Pencarian

Misteri Kapal Layar Pancawarna 20

Misteri Kapal Layar Pancawarna Karya Gu Long Bagian 20


Mendapatkan kapal kosong yang sudah bobrok, dengan keadaan yang porak poranda, menemukan sepasang laki perempuan yang sekarat dan empas-empis menunggu ajal. Keruan kawanan perampok itu berdiri melongo.
Beberapa di antaranya menggerutu dan mengumpat, ada juga yang belum putus-asa, geledah sana periksa sini, mencari barang-barang yang dianggap masih berharga untuk dimiliki. Dua orang menghampiri Oh-Put-jiu dan Cui-Thian-ki, berjongkok dan memeriksa dengan seksama.
Seorang berkata dengan menyengir "Ajaib, kedua orang ini belum mati."
"Entah dari mana kedua orang ini," kata seorang lain, "Coba periksa, pakaian yang melekat di badan mereka hampir mirip pakaian orang-orang yang datang dari negeri asing."
Orang ketiga mendekat sambil cengar-cengir, "Tapi cewek ini kelihatan yahut, asal diberi makan dua-tiga hari lalu didandani, aku tanggung dia akan segar-bugar lagi menjadi cewek yang ayu jelita, hihi ...." di tengah gelak tawanya, orang banyak pun merubung maju.
Mereka tidak tahu bila nona jelita ini diberi makan dan minum, dua-tiga hari lagi, maka jiwa mereka yang bakal terancam bahaya.
Sudah tentu Oh-Put-jiu dan Cui-Thian-ki mandeh ditonton dan dicemoohkan, mereka malas membuka mata dan bicara, apalagi bergerak.
Mendadak seorang berbicara dengan nada tinggi dari kapal perompak, "Hehe, anak-anakku yang bagus, kenapa tidak lekas bawa kemari apa yang kalian temukan" Barang-barang bagus harus kalian serahkan dulu kepadaku untuk diperiksa."
Suara itu berkumandang dari kejauhan, namun suaranya jernih lagi nyaring, Oh-Put-jiu dan Cui-Thian-ki yang setengah sadar seperti kenal suara itu, namun mereka malas mencari tahu siapa sebenarnya orang yang bersuara itu.
Kawanan perompak itu menggerundel itu tidak sedikit yang meludah dan mengumpat, seorang yang dekat Oh-Put-jiu memaki perlahan, "Tua bangka ini ternyata sok bertingkah dan main perintah."
"Salah kita kenapa tidak mampu melawan dan mengusirnya," seorang menanggapi.
"Ya, tahu begini biar dia tenggelam saja di laut, kenapa kita menolongnya malah," orang ketiga menggerutu.
Sambil mengumpat beberapa orang itu mulai mengangkat tubuh Oh-Put-jiu dan Cui-Thian-ki.
Keadaan Oh-Put-jiu dan Cui-Thian-ki memang lemah lagi lunglai, waktu diangkat keadaan mereka mirip setumpuk daging yang tidak bertulang.
660 Koleksi Kang Zusi
Dalam keadaan setengah sadar mereka diangkat ke kapal perampok, seketika hidung mereka mengendus bau tembakau , bau arak dan keringat laki-laki yang busuk.
"Hanya" suara nyaring melengking tadi mendadak menjerit kaget dan senang, "kiranya kalian
...Hehe, dunia rasanya sebesar daun kelor, di mana saja kita selalu bertemu lagi."
Akhirnya Oh-Put-jiu dan Cui-Thian-ki membuka segaris matanya. Mereka melihat Ban-lo-hu-jin berdiri di depannya, pantas mereka merasa kenal suaranya.
Di atas kapal perampok ini, berbagai macam barang yang aneh-aneh bertumpuk dan berserakan daging panggang, arak berguci-guci, berbagai jenis pakaian, tumpukan emas perak dan perhiasan mutu manikam, semua ditaruh sembarangan tanpa diatur atau disusun dengan baik, kapal perampok ini mirip toko kelontong yang tidak keruan keadaannya.
Di tengah ruang terdapat sebuah meja, di atas meja berserakan mangkuk piring yang berisi berbagai jenis makanan, berbagai jenis arak, mirip restoran yang berantakan.
Ban-lo-hu-jin berdiri di belakang meja yang mirip restoran berantakan ini, kedua tangannya berlepotan minyak, demikian pula mulutnya, agaknya sejak berada di kapal perampok ini, dia terus makan dan makan tanpa berhenti.
Oh-Put-jiu menyengir kecut, "Ternyata ...ternyata kamu berada di sini."
"Tidak kau duga bukan" Nenek ini memang berejeki besar, panjang umur, betul tidak?"
Kawanan perompak itu berpandangan, "Hei ternyata mereka sudah kenal".
Diam-diam mereka mengeluh, melayani nenek yang satu ini saja sudah kewalahan dan bertobat, kini ditambah dua orang lagi, harapan untuk mengusir nenek keparat ini jelas sia-sia belaka, maka beramai-ramai mereka sama mengundurkan diri.
Pada saat kawanan perompak itu mundur satu per satu, Cui-Thian-ki merapatkan tubuhnya dalam pelukan Oh-Put-jiu, dengan pilu ia berkata lirih, "Kali ini nasib kita akan lebih celaka ...."
"Ya, segalanya akan berakhir di sini ..."
"Nenek keparat itu pasti tidak akan memberi kelonggaran padamu."
"Ya, mungkin."
Dengan erat mereka berpegangan, mereka maklum untuk terakhir kali ini mereka dapat saling genggam. Mereka lebih rela jatuh ke sarang serigala dan dimangsa oleh binatang liar dan buas daripada jatuh di tangan Ban-lo-hu-jin.
Kawanan perompak itu sudah hampir pergi seluruhnya, di luar dugaan Ban-lo-hu-jin mendadak tertawa besar, serunya melengking, "He, kenapa kalian menyingkir malah?" Kalian tidak mau memanfaatkan hasil buruan ini?"
Kawanan perompak itu kaget dan bingung, "Tapi ...mereka ..."
Ban-lo-hu-jin terkial-kial, "Mereka memang temanku, tapi nenek ini kenal budi dan tahu cara membalasnya, kalian sudah menerima diriku di kapal ini, adalah pantas kalau aku ikut memikirkan kepentingan kalian. Nah, begini saja, yang lelaki jelas tidak berguna bagi kalian, taruh saja di sini akan aku bereskan dia, sedang yang perempuan, aku tidak membutuhkannya."
Kawanan perompak itu terbelalak girang dan saling pandang.
Ban-lo-hu-jin tambah geli, "Anak-anak bodoh tunggu apa lagi, ayolah gotong ikan duyung ini ...
He, kalian harus tahu dan waspada, cewek ayu ini juga seekor macan betina, perlu aku peringatkan kepada kalian, jangan memberi makan apa pun padanya, kalau dia makan kenyang dan tenaganya pulih, maka kalian jangan harap bisa selamat di tangannya, ... haha, meski keadaannya lemas lunglai, kalian kan bisa mengajaknya tidur"
Serasa beku sekujur badan Oh-Put-jiu hujan marah juga tidak bisa lagi, terpaksa ia hanya mengawasi saja dengan cemas kawanan perompak itu menggotong Cui-Thian-ki pergi.
661 Koleksi Kang Zusi
Cui-Thian-ki lemas lunglai, tidak bisa berbuat apa-apa jangankan meronta, menjerit atau memaki juga tidak bisa. Maka ia hanya mengawasi Oh-Put-jiu saja.
Mereka saling tatap, berpandang-pandangan, mereka tahu inilah pandangan terakhir, pandangan perpisahan.
Ban-lo-hu-jin menutup rapat daun pintu, katanya tertawa, "Kawanan kura-kura itu tentu mengira aku ini tua-tua keladi sudah tua masih naksir anak muda ..."
Sembari bicara tangannya mencomot sebuah paha ayam sengaja dipamerkan sambil melirik ke arah Oh-Put-jiu, hidungnya mengendus-endus, tertawa yang dibuat-buat tampak mirip badut,
"Sebaiknya apa yang harus kau lakukan menurut seleraku" Coba terka?"
Oh-Put-jiu memejamkan mata, tidak memedulikan ocehannya.
"Kenapa pejam mata" Takut melihat hidangan sedap ini" Padahal apa sih salahnya melihatnya"
Hidangan ini semua akan kuberikan padamu."
Oh-Put-jiu mengertak gigi, meronta-ronta, bertahan sabar, tapi tak kuat menahan keinginan, matanya akhirnya terbuka, paha ayam itu ternyata berada di depan hidungnya.
Bau lezat menusuk hidung Oh-Put-jiu, saking tak tahan badannya sampai gemetar.
"Coba cium, apakah paha ayam ini harum?"
Bibir Oh-Put-jiu bergetar, gigi berkeretukan, sekuat tenaga ia mengertak gigi, namun perutnya sudah tak kuat menahan lapar, dengan gemetar tangannya terangkat hendak meraih paha ayam itu, tapi Ban-lo-hu-jin mendadak menarik tangannya.
"Ingin makan ya?" goda Ban-lo-hu-jin dengan tertawa lebar, "mudah saja, asal kamu berjanji dan melulusi psrmintaanku, paha ayam ini segera kuberikan padamu."
"Soal ...soal apa?" tanya Oh-Put-jiu sambil mengerahkan tenaga.
"Aku hanya minta kau beber rahasia pit-kip peninggalan Ci-ih-hou padaku."
"Tidak ...tidak akan kukatakan." teriak Oh-Put-jiu. Tapi pikirannya tenggelam dalam tenggorokan.
"Tidak mau bicara" aku tidak akan memaksamu, tapi paha ayam ini, ehm ...betapa lezatnya paha ayam ini ...."
Tangan yang memegang paha ayam bergerak pergi datang di depan mata Oh-Put-jiu.
Oh-Put -jiu bergulingan di lantai, sekuat sisa tenaganya ia memukul dada sendiri.
"Anak bodoh, buat apa menyiksa diri sendiri hanya bicara ...ai, sedap benar paha ayam ini, kalau tidak percaya, boleh coba mencicipinya."
Lalu disobeknya secomot daging ayam dan dilempar ke lantai.
Tubuh Oh-Put-jiu sudah meringkel dan masih gemetar.
Rasa benci merasuk hatinya, benci terhadap diri sendiri, kenapa dalam keadaan seperti ini, dirinya menjadi begini lemah. Tapi benci tinggal benci, dia tidak bisa berbuat apa-apa. Oh-Put-jiu cukup sadar sebagai manusia biasa, dirinya tak kuat menahan lapar, lapar merupakan iblis yang paling menakutkan di dunia ini.
Dia terus meronta, bertahan dan berjuang menanggulangi kelaparan, berusaha melupakan dan tidak melihat atau mencium bau daging ayam itu. Orang yang tidak pernah gila karena kelaparan takkan bisa membayangkan betapa gigih perjuangan seorang yang memerangi rasa kelaparan.
Mukanya basah oleh keringat dingin, bibirnya juga berdarah karena tergigit pecah.
"Anak bagus, makanlah tidak usah sungkan!"
662 Koleksi Kang Zusi
Seperti anjing kelaparan akhirnya Oh-Put-jiu menggelinding ke sana, dengan rakus ia melalap daging ayam di lantai itu.
Mendingan dia tidak menelan daging ayam itu, begitu daging ayam itu masuk mulut, betapa lezat dan sedap rasanya, menjadikan rangsangan yang tidak bisa dibendung lagi, kini bukan hanya badan saja yang bergetar, sukma juga seperti akan terbang ke awang-awang.
"Karena lapar dia tersiksa, api iblis seperti menyayat tubuhnya, penderitaan ini bukan lagi penderitaan fisik, penderitaan ini sudah merasuk sukma dan jiwanya.
"Nah, anak bagus, katakan saja," demikian ragu Ban-lo-hu-jin dengan lembut, "isi buku itu sudah apal di luar kepalamu, betapa mudah membacanya, kan lebih enak daripada kelaparan begini ..."
Oh-Put-jiu meringkel lagi, kepala terbenam di tengah kedua lututnya. Tapi rayuan Ban-lo-hu-jin seperti mengandung hipnotis, meski menutup kuping suaranya masih terdengar jelas.
"Kamu hanya membacanya di luar kepala, paha ayam ini akan menjadi milikmu, demikian pula daging sapi, panggang babi dan sate kambing ini semua kuberikan padamu. Hah, bakpao ini besar lagi masih hangat ..."
"Tutup bacotmu! ....Kumohon tutup mulutmu!"
Pekik suara Oh-Put-jiu yang mengerikan mirip raungan binatang buas yang terluka dan kehabisan tenaga, siapa pun yang mendengar suaranya akan hancur hatinya, tapi Ban-lo-hu-jin masih tenang dan berseri tawa, seperti tidak mendengar juga tidak melihat.
Dengan kalem ia malah berkata, "Nah, daging babi ini dipanggang dengan saos, rasanya empuk dan wangi sate kambing ini kalau dimakan bersama bakpao, tanggung lidahmu akan menari
...." "Baiklah ....akan ...akan aku bacakan," Oh-Put-jiu tidak tahan lagi, suaranya serak.
Ban-lo-hu-jin terbeliak senang "Benar kau mau membacakan?"
Oh-Put-jiu memukul dada dan membenturkan kepala di lantai, dengan serak ia meratap, "Ya, akan aku bacakan ....aku bukan manusia ....akan aku bacakan ..."
Dalam pada itu kawanan perompak itu telah menggotong Cui-Thian-ki ke buritan, lalu membaringkannya di tempat yang teraling oleh hembusan angin, gelak tawa kasar orang banyak seperti gemuruh ombak.
Tampil seorang laki-laki bermuka burik, dengan sebuah anting-anting gelang menghias kuping kirinya, golok pendek melengkung terselip di pinggang, sikapnya kelihatan rakus dan liar, sambil menyeringai lebar ia berkata, "Siapa duga nenek reyot itu masih berselera besar, yang ditaksir adalah anak muda yang lemah, untuk apa dia menyekap diri dalam kabin kalau tidak main cinta."
Seorang lagi berperawakan gede luar biasa, namun kepalanya justru kecil sekali. Badan yang gede bak raksasa itu dibungkus pakaian ketat yang menyolok warnanya, sementara kepalanya yang kecil dibungkus ikat kepala warna merah, suaranya serak dan rendah, "Justru tua bangka itu sudah lamur matanya, bukan pilih satu di antara kita, dia justru pilih kera berkepala besar yang kurus lagi kering, mana kuat bocah itu dipermainkan olehnya."
Seorang lagi bergelak tawa, "Nah, dalam hal ini agaknya kamu bukan ahli. Justru karena usianya sudah lanjut, maka dia tidak berani mengajak kita main, bila main denganmu umpamanya, mungkin tulang belulangnya akan terlepas semua."
Kepala kecil itu menjengek, "kau tahu apa, kau tahu kentut perempuan makin tua makin berpengalaman dan lebih ...."
Kawanan tertawa geli, "Kalau benar demikian kenapa tidak kamu saja yang mengajaknya main?"
"Cuh," kepala kecil meludah, "Ikan cucut macamku ini, umpama delapan tahun tidak menyentuh wanita juga tidak akan pilih perempuan reyot seperti itu, coba bayangkan tubuhnya 663
Koleksi Kang Zusi
yang kate gembrot ...cuh jijik!"
Tiba-tiba bola matanya mengerling lalu bergelak tawa, "Apalagi di sini ada cewek secantik ini, kalau kalian mengaku saudara baikku, berilah kesempatan, biar ikan cucut mencicipinya lebih dulu, bagaimana?"
"Wah, mana bisa, cewek ini tidak kuat," seru si muka burik.
"Betul, berikan saja padaku, aku paling kecil juga paling sopan," seorang lain menyeletuk.
Tiba-tiba seorang membentak dingin, "Kalian minggir semua."
Orang ini berpakaian serba hitam, sepatu kulit hitam ikat kepala hitam, celana hitam, sabuk hitam, mukanya yang benjol-benjol penuh daging juga hitam, legam, mata kanannya tertutup kain hitam, kiranya si mata tunggal.
Meski hanya mata tunggal, tapi mata kirinya bercahaya, lebih terang dari dua biji mata orang lain, lebih buas, garang dan menakutkan.
Melihat kedatangannya, kawanan perompak itu mundur semua.
Ikan cucut segera tampil ke depan sambil unjuk tawa mengumpak, "Kalau Liong-lo-toa ada selera, sudah tentu Liong lo-toa diberi prioritas."
"Tidak mau," bentak Tok-gan-liong (si naga mata tunggal).
Ikan cucut menyengir "Kalau Liong-lo-toa tidak mau, biar aku ...."
"Pergilah ke dapur, ambil nasi dan lauk-pauknya," bentak Tok-gan-liong kasar.
Ikan cucut melengong, "Tapi ....kita tidak boleh memberinya makan."
"Siapa bilang tidak boleh?" bentak Tok-gan-liong beringas.
"Nenek ....nenek tua ...."
"kau tunduk padaku atau mendengar perintah?"
Ikan cucut bungkam, sekilas ia melirik ke arah Cui-Thian-ki, setelah menelan air liur ia berkata lagi dengan mengeraskan kepala, "Tapi ....kalau cewek ini punya tenaga, kita mungkin tak mampu mengusiknya lagi."
"Memangnya siapa bilang kita akan mengusiknya?" damprat Tok-gan-liong.
Keruan kawanan perompak kaget mendengar pernyataan Tok-gan-liong. Cui-Thian-ki yang lunglai dan hampir pingsan pun tersentak kaget dan terbuka matanya.
Tampak kawanan perompak itu terbeliak bingung dan saling pandang, mimik mereka mirip kera makan terasi, penasaran juga kecewa. Ikan cucut agaknya paling berani di antara mereka,
"Tapi ...Liong-lo-toa, daging empuk yang sudah di depan mulut, kenapa tidak kita ..."
"Maksudmu kau ingin mencicipi kemontokan tubuhnya?" tukas Tok-gan-liong mendelik.
Ikan cucut menyengir malu, "Lo-toa, kasihanilah saudara-saudaramu, sudah tujuh delapan bulan kita berlayar, tidak pernah mendarat, selama itu kapan kita melihat perempuan, apalagi mengajaknya tidur, aku yakin kau sendiri juga ketagihan ..."
Belum habis ikan cucut bicara Tok-gan-liong sudah melayangkan telapak tangannya, ikan cucut tergampar mencelat beberapa meter jauhnya.
Dengan mata tunggalnya yang garang Tok-gan-liong menyapu pandang anak buahnya, "Siapa lagi yang ingin bicara?"
Kawanan perompak yang liar lagi buas dan berotot itu, ternyata mirip tikus berhadapan dengan kucing di depan Tok-gan-liong, mereka tunduk dan bungkam, tiada satu pun berani bercuit lagi.
"Siapa di antara kalian yang mau ke dapur mengambilkan makanan?" kata Tok-gan-liong pula.
664 Koleksi Kang Zusi
Seperti berlomba, beberapa di antara anak buahnya berlari ke dapur, hanya sekejap mereka sudah kembali membawa nasi, ikan, daging, semangkuk kuah dan dua buah bakpao.
Tok-gan-liong tertawa dingin, "Lahirnya kalian kelihatan tunduk dan patuh padaku, tapi kutahu hati kalian masih penasaran dan bertanya Liong-lo-toa bukan sanak kadang cewek ini, kenapa menampilkan diri menolongnya?"
Dalam hati kawanan perompak itu mengiakan tapi mulut mereka bilang tidak.
"Benar tidak?" bentak Tok-gan-liong gusar.
Terpaksa anak buahnya mengiakan bersama dengan menunduk.
"Kalau kalian anggap Liong-lo-toa tidak tahu aturan, sok kuasa dan setenang-benang, maka kalian salah. Bahwa aku menolong nona ini, sudah tentu ada sebab dan alasannya."
Sebelum orang bertanya ia sudah melanjutkan "Ingin aku tanya kalian, nenek keparat itu menggemaskan."
"Kalau kita bawa nenek keparat itu pulang ke daratan, apa ada muka kita menghadap atasan"
Umpama pemimpin kita tidak menyalahkan dan tidak menghukum kita tapi kejadian yang memalukan ini, kalau sampai tersiar luar apakah kapal kita masih dapat berlayar di lautan?"
Pidato Tok-gan-liong seperti mengorek isi hati mereka, semua mendesis geram dan mengertak gigi penuh kebencian, "Ya, tua bangka itu ..."
"Kecuali memaki di belakangnya, apa yang bisa kalian lakukan?" jengek Tok-gan-liong.
Kawanan perompak saling pandang, semua lesu "Berkelahi kita buka tandingannya, adu mulut juga kalah."
"Makanya, kalau kita kewalahan menghadapinya, kan pantas kalau kita cari bantuan orang,"
seru Tok-gan-liong berapi-api.
"Mencari bantuan" Mencari siapa" Di tengah laut begini siapa dapat kita mintai bantuan?"
kawanan perompak itu kehabisan akal.
Tok-gan-liong menuding Cui-Thian-ki, suaranya tegas, "Kita minta bantuan nona ini."
"Dia" ...Minta bantuannya" ..." gempar kawanan perampok itu.
Bab 31. Misteri Kapal Layar Pancawarna
"Kalian memang sekawanan binatang liar yang bodoh, memangnya kalian tidak melihat sikap nenek itu amat takut dan segan terhadap nona ini" Kalau nona ini tidak kelaparan dan lemas lunglai, memangnya nenek siluman itu tidak berlutut minta ampun padanya."
Sekilas kawanan perampok itu adu pandang pula, lalu pecah gelak tawa mereka.
"Betul," seru mereka berkeplok dan berjingkrak, "memang demikian ...Liong-lo-toa memang lebih pintar dari kita."
"Kalian sudah tahu akalku amat bagus, kenapa tidak lekas serahkan kuah hangat itu."
perlahan Cui-Thian-ki minum kuah yang diangsurkan ke depan mulutnya, selain menghabiskan satu bakpao dan sekerat daging, matanya juga sudah terbuka lebar, hanya beberapa kejap kemudian, bola matanya kembali bercahaya, bening lagi jeli.
Kini Cui-Thian-ki sudah dapat duduk, tawanya masih manis, "Terima kasih, kalian ...!"
Mendengar Cui-Thian-ki tertawa, kawanan perompak itu sama terpesona dan melongo, tertegun seperti orang pikun mimpi pun mereka tidak pernah membayangkan ada gadis ayu dan menggiurkan seperti Cui-Thian-ki.
Melihat keadaan orang-orang itu, senyum Cui-Thian-ki tambah manis, lirikan matanya juga 665
Koleksi Kang Zusi
lebih tajam, katanya lirih, "Sebetulnya aku sudah menerima kematian, tapi kalian menolong aku malah, juga menolongnya, aku ...aku tidak tahu cara bagaimana harus berterima kasih pada kalian."
perlahan ia berdiri dengan gemulai ia maju dan satu per satu mencipuk pipi orang-orang itu.
Memangnya kawanan perampok itu sudah linglung, setelah dicipuk mereka menjadi kaku mirip tonggak kayu. Umpama ada orang membacok mereka dengan golok juga tidak akan dirasakan sakit.
Tok-gan-liong juga gelagapan, "Nona, kau ...."
Tadi betapa girang dan gagah laki-iaki ini di hadapan anak buahnya, namun menghadapi Cui-Thian-ki, dia berubah mirip anak kecil, bicara juga gelagapan.
"Jangan kuatir." ucap Cui-Thian-ki tertawa, "serahkan urusan ini padaku, tanggung beres."
"Tapi nenek siluman itu ...."
"Kali ini dia tidak akan bisa lari."
Melihat senyum manis Cui-Thian-ki, suaranya yang lembut, akhirnya timbul keberanian Tok-gan-liong, "Tapi ...orang seperti nona, apa dapat membunuh orang" Apakah nona pernah membunuh orang?"
Tadi dia amat yakin dan penuh kepercayaan namun setelah melihat keadaan Cui-Thian ki, bicara lembut, gerak gerik sendiri.
"Satu pun aku tidak pernah membunuh," ujar Cui-Thian-ki tertawa.
"Wah, kalau begitu ...." Tok-gan-liong menghela napas.
"Aku tidak membunuh satu orang," demikian tukas Cui-Thian-ki, "aku hanya membunuh lima ribu lebih."
Tok-gan-liong tercengang, matanya terbeliak, demikian pula anak buahnya, semua berdiri linglung.
Sambil menggeliat dan meluruskan kaki tangan nya, perlahan Cui-Thian-ki malah merebahkan diri.
Angin laut meniup buyar rambutnya, meniup pakaiannya yang sudah tidak keruan, pahanya yang jenjang mulus terpampang di depan orang banyak.
Selama beberapa hari ini, keadaannya tidak terurus, badannya kotor, demikian pula pahanya berlepotan hangus, jadi tidak seputih dan semulus biasanya, namun potongan tubuhnya dengan lekuk-lekuknya yang nyata, laki-laki mana yang tidak terangsang melihatnya.
Cui-Thian-ki tidak peduli. Dia berbaring seenaknya, seolah-olah orang-orang itu tidak dianggap manusia.
Sudah tentu orang-orang itu sama serba salah, biji leher mereka turun naik dan menelan air liur, banyak yang melengos ke arah lain, namun tidak jarang mereka menoleh dan melirik.
Akhirnya Tok-gan-liong tidak sabar lagi, "No ...nona, tidak sekarang engkau bertindak?"
"Sebelum tenagaku pulih, kalau sampai berkelahi bagaimana?" demikian jawab Cui-Thian-ki ia kuatir kalau Ban-lo-hu-jin nekat dan melabraknya, urusan bisa runyam.
"O, ya ...." Tok-gan-liong menunduk. Tapi beberapa kejap kemudian ia tak tahan lagi, "Laki-laki yang berada di atas kapal dengan nona itu...."
"Dia bernama Oh-Put-jiu, dia ..." Cui-Thian-ki tertawa lebar, "Bagaimana tentang dia?"
Tawa yang genit dan malu-malu secara tidak langsung menjelaskan tentang hubungannya dengan Oh-Put-jiu.
666 Koleksi Kang Zusi
"Baik, bagus sekali, hanya saja ...mungkin ...agak lemah sedikit."
"Dia lemah" ...Ah, kalau bukan lantaran kelaparan belasan hari, terhadap orang-orang seperti kalian, seorang diri pun dia mampu melawan empat atau lima puluh orang."
"O, ya ....ya, tapi sekarang, keadaannya justru amat berbahaya."
"Berbahaya?" tanya Cui-Thian-ki, "kalau benar dia menghadapi bahaya, memangnya aku enak-enak tidur di sini" Kalau benar dia mengalami bahaya, jangankan aku sudah bisa berdiri dan berjalan merangkak pun akan kususul ke sana."
"Tapi ...tapi nenek siluman itu ...?"
"Jangan kuatir, nenek siluman itu takkan membunuhnya, umpama ditempeleng dan diludahi mukanya, nenek itu juga tidak akan marah, tidak berani mengusiknya."
"Oo, kenapa demikian?" tanya Tok-gan liong bingung.
"Karena nenek siluman itu ingin memperoleh sesuatu dari dia."
Terbelalak heran Tok-gan-liong, "Maksudmu nenek itu memohon sesuatu padanya?"
"Ehm, kamu tidak percaya?"
"Padahal nona tidak melihat mereka dari mana tahu?"
"Tanpa melihat mereka pun aku dapat menebaknya, dia ..."
Belum habis Cui-Thian-ki bicara, mendadak berkumandang lengking jeritan yang menyayat hati.
Jeritan itu ternyata suara Ban-lo-hu-jin.
"Hah, nenek siluman itu ...wah ...apa yang terjadi."
Kejut-kejut girang Cui-Thian-ki dibuatnya, "Lekas papah aku berdiri."
Bergegas Tok-gan-liong memapah Cui-Thian-ki, waktu jari tangannya menyentuh kulit badannya, mendadak ia gemetar dan merinding, hampir saja napasnya menjadi sesak.
"Papah aku ke sana." pinta Cui-Thian-ki.
Tok-gan-liong menarik napas, "Ya, tapi ... tapi ....."
"Tapi apa lagi, lekas!"
"Untuk berjalan saja nona tidak bertenaga, mana bisa ..."
"Siapa bilang aku tidak bertenaga, untuk jalan, aku hanya ingin menghemat tenaga, tenaga yang sudah pulih sebagian ini akan kugunakan untuk menghadapi nenek itu, tahu tidak?"
"O, ya ...ya," Tok-gan-liong menghela napas panjang.
Dengan kekuatannya, menjinjing tubuh orang seberat Cui-Thian-ki, sepuluh orang juga dapat diangkatnya bersama. Tapi entah kenapa, tubuh Cui-Thian-ki yang halus, selembut sutera, harum lagi hangat, begitu menggelendot di badannya, seketika ia merasa berat sekali boleh dikatakan tenaga untuk menarik napas pun terasa berat, malah hampir tidak kuat menggerakkan kaki.
Untung Tok-gan-liong masih mampu membawa Cui-thian-ki ke depan pintu kabin.
Keadaan dalam kabin sudah tenang dan sepi, namun daun pintu masih tertutup rapat.
"Terjang pintu itu," Cui-Thian-ki memberi aba-aba.
Kepandaian untuk berkelahi kawanan perampok itu memang terlalu rendah, tapi tenaga untuk menjebol pintu cukup berlebihan, tiga orang beradu pundak lalu menerjang serempak, "blang"
667 Koleksi Kang Zusi
daun pintu pecah dan jebol berhamburan.
Tampak tangan kiri Ban-lo-hu-jin mendekap muka sebelah kanan, mukanya berlepotan darah.
Sementara Oh-Put-jiu duduk lemas di atas kursi mulutnya juga berlepotan darah.
Jari-jari tangan kanan Ban-lo-hu-jin sedang mencekik leher Oh-Put-jiu, begitu daun pintu jebol diterjang dari luar, segera dia lepas tangan sambil mundur tiga langkah. "Siapa ..."
Belum habis bicara, ia lihat Cui-Thian-ki berdiri diambang pintu. Kini sikapnya mirip dicekik lehernya, bibirnya bergetar, sepatah kata pun tak mampu bicara.
Begitu daun pintu jebol, Cui-Thian-ki lantas berdiri sendiri, berdiri tegak dan pasang aksi lagi.
Wajahnya dihias senyum cerah yang menggiurkan, wajah nan jelita tampak bersemu merah dan bercahaya, siapa pun takkan percaya bahwa barusan nona ini masih empas-empis dan lemas kelaparan.
Dengan mengulum senyum ia menyapa, "Hai, Ban-lo-hu-jin, baik-baik saja engkau ?"
Ban-lo-hu-jin berdiri kaku seperti kayu, tapi kulit daging wajahnya kelihatan kedutan, walau mulut terpentang lebar, tapi suaranya serak dan tenggelam dalam tenggorokan.
Setelah menelan ludah beberapa kali, akhirnya ia tergagap, "kau ...bagaimana bisa ...."
"Mengherankan bukan" Sebetulnya aku sendiri agak heran, tapi sekarang aku sudah tahu, lapar memang penyakit yang menakutkan, namun penyakit ini pun cepat sembuh."
Sambil tersenyum ia melangkah maju, sebaliknya setapak demi setapak Ban-lo-hu-jin menyurut mundur.
Ketika Cui-Thian-ki tiba di samping Oh-Put-jiu, Ban-lo-hu-jin sudah mundur mepet dinding.
"Ban-lo-hu-jin, apa yang kau takuti?" ucap Cui-Thian-ki lembut, "paling banter aku hanya membunuhmu sekali, atau mengiris dan menyayat kulit dagingmu saja, bila aku malas dan cari gampangnya, mungkin kamu aku dorong ke dalam laut untuk umpan ikan, lalu apa yang harus kau takuti?"
"Nona ...nona Cui, aku ...aku tidak ...tidak bersalah terhadap kalian, coba periksa, telingaku sudah protol digigit Oh-siau-hiap."
Sembari bicara ia turunkan tangannya, telinga kanannya memang tidak kelihatan, pipinya berlepotan darah.
Cui-Thian-ki cekikikan "Lho, apa yang terjadi" ...O, ya, aku tahu sekarang. Mungkin Oh-siauhiap bicara terlalu lirih, maka kamu mendekatkan kupingmu ke depan mulutnya, siapa tahu tahu Oh-Put-jiu kelaparan, saking tak tahan telingamu digigit dan ditelannya, ai ... seleranya ternyata cukup besar."
Kawanan perompak itu geli dan ingin tertawa di samping kaget mereka pun heran, "Siapa menduga laki-laki yang sekarat karena kelaparan itu masih dapat menipu dan menggigit telinga nenek keparat itu."
Ban-lo-hu-jin memang tertipu oleh Oh-Put-jiu dengan muka cemberut ia berkata, "Ucapan nona Cui memang benar, seperti menyaksikaa sendiri saja."
"Terima kasih atas pujianmu," ucap Cui-Thian-ki tertawa, "Tapi soal apa yang dibicarakan Oh-Put-jiu terhadapmu" Ban-lo-hu-jin ternyata begitu besar hasratnya untuk mendengarkan bisikannya?"
"Dia ...ini ...."
"Ah, tahulah aku sekarang. Yang akan dia bisikan tentu rahasia kungfu warisan Ci-ih-hou, betul tidak?"
Ban-lo-hu-jin menunduk lesu, "Persoalan apa pun agaknya tidak bisa mengelabui dirimu."
"Setelah mendengar rahasia kungfu peninggalan Ci-ih-hou tentu kungfumu memperoleh 668
Koleksi Kang Zusi
kemajuan pesat, mungkin ... aku bukan tandinganmu lagi."
"Ah, mana ... mana bisa begitu cepat?"
"Ya, untung tidak secepat itu, kalau tidak memangnya aku bisa hidup sampai sekarang?"
"Ya ...bukan ...ya!"
Kalau aku ingin bertahan hidup, maka jangan kau pertahankan diri."
"Nona Cui...." pekik Ban-lo-hu-jin setengah meratap, "kumohon ampun padamu."
Makin lembut suara Cui-Thian-ki, "Kalau aku turun tangan, mungkin kamu bisa mati dengan cara yang paling enak, sebaliknya ...aih."
Ban-lo-hu-jin menjatuhkan diri dan menyembah, ratapnya, "Ampun nona Cui, pandanglah muka anakku, ampunilah jiwaku."
"Putramu" Siapa putramu" Ada sangkut paut apa dia dengan aku?"
"Nona Cui, bila engkau mengampuniku, akan aku beberkan sebuah rahasia, rahasia besar dan penting."
Berputar bola mata Cui-Thian-ki, "Nah, sekarang tutuk dulu hiat-to Jian-kin dan Khi-hiat, pada urat nadi kedua sendi tulang kanan kiri lututmu mungkin akan kuberi kelonggaran untuk mendengar omonganmu.
"Ya, ya, Ban-lo-hu-jin mengiakan sambil angkat tangan, dengan keras ia menutuk keempat hiat-to yang ditusuk Cui-Thian-ki, tutukannya memang keras tanpa kenal kasihan, Maklum, di hadapan Cui-Thian-ki tak berani ia main licik, sedikit pura-pura tentu diketahui olehnya.
"Aneh bin heran," ujar Cui-Thian-ki dengan tertawa geli, "kenapa kamu tidak berani melabrakku" Padahal tenagaku belum pulih, kalau kamu melabrakku, jelas aku bukan tandinganmu."
Tubuh Ban-Lo-hu-jin berjingkat seperti dicambuk seketika ia melengong di tempatnya, wajahnya merah padam, lalu berubah pucat dan hijau, desisnya perlahan, "Aku ... kau ..."
"Sering aku dengar kaum persilatan mengatakan Ban-lo-hu-jin rela berlutut dan menyembah daripada bertempur kalau tidak yakin bisa menang, maka sampai sekarang dia masih bertahan hidup. Tapi kalau ini kamu tertipu olehku."
Pucat seperti kapur wajah Ban-lo-hu-jin, "Aku sudah kalah ...sudah kalah, nona Cui memang lihai, aku nenek tua mengaku kalah lahir batin kalah dengan patuh dan tunduk."
"Baiklah, sekarang boleh kau bicara tentang rahasia itu."
Walau belum bergebrak secara nyata, namun ia sudah menang satu babak, betapa sengit tegang dan mendebarkan adu urat yang dilakukan barusan, jauh lebih seru dibanding bertempur secara kasar.
Walau Cui-Thian-ki masih tersenyum, namun keringat bertetes-tetes di jidatnya. Padahal keadaannya belum pulih, tenaga untuk berkelahi jelas tidak mungkin dikerahkan, tenaga yang dimiliki hanya cukup untuk berdiri saja, bila berdiri kurang tegak atau terhuyung dan menggeliat, tentu Ban-lo-hu-jin akan menyergapnya dengan serangan kilat.
Cui-Thian-ki maklum dirinya ibarat berdiri di pinggir jurang kematian.
Ban-lo-hu-jin mengawasinya dengan mendelong sesaat kemudian baru berkata, "Baiklah, akan aku ceritakan, rahasia itu mengenai hubungan Cui-nio-nio dengan Pui-Po-giok ... "


Misteri Kapal Layar Pancawarna Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

****** Air danau itu dingin tapi bening.
Dengan gaya Jian-kin-tui Pui-Po-giok memberatkan tubuhnya sehingga dia terus melorot turun ke dasar air.
669 Koleksi Kang Zusi
Dia berpendapat danau yang satu ini pasti berbeda dengan danau kebanyakan yang ada di dunia ini, dia yakin dan percaya, bahwa analisanya tentu tidak salah.
Kali ini Po-giok mempertaruhkan jiwa raganya untuk membuktikan keyakinannya.
Analisanya memang tidak keliru.
Danau ini memang besar dan luas, tapi airnya tidak dalam, lebih tepat dikatakan dangkal, dan kedangkalan air danau ini sangat di luar dugaannya. Begitu terjun ke dalam air, tidak lama kemudian kakinya sudah menyentuh dasar danau.
Sudah tentu tekanan air juga terasa tidak begitu besar, sambil menahan napas Po-giok bergerak maju ke depan.
Ketika dia membuka lebar matanya, air sangat jernih dan bening.
Pemandangan dalam air segera menarik perhatiannya, sesaat ia berdiri tertegun.
Begitu membuka mata, pandangan pertama yang dilihat Pui-Po-giok bukan lain adalah
....seorang perempuan.
Seperti ikan duyung saja gadis ini sedang berenang dalam air, berenang di hadapannya, potongan tubuhnya yang indah, boleh dikata hampir telanjang bulat.
Rambutnya yang hitam panjang mirip rumput laut yang berkembang, sepasang bola matanya gemerdep mirip mutiara.
Sambil mengulum senyum gadis ini mendekatinya, lalu berenang ke dalam pelukan Po-giok, dadanya yang kenyal dan padat, pahanya yang jenjang dan mulus meliuk gemulai mirip belut melingkar di tubuh Po-giok.
Po-giok berdiri diam tak bergerak, juga tidak menyingkir.
Gadis jelita di dasar danau ini mengangkat sebelah tangan Po-giok serta mengangguk kepadanya. Maksudnya mari ikut padaku.
Tanpa sangsi sedikit pun Po-giok bergerak mengikuti orang.
Tak lama kemudian ia lihat sebuah pintu gerbang yang besar, mirip pintu gerbang istana naga laut, batu-batu laut dengan bentuknya yang beraneka ragam dengan warnanya yang berbeda-beda berkilauan begitu indah dan mempesona.
Semua benda yang ada di sini, dapat membuat pandangan orang kabur membuat orang yang melihatnya silau. Apalagi di antara sekian banyak batu-batu gunung dengan pemandangan yang indah itu, terdapat seorang gadis jelita yang bertubuh hampir telanjang berada di sampingnya.
Kalau tidak menyaksikan sendiri, mana Po-giok mau percaya bahwa pengalamannya adalah kenyataan"
Gadis telanjang itu menariknya masuk ke sebuah lubang yang terletak di celah-celah himpitan batu karang.
Air dalam lorong gua ini terasa lebih dingin lebih bening tapi tenang.
Maju lagi ke depan, Po-giok melihat beberapa huruf yang dirangkai dengan butir-butir mutiara yang gemerlapan, huruf itu berbunyi "Pintu Istana Air".
Begitu Po-giok melihat dan memperhatikan huruf-huruf itu, gadis telanjang itu segera menariknya ke atas.
Dengan cepat kepalanya sudah menonjol keluar permukaan air. Sesaat ia terpesona pula oleh pemandangan semarak dan megah, lalu didengarnya pula suara merdu disertai suara tawa nyaring, "Apakah Pui-siau-hiap sudah datang" Sudah lama Nio-nio menunggu kedatangannya."
Sekilas Po-giok celingukan, ia dapatkan dirinya berada dalam sebuah empang yang tidak begitu besar empang ini terbuat dari batu kemala dengan segala macam ukirannya yang indah.
670 Koleksi Kang Zusi
Air empang ini mengalir keluar ke danau yang ada di bagian luar, permukaan air empang sejajar dengan permukaan air danau, maka empang buatan ini merupakan satu-satunya pintu keluar masuk istana air yang tembus ke danau di luar itu.
Betapa aneh bentuk bangunannya, betapa pintar orang memanfaatkan denahnya, apalagi betapa indah, molek dan aneh bentuk dan keadaan istana bawah air ini, sungguh membuat orang kagum pesona dan tidak habis heran.
Empang itu ternyata terletak di tengah gua besar, berbagai bentuk stalakmit dengan corak dan aneka warnanya yang aneh-aneh, jarang terlihat di dunia ramai, pemandangan di sini berbentuk suatu gambaran yang membuat orang tenggelam dalam dunia khayal.
Entah dari mana datangnya penerangan dalam gua besar ini, jelas bukan dari cahaya matahari, tapi pemandangan setiap pelosok gua besar ini dapat terlihat jelas.
Di tepi empang berdiri seorang gadis semampai dengan rambutnya yang panjang terurai, perawakan yang tinggi dengan tubuh yang ramping, hanya rambut panjang itu yang menutup dadanya, keelokannya cukup membuat laki-laki terangsang berahinya.
Meski berdiri polos di depan laki-laki, sikap gadis ini sedikit pun tidak kikuk, tidak merasa malu atau jengah, ia berdiri wajar tenang dengan mengulum senyum manis.
Berdiri lurus seperti sengaja memamerkan keelokan tubuhnya yang ramping padat kepada Pui-Po-giok, sedikit pun tidak merasa malu, malah sikapnya itu kelihatan bangga dan angkuh.
Perawakan dan potongannya yang elok memang patut dibuat bangga, namun Po-giok tidak kuat menahan gejolak hati, meski sudah keluar dari air, namun matanya tidak berani melihat ke atas.
Didengarnya gadis itu cekikikan, "Apakah tubuhku jelek?"
Po-giok melengong, "Ah, tidak ..." sahutnya dengan menyengir.
"Kalau tubuhku tidak jelek, kenapa Pui-siau-hiap tidak berani mengawasiku?"
Po-giok tertegun, "Wah, ini ..."
"Apa karena aku tidak berpakaian, maka Pui-siau-hiap tidak berani melihatku?"
Tanpa menunggu jawaban Po-giok, dengan tertawa geli ia menyambung, "Tapi apakah Pui-siauhiap tahu, kenapa manusia harus berpakaian?"
Po-giok melengak, "Karena ...manusia memang harus berpakaian."
"Tapi apa sebabnya harus berpakaian?"
"Karena ...untuk menahan dingin."
"Di sini tidak dingin."
"Kalau begitu, karena manusia tahu malu."
"Kenapa harus malu" Setiap orang dilahirkan suci bersih, keluar dari rahim ibunya dalam keadaan polos, kenapa setelah besar tidak boleh diperlihatkan pada orang" ...Itu karena manusia sebetulnya berdosa, hanya orang yang berdosa merasa malu, betul tidak?"
Po-giok batuk-batuk.
"Oleh karena itu, dapat kita simpulkan bahwa orang berpakaian hanya untuk menutupi dosa benar tidak?"
Po-giok batuk-batuk lagi, "Tolong nona, membawaku menemui Kiong-cu saja."
"Tidak, aku ingin tanya padamu, betul tidak omonganku tadi?"
Po-giok menyengir getir, "Kedengarannya memang demikian."
671 Koleksi Kang Zusi
"Kalau benar, aku persilakan Pui-siau-hiap menanggalkan pakaian."
Po-giok adalah pemuda yang tidak tahu artinya takut, namun perkataan gadis belia ini benar-benar membuatnya kaget, tanpa sadar ia mundur dua langkah dan "byuurr", kembali ia jatuh ke dalam air.
Bila Po-giok dapat berdiri lagi dan angkat kepalanya, entah sejak kapan, di pinggir empang sudah berjajar belasan pasang kaki orang, setiap paha yang jenjang mulus lagi putih itu semua tampak sehat, segar dan kuat.
Sudah tentu Po-giok tidak berani angkat kepala.
Didengarnya gadis tadi cekikikan, "Apakah badan Pui-siau-hiap ada sesuatu yang memalukan bila dilihat orang" Kalau tidak kenapa hanya mencopot pakaian saja tampaknya ketakutan?"
Para gadis itu tertawa bingar, paduan tawa yang merdu dan mengasyikan.
Sebelum masuk ke istana air, Po-giok sudah mempersiapkan diri, mempertebal mental dan kepercayaan, sudah berpikir matang dan meneguhkan iman, bahaya apa pun yang akan dihadapinya, dia yakin punya cara dan keberanian untuk menghadapi dan mengatasinya.
Tapi pengalaman yang dihadapi sekarang, sungguh mimpi pun tidak pernah terbayang sebelumnya, bukan mara bahaya yang dihadapi, tapi malahan belasan gadis cantik jelita yang semuanya telanjang bulat.
Keberanian, akal sehat dan kungfunya tidak berguna untuk menghadapi masalah di depan mata ini.
Pada saat Po-giok tertegun, didengarnya suara "byaar-byuur", di tengah gelak tawa gadis-gadis itu terjun ke dalam air, sambil menghamburkan air dengan telapak tangan mereka dari berbagai arah, gadis-gadis ini merubung ke arah Po-giok.
Saking gugup Po-giok membentak, "Berani kalian mendekat segera aku kembali ke arah datangku tadi."
Gertakan Po-giok ini hanya spontan saja karena kehabisan akal ia tahu belum tentu gertakannya akan berhasil. Setiap orang dalam keadaan kepepet dan gugup sering kali mengucapkan gertakan seperti yang dilakukan Po-giok, dan lawannya jarang yang berhasil digertak mundur.
Di luar dugaan, gertakan yang biasa tidak manjur, kali ini justru amat berguna. Walau gadis-gadis itu tidak tergertak mundur, tapi mereka tidak berani mendesak maju lagi.
Berputar biji mata Po-giok dengan tertawa ia berkata, "Aku tahu bukan hanya aku ingin lekas bertemu dengan Kiong-cu kalian, Kiong-cu kalian juga berhasrat bertemu denganku. Kalau aku kembali ke arah datang tadi kalian tentu akan memikul akibatnya, betul tidak?"
Sembari bicara Po-giok mundur beberapa langkah lalu berenang ke tengah.
Ternyata gadis-gadis itu sama memberi jalan dengan cemas mengawasinya naik ke atas, setelah membetulkan pakaian lalu maju ke sana.
Baru beberapa langkah Po-giok berjalan, gadis berambut panjang itu mendadak membentak,
"Berhenti! Masih ada yang harus kutanya padamu."
Walau tidak menoleh, tapi Po-giok berhenti, "Tanya soal apa?"
"Apa kau tahu di mana Kiong-cu sekarang?"
"Setelah berada di Cui-kiong (istana air), memangnya aku kuatir tidak dapat bertemu dengan Kiong-cu kalian?"
"Istana air besar lagi luas, jalannya berliku dan menyesatkan, di mana-mana dipasang alat perangkap yang mematikan. Entah berapa banyak orang yang orang yang sudah masuk ke istana air dan tidak dapat bertemu dengan Cui-Nio-nio, kebanyakan terkurung dalam alat perangkap yang mematikan, masih banyak lagi yang ...hm, untuk bertemu dengan Cui-Nio-nio, 672
Koleksi Kang Zusi
memangnya semudah yang kau bayangkan?"
"Ya, engkau memang agak berbeda dengan orang-orang itu, tapi belum tentu ..."
"Biar belum tentu, aku akan mencobanya. Mendadak gadis itu cekikikan, "Asal kau mau membuka pakaian, aku akan membawamu langsung ke hadapan Cui-Nio-nio, kalau tidak ..hm bukan saja engkau akan mengalami banyak penderitaan, mungkin selama hidup takkan bisa menemukannya."
"Tidak jadi soal," ucap Po-giok tertawa, tanpa menoleh ia meneruskan ke depan.
Gadis itu menggigit bibir, mengentak "kau ...jangan menyesal!"
"Sebetulnya tidak jadi soal mencopot pakaian tapi melihat sikapmu yang gugup, dengan berbagai cara sengaja memancingku untuk menanggalkan pakaian, aku menjadi curiga, dalam persoalan ini tentu ada udang di balik batu, oleh karena itu ...." sampai di sini ia tertawa lebar,
"Oleh karena itu, lebih baik aku menyesal daripada mencopot pakaian,"
Gadis-sadis itu mengawasinya dengan melongo, tidak bisa berbuat apa-apa, tidak dapat bersuara, juga tidak bisa tertawa lagi ....
Setelah beberapa jauh Po-giok berjalan ke dalam, Po-giok membuktikan keajaiban alam yang aneh megah dan semarak, bentuk dan besarnya memang mirip istana, pemandangan yang menakjubkan sukar dibayangkan kalau tidak menyaksikan sendiri.
Ribuan stalakmit menghiasi langit-langit gua, satu dengan lain tidak ada yang sama bentuknya, satu dengan yang lain berbeda warnanya, tidak pernah ada pemandangan segaib ini di dunia ramai.
Lebih mempesona lagi karena stalakmit itu dihiasi lagi mutiara-mutiara yang gemerlapan, ditata dan dihias sedemikian rupa, ada yang berbentuk huruf, ada pula yang tercipta menjadi lukisan.
Po-giok tidak peduli dan tidak memperhatikan tulisan dan gambar yang dibentuk dari butir-butir mutiara itu.
Bukan tidak ingin melihat, tapi tidak berani melihat, karena ia kuatir sekali melihat tulisan atau lukisan itu, pendiriannya bisa goyah, imannya bisa runtuh, pikiran kacau dan ruwet.
Kakinya beranjak di tengah pancaran tujuh macam sinar kemilau, seolah-olah tubuhnya juga berhias tata warna yang indah, hingga Po-giok sendiri merasakan dirinya seolah-olah bukan berada dalam gua besar, lebih tepat berada dalam istana dewa yang terletak di dasar air.
Setelah satu lingkar ia bergerak, didapati oleh Po-giok, istana besar ini ternyata tidak berpintu.
Waktu ia menoleh, bayangan gadis-gadis telanjang itu sudah tidak kelihatan. Dalam gua yang besar itu cuma dia dan stalakmit-stalakmit itu seperti menyambut kedatangannya, seperti juga menggoda dan mengedip mata padanya.
Tanpa terasa Po-giok menarik suara lalu membentak, "Pek-cui Kiong-cu, di mana engkau " Pui-Po-giok mohon bertemu!"
Gema suaranya memantul balik dari dinding gua, suaranya mirip gemuruh ombak samudra laksana guntur menggelegar, begitu kerasnya sehingga telinga Po-giok sendiri terasa pekak.
Kecuali pantulan gema suara sendiri. Po-giok tidak mendengar suara orang lain.
Dalam gua besar ini tentu ada pintu rahasia yang tersembunyi, tapi di mana letak rahasianya"
Cahaya yang kemilau dengan paduan warna yang menyolok, menyilaukan mata dan memusingkan kepala, tidak mudah orang menemukan tombol atau kunci rahasianya"
Po-giok menenangkan pikiran, menahan gejolak hati perlahan ia berjalan lagi satu lingkar.
Kali ini po-giok memeriksa lebih teliti, setiap jengkal dinding dan lantai diperiksa dengan seksama. Jerih payah Po-giok ternyata tidak sia-sia di antara sekian banyak stalakmit yang beraneka ragam coraknya itu, dia menemukan satu di antaranya berbeda dengan keadaan yang lain, bukan saja lebih mengkilap dan halus, bentuknya juga lebih aneh lebih menyolok.
Tanpa sangsi Po-giok menghampiri dan memeriksa dari dekat, kalau stalakmit yang ada dalam 673
Koleksi Kang Zusi
gua besar itu berlumut dan berdebu, stalakmit yang satu ini justru mengkilap dan bening seperti kaca, itu pertanda bahwa stalakmit yang satu ini sering dipegang oleh manusia.
perlahan Po-giok ulur tangan memegang ujung-stalakmit ini, ternyata bisa bergerak dan bisa diputar, setelah po-giok memutar dua kali, maka terdengarlah suara gemuruh, dinding gua pun bergerak dan muncul sebuah lubang, dari balik lubang sana terdengar suara orang tertawa.
"Pui-Po-giok, kamu memang luar biasa, pandai juga kau temukan pintu rahasia ini, tapi apa kau berani masuk kemari" Ketahuilah, bila sudah masuk pintu ini, tiada harapan bisa keluar lagi dengan hidup."
Semula suara itu dekat di balik pintu, namun lama kelamaan makin jauh dan lirih, kalau tidak puluhan tombak, mungkin ada ratusan tombak jauhnya jelas di balik sana merupakan lubang yang dalam sekali.
Tapi dengan tersenyum Po-giok melangkah tegap.
Baru saja Po-giok melangkah masuk, celah-celah dinding itu segera menutup kembali. Pancaran cahaya warna-warni, pemandangan semarak yang menyilaukan itu semuanya lenyap, kini Po-giok berada di tempat yang gelap gulita, lima jari sendiri saja tidak kelihatan.
Perubahan ini sedemikian, drastis, Po-giok merasakan dirinya seperti jatuh ke neraka dari surga.
Tapi dirinya sudah telanjur masuk ke sini maju ka depan adalah satu-satunya jalan yang dapat ditempuh, tidak mungkin mundur lagi.
Sambil meraba-raba dinding di kanan-kirinya Po-giok menggeremet maju, makin ke depan terasa olehnya dinding gunung yang semula basah, lembab dan dingin semakin kering dan panas, puluhan langkah kemudian dinding yang di jamah tangan Po-giok panasnya seperti besi dibakar.
Sebagai manusia biasa sudah tentu Po-giok tidak berani memegang dinding panas itu. Tapi Po-giok keras kepala, dia nekat maju lagi beberapa langkah "Co", waktu Po-giok berdiri agak mepet dinding, pakaiannya yang basah terbakar hangus waktu menyentuh dinding.
Umpama Po-giok memiliki kepandaian setinggi langit juga tidak berani beranjak maju lagi.
Hawa dalam gua itu mulai panas, sebetulnya Po-giok kuat bertahan dan melawan, ia yakin dengan kekuatan lwe-kang dan ketenangannya, biarpun dirinya berpakaian tebal juga tidak akan berkeringat dan kegerahan.
Tapi lama kelamaan hawa dalam gua ini memang panas sekali, sepanas dalam tungku, Po-giok seperti di panggang, namun keringat yang bercucuran juga cepat menguap, beberapa kejap lagi Po-giok merasakan tubuhnya seperti mau hangus.
Entah mengapa gua ini seperti berubah menjadi tungku raksasa. Dalam keadaan seperti yang dialami Po-giok, manusia mana pun takkan tahan lebih lama.
Kepala Po-giok mulai pusing, pandangan juga berkunang-kunang.
Sekonyong-konyong didengarnya seorang berkata dengan tawa cekikik. "Hawa sepanas ini"
Kenapa tidak lekas copot pakaianmu?"
Dalam kegelapan yang pekat itu, entah dari mana datangnya suara itu.
Po-giok mengertak gigi, bertahan dan bungkam.
Suara itu berkumandang lagi, "Tempat ini begini gelap, umpama kau copot pakaianmu juga tidak ada orang melihat keadaanmu, lalu apa lagi yang membuatmu malu" ...Eh, kenapa belum juga buka pakaian?"
"Kenapa kau paksa aku copot pakaian?" teriak Po-giok.
Diam sesaat, akhirnya suara itu berkata dengan tertawa, "Karena kamu tidak mau mencopot pakaian, maka aku paksa supaya kau copot pakaian."
674 Koleksi Kang Zusi
"Tahukah kenapa aku tidak mau buka pakaian?" tanya Po-giok kalem.
"Ya, ingin aku dengar alasanmu, kenapa kamu keras kepala."
"Seorang laki-laki, apalagi laki-laki muda normal dan berdarah panas, kalau dia harus telanjang di tengah kerumunan gadis-gadis cantik, yang juga telanjang, meski ia punya ketenangan dan iman yang teguh juga akhirnya akan tekuk lutut di depan kawanan cewek itu, peduli harga diri atau keyakinan segala, dalam sekejap itu tentu tak terpikir lagi olehnya. Dalam keadaan seperti itu, apa pula yang bisa ia lakukan selain memuaskan rangsangan nafsu. Kuyakin kau pun tahu akibat dari semua itu, betul tidak?"
Keadaan tetap gelap pekat tiada suara sahutan.
"Oleh karena itu." kata Po-giok lebih lanjut, "dengan siasat inilah kalian memerangi jiwa dan iman manusia, entah betapa banyak laki-laki yang jatuh dalam perangkap kalian. Tapi mereka bukan aku, Pui-Po-giok adalah ...."
Belum habis ia bicara, tertawa bingar berkumandang di tengah kegelapan, "Bagus, Pui-Po-giok, anggaplah kamu memang pintar ...."
Tawa bingar semerdu kelintingan itu makin jauh dan akhirnya tidak terdengar lagi.
Mendadak Po-giok menanggalkan pakaiannya malah, dengan baju luarnya ia membalut tangannya, dengan tangan yang terbalut ini ia meraba-raba dinding terus merambat ke arah datangnya suara, di sana pula suara itu akhirnya lenyap.
Walau telapak tangannya sudah dibalut tebal, tapi masih terasa oleh Po-giok betapa panas tangannya.
Sambil mengertak gigi Po-giok terus maju ke depan, dengan tekadnya yang besar, ia berhasil mengatasi penderitaan, memusatkan semangat dan mengkonsentrasikan pikiran, selangkah demi selangkah menggeremet maju.
Sudah tentu perjalanan kali ini ditempuh dengan cara yang jauh lebih sukar, lebih menyiksa.
Kecuali Pui-Po-giok, mungkin tidak ada orang yang kuat melangkah belasan tindak. Tapi Po-giok sudah melangkah ratusan tindak, seribu langkah dan terus maju ke depan, Badannya hampir kering, mirip daging yang dipanggang. Keadaannya sudah hampir lumpuh dan hangus terbakar.
Pada detik-detik yang menentukan ini, tawa bingar yang merdu tadi berkumandang lagi, "Bagus sekali, kamu mampu menempuh perjalanan sejauh ini, memang tidak malu Pui-Po-giok diagulkan sebagai ksatria sejati tapi ...Pui-Po-giok, tahukah di mana sekarang kamu berada?"
"Aku sudah berada di depanmu!" tegas suara Po-giok, tapi serak dan kering.
Suara itu masih tertawa, "Baiklah, boleh kau lihat...."
Di tengah suara tawa merdu orang, setitik sinar melayang jatuh di tanah, namun hanya sekejap lantas padam.
Nyala api yang sekejap itu cukup bagi Po-giok untuk melihat keadaan sekitarnya. Jelas terlihat oleh Po-giok dirinya kini berada di tempat semula, di mana pertama kali dirinya masuk dari celah-celah dinding tadi. Sebelum celah dinding tertutup tadi, sempat ia perhatikan keadaan sekelilingnya.
Dengan ketahanan yang luar biasa Po-giok menempuh perjalanan, betapa susah dan menderita, ternyata perjalanan yang sia-sia, akhirnya putar kayun dan kembali ke tempat semula. Luluh semangat dan tenaga Po-giok, hampir saja ia ambruk dan pingsan.
Suara itu berkumandang pula, "Sejak mula sudah aku peringatkan, lorong gua di sini amat ruwet dan menyesatkan, banyak perangkap dan perubahannya. Nah, apakah kamu masih anggap dirimu pintar" Lekaslah copot pakaianmu."
"Tidak!" desis Po-giok geram.
Berubah lembut dan prihatin suara itu, "Begitu kau copot pakaian, segera kau dapat bertemu dengan Nio-nio, kamu dapat berendam di air yang hangat dan segar, berapa lama ingin berendam dalam air boleh terserah padamu, berapa poci kau ingin minum teh atau arak boleh 675
Koleksi Kang Zusi
sesuka hatimu. Kenapa masih kukuh pendapat, keras kepala bukan cara yang paling baik, kalau masih juga bandel, bila kamu mampus kekeringan, siapa akan memujimu."
"Jangan kuatir, penderitaan begini belum akan membuatku mampus."
Diam sesaat lamanya, suara itu akhirnya tertawa dingin, "Baiklah, berapa lama kamu akan bertahan lagi."
Tokoh besar mana pun setelah mengalami siksa derita seberat itu, pasti roboh dan tak kuat bangkit lagi. Tapi Po-giok hanya memejamkan mata "menggeremet maju ke depan, sembilan di antara sepuluh orang pasti menggunakan tangan kiri, karena tangan kanan harus selalu siaga bila di tengah kegelapan dirinya disergap atau diserang secara mendadak.
Demikian pula yang dilakukan oleh Pui-Po-giok.
Tadi dia menggeremet maju dengan tangan kiri meraba dinding sebelah kiri, kenyataan dia kembali ke tempat semula.
Kini ia menanggalkan pakaiannya yang sudah hangus untuk membalut tangan kiri tadi, menyobeknya beberapa potong lalu menyambungnya lebih panjang untuk membalut tangan kanan.
Kini ia menggeremet maju lagi ke depan dengan meraba dinding sebelah kanan.
Jalan yang ditempuhnya kali ini sudah tentu lebih sukar, lebih menyiksa, seluruh tenaga dan semangat seperti menguap oleh suhu panas yang luar biasa.
Kedua kakinya seperti mendadak berubah berat ribuan kati, pandangan matanya mulai berkunang-kunang, kesadarannya juga mulai pudar ....Air, air jernih lagi dingin!
Saking tak tahan ingin rasanya dia memekik dan berteriak, menerima segala syarat yang mereka ajukan, cukup dengan imbalan air untuk dia minum, air yang dingin lagi segar.
Tapi Po-giok hanya mendengus, mengertak gigi dan meneruskan ke depan Mendadak tubuhnya menjadi lemas dan kehilangan keseimbangan, lalu robohlah dia.
Di tengah pingsannya, seolah-olah Po-giok kembali pada masa kecilnya dulu. Di pekarangan belakang, di bawah rumput bunga yang rimbun, dia tengah duduk tegak belajar membaca.
Cuaca amat panas, gerah sekali hingga sesak bernapas, pakaian luar ia tanggalkan, dalam hati ia mengharap turun hujan, dan hujan ternyata benar turun, air hujan bertetesan dari dahan pohon.
Tetesan air hujan nan dingin menyejukkan, sungguh nyaman dan segar. Mendadak seorang berteriak-teriak di pekarangan depan, "Po-giok ... Po-giok ... "
Siapa itu" Ah, kiranya paman berkepala besar" Begitu Po-giok membuka mata, mimpi pun sirna. Kenyataan adalah kejam, namun mukanya masih basah oleh air. Apa benar air hujan"
Terdengar seorang menghela napas di atas, "Pui-Po-giok, akhirnya kau sadar"
Waktu Po-giok- angkat kepala, tampak olehnya di ujung dinding gua yang gelap dan keras itu, di tengah himpitan dua dinding terjal, entah sejak kapan terbuka sebuah lubang.
Gadis berambut panjang itu tengah melongok di atas lubang dengan tawa genit ia berkata, "Pui-Po-giok, kini kamu sudah sadar bukan bahwa kamu ini manusia biasa, bukan robot, datang juga saatnya ambruk dan tak mampu berjalan lagi. Nah sekarang, kau mau menyerah?"
Po-giok merintih, "Air ...air ..."
Gadis ayu itu mengangkat tangan, tangannya memegang sebuah cangkir emas suaranya lembut menarik, "Dalam cangkir ini berisi air embun kembang mawar, tadi aku meneteskan tiga tetes di mukamu, hanya tiga tetes, kau sadar dari pingsan sudah kau rasakannya. Nah asal mau menyerah, air lembut bunga mawar ini boleh kau minum sampai habis."
"Air embun" ... Bunga mawar ... " Po-giok bergumam. Seolah-olah mengigau dalam pingsannya, tampak betapa lemah kondisinya, keadaannya yang payah sudah tidak bisa 676
Koleksi Kang Zusi
dilukiskan lagi.
Gadis ayu itu cekikikan, "Tetesan air yang dingin segar, biar kau rasakan sekali lagi ... "
Dia angkat cangkir emas itu lalu dimiringkan sedikit hingga airnya menetes satu tetes, tepat menetes di wajah Po-giok.
Mendadak Po-giok memekik sambil meronta "Tidak ... tidak mau menyerah ..."
Gadis itu geleng kepala katanya setelah menghela napas gegetun, "Dasar bandel seperti kerbau. Baiklah, kau sendiri ingin menderita, jangan salahkan aku."
Air dalam cangkir emas di tangannya itu mendadak ia buang ke dinding gua.
"Cess," begitu air menyentuh dinding gua, asap pun mengepul, air itu seketika kering dan menguap menjadi asap tipis.
Wajah gadis jelita itu pun lenyap di tengah mengepulnya asap, suasana kembali menjadi gelap dan hening.
Mendadak Po-giok melompat bangun. Bukan karena beberapa tetes air bunga mawar tadi yang memulihkan kekuatannya, yang benar tadi Po-giok hanya pura-pura semaput, pura-pura payah dan ambruk tak sadarkan diri.
Sekali lompat dengan enteng ia mencapai puncak dinding, sekilas pandang ketika lubang tadi masih terbuka, dapatlah Po-giok meneliti keadaan sekitarnya, maka dengan cepat ia merayap ke atas.
Jari jari tangannya terbungkus kain, kakinya juga terbungkus sepatu, tapi kaki tangannya panas terbakar, bila tidak kuat bertahan, tubuhnya akan terjungkal dan segala usahanya akan gagal total.
Dinding karang yang puluhan tombak tingginya itu, bagi keadaan Po-giok sekarang rasanya menjadi ratusan tombak, namun ia kertak gigi, mengerahkan seluruh kekuatan dan kemampuannya.
Syukur akhirnya dia berhasil mencapai puncak dinding.
Waktu ia angkat tangan, hatinya seperti bergantung di udara. Demikian pula jiwanya seperti terapung di awang-awang.
Kalau batu gunung di sebelah atas dapat bergerak, itu berarti segala penderitaannya ini akan memperoleh imbalan setimpal, kalau tidak ...kalau tidak bagaimana" Po-giok tidak berani membayangkan.
Terima kasih pada bumi dan langit! Batu yang menutup lubang di sebelah atas ternyata dapat bergerak.
Rasa girang Po-giok seperti mendapat rejeki nomplok, perlahan ia mendorongnya ke samping lalu melompat keluar dan menggelinding ke samping.
Batu gunung di luar lubang ternyata dingin segar, sedingin air danau.
Mendekam di tanah Pui-Po-giok terengah-engah, sekelilingnya sepi lengang. Segala penderitaan mara-bahaya seolah-olah sudah berlalu.
Telapak tangannya menempel batu gunung yang dingin, demikian pula pipinya juga melekat di batu gunung, setebal napas teratur dan tenaga pulih, perlahan baru ia angkat kepala dan memandang ke depan.
Mendadak ia lihat sepasang kaki. Sepasang kaki orang laki-laki.
Sepasang kaki ini berada di depan matanya.
Kaki orang laki-laki ini mengenakan sepatu yang indah dan mewah, sepatu mahal yang dibuat dari sutera dengan sulaman benang emas, mahalnya sepatu sekaligus menandakan kedudukan pemakainya yang agung. Tapi bila sepasang kaki ini sedikit saja diangkat, menendang dengan 677
Koleksi Kang Zusi
ringan .....Maka Pui-Po-giok akan menggelinding jatuh ke dalam lubang pula.
Begitu melihat kaki di depan matanya, napas Po-giok seperti berhenti darah juga seperti beku.
Bila sepasang kaki ini menendang, jelas dia tidak mampu melawan atau menyingkir.
Tapi sepasang kaki ini tetap berdiri diam, tidak menendang juga tidak bergerak.
Po-giok merapatkan badan ke tanah, tidak berani bergeming, mengangkat kepala menengok muka orang pun tidak berani, padahal besar hasratnya ingin mengetahui siapa orang yang berdiri di depannya ini.
Dia hanya tahu orang ini berpakaian. Orang pertama yang ia lihat berpakaian sejak dirinya berada dalam istana air ini, juga orang laki-laki yang ia lihat pertama kali di sini. Bukankah asal-usul dan kedudukan orang ini membuatnya tertarik heran.
Didengarnya suatu suara rendah berat berkata perlahan. "Ternyata kau mampu datang ke tempat ini, jerih payahmu sungguh harus dipuji. Tapi perlu kau tahu, tempat ini sudah dekat dengan pusat istana, perjalanan yang masih harus kau lalui justru lebih sukar, lebih berat, kau harus lebih waspada menghadapi ujian ini."
Po-giok melengak keheranan, karena dari nada bicara orang ini, bukan saja tidak mengandung maksud jahat malah prihatin dan penuh kasih sayang, seperti nasihat seorang tua terhadap anak atau muridnya.
Kenapa hal ini terjadi" Siapa pula orang ini"
Ingin Po-giok bertanya, tapi suaranya tidak keluar, bukan tidak berani bertanya, ia maklum umpama dirinya bertanya juga takkan memperoleh jawaban, orang ini tidak akan memberi penjelasan.
Lebih lanjut orang itu berkata pula, "Usiamu masih muda tapi tekadmu yang besar dan teguh sungguh harus dihargai. Asal imanmu tetap teguh tekadmu tetap besar penderitaanmu tidak akan sia-sia."
Bukan saja merupakan nasihat juga merupakan anjuran, memberi dorongan.
Makin tebal rasa kaget dan curiga Po-giok, namun mulutnya hanya bisa mengucap, "Terima kasih."
Setelah diam sejenak suara itu berkata pula, "Sekarang kamu masih mampu berdiri"
"Bisa," sahut Po-giok pendek.
"Kalau bisa berdiri, kenapa masih rebah di tanah?"
Po-giok mengiakan. Kini ia yakin orang tidak bermaksud jahat terhadapnya, segera ia membalik tubuh terus melompat berdiri. Tertampak orang sudah berputar membelakangi dirinya serta berjalan lambat ke sana.
Langkah orang lambat tapi mantap kian berat kedua tangannya seperti bersidekap di dada.
Saking tak tahan Po-giok bertanya, "Kenapa tuan tidak memberi kesempatan agar aku lihat wajahmu?"
"Tidak perlu kau lihat wajahku, lebih penting kau lihat pedangku."
Di saat mengucap "ku", kata yang terakhir, pundaknya mendadak bergerak sedikit.
Gerakan yang sedikit ini tidak mungkin diikuti oleh pandangan mata, siapa pun takkan mengambil perhatian gerakan pundak seseorang. Tapi begitu melihat pundak orang bergerak Po-giok justru berjingkat kaget.
"Cu-coan-kian-kun-sat-jiu-kiam!"
Begitu pundak bergerak, sinar pedang pun meluncur seperti seutas rantai perak. Itulah serangan mematikan yang pernah dilancarkan Bu-ceng Kong-cu Ciang-Jio-bin dari Lam-hai-pai Cu-coan-kian-kun-sat-jiu-kiam.
678 Koleksi Kang Zusi
Serangan kali ini jauh lebih cepat dibanding serangan Ciang-Jio-bin dulu, sasarannya lebih telak dan ganas, posisinya juga lebih kuat dan mantap dibanding serangan yang dilakukan Ciang-Jio-bin dulu.
Kalau dahulu Po-giok belum pernah mengalami serangan jurus pedang yang mematikan ini, bila sebelumnya tidak waspada waktu melihat pundak orang bergerak, umpama jiwanya tidak melayang di bawah tusukan pedang orang, selanjutnya jangan harap dapat meneruskan usahanya untuk bertemu dengan Cui-Nio-nio.
Baru saja sinar pedang menyambar keluar dari bawah ketiak orang ini, tubuh Po-giok sudah melompat mundur. Po-giok sudah menggunakan setaker tenaganya, juga sudah dia perhitungkan, tusukan pedang ini paling banter hanya bisa mencapai pakaiannya, dan pasti takkan mampu melukai tubuhnya. Di luar tahunya pedang itu mendadak berhenti beberapa kaki di depan dadanya.
Walau serangan pedang ini lebih cepat dari tusukan pedang Ciang-Jio-bin, lebih ganas, lebih telak, tapi tusukan orang ini ternyata tidak sungguh-sungguh dilancarkan, jelas orang ini menaruh belas kasihan, ini dirasakan secara langsung oleh Pui-Po-giok.
Setelah menarik napas panjang, Po-giok berkata haru, "Terima kasih!"
Pedang orang itu perlahan melorot turun, suaranya kalem, "Apakah kau pernah melihat jurus serangan ini?"
"Ya," pendek jawaban Po-giok.
Berubah dingin suara orang itu, "Kalau belum pernah melihat jurus pedang ini, saat ini mungkin kamu sudah terluka oleh tusukan pedangku. Dengan jurus pedang yang ganas aku hendak merengut nyawamu, kenapa kamu berbalik berterima kasih padaku?"
"Bahwa pedangmu tadi menaruh belas kasihan, memangnya Po-giok tidak merasakan?"
"Umpama benar menaruh belas kasihan, tapi tusukanku tadi bisa menamatkan jiwamu."
Po-giok tertawa malah, "Tapi kenyataan sekarang aku masih hidup, masih segar bugar."
Diam sejenak akhirnya orang itu berkata, "Betul sekarang kamu masih hidup, sudah dua kali kau saksikan jurus serangan pedang ini, ternyata kamu masih segar bugar, maka ilmu pedang yang bisa melukaimu mungkin tidak banyak lagi di dunia ini."
"Tidak banyak?" Po-giok melengong, "kukira juga tidak sedikit?"
Mendadak orang itu menghentikan gelak tawanya, "Em, memang tidak sedikit, paling sedikit masih ada tiga macam."
"Kenapa tidak memberi kesempatan padaku untuk belajar kenal?"
"Buat apa terburu-buru?"
Mendadak pedang dibuang ke belakang, tanpa terasa Po-giok ulur tangan menangkapnya.
Begitu sinar pedang berkelebat, waktu Po-giok memandang ke depan, bayangan orang itu pun sudah lenyap.
Di depan masih merupakan lorong gua yang gelap panjang ini rasanya berada di perut gunung, kalau ada hanya cahaya lampu tidak pernah ada sinar matahari.
Tidak pernah terpikir oleh Po-giok meski dalam mimpi, bahwa ada orang di dunia ini dapat membangun istana dalam perut gunung dengan sebesar, seluas dan semegah itu. Istana yang penuh misteri dan gaib.
Setelah berdiri mematung sekian saat, po-giok bergumam sendiri, "Apa kedudukan orang ini dalam Pek-cui-kiong" Tutur katanya begitu prihatin dan menaruh belas kasihan terhadapku, namun kenapa dia melancarkan serangan mematikan padaku" Kalau serangan mematikan itu dilancarkan, kenapa pula dia menaruh belas kasihan" Kalau rela memberi pengampunan dan menaruh belas kasihan, kenapa harus menyiapkan tiga macam serangan mematikan, kenapa pedang ini diberikan padaku" ...."
679 Koleksi Kang Zusi
Pedang di tangannya itu lencir panjang tajam, lagi sempit tipis, begitu sempurna bentuk pedang ini, dari ujung sampai ke gagangnya, seperti diciptakan oleh seorang ahli.
Begitu menggenggam gagang pedang panjang ini, timbul perasaan hangat, nyaman dan penuh keyakinan dalam benak Po-giok rasa lapar dan dahaga sudah terlupakan sama sekali, badan tidak merasa letih lagi.


Misteri Kapal Layar Pancawarna Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Cukup lama Po-giok berdiri diam di tempatnya, memusatkan pikiran dan semangat sehingga lama kelamaan, antara jiwa dan hawa pedang di tangannya jadi manunggal. Segala kerisauan sudah terbenam dalam relung hatinya, demikian pula siksa derita yang dialami selama ini sudah terbuang dari ujung pedang.
Setelah jiwa raga manunggal dengan pedang baru Po-giok berani maju ke depan.
Segala keajaiban pemandangan dalam gua itu sudah tidak menarik perhatiannya.
Dalam pandangannya kini hanya ada ujung pedang. Dalam hatinya hanya ada pedang.
Mendadak alam sekitarnya berubah sepi dan tengang seperti kuburan yang gelap.
Tapi langkah Po-giok tidak pernah berhenti, mantap lagi tegap, tangannya juga tidak perlu meraba-raba. Karena mata hatinya sudah terpanoar di ujung pedangnya dan menimbulkan perasaan yang peka pada dirinya.
Kini pedang di tangannya dapat menggantikan mata.
Keheningan yang mencekam, kegelapan yang menegangkan.
Sekonyong-konyong dalam kegelapan itu terasa berkembangnya hawa membunuh.
Tiba-tiba Po-giok merinding, bulu romanya berdiri.
Padahal dirinya berada di tempat gelap dan hening, rasanya tiada sesuatu perubahan, tapi hawa membunuh ini melanda datang seperti ombak pasang yang menerpa secara bergelombang.
Hawa membunuh itu tidak berbentuk dan tiada wujudnya, tapi secara nyata dan benar Po-giok merasakan adanya tekanan mendadak dari hawa membunuh di tempat gelap itu. Lama kelamaan hawa membunuh itu membuatnya sesak napas.
perlahan pedang terangkat, langkahnya juga menjadi lamban, lalu hampir berhenti.
Di tengah kegelapan, benar-benar berkelebat sinar pedang yang kemilau, tapi hanya sekali berkelebat lalu berhenti.
Kelima jari sendiri tidak terlihat, sudah tentu siapa pemegang pedang itu juga tidak terlihat oleh Po-giok, dia hanya melihat sebatang pedang, seperti ditenung saja pedang itu berhenti dan terapung di udara, terapung lurus ke depan menghadang jalannya.
Pedang ini tidak menakutkan, yang menakutkan adalah hawa membunuh dari pedang itu.
Sudah jelas dan tidak perlu dipermasalahkan lagi, bahwa pedang yang satu ini akan memainkan satu jurus ilmu pedang yang hebat lagi dahsyat, sejurus ilmu pedang yang dapat mengejutkan langit dan menggetar bumi.
Jurus pedang yang satu ini sudah tentu merupakan salah satu dari tiga jurus yang akan melukai Pui-Po-giok.
Pedang di tangan Po-giok juga terhenti di udara. Gelap gulita, tiada sesuatu benda yang terlihat kecuali pedang yang gemerdep tiada suara dengus napas juga amat perlahan, yang ada hanya dua pedang yang berhadapan, dua pedang yang siap berduel.
Dua pedang yang sama-sama memiliki hawa membunuh.
Belum pernah Po-giok menghadapi hawa membunuh setebal pedang yang satu ini. Tapi terasa olehnya adanya sesuatu yang ganjil karena orang yang memegang pedang di depannya ini, tubuhnya ternyata terlepas di luar lingkup hawa membunuh dari pedang yang dipegangnya.
680 Koleksi Kang Zusi
Kejadian ini sungguh luar biasa dan belum pernah ada dalam dunia persilatan. Orang yang memegang pedang ternyata terbagi menjadi dua bentuk yang berbeda dengan hawa membunuh dari pedang itu, kenyataan yang ganjil dan keadaan yang luar biasa ini sebetulnya tidak mungkin terjadi.
Hanya ada satu kemungkinan, dalam keadaan tertentu keadaan luar biasa ini bisa terjadi. Yaitu meski tebal hawa membunuh dari pedang itu namun pemegang pedang itu pada dasarnya tidak ada hasrat melukai atau membunuh musuh yang akan dilawannya.
Oleh karena itu, meski ganas dan keras hawa membunuh dari pedang itu, tapi pemegang pedangnya merupakan unsur pelaksana yang lemah, dan hawa manusia yang lemah ini jelas tidak mungkin manunggal dengan hawa membunuh itu, dan sekaligus menjadikan hawa membunuh yang ganas dan berkobar itu menjadi tawar dan akan sirna kalau bertahan cukup lama.
Dengan tajam Po-giok mengawasi pedang itu mendadak ia teringat akan golok milik Thi-kim-to itu.
Hawa membunuh pedang ini kira-kira setanding dan golok Thi-kim-to tempo hari. Tapi hawa membunuh pedang ini jelas tidak seganas dan sepanas hawa membunuh golok Thi-kim-to waktu berhadapan dengan dirinya.
Ini dapat disimpulkan bahwa hawa membunuh dari pedang di depannya ini mengandung makna
"kebaikan", hawa membunuh pedang ini mengandung cinta kasih.
Kenapa pula hal ini bisa terjadi"
Hening lelap, seorang-olah tiada kehidupan dalam mayapada ini. Tapi di tengah keheningan itu seolah-olah Po-giok mendengar sebuah irama yang fiktif, sejenis alunan musik yang mengasyikan.
Mendadak pedang itu bergerak msnggaris sebuah lingkaran.
Gerak lingkar yang membundar itu juga kelihatan indah dan gaib, bergerak mengikuti alunan musik yang gaib pula, hingga menimbulkan gerak tarian yang paling indah dari segala tarian yang pernah ada dalam ilmu pedang.
Po-giok terbeliak kaget. Gerak pedang yang melingkar bundar ini, bukankah mirip gerak golok yang pernah dilancarkan Pek-ih-jin itu.
Begitu pedang bergerak melingkar, cahayanya berubah menjadi tabir kemilau, laksana kilat menyerang ke arah Pui-Po-giok.
Deru angin pedang yang melingkar itu, laksana pekik binatang buas.
Di tengah kegelapan hanya tampak sinar pedang berkelebat sekali pedang di tangan Po-giok dan pedang itu saling berpindah tempat dengan posisi yang berbeda. Tapi, dua orang yang saling gebrak ini tidak ada yang roboh.
Kalau keadaan tadi hening lelap, sepi dan lengang. Kini di tengah gelap mulai terdengar dengus napas yang agak berat.
Waktu sekejap itu meski pendek, namun dalam sekejap itu mereka sudah melewati garis pemisah antara mati dan hidup. Kejadian itu merupakan suatu kejutan luar biasa yang sukar dibayangkan, siapa pun di dunia ini setelah mengalami kejutan yang luar biasa dan menegangkan ini, dengus napas siapa yang tidak akan memburu"
Kedua orang berdiri tegak tak bergerak.
Entah berapa lama kemudian mendadak berkumandang suara serak seorang tua, "Jurus ini pernah kau saksikan?"
Pertanyaannya mengandung nada kaget dan heran, tapi bukan kaget atau heran karena Po-giok berhasil menyelamatkan diri dari serangan pedangnya, tapi kaget dan heran karena Po-giok pernah menyaksikan jurus pedang yang baru saja dia lancarkan.
"Ya," Po-giok menjawab pendek.
681 Koleksi Kang Zusi
"Siapa yang melancarkan jurus serangan pedang ini padamu?" tanya suara itu.
"Thi-kim-to." sahut Po-giok lantang.
"Thi-kim-to?" teriak suara itu nadanya kaget "Dia ..."
"Jurus itu dilancarkan Thi-kim-to, namun tidak berarti dia," demikian tukas Po-giok.
"Kenapa tidak berarti dia?"
"Karena Thi-Kim-to hanya pelaksana, dia mendapat perintah orang lain."
"Pek-ih-jin maksudmu?"
"Benar ..."
Suara itu diam sebentar, lalu berkata kalem "Apakah jurus yang dilancarkan Thi-kim-to persis dengan yang aku lancarkan barusan?"
"Sembilan puluh persen sama tapi perbedaan yang sepuluh persen justru amat besar."
"Coba jelaskan?"
"Titik paling tebal dari hawa membunuh jurus serangan yang dilancarkan Thi-kim-to juga adalah titik kelemahannya. Suhu badannya merembes lewat titik kelemahannya, maka aku menyerempet bahaya menyerang titik kelemahannya itu ternyata berhasil."
Lebih lama suara itu diam setelah menghela napas, akhirnya memuji, "Bagus!"
"Berbeda dengan caramu turun tangan, sebelumnya tidak menghimpun tenaga, hati juga tidak tegang, oleh karena itu suhu badanmu normal, dari sini dapat disimpulkan, meski pedangmu mengandung hawa membunuh, tapi hatimu sedikit pun tiada nafsu membunuh ....hawa membunuh pada pedangmu berkembang karena jurus ilmu pedang itu sendiri."
"O, demikian?" pendek suara itu.
"Karena tuan tidak bernafsu membunuh, maka waktu melancarkan jurus serangan itu, hati dan pedang tidak manunggal, dengan sendirinya hasrat membunuh yang tertuang dalam hawa membunuh yang tuan lancarkan itu tidak sederas seganas hawa membunuh yang dilancarkan Thi-kim-to."
"Oo, kenapa demikian?" tanya suara itu.
"Sekali jurus pedang itu dilancarkan, harus dicuci dengan darah, maka aku dipaksa untuk merengut jiwanya. Maklum dalam keadaan segenting itu, tiada waktu untuk memilih atau mempertimbangkannya. Sebaliknya jurus pedang yang tuan lancarkan tadi, pada hakikatnya aku dipaksa untuk membela diri dan tak mampu melancarkan serangan mematikan."
"Betul," puji suara itu dengan menghela napas, "kalau pedang itu tiada maksud melukai musuh, maka jurus pedang itu takkan mungkin membangkitkan hawa membunuh. Dan itulah pengertian paling sempurna dari ajaran ilmu pedang tingkat tinggi."
"Tapi ... tuan tidak bermaksud melukai aku, kenapa melancarkan jurus ganas dan mematikan untuk menghadapiku" Bukankah kejadian ini amat bertentangan" sungguh aku tidak habis mengerti."
"Tidak mengerti ya sudah, lebih baik tidak mengerti," ucap suara itu.
"Masih ada pertanyaanku. Jurus itu adalah ciptaan Pek-ih-jin yang tidak diturunkan kepada siapa pun, di kolong langit ini tiada orang tahu intisari dan rahasia jurus pedang itu. Lalu dari mana tuan mempelajarinya" Hal ini pun membuatku bingung."
"Tidak lama lagi kamu akan tahu," suara itu berbicara kalem.
"Tidak lama lagi?" Po-giok menegas.
682 Koleksi Kang Zusi
"Ya: tidak lama lagi ...." Hanya empat kata diucapkan, namun pada kata terakhir, suaranya sudah jauh dan lirih, sedikitnya ada belasan tombak jauhnya.
Kini tinggal dua jurus lagi ilmu pedang yang ada di dunia ini dapat mengalahkan atau melukai Po-giok.
Berbagai persoalan justru bertumpuk dan menyelimuti sanubari Po-giok.
Dalam waktu beberapa kejap tadi, sudah dua kali ia menghadapi serangan mematikan. Tapi orang yang dua kali melancarkan serangan mematikan terhadapnya itu tidak bermusuhan, tidak menaruh dendam, tidak bermaksud jahat terhadapnya.
Inilah persoalan pertama yang mengherankan.
Kedua, kedua jurus serangan mematikan itu sebelum ini pernah dia alami, pernah menghadapi serangan yang ganas itu. Tapi sukar Po-giok menemukan jawabannya, apa hubungan atau sangkut paut kedua orang yang dahulu menyerang dia dengan kedua orang yang hari ini menyerangnya ini.
Bu-ceng Kong-cu Ciang-Jio-bin masih mungkin punya hubungan dengan Pek-cui-kiong, adalah logis kalau jurus ilmu pedang warisan Lam-hai-pai yang dirahasiakan itu juga dipelajari orang-orang Pek-cui-kiong.
Tapi dari mana orang-orang Pek-cui-kiong memperoleh dan mampu melancarkan jurus khas ciptaan Pek-ih-jin dari Tang-ing" Jika Pek-cui-kiong jelas tiada sangkut paut dengan Pek-ih-jin, umpama air sumur dengan air laut, berbeda satu dengan yang lain, mana mungkin ada hubungan"
Makin dipikir, makin bingung, makin dipikir makin sukar dipecahkan. Pusing kepala Po-giok.
Masih ada dua jurus serangan mematikan akan dia hadapi. Dua jurus yang telah dihadapinya tadi sudah begitu mengejutkan, lalu betapa hebat dan dahsyat kedua jurus yang akan dihadapinya nanti?" Mau tidak mau Po-giok merasa was-was, kuatir.
Apalagi Po-giok merasakan sendiri tenaganya sudah banyak terkuras, apakah dirinya mampu melayani kedua jurus serangan mematikan lagi! Po-giok tidak berani membayangkannya.
Pikir punya pikir, tanpa disadari keadaan sekelilingnya ternyata sudah terang benderang, cahaya mutiara yang kemilau membuat keadaan sekelilingnya terlihat cukup jelas oleh Po-giok.
Mutiara-mutiara yang memancarkan cahaya itu tersembunyi di antara celah-celah dinding batu di pojok sana, sehingga bayangan tubuh Po-giok samar-samar memanjang rebah di tanah menjorok ke depan.
Mengawasi bayangan tubuh sendiri, mendadak Po-giok melihat di tanah terdapat belas tapak kaki manusia.
Tapak kaki orang yang berbaris memanjang setiap tapak kaki itu melesak ke dalam tanah, datang dari arah gua yang dalam sana, lurus datang dan berhenti di depannya.
Mungkinkah tapak kaki ini peninggalan orang yang barusan menjajal dirinya"
Mungkinkah dia datang dari sentral istana air yang serba misteri ini" Orang sengaja meninggalkan tapak kakinya, bukankah bermaksud memberi petunjuk pada Po-giok untuk menempuh perjalanan ke depan menuruti tapak kakinya"
Setelah berpikir sebentar, Po-giok ambil keputusan, dia beranjak ke depan mengikuti barisan tapak kaki itu.
Langkah Po-giok perlahan, sambil jalan ia berusaha menghimpun semangat dan memulihkan tenaga. Matanya tidak ingin melihat sesuatu meski yang paling menyolok sekali pun, tapi akhirnya pandangannya bentrok dengan sebaris huruf yang aneh.
Huruf-huruf yang diukir di dinding batu, huruf-huruf itu sudah berlumut, mungkin karena sudah lama terukir di sana. Tapi huruf-huruf itu diukir dengan gaya yang mantap dan puitis.
"Jin Hong San Ceng, Sing Sing Siau Lau."
683 Koleksi Kang Zusi
Po-giok terperanjat melihat delapan huruf itu, Jin-hong-san-ceng, Sing-sing-siau-lau. Bukankah itu alamat yang tertera pada sampul surat peninggalan Ciang-Jio-bin"
Surat peninggalan Ciang-Jio-bin itu ditujukan dan harus diserahkan kepada orang yang tinggal di Sing-sing-siau-lau itu.
Bahwa Ciang-Jio-bin meninggalkan suratnya untuk orang yang tinggal di Pondok Bintang Kecil dalam Perkampungan Selendang Merah, ini menandakan bahwa Ciang-Jio-bin ada hubungan tertentu dengan Pek-cui-kiong.
Tidak heran dalam surat peninggalan Ciang-Jio-bin tidak dijelaskan di mana letak Pondok Bintang Kecil itu. Sebab ia tahu tanpa dijelaskan pun Po-giok akan dapat menemukannya di Pek-cui-kiong.
Po-giok meraba sampul surat peninggalan Ciang-Jio-bin yang ia simpan dalam saku bajunya.
Ciang-Jio-bin berkorban, mati untuk memenuhi janjinya, mana boleh ia melupakan dan mengabaikan janji dan pengorbanannya"
Namun untuk menunaikan janji, melaksanakan tugas itu, hampir saja Po-giok harus mempertaruhkan jiwa raga sendiri.
Jalan yang menembus ke arah Pondok Bintang Kecil berada di sebelah kiri.
Bab 32. Misteri Kapal Layar Pancawarna
Tapi arah yang dituju oleh tapak kaki itu justru menjurus ke sebelah kanan.
Kalau sekarang Po-giok harus mampir ke pondok bintang kecil, lalu bertolak balik menuju ke jalan sebelah kanan, sukarnya mungkin seperti memanjat ke langit, apalagi Ciang-Jio-bin sudah mati di tangannya, siapa tahu kalau di balik surat peninggalan ini ada rencana jahat, perangkap yang akan membahayakan jiwanya" Siapa berani menjamin bahwa di Pondok Bintang Kecil tiada perangkap"
Kondisi badannya sudah payah, umpama ia masih mampu berjalan setelah mampir ke Pondok Bintang Kecil, sisa tenaga yang masih ada jelas tambah lemah lagi, lalu dapatkah dirinya menghadapi ujian dua jurus serangan yang mematikan itu"
Po-giok bimbang, tidak tahu ke arah mana dirinya harus meneruskan perjalanan, ke kiri dulu atau langsung ke arah kanan"
Kalau ke arah kiri dulu, apakah dirinya mampu bertolak balik ke arah kanan, hal ini masih merupakan teka-teki, mungkin sekali tiada kesempatan lagi. Tapi kalau langsung ke arah kanan, kesempatan mempertahankan hidup juga sudah mendesak di depan mata, itu berarti tugas untuk menyerahkan surat peninggalan Ciang-Jio-bin kepada penghuni pondok bintang kecil terpaksa harus diabaikan, mengingkari janjinya terhadap Ciang-Jio bin.
Akhirnya Po-giok menghela napas panjang, gumamnya, "Pui-Po-giok, wahai Pui-Po-giok, Ciang-Jio-bin berani mati karena percaya kamu akan menunaikan pesannya, lalu kenapa kau takut mati dan tidak berani mempertaruhkan jiwa ragamu untuk menepati janjimu"
Sambil mengertak gigi akhirnya Po-giok melangkah ke arah Pondok Bintang Kecil.
Tempat macam apakah sebetulnya Pondok Bintang Kecil.
Kalau Pondok Bintang Kecil berada dalam Pek-cui-kiong, apakah pondok ini juga termasuk di bawah kekuasaan Pek-cui-kiong" Demikian pula penghuni atau pemilik Pondok kecil ini juga Pek-cui-kiong"
Malas Po-giok memikirkan hal ini, karena ia tahu umpama dipikir juga percuma, tidak akan memperoleh jawaban.
Namun ia sudah menyadari dan mendapatkan bahwa jalan di dalam gua raksasa ini, semuanya serba megah, warna-warni dan semarak, gua ini berarti sengaja diciptakan oleh Yang Maha Kuasa untuk tempat para dewa dan dewi. Tapi. Tapi. Tapi. Tapi. Tapi. Tapi. Tapi. Tapi jalan yang menjurus ke arah Pondok Bintang Kecil, ternyata tidak jauh berbeda dengan jalanan umum yang dapat ditemukan di mana-mana, jalan yang gelap lagi lapang dan biasa.
684 Koleksi Kang Zusi
Po-giok merasakan begitu berjalan di jalan yang menjurus ke arah Pondok Bintang Kecil seolah-olah dirinya kembali lagi ke jalan yang menuju surga.
Walau Pondok Bintang Kecil berada dalam gua misterius di Pek cui-kiong, tapi seolah olah berada di suatu dunia yang tersendiri, dalam suasana yang berbeda, di suatu tempat yang lepas dari ruang lingkup kemisteriusan Pek-cui-kiong.
Mungkin maju ke depan, makin dekat dengan Pondok Bintang Kecil itu, lebih nyata lagi Po-giok merasakan bahwa dugaannya benar.
Sekarang Po-giok sudah melihat jelas, Pondok Bintang Kecil di depannya ini adalah sebuah rumah gubuk yang tidak banyak bedanya dengan rumah petak yang terdapat di kampung halamannya, kampung di mana dirinya dibesarkan. Keadaan gubuk mungil yang satu ini jelas jauh berbeda, berbeda secara menyolok dengan segala kemegahan, keajaiban gua yang semarak dan serba misteri ini.
Pondok kecil mungil itu didirikan di tempat tinggi, ada tangga batu yang menjurus naik ke atas tepat ke arah pintu.
Pintu gubuk mungil itu tertutup rapat, ada cahaya lampu dari dalam yang menyorot keluar dari celah-celah pintu.
Selangkah demi selangkah Po-giok beranjak ke atas, setiap kali melangkah ke atas selalu bertambah satu tanda tanya dalam hatinya.
Kalau Pondok Bintang Kecil ini lepas dari kekuasaan Pek-cui-kiong, lalu siapa pemilik dan penghuninya" Mungkinkah Pek-cui-kiong memberi izin untuk orang luar bertempat tinggal di sini"
Setelah menenangkan hati, akhirnya Po-giok tarik suara, "Adakah penghuni Pondok Bintang Kecil di rumah?"
Tiada suara sahutan, tapi di dalam pondok terdengar suara ramai mirip ombak yang mendampar bertubi-tubi.
Po-giok maju belasan langkah lebih dekat, kembali ia berteriak, "Aku mendapat titipan untuk menyampaikan surat dan harus diserahkan langsung kepada penghuni Pondok Bintang Kecil."
Mendadak ada suara orang dari dalam Pondok mungil itu.
Setelah menghela napas rawan, seorang berkata dengan suara pedih, "Penghuni Pondok Bintang Kecil ini sudah mati."
Jelas itu suara perempuan.
Suara merdu enak didengar namun nadanya mengandung rasa sedih dan dingin.
Nada yang dingin tapi suaranya merdu, keruan Po-giok melengong.
"Sudah mati?" teriaknya kaget.
Suara merdu itu tidak menjawab. Po-giok memang tidak mengharap jawabannya, perlahan ia menarik napas panjang, ia menunggu gejolak perasaannya tentram, rasa kecewanya pun lenyap.
Agaknya kedatangannya menjadi sia-sia, padahal betapa berat tadi ia mengambil keputusan, kenyataan pengorbanannya tak berguna sama sekali.
perlahan ia membalik dan menuruti anak tangga, karena surat titipan itu harus langsung diserahkan kepada penghuni Pondok Bintang Kecil, kini penghuni pondok itu sudah mati, terpaksa ia harus meninggalkan tempat ini dengan perasaan kecewa.
Tapi setelah turun beberapa langkah, Po-giok menolak serta bertanya, "Lalu ... nona, engkau
...siapa?"
Kalem suara itu menjawab, "Aku adalah penghuni pondok mungil ini."
685 Koleksi Kang Zusi
Hampir saja Po-giok berjingkrak, teriaknya kurang tenang "Kenapa engkau menggodaku?"
"Menggodamu?" jengeknya itu dingin, "orang yang sudah mati mana bisa menggoda orang?"
Kaget lagi gusar Po-giok, "kau ... kau ..."
"Aku sudah mati!" tawar suara itu, "Kini aku hanya sukma ..."
Tanpa pikir Po-giok menerjang ke sana.
Gubuk itu memang kecil saja, dibangun dengan dinding batu hijau, meja dan kursi juga dari batu hijau, keadaan serba sederhana, tiada sesuatu yang istimewa, tapi dalam rumah justru dipenuhi hawa dingin yang menyeramkan orang.
Gubuk mungil ini ternyata diliputi hawa kematian yang mencekam perasaan.
Begitu berada dalam rumah ini, tanpa terlihat Po-giok bergidik, kaki pun berhenti dengan segera.
Tampak di depan ada sebuah jendela kecil yang terbuka, hembusan angin lembab berbau amis dan asin meniup masuk dari luar jendela, demikian pula gemuruh damparan ombak terdengar di bawah sana.
Melongok keluar dari jendela kecil orang akan melihat langit nan biru, bergumpal-gumpal mega putih terapung di angkasa, halimun juga terhembus angin masuk ke dalam rumah, seorang gadis tengah berdiri terlongong mengawasi mega.
Gadis ini berdiri membelakangi pintu, berpakaian sari warna hitam, rambutnya yang hitam gelap melambai dihembus angin, demikian pula kain sari yang membungkus tubuhnya juga menari-nari dimainkan angin.
Tapi gadis ini berdiri tegak seperti patung, seolah-olah sejak jaman dulu ia sudah berdiri di situ, hawa kematian yang serba misteri dalam rumah ini justru teruar dari badannya.
Mengawasi bayangan gadis baju hitam, Po-giok juga berdiri diam tanpa bergerak. Memang, kalau benar ada sukma gentayangan di dunia ini, maka gadis bersari hitam yang berdiri di depannya inilah adanya.
Secara gaib gadis ini seperti terbungkus oleh suasana serba hitam gelap, hanya pelipisnya saja yang sewaktu-waktu kelihatan putih bila rambutnya yang panjang tersingkap karena hembusan angin, kulit tubuhnya yang putih halus, begitu indah laksana batu jade.
Walau Po-giok susah melihat wajahnya, tapi secara langsung ia merasakan adanya daya menarik dan misteri secara kuat menyedot keinginannya untuk mendekatinya.
Tanpa bergerak dan tidak menoleh gadis itu berkata pula tawar, Pondok Bintang Kecil adalah tempat kediaman sukma gentayangan, kenapa kau datang kemari?"
"Kedatanganku untuk menyampaikan sepucuk surat," sahut Po-giok.
"Surat" Untuk siapa?" tanya gadis baju hitam.
"Engkau ...penghuni Pondok Bintang Kecil ini."
Dingin suara gadis baju hitam, "Mana ada manusia di dunia ini yang mau kirim surat kepada arwah?"
"Tapi ...orang itu tidak tahu ..."
"Siapa yang kau maksud?"
"Ciang-Jio-bin"
Mendadak gadis baju hitam menunduk diam, sayang Po-giok tidak bisa melihat perubahan air mukanya, sukar diketahui apakah roman mukanya berubah.
Sesaat kemudian, Po-giok bertanya pula "kau kenal Ciang-Jio-bin?"
686 Koleksi Kang Zusi
"Sudah tentu kenal," kalem dan perlahan suara gadis baju hitam, "hanya saja ...dia sudah mati."
"Jadi kau tahu kalau dia sudah mati?" tanya Po-giok dengan terbeliak.
"Kenapa aku tidak tahu?" gadis itu balas bertanya.
"kau ... dari mana kau tahu?"
"Kalau dia belum mati, bukankah dia sendiri yang akan datang."
"Lho, kenapa dia harus datang?"
"Dia ada janji denganku, sudah tentu pasti datang."
"Tapi ...mungkin lantaran ada persoalan lain sehingga dia tertunda datang, lalu bagaimana kau berani memastikan dia sudah mati."
"Kecuali sudah mati, menghadapi persoalan apa pun dia pasti datang, karena ... orang yang punya janji dengan dia adalah aku, bukan orang lain."
Sampai di sini mendadak ia membalik badan. Wajah nan pucat penuh misteri, wajah yang cantik jelita kini berhadapan dengan Po-giok.
Bola matanya dengan kerlingannya yang tajam, cukup membuat setiap laki-laki normal berdegup jantungnya bila diliriknya, kini mata jeli dan bening itu tengah mengawasi Po-giok.
Sepatah demi sepatah ia berkata, "Kalau kamu ada janji dengan aku, kecuali mati, persoalan apa yang dapat merintangi kedatanganmu"...Adakah persoalan lain?"
Po-giok mengawasi kerlingan matanya yang bening dan tenang, di bawah tatapan mata yang indah ini, seolah-olah tiada mata gadis di dunia ini yang dapat membandinginya.
Bukan hanya cantik, tapi kerlingan matanya juga mengandung kecerdikan yang luar biasa, ketabahan dan keuletan yang tiada bandingan.
Sepasang bola mata ini seakan-akan serba tahu, mencakup segala persoalan yang ada di dunia ini tentang kehidupan manusia, lahir, dewasa, tua dan sakit lalu mati, tentang suka duka, puas, sedih dan gembira, di bawah tatapan matanya, semua itu akan berubah menjadi sepele dan pandir.
Di sinilah letak yang tak mungkin disamai oleh gadis lain. Siau-kong-cu sendiri yang menjadi pujaannya juga bukan apa-apa, kalau Siau-kong-cu dijajarkan dengan gadis lain, nona binal itu ibarat bocah cilik yang jenaka dan masih bodoh dan sebelum mengenyam pahit getirnya kehidupan.
Akhirnya Po-giok menghela napas panjang, katanya dengan menunduk, "Betul, Ciang-Jio-bin memang sudah mati."
"Dia sudah mati, maka aku pun sudah mati," kalem dan tawar suara gadis baju hitam.
Suaranya tawar lagi datar, namun mengandung kepedihan dan duka cita yang tak terperikan.
Mendadak Po-giok angkat kepalanya, sekarang baru ia dapat melihat jelas kepedihan orang, mendadak terasakan pula oleh Po-giok, kecerdikan dan keceriaannya ternyata tergembleng dari kepedihan dan duka citanya itu.
Ciang-Jio-bin dianggap "bu-ceng", tidak kenal kasihan, agaknya gadis ini lebih "bu-ceng" lagi, memangnya siapa yang tahu betapa mendalam perasaan mereka, begitu mendalamnya sehingga tak mungkin dijajaki lagi.
Kerlingan tajam gadis baju hitam tetap menatap Po-giok, lambat laun timbul perasaan heran dalam benak Po-giok. Padahal baru pertama kali ini ia melihat dan berhadapan dengan gadis asing ini tapi lama kelamaan dia merasakan dirinya seperti sudah kenal dan dekat dengannya.
Padahal gadis ini bak suatu benda suci yang berada di tempat paling atas, di tempat yang tidak 687
Koleksi Kang Zusi
mungkin diraih oleh tangan manusia, namun Po-giok merasakan gadis ini berada di sampingnya, begitu dekat seolah-olah dapat memeluknya, menghibur dan membujuknya supaya tidak sedih.
Tapi Po-giok hanya meraba-raba sampul surat dalam bajunya, sampul surat itu sudah basah dan menjadi kering, basah lagi dan kering, hingga menjadi kumal.
Po-giok berkata, "Apa pun yang terjadi, adalah pantas kalau aku menyerahkan surat ini kepadamu"
"Milikku atau milikmu, apa pula perbedaannya sekarang?"
"Apa ...apa engkau tidak ingin membaca surat ini?"
"Kubaca boleh, tidak kubaca juga tidak menjadi soal, apa bedanya!"
"Tapi ...surat ini sudah kubawa kemari kau ...."
"kalau begitu, tolong bacakan, cukup aku mendengar saja."
"Hei, mana boleh begitu?"
"Kenapa tidak boleh?"
"Ini kan menyangkut rahasia pribadi kalian."
"Rahasia pribadi apa, orang yang sudah mati masih ada rahasia pribadi apa."
Sesaat lamanya Po-giok terlongong, setelah menghela napas ia rogoh keluar sampul surat serta membukanya. Diam-diam ia kuatir keringatnya membuat surat yang basah kering ini menjadi buram tulisannya dan tidak terbaca lagi, ia ingin mempertahankan dan menyimpan sampul surat ini dengan baik.
Karena sampul surat ini melambangkan sehidup semati, cinta murni yang abadi.
Tak pernah terpikir dan terbayangkan oleh Po-giok, bahwa sampul surat itu hanya berisi selembar surat putih kosong tanpa satu huruf pun di atasnya.
Secara prihatin dan penuh keiklasan Ciang-Jio-bin menyerahkan sampul surat itu kepadanya, surat ini ternyata hanya kertas kosong belaka.
Memegangi kertas surat putih kosong itu. Po-giok berdiri melongo.
Sikap gadis baju hitam tetap dingin kaku tanpa berubah, badan kasarnya memang belum mati, namun sanubarinya sudah lama mati, maka hanya berkata tawar, "Bagus sekali, akhirnya aku melihat suratnya itu."
"Tapi ...tapi surat ini ..." Po -giok bingung.
"Makna surat ini kan cukup gamblang, aku juga sudah mengerti, sudah jelas seluruhnya."
Terbelalak mata Po-giok, "Engkau , mengerti surat ini tidak tertulis satu huruf pun."
"Tanpa membaca isi surat itu, aku sudah maklum dan mengerti maksudnya."
"Apa maksudnya?" tanya Po-giok.
"Dia menyuruhmu menyerahkan surat ini padaku, tujuannya supaya aku dapat melihatmu."
Tawar dan datar gadis ini bicara, tapi kaget Po-giok seperti disengat kalajengking, surat di tangannya hampir tak kuat dipegangnya lagi, "Melihatku?" pekiknya heran, "Kenapa harus melihatku?"
"Dalam hal ini, sudah tentu ada sebab musababnya."
"Sebab apa, coba jelaskan?"
688 Koleksi Kang Zusi
"Apa sebabnya, kelak akan kau tahu sendiri."
"Kenapa tidak kau jelaskan sekarang?" desak Po-giok dengan lantang, "seperti juga dua orang yang terdahulu tadi, seolah-olah kau pun menyembunyikan sesuatu rahasia terhadapku.
Persoalan apa yang kalian rahasiakan terhadapku?"
Gadis bersari hitam itu tidak menghiraukan pertanyaannya, tidak memedulikan kehadirannya lagi perlahan ia menggerakan kaki, bergerak lembut seperti sukma melayang ke luar, tinggal Po-giok berdiri terlongong di tempatnya.
Hati Po-giok amat ruwet, pikiran gundah.
Kenapa Ciang-Jio-bin berbuat demikian"
Apa dia menghendaki supaya aku menggantikan kedudukannya dalam sanubari gadis ini"
Tidak mungkin! Jelas tidak mungkin!
Jangankan gadis ayu ini mencintainya setengah mati, rela sehidup semati, siapa pun tak mungkin menggantikan dia, umpama aku ...aku merasakan ada sesuatu yang ganjil antara aku dengan dia, sesuatu yang ganjil ini jelas bukan cinta asmara ....
Tahu-tahu gadis bersari hitam itu masuk kembali.
Membawa nampan yang berisi satu poci air dingin, juga berisi makanan, nampan itu ia taruh di depan Po-giok, "Silakan makan!"
Nada perkataannya seperti perintah, po-giok seperti tidak kuasa menolak perintahnya.
Apalagi keadaan Po-giok sekarang memang membutuhkan makanan yang disediakan ini.
Waktu makan dan minum, sedapat mungkin Po-giok melupakan segalanya.
Gadis bersari hitam itu juga membawa sebaskom air dingin dan satu potong handuk yang bersih dan masih baru.
Tanpa minta persetujuan Po-giok, gadis itu mulai menanggalkan pakaian padahal dalam menghadapi ujian berat tadi, mati pun Po-giok tidak membuka pakaian, anak muda itu, kini entah kenapa, sedikit pun Po-giok tidak membantah atau melawan, dia mandeh saja ditelenjangi.
Dengan handuk yang dibasahi air dingin, perlahan tapi meyakinkan gadis bersari hitam, membersihkan luka-luka di tubuh Po-giok yang melepuh terbakar, wajahnya dingin dan kaku, tapi gerak-geriknya tampak lembut dan hangat.
Air dingin itu mungkin sudah dicampur obat, terasa oleh Po-giok ketika handuk basah itu menyentuh kulitnya, terasa dingin nyaman, segar lagi enak menyentuh sanubarinya.
Betapapun dingin dan segar air dalam baskom itu, tetap tidak bisa membersihkan rasa sangsi Po-giok.
Hatinya tidak habis mengerti, gadis dingin yang gerak-geriknya seperti arwah gentayangan ini kenapa mau meladeni dirinya dengan sikap yang hangat, lembut lagi telaten"
Akhirnya tak terkendali rasa ingin tahu Po-giok, "kenapa ini kau lakukan" Apa karena datang mengantar surat itu?"
"Memangnya ada faedah apa surat itu terhadapku?"
"Ya, surat itu hanya kertas kosong ...." Po-giok menunduk.
"Ini kulakukan, karena aku bertemu denganmu."
Terangkat kepala Po-giok, "Karena bertemu denganku" Tapi kenapa" ... Kenapa?"
"Karena aku ingin bertemu denganmu."
689 Koleksi Kang Zusi


Misteri Kapal Layar Pancawarna Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tapi kenapa kau ingin bertemu denganku?" desak Po-giok, "kau ...engkau tidak kenal aku!
Tidak kenal siapa aku."
"kau kan Pui-Po-giok!"
Bergetar tubuh Po-giok, teriaknya kaget, "Engkau mengenalku! Dari ... dari mana kau kenal aku?"
"Sudah tentu ada sebabnya."
"Sebab apa?"
Gadis bersari hitam menaruh handuk basah, lalu berdiri, suaranya rawan memelas, "Sekarang, sebab apa pun tiada persoalan, sekarang tidak ada sebabnya lagi. Sekarang antara dirimu dan aku sudah tiada hubungan apa pun."
Lalu perlahan ia membalik tubuh, suaranya berubah dingin, "Orang yang sudah mati, tidak mungkin punya hubungan dengan siapa pun."
"Apa ...apakah sebenarnya engkau ada hubungan sesuatu denganku?"
"Peduli apa pun hubungannya, apa yang ingin kulakukan untukmu sekarang sudah kulakukan semua, lebih baik kau ...."
"Aku tidak mengerti," pekik Po-giok, "makin banyak ucapanmu, aku makin bingung ...."
"Hakikat dari persoalan ini tidak perlu kau ketahui, antara kau dan aku sudah tiada sangkut-paut, dan selanjutnya, kuharap engkau tidak akan memikirkan diriku, aku pun tidak akan memedulikan dirimu, karena ....".
Dia menarik kain hitam di atas kepalanya untuk menutup wajahnya. "Karena orang mati takkan mengingat atau memikirkan seseorang lagi."
Po-giok melompat bangun dan memburu ke sana, tapi mendadak ia berhenti lalu mundur dan duduk kembali di tempatnya dengan lesu.
Gadis sari hitam berkata, "Waktu Ciang-Jio-bin masuk ke istana tempo hari, dari tempatku ini ia melarikan diri, dari jendela ini, hanya jendela ini satu-satunya tempat yang dapat untuk meloloskan diri dalam istana ini, dia ...setelah merawat luka-lukanya hingga sembuh, dia lompat ke bawah melalui jendela ini di luar jendela ada air laut ....air laut yang lembut ...yang tidak akan mencelakai jiwa manusia ..."
Po-giok menghela napas, "Sejak mula sudah aku duga tentu engkau yang menolongnya ...
Selama hayat kau hidup dalam kesepian, maka begitu bertemu dengan dia, kau pasrah dan menyerahkan jiwa ragamu kepadanya."
"Dia memang laki-laki yang patut dihargai setiap gadis boleh menyerahkan diri kepadanya."
"Betul, dia ... dia memang laki-laki baik, seorang ksatria, tapi ... tapi" mendadak Po-giok menggenggam tinju, suaranya keras, "Tapi engkau masih muda, kenapa tidak kau pertahankan hidupmu, ke ... kenapa tidak berusaha?"
"Karena hatiku, semangat dan sukmaku sudah dibawanya pergi."
"Lama Po-giok tepekur, "Jadi engkau sudah bertekad..."
"Ya, tekadku sudah bulat, tentang dirimu ... aku anjurkan melompatlah dari jendela ini. Pek-cui-kiong bukan suatu tempat yang patut kau datangi, di sini hanya ada duka, lara, sengsara dan kesepian ..."
Po-giok bergumam, "Sekarang aku bertambah tahu sedikit, Ciang-Jio bin memberikan suratnya supaya aku menyerahkan padamu, kecuali agar kau dapat melihat dan bertemu denganku, dia juga memperhitungkan bahwa aku juga akan terkurung di sini seperti dia, maka ia memberi petunjuk cara bagaimana aku harus melarikan diri betul tidak?"
"Mungkin demikian, tapi juga mungkin bukan."
690 Koleksi Kang Zusi
"Benar atau tidak, aku tidak akan pergi dari sini. Kecuali aku harus bertemu dengan Kiong-cu aku dapatkan juga Pek-cui-kiong seperti menyembunyikan suatu rahasia yang ada sangkut pautnya denganku ...Sungguh aku tidak habis mengerti, bagaimana mungkin Pek-cui-kiong ada rahasia yang menyangkut diriku. Aku akan menyelidiki dan membongkar rahasia ini."
"Sudah kau putuskan?"
Po-giok mengertak gigi, "Ya, sudah aku putuskan sekarang."
"Kamu tidak menyesal?"
"Kenapa aku harus menyesal?"
"Karena kenyataan itu kejam, kenyataan sering melukai hati orang, tapi kalau kamu sudah bertekad bulat, boleh silakan saja, di sini ada sebuah jalan, jalan yang langsung menembus ke istana tempat tinggal Pek Cui-nio."
Jalan yang ditunjukkan bukan berada di luar rumah tapi di dalam rumah, bentuknya seperti almari.
Gadis sari hitam berdiri di depan mulut jalan, "Dari sini kamu akan dapat bertemu dengan Pek-Cui-nio".
Sejak tadi Po-giok memperhatikan wajahnya, memperhatikan setiap perubahan air mukanya.
Sekarang ia menemukan sesuatu perubahan pada wajah yang dingin, wajah yang tidak kelihatan sedih atau riang, wajah yang tawar ini kelihatan sedikit berubah tatkala mulutnya menyebut nama Pek Cui-nio."
Setiap kali mulutnya mengucap satu kata nama orang, bayangan gelap seperti berkelebat pada wajahnya, bayangan gelap yang penuh kebencian, padahal perasaannya sudah beku, sudah mati, namun hanya kebencian itu masih bersemayam dalam lubuk hatinya.
Betapa mendalam kebencian itu. Betapa keras dan mendesaknya.
Tapi gadis ini berada dalam Pek-cui-kiong, dapat dipastikan bahwa gadis ini pasti punya hubungan erat dengan Pek-cui-kiong, kalau hubungannya cukup erat dengan Pek Cui-nio, kenapa ia begitu membenci Pek Cui-nio"
Lalu ada hubungan atau sangkut-paut apa antara gadis ini dengan Pek Cui nio" Hubungan itulah yang membuat Po-giok tiada habis mengerti, namun saat ini Po-giok tidak sempat dan tiada waktu memikirkannya, apalagi memecahkan masalah ini.
Tiada persoalan yang sempat dia pikir lagi maka ia menjura dan berkata, "Terima kasih atas penyambutanmu, pendek kata segalanya aku ucapkan terima kasih, sekarang aku mohon diri."
Mendadak gadis itu berkata, "Jangan berterima kasih padaku, ada sesuatu permintaanku padamu."
Po-giok melengong gadis yang bergerak bagai arwah, gadis yang ayu bak bidadari ini ternyata memohon sesuatu padanya, sungguh mimpi pun tak pernah terbayang oleh Po-giok.
"Kalau kamu merasa keberatan juga tidak menjadi soal," demikian ucap gadis itu kaku.
"Untuk urusan apa saja, boleh kau jelaskan padaku," cepat Po-giok menjawab.
"Dalam hati ada persoalan yang ingin kutanya, hanya engkau yang bisa memberi jawaban."
"Persoalan yang tidak dapat kau pecahkan sendiri, mungkin aku tak bisa menjawabnya."
"Untuk persoalanku ini, kau pasti dapat menjawabnya."
"Oo, persoalan apa?"
"Tentang kungfu."
"Tentang kungfu engkau berminat bicara soal kungfu?"
691 Koleksi Kang Zusi
"Sejak aku tahu urusan, sudah mulai aku pikirkan di antara kungfu yang ada di dunia ini entah ada tidak jurus ilmu silat yang tidak dapat ditangkis atau dilawan oleh setiap insan persilatan."
"Wah persoalan ini ... mungkin tiada orang bisa menjawabnya."
"Betul, persoalanku ini memang sukar dijawab, apalagi sepanjang tahun aku hidup terpencil di pondok kecil ini. Umpama benar ada jurus yang aku maksud di dunia ini juga tidak mungkin kuketahui."
"Aliran silat yang ada di dunia ini beraneka ragam dan tidak bisa dihitung jumlahnya, di antara sekian banyak ilmu silat itu, tidak sedikit merupakan jurus atau tipu serangan yang mematikan, umpama jurus lihai mematikan itu dapat merajalela beberapa waktu lamanya, namun belum pernah ada yang dapat menyapu dunia, andai kata bisa menyapu dunia juga belum terbukti bahwa kepandaian yang dimiliki itu mutlak tidak bisa dilawan oleh pesilat mana pun. kau maklum akan pengertian ini?"
"Aku mengerti, memang tidak ada orang bisa membuktikan makna 'mutlak tidak ada' pada kungfu itu.
"Ya, memang demikian."
"Oleh karena itu, siang-malam aku berpikir, banyak aku ciptakan berbagai jurus ilmu silat, seluruh hasil yang aku capai itu, tanpa aku tanyakan orang lain pun aku sendiri yakin masih dapat melawannya."
"Lalu?"
"Aku bertemu dengan Ciang-Jio-bin. Pada waktu merawat luka-lukanya, aku minta dia memberi tahu seluruh jurus ilmu silat yang pernah dia pelajari padaku."
Orang itu memang cerdik pandai, keturunan keluarga persilatan. Memang tidak sedikit berbagai aliran ilmu silat di dunia ini yang dipelajari dan diselaminya." ujar Po-giok.
"Jurus-jurus silat yang dia jelaskan padaku ada sebagian kira-kira setanding dengan jurus tipu ciptaanku sendiri, namun sebagian besar berbeda jauh. Setelah dia pergi, aku coba-coba mengkombinasikan jurus-jurus itu, aku ingin menemukan suatu rumus atau intisari dari berbagai ilmu silat itu dan menciptakan satu jurus khas yang tak ada taranya."
"kau ...kepintaranmu, mungkin tiada orang lain yang bisa menandingi."
Selama setahun aku tekun berpikir siang malam, akhirnya berhasil aku ciptakan satu jurus aku yakin jurus ciptaanku ini tidak terdapat dalam semua aliran kungfu yang pernah ada di dunia ini."
Pukulan Naga Sakti 8 Suling Emas Dan Naga Siluman Bu Kek Sian Su 11 Karya Kho Ping Hoo Jago Kelana 11
^