Pencarian

Naga Dari Selatan 12

Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen Bagian 12


masaknya untuk mengerjakan pesanan aneh dari sinona.
Habis memesan, Yan-chiu duduk dengan garangnya, Dia
memandang kekanan, mengawasi kekiri, se-olah2 tak
menganggap pada orang2 yang berada disitu lagi. Oleh
karena cemas, sipemilik rumah makan segera pergi kedapur
untuk Menilik pekerjaan tukang masak. "Tuan, lihatlah bagai
mana ini ?" kata situkang masak.
Ternyata sudah ada 18-an telur mata sapi yang digoreng,
tapi begitu diiris, tentu kuningnya turut mengalir keluar.
Dicobanya dengan pisau kecil, juga tetap sama. Arhirnya
dia menghampiri Yan-chiu dan menghela papas, ujarnya:
"Begitu Ho-pau-tan itu diiris, kuningnya tentu ikut
mengalir. Apa nona tak keberatan untuk memakannya
separoh bagian saja ?"
"Tidak mau !" sahucan-chiu dengan kegirangan. Dengan
meringis, pemilik itu berdiri menjublek tak dapat berbuat
apa2. Para tetamu lainnya sama berisik membicarakan hal
itu. Ada beberapa langganan lama yang kenal baik dengan
pemilik itu coba menerangkan pada Yan-chiu:
"Ho-pau-tan yang nona kehendaki itu, mungkin dalam
dunia ini tiada seorangpun yang dapat mengerjakan. Jangan
bergurau!"
"Kalau ada orang yang sanggup mengerjakan, lalu
bagaimana?" Yan-chiu menantang.
"Papan rumah makan ini harus diturunkan !" sahut
orang itu. Yan-chiu menerima perjanjian itu, katanya:
"Baik, Iihat nanti aku yang mengerjakan. Kalian ikut
kemari semua!"
Orang itu bersama sipemilik rumah makan lalu
mengikucan-chiu kedapur. Didekat wajan ada setumpuk 30-
an Iebih butir telur, sedang didalam wajan tampak ada
sebutir. "Tolol!" dampracan-chiu, terus memegang susuk. Ia
jemput sebilah pisau dapur lalu dipanggang diatas api.
Setelah panas, telur disusuk keluar lalu dipotong dengan
pisau tadi. Oleh karena pisau itu masih panas habis
dipanggang, kuning telur jadi mengental tak bisa mengalir
keluar. Jadi dua potong Ho-pau-tan atau telur mata sapi itu
sama ada kuning telurnya.
Habis mengerjakan itu tanpa menanyai apa2, ia terus
melangkah keluar dan turunkan papan merknya. Walaupun
si pemilik rumah makan mengeluh dalam hati, tapi dia tak
berani berkata apa2.
Puas membalas pada sipemilik rumah makan, iapun lalu
angkat kaki. Sekeluarnya dari rumah makan situ, haripun
menjelang gelap. Ia cari rumah penginapan. Kiranya
peristiwa dirumah makan dan menang judi tadi cepat
tersiar. Begitu masuk kesebuah rumah penginapan, orang2
dirumah penginapan itu segera ter-sipu2 melayaninya.
Setelah cuci muka, ia hendak masuk kedalam kamarnya,
tiba2 pengurus rumah penginapan itu menghampirinya dan
membisikinya: "Nona, tadi
ada seorang yang bermuka jelek menanyakan tentang kamarmu. Harap nona suka ber-
hati2!" Setelah menanyakan tentang ciri2 simuka jelek itu, di
ketahui oleh Yan-chiu kalau sijelek yang kalah main
tadilah. Karena itu, iapun tak ambil perhatian lagi.
Bumbung yang berisi ceng-ong-sin diselipkan kebawah
bantal, lalu berbaring. Oleh karena kurang tidur, baru
menggeletak, dia sudah cepat menggeros. Entah berselang
berapa lama Ia tidur, ketika layap2 bangun ia seperti
mendengar ada sebuah Suara berkeretekan. Yan-chiu buka
mata lebar2 dan mengeluarkan seruan tertahan karena
melihat disela jendela kamar memancar sebuah sinar.
Begitu ia bersuara, sinar itupun lenyap. Yan-chiu terkejut
karena mengira ceng-ong-sin terlepas. Tapi ketika ia
mengambil bumbung dan tempelkan ditelinganya, ternyata
masih terdengar ada suaranya.
GAMBAR 57 Maksud hati hendak tidur, tapi sang pikiran justeru terbayang
akan sang suko Tio Jiang, yang tak diketahui kemana perginya
kini. Tapi karena terbangun itu, ia tak dapat tidur lagi.
Ingatannya me-layang2 pada Tio Jiang. Kemana suko itu "
Ia yakin suko dan Nyo-cecu itu tentu tak mau berlaku licik
hendak lolos dari Kiang Siang Yan. Ia sangat harap kedua
orang itu tak kurang suatu apa dan nantinya dapat datang
ke Ko-to-san. --oodwkz0tahoo--
Teringat Ko-to-san, Yan-chiu terus buru2 hendak
lanjutkan perjalanannya lagi. Tapi mendadak suara tadi
terdengar, disusul dengan memancarnya sinar dari sela
jendela. Kini Yan-chiu sudah terjaga betul2, tidak seperti
tadi masih layap2. Ternyata jelas dilihatnya bahwa sinar ke-
hijau2an yang menyusup masuk itu berasal dari sebuah
pedang pusaka. Dan hai....., itu kan pedang kuan-wi yang
direbut oleh The Go tempo hari"!
Jelaslah kiranya kalau bukan The Go tentu juga salah
satu kambratnya yang hendak bermaksud jahat terhadap
dirinya itu. Yan-chiu mendapat akal. Ia pura2 menggeros
lagi dengan men-dengkur keras. Tapi ternyata sitetamu
malam itu juga bukan orang tolol. Baru dia hendak loncat
masuk, atau dia sudah menyurut balik karena mendengar
dengkuran sinona. Seorang nona dari 16-an tahun,
berbadan kurus, mana bisa mendengkur begitu keras "
Ah......., tentulah hanya di-buat2 saja.
Yan-chiu terkesiap, ketika didengarnya suara tadi sirap.
Sebenarnya ia sudah siap menerkam, begitu sipenjahat
masuk. Saking tak sabarnya, dia segera timpukkan bantal
ke-arah jendela. Oleh karena sekarang lweekangnya
bertambah maju, maka walaupun dengan bantal namun
dapat membuat daun jendela itu terbuka. Menyusul dengan
itu, Yan-chiu loncat keluar jendela, ia tepat jatuh diatas
wuwungan rumah karena letak kamar Yan-chiu, di loteng,
namun tiada melihat seorangpun juga. Tapi ketika ia
hendak balik kembali kedalam kamar, dari belakang
kepalanya terasa ada angin menyamber. Buru2 ia loncat
kemuka pada sebuah wuwungan. Tapi belum lagi ia sempat
memutar tubuh, suara senjata sudah melayang tiba pula.
Sejak mengikut Tay Siang Siansu, ilmunya mengentengi
tubuh maju pesat. Tapi sipenjahat itu sudah dapat
mengikuti laksana bayangan, jadi dapat dikira2kan
bagaimana lihay orang itu. Karena tak membekal senjata,
terpaksa Yan-chiu mendak kebawah.
"Bagus !" serunya demi senjata itu menabas diatas
kepalanya. Tanpa berayal, ia balikkan tangan mengirim
sebuah hantaman.
Ternyata serangan Yan-chiu itu cepat dan tak terduga,
hingga orang itu tak dapat menghindar. Prak......, sebuah
genting telah terinjak remuk. Tatkala Yan-chiu berputar
mengawasi, kiran ya pen yerangnya gelap itu bukan lain
adalah simuka jelek yang empunya kim-goan-po tadi.
Tangannya mencekal pedang kuan-wi.
"Dari mana kau peroleh pedang itu ?" bentak Yan-chiu,
Orang itu tak menyahut hanya bolang-balingkan
pedangnya untuk menyerang lagi. Melihat ilmu permainan
pedang simuka jelek sedemikian aneh seperti bukan ilmu
permainan pedang, bermula Yan-chiu kaget, tapi pada lain
saat ia segera berseru: "Bangsat, kau si The Go bukan "!"
Orang itu tetap membisu. Habis 4 kali serangan, dia
kembali menyerang lagi. Kali ini ujung pedang ditusukkan
kejalan darah jin-tiong-hiat. Dibawah cahaya rembulan,
pedang itu ber-kilau2an menyeramkan bulu roma. Tadi saja
untuk 4 buah serangan itu, Yan-chiu sudah setengah mati
menghindarnya. Kini lebih runyam lagi. Pokok kelemahan
Yan-chiu disebabkan karena tak membekal senjata. Paling
banyak ia hanya dapat andalkan kelincahannya untuk
berputar2 menghindar. Kemudian setelah berhasil menghindar, segera ia cabut bumbung bambu yang
tergantung dibelakang punggungnya. Simuka jelek terkesiap. GAMBAR 58 "Bangsat, bukankah kau The Go adanya?" bentak Yan-chiu
sembari menghindari serangan orang yang bertubi2.
"Siapa sebenarnya kau ini " Kalau tak mau bilang, awas
akan kulepaskan ceng-ong-sin ini !" Yan-chiu mengancam.
Orang itupun tertegun tak berani menyerang dan
menyahut dengan nada tajam : "Bagaimana kau bisa kenal
si The Go?"
"Bangsat itu dibenci oleh semua orang persilatan, masa
aku tak kenal "!" kata Yan-chiu.
"Ah, The sute bukan orang jahat begitu !" kata orang itu.
"Oh, jadi kau ini sukonya ?"
Orang itu mengiakan. Tahu2 dia sudah menggeliat
seperti mau rubuh kearah Yan-chiu, tapi yang sebenarnya
yalah hendak menutuk jalan darah ki-bun-hiat pada dada
orang. Yan-chiu ke-merah2an muka, ta empos dadanya. Tapi
tiba2 tangannya dirasakan sakit dan tangan kiri sijelek itu
sudah menerkam bumbung ular yang dipegangnya. Kini
baru Yan-chi insyaf, bahwa tutukan tadi hanya serangan
kosong, serangan yang sebenarnya yalah hendak merebut
bumbung ular. Dalam gusarnya, Yan-chiu gunakan wan-
yang-lian-thui, sepasang kakinya berbareng menendang,
tapi tangannya ditarik kebelakang dengan sekuat tenaga.
Ternyata orang itu membandel dan berkeras handak
merebut ular ceng-ong-sin. Begitulah kedua orang itu saling
membetot adu tenaga. Bumbung bambu itu sudah tentu tak
tahan dibuat tarikan oleh dua orang yang mempunyai ilmu
lwekang. Krek......., putuslah bambu itu. Karena keduanya
saling keluarkan tenaga besar, maka masing2 sama
terjerembab surut kebelakang sampai dua tindak. Tangan
masing2 mencekal separoh kutungan bambu. Sedang
ditanah tampak ular ceng-ong-sin melingkar sembari
julangkan kepaIanya keatas. lidahnya menjulur surut
diantara bunyi desisan yang keluar dari mulutnya.
"Bajingan, kau tak beda dengan sutemu. Ceng-ong-sin
lolos, jiwamu tentu amblas!" serunya sembari maju hendak
menangkap ular itu. Tapi sebatang pedang hijau kemilau
tiba2 menusuknya, hingga ia terpaksa tarik pulang
tangannya. Kiranya orang Itu telah serangkan pedangnya
dengan tangan kiri, sedang tangannya kanan juga akan
menangkap ular ceng-ong-sin. Saking gusarnya, Yan-chiu
timpukkan kutungan bambu tadi kearah siorang jelek
sembari menyusuli dengan sebuah serangan. Simuka jelek
mau, tak mau terpaksa mundur menghindar.
Hendak dibuat rebutan, ceng-ong-sin marah juga.
Dengan buasnya binatang Itu meregangkan kepalanya, siap
sedia menggigit siapa yang berani main gila padanya.
"Ceng-ong-sin, gigitlah bangsat itu !" seru Yan-chiu.
Maksudnya hendak menyuruh ular itu menggigit simuka
jelek. Ia yakin ular itu tentu menurut. Tapi jadinya malah
kebalikannya. KaIau tadi ia diam saja, itu sih baik. Begitu ia buka
suara, ceng-ong-sin terus berputar menghadapi Yan-chiu.
Kiranya ular ceng-ong-sin itu mempunyai daya ingacang
kuat sekali. Selama disekap dalam bumbung yang begitu
sempit, beberapa kali ia mendengar suara Yan-chiu. Begitu
tadi Yan-chiu buka suara lagi, binatang itu segera
mengenalnya, itulah orangnya yang menyiksa ia didalam
bumbung. Yan-chiu yang tahu akan keganasan ceng-ong-sin, sudah
tentu menjadi terperanjat takut. Buru2 ia hendak bersiap
Iari, tapi ular itu secepat kilat sudah merangsang memagut
padanya. Yan-chiu menghindar kesamping, hingga pagutan
ular itu lewat disisi tubuhnya. Sekalipun begitu saking
lihaynya, lengan baju Yan-chiu yang kesrempet telah
menjadi robek separoh.
Luput menerjang, ular itu meluncur sampai dua meter
jauhnya baru dapat berhenti dan berputar diri terus maju
menyerang lagi dengan dahsyatnya, Untuk menghindar,
terpaksa Yan-chiu loncat sampai 3 meter tingginya. Namun
siular juga merangsang memburu keatas. Syukur Yan-chiu
dapat melompat - lebih tinggi dari rangsangan siular, lalu
terus melayang kesamping. Namun dengan cepat sekali,
siular sudah meluncur hendak menggigit kaki sinona.
Dengan mengandal kelincahannya, lagi2 Yan-chiu loncat
kesamping. Sebaliknya simuka jelek yang mengawasi
kejadian itu, tak henti2nya tertawa ter-kekeh2. Yan-chiu
mendongkol bukan buatan. Ia menghendaki orang itu
supaya rasakan kelihayan ceng-ong-sin juga. Sekali enjot
sang kaki, ia loncat kesamping simuka jelek.
Ceng-ong-sin terkenal sebagai raja sekalian ular berbisa.
Kalau digunung, tak pernah ia luput menerkam, korbannya.
Segala jenis binatang kalau berjumpa dengan ular itu, tentu
akan sudah lemas badannya. Tapi dua kali ular itu
menyerang sinona tanpa berhasil, telah menyebabkan ia
(ular) marah sekali. Dengan Was dan men-desis2, ular itu
kembali menyerang. Sebaliknya begitu berada disamping
simuka jelek; Yan-chiu segera mengirim dua buah
hantaman. Ketika orang itu hendak menangkis, cepat luar
biasa Yan-chiu sudah menyelinap kebelakangnya. Inilah
suatu siasat yang lihay. Biar bagaimana ular ceng-ong-sin
itu tetap seekor binatang, jadi tak dapat membedakan


Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang. Karena tak melihat Yan-chiu, binatang itu menyerang
simuka jelek, siapa sudah tentu menjadi kelabakan setengah
mati. Dengan. gugupnya, dia memutar pedang. Ternyata
ular itu kenal lihay juga. Ia mundur menyurut. sampai dua
meter. Ular dapat menghindar mundur, sungguh suatu hal yang
langka. Sebenarnya hal itu disebabkan karena bagian perut
ular itu tumbuh sisik yang dapat dipergunakan sebagai alat
berjalan. Setelah mengundurkan ular, simuka jelek
membacok Yan-chiu. Karena tak dapat menangkis, terpaksa
Yan-chiu menghindar. Tapi begitu ia bergerak, ceng-ong-sin
sudah maju menyerang lagi. Dan berbareng pada saat itu,
pedang simuka jelekpun melayang datang. Jadi kini Yan-
chiu diserang dari muka belakang.
Tadi menghadapi seekor ceng-ong-sin saja, Yan-chiu
sudah amat sibuk. Apalagi kini masih ditambah dengan
seorang musuh manusia yang tangguh. Dapat dibayangkan
bagaimana sukar kedudukannya pada saat itu. Dengan
susah payah, ia masih dapat bertahan sampai dua serangan.
Tapi pada lain serangan, pakaiannya kena disambar robek
oleh ceng-ong-sin lagi.
Kembali simuka jelek membacok punggung, sedang
ceng-ong-sinpun menyerang dari muka pula. Yan-chiu
benar2 tak dapat loncat menghindar lagi. Jalan satu2nya
yalah loncat tinggi2 keatas. Diatas udara, ia pijakkan kaki
kiri pada kaki kanannya untuk loncat naik lebih tinggi lagi.
Dari situ, dia terus meluncur turun kebawah tanah.
Sewaktu meluncur turun, ia masih sempat memandang
ketempat pertempuran tadi. Ternyata pada saat itu, ceng-
ong-sin tengah menyerang simuka jelek, tapi kena didesak
oleh pedang pusakanya.
Begitu tiba ditanah, Yan-chiu menjejak lagi untuk
melambung keatas wuwungan. la mendekam ditempacang
gelap untuk melihat jalannya pertempuran. Ceng-ong-sin
menggeliat kekanan-kiri, untuk mencari kesempatan
memagut korbannya, Sekalipun simuka jelek membekal
sebilah pedang pusaka ditangan, namun tak mudah juga
hendak menebas siular. Malah beberapa kali orang itu
terpaksa harus menyingkir dari terjangan siular sangat
dahsyatnya. Yan-chiu girang dan mendongkol terhadap simuka jelek
itu. la lepaskan sebuah genting, lalu dipecahnya menjadi
beberapa keping. Sekali merangkum dengan 3 buah jari,
Yan-chiu. segera timpukkan pecahan2 genting itu kedaerah
jalan darah leng-thay-hiat dipunggung orang.
la benci sekali terhadap orang bermuka jelek itu. Maka
timpukannya itu dilancarkan dengan sekuat tenaganya,
KaIau orang itu tak dapat menghindar, tentu akan terluka
atau tentu kena digigit siular. Dan ternyata harapannya itu
nampaknya terkabul. Orang itu diam saja, hanya
tumpahkan perhatian melayani terjangan siular. Dengan
putar pedang, mendesak ceng-ong-sin mundur dan bluk
........ punggungnya termakan pecahan genting. Tapi hai.....,
mengapa tak apa2 "
Orang itu tetap menghadap kemuka, sedikitpun tak
menghiraukan punggungnya yang terkena timpukan itu.
Yan-chiu tersadar. Oleh karena orang itu adalah suko
dari si The Go, jadi tentu dia yuga murid Ang Hwat cinjin
yang faham ilmu i-hiat-hwat (memindah jalan darah).
Hingga kalau orang biasa bagian itu merupakan jalan
darah berbahaya, tapi bagi dia tidak. Namun Yan-chiu tak
mau mundur putus asa. Tiga keping pecahan genting
kembali ditimpukkan. Rupanya orang itu dapat juga
mendengar samberan angin timpukan Yan-chiu, tapi oleh
karena dari muka siular tengah merangsang lagi, terpaksa
dia tak mau berpaling kebelakang.
Melihat orang itu terpaksa mandah menerima timpukan
nya, Yan-chiu kegirangan sekali. Karena lwekangnya
bertambah maju, sekalipun orang itu dapat menutup jalan
darahnya, namun tak urung tubuhnya terasa sikit juga
terkena timpukan genting itu. Lama2 orang itu mendongkol
juga. Kalau -mau, sekali tabas dapat dia menguntungi
kepala si ceng-ong-sin, tapi rupanya dia hendak menangkap
hidup2an binatang istimewa itu. Hujan pecahan genting itu,
lama2 membuatnya kesakitan juga.-Akhirnya tak dapat dia
bertahan sakit lagi. Sekali enjot kakinya, dia berjumpalitan
melesat kebelakang, terus menyerangnya. Kaget Yan-chiu
tak terkira. Kalau hendak menyurut kebelakang, orang itu
tentu tetap membayangi. Maka terpaksa la gunakan gerak
tiat-pian-kio, buang dirinya kebelakang. Sewaktu pedang itu
menyambar lewat diatas tubuhnya, ia rasakan ada
serangkum hawa dingin menyampoknya. Dingin dan seram
rasanya, hingga ada beberapa lembar rambutnya menjadi
rontok. Terang suatu pusaka yang tiada taranya didunia.
Luput menabas, orang itu turunkan tangkai pedangnya
kebawah untuk menutuk jalan darah ki-bun-hiat didada
Yan-chiu. Cepat dan ta.n,gkss sekali gerakan itu dilakukan
hingga Yan-chiu tak sempat menghindar. Terpaksa ia
gunakan cian-kin-thui (tekanan 1000 kati) untuk menekankan kakin ya keatas genting, brak ......tubuhnya
melesak jatuhkedalam rumah!
"Maling...., maling....!" se-konyong2 seorang perempuan
didalam ruangan situ menjerit. '
Yan-chiu ber-gegas2 merayap bangun. Tanpa pedulikan
perempuan yang menjerit-jerit ketakutan, ia terus loncat
keluar jendela, dari situ ia loncat pula keatas wuwungan.
Saat itu dilihatnya simuka jelek mengulaikan tangannya
kebawah, se-olah2 hendak membuka bagian dadanya.
Ceng-ong-sin bagaikan sebatang anak panah, meluncur
dengan pesatnya akan menggigit kening orang. Yan-chiu
terperanjat girang. Terang orang itu tentu akan melayang
jiwanya. Tapi se-konyong2 suatu kejadian ajaib terjadi.
Baru kepala siular merangsang maju, sebat sekali tangan
orang itu sudah menyambar angsangnya dan mengibaskan
kesamping dengan se-kuat2nya. Tanpa disengaja, tangannya telah menyamplok muka dan tiba2 serongsong
topeng muka tersingkap jatuh, lalu disambar mulut siular
yang terus menggigitnya dengan geram sekali.
Bermula Yan-chiu mengira kalau benda Itu adalah
besetan kulit muka siorang jelek, tapi begitu diawasi dengan
perdata, mulutnya segera ternganga kaget. Kiranya orang
bermuka jelek itu bukan lain adalah si The Go! Adalah
kalau Yan-chiu sudah begitu kesima, sebaliknya The Go
sudah begitu kegirangan sekali. Sehabis perdengarkan
tertawanya panjang, dia segera menghilang ditempat
kegelapan. Kini teringatlah Yan-chiu suasana dirumah perjudian.
Pertama kali melihat gerak gerik simuka jelek itu, Yan-chiu
sudah merasa pernah mengenalnya. Malah pada saat itu,
dia pun mendengar suara si The Go. Tapi oleh karena
kelicinan anak muda itu, jadi Yan-chiu tak berdaya
membuktikan kecurigaannya,
Pedang pusaka kuan-wi, seekor ular ceng-ong-sin yang
keramat, dua2nya hilang didalam tangannya. Dua2nya
kena direbut mentah2 oleh The Go. Bagaimana marah dan
kebenciannya. Sekali enjot tubuh, ia lari mengejar. Tapi
karena berayal sejenak tadi, sang rase sudah menghilang.
Saking bingungnya, terpaksa Yan-chiu balik kedalam
biliknya. Sudah tentu ia tak dapat tidur lagi. la menduga
keras, The Go tentu menuju ke Ko-to-san untuk
mengadakan persiapan pertempuran hari pehcun nanti. Saat
itu, Yan-chiu segera berkemas berangkat menuju ke Ko-to-
san. Syukur bisa ketemu ditengah jalan, kalau tidak masih
mempunyai kesempatan. lagi untuk berjumpa di Ko-to-san.
Singkat ceritanya, dua hari kemudiaa tibalah Yan-chiu
dikaki gunung Ko-to-san. Bulan yang lalu, dia pernah
datang kesitu bereama eukon ya, jadi ia sudah faham akan
jalan2nya. Setelah mencari keterangan pada penduduk
disitu, diketahuinya kalau belum ada seorsng kaum
persilatanpun jua yang datang digunung tersebut. Ceng Bo
Siangjinpun belum nampak tiba. Yan-chiu indahkan
pesanan Kui-ing-cu, yaitu menunggu kedatangan rombongan sang suhu dikaki gunung itu.
Tapi pada lain saat terkilas suatu pikiran lain
dibenaknya. Celaka, kalau sampai rombongan suhunya mengetahui
tentang peristiwa pedang Kuan-wi dan ular ceng-ong-sin
yang sudah kena dirampas The Go, ia (Yan-chiu) tentu
akan disesali kawan2, demikian pikirnya, Ah...., toh mereka
belum datang, kiranya tak apa kalau ia coba menyelidiki
Keats gunung. Siapa tahu kalau nanti ia berhasil merebut
kembali kedua benda pusaka itu. Dengan demikian,
dapatlah ia mengembalikan kehilangan muka itu.
Ia hanya merasa kepandaiannya telah memperoleh
kemajuan yang besar. Tapi sedikitpun ia tak mau tahu atau
memang benar2 tak mengetahui bahwa orang2 gereja Ang-
hun-kiong itu terlebih lihaynya! Oleh karena saat itu masih
pagi, Ia mencari sebuah pandai besi minta supaya dibuatkan
seperangkat rantai dan bandringan liu-ce-chui serta sebilah
pedang! --oodwkz0tahoo--
BAGIAN 32 : MASUK SARANG
HARIMAU Setelah selesai, dicobanya kedua alat itu oleh Yan-chiu.
Setelah memuaskan, ia lalu berangkat ke Ko-to-san.
Menjelang magrib, nun jauh disebelah muka, tampak
tembok merah dari gereja itu merebut pandangan mata.
Mata Yanchiu yang tajam segera dapat melihat bahwa
dipintu dari gereja itu banyak sekali orang2 yang 'keluar
masuk. Oleh karena itu waktu, masih terang hari, terpaksa
Yan-chiu mencari sebuah puhun rindang untuk beristirahat.
Untuk jangan diketahui orang, ia panjat keatas bersembunyi, nanti setelah hari gelap, baru ia memasuki
gereja itu. Selagi ia me-nimang2 tentang keadaan gereja Ang-
hunkiong yang begitu besarnya, se-konyong2 terdengar
dahan dibawah berkerotakan dan batang puhun itu ber-
goyang2. Cepat2 ia siapkan bandringan, tapi mendadak
sebuah nada suara yang kasar terdengar berkata: "Sam-
suheng, rupanya gereja Ang-hun-kiong itu. kelak tentu jatuh
pada The Go. Kau dan aku, meskipun tergolong supehnya
(paman guru), tapi tak dapat menyamai-nya!"
Yan-chiu terkesiap, batal menggerakkan tangannya.
"Lo Su, apa kau penasaran " Orang kan punya tiang
andalan! Kali ini biar kita. lihat, kalau kita berempat tampil,
bagaimana suhu akan memutuskan " Hem......, kemaren
Kuan Hong dan Wan Gwat mengatakan, suhu telah
memutuskan hendak menurunkan ilmu pedang Khit-sat-
kiam-hwat padanya!" kata pula seorang. Terang dua orang
yang dibagian bawah dahan itu adalah orang2 Ang-hun-
kiong. "Apa benar begitu" Rasanya tidak, ah! Kita yang sudah
ber-tahun2 mengikut suhu, belum juga menerima pelajaran
itu." sahut kawannya. Tapi orang tadi menetapkan
kebenaran keterangannya, katanya: "Sudah tentu benar!
Suhu rupanya berat sebelah. Kali ini entah dari mana anak
itu berhasil membawa sebuah pedang pusaka. Sekali
meminta, suhu terus meluluskan!"
Yan-chiu yang cerdas segera dapat menduga siapakah
kedua orang itu. Mereka tentulah supeh dari The Go, juga
muridnya Ang Hwat cinjin. Kalau mereka tak puas
terhadap The Go, terang menandakan bahwa anak itu
memang jahat benar2. Dari sebutan yang diucapkannya
yakni "samsuheng" (kakak seperguruan ketiga) dan "Lo Su"
(nomor 4), adalah salah seorang Su Mo (empat iblis) Ang-
hun-kiong yang bernama Sam-mo Long Tek-san dan Su-mo
Im Thian-kui. Yang tak dimengerti Yan-chiu yalah kata2
mereka yang mengatakan bahwa The Go mempunyai tiang
andalan itu. Untuk mengetahui lebih jauh, ia pasang telinga
dengan penuh perhatian.
Lewat sejenak, Sam-mo (iblis ke 3) Long Tek-san berkata
pula: "Entah apa sebabnya, sumoay sudah meninggal,
namun suhu masih begitu sayang sekali terhadap anak itu!"
Su-mo atau Iblis ke-4 Im Thian-kui tertawa, ujarnya :
"Ah, si 'kuda binal', punya gara2, kalau tidak masa jisuheng
sedemikian cepat meninggal dunia dan suhu lalu melanggar
pantangan menerimanya (sumoay) sebagai murid !"
"Lo Su, hati2lah bicara! Suhu tak senang orang
mengungkat sebab2 kematian The suheng. Jangan sampai
didengarnya, celaka nanti!" Long Tek-san buru2 memperingatkan.
Tapi Im Thian-kui tertawa sinis, ujarnya pula: "Kalau
sudah melarang begitu, apakah dikira tiada orang yang
mengetahuinya" Masa apa ada perempuan yang tidak
menangis waktu suaminya meninggal" Setelah suaminya
meninggal 11 bulan, kemudian ia malah melahirkan anak.


Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Huh, siapa yang mau mempercayai kalau anak itu bibit
tinggalan sang suami " Orang jangan hanya memandang
suhu itu seorang saleh yang berilmu tinggi. Orang gagah
paling sukar kalau menghadapi wanita cantik. Namanya
saja The Go itu cucu murid, tapi sebenarnya dia itu entah
apanya suhu!"
Merah padam muka Yan-chiu mendengari pembayaraan
yang agak cabul itu. Namun karena mengenai persoalan
The Go, jadi iapun terpaksa mendengarinya juga. Tiba2 ia
teringat akan kejadian di Lo-hu-san setengah tahun yang
lalu. Itu waktu Kiau To telah mengejek The Go dengan
kata2 "ibu dan anak ber-sama2 belajar", yang menyebabkan
si The Go berobah wajahnya dan lalu menantangnya.
Pertempuran hari pehcun nanti itu, adalah gara2 ejekan
Kiau To itu. Diam2 Yan-chiu mendapat kesan, diantara
The Go dan Ang Hwat cinjin itu tentu ada hubungan luar
biasa. Kalau tidak, masa murid yang sudah 20-an tahun
belajar tidak diberi pelajaran ilmupedang Khit-sat-kiam-
hwat, sebaliknya The Go diberi" Ji-mo atau iblis ke 2 dari
Ang-hun-kiong itu bernama The Ban-li, sudah lama
meninggal. Sedang iblis pertama bernama Wi Tay-bing kini
sudah berusia 50-an tahun. Tapi entah siapa nama dari si
"kuda binal" yang di-sebut2 tadi. Jangan2 ibu dari The Go,
tapi masa begitu tak sedap didengar julukannya, demikian
Yanchiu berpikir.
Pada lain saat, terdengar genta gereja Ang-hun-kiong ber-
talu2. Kedengaran Im Thian-kui mengajak suhengnya
menghadiri pelajaran malam. Ketika Yan-chiu mengintip
di-sela2 daun, kedua orang itu ternyata berdandan seperti
tosu. Yang seorang bertubuh tinggi besar, yang satunya
pendek bermuka bersih.
Ketika talu genta gereja itu sirap, lampu2nya pun mulai
dipadamkan. Itu waktu kira2 pukul 10 malam, Yan-chiu
anggap sudah waktunya untuk mulai bekerja. Dengan hati2
ia menghampiri pintu gereja. Kira2 pada jarak 4 tombak
dari pintu itu, ia mengumpat disalah sebuah tempat yang
agak gelap. Dua buah thing (pavilyun) tampak sepi" saja.
Pada saat itu, Yan-chiu agak menyesal. Kalau jauh2 hari
tahu hari itu hendak menyelidiki, tentu dulu tempo datang
kegereja situ ia perhatikan betul keadaan disitu. Teringat
juga ia tempo hari, begitu datang dipintu sudah disambut
oleh kedua anak-murid gereja yakni Kuan Hong dan Wan
Gwat, jadi terang kalau penjagaan disitu teramat kerasnya.
Tak mau ia keluar pintu besar, tapi mengambil jalan
mengitari tembok.
Tembok gereja itu lebih dari satu tombak tingginya.
Semuanya terbuat dari batu merah yang mengkilap, jadi
sukar untuk dipanjat. Setelah tempelkan telinga ketembok
dan dapatkan didalam tiada kedengaran suara orang, baru
Yan-chiu enjot tubuhnya loncat keatas. Ia gunakan ilmu
loncat dari Tay Siang Siansu. Ketika berada diatas tembok,
ia berjumpalitan melayang turun kedalam.
Tatkala berada didalam tembok, Yan-chiu agak terkesiap
heran. Boleh dikata ruangan2 disitu hampir sama satu
dengan yang lain. Sampaipun lankan terali pagar modelnya
sama semua. Kemana ia hendak mencari The Go" Tengah
Yan-chiu ter-mangu2, dilihatnya disebelah muka sana ada
sebuah cahaya penerangan. Kalau tak masuk sarangnya,
tentu tak bisa mendapatkan anak harimau, Yan-ciu
mengambil keputusan.
Kesanalah ia ayunkan langkahnya. Tapi setelah
melewati dua buah kamar, ia menjadi bingung dibuatnya,
kepalanya terasa pening. Tak dapat ia membedakan arah
mata angin lagi. Diempat penjuru, semuanya kamar dan
lorong serambi. Diam2' terbitlah sesalnya, mengapa tak
mau mendengarkan nasehat Kui-ing-cu. Kalau malam itu
tak dapat lolos, terang ia tentu akan menghadapi bahaya.
Hendak ia balik lagi ketempat tadi, tapi ber-putar2
sampai sekian lama tetap ia tak dapat menemukan jalannya.
Cahaya lampu yang dilihatnya, pun tiada tampak lagi.
Selagi ia mengeluh, se-konyong2 dari arah belakang terasa
ada orang menyerang. Buru2 ia hendak maju selangkah,
tapi untuk kekagetannya, sebilah pedang telah menghadangnya. Yang mengacungkan pedang itu ternyata
seorang anak kecil. Yan-chiu tak gentar, terus ia dorongkan
tangannya untuk menangkap anak itu. Gerakan itu disebut
"gong chiu toh peh jim", dengan tangan kosong merebut
senjata musuh. Duapuluh tahun lamanya setelah menderita
kekalahan dari suami isteri Hay-te-kau dan Kiang Siang
Yan, Tay Siang Siansu bersembunyi digunung Hoa-san
untuk menciptakan ilmu tersebut yang kelak sedianya
hendak digunakan merebut pedang sepasang suami isteri
itu. Tapi akhirnya, dengan bertambah dalamnya kebatinan
Siansu itu, dia telah kikis habis rasa dendam itu. Oleh
karena tak jadi melakukan pembalasan, jadi ilmu itu belum
pernah digunakan. Yanchiulah yang beruntung mempraktekkan. Bermula Yan-chiu yakin tentu akan dapat merampas
senjata anak itu, tapi diluar dugaan anak itu tangkas sekali.
Sekali surut kebelakang, anak itu menghilang. Yan-chiu
hendak memburu, tapi tiba2 dibelakangnya ada sesosok
tubuh kecil menusuk dengan pedang. Yan-chiu terperanjat.
Ketika ia hendak ulurkan tangan merampas, dari arah
belakang punggungnya kembali sudah terdengar suara
senjata melayang. Tak mau ditelan mentah2 disamping
jangan sampai menerbitkan suara gaduh, Yan-chiu enjot
tubuhnya naik keatas genteng. Tapi baru sang kaki
menginjak genteng, tiba2 serasa genteng itu longsor
kebawah dan sudah tentu iapun ikut terperosok jatuh
kebawah, bum....... Tapi anehnya, genteng itu tampak
secara otomatis menyerampang lagi.
Yan-chiu leletkan lidah mengagumi kelihayan Ang Hwat
cinjin. Sampaipun genteng atau atap rumah juga berupa alat
jebakan. Tempat dimana ia jatuh itu, ternyata merupakan
sebuah kamar kecil yang tiada jendelanya sama sekali. Yan
chiu coba mendorong dindingnya, tapi sedikitpun tak
bergeming. Yan-chiu makin gelisah. Dengan se-kuat2-nya ia
hantam dinding itu dengan bandringan, bang.... dinding itu
hanya berkerontang macam besi terpukul tapi tak kena
apa2. Yan-chiu mulai kalap. Ia putar bandringan menghantam
keseluruh ruangan itu, tapi setiap bagian yang terkena
bandringan, tentu berbunyi keras dan bandringannya pun
terpental balik. Jadi terang ruangan itu terbuat daripada besi
yang kokoh. Setengah jam kemudian, Yan-chiu rasakan
tangannya capai kesemutan. Akhirnya ia hanya dapat
menghela napas panjang dan berhenti menghantam.
Baru dia berbuat begitu, atau dari atas tembok segera
terbuka sebuah pintu kecil. Lekas2 Yan-chiu mengumpat
dipojok kamar sambil siapkan bandringannya. Tak peduli
siapa yang kelihatan masuk, tentu dibunuhnya. Tapi sampai
sekian saat tak ada sebuah bayanganpun yang masuk,
kecuali sebuah ketawa dari anak kecil. Yan-chiu terkesiap
heran. Berselang beberapa saat lagi, kedengaran ada suara
orang ber-kata2: "Kau masuk dulu!"
"Ditilik dari potongan tubuhnya, dia tadi seperti seorang
wanita. Huh, aku takut, jangan2 setan!"
"Fui, kau saja yang masuk dulu. Masa akupun tak takut
juga!" sahut yang seorang. Nada kedua orang itu bening
nyaring macam suara kanak2. Yan-chiu tergerak hatinya
dan kedengaran suara ketawa cekikikan lagi. "Lekaslah
masuk, jangan sampai digegeri sucou yang tentu
mendamprat kita ini hanya tahu ber-main2 saja, tapi
disuruh tangkap pencuri tak mampu!" kata salah seorang.
Yan-chiu agaknya pernah mengenal suara orang itu.
Tiba2 ia teringat dan menjadi girang bukan buatan,
serunya: "Bukantah disitu Kuan Hong dan Wan Gwat berdua
siaototiang", Mengapa masukkan aku disini, kemarilah
lekas!" Begitu ia bersuara, disana orang diam tak menyahut.
Yan-chiu ulangi lagi seruannya dan barulah tampak ada
sebuah kepala menongol kedalam. Hai, itulah kepala
seorang anak berumur 14-an tahun, wajahnya terang,
bibirnya ke-merah2an. Ya, tak salah lagi, itulah to-thong
(murid imam) yang dijumpai tempo ia datang kesitu
dahulu. Setelah masuk, anak gereja itu segera menyulut
lampu dengan korek.
"Siao-totiang, mengapa aku
dijebluskan disini?" pura2 Yan-chiu menegur dengan
marah. Dasar anak2, to-thong itu menjadi ke-merah2-an
mukanya, lalu berseru kesebelah atas: "Wan Gwat,
mengapa tak lekas datang kemari. Kita telah kesalahan
menangkap orang baik2, inilah cici yang tempo hari datang
kemari hendak mencari The suko!"
Selamanya Yan-chiu hanya memanggil suko atau suci.
Belum pernah ia dipanggil cici oleh orang. Maka dipanggil
taci, saat itu girang Yan-chiu tak terkira. "Wan Gwat
totiang, apa benar kau tak mau turun kemari ?" katanya.
Sebagai jawaban, seorang tothong kecil menobros
masuk, siapa dengan ke-merah2-an wajah segera membuka
mulut: "Cici hendak cari The suko, mengapa datang pada
waktu begini malam" Untung berjumpa dengan kami
berdua, kalau lain orang tentu repot!"
Yan-chiu biarkan saja kedua anak itu menganggap
begitu. Malah menurutkan lagu mereka, ia segera
menyahut: "Ya, aku cari Cian-bin Long-kun karena ada
urusan penting. Kukira begitu datang kemari, tentu bakal
ada orang yang memberitahukan. Siapa tahu, kalian berdua
telah menyambutku dengan serangan, malah genteng diatas
rumah ini juga dipasangi perangkap!"
Tu lihat bagaimana pintarnya sigenit. Ia yang salah, tapi
dengan cerdiknya ia timpahkan kesalahan itu pada kedua
anak tersebut. "Cici jangan heran. Peraturan digereja sini memang
demikian. Bila ada orang yang berani datang menggelap,
tentu akan diringkus dan dimasukkan dalam kamar
tahanan. Hukumannya menunggu keputusan toa-supeh.
Atap gereja ini asal yang berwarna hijau tentu merupakan
alat jebakan. Hanya yang berwarna merahlah yang tidak
dipasangi perangkap!" menerangkan kedua tothong itu.
Takut kalau Yan-chiu marah, kedua anak itu tanpa diminta
telah membuka rahasia alat jebakan digereja situ.
Walaupun hatinya girang, tapi Yan-chiu tentu membuat
wajahnya bengis, ujarnya: "Kalau begitu, lekas antarkan
aku ketempat Cian-bin Long-kun! Jangan menelantarkan
urusan penting ini. Apa kalian tak mengetahui tentang
pertempuran dihari pehcun nanti?"
Digertak begitu, kedua tothong itu ter-sipu2 menyahut:
"The suko saat ini masih berada ditempat sucou sana untuk
meyakinkan ilmupedang Khit-sat-kiam-hwat. Dia pesan,
siapa saja tak boleh menemuinya. Maafkan, harap cici
jangan sesalkan kami berdua !"
"Huh, kalian tahu apa" Urusan ini teramat penting
sekali! Kalah atau menang fihak Ang-hun-kiong, tergantung
pada urusan ini, jangan kau main percaya kalau sucoumu
itu tak bisa terkalahkan. Ketahuilah, bahwa tokoh2 macam
Hay-te-kau, Kang Siang Yan, Siang Siansu, Kui-ing-cu dan
beberapa tokoh lainnya akan datang kemari. Masa fihak
gereja sini takkan kelabakan nantinya. Huh, kalian ini tahu
apa!" Yan-chiu menyomel. Karena mengira benar2 begitu,
kedua tothong itu tak berani berayal lagi. Cepat2 mereka
ajak Yan-chiu memanjat keluar dari lubang pintu diatas
tadi. "Cici, kalau tiba pada tiang kuningan sana, kau biluk
kesebelah kiri, nanti tentu sampai disebuah paseban besar.
Disamping paseban itu, ada sebuah ruangan kamar.
disitulah The suko dan sucou sedang berlatih. Kami sedang
bertugas jaga malam, maaf tak dapat menemani. Ini kuberi
sebuah tong-pay (pertandaan), kalau ada orang yang
menghadang, tunjukkan saja tong-pay ini, tentu beres kata
kedua anak itu demi sudah keluar.
Kuan Hong dan Wan Gwat adalah murid dari Sam-mo
Long Tek-san. Biasanya kedua anak itu amat cermat sekali
dan ilmu silatnya pun lumayan. Oleh karena tempo
pertama kali Yan-chiu berkunjung kegereja itu telah
meninggalkan kesan yang baik pada mereka, maka itu
dengan mudah sekali ia dapat membuat kedua to-thong itu
percaya keterangannya. Bahkan telah memberinya tong-pay
atau pertandaan jaga malam dari gereja Ang-hun-kiong itu.
Tong-pay itu hanya sebesar telapak tangan orang saja.
Dipermukaannya diukir dengan lukisan beberapa gumpal
awan merah (ang hun), sedang disebaliknya terdapat tulisan
"Ang Hun Kiong" "Nanti bila berjumpa dengan Cian-bin
Long-kun aku tentu akan mengemukakan budi pertolonganmu ini. Bukankah kalian mengagumi ilmu
kepandaian-nya?" tanya Yan-chiu.
"Ya, kami ingin sekali mendapatkan pelajarannya ilmu
silat hong-cu-may-ciu itu!" dasar anak2, kedua to-thong itu
menyatakan apa yang dikandung dalam hati.
Yan-chiu menyanggupi, lalu ayunkan langkah kemuka.
Memang setelah diamat2i dengan perdata, pada setiap dua
atau tiga buah kamar, tentu ada sebuah tiang yang terbuat
daripada kuningan. Dari situ, ia membiluk kekiri dan
terdengar seseorang menegurnya. Yan-chiu terperanjat. Ada


Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

suaranya, tapi mengapa tak tampak orangnya. Yan-chiu tak
tampak orangnya. Yan-chiu tak mau menyahut, melainkan
tunjukkan tong-pay keatas di-goyang2kan beberapa kali,
tapi sembari teruskan langkahnya. Kira2 berjalan beberapa
meter jauhnya, didengarnya dari arah belakang ada dua
orang ber-cakap2. Kata yang seorang: "Huh, mengapa
seorang anak perempuan" Aneh sekali ni!"
Yang-chiu terkesiap, tapi ada seorang lain kedengaran
berkata: "Peduli apa denganmu " Ia membawa lengpay, itu
sudah cukup. Kalau banyak usil, kau tentu dibenci orang.
Sucoupun tentu tak mau turunkan pelajaran Khit-sat-kiam-
hwat padamu!"
Diam2 Yan-chiu mendapat kesan, bahwa Ang Hwat
cinjin itu berat sebelah. Dia keliwat manjakan The Go,
sehingga menimbulkan ketidak-puasan anak murid Ang-
hunkiong lainnya. Setelah melalui penjagaan yang sangat
gawat itu, dengan legahnya Yan-chiu terus menuju kemuka.
Beberapa kali ia kesamplokan dengan penjaga2, tapi berkat
tongpay yang berpengaruh besar itu, dapatlah ia tiba
dipaseban besar.
Dipaseban itu terdapat sebuah patung, dimukanya ada 3
batang lilin sebesar lengan orang. Tiada seorang yang
tampak disitu. Kuatir kalau dipergoki orang, buru2 Yan-
chiu melintasi paseban itu. Benar juga disebelah muka sana
terdapat sebuah ruangan yang tampak ada penerangannya.
Lapat2 terdengar suara orang bermain pedang. Menduga
kalau The Go tentu berada disitu, ia dengan ber-jengket2
menghampiri. Ruangan rumah itu empat kelilingnya
mempunyai pintu. Tapi semuanya ditutup rapat. Yan-chiu
tempelkan mukanya kejendela dan mengintip dari sela2nya.
Tapi seperti orang dipagut ular, ia segera menyurut
kebelakang. Kiranya sewaktu ia mengintip kedalam itu, ia belum
sempat melihat apa2. Yang tampak, hanya ada sepasang
mata ber-kilau2-an, ber-api2 memandangnya. Ia kira kalau
perbuatannya itu telah diketahui orang, maka buru2 ia
menyurut tadi. Itulah karena ia keliwat ber-hati2, jadi
menyangka yang tidak2. Sebenarnya, mata itu tak
memandang padanya, hanya karena keluar-biasanya, jadi
se-olah2 seluruh ruangan itu tercangkum dalam sorotannya.
Tiba2 dari sebelah dalam kedengaran The Go bertanya:
"Sucou, apakah gerakan jurus yang tadi sudah benar?"
Anehnya, pertanyaan itu tiada orang yang menyahut,
hanya lagi2 kedengaran suara samberan pedang.
Yan-chiu tak dapat bersabar lagi, lalu mengintip disela
jendela. Yang pertama tampak padanya, lagi adalah sorot
sepasang mata yang berapi luar biasa itu. Kali ini Yan-chiu
tak menghiraukan dan mengawasi dengan perdata keadaan
didalam situ. Kini tegas dilihatnya The Go sedang
memainkan pedang kuan-wi. Ilmu pedang yang dimainkan
itu aneh sekali gerakannya. Disudut ruangan sana, ada
sebuah kursi thay-su (guru besar) yang diduduki oleh
seorang yang bermuka jelek sekali. Mulut lebar, hidung
pisek, rambut kepalanya ke-merah2an, mengenakan jubah
pertapaan berwarna merah. Yang luar biasa pada orang itu,
adalah sepasang matanya yang ber-kilat2 laksana memancarkan api.
Yan-chiu menduga, imam itu tentulah Ang Hwat cinjin,
kepala gereja Ang-hun-kiong, yang sangat termasyhur
didunia persilatan. Dari sorot matanya yang sedemikian
hebatn ya, terang kalau lwekang dari imam itu telah
mencapai tingkat kesempurnaan.
"Go-ji, dalam pertemuan hari pehcun nanti, harus
menang tak boleh kalah. Kau mengerti ?" tiba2 Ang Hwat
cinjin kedengaran berkata dengan pelahan, namun lengking
suaranya menusuk kedalam telinga, terus menggetarkan
hati. "Cucu murid mengerti," sahut The Go.
Ang Hwat ciinjin menghela napas, ujarnya pula: "Go-ji,
setelah dapat memahamkan Khit-sat-kiam-hwat itu,
kepandaianmu lebih tinggi dari ketiga supehmu. Pesan dari
marhum ayahmu, kiranya tak sampai kuabaikan!"
Mendengar itu, The Go kedengaran berhenti bermain
pedang, katanya: "Su-cou, kuingat kaupernah mengatakan
bahwa menggunakan ular sebagai jwan-pian (ruyung lemas)
saktinya bahkan terkira. Adakah ular ceng-ong-sin itu tak
memenuhi sarat?"
Ang Hwat mengiakan, sahutnya: "Memang tepat sekali.
Tapi dalam pertempuran nanti, apabila fihak musuh
terdapat tokoh yang tangguh, sudah tentu aku tak dapat
berpeluk tangan. Ilmu itu, kelak saja masih belum terlambat
kuajarkan. Sekarang rasanya mustika dalam batu itu yang
lebih penting, harus kau cari dulu!"
The Go memberi jaminan bahwa tempat dia sembunyikan mustika itu, tiada seorangpun yang dapat
mengetahuinya. Ang Hwat menyatakan syukur, kemudian
menerangkan: "Rawa2 yang kau sebutkan itu, namanya
Hek-cui-tham (rawa air hitam). Dahulu aku pernah datang
kesana, ya memang sangat aneh sekali!"
Yan-chiu terpikat sekali perhatiannya hendak mendengarkan keterangan Ang Hwat tentang keadaan rawa
itu lebih jauh, tapi untuk kemengkalannya, Ang Hwat tak
membicarakan lagi hal itu, melainkan suruh The Go
berlatih lagi. Demi sangat memikirkan diri Tio Jiang dan
Nyoo Kong-lim yang hilang lenyap dirawa itu, Yan-chiu
lupa diri, lupa untuk menahan napasnya. Memang bagi
seorang biasa, tarikan napas lain orang tentu tak dapat
terdengar. Tapi tidak demikian dengan Ang Hwat cinjin.
Se-konyong2 cinjin itu tampak kerutkan sepasang alisnya
yang menjulai panjang itu, sehingga bengis sekali
tampaknya. Yan-chiu masih enak2 mengintip, ketika
sepasang mata cinjin itu lekat2 memandang kearahnya.
Rasanya tidak kecewa Yan-chiu dianggap seorang nona
yang cerdas. la mendapat firasat, ada sesuatu yang kurang
beres. Menduga keras kalau Ang Hwat cinjin telah
mengetahui dirinya, secepat itu juga ia terus enjot kakinya
loncat keatas. Tapi tepat ketika tubuhnya tengah
melambung itu, sebuah titik putih melayang keluar dari
jendela, tepat mengenai zool sepatu Yan-ciu, terus
meluncur masuk kedalam dinding.
GAMBAR 59 Sekali Ang Hwat Cinjin membusungkan dadanya, tiba2 Yan-
chiu merasa suatu tenaga maha besar menumbuk kearahnya,
tanpa kuasa lagi tubuhnya me-layang2 jauh
Yan-chiu makin gugup. Ia menginsyafi dirinya telah
dipergoki. Seperti dikejar setan, ia segera lari keluar. Saat
itu cuaca sangat gelap. Tahu2 ia merasa seperti membentur
benda yang sangat lunak. Ketika mendongak mengawasi
kemuka, hai..., hai..., itulah rambut gimbal dari Ang Hwat
cinjin! Saking terkejutnya, Yan-chiu seperti melihat momok
disiang hari dengan gugup ia hendak lari kebelakang tapi
Ang Hwat cinjin sudah dongakkan kepala tertawa.
Anehnya, walaupun mulutnya menganga, tapi tak
kedengaran suara ketawanya, hanya perutnya yang tampak
mengial-ngial. Yan-chiu segera rasakan ada sebuah tenaga
dahsyat menggempurnya. Buru2 Yan-chiu loncat keatas,
namun ketika berada diatas udara, ia sudah menjadi seperti
sebuah layang2 putus. Andaikata tiada ada pagar tembok
tentu ia sudah melayang jauh entah jatuh dimana.
Terbentur dengan tembok itu, sakitnya bukan kepalang.
Cepat2 ia empos semangatnya untuk menahan kesakitannya. Begitu jatuh ketanah, diantara pandangan
matanya yang ber-kunang2 itu, tampak Cian-bin Long-kun
sudah menghampirinya. "Oh, kiranya nona Liau!" serunya.
Walaupun dalam hati sangat membenci sekali, namun
lahirnya terpaksa Yan-chiu memain senyum diwajah.
"Cian-bin long-kun, apakah kau baik2 saja selama ini?"
tanyanya. The Go tertawa iblis, sahutnya mengejek:
"Syukurlah tak sampai digigit mati oleh ceng-ong-sin!"
Yan-chiu terpepet ditembok, jadi tak dapat lolos. Ang
Hwat cinjin kembali masuk kedalam ruangan belajar silat
tadi, sembari memerintah: "Go-ji, ringkus dia lebih dulu!"
Sembari mengiakan, The Go sudah lantas memampaskan pedangnya kelengan Yan-chiu, siapa
walaupun tampak tak mau melawan, tapi diam2 nona itu
telah mengatur siasat. Dilihatnya Ang Hwat sudah masuk
kedalam, selagi The Go menduga, ia hendak menerjangnya.
"Nona Liau, berikan tanganmu untuk diikat!" kata The
Go. Yan-chiu ulurkan kedua tangannya lurus kemuka.
Walaupun tidak secantik Bek Lian, namun paras Yan-chiu
cukup menggiurkan. Biasanya nona itu genit dan tajam
mulut, maka saat itu The Go hendak balas mempermainkan. Pedang dipindah ketangan kiri, lalu
ulurkan tangan kanan untuk men-jawil2. Saking murkanya
Yan-chiu hampir mati dibuatnya. Tapi ia tak mau lewatkan
ketika sebagus itu. Baru tangan The Go merabah tangan kiri
Yan-chiu, nona itu segera balikkan tangannya kanan
kemuka. Gayanya aneh, mendorong bukan mendorong,
menebas tidak. Itulah ilmu ajaran Tay Siang Siansu yang
diciptakan sendiri. Yakni salah satu jurus dari "gong chiu
toh peh jim" yang disebut "merogoh kantong mengambil
barang". Siku kiri The Go tepat dapat dicengkeramnya.
Ilmu ciptaan Tay Siang Siansu itu, ternyata tak bernama
kosong. Dahsyatnya tak terkira. Tangan The Go dirasakan
lemas lunglai, mau tak mau kelima jarinya terbuka dan
tahu2 pedang kuan-wi telah berpindah ketangan Yan-
chiu.............
Dalam kegirangannya, Yan-chiu sudah terus hendak
gerakkan pedang, tapi pergelangan tangannya kiri terasa
sakit lemas lunglai. Demi merasa diakali sinona, cepat
sekali The Go pijat se-keras2 pergelangan tangan orang.
Sudah tentu gerakan Yan-chiu sangat terganggu. "Kalau tak
kau lepaskan cekalanmu itu, tentu akan kutabas!" Yan-chiu
mengancam dengan pelahan.
GAMBAR 60 Sambil masih mencengkeram tangan kiri sigadis, dengan
geramnya The Go berusaha, merebut kembali Kuan-wi-kiam, tapi
Yan-chiu tidak kalah tangkasnya, cepat ia tarik pedang itu terus
menusuk Biasanya The Go selalu mempedaya orang, sudah tentu
kali ini dia marah sekali. Diancam begitu, dia malah
perkeras pijatannya, sembari gunakan ilmu siao-kin-na-chiu
untuk merebut pedang. Juga Yan-chiu tak mau begitu
gampang2 menyerahkan pedang pusaka itu.
Dengan gunakan jurus Kut-cu-tho-kang dari ilmupedang
Hoan-kang-kiamhwat ajaran Kang Siang Yan, ia babat jari
orang. The Go kaget dan buru2 tarik pulang tangannya, tapi
Yan-chiu mengejarnya dengan jurus kiang-sim-poh-lo,
menusuk kaki. Jarak begitu dekat sekali, terpaksa The Go harus memilih
satu diantara dua. Biarkan kakinya terbatas, atau lepaskan
cengkeramnya pada pergelangan tangan sinona. Sebenarnya
The Go boleh memilih jalan kedua, toh disitu masih ada
Ang Hwat cinjin. Sekalipun ada 10 Yan-chiu, tetap takkan
dapat lolos. Tapi dasar orang ganas, sembari loncat
menghindar sabetan pedang, dia gunakan jari kelingking
untuk menutuk pergelangan tangan sinona. Tutukan itu
hebat akibatnya, dapat menembus sampai keurat jantung
dan orangnya tentu menjadi limbung pikirannya.
Yan-chiu segera merasa separoh tubuhnya menjadi mati
rasa, jantungnya berdebur keras. Ia menjadi kalap. Dengan
sisa tenaganya yang masih, ia menusuk. The Go miringkan
tubuh, tapi lengan bajunya kena tertusuk pecah, malah
lengannyapun kena tertusuk sedikit hingga mengucurkan
darah. Tapi dalam pada itu, dia menusuk lagi lebih keras.
Jantung Yan-ciu seperti me-lonjak2 mau loncat keluar.
Dadanya serasa manis. Yan-chiu membuladkan tekad.
Kalau tak mengadu jiwa, sukarlah rasanya untuk lolos.
Dengan tahan rasa sakitnya, Yan-chiu menabas tangan si
The Go yang mencengkeram pergelangannya itu. Gerak
tabasan itu tak menurut gerakan ilmu silat lagi, pokok asal
dapat mengenai saja. The Go terkejut, Kalau hendak
menghindar, dia harus lepaskan cengkeramannya. Tapi dia
tak kurang akal. Sebat sekali tangan Yan-chiu itu ditariknya
kemuka. Kalau Yan-chiu teruskan babatannya, bukan The
Go yang kena, tapi tangan Yan-chiu sendirilah. Yanchiu
tahu akan hal itu, maka lekas2 ia balikkan siku untuk
menahan pedangnya, kemudian dari situ ia babatkan
kemuka.

Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

--oodwkzOTAHoo--
BAGIAN 33 : LOLOS DARI LUBANG
JARUM Sudah tentu The Go tak mau biarkan dirinya dibabat
seperti batang pisang. Dengan sekali dua langkah, dia sudah
melejit kebelakang sinona, sembari pelintir-tangan orang.
Yan-chiu meringis kesakitan, hendak ia membacok
kebelakang, tapi Tho Go berlincah kian-kemari, jadi sia2
saja. Dalam keputusan daya itu, Yan-chiu mengambil putusan
nekad. Daripada kena ditawan hidup2an dan menerima,
lebih baik ia mati ber-sama2 dengan musuh. Begitu pedang
diangkat kemuka, ia terus hendak membabat dirinya
sendiri. Pikirnya biar tubuhnya terkutung, tapi musuhpun
pasti kena juga. Tapi rencananya itu, dapat diketahui The
Go, siapa menjadi terperanjat sekali. Hanya karena
mentaati pesanan sang sucou supaya menangkap hidup2an
nona itu, maka dia tak mau mencelakai Yan-chiu.
Andaikata tidak begitu, dari tadi2 dia, sudah dapat
mempelintir putus lengan sinona.
Buru2 The Go melejit kehadapan sinona lagi. Belum
Yan-chiu sempat merobah gerakannya, sebat luar biasa The
Go ulur tangan hendak merebut. Tapi tak kalah sebatnya,
Yanchiu sudah lantas membabat kearah pinggang orang.
Saking gugupnya, gerakan Yan-chiu itu sudah tak menurut
gerakan ilmu pedang lagi. Dalam keadaan begitu, mau tak
mau The Go terpaksa loncat kebelakang dan lepaslah
cengkeramannya itu.
Terlepas dari cengkeram besi, Yan-chiu pulih semangatnya. Cepat ia memburu dengan serangan it-wi-tok-
kiang. Saking kuncup nyalinya, The Go terus hendak
panjangkan langkah, tapi tiba2 Ang Hwat cinjin kedengaran
berseru "Go-ji, apa sudah selesai?"
Dapat dibayangkan betapa bingung The Go pada saat
itu. Bukannya dapat meringkus, tapi pedangnya malah
dapat direbut sinona. Dia tahu watak Ang Hwat itu sangat
aneh sekali, yalah mengindahkan sekali pada bangsa orang
gagah. Kalau keadaannya itu sampai ketahuan Ang Hwat,
dia tentu akan dipandang hina. Maka dengan keraskan hati,
dia menyahut: "Ya, sudah hampir!", seraya menerjang pada
Yan-chiu. Kini tangannya itu sudah tambah dengan sebuah
kipas yang hendak digunakan menutuk jalan darah ing-
hiang-hiat. Bermula Yan-chiu tertegun mendengar suara Ang Hwat
tadi. Tapi begitu melihat The Go maju menyerang, ia
tabaskan pedang, terus melarikan diri. Tapi pada saat itu,
The Go sudah lancarkan ilmusilat hong-cu-may-ciu. Dia
rangsang sinona rapat sekali. Beberapa, kali Yan-chiu
berusaha hendak lolos, tapi selalu gagal untuk menembus
serangan lawan yang begitu gencar itu. Lama2 Yan-chiu
murka, pedang dipindah ketangan kiri, lalu dengan jurus
Pah-ong-oh-kiang, ia menusuk tenggorokan orang.
Munculnya serangan ilmu pedang Hoan-kang-kiam-hwat
itu telah merobah situasi pertempuran. Dari menyerang,
kini The Go beralih diserang, malah untuk menghindar dari
serangan itu, dia nampaknya sangat susah payah sekali.
Sebaliknya Yan-chiu makin dapat hati. Melihat serangannya berhasil, ia susuli lagi dengan lain jurus dari
ilmu pedang itu yang disebut kiang-cui-kiu-jiok. Saat itu,
betul2 The Go mati kutu. Dari satu kelain tempat main
menghindar, tak terasa dia sudah mundur sampai satu
tombak lebih jauhnya.
Yan-chiu maju dua langkah lagi. Pedang diangkat, terus
hendak dibacokkan lagi. Tapi baru pedang itu melayang,
orangnya sudah loncat keluar. Maksudnya hendak lari
membiluk ditikungan lorong. Tapi se-konyong2 ada sesosok
tubuh, melayang kearahnya dan tahu2 sudah mencengkeram bahu sinona. Kiranya orang itu bukan lain
Ang Hwat sendiri adanya.
Karena keliwat lama, dia menjadi tak sabaran lagi.
Apalagi didengarnya diluar ruangan situ agaknya seperti
ada suara pertempuran, dia segera keluar menjenguk.
Astagafirullah,
bukannya murid kesayangannya itu meringkus sinona, 'tapi' sebaliknya dia pontang panting
didesak oleh ceceran pedang sinona yang bermain dalam
jurus kiang-cui-kiujiok tadi.
Rencana melarikan diri dari Yan-chiu itu siang2 sudah
diketahui oleh Ang Hwat, siapa segera mendongak keatas
ketawa yang tiada terdengar suaranya itu. Tahu2 bagaikan
segumpal awan merah, dia sudah melayang menyerang
sinona yang segera dicengkeram bahunya itu.
GAMBAR 61 Tahu2 Yan-chiu merasa segumpal awan merah menimpah dari
udara, tiba2 Ang Hwat Cinjin menubruk, kearahnya, segera
pundaknya terasa kesakitan dan pedangpun terjatuh ......................
Merasa, bahunya keliwat, sakit seperti dijepit oleh kait
besi, Yan-chiu berpaling kebelakang. Demi tampak rambut
gimbal merah, hidung pisek mulut lebar menghias muka
Ang Hwat yang sedemikian jeleknya itu, Yan-chiu serasa
terbang semangatnya. Trang....... jatuhlah pedang kuan-wi
kelantai dari tangannya yang lemas seperti tak berurat lagi
itu. Sekali tangan Ang Hwat bergerak, Yan-chiu terhuyung2
sampai beberapa meter kemuka. Untung Ang Hwat masih
ingat kedudukannya sebagai tokoh ternama. Kalau tidak,
dia tentu sudah gunakan 8 bagian kekuatannya untuk
mendorong tadi. Dengan kepandaian yang dipunyai Yan-
chiu pada waktu itu, kalau tidak terbanting hancur tentu
remuk bubuk tulang belulangnya.
Seperti telah diterangkan dibagian atas, Ang Hwat
mempunyai watak aneh, menaruh perindahan pada orang
gagah, Dia tak percaya kalau sinona itu dapat merebut
pedang The Go. Maka tadi dia hanya mendorong sedikit,
karena hendak menanyai lebih jelas. Maka walaupun jatuh
tersungkur, namun Yan-chiu tak sampai terluka berat.
Sebaliknya, The Go segera cepat2 memungut pedang itu.
Mukanya ber-seri2 girang sekali.
Mengira kalau dirinya bakal tak dapat lolos dari bahaya,
Yan-chiu tak mau unjuk rasa takut. Setelah bangkit, ia
berdiri dengan bertolak pinggang. "Go-ji, mengapa
pedangmu dapat direbut oleh budak perempuan itu ?" tanya
An-g Hwat sembari bergantian memandang kepada The Go
dan Yan-chiu. The Go mengeluh. Kalau terus terang, tentu bakal terima
makian. Maka dia sengaja mengarang cerita, katanya:
"Ketika cucu murid agak lengah, budak itu segera
menyambar pedang yang kutaruh diujung tembok!"
"Itu masuk akal!" nada suara Ang Hwat berobah tenang
tak sebengis pertanyaannya tadi. Kini dapatlah Yan-chiu
menarik kesimpulan mengenai diri kepala gereja Ang-
hunkiong itu. Dengan tak mau membanting se-keras2nya,
terang kalau imam kepala itu sangat menjunjung
kehormatan nama. Apalagi dari kesimpulan pembicaraannya dengan The Go tadi, cinjin itu sangat
menganggap dirinya sebagai tokoh persilatan yang
mempunyai kedudukan tinggi, maka diapun menempatkan
cucu muridnya itu sebagai jago kelas tinggi juga.
"Orang she The, apa kau mempunyai rahi gedek
(bermuka tebal)" Kalau tak kurampas dari tanganmu, apa
pedang itu kurebut dari cengkeram binatang kura2 ?"
dampratnya nyaring2 agar didengar Ang Hwat.
Wajah The Go berubah pucat, sedang sepasang mata
Ang Hwat menjadi beringas sekali. "Sucou, jangan percaya
ocehan budak itu. la hendak membikin provokasi supaya
kau marah. Budak macam dia, mana bisa merebut pedang
didalam tanganku!" buru2 The Go menyanggapi.
Yan-chiu tertawa gelak2. Nada ketawanya bening dan
congkak sekali. Dengan tak mengunjukkan perobahan air
muka, Ang Hwat berseru: "Budak perempuan, dari
perguruan manakah kau ini, malam2 berani mengadu biru
digereja sini" "
Pertanyaan kepala gereja itu, memberi kesempatan pada
Yan-chiu untuk merangkai siasat. Serta merta ia memberi
hormat pada Ang Hwat lalu menghaturkan keterangan:
"Hopwe (aku) adalah murid dari Ceng Bo siangjin, kepala
gereja Cin-wan-kuan dipuncak Giok-li-nia gunung Lo-
husan! Aku dititahkan suhu untuk menghadap pada
cianpwe disini guna menetapkan waktu dari pertempuran
dihari pehcun itu."
"Dua negara yang bermusuhan, tak boleh membunuh
seorang utusan". Berpegang pada dalil itulah maka Yan-
chiu menyatakan dirinya sebagai seorang duta. Kedengaran
Ang Hwat mendenguskan suara hidung. Untung tadi The
Go tak jadi meringkusnya, kalau tidak, tentu akan menjadi
buah tertawaan orang persilatan. Tapi diapun tak gampang2
mempercayai keterangan itu. "Adakah kau membawa surat
dari suhumu?" tanyanya.
Yan-chiu tertegun sejenak, tapi dengan tangkasnya ia
segera menyahut: "Kaum gagah dari dunia persilatan,
mulutnya berharga seperti emas. Mengapa mesti pakai
surat!" Suatu jawaban yang tangkas dan tepat. Tapi sejenak ia
tertegun tadi, telah dipegang oleh The Go, siapa dengan
tertawa dingin lalu memberi bantahan pada sucounya:
"Sucou, jangan kena diakali. Memang benar ia adalah
murid dari Ceng Bo siangjin. Sampai pada malam ini,
siangjin itu bersama rombongannya belum tiba dikaki
gunung, bagaimana bisa menyuruh budak itu memberitahukan kemari" Apalagi pertempuran hari pehcun
itu, sudah jelas dijanjikan secara lisan. Perlu apa
diterangkan lagi" Kuyakin, disitu tentu terselip rencana keji.
Ceng Bo siangjin dan kawan2nya itu, tentu mengiri akan
kebesaran nama dari su-cou. Kedatangan mereka kegunung
ini, rasanya tentu dengan maksud lain lagi. Bukan mustahil
mereka hendak merebut gereja Ang-hun-kiong yang
sedemikian bagusnya ini!"
Mendengar uraian The Go, rambut Ang Hwat sama
menjigrak semua. Tapi Yan-chiu masih coba berlaku
tenang, katanya dengan tertawa tawar: "Orang she The,
oleh karena takut kau digegeri sucoumu karena pedangmu
dapat kurampas, maka sengaja kau karang cerita itu, supaya
cianpwe menumpahkan kemarahannya padaku, bukan?"
Diam2 The Go mencaci maki Yan-chiu. Dia cukup
faham akan watak perangai sucounya itu. Dan kekuatirannya itu ternyata benar. Rupanya Ang Hwat
terpengaruh oleh kata,2 sinona, katanya kepada The Go:
"Go-ji, tak peduli dengan maksud apa ia datang kemari ini,
tapi kata2nya yang menekankan bahwa ia telah berhasil
merebut pedangmu itu tadi, sungguh keliwatan. Sekarang
coba kau main2 beberapa jurus dengan dia, apa ia mampu
merebut pedangmu itu tidak!"
Mendengar keputusan sucounya itu, legalah hati The
Go. Tapi karena Yan-chiu sudah tak berdaya, maka dia agak
lengah. Akibatnya sinona telah dapat merebut pedang kuan-
wi. Kini biar bagaimana, sinona tentu tak mampu
melakukan hal itu. Maka begitu mulutnya mengiakan,
pedangnya sudah segera menusuk keulu hati Yan-chiu,
hingga sinona genit tak sempat ber-kata2 lagi. Gerak
serangan The Go itu diambil dari salah satu jurus
ilmupedang Chit-sat-kiam-hwat yang baru saja dipelajari
itu. Ilmu pedang yang kebanyakan, jurus pembukaan tentu
bergaya menyerang musuh. Tapi ilmupedang chit-sat-
kiahwat itu, berlainan halnya. Bukan saja jurus

Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pembukaannya, tapipun seluruh permainan yang terdiri dari
49 jurus itu, semuanya merupakan jurus serangan yang
berantai ber-tubi2 susul menyusul. Sebagai achli penutuk
jalan darah, Chit-sat-kiam-hwat buah ciptaan Ang Hwat
cinjin itu selalu mengarah jalan darah lawan. Merupakan
ilmupedang yang serba guna. Maka, Ang Hwat belum mau
menurunkan ilmu pedang sakti itu, sebelum The Go
berhasil mendapatkan pedang pusaka.
The Go berotak cerdas. Setelah mendengarkan penjelas
Ang Hwat dan kemudian melakukan satu kali gerakannya,
dapatlah sudah dia mainkan ilmupedang sakti itu dengan
baiknya. "Jurus pertama "hiong mia ce hian" (nasib jelek
bintang mengunjuk) nampaknya menjuju kedada Yan-chiu,
tapi begitu melayang tiba, ujung pedang sudah mengarah
juga jalan darah thian-tho-hiat ditenggorokan orang.
Yan-chiu masih belum jelas akan maksud Ang Hwat
menyuruh The Go bertempur dengan ia lagi itu. Tapi turut
kesimpulan yang layak, kalau ia dapat merebut pedang si
The Go, tentulah akan diberi kebebasan. Dengan membawa
harapan itu, Yan-chiu tumplak seluruh perhatiannya untuk
menghadapi serangan lawan. Untuk ujung pedang yang
hendak menusuk tenggorokan itu, Yan-chiu segera
miringkan kepalanya menghindar. Hanya 3 dim saja ujung
pedang itu lalu disisi leher Yan-chiu, dan dengan girangnya
The Go jungkatkan pedang untuk menutuk jalan darah
hong-tihiat dibelakang batok kepala sinona. Untuk itu,
terpaksa Yan-chiu turunkan tubuhnya kebawah dan lagi2
dapatlah ia menghindar.
Dua buah serangan The Go itu teramat lihainya.
Semuanya merupakan serangan maut. Dan Yan-chiupun
mengetahui akan hal itu. Begitu tubuh menurun, ia segera
melangkah satu tindak kesamping. Sebelum The Go sempat
mengirim serangan baru, ia sudah lancarkan jurus kiang-
cui-kiu-jiok, kiang-cui-kui-tang, yakni 2 jurus terakhir dari
ilmu pedang Hoan-kang-kiam-hwat.
Oleh karena ilmupedang itu dimainkan dengan tangan kiri, jadi sukarlah
lawan menduga arah yang hendak diserang. Ya, memang
permainan pedang dengan tangan kiri sangat membingungkan orang.
Serangan yang istimewa gairahnya itu, telah membuat
The, Go gugup kebingungan. Tapi pada lain saat, dia
menertawai, kebodohannya sendiri. Dia mencekal pedang
pusaka, mengapa jeri menghadapi pedang lawan yang
terbuat dari besi, baja biasa" Dengan kelebihan itu, The Go
tak mau berbanyak hati lagi. Begitu menghindar, dia terus
angkat pedangnya menabas pedang Yan-chiu, siapa baru
tersadar atas maksud The Go ketika keadaan sudah kasip.
Tiba2 Yan-chiu mendapat sebuah siasat bagus. "Trang
........ sengaja ia angkat pedangnya supaya ditabas musuh,
tapi pada, lain saat berbareng dengan kutungnya pedang itu,
The Go kedengaran menggerung keras dan ketika keduanya
saling loncat kebelakang, pedang kuan-wi sudah berada
didalam tangan Yan-chiu.
"Ang Hwat locianpwe, sudah jelas bukan?" tanya sinona
dengan garang. The Go hendak maju menyerang lagi, tapi telah didesak,
mundur oleh tabasan pedang Yan-ciu. Sementara Ang
Hwatt cinjin sendiri juga kedengaran berseru: "Go-ji,
berhentilah! "
Tampak wajah sang sucou menjadi bengis, The Go
bercekat dan tak berani bergerak lagi. Apa yang telah
terjadi, dalam pertempuran itu, telah dilihat jelas oleh Ang
Hwat. Ketika Yan-chiu sengaja umpankan pedangnya
supaya ditabas The Go, Ang Hwat sudah mengetahui apa
yang bakal terjadi. Namun sebagai seorang cianpwe dunia
persilatan, sudah tentu dia tak mau merosotkan gengsinya
untuk membantu sang cucu murid. Maka terpaksa dia
melihati saja dengan hati mendelu.
Tatkala pedang Yan-chiu tertabas kutung, cepat bagai,
kilat, Yan-chiu timpukkan kutungan tangkai pedangnya
keperut lawan. Jarak keduanya sangat dekat sekali,
timpukan Yan-chiu cepat dan keras. The Go buru2
miringkan tubuhnya kesamping dan dari situ dia sudah
merencanakan hendak menghabisi jiwa sinona dengan
sebuah tusukan. Tapi adalah pada saat tubuhnya miring
kesamping itu, Yan-chiu sudah julurkan tangan kiri untuk
mencengkeram siku lengan The Go.
Gerakan Yan-chiu itu disebut "long tiong co biat" dalam
kantong tangkap kura2. Salah satu jurus dari ilmu gong-
chiu-to-peh-jim (dengan tangan kosong merebut senjata)
ciptaan Tay Siang Siansu. Seperti telah kami paparkan
terlebih dahulu, ilmu gong-chiu-to-peh-jim itu sengaja
diciptakan oleh Tay Siang Siansu chusus untuk merebut
pedang pusaka yap-kun dan kuan-wi dari sepasang suami
isteri Hayte-kau dan Kiang Siang Yan itu. Mengingat
betapa tajamnya kedua pedang itu, maka setiap gerakan
dari ilmu silat itu harus menurut timing dan arah sasaran
yang tepat. Sewaktu kelima jari Yan-chiu memijat siku lengan The
Go, The Go segera merasa kesemutan. Dan secepat
tangannya merangsang maju dan mencekal tangkai pedang
kuan-wi, terus dibetotnya kebelakang. The Go hanya
melongo saja ketika pedang kuan-wi itu pindah ditangan
sinona. Ang Hwat melihatnya dengan jelas. Tentang ilmu
kepandaian silat, sinona itu biasa saja. Meskipun memiliki
ilmupedang yang luar biasa, belumlah dapat digolongkan
lihay. Tapi ilmu merebut senjata tadi itulah yang luar biasa.
Karena kagum dia larang The Go bertempur lagi.
Yan-chiu girang sekali. la cukup tahu tak mungkin dapat
membawa pergi pedang pusaka itu, maka ditancapkannya
pedang itu ditanah, lalu berkata: "Rasanya persoalan hopwe
masuk kegereja sini, sudah selesai. Maka hendak Mohon
diri!" Dengan sebuah bungkukan badan memberi hormat,
Yan-chiu telah membuat Ang Hwat tak dapat berbuat apa2.
Malah untuk mengunjukkan gengsinya sebagai seorang
cianpwe yang terhormat, dia perentah The Go antarkan
sinona keluar. Muka The Go merah padam, namun tak dapat berbuat
apa2 kecuali mengiakan. Terpaksa dia iringkan Yan-chiu
keluar. Yan-chiu tak mau lewatkan kesempatan untuk
meng-olok2, ujarnya: "Cian-bin long-kun, maafkan, hari ini
aku berlaku kurang sopan padamu!"
Biasanya selalu The Go yang mengocok orang, tapi
berhadapan dengan sigenit lincah dari Lo-hu-san, dia
meringis seperti monyet kena terasi. Setelah keluar dari
pintu, Yan-chiu tak mau berayal lagi terus ber-gegas2 turun
gunung, dan mencari sebuah penginapan. Teringat akan
avontuurnya (petualangan) tadi, dimana jiwanya hampir
saja melayang, ia bergidik sendiri. Keesokan harinya, belum
juga Ceng Bo siangjin dan rombongannya kelihatan datang.
Memang hari pehcun masih kurang seminggu. Syukur ia
masih mempunyai uang cukup, jadi tidak sampai
kerepotan. --oodwkzOTAHoo"
Kini marilah kita tengok keadaan Ceng Bo siangjin yang
sudah lama kami tinggalkan. Setelah berpisah dengan Nyo
Kong-lim, Ki Ce-tiong serta Kiauto, dia menuju ke Hud-
kong tempat kediaman ayah dari Ko Kui, itu Cecu dari
markas no. 1 gunung Hoa-san yang telah gugur ditangan
The Go. Mendengar kisah kematian sang putera yang
mengenaskan itu, Sin-eng (garuda sakti) Ko Thay seperti
disambar petir. Malam itu juga dia ajak Ceng Bo siangjin
menuju ke Ko-to-san. Sebenarnya kedua tokoh itu belum
kenal mengenal, tapi karena keduanya adalah orang2 gagah
yang berwatak ksatrya, maka dalam sekejab saja mereka
sudah menjadi seperti kenalan lama.
Gelar dari Ko Thay adalah "sin eng". Ilmunya
mengentengi tubuh luar biasa hebatnya. Senjatanya juga
luar biasa, sepasang eng-jiao-thau (sarung cakar garuda),
dapat dibuat menutuk 80 buah jalan darah orang. Hebatnya
bukan, terkira. Begitulah setelah tiba di Kwiciu, lebih
dahulu Ceng Bo ajak Ko Thay singgah kegereja Liok-yong-
si. Tapi disitu baik Tay Siang Siansu maupun Kiau To,
sudah tak tampak. Kini mereka lanjutan perjalanannya
dengan perahu. Menjelang petang hari, tibalah mereka, dikota Sun-tik.
Ko Thay yang sedang dirangsang oleh hawa kemarahan
karena kematian puteranya, tampak berdiri dihaluan perahu
sambil memandapg alun riak gelombang sungai. Begitu
bernafsu rupanya jago tua itu, hingga seandainya bisa, saat
itu ingin dia sudah berada di Koto-san untuk mengadu jiwa
dengan Ang Hwat cinjin, kemudian mencincang Cian-bin
Long-kun. Tahu akan perasaan hati orang, Ceng Bopun tak
mau menggerecok. Begitulah diatas geladak, kedua orang
itu sama2 diam tak ber-kata2. Se-konyong2 dari hulu sungai
disebelah muka sana tampak meluncur sebuah perahu kecil.
Tapi walaupun hanya kecil, perahu itu dapat meluncur
dengan pesatnya. Siorang yang mengemudikan perahu itu,
mencekal sebatang galah bambu. Rupanya dia galak sekali.
Setiap ada lain perahu yang menghadang jalanannya, sekali
congkel dapat diterbalikkan semua.
GAMBAR 62 Sedang Ceng Bo Siangjin dan Ko Thay mengawasi suasana
sungai itu dihaluan perahu, tiba2 dilihatnya di depan sana lagi
mendatangi sebuah perahu lebih kecil, seorang dengan galah
panjang tampak membikin perahu2 nelayan disampingnya
menjadi pontang-panting.
Ceng Bo dan Ko Thay marah atas perbuatan orang itu,
yang dari dandanannya agaknya adalah bangsa paderi.
Tubuhnya kecil kurus tapi pakaiannya besar. Galah itu
hampir satu tombak panjangnya, namun dia dapat
memainkannya dengan leluasa sekali, jadi terang kalau
memiliki kepandaian yang berarti juga. Dengan cepatnya,
perahu itu telah meluncur kearah perahu Ceng Bo. Kembali
tampak galah diangkat keatas dan beberapa perahu mayang
(tangkap ikan) terbalik. Beberapa nelayan men-jerit2 kalang
kabut kecebur dalam air.
Ceng Bo tak dapat menahan kemarahannya lagi. Sekali
enjot, dia loncat kearah tali temali perahunya. Dengan
sekali sentak, putuslah tali temali tiang besar dari perahu
itu, hingga kini, perahu itu berputar membujur ditengah
sungai. Tepat pada saat itu, perahu kecil tadipun sudah tiba.
Kiranya siorang ganas tadi adalah seorang hweshio yang
Ceng Bo dengan segera dapat mengenalinya sebagai To
Kong hwatsu, itu salah seorang dad sam-tianglo gereja Ci-
hunsi dari gunung Lam-kun-san. Sebaliknya To Kong
belum mengetahui siapakah Ceng Bo dan Ko Thay itu.
Yang diketahuinya, ada sebuah perahu besar menghadang
ditengah jalan, maka galah segera diturunkan kedalam air
lalu disentakkan keatas mencongkel haluan perahu
penghadang itu.
Belum Ceng Bo bertindak, Sin-eng Ko Thay sudah
tertawa dingin seraya enjot tubuhnya melayang jatuh diatas
galah. Sekali gunakan tenaga menginjak, maka tangan
sihweshio yang memegangi, itu menjadi terkulai. "Bangsat
gundul, orang katakan kaum pertapaan itu menjunjung
welas-asih mengagungkan peri-kebajikan. Tapi ternyata kau
adalah kebalikannya, apa artinya itu ?" seru Ko Thay seraya
perdengarkan suara ketawa yang dingin.
To Kong terbeliak kaget. Masa seorang tua yang
bertubuh kate dan nampaknya tak punya kepandaian apa2
itu, dapat membuat tangannya terkulai lemas. "Ho....!, tua
bangka yang tak tahu diri, besar nyalimu berani mengusik
tuanmu ini!" seru To Kong sembari kibaskan tangannya.
Jangan pandang kalau ketiga hweshio Ci-hun-si bertubuh
kurus2, tapi tenaga mereka luar biasa mengagumkan. Sekali
gerakkan tangannya tadi, galah berikut Ko Thay yang
menginjak diatasnya, sama terlempar setombak tingginya.
Air disungai situ deras sekali arusnya, kala itu perahu
sihweshio sudah merapat, kedekat perahu Ceng Bo. Ceng
Bo yakin bahwa Ko Thay cukup dapat mengatasi
sihweshio, maka diapun tak menaruh kekuatiran melihat
kejadian tadi. Sebaliknya dia malah lemparkan sauh untuk
mengait perahu sihweshio. Suara gerodakan yang keras dari
sauh itu, telah membuat dua orang hweshio muncul diatas
geladak. Mereka bukan lain adalah To Ceng dan To Bu.
Berbareng pada saat itu, dipermukaan air terdengar suara
keras dari, benda yang kecemplung. Kiranya itulah suara
galah dan Ko Thay yang jatuh kedalam air. Tapi tak
kecewalah Ko Thay mendapat julukan si Garuda Sakti (Sin-
eng). Kira2 terpisah beberapa inci dari permukaan air, dia
goyangkan tubuhnya dalam gerak hui-yan-liap-bo (burung
walet menobros ombak), melesat naik setombak tingginya,
kemudian disambung dengan gerak ko-cu-boan-sim (burung
merpati membalik diri) dia sudah injakkan kaki diatas
haluan perahu. "Bek-heng, ketiga bangsat gundul itu
keliwat jahat! "
Tapi belum Ceng Bo membuka mulut, diperahu sana To
Ceng sudah berseru dengan mengejek: "Ceng Bo siangjin,
apakah kau hendak cari perkara dengan pinceng bertiga ini"
Kiranya ketiga hweshio itu mempunyai urusan penting
hendak ber-glegasi! menuju kegereja Ang-hun-si di Ko-to-
san. Sedikitpun mereka tak menyangka, kalau ditengah
perjalanan itu kesamplokan dengan Ceng Bo dan Ko Thay.
Atas pertanyaan sihweshio tadi, Ceng Bo tak ambil
perhatian, Ko Thay mengawasi tajam2 kearah ketiga
hweshio itu. "Bek-heng, siapakah ketiga bangsat gundul itu?"
tanyanya. "Oh, mereka adalah sam-tianglo dari Ci-hun-si!"
sahut Ceng Bo. "Bukankah mereka sudah berhamba pada tentara Ceng"


Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ah, kebenaran sekali, jangan lepaskan mereka!" kata Ko
Thay. "Ha, macam kau mau unjuk tingkah!" To Kong
perdengarkan ketawa menghina. Mereka rupanya tak mau
lama2 tertahan disitu. Sembari ber-kata2 tadi, To Kong
sudah angkat tanganya yang berwarna ke-hitam2an untuk
menabas rantai sauh yang menahan perahunya. Ko Thay
tertawa meringkik. Sekali mengayun tubuh, dia, injak rantai
itu dengan sebelah kakinya, yakni dalam sikap Kim-kee-tok-
lip (ayam emas berdiri dengan sebelah kaki). Tanpa jeri2
akan riak arus sungai yang begitu derasnya, dia tendang
tangan To Kong tadi.
Menampak tendangan orang itu mengarah jalan darah
yang-ko-hiat, tahulah To Kong bahwa dia berhadapan
dengan seorang achli tutuk yang jempol. Tarik tangannya
kebelakang, dia berganti menghantam betis orang. Ketika
diinjak tadi, rantai ber-goyang2 kian kemari. Dengan
meminjam gerak ayunan rantai itu, Ko Thay enjot
tubuhnya keatas sampai satu tombak tingginya. Sudah tentu
hantaman To Kong tadi mengenai angin.
Buru2 hweshio itu surut kebelakang, tapi diatas umbun2
kepalanya terasa ada angin menyambar. Selagi melayang
diatas, jari tengah Ko Thay menjulur kebawah untuk
menutuk jalan darah peh-hui-hiat sihweshio. To Ceng dan
To Bu terperanjat, serempak mereka maju menolong
dengan menghantam pada Ko Thay. Turut situasinya,
karena berada diatas udara, Ko Thay tentu sukar untuk
menghindar, Tapi
Garuda Sakti itu hebat
sekali ilmumengentengi tubuhnya. Hanya sedikit dia menyurut
kebelakang, lalu melayang turun. Kedudukan tubuhnya
tetap, berada diatas kepala kedua orang tadi, siapa buru2
menyingkir kesamping.
"Bangsat gundul, sepasang hay-kim-eng-jiao-thau itu,
mengapa bisa berada padamu"!" tiba2 Ko Thay berseru
dengan bengis demi dilihatnya senjata marhum puteranya
terselip dipinggang To Ceng hweshio. Sebagaimana
diketahui, setelah Ko Kui meninggal, maka sepasang cakar
garuda itu telah diberikan Nyo Kong-lim kepada Tio Jiang.
"Tanya saja pada Ceng Bo siangjin," sahut To Ceng
dengan dingin. "Apakah senjata itu kau dapat rampas dari Tio Jiang"
Dimana anak itu ?" Ceng Bo bertanya dengan kaget.
To Ceng ter-kekeh2, sahutnya: "Dimana anak itu,
sebagai suhunya kau tak mengetahui, bagaimana suruh
kami mengetahui" Apakah dia tidak menjadi orang hutan
dipegunungan Sip-ban-tay-san sana?"
Memang pada jaman itu, pegunungan Sip-ban-tay-san
masih merupakan daerah yang belum terbuka. Adalah
suatu hal yang kebenaran saja, kata2 mengejek dari To
Ceng itu, memang tepat dengan kenyataannya. Karena kala
itu Tio Jiang sedang ikut pada Kui-ing-cu menjelajah
digunung tersebut guna menolong Bek Lian.
"Mengapa dia berada di Sip-ban-tay-san" Kau apakan
dia?" tanya Ceng Bo pula. Sebagai orang alim, dia tak
mengerti jatuhnya kata2 sihweshio yang sebenarnya
hanyalah suatu kiasan saja.
--oodwkzOTAHoo"
Sebaliknya Ko Thay yang begitu mendukai kematian
puteranya itu, tak dapat bersabar lagi. Dia tumpahkan
seluruh kemarahannya pada diri ketiga hweshio itu.
Dengan menggerung laksana seekor harimau kelaparan, se-
konyong2 dia loncat keatas udara. Sejenak berputar-putar,
tangannya sudah pakai sepasang sarung cakar garuda atau
eng-jiao-thau. Sret...., sret...., sret...., senjata itu sudah
berkelebat mengarah jalan darah peh-hui-hiat di-umbun2
ketiga hweshio.
Terperanjat ketiga hweshio itu, bukan alang-kepalang.
Perahu sedemikian kecilnya, sukar untuk menghindar.
Mereka mempunyai urusan penting, tak mau tertahan
lama2. Apalagi demi ditilik dari gerak-geriknya yang
sedemikian lihaynya, mereka menduga, orang-tua itu
tentulah Sin-eng Ko Thay, maka tanpa ajak2an lagi, mereka
segera buang dirinya kebelakang, dan blung...., blung....,
blung..... ketiganya sama mencebur kedalam sungai.
"Hendak lari kemana, kau bangsat gundul?" seru Ko
Thay sembari menyusul terjun kedalam air. Dengan
gunakan ilmu mengentengi tubuh sakti "li hi thian liong
bun" (ikan le-hi loncat kepintu naga), dia melesat
dipermnukaan air dan menyamber punggung To Ceng yang
hendak menyelam kedalam. To Ceng hendak kerahkan
lwekangnya untuk melawan, tapi Ko Thay cepat sudah
membuatnya tak berdaya, dengan menutuk jalan darah sin-
to-hiat di punggungnya. Sekali melempar, tubuh To Ceng
melayang jatuh diatas geladak perahu, kepalanya pusing
tujuh keliling.
GAMBAR 63 "Bangsat gundul, jangan lari !" bentak Ko Thay sambil
meloncat keatas dan memakai sepasang sarung tangannya "Eng-
jiau-thiau" atau sarung cakar elang, terus menyerang ketiga
Hweshio itu. Hendak Ko Thay menangkap dua, hweshio lainnya, tapi
mereka ternyata sudah menghilang lenyap didalam arus.
Apa boleh buat ....... Ko Thay loncat kembaii keatas
perahu. Begtu mencabut eng-jiao-thau yang terselip
dipinggang To Ceng, dia mendupak dengan ujung kakinya,
kepunggung orang, hingga walaupun jalan darahnya tadi
dapat dibebaskan namun orangnya bergelundungan diatas
geladak. Ko Thay susuli lagi dengan sebuah tendangan dan
blung ....... tubuh To Ceng terlempar kedalam sungai.
Begitu jatuh kedalam air, To Ceng terus menyelam.
Untunglah ketika itu tepat ada sebuah perahu berjalan
disitu. Cepat2 dia menggelandoti bagian bawahnya untuk
lolos. Ko Thay rupanya sudah puas menumpahkan hawa
kemarahannya. Dia tak mau mengejar lagi. "Bek-heng, kau
mengapa ?" malah dia segera menegur Ceng Bo demi
dilihatnya siangjin itu diam ter-longong2 saja.,
"Senjata itu berada pada muridku, entah bagaima
mereka telah dapat merampasnya. Tadi mereka mengatakan, muridku itu berada di Sip-bon-tay-san,
kukuatir jangan2 dia mendapat bahaya" sahut Ceng Bo. Ko
Thay dapat mengerti perasaan orang, Oleh karena hari
pehcun masih agak lama, dia usulkan pergi dulu
kepegunungan itu.
Sudah tentu ajakan itu disambut dengan gembira oleh
Ceng Bo, siapa ternyata hanya lahirnya saja berlaku bengis
tetapi dalam batinnya dia sangat menyayang akan
muridnya yang jujur dan berbudi itu. Begitulah mereka
segera mendarat. Kurang lebih 4 hari saja, tibalah sudah
mereka dipegunungan Sip-ban-tay-san. Kala itu, tepat
saatnya Yan-chiu ambil selamat berpisah dengan Kui-ing-cu
dan Sik Lo-sam. Andaikata ia berangkat 2 jam kemudian,
tentulah dapat ber-junipa dengan Suhunya.
Melihat keadaan pegunungan Sip-ban-tay-san yang
hutan belantaranya sedemikian luas itu, Ceng Bo sudah
setengah putus asa. Untuk mencari seseorang dalam tempat
macam begitu, adalah laksana hendak mencari sebatang
jarum ditengah laut. Tapi suatu kejadian yang tak di-
sangka2 muncul. Tengah kedua orang itu tertumbuk
fahainmnya (tak tahu harus berbuat bagaimana), secara
kebenaran mereka bersua dengan dua orang pemburu,
seorang tua dan seorang masih muda. Ceng Bo menyakan
hal itu kepada sipemburu tua.
"Ada..., ada...! Rupa2nya dalam beberapa hari terakhir
ini Sip-ban-tay-san mendapat kunjungan beberapa orang
asing. Beberapa hari yang lalu, ada seorang pemuda
bersama seorang nona yang cantik sekali naik keatas.
Menyusul ada 4 orang lagi, seorang nona, seorang pemuda,
seorang lelaki tinggi besar dan seorang lelaki setengah tua,
menuju kelembah pegunungan ini," menerangkan sipemburu tua itu.
Ceng Bo hanya dapat menduga kalau seorang tinggi
besar itu tentulah Nyo Kong-lim, sipemuda dalam
rombongann kedua itu tentulah Tio Jiang sedang sinona itu
tentu Yan-chiu. Tapi yang Iain2nya, dia tak dapat mengira-
ngirakan siapa adanya. Tapi dia yakin orang2 itu tentu ada
suatu urusan penting digunung situ. Maka setelah
menanyakan jalanan dan mengucapkan terima kasih, Ceng
Bo dan Ko Thay minta diri dari sipemburu tua yang makin
tak habis mengerti.
--oodwkzOTAHoo--
Menjelang tengah hari, keduanya sudah berada di-
tengah2 hutan pegunungan situ. Tiba2 dilihatnya ada
sesosok bayangan berkelebat. Dari potongan tubuh, terang
orang itu seorang wanita. "Hai....., siapa', itu"!" seru Ko
Thay. Ceng Bo lebih terperanjat lagi. Dari potongan
tubuhnya yang langsing dan dandanannya, tahulah dia
kalau wanita itu adalah puterinya sendiri, si Bek Lian. Apa
yang disebut oleh sipemburu tua tentang seorang nona
cantik, tentulah Bek Lian.
Dan pemuda cakap yang datang bersama dengan Bek
Lian itu, siapa lagi kalau bukan The Go.
"Tahan!"
tiba2 dia berseru nyaring hingga menggemparkan suasana pegunungan yang sedemikian
lelapnya itu. Wanita yang berkelebat disebelah depan tadi, memang
Bek Lian adanya.
(Oo-dwkz-TAH-oO)
BAGIAN 34 : SETAN BERKEPALA DUA
Seperti telah diterangkan dibagian atas, dengan angkuh
dan getasnya Bek Lian tak mau ikut dengan rombongan
Kui-ing-cu. Begitu tinggalkan puncak Thiat-nia, ia segera
keluar masuk menyusup hutan pegunungan situ. Karena tak
kenal jalanan, ia ke-sasar2 tak karuan. Setengah harian
berjalan itu, ia merasa lelah dan lapar. Duduklah ia diatas
sebuah batu, sambil memakan biji buah siong untuk
penahan lapar. Sambil duduk melepaskan lelah, pikirannya
melayang akan diri Cian-bin Long-kun. Teringat ia akan
sikap dan perbuatan kekasihnya itu selama mengajaknya
keatas gunung. Aneh, mengapa tahu kalau ia (Bek Lian) tak
pernah minum, tapi kekasih itu memaksanya" Aneh-pula
mengapa setelah ia tersadar sang kekasih itu sudah tak
nampak disitu "
GAMBAR 64 Sesudah ubek2an kian kemari, achirnya Bek Lian merasa letih,
ia daduk ter-menung2 diatas sebuah batu memikirkan kelakuan
kekasihnya yang aneh
Bagi orang yang sadar, tentu segera, dapat menarik
kesimpulan apa yang telah terjadi. Tapi karena perangainya
yang angkuh, sombong itu, tambahan pula ia sudah buta
dengan asmara, maka biar bagaimana juga tak mau ia
menuduh sang kekasih itu sebagai orang jahat! Sekalipun
begitu, hatinya mulai bersangsi juga. Pada waktu itu ia
sudah hamil, 4 bulan lebih, jadi mulai malas2an. Dihempas
oleh siliran angin yang nyaman ditengah pegunungan sunyi
itu, ia merasa tenteram. Ia rebahkan diri dan tertidurlah ia
dengan pulasnya.
Keesokan harinya ketika hari sudah tinggi, barulah ia
terjaga. Baru ia hendak lanjutkan perjalanannya lagi, se-
konyong2 dari sebelah muka sana tampak ada dua orang
mendatangi. Salah seorang yang memakai pakaian
pertapaan itu, adalah ayahnya sendiri. Sudah tentu ia
menjadi ketakutan dan lekas2 menyelinap kesamping untuk
bersembunyi. Tak jauh dari situ dilihatnya ada sebuah sela2 lubang
batu yang tiba cukup untuk dimasuki satu orang. Disekitar
sela batu itu, penuh ditumbuhi dengan semak2 rumput,
sedang disana sini akar2 rotan me-lingkar2 menutupinya.
Kalau orang tak memperhatikan dengan perdata, tentu tak
mengetahui adanya sebuah sela sempit itu. Karena tak
mempunyai lain pilihan lagi, Bek Lian segera lari masuk
kesitu. Tepat ia menyelinap masuk, tepat terdengar seruan Ceng
Bo yang menggetarkan empat penjuru itu. Ternyata sela
sempit itu merupakan pintu masuk dari sebuah lorong gua
yang dalam sekali. Dengan ber-ingsut2, ia masuk agak
kedalam. "Hai, kemana budak hina itu bersembunyi ?" tiba2
kedengaran Ceng Bo berseru. Dan sret, kedengaran sesosok
tubuh loncat keatas sebuah puhun. Rupanya seseorang
hendak meninjau kesekeliling tempat itu dari atas.
Bek Lian makin ketakutan dan ber-ingsut2 makin
kedalam. Heran, lorong yang bermula sedemikian
sempitnya itu, makin kedalam makin lebar. Ia terus masuk
makin jauh dan suara Ceng Bopun makin tak kedengaran
jelas. Nyata ayahnya sudah tak berhasil menemukan tempat
persembunyiannya itu. Legalah hati Bek Lian.
Bek-heng, tak jauh dari sini, ada seorang wanita ber-urai
rambut tampak sedang berjalan dengan ilmu mengentengi
tubuh yang niengagumkan sekali!" seru Ko Thay dari atas
sebatang puhun. Kiranya yang kedengaran loncat kepuhun
tadi, dialah. Ceng Bo segera dapat menduga, wanita itu
tentulah isterinya, Kang Siang Yan. Sejak berpisah di


Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hoasan, dia belum berjumpa lagi dengan sang isteri itu.
Entah sudah dapatkah ia mencari pedang pusakanya itu"
Diapun menduga kalau Bek Lian tentu bersama dengan
ibunya itu. Biar bagaimana dia tak suka melihat wajah
puterinya itu. "Ko-heng, mari kita lanjutkan perjalanan
lagi!" dengan menghela napas, ia segera ajak sahabatnya itu
berlalu. Pernah juga Ko Thay mendengar tentang peristiwa
perpecahan suami isteri Hay-te-kau dan Kiang Siang Yan,
maka tanyanya: "Bek-heng, apakah jangan2 wanita itu
Kiang Siang Yan adanya?"
Benar, 10 tahun lamanya ia meyakinkan ilmu Thay-im-
lian-seng dari Lam-hay Hu Liong Po. Kini ia lebih lihay
dari kita berdua, hanya sayang perangainya berobah aneh,
ah......." Ceng Bo menghela napas, lalu menuturkan tentang
kelakuan puterinya yang telah tersesat jatuh cinta pada The
Go, serta bagaimana isternya itu (Kiang Siang Yan)
memihak puterinya. Ko Thay pun seorang jantan yang
berhati blak2an, kontan dia menge-luarkan isi hatinya:
"Amboi, ah..... kalau begitu aku harus lekas2 mencari anak
itu. Kalau dia, sudah terlanjur menjadi menantumu, tentu
aku tak dapat melampiaskan dendam puteraku!"
Ceng Bo siangjin tertawa kecut. "Harap Ko-heng
lapangkan dada, aku tentu akan membantumu!" Ceng Bo
memberikan janjinya. Baru kurang lebih setengah bulan
kedua orang itu saling berkenalan, tapi Ko Thay cukup
mengetahui peribadi tokoh siangjin yang berbudi luhur itu,
ujarnya: "Bagus, itulah laku seorang sahabat sejati!"
--oodakzOTAHoo--
Mereka tak lanjutkan pengejarannya lagi kepada Bek
Lian, Setelah melintasi sebuah puncak, didengarnya dari
hutan yang disebelah muka sana ada suara auman binatang
buas. Bagi kedua orang, hal itu tak dihiraukan. Tapi baru
berjalan beberapa langkah, se-konyong2 terdengar sebuah
suara jeritan aneh, menyusul seekor orang utan besar
menyerang keluar.
Ceng Bo yang luas pengalamannya, segera tahu makhluk
itu tak boleh dibuat main2. Secepat mencabutt pedang yap
kunnya, ia melesat menyongsong maju. Kiranya orang utan
itu adalah si Toa-wi, itu binatang piaraan Yan-chiu.
Rupanya binatang itu tahu juga akan kelihayan pedang
pusaka yap-kun. Dengan menguak2, dia segera berputar
kebelakang melarikan diri. Sewaktu Ceng Bo dan Ko Thay
mengejar, mereka segera terperanjat melihat tak jauh
disebelah muka sana, tampak Sik Lo-sam dan Kui-ing-cu
duduk bersila. Wajah Sik Lo-sam, tampak mengerut
dahinya yang penuh becucuran butir2 keringatnya sebesar
biji kacang. Sedang Kui-ing-cu tampak meram melek,
ubun2 kepalanya mengeluarkan segumpal hawa panas.
Ceng Bo dan Ko Thay adalah tokoh persilatan yang
berilmu tinggi. Sekali melihat tahulah mereka kalau Sik-
Losam itu sedang menderita luka dalam yang parah.
Sementara Kui-ing-cu tengah bantu mengobati dengan cara
penyaluran tenaga lwekang. Benar cara itu dapat memberi
hasil bagus, tapi orang yang mengobati itu tentu menderita
sendiri, tenaga-murninya banyak hilang dan salah2 bisa
menjadi seorang yang tanpaguna lagi.
Ceng Bo pernah berjumpa dengan Kui-ing-cu ketika
diluitay gunung Gwat-siu-san, Sebaliknya Ko Thay tak
kenal sama sekali akan kedua tokoh itu. Tapi keduanya
(Ceng Bo dan Ko Thay) adalah tokoh2 persilatan yang
luhur budi, menampak ada lain kaum persilatan yang
mendapat kesusahan, tanpa diminta lagi mereka ulurkan
bantuannya, Ceng Bo menghampiri dan ulurkan tangannya,
hingga tangan Kui-ing-cu tadi tergeser kesamping sedikit.
Kini kedua orang itu bersama meletakkan telapak
tangannya dipunggung Sik Lo-sam bagian jalan darah leng-
thay-hiatnya. Ko Thay tak mau ketinggalan. Diapun lalu menempelkan tangannya kearah jalan darah ban-kay-hiat
didada, Sik Losam. Kini ketiga tokoh itu salurkan
lwekangnya untuk bantu mengobati luka Sik Lo-sam.
Segera Ceng Bom engetahui kalau sikate limbung itu
terkena pukulan lwekang thay-im-ciang yang lihay. Tanpa
terasa dia menghela napas. Sebaliknya setelah mendapat
bantuan kedua tokoh lihay itu, Kui-ing-cu merasa enakan,
ujarnya dengan riang: "Hayte-kau, aneh juga mengapa
kalian sepasang suami isteri itu, berlainan perangai!"
Ceng Bo tertawa kecut, sahutnya: "Harap Kui-heng
jangan menertawainya!"
Mendengar disebutnya nama itu, Ko Thay sangat
terperanjat, tanyanya: "Jadi kau ini orang she Kui ?"
"She apa aku ini sebenarnya, lupalah aku sudah. Tapi
orang hanya menyebutku si Kui-ing-cu saja!" sahut Kuiing-
cu dengan tertawa.
"Ah, lama nian aku mengagumimu!" kata Ko Thay.
Sebaliknya Kui-ing-cupun segera balas menanya:
"Bukankah cunke (anda) ini Sin-eng Ko Thay?"
Ko Thay gembira sekali mendapatkan orang yang
dikagumi itu, ternyata juga seorang jantan yang jujur suka
berterus terang. Maka dengan serta merta dia mengiakan.
Mendengar itu, segera Kui-ing-cu berkata: "Ko-heng tentu
juga akan hadir dalam pertemuan di Ko-tosan. Dengan
adanya gangguan ini, walaupun tak sampai terlambat
datang kesana, tapi sangat merugikan tenaga Ko-heng!
Menjengkelkan adalah tua bangka kate ini, kepandaiannya
kecil, tapi merugikan besar pada lain orang !"
Sejak mendengar ketiga orang itu berbicara, Sik Lo-sam
sudah kepingin turut omong. Maka begitu Kui-ing-cu
memakinya, segera tak tahan lagi dia. "Kui~ing-cu,
mungkin saja kau bisa memberi sebuah gebukan pada
wanita itu, tapi aku sudah menggebuknya satu kali!" dia
menjerit. "Sik Lo-sam, bagaimana kalau kau kancing dulu
mulutmu itu.?" sahut Kui-ing-cu sambil tertawa. Sik Lo-sam
menurut. Memang setelah mendapat penyaluran lwekang
dari ketiga tokoh lihay itu, hawa dingin yang menyerang
tubuhnya mulai berkurang, berganti dengan hawa hangat.
Ketika malam tiba, dia sudah separoh bagian baik, terus
mengorak sila hendak berdiri. Melihat kalau sikate limbung
itu belum sembuh betul, ketiga orang itu-memaksanya
supaya duduk bersila lagi, Keesokan harinya, barulah ketiga
orang itu lepaskan tangannya dan menghela napas legah.
Sehari semalam menyalurkan lwekang itu, mereka
bertiga menjadi lelah sekali, karena hal itu sama dengan
bertempur ma'Li2an. Betul tenaga mereka tak hilang sama
sekali, tapi toh separoh bagian lenyap. Kepulihannya
memerlukan waktu ber-bulan2.
Se-malam2an itu, Kui-ing-cu telah menuturkan pengalamannya memasuki daerah suku Thiat-theng-biau
digunung Sip-ban-tay-san situ. Setelah itu, dia bertanya
bagaimana Ceng Bo juga datang kesitu. Mendengar
keterangan bahwa Ceng Bo telah ditipu oleh To Ceng, Kui-
ing-cu tertawa gelak2. Keesokan harinya dapatlah Sik Lo-
sam bebas dari hawa maut-yang merangsang tubuhnya itu.
"Aku diberi mata, kalau sampai tak dapat melihat
keramaian di Ang-hun-kiong itu, bukantah penasaran
sekali"!" seru silimbung seenaknya sendiri.
Setelah beristirahat sebentar, mereka menuju kerawa
Hek-cui-than. Tapi sampai sekian lama menyelidiki, mereka
tak berhasil menemukan jejak Tio Jiang dan Nyo Kong-lim.
Menduga kalau mereka berdua sudah tinggalkan gunung itu
menuju ke Ko-to-san, ke-empat tokoh itu segera tinggalkan
pegunungan Sip-ban-tay-san berangkat ke Ko-to-san.
--oodwkzOTAHoo--
Sekarang Mari kami ajak pembaca menengok keadaan
Bek Lian. Makin masuk kedalam gua, makin ia tak
mendengar lagi suara ayahnya. Ternyata jalanan disitu,
lebar sempit tak berketentuan, ber-liku2 bahkan ada
persimpangannya juga. Merasa sudah cukup lama
bersembunyi, ia yakin ayahnya tentu sudah pergi. Tapi
ketika ia berjalan balik ternyata ia tak dapat menemukan
lubang pintu tadi. Bek Lian makin gelisah, Diketahuinya
tempat itu adalah lamping dari sebuah puncak gunung yang
tinggi. Kalau ia sampal tak berhasil menemukan pintu
keluar tadi, bukankah akan celaka nanti" la percepat
kakinya menyusuri lorong jalan itu, tapi ber-jam2 lamanya,
ia tetap tak berhasil. Malah pada saat itu ia berada disebuah
tempat yang gelap. Disekelilingnya merupakan batu karang,
agaknya seperti berada disebuah gua. Jalanan disitu
sebentar agak lebar, tapi ada kalanya, hanya tiba cukup
untuk dilalui oleh seorang saja.
Saking putus asa, Bek Lian mendumprah ditanah,
menangis ter-sedu2. Entah sudah berapa, lama ia menangis
Aitu. Ketika didengarnya disana sini riuh rendah dengan
kumandang suara tangisannya, ia menjadi ketakutan sendiri
lalu berhenti menangis. Kini ia berbangkit untuk berjalan
lagi. la telah menetapkan arah jalannya, yaitu terus berjalan
lempang takk mau mem-biluk2 lagi. Tak berapa lama
kemudian, ia mendengar ada suara air mengalir.
Maju lagi beberapa meter, kakinya terasa dingin, ketika
dirabanya, ternyata, tanah disitu becek berair, kiranya ada
beberapa inci tingginya. Rupanya air itu berasal dari tengah
gunung yang tak dapat mengalir keluar sampai ber-tahun2.
Karena sangat haus, tanpa hiraukan bersih tidaknya, Bek
Lian segera merangkumnya sepasang lengan mengambil
air, lalu diminumnya. Nyaman juga air itu rasanya,
sehingga tubuhnya terasa segar. Disebelah muka sana
dilihatnya air makin banyak. Dan ketika dihampirinya, air
sampai merendam betis tingginya.
Makin melangkah kemuka, Bek Lian rasakan tanah
rendah, jadi makin dalam airnya. la sudah segera akan
balik. ketika samar2 dilihatnya disebelah muka sana seperti
ada. bagian permukaan air yang kilau kemilau tertimpa
sinar. Diam-diam, ia menjadi girang. Kalau tiada lubang
menembus keluar, Masakan ada sinar matahari dapat
menemblis kesitu" Ah, siapa tahu kalau2 disana ia akan
berhasil menemukan jalan keluar. Dengan tangan
menempel pada dinding gua itu, ia maju kemuka.
Kira2 3 - 4 tindak jauhnya air sudah sampai kebatas
perut, Bek Lian bersangsi, baik teruskan atau tidak. Kalau
surut balik, terang ia bakal terkurung disitu seumur hidup,
ah......, lebih baik ia maju saja, siapa tahu mungkin ada
harapan. Ternyata setelah itu, tanah yang terendam air itu
agak rata. Baru ia tersadar kalau dirinya berada di-tengah2 sebuah
gua berair. Oleh karena sekian lama berada ditempat gelap,
lama2 ia sudah biasa dengan keadaan dan samar2 dapat
juga melihat keadaan disekelilingnya. Entah berapa dalam
air disebelah muka nanti, karena pada saat itu air sudah
sampai dibatas dada dalamnya.
Lama kelamaan Bek Lian merasa lelah juga. Ia berhenti
sejenak, bersandar pada dinding gua sembari meramkan
mata. Ketika ia hendak mengheningkan pikiran memulang,
semangat, tiba2 didengarnya disebelah muka sana ada suara
air beriak beberapa kali. Waktu membuka mata mengawasi,
kagetnya bukan alang kepalang.
Kiranya dimulut gua sana, terpisah kira2 3 tombak
jaraknya dari tempat Bek Lian, ada semacam makhluk aneh
sedang mondar mandir. Dikatakan aneh karena walaupun
ditilik dari bentuknya makhluk itu adalah seorang manusia,
tapi sebatas pundaknya kebawah terendam air. Tapi diatas
pundaknya itu terdapat dua buah kepala!
Bermula Bek Lian mengira kalau matanya yang ber-
kunang2, maka lalu di-sapu2 dengan tangannya. Tapi
ketika diawasinya dengan perdata lagi, ah..., benar2 orang
itu mempunyai dua buah kepala........ Saking, takutnya,
jantung Bek Lian terasa berdetakan keras.
Barang siapa masuk kedalam perut gunung yang
mysterius (pelik) itu tentu takkan hidup lama. Kalau toh
disana ada makhluk manusia yang sedemikian anehnya, tak
salah lagi tentu bangsa, siluman, demikian pikir Bek Lian.
Dengan ber-ingsut2 ia segera balik mundur ketempatnya
tadi. Yakni dibagian yang dangkal airnya. Sekalipun sudah
jauh, masih juga ia kuatir jangan2 siluman itu akan
mengejarnya. Maka ia diam menahan nafas untuk mencari
akal. Namun sampai sekian lama, tiada tampak ada kejadian
apa2. Achirnya Bek Lian menyangsikan. dirinya, jangai2
tadi ia sudah salah melihat Bangsa siluman apapun juga,
tiada ada yang berkepala dua.
Mundur kembali, hanya gelap gulita yang dijumpainya.
Sebaliknya disebelah muka sana, tampak ada cahaya
penerangan. la putuskan, maju lagi. Lebih baik bila perlu
bertempur dengan siluman, dari pada mati konyol diperut
gua. Tiba ditempat tadi, kembali ia melihat bayangan
makhluk aneh itu, masih mondar mandir dimulut gua,
Sebatang kepalanya berada ditengah pundak, sedang yang
sebuah lagi melekat dipundak kirinya. Tapi anehnya, pada
lain saat kepala dipundak kiri itu bisa beralih kepundak
kanan. Setelah lama mengawasi dengan seksama, ketakutan
Bek Lian berkurang. Ia menyusur maju. Syukur air disitu
hanya sebatas dada saja tingginya.
Rupanya makhluk aneh itu mendengar juga suara riak
air yang diterjang Bek Lian. Tiba2 dia berpaIing kearahnya.
Jelas tampak oleh Bek Lian, bahwa mata dari makhluk itu-
ber-kilat2 memancarkan cahaya, banyak menyerupai mata
dari seorang yang memiliki lwekang tinggi dari pada suatu


Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

siluman. Kalau saja makhluk itu tidak, mempunyai dua
buah kepala, siang2 Bek Lian tentu sudah berseru
memanggilnya. Untuk keheranannya, makhluk itu hanya
mengawasi kearahnya, tapi tak mau mengeluarkan suara.
Malah pada lain saat, makhluk aneh itu mundur dan lenyap
dari pemandangan.
Hai, kiranya makhluk itu takut juga pada manusia. Nyali
Bek Lian menjadi besar, lalu terus menyeberang
mengejarnya. Air disitu ternyata hanya sampai sebatas
janggutnya saja. Kira2 setengah jam kemudian, tibalah ia
dimulut gua. Begitu memandang keluar, mulut Bek Lian
segera mengeluh: "Ah, celaka!"
Kiranya dimuka mulut gua situ, terbentang tujuh atau
delapan jalanan, yang kesemuanya gelap gulita keadaannya. Adanya dimulut gua itu agak terang tadi,
adalah karena disebelah atasnya ada sedikit celah lubang.
Tapi tinggi celah itu beberapa tombak, jadi sukar untuk
dicapai. Bermula Bek Lian mengira, begitu mencapai mulut gua,
ia tentu akan tertolong dari penjara alam itu. Tapi ternyata
harapannya itu hanya suatu chayal kosong belaka. Ceng Bo
menumpahkan seluruh kasihnya kepada puterinya tunggal
itu. Jadi sewaktu digunung Giok-li-nia, Bek Lian sangat
manja sekali, segala kehendaknya harus diluluskan. Ketika
turun gunung dan berjumpa dengan The Go, iapun
dimanjakan dengan sanjung rayuan mulut si Cian-bin Long-
kun yang ter-gila2 akan kecantikannya itu. Jadi boleh dikata
sampai sebesar itu, Bek Lian belum pernah merasakan apa
yang dinamakan kepahitan hidup itu. Maka pada saat
menghadapi kesukaran itu, hancur luluhlah keangkuhannya, dihanyutkan oleh sang air mata yang
membanjir turun. Untuk menumpahkan kekesalan hati, ia
menangis gerung2. Tapi berbareng dengan pecah tangisnya
itu, disebelah muka sana terdengar benda kecemplung
didalam air dan menyusul dengan suara bergerutukan,
macam benda tenggelam didasar air.
Bek Lian serentak tersadar dari tangisnya. la berada di
tempat terang sedang simakhluk aneh ditempat gelap, sudah
tentu celaka ia, kalau tak lekas2 berpindah tempat. Cepat2
ia melangkah kesalah sebuah lorong jalan yang airnya
hanya sampai sebatas betis. Tertiup oleh hembusan angin
gunung, ia rasakan tubuhnya dingin sekali. Dilihatnya
simakhluk aneh itu berenang lagi kedalam gua, tapi pada
lain saat sudah berenang balik lagi.
Bek Lian putus asa. Ia merasa kali ini ajalnya tentu
datang. Teringat akan orok yang dikandungnya itupun akan
turut meninggal sebelum sempat melihat sinar matahari, ia,
mengeluh dengan duka-citanya. Tapi suara keluhan itu,
telah menarik perhatian simakhluk aneh yang segera
menuju kearahnya. Kali ini Bek Lian berada ditempat
gelap, mengawasi kearah tempat yang terang. Jadi
penglihatannya jauh lebih jelas. Begitu mengawasi,
mulutnya terpecah tawa.
Kiranya makhluk itu bukan bangsa siluman yang
mempunyai dua buah kepala, tetapi melainkan hanya
seorang manusia biasa. Hanya saja orang itu tengah
menyanjung sebuah batu sebesar kepala orang, diatas
kepalanya. Orang baikkah atau orang jahatkah dia itu,
bukan soal. Yang penting nyata2 mereka itu senasib, jadi
harus kerja sama. Baru ia hendak membuka mulut
menegur, orang itu sudah mendahuluinya bersuara: "Siapa
yang disitu itu" Setan atau manusia atau bahurekso
(malaekat penunggu) disini ?"
Dalam tempat yang mirip dengan sebuah penjara alam,
Bek Lian dapat berjumpa dengan seorang lain yang senasib,
itu sudah cukup membesarkan hati. Apalagi ketika
mendengar nada suara yang tak asing lagi baginya itu, ia
lalu berjingkrak kegirangan, serunya: "Sute, kaukah" Ini
aku, bukan setan bukan bahurekso!"
Ya, memang benar, orang itu bukan lain adalah Tio
Jiang, siapa segera berseru dengan kaget sekali: "Suci,
ah....... kiranya benar kau! Tak heran tadi aku agak
mengenal suara tarikan napasmu. Tapi mengapa kau bisa
berada disini?"
Bek Lian tak mau mengatakan kalau beradanya disitu itu
disebabkan lari bersembunyi melihat ayahnya, maka ia
segera berbalik bertanya: "Kau beritahukan dulu, mengapa
kau bisa berada disini, apakah namanya tempat ini"
Mengapa diperut gunung ini banyak sekali jalan
tembusannya begitu " Hayo, kita lekas keluar dari sini dulu,
baru nanti bercerita!"
Tio Jiang kedengaran menghela napas. "Suci, apakah
tempatmu disitu airnya tak dalam " Terendam air sedingin
itu, tentu sangat kedinginan," tanya Tio Jiang tak mau
menyahut pertanyaan yang ber-tubi2 dari sucinya tadi.
"Memang disini airnya dangkal, tapi cukup dinginlah,
karena ada hembusan angin!"
"Ada angin menghembus?" seru Tio Jiang dengan
terkejut kegirangan.
--oodwkzOTAHoo--
BAGIAN 35 : TULISAN DI BATU
"Ya, ada angin berembus saja masa kau begitu
kegirangan ?" Bek Lian ber-sungut2,
Tio Jiang menyahut: "Ah, suci tak tahu, si Cian-bin
Long-kun The Go itu ........."
"Dia berada dimana ?" tukas Bek Lian serentak memutus
kata2 orang. Tio Jiang tak mengerti kemana jatuhnya pertanyaan sang
suci itu, maka diapun cepat menegas: "Siapa " "
Bek Lian mendongkol, lalu berteriak nyaring2: "Engkoh
Go ! Kecuali dia, siapa lagi yang akan kutanyakan " !"
Diam2 Tio Jiang geli dibuatnya. Kalau beberapa bulan
yang lalu, hatinya pasti sakit mendengar ucapan sang suci
begitu itu. Tapi setelah dia campur gaul dengan manusia2
jantan macam Kui-ing-cu dan Nyo Kong-lim, dia tawar
sudah akan perilaku Bek Lian yang sedemikian rendah
martabatnya itu. Macam bidadari menjelma dimayapada
pun, Tio Jiang tak tergerak hatinya lagi pada sang suci itu.
Malah dia sesali dirinya sendiri, mengapa tempo hari
sampai ter-gila2 membabi buta pada sang suci. "Ah,
entahlah kemana dia!" katanya dengan tawar.
"Sute, hayo kita lekas2 keluar dari sini!" akhirnya Bek
Lian tampak bergelisah.
Tio Jiang enjot tubuhnya melayang diatas dinding lorong
jalan itu. Benar juga disitu, dia rasakan siliran angin
menghembus. "Suci, jangan terburu nafsu dulu. Ceritakan
dululah dari mana kau. Masuk kemari ini ! ".
Bek Lian terkesiap. Dulu sutenya itu takut2 berbicara
dengannya, tapi mengapa kini sikapnya berlainan sekali "
"Adakah kau ini benar Tio Jiang ?" ia bertanya dengan
aneh. "Sudah tentu, ya. Suci, kau rupanya kedinginan. Kita
harus lekas2 keluar dari sini, maka coba, ceritakanlah
padaku darimana kau masuk tadi."
Terpaksa Bek Lian menurut dan lalu menutur.
"Sekian banyak jalanan gunung dan gua yang kau lalui
tadi, mana2 saja yang terasa ada angin menghembus ?"
tanya Tio Jiang.
Atas itu, Bek Lian menerangkan hanya satu dua saja,
tapi lupalah ia dibagian yang mana. "Lian suci, aku ini
disebabkan sibangsat The Go ......."
"Sute!" cepat2 Bek Lian membentak,
Tio Jiang ganda tersenyum, lalu melanjutkan kata2nya:
"Karena dia merampas mustika didalam batu dan
disembunyikan entah dimana, maka Kui-ing-cu lo-cianpwe
suruh aku mencarinya.........."
"Apa itu sih mustika dalam batu " Apakah mustika yang
disebut dalam kitab Pao-bu-cu itu ?" kembali Bek Lian
memutus. "Benar. Karena melihat dia keluar dari sebuah celah
batu, maka aku segera masuk dari celah itu. Tapi sampai
berhari2, aku tak bisa keluar lagi !"
"Ah, tak berguna mem-buang2 ludah sampai setengah
harian ini. Kiranya kau juga tak dapat keluar dari sini!" ujar
Bek Lian dengan putus asa.
"Jangan keburu putus asa dulu. Sewaktu kau masuk dari
celah yang tembus keluar itu, tentu ada angin berembus,
bukan ?" tanya Tio Jiang. Bek Lian mengiakan dengan acuh
tak acuh. "Sewaktu aku gelisah tak dapat keluar dari sini, tiada ter-
sangka2 aku telah berhasil menemukan mustika batu itu
terletak disebuah gua kecil. The Go tentu yang
menyembunyikannya. Dia dapat keluar, sebaliknya aku
tidak. Sehari penuh aku mengitari tempat ini, tapi tetap tak
berhasil. Sewaktu aku tak habis mengerti, kini dapatlah aku
memecahkannya. Ini suatu bukti, bahwa The Go itu
mempunyai bakat dan otak yang cerdas, jauh beberapa kali
lebih jempol dari aku."
Sampai pada saat itu, dalam benak Bek Lian hanya
terlukis diri The Go seorang. Maka ketika tadi Tio Jiang
memakinya "The Go sibangsat", ia menjadi kurang senang.
Kini sewaktu sutenya itu memuji sang kekasih, segera
Bek Lian berseru dengan riang gembira :"Itu sudah terang.
Kecerdasan engkoh Go, siapa yang bisa menyamai ?"
Tio Jiang seorang anak yang lurus polos. Apa yang
Duri Bunga Ju 1 Pendekar Naga Mas Karya Yen To Petualang Asmara 10
^