Pencarian

Naga Dari Selatan 19

Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen Bagian 19


Yan simpan pedangnya, lalu menyambut serangan lawan
itu dengan tangan kosong juga. Blak......, kini tangannya
kanan berbentur dengan tangan Swat Moay. Kalau tadi
Hwat Siau dan Swat Moay ber-putar2 tak henti2nya, kini
serta Kang Siang Yan melekatkan tangan mengadu
lwekang, berhentilah gerakan putar mereka. Kini mereka
tegak berdiri laksana dua buah patung. Ceng Bo menghela
napas untuk memulangkan tenaganya. Diam2 dia cemas
akan diri sang isteri, Benar Kang Siang Yan telah
meyakinkan ilmu lwekang thay-im-kang selama 10-an
tahun. Tapi entahlah apa Iwekang itu dapat mengatasl lwekang
musuh yang aneh itu.
Benar Hang Siang Yan hanya adu lwekang dengan Swat
Moay seorang. Tapi oleh karena kedua suami isteri jahat itu
berapatan punggung, jadi dapatlah Hwat Siau menyalurkan
lwekangnya membantu sang isteri. Tegasnya, Kang Siang
Yan dikerubut dua. Pada saat itu, kalau saja Ceng Bo mau
menusuk kedua lawannya itu, adalah semudah orang
membalikkan telapak tangan. Tapi sebagai seorang jago
yang menjunjung azas2 keksatryaan, tak mau dia lakukan
perbuatan serendah itu.
Adu lwekang adalah pertandingan yang paling
berbahaya sendiri, karena barang siapa yang kalah, tentu
akan menderita kehancuran urat2 nadi. Kalau tak cacad
punah seluruh kepandaiannya, tentu akan binasa jiwanya.
Juga untuk melerai (memisah) pertandingan macam itu,
sukarnya bukan alang kepalang. Kalau yang melerai itu
lwekangnya tak diatas yang bertempur, dia sendiri bakal
celaka. Telah dikatakan tadi, bahwa Ceng Bo tak mau
mengambil keuntungan secara rendah. Diapun masukkan
pedangnya kedalam sarungnya, lalu maju kemuka
kehadapan dan menghantamnya. Plak ........, Hwat Siau
menyambutnya dan kini kedua tangan mereka saling
berlekatan. Pertama kali bersentuhan dengan tangan Swat Moay,
Kang Siang Yan rasakan lwekang dingin lawan tak dibawah
thay-im-lian-seng. Buru2 ia (Kang Siang Yan) kerahkan
seluruh lwekang untuk menggempur, tapi karena kedua
suami isteri jagoan itu berapatan punggung, jadi dapatlah
mereka ganti berganti menyalurkan lwekang. Kalau
lwekang dingin Swat Moay berhenti, maka lwekang panas
Hwat Siau memancar. Begitulah ketika lwekang dingin
Swat Moay terdesak, tiba2 Kang Siang Yan terkejut ketika
ada hawa panas merangsang. Buru2 ia kerahkan thayim-
kang untuk menahan.
Bagaikan sungai yang tak pernah kering airnya, lwekang
thay-im-lian-seng dari Kang Siang Yan selalu mengalir
kerae. Sekalipun begitu karena Hwat Siau dan Swat Moay
gunakan siasat secara bergilir untuk mengasoh, maka lama
kelamaan Kang Siang Yan berada dibawah angin juga.
Syukurlah Ceng Bo tadi keburu datang menggempur Hwat
Siau, sehingga kini ia mendapat kesempatan. Dengan
kerahkan tenaga ia desak Swat Moay sampai kepayahan.
Untuk melayani Ceng Bo, Hwat Siau masih mempunyai
kelebihan lwekang. Dia cemas melihat isterinya terdesak,
maka dengan aecara istimewa sekali dia pindahkan
lwekangnya kepada Kang Siang Yang, Rupanya Swat
Moay tahu akan maksud suaminya itu, karena iapun cepat
tarik pulang lwekangnya untuk dialihkan kearah Ceng Bo.
Dengan adanya pergeseran itu, kini kekuatan mereka
menjadi berimbang.
Sepeminum teh lamanya, keempat tokoh itu maeih tegak
berdiri laksana patung2 yang berhadapan satu sama lain.
Kalau saja mau, Kui-ing-cu dan kawan2nya dapat
mengakhirl pertempuran itu dengan menghajar Hwat Siau
dan Swat Moay. Tapi mereka juga jantan2 yang
menjunjung, keperwiraan, jadi menonton saja dipinggir
dengan hati yang gundah gelisah.
Lewat setengah jam kemudian, se-konyong2 dari arah
keempat orang yang bertempur itu terdengar suara
berkeretekan. Sekalipun amat pelahan, namun kedengaran
jelas sekali. Kini tahulah sekalian orang bahwa keempat
tokoh itu telah mencapai tingkat yang menentukan. Ini
terbukti dahi keempat orang itu mengucurkan butir2
keringat. Muka Ceng Bo merah membara, roman Kang
Siang Yan muram keren, Hwat Siau merah padam dan
Swat Moay lesi kehijau2-an.
Keadaan pada saat itu genting meruncing sekali. Kecuali
letikan lidah api obor yang mengeluarkan bunyi letak-letik,
suasana disitu sangatlah heningnya. Se-konyong2 keheningan itu dipecah oleh suara ujung tongkat mengetuk-
ngetuk lantai, tok..., tok.... Suara itu makin lama makin
dekat, menyusup diantara sekian banyak hweshio2 yang
memegang obor, lalu muncul ditengah gelanggang. Astaga,
kiranya Tay Siang siansu yang datang itu dengan me-
mukul2kan tongkat timahnya kelantai. Begitu tenangnya
siansu itu menuju kegelanggang pertempuran, se-olah2
pertempuran mati hidup yang berlangsung disitu, tak
dihiraukan sama-sekali.
Munculnya siansou itu telah disambut dengan perasaan
girang oleh sekalian orang gagah. Tapi merekapun hanya
melihatnya sebentar, lalu memandang lagi kepada 4 tokoh
yang tengah bertempur itu. Kini Tay Siang siansu hanya
empat lima tindak jaraknya dari keempat orang itu. Tiba2
tampak dia rangkapkan kedua tangannya lalu melafalkan
petuah ajaran agama: "Lam-bu-o-mi-to-hud, siancay.....!
Penasaran mudah didendam tak mudah dihimpas. Biarlah
untuk sicu berempat, kuwakilkan menghimpasnya!"
Habis memantra doa, guru agung itu lalu mengangkat
tongkatnya per-lahan2 Kang Siang Yan dan Ceng Bo
siangjin adalah bangsa kun-cu (ksatrya). Tahulah mereka
berdua bahwa siansu itu kini telah mencapai tingkat
kesempurnaan bathin, dimana hatinya sun yi akan rasa budi
dan dendam. Maksud siansu Itu yalah hendak melerai agar
mereka berempat tak sampai mengalami kecelakaan apa2.
Dengan ilmu kepandaian yang sukar dijajaki itu, Tay Slang
hendak menjadi pendamai. Benar dalam hati Kang Siang
Yang dan Ceng Bo tak menginginkan hal itu, namun
merekapun tak marah karenanya.
Beda dengan jalan pikiran Hwat Siau dan Swat Moay.
Tindakan Tay Siang siansu itu lepas dari rasa ewang2an
(berfihak), tapi seperti pepatah mengatakan "pikiran siaojin
(orang rendah) tak dapat mengukur hati kun-cu",
demikianlah terjadi dengan Hwat Siau dan Isterinya.
Mereka salah duga kalau Tay Siang siansu itu tentu hendak
membantu pada Kang Siang Yang berdua. Sampai dimana
kelihayan siansu itu, Swat Moay pernah merasakan sendiri.
Kalau sampai siansu tersebut memberi bantuan dengan
tongkatnya, wah tentu celakalah mereka dibuatnya. Urat
hancur nadi luluh, bukanlah suatu hal yang tak mungkin.
Dalam kegugupannya Hwat $iau dan Swat Moay segera
kerahkan tenaganya untuk mendorong se-kuat2nya pada
Kang Siang Yang dan Ceng Bo. Habis itu hendak mereka
menarik pulang lwekangn ya untuk loncat lolos. Mereka tak
mau menerima goodwill Tay Siang. Kang Siang Yan dan
Ceng Bo tahu akan maksud lawan, dan sudah tentu mereka
tak mau melepaskan mereka, Ketika Hwat Siau dan
isterinya menarik pulang lwekangnya, Kang Siang Yan dan
Ceng Bo cepat lancarkan lwekangnya untuk mendesak dan
hasilnya baru saja kaki kedua suami isteri durjana itu dapat
mengisar kesamping setengah tindak atau mereka sudah
ngelumpruk jatuh ditanah tanpa bersuara lagi
Dengan kesudahan itu tahulah Kang Siang Yan dan
Ceng Bo bahwa kedua lawannya itu kalau tidak binasa
tentu lumpuh punah ilmu kepandaiannya. Mereka tak mau
mendesak lagi melainkan terus loncat menyingkir dibawah
hujan tampik sorak sekalian orang gagah.
"Siancay.....! Sekalipun aku tak menumpas kebajikan,
tapi karena akulah maka kebajikan telah tertumpas. Sicu
berdua, walaupun telah punah kepandaian, tapi jiwa tetap
terpelihara. Pulanglah untuk beristirahat!" kedengaran Tay
Siang sianau menghela napas dan berbangkitlah Hwat Siau
serta isterinya. Hanya saja kini gaya perbawanya sebagai
seorang tokoh silat yang sudah sirna kepandaiannya.
Oleh karena kedua benggolan itu sudah menjadi orang
"biasa", sekalian orang gagahpun tak tegah untuk
menganiaya lebih jauh dan biarkan mereka berlalu.
Sebelum mengangkat kaki, Hwat Siau dan Swat Moay yang
menderita 'kekalahan secara begitu penasaran, menumpahkan isi hati secara ironis: "Kami telah menjadi
orang lumpuh tanpa guna dan jalan darah budak
perempuan itupun tak dapat kami buka lagi Jadi se-
kurang2n ya kami masih mempunyai seorang kawan
sekubur!" Habias mengucap, kedua suami isteri itu perdengarkan
suara ketawa yang sinis sekali. Tanpa menoleh lagi, Hwat
Siau segera gandeng tangan isterinya untuk diajak berlalu.
Sebaliknya sekalian orang ketika mendengar ejekan itu,
malah seperti orang disadarkan. Apakah Yan-chiu masih
hidup" Demikian timbul keraguan mereka. Dan berpuluh
matapun segera memandang kearah tubuh sigenit yang
masih menggeletak ditanah. Hai, mengapa wajah nona itu
kini memancarkan cahaya segar"
"Ajaib sekali!" tiba2 kedengaran Tay Siang siansu
membuka mulut, "siapakah yang mengajarkannya supaya
mengerahkan daya guna dari mustika batu itu?"
Sudah tentu semua orang tak mengerti apa yang
dikatakan oleh guru besar itu dan buru2 menanyakannya.
Maka berkatalah guru besar itu: "Endapan lumpur didasar
sumur itu telah mengalami proses menggerakkan daya-guna
mustika batu. Nona kecil itu tidak saja meminum lumpur,
tapi seluruh pancainderanya pun telah kemasukan air
lumpur itu. Suatu siksaan yang sukar diderita. Bahwa tanpa
disengaja ia telah mengalami penderitaan itu, adalah suatu
hal yang sukar dipercaya! Oleh karena daya guna mustika
batu itu sudah mulai berkembang, maka kesaktiannya dapat
menghidupkan kembali orang yang sudah meninggal. Kini
budak perempuan Itu sudah tak kena apa2, lo-ceng hendak
pergilah!"
Hanya beberapa saat terdengar tok...., tok...., ujung
tongkat mengetuk tanah, karena pada lain saat guru besar
itu sudah lenyap dari pemandangan. Benar juga sepeminum
teh lamanya, tiba2 mulut Yan-chiu menguak. Saking
girangnya Tio Jiang sampai menangis!
Setelah membuka mata dan dapatkan, dirinya dikerumuni oleh sekian banyak orang, Yan-chiu terbeliak
kaget, serunya: "Suko, harta karun Thio Hian-tiong itu
berada didasar sumur. Tapi dibawah papan batu, ada
pekakasnya, hati2lah!"
Begitulah besarnya tanggung jawab nona itu terhadap
kepentingan perjoangan.
Memang walaupun ia seorang nona yang genit, namun
hatinya berjiwa patriot.
Cepat2 Tio Jiang tuturkan secara singkat apa yang
dikatakan Tay Siang siansu tadi. Saat itu Yan-chiu rasakan
semangatnya berlipat ganda segar, lalu menggeliat duduk.
"Lekas ambil harta karun itu, basmi kawanan penjajah!"
serunya serentak.
Terpaksa geli juga sekalian orang dibuatnya melihat
kelakuan sigenit itu. Diantara sekian banyak orang, tiada
seorangpun yang sanggup menandingi Kang Siang Yan
dalam hal ilmu kepandaian didalam air. Sewaktu
meyakinkan ilmu lwekang thay-im-kang, nyonya gagah itu
dapat membenam diri didasar laut selama 7 hari 7 malam.
"Pekakas apa yang terdapat didasar sumur Itu?" tanya
Kang Siang Yang serempak.
"Entahlah, tak jelas. Hanya yang terasa dapat
memancarkan tenaga putaran yang kuat sekali," jawab Yan-
chiu. "Ah, mudahlah!" seru Kang Siang Yang sembari terus
loncat masuk kedalam sumur. Begitu indah gerakan nyonya
itu dan yang istimewa sedikitpun tak mengeluarkan suara
apa2. Tak berselang berapa lama, kedengaran air beriak dan
muncullah nyonya gagah itu dari dalam sumur. "Hai.....,
apakah gerangan yang dibawanya itu " Sepasang tangannya
merakup segenggam benda yang ber-kilau2an cahayanya,
intan berlian, ratna mutu manikam se-besar2 mata kucing,
Kesemuanya merupakan benda pusaka yang jarang terdapat
didunia. Dengan dua genggam ratna mustika itu saja,
cukuplah sudah untuk pembeli rangsum selama satu bulan
untuk belasan ribu anak buah Thian Te Hui. Sudah tentu
kegirangan sekalian orang sukar dilukskan.
Tanpa diminta lagi menuturlah Kang Siang Yan:
"Pekakas itu kiranya sebuah roda besar dan telah kupapas
putus. Siapa saja yang pandai berenang, supaya turun
mengambil harta Itul"
Mulut sumur itu walaupun atasnya tidak cukup untuk
dimasuki satu orang, tapi bagian bawahnya lebar. Begitulah
dalam waktu yang singkat saja, turunlah 5 orang untuk
secara berholopis kuntul baris (ber-gotong royong),
mengambili harta karun itu. Menjelang terang tanah,


Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seluruh harta karun itu. telah diangkut keluar, semua
berjumlah dua peti besar. Ketika sekalian orang masuk
kembali kedalam ruangan, ternyata The Go dan Ciok Siao-
lan sudah tak berada disitu. Ketika ditanyakan kepada
hweshio disitu, ternyata setelah mendengar bahwa harta
karun itu sudah dapat diketemukan, The Go lalu ajak Siao-
lan tinggalkan gereja itu entah pergi kemana. Kelak
dikemudian hari kedua orang itu telah mendapat penemuan
yang luar biasa dan berhasil meyakinkan suatu ilmu
kepandaian yang sakti. Cian-bin Longkun The Go yang
berlumuran dosa itu, akhirnya telah insyaf kembali kejalan
yang terang. Oleh karena dalam buku ini tak dituturkan bagaimana
lelakon The Go dan Ciok Siao-lan lebih jauh, maka baiklah
kita tinggalkan dulu dan mengikuti saja keadaan sekalian
orang gagah rombongan Ceng Bo siangjin itu.
---o-dwkz-0-tah-o---
Setelah mendapatkan harta karun, hasil dari permusyawarahan diputuskan menunjuk Kang Siang Yan,
Kui-ing-cu, Thaysan sin-tho Ih Liok dan Sin-eng Ko Thay
untuk menuju ke Siam (Muang Thai) dan Burma
(Vietnam), menukarkan harta itu dengan beras. Perjalanan
itu harus melalui daerah Kwisay dan Hunlam yang kurang
aman, tapi rasanya dengan keempat pengawal yang
sedemikian lihaynya itu, pasti akan dapat mencapai tempat
tujuan dengan selamat.
Setelah itu Ceng Bo lalu ajak rombongannya berikut Tay
Wi dan Siau Wi kedua orang utan itu, kembali ke Giok-li-
nia. Berita tentang berhasil diketemukannya harta karun
Thio Hian-tiong yang selama ini hanya merupakan mythos
(dongeng) dalam dunia persilatan, telah disambut dengan
gegap gempita oleh anak buah Thian Te Hui,
Tapi disamping itu ada juga kejadian yang menyedihkan.
Utusan yang dikirim Thian Te Hui untuk bersarekat dengan
jenderal Li Seng Tong yang bermarkas di Kwiciu utara,
sebenarnya telah mencapai penyelesaian yang memuaskan.
Tapi tiba2 jenderal itu mendapat laporan tentang apa yang
telah terjadi di Kwiciu, yalah bahwasanya nona
kesayangannya, Ciok Siao-lan, telah lolos ke Lo-hu-san.
Saking murkanya,
jenderal itu segera perintahkan membunuh utusan Lo-hu-san. Kalau saja tak menguatirkan
adanya serangan fihak Ceng yang setiap saat dapat terjadi,
siang2 Li Seng Tong pasti sudah memimpin tentaranya
untuk menggempur Lo-hu-san.
Sejak itu perangi Li Seng Tong tampak berobah. Dari
seorang jenderal brilliant (cemerlang), dia berobah menjadi
seorang yang limbung, gemar membunuh anak buahnya
dengan se-wenang2 dan beberapa kali menderita kekalahan.
Kecuali beberapa orang kepercayaannya, boleh dikata
seluruh anak buahnya telah hilang kesetiaannya kepada
jenderal itu. Tahun kedua bulan dua, tiba2 ditengah malam keadaan
markasnya meajadi panik. Hiruk pikuk orang datang
melapor tentang pemberontakan yang timbul dikalangan
anak buah atau tentang tentara Ceng menyerang. Kebetulan
pada saat itu, Li Seng Tong tengah mabuk. Tanpa sadar lagi
dia segera cemplak seekor kuda terus dilarikan se-
kencang2nya tanpa arah tujuan yang tertentu. Oleh karena
para anak buahnya sudah jemu dengan jenderal itu, maka
tiada seorangpun yang mengikutinya. Kuda itu mencongklang seperti layang2 putus menuju ketengah
sebuah sungai, dan binasalah jenderal itu ditelan arus.
Demikian akhir kisah seorang jenderal perang yang pandai
dan cemerlang tapi tak mempunyal pendirian yang teguh.
Tepat pada waktu ransum markas di Lo-hu-san habis,
maka datanglah rombongan Kang Siang Yan berempat
dengan membawa ransum dalam jumlah yang besar sekali.
Ransum makanan itu diangkut dengan perahu dan berlabuh
dilaut selatan. Setelah selesaikan tugasnya, Kang Siang Yan
lalu kembali kegunung untuk menjemput cucunya (putera
Bek Lian) yang dititipkan pada, seorang keluarga petani
disitu. Tapi untuk kekagetannya, ternyata keluarga Itu
sudah pindah entah kemana.
Sejak memperoleh peraediaan ransum itu, kekuatan
Thian Te Hui makin kuat. Perserekatan itu mempunyai
pengaruh besar sekali didaerah Kwiciu timur. Pada waktu
itu, gerakan pembebasan yang dipimpin oleh The Seng
Kong (Coxinga) tetap melakukan operasinya didaerah
Amoy. Pemimpin Itu tak mau mengindahkan perintah
kerajaan Ceng untuk menaluk. Dengan The Seng Kong
didaerah Amoy dan Thian Te Hui di Lo-hu-san, kekuatan
tentara Ceng didaerah selatan menjadi terjepit. Terpaksa
fihak tentara Ceng menarik diri untuk ambil jalan memutar
dari Kangse, melintasi Bwe-ling lalu masuk ke Kwitang.
Tapi terhadap benteng pertahanan patriot2 Lo-hu-san,
mereka tak dapat berbuat apa2. Pemerintah Ceng berganti
gunakan siasat menunggu waktu. Benar juga 3 tahun
kemudian, habislah sudah persediaan ransum para pejoang
kemerdekaan itu dan sejak Itu morat maritlah organisasi
perlawanan mereka. Pemimpina mereka yang gagah
perkasa terpaksa cerai berai.
Sewaktu Tio Jiang dan Yan-chiu masih bertugas menjaga
Kwiciu timur, karena hari itu agak senggang, mereka lalu
ber-sama2 mencuri kesempatan untuk menjenguk kekampung halaman Giok-li-nia. Setelah pamit kepada
Ceng Bo, mereka lalu berangkat.
Cuaca pada bulan 11 amatlah cerahnya. Biara Cin Wan
Kuan tempat keduanya digembleng dahulu masih tetap
tegak berdiri dengan megahnya, hanya saja keadaan biasa
itu sudah tak terurus lagi. Disana-sini penuh ditumbuhi
rumput dan alang2.
Tegak ter-longong2 kedua muda-mudi itu memijakkan
kakinya diatas puncak Giok-li-nia atau Kepundan Bidadari
sampai sekian saat. Lautan awan putih bertebaran
berlapis2, menutupi suatu rahasia hidup dari jaman ke
jaman. Se-konyong2 tampak ada dua buah titik putih menyusup
diantara lapisan awan itu, me-layang2 bagaikan carik kertas
ditlup angin. Ketika melayang dekat, kiranya benda2 itu
adalah dua ekor kupu2 rama (kupu2 besar, berwarna dasar
coklat muda sampai tua).
"Suko, apakah kau masih ingat ketika menangkap kupu2
sian-tiap untuk mengambil hati Lian suci dahulu?" tiba2
Yan-chiu berseru sembari menunjuk kearah kupu2 itu.
Teringat akan suci mereka yang kini kabarnya telah ment
rambut menjadi nikoh (rahib) tak ketahuan rlmbanya
(tempat tinggalnya), hati mereka terasa rawan pilu.
Diganggu dengan kenangan yang memilukan ttu, mereka
buru2 tinggalkan puncak gunung itu.
T A M A T (Lanjutan nya adalah Heng Thian Siau To)
Bukit Pemakan Manusia 14 Rumah Judi Pancing Perak Pendekar 4 Alis Karya Khu Lung Pedang Berkarat Pena Beraksara 10
^