah bermimpi. Di situ, dengan jelas dilihatnya dua sosok
tubuh tengah bertarung dengan hebatnya hingga salah satu
tubuh kemudian terhempas. Saat itulah ia melihat sosok
Agiriya di pelupuk matanya. Tersenyum kepadanya dan
melambaikan tangan tanpa henti. Lalu, sesuatu yang entah
apa, kemudian mengaburkan senyum itu, juga lambaian
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tangan itu hingga semuanya kemudian hilang di depan
matanya .... Saat itulah Magra Sekta terjaga. Dadanya menderu dan
terasa sangat sesak. Sejak itu ia tak lagi bisa memejamkan
matanya. Mimpi itu seakan telah menyentaknya. Memunculkan
sosok Agiriya begitu jelasnya di matanya ....
Lalu, pikirannya benar-benar tak bisa lepas lagi dari sosok
jelita itu ....
Ia pun kemudian memutuskan bangkit. Lalu, dengan
keraguan yang memuncak, diambilnya keputusan untuk
kembali mendatangi Kedatuan di Muara Jambi.
Seperti kemarin, ia segera melompat melalui tembok
benteng bagian samping Beberapa hari mengamati keadaan
Kedatuan Muara Jambi, telah membuatnya tahu bagian mana
yang tak terjaga dengan ketat. Dari situ ia kemudian langsung menuju ke atap di mana bilik Agiriya berada.
Akan tetapi, ia tak menemukan Agiriya di sana Sri h narnya
ia sudah bisa menebak keadaan ini. Namun, s.i.n ia akan
kembali Tunggasamudra ternyata sudah ditemuinya duduk di
salah satu sudut atap.
"Siapa kau berani mengendap-endap di wilayah ini?" sentak Tunggasamudra.
Magra Sekta tercekat. Ia sudah mendengar tentang sosok
pendekar di depannya ini yang merupakan seorang pandaya.
Hanya dengan melihat gerakannya naik ke atap yang sama
sekali tak terdengar olehnya, Magra Sekta bisa menilai
seberapa tinggi ilmu meringankan tubuh lelaki ini.
"Aku tak bermaksud apa-apa," ujarnya. "Aku ... hanya ingin menemui ... Agi... Sangda Alin ucapnya hampir menyebutkan
nama asli Sangda Alin.
"Kalau ingin menjumpainya, mengapa tidak melalui pintu
depan?" Tunggasamudra semakin menyelidik.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Aku ... aku hanya ingin menahannya pergi," ujar Magra Sekta lagi. "Ia akan pergi menuju ke arah barat, ke tempat Kelompok Rahasia Wangseya berada ...," ujarnya lagi. Dan, ini adalah rencananya!
-ooo0dw0ooo- Seperti semalam sebelumnya, Sangda Alin mengikat
kudanya di sebuah semak yang rimbun. Lalu, ia segera
membuka pakaiannya, menyisakan pakaian serbahitam yang
sudah sejak tadi dipakainya.
Sebenarnya tak seperti dua malam sebelumnya, ia cukup
bimbang melakukan tindakan kali ini. Saat melakukannya
pertama kali, ia bisa membawa dirinya pada kepercayaan diri
yang tinggi, juga saat melakukannya kedua kali. Namun, kali
ini entah mengapa ada sedikit keraguan untuk melakukannya.
Ia merasa ada kemungkinan besar bahwa tindakannya selama
dua malam sebelumnya kemungkinan besar telah terbaca oleh
lawan. Akan tetapi, Sangda Alin tetap memutuskannya dengan
cepat. Sehari lagi kemungkinan besar pasukan rahasia
Wangseya telah bergerak ke utara. Ini tentunya akan lebih
menyulitkan baginya untuk bergerak!
Akan tetapi, ternyata keraguannya benar! Baru saja ia akan
memasang tutup wajahnya, seseorang berjubah hitam tiba-
tiba sudah melayang dari ketinggian pucuk-pucuk bambu,
mendekat ke arahnya.
Sangda Alin terkejut. Tubuh itu meluncur begitu halus di
depannya. Ia bahkan sama sekali tak mendengarnya sampai
tubuh itu benar-benar menjejakkan kakinya di tanah.
Dan kini, sosok Wantra Santra sudah berdiri di depannya.
Sama seperti dirinya, ia juga sama terkejutnya mendapati
siapa sosok yang berdiri di depannya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ternyata ... pandaya terpilih," ujarnya tak percaya. "Dan, juga ... putri Datu Muara Jambi .... Sungguh, aku sama sekali tak menduganya desisnya dingin.
Sangda Alin tertegun. Tak menyangka begitu mudah
dirinya akan dikenali. Segera saja ia menarik pedangnya.
Melihat sosok dingin di depannya membuat ingatan Sangda
Alin langsung kembali pada pembantaian keluarganya, juga
pembantaian di Panggrang Muara Gunung.
Ini seketika membuat kemarahannya memuncak! "Lelaki
tak tahu malu!" teriaknya. "Kau sudah menghancurkan keluargaku!"
Wantra Santra hanya menatapnya dengan pandangan
dingin. "Aku hanya menjalankan apa yang harus aku lakukan!"
ujarnya. Ucapan tanpa ekspresi itu semakin membakar dada Sangda
Alin. Tanpa bicara lagi, dengan satu lompatan terburu, ia
sudah mengayunkan pedangnya untuk melakukan serangan.
Tubuhnya secepat kilat sudah melayang bersama angin.
Kilauan pedangnya yang tertimpa cahaya bulan membuat
Wantra Santra mundur satu langkah ke belakang sambil
menyibak jubahnya. Dengan gerakan cepat, dikeluarkannya
tiga bola baja yang selama ini menjadi senjata andalannya.
Seiring gerakannya menghindari serangan Sangda Alin, ia
sudah memutar tubuhnya, dan melempar ketiga bola itu ke
atas. Dam, seakan mengikuti gerakan ketiga bola itu, Wantra
Santra sudah membawa tubuhnya melenting ke atas pula.
Sangda Alin terpana. Bukan karena serangannya hanya
mengenai angin, tetapi karena melihat gerakan halus
lawannya ke atas. Sungguh, tak bisa disangkalnya lagi bila
ilmu meringankan tubuh lelaki di hadapannya ini sudah
mencapai taraf kesempurnaan. Juga tenaga dalam yang dapat
menggerakkan tiga bola baja itu mengambang di udara ....
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Melanjutkan gerakannya, Wantra Santra sudah mengambil
sebuah bola bajanya dan segera melemparkannya kepada
Sangda Alin. Wuuush!
Sangda Alin menghindar dengan cepat. Ia sama sekali tak
berani menahannya dengan pedangnya. Energi yang keluar
dari bola baja seukuran kepalan tangan itu begitu dapat
dirasakannya. Tentu pedangnya tak akan bisa menahannya.
Untunglah sejak diselamatkan di jurang itu, kemajuan
tenaga dalam Sangda Alin telah maju sangat pesat.
Gerakannya juga menjadi sangat luwes. Ia dapat dengan
mudah memutar tubuhnya ke belakang, lalu dengan sekali
tumpuan, ia berbalik untuk kembali melakukan serangan.
Angin terbelah!
Sangda Alin tak lagi mencoba-coba. Ia langsung
mengeluarkan jurus-jurus pamungkasnya.
Wantra Santra beberapa kali menghindarinya dengan
melempar tubuhnya jauh ke belakang Gerakannya tampak
lambat sehingga tubuhnya seketika teriihat begitu ringan.
Sangda Alin yang berusaha mengejarnya sama sekali tak bisa
mengikuti gerakannya. Pedangnya kembali hanya menebas
angin. Wantra Santra kembali melanjutkan gerakannya. Tiba-tiba
saja tanpa tumpuan apa pun, ia sudah kembali melayang ke
atas menghampiri dua bola bajanya yang masih saja
mengambang dan terus berputar-putar. Lalu, dengan sebuah
sentakan, segera dilemparkan keduanya kepada Sangda Alin.
Sangda Alin yang tengah kembali melakukan serangan,
memutar tubuhnya bagai gasing. Ia tampak cukup terkejut
menerima lemparan bola baja yang mengarah ke kepalanya.
Wuuush .... Wuuush ....
Sebuah bola dapat segera dihindari, tetapi ini membuat
posisinya tak lagi stabil. Bola kedua yang menyusul, seakan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
telah membaca gerak tubuhnya hingga langsung begitu saja
mengarah kepadanya. Ini tentu saja membuat Sangda Alin tak
punya pilihan lain selain menahan dengan pedangnya....
Wuuush .... TRAAAK!
Akibat benturan itu, pedang di tangan Sangda Alin pun
patah seketika. Tak hanya sampai di situ, bola baja yang
mematahkan pedang itu masih terus meluncur dengan cepat
dan segera saja menghantam dada Sangda Alin tanpa bisa
dihindari lagi.
"Aaaarrrrhh Sangda Alin terhempas. Tubuhnya langsung
jatuh terjajar di tanah.
Darah segar seketika mengucur dari mulut Sangda Alin. Ia
berupaya bangkit dengan menyeka darah itu dengan
punggung tangannya, tetapi sakit di dadanya membuatnya
kembali terjatuh.
Wantra Santra melangkah ke arahnya dengan langkah
perlahan. "Kau membuang-buang energimu bila ingin
membalas dendam kepadaku!" ujarnya dingin.
Sangda Alin kembali berusaha bangkit, "Aku harus tetap
membunuhmu! Kau... kau yang sudah menghasut kera-jaan ...
untuk menyerang Muara Jambi...."
Mata tajam Wantra Santra sedikit meredup. "Apa kau
bilang" Aku menghasut?" suaranya tampak tak percaya.
"Ayahmu jelas sekali berniat memberontak pada Kedatuan
Telaga Batu. Aku ... tentu saja harus menggagalkannya!"
Sangda Alin menggeretakkan giginya, "Kurang ajar!" Lalu, ia sudah kembali meluncur ke depan dengan sisa pedangnya
yang telah patah.
Dengan mudah Wantra Santra dapat menghindarinya.
Ditepisnya gerakan Sangda Alin hingga membuat dirinya
seakan terkunci di tangannya. "Gadis bodoh," dengusnya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Agar kau tahu, aku memang menjalankan perintah untuk
menghukum ayahmu. Namunaku berusaha
menyelamatkanmu. Saat kau jatuh ke dalam jurang itu, aku
berusaha menyelamatkanmu. Aku bisa saja menyuruh para
prajuritku mencari dirimu. Namun, itu tak kulakukan. Ini
semua kulakukan demi menghargai pertemananku dengan
ayahmu yang dulu pernah terjalin. Aku ingin ada satu
keturunannya yang terus hidup. Maka itulah, setelah semua"
tenang, aku turun ke jurang seorang diri. Namun, ternyata
seorang petapa sudah lebih dahulu menyelamatkan dirimu ...."
Sangda Alin berteriak, "Ayahanda tak bersalah!"
"Bagaimana mungkin tak bersalah, ia sudah mempersiapkan pemberontakan ini sejak bertahun-tahun lalu!"
Sangda Alin tak menggubris ucapan itu. Walau saat
mencari informasi tentang pembunuhan keluarganya, ia
memang telah mendengar tentang upaya pemberontakan
ayahandanya, yang sampai menyebabkan salah satu sambau
Sriwijaya hancur, tetapi ia tak pernah benar-benar yakin bila itu adalah rencana ayahandanya. Sejak dulu ia telah banyak
melihat kesetiaan ayahnya terhadap Sriwijaya. Jadi, sungguh
tak mungkin bila tiba-tiba ayahandanya memutuskan untuk
memberontak. Pastilah ada yang mencoba memfitnahnya atau
memaksanya hingga melakukan perbuatan ini. Dan, sosok
yang paling mungkin melakukan itu adalah lelaki yang berdiri di depannya ini!
Ya, Sangda Alin memang terus berpikir seperti itu.
Kemarahan ayahandanya dahulu di hari kehadiran Wantra
Santra dianggapnya sebagai masalah pribadi yang bisa jadi
menjadi pemercik permasalahan ini. Terlebih, ia merasa
semua hukuman itu berlebihan. Seandainya memang
ayahandanya benar-benar mencoba memberontak sekali pun,
ia merasa pembantaian seluruh keluarganya beserta seluruh
orang di Panggrang Muara Gunung benar-benar terasa di luar
kebiasaan yang ada.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Maka, Sangda Alin sudah kembali memutar tangannya,
mencoba melepaskan diri dari kuncian Wantra Santra. Walau
akhirnya ia bisa melepaskannya, tetapi Wantra Santra malah
semakin menekan tubuhnya. Sangda Alin pun tak habis akal,
ia segera saja mengayunkan pedangnya yang telah patah,
yang ada di tangan yang lain.
Wantra Santra menyadari serangan berbahaya itu. Ia pun
mengangkat tangan kirinya ke atas. Sejenak Sangda Alin sama
sekali tak tahu apa yang dilakukan lawannya, tetapi secara
mengejutkan dari tiga penjuru, tiga buah bola baja yang
sedari tadi entah ke mana tiba-tiba sudah kembali menderu,
mengarah kepadanya.
Sangda Alin menyentak tubuhnya dan segera melakukan
putaran untuk menghindari serangan ini. Ia bisa menghindari
ketiga bola baja itu, tetapi ini membuat pertahanannya
menjadi rentan. Hingga sebuah sentakan pelan saja dari
Wantra Santra mengenai dadanya dan membuat tubuhnya
yang telah terluka sebelumnya terpelanting jatuh.
Jelas terlihat bila Wantra Santra telah berada di atas angin.
Ia kini berjalan mendekati Sangda Alin dengan tiga bola baja yang terus berputar-putar mengelilingi tubuhnya.
Di saat itulah tiba-tiba angin terasa menderu mengejutkan.
Dua buah kilatan pedang muncul di langit, bergerak cepat,
menahan langkah Wantra Santra.
Sosok Tunggasamudra tiba-tiba sudah berdiri di antara
keduanya. "Kau, tak apa-apa, Sangda?" sekilas ia melirik Sangda Alin yang masih terduduk di tanah.
"Ia ... ia akan ... membunuhku ujar Sangda Alin sambil
menunjuk Wantra Santra.


Dendam Dan Prahara Di Bhumi Sriwijaya Karya Yudhi Herwibowo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tanpa perlu diucapkan pun Tunggasamudra sebenarnya
telah tahu apa yang terjadi. Sebelum melompat tadi, ia
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sempat melihat tiga bola baja menyerang Sangda Alin.
Bersamaan dengan itu, Magra Sekta tiba-tiba muncul dari
rerim-bunan pohon. Beberapa waktu yang lalu, sesaat setelah
Tunggasamudra mendapati dirinya di atas bubungan atap, ia
memang memberi tahu Tunggasamudra tentang keberadaan
Sangda Alin. Saat itu juga keduanya segera bergerak cepat
untuk menyusulnya.
"Bawa ia pergi!" ujar Tunggasamudra kepada Magra Sekta.
Wantra Santra tak berusaha menahan. Dibiarkannya Magra
Sekta membopong tubuh Sangda Alin dan bergerak menjauh.
Ia hanya melirik Tunggasamudra dengan tatapan dingin.
"Anak muda," ujarnya, "kau melakukan kesalahan besar.
Perempuan itu jelas telah membunuh anak buahku ...."
"Biarkan nanti pihak Kedatuan yang menilai ia bersalah
atau tidak!" ujar Tunggasamudra.
Wantra Santra hanya menggelengkan kepalanya dengan
gerakan pelan, "Tampaknya ... kau tidak menyadari sedang berhadapan dengan siapa
Dan, seusai ucapan itu, angin malam yang biasanya
senyap, tiba-tiba kembali terasa memuncak, seiring
memusatnya energi di tubuh Wantra Santra dan
Tunggasamudra. Bersamaan dengan bulan yang memilih
bersembunyi di selimut malam, angin terus berembus ke arah
keduanya dan bergulung-gulung membuat topan-topan kecil
di beberapa titik.
Kedua tubuh itu berdiri saling pandang. Wantra Santra
telah tahu siapa yang dihadapinya kini. Ia sudah mengawasi
Tunggasamudra sejak ia terpilih menjadi pandaya. Segala
informasi tentang Tunggasamudra telah ada di tangannya. Ia
bahkan juga bisa mengira-ngira kehebatan lelaki muda ini.
Namun, lepas dari itu semua Tunggasamudra tetaplah
merupakan sosok baru di Kerajaan Sriwijaya. Inilah yang
membuat Wantra Santra merasa begitu diremehkan. Seorang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
pandaya tetaplah harus memiliki sopan santun terhadap
petinggi yang telah lebih lama mengabdi!
Maka, Wantra Santra pun segera mengangkat tangannya
tinggi-tinggi. Tiga bola baja yang tadi terus berputar di
sekitarnya perlahan mendekat pada tangannya.
Tunggasamudra memperhatikan itu dengan saksama. Dengan
melihat itu saja, ia sudah bisa mengukur kekuatan tenaga
dalam yang ada pada sosok berjubah di depannya ini.
Lalu, dengan sebuah gerakan tak terduga, Wantra Santra
sudah melayangkan tangannya, membuat tiga bola baja itu
meluncur ke arah Tunggasamudra.
Wush ... Wuush .... Wuuush .... Tunggasamudra melompat dengan gerakan ringan. Namun,
ketiga bola itu kembali berbelok ke arahnya, menderu, dan
terus mengejar dirinya. Dengan gerakan memutar,
Tunggasamudra kembali membuang tubuhnya ke belakang.
Kali ini ia tak menyelesaikan gerakannya, dengan tak terduga, ia sudah berputar berbalik, dan langsung melakukan serangan
ke arah Wantra Santra.
HIAAATH! Wantra Santra cukup terkejut dengan serangan ini. Ia
segera melompat ke kiri sambil mengangkat kedua tangannya,
mencoba mengumpulkan kembali ketiga bola bajanya.
Akan tetapi, Tunggasamudra tak memberi kesempatan lagi.
Dengan gerakan menukik, ia sudah kembali mencoba
melakukan serangan. Saat ini, Tunggasamudra memang
langsung mengeluarkan jurus Pedang Membelah Gunung. Ia
sadar sekali bila kehebatan jurus-jurus Wantra Santra sama
sekali tak bisa dihadapinya dengan jurus-jurus biasa.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Melihat gerakan-gerakan mistis yang terasa aneh ini, tentu
saja membuat Wantra Santra terkejut. Ia tak menyangka
pemuda kemarin sore yang sebenarnya hanya hendak diberi
pelajaran ini bisa melakukan serangan beruntun seperti ini,
dengan energi yang begitu besar.
Mau tak mau, Wantra Santra segera membuang tubuhnya
ke kiri. Tiga bola bajanya segera mengikuti tubuhnya,
membuat serangan kepada Tunggasamudra yang tengah
menukik. Wuush ... wuuush ....
Tunggasamudra mengelak dengan cepat.
Pertarungan benar-benar berlangsung dengan seru. Mereka
tak menyadari bila beberapa pasang mata telah mengamati
gerakan mereka dari jauh ....
-ooo0dw0ooo- Semakin jauh dari pertarungan itu, Magra Sekta masih
membopong tubuh Sangda Alin di punggungnya. Sejak tadi ia
terus berlari, menjauh ke arah barat tanpa henti. Dimasukinya hutan bambu yang semakin lebat.
Ia tak tahu apa yang terjadi di belakangnya. Semula ia
hanya mendengar suara pertarungan dahsyat. Namun, lama
kelamaan suara itu hilang juga dari telinganya. Ia terus berlari dan berlari, membawa tubuh Sangda Alin jauh-jauh ....
"Lepaskan aku, Magra!" Agiriya yang sejak tadi seperti tak sadarkan diri mencoba melepaskan dirinya.
Magra Sekta menghentikan langkahnya, "Kita harus pergi
jauh-jauh, Agiriya!"
"Aku ... ingin berhenti!" ujar Sangda Alin berusaha keras.
Sekilas di bawah sinar bulan, baru dilihatnya darah yang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mengucur dari mulutnya telah membasahi pundak Magra
Sekta dan terus menetes hingga ke kaki Magra Sekta!
Magra Sekta tak lagi berusaha membantah permintaan itu.
Ia segera menurunkan tubuh Sangda Alin di bawah sebuah
pohon rindang. Sangda Alin segera mengambil posisi bersila. Awalnya ia
hanya duduk diam mencoba memusatkan energinya. Magra
Sekta hanya bisa memperhatikan tanpa berusaha menyela.
Saat itulah di antara kegelapan yang ada, ia melihat bekas
tetesan darah di sekitar bibir Sangda Alin. Tanpa banyak
bicara ia segera menyobek kain celananya, lalu dengan
gerakan ragu, mulai dibersihkannya darah yang sebagian telah mengering di bibir hingga leher Sangda Alin ....
Sangda Alin sama sekali tak bereaksi. Konsentrasinya telah
mencapai puncaknya. Perlahan-lahan hawa hangat mulai
berkumpul di sekitar tubuhnya, membuat kekuatannya yang
semula seakan hilang kembali muncul.
Dan, tak berapa lama kemudian, Sangda Alin pun mulai
membuka mata. "Aku ... harus kembali!" ujarnya, berusaha bangkit.
Akan tetapi, Magra Sekta segera menahannya. 'Jangan!
Jangan kembali ke sana, Agiriya!"
Akan tetapi, Sangda Alin tetap mencoba bangkit dengan
tenaganya yang tersisa, "Aku tidak kembali ke hutan itu. Aku
... akan ke Muara Jambi
Magra Sekta semakin terkejut. Ia tetap menahan tangan
Sangda Alin, "Jangan, jangan pernah kembali lagi ke sana!
Kumohon, Agiriya...."
Sangda Alin menoleh, "Mengapa tidak" Aku ini seorang
pandaya. Mereka pasti akan mendengarkanku____"
Magra Sekta tetap menarik tangan Agiriya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Lepaskan aku!" Agiriya mencoba memberontak. Namun, Magra Sekta menahannya dengan kuat.
"Dengar, Agiriya!" seru Magra Sekta. "Kalau kau kembali lagi ke sana, mereka akan ... membunuhmu. Mereka telah
tahu apa yang sudah kaulakukan terhadap Kelompok
Wangseya. Terlebih lagi, mereka telah tahu siapa dirimu
sebenarnya Sangda Alin tertegun. Suara Magra Sekta terasa begitu
kuat. Tak pernah selama ini lelaki di depannya ini berucap
dengan nada setegas ini.
Sangda Alin hanya bisa menatapnya dengan tak percaya.
"Kumohon, turuti kata-kataku kali ini saja ujar Magra Sekta lagi dengan nada suara lebih halus. "Jangan pernah kembali lagi ke sana. Karena ... akan ada sesuatu yang terjadi
kepadamu..."
Sangda Alin hanya tersenyum tipis, "Kau berlebihan, Magra!
Ucapanmu seakan-akan bisa mengetahui apa yang akan
terjadi Akan tetapi, tatapan Magra Sekta kemudian menusuk
kedua mata Sangda Alin.
"Aku ... memanglah... mengetahuinya, Agiriya," desisnya sembari secara mengejutkan memegang kedua sisi kepala
Sangda Alin dengan dua telapak tangannya hingga membuat
matanya dengan tajam dapat menatap mata Sangda Alin
lurus-lurus. "Ya, aku memang benar-benar tahu," desis Magra Sekta lagi. "Karena, kedua matamu ... kedua matamu telah
melukiskan semuanya pada mataku
-ooo0dw0ooo- Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
33 Sepasang Mata Magra Sekta
Semburat warna kuning matahari mulai menyingsing.
Mengikis coretan hitam yang semula begitu pekat secara
perlahan-lahan. Namun, pertarungan di hutan bambu itu
masih saja terus berlangsung. Belum tampak siapa yang akan
memenangkan pertarungan, walau keringat keduanya sudah
mulai bercucuran membasahi wajah.
"Kau benar-benar pemuda kuat yang bodoh!" ujar Wantra Santra di sela serangannya. Ia kini tak lagi menggunakan tiga bola bajanya, tetapi telah menggunakan sebuah pedang, yang
selama ini juga disembunyikan di balik jubahnya. Pertarungan panjang ini ternyata telah membuat bola-bola bajanya
bersarang pada batang-batang pohon dan tanah, dan tenaga
dalamnya tak lagi cukup kuat untuk menariknya kembali.
Akan tetapi, kehebatannya menggunakan pedangjuga tak
kalah dengan saat ia menggunakan bola-bola baja. Sejak dulu, Wantra Santra memang telah menguasai sembilan puluh
sembilan jenis senjata dan semuanya dapat dimainkannya
dengan baik. Hanya saja, ia memang paling menyukai tiga
bola baja itu karena sepanjang yang ia tahu, tak ada seorang pendekar pun yang bisa menguasai senjata seperti itu!
Kini saat ada jeda di antara keduanya, tangan Wantra
Santra terangkat, menahan gerakan.
"Dengarkan aku dulu! Atau, kau akan menyesal!" teriaknya sambil mengibaskan jubahnya. "Apa kita akan terus
melakukan pertarungan ini" Dan, terus mencoba membunuh
satu sama lainnya?" matanya menatap tajam kepada
Tunggasamudra. "Entah mengapa aku merasa percuma. Masih banyak hal yang harus aku lakukan!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ia maju perlahan, "Agar kau tahu, aku tak pernah berniat membunuh temanmu itu. Ialah yang menuduhku
menghancurkan keluarganya, yang jelas telah terbukti menjadi pendukung Minanga Tamwa ...."
Wanta Santra memutari tubuh Tunggasamudra, "Dulu, jauh
sebelum pemberontakan itu, ketika aku baru mendengar kabar
tentang rencana pembelotannya, aku bahkan mencoba
mendatangi untuk mengingatkannya. Ini kulakukan demi
pertemanan kami selama ini. Namun, yang terjadi... ia begitu berang mendengarnya, bahkan memaki-maki aku ...."
Wantra Santra menarik napasnya. "Lalu, apa lagi yang bisa kulakukan?" ujarnya lagi. "Ketika keputusan itu sudah ada di tangan Sriwijaya, aku tentu saja tak lagi bisa membantunya.
Aku hanya berusaha menyelamatkan putri bungsunya agar
ada satu keturunannya yang tetap bisa hidup...."
Wantra Santra melanjutkan, "Saat ia akhirnya terjatuh di jurang itu, aku bisa saja menyuruh para pasukanku
mencarinya. Namun, itu tak kulakukan. Aku bahkan turun ke
jurang itu untuk menyelamatkannya, tetapi kedatanganku
ternyata terlambat, seseorang ternyata telah terlebih dahulu menyelamatkannya
Tunggasamudra hanya bisa terdiam mendengarkan
penjelasan panjang ini. Kebimbangan tampak jelas muncul di
raut wajahnya. "Dan, perlu kau tahu juga," lanjut Wantra Santra. "Nama dirinya sebenarnya adalah Agiriya, bukanlah Sangda Alin
seperti yang kau tahu selama ini. Ia telah membohongi dirimu, Cahyadawasuna, dan Sriwijaya, hanya karena keinginannya
untuk membalaskan dendam
Wajah Tunggasamudra tetap tampak tak percaya. Ia ingin
membantah ucapan itu, tetapi entah mengapa ia tak bisa.
"Kau ... terlalu naif dengus Wantra Santra.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Selepas ucapan itu, dari kejauhan tiba-tiba terdengar suara
bergemuruh, seperti suara ratusan derap kuda yang berpacu
kencang. Wantra Santra dan Tunggasamudra segera
berpaling. Keduanya tertegun. Dari arah datangnya, keduanya
merasa bisa menebak siapa yang akan datang.
Dan benar, tak lama berselang, Panglima Samudra Jara
Sinya, bersama ratusan pasukan kudanya telah muncul dari
balik pohon-pohon bambu, seiring merekahnya pagi.
Masih dengan duduk di kudanya, ia maju di antara Wantra
Santra dan Tunggasamudra, "Apa yang sedang kalian
lakukan?" Wantra Santra hanya menyahut pendek. "Ini hanya
kesalahpahaman," ujarnya.
Panglima Samudra Jara Sinya memandang keduanya lekat-
lekat, "Karena peperangan ini ada di bawah kendaliku dan Panglima Cangga Tayu, aku ingin persoalan ini diselesaikan di tempatku!"
-ooo0dw0ooo- Dan, pohon-pohon bambu yang menjulang tinggi itu
seakan berhenti bergerak, seiring suara napas Magra Sekta
yang menunduk dalam-dalam.
"Kau boleh tak memercayaiku, Agiriya," ujarnya pelan dengan suara yang kini kembali seperti semula, tampak ragu
dan tak tegas. "Aku tak memaksamu untuk percaya kepadaku.
Namun, kumohon turuti kata-kataku kali ini saja. Kumohon >"
Sangda Alin tak menyahut. Kini bersamaan dengan
merekahnya pagi, baru dapat dipandanginya dengan jelas
sosok di depannya ini. Ia benar-benar tak lagi seperti yang
terakhir dilihatnya. Kini ia tampak begitu kusut. Rambutnya
tak lagi diikat rapi dan, dari wajahnya, bulu-bulu kumis dan jambangnya mulai tampak tumbuh tak teratur.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
'Ada apa denganmu, Magra?" gumam Sangda Alin tak
mengerti. Magra Sekta mengangkat kepalanya perlahan. Kembali
ditatapnya mata Sangda Alin dalam-dalam. "Entah apa yang salah pada kedua mataku ini, Agiriya," ujarnya dengan suara tercekat. "Sejak dulu, sejak aku mulai beranjak remaja, aku seperti dapat melihat kejadian yang akan terjadi, di mata
orang-orang yang telah kutatap
Magra Sekta terhenti. Sangda Alin menatapnya dengan
tatapan semakin tak percaya.
"Aku tak tahu mengapa bisa seperti ini," ujar Magra Sekta lagi sambil membuang pandangannya. "Namun, itulah yang
membuatku selalu takut menatap mata orang lain. Aku takut
melihat apa yang terjadi kepada mereka.... Aku takut melihat bencana yang akan menimpa mereka
Sangda Alin hanya bisa terdiam terpana dan membiarkan
Magra Sekta kembali berucap, "Dan, aku juga melihat
semuanya di matamu, Agiriya. Dari saat kita berjalan di hutan itu, aku melihat perangkap harimau di depan kita. Dan, di saat kita menangkap ikan di sungai itu, aku melihat seekor ular
besar akan menyerangmu. Lalu, di saat perguruan kita
diserang oleh orang-orang berpakaian hitam itu, aku juga
melihat orang-orang itu mencarimu. Itulah yang membuatku
memaksamu untuk pergi dari Panggrang Muara Gunung kala
itu. Karena aku... aku melihat semua kematian di mata-mata
teman-teman kita. Ya, aku melihatnya, Agiriya, aku
melihatnya.... Bahkan, aku juga melihat mereka pada akhirnya akan menebas perutku, itulah yang kemudian membuatku
mempersiapkan sebuah lapisan besi di balik bajuku...."
Sejenak Magra Sekta terdiam, dipejamkan matanya kuat-
kuat, "Aku ... aku melihat semuanya, Agiriya. Sungguh,
matamu telah menceritakan semuanya kepada mataku.
Bahkan, saat kau terjatuh ke jurang itu, aku masih bisa


Dendam Dan Prahara Di Bhumi Sriwijaya Karya Yudhi Herwibowo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melihat di matamu, seseorang menyelamatkanmu Dengan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
gerakan perlahan, Magra Sekta berpaling untuk menatap mata
Sangda Alin. "Itulah yang membuatku terus mencarimu
selama ini. Karena, aku tahu sekali... bahwa engkau selamat, Agiriya
Sangda Alin tetap terdiam. Pikirannya kini benar-benar
berkecamuk. Ia ingin sekali tak percaya, tetapi semua ucapan itu seakan begitu sulit dibantahnya.
"Kau ... berlebihan, Magra," hanya ucapan itu yang menandakan keraguannya.
Magra Sekta hanya bisa menatap Agiriya dengan sayu,
"Sudah kukatakan, tak mengapa bila kau tak memercayaiku, Agiriya. Sungguh, aku sendiri ingin tak peduli tentang ini.
Namun aku tak bisa tak memedulikan engkau, Agiriya
Magra Sekta terdiam, "Ya, aku sama sekali tak bisa tak
memedulikan dirimu karena sejak hari aku melihatmu sejak
hari engkau membela aku sejak hari aku memegang
tanganmu aku ... aku sudah begitu mencintaimu
Sangda Alin menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia telah
mundur beberapa langkah menjauh.
Magra Sekta hanya bisa menatap pahit, "Maafkan aku,
Agiriya, maafkan akusuaranya nyaris tak terdengar. "Namun, sungguh, ucapanku tadi tak bermaksud apa-apa. Kau ... tak
harus mencintaiku. Kau juga tak harus peduli kepadaku. Aku
tahu sekali siapa diriku. Hanya saja yang ingin aku
lakukanadalah ... bisa terus melindungimu
Magra Sekta melangkah mendekat kepada Sangda Alin,
"Kumohon, Agiriya, pergilah bersamaku. Aku akan terus
melindungimu ... melindungimu sepanjang hidupku ....
Kumohon, Agiriya... kumohon
Sangda Alin tetap menggelengkan kepalanya. "Aku tak bisa memercayai ucapanmu, Magra," ujarnya dengan nada
tertekan. "Itu ... terlalu berlebihan. Kalau matamu memang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
bisa melihat kejadian yang akan terjadi di mataku, apa yang
kaulihat sekarang, Magra" Apa yang telah dilukiskan mataku
kepada matamu?"
Magra Sekta terdiam sesaat. Dengan langkah gemetar
mulai didekatinya Sangda Alin hingga wajahnya dapat
merasakan embusan napas halus Sangda Alin. Lalu, setelah
menyibak beberapa helai rambut yang terurai di wajah Sangda
Alin, mulai ditatapnya lagi dua mata di depannya lekat-lekat.
Saat itu, Magra Sekta seperti menahan napasnya. Di dua
mata bening Sangda Alin, kembali dilihatnya bayang-bayang
yang sudah dilihatnya beberapa saat lalu. Masih sama, tak
berubah.... Magra Sekta hanya bisa tertunduk. Tiba-tiba saja ia telah
tergugu. "Apa ... yang kaulihat, Magra?" tanya Sangda Alin tak bisa menutupi gejolak hatinya.
Akan tetapi, tangisan Magra Sekta yang menjawabnya.
Sangda Alin tercekat, ia kembali mundur dengan langkah-
langkah yang nyaris goyah, "Aku ... aku tak percaya
kepadamu ...," ujarnya dengan keras. 'Aku tak percaya
kepadamu!" lalu selesai berteriak seperti itu, ia pun segera membalikkan tubuhnya dan pergi dari hadapan Magra Sekta.
"Agiriya!" Magra Sekta masih mencoba memanggilnya. Akan tetapi, Sangda Alin tetap melangkah menjauh. Namun, di
beberapa langkahnya berselang, ia membalikkan tubuhnya.
"Dengar Magra," ujarnya dengan suara tegas, "sudah kukatakan tadi, aku tak percaya kepadamu! Aku tak akan
percaya kepadamu!"
Magra Sekta mengangkat tangannya, berusaha menggapai
Sangda Alin, 'Agiriya... kumohon... kumohon jangan pergi ke
sana Sangda Alin tak lagi menggubris itu semua. Dengan nada
keras kembali ia berucap, "Aku tak mau mendengarkan apa-
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
apa lagi darimu, Magra!" Ia menekan seluruh perasaannya,
"Aku ingin ... kau pergi dari hidupku!"
Magra Sekta tercekat. Ucapan ini benar-benar bagai
hantaman di jantungnya. Tangannya yang masih dalam posisi
menggapai, turun dengan gerakan lemah.
Seiring tubuh Sangda Alin yang menjauh, ia kembali
memurukkan tubuhnya ....
-ooo0dw0ooo- 34 Dua Kematian di Hari yang Tak
Selesai Lebih dari empat puluh tahun yang lalu, Dapunta Mahak Ilir
pernah menyelamatkan seorang bayi yang selamat dari
bencana letusan gunung berapi. Waktu itu, ia dan pasukannya
baru saja berencana untuk merebut tanah itu. Selama ini,
sudah sekian lama ia dan leluhurnya lari dari tanah milik
mereka sendiri. Sejak upaya melepaskan diri dari Sriwijaya
yang dilakukan moyangnya, Kandra Kayet dan beberapa
keturunannya setelah itu, puluhan bahkan ratusan tahun yang
lalu, mereka memang tak lagi benar-benar memiliki tanah
yang bisa mereka injak dengan bangga.
Maka itulah, sudah sejak lama Dapunta Mahak Ilir mulai
merebut datu-datu yang dianggapnya menjadi haknya, yang
kini telah dikuasai oleh Sriwijaya. Saat itulah ia mendapati tangisan bayi di sebuah tanah yang baru saja dilanda
bencana, di antara semburan lahar-lahar yang mahapanas ....
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ialah yang kemudian kali pertama mengangkat bayi itu
dalam tangannya. Melepaskan pelukan ibunya yang telah kaku
terdiam. "Bayi yang bisa hidup dalam kondisi seperti ini, pastilah bukan bayi biasa gumamnya ketika itu.
Ia kemudian memutuskan untuk memelihara bayi itu dan
memberinya nama Wantra Santra.
-ooo0dw0ooo- Di ruangan yang tampak lapuk ini, beberapa orang tampak
duduk dalam kondisi tegang. Sepulang dari hutan bambu itu,
Panglima Samudra Jara Sinya memang meminta Wantra
Santra dan Tunggasamudra untuk hadir di situ, guna
membicarakan masalah tadi. Dapunta Cahyadawasuna dan
beberapa panglima muda juga datang di situ, walau dalam
posisi yang sedikit berjauhan dari tempat duduk ketiganya.
Suasana tegang memang tak terelakkan lagi. Untunglah
angin yang berembus, walau sesekali menaburkan serbuk-
serbuk kayu bekas gerusan rayap, sedikit menyejukkan
suasana. Panglima Samudra Jara Sinya tertawa lepas mencoba
menutupi ketegangan yang ada.
"Ayo, minum!" ia mempersilakan dua tamu di depannya untuk minum. Sebagai awalan, ia sendiri segera menenggak
cawannya hingga habis.
Diliriknya Wantra Santra yang masih diam, "Ada apa,
Wantra" Kau tampak diam?"
Wantra Santra menoleh sekilas. Tanpa bicara dan dengan
gerakan kaku, diambilnya cawan di depannya. Sejenak ia
menimbang-nimbang sebelum akhirnya meneguknya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Panglima Samudra Jara Sinya tersenyum, kemudian
tatapannya beralih kepada Tunggasamudra, "Kau juga,
minumlah ...."
Tunggasamudra mengangguk. Segera diambilnya cawan di
depannya, lalu diminumnya.
Senyum Panglima Samudra Jara Sinya semakin melebar,
"Bagus, bagus!" ujarnya. "Kalian seharusnya ada dalam suasana seperti ini, bukannya... malah saling mengadu ilmu
...," ucapannya yang pelan seakan menjadi sindiran.
"O ya," katanya lagi sambil menyapukan pandangannya, "di mana Sangda Alin" Mengapa ia tidak muncul di sini?" ia
melempar pandangannya ke arah Dapunta Cahyadawasuna
yang duduk agak jauh di belakang.
'Aku tak menemuinya ada di biliknya," jawab Dapunta
Cahyadawasuna pendek. "Mungkin ... ia tengah pergi...."
"Tak perlu lagi kalian mencari dirinya!" ujar Wantra Santra dengan suara dingin. "Ia adalah pengkhianat!!'
Panglima Samudra Jara Sinya dan Dapunta Cahyadawasuna
saling bertatapan.
"Apa katamu?" tanya Dapunta Cahyadawasuna tak yakin.
"Perempuan ituadalah putri Dapunta Ih Yatra, penguasa
datu ini. Ia sengaja menyusup kemari sebagai pandaya, untuk
membalaskan dendam keluarga dan juga perguruannya yang
telah kita hancurkan, terutama kepada Kelompok Rahasia
Wangseya!"
Sesaat, semuanya terdiam tak percaya.
Dapunta Cahyadawasuna segera berucap pelan, "Sebelum
mengambil keputusan itu, lebih baik kita menyelidikinya
terlebih dahulu."
Wantra Santra tersenyum sinis, "Tak perlu! Pasukanku
telah mengumpulkan cukup bukti untuk mengungkapkannya,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
terutama saat ia membunuh kaki tanganku. Aku hanya perlu
membawanya kemari hidup-hidup agar kalian semua tahu."
Wantra Santra melempar pandangannya kepada Panglima
Samudra Jara Sinya, 'Jadi, kupikir tak perlu ada yang
diselesaikan di sini!"
Selesai mengucapkan kalimat itu, Wantra Santra segera
bangkit berdiri. Sedikit serbuk kayu terbang menjatuhi
jubahnya, tetapi ia tak menggubrisnya. 'Aku harus pergi
sekarang, masih banyak yang harus aku lakukan," ujarnya.
Panglima Samudra Jara Sinya mencoba tetap tersenyum.
"Aku tahu kau begitu sibuk, Wantra. Namun, ini tak akan banyak menyita waktumu," ujarnya. "Aku hanya ingin menyelesaikan pertarunganmu tadi dengan pandaya ini agar
nantinya tak ada lagi masalah yang timbul____"
Wantra Santra menatap tajam kepada Panglima Samudra
Jara Sinya, "Sudah kukatakan bukan, kalau pertarungan tadi hanyalah kesalahpahaman" Ia masih terlalu muda. Aku bisa
memahami bila ia membela temannya Ia kemudian melirik
kepada Tunggasamudra.
Panglima Samudra Jara Sinya terkekeh mencoba
menetralkan kembali suasana, "Baiklah kalau ini memang
sekadar kesalahpahaman, aku bisa menerimanya. Namun, aku
hanya ingin kembali mengingatkan kalian semua bahwa di sini
kita berada di pihak yang sama. Aku tak ingin ... ada kejadian seperti itu lagi!"
Wantra Santra tersenyum sinis. Ucapan tadi dirasakan
seperti menekannya. Padahal semua telah tahu bahwa
sebagai pemimpin Kelompok Rahasia Wangseya, posisinya
hanya ada di bawah Sri Maharaja, bukan yang lainnya.
"Tampaknya... kau ini lupa sedang bicara dengan siapa,
Jara!" desisnya. Lalu, tanpa berucap lagi, Wantra Santra segera mengibas jubah hitamnya dan mulai melangkah
menjauh. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dari tempat duduknya, Panglima Samudra Jara Sinya hanya
bisa terdiam, tanpa ekspresi. Diam-diam, tanpa ada yang
menyadarinya, ia seperti melakukan hitungan di setiap
langkah Wantra Santra yang semakin menjauh. Dan ketika
langkah Wantra Santra sampai di ambang Kedatuan, ia
terhenti, seiring berhentinya hitungan dalam hati Panglima
Jara Sinya! Tiba-tiba saja sesuatu seperti menyentak jantung Wantra
Santra. Tangannya secara refleks memegang dadanya. Ia
berbalik, bersamaan dengan sebuah sentakan lagi di
jantungnya! Ditatapnya Panglima Samudra Jara Sinya yang masih
tampak duduk di kursinya dengan tak percaya.
"Kau ...," ia menunjuk dengan tangan gemetar.
Wantra Santra tersadar. Segera disibaknya jubah dan
diangkatnya tangannya untuk menggerakkan tiga bola baja
miliknya. Namun, ternyata energinya seakan telah hilang dari tubuhnya. Ketiga bola baja yang mulai keluar dari jubahnya,
seketika jatuh ke lantai, bersamaan dengan kesakitan yang
menjalar di seluruh tubuhnya. Kesakitan yang tiada tara.
Panglima Samudra Jara Sinya mulai berdiri dari duduknya,
"Maafkan aku, Wantra," ujarnya tanpa ekspresi. "Namun, kulakukan ini semua atas izin dari Sri Maharaja
Balaputradewa."
Panglima Samudra Jara Sinya semakin mendekati Wantra
Santra, "Kedokmu sebagai pengkhianat telah berakhir sampai di sini, Wantra," ujarnya lagi. "Sejak kelalaianmu mengetahui pemberontakan Minanga Tamwa, juga pemberontakan Muara
Jambi, aku sudah mengawasimu."
"KauWantra Santra meringis menahan sakit. Kini kakinya
tak lagi bisa menahan tubuhnya sehingga ia pun terjatuh.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Wantra Santra benar-benar tak bisa menyangka racun apa
yang digunakan kepadanya. Saat meminum air dalam cawan
yang diberikan Panglima Samudra Jara Sinya, ia telah
mencoba merasakan air itu dengan energinya. Namun, ia tak
merasakan adanya sedikit pun racun di situ. Tak hanya sampai di situ, penciumannya yang terlatih dan bisa menandai aroma
racun sehalus apa pun, tetap tak bisa merasakan adanya
racun di cawan itu. Jadiracun apa yang digunakan Panglima
Samudra Jara Sinya"
Panglima Samudra Jara Sinya berdiri satu tombak di
depannya. "Dari situlah aku akhirnya tahu, siapa orangtua angkatmu," ujarnya lagi. "Ya, aku tahu siapa orang yang menyelamatkanmu dari bencana itu dan kemudian
merawatmu seperti anaknya sendiri
Panglima Samudra Jara Sinya menarik napas panjang. "Ya, siapa dari kita yang tak mengenal Dapunta Mahak Ilir sebagai keturunan yang tersisa dari pemberontak terbesar sepanjang
sejarah Kerajaan Sriwijaya, Kandra Kayet?"
"Kau Wantra Santra hanya bisa kembali menelan
ucapannya. Ia sebenarnya ingin sekali berucap sesuatu, tetapi kini lidahnya telah terasa kelu.
Akan tetapi, bersamaan dengan itu, angannya melayang ke
saat lalu, saat ia tengah beranjak dewasa dan saat di mana
seorang tua tiba-tiba hadir di gerbang perdatuan ayah
angkatnya .... "Kau tak tampak seperti orang Malaya ..." ujarnya.
Saat itu, Wantra Santra muda hanya bisa mengerutkan
keningnya. Bagaimana bisa lelaki tua yang sama sekali tak
dikenalnya ini bicara demikian kepadanya"Jelas ia orang
Malaya. Orang tuanya merupakan keturunan langsung dari
Kerajaan Malaya.
Akan tetapi, lelaki tuayang entah dalang dari mana dan
hendak ke mana, sama sekali tak menggubris keheranannya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ia kini bahkan menatap dirinya dengan wajah penuh
pertanyaan, "Apakah... kau bocah yang ditemukan di antara retakan tanah itu" Hampir tuju/i belas tahun yang lalu?"
Wantra Santra muda hanya bisa mengerutkan keningnya.
Ia tak pernah mendengar cerita itu sebelumnya,
tetapijantungnya seakan berdetak lebih kencang hanya
dengan mendengar sepenggal kalimat itu.
Maka, tanpa bisa dihindari lagi, ketertarikannya muncul
begitu saja. Didengarkannya cerita lelaki tua itu dengan
saksama. "Saat itu Dapunta Mahan Ilir tengah berusaha merebut
salah satu datu Sriwijaya yang terdekat darinya. Ia tak
menyadari ketika itu gunung tengah begitu marah, tetapi di
saat-saat seperti itulah ia menemukan seorang bayi yang
selamat dari bencana itu...."
Wantra Santra muda terdiam.
Lelaki tua itu terus menatap Wantra Santra, "Dan, aku
merasa, itu adalah dirimu ...."
Sungguh, kisah itu begitu mengganggu pikiran Wantra
Santra muda. Sepertinya sebuah labirin di sisi hatinya mulai menguak melebar. Maka itulah, kemudian ia diam-diam
mencoba mencari informasi tentang kejadian itu. Dan, itu
mudah saja. Hanya dengan balanya kepada beberapa
pendudukyang cukup tua, ia bisa mendengar kisah yang sama
dengan kisah yang diceritakan lelaki tua itu.


Dendam Dan Prahara Di Bhumi Sriwijaya Karya Yudhi Herwibowo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hingga ketika kisah itu akhirnya sudah merasuk begitu
dalam di hatinya, ia pun akhirnya menanyakan perihal itu
langsung kepada Dapunta Mahan Ilir.
Dan, kebenaran kemudian terungkap.
Wantra Santra muda seakan limbung pada langkahnya.
Saat itu ayahnya tengah ditunjuk oleh Kerajaan Sriwijaya
untuk memimpin di Minanga Tamwa. Penunjukan ini bagi
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kerajaan Sriwijaya adalah penunjukan politis agar
hubungannya dengan sisa-sisa Kerajaan Malaya yang selama
ini terus mengobarkan perang dapat diperbaiki. Namun,
penunjukan ini bagi Dapunta Mahak Ilir ternyata dijadikan
sebagai ajang untuk mengumpulkan pasukan dan
mempersiapkan pemberontakan yang lebih besar....
Sebagai salah satu putra Dapunta Mahak Ilir, ia tahu semua
itu. Inilah yang membuat dirinya bimbang. Namun, pada
akliirnyii Wantra Santra muda memilih pergi dari kedatuan itu____
Ujarnya kala itu, "Ayahandayang selama ini mengajarkan
kepa daku keharusan kita mencintai tanahyang melahirkan
kita. Ayahanda juga yang selama ini mengajarkan kepadaku
untuk terus berbakti pada tanahyang melahirkan kita. Dan,
sekarang telah jelas siapa diriku. Aku tetaplah orang yang laliir di tanah Sriwijaya. Walau kebaikan Ayahanda begitu tak
terkira bagiku, tetapi tetap saja aku tak bisa ... melukai
tanahyang melahirkan diriku____"
Wantra Santra kemudian membungkuk dalam-dalam. Ia tak
pernah membungkuk sedalam ini untuk menghormat
seseorang. Namun, kali ini ia melakukannya dengan sepenuh
hati, "Maafkan aku, Ayah anda," ujarnya. "Tampaknya ... aku harus pergi...."
Lalu, Wantra Santra bangkit dan mulai beranjak pergi. Ia
sama sekali tak tahu, bahwa Dapunta Mahak Ilir mengekang
kemaraluinnyn sejak tadi. Ia memang tampak hanya diam
sepanjang ia berucap. Namun, ketika ia telah ada di ujung
kedatuan, Dapunta Mahak Ilir tak lagi bisa menahan
kemarahannya. Ia pun segera berteriak murka, "Drohakaaa!"
Teriakan itu telah melukai hati Wantra Santra begitu dalam.
Ia berjalan dengan air mata meleleh, pergi sejauh mungkin
dari tanah itu. Dan, hanya berselang tiga tahun kemudian,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
pasukan Sriwijaya kemudian datang dan meluluhlantakkan
tanah itu____ Wantra Santra terduduk. Dipegangnya dadanya yang
.semakin terasa sakit. Kesedihan seakan kembali melukai
dirinya. Ini adalah kesalahan terbesar yang pernah
dilakukannya sepanjang hidupnya ....
Ya, kesalahan terbesar....
Tanpa ada yang mengetahuinya, sepanjang hidupnya
Wantra Santra memang hanya pernah melakukan dua kali
kesalahan terbesar. Dan, itu adalah sisi tergelap dalam
hidupnya, yang terus dicoba untuk dilupakannya. Namun kini,
di saat-saat kematian begitu dekat dengannya, kesalahan
terbesar kedua pun kembali terkuak dalam ingatannya ....
Kesalahan itu terjadi saat dirinya tengah berhasil menjadi
ketua Kelompok Rahasia Wangseya. Itu merupakan tahun
kedelapan sejak ia meninggalkan ayah angkatnya. Ketika itu,
ia memimpin lak lebih dari seratus orang pasukan rahasia.
Hingga satu hari, seseorang berjubah hitam datang
kepadanya, di tengah kemuraman malam....
Awalnya Wantra Santra sama sekali tak mengenalinya.
Namun, ketika ia melepas capingnya, Wantra Santra langsung
dapat mengenalinya sebagai ayahandanya, Dapunta Mahak
Ilir. Ini adalah pertemuan pertamanya setelah lebih dari
delapan tahun perpisahan di antara keduanya. Sejak pasukan
Dapunta Abdibawasepa, penguasa Datu Muara Jambi, atas
nama Kerajaan Sriwijaya menaklukkan Minanga Tamwa, datu
yang dipimpin ayahandanya ketika itu, ia tak lagi mendengar
berita tentang ayahandanya.
Maka, ia pun berlutut di depan sosok yang telah tampak
begitu tua di hadapannya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Aku datang kemari, hanya ingin meminta pertolongan
kepadamu, Anakku," ujarnya dengan suara lemah.
"Aku yakin kau lelah tahu apa yang mereka lakukan
kepadaku," sambungnya.
Wantra Santra tak menyahut.
"Umurku tak akan lama lagi dan aku sepertinya tak lagi
memiliki kesempatan untuk membalas dendam," ujar Dapunta Mahak Ilir masih dengan nada lemah.
Wantra Santra masih terdiam. Ia sama sekali belum bisa
meraba arah pembicaraan ini.
Dapunta Mahak Ilir pun melanjutkan ucapannya, "Namun,
sebelum aku benar-benar mati, aku harus membalas
seseorang yang telah melakukan kesalahan kepadaku!"
Dapunta Mahak Ilir berjalan mendekat kepada Wantra Santra
dan ikut berjongkok di dekatnya. "Bila ini sampai tak terbalas, mungkin arwahku ...tak akan pernah bisa tenang
Wantra Santra menelan ludah. Perlahan, ia mulai bisa
meraba ke arah mana pembicaraan, "Siapa orangyang akan
Ayahanda balas?" tanyanya ragu.
"Kau tentunya sudah tahu. Ialah yang memulai peperangan kali pertama denganku, tang kemudian mengobarkan
perangyang diingat orang dengan nama Perang Merah
jahanam, la, ialah ... Dapunta Abdi-bawasepa, penguasa
Muara Jambi," ujarnya. "Pasukannyalahyang telah
menghancurkan sehiruk pasukanku, keluargaku, juga... tiga
saudaramu. Sungguh, aku tak akan pernah tenang sebelum
melihatnya mati...."
Wantra Santra terdiam.
'Aku hanya mohon kepadamu, Anakku," ia menyentuh
pundak Wantra Santra. "Kali ini saja, tolonglah aku ...
bantulah aku...."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dan, Wantra Santra tak pernah lagi bisa berucap apa-apa.
Akan tetapi, pada kenyataannya tak pernah adayang bisa
mengukur jasa seseorang, bukan" Terutama segala kebaikan"
Ya, balas budi memang tak pernah bisa ditimbang ....
Maka, kesalahan terbesar kedua pun dilakukan Wantra
Santra dengan pertimbangan itu. Diam-diam, dengan sangat
teliti, ia mulai mengumpulkan bukti-bukti palsu untuk
memfitnah Dapunta Abdiba-wasepa. Sekian lama ia
mengerjakannya sendiri, satu demi satu, hingga akhirnya
Dapunta Abdibawasepa dan keluarganya pun dapat dijatuhi
hukuman mati oleh Kedatuan Sriwijaya!
Ya, ialah yang merancang peristiwa besar itu, peristiwa
yang sampai sekarang selalu membuat hatinya hancur,
peristiwayang sampai saat ini selalu membuatnya menangis....
Akan tetapi, sejak hari itu, Wantra Santra mencoba
menguatkan hatinya untuk tak pernah lagi melakukan
kesalahan seperti itu. Ia telah berjanji menyerahkan jiwanya pada Sriwijaya dan bersedia mati demi janjinya itu.
Selain itu, untuk menebus kesalahan itu, ia juga akan terus
menjaga kebesaran nama Sriwijaya. Menghancurkan semua
pembelot yang ada dan juga membunuh semua pengkhianat.
Maka itulah, tanpa ada yang mengetahuinya, ia kemudian
bergerak sendiri melakukan pembunuhan itu .... Ya,
pembunuhan terhadap salah satu orang yang selama ini paling
dipercayanya....
Ya, bermula dari kelalaiannya mengetahui pemberontakan
yang dilakukan Minanga Tamwa dan juga Muara Jambi, ia
kemudian secara diam-diam mulai mengawasi dengan ketat
ketiga kaki tangannyayang kerap ditugaskan mengawasi ke
daerah utara. Hingga suatu kali, saat ia mengikuti KungMuda, salah satu
di antaranya, didapatinya lelaki itu mengirim seekor merpati yang terus terbang ke arah Minanga Tamwa. Kecurigaannya
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
memuncak. Sejak itu ia semakin mengawasi lelaki itu. Namun,
tak mudah menemukan bukti pengkhianatan. Namun, saat
seseorang yang misterius, yang akhirnya nanti dikenalinya
sebagai Agiriya atau Sangda Alin mulai membunuh dua kaki
tangannyayang lain, ia merasa saat inilah waktunya untuk
membuka topeng pengkhianat itu.
Maka, ia pun memancing Kung Muda di tempat biasa
pembunuh misterius itu datang. Dan, saat KungMuda akhirnya
dapat terpancing, ia pun mencoba memaksanya bicara.
Dan, ancaman kematian memanglah jurus paling ampuh
untuk membuat orang bicara. Dari mulut Kung Muda
terbukalah rahasia pengkliianatan yang lelah dilakukannya
sejak lama. Ternyata ia dan kedua kaki tangannyayang lain
selama ini telah memberi informasi yang salah kepadanya.
Kemarahannya memuncak, tak bisa lagi dikendalikannya.
Selepas pengakuan ini, Wantra Santra segera saja
menghancurkan kepala pengkhianat itu, beberapa saat
sebelum putri Datu Muara Jambi tiba untuk melakukan
pembunuhan ketiganya ....
Wantra Santra mencoba mengambil napasnya dalam-
dalam. Dengan gerakan kaki yang gemetar, ia mencoba
berdiri. Namun, tak ada lagi sepatah kata pun yang terucap
dari mulutnya karena selepas seembusan napasnya kemudian,
ia sudah kembali jatuh tersentak!
Panglima Samudra Jara Sinya hanya terus menung-, gunya
dengan menatap tanpa ekspresi. Diam-diam dalam hatinya, ia
tetap mengagumi sosok di depannya ini. Orang biasa pastilah
akan mati sejak tadi. Sejak pertama kali sosok ini duduk di
kursi yang telah disiapkannya, serbuk racun yang telah
dipasang di langit-langit tepat di atas kepalanya, telah
ditaburkan sedikit demi sedikit, bersamaan dengan jatuhnya
serbuk-serbuk kayu lapuk....
Sungguh, ini adalah percobaan peracunan paling berisiko
yang pernah dilakukan Panglima Samudra Jara Sinya. Ia dan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tunggasamudra bisa saja ikut menjadi korban, bila angin tiba-tiba berubah arah. Namun, memang inilah yang harus
dilakukannya. Dengan cara-cara biasa, ia yakin Wantra Santra bisa segera mencium rencananya.
Maka, hanya berselang beberapa saat kemudian, Wantra
Santra akhirnya terkulai lemah mengakhiri hidupnya sambil
membawa kisah-kisah hidupnya yang tak pernah diketahui
siapa pun .... -ooo0dw0ooo- Keanehan apa yang engkau rasakan bila tiba-tiba engkau
tak lagi mendapati suara kicauan burung di sepanjang hutan
yang engkau lalui" Keanehan apa yang engkau rasakan bila
engkau tak lagi merasakan gesekan daun-daun itu bercerita
menyelingi langkah-langkahmu" Dan, keanehan apa yang
engkau rasakan bila engkau tak lagi merasakan angin
berembus membelai-belai tubuhmu"
Dan, Sangda Alin sama sekali tak berpikir pada keanehan-
keanehan itu semua. Walau ia tak merasakan suara kicauan
burung, ia juga tak merasakan gesekan daun-daun, dan ia
juga tak merasakan angin yang berembus. Ia hanya terus
melangkah ke depan, mencoba menepis keraguannya.
Dalam hati ia tak henti mencoba menguatkan hatinya, terus
menguatkan hatinya. Namun, yang terjadi adalah keraguan
pada setiap langkahnya.
Sungguh, ia tak bisa menyembunyikan kebimbangan
hatinya lagi. Samar-samar masih terlihat bekas air mata di
pelupuk matanya, yang berulang kali dihapusnya dengan
gerakan yakin. Akan tetapi, entah mengapa sisi batinnya yang lain tetap
saja menolak kekerasan hatinya. Bayangan sosok Magra
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sekta, entah mengapa, masih saja terus menggantung di
angannya, seakan mengikuti langkahnya ....
Ya, aku sama sekali tak bisa tak memedulikan dirimu,
karena sejak hari aku melihatmusejak hari engkau membela
akusejak hari aku memegang tanganmuaku... aku sudah
begitu mencintaimu ....
Sangda Alin terus melangkah. Ia mencoba memikirkan
sesuatu yang lain, tetapi gema suara Magra Sekta kembali
yang menyeruak dalam pikirannya ....
Maafkan aku, Agiriya, maafkan aku.... JVamun, sungguh,
ucapanku tadi tak bermaksud apa-apa. Kau... tak harus
mencintaiku, kau juga tak harus peduli kepadaku. Aku tahu
sekali siapa diriku. Hanya saja yang ingin aku lakukan adalah
... bisa terus melindungimu....
Sungguh, Sangda Alin sama sekali tak lagi mampu
mengelak. Ia hanya bisa menggelengkan kepalanya kuat-kuat.
Aku tak harus memikirkan lelaki pengecut itu, sisi batinnya
yang lain menukas. Mengapa aku masih memikirkan dirinya"
Bukankah ada seseorang yang lain, yang jelas lebih baik
darinya, mencintai aku dan menginginkan aku menjadi
istrinya" Sangda Alin terus berjalan ke kedatuan itu. Dari jauh,
gerbang Kedatuan Muara Jambi sudah mulai terlihat di
matanya. Ia ingin segera mempercepat langkahnya, tetapi ia
tak bisa melakukannya. Bayang sosok Magra Sekta tiba-tiba
kembali dan kembali lagi muncul ....
Kumohon, Agiriya, pergilah bersamaku. Aku akan terus
melindungimu ... melindungimu sepanjang hidupku...
Kumohon, Agiriya... kumohon....
Kali ini langkahnya terhenti. Air matanya tak bisa lagi
dihindari kembali jatuh, meluncur di pipinya. Namun, tak
seperti yang sudah-sudah, ia tak lagi menyeka air mata itu. Ia
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
membiarkannya seperti ia membiarkan bayang-bayang sosok
Magra Sekta yang muncul di angannya. Ya, kali ini Sangda Alin membiarkan itu ....
Dan, itu kemudian membuatnya tanpa sadar, mengucap
nama itu, di antara isaknya ....
"Magrasuaranya nyaris tak terdengar, bahkan oleh
telinganya sendiri sekalipun. Dan, entah mengapa, selesai
mengucapkan kata itu, hati Sangda Alin merasakan kelegaan
yang samar. Ia seperti telah mengakui sesuatu yang telah
sekian lama diingkarinya....
Dan, ini kemudian membuat Sangda Alin tiba-tiba saja
sudah menolehkan kepalanya ke belakang, seakan-akan sosok
yang dipanggilnya itu telah ada di belakangnya ....
Akan tetapi yang kemudian dirasakannya adalah angin
yang menderu, seperti saat sebuah panah mengarah
kepadanya! Dan, Sangda Alin tersadar. Baru dilihatnya kini, dari balik
pohon-pohon yang berderet panjang dan tampak tenang, tiba-
tiba bermunculan sosok-sosok berpakaian hitam dengan busur
panah di tangan.
Sangda Alin tertegun.
Akan tetapi, belum sempat ia berbuat apa-apa, deru angin


Dendam Dan Prahara Di Bhumi Sriwijaya Karya Yudhi Herwibowo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

semakin terasa di atas kepalanya hingga membuatnya
menengadahkan kepalanya.
Dan, di sanalah ribuan panah terlihat memenuhi langit dan
semuanya mengarah kepadanya ....
-ooo0dw0ooo- Magra Sekta masih sangat mengingat kapan saat matanya
untuk pertama kalinya dapat melihat kejadian-kejadian yang
akan terjadi di mata orang lain. Itu semua terjadi ketika ia
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
masih sebagai bocah kecil. Dan, bocah kecil itu terpaksa
melihat sebuah pembunuhan untuk yang pertama kalinya!
Kala itu ia tengah bermain sembunyi-sembunyian bersama
Pendekar Cacad 8 Kekaisaran Rajawali Emas Pendekar 4 Alis I Karya Khu Lung Peristiwa Bulu Merak 1
^