Pencarian

Dendam Dan Prahara 7

Dendam Dan Prahara Di Bhumi Sriwijaya Karya Yudhi Herwibowo Bagian 7


teman-temannya. Ia tengah bersembunyi di balik sebuah
semak lebat ketika ia melihat seorang pengemis dibunuh oleh
perampok-perampok kejam. Saat itu ia hanya bisa terdiam
dengan tubuh menggigil. Ia melihat dengan jelas bagaimana
perampok itu membunuh pengemis itu, untuk mendapatkan
sedikit keping uang milik pengemis itu. Tak lagi bisa
dihitungnya berapa kali tusukan pedang para perampok itu
menembus tubuh tua pengemis itu. Dan, tak hanya sampai di
situ, sebelum membuang tubuh pengemis itu ke jurang, para
perampok itu juga mencongkel mata pengemis itu!
Ya, saat itulah untuk pertama kalinya ia merasa begitu
ketakutan. Ia hampir terkencing di celananya. Sekian lama ia hanya diam tanpa bergerak.
Ketika pada akhirnya ia harus keluar dari semak-semak itu,
karena hari yang makin gelap, kakinya melangkah gemetar. Ia
sebenarnya ingin langsung berlari cepat-cepat meninggalkan
tempat ini, tetapi sesuatu membuat langkahnya terpaku. Di
bawah rerumputan yang masih terlihat penuh ceceran darah,
dilihatnya dua buah mata yang tergeletak dalam keheningan
yang menyayat! Magra Sekta.kecil terpaku melihat itu. Satu sisi dirinya
menyuruhnya untuk tak peduli dan segera berlari dari mi u
tetapi sisi dirinya yang lain menyuruhnya untuk mendekati
kedua mata yang tergeletak itu.
Lalu, entah dari mana keberanian itu, Magra Sekta ketika
akhirnya memutuskan untuk membawa langkahnya ke situ Ia
kemudian berjongkok dan mengambil kedua mata itu dengan
kedua telapak tangannya yang masih begitu kecil Setelah itu
barulah ia berlari kecil ke tepi desanya. Di sanalah ia
berencana untuk menguburkan kedua mata itu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Akan tetapi, yang terjadi kemudian adalah keanehan Mata
itu seperti terus mengeluarkan air di telapak tangannya,
seakan-akan ... ia menangis. Magra Sekta kecil pun hanya bisa memandang heran tak mengerti. Ditatapnya lekat-lekat kedua
mata yang berada di telapak tangannya itu, dan secara
mengejutkan, atau mungkin hanya perasaannya saja, kedua
mata itu membalas tatapannya ....
Dan, sejak dari itulah, ya sejak itulah, matanya terasa
menjadi mata yang berbeda, mata yang dapat melihat di
mata-mata lain tentang sebuah peristiwa yang akan segera
terjadi.... Ya, kejadian yang akan terjadi kepada pemilik mata
tersebut .... Dan kini, mata itu jugalah yang membuat Magra Sekta
masih saja menangis di sudut hutan. Air matanya tak lagi
keluar karena kantong matanya telah benar-benar kering sejak kepergian Agiriya beberapa saat lalu.
Tubuhnya kini bahkan terus menggigil. Giginya
bergemeretak. Ketakutan memang telah merasuk di seluruh
hatinya. Sungguh, masih dibayangkannya apa yang tadi dilihatnya di
dua mata Agiriya ....
Hutan yang sepi itu... tanpa suara kicau burung... tanpa
gemeresik gesekan daun ... dan tanpa angin yang berembus
.... Semuanya seakan terlihat begitu jelas. Terutama sosok
Agiriya yang berdiri mematung tak jauh dari gerbang kedatuan itu ....
Sampai di situ, bayangan itu masih terlihat biasa di
matanya. Namun, tidak ketika ribuan panah itu muncul... ya,
ribuan panah yang menutupi seluruh langit... ribuan panah
yang meluncur semuanya ke satu titik ....
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Jantung Magra Sekta seakan terhenti. Ia selalu tercekat
karena pemandangan itu. Yang kemudian hanya bisa
dilakukannya adalah memejamkan mata kuat-kuat sambil
menggelengkan kepalanya tanpa henti.
Sungguh, Magra Sekta ingin sekali bisa kembali menolong
Agiriya. Namun, bagaimana mungkin ia menolongnya bila
gadis itu sendiri tak mau memercayainya, bahkan
menyuruhnya pergi" Apa ia harus tetap nekat menolongnya"
Lalu apakah ia sendiri nantinya mampu menepis ribuan panah
itu" Magra Sekta menggigit bibirnya kuat-kuat. Saat itulah tiba-
tiba ia melihat sebuah anakan sungai kecil, yang berkelok
panjang. Sebuah pikiran tiba-tiba datang di otaknya. Segera
saja dengan terburu ia merangkak ke tepi sungai itu.
Sungai ini, Magra Sekta menelan ludah, begitu jernih. Ia
bisa bercermin di sini dengan jelasnya .... Maka dengan
jantung berdegup kencang, Magra Sekta kemudian mulai
memajukan wajahnya ke tepian sungai. Di situlah dilihatnya
bayangan dirinya yang memantul di air, terutama bayangan
matanya! Awalnya Magra Sekta tak dapat melihatnya dengan jelas.
Air di anak sungai ini terus mengalir, membuat riaknya
mengaburkan bayangan yang tercipta. Namun, lama-
kelamaan, setelah matanya terbiasa, ia bisa juga melihat
bayangan-bayangan di mata yang memantul itu ....
Ia melihat dirinya bertari terburu ... ia melihat dirinya
berteriak kencang... ia melihat juga dirinya hanya bisa
memandang ribuan panah yang memenuhi langit... dan ....
Detik itulah Magra Sekta berteriak histeris. Bayangan itu
begitu jelas terlihat di matanya... sangat jelas. Ketakutan
seketika memenjaranya. Ia terjerembap jatuh ke tepi sungai
itu dengan napas tersengal.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Magra Sekta hanya bisa terisak. Ia hanya bisa
memejamkan matanya kuat-kuat, mencoba menepis, terus
menepis. Namun, bayangan itu ... tetap saja tak mau pergi....
Ketakutannya benar-benar memuncak....
Mata ini... mata ini ....
Magra Sekta*mengeluh. Baru disadarinya bahwa
penderitaan ini, ketakutan ini, kengerian ini, dan juga bayang-bayang ini, semuanya karena mata ini!
Ya, mata ini! Mata ini!
Magra Sekta menelan ludah di antara isaknya.
Sungguh, ia ingin melupakan semuanya. Ia ingin menepis
semua ketakutan yang selama ini ada ... ia ingin hidup dengan normal... ia ingin ... benar-benar ingin ....
Dan, pikiran ini kemudian dijawab dengan sesuatu yang
berkelebat di benaknya, membuat wajah Magra Sekta
sedemikian pias. Namun, ia tak berusaha mengelak dari
pikiran itu. Kemudian seperti ada yang membimbingnya, ia
tiba-tiba sudah mengangkat kedua tangannya dengan
gemetar. Sekilas ia kembali teringat bayang-bayang yang baru
dilihatnya. Dirinya yang berlari terburu... dirinya yang
berteriak kencang... dirinya yang hanya bisa memandang
ribuan panah yang memenuhi langit ... dan ... sebuah
bayangan menakutkan kemudian mengakhirinya!
Tangan Magra Sekta bergetar. Semua bayangan itu
pastinya tak akan ada lagi dan akan hilang... tanpa mata ini"
Pertanyaan itu seakan dijawab oleh batinnya dengan
meyakinkan. Maka, dengan gerakan sangat pelan, masih
dengan napasnya yang tersengal, kembali dilanjutkan gerakan
tangannya yang semakin gemetar, menuju wajahnya ... lalu
ke arah matanya....
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Lalu ... sebuah teriakan panjang sesaat kemudian
memecahkan langit. Teriakan yang begitu menyayat. Teriakan
yang membuat burung-burung yang tengah bertengger di atas
pohon, beterbangan, binatang-binatang hutan beriarian
menjauh, dan daun bergoyang-goyang tak tenang....
Akan tetapi, itu hanya sesaat. Ya, hanya sesaat saja!
Karena, selang beberapa embusan napas kemudian, keadaan
kembali hening....
Begitu hening, seperti sediakala ....
-ooo0dw0ooo- Keduanya berjalan di atas kuda dalam keremangan
setapak. Beberapa pasukan berkuda yang mengawal di
belakangnya, tampak terpisah dari keduanya.
"Kejadian ini begitu tak terduga," Dapunta Cahyadawasuna seperti berbisik.
Tunggasamudra, sosok yang menaiki kuda di sebelahnya
hanya menoleh sekilas. Sejak kejadian pembunuhan Wantra
Santra di Kedatuan Muara Jambi, Dapunta Cahyadawasuna
memang memintanya untuk menemaninya pergi sejenak dari
wilayah Kedatuan.
. "Panglima Samudra Jara Sinya benar-benar terialu berani mengambil tindakan seperti ini," ujar Dapunta Cahyadawasuna lagi. "Aku yakin, ia pasti belum sempat meminta izin
melakukan tindakan ini kepada Sri Maharaja
Balaputradewa...."
Dapunta Cahyadawasuna menghela napas panjang. Dalam
hatinya ia terus merasa sangat tidak nyaman. Pembunuhan
dengan serbuk racun itu telah benar-benar direncanakan
dengan sempurna. Namun, terlepas apakah Panglima
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Samudra Jara Sinya telah memiliki bukti tentang
pengkhianatan itu atau belum, seharusnya tetap ada proses
pembuktian terlebih dahulu. Walau bagaimanapun, Wantra
Santra adalah tokoh penting di Kerajaan Sriwijaya. Jasa-
jasanya tak terhitung untuk Sriwijaya!
Mengingat itu semua Dapunta Cahyadawasuna hanya bisa
terpekur dalam pikirannya. Hening kemudian menyela di
antara langkah-langkah pelan kudanya. Tanpa terasa kuda itu
telah memutari pinggiran Kedatuan dari tepi hutan hingga
sampai di gerbang Kedatuan lagi....
Seiring matahari yang mulai melembut, gerbang Kedatuan
Muara Jambi mulai terlihat di depan keduanya.
Dapunta Cahyadawasuna kembali menoleh, "Apakah
menurutmu ... Sangda Alin tak akan muncul lagi di sini?"
suaranya terdengar ragu.
Tunggasamudra tertegun. Jelas sekali ada nada khawatir
yang tak bisa disembunyikannya di dalam nada suara
junjungannya ini. "Saat pertarunganku dengan Wantra Santra, seorang temannya telah membawanya pergi dalam kondisi
terluka," ujarnya.
Dapunta Cahyadawasuna terdiam. Sejak tadi tak bisa
diclakkannya bahwa pikirannya memang terus tertuju kepada
sosok Sangda Alin. Maka, pertanyaan yang diungkapnya tadi
kembali bergema di dalam hatinya: Apakah menurutmu ...
Sangda Alin tak akan muncul lagi di sini"
Dapunta Cahyadawasuna diam-diam mengeluh.
Sebenarnya keluhan ini telah berlangsung sejak Wantra Santra mengungkapkan jati diri Sangda Alin kala itu. Ya, kalau
memang apa yang diungkapkan Wantra Santra benar adanya,
tentunya posisi Sangda Alin kini menjadi sangadah rumit.
Membunuh anggota Kelompok Wangseya bukanlah tindakan
yang dapat diampuni. Lalu, bila demikian, apakah ia bisa
membantu perempuan itu" Apakah ia bisa meyakinkan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Panglima Samudra Jara Sinya untuk mengampuni
perempuan itu bila ternyata ia benar-benar bersalah"
Di tengah pikiran itulah, tiba-tiba dilihatnya Tunggasamudra bergerak mengejutkan. Ia melompat dari kudanya dan
mendekat pada hamparan tanah yang tak tertutupi rumput
liar. "Ada apa, Tungga?" tanya Dapunta Cahyadawasuna tak mengerti.
Tunggasamudra yang kini berjongkok hanya menggeleng
pelan. "Tidak, tidak ada apa-apa," ujarnya dengan suara tak yakin sambil membuang pandangan ke tanah di sekeliling
hutan itu. "Hanya saja... di tanah ini," tambahnya masih dengan nada tak yakin, "sepertinya penuh dengan bekas... tancapan
panah?" Dapunta Cahyadawasuna ikut memandang hamparan tanah
di sekelilingnya. Ia masih bisa melihat dengan jelas keadaan tanah yang penuh dengan lubang-lubang bekas benda tajam
hampir di semua sudutnya.
"Namun tentunya tak mungkin ini bekas tancapan anak-
anak panah bukan?" tanyanya. 'Jumlahnya terlalu banyak
Tunggasamudra hanya mengangguk setuju. Walau tetap
merasa tak yakin, ia tak punya pilihan jawaban lain.
Maka, keduanya pun kembali melanjutkan perjalanan
memasuki kedatuan itu, seiring sinar matahari yang telah
lenyap tertutupi awan-awan tebal, seakan menghilang dari
edarannya yang tinggal sesaat....
-ooo0dw0ooo- 35 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Penaklukan Minanga Tamwa
Tahun 851 bulan Caitra, armada Sriwijaya kembali
melakukan serangan pada Minanga Tamwa.
Dalam peperangan pertama, mereka dapat menguasai
Batanghari yang dibuat menyempit itu. Di sini peperangan
beriangsung cepat. Sebelum armada samudra menyerang dari
arah depan, dari arah belakang Pasukan Bhumi Sriwijaya di
bawah pimpinan Panglima Bhumi Cangga Tayu sudah
menyerang terlebih dahulu dan menghancurkan area sempit
itu serta memasang panji kemenangan di wilayah itu.
Kemenangan ini masih berlanjut hingga mereka berhasil
merebut Pelabuhan Minanga Tamwa. Saat itu armada
samudra menyerang dari tepi pantai dengan ratusan pelontar
panah. Hanya butuh setengah hari untuk membuat pasukan
Minanga Tamwa kocar-kacir dan berlari menyelamatkan diri ke
dalam benteng mereka!
Kemenangan ini semua disaksikan langsung oleh Panglima
Samudra Jara Sinya dari arah sambau utama. Sementara
putranya, Luwantrasima dan Sanggatrasima terus tersenyum
tampak sangat puas.
"Tampaknya... semua berjalan dengan baik," ujar
Luwantrasima tak bisa menyembunyikan kegembiraannya.
Akan tetapi, Panglima Samudra Jara Sinya tak menyahut.
Ia berbalik untuk kembali mengamati peta yang selalu
dipegangnya. "Panglima," Luwantrasima sedikit heran, "mengapa... tak tampak gembira?"
Panglima Samudra Jara Sinya menoleh sekilas, "Putraku,
kau masih terlalu cepat menyimpulkan sesuatu," ujarnya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Apakah kau tak merasa janggal kita menaklukkan ini dengan
... begitu mudah?"
Luwantrasima mencoba berpikir, "Apa maksud, Panglima?"
Panglima Samudra Jara Sinya menghela napas panjang,
"Mengalahkan seorang panglima yang telah puluhan tahun
menjadi panglima utama di Sriwijaya, apakah ini tidak terlalu mudah?" ia balik bertanya. 'Jelas sekali bila Tambu Karen memang sengaja mengalah pada dua peperangan
sebelumnya. Tampaknya ... ia memang berniat menarik
semua pasukannya ke dalam benteng dan mencoba bertahan
di situ." Luwantrasima berkerut kening, "Bukankah... itu kepu-tusan yang bagus buat kita, Panglima?" tanyanya dengan nada
sedikit ragu. "Kita tinggal berkonsentrasi menggempur
benteng itu!"
Panglima Samudra Jara Sinya menggeleng kepalanya,
"Kautelah benar-benar menganggap remeh mereka, Anakku.


Dendam Dan Prahara Di Bhumi Sriwijaya Karya Yudhi Herwibowo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kau sama sekali tak mengenal Tambu Karen. Bila ia
memutuskan untuk bertahan di benteng itu, tentunya ada
sesuatu yang tidak kita ketahui di benteng itu!"
-ooo0dw0ooo- Dan, dugaan Panglima Samudra Jara Sinya ternyata benar!
Benteng Minanga Tamwa ternyata sama sekali berbeda dari
apa yang telah dibayangkan sebelumnya. Setelah diamati lebih saksama, benteng itu kini ternyata dikelilingi dua tembok
sekaligus. Tembok pertama yang menghadap keluar, memiliki
tinggi yang lebih pendek dari tembok kedua. Di sana sudah
terlihat ratusan pasukan panah berjejer di kedua tembok
dalam dua lapisan. Tak hanya sampai di situ, pada menara-
menara yang ada di beberapa sudut, dibuat bertingkat
sekaligus. Di setiap tingkatnya terlihat beberapa prajurit
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
berjaga dengan senjata lengkap, bahkan beberapa pelontar
panah juga dapat dilihat di situ. Yang lebih mengejutkan lagi adalah di luar tembok bagian terluar benteng, ternyata telah digali sebuah sungai selebar sepuluh tombak lebih, yang berisi penuh dengan ratusan buaya kelaparan!
Ya, semuanya terlihatjelas telah disiapkan dengan matang!
Panglima Tambii Karen memanglah bukan panglima
kemarin sore. Sebenarnya, sudah lebih dari sepuluh tahun ia
menyiapkan semua ini. Informasi yang tak pernah sampai
pada Kedatuan Sriwijaya di Telaga Batu merupakan upaya
paling awal yang dilakukannya. Sebelumnya, ia memang telah
mengenal tiga kaki tangan Wantra Santra sejak lama,
terutama Kung Muda yang mengawasi daerah utara.
Tak butuh upaya keras untuk membuat Kung Muda
memihak kepadanya. Ia hanya perlu mengucapkan satu
kalimat. "Bantulah aku dan kau akan kujadikan orang paling penting nomor dua setelah diriku!"
Maka setelah itu, semua berjalan dengan baik. Kung Muda
bahkan berhasil membujuk dua rekannya yang lain, Basa
Kante dan Mu Sangka, untuk bergabung dengannya sehingga
semua informasi yang ada pada Minanga Tamwa pun dapat
ditutupi dengan sangat baik. Saat itulah, ia mulai membangun bentengnya. Ia juga mulai mengajak Dapunta Ih Yatra,
penguasa Datu Muara Jambi untuk bergabung dengannya dan
membuatkan benteng di perairan Batanghari dan mulai
menyempitkan tepian Batanghari untuk salah satu
pertahanannya. Ya, seperti itulah rencana yang telah disimpannya sejak
lama. Tak ada yang pernah menduganya. Kung Muda benar-
benar telah menjaga keadaan ini hingga tak terdengar sampai
di Kedatuan Telaga Batu.
-ooo0dw0ooo- Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sementara itu, di Pelabuhan Minanga Tamwa, Panglima
Jara Sinya telah mulai menurunkan semua pasukan yang ada
di dalam sambau-sambau-nya. Panglima Bhumi Cangga Tayu
yang telah menunggu di daratan sejak beberapa hari lalu
langsung menyambutnya.
"Kita benar-benar kecolongan, Cangga!" ujar Panglima Samudra Jara Sinya ketika keduanya hanya tinggal berdua
saja. "Mereka dapat membangun benteng seperti itu tanpa kita tahu sama sekali!"
Panglima Bhumi Cangga Tayu mengangguk. Dilemparnya
pandangan pada benteng besar yang terlihat jelas di
depannya. "Semua ini gara-gara pengkhianat itu," desis Panglima Samudra Jara Sinya. "Tentunya kau sudah mendengar apa
yang kulakukan kepada Wantra Santra, bukan?"
Panglima Cangga Tayu tak langsung menyahut. Ia memang
telah mendengar tentang pembunuhan terhadap Wantra
Santra. Walau dalam hati sedikit tidak setuju dengan tindakan itu, ia bisa memahami apa yang dilakukan Panglima Samudra
Jara Sinya. "Menurutku, walau ini terasa sedikit gegabah," ujar Panglima Bhumi Cangga Tayu hati-hati, "tetapi aku setuju dengan tindakanmu!"
Panglima Samudra Jara Sinya tersenyum. "Syukurlah kau
mendukungku," ujarnya sambil menepuk pundak Panglima
Bhumi Cangga Tayu.
"Lalu, apa yang kaulakukan pada pasukan Wangseya?"
'Aku telah memilih seorang pengganti Wantra Santra untuk
sementara. Ia Panglima Kra Dawang!" ujar Panglima Samudra Jara Sinya. "Ini harus kulakukan dengan cepat karena
Kelompok Wangseya memang harus segera kita tempatkan di
wilayah timur Minanga Tamwa
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Panglima Bhumi Cangga Tayu mengangguk-angguk. Kini
pandangannya kembali menuju Benteng Minanga Tamwa.
"Kuharap semuanya dapat berjalan lancar. Dari sini,
benteng itu terlihat sangat kukuh," ujarnya. "Kita... tak akan mudah menaklukkannya."
Panglima Samudra Jara Sinya terdiam.
"Mereka pasti telah mengupayakan segala cara untuk
bertahan!" tambah Panglima Bhumi Cangga Tayu lagi.
Panglima Samudra Jara Sinya mengangguk setuju. "Ya,
inilah yang dinamakan Bertahan Menjadi Batu" ujarnya. Tiba-tiba saja ia teringat Buju Taiman, ahli perang Sriwijaya semasa pemerintahan raja pertama Sriwijaya, Dapunta Hyang
Jayanasa. Ialah yang mengajarkan strategi-strategi perang
pada panglima-panglima perang Sriwijaya selanjutnya.
Salah satu yang pernah diingatnya dari peninggalan lontar
yang dibacanya adalah Bertahan Menjadi Batu. Untuk menjadi
sebuah batu, Buju Taiman menuliskan beberapa langkah.
Selain membuat lapisan yang kuat pada batu itu, juga
memasang binatang-binatang buas di sekelilingnya untuk
menjaga! Mengingat ini, Panglima Samudra Jara Sinya hanya bisa
berujar pelan, "Kalau kita langsung menyerangnya, akan
terlalu banyak korban di pihak kita
"Apa kita perlu bertahan saja?" Panglima Bhumi Cangga Tayu menoleh. "Kita bisa meracuni sungai yang mengaliri benteng mereka atau menunggunya hingga cadangan
makanan mereka habis!"
Panglima Samudra Jara Sinya menggeleng. "Kita tak akan
bisa menahan mereka seperti itu. Kalau kita mencoba
bertalian ... kita yang akan kalah," ujarnya. Saat itu juga, Panglima Samudra Jara Sinya kembali teringat satu lagi
langkah untuk Bertahan Menjadi Batu ....
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Aku yakin Tambu Karen telah membuat puluhan
terowongan menuju daerah-daerah sekitarnya untuk
menyuplai makanan dan minuman mereka!"
Panglima Bhumi Cangga Tayu terkesiap, "Sampai
sedemikiankah?"
Panglima Samudra Jara Sinya mengangguk, "Ia telah
merencanakan ini sejak lama. Tentunya membuat seratus
terowongan jelas lebih mudah daripada membangun benteng
berlapis seperti itu, bukan?"
Di tengah pembicaraan itu, Dapunta Cahyadawasuna
dengan diiringi Tunggasamudra, yang baru saja
berkesempatan turun, mendekati keduanya.
"Dapunta Cahyadawasuna," Panglima Bhumi Cangga Tayu menyambutnya sambil sedikit menganggukkan kepalanya.
"Lama tak berjumpa denganmu, Panglima," ujar Dapunta Cahyadawasuna mendekat. Tak lupa ia juga menganggukkan
kepalanya kepada Panglima Samudrajara Sinya.
"Tampaknya peperangan besar tak akan dihindari lagi,"
ujarnya sambil membuang pandangannya pada Benteng
Minanga Tamwa di kejauhan.
Panglima Samudrajara Sinya menoleh, "Maaf, bila ini
semuanya tak sesuai dengan keinginanmu, Dapunta."
Dapunta Cahyadawasuna hanya tersenyum sekilas.
"Mungkin ... memang inilah jalannya," ujarnya pelan. "Kadang bukankah sebuah jalan memang terjal berliku?"
Panglima Samudrajara Sinya hanya tersenyum samar. .
"Dan, tampaknya," sambung Dapunta Cahyadawasuna
pelan, "mereka memilih ... Bertahan Menjadi Batu
Tentu saja ucapan ini membuat Panglima Samudrajara
Sinya tertegun. Ia bertanya-tanya apakah kalimat itu sama
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
maksudnya seperti yang dipikirkannya tadi ataukah sekadar
ucapan yang kebetulan terlontar"
Akan tetapi, melihat ekspresi wajah Dapunta
Cahyadawasuna, Panglima Samudrajara Sinya segera
meyakinkan dirinya bahwa ucapan itu memanglah seperti
yang dipikirkannya. Sungguh, ia sama sekali tak menyangka
bahwa sosok di depannya ini juga membaca dan mengingat
Buju Taiman! "Dan, sepertinya lagi ... akan banyak kematian yang tak terhindarkan," ujar Dapunta Cahyadawasuna lagi. Lalu, tanpa menunggu tanggapan dari ucapannya itu, Dapunta
Cahyadawasuna tiba-tiba sudah melangkah maju sambil tak
lepas mengamati benteng yang ada jauh di depannya.
"Tampaknya yang harus kita lakukan adalah... merangkul
alam...," ujarnya lagi.
Sungguh, ucapan yang terdengar sangat biasa dan
tampaknya tak bermakna itu menyentak Panglima Samudra
Jara Sinya. Merangkul alam ... merangkul alam ....
Ya, tak salah lagi. Itu adalah satu strategi perang yang juga diajarkan Buju Taiman.
Belum sempat ia berujar apa-apa, dilihatnya Dapunta
Cahyadawasuna tiba-tiba sudah membungkuk mengambil
sebuah daun kering yang begitu kecil di dekatnya. Lalu, masih tanpa sahutan yang lain, diletakkannya daun itu di atas
telapak tangannya sehingga sebentar saja angin yang bertiup
kencang ke utara segera menerbangkan daun itu tinggi-tinggi.
Daun itu tiba-tiba menjadi magnet. Semua mata yang ada
memandang liukannya, bahkan Tunggasamudra yang berdiri
agak di belakang. Seperti sebuah tarian yang teramat gemulai, daun itu bergerak-gerak dengan mistis. Terus ke atas, ke
bawah, ke kiri, ke kanan, dan kembali lagi ke atas....
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sampai beberapa saat semua yang ada mengikuti gerakan
itu tanpa bicara hingga daun itu bergerak jauh ke arah
Benteng Minanga Tamwa. Bentuknya kini bagaikan sebuah
titik kecil. Hanya mata-mata yang awas saja yang masih dapat melihat gerakan daun itu melewati sungai dan terbang ke atas benteng....
Terus meliuk, melewati tembok pertama ....
Lalu, lapis tembok kedua ....
Panglima Samudra Jara Sinya terdiam. Ditatapnya Dapunta
Cahyadawasuna lekat-lekat. Ia tak yakin apakah yang
dilakukan Dapunta Cahyadawasuna dengan menerbangkan
daun itu merupakan sebuah petunjuk untuknya atau hanya
sekadar sebuah percobaan kecil belaka. Namun, yang pasti ia
benar-benar dapat melihat semua itu dengan jelas hingga
daun itu hilang di dalam benteng.
Panglima Samudra Jara Sinya menatap tak percaya. Jujur
diakui, sejak Dapunta Cahyadawasuna mencoba melakukan
pembicaraan damai dengan Minanga Tamwa, ia tak bisa
mengelakkan dirinya untuk menatap sebelah mata kepada
dapunta ini. Namun, tidak kali ini. Tatapannya menjadi
melunak. Ada sedikit kekaguman yang terpancar.
Sungguh, daun itu telah begitu menginspirasinya ....
Maka, tiba-tiba saja Panglima Samudra Jara Sinya berucap
kepada semua yang ada, "Berikan aku waktu 10 hari saja.
Dan, aku akan membuat mereka keluar dan menyerang kita!"
-ooo0dw0ooo- Ratusan tombak dari Benteng Minanga Tamwa, jarak yang
cukup jauh untuk dicapai anak panah, pasukan Kerajaan
Sriwijaya membuat tenda sementara di sebuah hamparan
padang rumput. Jumlahnya mencapai ratusan. Semuanya
dipisahkan menjadi beberapa kelompok.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tenda tempat Panglima Samudra dan Panglima Bhumi
sendiri berada di tengah-tengah perkemahan itu. Sementara
tenda Dapunta Cahyadawasuna berada tak jauh dari situ.
Kini, selepas makan malam, Dapunta Cahyadawasuna
terpekur di tendanya. Tunggasamudra yang terus berada di
sampingnya masih mencoba menemaninya.
"Menurut Dapunta," tanyanya membuka percakapan, "apa yang akan dilakukan Panglima Samudra Jara Sinya?"
Dapunta Cahyadawasuna menggeleng, "Entahlah, tetapi
yang pasti ia tak mungkin menyerang benteng itu begitu
saja." "Aku dengar tadi ia pergi bersama puluhan pasukannya
kembali ke Muara Jambi."
Dapunta Cahyadawasuna mengerutkan keningnya,
"Benarkah?" Dapunta Cahyadawasuna sedikit terkejut. "Untuk apa?"
"Hamba tak mengetahuinya, Dapunta."
Dapunta Cahyadawasuna terdiam. Ah, mau apa Panglima
Jara Sinya pergi ke sana" Bukankah beberapa hari yang lalu
pasukan besar ini dimulai dari sana"
Akan tetapi, tanya-tanya itu tak pernah bisa terjawab
sekarang! Ya, tak ada satu orang pun yang tahu apa yang akan
dilakukan Panglima Samudra Jara Sinya di Datu Muara Jambi,
termasuk juga seratus prajurit yang menemaninya ke sana.
Akan tetapi, kebungkaman Panglima Samudra Jara Sinya
membuat tak seorang pun berani bertanya, termasuk
Luwantrasima yang terus ada di sampingnya. Mereka hanya
bisa menuruti apa yang diperintahkan Panglima Samudra Jara
Sinya. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tak ada yang tahu bahwa tindakan Dapunta
Cahyadawasuna menerbangkan sehelai daun ke benteng saat
itu benar-benar telah menginspirasi Panglima Samudra Jara
Sinya. Ia teringat saat masa mudanya ketika pertama kalinya
ia datang ke Datu Muara Jambi dan berbincang-bincang
dengan Dapunta Abdibawasepa di bukit itu ....
"Sayangnya, ini adalah akhir perjalanan kita karena kita tak lagi bisa ke atas," ujarnya. "Di sana penuh dengan Bunga Kusang...."
"Bunga Kusang?" Jara Sinya muda bertanya tak mengerti.
Dapunta Abdibawasepa tertawa, "Kau belum
mendengarnya" Itu bunga racun. Serbuk bunganya dapat
memabukkan seseorang dan bila dihirup terus-terusan akan
membuat orang tak sadarkan diri, bahkan ... dapat
menyebabkan kematian!"
Jara Sinya muda menatap tak percaya.
"Maka itulah, tak ada orangyang tinggal di sekitar bukit ini,"
ujar Dapunta Abdibawasepa lagi. "Terutama di bagian selatan sana. Karena angin terus bertiup ke sana ..."
Itulah yang kemudian membuatnya bergegas menuju ke
bukit itu. Di sana ia segera menyuruh seluruh pasukannya
memotong semua bunga kusang yang ada di bukit itu ....
-ooo0dw0ooo- Sampai beberapa hari ini hanya ada penantian!
Di tempat yang sedikit tersembunyi, jauh dari perke-mahan
itu, Tunggasamudra tengah melatih tubuhnya dengan gerakan
jurus-jurusnya. Biasanya ia tahan berlama-lama dalam latihan seperti ini, semenjak matahari belum tampak sampai
kehirukpikukan di perkemahan mulai terasa. Namun, tidak kali
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
ini. Entah mengapa, konsentrasinya sejak tadi tak bisa
dikendalikannya.
Bayangan Sangda Alin terus muncul di angannya ....
Ah, ke manakah gadis itu kini" Apa lelaki itu telah
membawanya pergi begitu jauh hingga membuatnya tak lagi
kembali" Tunggasamudra terdiam. Sisi batinnya yang lain
sebenarnya menginginkan Sangda Alin tak lagi kembali
kemari. Ia tak bisa membayangkan apa yang akan dilakukan
oleh Panglima Samudra Jara Sinya terhadap gadis yang telah
membunuh beberapa orang pasukan Wangseya. Kepada
Wantra Santra yang sangat berpengaruh seperti itu pun, ia
begitu berani, apalagi terhadap seorang pandaya yang baru
beberapa purnama bertugas"


Dendam Dan Prahara Di Bhumi Sriwijaya Karya Yudhi Herwibowo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Di saat-saat seperti itulah pendengarannya yang terlatih
tiba-tiba mendengar hiruk pikuk dari perkemahan. Ini agak
mengherankan. Matahari belum sepenuhnya muncul, biasanya
baru beberapa saat lagi kehirukpikukan ada.
Tunggasamudra pun segera berlari ke arah perkemahan.
Dari arah tempatnya berlari, ia melihat Panglima Samud-rajara Sinya dan pasukannya ternyata telah datang dari Muara
Jambi. Panglima Bhumi Cangga Tayu dan Dapunta
Cahyadawasuna dan beberapa prajurit tampak
menyambutnya. Di belakang Panglima Samudrajara Sinya terlihat puluhan
prajuritnya menggotong kotak-kotak kayu besar seukuran
tubuh manusia dewasa dari dalam dermaga. Tampaknya
kotak-kotak ini sudah diturunkan dari sambau sejak beberapa
saat lalu. Kini kotak-kotak yang setiap kotaknya harus
diangkat tak kurang dari empat orang itu kemudian diletakkan berderet memanjang di posisi paling utara sehingga dapat
teriihat jelas dari Benteng Minanga Tamwa
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Pekerjaan ini terus berlangsung sampai lama. Kotak-kotak
itu ternyata berjumlah lebih dari ratusan. Ketika salah satunya akan dibuka, Panglima Samudrajara Sinya menyuruh semua
pasukannya yang ada di sekitar tempat itu untuk segera
menutup hidung mereka dengan kain basah.
"Rencana apa lagi yang ada padamu, Jara?" tanya
Panglima Bhumi Cangga Tayu tak mengerti.
Panglima Samudrajara Sinya hanya tersenyum. "Merangkul
alam, inilah yang kulakukan ...," ujarnya sambil menutup hidungnya.
Kemudian, dengan tenaga dalamnya, Panglima Samudra
Jara Sinya mulai membuka kotak yang terdekat darinya.
Semua mata tak lepas memandang kepadanya saat ia mulai
mengeluarkan sebuah bunga kusang dari dalamnya.
Semua memandang tak mengerti. Dan, Panglima
Samudrajara Sinya pun tak berusaha untuk menjelaskannya.
Ia maju perlahan dan menengadah untuk merasakan embusan
angin. Lalu, dengan sebuah sentakan, digerakkannya bunga
itu hingga serbuk-serbuk bunga kusang yang ada di dalam
bunga terlepas, dan segera beterbangan mengikuti angin ke
utara. "Kalian bantulah aku!" ujarnya kepada panglima-panglima muda yang ada di dekatnya. "Sebarkan sepanjang benteng itu hingga serbuk bunga ini dapat masuk ke dalam benteng!
Lakukan dengan perlahan!"
-ooo0dw0ooo- Dari dalam Benteng Minanga Tamwa, Panglima Tambu
Karen mengamati seluruh gerakan itu. Senyumnya masih terus
mengembang begitu lebarnya hingga memperlihatkan dengan
jelas keyakinan pada apa yang telah dilakukannya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ya, seperti yang diperkirakan Panglima Samudra Jara Sinya,
Panglima Tambu Karen memang sudah menyiapkan
pertahanan yang berlapis untuk semua serangan. Ia memang
berencana untuk bertahan. Dalam hitungannya, ia hanya periu
bertahan tak lebih dari dua belas purnama untuk membuat
lawan mundur. Ia yakin, pasukan Sriwijaya tak akan bisa
bertahan selama itu. Perbekalan mereka tidak akan cukup.
Apalagi tanpa diketahui siapa pun, ia telah mengirimkan surat kepada beberapa datu besar untuk memberi kesempatan
menyerang Kedatuan Sriwijaya di Telaga Batu. Ia menjamin
kemenangan kepada datu-datu itu karena ia yakin sekali bila
seluruh pasukan Sriwijaya kini tengah terpusat pada serangan ke datu-nya. Datu-datu yang diharapkannya dapat bertindak
itu di antaranya adalah Datu Darmasraya dan sebuah datu
yang ada di Bhumijawa.
Kalaupun ini tak berjalan sesuai rencananya, ia telah
menyiapkan rencana lainnya untuk bertahan di bentengnya.
Rencana itu juga seperti yang telah diduga oleh Panglima
Samudra Jara Sinya. Panglima Tambu Karen memang telah
membuat hampir lima puluh terowongan yang
menghubungkan ke beberapa datu di sekitar Minanga Tamwa,
dari yang hanya berdekatan saja sampai di datu-datu yang
cukup jauh. Dari situlah ia yakin dapat terus menyuplai
makanan dan minuman untuk pasukan dan warganya sampai
kapan pun! Kini, masih dengan keyakinan penuh, Panglima Tambu
Karen tengah mengamati apa yang dilakukan Panglima
Samudra Jara Sinya. Sebelumnya, seorang anak buahnya
memang sempat melaporkan tindakan Panglima Samudra Jara
Sinya yang menurunkan puluhan kotak besar dari dalam
sambau-nya.. "Kira-kira apa yang dibawanya?" tanyanya. "Mata-mata kita tak menyebutkannya, Panglima," ujar salah seorang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
panglimanya. "Namun, yang pasti, itu didapatnya dari Muara Jambi
Panglima Tambu Karen sama sekali tak bisa menebaknya.
Ia hanya bisa melihat beberapa orang di kejauhan berderet
sepanjang sisi bentengnya yang ada di sebelah selatan.
Mereka kemudian bergerak-gerak, tak jelas apa yang
dilakukan. Akan tetapi, yang kemudian terjadi, menjelang siang hari
beberapa prajuritnya terlihat mabuk. Terutama pasukannya
yang ada di atas benteng!
Panglima Tambu Karen terkejut. "Tampaknya... kita telah diracuni, Panglima," seorang panglimanya segera menghadap.
Panglima Tambu Karen tak langsung menjawab. Awalnya ia
sangsi dengan ucapan panglimanya ini. Ya, bagaimana
mungkin mereka dapat diracuni" Ia sangat mengontrol
makanan dan minuman yang mereka makan. Beberapa
prajuritnya selalu memeriksa tampungan air dan persediaan
makanan sebelum dikeluarkan untuk diminum dan dimakan.
Akan tetapi, sekilas sebuah pikiran tiba-tiba muncul di
benaknya. Jangan-jangan... orang-orang yang bergerak-gerak tak
jelas di kejauhan sepanjang sisi bentengnya telah melakukan
sesuatu" Panglima Tambu Karen menelan ludah. Saat itu juga ia
tersadar. Segera ia bangkit dengan mata terbelalak. Tanpa
berucap apa pun segera ia keluar dari kedatuannya.
"Perintahkan kepada semua orang di dalam benteng ini
untuk menutup hidung!" teriaknya dengan suara
menggelegar. "Kita telah diracun!"
Panglima Tambu Karen segera menuju ke arah benteng. Di
situlah beberapa pasukannya dilihatnya tak lagi bei diri dengan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tegap. Beberapa bahkan mulai tampak bersandar di tembok
dengan tatapan bagai orang linglung.
Panglima Tambu Karen menggeram marah. Tak salah lagi,
ini pastilah racun. Ya, ia pernah mendengar tentang Bunga
Kusang. Bunga yang dapat memabukkan bagi yang menghirup
serbuknya Sungguh, khasiatnya hampir sama dengan daun
upas. Namun, tak pernah ada seorang pun yang sebelumnya
berperang dengan cara demikian. Bunga Kusang sangat sulit
dicari. Tanaman ini tak banyak tersebar di sini. Yang ia tahu hanya ada di Muara Jambi dan itu pun jumlahnya tak
banyak.... Panglima Tambu Karen segera bergerak ke atas benteng.
Ditutup hidungnya dengan kain yang telah dibasahinya. Dari
atas benteng dapat dilihatnya pasukan Sriwijaya masih
berderet panjang sambil mengibas-ngibaskan sesuatu.
Kepalan tangan Panglima Tambu Karen mengencang.
Walau bagaimanapun, ia harus bertahan. Ia tetap menilai
bahwa ini adalah strategi yang terialu naif. Ia yakin persediaan bunga itu tak banyak. Mungkin hanya akan memabukkan
prajuritnya beberapa saat saja.
"Sudah kauamati berapa kotak yang dibawa sambau itu?"
Panglima Tambu Karen bertanya kepada salah seorang
panglimanya yang berdiri di sisinya.
Prajuritnya membungkuk, "Sudah hamba coba untuk
menghitungnya, Panglima," jawabnya. "Namun, sampai saat ini kotak-kotak itu masih belum seluruhnya diangkut dari atas sambau yang ada di dermaga. Namun, yang pasti, kotak-kotak
yang telah berada di depan kita jumlahnya mencapai hampir
seratus kotak!"
Panglima Tambu Karen tertegun. Seratus kotak" Matanya
langsung membulat, seperti akan terlepas. Giginya
menggeretak seketika. Tangannya yang terkepal kencang
tampak bergetar.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Bajingan kau, Jara Sinya!" teriaknya penuh amarah.
-ooo0dw0ooo- Tunggasamudra mendekati Dapunta Cahyadawasuna yang
tengah mengamati dari jauh para panglima yang tengah
menaburkan serbuk-serbuk bunga.
"Dapunta, apa strategi ini dapat berhasil?" bisiknya hati-hati.
Dapunta Cahyadawasuna tak langsung menjawab. "Semua
strategi... layak untuk dicoba, Tungga!" ujarnya pelan.
"Akan tetapi...," Tunggasamudra menghentikan ucapannya.
"Kau merasa ini kekanakan?" Tunggasamudra mengangguk ragu. Dapunta Cahyadawasuna hanya tersenyum tipis, "Tak bisa kusalahkan itu," ujarnya. "Namun, kadang peperangan dapat dimenangkan oleh pihak yang dapat memanfaatkan
keadaan di sekelilingnya. Dan, sejarah telah menceritakan
banyak sekali kejadian seperti itu. Dulu, puluhan tahun yang lalu, tentara Sriwijaya pernah memenangkan sebuah perang
karena memanfaatkan serangan tawon-tawon. Pernah juga
pasukan Kerajaan Sriwijaya memenangkan perang atas
bantuan kclelawar-kelelawar pengisap darah
Dapunta Cahyadawasuna membuang pandangannya ke
arah Benteng Minanga Tamwa, "Dan, kini... kupikir akan tetap ada peluang bagi kita memenangkan perang dari bunga-bunga kusang itu ...."
Tunggasamudra hanya terdiam. Namun, ucapan panjang
Dapunta Cahyadawasuna tetap telah membuka pikirannya. Ia
pun semakin memperhatikan apa yang dilakukan Panglima
Samudra Jara Sinya.
Kini di bagian paling depan pasukan, Panglima Samudra
Jara Sinya masih terus mengamati para panglimanya yang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tengah menaburkan serbuk-serbuk bunga kusangnya. Berkali-
kali ia berujar keras, "Ingat! Lakukan dengan gerakan
perlahan dan dalam jeda waktu tertentu!" teriaknya. "Aku yakin tak lama lagi mereka memutuskan untuk menyerang
kita." Panglima Bhumi Cangga Tayu yang berdiri tak jauh darinya
menoleh, "Namun apa kita akan menggugurkan semua bunga
ini dari seluruh kotak?" ia melirik pada kotak-kotak yang masih menumpuk di sampingnya.
Panglima Samudrajara Sinya hanya tersenyum di balik kain
yang menutupi hidungnya. "Tentu saja tidak," ujarnya,
"karena bunga-bunga itu tak lebih ada di dalam sepuluh
kotak." Panglima Bhumi Cangga Tayu memandang heran, "Namun
ratusan kotak lainnya?"
Panglima Samudrajara Sinya hanya mendengus. "Tentu
saja kotak lainnya tak berisi apa-apa ...."
-ooo0dw0ooo- Sampai menjelang tengah hari, mulai terdengar suara
genderang bertalu-talu dari arah Benteng Minanga Tamwa.
Panglima Samudrajara Sinya tersenyum samar.
"Tampaknya mereka mulai melakukan sesuatu," ujar
Panglima Bhumi Cangga Tayu.
Panglima Samudrajara Sinya mengangguk, "Ya, ia akan
menyerang kita!" ujarnya.
Tentu saja ucapan ini membuat Panglima Bhumi Cangga
Tayu merasa tak yakin. "Apa mungkin secepat itu, Jara?"
ujarnya. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Tentu saja ia harus bertindak cepat, Cangga! Bahkan,
lebih cepat lagi!" balas Panglima Samudrajara Sinya. "Bila ia telah menyadari akibat yang ditimbulkan dari bunga-bunga
kusang ini, hanya dalam beberapa waktu ke depan, tak
sampai matahari tenggelam, ia akan melihat beberapa
prajuritnya mulai mati!"
Kini Panglima Samudrajara Sinya bangkit. Dipatut-kannya
pedangnya yang ada di samping pinggangnya. "Aku akan
pergi menemui pandaya itu dulu!" ujarnya sambil melangkah meninggalkan Panglima Bhumi Cangga Tayu. "Kupikir sudah waktunya memberinya tugas yang harusnya dilakukan Wantra
Santra Lalu, Panglima Samudra Jara Sinya segera melangkah
dengan gerakan sedikit bergegas ke arah Tunggasamudra
berdiri. "Panglima, ada apa?" Dapunta Cahyadawasuna yang ada di samping Tunggasamudra bertanya dengan nada heran.
Panglima Samudra Jara Sinya menjawab, "Aku hanya ingin
bicara dengan sang pandaya," ujarnya sambil menoleh kepada Tunggasamudra.
Lalu, lanjutnya, "Sebentar lagi pasukan Minanga Tamwa
akan menyerang kita!" ujarnya. "Dan, bila mereka menyerang kita, aku ingin kau yang membunuh panglima mereka, Tambu
Karen!" -ooo0dw0ooo- Dua puluh lima tahun yang lalu, ketika Dapunta
Abdibawasepa merebut Minanga Tamwa, ia melakukan
serangan dari arah gerbang umur. Ini merupakan serangan
yang mengejutkan. Dapunta Abdibawasepa telah
merancangnya dengan saksama. Ia dapat menilai kelemahan
pertahanan yang ada di gerbang timur, mulai dari jumlah
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menara yang lebih sedikit, sampai bentuk gerbangnya yang
tak sekukuh gerbang utama. Maka itulah, serangannya yang
cepat dan mengejutkan dapat membuat Minanga Tamwa,
yang seharusnya menang secara jumlah pasukan, takluk.
Dapunta Abdibawasepa memang harus mengorbankan ribuan
pasukannya, tetapi itulah yang kemudian membuat Panglima
Tambu Karen, yang waktu itu masih menjadi panglima utama
Sriwijaya, lebih mudah menaklukkan Benteng Minanga Tamwa
seutuhnya. Akan tetapi, peperangan kali ini jelaslah berbeda!
Benteng Minanga Tamwa kini dikelilingi oleh pasukan
Kerajaan Sriwijaya dari empat penjuru. Di bagian utara dan
barat Pasukan Bhumi di bawah pimpinan Panglima Bhumi
Cangga Tayu telah bersiap. Sementara di sebelah timur
pasukan Rahasia Wangseya di bawah pimpinan sementara,
Panglima Kra Dawang, tinggal menunggu perintah. Dan, di
sebelah selatan pasukan samudra di bawah pimpinan
Panglima Samudrajara Sinya mulai bergerak.
Suara genderang dari dalam Benteng Minanga Tamwa
merupakan tanda pihak Minanga Tamwa telah mempersiapkan
serangan. Ini membuat Panglima Samudrajara Sinya,
Panglima Bhumi Cangga Tayu, dan para panglima muda
lainnya segera mempersiapkan pasukannya.
Bunga-bunga kusang masih belum berhenti ditaburkan,
sementara pelontar-pelontar panah kini mulai diarak maju,
diikuti oleh ratusan pasukan panah yang berbaris panjang
dalam beberapa kelompok. Bersamaan dengan itu, beberapa
burung merpati telah dilepas untuk mengabarkan kepada
pihak lainnya. Sementara itu, Panglima Samudrajara Sinya masih terdiam
menikmati alunan suara tabuhan genderang di kejauhan.
"Dugaan Panglima ternyata benar," ujar Luwantrasima yang berdiri di sebelahnya. Kini ia telah memakai jubah
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
perangnya yang terbuat dari lempeng besi, yang menutupi
bagian dada dan punggungnya. Biasanya hanya prajurit di
bawah gelar panglima yang menggunakan jubah besi,
sedangkan prajurit lainnya hanya menggunakan jubah dari
rotan yang dipilin.


Dendam Dan Prahara Di Bhumi Sriwijaya Karya Yudhi Herwibowo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Panglima Samudrajara Sinya hanya tersenyum samar. Ia
sendiri telah menggunakan jubah perangnya, yang telah
puluhan tahun melindunginya. Di belakangnya, beberapa
pasukannya juga telah menabuh genderang. Gema talunya
seakan menyambut talu genderang dari arah Minanga Tamwa.
"Sebaiknya kita bersiaplah!" ia mulai berjalan ke depan.
Sementara itu, di sudut lain, Tunggasamudra juga lengah
memakai baju besinya. Dapunta Cahyadawasuna yang berdiri
di dekatnya memperhatikannya lekat-lekat.
"Ini tugas berat untukmu, Tungga," ujarnya berusaha menenangkan. "Kekuatan mereka memang hanya ada pada
sosok Panglima Tambu Karen. Membunuh panglima ini, sama
artinya dengan mengalahkan seluruh pasukan Minanga
Tamwa" Tunggasamudra menoleh, "Aku tahu, Dapunta," ujar nya pendek. "Panglima Jara Sinya sudah mengatakannya
kepadaku Dapunta Cahyadawasuna hanya mengangguk.
"Sebenarnya, semua akan lebih mudah bila Sangda Alin
bersama kita," tambahnya tanpa bermaksud mengeluh.
Akan tetapi, kali ini Tunggasamudra tak menyahut. Sekilas
dilihatnya ekspresi yang ada pada wajah Dapunta
Cahyadawasuna. Sejak dulu, ia bisa merasakan perasaan yang
ada padajunjungannya ini terhadap sosok Sangda Alin. Wa lau
sudah beberapa hari ini junjungannya ini tak bicara soal
Sangda Alin, Tunggasamudra yakin kalau sosok di depannya
ini terus berpikir tentang Sangda Alin. Hanya karena lak ingin
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mencampurkan urusan pribadinya dengan perang besar ini
saja yang membuatnya terus diam.
Bunyi genderang terdengar makin keras.
Dan, benar dugaan Panglima Samudra Jara Sinya, tiba tiba
pintu gerbang Minanga Tamwa yang setinggi tiga tombak
lebih mulai terbuka perlahan. Suara engsel yang berderit
terdengar sampai jauh. Namun, suara itu segera tergantikan
oleh sorakan-sorakan riuh dari dalam benteng.
Lalu, serbuan itu pun dimulai! Ratusan pasukan berkuda
Minanga Tamwa maju dengan pedang terhunus. Derap-derap
kuda mereka, membubungkan debu hingga ke langit.
Para prajurit yang sebelumnya terus menaburkan bunga
kusang itu segera ditarik ke belakang.
Panglima Samudrajara Sinya berujar kepada panglima
Mandrasiya, "Siapkan pasukan panah untuk menyambut!"
Segera saja Panglima Mandrasiya maju ke depan dan
berteriak, "PASUKAN PANAAAH!"
Lalu, dari arah belakang, bersamaan dengan mundurnya
prajurit-prajurit yang menaburkan bunga kusang, ratusan
pasukan panah merangsek ke depan. Tanpa komando lagi,
mereka segera menyusun diri dalam dua barisan memanjang.
Yang satu berjongkok dan yang lainnya berdiri. Langsung
mereka siapkan busur untuk menyambut pasukan kuda yang
terus berderap maju.
Sesaat bumi terasa bergetar.
Lalu, setelah dirasajarak panah cukup dekat, Panglima
Mandrasiya segera berteriak, "PANAAAH!"
Dan, panah segera meluncur ke langit secara beruntun.
Hasilnya puluhan pasukan berkuda Minanga Tamwa yang
terkena panah-panah itu segera terpuruk, membuat kacau
penyerangan. Kuda-kuda yang terjatuh menjadi penghalang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
yang tak bisa lagi dihindari hingga akhirnya ratusan pasukan kuda Minanga Tamwa kocar-kacir.
Akan tetapi, itu tak beriangsung lama. Tak lebih setelah
sepuluh anak panah dilepas, pasukan panah mundur. Posisi
mereka segera digantikan oleh pasukan berkuda dan pasukan
tombak dan pedang.
Peperangan jarak dekat tak bisa terhindari lagi! Dipimpin
oleh beberapa panglima muda, pasukan Sriwijaya mencoba
menahan pasukan kuda Minanga Tamwa!
"Ini seperti tanpa rencana ...," desis Panglima Bhumi Cangga Tayu.
"Mereka benar-benar tak punya pilihan lain untuk
berperang secara langsung, seperti ini!" jawab Panglima Samudrajara Sinya tanpa melepas pandangannya dari arah
medan perang. "Bila ia menunggu sampai sore saja, ratusan pasukannya akan mati dengan percuma, walau malam kita tak
menyerangnya. Namun, bukankah esok pagi kita bisa kembali
menyerangnya?"
"Akan tetapi, bukankah mereka bisa bersembunyi terlebih dahulu?"
Panglima Samudra Jara Sinya tersenyum, "Kalau mereka
bersembunyi, bukankah semakin mudah untuk kita mendekati
benteng mereka?"
Panglima Bhumi Cangga Tayu mengangguk-angguk. Diam-
diam ia mengakui keberhasilan strategi Panglima Samudra
Jara Sinya. "Akan tetapi," ujarnya lagi, "tampaknya mereka masih setengah hati melakukan serangan ini!" balas.Panglima Bhumi Cangga Tayu. "Mereka hanya mengirim tak lebih dari lima ratus pasukan saja!"
"Ya, walau bagaimanapun mereka tetaplah menunggu kita
mendekat," kali ini Panglima Samudra Jara Sinya menoleh.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Itu adalah keputusan terbaik bagi mereka. Apalagi, pada akhirnya ... bukankah kita memang harus tetap maju ke
depan?" Maka, tak berapa lama, setelah pasukan berkuda Minanga
Tamwa dapat dihabisi, pasukan pelontar panah pun mulai
merangsek maju, diikuti di belakang seluruh pasukan,
termasuk pasukan gajah!
Kali ini Panglima Samudra Jara Sinya dan Panglima Bhumi
Cangga Tayu telah ikut maju di atas kuda mereka. Di
belakangnya Dapunta Cahyadawasuna dan Tunggasamudra
serta beberapa panglima muda lainnya mengikutinya dalam
diam. Entah mengapa seiring derap kuda yang semakin menjauh,
perasaan Tunggasamudra menjadi tak tenang. Mungkin
karena ini adalah peperangan pertama bagi dirinya. Namun,
lepas dari itu, tanpa ada yang mengetahuinya,
Tunggasamudra merasa begitu sedih melihat mayat-mayat
bergelimpangan di depan matanya. Beberapa bahkan masih
dilihatnya tampak bergerak-gerak, tanda nyawa mereka masih
ada. Dalam kondisi seperti itu, bila itu ternyata merupakan
prajurit Minanga Tamwa, prajurit Sriwijaya segera
mendekatinya dan langsung menusuk jantungnya, untuk
mengakhiri nyawanya dengan cepat.
Tunggasamudra hanya bisa menguatkan hatinya. Sampai
saat ini, walau ia merupakan pendekar yang tangguh, ia sama
sekali belum pernah membunuh seorang sekalipun! Inilah
yang membuat tangannya tiba-tiba terasa basah ... dan sedikit gemetar.
Lalu, pasukan pelontar panah yang dilindungi dengan
perisai dari lilitan rotan terus merangsek maju, diikuti pasukan panah. Pasukan Minanga Tamwa dari atas benteng segera
melakukan serangan. Langit tiba-tiba kembali penuh dengan
panah. Mereka memanahi para pasukan pelontar panah.
Walau tak banyak yang mengenai sasaran, tetapi beberapa di
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
antara mereka tetap saja ada yang tak beruntung. Namun,
bagi yang terkena panah, pasukan lainnya akan dengan cepat
menggantikannya!
Dari bawah pasukan panah Sriwijaya juga terus membalas
serangan. Sambil tak henti merangsek ke depan, mereka
secara berirama melakukan serangan ke benteng. Awalnya
serangan mereka itu memang tak membuahkan hasil karena
jarak panah masih terlalu jauh. Namun, semakin dekat,
beberapa prajurit Minanga Tamwa mulai terkena panah
mereka. Beberapa prajurit yang berdiri di tepi benteng,
bahkan sampai terjatuh ke sungai di depan benteng mereka!
Alat-alat pelontar panah pun semakin mendekat. Serangan
pertama segera ditujukan mengarah pada pintu gerbang
Minanga Tamwa, juga pada menara-menara Minanga Tamwa.
Kini anak-anak panah pelontar itu dilapisi oleh api sehingga serangannya segera berbekas meninggalkan kobaran api pada
apa pun yang dikenainya. Terutama pada pintu gerbang
utama. Walau terbuat dari kayu terbaik dengan ketebalan
yang luar biasa, hanya beberapa saat kemudian gerbang itu
terbakar hebat. Saat itulah empat ekor gajah terbesar
mendekat dan mengayunkan balok kayu besar yang diikatkan
pada tubuh-tubuh mereka ke arah pintu. Hanya dua kali
serangan saja, gerbang utama itu pun akhirnya jebol.
Melihat itu, Panglima Samudrajara Sinya dan Panglima
Bhumi Cangga Tayu segera menyambutnya dengan
mengangkat pedangnya.
"SERBUUU!"
"SERBUUU!"
Teriakan keduanya disambut oleh para panglima yang ada
di sekitar mereka, lalu segera disambut oleh para prajurit
secara bersahutan. Ini merupakan tanda bagi pasukan kuda
untuk mulai maju, disusul oleh pasukan tombak dan pedang,
juga pasukan gajah.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dengan panah yang terus menyerang dari arah belakang,
pasukan terus merangsek ke depan, termasuk Dapunta
Cahyadawasuna dan Tunggasamudra.
"Hati-hatilah, Dapunta!" teriak Tunggasamudra yang masih berada di sampingnya. Ya, walau bagaimanapun ia tahu,
selain orang tak menyukai jalan perang, junjungannya ini
bukanlah pesilat tangguh. Sangadah berbahaya berada di
medan perang seperti ini baginya. Namun, sebagai pemimpin
ratusan prajurit, Dapunta Cahyadawasuna tampaknya
memang harus maju secara langsung memimpin pasukannya.
Dapunta Cahyadawasuna hanya bisa mengangguk. "Pada
akhirnya, aku tak punya pilihan untuk berperang, Tungga!"
teriaknya sambil mengeluarkan pedangnya. 'Jaga juga dirimu!"
Lalu, ia pun mulai bergabung dengan pasukan kuda yang
berderap ke depan. Demikian juga dengan Tunggasamudra.
Setelah mencabut salah satu pedang dari punggungnya, ia
mulai bergerak semakin merapat ke arah gerbang yang mulai
terbuka.... Akan tetapi, belum sempat pasukan Sriwijaya memasuki
gerbang, pasukan kuda Minanga Tamwa telah keluar
menyambutnya di ambang gerbang. Suara genderang bertalu
seiring suara ratusan derap kuda.
Tak bisa dihindari lagi peperangan paling dahsyat terjadi di titik itu!
Panglima Samudra Jara Sinya terus merangsek di bagian
paling depan. Sudah belasan nyawa berakhir di tangannya.
Pedang Wangga-nya telah menjelma bagai naga yang
kelaparan dan terus menginginkan kematian lawannya!
Di sudut lain, pasukan pelontar panah telah berhasil
menghancurkan dua menara paling dekat dari gerbang utama.
Ini tentu saja membuat pertahanan Minanga Tamwa semakin
kocar-kacir. Pasukan panah semakin leluasa melepaskan
panahnya ke atas, tanpa ada balasan serangan yang berarti
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
karena pasukan panah Minanga Tamwa yang ada di atas
benteng lebih memilih menyerang pasukan berkuda yang
mulai merangsek maju.
Maka, tak bisa dihindari lagi, korban pasukan kuda
Sriwijaya terus berjatuhan. Panglima Bhumi Cangga Tayu yang
melihat itu segera menarik tali kekang kudanya, membuat
kuda yang ditungganginya meringkik dan mengangkat kaki ke
atas. Ia kemudian memberi tanda agar pasukan gajah maju ke
depan. Dan, seperti yang kerap dilukiskan pada peperangan-
peperangan sebelumnya, nyawa kini hanyalah selembar sosok
tak berarti, yang bisa segera musnah hanya karena satu
gerakan seseorang. Nyawa juga yang bisa menjadi harta
paling berharga, yang akan dipertahankan dengan membunuh
lawan sebanyak-banyaknya ....
Di tengah hiruk pikuk itulah, Tunggasamudra kemudian
melihat sosok paling mencolok di antara semua pasukan
Minanga Tamwa. Walau posisinya masih cukup jauh,
Tunggasamudra bisa melihat sosok itu duduk di atas kudanya
yang besar dan berpelindung anyaman rotan. Ia
menggunakan baju pelindung yang terbuai dari besi terbaik,
dengan ukiran-ukiran emas bergambar harimau. Di pedangnya
terlihat bekas darah yang mengental, tanda sudah puluhan
orang yang telah dibunuhnya.
Tunggasamudra segera meyakini bahwa itulah Panglima
Tambu Karen! Maka, ia pun segera merangsek ke sana. Beberapa prajurit
Minanga Tamwa berusaha menahan gerakannya dengan
mencoba menyerangnya. Namun, dengan mudah
Tunggasamudra dapat mengelak dari serangan-serangan itu
dan terus melewati gerbang.
Tak lama kemudian keduanya telah berhadapan. Hanya
dengan bertatapan beberapa detik saja, keduanya sudah
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
saling menyerang. Pertempuran di antara keduanya tak bisa
dihindari lagi.
Sosok itu memang benar Panglima Tambu Karen. Ia telah
memimpin pasukannya sendiri menjaga gerbang yang telah
terbuka. Posisinya yang ada di balik gerbang membuat dirinya lebih leluasa menyerang prajurit-prajurit Sriwijaya yang
memasuki gerbang.
Awalnya ketika menyerang Tunggasamudra, ia bergerak
sangat cepat untuk menyudahi pertarungan ini dengan cepat.
Keyakinannya memang telah berada di atas. Namun, yang
terjadi ternyata Tunggasamudra selalu berhasil menghindari
serangan pedangnya dari atas kudanya. Ia bahkan secara
perlahan-lahan mulai memancing Panglima Tambu Taren
untuk keluar dari gerbang dan menjauhi arena pertempuran
yang padat. Panglima Tambu Karen yang menyadari ini berusaha
kembali, tetapi Tunggasamudra selalu membuatnya tak bisa
beranjak darinya.
"Kurang ajari" bentak Panglima Tambu Karen dengan
marah. "Siapa kau sebenarnya?"
'Aku Tunggasamudra, Pandaya Sriwijaya," ujar
Tunggasamudra. "Huh, pantas kemampuanmu lumayan," Panglima Tambu
Karen meludah. Kali ini ia tak lagi menyerang Tunggasamudra, tetapi
segera melompat turun dari kudanya. "Aku tahu kau
ditugaskan untuk membunuhku!" ujarnya. "Cepatlah turun dan kita sudahi di sini!"
Selepas ucapan itu, dengan gerakan cepat, ia kembali
menyerang Tunggasamudra dengan serangan mematikan.
Tunggasamudra terkejut. Serangan yang bergerak meluncur
ke perutnya itu mengarah juga pada leher kudanya. Maka, tak
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
ada pilihan lain bagi Tunggasamudra, kecuali melempar
tubuhnya dari atas kudanya sehingga membuat serangan itu
berubah arah. Sebelum ia menjejak tanah, serangan lanjutan Panglima
Tambu Karen telah melayang kembali mengarah pada


Dendam Dan Prahara Di Bhumi Sriwijaya Karya Yudhi Herwibowo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tenggorokannya.
TRANK ... TRAAANK....
Tunggasamudra mencoba menangkis serangan-serangan
beruntun itu. Dengan gerakan tak teriihat, ia telah
mengeluarkan satu pedang lagi di tangan kirinya.
Pertarungan pun semakin dalam.
Di gerbang Minanga Tamwa, Panglima Samudra Jara Sinya
dan Panglima Bhumi Cangga Tayu terus merangsek masuk ke
dalam benteng. Kini konsentrasi pertahanan Minanga Tamwa
telah terbagi. Dari arah barat dan timur, serta utara, pasukan Sriwijaya telah ikut maju menyerang.
Dengan dibantu pasukan gajah yang berderet beruntun,
Panglima Bhumi Cangga Tayu terus maju setapak demi
setapak. Beberapa panah yang menancap pada gajah-
gajahnya membuat gajah-gajah itu melenguh panjang dengan
marah. Ini membuat beberapa gajah kemudian membentur-
benturkan tubuhnya pada tembok terdekat sehingga tembok
pertama yang ada di dekat pintu gerbang akhirnya mulai
roboh dan reruntuhannya segera membuat tembok pelapis
kedua juga ikut roboh.
Celah yang terbentuk pun semakin lebar, tak heran bila tak
lama berselang pasukan tombak dan pedang Sriwijaya mulai
memasuki Benteng Minanga Tamwa.
Keadaan di dalam Benteng Minanga Tamwa sekelik.i kacau
balau. Beberapa pemanah dari atas benteng dan menara
masih terus mencoba meluncurkan panah-panah mereka.
Namun, pasukan tombak dan pedang Sriwijaya segera
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menyebar ke semua sisi benteng. Mereka mencoba naik ke
atas benteng dan membuat kejutan bagi pasukan panah
Minanga Tamwa yang ada di situ.
Di sisi lain, beberapa tembok benteng yang secara bc
runtun diserang oleh pasukan pelontar panah telah hancur
terbakar habis. Beberapa prajurit di menara-menara masih
mencoba menyerang, tetapi pasukan tombak dan pedang
Sriwijaya yang sudah di dalam benteng segera bergerak cepat
merebut menara-menara itu.
Maka, tak sampai hari menjadi gelap, pasukan Minanga
Tamwa yang jelas kalah dalam jumlah, mulai terlihat terdesak.
Beberapa panglima Minanga Tamwa masih mencoba mengatur
serangan dari beberapa menara, tetapi keadaannya tak
bertahan lama. Beberapa panglima kemudian memutuskan
untuk beriari ke dalam dan menyelamatkan diri melalui
terowongan-terowongan yang dibuat di sekitar hutan kecil di
belakang kedatuan.
Di saat yang bersamaan, seiring dengan meredupnya sinar
matahari di ufuk barat, dua pedang Tunggasamudra masih
bergerak bagai kilat menyerang Panglima Tambu Karen.
Jelas ini adalah pertempuran yang berat bagi Panglima
Tambu Karen. Konsentrasinya tak bisa seutuhnya di sini.
Beberapa kali ia menoleh untuk melihat keadaan bentengnya.
Di antara semburat langit yang berwarna oranye, masih
bisa dilihatnya asap di beberapa titik di bentengnya.
Itu tentu saja membuatnya sangat marah. Ia menggeram
sambil berusaha mengeluarkan jurus-jurus terhebatnya untuk
menghabisi Tunggasamudra. Namun, selalu saja
Tunggasamudra berhasil menghindarinya dengan jurus-jurus
Pedang Membelah Gunung.
Sungguh, ini sama sekali tak pernah disangka oleh
Panglima Tambu Karen. Ia tak pernah menyangka bahwa
Sriwijaya akan memiliki pendekar sehebat ini. Selama ini ia
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
terus mengira bila hanya Wantra Santra yang perlu
diwaspadai. Ialah sosok yang paling besar kemungkinannya
menghancurkan ambisinya bebas dari Sriwijaya. Maka itulah,
sejak dulu, ia telah berusaha mencoba menciptakan benih
kecurigaan pada Panglima Samudra Jara Sinya, yang telah
diperkirakan akan menjadi panglima terpenting di Sriwijaya.
Satu pesanku kepadamu, Jara. Perhatikan baik-baik...
Wantra Santra ....
Perhatikan ia baik-baik....
Sejak hari itu, ia hanya perlu menunggu waktu sampai
pengikraran lepasnya Minanga Tamwa dari Sriwijaya. Ia bisa
menduga saat itulah Panglima Samudra Jara Sinya pasti akan
merasakan ketidakberesan pada laporan-laporan kelompok
Wangseya tentang Minanga Tamwa dan Muara Jambi kepada
Kedatuan Sriwijaya selama ini. Bila demikian, ia yakin,
kecurigaan itu akan muncul pada satu tokoh saja: Wantra
Santra. Dan, dugaan itu ternyata benar. Berita dibunuhnya Wantra
Santra oleh Panglima Samudra Jara Sinya benar-benar
membuat dirinya semakin yakin pada strategi-strateginya. Bila Wantra Santra sudah tak ada dan kemudian peperangan
terbuka harus terjadi, ia masih yakin mampu untuk
membunuh Panglima Jara Sinya dan Panglima Cangga Tayu.
Ia yakin sekali itu. Namun ia benar-benar tak menyangka
bila muncul sosok lain yang mampu membuat dirinya tak
berkutik! Sungguh, ini benar-benar di luar dugaannya.
Asap yang semakin mengepul hitam mengotori langit
membuat konsentrasi Panglima Tambu Karen semakin
terbelah. Ini membuat dirinya semakin terdesak hingga
beberapa kali benturan saja pada pedangnya langsung
membuat pedangnya patah menjadi dua!
Tunggasamudra seketika menghentikan gerakannya. Ia
tahu konsentrasi lawannya memang telah bercabang. Inilah
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
yang menguntungkan dirinya. Bila tidak, akan sangat sulit
tentunya menahan serangan-serangannya.
Tunggasamudra melepas satu ikatan pedang di
punggungnya yang tersisa dan dilemparkannya di depan
Panglima Tambu Karen.
"Pakailah itu!" ujar Tunggasamudra. Panglima Tambu Karen tak langsung bergerak. Sesaat ia kembali menoleh ke
arah bentengnya. Kali ini asap hitam telah dilihatnya menutupi hampir seluruh bentengnya, juga kobaran api yang menyala
sudah begitu tingginya.
Sungguh, ini membuatnya tertegun. Terlebih suara sorak-
sorai yang semula terus menggema, kini tak lagi terdengar
dengan keras ....
Diam-diam Panglima Tambu Karen mulai menduga apa
yang terjadi pada bentengnya. Maka, dengan gerakan cepat,
dicabutnya pedang yang menancap di depannya itu. Lalu,
dengan satu gerakan saja ia sudah kembali meluncur ke arah
Tunggasamudra. "HIIAAATH
Dan, pertarungan dilanjutkan ....
-ooo0dw0ooo- Menjelang dini hari, Benteng Minanga Tamwa berhasil
ditaklukkan. Panglima Samudrajara Sinya dan Panglima Bhumi
Cangga Tayu memasang panji merah Sriwijaya di puncak
benteng. Sorak-sorai kemenangan kembali bergaung seakan
tanpa henti. Dapunta Cahyadawasuna yang tampak kelelahan mencoba
mencari-cari Tunggasamudra. Terakhir ia memang melihat
Tunggasamudra merangsek memancing Panglima Tambu
Karen ke luar benteng, mendekati hutan. Namun, sejak itu, ia tak melihatnya lagi.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Saat ia dan beberapa prajurit berusaha mencari di tepi
hutan, mereka mendapati Panglima Tambu Karen telah mati
dalam posisi duduk dengan pedang menancap di dadanya.
Dapunta Cahyadawasuna mengenal pedang itu sebagai
salah satu pedang milik Tunggasamudra. Namun, pemuda itu
sama sekali tak tampak di situ.
Sampai lama Dapunta Cahyadawasuna mencari pemuda
itu, tetapi ia tetap tak menemukannya. Bahkan, di antara
ribuan tubuh-tubuhyang bergelimpangan tak bernyawa pun, ia
tetap tak mendapati tubuh pandaya-nya. Tunggasamudra ...
seperti telah hilang dari tanah ini ....
Dan, di tahun-tahun kemudian, perang ini kemudian
dilukiskan di pahatan batu-batu besar yang terpajang di satu sudut Minanga Tamwa.
Kejayaan bagi Sriwijaya
Kembali Minanga Tamwa berhasil direbut dari tangan
orang-orang yang tak bertanggung jawab, yang tak puas pada
kekuasaannya. Di sinilah kepala pengkhianat Tambu Karen tertanam,
untuk mengingatkan bagi penguasa Minanga Tamwa
selanjutnya agar tidak lagi melakukan kesalahan yang
sama. Bahwa segala pemberontakan terhadap Sri Maharaja
penguasa Sriwijaya akan membuat akhir seperti ini....
-ooo0dw0ooo- 36 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Bunga Kusang yang Terus
Melayang Cerita tentang bunga kusang yang telah mengalahkan
peperangan itu tak pernah benar-benar selesai diceritakan.
Tentu saja ceritanya semakin lama semakin berlebihan.
Namun, pada kenyataannya bunga kusang adalah bunga yang
indah. Ia akan lepas dengan sendirinya dari ranting ketika
mulai menua. Saat terlepas itulah, angin akan meniupnya
terbang... terbang ... dan terbang....
Di padang rumput tempat banyak tanaman bunga kusang
berada, siapa pun yang melihatnya akan terpesona. Andai
serbuknya tak memabukkan, orang akan terbuai untuk
berjalan di tengah tanaman itu. Membiarkan diri dikelilingi
oleh taburan bunga-bunga kusang yang berputar-putar
dimainkan angin. Terbang tak menentu, sekadar mengikuti
arah angin ....
Lalu, orang-orang yang merasa senang itu pun akan
mengumpamakan bunga itu sebagai bunga pembawa kabar
yang baik .... Seperti kabar yang datang kepada Sri Maharaja
Balaputradewa di sore itu. Kabar tentang peperangan
beberapa hari yang lalu.
"Hampir setengah laksa pasukan kita gugur," ujar Pu Chra Dayana.
"Setengah... laksa?" Sri Maharaja Balaputradewa berujar tak percaya.
Pu Chra Dayana mengangguk, "Namun, kita berhasil
menghancurkan seluruh pasukan Minanga Tamwa. Panglima
Tambu Karen pun berhasil kita bunuh. Kepalanya nanti akan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dipersembahkan Panglima Samudra Jara Sinya kepada Sri
Maharaja, beberapa hari berselang
Sri Maharaja Balaputradewa hanya mendesah pelan.
Setengah laksa... setengah laksa.... Sungguh, Sri Maharaja
Balaputradewa bisa membayangkan tumpukan mayat-mayat
yang ada saat itu ....
Dan, mau tak mau, hal ini membuat pikirannya seketika
kembali melayang pada peperangannya kala itu ....
Ia masih ingat dengan jelas ....
Teriakan-teriakan itu, kematian-kematian itu, dan kubangan
darah itu .... Mungkin lebih dari dua laksa pasukan gugur pada saat itu.
Sri Maharaja Balaputradewa menerawang.
Mungkin memang tak jauh berbeda keadaannya. Ya, tak
jauh berbeda ....
Akan tetapi, yang pasti hanya dalam waktu tak lama saja,
ia telah menyebabkan ribuan nyawa melayang"
-ooo0dw0ooo- Setahun setelah peperangan itu, tak ada lagi kejadian besar
yang terjadi di wilayah Sriwijaya. Berkat jasa-jasanya,
Panglima Samudra Jara Sinya kemudian ditunjuk menjadi
Panglima Utama Sriwijaya, yang membawahi Pasukan Bhumi
dan Pasukan Samudra seluruh Sriwijaya. Panglima Bhumi
Cangga Tayu sendiri kemudian ditunjuk sebagai penguasa
Datu Minanga Tamwa, sedang Dapunta Cahyadawasuna
menjadi penguasa Datu Muara Jambi.
Semuanya seakan kembali pada kehidupan tenang. Namun,
tidak bagi Dapunta Cahyadawasuna. Sejak hari itu, ia masih
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
saja tanpa henti mencari jejak kedua pandaya yang dulu
dipilihnya. Ia masih belum percaya bila kedua pandaya-nya telah
gugur. Terutama Tunggasamudra. Ia sama sekali tak
menemukan jenazah Tunggasamudra sehabis peperangan itu,
bahkan juga kedua pedang anehnya yang biasa
digunakannya. Maka itulah, ia terus meyakini pandaya-nya itu pastilah masih hidup. Kesimpulan inilah yang kemudian
membuatnya terus bertanya-tanya mengenai alasan akan
kepergian Tunggasamudra. '
Sedang mengenai Sangda Alin, ia memang sempat
mendengar kabar-kabar tak jelas tentang sosok jelita yang
masih terus dibayangkan kehadirannya di sisinya. Kabar yang
mengatakan bahwa ia telah dibunuh oleh pasukan Panglima
Samudrajara Sinya secara diam-diam. Namun, ia tak pernah
menemukan kejelasan akan berita itu!
Maka itulah, ia tak pernah benar-benar berhenti mencari.
Hingga suatu hari, di saat berjalan-jalan mengawasi tanahnya bersama beberapa anak buahnya, ia bertemu dengan seorang
pengemis buta yang tengah bercerita. Belasan anak-anak kecil mengelilinginya untuk mendengarkan ceritanya dengan
saksama. Dapunta Cahyadawasuna hampir saja berlalu begitu saja
melewati pengemis buta itu bila tak didengarnya sepotong
kalimat ini....
"Kalian tahu, perempuan jelita itu dilahirkan dengan wangi semerbak harum di tubuhnya," pengemis buta itu berujar
dengan nada dalam, membuat anak-anak di sekelilingnya
menatapnya tanpa henti.
"Dan, bila ia berjalan, kupu-kupu akan mengikuti dirinya, merubung dirinya.... Maka, tak heran perempuan itu dengan
mudah membuat kupu-kupu mau hinggap di tangannya
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tambah pengemis buta itu lagi sambil mengangkat tangannya,
seakan-akan seekor kupu-kupu juga hinggap di tangannya.
Dapunta Cahyadawasuna tertegun mendengar kalimat-
kalimat itu. Tanpa bisa ditahannya lagi ia menghentikan
langkahnya dan mulai memperhatikan pengemis buta itu.
Merasa diperhatikan, pengemis buta itu tiba-tiba
menghentikan ceritanya, ia menoleh ke arah di mana Dapunta
Cahyadawasuna berdiri, seakan-akan ia benar-benar dapat
melihat kehadiran orang itu.
Tentu saja, melihat pengemis buta itu menoleh, anak-anak
yang tengah mendengarkan cerita pengemis buta itu pun ikut
menoleh ke arah itu.
Dapunta Cahyadawasuna sedikit merasa bersalah,
"Maafkan aku bila mengganggumu. Namun, teruskan saja
ceritamu!" ujarnya. "Aku tadi hanya merasa mengenal ceritamu ...."
Lelaki buta itu terdiam, sedikit ia menolehkan wajahnya


Dendam Dan Prahara Di Bhumi Sriwijaya Karya Yudhi Herwibowo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mencoba mendengar suara itu lebih jelas.
"Kau ... mengenal perempuan seperti itu?" tanya pengemis buta itu dengan suara ragu.
"Ya," jawab Dapunta Cahyadawasuna. "Dulu, aku pernah mengenal perempuan seperti yang kauceritakan itu. Ia jelita
dan tubuhnya mengeluarkan wangi harum ...."
Pengemis buta itu kembali terdiam sesaat, tampak berpikir.
"Si... apa kau?" tanyanya kemudian.
"Aku Cahyadawasuna, yang kebetulan memimpin datu ini
Mendengar jawaban itu, pengemis itu terperangah.
Wajahnya jelas sekali menampakkan keterkejutan. Namun,
hanya sebentar saja begitu. Sesaat berselang, ia tiba-tiba
tertawa. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Hahaha ... tak ada yang benar-benar mengenalnya
ujarnya sambil berusaha bangkit berdiri. "Ya, tak ada yang benar-benar mengenalnya, termasuk dirimu Pengemis itu
kemudian melangkah perlahan mendekati Dapunta
Cahyadawasuna. Ketika i.i lelah begitu dekat dengan Dapunta
Cahyadawasuna ia mencondongkan kepalanya dengan
gerakan perlahan, "Sungguh, tak ada yang benar-benar
mengenalnya tak ada yang benar-benar mengenalnya ...
selain ... diriku ... diriku
Lalu, bersamaan dengan jatuhnya sinar matahari dan
munculnya ribuan walet di atas kepala, pengemis itu tertawa
dengan keras sambil terus melangkah pergi dari tanah itu ....
-ooo0dw0ooo- Jauh dari tempat itu, di sebuah pulau karang yang tampak
semakin sepi, Aulan Rema terbelalak tak percaya. Sebuah
kalung kerang yang begitu dikenalnya tiba-tiba sudah ada di
depan pintu rumahnya.
Tangannya bergetar meraih kalung itu. Ia tak mungkin lupa
pada kalung yang dulu diberikannya kepada Kara Baday. Ia
tak mungkin lupa ....
Ini kalung yang Kakak berikan waktu itu .... Hari ini aku
menganggapnya Kakak belum memberikannya kepadaku.
Hingga nanti di kepulangan Kakak selanjutnya, bawakan lagi
kalung ini kepadaku....
Lalu mengapa kalung ini tiba-tiba ada di sini"
Aulan Rema segera tersadar. Sambil menyeka air matanya,
segera ia berlari ke arah pantai. Di sana di tepi pantai seorang lelaki berambut panjang terurai, dengan pakaian berwarna
abu-abu seperti yang biasa dipakai biksu-biksu Buddha,
tampak hendak mendorong perahunya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Tunggu!" Aulan Rema berteriak.
Ia beriari mendekat, "Kaukah ... kaukah yang membawa
ini?" Sesaat lelaki yang bukan lain adalah Tunggasamudra,
hanya bisa terdiam tak berucap. Dengan gerakan ragu, ia
hanya bisa mengangguk perlahan.
Kedua mata Aulan Rema seketika berkaca-kaca. Sinar
matahari pagi yang menimpa wajahnya membuat tetesan air
yang keluar dari matanya bagai sebuah kristal yang begitu
bercahaya. Aulan Rema menyeka wajahnya dengan punggung
tangannya. "Jadi suara Aulan Rema terdengar tercekat, "ia ...
tak akan ... kembali lagi?"
Tunggasamudra terdiam. Sungguh, sebenarnya ia tak ingin
menjumpai gadis ini. Ia bisa membayangkan kesedihan seperti
apa yang akan hadir di depannya. Dan, ia memilih untuk tidak melihatnya.
Maka itulah, ia datang dalam keheningan. Tak banyak
penduduk yang mengetahui kehadirannya. Ia hanya perlu
bertanya kepada seorang bocah yang tengah berlari-lari, "Di sinikah tempat Kara Baday menetap?"
Dan, ketika bocah itu mengangguk, ia kembali bertanya,
"Lalu, siapa gadis yang selalu dijumpainya?"
Bocah itu pun tersenyum lebar. "Ia pasti Ayuk Aulan
Rema," ujarnya. "Rumahnya di sana!" ia menunjuk.
Maka itulah, kemudian ia bisa meletakkan kalung itu di
depan rumah gadis ini....
"Jadi, ia tak akan kembali lagi?" tanya Aulan Rema lagi, dengan nada lebih jelas. "Jawablah saja! Aku... sudah begitu lama menunggunya.... Aku sudah mempersiapkan
kemungkinan terburuk
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Perlahan Tunggasamudra mengangguk, "Ya, Kara Baday
memang telah gugur," tambahnya. "Juga... seluruh anak buahnya
Dan, Aulan Rema pun hanya bisa mengatupkan bibirnya
kuat-kuat. Air matanya kembali menetes.
Tunggasamudra mendekat beberapa langkah. "Maafkan
aku," ujarnya sambil membungkuk, "mungkin, aku terlalu lama datang sehingga...."
Aulan Rema menggeleng cepat. "Tidak, tidak," ujarnya memotong. "Kau sama sekali tak terlambat ... sama sekali tidak...."
Aulan Rema mencoba tersenyum, tetapi tetaplah kepiluan
yang tampak di situ. "Aku bahkan berharap," tambahnya,
"engkau ... begitu.terlambat datang, sangat terlambat ...
sehingga aku bisa lebih lama lagi... berharap Kakak Kara
Baday akan datang
Tunggasamudra terdiam. Ia benar-benar tak tahu lagi
harus melakukan apa. Keadaan ini sama seperti kala itu, kala pertarungannya dengan Panglima Tambu Karen di tepi hutan
itu. Pertarungan telah berlangsung begitu lama saat itu. Ia tak juga berhasil membunuh sang panglima, walau konsentrasi
panglima itu telah bercabang sekalipun. Entahlah, sepertinya satu sisinya tetap merasa tak yakin untuk menusukkan
pedangnya di tubuh panglima itu. Maka itulah, ia hanya
berusaha menghalau saja, saat panglima itu berkali-kali
berusaha melarikan diri darinya untuk kembali ke bentengnya.
Api di kejauhan memang telah begitu terlihat membara
membakar malam. Dan, sorak-sorai seakan menenggelamkan
pekikan-pekikan kematian yang sebelumnya terdengar. Saat
itulah, secara tiba-tiba Panglima Tambu Karen menghentikan
gerakannya. Ia memandang ke arah benteng dengan ekspresi
yang begitu sulit dilukiskan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dan, ketika kembali suara sorak-sorai itu semakin bergaung
dengan begitu kerasnya, ia pun terpuruk.
"Aku ... kalah desisnya dengan wajah pucat. Ya, semua
yang telah direncanakannya begitu panjang sejak dulu seakan
sirna saat itu ....
"Aku... kalahaku... kalahdengan tatapan kosong ia terus berkata-kata dengan suara tak jelas. Dan, tiba-tiba Panglima Tambu Karen sudah tertawa panjang. Sungguh, sebuah tawa
yang terdengar begitu menyayat. Dan, tanpa diduga lagi,
dengan pedang milik Tunggasamudra yang masih
dipegangnya, ia kemudian menusuk jantungnya sendiri....
Tunggasamudra hanya bisa terpaku ketika itu. Sungguh,
keadaannya begitu sama seperti sekarang. Ia hanya bisa diam
dan memandangi Aulan Rema yang tertunduk dan menangis
tanpa henti ....
Dan, matahari pun terus bergerak. Sinarnya mulai muncul
menerobos celah-celah karang.
Untuk beberapa lama Tunggasamudra masih saja terpaku
di hadapan Aulan Rema. Ia tak beranjak sedikit pun, seakan
hatinya bisa merasakan kesedihan itu.
Akan tetapi.... bukankah pada akhirnya ia harus tetap
melangkah pergi"
Dan, Tunggasamudra memberi waktu lagi sejenak untuk
terdiam. Dipejamkannya matanya kuat-kuat. Lalu bersamaan
gejolak pikirannya yang tak menentu, dibiarkannya senyum
Biksu Wang Hou, gurunya, muncul di situ, juga suaranya yang
bergema pelan di hatinya. Suara yang selalu saja membuatnya
merasa begitu damai....
Nanti pada akhirnya kau akan menemukanjalanyang
membuatmu paling merasa nyaman ...,jalan yang paling
membuatmu begitu lentera, hingga kau tak lagi ingin
berpaling.... Ikuti jalan itu ikuti....
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sadhu ... sadhu ... sadhu ....
-ooo0dw0ooo- Epilog Kamulan Bumisambhara
Candi dengan Lima Ratus Empat Arca Buddha
la menjadi tempat keheningan di tengah berabad-abad
kebisingan yang dciptakan manusia pengejar kefanaan
dan di situlah manusia akan menemukan kedalaman cinta
yang bermakna kebebasan.
Sri Maharatu Pramodawardhani terdiam bisu.
Berita itu baru saja didengarnya. Seorang pu dari
pemerintahan Sriwijaya di Telaga Batu baru saja mengabarkan
berita wafatnya paman tercinta, Balaputradewa.
Ini begitu mengejutkan dirinya. Sesaat napasnya seakan
berhenti. Namun, ia berusaha tegar. Dilangkahkan kakinya
dengan gemetar menuju jendela besar di ujung ruangannya.
Kini di depannya, dengan latar langit bersemburat merah,
di mana di sebelah timur terdapat Gunung Merbabu dan
Merapi, di sebelah barat laut Bukit Menoreh, dan di sebelah
utara Gunung Tclomoyo, telah terhampar megah Kamulan
Bhumuambhara, candi dengan 504 arca Buddha, tempat yang
akan dijadikannya sebagai siddhayatra atau tempat untuk
mencapai kesempurnaan Buddha.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dulu ketika candi ini mulai dibangun, semenjak
pemerintahan ayahnya, Samaratungga, Paman Balaputradewa
masih kerap ada di sisinya menemaninya di ruangan ini.
Waktu itu usianya baru belasan tahun dan ia kerap menguping
pembicaraan antara pamannya dengan Gunadarma,
perancang candi itu.
"Satu saat, seperti Ayahanda, aku ingin berada dalam
puncak keabadian..."ujarnya ketika itu.
Dan, ucapan itu akan disambut oleh tawa dari pamannya.
"Tentu saja," ujarnya. "Dan, aku nanti yang akan menjagamu di sini
Sri Maharatu Pramodawardhani terdiam. Kembali
dipandanginya Kamulan Bhumisambhara lekat-lekat. Ia tak
bisa memungkiri keindahannya. Sudah ratusan kali ia menatap
candi-candi di depannya itu dan selalu saja mendapati hatinya gemetar. Bahkan, ketika candi ini masih setengah jadi
sekalipun, di mana bongkahan-bongkahan batu masih tampak
berceceran. Sungguh, ia sepertinya sudah bisa merasakan
pertaliannya dengan tempat ini.
Apalagi sekarang ini, ketika candi ini telah begitu sempurna di matanya. Dulu, saat ia meresmikannya, Paman
Balaputradewa masih sempat mengiriminya sebait sajak yang
dibuatnya sendiri....
dan bila waktu itu akhirnya datang
langkahmu mulai menepi
untuk melakukan siddhayatra
biarkan aku yang akan menjaga dirimu
Sungguh, sajak itu begitu berarti bagi Sri Maharatu
Pramodawardhani. Sekian lama ia tak mendengar kabar dari
pamannya secara langsung. Dan, di antara dugaan-dugaan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
para penasihatnya tentang kemungkinan adanya serangan
dari Telaga Batu, sajak itu datang, bagai sebuah tetesan air di padang yang gersang.
Itulah yang kemudian membuat Sri Maharatu Pramo-
dhawardhani begitu merindukan pamannya hingga akhirnya ia
memutuskan untuk membuatkan empat buah arca ber-bentuk
sosok pamannya, untuk menjaga Kamulan Bhumisambhara di
empat penjuru mata anginnya ....
. Dan, berabad-abad kemudian, candi dengan 504 arca
Buddha itu dikenal dengan nama Borobudur. Namun, tak
pernah ada yang menemukan arca yang menjaga keempat
penjurunya ....
Tak pernah ada ... tak pernah ada ....
-ooo0dw0ooo- Solo, April 2009
-ooo0dw0ooo- Sumber-Sumber Asnan, Gusti, Dunia Maritim Pantai Barat Sumatera,
Ombak, 2007. Buddhadasa, Bhikkhu, Pesan-pesan Kebenaran,
Yayasan Penerbit
Karaniya. 2005. Firdaus, Haris, Misteri-misteri Terbesar
Indonesia, BukuKatta, 2008. Intisari, Etnik Tionghoa di
Indonesia, 2006.
Lapian, Adrian B., Pelayaran dan Perniagaan Nusantara,
Komunitas Bambu, 2008.
Majalah Tempo, Selingan: Peradaban Budha di Tepi
Batanghari, 3 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Desember 2006. Majalah Tempo, Selingan : Kerajaan di
Tepian Batanghari, 27 Januari 2008.
Marsden, William, Sejarah Sumatra, Komunitas Bambu,
2008. Mujjana, Prof. Dr. Slamet, Sriwijaya. LKIS, 2005.
Simpkins, C. Alexander, Ph.D, Simple Buddhism, Buana Ilmu
Populer, 2000. Vlekke, Bernard H.M., Nusantara: Sejarah Indonesia, KPG
dan Freedom Institute, 2008.
Tentang Penulis
YUDHI HERWIBOWO, atau Hikozza atau Yudhi H., adalah
penulis serbabisa yang karya-karyanya telah tersebar di manamana. Novel-novelnya antara lain Lagu Senja, Ada Aya, Ada
Tari, Ada Nidia, Setelah Katakan Cinta, Basketball Team in
Action, Me vs. VespaBoy, Seven Samurai, Menuju Rumah
Cinta-Mu, Lama Fa, Ekspedisi Bukit Kaja, Asoi Geboi Bohai,
Samurai Cahaya (Hikari No Tsurugi), Kuch Kuch Lebai Hai, dan Perjalanan Menuju Cahaya. Salah satu novelnya, Menuju
Rumah Cintamu bahkan telah diterjemahkan ke dalam bahasa
Malaya dan diedarkan di Malaysia, Singapura, Brunai
Darusalam dan Thailand. Selain fiksi, Yudhi juga menulis
beberapa buku nonf iksi seperti Mengenal Adobe PageMaker
7, Coreldraw 11 Exercises, Segala yang Gratis dari Internet, Internet for Kids, 42 Contoh Desa/n CorelDraw 12,10 Kisah
Penulis Dunia, dan YouTube, Success Story. Beberapa
karyanya yang akan terbit adalah Asoi Geboi Bohai Vol. 2,
Kisah 2 Bintang Jatuh (Futatsu No Nagareboshi), Untung
Surapati dan Kofa (kumpulan cerita).
-ooo0dw0ooo- Pendekar Sadis 13 Asmara Berdarah karya Kho Ping Hoo Pendekar Super Sakti 15
^