Pencarian

Misteri Kapal Layar Pancawarna 2

Misteri Kapal Layar Pancawarna Karya Gu Long Bagian 2


Mendengar ucapan Bok-long-kun, mendadak ia tertawa terkekeh dan berucap,
"Hehe, biarpun Sin-kun tidak kenal diriku, namun kukenal Sin-kun. Mari kuberi selamat secawan arak kepada Sin-kun."
Suaranya nyaring serupa logam digosok dan membuat orang ngilu dan merinding.
Bahwa orang ini dapat duduk dan minum arak bersama "Ci-si-liong" atau naga berjenggot merah, maka dapat diduga orang ini pasti bukan tokoh sembarangan, semula Oh Put-jiu menjadi ingin melihat wajahnya, ingin tahu sesungguhnya siapa dia.
Tapi dari suaranya yang tajam menusuk telinga itu, wajahnya yang mengejutkan orang pun dapat dibayangkan. Sebab itulah Oh Put-jiu lantas berharap orang jangan menoleh agar tidak mengejutkan bila melihat wajahnya.
Terdengar Bok-long-kun berucap dengan suara berat, "Jika kau kenal aku, mengapa kamu tidak berdiri?"
Orang berkopiah mutiara tetap tertawa mengekek, katanya, "Sin-kun kan tamu yang tak diundang dan menerjang masuk kemari tanpa permisi, sebagai tuan rumah di sini tentu saja aku tidak perlu berdiri dan menyambut."
Gemerdep sinar mata Bok-long-kun, jengeknya, "Tapi mulai sekarang juga akulah tuan rumah di sini, lekas berdiri dan enyah saja!"
"Hehe, memang sudah lama kutahu Sin-kun bermaksud mengangkangi rumah ini dan aku pun bermaksud menyerahkannya padamu, cuma kukhawatir Sin-kun tidak berani tinggal di sini," ucap si kopiah mutiara.
"Haha, untuk pertama kalinya selama hidupku mendengar ucapan demikian,"
Bok-long-kun tergelak. "Bahwa di dunia ini ada tempat yang tidak berani kudiami, hah, sungguh lucu. Tapi boleh coba jelaskan apa alasanmu berkata demikian?"
Meski dia bergelak tertawa, namun suara tertawanya sangat berbeda ketika bicara dengan Pui Po-ji kemarin, orang lebih suka tuli telinganya daripada mendengar suaranya.
39 Koleksi Kang Zusi
"Soalnya rumah ini sudah kusanggupi dipinjam oleh seseorang," tutur si kopiah mutiara, "yaitu sebagai pondoknya waktu menanti kedatangan kapal layar pancawarna. Dan orang itu jelas Sin-kun tidak berani merecokinya."
"Oo, siapa dia?" tanya Bok-long-kun.
Sekata demi sekata si kopiah mutiara menjawab, "Dia bukan lain ialah Cui ...."
Belum lanjut ucapannya, seketika wajah Bok-long-kun yang kaku itu menampilkan perubahan aneh, seakan-akan alis, mata, telinga dan hidung sama bergeser tempat.
"Cui Thian-ki ... kembali Cui Thian-ki!" teriak Bok-long-kun dengan parau. "Jika kepergok olehku, tentu kulit badannya yang halus dan dagingnya yang putih itu akan kusayat secuil demi secuil ...."
"Apa betul!?" mendadak si kopiah mutiara berpaling dengan terkekeh.
Sebenarnya Oh Put-jiu tidak mau melihat wajahnya, tapi tidak tahan oleh rasa ingin tahu sehingga urung ia memandangnya, terlihatlah mukanya kuning pucat dan kurus tiada setitik daging pun sehingga tiada memperlihatkan sesuatu emosi, tampangnya itu lebih mirip tengkorak belaka, sungguh sangat menakutkan.
Selama hidup Pui Po-ji tidak pernah melihat muka seram begini, hampir ia menjerit ketakutan.
Gemertuk gigi Bok-long-kun menahan gusar, jelas tidak kepalang rasa bencinya terhadap Cui Thian-ki, ucapnya gemas, "Jika Cui Thian-ki berani masuk ke rumah ini, boleh kau lihat saja cara bagaimana kumampuskan dia."
Waktu ia membuka tangan yang menggenggam, cawan arak yang dipegangnya tahu-tahu hancur menjadi bubuk.
Air muka si kopiah mutiara tetap tenang saja, ucapnya dengan tertawa, "Kungfu bagus, cuma sayang, anak buah Cui Thian-ki sendiri"!"
Serentak Bok-long-kun berdiri dan membentak, "Kurang ajar! Sesungguhnya kamu ini siapa" Dari mana kau tahu ...."
"Hehe, siapa aku ini, masa sampai sekarang tidak dapat kau terka?" ucap si kopiah mutiara dengan tertawa.
Tanpa bergerak tahu-tahu tubuhnya mengepung lurus ke atas sehingga atap rumah dijebol menjadi sebuah lubang, hanya sekali berkelebat saja sudah menghilang, sebagai gantinya mendadak beberapa larik sinar perak menyambar masuk dari lubang atap.
Betapa tinggi kepandaian Bok-long-kun ternyata juga sangat jeri terhadap beberapa larik benang perak yang halus itu, sama sekali tidak berani menangkis atau menangkapnya, apa lagi mengejar. Sekali bergerak, tahu-tahu ia menyurut mundur keluar pintu malah.
Terlihat beberapa larik benang perak jatuh di tanah dan lenyap dalam sekejap, kiranya cuma beberapa larik air yang disemprotkan dari bumbung serupa pompa.
Diam-diam Po-ji merasa heran, ia pikir senjata rahasia ini serupa bambu air, 40
Koleksi Kang Zusi
mainan anak kecil, mengapa Bok-long-kun sedemikian takut terhadap air begini"
Belum habis pikir, terlihat kulit binatang yang dibuat karpet itu mengeluarkan suara mendesis terkena air tadi, hanya dalam sekejap saja kulit binatang yang lebur itu lantas membusuk dan lenyap tanpa bekas. Bahkan lantai di bawahnya juga membusuk menjadi sebuah lubang, maka dapat dibayangkan betapa keras racun dalam air itu.
Begitu menyurut mundur tadi segera Bok-long-kun melayang balik lagi, ucapnya sambil mengentak kaki, "Dia, memang dia ...."
Mukanya yang kaku bisa juga berkerut-kerut, suatu bukti betapa rasa gemasnya.
Terdengar dari jauh berkumandang suara tertawa mengikik orang dan berkata,
"Hihi, aku duduk di depanmu, tapi tidak kau kenal, masih suka omong segala.
Tampaknya yang buta bukan aku melainkan kamu sendiri."
Suara tertawanya nyaring merdu, suaranya juga lembut menarik, sama sekali berbeda daripada suara nyaring mengilukan tadi.
Mendengar suara merdu begini, tanpa terasa Oh Put-jiu ingin lagi melihat wajah aslinya.
Bok-long-kun tahu sukar lagi menyusul orang, dengan melotot ia pandang Ci-si-liong Siu Thian-ce, bentaknya parau, "Kau tahu ... mengapa tidak kau katakan?"
"Kampung ini tadinya tempat berkumpul saudara-saudara kami," tutur Siu Thiance. "Tapi kemudian lantaran sering kapal layar pancawarna itu singgah ke sini, terpaksa kami pindah tempat berkumpul. Beberapa tahun terakhir ini, setiap orang Kangouw bila ada sesuatu permohonan kepada nakhoda kapal layar pancawarna. Pada musim seperti sekarang tentu datang menunggu di sini. Cayhe adalah bekas tuan rumah di sini, mau tak mau ingin memenuhi sekadar kewajiban sebagai tuan rumah terhadap para kesatria yang datang dari berbagai tempat."
"Sebab itulah isi rumah gubuk ini kuperbaiki agar cocok menjadi tempat memondok para tamu. Soal siapa-siapa yang datang dan apa maksud tujuannya selama ini aku tidak berani bertanya. Makanya kalau tamu tadi ternyata samaran Thian-ki Hujin, hal ini aku pun tidak tahu-menahu, harap Sin-kun jangan marah padaku."
Orang ini tidak malu menjadi pentolan bajak meski dalam hati merasa jeri, namun cara bicaranya tetap tenang dan lancar, berdirinya juga tegak.
Bok-long-kun mendengus dan duduk jauh di sebelah sana tanpa bersuara lagi, sekian lama kemudian, air mukanya berubah kaku lagi, lalu ia berkata sambil memberi tanda, "Keluar sana!"
Siu Thian-ce memberi hormat dan mengundurkan diri, waktu melewati bekas air tadi, ia berputar ke sebelahnya dan tidak berani menyentuhnya.
"Orang tadi seorang perempuan?" tanya Po-ji heran.
"Hm, dia perempuan hina dina yang paling keji dan cabul di dunia ini," jengek Bok-long-kun. "Maka lain kali bila kau lihat dia hendaknya menyingkir saja sejauhnya."
41 Koleksi Kang Zusi
Selang sejenak ia berkata pula, "Perempuan hina ini memang mahir merias muka dan tidak ada tandingannya di dunia, setiap saat ia dapat berubah menjadi pelayan restoran, kusir kereta atau kakek pencari rumput, bisa jadi saudagar bahkan menjadi orang yang paling dekat denganmu tanpa kau curigai, maka setiap saat perlu waspada terhadap kelicikannya, sedikit meleng dan jatuh di tangannya, mungkin ingin mati pun sukar."
Ucapan ini keluar dari wajahnya yang kaku dingin sehingga menambah rasa seramnya, tanpa terasa Po-ji juga merinding.
Pada saat itulah di luar jendela tiba-tiba bergema suara tertawa nyaring merdu, suara lembut seorang perempuan berkata dengan tertawa, "Anak sayang, jangan kau percaya ocehannya. Ia sendirilah manusia paling keji, paling tidak tahu malu
...." Belum lanjut ucapannya, Bok-long-kun berteriak murka terus menerjang keluar jendela serupa sebatang tombak ditimpukkan dengan kuat, cepatnya luar biasa.
Siapa tahu baru saja bayangannya menerobos keluar jendela, tahu-tahu bayangan orang-orang menyelinap masuk malah.
Gerak bayangan orang ini sungguh sukar dilukiskan cepatnya sehingga sukar terlihat jelas bentuk tubuh dan wajahnya.
Kaget juga Oh Put-jiu, bentaknya, "Hai ...."
Namun pendatang ini tidak memberi kesempatan bicara padanya, baru saja ia bersuara begitu, tahu-tahu orang sudah menerjang tiba.
Tentu saja Oh Put-jiu terkejut, namun tidak sempat menghindar lagi. Siapa tahu bayangan orang itu berhenti tepat beberapa senti di depannya, lalu tangan bergerak secepat kilat, sekaligus ia tutuk tiga Hiat-to penting di dada Oh Put-jiu.
Belum lagi tubuh Oh Put-jiu roboh, sekali raih, bayangan orang itu telah merangkul Po-ji, tangan lain bekerja lagi, beberapa Hiat-to anak itu ditutuknya, berbareng kakinya tetap bekerja cepat dan melayang keluar jendela yang lain.
Waktu Put-jiu roboh, bayangan orang itu pun sudah lenyap, betapa cepat sungguh serupa hantu layaknya. Sungguh dengar saja Put-jiu tidak pernah ada Ginkang setinggi ini, begitu saja ia saksikan Po-ji dibawa lari, meski khawatir dan cemas, namun tidak berdaya.
Dan begitu bayangan itu melayang keluar jendela, sebelah tangan lantas terayun dan setitik cahaya perak menyambar cepat ke depan memecah angkasa, ia sendiri segera mendekam di bawah jendela dan tidak bergerak sedikit pun.
Tentu saja Po-ji terheran-heran, "Aneh, mengapa orang ini tidak kabur, sebaliknya malah ...."
Pada saat yang hampir sama didengarnya suara bentakan murka di dalam rumah, lalu Bok-long-kun memburu keluar lagi, "brrr", ia melayang lewat di atas kepala mereka dan mengejar ke arah cahaya perak tadi tanpa memandang ke kaki jendela.
Dan baru saja bayangan Bok-long-kun menghilang di kejauhan sana, bayangan orang ini lantas melompat ke atap rumah dengan membawa Pui Po-ji.
42 Koleksi Kang Zusi
Baru sekarang Po-ji tahu duduknya perkara, agaknya dengan akal yang sama orang ini tadi pun dapat mengingusi Bok-long-kun yang mengejar lurus ke depan, padahal orang ini bersembunyi di bawah jendela dan segera melompat pula masuk ke dalam rumah.
Terdengar orang ini berbisik lirih padanya, "Anak sayang, lihatlah cara bibi mempermainkan patung tolol itu, menarik bukan?"
Suaranya halus merdu laksana kicau burung kenari di lembah sunyi.
Meski kecil usia Po-ji, tidak urung tergiur juga perasaannya oleh suara orang, tapi ketika ia buka mata dan melihat orang ini bukan lain daripada si kopiah mutiara yang bermuka buruk, cepat ia pejamkan mata dan tidak ingin memandangnya lagi.
Terasa sekujur badan sendiri lemas lunglai tanpa bertenaga, sampai bicara pun tidak sanggup, rasanya sangat berbeda daripada waktu Hiat-to tertutuk kemarin.
Tiba-tiba terdengar suara suitan, dalam sekejap saja Bok-long-kun sudah melayang tiba pula di tengah suitannya, ia mendobrak jendela gubuk yang lain dan menerjang ke dalam.
Terdengar jeritan kaget orang perempuan dan Bok-long-kun lantas melompat keluar lagi melalui jendela sisi lain. Dan begitulah ia masuk dari timur dan keluar melalui barat, hanya sebentar saja setiap gubuk itu telah digeledah seluruhnya, pintu dan jendela didobrak dan membuat penghuninya menjerit kaget dan takut.
Sama sekali tak terduga olehnya bahwa orang yang dicarinya justru menongkrong di atap rumah.
Setelah mencari kian kemari tidak bertemu, dengan gusar ia kembali ke gubuk tadi tanpa memandang ke atas rumah. Dan begitu ia masuk ke dalam gubuk itu, segera terdengar suara gedubrakan, agaknya saking tidak terlampias rasa gemasnya Bok-long-kun menghancurleburkan berbagai perabot di dalam rumah.
Pada saat itulah si kopiah mutiara telah membawa Po-ji melompat ke bawah rumah, langkahnya berubah sangat lambat, selangkah demi selangkah tanpa mengunjuk rasa terburu-buru sedikit pun.
Kembali Po-ji merasa heran, "Apa maksudnya?"
Setelah dipikir lagi segera ia paham duduknya perkara, "Ah, betul, ia sengaja berjalan dengan lambat supaya tidak menimbulkan suara, dengan begitu takkan diketahui Bok-long-kun karena sama sekali takkan menduga lawan berani berjalan di luar rumahnya."
Dia memang anak pintar dan sangat cerdik, setelah dipikir lagi, ia merasa akal Cui Thian-ki ini memang lain daripada yang lain, apa pun yang diperbuatnya selalu jauh di luar dugaan orang.
Setelah agak jauh, langkah si kopiah mutiara alis Cui Thian-ki makin dipercepat, sampai akhirnya Po-ji merasa angin mendesir di tepi telinga, dirinya serupa melayang-layang di udara.
Setelah berlari sekian lama barulah Cui Thian-ki berhenti, terlihat sekitar hanya batu karang belaka, ombak mendebur di bawah karang, tempat ini entah berjarak berapa jauhnya dengan kampung nelayan tadi.
43 Koleksi Kang Zusi
Cui Thian-ki menepuk badan Po-ji dan membuka Hiat-to yang ditutuknya, katanya dengan tertawa, "Anak sayang, marilah kita mengadakan persetujuan kesatria, asalkan kamu tidak lari, maka Hiat-tomu juga takkan kututuk, setuju?"
"Toh aku tidak bakalan lolos, untuk apa kukabur?" teriak Po-ji.
Cui Thian-ki meraba punggungnya dan berkata lembut, "Anak pintar, apakah kamu sedih setelah kurebut dirimu dari gurumu itu?"
"Hm, kenapa sedih?" jengek Po-ji. "Jika selama hidupku ini takkan melihatnya lagi, bukannya sedih, aku justru sangat gembira ...."
Mendadak teringat olehnya Oh Put-jiu yang masih dalam cengkeraman Bok-long-kun itu, mau tak mau ia merasa khawatir, juga teringat sebabnya perempuan siluman ini merampas dirinya, tentu tidak baik maksudnya dan mungkin dirinya tidak dapat pulang lagi ke rumah. Apa lagi bila teringat ucapan Bok-long-kun tadi yang menyatakan ingin mati pun tidak bisa bila jatuh dalam cengkeraman perempuan ini.
Betapa pun dia masih anak kecil, maka segala macam perasaannya mudah tertampil pada wajahnya.
Dengan tertawa Cui Thian-ki lantas berkata, "Anak sayang, kau bilang tidak sedih, namun dalam hati jelas kamu sedih sekali, betul tidak" Masa kamu dapat mengelabui pandangan bibi?"
Po-ji tidak ingin membantah, ia cuma melengos dan memejamkan mata.
Dirasakan tangan Cui Thian-ki masih terus meraba-raba pada tubuhnya, bagian yang diraba dirasakan enak seakan-akan pada tangan perempuan itu ada kekuatan gaib yang aneh. Apabila Po-ji bukan anak kecil tentu dia takkan tahan oleh belaian maut itu.
Dengan suara lembut Cui Thian-ki berkata pula, "Mestika sayang, jangan takut, juga jangan gelisah, selang satu dua hari lagi tentu bibi akan mengantarmu pulang."
Perlahan ia peluk Po-ji ke dalam pangkuannya, keruan anak itu merasakan tubuhnya yang lunak dan enak, membuat orang merasa berat untuk berpisah.
Asalkan ia memejamkan mata, segera terlupa wajah orang yang buruk dan seram, sebaliknya terasa lembut, hangat menyenangkan.
Tiba-tiba Cui Thian-ki menghela napas perlahan, katanya, "Semoga si patung mau menerima syaratku itu, kalau tidak ... ai, anak pintar dan menyenangkan seperti dirimu ini, mana kusampai hati membunuhmu."
Po-ji lantas melompat bangun dan berteriak, "Memangnya aku hendak kau gunakan sebagai sandera untuk memaksakan sesuatu urusan terhadap Bok-long-kun?"
"Hah, kamu memang pintar, tepat dugaanmu ...."
"Jika demikian, jelas engkau salah besar," seru Po-ji dengan tertawa. "Sebab biarpun aku kau cencang juga Bok-long-kun takkan sedih sedikit pun."
"Oo, apa betul?" Cui Thian-ki menegas dengan tertawa.
44 Koleksi Kang Zusi
"Kenapa tidak betul. Aku dan dia bukan sanak kadang, sepanjang jalan malahan banyak kubikin susah padanya, mana dia mau memenuhi syaratmu untuk membela diriku. Jika engkau tidak percaya, boleh saja coba dulu."
Ia bicara dengan mata tetap terpejam rapat dan tidak mau memandangnya.
"Anak bodoh," ujar Cui Thian-ki dengan tertawa. "Umpama betul perkataanmu kan tidak perlu kau beri tahukan padaku. Jika kurasakan kamu sudah tidak berguna lagi bagiku, kan bisa segera kubunuhmu?"
Po-ji melenggong, diam-diam ia mengakui kebenaran ucapan orang, padahal pikirannya seharusnya dirahasiakan, mengapa malah dikatakan terus terang padanya, meski merasa jemu padanya, tapi isi hatiku kukatakan begitu saja padanya.
Tanpa terasa ia membuka mata, tapi cuma sekejap terlihat wajahnya yang seram itu, segera ia pejamkan mata lagi.
"Kamu tidak berani memandangku, apakah merasa mukaku terlampau buruk?"
tanya Cui Thian-ki dengan tertawa.
"Yaa, lebih buruk daripada setan," kata Po-ji.
Cui Thian-ki tertawa nyaring merdu, sejenak kemudian ia berkata, "Coba sekarang boleh kau lihat pula."
"Tidak, tidak mau," jawab Po-ji. Walaupun begitu ucapnya, tidak urung perlahan ia buka matanya dan mengintip, dan sekali pandang matanya tidak terpejam lagi.
Ternyata yang berada di depan mata sekarang bukan lagi makhluk yang bermuka buruk seperti setan dan menakutkan itu, melainkan seorang perempuan mahacantik dengan kerlingan mata yang menggiurkan, senyumnya yang manis menawan itu dapat membuat orang semaput bila melihatnya.
Selama hidup Po-ji tidak pernah terbayang akan melihat perempuan secantik ini, meski banyak Po-ji membaca, sukar juga baginya untuk menemukan istilah yang tepat untuk melukiskan wajah cantiknya.
Meski usia Po-ji masih muda belia, tidak urung terkesima juga menghadapi wajah secantik ini.
"Anak sayang, cantik bukan bibimu ini?" tanya Cui Thian-ki dengan senyum lembut.
Po-ji menghela napas, katanya, "Sering kubaca istilah-istilah yang melukiskan betapa cantiknya seorang perempuan, kukira semua ungkapan itu cuma khayalan belaka, setelah melihatmu sekarang baru kupercaya memang benar ada perempuan secantik bidadari."
"Benar kau anggap aku sangat cantik?" Cui Thian-ki menegas.
"Ya, anak kecil serupa diriku saja silau melihatmu, apa lagi lelaki muda, mustahil tidak tergila-gila padamu, sekalipun engkau menyuruhnya membunuh orang tentu takkan mereka tolak," kata Po-ji. "Maka baru sekarang juga kutahu arti istilah yang pernah kubaca dalam kitab kuno."
"Istilah apa?" tanya Cui Thian-ki tertawa.
45 Koleksi Kang Zusi
"Yaitu, perempuan diibaratkan sebagai sumber bencana, dan kukira memang tepat," kata Po-ji.
"Hehe, kamu masih kecil, urusan yang kau pahami ternyata tidak sedikit," kata Cui Thian-ki dengan tertawa. "Sungguh sangat menyenangkan bicara dengan anak kecil serupa dirimu ini daripada kaum lelaki busuk."
Bicara sampai di sini, mendadak ia menjerit sambil memegang erat tangan Po-ji, mata pun terbelalak memandang lantai, muka pucat serupa melihat setan.
Tentu saja Po-ji kaget dan heran, waktu ia memandang ke arah sana, terlihat seekor tikus kecil mendekam di lantai seakan-akan juga sedang mengincar perempuan itu.
Saking ngeri dan ketakutan, sehingga Cui Thian-ki tidak sanggup bicara lancar lagi, "Ti ... tikus ...."
Nyata mesti ilmu silatnya sangat tinggi, betapa pun dia tetap orang perempuan.
Pada umumnya sembilan di antara sepuluh orang perempuan pasti takut terhadap tikus.
Po-ji lantas melangkah maju dan mengentak kaki sambil mendesis, "Ssst, tikus sialan, lekas pergi ...."
Namun tikus itu justru tidak bergerak sama sekali, karena tidak ada batu, terpaksa Po-ji mencopot sebelah sepatu dan melompat maju untuk mengusir tikus itu.
Karena itulah tikus putih itu berbunyi kaget dan lari.
Cui Thian-ki menghela napas panjang sambil tepuk-tepuk dadanya, katanya, "Ai, sungguh menakutkan .... Anak sayang, syukur kamu tidak takut tikus."
Po-ji memakai lagi sepatunya dan berucap, "Sebenarnya aku pun takut."
"Habis, ken ... kenapa ...." Cui Thian-ki terheran-heran.
Dengan lagak pahlawan Po-ji menukas, "Seorang lelaki kan wajib membela orang perempuan. Kulihat engkau ketakutan, aku jadi lupa pada rasa takut sendiri."
"Oo, mestikaku sayang ...." Seru Cui Thian-ki dengan tertawa, mendadak ia angkat Po-ji dan "ngok", diciumnya sekali pipi anak itu.
Seketika muka Po-ji merah jengah, teriaknya, "Hei, lepas ... antara lelaki dan perempuan tidak boleh bersentuhan."
"Ah, kamu kan masih anak kecil," kata Cui Thian-ki dengan tertawa terkial-kial bagai tangkai bunga kehujanan.
Dengan sikap serius Po-ji berucap, "Meski kita berbeda usia, namun engkau tetap orang perempuan dan aku orang lelaki. Menurut ajaran nabi, antara lelaki dan perempuan tetap ada perbedaannya, kecuali suami istri, siapa pun tidak boleh melanggar peraturan ini."
"Oo, kalau begitu, bolehlah kau jadi suami kecilku saja," ucap Cui Thian-ki 46
Koleksi Kang Zusi
dengan tertawa. "Tadi kamu sudah mengusirkan tikus bagiku dan menyelamatkan jiwaku, pantas juga bila kujadi istrimu."
Po-ji terdekap dalam pelukan Cui Thian-ki, ingin meronta sukar terlepas, mukanya menjadi merah, diam-diam ia pikir, "Jika kamu boleh bercanda padaku, kenapa aku tidak?"
Berpikir begitu, mendadak ia pun merangkul erat Cui Thian-ki, bukan dicium lagi, tapi hidung orang digigitnya sekali.
Karena kesakitan, Cui Thian-ki mengendurkan pelukannya, omelnya sambil meraba hidung, "Hei, kau ... kau berani ...."
"Hihi, itulah hadiah suami cilik terhadap istriku," kata Po-ji dengan tertawa. "Dan sekarang hendaknya istri ikut pergi bersama suami ...."
"Ke mana?" tanya Cui Thian-ki dengan tertawa geli.
Dengan lagak seorang suami kereng Po-ji berucap, "Kata nabi, menjadi istri ayam harus ikut ayam, menjadi istri anjing harus tunduk kepada anjing. Ke mana pergi sang suami, ke sana pula si istri harus ikut."
Mendadak Cui Thian-ki berhenti tertawa, dengan serius ia berkata, "Tidak sedikit kamu membaca, masa tidak tahu ada lagi ajaran nabi?"
"Ajaran bagaimana?" tanya Po-ji.
"Menjadi suami ayam harus ikut ayam, menjadi suami anjing harus tunduk pada anjing," kata Thian-ki.
"Hah, mana ada ajaran begitu?" Po-ji melenggong.
"Ada saja, terbukti dalam berbagai kitab kuno, boleh kau baca ulang."
Kembali Po-ji melongo, tanyanya pula, "Dalam kitab apa" Karangan siapa?"
"Karangan istri Khonghucu ...."
Belum lanjut ucapannya, ia sudah tertawa terpingkal-pingkal dan menungging.
Po-ji juga tertawa geli dan memegang perut, entah berapa lama mereka tertawa.
"Sudah lama sekali aku tidak pernah segembira ini," ucap Cui Thian-ki kemudian.
"Sayang sekarang aku harus bekerja dan tidak dapat menemanimu di sini."
"Apakah engkau hendak mencari perkara kepada Bok-long-kun itu?" tanya Po-ji.
"Betul, boleh kau tunggu di sini, jangan kabur ya?" ucap Thian-ki tertawa.
"Entah, sukar kujamin," kata Po-ji sambil berkedip-kedip.
"Jika begitu, boleh kau tidur saja," ucap Thian-ki dengan lembut, perlahan ia tutuk Hiat-to tidur anak itu dan menaruhnya di tempat yang teraling dari tiupan angin, kancing bajunya dibetulnya, kelakuannya itu serupa seorang istri yang penuh kasih sayang.
"Suami kecil sayang, tidur yang nyenyak, segera kukembali," kata Thian-ki 47
Koleksi Kang Zusi
dengan lembut. Melihat wajah Po-ji yang merah serupa apel itu, tanpa terasa ia "ngok" sekali lagi pipi anak itu, lalu ia usap muka sendiri sehingga wajahnya berubah buruk dan seram pula, lalu berlari pergi secepat terbang.
Dan baru saja bayangan Cui Thian-ki menghilang di kejauhan, mendadak dari balik batu karang yang aneh, dari dalam sebuah gua tersembunyi melompat keluar dua anak perempuan.
Kedua gadis ini berbaju merah dan putih, yang seorang ramping, yang lain agak gemuk, namun semuanya berkulit badan putih bersih laksana batu kemala, mata jeli dan jernih, keduanya sama cantik sekali, usia mereka antara 17-18 tahun.
"Kungfu perempuan tadi sungguh tidak lemah, bila kita kepergok olehnya, sungguh sukar menandingi dia," kata si gadis baju merah.
"Ya, waktu kamu bergerak tadi, sungguh aku sangat khawatir," ujar si baju putih dengan tertawa. "Tampaknya perempuan tadi sedemikian cerdik, sedikit suara saja tentu jejak kita akan ketahuan."
Si gadis baju merah tertawa, "Untung kau tangkap tikus putih tadi dan kau lepaskan pada waktunya sehingga kita bebas dari kesukaran."
Si nona baju putih juga tertawa geli, katanya, "Tak tersangka perempuan tadi sedemikian takut pada tikus. Kalau tidak, pasti jejak kita akan diketahuinya."
Kedua nona itu selalu belum bicara sudah tertawa lebih dulu, malahan tertawa dengan sangat manis, sikap mereka begitu menarik dan menggiurkan, lincah dan gembira, seperti sama sekali tidak kenal duka nestapa di dunia ini.
Si gadis baju merah berjongkok, perlahan ia membelai rambut Pui Po-ji, katanya dengan tertawa, "Anak ini sangat pintar dan cerdik, sungguh sangat menyenangkan."
"Eh, jangan-jangan kamu juga ingin mengambil dia sebagai suami kecilmu?" ucap si gadis baju putih dengan tertawa.
"Huh, budak mampus, kau sendiri yang kepingin barangkali ...." omel si baju merah.
"Bicara sesungguhnya, sungguh ingin kubawa pulang anak ini," ujar si baju putih.
"Nah, apa katamu tadi," seru si baju merah sambil berkeplok tertawa. "Kan betul, jelas kau sendiri ingin mencari suami kecil, tapi menuduh orang lain."
Si gadis baju putih mengomel dengan tertawa, "Memangnya aku serupa dirimu, segala apa hanya memikirkan diri sendiri. Kupikir ... karena anak ini sangat pintar, kurasa akan sangat cocok dijadikan teman main Siaukongcu (putri cilik) kita."
"Aha, gagasan bagus," seru si baju merah sambil berkeplok. "Kecerdikan anak ini memang benar suatu pasangan dengan Siaukongcu kita."
"Memang," tukas si baju putih dengan tertawa. "Sepanjang hari Siaukongcu selalu menggerutu kesepian, tidak punya kawan bermain. Jika anak ini kita bawa pulang, tentu kita kan banyak lebih tenang dan tidak perlu diributi oleh 48
Koleksi Kang Zusi
Siaukongcu."
"Cuma ... bila kita membawa lari suami kecil orang, bukankah kita akan dibenci setengah mati bila orang pulang dan kehilangan suami kecilnya?"
"Peduli amat, tugas kita kan sudah selesai, asal diam-diam kita bawa pulang anak ini, siapa yang tahu?" ujar si baju putih. "Wah, jika kedua anak ini berkumpul, entah betapa banyak kejadian lucu yang akan mereka lakukan. Akhir-akhir ini Loyacu (tuan besar) suka marah-marah, tapi bila melihat anak yang menyenangkan ini kuyakin beliau takkan marah lagi."
Begitulah kedua gadis itu bicara ceriwis seperti burung berkicau, makin bicara makin senang. Akhirnya si baju merah berkata, "Baik, mari kita kerjakan."
Tanpa ragu ia terus mengangkat Pui Po-ji yang tertidur nyenyak itu.
"Apakah tidak perlu membuka Hiat-tonya dulu?" tanya si gadis baju putih.
"Tidak perlu," si baju merah menggoyang kepala dengan tertawa. "Biarkan dia tidur saja, bila ia mendusin dan merasakan dirinya berada di tempat serupa surga, tentu akan terjadi hal-hal yang lucu."
"Ah, kamu memang suka mempermainkan orang ...." Si baju putih tertawa mengikik. "Ayo berangkat!"
Begitulah dua sosok bayangan merah dan putih lantas melayang turun ke bawah karang secepat burung terbang. Gerak tubuh mereka ringan, gesit dan cepat, tampaknya sama sekali berbeda dengan Ginkang dunia persilatan umumnya.
Di bawah karang sana, di tempat yang sepi dan tersembunyi tertambat sebuah perahu yang terbuat dengan sangat indah dan kukuh, sedang terombang-ambing dibuai ombak ....
***** Entah berselang berapa lama, waktu Pui Po-ji mendusin, tahu-tahu ia merasakan tempatnya berbaring bukan lagi batu karang keras dan dingin itu, melainkan di tempat tidur dengan kasur yang empuk dan berbau harum.
Terlihat sekeliling tempat tidurnya bergantung kelambu bersulam indah, di sekitar tempat tidur berdiri tujuh atau delapan gadis berbaju sutera secantik bidadari, semuanya tersenyum manis ....
Po-ji menyangka dirinya sedang mimpi, ia coba menggigit bibir sendiri dan terasa sakit, jelas bukan mimpi. Cepat ia melompat turun tempat tidur dan kucek-kucek mata sendiri.
Sungguh ia tidak percaya kepada apa yang dilihatnya adalah keadaan sesungguhnya.
Melihat kelakuan anak itu, kawanan gadis jelita itu sama tertawa geli.
Dengan mata terbelalak lebar Po-ji bertanya, "Tempat ... tempat apakah ini?"
Salah seorang gadis jelita yang berbaju putih tampak paling riang tertawanya, 49
Koleksi Kang Zusi
biji matanya berputar dan menjawab, "Coba kau lihat, tempat ini serupa apa?"
Telinga gadis itu memakai anting-anting keleningan emas kecil, maka begitu tertawa lantas menimbulkan suara dering nyaring.
Jilid 3. Misteri Kapal Layar Pancawarna
Setelah celingukan sejenak baru diketahui Po-ji bahwa tempat tidur ini sangat mewah, bahkan seluruh isi ruangan yang tidak terlalu besar ini semuanya serbaindah dan serasi.
Kakek luar Po-ji, yaitu Pek Sam-kong, merupakan pemimpin dunia persilatan wilayah Soatang dan terkenal kaya raya, sejak kecil Po-ji hidup di tengah keluarga terkemuka yang serbamewah.
Tapi bila kemewahan keluarga Pek dibandingkan tempat ini, rasanya sukar disebutkan berapa kali selisihnya. Po-ji memandang kian kemari dengan melongo dan terbelalak.
"Ayo katakan, di sini mirip tempat apa?" seru si gadis baju putih dengan tertawa.
Po-ji menghela napas, ucapnya, "Ai, dari mana kutahu tempat apa ini, rasanya aku berada di surga, berada di tengah kawanan bidadari serupa Cici sekalian!"
"Haha, masa kami secantik bidadari?" tanya kawanan gadis itu dengan tergelak.
"Meski aku tidak beruntung melihat bidadari dari kahyangan, tapi kutahu para Cici sangat cantik dan hidup bebas tanpa duka, jelas sukar dibandingi orang cantik di dunia ini."
Melihat cara bicara Po-ji serupa orang dewasa, meski merasa geli, senang juga kawanan gadis itu. Berputar biji mata si nona baju putih, katanya dengan tertawa, "Eh, bagaimana bila kami dibandingkan binimu yang besar itu?"
Ia gunakan istilah "bini besar" untuk padanan "suami kecil", ia sendiri tidak tahan rasa geli dan tertawa terpingkal-pingkal.
"Dari ... dari mana kalian tahu?" tanya Po-ji dengan melenggong.
"Jika kami dewa dari kahyangan, tentu saja segala apa kami tahu," kata si baju putih.
Pada saat itulah, tiba-tiba dari luar berkumandang suara orang memanggil, "Hei kelening kecil, lekas gosokkan tinta bagiku, kalau tidak cepat bisa kumarah!"
Suaranya merdu dan renyah, serupa kicau burung.
Si gadis baju putih menggerundel, "Ai, Siaukongcu memang bikin repot melulu, setiap saat minta ditemani orang. Untung sekarang sudah kudapatkan tenaga serep, sedikitnya aku dapat istirahat."
Dari suara keleningan kecil pada anting-anting si baju putih, Po-ji tahu nona inilah yang bernama "si kelening kecil", diam-diam ia merasa geli juga.
50 Koleksi Kang Zusi
Ling-ji atau si kelening kecil lantas memegang tangan Po-ji, katanya dengan lembut, "Akan kubawamu menemui seorang Siaukongcu yang mirip bidadari dan akan kuminta dia menemanimu, mau?"
Po-ji menggeleng kepala, katanya, "Biarpun benar di sini adalah Surgaloka juga aku akan pulang, aku tidak ingin bertemu dengan Siaukongcu apa segala, hendaknya Cici lekas mengantarku pulang saja."
Ling-ji tertawa ngikik dan berseloroh, "Hihi, tentu kau ingin mencari bini besarmu bukan?"
Dengan muka merah Po-ji menjawab, "Sia ... siapa yang ingin menemuinya" Aku
...." "Jika tidak ingin menemui dia, maka tinggal saja di sini," ucap Ling-ji dengan lembut. "Asal sekali kau lihat Siaukongcu kami, kuyakin biarpun diusir pun kau takkan mau pergi lagi."
"Aku ... aku ...."
Tanpa memberi kesempatan bicara lagi, beramai-ramai kawanan gadis itu lantas menariknya keluar ruangan itu.
Di luar adalah jalan serambi yang panjang, kedua tepi ada beberapa buah pintu.
Dengan perlahan si gadis baju hijau meraba kepala Po-ji dan berkata, "Temani saja Siaukongcu dengan baik, kalau tidak, bisa kami antar dirimu ke ujung langit yang jauh sana sehingga selamanya kau tak bisa pulang."
Keruan Po-ji melonjak kaget, pikirnya, "Wah, kawanan gadis ini tampaknya cantik lagi lemah lembut, siapa tahu semuanya juga bukan manusia baik-baik, aku hendak dijadikan kacung Siaukongcu mereka, tapi mereka terus omong muluk-muluk seolah-olah aku tidak tahu."
Waktu ia dibawa lari Cui Thian-ki, meski merasa kesal, tapi kemudian ada harapan untuk pulang, siapa tahu sekarang tanpa diketahui apa yang terjadi dan tahu-tahu sudah berada di tempat aneh dan misterius ini, jalan untuk pulang pun sukar ditemukan, apa lagi kapal layar pancawarna dan jago pedang nomor satu apa segala, semuanya tak terlihat.
Ia lantas teringat kepada kakek luar dan paman kepala besar, walaupun khawatir, namun urusan sudah kadung begini, terpaksa ia pasrah nasib.
Setelah berpikir, ia merasa geli malah, "Orang kuno baru pasrah nasib bila sudah berusia 50, umurku belum lagi 15, mengapa aku pun meniru pasrah nasib?"
Biarpun usianya masih muda belia, namun pikiran anak ini cukup terbuka, terhadap urusan apa pun ia bisa berpikir panjang, tidak mau mencari susah sendiri dan bersedih tanpa alasan.
Sementara itu kawanan anak gadis tadi telah membawanya ke depan pintu nomor satu di depan sana, si baju hijau membuka pintu, Ling-ji mendorong dari belakang, tanpa kuasa Po-ji menyelonong ke dalam.
Dilihatnya pepajangan di dalam rumah ini terlebih mewah lagi, sebuah meja marmer hijau terletak di tengah, di atas meja ada sebuah pot kemala putih dihiasi beberapa tangkai bunga kamelia.
51 Koleksi Kang Zusi
Di samping botol kemala terbentang kertas tulis warna hijau muda dan ada alat tulis seperti mopit, tempat tinta, ada lagi sebuah mangkuk kemala berisi air, mungkin tempat mencuci mopit setelah terpakai.
Seorang anak perempuan berumur 12-13 tahun dengan baju putih bersih duduk menyanding meja dengan bertopang dagu dan sedang melamun memandangi bunga kamelia pada pot kemala itu.
Po-ji coba memandang juga bunga kamelia pada pot kemala, dirasakan rangkaian bunga itu agak kacau tanpa teratur, tapi setelah dipandang lagi sejenak, makin dilihat makin terasa cara merangkai bunga itu sungguh sangat menakjubkan, besar kecilnya, posisinya, jaraknya, semuanya terangkai dengan sangat indah dan serasi.
Sama sekali Po-ji tidak menyangka merangkai bunga juga begini menakjubkan, saking pesona tanpa terasa ia bergumam, "Setelah melihat bunga ini barulah kutahu kebanyakan perangkai bunga cuma orang tolol belaka."


Misteri Kapal Layar Pancawarna Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Meski lirih suaranya, membuat terkejut juga Siaukongcu atau putri kecil itu, mendadak ia menoleh dan melototi Po-ji sejenak, katanya kemudian dengan melengak, "Kau ini barang ... barang apa?"
"Aku manusia, bukan barang," jawab Po-ji dengan menahan rasa dongkol.
Kembali Siaukongcu itu memandangnya sejenak, "Jika kau manusia, mengapa kau tidak serupa diriku, juga berdandan tidak keruan begini?"
Dongkol dan geli juga Po-ji, katanya, "Aku lelaki dan kau perempuan, dengan sendirinya berbeda."
Disangkanya putri kecil yang tampaknya pintar ini seorang idiot, karena itulah ia merasa kasihan padanya.
Putri cilik itu memandangnya lagi dengan terbelalak, katanya kemudian, "Ah, tidak benar, tidak cocok, jika kau lelaki, mengapa tidak berjenggot?"
Po-ji melenggong, jawabnya kemudian dengan tertawa, "Usiaku masih kecil, dengan sendirinya tidak berjenggot. Ai, masakah urusan begini saja kau tidak tahu?"
Siaukongcu itu melongo sejenak, lalu tertawa cerah dan berkata, "Oo, pahamlah aku. Kiranya lelaki yang berusia kecil tidak berjenggot, kalau sudah tua baru berjenggot, serupa halnya anak kecil yang tidak berambut, kalau sudah besar barulah rambut bertambah panjang."
Ia bicara dengan serius, seperti mengenai sesuatu urusan yang rumit dan merasa senang, karena dirinya dapat berpikir sejauh itu.
Melihat kelakuan orang, Po-ji terpingkal-pingkal sehingga pot bunga hampir tersambar jatuh, ucapnya sambil menuding putri kecil itu, "Ka ... kau ...."
"Kenapa geli?" omel putri kecil itu dengan mendelik. "Kulihat ayah berjenggot, dengan sendirinya kusangka setiap lelaki tentu berjenggot/"
Seketika Po-ji berhenti tertawa, tanyanya dengan heran, "Memangnya selama hidupmu ini tiada ... tiada lelaki lain yang kau lihat kecuali ayahmu?"
52 Koleksi Kang Zusi
"Ayahku adalah lelaki paling pintar, paling gagah, paling cakap, paling kaya di dunia ini, masakah kusudi melihat lelaki lain?" ucap putri kecil itu dengan sikap pongah, namun begitu sukar menutupi perasaan sunyi yang tertampil pada mata alisnya.
Po-ji menghela napas panjang, katanya, "Urusan ... urusan begini, masa selama ini tidak ada yang bercerita padamu?"
"Ayah melarang orang bicara padaku, aku pun tidak mau mendengarnya," ucap putri cilik itu.
Mendadak ia seperti ingat sesuatu, "Oya, selama ini tidak ada orang lelaki yang menerobos ke sini, kulupa tanya padamu, cara bagaimana kau masuk kemari?"
"Kau tanya padaku, lalu harus kutanya siapa?" jawab Po-ji sambil angkat pundak.
"Ketika aku bangun tidur, tahu-tahu aku sudah berada di sini."
Kedua mata Siaukongcu yang jeli itu berkedip-kedip, katanya pula, "Ah, tahulah aku, tentu waktu si kelening kecil dinas keluar, pulangnya kau dibawa kemari."
Meski ia tidak paham sama sekali urusan lelaki dan perempuan, namun caranya menduga sesuatu urusan ternyata lebih cerdik daripada orang tua, cepat lagi tepat, sama sekali tidak mirip seorang anak perempuan berumur belasan tahun.
Biji mata Po-ji berputar, sekilas dilihatnya tangkai bunga dalam pot tersentuh kacau oleh tangannya waktu tertawa sehingga karangan bunga yang indah itu tidak teratur lagi dengan baik, tentu saja ia merasa tidak enak hati, ia coba membetulkan karangan bunga itu.
Tak terduga, mendadak Siaukongcu itu sangat gusar, dampratnya sambil mengentak kaki, "Siapa yang menyuruhmu menyentuh bungaku dengan tanganmu yang kotor?"
Seluruh tangkai bunga dalam pot itu mendadak diangkatnya dan dibuang ke dalam baskom di sampingnya, lalu digosok dan dicuci, wajahnya yang ayu mendadak berubah penuh gusar dan benci.
Sayang bunga kamelia itu, banyak kelopak bunga yang rontok sehingga kehilangan bentaknya yang indah tadi.
"He, ada apa," seru Po-ji. "Bunga sebagus itu ...."
"Bunga yang tersentuh oleh tanganmu yang kotor harus kucuci bersih," ucap putri cilik itu dengan gusar.
"Umpama betul tanganku kotor, setelah ... setelah kau cuci, bukankah bunga yang segar dan indah itu akan rusak?"
"Sengaja kucuci bunga ini, peduli apa denganmu?" ucap putri kecil itu dengan ketus.
Po-ji melenggong, ucapnya, "Ai, tak tersangka engkau ini tidak pakai aturan ...."
Seketika putri kecil itu melompat bangun dan berdiri di depan Po-ji dengan bertolak pinggang, teriaknya dengan garang. "Siapa yang tidak pakai aturan"
Coba jawab, kenapa kau sentuh bungaku?"
53 Koleksi Kang Zusi
Siaukongcu dalam sikap seperti ini sungguh kelihatan galak, bawel dan judes, sama sekali berbeda dengan bentuknya yang lemah lembut dan menyenangkan tadi. Po-ji melenggong oleh perubahan sikap anak dara yang mendadak ini.
"Blang", mendadak putri kecil itu membanting pot kemala itu ke lantai, menyusul kertas tulis di atas meja juga dirobek-robek, lalu mengomel pula sambil mengentak kaki, "Dengan susah payah selama seharian suntuk baru selesai kurangkai bunga ini, selama ini belum pernah sebagus ini rangkaian bungaku, tapi ... tapi sekarang semuanya telah kau rusak, harus kau ganti ... harus kau ganti ...."
"Baik, akan ... akan kuganti," kata Po-ji.
Meski pada dasarnya Po-ji sendiri juga jail, menghadapi orang yang lebih tua daripada dia, segala apa dapat diperbuatnya. Tapi sekarang terhadap anak perempuan yang lebih kecil ini, ia benar-benar mati kutu dan tak berdaya, terpaksa ia menahan rasa dongkol dan bicara baik-baik mengikuti kehendak si nona cilik.
Siapa tahu putri cilik itu masih terus berteriak-teriak, "Kau mau ganti" Apa yang dapat kau ganti?"
Po-ji berpikir sejenak, ia merasa dirinya memang tidak sanggup merangkai bunga sebagus itu, akhirnya ia menghela napas menyesal dan berucap, "Ya, memang tidak dapat kuganti, lantas ... lantas bagaimana baiknya?"
Siaukongcu seperti mau menangis, matanya tambah basah merah, serunya,
"Takkan kuampunimu, selamanya tidak dapat kuampunimu, kecuali ... kecuali kau ...."
Mendengar masih ada jalan keluar lain, cepat Po-ji menukas, "Kecuali apa?"
"Jika kukatakan, apakah dapat kau terima?" tanya Siaukongcu.
"Untuk itu perlu lihat dulu urusan apa, jika ...."
Mendadak putri itu melonjak dan menangis sungguh-sungguh, teriaknya, "O, bangsat cilik, keparat cilik, jika tidak kau terima, akan kubeset kulitmu dan kubetot uratmu ...."
Selamanya Po-ji tidak pernah menghadapi anak perempuan yang ribut dan menangis seperti ini, keruan ia menjadi kelabakan, cepat katanya, "Baik, baik, kuterima."
"Tapi sekarang tidak bisa lagi cuma kau terima satu urusan melainkan harus sepuluh urusan, kalau tidak, tetap tidak dapat kuampuni," sambil bicara putri cilik itu masih terus menangis.
Tiada jalan lain terpaksa Po-ji menjawab, "Baik, sepuluh ya sepuluh."
"Kalau sudah terima tidak boleh menyesal dan ingkar janji," kata Siaukongcu.
"Tentu saja, seorang lelaki sejati tidak nanti ingkar janji," jawab Po-ji tegas.
"Kalau ingkar janji, lantas kau ini apa?"
54 Koleksi Kang Zusi
"Kalau ingkar janji, anggaplah aku bangsat cilik, binatang cilik."
Mendadak Siaukongcu tertawa ngikik, "Ai, anak bodoh, urusan begini mana boleh kau terima begitu saja" Jika kuminta kau potong hidung sendiri, coba bagaimana?"
Ia mengusap air matanya sehingga kelihatan mukanya yang manis dan menarik, kalau tidak melihat sendiri, siapa pun takkan percaya Siaukongcu yang cantik manis dan lemah lembut ini adalah putri kecil yang bersikap galak dan judes tadi.
Po-ji melongo juga oleh ucapan orang, pikirnya, "Benar juga, mana boleh sembarangan kuterima permintaannya" Ai, aku memang ... memang anak tolol."
Waktu ia dipanggil "anak bodoh" oleh Cui Thian-ki, meski ia pun terima lahir batin seperti sekarang. Tapi Cui Thian-ki adalah iblis perempuan yang sudah terkenal, sedang Siaukongcu ini cuma anak perempuan kecil, bahwa anak dara sekecil ini juga dapat membuat orang lain tak berdaya dan pusing kepala serupa seorang iblis perempuan termasyhur, kelak bila sudah dewasa kan terlebih hebat.
Dan sekarang entah kesepuluh pekerjaan aneh apa yang dirancangnya agar dikerjakan Po-ji. Makin dipikir makin cemas juga Po-ji, seketika ia berdiri melongo dan tidak sanggup bicara.
"Haha," anak dara itu tertawa, "dasar anak bodoh, masa dapat kusuruh kau potong hidung sendiri" Idih, darahnya mancur, betapa menakutkan, buat apa potong hidung?"
Bola matanya berputar beberapa kali, lalu katanya pula dengan perlahan, "Oya, belum pernah kulihat orang lelaki menangis. Nah, urusan pertama itu, boleh coba perlihatkan padaku cara bagaimana kau menangis."
Po-ji tambah melongo. Meski dia bukannya tidak pernah menangis, tapi sekarang mendadak diharuskan menangis, mana dia sanggup"
Siaukongcu menarik muka, omelnya, "Bagaimana, urusan pertama saja sudah kau ingkar?"
"Aku ... aku tidak dapat menangis," kata Po-ji.
"Sungguh tidak becus," ujar Siaukongcu. "Apa susahnya menangis" Kalau mau menangis segera aku menangis, ingin tertawa seketika aku tertawa. Ini kan pekerjaan teramat mudah?"
Dongkol dan juga geli Po-ji, tapi bila teringat anak dara ini memang dapat menangis dan tertawa sesukanya, diam-diam ia pun kagum. Terpaksa ia menghela napas dan mendekap mukanya serta menangis.
Namun apa pun juga sukar keluar air matanya, terpaksa ia colek sedikit air liur untuk membasahi pipi sendiri.
"Selama aku tidak bilang berhenti, kau harus terus menangis," ucap Siaukongcu.
Gemas juga Po-ji, terpaksa ia menggerung sekian lamanya dengan kering, meski air mata tetap tidak menitik, namun sekujur badan bermandi peluh.
"Hihi, tangis orang lelaki rupanya tidak mencucurkan air mata melainkan air keringat"!" Siaukongcu berolok-olok dengan tertawa. "Tapi, meski tangismu tidak 55
Koleksi Kang Zusi
mirip, namun kau banyak mengeluarkan tenaga. Baiklah, boleh berhenti."
Po-ji seperti mendapat pengampunan maharaja, ia duduk selonjor di kursi dengan napas terengah-engah.
Dengan mata berkedip-kedip Siaukongcu berkata pula, "Dan urusan kedua ...."
Begitulah anak dara itu terus memeras otak dan mengemukakan macam-macam soal agar dikerjakan Pui Po-ji. Sebentar ia suruh Po-ji berjumpalitan 50 kali, lain saat ia minta bocah itu merangkak kian kemari 30 kali, mendadak ia suruh Po-ji duduk selama dua jam dan dilarang bergerak sama sekali.
Po-ji benar-benar dikerjai hingga tenaga habis dan badan loyo, ia hanya dapat meringis belaka.
Ruangan itu tidak tembus sinar matahari sehingga tidak diketahui sudah berselang berapa lama, yang jelas sudah empat-lima kali orang mengantarkan nasi. Anak gadis yang mengantar santapan itu sama melirik Po-ji dengan tertawa geli.
Po-ji tidak dapat menerka sesungguhnya tempat apakah ini, terlebih tidak tahu ayah Siaukongcu ini tokoh macam apa, mengapa sejauh ini tidak datang menengok putri sendiri.
Untung juga akhirnya Siaukongcu itu juga bisa lelah, lalu ia merangkai bunga.
Kesempatan itu juga digunakan Po-ji untuk mengaso sembari menyaksikan nona cilik itu merangkai bunga.
Ketika putri cilik itu merasa puas akan rangkaian bunganya, tanpa terasa Po-ji juga berkeplok memuji, ia menjadi tertarik dan bertanya siapa yang mengajarkan seni merangkai bunga itu kepada si putri cilik.
Dengan bangga Siaukongcu bertutur, "Ada seorang sahabat ayahku, konon seorang kosen yang luar biasa di dunia ini, beberapa tahun yang lalu beliau berkunjung kemari, dengan berbagai daya upaya ayah menahannya tinggal di sini dan minta dia mengajarkan sedikit kepandaian kepadaku. Meski lebih sebulan dia tinggal di sini, namun aku cuma diajari seni merangkai bunga melulu, pagi merangkai bunga, petang juga mengarang bunga, rangkai sini dan karang sana, sungguh aku kesal sekali. Akan tetapi ayah justru sangat senang, katanya dalam seni merangkai bunga ini terdapat teori ilmu silat yang mahatinggi."
"Aku tidak percaya," kata Po-ji sambil menggeleng.
"Aku juga tidak percaya," tukas Siaukongcu dengan tertawa, "maka sengaja kutanya ayah. Siapa tahu ayah sendiri tidak dapat menjelaskan, sebaliknya aku dianjurkan lebih giat belajar merangkai bunga. Terpaksa setiap hari aku merangkai bunga pula. Meski sudah kurangkai sini dan karang sana, tetap sukar kupahami di mana dalil ilmu silat yang terkandung dalam seni mengarang bunga ini. Tapi lambat laun, tanpa terasa aku menjadi mencandu dan gemar merangkai bunga. Sebab pada akhirnya dapat kurasakan bahwa cara merangkai bunga ini tampaknya sangat sederhana, yang benar luas sekali pengetahuan yang terkandung di dalamnya."
"Ya, hal ini tadi pun sudah kurasakan," tukas Po-ji dengan gegetun. "Sama-sama beberapa tangkai bunga, karanganmu dan rangkaianku ternyata sangat berbeda, serupa ...."
56 Koleksi Kang Zusi
Ia bermaksud memberi suatu perumpamaan, akan tetapi sukar teringat seketika.
"Serupa halnya sebatang pedang, bahkan sejenis ilmu pedang yang sama, bilamana dimainkan seorang tokoh kelas tinggi tentu sangat berbeda dengan jago kelas rendahan."
"Ya, ya, betul, tepat," seru Po-ji sambil berkeplok tertawa.
Ia pandang putri kecil itu sejenak, lalu berkata pula, "Terkadang aku merasa heran, sesuatu urusan yang sederhana tidak dapat kau pahami, sebaliknya urusan yang ruwet dan mendalam justru banyak yang kau pahami."
"Apa betul?" ucap Siaukongcu dengan tertawa manis.
"Tampaknya ilmu silatmu pasti juga sangat mahir," ujar Po-ji.
"Tentu saja," kata si putri cilik seakan-akan paham ilmu silat adalah sesuatu yang biasa.
Selang sejenak, berkata pula, "Eh, mungkin kau ingin kuperlihatkan sejurus dua kepadamu."
"Tidak, tidak mau," sahut Po-ji dengan kening bekernyit.
Biasanya ia memang tidak suka ilmu silat, beberapa hari terakhir banyak dilihatnya pula bunuh-membunuh dan darah mengucur, tentu saja ia tambah jemu terhadap ilmu silat.
Mendadak Siaukongcu mendelik dan mengomel, "Kau tidak mau lihat, aku justru suruh kau lihat. Jika kau bilang ingin lihat, bisa jadi aku berbalik malas memperlihatkan padamu."
"Baik, aku mau, aku mau ...."
"Hihi, kau mau lihat, tentu saja memang harus kau lihat," ucap si nona cilik dengan terkikik.
Po-ji jadi melenggong sendiri, dengan apa boleh buat ia duduk sambil menghela napas tanpa berdaya.
Betapa pun ia bicara begini dan begitu, asalkan si nona cilik main putar sedikit dan ucapan Po-ji lantas terperangkap. Keruan ia tambah mendongkol, ia bersungut-sungut dengan mulut mencuat hingga cukup untuk dibuat gantungan botol.
"Hihi tampangmu waktu marah sangat lucu, selanjutnya pasti akan kucari akal untuk membuatmu marah setiap hari," kata Siaukongcu dengan tertawa.
Tambah sedih Po-ji mendengar ucapan itu, dilihatnya tubuh Siaukongcu yang kecil mungil itu mendadak berputar cepat, dengan ringan tahu-tahu mengapung meninggalkan lantai.
Bajunya yang putih bagai salju itu berkibar di udara serupa sayap kupu-kupu, kakinya yang bersepatu hias mutiara mendepak perlahan di udara, mendadak tubuhnya menurun ke tengah baskom.
Keruan Po-ji terkejut, baru saja ia hendak memburu maju untuk memegangi si 57
Koleksi Kang Zusi
nona, siapa tahu kaki si putri kecil telah menginjak kelopak bunga yang menongol di permukaan air baskom, berdiri dengan tenang dan mantap tanpa goyang sedikit pun.
Baskom penuh terisi air jernih, di dalam terendam bunga kamelia merah muda, di atas kelopak bunga berdiri Siaukongcu berbaju seputih salju, sungguh pemandangan yang indah mirip lukisan bidadari yang sedang bermain air.
Meski tidak suka ilmu silat, demi melihat gaya indah si nona serupa lukisan, mau tak mau Po-ji merasa takjub dan tanpa terasa bersorak memuji.
Sekali melayang, dengan ringan Siaukongcu turun kembali ke lantai, katanya dengan tertawa, "AH, ini belum apa-apa, hanya kungfu kasaran saja, setiap orang di rumahku baik besar maupun kecil sama mahir gerak ringan tubuh ini."
"Jika ku bilang kungfu kasaran, maka guru silat dunia kangouw yang biasanya sok anggap jagoan tentu harus malu diri," ucap Po-ji dengan gegetun.
"Oo, kiranya kau pun paham ilmu silat," kata Siaukongcu.
"Meski aku tidak paham ilmu silat, sedikitnya dapat kubedakan antara yang bagus dan jelek," kata Po-ji. "Apa lagi Gwakong (kakek luar), ayah dan ibuku juga ...."
Mestinya ia hendak bilang "juga tokoh dunia persilatan", tapi bila teringat usia si nona yang masih muda belia sudah memiliki kungfu setinggi ini, apa lagi ayahnya, entah betapa hebatnya, seketika Po-ji urung mengumpak kelihaian kakek dan orang tua sendiri.
Teringat ayah si nona entah tokoh lihai macam apa, Po-ji menjadi sedih akan nasib sendiri dan entah kapan baru dapat pulang ke rumah.
Melihat anak itu berdiri termenung, Siaukongcu lantas bertanya, "Ayah-ibumu bagaimana katamu tadi?"
Belum lagi Po-ji menjawab, sekonyong-konyong dirasakan seluruh rumah ini sama berguncang hebat sehingga Po-ji terjatuh, muka anak itu seketika berubah pucat.
"Jangan takut, anak bodoh," ucap Siaukongcu dengan tertawa. "Mari, kutarik dirimu."
Ia ulurkan tangannya yang putih halus dan menarik bangun Po-ji.
Tak terduga, begitu berdiri Po-ji terus merangkulnya dengan erat sambil berteriak, "Wah, celaka! Langit akan ambruk, lekas kita lari!"
Putri cilik itu tertawa ngikik, jawabnya, "Anak bodoh, siapa bilang langit mau ambruk" Ini tidak lain karena kapal yang kita tumpangi membentur tepian, masa kau takut?"
"Hah, kita ... kita berada di atas kapal?" Po-ji menegas dengan melenggong.
"Memangnya di mana kalau tidak di atas kapal?" jawab si nona cilik.
"Aneh, jika di atas kapal, mengapa sama sekali tidak kurasakan?" ujar Po-ji. "Bila kunaik kapal lain, selalu terasa pusing dan mabuk."
58 Koleksi Kang Zusi
Siaukongcu tertawa, katanya, "Maklumlah, kapal ini teramat besar. Kapal kecil bisa goyang, kapal besar takkan goyang .... Eh, maukah lepaskan tanganmu?"
Baru sekarang Po-ji menyadari anak dara itu masih didekapnya erat-erat, cepat ia lepas tangan, namun masih dirasakan hangat dan enak sekali.
"Antara lelaki dan perempuan tidak boleh berpegangan, kenapa kau rangkul diriku barusan?" tanya Siaukongcu dengan melotot.
Teguran demikian belum lama baru saja diucapkan Po-ji, siapa tahu sekarang ia sendiri juga ditegur orang, keruan mukanya menjadi merah dan serbakikuk.
"Ayo bicara, sebab apa?" tanya Siaukongcu pula dengan suara parau.
Po-ji menunduk dan menjawab, "Aku ... aku ...."
Ia merasa salah, namun sukar untuk menjawab, maka ia cuma gelisah, serbasusah dan hampir mencucurkan air mata.
Siapa tahu kembali Siaukongcu mengikik tawa, ucapnya dengan suara lembut,
"Jangan sedih, aku cuma main-main saja. Padahal aku sangat suka dipeluk olehmu, sungguh nikmat."
Mendadak ia merangkul leher Po-ji dengan kedua tangannya yang kecil dan putih halus, "ngok", perlahan ia cium pipi anak itu, lalu berlari ke sana dengan terkikik.
Memandangi baju si nona yang putih dan melambai ringan itu, hati Po-ji terasa manis dan juga rada kecut ... entah apa rasanya sesungguhnya, hanya dirasakan hal ini belum pernah dialaminya selama hidup ini, sungguh terasa lebih nikmat daripada apa pun.
Siaukongcu meliriknya sekejap, entah mengapa, mendadak mukanya berubah merah dan mengomel dengan mengentak kaki, "Kau jahat, aku ... aku tidak gubris lagi padamu ...."
Hati kedua bocah ini sedemikian suci murni, terhadap urusan laki perempuan seperti tidak paham, ingin bicara tapi urung. Keadaan demikian dan perasaan ini sungguh sukar untuk dilukiskan.
Siaukongcu lantas menunduk di pojok sana sambil memain ujung baju sendiri, sedangkan Po-ji berdiri di pojok lain sambil mendongak terkesima.
Keduanya sama-sama tidak bersuara, sampai lama dan lama sekali ....
Mendadak Siaukongcu berpaling dan menegur, "Hai, apakah kau bisu?"
Agaknya Po-ji lagi melamun sehingga tidak menjawab.
"Eh, janjimu padaku masih berapa kali yang belum kau kerjakan?" omel anak dara itu.
"Empat kali," sahut Po-ji.
Siaukongcu tertawa, "Kukira kau benar bisu, kiranya tidak. Eh, sesungguhnya apa yang lagi kau pikirkan?"
59 Koleksi Kang Zusi
Po-ji menggeleng kepala, "Tidak ... tidak dapat kukatakan."
"Harus, harus kau katakan, aku justru suruh kau bicara," desak Siaukongcu dengan muka merah.
"Kupikir ... kupikir jika kapal ini sudah menepi, tentu banyak permainan menarik di daratan sana," tutur Po-ji dengan tergegap. "Alangkah baiknya jika kau mau melihatnya."
Siaukongcu melengak, mendadak ia membelakangi Po-ji dan tidak menggubrisnya lagi. Sejenak kemudian perlahan ia menunduk, seperti menitikkan air mata.
Tanpa terasa Po-ji mendekatinya dan bertanya, "Eh, ken ... kenapa?"
Anak dara itu menggigit bibir dan mengentak kaki, serunya, "Enyah, lekas pergi!"
Po-ji merasa bingung, "Katakan padaku, sebab apa kau menangis?"
"Bangsat cilik, keparat busuk, tidak nanti kukatakan kepadamu," damprat anak dara itu dengan gemas. "Hm, kiranya tadi kau bukan lagi memikirkan diriku, apa pun takkan kukatakan padamu."
Ia bilang tidak mau mengatakan apa pun, padahal semuanya sudah ia katakan.
Ia marah dan menangis, sebab tadi ia lagi memikirkan Pui Po-ji, sebaliknya Po-ji cuma memikirkan permainan di daratan.
Po-ji menghela napas, katanya, "Siapa bilang aku tidak memikirkan dirimu" Aku justru senantiasa memikirkan dirimu, hampir gila kupikirkan dirimu."
"Betul?" dari menangis Siaukongcu berubah tertawa.
"Tentu saja betul," jawab Po-ji. Namun dalam batin ia mencela diri sendiri sekarang pun mulai suka dusta. Pikirnya, "Tidak lama aku keluyuran di luar, sekarang aku pun pintar berdusta. Ai, meski berdusta bukan perbuatan baik, tapi agar dia mau mendarat bersamaku hingga aku ada kesempatan melarikan diri, terpaksa harus kudustai dia satu kali. Apa lagi caraku dusta ini juga untuk membuatnya gembira dan tidak bermaksud jahat padanya ....
Dilihatnya nona itu lagi berpikir dengan kepala miring, tiba-tiba ia tanya pula,
"Eh, apa betul di daratan sana banyak permainan menarik" Aku ... aku jadi ingin melihat ke sana?"
"Hah, bagus, boleh sekarang juga kita pergi," seru Po-ji girang.
Tiba-tiba anak dara itu menghela napas, ucapnya dengan sayu, "Setiap tahun sebelum kapal menepi, ayah selalu mencari jalan untuk memberi hukuman kurungan 50 hari padaku dan dilarang keluar kamar selangkah pun. Sekarang baru 31 hari aku dikurung, mana boleh kukeluar?"
Diam-diam Po-ji gegetun bagi anak dara itu, pikirnya, "Kiranya selama hidupnya tinggal di atas kapal dan tidak pernah naik ke daratan. Ai, pantas dia tidak pernah melihat orang lelaki kecuali ayahnya saja. Sepanjang hari dia dikurung di dalam kamar, kalau tidak membaca hanya peras otak belaka, dengan sendirinya terhadap setiap urusan yang ruwet ia pandai berpikir dan memecahkannya, tapi terhadap urusan duniawi yang sederhana dia justru tidak paham sama sekali."
60 Koleksi Kang Zusi
Teringat kepada kehidupan yang sunyi itu, tanpa terasa timbul rasa kasihan Po-ji terhadap anak dara itu, katanya segera, "Mari kita mengeluyur keluar di luar tahu ayahmu."
Siaukongcu terbelalak, katanya, "Wah, bukankah nanti ayah akan ... akan marah sekali?"
Rupanya selama ini dia tidak pernah berbuat sesuatu yang berlawanan dengan kehendak sang ayah.
"Asalkan ayahmu memang tidak tahu, mana bisa dia marah?" ujar Po-ji.
Namun Siaukongcu hanya menggeleng kepala saja.
"Kita hanya keluar untuk melihat sebentar saja dan segera pulang kemari," kata Po-ji. "Boleh kita lihat betapa merahnya buah Tho, betapa warna hijau kekuningan pisang, betapa indahnya jembatan dan pepohonan ...."
Ia sengaja putar lidah dan menggunakan berbagai istilah indah yang pernah dibacanya untuk melukiskan betapa permainya pemandangan di daratan, padahal di daratan sana mana ada buah Tho dan pisang segala"
Bola mata Siaukongcu yang hitam itu tampak berputar-putar, jelas hatinya tergelitik oleh ocehan Po-ji, sejenak kemudian ia berkata dengan tertawa, "Betul juga, asalkan ayah tidak tahu, mana bisa dia marah?"
"Nah, kan sudah kubilang kau ini anak pintar, sekali pikir lantas paham," tukas Po-ji dengan tertawa.
Siaukongcu sangat senang karena Po-ji memujinya, tapi di mulut ia sengaja berkata, "Apa betul aku pintar" Hm, tentu kau dusta. Pada waktu berusia lima tahun aku baru bisa menguasai setengah ilmu pedang ajaran ayah, sering ayah memaki aku anak bodoh, dan pada waktu aku berumur enam ...."
Ia bicara macam-macam, tujuannya cuma ingin mendengar pujian Po-ji lagi.
Namun Po-ji khawatir anak dara itu menyimpangkan pokok persoalan, ia berlagak tidak mengerti dan berkata urusan lain, "Di luar pintu ini adakah penjaganya"
Dapatkah kita mengeluyur keluar?"
Siaukongcu menghela napas kecewa, katanya kemudian, "Banyak sekali orang di luar pintu, tapi ... tapi di sini ada sebuah jalan rahasia yang dapat menembus ke ruangan tamu di atas, setiba di sana tentu kita bisa mengeluyur keluar."
"Aha, bagus," seru Po-ji girang. "Tapi ... tapi mungkinkah ayahmu berada di ruang tamu situ?"
Anak dara itu menggeleng, "Tidak, sepanjang hari ayah selalu berada di kamarnya, belum pernah kulihat beliau berada di ruang tamu ...."
Perlahan ia mendekati sebuah cermin perunggu untuk menyisir rambut.
"Ayo, kalau mau pergi lekas berangkat sekarang," ajak Po-ji tidak sabar.
Siaukongcu berpaling dan melototinya sekejap, omelnya, "Kau ini, jika kita mau mendarat, kan aku perlu berdandan dulu, kalau tidak, apakah tidak malu dilihat orang?"
61 Koleksi Kang Zusi
"Ai, anak perempuan semacam dirimu sudah merupakan tercantik daripada semua orang perempuan yang pernah kulihat, tanpa bersolek pun jauh lebih cantik daripada orang lain."
"Apa betul?" tanya Siaukongcu dengan senang. "Aku ...."
"Tentu saja betul," cepat Po-ji memotong. "Oya, di mana letak jalan rahasia itu?"
Siaukongcu menuding sehelai tirai sulam di sebelah sana.
Benar juga, di balik tirai sulam itu adalah sebuah pintu rahasia. Siaukongcu membukanya dan mendahului masuk ke situ, lalu menoleh dan berkata, "Aku merasa takut, jantungku berdebar keras."
Cepat Po-ji menggunakan macam-macam ucapan untuk menghiburnya. Begitulah kedua anak itu satu di depan dan yang lain ikut dari belakang, keduanya menyusuri jalan rahasia itu, setelah membelok kian kemari, akhirnya mendaki sebuah tangga.
"Ssst, di atas tangga inilah ruang tamu pada anjungan," desis Siaukongcu sambil menarik tangan Po-ji dan merambat ke atas selangkah demi selangkah.
Jantung Po-ji sendiri juga berdetak keras. Dilihatnya Siaukongcu menarik sebuah palang kayu dan mengangkat sepotong papan, lalu ada cahaya menyorot dari atas.
Dengan hati-hati kedua anak itu melangkah keluar, terlihat ruang anjungan kapal sangat luas dengan pepajangan sangat mewah, keadaan sunyi senyap tiada sesuatu suara.
Tidak ada minat Po-ji untuk memandangi ruangan indah itu, baru saja ia hendak melongok ke luar jendela untuk melihat suasana di luar, tiba-tiba terdengar suara langkah orang sudah dekat pintu.
Diam-diam Po-ji mengeluh, "Wah, celaka!"
Siaukongcu juga tampak pucat, desisnya, "Ssst, ada orang!"
Cepat ia menarik Po-ji dan bermaksud menyurut mundur ke lorong rahasia.
Namun suara orang sudah makin dekat, ingin membuka lagi papan lubang tadi sudah tidak keburu lagi.
Tentu saja kedua anak itu sama kelabakan, mendadak terlihat di pojok ruangan sana juga ada tirai sulam yang panjang melambai ke lantai, tanpa disuruh lagi keduanya berlari ke sana dan bersembunyi di balik tirai.
"Jangan bergerak, tahu tidak?" desis Siaukongcu di tepi telinga Po-ji. "Jika diketahui ayah perbuatan kita ini, selain aku akan dihajar, kau pun takkan terhindar dari tanggung jawab."
Po-ji merasa kuping gatal-gatal geli, ingin tertawa tapi tidak berani, ia cuma mengangguk saja.
Ia berdiri bersandar dinding, kebetulan dapat mengintip melalui celah-celah tirai dan dinding, tentu saja kesempatan mengintip itu tidak disia-siakan.
62 Koleksi Kang Zusi
Terlihat enam-tujuh perempuan yang bertubuh tinggi besar dan kekar serupa orang lelaki sedang menyapu ruang anjungan kapal yang sebenarnya sudah cukup bersih.
Habis itu terdengarlah suara kelening nyaring dari jauh mendekat kemari.
Diam-diam Po-ji membatin, "Itu dia si kelening kecil."
Benar juga, baru berpikir segera tertampak si gadis berbaju putih sudah melangkah masuk dengan gaya gemulai, tanyanya, "Sudah selesai dibersihkan belum?"
"Lapor nona, sudah selesai," jawab salah seorang perempuan kekar.
"Kalau sudah selesai hendaknya lekas keluar, segera tamu akan datang," kata Ling-ji alias si kelening.
Perempuan kekar tadi mengiakan, lalu berbenah peralatan pembersih sebangsa sapu, ember dan sebagainya, lalu mengundurkan diri.
"Sialan," diam-diam Po-ji menggerutu. "kenapa tidak cepat atau lambat, justru pada waktu ada kesempatan untuk kabur bagiku tiba-tiba kedatangan tamu."
Mendadak sesosok tubuh yang lunak bersandar pada bahunya, kiranya Siaukongcu juga tidak tahan oleh rasa ingin tahu, ia pun ikut berimpitan dan mengintip.
Terlihat Ling-ji berjalan sekeliling di ruang tamu, kedua tangan membentang gaun, lalu menyembah dengan lemah gemulai, katanya, "Ruang tamu sudah selesai dibersihkan, silakan Houya (paduka tuan) masuk!"
Menyusul lantas terdengar daun pintu dibuka disusul dengan suara keresek-keresek kain baju, 16 anak gadis bergaun panjang dan berdandan serupa dayang istana dengan tangan masing-masing membawa mistar kemala dan kipas bulu melangkah masuk, lalu berdiri menjadi dua baris di kedua sisi.
Kemudian empat gadis jelita dengan membawa mangkuk emas mengiringi seorang berbaju ungu muncul dengan langkah lebar setelah melangkahi permadani merah dan naik ke mimbar di balik pintu angin terus duduk di kursi berukir naga melingkar.
Betapa pun Po-ji menggeser kian kemari bola matanya tetap tidak dapat melihat jelas perawakan si baju ungu, hanya di antara gaun kawanan gadis itu terlihat unung baju berwarna ungu.
Perlahan Siaukongcu memegang tangan Po-ji dan menggores dua huruf pada telapak tangannya, huruf itu berbunyi "ayahku".
Po-ji mengangguk, meski di dalam hati semakin ingin tahu bagaimana wajah orang kosen ini, namun ia tidak berani melongok keluar tirai. Apa lagi seumpama ia melongok keluar juga takkan melihatnya, sebab tubuh orang berbaju ungu ini sudah teraling lebih dulu oleh pintu angin.
Pintu angin itu tingginya delapan kaki, bagian bawah yang luang cuma setengah kaki di atas lantai. Po-ji penasaran, ia coba mendekam, dengan muka menempel lantai ia coba mengintip ke sana.
63 Koleksi Kang Zusi
Akan tetapi yang terlihat hanya kedua kaki si baju ungu, ada lagi seekor kucing putih yang meringkuk di samping kaki si baju ungu, lebih ke atas lagi tetap tak terlihat olehnya.
Dalam pada itu terdengarlah suara alat musik dari kejauhan, merdu merayu suara musik itu, entah datang dari mana.
Ling-ji mendengarkan dengan mendekam di lantai, tanyanya kemudian, "Apakah sekarang juga kita membuka pintu menyambut tamu?"
Terdengar suara kemalas-malasan menjawab di balik pintu angin, "Kau adalah petugas penyambut tamu, segala urusan boleh terserah padamu."
Suaranya lantang dan tenang, kedengarannya seperti orang yang bicara ini tidak pernah merisaukan apa pun, seperti juga tidak pernah ada sesuatu urusan di dunia ini yang dipikirkan olehnya.
Terdengar Ling-ji mengiakan sekali dan menyembah lagi, lalu berbangkit dan melangkah keluar.
Namun pandangan Po-ji masih tetap tertuju ke bagian bawah pintu angin, mendadak sebuah telapak tangan putih mulus bagai ukiran kemala putih terjulur ke bawah, kelima jarinya kelihatan panjang lentik dan halus, sedikit pun tidak kelihatan kotor atau cacat. Di antara ibu jari dan jari telunjuk tercomot seekor ikan emas kecil.
Si kucing putih yang sejak tadi meringkuk kemalasan di samping kaki mendadak mendongak dan ikan emas itu dicaploknya sekaligus, lalu mendekam lagi dengan kemalasan.
Tangan si baju ungu masih terus membelai badan kucing putih itu dengan perlahan, kelihatan sangat sayang.
Melihat itu, kejut dan girang Po-ji, kejutnya karena ikan emas dari jenis yang sukar dicari itu berharga sangat mahal, tapi sekarang orang menggunakannya untuk makanan kucing. Girangnya karena akhirnya sebelah tangan orang dapat dilihatnya.
Ling-ji melangkah keluar ruang anjungan, melintasi geladak kapal yang sudah dicuci bersih dan menuju ke haluan kapal. Dari situ ia memandang ke bawah, ternyata di depan haluan kapal, di permukaan air mengapung tiga buah rakit kayu, di atas rakit berdiri berpuluh orang dengan potongan tubuh yang berbeda.
Kiranya kapal ini terlampau besar, perairan di situ agak dangkal sehingga kapal tidak dapat merapat ke tepian, barang siapa hendak naik kapal harus menumpang rakit untuk mendekati kapal itu.
Ling-ji berbaju putih berdiri di haluan kapal dengan latar belakang langit yang biru dan gumpalan awan di angkasa, sungguh dia mirip bidadari yang baru turun dari kahyangan.
Berpuluh orang penumpang rakit sama mendongak memandang ke atas, sebagian besar memandang dengan terkesima serupa orang linglung.
Ling-ji tertawa, katanya, "Kedatangan kalian hendak memandang diriku atau ingin mengunjungi Houya kami?"
64 Koleksi Kang Zusi
Semua orang sama melengak, Ling-ji lantas menyambung dengan tertawa, "Jika kedatangan kalian hendak menyampaikan sembah bakti kepada Houya kami, sekarang juga silakan naik ke atas kapal."
Seketika terjadi keributan di atas rakit, semua berebut naik dulu.
Mendadak Ling-ji membentak, "Nanti dulu! Houya memberikan juga sehelai kartu nama, hanya orang yang namanya tercantum dalam kartu nama baru boleh naik kemari, bila namanya tidak terdapat pada kartu ini dan kau sengaja naik kemari, maka ... mungkin kau takkan pulang lagi untuk selamanya. Nah, jika terjadi demikian janganlah menyesal dan menyalahkan aku tidak memberitahukan di muka."


Misteri Kapal Layar Pancawarna Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Seketika timbul berisik orang banyak, mendadak seorang yang bersuara tajam melengking berteriak, "Houya baru saja pulang dari berlayar, dari mana beliau tahu siapa-siapa di antara kami yang hendak menghadap beliau?"
Ling-ji menjawab dengan tertawa, "Memangnya ada sesuatu urusan di dunia ini yang tidak diketahui Houya kami?"
Dari dalam lengan baju lantas dikeluarkannya sehelai kertas surat terus dilemparkan ke bawah.
Angin laut meniup kencang, kertas surat sangat ringan, dilemparkan lagi dari ketinggian kapal, semua orang menyangka kertas surat itu pasti akan kabur terbawa angin, siapa duga kertas surat yang enteng seperti ditolak orang dan perlahan melayang turun ke bawah.
"Sungguh hebat kungfu nona!" segera ada orang bersorak memuji.
Ling-ji tersenyum manis, katanya, "Silakan kalian baca, apakah ada kesalahan pada daftar nama ini?"
Waktu semua orang membaca daftar nama pada kertas surat itu, yang tertulis di situ memang betul tokoh-tokoh ternama yang menanti di daratan sana, hampir tidak ada salah seorang pun, hanya nama beberapa orang yang dikenal busuk saja dicoret.
Melihat air muka semua orang sama mengunjuk heran dan kejut, dengan tersenyum Ling-ji berkata pula, "Jika benar daftar nama itu, silakan yang bersangkutan naik kemari menurut nomor urutan masing-masing."
Habis berkata ia lantas berputar dan masuk ke anjungan.
Terdengar di belakang suara kesiur angin, beramai belasan orang melompat ke atas kapal. Belasan orang ini semuanya memiliki ginkang tinggi, waktu hinggap di geladak sama sekali tidak menimbulkan suara.
Di atas rakit tersisa belasan orang, semuanya menunduk lesu serta sama bergumam, "Sungguh aneh, dari mana ia tahu siapa-siapa yang menunggunya di daratan sana?"
Apa lagi Pui Po-ji hadir di situ, tentu ia dapat menduga lebih dulu Ling-ji sudah mendarat dan menyelidiki seluk-beluk dan asal-usul orang-orang itu, lalu dicatat dalam sebuah daftar nama, pulangnya bertemu dengan Po-ji dan sekalian dibawanya pulang ke kapal.
65 Koleksi Kang Zusi
Namun sekarang Po-ji sembunyi di belakang tirai dan sedang mengintip dengan menahan napas, sama sekali ia tidak tahu apa yang terjadi di luar. Selang agak lama barulah dilihatnya Ling-ji yang berbaju putih itu muncul dari pintu anjungan, menyusul belasan pasang kaki ikut di belakangnya, belasan pasang kaki itu memakai belasan pasang sepatu yang beraneka ragamnya dengan bentuk yang aneh-aneh. Malahan seorang di antaranya bertelanjang kaki.
Diam-diam Po-ji merasa heran, pikirnya, "Melihat wibawa Houya yang hebat ini, siapa tahu undangannya ternyata begini aneh."
Terdengar Ling-ji berseru, "Lapor Houya, para tamu sudah tiba!"
"Silakan," kata suara kalem tadi.
Po-ji mendekam di lantai, cuma kelihatan belasan pasang kaki itu masuk bersama Ling-ji, sesudah di dalam ruangan sebagian lantas berlutut dan menyembah, tapi lebih banyak cuma merandek sejenak, agaknya cuma menjura sekadarnya, lalu mengambil tempat duduk di kedua sisi.
Orang bertelanjang kaki itu malahan sama sekali tidak berhenti dan langsung duduk di pinggir sana.
Po-ji lantas sibuk pula berusaha memandang wajah para tamu itu, perlahan ia berdiri dan mengintip melalui celah-celah tirai, tapi para tamu aneh itu sudah keburu teraling oleh ke-16 dayang istana sehingga seorang pun tidak kelihatan.
"Kalian datang dari berbagai penjuru yang jauh, kukira pasti ada urusan penting yang perlu minta petunjuk Houya kami," kata Ling-ji dengan tertawa. "Rasanya sukar bagiku untuk menyilakan siapa yang bicara lebih dulu ...."
Mendadak seorang memotong, "Kami datang dari tempat jauh, urusan yang perlu dibicarakan tentu juga urusan penting dan tidak dapat terburu-buru, maka boleh silakan orang yang datang dari dekat dengan urusan tidak begitu gawat untuk bicara lebih dulu."
Orang ini bicara dengan kalimat-kalimat yang kaku, tapi lagaknya terpelajar, kedengarannya juga agak tersendat-sendat serupa burung kakaktua yang lagi belajar omong.
Dengan geli Ling-ji menjawab, "Jika demikian, bolehlah kalian bersabar dan menunggu giliran untuk bicara. Dan sekarang siapa kiranya yang datang dari dekat dengan urusan yang tidak begitu penting, dapatkah aku diberi tahu?"
Segera seorang berseru, "Jika hadirin sama sungkan, biarlah aku Hingciu Thi Kim-to yang minta petunjuk lebih dulu kepada Houya."
Suara orang itu terdengar berat, tapi keras, menyusul suaranya seorang lelaki besar berbaju sulam tampil ke depan.
Sekali ini Po-ji dapat melihat dengan jelas, orang yang mengaku bernama Thi Kim-to atau si golok emas ini berwajah hitam, gagah dan kereng, rambut dan jenggotnya sudah putih sebagian besar namun semangatnya tidak kalah dibanding anak muda. Pada sebelah tangannya menjinjing sebuah peti kecil, golok panjang tergantung di pinggangnya, sarung golok penuh bertabur batu manikam, baju satin yang dipakainya sangat mencolok.
Meski Po-ji tidak kenal tapi ketenaran orang ini pasti di bawah kakeknya, yaitu 66
Koleksi Kang Zusi
Jing-peng-kiam-kek Pek Sam-kong, melihat kegagahan orang diam-diam ia bersorak memuji.
Ling-ji berkata pula, "Peraturan Houya sudah diketahui Thi-taihiap bukan?"
"Kutahu," jawab Thi Kim-to dengan hormat. "Tentang sebutan nona padaku rasanya tidak berani kuterima."
Ling-ji tersenyum, katanya, "Dahulu dengan golok emasmu kau pernah menyikat habis ke-17 bandit di daerah Kangsay, jika kusebut Taihiap padamu juga pantas.
Akhir-akhir ini namamu cukup cemerlang, boleh dikata nama besar dan usaha sukses, entah ada urusan apa lagi yang perlu bantuan Houya kami untuk menyelesaikannya. Pula setelah kau tahu peraturan Houya kami selama 20 tahun ini, bolehlah kau perlihatkan barang yang kau bawa."
Melihat gadis jelita ini tahu sejelas ini terhadap riwayat hidupnya, Thi Kim-to terkejut, katanya sambil menghormat, "Baik!"
Segera ia menyodorkan peti kayu cendana yang dibawanya. Semua orang menyangka isi peti itu pasti berbagai macam benda mestika, siapa tahu isi peti itu cuma beberapa jilid buku saja, warna kertasnya juga sudah kuning.
"Wanpwe mempersembahkan kitab Budha asli tulisan Ong Hi-ci, mohon Houya sudi menerimanya," kata Thi Kim-to.
Po-ji terkejut, sebab ia tahu benar kitab Budha asli tulisan Ong Hi-ci boleh dikatakan semacam benda mestika yang sukar dinilai harganya.
Terdengar orang di balik pintu angin itu menghela napas gegetun, ucapnya,
"Boleh juga maksud baikmu ini. Terima saja, Ling-ji."
Suaranya tetap kemalasan seakan-akan benda mestika yang sukar dicari ini pun tidak menarik baginya.
Ling-ji menerima peti itu, katanya dengan tertawa, "Setelah Houya kami mau menerima kado yang kau bawa ini, maka apa kesulitanmu bolehlah kau ceritakan saja."
Wajah Thi Kim-to terunjuk rasa girang, katanya dengan hormat, "Baik!"
Setelah berpikir dan berdehem, lalu ia bertutur, "Lebih 70 tahun yang lalu, Ho-hou-bun kami di Hingciu sama menonjolnya di dunia persilatan dengan Ban-liong-kau di Sinyang. Waktu itu terkenal sebagai 'Ho-hou Ban-liong, To-kau-jing-hiong'. Sungguh nama kedua perguruan kami sangat gemilang dan tidak ada bandingannya pada waktu itu, namun ...."
"Hendaknya bicara singkat dan sederhana saja, jangan bertele-tele dan membual," kata Ling-ji dengan tertawa.
Muka Thi Kim-to berubah merah, ia berdehem kikuk, lalu menyambung, "Selama berpuluh tahun kedua perguruan kami selalu berhubungan erat seperti saudara, siapa tahu sejak 17 tahun yang lalu setelah Han It-kau menjadi ketua Ban-liong-bun, keadaan mendadak berubah sama sekali. Han It-kau menyatakan urutan nama Ban-liong harus di atas Ho-hou, kami diharuskan mengubahnya dan minta maaf, kalau tidak kami ditantang untuk bertanding, biar segenap kawan dunia persilatan tahu jelas sesungguhnya Ho-hou atau Ban-liong yang harus menempati urutan di atas."
67 Koleksi Kang Zusi
"Hah, setelah urutan nama di atas, apakah lantas mendapat untung lebih banyak?" ujar Ling-ji dengan tertawa.
"Perkataan nona memang benar," kata Thi Kim-to dengan menghela napas panjang. "Tapi rasa penasaran ini sungguh aku tidak tahan, maka terjadilah duel di luar kota Sinyang. Dengan sendirinya kawan Bu-lim mendapat kabar itu dan datang menonton. Siapa tahu dalam pertempuran itu, pada jurus ke-720 aku dilukai oleh gaetannya."
"Dengan sendirinya kau penasaran atas kekalahan itu, maka pada tahun kedua kalian bertarung lagi," tukas Ling-ji dengan tertawa.
"Memang betul terkaan nona," sahut Thi Kim-to dengan menyesal. "Setelah sembuh lukaku, pada tahun kedua kembali kami bertarung di tempat yang sama.
Pertarungan ini terlebih seru lagi, sampai sekian ratus jurus kami bergebrak, tampaknya aku sudah mulai unggul, siapa tahu setelah lewat jurus tujuh ratusan, mendadak Han It-kau menggunakan jurus ampuh yang dulu melukaiku itu, dan aku tetap tidak mampu menangkisnya dan dilukai lagi dengan gaetannya."
"Dan kau pasti juga penasaran dan tahun ketiga akan menantangnya pula," tukas Ling-ji.
Thi Kim-to menghela napas, "Ya, dan untuk ketiga kalinya aku terluka lebih parah, sehingga pada tahun kelima baru kutantang dia lagi, tapi setelah terjadi pertarungan sengit, akhirnya ... ai ...."
"Kau kalah lagi?" Ling-ji menegas.
Air muka Thi Kim-to tampak malu dan sedih, ia menghela napas dan berkata,
"Bukan saja kalah, bahkan tetap kalah pada jurusnya yang aneh itu."
Mau tak mau terunjuk juga rasa heran pada Ling-ji, katanya, "Dengan ilmu silat dan pengalamannya ternyata berturut-turut kau kalah tiga kali pada satu jurus yang sama, sungguh mengherankan .... Ai, setelah kekalahanmu yang pertama kali, seharusnya kau perhatikan dan mempelajari jurus serangan musuh itu dan pada pertarungan kedua kali kau harus berjaga dengan baik."
"Tentu saja kutahu dalil ini." Ucap Thi Kim-to dengan muram, "sebelumnya sudah kupelajari dengan baik, malahan pada waktu duel yang ketiga kali itu sengaja kuajak belasan kawan Bu-lim untuk menyaksikan. Setelah kekalahanku pada ketiga kalinya, aku lantas bersama dengan belasan kawan itu, dengan daya pikir himpunan belasan orang tetap tidak mampu mengetahui di mana letak kelemahan jurus serangan musuh, juga tidak dapat menerka di mana letak perubahan susulan jurus serangannya, sebab itulah sekali musuh melancarkan serangan ini, seketika ditentukan kalah dan menang."
Dan bagaimana pada pertarungan yang keempat?" tanya Ling-ji.
Dengan suara berat Thi Kim-to bertutur, "Pada waktu bertarung keempat kali senantiasa kujaga diri dengan mantap, sebelumnya sudah kulatih selama tujuh tahun baru kutantang dia lagi, tapi ... ai ...."
Ia mengentak kaki dan tidak melanjutkan.
"Kutahu, pada keempat kali ini kau tetap dikalahkan jurusnya yang aneh itu,"
tukas Ling-ji sambil menganggut-anggut. "Dan dengan sendirinya kau ingin 68
Koleksi Kang Zusi
mengalahkan dia pada pertarungan yang kelima kalinya, tapi sampai saat ini kau belum lagi mengerti di mana letak keajaiban jurus lawan, sebab itulah kau datang minta petunjuk kepada Houya kami, tapi ... tapi jurus ampuh itu kan belum pernah dilihat Houya kami."
"Sudah lama kuraba dengan jelas permainan jurus itu, kalau perlu biarlah sekarang juga kutirukan untuk diperlihatkan kepada Houya," kata Thi Kim-to.
"Jika benar gerak jurus itu sudah dapat kau raba dengan jelas, dan nyatanya sampai sekarang kau tetap tidak mampu mematahkannya, ini menandakan jurus itu memang sangat lihai. Rasanya aku jadi ingin melihatnya juga," kata Ling-ji.
"Kelihaian jurus ini adalah gerak susulan yang terkandung di dalamnya dan membuat orang sukar merabanya, sebab itulah meski kutahu cara bagaimana jurus itu akan menyerang, tapi tetap tidak dapat memecahkannya," sembari berkata Thi Kim-to lantas melolos golok emasnya dan berkata pula, "Akan kugunakan golok sebagai gaetan, mohon petunjuk Houya."
Segera goloknya berputar terus menebas ke depan, cahaya emas berkelebat dan menyilaukan mata.
Mendadak seorang di pojok ruangan sana berseru memuji, "Ba ... bagus, jurus serangan bagus!"
Tergerak hati Po-ji, ia merasa suara orang ini sudah sangat dikenalnya, seperti suara Oh Put-jiu, si paman kepala besar.
Tapi belum lagi terpikir lain, tiba-tiba bergema pula suara tertawa tajam melengking, seorang berkat, "Hm, apakah ini juga terhitung jurus serangan bagus" Hehe, biarpun anak umur tiga di rumahku juga lebih hebat daripada jurus ini."
Suaranya melengking menusuk telinga, kedengarannya lebih buruk suaranya daripada ringkik kuda atau kuak kerbau.
Seketika Thi Kim-to berhenti main golok, teriaknya dengan gusar, "Orang she Thi justru kalah empat kali di bawah jurus serangan ini, tapi sahabat justru menganggap jurus ini sebagai permainan anak kecil, orang she Thi menjadi ingin minta petunjuk ...."
Orang bersuara ringkik kuda itu tertawa aneh, katanya, "Baik, memang hendak kuberi petunjuk padamu!"
Sesosok bayangan terus meloncat dari pojok sana. Mendadak sesosok bayangan lain ikut melayang ke atas dan menarik turun bayangan pertama.
Kedua orang sama bergerak secepat hantu, Po-ji merasa pandangannya kabur sehingga warna apa baju kedua orang itu pun tidak terlihat jelas, hanya terdengar orang yang bersuara serupa kakaktua belajar omong tadi bicara pula,
"Tempat kediaman Ci-ih-hou (paduka tuan baju ungu) yang suci ini mana boleh sembarangan kau kacau, bilamana Ci-ih-hou marah, tentu urusan yang akan kau mohon bantuannya akan gagal total?"
Suara orang serupa kuda meringkik itu terbahak, "Haha, betul, betul, aku tidak berani lagi sembarang omong!"
Makin mendengar makin geli Po-ji, ia tambah ingin tahu betapa banyak bentuk 69
Koleksi Kang Zusi
orang-orang aneh ini. Tapi sejauh ini dia tetap tidak dapat melihatnya.
Dengan menahan rasa gusar Thi Kim-to berpaling, lalu dari balik pintu angin berkumandang lagi suara Ci-ih-hou yang kemalasan itu, "Jurus ini disebut Kian-kue-boh-thian-sik, berasal dari ilmu pedang zaman kuno, meski sangat lihai, tapi tidak berarti tanpa titik kelemahan .... Cu-ji, pernah kau belajar permainan golok, juga pernah belajar permainan gaetan, boleh kau beri petunjuk padanya."
Habis bicara sebanyak ini, agaknya dia seperti kelelahan dan perlu mengaso, maka ucapannya lantas berhenti.
Lalu terdengar suara merdu menjawab di balik pintu angin mengiakan, seorang gadis jelita berambut ikal melangkah keluar dengan lemah gemulai, di antara rambutnya yang hitam pekat itu penuh berhias mutiara yang bercahaya menyilaukan.
Kejut dan juga kagum sekali Thi Kim-to demi mendengar Ci-ih-hou dapat begitu saja menyebut nama dan asal-usul jurus sakti yang sukar dimengerti itu. Tapi sekarang orang hanya menyuruh seorang gadis lemah untuk mengajarnya, betapa pun ia merasa kecewa juga, pikirnya dengan sangsi, "Pernah kuminta petunjuk berbagai tokoh-tokoh persilatan terkemuka mengenai jurus serangan yang mengalahkanku beberapa kali ini, namun sejauh ini tiada seorang pun mampu mematahkan jurus ini, memangnya seorang gadis cilik ini justru memiliki kemahiran sehebat ini?"
Melihat perubahan air muka orang, agaknya gadis bernama Cu-ji itu tahu apa yang dipikirkan orang, dengan tersenyum ia menepuk perlahan bahu Thi Kim-to dan berkata lembut, "Mari ikut padaku!"
Dan tanpa kuasa Thi Kim-to ditarik keluar. Baru sekarang dirasakan gadis yang kelihatan lemah gemulai ini justru memiliki ilmu silat yang sukar diukur.
Seterusnya tampil lagi beberapa tokoh persilatan seperti Suto Jing, Jik Tiang-lim, Toan Giok, Ji Co-ki dan Bu It-peng berlima, semuanya mempersembahkan harta pusaka yang mereka bawa. Kelima orang ini mempunyai nama tenar dalam dunia persilatan dan datang dari tempat jauh, harta benda yang mereka persembahkan juga sukar dinilai, urusan yang mereka minta dengan sendirinya juga luar biasa.
Akan tetapi setiap urusan segera dapat diselesaikan oleh Ci-ih-hou dengan hanya dua-tiga kata saja, suaranya tetap kemalas-malasan, pada hakikatnya sama sekali tidak menaruh perhatian terhadap harta benda dan juga perkara yang dikemukakan padanya.
Setelah kelima tokoh itu sama mengundurkan diri, kelihatan Thi Kim-to berlari masuk lagi dengan wajah gembira, ia berlutut dan bersujud beberapa kali kepada Ci-ih-hou.
"Bagaimana, cara pemecahan jurus itu sudah kau pahami?" tanya Ling-ji dengan tertawa.
"Hanya bicara sebentar dengan nona Cu-ji tadi, rasanya lebih berfaedah daripada belajar kungfu selama 30 tahun, sungguh tidak kusangka ...."
Belum lanjut ucapan Thi Kim-to, terdengar Ci-ih-hou berucap di balik pintu angin,
"Ini bukan soal sulit, jika sudah kau kuasai kepandaian itu, boleh lekas kau pergi saja."
70 Koleksi Kang Zusi
Nyata kata-kata sanjung puji orang saja enggan didengarnya.
Maka Thi Kim-to memberi sembah lagi dan mengiakan, lalu bergegas mengundurkan diri.
"Dan giliran siapa berikutnya?" seru Ling-ji.
"Biarkan kuda ini saja bicara lebih dulu," terdengar seorang berkata dengan suara dingin.
Suaranya yang kaku dingin itu seketika membuat Po-ji melonjak kaget, kiranya Bok-long-kun juga sudah datang.
Segera ia pun paham duduknya perkara, "Ah, kiranya ayah Siaukongcu bukan lain adalah nakhoda kapal layar pancawarna. Tak terduga tanpa sengaja kudatang juga ke sini. Suara orang tadi jelas suara paman kepala besar. Tapi biarpun dia berada di sini, cara bagaimana aku dapat menemui dia?"
Seketika hati terasa kejut dan girang serta sedih pula.
Mendadak suara yang serupa ringkik kuda tadi membentak dengan gusar, "Hai, manusia patung, apakah kau maksudkan diriku?"
"Kau makan rumput apa tidak?" suara Bok-long-kun berkata.
Ling-ji tertawa geli, serentak suara mirip ringkik kuda meraung murka, "Kau yang makan ...."
Selama hidup ia tidak mau rugi, sekarang ia pun ingin balas memaki dan mengejek, tapi tidak tahu apa yang harus dikatakannya, terpaksa ia cuma berteriak murka, "Ayo keluar!"
Sesosok bayangan ikut muncul bersama suara itu.
Sekali ini Po-ji dapat melihat jelas orangnya, terlihat perawakan orang kurus kering dan jangkung dengan jubah satin berwarna-warni, namun punggungnya bungkuk sehingga setengah badan bagian atas mendoyong ke depan, mukanya juga sangat panjang, dalam keadaan murka sehingga hidungnya berkembang kempis, bentaknya itu memang sangat mirip seekor kuda.
Teringat kepada olok-olok Bok-long-kun tadi dan menyaksikan pula bentuk orang, hampir saja Po-ji tertawa geli.
Segera Bok-long-kun menjengek, "Hm, memangnya tempat ini boleh sembarangan kau main gila di sini?"
Kedua lengan si muka kuda terpentang, ruas tulang sekujur badan berbunyi keriang-keriut, teriaknya parau, "Jika tidak segera kau keluar, biar kucengkeram dan menyeretmu keluar."
Dengan tangan terpentang selangkah demi selangkah ia mendekat ke sana.
Diam-diam Po-ji heran, apakah orang hendak berkelahi di sini dan Ci-ih-hou tetap tinggal diam saja" Padahal dalam hati ia pun ingin menyaksikan cara bagaimana si muka kuda akan bertempur melawan Bok-long-kun alias boneka kayu.
Tiba-tiba pandangannya terasa silau, tiba-tiba Po-ji melihat sesuatu benda bulat 71
Koleksi Kang Zusi
dan bercahaya emas mengadang di depan si muka kuda. Waktu ia mengawasi lebih cermat, kiranya benda bulat itu adalah seorang pendek gemuk, memakai kopiah emas dan berjubah emas pula.
Meski sekujur badan si buntek ini serbaemas yang mewah, namun sikapnya kelihatan muram durja dan sedih selalu.
Diam-diam Po-ji merasa geli, pikirnya, "Tampaknya sepanjang masa orang ini selalu dirundung rasa duka, entah mengapa dia bisa tumbuh segemuk ini?"
Si jubah emas pendek gemuk itu lantas berkata perlahan, "Hanya soal sepele, siapa bicara lebih dulu kan cuma urusan sebentar saja, kenapa Anda terburu nafsu?"
Dengan gemas si muka kuda menjawab, "Tapi patung ini ...."
"Ai, untuk menuntut balas kan belum terlambat menunggu sepuluh tahun lagi,"
kata si buntek. "Jika Anda ingin menggergaji kayu buat apa terburu-buru, betul tidak?"
Tiba-tiba suara Ci-ih-hou bergema, "Ling-ji, jika kedua orang ini ribut-ribut lagi, boleh kau seret mereka dan masukkan ke sumur!"
Si jubah emas buntek tidak marah, jawabnya dengan serius, "Kami datang dari negeri Wan raya yang jauh, tidak Houya perlakukan dengan baik, mengapa kami hendak dimasukkan sumur malah?"
"Ya, sudahlah," sela Ling-ji dengan tertawa. "Jika benar kalian datang dari negeri asing, kado apa yang kalian bawa, silakan keluarkan, dan ada urusan apa juga silakan bicara."
Baru sekarang Po-ji tahu persoalannya, pikirnya, "Pantas cara bicara orang ini sangat aneh, bentuknya juga lucu, kiranya mereka bukan bangsa Han, dan entah apa permintaan mereka kepada Ci-ih-hou itu?"
Dengan tenang si jubah emas mengeluarkan sepotong saputangan putih, di atas saputangan yang putih itu berlepotan titik merah serupa bekas darah.
"Apa itu?" tanya Ling-ji dengan kening bekernyit.
"Sejak dinasti Han dulu, negeri Wan raya kami terkenal dengan kuda jenis pilihan yang sukar dicari, oleh kaisar Han-bu-te sendiri kuda keluaran negeri kami pernah diberi gelar Thian-ma (kuda langit), dan titik merah pa saputangan ini adalah air keringat Thian-ma kelahiran negeri Wan raya kami, dan sekarang Kokcu (kepala negara) kami sengaja mengirim tiga pasang Thian-ma pilihan untuk dipersembahkan kepada Houya."
Pui Po-ji banyak membaca kitab kuno, ia tahu Han-bu-te pernah mencari kuda langit negeri Wan, pernah juga raja itu mengirim panglima perangnya Li Kong membawa palsukan besar menyerbu kerajaan Wan, tapi pulang dengan mengalami kekalahan.
Namun Han-bu-te tidak menjadi kapok, sebaliknya mengirim palsukan terlebih besar dan akhirnya meski mendapat kemenangan, tapi korban jiwa dan harta benda sudah sukar dihitung jumlahnya.
Dari sini tertampak betapa berharganya kuda pusaka berkeringat merah darah, 72
Koleksi Kang Zusi
dan sekarang raja Wan justru mengirim hadiah tiga pasang kuda berkeringat merah, tentu ada sesuatu permintaannya yang lain daripada yang lain.
Dengan tertawa Ling-ji lantas berkata, "Tak tersangka sampai kepala negara Wan juga ada keperluan yang ingin minta bantuan Houya kami. Tapi di manakah ketiga pasang kuda mestika yang kau katakan" Kalau cuma kau perlihatkan keringat kudanya kan tiada gunanya."
Si jubah emas berkata, "Bahasa Han saudara lebih lancar, silakan bicara bagiku."
Rupanya dia kurang fasih bahasa Han, apa yang dikatakan tadi sudah cukup memeras otak, maka sekarang ia minta si muka kuda yang menjadi juru bicara.
Ling-ji menjawab dengan tertawa, "Ya, sejak tadi seharusnya kau suruh dia bicara. Nah, boleh kau bicara saja."
Si muka kuda berkata, "Ketiga pasang Thian-ma sudah diangkut sampai di pantai dan dijaga oleh ke-18 jago pengawal kami, setiap saat dapat dibawa kemari."
Ia menuding si jubah emas dan menyambung lagi, "Dia ini Koksu (imam negara) kedua kerajaan kami, aku sendiri Kam Sun dan menjabat sebagai Koksu ketiga, kedatangan kami sekarang adalah karena kepala negara kami sudah lama dengar ilmu pedang Houya kalian terkenal sebagai nomor satu di dunia, sebab itulah raja kami ingin minta Houya kalian menjabat Koksu pertama kami untuk mengajarkan ilmu pedang kepada para jago pengawal di negeri kami. Koksu utama merupakan kedudukan yang diagungkan dan cuma di bawah raja seorang. Sungguh suatu kedudukan yang mahaagung dan bahagia, kuyakin Houya kalian tentu ...."
Belum habis ucapannya mendadak Ci-ih-hou membentak, "Melihat bentuk dan bicaramu, kau juga orang Han, betul tidak?"
Suaranya kereng dan bengis dan tidak kemalas-malasan seperti tadi lagi.
Si muka kuda alias Kam Sun bermaksud menjawab dengan membusungkan dada, namun apa daya punggungnya tetap bungkuk, katanya, "Meski dulu aku orang Han, tapi sekarang berkat budi kebaikan Kokcu kami, kini aku sudah ...."
Mendadak Ci-ih-hou membentak, "Tak tersangka bangsa Han seperti dirimu rela menjadi pengkhianat dan diperalat orang asing dan lupa kepada kakek moyang sendiri, sungguh rendah jiwamu dan pantas dibinasakan. Kalau tidak mengingat kedatanganmu ini adalah tamu, tentu kepalamu sudah kupenggal, tapi lain kali bila kepergok olehku, hm, jangan harap jiwamu bisa selamat!"
Si muka kuda alias Kam Sun semula tampak berseri-seri, sekarang mukanya berubah pucat karena dampratan Ci-ih-hou.
Sungguh gembira dan puas Po-ji menyaksikan apa yang terjadi, hampir saja ia berkeplok memuji, pikirnya, "Ci-ih-hou ini sungguh seorang pahlawan bangsa dan berjiwa kesatria, bilamana bangsa Han kita semuanya berjiwa pahlawan seperti dia, mustahil negara takkan kuat dan berjaya. Musuh dari luar pun jangan harap akan mampu mengganggu kita."
Dahi si jubah emas tampak penuh keringat, katanya dengan tergegap, "Tapi ...
tapi kuda berkeringat darah ...."
"Hm, memangnya kau kira aku ini orang macam apa?" damprat Ci-ih-hou.
"Pulang dan katakan kepada raja kalian, jangankan cuma tiga pasang Thian-ma, 73
Koleksi Kang Zusi
biarpun tiga ribu pasang atau tiga laksa pasang juga jangan harap akan dapat membeli diriku."
"Ini ... ini ...," muka si jubah emas tampak pucat serupa mayat.
Sekonyong-konyong seorang berjubah putih dan berambut pirang serta bermata biru melompat keluar, gerakan tubuhnya gesit dan aneh, tampaknya seperti loncatan kelinci dan binatang liar, terdengar suara tertawanya yang ngekek, katanya, "Selamanya Ci-ih-hou tinggal di atas lautan, untuk apa kuda baginya"
Permohonanmu jelas tidak terkabul, kalau barangku pasti akan diterima dan permintaanku akan dikabulkan."
Dia juga tidak fasih bicara bahasa Han, maka cara bicaranya kaku dan kalimatnya tidak tersusun baik, kedengaran sangat lucu dan sebagian tertawa geli.
Namun kebanyakan tokoh yang hadir itu orang cerdik, mereka dapat menangkap maksud ucapannya dengan baik.
Orang bermata siwer itu mengira orang sama memuji ucapannya, ia pun tertawa gembira dan berkata pula, "Aku Cirus datang dari Persi, banyak kubawa hadiah, kiriman raja kami, dan aku ... aku ...."
Jilid 4. Misteri Kapal Layar Pancawarna
Mestinya ia hendak bilang "aku ini utusan raja", tapi ia tidak tahu istilah apa yang harus digunakan sehingga membuat orang lain yang mendengarkan merasa tidak sabar.
Pada saat itulah mendadak terdengar ribut-ribut di luar, tiba-tiba seorang berambut pirang dan berjubah putih menerobos masuk, orang ini pun berdandan sebagai bangsa Persi, gerak-geriknya juga sangat aneh. Begitu melompat masuk segera ia berteriak, "Aku Cirus, utusan Syah kami, memangnya kamu ini barang apa?"
Cara bicara orang ini pun kaku, namun dia fasih mengucapkan istilah "utusan".
Cirus kelihatan kaget, tanyanya, "Ka ... kamu datang dari mana?"
"Aku datang kemari atas suruhan raja Persi, kubawa hadiah," jawab Cirus kedua, sekali ia tepuk tangan, segera empat orang berambut pirang dan berbaju putih muncul dengan menggotong dua buah peti besar.
Cirus pertama bercuat-cuit macam-macam bahasa Persi. Tapi Cirus kedua malah berkata, "Di tempat bangsa Han sini tidak boleh bicara bahasa yang tidak dipahami orang."
Cirus pertama tampak gelisah dan mengentak kaki, ucapnya tergegap, "Aku ...
aku yang membawa hadiah ini, aku ... aku utus, kamu bukan ...."
"Aku makan nasi, kamu makan najis," tukas Cirus kedua.
Karena ribut mulut kedua orang ini, orang lain sama tertawa terpingkal-pingkal, tapi juga sama kejut dan heran, mengapa utusan kerajaan Persi bisa muncul dua orang yang berebut tulen dan palsu.
Segera Ling-ji berteriak, "Houya kami merasa kepala pusing karena keributan 74
Koleksi Kang Zusi
kalian. Jika kalian mau bertengkar, silakan minggir sana, kalau sudah jelas baru maju lagi."
"Betul," kata Cirus kedua, segera ia tarik rekannya ke samping, di situ kedua orang ribut lagi tanpa berhenti. Cirus pertama berulang mengentak kaki, mendadak iga terasa kesemutan, kontan kaku tak bisa berkutik.
Cirus kedua tergelak, "Hah, bagus, kamu sudah mengaku salah dan tidak ribut lagi, silakan duduk mengaso dulu."
Sekali dorong, tanpa kuasa Cirus pertama jatuh terduduk di pojok sana dengan mata melotot tanpa bisa bersuara.
"Ah, ringkik kuda dan kicau burung sungguh berisik, coba ganti seorang yang bicara cara manusia saja," kata Ci-ih-hou tak sabar.
Dengan kaku Bok-long-kun berdiri dan melangkah maju dengan membawa bungkusan besar, katanya, "Hari ini banyak tamu yang datang dari negeri Wan, Persi, Kochin dan negeri lain, semua ini menandakan nama Houya sungguh tersebar luas dan dikagumi bangsa asing sekalipun. Meski kado yang kubawa tidak dapat dibandingkan hadiah tamu dari negeri asing, namun kuharap akan diterima Houya dengan senang hati."
"Haha, rasanya cara bicaramu bernada manusia," seru Ling-ji dengan tertawa.
"Nah, apa permintaanmu, katakan saja."
Bok-long-kun membuka bungkusannya, seketika cahaya kemilau menyilaukan mata semua orang sehingga Bok-long-kun sendiri yang kaku serupa patung juga mengilat.
Po-ji benci padanya, ia mencibir ke arah orang. Dengan sendirinya perbuatan Po-ji tidak diketahui Bok-long-kun.
"Caihe Bok-long-kun adanya," demikian ucap si patung, "datang dari Jing-bok-kiong sebelah timur, ayahku Bok-ong ...."
"Tidak perlu kau baca silsilah keturunanmu, asal-usulmu sudah kuketahui," ucap Ci-ih-hou perlahan.
"Begini," tutur Bok-long-kun, "belum lama ini ayahku dilukai oleh perempuan siluman dari Pek-cui-kiong, sekujur badan membusuk, tenaga sakti hampir buyar, di kolong langit ini hanya Tai-hong-ko (salep angin besar) simpanan Houya yang dapat menyembuhkan penyakit ayahku. Sebab itulah dari jauh kudatang kemari dengan membawa harta pusaka istana kami sekadar mohon Houya suka memberi obat mustajab itu."
Ci-ih-hou tertawa kemalasan, katanya, "Pemilik Jing-bok-kiong pernah merajai dunia persilatan, harta benda yang kau bawa ini kukira bukan kau bawa dari rumah."
Bok-long-kun menjawab, "Apa pun juga ini kan juga tanda kesungguhan hatiku."
Air mukanya tidak berubah, sebab wajahnya kaku serupa kayu, biarpun merah mukanya juga tidak kentara.
"Beralasan juga ucapanmu," ucap Ci-ih-hou perlahan. "Apa lagi urusan ini juga tidak sulit ...."
75 Koleksi Kang Zusi
"Tidak, tidak bisa, sulit ...." mendadak seorang berteriak sambil melompat tiba serupa loncatan kelinci atau kijang. Kiranya Cirus kedua yang mengaku sebagai utusan syah Persi.
Dengan gusarnya Bok-long-kun memaki, "Kurang ajar, orang asing biadab juga berani cari perkara di sini"
Orang Persi itu tidak menggubrisnya, ia menjura kepada Ci-ih-hou dan berkata,
"Kami mengajukan permohonan lebih dulu, maka Houya harus memeriksa dulu hadiah kami ini untuk menentukan apakah akan memenuhi permintaan kami atau tidak, habis itu baru giliran dia."
Meski bicaranya juga kurang teratur kalimatnya, namun cukup lancar.
"Mengapa harus begitu?" bentak Bok-long-kun dengan gusar.
Karena sudah lama Ling-ji mendengar barang kerajinan tangan negeri Persi sangat bagus buatannya, maka ia ingin lihat benda mestika apa saja yang dibawa mereka, segera ia menyela dengan tertawa, "Mereka datang dari jauh, kukira boleh juga mereka diberi kesempatan untuk bicara lebih dulu, rasanya engkau kan juga tidak perlu terburu-buru."
Bok-long-kun mendengus, dengan menahan rasa gusar ia menyingkir.
Segera orang Persi itu memberi tanda, sebuah peti lantas diusung ke depan, katanya dengan tertawa, "Tempat kediaman Houya di sini serupa istana, cuma sayang kurasakan masih kurang sesuatu."
"Kurang apa?" tanya Ling-ji.
Cirus kedua itu lantas membuka peti, dikeluarkannya sepotong permadani, ia suruh anak buahnya membentang permadani, terlihatlah hamparan itu bercahaya mengilat, sukar diterka dibuat dari bahan apa.
Yang jelas permadani itu diberi gambar sulaman pemandangan istana raja Persi, beratus orang tersulam bagai manusia hidup dengan sikap yang berbeda-beda, ada lelaki yang kelihatan mabuk, ada yang sedang angkat gelas mengajak minum, ada pula yang berpelukan dengan perempuan cantik dan ada penari yang sedang menari di tengah pesta pora.
Terlukis seorang perempuan yang sangat cantik dengan garis tubuh yang menggiurkan, membuat siapa yang memandangnya pasti akan terpesona dan tergila-gila.
Semua orang yang hadir sama terkesima oleh keindahan hamparan itu, bahkan Ci-ih-hou juga menghela napas gegetun, katanya, "Kerajinan tangan orang Persia sungguh sukar dicari tandingannya."
Dengan tenang Cirus berkata, "Permadani hasil kerajinan tangan negeri kami sudah turun-temurun sejak zaman dahulu, setiap keluarga rata-rata menguasai teknik rahasia masing-masing. Permadani yang kubawa ini adalah buah karya 100 ahli yang dikumpulkan dari seluruh negeri oleh Syah kami dengan biaya besar dan makan waktu tiga tahun lamanya, sehingga boleh dikatakan tidak ada bandingannya di dunia ini. Bilamana lantai di sini diberi hamparan ini, dibanding istana raja juga tidak lebih asor."
76 Koleksi Kang Zusi
"Kau bawa hadiah bernilai sebesar ini, apa yang kau minta?" tanya Ling-ji.
Cirus tertawa, "Hadiah ini sebenarnya tidak seberapa, masih ada yang lebih bagus yang belum kuperlihatkan."
Segera ia tepuk tangan sehingga anak buahnya mengusung maju lagi peti kedua.
Semua orang sama tertarik oleh permadani yang bagus dan mewah ini, semuanya ingin melihat pula benda mestika apa dalam peti kedua ini.
Perlahan Ci-ih-hou berkata, "Katakan saja dulu apa permohonanmu padaku baru nanti melihat barang lain yang kau bawa."
Cirus tertawa, katanya, "Apakah Houya khawatir yang kami minta akan sama serupa orang negeri Wan, maka Houya tidak mau melihat barang dulu supaya tidak terpikat."
"Pintar juga kau ...." ucap Ci-ih-hou tak acuh.
"Houya mengutamakan kepentingan negara dan bangsa sendiri, sungguh kami merasa kagum dan salut," kata Cirus. "Namun janganlah Houya sangsi, apa yang kami minta sangatlah sederhana yaitu agar dalam waktu tiga tahun, janganlah Houya memberikan Tay-hong-ko kepada siapa pun."
Utusan negeri Persi yang datang dari jauh ini dan mempersembahkan harta benda sebesar ini, apa yang dimohon ternyata cuma soal sepele begini saja, keruan semua orang yang mendengarnya sama melongo.
Cirus pertama yang tertutuk Hiat-to kelumpuhan dan meringkuk di pojok sana terlebih gemas oleh ucapan Cirus kedua itu, matanya mendelik dan urat hijau sama menonjol memenuhi dahinya.
"Bangsat keparat, jadi kau sengaja hendak mengacau padaku?" bentak Bok-long-kun dengan gusar.
Ling-ji mencegahnya, katanya dengan tertawa, "Kan Houya kami juga belum pasti memenuhi permintaannya, apa salahnya melihat dulu isi peti kedua ini?"
"Tapi ...."
Belum lanjut ucapan Bok-long-kun segera dipotong Ling-ji, "Dan kalau Houya kami mau terima permintaannya, lantas kau bisa berbuat apa?"
Bok-long-kun tahu orang ingin tahu apa isi peti, terpaksa ia tidak dapat berbuat apa-apa dan menahan rasa gusar.
Ling-ji lantas memelototi Cirus kedua dan berkata, "Buka petimu, tunggu apa lagi?"
Orang Persi itu mengiakan.
Begitu tutup peti terbuka, seketika terdengar suara alat musik yang merdu, seorang kerdil dengan tubuh setinggi tiga kaki atau kurang lebih 80-90
sentimeter, membawa kecapi senar lima mendahului melompat keluar. Begitu hinggap di lantai terus berjumpalitan empat-lima kali sehingga tiba di depan Ci-ih-hou, setelah menyembah tiga kali, lalu melompat ke samping dan membunyikan alat musiknya membawakan lagu merdu.
77 Koleksi Kang Zusi
Meski tubuh manusia mini ini sebesar anak kecil, namun wajahnya sudah serupa orang dewasa, ukuran anggota badannya juga serasi dengan perawakannya.
Semua orang sama terheran-heran melihat kemunculannya, siapa pun tidak menyangka di dalam peti berisi manusia hidup.
Cinta Bernoda Darah 8 Pertarungan Dikota Chang An Seri 2 Kesatria Baju Putih Karya Wen Rui Ai Kisah Para Pendekar Pulau Es 19
^