Memburu Manusia Harimau 4
Memburu Manusia Harimau Seri Manusia Harimau Karya S B Chandra Bagian 4
Erwin berjalan pelan, supaya jangan terdengar oleh orang-orang yang barangkali tak turut terbius oleh jampi-jampinya. Tetapi kaki-kakinya yami memikul badan harimau yang berat itu meninggalkan bekas berlumpur dalam bentuk telapak hari mau.
la sampai pada suatu ruangan yang lumayan luas dengan satu stel kursi dan perlengkapan lain yang membuat suasana di sana dalam keadaan normal, tentu cukup menyenangkan. Alat pendingin tetap bekerja, tidak dimatikan, walaupun di luar hujan turun dengan amat lebat. Manusia harimau itu tak membutuhkan waktu lama untuk melihat seseorang sedang duduk bersandar di sebuah kursi goyang. Santai, seperti orang yang sedang melenakan lelah atau mengenang masa lalu yang indali. Ataukah yang amat pahit"
Kedatangan Erwin dalam bentuknya yang ngeri menjijikkannya itu seperti tidak dihiraukan nya. Persetan amat sama makhluk yang cuma begitu. Berbadan harimau menandakan ketidak-sempunaannya. Derajat monster yang begitu, berada janji di bawah
manusia yang utuh. Ataukah dia tidak melihatnya" Tertidur" Pintu yang terbuka samp?l jauh malam itu, apakah maknanya. Bukankah bita ditafsirkan sebagai suatu undangan bagi siapa tam yang mau datang. Setidak-tidaknya maling yang tidak akan membuang
kesempatan sebaik itu. Maribun terkenal orang berada. Umumnya masyarakat sekitar tahu, bahwa dia punya usaha dagang dan punya beberapa bidang kebun. Juga kedermawanannya diketahui orang.
Beberapa bulan yang lalu ia mewakafkan sebuah mesjid kecil tetapi lengkap dengan semua fasilitas. Bukan terbatas pada lantai yang dikarpet seluruhnya, tetapi juga dengan AC. la ingin jemaah melaksanakan ibadahnya dalam lingkungan yang nyaman. Supaya bisa khusuk, barangkali itulah yang menjadi tujuannya.
0odwo0 Beberapa menit Erwin berdiri memandangi orang yang seperti tidur atau benar-benar tidur itu. Tak salah lagi, inilah orang yang pernah datang di dalam mimpinya. Tetapi menurut ingatannya, ini bukan orang yang berbisik kepadanya saat mengebumikan Koto.
Apakah ada dua orang" Orang di makam itu yang suruhan ataukah yang bersandar santai ini yang sedang melaksanakan tugas yang dibebankan sang majikan atas dirinya.
Erwin ragu-ragu. Orang keliru, kalau menyangka, bahwa makhluk sehebat ini tak mungkin ragu-ragu dalam menentukan langkah yang akan diambil. Barangkali orang ini menunggu dia datang mendekat, kemudian dengan suatu gerak kilat menyerang dirinya. Entah dengan senjata atau kekuatan apa. Bukan mustahil orang ini akan merobohkannya di sana, lalu datanglah para suruhannya untuk melumpuhkan dirinya. Kalau tak dibunuh, maka ia akan diserahkan kepada Polisi. Besar kemungkinan, ia akan melakukan yang tersebut belakangan. Jika itu yang terjadi, maka pasti penduduk kota yang cukup ramai itu akan gempar dan nama Maribun akan semakin mengudara. Pak Maribun menyergap makhluk berbadan harimau, tetapi berkepala manusia. Orang akan melihat dengan cara lain lagi kepadanya. Lahiriah dan batiniah. Rasa segan dan hormat di luar
lalu rasa kagum di dalam hati. Barangkali juga diam-diam takut kepadanya. Kalau Maribun mampu menangkap seekor atau seorang makhluk yang mestinya punya kekuatan luar biasa tentu ia jauh lebih hebat dari yang dikalahkannya. Dia punya ilmu gaib yang amat tinggi, di samping kekayaan yang amat banyak.
Tidak ada jalan lain bagi Erwin. la harus melangkah, mendekat.
Ataukah melemparnya dengan benda kecil untuk
membangunkannya, kalau benar ia tertidur. Supaya dia tahu, bahwa ada tamu datang melalui pintu yang sengaja disediakannya.
Ataukah lebih tepat dikatakan, bahwa tamu yang dinantikannya sudah tiba. Tetapi melemparnya de ngan benda kecil, sangat tidak sopan. Lebih tidak sopan dari masuk tanpa memberi salam,
walaupun pintu terbuka.
Dengan menetapkan hati, karena yang dihadapi bukan orang
sembarangan, Erwin melangkah ke arah laki-laki itu duduk atau tidur santai.
Dia coba saja memanggilnya dengan Maribun, nama yang
didengarnya di rumah Kapten Polisi Kahar Nasution.
Karena lampu menyala setengah terang Erwin tidak keliru
dengan pandangan matanya. Tuan atau penunggu rumah sedang meram. Dan meram belum berarti tidur. Sebagaimana ada sejumlah orang ber ilmu yang tidur dengan mata terbuka lebar, untuk menyesatkan lawan yang mungkin punya maksud buruk terhadap dirinya.
Aneh, Erwin pun tidak segera mengatur rencana, bagaimana
membawa orang itu. Bukankah itu tujuannya ke rumah ini" la sudah berdiri di hadapan si laki-laki. Mudah mencekik atau menyerangnya, walaupun orang itu sebenarnya tidak tidur. Manusia harimau itu tidak melakukan apa yang sewajarnya dilakukan dalam keadaan seperti itu.
Dengan suara pelan, seolah-olah takut mengejutkan sahabat yang sedang tertidur, Erwin berkata pelan, "Tuan, aku sudah datang."
Waktu mengatakan itu Erwin bersiap untuk menangkis serangan yang mungkin datang mendadak. Ternyata ia tidak diserang.
Tetapi apa yang kemudian terjadi lebih mengejutkan Erwin dari serangan yang bagaimanapun kerasnya. Sebab serangan memang sudah diperhitungkan sebagai sesuatu yang mungkin terjadi.
Dengan tenang, tanpa membukakan matanya Maribun, "
memang dialah Tuan rumah yang bernama Maribun" menyahut,
"Duduklah, dari tadi kulihat Tuan berdiri saja!" Ya Tuhan, rupanya sejak tadi orang yang tidur atau disangka tidur itu melihat dia dan memperhatikan segala gerak-geriknya.
Sambutan yang sama sekali di luar dugaan itu membuat Erwin malu. Suatu cara yang dapat mematahkan lawan, lebih daripada kalau memukulnya dengan kekerasan. Maribun menyerang perasaan yang bisa mengendurkan moril Erwin. Bukan memukulnya dengan tenaga fisik.
"Jadi Tuan telah melihatku sejak tadi?" tanya Erwin.
"Ya, dan aku memang mengharapkan kunjunganmu, anak
muda," kata Maribun tanpa nada sindiran.
Erwin jadi semakin tidak mengerti, apa maunya orang hebat ini.
Menyebutnya dengan "anak muda" padahal dia sudah berdaya upaya untuk menjerumuskan dirinya ke tangan Polisi.
"Apakah Tuan tadi tidak tidur?" tanya Erwin.
"Tidur! Menantikan kedatangan tamu sambil tidur lebih enak, jadi tak terasa. Pekerjaan menung gu termasuk pekerjaan yang sangat meletihkan, bukankah begitu, Tuan Erwin," katanya tenang.
"Jadi Tuan melihat dengan mata tertutup?" tanya Erwin menyesuaikan diri dengan sikap dan ke santaian Tuan rumah.
"Tidak, saya melihat dengan hati!"
"Tuan hebat sekali," kata Erwin memuji. Yang seorang ini lain, benar-benar lain.
"Silakan duduk. Kalau kita menyebut hebat, sudah tentu Tuanlah yang hebat. Aku tak bisa seperti Tuan!"
Cepat Erwin yang beranjak beberapa langkah menyahut, "Aku tidak dapat melihat dengan mata yang meram. Aku hanya bisa memandang dengan mata terbuka. Dan aku tak dapat duduk seperti Tuan."
"Mau minum kopi panas?" tanya Tuan rumah setelah memperkenalkan diri dengan nama aslinya, Maribun.
"Terima kasih, tak usah!"
"Tidak kedinginan ditimpa hujan lebat?" tanya Maribun ramah.
Membuat Erwin semakin bingung dengan sikap dan gaya dukun besar yang kaya-raya itu.
"Tidak, sudah biasa dikuyupkan hujan, dikeringkan panas."
Setelah itu keadaan jadi hening sepi, keduanya sama-sama diam, seolah-olah mencari kata-kata apa lagi yang pantas untuk
meneruskan bicara. Hati Erwin berperang. Akan meneruskan
rencananya, mengambil orang ini" Yang sama sekali tidak
menunjukkan sikap bermusuhan walaupun kedua-duanya tahu
benar, bahwa mereka hendak saling mematikan. Hanya satu saja yang boleh hidup, kalau Lu buklinggau tidak mau dijadikan terlalu sempit bagi mereka.
"Anak muda sedang ragu-ragu," kata Maribun.
"Tuan tidak?" tanya Erwin berterus terang.
"Ya, sedikit," jawab Maribun yang sama sekali tidak kaget menghadapi makhluk aneh dari Mandailing itu. Erwin menilai orang itu cukup terbuka. Mengatakan terus terang apa yang tersimpan di dalam hatinya.
"Aku juga kagum kepada Tuan, tidak langsung menerkamku tadi.
Padahal rencana Tuan sudah masak untuk membawaku!"
Mendengar ini, hati Erwin jadi mulai mantap kembali, la
bermaksud mengambil orang kuat ini. Ucapan Maribun yang
mengingatkan Erwin kepada rencananya ternyata menjadi suatu bumerang.
"Tidak jantan menyerang lawan yang sedang tidur. Apalagi dia sengaja membiarkan pintu terbuka untuk menerima tamunya," kata Erwin, sudah bertekad kembali untuk melaksanakan apa yang menjadi tujuan, la juga teringat kepada Datuk yang menunggu di luar. Kawannya itu tentu gelisah tetapi tak berani masuk karena tidak ada mufakat begitu. Lebih-lebih memikirkan Kapten Polisi Kahar, yang sudah berhadapan langsung dengan Maribun, kalau Erwin tidak menahaninya. Kejahatannya mengirim jin ke dalam tubuh Dinar sehingga ia mau mencekik abang kandungnya sendiri, tidak dapat dimaafkan. Apalagi dia telah mengambil nyawa Koto yang menjadi tamu Kahar melalui seekor ular yang sebenarnya ditujukan untuk Erwin.
Maribun melihat perubahan pada wajah Erwin. la dengan mudah membacanya. Tamunya ini sudah kembali pada niatnya semula. Dia pun sadar bahwa kata-katanya jugalah yang telah menyebabkan manusia harimau itu kembali kepada niatnya semula.
Maribun diam memikirkan kekhilafan kata-katanya. Bukan
menyesal, sebab dia menganut filsafat sederhana, bahwa sesal kemudian tiada berguna. Kalau sudah terlanjur khilaf, orang harus menyesuaikan diri dengan situasi.
"Bagaimana sekarang?" tanya Maribun, ingin tahu dengan cara apa mereka membereskan sengketa yang menyala hebat di dalam dada masing-masing. Ilmu yang sangat tinggi jualah yang
menyebabkan mereka mampu berdialog seperti dua orang sahabat yang mencari kata sepakat melakukan sesuatu.
"Aku harus membawa Tuan dari sini guna mencegah kejadian-kejadian buruk yang tidak kuingini."
"Soal penyakit mereka" Itu profesi menyenangkan, di samping pekerjaan sehari-hari!"
"Menyenangkan, kata Tuan?"
"Ya, itulah yang kurasakan. Aku menikmati tiap hasil karyaku, juga menikmati mereka yang coba memperlihatkan keunggulannya di atas kemampuanku."
Orang ini benar-benar sadis, tetapi juga berani berterus terang.
Menyakiti orang lain, harta pun bukan musuhnya merupakan suatu kenikmatan baginya.
"Kumohon agar kita tidak bikin onar di rumahku ini. Keluargaku tidak perlu terbangun dan ketakutan melihat kita berdua harus meniadakan valah satu nyawa. Aku punya usul, kalau anak muda setuju."
"Kupikir aku akan sangat setuju dan merupakan suatu
kesenangan memenuhi keinginan dari lawan yang bersikap sebagai sahabat terkarib," kata Trwin. Dia memang menaruh respek terhadap dukun ini, walaupun sadis. "Sebutkan usul Tuan."
0odwo0 DUAPULUH TIGA MARIBUN memandang ramah kepada Erwin. Si manusia harimau
juga membalas dengan pandangan persahabatan, sehingga bagi orang yang tidak mengetahui persoalan akan menyangka, bahwa mereka itu tentu dua sahabat yang sedang merundingkan sesuatu.
"Bagaimana kalau kita keluar dari rumahku ini lalu memilih tempat yang layak untuk menentukan nasib. Anak muda tahu kan, bahwa kita mempunyai tekad yang sama?" tanya Maribun.
"Tahu, salah seorang dari kita harus berhenti dari profesinya.
Tuan atau aku," jawab Erwin.
"Tepat sekali. Disayangkan, kalau dapat bekerja sama, kita akan merupakan suatu tim yang kuat sekali."
"Aku pun berpendapat begitu. Tuan. Tetapi kita mempunyai prinsip yang berlainan, sangat berlainan dan tak mungkin
dipertemukan," kata Erwin.
"Apakah anak muda punya ancer-ancer di mana tempat itu?"
"Aku orang asing di sini, Tuan. Oleh karenanya aku akan menurut pilihan Tuan," jawab Erwin hormat.
"Tetapi aku punya sebuah permintaan," kata Maribun.
"Katakanlah, kurasa aku akan memenuhinya kalau dapat."
"Karena aku telah menyediakan pintu untuk anak muda agar dapat langsung masuk, maka kini aku ingin agar anak muda yang kuat dan gagah membawa diriku ke tempat yang akan kita tentukan nanti."
"Bagaimana mungkin, bukankah Tuan yang akan menunjukkan tempat penentuan itu?"
"Anak muda tak paham maksudku. Aku ingin agar anak muda menggendong aku dan aku yang axan menunjukkan jalan!"
Erwin merasa heran, karena permintaan Maribun sangat aneh.
Apakah ia punya muslihat di belakang permintaannya itu" Tetapi ia yang dikatakan kuat dan gagah, malu pula menolak permintaan Tuan rumah, la seakan-akan minta balas budi afas kebaikan dan keramahtamahannya. Maka Erwin pun menyatakan persetujuannya.
"Ingin tahu rasanya digendong harimau," kata Maribun seperti seorang kawan yang sedang bermanja-manja.
"Baiklah, kalau itu akan menyenangkan hati "Tuan," kata Erwin.
la bergerak lebih dekat dengan berdiri atas kedua kaki
belakangnya. Tetapi kemudian ditanyanya sekali lagi, apakah benar-benar Maribun menghendaki itu. Setelah mendengar penegasan Maribun ia membungkuk untuk menggendong orang yar/g akan
menjadi tandingannya dalam berebut dan mempertahankan nyawa.
Erwin yang sudah membungkuk untuk mengangkat Maribun
ternyata tak mampu melakukannya. Tubuh Maribun yang hanya berukuran sedang itu terasa amat berat. Kalau semula ia
menyangka, bahwa untuk itu ia tidak perlu sampai mempergj nakan tenaga, kini mulai mengerahkan tenaga. Tetapi ternyata sia-sia,
Maribun tetap tak dapat diangkat dari tempatnya duduk.
Mengertilah dia, bahwa dukun berilmu sihir itu mau memperlihatkan satu lagi kemampuannya dan mau menguji apakah Erwin sanggup mengalahkan kehebatannya yang la n ini.
"Tuan benar-benar terlalu hebat bagiku," kata Erwin.
"Jangan berpura-pura, anak muda. Anda tak sudi menggendong saya."
"Bukan, Tuanlah yang sebenarnya tak mau saya gendong, karena saya hanya harimau, seperti kata Tuan tadi."
"Coba sekali lagi, kalau benar anak muda ini memanjakan aku yang tua dan barangkali malam ini juga akan berpisah dengan dunia yang sebenarnya menyediakan semua-muanya untuk dinikmati."
Erwin mencoba sekali lagi, tetapi tubuh Maribun tetap tak bergerak dari tempatnya.
"Kalau anak muda tak mau menggendongku sesuai dengan janji, pulang sajalah, sebab aku tak-mau pergi kalau harus berjalan.
Pergilah, kita tidaj usah bermusuhan walaupun tak dapat bersahabat Karena perbedaan pandangan hidup dan kayakinan."
Erwin merasa bahwa perkataan orang kawakan itu benar juga.
Lebih baik pergi, karena ia tak sanggup menggendong, padahal itulah persyaratan yang diajukan Maribun.
"Baiklah Tuan, aku pergi dulu. Mencari tambahan ilmu, kalau sudah tiba waktunya aku akan kembali!"
"Itulah yang terbaik," kata Maribun.
Erwin bergerak menuju pintu yang tadi begitu mudah
dimasukinya. Tetapi setelah tiba di dekat pintu, kembali ia tak dapat bergerak sebagaimana ia juga tak mampu melangkahkan kaki, ketika ia tadi hendak mendekati Maribun yang tampak seperti tertidur pulas.
Apakah ia akan mendapat bantuan, sebagaimana ia tadi juga mendapat bantuan dari Tuan Syekh Ibrahim Bantani" Tadi ia
menyebut nama orang sakti itu, tetapi kini ia malu berbuat begitu.
Tampak benar kelemahannya, la memandang ke arah Maribun.
"Mengapa" Ada yang ketinggalan?" tanya Maribun, jelas mengejek. Sambil berkata Maribun berdiri, tenang-tenang
melangkah ke arah tamunya yang mau pulang itu.
Erwin merasa terpojok. Malu bukan buatan. Tetapi tiada daya.
"Pulanglah, aku mau mengunci pintu. Mau tidur. Bukankah kita sepakat untuk tidak bermusuhan"
Erwin memandang orang itu. Kini tidak lagi dengan mata
memancarkan rasa persahabatan. Sebab yang begitu akan
ditafsirkan sebagai minta dikasihani. Dan itu menjadi kepantangan besar baginya
"Tak anak muda dengar" Aku mau tidur. Perulah pulang!"
Erwin memandang dengan penuh dendam, tapi juga merasa
bahwa orang itu mempunyai terlalu banyak ilmu.
"Kalau anak muda tak mau pulang, aku terpaksa menelepon Polisi. Perbuatan Anda ini sudah sa ngat mengganggu!"
Erwin segera membayangkan, bahwa untuk kedua kalinya ia
akan dikepung Polisi dan sekali ini tidak akan lolos lagi. Memang itulah rupanya maksud Maribun. la mau mempergunakan alat-alat penegak hukum untuk menyingkirkan musuh yang telah
menyusahkan dirinya itu.
Dalam keadaannya seperti itu, kalau sampai dikepung oleh
orang-orang bersenjata, dia pasti akan ditembak. Mungkin
diberondong dengan senapan mesin. Betapa aibnya. Apakah ia jauh-jauh merantau, sudah menjelajahi sekian banyak kota besar, akhirnya akan mati terkapar di Lubuklinggau" Itu lah tujuan Maribun dan itulah yang sangat ditakuti nya. la harus dapat menghindar.
"Anak muda lihat itu," kata Maribun sambil , menunjuk ke sebuah meja di mana ada sebuah telepon. "Aku akan menelepon Polisi sekarang."
Betapapun malunya Erwin tidak dapat berbuat lain daripada memanggil-manggil nama Tuan Syekh Ibrahim Bantani.
"Hindari aku dari dikepung dan diburu mereka, Tuan Syekh,"
pintanya hampir menangis karena putus asa. Betapa akan sedih hati Ayah, dan kakeknya kalau ia sampai ditewaskan Polisi di sana.
Tiba-tiba ia dapat mengangkat kakinya kembali. "Segala puji dan syukur bagimu Tuhan," kata Erwin di dalam hati.
la melangkah ke arah Maribun yang sudah mengangkat gagang telepon.
"Letakkan itu kembali Tuan Maribun," katanya masih hormat.
Maribun yang kaget oleh kehancuran ilmu pemberat kaki dan tubuh, tidak segera meletakkan telepon, tetapi juga tidak bicara.
Bagaimana mau bicara, nomor pun belum diputarnya.
"Anak muda mempermainkan diriku yang tua," kata Maribun.
"Aku tak tahu bahwa sejak tadi anak muda berpura-pura.
Memang hebat, pada detik terakhir baru anak muda
memperlihatkan kartu yang ada di tangan anak muda."
"Aku tadi tidak berpura-pura Tuan, aku memang tak mampu bergerak sebagaimana aku tadi tak mampu mengangkat tubuh
Tuan. Aku merasa hormat. Ilmu-ilmu Tuan itu tidak ada padaku!"
"Anak muda masih merendahkan diri. Memang begitulah sifat orang yang benar-benar hebat. Anak muda pun rupanya memakai ilmu padi!"
Maribun meletakkan telepon.
Dalam hati Erwin memohon kepada Tuan Syekh agar ia diberi kekuatan untuk menggendong Maribun. Yakin, bahwa pintanya didengar, ia ambil badan Maribun dalam posisi menggendong. Dan kini memang tiada rintangan. Giliran Maribun yang merasa takut.
Tadi ia sengaja mempermainkan Erwin, apakah ia pun kini akan dipermainkan"
"Aku tidak akan mempermainkan Tuan, karena aku tidak punya
cara-cara yang Tuan jalankan sebelum Tuan menamatkan riwayat orang yang jadi sasaran Tuan. Kesadisan dengan gaya lain. Tuan tadi hendak menelepon Mayor Buang, bukan?"
Maribun tidak menjawab.
"Biar aku yang bicara. Akan kukatakan apa yang hendak Tuan katakan. Tetapi aku tidak mempermainkan Tuan. Sebab tadi Tuan benar-benar seorang Tuan rumah yang amat baik," kata Erwin sambil meletakkan Maribun kembali dan meminta dengan hormat, agar ia memutarkan nomor telepon Mayor Polisi Buang. Karena manusia harimau itu memintanya dengan baik, maka ahli sihir itu menuruti, sebagaimana Erwin tadi juga patuh ketika disuruhnya pulang dan kemudian dibuatnya tak berdaya untuk melangkah sampai ke pintu.
Setelah mendapat sambungan, Maribun menyerahkan telepon
kepada makhluk yang harimau berkepala manusia itu. Dikatakannya kepada Mayor Polisi Buang, bahwa si harimau piaraan yang
mengancam keselamatan penduduk sedang berusaha masuk ke
rumah Maribun. Kalau segera membawa pasukan tentu akan dapat mengepung dan menangkap atau membinasakannya. Selesai
mengatakan itu, Erwin menutup telepon.
Mayor Polisi yang ingin naik pangkat dan menjadi buah bibir masyarakat Lubuklinggau itu segera bertindak, walaupun hari telah sangat larut malam, sudah mendekati jam 03.00. Menjelang subuh, tatkala semua makhluk yang bernama manusia sedang enak-enaknya tidur.
"Mari kita berangkat," kata Erwin sambil menggendong Maribun, sesuai dengan yang disanggupinya ketika tadi Maribun
mengajukannya sebagai persyaratan. Maribun membiarkan, karena tidak melihat peluang baik untuk melawan.
"Aku dapat berjalan ke tempat yang akan kita pilih jadi medan penentuan. Tak usah gendong aku," kata Maribun kemudian.
Katanya ia mengajukan permintaan itu tadi hanya sebagai iseng-iseng tanda persahabatan. Alasan itu dijegal Erwin dengan berkata,
"Karena merasa bersahabat, atau sekurang-kurangnya tidak bermusuhan, maka Tuan buat aku tadi sampai tak kuat mengangkat tubuh Tuan dan kemudian tak mampu keluar dari rumah Tuan ini.
Dan karena kebaikan hati Tuan pula maka Tuan tadi hendak
menelepon Polisi agar mengepung dan menangkap atau
menewaskan diriku!"
Maribun tidak sanggup membantah kata-kata Erwin yang secara langsung menyindir dirinya.
Erwin keluar dari rumah yang hampir menjerat dirinya, membuat Datuk heran melihat sahabatnya menggendong si dukun sihir, la berjalan di samping Erwin tanpa mengajukan pertanyaan. Untunglah Maribun berkata, bahwa ia merasa sangat aneh digendong, yang oleh Erwin dijawab, "Aneh ataupun tidak, bukankah Tuan yang meminta untuk digendong." Jawaban ini membuat Datuk tambah tak mengerti, apakah sebenarnya yang telah terjadi.
Hujan sudah reda, tetapi jalan yang berlumpur menyebabkan dua kaki belakang Erwin dan kaki Datuk meninggalkan jejak yang sangat nyata. Setelah merasa cukup jauh dari rumah Maribun dan keadaan sekitar juga sepi, Erwin berhenti tanpa menurunkan Maribun. la hanya bertanya, apakah tempat itu cukup baik untuk menanggalkan satu di an tara dua nyawa mereka. Si dukun sihir setuju. Erwin menurunkannya dan mempersilakan untuk bersiap. Di situlah baru Maribun, yang selama perjalanan telah memikirkan bagaimana ia akan meng hadapi si manusia harimau, jadi sangat terkejut, karena merasa dirinya tidak berdaya. Dia tak mengerti mengapa bisa jadi begitu. Apakah dia yang akan tersingkir dari dunia yang katanya memberi ba nyak kenikmatan ini. la baca berbagai ilmu dalam bahasa Tamil, tetapi tak satu pun dari binatang suruhannya yang datang. Dibacanya dalam bahasa Sakai, juga tidak menolong. Dia lalu berkata, bahwa dia tidak siap untuk bertarung dan minta supaya diurungkan untuk lain waktu
"Menyesal sekali Tuan, aku harus meneruskan perjalanan besok, kalau aku tak tewas sekarang," jawab Erwin tenang, tetapi tegas.
Karena Maribun sudah beberapa kali menunjukkan kepalsuan dan
kelicikan, si manusia harimau kurang yakin akan pengakuannya.
Dicobanya membaca pikiran penyihir itu. Menurut penglihatannya memang sedang tak berdaya. Tetapi apakah benar begitu" Mungkin Maribun punya ilmu lain untuk membuat Erwin salah baca. la segera mengujinya. Dipukulnya badan Maribun, terjatuh ke lumpur. Tidak memberi perlawanan. Walaupun begitu Erwin belum yakin. Orang ini mempunyai akal dan ilmu terlalu banyak. Barangkali dia berbuat begitu untuk mengulur waktu sehingga Mayor Polisi Buang sampai di rumah Maribun, kemudian mengikuti jejak si harimau. Tentu akan bertemu, kalau Erwin membuang waktu.
Dan memanglah begitu yang terjadi. Mayor polisi Buang yang mempergunakan dua kendaraan telah tiba di rumah Maribun
dengan sepuluh anak buah bersenjata lengkap untuk suatu
pengepungan dan mungkin pertarungan dengan seekor harimau yang dikatakan hewan piaraan. Mengetahui Maribun tidak ada dan kemudian melihat pula jejak harimau dan satu manusia. Polisi jadi sangat heran. Hanya ada jejak dua kaki belakang dan bekas telapak kaki manusia tanpa sepatu. Mayor Polisi Buang dan anak buahnya tidak mengerti. Penghuni rumah pun tidak dapat memberi
keterangan. 0odwo0 DUAPULUH EMPAT JEJAK manusia tanpa sepatu menimbulkan tanda tanya, siapakah yang punya kaki. Maribun" la tidak biasa bepergian tanpa sepatu, la seorang penyihir modern dan pedagang yang lumayan bonafide.
Lalu, siapakah orang itu. Dan si harimau, mengapa jalan atas kaki belakang saja" Beginikah semua harimau piaraan"
Mayor Polisi Buang yang tadinya begitu ingin jadi terkenal dan naik pangkat jadi berpikir lagi sebelum mengikuti jejak harimau yang sangat aneh itu. Sama sekali tidak terlintas dalam khayalannya bahwa Maribun telah digendong oleh si harimau aneh dan hewan itu juga merasa senang, karena dengan menggendong dukun itu ia
menyesatkan jalan pikiran siapa pun yang akan memburunya.
Ternyata Maribun memang kehilangan daya untuk melakukan
perlawanan. Segala kekuatan gaib yang selalu ada pada dirinya bagaikan sirna secara mendadak dan bagaikan tanpa sebab. Tidak disadarinya bahwa seluruh kekuatannya telah direnggut dari dirinya oleh Tuan Syekh Ibrahim yang tidak menyukai ilmu digunakan untuk kejahatan. Erwin sendiri pun tidak mengerti, mengapa mendadak dukun kenamaan dan tadi masih memperlihatkan kesadisannya mendadak tidak melawan.
"Lawanlah aku," kata Erwin.
"Aku tidak siap untuk hari ini. Kalau Anda harimau yang jujur dan satria tentu Anda menunda sampai hari yang akan kita tentukan kemudian. Anak muda semacam Anda tentu punya kemanusiaan
tinggi," ujar Maribun. Apakah kesalahannya maka ia kehilangan seluruh tenaga"
"Aku sudah tidak dapat menunda. Tuan. Dan aku tidak punya apa yang Tuan sebutkan itu, karena aku bukan manusia. Begitu kata Tuan. Karena aku hanya harimau maka keharimauanlah yang ada pada diriku. Terserah kepada Tuan kalau menganggap aku sangat hina."
"Itu tidak adil" seru Maribun.
"Bagaimana pendapat Datuk" Tuan ini mengajak aku
menyelesaikan urusan. Salah satu di antara kami harus mati. Itulah makanya kita sampai di sini. Aku menggendong beliau pun karena begitu ke-mauannya. Apakah aku jahat kalau tidak mau
mengundurkan waktu lagi?" tanya Erwin. Untuk pertama kali Datuk dibawa serta. Legalah hatinya. Tadi dirinya dianggap sebagai tidak ada saja. Disapa pun tidak.
"Saya rasa tidak perlu ditunda!" jawab Datuk. Penyihir itu masih coba mengemukakan berbagai alasan agar pertarungan ditunda, sekaligus ia berharap Mayor Polisi Buang akan sampai di sana.
Penegak hukum itu pasti akan menangkap Erwin atau
membunuhnya di tempat.
"Aku tidak dapat mengulur waktu Tuan" kata Erwin. "Sambutlah seranganku ini!" Maribun tidak bersiap untuk menangkis atau melawan, sehingga Erwin pun belum jadi melancarkan pukulan.
Tetapi Erwin juga tahu, bahwa jika tidak sekarang dilakukannya, maka besar kemungkinan, dia-lah yang akan jadi konyol.
"Maafkan aku," kata Erwin dan bersamaan dengan itu ia mencekik leher Maribun sambil menanamkan kukunya dalam-dalam.
Menyedihkan juga, karena Maribun sama sekali tidak melawan.
Seperti berserah saja kepada ketentuan yang sudah diperuntukkan bagi dirinya.
Melihat kenyataan itu, hati Erwin berperang, antara meneruskan pembunuhan atau membiarkannya hidup. Sungguh tak layak
mematikan manusia yang tidak memberi perlawanan, la bukan bertarung mempertaruhkan nyawa, tetapi tak lebih daripada melakukan pembunuhan dengan darah dingin. Bukan suatu
perbuatan terpuji. Dia masih berharap agar Maribun mendadak berontak dan memberi perlawanan sengit. Ataukah dia tidak merasakan sakit oleh tikaman kuku yang tajam dan cekikan yang kian mengetat"
"Apa lagi yang Tuan tunggu!" kata Erwin, melihat darah mengalir dari luka-lukanya, la mengendurkan tekanan untuk memberi
kesempatan bicara kepada Maribun, tetapi penyihir itu tetap bungkam. Tiada sepatah kata pun keluar dari mulutnya.
Datuk buka suara. "Aku tidak ingin mencampuri, sahabat. Aku dapat turut merasakan kebimbangan hati sahabat. Bertentangan dengan hati sahabat menewaskan orang yang tiada melawan."
"Memang itulah yang kurasakan Datuk! Aku bukan bertarung, tetapi hanya membunuh. Betapa hinanya!"
"Memang benar begitu. Tetapi mungkin dia sendiri sudah rela dilenyapkan dari dunia ini, karena hidupnya dengan ilmu-ilmu besarnya banyak menebarkan penyakit dan maut. Kematian bagi yang jadi sasaran dan penderitaan hati yang tak akan pernah berkesudahan bagi keluarga yang ditinggal. Sahabat bukan sedang
membunuh, tetapi hanya meniadakan ancaman yang sangat
berbahaya bagi masyarakat. Bagaimanapun pasti ada sesuatu yang menyebabkan ia tidak melawan. Mungkin tekadnya sendiri, mungkin Ayah sahabat atau orang-orang yang amat mencintai diri sahabat.
Ingatlah beliau-beliau yang tidak ingin ilmu digunakan bagi melakukan kejahatan.
Apa yang dikatakan Datuk mungkin benar. Maribun sendiri minta ditiadakan atau orang-orang yang amat sayang kepadanya minta agar turun tangan membinasakan penyihir itu. Boleh jadi Ayah, mungkin Kakek dan barangkali Tuan Syekh Ibrahim Bantani. Yang dalam jarak waktu yang amat singkat telah dua kali melepaskan dia dari rencana jahat Maribun untuk mempergunakan alat-alat negara mengepung dan menangkap lalu membinasakan dirinya.
Erwin menguatkan hati. Bukankah sudah diputuskan tadi, bahwa salah seorang dari mereka berdua harus bercerai dengan nyawanya.
Keputusan itu harus dilaksanakan. Tidak diatur bagaimana caranya dan apa-apa yang jadi larangan. Kemudian terpikir oleh Erwin, bahwa kalau Maribun masih di biarkan hidup, ia akan
mempergunakan segala cara untuk membinasakan dirinya. Kalau dia meniada kan Maribun sekarang, maka tak lain maksudnya agar ia tidak dibunuh. Selain itu juga untuk kepentingan masyarakat.
Nasihat Datuk dan jalan pikirannya membuat Erwin mengambil keputusan untuk menamatkan kehidupan Maribun.
Erwin dengan mudah mengetatkan cekikan, sehingga Maribun
meninggal tanpa perlawanan sedikit pun, seolah-olah semua kekuatan dan kepandaian yang dimilikinya sudah lenyap sama sekali.
"Dia sudah tiada, Datuk. Aku menyesal harus melakukannya.
Tetapi aku juga tidak melihat jalan lain!" kata Erwin.
"Memang tiada jalan lain sahabat. Tentu ada sebab-sebab yang mengharuskan dia tewas tanpa melawan," sambut Datuk
meringankan perasaan Erwin.
"Boleh aku minta bantuan Datuk?" tanya Erwin setelah berpikir
sejenak. "Tentu, sejak tadi aku ingin supaya diajak serta walaupun hanya peranan yang tidak ada artinya," kata Datuk. Dia benar-benar girang. Sejak berang kat dari rumah, dia seakan-akan penonton saja. Tidak berguna sama sekali.
"Tolonglah gendong mayat ini. Akan kita antarkan ke satu tempat," kata Erwin.
Pendekar Minang tidak bertanya ke tempat mana. la sangat
membatasi diri dalam bertanya, takut kalau-kalau tidak berkenan di hati si manusia harimau.
Merekaperjalanan tanpa bicara lagi, sehingga di suatu tempat Erwin merasa bahwa ia akan berubah lagi jadi manusia biasa.
Perubahan itu berjalan secara bertahap, disaksikan oleh Datuk yang sangat bangga karena mempunyai sahabat lain daripada yang biasa dipunyainya. Sejak Datuk menggendong mayat Maribun tadi, Erwin berjalan atas empat kaki, sehingga jejak-jejaknya sama dengan harimau biasa.
Kini mereka meneruskan perjalanan menuju jalan raya yang tak jauh dari sana. Sebelum memulai jalan di atas aspal, Erwin mencuci kaki di selokan, begitu pula Datuk.
Yang dituju sudah tak jauh dari sana. Rumah kediaman Mayor Polisi Buang yang pada waktu itu masih menyelusuri jejak-jejak yang ditinggalkan seekor harimau berkaki dua dan seorang laki-laki yang diperkirakan pasti bukan Maribun.
Mayor dengan pasukannya sangat berhati-hati, kuatir harimau aneh itu bersembunyi dan mendadak melancarkan serangan yang mematikan. Kalau Maribun yang terkenal punya ilmu tinggi bisa hilang dari rumahnya sendiri dan sejak pekarangan hanya
meninggalkan bekas dua kaki belakang harimau serta seorang manusia tanpa alas kaki, yang belum dapat diketahui mengapa bisa terjadi begitu, maka makhluk itu pasti dapat melakukan sesuatu yang di luar dugaan.
Sampai di tempat Erwin menghabisi nyawa Maribun dan
mayatnya kemudian dibawa oleh Datuk, sementara sang manusia harimau berjalan atas keempat kakinya. Mayor Polisi Buang semakin takjub dan tak bisa mengerti atau bahkan menebak, bagaimana tiba-tiba ada jejak empat kaki harimau sedang jejak si manusia tetap seperti tadi.
"Apakah artinya ini Pardede?" tanya si Perwii kepada Walter Pardede yang baru berpangkat Sersan Polisi.
Dengan suara perlahan, seolah-olah takut didengar orang ia menjawab, bahwa ia banyak mende ngar cerita-cerita aneh tentang harimau, terutama ketika ia bertugas di Penyabungan, Tapanuli Selatan sebelum dipindahkan ke Lubuklinggau, tetapi berubahnya dua kaki harimau menjadi empat tidak pernah didengarnya.
Memburu Manusia Harimau Seri Manusia Harimau Karya S B Chandra di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sekarang yang tidak pernah didengar dan di luar kemampuan otaknya untuk memikir dan memecahkan misteri semacam itu, telah disaksikannya dengan mata sendiri. Dia tidak mungkin ditipu oleh pandangan yang keliru, karena Komandannya dan anggota Polisi yang lain juga melihat.
"Adakah di antara kalian yang mengerti?" tanya si Perwira.
Semua berdiam diri atau menggelengkan kepala.
Sebenarnya Ujang sudah enggan meneruskan, tetapi untuk
menjaga wibawa diri, mereka melanjutkan penyelidikan. Belum berapa jauh berjalan, mereka terkejut heran lagi, karena bekas kaki harimau tidak ada lagi, hilang. Bagaimanapun mampunya Mayor Polisi Buang mempertahankan wibawa dan harga diri, tetapi melihat kenyataan itu ia tidak dapat melawan getaran yang menjelajahi seluruh tubuhnya. Agak lama ia tidak berkata-kata, memandangi jejak-jejak harimau yang hanya sampai di tempat itu. Tidak ada lanjutannya. Kalau ada pasti kelihatan karena tanah di sekitar situ semua sama.
Becek oleh hujan yang turun cukup lama dan deras pula. Jejak-jejak itu seperti ditelan bumi. Ataukah terbang ke angkasa"
Tetapi jejak sang manusia yang berjalan bersama harimau itu
masih ada dan tidak hanya sampai di situ. Yang juga sangat mempengaruhi diri Mayor Polisi Buang adalah jejak manusia lain lagi. Orang baru tentu. Berjalan bersama jejak kaki manusia yang sudah ada sejak dari rumah Maribun. Dari manakah datangnya orang baru ini" Dia seakan-akan menggantikan atau meneruskan perjalanan si harimau, yang semula hanya berkaki dua, tetapi kemudian menjadi empat.
Anak buah Perwira itu saling pandang dan memandang
Komandannya. Dengan suara pelan dan kedengaran lesu Mayor Polisi itu kini mengikuti jejak dua manusia. Apakah salah seorang dari kedua orang itu dukun Maribun yang pedagang merangkap ahli sihir"
Mayor Buang dengan anak buahnya tadi ke rumah Maribun untuk mengepung dan menangkap harimau yang konon dinamakan
harimau piaraan. Yang mereka ikuti kini jejak dua manusia. Yang hendak dikepung dan ditangkap atau dibunuh kalau terpaksa adalah harimau. Tidak perduli apakah itu harimau piaraan atau jadi-jadian.
Tak lama kemudian mereka pun tiba di jalan raya yang beraspal.
Tidak ada bekas jejak berlumpur di aspal. Sehingga tidak
meninggalkan petunjuk ke arah mana mereka pergi. Mayor Polisi itu benar-benar bingung, tidak mampu menduga atau mengkhayalkan saja pun, apa sesungguhnya yang sedang terjadi. Sudah sekian lama dia di Kepolisian, baru kali ini menghadapi keanehan yang di dalam buku pun belum pernah dibacanya. Lebih mudah meng
hadapi residivis yang sudah dikenal sangat sadis Mereka tidak segera meneruskan langkah. Kar na tidak tahu arah mana yang akan diambil. Akhir nya Mayor Polisi itu memutuskan untuk kembali ke kendaraan yang mengangkut mereka tadi. Yang parkir tak jauh dari rumah Maribun.
0odwo0 Erwin dengan Datuk yang menyangga mayat Maribun dengan
kedua belah tangannya berjalan tenang-tenang. Ada dua tiga kali berpapasan dengan kendaraan bermotor dan pengendara sepeda, tetapi tidak ada satu pun yang menghiraukan mereka. Erwin telah berdoa agar mata mereka dirabunkan, tidak melihat dia dan sahabatnya yang membawa mayat Maribun.
Akhirnya mereka berhenti di seberang sebuah rumah.
"Kita telah sampai di tempat tujuan, Datuk. Letih juga membawa mayat sejauh itu, ya!" kata Erwin. Datuk mengatakan, bahwa ia sama sekali tidak merasa capek, seperti membawa manusia dari kapan saja, katanya. Erwin memandang Datuk dengan rasa terima kasih. Yang dipandang tunduk Dia merasa bahagia dapat berbuat sesuatu. Tubuh Maribun memang hanya seperti kapas. Oleh bantu}
an orang-orang berilmu sangat tinggi yang menyayangi Erwin.
"Kita akan letakkan mayat Maribun di pintu masuk pekarangan.
Mayor Buang akan senang melihatnya," kata Erwin.
Semula Erwin hendak mengeluarkan semua isi perutnya
sebagaimana telah beberapa kali dilakukannya terhadap orang-orang tak manusiawi, tetapi kemudian mengurungkan maksudnya itu. Luka-luka bekas kuku harimau di lehernya itu sudah memadai.
0odwo0 DUAPULUH LIMA MAYAT Maribun diletakkan membelintang di pintu masuk
pekarangan rumah Mayor Polisi Buang yang sebelum meninggalkan penyihir itu meminta keterangan lagi dari istri dan keluarga lainnya.
Mereka semua tidak ada yang mendengar Maribun pergi. Biasanya dia berpesan kepada istri atau yang lain di rumah itu, manakala ia hendak pergi. Dan biasanya dia pergi dengan mengendarai mobil.
Kecuali kalau ia dijemput atau sekedar bertandang ke rumah tetangga yang rata-rata menghormati dia.
Menjelang waktu tidur Maribun hanya berkata kepada istrinya
bahwa dia akan kedatangan tamu untuk tukar-menukar ilmu.
Dianjurkannya supaya semua keluarga dan pembantu tidur, karena dia mau berduaan saja dengan tamunya.
Tak ada yang mendengar kedatangan si tamu yang dinantikan dan tidak pula terdengar suara Maribun pergi. Tetapi di lantai ruangan tempat Maribun duduk di kursi goyang tampak lumpur.
Bentuknya seperti tapak kaki harimau dewasa. Setelah diperiksa dengan teliti, kelihatan juga bekas jejak manusia menghadap ke rumah, jadi jelas orang itu salah satu dari tamu yang ditunggu.
Tamu lainnya adalah si harimau. Baru itu yang mereka duga. Hanya dugaan. Anehnya, kalau Maribun turut bersama orang dan harimau yang datang itu, mestinya ada dua pasang jejak manusia dan dua kaki harimau. Harimau ini datang dengan dua kaki belakang dan perginya pun dengan dua kaki belakang juga. Sehingga sampai di tempat tewasnya Maribun, yang tidak diduga oleh Polisi.
Istri Maribun dan penghuni rumah lainnya tidak tahu siapa nama tamu yang akan tukar-menukar ilmu itu.
Menemui jalan buntu begitu. Mayor Polisi itu berpendapat lebih baik pulang dulu, memikirkan tenang-tenang, bagaimanakah kira-kira duduk peristiwa yang sebenarnya. Kemanakah Maribun" Apakah dia sama sekali tidak pernah bertemu dengan harimau berkaki dua itu, ketika harimau masuk rumah. Jika begitu, Maribun telah pergi bersama orang tinggi ilmu yang dinantikannya. Tetapi ke mana perginya. Mengapa tidak berkendaraan" Apakah tamu itu membawa kendaraan" Begitulah yang terlintas di dalam otak Mayor Polisi Buang dalam perjalanan ke rumahnya.
Dia mau membuang dulu masalah Maribun dan jejak-jejak yang aneh itu, ketika Polisi yang mengemudikan mobil mendadak berkata gugup, bahwa di depan pintu pagar ada orang tidur. Ataukah mayat menggeletak" Sang Perwira tentu saja sangat terkejut. Dia menyuruh besarkan lampu mobil lalu turun bersama tiga Polisi yang sekendaraan dengan nya sementara anggota pasukan yang lainnya sudan langsung ke Markas Polri. Jantung Pak Mayor Polisi berdebar.
Apa pula ini" Dia belum dapat memecah kan masalah gila yang
dihadapinya, sekarang sudah ada pula orang kurang ajar yang tidur atau tewas di depan pintu pagarnya. Apakah orang punya maksud tertentu terhadap dirinya"
Segala pikiran itu menjadi lebih menimbulkan rasa ngeri di dalam hatinya, karena yang tergeletak itu bukan lain dari Pak Maribun yang pergi tanpa pamit dan sangat misterius dari rumahnya Mampunya mata Polisi yang sangat terlatih, Mayor Polisi Buang juga segera melihat luka-luka di lehernya, la memperhatikan lebih dekat dengan mempergunakan lampu senter, karena luka itu pasti bukan bekas disembelih. Itu jelas bekas tusukan. Tusukan lazimnya dilakukan di dada atau di rusuk. Kalau perut biasanya di dodet.
Ditusuk sebelah kanan lalu ditarik ke kiri. Karena bagian tubuh tidak mengeluarkan darah, berarti tiada tusukan, maka Mayor Buang memeriksa "tusukan-tusukan" di leher itu lebih teliti. Bukan tusukan pisau. Di pipi juga ada luka-luka berupa garis berdarah yang juga bukan bekas tarikan dengan pisau. Jalurnya lebih lebar dan bukan hanya satu, tetapi ada dua paralel. Bahkan ada yang ketiga, tetapi sudah mengenai kuping.
"Apakah mungkin?" terlempar pertanyaan di dalam hatinya.
"Apakah kalian pikir mungkin?" tanyanya pula kepada Pardede yang ikut di dalam mobilnya.
"Apanya yang mungkin. Pak?" tanya Pardede.
"Dicekik harimau!"
"Harimau tidak biasa mencekik," sahut Pardede.
"Coba periksa ini baik-baik. Saya juga tadinya berpikir, harimau tidak dapat mencekik!"
"Memang tidak Pak. Harimau hanya menerkam. Biasanya
menerkam kuduk. Yang dimakan duluan adalah isi perutnya! Orang ini tidak dilukai atau digigit. Perut atau dadanya tidak dikoyak-koyak. Tapi benar, luka di leher dan goresan di pipi ini bukan bekas pisau. Ini bekas kuku. Dan pasti kuku harimau Pak! Apakah harimau yang kita ikuti jejaknya tadi?" tanya Pardede.
"Mungkin," dan Mayor Polisi itu teringat akan kata-kata orang yang menamakan dirinya Bujang di rumah Kapten Kahar Nasution pada kemarinnya. Maribun yang memanggil Polisi untuk mengepung dan menangkap atau membunuh si harimau yang katanya ada di rumah Kapten Kahar. Orang yang bernama Bujang itu mendapatkan dia dan mengatakan, bahwa harimau piaraan itu tidak ada di sana, tetapi dia tentu marah kepada Pak Maribun dan bukan tidak boleh jadi akan melakukan pembalasan. Siapakah orang itu sebenarnya"
Bagaimanapun ia tentu punya suatu ilmu. Barangkali peramal berpengalaman. Atau dia orangnya yang biasa dikatakan punya
"ludah masin". Apa yang dikatakannya, menjadi kenyataan. Siapa pun dia, Mayor Buang ingin bertemu lagi dengannya.
"Barangkali dia dibunuh harimau piaraan Pak," kata Perwira Polisi itu. "Yang kemarin bersembunyi di rumah Kapten Kahar."
"Mana ada harimau piaraan di sini, Pak. Kalau pun ada, saya rasa tidak mungkin bersembunyi di rumah Pak Kapten Kahar. Siapa yang mengatakan begitu?"
"Pak Maribun ini."
Walter Pardede tidak memberi tanggapan lagi. Dia pun mulai berpikir bahwa harimau piaraan itu memang ada dan dialah juga yang membunuh Maribun karena sakit hati. Tetapi harimau piaraan pun sepanjang tahunya mempunyai kaki empat.
Pada waktu subuh itu juga ambulans diminta datang untuk
membawa mayat Maribun ke rumah sakit guna pemeriksaan dan penentuan sebab musabab kematian. Memang benar, tusukan-tusukan di leher Maribun disebabkan oleh kuku-kuku harimau.
Adanya bulu-bulu si belang di sekitar daerah yang luka
menyebabkan tidak ada lagi keraguan.
Sekarang merupakan tugas bagi Mayor Polisi Buang untuk
menyelidiki dan mengetahui, siapakah yang mengajak Maribun ke luar rumah dan di mana dia dibunuh harimau. Menurut Walter Pardede yang pernah bertugas di Tapanuli Selatan, harimau tidak biasa mencekik, la menggigit di tengkuk mangsanya, baik ternak
maupun manusia. Melalui gigitan di tengkuk, ia melukai atau memutuskan urat besar yang berarti fatal bagi yang diterkam.
Mengapa harimau yang seekor ini mencekik dan sama sekali tidak menggigit, padahal gigi giginyalah yang menjadi andalan utama, sementara kuku hanya berfungsi untuk mencengkam dan merobek"
Dari menjelang subuh sampai pagi Mayor Polisi itu sudah tidak dapat tidur, walaupun ia berusaha melupakan peristiwa aneh dan menakutkan itu agar tenaganya pulih semula untuk digunakan pada keesokan harinya.
Keesokan paginya Perwira Polisi itu minum kopi tubruk dan sebutir Captagon agar jangan sampai mengantuk, la ingin
memecahkan pembunuhan yang tidak sesuai dengan kebiasaan itu.
Ditugas-kannya seorang Letnan Polisi mengundang dua orang pemburu dan seorang pawang harimau untuk diminta bantuan.
Ketiga-tiganya menerangkan, bahwa mereka belum pernah
mendengar harimau mencekik mangsanya. Dan mereka sama-sama menerangkan, bahwa walau harimau piaraan dan jadi-jadian pun tidak lazim mencekik korbannya. Harimau piaraan adalah harimau biasa yang tunduk kepada yang menguasai dirinya. Harimau jadi-jadian berjalan atas empat kaki kalau ia sedang menjadi harimau.
Kalau dia tidak sedang mengharimau, maka ia tak banyak beda dengan manusia biasa dan berjalan atas dua kaki, karena ia pun hanya memiliki dua kaki.
"Jadi harimau apakah ini?" tanya Mayor Polisi Buang.
Mereka tidak sanggup memberi jawaban yang pasti. Hanya si pawang yang mengatakan, bahwa ia pernah mendengar tentang manusia harimau yang belum lama yang lalu pernah singgah di Palembang.
"Mengapa Bapak katakan singgah?" tanya si Perwira kepada Pak Dahlan pawang yang cukup terkenal.
"Sebab dia tidak betah tinggal lama di sebuah tempat.
Kesenangannya mengembara. Dan menu rut kata orang yang
pernah melihat manusia harimau, makhluk itu tidak pernah berbuat
jahat terhadap manusia, kalau ia tidak disakiti atau keluarganya dijahili, la malah suka membantu manusia yang dianiaya!" jawab pawang Dahlan.
"Pawang sudah pernah bertemu dengan manusia harimau?"
"Belum dan lebih baik juga jangan. Mungkin saya akan takut.
Ilmu yang ada pada saya hanyalah untuk menundukkan harimau liar. Itu pun terbatas kepada yang berdosa saja."
"Tetapi barangkali Pak Dahlan tahu ciri-ciri manusia harimau, saya amat membutuhkannya."
"Saya rasa dalam keadaan biasa, dia sama saja dengan manusia lainnya. Kata yang pernah melihat, ia juga punya istri dan dapat melakukan persetu-buhan yang melahirkan anak. Seperti anak-anak manusia biasa," kata pawang Dahlan.
"Apakah di sekitar atau di kota ini ada pemelihara harimau?"
"Saya tak tahu Pak, tetapi andaikata saya tahu, saya juga tidak akan mengatakannya. Saya bukan takut, tetapi tidak ingin mencari perselisihan yang bisa sampai pada bunuh-membunuh di antara kami yang lebih kurang mempunyai pekerjaan yang hampir sama,"
kata pawang Dahlan.
"Kalau untuk kepentingan keamanan dan ketenangan
masyarakat?"
"Juga tidak. Saya perlu menjaga keamanan dan ketenangan keluarga saya sendiri. Lagi pula, sampai saat ini saya tidak mendengar adanya keresahan atau ketakutan di antara
masyarakat!"
"Kata orang di Lubuklinggau ini ada harimau piaraan. Dan barangkali dia yang membunuh Pak Maribun?"
Pawang Dahlan terkejut, baru saat itu didengarnya pedagang dan penyihir Maribun mati dibunuh harimau. Diam-diam di lubuk hatinya Pak Dahlan menganggap pembunuhan itu bukan hal yang luar
biasa, kalau betul ia dibunuh harimau piaraan, seperti kata Mayor
Polisi Buang. Dia lebih berhati-hati, tidak akan menimbulkan sengketa dengan orang yang memiliki harimau piaraan. Dan
sebenarnya dia tahu bahwa di Lubuklinggau ada dua orang yang mempunyai harimau. Bukan dikandangkan atau ditambat di
rumahnya. Piaraan itu berkeliaran di hutan, seperti harimau-harimau lainnya. Tetapi tiap waktu ia memerlukan, sang harimau dapat dipanggil dan diberi tugas. Pemelihara itu, "kalau punya ilmu perabun" bisa melepas harimaunya tanpa dilihat oleh orang lain yang berpapasan dengannya. Dia tidak akan mengatakan itu kepada Mayor Polisi Buang.
Mayor Polisi Buang bertanya bagaimana pendapat Dahlan
tentang pembunuhan atas diri Maribun oleh seekor harimau. Atas pertanyaan Dahlan di mana pembunuhan itu terjadi, Pak Mayor tidak dapat memberi jawaban. Memang dia tidak tahu di mana sang harimau mencekik mangsanya.
"Boleh saya berterus terang, Pak?" tanya Dahlan, sementara kedua pemburu harimau yang ada di sana mendengarkan dengan penuh perhatian "Menurut pendapat saya Pak Maribun punya banyak kawan, tetapi juga punya banyak musuh. Yang musuh ini mungkin pula selalu bersikap seperti sahabat. Barangkali Bapak juga mendengar, bahwa kata orang Pak Maribun itu pandai sihir.
Barangkali suatu kesenangan baginya. Kalau untuk cari uang kurang masuk akal, karena ia punya penghasilan cukup dari usaha
dagangnya yang berhasil."
Pawang harimau itu lalu menerangkan, bahwa mungkin salah
satu dari musuhnya punya harimau piaraan. Disuruhnya membunuh Pak Maribun. Tetapi seorang penyihir punya ilmu untuk menjaga diri terhadap serangan bagaimanapun. Atas pertanyaan Mayor Polisi Buang, bagaimana ia sebagai penyihir dapat dibinasakan harimau, pawang Dahlan terus terang mengatakan, bahwa di antara pemilik ilmu tinggi di dunia ini ada yang mempunyai kekuatan di atas pandai sihir. Mungkin orang yang memiliki harimau itu termasuk salah seorang dari mereka.
Mayor Polisi itu menyatakan keheranannya, kalau ada manusia
yang punya kemampuan lebih daripada penyihir, kematian Maribun dapat diterima kalau yang melakukannya seorang manusia yang punya kepintaran lebih dari dia. Tetapi dalam kasus ini Maribun dibinasakan dengan cekikan oleh seekor harimau.
Pawang Dahlan merasa terpojok oleh kata-kata Pak Mayor yang memang masuk akal. Yang punya ilmu kuat dari pesihir adalah manusia, sedang yang membunuh Maribun jelas bukan manusia.
Setelah agak lama diam tak kuasa memberi jawaban, barulah pawang Dahlan mengatakan, bahwa mungkin manusialah yang
mencekik dan menewaskan Maribun. Dikatakannya, bahwa dalam hal begitu, si manusia itu dapat mengubah dirinya jadi harimau tetapi tetap mempunyai sifat-sifat manusia. Dan kebiasaan manusia.
Itulah makanya ia berjalan atas dua kaki, sama dengan manusia dan itulah makanya ia membunuh dengan mencekik leher
musuhnya, yaitu sama juga dengan manusia.
Mayor Buang pun dapat menerima jalan uraian pawang Dahlan.
Oleh karena itu dia berkata, "Kalau manusia yang mengubah dirinya jadi harimau dengan sifat dan kebiasaan manusia, siapakah orang di Lubuklmggau yang punya kemampuan seperti itu?"
0odwo0 DUAPULUH ENAM PAWANG DAHLAN hanya dapat menggelengkan kepala. Dan dia
memang sesungguhnya tidak tahu, kalau ada orang yang punya kemampuan seperti itu. Melihat Mayor Polisi Buang sangat kecewa dan tidak melihat jalan untuk mencari jawaban, pawang harimau itu berkata, "Andaikata ada orang pintar yang punya kepandaian setingkat itu, rasanya saya mengetahui, setidak-tidaknya
mendengar. Jadi saya rasa orang semacam itu tidak ada di Lubuklinggau. Entahlah kalau pendatang dari luar kota!"
Mendengar ini pikiran Mayor Buang agak terbuka. Pendatang dari kota! Tiap hari banyak pendatang, ada yang segera meneruskan
perjalanan dan ada pula yang menginap. Semalam atau lebih. Bisa dipenginapan, mungkin pula di rumah kaum kerabat atau kenalan.
Tidak mudah mengecek siapa-siapa saja pendatang dari luar kota.
Yang dipenginapan mungkin masih dapat dilihat dari buku
pendaftaran tamu. Tetapi yang bermalam di sahabat atau keluarga sangat ulit karena pada umumnya yang datang dan yang mtnarima mereka tidak mematuhi ketentuan. Tidak melaporkannya kepada ketua lingkungan setempat
Setelah agak lama, Mayor Buang teringat juga kepada Bujang yang menemui dia dengan cara aneh di rumah Kapten Polisi Kahar Nasution. Diakah" Tidak mungkin. Tetapi mengapa pula tidak mungkin" Dia yang mengatakan tidak mungkin harimau piaraan bersembunyi di rumah Kapten Kahar. Dia juga yang mengatakan, bahwa pelapor bernama Maribun itu mungkin mendapat
pembalasan dari si harimau. Dia menganalisa lebih jauh harimau yang menewaskan Maribun bukan harimau biasa. Dia tidak
mempergunakan taring-taringnya. Tetapi apakah betul ada harimau yang punya silat sifat manusia" Tidakkah pembunuhan itu dilakukan oleh seorang yang sangat lihay, yang mempergunakan sarung tangan berkuku harimau di ujung jari Alat pembunuh yang begitu dapat dibuat. Kalau itu yang sebenarnya terjadi, maka pembunuh itu bukan sembarangan. la pasti punya pengalaman dan punya perhitungan bagaimana melakukan pembunuhan dengan risiko
sekecil mungkin. Dengan alat itu ia sudah pasti dapat menyesatkan pikiran si pelacak dan penyelidik. Pada saat itu Buang berpikir, tak kan ada harimau yang punya sifat manusia. Harimau piaraan adalah harimau biasa yang diperintah oleh Tuannya dan membunuh
sasaran yang dimaksud sang majikan, la akan membunuh dongan terkaman, gigitan sekuat tenaga di kuduk sehingga tulang leher patah dan kemudian mengoyak ngoyak tubuhnya dengan kuku-kukunya.
"Pawang tak dapat memanggil harimau yang membunuh Pak Maribun?" tanya Mayor Polisi itu. Sang pawang menyatakan tidak sanggup, karena ilmunya seperti sudah dikatakannya hanya untuk memanggil harimau biasa yang berdosa. Telah mencuri ternak besar
atau membunuh manusia. Tidak untuk memanggil harimau aneh yang meletakkan mangsanya di depan pagar pekarangan seorang Mayor Polisi. Ini pasti bukan harimau biasa. Sang Perwira masih bertanya apakah pawang Dahlan tak mau mencoba. Dia menolak, tidak mau ambil risiko, la meninggalkan Mayor, Dahlan dengan dibekali ongkos selayaknya.
Kedua pemburu yang diundang masih tinggal. Kepada mereka
Perwira Polisi itu meminta bantuan untuk berjaga-jaga dan menembak mati si harimau pada peluang pertama. Mungkin
binatang ini memang benar punya kekuatan melebihi harimau biasa, tetapi dengan tembakan beruntun diperkirakan ia akan roboh juga.
Meskipun harimau termasuk binatang yang dilindungi karena dikhawatirkan akan punah, namun karena ia masuk kota dan bisa membahayakan masyarakat, layak ditembak mati. Pembunuhan
satwa liar dan ganas untuk kepentingan masyarakat tentu saja dibenarkan.
Kedua pemburu itu saling pandang tanpa memberi jawaban.
Melihat kedua orang itu diam saja, Perwira itu bertanya apakah mereka khawatir. Mereka berterus terang tentang kekhawatiran mereka. Setelah mendengar kisah tentang pembunuh Pak Maribun, mereka yakin, bahwa yang membunuh itu bukan harimau biasa.
Dan harimau liar tidak kan berani sejauh itu meninggalkan tempat kediama n mereka.
"Anda berdua mau menolong kami, bukan?" tanya Mayor Polisi itu.
Kedua pemburu tidak sogera menjawab. Setelah pertanyaan
diulangi barulah mereka menjawab, bahwa mereka akan waspada dan memberi bantuan sejuah mungkin.
Pawang harimau dan kedua pemburu tidak tahu, bahwa
kunjungan mereka ke Perwira Menengah Polisi itu diperhatikan oleh tak lain daripada Erwin sendiri yang dengan bantuan Datuk kemudian mengetahui di mana alamat mereka.
Mula pertama Erwin mendatangi sang pawang dan mengatakan
kepadanya bahwa sebaiknya ia tidak usah berbuat apa-apa dalam masalah pembunuhan Maribun. la dibunuh karena itulah yang terbaik bagi masyarakat Lubuklinggau. Dan harimau yang
membunuhnya sebenarnya sahabat bagi masyarakat setempat.
Bukan musuh seperti yang mungkin dikatakan oleh Pak Mayor.
Pawang yang sebenarnya cukup terkenal itu tak sempat bertanya banyak kepada Erwin karena ia segera mohon diri dan meminta kepada si pawang supaya kedatangannya yang maksudnya
menyelamatkan Pak Dahlan jangan sampai diketahui orang lain.
Yang perlu mengetahui, hanyalah Dahlan sendiri karena jiwanya lah yang terancam kalau dia sampai berbuat keliru di dalam hal ini.
Pemberitahuan ini membuat Dahlan semakin tidak berani
mencampuri urusan kema-tian Maribun.
Begitu pula halnya dengan kedua pemburu yang didatangi Datuk ketika mereka masih dalam perjalanan pulang ke rumah. Oleh Datuk yang kelihatan rada seram dengan pakaian seragamnya berwarna hitam diperingatkan untuk jangan sekali-kali mencoba petualangan terhadap siapa atau apa pun yang menyudahi hidup Maribun.
"Makhluk itu hanya membunuh orang yang jahil dan berbahaya bagi masyarakat. Maribun bukan orang baik walaupun sehari-harinya ia berdagang," kata Datuk. Setelah menceritakan kejahatan apa yang telah dilakukan oleh penyihir itu ia berkata, "Jangan Tuan-tuan halangi dia dalam menjalankan tugas kemanusiaannya." Kedua pemburu itu heran bagaimana Datuk tahu bahwa mereka pemburu dan Mayor Polisi Buang minta bantuan. Dari itu saja cukup untuk membuat mereka bergidik. Kalau mereka macam-macam bukan
tidak mungkin akan mengalami nasib seperti Maribun. Dicekik oleh makhluk yang diperkirakan harimau dengan mayat dibujurkan di depan pagar pekarangan Pak Mayor.
Meskipun sang Perwira Polisi berpesan kepada anak buahnya untuk merahasiakan peristiwa yang belum dapat dipecahkan itu dan permintaan yang sama juga disampaikan kepada para petugas rumah sakit, namun berita itu segera meluas. Baik petugas keamanan maupun rumah sakit tidak bisa tutup mulut. Semula
hanya dibisikkan kepada kawan dekat sebagai suatu berita yang menakutkan supaya berhati-hati, tetapi dalam tempo singkat sudah jadi pembicaraan hampir se Lubuklinggau.
Di antara yang sangat terkejut mendengar berita itu adalah Kapten Polisi Kahar, yang mengetahuinya langsung dari Mayor Polisi Buang.
"Mayatnya dibawa lalu diletakkan di depan pintu pagar saya, Kapten. Itu keterlaluan. Ya, boleh jadi juga ia dibunuh di situ. Tetapi tidak ada tanda terjadinya pergulatan Saya rasa dibawa ke sana.
Tentu ada maksudnya," kata Perwira Menengah itu. Tidak mendapat tanggapan dari yang di beri tahu, ia berkata, "Mengapa Anda diam saja?"
Barulah Kahar menjawab. "Saya terlalu terkejut. Hampir tidak masuk akal!"
"Bagaimana tidak masuk akal Itu sudah jadi suatu kenyataan.
Dan di lehernya terdapat bekas kuku-kuku harimau. Tidak ada gigitan sebagaimana lazimnya terkaman harimau. Apa makssudnya itu. Kap?" tanya Pak Mayor seolah-olah orang yang setingkat di bawah pangkatnya layak mengetahui nya.
"Wah, itu harus diselidiki. Pada saat ini mana saya tahu. Ataukah Pak Mayor sudah punya dugaan. Bukankah Pak Mayor yang
menemukan mayatnya dan diletakkan atau dibunuh di depan pagar Pak Mayor pula. Barangkali Pak Mayorlah yang dapat mengira-ngira mengapa sampai terjadi pembunuhan yang begitu aneh. Saya rasa Pak Mayor lebih banyak tahu?"
"Mengapa harus saya yang lebih banyak tahu?"
"Ee barangkali saja. Bukankah Pak Mayor yang kenal dekat
dengan Pak Maribun yang bernasib malang itu!" kata Kahar, la menjawab begitu, karena kata-kata sang Mayor kurang enak bagi telinganya. Jika tidak karena itu, ia juga tidak akan berkata demikian kepada atasan yang diyakininya tentu dalam kebingungan.
"Memang saya kenal baik dengan dia. Kapten. Tetapi
kematiannya itu sangat aneh. Saya teringat tentang ceritanya kemarin, bahwa ia mengetahui adanya harimau piaraan di sekitar tempat kediaman Kapten. Barangkali Kapten dapat membantu. Saya ingin supaya harimau aneh atau makhluk berbahaya itu dapat segera dibekuk!" kata sang Perwira Menengah. Kini dengan nada menurun.
"Itu sudah kewajiban kita. Saya segera melakukan penyelidikan kemudian saya menemui Bapak, oke?"
"Ya, tolonglah. Kita malu kalau tidak dapat memecahkan ini."
"Tentu Mayor, tentu. Kita harus dapat memecahkannya," kata Kapten Kahar, la teringat kepada Erwin. Apakah dia yang
melakukan" Ketika ia baru saja meletakkan telepon, pesawat itu berdering lagi dan yang memulai bicara bukan lain dari Mayor Polisi Buang juga. la bertanya, apakah ia dapat bertemu dengan laki-laki yang bernama Bujang yang menegurnya pada hari kemarinnya.
Kahar agak terkejut, tetapi dia sudah menduga juga bahwa sang Mayor tentu ingin menanyakan dirinya. Sebenarnya ia heran, mengapa tadi atasannya itu tidak menyinggung-nyinggung Erwin yang dikenal Perwira Menengah itu sebagai Bujang. Karena sudah siap untuk mendengar permintaan atau pertanyaan demikian, maka Kahar langsung saja menjawab, bahwa Bujang sedang ada di
rumahnya dan mempersilakan sang Mayor untuk datang. Buang mengatakan, bahwa dia akan datang sekitar setengah jam lagi.
Berita itu disampaikan Kahar kepada Erwin yang sedang
mengobati adiknya. Dinar sudah hampir pulih sepenuhnya, rupanya karena dukun yang menjahilmya sudah tiada.
Pada pagi itu Dinar menyatakan keinginannya untuk turut
bertualang dengan Erwin, yang dijawab dengan tawa oleh manusia harimau itu
Erwin menduga, bahwa Kahar akan bertanya kan kisah kematian Maribun kepadanya, tetapi ternyata tidak. Malah dialah yang bertanya kepada Kahar ketika kepadanya disampaikan tentang maksud kedatangan Mayor Polisi Buang, "Mau menanyakan
kematian Pak Maribun?"
"Entah, aku tidak tahu. Dia tidak mengatakan begitu. Hanya ingin bertemu dan bercakap-cakap barangkali," kata Kahar.
"Dia tidak menyebut-nyebut tentang Pak Maribun?"
"Dia menceritakannya. Dia tidak dapat mengerti dan mengatakan tidak sanggup memecahkannya," kata Kahar.
"Dan dia meminta Kapten untuk membantu dia?"
"Ya, aku bawahannya?"
"Dan Kapten tidak ingin bertanya apa-apa kepadaku?"
"Tidak," jawab Kahar.
"Dia memanggil seorang pawang harimau dan dua pemburu ke rumahnya tadi. Minta bantuan mereka agaknya!" Kapten Kahar agak terkejut dan memandang Erwin. Yang mungkin akan diselidiki sudah lebih banyak tahu dari yang akan melakukan penyelidikan.
"Saudara Erwin mau mengatakan sesuatu kepadaku?"
"Tidak. Tak ada yang mau saya katakan," jawab Erwin.
Kedua orang dari satu daerah itu bagaikan tahu bahwa lebih baik tidak usah saling tanya atau saling cerita. Suatu sopan santun yang amat halus dari dua manusia yang saling tahu dan saling
menghargai. Erwin amat senang dengan sikap Perwira Polisi itu.
Kahar menyambut kedatangan Buang dengan ramah dan merasa
kasihan melihat atasannya yang berwajah muram itu.
"Pernahkah Anda mendengar harimau berjalan dengan hanya dua kakinya, Kapten" Barangkali Anda tidak percaya," kata Buang.
"Kalau bukan Pak Mayor yang mengatakan, pasti saya tidak percaya. Tetapi apakah Pak Mayor tidak keliru lihat. Bukan . . ."
Kahar tidak meneruskan.
"Maksud Kapten" Hanya khayalan oleh dorongan rasa takut?"
"Tidak, barangkali hanya pembunuh yang cerdik dan
mempergunakan sarung kaki atau katakanlah sepatu harimau dan sarung tangan harimau pula."
"Ah, penjahat kita belum sampai menjalankan muslihat seperti itu. Semula aku ada juga memikirkan kemungkinan itu, terlalu sulit mau bikin sarung tangan dan sepatu yang mengesankan jejak harimau asli. Lagi pula, bekas kuku dan kaki buatan tidak akan mungkin seperti itu! Tubuh manusia tidak seberat badan harimau,"
kata Pak Mayor, la lalu minta dipertemukan dengan Bujang. Orang itu tak lama kemudian datang sambil mengucapkan "selamat pagi"
dengan sopan Mayor Polisi itu memandangi mukanya seperti ingin membaca sesuatu, kalau ada yang dapat dibaca. Ternyata tidak ada
"tulisan" apa-apa pada wajahnya, la biasa-biasa saja, bersikap wajar kemudian bertanya, apakah pembunuh itu sudah ditangkap.
"Pembunuh siapa?" tanya Buang mau coba memancing.
"Wah, se-Lubuklinggau telah mengetahuinya. Pembunuhan atas diri Pak Maribun yang mayatnya dijumpai di muka pintu pagar Pak Mayor."
Sang Perwira merasa sedikit malu, pancingannya ternyata tidak mengena sama sekali.
"Kemarin Anda mengatakan tentang kemungkinan pembalasan si harimau piaraan atas diri Pak Maribun yang melapor kepada saya!"
"Benar. Dugaan saya tepat kan. Pak Maribun mati dibunuh harimau. Barangkali harimau piaraan yang diceritakan almarhum,"
kata Erwin tenang-tenang.
0odwo0 DUAPULUH TUJUH MAYOR Polisi Buang tak menyangka, bahwa Erwin yang
dikenalnya sebagai Bujang, berani memberi jawaban secara itu.
Orang yang kelihatan kampungan ini tidak penyegan atau penakut
seperti halnya masih banyak orang kampung terhadap orang yang berseragam Polisi, apalagi seragam Perwira pula. Sebetulnya orang kampung juga tahu, bahwa Polisi itu tempat berlindung, bernaung dan mengadu, tetapi mereka juga banyak menemukan fakta yang bertentangan dengan apa yang mereka ketahui semula. Sehingga rasa hormat berubah jadi rasa takut atau rasa benci. Mereka "
kebanyakan" jadi lebih suka untuk tidak berurusan dengan Polisi.
Padahal yang berbuat lain dari mestinya hanya seorang dua saja.
Yang lainnya pasti dapat dikatakan baik. Atau lumayan lah!
Tapi yang sebiji ini memang benar-benar lain. Dia berterus terang saja. Mengatakan apa yang dia pikir atau dia sangka.
"Saudara percaya ada orang memelihara harimau di daerah ini?"
tanya sang Mayor kini menggunakan perkataan "Saudara".
"Saya percaya, bahwa di sini pun mungkin saja ada orang yang punya harimau piaraan. Tetapi saya tidak mengatakan, bahwa di sekitar sini ada yang punya!" jawab Erwin.
Mayor Buang tambah tahu, bahwa orang ini bukan hanya suka berterus terang tetapi juga menguasai bahasa Indonesia dengan baik. Tidak banyak orang mampu merangkai kalimat seperti itu.
Yang hampir sama bunyinya, tetapi sangat berlainan maknanya.
"Bahasa Indonesia Saudara bagus sekali," kata Mayor Buang dengan nada yang kini agak bersahabat.
"Bahasa saya itu belum bahasa yang benar-benar baik. Saya baru melatih diri untuk tidak turut turutan bahasa persatuan dan nasional kita."
Perasaan segan mulai bangkit di dalam hati Buang. Si Bujang ini orang baik dan pintar, pikirnya. Rupanya saja yang kampungan.
Mungkin karena keadaan. Tidak seharusnya ia menaruh buruk sangka atas orang yang belum dikenalnya dari dekat. Salah satu sifat buruk pada banyak Polisi kita ialah menilai orang secara lahiriah. Orang yang berpakaian mentereng, apalagi bermobil bagus selalu disegani dan dilayani lain daripada menghadapi orang yang hanya biasa-biasa saja, Padahal bukan mustahil, bahwa orang yang
kelihatan hebat dan kaya itu sebenarnya seorang pembunuh atau penipu atau pencuri. Jangan-jangan perampok uang negara dan rakyat melalui kedudukan yang diberikan kepadanya.
"Di negeri Saudara Bujang banyak harimau piaraan?" tanya Pak Mayor menaruh minat.
"Ada, tidak sangat banyak!"
"Dapat disuruh apa saja?"
"Tidak semua. Ada yang tugasnya hanya menjaga kebun dari gangguan babi hutan. Ada juga yang dapat melaksanakan semua tugas dari sang majikan."
"Apakah harimau piaraan itu sama dengan harimau liar?"
"Hampir semuanya sama."
"Mengapa hampir" Jadi tidak semua sama?"
"Memang tidak semuanya sama. Ada yang dapat menghilang karena yang memeliharanya itu orang pandai. Pemelihara dirinya itulah yang membuat dia tidak tampak oleh manusia biasa!"
"Manusia biasa" Jadi ada juga manusia yang dapat melihatnya?"
"Ada. Yaitu manusia yang punya ilmu melawan perabun!"
Mayor Polisi Buang kian tertarik. Banyak pengetahuan manusia Bujang ini mengenai harimau. Orang begini agaknya tak baik untuk dibuat jadi lawan.
"Memang tak baik mencari lawan. Saya pun takut sekali kalau sampai orang membenci saya. Karena saya hanya perantau yang tidak punya apa-apa," katanya merendahkan diri, membuat Pak Mayor jadi kian menghargai dirinya. Dia menyesal telah mencurigai orang itu.
"Sebagai penegak hukum memang layak Tuan mencurigai orang yang belum dikenal. Misalnya saya dan kawan saya yang berbaju hitam itu." Mayor Polisi itu jadi tambah malu. Apa yang dipikirnya dapat dibaca oleh laki-laki muda yang amat sederhana itu.
Memburu Manusia Harimau Seri Manusia Harimau Karya S B Chandra di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Saudara Bujang mengenal almarhum Maribun?"
"Tidak dari dekat. Tetapi ada mendengar namanya yang besar dan terkenal. Konon, almarhum pandai sihir!"
"Saudara baru beberapa hari di sini tetapi sudah mengetahui begitu banyak. Apakah Saudara dukun" Maaf, saya hanya bertanya.
Saudara tidak kecil hati atau tersinggung?"
"Tidak, sebab Tuan Mayor juga tidak mencurigai saya lagi."
Dengan muka memerah padam Mayor Polisi menyatakan
kekagumannya atas diri Bujang.
"Yang sebenarnya nama saya bukan Bujang."
"Bolehkah saya bertanya mengapa Saudara kemarin mengaku bernama Bujang dan siapakah nama Saudara yang sebenarnya?"
"Saya mengaku bernama Bujang, karena Tuan mencurigai saya dan Tuan bernama Buang. Jadi saya tambah saja dengan satu huruf, jadi Bujang. Tuan Buang mencurigai dan si Bujang juga mencurigai Tuan Buang!" kata Erwin tanpa merubah nada suara.
"Nama saya yang sebenarnya hanya Erwin. Hanya itu!"
"Saudara Erwin hebat sekali. Saya terus terang jadi malu. Apa yang Saudara katakan itu memang benar. Saya kemarin sangat mencurigai Saudara. Rupanya Saudara juga jadi sangat mencurigai saya!"
"Ya, begitulah rupanya. Mungkin ada harimau piaraan nenek keluarga Pak Kapten Kahar yang melindungi keluarga Nasution ini, adik Pak Kapten sakit karena buatan iblis yang dikirim almarhum Maribun. Mungkin harimau piaraan itulah yang melakukan
pembalasan atas diri orang yang menjahili Nona Dinar Nasution. Ini hanya suatu kemungkinan, saya tidak tahu. Saya cuma berusaha mengobati adik Pak Kapten ini. Tetapi saya bukan dukun. Cuma ada sedikit bekal dari kampung untuk pelenyap pening-kepala."
"Kata Saudara tadi, adiknya Kapten Kahar sakit karena dijahili oleh almarhum Maribun. Siapa yang mengatakan begitu?" tanya
Mayor Buang. Oleh Erwin dijawab, bahwa yang menceritakan adalah iblis yang disuruhnya itu sendiri. Kalau iblis sudah mau disuruh mengatakan yang benar, maka ia tidak akan berdusta.
Mendengar jawaban ini. Mayor Polisi Buang tidak lagi
meneruskan pertanyaan. Sudah jelas baginya, bahwa yang
mengobati Dinar tentulah bukan sekedar bawa bekal untuk
pengobat pening kepala. Sudah jelas Erwin yang dapat menyuruh iblis bicara, seorang dukun yang punya ilmu tinggi. Hanya saja ia punya sifat untuk selalu merendahkan diri. Inilah manusia yang punya isi lain dari yang dikesankan oleh pembawaan dan
penampilannya. Tidak banyak seperti Erwin. Dan tidak banyak manusia harimau. Apalagi yang sampai mengembara ke kota.
Biasanya lebih suka tinggal di kampung.
Setelah cukup lama bercerita. Pak Mayor bertanya kepada Erwin apakah ia dapat menolong untuk melihat siapakah gerangan yang punya harimau piaraan. Benarkah kakek atau salah seorang keluar ga Dinar dan harimau piaraan itu yang membunuh Maribun ataukah orang lain yang memusuhi Maribun dan membunuhnya melalui
harimau. Erwin menolak dengan halus, bahwa ia tidak berani mencampuri urusan itu, karena ia tidak punya ilmu sampai setinggi itu.
"Mungkinkah harimau itu mengambil korban lain?" tanya Mayor Buang.
Erwin tidak mampu memberi jawaban, karena ia tidak tahu
apakah ada lagi orang lain yang diincar oleh harimau piaraan itu.
Dan yang diterkam oleh harimau piaraan hanyalah orang yang memusuhi pemiliknya tanpa alasan.
Merasa kehabisan bahan untuk ditanyakan kepada Erwin, barulah Mayor Polisi itu bertanya kepada Kapten Kahar apakah adiknya sudah sembuh. Bawahannya itu mengatakan bahwa ia semula
sudah kehilangan harapan, la bersyukur kepada Tuhan dan
berterima kasih kepada Erwin, karena Dinar sudah boleh dikatakan
bebas dari cengkeraman iblis yang tadi memasuki dan menguasai dirinya untuk dibinasakan.
Karena masih menyangkut dipikirannya tentang harimau yang berjalan hanya dengan dua kaki belakang dan menyangka, bahwa Erwin mungkin dapat memberi penjelasan, maka ia menanyakan keanehan yang dialaminya pada malam kemarinnya. Diceritakannya, bagaimana ia melakukan pelacakan sejak dari rumah almarhum Maribun sampai ke suatu tempat di mana terlihat telapak kaki dua manusia dan seekor harimau berkaki empat. Kemudian yang ada hanya dua kaki manusia dan empat kaki harimau atau seekor harimau.
"Saya masih tetap heran, apakah ada harimau yang berjalan hanya atas dua kakinya," kata Mayor Buang kepada Erwin.
"Saya sendiri tak pernah melihat sirkus, tetapi saya dengar di sirkus ada gajah dan harimau yang dapat berjalan atas dua kaki.
Berkat latihan. Kalau gajah yang bertubuh begitu besar dapat berjalan atas dua kaki, ditonton pula oleh ratusan atau ribuan orang, saya rasa harimau yang dilatih juga dapat berbuat begitu.
Karena harimau piaraan yang terlatih bisa jalan atas dua kaki, mungkin harimau yang Tuan Mayor ikuti jejaknya kemarin sedang iseng berjalan hanya dua kaki. Saya rasa ada juga harimau yang suka iseng seperti manusia."
Kapten Kahar Nasution merasa senang dan geli, tak menyangka, bahwa Erwin dapat bersandiwara sebagai pemain watak, la begitu mahir menimbulkan kesan seolah-olah ia tidak tahu menahu tentang pembunuhan Maribun, tetapi punya pengetahuan sekedarnya
tentang jenis dan sifat-sifat harimau.
"Apakah kira-kira kegiatan harimau piaraan itu sampai di situ saja?" tanya Mayor Buang.
"Mungkin, kalau sudah tak ada musuhnya. Tetapi barangkali ia masih marah kepada orang yang mengatur pengepungannya
kemarin. Ini hanya pikiran saya. Barangkali juga dia sudah kembali ke hutan!"
"Apakah kalau yang punya orang di sekitar sini misalnya, ia tidak tinggal di sini?"
"Saya rasa tidak. Tempat harimau bermukim di hutan, maka di hutanlah dia tinggal. Kalau yang punya memerlukan dirinya, ia dipanggil."
Pada waktu itu Dinar yang sudah sembuh juga turut keluar
bersama Ibunya. Ikut duduk setelah memberi hormat kepada Pak Mayor.
"Sudah sembuh?" tanya Pak Mayor.
"Ya, hampir. Berkat bantuan Bang Erwin," jawab gadis cakep itu.
Muka Erwin memerah padam, la senang atas kata-kata Dinar
yang tiada berlebih-lebihan.
"Berkat ijin Tuhan Yang Maha Pengasih, saya sekedar berusaha.
Ketentuan hanya pada Allah!" kata Erwin melengkapi.
"Saudara taat beragama, ya?" puji Mayor Buang.
"Itu pun hanya sejauh kemampuan yang ada pada diri saya. Dan tentu tak luput dari berbagai macam kesalahan dan kekurangan!"
Undangan untuk makan bersama di rumah Pak Mayor ditolak
Erwin dengan halus. Kelihatan perwira Polisi itu kecewa, karena mungkin ada tujuannya dengan undangan makan itu. Barangkali hendak coba-coba menuntut ilmu dari Erwin atau tujuan lain yang tidak dapat diduga. Umpamanya mengundang juga seorang dukun yang dikenalnya sangat kawakan untuk bertemu dengan Erwin.
Barangkali, ia sebagai orang yang ingin banyak tahu, mau melihat bagaimana kalau dua dukun dipertentangkan.
Walaupun ia tidak mencurigai Erwin lagi, ia punya persangkaan, bahwa Erwin dapat bercerita lebih banyak mengenai jejak-jejak kaki manusia dan harimau aneh yang dilihatnya malam kemarin dan bersamaan dengan itu pula Maribun hilang, lalu tewas. Semua itu tetap merupakan misteri yang tidak selesai dengan pendapat serta dugaan Erwin saja. Sebagai perwira penegak keamanan dan
keadilan, seyogianya ia dapat memberi keterangan yang masuk akal kepada wartawan yang pasti akan berdatangan dari Palembang menanyakan duduk kasus yang sangat menarik itu. Oleh
kelemahannya dalam menghadapi perkara ini dan karena penolakan Erwin atas undangannya, sang Mayor jadi penasaran kembali, la permisi pulang dengan mengucapkan terima kasih kepada Erwin dan Tuan rumah.
Dalam perjalanan ke kantornya, Mayor Polisi Buang memikirkan keterangan dan jawaban Erwin yang kemudian ditafsirkannya sebagian sebagai mempermainkan dirinya, la memperbandingkan harimau yang berjalan dengan dua kaki dari rumah Maribun dengan gajah yang juga pandai berjalan atas dua kaki di sirkus. Semuanya berkat latihan, kata Erwin. Tak masuk akal, bahwa pemilik harimau itu melatih harimau piaraannya untuk jalan atas dua kaki, karena hewan itu tidak akan dipekerjakan di sirkus. Oleh pikiran itu. Mayor Polisi Buang tak jadi langsung ke kantornya, tetapi kembali ke rumah Maribun dan bertanya kepada keluarganya siapakah guru almarhum. Setelah mendapat keterangan ia langsung pergi ke alamat yang disebutkan dan di sana bertemu dengan orang yang sudah umur tujuh puluh tahun dan oleh penduduk. Memang dikenal sebagai orang yang aneh serta mempunyai banyak ilmu.
Dukun besar itu diundang Mayor Buang ke rumahnya dan orang pandai yang bernama Raden Sulaiman itu menyanggupi untuk
datang pada malam hari.
Ketika Mayor Polisi Buang menceritakan maksudnya, Raden
Sulaiman menanggapi, bahwa pembunuhan atas diri muridnya itu memang bukan pembunuhan biasa dan menurut pandangannya
juga bukan oleh makhluk biasa. Pada saat ia mengatakan, bahwa ia akan melakukan pembalasan, mendadak rumah sang Perwira yang terbuat dari batu dan bahan-bahan kelas satu bergoncang-goncang.
0odwo0 DUAPULUH DELAPAN
BIARPUN Perwira Polisi dan tidak gentar menghadapi gerombolan bandit, tetapi merasakan rumah tergoyang-goyang. Mayor Buang sangat terkejut dan tak dapat mencegah pucat, karena muka pucat bukan buatan melainkan reaksi.
"Lawan ini hebat juga Pak Mayor," kata Raden Sulaiman. "Tapi saya akan patahkan dia!"
Raden Sulaiman mengeluarkan sebuah batu kecil berwarna
merah lalu meremas remasnya. Rumah Pak Mayor tidak bergoyang-goyang lagi.
Raden Sulaiman tersenyum menang. Jelas kekuatan batu merah itu melebihi ilmu lawannya. Dan dia ketahui, bahwa lawannya akan mengeluarkan kepandaian yang lebih tinggi, kalau dia memilikinya.
Kalau tidak, orang itu akan menggelupur di rumahnya.
Erwin yang tahu bahwa dirinya akan mendapat lawan lain, telah bersiap tetapi segera pula mengetahui, bahwa yang hendak
menjatuhkannya ini lebih kuat lagi dari seorang Maribun. Sebab yang ini adalah guru dari penyihir itu. Ia mengerahkan tenaga yang lebih tinggi ketika merasa bahwa lawannya telah mematahkan ilmunya yang pertama. Digunakannya mangkuk putih berisi air untuk melihat apa yang sedang dikerjakan oleh lawannya, sehingga tampak jelas bahwa Raden Sulaiman juga sedang minta
diambilkan mangkuk berisi air.
Ketika Raden Sulaiman memasukkan batu merahnya ke dalam
air, seluruh isi mangkuk menjadi hitam pekat, la terkejut, sebab baru sekali selama prakteknya air jadi hitam. Mestinya ia melihat apa yang sedang dikerjakan lawannya di air yang putih bersih. Dan memanglah Erwin yang membuat air di mangkuk itu tidak dapat menjalankan tugas seperti biasa. Ilmu ini didapat Erwin ketika ia ke Penyabungan beberapa waktu yang lalu.
Mayor Buang yang sengaja dibolehkan melihat apa yang terjadi, memandang kepada Raden Sulaiman yang bermerah padam karena malu.
"Ada apa?" tanya Pak Mayor.
"Bangsat ini memakai ilmu jahanam," jawab Raden Sulaiman sekedar menutupi malunya. Tetapi begitu dia selesai dengan kalimatnya yang memaki Erwin, ia terbatuk-batuk sampai
mengeluarkan air mata.
Erwin memandangi kejadian di rumah Mayor Buang melalui air di mangkuknya. Datuk dan Kahar Nasution yang diperkenankan turut melihat merasa sangat takjub. Sudah seringkali mereka mendengar bahwa melalui air dukun yang pandai mampu melihat kejadian di tempat lain, tetapi baru kali itulah mereka melihat secara langsung dan begitu jelas. Tetapi apa yang mereka perkatakan, harus dibaca melalui gerak mulut di air itu saja, sebab tak dapat didengar. Dapat dikatakan, bahwa air itu berfungsi sebagai layar televisi tanpa suara.
Dalam hati Datuk sangat berharap agar Erwin mau mengajarkan kepandaian itu kepadanya kelak. Dia berjanji kepada diri untuk berbuat sebaik-baiknya, supaya dinilai layak menerima ilmu itu.
Raden Sulaiman bangkit sambil membawa mangkuk berisi air
berwarna hitam itu untuk dibuang dan digantinya sendiri dengan yang baru. la jadi tambah kaget karena ketika dicurahkan, air hitam itu berwarna biasa, la berhenti sebelum seluruh isinya dibuang. Sisa yang ada di dalam mangkuk tetap berwarna hitam, la belum pernah menemukan lawan yang punya kemampuan tersendiri ini, tetapi ia pun masih punya banyak simpanan untuk dilaga dengan apa yang dimiliki lawannya. Karena ia tak dapat melihat apa yang hendak dilihatnya, maka ia pun tidak dapat mengetahui, bagaimanakah rupa lawannya itu. Tetapi ia menduga, bahwa orangnya tentu paling sedikit setengah baya atau pun sudah tua dengan segudang garam yang sudah pernah dihabiskannya selama ia hidup.
Mayor Polisi Buang yang punya cukup banyak pengalaman
selama melaksanakan tugas kepolisian jadi kian tertarik. Kekuatan yang di masa lalu hanya dibaca dalam buku atau didengar dari cerita, sekarang diketahuinya benar-benar ada. Inilah dia barangkali yang menyebabkan ada pelarian yang tak jatuh walaupun dilanggar peluru berkali-kali. Inilah juga yang membuat ada tahanan yang bisa meloloskan diri dengan cara yang tidak masuk akal, karena
kepergiannya dari sel tahanan tidak kelihatan dan sama sekali tidak meninggalkan bekas.
Penasaran atas kegagalan melihat lawannya melalui air, karena menghitam pekat, Raden Sulaiman sekali lagi mengambil air putih dengan membaca jampi-jampi agar itu tidak dapat dirusak oleh siapa pun. Air yang pertama tadi bukan dia sendiri yang mengambil.
"Mari," kata Raden Sulaiman kepada Mayor Polisi Buang,
"mudah-mudahan permainan orang itu tidak akan terulang lagi.
Bagaimanapun ia pasti mempunyai kepandaian yang lumayan.
Apakah Pak Mayor Buang mempunyai sangkaan terhadap seseorang yang diperkirakan melawan kita. Kalau kita ketahui, siapa yang melawan kita sekarang, maka kita pun akan tahu siapa atau harimau siapa yang membunuh almarhum Maribun,"
Pak Mayor tidak langsung menjawab. Khawatir kalau-kalau
terjadi sesuatu yang tidak disangka-sangka seperti bergoyangnya rumahnya tadi. Yang itu dapat dijinakkan oleh Raden Sulaiman, tetapi air yang menghitam itu, bagaimana itu bisa terjadi"
Raden Sulaiman mulai membaca-baca lagi. Air itu tetap putih tidak berubah warna, la mengeluarkan sebilah pisau lipat kecil, mencelupkan matanya ke dalam air. Warnanya tidak berubah.
Setelah itu ia memasukkan batunya yang berwarna merah tadi. Air tidak juga berubah, la mulai yakin, bahwa lawannya tidak kuat melawan tenaga yang dimasukkan melalui pisau lipatnya tadi ke dalam air.
Raden Sulaiman membaca-baca lagi.
la berbisik dengan penekanan di sana sini "Kata jin yang kukatakan. Siapa atau apa pun engkau, engkau tak akan punya daya merendahkan martabatku. Engkau hanya hambaku. Akulah yang kau pertuan." la tunduk mengkhusukkan diri, memusatkan segala kekuatan batin menentang lawannya. Setelah merasa cukup ia mengangkatkan kepala untuk melihat keadaan lawannya. Di luar dugaan air putih itu berubah warna lagi. Sekarang merah seperti darah.
Rupanya selain daripada terkejut heran, warna merah itu juga merupakan pertanda bahwa akan ada darah yang tumpah. Darah siapa"
Pak Mayor juga terkejut, karena merasa turut punya gawe. Ilmu milik Raden Sulaiman, tetapi yang menyuruh adalah dirinya. Dan ia pun sebenarnya tidak punya niat jahat, hanya penasaran, ingin tahu, siapakah yang telah membunuh Pak Maribun. Akan
menimbulkan semacam kegelisahan, kalau hanya dikatakan, bahwa korban benar dibunuh oleh seekor harimau.
"Bagaimana Pak Sulaiman?" tanya Mayor Buang.
"Biasa saja, usaha perlawanan dari pihak yang mau ditaklukkan.
Lebih enak menghadapi lawan yang melawan daripada yang
menyerah kalah tanpa bertanding," kata Raden Sulaiman menjaga gengsi. Warna merah itu bukan hanya menandakan akan ada darah mengalir, tetapi juga membuat dia lagi-lagi tak dapat melihat siapakah sebenarnya yang jadi lawannya.
"Siapakah kira-kira lawan Pak Sulaiman, orang sini ataukah pendatang?" tanya Pak Mayor lagi.
"Kedua-duanya mungkin. Saya belum tahu." Sekali lagi ia bertanya, apakah ada yang patut dicurigai. Tetapi Pak Mayor tetap tidak mau menyebut nama. Belum tentu Datuk yang berpakaian serba hitam itu dan belum tentu pula Erwin yang punya banyak pengetahuan tentang harimau. Hebatnya kenyataan yang telah dilihatnya dengan mata sendiri membuat Mayor Buang sangat berhati-hati. Sungguh, lebih baik menghadapi sepuluh bandit atau garong yang mempergunakan senjata api atau tajam daripada lawan yang tidak diketahui siapa orangnya, tetapi mempergunakan senjata gaib yang tidak dapat dikalahkan dengan senjata api yang menjadi andalan penegak hukum. Sekurang-kurangnya belum tentu dapat dihadapi dengan senjata biasa.
Raden Sulaiman mohon diri dengan alasan, bahwa alat-alat
lengkap guna melawan musuh tidak semuanya dibawa. Dan dia berkata benar. Memang ada yang tak dapat dibawa-bawa.
Dalam perjalanan ke kantor, Mayor Buang masih dibayangi oleh apa yang dilihatnya. Air yang menghitam dan kemudian memerah, semacam asap tebal dan darah kental yang membuat Raden
Sulaiman dan dia tidak dapat melihat siapakah sebenarnya yang membunuh Maribun atau jadi dalang kematiannya.
la juga bertanya pada diri sendiri, apakah Erwin tahu bahwa ia mempergunakan dukun untuk mengetahui siapa sebenarnya yang pegang peranan dan pembunuhan amat misterius itu. Erwin itu banyak tahu, barangkali dia juga mengetahui segala apa yang dilakukannya. Hanya sampai situ yang dipikir dan ditanyanya kepada diri sendiri. Tak berani lebih dari itu, tiada tuduhan terhadap siapa pun. Dia akan jadi bahan pembicaraan atau bahkan
tertawaan, kalau sampai diketahui masyarakat bahwa seorang Mayor Polisi coba-coba mempergunakan kekuatan gaib seorang dukun dalam usaha melaksanakan tugas.
Kematian Maribun kian menyebar luas dalam cerita dan duga-duga, sehingga merupakan tantangan yang kian berat bagi penegak hukum untuk menyiasati dan memecahkannya. Ada juga di antara penduduk yang berkata, bahwa akhirnya si hebat ketemu imbang.
Yang amat menarik bagi mereka adalah cerita tentang harimau yang berjalan atas dua kaki saja. Ada juga di antara mereka yang sampai bertanya apakah ini yang namanya manusia mati lalu hidup kembali sebagai harimau, jalan sebagai manusia biasa tetapi rupanya sudah seperti harimau.
0odwo0 Erwin sudah merasa bahwa lawannya ini mempunyai kepandaian lebih daripada Maribun. Mungkin inilah gurunya. Untunglah Erwin telah mendapat tambahan bekal sejak ia kembali ke kampungnya.
Kalau tidak begitu, tentulah ia telah binasa oleh Maribun yang sangat kawakan itu.
Kepada Kahar Nasution diterangkannya, bahwa mestinya ia
sudah meninggalkan Lubuklinggau, tetapi hadangan baru ini
membuat ia harus bertahan. Mungkin juga untuk berkubur di kota itu. Kematian adalah sesuatu yang pasti bagi tiap makhluk, hanya tak dapat menentukan di mana ia akan menyelesaikan
perjalanannya di dunia.
Berkata ia kepada Kahar dan Datuk, semisal ia mati di kota ini, ia mohon mayatnya dikuburkan di pinggir kota, umpamanya di hutan tak jauh dari pinggir jalan raya. la khawatir kalau-kalau ada lanjutan kisah setelah ia mati, yang akan menyebabkan dirinya jadi pembicaraan dan ditakuti, la ingin sekali, kalau ia mati, tamatlah riwayatnya, jangan sampai membawa lanjutan yang tidak disukai masyarakat.
Mendengar itu Datuk menangis, karena ia tidak mau kehilangan Erwin. Dia memang sudah sangat sayang kepada sahabatnya itu.
Punya kelainan yang menakutkan, tetapi juga punya hati lebih mulia dari sebagian besar manusia.
"Daripada Saudara, lebih baik aku yang pergi duluan," kata Datuk. "Saudara lebih berguna bagi dunia ini daripada aku."
Mendengar itu Erwin juga jadi tambah sayang kepada sahabat seperjalanan yang tinggal seorang itu dan akan mengerahkan seluruh kemampuannya untuk menghadapi guru Maribun. la
menyadari, bahwa pertarungan dengan lawan yang sekuat itu mungkin makan tempo berhari-hari. Sukar akan menumbangkan salah satu daripada dua orang tinggi ilmu, karena kedua-duanya punya daya bela diri dan pertahanan yang sangat ampuh.
Pada malam itu Erwin mengurung diri dan mohon kepada semua orang dan harimau yang pernah jadi gurunya, begitu pula kepada leluhurnya supaya ia diberi kekuatan yang cukup tinggi untuk dapat merobohkan lawan yang sama sekali tidak dicarinya itu. la tadinya mengharapkan pertarungan di Lubuklinggau cukup sampai dengan kematian Maribun saja. Setelah menyembuhkan Dinar ia akan berangkat ke Palembang guna memenuhi janjinya kepada Nona Mei Lan yang pernah mencarinya sampai ke Mandailing dan Medan.
Erwin sangat merasa bahwa di luar keinginannya ia telah menyebar banyak penderitaan dan yang demikian lazimnya akan diimbangi
oleh balasan yang setimpal atas dirinya. Walaupun jatuh cintanya mereka atas dirinya bukan oleh suatu sebab yang tidak wajar.
Bahkan Erwin selalu mengelakkan. Dirinyalah, walaupun jelas manusia harimau, yang selalu diburu oleh wanita-wanita yang ditolongnya.
Dalam ia berkhusuk mengumpulkan seluruh kekuatan agar
pertarungan kekuatan mahagaib itu segera selesai, ia mendengar suara yang sudah sangat lama tidak didengarnya. Yaitu suara dengkur Ki Ampuh, yang telah menjadi babi karena dimakan oleh sumpahnya sendiri. Erwin terkejut heran tetapi juga girang, karena si terkutuk itu pada waktu yang belakangan telah ingin menebus dosa-dosanya bahkan pernah mendampingi dia dalam pertempuran berat.
Bukan hanya itu, Erwin juga mendengar suara Sabrina, wanita cantik yang kadang-kadang mengharimau atau dalam
penampilannya yang amat meyakinkan, mengisap darah bayi guna melepaskan dahaganya.
Kedatangan dua orang yang pernah jadi sahabat terdekat tetapi juga musuh amat berbahaya ini di luar dugaan, menimbulkan tanda tanya, tetapi bagaimanapun melegakan hati Erwin.
0odwo0 DUAPULUH SEMBILAN
BERKATA seperti bertanya pada diri sendiri dengan suara pelan Erwin menoleh ke samping dengan ucapan, apakah ia bermimpi.
"Benarkah engkau Ki Ampuh?" tanya Erwin. Terpancar sinar gembira dari matanya dalam suasana yang remang-remang itu.
"Rasanya aku seperti mimpi," katanya melanjutkan karena tiada jawaban dari makhluk yang jelas duduk di sampingnya.
"Kau senang dengan kedatanganku ini, sahabat?" tanya babi hutan besar yang memang tak lain dari Ki Ampuh.
"Apa yang membawa kau kemari?" Erwin baru setengah percaya.
Oleh lamanya tak berjumpa dan tak mendengar berita tentang diri Ki Ampuh, ia selalu menyangka, bahwa mereka tak kan pernah bertemu lagi, karena masing-masing membawa nasibnya. Teringat Erwin akan permohonan Ki Ampuh, dengan air mata dan penyesalan yang seperti keluar dari lubuk hatinya, agar ia dijadikan manusia kembali. la bertaubat, bersumpah, tak akan pernah melakukan kejahatan lagi. Apalagi pengkhianatan yang telah disadarinya sebagai kejahatan diatas dari segala macam kejahatan. Tetapi Erwin memang tidak punya kemampuan untuk mengembalikan seekor
babi kembali kepada asalnya, la tidak pernah belajar ilmu merubah hewan menjadi manusia, walaupun tadinya hewan itu memang
manusia juga. Dan dia selalu berpendapat, bahwa tak kan ada ilmu untuk itu. Entahlah kalau Tuhan menghendakinya, karena hanya DIA yang punya kekuasaan dan kemampuan yang tiada batas.
Kalau IA menghendaki gunung dapat berubah menjadi lautan dan lautan dengan mudah menjadi padang pasir. Semut menjadi seekor gajah dan gajah menjadi seekor ular cobra.
Pernah juga Erwin mendengar, bahwa seorang penyihir yang
benar-benar sudah kawakan, memang dapat merubah ujud satu makhluk menjadi makhluk lain. Tetapi ia belum pernah melihat hal itu dengan matanya sendiri. Baru dalam cerita orang-orang tua atau diceritakan dalam buku dongeng. Ilmu hitam yang mereka anut setelah tuntutan dengan segala syarat dan pengorbanan selama bertahun-tahun, membuat mereka punya kemampuan yang tak
masuk akal, tetapi konon memang benar-benar telah terbukti menjadi kenyataan. Sama halnya dengan universitas yang terdiri atas berbagai macam fakultas, maka ilmu hitam pun mempunyai banyak cabang. Mungkin almarhum Maribun yang juga penyihir mengambil fakultas pengiriman jin syaitan ke sasarannya, membuat orang jadi gila dan sebagainya, tetapi tidak mengambil pe lajaran merubah manusia jadi hewan. Kalau ia memiliki ilmu itu, agaknya Nona Dinar yang cantik telah dirubahnya menjadi seekor ular. Ilmu ini dimiliki oleh Mbah Panasaran di Banten, yang pernah
mengadakan hubungan dengan Ki Ampuh dan Erwin, sebagaimana
telah diuraikan secara terperinci pada bagian awal dari kisah Manusia Harimau. Wanita penyihir yang sudah lanjut usia itu selalu kelihatan muda dan cantik, seperti mojang geulis belasan tahun.
Untuk mempertahankan kemudaannya Mbah Panasaran selalu
memakan anak-anak muda. Diisapnya daya seks pemuda-pemuda tanpa pengalaman itu sehingga kering dalam waktu hanya dua tiga bulan yang kemudian dibunuh karena sudah tiada guna. Paling beruntung dijadikan hamba yang harus menurut perintahnya tanpa reserve. Diperintahkannya untuk membawa kawan-kawan mereka agar menemui nasib seperti mereka.
Ki Ampuh seperti membiarkan Erwin teringat masa lalu. Agak lama kemudian baru dijawabnya pertanyaan sahabat yang
kemudian jadi musuh besar tetapi pada waktu belakangan telah jadi sahabat kembali. Katanya, "Aku rindu padamu. Itulah yang membawa aku kemari!"
"Bersama Sabrina?" tanya Erwin.
"Ya, aku rindu padanya?"
"Aku tadi mendengar suaranya."
"Hanya pendengaran. Dia juga ingin bertemu denganmu. Tetapi katanya dia ada urusan lain dulu."
Erwin tidak segera menanggapi. Dia pernah suka, kemudian
bermusuh dengan wanita cantik berhati kejam itu. Tetapi kemudian ia selalu teringat kepadanya, karena bagaimanapun dia tahu bahwa Sabrina pernah sangat mencintai dirinya, dialah yang mengelak.
"Ada urusan di Lubuklinggau" Apa dia punya keluarga di sini?"
tanya Erwin. "Entah. Dia mau bertemu dengan Mayor Polisi Buang dulu," kata Ki Ampuh. Erwin seperti tersentak. Menemui Pak Mayor, ada urusan apa" Tetapi tak ditanyakannya kepada Ki Ampuh.
"Aku ingin kembali ke Jakarta, Ki Ampuh."
"Untuk apa di sana" Sudah terlalu banyak manusia. Kata orang
udara dan air pun sudah tercemar. Kota itu bukan tempat untuk kita. Juga tidak untuk banyak manusia yang semula menyangka akan menemukan syorga di sana. Bagi kita kota-kota kecil yang tentram lebih baik," ujar Ki Ampuh.
"Mungkin betul begitu," kata Erwin menghentikan usaha pengkhusukan diri dalam menghadapi lawannya. "Dari mana kau tahu aku ada di sini?"
Harian di Padang memberitakan tentang makhluk ajaib dengan perangai aneh. Mengembara dari Jawa ke Tapanuli, lalu ke Medan dan Minangkabau. Punya sifat seperti harimau, tetapi sangat baik budi. Berita lain menceritakan hilangnya dua penduduk sebuah kampung di sekitar Bukittinggi seorang di antaranya Datuk yang dituakan di kampungnya. Rentetan berita itu meyakinkan kami, Sabrina dan aku, bahwa orang yang bisa berbudi baik seperti itu hanya kau."
Erwin tidak memberi reaksi. Selama perjalanan ia tidak membaca koran, tidak tahu, bahwa kegiatannya sudah membuat wartawan bisa menarik hasil.
Ki Ampuh menceritakan lagi, bahwa setelah mendengar kejadian-kejadian di Lubuklinggau, ia dan Sabrina yakin, bahwa Erwin dan kedua pesilat dari Minang itu tentu masih ada di kota itu.
Mereka juga sudah mendengar tentang penyihir yang tewas
dibinasakan harimau secara aneh. Sabrina lantas berkata, bahwa harimau aneh yang membinasakan lawannya dengan cara yang
tidak pernah mereka dengar itu tentulah Erwin.
Bagi Sabrina yang betul-betul termasuk wanita memenuhi segala persyaratan untuk dikatakan cantik, pintu selalu terbuka. Itulah salah satu keuntungan orang cakep yang tidak dimiliki oleh wanita yang sedang-sedang saja. Walaupun sebagai imbangannya, wanita cantik lebih disukai maut daripada wanita yang biasa-biasa saja.
Tidak sukar bagi Sabrina untuk bertemu dengan Mayor Polisi Buang di kantornya. Bukan terutama karena kecantikan wajahnya, melainkan budi bahasa yang baik dan keagungan yang dipancarkan
wajah dan pembawaannya jualah yang membuat Perwira itu
menaruh simpati dan kepercayaan atas dirinya. Kepercayaan pada seseorang yang baru saja dikenal perlu digarisbawahi, karena di masa ini wajar kalau kita tidak buru-buru percaya kepada
seseorang, bahkan ada baiknya kalau diam-diam kita menaruh curiga guna membangkitkan kewaspadaan terhadap semua orang baru. Tidak jarang kita baca di koran-koran mengenai masyarakat yang tertipu oleh seorang yang mengaku Perwira Angkatan
Bersenjata yang datang lengkap dengan seragam dengan tanda pangkatnya tetapi kemudian sesudah terlambat, ternyata ia hanya seorang penipu yang licik saja. Yang menampilkan diri sebagai saudagar besar, tetapi kemudian ternyata juga seorang penipu belaka, setelah ia hilang dengan menggaet kadang-kadang ratusan juta.
Sepasang Pedang Iblis 21 Golok Sakti Karya Chin Yung Pedang Asmara 18
Erwin berjalan pelan, supaya jangan terdengar oleh orang-orang yang barangkali tak turut terbius oleh jampi-jampinya. Tetapi kaki-kakinya yami memikul badan harimau yang berat itu meninggalkan bekas berlumpur dalam bentuk telapak hari mau.
la sampai pada suatu ruangan yang lumayan luas dengan satu stel kursi dan perlengkapan lain yang membuat suasana di sana dalam keadaan normal, tentu cukup menyenangkan. Alat pendingin tetap bekerja, tidak dimatikan, walaupun di luar hujan turun dengan amat lebat. Manusia harimau itu tak membutuhkan waktu lama untuk melihat seseorang sedang duduk bersandar di sebuah kursi goyang. Santai, seperti orang yang sedang melenakan lelah atau mengenang masa lalu yang indali. Ataukah yang amat pahit"
Kedatangan Erwin dalam bentuknya yang ngeri menjijikkannya itu seperti tidak dihiraukan nya. Persetan amat sama makhluk yang cuma begitu. Berbadan harimau menandakan ketidak-sempunaannya. Derajat monster yang begitu, berada janji di bawah
manusia yang utuh. Ataukah dia tidak melihatnya" Tertidur" Pintu yang terbuka samp?l jauh malam itu, apakah maknanya. Bukankah bita ditafsirkan sebagai suatu undangan bagi siapa tam yang mau datang. Setidak-tidaknya maling yang tidak akan membuang
kesempatan sebaik itu. Maribun terkenal orang berada. Umumnya masyarakat sekitar tahu, bahwa dia punya usaha dagang dan punya beberapa bidang kebun. Juga kedermawanannya diketahui orang.
Beberapa bulan yang lalu ia mewakafkan sebuah mesjid kecil tetapi lengkap dengan semua fasilitas. Bukan terbatas pada lantai yang dikarpet seluruhnya, tetapi juga dengan AC. la ingin jemaah melaksanakan ibadahnya dalam lingkungan yang nyaman. Supaya bisa khusuk, barangkali itulah yang menjadi tujuannya.
0odwo0 Beberapa menit Erwin berdiri memandangi orang yang seperti tidur atau benar-benar tidur itu. Tak salah lagi, inilah orang yang pernah datang di dalam mimpinya. Tetapi menurut ingatannya, ini bukan orang yang berbisik kepadanya saat mengebumikan Koto.
Apakah ada dua orang" Orang di makam itu yang suruhan ataukah yang bersandar santai ini yang sedang melaksanakan tugas yang dibebankan sang majikan atas dirinya.
Erwin ragu-ragu. Orang keliru, kalau menyangka, bahwa makhluk sehebat ini tak mungkin ragu-ragu dalam menentukan langkah yang akan diambil. Barangkali orang ini menunggu dia datang mendekat, kemudian dengan suatu gerak kilat menyerang dirinya. Entah dengan senjata atau kekuatan apa. Bukan mustahil orang ini akan merobohkannya di sana, lalu datanglah para suruhannya untuk melumpuhkan dirinya. Kalau tak dibunuh, maka ia akan diserahkan kepada Polisi. Besar kemungkinan, ia akan melakukan yang tersebut belakangan. Jika itu yang terjadi, maka pasti penduduk kota yang cukup ramai itu akan gempar dan nama Maribun akan semakin mengudara. Pak Maribun menyergap makhluk berbadan harimau, tetapi berkepala manusia. Orang akan melihat dengan cara lain lagi kepadanya. Lahiriah dan batiniah. Rasa segan dan hormat di luar
lalu rasa kagum di dalam hati. Barangkali juga diam-diam takut kepadanya. Kalau Maribun mampu menangkap seekor atau seorang makhluk yang mestinya punya kekuatan luar biasa tentu ia jauh lebih hebat dari yang dikalahkannya. Dia punya ilmu gaib yang amat tinggi, di samping kekayaan yang amat banyak.
Tidak ada jalan lain bagi Erwin. la harus melangkah, mendekat.
Ataukah melemparnya dengan benda kecil untuk
membangunkannya, kalau benar ia tertidur. Supaya dia tahu, bahwa ada tamu datang melalui pintu yang sengaja disediakannya.
Ataukah lebih tepat dikatakan, bahwa tamu yang dinantikannya sudah tiba. Tetapi melemparnya de ngan benda kecil, sangat tidak sopan. Lebih tidak sopan dari masuk tanpa memberi salam,
walaupun pintu terbuka.
Dengan menetapkan hati, karena yang dihadapi bukan orang
sembarangan, Erwin melangkah ke arah laki-laki itu duduk atau tidur santai.
Dia coba saja memanggilnya dengan Maribun, nama yang
didengarnya di rumah Kapten Polisi Kahar Nasution.
Karena lampu menyala setengah terang Erwin tidak keliru
dengan pandangan matanya. Tuan atau penunggu rumah sedang meram. Dan meram belum berarti tidur. Sebagaimana ada sejumlah orang ber ilmu yang tidur dengan mata terbuka lebar, untuk menyesatkan lawan yang mungkin punya maksud buruk terhadap dirinya.
Aneh, Erwin pun tidak segera mengatur rencana, bagaimana
membawa orang itu. Bukankah itu tujuannya ke rumah ini" la sudah berdiri di hadapan si laki-laki. Mudah mencekik atau menyerangnya, walaupun orang itu sebenarnya tidak tidur. Manusia harimau itu tidak melakukan apa yang sewajarnya dilakukan dalam keadaan seperti itu.
Dengan suara pelan, seolah-olah takut mengejutkan sahabat yang sedang tertidur, Erwin berkata pelan, "Tuan, aku sudah datang."
Waktu mengatakan itu Erwin bersiap untuk menangkis serangan yang mungkin datang mendadak. Ternyata ia tidak diserang.
Tetapi apa yang kemudian terjadi lebih mengejutkan Erwin dari serangan yang bagaimanapun kerasnya. Sebab serangan memang sudah diperhitungkan sebagai sesuatu yang mungkin terjadi.
Dengan tenang, tanpa membukakan matanya Maribun, "
memang dialah Tuan rumah yang bernama Maribun" menyahut,
"Duduklah, dari tadi kulihat Tuan berdiri saja!" Ya Tuhan, rupanya sejak tadi orang yang tidur atau disangka tidur itu melihat dia dan memperhatikan segala gerak-geriknya.
Sambutan yang sama sekali di luar dugaan itu membuat Erwin malu. Suatu cara yang dapat mematahkan lawan, lebih daripada kalau memukulnya dengan kekerasan. Maribun menyerang perasaan yang bisa mengendurkan moril Erwin. Bukan memukulnya dengan tenaga fisik.
"Jadi Tuan telah melihatku sejak tadi?" tanya Erwin.
"Ya, dan aku memang mengharapkan kunjunganmu, anak
muda," kata Maribun tanpa nada sindiran.
Erwin jadi semakin tidak mengerti, apa maunya orang hebat ini.
Menyebutnya dengan "anak muda" padahal dia sudah berdaya upaya untuk menjerumuskan dirinya ke tangan Polisi.
"Apakah Tuan tadi tidak tidur?" tanya Erwin.
"Tidur! Menantikan kedatangan tamu sambil tidur lebih enak, jadi tak terasa. Pekerjaan menung gu termasuk pekerjaan yang sangat meletihkan, bukankah begitu, Tuan Erwin," katanya tenang.
"Jadi Tuan melihat dengan mata tertutup?" tanya Erwin menyesuaikan diri dengan sikap dan ke santaian Tuan rumah.
"Tidak, saya melihat dengan hati!"
"Tuan hebat sekali," kata Erwin memuji. Yang seorang ini lain, benar-benar lain.
"Silakan duduk. Kalau kita menyebut hebat, sudah tentu Tuanlah yang hebat. Aku tak bisa seperti Tuan!"
Cepat Erwin yang beranjak beberapa langkah menyahut, "Aku tidak dapat melihat dengan mata yang meram. Aku hanya bisa memandang dengan mata terbuka. Dan aku tak dapat duduk seperti Tuan."
"Mau minum kopi panas?" tanya Tuan rumah setelah memperkenalkan diri dengan nama aslinya, Maribun.
"Terima kasih, tak usah!"
"Tidak kedinginan ditimpa hujan lebat?" tanya Maribun ramah.
Membuat Erwin semakin bingung dengan sikap dan gaya dukun besar yang kaya-raya itu.
"Tidak, sudah biasa dikuyupkan hujan, dikeringkan panas."
Setelah itu keadaan jadi hening sepi, keduanya sama-sama diam, seolah-olah mencari kata-kata apa lagi yang pantas untuk
meneruskan bicara. Hati Erwin berperang. Akan meneruskan
rencananya, mengambil orang ini" Yang sama sekali tidak
menunjukkan sikap bermusuhan walaupun kedua-duanya tahu
benar, bahwa mereka hendak saling mematikan. Hanya satu saja yang boleh hidup, kalau Lu buklinggau tidak mau dijadikan terlalu sempit bagi mereka.
"Anak muda sedang ragu-ragu," kata Maribun.
"Tuan tidak?" tanya Erwin berterus terang.
"Ya, sedikit," jawab Maribun yang sama sekali tidak kaget menghadapi makhluk aneh dari Mandailing itu. Erwin menilai orang itu cukup terbuka. Mengatakan terus terang apa yang tersimpan di dalam hatinya.
"Aku juga kagum kepada Tuan, tidak langsung menerkamku tadi.
Padahal rencana Tuan sudah masak untuk membawaku!"
Mendengar ini, hati Erwin jadi mulai mantap kembali, la
bermaksud mengambil orang kuat ini. Ucapan Maribun yang
mengingatkan Erwin kepada rencananya ternyata menjadi suatu bumerang.
"Tidak jantan menyerang lawan yang sedang tidur. Apalagi dia sengaja membiarkan pintu terbuka untuk menerima tamunya," kata Erwin, sudah bertekad kembali untuk melaksanakan apa yang menjadi tujuan, la juga teringat kepada Datuk yang menunggu di luar. Kawannya itu tentu gelisah tetapi tak berani masuk karena tidak ada mufakat begitu. Lebih-lebih memikirkan Kapten Polisi Kahar, yang sudah berhadapan langsung dengan Maribun, kalau Erwin tidak menahaninya. Kejahatannya mengirim jin ke dalam tubuh Dinar sehingga ia mau mencekik abang kandungnya sendiri, tidak dapat dimaafkan. Apalagi dia telah mengambil nyawa Koto yang menjadi tamu Kahar melalui seekor ular yang sebenarnya ditujukan untuk Erwin.
Maribun melihat perubahan pada wajah Erwin. la dengan mudah membacanya. Tamunya ini sudah kembali pada niatnya semula. Dia pun sadar bahwa kata-katanya jugalah yang telah menyebabkan manusia harimau itu kembali kepada niatnya semula.
Maribun diam memikirkan kekhilafan kata-katanya. Bukan
menyesal, sebab dia menganut filsafat sederhana, bahwa sesal kemudian tiada berguna. Kalau sudah terlanjur khilaf, orang harus menyesuaikan diri dengan situasi.
"Bagaimana sekarang?" tanya Maribun, ingin tahu dengan cara apa mereka membereskan sengketa yang menyala hebat di dalam dada masing-masing. Ilmu yang sangat tinggi jualah yang
menyebabkan mereka mampu berdialog seperti dua orang sahabat yang mencari kata sepakat melakukan sesuatu.
"Aku harus membawa Tuan dari sini guna mencegah kejadian-kejadian buruk yang tidak kuingini."
"Soal penyakit mereka" Itu profesi menyenangkan, di samping pekerjaan sehari-hari!"
"Menyenangkan, kata Tuan?"
"Ya, itulah yang kurasakan. Aku menikmati tiap hasil karyaku, juga menikmati mereka yang coba memperlihatkan keunggulannya di atas kemampuanku."
Orang ini benar-benar sadis, tetapi juga berani berterus terang.
Menyakiti orang lain, harta pun bukan musuhnya merupakan suatu kenikmatan baginya.
"Kumohon agar kita tidak bikin onar di rumahku ini. Keluargaku tidak perlu terbangun dan ketakutan melihat kita berdua harus meniadakan valah satu nyawa. Aku punya usul, kalau anak muda setuju."
"Kupikir aku akan sangat setuju dan merupakan suatu
kesenangan memenuhi keinginan dari lawan yang bersikap sebagai sahabat terkarib," kata Trwin. Dia memang menaruh respek terhadap dukun ini, walaupun sadis. "Sebutkan usul Tuan."
0odwo0 DUAPULUH TIGA MARIBUN memandang ramah kepada Erwin. Si manusia harimau
juga membalas dengan pandangan persahabatan, sehingga bagi orang yang tidak mengetahui persoalan akan menyangka, bahwa mereka itu tentu dua sahabat yang sedang merundingkan sesuatu.
"Bagaimana kalau kita keluar dari rumahku ini lalu memilih tempat yang layak untuk menentukan nasib. Anak muda tahu kan, bahwa kita mempunyai tekad yang sama?" tanya Maribun.
"Tahu, salah seorang dari kita harus berhenti dari profesinya.
Tuan atau aku," jawab Erwin.
"Tepat sekali. Disayangkan, kalau dapat bekerja sama, kita akan merupakan suatu tim yang kuat sekali."
"Aku pun berpendapat begitu. Tuan. Tetapi kita mempunyai prinsip yang berlainan, sangat berlainan dan tak mungkin
dipertemukan," kata Erwin.
"Apakah anak muda punya ancer-ancer di mana tempat itu?"
"Aku orang asing di sini, Tuan. Oleh karenanya aku akan menurut pilihan Tuan," jawab Erwin hormat.
"Tetapi aku punya sebuah permintaan," kata Maribun.
"Katakanlah, kurasa aku akan memenuhinya kalau dapat."
"Karena aku telah menyediakan pintu untuk anak muda agar dapat langsung masuk, maka kini aku ingin agar anak muda yang kuat dan gagah membawa diriku ke tempat yang akan kita tentukan nanti."
"Bagaimana mungkin, bukankah Tuan yang akan menunjukkan tempat penentuan itu?"
"Anak muda tak paham maksudku. Aku ingin agar anak muda menggendong aku dan aku yang axan menunjukkan jalan!"
Erwin merasa heran, karena permintaan Maribun sangat aneh.
Apakah ia punya muslihat di belakang permintaannya itu" Tetapi ia yang dikatakan kuat dan gagah, malu pula menolak permintaan Tuan rumah, la seakan-akan minta balas budi afas kebaikan dan keramahtamahannya. Maka Erwin pun menyatakan persetujuannya.
"Ingin tahu rasanya digendong harimau," kata Maribun seperti seorang kawan yang sedang bermanja-manja.
"Baiklah, kalau itu akan menyenangkan hati "Tuan," kata Erwin.
la bergerak lebih dekat dengan berdiri atas kedua kaki
belakangnya. Tetapi kemudian ditanyanya sekali lagi, apakah benar-benar Maribun menghendaki itu. Setelah mendengar penegasan Maribun ia membungkuk untuk menggendong orang yar/g akan
menjadi tandingannya dalam berebut dan mempertahankan nyawa.
Erwin yang sudah membungkuk untuk mengangkat Maribun
ternyata tak mampu melakukannya. Tubuh Maribun yang hanya berukuran sedang itu terasa amat berat. Kalau semula ia
menyangka, bahwa untuk itu ia tidak perlu sampai mempergj nakan tenaga, kini mulai mengerahkan tenaga. Tetapi ternyata sia-sia,
Maribun tetap tak dapat diangkat dari tempatnya duduk.
Mengertilah dia, bahwa dukun berilmu sihir itu mau memperlihatkan satu lagi kemampuannya dan mau menguji apakah Erwin sanggup mengalahkan kehebatannya yang la n ini.
"Tuan benar-benar terlalu hebat bagiku," kata Erwin.
"Jangan berpura-pura, anak muda. Anda tak sudi menggendong saya."
"Bukan, Tuanlah yang sebenarnya tak mau saya gendong, karena saya hanya harimau, seperti kata Tuan tadi."
"Coba sekali lagi, kalau benar anak muda ini memanjakan aku yang tua dan barangkali malam ini juga akan berpisah dengan dunia yang sebenarnya menyediakan semua-muanya untuk dinikmati."
Erwin mencoba sekali lagi, tetapi tubuh Maribun tetap tak bergerak dari tempatnya.
"Kalau anak muda tak mau menggendongku sesuai dengan janji, pulang sajalah, sebab aku tak-mau pergi kalau harus berjalan.
Pergilah, kita tidaj usah bermusuhan walaupun tak dapat bersahabat Karena perbedaan pandangan hidup dan kayakinan."
Erwin merasa bahwa perkataan orang kawakan itu benar juga.
Lebih baik pergi, karena ia tak sanggup menggendong, padahal itulah persyaratan yang diajukan Maribun.
"Baiklah Tuan, aku pergi dulu. Mencari tambahan ilmu, kalau sudah tiba waktunya aku akan kembali!"
"Itulah yang terbaik," kata Maribun.
Erwin bergerak menuju pintu yang tadi begitu mudah
dimasukinya. Tetapi setelah tiba di dekat pintu, kembali ia tak dapat bergerak sebagaimana ia juga tak mampu melangkahkan kaki, ketika ia tadi hendak mendekati Maribun yang tampak seperti tertidur pulas.
Apakah ia akan mendapat bantuan, sebagaimana ia tadi juga mendapat bantuan dari Tuan Syekh Ibrahim Bantani" Tadi ia
menyebut nama orang sakti itu, tetapi kini ia malu berbuat begitu.
Tampak benar kelemahannya, la memandang ke arah Maribun.
"Mengapa" Ada yang ketinggalan?" tanya Maribun, jelas mengejek. Sambil berkata Maribun berdiri, tenang-tenang
melangkah ke arah tamunya yang mau pulang itu.
Erwin merasa terpojok. Malu bukan buatan. Tetapi tiada daya.
"Pulanglah, aku mau mengunci pintu. Mau tidur. Bukankah kita sepakat untuk tidak bermusuhan"
Erwin memandang orang itu. Kini tidak lagi dengan mata
memancarkan rasa persahabatan. Sebab yang begitu akan
ditafsirkan sebagai minta dikasihani. Dan itu menjadi kepantangan besar baginya
"Tak anak muda dengar" Aku mau tidur. Perulah pulang!"
Erwin memandang dengan penuh dendam, tapi juga merasa
bahwa orang itu mempunyai terlalu banyak ilmu.
"Kalau anak muda tak mau pulang, aku terpaksa menelepon Polisi. Perbuatan Anda ini sudah sa ngat mengganggu!"
Erwin segera membayangkan, bahwa untuk kedua kalinya ia
akan dikepung Polisi dan sekali ini tidak akan lolos lagi. Memang itulah rupanya maksud Maribun. la mau mempergunakan alat-alat penegak hukum untuk menyingkirkan musuh yang telah
menyusahkan dirinya itu.
Dalam keadaannya seperti itu, kalau sampai dikepung oleh
orang-orang bersenjata, dia pasti akan ditembak. Mungkin
diberondong dengan senapan mesin. Betapa aibnya. Apakah ia jauh-jauh merantau, sudah menjelajahi sekian banyak kota besar, akhirnya akan mati terkapar di Lubuklinggau" Itu lah tujuan Maribun dan itulah yang sangat ditakuti nya. la harus dapat menghindar.
"Anak muda lihat itu," kata Maribun sambil , menunjuk ke sebuah meja di mana ada sebuah telepon. "Aku akan menelepon Polisi sekarang."
Betapapun malunya Erwin tidak dapat berbuat lain daripada memanggil-manggil nama Tuan Syekh Ibrahim Bantani.
"Hindari aku dari dikepung dan diburu mereka, Tuan Syekh,"
pintanya hampir menangis karena putus asa. Betapa akan sedih hati Ayah, dan kakeknya kalau ia sampai ditewaskan Polisi di sana.
Tiba-tiba ia dapat mengangkat kakinya kembali. "Segala puji dan syukur bagimu Tuhan," kata Erwin di dalam hati.
la melangkah ke arah Maribun yang sudah mengangkat gagang telepon.
"Letakkan itu kembali Tuan Maribun," katanya masih hormat.
Maribun yang kaget oleh kehancuran ilmu pemberat kaki dan tubuh, tidak segera meletakkan telepon, tetapi juga tidak bicara.
Bagaimana mau bicara, nomor pun belum diputarnya.
"Anak muda mempermainkan diriku yang tua," kata Maribun.
"Aku tak tahu bahwa sejak tadi anak muda berpura-pura.
Memang hebat, pada detik terakhir baru anak muda
memperlihatkan kartu yang ada di tangan anak muda."
"Aku tadi tidak berpura-pura Tuan, aku memang tak mampu bergerak sebagaimana aku tadi tak mampu mengangkat tubuh
Tuan. Aku merasa hormat. Ilmu-ilmu Tuan itu tidak ada padaku!"
"Anak muda masih merendahkan diri. Memang begitulah sifat orang yang benar-benar hebat. Anak muda pun rupanya memakai ilmu padi!"
Maribun meletakkan telepon.
Dalam hati Erwin memohon kepada Tuan Syekh agar ia diberi kekuatan untuk menggendong Maribun. Yakin, bahwa pintanya didengar, ia ambil badan Maribun dalam posisi menggendong. Dan kini memang tiada rintangan. Giliran Maribun yang merasa takut.
Tadi ia sengaja mempermainkan Erwin, apakah ia pun kini akan dipermainkan"
"Aku tidak akan mempermainkan Tuan, karena aku tidak punya
cara-cara yang Tuan jalankan sebelum Tuan menamatkan riwayat orang yang jadi sasaran Tuan. Kesadisan dengan gaya lain. Tuan tadi hendak menelepon Mayor Buang, bukan?"
Maribun tidak menjawab.
"Biar aku yang bicara. Akan kukatakan apa yang hendak Tuan katakan. Tetapi aku tidak mempermainkan Tuan. Sebab tadi Tuan benar-benar seorang Tuan rumah yang amat baik," kata Erwin sambil meletakkan Maribun kembali dan meminta dengan hormat, agar ia memutarkan nomor telepon Mayor Polisi Buang. Karena manusia harimau itu memintanya dengan baik, maka ahli sihir itu menuruti, sebagaimana Erwin tadi juga patuh ketika disuruhnya pulang dan kemudian dibuatnya tak berdaya untuk melangkah sampai ke pintu.
Setelah mendapat sambungan, Maribun menyerahkan telepon
kepada makhluk yang harimau berkepala manusia itu. Dikatakannya kepada Mayor Polisi Buang, bahwa si harimau piaraan yang
mengancam keselamatan penduduk sedang berusaha masuk ke
rumah Maribun. Kalau segera membawa pasukan tentu akan dapat mengepung dan menangkap atau membinasakannya. Selesai
mengatakan itu, Erwin menutup telepon.
Mayor Polisi yang ingin naik pangkat dan menjadi buah bibir masyarakat Lubuklinggau itu segera bertindak, walaupun hari telah sangat larut malam, sudah mendekati jam 03.00. Menjelang subuh, tatkala semua makhluk yang bernama manusia sedang enak-enaknya tidur.
"Mari kita berangkat," kata Erwin sambil menggendong Maribun, sesuai dengan yang disanggupinya ketika tadi Maribun
mengajukannya sebagai persyaratan. Maribun membiarkan, karena tidak melihat peluang baik untuk melawan.
"Aku dapat berjalan ke tempat yang akan kita pilih jadi medan penentuan. Tak usah gendong aku," kata Maribun kemudian.
Katanya ia mengajukan permintaan itu tadi hanya sebagai iseng-iseng tanda persahabatan. Alasan itu dijegal Erwin dengan berkata,
"Karena merasa bersahabat, atau sekurang-kurangnya tidak bermusuhan, maka Tuan buat aku tadi sampai tak kuat mengangkat tubuh Tuan dan kemudian tak mampu keluar dari rumah Tuan ini.
Dan karena kebaikan hati Tuan pula maka Tuan tadi hendak
menelepon Polisi agar mengepung dan menangkap atau
menewaskan diriku!"
Maribun tidak sanggup membantah kata-kata Erwin yang secara langsung menyindir dirinya.
Erwin keluar dari rumah yang hampir menjerat dirinya, membuat Datuk heran melihat sahabatnya menggendong si dukun sihir, la berjalan di samping Erwin tanpa mengajukan pertanyaan. Untunglah Maribun berkata, bahwa ia merasa sangat aneh digendong, yang oleh Erwin dijawab, "Aneh ataupun tidak, bukankah Tuan yang meminta untuk digendong." Jawaban ini membuat Datuk tambah tak mengerti, apakah sebenarnya yang telah terjadi.
Hujan sudah reda, tetapi jalan yang berlumpur menyebabkan dua kaki belakang Erwin dan kaki Datuk meninggalkan jejak yang sangat nyata. Setelah merasa cukup jauh dari rumah Maribun dan keadaan sekitar juga sepi, Erwin berhenti tanpa menurunkan Maribun. la hanya bertanya, apakah tempat itu cukup baik untuk menanggalkan satu di an tara dua nyawa mereka. Si dukun sihir setuju. Erwin menurunkannya dan mempersilakan untuk bersiap. Di situlah baru Maribun, yang selama perjalanan telah memikirkan bagaimana ia akan meng hadapi si manusia harimau, jadi sangat terkejut, karena merasa dirinya tidak berdaya. Dia tak mengerti mengapa bisa jadi begitu. Apakah dia yang akan tersingkir dari dunia yang katanya memberi ba nyak kenikmatan ini. la baca berbagai ilmu dalam bahasa Tamil, tetapi tak satu pun dari binatang suruhannya yang datang. Dibacanya dalam bahasa Sakai, juga tidak menolong. Dia lalu berkata, bahwa dia tidak siap untuk bertarung dan minta supaya diurungkan untuk lain waktu
"Menyesal sekali Tuan, aku harus meneruskan perjalanan besok, kalau aku tak tewas sekarang," jawab Erwin tenang, tetapi tegas.
Karena Maribun sudah beberapa kali menunjukkan kepalsuan dan
kelicikan, si manusia harimau kurang yakin akan pengakuannya.
Dicobanya membaca pikiran penyihir itu. Menurut penglihatannya memang sedang tak berdaya. Tetapi apakah benar begitu" Mungkin Maribun punya ilmu lain untuk membuat Erwin salah baca. la segera mengujinya. Dipukulnya badan Maribun, terjatuh ke lumpur. Tidak memberi perlawanan. Walaupun begitu Erwin belum yakin. Orang ini mempunyai akal dan ilmu terlalu banyak. Barangkali dia berbuat begitu untuk mengulur waktu sehingga Mayor Polisi Buang sampai di rumah Maribun, kemudian mengikuti jejak si harimau. Tentu akan bertemu, kalau Erwin membuang waktu.
Dan memanglah begitu yang terjadi. Mayor polisi Buang yang mempergunakan dua kendaraan telah tiba di rumah Maribun
dengan sepuluh anak buah bersenjata lengkap untuk suatu
pengepungan dan mungkin pertarungan dengan seekor harimau yang dikatakan hewan piaraan. Mengetahui Maribun tidak ada dan kemudian melihat pula jejak harimau dan satu manusia. Polisi jadi sangat heran. Hanya ada jejak dua kaki belakang dan bekas telapak kaki manusia tanpa sepatu. Mayor Polisi Buang dan anak buahnya tidak mengerti. Penghuni rumah pun tidak dapat memberi
keterangan. 0odwo0 DUAPULUH EMPAT JEJAK manusia tanpa sepatu menimbulkan tanda tanya, siapakah yang punya kaki. Maribun" la tidak biasa bepergian tanpa sepatu, la seorang penyihir modern dan pedagang yang lumayan bonafide.
Lalu, siapakah orang itu. Dan si harimau, mengapa jalan atas kaki belakang saja" Beginikah semua harimau piaraan"
Mayor Polisi Buang yang tadinya begitu ingin jadi terkenal dan naik pangkat jadi berpikir lagi sebelum mengikuti jejak harimau yang sangat aneh itu. Sama sekali tidak terlintas dalam khayalannya bahwa Maribun telah digendong oleh si harimau aneh dan hewan itu juga merasa senang, karena dengan menggendong dukun itu ia
menyesatkan jalan pikiran siapa pun yang akan memburunya.
Ternyata Maribun memang kehilangan daya untuk melakukan
perlawanan. Segala kekuatan gaib yang selalu ada pada dirinya bagaikan sirna secara mendadak dan bagaikan tanpa sebab. Tidak disadarinya bahwa seluruh kekuatannya telah direnggut dari dirinya oleh Tuan Syekh Ibrahim yang tidak menyukai ilmu digunakan untuk kejahatan. Erwin sendiri pun tidak mengerti, mengapa mendadak dukun kenamaan dan tadi masih memperlihatkan kesadisannya mendadak tidak melawan.
"Lawanlah aku," kata Erwin.
"Aku tidak siap untuk hari ini. Kalau Anda harimau yang jujur dan satria tentu Anda menunda sampai hari yang akan kita tentukan kemudian. Anak muda semacam Anda tentu punya kemanusiaan
tinggi," ujar Maribun. Apakah kesalahannya maka ia kehilangan seluruh tenaga"
"Aku sudah tidak dapat menunda. Tuan. Dan aku tidak punya apa yang Tuan sebutkan itu, karena aku bukan manusia. Begitu kata Tuan. Karena aku hanya harimau maka keharimauanlah yang ada pada diriku. Terserah kepada Tuan kalau menganggap aku sangat hina."
"Itu tidak adil" seru Maribun.
"Bagaimana pendapat Datuk" Tuan ini mengajak aku
menyelesaikan urusan. Salah satu di antara kami harus mati. Itulah makanya kita sampai di sini. Aku menggendong beliau pun karena begitu ke-mauannya. Apakah aku jahat kalau tidak mau
mengundurkan waktu lagi?" tanya Erwin. Untuk pertama kali Datuk dibawa serta. Legalah hatinya. Tadi dirinya dianggap sebagai tidak ada saja. Disapa pun tidak.
"Saya rasa tidak perlu ditunda!" jawab Datuk. Penyihir itu masih coba mengemukakan berbagai alasan agar pertarungan ditunda, sekaligus ia berharap Mayor Polisi Buang akan sampai di sana.
Penegak hukum itu pasti akan menangkap Erwin atau
membunuhnya di tempat.
"Aku tidak dapat mengulur waktu Tuan" kata Erwin. "Sambutlah seranganku ini!" Maribun tidak bersiap untuk menangkis atau melawan, sehingga Erwin pun belum jadi melancarkan pukulan.
Tetapi Erwin juga tahu, bahwa jika tidak sekarang dilakukannya, maka besar kemungkinan, dia-lah yang akan jadi konyol.
"Maafkan aku," kata Erwin dan bersamaan dengan itu ia mencekik leher Maribun sambil menanamkan kukunya dalam-dalam.
Menyedihkan juga, karena Maribun sama sekali tidak melawan.
Seperti berserah saja kepada ketentuan yang sudah diperuntukkan bagi dirinya.
Melihat kenyataan itu, hati Erwin berperang, antara meneruskan pembunuhan atau membiarkannya hidup. Sungguh tak layak
mematikan manusia yang tidak memberi perlawanan, la bukan bertarung mempertaruhkan nyawa, tetapi tak lebih daripada melakukan pembunuhan dengan darah dingin. Bukan suatu
perbuatan terpuji. Dia masih berharap agar Maribun mendadak berontak dan memberi perlawanan sengit. Ataukah dia tidak merasakan sakit oleh tikaman kuku yang tajam dan cekikan yang kian mengetat"
"Apa lagi yang Tuan tunggu!" kata Erwin, melihat darah mengalir dari luka-lukanya, la mengendurkan tekanan untuk memberi
kesempatan bicara kepada Maribun, tetapi penyihir itu tetap bungkam. Tiada sepatah kata pun keluar dari mulutnya.
Datuk buka suara. "Aku tidak ingin mencampuri, sahabat. Aku dapat turut merasakan kebimbangan hati sahabat. Bertentangan dengan hati sahabat menewaskan orang yang tiada melawan."
"Memang itulah yang kurasakan Datuk! Aku bukan bertarung, tetapi hanya membunuh. Betapa hinanya!"
"Memang benar begitu. Tetapi mungkin dia sendiri sudah rela dilenyapkan dari dunia ini, karena hidupnya dengan ilmu-ilmu besarnya banyak menebarkan penyakit dan maut. Kematian bagi yang jadi sasaran dan penderitaan hati yang tak akan pernah berkesudahan bagi keluarga yang ditinggal. Sahabat bukan sedang
membunuh, tetapi hanya meniadakan ancaman yang sangat
berbahaya bagi masyarakat. Bagaimanapun pasti ada sesuatu yang menyebabkan ia tidak melawan. Mungkin tekadnya sendiri, mungkin Ayah sahabat atau orang-orang yang amat mencintai diri sahabat.
Ingatlah beliau-beliau yang tidak ingin ilmu digunakan bagi melakukan kejahatan.
Apa yang dikatakan Datuk mungkin benar. Maribun sendiri minta ditiadakan atau orang-orang yang amat sayang kepadanya minta agar turun tangan membinasakan penyihir itu. Boleh jadi Ayah, mungkin Kakek dan barangkali Tuan Syekh Ibrahim Bantani. Yang dalam jarak waktu yang amat singkat telah dua kali melepaskan dia dari rencana jahat Maribun untuk mempergunakan alat-alat negara mengepung dan menangkap lalu membinasakan dirinya.
Erwin menguatkan hati. Bukankah sudah diputuskan tadi, bahwa salah seorang dari mereka berdua harus bercerai dengan nyawanya.
Keputusan itu harus dilaksanakan. Tidak diatur bagaimana caranya dan apa-apa yang jadi larangan. Kemudian terpikir oleh Erwin, bahwa kalau Maribun masih di biarkan hidup, ia akan
mempergunakan segala cara untuk membinasakan dirinya. Kalau dia meniada kan Maribun sekarang, maka tak lain maksudnya agar ia tidak dibunuh. Selain itu juga untuk kepentingan masyarakat.
Nasihat Datuk dan jalan pikirannya membuat Erwin mengambil keputusan untuk menamatkan kehidupan Maribun.
Erwin dengan mudah mengetatkan cekikan, sehingga Maribun
meninggal tanpa perlawanan sedikit pun, seolah-olah semua kekuatan dan kepandaian yang dimilikinya sudah lenyap sama sekali.
"Dia sudah tiada, Datuk. Aku menyesal harus melakukannya.
Tetapi aku juga tidak melihat jalan lain!" kata Erwin.
"Memang tiada jalan lain sahabat. Tentu ada sebab-sebab yang mengharuskan dia tewas tanpa melawan," sambut Datuk
meringankan perasaan Erwin.
"Boleh aku minta bantuan Datuk?" tanya Erwin setelah berpikir
sejenak. "Tentu, sejak tadi aku ingin supaya diajak serta walaupun hanya peranan yang tidak ada artinya," kata Datuk. Dia benar-benar girang. Sejak berang kat dari rumah, dia seakan-akan penonton saja. Tidak berguna sama sekali.
"Tolonglah gendong mayat ini. Akan kita antarkan ke satu tempat," kata Erwin.
Pendekar Minang tidak bertanya ke tempat mana. la sangat
membatasi diri dalam bertanya, takut kalau-kalau tidak berkenan di hati si manusia harimau.
Merekaperjalanan tanpa bicara lagi, sehingga di suatu tempat Erwin merasa bahwa ia akan berubah lagi jadi manusia biasa.
Perubahan itu berjalan secara bertahap, disaksikan oleh Datuk yang sangat bangga karena mempunyai sahabat lain daripada yang biasa dipunyainya. Sejak Datuk menggendong mayat Maribun tadi, Erwin berjalan atas empat kaki, sehingga jejak-jejaknya sama dengan harimau biasa.
Kini mereka meneruskan perjalanan menuju jalan raya yang tak jauh dari sana. Sebelum memulai jalan di atas aspal, Erwin mencuci kaki di selokan, begitu pula Datuk.
Yang dituju sudah tak jauh dari sana. Rumah kediaman Mayor Polisi Buang yang pada waktu itu masih menyelusuri jejak-jejak yang ditinggalkan seekor harimau berkaki dua dan seorang laki-laki yang diperkirakan pasti bukan Maribun.
Mayor dengan pasukannya sangat berhati-hati, kuatir harimau aneh itu bersembunyi dan mendadak melancarkan serangan yang mematikan. Kalau Maribun yang terkenal punya ilmu tinggi bisa hilang dari rumahnya sendiri dan sejak pekarangan hanya
meninggalkan bekas dua kaki belakang harimau serta seorang manusia tanpa alas kaki, yang belum dapat diketahui mengapa bisa terjadi begitu, maka makhluk itu pasti dapat melakukan sesuatu yang di luar dugaan.
Sampai di tempat Erwin menghabisi nyawa Maribun dan
mayatnya kemudian dibawa oleh Datuk, sementara sang manusia harimau berjalan atas keempat kakinya. Mayor Polisi Buang semakin takjub dan tak bisa mengerti atau bahkan menebak, bagaimana tiba-tiba ada jejak empat kaki harimau sedang jejak si manusia tetap seperti tadi.
"Apakah artinya ini Pardede?" tanya si Perwii kepada Walter Pardede yang baru berpangkat Sersan Polisi.
Dengan suara perlahan, seolah-olah takut didengar orang ia menjawab, bahwa ia banyak mende ngar cerita-cerita aneh tentang harimau, terutama ketika ia bertugas di Penyabungan, Tapanuli Selatan sebelum dipindahkan ke Lubuklinggau, tetapi berubahnya dua kaki harimau menjadi empat tidak pernah didengarnya.
Memburu Manusia Harimau Seri Manusia Harimau Karya S B Chandra di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sekarang yang tidak pernah didengar dan di luar kemampuan otaknya untuk memikir dan memecahkan misteri semacam itu, telah disaksikannya dengan mata sendiri. Dia tidak mungkin ditipu oleh pandangan yang keliru, karena Komandannya dan anggota Polisi yang lain juga melihat.
"Adakah di antara kalian yang mengerti?" tanya si Perwira.
Semua berdiam diri atau menggelengkan kepala.
Sebenarnya Ujang sudah enggan meneruskan, tetapi untuk
menjaga wibawa diri, mereka melanjutkan penyelidikan. Belum berapa jauh berjalan, mereka terkejut heran lagi, karena bekas kaki harimau tidak ada lagi, hilang. Bagaimanapun mampunya Mayor Polisi Buang mempertahankan wibawa dan harga diri, tetapi melihat kenyataan itu ia tidak dapat melawan getaran yang menjelajahi seluruh tubuhnya. Agak lama ia tidak berkata-kata, memandangi jejak-jejak harimau yang hanya sampai di tempat itu. Tidak ada lanjutannya. Kalau ada pasti kelihatan karena tanah di sekitar situ semua sama.
Becek oleh hujan yang turun cukup lama dan deras pula. Jejak-jejak itu seperti ditelan bumi. Ataukah terbang ke angkasa"
Tetapi jejak sang manusia yang berjalan bersama harimau itu
masih ada dan tidak hanya sampai di situ. Yang juga sangat mempengaruhi diri Mayor Polisi Buang adalah jejak manusia lain lagi. Orang baru tentu. Berjalan bersama jejak kaki manusia yang sudah ada sejak dari rumah Maribun. Dari manakah datangnya orang baru ini" Dia seakan-akan menggantikan atau meneruskan perjalanan si harimau, yang semula hanya berkaki dua, tetapi kemudian menjadi empat.
Anak buah Perwira itu saling pandang dan memandang
Komandannya. Dengan suara pelan dan kedengaran lesu Mayor Polisi itu kini mengikuti jejak dua manusia. Apakah salah seorang dari kedua orang itu dukun Maribun yang pedagang merangkap ahli sihir"
Mayor Buang dengan anak buahnya tadi ke rumah Maribun untuk mengepung dan menangkap harimau yang konon dinamakan
harimau piaraan. Yang mereka ikuti kini jejak dua manusia. Yang hendak dikepung dan ditangkap atau dibunuh kalau terpaksa adalah harimau. Tidak perduli apakah itu harimau piaraan atau jadi-jadian.
Tak lama kemudian mereka pun tiba di jalan raya yang beraspal.
Tidak ada bekas jejak berlumpur di aspal. Sehingga tidak
meninggalkan petunjuk ke arah mana mereka pergi. Mayor Polisi itu benar-benar bingung, tidak mampu menduga atau mengkhayalkan saja pun, apa sesungguhnya yang sedang terjadi. Sudah sekian lama dia di Kepolisian, baru kali ini menghadapi keanehan yang di dalam buku pun belum pernah dibacanya. Lebih mudah meng
hadapi residivis yang sudah dikenal sangat sadis
0odwo0 Erwin dengan Datuk yang menyangga mayat Maribun dengan
kedua belah tangannya berjalan tenang-tenang. Ada dua tiga kali berpapasan dengan kendaraan bermotor dan pengendara sepeda, tetapi tidak ada satu pun yang menghiraukan mereka. Erwin telah berdoa agar mata mereka dirabunkan, tidak melihat dia dan sahabatnya yang membawa mayat Maribun.
Akhirnya mereka berhenti di seberang sebuah rumah.
"Kita telah sampai di tempat tujuan, Datuk. Letih juga membawa mayat sejauh itu, ya!" kata Erwin. Datuk mengatakan, bahwa ia sama sekali tidak merasa capek, seperti membawa manusia dari kapan saja, katanya. Erwin memandang Datuk dengan rasa terima kasih. Yang dipandang tunduk Dia merasa bahagia dapat berbuat sesuatu. Tubuh Maribun memang hanya seperti kapas. Oleh bantu}
an orang-orang berilmu sangat tinggi yang menyayangi Erwin.
"Kita akan letakkan mayat Maribun di pintu masuk pekarangan.
Mayor Buang akan senang melihatnya," kata Erwin.
Semula Erwin hendak mengeluarkan semua isi perutnya
sebagaimana telah beberapa kali dilakukannya terhadap orang-orang tak manusiawi, tetapi kemudian mengurungkan maksudnya itu. Luka-luka bekas kuku harimau di lehernya itu sudah memadai.
0odwo0 DUAPULUH LIMA MAYAT Maribun diletakkan membelintang di pintu masuk
pekarangan rumah Mayor Polisi Buang yang sebelum meninggalkan penyihir itu meminta keterangan lagi dari istri dan keluarga lainnya.
Mereka semua tidak ada yang mendengar Maribun pergi. Biasanya dia berpesan kepada istri atau yang lain di rumah itu, manakala ia hendak pergi. Dan biasanya dia pergi dengan mengendarai mobil.
Kecuali kalau ia dijemput atau sekedar bertandang ke rumah tetangga yang rata-rata menghormati dia.
Menjelang waktu tidur Maribun hanya berkata kepada istrinya
bahwa dia akan kedatangan tamu untuk tukar-menukar ilmu.
Dianjurkannya supaya semua keluarga dan pembantu tidur, karena dia mau berduaan saja dengan tamunya.
Tak ada yang mendengar kedatangan si tamu yang dinantikan dan tidak pula terdengar suara Maribun pergi. Tetapi di lantai ruangan tempat Maribun duduk di kursi goyang tampak lumpur.
Bentuknya seperti tapak kaki harimau dewasa. Setelah diperiksa dengan teliti, kelihatan juga bekas jejak manusia menghadap ke rumah, jadi jelas orang itu salah satu dari tamu yang ditunggu.
Tamu lainnya adalah si harimau. Baru itu yang mereka duga. Hanya dugaan. Anehnya, kalau Maribun turut bersama orang dan harimau yang datang itu, mestinya ada dua pasang jejak manusia dan dua kaki harimau. Harimau ini datang dengan dua kaki belakang dan perginya pun dengan dua kaki belakang juga. Sehingga sampai di tempat tewasnya Maribun, yang tidak diduga oleh Polisi.
Istri Maribun dan penghuni rumah lainnya tidak tahu siapa nama tamu yang akan tukar-menukar ilmu itu.
Menemui jalan buntu begitu. Mayor Polisi itu berpendapat lebih baik pulang dulu, memikirkan tenang-tenang, bagaimanakah kira-kira duduk peristiwa yang sebenarnya. Kemanakah Maribun" Apakah dia sama sekali tidak pernah bertemu dengan harimau berkaki dua itu, ketika harimau masuk rumah. Jika begitu, Maribun telah pergi bersama orang tinggi ilmu yang dinantikannya. Tetapi ke mana perginya. Mengapa tidak berkendaraan" Apakah tamu itu membawa kendaraan" Begitulah yang terlintas di dalam otak Mayor Polisi Buang dalam perjalanan ke rumahnya.
Dia mau membuang dulu masalah Maribun dan jejak-jejak yang aneh itu, ketika Polisi yang mengemudikan mobil mendadak berkata gugup, bahwa di depan pintu pagar ada orang tidur. Ataukah mayat menggeletak" Sang Perwira tentu saja sangat terkejut. Dia menyuruh besarkan lampu mobil lalu turun bersama tiga Polisi yang sekendaraan dengan nya sementara anggota pasukan yang lainnya sudan langsung ke Markas Polri. Jantung Pak Mayor Polisi berdebar.
Apa pula ini" Dia belum dapat memecah kan masalah gila yang
dihadapinya, sekarang sudah ada pula orang kurang ajar yang tidur atau tewas di depan pintu pagarnya. Apakah orang punya maksud tertentu terhadap dirinya"
Segala pikiran itu menjadi lebih menimbulkan rasa ngeri di dalam hatinya, karena yang tergeletak itu bukan lain dari Pak Maribun yang pergi tanpa pamit dan sangat misterius dari rumahnya Mampunya mata Polisi yang sangat terlatih, Mayor Polisi Buang juga segera melihat luka-luka di lehernya, la memperhatikan lebih dekat dengan mempergunakan lampu senter, karena luka itu pasti bukan bekas disembelih. Itu jelas bekas tusukan. Tusukan lazimnya dilakukan di dada atau di rusuk. Kalau perut biasanya di dodet.
Ditusuk sebelah kanan lalu ditarik ke kiri. Karena bagian tubuh tidak mengeluarkan darah, berarti tiada tusukan, maka Mayor Buang memeriksa "tusukan-tusukan" di leher itu lebih teliti. Bukan tusukan pisau. Di pipi juga ada luka-luka berupa garis berdarah yang juga bukan bekas tarikan dengan pisau. Jalurnya lebih lebar dan bukan hanya satu, tetapi ada dua paralel. Bahkan ada yang ketiga, tetapi sudah mengenai kuping.
"Apakah mungkin?" terlempar pertanyaan di dalam hatinya.
"Apakah kalian pikir mungkin?" tanyanya pula kepada Pardede yang ikut di dalam mobilnya.
"Apanya yang mungkin. Pak?" tanya Pardede.
"Dicekik harimau!"
"Harimau tidak biasa mencekik," sahut Pardede.
"Coba periksa ini baik-baik. Saya juga tadinya berpikir, harimau tidak dapat mencekik!"
"Memang tidak Pak. Harimau hanya menerkam. Biasanya
menerkam kuduk. Yang dimakan duluan adalah isi perutnya! Orang ini tidak dilukai atau digigit. Perut atau dadanya tidak dikoyak-koyak. Tapi benar, luka di leher dan goresan di pipi ini bukan bekas pisau. Ini bekas kuku. Dan pasti kuku harimau Pak! Apakah harimau yang kita ikuti jejaknya tadi?" tanya Pardede.
"Mungkin," dan Mayor Polisi itu teringat akan kata-kata orang yang menamakan dirinya Bujang di rumah Kapten Kahar Nasution pada kemarinnya. Maribun yang memanggil Polisi untuk mengepung dan menangkap atau membunuh si harimau yang katanya ada di rumah Kapten Kahar. Orang yang bernama Bujang itu mendapatkan dia dan mengatakan, bahwa harimau piaraan itu tidak ada di sana, tetapi dia tentu marah kepada Pak Maribun dan bukan tidak boleh jadi akan melakukan pembalasan. Siapakah orang itu sebenarnya"
Bagaimanapun ia tentu punya suatu ilmu. Barangkali peramal berpengalaman. Atau dia orangnya yang biasa dikatakan punya
"ludah masin". Apa yang dikatakannya, menjadi kenyataan. Siapa pun dia, Mayor Buang ingin bertemu lagi dengannya.
"Barangkali dia dibunuh harimau piaraan Pak," kata Perwira Polisi itu. "Yang kemarin bersembunyi di rumah Kapten Kahar."
"Mana ada harimau piaraan di sini, Pak. Kalau pun ada, saya rasa tidak mungkin bersembunyi di rumah Pak Kapten Kahar. Siapa yang mengatakan begitu?"
"Pak Maribun ini."
Walter Pardede tidak memberi tanggapan lagi. Dia pun mulai berpikir bahwa harimau piaraan itu memang ada dan dialah juga yang membunuh Maribun karena sakit hati. Tetapi harimau piaraan pun sepanjang tahunya mempunyai kaki empat.
Pada waktu subuh itu juga ambulans diminta datang untuk
membawa mayat Maribun ke rumah sakit guna pemeriksaan dan penentuan sebab musabab kematian. Memang benar, tusukan-tusukan di leher Maribun disebabkan oleh kuku-kuku harimau.
Adanya bulu-bulu si belang di sekitar daerah yang luka
menyebabkan tidak ada lagi keraguan.
Sekarang merupakan tugas bagi Mayor Polisi Buang untuk
menyelidiki dan mengetahui, siapakah yang mengajak Maribun ke luar rumah dan di mana dia dibunuh harimau. Menurut Walter Pardede yang pernah bertugas di Tapanuli Selatan, harimau tidak biasa mencekik, la menggigit di tengkuk mangsanya, baik ternak
maupun manusia. Melalui gigitan di tengkuk, ia melukai atau memutuskan urat besar yang berarti fatal bagi yang diterkam.
Mengapa harimau yang seekor ini mencekik dan sama sekali tidak menggigit, padahal gigi giginyalah yang menjadi andalan utama, sementara kuku hanya berfungsi untuk mencengkam dan merobek"
Dari menjelang subuh sampai pagi Mayor Polisi itu sudah tidak dapat tidur, walaupun ia berusaha melupakan peristiwa aneh dan menakutkan itu agar tenaganya pulih semula untuk digunakan pada keesokan harinya.
Keesokan paginya Perwira Polisi itu minum kopi tubruk dan sebutir Captagon agar jangan sampai mengantuk, la ingin
memecahkan pembunuhan yang tidak sesuai dengan kebiasaan itu.
Ditugas-kannya seorang Letnan Polisi mengundang dua orang pemburu dan seorang pawang harimau untuk diminta bantuan.
Ketiga-tiganya menerangkan, bahwa mereka belum pernah
mendengar harimau mencekik mangsanya. Dan mereka sama-sama menerangkan, bahwa walau harimau piaraan dan jadi-jadian pun tidak lazim mencekik korbannya. Harimau piaraan adalah harimau biasa yang tunduk kepada yang menguasai dirinya. Harimau jadi-jadian berjalan atas empat kaki kalau ia sedang menjadi harimau.
Kalau dia tidak sedang mengharimau, maka ia tak banyak beda dengan manusia biasa dan berjalan atas dua kaki, karena ia pun hanya memiliki dua kaki.
"Jadi harimau apakah ini?" tanya Mayor Polisi Buang.
Mereka tidak sanggup memberi jawaban yang pasti. Hanya si pawang yang mengatakan, bahwa ia pernah mendengar tentang manusia harimau yang belum lama yang lalu pernah singgah di Palembang.
"Mengapa Bapak katakan singgah?" tanya si Perwira kepada Pak Dahlan pawang yang cukup terkenal.
"Sebab dia tidak betah tinggal lama di sebuah tempat.
Kesenangannya mengembara. Dan menu rut kata orang yang
pernah melihat manusia harimau, makhluk itu tidak pernah berbuat
jahat terhadap manusia, kalau ia tidak disakiti atau keluarganya dijahili, la malah suka membantu manusia yang dianiaya!" jawab pawang Dahlan.
"Pawang sudah pernah bertemu dengan manusia harimau?"
"Belum dan lebih baik juga jangan. Mungkin saya akan takut.
Ilmu yang ada pada saya hanyalah untuk menundukkan harimau liar. Itu pun terbatas kepada yang berdosa saja."
"Tetapi barangkali Pak Dahlan tahu ciri-ciri manusia harimau, saya amat membutuhkannya."
"Saya rasa dalam keadaan biasa, dia sama saja dengan manusia lainnya. Kata yang pernah melihat, ia juga punya istri dan dapat melakukan persetu-buhan yang melahirkan anak. Seperti anak-anak manusia biasa," kata pawang Dahlan.
"Apakah di sekitar atau di kota ini ada pemelihara harimau?"
"Saya tak tahu Pak, tetapi andaikata saya tahu, saya juga tidak akan mengatakannya. Saya bukan takut, tetapi tidak ingin mencari perselisihan yang bisa sampai pada bunuh-membunuh di antara kami yang lebih kurang mempunyai pekerjaan yang hampir sama,"
kata pawang Dahlan.
"Kalau untuk kepentingan keamanan dan ketenangan
masyarakat?"
"Juga tidak. Saya perlu menjaga keamanan dan ketenangan keluarga saya sendiri. Lagi pula, sampai saat ini saya tidak mendengar adanya keresahan atau ketakutan di antara
masyarakat!"
"Kata orang di Lubuklinggau ini ada harimau piaraan. Dan barangkali dia yang membunuh Pak Maribun?"
Pawang Dahlan terkejut, baru saat itu didengarnya pedagang dan penyihir Maribun mati dibunuh harimau. Diam-diam di lubuk hatinya Pak Dahlan menganggap pembunuhan itu bukan hal yang luar
biasa, kalau betul ia dibunuh harimau piaraan, seperti kata Mayor
Polisi Buang. Dia lebih berhati-hati, tidak akan menimbulkan sengketa dengan orang yang memiliki harimau piaraan. Dan
sebenarnya dia tahu bahwa di Lubuklinggau ada dua orang yang mempunyai harimau. Bukan dikandangkan atau ditambat di
rumahnya. Piaraan itu berkeliaran di hutan, seperti harimau-harimau lainnya. Tetapi tiap waktu ia memerlukan, sang harimau dapat dipanggil dan diberi tugas. Pemelihara itu, "kalau punya ilmu perabun" bisa melepas harimaunya tanpa dilihat oleh orang lain yang berpapasan dengannya. Dia tidak akan mengatakan itu kepada Mayor Polisi Buang.
Mayor Polisi Buang bertanya bagaimana pendapat Dahlan
tentang pembunuhan atas diri Maribun oleh seekor harimau. Atas pertanyaan Dahlan di mana pembunuhan itu terjadi, Pak Mayor tidak dapat memberi jawaban. Memang dia tidak tahu di mana sang harimau mencekik mangsanya.
"Boleh saya berterus terang, Pak?" tanya Dahlan, sementara kedua pemburu harimau yang ada di sana mendengarkan dengan penuh perhatian "Menurut pendapat saya Pak Maribun punya banyak kawan, tetapi juga punya banyak musuh. Yang musuh ini mungkin pula selalu bersikap seperti sahabat. Barangkali Bapak juga mendengar, bahwa kata orang Pak Maribun itu pandai sihir.
Barangkali suatu kesenangan baginya. Kalau untuk cari uang kurang masuk akal, karena ia punya penghasilan cukup dari usaha
dagangnya yang berhasil."
Pawang harimau itu lalu menerangkan, bahwa mungkin salah
satu dari musuhnya punya harimau piaraan. Disuruhnya membunuh Pak Maribun. Tetapi seorang penyihir punya ilmu untuk menjaga diri terhadap serangan bagaimanapun. Atas pertanyaan Mayor Polisi Buang, bagaimana ia sebagai penyihir dapat dibinasakan harimau, pawang Dahlan terus terang mengatakan, bahwa di antara pemilik ilmu tinggi di dunia ini ada yang mempunyai kekuatan di atas pandai sihir. Mungkin orang yang memiliki harimau itu termasuk salah seorang dari mereka.
Mayor Polisi itu menyatakan keheranannya, kalau ada manusia
yang punya kemampuan lebih daripada penyihir, kematian Maribun dapat diterima kalau yang melakukannya seorang manusia yang punya kepintaran lebih dari dia. Tetapi dalam kasus ini Maribun dibinasakan dengan cekikan oleh seekor harimau.
Pawang Dahlan merasa terpojok oleh kata-kata Pak Mayor yang memang masuk akal. Yang punya ilmu kuat dari pesihir adalah manusia, sedang yang membunuh Maribun jelas bukan manusia.
Setelah agak lama diam tak kuasa memberi jawaban, barulah pawang Dahlan mengatakan, bahwa mungkin manusialah yang
mencekik dan menewaskan Maribun. Dikatakannya, bahwa dalam hal begitu, si manusia itu dapat mengubah dirinya jadi harimau tetapi tetap mempunyai sifat-sifat manusia. Dan kebiasaan manusia.
Itulah makanya ia berjalan atas dua kaki, sama dengan manusia dan itulah makanya ia membunuh dengan mencekik leher
musuhnya, yaitu sama juga dengan manusia.
Mayor Buang pun dapat menerima jalan uraian pawang Dahlan.
Oleh karena itu dia berkata, "Kalau manusia yang mengubah dirinya jadi harimau dengan sifat dan kebiasaan manusia, siapakah orang di Lubuklmggau yang punya kemampuan seperti itu?"
0odwo0 DUAPULUH ENAM PAWANG DAHLAN hanya dapat menggelengkan kepala. Dan dia
memang sesungguhnya tidak tahu, kalau ada orang yang punya kemampuan seperti itu. Melihat Mayor Polisi Buang sangat kecewa dan tidak melihat jalan untuk mencari jawaban, pawang harimau itu berkata, "Andaikata ada orang pintar yang punya kepandaian setingkat itu, rasanya saya mengetahui, setidak-tidaknya
mendengar. Jadi saya rasa orang semacam itu tidak ada di Lubuklinggau. Entahlah kalau pendatang dari luar kota!"
Mendengar ini pikiran Mayor Buang agak terbuka. Pendatang dari kota! Tiap hari banyak pendatang, ada yang segera meneruskan
perjalanan dan ada pula yang menginap. Semalam atau lebih. Bisa dipenginapan, mungkin pula di rumah kaum kerabat atau kenalan.
Tidak mudah mengecek siapa-siapa saja pendatang dari luar kota.
Yang dipenginapan mungkin masih dapat dilihat dari buku
pendaftaran tamu. Tetapi yang bermalam di sahabat atau keluarga sangat ulit karena pada umumnya yang datang dan yang mtnarima mereka tidak mematuhi ketentuan. Tidak melaporkannya kepada ketua lingkungan setempat
Setelah agak lama, Mayor Buang teringat juga kepada Bujang yang menemui dia dengan cara aneh di rumah Kapten Polisi Kahar Nasution. Diakah" Tidak mungkin. Tetapi mengapa pula tidak mungkin" Dia yang mengatakan tidak mungkin harimau piaraan bersembunyi di rumah Kapten Kahar. Dia juga yang mengatakan, bahwa pelapor bernama Maribun itu mungkin mendapat
pembalasan dari si harimau. Dia menganalisa lebih jauh harimau yang menewaskan Maribun bukan harimau biasa. Dia tidak
mempergunakan taring-taringnya. Tetapi apakah betul ada harimau yang punya silat sifat manusia" Tidakkah pembunuhan itu dilakukan oleh seorang yang sangat lihay, yang mempergunakan sarung tangan berkuku harimau di ujung jari Alat pembunuh yang begitu dapat dibuat. Kalau itu yang sebenarnya terjadi, maka pembunuh itu bukan sembarangan. la pasti punya pengalaman dan punya perhitungan bagaimana melakukan pembunuhan dengan risiko
sekecil mungkin. Dengan alat itu ia sudah pasti dapat menyesatkan pikiran si pelacak dan penyelidik. Pada saat itu Buang berpikir, tak kan ada harimau yang punya sifat manusia. Harimau piaraan adalah harimau biasa yang diperintah oleh Tuannya dan membunuh
sasaran yang dimaksud sang majikan, la akan membunuh dongan terkaman, gigitan sekuat tenaga di kuduk sehingga tulang leher patah dan kemudian mengoyak ngoyak tubuhnya dengan kuku-kukunya.
"Pawang tak dapat memanggil harimau yang membunuh Pak Maribun?" tanya Mayor Polisi itu. Sang pawang menyatakan tidak sanggup, karena ilmunya seperti sudah dikatakannya hanya untuk memanggil harimau biasa yang berdosa. Telah mencuri ternak besar
atau membunuh manusia. Tidak untuk memanggil harimau aneh yang meletakkan mangsanya di depan pagar pekarangan seorang Mayor Polisi. Ini pasti bukan harimau biasa. Sang Perwira masih bertanya apakah pawang Dahlan tak mau mencoba. Dia menolak, tidak mau ambil risiko, la meninggalkan Mayor, Dahlan dengan dibekali ongkos selayaknya.
Kedua pemburu yang diundang masih tinggal. Kepada mereka
Perwira Polisi itu meminta bantuan untuk berjaga-jaga dan menembak mati si harimau pada peluang pertama. Mungkin
binatang ini memang benar punya kekuatan melebihi harimau biasa, tetapi dengan tembakan beruntun diperkirakan ia akan roboh juga.
Meskipun harimau termasuk binatang yang dilindungi karena dikhawatirkan akan punah, namun karena ia masuk kota dan bisa membahayakan masyarakat, layak ditembak mati. Pembunuhan
satwa liar dan ganas untuk kepentingan masyarakat tentu saja dibenarkan.
Kedua pemburu itu saling pandang tanpa memberi jawaban.
Melihat kedua orang itu diam saja, Perwira itu bertanya apakah mereka khawatir. Mereka berterus terang tentang kekhawatiran mereka. Setelah mendengar kisah tentang pembunuh Pak Maribun, mereka yakin, bahwa yang membunuh itu bukan harimau biasa.
Dan harimau liar tidak kan berani sejauh itu meninggalkan tempat kediama n mereka.
"Anda berdua mau menolong kami, bukan?" tanya Mayor Polisi itu.
Kedua pemburu tidak sogera menjawab. Setelah pertanyaan
diulangi barulah mereka menjawab, bahwa mereka akan waspada dan memberi bantuan sejuah mungkin.
Pawang harimau dan kedua pemburu tidak tahu, bahwa
kunjungan mereka ke Perwira Menengah Polisi itu diperhatikan oleh tak lain daripada Erwin sendiri yang dengan bantuan Datuk kemudian mengetahui di mana alamat mereka.
Mula pertama Erwin mendatangi sang pawang dan mengatakan
kepadanya bahwa sebaiknya ia tidak usah berbuat apa-apa dalam masalah pembunuhan Maribun. la dibunuh karena itulah yang terbaik bagi masyarakat Lubuklinggau. Dan harimau yang
membunuhnya sebenarnya sahabat bagi masyarakat setempat.
Bukan musuh seperti yang mungkin dikatakan oleh Pak Mayor.
Pawang yang sebenarnya cukup terkenal itu tak sempat bertanya banyak kepada Erwin karena ia segera mohon diri dan meminta kepada si pawang supaya kedatangannya yang maksudnya
menyelamatkan Pak Dahlan jangan sampai diketahui orang lain.
Yang perlu mengetahui, hanyalah Dahlan sendiri karena jiwanya lah yang terancam kalau dia sampai berbuat keliru di dalam hal ini.
Pemberitahuan ini membuat Dahlan semakin tidak berani
mencampuri urusan kema-tian Maribun.
Begitu pula halnya dengan kedua pemburu yang didatangi Datuk ketika mereka masih dalam perjalanan pulang ke rumah. Oleh Datuk yang kelihatan rada seram dengan pakaian seragamnya berwarna hitam diperingatkan untuk jangan sekali-kali mencoba petualangan terhadap siapa atau apa pun yang menyudahi hidup Maribun.
"Makhluk itu hanya membunuh orang yang jahil dan berbahaya bagi masyarakat. Maribun bukan orang baik walaupun sehari-harinya ia berdagang," kata Datuk. Setelah menceritakan kejahatan apa yang telah dilakukan oleh penyihir itu ia berkata, "Jangan Tuan-tuan halangi dia dalam menjalankan tugas kemanusiaannya." Kedua pemburu itu heran bagaimana Datuk tahu bahwa mereka pemburu dan Mayor Polisi Buang minta bantuan. Dari itu saja cukup untuk membuat mereka bergidik. Kalau mereka macam-macam bukan
tidak mungkin akan mengalami nasib seperti Maribun. Dicekik oleh makhluk yang diperkirakan harimau dengan mayat dibujurkan di depan pagar pekarangan Pak Mayor.
Meskipun sang Perwira Polisi berpesan kepada anak buahnya untuk merahasiakan peristiwa yang belum dapat dipecahkan itu dan permintaan yang sama juga disampaikan kepada para petugas rumah sakit, namun berita itu segera meluas. Baik petugas keamanan maupun rumah sakit tidak bisa tutup mulut. Semula
hanya dibisikkan kepada kawan dekat sebagai suatu berita yang menakutkan supaya berhati-hati, tetapi dalam tempo singkat sudah jadi pembicaraan hampir se Lubuklinggau.
Di antara yang sangat terkejut mendengar berita itu adalah Kapten Polisi Kahar, yang mengetahuinya langsung dari Mayor Polisi Buang.
"Mayatnya dibawa lalu diletakkan di depan pintu pagar saya, Kapten. Itu keterlaluan. Ya, boleh jadi juga ia dibunuh di situ. Tetapi tidak ada tanda terjadinya pergulatan Saya rasa dibawa ke sana.
Tentu ada maksudnya," kata Perwira Menengah itu. Tidak mendapat tanggapan dari yang di beri tahu, ia berkata, "Mengapa Anda diam saja?"
Barulah Kahar menjawab. "Saya terlalu terkejut. Hampir tidak masuk akal!"
"Bagaimana tidak masuk akal Itu sudah jadi suatu kenyataan.
Dan di lehernya terdapat bekas kuku-kuku harimau. Tidak ada gigitan sebagaimana lazimnya terkaman harimau. Apa makssudnya itu. Kap?" tanya Pak Mayor seolah-olah orang yang setingkat di bawah pangkatnya layak mengetahui nya.
"Wah, itu harus diselidiki. Pada saat ini mana saya tahu. Ataukah Pak Mayor sudah punya dugaan. Bukankah Pak Mayor yang
menemukan mayatnya dan diletakkan atau dibunuh di depan pagar Pak Mayor pula. Barangkali Pak Mayorlah yang dapat mengira-ngira mengapa sampai terjadi pembunuhan yang begitu aneh. Saya rasa Pak Mayor lebih banyak tahu?"
"Mengapa harus saya yang lebih banyak tahu?"
"Ee barangkali saja. Bukankah Pak Mayor yang kenal dekat
dengan Pak Maribun yang bernasib malang itu!" kata Kahar, la menjawab begitu, karena kata-kata sang Mayor kurang enak bagi telinganya. Jika tidak karena itu, ia juga tidak akan berkata demikian kepada atasan yang diyakininya tentu dalam kebingungan.
"Memang saya kenal baik dengan dia. Kapten. Tetapi
kematiannya itu sangat aneh. Saya teringat tentang ceritanya kemarin, bahwa ia mengetahui adanya harimau piaraan di sekitar tempat kediaman Kapten. Barangkali Kapten dapat membantu. Saya ingin supaya harimau aneh atau makhluk berbahaya itu dapat segera dibekuk!" kata sang Perwira Menengah. Kini dengan nada menurun.
"Itu sudah kewajiban kita. Saya segera melakukan penyelidikan kemudian saya menemui Bapak, oke?"
"Ya, tolonglah. Kita malu kalau tidak dapat memecahkan ini."
"Tentu Mayor, tentu. Kita harus dapat memecahkannya," kata Kapten Kahar, la teringat kepada Erwin. Apakah dia yang
melakukan" Ketika ia baru saja meletakkan telepon, pesawat itu berdering lagi dan yang memulai bicara bukan lain dari Mayor Polisi Buang juga. la bertanya, apakah ia dapat bertemu dengan laki-laki yang bernama Bujang yang menegurnya pada hari kemarinnya.
Kahar agak terkejut, tetapi dia sudah menduga juga bahwa sang Mayor tentu ingin menanyakan dirinya. Sebenarnya ia heran, mengapa tadi atasannya itu tidak menyinggung-nyinggung Erwin yang dikenal Perwira Menengah itu sebagai Bujang. Karena sudah siap untuk mendengar permintaan atau pertanyaan demikian, maka Kahar langsung saja menjawab, bahwa Bujang sedang ada di
rumahnya dan mempersilakan sang Mayor untuk datang. Buang mengatakan, bahwa dia akan datang sekitar setengah jam lagi.
Berita itu disampaikan Kahar kepada Erwin yang sedang
mengobati adiknya. Dinar sudah hampir pulih sepenuhnya, rupanya karena dukun yang menjahilmya sudah tiada.
Pada pagi itu Dinar menyatakan keinginannya untuk turut
bertualang dengan Erwin, yang dijawab dengan tawa oleh manusia harimau itu
Erwin menduga, bahwa Kahar akan bertanya kan kisah kematian Maribun kepadanya, tetapi ternyata tidak. Malah dialah yang bertanya kepada Kahar ketika kepadanya disampaikan tentang maksud kedatangan Mayor Polisi Buang, "Mau menanyakan
kematian Pak Maribun?"
"Entah, aku tidak tahu. Dia tidak mengatakan begitu. Hanya ingin bertemu dan bercakap-cakap barangkali," kata Kahar.
"Dia tidak menyebut-nyebut tentang Pak Maribun?"
"Dia menceritakannya. Dia tidak dapat mengerti dan mengatakan tidak sanggup memecahkannya," kata Kahar.
"Dan dia meminta Kapten untuk membantu dia?"
"Ya, aku bawahannya?"
"Dan Kapten tidak ingin bertanya apa-apa kepadaku?"
"Tidak," jawab Kahar.
"Dia memanggil seorang pawang harimau dan dua pemburu ke rumahnya tadi. Minta bantuan mereka agaknya!" Kapten Kahar agak terkejut dan memandang Erwin. Yang mungkin akan diselidiki sudah lebih banyak tahu dari yang akan melakukan penyelidikan.
"Saudara Erwin mau mengatakan sesuatu kepadaku?"
"Tidak. Tak ada yang mau saya katakan," jawab Erwin.
Kedua orang dari satu daerah itu bagaikan tahu bahwa lebih baik tidak usah saling tanya atau saling cerita. Suatu sopan santun yang amat halus dari dua manusia yang saling tahu dan saling
menghargai. Erwin amat senang dengan sikap Perwira Polisi itu.
Kahar menyambut kedatangan Buang dengan ramah dan merasa
kasihan melihat atasannya yang berwajah muram itu.
"Pernahkah Anda mendengar harimau berjalan dengan hanya dua kakinya, Kapten" Barangkali Anda tidak percaya," kata Buang.
"Kalau bukan Pak Mayor yang mengatakan, pasti saya tidak percaya. Tetapi apakah Pak Mayor tidak keliru lihat. Bukan . . ."
Kahar tidak meneruskan.
"Maksud Kapten" Hanya khayalan oleh dorongan rasa takut?"
"Tidak, barangkali hanya pembunuh yang cerdik dan
mempergunakan sarung kaki atau katakanlah sepatu harimau dan sarung tangan harimau pula."
"Ah, penjahat kita belum sampai menjalankan muslihat seperti itu. Semula aku ada juga memikirkan kemungkinan itu, terlalu sulit mau bikin sarung tangan dan sepatu yang mengesankan jejak harimau asli. Lagi pula, bekas kuku dan kaki buatan tidak akan mungkin seperti itu! Tubuh manusia tidak seberat badan harimau,"
kata Pak Mayor, la lalu minta dipertemukan dengan Bujang. Orang itu tak lama kemudian datang sambil mengucapkan "selamat pagi"
dengan sopan Mayor Polisi itu memandangi mukanya seperti ingin membaca sesuatu, kalau ada yang dapat dibaca. Ternyata tidak ada
"tulisan" apa-apa pada wajahnya, la biasa-biasa saja, bersikap wajar kemudian bertanya, apakah pembunuh itu sudah ditangkap.
"Pembunuh siapa?" tanya Buang mau coba memancing.
"Wah, se-Lubuklinggau telah mengetahuinya. Pembunuhan atas diri Pak Maribun yang mayatnya dijumpai di muka pintu pagar Pak Mayor."
Sang Perwira merasa sedikit malu, pancingannya ternyata tidak mengena sama sekali.
"Kemarin Anda mengatakan tentang kemungkinan pembalasan si harimau piaraan atas diri Pak Maribun yang melapor kepada saya!"
"Benar. Dugaan saya tepat kan. Pak Maribun mati dibunuh harimau. Barangkali harimau piaraan yang diceritakan almarhum,"
kata Erwin tenang-tenang.
0odwo0 DUAPULUH TUJUH MAYOR Polisi Buang tak menyangka, bahwa Erwin yang
dikenalnya sebagai Bujang, berani memberi jawaban secara itu.
Orang yang kelihatan kampungan ini tidak penyegan atau penakut
seperti halnya masih banyak orang kampung terhadap orang yang berseragam Polisi, apalagi seragam Perwira pula. Sebetulnya orang kampung juga tahu, bahwa Polisi itu tempat berlindung, bernaung dan mengadu, tetapi mereka juga banyak menemukan fakta yang bertentangan dengan apa yang mereka ketahui semula. Sehingga rasa hormat berubah jadi rasa takut atau rasa benci. Mereka "
kebanyakan" jadi lebih suka untuk tidak berurusan dengan Polisi.
Padahal yang berbuat lain dari mestinya hanya seorang dua saja.
Yang lainnya pasti dapat dikatakan baik. Atau lumayan lah!
Tapi yang sebiji ini memang benar-benar lain. Dia berterus terang saja. Mengatakan apa yang dia pikir atau dia sangka.
"Saudara percaya ada orang memelihara harimau di daerah ini?"
tanya sang Mayor kini menggunakan perkataan "Saudara".
"Saya percaya, bahwa di sini pun mungkin saja ada orang yang punya harimau piaraan. Tetapi saya tidak mengatakan, bahwa di sekitar sini ada yang punya!" jawab Erwin.
Mayor Buang tambah tahu, bahwa orang ini bukan hanya suka berterus terang tetapi juga menguasai bahasa Indonesia dengan baik. Tidak banyak orang mampu merangkai kalimat seperti itu.
Yang hampir sama bunyinya, tetapi sangat berlainan maknanya.
"Bahasa Indonesia Saudara bagus sekali," kata Mayor Buang dengan nada yang kini agak bersahabat.
"Bahasa saya itu belum bahasa yang benar-benar baik. Saya baru melatih diri untuk tidak turut turutan bahasa persatuan dan nasional kita."
Perasaan segan mulai bangkit di dalam hati Buang. Si Bujang ini orang baik dan pintar, pikirnya. Rupanya saja yang kampungan.
Mungkin karena keadaan. Tidak seharusnya ia menaruh buruk sangka atas orang yang belum dikenalnya dari dekat. Salah satu sifat buruk pada banyak Polisi kita ialah menilai orang secara lahiriah. Orang yang berpakaian mentereng, apalagi bermobil bagus selalu disegani dan dilayani lain daripada menghadapi orang yang hanya biasa-biasa saja, Padahal bukan mustahil, bahwa orang yang
kelihatan hebat dan kaya itu sebenarnya seorang pembunuh atau penipu atau pencuri. Jangan-jangan perampok uang negara dan rakyat melalui kedudukan yang diberikan kepadanya.
"Di negeri Saudara Bujang banyak harimau piaraan?" tanya Pak Mayor menaruh minat.
"Ada, tidak sangat banyak!"
"Dapat disuruh apa saja?"
"Tidak semua. Ada yang tugasnya hanya menjaga kebun dari gangguan babi hutan. Ada juga yang dapat melaksanakan semua tugas dari sang majikan."
"Apakah harimau piaraan itu sama dengan harimau liar?"
"Hampir semuanya sama."
"Mengapa hampir" Jadi tidak semua sama?"
"Memang tidak semuanya sama. Ada yang dapat menghilang karena yang memeliharanya itu orang pandai. Pemelihara dirinya itulah yang membuat dia tidak tampak oleh manusia biasa!"
"Manusia biasa" Jadi ada juga manusia yang dapat melihatnya?"
"Ada. Yaitu manusia yang punya ilmu melawan perabun!"
Mayor Polisi Buang kian tertarik. Banyak pengetahuan manusia Bujang ini mengenai harimau. Orang begini agaknya tak baik untuk dibuat jadi lawan.
"Memang tak baik mencari lawan. Saya pun takut sekali kalau sampai orang membenci saya. Karena saya hanya perantau yang tidak punya apa-apa," katanya merendahkan diri, membuat Pak Mayor jadi kian menghargai dirinya. Dia menyesal telah mencurigai orang itu.
"Sebagai penegak hukum memang layak Tuan mencurigai orang yang belum dikenal. Misalnya saya dan kawan saya yang berbaju hitam itu." Mayor Polisi itu jadi tambah malu. Apa yang dipikirnya dapat dibaca oleh laki-laki muda yang amat sederhana itu.
Memburu Manusia Harimau Seri Manusia Harimau Karya S B Chandra di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Saudara Bujang mengenal almarhum Maribun?"
"Tidak dari dekat. Tetapi ada mendengar namanya yang besar dan terkenal. Konon, almarhum pandai sihir!"
"Saudara baru beberapa hari di sini tetapi sudah mengetahui begitu banyak. Apakah Saudara dukun" Maaf, saya hanya bertanya.
Saudara tidak kecil hati atau tersinggung?"
"Tidak, sebab Tuan Mayor juga tidak mencurigai saya lagi."
Dengan muka memerah padam Mayor Polisi menyatakan
kekagumannya atas diri Bujang.
"Yang sebenarnya nama saya bukan Bujang."
"Bolehkah saya bertanya mengapa Saudara kemarin mengaku bernama Bujang dan siapakah nama Saudara yang sebenarnya?"
"Saya mengaku bernama Bujang, karena Tuan mencurigai saya dan Tuan bernama Buang. Jadi saya tambah saja dengan satu huruf, jadi Bujang. Tuan Buang mencurigai dan si Bujang juga mencurigai Tuan Buang!" kata Erwin tanpa merubah nada suara.
"Nama saya yang sebenarnya hanya Erwin. Hanya itu!"
"Saudara Erwin hebat sekali. Saya terus terang jadi malu. Apa yang Saudara katakan itu memang benar. Saya kemarin sangat mencurigai Saudara. Rupanya Saudara juga jadi sangat mencurigai saya!"
"Ya, begitulah rupanya. Mungkin ada harimau piaraan nenek keluarga Pak Kapten Kahar yang melindungi keluarga Nasution ini, adik Pak Kapten sakit karena buatan iblis yang dikirim almarhum Maribun. Mungkin harimau piaraan itulah yang melakukan
pembalasan atas diri orang yang menjahili Nona Dinar Nasution. Ini hanya suatu kemungkinan, saya tidak tahu. Saya cuma berusaha mengobati adik Pak Kapten ini. Tetapi saya bukan dukun. Cuma ada sedikit bekal dari kampung untuk pelenyap pening-kepala."
"Kata Saudara tadi, adiknya Kapten Kahar sakit karena dijahili oleh almarhum Maribun. Siapa yang mengatakan begitu?" tanya
Mayor Buang. Oleh Erwin dijawab, bahwa yang menceritakan adalah iblis yang disuruhnya itu sendiri. Kalau iblis sudah mau disuruh mengatakan yang benar, maka ia tidak akan berdusta.
Mendengar jawaban ini. Mayor Polisi Buang tidak lagi
meneruskan pertanyaan. Sudah jelas baginya, bahwa yang
mengobati Dinar tentulah bukan sekedar bawa bekal untuk
pengobat pening kepala. Sudah jelas Erwin yang dapat menyuruh iblis bicara, seorang dukun yang punya ilmu tinggi. Hanya saja ia punya sifat untuk selalu merendahkan diri. Inilah manusia yang punya isi lain dari yang dikesankan oleh pembawaan dan
penampilannya. Tidak banyak seperti Erwin. Dan tidak banyak manusia harimau. Apalagi yang sampai mengembara ke kota.
Biasanya lebih suka tinggal di kampung.
Setelah cukup lama bercerita. Pak Mayor bertanya kepada Erwin apakah ia dapat menolong untuk melihat siapakah gerangan yang punya harimau piaraan. Benarkah kakek atau salah seorang keluar ga Dinar dan harimau piaraan itu yang membunuh Maribun ataukah orang lain yang memusuhi Maribun dan membunuhnya melalui
harimau. Erwin menolak dengan halus, bahwa ia tidak berani mencampuri urusan itu, karena ia tidak punya ilmu sampai setinggi itu.
"Mungkinkah harimau itu mengambil korban lain?" tanya Mayor Buang.
Erwin tidak mampu memberi jawaban, karena ia tidak tahu
apakah ada lagi orang lain yang diincar oleh harimau piaraan itu.
Dan yang diterkam oleh harimau piaraan hanyalah orang yang memusuhi pemiliknya tanpa alasan.
Merasa kehabisan bahan untuk ditanyakan kepada Erwin, barulah Mayor Polisi itu bertanya kepada Kapten Kahar apakah adiknya sudah sembuh. Bawahannya itu mengatakan bahwa ia semula
sudah kehilangan harapan, la bersyukur kepada Tuhan dan
berterima kasih kepada Erwin, karena Dinar sudah boleh dikatakan
bebas dari cengkeraman iblis yang tadi memasuki dan menguasai dirinya untuk dibinasakan.
Karena masih menyangkut dipikirannya tentang harimau yang berjalan hanya dengan dua kaki belakang dan menyangka, bahwa Erwin mungkin dapat memberi penjelasan, maka ia menanyakan keanehan yang dialaminya pada malam kemarinnya. Diceritakannya, bagaimana ia melakukan pelacakan sejak dari rumah almarhum Maribun sampai ke suatu tempat di mana terlihat telapak kaki dua manusia dan seekor harimau berkaki empat. Kemudian yang ada hanya dua kaki manusia dan empat kaki harimau atau seekor harimau.
"Saya masih tetap heran, apakah ada harimau yang berjalan hanya atas dua kakinya," kata Mayor Buang kepada Erwin.
"Saya sendiri tak pernah melihat sirkus, tetapi saya dengar di sirkus ada gajah dan harimau yang dapat berjalan atas dua kaki.
Berkat latihan. Kalau gajah yang bertubuh begitu besar dapat berjalan atas dua kaki, ditonton pula oleh ratusan atau ribuan orang, saya rasa harimau yang dilatih juga dapat berbuat begitu.
Karena harimau piaraan yang terlatih bisa jalan atas dua kaki, mungkin harimau yang Tuan Mayor ikuti jejaknya kemarin sedang iseng berjalan hanya dua kaki. Saya rasa ada juga harimau yang suka iseng seperti manusia."
Kapten Kahar Nasution merasa senang dan geli, tak menyangka, bahwa Erwin dapat bersandiwara sebagai pemain watak, la begitu mahir menimbulkan kesan seolah-olah ia tidak tahu menahu tentang pembunuhan Maribun, tetapi punya pengetahuan sekedarnya
tentang jenis dan sifat-sifat harimau.
"Apakah kira-kira kegiatan harimau piaraan itu sampai di situ saja?" tanya Mayor Buang.
"Mungkin, kalau sudah tak ada musuhnya. Tetapi barangkali ia masih marah kepada orang yang mengatur pengepungannya
kemarin. Ini hanya pikiran saya. Barangkali juga dia sudah kembali ke hutan!"
"Apakah kalau yang punya orang di sekitar sini misalnya, ia tidak tinggal di sini?"
"Saya rasa tidak. Tempat harimau bermukim di hutan, maka di hutanlah dia tinggal. Kalau yang punya memerlukan dirinya, ia dipanggil."
Pada waktu itu Dinar yang sudah sembuh juga turut keluar
bersama Ibunya. Ikut duduk setelah memberi hormat kepada Pak Mayor.
"Sudah sembuh?" tanya Pak Mayor.
"Ya, hampir. Berkat bantuan Bang Erwin," jawab gadis cakep itu.
Muka Erwin memerah padam, la senang atas kata-kata Dinar
yang tiada berlebih-lebihan.
"Berkat ijin Tuhan Yang Maha Pengasih, saya sekedar berusaha.
Ketentuan hanya pada Allah!" kata Erwin melengkapi.
"Saudara taat beragama, ya?" puji Mayor Buang.
"Itu pun hanya sejauh kemampuan yang ada pada diri saya. Dan tentu tak luput dari berbagai macam kesalahan dan kekurangan!"
Undangan untuk makan bersama di rumah Pak Mayor ditolak
Erwin dengan halus. Kelihatan perwira Polisi itu kecewa, karena mungkin ada tujuannya dengan undangan makan itu. Barangkali hendak coba-coba menuntut ilmu dari Erwin atau tujuan lain yang tidak dapat diduga. Umpamanya mengundang juga seorang dukun yang dikenalnya sangat kawakan untuk bertemu dengan Erwin.
Barangkali, ia sebagai orang yang ingin banyak tahu, mau melihat bagaimana kalau dua dukun dipertentangkan.
Walaupun ia tidak mencurigai Erwin lagi, ia punya persangkaan, bahwa Erwin dapat bercerita lebih banyak mengenai jejak-jejak kaki manusia dan harimau aneh yang dilihatnya malam kemarin dan bersamaan dengan itu pula Maribun hilang, lalu tewas. Semua itu tetap merupakan misteri yang tidak selesai dengan pendapat serta dugaan Erwin saja. Sebagai perwira penegak keamanan dan
keadilan, seyogianya ia dapat memberi keterangan yang masuk akal kepada wartawan yang pasti akan berdatangan dari Palembang menanyakan duduk kasus yang sangat menarik itu. Oleh
kelemahannya dalam menghadapi perkara ini dan karena penolakan Erwin atas undangannya, sang Mayor jadi penasaran kembali, la permisi pulang dengan mengucapkan terima kasih kepada Erwin dan Tuan rumah.
Dalam perjalanan ke kantornya, Mayor Polisi Buang memikirkan keterangan dan jawaban Erwin yang kemudian ditafsirkannya sebagian sebagai mempermainkan dirinya, la memperbandingkan harimau yang berjalan dengan dua kaki dari rumah Maribun dengan gajah yang juga pandai berjalan atas dua kaki di sirkus. Semuanya berkat latihan, kata Erwin. Tak masuk akal, bahwa pemilik harimau itu melatih harimau piaraannya untuk jalan atas dua kaki, karena hewan itu tidak akan dipekerjakan di sirkus. Oleh pikiran itu. Mayor Polisi Buang tak jadi langsung ke kantornya, tetapi kembali ke rumah Maribun dan bertanya kepada keluarganya siapakah guru almarhum. Setelah mendapat keterangan ia langsung pergi ke alamat yang disebutkan dan di sana bertemu dengan orang yang sudah umur tujuh puluh tahun dan oleh penduduk. Memang dikenal sebagai orang yang aneh serta mempunyai banyak ilmu.
Dukun besar itu diundang Mayor Buang ke rumahnya dan orang pandai yang bernama Raden Sulaiman itu menyanggupi untuk
datang pada malam hari.
Ketika Mayor Polisi Buang menceritakan maksudnya, Raden
Sulaiman menanggapi, bahwa pembunuhan atas diri muridnya itu memang bukan pembunuhan biasa dan menurut pandangannya
juga bukan oleh makhluk biasa. Pada saat ia mengatakan, bahwa ia akan melakukan pembalasan, mendadak rumah sang Perwira yang terbuat dari batu dan bahan-bahan kelas satu bergoncang-goncang.
0odwo0 DUAPULUH DELAPAN
BIARPUN Perwira Polisi dan tidak gentar menghadapi gerombolan bandit, tetapi merasakan rumah tergoyang-goyang. Mayor Buang sangat terkejut dan tak dapat mencegah pucat, karena muka pucat bukan buatan melainkan reaksi.
"Lawan ini hebat juga Pak Mayor," kata Raden Sulaiman. "Tapi saya akan patahkan dia!"
Raden Sulaiman mengeluarkan sebuah batu kecil berwarna
merah lalu meremas remasnya. Rumah Pak Mayor tidak bergoyang-goyang lagi.
Raden Sulaiman tersenyum menang. Jelas kekuatan batu merah itu melebihi ilmu lawannya. Dan dia ketahui, bahwa lawannya akan mengeluarkan kepandaian yang lebih tinggi, kalau dia memilikinya.
Kalau tidak, orang itu akan menggelupur di rumahnya.
Erwin yang tahu bahwa dirinya akan mendapat lawan lain, telah bersiap tetapi segera pula mengetahui, bahwa yang hendak
menjatuhkannya ini lebih kuat lagi dari seorang Maribun. Sebab yang ini adalah guru dari penyihir itu. Ia mengerahkan tenaga yang lebih tinggi ketika merasa bahwa lawannya telah mematahkan ilmunya yang pertama. Digunakannya mangkuk putih berisi air untuk melihat apa yang sedang dikerjakan oleh lawannya, sehingga tampak jelas bahwa Raden Sulaiman juga sedang minta
diambilkan mangkuk berisi air.
Ketika Raden Sulaiman memasukkan batu merahnya ke dalam
air, seluruh isi mangkuk menjadi hitam pekat, la terkejut, sebab baru sekali selama prakteknya air jadi hitam. Mestinya ia melihat apa yang sedang dikerjakan lawannya di air yang putih bersih. Dan memanglah Erwin yang membuat air di mangkuk itu tidak dapat menjalankan tugas seperti biasa. Ilmu ini didapat Erwin ketika ia ke Penyabungan beberapa waktu yang lalu.
Mayor Buang yang sengaja dibolehkan melihat apa yang terjadi, memandang kepada Raden Sulaiman yang bermerah padam karena malu.
"Ada apa?" tanya Pak Mayor.
"Bangsat ini memakai ilmu jahanam," jawab Raden Sulaiman sekedar menutupi malunya. Tetapi begitu dia selesai dengan kalimatnya yang memaki Erwin, ia terbatuk-batuk sampai
mengeluarkan air mata.
Erwin memandangi kejadian di rumah Mayor Buang melalui air di mangkuknya. Datuk dan Kahar Nasution yang diperkenankan turut melihat merasa sangat takjub. Sudah seringkali mereka mendengar bahwa melalui air dukun yang pandai mampu melihat kejadian di tempat lain, tetapi baru kali itulah mereka melihat secara langsung dan begitu jelas. Tetapi apa yang mereka perkatakan, harus dibaca melalui gerak mulut di air itu saja, sebab tak dapat didengar. Dapat dikatakan, bahwa air itu berfungsi sebagai layar televisi tanpa suara.
Dalam hati Datuk sangat berharap agar Erwin mau mengajarkan kepandaian itu kepadanya kelak. Dia berjanji kepada diri untuk berbuat sebaik-baiknya, supaya dinilai layak menerima ilmu itu.
Raden Sulaiman bangkit sambil membawa mangkuk berisi air
berwarna hitam itu untuk dibuang dan digantinya sendiri dengan yang baru. la jadi tambah kaget karena ketika dicurahkan, air hitam itu berwarna biasa, la berhenti sebelum seluruh isinya dibuang. Sisa yang ada di dalam mangkuk tetap berwarna hitam, la belum pernah menemukan lawan yang punya kemampuan tersendiri ini, tetapi ia pun masih punya banyak simpanan untuk dilaga dengan apa yang dimiliki lawannya. Karena ia tak dapat melihat apa yang hendak dilihatnya, maka ia pun tidak dapat mengetahui, bagaimanakah rupa lawannya itu. Tetapi ia menduga, bahwa orangnya tentu paling sedikit setengah baya atau pun sudah tua dengan segudang garam yang sudah pernah dihabiskannya selama ia hidup.
Mayor Polisi Buang yang punya cukup banyak pengalaman
selama melaksanakan tugas kepolisian jadi kian tertarik. Kekuatan yang di masa lalu hanya dibaca dalam buku atau didengar dari cerita, sekarang diketahuinya benar-benar ada. Inilah dia barangkali yang menyebabkan ada pelarian yang tak jatuh walaupun dilanggar peluru berkali-kali. Inilah juga yang membuat ada tahanan yang bisa meloloskan diri dengan cara yang tidak masuk akal, karena
kepergiannya dari sel tahanan tidak kelihatan dan sama sekali tidak meninggalkan bekas.
Penasaran atas kegagalan melihat lawannya melalui air, karena menghitam pekat, Raden Sulaiman sekali lagi mengambil air putih dengan membaca jampi-jampi agar itu tidak dapat dirusak oleh siapa pun. Air yang pertama tadi bukan dia sendiri yang mengambil.
"Mari," kata Raden Sulaiman kepada Mayor Polisi Buang,
"mudah-mudahan permainan orang itu tidak akan terulang lagi.
Bagaimanapun ia pasti mempunyai kepandaian yang lumayan.
Apakah Pak Mayor Buang mempunyai sangkaan terhadap seseorang yang diperkirakan melawan kita. Kalau kita ketahui, siapa yang melawan kita sekarang, maka kita pun akan tahu siapa atau harimau siapa yang membunuh almarhum Maribun,"
Pak Mayor tidak langsung menjawab. Khawatir kalau-kalau
terjadi sesuatu yang tidak disangka-sangka seperti bergoyangnya rumahnya tadi. Yang itu dapat dijinakkan oleh Raden Sulaiman, tetapi air yang menghitam itu, bagaimana itu bisa terjadi"
Raden Sulaiman mulai membaca-baca lagi. Air itu tetap putih tidak berubah warna, la mengeluarkan sebilah pisau lipat kecil, mencelupkan matanya ke dalam air. Warnanya tidak berubah.
Setelah itu ia memasukkan batunya yang berwarna merah tadi. Air tidak juga berubah, la mulai yakin, bahwa lawannya tidak kuat melawan tenaga yang dimasukkan melalui pisau lipatnya tadi ke dalam air.
Raden Sulaiman membaca-baca lagi.
la berbisik dengan penekanan di sana sini "Kata jin yang kukatakan. Siapa atau apa pun engkau, engkau tak akan punya daya merendahkan martabatku. Engkau hanya hambaku. Akulah yang kau pertuan." la tunduk mengkhusukkan diri, memusatkan segala kekuatan batin menentang lawannya. Setelah merasa cukup ia mengangkatkan kepala untuk melihat keadaan lawannya. Di luar dugaan air putih itu berubah warna lagi. Sekarang merah seperti darah.
Rupanya selain daripada terkejut heran, warna merah itu juga merupakan pertanda bahwa akan ada darah yang tumpah. Darah siapa"
Pak Mayor juga terkejut, karena merasa turut punya gawe. Ilmu milik Raden Sulaiman, tetapi yang menyuruh adalah dirinya. Dan ia pun sebenarnya tidak punya niat jahat, hanya penasaran, ingin tahu, siapakah yang telah membunuh Pak Maribun. Akan
menimbulkan semacam kegelisahan, kalau hanya dikatakan, bahwa korban benar dibunuh oleh seekor harimau.
"Bagaimana Pak Sulaiman?" tanya Mayor Buang.
"Biasa saja, usaha perlawanan dari pihak yang mau ditaklukkan.
Lebih enak menghadapi lawan yang melawan daripada yang
menyerah kalah tanpa bertanding," kata Raden Sulaiman menjaga gengsi. Warna merah itu bukan hanya menandakan akan ada darah mengalir, tetapi juga membuat dia lagi-lagi tak dapat melihat siapakah sebenarnya yang jadi lawannya.
"Siapakah kira-kira lawan Pak Sulaiman, orang sini ataukah pendatang?" tanya Pak Mayor lagi.
"Kedua-duanya mungkin. Saya belum tahu." Sekali lagi ia bertanya, apakah ada yang patut dicurigai. Tetapi Pak Mayor tetap tidak mau menyebut nama. Belum tentu Datuk yang berpakaian serba hitam itu dan belum tentu pula Erwin yang punya banyak pengetahuan tentang harimau. Hebatnya kenyataan yang telah dilihatnya dengan mata sendiri membuat Mayor Buang sangat berhati-hati. Sungguh, lebih baik menghadapi sepuluh bandit atau garong yang mempergunakan senjata api atau tajam daripada lawan yang tidak diketahui siapa orangnya, tetapi mempergunakan senjata gaib yang tidak dapat dikalahkan dengan senjata api yang menjadi andalan penegak hukum. Sekurang-kurangnya belum tentu dapat dihadapi dengan senjata biasa.
Raden Sulaiman mohon diri dengan alasan, bahwa alat-alat
lengkap guna melawan musuh tidak semuanya dibawa. Dan dia berkata benar. Memang ada yang tak dapat dibawa-bawa.
Dalam perjalanan ke kantor, Mayor Buang masih dibayangi oleh apa yang dilihatnya. Air yang menghitam dan kemudian memerah, semacam asap tebal dan darah kental yang membuat Raden
Sulaiman dan dia tidak dapat melihat siapakah sebenarnya yang membunuh Maribun atau jadi dalang kematiannya.
la juga bertanya pada diri sendiri, apakah Erwin tahu bahwa ia mempergunakan dukun untuk mengetahui siapa sebenarnya yang pegang peranan dan pembunuhan amat misterius itu. Erwin itu banyak tahu, barangkali dia juga mengetahui segala apa yang dilakukannya. Hanya sampai situ yang dipikir dan ditanyanya kepada diri sendiri. Tak berani lebih dari itu, tiada tuduhan terhadap siapa pun. Dia akan jadi bahan pembicaraan atau bahkan
tertawaan, kalau sampai diketahui masyarakat bahwa seorang Mayor Polisi coba-coba mempergunakan kekuatan gaib seorang dukun dalam usaha melaksanakan tugas.
Kematian Maribun kian menyebar luas dalam cerita dan duga-duga, sehingga merupakan tantangan yang kian berat bagi penegak hukum untuk menyiasati dan memecahkannya. Ada juga di antara penduduk yang berkata, bahwa akhirnya si hebat ketemu imbang.
Yang amat menarik bagi mereka adalah cerita tentang harimau yang berjalan atas dua kaki saja. Ada juga di antara mereka yang sampai bertanya apakah ini yang namanya manusia mati lalu hidup kembali sebagai harimau, jalan sebagai manusia biasa tetapi rupanya sudah seperti harimau.
0odwo0 Erwin sudah merasa bahwa lawannya ini mempunyai kepandaian lebih daripada Maribun. Mungkin inilah gurunya. Untunglah Erwin telah mendapat tambahan bekal sejak ia kembali ke kampungnya.
Kalau tidak begitu, tentulah ia telah binasa oleh Maribun yang sangat kawakan itu.
Kepada Kahar Nasution diterangkannya, bahwa mestinya ia
sudah meninggalkan Lubuklinggau, tetapi hadangan baru ini
membuat ia harus bertahan. Mungkin juga untuk berkubur di kota itu. Kematian adalah sesuatu yang pasti bagi tiap makhluk, hanya tak dapat menentukan di mana ia akan menyelesaikan
perjalanannya di dunia.
Berkata ia kepada Kahar dan Datuk, semisal ia mati di kota ini, ia mohon mayatnya dikuburkan di pinggir kota, umpamanya di hutan tak jauh dari pinggir jalan raya. la khawatir kalau-kalau ada lanjutan kisah setelah ia mati, yang akan menyebabkan dirinya jadi pembicaraan dan ditakuti, la ingin sekali, kalau ia mati, tamatlah riwayatnya, jangan sampai membawa lanjutan yang tidak disukai masyarakat.
Mendengar itu Datuk menangis, karena ia tidak mau kehilangan Erwin. Dia memang sudah sangat sayang kepada sahabatnya itu.
Punya kelainan yang menakutkan, tetapi juga punya hati lebih mulia dari sebagian besar manusia.
"Daripada Saudara, lebih baik aku yang pergi duluan," kata Datuk. "Saudara lebih berguna bagi dunia ini daripada aku."
Mendengar itu Erwin juga jadi tambah sayang kepada sahabat seperjalanan yang tinggal seorang itu dan akan mengerahkan seluruh kemampuannya untuk menghadapi guru Maribun. la
menyadari, bahwa pertarungan dengan lawan yang sekuat itu mungkin makan tempo berhari-hari. Sukar akan menumbangkan salah satu daripada dua orang tinggi ilmu, karena kedua-duanya punya daya bela diri dan pertahanan yang sangat ampuh.
Pada malam itu Erwin mengurung diri dan mohon kepada semua orang dan harimau yang pernah jadi gurunya, begitu pula kepada leluhurnya supaya ia diberi kekuatan yang cukup tinggi untuk dapat merobohkan lawan yang sama sekali tidak dicarinya itu. la tadinya mengharapkan pertarungan di Lubuklinggau cukup sampai dengan kematian Maribun saja. Setelah menyembuhkan Dinar ia akan berangkat ke Palembang guna memenuhi janjinya kepada Nona Mei Lan yang pernah mencarinya sampai ke Mandailing dan Medan.
Erwin sangat merasa bahwa di luar keinginannya ia telah menyebar banyak penderitaan dan yang demikian lazimnya akan diimbangi
oleh balasan yang setimpal atas dirinya. Walaupun jatuh cintanya mereka atas dirinya bukan oleh suatu sebab yang tidak wajar.
Bahkan Erwin selalu mengelakkan. Dirinyalah, walaupun jelas manusia harimau, yang selalu diburu oleh wanita-wanita yang ditolongnya.
Dalam ia berkhusuk mengumpulkan seluruh kekuatan agar
pertarungan kekuatan mahagaib itu segera selesai, ia mendengar suara yang sudah sangat lama tidak didengarnya. Yaitu suara dengkur Ki Ampuh, yang telah menjadi babi karena dimakan oleh sumpahnya sendiri. Erwin terkejut heran tetapi juga girang, karena si terkutuk itu pada waktu yang belakangan telah ingin menebus dosa-dosanya bahkan pernah mendampingi dia dalam pertempuran berat.
Bukan hanya itu, Erwin juga mendengar suara Sabrina, wanita cantik yang kadang-kadang mengharimau atau dalam
penampilannya yang amat meyakinkan, mengisap darah bayi guna melepaskan dahaganya.
Kedatangan dua orang yang pernah jadi sahabat terdekat tetapi juga musuh amat berbahaya ini di luar dugaan, menimbulkan tanda tanya, tetapi bagaimanapun melegakan hati Erwin.
0odwo0 DUAPULUH SEMBILAN
BERKATA seperti bertanya pada diri sendiri dengan suara pelan Erwin menoleh ke samping dengan ucapan, apakah ia bermimpi.
"Benarkah engkau Ki Ampuh?" tanya Erwin. Terpancar sinar gembira dari matanya dalam suasana yang remang-remang itu.
"Rasanya aku seperti mimpi," katanya melanjutkan karena tiada jawaban dari makhluk yang jelas duduk di sampingnya.
"Kau senang dengan kedatanganku ini, sahabat?" tanya babi hutan besar yang memang tak lain dari Ki Ampuh.
"Apa yang membawa kau kemari?" Erwin baru setengah percaya.
Oleh lamanya tak berjumpa dan tak mendengar berita tentang diri Ki Ampuh, ia selalu menyangka, bahwa mereka tak kan pernah bertemu lagi, karena masing-masing membawa nasibnya. Teringat Erwin akan permohonan Ki Ampuh, dengan air mata dan penyesalan yang seperti keluar dari lubuk hatinya, agar ia dijadikan manusia kembali. la bertaubat, bersumpah, tak akan pernah melakukan kejahatan lagi. Apalagi pengkhianatan yang telah disadarinya sebagai kejahatan diatas dari segala macam kejahatan. Tetapi Erwin memang tidak punya kemampuan untuk mengembalikan seekor
babi kembali kepada asalnya, la tidak pernah belajar ilmu merubah hewan menjadi manusia, walaupun tadinya hewan itu memang
manusia juga. Dan dia selalu berpendapat, bahwa tak kan ada ilmu untuk itu. Entahlah kalau Tuhan menghendakinya, karena hanya DIA yang punya kekuasaan dan kemampuan yang tiada batas.
Kalau IA menghendaki gunung dapat berubah menjadi lautan dan lautan dengan mudah menjadi padang pasir. Semut menjadi seekor gajah dan gajah menjadi seekor ular cobra.
Pernah juga Erwin mendengar, bahwa seorang penyihir yang
benar-benar sudah kawakan, memang dapat merubah ujud satu makhluk menjadi makhluk lain. Tetapi ia belum pernah melihat hal itu dengan matanya sendiri. Baru dalam cerita orang-orang tua atau diceritakan dalam buku dongeng. Ilmu hitam yang mereka anut setelah tuntutan dengan segala syarat dan pengorbanan selama bertahun-tahun, membuat mereka punya kemampuan yang tak
masuk akal, tetapi konon memang benar-benar telah terbukti menjadi kenyataan. Sama halnya dengan universitas yang terdiri atas berbagai macam fakultas, maka ilmu hitam pun mempunyai banyak cabang. Mungkin almarhum Maribun yang juga penyihir mengambil fakultas pengiriman jin syaitan ke sasarannya, membuat orang jadi gila dan sebagainya, tetapi tidak mengambil pe lajaran merubah manusia jadi hewan. Kalau ia memiliki ilmu itu, agaknya Nona Dinar yang cantik telah dirubahnya menjadi seekor ular. Ilmu ini dimiliki oleh Mbah Panasaran di Banten, yang pernah
mengadakan hubungan dengan Ki Ampuh dan Erwin, sebagaimana
telah diuraikan secara terperinci pada bagian awal dari kisah Manusia Harimau. Wanita penyihir yang sudah lanjut usia itu selalu kelihatan muda dan cantik, seperti mojang geulis belasan tahun.
Untuk mempertahankan kemudaannya Mbah Panasaran selalu
memakan anak-anak muda. Diisapnya daya seks pemuda-pemuda tanpa pengalaman itu sehingga kering dalam waktu hanya dua tiga bulan yang kemudian dibunuh karena sudah tiada guna. Paling beruntung dijadikan hamba yang harus menurut perintahnya tanpa reserve. Diperintahkannya untuk membawa kawan-kawan mereka agar menemui nasib seperti mereka.
Ki Ampuh seperti membiarkan Erwin teringat masa lalu. Agak lama kemudian baru dijawabnya pertanyaan sahabat yang
kemudian jadi musuh besar tetapi pada waktu belakangan telah jadi sahabat kembali. Katanya, "Aku rindu padamu. Itulah yang membawa aku kemari!"
"Bersama Sabrina?" tanya Erwin.
"Ya, aku rindu padanya?"
"Aku tadi mendengar suaranya."
"Hanya pendengaran. Dia juga ingin bertemu denganmu. Tetapi katanya dia ada urusan lain dulu."
Erwin tidak segera menanggapi. Dia pernah suka, kemudian
bermusuh dengan wanita cantik berhati kejam itu. Tetapi kemudian ia selalu teringat kepadanya, karena bagaimanapun dia tahu bahwa Sabrina pernah sangat mencintai dirinya, dialah yang mengelak.
"Ada urusan di Lubuklinggau" Apa dia punya keluarga di sini?"
tanya Erwin. "Entah. Dia mau bertemu dengan Mayor Polisi Buang dulu," kata Ki Ampuh. Erwin seperti tersentak. Menemui Pak Mayor, ada urusan apa" Tetapi tak ditanyakannya kepada Ki Ampuh.
"Aku ingin kembali ke Jakarta, Ki Ampuh."
"Untuk apa di sana" Sudah terlalu banyak manusia. Kata orang
udara dan air pun sudah tercemar. Kota itu bukan tempat untuk kita. Juga tidak untuk banyak manusia yang semula menyangka akan menemukan syorga di sana. Bagi kita kota-kota kecil yang tentram lebih baik," ujar Ki Ampuh.
"Mungkin betul begitu," kata Erwin menghentikan usaha pengkhusukan diri dalam menghadapi lawannya. "Dari mana kau tahu aku ada di sini?"
Harian di Padang memberitakan tentang makhluk ajaib dengan perangai aneh. Mengembara dari Jawa ke Tapanuli, lalu ke Medan dan Minangkabau. Punya sifat seperti harimau, tetapi sangat baik budi. Berita lain menceritakan hilangnya dua penduduk sebuah kampung di sekitar Bukittinggi seorang di antaranya Datuk yang dituakan di kampungnya. Rentetan berita itu meyakinkan kami, Sabrina dan aku, bahwa orang yang bisa berbudi baik seperti itu hanya kau."
Erwin tidak memberi reaksi. Selama perjalanan ia tidak membaca koran, tidak tahu, bahwa kegiatannya sudah membuat wartawan bisa menarik hasil.
Ki Ampuh menceritakan lagi, bahwa setelah mendengar kejadian-kejadian di Lubuklinggau, ia dan Sabrina yakin, bahwa Erwin dan kedua pesilat dari Minang itu tentu masih ada di kota itu.
Mereka juga sudah mendengar tentang penyihir yang tewas
dibinasakan harimau secara aneh. Sabrina lantas berkata, bahwa harimau aneh yang membinasakan lawannya dengan cara yang
tidak pernah mereka dengar itu tentulah Erwin.
Bagi Sabrina yang betul-betul termasuk wanita memenuhi segala persyaratan untuk dikatakan cantik, pintu selalu terbuka. Itulah salah satu keuntungan orang cakep yang tidak dimiliki oleh wanita yang sedang-sedang saja. Walaupun sebagai imbangannya, wanita cantik lebih disukai maut daripada wanita yang biasa-biasa saja.
Tidak sukar bagi Sabrina untuk bertemu dengan Mayor Polisi Buang di kantornya. Bukan terutama karena kecantikan wajahnya, melainkan budi bahasa yang baik dan keagungan yang dipancarkan
wajah dan pembawaannya jualah yang membuat Perwira itu
menaruh simpati dan kepercayaan atas dirinya. Kepercayaan pada seseorang yang baru saja dikenal perlu digarisbawahi, karena di masa ini wajar kalau kita tidak buru-buru percaya kepada
seseorang, bahkan ada baiknya kalau diam-diam kita menaruh curiga guna membangkitkan kewaspadaan terhadap semua orang baru. Tidak jarang kita baca di koran-koran mengenai masyarakat yang tertipu oleh seorang yang mengaku Perwira Angkatan
Bersenjata yang datang lengkap dengan seragam dengan tanda pangkatnya tetapi kemudian sesudah terlambat, ternyata ia hanya seorang penipu yang licik saja. Yang menampilkan diri sebagai saudagar besar, tetapi kemudian ternyata juga seorang penipu belaka, setelah ia hilang dengan menggaet kadang-kadang ratusan juta.
Sepasang Pedang Iblis 21 Golok Sakti Karya Chin Yung Pedang Asmara 18