Pencarian

Nona Berbunga Hijau 1

Nona Berbunga Hijau ( Kun Lun Hiap Kek ) Karya Kho Ping Hoo Bagian 1


NONA BERBUNGA HIJAU
(KUN-LUN HIAP-KEK)
Asmaraman S. Kho Ping Hoo
01. Ternak Berbicara di Tibet.
Pegunungan Himalaya memanjang tanpa batas. Puncak-puncaknya menjulang tinggi menyambung bumi dengan langit. Puncak-puncak yang putih tertutup salju, tak pernah tampak, ditelan awan. Kokoh kuat tak pernah goyah diterjang awan setiap saat. Dilihat dari jauh seperti naga raksasa tengah tidur bertapa. Belum pernah ada kaki manusia dapat menjelajah puncakpuncak yang tersembunyi dibalik awan. Jangankan manusia, malah segala macam burung yang bersayap sekalipun tidak kuat terbang sampai ke puncak-puncak itu.
Daerah propinsi Tibet memang merupakan daerah pegunungan, dimana-mana hanya pegunungan dan tanah tinggi. Di sebelah selatan dan barat terbaris Pegunungan Himalaya dengan puncak-puncak pegunungan Kun-lun dan di sebelah timur menghadang pegunungan Tangla. Dikepung gunung-gunung raksasa ini, Tibet merupakan daerah terpencil, terasing dari dunia luar menjadi daerah yang penuh rahasia dan kegaiban.
Di mana-mana tampak salju keputihan kalau kita melihat daerah ini dari angkasa. Hanya di sanasini ada kelompok batu-batu, hutan-hutan kecil yang hanya ditumbuhi pohon-pohon yang tahan dingin, kalau boleh bicara tentang tanah subur, agaknya hanya disepanjang sungai Yalu-cangpo saja yang merupakan lembah yang mengandung tanah subur. Di sinilah tempat orang-orang Tibet bercocok tanam, bertani.
Di sini pula banyak orang yang tinggal.
Seperti juga keadaan di seluruh Tibet pada masa itu, di sepanjang lembah sungai ini yang berkuasa adalah bangsawan-bangsawan kaya raya yang menjadi tuan-tuan tanah, dan tentu saja para pendeta Lama. Sesungguhnya para pendeta Lama inilah yang memegang kekuasaan tertinggi karena pengaruh agama Buddha yang sudah diputar balik menjadi semacam kepercayaan tahyul. Para Lama ini memegang kekuasaan dengan pengaruh mereka yang penuh rahasia, yang membuat mereka menjadi Buddha-Buddha hidup, menjadi semacam makhluk super-human, lebih tinggi tingkat hidup mereka dari pada manusia biasa. Tentu saja ini anggapan rakyat Tibet yang sudah dijejali pelbagai ketahyulan, di"lolohi" cerita gaib dan ditipu dengan pertunjukan-pertunjukan ilmu sulap dan ilmu hitam.
Akan tetapi oleh karena para tuan tanah dan bangsawan itu kaya raya dan dapat mendatangkan banyak barang-barang indah dari dunia barat dan timur, royal pula dengan membagi-bagi hadiah atau menyuap, maka para pendeta Lama ini bahkan menjadi kaki tangan mereka. Tentu saja bukan semua pendeta Lama berwatak rakus, mata duitan dan jahat. Akan tetapi sedikit yang baik dan betul-betul saleh menjalankan kewajiban agamanya, merupakan beberapa butir beras baik di antara sepanci beras buruk, mereka ini tidak berpengaruh lagi dan bahkan takut akan suara hati sendiri. Memang sudah lazim bahwa orang-orang baik di antara banyak orang jahat, malah dianggap jahat.
Di sebelah utara sungai, di lembah yang paling subur tanahnya tampak bangunan-bangunan indah dari gedung para tuan tanah, rumah-rumah besar para bangsawan, yaitu para pembesar yang ditunjuk atau diangkat oleh perwakilan dari kerajaan besar di timur, yaitu kerajaan Goantiauw (Mongol) yang dengan cepatnya telah dapat menguasai seluruh Tiongkok dan malah merembes keluar Tiongkok. Pembesar-pembesar yang hanya beberapa belas orang banyaknya ini hidup dari pajak-pajak yang mereka atur sendiri, dan terutama sekali hidup dari sokongan tuan-tuan tanah yang kaya raya itu sehingga mereka inipun merupakan kaki tangan tuan tanah yang berhak mengadili dan membenar atau mensahkan segala macam perbuatan para tuan tanah. Selain bangunan besar-besar tempat tinggal para tuan tanah dan para pembesar ini, juga tampak bangunan-bangunan kelenteng yang besar-besar tempat tinggal para pendeta Lama.
Bangunan ini berada di tempat yang tinggi, agak jauh di sebelah utara sungai. Sedangkan dekat dengan sungai, di antara sawah ladang, adalah perkampungan hamba tani atau hamba sahaya yang menjadi budak belian dan menjadi milik para tuan tanah itu. Budak-budak ini tidak mempunyai kemerdekaan dan hak sama sekali. Bahkan mereka tidak berhak atas nyawa dan tubuh sendiri, tiada bedanya dengan ternak. Ya, memang mereka ini dianggap ternak dan disebut "ternak berbicara" oleh para tuan tanah.
Dan apa kata pendeta-pendeta yang dianggap sebagai manusia super human yang murni. Buddha-Buddha hidup itu" Mereka menegaskan dengan suara sungguh bahwa para hamba tani atau budak itu adalah orang-orang yang dilahirkan untuk menebus dosa-dosa mereka dalam penjelmaan dahulu.
"Jadilah kamu orang-orang yang taat akan perintah tuanmu, memberontak adalah dosa besar sekali. Hanya dengan hidup taat dan saleh, kamu akan dapat mengurangi sedikit dari dosadosamu yang sudah bertumpuk-tumpuk dan kelak dalam penjelmaan mendatang akan menjadi
orang yang lebih baik nasibnya." Demikianlah ucapan yang selalu terdengar oleh para budak, dan tentu saja mereka percaya penuh karena ucapan ini keluar dari mulut pendeta-pendeta Lama yang suci murni.
Di dusun Loka ini hanya ada lima orang tuan tanah dan yang paling kaya dan paling berpengaruh adalah Yang Can. Kalau tuan tanah-tuan tanah yang lain hanya memiliki paling banyak dua ratus orang hamba sahaya, Yang Can mempunyai tiga ratus keluarga budak yang terdiri dari empat ratus jiwa lebih. Tanahnya luas sekali, merupakan tanah-tanah yang paling subur di sepanjang sungai Yalu-cangpo.
Yang Can adalah seorang peranakan Nepal yang semenjak kecil dibawa ayahnya merantau ke pedalaman Tiongkok. Ibunya seorang suku bangsa Tibet dan semenjak kecil ia telah menjadi tuan tanah yang kaya raya di Tibet. Pengaruhnya amat besar dan selain kaya raya, ia juga dianggap paling pandai karena banyak berkelana ke "dunia barat" dan dunia timur. Rumah gedungnya paling besar dan boleh dibilang di desa Loka ia menjadi raja kecil yang kekuasaannya tak terbatas. Gedungnya yang besar amat mewah. Lantai gedungnya dihias permadani dari Persi, dindingnya penuh lukisan dan tulisan indah dari Tiongkok. Perabot-perabot rumahnya dari bahan kayu terbaik, diukir aneka macam dan terutama sekali, gandum di gudangnya yang besar sampai banyak yang membusuk.
Di pinggir sungai, hanya beberapa ratus meter dari rumahnya diperkampungan para budak, rumah-rumah para hamba sahaya itu amat menyedihkan keadaannya. Sebetulnya tidak patut disebut rumah tempat tinggal manusia. Lebih pantas kalau disebut kandang-kandang babi atau paling baik kandang-kandang kuda. Rumah gubuk tanpa perabot sama sekali, makan, duduk, tidur di atas tanah saja yang ditilami abu dari tai lembu-yak yang dibakar untuk penahan kedinginan tanah yang lembab. Inipun hanya merupakan sisa abu yang dipergunakan sebagai rabuk tanah. Bukan hal aneh kalau seorang budak dicambuki sampai mati hanya karena lantai rumahnya ditutupi abu tai lembu-yak terlampau tebal yang berarti pemborosan dan
penghamburan pupuk.
Waktu itu musim panen tiba. Berkat kerja paksa yang tak pernah kenal lelah, pemeliharaan tanaman yang tertib, panen kali ini berhasil baik. Semua tenaga budak dikerahkan untuk 3
mengumpulkan hasil panen. Gandum membanjiri gudang-gudang terutama gudang tuan tanah Yang Can sampai melimpah-limpah. Penjagaan diperkeras sehingga tak sebutirpun dapat dicuri budak.
Seorang pemuda yang berpakaian mewah, berwajah tampan dengan bertopi tinggi dan pakaian sutera, bertolak pinggang sambil tertawa-tawa, menjaga di depan gedung mengawasi para budak yang terbungkuk-bungkuk memanggul hasil panen dan memasukkannya ke dalam
gudang. Pemuda ini adalah Yang Nam, putera tunggal tuan tanah Yang Can yang terkenal lebih kejam dari pada ayahnya dan mempunyai watak yang amat buruk, mata keranjang dan licik. Dia lebih disegani dari pada ayahnya karena siapakah yang tidak tahu akan kepalan besinya" Siapa tidak takut menghadapi pemuda ini yang biarpun usianya baru delapan belas tahun namun memiliki tenaga melebihi sepuluh orang" Yang Nam adalah murid dari Lama Besar Thouw Tan Hwesio seorang pendeta Buddha berkepala gundul berjubah kuning, seorang ahli ilmu silat juga seorang ahli ilmu hoatsut (sihir).
Pemuda pesolek ini sikapnya jumawa sekali, dengan sebatang tongkat bambu kecil ia memeriksa setiap angkutan gandum dan membentak-bentak kalau seorang membawa muatan terlampau
sedikit. Kadang-kadang ia mencambuk punggung seorang hamba sambil tertawa-tawa dan
hamba itupun hanya tersenyum menyeringai, tak berani mengaduh tak berani mengeluh.
Seorang gadis Tibet yang berusia lima belas tahun, datang terbungkuk-bungkuk memanggul muatan gandum. Gadis ini seperti juga hamba-hamba lain, berpakaian butut seperti pakaian jembel, akan tetapi pakaian butut itu tak dapat menyembunyikan bentuk tubuhnya yang
menarik, langsing dan penuh seperti bunga baru mulai mekar. Kulit mukanya agak menghitam terbakar teriknya matahari di sawah, namun tak dapat menyembunyikan halusnya kulit dan jelinya mata, mancungnya hidung dan manisnya bentuk mulutnya, ditambah warna kemerahan di kedua pipinya oleh santernya jalan darah akibat kerja keras. Inilah Ci Ying, puteri seorang hamba bernama Ci Leng yang pada waktu itu juga tengah sibuk bekerja di sawah.
Sudah seringkali Ci Ying digoda secara kurang ajar oleh Yang Nam, akan tetapi gadis itu tidak melayaninya, berpura-pura bodoh dan selalu menjauhkan diri. Yang Nam tidak pernah berhenti merindukan gadis ini, akan tetapi ia agak malu untuk melakukan paksaan oleh karena ayah gadis ini, Ci Leng, terkenal sebagai hamba yang agak pandai dari pada yang lain, yang mengenal huruf dan sering kali membantu ayahnya dalam mengerjakan pembukuan.
Akan tetapi pada saat itu, melihat gadis manis itu berjalan dengan lenggang menggiurkan, lenggang yang tidak dibuat-buat akan tetapi menggairahkan karena gadis itu sedang memanggul muatan berat, hati Yang Nam berdebar dan kurang ajarnya timbul.
"Ci Ying, jangan kau memanggul gandum terlalu banyak, kasihan kedua lengan dan pundakmu yang halus," kata Yang Nam dengan suara dibuat-buat agar terdengar manis. Akan tetapi Ci Ying berjalan terus sambil menundukkan mukanya, sedikitpun tidak melirik.
"Kau malah boleh beristirahat, tak usah bekerja. Kau di sini saja, membantu aku mengawasi pemasukan gandum," kata Yang Nam lagi.
"Harap tuan muda jangan menahanku, di sawah banyak pekerjaan. Kalau terlihat aku berhenti, tentu Thiat-tung Hwesio akan marah," kata Ci Ying lirih menahan marah. Thiat-tung Hwesio atau Hwesio Bertongkat Besi adalah seorang pendeta Lama yang ditugaskan menjaga orang-orang yang bekerja menuai gandum. Hwesio ini berdiri atau berjalan hilir mudik dengan toya besinya dipanggul, toya besi yang berat dan besar. Matanya melotot memandang ke sana ke mari seperti seekor anjing besar menjaga sekelompok domba.
4 Mendengar kata-kata Ci Ying, Yang Nam hanya tertawa hahah-heheh dan membiarkan gadis itu menyimpan gandum di dalam gudang yang sudah penuh padat. Akan tetapi ketika gadis itu berjalan keluar dari gudang, dengan secara kurang ajar sekali Yang Nam menggunakan tongkat bambunya mencolek baju gadis itu yang robek di bagian atas dada dekat pundak, mencoba untuk menyingkap baju robek itu. Untuk sedetik nampak kulit dada yang putih bersih.
"Kongcu (tuan muda) .....!" Ci Ying berseru, cepat menutupkan kembali bajunya yang robek.
Mukanya merah, matanya menentang berani, bernyala-nyala, kepalanya dikedikkan dan dadanya terangkat turun naik. Entah mengapa, sinar mata gadis ini membuat Yang Nam kehilangan nyalinya. Ada sesuatu pada gadis ini yang amat berpengaruh, yang membuat pemuda itu tidak berani bertindak lebih lanjut kecuali tersenyum-senyum menyeringai kuda.
"Ci Ying jangan kurang ajar kepada tuan muda. Kau berdosa ......" terdengar suara teguran seorang kakek hamba yang sudah biasa hidup menjilat-jilat pantat tuan tanah dan puteranya dalam usahanya memperbaiki nasibnya. Ci Ying meninggalkan tempat itu dengan kemarahan ditahan di dada dan dua titik airmata menetes pada pipinya tak terasa.
Kakek penjilat itu sambil membungkuk-bungkuk di depan Yang Nam, dengan sikap bermukamuka berkata, "Maafkan dia kongcu yang mulia. Seorang anak perawan memang suka berpurapura galak, akan tetapi kalau sudah dapatkan dia, heh-heh-heh-heh ....."
Yang Nam sedang jengkel karena sikap Ci Ying tadi yang tidak menyenangkan hatinya, tidak memuaskannya. Kini melihat kakek ini bermuka-muka, ia menjadi sebal dan sebuah
tendangannya membuat kakek itu terjungkal. Celakanya ketika ia jatuh, padi gandum yang tadi dipanggulnya menimpa kepalanya sehingga keningnya menumbuk batu dan berdarah. Akan
tetapi sambil mengumpulkan gandum yang berantakan ia masih terheh-heh tidak berani
memperlihatkan rasa sakit, masih sempat bermuka-muka biarpun hatinya berdebar ketakutan.
Sifat pengecut dan menjilat-jilat seperti inilah yang membuat nasib para budak di Tibet makin memburuk sampai berabad lamanya. Orang macam penjilat ini memang tidak lebih patut
diperlakukan seperti seekor anjing. Biarpun ia menjilat dengan usaha memperbaiki nasib dan memperingan beban hidupnya, namun dengan jalan menjilat berarti ia hanya memikirkan diri sendiri dan sudah dapat dipastikan bahwa seorang penjilat adalah seorang keji yang tidak segansegan mengorbankan kawan-kawan demi keselamatan diri sendiri.
Kakek itupun tidak segan-segan memperlihatkan sifatnya yang buruk dengan berkata perlahan ketika hendak pergi dari gudang itu untuk mengangkut gandum lagi. "Kalau kongcu
menghendaki, hamba dapat bicara dengan Ci Leng ...."
"Pergi kau, anjing!" Yang Nam memaki dan orang itu pergi, masih tidak lupa menganggukangguk seperti orang berterima kasih mendapat hadiah besar.
Hanya Ci Leng yang dapat melihat perubahan pada muka anaknya yang biasanya periang itu ketika Ci Ying kembali ke sawah. Ci Leng yang berusia empat puluh lima tahun itu bertubuh tinggi kurus bersemangat besar, mendekati puterinya dan bertanya lirih, "Ying-ji (anak Ying), ada apakah?"
Mendengar pertanyaan ini, seperti air sungai Yalu-cangpo membanjir air mata dari sepasang mata yang bening itu. Ci Ying tidak biasa dimanja, ia menggigit bibir menahan perasaan, hanya menjawab singkat.
"Yang Nam kongcu kurang ajar."
5 Ci Leng menghela napas panjang. Ketika ibu anaknya melahirkan Ci Ying, iapun dahulu menarik napas panjang. Alamat buruklah bagi keluarga budak apabila melahirkan seorang anak
perempuan. Kalau buruk rupa takkan laku kawin, kalau cantik akan menjadi korban tuan-tuan tanah. Ini sudah merupakan kelaziman yang tak dapat dibantah pula. Makin besar Ci Ying, makin cantik anak itu, makin besar pula kekhawatiran hati Ci Leng dan sekarang kekhawatirannya mulai memperlihatkan kenyataan. Ia hanya bisa menggunakan ujung bajunya yang butut menyusut air mata dari pipi Ci Ying.
"Tenanglah, jangan kehilangan semangat. Selama aku masih terpakai oleh tuan besar, kau aman. Biar sore nanti aku bicarakan tentang ikatan perjodohanmu dengan pandai besi Wang Tun," katanya menghibur.
Mendengar ini, makin merah muka Ci Ying, bukan merah karena marah, melainkan merah karena jengah. Akan tetapi hatinya berdebar gembira dan ia mulai bekerja lagi penuh semangat mengumpulkan gandum. Peristiwa yang menyakitkan hatinya tadi sudah terlupa oleh kata-kata ayahnya. Terbayanglah di depan matanya wajah seorang pemuda yang tegap dan gagah, Wang Sin, berwajah gagah bertubuh kokoh tegap, paling pandai menunggang kuda, bertenaga besar dan terkenal sebagai seorang pemuda pemberani. Wang Sin pemuda berusia tujuh belas tahun, tunangannya.
Tiba-tiba terdengar teriakan ngeri disusul makian dan suara orang bersambatan minta ampun. Ci Leng dan puterinya, juga semua budak yang sibuk bekerja, menengok untuk menyaksikan
peristiwa yang tidak asing lagi, malah terlampau sering terjadi di antara mereka. Seorang hamba laki-laki berusia tiga puluhan sedang dihajar oleh Thiat-tung Hwesio karena berusaha menyembunyikan beberapa batang gandum di balik bajunya. Sekali pukul dan sekali tendang saja sudah cukup membuat hamba itu menggelepar di atas tanah, setengah pingsan.
Thiat-tung Hwesio memanggil seorang tukang pukul yang biasa dijuluki anjing-anjing penjaga tuan tanah dan budak yang mencuri gandum itu diseret pergi.
"Losuhu .... ampunkan suami saya ...., ampunkanlah dia dan jangan dilaporkan kepada Loya (tuan besar) .... dia mengambil gandum untuk anak kami yang baru lahir ...." Seorang hamba wanita memohon-mohon sambil berlutut dan menyembah-nyembah hwesio itu.
Thiat-tung Hwesio menendang perempuan itu sampai bergulingan di atas tanah lumpur. Air susu bercucuran keluar dari dada perempuan yang belum lama melahirkan anak itu, bercampuran dengan air mata dan air lumpur. "Losuhu, ampuni dia ... ampuni ....!" tangisnya dengan suara serak.
"Diam kau! Hayo bekerja lagi! Maling-maling hina dina tak tahu diri. Kalau banyak cerewet ku kemplang kepalamu," bentak hwesio itu.
Beberapa orang budak segera membangunkan perempuan itu dan menghiburnya agar bekerja kembali karena kalau tidak tentu hwesio itu menjadi makin marah dan akan terjadi lain penyiksaan. Dengan isak tangis tertahan perempuan itu melanjutkan pekerjaannya, setiap kali teringat akan nasib suaminya ia tersedu, hatinya seperti ditusuk-tusuk. Dari jauh terdengar suara teriakan-teriakan para "anjing penjaga" tunan tanah. "Potong tangan! Kerat lidahnya!" Semua orang yang mendengar ini meremang bulu tengkuknya dan perempuan itu menjadi makin pucat dan tentu akan roboh pingsan kalau Ci Leng tidak cepat-cepat memeluk dan menolongnya.
Ci Leng menarik napas panjang lagi, menggeleng-geleng kepala dan mengangkat kepala
memandang langit yang agaknya ayem saja menyaksikan peristiwa-peristiwa ini. "Hidup yang 6
sekarang untuk kebaikan hidup kemudian ..... ini kata suci para pendeta. Sampai berapa ratus kali penjelmaankah hidup akan menjadi baik?" demikian pikirnya dan kembali ia menarik napas panjang.
Sementara itu, seorang nenek tua di dalam gubuk butut, kedua kakinya sudah lumpuh,
menimang-nimang seorang bayi yang baru berusia beberapa hari, bayi merah telanjang yang menangis menjerit-jerit. Nenek itu menggerak-gerakkan pahanya dan menyeret kedua kaki tangannya itu untuk mencoba maju mundur mendiamkan tangis cucunya.
"Diamlah cucuku manis ..... diamlah jangan menangis saja. Ayah bundamu sedang bekerja di ladang, panen sawah baik hasilnya, pembagian para budak tentu agak banyakkan ...! Diamlah, nanti ayah bundamu pulang membawa hadiah gandum .... kau akan dibelikan baju." Anak itu menangis terus sampai megap-megap. Nenek tua itu dengan mengesot menghampiri bilik di mana tergantung beberapa padi gandum, mengambil beberapa butir lalu mengunyah beras
gandum dengan mulutnya yang sudah ompong. Biarpun sukar, karena terkena air ludah lamalama gandum itu hancur juga dan dimasukkannya dari mulut ke mulut bayi itu yang agaknya
kelaparan dan kehausan.
"Nah, diamlah, cucuku manis. Mari berselimut abu hangat, anakku" Cucuku gagah, cucuku manis, kelak menjadi pelayan di gedung tuan besar!" Nenek itu menimang-nimang cucunya yang kecapaian menangis dan kini tertidur. Anak itu, juga neneknya, tidak tahu betapa ayah bayi itu disiksa hanya karena hendak mengambil beberapa batang gandum untuk keluarganya.
Sampai jauh senja pekerjaan menuai gandum itu selesai di bagian yang ditentukan dan semua budak pulang ke rumah masing-masing dengan tubuh lemas kelelahan. Tidak hanya tubuh yang lemas karena lelah dan lapar, akan tetapi juga hati dan pikiran menjadi lemas.
"Tidak ada waktu membagi gandum, besok saja!" Ucapan singkat dari Yang Nam putera tuan tanah ini merupakan keputusan mati yang tidak dapat ditawar lagi dan ketika mengucapkan kata-kata ini sambil menyeringai, pemuda ini melirik ke arah Ci Ying.
Dan kakek penjilat mengomel sepanjang jalan, menyalahkan gadis itu yang dikatakannya menjadi gara-gara sehingga tuan muda menjadi murung dan kesal yang akibatnya merugikan semua budak. Hanya setelah Ci Leng membentaknya, kakek penjilat itu tidak berani banyak cerewet lagi.
Malam itu mereka terpaksa menahan lapar. Baiknya kaum tertindas ini sudah mengenal setia kawan dan dengan secara gotong royong mereka mengumpulkan gandum seadanya dan
membagi-bagi di antara mereka. Dengan jalan ini mereka seringkali dapat mengatasi bahaya kelaparan. Sayang seribu sayang gotong royong ini hanya dipergunakan untuk melawan bahaya kelaparan dan sedikitpun tidak pernah timbul dalam benak mereka untuk mempergunakan
persatuan itu di bidang lain yang lebih penting, misalnya untuk menentang tuan tanah. Pada masa itu, siapa sih yang berani" Menentang tuan tanah sama dengan menentang para pendeta, menentang pendeta-pendeta itu sama dengan menentang Lama-Lama Besar dan menentang
orang-orang suci ini sama dengan menentang Sang Buddha sendiri, menentang Tuhan!
Demikianlah pelajaran yang sudah digoreskan dalam-dalam di hati semua budak, sudah
mendarah daging.
****** 7 Langit di barat merah seperti terbakar dikala matahari mulai mengundurkan diri. Dan semua makhluk di dunia pun biasanya ikut pula mengundurkan diri untuk beristirahat menanti datangnya esok berikutnya.
Segerombolan domba muncul dari kaki langit ketika mereka menanjak sebuah bukit kecil. Perut binatang-binatang ini menyendul kekenyangan, tanda bahwa dengan baik-baik pengembalanya telah membawa mereka ke padang rumput dan membiarkan mereka makan sekenyangnya.
"Hiyooo .... sini hitam! Kau selalu mau menyeleweng saja. Apa sudah lupa jalan pulang?"
demikian terdengar suara laki-laki yang nyaring sekali. Kemudian muncul ah orangnya, seorang pemuda tegap yang memegang sebuah cambuk. "Hayo pemalas, hayo sini kumpul dengan
rombongan!"
Setelah domba-dombanya berkumpul dan melanjutkan perjalanan ke kandang, pemuda yang
usianya tujuh belas tahun itu bernyanyi sekuat dadanya :
"Wahai, Himalaya yang tinggi.
Ahoi, Yalu-cangpo yang panjang.
Dapatkah kalian memberi jawaban"
Kedua tanganku kuat bekerja berat.
Tapi tiada seperseratus hasilnya.
Menjadi bagianku!
Aku punya mulut.
Tak dapat mengeluarkan suara hati.
Telingaku disusur tuli.
Mataku disusur buta.
Aku punya nyawa.
Aku punya nyawa.
Tak lebih berharga seekor domba!
Wahai, Himalaya sembunyikan aku
dipuncak-puncakmu!
Ahoi, Yalu-cangpo, lenyapkan aku
di muaramu!"
Suara nyanyiannya nyaring dan mengandung keluhan jiwa para budak, akan tetapi terdengar bersemangat. Kemudian cambuknya dibunyikan di udara dan ia menyumpah-nyumpahi domba
itu. "Hiyooo ....! Domba-domba pemalas, jangan menyeleweng! Tak pandai kerja, makan
sekenyangnya. Kalah orang yang bekerja melebihi kuda, makanpun hampir tak kenyang!" Suara ini disusul bunyi "tar-tar-tar!" cambuknya yang dihantamkan dengan gemas di udara.
Tiba-tiba ia melihat bocah yang berteriak-teriak girang. Kuda tua larilah! Kuda tua lucu ....!!"
Ia melihat seorang anak laki-laki berusia lima-enam tahun menunggangi punggung seorang hamba tua yang kurus. Kakek itu terengah-engah dan berlari menggunakan sepasang tangan dan kaki seperti kuda dan bocah ini menjambak rambut dengan tangan kiri sedangkan tangan kanannya yang memegang cambuk memukul-mukul leher kakek itu.
Kakek itu berlari makin keras dan sebentar saja lenyap di sebuah tikungan. Yang terdengar hanya teriak kegirangan bocah itu di antara napas yang megap-megap dari si hamba kakek.
"Anak iblis!" pemuda itu menggertak gigi dan mengepal tinju, kemudian cambuknya diayun memukul sebatang pohon dengan keras sampai menimbulkan suara keras dan kulit pohon itu 8
lecet-lecet. Pemuda itu, Wang Sin, marah sekali. Sudah terlalu banyak ia menyaksikan kejadiankejadian yang menyakitkan hatinya, sudah terlalu sering ia mendengar cerita ayahnya tentang
kesengsaraan-kesengsaraan budak-budak di daerah ini, namun sebegitu lama ia dan ayahnya tidak berdaya.
Ayahnya Wang Tun, adalah satu-satunya pandai besi yang menjadi hamba tuan tanah Yang Can.
Semenjak masih muda ayahnya sudah menjadi hamba sahaya, kerjanya setiap hari di perapian, menggembleng dan membentuk alat-alat pertanian dan alat-alat lain yang dibutuhkan oleh tuan besarnya. Kadang-kadang tuan besar membutuhkan barang-barang yang harus ditempa dan
dijadikan secepat mungkin sehingga ayahnya harus bekerja siang malam, kadang-kadang sampai ketiduran di dapur kerja saking lelah dan mengantuknya.
Ayahnya bukan seorang lemah. Sudah dua kali ayahnya mencoba melarikan diri, yaitu ketika belum menikah, masih seorang pemuda yang kuat. Akan tetapi, anjing-anjing penjaga dan pendeta-pendeta Lama yang kosen dapat mengejar dan menangkapnya. Ia dipukuli habishabisan, lebih mati dari pada hidup dan semenjak saat itu kedua kaki ayahnya dipasangi
belenggu yang berantai panjang. Ayahnya dapat berjalan akan tetapi tidak mungkin dapat lari cepat. Dengan kedua belenggu di kaki ayahnya menikah, atau lebih tepat dinikahkan oleh tuan besar untuk menjadi pengikat yang lebih kuat dari pada belenggu. Setelah ia terlahir dan ibunya mati karena kekurangan darah, ayahnya membawanya lari lagi. Melarikan diri akan tetapi tidak berlari, hanya berjalan cepat di tengah malam. Malang tertawan lagi dan belenggu dikakinya diperpendek rantainya dan diperkuat. Semenjak itu, hati ayahnya yang sekuat baja melumer dan tidak mencoba melarikan diri lagi sampai sekarang, sudah lima puluh tahun usianya.
Alangkah buruknya hidup. Ketika ia masih kecil, sudah sering kali Wang Sin mengalami gebukan dan penghinaan. Pernah dia dijadikan kuda tunggangan tuan muda Yang Nam sampai kedua tangannya hampir patah karena dipakai berlari seperti binatang. Akhirnya, karena dia merupakan orang muda terkuat, ia dipilih sebagai pengembala domba. Ia harus melindungi dan menjaga domba-domba itu dengan seluruh jiwanya karena hilang seekor domba saja mungkin harus diganti dengan sebelah kaki atau tangannya. Ah, betapa buruknya hidup.
Kembali saking gemasnya Wang Sin mengayun cambuknya, memukuli batang pohon yang ia
umpamakan sebagai tuan besar dan tuan kecil, sebagai anjing-anjing penjaga tuan tanah dan pendeta-pendeta gundul yang kejam. "Tar-tar-tar-tar!" bunyi cambuknya berkali-kali.
"Tar-tar-tar-tar!" Di lain tempat, tak jauh dari situ, cambuk lain diayun mencambuki sesuatu.
Akan tetapi kalau cambuk di tangan Wang Sin hanya membikin lecet-lecet kulit-kulit pohon saja, cambuk yang lain ini memecah kulit mengiris daging punggung orang sehingga darah muncrat ke sana-sini diiringi rintihan yang makin lama makin lemah sampai akhirnya tidak terdengar lagi biarpun cambuknya masih terus berbunyi membuat kulit hancur bersama dagingnya.
"Rasakan kau, bangsat hina dina, berani mencuri gandum!" kata Yang Can, tuan tanah yang menyuruh tukang pukulnya menyiksa budak yang berani mengambil gandum di sawah tadi
sambil meludahi muka budak itu yang sudah tidak keruan macamnya karena menjadi korban cambuk.
Budak itu di kat pada sebuah tiang di pekarangan samping rumah tuan tanah, dan kepala yang tadinya sudah lemas itu mendadak diangkat lagi, matanya yang bengkak-bengkak itu dibuka dan mulutnya mengeluarkan rintihan terakhir. "Menebus dosa ....., menebus dosa ..... untuk hidup kemudian ..." Dan budak itu menghembuskan napas terakhir. Kasihan orang ini, dan saat terakhir pengaruhnya dongeng para pendeta Lama masih menguasainya sehingga siksaan yang membuat nyawanya melayang itu ia anggap sebagai penebus dosa-dosanya.
9 "Suamiku ....!" Seorang wanita, isteri dari hamba yang disiksa sampai mati itu, dengan rambut riap-riapan berlari datang sambil menangis. Dari sawah ia langsung lari ke situ ketika mendengar dari budak-budak lainnya bahwa suaminya disiksa oleh tuan tanah. Melihat suaminya terikat dan kepalanya menggantung tak bergerak-gerak lagi, mandi darah, ia menjerit ngeri dan menubruk mayat suaminya sambil memeluki kedua kakinya dan menangis tersedu-sedu. "Suamiku ....
suamiku .... jangan tinggalkan aku dan anakmu yang masih kecil ...."
Yang Nam, putera tuan tanah yang keluar mendengar suara ribut-ribut ini, melotot marah melihat perempuan itu menjerit-jerit. Juga Yang Can marah sekali. Tukang pukulnya yang tadi menyiksa hamba itu sampai mati, melihat kemarahan pada wajah tuan besar dan tuan muda, segera mengangkat kaki menendang perempuan itu. "Pergi kau!"
Perempuan itu terguling-guling memegangi dadanya yang kena tendang, kemudian tiba-tiba ia melompat berdiri, rambutnya riap-riapan, matanya merah, kedua tangannya mengepal.
"Iblis! Biadab kau! Anjing penjilat tuan tanah, kau dan tuan tanah akan mampus dibakar api neraka!" Karena duka dan marah, wanita ini sudah tidak ingat apa-apa lagi, tidak kenal takut, sambil menuding-nudingkan telunjuknya kepada Yang Nam dan Yang Can dan tukang pukul itu, ia memaki-maki.
Kembali sebuah pukulan tukang pukul membuat ia roboh terguling.
"Bunuh anjing betina ini!" seru tuan tanah Yang Can.
"Tidak, ayah. Dia berani memaki kita. Potong lidahnya!" kata Yang Nam, marah sekali karena dia yang semenjak kecil didewa-dewakan oleh semua budak, sekarang mengalami dimaki-maki oleh hamba perempuan itu.
"Betul, potong lidahnya!" ayahnya membeo.
Tukang pukul yang mencari muka cepat menangkap wanita itu yang meronta-ronta, mengikatnya menjadi satu dengan mayat hamba yang disiksanya tadi, kemudian secara keji, di luar batas prikemanusiaan, ia memaksa membuka mulut wanita itu, menarik keluar lidahnya dan memotong lidahnya dengan pisau.
Terdengar pekik meraung mengerikan sekali dan di lain saat tubuh wanita malang itu
berkelonjotan, nyawanya melayang menyusul nyawa suaminya.
"Kumpulkan semua budak, suruh menonton biar tidak ada lagi yang berani main gila," gerutu Yang Can yang pergi memasuki rumah bersama puteranya.
02. Perlakuan Manis Berhati Palsu.
Kelihatannya Yang Nam berbisik-bisik minta sesuatu kepada Yang Can. Ayahnya ini memandang tajam mengerutkan kening dan menggeleng kepala. Anaknya membujuk terus dan akhirnya ayah itu tersenyum mengangguk.
"Selirmu sudah tujuh, masih ditambah lagi" Baiklah, jangan khawatir," terdengar ayah ini berkata.
10 Sementara itu, tukang pukul itu lalu memanggil para budak dan mengabarkan bahwa hamba itu mati karena mencuri gandum dan isterinya dicabut lidahnya karena berani memaki yang
dipertuan. Semua budak menjadi pucat, akan tetapi tak seorangpun berani mengeluarkan suara.
Wang Sin melihat dua mayat ini terikat pada pohon ketika ia menggiring domba-domba ke dalam kandang. Ia terkejut sekali dan sebuah makian tergumam di dalam mulutnya. Tanpa
menghiraukan perutnya yang sudah lapar karena sehari belum diisi, setelah mengunci pintu kandang, ia lalu menghampiri pohon itu dan melepaskan ikatan pada dua mayat. Seorang anjing penjaga tuan tanah menghampirinya.
"Budak Sin, kau mau apa?" tanya tukang pukul itu.
"Kau lihat sendiri, melepaskan ikatan mereka," jawab Wang Sin dengan muka muram.
Kalau lain hamba yang berani memberi jawaban seperti ini kepada seorang tukang pukul, tentu ia akan menerima cambukan atau setidaknya akan ditampar mulutnya. Akan tetapi terhadap Wang Sin, sembarangan tukang pukul saja tidak berani sewenang-wenang. Dahulu, setahun yang lalu pernah Wang Sin melawan seorang tukang pukul sampai tukang pukul itu rebah dengan kepala benjol-benjol dan tuan tanah yang sayang kepada tenaga kerja Wang Sin, tidak menghukumnya.
"Budak Sin, apa kau mencari mampus" Maling ini dihukum oleh tuan besar sendiri karena ia mencuri gandum dan bininya dihukum karena berani kurang ajar dan memaki tuan besar. Dan kau sekarang berani melepaskan mereka?"
"Kau yang cari mampus, bukan aku," jawab Wang Sin tenang.
"Bagaimana kau berani bilang begitu, bocah lancang?" tukang pukul itu marah.
"Tentu saja, karena kau sebagai hamba tidak tahu akan kewajiban. Mereka ini sudah menjadi mayat, apakah kau mau mendiamkan saja dua mayat ini membusuk di sini dan mengotorkan tempat tinggal tuan besar, meracuni semua keluarga tuan besar" Masih belum dikatakan lagi kalau roh mereka mengamuk. Apa kau berani bertanggung jawab?"
Mendengar itu, tukang pukul itu menjadi pucat karena kaget dan takut. Ia menjadi bingung dan tidak tahu harus berbuat apa. Pada saat itu dari dalam muncul Yang Nam. Tukang pukul itu menjadi makin pucat dan mengira tuan muda pasti akan marah sekali. Wang Sin telah
menyelesaikan pekerjaan melepaskan dua orang mayat itu dan ia bersikap tenang, sudah terlalu biasa menghadapi kemarahan tuan-tuannya sehingga tidak ada kekhawatiran lagi dalam hatinya.
Akan tetapi aneh, benar-benar di luar dugaan tukang pukul itu, malah di luar dugaan Wang Sin sendiri. Yang Nam bersikap manis, tersenyum-senyum kepada Wang Sin dan berkata.
"Tepat sekali kata-katamu, Wang Sin. Memang seorang pekerja harus mengetahui kewajibannya sendiri."
Kemudian dibentaknya tukang pukul itu disuruh pergi.
Setelah berdua saja dengan Wang Sin, Yang Nam memandang kepada kepada Wang Sin dan
berkata dengan sungguh-sungguh. "Wang Sin, pakaianmu sudah robek semua. Setelah kau
11 selesai mengurus dua mayat itu, mintalah makan ke dapur dan nanti kau kuberi pakaian baru satu stel. Biar kusuruh pelayan-pelayan gila itu membantumu."
Wang Sin berdiri melongo saking herannya. Sampai datangnya pelayan-pelayan atau tukang pukul-tukang pukul itu, dua orang banyaknya untuk membantu ia mengangkut dua orang mayat, ia masih berdiri keheranan. Ia bekerja tanpa membuka mulut, dan timbul kekhawatiran dan kesangsian besar. Ia sudah terlalu kenal watak tuan muda, Yang Nam. Apakah kehendaknya maka ia begitu manis dan baik hati kepadaku. Pikirnya gelisah. Biasanya, belum tentu dua tahun sekali ia mendapat pakaian apalagi pakaian baru. Dan menyuruh dia makan. Dalam mimpi pun belum pernah ia mendapat perlakuan semanis itu. Aneh, ada apakah" Demikian suara hatinya berbisik, membuat ia makin gelisah.
Sampai setelah sikap manis tuan muda itu menjadi kenyataan, yaitu ia sudah makan kenyang dan benar-benar mendapat hadiah satu stel pakaian yang tebal dan bagus sekali baginya. Wang Sin masih gelisah bukan main. Pakaian itu hangat dan membuat ia merasa enak badannya, akan tetapi tidak membuat enak hatinya. Sikap manis atau sikap baik dari tuan-tuan itu tidak pernah dikenal oleh para budak. Dan sikap tuan muda Yang Nam itu sudah berlebihan manisnya.
Wang Sin tidak dapat tidur. Jangankan tidur, meramkan mata saja hampir tidak dapat. Belum pernah ada perlakuan manis pada dirinya, dari ayahnya yang pemarahpun belum. Kecuali .... Ci Ying. Hanya gadis itulah orang satu-satunya di dunia ini yang amat manis budi baginya. Entah bagaimana, bertemu saja dengan gadis itu sudah membuat dunia menjadi lebih terang. Setiap gerakan Ci Ying melembutkan hatinya, seakan-akan gadis itu sengaja menghiburnya, dengan senyum, dengan pandangannya, dengan suaranya yang halus. Memang Ci Ying tunangannya, itulah satu-satunya orang yang pernah dan selalu bersikap manis kepadanya. Akan tetapi Yang Nam"
Teringat akan tunangannya, terhibur hati Wang Sin. Ci Ying selain manis budi juga amat cerdik seperti ayahnya. Pandai melukis pandai menulis, pandai berhitung dan selalu banyak ceritanya yang hebat-hebat. Ci Ying gadis pandai, tentu akan dapat menerangkan arti sikap berlebihan dari tuan muda. Akan kutanyakan kepadanya, besok. Dengan wajah Ci Ying membayang di depan matanya, akhirnya Wang Sin dapat pulas juga.
Kalau saja ia dapat mendengar percakapan antara tuan besar Yang Can dan Yang Nam, agaknya bayangan wajah Ci Ying bahkan akan membuat ia tidak dapat tidur sama sekali.
Di dalam rumah gedung hanya beberapa belas meter jauhnya dari tempat tidur Wang Sin di kandang domba, dalam kamar duduk yang indah dan mewah Yang Can sedang bercakap-cakap dengan Yang Nam. Tuan besar itu duduk di kursi malas setengah berbaring. Dua orang selir muda dan cantik mengawaninya, seorang mengipasinya dengan kipas bulu domba, yang kedua memijit-mijit kaki tuan tanah itu yang kelelahan karena seharian tadi banyak berdiri dan berjalan ikut sibuk memeriksa hasil panen tanahnya. Yang Nam duduk di atas kursi di depan ayahnya, mukanya yang tampan ditundukkan, akan tetapi sepasang matanya yang sipit itu kadang-kadang mencuri pandang dan melirik dari ujung mata ke arah selir yang mengipasi ayahnya, selir yang cantik dan muda dan yang seringkali ia ajak bermain mata di luar tahu ayahnya.
"Panen tahun ini bagus sekali. Sayang ada saja gangguan sehingga terpaksa kita kehilangan dua orang tenaga budak," terdengar suara tuan besar Yang Can. Dari ucapan ini saja sudah dapat diketahui bahwa nyawa para budak bagi tuan besar ini tidak ada artinya sama sekali, yang penting dan disesalkannya adalah hilangnya tenaga mereka, tenaga orang-orang yang ia peras untuk menumpuk harta kekayaan.
12 "Akan tetapi ada baiknya juga, ayah," bantah puteranya. "Mereka itu perlu dikorbankan, tidak saja untuk menebus dosa mereka yang telah berani mencuri dan menghina kita, akan tetapi perlu untuk menjadi contoh dan membikin takut para budak. Orang-orang seperti mereka itu kalau tidak diatur dengan tangan besi, mana bisa taat" Mereka itu memang sudah berwatak rendah sehingga setiap saat dan kesempatan pasti akan mereka gunakan untuk mencuri dan memberontak."
Yang Can mengangguk-angguk, cocok sekali dengan pikiran anaknya ini. Juga selir yang sedang menggoyang-goyang kipas tersenyum senang. Akan tetapi selir yang memijit-mijit kedua kaki tuan tanah itu menundukkan kepala dan menahan kedukaan hatinya. Dia ini tahu apa yang menyebabkan para budak kadang-kadang melakukan pencurian karena diapun berasal dari
budak. Karena kebetulan ia cantik wajahnya dan halus putih kulitnya maka ia mendapat nasib baik menjadi selir tuan tanah itu. Ia tahu bahwa para budak terpaksa mencuri karena terlalu sering kelaparan, mencuri untuk menambah kebutuhan perut mereka.
"Nam-ji (anak Nam), tentang permintaanmu tadi, tentu saja tidak menjadi soal kalau kau ingin menambah seorang selir lagi, akan tetapi gadis Ci Ying itu, bukankah sudah ditunangkan dengan anak si pandai besi" Dulu pernah kukatakan kepada mereka bahwa dua orang itu akan menjadi pasangan terbaik di antara para budak."
"Pertunangan antara budak bisa dibatalkan!"
Tuan tanah itu mengangguk-angguk, berpikir. "Tentu saja, akan tetapi mereka itu tenaga-tenaga terbaik, Yang Nam. Kita akan rugi kalau kehilangan tenaga mereka. Ci Leng selain seorang petani baik, juga pandai membantu mengatur catatan-catatan dan perempuannya itupun rajin dan cepat. Harus diingat lagi Wang Sin yang amat setia dan pandai merawat domba. Malah ayahnya juga pandai besi satu-satunya."
"Apa salahnya" Mereka, orang-orang tua itu, tentu akan senang sekali kalau dapat berjasa kepada kita, tentu mereka senang kalau Ci Ying menjadi selirku. Tentang Wang Sin, ah, biar aku yang mengurus dia. Diberi hadiah-hadiah sedikit saja masa ia tidak rela melepaskan Ci Ying?"
Ayahnya mengangguk-angguk. "Sesukamulah, kau atur sendiri. Akan tetapi sedapat mungkin jangan sampai mengecewakan hati mereka yang amat kita butuhkan tenaganya."
Demikianlah percakapan di dalam kamar, di gedung itu yang tentu akan membuat Wang Sin gelisah dan tak dapat tidur kalau ia mendengarnya.
****** Di dalam sebuah gubuk seperti kandang butut itu, nenek tua yang lumpuh menangis terisak-isak sampai tidak ada suara lagi terdengar dari lehernya. Kedua tangannya memondong bayi yang menangis lirih karena kehabisan suara.
"Cucuku .... ahhh ..... cucuku yang manis .... kau harus lekas besar .... cucuku harus lekas besar
.... bagaimana aku bisa meninggalkan kau seorang diri di dunia ini" Cucuku .... siapa yang akan menyusuimu sekarang, siapa ... siapa yang akan menyambung hidupmu ....?"
Nenek lumpuh ini sudah mendengar tentang kematian anak dan menantunya. Dapat
dibayangkan betapa hancur hatinya, betapa hebat kedukaannya. Akan tetapi kebingungan dan kegelisahannya lebih besar lagi. Seorang nenek tua yang tak mampu bekerja seperti dia, tentu 13
sudah dibiarkan mati kelaparan kalau saja anak dan mantunya tidak bekerja keras, membanting tulang dan membagi sedikit hasil makanan mereka dengan dia. Sekarang anak dan mantunya sudah mati, siapa lagi dapat diharapkan untuk memberi dia dan cucunya makan"
Keadaan cuaca masih gelap karena masih amat pagi. Sesosok bayangan memasuki gubuk
melalui pintunya yang reyot.
"Nenek, jangan terlalu berduka," kata Ci Ying dengan suara terharu sambil minta bayi itu yang segera dipondongnya dengan cara yang kaku namun penuh kasih sayang. Ci Ying tidak pernah mempunyai adik kandung, maka ia tidak biasa menggendong anak kecil, canggung benar ia memondong bayi itu, takut-takut kalau terlepas dan jatuh.
Kedatangan dan hiburan Ci Ying ini membuat nenek itu makin merasa nelangsa dan makin tersedu-sedu. Akhirnya dapat juga ia mengeluarkan suara,
"Ci Ying .... bagaimana aku takkan .... berduka .... bagiku yang sudah tua bangka .... mati kelaparan bukanlah soal lagi .... akan tetapi .... cucuku ini ..... cucuku .... yang belum punya nama ini ..... ia akan kelaparan ..... akan mati sedikit demi sedikit ...aduh, alangkah ngerinya ...
cucuku, dosa apakah yang kau lakukan dalam hidup yang terdahulu ....?"
Ci Ying terharu sekali. Sebagai anak seorang budak, ia maklum benar nasib sengsara apa yang dihadapi anak ini dan neneknya.
"Nenek, jangan khawatir. Aku akan memeliharanya, aku akan membagi makananku dengan
nenek dan anak ini ......." hiburnya.
Nenek itu memandang gadis ini dengan mata terbelalak, kemudian runtuh pula air matanya yang agaknya tidak mau habis. Terseok-seok ia mengesot bergerak dengan pahanya menghampiri gadis itu. Ci Ying maklum akan maksud nenek itu memeluknya sambil menangis.
"Ci Ying, kau baik sekali ... semoga Sang Buddha membersihkan kau dari sisa dosa-dosamu dan mengangkatmu ke dalam penghidupan lebih bahagia. Kau .... kau bawalah cucuku itu, tentang aku ... biarkan aku mati di gubuk ini, biarlah aku menyusul anak dan mantuku. Tidak mau aku membiarkan gadis seperti kau kekurangan makan karena aku .... Pergilah, anak yang baik, pergilah!"
Ci Ying maklum bahwa ia takkan dapat memaksa nenek ini. Ia berdiri dan mendukung bayi itu ke pintu .... Sampai di pintu ia berhenti dan menoleh. "Akan tetapi kau .... bagaimana dengan kau, nenek?"
"Aku dapat mengemis makanan atau mati kelaparan, bagiku sama saja. Eh, bawa anak itu sekali lagi ke dekatku, Ci Ying."
Gadis itu datang lagi dan berlutut membiarkan nenek itu memeluk dan menciumi bayi itu.
"Cucuku, kalau kau sudah besar, ingatlah semua yang menimpa ayah bundamu. Kau ... kau, kuberi nama Wang Tui."
Kemudian dengan isyarat tangannya karena tidak kuasa mengeluarkan suara lagi saking
terharunya, menyuruh Ci Ying pergi. Gadis itu lalu meninggalkan rumah gubuk dan berlari pulang ke rumah ayahnya.
14 Setiba di rumah, ia melihat ayahnya berdiri, seperti patung dengan muka agak pucat dan di depannya berdiri seorang hamba tukang cuci yang kerjanya mencuci pakaian keluarga tuan tanah. Setiap hari, pagi-pagi sekali hamba ini mengambil pakaian-pakaian kotor dari rumah tuan besar untuk dibawa ke sungai dan dicuci.
Melihat kedatangan puterinya yang memondong seorang bayi yang menangis, Ci Leng bertanya, suaranya ketus seperti orang marah.
"Ci Ying, anak siapa yang kaugendong itu?"
Ci Ying terkejut melihat ayahnya seperti orang marah. Belum pernah ayahnya marah kepadanya, biasanya bicaranya selalu manis terhadapnya. Memang Ci Leng agak memanjakan anaknya, karena anak yang sudah tidak beribu lagi ini mengingatkan dia kepada isterinya yang tercinta, isteri yang juga meninggal dunia karena gara-gara tuan tanah. Isteri Ci Leng amat cantik, seperti juga Ci Ying. Semenjak menjadi isterinya, tuan tanah selalu berusaha mendapatkan isterinya itu dan nafsu buruk ini ditahan-tahan karena isteri Ci Leng mengandung. Setelah Ci Ying terlahir, tuan tanah itu makin menjadi rindu dan gila. Dipergunakan segala daya upaya untuk
mendapatkan isteri hambanya, namun isteri Ci Leng tidak sudi meladeninya. Akhirnya saking gelisah dan selalu ketakutan isteri Ci Leng jatuh sakit sampai matinya.
"Ayah, inilah cucu nenek lumpuh. Ayah bundanya sudah meninggal, siapa lagi yang akan memeliharanya" Biarlah aku membagi makananku dengannya." Kemudian dengan sikap manja untuk menyenangkan hati ayahnya. "Ayah, bukankah kau ingin mempunyai anak laki-laki" Nah, dia ini laki-laki dan oleh nenek lumpuh diberi nama Wang Tui. Bagus, bukan" Lihat, anaknya sehat dan montok ....."
"Gila kau!" ayahnya memaki dan kembali Ci Ying menjadi kaget. Selamanya belum pernah ayahnya memakinya.
Kemudian ayahnya menarik napas panjang, menundukkan muka tidak sudi melihat bayi itu.
"Memang malapetaka tidak datang sendirian. Kau tambah lagi dengan beban, seakan-akan beban dan malapetaka yang menimpa kita masih kurang berat."
Ci Ying pucat. "Ayah, ada apakah ....?"
Ayahnya tidak menjawab, hanya memandang kepada hamba yang datang ke situ, perempuan
tukang cuci itu. Ci Ying menengok kepadanya. "Bibi, ada apakah?"
Perempuan yang mukanya dimakan cacar itu berkata, "Celaka besar, Ci Ying. Aku diberitahu oleh nyonya besar ke lima bahwa tuan muda berkehendak mengambil kau sebagai selir ke delapan."
"Ayah ....!" Hampir saja Ci Ying melepaskan bayi yang dipondongnya kalau ia tidak ingat dan cepat-cepat memeluk bayi itu makin erat sambil memandang ayahnya dengan mata terbelalak lebar.
Ayahnya hanya menghela napas sekali lagi. "Celakanya, tuan besar yang kuharapkan akan dapat mengatasi tuan muda, malah sudah menyetujui kehendak tuan muda itu."
"Betul," sambung budak tukang cuci. "Nyonya besar ke lima mendengar sendiri percakapan antara tuan besar dan tuan muda." Yang dimaksudkan nyonya besar ke lima itu adalah selir Yang Can ke lima yang dahulunya menjadi budak pula, selir yang memijiti kakinya ketika terjadi 15
percakapan antara ayah dan anak di malam itu. Selir ini betapapun juga masih ingat akan asalusulnya, mereka kasihan kepada Ci Ying dan diam-diam memberi kabar melalui tukang cuci yang
setiap pagi mengambil cucian. Kebetulan sekali dialah yang mempunyai tugas mengumpulkan pakaian-pakaian kotor.
Hampir tidak terdengar lagi oleh Ci Ying kata-kata budak pencuci pakaian itu. Pikirannya tidak karuan, bingung, sedih, marah, takut menjadi satu. Pada saat itu ia teringat kepada Wang Sin, tunangannya. Bayangan Wang Sin menjadi sinar terang yang mencegahnya jatuh pingsan. Tibatiba ia lari keluar sambil berseru perlahan. "Aku tidak mau .....! Aku tidak mau ....!"
Melihat akibat berita yang dibawanya, tukang cuci itu menjadi takut kalau-kalau perbuatannya terlihat oleh para centeng tuan tanah. Maka ia cepat-cepat angkat kaki menuju ke sungai untuk memulai pekerjaannya.
Ci Leng kembali menarik napas berulang-ulang, lalu meninggalkan gubuknya. "Aku harus bicara dengan tuan besar," katanya lirih kepada diri sendiri.
Sementara itu, sambil mengendong Wang Tui yang kembali menangis, Ci Ying lari terus ke bukit di mana ia tahu Wang Sin membawa domba-dombanya. Ia takut terlambat menghadang
tunangannya itu dan kalau pemuda itu sudah melewati bukit, ia harus menyusul ke tempat yang agak jauh. Ia merasakan tubuhnya lemah sekali, namun ia paksakan diri, mendaki bukit sambil berlari.
Tiba-tiba ia menjadi girang sekali dan terusirlah semua kesengsaraan hatinya ketika ia mendengar suara nyanyian yang sudah dikenalnya amat baik itu.
"Wahai, Himalaya yang tinggi.
Ahoi Yalucangpo yang panjang.
Dapatkah kalian memberi jawaban?"
"Wang Sin ....!" teriak Ci Ying, mempercepat larinya.
Suara nyanyian itu berhenti dan dari atas bukit berlari turun pemuda itu.
"Ci Ying ...! Kebetulan sekali kau datang, aku memang ingin bertemu dengan kau!"
Tak lama kemudian mereka telah saling berhadapan dan saling berpandangan. Kabut tebal masih tidak kuasa melenyapkan sinar mata mereka ketika kedua orang remaja ini saling pandang penuh perasaan.
"Pakaianmu baru ...!" seru Ci Ying, baru ia melihat pakaian pemuda itu yang indah dan tebal.
"Kau menggendong bayi ...!" Wang Sin juga berseru heran. Perhatiannya tadi seluruhnya dikuasai oleh wajah gadis itu sehingga baru sekarang ia melihat dan mendengar tangis bayi di dalam pondongan Ci Ying.
"Ini anak yatim piatu yang orang tuanya dibunuh kemarin. Ku ambil dari nenek lumpuh," jawab Ci Ying mengalah. Kemudian ia cepat mengulangi pertanyaannya, "Wang Sin, dari siapa kau mendapatkan pakaian baru yang indah ini?"
16 Wajah Wang Sin menjadi merah, setengah malu-malu setengah bangga dan girang mendapat kesempatan memperlihatkan diri dalam pakaian itu di depan tunangannya. Tentu ia kelihatan gagah dan tampan. Otomatis tanpa disadarinya, tangan kirinya bergerak ke atas dalam usaha membereskan rambutnya. Pemuda mana di dunia ini takkan berlagak memperbagus diri di depan wanita, apalagi tunangan sendiri yang ayu seperti Ci Ying"
"Aku mendapat hadiah dari tuan muda. Inilah yang hendak kutanyakan kepadamu. Menurut pikiranmu, mengapa dia memberi hadiah pakaian kepadaku?"
Mendengar ini, malapetaka yang menimpa dirinya teringat kembali oleh gadis itu dan ia lalu menjatuhkan diri di atas tanah sambil menangis. Bukan main kagetnya hati Wang Sin melihat reaksi yang sebaliknya ini dari tunangannya. Ia cepat menjatuhkan diri berlutut pula sambil memegangi pundak Ci Ying.
"Ci Ying, ada apakah" Kenapa kau menangis?" tanyanya.
Ci Ying tak dapat menjawab karena bayi itu menangis lagi karena lapar. Ia berusaha


Nona Berbunga Hijau ( Kun Lun Hiap Kek ) Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendiamkan bayi itu sambil menyusuti air matanya sendiri.
"Kenapa dia" Lapar?" tanya Wang Sin masih bingung.
Ketika gadis itu mengangguk, Wang Sin lalu cepat menghampiri kelompok dombanya,
memegang kepala seekor domba yang sedang menyusui anaknya dan menuntun domba itu ke
dekat Ci Ying. "Si putih ini banyak air susunya, beri dia air susu," katanya.
Ci Ying menahan gelora hatinya sendiri, menahan mulutnya yang ingin menceritakan semua kesengsaraan dirinya untuk mendahulukan kebutuhan bayi itu. Ia membawa bayi ke dekat susu domba itu dan tak lama kemudian bayi itu menyusu dari susu domba. Lahap sekali bayi itu yang sudah sehari semalam tidak diberi apa-apa.
Setelah bayi itu kenyang, ia tertidur pulas dalam gendongan Ci Ying. Baru ia teringat akan keadaan diri sendiri. Sambil menangis ia bercerita.
"Wang Sin malapetaka menimpa diriku. Pagi tadi bibi pencuci membawa berita celaka. Ia mendengar dari nyonya besar ke lima bahwa ... bahwa tuan muda ... hendak ... hendak
mengambil aku sebagai ... sebagai selirnya yang ke delapan ... dan ... tuan besar sudah menyetujuinya ...." Ia menangis makin keras.
Wang Sin menjadi pucat. Ia serentak berdiri, mengepalkan tinjunya, matanya bersinar-sinar, mukanya menjadi muram dan giginya berbunyi.
"Bedebah! Si keparat!" makinya dan di lain saat ia telah menanggalkan pakaian barunya yang menutupi pakaian butut. Dikoyak-koyaknya pakaian itu, hancur berkeping-keping. "Si keparat jahanam makanan neraka!" Kembali ia memaki. "Jadi itulah gerangan sebabnya ia berbaik kepadaku" Bedebah!" Ia melemparkan kepingan-kepingan baju itu ke atas tanah dan menginjakinjaknya
dengan gemas membayangkan bahwa si pemberi yang ia injak-injak itu.
"Wang Sin, bagaimana baiknya" Aku ..... lebih baik aku mati dari pada menjadi selirnya."
17 "Aku akan pergi kepadanya! Aku yang akan membantah, aku yang akan melarang. Biar kuputar batang leher si keparat."
"Wang Sin, apa kau gila" Kau takkan menang melawan anjing-anjing penjaga, kau akan dipukul sampai mati ...!"
"Tidak apa mati untuk membelamu!" Pemuda itu hendak pergi akan tetapi Ci Ying memegang lengannya sambil menangis.
"Wang Sin, kalau kau dipukuli sampai mati, apa kau kira aku dapat terlepas dari malapetaka ini"
Tiada bedanya! Lebih baik aku melarikan diri. Bantulah aku lari dari neraka ini."
Wang Sin sadar akan kebenaran kata-kata gadis itu. Kalau ia mengamuk, berarti ia mengantar nyawa dengan sia-sia dan gadis itu tetap saja akan dipaksa menjadi selir tuan muda. Kalau sudah begitu, apa arti pengorbanannya" Tidak ada sama sekali.
"Lari Ci Ying" Ke mana?"
"Ke mana saja asal terlepas dari tangan tuan muda. Biar aku pergi dibawa aliran sungai Yalucangpo ke timur. Wang Sin, kau carikan sebuah perahu untukku, aku akan naik perahu itu
mengikuti aliran Yalu-cangpo."
"Akan tetapi ..... ke mana tujuanmu dan bagaimana kita bisa bertemu lagi?"
"Aku akan terus mengikuti aliran Yalu-cangpo sampai sungai itu berbelok. Aku pernah
mendengar cerita ayah bahwa jauh di timur sungai itu membelok ke selatan. Nah, di belokan itulah aku mendarat dan menanti kau. Lekaslah, Wang Sin, sebelum kaki tangan tuan muda menyusul ke sini."
Karena hanya itu jalan satu-satunya, Wang Sin cepat bekerja. Ia menangkap dua ekor domba yang gemuk, membunuhnya untuk dipakai bekal rangsum tunangannya sedangkan domba yang mempunyai susu itupun ia bawa ke pinggir sungai. Mudah baginya mencuri sebuah perahu dan tak lama kemudian Ci Ying yang menggendong bayi itu sudah naik ke atas perahu. Domba yang menyusui itu di kat mulutnya sehingga tidak bisa mengeluarkan suara, lehernya diikat pada tiang.
Bangkai dua ekor domba ditumpuk di situ dan di dekatnya terdapat sepikul rumput untuk makanan domba yang menyusui.
Untuk penghabisan kali Wang Sin memegang pundak Ci Ying, matanya membasah. "Hati-hatilah, Ci Ying. Mudah-mudahan kita bisa bersua kembali."
Ci Ying juga mengucurkan air mata, mengangguk dan berkata. "Mungkin aku akan tewas
diperjalanan. Akan tetapi lebih baik mati diperjalanan dari pada mati di tangan tuan muda, bukan?"
Wang Sin mengangguk dan mendorong perahu itu ke tengah, lalu Ci Ying mendayung perahu itu terus ke tengah sampai aliran air yang kuat membawa perahu itu meluncur cepat.
Dengan air mata berlinang Wang Sin berdiri di pinggir sungai melihat perahu itu lenyap ditelan kabut yang masih tebal menutupi permukaan sungai. Hatinya lega. Dengan adanya kabut itu, tak mudah perahu yang melarikan Ci Ying itu terlihat oleh para centeng tuan tanah.
18 "Wang Sinnn .....!!" Teriakan keras ini membuat pemuda itu terkejut dan cepat-cepat ia lari kembali ke bukit di mana tinggalkan domba-dombanya. Kembali suara panggilan itu menggema dan ternyata ayahnya yang memanggil dari bukit itu.
Melihat Wang Sin muncul, Wang Tun menegur. "Ke mana saja kau meninggalkan dombadombamu?"
Tiba-tiba orang tua itu menudingkan telunjuknya ke bawah."Eh, ini banyak darah.
Celaka! Tentu domba-dombamu ada yang ganggu!"
Wang Sin bersikap tenang. "Ayah, sebelum aku menjawab pertanyaan ini, ada keperluan apakah ayah mendaki ke sini" Mengapa ayah bersusah payah mencariku?" Memang tidak mudah bagi Wang Tun yang terikat rantai kedua kakinya itu untuk mendaki bukit. Hal ini membuktikan bahwa tentu ada keperluan yang amat penting yang membawa orang tua ini datang ke situ menyusul puteranya.
"Ada peristiwa hebat. Ci Ying hendak dijadikan selir tuan muda. Ayahnya sudah menghadap akan tetapi ditolak malah diancam supaya segera menghantarkan Ci Ying ke gedung. Celakanya, Ci Ying dicari-cari tidak ada. Aku khawatir kau yang menyembunyikannya. Betul tidak?"
Wang Sin mengangguk. "Ci Ying sudah pergi dengan aman, ayah. Melarikan diri dengan perahu kubawai bekal dua bangkai domba dan sebuah domba hidup untuk memberi susu bagi bayi yang dibawanya."
"Bayi?"
"Cucu nenek lumpuh."
Pandai besi itu menggeleng kepalanya. "Hebat! Kalian orang-orang muda sungguh hebat! Ci Ying menolong bayi itu mempertaruhkan nyawa sendiri dan kau menolong Ci Ying, tidak perduli akan bahaya yang mengancam dirimu. Ah, kalau semua budak bersemangat seperti kalian dan bersatu melawan tuan tanah, kiranya nasib kita takkan begini."
"Ayah, kau tidak marah .......?"
Ayahnya tersenyum. "Mengapa mesti marah" Lihat, akupun sudah siap mempertaruhkan nyawa."
Kakek itu mengeluarkan dua batang pedang panjang yang dibuatnya secara sembunyi di dalam dapur pekerjaannya. Ia berikan sebatang kepada Wang Sin. "Mereka tentu akan mencurigaimu, tentu akan memaksa kita dan menyiksa kita supaya mengaku di mana adanya Ci Ying. Daripada mampus seperti domba, lebih baik mati sebagai harimau, bukan?"
Wang Sin mengangguk-angguk tak kuasa mengeluarkan kata-kata saking terharunya, akan tetapi tangannya menangkap lengan ayahnya kuat-kuat. Dua orang laki-laki gagah, satu tua satu muda, dalam saat itu merasa bersatu dan senasib sependeritaan.
Pada saat itu, tampak seorang laki-laki berlari-lari naik ke bukit itu. Terengah-engah ia berhenti di depan Wang Tun dan Wang Sin.
"Paman Ci Leng ......!" tegur Wang Sin.
"Apa kalian melihat Ci Ying?" tanya orang tua ini terengah-engah, memandang tajam kepada Wang Sin.
19 "Aku tidak melihatnya," jawab Wang Tun.
"Paman, untuk apa kau mencari Ci Ying" Untuk diserahkan kepada tuan muda?" tanya Wang Sin penuh curiga.
03. Pengorbanan Orang Tua.
Ci Leng melangkah maju dan dengan mata melotot tangannya menampar pipi Wang Sin. "Kau kira aku orang macam apa?"
Wang Sin mengusap-usap pipinya yang panas dan tersenyum puas lalu memberi hormat. "Bagus paman, Ci Ying sudah kubantu melarikan diri dengan perahu." Dengan singkat ia menuturkan apa yang terjadi.
Ci Leng merangkapkan kedua tangannya, berdongak ke udara.
"Terima kasih kepada Dewi Sgrolma Putih. Semoga Dewi melindunginya." Kemudian ia teringat.
"Wang Sin, mereka tentu akan menyiksamu!" Ia nampak terkejut.
"Saudara Ci Leng, demi untuk kebaikan anakmu sendiri, Wang Sin juga harus dapat melarikan diri menyusul Ci Ying. Biar kita yang tua-tua bertanggung jawab menghadapi kemurkaan tuan tanah." Kata Wang Tun.
"Tidak, ayah! Bagaimana aku bisa membiarkan kau dan paman Ci Leng menjadi korban?"
"Diam kau! Kami sudah tua, tak lama lagi kalau tidak mampus di tangan tuan tanah, tentu akan mampus juga. Kau masih muda, kau diharap-harap oleh Ci Ying."
"Betul sekali," sambung Ci Leng. "Biar aku pergi ke kuil menemui Gi Hun Hosiang. Sehari ini kau harus dapat bersembunyi Wang Sin, dan malam nanti kau pergilah ke kuil Gi Hun Hosiang. Dia pasti ada jalan untuk menolongmu. Kalau kau pergi sekarang, terlambat. Semua jalan keluar melalui air tentu sudah terjaga. Aku pergi dulu." Setelah berkata demikian, dengan terburu-buru Ci Leng meninggalkan ayah dan anak itu.
Tak lama kemudian dari bawah bukit terdengar teriakan orang-orang. Dari jauh nampak
serombongan tukang pukul antek-antek tuan tanah yang mencari-cari Ci Ying. "Tangkap Wang Sin! Tentu dia tahu di mana adanya Ci Ying!" terdengar teriakan-teriakan mereka.
"Wang Sin, kau harus bersembunyi. Lekas!" kata Wang Tun.
Memang Wang Sin sudah bersiap sedia. Ia telah mempersiapkan sebuah jerami panjang dan dengan benda itu di tangan kiri dan pedang pemberian ayahnya di tangan kanan, ia lalu berlari ke jurusan lain, menuju ke sungai. Ayahnya maklum apa yang akan diperbuat anaknya karena memang ia sudah memberi nasehat anaknya, yaitu kalau tiba masanya anak itu hendak
menyembunyikan diri, tempat yang paling aman adalah di bawah permukaan air sungai dan jerami itu dapat dipasang di mulut untuk menyedot hawa dari permukaan air.
Belum lama Wang Sin melenyapkan diri, berlarilah dua belas orang antek tuan tanah mendaki bukit itu. Melihat Wang Tun seorang diri di situ dan domba-domba yang biasa digiring oleh Wang Sin berkeliaran di situ pula, mata para tukang pukul itu liar mencari-cari Wang Sin. Namun tidak terlihat bayangan orang muda itu.
20 "Pandai besi Wang Tun, kenapa kau di sini" Mana Wang Sin anakmu?" tanya pemimpin
rombongan tukang pukul.
"Aku sendiripun sedang mencari anak itu." Jawab Wang Tun yang terkenal pendiam di antara tukang-tukang pukul. Seperti juga terhadap Wang Sin, terhadap kakek pandai besi ini, para begundal tuan tanah itu tidak begitu berani bersikap kasar dan sewenang-wenang seperti terhadap budak-budak lain.
Hal ini karena selain Wang Tun merupakan pandai besi satu-satunya yang tangannya amat dibutuhkan tuan besar, juga kakek ini sikapnya keras dan suka melawan. Akan tetapi pada waktu itu, para tukang pukul ini sudah mendapat kekuasaan penuh oleh tuan muda untuk mencari Ci Ying sampai dapat dan kalau perlu orang-orang seperti Wang Tun, Wang Sin, dan Ci Leng boleh disiksa untuk memaksa mereka mengaku di mana adanya gadis itu.
"Pandai besi tua bangka, jangan pura-pura. Kalau tidak ada hubungan dengan hilangnya Ci Ying, masa sepagi ini kau sudah di sini" Hayo katakan di mana adanya Wang Sin yang
menyembunyikan Ci Ying" Mengakulah sebelum kami hilang kesabaran!"
"Kalian punya mata, carilah sendiri dan jangan ganggu aku!"
"Tangkap saja dan siksa, tentu mengaku si tua bangka ini," kata seorang tukang pukul sambil mengamang-amangkan tombaknya.
"Ketemu si Wang Sin tentu ketemu pula Ci Ying, tentu si tua bangka ini yang menyembunyikan."
"Tangkap ...."
Mendengar suara-suara ini dan melihat sikap mereka mengancam, Wang Tun tersenyum
mengejek, matanya bersinar-sinar. Ia mengedikkan kepala dan mengangkat dada, kakinya bergerak sehingga rantai yang mengikat kedua kakinya mengeluarkan bunyi berdencingan.
"Kalau aku tidak sudi memberitahu, kalian mau apa?"
"Bangsat, budak hina dina! Kau mau melawan?" bentak kepala rombongan yang memegang
toya. Tiba-tiba Wang Tun tertawa bergelak, tangannya bergerak dan sebatang pedang sudah berada di tangannya. "Hayo, majulah kalian anjing-anjing penjilat pantat tuan tanah! Majulah, ini saat yang kutunggu-tunggu sejak dahulu!"
Tukang-tukang pukul itu maklum bahwa si pandai besi ini biarpun tua, amat kuat dan pandai silat, akan tetapi mereka mengandalkan keroyokan. Dengan memaki-maki marah mereka lalu maju menyerbu Wang Tun yang segera mengamuk sambil memutar-mutar pedangnya.
Dengan garangnya Wang Tun menerjang maju, seputaran pedangnya dapat menangkis semua
penyerang dan cepat sekali ia lanjutkan dengan menyerampang ke depan sambil merendahkan tubuhnya. Para tukang pukul yang sedikit-sedikit juga pernah belajar ilmu silat, meloncat ke atas, akan tetapi seorang di antara mereka kurang cepat loncatannya sehingga sebelah kakinya, dekat mata kaki, terbabat pedang sampai putus berikut sepatu-sepatunya.
Ia menjerit kesakitan dan tubuhnya menggelinding ke belakang, lalu berdiri lagi melonjak-lonjak dengan sebelah kaki, berputaran saking sakitnya. Tak lama kemudian ia terguling dan pingsan.
21 Para tukang pukul menjadi makin marah. Kepungan makin rapat dan datangnya senjata yang menyerang seperti hujan. Namun Wang Tun tidak keder. Ia malah tertawa bergelak ketika pedangnya merobohkan korban pertama. "Ha-ha-ha-ha!"
Tukang pukul yang memegang toya menggebuknya dari belakang dan karena pada saat itu
Wang Tun menghadapi hujan senjata dari depan dan kanan kiri, gebukan ini tepat mengenai punggungnya.
"Blek!" dan toya yang terbuat dari kayu itu patah. Wang Tun mengeluarkan seruan menahan sakit. Cepat memutar tubuh dan pedangnya meluncur. "Cepp ....!" Pedang itu amblas memasuki perut tukang pukul itu sampai tembus ke belakang.
"Ha-ha-ha-ha-ha!" Wang Tun tertawa terbahak-bahak ketika darah lawan menyemprot
membasahi bajunya. Ia cepat mencabut pedangnya dan menggulingkan tubuh ke kiri untuk menghindarkan hujan senjata. Akan tetapi karena kedua kakinya terikat, gerakannya ini kurang cepat dan sebuah penggada menghantam pundaknya.
Punggung dan pundaknya sudah terkena pukulan. Namun Wang Tun benar-benar kuat sekali. Ia hanya mengeluarkan gerakan seperti harimau terluka lalu mengamuk lagi. Dalam beberapa gerakan pedangnya sudah merobohkan lagi tiga orang pengeroyok.
Para tukang pukul yang tinggal tujuh orang menjadi gentar menghadapi amukan pandai besi itu yang seperti harimau terganggu ini. Kepungan mengendur dan mereka hanya menyerang secara hati-hati sekali sambil berteriak-teriak memaki.
"Mundurlah, anjing-anjing tiada guna. Biarkan aku menghadapi sendiri!" Teriakan ini membuat para tukang pukul mundur dengan muka pucat karena mengenal suara tuan muda Yang Nam.
Tidak berhasil mengalahkan seorang budak dengan pengeroyokan dua belas orang, benar-benar merupakan kesalahan besar dan kalau mereka nanti hanya menerima makian-makian saja sudah boleh dibilang untung.
Melihat kedatangan tuan muda yang membawa sebatang toya kuningnya, Wang Tun hanya
berdiri, dengan pedang melintang di depan dada. Seperti pedang ditangannya yang berlumur darah, juga pakaiannya penuh oleh darah para korbannya dan darahnya sendiri ia telah menderita luka di sana sini. Wajahnya beringas dan matanya berapi-api.
"Wang Tun baik kau katakan saja di mana Ci Ying dan Wang Sin. Kalau kau mau berterus terang, aku akan mengampunkan kau dan biarlah anjing-anjing yang sudah kau robohkan ini karena memang mereka tak berguna. Mengakulah, di mana adanya anakmu itu dan di mana ia
menyembunyikan Ci Ying?" kata Yang Nam dengan nada suara halus.
Tergetar pedang di tangan kakek pandai besi itu. Sudah tahu ia akan kelicikan pemuda ini yang lebih jahat dari pada ayahnya. Ia menggelengkan kepala dan berkata. "Hamba tidak dapat memberitahu karena tidak tahu di mana adanya mereka."
"Wang Tun, jangan kau membohong kepadaku," suara Yang Nam mulai mengeras, penuh
gertakan. "Hamba tidak membohong. Akan tetapi, lepas dari pada soal membohong atau tidak, hamba tidak setuju kalau Ci Ying yang sudah dijodohkan dengan putera hamba itu hendak tuan rampas," jawabnya ini membayangkan ketegasan dan kenekatan.
22 Yang Nam tersenyum, mengangguk-angguk. "Ah, begitukah" Wang Tun apa kau kira aku begitu serakah" Kalau Ci Ying tidak mau, biarlah sekarang juga aku atur perkawinan antara dia dan anakmu. Pokoknya keluarkan dulu mereka dari tempat persembunyian mereka." Ucapan ini halus dan membujuk.
Namun Wang Tun sudah cukup mengenal pemuda licik ini, ia menggeleng kepala. "Hamba tidak tahu di mana mereka ...."
"Eh, itulah mereka!" Tiba-tiba Yang Nam menuding ke kanan, "Wang Sin! Ci Ying, kalian ke kanan saja?"
Wang Tun terkejut sekali dan menengok ke arah yang ditunjuk oleh tuan muda itu. Ia tidak melihat apa-apa dan tahulah dia bahwa tuan muda yang licik itu telah menipunya. Cepat dia berpaling kembali untuk bersiap sedia, akan tetapi terlambat. Toya di tangan Yang Nam sudah menyerangnya dengan hebat dan sebuah sodokan ke arah dadanya tak dapat ia hindarkan lagi.
Tubuhnya terjengkang ke belakang dan pukulan kedua yang amat keras mematahkan lengannya yang memegang pedang sehingga pedang itu terlepas dan terlempar. Namun Wang Tun tidak bersambat, hanya memandang dengan mata melotot.
Melihat pandai besi itu sudah roboh tak berdaya, menyerbulah tukang-tukang pukul itu dengan senjata mereka dan di lain saat mereka sudah memukuli tubuh Wang Tun. "Bak-bik-buk" mereka menggebuki Wang Tun seperti kelompok anak-anak menggebuki seekor ular sampai Wang Tun tak dapat bergerak lagi, rebah mandi darah.
"Tuan muda sungguh gagah perkasa ..." seorang tukan pukul menyeringai dan memuji Yang Nam.
Akan tetapi jawaban pujian ini adalah sebuah tendangan kaki tuan muda itu yang membuat si pemuji terjengkang.
"Gentong-gentong nasi tak punya guna. Hayo lekas cari lagi Ci Ying dan Wang Sin. Biarkan bangkai pandai besi ini membusuk di sini dan dimakan binatang buas."
Mereka lalu pergi sambil menyeret kawan-kawan yang terluka dalam pertempuran tadi. Juga Yang Nam setelah meludah ke arah tubuh Wang Tun yang mandi darah, lalu pergi uring-uringan.
Yang Nam dan antek-anteknya tidak tahu betapa sejam kemudian setelah mereka pergi tubuh yang dikira sudah menjadi mayat itu bergerak lemah, mengerang perlahan lalu mata yang bengkak-bengkak itu terbuka.
"Wang Sin .... Wang Sin ...." demikian bisik Wang Tun lirih, kemudian dia diam kembali tak bergerak. Darah menetes turun dari keningnya.
****** Ci Leng tergesah-gesah berjalan menuju ke kuil besar yang menjadi tempat pujaan seluruh rakyat di daerah itu. Ia membawa sebuah "hata" yaitu sehelai kain selendang yang menjadi tanda penghormatan dan kebaktian, dan sekeranjang gajih. Hata dan gajih ini merupakan barang sumbangan yang harus dibawa oleh setiap orang yang hendak bersembahyang. Tanpa barangbarang itu jangan harap akan dapat memasuki ruangan kuil. Jadi benda-benda itu merupakan
pembuka kunci pintu kuil.
23 Ketika Ci Leng tiba di luar kuil, di situ sudah banyak terdapat budak-budak yang berlutut di atas batu-batu lantai di luar kuil. Mereka ini datang untuk minta berkah. Selain patung-patung di dalam kuil, siapa lagi yang menaruh kasihan kepada mereka" Siapa lagi yang dapat menolong mereka" Kepada patung-patung inilah para budak itu berlari untuk minta perlindungan dan minta berkah.
Ci Leng menjatuhkan diri berlutut di antara pemuja. Batu-batu lantai itu sampai licin sekali, halus dan di sana sini berlubang saking sering dan banyaknya orang datang berlutut. Lubang-lubang kecil bekas telapak tangan dan lutut. Sambil berlutut dan berkali-kali mengangguk-anggukkan kepala, Ci Leng seperti yang lain menggerak-gerakkan bibir membisikkan doa-doa sambil memutar-mutar tasbeh.
Serombongan pendeta lama yang masih kecil-kecil, di antaranya baru berusia lima enam tahun, lewat di dekat mereka sambil menggotong ember-ember berisi air. Anak-anak kecil yang berkepala gundul dan berpakaian gerombongan itu dengan susah payah menggotong air,
terhuyung-huyung ke kanan kiri. Mereka ini adalah pendeta-pendeta Lama kecil, akan tetapi pada hakekatnya hanyalah budak juga dalam pakaian Lama dan berkepala gundul.
Mereka bekerja setengah mati, diperas sampai tak kuat lagi untuk melayani para pendeta Lama yang merupakan "orang suci" di dalam kuil. Anak-anak ini mencuci, memasak, mencari kayu bakar, mencari air, menyapu yah pekerjaan apa saja mereka lakukan untuk para pendeta Lama.
Kalau para budak hamba dijadikan ternak-berbicara oleh para tuan tanah, adalah kacung-kacung ini diperkuda oleh para pendeta Lama.
Setelah mengucapkan doa-doa di depan kuil bersama para tamu kuil yang datang
bersembahyang, Ci Leng memasuki halaman kuil di mana orang-orang itu secara bergiliran menyerahkan kain-kain, harta dan barang sumbangan atau disebut juga "korban" kepada
seorang pendeta Lama yang bertugas untuk menerima barang-barang berharga itu. Setelah menyerahkan barang sumbangannya, Ci Leng memasuki bangunan sebelah kiri.
Ia berjalan melalui gang di mana penuh dengan lukisan-lukisan di tembok kanan kiri lorong, lukisan tentang manusia-manusia lelaki perempuan bertelanjang bulat yang sedang disiksa dan menderita di dalam neraka. Bermacam-macam lukisan yang mengerikan, dan cukup
mendatangkan rasa takut dalam hati para pengunjung kuil, sehingga mereka itu takkan berani melakukan dosa-dosa di dalam hidup agar kelak jangan disiksa seperti dalam lukisan itu?"
Lukisan-lukisan itu betapapun juga merupakan lukisan indah, dan patung-patung yang tak terbilang banyaknya menghias di sana sini. Akan tetapi sepasang mata Ci Leng seakan-akan tidak melihat ini semua. Ia langsung menuju ke sebelah bangunan kecil yang letaknya di ujung kiri, di dekat dapur dan dekat tembok pagar pekarangan kuil. Inilah ruang kerja di mana Lama-Lama yang ahli dalam membuat patung-patung bekerja.
"Losuhu .....!" Ci Leng memberi hormat ketika ia melihat seorang hwesio seorang diri bekerja di dalam ruangan itu.
Hwesio ini usianya sudah lima puluh tahun lebih, wajahnya lembut dan kulit mukanya putih tak pernah terbakar sinar matahari, agak pucat. Kedua tangannya penuh dengan lumpur karena ia tengah bekerja, membentuk tanah lihat untuk dijadikan patung. Di seluruh ruangan itu penuh dengan patung-patung yang sudah jadi, setengah jadi dan belum jadi. Pakaiannya yang butut penuh dengan kotoran lumpur dan cat.
24 Sepasang mata yang jernih dan muka yang agak muram itu berseri ketika Gi Hun Hosiang pendeta Lama itu, memandang kepada Ci Leng.
"Eh, kaukah itu, saudara Ci Leng" Terima kasih bahwa kau tidak melupakan pinceng dan mau menjenguk pinceng di tempat ini."
Akan tetapi pendeta itu menjadi heran dan kaget ketika tiba-tiba Ci Leng menjatuhkan diri berlutut di depannya, mengangguk-angguk dan berkata dengan suara penuh permohonan.
"Losuhu yang mulia, tolonglah kami ....."
Gi Hun Hosiang meletakan tanah lempung yang dikerjakannya dan mengangkat bangun Ci Leng.
"Eh, eh ada apakah, saudara yang baik" Sang Buddha telah memberi jalan kepada semua
manusia untuk menolong diri sendiri. Hanya dengan perbuatan baik orang dapat menolong diri sendiri, tidak ada orang lain dapat menolong kita terbebas kesengsaraan."
"Malapetaka telah menimpa keluarga kami, losuhu. Dewa-dewa telah menampakan kemurkaan kepada kami." Dengan singkat Ci Leng menceritakan betapa tuan muda hendak merampas Ci Ying dan betapa gadis itu karena tidak sudi dijadikan selir dan karena sudah bertunangan dengan Wang Sin, telah melarikan diri membawa pergi cucu nenek lumpuh.
"Sekarang Wang Sin dicari-cari dan kalau pemuda itu bisa ditangkap tentu akan disiksa oleh mereka. Oleh karena itu, tolonglah losuhu beri jalan kepada Wang Sin agar supaya dia bisa melarikan diri dari tempat ini. Malam nanti tentu dia akan datang ke sini dan memohon perlindungan losuhu."
"Omitohud ....!" Hwesio itu mengucapkan pujian sambil merangkap kedua tangan di depan dada.
"Tuan Yang dan anaknya terlalu menghumbar nafsu. Apa jadinya kelak dengan mereka dalam penjelmaan mendatang" Jangan kau khawatir, saudaraku Ci Leng. Pinceng tak dapat berbuat banyak akan tetapi kalau Wang Sin berada di sini, tentu ia akan terlindung dan pinceng akan berusaha mencarikan daya upaya ....."
Ci Leng berlutut lagi menghaturkan terima kasih. "Keluarlah supaya jangan menimbulkan kecurigaan. Semoga Sang Buddha melindungimu," kata pendeta itu sambil merangkap kedua tangan.
Ci Leng lalu keluar dari ruangan itu dan Gi Hun Hosiang berkemak-kemik membaca doa, lalu disambungnya dengan kata-kata lirih. "Aku hendak membuatkan sebuah patung Sang Buddha yang indah dan besar, patung emas yang akan menjadi kebanggaan kuil ini. Itulah pekerjaanku terakhir setelah itu akan bersihlah aku dari pada dosa-dosaku. Akan tetapi sebagai tambahan baik juga kutolong anak-anak yang patut dikasihani itu ...." Kembali Hwesio yang baik hati dan saleh ini membaca mantra sebelum ia melanjutkan pekerjaannya membuat patung.
Baru saja Ci Leng keluar dari ruangan pembuatan patung dan berjalan sampai di lorong:
"hukuman di neraka," tiba-tiba ia dikejutkan oleh bentakan parau. "Hemm, kau di sini?"
Ketika Ci Leng menengok, ia melihat Thouw Tan Hwesio, seorang Buddha hidup, seorang
pendeta besar yang mengepalai kuil itu. Thouw Tan Hwesio berjubah kuning bersih, bertopi tinggi dan wajahnya keren sekali. Tubuhnya tinggi besar dan lengan tangannya berbulu.
Sepatunya juga dilapis besi dan sepasang matanya yang bundar itu kini menatap wajah Ci Leng 25
yang ketakutan. Ci Leng cepat-cepat menjatuhkan diri berlutut memberi hormat kepada manusia dewa ini.
"Hemmm, Ci Leng. Keluargamu telah membuat kacau. Anakmu yang tak tahu malu minggat
bersama setan cilik Wang Sin. Calon besanmu Wang Tun memberontak dan membunuh
beberapa orang penjaga sebelum ia sendiri terbunuh. Kau yang dilumuri dosa-dosa keluargamu sekarang berani menginjak lantai kuil ini" Benar-benar kau mengotori kuilku. Hayo, keluar cepat sebelum aku memanggil halilintar untuk menyambarmu menjadi abu!"
Ci Leng dengan muka pucat, bukan hanya takut mendengar ancaman ini namun juga terkejut mendengar tentang kematian Wang Tun, cepat-cepat ia keluar dari kuil itu. Akan tetapi baru saja sampai di luar kuil, beberapa orang antek tuan tanah telah menyergapnya, mengikatnya dan menyeretnya ke gedung tuan tanah Yang Can.
"Jahanam keparat tak kenal budi!" datang-datang ia dimaki oleh tuan tanah Yang Can. "Semejak belasan tahun kau dan anakmu dapat hidup karena ada aku yang menolong, setiap hari kau dan anakmu yang keparat itu makan dan minum dari pemberianku. Dan semua ini kau balas dengan penghinaan hari ini?" Muka Yang Can merah saking marahnya.
"Ampun tuan besar. Hamba sekali-kali tidak merasa telah melakukan penghinaan," bantah Ci Leng.
"Plakk!" tangan Yang Nam menampar pipi orang tua itu. Karena Yang Nam adalah seorang pemuda ahli silat, tamparannya keras dan seketika darah menyembur dari mulut Ci Leng karena beberapa buah giginya copot. Matanya berkunang-kunang, dan terpaksa ia meramkan mata.
"Iblis tua, pintar kau bicara!" maki Yang Nam. "Kalau bukan kau yang mengaturnya, mana bisa anakmu, seorang gadis muda, berani melarikan diri. Hayo mengaku di mana sembunyinya Ci Ying dan Wang Sin?"
"Hamba tidak tahu .... hamba tidak tahu ....."
Beberapa kali pukulan dan tendangan jatuh di tubuhnya, akan tetapi Ci Leng hanya
mengucapkan, "Hamba tidak tahu .... hamba tidak tahu ....." Sampai akhirnya ia tidak bisa mengeluarkan suara lagi karena telah pingsan.
"Jangan bunuh dia, kau merugikan kita saja," bentak Yang Can. "Bawa dia pergi," perintahnya kepada para tukang pukul. "Suruh bekerja keras dan ikat kakinya dengan rantai supaya tidak mencoba untuk lari."
Tubuh Ci Leng yang sudah lemas itu diseret keluar dari halaman gedung tuan tanah Yang Can.
****** Wang Sin memang memiliki tubuh yang sangat kuat. Sehari penuh tubuhnya terendam di dalam air sungai tak sekejap pun ia berani memperlihatkan kepala ke atas permukaan air. Tak perlu diceritakan lagi penderitaannya selama sehari itu, direndam di dalam air yang amat dingin.
Beberapa kali ia hampir tidak kuat menahan, hampir pingsan dan hasrat untuk naik ke dalam udara segar membuat ia hampir tak kuat menahan lagi. Namun kekerasan hatinya memang luar biasa. Dengan hanya menghisap hawa dari jerami panjang yang ia gigit, ia dapat bertahan menyelam sampai sehari.
26 Setelah kegelapan malam menembus air, baru ia berani muncul. Paru-parunya serasa akan meledak ketika tiba-tiba ia dapat menghisap hawa udara sepuasnya, tidak melalui jerami kecilkecil itu. Setelah melihat bahwa dipinggir sungai tidak ada orang menjaga, ia berenang ke
pinggir, mendarat dan sambil menahan hawa dingin yang makin meresap ke dalam tulang, ia menyusup ke tempat gelap, hendak menuju ke kuil untuk menemui Gi Hun Hosiang sebagaimana telah dipesan oleh Ci Leng.
Tiba-tiba ia merandek dan cepat bersembunyi ke balik batang pohon. Ia mendengar suara berkeresekan, lalu terdengar keluhan perlahan sekali disusul suara bisikan, "Wang Sin ....."
"Ayah .....!" Wang Sin mengenal suara ayahnya dan cepat menghampiri. Di lain saat ia telah memangku ayahnya yang ternyata lebih baik mati dari pada hidup, dengan tubuh rusak berlumur darah dan hanya hati dan semangat membaja saja yang dapat menahan nyawa itu belum
meninggalkan raga. Malah Wang Tun dengan kemauan keras tiada bandingnya lagi, berhasil merangkak menuruni bukit dan sengaja mencegat di situ untuk menemui anaknya untuk
memberi pesan terakhir.
"Syukur .... Dewata masih kasihan kepadaku ....Wang Sin ..... dengar baik-baik ....." Ia terengahengah.
Sukar sekali kata-kata keluar dari kerongkongannya yang sudah tersumbat darah.
"Tuan muda .... dia curang ...Wang Sin, kalau kau bisa lari ..... kelak pergilah cari guruku .... Cin Kek Tosu .... di Kun-lun-san .....kelak .... tolonglah para budak ..... tolonglah mereka, bebaskan dari cengkeraman tuan tanah .... ahhh ... selamat ..." Dan kakek yang kuat ini akhirnya tak dapat menahan nyawanya yang melayang meninggalkan raganya.
Wang Sin mengepal tinju. Kalau menurutkan nafsu hatinya, ingin ia mengamuk, membalas dendam ini dan kalau mungkin membunuh tuan muda Yang Nam dan yang lain-lain. Akan tetapi, pengalaman-pengalaman getir membuat pemuda ini dapat menahan nafsu dan dapat berpikir panjang. Tiada gunanya, pikirnya. Ayahnya yang gagah perkasa sekalipun tak dapat menang.
Apalagi dia yang hanya memiliki kepandaian terbatas sekali. Ia harus dapat keluar dari neraka ini, harus mempelajari kepandaian dan kelak kembali untuk membalas dendam. Ah, tidak, ayahnya lebih betul. Bukan semata-mata membalas dendam, melainkan yang terutama sekali membebaskan saudara-saudaranya para budak.
"Ayah, ampunkan anakmu tidak dapat merawatmu sebagaimana mestinya." Dengan airmata
bercucuran saking sedih melihat mayat ayahnya rebah tak terawat atau terurus, ia terpaksa meninggalkan mayat itu di situ kalau tidak mau tertangkap oleh kaki tangan tuan tanah.
Wang Sin mencari jalan di dalam gelap dan akhirnya ia berhasil memasuki kuil. Tak seorangpun kaki tangan tuan tanah menjaga tempat ini. Siapa mengira bahwa pemuda yang mereka kira sudah melarikan diri bersama Ci Ying itu berani bersembunyi di dalam kuil"
Perhitungan Ci Leng memang tepat. Tempat sembunyi di kuil itu baik sekali. Seandainya Wang Sin mengikuti jejak Ci Ying, melarikan diri menggunakan perahu, tentu ia akan tertangkap karena para antek tuan tanah sudah menjaga sampai jauh di bawah.
Gi Hun Hosiang menerimanya dengan ramah, tanpa banyak suara. Ternyata hwesio ini sudah membuat persiapan lebih dulu karena begitu Wang Sin masuk ia lalu mengambil satu stel pakaian hwesio berikut topinya yang tinggi.
27 "Buka pakaianmu dan pakai ini," perintahnya.
Wang Sin juga tidak banyak cakap lagi, segera menanggalkan pakaian budak yang butut dan melemparkan pakaian ini di sudut ruangan. Kemudian ia mengenakan pakaian hwesio itu dan tak lama kemudian ia sudah menjadi seorang pendeta Lama.
"Kau sembunyi di sini dulu, pinceng akan memeriksa keadaan di luar," kata hwesio itu kemudian, lalu ia pergi ke luar dengan tenang.
04. Murid Cheng Hoa Suthai.
Wang Sin yang ditinggal seorang diri di ruangan penuh patung itu, merasa seram juga. Semenjak kecil ia sudah dijejali dongeng dan kepercayaan bahwa patung-patung itu menjadi tempat tinggal para roh suci, para dewa yang menghubungi manusia melalui patung. Ia merasa seram dan takut, akan tetapi ketika melihat sebuah patung Dewi Kwan Im yang berwajah cantik sekali dan membayangkan budi luhur.
Ia cepat berlutut di depan patung ini, bersujud dan merasa aman. Ia tahu bahwa patung ini adalah pujaan Ci Ying dan patung yang mempunyai wajah demikian lembut tak mungkin jahat.
Tentu Ci Ying akan mendapat perlindungannya.
Menjelang tengah malam, Gi Hun Hosiang kembali. Melihat Wang Sin berlutut memuja patung Dewi Kwan Im, ia mengangguk-angguk.
"Kau akan selamat," gumamnya. Setelah Wang Sin berdiri, ia berkata lagi, lirih akan tetapi bersungguh-sungguh. "Kau pergilah ke kandang kuda. Penjaganya sudah pulas semua terkena obatku. Ambil ah seekor kuda yang baik, kemudian tuntun kuda itu ke luar terus ke tempat sepi.
Kemudian kau boleh mulai dengan perjalananmu. Ke mana tujuanmu pertama?"
"Menyusul Ci Ying, di mana air sungai Yalu-cangpo berbelok ke selatan," jawab Wang Sin dengan suara tetap.
"Baik, akan tetapi kalau sudah bertemu, harus pergi ke utara. Pergilah ke Kun-lun-san."
"Memang ayah memesan supaya teecu pergi ke Kun-lun-san mencari guru ayah, Cin Kek Tosu."
Gi Hun Hosiang mengangguk-angguk. Ia merogo saku dan mengeluarkan segumpal emas.
"Benda ini di dunia luar dihargai orang. Bawalah untuk bekal. Nah berangkatlah, Wang Sin!"
Pemuda itu menghaturkan terima kasih, lalu menyelinap ke luar dengan hati-hati, terus menuju ke kandang kuda milik tuan tanah. Tiga puluh ekor lebih kuda yang berada di situ, akan tetapi Wang Sin yang sudah kenal baik kuda-kuda itu tahu harus memilih yang mana. Ia pilih kuda berbulu putih tunggangan tuan tanah Yang Can pribadi. Inilah kuda terbaik dan terkuat.
Karena kuda-kuda itu sudah mengenal Wang Sin, mereka tidak menimbulkan gaduh, bahkan kuda putih yang dituntun ke luar juga menurut saja. Pemuda itu terus menuntunnya dengan hati-hati sampai mereka berada jauh dari situ, baru ia melompat dan mengaburkan kuda itu, jauh dari sungai, akan tetapi terus ke timur menurutkan aliran sungai Yalu-cangpo.
28 Menjelang pagi Wang Sin masih terus larikan kudanya, kini sudah jauh sekali meninggalkan perkampungan itu. Hatinya lega dan girang seperti seekor burung yang terlepas dari sangkar.
Akan tetapi kalau ia teringat akan nasib ayahnya, ia menjadi sedih sekali.
"Aku akan kembali ..... aku akan kembali ...." katanya kepada diri sendiri, penuh kebencian kepada tuan tanah dan antek-anteknya. Teringat akan ini, kedukaannya lenyap dan ia menggigit bibir mengepalkan tinju, terus membedal kudanya lebih cepat lagi, menyongsong matahari di timur, menyongsong kemerdekaan.
Sama sekali ia tidak tahu bahwa bukan hanya ayahnya dan ayah Ci Ying saja yang menjadi korban pelariannya. Pada keesokan harinya, gegerlah tuan tanah dan kaki tangannya ketika melihat bahwa kuda milik tuan tanah telah lenyap dicuri orang.
"Tentu si bedebah Wang Sin, tak bisa lain orang!" maki tuan tanah Yang Can sambil
membanting-banting kaki dengan muka merah. "Kalian anjing-anjing tolol!" makinya kepada semua anteknya yang menundukkan kepala. "Masa puluhan orang tidak mampu menangkap
seorang anak-anak seperti Wang Sin. Kalian melapor tidak ada, sudah minggat dan lain-lain obrolan kosong. Ternyata malam tadi ia masih berada di sini bahkan dapat mencuri kudaku.
Setan!" "Tuan besar, keparat itu dapat bersembunyi di sini, tentu ada pembantunya. Kalau tidak ada orang yang membantunya, kiranya tak mungkin dia bisa bersembunyi," seorang di antara antekanteknya
memberanikan diri.
Yang Can berpikir. Betul juga pendapat ini. Akan tetapi pikiran ini malah membangkitkan marahnya. "Tentu ada budak pengkhianat yang menyembunyikan di gubuknya. Kalian semua buta barangkali, tidak dapat melihat dia bersembunyi di gubuk para budak!"
Tukang pukul yang mengajukan pendapat itu terkejut. Celaka, pendapatnya malah memukul mereka sendiri.
"Tidak mungkin tuan besar, tidak mungkin. Hamba sekalian teliti, malah semalam suntuk meronda di sekitar gubuk para budak dan di pinggir kali, sepanjang lembah sungai."
"Hemm, kalau begitu di mana sembunyinya?"
"Hamba rasa .... kalau tidak salah dugaan hamba, tentu di sekitar kuil. Di sanalah yang tidak terjaga."
Yang Can sadar, namun penuh kesangsian. Para pendeta Lama boleh dibilang semua
membantunya. Mungkinkah Wang Sin dapat bersembunyi di sana" "Kita selidiki ke kuil!" akhirnya ia berkata dan beramai-ramai para anteknya mengikuti majikan mereka ini menuju ke kuil pada pagi hari itu.
Thouw Tan Hwesio, pendeta Lama jubah kuning ketua kuil itu, mengerutkan kening dan
menggerak-gerakkan alisnya yang tebal ketika ia mendengar penuturan tuan tanah Yang Can.
"Hemm, pinceng sudah menaruh curiga ketika kemaren Ci Leng berkeliaran di kuil. "Janganjangan Gi Hun ....." Hwesio tinggi besar ini bangkit dari tempat duduknya. "Harap duduk dulu, biar pinceng pergi menyelidiki." Kemudian dengan langkah lebar hwesio tua yang masih kuat itu memasuki kuil, langsung menuju ke ruangan pembuatan patung, tempat kerja Gi Hun Hosiang.
29 Gi Hun Hosiang menyambut kedatangan pendeta kepala itu dengan tenang dan hormat. Ia
memberi hormat dan melanjutkan pekerjaannya yang dimulai pagi-pagi sekali. Thouw Tan Hwesio pura-pura melihat-lihat patung, pura-pura memeriksa pekerjaan hwesio bawahannya itu, akan tetapi matanya yang besar itu melirik ke sana ke mari. Akhirnya ia melihat setumpuk pakaian butut, pakaian Wang Sin yang dilemparkan di pojok. Ia menjadi marah sekali dan tibatiba ia menghempaskan kakinya ke atas lantai sambil membentak.
"Gi Hun. Apa yang telah kau lakukan malam tadi?"
"Apa yang dimaksudkan twa-suhu yang mulia?" balas tanya Gi Hun Hosiang penuh ketenangan karena ia memang sudah siap sedia memikul semua akibat bantuannya kepada Wang Sin.
"Ha! Kau masih berani berpura-pura" Kau penjahat yang masih bodoh, melakukan perbuatan terkutuk tanpa membersihkan bekas kejahatanmu. Pakaian kotor siapa ini?"
"Itu bekas pakaian Wang Sin."
Thouw Tan Hwesio tercengang juga mendengar pengakuan terang-terangan ini. "Keparat, kau telah membantu seorang penjahat melarikan diri dan mencuri kuda, kau telah membikin kotor kuil ini. Manusia tak tahu budi. Ketika kau datang keleleran, bukankah pinceng yang
menolongmu dan memberi pekerjaan serta makan dan tempat tinggal" Kiranya kau berkhianat, membantu orang jahat dan memalukan pinceng!"
"Twa-suhu yang baik, teecu tidak pernah melakukan pekerjaan jahat."
"Keparat, kau telah membantu Wang Sin melarikan diri. Apa kau mau bilang itu tidak jahat?"
"Tidak twa-suhu. Teecu mentaati pelajaran dari Sang Buddha yang menghajarkan kita harus mengutamakan keadilan dan prikebajikan. Wang Sin adalah seorang budak yang baik, seorang yang hidupnya penuh derita dan karenanya patut dikasihani. Akan tetapi, oleh keganasan orang lain, ayahnya dibunuh, tunangannya dirampas dan dia sendiri kalau tidak dapat melarikan diri tentu dibunuh pula. Teecu membantu dia terlepas dari pada ancaman angkara murka, bukankah teecu berarti mengutamakan keadilan dan kebajikan?"
"Tikus busuk! Dasar kau murid tosu gila. Kau hanya mengotorkan kuilku. Kau harus dihukum mati!" Sambil berkata demikian Thouw Tan Hwesio yang sudah marah sekali menyerang Gi Hun Hosiang dengan toyanya yang tadi memang sudah ia bawa-bawa.
Gi Hun Hosiang berlaku cepat, mengelak sambil berkata, suaranya keren.
"Thouw Tan Hwesio, kau lah yang tersesat. Ucapan dan sikapmu ini menyatakan bahwa kau bukanlah murid Buddha yang baik."
"Jahanam!" Thouw Tan Hwesio menyerang lagi lebih hebat, menghantamkan toyanya ke arah kepala Gi Hun Hosiang. Gi Hun Hosiang kembali mengelak, dan "prakkkk!" sebuah patung Buddha yang hampir jadi hancur berkeping-keping terkena pukulan toya.


Nona Berbunga Hijau ( Kun Lun Hiap Kek ) Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau hwesio sesat! Berani kau menghancurkan patung suci, hasil jerih payahku!" Gi Hun Hosiang berseru marah sambil menyambar sebuah pisau yang biasa ia pergunakan untuk membuat
patung. Terjadilah pertempuran yang seru di ruangan itu. Toya di tangan Thouw Tan Hwesio menyambar-nyambar ganas dan beberapa buah patung hancur lagi terkena angin pukulan toya.
30 Repot juga Gi Hun Hosiang menghadapi serangan in. Ia adalah seorang murid Kun-lun, murid dari Cin Kek Tosu seorang tokoh Kun-lun, akan tetapi dibandingkan dengan Thouw Tan Hwesio, ia masih kalah jauh, baik dalam ilmu silat maupun dalam kekuatan. Ia masih mencoba untuk membela diri, namun akhirnya ia mengakui keunggulan Thouw Tan Hwesio ketika toya yang berat itu tepat menangkis pisaunya sampai terlempar disusul oleh sambaran toya yang
meremukkan kepalanya. Nyawa Gi Hun Hosiang melayang pergi tanpa mulutnya sempat
bersambat lagi.
Pada saat itu Yang Can dan Yang Nam mendengar suara ribut-ribut, menyusul ke dalam dan melihat Thouw Tan Hwesio berdiri dengan muka merah dan memandang mayat Gi Hun Hosiang.
"Pinceng kehilangan ahli patung yang pandai. Apa boleh buat, dia telah berkhianat dan membantu larinya Wang Sin. Akan tetapi, pinceng akan menyuruh beberapa orang hwesio
mengejarnya sampai dapat. Tak salah lagi tentu keparat itu lari ke Kun-lun-san."
Setelah diketahui bahwa yang membantu Wang Sin melarikan diri adalah Gi Hun Hosiang yang telah dibunuh, Yang Can tidak mengganggu para budak lainnya, kecuali Ci Leng yang semenjak hari itu makin celaka hidupnya, disuruh bekerja berat sampai jauh malam, dikurangi makannya sehingga orang tua ini menjadi kurus dan pucat. Namun ia masih mempertahankan hidupnya karena di dalam hatinya, Ci Leng menaruh kepercayaan akan kembalinya Wang Sin dan Ci Ying untuk membalas dendam, untuk membebaskan para budak.
****** Kalau orang sudah menjelajah daerah Tibet, baru ia akan mengerti mengapa para budak yang hidupnya diperas oleh para tuan tanah, jarang ada yang berani melarikan diri. Selain bahaya besar yang merupakan kaki tangan tuan tanah yang tentu akan mengejar mereka dan menyiksa mereka secara keji kalau mereka tertangkap kembali, dan ancaman bahaya dari tuan tanah-tuan tanah di lain daerah yang tentu akan menggencet hidup mereka seperti tuan-tuan tanah lainnya, juga daerah yang amat sukar itu merupakan ancaman bagi hidup para pelarian.
Daerah Tibet sebagian besar terdiri dari bukit-bukit salju, padang rumput yang amat luas, hutanhutan di sana sini. Orang akan mudah sesat jalan dan dalam jarak ratusan kilometer takkan
bertemu dengan manusia. Selain bahaya kelaparan di jalan, juga masih banyak bahaya
mengancam, seperti binatang buas dan lain-lain.
Hanya oleh kenekatan luar biasa Ci Ying dapat mengemudi perahunya yang hanyut oleh air sungai Yalu-cangpo. Baiknya Wang Sin membekali seekor domba yang dapat ia ambil air susunya untuk Wang Tui, bayi yang ia bawa lari itu. Kalau tidak, tentu bayi itu akan mati kelaparan.
Baginya sendiri, daging domba yang ia bawa cukup untuk menyambung nyawanya.
Siang malam perahunya bergerak terus ke depan, makin jauh meninggalkan kampungnya yang telah merupakan neraka baginya itu. Ci Ying berlaku tabah dan ini semua karena ia mempunyai harapan akan tersusul oleh Wang Sin. Kalau saja ada pemuda itu di sisinya, tentu akan lebih besar dan tabah lagi hatinya.
Pada hari ke lima ia sudah mendekati belokan sungai Yalu-cangpo yang mengalir ke selatan.
Malam itu perahunya bergerak perlahan karena aliran sungai di daerah ini tidak cepat. Wang Tui sudah tidur nyenyak setelah diberi air susu domba yang kini kelihatan agak kurus karena kekurangan rumput segar.
31 Ci Ying duduk di kepala perahunya, memandang ke sekeliling. Hatinya agak gentar juga ketika perahunya memasuki daerah berhutan yang nampak mengerikan. Ia memperhatikan sungai
terus menerus, mengharap-harap melihat sungai itu berbelok untuk mendarat dan menanti Wang Sin di tempat itu.
Malam itu indah sekali. Bulan purnama sudah muncul dan menyulap keadaan di sekitar dan di sepanjang kanan kiri sungai menjadi pemandangan alam yang luar biasa indahnya. Di
permukaan air tampak bulan dan pohon-pohon yang menjadi bayang-bayang mengagumkan.
Tiba-tiba Ci Ying menahan napas wajahnya berubah pucat sekali. Anehnya, pada saat itu Wang Tui menangis, agaknya digigit nyamuk, Ci Ying cepat mengangkat bayi itu dan dipeluknya erat, disuruh diam.
Yang mengejutkan hatinya adalah munculnya bayangan orang di pantai sebelah kiri.
Orang itu agaknya sudah melihat perahu kecil itu dan seorang di antara mereka berseru, "Hai, siapakah yang berperahu pada malam hari membawa anak kecil itu?"
Ci Ying tidak berani menjawab, takut sekali karena mengira bahwa mereka tentulah kaki tangan tuan tanah yang berhasil mengejarnya. Otaknya sudah diperas untuk mencari jalan melarikan diri dari mereka. Akan tetapi bagaimana" Ia melihat mereka bertiga meloncat ke dalam sebuah perahu dan mendayung perahu itu ke tengah.
Ci Ying menaruh bayi yang menangis itu, lalu dengan kedua tangannya ia mendayung sekuat tenaga untuk melarikan diri. Namun, perahu yang didayung oleh tiga orang itu cepat sekali meluncur mendekati perahunya, malah kini melampauinya dan menghadang di tengah, dan tiga orang laki-laki itu memberi isyarat supaya berhenti.
"Seorang perempuan muda!" seru seorang di antara mereka, heran dan terkejut. Ci Ying menjadi lega hatinya. Bukan, melihat pakaian dan sikap mereka, tiga orang ini bukanlah kaki tangan tuan tanah, biarpun mereka itu orang-orang Tibet, mungkin pemburu-pemburu binatang. Ia tidak takut lagi. Biasanya, bangsanya sendiri adalah orang-orang ramah dan hampir tak pernah terjadi ada orang lelaki mengganggu wanita, kecuali tentu saja, kaki tangan tuan-tuan tanah yang merupakan serigala-serigala liar.
"Kawan-kawan harap memberi jalan kepadaku. Biarkan aku meneruskan perjalanan," katanya ramah.
Bulan purnama memancarkan cahayanya sepenuhnya ke wajah Ci Ying, membuat tiga orang itu dapat melihat bahwa dia adalah seorang gadis Tibet yang cantik dengan bentuk tubuh yang menarik.
"Eh, bukankah ini gadis bernama Ci Ying yang melarikan diri dari tuan besar Yang Can?" tiba-tiba seorang di antara mereka berseru.
Kekagetan Ci Ying seperti pada saat itu ia disambar geledek mendengar seruan itu, sampai ia menjadi bengong terbelalak memandang mereka tanpa dapat mengeluarkan suara lagi.
"Betul, tentu ini anaknya. Ah, pantas saja tuan muda Yang Nam itu mau mengambilnya sebagai selir. Kiranya begini cantik. Aha, kalau kita tangkap dan bawa kepada tuan muda Yang Nam, tentu kita mendapat hadiah besar!" kata orang kedua.
32 "Apa tidak baik antarkan kembali kepada tuan tanah Yang Can" Tentu kita dihadiahi ...." kata yang ke tiga.
"Ah, keliru. Bunga begini cantik amat dibutuhkan oleh tuan tanah Nam, mengapa harus jauhjauh diantar kepada tuan tanah Yang Can?"
Mendengar percakapan mereka, makin takutlah hati Ci Ying. Tidak salah lagi, mereka ini tentulah antek-antek tuan tanah lain yang tidak kalah kejam dan jahat dari pada Yang Can. Akan tetapi ia masih mencoba dan meletakkan bayi itu di atas geladak perahu.
"Saudara-saudara harap kasihani aku yang berusaha melarikan diri dari neraka, melarikan diri dari tindasan tuan tanah yang selalu menggencet kita semua para budak. Harap saudara lepaskan aku dan aku akan selalu berdoa kepada Dewi Putih Sgrol-ma untuk kalian bertiga ....."
"Ha-ha-ha, berkah Dewi dan Dewa tidak akan sebaik berkah tuan tanah berupa pakaian dan bahan makanan anak manis. Lebih baik kau menurut saja, menjadi selir tuan Nam. Dia tentu akan membuat hidupmu serba cukup dan bahagia."
Ci Ying tidak dapat mencari jalan untuk melarikan diri. Lebih baik mati, pikirnya. Ia melarikan diri karena tidak sudi diselir tuan muda Yang Nam, masa sekarang harus menyerahkan diri untuk diselir oleh tuan tanah lain yang selama hidupnya belum pernah ia lihat" Lebih baik mati! Cepat sekali ia lalu melompat dari perahu dan membuang diri ke dalam sungai.
"Setan, dia membuang diri ke sungai!" seru seorang di antara tiga orang laki-laki yang ternyata adalah orang-orang Tibet yang biarpun bukan antek-antek tuan tanah namun mereka itu adalah sebangsa keliaran yang pekerjaannya memburu atau berdagang atau melakukan apa saja untuk mendapat hasil, termasuk pekerjaan jahat merampok atau melakukan sesuatu untuk tuan tanahtuan tanah dan mendapatkan upah.
Melihat Ci Ying melempar diri ke air, dua orang di antara mereka cepat melepas pakaian dan terjun berenang dan tak lama kemudian mereka telah dapat menangkap dan menaikkan ke
perahu mereka tubuh Ci Ying yang sudah pingsan. Mereka tertawa-tawa dan sama sekali tidak perdulikan lagi kepada Wang Tui, bayi yang menangis menjerit-jerit terbawa oleh perahu yang sudah hanyut lagi ke depan.
Ketika siuman kembali dan mendapatkan dirinya berada di atas kuda dipeluk oleh seorang di antara tiga orang penculiknya yang tertawa-tawa gembira, Ci Ying merontah dan menangis, menjerit-jerit minta dilepaskan. Namun segala usahanya sia-sia belaka, malah membuat gelak tiga orang itu makin menjadi. Ci Ying memaki-maki saking marahnya.
"Ha-ha-ha, sekarang kau memaki-maki kami. Akan tetapi kelak kalau sudah menjadi nyonya besar, kau akan bersyukur kepada kami dan memberi hadiah. "Ha-ha-ha!"
Pada saat itu, tiba-tiba mereka menjadi kaget dan menghentikan kuda mereka. Entah dari mana datangnya, tahu-tahu di depan mereka. Di tengah jalan menghadang berdiri seorang wanita tua berpakaian putih seperti pendeta, wajahnya bersih dan matanya bersinar terang, usianya kurang lebih lima puluh tahun sedangkan kedua tangannya memegang seuntai tasbeh dan sebuah
kebutan warna merah.
Tiga orang itu adalah orang-orang kasar yang tidak takut apapun juga, akan tetapi ada sesuatu pada diri nenek ini yang membuat mereka tidak berani berlaku sembrono. Mereka adalah orangGrafity,
http://admingroup.vndv.com
33 orang yang percaya akan tahyul, maka munculnya nenek ini membuat mereka selain kaget dan heran, juga serem di hati. Apalagi nenek ini berpakaian pendeta, golongan orang yang mereka pandang tinggi.
"Nenek tua, harap minggir agar jangan tertubruk kuda," kata seorang di antara mereka.
"Akan tetapi nenek itu tidak mau minggir, malah memandang tajam ke arah Ci Ying.
"Kalian mau apa dengan perempuan muda itu?" tanyanya, dalam bahasa Tibet yang agak kaku tapi cukup jelas.
Tiga orang itu ketika mendengar suara ini, berkurang rasa hormat mereka karena maklum bahwa nenek ini adalah bangsa Han dari timur dan karenanya tak mungkin merupakan pendeta suci titisan para dewi. Orang yang memeluk Ci Ying tertawa sambil menjawab.
"Ha-ha, perempuan ini adalah biniku yang bandel, tidak mau diajak pulang."
Ci Ying merontah dan berteriak, "Bohong! Mereka ini orang-orang jahat yang menculikku, hendak menjualku kepada tuan tanah ...." Ci Ying tak dapat bicara terus karena tangan yang lebar dari orang itu menutupi mulutnya.
Sepasang mata nenek itu yang tadinya bening dan lembut, kini menyinarkan pandangan tajam berapi. Mukanya yang putih menjadi kemerahan dan ia membentak nyaring. "Keparat-keparat jahanam, di tempat sesunyi ini masih ada saja manusia berhati binatang! Lepaskan dia!"
Akan tetapi tiga orang ini mana mau menurut" Terhadap orang-orang kuat belum tentu mereka takut, apalagi menghadapi seorang nenek tua yang lemah" Yang paling depan tertawa,
menggerakkan kudanya sambil berkata, "Kau nenek bawel, tidak mau minggir jangan menyesal kalau mampus terinjak kuda!"
Kudanya tersentak maju, akan tetapi tiba-tiba terdengar pekik mengerikan dan orang yang menunggang kuda itu terguling roboh dari atas kudanya yang lari ketakutan ke kanan. Ketika kedua orang kawannya memandang, ternyata orang itu sudah tak bernapas lagi, mati dengan mata mendelik dan lidah keluar!
Bukan main herannya mereka. Nenek itu tidak terlihat menggerakkan tangan, bagaimana
kawannya bisa tewas secara demikian mengerikan" Akan tetapi kemarahan mereka melebihi keheranan itu dan serentak orang kedua maju sambil memaki. "Siluman dari mana berani kurang ajar?"
Untuk kedua kalinya terdengar pekik mengerikan dan sekarang karena orang ketiga memandang penuh perhatian, ia melihat nenek itu menggerakkan kebutannya dan ujung kebutan merah itulah yang mengenai dada kawannya yang terguling sambil menjerit dan tewas di saat itu juga.
Gerakannya itu demikian cepat dan lemah sehingga hampir tidak kelihatan.
Orang kedua juga tewas seketika itu juga. Sebelum orang ketiga yang menjadi pucat itu dapat bergerak, nenek lihai ini sudah menggerakkan tubuh ke depan, tasbehnya bergerak berbareng dengan kebutannya. Orang yang memeluk tubuh Ci Ying sudah mencabut golok dan mencoba untuk menangkis tasbeh.
34 Namun goloknya terlepas dan tasbeh terus menimpa kepalanya. Terdengar suara "prakk!" dan orang inipun terguling tak bernyawa lagi dengan batok kepala retak-retak. Adanya kebutan itu telah membelit tubuh Ci Ying dan tahu-tahu gadis ini telah melayang turun dari kuda.
Kalau tidak mengalami sendiri, mungkin Ci Ying takkan mau percaya. Tak mungkin ada manusia, apalagi wanita sesakti itu, kecuali kalau seorang dewi yang menjelma menjadi manusia. Dewi!
Ah, nenek itu memang masih kelihatan cantik dan kulitnya putih. Tidak salah lagi, dia tentulah Dewi Putih Sgrol-ma! Serta merta Ci Ying yang dipengaruhi oleh jalan pikirannya yang sudah penuh ketahyulan itu menjatuhkan diri berlutut di depan nenek itu sambil berkata.
"Dewi yang mulia, terima kasih atas pertolongan Dewi. Harap Dewi sudi menolong Wang Tui yang terbawa hanyut oleh perahu di sungai. Dewi tolonglah segera ....!"
Nenek itu memang kurang pandai bahasa Tibet. Ia tidak tahu apa yang dimaksudkan oleh gadis itu menyebut-nyebutnya Dewi Sgrol-ma segala macam. Ia tidak tahu bahwa ia dianggap Kwan Im Pousat oleh gadis itu.
"Aku bukan Dewi, jangan ngaco!" bentaknya dan suaranya berubah keren galak. "Juga aku tidak sudi menolong orang lain. Kalau ia hanyut, biarkan hanyut. Masa bodoh!"
Kaget sekali Ci Ying mendengar ini. Betapa jauh bedanya dengan tadi. Tadi nenek itu
menolongnya, mengapa sekarang bisa mengeluarkan kata-kata begitu kejam dan tidak mau menolong Wang Tui"
"Nenek budiman, tolonglah dia. Wang Tui masih bayi, dia tadi bersamaku di perahu sampai aku diculik oleh penjahat dan bayi itu dibiarkan hanyut di dalam perahu. Kasihanilah dia, dia anak baik ...." ia memohon lagi, bingung teringat nasib Wang Tui.
"Hu, anak baik" Tidak ada orang baik di dunia ini. Yang baik hanya kita sendiri. Tidak usah kau banyak ribut, aku bukan orang yang biasa diperintah. Kau bernama siapa dan dari mana"
Bagaimana kau bisa diculik orang-orang rendah ini?"
Biarpun bingung sekali karena nenek itu tidak mau menolong, Ci Ying terpaksa menjawab dengan singkat. "Aku bernama Ci Ying, seorang budak yang melarikan diri karena hendak dipaksa menjadi selir tuan tanah. Nenek yang baik kalau kau tidak mau menolong Wang Tui, biarlah aku mencoba untuk menolongnya."
Setelah berkata demikian, Ci Ying lalu lari secepatnya menuju ke sungai kembali untuk mengejar perahu yang hanyut. Akan tetapi baru saja ia melangkah beberapa tindak, tiba-tiba pinggangnya terlibat sesuatu dan ia tidak dapat maju lagi. Ternyata kebutan di tangan nenek itu telah melibat pinggangnya.
"Berhenti kau!" bentak nenek itu, "Kau berjodoh untuk menjadi muridku. Kau telah hidup tergencet, sengsara dan menderita. Apakah kau tidak ingin memiliki kepandaian dan kelak membasmi orang-orang jahat yang telah merusak hidupmu?"
Mendengar kata-kata ini, teringatlah Ci Ying akan semua sakit hatinya. Teringat ia betapa ayahnya tentu akan disiksa atau mungkin dibunuh. Teringat pula akan kesaktian wanita tua ini dan kalau saja ia bisa mempelajari ilmu seperti tadi, tentu ia akan dapat menolong ayahnya, atau kalau sudah terlambat dapat menolong para budak lain dan membasmi tuan tanah dan kaki tangannya. Tentang Wang Tui, seandainya ia kejar juga, mana ia bisa menyusul"
35 Dengan tersedu-sedu menangisi nasib Wang Tui, Ci Ying lalu menjatuhkan diri berlutut dan berkata perlahan, "Teecu bersedia menjadi murid Dewi...." Ia lupa dan menyebut Dewi.
"Aku manusia biasa, namaku Cheng Hoa Suthai. Ci Ying marilah ikut aku ke tempatku di gunung Heng-toan-san."
"Baik, Suthai." Dan berangkatlah dua orang wanita ini meninggalkan tempat itu.
Siapakah Cheng Hoa Suthai ini" Namanya tentu saja asing dan tidak ada yang kenal di daerah Tibet, akan tetapi makin ke Timur, makin dikenal oranglah wanita perkasa ini. Dia seorang tokoh kang-ouw yang kenamaan, seorang sakti yang lihai dan terkenal berwatak aneh dan ganas terhadap musuh-musuh atau orang-orang yang dibencinya. Cheng Hoa Suthai bertapa di puncak gunung Heng-toan-san, akan tetapi ia suka sekali berkelana sampai jauh ke timur, pernah menggegerkan pantai lautan timur.
Sekarang ia sedang berkelana ke barat sampai di Tibet. Melihat Ci Ying, ia amat tertarik dan ingin sekali mengambil murid gadis sengsara itu. Keanehan wataknya terlihat ketika ia membantu Ci Ying membunuh para penculik gadis itu, akan tetapi sama sekali tidak perduli akan nasib bayi yang hanyut terbawa perahu di sungai Yalu-cangpo. Memang wanita ini aneh dan berwatak keras, malah lebih sering bersikap ganas dan jahat dari pada baik sehingga di dunia kang-ouw ia terkenal sebagai tokoh yang ganas dan jahat.
Ci Ying gadis yang semenjak kecil menderita sengsara lahir batin, sekarang menjadi murid wanita aneh ini dan pengalaman-pengalaman pahit getir dalam hidupnya membuat ia mudah saja
mengoper watak gurunya, yakni membenci orang-orang dan selalu menaruh dendam di dalam hatinya.
Ci Ying juga seorang gadis yang berwatak keras sekali, tahan uji dan sudah mengeras oleh penderitaan-penderitaan, biarpun sebelah kakinya tidak bersepatu karena sepatu bututnya yang kiri terlepas ketika ia meronta-ronta ditangkap tiga orang penjahat tadi. Akan tetapi biarpun kakinya pecah-pecah ketika ia mengikuti Cheng Hoa Suthai, ia tidak mengeluh dan dengan keras kepala berjalan terus sampai akhirnya ia roboh dan oleh gurunya ia diangkat dan dibawa lari cepat seperti angin.
05. Anak Murid Kun-lun-pai.
Bagaimana dengan nasib Wang Tui, bayi itu" Sungguh kasihan, anak yang usianya baru
beberapa hari ini menangis sampai megap-megap di atas perahu tanpa ada yang menolongnya.
Agaknya suara tangisnya menarik perhatian seekor ikan besar yang sudah sejak tadi berenang mengikuti perahu, menyentuh-nyentuh perahu dengan moncongnya yang besar.
Apalagi bunyi domba betina mengembik-embik di atas perahu membuat ikan itu maklum bahwa di dalam perahu terdapat mangsa yang akan mengenyangkan perutnya. Ketika perahu itu tiba di sebuah belokan di mana air memutar, ikan itu menyabet dengan ekornya dan perahu itu
Jodoh Si Mata Keranjang 7 Persekutuan Pedang Sakti Lanjutan Pedang Karat Pena Beraksara Karya Qin Hong Elang Terbang Di Dataran Luas 12
^