Pencarian

Mestika Golok Naga 4

Mestika Golok Naga Karya Kho Ping Hoo Bagian 4


"Baiklah, koko, ke manapun engkau pergi, aku ikut."
Demikianlah, sepasang kekasi h ini lalu melanjutkan
perjalanan menuju ke utara, melewati perbatasan atau
daerah tak bertuan dan memasuki wilayah Kerajaan Kin.
0o-dw-o0 Pada suatu pagi Tio ng Li dan Siang Hwi memasuki
kota Lok-yang. Kota i ni menjadi ibu kota ke dua sesudah
Kai Feng yang tetap dijadikan kota raja oleh Bangsa Kin.
Bangsa Kin memerintah dengan tangan besi sehingga
rakyat Bangsa Han merasa tertindas akan tetapi mereka
tidak berani berbuat sesuatu.
Pasukan Bangsa Kin adalah pasukan yang kuat dan
kejam, terutama sekali terhadap rakyat jelata Bangsa
Han. Betapapun juga, Kerajaan Kin membiarkan rakyat
berdagang seperti biasa sehingga keadaan kota-kota
cukup ramai dengan perdagangan. Yang memberatkan
rakyat adalah pajak yang dipungut secara liar dan
sembarangan. Para pejabatnya mempunyai wewenang
sehingga si?"" yang dapat memberi suapan besar,
merekalah yang lolos dari himpitan pajak.
Di antara para orang Han yang pandai banyak pula
yang mengabdi kepada Kerajaan Kin dan mereka yang
benar-benar setia mendapat penghargaan dan menduduki pangkat tinggi. Akan tetapi banyak pula orang
pandai yang bahkan menyembunyikan diri. tidak mau
membantu pemerintah Kin walaupun mereka juga tidak
melakukan pemberontakan biarpun diam-diam mereka
masih mengharapkan kembalinya pemerintah Kerajaan
Sung. Tiong Li dan Siang Hwi memasuki kota Lok-yang
karena mereka mendengar bahwa PangIima Besar Wu
Chu berkedudukan di Lok-yang walaupun perbentengan
besarnya berada di luar kota Lok-yang. Di sini mereka
tidak dikenal maka merka merasa aman untuk
melakukan penyelidikan. Di Kerajaan Sung, Tio ng LI
sudah merupakan buronan pemerintah yang gambarnya
terpampang di mana-mana sehingga tentu saja dia tidak
dapat melakukan perjalanan dengan aman.
Setelah mendapatkan dua kamar di Sebuah rumah
penginapan, Tiong Li mengajak kekasihnya untuk keluar
dan mereka memasuki sebuah rumah makan yang tidak
jauh letaknya dari gedung tempat tinggal Panglima Wu
Chu. Mereka tadi sudah berjalan-jalan di sekitar gedung
itu dan melihat betapa gedung itu terjaga ketat oleh para
perajurit. Sambil memesan makan, mereka menanti datangnya
masakan sambil bicara berbisik-bisik. "Mungkinkah sang
puteri berada di gedung tadi?" tanya Siang Hwi berbisik.
"Dan apa yang akan kau lakukan selanjutnya, koko?"
"Kita harus menyelidiki hal itu. Hwi-moi. Penjagaan
amat ketat, maka biarlah aku sendiri yang malam nanti
me-akukan penyelidikan ke dalam gedung tu untuk
melihat apakah sang puteri berada di dalam ataukah
tidak. Engkau menanti saja di rumah pengi napan, Hwi-
moi." Siang Hwi mengangguk, maklum bahwa ilmu
kepandaiannya masih jauh untuk dapat menyelinap
masuk kedalam gedung itu tanpa diketahui penjaga dan
kalau ia ikut, ia hanya akan mengganggu dan
merepotkan saja. Mungki n ia masih dapat menggunakan
ginkangnya untuk menyelinap masuk, akan tetapi
andaikata ketahuan, maka sukarlah baginya untuk
meloloskan diri tanpa ketahuan mengi ngat bahwa di
gedung panglima besar itu tentu terdapat banyak jagoan
yang lihai. Hidangan datang dan keduanya makan minum tanpa
bercakap-cakap. Pada saat itu masuk tiga orang
berpakaian perwira Kin dan dengan lagak sombong dan
suara keras mereka minta disediakan arak baik dan
bebek panggang.
"Cepat sediakan dan araknya yang terbaik! Panggang
bebeknya yang kering sehingga kulitnya renyah dan
sedap!" teriak mereka. Mereka berusia antara tigapuluh
sampai empatpuluh tahun.
Tiong Li melirik ke arah kiri. Di sana duduk seorang
kakek berusia enam puluhan tahun dan kakek ini duduk
seorang diri, capingnya yang lebar diletakkan di atas
meja dan rambutnya panjang digelung ke atas. Dia
melihat betapa kakek itu memandang kepada tiga orang
perwira dengan alis berkerut tanda tidak senang hatinya.
Seorang perwira yang termuda kebetulan melihat
Slang Hwi dan dia menyeringai. "Wah, ada bidadari di
sini!" katanya kepada dua orang kawannya. Mereka
semua menengok dan memandang kepada Siang Hwi.
"Hebat! Kalau engkau berhasil mengajak ia minum
bersama kita,, barulah engkau patut disebut jagoan
jantan!" kata seorang di antara mereka kepada perwira
termuda. "Hem, mengapa tidak" Kalian lihat saja!" kata perwira
itu sambil bangkit dari tempat duduknya, kemudian
dengan langkah agak terhuyung karena dia sudah
minum setengah mabok sebelum masuk rumah makan
itu, dia menghampiri meja Siang Hwi dan Tio ng Li.
."Nona yang jelita, kami mengundang nona untuk
minum-minum bersama kami sambil menikmati bebek
panggang. Harap nona tidak menolak, dan kami akan
memberi hadiah yang besar."
Siang Hwi mengerutkan alisnya dan menurutkan
hatinya, ingin ia menghajar perwira itu. Akan tetapi
pandang mata Tiong Li melarangnya dan iapun
menjawab ketus.
"Aku sudah makan dan minum," katanya sambil
menunjuk ke atas meja.
"Aih, makan sayur begini mana enaknya" Kami
mengundangmu dengan hormat, nona kami perwira-
perwira dari panglima besar. Marilah!" Perwira itu
memegang lengan kiri Siang Hwi. dan ber usaha
menariknya. De ngan gemas sekali Siang Hwi lalu
menggunakan telunjuk tangan kanannya, menggunakan
kuku telunjuk itu menggurat lengan yang memegangi nya
sambil berkata.
"Aku tidak mau. Lepaskan tanganku!"
Tiong Li bangkit berdiri dan memberi hormat kepada
perwira itu. "Ciangkun, isteriku sudah makan minum bersama aku
suaminya, dan tidak menghendaki makan minum
bersama ciangkun, harap tidak memaksa."
Perwira itu melepaskan tangan Siang Hwi dan
memandang kepada Tiong Li dengan mata melotot.
"Isterimu" Apa salahnya kalau hanya menemani kami
makan minum?"
Pada saat itu, tiba-tiba kakek di meja sebelah kiri itu
berkata. "Hemmm, agaknya Panglima Besar Wu Chu
tidak dapat mendidik para perwira pembantunya.Hendak
kulihat apa yang akan dilakukan kalau aku melaporkan
Hal ini kepadanya!"
Perwira itu terkejut dan memandang kepada kakek itu.
Dia tidak mengenal kakek itu, akan tetapi kata-kata kakek
itu agaknya membuatnya jerih. Dia menghampiri meja
kawan-kawannya,
berbisik-bisik kemudian mereka bertiga meninggalkan rumah makan tanpa menanti
pesanan mereka.
Tiong Li dan Siang Hwi mengerling ke arah kakek itu,
akan tetapi kakek itu minum arak dari cawannya dan
tidak memperdulikan mereka. Karena peristiwa itu
keduanya merasa tidak enak, takut menjadi perhatian
orang maka keduanya segera menghabiskan makanan
dan membayar lalu meninggalkan rumah makan itu.
Mereka berdua lalu mengunjungi taman rakyat yang
terkenal indah di Lok yang, akan tetapi baru saja mereka
memasuki taman itu, mereka melihat kakek yang tadi
sudah berada di depan, duduk di atas sebuah bangku!
Melihat mereka kakek itu mengangkat capingnya sambil
tersenyum. Diam-diam Tiong Li terkejut. Begitu cepatnya kakek itu
mendahului mereka ke tempat ini, sungguh mengejutkan
dan betapa cepatnya. Dia lalu mengambil Keputusan
untuk berkenalan karena dia merasa dibayangi oleh
kakek itu. Di ajaknya Siang Hwi menghampiri kakek yang
duduk di atas bangku itu. Untung di tempat itu tidak ada
orang lain sehingga dia dapat bicara dengan leluasa.
"Maafkan kami, paman. Kami ingin menghaturkan
terima kasih atas pertolongan paman di rumah makan
tadi, mengusir tiga orang perwira yang hendak kurang
ajar," kata Tio ng Li sambil mengangkat tangan memberi
hormat, di turut oleh Siang Hwi.
"Hemm, kalian bukan suami isteri, mengapa mengaku
suami isteri?" tanya kakek itu dengan suara mengejek.
Kedua orang muda itu terkejut.
"Bagaimana engkau dapat mengetahui bahwa......"
kata Siang Hwi .
"Sikap kalian menunjukkan bahwa kalian bukan atau
belum menjadi suami isteri !" kata kakek itu .
"Alasan itu hanya untuk menolak ajakan perwira tadi,
paman," kata Tiong Li cepat.
"Kalian tidak perlu berterima kasih kepadaku. Kalian
dapat menjaga diri dengan baik, tanpa bantuanku
mereka bertiga tidak akan dapat berbuat sesuatu
terhadap kailan. Akan tetapi kenapa nona begitu kejam"
Perwira itu memang kurang ajar, akan tetapi perlukah
membuat dia terluka beracun yang amat berbahaya" "
Tiong Li terkejut. Dia sendiri tidak melihat kekasi hnya
menyerang orang tadi, bagaimana dapat dikatakan
melukai beracun yang berbahaya" Dia menoleh kepada
Siang Hwi dan melihat kekasi hnya merasa terkejut dan
heran pula. "Engkau melihat apakah, paman?".
"Hemm, engkau menggurat lengannya dengan kuku
jarimu dan aku melihat guratan itu sudah menimbulkan
warna merah kebiruan yang membengkak!"
"Hwi-moi......!!" Tiong Li kini memandang kekasihnya
dengan mata terbelalak.
Siang Hwi tersenyum. "Hebat sekali ketajaman
pandanganmu, paman. Akan tetapi engkau jangan
khawatir, koko. Aku hanya menggurat kulit lengannya
dan dia hanya akan menderita sakit bengkak pada
lengannya itu tanpa membahayakan nyawanya. Apa
kaukira aku begitu mudah membunuh orang" Biarlah
sekedar memberi hajaran agar lain kali dia tidak akan
memandang rendah kaum wanita, dan diapun tidak akan
tahu bahwa aku yang membuat lengannya membengkak."
Tiong Li kini menghadapi kakek itu .dan memberi
hormat pula. "Kiranya paman seorang yang amat lihai,
harap maafkan kami yang tidak mengenal paman."
"Sudahlah, akan tetapi pesanku agar kalian berhati-
hati di sini. Banyak terdapat jagoan yang amat lihai dan
tinggi ilmu kepandaiannya. Kalau perbuatan nona tadi
diketahui oleh seorang di antara para jagoan, tentu kalian
dicurigai sebagai mata-mata Kerajaan Sung dan
keadaan bisa berbahaya.Selamat tinggal!"
Setelah berkata demikian, kakek bercaping itu lalu
bangkit dan berjalan pergi dengan cepat. Karena di
taman itu terdapat banyak orang yang mulai berdatangan, Tiong Li dan Siang Hwi tidak berani
melakukan pengejaran.
"Wah, belum apa-apa sudah bertemu dengan perwira
kurang ajar dan seorang kakek yang lihai ," kata Tiong Li.
"Mulai sekarang kita harus berhati-hati dan waspada,
jangan mencari keributan."
"Akan tetapi bagaimana kalau ada orang berbuat atau
berkata kurang ajar terhadap diriku, koko" Apakah harus
di diamkan saja?"
"Tentu saja tidak,.akan tetapi dari pada menanggapi
mereka, lebih baik kita tinggal pergi."
"Kalau mereka mengejar dan memaksa?"
"Wah, kalau begitu, aku sendiri akan turun tangan
menghajar mereka. Aku
tidak ingin siapa saja
mengganggumu, Hwi-moi !"
Mendengar jawaban ini barulah puas hati Siang Hwi.
"Aku menaati semua pesanmu, koko."
"Nah, malam ini aku jadi melakukan penyelidikan ke
rumah Panglima Besar Wu Chu dan engkau menanti aku
di kamar penginapan."
"Baik, koko."
0o0-d-w-o0o Bayangan Tio ng Li berkelebat seperti burung malam
ketika dia berlompatan di luar tembok pagar rumah
gedung Panglima Besar Wu Chu. De ngan mudah dia
dapat melompati pagar tembok yang tidak ada
penjaganya dan melompat masuk ke bagian dalam pagar


Mestika Golok Naga Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tembok itu. Setelah mendekam agak lama di taman dan
melihat keadaan sudah aman, para petugas jaga sudah
meronda lewat, dia lalu menyelinap di antara pohon-
pohon dan rumpun bunga, menuju ke bagian belakang
gedung itu. Dia pikir kalau benar sang puteri berada
disitu, tentu berada di bagian belakang gedung, di bagian
puteri. Setelah melihat sekeliling tidak nampak penjaga, dia
lalu melompat ke atas genteng. Akan tetapi baru saja dia
berjalan beberapa meter, kakinya menyangkut tali yang
agaknya banyak di pasang di situ. Segera terdengar
suara hiruk pikuk disusul suara kentungan dan terompet
dibunyika n orang..
Celaka kiranya kakinya tadi menyangkut alat yang
sengaja dipasang orang sehingga menimbulkan suara
hiruk pikuk. Kedatangannya telah ketahuan! Tentu saja
dia tidak berani mengambil resiko. Dilihatnya dari atas
genteng betapa para penjaga sudah banyak berlarian,
bahkan ada yang dengan gesitnya melompat Keatas
genteng. Di antara para penjaga itu terdapat banyak orang lihai
...... pikirnya dan diapun cepat melompat turun dan lari ke
dalam taman. Ada penjaga yang melihat bayangannya
lalu berteriak mengejar. Banyak penjaga melakukan
pengejaran. Akan tetapi dengan cepat sekail tubuh Tio ng
Li sudah melayang naik ke pagar tembok, lalu melompat
keluar dan menghilang dalam kegelapan malam. Dia
berhasil lolos, akan tetapi nyaris saja dia terkepung!
Karena tidak mungki n malam itu mengadakan,
penyelidikan, dia lalu berlari cepat menuju ke rumah
penginapan. Akan tetapi ternyata dua kamar mereka
telah kosong. Tidak nampak Siang Hwi di dalamnya dan
sebagai gantinya dia melihat sebatang pisau belati
tertancap di atas meja menusuk sehelai surat. Dengan
jantung berdebar tegang dia membaca surat itu.
"Kalau hendak bertemu dengan gadis itu, pergilah
kelereng bukit Fu-niu-san di selatan."
Tiong Li membuang pisau itu dan mengantungi
suratnya, lalu tubuhnya melesat lagi keluar dari jendela.
Jantungnya berdebar penuh kegelisahan.. Mencari puteri
Sung Hia ng Bwee yang di culik orang belum berhasil, kini
Siang Hwi telah diculik orang pula! Atau demikian
mudahkah Slang Hwi diculik orang" Dia tidak percaya.
Gadis itu memiliki kepandaian tinggi dan cukup lihai
untuk membela diri, bahkan memiliki banyak macam
pukulan beracun yang ampuh. Hanya orang yang amat
tinggi ke pandaiannya saja yang akan mampu menun
dukkan dan menculik Siang Hwi. Akan tetapi mengapa
penculik meninggalkan surat" Jelas, penculik itu sengaja
memancingnya untuk datang ke Fu-niu-san. Dia tidak
takut. Biar harus ke neraka sekalipun, untuk menolong
Siang Hwi, akan didatanginya juga!.
Fu-niu-san terletak di sebelah selatan kota Lok-yang,
maka dia lalu keluar dari kota itu melalui pintu gerbang
selatan, dan terus berlari cepat menuju ke bukit itu. Akan
tetapi malam terlalu gelap baginya. Terpaksa dia berjalan
perlahan melanjutkan tujuannya ke bukit itu.
Baru pada keesokan harinya, ketika matahari, mulai
bersinar, dia tiba di kaki bukit Fu-niu-san. Ke mana dia
harus pergi" Perbukitan itu terlalu luas dan tentu saja
mempunyai lereng yang tak terhitung banyaknya! Akan
tetapi tiba-tiba, dalam keremangan fajar itu; dia melihat
api berkelap-kelip di atas sebuah lereng di depannya. Di
seluruh tempat itu hanya ada api itu yang nampak, tidak
ada di tempat lai n lagi dan ini tentu bukan hal yang
kebetulan saja. Agaknya orang telah memberi tanda
kepadanya! Diapun tanpa ragu lagi terus mendaki lereng
di depan itu. Api itu ternyata sebuah api unggun yang sengaja
dibuat orang di depan sebuah pondok besar yang
terpencil! Dan di sekitar pondok itu berdiri belasan orang
yang semua memegang sebatang golok. Dari sinar api
unggun itu Tio ng Li melihat bahwa golok yang mereka
pegang itu merupakan sebatang golok besar yang
berukir naga. Mestika Goloki Naga! Kenapa begitu
banyak" Tiong Li teringat akan golok yang dahulu
dirampasnya dari Si Golok Naga. Mestika Golok Naga
yang dipegang oleh Hak Bu Cu itu ternyata palsu, dan
kini begitu banyak orang memegang golok yang persis
seperti Mestika Golok Naga. Tentu saja semuanya
palsu!. Dia menjadi khawatir sekali akan nasib Siang Hwi.
Maka, diapun dengan berani meloncat ke depan belasan
orang itu yang segera mengepungnya.
Pintu pondok itu terbuka dan dengan heran sekali
Tiong Li melihat seorang laki-laki tinggi besar yang
berusia kurang lebih empatpuluh tahun berdiri tegak
dengan golok semacam pula di tangan. Dan di
sebelahnya berdiri Siang Hwi! Akan tetapi gadis ini
bebas, dan bahkan tersenyum kepadanya!
"Hwi-moi......!"
"Koko, akhirnya engkau datang juga."
Siang Hwi lari menghampiri Tio ng Li dan pemuda itu
memegang kedua tangannya. "Hwi-moi, apa yang
terjadi" Kenapa engkau berada di sini?"
"Perkenalkan, koko. ini adalah Ciu-ciangkun. Dialah
yang mengajak aku ke sini karena katanya kalau aku
berada di rumah penginapan, akan berbahaya sekali.
Katanya engkau belum tentu berhasil dan diketahui
rumah pengi napan di mana-kita bermalam, kita tentu
akan dikejar dan ditangkap. Maka dia mengajakku ke sini
dan sengaja mengundangmu datang ke sini. Mereka
memperlakukan aku dengan hormat dan baik, koko. Dan
Ciu-ciangkun ini telah mengenal subo."
Ciu Bhok Hi, perwira itu,.memberi hormat kepada
Tiong Li. "Kami telah mendengar tentang.namamu,
saudara Tiong Li. Bukankah engkau yang menjadi orang
buronan Kerajaan Sung" Dan nona ini adalah murid Ban-
tok Sian-li yang kebetulan telah kukenal. Namaku. Ciu
Bhok Hi dan aku menjadi komandan dari pasukan Golok
Naga yang membantu Panglima Besar Wu Chu. Kami
semua sudah mengetahui bahwa engkau hendak
mendatangi gedung panglima besar.".
"Akan tetapi kalau sudah mengetahui, mengapa
memancing aku ke sini, dan tidak mengepung dan
menyerangku di sana saja" Apa artinya semua ini?"
"Ha-ha-ha engkau begitu tidak sabar. Marilah masuk
kedalam pondok, saudara Tan Tio ng Li. Kita bicara di
dalam!" Dengan berani Tiong Li menghampiri dan mereka
bertiga, Tiong Li Siang Hwi dan komandan itu memasuki
pondok. Sementara itu, cuaca sudah mulai terang, akan
tetapi api lampu penerangan dalam pondok masih
dinyalakan. Tiong Li dan Siang Hwi duduk di atas kursi
menghadapi meja bundar yang besar, berhadapan
dengan Ciu Bhok Hi. Setelah memandang tamunya
dengan penuh perhatian, Ciu Bhok Hi menghela napas
panjang. "Tidak kusangka bahwa orang yang menggegerkan
Kerajaan Sung masih begi ni muda. Bahkan engkau telah
dapat menandi ngi jagoan-jagoan seperti mendiang Hak
Bu Cu dan juga Tang Boa Lu, sungguh mengagumkan
sekali!" "Ciangkun terlalu memuji. Sebaiknya ciangkun cepat
menceritakan apa maksud ciangkun memancing kami
berdua datang ke tempat ini."
"Semua ini menunjukkan bahwa Panglima Besar Wu
Chu adalah seorang yang dapat menghargai dan
menghormati orang orang pandai seperti taihiap.
Panglima kami tidak menghendaki menyambut tai-hiap
sebagai musuh, melainkan ingin sekali jika taihiap sudi
membantu pemerintah Kin. Di Kerajaan Sung taihiap
sudah dimusuhi, dijadikan orang buronan, karena itu
alangkah baiknya kalau taihiap mulai sekarang hidup di
sini. Panglima Besar Wu Chu sudah menyediakan
pangkat yang tinggi untuk tai hiap dan siocia."
Tiong Li mengerutkan alisnya. Agaknya kedatangan di
Kerajaan Kin disalah tafsirkan oleh mereka, disangka dia
melarikan diri karena menjadi orang buruan pemerintah
Sung. "Hemm, aku menjadi orang buruan karena di fitnah,
disangka menculik seorang puteri Istana. Karena itu, aku
harus membuktikan bahwa bukan aku penculiknya, dan
aku mendengar bahwa sang puteri itu telah berada di
rumah gedung Panglima Wu Chu."
"Memang benar, akan tetapi Panglima Wu Chu bukan
seorang yang suka menculik wanita. Beliau menerima
puteri itu sebagai hadiah dari seseorang...."
"Aku tahu! Tentu dari Perdana Menteri Jin Kui, bukan"
Sungguh laknat Perdana Menteri itu!"
"Sudahlah,
taihiap. Tugasku hanya untuk membujukmu agar suka bekerja dengan panglima besar
kami. Bagaimana jawabanmu?"
"Kalau aku menolak?"
"Taihiap, kepandaianmu boleh jadi tinggi, akan tetapi
ketahuilah bahwa pasukan golok naga kami adalah
pasukan yang amat tangguh dan kami kira taihiap berdua
tidak akan dapat lolos dari sini dengan selamat. Akan
tetapi kami. tidak menghendaki hal ini terjadi, maka harap
taihiap suka mempertimbangkan dengan baik."
"Hemm, kalau aku menerima, apa tugasku?"
"Kerajaan Kin dan Kerajaan Sung telah bersahabat
baik. Antara raja dan Kaisar Sung telah ada kesepakatan
untuk tidak saling menyerang. Akan tetapi, masih banyak
bekas pengikut Panglima Gak Hui yang tidak mau
menerima perdamaian itu dan mereka masih suka
membuat kacau dan menyerang pasukan kami. Tugas
taihiap adalah membasmi pengacau itu yang berada di
perbatasan, demi berlangsungnya hubungan baik antara
ke dua negara."
"Hemm, bagaimana, Hwi-moi, pendapatmu?"
"Aku hanya menyerah kepadamu, koko," kata gadis itu
sejujurnya karena memang ia bingung memikirkan hal
itu. "Yang aku sama sekali tidak mengerti, bagaimana
engkau dapat mengetahu gerak-gerik kami, ciangkun?"
tanya Tiong Li kepada Ciu Bhok Hi. Orang yang ditanya
tertawa. "Ha-ha-ha, ini menunjukkan ketelitian kami, taihiap.
Semenjak taihiap memasuki wilayah kami, kami telah
menerima kabar bahwa taihiap berdua mungki n masuk
daerah kami dan kami telah menyebar mata-mata untuk
menyelidiki. Dan ketika taihiap berdua berada di rumah
penginapan, di rumah makan, peristiwa dengan para
perwira yang kurang ajar, semua peristiwa itu telah kami
ketahui belaka."
"Ahhhh!" Tiong Li terbelalak. "Mengerti aku sekarang!
Kakek yang bercaping itu!".
"Ha-ha-ha, dia hanya seorang di antara mata-mata
kami, taihiap. Nah, ketahuilah bahwa kami semua telah
siap siaga dengan baik sekali. Kalau semua kekuatan
kami ini ditambah lagi dengan kekuatan taihiap yang
lihai, pasti Panglima Besar Wu Chu akan menjadi girang
sekali dan dengan bantuan taihiap, semua perusuh di
perbatasan itu akan dapat dibasmi habis."
"Tidak, aku terpaksa tidak dapat menerima penawaran
kedudukan oleh panglima kalian. Selain aku sendiri
masih mempunyai banyak urusan pribadi, juga aku tidak
ingin terikat oleh kedudukan di manapun. Sampaikan
maafku kepada panglimamu."
"Taihiap, apa lagi yang menjadi penghalang bagi
taihiap untuk membantu Kerajaan Kin" Banyak pendekar
yang membantunya, bahkan tokoh-tokoh kang-ouw juga
membantu. Kalau ada urusan pribadi, taihiap dapat
mengandalkan kami untuk membereskannya."
"Ciu-ciangkun, Li-koko sudah jelas menyatakan tidak
setuju, apakah masih belum jelas bagimu" Ketahuilah,
sekali Li-koko mengeluarkan pernyataan tidak akan
ditarik kembali dan kami berdua tidak akan menuruti
permintaanmu!" kata Siang Hwi yang agaknya gembira
dengan penolakan Tiong L i itu.
"Bagus! Kalau begitu jangan harap dapat keluar dari
tempat ini dengan selamat! Hanya ada dua pilihan,
menjadi kawan atau menjadi lawan!" kata Ci Bhok Hi
sambil melompat keluar.
"Bagaimana, koko?"
"Kita lawan mereka dan melarikan diri!" kata Tio ng Li
dengan tenang "Siapkan pedangmu, karena mungkin
pasukan Golok Naga ini berbahaya."
Siang Hwi mencabut pedangnya dan mereka berdua
keluar pula dari pondoik itu. Dan mereka melihat bahwa
mereka telah terkepung oleh delapanbelas orang yang
semua memegang golok, dipimpin oleh Ciu Bhok Hi.
Melihat sikap dan kedudukan mereka, barisan golok
itu nampaknya memang teratur rapi sekali .
"Ciu-ciangkun, kami tidak menghendaki permusuhan.
Maka, biarkan kami pergi !" Tiong Li masih membujuk.
"Menyerah atau mati!" bentak Ciu Bhok H i dan diapun
sudah memerintahkan anak buahnya untuk menyerang.
Tiga orang menerjang maju dan menyerang dengan
golok mereka terhadap diri Tiong Li sedangkan tiga
orang lagi menyerang Siang Hwi.
Gadis itu memutar pedangnya dan menangkis tiga
batang golok itu lalu balas menyerang, akan tetapi
pedangnya bertemu dengan golok-golok lai n yang


Mestika Golok Naga Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menangkis. Tiong Li menggunakan gerakan Jauw sang-hui,
dengan cepat tubuhnya berkelebat di antara gulungan
sinar golok dan semua bacokan golok. Akan tetapi tiga
batang golok lain sudah menyusui! dan segera kedua
orang itu dikepung dan dikeroyok dengan hebatnya.
Meman hebat sekali barisan golok itu.
Akan tetapi tidak terilalu hebat bagi Tiong Li, bahkan
Siang Hwi juga dapat membela diri dengan pedangnya.
Memang rapi sekali susunan penyerangan golok itu,
akan tetapi karena kepandaian pribadi masing-masi ng
tidaklah terlalu tinggi, tenaga sinkang mereka tidak terlalu
kuat, maka mudah bagi Tiong Li untuk mulai membalas
beberapa orang sudah bergelimpangan jatuh bangun.
Setelah merobohkan delapan orang dengan tendangan dan tamparan tangannya, Tiong Li mengajak
Siang Hwi untuk melarikan diri, Dia bahkan menyambar
tangan gadis itu dan diajaknya berlari cepat menggunakan ilmu Jouw-sang-hui.Biarpun
para anggauta barisan golok itu melakukan pengejaran,
namun sebentar saja kedua orang itu lenyap di balik
pohon-pohon . Selagi Tiong Li dan Siang Hwi berlari cepat tiba-tiba
muncul seorang hweshio tua di depan mereka yang
mengangkat tangan ke atas menahan mereka. Tiong Li
dan Siang Hwi berhenti akan tetapi mereka curiga.
Jangan-jangan hwe-shio inipun kaki tangan Panglima
Besar Wu Chu, seorang mata-mata! .
"Siapakah lo-suhu dan ada keperluan apakah
menghadang perjalanan kami?" tanya Tiong Li dengan
suara tegas. "Omitohud, pinceng melihat kailan dikejar-kejar
pasukan Golok Naga, sebaiknya kalau pi nceng
membantu kalian bersembunyi, Bukankah kalian ini
warga Sung yang setia?"
"Dan lo-cianpwe, bukankah seorang mata-mata dari
Panglima Wu Chu?" tanya Siang Hwi yang juga curiga,
dan pedangnya sudah siap-untuk menyerangnya.
"Omitohud, kalau benar pi nceng mata-mata, engkau
lalu mau apa nona?"
"Engkau layak mampus!" Bentak Siang Hwi yang
segera membacokkan pedangnya. Akan tetapi dengan
lincah sekali hwe-shio tua gemuk itu mengelak. Siang
Hwi menyerang terus sampai tujuh kali beruntun, akan
tetapi semua serangannya mengenai tempat kosong dan
hwe-shio itu kini meloncat ke atas sebuah dahan pohon
yang tinggi. Tiong Li melihat gerakan ginkang yang hebat itu dan
mencegah Siang Hwi mengejar terus.
"Lo-suhu, benarkah lo-suhu mata-mata dari Wu Chu
yang ditugaskan menangkap kami?" tanyanya karena
kalau benar demikian, dia sendiri hendak melawannya.
Hwe-shio itu melayang turun. "Omitohud, ilmu pedang
yang hebat sekali. Nona, harap jangan terburu nafsu.
Aku juga seorang yang setia kepada Kerajaan Sung.
Bagaimana engkau tega menyangka pin-ceng itu
pengkhianat yang mengabdi kepada Kin " Percayalah,
pinceng bermaksud untuk menyembunyikan kalian dan
kalau keadaan sudah mereda, baru kalian boleh
melanjutkan perjalanan. Sekarang ini setelah kalian
dikejar Barisan Golok Naga, keadaan kalian berbahaya
dan kemanapun kalian pergi ke wilayah ini, tentu akan
menjadi orang buruan. Pinceng Ceng Ho Hwe-shio,
seorang murid Siauw-lim-pai, apakah kalian masih juga
tidak percaya?"
Tiong Li cepat memberi hormat. "Kalau begitu, kami
percaya dan sebelumnya kami menghaturkan terima
kasih atas kebaikan lo-suhu."
"Marilah, jangan bicara saja, ikuti pin-ceng," kata hwe-
shio Itu yang lalu mendaki sebuah lereng menuju ke kuil
yang berada di puncak bukit. Tio ng Li dan Siang Hwi
mengikutinya dan ternyata hweshio itu dapat berlari
cepat sekali sehingga Siang Hwi terpaksa harus
mengerahkan tenaga agar jangan sampai tertinggal.
Tentu saja tidak demikian dengan Tiong Li yang dapat
mengikuti hwe-shio itu tanpa, banyak mengerahkan
tenaga. Kuil itu cukup besar dan di huni oleh duapuluh orang
hwe-shio. Dan ternyata mereka ini, walaupun tidak
menentang pemerintah Kin secara terang-terangan,
semua adalah orang-orang yang masih setia kepada
Kerajaan Sung. Tiong Li dan Siang Hwi mendapatkan dua buah kamar
di sebelah dalam, dan mereka mendengar pula ketika
diluar ba nyak orang berdatangan. Rombongan itu adalah
Barisan Golok Naga yang mengejar sampai ke kuil, akan
tetapi ketika Ceng Ho Hwe-shio mengatakan bahwa dua
orang yang dicari tidak kelihatan datang ke kuil,
rombongan itu tanpa memeriksa percaya saja lalu pergi.
Hal ini menunjukkan bahwa para hwe-shio itu
dipercaya oleh pemerintah Kin. Dan memang hal ini
adalah karena Siauw-lim pai tidak pernah memberontak
atau memperlihatkan sikap melawan. Dan di antara para
pejabat Bangsa Kin yang menganut agama Buddha,
maka mereka itu menghormati para hwe-shio dari kuil
itu. Setelah percaya benar kepada Ceng Ho Hwe-shio,
Tiong Li dan Siang Hwi dengan terus terang
menceritakan pengalaman mereka dan maksud mereka
memasuki wilayah Kin.
"Lo-suhu, saya adalah orang yang difitnah oleh
Perdana Menteri Jin Kui, di tuduh menculik puteri Sung
Hiang Bwee sehingga di Kerajaan Sung saya menjadi
buruan pemerintah yang hendak menangkap saya
sebagai seorang pemberontak. Kemudian saya mendengar bahwa sebetulnya yang menculik sang puteri
adalah kaki tangan Perdana Menteri Jin Kui sendiri, dan
sang puteri diserahkan kepada Panglima Wu Chu
sebagai hadiah. Oleh karena itulah maka kami datang ke
sini untuk membuktikan apakah benar sang puteri berada
di sini dan kalau mungkin saya akan menolongnya untuk
dikembalikan ke kota raja sehingga nama saya dapat
menjadi bersih, dan ke kejaman dan pengkhianatan
Perdana Menteri Jin Kui dapat terbongkar."
"Omitohud! Perdana Menteri Jin Kuj adalah seorang
yang amat jahat dan licik. Jenderal Gak Hui yang gagah
perkasa dan setia itu sampai tewas secara sia-sia hanya
karena kelicikan Perdana Menteri Jin Kui itu. Andai kata
engkau dapat menolong sang puteri keluar dari sini dan
kembali ke kota raja Hang-couw, bagaimana engkau
dapat menuduhnya" Tidak ada bukti bahwa yang
menculik adalah orangnya. Engkau harus berhati-hati
sekali berhadapan dengan orang macam Jin Kui itu,
orang muda."
"Biarpun begitu, saya harus menolong sang puteri.
dengan kesaksian sang puteri bahwa saya bukan
penculiknya, nama saya akan dapat dibikin bersih, tidak
lagi dicap sebagai pemberontak. Akan tetapi saya tidak
tahu dengan pasti, apakah berita yang saya terima itu
benar bahwa sang puteri berada di tempat tinggal
Panglima Wu Chu?"
"Pin-ceng juga mendengar bahwa Panglima Besar Wu
Chu menerima hadiah seorang puteri kaisar. Dan dari
keluarga wanita panglima itu yang bersembahyang di
sini, pinceng mendengar bahwa sang puteri menolak
dijadikan selir panglima itu, dan karenanya sekarang
masih menjadi orang tahanan."
"Di rumah panglima itu?"
"Tentu saja, karena tahanan itu merupakan tahanan
istimewa, agaknya untuk membujuk agar sang puteri
mau menjadi selirnya."
Tiong Li mengangguk-angguk. Bagaimanapun juga,
dia harus menyelidiki sendiri ke tempat tinggal panglima
itu. "Lo-suhu, saya melihat Barisan Golok Naga itu amat
tangguh. Dan senjata golok mereka hebat sekali. Apakah
lo-suhu mengetahui asal usul barisan golok itu?"
"Barisan Golok Naga itu merupakan pasukan khusus
yang dibentuk oleh Panglima Besar Wu Chu, dan
memang terdiri dari orang-orang yang lihai. Dibentuknya
juga belum begitu lama, mungki n mendapat latihan
khusus di benteng panglima itu. Engkau harus berhati-
hati menghadapi mereka, orang-muda. Mereka itu selain
lihai, juga kabarnya kejam dan dengan mudah
membunuh orang yang dimusuhi."
Kini Tiong Li merasa yakin. Agaknya Mestika Golok
Naga ada pula pada panglima besar Bangsa Kin itu.Ini
berarti bahwa pencuri Mestika Golok Naga, yaitu Hak Bu
Cu yang tewas ditangan
Ban-tok Sian-li
telah menyerahkan pusaka itu kepada panglima besar itu. Dia
percaya bahwa Hak Bu Chu, seperti juga Tang Boa Lu,
adalah kaki tangan Kin yang sengaja dikirim untuk
membantu usaha Perdana Menteri Jin Kui untuk
menghadapi golongan yang membenci pemerintah Kin.
Orang-orang seperti Hak Bu Cu dan Tang Boa Lu itu
cukup lihai untuk melakukan penculika n itu, di samping
beberapa orang jagoan yang menjadi kaki tangan
perdana menteri itu. Menurut dugaannya, baik Mestika
Golok Naga maupun puteri Sung Hiang Bwee berada di
rumah Panglima Besar Wu Chu ! .
Sehari itu Tiong Li memeras otaknya untuk mencari
jalan bagaimana dia akan dapat merampas kembali
Mestika Golok Naga dan sekaligus membebaskan sang
puteri. Dia harus menggunakan akal. Kalau hanya
mempergunakan kepandaian silatnya saja, mungkin dia
akan dapat keluar masuk dari tempat itu mengandalkan
kepandaian, akan tetapi untuk membawa keluar sang
puteri" Sungguh merupakan pekerjaan yang amat sukar,
bahkan tidak mungki n dilaksanakan! .
"Lo-suhu," dia ninta keterangan kepada Ce ng Ho
Hweshio. "Apakah lo-suhu mengetahui, siapa yang
menjadi orang kesayangan Panglima Besar Wu Chu."
Barangkali seorang di antara puteranya, atau selirnya?"
"Dia hanya mempunyai seorang putera biarpun ada
beberapa orang puterinya, karena itu dia amat
menyayang puteranya itu lebih dari segalanya."
"Berapa usia puteranya itu?"
"Masih kecil, paling banyak lima tahun usianya.
Kenapa engkau menanyakan hal itu?"
"Tidak apa-apa, lo-suhu. Saya hanya sedang berpikir
dan mencari akal bagaimana saya dapat membebaskan
sang puteri dan sekaligus mencari kembali pusaka
Kerajaan Sung yang dicuri orang."
Tiong Li kini mendapat akal. Dia harus menggunakan
akal itu, kalau dia ingin berhasil. Malam itu dia menemui
Siang Hwi di kuil itu, dan mengajaknya bercakap-cakap.
"Hwi-moi, aku Sudah mendapatkan, akal. Kuharap
saja akal ini berhasil baik, karena kalau tidak, akan sia-
sia perjalanan kita, bahkan mungkin berbalik akan
membahayakan kita."
"Bagaimana akalmu itu, koko?"
Dengan berbisik-bisik Tiong LI berkata kepadanya.
"Kita sekarang, malam ini juga, pergi ke gedung
Pangiima Besar Wu Chu. Engkau tidak perlu ikut masuk,
melainkan menanti di luar sambil bersembunyi. Aku akan
memaksa panglima itu untuk menyerahkan pusaka itu
dan membebaska n sang puteri. Setelah berhasil, engkau
membawa sang puteri ke sini dan menyembunyikan di
sini." "Bagaimana engkau akan dapat memaksanya, koko?"
tanya Siang Hwi khawatir.
"Jangan khawatir, aku telah mengetahui kelemahannya. Aku tentu akan dapat memaksanya
melakukan itu. Tugasmu hanya mengantar sang puteri
ketempat ini dan bersembunyi di sini menanti sampai aku
datang." "Baik, koko. Akan tetapi berhati hatilah. Ciu Bhok Hi itu
dengan Pasukan Golok Naganya amat berbahaya."
"Aku tahu dan aku akan selalu berhati-hati. Kita harus
mengenakan pakaian serba hitam, Hwi-moi dan
setelah berganti pakaian, kita berangkat."
Demikianlah, diantar oleh Ceng Ho Hwe-shio sampai
keluar dari kuil, dua orang muda itu meninggalkan kuil
melalui tembok belakang kuil agar tidak kelihatan oleh
orang lain. Kemudian, keduanya mempergunakan ilmu
lari cepat menuruni lereng bukit itu dan menuju ke Lok-


Mestika Golok Naga Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang. dengan mudah mereka melompati pagar tembok
tinggi yang mengelilingi kota Lok-yang, kemudian
memasuki kota itu, menyelinap di antara rumah-rumah
penduduk. Karena gerakan mereka memang ringan dan
cepat, maka mereka hanya nampak seperti dua
bayangan hitam saja.
Akhirnya mereka dapat mendekati rumah gedung
Panglima Besar Wu Chu. "Engkau menanti di sini. Baru
keluar dari sini kalau engkau melihat aku keluar dari pintu
gerbang itu membawa sang puteri. Sebelum aku muncul,
jangan sekali-kali memperlihatkan diri, Hwi-moi."
"Baik, koko."
"Nah, aku pergi, Hwi-moi!"
"Nanti dulu, koko."
Tiong LI menahan langkahnya dan membalik. "Ada
apa lagi, Hwi-moi?"
Gadis itu menghampiri dan merangkul leher Tiong Li.
"Engkau...... yang hati-hati menjaga dirimu, koko."
Tiong Li menunduk dan mencium dahi gadis itu. "Aku
tahu, aku masih belum ingin berpisa h darimu, Hwi-moi.
Rngkau juga berhati-hatilah. Menyingkirlah kalau ada
orang mendekat tempat ini ."
Kemudian Tio ng Li berkelebat dan lenyap ditelan
kegelapan malam.
Untung bagi mereka. Malam itu gelap sekali karena
udara mendung dan angin bertiup mendatangkan hawa
dingin. Karena udara buruk, maka jarang ada orang
keluar dari rumahnya dan suasana di sekeliling tempat itu
sunyi sekali. Akan tetapi penjagaan di rumah gedung
Panglima Besar Wu Chu tetap ketat. Di depan pintu
gerbang berkumpul belasan orang perajurit yang berjaga.
Dan Tio ng Li sudah tahu bahwa di atas ge nteng terdapat
alat-alat rahasia yang dapat memberi tahu kalau ada
orang datang melalui atap.
Dia sudah melompati pagar tembok dan tiba di taman.
Agaknya taman ini yang paling aman karena banyak
pohon-pohon. Dia mengintai dari balik rumpun bunga
yang tebal dan melihat dua orang peronda membawa
lampu teng berjalan datang sambil bercakap-cakap.
Tiong Li berpikir sejenak dan mengambil keputusan yang
amat berani. Dia menanti sampai dua orang itu datang
dekat. lalu tiba-tiba dia meloncat dan sekali kedua
tangannya bergerak, dua orang itu sudah menjadi
lumpuh tertotok dan lampu teng sudah berpindah ke
tangannya! . Dia memandangi kedua orang itu dengan lampu teng
menyinari wajah mereka. Orang yang tinggi besar Itu
memandang dengan wajah ketakutan sedangkan yang
kurus bahkan mendelik dengan marah. Dia lalu menotok
lagi yang kurus sehingga roboh pi ngsan, mengikat kaki
tangannya dengan sabuk orang itu sendiri, juga mulutnya
ditutup kain, lalu menyeretnya ke balik semak belukar.
Sedangkan yang tinggi besar itu dia to-tok urat gagunya
sehingga tidak dapat bicara. dan dalam keadaan masih
tertotok lemas itu, diancamnya orang itu sambil
menodongkan golok di batang lehernya.
"Engkau ingin hidup?" gertaknya.
Orang tinggi besar itu mengangguk-angguk lemah.
Hanya kaki tangannya saja yang tidak mampu
digerakkan. "Engkau tidak ingi n mampus?" kembali dia bertanya.
Orang itu menggeleng-gelengkan kepala dengan mata
terbelalak penuh ketakutan.
"Baik, kalau begitu, aku minta engkau mengantarkan
aku ketempat di mana Panglima Wu Chu berada.
Sanggup?" Orang itu memandang liar ke kanan kiri, nampak
ketakutan dan agaknya sulit untuk mengambil keputusan.
"Hayo jawab, atau engkau ingin aku menyembelihmu
sekarang juga!" Goloknya ditempelkan ke kulit leher.
Orang itu cepat mengangguk-angguk, menyatakan
sanggup. Tiong Li lalu melucuti pakaian si kurus dan dipakainya
pakaian itu. Dia menyamar sebagai seorang petugas
ronda. Kemudian, dengan golok telanjang di tangan, dia
membebaskan si tinggi besar yang ketakutan, akan tetapi
orang tinggi besar itu biarpun sudah dapat menggerakkan kaki tangan, tetap saja dia tidak dapat
mengeluarkan suara :
"Nah, sekarang bawa aku ke sana. Awas, sekali saja
engkau melakukan gerakan yang tidak kukehendaki,
golok ini akan memenggal lehermu!"
Kembali dia menempelkan golok di leher orang itu
yang nampak menggigil saking takutnya. Tio ng Li merasa
senang. Pilihannya tepat. Orang tinggi besar ini berhati
kecil dan penakut sehingga dapat di harapkan akan
menaati semua perintah nya.
"Bawa lampu teng ini dan berjalanlah di depan,"
bisiknya. "Bersikap biasa saja kalau bertemu penjaga lain
se olah tidak terjadi sesuatu. Dan cepat bawa aku ke
tempat di mana Wu Chu berada!" Dari belakang dia
menodongkan goloknya ke punggung orang itu dan
bergeraklah mereka meninggalkan taman.
Orang itu benar-benar ketakutan, mereka memasuki
gedung itu dari pintu belakang dan empat orang penjaga
yang melihat dua orang peronda ini tidak menaruh
perhatian. Apa lagi wajah Tio ng Li terhalang bayangan si
tinggi besar yang membawa lampu di depannya,
sehingga wajah Tio ng Li terlip uti kegelapan.
Setelah melalui jalan berlika liku, dari jauh orang itu
menunjuk ke sebuah ruangan. Tio ng Li melihat seorang
laki-laki berusia limapuluhan tahun, tinggi besar dan
mukanya brewok, seda ng bermain-main dengan seorang
anak laki - laki.
"Itukah Wu Chu?" bisik Tiong Li dan 'tawanannya
mengangguk. "Antarkan aku ke kamar puteranya !" kata pula Tio ng
Li. Orang Itu menunjuk ke depan, ke arah-anak yang
sedang bermai n-mai n dengan orang tinggi besar itu.
"Kaumaksudkan anak itu puteranya?"
Orang itu mengangguk. "Engkau tindak berbohong?"
tanya Tio ng Li yang merasa gembira.bukan main.
Sungguh baik sekali peruntungannya, sekaligus dapat
menemukan Panglima Besar Wu Chu dan puteranya.
Sebetulnya dia ingin menculik putera itu yang masih kecil
dan yang di sayang untuk ditukar de ngan sang puteri dan
Mestika Golok Naga. Akan tetapi sekarang keduanya
berada di situ. Sungguh kebetulan yang menguntungkan
sekali. Orang itu menggeleng kepalanya. "Awas. engkau
kutinggal dulu di sini dalam keadaa n tertotok, kalau
engkau berbohong, aku akan kembali di sini untuk
memenggal lehermu. Benar engkau tidak membohong?"
Orang itu kembali menggeleng kepala keras-keras dan
Tiong Li segera merampas lampu teng sambil menotok
orang itu sehingga roboh pi ngsan tanpa mengeluarkan
suara karena dia sudah menahan tubuhnya.
Kemudian, sambil
membawa lampu teng dia
menghampiri ruangan yang terbuka itu. Orang tinggi
besar yang sedang main-mai n dengan anak itu. ketika
melihat seorang peronda menghampiri, segera memondong anak itu dan menghardik, "Mau apa engkau
ke sini!" "Maafkan saja, ciangkun. Ada seorang yang menanyakan di mana
adanya Panglima Besar
Wu Chu." "Siapa orang yang bertanya tentang aku itu?"
bentak sang panglima marah karena dia merasa
terganggu dengan kemunculan peronda itu.
"Aku yang menanyakannya!" kata Tiong Ll dan tiba-tiba dia
meloncat ke depan, tangan kirinya menyambar tahu-tahu
anak itu telah berada dalam cengkeraman tangan kirinya.
"Keparat! Kembalikan anakku!" teriak Wu Chu sambil
menubruk untuk merampas anaknya. Akan tetapi,
biarpun dia seorang panglima besar dan ahli dalam
urusan peperangan, namun dalam hal ilmu silat, dia
masih jauh kalau dibandingkan Tiong LI. Sambarannya
luput dan sebaliknya, tiba-tiba golok di tangan Tiong Li
sudah menodong dadanya.
"Sedikit saja bergerak, golok ini akan menembus
jantungmu, ciangkun!" bentak Tio ng Li sementara itu
anak kecil yang berada dalam po ndongan tangan kiri nya
sudah menjerit-jerit menangis.
PangTima Besar Wu Chu tidak berani bergerak lagi
akan tetapi dia sempat berteriak memanggil pengawal.
Tak lama kemudian sedikitnya tigapuluh orang pengawal
memenuhi tempat itu, akan tetapi mereka tidak berani
bergerak ketika melihat panglima mereka di todong dan
putera panglima mereka dipondong seorang pemuda
yang berpakaian peronda. Di antara para pengawal itu
terdapat lima orang anggauta Golok Naga, dan mereka
segera mengenal pemuda itu yang mereka sudah
rasakan kelihaiannya ketika mengepung dan mengeroyoknya. "Semua mundur! Siapa berani bergerak berarti
matinya panglima dan puteranya!" bentak Tiong Li dan
para pengepung itu dengan sendirinya melangkah
mundur. Ada pula yang berlari keluar memanggil bala
bantuan sehingga sebentar saja tempat itu penuh
dengan pasukan.
"Orang muda, apa sebenaknya yang kaukehendaki?"
Panglima Wu Chu yang masih tenang itu bertanya.. Dia
adalah seorang panglima besar, tidak mudah panik
walaupun ditawannya puteranya membuat dia khawatir
sekali. "Tidak banyak," kata Tiong LI, "Nyawamu dan nyawa
anakmu ini hendak kutukar dengan kebebasan puteri
Sung Hia ng Bwee dan Mestika Golok Naga!"
"Akan tetapi ....... "
"Jangan banyak cakap lagi. Kalau tidak setuju, aku
akan membunuh puteramu dulu baru engkau!"
Para pasukan itu hendak menerjang maju, akan tetapi
Panglima Wu Chu membentak mereka agar tidak
bergerak. "Kalian jangan bergerak! Perwira Tong, cepat
ambilkan sebuah golok naga!"
Yang disebut perwira Tong itu seorang yang pendek
gendut segera maju dan menyerahkan sebatang golok
yang berukir naga kepada Tio ng Li.
"Apakah ini Mestika Golok Naga7" tanyanya kepada
Wu Chu. "Benar!"
Tiong Li mengambil golok itu, menekuk dengan kedua
tangan sambil memodong anak itu dan golok itu patah
menjadi dua potong!
"Kau bohong!" dia menghardik dan menodongkan
senjatanya sehingga sedikit melukai kulit dada panglima
itu. "Serahkan yang aselinya atau anakmu akan
kusembelih!" Kini dia menempelkan goloknya ke leher
anak itu yang menjerit-jerit ketakutan.
Panglima Wu Chu memandang dengan khawatir
sekali. "Cepat ambilkan Mestika Golok Naga di kamarku,
tergantung di dinding!" perintahnya dan perwira Tong itu
segera berlari pergi. Tak lama kemudian dia telah
kembali membawa sebatang golok dalam sarung.
"Cabut golok itu dan serahkan kepadaku!" bentak
Tiong Li. Perwira itu memandang atasannya dan Panglima Wu
Chu mengangguk-anggukkan
kepalanya.Tio ng
Li menerima golok itu dan baru memegangnya saja dia
sudah yaki n bahwa inilah golok aselinya. Dia

Mestika Golok Naga Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengadukan golok yang dipegangnya dengan golok itu
dan goloknya patah menjadi dua dengan mudah! Kini dia
memegang Mestika Golok Naga itu dan mengikatkan
sarungnya di pi nggang. Karena anak itu masih
dipondongnya, Panglima Wu Chu tidak berani bergerak.
"Sekarang bawa keluar sang puteri. Cepat!"
"Bawa ia keluar!" kata Panglima Wu Chu.
Kembali perwira Tong yang berlari lari dan tidak terlalu
lama kemudian dia sudah datang lagi mengikuti seorang
wanita yang bukan lai n adalah Sung Hiang Bwee. Puteri
itu masih menjadi orang tahanan karena ia selalu
menolak keinginan Wu Chu dan begitu melihat Tio ng Li,
sang puteri menangis menghampiri.
"Akhirnya engkau datang juga menolongku.....!" Sang
puteri saki ng girangnya hendak merangkul Tio ng Li akan
tetap! pemuda itu berkata.
"Nona, bersiaplah untuk keluar dari tempat ini. Harap
engkau berjalan di belakangku," kata Tiong Li dengan
singkat. Melihat kesungguhan sikap pemuda ini yang
menodong Panglima Wu Chu dengan goloknya, puteri
itupun maklum akan gawatnya keadaan.
"Baik, taihiap. Sungguh aku girang sekali melihat
engkau," katanya lalu iapun berdiri di belakang pemuda
itu. Tiba-tiba dua orang pengawal dengan nekat menubruk
dan menyerang Tio ng Li. Tiong Li menggerakkan
goloknya dan nampak sinar terang berkelebat di susul
robohnya kedua orang itu, mandi darah.
"Sekali lagi ada yang bergerak, yang akan kubunuh
adalah panglima dan puteranya!" bentak Tiong Li dengan
hati khawatir juga karena kalau sekian banyaknya
pasukan mengeroyoknya, biarpun dia akan dapat
membunuh panglima itu, dia tentu tidak tega membunuh
puteranya dan dia tidak akan mampu melindungi sang
puteri! "Tolol ! Jangan ada yang menyerang!" teriak sang
panglima yang tentu saja mengkhawatirkan dirinya
sendiri dan puteranya.
"Ciangkun, sekarang engkau berjalan di depanku dan
mengantarku keluar dari rumah ini. Hayo cepat dan
jangan ada yang mendekat!"
Panglima itu terpaksa menurut dan semua pengawal
hanya dapat mengikuti saja tidak berani terlalu
mendekat. Tiong Li sambil memondong anak yang kini sudah
agak mereda tangisnya, menodongkan goloknya ke
punggung sang panglima dan Sung Hiang Bwee
melangkah di belakangnya.
Setelah tiba. di luar pi ntu gerbang Sehingga tentu
akan kelihatan oleh Siang Hwi, Tio ng Li berteriak, "Hwi-
moi, cepat kau ke sini!"
Gadis itu meloncat dekat dan semua pasukan tidak
sempat menghadangnya. "Bawa sang puteri pergi dari
sini. Awas, kalau ada yang menghalangi atau mengejar,
aku akan membunuh panglima dan puteranya!" Tiong Li
berseru dengan suara berwibawa.
"Mari, sang puteri!" kata Siang Hwi sambil menggandeng tangan Sung Hia ng Bwee, diajak pergi
dari situ dengan cepat. Tidak ada seorangpun berani
menghalangi dan tidak ada pula yang berani melakukan
pengejaran. Sebentar saja bayangan kedua orang gadis
itu lenyap ditelan kegelapan malam. Siang Hwi
membawa puteri itu keluar dari kota melalui pagar
tembok yang dilompatinya sambil menggendong puteri
itu. dani ia segera mengajak puteri itu berlari menuju ke
perbukitan Fu-niu-san.
Sementara itu, Tiong Li yang masih memondong anak
itu, minta diantar keluar dari pi ntu gerbang timur untul
mengalihkan perhatian. Sedikitnya seratus orang perajurit tetap saja mengikutinya dari jarak yang tidak
terlaui dekat dan panglima itu masih terus di todong di
depannya. Setelah agak jauh dari pintu gerbang, barulah
Tiong Li menurunkan anak itu dari pondongannya dan
anak itu segera dipondong ayahnya!.
"Ciangkun, maafkan aku. Terpaksa aku mengambil
cara ini untuk membebaskan sang puteri dan untuk
mengambil kembali Mestika Golok Naga. Engkau tidak
berhak atas keduanya. Kalau aku menjadi engkau, aku
tidak akan mengerahkan orang mencariku. Selain
percuma, juga kalau aku menjadi marah mungkin
peristiwa seperti ini akan terulang lagi. Aka n tetapi belum
tentu aku akan membebaska nmu! Nah, selamat tinggal!"
Tiba-tiba Tiong Li meloncat dan berkelebat menghilang di
dalam kegelap an malam.
"Kejar dan Tangkap dia!" Kini panglima itu berteriak-
teriak dan dia sendiri mendekap dan menciumi puteranya
dengan hati lega karena putera yang disayangnya itu
selamat. Saking marahnya hati Panglima Wu Chu, dia
memerintahkan pada malam hari itu juga untuk
membunuh So uw Cun Ki, pemuda Kun-lun-pai yang dulu
pernah hendak menolong sang puteri. Tanpa banyak
alasan lagi malam hari itu juga Souw Cun Ki dibunuh
oleh para pengawal di dalam kamar tahanannya!
-o0o-d.w-o0o- Siang Hwi mengajak Hiang Bwee ke puncak bukit di
mana kuil Siauw-lim-si itu berada dan cepat mereka
diterima oleh Ceng Ho Hwe-shio dan diajak ke sebelah
dalam. "Enci, siapakah engkau?" tanya puteri itu kepada
Siang Hwi. "Saya bernama The Siang Hwi, nona," jawab Siang
Hwi dengan hormat. "Dan ini adalah Ceng Ho Hwe-shio,
ketua kuil i ni yang melindungi dan menyembunyikan kita.
Di sini, engkau tidak usah khawatir karena tidak ada yang
akan berani mencari ke dalam."
"Aku tidak khawatir selama Tan-taihiap berada
bersamaku," jawab puteri Itu. "Bukan main gagah dan
lihainya Tan-taihiap. Berani menawan Panglima, Wu Chu
dan memaksanya membebaskan aku Akan tetapi,
bagaimana dia akan dapat membebaska n diri dari
kepungan pasukan sebanyak itu?"
"Harap jangan khawatir, aku yaki n, bahwa Li-koko
akan mampu membebaskan diri."
"Hemm, apa hubunganmu dengan Tan-taihiap, enci?"
Wajah Siang Hwi berubah kemerahan ditanya seperti
itu. "Kami... kami adalah sahabat baik yang bekerja sama
untuk membebaska nmu dari tempat tinggal Panglima Wu
Chu. Sudahlah, nona. Engkau telah melakukan
perjalanan melelahkan dan mengalami banyak hal yang
menggelisahkan, harap beristirahat dan tidur."
"Bagaimana aku dapat tidur sebelum Tan-taihiap
datang" Aku harus melihat dia selamat dulu dan tiba di
sini," kata puteri itu dan Siang Hwi merasa hatinya tidak
enak sekali. Dari sikapnya, jelas baginya bahwa sang
puteri ini rupanya amat tertarik dan memperhatikan Tio ng
Li. Dan ia sudah mendengar dari Tiong Li betapa
pemuda itu pernah membebaska n puteri ini dari tangan
seorang penculik dahulu. Mereka sudah saling mengenal. Baru menjelang pagi Tiong LI yang melarikan diri dari
pintu gerbang timur itu tiba di situ. Bayangannya
berkelebat dan tahu-tahu dia sudah berada di depan dua
orang gadis itu.
"Tan-taihiap.....!" Sang puteri berseru gembira, bangkit
berdiri dan menyongsong pemuda itu, lalu tanpa ragu
dan sungkan lagi ia memegang kedua tangan Tio ng Li.
"Engkau membuatku tidak dapat tidur, khawatir kalau
engkau tidak dapat lolos dari kepungan mereka!
Bagaimana, taihiap" Apakah engkau sudah membunuh
jahanam Wu Chu itu?"
"Tidak, nona. Aku sudah berjanji menukarkan
nyawanya dan nyawa puteranya dengan dirimu dan
Mestika Golok Naga!"
"Ah, sayang. Orang macam itu sebaiknya dibunuh
saja!" kata sang puteri dengan kecewa. "Dan kapan
engkau akan mengantar aku pulang ke istana" Sekali ini
ayah tentu akan girang sekali dan engkau tidak boleh lagi
menolak anugerah pemberian ayahanda Kaisar'"
"Kita tidak boleh tergesa meninggalkan tempat ini,
nona. Panglima Wu Chu tentu sedang mengerahkan
pasukannya untuk melakukan pengejaran sampai di
perbatasan. Bahkan mungkin dia sudah menghubungi
Perdana Menteri Jin Kui untuk membantunya melakukan
penangkapan terhadap diriku kalau aku berhasil melewati
perbatasan. Sebaiknya untuk selama beberapa hari ini
kita tinggal dulu di sini."
"Omitohud! Selamat, selamat, Tan-sicu. Engkau telah
berhasil! Benar sekali, tuan puteri. Sebaiknya cu-wl
tinggal di sini dulu sampai pengejaran itu mereda. Pin-
ceng akan menyuruh para murid menyelidiki. Kalau
sudah mereda, barulah kalian pergi meninggalkan kuil
dan kembali ke selatan," kata Ceng Ho Hweshio yang
muncul dan tersenyum lebar kepada Tio ng Li.
Tiong Li memberi hormat kepada hwe-shio tua Itu.
"Kalau tidak ada pertolongan dari lo-suhu, semua usaha
kami akan sia-sia belaka. Juga jasa Hwi-moi tidak boleh
dilupakan, ia yang telah mengawal sang puteri sampai
kesini tanpa diketahui orang. Engkau memang hebat,
Hwi-moi!" Slang Hwi tersenyum dengan hati senang, la tahu
bahwa kekasihnya iti
sengaja memujinya
untuk menyenangkan hatinya. "Ahh, aku hanya membantumu,
koko. Tidak usah terlalu memujiku! Engkaulah yang
hebat. Tak kusangka engkau akan dapat menawan
mereka semudah itu. Dan engkau telah berganti pakaian
seorang di antara penjaga. Lucu sekali. Ceritakan, koko,
bagaimana engkau melakukannya?"
Sang puteri mengerutkan alisnya. Dilihatnya betapa
akrab kedua orang muda itu dan dari pandang mata
mereka saja ia sudah dapat tahu bahwa ada apa-apa di
antara mereka! "Ya, ceritakanlah, Tan-taihiap. Akupun ingin mendengarnya, " akhirnya ia berkata agar jangan merasa
terlalu tersisih.
Tiong Li lalu menceritakan pengalamannya ketika
menyandera Wu Chu dan puteranya sambil menyamar
sebagai seorang peronda. Semua yang mendengarnya
memuji, bahkan Ce ng Ho Hwe-shio menarik napas
panjang sambil berkata. "Omitohud, engkau memang
luar biasa sekali, Tantaihiap! Biarpun aku belum
melihatnya sendiri, aku yaki n bahwa engkau memiliki
ilmu kepandaian yang amat tinggi. Kalau boleh pin-ceng
mengetahui, siapakah gurumu, sicu?"
Terhadap hwe-shio yang sudah menolongnya itu,
Tiong Li tidak ingin menyembunyika n keadaa n dirinya.
"Saya mempunyai tiga orang guru, lo-suhu. Guru saya
yang pertama adalah mendiang Pek Hong San-jin, yang
kedua adalah suhu Thian Kui Lo-jin dan ke tiga Tee Kui
Lo-jin." Ceng Ho Hwe-shio terbelalak. "Omitohud....! Pin-ceng
mengenal siapa mereka! Kiranya sicu murid orang-orang
sakti itu. Pantas saja kalau begitu dan pinceng merasa
girang sekait dapat membantu murid mereka."
Demikianlah, setelah tinggal disitu selama sepekan
dan dari para hwe-shio yang melakukan penyelidikan di
peroleh keterangan bahwa kini tidak ada lagi pasukan
yang mencari-cari mereka, Tiong Li lalu mengajak Siang
Hwi dan puteri itu untuk meninggalkan kuil.
Mereka membeli tiga ekor kuda atas bantuan para
hwe-shio dan mereka meninggalkan kuil itu dengan
menunggang kuda. Untung bahwa puteri Hiang Bwee
biarpun tidak pandai silat akan tetapi mempunyai
kegemaran ikut ayahanda kaisar pergi berburu binatang
buas sehingga ia pandai menunggang kuda.
-0oodwoo0- JILID VIII Puteri dan Siang Hwi tidur sekamar ketika berada di
kuil dan dalam kesempatan ini, sang puteri yang tadinya
merasa cemburu kepada Siang Hwi, mendengar
pengakuan Siang Hwi bahwa gadis itu saling mencinta
dengan Tiong Li.Setelah mendengarkan pengakuan ini,
Hiang Bwee dapat menerima kenyataan, ia adalah
seorang puteri, tidak mungkin begitu saja menjatuhkan
cintanya kepada setiap orang pria. Baginya, per
jodohannya berada di tangan Kaisar dan ia tidak
mungki n dapat memilih jodohnya sendiri.


Mestika Golok Naga Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Perjalanan itu melalui padang luas dan pada suatu
hari mereka sudah tiba di daerah Kerajaan Sung. Ketika
mereka menjalankan kudanya perlahan-lahan karena
sudah lelah dan mencari tempat yang baik untuk
mengaso, tiba-tiba muncul seorang wanita di tempat
sunyi itu yang menghadang perjalanan mereka.
"Subo......!!" Siang Hwi berseru dan cepat ia melompat
turun dari kudanya untuk menghampiri Ban-tok Sian-li
yang berdiri tegak memandang mereka dengan sinar
mata tajam, terutama pandang matanya kepada Tio ng Li
ia bahkan acuh saja terhadap muridnya yang menghampirinya .
"Subo, kami telah berhasil membebaska n tuan puteri
Sung Hiang Bwee dan merampas kembali Mestika Golok
Naga!" kata Siang Hwi yang hendak mengabarkan berita
menggembirakan itu kepada subonya, juga hendak
memamerkan jasa besar yang telah dibuat oleh Tio ng Li.
Akan tetapi gurunya tidak menjawab, melai nkan maju
menghampiri Tiong Li dan juga sang puteri yang sudah
melompat turun dari atas kuda mereka Tiong Li memberi
hormat. "Sian-li, apakah selama ini engkau baik-baik saja?"
tegurnya ramah. Bagaimanapun juga, wanita ini adalah
guru dari kekasihnya yang selayaknya dihormatinya.
Akan tetapi Ban-tok Sian-li memandang ke arah
pinggangnya di mana tergantung Mestika Golok Naga
dalam sarungnya .
"Tan Tio ng Li, engkau sudah berhsil merampas
kembali Mestika Golok Naga?"
"Benar, Sian-li. Inilah dia!" kata Tiong Li. "Kami akan
mengembalikan kepada Sri baginda Kaisar, bersama
sang puteri."
"Berikan kepadaku! Golok Pusaka itu tidak sepatutnya
berada di tangan Kaisar yang lemah. Berikan kepadaku
untuk kupakai membasmi Bangsa Kin dan mengusirnya
dari tanah air."
"Subo.....!" seru Siang Hwi.
"Maafkan, Sian-li. Akan tetapi golok pusaka ini
memang milik istana, maka harus kembali ke istana
juga." Tiba-tiba Ban-tok Sian-li melompat kedekat puteri Hiang Bwee dan sekali mencengkeram pundak
puteri itu, ia membuat
puteri itu terkulai roboh.
Sambil tersenyum mengejek Ban-tok Sian li
melompat ke belakang.
"Subo, apa yang kau
lakukan ini?" teriak Siang Hwi terkejut.
"Nona Hiang Bwe.....!" Tiong Li juga berseru, sama
sekali tidak mengira bahwa Ban tok Sian-li akan
melakukan hal itu sehingga dia tidak keburu mencegahnya. Wajah puteri itu menyeringai kesakitan
dan pucat sekali. Baju di pundaknya robek dan nampak
pundaknya merah menghitam! Melihat ini, terkejutlah
Tiong Li karena dia maklum bahwa pundak itu telah
terluka beracun yang amat hebat.
"Subo, kenapa engkau melakukan ini?" tanya Siang
Hwi dengan bi ngung, dan kepada Tiong Li ia berkata,
"Koko, inilah luka Ban-tok-ciam (Jarum Selaksa Racun),
tidak ada obatnya, Kecuali subo, tidak ada seorangpun
yang akan mampu menyembuhkannya dan dalam waktu
sehari semalam, yang terluka akan tewas!"
Tiong Li marah sekali. Kiranya ketika mencengkeram
tadi, tangan Ban-tok Sian-li menggunakan jarum beracun
yang dimasukkan ke dalam pundak puteri itu.
"Ban-tok Sian-li, apa maksudmu dengan perbuatan
ini" Engkau telah meracuni puteri Kaisar" Kenapa
engkau hendak membunuhnya?" Tiong Li sudah siap
untuk menyerang wanita itu. Akan tetapi Ban-tok Sian-li
bertolak pi nggang dan tersenyum.
"Siapa mau membunuhnya" Ingat, aku mempunyai
obat pemunahnya seperti yang dikatakan Siang Hwi. Biar
Siang Hwi sendiri tidak kuberi obat pemunahnya maka
kalau engkau menghendaki puteri itu sembuh, serahkan
Mestika Golok Naga kepadaku!"
"Subo......!" Siang Hwi kembali berseru penasaran.
"Diam! Engkau tidak boleh mencampuri urusan ini!"
bentak gurunya, "Bagaimana. Tio ng Li" Maukah engkau
menukar nyawa puteri itu dengan Mestika Golok Naga ?"
Tiong Li berdiri dengan kedua tangan terkepal da n dia
ragu ragu. Dia dapat mengalahkan wanita itu. akan tetapi
dia meragu apakah dia dapat memaksanya menyerahkan
obat pemunah. Wanita seperti itu memiliki kekerasan hati
yang aneh, mungki n sampai mati dia tidak akan dapat
memaksanya. "Tiong Li, jangan mencoba-coba untuk menyerangku.
Selain belum tentu engkau akan dapat mengalahkan aku
dengan mudah, juga andaikata engkau menang dan aku
mati, apa gunanya" Puteri itu akan mati pula bersamaku
Nah, serahkan Mestika Golok Naga kepadaku!"
"Sian-li, jangan menggertak aku. Aku masih mempunyai sinkang cukup kuat untuk mengusir hawa
beracun dari tubuh sang puteri!" Tiong Li balas
menggertak. "Hi-hik, boleh kau coba kalau engkau ingin melihat
puteri itu cepat mati. Bukan hawa beracun yang
mematikannya, melainkan darahnya sudah keracunan.
Betapapun kuatnya sinkangmu, tidak akan dapat
membersihkan darahnya."
Tiong Li memandang kepada Siang Hwi untuk
bertanya pendapat gadis itu yang tentu saja lebih
mengerti dan gadis itu mengangguk dengan muka sedih,
"la tidak berbohong, koko. Racun Ban-tok ciam langsung
membuat darah keracunan dan tidak dapat diusir dengan
sin-kang, hanya dapat disembuhkan dengan racun
pemunah lain yang hanya dimiliki subo."
Tiong Li menghela napas panjang. Tidak percuma
kiranya wanita itu berjuluk Ban-tok Sian-li! Ternyata
penggunaan racunnya amat jahat. Hanya lawan, yang
amat tangguh saja. yang akan mampu mengalahkan
seorang wanita berbahaya seperti ini. Entah bagaimana
nanti kalau ia sudah memiliki Mestika Golok Naga! Akan
tetapi, bagaimanapun juga ia tidak mungkin mengorbankan nyawa sang puteri.
"Tan-taihiap, bawalah pulang pusaka itu dan serahkan
kepada ayah. Katakan bahwa aku tewas di tangan
wanita ini. Ayah tentu akan mengerahkan seluruh
pasukan untuk menangkapnya dan biarpun ia akan
terbang ke langit, tentu akhirnya ayahanda kaisar akan
dapat menangkapnya !"kata Hiang Bwee dan mendengar
ucapan puteri ini, diam-diam Ban-tok Sian-li menjadi
ketakutan sekali. Kalau ucapan gadis itu dituruti Tiong Li,
ia tidak akan mendapatkan Mestika Golok Naga malah,
akan menjadi buronan pemerintah. Ucapan gadis
bangsawan itu bukan gertak kosong belaka. Kalau Kaisar
marah dan mengerahkan pasukan mencarinya, ke mana
ia akan dapat melarikan diri"
Akan tetapi Tiong Li berpendapat lain. Dia tidak mau
mengorbankan nyawa puteri itu. Dia akan menyerahkan
golok dan setelah puteri terbebas dari ancaman maut
dan kembali ke istana, dia akan mulai lagi dan berusaha
merampasnya dari tangan Ban-tok Sian-li kelak. Dia
melepaskan ikatan sarung golok dari pinggangnya.
"Baik, aku akan menyerahkan golok pusaka, akan
tetapi bagaimana aku dapat yaki n bahwa engkau akan
memberikan obat pemunahnya yang benar" "
"Hemm, ada Siang Hwi di sampingmu, ia tentu akan
dapat mengetahui mana obat pemunah aseli mana yang
palsu," kata Ban-tok Sian-li. "Akan tetapi siapa berani
tanggung bahwa setelah menerima obat pemunah,
engkau tidak akan menyerangku dan tidak memberikan
golok itu?"
"Aku adalah seorang laki-laki sejati. Aku berjanji
bahwa setelah menukar golok dengan obat pemunah di
sini, aku tidak akan menyerangmu. Akan tetapi kalau lain
kali kita bertemu jangan salahkan aku kalau aku memberi
hajaran kepadamu dan merampas kembali golok
pusaka!" "Baik, berikan golok itu dan akan kuberikan obat
pemunah," katanya.
"Perlahan dulu!" kata Tiong Li. "Berikan dulu obat
pemunah dan. setelah dipastikan tidak palsu, baru akan
kuserahkan golok ini kepadamu. Nama dan kehormatanku menjadi jaminan janjiku!"
Ban-tok Sian-li lalu melemparkan sebungkus obat
bubuk kepada Tiong Li dan pemuda
Itu lalu menyerahkan kepada Siang Hwi. Gadis ini membuka
buntalan, mencium obat bubuk itu dan ia lalu
menghampiri sang puteri yang masih menyeringai
kesakitan. "Tuan puteri, minumlah semua obat bubuk ini."
Dikeluarkannya sebotol arak ringan dan obat itu lalu
diminumkan dengan arak ringan. Setelah minum obat itu,
perlahan-lahan rasa nyeri itu menghilang dan warna biru
kehitaman pada pundak juga mulai berkurang. Siang Hwi
lalu menyedot keluar jarum itu dengan isapan mulutnya
dan menggigit jarum itu lalu membuangnya. Kemudian ia
minum sisa obat yang memang disediakan untuk dirinya
agar ia tidak terpengaruh sisa racun yang berada di
jarum. Setelah itu ia memandang kepada Tiong Li dan
mengangguk. "Sekarang tuan puteri sudah aman," katanya lirih.
Tiong Li menyerahkan Mestika Golok Naga kepada
Ban-tok Sian-li yang menerimanya sambil tersenyum
dan wajahnya cerah gembira sekali. Dicabutnya golok itu
untuk memeriksanya.Nampak sinar berkilat ketika golok
dicabut dan wanita itu mengangguk senang, lalu
disimpannya kembali golok ke dalam sarungnya, di
ikatkan sarung itu di punggungnya dan iapun melompat
pergi tanpa mengeluarkan sepatah katapun.
"Subo, tunggu dulu...!" teriak Siang Hwi dan gurunya
berhenti berlari, lalu membalikkan tubuh memandang
kepada muridnya.
"Mau bicara apa lagi?" bentaknya. "Bukan aku yang
bicara, akan tetapi koko Tiong Li mempunyai sesuatu
yang ingin ia sampaikan kepadamu!" kata Siang Hwi
sambil memandang kepada kekasihnya. Pemuda ini
maklum apa yang berada dalam pikiran gadis itu, maka
diapun melangkah maju dan memberi hormat kepada
Dewi Selaksa Racun itu.
"Sian-li, aku dan Hwi-moi sudah saling mencinta dan
saling berjanji untuk menjadi suami isteri. Mengingat
bahwa Hwi-moi sudah tidak mempunyai keluarga lagi,
maka aku mengajukan pinangan kepadamu sebagai
gurunya untuk meminang Hwi-moi menjadi jodohku!"
Puteri Sung Hiang Bwee memandang semua ini
dengan mata terbelalak penuh keheranan dan kengerian.
Bagaimana orang-orang kang-ouw itu bersikap ketika
mengajukan pi nangan. Pinangan diajukan di antara
mereka, secara terus terang tanpa perantara lagi. Seolah
bukan gadis yang diminta untuk diperisteri, seperti minta,
sebuah benda saja! .
Ban-tok Sian-li memandang kepada muridnya. "Siang
Hwi sudah dewasa, ia boleh memutuskannya sendiri.
Andaikata aku ikut campur sekalipun ia tidak akan taat
kepadaku. Terserah kepada kalian!" Setelah berkata
demikian wanita itu berkelebat dan lenyap dari situ.
Siang Hwi saling pandang dengan Tiong Li dan tiba-
tiba terdengar orang bertepuk tangan. Mereka berpaling
dan ternyata yang bertepuk tangan itu adalah puteri
Sung Hia ng Bwee. ini berarti bahwa sang puteri telah


Mestika Golok Naga Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sembuh, atau setidaknya pundaknya sudah tidak terasa
nyeri lagi dipakai bertepuk tangan.
"Kiong-hi, kiong-hi (selamat)! Wah, aku harus
mengucapkan selamat atas pertunangan kalian," katanya
sambil menghampiri Siang Hwi. Di lolosnya sehelai
kalung emas permata hiasan batu kemala, dan
dikalungkan kalung itu ke leher Siang Hwi. "Ini hadiah
dariku untukmu, enci Siang Hwi."
"Terima kasih, tuan puteri. Paduka baik sekali."
"Ih, apanya yang baik. Kalau tidak ada kalian berdua,
entah sudah menjadi apa aku ini" Menjadi makanan
burung gagak berangkali," kata puteri itu tertawa. Di
dalam waktu yang amat singkat ternyata puteri itu telah
telah bebas dari ancaman racun Ban-tok-ciam.
Mereka lalu melanjutkan perjalanan setelah mengumpulkan kuda mereka. Di tengah perjalanan Tio ng
LI bertanya, "Hwi-moi, apakah engkau juga pandai
mempergunakan Ban-tok-ciam?"
"Subo pernah mengajarkan kepadaku. Jarum halus itu
dapat disembunyika n dalam kepalan tangan dan sambil
memukul jarum itu dapat dilepaskan. Akan tetapi subo
tidak pernah memberikan obat pemunahnya atau cara
membuatnya sehingga aku tidak pernah mau menggunakan jarum selaksa racun itu. Terlalu keji kalau
aku tidak mengetahui pemunahnya."
"Kau benar, Hwi-moi. Kalau engkau tidak dapat
memunahkan racunnya, memang tidak perlu menggunakan senjata rahasia macam itu. Kurasa kalau
yang diserang itu memiliki sin-kang yang kuat, dia akan
mampu mencegah menjalarnya racun ke dalam darah
dan hanya meracuni setempat saja yang mudah
disembuhkan dengan pembedahan di tempat dan
mengeluarkan racunnya."
"Engkau benar, koko"
Karena kini mereka sudah tiba di daerah Sung, maka
perjalanan dapat mereka lakukan dengan lancar tanpa
halangan. Tidak lama kemudian mereka bertemu dengan
sepasukan Sung yang dipimpin oleh seorang perwira
kerajaan. Melihat Tiong LI yang dianggap buronan dan
penculik sang puteri, perwira Itu tentu saja terkejut bukan
main. Apa lagi melihat sang puteri menunggang kuda
bersama orang buruan itu.
"Kepung! Tangkap pemberontak!"
"Tangkap pencuiik!"
"Selamatkan sang puteri!"
Mereka itu berteriak teriak sambil mengepung dan
mengacung-acungkan
senjata. Melihat ancaman kepungan ini, Sung Hiang Bwee mengajukan kudanya
dan membentak, "Apa yang hendak kalian lakukan ini"
Tan-tai hiap dan nona The ini adalah penolong
penolongku dari tangan penculik. Jangan menuduh
sembarangan! Hayo sediakan sebuah kereta untukku,
agar dapat kupakai pulang ke istana!"
Perwira itu terkejut dan heran, lalu memerintahkan
pasukannya untuk mundur dan menyediakan sebuah
kereta itu mengawal sang puteri yang duduk di dalam
kereta bersama Siang Hwi, dan Tiong Li juga mengawal
naik kuda di dekat kereta.
Ketika mereka dihadapkan Kaisar, Kaisar girang
bukan main melihat puterinya pulang dalam keadaan
sehat dan dia mendengarkan laporan puterinya, betapa
ia diculik oleh penjahat dan diberikan kepada Panglima
Bangsa Kin, kemudian diselamatkan oleh Tiong Li dan
Siang Hwi. Mendengar ini, Kaisar merasa girang dan
berterima kasih kepada, Tiong Li .
Biarpun Tiong Li menduga keras bahwa penculika n
sang puteri itu adalah perbuatan yang didalangi oleh
Perdana Menteri Jin Kui, akan tetapi karena tidak ada
bukti, diapun tidak berani sembarangan menuduh.
"Tiong Li, engkau sudah berjasa besar sebanyak dua
kali. Sekarang kami hendak menganugerahkan pangkat
pengawal istana untuk menjaga keselamatan keluarga
kerajaan."
"Ampun beribu ampun. Yang Mulia. Bukan sekali-kali
hamba menolak anugerah paduka yang berlimpah,
melainkan hamba masih memiliki tugas yang penting,
yaitu merampas kembali Mestika Golok Naga yang
lenyap diambil pencuri dari gedung pusaka."
"Ah, pusaka itu sudah lama dicuri orang dan sampai
sekarang para pengawal belum juga mampu menemukannya."
"Hamba sudah tahu siapa yang mengambilnya, Yang
Mulia. Dan hamba berjanji untuk mendapatkannya
kembali untuk paduka."
"Ayahanda, sebetulnya Mestika Golok Naga itupun
diambil oleh Panglima! Wu Chu dan sudah berhasil
dirampas kembali oleh Tan-taihiap. Akan tetapi di tengah
perjalanan, saya dilukai orang dan orang itu memaksa
Tan-tai hiap menyerahkan golok pusaka itu untuk ditukar
dengan obat yang akan menyelamatkan nyawa saya.
Tan-tai hiap terpaksa menukarkan golok itu dengan obat
pemunah racun yang melukai saya."
"Jahanam betul! Siapa orang itu?"
"Seorang wanita kang-ouw, Yang Mulia," kata Tiong Li
tanpa menyebutkan nama karena merasa tidak enak
kepada Siang Hwi sebagai murid perampas golok pusaka
itu. "Baiklah, kalau begitu engkau pergilah
untuk merampas kembali golok itu. Tio ng Li," katanya
kemudian. "Akan tetapi Yang Mulia, gambar hamba terpampang
di mana-mana sebagai pemberontak dan penculik sang
puteri. Hal ini akan menghambat perjalanan hamba dan
bahkan menghalangi hamba. Hamba mohon paduka
memberi perintah penghapusan dakwaan terhadap
hamba itu. Dengan surat perintah paduka, hamba tentu
akan dapat membersihkan nama hamba dari noda dan
dapat bergerak dengan leluasa."
Kaisar menghela napas panjang. "Kami menyesal
telah memerintahkan pengumuman yang agak tergesa-
gesa itu, Tiong Li, sehingga engkau menjadi orang
buronan. Siapa tahu engkau justru malah dua kali
menyelamatkan puteri kami dari tangan penculik. Baik,
akan kami buatkan surat perintah dan pengumuman itu
untuk membersihkan namamu."
Kaisar lalu memerintahkan pembantunya untuk
menuliskan surat perintah itu, kemudian menandatanganinya dan membubuhi cap kerajaan.
Tiong LI menerima dengan hati lega.
"Ada sebuah lagi permohonan hamba, Yang Mulia.
Sepanjang yang hamba ketahui, para pemberontak itu
sebenarnya bukanlah pemberontak. Mereka itu pejuang-
pejuang, para patriot yang hendak memperjuangkan
kebebasan tanah air dari penjajah Bangsa Ki n. Mereka
bahkan setia kepada Kerajaan Sung dan hendak
mengembalikan kejayaan Kerajaar Sung untuk menguasai kembali daerah utara. Maka, tidak semestinya mereka itu dikejar-kejar seperti pemberontak,
Yang Mulia."
Kaisar mengerutkan alisnya. ''Kami mengadaka n
persahabatan dengan Bangsa Kin agar mencegah
mereka menyerang keselatan dan menimbulkan korban
di antara rakyat. Kami mencegah perang demi rakyat.
Kalau mereka itu menyerang Kerajaan Kin, dan kalau
kami mendiamkannya saja, tentu Kerajaan Kin akan
memusuhi Kerajaan Sung. Akan tetapi, baiklah kami
melihat perkembangannya dulu Kalau mereka itu tidak
mengganggu pemerintah Kerajaan Sung, mereka tidak
akan dianggap pemberontak."
"Tan-taihiap, engkau sudah berulang kali berjasa dan
ayahanda Kaisar hendak menganugerahkan pangkat
kepadamu, kenapa engkau menolaknya"
Sudah sepatutnya kalau engkau menerima imbalan jasa-
jasamu," kata sang puteri kepada Tio ng Li.
"Terima kasih, tuan puteri. Akan tetapi apa yang
hamba lakukan Ini adalah merupakan kewajiban hamba
yang selalu hendak menjunjung tinggi kebenaran dan
keadilan dan menentang yang jahat. Kalau hamba
mengharapkan Imbalan jasa, maka perbuatan itu sama
sekali bukan perbuatan gagah. Pula, hamba masih
mempunyai kewajiban untuk merampas kembali Mestika
Golok Naga, harap tuan puteri dapat memakluminya."
Bagi kebanyakan orang, tentu alasan yang dikemukakan Tio ng Li itu tidak dapat diterima. Orang
yang berjasa mendapat imbalan, hal itu sudah
semestinya dan sepatutnya, demikian anggapan kita
pada umumnya. Justeru karena pendapat inilah, maka
kita semua terjerumus ke dalam perbuatan yang selalu
berpamrih untuk mendapatkan imbalan. Semua perbuatan kita itu kita perhitungkan untung rugi nya
seperti berdagang. Apa artinya sebuah pertolongan
kalau, pertolongan itu dilakukan dengan harapan
memperoleh imbalan " Apakah artinya sebuah kebaikan
kalau dibaliknya terkandung harapan memperoleh
balasan"! Perbuatan itu bukan lagi baik, bukan lagi
pertolongan, melainkan suatu alasan untuk mendapatkan
sesuatu. Kalau tidak akan ada imbalan, mungkin
pelakunya akan mundur. Perbuatan yang seutuhnya
adalah perbuatan yang dilakukan tanpa pamrih bagi
dirinya sendiri, tanpa pamrih memperoleh sesuatu
sebagai buah dari perbuatannya itulah. Bahkan
mengharapkan imbalan dari Tuhan atas perbuatannya
yang "baik" pun merupakan pamrih dan karenanya
menodai perbuatan itu sendiri. Perbuatan baik muncul
dari hati sanubari, digerakkan oleh perasaan iba melihat
orang lain sengsara, merasa penasaran melihat
perlakuan yang tidak adil dan sebagainya lagi. Bukan
oleh pamrih untuk kesenangan diri sendiri yang akan
memperoleh buah dari hasil perbuatannya. Imbalan ini
justeru melahirkan munafik-munafik dipermukaan bumi.
Orang-orang "baik" yang sesungguhnya hanyalah
pengejar-pengejar keuntungan bagi dirinya sendiri.
Tiong Li dan Siang Hwi meninggalkan istana dengan
diberi bekal sekantung emas oleh Kaisar. Hia ng Bwee
mengantarkan mereka sampai ke pintu depan di mana
Hiang Bwee merangkul Siang Hwi sambil berbisik, "Enc!
Hwi, jagalah Tan-taihiap baik-baiki"
Siang Hwi terharu sekali, la merasa betapa puteri itu
sesungguhnya mencinta Tio ng Li! Akan tetapi ia hanya
mengangguk sambil tersenyum. Tentu saja Tiong Li yang
berpendengaran tajam itu dapat mendengar bisikan ini
namun dia pura-pura tidak mendengar dan memberi
hormat kepada gadis yang ketika berada di depan Kaisar
disebutnya tuan puteri itu.
"Sung-siocia (Nona Sung), selamat tinggal." katanya
hormat. "Tan-taihiap, selamat jalan dan selamat berpisah.
Mudah-mudahan kita akan dapat saling bertemu kembali
dan Enci Siang Hwi, selamat jalan dan jagalah diri kalian
baik-baik." kata puteri itu yang merasa sedih juga


Mestika Golok Naga Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ditinggalkan dua orang yang begitu baik kepadanya.
Rasanya ingin ia meninggalkan! keputria nnya untuk ikut
mereka berpetualang di dunia bebas! .
0o"dw"o0
Nasihat Tiong Li kepada Kaisar agar tidak memusuhi
para pejuang membuat Kaisar berpikir-pikir dan dia
segera memanggil seorang puteranya. Putera ini adalah
Pangeran Kian Cu, seorang yang merasa kagum kepada
kesetiaan Gak Hui.
"Pergilah menghubungi para pejuang dan selidiki
apakah benar para pejuang itu sama sekali tidak
mempunya keinginan untuk memberontak, melai nkan
hanya membenci bangsa Kin." demikian perintah kaisar.
Pangeran Kian Cu, seorang Pangeran berusia
duapuluh lima tahun adalah putera dari selir dan dia
seorang pangeran yang sejak lama mengagumi sepak
terjang para pejuang yang menjadi pengikut Gak Hui.
Mendengar perintah ayahnya itu, Pangeran Kian Cu
merasa gembira dan dia segera berangkat meninggalkan
istana dan menghubungi para pejuang. De ngan mudah
saja dia dapat mengadakan hubungan dengan pimpinan
pejuang, bahkan para pejuang dapat membawanya
menemui Gak Li u. yaitu pejuang putera mendiang
Panglima Gak Hui yang terkenal.
Gak Liu menerima pangeran itu dengan baik dan
mengadaka n pertemuan dengan para pimpinan pejuang
lainnya. "Sebetulnya aku datang mengadakan hubungan
dengan kalian ini atas perintah ayahanda Kaisar," kata
sang pangeran. "Selama ini beliau berpendapat bahwa
kalian adalah pemberontak pemberontak yang ingin
merebut kedudukan Ayahanda Kaisar. Akan tetapi
menurut laporan dari seorang pendekar muda bernama
Tan Tiong Li, kalian adalah patriot-patriot, pejuang yang
hanya memusuhi penjajah Kin dan sama sekali tidak
memusuhi pemerintah Sung. Benarkah keterangan itu?"
Gak Liu memberi hormat kepada sang pangeran dan
berkata dengan suaranya yang lantang. "Sebetulnya hal
ini seharusnya sudah diketahui oleh Sribaginda sejak
dahulu. Mendiang ayah saya, seorang patriot sejati yang
setia kepada Sri baginda, bahkan dituduh pemberontak
dan dihukum mati! Sebetulnya kami sama sekali tidak
berniat memberontak, bahkan ingin mengembalikan
kejayaan kerajaan Sung dan merebut kembali wilayah
utara yang dikuasai bangsa Kin. Akan tetapi kalau kami
dianggap pemberontak dan diserang, tentu saja kami
membalas."
"Kalau begitu, selama ini hanya terdapat kesalah
pahaman belaka dan aku akan melaporkan kepada
Ayahanda Kaisar." kata Pangeran Kian Cu dan setelah
selesai pertemuan itu, dia menyumbangkan sejumlah
besar uang untuk keperluan perjuangan, dan mengharapkan agar seluruh kekuatan pejuang digalang
persatuannya. Usaha Pangeran Kian Cu menghubungi para pejuang
atas perintah Kaisar ini telah diketahui oleh Jin Kui
melalui mata-mata yang disebarnya diantara para thai-
kam di istana. Dia merasa khawatir sekali. Kalau Kaisar
sudah menaruh kepercayaan kepada para pejuang, ini
berbahaya sekali. Berarti hubungan antara Sung dan Kin
dapat menjadi renggang, dan dia sendiri tentu akan
mendapat kemarahan dari Raja Kin. Juga mungkin
Kaisar lambat laun akan terpengaruh dan bahkan
memusuhinya, yang sejak semula memang memusuhi
para pejuang. Cepat dia memanggil Si Muka Tengkorak
Tang Boa Lu, Ciang Sun Hok, Ma Kiu It, Kui To Cinjin
dan kedua orang sutenya yang baru saja dipanggil
membantu mereka, yaitu Ouw Yang Kian dan Ouw Yang
Sian. Mereka lalu mengadaka n perundingan dan
akhirnya Perdana Menteri Jin Kui berkata dengan marah.
"Hal ini tidak dapat didiamkannya saja! Kaisar melalui
Pangeran Kian Cu mengadakan pertemuan dengan para
pemberontak! Ini berbahaya sekali dan aku tahu jalan
apa yang harus ditempuh untuk menggagalkan itu!"
"Jalan apakah yang taijin maksudkan" Harap memberi
tahu kami agar dapat segera kami laksanakan." kata Kui
To Cinjin sambil mengelus jenggotnya yang tipis panjang.
"Pangeran itu harus dibunuh dan kita fitnah para
pemberontak itu sebagai pembunuhnya. De ngan begini
selain pertemuan itu akan gagal, juga Kaisar akan marah
dan sakit hati kepada para pemberontak!"
Para kaki tangan Perdana Menteri Jin Kui mengangguk-angguk setuju dan menganggap akal itu
baik sekali. "Akan tetapi bagaimana pembunuhan itu dapat
dilaksanakan tanpa menimbulkan kecurigaan?" tanya
pula Kui To Cin jin.
"Sekarang juga harus dilaksanakan. Kalau pangeran
kembali dari tempat para pemberontak, itulah kesempatan yang baik sekali. Karena itu aku perintahkan
Ouw Yang Kian dan Ouw Yang Sian dibantu oleh Tang
Boa Lu untuk melaksanakan pembunuhan itu."
Tiga orang itu menyatakan kesanggupan mereka dan
segera mereka berangkat setelah mengetahui jalan
mana yang ditempuh pangeran untuk menemui para
pemberontak. Bagi orang yang lemah dan menjadi budak nafsunya
seperti Jin Kui. memang selalu berlaku pegangan bahwa
yang terpenting adalah tujuan, dan tujuan menghalalkan
segala cara. Kita sendiri memang seringkali lupa akan
hal ini. Kita mengagungkan tujuan dengan sebutan cita-
cita yang muluk-muluk, yang kita kejar-kejar. Padahal,
dalam pengejaran tujuan inilah letak bahayanya, yaitu
dalam caranya. Cara atau jalan untuk mengejar cita-cita
ini kadang berbahaya sekali. Kita terbius oleh gemer
lapnya tujuan sehingga untuk mendapatkannya, kita lupa
bahwa cara yang kita pergunakan tidak benar. Padahal,
bukan tujuannya yang menjadi ciri baik buruknya
perbuatan, melainkan cara itu sendiri. Kalau cara yang
dipergunakan itu buruk, bagaimana mungkin dapat
mencapai tujuan yang baik " Gemerlapnya tujuan
memang condong untuk membuat kita lupa akan cara
kita yang kita pergunakan. Misalnya, demi untuk tujuan
memberi kehidupan mewah kepada anak isteri, kita
melakukan korupsi atau mencuri. Demi untuk tercapai nya
tujuan menjadi, sarjana kita melakukan sogokan dan
suapan atau membeli ijazah. Tujuan itu tentu sifatnya
menyenangkan dan menyenangkan itu mendorong nafsu
untuk mendapatkannya. Segala nafsu itu wajar saja,
akan tetapi kalau kita sudah diperbudaknya, celakalah
kita, Nafsu mencari keuntungan itu wajar saja, akan
tetapi kalau kita diperbudak, kita bisa saja menipu atau
mencuri. Nafsu sex itu wajar saja, akan tetapi kalau kita
diperbudak, kita bisa saja melacur memperkosa dan
sebagainya lagi. Demikian dengan mengejar kedudukan,
harta benda, nama dan pengejaran apa saja yang
menjadi cita-cfta dapat menyelewengkan kita. Betapa
baik dan muliapun tujuan yang hendak kita capai, bisa
saja melahirkan cara pengejaran yang menyeleweng.
Demikian pula dengan Jin Kui. Demi tercapainya
segala cita-citanya, demi terlaksananya tujuannya, maka
dia pun menghalalkan segala cara. Cara yang curang
dianggapnya cerdik dan benar. Cara yang kejam
dianggapnya gagah! .
Setelah selesai mengadakan pertemuan dan perundingan dengan Gak Liu dan para pejuang lainnya,
sang pangeran lalu berangkat pulang naik kuda di antar
oleh lima orang anggauta pejuang. Enam orang
penunggang kuda itu melarikan kuda mereka menuju ke
Hang-couw. Akan tetapi ketika mereka menuruni sebuah
lereng bukit dan tiba di daerah yang sunyi, nampak tiga
orang menghadang perjalanan mereka. Sang pangeran
menahan kudanya, demikian pula lima orang pengawalnya. Dan pada saat mereka menahan kuda
mereka itulah Tang Boa Lu Si Muka Tengkorak, Toat-
beng-jia uw (Cakar Pencabut Nyawa) Ouw Yang Kian dan
Hek-bin-kui (Setan Muka Hitam) Ouw Yang Sian
bergerak menyerang!! Si Muka Tengkorak sendiri yang
menyerang Pangeran Kian Cu tanpa peringatan lagi.
Pangeran itu meloncat turun dari kudanya, akan tetapi
bagaimana mungki n dia dapat menghindarkan serangan
Si Muka Tengkorak yang amat lihai itu" Hanya dua kali
dia dapat mengelak, akan tetapi pukulan yang ke tiga
kalinya mengenai kepalanya. Pangeran Kian Cu tidak
sempat mengaduh lagi, langsung terpelanting dengan
kepala retak dan tewas seketika. Lima orang pengawalnya tidak mampu melindunginya karena
mereka berlima juga sudah diserang kalang kabut oleh
dua orang kakak beradik yang amat lihai itu. Para
pejuang yang mengawal itu hanya memiliki Ilmu silat
biasa saja, mana mungki n mereka mampu menandingi
kedua saudara Ouw Yang Ini. Dalam belasan jurus saja
mereka berlima juga sudah roboh semua dan tewas!
Pada hari itu juga Kaisar menerima laporan bahwa
Pangeran Kian Cu telah tewas terbunuh lima orang
pemberontak yang sebaliknya terbunuh pula oleh kedua
adik seperguruan Kui To Cin-jin.
Kaisar terkejut dan sedih Sekail mendengar ini dan dia
segera memanggil kedua orang saudara Ouw Yang
untuk menceritakan apa yang telah terjadi.
"Hamba berdua sedang melakukan perjalanan ke luar
kota ketika dari jauh hamba melihat kuda sang pangeran
di kepung lima orang dan mereka itu mengeroyok
Pangeran Kian Cu. Hamba berdua segera lari
menghampiri akan tetapi hamba terlambat dan melihat
sang pangeran sudah terguling dan roboh ,terkena
hantaman ruyung. Melihat Ini, hamba berdua lalu
mengamuk, menyerang lima orang itu dan akhirnya
hamba berdua dapat membunuh mereka. Hanya itulah
yang hamba ketahui, Yang Mulia," kata Ouw Yang Kian.
"Mereka itu adalah pimpinan para pemberontak, Yang
Mulia!" sambung Ouw Yang Sian yang bermuka hitam.
"Keparat jahanam!" Kaisar memaki, sambil mengepal
tinju. "Dibaiki bahkan membunuh. Ciang Sun Hok,
kerahkan pasukan dan basmi para pemberontak yang
berada di daerah itu!" perintahnya ke pada Ciang Sun
Hok. Panglima jagoan ini menyatakan kesanggupannya
dan pertemuan itu dibubarkan karena kaisar sedang
berduka atas kematian puteranya.
Perdana Menteri Jin Kui di rumahnya mengadaka n
pesta menjamu para pembantunya. Mereka berpesta
karena kegirangan. Mereka telah menang. Kaisar
kembali membenci dan tidak percaya kepada kaum
pejuang! Inilah tujuan mereka dan berhasil.
"Kui To Cin Jin, sekarang kita tinggal menghadapi Tan
Tiong Li, Pemuda itu berbahaya sekali. Kita harus dapat
segera membunuhnya karena dia dapat menjadi bahaya
besar bagi kita. Akan tetapi ilmu kepandaiannya tinggi
sekali. Siapa yang akan dapat melawan dan membunuhnya?"
"Harap tai-jin jangan khawatir, Pinto mempunyai tiga
orang kenalan di utara. Mereka itu pertapa-pertapa di
Lulia ng-san, Thai-hang-san, dan di lembah Sungai Fen-
ho. Mereka adalah datuk datuk dunia kang-ouw yang
berilmu tinggi. Dan pi nto mengetahui benar bahwa
biarpun mereka tidak berbuat sesuatu di daerah Kerajaan
Kin itu, akan tetapi mereka itu adalah orang-orang yang
setia kepada Kerajaan Sung. Kalau pi nto minta bantuan
mereka untuk menghadapi orang yang memberontak
terhadap Kerajaan Sung, kiranya mereka akan sanggup
membantu."
"Bagus sekali! Undang mereka ke sini, Kui To Gin-jin.
Sukur kalau mereka suka menjadi pembantu tetap kita,
kalau tidak, cukup baik kalau mereka mau menghadapi


Mestika Golok Naga Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan mengalahkan Tan Tiong Li!"
"Baik, tai-jin. Akan pi nto usahakan agar mereka mau
membantu kita."
Pesta dilanjutkan sampai jauh malam dan sampai
mereka Semua menjadi mabok, mabok arak dan mabok
kemenangan Pikiran yang sudah bergelimang nafsu
selalu menjadi pembela dari semua perbuatan yang
dilakukan manusia. Biarpun hati akal pikiran mengerti
dan tahu bahwa perbuatan itu tidak benar, akan tetapi
nafsu dalam pikiran membuat pikiran menjadi pembela
dan berusaha membenarkan perbuatan itu, melawan hati
nuraninya sendiri. Setiap orang manusia tahu mana yang
benar dan mana yang tidak benar.
Adakah di dunia ini pencuri yang tidak tahu bahwa
perbuatan mencuri adalah tidak benar " Semua pencuri
tentu telah mengetahuinya. Akan tetapi tetap saja dia
mencuri dan pikirannya yang sudah bergelimang nafsu
membenarkan perbuatannya mencuri Itu dengan segala
macam dalih. Pengertia n dan pengetahuan tidak dapat
melawan nafsu, kalau nafsu sudah mencengkeram hati
akal pikiran. Nafsu merupakan hamba yang amat penting
dan amat baik, akan tetapi menjadi majikan yang amat
jahat. Akan tetapi siapa yang dapat menjadikan nafsu
sebagai hamba yang baik dan mengekangnya agar tidak
menjadi majikan" Hanya kekuasaan Tuhan sajalah yang
akan mampu. Kita dengan hati akal pikiran kita tidak
akan mampu menguasai nafsu. Jalan satu-satunya
hanya menyerah dan pasrah kepada Tuhan dengan
segenap ketawakalan dan kepercayaan. Hanya itu yang
dapat kita lakukan dan jika Tuhan menghendaki, maka
kitalah yang akan menjadi majikan atas nafsu kita sendiri,
menjadikannya hamba yang baik. pembantu datam
kehidupan yang amat berguna.
Bukan menjadi majika n yang merajalela dan yang
mendorong kita melakukan segala macam perbuatan
yang tersesat. 0o"dw"o0
Dengan susah payah Tiong Li bersama Siang Hwi
mencoba untuk mencari jejak Ban-tok Sian-li. Akan tetapi
kemana mereka harus mencarinya. Sudah pasti wanita
Itu tidak lagi berada di Lembah Maut Sungai Yang-ce
yang sudah diobrak-abrik dan dibakar oleh pasukan
pemerintah. Dan wanita itu pandai menghilangkan jejak,
gerakannya bagaikan! tidak meninggalkan jejak. Maka
Tiong Li dan Siang Hwi hanya berkeliaran saja sampai ke
daerah perbatasan utara. Akhirnya Siang Hwi berkata
kepada kekasihnya.
"Koko, kurasa percuma saja mencari jejak subo.
Agaknya ia tidak pergi jauh. Subo tentu merasa sakit hati
sekali kepada pemerintah karena dibasminya Lembah
Maut. Da n watak subo tidak akan mendiamkan saja hal
itu terjadi tanpa dibalas. Kalau menurut dugaanku, subo
tidak akan pergi jauh dari kota raja, mencari kesempatan
untuk membalas dendam."
"Kepada siapa ia hendak membalas dendam?"
"Mungkin subo sedang menyelidi siapa biangkeladi
penyerangan ke Lembah Maut itu."
"Jelas biangkeladinya adalah Perdana Menteri Jin
Kui." "Kalau begitu, subo tentu akan mengetahui dan akan
membalas kepada Pei dana Menteri Itu. Maka sebaiknya
kita kembali saja ke kota raja. Siapa tahu kita dapat
menemukan ia di sana."
Demikianlah, keduanya lalu melakukan perjalanan
kembali ke Hang-couw. Begitu mendekati Hang-couw,
segera mereka ketahuan oleh para penyelidik anak buah
Perdana Menteri Jin Kui, dan mereka cepat melaporkan
kepada Perdana menteri itu.
Pada waktu itu, di kediaman Perdana Menteri Jin Kui,
baru dua hari kedatangan tiga orang tamu. Mereka
adalah tiga orang pertapa yang baru saja didatangkan
oleh sahabat mereka, Kui To Cin-jin yang berhasil
membujuk mereka untuk menghadapi Tan Tio ng L i yang
dikatakannya sebagai seorang pimpinan pemberontak di
samping Gak Liu.
Tiga orang itu adalah Im Seng Cu, to-su pertapa di
Lulia ng-san, Ban Hok Seng-jin, pertapa di Lembah
Sungai Fen ho, dan Sin Gi To-su, pertapa dari Thai-
hang-san. Tiga orang pertapa ini memang merupakan
sahabat-sahabat dari Kui To Cin-jin, ketika Kui To Cin-jin
belum menjadi jagoan yang menghambakan diri kepada
Jin Kui. Bagi tiga orang tokoh itu, Kui To Cin-jin
menghambakan diri kepada Kerajaan Sung dan hal ini
mereka setujui sekali. Memang mereka bertiga adalah
tokoh-tokoh yang sangat mengagumi mendiang Panglima Gak Hui yang dianggapnya amat setia kepada
Kerajaan Sung sampai akhir hayatnya. Biarpun di
sepanjang Sungai Huang-ho sampai ke utara sudah
diduduki oleh Bangsa Kin, mereka bertiga dalam hati
tetap setia kepada Kerajaan Sung. Kalau saja Kerajaan
Sung menyerang ke utara, mereka biarpun merupakan
pertapa-pertapa tentu akan membantunya.
Maka, ketika Kui To Cin-jin yang mereka anggap
seorang hamba yang setia dari Kerajaan Sung itu
berkunjung kepada mereka dan minta bantuan mereka
agar menghadapi dan menangkap seorang pemberontak
yang lihai, mereka tidak merasa keberatan dan
berangkatlah mereka ke selatan untuk menunjukkan
baktinya kepada Kerajaan Sung Selatan.
Maka, ketika para penyelidik melaporkan tentang
munculnya Tiong Li, dan Siang Hwi lalu perdana menteri
itu minta kepada mereka bertiga untuk menghadapi
"pemberontak", tiga orang datuk itu segera berangkat.
Mereka juga merasa penasaran sekali mendengar bahwa
Pangeran Kian Cu telah dibunuh oleh para pemberontak.
Tiong LI dan Siang Hwi yang melakukan perjalanan ke
kota raja, bertemu dengan para pejuang dan merekapun
mendengar tentang terbunuhnya Pangeran Kian Cu, dan
bahwa Jin Kui menuduh para pejuang yang membunuhnya. Mendengar ini, mereka merasa terkejut
sekali. Para pejuang mengatakan bahwa pahlawan Gak
Liu yakin bahwa anak buahnya yang lima orang dan
yang mengawal sang pangeran itu tidak mungkin
membunuhnya. Mereka sendiri juga terbunuh dan walau
pun para pejuang menduga bahwa ada pihak ke tiga
yang membunuh pangeran dan melakukan fitnah kepada
para pejuang, akan tetapi mereka tidak mempunyai bukti
dan saksi. "Ini tentu perbuatan si laknat Jin Kui!" kata Tan Tio ng
Li, akan tetapi tanpa saksi dan bukti, bagaimana dia akan
dapat melapor kepada Kaisar " Dia merasa sedih sekali
mendengar bahwa kaisar marah sekali dan semakin
memusuhi para pejuang yang dianggap pemberontak.
Dia melakukan perjalanan cepat menuju ke kota raja
untuk dapat mendengar sendiri apa yang telah terjadi.
Tiba-tiba, perjalanan mereka dihadang oleh tiga orang
yang berjubah seperti pertapa. Seorang di antara mereka
memegang sebatang tongkat hitam dan ke tiganya
memandang kepadanya seperti orang yang tidak
senang, dengan alis berkerut. Melihat tiga orang
menghadang di depannya, Tiong Li segera memberi
hormat kepada tiga orang tosu itu dan berkata dengan
hormat dan ramah.
"Selamat siang, sam-wi to-tiang (tiga orang pendeta
To)." "Orang muda," kata Im Seng Cu yang memegang
tongkat. "Engkaukah yang bernama Tan Tio ng Li?"
Tiong L i memandang heran. "Benar sekali, to-tiang.
Saya bernama Tan Tio ng Li dan samwi to-tiang ini siapa
kah" Dan ada keperluan apakah dengan saya?"
"Tiong Li, engkau pemberontak! Menyerahlah untuk
kami tangkap!"
"Aih, to-tiang! Kenapa to-tiang berkata demikian" Saya
sama sekali bukan pemberontak, bahkan saya melaksanakan perintah Yang Mulia Kaisar untuk
menemukan kembali Mestika Golok Naga!" bantah Tio ng
Li. "Siapakah sam-wi?"
"Pinto adalah Im Seng Cu dari Lu-liang-san," kata
yang memegang tongkat, dan bertubuh kurus tinggi,
"Pinto Ban Hok Seng jin pertapa Lembah Fen-ho!"
kata tosu pendek gendut yang membawa sebatang
pedang di punggungnya.
"Dan pinto Sin G i Tosu, pertapa dari Thai-hang-san!"
kata yang tinggi besar dan memegang sebuah kebutan
berbulu putih .
Kembali Tiong Li memberi hormat. "Seperti saya
katakan tadi, nama saya Tan Tiong Li dan ini adalah
sahabat saya bernama The Siang Hwi. Kami berdua
tidak pernah memberontak dan ......
"Tidak perlu mengganjal lagi! Pinto bertiga sudah
mendengar bahwa engkau bergabung dengan para
pemberontak, yang dipimpin oleh pemberontak Gak Liu!"
"Memang benar saya bersahabat dengan pendekar
Gak Liu dan saudara-saudaranya. Akan tetapi Gak Liu
adalah putera mendiang Panglima Gak Hui dan sama
sekali bukan pemberontak, melainkan pejuang!"
"Hemm, kami mengenal Gak Hui sebagai seorang
pahlawan yang setia sampai mati kepada Kaisar. Kami
semua menghormatinya. Akan tetapi Gak Liu puteranya
itu sama sekali tidak mengikuti jejak ayahnya. Dia
menggerakkan orang-orang untuk menjadi pemberontak
!" kata Sin Gi Tosu yang tinggi besar sambil menggerak-
gerakkan kebutannya.
"Sam-wi to-tiang salah sangka Gak Liu sama sekali
bukan pemberontak! Dia berjuang mati-matia n untuk
menentang pemerintah Ki n, berusaha keras untuk
mengusir penjajah Kin dari tanah air."
"Akan tetapi dia menentang dan seringkali bentrok
dengan pasukan Sung, bahkan sudah banyak membunuh anggauta pasukan Sung. Apakah itu tidak
memberontak namanya?" kata Im Seng Cu.
"To-tiang salah sangka. Perdana Menteri Jin Kui amat
membenci para pejuang yang gagah perkasa. Perdana
Menteri Jin Kui seringkali mengirim pasukan untuk
membasmi para pejuang, maka tentu saja para pejuang
membela diri. Perdana Menteri Jin Kui itulah yang
menghasut Yang Mulia Kaisar dan menyebut para
pejuang itu pemberontak. Kalau para pejuang yang
bersatu padu berniat untuk memusuhi Kerajaan Sung
yang lemah, tentu sudah lama berhasil. Tidak to-tiang.
Para pejuang bukan, pemberontak, melainkan patriot
sejati yang hendak mengusir penjajah dari tanah air!
Sayang sekali Yang Mulia Kaisar tidak mendengarkan
pendapat mendiang Panglima Gak Hui untuk menyerang
Bangsa Kin. Dia bahkan mendengarkan Perdana Menteri
Jin Kui yang menghendaki perdamaian dan persekutuan
dengan penjajah."
"Sian-cai, engkau pandai bicara orang muda!" kata
Ban Hok Seng-jin yang pendek gemuk.
"Lalu apa katamu tentang Mestika Golok Naga yang
dicuri dari gudang pusaka istana" bukankah itu
perbuatan para pejuang pula" Bukankah itu berarti
memberontak?"
"Berita bohong itupun di tiup-tiupkan oleh Perdana
Menteri Jin Kui sebagai fitnah. Sesungguhnya yang
mencuri golok pusaka, itu adalah kaki tangani Panglima
Kin yang bernama Wu Chu. Saya sendiri yang merampas
kembali golok pusaka itu dari tangan Panglima Wu Chu,
akan tetapi sayang golok itu terampas oleh seorang
tokoh kang-ouw yang hendak mempergunakannya untuk
menentang pasukan Kin. Dan sekarang saya sedang
berusaha untuk merampasnya kembali," jawab Tiong Li
dengan suara tegas.
"Ho-ho, engkau sudah siap untuk menjawab semua,
pertanyaan. Bagus sekali! Dan bagaimana engkau akan
menjawab kalau pinto bertanya tentang kematian
Pangeran Kian Cu yang terbunuh oleh lima orang
pemberontak itu, orang muda " "
"Sam-wi To-tiang, ketahuilah bahwa Pangeran Kian
Cu pergi berundi ng dengan para pejuang atas perintah
Yang Mulia Kaisar, bahkan pangeran itu telah memberi
sumbangan yang cukup banyak kepada para pejuang.
Kemudian ketika pangeran meninggalkan para pejuang,
pendekar Gak Liu sendiri yang menyuruh lima orang
rekannya untuk mengawal pangeran itu. Kemudian
diketahui bahwa mereka berlima itu tewas, demikian pula
sang pangeran. Bagaimana mungkin mereka berlima itu
membunuh sang pangeran yang telah menjadi sahabat
baik " Ini sungguh tidak masuk akal. Tentu ada pihak lain


Mestika Golok Naga Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang membunuh pangeran, kemudian membunuh pula
lima orang pengawal itu, kemudian melemparkan fitnah
bahwa lima orang pejuang itu yang membunuh sang
pangeran. Harap sam-wi to-tiang dapat mempertimbangkannya dengan adil dan tidak hanya
mendengarkan keterangan satu pihak sana."
Tiga orang tosu itu menjadi bingung dan saling
pandang penuh kebimbangan dan keraguan. Semua
keterangan yang diucapkan pemuda itu dengan lancar
dan tegas membuat mereka merasa bimbang. Semua
jawaban itu mengandung kemungki nan besar akan
kebenarannya! Tiga orang ini adalah para datuk yang
terbujuk oleh Kui To Cin-jin dan mereka hendak berjuang
tanpa pamrih membela Kerajaan Sung. Mereka tidak
mengharapkan imbalan jasa. juga tidak mengingat akan
kepentingan diri pribadi. Semua hanya dilakukan dengan
tujuan satu, yalah membela Kerajaan Sung dan
membersihkan pemberontak yang mengacau Kerajaan
Sung. .Akan tetapi kini mereka mendapat jawaban yang
berlainan sama sekali dengan yang didengarnya dari Kui
To Cin-jin dan Perdana Menteri Jin Kui .
"Bagaimana pendapatmu, Im Seng Cu ?" tanya Ban
Hok Seng-jln kepada rekannya.
"Sian-cai...... ! Keterangan pemuda ini memang masuk
diakal. Pinto menjadi bingung memikirkan persoalan ini,"
jawab.yang ditanya.
Sin Gi Tosu juga berkata sambil menghela napas
panjang. "Pinto juga menjadi ragu karena pinto sudah
mendengar bahwa Perdana Menteri Jin Kui amat licik
dan tidak disuka oleh para menteri lain yang setia. Akan
tetapi kekuasaannya besar sehingga para menteri tidak
ada yang berani berkutik."
"Sian-cai, apakah benar kita yang dibohongi?" tanya
Ban Hok Seng-jin. "Kui To Cin-jin ternyata juga tidak
menghambakan diri kepada Kaisar, melainkan kepada
Perdana Menteri Jin Kui, Hal itu saja tadinya sudah
menimbulkan kekecewaanku. Pinto kira dia menghambakan diri kepada Kaisar."
"Sam-wi To-tia ng yang bijaksana," kata Tiong LI.
"Harap sam-wi berpikir dengan pertimbangan seadilnya.
Jin Kui itu adalah seorang penjilat yang telah mampu
menguasai Yang Mulia Kaisar, akan tetapi dia bukanlah
seorang pejabat yang baik. Dialah yang bersekutu
dengan orang-orang Kin. Bahkan saya merasa yakin dia
yang menyuruh orang menculik sang puteri Sung Hia ng
Bwee untuk di hadiahkan kepada Panglima Kin yang
bernama Wu Chu itu. Masih untung saya dapat
membebaskan sang puteri yang telah dua kali diculik
orang. Dan mengapa Perdana Menteri Jin Kui membenci
para pejuang" Pertama karena para pejuang itu
menentang Bangsa Kin yang menjadi sekutunya, dan
kedua kalinya belum lama ini puteranya yang bernama
Jin Kiat, yang terkenal mata keranjang dan amat jahat,
terbunuh oleh pendekar Gak Liu. Itulah yang membuat
Jin Kui selalu mengejar-ngejar para pejuang dan
mengatakannya bahwa mereka pemberontak yang harus
dibasmi." Tiga orang tosu itu mengangguk-angguk. Mereka
adalah orang-orang bijaksana yang mudah disadarkan
dan begitu menyadari kekeliruan mereka, seketika dapat
mengubah sikap. Tidak seperti kebanyakan dari kita yang
kalau menyadari kekeliruan diri sendiri, pikiran lalu
mencari akal untuk membela kekeliruan itu, untuk
mencari alasan dan menyalahkan orang lain untuk
menutupi ke salahan sendiri.
"Sian-cai.....! Ban Hok Seng-jin dan Sin Gi Tosu, kita
bertiga ini orang-orang tua yang berpikiran seperti anak
kecil, mudah dibujuk dan mudah di kelabuhi. Kita telah
tertipu oleh Kui To Cin-jin yang agaknya telah ketularan
penyakit Jin Kui dan menjadi seorang penjilat. Tan Tio ng
Li,. terima kasih. Kami menyadari kekeliruan kami. Akan
tetapi dari tempat jauh sekali kami datang dan kami telah
mendengar tentang kelihaianmu. Rasanya akan sia-sia
perjalanan kami kalau kami belum mencoba kelihaianmu.
Nah, mari kita main main sebentar, hendak kubuktikan
apa yang telah kudengar tentang dirimu!"
Tiong Li mengerutkan alisnya. "Totiang, perlukah itu"
Kita bukan musuh dan tidak ada urusan apapun di antara
kita. Kita belajar ilmu untuk dipergunakan membela
kebenaran dan keadilan, bukan untuk saling serang di
antara orang-orang sehaluan. Bukankah totiang juga
membela kebenaran dan keadilan?"
"Ha-ha-ha, lupakah engkau akan kebiasaan orang
kang-ouw, belum berarti berkenalan dengan baik kalau
belum mengenal kepandaian masing-masi ng" Ini bukan
perkelahia n, hanya saling menguji kepandaian saja."
Tiong Li menghela napas panjang dia mengerti akan
kebiasaan orang-orang kang-ouw yang sangat suka
untuk mengenal orang lai n melalui ilmu silatnya.
"Baiklah, to-tiang. Kalau totia ng menghendaki demikian."
To-su yang tinggi kurus itu menggerakkan tongkatnya.
Im Seng Cu memang seorang ahli dengan senjata
tongkatnya yang telah mengangkat namanya sebagai
seorang datuk persilatan yang lihai "Orang muda,
pergunakanlah senjatamu untuk menandingi tongkatku
Ini!" "Maaf, to-tiang. Saya tidak memiliki senjata apapun
selain kaki dan tangan ini. Biarlah saya menghadapi
tongkat to-tiang dengan kaki dan tanganku. Nah, saya
sudah bersiap, to-tiang!" kata Tiong Li sambil memasang
kuda-kuda di depan tosu itu .
Im Seng Cu mengerutkan alisnya. Bagaimana
mungki n dia melawan seorang pemuda yang bertangan
kosong dengan tongkatnya" Akan tetapi karena dia
sudah mendengar akan kelihaian Tio ng Li, diapun ingin
sekali mengujinya.
"Baik, engkau yang menghendaki demikian, bukan
pinto. Nah, sambutlah seranganku ini!"
Tongkatnya menyambar dengan dahsyat dan cepat
sekali, mengirim totokan bertubi-tubi ke arah tiga jalan
darah di pundak dan dada Tiong Li. Pemuda ini tidak
memandang rendah dan sudah menduga bahwa tosu itu
tentu lihai sekali, maka sejak tadi dia sudah bersikap
waspada dan begitu lawan menyerang, dia mengerahkan
Ilmu meringankan tubuh Jauw-sang-hui dan memain kan
ilmu silat Ngo-heng-lian-hoan-kun yang amat lihai.
Tubuhnya berkelebatan dan tidak dapat tersentuh ujung
tongkat. Im Seng Cu terkejut sekait melihat tubuh
pemuda itu berubah seperti bayangan yang berkelebatan
dan tahu-tahu tangan pemuda itu menampar ke arah
pergelangan tangannya sedangkan kakinya menyusul
dengan sapuan yang cepat, dan kuat sekali!
Cepat sekali dia menarik lengannya dan meloncat
tinggi ke atas, lalu memutar tongkatnya dan menyerang
lebih hebat lagi karena dia maklum bahwa pemuda itu
benar-benar amat tangguh.Tiong Li sendiri juga terkejut.
Tongkat itu memang hebat. Ujungnya seolah berubah
menjadi puluhan batang dan semua
ujung itu mengancam jalan darahnya. Totokan yang bertubi-tubi
membuat dia terpaksa harus menggunakan kecepatan
gerakannya, mengelak dan kadang menangkis tongkat
itu dengan lengannya.
"Dukkk.....!"
Ketika tingkat bertemu dengan lengan kiri Tiong Li
yang menangkisnya, kembali tosu itu terkejut karena dia
merasa betapa kedua lengannya yang memegang
tongkat tergetar hebat. Hal ini tidaklah mengherankan
karena ketika menangkis Tiong Li telah mengerahkan
tenaga Jian-kin-lat. Akan tetapi kakek Itu menggerakkan
tongkatnya secara istimewa sekali dan tahu-tahu sudah
menotok pundaknya! Tidak ada kesempatan lagi bagi
Tiong Li untuk mengelak atau menangkis, maka cepat
dia mengerahkan ilmu I-kiong-hoan-hiat.
"Tukkk!"
Jalan darah di pundak itu tertotok dengan cepat sekali
oleh ujung tongkat. Im Seng Cu memang seorang ahli
totok yang hebat, akan tetapi sekali ini dia terkejut,
setengah mati melihat totokannya itu tidak merobohkan si
pemuda, sebaliknya dengan Tai-lek-kim-kong-jiu Tiong Li
menyerangnya dan menangkap tongkatnya. Demikian
hebatnya pukulan kilat itu sehingga Im Seng Cu terpaksa
melompat ke belakang dan melepaskan tongkatnya yang
terampas oleh Tiong Li !. Kiranya ilmu I-kiong-hoan-hiat
yang dapat memindahkan jalan darah dan menahan
aliran darah itu membuat dia kebal terhadap totokan
yang tepat mengenai jalan darah di pundaknya itu tidak
mengenai jalan darah yang sudah dipindahkan, maka dia
pun tidak terpengaruh.
"Siancai.....! Engkau memang hebat sekali, orang
muda!" kata Im Seng Cu memuji dan dia menyambut
ketika Tiong Li mengembalikan
tongkatnya, lalu
melangkah kebelakang dengan wajah agak basah oleh
keringat. Melihat ini, dua orang Tosu yang lain menjadi
gembira bukan main. Pemuda itu dapat menandingi
bahkan mengugguli Im Seng Cu, ini hebat!
Ban Hok Seng-jin lalu maju dan mencabut pedangnya.
"Tan-sicu, pinto juga ingin sekali merasakan kelihaianmu.
Akan tetapi karena pinto biasa menggunakan pedang,
maka sekarangpun terpaksa pinto mempergunakan
pedang. Harap kau orang muda suka menggunakan
senjata pula, karena kalau bertangan kosong sungguh
membuat pi nto merasa tidak enak."
"Koko, kau pergunakanlah pedangku ini!" Tiba-tiba
Siang Hwi berkata sambil memberikan pedangnya
kepada Tiong Li. Pemuda itu meragu. Kekasihnya adalah
murid Ban-tok Sian-li maka pedangnya tentu pedang
beracun dan dia tidak mau mempergunakan pedang
beracun, akan tetapi untuk menolaknyapun dia merasa
tidak enak terhadap kekasih nya. Agaknya Siang Hwi
memaklumi keraguan kekasihnya, maka ia tersenyum
manis dan berkata :
"Koko, jangan khawatir. Pedangku ini bersih!"
Tiong Li menjadi girang sekali dan tanpa ragu lagi dia
menerima pedang itu, sebatang pedang yang terbuat dari
baja yang baik sehingga mengkilat bersih. Tidak ada
tanda-tanda bahwa pedang itu mengandung racun. Dia
memegang pedang menghadapi Ban Hok Seng-jin.
"Kalau to-tiang memaksa hendak menguji ilmu
pedang, silakan, to-tiang. Saya sudah bersiap!" katanya
sambil melintangkan pedangnya di depan dada. Biarpun
kelihatannya dia hanya melintang kan pedangnya depan
dada bertemu dengan ujung jari tangan kiri nya yang juga
berada di depan dada dengan lengan terlipat, namun
sesungguhnya itu adalah sebuah pasangan dari ilmu
pedang Hui-eng-kiam-hoat
(ilmu Pedang Garuda Terbang), yaitu pasangan Garuda Melipat sayapnya.
"Bagus, kalau begitu sambutlah seranganku ini, orang
muda!" bentak Ban Hok Seng-jin yang sudah menyerang
dengan sabetan pedangnya dari kiri ke kanan. Sepasang
lengan yang membentuk sayap dilipat itu terbuka dan
pedang di tangan Tiong Li menangkis. Pedang beradu
beruntun sampai tiga kali dan mereka masing-masi ng
menarik pedangnya untuk diperiksa.
Ternyata pedang tidak menjadi rusak hanya Ban Hok
Sen-jin merasa betapa tangannya tergetar keras. Maka
dia lalu menyerang lebih hebat lagi. Pedangnya lenyap,
bentuknya berubah menjadi sinar bergulung-gulung
menyilaukan mata. Tosu ini memang seorang ahli
pedang yang pandai sekali, Akan tetapi Tiong Li
mengimbanginya dengan ilmu meringankan tubuh Jauw-
sang-hui. Tubuh pemuda yang memainkan ilmu pedang Hui-
eng-kiam-hoat i ni seperti berubah menjadi seekor burung
walet yang amat lincah. Beterbangan ke sana sini di
antara sambaran pedang lawan dan pedangnya sendiri
pun digerakkan membalas dengan serangan yang tidak
kalah hebatnya.
Terjadi saling serang dengan hebatnya, ditonton dua
orang tosu dan juga Siang Hwi yang merasa semakin
kagum kepada kekasihnya, ia melihat tubuh kekasihnya
itu seperti berubah. menjadi bayangan yang berkelebatan di antara dua gulungan sinar pedang.
Tentu saja Tiong Li tidak ingin merobohkan atau
melukai lawan maka dia mencari akal bagaimana untuk
mencapai kemenangan tanpa harus melukai lawan.
Akhirnya dia mendapatkan akal. Pada saat pedang


Mestika Golok Naga Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lawan menusuk ke arah lehernya, dia memapak! dengan
pedangnya dan mengerahkan sin-kang menyedot
pedang itu sehingga pedang tosu itu melekat pada
pedangnya. Diputarnya pedang itu dengan pengerahan
sin-kang sehingga mau tidak mau pedang tosu itu ikut
berputar. Pada saat kedua pedang berputar itulah, Tio ng
LI menyerongku pedangnya dan menusuk ke depan,
mengancam pergelangan tangan lawan!
Ban Hok Seng-jin terkejut bukan main ketika tahu-tahu
pergelangan tangannya sudah terancam ujung pedang
laan. Untuk melindungi pergelangan tangannya. terpaksa
dia melepaskan pedang yang menempel pada pedang
lawan itu dan melompat ke belakang!. Pedangnya masih
menempel pada pedang Tiong Li yang kemudian
mengambilnya dan menyodorkan kepada pemiliknya,
mengembalikannya sambil berkata, "Terima kasih bahwa
to-tiang telah mengalah kepada saya."
"Siancai ....... !" Ban Hok Seng-jin menerima kembali
pedangnya dan memandang penuh kagum. "Belum
pernah pinto bertemu tanding seperti engkau, orang
muda. Kalau boleh pinto bertanya, ilmu pedang apakah
yang kaumainkan itu?"
"Itu adalah Hui-eng-kiam-hwat, to-tiang."
"Hui-eng-kiam-hwat" Bukankah ilmu pedang itu
menjadi ilmu Pek Hong Sa jin, pertapa di Pek-hong-san?"
Pendekar Latah 18 Puteri Es Seri 5 Kesatria Baju Putih Karya Wen Rui Ai Peristiwa Merah Salju 11
^