Memburu Manusia Harimau 5
Memburu Manusia Harimau Seri Manusia Harimau Karya S B Chandra Bagian 5
Sabrina mengaku datang dari Surabaya karena mendengar dari seorang sahabatnya, bahwa di Lubuklinggau ada seorang yang amat pintar dengan ilmu sihir yang amat tinggi. Telah banyak bantuan dipinta dari berbagai dukun, tetapi tak ada seorang pun yang berhasil.
Pak Mayor yang baik hati menyatakan suka menolong kalau ia dapat. Lalu diceritakannya tentang Raden Sulaiman yang telah banyak membantu orang-orang yang dalam kesulitan atau sakit keras oleh perbuatan orang-orang yang jahil, la menerangkan kemampuan Raden Sulaiman setelah Sabrina menceritakan, bahwa ayahnya tewas oleh terkaman seekor harimau piaraan. Dalang dari kejahatan itu tak lain daripada seorang sahabatnya sendiri yang merasa sangat terpukul dalam bersaing dagang.
Setelah bercerita panjang dan Pak Mayor percaya, bahwa Sabrina menceritakan yang sebenarnya, maka dibawanyalah wanita itu ke rumah Raden Sulaiman.
Kepada Raden Sulaiman, dihadiri oleh Mayor Buang, diceritakan oleh Sabrina bahwa dukun yang dipakai oleh saingan dagang almarhum ayahnya masih muda, bernama Erwin. Orang itulah yang mempunyai harimau, bukan hanya satu tetapi menurut
pendengarannya sampai tiga ekor dan semua menurut segala
perintahnya. Pak Mayor lantas yakin bahwa yang membunuh
Maribun tentulah harimau piaraan Erwin. Patutlah dia bisa bicara begitu banyak tentang harimau. Betapa liciknya orang itu dengan permainan sandiwaranya. Tentulah dia yang membuat air di dalam mangkuk putih Raden Sulaiman jadi hitam dan yang kedua kalinya jadi merah darah.
Raden Sulaiman yang juga serta merta percaya kepada Sabrina karena Pak Mayor juga tidak ragu-ragu kepadanya, langsung saja menceritakan apa yang telah dialaminya, la berharap, Sabrina akan bercerita lebih banyak tentang Erwin. Siapa tahu dia akan mengetahui di mana letak kelemahan orang muda itu, supaya mudah ia merobohkannya.
Dan Sabrina dengan meyakinkan menceritakan bahwa Erwin
memang punya segudang ilmu, tetapi takkan mampu melawan
Raden Sulaiman yang ketenaran namanya sudah sampai ke Jakarta, bahkan hingga ke Surabaya yang letaknya di Jawa Timur sana.
Kalau tidak betul-betul hebat, tak kan dukun besar di Lubuklinggau saja sampai dikenal di Jawa. Kebanyakan orang di Jawa apa lagi di pulau lain, di luar Sumatera, bahkan tidak tahu di mana letaknya tempat yang menyandang nama Lubuklinggau itu. Pak Raden jadi semakin bangga pada dirinya dan kalau diperhatikan baik-baik akan kelihatan bahwa lubang hidungnya agak mengembang. Rupanya Sabrina bukan hanya wanita keturunan harimau jadi-jadian yang senang darah bayi, tetapi juga seorang yang amat licik dalam bertanya dan berbicara.
Baik Mayor Polisi Buang maupun penyihir Raden Sulaiman
merasa, seolah-olah kedatangan Sabrina ke Lubuklinggau atas suruhan kekuatan gaib pula untuk membantu pihak penegak hukum dan penyihir dalam menegakkan keadilan. Yang seorang sesuai dengan tugasnya, yang lain untuk membalas dendam atas
kematian muridnya.
Semua keterangan yang didapat Raden Sulaiman dari Sabrina membuat dia mengurungkan pukulan atas diri musuh yang sudah
jelas baginya sampai pada keesokan malamnya supaya ia dapat mengadakan persiapan yang lebih baik.
Pada keesokan harinya Erwin sudah mengetahui dari Ki Ampuh bahwa penentuan nasib akan jatuh pada malam itu.
"Tetapi aku punya satu permintaan Erwin dan kuharap kau mengabulkannya. Dari jauh aku datang untuk menyampaikan
permintaan ini," kata Ki Ampuh. Erwin terharu sekali mendengar apa yang dipinta Ki Ampuh, dan ia menyetujui setelah mengatakan bahwa rencananya itu dihadang risiko yang cukup besar dan berbahaya.
Sama halnya dengan apa yang pernah diucapkan oleh Datuk,
maka Ki Ampuh pun berkata, bahwa kalau ada yang harus tewas, baiklah dia yang tewas, karena dia hanya seorang manusia kutukan, sementara kelanjutan hidup Erwin masih akan banyak gunanya bagi orang-orang yang membutuhkan pertolongannya.
Pada petang hari Sabrina sendiri datang ke tempat Erwin yang oleh Kapten Kahar dan Ibunya telah diminta untuk tinggal kembali bersama mereka menjelang keberangkatan. Dalam kunjungan itu Sabrina mengenakan pakaian nasional, sehelai baju Kebaya yang harmonis dengan kain panjangnya ha sil batik tulis dari Jogya dengan sanggul yang terletak santai di atas kuduk.
Pada saat bertemu kembali itu, kenangan indah yang pernah ada membuat Erwin serta merta terpesona, la tak kuasa menahan pujian, "Kau cantik sekali Sab. Lebih cantik dari biasa!" Wanita itu tersenyum, senang, walaupun ia pernah sangat membenci.
Erwin merasa malu, ketika Sabrina menjawab, "Bagaimanapun aku tetap si Sabrina yang malang. Bang Erwin. Yang benar-benar beruntung adalah Abang. Kudengar digilai oleh beberapa wanita di daerah Palembang ini, termasuk seorang yang keturunan
Tionghoa."
"Entahlah Sab, aku tak tahu apakah itu suatu keberuntungan.
Yang jelas aku seperti orang buruan!"
"Risiko lelaki yang digilai banyak wanita," kata Sabrina.
Mereka menceritakan pengalaman masing-masing. Diatur
rencana untuk malam itu tetapi memerlukan bantuan Kapten Polisi Kahar Nasution.
Sesuai mufakat. Pak Mayor diundang makan malam di rumah
Kahar. Semacam syukuran atas kesembuhan Dinar.
Tatkala Erwin memperkenalkan Sabrina kepada Kahar dan
adiknya, mereka pun sangat memuji kecakepan Sabrina, walaupun tidak diucapkan dengan kata-kata. Dinar yang menaruh hati pada Erwin langsung saja menganggap pendatang ini tentu saingannya.
Jauh-jauh dari Jawa ke Lubuklinggau sekedar mencari seorang Erwin.
0odwo0 Sebelum memenuhi undangan makan. Mayor Polisi Buang
terlebih dulu mengatur rencana kerja dengan Raden Sulaiman, la juga mengatur siasat dengan mempergunakan sejumlah anggota Polisi. Mengepung rumah Kahar kembali guna bertindak kalau perlu.
Si harimau akan datang ke situ dan bila tampak harus segera ditangkap hidup. Hanya ditembak kalau ia memberi perlawanan, itu pun jangan tembak mati. Tidak diceritakannya tentang Raden Sulaiman yang akan bekerja dari rumahnya pada saat yang sama.
0odwo0 TIGAPULUH MAYOR Polisi Buang memasuki rumah Kapten Kahar Nasution
dengan wajah ceria, seolah-olah bukan dia yang belum lama berselang menaruh kecurigaan besar atas rekan yang setingkat di bawah pangkatnya itu. Sang Kapten juga menyambutnya dengan gembira, walaupun ia bertanya pada dirinya apakah yang
menyebabkan Pak Mayor ini jadi begitu senang.
Sebagai basa basi Kahar langsung saja berkata, "Saya senang melihat Pak Mayor sangat girang. Tentu ada sebabnya. Tetapi aku tidak bertanya, kalau hal itu merupakan rahasia!"
"Tidak ada rahasia apa-apa. Hidup kan memang diselang-seling oleh tawa dan air mata," sahut Pak Mayor.
"Filsafat hidup yang baik sekali, kalau air mata bisa merubah keadaan yang menyebabkan deraian-nya.
Mayor Polisi Buang tidak menanggapi, walaupun di dalam hati ia mengakui kebenaran kata-kata Kahar.
"Aku berharap malam ini kita akan bebas dari misteri yang belum berjawab itu."
"Apakah itu suatu misteri Pak Mayor?" tanya Kahar.
"Bagiku, ya. Tetapi malam ini akan kita pecahkan. Sang pembunuh akan kita tangkap atau binasakan!"
"Harimau yang berjalan atas dua kaki itu?"
"Atas dua dan empat kaki," kata Mayor Buang menyempurnakan.
"Sudah dapat cara menangkap atau membunuhnya?"
"Tentu saja. Di dunia ini tidak ada manusia yang begitu pandainya, sehingga tidak ada lagi orang lain yang mengatasinya.
Dan orang yang mengalahkannya itu pasti masih dapat pula
dikalahkan oleh orang lain. Jadi, di dunia tidak ada yang tak terkalahkan!"
"Lagi sebuah pandangan dan pegangan yang amat tinggi nilainya."
Pak Mayor senang mendengar sanjungan Kapten Polisi Kahar. Dia pun merasa dirinya pandai dan hebat.
"Rupanya pembunuh Pak Maribun itu pengembara yang sudah berkelana sampai ke Jawa."
"Dari mana Pak Mayor ketahui?"
"Itu masih rahasia. Orang benar selalu akan menang."
"Kadang-kadang," kata Kapten Kahar melemahkan pendapat atasannya.
"Mengapa kadang-kadang?"
"Ada orang yang merasa dirinya benar, tetapi sebenarnya tidak benar. Ada orang yang memang benar, tetapi dia kalah juga.
Banyak pepatah indah sudah tidak berlaku lagi sekarang!"
"Mengapa begitu?" tanya Mayor Polisi Buang yang yakin bahwa pada malam itu ia pasti akan menang.
"Karena pepatah-pepatah itu buatan orang zaman dulu, yang dalam banyak hal lain dari kita yang hidup di zaman ini. Kita umpamanya, kita penegak kebenaran. Coba kita bicara jujur.
Apakah selalu yang benar keluar sebagai yang menang" Apakah bukan yang kuat yang selalu keluar sebagai pemenang" Coba jawab dengan jujur, berdasar kenyataan di sekitar kita. Tanpa mendustai diri sendiri karena seperti sudah membudaya, bahwa dalam banyak hal, dusta, tipu, curi dan rampok bukan apa-apa!"
Mayor Polisi Buang memandangi bawahannya yang diakui telah berkata benar. Banyak sekali peristiwa yang bukan hanya
menyentuh, tetapi bahkan menerjang perasaan keadilan dan
kebenaran. Meskipun percakapan mengenai kebenaran dan keadilan yang
belum kunjung tegak itu sangat menarik, tetapi Pak Mayor tidak lupa, bahwa dia ada pekerjaan yang jauh lebih bermakna daripada sekedar ngomong-ngomong mengenai hal yang masih merupakan mimpi belaka, la ingin sekali mengetahui, dengan cara yang manakah harimau itu akan tertangkap atau terbunuh. Melalui Raden Sulaiman atau oleh anak buahnya yang melakukan pengepungan dengan senjata api.
Ketika tak kurang dari Dinar sendiri yang kemudian keluar mengatakan bahwa santap sederhana telah tersedia, mereka mulai makan. Jangan dikira bahwa hanya Mayor Polisi Buang yang makan
dengan pikiran bercabang! Kapten Kahar sendiri pun tertanya-tanya apakah gerangan yang sedang terjadi dengan Erwin. Lalu dengan Sabrina yang cantik itu. Kapten yang cukup ganteng dan belum punya istri itu tertarik oleh pertemuan pertama. Dan wanita cakep dari Sungai Penuh itu bukan pula hanya dikhayalkan oleh seorang Kapten Polisi, tetapi juga oleh Pak Mayor yang ditinggal mati istrinya beberapa tahun yang lalu tanpa anak. la tadi melihat sesuatu yang lain pada wajah wanita, suatu kelainan menyenangkan yang jarang tersua pada wajah wanita lain. Atau barangkali sama sekali tidak ada pada wanita lain mana pun. Kalau dia berjasa menangkap Erwin yang menurut Sabrina telah membinasakan ayahnya, dia akan punya peluang yang besar sekali untuk disenangi oleh Sabrina.
Wanita itu tentu sakit hati pada Erwin yang diketahuinya telah menjahili ayahnya tetapi tidak dapat dilaporkan kepada Polisi karena caranya membunuh tidak meninggalkan bukti. Tetapi kalau harimau piaraan Erwin dapat ditangkap lalu kekuatan sihir Raden Sulaiman dapat memaksa dia untuk berkata benar, maka dukun muda yang pandai bersandiwara itu tentu terpaksa mengakui bahwa harimau itu memang miliknya dan bahwa harimau piaraannya pulalah yang telah membunuh Maribun.
Semua akan berjalan lancar kalau di dunia ini ada satu kekuatan hendak menangkap atau membinasakan pihak lain, lalu pihak yang akan dilumpuhkan itu pun pasrah saja pada nasib. Tetapi yang jadi kenyataan sama sekali tidak begitu. Pihak yang akan ditangkap atau ditewaskan juga mempersiapkan diri untuk mengelak atau bahkan melawan.
Mendadak terdengar suara harimau mengaum. Mayor Polisi
Buang tersentak seperti disengat kalajengking. Suara itu sangat dekat. Kapten Polisi Kahar tak meneruskan suap yang sedang menuju mulut, la memandang sang Mayor yang juga sedang
melihat ke arah dirinya. Mayor mengangguk ditiru oleh Kapten.
Kedua-duanya menggerakkan bibir dengan gaya yang sama.
Tandanya berpikir sama dan dibahasakan melalui pandang dan gerak bibir. Tanpa kata. Dinar dan Ibunya memandang kedua laki-laki itu tanpa memberi komentar.
Kemudian mereka meneruskan makan. Tidak selezat semula.
Terutama bagi Mayor Polisi Buang. Harimau itu begitu dekat. Tak kan salah lagi, tentu inilah binatangnya yang menyerang dan membunuh Maribun. Yang meletakkan mayatnya di hadapan pagar pekarangan Buang, agaknya si Erwin yang sangat pandai
bersandiwara itu. Tetapi siapa pun yang punya harimau dan siapa-siapa pula yang ikut bersekongkol, semuanya pasti akan digulung oleh Raden Sulaiman. Tak kan ada yang melebihi Raden Sulaiman di kota Lubuklinggau, begitu pikirnya.
Mayor Polisi Buang telah berpesan kepada anak buahnya yang melakukan pengepungan agar benar-benar pasang mata. Jangan sampai kedatangan atau keberadaan harimau piaraan itu tidak kelihatan. Dia pun menjanjikan hadiah lumayan kepada mereka kalau harimau itu sampai tertangkap. Penduduk pasti senang dan memuji polisinya yang memang punya tugas untuk keamanan dan ketertiban. Kini keberhasilan itu jadi kian mutlak, sebab ada faktor lain yang harus dipenuhi. Tuntutan Sabrina dan tertariknya Pak Mayor Polisi Buang kepadanya.
Sekali lagi harimau itu mengaum. Lebih kuat dari tadi dan terdengar lebih dekat. Kini jantung Buang agak berdebar. Ada sesuatu yang mengganggu keyakinan dan kegirangannya, la melihat ke sekeliling dengan gaya seperti tidak sengaja dan tidak ada kaitan dengan auman harimau itu. la memuji keindahan gambar-gambar penghias dinding. Kalau harimau itu benar-benar sangat dekat dan punya ilmu perabun seperti diceritakan Erwin, maka itu tentu tidak kelihatan. Perasaannya kian tidak enak oleh khayalannya sendiri.
Kalau sang harimau sebenarnya sudah duduk di belakangnya, kemudian mencekik dia sebagaimana ia mencekik Maribun, maka ia akan tewas di meja makan itu. Hii, betapa buruk dan ngerinya.
Disiksa oleh pikirannya sendiri, Mayor Polisi Buang tidak menambah nasi, walaupun semula semua lauk sangat enak, sesuai benar dengan tuntutan lidahnya. Kini semua jadi tidak sedap lagi. Dari teramat enak ke sama sekali tidak enak, hanya dipisahkan oleh khayalan seseorang. Dalam hal begitu, betapa jahatnya berkhayal.
Celakanya, kalau hati sudah takut, maka khayalan yang menakutkan
pun tak dapat ditolak.
"Sedikit sekali makannya Pak," kata Kapten Polisi Kahar. "Kurang enak masakannya?"
"Oh tidak, tidak," buru-buru Buang menjawab, "semuanya sangat enak. Habis dari sini nanti, masih ada satu undangan yang perlu dipenuhi. Supaya jangan mereka sampai berpikir bahwa saya sombong. Untuk itu saya mesti menyediakan tempat sedikjt," kata Buang dengan tawa yang kentara sangat dipaksakan. Tetapi
lumayanlah. Masih dapat dia berdalih. Kalau lidah seakan beku sehingga tak dapat berkata lagi, itu baru betul-betul parah.
Raden Sulaiman yang hendak memperlihatkan, bahwa tiada
manusia melebihi ilmu sihirnya di Lubuklinggau dan merasa wajib membalaskan kemati-an muridnya Maribun, mengerahkan seluruh kepandaiannya. Patung-patung dari kayu dan batu yang mewakili dewa-dewa yang turut jadi sumber kekuatannya dimandikan dengan air tujuh macam bunga dan tujuh warna benang. Asap kemenyan putih yang pernah ditanam tujuh kali tujuh malam di bumi
pekuburan non Islam menggantung di dalam ruangan kerjanya yang tidak terlalu besar. Dengan penuh hormat dan khidmat ia
menyembah patung-patung yang dipertuannya itu, mohon kekuatan yang dapat mengalahkan segala kekuatan yang mungkin dimiliki oleh seorang anak manusia.
Selesai melakukan upacara sembah. Raden Sulaiman
menghadapi sebuah boneka dari kain-kain perca buatan sendiri, sangat sederhana. Baginya boneka ini tak lain dari orang yang akan jadi sasarannya. Erwin, si pendatang yang tak tahu diri dengan membawa harimaunya, la tak dapat dikenakan hukuman karena tak dapat dibuktikan bahwa ia melanggar hukum.
Selesai menghadapi boneka kain yang dipegangnya dengan
kedua belah tangan di hadapan mukanya, ia meludahi sang boneka lalu melemparkannya ke atas untuk kemudian jatuh kembali di atas tikar tempatnya bekerja.
Kalau kita melihat Erwin di kamarnya, akan tampak bahwa ia
mengaduh lalu mengerang-ngerang di lantai. Badannya sama sekali tidak terangkat, tetapi ia merasa seperti dibanting dengan seluruh kekuatan. Kira-kira seperti dibanting gajah yang murka atas penduduk, karena hutannya dibabati sehingga ia tak punya
makanan lagi. Datuk yang duduk di luar kamar karena tidak dibenarkan masuk, kalau Erwin sedang bekerja, tidak mengetahui apa yang sedang terjadi atas diri sahabatnya yang manusia harimau itu, tetapi seakan-akan tanpa sebab, pikirannya jadi kacau. Seolah-olah terjadi sesuatu atas diri sahabatnya.
Erwin yang sudah tahu dengan siapa ia berhadapan,
mengeluarkan segenap kepandaiannya, tetapi tak urung ia merasa seperti sedang dicambuk dengan cemeti, la merasa sangat sakit, padahal ia punya ilmu untuk tidak merasakan sakit walaupun dipukul beramai-ramai. Erwin tahu bahwa lawannya sedang
mencambuk dirinya dan ia tak kuat melawan akibat dari cambukan itu. Dan sebenarnyalah Erwin tidak keliru. Tatkala ia merasa dirinya di-cemeti. Raden Sulaiman memang sedang melecut boneka
kainnya dengan tujuh batang lidi daun aren (enau) yang diikat menjadi satu. la sudah siap untuk menenggelamkan boneka itu ke dalam ember berisi air cabai, ketika ia mendadak terkejut karena mendengar dengkur keras yang dikenalnya sebagai dengkur babi.
Ketika Raden Sulaiman menoleh, memanglah ia melihat seekor babi hutan dengan taring-taring panjang, menandakan ia sudah sangat dewasa. Karena kedatangan seekor babi ke dalam kamarnya yang tertutup sama sekali diluar dugaan atau khayalan ia mengetahui, bahwa lawannya yang barangkali sedang sekarat telah mengirim babi hutan piaraannya. Bangsat busuk itu rupanya bukan hanya memelihara harimau tetapi juga celeng hutan yang terkenal ganas.
Para peladang yang terbiasa pulang lewat senja, lebih mungkin akan diserang oleh babi hutan daripada diterkam oleh harimau. Walaupun di mana ada babi hutan boleh dipastikan ada harimau, karena babi sangat disenangi oleh nenek belang untuk jadi santapannya.
"Pergi kau jahanam," bentak Raden Sulaiman sambil membaca-
baca doanya yang biasanya sangat ampuh.
"Anda bukan Tuan-rumah yang baik. Aku baru tiba sudah diusir.
Tak menghargai tamu!" kata Ki Ampuh dengan nada kelakar.
Mendengar babi bicara. Raden Sulaiman segera mengerti, bahwa yang punya sangat tinggi dalam ilmu atau babi ini binatang siluman yang setelah selesai dengan maksudnya akan menjadi manusia kembali. Dan Raden Sulaiman bertekad untuk merubah babi ini jadi tikus yang tak punya daya apa pun.
"Jangan, sia-sia maksud Anda mau menikuskan aku!" ujar Ki Ampuh.
"Siapa majikanmu?" tanya Raden Sulaiman. "Si bangsat Erwin itu?"
"Anda terlalu sombong penyihir. Mula-mula mengusir aku, kemudian hendak membuat aku jadi tikus dan barusan kau
menganggap aku sebagai budak seseorang!"
Melihat kepandaian si pendatang aneh yang tak diundang dan sangat tidak disukainya itu, Raden Sulaiman berusaha menahan diri.
Yang begini lebih baik dilemahlembuti daripada dihina dengan kata-kata kasar.
"Bagaimana kalau kita bersahabat, sebab tak ada sebab bagi kita untuk bermusuhan. Bertemu pun kita baru sekali ini. Anda dari mana" Tinggal di sekitar sini juga?" tanya Raden Sulaiman.
Ki Ampuh mengecilkan matanya yang memang sudah kecil itu
untuk mengejek Raden Sulaiman yang diketahuinya sedang
menjalankan muslihat.
"Siapa bilang tidak ada urusan di antara kita. Memusuhi Erwin sama artinya menantang aku. Karena dia saudaraku," kata Ki Ampuh, la bangga mengucapkan kata-kata itu, karena Erwin punya nama dan wibawa.
"Aku mengusulkan persahabatan. Tetapi walaupun begitu tentu terserah kepadamu."
"Aku senang dengan kalimat Anda itu. Kita sudah tak mungkin bersahabat. Aku datang untuk bertarung denganmu Raden. Kuharap dapat mene-waskanmu yang tak berguna bagi masyarakat."
0odwo0 TIGAPULUH SATU BERBEDA dengan Maribun yang muridnya. Raden Sulaiman
mempunyai ilmu untuk menghadapi harimau, yang belum
diturunkannya kepada Maribun. Oleh tenaganya inilah maka Erwin merasa dirinya seperti dibanting-banting, ketika penyihir kawakan itu membanting boneka kain yang telah diludahinya. Dengan peludahan ia menanggalkan ilmu Erwin. Pembantingan dihentikan karena kedatangan babi hutan yang diluar dugaannya. Jiwa Raden Sulaiman tergetar, karena baru kali ini ia menghadapi babi yang tampaknya bertekad untuk bertanding dengan dirinya. "Engkau Raden Sulaiman," katanya kepada dirinya, "takkan engkau akan sudi digertak atau ditundukkan oleh seekor siluman hina yang babi ini.
Kalau hanya babi biasa, dengan memandanginya saja ia akan memperoleh kemenangan. Si babi takkan mampu menghadapinya.
Tetapi yang ini pasti bukan babi biasa, la tahu semua maksud dan apa yang sedang dikerjakan oleh sang penyihir yang tak mau diajak berkompromi itu. Belum pernah menghadapi babi siluman tidak berarti ia pasti kalah, tetapi bagaimanapun ia tidak dapat meramalkan kesudahan dari suatu pertempuran.
"Mana rantai keramatmu?" tanya Raden Sulaiman, karena ia tahu bahwa kekuatan babi siluman biasanya terletak pada rantai yang selalu dibawanya ke mana-mana. Tanpa rantai, seekor babi hutan yang bukan babi biasa tidak akan mempunyai tenaga gaib.
"Tertinggal di rumah," sahut Ki Ampuh. "Tetapi baiklah kukatakan terus terang, bahwa aku tidak memerlukannya. Aku tidak
mengandalkan rantai yang hanya benda mati, kawan. Aku mau mem-binasakanmu dalam suatu perkelahian yang spor-tip. Sama-sama bertangan kosong. Aku sekarang mengharapkan hujan dan
kita bertarung di pekarangan rumahmu, supaya meninggalkan bekas yang akan jadi pembicaraan masyarakat selama berhari-hari. Kau usahakanlah membunuh aku, supaya bangkaiku tergeletak di
lumpur, difoto oleh para reporter yang ada di sini. Aku tahu kau kebal senjata tajam dan peluru Raden. Aku tak tahu apakah kau juga kebal terhadap taring-taringku!"
Raden Sulaiman geram mendengar kesombongan sang babi,
tetapi disamping itu ia juga agak lega. Kesombongan bicara biasanya hanya dilontarkan mereka yang tak seberapa ilmunya.
Kira-kira si penantang ini pun semacam itulah. Hanya besar mulut!
Pemilik ilmu tinggi biasanya merendahkan diri.
"Siapa namamu binatang haram!" tanya Raden Sulaiman.
"Ki Ampuh, Raden. Bisa berjalan di atas air," katanya menyombongkan diri. Padahal ia berjalan di atas air karena kebolehan Datuk nan Kuniang ketika ia bersama Dja Lubuk dan Erwin dulu dibawa merantau ke Sumatera. Bagi pembaca yang telah mengikuti kisah Ki Ampuh dengan berbagai petualangannya,
keangkuhan makhluk berilmu ini bukan hal yang baru.
Kesombongan itu telah berkali-kali harus ditebusnya dengan kekalahan, tetapi dasar dia memang tebal muka, sifat buruknya tidak pernah hilang dari dirinya, walaupun dia telah berubah jadi binatang berderajat sangat hina setelah dimakan oleh sumpahnya sendiri.
"Dari siapa Anda mengetahui namaku?" tanya Raden Sulaiman.
"Nama penyihir terkenal sampai ke Jawa. Lagi pula aku tidak akan mendatangi seseorang sebelum aku melakukan penyelidikan tentang dirinya. Dan aku tidak akan melangkahkan kaki ke mari, kalau Anda tidak berniat mau menjahili sahabat yang sudah menjadi saudaraku itu!"
Hati Raden Sulaiman yang semula senang sekali karena
dikatakan terkenal sampai ke Jawa, kemudian jengkel lagi
mendengar keangkuhan Ki Ampuh yang senang menunjukkan
kehebatannya. Tanpa disangka oleh Raden Sulaiman, cuaca yang tadi begitu bagus telah berubah dengan runtuhnya hujan yang berangsur-angsur jadi lebat. Apakah karena Ki Ampuh mengharapkannya, pikir Raden Sulaiman. Timbul kekaguman di dalam hatinya. Barangkali babi ini memang punya kekuatan luar biasa gaib yang dapat membuat hujan, la tahu akan adanya orang-orang pandai yang mampu mendatangkan dan menghentikan hujan.
"Anda hebat, pandai memanggil hujan," kata Raden Sulaiman.
"Ya begitulah. Hanya ilmu kecil," kata Ki Ampuh, tanpa malu-malu, walaupun dia tahu bahwa hujan itu bukan turun karena ilmunya. Raden Sulaiman heran juga mendengar Ki Ampuh pandai juga merendahkan diri dengan mengatakan, bahwa ilmunya itu hanya kepandaian kecil saya. Dia lebih heran ketika babi itu berkata,
"Aku tahu Raden pu nya kepandaian yang jauh di atasku. Hujan itu turun karena Anda tidak membendung ilmuku. Kalau Anda pasang penangkal ilmuku yang hanya secuil itu pasti hujan itu tak kan turun. Babi ini menyindir, atau betul-betul menyangka bahwa Ki Ampuh sanggup menggagalkan ilmunya kalau ia mau.
Bagaimanapun ada juga perasaan enak sedikit.
"Bagaimana, kita turun sekarang. Supaya Anda lekas
membinasakan aku, atau aku yang menewaskan Raden. Sama-sama keluar hidup dalam keadaan luka-luka takkan mungkin. Apalagi di Lubuk-linggau yang amat kecil ini. Sudah tentu tidak cukup ruangan untuk kita berdua," ajak Ki Ampuh.
"Sayang, salah satu di antara kita harus tewas. Padahal kita mempunyai kelebihan dari makhluk lain," kata Raden Sulaiman.
"Hendaknya Andalah yang menang, sebab Anda manusia yang dapat bergaul dengan sesama manusia. Dapat menikmati hidup.
Sedangkan aku, hanya babi yang tak kan bisa bermasyarakat dengan manusia. Sayang, kalau Anda tak dapat membunuhku,
karena aku akan terpaksa menamatkan riwayat Anda, demi
sahabatku si manusia harimau. Anda harus melihatnya waktu dia mengharimau.
Raden Sulaiman bertanya, apakah dia berjalan atas dua kaki tatkala menjadi harimau" "Berapa banyak harimau yang dikuasainya?" tanyanya.
"Dia sendiri sudah manusia harimau. Semua harimau di rimba takluk di bawah kekuasaannya. Dia dapat memanggil mereka dan memerintahkan apa saja. Dia lah manusia yang harimau, yang raja dari seluruh harimau." Ki Ampuh senang menghebat kan diri sahabatnya itu.
"Aku ingin bertemu dengannya ketika ia meng harimau!"
"Aku kuatir, sudah tidak ada tempo Anda untuk itu," kata Ki Ampuh sambil tertawa mengejek. Babi siluman ini mempunyai multi-sifat, pikir Raden Sulaiman. Angkuh, sinis, tahu diri, takbur tetapi juga punya kesetiaan besar terhadap kawan.
0odwo0 Ketika hujan turun. Mayor Polisi Buang menjadi gugup, la
teringat kepada Maribun yang pergi dari rumahnya dalam keadaan hujan bersama seorang manusia dan satu makhluk berkaki dua, kaki harimau. Erwin tidak turut hadir makan bersama mereka. Pada hari syukuran begitu sepantasnya Erwin turut hadir. Bukankah dia yang telah mengobati dan menyembuhkan Dinar. Oleh hal itu Mayor Buang yang menaruh curiga kian besar terhadap diri Erwin bertanya pada dirinya, apakah di waktu hujan ini ia ke rumah Raden Sulaiman dan melakukan apa yang mungkin dilakukannya pada malam hujan serupa ini terhadap diri Maribun.
Tak kuat menahan keinginan tahu. Mayor itu bertanya, ke mana Erwin, mengapa tidak diajak serta. Oleh Kahar diterangkan, bahwa ia memang sengaja tidak mengajaknya dalam pemanjatan doa
syukur itu, karena hendak membuka kesempatan kepada atasannya itu dalam menjalankan usahanya menangkap pembunuh Maribun.
"Apakah aku boleh bertemu dengannya, kalau ia ada di rumah sekarang?" tanya Mayor Buang. Kapten Polisi Kahar terkejut tak menyangka akan dapat permintaan seperti itu. Tetapi dia
menyatakan bahwa Erwin tentu akan senang sekali bila merasa
diperhatikan oleh seorang berpangkat seperti Pak Mayor.
Kahar segera pergi ke kamar Erwin yang terletak di luar
bangunan utama. Yang demikian atas permintaannya sendiri.
Menolak tinggal di sebuah kamar yang letaknya di sebelah kamar tidur Erwin yang tersedia untuk tamu-tamu yang masih keluarga atau tamu yang dihormati.
Melihat Datuk duduk di sebuah kursi di luar kamar. Kahar
menduga dengan benar, bahwa orang kelihatan kampungan tetapi berilmu tinggi itu sedang mengerjakan sesuatu.
Datuk menceritakan, bahwa tadi ia mendengar suatu suara agak kuat, tidak tahu suara apa, tetapi kemudian keadaan terus senyap, la meminta agar Kahar mengetuk pintu, karena ia curiga. Erwin tentu sedang bertarung dengan lawannya. Bagaimanapun kuatnya seseorang kita tidak dapat memastikan bahwa ia menang, karena selalu saja ada seseorang yang kemudian ternyata mempunyai kelebihan. Kalau tidak dalam semua, maka di dalam satu atau dua hal. Dan kelebihan yang sedikit itu justru yang kadang-kadang tidak bisa dihadapi oleh seseorang yang punya banyak ilmu. Dalam dunia ilmu gaib dan mistik tidak ada juara. Mungkin ada dukun atau penyihir yang terkenal sebagai yang paling hebat di kampungnya atau di daerah yang terbatas. Tetapi pasti tidak dapat dikatakan begitu, kalau sudah meliputi sebuah kawasan luas. Kabupaten, Propinsi apalagi sebuah pulau besar atau negara.
Kapten Kahar mengetuk pintu pelan-pelan, karena dia punya kekhawatiran seperti yang dirasakan Datuk. Tidak ada sahutan Kapten Kahar mengetuk lagi pelan-pelan yang disambut oleh suara lemah dari dalam. Setelah menyebutkan nama, Erwin memintanya supaya masuk. Lampu yang terpasang terang, membuat Kahar
segera melihat Erwin sedang terbujur di lantai. Datuk ikut masuk.
"Mengapa?" tanya Kahar.
"Aku dibantingnya," kata Erwin meringis. "Hebat guru Pak Maribun itu. Tetapi tidak apa. Malah baik bagiku." Erwin tersenyum, mengaku kalah tetapi tidak ada rasa takut pada wajahnya.
"Siapa yang membanting?" tanya Datuk. Erwin menjawab, lawannya.
"Apa yang dapat kulakukan?" tanya Datuk yang ingin berbuat sesuatu bagi sahabatnya.
"Tenang-tenang dan kita lihat perkembangan. Ada Pak Mayor ya Pak Kapten?" tanya Erwin. Perwira itu menyampaikan keinginan sang Mayor Polisi, tetapi juga mengatakan bahwa bagaimana mungkin, karena Erwin pun kelihatannya agak sakit. Tetapi Kahar juga yang kemudian mengatakan, bahwa ia akan mengajak Pak Mayor ke kamar Erwin, kalau disetujui. Erwin mengatakan, bahwa itulah yang terbaik. Kapten Kahar dan Datuk tidak mengerti mengapa Erwin mengatakan, bahwa itulah yang terbaik.
Pak Mayor senang mendengar Erwin sakit. Suatu kemenangan, pikirnya. Memang tepat, la juga senang, karena akan bisa melihat keadaan lingkungan Erwin. Apakah di sana ada pemandangan dan keadaan yang lain, yang aneh, yang menyeramkan.
Kamar Erwin biasa saja. la sengaja tidak naik ke ranjang, walaupun ia sudah mampu. Rasa sakitnya sudah hilang, sebab Raden Sulaiman tidak meneruskan tembakannya setelah Ki Ampuh berada di sampingnya.
"O, Pak Mayor. Terima kasih atas kedatangan Bapak!" kata Erwin ramah, tetapi tidak menyembunyikan sisa sakit yang masih
dirasakannya. "Sakit apa?" tanya Pak Mayor, la ingin dengar jawaban dukun yang banyak tahu tentang harimau itu.
"Kena banting!" jawab Erwin. Senang tetapi juga perasaan aneh menyergap sang Mayor.
"Banting bagaimana, siapa yang banting. Ada penjahat masuk?"
"Tidak Pak Mayor. Dibanting orang pandai itu. Guru Pak Maribun, yang mungkin punya sangkaan atas diri saya." Mendengar jawaban polos tetapi juga memperlihatkan bahwa Erwin mengetahui banyak tentang apa yang tidak diduga Mayor Buang, Perwira yang sedang
mengatur pengepungan di seputar rumah Erwin, terdiam. Dia terperanjat dan merasa mukanya pucat, ketika Erwin bertanya, apakah Mayor Buang sedang melakukan pengepungan atas rumah Kapten Kahar untuk menangkap si harimau, la sengaja
menyebutkan "rumah Kapten Kahar" untuk menimbulkan reaksi yang lebih baik atas diri orang itu.
"Saudara Erwin mau menolong?" tanya Mayor Polisi Buang.
"Menolong bagaimana, badan saya masih sakit-sakit oleh bantingan Raden Sulaiman." Kapten Kahar sesekali mengerling ke arah Buang untuk melihat bagaimana sikapnya. Sesekali mata mereka bertemu, sehingga Mayor Polisi Buang merasa kurang enak.
Tetapi ia coba menyembunyikan dengan pernyataan ingin kenal lebih dekat dan kalau boleh belajar dari Erwin. Dikatakannya, bahwa ilmu itu pada waktu-waktu tertentu mungkin perlu bagi seorang Perwira Polisi. Sekurang-kurangnya tidak ada ruginya, kata Mayor Polisi Buang.
Dengan ngomong-ngomong itu. Mayor Polisi Buang dan Kapten Kahar jadi lumayan lama di kamar Erwin. Pikiran sang Mayor tidak seluruhnya tertumpah pada masalah Erwin yang sudah dipukul hingga terkapar oleh Raden Sulaiman, la ingin tahu apakah harimau piaraan Erwin masih juga mampu mendatangi atau bertarung
dengan Raden Sulaiman setelah majikannya tidak berdaya. Kalau Erwin yang jadi harimau, maka sudah pasti tidak bisa keluar. Dia ada di depan Buang.
Oleh perkiraan inilah, maka Mayor Polisi Buang terkejut tidak kepalang tanggung, ketika ia mendengar beberapa letusan yang keluar dari senapan anak buahnya. Jika begitu harimau itu toh ada.
Matikah dia"
"Apa itu?" tanya Pak Mayor yang agak bingung.
"Anak buah Bapak barangkali. Bukankah mereka diperintahkan mengintai dan menangkap sang harimau?" kata Erwin lemah.
Sesakit itu dia, masih juga mampu menyindir seorang Perwira Menengah Polisi.
Mulai bertanya Mayor Polisi itu kepada dirinya, apakah mungkin Erwin sama sekali tidak terlibat. Dan bahwa dia sebenarnya tidak punya pertahanan hebat, sehingga dapat dibanting dari jauh oleh Raden Sulaiman. Lalu yang menghitam dan kemudian
memerahdarahkan air dalam mangkuk Raden Sulaiman siapa"
Mayor Polisi itu bangkit, karena tahu bahwa anak buahnya tentu akan melapor, la sangat ingin tahu, tewaskah harimau itu"
0odwo0 TIGAPULUH DUA SEORANG Pembantu Letnan yang mengepalai regu itu sudah
berada di luar pintu rumah Kapten Kahar. Melihat Komandannya datang, ia yang bernama Mat Amin memberi hormat, siap melapor.
Tetapi baru saja ia memulai. Pak Mayor sudah lebih dulu bertanya, apakah harimau itu tertangkap mati hanya luka-luka ataukah sempat melarikan diri.
Dia juga berkata, "Kalau ia lari, katakan saja lebih dulu, jangan belakangan baru dikatakan, bahwa harimau itu melarikan diri."
"Bagaimana!" kata Mayor Polisi itu setengah bertanya setengah menghardik.
"Tidak ada harimau yang lari. Pak!" kata Mat Amin.
"Bagus. Jadi tertangkap. Hidup atau mati!"
"Rupanya Pembantu Letnan itu jadi gugup, terdengar dari kalimatnya yang terbata-bata, "Tidak ada harimau. Pak!"
Tampak jelas muka Pak Mayor memerah dan hampir gemetar dia berkata, "Tidak ada harimau"
Jadi apa yang kalian tembak" Hanya maling?"
"Bukan Pak. Babi!" kata Mat Amin.
Pak Mayor tak percaya pada pendengarannya dan dengan suara
berang ia berkata, "Babi! Babi?"
"Iya, Pak," sahut Mat Amin menegaskan.
"Kapten dengar itu," katanya kepada Kapten Kahar seperti orang cari teman untuk memihak pendapat dan pendiriannya. "Mereka menembak babi." Dan kepada Mat Amin dia berkata, "Mata kalian sudah buta. Mana ada babi di dalam kota ini. Babi mak mu!" Dia naik pitam merasa seperti anak buahnya tidak becus. Ataukah mereka sepakat mempermainkan dia. Mungkin! Hari hujan lebat, dia senang-senang makan di dalam rumah, anak buah berhujan-hujan menantikan harimau yang mendebarkan jantung, tetapi tidak pernah muncul.
Setelah agak hening dan Mayor itu belum juga menyuruh Mat Amin berkata "Maaf, Pak. Yang kami lihat dan tembak itu benar-benar babi. Kelihatan badannya besar dan taringnya panjang. Babi hutan, jelas babi hutan. Barangkali juga babi berantai!"
"Kapten percaya itu?" tanyanya kepada sang Kapten.
"Kalau kemarin ada harimau membunuh Pak Maribun, menurut hemat saya babi juga mungkin masuk kemari. Jangan-jangan
harimau kemarin mengejar babi besar itu, tetapi karena tak bersua maka dia mengambil Pak Maribun sebagai gantinya!" kata-kata Kahar tak enak didengar. Jangan-jangan dia ini pun mengejek dirinya.
Mayor Polisi itu coba menurunkan kadar panasnya. Katanya,
"Babi itu pasti mati, kalau betul kalian menembak babi?"
"Menembak babi itu jelas. Pak, tetapi ia lari!"
"Babi saja pun tidak dapat kalian robohkan!" Mat Amin diam.
"Barangkali babi siluman," kata Mat Amin.
Dalam pada itu Erwin sudah datang menyertai mereka, ingin tahu apa atau siapa yang ditembak dan bagaimana nasib korban. Setelah diketahui bahwa yang ditembak para polisi itu babi hutan besar tetapi tidak sampai tewas, jelaslah bahwa yang pegang peran utama
itu tak lain daripada Ki Ampuh yang menggalangkan nyawanya untuk keselamatan Erwin.
"Barangkah orang pandai itu melepas babi hutannya. Untuk memberi tahu kepada yang berkepentingan bahwa dia bukan hanya memiliki harimau. Barangkali dia juga mempunyai gajah suruhan yang dapat diperintahnya untuk merobohkan beberapa rumah untuk menimbulkan kepanikan lebih besar di kota ini." Cerita tentang gajah itu jadi menarik hati Mayor Polisi Buang, karena beberapa hari yang lalu memang kelihatan serombongan gajah termasuk tiga ekor anak, menyeberang jalan. Daerah luar Lubuklinggau terus ke Jambi dan Bengkulu memang terkenal sebagai tempat pemukiman gajah dan harimau. Sebelum ada penebangan kayu secara serampangan, mereka tentram di sana. Gangguan terhadap penduduk jarang terdengar. Sekarang sudah lain. Dibanyak tempat dalam kawasan Sumatera Selatan sampai ke Lampung gajah dan harimau banyak yang marah karena tempat mereka telah digusur oleh manusia-manusia yang mereka ketahui punya otak, tetapi sekarang tidak lagi selalu baik mempergunakannya karena sudah terlalu dirajai oleh nafsu loba dan tamak yang pada beberapa banyak orang sudah tidak lagi mengenal batas. Walaupun mereka sangat tahu, bahwa yang mereka bawa pada waktu mati hanya lima meter kain putih dan beberapa keping papan untuk dibenamkan ke dalam lubang yang bagi si kaya dan miskin sama saja, sekitar satu kali dua meter.
Perbedaan hanya terletak pada cara penguburan, ramainya yang mengantarkan untuk kemudian pulang ke rumah masing-masing.
Memburu Manusia Harimau Seri Manusia Harimau Karya S B Chandra di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tidak dapat mengawani atau membantu si mati yang akan
menerima siksa kubur. Orang ber-Tuhan tahu ini, tetapi kita pun sudah tidak berani menaksir berapa persen lagi orang yang benar-benar ber-Tuhan Yang Maha Esa. Dalam praktek, dalam amalan!
Kalau sekedar ngomong sih gampang, semua juga ngaku berke-Tuhan-an Yang Maha Esa.
Setelah memerintahkan para pengepung untuk kembali ke
Markas, Mayor Polisi itu bertanya kepada Kapten Kahar apakah ia tidak ingin berkenalan dengan orang yang kata Erwin tadi telah membantingnya. Kapten itu sangat menerima baik ajakan itu,
karena dia juga ingin mendengar suara dan kata-kata orang sangat hebat itu. Kalau seorang pandai dapat membanting musuhnya dari jauh yang hasilnya sama saja kalau dia membanting secara yang biasa, tentunya orang itu hebat sekali.
Hujan hanya tinggal gerimis. Kedua Perwira itu berangkat
menuju rumah Raden Sulaiman dengan menumpang jeep yang
digunakan Pak Mayor.
"Hebat sekali kawan Pak Mayor itu," kata Kapten Kahar.
"Mengapa Erwin tadi tidak diajak, supaya minta damai dengan orang yang sudah terang punya kepandaian jauh di atas dirinya?"
"Betul juga, aku tadi tidak ingat."
Setelah dekat dengan rumah Raden Sulaiman, terdengar suara tangis seperti meratap. Tangis khas terhadap orang kesayangan yang mendahului, meninggal. Di depan rumah ada beberapa orang memandangi sesuatu yang belum jelas.
Jantung Mayor Buang berdebar. Siapa yang dapat kecelakaan"
Tak mungkin Raden Sulaiman. Mungkin anaknya atau salah seorang anggota keluarga yang lain.
Tetapi setelah turun dari jeep dan mendekati orang-orang itu jelaslah, bahwa yang mati bukan lain daripada Raden Sulaiman.
Mayatnya belum diangkat atas nasihat beberapa orang agar
diperiksa oleh Polisi lebih dulu. Kejadian ini mirip dengan apa yang telah menimpa diri Maribun. Bedanya hanya yang memangsa. Kalau Maribun dibunuh harimau dengan cekikan, maka yang gurunya ini ditewaskan dengan serudukan taring. Jelas benar kelihatan. Ada beberapa luka yang sampai mengoyak dagingnya. Di paha, di perut, di rusuk. Juga di dada. Rupanya mereka bergelut. Yang paling aneh adalah tusukan taring pada lehernya. Kuku harimau yang
menyebabkan kematian Maribun. Sekarang tampaknya taring yang membawa maut bagi Raden Sulaiman. Melihat jejak-jejak yang kelihatan jelas di tanah yang becek itu, lawan Raden Sulaiman adalah seekor babi hutan. Kalau bertaring sekuat dan sepanjang itu pastilah babi hutan yang sangat besar. Semua ini sedikit pun tidak
diduga oleh Mayor Polisi Buang. Dia hanya memperhitungkan harimau, entah harimau apa. Bisa harimau liar, bisa harimau piaraan, bisa juga harimau manusia atau manusia harimau.
Mengapa jadi babi yang menewaskan Raden Sulaiman.
la juga malu kepada dirinya sendiri, karena ia tadi tidak percaya kepada laporan Pembantu Letnan Polisi Mat Amin. Dia malah menghardiknya sebagai orang yang tidak punya mata.
Karena Polisi memang sudah dipanggil, maka tak lama kemudian mereka datang. Melihat Mayor Polisi Buang sudah ada di sana.
Begitu pula Kapten Kahar, la sendirilah yang yakin, bahwa Erwin tidak terlepas dari kejadian ini. Tetapi dari manakah datangnya babi itu" Apakah piaraan Erwin pula" Yang turun langsung ke lapangan untuk menyelamatkan majikannya yang dibanting dari jauh oleh orang pintar itu"
"Sangat ajaib. Kapten. Selama saya jadi Polisi belum pernah mengalami yang begini. Membaca cerita begini pun saya tidak pernah. Andaikata ada buku yang berkisah begini saya tidak akan percaya. Sekarang saya sendiri mengalami. Rupanya segala macam mungkin saja terjadi diatas dunia ini.
"Memang begitu. Mayor," kata Kapten Kahar. "Bukankah IA Maha Kuasa dapat menciptakan atau melakukan apa saja dengan
kekuatan yang tiada terbatas. Sebetulnya saya sangat ingin tahu, dari manakah atau milik siapakah babi ini. Mengapa bukan harimau ajaib itu yang menghadapinya.
"Mungkinkah sahabat Kapten itu" Di belakang rupanya yang tidak meyakinkan apa-apa, tersembunyi berbagai ilmu yang kita tidak mengerti. Dalam tiga hari ini kita sudah melihat dua kejadian yang amat mengherankan. Apakah antara kedua kejadian ini ada kaitan?"
"Saya tidak membela. Tetapi saya rasa Erwin tidak mungkin.
Bukankah kita lihat dia di rumah dan dia sendiri mengakui, bahwa dia telah dibanting oleh Raden Sulaiman?" kata Kahar.
"Aku tidak menuduh dia, tetapi apakah tidak mungkin semua ceritanya tentang dibanting itu hanya suatu muslihat tinggi dari
orang sangat lihay!" kata Mayor Polisi Buang.
"Yah, bisa jadi. Apa pendapat Pak Mayor tentang jejak-jejak babi dan babi hutan besar yang dilaporkan oleh para pengepung yang dipimpin Mat Amin?" Buang diam. Kemudian mengatakan juga, tidak punya pendapat apa-apa tentang itu.
Setelah diperiksa di tempat kejadian, mayat .Raden Sulaiman dikirim ke rumah sakit. Guna diperiksa secara ilmiah, benarkah dia diseruduk babi hutan.
Pada keesokan paginya ada orang melihat kuburuan yang
dibongkar. Kebetulan kuburan Maribun yang baru beberapa malam di dalam perut bumi dari mana dia semula berasal. Masyarakat pun gemparlah. Termasuk Erwin dan Ki Ampuh, karena mereka memang benar-benar tidak tersangkut di dalam perbuatan ini. Untunglah bekas kaki di sekitar tempat itu semua telapak kaki manusia. Ada dua orang penggali. Mayat dikeluarkan. Ditinggalkan berbaring di sana dalam keadaan bugil. Kain pembungkus diambil. Rambutnya juga diambil, sehingga mayat itu gundul. Hampir semua mulut mengatakan, bahwa yang bongkar pasti orang-orang yang sedang menuntut ilmu dan kata putus harus dengan syarat rambut dan kain kafan mayat orang berilmu yang masih baru.
Mungkin pembongkaran itu terjadi pada waktu Raden Sulaiman bertarung dengan Ki Ampuh, yang ternyata tak dapat
ditewaskannya. Sesuai dengan janji, maka Raden Sulaimanlah yang binasa. Keluarga Raden Sulaiman geger dan bingung setelah mengetahui makam Maribun dibongkar dan mayatnya digunduli.
Mereka sangat khawatir. Raden Sulaiman akan menerima nasib yang sama, sebab yang dibongkar para penuntut ilmu hitam itu hanyalah kuburan orang-orang berkepandaian tinggi. Mayat biasa ada juga yang dibongkar. Hanya untuk ilmu pekasih. Tanpa
menyiksa mayat yang sudah dikubur pun orang dapat menuntut ilmu pekasih untuk dikasihi oleh hampir semua orang. Hanya orang yang mempunyai ilmu yang sama tak dapat ditundukkannya.
Pada pagi itu juga Ki Ampuh mendatangi Erwin di kamarnya
tanpa dilihat oleh siapa pun. Untuk itu ia tidak usah khawatir ia tidak
akan tampak oleh mereka yang ingin dihindarinya.
"Kau hebat Ki Ampuh. Tanpa kau aku tentu sudah tiada, la punya kepintaran tinggi." Erwin lalu menceritakan apa yang dialaminya pada malam yang lalu. Pada ujungnya ia bertanya di mana Sabrina.
Ki Ampuh menggoda. Katanya Erwin masih cinta kepada Sabrina.
Dan Erwin tidak mengelak walaupun tidak mengiyakan. Ki Ampuh menceritakan, bahwa menurut Sabrina, Mayor Polisi Buang juga seperti ada perhatian lain terhadap dirinya.
"Apa kata Ina?" tanya Erwin.
Jawab Ki Ampuh," Katanya Mayor itu ganteng juga. Semenjak ditinggalkan istri ia menduda." "Untuk nanti dibunuhnya, kalau ia bosan atau benci!" kata Erwin.
"Lebih baik kau ambil dia. Kalian berdua pasti cocok," kata Ki Ampuh yang mengetahui cinta kasih yang pernah ada di antara dua makhluk yang sama-sama punya harimau di dalam diri mereka.
Erwin lalu bercerita tentang Mei Lan. Dia berjanji untuk kembali dan mengambilnya.
"Tetapi Sabrina kemari karena kau Erwin. la ingin kau selamat dan sudah mengatakan bersedia tinggal di kampung kecil saja meneruskan dan menamatkan hidup yang tidak seberapa panjang ini."
Erwin tidak memberi reaksi. Meskipun pada hari-hari pembuatan riwayat hidupnya di Lubuklinggau terjadi bencana-bencana yang menyangkut dirinya, pikirannya selalu dimasuki Mei Lan. Kalau semula ia hanya kasihan kepadanya, kini sudah tidak hanya itu saja lagi. la merasa adanya alasan yang layak untuk membahagiakan gadis itu dengan mengawininya. Memang rasa sayang itu tidak mulus begitu saja. la masih dihantui pula oleh tanda tanya, apakah benar ia dapat membahagiakan anak bercampur darah asing itu.
Apakah benar" Ataukah hanya kebahagiaan sementara untuk
kemudian di rusak oleh bencana yang tidak terbayangkan sekarang, tetapi selalu menyelingi hidupnya"
Lubuklinggau membawa lebih banyak bencana daripada kota-
kota besar yang sudah pernah dikunjungi. Dijahili, dikepung dengan satu tujuan. Menangkap hidup atau menembak mati dirinya. Dia mengobat hati dengan adanya beberapa orang yang dengan izin Tuhan dapat disembuhkannya.
la meninggalkan kota Lubuk petaka itu ke Palembang. Tidak seperjalanan dengan Sabrina dan Ki Ampuh, tetapi setujuan dan sesuai mufakat. Yang ditinggal antara lain dua keluarga penyihir yang berurai air mata dengan hati dendam, mayat sahabat
seperjalanan Sutan Mangkuto dan Dinar yang menanggung cinta tak bersambut.
la bertanya-tanya pada dirinya apa lagi yang menanti dirinya.
Apakah ia akan mati oleh kepungan"
0odwo0 TIGAPULUH TIGA SEBAGIAN perjalanan ke Palembang ditempuh Erwin dan Datuk dengan jalan kaki. Bukan karena tiada biaya, tetapi untuk selalu mendekatkan diri dengan alam. Selama perjalanan mereka makan di warung-warung kecil. Beberapa kali bertemu dengan binatang rimba, tetapi tak ada yang mengganggu. Ada induk harimau yang menyeberang jalan dengan dua anaknya. Yang amat mengesankan dan menyenangkan adalah melihat persahabatan antar hewan. Dua ekor harimau dewasa jalan seiring dengan seekor gajah besar yang taringnya sedikitnya sudah satu meter panjangnya. Ada gambar-gambar di dalam buku memperlihatkan pertarungan antara gajah dengan harimau. Mati-matian. Masing-masing punya senjata ampuh untuk menyerang dengan tujuan menewaskan mangsanya. Tetapi sepasang harimau dan gajah besar "mungkin gajah tunggal" ini jelas sangat bersahabat dan akrab. Mereka bukan sekedar berlainan suku. Mereka berlainan jenis, tetapi bermukim di dalam satu wawasan.
Persamaan tempat bisa juga membuat mereka bersahabat.
Tetapi persamaan tempat juga bisa membuat hewan saling
bermusuhan. Yang kuat selalu mengintai yang lemah, kalau si lemah merupakan makanan bagi penyambung hidup si kuat. Misalnya antara kijang, rusa atau babi dengan harimau. Tidak akan pernah bersahabat karena semua hewan makanan manusia itu juga
makanan harimau. Walaupun begitu jangan dikira bahwa
persahabatan antar mereka tak mungkin sama sekali. Ada anak harimau masih bayi yang kehilangan induk, dipelihara oleh rusa atau babi. Sampai dewasa si harimau bukan hanya tidak akan menerkam ibu angkatnya, tetapi akan selalu melindunginya. Dalam hal yang demikian harimau yang anak angkat rusa akan bertarung mati-matian dengan harimau lain yang hendak memangsa ibu atau adik-adik angkatnya. Mungkin tak masuk di akal Anda, tetapi begitulah kehidupan yang sebenarnya di dalam rimba.
Kalau Datuk bukan berjalan bersama Erwin yang tampaknya
disegani oleh hewan-hewan buas, ia pasti akan menggigil atau bahkan mati ketakutan. Yang paling mendebarkan hatinya ialah ketika berpapasan dengan harimau jantan besar yang sedang keluar dari belukar hendak menyeberang. Harimau besar tegap semacam inilah yang dengan mudah memangsa lembu. Kalau ia menerkam kerbau, ia masih akan mendapat perlawanan. Ada kemungkinan si kerbau akan tewas, karena urat besarnya diputuskan sang harimau tatkala dia menerkam dan menggigit tengkuknya. Harimau tahu betul di mana letak tempat yang paling vital pada tiap mangsa yang diserangnya. Dan dia selalu memutuskan urat itu sehingga darah mengalir deras dan putuslah hubungan antara otak dengan seluruh tubuhnya.
Harimau jantan itu berhenti, memandangi Erwin dan Datuk yang terus berjalan. Datuk sudah dengan kaki gemetaran. Tidak ada pandangan bersahabat. Tetapi Erwin berkata, "Aku anak Dja Lubuk, cucu Raja Tigor!"
Mendengar itu raja rimba itu berubah. Dari matanya terpancar sinar persahabatan. Tetapi ia tetap berdiri di sana, seolah-olah mempersilakan kedua manusia itu lewat dulu. Ini bukan penyedap
cerita, walaupun barangkali sukar masuk akal Anda. Tetapi kalau Anda ingat dan coba hayati, bahwa di dalam diri Erwin ada unsur-unsur harimau dengan daya pikir manusia, kiranya dapat Anda maklumi, bahwa di antara mereka ada semacam hubungan batin, ada rasa kekeluargaan. Penampilan mereka jauh berlainan, tetapi hal itu tidak dapat menghilangkan adanya unsur yang sama.
"Mendekatkan diri dengan alam banyak sekali faedahnya, Datuk.
Kita akan berpikir, berbuat dan berkeinginan sangat sederhana.
Sama halnya dengan harimau, gajah atau hewan lainnya di rimba ini. Orang yang jadi manusia alam tidak akan pernah punya nafsu berlebihan. Tetapi akalnya menuntut keadilan dan tidak menyukai adanya perkosaan atas hak-hak orang lain," kata Erwin bertenang-tenang. Datuk mendengarkan dengan perasaan bahagia dan
berjanji pada dirinya akan mempraktekkan falsafah hidup seperti itu.
"Tentu saja sebagai manusia kita harus hidup bermasyarakat dan memberikan segala yang mungkin untuk kemajuan kehidupan
dunia. Kalau ummat manusia tidak punya nafsu buruk dan jauh dari sifat serakah, maka ia akan menjauhkan diri dari menyakiti sesamanya, tidak pandang suku, bahkan tidak pandang bangsa."
Indah untuk telinga. Tentu indah kalau dapat dilaksanakan.
"Tetapi yang begitu lebih baik dinamakan khayalan, sebab kalau dikatakan cita-cita, maka ia merupakan cita-cita yang tidak akan pernah terwujud," sambung Erwin.
Ketika ia berkata demikian, dengan amat mengejutkan Datuk, di samping mereka telah turut serta seekor babi yang amat besar. Babi hutan liar yang bertaring panjang, la tak melihat dari mana datangnya hewan yang menakutkan ini.
Erwin pun heran, mengapa mendadak Ki Ampuh bergabung.
Semula berjanji akan bertemu di Palembang dan setelah Erwin selesai dengan niatnya melamar Mei Lan, mereka akan membuat rencana selanjutnya.
"Maafkan aku Er, aku gelisah. Ingin bersama kalian," kata Ki Ampuh yang lalu diperkenalkan Erwin kepada Datuk.
Erwin tahu apa yang merisaukan hati Ki Ampuh. Orang yang
telah berubah jadi babi itu ingin ia memberi bantuan. Yang sudah berkali-kali dipinta-nya tatkala di Jawa, tetapi tak dapat dipenuhinya, karena ia tidak punya kekuatan atau ilmu untuk itu.
"Aku berhutang nyawa kepadamu Ki Ampuh," kata Erwin mengulangi rasa terima kasihnya. Kepada Datuk diceritakannya, bahwa kalau tidak oleh bantuan Ki Ampuh, ia tentu sudah binasa dimakan Raden Sulaiman.
Ki Ampuh juga menceritakan "karena kemarin belum
diceritakannya" bahwa Raden Sulaiman sebenarnya punya
kekuatan luar biasa oleh ilmunya yang sangat tinggi. Sebenarnya Raden itu sudah menjadi satu dengan ilmunya. Hanyalah suatu kebetulan saja, ia tidak mempunyai kekebalan terhadap taring babi.
Begitulah sifat manusia yang bersandar kepada ilmu hitam semata-mata. Bagaimanapun hebatnya, pasti punya satu atau dua
kelemahan. Raden Sulaiman kebal hampir sempurna.
Jelaslah bahwa Raden Sulaiman dapat membinasakan Erwin
andaikata manusia harimau itu menghadapinya sebagaimana ia mendatangi Maribun beberapa waktu yang lalu. Penyihir itu punya ilmu yang jarang dimiliki orang pintar lain, melihat dalam keadaan tidur. Ada kepandaiannya yang tidak dimiliki Erwin. Dia sendiri pun tidak seperti Erwin, sebab dia manusia biasa, sementara Erwin bukan.
Untuk mempersingkat jalan dan menyatukan diri dengan rimba, Erwin mengajak Ki Ampuh menempuh rimba raya. Datuk turut
karena tiada pilihan lain. Dihiburnya diri, bahwa melalui rimba mungkin ia akan melihat lebih banyak dan ia akan jadi manusia yang lebih tahan uji, kalau mereka keluar dengan selamat.
Bagaimanapun hebatnya Erwin dan Ki Ampuh, sudah jelas tidak dapat dipastikan, bahwa tidak akan mungkin ada bahaya
menghadang. Sehari perjalanan tidak terjadi sesuatu yang luar biasa. Bertemu dengan beruang, orang utan, harimau dan gajah bukan lagi hal yang aneh, karena sebelum masuk hutan saja pun suaan seiring
dengan hewan-hewan rimba itu. Tetapi pada hari kedua menjelang senja, Erwin dan Datuk menyaksikan apa yang belum pernah
mereka saksikan.
Semula mereka melihat seekor harimau besar mundar mandir di suatu tempat yang terbuka, semacam lapangan kecil. Bukan buatan manusia. Mungkin buatan alam ataukah buatan binatang rimba untuk keperluan mereka" Tidak biasanya harimau mundar mandir Apalagi di suatu tempat yang seperti disediakan. Binatang buas hanya mun-dar-mandir dalam kerangkeng, kesal karena tahu bahwa dirinya sudah terperangkap, sudah dikuasai manusia. Anda dapat melihatnya di kebun binatang atau di kandang-kandang harimau, singa, monyet-monyet ganas dan semacamnya yang dibawa oleh sirkus.
Erwin menahan Datuk dan Ki Ampuh untuk melihat keanehan itu dari kejauhan saja dulu. Rupanya si harimau besar tidak menyadari kehadiran mereka. Ataukah dia mengetahui tetapi tidak perduli, karena tidak merasa punya urusan dengan mereka.
Mundar-mandir itu diselingi dengan duduk, kemudian bangkit lagi dan mundar-mandir lagi. Seperti ada yang dipikirkan atau
dinantikan. Yang dipikir tak terpecahkan atau yang ditunggu tak juga tiba. Menunggu pacarnya" Mungkin, sangat mungkin. Soal berpacaran bukan monopoli manusia. Ada hewan yang berpacaran dengan amat mengasyikan. Pandai bercumbu dalam menyatakan kasih sayang yang tidak akan pernah berakhir selama nyawa masih ada di dalam tubuh.
Pada suatu saat si raja rimba seperti memasang kuping.
Mendengar sesuatu. Yang dinantikannya mungkin. Dari pinggir lapangan kecil itu keluar kepala harimau. Berdiri seperti mengawasi atau melihat medan. Waspada. Yang ini juga harimau jantan, seperti yang sudah lebih dulu menanti di lapangan itu. Kini kedua raja itu saling pandang. Yang baru datang melangkah, pelan, seperti diatur. Setelah seluruh tubuhnya keluar dari belukar, ia berhenti, kemudian duduk.
Erwin dan Datuk, begitu pula Ki Ampuh semakin tegang. Apa
yang akan terjadi" Apa maksud kedua harimau itu" Segala sesuatu berlangsung seperti mengikuti ketentuan. Barangkali memang ada peraturan dan ketentuan di antara mereka.
Beberapa menit berlalu tanpa ada yang bergerak. Pun tidak ada yang mengaum. Apakah mereka masih menantikan kedatangan
yang lain" Apakah ini akan merupakan pertemuan keluarga ataukah pertemuan kelompok yang "kalau diibaratkan manusia" berlainan suku" Erwin semakin tertarik. Setelah menanti agak lama, belukar terkuak lagi dan seekor harimau lain langsung masuk lapangan.
Betina. Tidak ragu-ragu seperti harimau jantan yang kedua tadi.
Dari urutan kejadian, sebodoh-bodoh orang pun akan menarik kesimpulan, bahwa kedatangan ketiga harimau ini di sana bukan secara kebetulan. Cara dan gaya mereka itu tentu menurut
peraturan yang mereka mufakatkan dan setujui bersama.
Harimau betina kembali ke pinggir lapangan, duduk. Dua ekor yang jantan berdiri pada jarak kira-kira sepuluh meter. Mereka saling pandang, kemudian terjadilah peristiwa itu. Keduanya bergerak saling menerkam, kemudian seperti menjadi satu, gigit-menggigit dan cakar mencakar. Tambah lama pertarungan itu kian keras. Terdengar dengus dan geram mereka, sungguh sangat
mencekam. Tidak perlu disangsikan, bahwa mereka sedang duel, sama halnya dengan dua manusia berkelahi mati-matian.
Pertarungan itu mengerikan sekali.
Apa fungsi harimau betina itu di sana" Tidak mudah
memastikannya, tetapi jikalau hanya diduga maka orang akan menduga, bahwa mereka bertarung memperebutkan si harimau
betina. Kedua-duanya ingin memiliki. Tidak bisa kompromi untuk jadi kawan bersama. Di antara hewan pun berlaku cinta yang tidak dapat dibagi-bagi, kalau cinta itu mencapai taraf "dia hanya untukku". Nyawa tantangannya kalau ada yang berani coba-coba.
Barangkali begitulah yang telah terjadi di antara ketiga harimau itu. Boleh jadi yang betina tidak dapat menentukan pilihan. Dia sayang kepada kedua-duanya, sementara dia tidak boleh untuk kedua-duanya. Maka diambillah jalan yang adil. Bertempur. Sang
putri untuk yang menang. Seperti yang banyak kita baca di dalam kisah-kisah kerajaan masa lalu. Untuk mendapatkan seorang wanita, seringkali anak bangsawan yang penguasa, para peminat harus membuktikan dirinya yang terkuat, tersakti.
Kedua raja telah sama-sama luka dan darah yang mengalir
membuat mereka tambah beringas. Kalau salah satu merasa kalah dan mau melarikan diri, mungkin ia tidak akan dikejar oleh yang menang. Ataukah akan terus diuber dan ditewaskan, supaya ia jangan merupakan ancaman bagi kehidupannya pada masa-masa seterusnya. Suatu jalan pikiran yang benar. Yang kalah pada hari itu mungkin akan menyiapkan diri untuk revanch. Kalau sudah
ditewaskan, selesai.
Tetapi pergumulan yang sangat menegangkan itu perlahan-lahan mengendur juga, sebab kedua-duanya kehilangan dan kehabisan tenaga.
Si macan betina menyaksikan tanpa berbuat apa-apa. Mungkin baginya tidak ada pilihan lain daripada menanti siapa yang menang, kalau memang dirinya jadi rebutan. Sebab, pertarungan itu bisa juga oleh sebab lain. Soal wilayah kekuasaan atau barangkali antar suku.
Pada suatu saat pertarungan maut itu berhenti. Walaupun tidak ada yang menghentikan, tidak seperti dua petinju atau pegulat di atas ring. Kedua harimau itu berhenti karena sudah tidak punya tenaga lagi. Hanya napas mereka yang kelihatan turun naik, yang kemudian juga terhenti. Tiada lagi napas, karena nyawa telah keluar dari tubuh mereka yang tadinya tegap kuat. Tiada yang menang.
Kedua-duanya kalah. Tewas.
Harimau betina itu bergerak perlahan-lahan, menciumi kedua raja yang telah mati. Kemudian ia berlalu dengan langkah gontai.
Walaupun begitu tidak dapat dipastikan apakah kedua raja rimba itu tewas memperebutkan dia atau ada sebab-sebab lain yang harus diselesaikan dengan duel gaya manusia itu.
Erwin, Datuk dan Ki Ampuh meneruskan perjalanan.
Beberapa hari kemudian baru tiba di kota Palembang. Ki Ampuh jalan bersama tanpa terlihat oleh siapa pun karena ia memakai ilmu perabun, yang juga dimiliki oleh sang manusia harimau.
Setelah membersihkan diri dan mengenakan pakaian rapi, Erwin bersama Datuk mengunjungi rumah Mei Lan untuk menemui gadis itu, menyatakan penyesalan dan melangsungkan lamaran resmi.
Tetapi rupanya ia terlambat. Mei Lan telah tiada. Meninggalkan dunia bersama cintanya.
0odwo0 TIGAPULUH EMPAT
ERWIN kesal dan menyesal. Mengapa dia terlambat. Tidak sejak kembali dari Mandailing dan Medan melangsungkannya. Waktu itu Mei Lan yang cantik dan baik masih segar bugar.
Yang pertama-tama dikerjakan setelah mengetahui kematian Mei Lan adalah ziarah ke makamnya. Di sana manusia harimau itu menangis. Menyalahkan dirinya yang selalu menjauh dari wanita yang cinta kepadanya. Mei Lan merupakan salah seorang di
antaranya. Betapa kejam dia, pikirnya pada saat itu. la menangis setelah terlambat. Air mata itu tidak akan mengembalikan Mei Lan, tetapi agak meringankan rasa dosa yang menimpa seluruh isi dadanya. Dia bukan makhluk cengeng tetapi pada saat itu ia tidak kuasa menahan dan tidak berusaha menahan. Biarlah Mei Lan melihat bahwa ia yang selalu dipanggil dengan "Bang Erwin" merasa sangat sedih dan menyesal.
"Maafkan Abang, Mei," katanya sambil memegang-megang makam gadis itu. Belum lama. Baru lima hari yang lalu.
Pada saat itu Sabrina telah berdiri di sampingnya. Rupanya ia mengikuti kegiatan si manusia harimau. Dipegangnya bahu Erwin.
"Relakanlah Er. la sudah mendapat ketenangan. Kalau kau benar-benar sayang kepadanya tentu kau mengharapkan yang baik
baginya. Yang baik itu sudah didapatnya. Yang belum tentu
diperolehnya, kalau ia masih hidup di dunia yang penuh kejahatan dan kezaliman ini."
"Aku salah satu yang zalim itu," kata Erwin dan ia terisak-isak.
"Tidak, kau pun tahu bahwa kau baik hati. Kau takut tidak dapat memberi kebahagiaan kepadanya. Itulah sebabnya kau selalu menjauh dari mereka yang sebenarnya kau sayangi!" ujar Sabrina.
Kata-kata itu agak meredakan Erwin.
"Aku telah menyelidiki Er! Mei Lan bukan mati wajar."
Sabrina mengatakan yang benar. Kalau dulu ia pernah sakit hati karena buatan orang kaya yang ditampik cintanya, disembuhkan oleh Erwin, maka sekarang ia diterjang kejahilan semacam itu lagi.
Juga oleh orang kaya yang hendak memetik, tetapi gagal. Sampai-sampai ia berkata kepada ayah gadis itu, "Apa maumu dan anakmu.
Aku dapat memberi semua. Semua, tanpa kecuali," katanya mengulangi.
Karena pernah mengalami buatan orang, orang tua itu jadi takut, la berjanji akan membujuk anaknya. Dengan begitu setidak-tidaknya dia dapat mengulur waktu sampai Erwin datang. Kalau orang yang diingini Mei Lan sudah kembali, maka ia tidak akan khawatir lagi.
Sudah ada tempat mengadu dan berlindung. Tetapi apa yang
dikhawatirkannya terjadi juga. Mei Lan hanya sakit tiga hari, tewas.
Mengeluarkan jarum dan beling dalam darah segar yang
dimuntahkannya.
"Aku akan membalas untukmu Mei," kata Erwin. "Walaupun aku harus berkubur di sini," tambahnya.
Dengan bantuan Sabrina tidak sulit mencari tahu siapakah yang telah membinasakan gadis tak bersalah itu. Ternyata seorang dukun wanita. Orang dari pesisir barat. Belum tua benar. Baru tigapuluhan.
Ibu dan neneknya pun dukun. Yang ibu masih ada. Masih praktek di kota itu juga.
Namanya bagus. Aini. Maknanya mata.
"Beri aku kesempatan," pinta Sabrina.
Ki Ampuh yang hadir, menganjurkan kepada Erwin untuk
mengabulkan permintaan wanita yang keturunan harimau jadijadian dari Sungai Penuh itu.
"Aku tak mau kau sampai mempertaruhkan nyawa, Sab," kata Erwin. la akan menyesali dirinya lagi, kalau Sabrina menyusul Mei Lan dengan cara yang lain. Kalau Mei Lan jadi mangsa buatan ilmu jahat, maka Sabrina bisa jadi korban pertarungan dengan wanita iblis yang amat pintar itu.
Dilihat sepintas, tidaklah masuk akal, bahwa Aini punya kekuatan yang luar biasa melalui ilmu pengobatan dan ilmu hitam, la yang sudah janda dengan seorang anak perempuan umur lima tahun diketahui punya hubungan erat sekali dengan seorang pejabat yang punya wewenang lumayan besar. Seorang duda dengan tiga anak.
Yang terkenal sebagai pejabat baik dan disegani oleh masyarakat.
la orang yang masih benar-benar ber-Tuhan Yang Maha Esa,
bukan ber-Tuhan kepada uang yang dianggap Maha Kuasa. Kata orang, sudah cukup banyak orang kaya yang ber-Tuhankan harta yang dipupuknya terus dengan berbagai cara tanpa memikirkan segala macam akibat dari perbuatannya. Terhadap lingkungan, terhadap bangsa dan negara. Terparah, kalau ia pejabat yang rakus, merusak wibawa Pemerintah yang sebenarnya sangat mutlak
dipelihara guna ketertiban dan kelancaran yang serba baik bagi bangsa pada umumnya. Bukan bangsa dalam arti kelompok yang amat kerdil.
Aini yang rupawan juga main gila dengan beberapa pemuda.
Sama pegangannya dengan Mbah Penasaran, wanita tak pernah tua di Banten itu, yang harus selalu bersenggama dengan orang muda, guna memperpanjang keadaan lahiriahnya. Selalu muda dan cantik.
Yang amat diperlukan Aini hanya anak-anak muda. Tidak penting apakah mereka sudah dapat memberi kesenangan dalam perbuatan itu.
Setelah mendapat kata sepakat, Sabrina yang lebih muda dari Aini berkunjung ke rumah dukun itu. la menceritakan tentang seorang saudaranya yang sakit keras di Padang dan sudah tidak
terobati oleh dukun dan dokter mana pun. Setelah mendengar nama besar Aini maka ia ke Palembang. Perempuan muda yang ternyata sangat ramah itu mendengarkan dengan penuh perhatian dan
wajahnya menunjukkan rasa simpati.
Aini menawarkan minuman dan makanan kecil kepada Sabrina
dan keduanya kelihatan menjadi akrab. Tetapi setelah Sabrina selesai dengan cerita dan menjawab semua pertanyaan Aini, wanita itu dengan lembut berkata, "Mestinya kita dapat jadi sahabat. Aku senang dengan Anda."
"Itulah harapan saya," kata Sabrina.
Dengan senyum Aini berkata, "Sayang maksud kedatangan Anda tidak sebersih itu. Tidak ada keluarga Anda yang sakit keras. Anda sedang mempelajari diriku untuk kepentingan sahabat Anda yang pernah Anda cintai. Tak tahu apakah terhadap dirinya harus dikatakan seorang atau seekor manusia harimau. Bukan hanya dia sendiri. Kalian bertiga, kalau yang seorang dari Minang itu tidak masuk hitungan. Nasihati si manusia harimau supaya meninggalkan kota ini. Yang dicarinya sudah tidak ada dan tidak akan ada. Aku tidak menyukai permusuhan, kecuali kalau eksistensiku diancam,"
katanya. Ternyata ia seorang cukup terpelajar. Pandai
mempergunakan perkataan eksistensi. Kenyataan bahwa dia itu ada.
Sabrina terdiam. Dia bukan tidak memperhitungkan kepandaian semacam itu. Tetapi mengapa tidak sejak semula ia
memperlihatkan, bahwa ia tahu apa maksud kedatangan Sabrina. la begitu ramah. Tidak kelihatan dibuat-buat. Aktingnya sempurna.
Hanya pemain watak dapat melakukan sebaik itu.
Sabrina tidak bereaksi. Dia malu. Bagi sementara orang, malu lebih dari segala-galanya. Orang ekstrim akan berkata, lebih baik mati daripada malu.
"Saya tahu Anda malu, Sabrina. Tetapi dengan tulus kuminta supaya Anda buang malu itu. Aku bisa mengerti, kesetiaan
seseorang terhadap kawannya. Aku pun akan berbuat sama untuk
orang yang kucinta. Aku mencintai banyak orang Sabrina, yang satu cinta benar, yang lainnya suatu keharusan guna memelihara diri.
Anda mengerti" Aku minta bantuanmu, mengatakan kepadanya
supaya membuang jauh dendamnya itu. Waktu itu aku hanya
menjalankan tugas sebagai dukun. Tidak menyelidiki siapa yang akan dipasang. Anda masih suka mengisap darah bayi Sabrina?"
tanya Aini dengan suara bersahabat. Tiada nada menyindir atau mengejek.
"Anda tahu itu?"
"Itu makanya kutanyakan. Itu bukan keinginan hatimu Sabrina.
Jadi tak perlu merasa malu atau rendah diri. Itu dorongan nafsu yang menyimpang. Mungkin juga dorongan iblis yang kadangkala masuk ke dalam tubuh manusia. Kekuatan iblis itu hebat. Bilamana dia telah mendorong, seringkah manusia terjerumus. Memukul, mencuri, menipu, membunuh. Anda dengar" Membunuh. Semua
manusia normal tak kan mau membunuh. Sebab berat risikonya.
Yang membunuh itu bukan manusia Sabrina. Itu iblis, syaitan.
Tangan manusia yang digunakannya untuk melaksanakan. Dan si manusia yang bersalah itulah yang dihukum. Bukan si iblis. Dia sudah keluar lagi setelah maksudnya tercapai. Jahat dan licik, bukan?" kata Aini memberi kuliah.
Sabrina tak dapat lain daripada kagum atas kepintaran dan kecerdasan wanita itu. Dan dia yang selalu dapat menghadapi segala macam lawan, merasa ditundukkan. Dia ingin mengatakan, bahwa perempuan itulah yang selalu dirasuk iblis, tetapi mulutnya tak kuasa bicara. Bagaikan dikunci.
"Pulanglah, katakan kepada si manusia harimau. Yang sudah terjadi, biarlah berlalu. Apa yang kukatakan itu semua benar, sama benarnya dengan apa yang Anda pikirkan sekarang. Bahwa diriku selalu dikuasai iblis. Aku tidak membantahnya."
Sabrina tidak kuasa membantah. Perempuan itu hanya
mengatakan yang benar. Kemudian ia merasa haus. Bukan haus biasa, la ingin darah. Sudah lama dia tidak mendapat.
Bila kedatangan tuntutan nafsu semacam itu,, wajah Sabrina selalu berubah, tetapi tidak terlihat, kalau tidak benar-benar diperhatikan. Lain halnya dengan Aini, ia tidak memperhatikan, tetapi langsung tahu, bahwa Sabrina sedang mengalami proses haus yang tidak normal. Dan ia mengatakan hal itu. Berterung terang.
"Anda sedang kehausan. Di rumah ini ada seorang bayi, anak adikku. Jadi kemenakanku. Anda tentu tidak mengharapkan
darahnya dan juga tidak akan sampai hati mencoba-coba, karena kita bersahabat. Bukankah begitu?" kata Aini.
Sabrina bertambah malu, walaupun telah dikatakan oleh Aini, bahwa ia tidak perlu merasa malu atau rendah diri. la tetap tidak berkata apa-apa, tetapi dia terkejut ketika Aini menyatakan akan menolongnya dari tuntutan yang pasti akan kian memuncak itu.
"Akan kutolong buat sekali ini," kata Aini. la permisi ke dalam sebentar dan tak lama antaranya keluar dengan membawa
pertolongannya. Dua butir lada putih, sebutir lada hitam dan jeruk nipis se-sayat.
"Telanlah lada ini," kata Aini memberikan lada yang tiga butir.
Tanpa ragu-ragu, Sabrina menurut.
Lalu Aini memberikan jeruk nipis yang dimantrai nya sejenak.
"Untuk diisap-isap ' ujarnya.
Sabrina heran. Serta merta rasa harus darah itu lenyap. Haus biasa saja pun tidak lagi.
"Anda hebat sekali. Terima kasih," ucap Sabrina. la mohon diri, benar-benar merasa lega karena terbebas dari tuntutan yang pasti akan meminta korban. Belum pernah Sabrina tidak mendapatkan darah, manakala nafsu jahat itu telah datang menerjang nerjang dirinya.
"Aku senang dapat bertemu dengan Anda. Baru sekali ini aku berkenalan sampai bersahabat dengan penyimpang nafsu secantik Anda. Selamat jalan. Pesankan kepadanya, supaya meninggalkan
Palembang. Itulah yang terbaik bagi kita semua!"
Sabrina tidak berjanji apa-apa. la telah menemui kekalahan terbesar selama hidupnya. Tak menyangka ada wanita muda dan cantik dengan ilmu yang begitu luar biasa.
0odwo0 Mendengar kisah Sabrina, si manusia harimau yang tidak turut menyaksikan pun sangat heran, tetapi kenyataan itu tidak
membuatnya mengurungkan maksud untuk membalaskan dendam
atas ke-matian Mei Lan.
Karena sudah melihat sendiri kehebatan wanita yang dukun itu, dan tidak ingin terjadi cidera atas diri Erwin, maka Sabrina mengusulkan untuk menyambut sikap Aini yang bersahabat itu.
Tetapi Erwin tidak terbujuk. Dia ingat janjinya di makam Mei Lan, bahwa ia akan membalas, wa laupun karena itu ia harus mati di Palembang. Dan Ki Ampuh menyokong pendirian Erwin. Harus
dibalas. Karena Erwin sudah berjanji kepada Mei Lan yang tentu mendengar, karena yang mati hanyalah jasadnya.
Peristiwa yang sangat menggemparkan itu tidak akan terjadi jikalau Erwin menuruti nasihat Sabrina sesuai dengan permintaan Aini. la memutuskan untuk mendatangi Aini dan mencabut nyawa dukun besar yang petualang seks itu di rumahnya sendiri. Benar di rumah sendiri, sebagaimana ia telah mendatangi Maribun di rumahnya dan kemudian menewaskannya, la akan melakukan yang serupa, karena orang sejahil Aini, walau bagaimanapun cantiknya, tidak punya hak untuk dibiarkan hidup lebih lama. Kelanjutan hidupnya hanya akan menambah jumlah manusia yang akan jadi mangsanya.
Erwin memperkirakan juga, bahwa mungkin Aini mengetahui
segala maksudnya sebagaimana ia tahu apa maksudnya kedatangan Sabrina sebenarnya. Pengetahuan inilah yang lebih menguatkan Erwin dengan dorongan Ki Ampuh untuk adu kesaktian, ketinggian ilmu dan wibawa.
Erwin bukan hanya mengandalkan kepandaiannya yang tinggi, tetapi yakin bahwa wanita itu akan kaget oleh kedatangannya. Yang disangkanya akan meninggalkan Palembang guna mencegah
bencana seperti yang dipesankannya melalui Sabrina.
Erwin dan Ki Ampuh bergerak pada petang hari. Datuk diminta untuk tidak turut, tetapi ia tidak dapat ditahan. Dia juga rela mati di Palembang, katanya.
Dan benar, Aini melihat kedatangan mereka, la minta kepada calon suaminya, orang jujur yang bernama Cek Kassim, agar mengatur penduduk sekitar untuk mengepung dan menangkap atau membinasakan para penjahat itu.
0odwo0 TIGAPULUH LIMA KETIKA bergerak dari tempat mereka memondok, Erwin sudah
merasa tidak enak, seperti ada sesuatu yang akan menimpa. Sekali lagi Sabrina menasihati supaya membatalkan maksud itu. "Aku tidak akan pernah tentram kalau tidak membalas, Sab. Gangguan itu akan sangat menyiksa. Paling buruk pun, ya mati!" kata Erwin yang mempunyai tekad bulat. Sabrina setuju, bahwa orang harus tidak takut mati, tetapi sangat perlu dipikirkan, apakah kematian akan lebih baik daripada hidup" Bagi orang yang masih dapat berbuat kebaikan kalau ia masih hidup. Apalagi kalau ia masih sangat diperlukan oleh sesama manusia hidup. Erwin menerima pendapat Sabrina, tetapi tetap tidak mengurungkan maksudnya.
la berjalan berdua dengan Datuk. Sebagai orang biasa. Ki Ampuh turut bersama mereka, tetapi tidak memperlihatkan diri. Sabrina menanti di tempat mereka menyewa untuk beberapa malam. Bila pembalasan telah selesai mereka akan meninggalkan Palembang dan Erwin tidak punya niat untuk kembali ke sana. Teuku
Samalanga pun sudah tidak ada. Entah kapan ia akan bertemu lagi dengan orang pandai dari Aceh yang akhirnya dituduh sebagai pembunuh, tetapi telah diselamatkan Erwin ke Jambi.
Erwin merasa seperti diperhatikan banyak mata yang
bersembunyi tidak kelihatan, tetapi dirasakan mengepung dirinya.
Apakah yang tidak kelihatan, tetapi dirasakan mengepung dirinya.
Apakah yang hendak mereka lakukan" Tetapi baru saja ia selesai dengan pertanyaan itu kepada dirinya, datanglah perasaan yang senyampang disukai, tetapi kadang-kadang juga sangat ditakuti.
Tetapi ia berjalan terus ke arah rumah Aini yang sudah kelihatan, la akan membuat terkejut Aini, karena bagaimanapun ia pasti belum pernah melihat manusia harimau dalam wujudnya yang nyata.
Itulah pula yang diharapkan Aini untuk jadi alasan pengepungan dan penangkapan.
Dalam tempo sebentar saja, orang-orang yang tadinya tidak kelihatan itu, bermunculan. Sebenarnya mereka takut, tetapi karena banyak dan saling memberi semangat, mereka hadapi juga makhluk yang belum pernah mereka saksikan sepanjang umur. Anehnya harimau berkepala manusia itu timbul mendadak saja. Bukan kelihatan datang ke arah mereka. Ada yang sempat melihat, bahwa tadinya harimau ini manusia biasa yang berjalan dengan kawannya.
Tiba-tiba dia menjadi harimau.
Polisi yang diberitahu juga segera datang. Lebih dulu Hansip yang memelopori pengepungan.
"Pergilah Datuk, sebelum terlambat!" kata Erwin.
"Tidak, aku mau turut menghadapi manusia-manusia jahat ini."
Memburu Manusia Harimau Seri Manusia Harimau Karya S B Chandra di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mereka bukan jahat. Mereka takut dan ingin menyelamatkan diri."
"Dengan jalan ini?" tanya Datuk. Ki Ampuh yang tidak kelihatan oleh para pengepung mengatakan, bahwa apa pun yang akan
terjadi harus dihadapi dengan sega\a konsekuensinya. Masih ditambahkannya, walaupun keadaan begitu gawat, mereka
hendaknya bisa ke luar hidup sebab dia masih ingin merasakan hidup sebagai manusia kembali.
Pada saat itu juga Erwin berkata, bahwa ia akan membawa Ki Ampuh sekali lagi ke negerinya, kalau masih ada nyawa tersisa
untuk itu. "Jadi ada kemungkinan, Er?" tanya Ki Ampuh.
"Kalau ke luar hidup, kita coba menghadap. Yang satu ini barangkali sanggup!" kata Erwin.
"Kalau begitu, kita harus mengalahkan mereka," kata Ki Ampuh bersemangat. Sementara itu kepungan tampak semakin rapat, meskipun masih tidak mungkin melakukan pertempuran bersosoh dalam jarak sangat dekat. Melihat para pengepung itu rata-rata bersenjata parang, lembing dan pentungan, sekali lagi Erwin meminta Datuk untuk menghindar. Dia tidak akan diserang, karena hanya dialah yang tampak sebagai manusia. Mereka akan
menganggap dia sebagai tameng si manusia harimau agar tidak diserang. Setelah berdebat singkat dan Erwin mengatakan, bahwa ia membutuhkan Datuk untuk masa mendatang, maka diaturlah siasat bagaimana Datuk menghindar tanpa dapat serangan. Dan siasat itu berhasil. Ketika si manusia harimau lengah. Datuk secara takut-takut melarikan diri. Nasib sangat baik baginya, di antara para penge-pung ada yang meneriakkan "lekas, lekas" dan mereka memberi selamat kepadanya, karena ia bisa meloloskan diri.
Ketika pasukan Polisi datang, kelihatan mereka membawa
senjata cukup lengkap kalau sekedar menangkap atau membunuh satu manusia harimau. Mereka itu tentu tidak segan-segan
menembak, pikir Erwin dan Ki Ampuh. Bukan jarang terdengar berita tentang anggota Polisi atau orang bersenjata lainnya yang gatal tangan serta punya selera membunuh, mempergunakan
senjatanya sampai menewaskan orang lain, yang seharusnya tidak sampai perlu. Ada kalanya yang roboh itu malah tidak punya dosa sama sekali. Tidak punya hubungan dengan penyebab pencabutan senjata api.
Setelah melihat Datuk selamat, Erwin merasa lebih leluasa. Satu kekhawatiran telah tiada. Para pengepung kian dekat. Aini yang jadi penyebab terjadinya bencana ini turut melihat, bahkan mengatur dari jarak yang agak jauh bersama kekasihnya Cek Kassim. Tetapi bukan hanya dia wanita yang berperan. Dari suatu rumah turut
menyaksikan dengan jantung berdebar Sabrina yang sangat
mengharapkan Erwin keluar dengan selamat. Betapa ia sangat mengharapkan Erwin sebagai teman hidup menjelang mati, karena itulah yang mestinya serasi dengan dia, karena kedua-duanya mereka mempunyai unsur harimau yang kuat. la menyuruh otaknya bekerja, bagaimana mengendurkan dan kalau bisa menghentikan pengepungan itu. la teringat pada bayi yang kemenakan Aini, yang disebut-sebut dukun kawakan itu jangan diganggu, karena Sabrina juga tentu tidak sampai hati melakukannya terhadap orang yang sudah jadi sahabat, la ingat kata-kata Aini, tetapi dia juga melihat kenyataan yang dihadapi Erwin. Hatinya berperang.
Tiba-tiba terdengar suatu suara keras memberi komando. Untuk menyerbu. Tetapi tidak ada yang mematuhi. Hanya sejumlah
pengepung kian mendekat dengan hati-hati. Meskipun mereka banyak sedang yang dihadapi hanya satu. Mereka tidak mampu menduga bagaimana kekuatan dan perlawanan yang akan
dilancarkan si terkepung. Mereka hanya tahu satu kepastian, bahwa dalam keadaan terjepit manusia yang harimau atau harimau yang manusia itu akan melawan. Tidak akan ada menyerah kalah saja.
Jadi, korban pasti jatuh atau berjatuhan, walaupun pada akhirnya makhluk itu mungkin akan binasa di sana.
Dan siapakah yang akan mati" Mereka bertanya pada diri.
Akukah barangkali" Ini tak dapat dijawab. Sudah bergantung pada nasib. Dan ini juga yang membuat kebanyakan dari mereka
bergerak ragu-ragu. Lebih suka di belakang. Tidak terlalu dekat.
Tetapi di samping mereka yang berhati-hati ini, tidak berani gegabah mengadu nyawa yang benar-benar cuma satu, ada juga yang nekad. Jumlah kecil ini menyerbu dan merekalah yang
pertama-tama bertarung dengan Erwin. Sudah tentu bagi Erwin tidak ada pilihan lain daripada merobohkan mereka. Hukum
mematikan atau dimatikan tidak dapat dielakkan. Dan perlawanan yang mereka terima, di luar dugaan. Manusia harimau itu memukul penyerangnya dengan kedua kaki depannya sambil menancapkan kuku ke dalam muka atau leher lawannya. Parang dan lembing yang dihantamkan ke tubuh makhluk itu ternyata tidak membuat dia luka.
Hanya menggeram dengan keras. Dan selalu saja orang yang
mematang atau melembing dia yang dihajar tanpa ampun. Dia tidak menggigit, jadi berlainan dengan harimau biasa, yang punya taring-taring kuat dan tajam Erwin tidak mempunyai itu. Oleh serunya pertarungan, beberapa banyak pengepung malah jadi penonton dari jarak yang lumayan jauh. Itu lebih aman. Tidak ada para penyerbu yang menghampiri Erwin bebas dari tamparan. Setelah para
penyerbu yang tidak terlalu banyak itu roboh, ia punya waktu untuk merobek-robek dada dan perut mereka, membuat pengepung
lainnya tidak punya selera lagi untuk mendekat. Mereka tidak mau jantung dan hati serta ususnya diburaikan.
Tetapi seorang anggota Polisi yang cukup berani atau mungkin juga nekad mengajak pengepung menyerbu lagi. "Hayooo,"
teriaknya, "dia harus mati!" Dia pun lalu menyerbu diikuti oleh beberapa orang yang jadi berani atau malu oleh contoh yang diberikan sang Polisi.
Mungkin Polisi itu punya "simpanan serta pakaian" khusus, la menerjang Erwin yang sedang berhadapn dengan seorang
pemarang. Dia melompat ke udara menendang kepala Erwin
sehingga manusia harimau itu terjengkang. Dari jarak dua meter dilepaskannya beberapa peluru dari pistolnya. Semua mengenai tubuh si manusia harimau, tetapi tidak membuat dia menjerit.
Hanya geramnya menunjukkan ia sangat marah, la bangkit lagi dan kini memusatkan penyerangan terhadap si Polisi yang hebat dan garang itu. Dua Polisi lain beserta dua anggota Hansip jadi turut menyerbu. Mungkin karena malu hati. Tetapi Hansip yang dua orang segera dibabat oleh Erwin. Senjata senapan panjang yang dipakai oleh seorang Polisi terlepas karena tangannya dipukul dengan keras oleh si manusia harimau. Polisi ini tidak sehebat Polisi pertama.
Rupanya Polisi pertama tadi memang benar punya ilmu silat tangguh, silat harimau. Belakangan ternyata dia pernah belajar silat harimau itu di Gunungtua, Padang Lawas, Tapanuli. Namanya Radian, marga Rangkuti.
"Menyerahlah," kata Radian. Dia punya pengetahuan lumayan
tentang harimau, baik yang liar, piaraan, jadi-jadian maupun yang manusia harimau, yang jumlahnya sangat langka.
"Tak mungkin, dongan. Menyerah untuk mati tidak mungkin!"
jawab Erwin sambil menampar keras seorang penyerbu lain.
"Orang-orang yang bermatian ini tidak punya dosa," kata Radian.
"Sama dengan aku. Aku juga tidak punya dosa. Tidak punya urusan dengan orang-orang ini kalau mereka tidak mau menangkap dan membunuhku. Apalagi Anda, yang kuyakin berasal dari
Tapanuli. Silatmu itu menunjukkan. Anda orang berani."
Atas anjuran Cek Kassim yang menuruti keinginan Aini, beberapa orang lagi menyerbu. Erwin, bagaimana hebat dan berani pun mempertahankan nyawa, mulai kewalahan. Kini peranan Ki Ampuh baru tampak oleh para pengepung dan penonton. Sebenarnya sejak tadi sudah beberapa orang jatuh dan berteriak tanpa mendapat serangan si manusia harimau. Mereka diseruduk oleh Ki Ampuh.
Dua orang di antara mereka tewas setelah jatuh dan terus saja ditusuk dengan taring-taringnya yang tajam dan berbisa.
Kini para pengepung terbelalak dan tahu, bahwa ada kawan si manusia harimau yang tidak kelihatan.
Sudah delapan orang roboh, lima di antaranya tewas. Radian yang masih utuh dan punya tenaga tidak meneruskan penyerangan, mengherankan Polisi lainnya. Lebih mengherankan, si manusia harimau juga tidak lagi menaruh perhatian kepadanya. Pasti ada di antara para pengepung itu yang berpikir macam-macam.
Berkeluargakah mereka maka nya damai berdua"
Melihat Erwin sudah letih beberapa orang lagi maju. Ingin merobohkan si manusia harimau. Tetapi pada waktu itu pulalah Aini mendengar jerit dari rumahnya, la berlari ke rumah, ada apa"
Ternyata bayi mungil yang anak adiknya telah tiada. Dan di atas bantalnya ada secarik kertas. Hanya mengatakan, bahwa bayi dikembalikan kalau penyerangan dihentikan segera. Kalau si manusia harimau tewas, maka bayi itu tidak akan kembali, tetapi akan selamat.
Kejam si Sabrina pengisap darah itu. Tetapi tidak terlalu kejam, karena tidak akan membunuh sang bayi yang tidak berdosa. Karena ia sudah menikmati kebaikan Aini yang menghilangkan nafsu jahatnya. Walaupun hanya untuk sekali itu saja.
Aini berlari kembali ke tempat Cek Kassim dan meminta
kepadanya supaya penyerangan dihentikan. Dan perintah segera dilaksanakan, walaupun sudah tentu menimbulkan tanda tanya bagi para pengepung.
Cek Kassim pandai memberi dalih. Si manusia harimau bukan hanya sendiri. Punya kawan tidak kelihatan yang tak kurang ganasnya dari dia. Mungkin jin, begitu pikir mereka.
Hari sudah senja. Para penyerang berhenti dan Erwin dengan kawannya yang tidak kelihatan juga berhenti, mengambil sikap menunggu.
"Pergilah," kata Cek Kassim dengan suara keras supaya terdengar oleh Erwin.
"Rabunkanlah mata mereka terhadap dirimu," kata Ki Ampuh dan Erwin segera memenuhi nasihat ini. la mendadak hilang dari pandangan para pengepung itu, meneruskan perjalanan melalui orang banyak tanpa dilihat oleh siapa pun. Tiba di rumah. Datuk dan Sabrina sedang menanti. Erwin terkejut melihat ada bayi digendong Sabrina. la bertanya, anak siapa. Kemudian ia
merebahkan diri. Dia tidak luka, tetapi letih. Letih sekali.
Pengeroyokan itu hampir menewaskan dirinya.
"Segala puji bagi Allah, kau selamat Erwin," kata Datuk.
"Berkat bantuan Ki Ampuh. Sebenarnya dialah yang menaklukkan mereka!" kata Erwin. Kini baru diulanginya bertanya anak siapa yang digendong Sabrina.
Sabrina hanya menjawab, "Anak sahabatku!"
"Mengapa dititipkan padamu?"
"Aku senang anak," sahut perempuan itu.
"Jangan yang bukan-bukan, Sab," kata Erwin yang mengetahui., sifat dan nafsu Sabrina. "Katakanlah yang sebenarnya'
Setelah itu Sabrina mengatakan, bahwa anak itu hanya untuk sebentar padanya, nanti diantarkan kembali. Dan ia terpaksa menceritakan secara singkat apa yang telah dilakukannya, tetapi sama sekali tidak punya niat yang buruk, la khawatir sekali, Erwin ialah sangka. Tetapi Erwin mempercayai ceritanya
"Lekaslah antarkan," pinta Erwin dan Ki Ampuh. Begitu pula Datuk.
"Aku cari dulu wanita yang mau membantu. Aku sendiri tidak mungkin ke rumahnya. Malu, aku malu!" kata Sabrina.
Wanita yang diperlukan segera didapat dan dengan upah
selayaknya pergi mengantarkan sang bayi. Ibunya menerima
dengan linangan air mata gembira, karena tadinya mereka
sekeluarga tidak yakin bahwa wanita jadi-jadian itu akan memenuhi janji. Aini sendiri merasa senang, karena kebaikannya telah dibalas oleh Sabrina. la menyesali dirinya yang telah menyebabkan Erwin dikepung dan diserang, yang akhirnya membuat lima orang tewas dan tiga orang luka berat. Tetapi kemudian ia memaafkan dirinya sendiri, karena ia merasa tidak diberi pilihan lain. la sudah memberi ingat melalui Sabrina, supaya tidak terjadi permusuhan.
Erwin khawatir akan terjadi lagi sergapan atas mereka. Maka diambil keputusan untuk berangkat malam itu juga. Menyelamatkan diri kalau tidak dikejar. Kematian sekian banyak orang bisa membangkitkan amarah yang tak mereka buru-buru berangkat.
TAMAT Document Outline
Seri Manusia Harimau EBook: Dewi KZ
Sumber djvu : Syaugy_ar Hanaoki website
Pendekar Pemetik Harpa 12 Pusaka Rimba Hijau Karya Tse Yung Anak Harimau 20
Sabrina mengaku datang dari Surabaya karena mendengar dari seorang sahabatnya, bahwa di Lubuklinggau ada seorang yang amat pintar dengan ilmu sihir yang amat tinggi. Telah banyak bantuan dipinta dari berbagai dukun, tetapi tak ada seorang pun yang berhasil.
Pak Mayor yang baik hati menyatakan suka menolong kalau ia dapat. Lalu diceritakannya tentang Raden Sulaiman yang telah banyak membantu orang-orang yang dalam kesulitan atau sakit keras oleh perbuatan orang-orang yang jahil, la menerangkan kemampuan Raden Sulaiman setelah Sabrina menceritakan, bahwa ayahnya tewas oleh terkaman seekor harimau piaraan. Dalang dari kejahatan itu tak lain daripada seorang sahabatnya sendiri yang merasa sangat terpukul dalam bersaing dagang.
Setelah bercerita panjang dan Pak Mayor percaya, bahwa Sabrina menceritakan yang sebenarnya, maka dibawanyalah wanita itu ke rumah Raden Sulaiman.
Kepada Raden Sulaiman, dihadiri oleh Mayor Buang, diceritakan oleh Sabrina bahwa dukun yang dipakai oleh saingan dagang almarhum ayahnya masih muda, bernama Erwin. Orang itulah yang mempunyai harimau, bukan hanya satu tetapi menurut
pendengarannya sampai tiga ekor dan semua menurut segala
perintahnya. Pak Mayor lantas yakin bahwa yang membunuh
Maribun tentulah harimau piaraan Erwin. Patutlah dia bisa bicara begitu banyak tentang harimau. Betapa liciknya orang itu dengan permainan sandiwaranya. Tentulah dia yang membuat air di dalam mangkuk putih Raden Sulaiman jadi hitam dan yang kedua kalinya jadi merah darah.
Raden Sulaiman yang juga serta merta percaya kepada Sabrina karena Pak Mayor juga tidak ragu-ragu kepadanya, langsung saja menceritakan apa yang telah dialaminya, la berharap, Sabrina akan bercerita lebih banyak tentang Erwin. Siapa tahu dia akan mengetahui di mana letak kelemahan orang muda itu, supaya mudah ia merobohkannya.
Dan Sabrina dengan meyakinkan menceritakan bahwa Erwin
memang punya segudang ilmu, tetapi takkan mampu melawan
Raden Sulaiman yang ketenaran namanya sudah sampai ke Jakarta, bahkan hingga ke Surabaya yang letaknya di Jawa Timur sana.
Kalau tidak betul-betul hebat, tak kan dukun besar di Lubuklinggau saja sampai dikenal di Jawa. Kebanyakan orang di Jawa apa lagi di pulau lain, di luar Sumatera, bahkan tidak tahu di mana letaknya tempat yang menyandang nama Lubuklinggau itu. Pak Raden jadi semakin bangga pada dirinya dan kalau diperhatikan baik-baik akan kelihatan bahwa lubang hidungnya agak mengembang. Rupanya Sabrina bukan hanya wanita keturunan harimau jadi-jadian yang senang darah bayi, tetapi juga seorang yang amat licik dalam bertanya dan berbicara.
Baik Mayor Polisi Buang maupun penyihir Raden Sulaiman
merasa, seolah-olah kedatangan Sabrina ke Lubuklinggau atas suruhan kekuatan gaib pula untuk membantu pihak penegak hukum dan penyihir dalam menegakkan keadilan. Yang seorang sesuai dengan tugasnya, yang lain untuk membalas dendam atas
kematian muridnya.
Semua keterangan yang didapat Raden Sulaiman dari Sabrina membuat dia mengurungkan pukulan atas diri musuh yang sudah
jelas baginya sampai pada keesokan malamnya supaya ia dapat mengadakan persiapan yang lebih baik.
Pada keesokan harinya Erwin sudah mengetahui dari Ki Ampuh bahwa penentuan nasib akan jatuh pada malam itu.
"Tetapi aku punya satu permintaan Erwin dan kuharap kau mengabulkannya. Dari jauh aku datang untuk menyampaikan
permintaan ini," kata Ki Ampuh. Erwin terharu sekali mendengar apa yang dipinta Ki Ampuh, dan ia menyetujui setelah mengatakan bahwa rencananya itu dihadang risiko yang cukup besar dan berbahaya.
Sama halnya dengan apa yang pernah diucapkan oleh Datuk,
maka Ki Ampuh pun berkata, bahwa kalau ada yang harus tewas, baiklah dia yang tewas, karena dia hanya seorang manusia kutukan, sementara kelanjutan hidup Erwin masih akan banyak gunanya bagi orang-orang yang membutuhkan pertolongannya.
Pada petang hari Sabrina sendiri datang ke tempat Erwin yang oleh Kapten Kahar dan Ibunya telah diminta untuk tinggal kembali bersama mereka menjelang keberangkatan. Dalam kunjungan itu Sabrina mengenakan pakaian nasional, sehelai baju Kebaya yang harmonis dengan kain panjangnya ha sil batik tulis dari Jogya dengan sanggul yang terletak santai di atas kuduk.
Pada saat bertemu kembali itu, kenangan indah yang pernah ada membuat Erwin serta merta terpesona, la tak kuasa menahan pujian, "Kau cantik sekali Sab. Lebih cantik dari biasa!" Wanita itu tersenyum, senang, walaupun ia pernah sangat membenci.
Erwin merasa malu, ketika Sabrina menjawab, "Bagaimanapun aku tetap si Sabrina yang malang. Bang Erwin. Yang benar-benar beruntung adalah Abang. Kudengar digilai oleh beberapa wanita di daerah Palembang ini, termasuk seorang yang keturunan
Tionghoa."
"Entahlah Sab, aku tak tahu apakah itu suatu keberuntungan.
Yang jelas aku seperti orang buruan!"
"Risiko lelaki yang digilai banyak wanita," kata Sabrina.
Mereka menceritakan pengalaman masing-masing. Diatur
rencana untuk malam itu tetapi memerlukan bantuan Kapten Polisi Kahar Nasution.
Sesuai mufakat. Pak Mayor diundang makan malam di rumah
Kahar. Semacam syukuran atas kesembuhan Dinar.
Tatkala Erwin memperkenalkan Sabrina kepada Kahar dan
adiknya, mereka pun sangat memuji kecakepan Sabrina, walaupun tidak diucapkan dengan kata-kata. Dinar yang menaruh hati pada Erwin langsung saja menganggap pendatang ini tentu saingannya.
Jauh-jauh dari Jawa ke Lubuklinggau sekedar mencari seorang Erwin.
0odwo0 Sebelum memenuhi undangan makan. Mayor Polisi Buang
terlebih dulu mengatur rencana kerja dengan Raden Sulaiman, la juga mengatur siasat dengan mempergunakan sejumlah anggota Polisi. Mengepung rumah Kahar kembali guna bertindak kalau perlu.
Si harimau akan datang ke situ dan bila tampak harus segera ditangkap hidup. Hanya ditembak kalau ia memberi perlawanan, itu pun jangan tembak mati. Tidak diceritakannya tentang Raden Sulaiman yang akan bekerja dari rumahnya pada saat yang sama.
0odwo0 TIGAPULUH MAYOR Polisi Buang memasuki rumah Kapten Kahar Nasution
dengan wajah ceria, seolah-olah bukan dia yang belum lama berselang menaruh kecurigaan besar atas rekan yang setingkat di bawah pangkatnya itu. Sang Kapten juga menyambutnya dengan gembira, walaupun ia bertanya pada dirinya apakah yang
menyebabkan Pak Mayor ini jadi begitu senang.
Sebagai basa basi Kahar langsung saja berkata, "Saya senang melihat Pak Mayor sangat girang. Tentu ada sebabnya. Tetapi aku tidak bertanya, kalau hal itu merupakan rahasia!"
"Tidak ada rahasia apa-apa. Hidup kan memang diselang-seling oleh tawa dan air mata," sahut Pak Mayor.
"Filsafat hidup yang baik sekali, kalau air mata bisa merubah keadaan yang menyebabkan deraian-nya.
Mayor Polisi Buang tidak menanggapi, walaupun di dalam hati ia mengakui kebenaran kata-kata Kahar.
"Aku berharap malam ini kita akan bebas dari misteri yang belum berjawab itu."
"Apakah itu suatu misteri Pak Mayor?" tanya Kahar.
"Bagiku, ya. Tetapi malam ini akan kita pecahkan. Sang pembunuh akan kita tangkap atau binasakan!"
"Harimau yang berjalan atas dua kaki itu?"
"Atas dua dan empat kaki," kata Mayor Buang menyempurnakan.
"Sudah dapat cara menangkap atau membunuhnya?"
"Tentu saja. Di dunia ini tidak ada manusia yang begitu pandainya, sehingga tidak ada lagi orang lain yang mengatasinya.
Dan orang yang mengalahkannya itu pasti masih dapat pula
dikalahkan oleh orang lain. Jadi, di dunia tidak ada yang tak terkalahkan!"
"Lagi sebuah pandangan dan pegangan yang amat tinggi nilainya."
Pak Mayor senang mendengar sanjungan Kapten Polisi Kahar. Dia pun merasa dirinya pandai dan hebat.
"Rupanya pembunuh Pak Maribun itu pengembara yang sudah berkelana sampai ke Jawa."
"Dari mana Pak Mayor ketahui?"
"Itu masih rahasia. Orang benar selalu akan menang."
"Kadang-kadang," kata Kapten Kahar melemahkan pendapat atasannya.
"Mengapa kadang-kadang?"
"Ada orang yang merasa dirinya benar, tetapi sebenarnya tidak benar. Ada orang yang memang benar, tetapi dia kalah juga.
Banyak pepatah indah sudah tidak berlaku lagi sekarang!"
"Mengapa begitu?" tanya Mayor Polisi Buang yang yakin bahwa pada malam itu ia pasti akan menang.
"Karena pepatah-pepatah itu buatan orang zaman dulu, yang dalam banyak hal lain dari kita yang hidup di zaman ini. Kita umpamanya, kita penegak kebenaran. Coba kita bicara jujur.
Apakah selalu yang benar keluar sebagai yang menang" Apakah bukan yang kuat yang selalu keluar sebagai pemenang" Coba jawab dengan jujur, berdasar kenyataan di sekitar kita. Tanpa mendustai diri sendiri karena seperti sudah membudaya, bahwa dalam banyak hal, dusta, tipu, curi dan rampok bukan apa-apa!"
Mayor Polisi Buang memandangi bawahannya yang diakui telah berkata benar. Banyak sekali peristiwa yang bukan hanya
menyentuh, tetapi bahkan menerjang perasaan keadilan dan
kebenaran. Meskipun percakapan mengenai kebenaran dan keadilan yang
belum kunjung tegak itu sangat menarik, tetapi Pak Mayor tidak lupa, bahwa dia ada pekerjaan yang jauh lebih bermakna daripada sekedar ngomong-ngomong mengenai hal yang masih merupakan mimpi belaka, la ingin sekali mengetahui, dengan cara yang manakah harimau itu akan tertangkap atau terbunuh. Melalui Raden Sulaiman atau oleh anak buahnya yang melakukan pengepungan dengan senjata api.
Ketika tak kurang dari Dinar sendiri yang kemudian keluar mengatakan bahwa santap sederhana telah tersedia, mereka mulai makan. Jangan dikira bahwa hanya Mayor Polisi Buang yang makan
dengan pikiran bercabang! Kapten Kahar sendiri pun tertanya-tanya apakah gerangan yang sedang terjadi dengan Erwin. Lalu dengan Sabrina yang cantik itu. Kapten yang cukup ganteng dan belum punya istri itu tertarik oleh pertemuan pertama. Dan wanita cakep dari Sungai Penuh itu bukan pula hanya dikhayalkan oleh seorang Kapten Polisi, tetapi juga oleh Pak Mayor yang ditinggal mati istrinya beberapa tahun yang lalu tanpa anak. la tadi melihat sesuatu yang lain pada wajah wanita, suatu kelainan menyenangkan yang jarang tersua pada wajah wanita lain. Atau barangkali sama sekali tidak ada pada wanita lain mana pun. Kalau dia berjasa menangkap Erwin yang menurut Sabrina telah membinasakan ayahnya, dia akan punya peluang yang besar sekali untuk disenangi oleh Sabrina.
Wanita itu tentu sakit hati pada Erwin yang diketahuinya telah menjahili ayahnya tetapi tidak dapat dilaporkan kepada Polisi karena caranya membunuh tidak meninggalkan bukti. Tetapi kalau harimau piaraan Erwin dapat ditangkap lalu kekuatan sihir Raden Sulaiman dapat memaksa dia untuk berkata benar, maka dukun muda yang pandai bersandiwara itu tentu terpaksa mengakui bahwa harimau itu memang miliknya dan bahwa harimau piaraannya pulalah yang telah membunuh Maribun.
Semua akan berjalan lancar kalau di dunia ini ada satu kekuatan hendak menangkap atau membinasakan pihak lain, lalu pihak yang akan dilumpuhkan itu pun pasrah saja pada nasib. Tetapi yang jadi kenyataan sama sekali tidak begitu. Pihak yang akan ditangkap atau ditewaskan juga mempersiapkan diri untuk mengelak atau bahkan melawan.
Mendadak terdengar suara harimau mengaum. Mayor Polisi
Buang tersentak seperti disengat kalajengking. Suara itu sangat dekat. Kapten Polisi Kahar tak meneruskan suap yang sedang menuju mulut, la memandang sang Mayor yang juga sedang
melihat ke arah dirinya. Mayor mengangguk ditiru oleh Kapten.
Kedua-duanya menggerakkan bibir dengan gaya yang sama.
Tandanya berpikir sama dan dibahasakan melalui pandang dan gerak bibir. Tanpa kata. Dinar dan Ibunya memandang kedua laki-laki itu tanpa memberi komentar.
Kemudian mereka meneruskan makan. Tidak selezat semula.
Terutama bagi Mayor Polisi Buang. Harimau itu begitu dekat. Tak kan salah lagi, tentu inilah binatangnya yang menyerang dan membunuh Maribun. Yang meletakkan mayatnya di hadapan pagar pekarangan Buang, agaknya si Erwin yang sangat pandai
bersandiwara itu. Tetapi siapa pun yang punya harimau dan siapa-siapa pula yang ikut bersekongkol, semuanya pasti akan digulung oleh Raden Sulaiman. Tak kan ada yang melebihi Raden Sulaiman di kota Lubuklinggau, begitu pikirnya.
Mayor Polisi Buang telah berpesan kepada anak buahnya yang melakukan pengepungan agar benar-benar pasang mata. Jangan sampai kedatangan atau keberadaan harimau piaraan itu tidak kelihatan. Dia pun menjanjikan hadiah lumayan kepada mereka kalau harimau itu sampai tertangkap. Penduduk pasti senang dan memuji polisinya yang memang punya tugas untuk keamanan dan ketertiban. Kini keberhasilan itu jadi kian mutlak, sebab ada faktor lain yang harus dipenuhi. Tuntutan Sabrina dan tertariknya Pak Mayor Polisi Buang kepadanya.
Sekali lagi harimau itu mengaum. Lebih kuat dari tadi dan terdengar lebih dekat. Kini jantung Buang agak berdebar. Ada sesuatu yang mengganggu keyakinan dan kegirangannya, la melihat ke sekeliling dengan gaya seperti tidak sengaja dan tidak ada kaitan dengan auman harimau itu. la memuji keindahan gambar-gambar penghias dinding. Kalau harimau itu benar-benar sangat dekat dan punya ilmu perabun seperti diceritakan Erwin, maka itu tentu tidak kelihatan. Perasaannya kian tidak enak oleh khayalannya sendiri.
Kalau sang harimau sebenarnya sudah duduk di belakangnya, kemudian mencekik dia sebagaimana ia mencekik Maribun, maka ia akan tewas di meja makan itu. Hii, betapa buruk dan ngerinya.
Disiksa oleh pikirannya sendiri, Mayor Polisi Buang tidak menambah nasi, walaupun semula semua lauk sangat enak, sesuai benar dengan tuntutan lidahnya. Kini semua jadi tidak sedap lagi. Dari teramat enak ke sama sekali tidak enak, hanya dipisahkan oleh khayalan seseorang. Dalam hal begitu, betapa jahatnya berkhayal.
Celakanya, kalau hati sudah takut, maka khayalan yang menakutkan
pun tak dapat ditolak.
"Sedikit sekali makannya Pak," kata Kapten Polisi Kahar. "Kurang enak masakannya?"
"Oh tidak, tidak," buru-buru Buang menjawab, "semuanya sangat enak. Habis dari sini nanti, masih ada satu undangan yang perlu dipenuhi. Supaya jangan mereka sampai berpikir bahwa saya sombong. Untuk itu saya mesti menyediakan tempat sedikjt," kata Buang dengan tawa yang kentara sangat dipaksakan. Tetapi
lumayanlah. Masih dapat dia berdalih. Kalau lidah seakan beku sehingga tak dapat berkata lagi, itu baru betul-betul parah.
Raden Sulaiman yang hendak memperlihatkan, bahwa tiada
manusia melebihi ilmu sihirnya di Lubuklinggau dan merasa wajib membalaskan kemati-an muridnya Maribun, mengerahkan seluruh kepandaiannya. Patung-patung dari kayu dan batu yang mewakili dewa-dewa yang turut jadi sumber kekuatannya dimandikan dengan air tujuh macam bunga dan tujuh warna benang. Asap kemenyan putih yang pernah ditanam tujuh kali tujuh malam di bumi
pekuburan non Islam menggantung di dalam ruangan kerjanya yang tidak terlalu besar. Dengan penuh hormat dan khidmat ia
menyembah patung-patung yang dipertuannya itu, mohon kekuatan yang dapat mengalahkan segala kekuatan yang mungkin dimiliki oleh seorang anak manusia.
Selesai melakukan upacara sembah. Raden Sulaiman
menghadapi sebuah boneka dari kain-kain perca buatan sendiri, sangat sederhana. Baginya boneka ini tak lain dari orang yang akan jadi sasarannya. Erwin, si pendatang yang tak tahu diri dengan membawa harimaunya, la tak dapat dikenakan hukuman karena tak dapat dibuktikan bahwa ia melanggar hukum.
Selesai menghadapi boneka kain yang dipegangnya dengan
kedua belah tangan di hadapan mukanya, ia meludahi sang boneka lalu melemparkannya ke atas untuk kemudian jatuh kembali di atas tikar tempatnya bekerja.
Kalau kita melihat Erwin di kamarnya, akan tampak bahwa ia
mengaduh lalu mengerang-ngerang di lantai. Badannya sama sekali tidak terangkat, tetapi ia merasa seperti dibanting dengan seluruh kekuatan. Kira-kira seperti dibanting gajah yang murka atas penduduk, karena hutannya dibabati sehingga ia tak punya
makanan lagi. Datuk yang duduk di luar kamar karena tidak dibenarkan masuk, kalau Erwin sedang bekerja, tidak mengetahui apa yang sedang terjadi atas diri sahabatnya yang manusia harimau itu, tetapi seakan-akan tanpa sebab, pikirannya jadi kacau. Seolah-olah terjadi sesuatu atas diri sahabatnya.
Erwin yang sudah tahu dengan siapa ia berhadapan,
mengeluarkan segenap kepandaiannya, tetapi tak urung ia merasa seperti sedang dicambuk dengan cemeti, la merasa sangat sakit, padahal ia punya ilmu untuk tidak merasakan sakit walaupun dipukul beramai-ramai. Erwin tahu bahwa lawannya sedang
mencambuk dirinya dan ia tak kuat melawan akibat dari cambukan itu. Dan sebenarnyalah Erwin tidak keliru. Tatkala ia merasa dirinya di-cemeti. Raden Sulaiman memang sedang melecut boneka
kainnya dengan tujuh batang lidi daun aren (enau) yang diikat menjadi satu. la sudah siap untuk menenggelamkan boneka itu ke dalam ember berisi air cabai, ketika ia mendadak terkejut karena mendengar dengkur keras yang dikenalnya sebagai dengkur babi.
Ketika Raden Sulaiman menoleh, memanglah ia melihat seekor babi hutan dengan taring-taring panjang, menandakan ia sudah sangat dewasa. Karena kedatangan seekor babi ke dalam kamarnya yang tertutup sama sekali diluar dugaan atau khayalan ia mengetahui, bahwa lawannya yang barangkali sedang sekarat telah mengirim babi hutan piaraannya. Bangsat busuk itu rupanya bukan hanya memelihara harimau tetapi juga celeng hutan yang terkenal ganas.
Para peladang yang terbiasa pulang lewat senja, lebih mungkin akan diserang oleh babi hutan daripada diterkam oleh harimau. Walaupun di mana ada babi hutan boleh dipastikan ada harimau, karena babi sangat disenangi oleh nenek belang untuk jadi santapannya.
"Pergi kau jahanam," bentak Raden Sulaiman sambil membaca-
baca doanya yang biasanya sangat ampuh.
"Anda bukan Tuan-rumah yang baik. Aku baru tiba sudah diusir.
Tak menghargai tamu!" kata Ki Ampuh dengan nada kelakar.
Mendengar babi bicara. Raden Sulaiman segera mengerti, bahwa yang punya sangat tinggi dalam ilmu atau babi ini binatang siluman yang setelah selesai dengan maksudnya akan menjadi manusia kembali. Dan Raden Sulaiman bertekad untuk merubah babi ini jadi tikus yang tak punya daya apa pun.
"Jangan, sia-sia maksud Anda mau menikuskan aku!" ujar Ki Ampuh.
"Siapa majikanmu?" tanya Raden Sulaiman. "Si bangsat Erwin itu?"
"Anda terlalu sombong penyihir. Mula-mula mengusir aku, kemudian hendak membuat aku jadi tikus dan barusan kau
menganggap aku sebagai budak seseorang!"
Melihat kepandaian si pendatang aneh yang tak diundang dan sangat tidak disukainya itu, Raden Sulaiman berusaha menahan diri.
Yang begini lebih baik dilemahlembuti daripada dihina dengan kata-kata kasar.
"Bagaimana kalau kita bersahabat, sebab tak ada sebab bagi kita untuk bermusuhan. Bertemu pun kita baru sekali ini. Anda dari mana" Tinggal di sekitar sini juga?" tanya Raden Sulaiman.
Ki Ampuh mengecilkan matanya yang memang sudah kecil itu
untuk mengejek Raden Sulaiman yang diketahuinya sedang
menjalankan muslihat.
"Siapa bilang tidak ada urusan di antara kita. Memusuhi Erwin sama artinya menantang aku. Karena dia saudaraku," kata Ki Ampuh, la bangga mengucapkan kata-kata itu, karena Erwin punya nama dan wibawa.
"Aku mengusulkan persahabatan. Tetapi walaupun begitu tentu terserah kepadamu."
"Aku senang dengan kalimat Anda itu. Kita sudah tak mungkin bersahabat. Aku datang untuk bertarung denganmu Raden. Kuharap dapat mene-waskanmu yang tak berguna bagi masyarakat."
0odwo0 TIGAPULUH SATU BERBEDA dengan Maribun yang muridnya. Raden Sulaiman
mempunyai ilmu untuk menghadapi harimau, yang belum
diturunkannya kepada Maribun. Oleh tenaganya inilah maka Erwin merasa dirinya seperti dibanting-banting, ketika penyihir kawakan itu membanting boneka kain yang telah diludahinya. Dengan peludahan ia menanggalkan ilmu Erwin. Pembantingan dihentikan karena kedatangan babi hutan yang diluar dugaannya. Jiwa Raden Sulaiman tergetar, karena baru kali ini ia menghadapi babi yang tampaknya bertekad untuk bertanding dengan dirinya. "Engkau Raden Sulaiman," katanya kepada dirinya, "takkan engkau akan sudi digertak atau ditundukkan oleh seekor siluman hina yang babi ini.
Kalau hanya babi biasa, dengan memandanginya saja ia akan memperoleh kemenangan. Si babi takkan mampu menghadapinya.
Tetapi yang ini pasti bukan babi biasa, la tahu semua maksud dan apa yang sedang dikerjakan oleh sang penyihir yang tak mau diajak berkompromi itu. Belum pernah menghadapi babi siluman tidak berarti ia pasti kalah, tetapi bagaimanapun ia tidak dapat meramalkan kesudahan dari suatu pertempuran.
"Mana rantai keramatmu?" tanya Raden Sulaiman, karena ia tahu bahwa kekuatan babi siluman biasanya terletak pada rantai yang selalu dibawanya ke mana-mana. Tanpa rantai, seekor babi hutan yang bukan babi biasa tidak akan mempunyai tenaga gaib.
"Tertinggal di rumah," sahut Ki Ampuh. "Tetapi baiklah kukatakan terus terang, bahwa aku tidak memerlukannya. Aku tidak
mengandalkan rantai yang hanya benda mati, kawan. Aku mau mem-binasakanmu dalam suatu perkelahian yang spor-tip. Sama-sama bertangan kosong. Aku sekarang mengharapkan hujan dan
kita bertarung di pekarangan rumahmu, supaya meninggalkan bekas yang akan jadi pembicaraan masyarakat selama berhari-hari. Kau usahakanlah membunuh aku, supaya bangkaiku tergeletak di
lumpur, difoto oleh para reporter yang ada di sini. Aku tahu kau kebal senjata tajam dan peluru Raden. Aku tak tahu apakah kau juga kebal terhadap taring-taringku!"
Raden Sulaiman geram mendengar kesombongan sang babi,
tetapi disamping itu ia juga agak lega. Kesombongan bicara biasanya hanya dilontarkan mereka yang tak seberapa ilmunya.
Kira-kira si penantang ini pun semacam itulah. Hanya besar mulut!
Pemilik ilmu tinggi biasanya merendahkan diri.
"Siapa namamu binatang haram!" tanya Raden Sulaiman.
"Ki Ampuh, Raden. Bisa berjalan di atas air," katanya menyombongkan diri. Padahal ia berjalan di atas air karena kebolehan Datuk nan Kuniang ketika ia bersama Dja Lubuk dan Erwin dulu dibawa merantau ke Sumatera. Bagi pembaca yang telah mengikuti kisah Ki Ampuh dengan berbagai petualangannya,
keangkuhan makhluk berilmu ini bukan hal yang baru.
Kesombongan itu telah berkali-kali harus ditebusnya dengan kekalahan, tetapi dasar dia memang tebal muka, sifat buruknya tidak pernah hilang dari dirinya, walaupun dia telah berubah jadi binatang berderajat sangat hina setelah dimakan oleh sumpahnya sendiri.
"Dari siapa Anda mengetahui namaku?" tanya Raden Sulaiman.
"Nama penyihir terkenal sampai ke Jawa. Lagi pula aku tidak akan mendatangi seseorang sebelum aku melakukan penyelidikan tentang dirinya. Dan aku tidak akan melangkahkan kaki ke mari, kalau Anda tidak berniat mau menjahili sahabat yang sudah menjadi saudaraku itu!"
Hati Raden Sulaiman yang semula senang sekali karena
dikatakan terkenal sampai ke Jawa, kemudian jengkel lagi
mendengar keangkuhan Ki Ampuh yang senang menunjukkan
kehebatannya. Tanpa disangka oleh Raden Sulaiman, cuaca yang tadi begitu bagus telah berubah dengan runtuhnya hujan yang berangsur-angsur jadi lebat. Apakah karena Ki Ampuh mengharapkannya, pikir Raden Sulaiman. Timbul kekaguman di dalam hatinya. Barangkali babi ini memang punya kekuatan luar biasa gaib yang dapat membuat hujan, la tahu akan adanya orang-orang pandai yang mampu mendatangkan dan menghentikan hujan.
"Anda hebat, pandai memanggil hujan," kata Raden Sulaiman.
"Ya begitulah. Hanya ilmu kecil," kata Ki Ampuh, tanpa malu-malu, walaupun dia tahu bahwa hujan itu bukan turun karena ilmunya. Raden Sulaiman heran juga mendengar Ki Ampuh pandai juga merendahkan diri dengan mengatakan, bahwa ilmunya itu hanya kepandaian kecil saya. Dia lebih heran ketika babi itu berkata,
"Aku tahu Raden pu nya kepandaian yang jauh di atasku. Hujan itu turun karena Anda tidak membendung ilmuku. Kalau Anda pasang penangkal ilmuku yang hanya secuil itu pasti hujan itu tak kan turun. Babi ini menyindir, atau betul-betul menyangka bahwa Ki Ampuh sanggup menggagalkan ilmunya kalau ia mau.
Bagaimanapun ada juga perasaan enak sedikit.
"Bagaimana, kita turun sekarang. Supaya Anda lekas
membinasakan aku, atau aku yang menewaskan Raden. Sama-sama keluar hidup dalam keadaan luka-luka takkan mungkin. Apalagi di Lubuk-linggau yang amat kecil ini. Sudah tentu tidak cukup ruangan untuk kita berdua," ajak Ki Ampuh.
"Sayang, salah satu di antara kita harus tewas. Padahal kita mempunyai kelebihan dari makhluk lain," kata Raden Sulaiman.
"Hendaknya Andalah yang menang, sebab Anda manusia yang dapat bergaul dengan sesama manusia. Dapat menikmati hidup.
Sedangkan aku, hanya babi yang tak kan bisa bermasyarakat dengan manusia. Sayang, kalau Anda tak dapat membunuhku,
karena aku akan terpaksa menamatkan riwayat Anda, demi
sahabatku si manusia harimau. Anda harus melihatnya waktu dia mengharimau.
Raden Sulaiman bertanya, apakah dia berjalan atas dua kaki tatkala menjadi harimau" "Berapa banyak harimau yang dikuasainya?" tanyanya.
"Dia sendiri sudah manusia harimau. Semua harimau di rimba takluk di bawah kekuasaannya. Dia dapat memanggil mereka dan memerintahkan apa saja. Dia lah manusia yang harimau, yang raja dari seluruh harimau." Ki Ampuh senang menghebat kan diri sahabatnya itu.
"Aku ingin bertemu dengannya ketika ia meng harimau!"
"Aku kuatir, sudah tidak ada tempo Anda untuk itu," kata Ki Ampuh sambil tertawa mengejek. Babi siluman ini mempunyai multi-sifat, pikir Raden Sulaiman. Angkuh, sinis, tahu diri, takbur tetapi juga punya kesetiaan besar terhadap kawan.
0odwo0 Ketika hujan turun. Mayor Polisi Buang menjadi gugup, la
teringat kepada Maribun yang pergi dari rumahnya dalam keadaan hujan bersama seorang manusia dan satu makhluk berkaki dua, kaki harimau. Erwin tidak turut hadir makan bersama mereka. Pada hari syukuran begitu sepantasnya Erwin turut hadir. Bukankah dia yang telah mengobati dan menyembuhkan Dinar. Oleh hal itu Mayor Buang yang menaruh curiga kian besar terhadap diri Erwin bertanya pada dirinya, apakah di waktu hujan ini ia ke rumah Raden Sulaiman dan melakukan apa yang mungkin dilakukannya pada malam hujan serupa ini terhadap diri Maribun.
Tak kuat menahan keinginan tahu. Mayor itu bertanya, ke mana Erwin, mengapa tidak diajak serta. Oleh Kahar diterangkan, bahwa ia memang sengaja tidak mengajaknya dalam pemanjatan doa
syukur itu, karena hendak membuka kesempatan kepada atasannya itu dalam menjalankan usahanya menangkap pembunuh Maribun.
"Apakah aku boleh bertemu dengannya, kalau ia ada di rumah sekarang?" tanya Mayor Buang. Kapten Polisi Kahar terkejut tak menyangka akan dapat permintaan seperti itu. Tetapi dia
menyatakan bahwa Erwin tentu akan senang sekali bila merasa
diperhatikan oleh seorang berpangkat seperti Pak Mayor.
Kahar segera pergi ke kamar Erwin yang terletak di luar
bangunan utama. Yang demikian atas permintaannya sendiri.
Menolak tinggal di sebuah kamar yang letaknya di sebelah kamar tidur Erwin yang tersedia untuk tamu-tamu yang masih keluarga atau tamu yang dihormati.
Melihat Datuk duduk di sebuah kursi di luar kamar. Kahar
menduga dengan benar, bahwa orang kelihatan kampungan tetapi berilmu tinggi itu sedang mengerjakan sesuatu.
Datuk menceritakan, bahwa tadi ia mendengar suatu suara agak kuat, tidak tahu suara apa, tetapi kemudian keadaan terus senyap, la meminta agar Kahar mengetuk pintu, karena ia curiga. Erwin tentu sedang bertarung dengan lawannya. Bagaimanapun kuatnya seseorang kita tidak dapat memastikan bahwa ia menang, karena selalu saja ada seseorang yang kemudian ternyata mempunyai kelebihan. Kalau tidak dalam semua, maka di dalam satu atau dua hal. Dan kelebihan yang sedikit itu justru yang kadang-kadang tidak bisa dihadapi oleh seseorang yang punya banyak ilmu. Dalam dunia ilmu gaib dan mistik tidak ada juara. Mungkin ada dukun atau penyihir yang terkenal sebagai yang paling hebat di kampungnya atau di daerah yang terbatas. Tetapi pasti tidak dapat dikatakan begitu, kalau sudah meliputi sebuah kawasan luas. Kabupaten, Propinsi apalagi sebuah pulau besar atau negara.
Kapten Kahar mengetuk pintu pelan-pelan, karena dia punya kekhawatiran seperti yang dirasakan Datuk. Tidak ada sahutan Kapten Kahar mengetuk lagi pelan-pelan yang disambut oleh suara lemah dari dalam. Setelah menyebutkan nama, Erwin memintanya supaya masuk. Lampu yang terpasang terang, membuat Kahar
segera melihat Erwin sedang terbujur di lantai. Datuk ikut masuk.
"Mengapa?" tanya Kahar.
"Aku dibantingnya," kata Erwin meringis. "Hebat guru Pak Maribun itu. Tetapi tidak apa. Malah baik bagiku." Erwin tersenyum, mengaku kalah tetapi tidak ada rasa takut pada wajahnya.
"Siapa yang membanting?" tanya Datuk. Erwin menjawab, lawannya.
"Apa yang dapat kulakukan?" tanya Datuk yang ingin berbuat sesuatu bagi sahabatnya.
"Tenang-tenang dan kita lihat perkembangan. Ada Pak Mayor ya Pak Kapten?" tanya Erwin. Perwira itu menyampaikan keinginan sang Mayor Polisi, tetapi juga mengatakan bahwa bagaimana mungkin, karena Erwin pun kelihatannya agak sakit. Tetapi Kahar juga yang kemudian mengatakan, bahwa ia akan mengajak Pak Mayor ke kamar Erwin, kalau disetujui. Erwin mengatakan, bahwa itulah yang terbaik. Kapten Kahar dan Datuk tidak mengerti mengapa Erwin mengatakan, bahwa itulah yang terbaik.
Pak Mayor senang mendengar Erwin sakit. Suatu kemenangan, pikirnya. Memang tepat, la juga senang, karena akan bisa melihat keadaan lingkungan Erwin. Apakah di sana ada pemandangan dan keadaan yang lain, yang aneh, yang menyeramkan.
Kamar Erwin biasa saja. la sengaja tidak naik ke ranjang, walaupun ia sudah mampu. Rasa sakitnya sudah hilang, sebab Raden Sulaiman tidak meneruskan tembakannya setelah Ki Ampuh berada di sampingnya.
"O, Pak Mayor. Terima kasih atas kedatangan Bapak!" kata Erwin ramah, tetapi tidak menyembunyikan sisa sakit yang masih
dirasakannya. "Sakit apa?" tanya Pak Mayor, la ingin dengar jawaban dukun yang banyak tahu tentang harimau itu.
"Kena banting!" jawab Erwin. Senang tetapi juga perasaan aneh menyergap sang Mayor.
"Banting bagaimana, siapa yang banting. Ada penjahat masuk?"
"Tidak Pak Mayor. Dibanting orang pandai itu. Guru Pak Maribun, yang mungkin punya sangkaan atas diri saya." Mendengar jawaban polos tetapi juga memperlihatkan bahwa Erwin mengetahui banyak tentang apa yang tidak diduga Mayor Buang, Perwira yang sedang
mengatur pengepungan di seputar rumah Erwin, terdiam. Dia terperanjat dan merasa mukanya pucat, ketika Erwin bertanya, apakah Mayor Buang sedang melakukan pengepungan atas rumah Kapten Kahar untuk menangkap si harimau, la sengaja
menyebutkan "rumah Kapten Kahar" untuk menimbulkan reaksi yang lebih baik atas diri orang itu.
"Saudara Erwin mau menolong?" tanya Mayor Polisi Buang.
"Menolong bagaimana, badan saya masih sakit-sakit oleh bantingan Raden Sulaiman." Kapten Kahar sesekali mengerling ke arah Buang untuk melihat bagaimana sikapnya. Sesekali mata mereka bertemu, sehingga Mayor Polisi Buang merasa kurang enak.
Tetapi ia coba menyembunyikan dengan pernyataan ingin kenal lebih dekat dan kalau boleh belajar dari Erwin. Dikatakannya, bahwa ilmu itu pada waktu-waktu tertentu mungkin perlu bagi seorang Perwira Polisi. Sekurang-kurangnya tidak ada ruginya, kata Mayor Polisi Buang.
Dengan ngomong-ngomong itu. Mayor Polisi Buang dan Kapten Kahar jadi lumayan lama di kamar Erwin. Pikiran sang Mayor tidak seluruhnya tertumpah pada masalah Erwin yang sudah dipukul hingga terkapar oleh Raden Sulaiman, la ingin tahu apakah harimau piaraan Erwin masih juga mampu mendatangi atau bertarung
dengan Raden Sulaiman setelah majikannya tidak berdaya. Kalau Erwin yang jadi harimau, maka sudah pasti tidak bisa keluar. Dia ada di depan Buang.
Oleh perkiraan inilah, maka Mayor Polisi Buang terkejut tidak kepalang tanggung, ketika ia mendengar beberapa letusan yang keluar dari senapan anak buahnya. Jika begitu harimau itu toh ada.
Matikah dia"
"Apa itu?" tanya Pak Mayor yang agak bingung.
"Anak buah Bapak barangkali. Bukankah mereka diperintahkan mengintai dan menangkap sang harimau?" kata Erwin lemah.
Sesakit itu dia, masih juga mampu menyindir seorang Perwira Menengah Polisi.
Mulai bertanya Mayor Polisi itu kepada dirinya, apakah mungkin Erwin sama sekali tidak terlibat. Dan bahwa dia sebenarnya tidak punya pertahanan hebat, sehingga dapat dibanting dari jauh oleh Raden Sulaiman. Lalu yang menghitam dan kemudian
memerahdarahkan air dalam mangkuk Raden Sulaiman siapa"
Mayor Polisi itu bangkit, karena tahu bahwa anak buahnya tentu akan melapor, la sangat ingin tahu, tewaskah harimau itu"
0odwo0 TIGAPULUH DUA SEORANG Pembantu Letnan yang mengepalai regu itu sudah
berada di luar pintu rumah Kapten Kahar. Melihat Komandannya datang, ia yang bernama Mat Amin memberi hormat, siap melapor.
Tetapi baru saja ia memulai. Pak Mayor sudah lebih dulu bertanya, apakah harimau itu tertangkap mati hanya luka-luka ataukah sempat melarikan diri.
Dia juga berkata, "Kalau ia lari, katakan saja lebih dulu, jangan belakangan baru dikatakan, bahwa harimau itu melarikan diri."
"Bagaimana!" kata Mayor Polisi itu setengah bertanya setengah menghardik.
"Tidak ada harimau yang lari. Pak!" kata Mat Amin.
"Bagus. Jadi tertangkap. Hidup atau mati!"
"Rupanya Pembantu Letnan itu jadi gugup, terdengar dari kalimatnya yang terbata-bata, "Tidak ada harimau. Pak!"
Tampak jelas muka Pak Mayor memerah dan hampir gemetar dia berkata, "Tidak ada harimau"
Jadi apa yang kalian tembak" Hanya maling?"
"Bukan Pak. Babi!" kata Mat Amin.
Pak Mayor tak percaya pada pendengarannya dan dengan suara
berang ia berkata, "Babi! Babi?"
"Iya, Pak," sahut Mat Amin menegaskan.
"Kapten dengar itu," katanya kepada Kapten Kahar seperti orang cari teman untuk memihak pendapat dan pendiriannya. "Mereka menembak babi." Dan kepada Mat Amin dia berkata, "Mata kalian sudah buta. Mana ada babi di dalam kota ini. Babi mak mu!" Dia naik pitam merasa seperti anak buahnya tidak becus. Ataukah mereka sepakat mempermainkan dia. Mungkin! Hari hujan lebat, dia senang-senang makan di dalam rumah, anak buah berhujan-hujan menantikan harimau yang mendebarkan jantung, tetapi tidak pernah muncul.
Setelah agak hening dan Mayor itu belum juga menyuruh Mat Amin berkata "Maaf, Pak. Yang kami lihat dan tembak itu benar-benar babi. Kelihatan badannya besar dan taringnya panjang. Babi hutan, jelas babi hutan. Barangkali juga babi berantai!"
"Kapten percaya itu?" tanyanya kepada sang Kapten.
"Kalau kemarin ada harimau membunuh Pak Maribun, menurut hemat saya babi juga mungkin masuk kemari. Jangan-jangan
harimau kemarin mengejar babi besar itu, tetapi karena tak bersua maka dia mengambil Pak Maribun sebagai gantinya!" kata-kata Kahar tak enak didengar. Jangan-jangan dia ini pun mengejek dirinya.
Mayor Polisi itu coba menurunkan kadar panasnya. Katanya,
"Babi itu pasti mati, kalau betul kalian menembak babi?"
"Menembak babi itu jelas. Pak, tetapi ia lari!"
"Babi saja pun tidak dapat kalian robohkan!" Mat Amin diam.
"Barangkali babi siluman," kata Mat Amin.
Dalam pada itu Erwin sudah datang menyertai mereka, ingin tahu apa atau siapa yang ditembak dan bagaimana nasib korban. Setelah diketahui bahwa yang ditembak para polisi itu babi hutan besar tetapi tidak sampai tewas, jelaslah bahwa yang pegang peran utama
itu tak lain daripada Ki Ampuh yang menggalangkan nyawanya untuk keselamatan Erwin.
"Barangkah orang pandai itu melepas babi hutannya. Untuk memberi tahu kepada yang berkepentingan bahwa dia bukan hanya memiliki harimau. Barangkali dia juga mempunyai gajah suruhan yang dapat diperintahnya untuk merobohkan beberapa rumah untuk menimbulkan kepanikan lebih besar di kota ini." Cerita tentang gajah itu jadi menarik hati Mayor Polisi Buang, karena beberapa hari yang lalu memang kelihatan serombongan gajah termasuk tiga ekor anak, menyeberang jalan. Daerah luar Lubuklinggau terus ke Jambi dan Bengkulu memang terkenal sebagai tempat pemukiman gajah dan harimau. Sebelum ada penebangan kayu secara serampangan, mereka tentram di sana. Gangguan terhadap penduduk jarang terdengar. Sekarang sudah lain. Dibanyak tempat dalam kawasan Sumatera Selatan sampai ke Lampung gajah dan harimau banyak yang marah karena tempat mereka telah digusur oleh manusia-manusia yang mereka ketahui punya otak, tetapi sekarang tidak lagi selalu baik mempergunakannya karena sudah terlalu dirajai oleh nafsu loba dan tamak yang pada beberapa banyak orang sudah tidak lagi mengenal batas. Walaupun mereka sangat tahu, bahwa yang mereka bawa pada waktu mati hanya lima meter kain putih dan beberapa keping papan untuk dibenamkan ke dalam lubang yang bagi si kaya dan miskin sama saja, sekitar satu kali dua meter.
Perbedaan hanya terletak pada cara penguburan, ramainya yang mengantarkan untuk kemudian pulang ke rumah masing-masing.
Memburu Manusia Harimau Seri Manusia Harimau Karya S B Chandra di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tidak dapat mengawani atau membantu si mati yang akan
menerima siksa kubur. Orang ber-Tuhan tahu ini, tetapi kita pun sudah tidak berani menaksir berapa persen lagi orang yang benar-benar ber-Tuhan Yang Maha Esa. Dalam praktek, dalam amalan!
Kalau sekedar ngomong sih gampang, semua juga ngaku berke-Tuhan-an Yang Maha Esa.
Setelah memerintahkan para pengepung untuk kembali ke
Markas, Mayor Polisi itu bertanya kepada Kapten Kahar apakah ia tidak ingin berkenalan dengan orang yang kata Erwin tadi telah membantingnya. Kapten itu sangat menerima baik ajakan itu,
karena dia juga ingin mendengar suara dan kata-kata orang sangat hebat itu. Kalau seorang pandai dapat membanting musuhnya dari jauh yang hasilnya sama saja kalau dia membanting secara yang biasa, tentunya orang itu hebat sekali.
Hujan hanya tinggal gerimis. Kedua Perwira itu berangkat
menuju rumah Raden Sulaiman dengan menumpang jeep yang
digunakan Pak Mayor.
"Hebat sekali kawan Pak Mayor itu," kata Kapten Kahar.
"Mengapa Erwin tadi tidak diajak, supaya minta damai dengan orang yang sudah terang punya kepandaian jauh di atas dirinya?"
"Betul juga, aku tadi tidak ingat."
Setelah dekat dengan rumah Raden Sulaiman, terdengar suara tangis seperti meratap. Tangis khas terhadap orang kesayangan yang mendahului, meninggal. Di depan rumah ada beberapa orang memandangi sesuatu yang belum jelas.
Jantung Mayor Buang berdebar. Siapa yang dapat kecelakaan"
Tak mungkin Raden Sulaiman. Mungkin anaknya atau salah seorang anggota keluarga yang lain.
Tetapi setelah turun dari jeep dan mendekati orang-orang itu jelaslah, bahwa yang mati bukan lain daripada Raden Sulaiman.
Mayatnya belum diangkat atas nasihat beberapa orang agar
diperiksa oleh Polisi lebih dulu. Kejadian ini mirip dengan apa yang telah menimpa diri Maribun. Bedanya hanya yang memangsa. Kalau Maribun dibunuh harimau dengan cekikan, maka yang gurunya ini ditewaskan dengan serudukan taring. Jelas benar kelihatan. Ada beberapa luka yang sampai mengoyak dagingnya. Di paha, di perut, di rusuk. Juga di dada. Rupanya mereka bergelut. Yang paling aneh adalah tusukan taring pada lehernya. Kuku harimau yang
menyebabkan kematian Maribun. Sekarang tampaknya taring yang membawa maut bagi Raden Sulaiman. Melihat jejak-jejak yang kelihatan jelas di tanah yang becek itu, lawan Raden Sulaiman adalah seekor babi hutan. Kalau bertaring sekuat dan sepanjang itu pastilah babi hutan yang sangat besar. Semua ini sedikit pun tidak
diduga oleh Mayor Polisi Buang. Dia hanya memperhitungkan harimau, entah harimau apa. Bisa harimau liar, bisa harimau piaraan, bisa juga harimau manusia atau manusia harimau.
Mengapa jadi babi yang menewaskan Raden Sulaiman.
la juga malu kepada dirinya sendiri, karena ia tadi tidak percaya kepada laporan Pembantu Letnan Polisi Mat Amin. Dia malah menghardiknya sebagai orang yang tidak punya mata.
Karena Polisi memang sudah dipanggil, maka tak lama kemudian mereka datang. Melihat Mayor Polisi Buang sudah ada di sana.
Begitu pula Kapten Kahar, la sendirilah yang yakin, bahwa Erwin tidak terlepas dari kejadian ini. Tetapi dari manakah datangnya babi itu" Apakah piaraan Erwin pula" Yang turun langsung ke lapangan untuk menyelamatkan majikannya yang dibanting dari jauh oleh orang pintar itu"
"Sangat ajaib. Kapten. Selama saya jadi Polisi belum pernah mengalami yang begini. Membaca cerita begini pun saya tidak pernah. Andaikata ada buku yang berkisah begini saya tidak akan percaya. Sekarang saya sendiri mengalami. Rupanya segala macam mungkin saja terjadi diatas dunia ini.
"Memang begitu. Mayor," kata Kapten Kahar. "Bukankah IA Maha Kuasa dapat menciptakan atau melakukan apa saja dengan
kekuatan yang tiada terbatas. Sebetulnya saya sangat ingin tahu, dari manakah atau milik siapakah babi ini. Mengapa bukan harimau ajaib itu yang menghadapinya.
"Mungkinkah sahabat Kapten itu" Di belakang rupanya yang tidak meyakinkan apa-apa, tersembunyi berbagai ilmu yang kita tidak mengerti. Dalam tiga hari ini kita sudah melihat dua kejadian yang amat mengherankan. Apakah antara kedua kejadian ini ada kaitan?"
"Saya tidak membela. Tetapi saya rasa Erwin tidak mungkin.
Bukankah kita lihat dia di rumah dan dia sendiri mengakui, bahwa dia telah dibanting oleh Raden Sulaiman?" kata Kahar.
"Aku tidak menuduh dia, tetapi apakah tidak mungkin semua ceritanya tentang dibanting itu hanya suatu muslihat tinggi dari
orang sangat lihay!" kata Mayor Polisi Buang.
"Yah, bisa jadi. Apa pendapat Pak Mayor tentang jejak-jejak babi dan babi hutan besar yang dilaporkan oleh para pengepung yang dipimpin Mat Amin?" Buang diam. Kemudian mengatakan juga, tidak punya pendapat apa-apa tentang itu.
Setelah diperiksa di tempat kejadian, mayat .Raden Sulaiman dikirim ke rumah sakit. Guna diperiksa secara ilmiah, benarkah dia diseruduk babi hutan.
Pada keesokan paginya ada orang melihat kuburuan yang
dibongkar. Kebetulan kuburan Maribun yang baru beberapa malam di dalam perut bumi dari mana dia semula berasal. Masyarakat pun gemparlah. Termasuk Erwin dan Ki Ampuh, karena mereka memang benar-benar tidak tersangkut di dalam perbuatan ini. Untunglah bekas kaki di sekitar tempat itu semua telapak kaki manusia. Ada dua orang penggali. Mayat dikeluarkan. Ditinggalkan berbaring di sana dalam keadaan bugil. Kain pembungkus diambil. Rambutnya juga diambil, sehingga mayat itu gundul. Hampir semua mulut mengatakan, bahwa yang bongkar pasti orang-orang yang sedang menuntut ilmu dan kata putus harus dengan syarat rambut dan kain kafan mayat orang berilmu yang masih baru.
Mungkin pembongkaran itu terjadi pada waktu Raden Sulaiman bertarung dengan Ki Ampuh, yang ternyata tak dapat
ditewaskannya. Sesuai dengan janji, maka Raden Sulaimanlah yang binasa. Keluarga Raden Sulaiman geger dan bingung setelah mengetahui makam Maribun dibongkar dan mayatnya digunduli.
Mereka sangat khawatir. Raden Sulaiman akan menerima nasib yang sama, sebab yang dibongkar para penuntut ilmu hitam itu hanyalah kuburan orang-orang berkepandaian tinggi. Mayat biasa ada juga yang dibongkar. Hanya untuk ilmu pekasih. Tanpa
menyiksa mayat yang sudah dikubur pun orang dapat menuntut ilmu pekasih untuk dikasihi oleh hampir semua orang. Hanya orang yang mempunyai ilmu yang sama tak dapat ditundukkannya.
Pada pagi itu juga Ki Ampuh mendatangi Erwin di kamarnya
tanpa dilihat oleh siapa pun. Untuk itu ia tidak usah khawatir ia tidak
akan tampak oleh mereka yang ingin dihindarinya.
"Kau hebat Ki Ampuh. Tanpa kau aku tentu sudah tiada, la punya kepintaran tinggi." Erwin lalu menceritakan apa yang dialaminya pada malam yang lalu. Pada ujungnya ia bertanya di mana Sabrina.
Ki Ampuh menggoda. Katanya Erwin masih cinta kepada Sabrina.
Dan Erwin tidak mengelak walaupun tidak mengiyakan. Ki Ampuh menceritakan, bahwa menurut Sabrina, Mayor Polisi Buang juga seperti ada perhatian lain terhadap dirinya.
"Apa kata Ina?" tanya Erwin.
Jawab Ki Ampuh," Katanya Mayor itu ganteng juga. Semenjak ditinggalkan istri ia menduda." "Untuk nanti dibunuhnya, kalau ia bosan atau benci!" kata Erwin.
"Lebih baik kau ambil dia. Kalian berdua pasti cocok," kata Ki Ampuh yang mengetahui cinta kasih yang pernah ada di antara dua makhluk yang sama-sama punya harimau di dalam diri mereka.
Erwin lalu bercerita tentang Mei Lan. Dia berjanji untuk kembali dan mengambilnya.
"Tetapi Sabrina kemari karena kau Erwin. la ingin kau selamat dan sudah mengatakan bersedia tinggal di kampung kecil saja meneruskan dan menamatkan hidup yang tidak seberapa panjang ini."
Erwin tidak memberi reaksi. Meskipun pada hari-hari pembuatan riwayat hidupnya di Lubuklinggau terjadi bencana-bencana yang menyangkut dirinya, pikirannya selalu dimasuki Mei Lan. Kalau semula ia hanya kasihan kepadanya, kini sudah tidak hanya itu saja lagi. la merasa adanya alasan yang layak untuk membahagiakan gadis itu dengan mengawininya. Memang rasa sayang itu tidak mulus begitu saja. la masih dihantui pula oleh tanda tanya, apakah benar ia dapat membahagiakan anak bercampur darah asing itu.
Apakah benar" Ataukah hanya kebahagiaan sementara untuk
kemudian di rusak oleh bencana yang tidak terbayangkan sekarang, tetapi selalu menyelingi hidupnya"
Lubuklinggau membawa lebih banyak bencana daripada kota-
kota besar yang sudah pernah dikunjungi. Dijahili, dikepung dengan satu tujuan. Menangkap hidup atau menembak mati dirinya. Dia mengobat hati dengan adanya beberapa orang yang dengan izin Tuhan dapat disembuhkannya.
la meninggalkan kota Lubuk petaka itu ke Palembang. Tidak seperjalanan dengan Sabrina dan Ki Ampuh, tetapi setujuan dan sesuai mufakat. Yang ditinggal antara lain dua keluarga penyihir yang berurai air mata dengan hati dendam, mayat sahabat
seperjalanan Sutan Mangkuto dan Dinar yang menanggung cinta tak bersambut.
la bertanya-tanya pada dirinya apa lagi yang menanti dirinya.
Apakah ia akan mati oleh kepungan"
0odwo0 TIGAPULUH TIGA SEBAGIAN perjalanan ke Palembang ditempuh Erwin dan Datuk dengan jalan kaki. Bukan karena tiada biaya, tetapi untuk selalu mendekatkan diri dengan alam. Selama perjalanan mereka makan di warung-warung kecil. Beberapa kali bertemu dengan binatang rimba, tetapi tak ada yang mengganggu. Ada induk harimau yang menyeberang jalan dengan dua anaknya. Yang amat mengesankan dan menyenangkan adalah melihat persahabatan antar hewan. Dua ekor harimau dewasa jalan seiring dengan seekor gajah besar yang taringnya sedikitnya sudah satu meter panjangnya. Ada gambar-gambar di dalam buku memperlihatkan pertarungan antara gajah dengan harimau. Mati-matian. Masing-masing punya senjata ampuh untuk menyerang dengan tujuan menewaskan mangsanya. Tetapi sepasang harimau dan gajah besar "mungkin gajah tunggal" ini jelas sangat bersahabat dan akrab. Mereka bukan sekedar berlainan suku. Mereka berlainan jenis, tetapi bermukim di dalam satu wawasan.
Persamaan tempat bisa juga membuat mereka bersahabat.
Tetapi persamaan tempat juga bisa membuat hewan saling
bermusuhan. Yang kuat selalu mengintai yang lemah, kalau si lemah merupakan makanan bagi penyambung hidup si kuat. Misalnya antara kijang, rusa atau babi dengan harimau. Tidak akan pernah bersahabat karena semua hewan makanan manusia itu juga
makanan harimau. Walaupun begitu jangan dikira bahwa
persahabatan antar mereka tak mungkin sama sekali. Ada anak harimau masih bayi yang kehilangan induk, dipelihara oleh rusa atau babi. Sampai dewasa si harimau bukan hanya tidak akan menerkam ibu angkatnya, tetapi akan selalu melindunginya. Dalam hal yang demikian harimau yang anak angkat rusa akan bertarung mati-matian dengan harimau lain yang hendak memangsa ibu atau adik-adik angkatnya. Mungkin tak masuk di akal Anda, tetapi begitulah kehidupan yang sebenarnya di dalam rimba.
Kalau Datuk bukan berjalan bersama Erwin yang tampaknya
disegani oleh hewan-hewan buas, ia pasti akan menggigil atau bahkan mati ketakutan. Yang paling mendebarkan hatinya ialah ketika berpapasan dengan harimau jantan besar yang sedang keluar dari belukar hendak menyeberang. Harimau besar tegap semacam inilah yang dengan mudah memangsa lembu. Kalau ia menerkam kerbau, ia masih akan mendapat perlawanan. Ada kemungkinan si kerbau akan tewas, karena urat besarnya diputuskan sang harimau tatkala dia menerkam dan menggigit tengkuknya. Harimau tahu betul di mana letak tempat yang paling vital pada tiap mangsa yang diserangnya. Dan dia selalu memutuskan urat itu sehingga darah mengalir deras dan putuslah hubungan antara otak dengan seluruh tubuhnya.
Harimau jantan itu berhenti, memandangi Erwin dan Datuk yang terus berjalan. Datuk sudah dengan kaki gemetaran. Tidak ada pandangan bersahabat. Tetapi Erwin berkata, "Aku anak Dja Lubuk, cucu Raja Tigor!"
Mendengar itu raja rimba itu berubah. Dari matanya terpancar sinar persahabatan. Tetapi ia tetap berdiri di sana, seolah-olah mempersilakan kedua manusia itu lewat dulu. Ini bukan penyedap
cerita, walaupun barangkali sukar masuk akal Anda. Tetapi kalau Anda ingat dan coba hayati, bahwa di dalam diri Erwin ada unsur-unsur harimau dengan daya pikir manusia, kiranya dapat Anda maklumi, bahwa di antara mereka ada semacam hubungan batin, ada rasa kekeluargaan. Penampilan mereka jauh berlainan, tetapi hal itu tidak dapat menghilangkan adanya unsur yang sama.
"Mendekatkan diri dengan alam banyak sekali faedahnya, Datuk.
Kita akan berpikir, berbuat dan berkeinginan sangat sederhana.
Sama halnya dengan harimau, gajah atau hewan lainnya di rimba ini. Orang yang jadi manusia alam tidak akan pernah punya nafsu berlebihan. Tetapi akalnya menuntut keadilan dan tidak menyukai adanya perkosaan atas hak-hak orang lain," kata Erwin bertenang-tenang. Datuk mendengarkan dengan perasaan bahagia dan
berjanji pada dirinya akan mempraktekkan falsafah hidup seperti itu.
"Tentu saja sebagai manusia kita harus hidup bermasyarakat dan memberikan segala yang mungkin untuk kemajuan kehidupan
dunia. Kalau ummat manusia tidak punya nafsu buruk dan jauh dari sifat serakah, maka ia akan menjauhkan diri dari menyakiti sesamanya, tidak pandang suku, bahkan tidak pandang bangsa."
Indah untuk telinga. Tentu indah kalau dapat dilaksanakan.
"Tetapi yang begitu lebih baik dinamakan khayalan, sebab kalau dikatakan cita-cita, maka ia merupakan cita-cita yang tidak akan pernah terwujud," sambung Erwin.
Ketika ia berkata demikian, dengan amat mengejutkan Datuk, di samping mereka telah turut serta seekor babi yang amat besar. Babi hutan liar yang bertaring panjang, la tak melihat dari mana datangnya hewan yang menakutkan ini.
Erwin pun heran, mengapa mendadak Ki Ampuh bergabung.
Semula berjanji akan bertemu di Palembang dan setelah Erwin selesai dengan niatnya melamar Mei Lan, mereka akan membuat rencana selanjutnya.
"Maafkan aku Er, aku gelisah. Ingin bersama kalian," kata Ki Ampuh yang lalu diperkenalkan Erwin kepada Datuk.
Erwin tahu apa yang merisaukan hati Ki Ampuh. Orang yang
telah berubah jadi babi itu ingin ia memberi bantuan. Yang sudah berkali-kali dipinta-nya tatkala di Jawa, tetapi tak dapat dipenuhinya, karena ia tidak punya kekuatan atau ilmu untuk itu.
"Aku berhutang nyawa kepadamu Ki Ampuh," kata Erwin mengulangi rasa terima kasihnya. Kepada Datuk diceritakannya, bahwa kalau tidak oleh bantuan Ki Ampuh, ia tentu sudah binasa dimakan Raden Sulaiman.
Ki Ampuh juga menceritakan "karena kemarin belum
diceritakannya" bahwa Raden Sulaiman sebenarnya punya
kekuatan luar biasa oleh ilmunya yang sangat tinggi. Sebenarnya Raden itu sudah menjadi satu dengan ilmunya. Hanyalah suatu kebetulan saja, ia tidak mempunyai kekebalan terhadap taring babi.
Begitulah sifat manusia yang bersandar kepada ilmu hitam semata-mata. Bagaimanapun hebatnya, pasti punya satu atau dua
kelemahan. Raden Sulaiman kebal hampir sempurna.
Jelaslah bahwa Raden Sulaiman dapat membinasakan Erwin
andaikata manusia harimau itu menghadapinya sebagaimana ia mendatangi Maribun beberapa waktu yang lalu. Penyihir itu punya ilmu yang jarang dimiliki orang pintar lain, melihat dalam keadaan tidur. Ada kepandaiannya yang tidak dimiliki Erwin. Dia sendiri pun tidak seperti Erwin, sebab dia manusia biasa, sementara Erwin bukan.
Untuk mempersingkat jalan dan menyatukan diri dengan rimba, Erwin mengajak Ki Ampuh menempuh rimba raya. Datuk turut
karena tiada pilihan lain. Dihiburnya diri, bahwa melalui rimba mungkin ia akan melihat lebih banyak dan ia akan jadi manusia yang lebih tahan uji, kalau mereka keluar dengan selamat.
Bagaimanapun hebatnya Erwin dan Ki Ampuh, sudah jelas tidak dapat dipastikan, bahwa tidak akan mungkin ada bahaya
menghadang. Sehari perjalanan tidak terjadi sesuatu yang luar biasa. Bertemu dengan beruang, orang utan, harimau dan gajah bukan lagi hal yang aneh, karena sebelum masuk hutan saja pun suaan seiring
dengan hewan-hewan rimba itu. Tetapi pada hari kedua menjelang senja, Erwin dan Datuk menyaksikan apa yang belum pernah
mereka saksikan.
Semula mereka melihat seekor harimau besar mundar mandir di suatu tempat yang terbuka, semacam lapangan kecil. Bukan buatan manusia. Mungkin buatan alam ataukah buatan binatang rimba untuk keperluan mereka" Tidak biasanya harimau mundar mandir Apalagi di suatu tempat yang seperti disediakan. Binatang buas hanya mun-dar-mandir dalam kerangkeng, kesal karena tahu bahwa dirinya sudah terperangkap, sudah dikuasai manusia. Anda dapat melihatnya di kebun binatang atau di kandang-kandang harimau, singa, monyet-monyet ganas dan semacamnya yang dibawa oleh sirkus.
Erwin menahan Datuk dan Ki Ampuh untuk melihat keanehan itu dari kejauhan saja dulu. Rupanya si harimau besar tidak menyadari kehadiran mereka. Ataukah dia mengetahui tetapi tidak perduli, karena tidak merasa punya urusan dengan mereka.
Mundar-mandir itu diselingi dengan duduk, kemudian bangkit lagi dan mundar-mandir lagi. Seperti ada yang dipikirkan atau
dinantikan. Yang dipikir tak terpecahkan atau yang ditunggu tak juga tiba. Menunggu pacarnya" Mungkin, sangat mungkin. Soal berpacaran bukan monopoli manusia. Ada hewan yang berpacaran dengan amat mengasyikan. Pandai bercumbu dalam menyatakan kasih sayang yang tidak akan pernah berakhir selama nyawa masih ada di dalam tubuh.
Pada suatu saat si raja rimba seperti memasang kuping.
Mendengar sesuatu. Yang dinantikannya mungkin. Dari pinggir lapangan kecil itu keluar kepala harimau. Berdiri seperti mengawasi atau melihat medan. Waspada. Yang ini juga harimau jantan, seperti yang sudah lebih dulu menanti di lapangan itu. Kini kedua raja itu saling pandang. Yang baru datang melangkah, pelan, seperti diatur. Setelah seluruh tubuhnya keluar dari belukar, ia berhenti, kemudian duduk.
Erwin dan Datuk, begitu pula Ki Ampuh semakin tegang. Apa
yang akan terjadi" Apa maksud kedua harimau itu" Segala sesuatu berlangsung seperti mengikuti ketentuan. Barangkali memang ada peraturan dan ketentuan di antara mereka.
Beberapa menit berlalu tanpa ada yang bergerak. Pun tidak ada yang mengaum. Apakah mereka masih menantikan kedatangan
yang lain" Apakah ini akan merupakan pertemuan keluarga ataukah pertemuan kelompok yang "kalau diibaratkan manusia" berlainan suku" Erwin semakin tertarik. Setelah menanti agak lama, belukar terkuak lagi dan seekor harimau lain langsung masuk lapangan.
Betina. Tidak ragu-ragu seperti harimau jantan yang kedua tadi.
Dari urutan kejadian, sebodoh-bodoh orang pun akan menarik kesimpulan, bahwa kedatangan ketiga harimau ini di sana bukan secara kebetulan. Cara dan gaya mereka itu tentu menurut
peraturan yang mereka mufakatkan dan setujui bersama.
Harimau betina kembali ke pinggir lapangan, duduk. Dua ekor yang jantan berdiri pada jarak kira-kira sepuluh meter. Mereka saling pandang, kemudian terjadilah peristiwa itu. Keduanya bergerak saling menerkam, kemudian seperti menjadi satu, gigit-menggigit dan cakar mencakar. Tambah lama pertarungan itu kian keras. Terdengar dengus dan geram mereka, sungguh sangat
mencekam. Tidak perlu disangsikan, bahwa mereka sedang duel, sama halnya dengan dua manusia berkelahi mati-matian.
Pertarungan itu mengerikan sekali.
Apa fungsi harimau betina itu di sana" Tidak mudah
memastikannya, tetapi jikalau hanya diduga maka orang akan menduga, bahwa mereka bertarung memperebutkan si harimau
betina. Kedua-duanya ingin memiliki. Tidak bisa kompromi untuk jadi kawan bersama. Di antara hewan pun berlaku cinta yang tidak dapat dibagi-bagi, kalau cinta itu mencapai taraf "dia hanya untukku". Nyawa tantangannya kalau ada yang berani coba-coba.
Barangkali begitulah yang telah terjadi di antara ketiga harimau itu. Boleh jadi yang betina tidak dapat menentukan pilihan. Dia sayang kepada kedua-duanya, sementara dia tidak boleh untuk kedua-duanya. Maka diambillah jalan yang adil. Bertempur. Sang
putri untuk yang menang. Seperti yang banyak kita baca di dalam kisah-kisah kerajaan masa lalu. Untuk mendapatkan seorang wanita, seringkali anak bangsawan yang penguasa, para peminat harus membuktikan dirinya yang terkuat, tersakti.
Kedua raja telah sama-sama luka dan darah yang mengalir
membuat mereka tambah beringas. Kalau salah satu merasa kalah dan mau melarikan diri, mungkin ia tidak akan dikejar oleh yang menang. Ataukah akan terus diuber dan ditewaskan, supaya ia jangan merupakan ancaman bagi kehidupannya pada masa-masa seterusnya. Suatu jalan pikiran yang benar. Yang kalah pada hari itu mungkin akan menyiapkan diri untuk revanch. Kalau sudah
ditewaskan, selesai.
Tetapi pergumulan yang sangat menegangkan itu perlahan-lahan mengendur juga, sebab kedua-duanya kehilangan dan kehabisan tenaga.
Si macan betina menyaksikan tanpa berbuat apa-apa. Mungkin baginya tidak ada pilihan lain daripada menanti siapa yang menang, kalau memang dirinya jadi rebutan. Sebab, pertarungan itu bisa juga oleh sebab lain. Soal wilayah kekuasaan atau barangkali antar suku.
Pada suatu saat pertarungan maut itu berhenti. Walaupun tidak ada yang menghentikan, tidak seperti dua petinju atau pegulat di atas ring. Kedua harimau itu berhenti karena sudah tidak punya tenaga lagi. Hanya napas mereka yang kelihatan turun naik, yang kemudian juga terhenti. Tiada lagi napas, karena nyawa telah keluar dari tubuh mereka yang tadinya tegap kuat. Tiada yang menang.
Kedua-duanya kalah. Tewas.
Harimau betina itu bergerak perlahan-lahan, menciumi kedua raja yang telah mati. Kemudian ia berlalu dengan langkah gontai.
Walaupun begitu tidak dapat dipastikan apakah kedua raja rimba itu tewas memperebutkan dia atau ada sebab-sebab lain yang harus diselesaikan dengan duel gaya manusia itu.
Erwin, Datuk dan Ki Ampuh meneruskan perjalanan.
Beberapa hari kemudian baru tiba di kota Palembang. Ki Ampuh jalan bersama tanpa terlihat oleh siapa pun karena ia memakai ilmu perabun, yang juga dimiliki oleh sang manusia harimau.
Setelah membersihkan diri dan mengenakan pakaian rapi, Erwin bersama Datuk mengunjungi rumah Mei Lan untuk menemui gadis itu, menyatakan penyesalan dan melangsungkan lamaran resmi.
Tetapi rupanya ia terlambat. Mei Lan telah tiada. Meninggalkan dunia bersama cintanya.
0odwo0 TIGAPULUH EMPAT
ERWIN kesal dan menyesal. Mengapa dia terlambat. Tidak sejak kembali dari Mandailing dan Medan melangsungkannya. Waktu itu Mei Lan yang cantik dan baik masih segar bugar.
Yang pertama-tama dikerjakan setelah mengetahui kematian Mei Lan adalah ziarah ke makamnya. Di sana manusia harimau itu menangis. Menyalahkan dirinya yang selalu menjauh dari wanita yang cinta kepadanya. Mei Lan merupakan salah seorang di
antaranya. Betapa kejam dia, pikirnya pada saat itu. la menangis setelah terlambat. Air mata itu tidak akan mengembalikan Mei Lan, tetapi agak meringankan rasa dosa yang menimpa seluruh isi dadanya. Dia bukan makhluk cengeng tetapi pada saat itu ia tidak kuasa menahan dan tidak berusaha menahan. Biarlah Mei Lan melihat bahwa ia yang selalu dipanggil dengan "Bang Erwin" merasa sangat sedih dan menyesal.
"Maafkan Abang, Mei," katanya sambil memegang-megang makam gadis itu. Belum lama. Baru lima hari yang lalu.
Pada saat itu Sabrina telah berdiri di sampingnya. Rupanya ia mengikuti kegiatan si manusia harimau. Dipegangnya bahu Erwin.
"Relakanlah Er. la sudah mendapat ketenangan. Kalau kau benar-benar sayang kepadanya tentu kau mengharapkan yang baik
baginya. Yang baik itu sudah didapatnya. Yang belum tentu
diperolehnya, kalau ia masih hidup di dunia yang penuh kejahatan dan kezaliman ini."
"Aku salah satu yang zalim itu," kata Erwin dan ia terisak-isak.
"Tidak, kau pun tahu bahwa kau baik hati. Kau takut tidak dapat memberi kebahagiaan kepadanya. Itulah sebabnya kau selalu menjauh dari mereka yang sebenarnya kau sayangi!" ujar Sabrina.
Kata-kata itu agak meredakan Erwin.
"Aku telah menyelidiki Er! Mei Lan bukan mati wajar."
Sabrina mengatakan yang benar. Kalau dulu ia pernah sakit hati karena buatan orang kaya yang ditampik cintanya, disembuhkan oleh Erwin, maka sekarang ia diterjang kejahilan semacam itu lagi.
Juga oleh orang kaya yang hendak memetik, tetapi gagal. Sampai-sampai ia berkata kepada ayah gadis itu, "Apa maumu dan anakmu.
Aku dapat memberi semua. Semua, tanpa kecuali," katanya mengulangi.
Karena pernah mengalami buatan orang, orang tua itu jadi takut, la berjanji akan membujuk anaknya. Dengan begitu setidak-tidaknya dia dapat mengulur waktu sampai Erwin datang. Kalau orang yang diingini Mei Lan sudah kembali, maka ia tidak akan khawatir lagi.
Sudah ada tempat mengadu dan berlindung. Tetapi apa yang
dikhawatirkannya terjadi juga. Mei Lan hanya sakit tiga hari, tewas.
Mengeluarkan jarum dan beling dalam darah segar yang
dimuntahkannya.
"Aku akan membalas untukmu Mei," kata Erwin. "Walaupun aku harus berkubur di sini," tambahnya.
Dengan bantuan Sabrina tidak sulit mencari tahu siapakah yang telah membinasakan gadis tak bersalah itu. Ternyata seorang dukun wanita. Orang dari pesisir barat. Belum tua benar. Baru tigapuluhan.
Ibu dan neneknya pun dukun. Yang ibu masih ada. Masih praktek di kota itu juga.
Namanya bagus. Aini. Maknanya mata.
"Beri aku kesempatan," pinta Sabrina.
Ki Ampuh yang hadir, menganjurkan kepada Erwin untuk
mengabulkan permintaan wanita yang keturunan harimau jadijadian dari Sungai Penuh itu.
"Aku tak mau kau sampai mempertaruhkan nyawa, Sab," kata Erwin. la akan menyesali dirinya lagi, kalau Sabrina menyusul Mei Lan dengan cara yang lain. Kalau Mei Lan jadi mangsa buatan ilmu jahat, maka Sabrina bisa jadi korban pertarungan dengan wanita iblis yang amat pintar itu.
Dilihat sepintas, tidaklah masuk akal, bahwa Aini punya kekuatan yang luar biasa melalui ilmu pengobatan dan ilmu hitam, la yang sudah janda dengan seorang anak perempuan umur lima tahun diketahui punya hubungan erat sekali dengan seorang pejabat yang punya wewenang lumayan besar. Seorang duda dengan tiga anak.
Yang terkenal sebagai pejabat baik dan disegani oleh masyarakat.
la orang yang masih benar-benar ber-Tuhan Yang Maha Esa,
bukan ber-Tuhan kepada uang yang dianggap Maha Kuasa. Kata orang, sudah cukup banyak orang kaya yang ber-Tuhankan harta yang dipupuknya terus dengan berbagai cara tanpa memikirkan segala macam akibat dari perbuatannya. Terhadap lingkungan, terhadap bangsa dan negara. Terparah, kalau ia pejabat yang rakus, merusak wibawa Pemerintah yang sebenarnya sangat mutlak
dipelihara guna ketertiban dan kelancaran yang serba baik bagi bangsa pada umumnya. Bukan bangsa dalam arti kelompok yang amat kerdil.
Aini yang rupawan juga main gila dengan beberapa pemuda.
Sama pegangannya dengan Mbah Penasaran, wanita tak pernah tua di Banten itu, yang harus selalu bersenggama dengan orang muda, guna memperpanjang keadaan lahiriahnya. Selalu muda dan cantik.
Yang amat diperlukan Aini hanya anak-anak muda. Tidak penting apakah mereka sudah dapat memberi kesenangan dalam perbuatan itu.
Setelah mendapat kata sepakat, Sabrina yang lebih muda dari Aini berkunjung ke rumah dukun itu. la menceritakan tentang seorang saudaranya yang sakit keras di Padang dan sudah tidak
terobati oleh dukun dan dokter mana pun. Setelah mendengar nama besar Aini maka ia ke Palembang. Perempuan muda yang ternyata sangat ramah itu mendengarkan dengan penuh perhatian dan
wajahnya menunjukkan rasa simpati.
Aini menawarkan minuman dan makanan kecil kepada Sabrina
dan keduanya kelihatan menjadi akrab. Tetapi setelah Sabrina selesai dengan cerita dan menjawab semua pertanyaan Aini, wanita itu dengan lembut berkata, "Mestinya kita dapat jadi sahabat. Aku senang dengan Anda."
"Itulah harapan saya," kata Sabrina.
Dengan senyum Aini berkata, "Sayang maksud kedatangan Anda tidak sebersih itu. Tidak ada keluarga Anda yang sakit keras. Anda sedang mempelajari diriku untuk kepentingan sahabat Anda yang pernah Anda cintai. Tak tahu apakah terhadap dirinya harus dikatakan seorang atau seekor manusia harimau. Bukan hanya dia sendiri. Kalian bertiga, kalau yang seorang dari Minang itu tidak masuk hitungan. Nasihati si manusia harimau supaya meninggalkan kota ini. Yang dicarinya sudah tidak ada dan tidak akan ada. Aku tidak menyukai permusuhan, kecuali kalau eksistensiku diancam,"
katanya. Ternyata ia seorang cukup terpelajar. Pandai
mempergunakan perkataan eksistensi. Kenyataan bahwa dia itu ada.
Sabrina terdiam. Dia bukan tidak memperhitungkan kepandaian semacam itu. Tetapi mengapa tidak sejak semula ia
memperlihatkan, bahwa ia tahu apa maksud kedatangan Sabrina. la begitu ramah. Tidak kelihatan dibuat-buat. Aktingnya sempurna.
Hanya pemain watak dapat melakukan sebaik itu.
Sabrina tidak bereaksi. Dia malu. Bagi sementara orang, malu lebih dari segala-galanya. Orang ekstrim akan berkata, lebih baik mati daripada malu.
"Saya tahu Anda malu, Sabrina. Tetapi dengan tulus kuminta supaya Anda buang malu itu. Aku bisa mengerti, kesetiaan
seseorang terhadap kawannya. Aku pun akan berbuat sama untuk
orang yang kucinta. Aku mencintai banyak orang Sabrina, yang satu cinta benar, yang lainnya suatu keharusan guna memelihara diri.
Anda mengerti" Aku minta bantuanmu, mengatakan kepadanya
supaya membuang jauh dendamnya itu. Waktu itu aku hanya
menjalankan tugas sebagai dukun. Tidak menyelidiki siapa yang akan dipasang. Anda masih suka mengisap darah bayi Sabrina?"
tanya Aini dengan suara bersahabat. Tiada nada menyindir atau mengejek.
"Anda tahu itu?"
"Itu makanya kutanyakan. Itu bukan keinginan hatimu Sabrina.
Jadi tak perlu merasa malu atau rendah diri. Itu dorongan nafsu yang menyimpang. Mungkin juga dorongan iblis yang kadangkala masuk ke dalam tubuh manusia. Kekuatan iblis itu hebat. Bilamana dia telah mendorong, seringkah manusia terjerumus. Memukul, mencuri, menipu, membunuh. Anda dengar" Membunuh. Semua
manusia normal tak kan mau membunuh. Sebab berat risikonya.
Yang membunuh itu bukan manusia Sabrina. Itu iblis, syaitan.
Tangan manusia yang digunakannya untuk melaksanakan. Dan si manusia yang bersalah itulah yang dihukum. Bukan si iblis. Dia sudah keluar lagi setelah maksudnya tercapai. Jahat dan licik, bukan?" kata Aini memberi kuliah.
Sabrina tak dapat lain daripada kagum atas kepintaran dan kecerdasan wanita itu. Dan dia yang selalu dapat menghadapi segala macam lawan, merasa ditundukkan. Dia ingin mengatakan, bahwa perempuan itulah yang selalu dirasuk iblis, tetapi mulutnya tak kuasa bicara. Bagaikan dikunci.
"Pulanglah, katakan kepada si manusia harimau. Yang sudah terjadi, biarlah berlalu. Apa yang kukatakan itu semua benar, sama benarnya dengan apa yang Anda pikirkan sekarang. Bahwa diriku selalu dikuasai iblis. Aku tidak membantahnya."
Sabrina tidak kuasa membantah. Perempuan itu hanya
mengatakan yang benar. Kemudian ia merasa haus. Bukan haus biasa, la ingin darah. Sudah lama dia tidak mendapat.
Bila kedatangan tuntutan nafsu semacam itu,, wajah Sabrina selalu berubah, tetapi tidak terlihat, kalau tidak benar-benar diperhatikan. Lain halnya dengan Aini, ia tidak memperhatikan, tetapi langsung tahu, bahwa Sabrina sedang mengalami proses haus yang tidak normal. Dan ia mengatakan hal itu. Berterung terang.
"Anda sedang kehausan. Di rumah ini ada seorang bayi, anak adikku. Jadi kemenakanku. Anda tentu tidak mengharapkan
darahnya dan juga tidak akan sampai hati mencoba-coba, karena kita bersahabat. Bukankah begitu?" kata Aini.
Sabrina bertambah malu, walaupun telah dikatakan oleh Aini, bahwa ia tidak perlu merasa malu atau rendah diri. la tetap tidak berkata apa-apa, tetapi dia terkejut ketika Aini menyatakan akan menolongnya dari tuntutan yang pasti akan kian memuncak itu.
"Akan kutolong buat sekali ini," kata Aini. la permisi ke dalam sebentar dan tak lama antaranya keluar dengan membawa
pertolongannya. Dua butir lada putih, sebutir lada hitam dan jeruk nipis se-sayat.
"Telanlah lada ini," kata Aini memberikan lada yang tiga butir.
Tanpa ragu-ragu, Sabrina menurut.
Lalu Aini memberikan jeruk nipis yang dimantrai nya sejenak.
"Untuk diisap-isap ' ujarnya.
Sabrina heran. Serta merta rasa harus darah itu lenyap. Haus biasa saja pun tidak lagi.
"Anda hebat sekali. Terima kasih," ucap Sabrina. la mohon diri, benar-benar merasa lega karena terbebas dari tuntutan yang pasti akan meminta korban. Belum pernah Sabrina tidak mendapatkan darah, manakala nafsu jahat itu telah datang menerjang nerjang dirinya.
"Aku senang dapat bertemu dengan Anda. Baru sekali ini aku berkenalan sampai bersahabat dengan penyimpang nafsu secantik Anda. Selamat jalan. Pesankan kepadanya, supaya meninggalkan
Palembang. Itulah yang terbaik bagi kita semua!"
Sabrina tidak berjanji apa-apa. la telah menemui kekalahan terbesar selama hidupnya. Tak menyangka ada wanita muda dan cantik dengan ilmu yang begitu luar biasa.
0odwo0 Mendengar kisah Sabrina, si manusia harimau yang tidak turut menyaksikan pun sangat heran, tetapi kenyataan itu tidak
membuatnya mengurungkan maksud untuk membalaskan dendam
atas ke-matian Mei Lan.
Karena sudah melihat sendiri kehebatan wanita yang dukun itu, dan tidak ingin terjadi cidera atas diri Erwin, maka Sabrina mengusulkan untuk menyambut sikap Aini yang bersahabat itu.
Tetapi Erwin tidak terbujuk. Dia ingat janjinya di makam Mei Lan, bahwa ia akan membalas, wa laupun karena itu ia harus mati di Palembang. Dan Ki Ampuh menyokong pendirian Erwin. Harus
dibalas. Karena Erwin sudah berjanji kepada Mei Lan yang tentu mendengar, karena yang mati hanyalah jasadnya.
Peristiwa yang sangat menggemparkan itu tidak akan terjadi jikalau Erwin menuruti nasihat Sabrina sesuai dengan permintaan Aini. la memutuskan untuk mendatangi Aini dan mencabut nyawa dukun besar yang petualang seks itu di rumahnya sendiri. Benar di rumah sendiri, sebagaimana ia telah mendatangi Maribun di rumahnya dan kemudian menewaskannya, la akan melakukan yang serupa, karena orang sejahil Aini, walau bagaimanapun cantiknya, tidak punya hak untuk dibiarkan hidup lebih lama. Kelanjutan hidupnya hanya akan menambah jumlah manusia yang akan jadi mangsanya.
Erwin memperkirakan juga, bahwa mungkin Aini mengetahui
segala maksudnya sebagaimana ia tahu apa maksudnya kedatangan Sabrina sebenarnya. Pengetahuan inilah yang lebih menguatkan Erwin dengan dorongan Ki Ampuh untuk adu kesaktian, ketinggian ilmu dan wibawa.
Erwin bukan hanya mengandalkan kepandaiannya yang tinggi, tetapi yakin bahwa wanita itu akan kaget oleh kedatangannya. Yang disangkanya akan meninggalkan Palembang guna mencegah
bencana seperti yang dipesankannya melalui Sabrina.
Erwin dan Ki Ampuh bergerak pada petang hari. Datuk diminta untuk tidak turut, tetapi ia tidak dapat ditahan. Dia juga rela mati di Palembang, katanya.
Dan benar, Aini melihat kedatangan mereka, la minta kepada calon suaminya, orang jujur yang bernama Cek Kassim, agar mengatur penduduk sekitar untuk mengepung dan menangkap atau membinasakan para penjahat itu.
0odwo0 TIGAPULUH LIMA KETIKA bergerak dari tempat mereka memondok, Erwin sudah
merasa tidak enak, seperti ada sesuatu yang akan menimpa. Sekali lagi Sabrina menasihati supaya membatalkan maksud itu. "Aku tidak akan pernah tentram kalau tidak membalas, Sab. Gangguan itu akan sangat menyiksa. Paling buruk pun, ya mati!" kata Erwin yang mempunyai tekad bulat. Sabrina setuju, bahwa orang harus tidak takut mati, tetapi sangat perlu dipikirkan, apakah kematian akan lebih baik daripada hidup" Bagi orang yang masih dapat berbuat kebaikan kalau ia masih hidup. Apalagi kalau ia masih sangat diperlukan oleh sesama manusia hidup. Erwin menerima pendapat Sabrina, tetapi tetap tidak mengurungkan maksudnya.
la berjalan berdua dengan Datuk. Sebagai orang biasa. Ki Ampuh turut bersama mereka, tetapi tidak memperlihatkan diri. Sabrina menanti di tempat mereka menyewa untuk beberapa malam. Bila pembalasan telah selesai mereka akan meninggalkan Palembang dan Erwin tidak punya niat untuk kembali ke sana. Teuku
Samalanga pun sudah tidak ada. Entah kapan ia akan bertemu lagi dengan orang pandai dari Aceh yang akhirnya dituduh sebagai pembunuh, tetapi telah diselamatkan Erwin ke Jambi.
Erwin merasa seperti diperhatikan banyak mata yang
bersembunyi tidak kelihatan, tetapi dirasakan mengepung dirinya.
Apakah yang tidak kelihatan, tetapi dirasakan mengepung dirinya.
Apakah yang hendak mereka lakukan" Tetapi baru saja ia selesai dengan pertanyaan itu kepada dirinya, datanglah perasaan yang senyampang disukai, tetapi kadang-kadang juga sangat ditakuti.
Tetapi ia berjalan terus ke arah rumah Aini yang sudah kelihatan, la akan membuat terkejut Aini, karena bagaimanapun ia pasti belum pernah melihat manusia harimau dalam wujudnya yang nyata.
Itulah pula yang diharapkan Aini untuk jadi alasan pengepungan dan penangkapan.
Dalam tempo sebentar saja, orang-orang yang tadinya tidak kelihatan itu, bermunculan. Sebenarnya mereka takut, tetapi karena banyak dan saling memberi semangat, mereka hadapi juga makhluk yang belum pernah mereka saksikan sepanjang umur. Anehnya harimau berkepala manusia itu timbul mendadak saja. Bukan kelihatan datang ke arah mereka. Ada yang sempat melihat, bahwa tadinya harimau ini manusia biasa yang berjalan dengan kawannya.
Tiba-tiba dia menjadi harimau.
Polisi yang diberitahu juga segera datang. Lebih dulu Hansip yang memelopori pengepungan.
"Pergilah Datuk, sebelum terlambat!" kata Erwin.
"Tidak, aku mau turut menghadapi manusia-manusia jahat ini."
Memburu Manusia Harimau Seri Manusia Harimau Karya S B Chandra di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mereka bukan jahat. Mereka takut dan ingin menyelamatkan diri."
"Dengan jalan ini?" tanya Datuk. Ki Ampuh yang tidak kelihatan oleh para pengepung mengatakan, bahwa apa pun yang akan
terjadi harus dihadapi dengan sega\a konsekuensinya. Masih ditambahkannya, walaupun keadaan begitu gawat, mereka
hendaknya bisa ke luar hidup sebab dia masih ingin merasakan hidup sebagai manusia kembali.
Pada saat itu juga Erwin berkata, bahwa ia akan membawa Ki Ampuh sekali lagi ke negerinya, kalau masih ada nyawa tersisa
untuk itu. "Jadi ada kemungkinan, Er?" tanya Ki Ampuh.
"Kalau ke luar hidup, kita coba menghadap. Yang satu ini barangkali sanggup!" kata Erwin.
"Kalau begitu, kita harus mengalahkan mereka," kata Ki Ampuh bersemangat. Sementara itu kepungan tampak semakin rapat, meskipun masih tidak mungkin melakukan pertempuran bersosoh dalam jarak sangat dekat. Melihat para pengepung itu rata-rata bersenjata parang, lembing dan pentungan, sekali lagi Erwin meminta Datuk untuk menghindar. Dia tidak akan diserang, karena hanya dialah yang tampak sebagai manusia. Mereka akan
menganggap dia sebagai tameng si manusia harimau agar tidak diserang. Setelah berdebat singkat dan Erwin mengatakan, bahwa ia membutuhkan Datuk untuk masa mendatang, maka diaturlah siasat bagaimana Datuk menghindar tanpa dapat serangan. Dan siasat itu berhasil. Ketika si manusia harimau lengah. Datuk secara takut-takut melarikan diri. Nasib sangat baik baginya, di antara para penge-pung ada yang meneriakkan "lekas, lekas" dan mereka memberi selamat kepadanya, karena ia bisa meloloskan diri.
Ketika pasukan Polisi datang, kelihatan mereka membawa
senjata cukup lengkap kalau sekedar menangkap atau membunuh satu manusia harimau. Mereka itu tentu tidak segan-segan
menembak, pikir Erwin dan Ki Ampuh. Bukan jarang terdengar berita tentang anggota Polisi atau orang bersenjata lainnya yang gatal tangan serta punya selera membunuh, mempergunakan
senjatanya sampai menewaskan orang lain, yang seharusnya tidak sampai perlu. Ada kalanya yang roboh itu malah tidak punya dosa sama sekali. Tidak punya hubungan dengan penyebab pencabutan senjata api.
Setelah melihat Datuk selamat, Erwin merasa lebih leluasa. Satu kekhawatiran telah tiada. Para pengepung kian dekat. Aini yang jadi penyebab terjadinya bencana ini turut melihat, bahkan mengatur dari jarak yang agak jauh bersama kekasihnya Cek Kassim. Tetapi bukan hanya dia wanita yang berperan. Dari suatu rumah turut
menyaksikan dengan jantung berdebar Sabrina yang sangat
mengharapkan Erwin keluar dengan selamat. Betapa ia sangat mengharapkan Erwin sebagai teman hidup menjelang mati, karena itulah yang mestinya serasi dengan dia, karena kedua-duanya mereka mempunyai unsur harimau yang kuat. la menyuruh otaknya bekerja, bagaimana mengendurkan dan kalau bisa menghentikan pengepungan itu. la teringat pada bayi yang kemenakan Aini, yang disebut-sebut dukun kawakan itu jangan diganggu, karena Sabrina juga tentu tidak sampai hati melakukannya terhadap orang yang sudah jadi sahabat, la ingat kata-kata Aini, tetapi dia juga melihat kenyataan yang dihadapi Erwin. Hatinya berperang.
Tiba-tiba terdengar suatu suara keras memberi komando. Untuk menyerbu. Tetapi tidak ada yang mematuhi. Hanya sejumlah
pengepung kian mendekat dengan hati-hati. Meskipun mereka banyak sedang yang dihadapi hanya satu. Mereka tidak mampu menduga bagaimana kekuatan dan perlawanan yang akan
dilancarkan si terkepung. Mereka hanya tahu satu kepastian, bahwa dalam keadaan terjepit manusia yang harimau atau harimau yang manusia itu akan melawan. Tidak akan ada menyerah kalah saja.
Jadi, korban pasti jatuh atau berjatuhan, walaupun pada akhirnya makhluk itu mungkin akan binasa di sana.
Dan siapakah yang akan mati" Mereka bertanya pada diri.
Akukah barangkali" Ini tak dapat dijawab. Sudah bergantung pada nasib. Dan ini juga yang membuat kebanyakan dari mereka
bergerak ragu-ragu. Lebih suka di belakang. Tidak terlalu dekat.
Tetapi di samping mereka yang berhati-hati ini, tidak berani gegabah mengadu nyawa yang benar-benar cuma satu, ada juga yang nekad. Jumlah kecil ini menyerbu dan merekalah yang
pertama-tama bertarung dengan Erwin. Sudah tentu bagi Erwin tidak ada pilihan lain daripada merobohkan mereka. Hukum
mematikan atau dimatikan tidak dapat dielakkan. Dan perlawanan yang mereka terima, di luar dugaan. Manusia harimau itu memukul penyerangnya dengan kedua kaki depannya sambil menancapkan kuku ke dalam muka atau leher lawannya. Parang dan lembing yang dihantamkan ke tubuh makhluk itu ternyata tidak membuat dia luka.
Hanya menggeram dengan keras. Dan selalu saja orang yang
mematang atau melembing dia yang dihajar tanpa ampun. Dia tidak menggigit, jadi berlainan dengan harimau biasa, yang punya taring-taring kuat dan tajam Erwin tidak mempunyai itu. Oleh serunya pertarungan, beberapa banyak pengepung malah jadi penonton dari jarak yang lumayan jauh. Itu lebih aman. Tidak ada para penyerbu yang menghampiri Erwin bebas dari tamparan. Setelah para
penyerbu yang tidak terlalu banyak itu roboh, ia punya waktu untuk merobek-robek dada dan perut mereka, membuat pengepung
lainnya tidak punya selera lagi untuk mendekat. Mereka tidak mau jantung dan hati serta ususnya diburaikan.
Tetapi seorang anggota Polisi yang cukup berani atau mungkin juga nekad mengajak pengepung menyerbu lagi. "Hayooo,"
teriaknya, "dia harus mati!" Dia pun lalu menyerbu diikuti oleh beberapa orang yang jadi berani atau malu oleh contoh yang diberikan sang Polisi.
Mungkin Polisi itu punya "simpanan serta pakaian" khusus, la menerjang Erwin yang sedang berhadapn dengan seorang
pemarang. Dia melompat ke udara menendang kepala Erwin
sehingga manusia harimau itu terjengkang. Dari jarak dua meter dilepaskannya beberapa peluru dari pistolnya. Semua mengenai tubuh si manusia harimau, tetapi tidak membuat dia menjerit.
Hanya geramnya menunjukkan ia sangat marah, la bangkit lagi dan kini memusatkan penyerangan terhadap si Polisi yang hebat dan garang itu. Dua Polisi lain beserta dua anggota Hansip jadi turut menyerbu. Mungkin karena malu hati. Tetapi Hansip yang dua orang segera dibabat oleh Erwin. Senjata senapan panjang yang dipakai oleh seorang Polisi terlepas karena tangannya dipukul dengan keras oleh si manusia harimau. Polisi ini tidak sehebat Polisi pertama.
Rupanya Polisi pertama tadi memang benar punya ilmu silat tangguh, silat harimau. Belakangan ternyata dia pernah belajar silat harimau itu di Gunungtua, Padang Lawas, Tapanuli. Namanya Radian, marga Rangkuti.
"Menyerahlah," kata Radian. Dia punya pengetahuan lumayan
tentang harimau, baik yang liar, piaraan, jadi-jadian maupun yang manusia harimau, yang jumlahnya sangat langka.
"Tak mungkin, dongan. Menyerah untuk mati tidak mungkin!"
jawab Erwin sambil menampar keras seorang penyerbu lain.
"Orang-orang yang bermatian ini tidak punya dosa," kata Radian.
"Sama dengan aku. Aku juga tidak punya dosa. Tidak punya urusan dengan orang-orang ini kalau mereka tidak mau menangkap dan membunuhku. Apalagi Anda, yang kuyakin berasal dari
Tapanuli. Silatmu itu menunjukkan. Anda orang berani."
Atas anjuran Cek Kassim yang menuruti keinginan Aini, beberapa orang lagi menyerbu. Erwin, bagaimana hebat dan berani pun mempertahankan nyawa, mulai kewalahan. Kini peranan Ki Ampuh baru tampak oleh para pengepung dan penonton. Sebenarnya sejak tadi sudah beberapa orang jatuh dan berteriak tanpa mendapat serangan si manusia harimau. Mereka diseruduk oleh Ki Ampuh.
Dua orang di antara mereka tewas setelah jatuh dan terus saja ditusuk dengan taring-taringnya yang tajam dan berbisa.
Kini para pengepung terbelalak dan tahu, bahwa ada kawan si manusia harimau yang tidak kelihatan.
Sudah delapan orang roboh, lima di antaranya tewas. Radian yang masih utuh dan punya tenaga tidak meneruskan penyerangan, mengherankan Polisi lainnya. Lebih mengherankan, si manusia harimau juga tidak lagi menaruh perhatian kepadanya. Pasti ada di antara para pengepung itu yang berpikir macam-macam.
Berkeluargakah mereka maka nya damai berdua"
Melihat Erwin sudah letih beberapa orang lagi maju. Ingin merobohkan si manusia harimau. Tetapi pada waktu itu pulalah Aini mendengar jerit dari rumahnya, la berlari ke rumah, ada apa"
Ternyata bayi mungil yang anak adiknya telah tiada. Dan di atas bantalnya ada secarik kertas. Hanya mengatakan, bahwa bayi dikembalikan kalau penyerangan dihentikan segera. Kalau si manusia harimau tewas, maka bayi itu tidak akan kembali, tetapi akan selamat.
Kejam si Sabrina pengisap darah itu. Tetapi tidak terlalu kejam, karena tidak akan membunuh sang bayi yang tidak berdosa. Karena ia sudah menikmati kebaikan Aini yang menghilangkan nafsu jahatnya. Walaupun hanya untuk sekali itu saja.
Aini berlari kembali ke tempat Cek Kassim dan meminta
kepadanya supaya penyerangan dihentikan. Dan perintah segera dilaksanakan, walaupun sudah tentu menimbulkan tanda tanya bagi para pengepung.
Cek Kassim pandai memberi dalih. Si manusia harimau bukan hanya sendiri. Punya kawan tidak kelihatan yang tak kurang ganasnya dari dia. Mungkin jin, begitu pikir mereka.
Hari sudah senja. Para penyerang berhenti dan Erwin dengan kawannya yang tidak kelihatan juga berhenti, mengambil sikap menunggu.
"Pergilah," kata Cek Kassim dengan suara keras supaya terdengar oleh Erwin.
"Rabunkanlah mata mereka terhadap dirimu," kata Ki Ampuh dan Erwin segera memenuhi nasihat ini. la mendadak hilang dari pandangan para pengepung itu, meneruskan perjalanan melalui orang banyak tanpa dilihat oleh siapa pun. Tiba di rumah. Datuk dan Sabrina sedang menanti. Erwin terkejut melihat ada bayi digendong Sabrina. la bertanya, anak siapa. Kemudian ia
merebahkan diri. Dia tidak luka, tetapi letih. Letih sekali.
Pengeroyokan itu hampir menewaskan dirinya.
"Segala puji bagi Allah, kau selamat Erwin," kata Datuk.
"Berkat bantuan Ki Ampuh. Sebenarnya dialah yang menaklukkan mereka!" kata Erwin. Kini baru diulanginya bertanya anak siapa yang digendong Sabrina.
Sabrina hanya menjawab, "Anak sahabatku!"
"Mengapa dititipkan padamu?"
"Aku senang anak," sahut perempuan itu.
"Jangan yang bukan-bukan, Sab," kata Erwin yang mengetahui., sifat dan nafsu Sabrina. "Katakanlah yang sebenarnya'
Setelah itu Sabrina mengatakan, bahwa anak itu hanya untuk sebentar padanya, nanti diantarkan kembali. Dan ia terpaksa menceritakan secara singkat apa yang telah dilakukannya, tetapi sama sekali tidak punya niat yang buruk, la khawatir sekali, Erwin ialah sangka. Tetapi Erwin mempercayai ceritanya
"Lekaslah antarkan," pinta Erwin dan Ki Ampuh. Begitu pula Datuk.
"Aku cari dulu wanita yang mau membantu. Aku sendiri tidak mungkin ke rumahnya. Malu, aku malu!" kata Sabrina.
Wanita yang diperlukan segera didapat dan dengan upah
selayaknya pergi mengantarkan sang bayi. Ibunya menerima
dengan linangan air mata gembira, karena tadinya mereka
sekeluarga tidak yakin bahwa wanita jadi-jadian itu akan memenuhi janji. Aini sendiri merasa senang, karena kebaikannya telah dibalas oleh Sabrina. la menyesali dirinya yang telah menyebabkan Erwin dikepung dan diserang, yang akhirnya membuat lima orang tewas dan tiga orang luka berat. Tetapi kemudian ia memaafkan dirinya sendiri, karena ia merasa tidak diberi pilihan lain. la sudah memberi ingat melalui Sabrina, supaya tidak terjadi permusuhan.
Erwin khawatir akan terjadi lagi sergapan atas mereka. Maka diambil keputusan untuk berangkat malam itu juga. Menyelamatkan diri kalau tidak dikejar. Kematian sekian banyak orang bisa membangkitkan amarah yang tak mereka buru-buru berangkat.
TAMAT Document Outline
Seri Manusia Harimau EBook: Dewi KZ
Sumber djvu : Syaugy_ar Hanaoki website
Pendekar Pemetik Harpa 12 Pusaka Rimba Hijau Karya Tse Yung Anak Harimau 20