Pencarian

Naga Dari Selatan 13

Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen Bagian 13


hatinya mengatakan, mulutnya segera menyatakan. "Benar,
hanya sayang kecerdikannya itu dicerdiki oleh kesalahannya!"
Bek Lian kurang puas, tapi karena tak dapat mencari
alasan membantah, maka cepat2 ia alihkan pembicaraan :
"Tadi kau menyatakan sudah bisa memecah rahasia
tempat ini, nah bilanglah lekas!"
"Entah benar tidak pemecahanku itu, harap suci yang
lebih cerdik dari aku, suka turut menimbangnya. Kupikir
jalanan yang terasa ada hembusan angin itu, kalau kita
turutkan, tentu akan dapat menuju keluar dari gunung."
"Benar," seru Bek Lian.
Kembali Tio Jiang berkata :
"Kupercaya The Go tentu untuk beberapa saat tersesat
disini, tapi dalam sesingkat waktu saja dia sudah dapat
memecahkan rahasianya. Sebaliknya aku memerlukan satu
setengah hari baru dapat memecahkannya. Dan kau sendiri
bagaimana, Lian suci " !"
Bek Lian ke-malu2an. Ia beradat tinggi. Tak pernah ia
memandang mata pada sutenya yang dianggap tolol itu.
Sudah tentu ia tak unjuk ketololannya dihadapan sutenya
itu. Dengan beberapa alasan, ia coba mau memintari.
Walaupun kini Tio Jiang sudah tawar terhadap sang suci,
namun ikatan saudara seperguruan masih melekat. Melihat
sang suci masih tetap membawa sikap mau menang dewek,
dia hanya ganda tertawa saja.
"Teoriku itu juga belum tentu berbukti kebenarannya,
tapi marilah kita coba saja," kata Tio Jiang sembari ajak
sang suci menuju kelorong jalan disitu. Tiba diujung
penghabisan jalan itu, kembali disana terdapat lagi 7 atau 8
buah persimpangan jalan. Kedelapan simpang jalan itu
disusurinya. Akhirnya, pada salah sebuah jalan terasa ada
hembusan angin. Kearah saulah mereka menyusur kemuka.
Pada ujung jalan itu kembali terdapat sebuah gua dan
sehabis melalui gua itu, kembali terdapat 10 buah
persimpangan jalan. Oleh karena sudah menetapkan
rencana, jadi merekapun mencari salah sebuah jalan yang
terasa ada hembusan anginnya.
Tio Jiang menjunjung batu yang terisi mustika itu diatas
kepalanya. Sembari berjalan, diam2 dia me-nimang2:
"Terang sudahlah kalau Lian suci ini menyintai The Go
dengan segenap jiwa raganya. Kalau begitu, mana boleh
aku menjadi perintangnya. Peristiwa tukar panjar itu harus
kubatalkan saja." Setelah mengambil putusan, segera dia
berkata: "Lian suci, aku ada sebuah barang yang hendak
kukembalikan padamu!"
"Barang apakah itu ?" tanya Bek Lian keheranan. Tio
Jiang merogoh kedalam dada bajunya dan mengambil
keluar peniti kupu2an milik Bek Lian. Sampai detik itu Tio
Jiang menganggap kalau barang itu adalah pemberian dari
Bek Lian sendiri. Ketika dihadapan Kiang Siang Yan, Bek
Lian menyangkal keras, Tio Jiang masih tetap mengira sang
suci itu waktu sedang marah.
"Sute, sebenarnya darimana kau peroleh peniti itu ?" Bek
Lian ulangi pertanyaan yang memang sudah lama ia
kepingin mengetahuinya.
Kini Tio Jiang baru betul2 keheranan, apakah benar2
sang suci itu tak tahu menahu soal itu. Dengan jelas
dituturkan duduk perkaranya dan kemudian menambahkan: "Sebagai penukaran, aku telah berikan padamu sebuah
batu pualam milik suhu yang diberikan padaku !"
"Huh, kau mimpi bertemu setan barangkali. Itu waktu
aku sedang dalam perjalanan dan bertemu dengan engkoh
Go......" berkata sampai disini, wajah Bek Lian berseri
girang terkenang akan peristiwa yang romantis itu.
"Lian suci, apakah benar2 pada malam itu kau tak
berada di Gwat-siu-san ?" Tio Jiang meminta penegasan
lagi. Sudah tentu hal itu membuat Bek Lian mendongkol dan
serunya dengan uring2an :"Perlu apa aku membohongimu!"
"Jika bermimpi, mengapa tanganku mencekal peniti itu "
Kalau tidak bermimpi, siapa yang ber-olok2 dengan aku
itu ?" Tio Jiang menggerutu seorang diri.
"Huh, selain Siao Chiu, siapa lagi !" kata Bek Lian, yang
membuat Tio Jiang terkesiap dan mengakui memang benar
begitu. Tio Jiang tak mau bertanya Iagi kepada suci-nya.
Kira2 dua jam kemudian, mereka tiba disebuah jalan sempit
yang terasa banyak hembusan anginnya.
"Inilah dianya!" seru Tio Jiang kegirangan. Benar juga
setelah melalui jalan sempit itu, mereka dapat keluar dari
perut gunung tadi. Kala itu rembulan sudah menampakkan
diri dilangit. Karena keliwat lelah ber-putar2 didalam perut,
gunung yang mempunyai ber-puluh2 jalanan kecil itu.
mereka lalu duduk beristirahat disebuah batu.
Dahulu kalau berada berduaan dengan sang suci, Tio
Jiang tentu menjadi seperti orang pekok, yaitu orang yang
tak dapat bicara lancar. Setiap kali Bek Lian tentu
menertawai kelakuannya itu. Kini berlainan halnya.
Walaupun hanya berdua orang, tapi rasanya Tio Jiang tak
mempunyai kata yang hendak diucapkan. Baru berselang
beberapa jenak kemudian, dia kedengaran bertanya: "Lian
suci, kau hendak menuju kemana ?"
Sebenarnya Bek Lian hendak mencari The Go, tapi kalau
mengatakan hal itu - dihadapan sang sute, seperti sang
ayah, sute itu tentu membencinya. "Kau tak usah mengurus
diriku!" akhirnya ia menyahut. Dan benarlah, setelah
pulang semangatnya, Bek Lian tampak berbangkit terus
hendak angkat kaki.
"Suci, nanti dulu!" seru Tio Jiang.
"Apa kemauanmu ?" Bek Lian berpaling sembari
kerutkan sepasang alisnya.
"Kau seorang diri melakukan perjalanan, dikuatirkan
nanti berjumpa dengan orang jahat " sebenarnya Tio Jiang
bermaksud baik, tapi oleh Bek Lian telah diartikan lain. Ia
anggap sutenya itu menghina kalau ilmunya rendah, maka
dengan tertawa dingin ia menukas kata2 orang :
"Terima kasih atas perhatianmu. Bertemu dengan
penjahat apapun, biarlah kuhadapinya sendiri, tak usah kau
mengurusi !"
Mendapat semprotan yang begitu ketus, Tio Jiang ter-
mangu2 diam. Sebaliknya, Bek Lian makin gusar, berputar
diri terus angkat kaki. Apa boleh buat Tio Jiang terpaksa tak
dapat berbuat apa2.
--oodwkzOTAHoo--
Setelah berlatih sebentar, dia loncat keatas sebatang
puhun untuk tidur disitu.
Keesokan harinya, dia segera ber-gegas2 berangkat ke
Ko-to-san. Dia juga memikirkan bagaimana akhir
pertempuran antara Kui-ing-cu dengan Kiang Siang Yan
itu. Karena pegunungan Si-ban-tay-san itu tiada mempunyai jalanan sama sekali, jadi Tio Jiang hanya
menentukan arah barat daya sebagai tujuan langkahnya.
Menjelang tengah hari, tibalah dia pada sebuah puncak
gunung. Disitu dilihatnya ada sebuah batu bercat hitam.
,,Hai, apakah ini bukan puncak Thiat-nia ?" tanyanya
seorang diri. Tapi dia heran mengapa keadaan tempat itu
berlainan dengan Thiat-nia yang pernah didatangi tempo
hari. Kiranya Tio Jiang tiba disebelah belakang dari puncak
Thiat-nia. Sebaliknya Tio Jiang merasa kini sudah
mendapatkan jalan keluar dari pegunungan raya itu, maka
dengan girang sekali, dia berlari cepat2 turun gunung.
Begitu tiba dikaki gunung, tahu2 sebatang anak panah telah
menyambarnya. Teringat Tio Jiang akan pembilangan Kui-ing-cu bahwa
suku Thiat-theng-biau itu paling gemar menggunakan
senjata panah yang. dicelup dengan racun istimewa. Maka
buru2 dia menghindar saja seraya berseru :
"Mengapa tanpa bertanya hitam putihnya, lalu main
membokong orang saja ?" .
Empat orang suku Thiat-theng-biau muncul keluar.
Mereka bercuwat-cuwit mulutnya, tapi Tio Jiang tak
mengerti. "Lekas menyingkir, aku mempunyai urusan
penting, hendak lekas2 melanjutkan perjalanan!" serunya.
Berkat lwekangnya makin tinggi, maka seruan. Tio Jiang
itu terdengar menggeledek bunyinya, hingga karena
telinganya sakit keempat suku Biau itu berjingkrak kaget.
Mereka berpencar, lalu masing2 melepaskan anak panah.
Tio Jiang mendongkol geli. Dipotesnya sebatang dahan
pohon, lalu dengan memainkan jurus hay-li-long-huan dia
hantam jatuh anak panah itu, kemudian sekali melesat
maju, ia segera mainkan dahannya untuk menutuk jalan
darah wi-tiong-hiat dari keempat orang itu.
Tapi tutukan Tio Jiang itu hanya menerbitkan suara
tuk..., tuk..., tuk..., tuk saja, yakni macam membentur kayu.
Pakaian rotan yang dikenakan oleh keempat suku Biau itu,
senjata tajampun tak dapat menembusinya, jangan lagi
hanya tutukan dahan. Lain halnya kalau yang menutukkan
itu tokoh sakti macam Tay Siang Siansu, Kui-ing-cu atau
Kang Siang Yan dan lain2. Namun walaupun tak selihay
mereka, Iwekang Tio Jiang yang sudah bertambah maju itu,
dapat membuat keempat orang itu meringis kesakitan juga.
Saking murkanya, keempat orang Biau itu segera cabut
golok dan serempak maju menyerang. Golok mereka itu
aneh bentuknya, yaitu seperti bintang sabit, melengkung
panjang sampai setengahan meter. Tio Jiang tak mau
melukai mereka, cukup asal memberi sedikit hajaran saja.
Baru dia hendak maju menyambut, salah seorang dari
mereka yang bertubuh agak tinggi, sudah maju menabas
dengan goloknya. Tio Jiang angkat dahannya untuk
menangkis, tapi se-konyong2 orang Biau itu robah
gerakannya. Begitu siku tangan diturunkan, secepat kilat
golok-sabitnya telah masuk menyerang sepasang betis Tio
Jiang. Dengan bentuk goloknya yang istimewa, jurus
serangan itu sangat surup sekali. Saking gugupnya terpaksa
Tio Jiang tekankan dahan ketanah, lalu loncat menyingkir
jauh. Diam2 dia heran memikirkan serangan orang Biau yang
istimewa itu. Ilmu pedang to-hay-kiam-hwat yang sudah
berpuluh tahun menggetarkan dunia persilatan itu, kiranya
hanya begitu saja. Sebaliknya serangan ilmu golok dari
orang Biau liar tadi sedemikian luar biasanya, entah dari
mana mereka mempelajarinya "
GAMBAR 65 Dengan aksi, Tio Jiang melambung keatas hendak menangkap
golok2 melengkung ke-empat lawannya
Kala dia lagi merenung, orang Biau tadi kembali sudah
datang dengan sebuah tabasan lagi. Kali ini Tio Jiang sudah
bersiaga. Dia miringkan tubuh menghindar, dan nantikan
bagaimana tindakan lawan itu lebih jauh. Setelah
tabasannya luput, orang Biau itu berseru keras2, se-
konyong2 goloknya diturunkan dan wut....., tahu2
membabat kaki Tio Jiang, gayanya seperti tadi juga!
Tio Jiang sudah memperhitungkan lebih dahulu. Baru
orang gerakkan tangan dia sudah melambung keatas, begitu
golok melayang dibawah kakinya, dengan gunakan cian-
kin-tui (tindihan seribu kati) dia menurun dan tepat
menginjak golok orang Biau itu ditanah. Ternyata orang
Biau itu juga fanatik sekali. Terang dia tak dapat menarik
golok yang dipijak kaki sianak muda itu, namun tangannya
tetap tak mau melepaskannya.
Melihat kawannya dipecundangi, ketiga orang Biau
lainnya segera maju berbareng. Tapi cukup dengan
mainkan dahannya, Tio Jiang telah dapat menghalau
mereka, kemudian dengan gerak liok-ting-gui-san, disusuli
menghantam bahu siorang Biau yang tinggi besar tubuhnya
tadi. Tio Jiang gunakan 3 bagian tenaganya, maka kali ini
orang Biau itu terpaksa lepaskan cekalannya, ter-huyung2
jatuh. kebelakang. Tio Jiang pungut golok-sabit orang, lalu
menyerang ketiga orang Biau tadi dengan tiga buah
serangan ajaran Sik Lo-sam. Trang..., trang..., trang...,
ketiga orang Biau itu coba menangkis, tapi golok mereka
telah terpental jatuh.
Tio Jiang mau unjuk demonstrasi. Batu yang terisi
mustika, dikempit dalam ketiak kanan. Sekali enjot
tubuhnya dia loncat keatas. Kedua tangannya dijulurkan
kemuka untuk mencekal 4 batang golok tadi. Selagi
melayang turun, tangannya kiri timpukkan dua batang
golok kearah sebuah puhun besar yang berada didekat situ.
Dua batang golok itu tepat menancap masuk kedalam
batang puhun, hingga sampai separoh bagian. Sedang
separoh bagian tangkainya, tampak ber-goncang2. Keempat
orang Biau itu ter-longong2 heran, tapi sebaliknya Tio Jiang
sendiripun merasa aneh.
(Oo-dwkz-TAH-oO)
Tadi dia melihat siorang Biau tinggi besar itu mainkan
goloknya dalam gaya menyerang yang luar biasa. Begitu
pula ketiga orang Biau lainnya itu, pun memainkan jurus
pertahanan yang luar biasa juga. Inilah yang membuatnya
heran. Segala ilmu pedang apa saja! sampaipun itu to-hay-
kiam-hwat, tentu terdapat ciri2 cacadnya (mempunyai
kelemahan). Tapi ilmu golok dari orang Biau itu, dapat


Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

digunakan untuk menyerang dan bertahan secara
mengagumkan sekali. Dia ambil putusan hendak menjumpai Kit-bong-to, kepala suku mereka, untuk
meminta penjelasan lebih jauh mengenai ilmu itu. Maka dia
segera memberi isyarat gerakan tangan supaya diantar
kepuncak gunung, tapi rupanya keempat orang Biau itu
menolak. "Aku mau bertemu dengan Kit-bong-to!" akhirnya
terpaksa Tio Jiang berseru mendongkol. Tanpa disangka,
begitu mendengar orang menyebut nama ,Kit-bong-to",
sikap keempat orang Biau itu berobah ramah dan tertawa.
Salah kedua diantara mereka menuding kearah golok yang
dicekal Tio Jiang, siapa rupanya mengerti kehendak orang
dan lalu memberikannya, Sedang kedua kawan mereka
yang lain, menghampiri batang puhun tadi untuk mencabut
golok mereka. Tapi bagainianapun mereka berdua gunakan
seluruh tenaganya untuk mencabut, namun tetap tak
mampu. Separoh bagian dari golok itu telah menyusup
kedalam batang puhun tua yang keras sekali kayunya,
hingga wajah mereka sampai merah padam.
"Mari kutolong!" seru Tio Jiang seraya menghampiri.
Tanpa pedulikan wajah mereka yang mengunjuk
kesangsian dan, sekali kerahkan Iwe.karig Tio Jiang segera
mencabutnya keluar. Setelah itu, dia cabut lagi golok yang
lainnya. Kini keempat orang Biau itu tunduk betul2 pada
sianak muda. Dengan hormat sekali, mereka segera
membawa Tio Jiang kepuncak Thiat-nia.
Adalah karena mengunjungi kepala suku Thiat-theng-
biau itu, maka Tio Jiang agak terlambat datangnya ke Koto-
san. Coba dia tak pergi kegunung itu, tentu siang2 sudah
sampai kesana dan Yan-chiupun tak nanti keisengan coba2
memasuki gereja Ang-hun-kiong.
Setengah jam kemudian, tibalah Tio Jiang ditempat
kediaman suku Thiat-theng-biau.
Keempat orang pengantarnya tadi segera lari lebih dahulu untuk
menghadap Kit-bong-to yang tampak sedang duduk bersila
ditempatnya. Dengan meng-gerak2kan golok, rupanya
keempat orang Biau tadi tengah menceritakan tentang
demonstrasi kepandaian yang diunjuk oleh Tio Jiang tadi.
Kit-bong-to masih ingat bahwa Tio Jiang itu adalah salah
seorang dari rombongan yang membebaskan calon
mempelainya (Bek Lian). Sudah tentu dia tak menyukai
anak muda itu. Dengan membentak keras2, dia suruh
keempat orangnya tadi mundur, kemudian bertanya pada
Tio Jiang: "Apa maksudmu datang kemari lagi ini ?"
Sesaat Tie Jiang tersentak kaget. Memang dia tak
mempunyai kepentingan istimewa datang kesitu itu.
Hanyalah karena melihat ilmu permainan golok keempat
orang Biau tadi, dia merasa ketarik dan hendak
menanyakan lebih lanjut kepada kepala suku itu. Apa boleh
buat, Tio Jiang menceritakan maksudnya. Wajah Kit-bong-
to berobah seketika, tapi pada lain saat air mukanya berseri
lagi, serunya dengan ramah: "Maaf tak dapat memberi
sambutan apa2 kepada tetamu jauh. Hanya teh keluaran
gunung ini, tentu dapat menghilangkan rasa dahaga!"
Tanpa sungkan2 lagi Tio Jiang segera menyambuti
cawan teh terus hendak diminumnya. Tiba2 dibaunya teh
itu luar biasa wanginya, tapi dalam keharuman itu seperti
ada bau lain yang istimewa, maka dia, tak jadi
meminumnya lalu melirik kearah kepala suku itu.
"Apakah hohan kuatir kalau teh itu dicampuri racun?"
tanya Kit-bong-to yang rupanya mengerti akan kesangsian
orang. Malah tanpa tanya jawaban lagi, dia segera rebut
cawan yang dipegang Tio Jiang itu terus diminumnya.
Setelah meneguk habis separo cawan, lalu diberikan pada
Tio Jiang, katanya: "Lekas minumlah, asal usul ilmu golok
itu memang aneh sekali. Setelah minum, segera kubawamu
kesana." Sebagai lelaki jujur, sudah tentu Tio Jiang menjadi
sungkan. Disambutinya cawan itu, dan demi dilihat isinya
memang hanya tinggal sedikit, dia terus hendak
meminumnya. Adalah pada saat cairan itu sudah menempel
dibibirnya, dia mencuri lihat sikepala suku, yang ternyata
dengan mata mendelik tengah mengawasi dirinya dengan
wajah yang beringas, se-olah2 tak sabar lagi supaya Tio
Jiang lekas2 meminumnya.
Tio Jiang bersangsi lagi. Jangan2 kepala suku itu hendak
main gila. Tapi karena sudah menyatakan hendak
meminum, jadi Tio Jiang mencari akal. Cepat dia
mengambil keputusan. Diam2 dia kerahkan ilmu lwekang
ajaran Sik Lo-sam yakni "cap ji si hang kang sim ciat",
hawa murni disalurkan kearah tenggorokan, kemudian,
sekali teguk dia habiskan isi cawan itu. Teh itu benar masuk
kedalam mulut, tapi hanya berhenti ditenggorokan, tidak
masuk keperut. "Mari ikut padaku!" seru Kit-bong-to dengan girangnya,
demi dilketahui sang tetamu sudah meminumnya. Dia
kedengaran menjerit beberapa kali dan kawanan orang Biau
itu lalu me-nari2 dengan hiruk pikuknya. Adalah sewaktu
mendapat kesempatan, Tio Jiang segera muntahkan teh.
tadi keluar. Tenggorokannya dirasakan gatal, manis2 serak.
Dia ikut Kit-bong-to naik kepuncak gunung.
GAMBAR 66 Tio Jiang dihantar oleh kepala suku Biauw itu kepuncak
gunung yang tandus gilap itu untuk melihat rahasia ilmu golok
satu jurus yang lihay itu.
Dinamakan Thiat-nia atau puncak besi, karena memang
keadaan gunung itu aneh sekali. Makin keatas, makin tiada
terdapat tumbuhan apa2. Batu2 disitu sama ke-hitam2an
warnanya. Tak berapa lama, sampailah mereka dipuncak.
Kecuali gundul, puncak itu tiada. Lain keistimewaannya,
tapi anehnya sikap Kit-bong-to sedemikian hormatnya
seperti berhadapan dengan malaekat yang dipujanya.
Dengan berlutut ditanah, dia kedengaran berdoa. Diam2
Tio Jiang merasa geli juga.
Se-konyong2 Kit-bong-to loncat bangun, dari pinggangnya dia cabut sebatang golok-sabit terus dibuat
menabas dan tiba2 dirobah dengan hantaman kebawah.
Melihat demontrasi itu, Tio Jiang bertanya: "Dapatkah kau
memberitahukan asal usulnya ilmu golok itu?"
"Siaoko, kau harus bersumpah dulu bahwa didalam 10
hari kau takkan mengatakan pada lain orang tentang apa
yang kau lihat hari ini!"
Tio Jiang heran. Dia tak mengerti Kit-bong-to hendak
menunjukinya rahasia apa saja, maka dia harus bersumpah
begitu. Didalam 10 hari tak boleh memberitahukan lain
orang, tapi bagaimana setelah lewat waktu itu" Dia tak tahu
bagaimana jawabannya, tapi oleh karena kepala suku itu
telah menaruh kepercayaan padanya, sebagai orang yang
berhati jujur, diapun segera mengikrarkan sumpah itu.
Dengan berseri girang, Kit-bong-to segera ajak dia maju.
beberapa tindak lagi. "Lihatlah!" tiba2 dia berseru sembari
menunjuk kearah sebuah batu besar yang kelimis halus
tiada ditumbuhi apa"
"Ada apanya?" tanya Tio Jiang dengan keheranan demi
mengawasi batu itu tiada ada apa2nya. Kit-bong-to segera
menabas bagian atas dari batu hitam itu. Kiranya bagian
atas dari batu itu dilumuri dengan tanah liat, maka sekali
papas dapatlah Kit-bong-to menghilangkan lapisan tanah
itu. Dan ketika permukaan batu itu kelihatan, Tio Jiang
menjadi, terkejut. Kiranya disitu terdapat lukisan-ukir dari
sebatang golok yang macamnya mirip dengan golok-sabit
Kit-bong-to itu, Dibawah lukisan itu terdapat guratan2
huruf yang ternyata merupakan keterangan dari sebuah
ilmu golok. Tulisan disitu, menerangkan menyerang badan
bagian atas lalu setengah jalan dirobah menyerang kaki
orang. Serangan itu dapat dirobah menjadi pertahanan yang
indah. Tio Jiang ulangi memeriksa tulisan itu. Dia dapatkan
sari keindahan dari ilmu golok itu, sukar dilukiskan.
"Kit-bongto, lekas bersihkan lapisan tanah liat itu semua.
Ilmu golok ini, tiada ternilai saktinya" buru2 Tio Jiang
meminta. Namun Kit-bong-to tertawa menyahut: ,Hanya ada satu
jurus itu saja! "
Tio Jiang memeriksanya, kiranya benar yang dikatakan
kepala suku itu.
"Entah bilamana ilmu golok itu tertera di atas batu ini,"
kata Kit-bong-to, "sejak kaum Thiat-thengbiau kami
menetap disini, ilmu golok itu sudah ada. Kaum kami
gunakan ilmu golok itu untuk menghadapi serangan
binatang buas dan hasilnya memuaskan sekali! "
Sampai sekian saat, Tio Jiang ter-longong2 mengawasi
huruf2 itu. Mendadak serasa dia seperti pernah melihat
huruf itu, ah..... benarlah! Buru2 dia memeriksa batu berisi
mustika yang dibawanya itu dan hai....., memang sama
gayanya! Siapa lagi yang menciptakan ilmu golok luar biasa
itu kalau bukan Tat Mo Cuncia. Tapi anehnya, mengapa
hanya terdiri sejurus saja" Dia kini sudah memiliki dasar2
ilmu silat yang dalam, sembari memeriksa dengan perdata
akan pelajaran ilmu golok dibatu itu, diam2 dia telah
menelaah sari keindahannya. Tak seperti dengan suku Biau
yang hanya asal menurutkan gerak2annya saja, tanpa
mengerti dimana letak kegunaannya yang sejati.
Akhirnya sampailah Tio Jiang pada suatu kesimpulan,
bahwa andaikata adalagi satu jurus, ilmu golok itu pasti
merupakan ilmu golok yang tiada taranya didunia. "Kit-
bong-to, apakah benar2 hanya ada satu jurus ini saja?"
tanyanya menegas.
Saat itu Tio Jiang tengah terbenam dalam renungan yang
dalam, jadi sedikitpun dia tak mengetahui akan sikap orang
yang berobah aneh pada saat itu. "Ah, ilmu golok ini
memang sangat sakti, sayang tiada punya nama,"
kedengaran Tio Jiang menyatakan perasaannya sendiri.
"Ada, disebaliknya," sahut Kit-bong-to, Tio Jiang buru2
mengikutinya kebalik batu itu dan disitu didapatinya ada 3
buah huruf "it to hwat" (ilmu golok tunggal). Tio Jiang,
makin tak habis mengerti. Sesuai dengan namanya, ilmu
golok itu jadi hanya terdiri dari sejurus saja. Aneh, mengapa
sejurus bisa merupakan sebuah ilmu golok yang lengkap "
"Siaoko, batu bertulisan ini hanya aku seorang yang
melihatnya. Kuajak kau kemari ini, adalah karena aku
hendak minta bantuanmu menjelaskan ilmu golok itu,"
demikian Kit-bong-to.
Kiranya berulang kali Kit-bong-to pernah turun gunung
mengembara didunia persilatan. Setiap kaum persilatan
yang menyaksikan permainan goloknya, tentu sama memuji
dan kagum akan kebagusannya. Tapi oleh karena hanya
terdiri dari sejurus saja, mereka anggap mungkin kepala
suku Biau itu hanya dapat mencuri belajar saja, jadi mereka
tak menaruh perhatian lebih lanjut.
Disebabkan karena Kit-bong-to tak mengerti ilmu
lwekang, jadi sekalipun ilmunya golok istimewa, tapi tak
lebih tak kurang dia hanya setanding dengan kaum
persilatan biasa saja. Yang mengherankan, turun menurun
suku bangsaThiat-theng-biau itu memiliki suatu kode
pelajaran ilmu golok yang disebut "it to hwat, sip-to-hwat,
peh-to-hwat, cian-to-hwat dan ban-to-hwat." Tetapi tiada
seorangpun yang dapat menjelaskan bagaimana arti kode2
itu. Kit-bong-to yakin, disitu tentu terdapat sesuatu hal yang
istimewa, tapi oleh karena dia tak suka orang2 Han main
gila, jadi rahasia itu dibiarkan tertutup begitu saja.
Adalah tadi dengan kedatangan Tio Jiang yang
dianggapnya sebagai seorang pemuda jujur serta menaruh
perhatian akan ilmu golok itu, timbullah suatu ilham dalam
perasaannya, mungkin pemuda yang ke-tolol2an inilah
yang dapat menolong menyingkap tabir rahasia itu. Tapi
ternyata sampai hampir setengah harian, pemuda itu belum
juga dapat menjelaskan.
"Yu-tio (kepala suku) aku juga tak dapat menerangkan!"
akhirnya Tio Jiang menyatakan dengan sejujurnya. Melihat
sikap dan lagu ucapan anak muda itu menandakan
ketulusan hatinya, Kit-bong-to merasa suka dan malah
menyuruhnya tinggal disitu dulu untuk sementara hari.
"Siaoko, tinggallah dulu beberapa hari supaya dapat
merenungkan dengan tenang !" katanya.
(Oo-dwkz-TAH-oO)
BAGIAN 36 : TULISAN DI BATU HITAM
Oleh karena masih cukup temponya, Tio Jiang terima
baik tawaran itu.. Tiga hari lamanya dia menetap dipuncak
Thiat-nia situ. Siang malam, baik makan maupun mau
tidur, ya pendek kata setiap saat, dia selalu merenung untuk
memecahkan intisari daripada pelajaran yang tertulis diatas
batu itu. Tapi ternyata dia selalu gagal. Akhirnya karena
hari pehcun sudah mendekat, maka dia segera minta diri
pada kepala suku Biau itu.
"Kit yu-tio, aku telah mengadakan janji adu kepandaian
dengan seseorang pada nanti hari pehcun digereja Ang-hun-
kiong. Sudah tentu aku tak dapat mengingkari janji itu.
Setelah dapat kupecahkan rahasia tulisan dibatu itu, aku
tentu akan datang kemari lagi," katanya.
"Pergilah, tapi ingat akan sumpahmu !" Kit-bong-to
berkata dengan dingin didahului dengan sebuah helaan
napas. Tio Jiang memberi jaminan takkan membocorkan


Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rahasia selama 10 hari ini kepada lain orang. Kit-bong-to
lalu suruh dua orangnya untuk mengantar dia turun
gunung. Ternyata kala itu hari pesta air (pehcun) sudah
menjelang tiba. Tio Jiang ber-gegas menuju ke Ko-to-san,
tapi oleh karena dia kelamaan tinggal di Thiat-nia, jadi
hampir saja dia terlambat datangnya. Tiba dikaki gunung
Ko-to-san haripun sudah terang tanah. Dia coba bertanya
pada beberapa penduduk kota kecil situ, tapi mereka seperti
menutup rapat2 mulutnya, tak mau memberi keterangan
suatu apa. Dia mondar mandir bertanya kebeberapa.
tempat, pun idem. Akhirnya dia tiba pada kesimpulan
bahwa rombongan suhunya, tentu sudah naik keatas
gunung. Penduduk itu tentu mengetahui hal itu, hanya
disebabkan karena mereka jeri akan keganasan orang2 Ang-
hun-kiong, jadi mereka tak berani memberitahukan. Maka
setelah mengisi perut, ber-gegas2 dia mendaki keatas.
Dia pernah sekali mengunjungi Ang-hun-kiong, maka
belum tengah hari disebelah muka sana segera kelihatan
tembok merah dari gereja itu. Kemudian setelah mengitari
sebuah gunung, tibalah dia dimuka pintu dari Ang-hun-
kiong. Disitu ternyata tampak banyak orang berkerumun.
Begitu menghampiri dekat, didengarnya Yan-chiu
berteriak keras2: "Kiau susiok, jangan terkena tipunya!"
Dia tahu pertempuran sudah dimulai, maka dia segera
lari cepat2. Mata Yan-chiu yang tajam segera dapat melihat
bayangan sukonya itu. Saking girangnya, selebar mukanya
menjadi ke-merah2an. Lupa kalau disitu ada banyak orang,
lupa kalau antara kaum hawa dan adam itu masih terhalang
dengan dinding adat istiadat, sigenit itu segera mencekal
tangan sukonya. Dari kaki sampai keujung rambut, sigenit
meng-amat2i sang suko sedemikian rupa, hingga membuat
Tio Jiang kikuk sendiri. "Siao Chiu, jangan membuat
gaduh!" akhirnya dia memberi peringatan.
"Orang begitu kegirangan akan kedatanganmu, masa kau
malah mengatakan begitu! Kemana saja kau selama ini,
hingga baru sekarang datang " Ah, betul2 kau tak mau
mengerti kesibukan orang memikirkan dirimu!" mulut Yan-
chiu berhamburan dengan kata2.
Tio Jiang cukup mengenal watak sumoaynya itu. Kalau
berterus terang, tentu sumoay itu menanyakan ini itu tak
habis2nya, maka sembari tertawa dia hanya menyahut
ringkas saja: "Lewat beberapa hari lagi, nanti kuceritakan
padamu!" GAMBAR 67 Melihat kedatangan sang Suheng, saking girangnya Yan-chiu
ber-lari2 memapaki.
Habis itu Tio Jiang segera menghampiri suhunya. Disitu
ternyata tampak hadir Kui-ing-cu, Ki Ce-tiong, Thaysan
sin-tho Ih Liok dan masih ada seorang tua bertubuh kate
yang belum dikenalnya. Setelah suhunya mengenalkan,
barulah diketahui kalau orang tua itu adalah Sin-eng Ko
Thay adanya. Kiau To dan The Go sudah tampak ber-putar2 ditengah
sebuah lapangan. Sedang difihak sana, tampak ada 3 orang
Ang-hun-kiong. Ang Hwat cinjin tak kelihatan. Rupanya
dia masih memegang teguh derajatnya sebagai cianpwe
persilatan. Tio Jiang menganggap Ceng Bo siangjin itu bukan
melainkan sebagai suhu saja, tapi juga sebagai seorang
bapak kandungnya sendiri. Dia girang sekali bertemu
dengan sang suhu yang dihormatinya itu. Setelah memberi
hormat kepada sekalian orang, dia lalu menghaturkan batu
yang berisi mustika itu seraya berkata: "Murid telah
menemukan sebuah batu yang terisi mustika, mohon suhu
memberi keputusan bagaimana hendak memperbuatnya."
Tio Jiang yakin suhunya tentu bergirang hati, tapi diluar
dugaan, siangjin itu hanya mendengus "hem" sekali, lalu
tak mengacuhkan. Kini baru Tio Jiang sempat memper
hatikan bagaimana air muka suhunya, Kui-ing-cu, Thaysan
sin-tho, Ko Thay dan lain2 sama mengunjuk kegelisahan.
Heran dia dibuatnya. Kepandaian The Go toh hanya
setingkat dengan Kiau To dan andaikata Kiau susiok itu
kalah, toh masih ada dia yang menurut keyakinannya tentu
dapat menundukkan The Go. Taruh kata menguatirkan
Ang Hwat cinjin akan muncul kegelanggang, toh keempat
tokoh lihay itu, akan dapat menghadapi juga, mengapa
begitu diresahkan" Karena tak berani langsung menanyakan
pada suhunya, dia lalu mendekati sang sumoay dan
bertanya dengan bisik2 : "Siao Chiu, ada apa dengan suhu
itu " Apakah fihak lawan keliwat lihay ?"
"Entahlah, kalau aku bicara nanti dikatakan ceriwis, buat
apa membuka mulut dengan sia2" sahut Yan-chiu dengan
mengkal. "Siao Chiu, kau ini kenapa ?" Tio Jiang makin
kebingungan. Rupanya kasak kusuk kedua anak muda itu telah
diketahui Kui-ing-cu siapa segera bertanya: "Siaoko, mana
Nyo-cecu ?"
"Nyo-cecu ?" sahut Tio Jiang dengan kaget, "entahlah
aku tak tahu !"
"Tak lama setelah kau mencari mustika batu itu, diapun
lalu menyusulmu, mengapa bisa
tak bertemu ?" menerangkan Kui-ing-cu.
Teringat akan keadaannya selama diperut gunung itu,
dia menduga keras Nyo Kong-lim tentu juga terkurung
disitu. "Aya, celaka!" serunya tak tertahan lagi. Kui-ing-cu
buru2 menanyakan dan Tio Jiang segera menuturkan
pengalamannya diperut gunung itu. Rupanya Ceng Bo
siangjin dan beberapa tokoh lainnya sama terperanjat juga.
Mereka saling melihati satu sama lain.
"Biarkan kita rundingkan lagi nanti. Saat ini kita tak
sempat untuk mengurusi," akhirnya Kui-ing-cu menyatakan
Oleh karena terlambat datang, jadi Tio Jiang tak
mengetahui apa yang telah terjadi dalam pertempuran itu.
Baru dia hendak bertanya, atau tiba2 terdengar Yan-chiu
menjerit, hingga terpaksa dia berpaling kebelakang. Kiranya
ketika Tio Jiang datang, Kiau To dan The Go sudah
bertempur. Pada saat itu The Go tampak menusuk kearah
tenggorokan Kiau To. Oleh karena Yan-chiu kenal
serangan The Go itu menggunakan ilmupedang Chit-sat-
kiam-hwat, maka tadi ia menjerit kaget.
Dalam beberapa bulan ini, Kiau To berusaha untuk
menjumpai Tay Siang Siansu. Tapi oleh karena Siansu itu
sukar dicari. jejaknya, jadi dia tak berhasil. Berhubung hari
pertempuran sudah dekat, terpaksa dia menuju ke Ko-to-san
untuk menggabungkan diri dengan rombongan orang gagah
lainnya. Pertempuran itu, menurut tantangan yang telah
disetujui, adalah antara The Go melawan Kiau To dan Tio
Jiang. Tadi karena Tio Jiang terlambat, jadi Kiau To lah
yang maju lebih dahulu. Kiau To cukup mengetahui, bahwa
pertempuran hari itu, penting sekali artinya. Maka dalam
pertempuran, dia berlaku hati2 sekali. Tampak ilmu
permainan pedang lawan luar biasa, ditambah pula
menggunakan pedang pusaka kuan-wi, dia tak berani
menangkis dengan jawan-piannya. Dengan gunakan gerak
tiat-pian-kio dia buang tubuhnya kesamping, kemudian
secepat kilat menyabet betis lawan.
The Go bersenyum ewa, sikapnya sangat yakin sekali.
Begitu tusukannya luput, cepat dia balikkan pedang
membabat pinggang Kiau To, sedang kakinya melangkah
kesamping untuk menghindar jwan-pian Kiau To.
Gerakannya begitu lemah gemelai, laksana seorang
mahasiswa mengayun langkah. Dalam pandangan tokoh2
yang menyaksikan pertempuran itu, Kiau To sukar
mencapai kemenangan. Hal inipun diinsyafi juga oleh Kiau
To. Kelemahannya adalah terletak dalam senjatanya
ruyung lemas (jwan pian) itu.
Untunglah ruyung itu cukup panjang serta ilmu ruyung
Liok-kin-pian-hwat
itu cukup kaya dengan gerak perobahan. Jadi dapatlah dia memaksa lawan tertahan dalam jarak
satu tombak. Mengetahui lawan hendak maju merapat, dia
segera melesat kebelakang. Pian di-kibas2kan, tidak untuk
menyerang tapi untuk melindungi diri.
The Go bukan tak mengetahui kalau lawan hendak
merebut kemenangan dengan ketenangan. Dia lemparkan
pedangnya keudara, begitu tangannya menyambuti,
mulutnya tertawa mengejek: "Kiau loji, mengapa tak maju
menyerang lagi ?"
Habis berkata itu dia maju kemuka, tapi cepat mundur
lagi. Sikapnya congkak sekali. Kiau To tak mau hiraukan
propokasi orang. Tanpa membalas sepatah pun, dia putar
jwan-pian, orang
bersama senjata berbareng maju menyerang. Itulah salah satu jurus istimewa dari permainan
Liok-kin-pian-hwat, orang dan pian dapat menunggal jadi
satu. Tapi kini The Go telah berhasil memiliki ilmu pedang
Chit-sat-kiam-hwat yang amat ganas aekali. Ditambah
dengan mencekal sebuah pedang pusaka macam pedang
kuan-wi-kiam, dia tak jerikan segala apa. Begitu Kiau To
dan jwan-piannya merangsang datang, dia menyabet kalang
kabut. Sepintas pandang, gerakannya itu kacau balau tak
keruan, tapi pada hakekatnya itulah salah sebuah jurus
Chit-sat-kiam-hwat yang paling istimewa, yakni yang
disebut chit-che-tay-hwe (7 bintang saling bertemu).
Didalam kegencarannya, mengandung seribu satu gerak
perobahan yang berbahaya.
Melihat orang menyambut dengan pedang, Kiau To
buru2 tarik pulang serangannya. Kalau pedang lawan itu
pedang yang kebanyakan, seratus persen tentu dapat dia
hantam jatuh. Tapi pedang kuan-wi-kiam, bukan pedang
sembarang pedang. Pedang itu dapat menabas segala mat
yam logam, semudah menabas tanah liat. Sudah terang
jwan-pian akan terbabat kutung. Begitu tarik pulang
tangannya, dia pun loncat kesamping, sembari mengancamkan jwan-pian.
Ancaman itu kosong, hanya diperuntukkan melindungi
diri saja. The Go tak mau melepaskan lawan. Dia bolang
balingkan pedang untuk di-main2kan sebentar diatas,
kemudian secepat kilat ditusukkan kedada orang. Dibawah
ancaman pedang kuan-wi-kiam yang sakti itu, terpaksa
Kiau To main mundur terus. Tio Jiang yang menyaksikan
pertempuran itu berkerut kening, sebaliknya Yan-chiu
mendongkol bukan kepalang.
"Hanya mengandalkan sebatang pedang tajam saja,
apanya sih yang harus dibuat bangga!" serunya mengumpat.
Tapi pada lain saat, dia teringat bahwa pedang itu adalah
milik subonya yang telah berpuluh tahun mengangkat nama
didunia persilatan. Dengan umpatannya tadi, bukantah juga
berarti mengatakan suhu dan subonya tak mempunyai
kepandaian yang berarti kecuali mengandalkan pedang
pusakanya itu " Memikir sampai disini, Yan-chiu bercekat
sendiri. Untunglah semua orang tengah memusatkan
perhatian pada jalannya pertempuran itu.
Dalam pada itu, The Go sudah kembangkan permainan
pedang Chit-sat-kiam-hwat. Pedangnya tampak berkelebat
kesana sini dengan gencarnya; makin lama makin rapat
mengepung lawan. Betapapun Kiau To hendak merebut
inisiatip, tapi tetap gagal. Jalan satu2nya, dia hanya dapat
memainkan jwan-pian dengan lebih seru, agar jangan
sampai kena diberobosi senjata lawan. Sekalipun begitu,
keadaan tetap genting. The Go mempunyai pedang pusaka,
dia tak jerikan jwan-pian, malah berulang kali sengaja
hendak adu senjata. Kiau To terdesak dalam dua kesukaran
menjaga serangan, menghindar bentrokan senjata. Dia
selalu main mundur saja. Begitu seru pergumulan itu
berlangsung, hingga yang tertampak hanya sebuah
lingkaran sinar hijau merangsang sinar kuning. Dalam
sekejab saja, mereka sudah bertempur lima enampuluh
jurus. The Go semakin garang, mulutnya tak putus2nya
mengejek, sedang Kiau To hanya diam saja. Sebenarnya
saat itu sudah ketahuan kekuatan masing2. Tapi sebagai
seorang jantan, Kiau To pantang menyerah. Lebih2 dia
penasaran sekali karena kekalahan itu tak sewajarnya,
hanyalah karena lawan memiliki senjata ampuh saja.
Kembali 3 jurus sudah berlangsung, Kiau To berlaku nekad.
Maju selangkah, begitu mementang tangan kiri, tangan
kanannya menghantamkan jwan-pian. Dia tak menghiraukan lagi pertahanan-nya bagian dadanya terbuka.
The Go bersorak dalam hati. Tak mau dia menusuk,
melainkan membabat jwan-pian orang. Disini dapat
diketahui betapa kecerdikan orang she The itu. Dia cukup
tahu Kiau To itu bukan jago sembarangan, sedikitnya juga
mempunyai nama besar didunia persilatan. Kalau dada
sengaja dibuka, tentu disitu ada apa2nya. Dia kendalikan


Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diri, sembari mundur sembari membabat dulu senjata
lawan. Dan perhitungannya itu tern yata tepat sekali. Siasat
Kiau To telah kena disiasati. Dalam kedudukan kala itu, tak
mungkin Kiau To menarik lagi jwan-piannya dan
terpapaslah oleh pedang si The Go hingga kutung menjadi
dua, Kiau To makin kalap. Kutungan tangkai jwan-pian
yang dipegangnya itu segera dilingkarkan kebawah untuk
menutuk jalan darah peh-hui-hiat dikepala orang. Tapi The
Go lebih cepat lagi. Ujung pedangnya ditekuk kebawah dan
tahu2 Kiau To rasakan pahanya sakit, hingga buru2 dia
surut kebelakang. Kiranya pahanya telah ketusuk, sedang
jwan-piannya belum sempat ditutukkan.
"Kiau-heng, mundurlah!" Ceng Bo siangjin dengan
gugup menereaki. Sedangkan Tio Jiang dengan sebatnya
sudah loncat kehadapan Kiau To sembari gerakkan
tangannya. The Go rasakan ada samberan angin yang berat
menyerangnya, tapi dengan tertawa dingin dia menyabet
tangan orang. Tio Jiang cepat tarik tangannya, diganti
dengan sebuah tendangan kaki kanan kearah siku tangan
orang. GAMBAR 68 Dengan pedang pusaka lawan pedang wasiat, Tio Jiang
menggantikan Kiau To menempur The Go dengan senjatanya
dalam pertandingan di Ang-hun-kiong itu.
The Go kaget dan ter-sipu2 mundur selangkah. Diam2
dia merasa heran, mengapa dalam beberapa waktu yang
begitu singkat, saingannya itu mencapai kemajuan yang
begitu pesat. Juga Ceng Bo menjadi girang melihat kemajuan sang
murid itu. Dalam dua jurus tadi, walaupun hanya dengan
tangan kosong tapi Tio Jiang dapat mendesak mundur
lawannya, pedang pusaka yap-kun-kiam dilolos dari
sarungnya. "Jiang-ji, pedang ini untukmu!" serunya sembari
angsurkan pedang itu kepada Tio Jiang, siapa sangatlah
girangnya: "Terima kasih suhu!"
Pedang dibuat mainan sebentar, lalu berseru: "Cian-bin
Long-kun, hati2lah !" Itulah watak ksatrya muda dari Lo-
hu-san. Dia sangat benci kepada The Go, namun tak mau
dia tinggalkan tata kesopanan pertempuran.
"Kita telah saling berjanji, hanya akan adu kepandaian,
bukan adu mulut. Kalau mau menyerang, seranglah ! Apa
itu 'hati2' sih ?" sebaliknya The Go malah mengejek
kejujuran orang.
Tio Jiang tak mau berbantah, begitu maju selangkah, ia
rangkapkan kedua tangannya kemuka dada macam seorang
imam berdoa. Kemudian pedang diturunkan lalu secepat
kilat dikibaskan keatas diimbangi oleh gerak tangan kirinya.
Itulah salah satu jurus dari ilmupedang to-hay-kiam-hwat
yang disebut boan-thian-kok-hay. Sinar pedang yap-kun-
kiam beda sedikit dari Kuan-wi-kiam, yalah sinar hijau itu
mengandung sedikit warna bianglala. Tusukan yang
diarahkan ketenggorokan The Go itu necis dan berwibawa
sekali, karena kedudukan orangnya tegak kokoh. bagaikan
gunung. Sampaipun The Go sendiri, menjadi terkesiap. Sambil
miringkan kepala, dia gerakkan pedangnya untuk membacok bahu lawan.
Luput menusuk, segera Tio Jiang turunkan pedangnya,
trang ..... sepasang pedang saling beradu, deringnya
sedemikian gemerencing bening. Keduanya loncat mundur,
untuk memeriksa senjata masing2. Ternyata sepasang
pedang itu sama ampuh, sama kokohnya. Kini keduanya
saling berhadapan lagi. Anehnya, The Go tidak maju
kemuka, tapi malah mundur. Sedang Tio Jiang tetap tegak
laksana sebuah gunung.
Sekalian yang hadir, sama menahan napas untuk
menantikan pertempuran itu. Sedang Ceng Bo diam2 puas
akan kemajuan muridnya yang ternyata kini sudah dapat
menyingkap intisari dari pelajaran ilmupedang to-hay-kiam-
hwat. Tenang laksana gunung, bergerak laksaria kelinci
lincah. Demikian pokok2 dari ilmupedang itu.
Tak berapa saat kemudian, tiba2 The Go menyerang
maju. Sampai ditengah jalan, pedang baru dimainkan
dengan gencar, sehingga tampaknya orangnya telah bersatu
kedalam lingkaran sinair pedangnya, Namun. Tio Jiang
hanya mengawasi sembari palangkan pedangnya kemuka,
saja, ia masih tegak-tenang. Kira2 beberapa depa jaraknya
dengan Tio Jiang, se-konyong2 The Go hentikan permainan
pedangnya secara mengagumkan sekali.
Tio Jiang terkesiap: Tapi dalam detik itu, The Go sudah
lancarkan serangan Chit-sat-kiam-hwat tiga kali ber-turut2,
menyerang atas, tengah dan bagian bawah dari orang.
Adalah Yan-chiu sigenit itu yang lagi2 tersentak kaget.
Waktu dalam gebrak permulaan tadi, kedua seteru itu
sudah beradu senjata, tahulah ia bahwa mereka bertempur
mati2an. Sudah tentu ia mend yadi kebat kebit juga hatin
ya. Kelima jari tangannya bergiliran digigiti, sedang matanya
terpaku ketengah gelanggang. Kala dilihatnya sdng suko se-
olah2 tak menginsyafi akan maut yang dibawakan serangan
The Go itu, tanpa terasa ia telah menjerit.
Tio Jiang menangkis keatas, tapi secepat itu pedang The
Go sudah beralih menyerang kearah perut, hingga terpaksa
Tio Jiang mundur selangkah. Berbicara tentang nilai kedua
ilmu pedang yang - dimiliki oleh kedua anak muda itu
dapatlah secara ringkas diterangkan begini:
Dalam hal kebagusannya, Chit-san-kiam-hwat tak dapat
menandingi To-hay-kiam-hwat. Tapi Chit-sat-kiam-hwat itu
jauh lebih mudah dipelajari. Apalagi otak The Go memang
cerdas. Dalam 7 atau 8-hari saja dia sudah hampir
seluruhnya mengerti. To-hay-kiam-hwat hanya terdiri dari 7
jurus. Sebenarnya baik dalam ilmu silat maupun
ilmupedang, makin sedikit jurusnya, makin banyaklah
gerak perobahan didalamnya. Dan disitulah letak intisari
yang sukar dipelajari. To-hay-kiam-hwat dengan ke 7
jurusnya itu mudah dipelajari, yang sukar adalah gerak
perobahannya itu. Apakah serangannya itu kosong atau
sesungguhnya, harus disesuaikan dengan keadaan.
Sewaktu masih di Lo-hu-san, Tio Jiang belum pernah
bertemu dengan musuh yang tangguh. Setelah turun
gunung, walaupun pernah mengalami berulang kali
pertempuran, tapi sebagian besar hanya berhadapan dengan
kawanan tentara Ceng yang tak mempunyai kepandaian
berarti. Pertempuran dengan pedang satu lawan satu, baru
pertama kali dengan The Go itu. Sebaliknya The Go sejak
kecil boleh dikata sudah berkecimpung didunia persilatan,
jadi dia sudah banyak pengalaman berkelahi.
Dengan mundurnya Tio Jiang kebelakang itu, The Go
sudah dapat mengambil inisiatip pertempuran. Kuan-wi-
kiam dibolang-balingkan, tahu2 tham-tiong, ji-hiat, ki-kwat,
siang wan dan ki-bun, lima buah jalan darah didada Tio
Jiang telah diancam akan ditutuk. Tio Jiang baru saja dapat
memperbaiki posisi
kakinya, tapi sebelum sempat melancarkan jurus cing-wi-tiam-hay, sudah dirangsang
begitu rupa oleh ceceran senjata The Go tadi, hingga
terpaksa Tio Jiang putar pedang untuk melindungi dadanya.
The Go menggereng dengan geramnya. Rangsangannya
yang selebat hujan dalam jurus ngo-lo-jay-kiau tadi, hanya
dengan perobahan secara mendadak saja Tio Jiang sudah
dapat menutup rapat2 dirinya, Dalam kemarahannya itu,
tak urung dia kagumi jua kepandaian lawan. Tapi dia tak
mau berhenti sampai disitu saja. Begitu ber-gerak2, dia
sudah melejit kebelakang lawan, disitu tanpa berayal Iagi
dia segera menusuk punggung orang. Tio Jiang tak mau
memutar tubuh, karena kalau berbuat begitu tentu kena
didahului musuh. Dia hanya menjerumus kemuka sedikit,
sembari hantamkan pedangnya kebelakang melalui sisi
pinggangnya. Kiranya serangan The Go itu walaupun tampaknya biasa
saja, tapi sebenarnya mempunyai gerak perobahan yang
sukar diduga. Jurus itu disebut "cong hong poan sat"
(berlaku gila pura2 tolol). Kala itu dia berada dibelakang
lawan jadi kedudukannya lebih menguntungkan. Untuk
tabasan kebelakang dari Tio Jiang tadi, sengaja dia
menangkis. Tio Jiang terperanjat dan buru2 kerahkan lwekang
kearah pedangnya, sebaliknya tangkisan, The Go tadi
hanya suatu pancingan aaja, karena selekas itu juga dia
tarik, puIang pedangnya. Oleh karena tak menyangka
musuh berbuat begitu, Tio Jiang tak sempat menarik
lwekangnya, hingga dia terjerembab kebelakang. Jadi
keadaannya adalah begini, bukan The Go yang perlu cape2
menusuk tapi Tio Jiang sendiri yang, hendak menjatuhi
pedang Iawan ! Menilai, kepandaian mereka berdua, sebenarnya kini Tio
Jiang lebih unggul setingkat. Hanya sayang sebelum dia
dapat memperkembangkan permainan pedang To-hay-
kiam-hwat, telah didesak begitu rupa oleh lawan. Sekali ada
bagian tubuh yang kena diancam lawan, berarti seluruh
tubuhnya kena dikuasai ancaman itu. Sekali sebuah
serangan kena ditindas, maka jurus2 selanjutnya pasti akan
dikuasai lawan. Begitulah dalil2 yang berlaku dalam ilmu
silat. Tahu bakal celaka, buru2 Tio Jiang tekankan ujung
kakinya kemuka, lalu ayunkan keras2 tubuhnya kemuka.
Tapi The Go tak mau melepaskan sang korban. Pedangnya
dijujukan kemuka, terpisah hanya dua dim dari punggung
orang. Suatu jarak yang laksana seperti selembar rambut
digantungi dengan ribuan kait bahayanya. Sampai Yan-chiu
yang melihatnya, kucurkan keririgat dingin.
Tio Jiang ayunkan tubuhnya sampai setombak kemuka,
tapi belum sempat dia membalik tubuh, The Go sudah
mengikutinya seperti sesosok bayangan. Pedangnya tetap
mengiring kemana punggung Tio Jiang bergerak. Tio Jiang
tak berdaya membalik badan, juga tak dapat balas
menyerang. Dia rasakan hawa dingin dari pedang kuan-wi-
kiam itu ber-putar2 dipunggung. Tak berani dia berayal,
lalu enjot lagi tubuhnya loncat kemuka, tapi The Go tetap
membayanginya. Begitulah dalam gelanggang itu segera terjadi permainan
berloncatan saling mengudak. Lima kali Tio Jiang
memutari gelanggang itu, namun tetap tak berdaya untuk
menghindari ancaman musuh. Memang jurus cong-hong-
poan-sat yang digunakan The Go itu, lihaynya bukan
kepalang. Seluruh jalan darah berbahaya dipunggung Tio Jiang se-
olah2 tercengkeram dalam ancaman ujung pedangnya.
Asal sedikit berayal, habislah riwayat Tio Jiang.
Diantara orang2 yang menyaksikan pertempuran itu,
Yan-chiulah yang paling gelisah sendiri. Diam2 ia sudah
siapkan bandringannya dan terus hendak loncat ketengah
gelanggang, tapi dicegah oleh suhunya. Walaupun menurut
tapi bibir sigenit menyeringai geram. Dalam anggapannya
terhadap orang macam The Go, mengapa harus berlaku
sungkan menetapi tata-susila kaum persilatan. Dia sih
belum cukup menyelami peribadi suhunya. Ceng Bo
siangjin memang senantiasa berpegang pada garis
kelurusan. Jangan sampai dia menyalahi orang, sebaliknya
dia lebih suka memaafkan orang. Inipun berlaku terhadap
seorang yang tak kenal kesopanan persilatan macam The
Go. Ketiga orang yang berdiri disebelah sana itu, adalah
murid2 Ang Hwat cinjin yaitu ketiga Ang-hun su-mo (4
Iblis dari Ang-hun-kiong), Toa-mo Ciang Tay-bing, Sam-
mo Long Tek-san dan Su-mo Im thian-kui. Melihat
bagaimana keangkeran The Go sewaktu memainkan
ilmupedang Chit-sat-kiam-hwat itu, bukannya mereka
bertiga menjadi girang tapi sebaliknya malah mendongkol.
Toa-mo Ciang Tay-bing paling kentara perasaannya, karena
mimik wajahnya mengunjuk kemarahan besar. Tapi oleh
karena tak mengetahui persoalannya, maka rombongan
fihak Ceng Bo hanya menganggap mereka bertiga itu
separtai dengan The Go, jadi tentunya turut perihatin akan
kemenangan The Go.
Beberapa kali, gagal untuk melepaskan diri itu, tiba2 Tio
Jiang memaki dirinya sendiri yang sudah berlaku begitu
goblok itu. Mengapa dia hanya terus menerus loncat
kemuka saja...... ya...., mengapa tak mau loncat kesamping"
Bukantah dia mengerti juga akan ilmusilat hong-cu-may-ciu
(sigila menjual arak), itu ilmu pusaaka dari kaum Ang-hun-
kiong " Mengapa dia tak menggunakannya " Secepat mendapat
keputusan, setelah loncat lagi sekali kemuka, dia terus
miringkan tubuhnya kesamping, dari situ lalu buang
dirinya. kemuka. Begitu tangannya kiri dibuat menekan
tanah, sepasang kakinya bergerak dalam ilmu tendangan
wan-yang-lian-thui, menjejak kaki The Go. The Go kaget
juga, lalu buru2 papaskan pedangnya kebawah untuk
menyambut tendangan orang, tapi kali Ini dia tertipu.
Tendangan Tio Jiang tadi hanya ancaman kosong, begitu
dilihatnya pedang musuh menurun, dia tekankan tangannya
kiri. keras2 pada tanah dan sepasang kakinya segera
melayang keatas lalu berjumpalitan kebelakang, terus
berdiri tegak berhadapan muka dengan lawan.
Disebelah sana terdengarlah siulan kagum dari ketiga
sam-mo Ang-hun-kiong, disebelah sini terdengar helaan
napas longgar dari rombongan Ceng Bo, bahkan Yan-chiu
malah bertepuk tangan seraya berseru memuji kepandaian
yang diunjuk oleh sukonya itu.
Tapi Tio Jiang tak sempat menghiraukan segala sorak


Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pujian itu. Begitu terlepas dari ancaman, begitu pedangnya
sudah bergerak dalam jurus "Tio Ik cu hay", dan sebelum
lawan menangkis dia sudah robah gerakannya, dalam jurus
boan-thian-kok-hay. Sekali gerak, dua buah serangan susul
menyusul, sehingga dari menyerang kini The Go ber-balik
diserang tanpa mempunyai kesempatan untuk balas
menyerang lagi. Tio Jiang tak mau memberi hati. Ceng-wi-
tiam-hay dan Ho-pak-kuan-hay,
susul menyusul dirangsangkan pada musuh.
Keistimewaan daripada, ilmupedang To-hay-kiam-hwat
yalah jurus yang menyusul selalu lebih hebat dari, jurus
yang dimukanya. Sempat memperkembangkan permainan
ilmupedang ajaran sang suhu, Tio Jiang susuli lagi dengan
jurus hay-siang-tiau-go, ujung pedang membacok kaki
lawan tapi se-konyong2 dihentikan. The Go mengira
terbuka lubang kesempatan, kuan-wi-kiam hendak dijungkatkan ke-atas. Tapi ternyata berhentinya gerak Tio
Jiang tadi hanya dalam sekejapan mata saja. Belum The Go
sempat menggerakkah pedangnya, Tio Jiang sudah
menusuk tenggorokannya. Dalam kagetnya, dengan gugup
The Go mendak kebawah, srat ......yap-kun-kiam Tio Jiang
telah menusuk kain kepala The Go hingga berlubang besar.
Tio Jiang jungkatkan ujung pedangnya keatas hingga kain
kepala lawan terjumput lepas, lalu lanjutkan dengan jurus
hay-li-long-huan. Disinilah Tio Jiang membuat blunder
(kesalahan besar). Dengan jurus hay-li-long-huan yang
sedianya hendak dipapaskan kerusuk lawan itu, terpaksa
Tio Jiang harus berhenti setengah jalan, karena pedangnya
harus memakan sedikit waktu untuk melingkar turun, The
Go sudah loncat kebelakang untuk menghindar. Andaikata
Tio Jiang tadi gunakan jurus hay-lwe-sip-ciu untuk
memotong turun, dapat dipastikan The Go akan sudah
terbelah kepalanya atau bahunya. Walaupun mengucurkan
keringat dingin, namun The Go dapat lolos dari maut.
Melihat musuh loncat kebelakang, Tio Jiang tak mau
mengejar. Lagi2 jago muda dari Lo-hu-san itu unjuk sifat
ksatryaannya. Lupa sudah dia bahwa tadi musuh telah
berlaku begitu ganas, meng-ubar2 punggungnya. "Biarkan
dia mengambil napas, merebut kemenangan secara jujur
adalah lebih ksatrya," demikian pikirnya.
Sebaliknya The Go girang karena musuh tak mengejar.
Tangannya meraba kebelakang lehernya dan mencabut
sebatang bambu kira2 satu meter panjangnya. Kalau Tio
Jiang tak mengerti gerak gerik orang, adalah Yan-chiu dan
Kui-ing-cu dengan segera dapat mengetahuinya.
"Ceng-ong-sin!" teriak sigenit. Tio Jiang terkesiap, heran
dia mengapa ceng-ong-sin sampai jatuh ketangan The Go.
"Siaoko, hebat nian ilmupedangmu itu, mari maju lagi
lah!" seru The Go dengan mengejek riang.
"Baik," sahut Tio Jiang. Tapi baru mulutnya mengucap
begitu, tiba2 terdengar suara angin men-deru2, menyusul
ada 3 sosok tubuh lewat ditempat situ. terus masuk kedalam
gereja. Yang dimuka sendiri mengenakan pakaian jubah
imam berwarna merah, gerakannya pesat laksana sebuah
bola api ditiup angin. Dua orang yang mengikuti, walaupun
tak selihay yang dimuka tadi, tapi juga tak lemah ilmunya.
Mereka berdua mengenakan pakaian yang aneh coraknya,
bukan jenis paderi bukan macam imam.
Tio Jiang berpaling mengawasi kearah suhunya dan Kui-
ing-cu. Tampak kedua tokoh itu berkerut kening, se-olah2
ada peristiwa genting. Sebaliknya ketika mengawasi
kemuka, dilihatnya The Go tertawa ber-seri2. Tak berapa
lama kemudian, kembali ada 3 orang yang naik kepuncak
situ. Tio Jiang kenal mereka sebagai sam-tianglo dari gereja
Ci-hun-si di Lam-kun-san, yalah To Ceng, To Kong dan To
Bu hweshio. Ketiga hweshio itu deliki mata kearah Ceng Bo
dan Ko Thay. Rupanya mereka masih mendendam akan
peristiwa ditengah sungai itu. Kedatangan ketiga hweshio
itu segera disambut oleh Ang-hun sam-mo yang mengantar
mereka masuk kedalam gereja.
Tak berapa lama, tampak Toa-mo Ciang Tay-bing keluar
lagi dan berkata kepada The Go: "Go-tit, sucou titahkan
supaya pertempuran ini dihentikan dahulu, karena dia
orang tua ada omongan penting padamu !"
The Go mengiakan, sembari masukkan bumbung bambu
kedalam leher baju, dia memberi hormat kepada
rombongan tetamu seraya berkata: "Harap jangan pergi
dulu, sebentar lagi siaoya akan datang lagi untuk
menyelesaikan pertempuran ini!"
Tio Jiang terlalu jujur untuk balas mengejek. Sedangkan
Ceng Bo dan Ko Thay, tetap mau pegang gengsinya, jadi
mereka pun tak mau mengurusi soal kecil itu, dan
melainkan hanya tertawa dingin saja. Hanya si Bongkok Ih
Liok dan Kui-ing-cu yang tak mau tinggal diam untuk
menyemprot The Go, serunya: "Kami tak pergi, tapi
kaupun jangan ngacir!"
Dan tanpa ajak2an lebih dahulu, kedua tokoh kukway
itu segera enjot tubuhnya loncat kemuka. Yang satu dari
sebelah kiri dan yang lain dari sebelah kanan, dan sama
ulurkan tangan untuk mencengkeram The Go. The Go
pernah rasakan tangan si Bongkok, maka dia sesali
mulutnya tadi yang sudah begitu lancang, hingga sampai
menimbulkan kemarahan kedua tokoh lihay itu. Sekalipun
Ang Hwat cinjin nanti keluar, dia tentu akan sudah disiksa
oleh kedua momok itu. Maka seperti diuber setan, dia
bolang balingkan pedangnya, lari tunggang langgang
kedalam gereja. Tiba diambang pintu, didengarnya dari
arah belakang ada, suara orang ketawa ter-bahak2. Ketika
dia beranikan diri berpaling, mendongkolnya bukan alang
kepalang. Kiranya cengkeram Kui-ing-cu dan si Bongkok
tadi, hanya ancaman kosong belaka. Nyatanya kini mereka
masih berdiri tegak ditempat masing2 sembari tekan
perutnya karena geli melihat The Go lari ter-kencing2.
Lebih2 sigenit Yan-chiu. Saking gelinya tubuh nona itu
sampai ter-huyung2 maju mundur. Sembari menekan perut,
ia berseru mengejek: "Cian-bin Long-kun, hebat sekali ilmu
mengentengi tubuhmu sekarang ini ya!"
The Go meringis geram. "Awas, nanti tentu kuhajar kau
setengah mampus," pikirnya sembari rnelangkah masuk
kedalam. Sebaliknya dengan masih tertawa, Yan-chiu
kedengaran mengomeli sang suko: "Suko, mengapa
terang2an tadi kau mempunyai kesempatan untuk
menghajarnya, tapi membiarkan dia lari begitu saja ?"
Belum Tio Jiang menyahut, Kui-ing-cu sudah mendahului: "Siaoko sih orangnya jujur, tidak seperti kau
budak perempuan yang segenit itu, segala apa tiada takut !"
Yan-chiu mengunjukkan "muka setan" kepada tokoh
aneh itu, siapa hanya menyeringai saja, karena merasa
diapun serasi perangainya dengan anak perempuan itu.
"Persoalan hari ini, berkembang begini jauh, tidak
melulu berkisar pada diri The Go seorang. Bek-heng dan
Kui-heng serta Ko enghiong karena menolong Sik Lo-sam,
kini masih belum pulih dari kehilangan tenaga. Tay Siang
Siansu belum dapat diketemukan, sedang kaki tangan
pemerintah Ceng sudah berkumpul disini. Rasanya kita
bakal menghadapi kesukaran besar nanti!" akhirnya si
Bongkok berkata.
Tio Jiang seperti diguyur air dingin waktu, mendengar
ucapan itu. Bukantah Li Seng Tong sudah berpaling haluan
melawan pemerintah Ceng, hingga didaerah Kwitang sini
tiada terdapat pengaruh Ceng, lagi, tapi mengapa masih ada
kaki tangan mereka " Sungguh Tio Jiang tak habis mengerti
persoalannya. Adalah Kiau To yang ternyata tak terluka
berat itu, segera menyatakan pendapatnya: "Bek-heng, turut
pendapatku, lebih baik aku turun gunung mencari suhuku.
Kalau tak berhasil menjumpainya, aku hendak menuju ke
Kwiciu untuk meminta agar Li Seng Tong suka
mengirimkan pasukan kemari!"
(Oo-dwkz-TAH-oO)
BAGIAN 37 : PERJAMUAN DARAH
"Ah, Kiau-heng," kedengaran Ceng Bo menghela napas,
"sebenarnya Li Seng Tong bersungguh hati tinggalkan Ceng
untuk mengabdi pada Beng. Tapi kerajaan Beng sudah tak
mau mempercayainya dan siang2 telah mengirimnya
kedaerah utara untuk menghadapi pasukan Ceng. Percuma
saja mencarinya di Kwiciu!"
Saking gusarnya, Kiau To sampai tak dapat ber-kata2.
Sebaliknya si Bongkok nyatakan keheranannya: "Ah,
makanya pemerintah Ceng gerakkan kawanan kaki
tangannya secara besar2an untuk menumpas kita beberapa
gelintir manusia ini. Kiranya mereka tak memandang mata
pada kaisar Ing-lek itu !"
"Sudah tentu tak terbatas pada kita beberapa orang ini
saja. Para pahlawan dari segala aliran didunia persilatan,
sama menaruh sympati dan menunjang Ki dan Kiau-heng
untuk membentuk Thian-te-hui lagi: Maka dalam beberapa
hari lagi, kawanan kaki tangan Ceng itu tentu akan tiba
kemari. Ah, sayang Ang Hwat cinjin itu. Disebabkan
karena turuti hawa nafsu ingin menang dalam urusan The
Go ini, maka dia telah diperalat oleh kaki tangan
pemerintah Ceng itu!" kata Ceng Bo.
Ki Ce-tiong yang sedari tadi diam saja, kini turut
mengeluarkan suara: "Bek-heng, turut pendapatku yang
cupat, kita lebih baik tinggalkan tempat ini saja dulu. Kelak
kalau kita sudah berhasil menghimpun kekuatan, kita
datang kesini lagi !"
"Ki lotoa, dengan-ngacir secara begitu, entah dikemudian
hari apa kita masih ada muka bertemu orang lagi ?" si
Bongkok menyanggah. Ki Ce-tiong menghela napas, tak
mau berbantah lagi. Kini baru tahulah Tio Jiang sebab2nya
mengapa tadi wajah suhu dan para cianpwe itu sama
mengunjuk kegelisahan. Tapi dia masih tetap tak mengerti
mengapa harus jerikan kekuatan fihak Ang-hun-kiong yang
masih mendapat tambahan seorang dua tenaga bantuan itu"
Maka dia beranikan diri bertanya: "Siapakah dua kaki
tangan yang dikirim kemari oleh pemerintah Ceng itu ?"
"Itulah yang tadi masuk kedalam gereja bersama Ang
Hwat cinjin! Kabarnya mereka berdua adalah benggolan
besar dari daerah utara, sepasang suami isteri. Kalau
bertempur mereka merupakan pasangan tunggal, mahir
dalam ilmu lwekang jit-gwat-im-yang-kang, saktinya bukan
main" Baru Kui-ing-cu menerangkan sampai disitu, Ko Thay
sudah menyela: "Apakah bukan yang digelari "Swat Bwe
Hwat Siau (hantu salju siluman api ) berdua itu ?"
"Benar, apakah Ko-heng pernah juga mendengar nama
mereka ?" tanya Kui-ing-cu.
Ko Thay mengertak gigi, ujarnya: "Susiok-ku ketika di
Hopak telah binasa ditangan mereka. Jadi aku mempunyai
dendam kaum-perguruan pada mereka !"
Ketika rombongan orang gagah itu sedang berunding,
Toa-mo Ciang Tay-bing kembali keluar dan mempersilahkan tetamunya: "Suhu mengundang para
tetamu sekalian supaya masuk kedalam. Oleh karena
kebetulan saat ini kami sedang kedatangan tetamu lainnya,
terpaksa pertandingan dipertangguhkan sampai besok.
Apabila sekalian tak memandang rendah,
sudilah beristirahat kedalam."
"Jangan terkena tipu muslihat!" cepat Kui-ing-cu
menukas. Sudah tentu sekalian orang sama terkesiap dan
menanyakan keterangan. Kui-ing-cu menerangkan lebih
lanjut: "Konon kabarnya didalam Ang-hun-kiong itu banyak
sekali dipasangi alat2 jebakan. Boleh dikata setiap ruangan,
merupakan semacam barisan "seng si hui beng tin" (barisan
mati hidup gelap-terang), yang lihaynya bukan kepalang.
Sekali masuk kita tentu terlibat dalam kesukaran !".
Yan-chiu ketarik, sedangkan Kiau To segera berkata:
"Kalau tak memasuki sarang harimau, bagaimana dapat
memperolen anak harimau?"
"Kiau-loji, lakukanlah rencanamu, tadi. Kalau dapat
menemukan Tay Siang Siansu itulah paling baik. Kalau
tidak, minta pada Li Seng Tong supaya mengirim tentara
kemari, juga baik!" kata Kui-ing cu.
Ceng Bo siangjinpun menyetujui, maka Kiau Topun
mengiakan. "Apakah kalian memang tak suka masuk kedalam ?"
rupanya Toa-mo Ciang Tay-bing tak sabar lagi.
Kui-ing-cu mendongkol dan menyemprotnya: "Siaocu
(anak kecil), kau mau jual lagak " Kami masih hendak
tunggu beberapa sahabat yang belum datang!"
Ciang Ta-bing mendongok tertawa keras. Dia sudah
berusia 50-an tahun. Wajahnya keren, didalam Ang-hun-
kiong selain Ang Hwat cinjin sendiri, dialah orang nomor
dua. Nada ketawanya tadi, mengunjuk bahwa ilmunya cukup
tinggi. Habis ketawa, dia berkata: "Oh, kiranya hanya-
hohan palsu, enghiong gadungan. Sampai ditempat ini,
masuk saja tidak berani, ha...., ha...., ha...., orang bisa mati


Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

karena geli!"
Ejekan itu keliwat takeran. Sekalipun golongan pou-sat
(dewa) tak nanti tahan mendengar itu. Sekali enjot kakinya,
Ko Thay melayang kemuka, berbareng itu Kui-ing-cu dan si
Bongkokpun dengan gunakan ilmu mengentengi tubuh,
tahu2 sudah meluncur maju. Tio Jiang dan Yan-chiu juga
tak mau ketinggalan menyusul. Hanyalah Ceng Bo dan Ki
Ce Tiong yang melangkah masuk kedalam gereja dengan
ayunan kakinya. Sementara Mau To, begitu tadi telah
mendapat persetujuan orang banyak, sudah turun gunung.
Berkat ejekan tawa Ciang Tay-bing, ketujuh orang gagah
itu menobros masuk kedalam halaman gereja. Tekad
mereka, sekalipun memasuki sarang harimau, kubangan
naga, mereka tetap tak gentar. Setiba diambang pintu,
mereka berhenti sejenak kemudian terus hendak melangkah
masuk. Se-konyong2 dari arah belakang terdengar sebuah
lengking makian yang nyaring sekali : "Minggir ! Mengapa
berkerumun didepan pintu ?"
Ceng Bo lah yang terlebih dahulu berpaling kebelakang
dan : "Hong-moay, kau juga turut kemari ?" katanya dengan
kaget demi dilihatnya sang isterilah yang berseru itu. Tapi
rupanya Kang Siang Yan tak mau menghiraukannya.
Selebar mukanya penuh dengan hawa kemurkaan.
Semua orang gagah tahu betapa eksentrik adat wanita
aneh itu. Mereka tak berani buka suara menanyakan.
Sepasang biji mata Kiang Siang Yan menyoroti ke-orang2
itu, lalu tiba2 menuding kearah Ciang Tay-bing, serunya:
"Apakah kau ini orang Ang-hun-kiong" Dimana Ang Hwat
loto dan The Go?"
Ciang Tay-bing tak kenal siapa Kiang Siang Yan itu.
Datang2 terus mendamprat begitu kasar menyebut
Suhunya sebagai "Ang Hwat loto (iman tua bangka)" sudah
tentu dia sangat marah. Dia juga seorang yang mabuk
kehormatan, kecuali terhadap Ang Hwat cinjin, tiada lain
orang yang diindahkan.
"Perempuan busuk, kau ngoceh......." belum ucapan itu
diselesaikan dengan kata "apa", Kiang Siang Yan sudah
ayunkan tangannya, tar....... tahu2 Ciang Tay-bing rasakan
selebar wajahnya geriming2 panas sekali.
Itu saja Kiang Siang Yan hanya ringan2 saja menampar,
tidak gunakan pukulan thay-im-ciang. Sekalipun begitu,
Ciang Tay-bing, sudah tak tahan, separoh mukanya degap,
mulutnya serasa mengunyah sesuatu benda dan ketika
dimuntahkan, kiranya dua buah gigi mukanya, telah copot !
Toa-mo atau Iblis kesatu dari Ang-hun-kiong itu ganas
dan kejam. Menderita kesakitan semacam itu, sudah tentu
dia seperti kerangsokan setan. Tangan diangkat akan
diayun, tiba2 terdengar seruan The Go: "Supeh, tahan dulu,
orang sendiri !" Sembari berseru, The Go ber-lari2
menghampiri Kiang Siang Yan dan menjura dihadapannya
secara khidmat sekali seraya, berkata: "Gak-bo (mertua
perempuan) yang mulia, siao-say (menantu menghaturkan
sembah !" Sehabis melakukan upacara itu, dengan serta The Go
memegang tangan Bek Lian, dengan ter-iba2 mencumbu
rayu, berkatalah dia : "Lian-moay, oh kau pun datang. Aku
tahu bahwa gakbo tentu dapat menolongmu dari sarang
macan, sungguh hampir mati aku memikirkan dirimu !"
Bagaikan tersapu angin, awan "kesangsian yang
merundung hati Bek Lian, seketika lenyap. Lupa sudah
bagaimana ia mengalami pederitaan selama pergi dari Thiat
nia (tempat kediaman suku Thiat-theng-biau) itu, tanpa
menghiraukan sekian banyak orang yang hadir disitu,
pecahlah tangisnya ketika ia lari jatuhkan diri kedalam
pelukan The Go.
"Lian-ji, bukankah kau mengatakan kalau dia itu kau
curigai ?" tanya Kang Siang Yan. Tapi bagaikan musafir di
padang pasir yang dirangsang dahaga, ia telah dapat
menemukan "sumber air" didalam rayuan si Cian-bin Long-
kun. Hilang lenyap semua kesangsian terhadap sang
kekasih yang "bergas" itu.
"Ma, itulah karena aku dipengaruhi oleh orang2 yang
membencinya. Nyata2 engkoh Go bukan orang semacam
begitu !" kata Bek Lian.
Diam2 The Go bercekat dalam hati. Dia cukup tahu,
kunci "kemenangannya", terletak pada Bek Lian, maka
dengan membawa sikap terkejut, dia bertanya: "Lian-moay,
kau sangsikan aku dalam soal apa " Siapakah yang
'memancing di-air keruh' dalam peristiwa yang kita, alami
itu ?" "Ada orang mengatakan, kau telah tukarkan Lian-ji
dengan pedang kuan-wi-kiam pada suku Thiat-theng-biau
digunung Sip-ban-tay-ban, benarkah itu ?" tanya Kiang
Siang Yan. Jantung The Go bergoncang keras, tapi
wajahnya tetap membawa ketenangan yang mengagumkan.
Dengan tertawa gelak2, dia menjawab lantang2: "Hatiku
terhadap Lian-ji, hanya Tuhan yang tahu. Kalau ada sedikit
perasaanku yang nyeleweng, biarlah aku, binasa hancur
lebur didasar lembah yang dalam dengan tak menginjak
bumi!" Mendengar orang telah mengucapkan sumpah yang
sedemikian beratnya, Kiang-Siang Yan percaya. Mana dia
tahu akan kelicinan sang menantu yang manis itu " Jatuh
binasa didasar lembah tanpa menginjak bumi, sungguh
mustahil akan terjadi ! Tapi anehnya semua orang yang
hadir disitu, tiada yang dapat memikir dalam2 akan
"sumpah istimewa" dari The Go itu. Kui-ing-cu, Tio Jiang
dan Yari-chiu saking gusarnya menampak ketengikan The
Go, sampai tak dapat mengucap apa2. Lebih2 Ceng Bo
siangjin, wajahnya berobah keren. Dengan menerima
hormat-sembah dari The Go tadi berarti secara de facto
isterinya menerima The Go sebagai menantu, Ko Thaypun
diam. The Go cukup menginsyafi kalau Kiang Siang Yan
terlalu lama dibiarkan berkumpul dengan fihak lawan, tentu
terjadi sesuatu yang tak menguntungkan dirinya. "Gak-bo,
siaosay telah menyimpan kuan-wi-kiam itu yang hendak
kuserahkan pada gak-bo. Sucou sedang menerima dua
orang tetamu yang ternama, silahkan gak-bo beristirahat
didalam, biarlah siao-say mendapat kesempatan untuk
melayani gak- bo !"
Sejak perangai Kiang Siang Yan berobah aneh, dia
mudah diselomoti orang. Disuguhi permainan dari seorang
aktor besar macam The Go, dia menjadi terpikat. Ia masih
mendendam untuk hantaman sam-ciat-kun dari Sik Lo-sam
yang mengenai kakinya itu, hingga untuk luka tersebut ia
harus beristirahat sampai beberapa hari. Tampak sang
suami berada dengan orang yang dibencinya itu (Kui-ing-
cu), ia menjadi kurang senang. Tanpa menghiraukan
kecintaan suami isteri lagi, Kiang Siang Yan ikut mengikuti
The Go masuk kedalam. Dengan adanya peristiwa itu,
fihak Ceng Bo siangjin dan kawan2 bertambah berat
bebannya. Sebenarnya Ciang Tay-bing mendongkol sekali terhadap
The Go yang sudah tak memandang mata terhadap dirinya
itu. Tapi dia tak berani melanggar perentah Ang Hwat
cinjin, lalu ajak ketujuh tetamunya itu kedalam sebuah
rumah yang terletak disamping. "Disinilah tempat ruangan
para tetamu yang terhormat, sebaiknya jangan melarikan
diri!" "Lekas bikin rata mukamu yang benjal-benjul itu, jangan
urusi yang tidak2!" sahut Kui-ing-cu. Sudah tentu Ciang
Tay-bing segera angkat kaki dengan ke-malu2an. Tadi Yan-
chiu mendengarkan keterangan Kui-ing-cu bahwa gereja
Ang-hun-kiong itu diatur menurut barisan seng-si hui-beng-
tin yang lihay, maka sewaktu masuk, Yan-chiu telah
memperhatikan dengan seksama keadaan dalam gereja ini.
la masih ingat akan keterangan kedua to-thong Kuan hong
dan Wan Gwat bahwa setelah tiba pada tiang kuning dan
membiluk tentu akan sampai keruangan besar.
Yan-chiu mendengarkan keterangan Kul-ing-cu bahwa
gereja Ang-hun-kiong itu diatur menurut barisan seng-si
hui-beng-tin yang lihay, maka sewaktu masuk, Yan-chiu
telah memperhatikan dengan seksama keadaan dalam
gereja ltu. Ia masih ingat akan keterangan kedua to-thong
Kuan Hong dan Wan Gwat bahwa setelah tiba pada tiang
kuningan dan membiluk tentu akan sampai keruangan
besar. Tapi ia segera menjadi terkejut kerna diantara ke 10 tiang
digereja situ, tidak ada sebuahpun yang terbuat dari pada
kuningan. Kesemuanya bercat merah. Diam2 ia menarik
kesimpulan, jangan2 fihak Ang-hun-kiong telah mengetahui
perbuatan kedua to-thong itu dan lalu mencat kedua tiang
kuningan itu dengan warna merah juga. Jadi percuma
sajalah informasi (keterangan) yang diperolehnya dulu itu.
Rumah atau pavilyun untuk tetamu itu, terdiri dart 3
ruangan, perabotannya serba bagus. Meja dan kursi terbuat
daripada kayu puhun li. Tak antara berapa lama, datanglah
seorang to-thong kecil untuk melayani tetamu2 itu. Yan-
chiu buru2 mencekal to-thong itu dan menanyainya:
"Kuang Hong dan Wan Gwat berdua itu, sekarang berada
dimana?" Si to-thong tak menyahut. Orang2 sama heran dan
menanyakan siapakah Kuan Hong dan Wan Gwat itu:
"Tempo aku masuk kegereja ini, aku telah berjumpa dengan
kedua to thong itu!" sahut Yan-chiu.
Tio Jiang terkejut dan buru2 menepis: "Jadi kau pernah
datang kemari?"
"Ya," sahut Yan-chiu Ke-bangga2an, "seorang diri!" Ia
lalu menceritakan pengalamannya tempo hari. Dan sejak
lobs dari gereja itu, ia tak berani bikin onar lagi. Tak berapa
hari kemudian, Ceng Bo dan Ko Thay tiba, kemudian
tanggal 5 bulan 5 sore, baru Kisau To, Thaysan sin-tho Ih
Liok dan Ki Ce-tiong muncul. Kala itu Ki Ce-tiong
bertanya pada Ceng Bo apakah Siangjin itu mengetahui
bahwa kawanan kaki tangan pemerintah Ceng telah datang
digereja Ang-hun-kiong untuk menggabungkan diri dengan
Ang Hwat cinjin dan sam-tianglo dari Ci-hun-si.
Ceng Bo yang kesamplokan dengan ketiga tianglo Cihun-
si, disungai tempo hari, percayan akan berita yang dibawa
oleh Ki Ce-tiong itu. Mengingat bahwa didalam flhaknya,
dia sendiri, Kui-ing-cu dan Ko Thay, telah kehilangan
banak tenaga lwekang karena menolong Sik Lo-sam, maka
dia kemukakan hendaknya dalam pertempuran besok harus
berlaku hati2. Setelah hari pertempuran Itu, akan ada lagi
kaum hohan sahabat persilatan yang menggabungkan diri.
Mereka adalah pejuang2 yang anti penjajah Ceng. Karena
inilah, maka fihak pemerintah Ceng telah mengirim
benggolan2 kaki tangan untuk menumpas kawanan orang
gagah anti penjajah itu.
Begitulah keesokan harinya, mereka bertujuh naik ke Ko-
to-san. Tiba digereja Ang-hun-kiong, matahari baru saja
naik. Dimuka pintu gereja itu tampak ada 4 orang sudah
menunggu. Yang dimuka sendiri, ternyata adalah The Go.
Mata sekalian orang menjadi merah melihat penghianat
licin itu. Sekali enjot, si Bongkok Thaysan sin-tho sudah
melesat maju seraya menghantam. The Go menghindar
kesamping, sedang salah seorang dari 3 kawannya yang
berada dibelakangnya, yakni yang bertubuh gemuk pendek,
terus akanmaju:
"Ih-heng, tahan dulu!" Ceng Bo Siangjin yang tak ingin
melihat kegaduhan buru2 mencegahnya. Mendengar Itu
The Go tertawa dingin, serunya mengejek: "Ceng Bo
Siangjin ternyata masih menjunjung tatasusila persilatan,
tak seperti itu bangsa bebodoran dunia persilatan!"
Ucapan itu telah membuat si Bongkok mengeluarkan
hawa uap di-umbun2 kepalanya, tapi Kiau To sudah
menghadang dimukanya. "Ih-heng, jangan turuti hawa
amarah. Ang Hwat cinjin masih belum keluar. Mereka
diperkuat oleh kawanan kaki tangan pemerintah Ceng.
Kalau sekarang belum2 sudah kena dipropokasi, kita akan
rugi!" katanya. Si Bongkok terpaksa tahan hatinya dan
melainkan deliki matanya kepada The Go. Kemaren malam
The Go telah diberitahukan oleh sucounya tentang
kekuatan masing2 pihak, jadi dia tahu kalau fihak Ang-hun-
kiong akan mendapat tambahan dua tenaga yang tangguh.
Sekalipun dia belum mengetahui akan kelemahan Ceng Bo
Siangjin, Kui-ing-cu dan Ko Thay bertiga disebabkan
menolong Sik Lo-sam itu, namun dia sudah yakin
kemenangan tentu berada difihaknya. Jadi dia kini umbar
kecongkakannya. "Kalau Thaysan sin-tho masih penasaran,
baiklah kita berdua main2 beberapa juruse dulu!" dia
tantang si Bongkok.
Sampat disini, seluruh anggauta rombongan Ceng Bo tak
dapat mengendalikan kesabarannya lagi. Walaupun dalam
rombongannya, Ceng Bo bukan terhitung yang paling lihay
sendiri, namun dia adalah seorang lelaki jantan yang penuh
dengan sifat2 kesatryaan, jadi dengan sendirinya se-olah2
dia itu menjadi pemimpin rombongannya. Maju selangkah
dia membentak dengan bengis: "The Go, kau mau berlagak
ya?" Nada seruan Siangjin itu sangat berwihawa. Tapi kali ini
ibarat seekor ikan dalam air, The Go tak jeri berulang kali
dia menerlma pil pahit dan bahkan dua. kali hampir
dibunuh oleh siangjin itu, maka kali ini dia hendak
tumpahkan dendamnya. Dengan mendongak tertawa ter-
bahak2 dia menuding kearah ketiga orang yang berada
dibelakang seraya berseru: "Ceng Bo Siangjin, sam-wi
(bertiga orang) ini adalah Susiok dan supehku, orang
menggelari tiga serangkai dari Hong-hun su-mo. Sucou
kebenaran masih mempunyai urusan, jadi belum dapat
keluar. Mau berkelahi sekarang apa masih tunggu bantuan
lagi, bilanglah yang tegas. Atau kalau mau adu suara besar
pun boleh!"
Wajah Ceng Bo berobah keren, tapi dia tetap
mempertahankan gengsitnya. Dihadapan Hong-hun su-mo
itu, tak mau dia adu lidah dengan The Go. Maka sembari
memberi salam kepada ketiga imam Ang-hun-kiong itu dia
betrkata: "Lama sudah aku mendengar nama besar dari su-


Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mo. Leng-su (gurumu) sedang mempunyai urusan lain
belum dapat keluar, sehingga memberi kesempatan pada
bangsa siaojin (orang rendah) untuk mengubar kecangkakan, sungguh harus disayangkan karena hal itu
merugikan kebesaran nama Ang-hun-kiong!"
Dalam kebatinan mereka bertigapun tak puas dengan
The Go. Tapi oleh karena sutit (keponakan murid). itu telah
dlmanjakan oleh Ang Hwat cinjin dengan pelajaran yang
sakti, jadi mereka tak betani berbuat apa2.
Mendengar itu yapan Ceng Bo Siangjin itu, tanpa merasa
mereka telah nyatakan suara hatinya. "Ya, benar!" tapi baru
saja mengucap begitu mereka sudah insyaf akan kesalahan
lidahnya dan buru2 menyusuli kata2: "suhu kami sedang
turun gunung untuk menyambut kedatangan dua orang
sehabat, tapi hari ini akan sudah pulang!"
Mendengar jawaban pertama dari ketiga supehnya itu,
The Go murka sekali. Namun lahirnya, dia tak mengunjuk
Perubahan air muka. Ceng Bo anggap pertandingan boleh
segera dilangsungkan, maka dia segera memberi isyarat
kepada Kiau To, siapa tanpa berayal lagi segera tampil
kemuka dan berseru: "Pertempuran hari ini, kaulah yang
menantangnya. Hendaknya jangaen kau melarikan diri
nanti" Habis berkata Itu, Kiau To kibaskan jwan-pian lurus
kemuka. Melangkah beberapa tindak kesamping, dia
berputar tubuh sembari ayunkan jwan-piannya keatas itulah
jurus pembukaan dari ilmu ruyung Liok-kin-pian-hwat.
Gayanya memang lain dari yang lain. Sebaliknya The Go
malah tertawa keras dan berseru: "Empat penjuru dari
Anghun-kiong sini tiada dapat menyembunyikan orang,
berlainan dengan puncak Giok-li-nia di Lo-hu-san.
Hati2lah, Kiau-loji!"
Dengan ucapan itu The Go hendak menyindir Iawan,
yang setengah tahun yang lalu telah berhasil menjatuhkan
dirinya (The Go) dl Lo-hu-san berkat adanya bantuan orang
orang lain (Tio Jiang). Meskipun Kiau To murka, tapi dia
cukup tahu bahwa pertempuran hari itu jiwa pertaruhannya. Siapa yang kena dibikin panas, tenaga
murninya akan buyar, akibatnya tentu akan kalah. Oleh
karena itu, tak mau adu mulut lagi. Dengan kerahkan
seluruh tenaganya, dia beberapa kali mengibaskan jwan-
piannya. The Go tenang2 saja sikapnya. Maju selangkah,
tangannya mencabut kearah punggung dan sring ..........
bagaikan ringkikan naga, sebuah pedang pusaka yang
memancarkan sinar ke-hijauaan tampak berada didalam
tangannya. Munculnya senjata itu, telah membuat Ceng Bo
siangjin terkeslap melongo. Juga Kian Topun bercekat.
Rupanya The Go tahu akan perasaan fihak lawan, maka
dengan tertawa dingin dia segera ber-putar2 dua kali
lingkaran. Sedang Kiau To memakukan pandangan
matanya kearah gerak gerik lawan.
Adalah pada saast itulah tadi, Tio Jiang tiba disitu.
Ketiga sosok orang yang secepat angin lewat digelanggeng
situ terus masuk kedalam gereja adalah Ang Hwat dan
sepasang suami isteri Swat-bwe Hwat-Sisu. Menyusul
dengan itu ketiga tianglo dari Ci-hun-si. Demikianlah
kejadian2 sebelum Tio Jiang datang kepuncak Ko-to-san
situ. Bagaiamana achirnya pertempuran itu, telah kami
tuturkan disebelah atas tadi.
--oodwkz0TAHoo--
Sekarang marilah kita ikuti lagi perkembangan ketika
Ceng Bo dan kawan2 beristirahat dalam ruangan gereja
Ang-hun-kiong yang chusus disediakan untuk para tetamu.
Disitu mereka sangat perihatin. Menilik perkembangannya,
terang keadaan sudah tak menguntungkan bagi fihaknya. Ketambahan lagi kini
rupanya Kiang Slang Yan telah terpikat dalam perangkap
dan persentasinya tentu membantu fihak The Go. Jadi
dalam pertempuran nanti fihak Ceng Bo dan kawan2 itu
tentu kalah. Kalau semua orang berdiam diri karena
perihatin, adalah Yan-chiu sendiri yang tetap dengan
kelincahannya. Ia selalu. menatapkan pandangan matanya
kearah sang suko saja. Banyak nian kata2 yang hendak
diucapkan kepada sukonya itu, tapi dihadapan sedan
banyak orang, ia merasa likat juga. Sampai sekian lama ias
berhasil juga untuk menguasai perasaannya, tapi achirnya
lama2 tak kuat juga dan mulutnyapun segera berseru
memanggil: "Jiang suko!"
Karena orang memanggil secara tiba2, Tio Jiang menjadi
kaget. Oleh karena dihadapan sang suhu, Tio Jiang ber-
hati2 sekali membawa tingkah lakunya. "Ada apa?"
sahutnya dengan berbisik.
Yan-chiu ter-sipu2 merah mukanya, tapi dengan tangkas
ia sudah mengalihkan pembicaraan: "Berdiam diri didalam
ruangan sini, bukan suatu penyelesaian yang baik. Hayo,
kita keluar cari anginlah!" .
Tio Jiang tak berani segera menyahut tapi lebih dahulu
melirik pada sang suhu, slapapun menyetujui pendapat
Yanchiu tadi. "Ya, kalian berdua boleh makan angin diluar
sana. Tapi Ingat, jangan terbitkan onar dan lekas kembali
lagi," ujar Ceng Bo.
Dengan kegirangan sekali Yan-chiu segera tarik tangan
sukonya terus diajak keluar. Keadaan diluar situ sunyi2
saja. Setelah membiluk disebuah ujung tembok, Yan-chiu
hentikan langkahnya dan bertanya: "Suko, sewaktu kau
sendirian tersesat dalam perut gunung, apa saja yang kau
pikirkan kala Itu?"
Tio Jiang tak mengerti kalau pertanyaan sumoaynya itu
mengandung maksud tertentu, maka dengan seenaknya saja
ia menjawab: "Tidak memikirkan apa2, kecuali bagaimana
dapat keluar dari penjara alam itu untuk menghaturkan
mustika itu pada suhu."
Yan-chiu menghela napas. "Ah, jadi dia tak mengimbangi perasaan hatiku yang selalu memikirkan
dirinya," pikirnya. Dengan berdiam diri ia ayunkan langkah
kemuka. Hati Tio Jiang kosong, dia tak memikirkan yang
tidak2. Maka dia anggap sumoaynya itu tengah perithatin
keras menghadapi fihak Ang-hun-kiong yang tangguh.
Yan-chiu begitu terbenam dalam lamunan sang dara
dihempas asmara. Ya, siapakah yang tak lara kalau
cintanya hanya dibalas dengan rasa kecintaan sebagai
saudara seperguruan saja" Dia berjalan sambil tundukkan
kepala, sehingga tak tahu sama sekali ketika ditikungan,
tiba2 muncul sebatang pedang menghadang. Coba Tio
Jiang tak segera lekas2 menereaki pasti ia masih tak
mengetahui akan adanya ujung pedang yang terpisah hanya
setengah setengah meteran dimukanya itu.
"Siapa" !" serunya dengan kaget. Seruan itu disambut
dengan munculnya dua orang imam yang beroman bengis.
Yang satu membawa pedang dan seorang mencekal kapak
besar. "Sejak bilamana Ang-hun-kiong mengidinkan kalian
berjalan seenaknya sendiri itu" Apa masih tak lekas2
kembali?" seru mereka.
"Ang Hwat cinjin telah menerima kami sebagai tetamu,
mengapa kau berani kurang ajar?" balas Yan-chiu dengan
gusarnya. Kedua imam itu tertawa keras, serunya: "Sebagai
tetamu" Ha......., ha........! Ibarat kura2 dalam jaring, masih
menjual lagak!"
Tio Jiang terkesiap mendengar ucapan yang diserukan
dalam lafal utara oleh kedua imam itu. Terang mereka itu
bukan orang daerah selatan sini. Dia ajak sumoaynya cepat
kembali melapor pada suhunya. Tapi baru saja mulutnya
hendak menyatakan, atau Yan-chiu sudah loncat kemuka
dan menghantam dengan bandringan kearah kedua imam
itu. Yan-chiu mengira kalau kedua orang itu, hanyalah
imam kecil dari gereja situ, sekali hantam sedlkitnya tentu
dapat merubuhkan mereka. Trang...... tiba2 Yan-chiu
merasa lengannya kesemutan ketika salah seorang imam itu
menangkis dengan kapaknya. Bandringanpun mencelat
keatas. Buru2 ia tekan bandringannya itu kebawah.
"Hu, kembali tidak?" kata mereka dengan tertawa dingin.
Mereka tak mau menyerang pada Yan-chiu yang ter-
longong2 kesima itu. Tio Jiang kenal gelagat. Dia tahu
kedua orang itu tentu bukan imam gereja situ. "Kembali ya
kembali !" serunya keras sembari memberi isyarat dengan
ekor mata kepada sang sumoay, siapa terpaksa menurut.
GAMBAR 69 Karena kebebasannya dirintangi, dengan gusar Yan-chiu
hantamkan banderingannya kearah orang itu yang cepat ditangkis
olehnya dengan senjata kapak yang besar.
Tiba dimuka pintu ruangan tetamu, Tio Jiang dan Yan-
chiu tak mau masuk, tapi sengaja terus berjalan kesebelah
muka. Kembali dibagian sana juga ada dua penghadang.
Yang satu mempunyai lafal suara orang Suchwan, yang lain
me-maki2 dalam bahasa Boan-ciu. Karena sudah banyak
pengalamannya bertempur dengan serdadu Ceng, jadi Tio
Jiang dan sumoaynya segera mengetahui bahwa kedua
pencegatnya Itu adalah kaki tangan pemerintah Ceng yang
menyaru sebagal imam.
Kini tanpa diberitahukan oleh sukonya, Yan-chiu sudah
mengetahui sendiri dan memutar tubuhnya kembali
kedalam ruangan tetamu. Baru melangkah masuk, Yan-
chiu sudah berseru: "Suhu, Ang Hwat telah mempersiapkan
entah berapa, banyak kaki tangan pemerintah Ceng yang
menyaru jadi imam gadungan, untuk menumpas kita!"
Tio Jiang tuturkan apa yang telah dijumpainya tadi.
Ceng Bo dan Kui-ing-cu serta lain2 orang, saling
mengawasi satu sama lain. "Oleh karena yang akan datang
ini bukan kebahagiaan melainkan kecelekaan, maka kita
harus tenang2 mempersiapkan kewaspadaan. Dalam hal
tenaga, Siaoko dan Siao Chio tergolong, yang terlemah
diantara kita, maka sebaiknya mustika dalam batu itu
berikan saja kepada mereka separoh2, siapa tahu akan
menambah kekuatan mereka!" Hui-ing-cu menyatakan
pendapatnya. Ternyata semua orang setuju. Bermula Tio Jiang
menolak tapi diperingatkan oleh suhunya. Malah Ceng Bo
Siangjin segera mencabut pedang yap-kun-kiam yang
terselip dipinggang Tio Jiang. Yan-chiu disuruh memegangi
batu itu, lalu Ceng Bo pe-lahan2 membelahnya. Tak antara
lama tampak sebuah lubang dan menghempuslah keluar
suatu hawa yang luar biasa wanginya. "Lekas tuangkanlah
kedalam mulutmu!" buru2 Ceng Bo menyuruh sigenit
meminumnya. Yan-chiu cepat tempelkan bagian lubang ltu kemulut dan
sekali menyedot se-kuat2nya berkerucukanlah
tenggorokannya menelan suatu-benda cair. Seketika
dirasakan tulang belulang seluruh tubuhnya menjadi
sedemikian nyaman dan ringan sekali. Buru2 ia kerahkan
cin-wan (tenaga murni) dan cin-khi (hawa murni), setelah
itu lalu berikan batu kapada sang suko. Begitu Tio Jiang
menyambutnya, terus ditempelkan kemulut dan disedotnya.
Tapi hanya angin saja yang didapatinya. Dengan
keheranan, dia turunkan batu itu. Kui-ing-cu dengan segera
dapat mengetahui apa yang terjadi, katanya: "Siaoko,
mungkin sudah suratan nasib, bukankah air mustika itu
sudah dihirup habis oleh kui-ahthau (dara jelek) itu " Kau
tidak kecewa, bukan ?"
Tlo Jiang tak pernah mempunyai perasaan iri. Dia
adalah seorang suko dan sute yang pengalah. "Seharusnyalah diberikan pada sumoay, karena dia lebih
lemah!" sahutnya dengan setulus hatitnya.
Mendengar itu, semua orang mengagumi ketulusan hati
pemuda itu. Ketika sama mengawasi Yan-chiu tampak
selebar wajah nona itu ke-merah2an memancarkan cahaya
gemilang. Seperti keringat bukan keringat, sehabis
menyalurkan perdarahannya, ia rasakan seluruh tubuhnya
mengalirkan hawa panas, hingga untuk setengah jam ia
tampak seperti dalam keadaan samar2 ingat. Baru setelah
perasaan menyalur rata keeseluruh tubuh, ia tampak
berloncat bangun seraya berseeru: "Amboi.......! nyaman
sekali seperti orang mati rasanya. Suko, kau. minum sedikit
tadi, apa tak berasa apa2?"
Nona itu tak mengetahui kalau Tio Jiang tak kebagian


Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

setetespun jua. Air mustika yang jarang terdapat didunia
itu, telah habis dihirupnya semua. Baru setelah sang suko
menjelaskan, ia ke-merah2an mukanya dan menyatakan
penyesalannya: "Maaf, aku tak sengaja berbuat begitu!"
"Ho, sungkan juga sih" Asal kau berjanji kelak tak
menghina sukomu seperti yang dilakukan oleh sucimu, itu
sudah cukup!" seru Kui-ing-cu. Kembali wajah Yan-chiu
merah padam ke-malu2an, diperolok Kui-ing-cu itu. Kini ia
merasa tubuhnya sangat enteng sekali. Apabfla menyalurkan darah atau pernapasan, juga sangat mudah
dengan leluasanya. Rupanya lwekangnya dalam sekejab
waktu saja teIah maju pesat, suatu hal yang membuatnya
girang bukan kepalang. "Suko, kau sungguh baik sekali
kepadaku!" diam2 hatinya berterima kasih.
--oodwkz0tahoo--
Kala itu sudah sore hari. Genta gereja kedengaran
bertalu 3 kali. Anehnya keadaan disitu tak nampak seperti
sedang kumpulan-malam (sembahyang malam). Ketika
semua rombongan fihak tetamu keheranan, tiba2 dari arah
luar ter-dengar ada orang berseru: "Suhu mengundang tamu
sekalian supaya datang kepaseban belakang!"
Kui-ing-cu tahan napas, dengan gunakan ilmu menyusupkan suara "thoan im jip bi" dia berseru kepada
kawan2nya: "Kartu segera akan terbuka, entah lo-tosu itu
hendak main apa?"
Sekalian orang mengerti maksud peringatan itu. Ceng Bo
segera berseru keras: "Silahkan saudara mengantar!"
Walaupun lwekangnya berkurang banyak, namun suara
yang diserukan oleh hawa napas itu, cukup nyaring. Begitu
pintu dibuka, ternyata disitu sudah menunggu ketiga Ang-
hun su-mo. Ji-mo atau iblis kedua (ayah The Go") sudah
meninggal, namun gelaran mereka masih tetap menggunakan Ang-hun su-mo (4 iblis dari Ang hun-kiong),
walaupun seebenarnya mereka itu hanya berjumlah 3
orang. Dengan Ceng Bo siangjin berjalan dimuka dan Kui-ing-
cu, yang paling belakang sendiri, ketujuh rombongan
tetamu itu segera berjalan menurutkan Ang-hun su-mo.
Sepanjang lorong yang dilalui itu, mereka dapat
memperhatikan. Tapi setelah dua kali membiluk, hilanglah
pengetahuan mereka akan arah mata angin. Semua yang
tampak disitu, dari ruangan, lorong serambi, tiang dan
lankan, sama semuanya, sukar dibedakan.
Setelah setengah jam lama berbilak biluk, mereka melalui
sebuah ruangan kecil dan se-konyong2 terbentanglah
sebuah lapangan luas yang berlantai batu marmar hijau.
Luas lapangan itu tak kurang 10-an tombak pesegi. Pada
ujung lapangan itu tampak sebuah meja pat-sian (8 segi),
dengan dikitari oleh 8 orang, yakni Ang Hwat cinjin, Kiang
Siang Yan, Bek Lian, The Go, dan sam-tianglo dari Ci-hun-
si. Mereka rupanya tengah menghadapi hidangan. Tapi
sekalipun melihat kedatangan rombongan Ceng Bo
Siangjin, mereka bersikap acuh tak acuh. Yang diherankan
Ceng Bo bukan sikap mereka yang mengejek secara begitu
menyolok, tapi adalah Itu kedua benggolan kaki tangan
Pemerintah Ceng, yakni sepasang suami-isteri Swat Bwe
dan Hwat Kuay, mengapa tak hadir disitu.
Ketiga Ang-hun su-mo menghampiri Ang Hwat cinjin
dan berbicara beberapa patah kata. Mungkin orang mengira
tadi Ang Hwat cinjin benar2 tak mengetahui kedatangan
rombongan Ceng Bo itu. Tapi kini setelah mendapat,
laporan dari Ciang Tay-bing, dia tentu sudah mengetahui.
Namun dia masih enak2 duduk saja. Malah mengangkat
cawan arak dan berkata kepada Kiang Siang Yan: "In
lihiap, untuk merayakan pertemuan yang jarang terjadi ini,
marilah kita keringkan cawan!"
Orang2 yang mengitari meja itu sama menyambut
dengan gembira. Ciang Tay-bing masih tegak terpaku disitu.
Kui-ing-cu dan kawan2, adalah tokoh2 persilatan yang
bernama, sudah tentu mereka mendongkol
sekali diperlakukan begitu. Sin-eng Ho Thay tertawa dingin,
tangannya mencekal pada lankan, krek ...... tahu2 saja
sudah memutuskan patah sebuah terali kayu lankan itu, lalu
ditimpukkan kearah meja pat-kwa mereka. Juga Kui-ing-cu
dan si Bongkok tanpa ajak2an, membarengi dengan
saebuah biat-gong-ciang
(pukulan lwekang) kearah kutungan kayu tadi. Dengan mendapat dorongan dari
lwekang ketiga tokoh Iihay itu, kutungan kayu meluncur
dengan pesatnya. Kalau saja kayu itu menimpa meja,
hidangan disitu tentu akan porak poranda. Tapi baik Ang
Hwat cinjin maupun Kiang Siang Yan rupanya tak
mengacuhkan ancaman itu. Sambil mengangkat cawan,
mereka berdua segera menyiramkan arak keudara yang
tepat mengenai kutungan kayu tadi.
(Oo-dwkz-tah-oO)
BAGIAN 38 : SETERU LAMA
GAMBAR 70 Karena tak disambut sewajarnya, dengan gusar Ko Thay
menimpukan sepotong kayu kearah meja perjamuan. Tapi dengan
tenaga lwekang Ang Hwat Cinjin dan Kiang Siang Yan
muncratkan isi cawan mereka keudara.
Siraman arak dari Ang Hwat cinjin dan Kiang Siang Yan
itu menggunakan lwekang. Sebenarnya kalau meniIai soal
kepandaian, Kui-ing-cu setanding dengan Kiang Siang Yan,
si Bongkok berdua dengan Ko Thay dapat menghadapi Ang
Hwat cinjin. Sayang lwekang dari Kui-ing-cu sebagian besar
sudah habis karena menolong Sik Lo-sam itu. Jadi dalam
adu lwekang tadi, ketiga orang dari fihak tetamu, telah
kalah. Begitu terciprat arak, kutungan kayu tadi segera
miring kesamping dan jatuh ketanah.
Dari gebrak itu saja, cukuplah sudah diketahui tentang
kekuatan masing2. Dan yang paling dibuat sayang, kini
nyata2 Kiang Siang Yan sudah kena, dibohongi The Go
dan berdiri difihak Ang Hwat, Ceng Bo siangjin pedih
hatinya. "Hong-moay kau........", saking terharunya dia tak
dapat melanjutkan kata2nya apalagi kala itu Kiang Siang
Yan sedikitpun tak mau menghiraukan dan melainkan
tertawa dingin.
Ceng Bo sadar bahwa pertempuran hari itu merupakan
soal hidup atau mati. Ber-hari2 dia mondar mandir kesana
Mini untuk menjumpai beberapa sahabat persilatan yang
mempunyai tujuan sama. Berhasil atau tidaknya usaha
mereka untuk mengusir kaum penjajah Ceng dari bumi
Tiongkok, adalah mengandalkan tenaga persatuan dari para
kaum pahlawan pencinta negeri itu. Ah, mengapa dia masih
berat dipengaruhi hubungan suami-isteri serta ayah-anak
lagi " Demi sang hati terbuka, pikirannyapun longgar. Tak
lagi dia merasa pedih. "Ang Hwat cinjin, bukankah kau
mengundang kami kemari, mengapa begitu macam cara
penyambutanmu " Kau adalah seorang soko-guru dari
dunia persilatan, mengapa masih dilekati sifat2 tak kenal
aturan begitu ?" serunya.
Setiap patah dari ucapan Ceng Bo itu, memang sukar
dibantah. Memang rencana untuk membuat panas hati para
tetamu itu, adalah keluar dari pikiran The Go. Menurut
rencana, begitu musuh panas hati, dia terus jalankan
program yang ditetapkan menurut rencana The Go itu. Tapi
ternyata Ang Hwat bukan The Go. Dia adalah seorang
cianpwe dari dunia persilatan yang mempunyai gengsi
agung. Walaupun dia mau merendah sedikit, turun gunung
menyambut kedatangan sepasang suami-isteri Swat Bwe
dan Hwat Siau yang dikirim oleh pemerentah Ceng itu,
namun dia tetap bukan golongan orang rendah macam The
Go. Maka demi mendengar cercaan Ceng Bo tadi, seketika
dia berbangkit dan berseru: "Siapkan sebuah meja
perjamuan lagi!"
Dalam sebentar saja perentah itu telah dilaksanakan.
"Silahkan hadirin sekalian duduk," katanya sambil memberi
hormat kepada para tetamunya, kemudian duduk pula.
Menurut anggapannya, perbuatannya itu sudah cukup dari
menghormat. Ceng Bo tak mau banyak peradatan lagi, segera maju
mengambil tempat duduk. Jarak antara kedua meja mereka
itu, hanya terpisah satu meteran. Kalau sewaktu2 Ang
Hwat menyerang, tentu sukarlah baginya untuk lolos.
Namun sedikitpun siangjin itu tak mengunjuk rasa jeri.
Lain2 kawannyapun segera menaulad tindakannya itu. Kui-
ing-cu menyentuh Yan-chiu, katanya: "Siao-ah-thau,
hatimu mendongkol tidak ?"
"Sudah tentu, Ang Hwat siimam tua itu benar2 kutu
besar!" sahut Yan-chiu.
"Kuajarkan
kau cara untuk melampiaskan kemendongkolanmu itu. Kau adalah seorang anak, mereka
dibatasi dengan kedudukannya, tentu tak dapat meng-
apa2kanmu. Kalau nanti suhumu menggegeri kau, akulah
yang menanggung!" kata Kui-ing-cu, seraya membisiki
beberapa patah, kata kedekat telinga sigenit.
Yan-chiu berseri girang. Sembari sebelah tangan
mencekali bandringan yang tergantung dipinggang, ia ikut
Kui-ing-cu menghampiri ketempat meja Ceng Bo tadi.
Setiba, ditepi meja, tiba2 ia memutar tubuh dan berseru:
"Ang Hwat locianpwe, subo dan Lian suci!"
Ketiga orang itu terkejut mendengar panggilan itu.
Tanpa merasa mereka sama mendongakkan kepala. Bek
Lian agaknya malu sendiri, maka lalu tundukkan kepala.
Ang Hwat cinjin dan Kiang Siang Yan terpaksa mengulum
suara tenggorokan "hem", yalah dimaksud sebagai jawaban.
Adalah selagi kedua tokoh ini lengah karena memberi
jawaban itu, tangan Yan-chiu sudah kibaskan bandringan
melayang disisi punggung To Ceng dan To Bu, lalu
menyusup kebawah meja mereka. Sekali tangan menyentak, maka buk ........ bola bandringan itu tepat
menghantam bagian bawah permukaan meja.
Hantaman itu tak kurang dari berpuluh kati beratnya.
Selagi Ang Hwat cinjin dan Kang Siang Yan bersuara
tenggorokan tadi, tahu2 cawan dan mangkok piring diatas
mejanya sama berhamburan keatas, Serambut dibelah
tujuh, mereka tak mengira sama sekali kalau Yan-chiu
berani melakukan perbuatan ugal2an itu. Buru2 Ang Hwat
meniup keras2 dengan mulut untuk menghalau kuah panas
yang hendak menyemprot mukanya, namun tak urung
rambut kepalanya juga kena tersiram. Adalah Kiang Siang
Yan yang paling tangkas. Begitu melihat ancaman datang,
ia segera gunakan ilmu mengentengi tubuh thay-im-i-seng
yang sakti, menarik Bek Lian untuk menghindar
kesamping. Jadi hanya pakaiannya yang kena kesiraman
sedikit. Yang paling runyam, adalah ketiga tianglo dari Ci-hun-si
itu dan The Go. Muka dan rambut mereka basah kuyup
dikeramasi kuah (gulai). Oleh karena tak menyangka sama
sekali dan gerakan Yan-chiu tadi datangnya secara tiba2
dan cepat sekali, jadi walaupun keramas dengan kuah panas
namun keempat orang itu tetap ter-longong2 tak tahu apa
yang telah terjadi. Dan selagi mereka berempat terlongong2
keheranan itu, tepat tiupan hawa mulut Ang Hwat cinjin
tadi tiba. Oleh karena gusar, jadi cinjin itu meniup se-
kuat2nya. Menurut tingkat kepandaian Ang Hwat, sekali
meniup, bulu ayam sisik Man ataupun setitik air dapat
berobah menjadi suatu senjata rahasia yang sangat hebat.
Sam-tianglo dari Ci-hun-si itu duduknya tepat berhadapan dengan Ang Hwat, jadi keadaannya tepat
seperti yang dikatakan orang 'sudah jatuh dihimpit tangga
pula'. Sudah tadi muka dan rambut mereka gebes2
dikeramasi kuah panas, kini dihujani semburan air panas
oleh Ang Hwat, aduh mak, kalau badan lagi sial .............
Mereka menjerit rubuh ketanah, lalu bergelundungan kian
kemari! Masih untung The Go berlaku sebat. Begitu
mendengar tiupan mulut Ang Hwat, dia terus loncat
menghindar. Ini berarti dia mendapat keringanan dari
siksaan. Tidak kecewa dara dari Lo-hu-san itu digelari nona genit
tangkas dan lincah. Lincah lidahnya, tangkas tangannya. Ia
dapat membandring dengan cepat tanpa diketahui orang,


Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tapi iapun dapat menarik balik bandringannya itu dengan
tak kurang cepatnya juga. Seperti tak terjadi suatu apa,
dengan lenggang ia mengambil tempat duduk. Olok2 sigenit
itu, telah dimainkan dengan hebat dan luar biasa bagusnya.
Si Bongkok, Kui-ing-cu, dan lain2nya, sampai kaku
perutnya karena ketawa. Sampaipun Ceng Bo siangjin yang
biasanya tak suka bergurau, kali ini seperti di-kitik2 dan tak
tahan mengekang tawanya. Dia melirik kearah muridnya
yang nakal itu, siapa mengerti akan maksud sang suhu.
Oleh karena diantara sekian orang itu hanya ia sendiri yang
tak tertawa, maka untuk jangan sampai kentara, iapun turut
tertawa cekikikan.
Didalam fihak tuan rumah, Ang Hwat dan Kiang Siang
Yan adalah tokoh2 persilatan kelas utama. Cepat2
keduanya dapat menguasai kejutnya tadi. Mendengar
dimeja tetamu orang sama tertawa lepas2, tahulah mereka
berdua kalau tadi perbuatan ugal2an itu adalah dari fihak
tetamu yang melakukan. Tapi keduanya merasa malu dan
heran sendiri. Mereka yakin akan tingginya kepandaiannya,
namun apa dan bagaimana peristiwa tadi terjadi, benar2
keduanya tak mengetahui. Jadi terpaksa mereka diam
menahan kemurkaan.
Ang Hwat perentahkan The Go supaya menggotong
sam-tianglo Ci-hun-si. Ketiga tianglo itu benar memiliki
lwekang yang tak lemah, namun karena Ang Hwat yang
meniup, jadi mereka bertigapun parah juga lukanya. Ada
beberapa kerat tulang ayam yang menyusup kedalam
mukanya. Sewaktu satu per satu dicabuti, mereka sama
mengerang2 kesakitan. Karena keadaannya setengah mati,
terpaksa mereka digotong orang masuk kedalam kamar.
Dengan marahnya Ang Hwat titahkan lagi menyiapkan
sebuah meja hidangan, kemudian suruh Ang-hun su-mo
bertiga duduk mengisi kursi sam-tianglo yang kosong itu.
Selagi keadaan menjadi tenang kembali, tiba2 Kui-ing-cu
berseru keras: "Siao-ah-thau, terhadap orang yang tak tahu
adat, memang begitulah caranya memperlakukan. Hayo,
cucilah tanganmu dulu, nanti aku yang per-tama2 akan
memberi selamat dengan secawan arak!"
Gelarnya saja dia itu hendak memberi selamat dengan
arak, tapi pada hakekatnya sengaja dia suruh Ang Hwat
dan Kiang Siang Yan mendengarkan jelas, bahwa yang
melakukan perbuatan ugal2an tadi bukanlah tokoh2 lihay
dari golongan fihak tetamu, melainkan hanya seorang anak
perempuan dara yang tak ternama!
Mendengar itu benar juga wajah Ang Hwat berobah,
mengangkat cawannya dia kedengaran tertawa gelak2 dan
berseru : "Ceng Bo siangjin, lama nian orang menyohorkan
bahwa dua pedang pusaka suami-isteri kalian tiada
tandingannya dikolong jagad ini. Harini sebagai tuan
rumah, pinto hendak lebih dulu menghaturkan selamat
secawan arak dadamu !"
Habis berkata begitu, dia taruhkan cawan keatas telapak
tangan dan tiba2 telapak tangannya itu dicekungkan
kebawah. Cawan arak itu memangnya sudah kecil, maka
hampir separoh cawan itu seperti masuk kedalam telapak
tangan Ang Hwat. Kemudian entah bagaimana caranya,
tahu2 begitu telapak tangan itu dijunkatkan lagi keatas,
wut........ cawan itu mumbul setengah meter tingginya.
Setelah sejenak berhenti diatas, cawan itu pe-lahan2
melayang kearah tempat duduk Ceng Bo. Namanya saja
Ang Hwat itu hendak memberi selamat dengan arak, tapi
hal yang sebenarnya dia itu hendak membuat malu pada
Ceng Bo. Cawan itu tampaknya melayang dengan pelahan, tapi
Ceng Bo dan kawan2 cukup mengetahui bahwa tadi Ang
Hwat telah gunakan ilmu melempar senjata rahasia tingkat
tinggi. Sedikitnya dia telah gunakan 8 bagian dari
tenaganya lwekang, untuk mengantar cawan arak itu.
Jangan lagi kini lwekang Ceng Bo siangjin sudah lumpuh
daya lebih dari setengah bagian, sekalipun masih utuh, juga
belum ketahuan apakah dia itu dapat menyambuti
'persembahan arak' istimewa itu. Dia tahu kalau berani
menyambuti dengan lwekang, lengannya pasti akan putus.
Baik disambuti atau tidakkah persembahan itu " Dia
dirundung kesangsian. Kalau disambuti, resikonya lengan
putus. Kalau tidak menyambutnya, Ang Hwat tentu akan
menyusuli lagi persembahan yang kedua. Jadi tanpa adu
kepandaian, berarti dia sudah kalah ini.
Jarak kedua meja itu hanya satu meteran. Tempat duduk
Ceng Bo tepat berhadapan dengan tuan rumah, jaraknya
hanya kira2 satu tombak. Cawan arak itu walaupun pelahan
melayangnya, namun dalam beberapa detik saja pasti akan
sudah tiba. Ceng Bo mengambil putusan, lebih baik binasa
daripada malu. Tapi ketika dia hendak, kerahkan seluruh
sisa lwekangnya untuk menyambuti, tiba2 kedengaran Kui-
ing-cu tertawa dan berseru lantang: "Aku yang rendah
inipun hendak balas memberi hormat pada tuan rumah
Anghun-kiong sini dengan secawan arak."
Sekali kelima jarinya dibuka, maka cawan arak yang
digenggamnya itupun meluncur kemuka, tring....... tepat
membentur cawan Ang Hwat. Kui-ing-cu tadi telah
gunakan seluruh lwekangnya. Begitu berbentur, kedua
cawan itu berhenti sebentar. Cawan Kui-ing-cu melayang
kesamping, sementara cawan Ang Hwat masih tetap
melayang kearah tujuannya semula (kearah Ceng Bo), tapi
daya kekuatan-nya sudah berkurang separoh bagian.
Sekalipun begitu, kala Ceng Bo menyambuti, lengannya
dirasakan kesemutan nyeri sekali. Buru2 dia meneguknya
habis. Ketika mengawasi kearah cawan Kui-ing-cu yang
melayang kearah Ang Hwat cinjin, tampak cinjin itu
ulurkan tangan untuk menyambuti, pyah....... tahu2 cawan
itu pecah berantakan jatuh kebawah.
Kiranya sewaktu melayangkan cawan tadi, Kui-ing-cu
telah gunakan akal. Tatkala saling berbentur dengan cawan
Ang Hwat, cawannya itu tak sampai pecah. Ini karena
kedua tokoh itu telah menggunakari ilmu lwekang sakti
dengan perhitungan yang sangat tepat. Waktu me-layang2,
cawan itu biasa saja, tapi begitu saling berbentur kedua
benda itu keras bagai baja, maka tak sampai pecah. Kalau
tak hujan tak angin begitu tiba dihadapan Ang Hwat, cawan
itu terus pecah sendiri, itu juga permainan yang lihay dari
Kui-ing-cu. Ini dimaksud untuk memper-olok2 Ang Hwat
untuk yang kedua kalinya. Dari kejadian itu, dapatlah
ditarik kesimpulan sampai dimana tinggi rendahnya
kepandaian Kui-ing-cu. Dia adalah setingkat dengan Ang
Hwat cinjin, Tay Siang Siansu dan Kang Siang Yan.
Tapi dalam soal peyakinan, mungkin Ang Hwat lebih
lama. Sudah 50-an tahun dia berkecimpung dalam
peyakinannya itu. Jauh2 ketika masih dalam jaman
pemerentahan Beng, namanya sudah berkumandang
diseluruh negeri. Dia pernah menerima undangan dari fihak
pimpinan kim-i-wi (pasukan bayangkari istana) untuk
datang kekota raja dan mengunjukkan kegagahan yang
mengagumkan. Kalau mau, dulu2 dia sudah diangkat
menjadi kepala kim-i-wi. Ini kejadian pada beberapa puluh
tahun yang lampau. Kini peyakinannya makin sempurna
lagi. Tapi dengan begitu, belumlah menjadi jaminan bahwa
kebatinannya makin tinggi. Dalam beberapa tahun yang
terachir ini, dia selalu mengeluh dalam batin, mengapa
sampai dihari tua masih jadi "orang hutan" atau orang yang
tinggal digunung saja. Maka ketika berkenalan dengan sam-
tianglo Ci-hun-si yang berhamba pada pemerentah Ceng,
dia rupanya penuju juga. "Makin tua makin gila", rupanya
pembilangan orang begitu itu, memang beralasan.
Ang Hwat tak mau memegang buntut kucing (mendapat
malu) untuk yang kedua kalinya. Cepat2 dia rangkumkan
sepasang tangan kearah pecahan cawan dan arak yang
berhamburan kebawah itu, sekali menyedot, pecahan
cawan. dan arak itu naik lagi meluncur kedalam mulutnya,
krucuk.........,
krucuk..........demikian
bunyi tenggorokannya. Se-konyong2 mulutnya menganga dan
fui......... pecahan keramik putih menyembur keluar,
cret....., cret......, semua berhamburan menyusup pada
sebuah tiang besar yang jauhnya antara satu tombak. Itulah
pecahan cawan arak tadi.
Walaupun Kui-ing-cu seorang tokoh yang paling suka
berolok2, tapi dia itu juga seorang lelaki jantan perwira.
Melihat Ang Hwat mengunjuk demonstrasi kepandaian
yang luar biasa itu, serta merta dia berseru memuji. "Ilmu
kepandaian yang hebat!" serunya. Tapi pada lain saat dia
kedengaran berkata pula: "Sayang sekali tak menjalankan
didikan keras, hingga anak muridnya telah menodai
Pendekar Cacad 14 Kisah Sang Budha Dan Para Muridnya Karya Tak Diketahui Naga Naga Kecil 5
^