Pencarian

Misteri Kapal Layar Pancawarna 12

Misteri Kapal Layar Pancawarna Karya Gu Long Bagian 12


"Jit-tai-te-cu (ketujuh murid utama) ... Ban-Cu-liang ... Ya, mereka itulah ... Cuma sayang ... "
Meski semua orang yang berada di situ sama bermata jeli dan bertelinga tajam, namun derap kaki kuda terlampau cepat sehingga suara mereka cuma terdengar samar-samar begitu saja.
Tampaknya kedua penunggang kuda itu sudah menjauh, mendadak Ban-lo-hu-jin mendengus angkat tongkatnya yang panjang itu, dari ujung tongkat segera melayang keluar seutas tali panjang serupa pelangi dan menyambar kepala kedua penunggang kuda itu.
Derap kaki kuda lari menutupi suara sambaran tali panjang itu, ditambah lagi kedua orang itu tidak menyangka akan diserang dari belakang. Ketika salah seorang itu menjerit kaget, tahu-tahu lehernya sudah terjerat tali, kuda berjingkrak menegak sambil meringkik, penunggang kuda itu menarik erat tali kendali. Tapi sekali Ban-lo-hu-jin menyendal talinya, kontan orang itu terbanting dari kudanya.
"Hehe, sungguh anak yang tidak tahu aturan melihat orang tua masakah tidak mau turun."
ucap Ban-lo-hu-jin dengan terkekeh.
Penunggang kuda yang lain seperti tidak menyadari apa yang terjadi, kudanya membedal sekian jauh, tahu-tahu penunggang kuda itu meloncat dan tangan pun menghunus suatu senjata mengkilat.
Sekali loncat dari kudanya, dalam sekejap sudah hinggap di depan Ban-lo-hu-jin, dan sebelum menegak, langsung senjata menikam dada nenek itu.
Akan tetapi Ban-lo-hu-jin bukan lawan empuk, sedikit mendak, dapat ia menerobos ke samping dari sambaran senjata musuh.
Ketika berhadapan, terlihat orang ini bertubuh ramping, baju hitam ketat, senjata yang dipegangnya serupa clurit dan mirip pedang, ternyata sejenis senjata yang jarang dikenal.
Meski tidak banyak orang yang melihat senjata seperti ini, namun sudah sering orang mendengar kisahnya dan betapa lihai pemakainya. Maka lamat-lamat sebagian hadirin dapat menduga senjata inilah satu di antara ke-13 senjata khas, yaitu Boh-in-cin-thian-pit, potlot penggetar langit. Dan pendatang yang bertubuh ramping dan berbaju hitam ini tentulah Ling-Peng-hi yang berjuluk Thian-siang-hui-hoa atau bunga bertebaran di langit.
Sementara itu Ban-lo-hu-jin sudah melompat ke samping penunggang kuda yang terbanting oleh jeratan talinya itu, ia cengkeram kuduk orang itu dan dijadikan tameng di depan sendiri.
Ling-Peng-hi terkesiap, bentaknya, "Lepaskan dia!"
Ban-lo-hu-jin berlagak tidak dengar, katanya jangan terkekeh, "Hehe, kukira siapa, rupanya 407
Koleksi Kang Zusi
Ling-siau-ceng-cu adanya. Malam bulan purnama belum lagi tiba, ternyata Ling-siau-ceng-cu sudah terburu-buru kemari, memangnya apa tujuanmu?"
Ling-Peng-hi berwajah kaku dingin, mata cekung dan alis tebal, ucapnya dengan sorot mata tajam, "Lepaskan atau binasa!"
Ban-lo-hu-jin tetap tidak gentar juga tidak marah, wajahnya yang welas-asih tetap tersenyum, orang itu tetap dicengkeramnya, sahutnya, "Ai, kenapa Ling-siau-ceng-cu marah, biarpun ada kesalahanku, sepantasnya Ling-siau-ceng-cu kasihan kepada nenek reyot macam diriku yang kesepian ini. Soalnya aku dengar putraku yang tidak becus ini berada di sekitar sini, karena ingin lekas menemuinya, maka melupakan segalanya ..."
Ia bicara dengan nada memohon dan sikap memelas. Akan tetapi Ling-Peng-hi tetap tidak peduli, jengeknya malah, "Yang kau pegang itu cuma seorang centingku, apa gunanya kau jadikan dia sebagai sandera?"
Sambil bicara, langsung ia menyongsong ke depan.
Ban-lo-hu-jin tampak celingukan kian kemari mendadak ia berteriak, "Ya ampun, kalian kaum lelaki sebanyak ini masakah cuma berpeluk tangan menonton doang dan tiada seorang pun sudi menolong jiwaku" Jika kalian tidak menghargai diriku, kan sepantasnya mengingat kepada putraku itu ..."
Akhirnya Poa-Ce-sia tidak tahan, ia melompat maju ke depan Ling-Peng-hi dan menyapa "Ling-siau-ceng-cu, Ban-lo-hu-jin ini adalah ibu In-bong-tay-hiap Ban-Cu-liang yang terkenal berbudi di dunia kang-ouw, mohon Siau-ceng-cu sudi mengingat kebaikan Ban-tay-hiap dan jangan mengganggunya."
"Siapa kamu ini?" jengek Ling-Peng-hi.
"Poa-Ce-sia, itulah namaku."
"O, Poa-Ce-sia baik juga, aku dengar engkau ini pun seorang gagah, tapi biarlah kukatakan terus terang, kedatanganku ini selain untuk menghadiri pertemuan di Thay-san, yang lebih utama adalah ingin menentukan kalah-menang dengan Ban-Cu-liang yang munafik dan bernama palsu itu. Sekarang ibu orang she Ban itu mengganggu lagi anak buahku, apakah hal ini dapat aku tinggal diam" Maka janganlah kamu ikut campur agar tidak terjadi sengketa di antara kita."
Poa-Ce-sia heran, "Selama hidup Ban-Cu-liang terkenal jujur dan tulus, Lian-thian-san-ceng kalian juga jauh di sana dan tidak pernah bersengketa dengan orang, entah mengapa Ling-siau-ceng-cu jadi bermusuhan dengan Ban-tay-hiap?"
"Jujur dan tulus" Hmk!" jengek Ling-Peng-hi. Coba katakan, saudara angkatku. Hi-Toan-kah selama hidup terkenal gagah ksatria, tapi orang she Ban itu justru menyiarkan desas-desus, katanya dia pernah dikalahkan si pendusta besar Pui-Po-giok sehingga nama baik saudaraku itu runtuh habis-habisan, apakah caranya ini terhitung jujur dan tulus?"
"Oo, ini ..." Poa-Ce-sia jadi gelagapan.
Urusan Pui-Po-giok memang sudah tersiar sebagai perkara yang sukar dimengerti di dunia kang-ouw, Poa-Ce-sia sendiri tidak tahu seluk-beluk urusan itu sehingga tidak dapat memberi penjelasan, apalagi membela nama Ban-Cu-liang.
Mendadak Ban-lo-hu-jin berteriak, "Ai, anak yang tidak berbakti memang sudah lama melukai hatiku, jika kau tahu di mana ia berada, harap aku dibawa ke sana, akan aku hajar dia supaya selanjutnya dia menghargai orang tua."
Centing yang dicengkeram oleh Ban-lo-hu-jin itu tidak gentar meski tidak dapat berkutik, mendadak ia berteriak, "Kabarnya Ban-Cu-liang berada tidak jauh dari sini, kalau tidak masakah cu-kong muda kami terburu-buru menyusul kemari?"
Mendadak Ban-lo-hu-jin melepaskan centing itu, dengan langkah limbung dan tongkat agak gemetar ia mendekati Ling-Peng-hi, ucapnya dengan tersenyum dengan napas agak tersengal,
"Ayo kita berangkat bersama, kebetulan aku pun ingin bikin perhitungan dengan binatang kecil itu dan sekalian untuk melampiaskan rasa gemasmu."
Ucapan ini membuat Ling-Peng-hi tercengang malah, menghadapi nenek yang bicara dengan 408
Koleksi Kang Zusi
tertawa, dengan napas tersengal, dengan langkah reyot, dengan kata-kata yang memelas, tentu saja ia tidak sampai hati untuk bersikap kasar padanya.
Centing itu membawakan kuda, setelah termenung sejenak, mendadak Ling-Peng-hi mengentak kaki terus mencemplak ke atas kuda. Pada saat yang hampir sama Ban-lo-hu-jin juga melompat ke atas kuda tunggangan si centing tadi dan berkata, "Biarlah orang muda saja yang berjalan kaki, kuda ini dipinjamkan kepada nenek."
Habis berkata, ia tepuk pantat kuda dan dilarikan secepat terbang. Segera Ling-Peng-hi ikut ke sana.
"Kabarnya Ban-Cu-liang tinggal di Koai-cip-wan, jangan Siau-ceng-cu salah alamat!" seru si centing.
Sementara itu kusir kereta yang mengangkut peti mati tadi entah telah lari ke mana, kereta kuda ditinggal begitu saja. Poa-Ce-sia menyuruh si centing menggunakan kuda kereta itu, lalu ia pun menyusul ke sana dengan cepat.
Meski arah Koai-cip-wan terletak di jurusan yang berlawanan dengan Thay-san dan para ksatria itu juga terburu-buru hendak pergi ke Thay-san tapi ada tontonan menarik, semuanya ingin melihatnya. Maka beramai-ramai mereka pun ikut menuju ke Koai-cip-wan yang terkenal dan terletak di tepi selatan Tiang-kang.
Taman hiburan itu memang indah permai, pepohonan tumbuh rindang, bunga mekar semarak, banyak gunung-gunungan palsu dengan gardu pemandangan yang cantik, kolam dengan sungai kecil yang menyusuri petamanan itu menambahi keindahan tempat tamasya ini.
Banyak orang yang berkumpul di taman hiburan ini sesuai namanya, Koai-cip-wan artinya taman ria tempat berkumpul. Di berbagai rumah hiburan yang terdapat di dalam taman ramai dengan suara orang gelak tawa, suasana terasa meriah.
Pada saat itu, di samping gunung-gunungan yang terletak di tengah rumpun bambu saja seorang sedang berjalan mondar-mandir dengan menggendong tangan, namun sorot matanya tampak mencorong aneh.
Di sekeliling orang ini yang berjarak belasan tombak jauhnya, di tempat yang agak gelap dan tidak tercapai oleh cahaya lampu, di bawah pohon atau di samping gunung palsu terdapat pula satu atau dua sosok bayangan orang, semua seperti sedang mengintai orang yang mondar-mandir sendirian ini.
Lebih jauh di semak-semak pohon sana terdapat lagi seorang yang berkopiah semangka dan berbaju hijau sedang memandang serumpun bunga yang hampir layu, hanya terkadang ia pun menoleh dan memandang satu dua kejap ke tengah rumpun bambu. Namun orang yang mondar-mandir di hutan bambu itu seperti tenggelam sama sekali dalam lamunannya, terhadap apa yang terjadi di sekitarnya seakan-akan tidak ambil pusing.
Sekonyong-konyong seorang berlari datang dengan tergesa-gesa, menyusur jalan kecil berbatu, melintas jembatan papan, menuju ke sebuah ?"?"?" yang diterangi oleh cahaya lampu dan berlabuh di tepi sungai kecil sana.
Suara langkah yang tergesa-gesa itu mengejutkan orang yang sedang melamun dan mondar-mandir di tengah hutan bambu itu, juga mengacaukan suasana riang orang yang berkumpul di sampan hias.
Pemilik taman hiburan, Ce-Sing-siu, berdiri dengan kening berkerenyit, ia melongok keluar sampan dan menegur, "Ada urusan apa pakai lari-lari seperti diuber setan?"
Pemuda yang lari kesetanan itu berhenti di dekat sampan dengan napas terengah-engah, katanya sambil menuding ke arah datangnya tadi, "Ada ... ada seorang ksatria besar ... "
"Setiap hari juga datang banyak ksatria dari berbagai penjuru, memangnya ksatria siapa pun yang datang sehingga membuatmu sedemikian gugup?" tanya Ce-Sing-siu dengan kurang senang.
"Tapi orang ini tidak ... tidak sama ..."
409 Koleksi Kang Zusi
"Tidak sama apa" Siapa orang yang kau maksudkan?"
"Dia ... dia adalah ksatria yang sering disinggung oleh Suhu, yaitu Siau-ceng-cu Lian-thian-san-ceng Ling-Peng-hi."
Belum habis penuturannya, serentak Ce-Sing-siu meraba bekas luka pada wajahnya, bekas luka yang ditinggalkan Thian-siang-hui-hoa Ling-Peng-hi tahun yang lalu. Selain meninggalkan bekas luka pada mukanya, juga Ling-Peng-hi meninggalkan jiwa Ce-Sing-siu.
Sampai sekarang Ce-Sing-siu sendiri belum lagi tahu apakah dia harus berterima kasih kepada Ling-Peng-hi atau harus benci padanya. Ia termenung sejenak dengan menunduk, lalu berucap dengan menghela napas, "Ya, sudahlah. Silakan dia kemari."
Waktu ia mendongak, ternyata Ling-Peng-hi sudah berada di depannya.
Cepat Ce-Sing-siu melompat keluar dari sampan dan menyapa, "Maaf tidak dilakukan sambutan yang layak atas kunjungan Ling-heng ..."
"Antara kita tidak perlu sungkan," jengek Ling-Peng-hi, "Aku cuma ingin tanya padamu, saat ini Ban-Cu-liang dan ketujuh murid utama ketujuh aliran itu berada di mana?"
"Ban-tai-hiap maksudmu" Bilakah dia datang kemari?" jawab Ce-Sing-siu dengan melengak,
"Ah, kabar yang tersiar sering tidak benar, mungkin Ling-heng salah informasi."
"Memangnya untuk apa orang membohongi itu?" kata Ling-Peng-hi dengan ketus.
Tiba-tiba dari tempat tersembunyi seorang berteriak, "Meski Ban-Cu-liang tidak pernah datang kemari, tapi di antara Jit-tai-tecu (ketujuh murid utama) jelas ada yang hadir di sini. Hendaknya Ling-siau-ceng-cu jangan sampai ditipu Ce-Sing-siu."
Ling-Peng-hi tertawa dingin, dengan sorot mata tajam ia tatap Ce-Sing-siu, katanya, "Jangan-jangan ketujuh murid utama itu pun serupa Pui-Po-giok, hanya kaum pembual belaka dan tidak berani menemuiku setelah mengetahui orang she Ling lagi mencarinya?"
"Ah, masa ..."
Belum lanjut ucapan Ce Sing-siu, mendadak seorang melompat keluar dan berteriak, "Di antara Jit-tai-tecu memang ada yang hadir di sini, lantas kamu mau apa?"
Orang ini beralis panjang tebal, air mukanya angker, siapa lagi selain Nyo-Put-loh.
Sepintas pandang dia kelihatan sehat, tapi bila diamati, air mukanya tampak pucat, semangat lesu, sorot matanya juga agak buram, jelas orang yang menanggung rasa sedih kalau bukan habis sakit berat.
Orang yang berada di tengah hutan bambu tadi tampak emosi demi melihat kemunculan Nyo-Put-loh, segera ia bermaksud menerjang ke luar, tapi urung, sorot matanya yang emosional penuh rasa pedih pula.
Terdengar Ling-Peng-hi lagi berkata, "Di antara Jit-tai-tecu hanya kamu seorang saja yang di sini?"
"Melulu orang she Nyo seorang saja sudah cukup menghadapi manusia latah semacam dirimu."
jawab Nyo-Put-loh dengan bengis.
"Bagus!" sahut Ling-Peng-hi. "Biarlah orang she Ling belajar kenal dengan kungfu Wi-yang-pai."
Sekali putar, tahu-tahu senjata khas Cin-thian-pit sudah dilolos keluar.
Ce-Sing-siu melompat maju dan menghadang di depan Nyo-Put-loh, katanya dengan kuatir,
"Bok-tai-hiap dan lain-lain tidak berada di sini, mana Nyo-tai-hiap boleh turun tangan sendiri?"
"Justru karena mereka tidak berada di sini, kalau aku tidak turun tangan lantas siapa lagi yang akan maju?" ujar Nyo-Put-loh, lalu ia tampak lebih dekat ke arah Ling-Peng-hi.
Keadaan Nyo-Put-loh sekarang serupa Pui-Po-giok menghadapi Au-yang-thian-kiau tempo hari, walaupun tahu pasti akan kalah terpaksa harus bertempur juga demi nama dan kehormatan.
410 Koleksi Kang Zusi
"Keluarkan senjatamu!" teriak Ling-Peng-hi.
"Eng-jiau-lik (tenaga cakar elang) Wi-yang-tai tidak tertahankan oleh kekuatan apa pun, biarpun senjata paling tajam di dunia ini juga tidak dapat menandingi cakar elang orang she Nyo, apalagi cuma potlot bajamu," jengek Nyo-Put-loh.
Ling-Peng-hi tertegun sejenak, mendadak ia terbahak-bahak, katanya, "Haha, setelah bertemu sekarang baru kutahu Nyo-Put-loh ternyata juga orang yang sok berlagak."
"Sok berlagak apa maksudmu?" teriak Nyo-Put-loh dengan gusar.
"Sudah jelas kau tahu senjataku Cin-thian-pit ini serba guna dan sukar dilawan, kau tahu kalau tidak menggunakan senjata tentu aku pun tidak enak untuk menempurmu dengan senjata, lantaran kamu tidak berani menghadapi potlot bajaku ini dengan sendirinya kamu berlagak hendak melawan senjataku dengan bertangan kosong."
Mendadak Nyo-Put-loh memang gusar, sekali putar ke sana, secepat kilat ia lolos sebilah golok dari pinggang seorang penonton, bentaknya kemudian, "Nah, senjata apa pun yang kau gunakan boleh maju saja sekarang."
"Haha, bagus! Dalam sepuluh jurus jika orang she Liang tidak dapat menjatuhkanmu, biarlah seterusnya aku lantas pulang ke kampung dan takkan berkecimpung di dunia kang-ouw lagi.
Nah, silakan mulai!"
Tanpa bicara lagi golok Nyo-Put-loh lantas membacok. Padahal permainan golok bukan kungfu andalan Wi-yang-pai, namun bacokan golok Nyo-Put-loh ini ternyata sangat dahsyat dan membuat pemilik golok semula merasa kagum, sebab merasa kepandaian orang lebih lihai daripadanya.
Poa-Ce-sia, Ce-Sing-sia dan lain-lain tampak merasa sedih. Sementara itu para ksatria juga sudah berkerumun. Ban-lo-hu-jin sembunyi di tengah orang banyak, sebelum ada kesempatan baik baginya tidak nanti dia mau memperlihatkan diri.
Ketika golok Nyo-Put-loh membacok, Ling-Peng-hi tetap diam saja tanpa bergerak, tampaknya golok sudah hampir membelah batok kepalanya, pada detik terakhir barulah ia menggeser sedikit, cukup bergeser sedikit saja sudah bebas dari rengutan maut.
Betapa tenang dan betapa jitu caranya menghadap serangan maut itu sungguh membuat orang sangat kagum.
Sementara itu Cin-thian-pit Ling-Peng-hi tahu-tahu juga sudah balas menyerang, jurus serangannya seperti biasa saja, namun cepatnya dan arahnya yang tepat sukar untuk dilukiskan. Tahu-tahu beberapa hiat-to penting di dada Nyo-Put-loh sama terancam.
Cepat Nyo-Put-loh berputar, golok berkepala setan segera menebas lagi secepat kilat.
Diam-diam Poa-Ce-sia menghela napas gegetun, katanya perlahan, "Keadaan Nyo-Ji-thiap sendiri kurang sehat, senjata juga tidak biasa digunakan, sekarang dia menyerang secara nekat, mungkin dalam sepuluh jurus ia benar-benar akan kecundang."
"Ya, apalagi cundrik andalan Ling-Peng-hi itu selama ini menggetar dunia kang-ouw, sekali serang sudah mendahului pihak lawan, jangan-jangan tokoh Wi-yang-pai kita ini akan runtuh di tangannya hari ini."
"Semoga sekarang ada orang yang berani menggantikan Nyo-ji-thiap, kalau tidak ..."
"Siapakah yang hadir di sini sekarang mampu menandingi Ling-Peng-hi?" ujar Ce-Sing-siu dengan tersenyum getir.
"Jurus keempat ... jurus kelima! Aha, tampaknya tidak sampai sepuluh jurus orang she Nyo itu pasti akan dijatuhkan!" tiba-tiba seorang berteriak dari tempat gelap.
Memang benar, dalam lima jurus saja Nyo-Put-loh tampak sudah berkeringat, urat hijau sama menonjol di keningnya, gerakan goloknya juga mulai lamban ...
Pada saat yang sama orang yang mondar-mandir di hutan bambu itu juga penuh rasa pedih, 411
Koleksi Kang Zusi
penuh pertentangan batin. Dalam kegelapan tidak kelihatan air mukanya, tapi dapat terlihat jari tangan rada gemetar.
"Agaknya ia tidak tahan berpeluk tangan membiarkan Nyo-Put-loh menghadapi maut dan sebentar nama baiknya akan tamat selamanya. Tapi dia justru tidak dapat tampil, sebab kalau dia tampil selain akan menghancurkan Nyo-Put-loh juga akan menghancurkan dirinya sendiri.
Sementara itu jurus serangan keenam Ling-Peng-hi sudah dilontarkan, cahaya perak sudah mengurung rapat seluruh tubuh Nyo-Put-loh, siapa pun dapat melihat dalam waktu sekejap lagi Nyo-Put-loh pasti akan dirobohkan.
Selagi pikirannya penuh diliputi pertentangan batin, bertindak atau tidak"
Tiba-tiba dari balik gunung-gunungan sana orang berseru, "Pui-Po-giok ... "
Kata-kata itu serupa anak panah yang menembus hulu hatinya. Tubuh orang ini tergetar dan tidak berpaling. Tapi tidak perlu dijelasksn lagi dia memang benar Pui-Po-giok yang baru lolos dari sarang iblis itu.
Suara tadi bergema pula, "Pui-Po-giok, lantaran membelamu Nyo-Put-loh sedang bertempur mati-matian, tampaknya segera akan kecundang dan kau sendiri malah sembunyi di sini apakah kamu tidak punya perasaan?"
"Siapa kau ?" tanya Po-giok tanpa menoleh.
"Tidak perlu tanya seharusnya dapat kau terka," sahut orang itu.
Dalam waktu singkat, pembicaraan mereka itu, sementara Ling-Peng-hi sudah melancarkan serangan jurus kedelapan. Sinar perak berkelebat dan Nyo-Put-loh mengangkat golok menyongsong cahaya perak.
Meski ia menyadari goloknya sukar menangkis tenaga serangan cundrik Ling-Peng-hi, namun selain menangkis memang tiada jalan lain, juga tidak sempat lagi baginya untuk mengelak. Jadi tidak ada pilihan lain baginya.
Ketika cahaya perak kontak dengan sinar golok, cahaya perak mendadak berhenti, ujung Cin-thian-pit beradu dengan mata golok. Bilamana cahaya perak itu bekerja lebih keras, kontak golok Nyo-Put-loh pasti akan terlepas. Keadaan Nyo-Put-loh sekarang serupa cacing terhimpit batu dan hanya bisa pasrah nasib belaka.
Melihat keadaan yang menentukan itu, semua orang ikut tegang dan menahan napas. Namun Ling-Peng-hi tidak segera menekan lebih lanjut. Air mukanya yang dingin kaku itu menampilkan sikap mengejek, dengusnya kemudian, "Nyo-Put-loh, jika kamu tidak menghendaki gempuranku lebih lanjut, asalkan kamu mengakui Pui-Po-giok adalah pendusta dan Ban-Cu-liang memang manusia pembual dan penipu, maka segera kutarik kembali senjataku."
Meski Nyo-Put-loh menggertak gigi sekuatnya, tak urung tubuh pun gemetar saking menahan rasa gusar.
Di sebelah sana Pui-Po-giok juga sedang berkata dengan suara gemetar, "Kamu orang Ngo-hing-mo-kiong, kalian melepaskan diriku, tapi memusnahkan ilmu silatku, tujuan kalian adalah supaya aku menghadapi penderitaan seperti sekarang ini bukan?"
Orang tidak kelihatan itu tertawa, jawabnya "Betul, saat ini seharusnya kau tahu, dunia kangouw sudah buntu bagimu, maka lebih baik kembali saja kepada kami, dunia seluas ini hanya Ngo-hing-mo-kiong saja yang masih dapat menerimamu. Tentunya kau pun tahu, di dunia ini tiada seorang pun yang percaya padamu kecuali Ngo-hing-mo-kiong kami."
Gemeretuk gigi Po-giok dan tangan terkepal erat, namun tidak sanggup menjawab.
Terdengar di sana Ling-Peng-hi sedang berkata, "Nyo-Put-loh, sekarang seharusnya kau tahu bahwa nama dan jiwamu sudah tergenggam di tanganku, setiap saat dapat aku hancurkan dirimu. Maka hendaknya kau pikirkan lagi, kamu mau bicara atau tidak?"
Nyo-Put-loh juga menggertak gigi sekuatnya sehingga urat hijau pada keningnya menonjol terlebih besar.
Melihat wajah Nyo-Put-loh yang penuh derita dan menahan murka itu, mendadak Po-giok membuka tangan yang terkepal, rupanya ia sudah mengambil suatu keputusan. Ia tahu meski 412
Koleksi Kang Zusi
kungfu sendiri sudah musnah dan sukar bertempur lagi, tapi bila dia maju keluar, maka Ling-Peng-hi akan segera berhenti menyerang dan Nyo-Put-loh dapat diselamatkan.
Ia sudah mengambil keputusan demi orang lain terpaksa harus mengorbankan diri sendiri.
Dengan langkah lebar segera ia keluar dari hutan bambu, serunya, "Inilah Pui-Po-giok berada di sini, harap Ling-siau-ceng-cu berhenti!"
Seketika kawanan ksatria yang berkerumun itu sama melengak, habis itu suasana berubah menjadi gempar. Beramai-ramai mereka lantas memberi jalan lewat.
Seorang pemuda cakap tampak muncul menerobos kerumunan orang banyak. Di bawah pandangan orang banyak yang heran, hina dan curiga, langkah si pemuda mantap tanpa terpengaruh. Entah siapa yang berseru di tengah orang banyak, "Aha, memang betul dia Pui-Po-giok!"
Mendadak Ling-Peng-hi melompat mundur seringan burung terbang. Menyusul terdengar suara
"trang", golok Nyo-Put-loh jatuh ke tanah, tubuh pun jatuh terduduk sambil menatap Po-giok dengan sorot mata yang aneh entah girang entah marah.
Ketika cahaya perak berkelebat, tahu-tahu Ling-Peng-hi sudah berada di depan Pui-Po-giok, keduanya saling tatap sampai sekian lama tanpa bicara.
"Hm, kiranya beginilah bentuk Pui-Po-giok!" jengek Ling-Peng-hi kemudian, "Tadinya kukira seorang penipu tentu berbentuk agak berbeda daripada orang lain."
"Karena itu anda merasa kecewa, begitu bukan?" tanya Po-giok dengan tersenyum.
Ling-Peng-hi tertawa latah, katanya, "Ya, memang betul, orang she Ling memang kecewa ..."
"TapI rasa kecewaku jauh melebihimu," ujar Po-giok tertawa. "Semula kukira Ling-siau-ceng-cu dari Lian-thian-san-ceng tentulah seorang ksatria gagah perkasa, siapa tahu dia cuma pandai mengambil kesempatan pada saat orang lain terancam bahaya, lalu menarik keuntungan tatkala orang kepepet."
Tertawa Ling-Peng-hi berhenti seketika, katanya dengan gusar "Huh, kamu penipu, berdasarkan apa kau bicara begitu padaku" Jika aku tidak bertindak demikian, memangnya penipu licik semacam dirimu dapat dipancing keluar?"
"Sekarang aku sudah berada di sini, kau mau apa?" tanya Po-giok.
"Aku mau apa, tanpa kukatakan kentu kau pun tahu," sahut Ling-Peng-hi ketus.
"Hah, jika begitu, ayo silakan!" habis berkata, segera Po-giok menyurut mundur satu langkah dengan sikap tegak. Ia sudah bertekad mengorbankan diri, dengan sendirinya ia sangat tenang.
Suasana sekeliling seketika berubah sunyi, semua orang menahan napas dan ingin tahu kejadian selanjutnya.
Cundrik Ling-Peng-hi sudah terangkat, namun sekian lama serangannya tidak dilancarkan.
Kembali terjadi kegaduhan di tengah orang banyak. Jika Ling-Peng-hi sudah tahu Pui-Po-giok cuma seorang pendusta, mengapa dia masih berlaku hati-hati dan tidak berani menyerang"
Padahal Pui-Po-giok berdiri tegak begitu saja, tanpa pasang kuda-kuda, tiada kelihatan siap tempur, malahan sekujur badan tidak terjaga. Bilamana cundrik, Ling-Peng-hi menyerang dari arah mana pun sekaligus pasti dapat merobohkan anak muda itu. Namun ketenangan luar biasa Pui-Po-giok itu berbalik membuat lawan ragu dan sangsi.
Tiba-tiba Poa-Ce-sia berteriak, "Pertemuan Thai-san sudah tinggal satu-dua hari lagi, bilamana Ling-siau-ceng-cu harus duel dengan buat apa mesti terburu-buru dilakukan sekarang?"
Meski tidak menjawab, namun sorot mata Ling-Peng-hi sudah menampilkan rasa setuju. Selama hidupnya entah berapa kali bertempur dengan orang, namun tidak pernah menghadapi lawan setenang ini. Tidak mudah ia memupuk namanya dengan sendirinya ia pun tidak mau menyerempet bahaya yang mungkin menjatuhkan namanya.
Segera Ce-Sing-siu menukas, "Memang betul ucapan Poa-tai-hiap. Para kawan datang dari jauh semuanya terhitung tamuku, jika persengketaan ini sementara disudahi, marilah kuhormati 413
Koleksi Kang Zusi
kalian barang beberapa cawan, sungguh peristiwa yang menyenangkan."
Meski pertarungan seru ini sangat dinanti-nantikan para ksatria dan ingin menyaksikan kekalahan Pui-Po-giok, tapi Poa-Ce-sia dan Ce-Sing-siu sudah bicara demikian. Ling-Peng-hi juga kelihatan ada maksud menyudahi persoalan ini siapa pula yang berani menentang"
perlahan cundrik yang dipegang Ling-Peng-hi mulai diturunkan. Sambil menatap senjata lawan yang menurun itu, diam-diam Po-giok menarik napas lega. Meski ia tidak takut mati, tapi kalau boleh tidak mati, tentu saja itulah yang diharapkan.
Siapa tahu pada saat itu juga mendadak seorang tertawa dingin, sesosok bayangan orang melayang tiba dan hinggap di tengah kalangan, siapa lagi dia kalau bukan Ban-lo-hu-jin.
Melihat nenek ini, kening Poa-Ce-sia lantas berkerenyit. Ia tahu orang tua ini paling dunia ini kacau, paling senang bila orang lain sama berkelahi.
Terdengar nenek itu mengejek, "Ai musik sudah berbunyi, lagu pengantar sudah bergema mengapa sandiwaranya belum main" Wah rasanya Ling-siau-ceng-cu agak mengecewakan para penonton hari ini.
Dengan gusar Ling-Peng-hi mengacungkan cundriknya dan membentak, "Apakah kamu saja yang bergerak denganku?"
"Ai selamanya aku tidak ada permusuhan dengan Siau-ceng-cu, buat apa kita harus berkelahi?"
ujar Ban-lo-hu-jin dengan terkekeh. "Tapi kalau hari ini Siau-ceng-cu sudah lelah, boleh juga kuwakilkanmu untuk menghajar pendusta dunia kang-ouw ini."
Rupanya ia yakin Ling-Peng-hi pasti takkan tahan oleh kata-katanya yang provokatif dan tidak nanti membiarkan seorang tua mewakili dia.
Siapa duga, setelah memandangnya sekejap, tiba tiba Ling-Peng-hi mendengus, "Hm, jika benar kau ingin turun tangan, baik, aku serahkan padamu."
Lalu ia menyingkir ke samping. Meski dia angkuh dan latah tapi bukanlah orang dungu.
Sekarang Ban-lo-hu-jin sengaja digunakannya sebagai batu ujian. Bilamana nenek itu kalah sedikit banyak akan dapat diketahuinya betapa tinggi ilmu silat Pui-Po-giok. Sebaliknya kalau Ban-lo-hu-jin menang, kemudian baru ia turun tangan merobohkan nenek itu, dengan demikian kemenangannya akan tambah gemilang.
Merasa salah hitung, berubah air muka Ban-lo-hu-jin, katanya gugup. "Wah, Siau-ceng-cu kan
..." Tapi Ling-Peng-hi mendengus lagi, "Jika kamu sudah menyatakan ingin turun tangan, maka lekas maju. Bila sengaja kau main gila denganku, sedikit banyak akan kuminta pertanggungan jawabmu."
Keruan Ban-lo-hu-jin melengong, jawabnya kemudian sambil menyengir, "Ai, masakah aku jeri terhadap anak ingusan seperti itu. Nah, Po-ji cilik, kau minta aku hajar adat padamu."
Po-giok hanya menghela napas tanpa menjawab.
Ban-lo-hu-jin terkekeh, katanya, "Po-ji, sejak kecil aku lihat kamu dewasa, mana dapat kau tandingi diriku. Lebih baik menyerah saja dan tidak perlu ... "
Sembari bicara ia terus melangkah ke depan, tapi baru beberapa langkah, mendadak ia pegang perutnya dengan setengah menungging sembari mengeluh, "Wah, sialan, perutku terasa mules
..." "Tidak peduli perut mules atau tidak, tetap harus aku labrak dia," kata Ling-Peng-hi.
"Sudah tentu, cuma aku harus kuras perut dulu. Hendaknya kaum lelaki kalian jangan mengintip ..." sambil bicara ia terus lari ke tengah kerumunan orang banyak dengan sebelah tangan memegangi celana.
Para ksatria sama tertawa geli dan banyak yang menggeleng kepala, tapi beramai memberi jalan padanya.
414 Koleksi Kang Zusi
Bentak Ling-Peng-hi dengan gusar, "Hm, jika kamu bermaksud lari, naik ke langit pun akan kususul."
"Lari" Siapa mau lari" Oya, Po-ji cilik, kamu jangan lari, sebentar kudatang lagi untuk hajar adat padamu," sembari berseru Ban-lo-hu-jin melangkah terlebih cepat dan sekejap kemudian lantas menghilang.
Ling-Peng-hi tahu sekali nenek itu merat jelas takkan kembali lagi kebelet, terpaksa ia menggerutu, "Sialan, sungguh tua bangka yang tidak tahu malu. Hehe, ibunya begitu, bagaimana kadar anaknya dapatlah dibayangkan."
Kembali Po-giok menghela napas dan semua orang pun merasa kecewa, mereka tahu hari ini tidak mungkin menyaksikan pertarungan menarik lagi, maka sebagian orang lantas mulai bubar.
Sementara itu Ban-lo-hu-jin telah lari masuk ke hutan bambu sana, setiba di balik gunung-gunungan yang gelap, segera ia berjongkok sambil celingukan kian kemari. Setelah yakin tidak ada yang menyusulnya, ia tertawa senang dan bergumam, "Huh betapapun kecerdikanmu juga dapat aku kibuli. Memangnya begitu gampang aku akan kau tipu untuk turun tangan?"
Mendadak dari tempat gelap seorang tertawa dan menanggapi, "Hah, jahe memang pedas yang tua."
Ban-lo-hu-jin terperanjat, segera ia bermaksud berdiri, tapi cepat berjongkok pula sembari memaki, "Kurang ajar, bangsat cilik dari mana, berani mengintip nenekmu yang lagi buang hajat?"
"Eh, masakah ada orang berak tanpa membuka celana, sungguh lelucon yang tidak lucu!" seru orang itu dalam kegelapan dengan tertawa. "Apalagi, aku kan juga orang perempuan, umpama mengintip juga tidak menjadi soal."
Suara nyaring, tertawanya genit, ternyata suara orang perempuan.
Ban-lo-hu-jin berjongkok lebih ke bawah, tanyanya dengan terbelalak, "Kamu siapa" kau mau apa?"
"Coba kau lihat siapa aku ini?" menyusul suara tertawanya seorang berbaju hijau dan berkopiah semangka muncul dari kegelapan tanpa menimbulkan suara ketika bertindak.
"Sesungguhnya kamu lelaki atau perempuan?" tanya si nenek.
Orang itu tertawa nyaring seperti dering kelening, ia tanggalkan kopiahnya sehingga rambutnya yang hitam panjang terurai, ucapnya dengan tertawa, "Masih kenal padaku?"
Akhirnya Ban-lo-hu-jin berdiri dan menatap orang itu, terlihat wajah yang cantik, alis lentik dan bibir tipis, mata besar jernih. Meski Ban-lo-hu-jin sendiri juga orang perempuan, tidak urung ia terkesima juga melihat gadis semolek ini.
"Ya, pernah aku lihat dirimu, tapi di ... di mana, tidak teringat lagi," gumam Ban-lo-hu-jin.
"Sungguh aneh, gadis secantik ini masakah dapat aku lupakan bila sudah aku lihat satu kali saja."
"Coba ingat-ingat lagi," kata si gadis baju hijau. "Enam tahun yang lalu ... kapal layar pancawarna ... Tatkala itu aku masih anak ingusan, biarpun tidak pernah berhadapan pasti juga pernah kau lihat dari jauh."
"Aha, betul Siau-kong-cu, betul tidak?" seru Ban-lo-hu-jin.
"Betul, memang kutahu kamu pasti kenal diriku," ujar Siau-kong-cu dengan tertawa.
"Ai, Siau-kong-cu, antara kita tidak ada permusuhan apa pun, janganlah kau bikin susah padaku, kasihan ... kasihanilah kepada nenek reyot ini, selamanya takkan aku lupakan budi kebaikanmu."
Tiba-tiba Siau-kong-cu menghela napas, "Jika kau mau pergi, dengan sendirinya takkan aku rintangimu. Cuma... ai, kalau ada kesempatan baik di depan mata, kan sayang jika kau tinggal pergi begitu saja?"
415 Koleksi Kang Zusi
"Kesempatan baik?" Ban-lo-hu-jin menegas dengan mata terbelalak. "Kesempatan baik apa maksudmu?"
Siau-kong-cu berkedip-kedip, "Apakah kau ingin mengalahkan Pui-Po-giok?"
"Hah, perbuatan yang membanggakan begitu masakah tidak mau. Cuma ... cuma untuk mengalahkan rase cilik itu masakah begitu gampang?"
"Asalkan aku beritahukan suatu rahasia padamu, tentu kamu akan tahu bukan pekerjaan sulit untuk mengalahkan rase cilik itu dan dapat dilaksanakan siapa pun."
"Hah, rahasia apa?" seru Ban-lo-hu-jin kegirangan. "Lekas katakan, rahasia apa" Wah, Tuan Putri yang baik, lekas katakan padaku, memang sudah lama aku benci rase cilik itu."
"Betul, dia memang rase cilik yang maha licin. Sebab itulah meski sekarang dia kelihatan gagah perkasa, padahal segenap kungfunya sudah punah ..."
"Oo, apa betul?"
"tentu saja betul. Buat apa aku bohongimu?"
Sekaligus Ban-lo-hu-jin menjejalkan empat potong manisan ke mulut sehingga tidak sempat tertawa, gumamnya, "Aha, bagus, lihat saja cara bagaimana aku bereskanmu sekali ini."
"Tapi ingat, kamu hanya boleh mengalahkan dia dan dilarang mengganggu seujung rambutnya, kalau tidak ... " mendadak lenyap tertawa Siau-kong-cu dan menepuk sekenanya gunung gunungan disampingnya.
Ban-lo-hu-jin tidak mendengar sesuatu suara tapi sebagian gunung-gunungan itu mendadak rontok, sungguh tenaga pukulan lunak yang maha sakti. Keruan air muka Ban-lo-hu-jin berubah pucat tanyanya dengan suara gemetar, "Kenapa tidak boleh mengganggu dia?"
"Tentu saja ada alasannya, tapi kau pun tidak perlu tahu, terlebih jangan membocorkan rahasia ini. Kalau tidak, hendaknya kamu jangan menyesal nanti."
Siau-kong-cu tidak mengucapkan kata-kata keras, namun ucapannya cukup berwibawa dan membuat ngeri orang, nenek licin dan licik semacam Ban-lo-hu-jin juga mengkirik dibuatnya.
"Ai, Siau-kong-cu jangan kuatir, tidak nanti nenek berbuat yang tidak-tidak," kata Ban-lo-hujin.
Bab 18. Misteri Kapal Layar Pancawarna
"Itu paling baik," ucap Siau-kong-cu, dengan tertawa, "Asalkan kau lakukan sesuai dengan perkataanku kelak tentu mendatangkan manfaat bagimu. Nah, boleh kau pergi saja sekarang."
Ban-lo-hu-jin, mengiakan dengan menunduk, waktu ia menengadah, ternyata si nona entah sudah menghilang ke mana.
****** Dalam pada itu kebanyakan di antara para ksatria yang berkerumun itu telah menemukan sesuatu yang mengherankan. Yaitu Nyo-Put-loh yang berhubungan erat dengan Pui-Po-giok dan tidak sayang bertempur mati-matian bagi anak muda itu kini ternyata sama sekali tidak memandang sekejap pun terhadap Po-giok, biarpun anak muda itu memanggilnya tetapi tidak digubrisnya, malahan terus menyingkir ke sana.
Ling-Peng-hi sendiri berdiri tegak dengan angkuhnya di sebelah sana dengan senyuman mengejek.
Dalam keadaan demikian Ce-Sing-siu yang menjadi tuan rumah merasa serba susah, ia berdiri tercengang tanpa berdaya.
Selagi Po-giok hendak menyusul Nyo-Put-loh yang hampir menyelinap ke dalam hutan sana, mendadak seorang berteriak "Hai, Po cilik apakah kamu hendak kabur" Ini nenek datang untuk menghajarmu!"
416 Koleksi Kang Zusi
Seorang lantas muncul bersama lenyapnya suara. Dia ternyata Ban-lo-hu-jin adanya, dia benar-benar telah datang lagi, hal ini sungguh di luar dugaan orang banyak. Seketika Nyo-Put-loh membalik tubuh dan Pui-Po-Giok berhenti di tempatnya. Ling-Peng-hi juga terbelalak dan CeSing-siu berkerut kening. Para ksatria yang mulai bubar juga banyak yang putar balik.
Sementara itu Ban-lo-hu-jin sudah berdiri di depan Po-giok.
"Kamu benar-benar hendak bergebrak denganku?" tanya Po-giok sambil menarik napas.
"Dengan sendirinya benar," sahut Ban-lo-hu-jin dengan tertawa. "Orang lain takut padamu, tidak mungkin nenek juga takut padamu. Dalam sepuluh jurus pasti akan aku hajar kamu sehingga merangkak-rangkak minta ampun, kau percaya tidak?"
Diam-diam Po-giok mengeluh jawabnya dengan tersenyum pedih, "Boleh silakan!"
Tanpa terasa ia pandang Nyo-Put-loh sekejap, akan tetapi tokoh Wi-yang-pai itu justru melengos ke sana.
Po-giok tahu dirinya menjadi sasaran penyesalan orang banyak, diam-diam ia putus asa, terasa tiada arti lagi hidup baginya. Rasanya cuma "kematian" saja yang dapat digunakan untuk minta ampun kepada orang lain.
"Eh, anak baik, jangan menghindar, biar sekali kemplang nenek pecahkan kepalamu!" seru Ban-lo-hu-jin sambil mengayun tongkatnya.
Po-giok menggertak gigi, ia menjadi nekat, sama sekali tidak menghindar, sebaliknya malah menyongsong kemplangan tongkat lawan.
Semua orang sama bersuara tertahan, tampaknya kepala Po-giok pasti akan hancur dan darah berhamburan.
Siapa tahu ketika tongkat sampai setengah jalan mendadak berganti arah, dari kemplangan mendadak meleset ke samping menyerempet lengan baju Pui-Po-giok.
Keruan Po-giok terkejut dan heran, semua orang juga melongo bingung.
"Cepat amat!" bentak Ban-lo-hu-jin. Segera ia putar tongkatnya, dalam sekejap ia serang lagi empat kali.
Diam-diam para penonton terkesiap, meski nenek ini terkenal licik dan licin, ternyata kungfunya juga tidak rendah, jarang orang kang-ouw yang mampu menandingi tongkatnya ini.
Beberapa kali serangan Ban-lo-hu-jin itu sungguh sangat lihai dan berbahaya, hampir setiap kali selalu menyerempet lewat tubuh Pui-Po-giok. Anak muda ini juga melengong dan tidak habis mengerti sebab apa si nenek menyerangnya seperti orang gila.
Tapi dalam pandangan orang banyak, semua mengira kungfu Pui-Po-giok yang telah mencapai puncaknya sehingga apa pun juga serangan tongkat Ban-lo-hu-jin sukar mengenai sasarannya dan setiap kali selalu melesot dengan selisih setitik saja.
Akhirnya para penonton sama bersorak memuji Pui-Po-giok, Ce-Sing-siu dan Poa-Ce-sia juga berseri-seri, hanya Ling-Peng-hi saja yang tampak cemberut.
Dalam pada itu Ban-lo-hu-jin telah menyerang lagi tiga empat kali dan tetap tidak dapat merobohkan Po-giok.
"Aha, sepuluh jurus sudah penuh ... sepuluh jurus sudah lewat ..." banyak orang mulai berteriak-teriak membela Po-giok.
Mendadak Ban-lo-hu-jin membentak, tongkat mengemplang lagi dengan dahsyat. Akan tetapi bagi pandangan Po-giok, serangan si nenek jelas banyak memberi peluang baginya.
Terdengar Ban-lo-hu-jin berbisik perlahan, "Kenapa tidak lekas turun tangan, tolol!"
Po-giok melengong, tanpa terasa sebelah tangannya lantas menghantam.
417 Koleksi Kang Zusi
Ia tahu kekuatan sendiri sudah lenyap, pukulan ini pada hakikatnya sukar merobohkan seorang biasa, apalagi tokoh serupa si nenek.
Siapa tahu, baru saja tangan bergerak, kontan Ban-lo-hu-jin meloncat ke atas sambil mengeluarkan suara jeritan ngeri, berturut-turut ia berjumpalitan dua tiga kali, lalu terbanting ke tanah dengan keras.
Tubuhnya yang gemuk itu terguling-guling beberapa kali dan menggelinding ke tengah kegelapan, lalu merangkak bangun terus kabur secepat terbang, kendali begitu ia masih sempat mencaci-maki, "Baik, Po cilik, ingat utangmu ini, tidak nanti kuampunimu."


Misteri Kapal Layar Pancawarna Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Po-giok sendiri terkesima dan membatin "Sesungguhnya apa yang terjadi" Mengapa nenek yang licin ini berbuat demikian, untuk apa sebenarnya" Memangnya ada tipu muslihat keji di balik perbuatannya ini?"
Namun jelas orang telah mengorbankan diri sendiri untuk menyelamatkan jiwa dan namanya betapapun harus dipandang dari maksud yang baik, masakah ada muslihat keji segala.
***** Saat itu Siau-kong-cu yang berbaju hijau dan berkopiah sembunyi di balik gunung-gunungan dan menyaksikan pertarungan itu dari jauh, melihat akhir dari pertarungan itu, ia pun heran dan juga gelisah.
"Apakah mungkin kungfu Po-ji sudah pulih kembali?" demikian ia tidak habis mengerti. "Tapi ...
ah, tidak mungkin! Pasti tua bangka Ban-lo-hu-jin itu sengaja mengacau. Namun, apakah rase tua itu sudah gila" Memangnya apa manfaatnya dengan bertindak demikian?"
Meski biasanya ia sangat cerdik dan pandai berpikir, tidak urung sekarang ia merasa bingung.
Sementara itu kawanan ksatria yang hadir itu sudah berubah sikap lagi, semuanya memberi penilaian lain pula terhadap Pui-Po-giok.
Siau-kong-cu menggigit bibir dan mengentak kaki omelnya perlahan, "Setan cilik boleh lihat, nanti baru kau tahu rasa!"
Sekali loncat, dengan ringan ia menghilang dalam kegelapan.
Sementara itu Po-giok masih berdiri termenung di sana dan bergumam, "Kenapa bisa begini"
Sementara orang yang tidak perlu membikin susah aku justru mencelakai aku, orang yang pasti mencelakai aku berbalik tidak berbuat demikian ..."
Waktu ia memandang ke sana, terlihat Ling-Peng-hi berdiri di depan dan sedang menatapnya dengan tajam, sampai sekian lama, mendadak tangan terjulur hendak mencengkeramnya.
Keruan Po-giok terkejut, siapa tahu orang sama memegang pergelangan tangannya dan tidak ada maksud untuk perang tanding lagi, meski wajahnya tetap kaku dingin, namun di mulut ia berkata, "Sungguh kungfu yang hebat, tadi aku salah menilai dirimu."
"Tapi ... tapi ini ... " Po-giok gelagapan dan tidak dapat menjelaskan.
"Di antara kita memang masih harus perang tanding lagi, biarlah kita bertemu pula di puncak Thai-san pada malam bulan purnama nanti," kata Ling-Peng-hi pula, ia memberi salam dan tinggal pergi.
Poa-Ce-sia juga sudah mendekati Po-giok katanya, "Meski angkuh orang she Ling ini, namun jiwa ksatrianya harus dipuji juga. Berani bicara berani berbuat, memang seorang lelaki sejati Po-giok mengangguk dan mengiakan.
"Tapi bila dibandingkan anda, jelas bedanya sukar diukur," sambung Poa-Ce-sia dengan tertawa. "Apa yang telah anda perlihatkan tadi sudah cukup membuat orang tunduk benar-benar."
Po-giok menyengir, katanya, "Tapi ... tadi ... tadi ... "
"Apa pun kungfu Pui-siau-hiap memang sukar diukur dalamnya," tukas Ce-Sing-siu. "Sudah berpuluh tahun aku berkecimpung di dunia kang-ouw tidak sedikit jago kelas tinggi yang 418
Koleksi Kang Zusi
kutemui, tapi sekarang ... ai, bicara terus terang, sampai di mana letak kehebatan kungfu Pui-siau-hiap saja tidak dapat kuraba."
Po-giok tersenyum getir, ia membatin di mana terdapat kehebatan kungfuku pun aku sendiri tidak tahu.
Dalam pada itu para ksatria telah berkerumun di sekitarnya, dengan gelisah Po-giok coba melongok ke sana, terlihat Nyo-Put-loh berdiri di kejauhan dan juga sedang memandang ke arahnya.
"Nyo-jit-cek ... aku ... " Po-giok coba berteriak.
Mendingan ia tidak bersuara, sekali ia berteriak. Nyo-Put-loh berbalik lantas melangkah ke sana malah. Keruan Po-giok tambah gugup.
Bilamana tenaganya belum lenyap, tentu dia akan mengejar ke sana menyisihkan orang yang mengerumuni dia. Sayangnya ia tidak bertenaga lagi, terpaksa ia saksikan Nyo-Put-loh menyingkir semakin jauh.
Kerumunan orang semakin ketat, banyak yang berceloteh membicarakan kemenangan Po-giok atas Ban-lo-hu-jin dan membuat Ling-Peng-hi ngacir ketakutan. Beramai-ramai para ksatria lantas menyongsong Po-giok ke tempat minum, ada yang memberi selamat, ada yang menyuguh arak...
Sementara itu Po-giok mendapat tahu dari Ce-Sing-siu bahwa Ban-Cu-liang, Thi-wah, Bok-Put-kut dan lain-lain sedang sibuk mencari jejak Lu-In, Hi-Toan-kah dan lain-lain di samping juga mencari kabar tentang Po-giok. Akan tetapi dalam waktu singkat mereka juga akan berkumpul lagi di sini, sebab itulah Nyo-Put-loh menunggu di situ. Terpaksa Po-giok harus menunggu juga dan tinggal di rumah Ce-Sing-siu.
Namun Nyo-Put-loh ternyata tidak kembali ke kamarnya dan entah ke mana perginya. Sing-siu coba menghibur Po-giok, "Jangan kuatir Nyo-jit-hiap pasti akan pulang kemari."
Namun Po-giok tetap kuatir. Yang membuatnya tidak mengerti adalah Ban-lo-hu-jin. entah mengapa nenek itu bertindak begitu" Sesungguhnya apa maksudnya" Apakah di balik urusan ini ada biang keladinya"
Sudah jauh malam, suasana sunyi senyap, namun Po-giok tetap tidak dapat pulas.
Sekonyong-konyong daun jendela berdetak perlahan. Cepat Po-giok bangun dan membentak perlahan, "Siapa itu?"
"Sssst!" terdengar suara orang mendesis perlahan di luar jendela.
Cepat Po-giok membuka jendela, terlihat seorang menggelantung dengan kaki menggantol emperan dan kepala di bawah tepat di depan jendela. Siapa lagi dia kalau bukan Ban-lo-hu-jin.
Di bawah kegelapan malam yang remang-remang terlihat wajah si nenek menampilkan senyuman misterius, katanya lirih, "Po-ji cilik, nenek penolongmu datang menjengukmu, kenapa kamu tidak keluar bicara dengan dia?"
Po-giok terkejut dan bergirang, katanya dengan suara tertahan, "Memang hendak kucari dirimu untuk minta keterangan padamu mengapa engkau bertindak demikian?"
"Tidak perlu banyak omong kosong, lekas keluar saja." kata Ban-lo-hu-jin sambil menjulurkan sebelah tangannya untuk menarik Po-giok keluar.
Po-giok tidak bersuara, juga tidak meronta, membiarkan dirinya dibawa lari oleh si nenek ke tempat gelap sana. Setiba di tengah pepohonan yang rindang, cahaya lampu tampaknya cukup jauh, hanya terdengar kesiur angin dan gemercik air, jelas mereka sudah berada di suatu tempat pojok taman yang sepi.
Di situlah Ban-lo-hu-jin berhenti, lalu berkata dengan tertawa, "Po-ji cilik, apakah kau tahu sebab apa tadi nenek menolongmu" Padahal cukup aku menyerang sekali saja dengan sungguh-sungguh tentu nyawamu sudah amblas."
"Ya, aku sendiri tidak mengerti sebenarnya apa maksudmu berbuat begitu?"
419 Koleksi Kang Zusi
"Hehe, kalau tidak kukatakan, selama hidupmu juga tak dapat menerka," ujar Ban-lo-hu-jin dengan tertawa sambil menjejalkan sepotong manisan ke mulut. "Saat ini kamu sama sekali tidak tahu apa yang terjadi sebenarnya."
Po-giok memang merasa bingung bila teringat Siau-kong-cu sebentar baik dan sebentar jahat, ia pun tidak mengerti mengapa Hwe-mo-sin dapat membebaskan dia, dan sekarang Ban-lo-hujin juga bersikap sebaik ini kepadanya.
Katanya kemudian, "Ya, aku memang merasa bingung dan tidak tahu apa-apa. Mungkin engkau mengetahui rahasia urusan ini."
Ban-lo-hu-jin tidak menjawab melainkan bicara sendiri dengan tertawa, "Apakah kau tahu setiap tindak-tandukmu sekarang senantiasa berada di bawah pengawasan orang. Ke mana pun kau pergi dan apa pun yang kau lakukan tetap sukar lolos dari mata-telinga orang."
"Ini ... ini memang sudah dapat aku duga," ujar Po-giok dengan menyesal.
"Dan apakah kau tahu siapa yang sedang mengawasi dirimu?"
"Kutahu pasti orang Ngo-hing-mo-kiong, tidak jelas siapa dia."
"Hehe, padahal orang yang mengawasimu sebenarnya adalah kenalanku ... "
"Hah, maksudmu Siau-kong-cu?" potong Po-giok.
"Ehm, pintar juga kamu. Ya, memang dia."
"Bahwa aku telah kehilangan tenaga, jangan-jangan dia yang memberitahukan padamu?"
"Betul, kalau bukan diberi tahu oleh dia, mana aku berani bergebrak denganmu."
Sorot mata Po-giok menampilkan rasa senang, "Aha, kutahu, tentu dia yang minta padamu agar sengaja mengalah padaku."
"Hehe, sekali ini kamu salah terka. Meski minta jangan aku ganggu jiwamu, tapi mengharuskan aku merobohkanmu untuk membuat malu dirimu di depan umum. Dengan begitu terpaksa kamu akan mengesot kembali di bawah telapak kakinya. Ia membiarkan hidup padamu, sebab kamu masih berguna bagi Ngo-hing-mo-kiong."
Po-giok merasa mukanya di gampar orang, ia termenung seperti patung, sampai lama baru berkata dengan tersenyum pedih, "Dia juga tidak dapat disalahkan. Selama lima-enam tahun dia terpengaruh di tengah Ngo-hing-mo-kiong, tadinya dia seorang anak yang tidak tahu apa pun. Serupa sehelai kertas putih, setelah bergaul dengan kawanan iblis itu, dengan sendirinya putih berubah menjadi hitam."
"Sampai sekarang kamu tetap berpikir baik baginya?" tanya Ban-lo-hu-jin.
"Dengan sendirinya aku pikirkan dia, sebab pada dasarnya dia memang anak perempuan yang baik dan menyenangkan, meski sekarang dia belepotan warna kotor, namun aku bersumpah pada suatu hari pasti akan ... akan kucuci bersih dia."
"Hihi, kamu ternyata pemuda yang romantis juga."
"Dan siapa pula yang menyuruhmu agar mengalah padaku?"
Sembari makan manisan Ban-lo-hu-jin menjawab, "Ilmu silat orang ini sangat tinggi, kecerdasannya juga serupa malaikat dewata, biarpun tokoh-tokoh semacam Hwe-mo-sin, Bok-long-kun, Toh-sin-kun, Kim-ho-ong dan lain-lain digabung menjadi satu juga tidak dapat membandingi satu jarinya."
"Wah, jika di belakangnya saja engkau tidak berani mengakali dia, tentu orang ini sangat luar biasa. Memangnya siapa dia?"
"Li kiong cu dari Pek cui-kiong, Cui-sian-nio-nio."
420 Koleksi Kang Zusi
"Oo, bukankah dia ibu ... ibu Cui-Thian-ki?"
"Betul," jawab Ban-lo-hu-jin.
Kejut dan heran pula Po-giok, "Dia kan juga orang Ngo-hing-mo-kiong, mengapa dia bermurah hati padaku" Jangan-jangan lantaran Cui-Thian-ki."
"Cukup panjang jika urusan ini harus diceritakan dan tidak sederhana."
"Tapi kan dapat kau ceritakan dengan agak ringkas."
"Begini," tutur Ban-lo-hu-jin, "setelah Cui-Thian-ki menghilang, karena sedih memikirkan putri kesayangan, rasa gusar Cui-sian-nio-nio menimpa diri Bok-long-kun, Kim-ho-ong, Toh-liong-cu dan lain-lain, selama lima tahun ini, dengan kelihaian kungfu dan kecerdasannya ia telah memaksa keluar keempat majikan istana Kim, Bok, Hwe dan Toh, bahkan putra beberapa orang itu
ditawannya pula sebagai sandera, lantaran itulah, biarpun majikan keempat istana itu sangat marah tidak berani sembarangan bertindak."
"Masakah dengan tenaga seorang saja ia sampai memaksa pergi majikan keempat istana yang lain?"
"Ya, dengan sendirinya ada yang membantunya, yaitu nenekmu ini," ujar Ban-lo-hu-jin dengan tertawa.
"Engkau membantu dia?" Po-giok menegas.
"Betul, aku yang mendampingi dia mendatangi setiap istana itu untuk mengadakan pertarungan dengan majikan keempat istana itu, berbareng itu diam-diam kami pun bertindak secepat kilat menawan putra mereka. Ketika majikan keempat istana itu kalah taruhan dan mengetahui anak mereka berada dalam cengkeraman kami, mau tak mau mereka harus angkat kaki dari istana masing-masing sesuai janji yang telah mengikat mereka. Yang aneh adalah Hwe-mo-sin, anaknya tidak tertangkap oleh kami, tapi dia juga menurut saja pergi dari istananya. Hehe, biarpun anak Hwe-mo-sin itu tiada sesuatu yang dapat dipilih, namun Hwe-mo-sin memandang anaknya melebihi nyawa sendiri."
Diam-diam Po-giok memahami duduknya perkara, "Tampaknya Hwe-mo-sin sama sekali tidak tahu menahu tentang persekongkolan putranya dengan Ong-Poan-hiap, ditambah lagi waktunya juga kebetulan sehingga Hwe-mo-sin mengira putranya juga ditawan oleh Cui-sian-nio-nio.
Pantas juga selama ini dia tidak pernah minta keterangan padaku tentang jejak anaknya?"
Meski begitu pikirnya, di mulut ia berkata, "Jika, demikian Cui-sian-nio-nio tidak mau membebaskan sanderanya, kan majikan keempat istana yang lain juga tidak berani bertindak padanya?"
"Ya, terkecuali ada salah seorang dari keempat istana itu berani masuk ke Pek-cui-kiong mengalahkan Pek-cui Ho-jin dengan pertaruhan yang sama, kalau tidak, jelas Cui-sian-nio-nio takkan membebaskan sanderanya. Dan selamanya keempat istana yang lain juga jangan harap akan dapat mengalahkan Cui-sian-nio-nio."
"Oo, kiranya begitu ..." gumam Po-giok. Sekarang dapatlah ia menerka apa yang diminta Hwe-mo-sin adalah supaya dia masuk sendiri ke Pek-cui-kiong untuk menempur Pek-cui Ho-jin alias Cui-sian-nio-nio. Hal ini memang hanya dapat dilakukan olehnya, sebab di kolong langit ini hanya dia saja yang ada harapan akan mengalahkan Cui-sian-nio-nio.
Po-giok termenung sejenak, tiba-tiba ia tanya pula, "Jika Siau-kong-cu sudah tahu engkau juga orang Pek-cui-kiong, mengapa tetap .... "
"Orang semacam diriku, apa pun yang kulakukan tentu sudah aku rancang dulu secara diam-diam," sela Ban-lo-hu-jin. "Lalu dari mana orang lain bisa tahu?"
"Jika dirancang secara diam-diam, mengapa sekarang kau muncul juga."
"Kemunculanku ini adalah untuk mencari tahu gerak-gerik keempat istana yang lain, tanpa sengaja aku dapat tahu bahwa majikan keempat istana itu hendak menggunakan dirimu untuk menghadapi Cui-sian-nio-nio."
421 Koleksi Kang Zusi
"Oo, jadi kau pun tahu hal ini?"
"Jika dia menyuruhku menjatuhkan namamu sebaliknya melarang aku ganggu seujung rambut dirimu, dengan sendirinya dia mengharapkan kamu bekerja bagi mereka. Bilamana keadaanmu kurang sehat, lalu cara bagaimana akan dapat mengalahkan Cui-sian-nio-nio" Dan bilamana kamu tidak menghadapi jalan buntu, masakah kau mau bekerja bagi mereka" Dalil ini kan sangat sederhana."
"Ya, rasanya memang begitulah," ucap Po-giok dengan menyesal.
"Dengan sendirinya memang begitu. Memangnya kau kira sebabnya Siau-kong-cu bersikap baik padamu, makanya tidak tega mencelakaimu" Ai, kamu memang pemuda yang romantis dan juga si tolol yang perlu dikasihani."
"Jika begitu, mengapa tidak kau bunuh diriku saja" Bila aku mati di bawah tongkatmu, bukankah akan selesai segalanya dan aku pun tidak dapat bekerja bagi keempat istana itu."
Ban-lo-hu-jin tertawa, katanya, "Jika kubunuh kamu dan diketahui Bok-Put-kut dan lain-lain, kan mereka akan membikin perhitungan denganku. Memangnya aku orang macam apa dan mau berbuat sebodoh itu" Apalagi, waktu itu Siau-kong-cu pasti mengawasi tindakanku di sekitar situ, belum tentu aku dibiarkan mancederaimu."
Ia merandek, wajah yang tersenyum welas asih itu mendadak berubah beringas. Sekilas pandang, tanpa terasa Po-giok menyurut mundur satu tindak.
Dengan suara parau nenek itu berkata pula "Jika sekarang kubunuh dirimu, maka setan pun takkan tahu. Padahal tadi semua orang menyaksikan aku dikalahkan olehmu, mimpi pun tiada orang menyangka tidak lama kemudian dapat kubunuh dirimu. Andaikan Bok-Put-kut dan lain-lain ingin menuntut balas juga takkan terpikir atas dirimu. Di tempat sepi ini, tidak nanti ada yang merintangi tindakanku. Jika sekarang kubunuhmu, kan sangat leluasa bagiku."
Wajah Po-giok tampak pucat pasi, ucapnya dengan menggertak gigi, "Sungguh perempuan keji
... " "Hehe, boleh kau lihat dulu apa itu yang berada di semak-semak bunga sana?" kata Ban-lo-hujin dengan terkekeh sambil menuding ke sana, rupanya yang dimaksud adalah sebuah liang yang baru digali.
"Apakah ... apakah liang ini yang kau siapkan untuk mengubur diriku?" tanya Po-giok.
"Betul, setelah kubunuh dan mengubur mayatmu, biarkan para ksatria dunia kang-ouw mengira kamu sengaja menghilang lagi. Coba, baik tidak cara ini?"
"Hm, tadi kamu sengaja mengalah padaku dan mempertahankan nama baikku sekarang kau ancam pula diriku, cara demikian, jangan-jangan kau pun menghendaki sesuatu dariku?"
"Haha, memang betul, kamu ini memang pintar," sahut Ban-lo-hu-jin dengan tertawa. "Apabila kau mau menurut padaku, maka akan kuampuni jiwamu, kalau tidak ... "
"Yuh, tokoh semacam Hwe-mo-sin saja tidak mampu memeras diriku, apalagi cuma tua bangka dirimu ini ... " belum habis ucapan mendadak ia memegang perut dan menungging.
"Eh, ada apa?" tanya Ban-lo-hu-jin dengan heran.
Hanya dalam sekejap itu, dahi Po-giok tampak dihias butiran keringat sebesar kedelai, tubuh meringkuk dan gemetar serta kejang, jelas dia menahan rasa derita yang amat luar biasa, bibir tampak gemetar dan sukar bicara.
Sejenak Ban-lo-hu-jin mengamati anak muda itu, katanya kemudian, "Kamu keracunan atau terluka.
"Aku ... aku ..." Po-giok tidak sanggup meneruskan.
Ban-lo-hu-jin menaruh tongkatnya dan menegakkan tubuh Po-giok, dengan tangan kiri ia urut beberapa hiat-to di sekitar perut anak muda itu, setiap kali jari si nenek menggunakan tenaga, setiap kali Po-giok mengeluh perlahan. Kalau tidak terlampau sakit, tak nanti anak muda itu mengeluh.
422 Koleksi Kang Zusi
"Sudah ada berapa lama kau derita penyakit seperti ini?" tanya Ban-lo-hu-jin.
"Selama dua hari ini, selang tidak lama tentu kumat satu kali, setiap kali tambah keras ... "
Betapapun tangkas seorang, bilamana sedang menderita tentu juga akan berubah menjadi lemah, maka terhadap pertanyaan orang lain seringkali tanpa terasa menjawab terus terang.
"Tak tersangka penyakitmu ternyata segawat ini," gumam Ban-lo-hu-jin, "Agaknya selain obat penawar dari perguruan mereka sendiri, orang lain sangat sulit untuk memulihkan tanganmu."
"Boleh kau ... kau pergi saja ... " kata Po-giok dengan lemah.
"Dengan sendirinya aku mau pergi," jengek Ban-lo-hu-jin. Ia jemput kembali tongkatnya dan menatap Po-giok sekian lama, lalu berkata pula, "Sebenarnya hendak kuampuni jiwamu agar kamu dapat bekerja bagiku. Siapa tahu kamu sudah berubah menjadi sampah yang tak berguna lagi."
Baru habis ucapannya, serentak tongkatnya bekerja, berturut-turut tiga hiat-to penting di tubuh Po-giok ditutuknya.
Po-giok menjerit tertahan, mendadak tubuh terpental dan tepat jatuh ke dalam liang yang baru digali itu. Liang itu sebenarnya digunakan oleh Ban-lo-hu-jin untuk menggertak Po-giok, siapa duga sekarang benar-benar dijadikan untuk liang kuburnya.
Akan tetapi setelah tongkatnya menutuk, tahu-tahu tubuh Ban-lo-hu-jin juga tergetar hingga terhuyung-huyung mundur beberapa langkah dan akhirnya "bruk", jatuh terduduk.
Air muka nenek itu berubah hebat, tangan pun tergetar berdarah, ia pandang Pui-Po-giok yang terperosot ke dalam liang itu dengan termangu-mangu, sorot matanya menampilkan rasa kejut dan heran.
Kiranya tadi ketika tongkatnya menutuk Po-giok tahu-tahu dari tubuh anak muda itu memantulkan semacam tenaga tolakan yang dahsyat sehingga Ban-lo-hu-jin pun tidak sanggup menahannya.
Ia jatuh terduduk dan termangu sejenak, akhirnya berkata dengan suara gemetar, "Jadi ... jadi tenagamu belum hilang melainkan cuma untuk membohongiku saja ... Aku kan tidak jelek padamu, hendaknya jangan ... jangan kau bikin susah padaku."
Ia sangsi dan curiga serta bicara sendiri, namun Po-giok yang terperosot ke dalam liang tidak memberi reaksi apa-apa, ia coba melemparkan sepotong tanah, anak muda itu tetap diam saja.
Akhirnya ia tabahkan hati dan merangkak ke sana, dilihatnya wajah Po-giok tetapi pucat gigi gemeretuk menahan sakit, waktu diraba, kaki dan tangannya sedingin es.
Maka legalah hati Ban-lo-hu-jin, ia berdiri bergumam, "Sungguh aneh, siluman cilik ini sudah sekarat masih juga menakuti orang."
Sampai di sini, rasanya ia pun mengkirik, cepat ia menggunakan tongak untuk menguruk tanah galiannya. Tampaknya Po-giok sudah terkubur dan tertinggal kepala saja yang masih menonjol ke permukaan tanah, sekonyong-konyong dari kejauhan seperti ada suara langkah orang ke sini.
Begitu mendengar suara, seketika Ban-lo-hu-jin menggunakan tongkat untuk menolak tanah sehingga tubuh melayang jauh ke sana terus menghilang dalam kegelapan.
Ketika tertutuk oleh tongkat, Po-giok merasa dari perut memancar hawa yang sukar ditahan dan tubuh terpental jatuh ke dalam liang. Walau sakit seluruhnya, rasa sakit dalam perut kontan sudah hilang, namun kaki dan tangan terasa lemas lunglai tanpa tenaga sedikit pun sampai jari pun sukar bergerak.
Perubahan yang aneh ini sampai ia sendiri tidak sanggup mengatakan apa sebabnya" Ia cuma mendengar Ban-lo-hu-jin bergumam sendiri di tepi liang dan nenek itu mulai menguruk tubuhnya dengan tanah dan dirinya tidak sanggup melawan sama sekali. Terpaksa ia pejamkan mata dan menggertak gigi serta mandeh diperlakukan sesuka orang, dalam gugupnya tadi Ban-lo-hu-jin ternyata tidak mengetahui anak muda itu masih bernapas dengan aneh. Juga masih 423
Koleksi Kang Zusi
punya daya rasa.
Po-giok merasakan tanah yang dingin lembab mulai membenam kakinya, perut dan dadanya, dan lambat laun mencapai lehernya. Karena dada teruruk tanah, napasnya semakin sesak, pikiran pun terlantur, entah takut, bingung atau apa"
Rasanya orang ditanam hidup-hidup memang sukar untuk dilukiskan.
Sampai akhirnya tanah mulai menaburi mukanya, rasa sesak napas sudah sukar ditembus, rasanya untuk selamanya sukar mengembuskan napas lagi. Siapa tahu pada saat terakhir itulah, mendadak Ban-lo-hu-jin lantas kabur.
Dengan sendirinya Po-giok tahu hiat-to yang tertutuk tongkat Ban-lo-hu-jin itu adalah bagian mematikan di tubuh manusia. Tapi mengapa sekarang dia tidak cedera apa pun juga, hal ini sungguh membuatnya tidak mengerti.
Pada saat itulah ia pun mendengar langkah orang yang semakin mendekat dan menuju ke semak bunga yang sepi ini, terdengar suara seorang berkata, "Di tempat ini pasti takkan terganggu dan boleh kita bicara dengan bebas."
Begitu mendengar suara orang ini, seketika hati Po-giok tergetar. Dirasakan suara orang ini sudah sangat dikenalnya. Sedapatnya ia meronta dan bermaksud melihatnya, bila dikenalnya, tentu orang akan dapat menolongnya.
Namun apa daya, ia tidak dapat bergerak juga tidak bisa bicara, muka pun tertutup tanah mana ia dapat memandang.
Terdengar seorang lagi berkata, "Jika ada urusan rahasia yang hendak kau rundingkan denganku, sepantasnya kau temui aku secara jujur dan terus terang, mengapa mesti main sembunyi kepala kelihatan ekor, pakai tutup kepala segala?"
Po-giok dapat mengenali suara orang yang dingin ini adalah Ling-Peng-hi, siapa lawan bicaranya belum diketahui.
Terdengar orang itu menjawab dengan tertawa, "Jika benar kau percaya padaku, tanpa melihat wajahku kan juga tidak menjadi soal. Jika pada dasarnya engkau memang tidak percaya padaku, kan juga tidak ada gunanya biarpun aku perlihatkan wajahku."
Ling-Peng-hi seperti berpikir sebentar, katanya kemudian, "Baik, ada urusan apa, silakan kau bicara saja."
Orang itu tidak menanggapi, tapi terus berlari sekeliling tempat ini, nyata cara bekerjanya sangat rapi dan cermat, meski jelas di sini tidak kelihatan orang lain toh masih juga diperiksanya dengan jelas.
Namun meski cermat tindak-tanduknya, mimpi pun dia tidak menyangka ada seorang Pui-Po-giok tertanam di situ dan sedang mendengarkan percakapan mereka.
Po-giok mendengar kesiur angin yang diterbitkan oleh kibaran kain baju, sejenak kemudian, rupanya orang itu telah berada di tempat semula, lalu berkata, "Dalam pertemuan di Thai-san ini, bila kepandaianmu dapat mengungguli para ksatria, maka dapatlah kau duduki singgasana Bu-lim-beng-cu (ketua perserikatan dunia persilatan), entah adakah maksudmu untuk ..."
"Dengan sendirinya kutahu hal ini, untuk apa kau singgung urusan ini?" jengek Ling-Peng-hi.
Perlahan orang itu berkata, "Tentu saja ada gunanya. Coba jawab, dalam pertemuan Thai-san nanti, lawan yang benar-benar merupakan seterumu yang paling tangguh, kecuali Pui-Po-giok dan Jit-tai-te-cu masih ada siapa lagi?"
"Hm, memangnya Jit-tai-te-cu pasti dapat menandingiku?" jengek Ling-Peng-hi. "Selain mereka orang lain juga tidak terpandang olehku."
Orang itu tersenyum, "Itu dia, bilamana dapat kusuruh orang-orang ini tak berdaya bertarung denganmu di Thai-san, kan dapatlah kau naik singgasana Bu-lim-beng-cu dengan mantap?"
Bergetar hati Po-giok, ia heran siapakah orang ini sehingga mempunyai kekuatan akan dapat membuat aku dan rombongan paman Bok tak berdaya bertempur dengan Ling-Peng-hi?"
424 Koleksi Kang Zusi
Makin mendengarkan, dirasakan suara orang ini memang sangat dikenalnya, cuma sejauh ini tidak teringat siapa dia. Ia yakin daya ingat dan pendengaran sendiri cukup kuat, suara siapa pun asalkan pernah didengarnya satu kali pasti takkan dilupakan. Tapi sekali ini mengapa justru tidak ingat, ia pikir di dalam hal ini tentu ada sesuatu yang ganjil, tapi sebenarnya apa sebabnya" inilah yang ingin dipecahkannya. Namun makin dipikir justru semakin kacau.
Terdengar napas Ling-Peng-hi juga agak berat jelas pikirannya juga mulai goyah. Selang sejenak, akhirnya ia berkata, "Selamanya kita tidak saling kenal, untuk apa kau mau membantuku" Sebenarnya apa tujuanmu?"
"Jika tidak aku bantu, jelas maha sulit bagimu untuk merebut gelar Bu-lim-beng-cu," ujar orang itu dengan tertawa. "Untuk itu tentu kau sendiri cukup mengerti. Dan bila kamu sudah menduduki singgasana Beng-cu, tentu tidak boleh kau lupakan bantuanku, sedang aku pun tidak perlu ikut berebut kedudukan Beng-cu lagi. Jadi, bila ada kerja sama antara kita akan sama menguntungkan, kalau berlawanan akan sama rugi."
"Lantas apa yang kau harapkan dariku?" tanya Ling-Peng-hi.
"Asalkan kau tulis suatu perjanjian denganku, anggap aku sebagai saudara tua, selama hidup takkan membangkang, maka pasti dapat aku dukung dirimu menjadi Bu-lim-beng-cu."
"Tapi ... tapi dengan dasar apa harus aku percaya padamu?"
"Segera kamu akan menaruh kepercayaan penuh padaku," ujar orang itu.
Belum habis ucapannya, tiba-tiba dari kejauhan terdengar pula suara langkah orang.
"Lekas sembunyi, cepat ..." seru orang itu dengan suara tertahan.
Maka terdengarlah suara kesiur angin yang diterbitkan kain baju, menyusul suara langkah orang dari sana juga semakin mendekat dan ternyata juga masuk ke semak bunga ini.
Terdengar seorang di antaranya berkata, "kau bilang hendak mendamprat Po-ji, tapi mengapa kau bawa ke sini?"
Meski cemas suaranya, namun suaranya lemah kurang tenaga, kiranya dia Nyo-Put-loh adanya.
Lalu seorang menjawab dengan suara halus, "Betapapun harus kutanya padamu, sebab apa kamu marah-marah terhadap Po-ji?"
Dari suaranya dapat dikenali dia ini Gui-Put-tam.
Bahwa Gui-Put-tam dan Nyo-Put-loh mendadak juga datang kemari, keruan Po-giok terlebih terkejut. Ia kuatir Ling-Peng-hi dan tokoh misterius yang sembunyi di sekitar situ akan mendadak menyergap kedua paman guru itu, padahal luka Nyo-Put-loh belum lagi sembuh, betapa tinggi ilmu silat Gui-Put-tam bila disergap secara mendadak pasti juga akan celaka. Dan bila mereka berdua mati di sini, dengan sendirinya tak dapat lagi menuju Thai-san untuk bertanding dengan Ling-Peng-hi.
Makin dipikir makin kuatir, namun apa daya untuk bernapas saja sulit, dengan sendirinya juga tidak dapat bersuara, sekujur badannya teruruk tanah, jari saja tidak sanggup bergerak, apalagi ingin memberi tanda.
Terdengar Nyo-Put-loh sedang berkata dengan suara gemas, "Bocah Po-ji ini akhir-akhir ini memang rada menjengkelkan, tindak tanduknya sukar dimengerti. Misalnya tadi, jelas-jelas ia sudah berada di sini, tapi baru muncul setelah aku dibikin malu di depan umum. Memangnya apa sebabnya betapapun harus kutanya dia hingga jelas."
"Kenapa tadi tidak kau tanya dia?" kata Gui-Put-tam.
"Setelah menang tanding, pada hakikatnya dia tidak memandang sebelah mata lagi padaku, mana dia sudi menemuiku," kata Nyo-Put-loh dengan gemas. "Memang betul, waktu itu dia dikerumuni orang banyak, tapi kalau mau kan dia dapat menerobos keluar untuk menemui aku.
Karena mendongkol, sengaja aku tinggal pergi saja."
Diam-diam Po-giok berduka dan geleng kepala karena disalah-pahami sang paman.
425 Koleksi Kang Zusi
"Dan sekarang apa kehendakmu?" tanya Gui-Put-tam kepada Nyo-Put-loh.
"Akan kutanya dia sebab apa dia bersikap demikian terhadapku dan selama beberapa hari ini dia pergi ke mana" Sesungguhnya dia sedang main gila apa?"
Gui-Put-tam berpikir sejenak, katanya kemudian, "Rahasia urusan ini mungkin selamanya takkan kau ketahui."
"Mengapa selamanya takkan kuketahui?" tanya Nyo-Put-loh.
"Sebab ..." mendadak Gui-Put-tam menuding ke belakang Nyo-Put-loh dan membentak "Siapa itu?"
Waktu Nyo-Put-loh berpaling, ternyata tiada seorang pun yang terlihat, ucapnya heran, "Mana ada orang ...."
Belum lanjut ucapannya, mendadak Gui-Put-tam bekerja secepat kilat, punggung Nyo-Put-loh dengan tepat kena dihantam. Kontan Put-loh menjerit dan menyemburkan darah segar, tubuh pun mencelat.
Kejadian ini sungguh, mimpi pun tak terduga oleh Po-giok, sama sekali ia tidak mengerti Gui-Put-tam dapat turun tangan keji terhadap saudara angkat sendiri. Apa tujuannya" Apakah pengaruh jiwanya yang tamak"
Perlahan Gui-Put-tam mendekati Nyo-Put-loh, terlihat mata Nyo-Put-loh melotot, gigi terkatup rapat, ujung mulut mencucurkan darah, dua titik air mata meleleh. Darah itu melukiskan rasa dendam dan gusarnya, air mata menunjukkan duka dan kecewa sebelum ajalnya. Nyata mati pun ia penasaran.
Tanpa terasa Gui-Put-tam bergidik, gumamnya, "Lo-jit, jangan kau salahkan diriku, terpaksa aku bertindak demikian, jika kau rasakan kesepian menuju ke akhirat, biarlah segera aku carikan teman perjalanan bagimu."
Nadanya semula kedengaran merasa menyesal, tapi akhirnya tersembul senyuman licik, suara pun berubah dingin dan keji.
Mendengar suaranya, tanpa terasa Po-giok pun bergidik, pikirnya, "Siapa lagi yang akan dicelakai olehnya" .... Siapa .... "
Pada saat itulah tiba-tiba dalam kegelapan ada orang berkata, "Bagus sekali caramu bekerja, Gui-lo-ngo!"
Dari suaranya yang aneh dapat diketahui dia itulah si orang yang misterius tadi.
Gui-Put-tam tertawa dan menjawab," Ah, hanya urusan kecil ini kan belum apa-apa."
"Asalkan bekerja terus begini, segala sesuatu yang kau harapkan pasti akan terkabul, kujamin harta benda yang tak terkira besarnya di dunia ini pasti akan kau peroleh."
"Aku pun dapat menjamin padamu beberapa jiwa orang itu pasti akan aku bereskan," sahut Gui-Put-tam dengan tertawa.
"Bagus, bekerja terus!" kata suara misterius itu.
Ngeri Po-giok mendengar percakapan singkat itu dan mandi keringat dingin. Sekarang diketahuinya bahwa antara Gui-Put-tam dan tamu misterius itu ada persekongkolan, dan tamu misterius ini jelas orang Ngo-hing-mo-kiong.
Dari percakapan mereka itu dapat ditarik kesimpulan bahwa orang Ngo-hing-mo-kiong telah dapat membeli Gui-Put-tam yang berjiwa serakah dan Gui-Put-tam akan diperalat untuk menumpas ketujuh murid utama, lalu Pui-Po-giok yang dijadikan sasaran fitnah. Jika ketujuh perguruan besar dunia persilatan sudah memusuhi Pui-Po-giok, maka tiada tempat berpijak lagi dunia kang-ouw, bagi anak muda itu.
Begitulah Po-giok terkejut dan gusar pula, tapi juga bersyukur semua itu dapat didengarnya langsung tanpa sengaja, kalau tidak, siapakah yang menyangka Gui-Put-tam ternyata berjiwa 426
Koleksi Kang Zusi
sekotor ini. Tapi ... dapatkah kukeluar dari kuburan ini"
Terdengar suara langkah orang dalam kegelapan, suara misterius tadi bergema pula, "Ling-siau-ceng-cu, urusan tadi telah kau saksikan sendiri, bagaimana pendapatmu?"
"Aku ... aku .... " terdengar suara Ling-Peng-hi tergagap.
Agaknya dia terkesiap oleh kejadian tadi dan seketika tidak sanggup bicara.
"Sekarang kau percaya keteranganku atau tidak?" tanya suara misterius itu.
"Ya, percaya." terdengar Ling-Peng-hi menjawab dengan suara lemah.
Lalu terdengar suara kresek-kresek, suara misterius tadi berkata pula, "Di sini tersedia tiga helai surat perjanjian, asalkan kau tulis namamu dan menanda tangani, maka terjadilah kerja sama kita, mati-hidup bersama, kaya miskin ditanggung bersama."
"Tapi ...."
"Kesempatan sukar dicari lagi, apa yang kau ragukan pula?"
Agaknya pikiran Ling-Peng-hi tergerak akhirnya ia berseru, "Baik, kuterima dengan baik ..."
Belum lanjut ucapannya, tiba-tiba terdengar pula suara ramai orang berlari kemari, jumlahnya ternyata tidak sedikit.
Baru saja Ling-Peng-hi dan si tamu misterius sembunyi, rombongan orang itu pun mendekat, Gui-Put-tam tampak di depan diiringi Ce-Sing-siu, Poa-Ce-sia dan belasan jago kang-ouw yang lain.
"Dari mana Gui-heng tahu Nyo-jit-hiap datang kemari?" terdengar Ce Sing-siu bertanya.
"Tadi Lo-jit sudah bertemu denganku, katanya Po-ji akan dibawa kemari untuk diberi hajar adat
... Ai, tambah tua perangai Lo-jit semakin keras, sebaliknya Po-ji ... ai, maklum juga, masih muda sudah termashur, kaum tua seperti kita ini tidak terpandang lagi olehnya. Aku jadi kuatir terjadi sengketa antara mereka, sebab itulah kuajak kalian ke sini untuk mendamaikan mereka."
"Menjadi juru damai mereka merupakan tugas kami," kata Ce-Sing-siu.
"Tadi di sini suasana sunyi senyap, mana ada orang?" ujar Poa-Ce-sia.
"Coba kita cari ... Lo-jit ... Po-ji, di mana kalian" .... " seru Gui-Put-tam. Lalu terdengar suara langkah orang terpencar, agaknya sedang mencari kian kemari.
Tiba-tiba seorang menjerit, "Wah, celaka, ini ... ini Nyo ..."
Karena kagetnya, suaranya menjadi gemetar dan terputus.
Orang lain tidak tahu jelas apa yang dikatakan, namun sama memburu ke sana, dan segera melihat jenazah Nyo-Put-loh sudah menggeletak kaku di situ dengan wajah beringas.
Ce-Sing-siu sama berteriak, "Ai, apa ... apa yang terjadi ini" Siapa yang turun keji terhadap Nyo-jit-hiap" Ke mana perginya Pui-siau-hiap?"
Di tengah kepanikan itu, Gui-Put-tam berlagak mendekap mayat Nyo-Put-loh dan menangis sedih.
Menyusul ada orang menemukan huruf goresan jari Nyo-Put-loh sebelum ajalnya dan berteriak
"Hei, di sini ada tulisan!"
Segera ada orang menyalakan obor, lalu seorang berteriak, "Hei, sebuah huruf Po, sebelum menemui ajalnya untuk apa Nyo-Jit-hiap menulis huruf ini?"
"Wah, jangan-jangan maksudnya ... maksudnya Pui-siau-hiap ... "
Gui-Put-tam berlagak menjerit sedih, "O, Po-ji, Pui-Po-giok, pasti dia yang turun tangan keji, 427
Koleksi Kang Zusi
kalau tidak masakah Lo-jit sama sekali tidak berjaga, siapa pula di dunia ini mampu membinasakan Lo-jit dengan sekali pukul?"
Serentak orang banyak sama mencaci maki, "Ya, pasti perbuatan Pui-Po-giok, sungguh tidak tersangka begini keji caranya"
Dengan berlagak menangis sedih Gui-Put-tam berseru, "Makanya kalian harus membantuku membekuk keparat yang kotor ini."
Berbareng orang banyak berteriak menyatakan setuju.
Pedih dan penasaran Po-giok, ia tahu bilamana sekarang dirinya ditemukan, tentu Gui-Put-tam takkan memberi kesempatan bicara padanya dan langsung akan membunuhnya.
Walaupun mati-hidup baginya sudah tak terpikir lagi, tapi bila intrik keji Gui-Put-tam itu tidak dibongkarnya, sungguh mati pun ia tidak tentram. Maka apa pun jadinya dia harus hidup terus.
Terdengar orang banyak sama lari pergi, banyak yang menginjak lewat di atas tubuhnya, tapi tiada yang menyangka anak muda yang hendak mereka cari itu tertanam di bawah tanah yang baru mereka langkahi, dalam keadaan ramai juga tiada seorang pun yang menemukan kelainan beda tanah yang mereka injak.
Po-giok merasa jantung sendiri berdebur keras dan tambah berat, gendang telinga pun seakan pecah tergetar.
Pada saat itulah tubuhnya yang dingin itu tiba-tiba timbul semacam rasa panas, seperti api mendadak membakar dalam tubuhnya. Dalam sekejap seluruh anggota badan dan isi perut terasa sakit terbakar dan hampir tak tertahankan.
Akan tetapi pada saat yang sama anggota badan yang semula lemah dan tak dapat bergerak itu mendadak bertenaga lagi berikut rasa sakit terbakar itu. Kerongkongan seperti dapat mengeluarkan suara lagi.
Ia ingin meronta dan berusaha berteriak. Akan tetapi bila ia bersuara dan sedikit bergerak segera jejaknya akan ketahuan.
Jika dalam keadaan biasa, betapa siksa derita juga dapat ditahannya, tapi sekarang mental maupun fisiknya dalam keadaan lemah sehingga rasanya tidak tahan derita seakan dibakar itu.
Meski ia menggertak gigi dan bertahan sekuatnya tetapi sukar mengendalikan hasrat akan meronta dan berteriak itu.
Selagi dia hampir gila harus melawan pertentangan batin itu, sekonyong-konyong guntur berbunyi, hujan lebat pun turun bagai dituang.
Air hujan menyiram tanah dan merembes ke baju Po-giok, tubuh Po-giok yang panas bagai dibakar itu menjadi agak segar, rasa sakit banyak berkurang, pikiran pun segera jernih kembali.
Lapisan tanah yang menutup muka Po-giok memang tidak terlalu tebal, setelah diguyur air hujan, dapatlah Po-giok membuka mata sehingga terlihat air hujan yang lebat itu. Api sudah padam di tengah hujan terdengar suara bentakan berkumandang dari jauh. Suara langkah orang banyak pun menjauh dan suasana kembali sepi.
Hujan semakin lebat, rasa sakit serupa dibakar sudah lenyap dari tubuh Po-giok, ia merasa lelah lahir batin, kelopak mata terasa sangat berat. Segala apa terasa pula berjarak sangat jauh, akhirnya ia terpulas.
***** Tanggal 13 bulan delapan, bulan sudah mendekati bulat.
Pertemuan kaum ksatria di puncak Thai-san sudah tinggal dua hari lagi.
Sinar bulan terang benderang, bintang sangat terang, malam sudah larut.
Ban-tiok-san-ceng yang terletak di kaki Thai-san itu merupakan tempat berkumpul kaum ksatria, namun suasana dalam perkampungan sekarang sudah sunyi senyap, agaknya untuk dapat mengikuti pertandingan di puncak gunung esok paginya para ksatria sengaja mengaso 428


Misteri Kapal Layar Pancawarna Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Koleksi Kang Zusi
lebih dini daripada biasanya.
Suasana sangat hening, hanya pada sebuah kamar yang terletak di sudut barat taman terlihat ada cahaya lampu.
Di bawah cahaya lampu yang redup duduk berhadapan Bok-Put-kut, Kong-sun Put-ti dan Ciok-Put-wi. Ketiganya sama diam dengan kening berkerenyit murung.
Akhirnya Bok-Put-kut menghela napas panjang, ucapnya sedih, "Lebih dulu Nyo-jit-te meninggal dengan terluka parah, lalu Kim-lo-ji tewas minum arak beracun, semalam Se-bun-lak-te juga disergap orang dan sekaligus terkena tiga macam senjata rahasia berbisa, tampaknya juga sukar tertolong lagi. Teringat waktu kita berdelapan sama masuk perguruan, kita telah bersumpah akan sehidup dan semati, tapi sekarang, ai ..."
Setelah menghela napas panjang, lalu ia menunduk.
"Selama aku masih dapat bernapas, aku bersumpah pasti akan menuntut balas," ucap Ciok-Put-Wi dengan air mata bercucuran.
"Ya, harus menuntut balas," tukas Kong-sun-Put-ti. "Tapi biarpun benar Nyo-jit-te tewas di tangan Po-giok, masakah Lo-ji dan Lo-liok juga terbunuh oleh anak muda itu" Jika pembunuh yang sebenarnya saja kita tidak tahu, cara bagaimana kita dapat menuntut balas?"
"Dari ucapanmu ini, apakah kau maksudkan kematian Lo-ji dan Lo-liok tidak ada sangkut pautnya dengan Pui-po-giok?" tanya Bok Put-kut.
"Ehm, begitulah," Kong-sun Put-ti mengangguk.
"Tapi, selain Pui-Po-giok, siapa pula yang dapat dan mampu menyergap mereka?"
"Hendaknya kau perhatikan hal-hal ini. Kematian mereka itu sama sekali tidak ada tanda ada perlawanan, ini menunjukkan sebelumnya mereka tidak berjaga-jaga, dari sini dapat ditarik kesimpulan orang yang mencelakai mereka pasti sudah dikenal baik ... "
"Ya, makanya aku yakin pembunuhnya pasti Pui-Po-giok," tukas Bok-Put-kut.
"Tapi setelah Jit-te dicelakai po-giok, tentu Lo-ji dan Lo-liok memandangnya serupa binatang berbisa, begitu bertemu pasti akan melabraknya, mana mungkin mereka menghadapinya dengan tenang?" kata Kong-sun Put-ti.
Bok-Put-kut melengong dan tidak dapat menjawab.
"Tepat!" seru Ciok-Put-wi.
Agak lama Bok-Put-kut terdiam, katanya kemudian, "Jika orang ini bukan Po-ji, namun juga seorang yang sudah sangat kita kenal, lantas siapa ... siapa dia" Apakah mungkin ..."
Sungguh ia tidak tahu siapakah di antara orang yang sangat dikenalnya bisa berbuat sekeji itu.
Biasanya dia tidak berani sembarangan menduga jelek terhadap siapa pun, maka ia hanya menghela napas menyesal saja.
Perlahan Kong-sun Put-ti berkata pula, "Harap Toa-ko berpikir lagi, di antara saudara kita, siapakah kiranya yang paling gampang dipancing dengan keuntungan. Sesudah Lo-ji dan Lo-jit mati, siapa pula yang paling dahulu menemukan mereka?"
Tubuh Bok-Put-kut tergetar, mendadak bentaknya dengan mata mendelik, "Jangan-jangan kau maksudkan Gui-lo-ngo" Mana boleh kau curigai dia" Jangan ... jangan kau lupa, antara kita dan dia sebaik saudara sekandung."
"Urusan sudah sejauh ini, kita harus menaruh curiga terhadap setiap orang yang pantas dicurigai lebih baik salah duga daripada urusan bertambah parah ..."
"Betul, biar aku pergi melihatnya," kata Ciok-Put-wi.
Selagi Bok-Put-kut hendak mencegahnya, cepat Kong-sun-Put-ti menariknya, katanya, "Cara bekerja Si-te biasanya sangat cermat, jika dia mau pergi, urusan pasti beres.
429 Koleksi Kang Zusi
Sejenak kemudian Ciok-Put-wi sudah lari kembali dan berkata singkat kepada mereka, "Ikut kemari!"
Bok-Put-kut dan Kong-sun-Put-ti tidak tahu apa maksudnya, terpaksa mereka ikuti kehendaknya.
Ciok-Put-wi dan Bok-Put-kut bertiga tinggal sekamar, sedang Gui-Put-tam sekamar dengan Gu-Thi-wah dan Kim-Co-lim. Waktu Bok-Put-kut bertiga mendorong pintu kamar Gui-Put-tam dan melihat keadaannya, seketika air muka mereka berubah.
Dalam kamar yang agak gelap terlihat Thi-wah tidur mendengkur, Kim-Co-lim mabuk serupa orang mati, sedang Gui-Put-tam menggeletak kaku di lantas dengan mulut berbusa, sebuah cangkir di sampingnya terjatuh hancur.
"Celaka, jangan-jangan Gui-go-te keracunan!" seru Bok-Put-kut.
Kong-sun-Put-ti memburu maju dan mengangkat tubuh Gui-Put-tam dan memeriksa kelopak matanya serta memegang nadinya, lalu secepat kilat ia tutuk beberapa hiat-to di sekitar dada Gui-Put-tam.
Ciok-Put-wi telah menyalakan lampu dan memeriksa poci teh dengan teliti, katanya kemudian,
"Dalam teh ada racun!"
Air mata Bok-Put-kut bercucuran, ia raba kepala Gui-Put-tam dan berkata dengan sedih, "O, Go-te, hampir saja kami salah sangka padamu ..."
"Betul, tadi aku memang salah menuduhnya," ucap Kong-sun-Put-ti.
Ia merasa menyesal, sebab kalau benar Gui-Put-tam pelaku jahat, mana mungkin ia sendiri pun keracunan.
"Apakah dia juga ... juga tak tertolong lagi?" tanya Bok-Put-kut.
"Untung kita keburu datang, racun belum menyerang jantungnya, bila terlambat setengah jam saja, tentu jiwa Go-te akan melayang," ujar Kong-sun-Put-ti.
Lalu ia mengeluarkan sebuah kotak kecil yang berisi beberapa botol kecil, dari salah satu isi botol kecil itu dituangkan ke mulut Gui-Put-tam. Itulah obat penawar Bu-tong-pai yang terkenal mujarab.
Tidak lama, tubuh Gui-Put-tam dapat bergerak, mulut pun mengeluarkan suara keluhan, menyusul dan mulut pun merembes keluar air warna hijau gelap.
Kong-sun-Put-ti mengusap keringat pada dahinya dua berucap lega, "Dia tidak berhalangan lagi."
Bok-Put-kut juga menghela napas lega dan duduk terkulai.
"Go-te sudah lolos dari bahaya. cukuplah kujaga dia di sini, silakan Si-te dan Toa-ko pergi mengaso dulu, menghadapi pertarungan yang sudah dekat, Toa-ko perlu istirahat secukupnya,"
kata Kong-sun-Put-ti.
Akhirnya Bok-Put-kut dapat dibujuk Ciok-Put-wi dan pergi mengaso. Thi-wah masih tidur lelap.
Kim-Co-lim juga belum sadar dari mabuknya. Semua kejadian di dalam kamar sama sekali tidak dirasakan oleh mereka.
Kong-sun-Put-ti tersenyum memandangi mereka, gumamnya, "Sungguh beruntung mereka ..."
Pada saat itulah tiba-tiba di luar jendela ada orang bertepuk tangan sekali.
"Siapa itu?" bentak Kong-sun Put-ti cepat.
Tak terduga, belum lagi lenyap suaranya, sekonyong-konyong Gui-Put-tam yang rebah di tempat tidur itu melompat tangan, berbareng beberapa titik perak menyambar punggung Kongsun Put-ti secepat kilat.
Betapa cerdik pandai Kong-sun-Put-ti juga tidak menyangka akan diserang dari belakang, 430
Koleksi Kang Zusi
apalagi suara ngorok Thi-wah sekeras bunyi guntur sehingga suara sambaran senjata gelap tidak terdengar.
Maka begitu titik perak berkelebat, menyusul Kong-sun-Put-ti pun menjerit dan tergelepar ke depan dan terhuyung-huyung, ia sempat melompat keluar jendela dan lari dengan cepat.
Gui-Put-tam angkat kepalanya dan memandang keluar jendela sekejap, tersembul senyumannya yang licik. Setelah terkena senjata rahasia berbisa, ditambah lagi lari cepat tentu racun akan bekerja terlebih keras, mungkin tidak sampai beberapa tombak jauhnya akan menggeletak dan tidak dapat bangun lagi. Lalu siapa di dunia ini akan menduga semua ini adalah perbuatan Gui-Put-tam"
Kiranya Gui-Put-tam yang kelihatan keracunan itu tidak lebih cuma pura-pura sengaja dan sengaja diaturnya agar orang lain tidak mencurigai dia, untuk itu dia sudah minum obat penawar lebih dulu sebelum minum teh beracun. Jadi keadaannya yang tidak sadar itu hanya pura-pura saja, biarpun tidak diberi obat oleh Kong-sun-Put-ti juga dia takkan mati.
Ketika pintu kamar berbunyi, kembali Bok-Put-kut dan Ciok-Put-wi menerjang masuk. Tapi Gui-Put-tam keburu rebah lagi dan berlagak tidak sadar.
Bok-Put-kut memandang kian kemari, katanya dengan heran dan kuatir, "Siapa tadi yang menjerit" Wah, ke mana perginya Kong-sun jit-te?"
Cepat mereka berusaha membangunkan Kim-Co-lim dan Gu-Thi-wah serta ditanya,
"Sesungguhnya apa yang terjadi di dalam kamar barusan, kalian tahu tidak?"
Dengan sendirinya Kim-Co-lim dan Thi-wah merasa bingung, mereka balas tanya malah,
"Memangnya apa yang terjadi?"
Selagi Bok-Put-kut hendak mengomel, mendadak Ciok-Put-wi berseru, "Lihat apa Itu?"
Waktu semua orang memandang ke arah yang ditunjuk, terlihat di dekat jendela sana ada beberapa titik bekas darah, sebagian daun jendela juga sudah rusak terjebol.
"Hah, apakah Kong-sun-jit-te juga disergap musuh" Apakah dia terluka dan mengejar musuh?"
seru Bok-Put-kut. "Tapi mengapa dia tidak ... tidak memberi tanda kepada kita, mana boleh dia mengejar musuh sendirian?"
"Cepat susul!" seru Ciok-Put-wi dan mendahului melompat keluar jendela.
Akan tetapi meski seluruh perkampungan itu sudah mereka cari ubek-ubekan tetap tidak menemukan jejak Kong-sun-Put-ti. Ternyata Kong-sun-Put-ti telah menghilang.
Di antara ketujuh murid utama sekarang tiga orang terluka parah atau mati, seorang keracunan dan seorang menghilang, tentu saja berita ini sangat menggemparkan dunia kang-ouw.
Kejadian ini membuat sebagian besar orang kang-ouw merasa senang dan ada yang ikut berduka cita. Nyata pertarungan di Thai-san nanti telah berkurang beberapa lawan kuat.
Padahal pertemuan di Thai-san akan berlangsung besok, tentu saja Bok-Put-kut dan Ciok-Put-wi tidak berdaya dan kelabakan, hanya dalam semalam saja wajah mereka sudah berubah pucat karena kurang makan dan tidak tidur.
Meski waktu pertandingan ditentukan pada malam bulan purnama, tapi pada pagi hari tanggal 15 di puncak Thai-san sudah berjubel-jubel orang yang berkumpul.
Pada setiap tempat yang agak teraling, di balik batu karang, di tengah semak, di mana saja asal ada tempat luang tentu terdapat sebuah peti mati baru.
Sebelumnya memang sudah timbul macam-macam dugaan ketika melihat peti mati itu, maka sekarang kebanyakan orang tidak heran lagi. Malahan banyak orang yang menggunakan peti mati itu sebagai tempat duduk atau tempat berbaring untuk menanti datangnya malam dan terbitnya bulan purnama.
Lewat lohor kebanyakan tokoh utama yang akan ikut pertandingan ini sudah hadir. Dengan sendirinya beberapa tokoh terkenal menjadi buah tutur orang.
Poa-Ce-sia adalah pendekar ternama, dia paling dini sampai di tempat. Menyusul tokoh 431
Koleksi Kang Zusi
terkemuka lain seperti Go-Tong-lin dari Tiang-pek-san, Be-Siok-coan yang berjuluk si tombak sakti Ciang-Siau-bin yang berjuluk Bu-ceng-kong-cu atau pemuda tidak kenal kasihan, dan jago-jago muda lain lagi.
Akan tetapi tokoh yang paling dinanti-nantikan akan kahadirannya dalam pertarungan ini sampai sang surya sudah terbenam masih juga belum tampak muncul, hal ini segera menimbulkan pembicaraan orang banyak lagi.
"Kabarnya Thian-to Bwe-Kiam sudah lebih dulu sampai di kaki gunung bersama Ban-Cu-liang dan Jit-toa-te-cu, mengapa rombongan mereka belum tampak muncul?" demikian seorang mengomel.
Lalu yang lain menanggapi, "Mungkin disebabkan urusan yang menyangkut Jit-toa-te-cu sehingga dia datang terlambat. Jit-toa-te-cu sekarang tinggal dua orang saja, apalagi sampai kini juga tidak kelihatan bayangan Bok-Put-kut, sekali ini jelas mereka tidak sanggup ikut bertanding, andaikan ikut juga takkan tahan sekali hantam oleh musuh."
"Sungguh aneh dan sukar dimengerti bahwa Jit-toa-te-cu yang termashur itu bisa jatuh habis-habisan seperti sekarang."
Kukira yang paling aneh adalah orang yang dipandang paling besar harapannya akan keluar sebagai juara nanti, ternyata sampai sekarang juga belum kelihatan."
"Siapa yang kau maksudkan?"
"Thian-siang-hui-hoa Ling-Peng-hi."
"Oo, dia" Mengapa bisa dia?"
"Hehe, berita yang aku peroleh ini datang dari sumber yang sangat dirahasiakan, maka sementara ini tidak dapat aku jelaskan. Namun hal ini sudah dapat dipastikan, jika tidak percaya boleh kalian tunggu dan lihat nanti."
"Lantas bagaimana dengan Pui-Po-giok?"
"Pui-Po-giok" Huh, mungkin selamanya dia takkan muncul lagi di depan umum ..."
***** Selain peti mati yang disembunyikan di sana sini, ternyata di samping puncak gunung yang rimbun oleh pepohonan dan di celah-celah batu padat sana masih ada sebuah peti mati.
Tampak dua lelaki, seorang berjubah satin dan yang lain berbaju biru, dengan susah payah akhirnya dapat mencapai samping gunung itu, si lelaki baju biru menarik napas lega, katanya dengan tertawa, "Walaupun sukar mencapai tempat ini, tapi sekali sudah berada di sini, dapatlah kita menyaksikan pertandingan dengan tentram, peti mati bukan lambang yang baik, namun enak juga duduk di atasnya seperti berada di panggung kehormatan."
Lelaki berjubah satin mengebut debu pada bajunya, ucapnya dengan tertawa, "Betul, menonton keramaian dari sini sungguh seperti beli karcis kelas utama."
Dan baru saja kedua orang duduk di atas peti mati itu, tiba-tiba terdengat suara "ciiat" sekali, suara tajam melengking yang mengejutkan, apalagi timbul dari dalam peti mati. Keruan kedua orang sama melonjak kaget setengah mati.
Tanpa pikir si baju satin segera angkat kaki hendak kabur, namun kawannya si baju biru sempat menariknya, lalu membentak, "Sia ... siapa itu yang berada di dalam peti?"
Terdengar suara terkekeh aneh di dalam peti mati, "Hehehe, orang mati di dalam peti, orang hidup, lekas menjauh!"
"Sesungguhnya kamu manusia atau setan?" bentak si baju biru.
"Tidak perlu urus aku manusia atau setan?" ujar suara aneh itu. "Jika kalian berani lagi duduk di atas peti, maka jangan harap kalian dapat pergi dengan hidup. Kalau tidak percaya, silakan saja coba."
432 Koleksi Kang Zusi
Meski tubuh kedua orang itu cukup gede, namun nyali mereka ternyata kecil. Mereka saling pandang sekejap, lalu lari sipat kuping dan terguling-guling ke bawah gunung.
Kembali terdengar suara terkekeh-kekeh di dalam peti, tutup peti pun tersembul ke atas dengan perlahan, lalu menongol sebuah kepala dengan rambut beruban, ucapnya dengan tertawa, "Hehe, enak-enak aku rebah di sini untuk menonton keramaian, kalian justru duduk di atas kepalaku kan mencari penyakit" Bilamana bukan lantaran aku tidak ingin menampakkan diri sekarang, saat ini jiwa kalian pasti sudah melayang."
Sembari bicara ia terus meraba sepotong manisan ceremai dan dijejalkan ke mulut serta dimakan dengan nikmatnya.
Siapa lagi dia kalau bukan Ban-lo-hu-jin.
Pada saat itu juga, sekonyong-konyong setangkai ranting secepat kilat menyambar masuk celah-celah tutup peti.
Keruan Ban-lo-hu-jin terkejut, sekuatnya ia hendak merapatkan tutup peti, namun ranting kayu yang lemas itu seperti mengandung tenaga maha kuat, bukannya merapat, sebaliknya tutup peti sedikit demi sedikit malah merenggang ke atas.
Muka Ban-lo-hu-jin berubah pucat, ia coba memandang ke sana mengikuti ranting kayu.
Terlihat sebuah tangan seputih kemala, tiga jari lentik memegang ranting, waktu memandang lebih ke atas, itulah lengan baju berwarna hijau pupus.
Sampai di sini Ban-lo-hu-jin tidak mau memandang lebih ke atas lagi, kepalanya terus mengeret ke dalam, seluruh badan meringkuk masuk lagi ke dalam peti mati.
Terdengar seorang berucap dengan tertawa lirih, "Hihi, sudah aku duga kau pasti akan datang ke sini, tapi sejauh ini tidak aku lihat dirimu, selagi heran, baru sekarang kutahu engkau sembunyi di dalam peti mati."
Suaranya merdu dan lembut, selain Siau-kong-cu siapa lagi. Ia bicara sambil mencungkit perlahan dengan ranting kayu sehingga tutup peti itu terpentang, terlihat Ban-lo-hu-jin meringkuk di dalam peti dan tidak berani mengangkat kepala.
"Sembunyi apa lagi, kenapa tidak lekas keluar?" ucap Siau-kong-cu.
"Nona ... nona mencari nenek, apakah ada sesuatu urusan?" kata Ban-lo-hu-jin dengan lagak seperti tidak terjadi sesuatu, tapi suaranya tidak urung rada gemetar.
"Kucari dirimu hanya ingin tanya padamu ke mana perginya Pui-Po-giok?"
Ban-lo-hu-jin terkekeh-kekeh, "Pui ... Pui-Po-giok" Nona maksudkan Pui-Po-giok" Hehe, tindak-tanduk tuan muda ini biasanya sukar diraba, mana perempuan tua tahu dia berada di mana?"
"Benar kamu tidak tahu?" Siau-kong-cu menegas dengan tertawa.
Ia bicara dengan halus dan lembut serta tersenyum manis, akan tetapi bagi pandangan Ban-lo-hu-jin justru membuatnya merinding, cepat ia menjawab, "Ben ... benar!"
"Jika benar kamu tidak tahu, mengapa kamu mesti ketakutan padaku" Maka dapat diduga dalam hal ini tentu kau sembunyikan sesuatu, karena berdosa, maka takut. Betul tidak?"
"Oo, aku ... aku ..." si nenek gelagapan.
"Kutahu engkau ini orang cerdik, selama hidup tidak mau dirugikan orang tapi mengapa sekarang kau paksa aku turun tangan" Maka lebih baik bicara terus terang saja dan kujamin pasti takkan membikin susah padamu."
"Artinya, asalkan kukatakan di mana jejak Pui-Po-giok dan engkau pun takkan membikin susah padaku" Tidak peduli dia berada di mana engkau tetap takkan ... "
"Betul!" potong Siau-kong-cu.
"Berdasarkan apa supaya aku dapat mempercayaimu?" tanya si nenek.
433 Koleksi Kang Zusi
"Tidak perlu pakai dasar apa pun, keadaan sekarang sudah cukup menjadi dasar agar kau percaya padaku."
Ban-lo-hu-jin termenung sejenak, katanya kemudian sambil menyengir, "Ya, betul. saat ini memang mau-tidak-mau harus aku percayaimu. Baiklah, biar kukatakan padamu."
"Berurusan dengan orang pintar memang menyenangkan. Nah, katakan sekarang, Pui-Po-giok berada di mana?"
Bola mata Ban-lo-hu-jin berputar-putar, mendadak ia berteriak, "Pui-Po-giok sudah mati!"
Tergetar tubuh Siau-kong-cu. Serentak Ban-lo-hu-jin juga meloncat ke atas, ia berjumpalitan dua kali di udara, lalu kabur secepat terbang. Ia sempat melirik Siau-kong-cu dan terlihat si nona berdiri melengong di samping peti mati dan tidak ada maksud buat mengejarnya.
Dari jauh Ban-lo-hu-jin berseru, "Jenazah Pui-Po-giok aku lihat sendiri dan pasti tidak bohong padamu .... "
Suaranya berkumandang di lembah pegunungan, dalam sekejap bayangan si nenek pun menghilang.
Siau-kong-cu berdiri terkesima di situ dengan wajah kaku, siapa pun tidak dapat meraba apakah dia lagi gembira atau berduka, hanya terdengar bergumam perlahan, "Mungkinkah dia dusta padaku" ... Ah, tidak bisa, jika dia mau dusta tentu takkan dusta hal ini, sebab perbuatan demikian kan tidak berfaedah baginya, sedang urusan yang tidak mendatangkan manfaat biasanya tidak nanti dilakukannya ... "
Sementara itu di tengah kerumunan orang banyak sana terdengar ramai orang berteriak, "Itu dia Ling-Peng-hi ... Ya, Ling-Peng-hi sudah datang ..."
Walaupun di sana suara orang banyak bergemuruh, namun Siau-kong-cu masih berdiri terpaku di tempatnya dan masih bergumam, "Po-ji, apakah benar engkau sudah mati"!"
Berita kematian Pui-Po-giok dengan sendirinya membuat siasat Ngo-hing-mo-kiong harus banyak diadakan perubahan. Namun pertandingan di puncak Thai-san tetap berlangsung.
Sampai sekarang tiada seorang pun dan sesuatu kejadian yang dapat menundanya lagi.
Menjelang petang, panitya pertandingan yang berkumpul di Ban-tiok-san-ceng mengeluarkan maklumat tentang peraturan pertandingan yang dilangsungkan dengan sistem seleksi, dan diawasi suatu dewan juri yang terdiri dari tujuh tokoh pilihan seperti It-bok Tai-su, Ting-lo-hujin, Ban-Cu-liang dan lain-lain.
Sementara itu di suatu tanah lapang di puncak Thai-san itu sudah dipasang sebuah panggung pertandingan. Ketujuh anggota juri, kecuali Ban-Cu-liang yang belum muncul, sudah sama mengambil tempat duduk yang tersedia di samping panggung.
Jago-jago muda yang akan ikut bertanding juga sama berkerumun di tempat panitya untuk mengambil nomor undian urutan bertanding.
Malam sudah mulai gelap, bulan belum lagi terbit, namun kawanan centing Ban-tiok-san-ceng sudah sibuk memasang obor hingga puncak gunung terang-benderang bagai siang hari.
Suasana mulai tegang, semua jago yang akan ikut bertanding sama prihatin. Terdengar panitya memberi pengumuman bahwa pasangan pertama yang akan bertanding adalah Go-Tong-lin dari Tiang-pek-san melawan Poa-Ce-sia...
Tampaknya pertarungan sengit segera akan dimulai. Dalam pada itu tiada seorang pun yang teringat lagi kepada Pui-Po-giok, siapa pun tidak menyangka pada saat itu juga Pui-Po-giok juga sudah berada di kaki gunung.
Anak muda itu mondar-mandir di kaki gunung, beberapa kali sudah akan beranjak ke atas, tapi urung. Ia ternyata tidak berani naik ke atas gunung, seperti sudah kehilangan keberanian.
Bajunya kelihatan compang-camping, rambut kusut dan muka pucat dekil, bahkan kedua matanya yang besar itu pun tidak bercahaya lagi. Namun dia belum lagi mati, dia benar-benar masih hidup di dunia ini. Mengapa bisa begini" Untuk ini harus diceritakan sejak dia minum teh 434
Koleksi Kang Zusi
beracun dan kemudian ditanam oleh Ban-lo-hu-jin, di situlah tanpa sengaja ia dapat mendengar rahasia kelicikan Gui-Put-tam.
Selagi Po-giok tersiksa oleh rasa panas bagai dibakar ketika itu, kebetulan hujan lebat dan tanah yang menutupi tubuhnya terguyur buyar oleh air hujan, secara kebetulan pula hawa panas racun dalam tubuh Po-giok juga dipunahkan oleh air hujan.
Semua itu dengan sendirinya terjadi secara kebetulan, tapi kalau bukan pemuda luar biasa seperti Pui-Po-giok masakah dapat mengalami penemuan yang aneh dan luar biasa pula.
Sampai sekarang bilamana Po-giok teringat pada siksaan yang dialami ketika ditanam di bawah tanah itu, sungguh ia pun mengkirik sendiri, sedapatnya ia ingin melupakan peristiwa yang mengerikan itu.
Beberapa hari kemudian kadar racun dalam tubuh pun hilang, namun keadaannya pun kurus kering. Untung orang-orang di taman itu sudah sama berangkat ke Thai-san, maka dapatlah ia kabur dengan selamat.
Sekarang bulan sudah hampir purnama, tanpa terasa Po-giok pun berlari ke arah Thai-san, lambat-laun pulih juga kesehatannya. Dan kini ia pun sudah berada di kaki gunung Thai-san itu, namun dia tidak ada keberanian untuk naik ke atas gunung.
Selagi perasaannya diliputi rasa bimbang, sekonyong-konyong dari semak rumput yang gelap di samping sana terdengar suara rintihan orang. Po-giok terkesiap, ia coba mengawasi tempat itu terlihat di tengah semak rumput sana memang benar ada sesosok bayangan orang sedang meronta dan bersuara merintih, "Air ... air ... tolong ... air ..."
Bab 19. Misteri Kapal Layar Pancawarna
Karena menahan sakit dan derita yang sangat, suara gemetar itu berubah parau, tapi Po-giok masih kenal siapa orang yang sedang sekarat itu.
Jantung Po-giok bergetar mata melotot gusar, desisnya geram, "kau Gui ..."
Bayangan orang itu angkat kepala dan terbelalak kaget, di bawah cahaya rembulan yang redup, dilihatnya pemuda berbaju kumal di depannya ternyata adalah Pui-Po-giok yang lelah lama menghilang itu.
Wajah yang berkerut-kerut, menahan sakit itu, kini tampak gemetar menahan gejolak perasaannya, entah kaget atau senang.
"Po-ji," teriaknya sambil meronta, "kau kah....lekas, lekas tolong aku. Lekas ...."
"Menolongmu?" bentak Po-giok murka, "kau tega berbuat sekeji itu terhadap Nyo-jit-siok, kau pun membunuh para paman yang lain, kau ... kau ... ingin aku cincang dan mencacah tubuh kau ..."
Belum habis Po-giok bicara Gui-Put-tam sudah meringkal ketakutan. Ia kira rahasia perbuatannya tidak mungkin diketahui orang, siapa tahu kini Po-giok menelanjangi perbuatannya, betapa kaget, ngeri dan takut hatinya saat itu. "kau ... dari mana kau tahu?"
mendadak ia sadar kelepasan omong, dengan suara gemetar lekas ia menambahkan, "Tidak, aku tidak ..."
Sekali raih Po-giok rengut baju dadanya dan menjinjingnya dengan kasar, bentaknya beringas,
"Kamu masih ingin menipuku" Ketahuilah, aku menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri.
Waktu kau turun tangan, aku berada dalam tanah di bawah kakimu."
"Setan .... " mendadak Gui-Put-tam menjerit kaget dan takut, "apakah kamu setan?"
"Betul," desis Po-giok dengan tawa pedih. "aku setan. Aku inilah setan yang disuruh Nyo-jit-siok untuk merengut sukmamu."
"Ampun ... ampunilah aku," ratap Gui-Put-tam dengan suara memilukan, "aku juga ditipu orang. Coba lihat, aku .. sekarang keadaanku juga amat menyedihkan."
"Ya, memang ingin kutanya padamu, mengapa kamu mendadak berubah menjadi kejam dan tega melakukan perbuatan terkutuk membunuh Nyo-jit-siok" Kenapa pula keadaanmu sekarang 435
Koleksi Kang Zusi
jadi begini?" Sekilas tampak senyum memilukan di ujung bibir Gui-Put-tam, mata tampak berkaca-kaca, tubuh gemetar makin keras, Pandangannya makin buram, mulut mengigau, "Aku... aku sudah menunaikan tugas, kini tenagaku tidak diperlukan lagi, mereka ... tentu mereka tidak mau mengampuni jiwaku. Meski kutahu akan akhir nasibku ini dan sudah berjaga-jaga, tapi...tetap tak luput dari kekejian mereka."
"Sudah menunaikan tugas?" Po-giok kaget, "apakah ... apakah para paman itu benar dibunuh olehmu?"
"Aku memang harus mati.... Dosaku tidak .. terampun... menyesal pun sudah terlambat,"
demikian ratap Gui-Put-tam dengan sedih.
Bercucuran air mata Po-giok, bentaknya gusar, "kau ...bayarlah jiwa mereka."
Tangan sudah terangkat, tapi melihat sorot mata Gui-Put-tam yang penuh derita dan sesal wajah pucat dan basah oleh air mata, tak tega ia memukulnya.
"Bunuhlah aku ... bunuhlah aku," Gui-Put-tam sesambatan dengan tangis yang memilukan,
"dengan membunuhku akan mengurangi dosa dan deritaku, aku ... jiwaku takkan tahan lama lagi ...."
Po-giok mengepal tinju, bentaknya dengan serak, "Kenapa semua itu kau lakukan?"
"Karena tamak! Loba dan tamak telah menjerumuskan diriku," ucap Gui-Put-tam dengan air mata meleleh, "aku ... mengingkari sumpah terhadap guru yang memberi nama 'Put-tam' (tidak boleh tamak) terhadapku, biar mati aku malu menemui beliau di alam baka."
Agaknya rasa sakit tak tertahan lagi, saking menderita, jari-jari tangannya mencengkeram tanah tubuh pun mengejang.
Mendadak teringat oleh Po-giok suara yang amat dikenal dari tokoh misterius itu, serunya,
"Setelah kau bunuh Nyo-jit-siok di Kwi-kik-wan
tempo hari, siapakah orang yang bicara denganmu?"
Rintihan Gui-Put-tam makin lirih, napasnya justru memburu lebih keras, mulutnya megap-megap tak mampu mengeluarkan suara lagi.
Po-giok mencengkeram pundaknya. "Siapa dia" Siapa?"
Mata Gui-Put-tam terpejam, bibirnya kering keadaannya sudah sekarat, tidak sadarkan diri.
Menjelang ajal, harta benda masih terbayang juga dalam benaknya, setelah Po-giok mengguncang-guncang tubuhnya, akhirnya mulutnya mengigau, "Mutiara, emas, mutu manikam ... air...air..."
Saking gugup Po-giok tampar pipi orang seraya berteriak, "He, bangun, bangun! Katakan siapa dia sebenarnya?"
perlahan Gui-Put-tam membuka mata, dengan hambar dia menatap Po-giok, "Dia ... dia .... "
Mendadak dia menarik napas, tubuh yang meringkal karena menahan rasa sakit lebih mengkeret, akhirnya kaku tak bergerak lagi.
Malam terasa makin dingin.
perlahan Po-giok berdiri, sekian lama dia termangu di depan jenazah Gui-Put-tam, waktu angin mengembus lalu, tanpa terasa dia bergidik kedinginan.
Mata yang semula buram tak bersemangat itu kini menyala seperti bara. Sambil mengertak gigi, dia jinjing jenazah Gui-Put-tam lalu turun gunung.
Langkahnya lebar, tanpa menoleh lagi. Meski jalan pegunungan jelek dan sukar, tiada aral rintang di dunia ini dapat membendung tekad Po-giok. Di bawah gunung dia mencari suatu tempat yang cukup tersembunyi, di sana dia akan mengebumikan jenazah Gui-Put-tam.
436 Koleksi Kang Zusi
Malam hening, mendadak terdengar suara manusia. Po-giok baru saja membaringkan jenazah Gui-Put-tam dalam sebuah gua. Mendadak ada cahaya api di luar gua. Dari suara dan derap langkahnya, Po-giok menduga yang datang cukup banyak jumlahnya.
Seruling Perak Sepasang Walet 13 Balada Pendekar Kelana Karya Tabib Gila Pendekar Satu Jurus 3
^