Pencarian

Misteri Kapal Layar Pancawarna 16

Misteri Kapal Layar Pancawarna Karya Gu Long Bagian 16


"Hei, belang!" bentak Po-giok kaget, "berhenti .... "
Tapi belum habis Po-giok bicara, mendadak dilihatnya selarik sinar berkelebat, tahu-tahu si belang roboh binasa dengan tubuh terbelah dua.
Thi-wah berdiri kaku, walau ada maksud mencaci orang, tapi lidahnya terasa kelu, sepatah kata pun tak kuasa diucapkan.
Bayangan orang yang serba hitam itu kini memegang sebatang golok panjang.
Daripada disebut golok panjang lebih tepat gaman orang ini disebut pedang. Dari gagang pedang hingga ujungnya lurus seperti panah, tiada lengkung atau bengkok sedikitpun.
Tapi kenyataan senjata itu adalah golok. Golok bermata satu, hanya pedang yang bermata dua.
Po-giok menatap bulat golok panjang itu, lama-lama sorot matanya juga memancarkan cahaya.
Setelah lama mengawasi akhirnya ia berseru memuji, "Golok bagus!"
"Ya, golok bagus" orang itu pun bersuara.
Berat suara Po-giok, "Peng-keh-to dari Ngo-hou-toan-bun-to, goloknya agak lebar, Kwi-to-ting dari Thai-hang di San he, badan goloknya agak pendek, kecuali itu badan goloknya sedikit bengkok."
529 Koleksi Kang Zusi
"Betul," bayangan itu bersuara pendek.
"Tapi golok ini bukan buatan Tiong-toh," ucap Po-giok tegas.
"Golok ini memang tidak ada di Tiong-toh," ujar orang itu.
Berkerut alis Po-giok, hardiknya dengan beringas, "Golok ini dari Tang-ing!"
"Golok ini datang dari Tang-ing," ucap orang itu tegas.
"Engkau siapa kawan?" tanya Po-giok.
Orang itu terbahak sambil melangkah maju. Di bawah sinar bintang tertampak orang ini berpakaian ketat serba hitam, kepala mengenakan kerudung hitam pula, yang kelihaian hanya kedua biji matanya bola matanya berkilauan padahal matanya belum terbuka lebar.
Po-giok membentak pula, "Siapa kamu sebenarnya?"
Orang itu tertawa panjang, "Bukan teman baru juga bukan kawan lama. Umpama aku jelaskan siapa diriku kau pun tidak akan mengenalku."
"Lalu untuk keperluan apa kamu kemari?" tanya Po-giok.
Mendadak orang itu berhenti tertawa, katanya tandas, "Seorang sahabat dari Tang-ing titip sebatang golok padaku untuk diserahkan kepadamu.
"Pek-ih-jin maksudmu?" seru Po-giok kaget.
"Betul, memang dia!" sahut si baju hitam.
Menghadapi utusan Pek-ih-jin dengan golok yang mengandung hawa membunuh, sikap Po-giok sedikit pun tidak menampilkan rasa gugup, takut atau ngeri, sorot matanya malah berubah tajam dan jernih, sikap juga kelihatan tenang dan wajar. Matanya menatap golok panjang itu, Thi-wah dan Siau-kong-cu mengawasi dia.
Setelah sekian saat mengawasi Pui-Po-giok, lambat-laun berubah air muka Siau-kong-cu, sikap biasanya yang selalu mencemooh dan meremehkan sinar matanya yang cerdik tapi pongah, kini berubah prihatin, perasaannya seperti tertekan. Prihatin yang mengandung rasa takut tapi hormat, kagum namun juga iri.
Sebetulnya yang dipandang adalah kekasihnya laki-laki pujaan hatinya, tapi ia tidak bisa menerima kenyataan bahwa pujaannya lebih kuat, lebih unggul dan lebih pintar dari dia.
Dilihatnya Po-giok tertawa tawar. "Bahwa Pek-ih-jin dari Tang-ing menyerahkan sebatang golok kepada tuan, tentu golok itu amat berharga. Namun bagaimana Pek-ih-jin bisa tahu bahwa di dunia ini ada seorang bernama Pui-Po-giok?"
"Pek-ih-jin tidak menunjuk bahwa golok ini harus kubawa untukmu," demikian kata si baju hitam.
Po-giok tersenyum, "O, jadi tuan sendiri yang bermaksud menghadapiku?"
Bab 24. Misteri Kapal Layar Pancawarna
Golok ini memang pemberian Pek-ih-jin, dengan harapan supaya aku dapat menghadapi tokoh paling kosen di Bu-lim. Setahun sudah aku berkelana di kang-ouw, tidak sedikit kaum Bu-lim yang sudah kuhadapi, namun belum seorang pun yang setimpal menyambut golok ini, maka golok ini masih berada di tanganku sampai sekarang.
Po-giok manggut-manggut, "Jadi belum ada tokoh kang-ouw yang pernah menyaksikan jurus golok ini?"
"Bukan hanya kaum Bu-lim di Tiong-toh saja yang belum pernah lihat, di kolong langit ini orang yang mengenal jurus golok ini mungkin aku yakin belum dan tidak akan ada orang ketiga."
"Jurus golok ciptaan Pek-ih-jin sendiri?" tanya Po-giok.
530 Koleksi Kang Zusi
"Betul," sahut si baju hitam.
Mendadak berubah serius air muka Po-giok. dengan hormat ia menjura.
Si baju hitam tertawa dingin, "Kenapa tuan mendadak pakai peradatan" Apa ingin kau bawa pulang golok ini?"
Po-giok tertawa lebar, "Dari ribuan li tuan datang kemari, tidak pantas aku membuat tuan bercapek lelah. Hormatku aku tunjukan kepada tuan sebagai seorang ksatria yang tiada bandingan di dunia ini."
Sampai di sini ia merandek, sebelum orang bicara ia meneruskan lagi, "Bahwa Pek-ih-jin telah menurunkan jurus rahasia yang lihai itu kepada tuan, tentu dia yakin dan percaya penuh kepada tuan, kalau Pek-ih-jin memberi penghargaan setinggi itu kepada tuan, mana berani Po-giok berlaku kasar dan memandang rendah."
"Bagus orang bilang pupur dihadiahkan pada gadis jelita, pedang sakti diberikan pada ksatria sejati. Bahwa golokku ini dapat aku serahkan kepada tokoh seperti engkau , tidak sia-sia lah perjalananku ini."
"Terima kasih. Tuan terlalu memuji."
"Aku juga menghargaimu sebagai ksatria, maka perlu aku beri tahu beberapa patah kata padamu."
"Silakan bicara!"
"Golok ini tajam tiada bandingan, tapi Pek-ih-jin sendiri juga merasakan jurus ciptaannya ini masih dapat dipecahkan ..."
"O, demikian ...."
"Tapi jangan kamu terburu senang, kelemahan jurus ilmu golok ini amat sulit dijajaki, kecepatan permainan golok ini laksana kilat menyambar, begitu sinar golok berkelebat, serangan pun tiba, meski kamu seorang cerdik pandai, belum tentu dapat menyelamatkan diri apalagi memecahkan kelemahan jurus ilmu golok ini dalam waktu secepat samberan kilat itu."
Dari sampIng-Thi-wah mendadak membantah, "Dari mana kau tahu Toa-ko ku tidak mampu?"
Si baju hitam anggap tidak mendengar ocehannya. "Dan lagi, bila jurus ini dilancarkan, begitu darah muncrat jiwa pasti melayang. Kalau kamu tidak ingin menghadapi jurus golok ini, katakan terus terang sekarang sebelum terlambat"
Po-giok tersenyum ramah, "Aku justru ingin menjajalnya."
"Bagus!" seru si baju hitam.
"Silakan!" ucap Po-giok dengan hormat.
Tangan Po-giok yang terangkap di depan dada sampai diturunkan, tangan kiri masih berada di bawah Yo-coan-hiat sebelah kiri, sementara tangan kanan terhenti di pinggir Khi-yang-hiat.
perlahan gerak tangan Po-giok, tapi pada posisinya itu mendadak berhenti tanpa bergerak lagi, soalnya jurus golok lawan sudah siap dilancarkan, bila dirinya menunjuk sedikit gerakan, akibatnya ia bisa melayang dengan percuma.
Kini jarak antara kedua tangannya kira-kira satu kaki, bagi seorang jago silat yang sudah punya dasar yang kuat, sekali pandang orang akan tahu gaya Po-giok sekarang memperlihatkan banyak segi kelemahan.
Cemas hati Siau-kong-cu, diam-diam ia menghela napas, batinnya, "Pui-Po-giok, wahai Pui-Po-giok, kamu berani gegabah dan takabur. Dengan gayamu sekarang dari atas sampai ke bawah segi kelemahanmu sedikitnya ada tiga-empat puluh tempat, cukup sejurus serangan yang paling awam pun pasti dapat merobohkan dirimu, apalagi.. apalagi jurus golok yang luar biasa ini. agaknya jiwamu sudah ajal hari ini."
Di samping gemas dan ingin supaya Po-giok segera mampus di bawah serangan golok si baju hitam, namun lubuk hatinya yang paling dalam amat berharap Po-giok menang dan 531
Koleksi Kang Zusi
menguatirkan keselamatannya. Ke manakah kiblat isi hati Siau-kong-cu sebenarnya" Dia sendiri pun tidak tahu.
Thi-wah sebaliknya sangat senang dalam hati membatin, "Toa-ko memang tidak malu sebagai Toa-ko ku, hanya dia saja yang dapat menunjukkan gaya yang begitu menakjubkan, dan hanya dia saja yang berani mengunjuk gaya serba aneh, kuyakin di kolong langit tiada orang lain dapat bergaya dengan segi kelemahan sebanyak itu, padahal makin banyak segi kelemahan, lawan menjadi bingung dan tidak tahu dari arah mana serangan harus dilancarkan, bukankah gaya pertahanannya itu berarti amat rapat seolah-olah tiada segi kelemahan malah. Ha, tidak, lebih tepat dikatakan gayanya itu tiada segi kelemahannya, gaya yang sempurna. Hihi, gaya yang paling rapat dan kukuh, haha, sungguh aneh, sungguh bagus sekali."
Keheningan mencekam perasaan terus berlangsung kira-kira setengah jam lamanya.
Thi-wah merasa kaki tangan linu kesemutan, namun ia tidak berani bergerak. Kalau penonton saja ikut tegang dan tidak berani bergeming, apa lagi Pui-Po-giok.
"Aneh," demikian batin Siau-kong-cu, "kenapa orang ini belum juga turun tangan! Apa sengaja ingin menyiksa batin Po-giok" Setelah Po-giok menderita lahir batin ... atau dia maklum serangan goloknya akan menamatkan jiwa Po-giok sehingga tak tega turun tangan?"
Makin dipikir makin ruwet, padahal persoalan mudah dan sederhana, tapi dalam pemikirannya justru menjadi rumit dan sukar dipecahkan. Itulah buktinya bahwa Siau-kong-cu memang setaraf lebih tinggi dibanding orang lain.
Dari segala keruwetan itu akhirnya lahirlah buah pikirannya.
"O, ya, gaya yang diperlihatkan Po-giok terlalu banyak segi kelemahannya, sehingga lawan kebingungan tak tahu dari posisi mana harus turun tangan, oleh karena itu ia bimbang dan tidak berani bertindak. Hah, jadi yang tersiksa dan menderita justru dirinya sendiri dan bukan Po-giok. Bagus! Sungguh menyenangkan!"
Mendadak sinar golok mulai bergerak. Si baju hitam memegang golok dengan kedua tangan, tubuhnya berputar perlahan, dengan kaki kiri sebagai poros, tubuh mendadak berputar secara aneh dan lamban.
Seiring dengan gerak tubuh yang berputar, golok panjang itu juga menggaris menjadi lingkaran. Begitu indah gerakan berputar, begitu mempesona lingkaran itu, sehingga Thi-wah dan Siau-kong-cu melongo takjub.
Setelah berputar satu lingkar, tubuh si baju hitam dan golok panjang itu seolah-olah manunggal, berubah menjadi kesatuan yang tidak dapat dipisahkan lagi.
Menyusul secara tiba-tiba sinar golok bergetar entah bagaimana sinar golok itu akhirnya berubah menjadi tabir kemilau, laksana kilat menyerang ke arah Po-giok. Sasaran mana yang diserang pada tubuh Po-giok"
Siapa pun tidak tahu dan tidak bisa melihat. Karena samberan tabir kemilau itu berlangsung dalam waktu sekejap. Tapi sekejap yang hanya sekejap itu justru dapat menentukan mati hidup manusia.
Siau-kong-cu dan Thi-wah hanya melihat bayangan orang sekali berkelebat angin samberan golok, bayangan cahaya, lalu secara ajaib seluruhnya berhenti mendadak.
Kalau tadi berhadapan, kini Po-giok dan si baju hitam pindah tempat, saling membelakangi.
Golok panjang di tangan si baju hitam terangkat tinggi di atas, sementara tangan kiri Po-giok melindungi dada, sedang tangan kanan laksana sayap terpentang ke belakang. Seperti dua patung bergaya berdiri mungkur tanpa bergerak.
Siapa yang menang" Mana yang kalah"
Keheningan mencekam terasa mencurigakan, membuat orang tegang menahan napas. Entah beberapa kejap kemudian, seperti singkat tapi juga terasa amat lama.
Akhirnya si baju hitam membuka suara, "Jurus bagus!"
Belum habis mengucap dua patah kata, mendadak tubuhnya ambruk tersungkur.
532 Koleksi Kang Zusi
Po-giok yang menang.
"Toa-ko menang ... Toa-ko menang .... " Thi-wah bersorak kegirangan.
Mendadak Po-giok membalik tubuh melompat ke samping si baju hitam yang rebah di tanah, serunya gugup dan kuatir, "Bagaimana keadaan anda"!"
Si baju hitam tertawa pedih. "Bagaimana?" desisnya lirih, "Sudah kalah ... sudah kalah"
Beruntun ia mengucap empat kali "sudah kalah", suaranya makin lemah dan lirih, makin sedih memilukan, akhirnya pun berhenti.
Sambil mengertak gigi mendadak Po-giok menyobek baju di depan dada si baju hitam, di bawah sinar bintang, tampak oleh Po-giok dada si baju hitam ternyata hitam memar.
Ternyata sejurus waktu kedua orang saling bentrok barusan, Po-giok mengayun balik telapak tangan, kanan dan secara telak menghajar dada si baju hitam, walau pukulan telapak tangan itu tidak meninggalkan bekas telapak tangan di dadanya, tapi seluruh tulang dada si baju hitam terpukul patah dan hancur.
Betapa dahsyat tenaga pukulan yang dilancarkan Po-giok"
Po-giok menunduk sedih, katanya, "Cai-he salah tangan ... pukulan ini ... terlalu berat ... terlalu berat..."
Po-giok bilang "terlalu berat" karena ia maklum dengan luka separah itu si baju hitam tidak mungkin tertolong jiwanya.
"Kejadian ini ... tidak boleh menyalahkan engkau ," desis si baju hitam.
"Akulah yang salah ... aku yang harus disalahkan. Aku tidak bermusuhan dan tiada dendam denganmu, tidak pantas ... "
"Ah," desis si baju hitam, "mana boleh menyalahkanmu, akulah yang memaksamu turun tangan, terpaksa kamu harus membela diri ... akulah yang memaksamu melancarkan jurus mematikan ini .... "
Suara si baju hitam makin lemah, mendadak ia tertawa pedih lagi, "Sebenarnya, bukan aku yang memaksamu, jurus ilmu golok itulah yang memaksamu. Bukankah tadi sudah kubilang, bila jurus itu dilancarkan harus melihat darah dan jiwa pasti melayang!"
Merinding Po-giok, "Jadi ... kau tahu jurus itu ..."
"Betul." tukas si baju hitam, "aku sudah tahu sejak mula bila jurus ilmu golok itu aku lancarkan, kalau bukan engkau yang mampus, tentu akulah yang gugur. Dalam hal ini hakikatnya engkau tidak diberi kesempatan untuk memilih."
"Tapi ... kenapa untuk urusan orang lain kau rela mempertaruhkan jiwa sendiri?"
Memilukan tawa si baju hitam, napasnya mulai memburu, "Sebelum Pek-ih-jin menurunkan jurus golok ini padaku dia sudah menjelaskan bahwa di dunia ini tiada orang mampu memecahkan jurus ciptaannya ini, aku akan malang melintang di dunia kang-ouw, sebaliknya bila ada orang tahu dan mampu memecahkan jurus ini, jiwaku yang akan melayang. Cukup lama aku mempertimbangkan hal ini baru menerima ajarannya. Itu berarti aku rela melakukannya, kenapa harus menyalahkan orang lain?"
"Betapa besar arti jiwa raga ini, tapi kau pertaruhkan untuk sejurus pelajaran ilmu golok, apakah ... apakah setimpal?"
"kau bilang apa setimpal?" si baju hitam bertanya.
"Betul," sahut Po-giok setelah menghela napas panjang. "jurus itu memang dapat mengejutkan bumi dan memecahkan nyali setan dan malaikat. Sayangnya hawa membunuh yang terkandung pada jurus itu teramat tebal. Kalau bukan karena hawa membunuhnya teramat tebal, aku takkan dapat memecahkannya."
533 Koleksi Kang Zusi
Agak lama si baju hitam menelaah dan meresapi kata-kata Po-giok, akhirnya ia mengangguk perlahan, "Tidak salah, tidak salah .... Karena hawa membunuh terlalu tebal, menjadi kehilangan keuletan, meski tajam golok luar biasa, akhirnya terpecahkan juga .... "
Mendadak ia menarik napas lalu meninggikan suara, "Tapi kecuali engkau Pui-Po-giok, siapa manusia di dunia ini yang dapat memecahkan jurus ini."
"Kukira tidak demikian." tiba-tiba Siau-kong-cu menjengek.
"Tidak demikian" kau tahu asal-usul jurus itu?" bentak si baju hitam bengis.
Siau-kong-cu mendongak mengawasi langit, katanya, "Apa kau tahu?"
"Pernahkah kau dengar jurus It-nu-sat-liong-jiu dari ilmu Sam-coat-jiu Siau-lim-pai" Pernah kau dengar jurus Ban-koh-it-ki-kai-thian-te yang oleh Liu-tai-hiap dulu digunakan malang melintang di dunia kang-ouw?"
"Ya, pernah aku dengar bahwa kedua jurus ilmu silat itu merupakan dua jurus yang paling ampuh di Bu-lim masa itu, tapi ... apa sangkut-pautnya kedua jurus itu dengan jurus yang kau lancarkan tadi?"
Si baju hitam tidak menghiraukan pertanyaan Siau-kong-cu, tapi berkata sendiri, "Apa kau juga pernah dengar bahwa tiga aliran besar kaum persilatan di Tang-ing, ada satu jurus yang dinamakan Ni-hong-it-to-jan dari It-liu-thai-to"
"Walau aku belum pernah dengar, tapi jurus yang satu ini pasti merupakan jurus yang paling hebat di kalangan Bu-lim di Tang-ing sana, betul tidak?"
"Betul!" desis si baju hitam, "jurus yang aku lancarkan tadi memang salah satu jurus yang diciptakan oleh Pek-ih-jin, jurus itu merupakan kemanunggalan ketiga jurus ilmu silat yang aku sebutkan tadi, maka dapat kau bayangkan betapa hebat wibawa jurus ciptaannya itu."
Setelah menahan diri untuk bicara sebanyak itu, tenaga terpendam yang masih tersisa di badan si baju hitam agaknya sudah terkuras habis, kini ia harus berhenti dan mengatur napasnya yang empas-empis.
Karena si baju hitam tidak bicara, Po-giok dan Siau-kong-cu juga tidak bicara. Apalagi Thi-wah jelas ia pun tidak punya omongan, tiga orang pentang mata mengawasinya dengan terbelalak.
Po-giok mengawasi dada orang yang ringsek karena pukulannya, sikapnya kelihatan menyesal dan sedih. Siau-kong-cu mengawasinya seperti merasa curiga, seolah-olah ingin menyelidiki sesuatu yang ingin diketahui.
Thi-wah ternyata mengawasi satu benda yang terikat di pinggang orang, sudah sejak tadi ia mengawasi buntalan ini, wajahnya tampak tertarik dan ingin memilikinya.
Bentuk benda itu memang agak aneh, selintas pandang mirip kantung air, tapi kalau kantung air kenapa banyak lubang kecil seperti sarang tawon.
Suasana kebetulan amat hening, dan dalam benda yang bentuknya seperti kantung air itu terdengar suara lirih yang aneh. Benda apa yang berbunyi dalam kantung air yang bolong-bolong ini" Thi-wah menerka-nerka, tapi tidak memperoleh jawabnya.
Mendadak didengarnya Siau-kong-cu menjerit perlahan, katanya, "Ah, betul, pasti dia adanya."
Po-giok bertanya. "Apa kau bilang" Dia siapa?"
Siau-kong-cu tidak menjawab, mendadak ia meraih tutup kepala si baju hitam, maka tampaklah seraut wajah yang pucat pasi.
"He, engkau ... bagaimana bisa kamu?" teriak Po-giok kaget.
Si baju hitam ternyata Thi-kim-to adanya yang sudah berpisah sekian tahun dan tidak pernah terdengar kabar beritanya.
Po-giok memang sudah merasa bentuk dan perawakan si baju hitam mirip seseorang yang sudah dikenalnya, tapi sejak berpisah di Gak-yang-lau dahulu hingga sekarang belum pernah bertemu lagi dengan orang ini, sudah tentu sukar mengingatnya kembali.
534 Koleksi Kang Zusi
Kejadian di Gak-yang-lau dulu sudah berselang tujuh tahun. Terbayang oleh Po-giok waktu itu dirinya bersama Siau-kong-cu mencuri lihat di belakang kerai dalam kapal layar pancawarna waktu Ci-ih-hou menerima Boan-jiu-hu-hou-to ini untuk mohon belajar ilmu silat padanya.
Siau-kong-cu berkata sambil mengawasi Thi-kim-to, "Aneh bukan" Bagaimana aku bisa mengenal dirimu?"
Thi-kim-to tertawa kaku, "Ya, aku pun heran ... walau kutahu nona adalah putri kesayangan Ci-ih-hou-ya, tapi tidak Aku ingat kapan nona pernah bertemu dengan aku."
"Biar aku beri tahu padamu," ucap Siau-kong-cu tertawa, "waktu kak Ling-ji mengajarkan Kian-kun-boh-thian-sek untuk mematahkan Poan-liong-kau itu, aku dan ... dia, sudah melihatmu dari balik kerai."
Thi-kim-to menghela napas, "Sungguh mengagumkan, berselang sekian tahun nona masih mengenal diriku."
"Sudah tentu masih Aku ingat," ucap Siau-kong-cu bangga, "setiap orang yang pernah aku lihat sekali saja, meski dia menjadi abu juga masih dapat aku kenali ..."
Sengaja ia melirik ke arah Po-giok, lalu melanjutkan dengan suara dingin, "jangankan hanya manusia, sepatah kata yang pernah diucapkan orang pun akan selalu Aku ingat."
"Sepatah kata apa?" tanya Po-giok tertarik.
Siau-kong-cu mendongak ke atas tidak menghiraukannya, namun dalam hati ia berkata, "Orang bilang aku takkan bisa menandingi dirimu, apa benar hal itu" Cepat atau lambat kau pasti mati di tanganku."
Karena rasa ingin menang itulah segala sesuatunya selalu berjalan saling bertentangan.
Umpama benar dia berhasil membunuh Po-giok, dia juga tidak ingin hidup sendiri, tapi itu urusan lain urusan nanti.
Po-giok menghela napas panjang, matanya masih mengawasi Thi-kim-to, orang yang sudah sekarat ini akan mati di tangannya, perkara lama dan urusan di depan mata, sekaligus bergejolak dalam sanubarinya.
Sekian lama ia kehabisan kata, entah apa yang harus diucapkan, namun akhirnya ia tertawa getir "Selamanya tidak akan aku lupakan. Thi ... Thi-tai-hiap dan Poan-liong ..."
Thi-kim-to tertawa ewa, katanya lirih, "Perlu Pui-siau-hiap ketahui, persoalanku dengan Poan-liong-kau itu sudah tidak perlu diperpanjang lagi."
"Oo, kenapa" Permusuhan kalian sudah didamaikan?"
"Bukan," sahut Thi-kim-to "akhirnya Poan-liong-kau gugur di tanganku."
"kau ... kau ..." tergetar perasaan Po-giok.
Thi-kim-to memejamkan mata, sejenak kemudian ia berkata pula, "Dengan jurus tadi aku berhasil membunuhnya. Sungguh tak nyana akhirnya aku juga gugur karena jurus itu, aku memperoleh pelajaran ... bukankah ini sangat aneh" Kalau di dunia ini tiada jurus ini, dia tidak akan mati, aku pun tidak mati."
"Lantaran ... ingin mengalahkan Poan-liong-kau , baru kau terima jurus ciptaan Pek-ih-jin ini,"
demikian kata Po-giok sedih, perasaannya menjadi dingin.
"Ci-ih-hou sudah wafat, tiada guru yang baik di kang-ouw," demikian ucap Thi-kim-to, "maka aku berlayar jauh ke Tang-ing, setengah tahun lamanya aku mencari dia, syukur akhirnya aku bertemu dengan Pek-ih-jin, kumohon padanya pelajaran supaya aku bisa menang."
"Bahwa dia menerima permohonanmu, sungguh di luar dugaan."
"Semula ia bersikap tak acuh dan sama sekali tiada hasrat menerima diriku, malah tidak jarang aku dihina dan dicaci maki, tapi entah kenapa dalam pertemuan lain mendadak ia berubah pikiran."
535 Koleksi Kang Zusi
"Mendadak berubah pikiran" Soal apa membuatnya berubah pikiran?" ucap Po-giok sambil tepekur.
Sesaat lamanya keadaan menjadi hening. Sejak tadi perhatian Thi-wah tertuju pada benda di pinggang Thi-kim-to, tanpa peduli orang lain mendadak ia menghampirinya lalu meraih kantung itu.
Berubah hebat air muka Thi-kim-to, teriaknya dengan serak. "Lepas ... lepaskan ... kembalikan
... " Thi-wah malah menyingkir jauh, katanya, "Jangan pelit, aku hanya ingin tahu apa isinya, nanti aku kembalikan."
"Jangan, jangan kau lihat ... kantung itu ... jangan dibuka!" Thi-kim-to tampak gugup.
"Hanya melihat sebentar, kenapa sih, isinya kan tidak bakal terbang dan hilang?" sembari bicara Thi-wah membuka mulut kantung.
Belum habis ia bicara kantung itu sudah membuka dan "berrr", isi kantung benar-benar terbang keluar.
Kali ini Thi-wah yang tertegun, ia mendongak mengawasi udara, setitik putih laksana panah melesat tinggi ke angkasa, hanya sekejap lenyap entah ke mana.
Akhirnya Thi-wah menjerit kaget dan heran, "He, burung, seekor burung. Orang ini membawa burung."
Wajah Thi-kim-to tampak gugup, kuatir dan menyesal, suaranya lirih gemetar, "Itu bukan burung biasa, tapi burung dara."
"Burung dara sudah terbang tidak perlu dibuat perkara, paling banyak ... nanti kuganti seekor yang lebih bagus." demikian ucap Thi-wah!
Melihat Thi-kim-to gugup dan kuatir hanya lantaran seekor burung dara, Po-giok dan Siaukong-cu merasa heran. Siau-kong-cu bertanya, "Apakah burung dara itu burung sakti?"
"Tidak ... ai, bukan!" kata Thi-kim-to.
"Burung dara itu membawa sesuatu pusaka?" tanya Siau-kong-cu pula.
"Tidak ... juga bukan." serak suara Thi-kim-to.
"Ini tidak, itu bukan, kenapa begini tegang?" tanya Siau-kong-cu.
Mata Thi-kim-to melotot mengawasi arah burung dara, wajah tampak sedih, kuatir dan tobat, gumamnya, "Kalau burung dara itu kembali ... Pek-ih-jin akan segera datang."
"Huh, ucapan apa itu?" jengek Siau-kong-cu.
Meski ia tidak paham apa makna perkataan Thi-kim-to, tapi dari sorot matanya, Siau-kong-cu mendapat firasat adanya sesuatu yang tidak beres, mau tidak mau air mukanya ikut berubah.
"Sebelum aku berangkat pulang," demikian tutur Thi-kim-to, "Pek-ih-jin menyerahkan burung itu kepadaku, dia berpesan bila ada orang dapat mematahkan jurus ciptaannya itu, burung dara harus kulepas biar pulang, dan bila burung dara itu tiba di tempatnya, ia segera berangkat kemari."
"Kalau burung dara itu tidak kembali?".
"Burung dara tidak kembali berarti jurus ciptaannya itu tiada bandingan di Tiong-toh, hanya sejurus ciptaannya yang dia turunkan kepadaku, sudah malang melintang di dunia tanpa tandingan lalu buat apa dia meluruk kemari" Kalau dia tidak datang, bukankah tiada bencana lagi di Bu-lim?"
Tergetar hati Po-giok Siau-kong-cu malah berkata, "Untuk menghindarkan bencana di Bu-lim, meski sudah berjanji dengan Pek-ih-jin, kau putuskan untuk tidak melepaskan burung itu, 536
Koleksi Kang Zusi
begitu?" Thi-kim-to menghela napas panjang, "Dengan berbuat begitu meski ingkar janji terhadap Pek-ih-jin, namun secara langsung aku sudah menolong banyak jiwa kaum persilatan di sini, kurasa cukup setimpal apa yang kulakukan."
Siau-kong-cu menyeringai, "Kalau benar kamu bermaksud baik, kenapa burung dara itu selalu kau bawa" Seharusnya disembelih dan digoreng saja kan enak."
"Semula kupikir kalau aku mati, mati-hidup orang lain peduli amat dengan diriku" Biar Pek-ih-jin mencuci Tiong-goan dengan banjir darah, tapi sekarang aku sudah dekat ajal, entah kenapa menjelang ajal pikiranku mendadak berubah.
Siau-kong-cu menatapnya tajam, kemudian ia menghela napas, sambil manggut ia berkata lirih.
"Betul, seseorang bisa berubah pikiran menjelang ajalnya, umpama dia seorang durjana yang jahat dan kejam, pada saat mendekati ajalnya, dia pun ingin melakukan sesuatu yang baik untuk bekal perjalanan ke alam baka."
Sejak tadi Thi-wah berdiri melongo, mendadak ia tampar muka sendiri, air mata pun bercucuran, katanya keras, "Akulah yang salah ... aku harus mampus ... "
Mendadak ia berlutut di depan Po-giok serta meratap dengan pilu, "Toa-ko, Thi-wah pantas dihukum mampus, pukul lah aku sampai mampus!"
Po-giok malah geleng kepala, katanya sambil menghela napas. "Dalam hal ini kau tidak dapat disalahkan."
"Oo, kenapa aku tidak disalahkan"... Kalau burung dara tidak aku lepaskan, Pek ih-jin tidak ...."
"Umpama kau tidak melepas burung dara itu kembali, cepat atau lambat Pek-ih-jin juga akan datang," demikian tukas Po-giok.
"Agaknya Pui-siau-hiap masih belum percaya padaku?" ujar Thi-kim-to.
Po-giok menghela napas pula. "Bukan aku tidak mempercayaimu, soalnya aku sudah tahu dan membongkar maksud tujuan Pek-ih-jin dengan muslihatnya ini."
"Apa maksud tindakanmu ini?" tanya Thi kim-to.
Po-giok termenung mengawasi mega, perlahan berkata, "Setelah dia menciptakan jurus sendiri belum tahu apakah ada kelemahan jurus ciptaannya, juga belum tahu pasti di mana letak kelemahannya, kebetulan engkau mohon belajar padanya, maka kamu dijadikan kelinci percobaan. Di situlah maksud tujuannya menurunkan jurus ciptaannya kepadamu, padahal betapa nyentrik watak dan perbuatannya, mana mungkin mau menurunkan sejurus ciptaannya yang memeras tenaga dan keringatnya itu kepadamu?"
"Betul ... memang betul .... " Thi-kim-to menjadi lunglai, mendadak matanya mendelik serta berteriak, "Ya, tidak salah! Tidak salah!"
"kau ingat apa lagi?" tanya Po-giok.
"Waktu menyerahkan burung dara itu padaku lebih dulu mengikat benang sutera pada kaki burung itu, secara tidak sengaja aku melirik kebetulan dapat aku lihat secarik kertas tipis yang dia gulung dan diikat di kaki burung dara itu bertuliskan dua huruf."
"Dua huruf apa?" tanya Po-giok.
Thi-kim-to menghela napas, katanya, "Bawah ketiak. Yang ditulis itu adalah 'bawah ketiak'."
Lama Po-giok tepekur, lalu menarik napas sambil mendongak, "Ya, memang demikian halnya.
Orang ini memang seorang jenius dalam kalangan persilatan, waktu menciptakan jurus ilmu goloknya dia sudah memperhitungkan lubang kelemahan jurus ciptaannya itu ada di bawah ketiak, namun ia sendiri tidak berani memastikan kebenaran dugaannya itu."
"Ya, setelah burung dara itu kembali, ia yakin bahwa perhitungannya tepat."
Po-giok tertawa getir, "Betul, itulah tujuannya kenapa dia minta kau lepas burung dara itu 537
Koleksi Kang Zusi
pulang setelah kamu gugur. Padahal dia sudah mengirim berita bahwa musim bunga tahun depan akan datang ke Tiong-goan, mana mungkin dia ingkar janji. Umpama burung dara itu kau bunuh juga dia akan meluruk ke Tiong-goan."
Mendadak Thi-wah tertawa riang, air mata meleleh di pipinya, katanya riang, "Kalau demikian, Thi-wah tidak salah lagi bukan?"
Napas Thi-kim-to tambah berat dan makin sesak, katanya serak, "Kalau dia sudah tahu kelemahan jurus ciptaannya itu ada di bawah ketiak dengan kecerdasannya sebetulnya ia dapat mencari jalan pemecahannya, dan sia-sia aku menjadi umpan percobaannya, aku bukan saja mencelakai awak sendiri, aku juga membunuh orang lain, aku .... kenapa aku berbuat sebodoh ini, mencelakai orang lain juga membunuh diri sendiri ... "
Suaranya makin serak dan lirih, sikapnya juga amat menderita dan duka.
Mendadak kedua tangannya memukul dada seraya berteriak, "Aku mati penasaran ... penasaran
... " "Bluk", dengan sisa tenaga yang ada ia pukul dada sendiri yang ringsek, seiring dengan bunyi
"bluk" itu, jiwanya pun melayang.
Siau-kong-cu mengawasi Po-giok, mendadak ia tanya, "Apa betul hanya di tempat itu saja lubang kelemahan jurus itu?"
Po-giok mengangguk, "Ya, titik kelemahan jurus itu memang di bawah ketiak. Sebetulnya aku tidak mampu memecahkan jurus itu, setelah sinar golok menyamber tiba di depan mata, kutahu jiwaku tak bisa diselamatkan lagi ... "
Setelah tertawa getir, Po-giok melanjutkan, Dalam waktu sekejap itu, aku lihat tabir sinar golok yang putih kelabu, cahaya golok seolah-olah, membalut sekujur tubuhku."
"Lalu cara bagaimana kamu berhasil memecahkannya?" tanya Siau-kong-cu.
"Dalam sekejap itulah, mendadak kudapatkan di tengah lingkaran cahaya golok yang paling tebal ternyata bercampur dengan warna hijau dan coklat yang samar-samar. Hal ini dapat aku simpulkan bahwa di tengah lingkaran sinar golok yang paling tebal justru ada lubang kelemahannya, lubang itulah yang menimbulkan gambaran samar-samar dari warna hijau dan coklat dari pepohonan di belakangnya. Bahwa titik kelemahan justru berada di tengah lingkaran sinar golok yang tebal, hal ini sebetulnya membuat hatiku bimbang dan heran, namun dalam saat genting itu mana dapat aku pikirkan persoalan ini, terpaksa aku bertindak dengan menyerempet bahaya."
"Sekali dicoba ternyata berhasil," sorak Siau-kong-cu senang.
Po-giok menghela napas, "Waktu itu aku betul-betul tidak menduga bahwa percobaanku bakal berhasil. Seperti memejamkan mata saja langsung aku terjang ke tengah lingkaran sinar golok yang paling tebal. Dalam keadaan seperti itu, tindakanku itu, ibarat laron menerjang api."
"Jurus laron menerjang api yang bagus sekali!" Siau-kong-cu berkeplok memuji. "jurus itu dapat dijajarkan dengan jurus Ju-cian-ci-pok (membikin sawang membelenggu sendiri) ciptaan Jit-biat Su-thai itu cikal bakal Hoa-san-pai yang hebat itu."
Mendengar dirinya dipuji gadis binal ini, Po-giok tertawa riang, "Waktu itu kurasakan sekujur badanku menjadi dingin, seolah-olah mendadak kejeblos ke dalam air dingin disusul timbul pula perasaan lain yang aneh!"
"Perasaan apa?" tanya Siau-kong-cu.
Po-giok tidak langsung menjawab, setelah menghela napas baru bicara, "Kalau bukan lantaran perasaan aneh itu, umpama aku dapat menyelamatkan diri dari serangan jurus ganas itu tetap tak dapat memecahkannya."
"Perasaan aneh apa sih?" desak Siau-kong-cu, "coba jelaskan."
"Dalam keadaan kepepet aku terdesak oleh angin samberan golok yang diliputi hawa membunuh, sekujur badan hampir beku tapi ada satu bagian terasa masih ada hawa hangat. Di tengah lingkaran sinar golok yang dingin itu, dari mana datangnya hawa hangat itu?"
538 Koleksi Kang Zusi
"Aneh, di tengah lingkaran sinar golok yang dingin, dari mana datangnya hawa hangat?" Siaukong-cu juga bertanya-tanya.
"Hawa hangat itu merembes dari suhu badan Thi-kim-to. Cukup lama dia mengerahkan tenaga dan siap menyerang, dalam keadaan tegang lagi, dengan sendirinya suhu badannya menjadi lebih panas."
"Ya, benar, mungkin demikian," ucap Siau-kong-cu.
"Dalam keadaan biasa suhu badan itu jelas takkan terasakan, tapi pada saat sinar golok yang dingin hampir membeku badan, hawa hangat ini justru terasa amat ganjil. Bahwa di tengah lingkaran sinar golok yang dingin merembes hawa hangat, segera kutahu bahwa di tengah lingkaran sinar golok itu pasti ada lubang kelemahannya, dan lubang kelemahan itu pasti berada di arah datangnya hawa hangat itu."
Bercahaya mata Siau-kong-cu, memantulkan rasa kagum dan memuji, "Ya, pasti demikian."
Mendadak ia tertawa, "Kalau pukulan telapak tanganmu kau lontarkan ke arah datangnya hawa hangat itu, namakan saja jurus Hwi-ngo-hoa-hwe (laron terbang menubruk api)."
Po-giok mengangguk, katanya, "Maka aku tidak sangsi lagi, tangan kontan membalik dan memukul ... ai, dalam keadaan seperti itu, walau aku tiada maksud melukai orang, mau tidak mau aku harus mengerahkan tenaga untuk melancarkan pukulan itu."
"Oleh karena itu, meski kematian Thi-kim-to tidak dapat menyalahkanmu, malah dia bilang kamu terpaksa melukainya karena dipaksa oleh hawa membunuh yang terlalu tebal pada jurus itu ...."
"Kalau jurus itu tidak mengandung hawa membunuh yang tebal. mana mungkin aku merasakan adanya hawa hangat yang merembes ke dalam lingkaran sinar golok yang dingin itu. Kalau aku tidak merasakan adanya hawa hangat itu, mana mungkin aku berhasil menghancurkan jurus itu."
Lama Siau-kong-cu termenung, lalu berkata perlahan, "Dan hanya engkau saja yang dapat mematahkan jurus itu. Kecuali dirimu siapa bisa menemukan bayangan hijau samar-samar di tengah lingkaran cahaya golok itu."
"Menurut apa yang kuketahui, di antara ahli senjata rahasia yang tidak kalah dibanding diriku.
aku yakin mereka juga bisa melihat apa yang aku lihat tadi."
"Ya, umpamakan saja mereka dapat melihat bayangan hijau dan coklat yang samar-samar di tengah cahaya golok tebal itu, tapi kecuali dirimu siapa memiliki nyali sebesar itu, dalam keadaan terdesak berani menerjang ke dalam lingkaran sinar golok yang dahsyat itu."
"Kurasa tidak demikian halnya. Orang lain aku tidak tahu, katakan saja Kim Put-wi Kim-ji-siok dan adikku Thi-wah dalam keadaan tertentu keberanian mereka juga sukar aku tandingi."
"Ya, umpama orang lain ada yang punya keberanian seperti dirimu, tapi kecuali dirimu siapa memiliki indra setajam itu, dalam waktu sekejap itu merasakan adanya hawa hangat yang merembes masuk dalam lingkaran yang dingin itu."
Po-giok tertawa, katanya "Bicara tentang kepekaan perasaan, mana aku mampu menandingi dirimu?"
"Umpama benar ada orang yang memiliki ketajaman melebihi dirimu, tapi kecuali dirimu, siapa dapat memanfaat kesempatan secara tepat, menentukan posisi dengan baik, sekali turun tangan langsung menggempur titik kelemahan itu secara telak."
"Seorang yang memiliki ketajaman indra, tidak sukar untuk memegang waktu dan menentukan posisi secara tepat, aku pernah menyaksikan kamu bergebrak dengan orang, untuk ini kurasa kamu tidak perlu merendahkan diri."
Siau-kong-cu tertawa manis, "Baiklah, anggaplah ada orang memiliki ketajaman mata melebihi dirimu, ada pula yang bernyali lebih besar dan berani darimu, dan seorang memiliki ketajaman lebih tinggi dibanding engkau , katakan apa ada orang memiliki kekuatan dalam yang lebih dahsyat dibanding dirimu, tapi kecuali engkau , siapa dapat mencakup semua kelebihan itu 539
Koleksi Kang Zusi
pada diri sendiri seperti kamu" Padahal untuk memecahkan jurus itu, tidak boleh kurang dari salah satu kelebihan itu."


Misteri Kapal Layar Pancawarna Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Betul," seru Thi-wah, "kecuali Toa-ko orang lain jelas tidak mampu."
"Tepat, siapa pula orangnya kecuali dirimu?" Po-giok mengawasi Siau-kong-cu dengan tertawa.
"Mendadak engkau memujiku setinggi langit, apa maksudmu sebenarnya?" Siau-kong-cu tertawa. "Hah, agaknya kamu kegirangan."
"Betul, di samping kaget aku memang senang." ujar Po-giok tertawa.
Lebih manis tawa Siau-kong-cu, "Aku ingin memujimu karena kutahu kamu tidak akan hidup lebih lama lagi. Mumpung ada kesempatan, kalau tidak sekarang aku puji kamu, kelak mungkin tiada kesempatan lagi."
"Omong apa kau !" bentak Thi-wah gusar, "omong lagi akan ku ... "
"Biarkan dia bicara," sela Po-giok tertawa, "aku sudah tahu kalau dia meraba seseorang, maksudnya hanya ingin membersihkan tempat itu, lalu dengan gregetan ia menggigitnya."
"Betul sekali," seru Siau-kong-cu cekikikan, "hanya kamu yang tahu tentang diriku. Permen yang kuberikan kepada orang lain, tentu sudah aku campur racun."
Amarah Thi-wah belum reda, serunya lantang, "kau bilang Toa-ko ku tidak panjang umur, apa alasanmu, coba jelaskan."
"Jurus ciptaan Pek-ih-jin itu, lubang kelemahannya hanya satu yaitu di bawah ketiak bukan?"
"Betul."
"Setelah burung dara itu dilepaskan, membuktikan bahwa kelemahan itu sesuai dugaan sebelumnya, maka dia pasti akan berusaha menutup lubang itu, dengan bekal dan kecerdikan otaknya, tidak sulit baginya untuk menanggulangi kesulitan ini bukan?"
"Ya, tidak salah."
"Kalau dia berhasil menutup lubang kelemahan jurus itu, berarti jurus itu tiada kelemahan lagi betul tidak?"
"Ya," Po-giok menghela napas, "kalau dia berhasil menutup lubang kelemahan itu, maka tiada orang di dunia ini yang dapat mengalahkan jurus itu."
"Engkau pun tidak dapat menandinginya?"
"Sudah tentu termasuk aku juga."
"Makanya, cepat atau lambat kamu akan duel dengan Pek-ih-jin, bila musim bunga tahun depan tiba, engkau akan binasa di tangannya, betul tidak?"
Lama Po-giok terlongong, akhirnya ia menarik napas panjang dan menjawab, "Ya, betul."
Siau-kong-cu cekikikan, "Musim bunga tahun depan sudah dekat, umpama kau pulang segar bugar dari perjalananmu ke Pek-cui-kiong kali ini, jiwamu pun takkan hidup lebih lama lagi."
"Toa-ko akan mati, kenapa kau senang malah?" tiba-tiba Thi-wah menghardik gusar.
Siau-kong-cu tidak peduli padanya, matanya masih mengawasi Po-giok dan akan bicara. Siapa tahu mendadak Po-giok meloncat bagai burung terbang meluncur ke pinggir sana. Begitu tubuhnya terapung di udara, mulutnya membentak. "Saudara tunggu sebentar!"
Hanya bicara beberapa patah kata, langsung ia melesat masuk hutan.
Sudah tentu Siau-kong-cu dan Thi-wah mengejar ke dalam hutan.
Dalam hutan memang tampak seorang lagi lari lintang pukang, betapapun lincah dan enteng gerak tubuhnya, mana dapat lolos dari kejaran Pui-Po-giok.
540 Koleksi Kang Zusi
Baru belasan langkah ia lari, baju kuduknya sudah dicengkeram oleh Po-giok, katanya sambil menoleh, "Hampir setengah hari orang ini sembunyi di sini, sungguh menggelikan kita tidak mengetahuinya .... Saudara sudah setengah hari mencuri dengar pembicaraan kami, nah, perlihatkanlah wajah aslimu."
Po-giok tidak memakai tenaga, tapi orang itu menjatuhkan diri serta menyembah ketakutan, tatapnya gemetar, "Aku tidak mencuri dengar, tidak melihat apa-apa. Toa-ya, ampun, biarlah aku pergi."
"Siapa she dan namamu" Untuk apa berada di sini?" tanya Po-giok.
Mendadak Siau-kong-cu menyela dengan suara dingin, "Tentu kau tahu jatuh di tangan pendekar kita Pui-Po-giok. Ada persoalan apa, katakan terus terang, jangan pura-pura dan mencari penyakit sendiri."
"Hamba tidak pura-pura dan tidak berani cari penyakit, hamba adalah pencari kayu bakar ....
Toa-ya, Pui-Toa-ya, ampunilah jiwa hamba!"
Dandanan orang ini memang mirip pencari kayu bakar maka Po-giok mengendurkan pegangannya, katanya dengan alis berkerenyit "Apa betul kamu penduduk setempat?"
Sesaat Siau-kong-cu tepekur, mendadak ia tertawa sambil menghampiri, tanpa bicara ia tepuk pundak orang, lain berkata, "Coba berpaling ke mari."
Orang itu menjawab, "Hamba tidak ... tidak berani berpaling."
"Ayo berpaling," teriak Thi-wah, "Memangnya dia bakal menelanmu, takut apa?"
Mati pun orang itu tidak mau berpaling, dengan gemetar ia berkata, "Hamba tidak berani.
hamba tidak berani ... "
Siau-kong-cu tertawa geli, "Baiklah, jika tidak mau berpaling, biar aku lihat tampangmu dari depan."
Belum habis Siau-kong-cu bicara, orang itu sudah menutup muka dengan kedua telapak tangannya"
"Oo, seperti gadis yang malu-malu segala, turunkan tanganmu, kalau tidak kau turunkan, biar kutarik tanganmu."
Begitu Siau-kong-cu mengulur tangan, orang itu menjerit kaget, lalu mendekam di tanah, selebar mukanya didekap kedua tangan mati pun tidak mau angkat kepala.
Melihat orang ini takut berhadapan dengan dirinya, mau tidak mau timbul rasa curiga Po-giok Thi-wah yang jengkel segera mencengkeram kuduk orang terus dijinjingnya ke atas, bentaknya,
"Seorang laki-laki kenapa bertingkah serupa perempuan tidak malu!"
Orang itu menjerit kaget lekas ia tutup muka dengan kedua tangan pula, tapi begitu jari Siaukong-cu menjentik perlahan, orang itu merasakan siku kesemutan dan lunglai seluruh lengannya, kedua tangan tidak mampu bergerak lagi.
Walau tangan tidak bisa bergerak, tapi badan meronta-ronta, Thi-wah menjinjingnya seperti elang mencengkeram anak ayam dan sukar ia melepaskan diri.
Tangan Thi-wah yang lain segera angkat dagu orang katanya dengan tertawa, "Toa-ko, tengoklah dia, mukanya burikan, pantas malu dilihat orang."
Dua kali Po-giok memperhatikan wajah orang walau cuaca dalam hutan agak gelap, muka orang itu berlepotan pasir dan debu, tapi Po-giok masih mengenalinya, tak urung ia tertawa geli, katanya, "Li-ciang-kun, kenapa berada di sini?"
Laki-laki yang berdandan sebagai pencari kayu bakar ini ternyata bukan lain daripada Pek-ma-ciang-kun Li Bin-sing.
Thi-wah tertegun sebentar lalu menurunkan tubuh orang katanya bergelak, "Li-ciang-kun, Li Bin-sing, kiranya engkau .. Hahaha, kiranya engkau " Di mana kuda putihmu itu" Kenapa tidak 541
Koleksi Kang Zusi
naik kuda supaya dilihat orang banyak?"
Walau Pek-ma-ciang-kun ini setiap waktu berusaha menipu orang, tapi Po-giok dan Thi-wah tidak pernah menaruh dendam atau benci padanya, setiap bertemu mereka selalu geli dan suka menggodanya malah.
Cemberut muka Li Bin-sing, katanya sedih. "Sudah lama kuda putih itu aku jual, nama Pek-ma-ciang-kun juga sudah lama aku buang ... Pui-tai-ya, Gu-tai-ya, anggap saja kalian tidak pernah melihat orang seperti diriku ini."
Po-giok tertawa, "Lho, kenapa kuda putih kau jual" Apa usahamu belakangan ini makin mundur?"
"Usaha menipu orang sudah lama tidak pernah kulakukan lagi, sekarang aku sudah tobat, aku terima menjadi tukang pencari kayu bakar ... Pui-tai-ya, Gu-tai-ya, selamat bertemu lain waktu."
Belum habis bicara, serentak ia hendak lari pergi.
Tapi Thi-wah menariknya, katanya tertawa, "Mau ke mana" Ngobrol dulu di sini."
"Kalian adalah pangeran di antara jago pedang, seorang lagi adalah tuan putri dalam Bu-lim, aku ini hanya tukang cari kayu belaka, soal apa yang dapat kita bicarakan"
"Eh, dari mana kau tahu tentang diriku?" tanya Siau-kong-cu tiba-tiba.
Li Bin-sing tertegun, air muka pun berubah, "Aku ... aku tidak tahu, aku hanya menebak sembarangan."
Siau-kong-cu mendengus, "Kamu kan sahabat lama mereka, bahwa mereka tidak bermaksud jahat terhadapmu, dan engkau tidak punya dendam dan sakit hati dengan mereka, tapi begitu melihat mereka, kenapa kau lari lintang pukang, apa sebabnya?"
Basah keringat Li Bin-sing, sahutnya gugup, "Aku ... aku tidak .... "
"Tidak apa," bentak Siau-kong-cu, "soalnya kau dengar sesuatu rahasia dan melihat suatu kejadian, tapi tidak mau menerangkan kepada mereka, karena takut dan bermaksud jahat maka kamu ... "
"O, tidak, tidak ..." teriak Li Bin-sing, "aku tidak melihat apa-apa, aku tidak tahu apa-apa."
Mendadak Siau-kong-cu angkat tangan, beruntun delapan kali ia gampar muka orang, bentaknya, "kau tahu tidak?"
"Aku tidak tahu, aku ..." Li Bin-sing membandel.
Sekali jotos Siau-kong-cu menggenjot hidung Li Bin-sing, katanya dengan tertawa, "Apa benar kamu tidak tahu?"
Merah bengkak muka Li Bin-sing, hidungnya juga melepuh seperti terong, air mata dan air liur bercucuran, setelah gentayangan akhirnya ia jatuh terduduk di tanah, tangan mendekap muka seraya berteriak, "Aku sudah tahu."
Siau-kong-cu tertawa lebar, "Nah, kan begitu kalau sejak mula kau bicara tentu aku tidak akan menghajarmu .. Aduh, sakitkah mukamu?"
"Tidak sakit, tidak sakit ..." Li Bin-sing menyengir.
Siau-kong-cu tertawa, "Kalau tidak sakit, biar aku gampar lagi dua kali."
"Wah, sakit, sakit, kini terasa sakit ... ah, malah sakit sekali."
Po-giok merasa geli, padahal ia tahu Li-Bin-sing memang menyimpan rahasia, bahwa dia hanya berpeluk tangan dan menonton saja, karena ia tahu watak orang she Li ini memang takut digertak, Siau-kong-cu sendiri cukup mengompes keterangan dari mulutnya. Malah Po-giok yakin hanya gadis macam Siau-kong-cu saja yang dapat menundukkan orang seperti Li-Bin-sing.
542 Koleksi Kang Zusi
Thi-wah sebaliknya merasa penasaran akan nasib Li Bin-sing, tapi karena sang Toa-ko tidak memberi komentar, sudah tentu ia tidak berani bicara.
Dilihatnya Siau-kong-cu mendadak menarik muka, katanya, "Beberapa tahun ini, apa benar kau jadi tukang pencari kayu bakar di sini?"
"Betul," sahut Li Bin-sing, "mana berani aku dusta"
"Bohong!" bentak Siau-kong-cu, "hutan ini hutan jati, kayu apa yang bisa kau tebang untuk bahan bakar."
"Aku ... menebang kayu di tempat lain, tapi aku tinggal di sekitar sini," sahut Li Bin-sing gelagapan.
"Baiklah, kalau benar kamu tinggal di hutan ini, apa yang terjadi dua hari di sini tentu kau tahu, betul tidak?"
"Tidak ... oh, ya, semua aku tahu," ingin dia menyangkal tapi begitu Siau-kong-cu melotot nyalinya menjadi ciut.
Siau-kong-cu tertawa lebar, katanya senang, "Nah, kalau tahu, lekas jelaskan ... jelaskan seluruhnya, tidak boleh ada yang ketinggalan."
Li Bin-sing mengelus hidung dan menyeka air mata, dengan muka cemberut terpaksa ia bicara.
"Aku .. kalau aku ceritakan, kelak mungkin ... mungkin aku bisa mampus."
Siau-kong-cu menyeringai, "Sebaliknya kalau tidak kau jelaskan, sekarang juga jiwamu melayang, tahu!"
Bercucuran keringat Li Bin sing, suaranya gemetar, "Aku ... aku ..." akhirnya ia menarik napas
"Baiklah aku bicara."
Wajah Siau-kong-cu yang semula dingin, seketika berseri senang seperti bunga mekar, katanya
"Kamu memang pintar, nah katakan."
"Rumah di luar hutan itu, sebetulnya temanku si hidung merah Lo-tan. Malam hari kalau sedang senggang aku sering ke rumahnya untuk mengobrol dan minum barang dua cangkir arak."
Berkerut alis Po-giok, tanyanya, "Apakah Lo-tan punya anak istri?"
"Seorang istri dua anak perempuan ..." sahut Li-Bin-sing. Sekilas ia lirik Po-giok, lalu menambahkan, "tapi yang kucari adalah Lo-tan, bukan anak perempuannya."
"Sikapmu ini justru seperti maling yang takut konangan, kurasa kamu ke rumah Lo-tan tentu bermaksud tidak baik. Tapi itu aku tidak peduli, lanjutkan keteranganmu," demikian semprot Siau-kong-cu.
"Kemarin sore," demikian tutur Li-Bin-sing, "aku berniat makan malam di rumah Lo-tan, siapa tahu sebelum aku tiba di depan rumah, dari dalam rumah aku dengar teriakan orang minta tolong."
Setelah menghela napas ia melanjutkan, "Kukenal suara itu adalah jeritan Lo-tan, cepat aku sembunyi di belakang pohon, diam-diam aku intip apa yang terjadi di sana?"
Thi-wah gusar, semprotnya, "Temanmu minta tolong, kamu tidak membantu, kenapa sembunyi malah?"
"Aku ... mana aku mampu menolongnya, aku ... " Li Bin-sing gelagapan.
"Dasar bedebah!" maki Thi-wah murka, "Baiklah, katakan apa yang kau lihat?"
Setelah menghela napas Li Bin-sing berkata "Jeritan minta tolong itu hanya terdengar sekali lalu berhenti, kejap lain aku lihat Lo-tan dan bininya beserta kedua putrinya digusur keluar oleh beberapa orang."
"Beberapa orang macam apa?" tanya Po-giok.
543 Koleksi Kang Zusi
"Beberapa orang itu berhidung besar, bermata sipit, wajahnya beringas penuh nafsu membunuh, semua berpakaian seragam hitam, dandanan dan bentuk mereka seperti barang asal satu cetakan."
Po-giok saling pandang sekejap dengan Siau-kong-cu.
Li Bin-sing bertanya, "Apa kalian kenal mereka?"
"Tugasmu sekarang bercerita, jangan campur urusan kami," bentak Siau-kong-cu.
"Meski Lo-tan sekeluarga digiring ketakutan, anak bininya menangis kuatir, tapi aku lihat mereka tidak terluka atau disakiti, juga tidak diikat atau dibelenggu, maka legalah hatiku."
"Ke mana orang-orang seragam hitam ini membawa Lo-tan dan keluarganya?" tanya Po-giok.
"Aku juga tidak tahu. Yang pasti tiga orang laki-laki seragam hitam menggiring mereka pergi.
Tapi dua kawan mereka tertinggal dan berjaga di rumah Lo-tan."
Thi-wah menghela napas, gumamnya, "Sial bagi kedua orang itu ... lalu bagaimana?"
"Aku bersembunyi di tempat jauh, bernapas pun aku tahan, hatiku takut tapi juga heran, Lo-tan bukan keluarga kaya, kenapa orang-orang itu menculiknya?"
Setelah menghela napas Li Bin-sing melanjutkan, "Karena heran aku jadi tertarik dan ingin tahu lebih lanjut, maka aku tetap sembunyi di tempatku. Tampak kedua orang baju hitam itu tidak mengerjakan lain kecuali membersihkan meja dan menata mangkuk dan sumpit, ternyata mereka membawa sebuah keranjang besar berisi masakan dan perabot makan. Lebih aneh lagi setelah menata meja makan, mereka sendiri tidak lantas makan seorang mengeluarkan sebuah lampion merah lalu digantung di depan rumah, seorang lagi longak-longok ke arah jauh entah apa yang dilihat atau ditunggunya, tidak jarang kedua orang ini kasak-kusuk, entah apa yang dibicarakan."
"Apa betul kamu tidak dengar pembicaraan mereka?" tanya Po-giok.
"Mereka bicara lirih aku tidak dengar Aku tidak habis mengerti kenapa mereka bersusah payah meminjam rumah Lo-tan hanya untuk menjamu orang di sana," demikian tutur Li Bin-sing. "Ya, mana kau dapat menebaknya, lanjutkan ceritamu," desak Siau-kong-cu.
"Mereka berdiri di luar pintu menunggu tamu, di luar tahunya sang tamu justru datang dari belakang. Aku lihat dengan jelas, ada empat atau lima orang keluar dari dalam, langsung mendekati kedua orang itu, setiba di belakangnya kedua orang itu belum lagi menyadari sama sekali. Jantungku jadi berdebar-debar dibuatnya."
"Macam apa pula kelima orang ini?" tanya Po-giok.
"Beberapa orang ini juga berseragam hitam, kepalanya juga berkerudung, semula aku kira mereka satu rombongan, tapi aku lihat beberapa orang yang datang belakangan ini semua membawa senjata, sorot matanya bengis penuh nafsu membunuh, satu di antaranya membentak, 'Menoleh!' Kedua orang itu terjingkat sambil membalik badan, baru saja tubuh berputar, aku hanya melihat sinar pedang berkelebat sekali, tahu-tahu kedua orang itu sudah terkapar mampus."
Po-giok berkerut alis, "Mereka tidak mengompes keterangan dari kedua orang itu?"
"Pertanyaan apa pun tidak diajukan, hanya mengangkat tangan sedikit saja ... ai, tusukan pedang itu sungguh telak dan secepat kilat."
Po-giok termenung sejenak, tanyanya, "Menurut pendapatmu ilmu pedangnya itu dari aliran mana?"
Li Bin-sing geleng kepala, "Aku tidak tahu!"
Po-giok termenung lagi, katanya "Menurut penilaianmu, berapa tahun kira-kira latihan ilmu pedang orang itu?"
Li Bin-sing tepekur sesaat lamanya, "Menurut pendapatku, kalau tidak ada latihan selama tiga-544
Koleksi Kang Zusi
lima puluh tahun, jangan harap mampu melancarkan permainan pedang seindah itu ... dan yang paling aneh adalah ilmu pedang kedua orang itu satu sama lain tidak lebih unggul atau asor. Dalam keadaan biasa jarang bisa kita temui dua orang memiliki ilmu pedang semahir itu, tapi kenyataan hari itu berbareng muncul dua orang."
Berkerenyit alis Po-giok, gumamnya, "Tiga-lima puluh tahun" ... "
Thi-wah ikut hanyut oleh cerita itu, tanyanya tidak sabar, "Selanjutnya bagaimana?"
"Setelah membunuh orang, kedua orang itu segera menggeledah badan sang korban," demikian tutur Li Bin-sing lebih jauh, "diam-diam aku merasa heran pula, memangnya jago sekosen mereka juga menjadi perampok" Tiba-tiba aku dengar seorang di antaranya berteriak, 'Nah, ada di sini!'."
Setelah menghela napas Li Bin-sing melanjutkan, "Ternyata mereka membunuh dua orang itu hanya untuk memperoleh secarik kertas saja."
"Apa yang mereka bicarakan setelah membaca tulisan di kertas itu?" tanya Po-giok cepat.
"aku dengar seorang bertanya, 'Berapa lama perjalanan ke Tai-bing-hu dari sini"' Seorang lain menjawab, 'Tidak jauh lagi.' Orang itu lantas berkata, 'Ayo berangkat!'."
"Tai-bing-hu ... " bergetar hati Po-giok "ternyata ada di Tai-bing-hu!"
"Apakah sehabis bicara mereka lantas berangkat?" tanya Siau-kong-cu.
"Mendingan kalau segera berangkat" ucap Li Bin-sing sambil menghela napas panjang.
"Apakah mereka masih berbincang-bincang?" tanya Po-giok.
Li Bin-sing menjelaskan, "Orang pertama yang turun tangan tadi semula tidak bicara, kini mendadak bicara. 'Kalian tunggu sebentar, aku akan kencing dulu ke dalam hutan sana'."
Thi-wah tertawa geli, "Kurasa tidak tepat saatnya dia ingin kencing"
Li Bin-sing tertawa kecut, "Sekarang kau geli, waktu itu hatiku justru gugup setengah mati. Dia beranjak ke arah diriku, jantungku rasanya seperti mau copot, diam-diam aku berdoa semoga dia lekas kencing dan lekas berangkat. Di luar tahuku begitu tiba di depan hutan mendadak ia bergerak selincah kelinci. secepat panah ia menubruk ke tempat sembunyiku."
"Lantaran ingin kencing orang itu membuatmu susah ya?" demikian olok Thi-wah.
"Kencing apa. Yang benar dia tahu kehadiranku di belakang pohon, katanya saja kencing, maksudnya supaya aku tidak curiga dan melarikan diri aku memang tidak menduga akan disergap."
"Bukan saja mata dan kupingnya tajam, gerak-gerik orang ini amat lincah, otaknya juga cerdik, banyak perhitungan, siapakah dia" Sukar ditebak asal-usulnya,"
Thi-wah bertanya, "Apa kamu ditangkap olehnya?"
"Sudah tentu kena diringkus," sahut Li Bin-sing.
"Tapi mereka tidak membunuhmu?" tanya Thi-wah pula.
"Begitu diseret keluar, aku menduga jiwaku takkan selamat lagi, untung mereka tiada yang kenal diriku, aku dianggap orang desa yang tidak tahu urusan."
Siau-kong-cu tertawa, "Kamu memang pintar main sandiwara."
"Waktu itu aku berlutut dan meratap mohon ampun, rasanya leherku ini sudah berada di ujung senjata mereka, sekali tusuk saja jiwaku bakal melayang. aku dengar orang bicara,
'Kelihatannya orang ini bukan kaum persilatan, orang desa yang tidak tahu apa-apa, lepaskan saja!' Baru saja hatiku merasa senang, aku dengar pula seorang lain berkata, 'Jangan dilepaskan, terlalu banyak yang ia lihat dan dengar di sini.' .... "
Siau-kong-cu tertawa geli, katanya, "Maka kau tuding langit dan tunjuk bumi bersumpah dan 545
Koleksi Kang Zusi
mohon ampun kepada mereka, bahwa selama hidup tidak akan membocorkan kejadian ini, mungkin kau pun bilang ibumu sudah berumur 80 dan punya anak yang baru lahir."
Li Bin-sing tertawa malu, "Dalam keadaan seperti itu, demi cari selamat cara apa pun dapat kulakukan. Tapi orang-orang itu bimbang. yang mengusulkan menutup mulutku, ada yang ingin membebaskan aku ... ai, waktu itu rasanya susah aku ceritakan."
Siau-kong-cu mendengus, "Hm, kurasa mereka terlalu mengagulkan diri sebagai orang kosen dari aliran lurus yang ternama, maka tidak mau main bunuh sembarangan. Kalau aku jadi mereka, memangnya jiwamu bisa tahan sampai sekarang" Pantasnya mereka tahu manusia seperti dirimu tidak dapat dipercaya akan tutup mulut serapat mulut botol."
Pucat muka Li Bin-sing, tubuhnya juga gemetar dan berkeringat dingin, "Tapi urusan nona sendiri aku bersumpah akan tutup mulut serapat-rapatnya, kalau aku buka mulut biar di ... "
"Sudah," tukas Siau-kong-cu, "tidak perlu sumpah, lanjutkan keteranganmu."
Li Bin-sing menghela napas lega, lalu melanjutkan, "Pada saat mereka sukar mengambil keputusan, mendadak dari luar berlari masuk pula seorang berbaju hitam, dengan napas tersengal-sengal ia berkata, 'Pui-Po-giok dan Siau-kong-cu sudah datang'!"
"Kiranya ada orang mereka yang berjaga di luar," kata Siau-kong-cu.
"Begitu mendengar nama kalian berdua, bukan kepalang kaget hatiku," demikian tutur Li Bin-sing, "ternyata mereka lebih gugup lagi, cepat mereka menggotong kedua mayat itu ke dalam kamar."
"Keadaan memang mendesak sehingga mereka tidak sempat mengebumikan mayat itu,"
demikian kata Po-giok.
"Melihat sikap gugup mereka, hatiku amat kuatir, tapi juga senang," demikian tutur Li Bin-sing lagi, "kecuali kuatir mereka menggorok leherku dalam keadaan mendesak itu, aku mengharap pula mereka tidak sempat membereskan diriku."
Setelah menyeka keringat di kening, lain melanjutkan, "Maka aku lebih keras meratap dan mohon belas kasihan, syukur jerih payahku tidak sia-sia, seorang di antara mereka akhirnya berkata 'Lekas enyah! Dan pergi sejauh-jauhnya, selama hidup jangan kembali ke mari lagi.'
Seorang lagi juga berkata, 'Kejadian hari ini jangan kau ceritakan kepada orang lain ... ' Aku memperoleh pengampunan, sudah tentu tidak kepalang senang hatiku, tak sempat aku dengar pembicaraan mereka segera aku angkat langkah seribu."
"Anggaplah belum tiba ajalmu," jengek Siau-kong-cu.
"Lha, setelah selamat dan lari, kenapa kembali lagi?" tanya Thi-wah.
"Aku ... aku kembali untuk menengok keadaan saja," sahut Li Bin-sing takut-takut.
"Rase tua memang licin dan licik, kembali kamu bohong ..." demikian tegur Siau-kong-cu, "Apa benar kau pulang hanya untuk melihat-lihat" Hm, bukankah kamu membawa Thi-kim-to ke sini"
Kalau tidak dari mana ia tahu Pui-Po-giok berada di sini?"
Mendadak Li Bin-sing berdiri kaku, mulut melongo dan mata terbelalak, sesaat lamanya baru menarik napas panjang, dan bergumam, "Segala persoalan agaknya tidak bisa mengelabui dirimu ... segala persoalan tidak bisa bohong ..."
"Sudah tentu tidak bisa," jengek Siau-kong-cu, "Nah, bicaralah sejujurnya."
"Aku lari tanpa menentukan arah, entah berapa lama dan berapa jauh aku lari, mendadak aku menabrak tubuh seorang. Ternyata tanpa bersuara orang ini sengaja menghadang di depanku."
"Wah, kebetulan sekali," ujar Siau-kong-cu.
"Memang kebetulan begitu melihat dia berpakaian hitam, nyaliku menjadi ciut begitu putar tubuh aku ingin lari lagi, tak nyana sekali raih aku dibekuknya, tanyanya padaku, 'Tengah malam buta kenapa kau lari lintang pukang"' Sudah tentu aku tergagap tidak bisa memberi keterangan. Tak tahunya mendadak orang itu berseru kaget. 'He. kiranya engkau !'"
546 Koleksi Kang Zusi
Siau-kong-cu bertanya, "Thi-Kim-to mengenalmu?"
"Ya, sejak dua puluh tahun yang lalu, kami sudah kenal satu sama lain."
"O, kiranya kalian sudah bersahabat sejak lama," jengek Siau-kong-cu.
"Setelah tahu siapa dia lega juga hatiku, kutanya kenapa ia berada di situ. Dia bilang menguntit Pui-Po-giok dan setiba di daerah ini ia kehilangan jejaknya."
"Lalu kau bawa dia ke sini?" tanya Po-giok.
"Kupikir dia tidak bermaksud jahat terhadapmu, mengingat sudah lama kami bersahabat, terpaksa aku membawanya ke sini. Tak nyana dia suruh aku menunggu di luar hutan, setelah aku lihat ia bergebrak denganmu, hatiku menjadi gugup dan takut, akhirnya aku lihat dia terbunuh olehmu sudah tentu aku tidak berani unjuk diri, ingin lari, tapi ... ai, ternyata ketajaman mata kupingmu tidak di bawah orang-orang berbaju hitam itu."
"Kalau benar demikian, semua persoalan ini tiada sangkut-pautnya denganmu, kenapa tadi kamu tidak mau bicara?" demikian desak Siau-kong-cu.
Li Bin-sing menghela napas, "Aku sudah mengundurkan diri dari kang-ouw, aku emoh berkecimpung dalam Bu-lim, aku mendambakan kehidupan damai dan cari makan dengan halal."
Habis Li Bin-sing bicara, Po-giok tertunduk diam, Thi-wah hanya manggut-manggut, bola mata Siau-kong-cu yang bening dan jeli justru berputar dan mengerling kian kemari. Akhirnya matanya menatap Thi-wah dan bertanya, "kau percaya apa yang diceritakannya?"
"Dia bercerita sejujurnya, kenapa aku tidak percaya?" ucap Thi-wah.
"Dan kau ?" tanya Siau-kong-cu terhadap Po-giok.
Po-giok tersenyum, "Percaya tapi juga tidak percaya, setengah-setengah."
"Aku bercerita menurut kejadian sebenarnya, sepatah kata pun tidak bohong," seru Li Bin-sing.
"Apa yang kau kisahkan, walau dia kurang percaya, aku justru percaya penuh," kata Siau-kongcu
Li Bin-sing terbelalak girang, "Kalau begitu, biarlah aku pergi saja."
"Soal ini ... perlu dirundingkan dulu dengan Pui-Po-giok. Thi-wah, jagalah dia di sini," demikian kata Siau-kong-cu. Lalu menarik tangan Po-giok, dengan tertawa ia seret pemuda ini keluar hutan.
Setiba di luar hutan Siau-kong-cu melepas gandengannya. Po-giok mengawasi wajahnya yang mempesona.
Siau-kong-cu tertawa manis, katanya, "Apa yang kau lihat" Dan apa yang kau pikir?"
Po-giok menghela napas, "Apa yang kupikir, masa tidak tahu?"
Mendadak Siau-kong-cu menunduk, ketika ia angkat kepala lagi, senyum manis yang menghias wajahnya telah sirna, mukanya kaku dingin, suaranya lebih dingin, "Aku tak peduli apa yang pikir. Aku hanya ingin tanya, dari cerita Li Bin-sing tadi, bagian mana kau percaya dan bagian mana yang tidak kau percaya?"
"Kejadian yang dia saksikan kurasa benar. Dia diringkus orang lain dilepas lagi, itu juga benar, dua hal ini kukira dia bicara sejujurnya."
"Ehm, lalu dalam hal apa dia bohong?"
"Pertama, Li Bin-sing bukan manusia yang sudi merendahkan diri dan mau hidup bersahaja, aku tidak percaya dia mau mengundurkan diri dari kalangan kang-ouw dan mengasingkan diri di hutan."
"Itu yang pertama, masih ada yang kedua?"
547 Koleksi Kang Zusi
"Kedua, jago kosen seperti Thi-kim-to, tidak mungkin mau bersahabat dengan manusia seperti dia. Dia bilang mengingat persahabatan lama maka dia mau mengantar Thi-kim-to mencari aku, aku tidak percaya."
"Masih ada yang ketiga?"
"Ada yang kedua, apa mesti harus ada yang ketiga?"
"Baiklah, sekarang kutanya, kenapa dia bohong" Kejadian atau persoalan apa yang dia sembunyikan" Kenapa ia harus merahasiakan duduk persoalan sebenarnya, apa keuntungannya bagi dia?"
"Wah, serumit itu ... aku tidak tahu."
"Orang sepintar engkau , masa ada persoalan yang tidak kau ketahui?"
"Memangnya kau tahu?"
"Kapan kubilang aku ini pintar, orang juga tidak bilang aku pintar, tidak seperti engkau ..."
"Apa yang akan kau lakukan terhadapnya?" tukas Po-giok.
Berkedip mata Siau-kong-cu, "Coba tebak apa yang akan kulakukan atas dirinya?"
Dalam hati Po-giok membatin, "Akan kau bebaskan dia lalu menguntitnya secara diam-diam."
Tapi dengan tertawa ia berkata, "Mana aku bisa menebak isi hatimu."
Siau-kong-cu berkata, "Akan aku bebaskan lalu aku kuntit dia, aku ingin tahu ke mana dia pergi" Aku ingin tahu lakon apa yang dia perankan dalam sandiwara ini?"
"Bagus, bagus!" puji Po-giok seraya berkeplok, "akal sebagus ini kenapa tidak aku pikirkan."
Siau-kong-cu tertawa riang, inilah tertawa lebar yang pertama, tertawa riang yang sesungguhnya, katanya, "Buah pikiran seorang linglung, ada kalanya hasilnya lebih bagus dari pemikiran seorang cerdik."
Mengawasi gadis binal di depannya, Po-giok juga tertawa, tapi tertawa yang aneh.
"Apa yang kau tertawakan?" tanya Siau-kong-cu.
Apakah tertawa pun tidak boleh?" Po-giok balas bertanya.
"Tapi tertawamu aneh, tawa yang menyebalkan."
"Aku tertawa aneh, aku merasa engkau seorang aneh, maka aku tertawa dengan aneh."
Siau-kong-cu menarik muka, "Dalam hal apa aku aneh?"
"Bila di hadapan orang lain, ada kalanya engkau bersikap mesra dan aleman terhadapku, tapi bila orang tidak melihat dirimu, maka engkau lantas berubah, mulut cemberut, muka membesi.
Dan lagi kamu selalu mempersulit diriku, mencari onar dan mengadu otak denganku. Tapi bila menghadapi persoalan yang menyangkut orang lain, kamu selalu membela dan sepihak denganku ... "
Siau-kong-cu mengentak kaki, serunya keki, "Siapa memihak denganmu. Tak usah ya."
Habis bicara ia putar tubuh terus lari secepat terbang.
***** Dengan melotot Thi-wah mengawasi Li Bin-sing tanpa berkedip.
Li Bin-sing tertawa, katanya, "Sekian tahun tidak bertemu, kamu kelihatan tambah gede."
"Sejak mula aku memang bukan orang kerdil," sahut Thi-wah.
548 Koleksi Kang Zusi
"Sejak perkenalan pertama dulu, aku sudah tahu kamu orang baik."
"Betapapun baiknya diriku ini, jangan harap aku mau melepasmu pergi."
Li Bin-sing menyengir sesaat lamanya ia menjublek, lalu mendadak ia menjerit sambil memeluk perut, "Wah, celaka, perutku mules, aku mau ... "
Thi-wah tertawa, katanya, "Kalau orang lain yang menipu aku, mungkin aku bisa tertipu, tapi engkau ... hehe, sebelum Toa-ko kembali, berani kamu bergerak bisa aku gecek batok kepalamu."
Perut Li Bin-sing tidak sakit lagi, dengan kaku mengawasi orang gede di depannya, sesaat kemudian ia menghela napas, katanya, "Beberapa tahun tidak bertemu, ternyata kamu sudah pintar."
Tiba-tiba seorang menyeletuk dengan tertawa, "Siapa bilang dia pintar, aku justru bilang dia dungu. Tapi seorang dungu belum tentu setiap orang dapat menipunya, makin pintar seorang makin sukar menipu seorang dungu."
Di tengah suara tawa riang, tampak Siau-kong-cu datang dengan lincah. Sekilas ia mengerling lalu meneruskan dengan berseri, "Soalnya orang yang pintar selalu curiga dan banyak akalnya, sebaliknya orang dungu berpikir sederhana, kalau kau anggap dirimu pandai menipu orang, umpama kau bicara dengan jujur, orang pun takkan percaya padamu."
Li Bin-sing tertawa getir, "Ya, memang demikian. Sebenarnya aku sudah bicara apa adanya tapi dia justru tidak percaya, bukankah membuatku repot sendiri."
Siau-kong-cu menepuk pundaknya. "Tidak perlu penasaran, biarpun dia tidak percaya, tapi penjelasanmu tadi dapat kuterima, aku percaya sepenuhnya."
"kau ..." Li Bin-sing kegirangan, "kalian setuju membebaskan aku?"
"Betul," ucap Siau-kong-cu, "kalau kau ingin pergi, boleh silakan pergi."
Bab 25. Misteri Kapal Layar Pancawarna
Bergegas Li Bin-sing berdiri, katanya dengan tersengal, "Aku ...boleh pergi?"
"Ya, kapan mau pergi, boleh kau pergi."


Misteri Kapal Layar Pancawarna Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Li Bin-sing terbeliak kegirangan, setelah kucek-kucek mata, ia pandang Siau-kong-cu, lalu menoleh ke arah Pui-Po-giok, melihat mereka tersenyum ramah, tanpa bicara lagi ia putar tubuh terus lari pergi, lari tergesa-gesa seperti takut Siau-kong-cu berubah keputusannya.
Sambil berdiri menggendong tangan, Siau-kong-cu mengawasi bayangan orang dengan tersenyum.
Pui-Po-giok tidak sabar lagi, "Sekarang kita kejar?"
"Kenapa tergesa-gesa?" sahut Siau-kong-cu.
"gin-kang orang ini memang biasa saja, tapi dia licin seperti belut dan licik seperti rase, apalagi malam gelap di tengah hutan belukar, dia kenal keadaan di sini, kalau sampai bersembunyi, bagaimana kau dapat menemukan jejaknya?"
"Jangan kuatir, dia takkan bisa menyembunyikan diri."
"Kenapa?"
"Meski ia sembunyi ke liang kelinci, tetap dapat aku temukan dia."
"Agaknya sudah kau atur perangkap untuk menjebaknya?"
"Jangan tergesa-gesa, mari kita kejar. Sebentar tentu kau tahu kenapa dia takkan lolos dari incaranku. Thi-wah, tunggu di sini dan jangan pergi."
549 Koleksi Kang Zusi
Thi-wah berkerut kening, serunya, "Toa-ko, berdasar apa dia memerintah aku?"
"Untuk kali ini saja, kau turuti saja perintahnya," ujar Po-giok tertawa.
Mengawasi muda mudi ini pergi makin jauh, Thi-wah bergumam sendiri, "Sungguh membingungkan, susah payah menangkapnya lalu dilepas lagi, kini menguntitnya pula, apakah otaknya tidak beres ..."
Dengan mendongkol ia mendeprok di tanah, melamun mengawasi bintang-bintang di langit.
***** Secercah sinar bintang yang redup cukup bagi Po-giok yang bermata tajam untuk mengikuti, gerak-gerik bayangan orang dari jarak lima tombak di depannya."
Sementara itu Li Bin-sing sudah lari entah berapa tombak jauhnya. Setelah beberapa jauh mereka berlari-lari, akhirnya Po-giok tidak sabar, tanyanya, "Mana kemampuanmu?"
Siau-kong-cu tertawa, "Tak usah gelisah ... Nah, coba lihat, apa itu?"
Po-giok memandang arah yang ditunjuk, tampak di hutan gelap agak jauh di depan sana ada setitik sinar kunang-kunang bergerak naik turun seperti api setan.
"Apa itu?" tanya Po-giok heran.
Tapi sebelum Siau-kong-cu menjelaskan ia sudah mengerti, katanya dengan tawa lebar, "O, ya, jadi ada sesuatu yang kau tinggalkan pada badannya."
"Betul, waktu aku menepuk pundaknya tadi, sudah kuberi tanda khusus di badannya. Adanya Kut-ling-ting (paku tulang pospor) di badannya, meski ia lari ke ujung langit sekali pun pasti dapat aku kejar."
Po-giok menghela napas, "Untuk urusan seperti ini, aku memang bukan tandinganmu."
"Memangnya urusan lain kau pasti lebih unggul daripadaku?"
Po-giok hanya tertawa saja dan tanpa bicara lagi. Siau-kong-cu juga cemberut dan tidak bicara.
Dari kejauhan mereka menguntit api pospor yang mirip kunang-kunang itu, tanpa mengeluarkan suara mereka dapat bergerak leluasa di hutan belukar yang gelap.
Gerak-gerik sinar pospor itu tidak begitu cepat, malah sering berhenti dan putar kian kemari.
Jelas orang sering berhenti dan putar badan melongok ke belakang, takut dikejar orang, dan sengaja berputar-putar untuk menghilangkan jejak.
"Keparat ini memang licin sekali, dia tahu gin-kang nya bukan tandingan kita, maka ia menempuh perjalanan dengan santai, dengan cara ini memang mempersulit pengejaran kita.
Kalau tidak bersamamu, jejak kita tentu sudah konangan olehnya."
"Aku terhitung apa?" jengek Siau-kong-cu, "Aku bukan tandinganmu."
"Ah, kau ...." mendadak perkataan Po-giok terputus.
Sinar pospor itu mendadak hilang.
Tanpa sadar mereka sudah berada di ujung hutan, ke depan lagi adalah tanah tegalan yang membukit dengan semak-semak lebat.
Po-giok berkerut kening, "Apa dia tahu dirinya dikuntit?"
Siau-kong-cu tidak menjawab, langsung ia lompat ke atas pohon.
Terpaksa Po-giok ikut lompat ke atas pohon, dari sini ia dapat melihat jelas keadaan di depan tampak sinar pospor itu masih ada di depan. Ternyata Li-Bin-sing bergerak sambil merangkak di tanah, kalau tidak diawasi dari atas, orang sukar melihat sinar pospor di belakang pundaknya.
Po-giok berbisik, "Mendadak dia mendekam di tanah, tentu menemukan sesuatu."
550 Koleksi Kang Zusi
"Apa bukan tahu dikuntit oleh kita, tampak dia longak-longok ke sana. Kukira di depan ada sesuatu di luar dugaannya, mungkin seseorang telah berjanji untuk bertemu dengan dia di sini, dan orang itu mengalami sesuatu."
"Ya, mungkin demikian, lalu apa yang harus kita lakukan?"
"Apa pun yang akan terjadi, kita harus mendekat dan melihat apa yang terjadi."
"Setuju apa pun harus kita saksikan apa yang akan terjadi."
Mendadak Siau-kong-cu tertawa, "Sejak kapan kau jadi penurut. Kuyakin kau sendiri sudah dapat menebak persoalannya dan dapat menarik kesimpulan, kenapa masih tanya padaku?"
"Memangnya tanya saja tidak boleh?"
"Aku tahu kamu berusaha mengambil hatiku kau ...." mendadak ia menarik muka, suaranya berubah kaku, "Di depanku kamu selalu ingin unggul, selalu ingin menindas aku, tidak jarang pura-pura pikun ... kenapa bersikap demikian" kau anggap aku anak kecil?"
Dengan melongo Po-giok mengawasinya sejenak, akhirnya menghela napas dan berkata perlahan, "Sayang sekali sekarang kamu tidak mirip lagi anak kecil yang suka merangkai bunga itu ...Kalau masih anak-anak, alangkah baiknya ...alangkah senangnya ...."
Mata Siau-kong-cu mendadak terpejam, jari-jarinya yang runcing tampak gemetar, bibirnya yang tipis merah bak delima merekah tampak bergerak beberapa kali, seperti mau bicara, tapi akhirnya mengertak gigi, lalu melompat jauh ke depan.
Siau-kong-cu bergerak selincah burung di antara dahan pohon diikuti Po-giok secara ketat, begitu lincah dan ringan gerak-gerik mereka, hakikatnya tidak mengeluarkan suara sedikit pun, Li Bin-sing yang mendekam di tanah tidak tahu bahwa ada orang berada di belakangnya.
Umpama Siau-kong-cu kurang hati-hati dan menimbulkan sedikit suara juga tidak akan di dengar olehnya, sebab perhatian seluruhnya lagi tumplek ditujukan pada suatu suara yang berkumandang dari lereng bukit di depan sana.
Angin malam mengembus, dari belakang bukit sayup-sayup berkumandang denting suara senjata beradu disertai bentakan dan caci maki. Lebih aneh lagi di antara suara keributan yang campur-aduk itu terdengar juga cekikik tawa genit gadis-gadis serta tepuk sorak mereka.
Beberapa jenis suara itu sebetulnya tidak mungkin tersiar bersama, tapi kenyataan justru berpadu pada saat dan tempat yang sama, sehingga perpaduan suara itu kedengarannya agak ganjil aneh dan misterius di malam sunyi.
Po-giok saling pandang dengan Siau-kong-cu, mereka tidak habis mengerti apa yang terjadi di balik lereng bukit sana, hawa membunuh yang terkandung dalam suara itu meski menjadi tawar oleh genit tawa jalang itu, namun daya tariknya justru lebih kuat membuat orang tertarik untuk mengetahuinya.
Agaknya Li Bin-sing juga dibuat heran dan melongo, tidak jarang ia garuk-garuk kepala yang tidak gatal. Ternyata rasa tertarik dan ingin tahunya memerangi rasa takutnya diam-diam ia merangkak maju ke depan.
Dalam semak belukar di tanah tegalan, banyak tempat untuk menyembunyikan diri.
Bila Li Bin-sing menempatkan diri dalam persembunyiannya, Po-giok dan Siau-kong-cu juga sudah mendapatkan tempat untuk sembunyi.
Dari sela-sela daun Siau-kong-cu dan Po-giok mengintip ke sana, mereka menjadi kaget dan heran. Di bawah bukit sana ternyata ada tanah lapang yang cukup luas di sana terdapat sebuah gardu pemandangan, di sekeliling gardu tersebar banyak kursi bundar dari batu, belasan gadis cantik berdandan orang desa duduk berkelompok dua-dua mereka asyik mengikuti pertunjukan sengit di tanah lapang.
Di tanah lapang itu, dua orang sedang bertempur dengan sengit dari gerak-gerik dan permainan senjata mereka terbukti kungfu kedua orang ini tidak lemah.
Kedua orang ini yang satu bersenjata sepasang pedang, sinar pedangnya bergerak melingkar 551
Koleksi Kang Zusi
dan beterbangan secara cepat dan ganas, hawa pedang terasa dingin tajam dan menyesakkan napas, Po-giok yang beberapa tombak jauhnya juga merasakan ketajaman samberan angin pedang.
Lawannya bersenjata tongkat panjang, tongkat berputar laksana naga terbang, banyak perubahan dan sukar diraba permainannya, betapapun sengit rangsakan pedang lawan ternyata tidak mampu mendesaknya.
Bayangan tongkat dan sinar pedang boleh dikatakan membungkus kedua orang yang sedang bertarung sengit, namun Po-giok dan Siau-kong-cu masih dapat mengikuti gerak-gerik mereka, malah sudah mengenal dan dapat membedakan bentuk tubuh mereka.
Membulat mata Siau-kong-cu, bisiknya dengan heran, "He, kiranya dia!"
"Ya, sudah tujuh tahun tidak bertemu, ternyata dia berada di sini," demikian sahut Pui-Po-giok.
"Siapa bilang tidak bertemu tujuh tahun, bukankah di puncak Thai-san juga melihatnya,"
bantah Siau-kong-cu.
"Yang kau maksud kan Ban-lo-hu-jin, yang aku maksud adalah orang lain."
"Orang lain?" tanya Siau-kong-cu heran, "Siapa yang lain" kau kenal dia?"
"Amat panjang untuk menjelaskan asal-usul orang ini. Secara singkat aku hanya bisa memberi tahu, dia bernama Ong-toa-nio, yaitu bini Ong Poan-hiap, urusan lain biar aku jelaskan lain kesempatan."
Membelalak mata Siau-kong-cu, gumamnya, "Ong Poan-hiap ...Ong-toa-nio ...kenapa dia bergebrak dengan Ban-lo-hu-jin ...kenapa Ban-lo-hu-jin belum juga kembali ke Pek-cui-kiong?"
Giliran Po-giok yang heran, tanyanya tercengang, "Ban-lo-hu-jin" Pek-cui-kiong?"
"Kurasa Ban-lo-hu-jin sudah ...sudah dirangkul oleh ibu mertuamu."
Po-giok diam sesaat, lalu berkata, "Kukira benar, kalau Ban-lo-hu-jin sudah menjadi anak buah pihak Pek-cui-kiong, adalah logis kalau tidak menginginkan aku pergi ke Pek-cui-kiong, orang yang mengadakan janji pertemuan dengan Li Bin-sing di tempat ini kurasa pasti dia."
"Betul ...Hm, kenapa mendadak kamu berubah menjadi pintar?" jengek Siau-kong-cu.
Po-giok menyengir, "Memangnya aku tidak goblok."
Suara percakapan mereka sudah tentu amat lirih, waktu bicara jarak mereka sudah tentu sangat dekat. Setelah mengucap dua patah kata itu mendadak Siau-kong-cu merasa telinga Po-giok terlalu dekat dengan bibirnya. Giginya menjadi gatal dan gregetan, tanpa pikir segera ia mengigitnya.
Gigitan itu tidak ringan, saking kesakitan hidung Po-giok sampai berkeringat dingin. Tapi dalam keadaan seperti itu, di tempat persembunyian bukan saja tidak boleh bergerak apalagi berteriak, terpaksa ia tahan.
Walau gigitan itu keras dan sakitnya bukan tapi Po-giok tidak marah, karena secara langsung ia meresapi gigitan gregetan itu mengandung cinta yang mendalam, cinta dan gemas.
Setelah tujuh tahun tidak bertemu, kungfu Ong-toa-nio ternyata banyak lebih maju.
Dahulu ia bersenjata Cu-bo-siang-koai, kini pedang yang digunakan ini mencakup ilmu tongkatnya yang ganas, keras dan cepat.
Lambat laun sinar pedang yang beterbangan mulai membendung dan mengurung putaran tongkat panjang lawan.
Kini Ban-lo-hu-jin tidak sempat lagi makan manisan, mulutnya yang bawel biasanya memaki kaum pria, kini sasarannya adalah sesama perempuan, benaknya tidak punya bahan untuk memaki perempuan.
Gadis-gadis yang menonton di luar gelanggang selalu bertepuk dan bersorak, memberi aplaus 552
Koleksi Kang Zusi
kepada Ong-toa-nio, ada pula yang nakal melempar kulit buah atau biji buah ke arah Ban-lo-hu-jin.
Celakanya ada pula yang tarik suara, bernyanyi menyindir Ban-lo-hu-jin, tertawa dan berkeplok, yang memaki melempar kulit buah, meski tiada yang mengenal tubuh Ban-lo-hu-jin, tapi perempuan tua ini menjadi marah hampir gila.
Diam-diam Po-giok tertawa geli. Hari ini Ban-lo-hu-jin ketemu batunya, kepalanya tentu pusing tujuh keliling.
Makin sengit serangan Ban-lo-hu-jin makin ngawur, tongkatnya tidak lagi bergerak secara wajar, karena ia kewalahan menghadapi rangsakan pedang lawan, akhirnya mulut ikut mengumpat, "Perempuan busuk, perempuan buntung, aku tidak pernah membunuh bapak ibumu, tidak merebut lakimu permusuhan apa engkau dengan aku, lagakmu seperti ingin adu jiwa denganku."
"Siapa ingin mengadu jiwa denganmu, aku memang ingin merengut jiwamu," demikian jengek Ong-toa-nio.
"Memangnya kau tahu siapa nenek tua diriku ini?" teriak Ban-lo-hu-jin.
"Kalau aku tidak tahu siapa kamu, buat apa aku menghendaki jiwamu."
"Lha, kau kenal aku, ada sakit hati apa antara dirimu dan aku?"
Ong-toa-nio terloroh-loroh, "Boleh kau terka saja."
Seperti diketahui kedua kaki Ong-toa-nio sudah cacat, dulu waktu bersenjata tongkat, tongkat itulah pengganti kaki, di samping sebagai senjata untuk menyerang musuh, gerak-geriknya lincah dan tangkas, lawan sukar mengikuti gerak perubahan tubuhnya.
Kini pedang yang digunakan jauh lebih ringan dibanding tongkat besinya dulu, bukan saja lincah gerak tubuhnya kelihatan jauh lebih cekatan dan kepandaiannya juga kelihatan beberapa tingkat lebih tinggi.
Ban-lo-hu-jin mengajaknya bicara dengan maksud memecah perhatiannya, supaya dirinya memperoleh kesempatan menyergapnya atau bila perlu melarikan diri. Di luar dugaan lawan tidak menjadi bingung, malah awak sendiri yang kerepotan menghadapi serangan lawan. Maka ia berteriak-teriak, "Tidak bisa terka ...aku tidak bisa menerkanya."
Di tempat sembunyinya Siau-kong-cu berkata lirih, "Sebetulnya ada permusuhan apa antara Ong-toa-nio dengan Ban-lo-hu-jin, apa kau tahu?"
Agaknya nona ini merasa menyesal karena perbuatannya tadi, setelah sekian saat Po-giok tidak bersuara, maka sengaja mengajaknya bicara.
Dalam hati Po-giok tertawa geli, namun mulutnya berkata, "Mungkin lantaran Ban-tai-hiap ..."
"Menilai kungfu Ong-toa-nio, sudah berapa kali ia mampu membunuh Ban-lo-hu-jin, tapi sengaja ia tidak turun tangan, apa ... apa sebabnya?"
"Tujuannya membekuknya hidup-hidup, bukan membunuhnya," demikian sahut Po-giok.
"Ya, setelah dia membekuk Ban-lo-hu-jin hidup-hidup, Ban Cu-liang tentu dapat dipancing datang, tetapi ..."
Mendadak Ban-lo-hu-jin menjerit kaget, pundak kiri tergores luka berdarah. Lengan dan baju bagian depan seketika basah oleh darah yang mengucur, padahal lukanya tidak begitu parah, namun karena dia terlalu bernafsu balas menyerang dan mengamuk dengan sengit, darah pun mengucur lebih deras.
Siapa pun tahu bahwa luka di pundak itu tidak parah dan tidak mungkin merengut nyawa orang. Tapi begitu melihat darah, muka Ban-lo-hu-jin seketika pucat dan ngeri, badan menjadi lunglai tongkat panjang jatuh berkerontangan.
Orang banyak menjadi heran, mereka tidak tahu bahwa Ban-lo-hu-jin adalah manusia yang suka menindas kaum lemah dan tunduk pada yang kuat, bila berhadapan dengan lawan yang 553
Koleksi Kang Zusi
lebih kuat, dia jarang mau bergebrak.
Umpama terpaksa harus turun tangan, dengan kemahirannya bermain secara licik dan licin selalu berhasil meloloskan diri tanpa kurang suatu apa, oleh karena itu, meski tangannya selalu berlepotan darah orang lain darah sendiri justru belum pernah dilihatnya.
Kini dia lemas karena takut melihat darahnya sendiri.
Po-giok merasa geli dan dongkol.
Siau-kong-cu juga gregetan, "Jarang menemukan orang yang takut mati seperti dia."
Agaknya kejadian ini juga di luar dugaan Ong-toa-nio, sekilas ia melengong, tapi gerak pedangnya memang amat cepat beruntun ujung pedang bergetar, cepat sekali tiga hiat-to di belakang pundak Ban-lo-hu-jin ditutuknya.
Ban-lo-hu-jin mencaci, "Perempuan busuk ..."
Belum habis bicara, mendadak tubuh terjengkang roboh.
Tapi begitu menggeletak di tanah, mulutnya justru memaki lebih galak, segala macam caci maki yang busuk dan kotor dilontarkan tanpa tedeng aling-aling.
Di tengah udara Ong-toa-nio bersalto sekali, dengan enteng tubuhnya jatuh di kursi pikulan, seorang gadis lantas menghampiri sambil membawa selembar kemul merah untuk menutup kakinya.
Dua gadis yang lain mengangkat pikulan, yang berdiri di depan bertanya. "Apakah bola daging ini harus disembelih?"
"Jangan tergesa-gesa," ucap Ong-toa-nio tersenyum, "bawa pulang dulu."
Mendadak seorang muncul dengan tertawa, siapa lagi kalau bukan Li Bin-sing.
Munculnya Li Bin-sing di luar dugaan Pui-Po-giok, "O, dia bukan berjanji dengan Ban-lo-hu-jin."
Dilihatnya Ban-lo-hu-jin amat terkejut dan berseru, "kau ... bocah ini kiranya sekomplotan dengan perempuan busuk itu."
Li Bin-sing tertawa lebar, katanya, "Jangan urus apakah aku sekomplotan atau dua komplotan, yang pasti tugas yang kau serahkan padaku sudah aku laksanakan, lalu apa pula yang masih kau gugat padaku?"
Po-giok melongo bingung.
Gadis-gadis cantik yang tadi berkelompok dan tersebar menonton pertarungan segera merubung maju, ada yang mengangkat Ban-lo-hu-jin, lebih banyak lagi memeluk lengan dan mendekap tubuh Li-Bin-sing, kelihatannya mereka sudah sangat akrab.
Terdengar seorang gadis bertanya, "Eh, apa engkau sudah bertemu dengan Pui-Po-giok?"
"Tentu saja sudah," sahut Li Bin-sing tertawa.
Maka seorang yang lain bertanya juga, "Apa benar dia cakap" Apakah kungfunya benar tinggi?"
"Hehe, buat apa kau tanya tentang dia" Memangnya bocah itu menaksir padamu. Baiklah biar aku jelaskan, anak muda yang cakap ganteng umumnya bukan barang baik, masih hijau plonco.
Nah, carilah yang agak tua seperti diriku ini tanggung puas."
Ramailah gelak tawa para gadis genit dan jalang itu, "Eh, tidak tahu malu, membanggakan diri sendiri. Memangnya kamu ahli ... "
Sambil berkelakar rombongan itu beranjak pergi meninggalkan tempat itu.
"Selama beberapa tahun ini ternyata Li Bin-sing berada bersama Ong-toa-nio, dari gerak-gerik nona-nona genit itu dapat aku nilai bahwa hubungan mereka sudah tidak biasa."
554 Koleksi Kang Zusi
"Tapi dari mana gadis-gadis itu tahu tentang diriku" Ada intrik apa antara Li Bin-sing dengan Ong-toa-nio" Kalau mereka bermaksud mencelakai aku, kenapa pula membebaskan aku begitu saja" Kalau mereka tidak bermaksud mencelakai aku, kenapa bersusah payah menipuku dengan akal busuknya?"
Di sebelahnya Siau-kong-cu tertawa dingin, "Pui-Po-giok, sungguh tak nyana, selain kungfumu terkenal, kecakapanmu ternyata juga amat tenar. Gadis-gadis itu begitu besar hasratnya terhadap dirimu, kamu amat girang bukan?"
"Ehm," sahut Pui-Po-giok seenaknya tanpa memperhatikan pertanyaan orang.
"Ehm apa" Coba kau bicara!" desak Siau-kong-cu.
Hakikatnya Po-giok tidak mendengar apa yang dibicarakan Siau-kong-cu, mendadak ia berdiri seraya berkata, "Ayo berangkat!"
"Berangkat" Berangkat ke mana" Mengejar mereka?" tanya Siau-kong-cu.
"Benar, mengejar mereka. Kita harus menolong Ban-lo-hu-jin."
"Menolongnya" Kenapa menolongnya?"
"Pertama karena Ban-tai-hiap, kedua untuk mencari tahu duduk persoalan sebenarnya," belum habis bicara, tahu-tahu ia meleset jauh ke depan.
Sudah tentu Siau-kong-cu mengikuti langkahnya. Untung jumlah rombongan itu cukup besar, tidak sukar mereka mengejar dan mengikuti dari kejauhan.
"Kenapa kita tidak menyusulnya ke sana?" tanya Siau-kong-cu.
"Tidak, kita lihat dulu ke mana mereka akan pergi?"
Dalam hutan itu, ternyata ada jalan kecil yang berliku-liku. Kalau bukan orang yang sudah apal keadaan bukit ini sukar menemukan jalan kecil ini meski mencarinya lima bulan. Rombongan gadis itu ternyata menyelinap ke dalam semak-semak lewat jalan kecil yang tersembunyi itu.
Kira-kira sepeminum teh kemudian, pemandangan di depan terbuka lebar. Di balik hutan lebat itu ternyata ada dunia lain, di tengah lingkaran bukit yang tidak begitu tinggi ternyata terdapat sebuah lembah yang subur dan indah permai.
Selepas mata memandang, berbagai macam jenis bunga yang tidak diketahui namanya sedang mekar semerbak. Pada musim rontok saat itu, di tempat lain pohon sedang rontok dan layu, tapi di tempat ini bunga justru hidup subur dan berkembang biak.
Di tengah lembah yang ditaburi berbagai jenis bunga itu terdapat sebuah aliran sungai kecil dengan airnya yang jernih, tak jauh di pinggir sungai terdapat satu deret rumah terdiri tiga petak berjajar.
Dengan suara yang bingar rombongan besar itu memasuki rumah-rumah itu.
Kini tinggal Po-giok yang berada di tengah taman bunga dengan hati bimbang. Ia heran di lembah ini terdapat dunia lain yang permai dan mempesona, lebih kaget lagi karena selama beberapa tahun ini bukan saja Ong-toa-nio sudah bangkit kembali, malah hasilnya kelihatan jauh melampaui prestasinya dulu.
Agaknya perempuan setengah baya yang cacat ini tidak boleh dipandang enteng. Oleh karena itu Po-giok tidak berani sembrono.
Siau-kong-cu justru tidak peduli, ia langsung berjalan lurus ke depan.
Lekas Po-giok menyusul dan menahan, "He, tunggu sebentar."
Tanpa menoleh Siau-kong-cu berkata, "Suhu ada di sini, apa pula yang ditunggu?"
"Tapi..."
"Katanya mau menolong Ban-lo-hu-jin dan menyelidiki duduk persoalannya, sekarang atau 555
Koleksi Kang Zusi
nanti juga harus berhadapan dengan mereka, kenapa tidak sekarang langsung kita menemuinya secara terang-terangan?"
Po-giok masih ragu, tapi terpaksa mengikuti di belakang Siau-kong-cu.
Pada saat mereka menelusuri rumpun bunga, dari balik rumpun sana mendadak berkumandang bentakan nyaring, "Ada tamu datang!"
Po-giok terkejut, waktu ia angkat kepala, dilihatnya seekor burung kakak tua terbang keluar dari rumpun bunga sana dan langsung menuju ke arah rumah sambil masih mengoceh, "Ada tamu datang ...ada tamu datang ...."
Siau-kong-cu tertawa cekikikan, "Hihi, sungguh tak nyana hanya seekor burung juga membuat Pui-tai-hiap kita terkejut."
Po-giok tertawa kecut, tampak dari tiga petak rumah itu berlari keluar tiga orang gadis, setelah melewati jembatan berliku di atas sungai, mereka bertanya dengan suara merdu, "Tamunya di mana?"
Mendadak mereka melihat Pui-Po-giok, ketiga gadis itu lantas berhenti, wajah yang semula berseri seketika berubah menyengir dan mengawasi Pui-Po-giok.
Po-giok berdehem, lalu menyapa, "Selamat bertemu nona-nona."
Seorang gadis yang bermuka bulat mendadak berteriak, "Siapa kau " Untuk apa datang kemari?"
Walau keras suaranya, tapi ia sengaja bicara dengan nada genit, demikian pula meski pandangannya dilembari rasa kaget, namun mengandung kagum tak terhingga.
Maklum selama ini belum pernah mereka lihat apalagi berhadapan dengan pemuda setampan dan segagah ini.
Po-giok menjadi risi, katanya sambil bersoja, "Aku ..."
Dengan dingin mendadak Siau-kong-cu mengejek, "Kamu mau menemui kekasih atau mau cari kesulitan di sini?"
Merah muka Po-giok.
Gadis yang satu lagi lantas tanya, "Mau cari kesulitan apa?"
Terhadap Siau-kong-cu ia bersikap kasar, bertolak pinggang lagi.
Dengan keras Siau-kong-cu berkata, "Inilah dia yang bernama Pui-Po-giok, ia kemari untuk menuntut kebebasan tawanan kalian tadi."
"Apa Pui-Po-giok!" ketiga gadis itu menjerit kaget.
Tanpa berjanji ketiga gadis ini putar badan dan berlari balik dengan menggoyang pinggul sambil lari, tidak jarang mereka menoleh, seolah-olah merasa berat berpisah dengan Pui-Po-giok.
Kejap lain terdengarlah jerit kaget disusul pekik dan sorak ramai orang banyak dari dalam rumah.
Siau-kong-cu mendorong Pui-Po-giok, desaknya, "Kenapa melamun saja, ayo masuk ke sana!"
Apa boleh buat, terpaksa Po-giok beranjak ke depan dengan langkah lebar.
Suasana di luar rumah rasanya aman dan damai, pemandangan indah permai, tapi Po-giok menduga, rumah ini pasti penuh perangkap dan diliputi hawa membunuh, maka sejak menggerakkan kaki, diam-diam Po-giok sudah waspada, sedikit pun tidak berani lengah.
Sebaliknya Siau-kong-cu bersikap acuh-tak-acuh tidak peduli apa yang akan terjadi, seolah-olah ia tidak pandang sebelah mata kepada Ong-toa-nio, perempuan setengah baya yang cacat itu.
Kelihatannya dia tidak waspada atau berjaga-jaga.
556 Koleksi Kang Zusi
Semula penerangan ketiga rumah itu hanya temaram saja. Tapi begitu ketiga gadis itu lari masuk memberitakan kedatangan Po-giok, di tengah suasana ramai, cahaya mendadak benderang di rumah.
Maka berkumandanglah suara nyaring Ong-toa-nio dari dalam rumah, "Selamat datang tamu agung, mohon maaf kami yang bertubuh cacat ini tidak dapat keluar menyambut, dengan penuh hormat kami persilakan masuk dan silakan menikmati suguhan teh kita."
"Po-giok mengucap terima kasih," demikian seru Po-giok dengan suara berat.
Makin sungkan Ong-toa-nio bicara, makin ramah dia menyambut tamunya, perasaan Po-giok makin was-was. Maklum Po-giok sudah merasakan secara langsung pisau tajam yang tersembunyi di balik senyum manis orang, ia yakin selanjutnya dirinya tidak mudah ditipu lagi.
Pintu rumah di tengah itu mendadak terbuka lebar, gadis-gadis anak buah Ong-toa-nio berkerumun di belakang pintu dan longak-longok keluar. Entah senjata gelap jenis apa yang tergenggam di tangan mereka?"
Seringan burung walet mendadak Pui-Po-giok melesat masuk ke dalam.
Hawa murni sudah berkembang melindungi sekujur badannya, Po-giok yakin umpama dalam rumah ini ada perangkap atau dirinya akan diberondong dengan senjata rahasia lihai dan berbisa sekali pun, dirinya takkan mudah kecundang atau dilukai.
Di luar dugaan, dirinya sama sekali tidak terperangkap atau dijebak.
Rumah gubuk yang terpajang amat mewah ini ternyata diliputi suasana hangat lagi romantis, tidak terasa ada hawa membunuh di sini.
Di bawah cahaya lilin yang benderang tampak Ong-toa-nio duduk di atas kursi yang besar, empuk lagi hangat. Gadis-gadis yang hadir dalam rumah semua memegang sesuatu, rupanya mereka sedang makan semangka, bukan menggenggam senjata rahasia.
Melihat suasana yang berbeda dengan dugaan Po-giok yang bersikap seperti menghadapi musuh besar dan tangguh menjadi rikuh, setelah batuk dua kali, segera ia menyapa dengan tertawa."Ong-toa-nio, apa masih kenal Pui-Po-giok?"
Ong-toa-nio tertawa, "Mana mungkin tidak mengenalmu" Kecuali Pui-Po-giok, apa ada di dunia ini pemuda secakap dan seganteng dirimu?"
Bahwa sang majikan memuji orang, maka ramailah sorak dan tepuk tangan gadis-gadis yang ada di rumah itu. Suasana yang tidak terduga ini membuat Po-giok tertegun malah, sesaat ia bingung entah apa yang harus ia lakukan.
Terdengar seorang berkata di belakangnya, "Ong-toa-nio, apa kamu baik-baik saja?"
"Aduh, Siau-kong-cu yang manis," demikian Ong-toa-nio dengan nada riang, "sudah lama tidak bertemu, makin besar engkau kelihatan lebih cantik. Kalau hari ini Pui-siau-hiap tidak kemari, mungkin sukar aku mengundangmu bertamu di rumahku."
"Ah, kenapa kau bilang begitu, memangnya siapa tahu kau tinggal di sini," demikian sahut Siaukong-cu dengan nada aleman.
"Apa betul tidak tahu?" demikian tanya Ong-nyaring, "aku tidak percaya, Hwe-kiong-cu pernah memberi tahu padamu."
"Tiada orang memberi tahu padaku, seolah-olah tempatmu ini begitu misterius. Sungguh aku tidak mengerti, dalam hal apa tempat ini dianggap misterius?" demikian kata Siau-kong-cu tertawa.
Po-giok terbelalak kaget, tanyanya, "He, kau ... kau kenal dia?"
"Kapan aku pernah bilang tidak mengenalnya?" Siau-kong-cu balas bertanya.
Po-giok melengong, lalu katanya dengan tertawa getir, "Betul, engkau tidak pernah bilang."
Dalam hati Po-giok sudah menduga, selama beberapa tahun ini Ong-toa-nio tentu melakukan 557
Koleksi Kang Zusi
suatu kerja rahasia, bisa jadi memimpin suatu komplotan gelap yang bekerja secara misterius.
Maka begitu Hwe-mo-sin terjun ke dunia persilatan lantas berkomplot dengannya.
Tidak heran walau Hwe-mo-sin sudah sekian tahun tidak berkecimpung di kang-ouw, tapi setiap kejadian di dunia persilatan diketahuinya dengan jelas, dapat diperkirakan bahwa dia memperoleh informasi itu dari Ong-toa-nio.
Lalu selama beberapa tahun ini apa kerja Ong-toa-nio"
Siau-kong-cu tertawa, Ong-toa-nio tertawa, gadis-gadis cantik itu pun tertawa ....
Sebaliknya Pui-Po-giok tenggelam dalam renungannya.
Mendadak didengarnya Siau-kong-cu berkata, "Nah, itu Ban-lo-hu-jin sudah keluar."
Baru Po-giok tersentak dari lamunannya, tampak Ban-lo-hu-jin sudah duduk di pinggir sana keadaannya lesu dan loyo. Li-Bin-sing juga berdiri di sana, mimik wajahnya kelihatan serba runyam.
Akhirnya Po-giok menghela napas, "Aku sudah tahu."
"kau tahu apa?" tanya Siau-kong-cu.
"Rumah kecil dalam hutan itu, anak buah Ong-toa-nio yang tinggal di sana, maka Hwe-mo-sin mengundangku bertemu di sana, betul tidak?"
"Betul, bukan hanya rumah itu milikku, hutan jati itu juga milikku ...." demikian ucap Ong-toanio dengan tertawa lebar, "harap maklum, cewek-cewek muda ini kalau sedang nganggur, ada-ada saja persoalan yang dilakukan."
"Dari sini dapat pula aku simpulkan, bahwa Lo-tan suami istri dan ke dua anak perempuannya dalam cerita Li Bin-sing pada hakikatnya hanya bualan belaka. Dia bilang mengintip dalam hutan, itu juga bohong, yang benar dia tidak pernah menyaksikan apa-apa."
Li Bin-sing tertawa getir, katanya, "Bukan aku sengaja bohong padamu, tapi Ong ... "
"Musibah yang terjadi dalam hutan jati itu sebetulnya juga tidak kuketahui," demikian tukas Ong-toa-nio, "dapat aku bayangkan bahwa cara kerja orang-orang itu amat cekatan, setelah kalian tiba di sana, baru aku tahu dan menyaksikan sendiri. Aku menduga kalian tentu tidak tahu ke mana kalian selanjutnya harus pergi, maka kusuruh Li Bin-sing memberi tahu, soalnya waktu anak buah Hwe-kiong-cu meminjam rumah itu, sudah aku lihat sendiri bahwa pos selanjutnya berada di Tai-bing-hu."
Mendadak Li Bin-sing berkata lagi, "Tapi apa yang pernah aku ucapkan itu bukan seluruhnya bohong. Soalnya meski aku sendiri tidak menyaksikan kejadian itu, sedikitnya Thi-kim-to menyaksikannya."
"Dia yang memberitahukan kejadian itu kepadamu?" tanya Po-giok.
"Setelah menyaksikan secara diam-diam, lalu ia mengundurkan diri, tak nyana secara kebetulan bertemu dengan aku, dari mulutku dia tahu bahwa kau pasti akan datang."
"Apa betul kau sahabatnya?" tanya Po-giok pula.
Li Bin-sing tertawa lebar, "Bukan cuma sahabat dulu kami malah belajar kungfu bersama dalam satu perguruan, jadi dia terhitung Su-heng ku. Hanya saja ... ai, dalam latihan kungfu aku terlalu malas kurang semangat maka ... maka ..."
Maka bagaimana, tanpa dijelaskan orang lain pun maklum.
"Kejadian di dunia ini memang serba aneh, hal itu memang tidak pernah aku duga sebelumnya," demikian ucap Po-giok setelah menghela napas.
"Kejadian yang kebetulan di dunia ini memang sering terjadi, bila usiamu sudah setua aku, kamu akan tahu sendiri. Kalau tidak, bagaimana mungkin begitu aku keluar lantas kepergok dengan Ban-lo-hu-jin."
558 Koleksi Kang Zusi
"Ya, Ban-lo-hu-jin memang sudah mengenal dirimu, dia tidak ingin aku pergi ke Pek-cui-kiong maka dia suruh engkau menipu aku, di luar tahunya bahwa engkau adalah ... adalah teman Ong-toa-nio."
Sebelum orang lain bicara pandangan Po-giok tertuju ke arah Siau-kong-cu, "Dan semua kejadian ini, sebetulnya sudah kau ketahui, tapi kau justru berpura-pura, dengan berbagai cara mempermainkan aku supaya aku menjadi orang linglung."
Tepekur sejenak lalu Siau-kong-cu berkata dengan tandas, "Betul, aku sudah tahu seluruhnya, semua itu sengaja aku permainkan dirimu, kuanggap kamu seorang linglung ..."
Mendadak ia melengos dan lari ke ambang pintu, pundaknya tampak bergetar.
Po-giok tertawa dingin, "Sudah menipuku, kenapa harus ... "
"Jangan sembarang memfitnahnya?" tukas Ong-toa-nio, "dia tidak menipumu."
Po-giok tertegun, "Kenapa aku harus memfitnahnya?"
"Segala kejadian ini dia memang tidak tahu,dia tidak tahu bahwa aku tinggal di sini, juga tidak tahu bahwa Li Bin-sing sekarang sudah ikut aku, sudah tentu dia tidak tahu betul atau tidak cerita Li Bin-sing itu."
Hambar perasaan Pui-Po-giok, "Aku ... mungkinkah aku yang salah."
"Ya, kau salah, semuanya salah," mendadak Ban-lo-hu-jin berteriak keras, "bukan saja kau fitnah dia juga membuatku penasaran. kau bocah linglung ini anggap dirimu pintar dan serba tahu, padahal banyak kejadian di dunia ini tidak mungkin kau tebak, selama ini kamu hanya suka mengagulkan diri sok pintar."
"Dalam hal apa aku membuatmu penasaran?" tanya Pui-Po-giok.
"Tahukah kenapa aku orang tua berada di sini" Hanya kebetulan saja" ... Memangnya semua kejadian di dunia begitu kebetulan" Aku bisa di sini karena menguntit seseorang."


Misteri Kapal Layar Pancawarna Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Siapa" Menguntit siapa?" tanya Po-giok.
"Orang-orang itu kau kenal," demikian tutur Ban-lo-hu-jin, "sejak dari Thai-san aku menguntit sampai di sini, apa saja yang pernah mereka lakukan sepanjang perjalanan ini, tiada satu pun yang lepas dari pengawasanku."
"Siapa saja yang kau maksud dengan mereka?" Po-giok menegas.
Ban-lo-hu-jin malah menghela napas, "Aku sudah tua, orang yang lanjut usia amat serakah, kalau mulut nganggur dan perut ketagihan, biasanya aku pun lesu untuk bicara."
"Wah ...." Po-giok tertawa menyengir.
"Itu mudah," seru Ong-toa-nio, "Nah, makanan yang ada di sini, boleh kau habiskan."
Sebelum Ong-toa-nio habis bicara, Po-giok sudah samber sepiring semangka dan dihaturkan ke depan Ban-lo-hu-jin.
"Syukurlah, memang aku sedang dahaga." ucap Ban-lo-hu-jin.
Cepat Po-giok mengambil cangkir dan poci, memang satu cangkir penuh untuknya. Gadis-gadis di sekelilingnya tertawa geli.
Ong-toa-nio juga tertawa, "Pui-siau-hiap mau meladenimu, sungguh besar rejekimu."
"Dia bisa mendengar psnjelasanku, rejekinya juga tidak kecil."
"Nah, sekarang engkau orang tua sudah boleh bicara bukan!" kata Po-giok.
Setelah minum secangkir dan menghabiskan satu buah apel baru Ban-lo-hu-jin bicara dengan kalem, "Aku bisa berada di sini karena menguntit Thi-jan, Ji-gi beberapa kawan-kawannya."
559 Koleksi Kang Zusi
Bukan hanya Po-giok yang kaget mendengar penjelasan Ban-lo-hu-jin Ong-toa-nio juga berubah hebat air mukanya, Siau-kong-cu juga mendadak menoleh, serunya, "O, jadi mereka adanya!"
Ban-lo-hu-jin bercerita lebih lanjut, "Setelah pertemuan di Thai-san bubar, diam-diam aku juga menyelundup ke Ban-tiok-san-ceng, tapi waktu itu engkau sudah berangkat, semula aku merasa kecewa siapa tahu ...."
"Bagaimana?" tanya Po-giok.
"Secara kebetulan aku lihat Thi-jan, Ji-gi dan beberapa tua bangka itu diam-diam lagi mengatur rencana dan membagi tugas kepada murid-muridnya entah rencana busuk apa yang tengah mereka rancang."
"Bagaimana selanjutnya?" tanya Po-giok.
"Seperti panca longok saja mereka mengikuti perjalananmu dari jauh, setiap orang yang kau temui dan bicara satu patah kata saja lantas mereka bekuk orang itu dan mengompes keterangannya."
Po-giok menghela napas, "Ternyata mereka, pantas ilmu pedangnya begitu lihai dan tak heran digunakan adalah Hun-kin-joh-kut-jiu, sejak kejadian itu seharusnya sudah aku duga atas perbuatan mereka."
"Aku memang sedang heran, kenapa para tua bangka itu melakukan perbuatan sekeji itu, akhirnya baru kutahu, mereka kuatir engkau mengalami kegagalan dalam perjalananmu ini, takut kelak tiada jago kosen yang mampu menghadapi Pek-ih -jin, maka mereka ingin mendahuluimu tiba di Pek-cui-kiong ... Padahal kawanan tua bangka bila tiba di sana juga hanya mengantar nyawa saja."
Po-giok menunduk diam sebentar, lalu berkata, "Teramat besar perhatian dan kasih sayang para orang tua itu terhadapku ... Kasih sayang dan kesetiaan para Cian-pwe dari angkat tua dunia kang-ouw memang patut dijadikan teladan bagi angkatan muda,"
Ban-lo-hu-jin tertawa dingin, jengeknya, "Hm" sebagai seorang ketua suatu aliran, tapi melakukan kejahatan terselubung, apanya yang harus diagulkan. Terutama Thi-jan si hidung kerbau itu, selama wataknya tidak berubah, kukira banyak kejahatan yang dia lakukan."
Kuatir perempuan tua ini menyerocos dengan kata-kata yang menusuk perasaan, cepat Po-giok mendesak, "Selanjutnya bagaimana?"
"Waktu aku menguntit sampai di sini, aku lihat mereka mendahuluimu. Dan engkau bocah linglung berhenti dan menunggu di sini, karena kasihan maka aku orang tua memberi petunjuk padamu."
Po-giok heran."Jadi kau ... kau ..."
Ban-lo-hu-jin tertawa dingin, "Kamu memang linglung, kau kira aku orang tua ingin mencegahmu pergi ke Pek-cui-kiong" He, kalau benar begitu dugaanmu, bukan hanya salah, bahkan keliru besar. Aku orang tua justru kuatir kamu batal pergi ke Pek-cui-kiong."
Setelah merandek sejenak lalu melanjutkan, "Tapi kalau orang tua sendiri yang langsung memberi petunjuk padamu, bukan saja mengundang banyak kesulitan, belum tentu kau mau percaya, pada saat aku bimbang, kebetulan aku bertemu dengan keparat orang she Li ini."
"Apa yang dituturkan itu memang benar," demikian kata Li Bin-sing, "Dia memaksa aku memberi tahu padamu ke mana selanjutnya kau harus menuju. Di luar tahunya aku memang punya tugas untuk memberitahukan hal ini kepadamu ....walau pun aku bohong padamu, tapi bertujuan baik."
Ban-lo-hu-jin menjengek, "Aku orang tua justru tidak bertujuan baik, kurasa kalau bocah linglung ingin mengantar jiwa ke Pek-cui-kiong, biarlah dia lekas sampai di sana."
"Kejadian aneh di dunia ini sungguh sukar diramal oleh manusia biasa ..." Po-giok menghela napas panjang.
"Masih ada yang perlu aku beri tahu padamu." demikian ucap Ban-lo-hu-jin sambil menggeragot 560
Koleksi Kang Zusi
buah-buahan, "Cui-nio-nio sudah memperhitungkan dirimu pasti akan pergi ke Pek-cui-kiong, maka dia sudah lama menunggu kedatanganmu."
Po-giok tepekur, mulutnya bergumam, "Bagus ...bagus ..."
Keadaannya seperti benar-benar linglung, maklum perubahan kejadian beruntun ini tiada satu pun yang tidak di luar dugaan, tiada satu pun yang dapat ditebak dan diselaminya.
Ilmu Ulat Sutera 11 Pukulan Naga Sakti Karya Khu Lung Alap Alap Laut Kidul 15
^