Pencarian

Naga Dari Selatan 3

Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen Bagian 3


itu, sungguh menakjubkan. Benar papan bok-pay itu
dilontarkan oleh dua orang, tapi kalau kepandaian
sipelontar itu tak tinggi, pasti tak nanti dapat melayang
begitu necis dan tepat sekali. Lebih2 kepandaian
melemparkan paku dari sihweeshio yang bertangan kosong
tadi. Maka tak heranlah kalau para penonton baik didalam
bangsal maupun yang dibawah luitay, sama bersorak sorai
dengan gemuruh sekali. Ceng Bo siangjin mendongak
mengawasi kearah bok-pay itu dan dapatkan pada papan itu
ada 3 buah gambar roda. Seketika tahulah Ceng Bo, bahwa
ketiga hweeshio itu adalah 3 paderi pemuka dari Ci Hun Si,
To Kong, To Ceng dan To Bu.
Setelah mengunjuk demonstrasi, ketiga hweeshio itu
segera meleset naik keatas luitay. Begitu menghadap
kemuka, para penonton melihat wajah mereka itu pucat lesi
bagaikan mayat hidup. Mereka tampak duduk bersila diatas
luitay. Tapi baru ketiganya duduk tenang, dari arah timur
terdengar gemuruh suara penonton. Kiranya para penonton
itu tengah menyambut dengan hangat atas kedatangan
kedua pemimpin Thian Tee Hui, Ki Cee-tiong dan Kiau To,
siapa terus loncat keatas luitay.
Tegas dilihat oleh Ceng Bo, sewaktu melompat itu Kiau
To pakai tangannya kiri memimpin tangan kanan Ki
Ceetiong untuk diangkat keatas. Diam2 Ceng Bo siangjin
itu kerutkan keningnya. Dari tempat duduknya situ dengan
luitay walaupun hanya terpisah 4 atau 5 tombak jauhnya,
namun dipagari oleh lautan manusia. Dia dapat enjot
tubuhnya kesana, tapi tak mau dia buru2 unjukkan diri.
Tapi kalau berdiam diri saja, tentu takkan dilihat oleh Kiau
To. Tiba2 dia mendapat akal bagus. Dengan sebuah jarinya
dia tekan pecah cawan teh dan sentikkan pecahan cawan itu
kearah Kiau To. Sudah tentu pecahan cangkir itu
menerbitkan suara angin melengking.
Saat itu Ki Cee-tiong dan Kiau To hendak membuka
mulut, tapi begitu tampak ada sinar putih melayang keatas
luitay. Kiau To mengira kalau sebuah senjata rahasia, maka
dengan sebatnya dia melangkah kehadapan tao-ah-ko untuk
melindunginya. Tapi begitu dia dapat menyambuti benda
putih itu, ternyata adalah sebuah pecahan cawan. Dengan
keheranan, dia sapukan pandangan matanya kesekeliling
penjuru. Buru2 Ceng Bo siangjin lambai2kan tangannya,
hal mana dapat dilihat juga oleh Kiau To. Segera pemimpin
kedua Thian Tee Hui berpaling kebelakang luitay serta
mengucapkan sesuatu. Saat itu segera tampak Bek Lian dan
Yan-chiu muncul dari belakang lui-tay. Dengan gunakan
gerak "yan cu sam jo cui" (burung walet 3 kali menyentuh
air) kedua gadis itu loncat turun.
Kedua gadis dari Lo-hou-san itu sememangnya berparas
cantik. Lebih2 Bek Lian yang laksana seorang bidadari itu.
Maka kali ini hiruk pikuk makin bergemuruh lagi. Melihat
kedua anak muridnya itu unjukkan kepandaian, Ceng Bo
siangjin menghela napas. Namun kenyataan memang
begitu. Malah itu waktu Bek Lian sudah berseru memanggil
"Tia" (ayah) dan Yan-chiu berseru "Suhu" kepadanya.
Dasarnya genit lincah, tanpa menghiraukan sekalian orang
lagi, Yan-chiu terus ceriwis menuturkan pengalamannya
pada sang suhu.
"Suhu, wah ramai sekali," kata siceriwis itu dengan
lincahnya, "baru kita bertiga datang di Thian Tee Hui,
entah bagaimana ada orang mengantar surat yang menuduh
bahwa Kiau susiok telah membunuh Ti Gong sihweeshio
gemuk itu ah jangan2 sibongkok yang melakukannya. Eh,
surat itu menantang pibu (adu silat) pada Kiau susiok, yang
sudah tentu terpaksa menerimanya. Suhu, kebenaran kau
sudah tiba, apa nanti akan turut naik kelui-tay?"
Biasanya Yan-chiu takut dan menghormat pada
suhunya. Tapi karena pertama kali turun gunung, ia sudah
menghadapi peristiwa begitu, maka saking girangnya, dia
bicara dengan cerocos sekali. Apalagi ketika nampak
suhunya datang kesitu itu, menurut anggapannya, tentu
akan turun tangan juga. Tapi diluar dugaan sinona genit,
dengan perdengarkan dengusan hidung, Ceng
Bo berbangkit mengangkat bahu. Demi tampak suhunya tak
senang, Yan-chiu seperti ditapuk setan, cap kelakep tak
berani bercuit lagi. Tapi dasarnya dara nakal, ia segera
unjuk muka-setan kepada sang suci Bek Lian, sehingga dua
orang yang ber-cakap2 dibelakang Ceng Bo tadi tertawa ter-
bahak2 saking gelinya. Tapi Yan-chiu segera deliki mata
kepada kedua orang itu.
"Mana Jiang-ji?" tanya Ceng Bo.
"Dia berada dibelakang lui-tay," sahut Yan-chiu.
Masih Ceng Bo hendak bertanya lagi, tapi ketika itu
dilihatnya Kiau To sudah tegak berdiri ditengah luitay,
seraya berseru dengan nyaring: "Para enghiong dan hoohan
sekalian, para saudara2 Thian Tee Hui, disini Kiau To, ji-
ah-ko dari Thian Tee Hui. Sam Tay tianglo dari Ci Hun Si
berkeras menuduh bahwa salah seorang muridnya yang
bernama Ti Gong hweshio telah dibinasakan oleh orang
Thian Te Hui. Bukannya mempersalahkan muridnya
sendiri yang tak punya guna sehingga sampai dibunuh
orang, sebaliknya menimpahkan kesalahan itu pada Thian
Tee Hui serta menantang di luitay. Saudara2 sekalian,
apakah Thian Te Hui itu mandah dihina orang?"
"Tidak, tidak!" terdengar tereakan bergemuruh dari
sebelah timur. Rupanya mereka itu adalah rombongan
orang2 Thian Tee Hui. Kiau To rangkap tangan memberi
hormat seraya lanjutkan kata2nya lagi: "Karena Thian Tee
Hui tak boleh diperhina orang, dan karena Ci Hun Si sam
tianglo itu tetap berkeras dengan tuduhannya, maka
terpaksa diadakan luitay ini. Kalau bahasa mulut tak dapat
diterima, maka kepelanlah yang memutuskan. Para sahabat
persilatan sekalian, barang siapa yang hendak berminat
membantu kedua fihak silahkan naik kemari untuk
mengeluarkan kepandaian masing2. Mati atau hidup itu
tergantung dari kepandaian kita sendiri!"
Bermula Ceng Bo siangjin mengira kalau urusan masih
bisa diselesaikan dengan damai. Tapi serta didengarnya
Kiau To mengucapkan begitu, terang sudah jalan buntu.
Diam2 siangjin itu menarik napas dalam2 lagi. Dia pun lalu
memberi isyarat tangan kepada Bek Lian dan Yan-chiu,
suruh mereka jangan mengajak bicara lagi. Dia tampak
duduk lagi, untuk mencari pikiran. Jalan satu2nya ialah
tunggu setelah pertempuran bubar, dia hendak meminta
agar kedua pemimpin Tian Tee Hui bubarkan saja luitay
itu, jangan cari setori pada orang lain.
---oo0-dwkz-TAH-0oo---
Tepat disaat dia mendapat pikiran itu, disebelah luitay
yang satunya sana, salah seorang hweeshio yang yang
duduk di-tengah2 segera tampil kemuka. Dan setelah
memberi hormat pada para penonton, dia berseru suara
tajam: "Memang kepandaian dari murid pinceng (hweeshio
membahasai dirinya) kurang tinggi, itu benar. Tapi
menggunal kesempatan sebagus ini, pin-ceng hendak
memohon pelajaran yang sakti dari para enghiong hoohan
(orang gagah) Thian Tee Hui!"
Dari ucapan itu, terang dia tetap menghendaki
pertempuran. Tapi baru tantangan itu disampaikan, dari
bawah luitay sudah terdengar seorang berseru keras
megyambutinya: "To Kong tianglo, potong ayam mengapa
memakai pisau pemotong sapi, biarlah kami ketiga saudara
ini menjadi pelopor pihak barisanmu, yang tampil pertama
kali!" Berbareng dengan seruan itu, loncatlah 3 orang lelaki
bermuka brewok, keatas luitay.
Sekali lihat, Yan-chiu segera mengenali mereka itu
sebagai ketiga saudara Chi, yakni Chi Beng, Chi Kwi dan
Sim. Saking senang bakal menyaksikan pertempuran, Yan
chiu seperti me-nari2. Namun karena suhunya berada
disebelah situ, tak berani ia unjuk tingkah. Diam2 ia kutik2
Bek Lian serta membisikinya: "Suci, lebih baik kebelakang
luitay saja, supaya bisa nonton dengan jelas!"
"Huh, untuk menghadapi bangsa begitu masa kami layak
maju ke luitay!" Bek Lian tertawa, tapi cepat ayahnya
mendenguskan hidung sambil tertawa dingin, Ketiganya
segera bangkit untuk mengawasi kesekeliling penjuru.
Kiranya sekalian penonton tampak curahkan perhatian
kearah luitay. Sam Tay tianglo sudah turun dari luitay dan
kini ketiga saudara Chi yang menggantikan naik. Babak
pertama dari pertempuran diluitay itu, Ceng Bo siangjinpun
tak mau menghiraukan lagi. Sementara Bek Than dan Yan-
chiu sudah menyusup masuk diantar penonton yang ber-
jubal2 itu, untuk menuju kebelakang luitay. Begitu tiba
disana, kedengaran Kiau To berkata-kata: "Mengapa untuk
babak pertama mereka menyuruh ketiga saudara Chi yang
maju" Aneh juga!"
"Entah apa maksud mereka itu!" sahut Ki Ce-tiong.
Justeru dia berkata begitu, Bek Lian dan Yan-chiu muncul,
maka buru2 toa-ah-ko itu bertanya: "Apa Bek-heng belum
datang?" "Entah apa sebabnya, kelihatannya suhu tak senang
hati!" jawab Yan-chiu.
"Sudah tentu karena adanya luitay ini. Akupun kuatir
juga, jangan2 membikin kapiran urusan besar. Tapi karena
orang mencari urusan, apa kita tinggal diam saja?"
"Looji, mengapa kau begitu ngotot. Sebaiknya lekas
tunjuk siapa yang harus tampil kedepan. Ketiga bajak dari
keluarga Chi itu, tak boleh dipandang ringan. Masakan
dalam babak pertama, mereka buru2 hendak menang
angin," kata Ki Ce-tiong.
Dalam kedua pemimpin Thian Te Hui itu berunding,
memang ada sementara anggauta2 Thian Te Hui
berpangkat thau-bak yang tawarkan diri untuk maju
kegelanggang luitay, namun mata Kiau To tertuju kearah
Tio Jiang yang sejak tadi berdiam diri saja itu. Waktu Bek
Lian masuk kesitu, Tio Jiang memaku (terus menerus
memandang) sang suci saja, maka dia sampai tak
mengetahui akan isyarat Kiau To itu. Adalah Yan-chiu
yang tahu akan isyarat itu, terus mengutik sukonya, hingga
Tio Jiang gelagapan. Sewaktu dia mendongak mengawasi
kemuka, dilihatnya ada seseorang yang memakai sepasang
sepatu jo-eh (sepatu rumput), mengenakan sehelai baju
(pada hal itu waktu adalah bulan sebelas yang hawanya
dingin) tengah setindak demi setindak menyeret kakinya
menghampiri kearah ketiga saudara Chi sana. Sambil jalan
beringsut-ingsut itu, mulutnya berseru: "Hai, adakah kalian
bertiga ini orang she Chi?"
Ketiga saudara Chi itu terkesiap. Dengan perlahan
diamat-amati orang yang berpakaian mesum itu, tapi
mereka tak mengenalnya. "Benar, apakah loheng ini
hendak membantu fihak Thian Te Hui?" sahut mereka
serempak. Sembari beringsut jalan menghampirl kedekat, orang itu
menyahut: "Apa itu sih Thian Te Hui, Jin Kau Hui
(perkumpulan orang anjing)" Locu (membahasai dirinya
sendiri) tak kenal semua. Yang kuketahui dilaut selatan ada
3 ekor belut she Chi, ganas tak kenal kasihan. Justeru
kebenaran hari ini aku sempat, hendak kutangkapnya !"
Sekalian orang yang mendengar keterangan itu, sama
terperanjat kaget. Terang luitay itu diperuntukkan
pertandingan antara Thian Te Hui melawan Sam-tianglo
dari Ci Hun Si. Ketiga saudara Chi itu adalah salah seorang
Empat Sekawan bajak Laut Selatan. Kalau mereka
berkelahi untuk fihak Sam-tianglo (tiga paderi besar) itu
dapat dimengerti. Tapi masa tahu2 muncul orang lain yang
hendak mencari ketiga saudara Chi itu! Perawakan orang
itu sedang. Cara berjalannya yang diseret setindak demi
setindak itu sih tak mengherankan, tapi yang mengherankan
adalah caranya membawakan kata2nya yang begitu tajam
itu. Selagi orang masih men-duga2, orang aneh itu sudah
tiba dimuka luitay, lalu berseru kearah samping luitay:
"Ambilkan tangga, supaya locu bisa naik keatas !"
Ketiga saudara Chi itu tertawa mengejek: "Loheng tokh
hendak pi-bu, mengapa keatas luitay saja tak mampu?"
Sembari memanjat ketangga, orang itu menyahut: "Locu
hanya pandai menangkap belut, baik dimana saja, didarat
maupun dilaut. Tapi memang locu tak bisa main loncat !"
Setelah berada diatas papan luitay, orang itu menuding
kepada ketiga saudara Chi, serunya: "Bagaimana, kamu
bertiga maju serempak atau satu per satu?"
"Kami bertiga saudara ini, selama maju berbareng.
Kalau kau jeri, lekas enyah sana!" sahut Chi Kwi.
Orang itu memutar tubuh, menghadap kearah penonton
dia beraeru nyaring: "Para enghiong hohan dari seluruh
penjuru, dengarlah! Mereka bertiga hendak mengerubuti
aku seorang, kalau mereka mampus rasanyapun sudah
cukup pantas!"
,,Jangan jual omongan tak berguna! Siapa namamu?"
bentak ketiga saudara Chi itu.
"Aku orang she "Si!"
"Si" artinya "ya". Sudah tentu ketiga saudara itu
melengak seraya menegas: "She Si?"
"Tidak salah," sahut orang itu dengan tertawa, "namaku
yang lengkap ialah Si Li Tia (ialah ayah-mu)!"
Baru kini ketiga saudara itu sadar bahwa orang berniat
mem-per-olok2kan. Cepat mereka berjajar rapi, lalu siap
menghunus golok kui-thau-to (kepala setan) masing2.
Melihat itu, Ki Ce-tiong berkata kepada Kiau To: "Loji,
ilmu golok dari persaudaraan Chi itu memang dimainkan
oleh bertiga orang. Dan itu merupakan suatu ilmu
permainan yang sukar dilayani. Kukira lebih baik kau
panggil orang itu, agar publik tak menyangka kalau Thian
Te Hui tiada mempunyai orangI"
Dipikir omongan toa-ah-konya itu memang tepat, maka
berbangkitlah Kiau To terus berseru keras2: "Sahabat,
harap berhenti dulu!" lalu lolos jwan-pian (ruyung lemas
semacam cambuk) dipinggangnya. Begitu dikebutkan
sehingga lempang seperti sebatang pit (pena Tiongkok), dia


Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terus melesat ketengah luitay. Selagi masih melayang diatas
udara itu, piannya dimainkan dengan gencar sekali
sehingga menderu merupakan sebuah lingkaran sinar, atau
mirip dengan sekuntum bunga yang tengahnya berisi
bayangan orang. Cara pemimpin kedua dari Thian Te Hui
itu naik keatas luitay, memang indah dan istimewa sekali.
Ketiga saudara Chi itu telah bertindak menurut rencana
yang telah ditetapkan. Rencana itu menghendaki agar
pertempuran luitay itu bisa berlangsung sampai beberapa
hari lamanya, agar mereka dapat melaksanakan rencana itu
lebih ianjut. Mengapa dalam babak pertama ketiga saudara
itu yang maju, adalah karena pada pikiran mereka,
masakan dalam hari pertama fihak musuh akan
mengeluarkan jago2nya yang lihay. Dengan begitu, tentu
mereka bertiga akan dapat merebut kemenangan. Pemimpin
kedua dari Thian Te Hui, Kiau To itu, wataknya
berangasan. Menghadapi setiap persoalan, tak mau dia
berbanyak pikir untuk menelitinya. Lain halnya dengan Ki
Cee-tiong yang cermat teliti. Nampak ketiga saudara Chi
yang pertama turun kegelanggang, dia menduga, tentu ada
sebabnya, maka disuruhnya Kiau To lah yang menghadapinya. Loncatan Kiau To ketengah luitay itu
tepat jatuh di-tengah2 ketiga saudara Chi dan siorang kurus
tadi. Per-tama2 Kiau To memberi hormat kepada orang itu
seraya berkata: "Sahabat, aku yang rendah atas nama Thian
Te Hui haturkan terima kasih atas bantuanmu. Hanya saja
kali ini adalah menyangkut urusan Thian Tee Hui, apabila
sahabat memang sungguh berhasrat membantu, sukalah
kiranya pada nanti giliran yang kedua saja."
Ucapan Kiau To Itu disusun dalam bahasa tata
kesopanan dunia persilatan yang sopan sekali. Sekalipun
orang itu datang bukan karena hendak membantu Thian
Tee Hui tapi karena hendak membereskan permusuhannya
sendiri, namun turut aturan, dia harus mengalah. Tapi
ternyata tidak demikian. Kelopak matanya membeliak,
mulutnya berseru aneh: "Bagaimana" Bukankah luitay ini
diperuntukkan berkelahi" Apa hakmu untuk melarang aku,
hayo menyingkir sana!"
Orang itu berkata dengan suara keras, hingga para pera
penonton dapat mendengar dengan jelas. Tapi Kiau To
masih menahan hatinya serta masih hendak menyahutinya.
Tapi dia agak dikejutkan dengan derap kaki dari belakang
luitay. Begitu berpaling kebelakang, kiranya Yan-chiulah
yang ber-lari2 mendatangi terus loncat keatas luitay. Begilu
menginjak dllantai dia terus menuding pada orang jembel
itu: "Kau mau berkelahi sih boleh saja, tapi satu melawan
tiga, itu tidak seimbang. Begini saja, kita bertiga ini
melawan mereka bertiga, jadi satu melayani satu!"
Dan tanpa tunggu jawaban orang lagi, sigenit itu
mengeluarkan bandringannya, terus dihantamkan kepada
Chi Beng. Sudah tentu si Chi Beng itu buru2 menangkis
dengan goloknya. Yan-chiu tarik kebelakang tangannya
seraya memutar tubuh untuk melancarkan lagi serangannya
yang kedua. Melihat kegarangan nona itu, Chi Beng murka.
Masa seorang lelaki gagah tak bisa menangkan seorang
gadis kecil, bukankah dia nanti akan kehilangan muka
dikalangan persilatan" Dengan menggerung keras, dia
segera mainkan ilmu golok keluarga Chi yani yang disebut
"Sam Kek To Hwat". Dengan gencar dan serunya, dia
merangsang nona itu. Yan-chiu andalkan kelincahannya,
sedang senjatanya rantai bandringan Itu merupakan senjata
yang lemas dan panjang, maka dapatlah dia loncat kian
kemari sambil memberi pukulan pada setiap ada
kesempatan. Dalam beberapa saat saja, pertempuran sudah
berlangsung 10-an jurus.
Melihat sikap sinona yang tegas dan garang itu, siorang
aneh tadi tertawa riang, serunya: "Bagus, nona kecil,
dengan memandang mukamu locu serahkan kedua ekor
belut itu kepada kalian!" Setelah mengucap begitu, dengan
jarinya yang kotor penuh dangkal itu, dia tuding Chi Kwi:
"He, majulah, apa takut mati?"
Saking marahnya, dada Chi Kwi hampir meledak.
Serentak dia maju membacok dengan goloknya, tapi orang
itu hanya miringkan tubuhnya. Rantai bandringan si Yan-
chiu panjangnya hampir 4 meter. Oleh karena luitay itu
memang tak sebrapa luas, jadi sewaktu Yan-chiu mainkan
baderingannya itu, boleh dikata telah memakan lebih dari
separoh panggung luitay itu. Seperti telah dikatakan tadi,
atas bacokan Chi Kwi, orang itu miringkan tubuhnya.
Justeru pada saat itu bandringan Yan-chiu tepat melayang
kearah mukanya. Sedang pada saat itu, karena bacokan
yang pertama gagal, Chi Kwi mengirim lagi bacokannya
yang kedua kearah kepala orang itu. Namun orang itu
tinggal diam saja. Untuk bandringan Yan-chiu yang
datangnya lebih dahulu, dia tampar bola besi diujung rantai
itu, sehingga sesaat itu Yan-chiu seperti terjorok kemuka.
Dengan begitu bola besi itu berganti arah layangnya, wung
terus menghantam Chi Kwi.
Mimpipun tidak Chi Kwi kalau bola bandringan Yan-
chiu itu akan menghantam kearahnya. Dengan gugup dia
menangkiskan goloknya, trang, golok dan bola besi saling
berbentur. Yan-chiu sih tak merasakan apa2, tapi Chi Kwi
kesemutan tangannya sehingga goloknya hampir terlepas
"Nona kecil, sungguh kuat sekali tanganmu!" serunya
memuji. Tapi sebenarnya Yan-chiu sendiri ketika bola bandringannya di tampar oleh tangan siorang aneh, hampir
saja juga tak dapat menguasai pegangannya. Diam2 ia puji
siorang aneh itu bukan seorang tokoh sembarangan.
Namun tak mau Ia pedulikan hal itu, serta balas
membentak si Chi Kwi : "Nonamu ini bertenaga besar, tak
perlu dengan pujianmu!"
Dari berhadapan dengan Chi Beng kini Yan-chiu
berganti melawan Chi Kwi. Sebaliknya karena mendapat
kesempatan, tiba2 Chi Beng membacok Yan-chiu.
Untuk menyerang Chi Kwi yang berada disebelah muka,
tapi dari belakang diserang oleh Chi Beng, Yan-chiu
menjadi kelabakan. Se-konyong2 orang aneh itu kedengaran berseru: "Nona kecil, kita saling tukar musuh!",
terus melesat kehadapan Chi Beng, ulurkan tangannya
hendak menampar. Buru2 Chi Beng angkat goloknya
memapas lengan orang. Tapi secepat kilat tangan orang itu
ditarik kebelakang dan "plak", tahu2 menampar muka
lawan. Hebat kiranya tamparan itu, karena seketika itu Chi
Beng ter-huyung2 mundur sampai 3 langkah, malah hampir
terjungkal kebawah luitay. Separoh mukanya menjadi
bengkak kebiru2an.
Setelah menampar muka, orang aneh itupun tak mau
mengejar. Dengan berdiri tegak, dia mengawasi Chi Beng
seraya tertawa cekikikan, sepertinya tak memandang mata
pada lawan. "Locianpwe, bagus sekali pukulanmu tadi," seru Yan-
chiu dari samping.
"Hai, kiranya manja juga nona kecil ber-kata2," sahut
orang aneh itu.
Tadi bertempur dengan Chi Kwi, Yan-chiu sudah merasa
berat, apalagi kini ia pecah perhatiannya untuk memuji
siorang aneh, maka hampir saja golok lawan membabatnya.
Kini tak berani lagi dia bicara dengan siorang aneh, lalu
menumplek perhatiannya untuk menghadapi lawan.
Disamping sana, Kiau To mengawasi dengan penuh
perhatian akan jalannya pertempuran itu. Yan-chiu
keripuhan, mungkin kehabisan napas. Tapi siorang aneh itu
ternyata seorang ko-chiu (jago kelas tinggi), hingga dapat
mempermainkan lawannya. Dengan begitu pertandingan
seri. Setelah jelas, dia segera menuding pada Chi Sim, bajak
yang ketiga: "Mari, kita naik keluitay yang sana itu !"
Diantara ketiga saudaranya, Chi Sim lah yang paling
rendah kepandaiannya. Tapi biarpun kalah lihay, dia
menang cerdik dari kedua kakaknya itu. Kiranya ilmu golok
"sam kek to hwat" dari keluarga Chi itu terdiri dari 3 pokok
dasar: thian (langit), tee (bumi) dan jin (orang). Ketiga
saudara itu masing2 mempelajari satu macam jurus. Maka
untuk menghadapi lawan, mereka bertiga harus maju
berbareng, baru kelihatan lihaynya. Sam-kek-to-hwat
ternyata berdasarkan sebuah ucapan dalam kitab I-keng
yang mengatakan: "gerakan dari ke 6 garis, adalah jalanan
dari ke 3 kek (batas)". Oleh karena itu, letak keindahan dari
perobahan ilmu golok itu, ialah harus dimainkan oleh 3
orang itu, barulah hidup.
Chi Sim tak mau ladeni tantangan Kiau To, karena itu
berarti terpecah kekuatannya. Cepat dia maju setindak
untuk berjajar dengan kakaknya, Chi Kwi yang tengah
bertempur dengan Yan-chiu itu, lalu berseru menantang
Kiau To: "Disini, kalau berani majulah, kalau takut mati,
sana mundur saja !"
"Bangsat yang tak tahu mati!" damprat Kiau To seraya
ayunkan tiang-pian menyabet kaki orang.
"Toako, jiko, pundak rata!" Chi Sim meneriaki kedua
kakaknya. Pundak rata, berarti bertempur bahu membahu.
Chi Kwi dan Chi Beng tersadar dari kekliruannya yang
sudah tak mau bertempur secara berbareng itu. Maka tanpa
hiraukan sakitnya dibagian muka, Chi Beng maju dua
langkah kemuka. Tapi tepat pada saat itu siorang aneh
tadipun melangkah maju, hingga saling berhadapan.
"Bagaimana" Hendak mati bersama disatu tempat?" kata
orang mesum itu dengan cekikikan.
Karena pernah merasakan tangannya, tak berani Chi
Beng menerjangnya. Dan karena merandek itu, kini Chi
Beng terpencil dihadang oleh siorang aneh itu. Apa boleh
buat, Chi Beng segera ayunkan golok kui-thao-tonya untuk
menerjang. Namun dengan ke-tawa2, siorang aneh itu
berlincahan diantara samberan golok, setempo loncat keatas
setempo membungkuk kebawah. Kalau tidak menggaplok
pantat, tentu me-ngitik2 iga orang, hingga dalam
melancarkan serangannya yang hebat itu, mau tak mau si
Chi Beng geli karena ngeri. Mungkin karena belum pernah
menyaksikan pertempuran selucu itu, para anak2 Thian Te
Hui dan penonton sama ketawa ter-bahak2. Tapi ketiga
Sam Tay tianglo dari Ci Hun Si itu tetap sedingin es
wajahnya. Sementara diluitay yang satunya, Chi Kwi dan Chi Sim
dapat bahu membahu bertempur. Yang satu khusus
menyerang tubuh, sedang yang lain melulu mengarah kaki.
Baik menyerang maupun menangkis, kedua orang itu tentu
ajak-ajakan. Benar ilmu permainan pian dari Kiau To
cukup lihay, namun dalam waktu singkat tak dapatlah dia
merebut kemenangan. Kini dia keluarkan jurus permainan
"liok kin pian hwat", sehingga gerakannya berobah menjadi
gencar bagaikan angin puyuh.
Juga Yan-chiu tak kurang garangnya dengan senjata bola
bandringannya. Sebenarnya Kiau To seorang saja sudah
cukup untuk menghadapi kedua saudara itu. Maka Yan-
chiu hanyalah bergerak untuk menghantam, se-waktu2 ada
lubang kesempatan. Berkelahi cara begitu, sungguh enak
bagi sinona nakal. Karena dia ber-putar2 untuk mencari
kesempatan, maka gerakannyapun bagaikan seekor kupu2
me-nari2 diantara kuntum bunga. Malah sigenit itu me-
niru2 perbuatan siorang aneh tadi ialah dengan tangannya
kiri menggablok pantat kedua lawannya itu. Dan itu dapat
dia lakukan se-puas2nya karena kedua saudara Chi itu
tengah tumplek perhatiannya untuk melayani serangan
Kiau To. Juga pemandangan diatas luitay yang ini, tak
kurang menariknya. Para penonton sama ter-pingkal2,
sampai orangnya fihak keempat bajak itu sendiri, tak kuat
menahan gelinya.
Dalam waktu sesingkat saja, pertempuran itu sudah
berjalan belasan jurus. Kini Chi Kwi dan Thyi Sim tampak
sudah kepayahan didesak pian Kiau To, sehingga pada lain
saat saking gugupnya mereka ber-jingkrak2 seperti monyet
kena api. Dan berbareng dengan itu pantat mereka habis
digaploki Yan-chiu.
Diluitay yang sebelah sana, Chi Beng anggap bahwa
orang aneh yang menjadi lawannya itu sebenarnya tak
seberapa lihaynya. satu2nya kepandaian yang paling
diandalkan ialah ilmun ya mengentengi tubuh yang hebat.
Ini terbukti beberapa kali sudah dia menerima tamparan
siorang aneh itu, bermula memang kaget, tapi ternyata rasa
sakitnya itu hanya sebentar saja terus sembuh kembali.
Dengan anggapan itu, timbullah nyali Chi Beng. Sret, aret,
sret, 3 kali dia maju membabat dan berhasil mendesak
lawan mundur selangkah. Benar dalam mundurnya itu,
siorang aneh dapat memberi tamparan, namun sekali enjot,
dia terus hendak melesat kearah kedua saudaranya sana.
Tapi hai, gila betul siorang aneh itu, ilmumengentengi
tubuhnya sungguh sakti benar. Sekali bergerak tahu2 dia
sudah menghadang dihadapan Chi Beng lagi, bluk ?"dia
meninju dada Chi Beng seraya berseru: "Tubuhmukan
besar, mengapa takut ditinju!"
Mendengar itu, sudah tentu Yan-chiu ketawa meringkik.
Saking gemasnya. Chi Beng menabas, tapi siorang itu terus
menghindar. Dalam kesempatan itu, dapatlah sekarang Chi
Beng bersatu dengan kedua saudaranya, sehingga kini
permainan mereka menjadi hidup.


Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

GAMBAR 15 Mendadak banderingan Yan-chiu terpental dari tangan,
berbareng bebokongnya kena digablok siorang aneh hingga
tubuhnya terapung keatas.
Memang dengan tergabungnya menjadi satu, permainan
golok ketiga saudara Chi tampak bersemangat. Yang
pertama menderita pengaruhnya adalah Kiau To, siapa
tampak terdesak mundur selangkah. Yan-chiu masih
mengimpi hendak mengocok mereka, dengan coba2
menyodok ketiak Chi Sim. Tapi untuk kekagetannya, Chi
Kwi menabas dengan goloknya, hingga saking gugupnya
sinona segera tangkis dengan bandringannya. Tapi sekali
Chi Kwi putar goloknya, bandringan itu telah kena
digubatnya. "Lepas!" bentak orang she Chi itu sembari
mendorongkan golok keluar.
Yan-chiu rasakan tangannya kesemutan, saking kagetnya
bandringan terlepas terus dilontarkan oleh Chi Kwi. Baru
Yan-chiu hendak mundur, Chi Sim sudah membarengi
menusuknya. Yan-chiu mengeluarkan keluhan tertahan,
tapi sekonyong2 orang aneh itu mengulurkan tangannya
yang kotor berdaki, secepat kilat telah menggaplok
pantatnya sehingga selebar muka Yan-chiu ke-merah2an.
Serasa didorong oleh suatu tenaga besar, diluar kemauannya, Yan-chiu telah terangkat naik sampai satu
tombak keatas. Sebenarnya nona itu gugup sekali, tapi
karena waktu melambung keatas, bandringannya tadi
justeru melayang jatuh kebawah, make sebat sekali dia
menjambretnya lalu ikut melayang turun bersama
bandringan itu. Ketika melayang turun, jatuhnya tepat
ditepian luitay.
Setelah terhuyung sebentar, sekarang ia sudah berdirik
tegak lagi. Saking cepatnya siorang aneh itu menggerakkan
tangannya tadi, maka para penonton dibawah luitay sampai
tak mengetahui kalau sebenarnya Yan-chiu telah didorongnya keatas. Mereka mengira, karena bandringannya terpental keudara, nona itu segera enjot
tubuhnya mengejar. Seorang nona semuda itu umurnya,
kalau kalah kuat dengan 3 orang lelaki yang bertenaga besar
sehingga senjatanya sampai kena dilemparkan keatas, itu
sih sudah jamak. Tapi bahwasannya dalam keadaan yang
membahayakan jiwanya itu, sinona masih dapat mengelakkan bacokan yang gencar dari Chi Sim dan malah
dapat enjot tubuhnya setinggi itu untuk menyusul
senjatanya yang terlepas tadi, adalah suatu kepandaian yang
luar biasa. Jadi dapatlah dianggap bahwa nona itu dapat
merobah kekalahannya dengan suatu kemenangan yang
mengagumkan. Demikian penilaian para penonton yang
segera memberi pujian tepuk tangan yang meriah sekali.
Malah disana, Tio Jiang dan Bek Lianpun sama
terperanjat. Bek Lian leletkan lidah mengeluarkan seruan
tertahan. Tio Jiang yang dalam beberapa hari ini tak
mempunyai kesempatan (alasan) untuk bicara dengan
sucinya itu, buru2 menggunakan kesempatan baik itu,
katanya: "Suci, ilmu mengentengi tubuh sumoay mendapat
kemajuan pesat sekali."
Bek Lian hanya mengiakan dengan dingin, tapi itu sudah
membuat Tio Jiang girang setengah mati, maka dengan
wajah ber-seri2 dia mengawasi lagi keadaan diluitay. Hanya
Ceng Bo siangjin yang mendongkol, karena melihat
muridnya itu tak mengindahkan nasehat untuk tidak turun
kegelanggang. Tapi demi menampak permainan bandringan
sinona nakal itu bertambah maju, dia terhibur hatinya.
Tentang gaplokan siorang aneh pada Yan-chiu tadi, Ceng
Bopun dapat melihatnya dengan jelas, tapi dia malah
bersyukur, karena kalau tidak tentu muridnya yang masih
hijau dan baru pertama kali turun dalam pertempuran itu
tentu tak dapat mengelakkan tabasan Chi Sim.
Seperti telah diterangkan diatas, tergabungnya ketiga
saudara Chi itu dalam permainannya sam-kek-to, telah
melahirkan suatu gaya permainan yang lihay. Kalau tidak
dua menyerang satu menjaga, tentu yang satu menyerang
yang dua menjaga. Ilmu permainan golok itu, penuh
dengan ragam perobahan, sehingga ketiga golok kui-thau-to
itu merupakan ribuan sinar golok yang berkelebatan dengan
derasnya. Dalam hati, Kiau To mengagumi permainan itu,
maka diapun lalu mainkan piannya dengan se-hebat2nya.
Setelah mendapat pengalaman pahit bandringannya
terlepas tadi, sekarang Yan-chiu tak berani gegabah lagi.
Dia andalkan kelincahannya saja. Tapi siorang aneh yang
mesum Itu dengan sepasang sepatunya rumput yang
mengeluarkan bunyi tik-tak tik-tak, ber-ingsut2 kian kemari,
sepertinya tak menurut gerak permainan silat. Namun
betapa deras dan serunya samberan ketiga golok lawan itu,
tetap tak dapat mengenainya. Keadaan itu berjalan sampai
belasan jurus. Sebaliknya karena sampai sekian lama tak ada
kesudahannya itu, Kiau To menjadi tak sabaran lagi. Dia
perhebat permainannya pian, merangsang musuh dengan
bernapsu sekali.
"Mau lekas2 memberesi ketiga ekor belut ini bukan"
Mengapa tadi2 tak bilang?" seru siorang kotor itu dengan
tertawa, sembari maju merapat. Chi Beng dan Chi Kwi
menyambutnya dengan 3 kali bacokan be-runtun2, tapi tak
kuasa menahan majunya siorang aneh itu. Chi Sim yang
tengah melayani Kiau To itu menjadi lengah, betisnya kena
disawut oleh siorang aneh tadi, terus dijorokkan kearah
Kiau To, sehingga jatuh kemulca. Kiau To sebat gunakan
jurus "ular aneh mencari mangsa" menyabet dan tepat
melibat betis si Chi Sim. Sekali tangan menyentak, tubuh
Chi Sim yang besar itu terangkat naik. Dan begitu tangan
Kiau To tampak bergerak lagi, mulutnya segera berseru:
"Enyahlah!" Tubuh Chi Sim telah kena dilempar keluar
luitay. Ilmu mengentengi tubuh dari ketiga saudara Chi itu biasa
saja. Maka sewaktu melayang turun, tangan dan kaki si Chi
Sim itu me-ronta2 seperti orang kelelap dikali. Maka dapat
dipastikan, nanti kalau jatuh, tidak mati pun tentu akan
luka parah. Tapi se-konyong2 tampak sesosok tubuh
berkelebat, malah nyata2 orang itu masih duduk diatas
sebuah dampar (semacam permadani) yang bulat, tepat
dapat menyanggapi jatuhnya Chi Sim itu. Dengan merah
padam, Chi Sim terus hendak loncat keatas luitay lagi,
karena pikirnya, dengan kurang seorang, permainan sak-
kek-to itu pasti akan kacau, tapi ternyata sudah terlambat.
Kakaknya yang satu kena dihantam punggungnya oleh bola
bandringan Yan-chiu hingga muntah darah terus jatuh
kebawah luitay. Sedang kakaknya yang lain, telah dihajar
pian mukanya hingga berlumuran darah dan berjumpalitan
loncat kebawah luitay. Jadi dalam babak pertama itu, fihak
Thian Te Hui telah mencatat kemenangan.
Diantara ketiga saudara itu, terhitung Chi Simlah yang
tak mendapat luka, sekalipun dia kena dilempar keluar
gelanggang oleh Kiau To. Bermula ketiga saudara itu
memperhitungkan kalau pada hari pertama fihak Thian Te
Hui tentu takkan mengeluarkan jagonya yang lihay, dan ini
akan memberi kesempatan fihaknya untuk menang.
Memang menurut rencana Cian-bin-long-kun The Go (si
Wajah seribu) ialah: hari pertama, kedua dan ketiga, Thian
Te Hui harus dikalahkan, agar mereka tak dapat lekas2
membubarkan luitay itu. Dengan begitu dapatlah seluruh
tokoh2 Thian Te Hui dan tokoh2 persilatan lainnya semua
berkumpul digunung Gwat-siu-san situ, sementara dia
dapat melaksanakan rencananya dikota Kwiciu.
Namun rencana itu telah dipecahkan oleh penilaian Ki
Ce-tiong yang tepat. Dengan menganjurkan Kiau To maju
kegelanggang, sebenarnya sudah cukup untuk mengatasi
ketiga saudara Chi itu. Apalagi dengan mendapat tenaga
tambahan dari murid kesayangan Ceng Bo siangjin. Bahwa
munculnya siorang mesum yang aneh itu untuk fihaknya,
telah membuat kekalahan ketiga saudara itu menjadi suatu
kekalahan yang mengenaskan sekali. Begitu kedua
kakaknya turun dari luitay, Chi Sim buru2 memapakinya
lalu dengan bermuram durja masuk kebelakang panggung.
---oo0-dwkz-TAH-0oo---
Sebaliknya dalam pengalamannya turun kegelanggang
itu telah mendapat kemenangan, dengan diantar oleh tepuk
sorak yang gegap gempita dari orang2 Thian Te Hui,
Yanchiu tak mau segera berlaku dari luitay itu. Mata Kiau
To yang tajam segera dapat mengenali bahwa orang bersila
diatas dampar terbang yang memberi pertolongan pada Chi
Sim tadi adalah paderi To Kong, itu salah seorang gembong
dari gereja Ci Hun Si yang mengantar surat tantangan
tempo hari. Dilihat dari caranya dia menolong Chi Sim,
begitu tenang dan gapah sekali, Kiau To terperanjat. Ilmu
mengentengi tubuh yang sedemikian itu, jarang sekali
terdapat dikalangan kaum persilatan. Maka ter-sipu2 dia
memanggil Yan-chiu: "Siao Chiu, lekas turun dari luitay.
Hweshio itu lihay sekali!"
Walaupun enggan, namun menurut juga Yan-chiu. Tapi
baru dia hendak turun, tiba2 didengarnya mulut siorang
aneh tadi berseru pelan: "Nona kecil, kepala gundul itu
hanya garang diluar, tapi tak berisi. Kalau kau berani
menghadapinya, kujamin kau tentu menang!"
Karena Kiau To saat itu mengawasi pada paderi To
Kong yang berada dibawah luitay, jadi dia tak dapat
mendengar anjuran siorang aneh kepada Yan-chiu itu.
Karena memang sifatnya nakal, begitu dianjuri ia segera
memanggut kepada orang aneh itu, lalu melangkah maju
dua langkah seraya menuding kearah To Kong, serunya:
"Bangkai keledai, bagus, apa kau berani naik kemari untuk
ber-main2 dengan nonamu ini ?"
Lwekang dari Yan-chiu yang baru dua tahun ini
dipelajarinya belum sempurna, maka sewaktu bicara tak
dapat ia gunakan lwekang, sehingga para penonton sama
mendengarnya jelas. Tapi oleh karena dia itu seorang dara
yang lincah sympathik, maka perhatian penontonpun
terpikat kearahnya. Apalagi dengan nada suaranya yang
merdu bagaikan kicau burung kenari itu, makin membuat
terpesona orang2.
Yang paling kaget setengah mati, adalah Kiau To. Dia
heran mengapa nona itu begitu berani mati" Sam Tay
tianglo atau Tiga Imam besar dari gereja Ci Hun Si, sudah
terkenal didunia persilatan. Dalam segala2nya, nona itu tak
nempil dengan sebuah ujung jarinya saja. Babak pertama,
fihak lawan menderita kekalahan, babak kedua ini tentu
akan mengambil pembalasan. Hendak Kiau To melarangnya, tapi dia teringat akan peraturan dunia
persilatan, bahwa barang siapa yang sudah berani
menantang berkelahi dalam luitay itu, tentu berani sudah
menanggung akibatnya. Apa boleh buat, terpaksa dia hanya
berseru: "Siao Chiu!"
Sebenarnya Yan-chiupun tak mengetahui akan tokoh
hweeshio To Kong itu. Bahwa begitu dia mengeluarkan
tantangannya, para penonton sama kesima, telah membuatnya heran. Menduga kalau ada sesuatu yang
kurang beres, din segera hendak mencari alasan turun saja
dari panggung. Tapi tiba2 siorang mesum aneh itu kembali
berkata: "Nona kecil, maki lagi kepala gundul itu, tanggung
kau pasti menang!"
Orang aneh itu hanya tampak kemak kemik, namun
suaranya begitu nyaring tajam masuk kedalam telinga Yan-
chui, sedang Kiau To yang berdiri tak jauh dari situ tak
dapat mendengarnya, ini mengingatkan pada Yan-chiu
akan apa yang pernah dikatakan oleh suhunya, bahwa ada
semacam lwekang yang dapat menyalurkan suara
menyusup ketelinga orang. Ilmu itu disebut "thoan seng jip
bit" (susupkan suara kedalam lebatan), suatu ilmu Iwekang
yang sudah mencapai tingkat tertinggi. Teringat pula nona
lincah itu. bagaimana tadi siorang aneh telah begitu
istimewa sekali mendorong tubuhnya keatas. Terang dia itu
bukan tokoh sembarangan. Maka hilang kesangsian Yan-
chiu. Tanpa pedulikan kecemasan Kiau To dan para
penonton lagi, dia memaki pula: "Keledai gundul, bangsat
gundul, takut naik kepanggung" Kalau kau mengharap
nonamu memberi ampun itulah mudah, asal kau julurkan
kepalamu yang gundul, untuk kulompati 3 kali, baru nanti
kuampuni jiwamu!"
Kata2 itu menyakiti perasaan tapi lucu, sehingga
walaupun para penonton tahu bahwa To kong hweshio itu
se-kali2 tak boleh dibuat main2 dan nona genit itu pasti
akan menyesal nantinya, namun tak urung pecah juga


Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ketawa bergemuruh dibawah luitay. Tapi To Kong hweshio
itu tetap berwajah seperti mayat, tenang2 duduk diatas
damparannya. Setelah ketawa orang2 sirap, baru dia
berkata dengan pelahan2: "Budak hina, siapakah gurumu?"
"Bangsat gundul, pada aku saja kau tak berani
bertempur, apa2an mau tanya suhu?"
Kini To Kong yang berwajah mayat itu kedengaran
tertawa keras, tapi nadanya ter-kekeh2 seperti burung betet.
Yan-chiu bercekat, ketika melihat bahwa sekalipun mulut
sihweeshio itu tertawa tapi wajahnya tetap pucat seperti
mayat, sedikitpun tak berobah mimik wajahnya. Karena
bercekat, kini Yan-chiu berganti nada, katanya: "Toahweshio, apa yang kau ketawakan?"
Belum To Kong menyahut, Yan-chiu sudah mendengar
suara siorang aneh tadi: "Nona kecil, mengapa bernyali
kecil" Masa kau takut mendengar ketawa keledai gundul itu
saja" Satu lawan satu, kalau bisa menangkan hweshio itu,
namamu akan menggeletar!"
Yan-chiu berpaling kearah orang itu. Tampak orang itu
masukkan sebelah tangannya kedalam lengan bajunya yang
"tes" keluar jarinya memitas seekor kutu. Dengan menyeret
sepatunya rumput, ber-ingsut2 dia turun dari luitay, begitu
jatuh ketanah dengan susah payah dia baru bisa bangun lagi
terus ayunkan langkah seraya menyomel sendirian: "Aneh,
aneh, seorang hweesiho yang begitu hebat takut pada
seorang nona kecil saja. Kalau dunia persilatan mendengar
hal itu, sungguh dunia ini seperti terbalik!" Sembari berkata
begitu dia masuk diantara lautan penonton.
To Kong memandang kearadh Yan-chiu, siapa segera
tampak bersiap untuk menghadapinya.
Sewaktu Yan-chiu memaki si hweeshio itu, Tio Jiang
sudah pucat, sehingga dia ambil putusan hendak maju
menggantikan sumoinya itu. Pikirnya, lebih baik dia saja
yang menderita. Tapi dicegah oleh Ki Cee-tiong: "Siaoko,
jangan kuatir. Kali ini meskipun nona itu tentu kalah, tapi
takkan terjadi suatu apa pada dirinya, percayalah!"
Tio Jiang alihkan pandangannya kearah warung dimana
suhunya berada tadi. Tampaknya suhu itu tetap enak2 saja
menikmati tehnya, hal mana sungguh membuatnya tak
habis mengerti. Bukankah kepandaian dari sumoaynya itu
masih belum beberapa, mengapa suhu dan Kiau susioknya
itu begitu ikhlas2 saja membiarkan anak itu menghadapi
sihweeshio" Karena tak mengerti, diapun segera bertanya
kepada Bek Lian: "Lian suci, hari ni mengapa sumoay
begitu garang."
Kiranya Bek Lian sendiripun tak tahu sebabnya, tapi tak
mau ia kentarakan kegelapannya. "Suhu sudah cukup tahu,
mengapa kau bingung?" sahutnya dengan tawar.
Tepat pada saat itu, tiba2 terdengar suara menderu dan
dengan duduk diatas damparnya, To Kong nampak
melayang keatas panggung. Tersambar oleh anginnya saja,
Yan-chiu sudah tak dapat mempertahankan berdirinya, ia
agak terhuyung kebelakang sampai beberapa langkah, dan
saat itu Kiau To sudah melesat dimukanya. Melihat itu
Yan-chiupun segera mundur lagi dua tindak. Disebabkan
rasa sayangnya kepada Yan-chiu maka biarpun insyaf
bahwa To Kong hweeshio itu bukan lawannya, namun
terpaksa juga Kiau To maju menggantikan. Dan demi
tampak bagaimana dengan mata ber-api2 To Kong
mengawasi Yan-chiu yang berada dibelakangnya, Kiau To
segera menegurnya: "To Kong tiangloo, apakah benar2
akan meladeni seorang nona kecil?"
Kiau To berwatak berangasan, tapi pada saat itu bisa
gunakan otaknya yang dingin. Dengan ucapannya tadi, asal
Yan-chiu tidak usil mulut lagi, dalam kedudukannya
sebagai tokoh kenamaan pasti To Kong tak nanti mau cari
urusan dengan Yan-chiu. Diam2 Yan-chiu memaki siorang
aneh tadi, yang sudah tak berani bertanggung jawab. Orang
itu mengatakan To Kong seorang "bungkusan nanah" (tak
berguna), tapi tu lihat, tadi samberan angin damparnya saja
sudah begitu hebat hingga membuat ia (Yan-chiu)
terhuyung. Terang dia (Yan-chiu) bukan tandingannya,
maka iapun segera lepaskan bola bandringannya hendak
diselipkan dipinggangnya lagi. Biar penonton akan
menertawainya, pokok asal dia bisa tinggalkan gelanggang
maut itu. Tapi tiba2 dilihatnya dibawah sana tak jauh dari
luitay situ, tampak siorang aneh tadi ketawa kearahnya.
Tergerak hati Yan-chiu. Se-konyong2 orang aneh itu
gerakkan tangannya kanan sebuah sinar putih ber-kilat2
meluncur kearahnya. Benda itu seperti suatu senjata
rahasia. Hendak ia menyingkir tapi sudah tak keburu lagi.
Begitu tiba dihadapannya benda berkilat yang aneh itu se-
konyong2 menghantam rantai bandringnya dan merasa tak
kuasa lagi Yan-chiu mencekal rantainya itu. Wut,
bandringannya terpental menghantam kearah To Kong.
Kejadian itu berlangsung dengan teramat cepatnya,
sehingga tiada seorang penontonpun yang mengetahui apa
yang telah terjadi tadi. Malang Kiau To seorang akhli silat
yang tergolong kelas tinggi, tak mengetahui juga. Apa yang
dilihat oleh sekalian orang itu yakni bola bandringan itu
tiba2 melayang kemuka!
Sebaliknya Yan-chin yang mengetahui dan merasakan
sendiri kejadian itu, malah tubuhnya pun hampir ikut
menjorok kemuka karena tak kuat menahan getaran
bandringannya itu, menjadi terkejut dan girang. Terkejut,
karena dia masih belum yakin apa bisa mengatasi
sihweeshio. Girang, karena orang aneh itu ternyata begitu
sakti, sehingga rasanya melebihi lihaynya dari sang suhu.
Saat itu Kiau To tengah mendesak agar To Kong
batalkan niatnya mengejar Yan-chiu, atau diluar dugaan
malah bandringan sinona itu telah menghantam lawan. To
Kong hanya tertawa dingin sambil tetap duduk diatas
damparnya. Dia julurkan tangannya yang kurus kering
untuk menyambuti bandringan sinona itu telah menghantam lawan. To Kong, hanya belum sempurna, tapi
ilmu bandringan itu adalah ilmu warisan dari Ceng Bo
Siangjin. Begitu To Kong hendak menyambuti, ia sentak
rantai bandringan, sehingga bola besinya naik keatas dan
terhindar dari sawutan lawan. Gerakan itu disebut "hong
hong sam tiam thau" atau burung hong 3 kali
menganggukkan kepala.
Sewaktu Yan-chiu datang berguru pada Ceng Bo, Ceng
Bo keluarkan semua senjata dan bertanya ia suka belajar
ilmu senjata apa. Setelah me-milih2, akhirnya Yan-chiu
ketarik dengan rantai bandringan yang panjang dan lemas
itu. Rantai itu panjangnya lebih dari setombak, pada dua
ujungnya diberi dua buah bola besi bundar macam
hamer(palu besi). Tapi oleh karena tahu Yan-chiu itu
seorang nona yang bertenaga lemah, Ceng Bo lepaskan
sebuah dari bola besi itu, sehingga bandringan yang
digunakan Yan-chiu itu berbeda dengan senjata bandringan
yang lazim terdapat didunia persilatan.
Begitu bola bandringan terangkat naik, To Kong pun
juga tampak berdiri, untuk merebut rantai bandringan dari
tangan Yan-chiu. Sedang tangannya kiri dia gunakan untuk
menampar sinona. Kiau To terkejut bukan buatan. Dalam
dunia persilatan To Kong dikenal sebagai akhli "thiat sat
ciang" pukulan tangan besi. Ketika menjulurkan jari2nya
tangan kiri tadi, tegas kelihatan telapak tangannya hitam
sekali, gerakannya cepat. Dia (Kiau To) cemas, jangan2
Yan-chiu karena hanya memperhatikan supaya bandringannya jangan sampai kena direbut musuh, lalu tak
menjaga serangan yang menyusul itu. Jangan kata sampai
kena dihantam, cukup baru terkena samberan anginnya
saja, sudah tentu akan t yelaka.
Dalam gugupnya, Kiau To segera hantamkan piannya
ketangan kiri To Kong. Tapi baru pian bergerak, bola
bandringan yang melayang lurus keatas itu, tiba2 meluncur
kebawah dengan cepatnya. Kalau To Kong berani teruskan
rangsangannya, punggungnya pasti terhantam bola besi itu.
Dan hantaman itu tentu akan mengenakan jalan darah
"leng tay hiat", dan ini pasti akan menamatkan jiwa
sihweeshio. To Kong tahu apa artinya hantaman itu. Sebat sekali dia
tarik pulang tangannya kanan, lalu melangkah setindak
kesamping, sehingga dapat menghindar dari serangan
sinona yang luar biasa hebatnya itu. Kejadian itu mendapat
sambutan yang hangat dari para penonton, sedang Kiau To
sendiripun kesima. Malah Yan-chiu sendiri juga ter-heran2.
Tadi sehabis gunakan gerak "hong hong sam tiam thau", ia
merasa tentu akan kena disawut oleh To Kong, tapi
sekonyong2 terasa ada suatu tenaga kuat mendorong bola
bandringannya itu melambung keatas, kemudian ada lagi
lain tenaga yang mengayunkan bola itu turun kebawah.
Sewaktu sihweeshio kerupukan menghindar, Yan-chiu
sempat mengawasi kearah siorang aneh, siapa tampak
meng-iwi2 unjuk muka-setan padanya seraya bersenyum.
Sebagai seorang dara yang cerdas tangkas, tahu Yan-chiu
siapa yang melakukan tadi. Mendapat hati, Yan-chiu segera
susuli dengan 3 serangan ber-turut2. Sampai pada saat itu,
Kiau To sudah dapat merasakan ada sesuatu yang terjadi
dibelakang layar. Maka tanpa banyak bimbang lagi, dia
segera mundur kesudut dan mengawasi jalannya pertempuran dengan penuh perhatian.
Disebelah sana, sewaktu Yan-chiu mulai buka serangan
tadi, Tio Jiang seperti dipagut ular kagetnya. Tapi serta
dilihatnya sang sumoay mengeluarkan jurus yang aneh
sehingga To Kong hweeshio kerupukan menghindar, bukan
kepalang girangnya. "Lian suci, kalau kali ini sumoay dapat
menangkan To Kong hweeshio, wah, namanya pasti akan
menjadi buah bibir seluruh orang persilatan!"
Tio Jiang orangnya polos. Melihat sumoaynya menang,
hatinyapun turut bergirang. Bek Lian sebenarnyapun turut
bergirang juga, tapi karena dasarnya seorang gadis manja
yang beradat tinggi, maka tak senang ia mendengar Tio
Jiang memuji Yan-chiu itu. Sebagai seorang suci (kakak
perguruan), masakan sampai kalah dengan sumoay. Maka
bulat tekadnya, baik sang sumoay nanti kalah atau menang,
tetap ia tak mau dilanggar olehnya. Oleh karena
mengandung perasaan demikian, ia sudah tak pedulikan
kata2 Tio Jiang tadi. Tapi karena sudah biasa mendapat
sambutan sedingin begitu, jadi Tio Jiangpun tak banyak
menaruh perhatian serta mengawasi kepanggung pertempuran sana.
Seorang hweeshio yang kurus kering dan seorang dara
remaja yang lincah, tengah berhantam seru. Beberapa kali,
apabila To Kong sudah nyata2 berada diatas angin dan
sinona rasanya pasti celaka, sehingga para penonton sudah
menahan napas dan mengucurkan keringat dingin, atau
secara tak ter-duga2 keluarlah jurus2 yang aneh dari sinona
itu, ya sungguh mengherankan tapi nyata. Setiap kali
peristiwa aneh itu berlangsung, maka gemuruhlah tampik
sorak penonton bagai memecah bumi. Mereka betul2
mengagumi nona kecil itu.
GAMBAR 16 Setelah berlangsung 20-an jurus, Yan-chiu tunduk betul2
akan kesaktian orang aneh yang menjadi "dalangnya" itu.
Maka dengan seksama ia perhatikan setiap petunjuk dari
siorang aneh itu. Selama itu didapatinya bahwa banyak
sekali gerakan2 istimewa yang selama ini belum pernah
dipelajarinya. Sudah tentu girangnya sukar dilukiskan.
Dalam sekejab saja, "kursus teori dan praktek kilat" ilmu
permainan bandringan itu, telah menjadikan dia seorang
akhli bandringan yang lihay. Kini gerak bandringannya
men-deru2 laksana angin puyuh.
To Kong hanya lihay dalam ilmunya thiat-sat-ciang, tapi
tak dapat ber-buat apa2 terhadap sinona nakal itu. Ber-kali2
dia merasa pasti berhasil dalam serangannya, tapi ternyata
senantiasa mendapat hidung panjang. Ber-tahun2 sudah dia
mengangkat nama didunia persilatan, masa kini berhadapan dengan seorang nona kecil yang masih belum
hilang bau pupuknya, dalam 30 jurus masih belum menang.
Saking malunya, dia marah besar. Tapi oleh karena
wajahnya itu pucat seperti mayat, makin marah malah
tambah berseri kelihatannya.
Pada lain saat, setelah mendapat bantuan dari siorang
aneh, Yan-chiu kembali lakukan suatu jurus gerakan yang
aneh untuk menghindar hantaman lawan, sehingga
hweeshio itu kini berbalik mundur 3 langkah. Sudah sejak
tadi, Yan-chiu merasa kalau tidak dengan bantuan orang
aneh itu, mungkin 10 jurus dia tak nanti sanggup melawan
sihweeshio. Maka begitu sihweshio mundur, iapun ingatan


Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tak melanjutkan lagi pertempuran itu. Maka iapun mundur
3 langkah, seraya rangkapkan kedua tangan, pikirnya
hendak mengucapkan beberapa patah perkataan sebagaimana lazim dilakukan oleh orang2 yang bertempur
diluitay. Tapi baru tangannya diangkat, atau laksana seekor
harimau kelaparan, To Kong segera menyerbunya.
Yan-chiu serasa sesak napasnya tersambar oleh angin
yang dahsyat, berbareng itu didepan matanya tampak ada
sesosok bayangan hitam merangsang, biar bagaimana juga
rasanya tak dapat ia menghindar lagi. Dalam ketakutannya
ia abat-abitkan bandringannya se-bisa2nya, tapi sekonyong2
berbareng dengan terdengarnya suara "buk", To Kong
tergelincir jatuh dan berbareng dengan itu bola bandringan
yang diobat-abitkan itu kebetulan tepat jatuh kepunggung
sihweeshio. Terpelantingnya si To Kong dan, jatuhnya bola
bandringan dipunggungnya itu, adalah suatu hal kebetulan
yang luar biasa. Sampai2 Yan-chiu sendiri menganggap
kalau rubuhnya sihweeshio itu karena terhantam oleh bola
bandringannya. Tiba2 terdengarlah siorang aneh itu
menyusupkan suaranya: "Nona kecil, kau bernyali besar
dan berotak terang, tentu ada harapan. Apa yang kuajarkan
tadi, kalau kau dapat memahaminya, kau pasti akan
menjadi akhli yang lihay. Hweeshio itu telah terkena senjata
rahasia yang kulepaskan pada jalan darah ci-tonghiat
dipunggungnya. Lekas cabut dan sembunyikan, supaya
jangan terbit kerewelan!"
Suara itu makin lama makin lemah: Ternyata orang aneh
itu sudah menyingkir jauh dan ketika dia menengok, sudah
tak kelihatan lagi. Sigap sekali dia membungkuk memeriksa
punggung To Kong dan benar disitu terselip sebuah benda.
Ketika dicabut dan diperiksanya, ternyata itulah sebuah
gelang besi yang ke-hitam2an warnanya, besarnya hanya
beberapa dim saja. Benda itu cepat dimasukkan kedalam
bajunya. Setelah senjata itu tercabut, dengan menggerang
beberapa kali To Kong tampak berbangkit terhuyung2 terus
duduk bersila diatas damparnya lagi. Melihat lawan sudah
pergi, Yan-chiupun tak berani lama2. berada diluitay situ.
"Kiau susiok, mari kita pergi!" serunya sembari loncat
turun, diikuti oleh Kiau To.
Baru saja keduanya turun, kedua hweeshio kawan To
Kong tadi segera duduk diatas dampar terus melayang naik
keatas luitay menghampiri To Kong. Tanpa berkata apa2,
yang satu disebelah kiri dan yang lain disebelah kanan,
kedua hweshio itu ulurkan tangannya memegangi kedua
samping dari jalan darah gi-hay-hiat To Kong.
Jadi dengan itu, Thian Te Hui sudah menang dua babak.
Senjata rahasia dari siorang aneh itu, ternyata merupakan
rangkaikan ros (buku) sumpit kecil2. Selain Ki Ce-tiong,
Ceng Bo siangjin dan akhli2 kelas tinggi, malah Kiau To
sendiripun, tak mengetahui apa namanya. Mendapat
kemenangan yang gemilang itu, gemuruhlah sorak sorai
orang2 Thian Te Hui.
Juga orang2 persilatan yang hadir disitu sama gempar
dengan peristiwa tadi. Melihat suasana itu, buru2 Ceng Bo
mencari kedua pemimpin Thian Te Hui, ujarnya: "Saudara
Ki, setelah menang baik kita mengalah sedikit, bubarkan
luitay ini dan mulai kerjakan urusan kita!"
Ki Ce-tiong kesima. Memang setelah menerima surat
tantangan dari Sam Tay tianglo, kedua pemimpin itu
berunding dengan masak. Akhirnya diputuskan, kalau tak
mendirikan luitay, pasti Thian Te Hui akan kehilangan
pengaruh didunia persilatan. Benar telah diketahui bahwa
tentara Ceng sudah berada diperbatasan Hokkian, tapi
masih terpisah ratusan li dari Kwiciu situ. Jadi kalau saat
itu membubarkan luitay, rasanya masih keburu mengatur
persiapan pertahanan. Atas usul Ceng Bo siangjin itu, Ki
Ce-tiong diam berpikir. Tapi Kiau To yang berangasan itu
cepat menyahutnya: "Bek-heng, kita sih boleh mengalah
sedikit, tapi apakah saudara2 yang lain mau berbuat
begitu?" "Kiau-heng, rasanya saudara2 kita itu akan dapat dibikin
mengerti karena urusan negara diatas urusan dunia
persilatan!" sahut Ceng Bo sejenak kemudian.
"Bek-heng, bukannya membandel, tapi aku tak setuju!"
kata Kiau To. Ceng Bo menatap sebentar padanya hingga Kiau To
serentak berdiri tegak sebagai tanda bahwa dia merasa tak
bersalah. "Rupanya memang sudah tak bisa ditolong lagi!"
kedengaran Ceng Bo menghela napas.
"Bek-heng, kalau tentara musuh belum masuk ke
Hokkian, turut gelagatnya kita akan memperoleh kemenangan. Bukankah tak halangan kalau menunda
pembubaran luitay ini sampai beberapa hari lagi?" kata Ki
Ce-tiong. "Tanggal berapakah ini?" tanya pula Ceng Bo.
"Tanggal 6 bulan 12," sahut Ki Ce-tiong.
"Di Kwiciu, dua menteri besar telah bentrok. Kabarnya
ada salah seorang sebelum tanggal 10 nanti akan
bersekongkol dengan tentara Ceng, apakah kalian
mengetahuinya?" ujar Ceng Bo.
Kini Ki Ce-tiong dan Kiau To melengak. Tapi baru
keduanya merenung, disebelah luitay sana terdengar suara
orang ber-kata2 dengan nada yang dingin. Kiranya itu To
Ceng hweshio yang berbicara, katanya: "Kemenangan
Thian Te Hui tadi, pinto sekalian sungguh mengagumi.
Diam2 membokong dengan senjata rahasia, meskipun telah
menghilangkan sifat2 keperwiraan orang persilatan, namun
mengunjukkan kelihayan Thian Te Hui juga, maka
pintopun masih ingin menerima pelajaran lagi !"
Nada ucapannya itu tak sedap didengar. Dan boleh
dikata hampir seluruh penonton tak mengerti mengapa To
Ceng menuduh orang Thian Te Hui melepaskan senjata
rahasia dalam pertempuran tadi. Kiranya naiknya To Ceng
dan To Bu keatas luitay tadi ialah untuk mengobati To
Kong dengan saluran lwekang.
Memang kedua paderi besar itu merasa aneh mengapa
To Kong sampai jatuh ditangan seorang nona kecil. Ketika
memeriksa lukanya, mereka dapatkan bukan karena terkena
bandringan. Luka itu aneh sekali bekasnya dan tepat
mengenai jalan darah yang berbahaya, sementara diatas
panggung situ tersebar potongan2 kecil dari sumpit bambu.
Tahulah mereka seketika itu, bahwa tentu ada seorang jago
kosen yang diam2 telah membantu sinona. Maka dengan
kata2 sindirannya yang tajam tadi, To Ceng telah
melontarkan tuduhannya.
Ki Ce-tiong dan Kiau To sangat mengindahkan sekali
kepada Ceng Bo siangjin. Walaupun perkenalan mereka itu
sudah lama, tapi karena mereka itu adalah tokoh2
persilatan yang memegang teguh disiplin, jadi hubungan
merekapun didasarkan atas saling mengindahi. Tahu juga
bahwa 20 tahun berselang, Ceng Bo telah kehilangan
isterinya yang tercinta, sehingga sejak itu dia seperti orang
yang putus asa. Bahwa dalam keadaan negara terancam
bahaya, Ceng Bo telah timbul lagi semangat perjoangannya
itu, Ki Ce-tiong dan Kiau To merasa kagum sekali. Maka
dengan serta merta mereka turut nasehat siangjin itu. Tapi
baru Kiau To hendak maju kedepan untuk mengucapkan
kata2 pembubaran luitay itu, atau telinganya segera panas
membara demi mendengar sindiran To Ceng tadi.
"Keledai gundul, jangan tekebur, akulah yang akan
memberi hajaran padamu!" tiba2 terdengar suara nyaring
wanita membentak, berbareng satu bayangan orang sudah
melesat keatas dan tegak berhadapan dengan To Ceng.
---oo0-dwkz-TAH-0oo---
BAGIAN 5 : ANTARA CIN TA DAN
BENCI Tengah Ki Cee-tiong men-duga2 adakah yang maju ke
luitay itu sinona genit Yan-chiu tadi dan belum lagi dia
mendongak mengawasinya, atau dari samping kedengaran
suara mengguntur dari Tio Jiang: "Keledai gundul, jangan
menghina suciku!" Dia terus melesat kemuka. Dari caranya
meloncat itu, terang seperti orang menyerbu dengan kalap.
Suasana menjadi tegang. Kiranya yang pertama melesat
kemuka tadi adalah Bek Lian. Gadis yang beradat tinggi itu
tanpa dapat dicegah sang ayah, telah maju dengan
menghunus pedangnya. Tubuh yang langsing gemulai dari
sinona cantik itu ketika tiba diatas panggung bagaikan
sebatang pohon liu yang bergoyang gontai. Orang mengira
kalau sinona itu tak dapat berdiri dengan jejak. Tapi bagi
seorang akhli tentu cukup mengetahui bahwa sinona itu
sedang menggunakan jurus ilmu mengentengi tubuh yang
disebut "hong pay lian hwa", angin menggoyang bunga
terate. Orangnya berparas cantik, tubuhnya langsing
gemulai, maka gerak lambaiannya yang sedemikian luwes
indah itu, mengaburkan pandangan orang kalau ia itu
seorang bidadari yang turun dari kahyangan. Hal mana
telah membuat seluruh penonton menjadi ter-longong2
kesima! Malah ada sementara orang persilatan yang
tergolong kaum pelesiran, sudah serentak mau tampil
melayaninya. "Lian suci," kata Tio Jiang yang ketika itu sudah berdiri
dimuka Bek Lian, "kau bukan tandingannya hweeshio itu.
Lekas turun, biarkan aku yang menghadapinya!"
Oleh karena tadi Yan-chiu telah memperoleh kemenangan atas salah seorang hweeshio itu, sudah tentu
Bek Lian tak percaya nasehat suteenya itu. Dengan
mendongkol dia ancam suteenya: "Sutee, kau mau
menyingkir tidak?"
Biasanya Tio Jiang selalu menurut segala perintah
sucinya, tapi kali ini demi untuk keselamatan sucinya itu,
dia membandel, serunya: "Suci, kau turunlah!"
Karena tak pandai bicara, jadi beberapa kali dia hanya
mengulangi permintaannya "suci, kau turunlah" itu saja.
Suasana ketika itu menjadi gemuruh. Belum pernah terjadi
dalam sejarah perkelahian diluitay, bahwa ada dua orang
yang ribut mulut menyuruh turun kawannya. Bermula para
penonton itu terpikat akan kecantikan Bek Lian, tapi kini
mereka menjadi gaduh tak keruan. Ada yang bersorak2 dan
ada pula yang tertawa keras. Tio Jiang sih tak peduli akan
sorak teriakan orang itu, asal dia bisa mencegah sucinya.
Tapi Bek Lian yang beradat tinggi itu. asking malunya
menjadi murka. Dengan banting kaki, dia mengancam:
"Sutee, kalau kau masih tetap membandel,mungkin aku
lupa dirimu itu siapa!"
Sampai disini, Tio Jiang kewalahan. Dengan menghela
napas, dia segera loncat turun kebawah. Namun tanpa
menghiraukan tertawaan orang, dia berdiri dipinggir luitay
situ. Selama kedua saudara seperguruan itu ribut mulut, To
Ceng dan To Bu se-olah2 tak mau mendengarinya. Baru
setelah Tio Jiang menyingkir turun, To Ceng segera maju
selangkah hendak bicara. Tapi se-konyong2 dari bawah
luitay terdengar orang berseru: "Tianglo, tahan, biarkan aku
yang melayani nona itu!"
Berbareng dengan seruannya, orangpun sudah melayang
keatas. Begitu menginjak papan luitay, orang itu segera
mengawasi sinona tanpa terkesiap. Orang itu rambutnya
kelimis, mukanya bedakan. Sekali lihat tahulah Bek Lian
kalau orang itu tentu bangsa tukang "petik bunga" (suka
cemarkan kehormatan gadis/wanita baik2). Dalam kebatinan, Bek Lian sudah benci bangsa begitu, apalagi ia
tak tahu akan tata kesopanan persilatan, begitu gerakan
pedang ia sudah terus akan menyerang. Orang itu buru2
rangkapkan kedua tangannya memberi hormat seraya
mengucapkan rangkaian kata2 yang halus: "Siapakah nama
nona yang mulia?"
"Apa peduli denganmu" Naik kepanggung bertanding,
mengapa tanyakan nama orang?" Bek Lian delikkan
matanya. "Nona sungguh pemarah, aku yang rendah ini adalah
Hun-ouw-tiap Lim Ciong, hendak mohon pengajaran
nona." Hun-ouw-tiap atau Kupu2 Berbedak Lim Ciong memang
bangsa tukang "petik bunga", tapi kepandaiannya biasa
saja. Melihat orang itu, To Ceng dan To Bu kerutkan
keningnya. Tapi karena orang sudah mendahuluinya,
Merekapun tak dapat berbuat apa2, lalu loncat turun
kebawah. "Sudah tak ada yang merintangi lagi, kita boleh mulai!"
kata Hun-ouw-tiap.
Kata2 itu kurang ajar sekali, maka meluaplah kemarahan
Bek Lian. Ia menyerangkan pedangnya dengan jurus "Tio
ik thian hay", pentang sayap mengisi laut, salah satu jurus
dari ilmupedang To-hay-kiam-hwat. Ilmu pedang itu Bek
Lian hanya pelajari sampai 4 jurus saja. Tapi karena sejak
kecil ia sudah belajar silat, jadi mempunyai dasar yang
bagus sekali. Walaupun hanya 4, tapi dapat dipelajari
dengan sempurna. Sari keindahannya pun

Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dapat difahaminya dengan jelas.
"Nona, kau yang mulai dulu?" Lim Ciong tertawa lepas
tanpa membalas.
Kemarahan Bek Lian makin menjadi. Serangan yang
partama belum selesai, ia sudah susuli lagi dengan dua buah
lainnya yakni dari jurus "Boan thian kok hay" dan "ching
wi thian hay". Untuk serangan pertama tadi, Lim Cong
sudah setengah mati menghindarinya. Demi nampak
serangan kedua datang, dengan sibuknya dia segera
gunakan jurus "thiat pan kio" (jembatan gantung besi),
tubuhnya diayunkan membalik kebelakang untuk menghindari. Tapi tanpa tarik pulang pedangnya, Bek Lian
segera balikkan pedangnya untuk melancarkan serangannya
yang ketiga itu.
Sesaat itu Lim Ciong rasakan hawa angin pedang yang
dingin sekali, buru2 dia hendak tarik senjata poan-koan-pit
yang terselip dipunggungnya, tapi sudah terlambat.
Tangannya kiri terasa nyeri, sakitnya sampai menusuk
keulu hati, lengannya kiri itu ternyata telah dibabat kutung
oleh Bek Lian. Seketika itu, pandangan Hun-ouw-tiap
menjadi gelap, tapi Bek Lian masih tak puas. Memburu
maju, ia terus akan membacok lagi, tapi "tring" se-
konyong2 sebuah thiat-lian-cu (senjata rahasia macam biji
terate) telah menghantam batang pedangnya hingga tangan
Bek Lian serasa kesemutan dan hampir2 melepaskan
pedangnya. Terpaksa ia loncat mundur. Tapi berbareng saat
itu, kedengaran pula suara mengaung. To Ceng hweshio
dengan berduduk diatas damparnya, tampak melayang
keatas panggung. Dan begitu tiba dipanggung, dia terus
menghantam kearah Bek Lian. Bek Lian ter-sipu2
menangkis dengan pedangnya. Tapi sementara itu tangan
kiri To Ceng sudah mencekal Lim Ciong, lalu dilemparkan
kebawah. Karena sebelah lengannya sudah terkutung, begitu
dilempar kebawah, darahnya muncrat
kesana sini memenuhi lantai panggung itu. Dibawah luitay, To Bu
sudah siap menyambutinya, diserahkan pada kawan2 Lim
Ciong untuk diobati.
Kini kita balik mengikuti keadaan diatas luitay. To Ceng
segera mendapatkan bahwa ilmu pedang sinona itu cukup
lihaynya, sehingga ilmu pukulan thiat-sat-ciangnya tak
dapat berbuat apa2 Maka tertawalah dia mengejek: "Entah
dimanakah orang2 Thian Te Hui, mengapa mengajukan
barisan wanita" Ha, ha, lucu benar !"
Tapi dalam tertawanya mengejek itu, wajah To Ceng tak
berobah, tetap pucat seperti mayat. Sewaktu menangkis
pukulannya tadi Bek Lian sudah merasa hweshio itu
"keras" sekali, maka diam2 dia merasa heran mengapa tadi
Yan-chiu bisa menangkan sute sihweshio itu. Tapi sembari
berpikir begitu, ia balas menusuk dada lawan.
To Ceng masih tetap duduk diatas damparnya. Begitu
ujung pedang menusuk, dia tak berani berayal. Secepatnya
berbangkit, dia congkelkan ujung kakinya kedampar, dan
melayanglah dampar itu seperti terbang kearah Bek Lian.
Bek Lian anggap, walaupun menggunakan Iwekang tapi
karena itu hanya sebuah dampar, maka tak perlu ditakuti.
Maka diapun tak mau menyingkir, melainkan siap gunakan
jurus "Ho Pek kuan hay", pikirnya, tentu dapat membelah
dampar itu kemudian hendak dilemparkan kebawah luitay.
Tapi mana ia tahu akan kelihayan dampar itu yang dapat
digunakan sebagai suatu senjata rahasia yang ampuh.
Sepintas panjang, dampar itu merupakan sebuah tikar
duduk yang biasa saja. Tapi sebenarnya benda itu terbuat
daripada bulu suri kera gin-lok-kauw (kera bulu hijau perak)
keluaran istimewa dari gunung Cap-ban-tay-san (gunung
seribu). Lemas dan ulatnya bukan kepalang, dapat bertahan
segala macam bacokan senjata. Tapi karena To Kong
memandang remeh pada Yan-chiu, dia sudah tak gunakan
damparnya. Kalau dia gunakan dampar itu, walaupun
lawan dibantu oleh tokoh lihay, namun tak semudah itu
Yan-chiu mendapat kemenangan. Biasanya apabila ketiga
hweshio itu maju dalam pertempuran, mereka tentu dudiilc
bersila diatas damparnya. Baru kalau menghadapi lawan
kuat, mereka akan berbangkit dan menendang dampar itu
kearah lawan. Sembilan (9) dari sepuluh (10) bagian, lawan
pasti celaka. Jurus itu dinamai "siu-Ii-kian-gun" atau dunia didalam
lengan baju. Sebagai anak yang masih hijau, sudah tentu Bek Lian tak
mengetahui hal itu. Begitu pedangnya menyentuh dampar
dan baru saja ia hendak memapaskan kemuka, atau ia telah
terbentur dengan sebuah tenaga dahsyat hingga lengannya
serasa kesemutan. Dalam gugupnya ia hendak cekal
kencang2, agar pedangnya jangan sampai terlepas, tapi
pada lain saat "krak" terdengar logam meretak dan
pedangnya itu telah patah dibentur dampar To Ceng
hweshio. Tak terkira terkejutnya Bek Lian, sedang pada waktu itu
dampar menjadi miring melayang disampingnya. Samberan
anginnya saja telah membuat Bek Lian sempoyongan dan
To Ceng melesat maju. Tangannya kiri menyawut dampar,
tangannya kanan menghantam dada Bek Lian. Dalam
gugupnya, Bek Lian menangkis sembari loncat kesamping.
Dengan tertawa ter-kekeh2 To Ceng mengejar. Dalam
dua jurus saja, Bek Lian sudah keripuhan sekali bertahan.
Kiau To dan Yan-chiu yang mengawasi dibawah luitay,
sama kucurkan keringat dingin. Sebaliknya wajah Ceng Bo
tetap keras. Benar dia teramat kasihnya kepada sang puteri
ini, tapi sebagai orang persilatan yang tahu diri, tak mati dia
maju menolong. Karena dengan berbuat begitu, dia pasti
akan ditertawai orang. Kiau To yang akan turun tanganpun
dicegah oleh Ceng Bo Siangjin.
Dengan hanya bersenjata pedang kutung, gerakan Bek
Lian menjadi kaku. Apalagi memang kepandaiannyapun
masih dibawah To Ceng. Satu2nya jalan, ia hanya andalkan
ilmunya mengentengi tubuh berlincahan kian-kemari. Jadi
ia hanya bertempur untuk menghindari diri. Sebaliknya To
Ceng makin garang. Tangan kiri dampar, tangan kanan
melancarkan pukulan lwekang thiat-sat-ciang. Lewat
beberapa jurus lagi, rangsekan To Ceng makin menghebat,
sehingga kalangan untuk menghindarkan diri dari Bek Lian,
makin lama makin sempit. Dari satu tombak, makin
menciut sampai dua tiga meter saja. Dapat dipastikan,
dalam beberapa jurus lagi To Ceng pasti berhasil. Bek Lian
kalau tidak binasa terkena thiat-sat-ciang tentu akan terluka
berat terhantam dampar.
Diantara orang2 yang cemas menyaksikan keadaan
sinona itu, adalah Tio Jiang yang paling gelisah sendiri.
Tadi sewaktu pedang sucinya itu kutung, sebenarnya ia
hendak maju. dan ketika Bek Lian dalam bahaya itu, dia
sudah dekat dipinggiran luitay. Dari situ kalau mau dia bisa
loncat keatas. Dengan 7 jurus ilmu pedang To-hay-
kiamhwat yang baru dipelajarinya itu. Walaupun belum
tentu bisa menang, dengan kekuatan dua orang, rasanya
dapatlah mereka bisa mundur dengan selamat. Tapi demi
teringat akan kata2 pedas dari Bek Lian tadi. dia agak
bersangsi. Jangan2 kalau dia maju membantu, nanti
didamprat lagi oleh sang suci.
Berapa saat lagi, kembali terdengar To Ceng tertawa
dingin. Dampar di-putar2 sehlngga menerbitkan deru angin
yang dahsyat. Bek Lian tampak agak sempoyongan. Maka
buru2 ia mundur 3 tindak kesamping. Tapi To Ceng tetap
membayangi. Tangannya kanan diangkat keatas, jarinya
dibuka, sehingga nampak telapakannya yang ke-hitam2an
warnanya, lalu diayunkan menampar kepala Bek Lian.
Hendak Bek Lian menyingkir, tapi terhadang oleh dampar
yang ber-putar2 itu. Dengan begitu, jalan untuk menghindar, sudah tertutup. Kini Bek Lian sadar, bahwa
ajalnya tak dapat dielakkan lagi. Dengan menarik napas
panjang, dia meramkan mata menunggu ajal.
Adalah dalam saat2 yang berbahaya itu, tiba2 Bek Lian
rasakan ada serangkum angin menderu, kedahsyatannya
lain dengan sihweeshio. Cepat Bek Lian buka matanya dan
samar2 dilihatnya ada sesosok bayangan menghadang
dihadapannya, malah dengan ulurkan sepasang tangannya
orang itu telah memeluknya erat2. Begitu mundur
selangkah, To Ceng segera menghantam. Dengan ter-putus2
orang itu merintih: "Lian suci?" aku naik?" kemari
lagi?" jangan kau sesali?"!"
Berbareng dengan ucapannya, orang itupun roboh. Tapi
oleh karena tangannya masih memeluk erat2 maka Bek
Lian terbawa jatuh juga. Sewaktu diamatinya, ternyata
orang yang membuang jiwa untuknya itu, bukan lain adalah
suteenya sendiri. Napas Tio Jiang sudah lemah, matanya
meram melek, rupanya dia terluka berat. Mau tak mau Bek
Lian berterima kasih atas pengorbanan itu. Juga Ceng Bo
yang mengetahui hal itu, tergerak hatinya. Dalam peraturan
luitay, apabila sudah diketahui menang kalahnya, orang
boleh maju menolong yang terluka. Maka dengan bersuit,
Ceng Bo apungkan diri keatas panggung.
Suitan itu mempunyai daya seperti mampu membelah
batu, lengking kumandangnya amat tajam. Orang2
persilatan yang berada disitu, sama terperanjat. Juga To
Ceng terkesiap. Teringat dia pada 20 tahun yang lalu
didunia persilatan ada seorang tokoh kenamaan bergelar
"Hay-te-kau" (naga dari dasar laut) pada setiap kali
bertempur tentu lebih dahulu mengeluarkan suitan yang
panjang begitu. Mungkinkah tokoh itu muncul pula pada
saat itu" Karena menduga begitu, To Ceng mundur
selangkah untuk bersiap. Tapi begitu naik dipanggung,
Ceng Bo tak hiraukan sihweeshio, melainkan menghampiri
kepada Tio jiang untuk memberi pertolongan dengan
menutup jalan darahnya.
Melihat ayahnya datang, dengan muka ke-merah2an Bek
Lian meronta dari pelukan Tio Jiang. Setelah berdiri, ia tak
tahu apa yang harus diperbuatnya. Ceng Bo angkat tubuh
Tio Jiang seraya membentak pada Bek Lian: "Mengapa tak
lekas turun!"
Dengan ke-malu2an Bek Lian segera turun dari luitay.
Setelah mengangguk sedikit pada To Ceng, Ceng Bo
siangjin segera angkat Tio Jiang kebelakang luitay orang
Thian Tee Hui. Tio Jiang diletakkan diatas pembaringan,
lalu dibuka bajunya. Ternyata pada pundak Tio Jiang,
terdapat sebuah bekas telapak tangan yang berwarna hitam.
Bekas2 kelima jari nampak dengan jelas, melekuk kedalam
daging. Sedang kulit disekelilingnya berwarna semu biru,
kalau dipijat dengan tangan, turut melesak kedalam tak bisa
membal balik lagi. Tahulah Ceng Bo bahwa thiat-sat-ciang
berbeda dengan thiat-sat-ciang biasa. Bukan saja disertai
dengan lweekang yang kuatpun tangannya itu mengandung
racun yang dapat disalurkan begitu menyentuh tubuh
musuh. Kalau tadi Ceng Bo tak lekas menutup jalan darah
supaya racun itu tak menjalar, walaupun mendapat
pertolongan obat dewa sekalipun, tetap Tio Jiang takkan
dapat tertolong jiwanya.
Tampak luka muridnya begitu parah, kening Ceng Bo
Kelihatan mengerut dalam. Yan-chiu menjerit dengan suara
tertahan seraya memandang kearah Bek Lian, siapa
kelihatan tundukkan kepalanya. Kiau To mengambil
sebuah kotak emas, begitu tutupnya dibuka, lalu
menyiarkan bau yang amat harum sekali. Dari dalam peti
diambilnya sebutir pil sebesar kuku jari, terus menghampiri
kesamping Tio Jiang. Mulut pemuda itu terkancing rapat,
Ceng Bo segera mencangarnya dan Kiau To lalu
memasukkan sekaligus 4 butir pil.
"Bek-heng, pil ini adalah buatan guruku Tay Siang
tamsu. Meskipun entah bisa memunahkan racun itu atau
tidak, tapi melindungi jantung orang," kata Kiau To.
Ceng Bo siangjin mengiakan, lalu duduk bersila. Tak
lama kemudian, dia berbangkit lagi, lalu me-raba2
punggung Tio Jiang. Sewaktu menderita luka itu, pikiran
Tio Jiang tak sadar lagi, mulutnya serasa manis, sementara
punggungnya seperti ditusuki oleh puluhan jarum kecil.
Benar tidak sakit, tapi rasanya gatal dan kaku sekali.
Hendak dia merangkak bangun, tapi tangannya serasa tak
bertenaga lagi. Tapi setelah minum pil tadi, hatinya menjadi
tenang pikirannya jernih lagi. Ketika gurunya meng-urut2
punggungnya untuk menyalurkan lwekang, tak putus2nya
Tio Jiang mengaduh kesakitan. Matanyapun kini dibuka.
Begitu kelihatan Bek Lian tundukkan kepala sambil
memain ujung baju,
Tio Jiang segera berusaha keras untuk berseru: "Lian
Suci?"kau".. tak apa2 bukan?"
"Lian suci tak kena apa, usah kau kuatir!" Yan-chiu
cepat2 menyanggapi. Dengan ucapannya itu, ia seperti
sesalkan sang suci yang telah menyebabkan sampai sukonya
itu mendapat luka begitu parah.
Tatkala Bek Lian memperhatikan sekeliling situ, rasanya
orang2pun sama mempersalahkannya. Sampai ayahnya
yang biasanya begitu memanjakannya itu, kini asyik
menumplak seluruh perhatiannya kepada Tio Jiang serta
sedikitpun tak menghiraukannya lagi. Diam2 dalam hati
sigadis jelita yang beradat tinggi itu mengambul: "Kalau
begini, lebih baik aku mati saja!"
Kalau tadi ia merasa berterima kasih pada Tio Jiang,
sebaliknya kini ia merasa gusar padanya. Sampai sekian


Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

saat Ceng Bo siangjin meng-urut2 punggung Tio Jiang.
Serta dilihatnya diluitay sana To Ceng sudah turun,
berkatalah Ceng Bo: "Ki-heng, rasanya hari ini baik luitay
itu ditutup!"
Karena haripun sudah sore, Ki Ce-tiongpun setuju. Dia
segera maju kegelanggang luitay untuk mengumumkannya.
Jadi dalam pertempuran hari itu. Thian Te Hui menang dua
kali, kalah sekali.
---oo0dw0oo--- Tak berapa lama kemudian, malampun tiba. Orang2
yang menyaksikan keramaian luitay itu sudah sama bubar.
Juga setelah diberi pengobatan dengan saluran lwekang
tadi, Tio Jiang dapat tidur pulas. Ceng Bo siangjin, Ki Ce-
tiong, Kiau To, Bek Lian dan Yan-chiu menunggu didekat
situ. Setelah sampai sekian saat tak terjadi suatu apa,
berkatalah Ceng Bo: "Ki-heng, biar Yan-chiu kutinggal
disini. Aku hendak membawa Bek Lian masuk kekota
untuk menyirapi kabar! Kurasa tentu ada udang dibalik
batu, mengapa mereka sengaja membuka luitay guna
memikat agar orang2 Thian Te Hui dan kaum persilatan
sama mengumpul jadi aatu diluar kota sini. Mengapa
keempat bajak Itu tak muncul disini" Apakah bukannya
mengatur siasat untuk memasukkan tentara Ceng kedalam
kota" Kalau benar begitu, sungguh kita telah terjebak
mentah2 !"
"Kalau begitu, sebaiknya Bek-heng lekas2 kesana saja!"
seru Ki Cee-tiong dengan terperanjat. Ceng Bo siangjin
segera ajak puterinya tinggalkan tempat itu. Keadaan
mereka dalam perjalanan nanti kita ikuti lagi, sekarang mari
kita ikuti terus keadaan diruangan belakang luitay situ.
Dengan tekunnya Yan-chiu tetap menjaga disamping
sukonya yang tengah tidur pulas itu. Walaupun usia muda
belia, hatinya sudah ditumpahkan kepada sang suko,
satu2nya orang yang paling akrab dengan ia. Tengah dia
melamun yang tidak2, tiba2 kedengaran Tio Jiang
mengerang-erang (sambat). Ter-sipu ia menengok tapi
ternyata Tio Jiang masih tidur dengan nyenyaknya.
Ditanyakan pada Kiau To, bagaimana keadaan luka
sukonya itu. Sebenarnya tak tahu Kiau To bagaimana harus
menyahutnya, tapi karena ditanya begitu, se-konyong2 dia
teringat akan sesuatu, katanya pada Ki Cee-tiong: "Toako,
adakah kau pernah mendengar bahwa ketiga hweeshio Ci
Hun Si itu mempunyai obat istimewa pemunah racun thiat-
sat-ciang?"
"Obat semacam itu tentunya ada, tapi entah apa disini,"
sahut Ki Cee-tiong seraya menghela napas panjang karena
teringat akan dirinya yang sudah punah ilmunya silat itu.
Apabila tak begitu nasibnya, dengan kepandaiannya silat
yang dimiliki sebelumnya itu, dengan mudah dia tentu
dapat mencuri obat tersebut.
"Siao Chiu, bagaimana kau dapat menangkan hweeshio
To Kong?" tanya Kiau To.
Waktu Yan-chiu menuturkan apa yang telah dialaminya,
Ki Cee-tiong dan Kiau To terkejut bukan kepalang,
katanya: "Coba kau keluarkan gelang itu!"
Begitu menyambuti dari tangan sinona, Ki Cee-tiong
segera periksa gelang itu kedekat lampu dan tiba2 berseri
girang: "Hai, siapa lagi kalau bukan dianya!"
Yan-chiu tak mengerti maksud orang, tanyanya dengan
membeliakkan mata: "Ki susiok, siapa yang kau
maksudkan itu?"
Sebaliknya dari menyahut, Ki Cee-tiong mengerling
kepada Kiau To, ujarnya: "Ilmu kepandaian orang ini,
sudah mencapai ketingkat yang sukar dijajaki dalamnya.
Tapi audah ber-tahun2 dia tak muncul dalam dunia
persilatan, mengapa hari ini bisa datang kemari" Siao Chiu,
turut katamu tadi, asal kau perhatikan betul2 ajaran orang
aneh itu, kau bakal menjadi tokoh yang jarang terdapat
tandingannya ?"
"Ki susiok, hampir setengah harian kau mengoceh tadi,
tapi belum menerangkan siapakah adanya orang itu," Yan-
chiu tak dapat menahan kesabarannya lagi.
"Semasa aku masih muda, dia sudah terkenal dalam
dunia persilatan. Tapi tiada seorangpun yang mengetahui
namanya. Yang dapat diketahui, ialah orang itu dalam
sehari mempunyai wajah 3. Saat ini dia berdandan macam
seorang pedagang, lain saat sebagai pengemis, dan
kemudian sebagai imam atau paderi. Wataknya aneh,
lidahnya tajam "
Sampai disini, teringatlah Yan-chiu akan peristiwa yang
dialami diatas luitay.
Saking gelinya, pecahlah ketawanya. Ki Cee-tiong heran
dan terlongong-longong sesaat, kemudian meneruskan
kata2nya lagi: "Terhadap musuh yang tidak ganas dan
kejam sepak terjangnya, dia tak mau membunuhnya. Kaum
penjahat besar, bila kesamplokan dengan dia, jangan harap
bisa lolos. Oleh karena itu orang persilatan menjulukinya
sebagai "Kui ing cu" (bayangan setan). Tapi tentang
namanya yang aseli, tiada seorangpun yang, tahu. Gelang-
besi Itu tadi, adalah pertandaannya. Mungkin kau serasi
dengan wataknya, makanya bisa dihadiahi benda itu!"
Yan-chiu tak terlalu memikirkan hal itu. Habis bercerita,
Ki Cee-tiong keluar untuk berunding dengan orang2nya
mengenai pertandingan besok pagi. Kiau Topun ikut keluar.
Jadi kini Yan-chiu hanya berduaan dengan sukonya yang
masih pulas itu. Karena tak dapat tidur, terpaksa Yan-chiu
ber-main2 dengan gelang besi tadi. Kiranya gelang itu tiada
sesuatu yang menyolok anehnya. Hanya pada gelang itu
terdapat sebuah cap menonjol dari seekor ular kecil. Habis
memeriksa, Yan-chiu menguap, kantuknya mulai datang.
Tapi tiba2 terdengar Tio Jiang mengigau: "Lian suci, Lian
suci!" Terpaksa Yan-chiu tak berani tinggalkan sukonya.
"Suko, suci tidak disini, kau perlu apa?" katanya.
Memang sampai begitu dalamlah curahan hati Tio Jiang
kepada Bek Lian.
Dalam keadaan tak sadar karena lukanya yang parah itu,
dia seperti tampak bayangan Bek Lian mondar mandir
dihadapannya. Wajah sucinya itu sebentar berseri girang,
sebentar ber-muram marah, tapi tetap tak menghiraukannya. Maka dia segera me-manggil2 sucinya
itu. Habis memanggil, hidungnya serasa membaui hawa
harum dari seorang nona. Antara sadar dan tidak, dia
membuka matanya dan samar2 dibawah cahaya lampu
yang suram, dilihatnya Bek Lian berada setengah meter
dihadapannya. Biasanya suci itu bengis sikapnya, mengapa
saat itu dia begitu menyayang" Adakah karena dia telah
menolong jiwanya maka suci itu mau merobah sikapnya"
Dendam asmaranya merangsang. Tanpa disadari lagi dia
ber-geliatan mengulur tangannya kepada Bek Lian yang
ternyata si Yan-chiu itu. Bermula Yan-chiu tak mengerti
kehendak sukonya itu. Tapi ketika kini suko itu mencekal
tangannya dan berbisik: "Lian suci, jangan tinggalkan aku.
Lukaku tak berat, jangan kuatir," barulah Yan-chiu menjadi
jelas. Kiranya sukonya itu telah keliru menyangkanya
sebagai Bek Lian. Sebagai gadis remaja, sewaktu tangan-
nya dicekali oleh sang suko itu, merahlah selebar muka
Yan-chiu. Tapi saat itu timbullah kenakalannya. "Suko
sudah keliru menyangka aku sebagai Lian suci. Biarlah
kumengaku jadi Lian suci, supaya dapat mendengarkan apa
yang hendak dikatakan suko nanti. Ini kelak untuk senjata
memperolokkan mereka berdua," demikian pikirnya. Maka
iapun lalu balas memegang tangan Tio Jiang.
Merasa tangannya bercekalan dengan sebuah tangan
yang halus, Tio Jiang girang setengah mati. "Lian suci"
kembali dia berseru. Dan sinakal itupun meniru nada suara
Bek Lian, mengiakan.
"Lian suci, apa kau sesali aku tak mendengar
perintahmu?" kata Tio Jiang lebih lanjut.
Yan-chiu menahan gelinya, lalu ber-bisik' : "Sesali apa?"
"Sesali aku karena naik keatas luitay."
Diam2 Yan-chiu mendapat kesan, bahwa sukonya itu
begitu menyayang terhadap sang suci, tapi heran mengapa
suci itu tak ambil pedulikan.
"Aku tak sesalkannya sedikitpun tidak!" sahutnya
menghibur. Tio Jiang menghela napas, serasa kesesakan dadanya
menjadi longgar seketika. Yan-chiu turut senang, lalu
mencekal tangan sukonya makin erat. "Lian suci, aku, aku
hendak mengatakan sesuatu padamu, kau marah tidak?"
bisik Tio Jiang.
Lebih dulu Yan-chiu dekap mulutnya sendiri supaya
jangan sampai kedengaran tertawanya, kemudian menyahut: "Katakanlah, apapun aku takkan marah."
Mendengar itu, Tio Jiang pe-lahan2 membuka matanya.
Takut kalau sukonya itu akan mengetahui siapa dirinya,
hingga permainan yang menyenangkan itu tak bisa
langsung terus, dengan cepatnya Yan-chiu meniup padam
lampu. Tio Jiang pun segera tempelkan tangan Yan-chiu
kedadanya, lalu berbisik pelahan: "Lian suci, aku hendak
memperisterikanmu, kita berdua takkan berpisah se-
lama2nya."
Serambutpun Yan-chiu tak mengira kalau sukonya akan
mengucapkan kata2 begitu. Maka meskipun tiada orang
yang tahu, tak urung wajahnya merah padam ke-malu2-an.
Hatinya berdebar keras, hendak ia, tarik tangannya tapi tak
dapat, apa boleh buat ia, lalu membisiki kedekat telinga
Hang suko : "Kusedia menjadi isterimu, jagalah dirimu
baik2 supaya lekas sembuh. Kata Kiau susiok, kau telah
diberi minum 4 butir pil sam-kong-tan, kalau kau tak
pikirkan apa2, dalam sesingkat waktu tentu akan sembuh."
Kembali Tio Jiang menghela napas, malah kali ini agak
panjang sekali, saking leganya. Karena masih tak percaya
akan ucapan "Lian sucinya" itu, dia menegas lagi : "Lian
sucinya - suka menjadi isteriku ?"
"Hem, apakah aku berbohong?" sahut Yan-chiu.
Mendadak Tio Jiang menggeliat. Dari pinggangnya dia
mengambil sebuah batu giok (pualam), batu itu disisipkan
ketangan Yan-chiu, katanya: "Lian suci, batu giok ini
adalah pemberian suhu, kini kupersembahkan padamu."
Teringat Yan-chiu, bahwa kalau orang hendak mengikat
tali pertunangan itu, tentu saling tukar barang selaku panjer
(tanda mata). Dia makin geli, serunya: "Tunggu!" Lalu
terus lari keluar menggeledahi tempat pakaian Bek Lian.
Benar juga disitu dia mendapatkan seekor kupu2 yang
tersulam dengan benang sutera emas. Kupu2 itu seharusnya
ada sepasang, tapi entah dimana yang seekor, mungkin juga
dibawa Bek Lian. Secepat mengambil kupu itu, dia terus
balik lagi kekamar untuk diberikan pada sukonya. "Ini
untukmu," katanya.
Mengetahui benda, apa yang diberikan itu, Tio Jiang tak
sangsi lagi, karena dia tahu kalau sang suci itu paling suka
dengan kupu tersebut. Sambil mendekap kupu, dia kembali
jatuh tidur dengan puasnya. Yan-chiupun girang melihat
sang suko tidur lagi. la lalu mengaso.
Sekarang mari kita ikuti perjalanan Ceng Bo siangjin
dengan Bek Lian.
Dengan gunakan ilmu berjalan cepat, mereka berlari
menuju ke kota Kwiciu. Ceng Bo telah mendahului
puterinya. Dia langsung menuju kegedung Pohceng-si
tempat kediaman menteri. Kala itu hari sudah malam dan
sepi sekali. Ceng Bo dan Bek Lian cukup libay ilmunya mengentengi
tubuh. Tanpa kedengaran suara apa2, mereka loncat keatas
tembok. Dilihatnya dibagian tengah dari gedung itu ada
sebuah bagian yang masih terlihat ada penerangannya.
Kesitulah mereka menuju. Baru hendak tiba disitu,
mereka sudah mendengar suara gelak tertawa dan suara
orang berkata: "Ko tayjin, rencana kita, yang bagus kali ini,
tentu berhasil. Orang apa Ho Ngo Ciu itu, berani
bermusuhan dengan tayjin. Begitu tentara Ceng datang, dia
pasti tak punya tempat untuk mengubur mayatnya, ha,ha,
ha, ?"?"
Mendengar itu Ceng Bo terkejut. Apa yang diduganya,
ternyata benar. Yang dipanggil "Ko tayjin" itu tentulah Ko
Tian Cian. Dengan Ho Ngo Ciu, orang she Ko itu adalah
menteri2 besar dari kaisar Siau Bu di Kwiciu. Tapi oleh
karena rebutan pengaruh, dia telah bersekongkol dengan
tentars, Ceng. Memasukkan tentara musuh, perlunya untuk
menindas saingannya (Ho Ngo Ciu).
Setelah memberi isyarat tangan kepada puterinya, Ceng
Bo mendahului maju lagi beberapa langkah, diikuti dari
belakang oleh Bek Lian. Begitu enjot kakinya Ceng Bo
melesat keatas genteng. Dengan kedua kaki dikaitkan pada
talang, dia gunakan gerak "to kwa cu liam" (membalik
saringan mutiara) tubuhnya menggelantung kebawah.
Dijilatnya kertas jendela untuk membuat lubang, kemudian
mengintip kedalam. Tampak didalam situ ada seorang
gemuk tengah duduk ditengah ruangan. Dari sikap dan
dandanannya, terang dia itu adalah Ko Tiau Cian.
Disekelilingnya terdapat beberapa belas orang, ada yang
duduk ada yang berdiri. Pada lain saat kedengaran orang
she Ko itu berkata: "Malam ini The congping berangkat.
Pemberontak2 Thian Te Hui itu telah dijebak dengan luitay
digunung Gwat-siu-san, tentu tak dapat merintangi.
Rasanya dalam beberapa hari saja, pasukan besar Ceng
dibawah Li Seng Tong congpeng, tentu akan sudah masuk
kemari!" "Siasat yang bagus dari Ko Tayjin itu, benar2 menyamai
Cukat Bu-houw!" mengiakan orang2nya seraya jual puji.
Diam2

Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ceng Bo sianjin mendamprat kawanan penghianat itu. Dia menduga, yang dimaksud dengan ,The
congpeng" itu tentulah si Cian-bin Long-kun The Go.
Orang itu kepandaiannya tinggi, dia baru sore tadi
berangkat menuju kemarkas Li Seng Tong congpeng yang
berada diperbatasan Tiausan (Kwitang) yang jaraknya
antara lima enam ratus li. Rasanya kalau dia (Ceng Bo)
lekas2 mengejar, tentu kecandak. Tapi sukarnya, orang she
The itu entah mengambil jalanan yang mana. Dalam
urusan sepenting itu, tak bisa dia berlaku ayal.
Sebaliknya, dia dengan Bek Lian saling berpencar
menyusul. Setelah rencananya tetap, dia loncat turun, melambaikan
tangan kearah puterinya terus lari menuju kesebelah barat
kota. Tak antara lama, mereka sudah berada diluar kota.
Dengan wajah ber-sungguh2, dia berkata: "Lian-ji, si Cian-
bin Long-kun The Go telah mendapat perentah dari Ko
Tiau Cian untuk mengundang tentara Ceng di Hokkian.
Petang tadi, dia baru berangkat. Untuk memburu cepat, kita
harus ambil jalanan menyusur tepi sungai. Kau berjalan
ditepi sebelah selatan, aku dari tepi utara, biar bagaimana
harus dapat mencandaknya. Jangan tempur dia, karena dia
bukan tandinganmu, cukup kau memberi tanda suitan
panjang, dalam beberapa saat saja aku pasti datang,
mengerti?"
Dari cara sang ayah memberikan pesanannya, tahulah
Bek Lian bahwa hal itu menyangkut urusan besar. Maka
tak berayal lagi, dia terus berangkat. Keduanya menuju
ketepi sungai. Disitu Ceng Bo memotes sebuah dahan
pohon, dilemparkan ketengah sungai, terus enjot tubuhnya
menyusul. Dengan gerak "kim ke tok lip" (ayam emas
berdiri dengan sebelah kaki), kakinya kanan diinjakkan
pada dahan kayu, lalu bagaikan terbang dipermukaan
sungai, meluncurlah dia ketepi sebelah sana.
GAMBAR 17 Setelah memberi pesan cara bagaimana harus menghadapi The
Go, lalu Ceng Bo Siangjin meluncur keseberang sungai dengan
sebatang ranting kayu.
Bek Lian mengetahui kalau sang ayah sedang
mengeluarkan Ilmu "teng bing-tok cui" (naik alang2
menyeberang sungai). Suatu ilmu mengentengi tubuh
tingkat tinggi. Dilihatnya sungai mengombak alun,
permukaan luas sekali hingga tepi yang disebelah sana
hampir tak tampak. Setelah ayahnya berlalu, iapun gunakan
ilmu berjalan cepat untuk menyusur sepanjang pantai
sungai. Kala itu hampir tengah malam. Langit tak
berbintang. Sudah hampir 3 jam ia berlari, tapi sepanjang
itu belum juga ia bersua dengan suatu bayangan orangpun
juga. Tapi ia, tak berani beristirahat. Sembari berjalan itu,
diam2 ia me-mikir2 nantinya bagaimana kalau bertemu
muka dengan pemuda yang dikenangnya itu. Ah, kalau ia
yang memberi nasehat, tentu pemuda itu tak nanti mau
melakukan perbuatan khianat mengundang tentara musuh
masuk ke Kwiciu. Demikian pikirnya selama dalam
perjalanan itu.
Tak antara lama, kembali ia sudah menempuh 10-an li
jauhnya. Diaebelah muka sana tampak segundukan warna
hitam, seperti sebuah rimba. Dengan lantas ia percepat
larinya masuk kerimba itu, mengaso sebentar lalu
meneruskan perjalanannya lagi.
Tapi belum tiba disitu, tiba2 dia mendengar ada
seseorang tengah me-maki2: "Bagus, keluar saja kalau mau
adu kepandaian. Main sembunyi seperti setan belang itu,
kan bukan cara yang layak!"
Mendengar nada suara itu, hati Bek Lian bergoncang
keras. Bukankah itu suara orang yang siang malam
dikenangnya itu" Tapi menurut ucapannya itu, rupanya dia
tengah ketemu dengan seorang musuh. Kalau tidak,
masakan dia memaki kalang kabut begitu. Maka ber-gegas2-
lah Bek Lian memburunya.
Dengan gunakan gerak "yan cu sam jo cui" (burung seriti
3 kali menyentuh air), dalam 3 kali loncatan saja ia sudah
sampai dipinggir rimba situ. Tiba2 disitu terdengar suara
"plak", menyusul dengan itu terdengarlah The Go
menggerang keras. Menduga jangan2 ayahnya berada
disitu, Bek Lian tak berani gegabah memanggil The Go,
melainkan lalu bersembunyi dibalik sebatang pohon. Dari
situ ia mengawasi kesebelah muka.
Amboi, kiranya didalam rimba situ The Go tengah
berputar2 seorang diri. Dari warna mukanya, nyata orang
itu sedang marah besar. Setelah sekian saat berputar, orang
muda itu tegak berdiri diam lagi. Rupanya dia tengah
merenungkan sesuatu. Tak berapa saat lagi, kedengaran dia
terlaiwa dingin: "Hem, sekalipun cianpwe (angkatan tua)
dari persilatan, namun perbuatan itu tadi juga tak pantas!"
Bek Lian melihat bahwa orang itu hanya seorang diri,
tapi mengapa ber-kata2 sendiri dan bersikap seperti
menghadapi seorang musuh tangguh. Tengah Bek Lian
heran, tiba2 dari atas udara muncul sesosok bayangan
orang yang dalam kegelapan malam tampaknya seperti
segumpal asap ber-gulung2. Gerakannya luar biasa
cepatnya, sehingga dalam sekejab saja, sudah lenyap dari
pemandangan. Tapi yang mengherankan, pada saat itu
terdengar pula suara "plak" tadi, kemudian lagi2 The Go
men-jerit2 dengan marahnya, ber-jingkrak2 seperti menginjak api. Setelah menunggu sampai beberapa saat sampai The Go
sudah selesai memberesi pakaiannya, Bek Lian terus
hendak menghampirl. Tapi baru tubuhnya bergerak hendak
keluar, tiba2 dari arah belakang terasa ada angin
mendorongnya keras2, hingga hampir saja ia terjorok
kemuka. Sebat sekall ia berpaling kebelakang, tapi tak
tampak apa2. Dorongan angin tadi, terang dilakukan oleh
seorang akhli persilatan yang berilmu tinggi, cuma saja hal
itu membuktikan kalau orang itu tak berhasrat mencelakai
dirinya, karena kalau memang hendak berbuat jahat, pasti
ia (Bek Lian) akan sudah celaka tadi. Mengingat hal itu,
tanpa terasa Bek Lian kucurkan keringat dingin. Dan
karena didorong tadi, kini dia menjorok kemuka sampai 7
atau 8 langkah jauhnya.
The Go yang dijadikan bulan2 permainan tadi, menjadi
merah matanya. Kalau dapat, hendak dia telan hiduplah
orang yang kurang ajar itu. Tapi orang itu luar biasa
sebatnya, hingga bagaimanapun dia tadi telah melesat
mengejarnya, namun bayangan orang itu sudah menghilang
tanpa bekas. Kiranya sewaktu mendapat laporan dari kaki tangannya
yang mengatakan kalau fihak Thian Te Hui telah menderita
kekalahan dipanggung luitay pada babak ketiga dan salah
satu jagonya terluka parah kena pukulan thiat-sat-ciang To
Ceng hweshio, The Go menduga tentu orang2 Thian Te
Hui akan kecantol membikin pembalasan. Maka The Go
anggap itulah saat yang baik untuk melaksanakan
rencananya. Malam itu juga dia menuju ke Hokkian untuk
menghadap Li Seng Tong, congpeng (jenderal) tentara
Ceng, guna menyerahkan Kwitang. Rencana penghianatan
itu, terkilas dalam pikirannya sewaktu dia turun dari
gunung Lo-hou-san tempo hari.
Kunjungannya ke Lo-hou-san dulu itu, sebenarnya dia
bermaksud dengan lidahnya yang tajam hendak menganjurkan Ceng Bo siangjin dan orang2 Thian Te Hui
supaya jangan melawan tentara Ceng. Tapi disana dia telah
terbentur karang. Ceng Bo siangjin ternyata seorang laki2
yang berpambek perwira, sedang dalam percekcokan yang
terakhir dengan perkelahian, dia telah menderita kekalahan.
Nah, inilah yang mengobarkan kemarahannya terhadap
orange Lo-hou-san dan Thian-te-hui.
Sewaktu tampak mayat Ti Gong bergelimpangan, dia
mendapat pikiran bagus. Sam Tay-tianglo dari gereja Ci
Hun Si, terkenal sebagai tokoh2 yang suka mengagungkan
gengsi tak mau tunduk pada lain orang. Dia suruh orangnya
mengantar surat pada ketiga paderi besar itu, anjurkan
mereka supaya menantang orang Thian Te Hui pibu diatas
luitay. Pertandingan itu harus di-ulur2 sampai setengah atau
satu bulan lamanya, agar dia dapat kesempatan untuk
melaksanakan rencananya. Begitu tentara Ceng sudah
masuk ke Kwiciu, bereslah semua. Rencana itu diberitahukan kepada menteri dorna Ko Tiau Cian, slapa,
menyetujui sepenuhnya. Begitulah malam itu, dia lakukan
rencananya itu.
Tapi belum berapa lama dia keluar kota atau dia telah
bertemu dengan seorang jail yang dalam beberapa kejab
saja, sudah berhasil merampas kipasnya. Sudah tentu bukan
terkira kaget si The Go itu. Buru2 dia mengejarnya, tapi
pada lain saat se-konyong2 punggungnya dirasakan dingin
sekali. Ketika dirabah, ternyata kipasnya telah dise1ipkan
ditengkuk, entah oleh siapa karena sampai sebegitu jauh dia
tak melihat adanya seorangpun juga.
Yang paling menjengkelkan hatinya, setan jail itu terus
menerus mengikuti perjalanan The Go saja. Kalau tidak
merabah mukanya, tentu menggaplok pantat atau karena
sampai setengah harian tak muncul maka The Go mengira
kalau tak diikuti, tapi tahu2 belakang kepalanya disemprot
tiupan angin. Benar2 The Go kelabakan setengah mati.
Beberapa kali dia tantang orang itu supaya unjuk diri
berkelahi, tapi tiada penyahutan lama sekali. Yang bisa
diketahuinya hanyalah sesosok bayangan berkelebatan pergi
datang, tapi bagaimana sebenarnya orang itu, dia tak jelas
karena tak mampu menghampiri dekat.
Tadi sewaktu Bek Lian didorong kemuka sampai hampir
jatuh, karena suasana dirimba situ gelap sekali, The Go
sudah mengiranya itulah orang jail yang mempermainkan-
nya tadi, Dengan sebat sekali, dia melesat maju menutuk
jalan darah hun-cui, ki-kwat, kian-ce dan tiong-thing
sekaligus empat.
Tatkala terjorok kemuka tadi, Bek Lian buru2 menoleh
kebelakang tapi tak melihat siapa orangnya yang jail itu,
dan kini tahu dari sebelah muka terasa ada angin
menyambar, diam2 ia mengeluh. Dalam gugupn ya buru2
ia buang tubuhn ya kebelakang terus bergelundungan
sampai beberapa meter jauhnya.
Melihat orang hanya menyingkir dengan cara bergelundungan dan lagi cara penghindaran itu dilakukan
dengan sedemikian susahnya, kemudian setelah diawasi
dengan perdata potongan tubuh orang itu begitu langsing
seperti seorang wanita, The Go kesima dan berhenti
menyerang. "Mengapa begitu bertemu terus menyerang?" seru Bek
Lian setelah berdiri tegak lagi.
Mendengar nada suara orang, The Go mengeluh ke-
malu2-an. Dibawah cahaya rembulan remang2, dilihatnya
jelas siapa yang berada dihadapannya itu. "Nona Lian,
engkaukah?" tanyanya ter-sipu2.
Biasanya kalau orang berani menyerang begitu kurang
ajar, Bek Lian tentu tak mau memberi ampun. Tapi entah
bagaimana, demi mendengar nada suara sianak muda yang
begitu halus merayu, lenyaplah amarahnya dengan seketika.
"Hm, masih pura2 bertanya, masa begitu bertemu terus
mau membunuh!"
Pada saat itu keadaan The Go seperti kata orang "sigagu
makan empedu", menderita susah tapi tak dapat
mengucapkan. Sudah tentu dia tak mau menceritakan kalau
tadi ada setan jail mempermainkannya, malu sih! "Nona
Lian, karena salah mengira kalau ada orang hendak
membokong, maka aku telah keliru menyerang nona tadi.
Ah, aku int patut dihajar, ya harus dihajar!" katanya
kemudian. Dan untuk mengunjukkan penyesalannya, si
Wajah Seribu (Cian-bin-long-kun) itu segera menggaplok
punggungnya dua kali dengan kipas. Melihat itu sinona
tertawa. Da1am sekejab saja amarahnya telah dibawa
lenyap oleh kepandaian bersandiwara dari si Wajah Seribu.
Kalau yang berbuat itu Tio Jiang, mungkin mulut sinona
akan tak henti2 nya menghemburkan makian. Tapi
terhadap anak muda yang dikenangnya itu, lain halnya!
"Ha ?", ha ?", sudahlah, Say-hong-hong (nona yang
menyamai burung cenderawasih cantiknya) sudah ketawa!"
seru The Go menggoda. Dan untuk itu, hati Bek Lian
meluap girang sehingga tak dapat mengucap apa2.
The Go maju menghampiri kedekat sinona. Dibawah
cahaya rembulan, dilihatnya kecantikan sijelita itu jauh
bedanya daripada waktu siang hari. Dalam pandangannya,
rembulan dilangit se-olah2 suram cahayanya dibanding
dengan wajah jelita Lo-hou-san yang berseri gemilang itu.
Matanya bagaikan bintang kejora yang memancarkan sinar
keagungan. The Go menarik napas panjang.
Bertemu dengan orang yang dikenangnya itu, hati Bek
Lian dilamun rasa girang dan resah. Tapi anehnya, dia


Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

merasa mulutnya seperti terkancing. Sekalipun ingin
mengucap beberapa patah kata, namun berat rasanya untuk
me-ngatakan karena ia itu seorang gadis. Akhirnya
perasaan ingin bicara dengan orang yang dikenanginya itu
lebih menang. Demi mendengar The Go menghela napas,
bertanyalah ia : "Mengapa menghela napas begitu?"
Terkejut ditanya begitu, The Go menyahut ter-putus2:
"Nona, Liaaaannn." Kata "Lian" itu sengaja dia tarik
panjang sekali. Tapi bagi pendengaran Bek Lian, suara anak
muda itu sudah merupakan seperti buluh perindu (seruling
untuk menidurkan anak). Dengan suara pelahan dia
mengiakan. "Teringat kala dipuncak Giok-li-nia tempo hari, begitu
pertama kali melihat nona, aku terus, aku terus ?".. siang
malam memikiri saja. Bahwa malam ini bisa berjumpa
pula, adalah berkahnya yang Maha Kuasa, seharusnya aku
tak layak menghela napas," kata The Go pula.
Bek Lian hanya sekenanya saja bertanya, tak kira kalau
sianak muda bisa merangkai kata2 yang sedemikian
memikatnya. "Kenapa kau harus menghela napas?"
tanyanya. "Karena tadi aku telah kesalahan tangan, kalau nona
selanjutnya tak mempedulikan aku lagi, hidupku pasti
kosong melompong."
Hati Bek Lian seperti terbetot, tukasnya : "Tolol, siapa
yang tak mempedulikanmu?" Tapi habis berkata begitu, Bek
Lian merasa sudah kelepasan omong. Sebagai seorang gadis
tak seharusnya ia berkata begitu. Mukanya ke-merah2an
dan kepalanyapun lalu ditundukkan, mulutnya bagai
terkancing. The Go seperti mendapat jalan, kakinya bergerak maju,
hampir kedekat Bek Lian. Bek Lian tampak bergerak
kakinya, tapi hanya bergerak saja, tidak mau menyingkir.
Saat itu hidung The Go tertusuk dengan bau harum seorang
perawan, matanya disuguhi dengan paras nan cantik
gemilang, telinganya mendengar nada suara bening laksana
kicauan burung kenari. Ya, tak salahlah kalau dia gerakkan
kakinya maju selangkah lagi. Selebar muka Bek Lian makin
merah, jantung berdetak keras, tapi ia tetap diam saja,
malah agak berkisar maju sedikit.
Tampak sang juwita juga mendekati, secepat kilat The
Go ulurkan tangan memegang bahu sinona, siapa dengan
serta merta terus rubuhkan kepalanya kedada orang. Kedua
pemuda yang tengah dibuaikan oleh dendang asmara itu,
hatinya penuh dengan beribu perkataan, namun mulutnya
sukar unutk mengatakan. Lupalah Bek Lian untuk
bertanya, mengapa The Go melakukan perjalanan pada
waktu malam begitu. Sebaliknya si Wajah Seribu itu tetap
ingat akan tugasnya menuju ke Hokkian, Tapi pada saat itu,
dia tak mau membikin kaget "sang burung". Dipeluknya
sinona erat2 dan bagaikan anak kambing menyerah sajalah
Bek Lian. Hanya kepalanya diangkat naik, matanya yang
bening laksana air telaga itu ber-kicup2 memandang The
Go. Entah berapa lama kemudian, barulah The Go lepaskan
pelukannya itu. Dengan memegangi tangan sinona
berkatalah dia: "Lian, tepat nian peribahasa 'garam dilaut,
asam digunung, akhirnya akan ketemu juga'. Bukankah kita
ini juga begitu?"
Ucapan itu bagaikan menyadarkan Bek Lian. la disuruh
ayahnya untuk mencari The Go, jadi bukan secara
kebetulan berjumpa padanya. "Ah, aku memang berniat
mencarimu!" katanya.
Bermula The Go tak begitu menghiraukan kata2 sinona
itu, dan hanya mempermainkan tangan Bek Lian. Tapi
pada lain saat dia teringat, mengapa nona itu tahu kalau dia
berada dalam perjalanan ditempat itu. Jalanan itu hanya
menuju ke Hokkian, apa tidak mungkin kalau sinona itu
tahu bahwa dia hendak mengundang tentara Ceng di
Hokkian" Tugasnya itu sangat rahasia sekali, mengapa
sampai bocor" The Go tertegun memikirkan hal itu, namun
sebagai si Wajah Seribu, dia tetap mengunjukkan muka
yang menyayang.
"Lian-moay, mengapa kau tahu aku akan berada dijalan
ini?" tanyanya mencari keterangan.
Pertama kali terperangkap dalam jaring asmara, Bek
Lian anggap bahwa segala apa yang diketahuinya itu tiada
halangan untuk diberitahukan kepada sang kekasih. Tanpa
banyak pikir lagi, ia menyahut: "Ayahku yang bilang. Dia
berjalan ditepi utara, aku ditepi selatan sini, kita berpencar
menyusulmu."
"Mengapa hendak mencari aku ?" tanya The Go dengan
terperanjat. "Ayah bilang, kau hendak mengundang tentara Ceng di
Hokkian, maka menyusulmu supaya kau jangan jadi
kesana." Karena dugaannya tak meleset, tertawalah The Go:
"Lian moay, kalau begitu kaupun takkan meluluskan aku
pergi?" "Jangan pergi, maukah?"
Pikiran The Go yang licin bekerja, tanyanya pula:
"ApaIcah ada lain orang lagi yang mengejar aku?"
"Tak ada, melainkan ayah dan aku !"
The Go mendapat siasat bagus. Jalan satu2-nya yalah
membujuk sinona untuk diajak ber-sama2 menuju ke
Hokkian. Melihat sinona telah jatuh hati padanya, rasanya
siasat itu pasti berhasil. Dan memang dia sendiripun ketarik
dengan kecantikan nona itu, jadi "sekali dayung dua tepian"
namanya. "Lian-moay ada suatu hal yang hendak
kukatakan, entah kau suka mendengarinya tidak?"
Hati Bek Lian sudah diserahkan pada sianak muda.
Kalau orang sudah dimabuk cinta, apalagi seorang gadis,
segala apa dapat dilakukan. Bek Lian sebenarnya seorang
gadis yang beradat tinggi, tapi terhadap The Go, dia
menurut saja seperti seekor anak kambing. "Engkoh Go,
jangan kata hanya sepatah, seribu patah perkataanmupun
aku tentu senang mendengarnya."
Mengetahui bahwa hati sijuwita sudah terjerat dalam
asmara, barulah The Go tak ragu2 lagi, katanya: "Lian-
moay, ikutlah padaku menghadap Li congpeng di
Hokkian!" Bek Lian tertegun. Kuatir jangan2 salah mendengar, dia
menegas: "Apa katamu itu?"
The Go seorang yang cerdik. Sebagai puteri seorang
perwira macam Ceng Bo siangjin, tentu Bek Lian itu telah
diasuh dengan didikan keluhuran budi. Jadi sewaktu
mendengar kata2nya tadi, nona itu tentu terperanjat. Tapi
biar. bagaimana hati nona itu sudah dibutakan oleh asmara,
tak nanti bisa terlepas dari genggamannya. Maka
diulanginya lagi maksudnya tadi : "Lian-moay, aku minta
kau ikut padaku menghadap Li congpeng di Hokkian !"
Peristiwa Burung Kenari 6 Heng Thian Siau To Karya Liang Ie Shen Pendekar Bodoh 16
^