Pencarian

Naga Dari Selatan 6

Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen Bagian 6


sahutnya, Kemudian diajaknya para orang gagah itu
menuju kepantai, dari situ mereka berlayar keutara.
Tio Jiang, Ceng Bo siangjin, Thay-san sin-tho, dan Nyo-
lim berkumpul disebuah perahu. Selama dalam perlayaran
itu, tampak Ceng Bo selalu merenung saja. Sebaliknya
dengan mendapat kawan seorang imam yang begitu gagah
perwira, Nyo Kong-lim tak putus2nya bicara dan tertawa,
sehingga perahu itu penuh diliputi dengan gelak ketawanya.
Lewat bebrapa saat, Ceng Bo siangjin minta supaya Thay-
san sin-tho, menghampiri kedekatnya. Sedang Nyo Kong-
lim asyik menceritakan pada Tio Jiang tentang keadaan ke
72 Cecu Hoa-san itu.
Sembari mendengari. Tio Jiang sembari se-bentar2
memasang mata kearah suhunya. Dia heran sewaktu sang
suhu memanggil si Bongkok. Entah apa yang dibicarakan
mereka. Tapi samar2 Tio Jiang seperti teringat akan
kejadian pada masa yang lalu. Misalnya bagaimana sekali
ketika masih digunung, Bek Lian telah menangis dengan
ter-lara2. Bermula dikiranya kalau dia (Bek Lian) kesalahan
padanya, tapi ternyata suci itu teringat akan ibundanya. Bek
Lian telah menanyakan perihal ibunya kepada sang ayah,
tapi ayah itu tetap tutup mulut saja. Dan teringat pula
tempo hari Sik Lo-sam pernah menyebut kata2 ,Hay-te-kau
dan "Kiang Siang Yan." Sedangnya dia berpikir sampai
disitu, dilihatnya wajah Ceng Bo siangjin berobah murka
sekali. Kemudian pada lain saat, suhunya itu mondar
mandir diatas lantai perahu, krak......, krak..... lantai perahu
yang dilewatinya itu sama melekah atau ada yang amblong.
"Hay-te-kau, mengapa tak kau jumpalikkan sekali perahu
ini untuk melampiaskan kemarahanmu itu, perahu
tenggelam ....... kita semua kan akan mandi dilaut ?" Seru
sikasar Nyo Kong-lim demi melihat gerak gerik Ceng Bo.
Atas seruan itu, Ceng Bo hentikan langkahnya. Tapi dari
mimik wajahnya, dia tetap dirangsang kemurkaan hebat.
Tio Jiang juga tak mengerti apa kata si Bongkok tadi,
hingga menyebabkan sang suhu sedemikian murkanya.
Selama ini belum dia melihat suhunya sedemikian
murkanya. Juga lain2 orang yang tak tahu menahu akan
urusan peribadi Ceng Bo, hanya menganggap bahwa
siangjin itu sebagai seorang patriot besar tentu sedang
tumpahkan kemurkaannya terhadap tindakan tentara Ceng
selama ini. Menampak siangjin itu begitu murka,
merekapun tak berani bercuit.
Perahu berlayar dengan cepatnya dan saat itu sudah
tengah hari. Tiba2 Nyo Kong-lim berteriak : "Hai, mengapa
kapal besar dimuka sana itu ter-katung2 ditengah laut ?"
Ceng Bo pun melihat hal itu. Perahu besar itu adalah
perahu yang dipakai The Go dan Bek Lian beserta sejumlah
tentara Ceng untuk menggempur Kwiciu tapi telah dipegat
oleh Ceng Bo tempo hari. Terang kala itu perahu
membentur karang dan sudah akan tenggelam, tapi
mengapa sampai sekarang masih ter-katung2 timbul tidak
tenggelam bukan "
"Siapa diantara saudara2 yang mengetahui laut sana itu
terdapat karang ?" tanya Ceng Bo kepada awak kapal. Salah
seorang tampil kemuka dan menerangkan bahwa laut itu
disebut Hay-sim-kau atau Laut Karang. "Siapakah nama
saudara " Tempat itu bukankah dahulu tempat pertapaan Su
Liong Po ?" tanya Ceng Bo. Orang itu menerangkan bahwa
dia bernama Su Khin-ting bergelar Bo-lin-hi (ikan tak
bersisik), kemudian menuturkan bahwa Su Liong Po itu
sudah lama meninggal.
Ceng Bo memandang orang itu, wajah siapa sih tak
mengunjuk apa2 yang luar biasa, kecuali sikap dan
bicaranya tadi cukup tegas. Tahu Ceng Bo bahwa dengan
bergelar Bo-lin-hi itu, kepandaian didalam air dari orang itu
tentu istimewa. Sekilas terbayang dalam ingatan Ceng Bo,
bahwa wanita berambut panjang yang muncul diperahu
tenggelam itu dulu, menilik daerah laut situ adalah Hay-
sim-kau, ke-mungkinan besar ia itu adalah murid daripada
Su Liong Po tersebut. Su Liong Po, juga seorang wanita
yang sudah berumur lanjut. Ia termasyhur memiliki ilmu
lwekang istimewa yang disebut ,Thay-im lian sing".
Setelahh mendapat keterangan dari Thay-san sin-tho tadi,
samar2 Ceng Bo menjatuhkan dugaannya kalau wanita
berambut panjang itu, adalah orang yang ber-tahun2 ini
dicarinya dengan sia2 itu. "Saudara Su, apakah kau pernah
menyelam kebawah laut situ ?" tanyanya kemudian.
"Dua tahun yang lalu, pernah dua kali meninjau kesana.
Tapi ternyata dibawah laut situ hanya terdapat batu2
karang yang aneh bentuknya, tapi tak dapat kuketemukan
pintu goa dimana dahulu Su Liong Po telah meyakinkan
pelajarannya," sahut Su Khin-ting.
"Ilmu lwekang dari Su Liong Po itu disebut 'thay-im lian
sing," suatu jenis lwekang yang paling istimewa sendiri.
Untuk meyakinkan ilmu itu, harus berada dibawah tanah,
Tiap sejam sekali muncul keatas untuk, menghirup hawa
sampai 32 kali. Akhirnya setelah mencapai tingkat seperti
apa yang dikatakan dalam kitab Lam Hwa Keng "dimana
sang malaekat tinggal, disitulah sang naga akan muncul.
Tenang bagaikan sesosok malaekat, bergerak bagaikan
seekor naga', maka sempurnakah sudah peyakinan itu. Su
Liong Po atau wanita malaekat naga, begitulah mendapat
gelarannya. Terang ia tentu mempunyai goa rahasia didasar
laut Hay-sim-kau situ, soalnya saudara belum dapat
menemukannya saja," menerangkan Ceng Bo.
Sekalipun penumpang2 perahu itu sebagian besar adalah
orang2 persilatan namun mereka tak pernah mendengar hal
itu. Hal ini menambah kekaguman mereka, terhadap Ceng
Bo siangjin yang begitu luas pengalamannya. Malah setelah
habis menutur tadi, Ceng Bo tampak melucuti jubah
pertapaannya, lalu mengajak Su Khin-ting: "Sdr. Su, karena
kau sudah pernah kesana, maukah menemani aku sekali
lagi ?" Sudah tentu Su Khin-ting menurut, tapi sebaliknya Nyo
Kong-lim cemas, serunya: "Hay-to-kau, jangan lupa kita
masih mempunyai urusan besar!" Namun Ceng Bo hanya
mendengus saja, terus loncat kedalam laut.
Gelar Hay-te-kau atau Naga didasar laut itu, ternyata tak
bernama kosong. Sekali terjun kedalam air, dia sudah
menyelam jauh kedalam. Ketika Su Khin-ting yang
mengikuti dibelakang membuka mata, ternyata siangjin itu
sudah berada 3 tombak lebih didepan sana. Nyo Kong-lim
perentah menurunkan layar, supaya perahu berjalan
selambat mungkin. Tio Jiang sebaliknya segera menanyai si
Bongkok apa yang dibicarakan dengan suhunya tadi.
"Siaoko, mengapa harini kau begini teliti?" sahut si
Bongkok sembari menoleh kekiri kanan. Melihat sikap si
Bongkok itu, tahulah Tio Jiang kalau pertanyaannya tentu
tak dijawab. Kini kita ikuti perjalanan Ceng Bo siangjin dan Su Khin-
ting. Tak berselang berapa lama, Ceng Bo tiba pada sebuah
deretan batu karang raksasa yang ber-warna hitam
bertutulkan putih. Batu2 itu menjulang didasar laut. Ceng
Bo meluncur turun kesana. Karena tengah hari, jadi dasar
laut situpun kelihatan terang. Pegunungan karang itu tinggi
rendah menonjol turun, bentuknya beraneka ragam
anehnya. Tapi walaupun berenang mengelilingi seputarnya,
namun kedua orang itu tak berhasil menemukan sesuatu
yang luar biasa. Ceng Bo berhenti sejenak sambil
memegangi sebuah tiang batu, kemudian dia meneliti lagi
sekeliling tepian pegunungan itu, namun tetap tak berhasil
menemukan apa2. Su Kin-ting membuat isyarat tangan
yang maksudnya menerangkan, dua kali sudah dia
berkunjung kesitu, pun tiada berhasil.
GAMBAR 32 Sesudah Ceng Bo Siangjin menyelam kedasar laut bersama Su
Kin Ting, tidak lama lantas tertampak didepan ada batu2 karang,
putih yang aneh2.
Pikiran Ceng Bo bekerja. Lam-hay Hek-mo-kun (Raja
Iblis Hitam dari Laut Selatan) yakni gelaran dari Su Liong
Po sebelumnya, meyakinkan ilmunya di laut Hay-sim-kau
situ, semua orang sudah mengetahuinya. Benar semasa
Hek-mokun tersebut masih hidup, tiada seorangpun yang
diidinkan Masuk kedalam laut Hay-sim-kau situ, namun
bagaimana dia tentu melakukan peyakinannya itu dibawah
laut dan se-kali2 bukan diatas permukaan laut. Konon
kabarnya, ilmu thay-im-liang-sing
itu, sewaktu meyakinkannya, tak boleh tersentuh dengan benda yang
bagaimana pun kecilnya juga. Kalau dia meyakinkan diluar
karang (diatas permukaan laut), terang tak mungkin karena
gelombang laut itu penuh dengan bermacam2 benda.
Memikir sampai disitu, Ceng Bo siangjin mulai mencari
lagi. Dan akhirnya jerih payahnya itu berbuah. Dia
menemukan sebuah batu karang yang bentuknya luar biasa
serta berbeda dengan yang lain.
Batu itu hanya 2 meter pesegi besarnya. Anehnya, diatas
batu tersebut tiada tumbuh pakis (lumut), jadi licin2 saja.
Terang kalau sering dijamah oleh tangan orang. Karena
berada didasar laut, batu itu sebagian telah ditimbun oleh
pasir, maka pada pencarian pertama tadi, sudah tak
tertampak jelas. Ceng Bo memberi isyarat supaya Su Khin-
ting datang kesitu. Mereka berdua segera menyingkirkan
timbunan pasir itu. Setelah itu Ceng Bo menghantam
kemuka. Hantamannya itu diarahkan pada air, bukan pada
batu tadi. Ber-gulung2 air meluncur kemuka, lalu dengan
tiba2 dia menarik tangannya kebelakang. Begitulah dengan
mendorong-tarik itu, maka timbullah suatu tenaga
hantaman yang dahsyat. ilmu silat Su Khin-ting juga tak
lemah, tapi terdampar oleh tenaga dahsyat tadi, dia sudah
tak dapat berdiri tetap. Diam2 dia kagum sekali kepada
imam yang sakti itu. Pada lain saat, ketika Ceng Bo
menarik tangannya kebelakang, dia sertai dengan tenaga
Iwekang sehingga air ber-gulung2 turut tersedot kebelakang.
Oleh tenaga sedotan yang kuat sekali itu, akhirnya batu
karang tadi turut bergoyang2 dan bergeser beberapa dim.
Sekali Ceng Bo mendorong kuat2, maka batu karang itu
segera bergeser jauh dan tampaklah sebuah lubang goa.
Sebenarnya pegunungan karang tersebut, adalah gunung
didasar laut. Sifatnyapun serupa dengan gunung didaratan,
maka juga terdapat goa2-nya. Tanpa, ragu2 lagi, keduanya
segera menyusup kedalam lubang itu. Kiranya benar seperti
yang diduga mereka, tempat itu merupakan sebuah goa
bundar seluas satu tombak. Goa itu penuh dengan ikan2
kecil yang tubuhnya dapat memancarkan cahaya sinar,
sehingga goa itu seperti diterangi dengan ratusan lampu
kecil. Air disitu pun jernih sekali, sehingga kalau orang
berada disitu rasanya seperti memasuki sebuah Cui-ci-kiong
(istana didalam air).
Ceng Bo menduga disitulah tempat pertapaan dari So
Liong Po dahulu. Dia berenang mengelilingi dinding goa
itu. Disana sini didapati seperti ada ukiran huruf2, tapi kini
sudah rusak oleh guratan2 yang malang melintang
memenuhi dinding itu, sehingga tulisan2 tadi tak dapat
dibaca lagi. Tak tahu Ceng Bo apa maksud kesemuanya itu.
Tiba2 pada sebuah dinding lain, dia tertegun mengawasi
sebuah lukisan yang diukir disitu. Melihat itu, Su Khin-
tingpun lekas2 menghampiri. Entah bagaimana dulu
sipelukis dapat mengukir lukisan itu didinding tersebut.
Tapi jelaslah sudah, lukisan itu menggambarkan sebuah
pondok gubuk, seorang wanita cantik tidur diatas balai2,
wajahnya mengunjuk malu dan marah besar. Ditepi balai2,
tampak ada 2 orang lelaki yang dengan beringas bengis
tengah mencekik tengkuk (leher bagian belakang) dari
seorang lelaki lain, wajah siapa mirip dengan Ceng Bo
siangjin. Orang laki itu (yang melukiskan Ceng Bo)
tampaknya seperti me-ratap2 minta ampun. Diantara
buaian air laut mengalir, lukisan itu tampaknya hidup
sekali. Bagi Su Khin-ting, lukisan itu tak dimengertinya. Tapi
Ceng Bo siangjin segera menginsyafi apa artinya. Kiranya
apa yang telah dikatakan Thay-san sin-tho itu, benar semua.
Kedua penjahat tadi (yakni lukisan kedua orang laki yang
mencekik orang) karena hendak mencuri pedang pusaka
kepunyaannya (Ceng Bo) dan Kiang Siang Yan, telah
gunakan tipu muslihat yang keji. Selagi Ceng Bo naik
keatas gunung mencari obat, mereka telah menutuk jalan
darah Kiang Siang Yan yang tengah sakit berat itu.
Kemudian menyuruh si Yau-sin Ban-pian Tan It-ho
menyaru jadi Ceng Bo dan disuruh membujuk agar Kiang
Siang Yan menyerahkan pedangnya pusaka !
Ah........, tak heranlah kini Ceng Bo, mengapa
sedemikian murka Kiang Siang Yan pada saat itu. Tanpa
mengucap apa2, ia lolos merana ke-mana2. Tentu isterinya
itu sampai ditempat situ dan berhasil menemukan goa
tempat pertapaan Su Liong Po. Ukiran tulisan2 pada
sekeliling dinding gua itu tadi, tentulah merupakan
pelajaran dari ilmu sakti thay-im-lian-sing, dan mulailah
Kiang Siang Yan meyakinkannya. Kiang Siang Yan
seorang wanita yang pandai ilmu sastera dan ilmu silat.
Dengan kecerdasan otaknya, ia tentu dapat menangkap inti
sari pelajaran itu. Terang kalau lukisan keadaan digubuk
kaki gunung Lo-hou-san itu, ialah yang membuatnya !
Hati Ceng Bo makin pilu. Sekilas terbayanglah dia akan
siwanita rambut panjang yang dijumpai diatas perahu
tempo hari. Sebelum menjadi isterinya, Kiang Siang Yan itu
sebenarnya adalah sumoaynya. Sudah tentu ilmunya
lwekang sama. Tapi kala itu, ketika memeriksa bekas tiang
perahu yang ditabas oleh wanita tersebut, ternyata berlainan
sekali. Kini baru dia jelas duduk perkaranya, bahwa ilmu
lwekang wanita itu adalah dari pelajaran thay-im-lian-sing.
Dengan begitu, jelaslah sudah wanita berambut panjang itu
bukan lain yalah isterinya sendiri, Kiang Siang Yan, atau
ibu dari Bek Lian. Ah, hampir sepuluh tahun dia selalu


Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengenang dan mencari isteri yang dikasihinya, tapi begitu
berjumpa, dia sudah tak mengenalnya! Ah..., sayang......,
sayang...........
Sebaliknya, Kiang Siang Yan tentu sudah mengenal
suaminya itu. Hanya mengapa ia tak mau mengenal lagi,
itu disebabkan dua hal: Pertama, dalam kalbu nyonyah
gagah itu tentu masih ter-bayang2 bagaimana wajah sang
suami yang begitu pengecut minta ampun pada musuh,
Kedua, karena thay-im-lian-sing itu harus diyakinkan
dibawah tanah atau laut, jadi sipeyakin tentu menjadi orang
yang mempunyai watak aneh dan hatinya berobah dingin
tak berperasaan lagi.
"Untuk menyelesaikan salah faham itu, jalan satu2nya
yalah harus dapat membekuk Tan It-ho dan kedua bangsat
itu. Demikianlah putusan Ceng Bo. Su Khin-ting
menampak Ceng Bo ter-longong2 mengawasi lukisan
didinding gua itu, pun tak berani mengusiknya. Berkat ilmu
dalam, air sangat mahir, maka walaupun sampai sekian
lama mereka berdua berada dalam air, namun tak menjadi
halangan. Lewat beberapaa saat Imemudian, barulah Ceng
Bo kelihatan bergerak keluar, diikuti Su Khing-ting. Setelah
meletakkan batu karang tadi ditempat semula, keduanya
segera melambung keatas.
---oodw0tahoo---
BAGIAN 10 : GURITA RAKSASA
Baru saja muncul dipermukaan air, kedengaran Ceng Bo
menghela napas, ujarnya: "Saudara Su, apa yang kau
ketahui dalam gua karang tadi, harap saudara suka
merahasiakan." Su Khing-ting mengangguk. Tampak oleh
kedua orang itu, perahu yang ditumpangi Nyo Kong-lim
dan kawan2 berada tak jauh disebelah muka. Tapi anehnya
perahu itu kelihatan terombang-ambing keras sekali, dan
kedengaran pula Nyo Kong-lim ber-tereak2 dengan
nyaringnya. Ber-gegas2 Ceng Bo sianjin dan Su Khin-ting berenang
menghampiri. Kiranya orang2 sama berkumpul ditepian
badan perahu. Terdengar angin pukulan men-deru2,
rupanya Nyo Kong-lim tengah berkelahi. Dengan terkejut,
Ceng Bo segera meluncur pesat untuk mendekati perahu.
Tampak dengan jelas tubuh Nyo Kong-Iim, yang tinggi
besar itu berloncatan kian kemari berkelahi dengan seorang
wanita, yang bukan lain adalah siwanita berambut panjang
tempo hari dan yang kini dia yakin itu adalah isterinya
sendiri Kiang Siang Yan In Hong. Sudah tentu bukan
kepalang girangnya.
Gerakan dari wanita itu cukup lincah dengan serunya,
namun sedikitpun tak mengeluarkan suara apa2. Benar
tampaknya sam-ciat-kun dari ketua Hoa-san itu dimainkan
dengan gencar sekali, tapi dalam pandangan seorang akhli,
itu sia2 saja. Nyata2 dia bukan tandingan siwarita ltu. Di
bawah serangan siwanita yang ber-tubi2 itu, permainan
sam-ciat-kun sudah kacau balau. Hanya karena mengandalkan tenaga besar dan perawakannya yang kuat,
barulah orang she Nyo itu dapat bertempur dengan gigih,
walaupun dengan susah payah sekali.
Melihat itu, Ceng Bo meluncur cepat. Baru dia hendak
ayunkan tubuhnya keatas perahu, tiba,2 didengarnya
disebelah sana Su Khing-ting menjerit ngeri. Cepat Ceng Bo
mengawasi. Kiranya orang she Su itu tampak membelalakkan mata, kedua tangannya diacungkan keatas,
macamnya seperti orang dicengkeram setan.
"Sdr. Su!, kau kenapa?" Ceng Bo berseru, tanya.
Su Khin-ting dengan napas ter-engah2 menyahut ter-
putus2: "Siangjin......lekas tinggalkan....... jangan sampai
terlambat....... biar aku saja........ yang korban ........" Nada
suaranya sedih memilukan.
Ceng Bo heran. Su Khin-ting, dialah yang mengajaknya
kedalam laut. Kalau ada bahaya apa2, masa dia berpeluk
tangan saja"
"Saudara Su, apakah kau mendapat kejang urat (kram)?"
tanyanya sembari berenang menghampiri. Memang bagi
seorang perenang, kejang urat dikaki, adalah suatu hal yang
membahayakan jiwa. Begitu urat kaki kejang, orangnyapun
tentu akan tenggelam binasa.
"Hai ........!, hai........!" tiba2 Su Khing-ting berteriak
kalang kabut demi dilihatnya Ceng Bo hendak menghampari. Dan, sehabis itu, dia bergerak me-regang2
tangan dan tubuh, kemudian tenggelam kedalam air. Sudah
tentu Ceng Bo teramat kagetnya. Dengan mengempos
semangat, dia selulup kedalam air untuk memeriksanya.
Tapi baru saja selulup, atau pahanya terasa dilibat kencang2
oleh semacam benda, sehingga dia tak kuasa lagi bertahan
dan kena diseret masuk kedalam laut.
Dalam gugupnya, Ceng Bo masih sempat mengawasi
keadaan Su Khin-ting. Kiranya kawannya itu juga
mengalami nasib serupa, dilibat oleh semacam benda
hitam. Karena air laut bergelombang keras, jadi tak dapat
Ceng Bo me-lihat jelas. Samar2 seperti dilihatnya orang she
Su itu tengah digubat oleh semacam tali jaring yang
berwarna putih. Tengah Ceng Bo hendak mengawasi
dengan perdata, tiba2 kakinya terasa, sakit sekali. Buru2 dia
kerahkan lwekang untuk meronta se-kuat2nya, namun tak
berhasil. Hal itu makin membuatnya terkejut. Tenaga yang
digunakan tadi, bukan kepalang dahsyatnya. Ibarat bisa
digunakan untuk menghancurkan gunung, tapi mengapa
tak mampu lepas dari libatan benda putih itu. Tambahan
pula, rasa nyeri pada kakinya itu, tetap tak berkurang.
Hendak dia memeriksanya, atau tiba2 tampak sebuah benda
macam sutera putih ber-gerak2 dari dalam laut. Dan pada
lain saat, Ceng Bo melihat dari dasar laut disebelah muka
sana ada dua buah lentera besar yang memancarkan cahaya
warna hijau gelap. Benda putih macam selendang sutera itu,
kiranya berasal dari lentera hijau itu.
Kini jelaslah sudah Ceng Bo siangjin apa artinya itu.
Diam2 dia mengeluh dalam hati. Baru saja hatinya merasa
girang bakal berjumpa dengan isteri yang dicintainya itu,
atau kini dia sudah ditimpaa bahaya besar. Dengan ilmunya
kepandaian, tidaklah sukar untuk melepaskan diri dari
genggaman makhluk laut itu. Tapi biar bagaimana dia
harus menolong juga Su Khin-ting. Tak mau dia cari
selamat dewek. Ketika, dipereksanya, ternyata benda yang
melibat kakinya itu, pada bagian atas terdapat banyak sekali
lubang2 penyedot. Kulitnya licin dan kusam. Tenaganya
maha kuat. Terang itulah salah sebuah tangan dari seekor
ikan gurita, raksasa. Sama sekali gurita raksasa itu
mempunyai 8 tangan. Maka disebut juga ikan pat-jiao-hi
atau delapan cakar. Binatang itu dapat hidup lama sekali.
Yang tergolong raksasa, benar hanya lebih kurang 3 meter
besarnya, namun kedelapan tangannya itu dapat dijulurkan
sejauh tiga empat tombak. Ada kalanya binatang itu
menghampiri ketepi laut, untuk mencari mangsa berupa
binatang kerbau atau kambing yang kebetulan berada ditepi
situ. Korban itu disergap dengan gubatan tangannya yang
kuat dan panjang, terus diseret masuk kedalam laut. Setiap
pelaut kenal apa artinya bahaya yang dihadapi bila
berpapasan dengan makhluk jahat itu ditengah laut. Maka
sedapat mungkin, mereka menjauhi binatang itu. Sekali
kena digubat, jangan harap dapat lolos lagi.
Mengetahui kelihayan musuhnya itu, Ceng Bo kerahkan
seluruh tenaganya untuk meronta. Saking kerasnya tenaga
ronta itu, air sampai muncrat ber-gulung2 keatas. Namun
libatan pat-jiao-hi itu tetap tak terlepas bagaikan terpateri.
Tapi dalam pada itu, dia mendengar suara berkeretakan
beberapa kali. Benar genggaman tak lepas, tapi tangan itu
menjadi rowak, hingga libatan pada kaki Ceng Bo pun tak
sekencang tadi lagi. Saking kesakitan, tangan yang melibat
itu segera, dikendorkan lalu di-kibas2kan sedemikian
hebatnya, sehingga air muncrat seperti ditiup badai yang
dahsyat. Tapi berbareng itu, tangannya yang lain segera
menyambar untuk menggubat pinggang Ceng Bo.
Betapapun saktinya siangjin itu, namun tak dapat dia
menghadapi kekuatan makhluk laut raksasa itu. Cepat dia
merabah kepinggang, pikirnya hendak mencabut pedangnya
pusaka, yang ketajamannya dapat digunakan untuk
memotong segala macam logam. Tapi pada lain saat, dia
segera mengeluh hebat. Kiranya pedang itu masih terselip
pada jubah pertapaan yang ketika hendak masuk
menyelidiki gunung karang didasar laut tadi, telah
ditanggalkan dan ditinggalkan diatas perahu. Baru2 dia
meluncur jauh untuk menghindar. Kemudian setelah ber-
putar2, dia berenang menghampiri pula.
GAMBAR 33 Mendadak Ceng Bo Siangjin merasa kakinya digubat oleh
sesuatu, lalu badannya terseret kedasar laut. Waktu ia tegasi,
ternyata seekor gurita raksasa dengan delapan kakinya yang
panjang telah menggubat badannya.
Setelah sekali mengungkap balik tubuhnya, makhluk
raksasa itu kelihatan berdiam tenang. Untuk mencari tahu
keadaan Su Khing-ting, Ceng Bo tak jeri lagi berenang
mendekati. Amboi, kiranya Su Khing-ting sudah tak
berdaya diringkus gurita itu, siapa tengah mengangkat
tubuh orang Su itu untuk dimasukkan kedalam mulutnya.
Tapi serta dilihatnya orang she Su itu masih me-ronta2 kaki
tangannya, timbullah harapan Ceng Bo. Terang sang kawan
itu masih belum binasa. Sekali kedua kakinya menjejak,
Ceng Bo melesat maju, lalu menghantam tangan sigurita.
Untuk melancarkan hantaman didalam air, berbeda dengan
diatas daratan. Karena terhalang oleh desakan air, jadi
tenaga hantaman itu agak berkurang dayanya. Tapi karena
didalam air, tambahan lagi tangan sigurita itu licin luar
biasa, jadi tak memberi hasil apa2. Malah pada saat itu,
sigurita sudah kibaskan kedua tangannya yang lain untuk
menyerang. Tapi kini Ceng Bo sudah tak menghiraukan
suatu apa lagi. Seluruh perhatiannya hanya ditimpahkan
untuk menolong Su Khing-ting saja. Cepat dia cengkeram
tangan sigurita yang tengah melibat Su Khing-ting itu.
Kalau diatas daratan, cengkeram Ceng Bo itu pasti akan
menghancur remukkan benda yang dicengkeramnya. Tapi
karena didalam air, cengkeram itu hanya berhasil
menguntungkan tangan sigurita. Walaupun kutungannya
masih tetap melibat Su Khin-ting, namun dengan sekali
meronta saja dapatlah orang she Su itu terlepas, terus
berenang melambung keatas permukaan air. Tapi tatkala
Ceng Bo hendak mengikuti, tiba2 pinggang dan pahanya
terasa dilibat kencang sekali. Kiranya kedua tangan sigurita
tadi, sudah berhasil melibat Ceng Bo siangjin.
Dua kali kedua tangan sigurita itu putus, maka saking
marahnya kali ini binatang itu melibat se-kuat2nya. Kalau
Ceng Bo pada saat itu tak lekas2 kerahkan lwekangnya
untuk melawan, tentu dia akan sudah binasa. Setelah
berhasil melibat Ceng Bo, binatang itu segera membawanya
kedasar laut. Dalam pada itu, Ceng Bo menghantam lagi
dan berhasil memutuskan salah sebuah tangan sigurita.
Namun dua tangannya yang lain, dengan cepat sekali sudah
bergerak melibat tubuhnya. Bagaikan sebuah karung yang
melembung kempes, gurita itu masuk kedalam dasar laut
sembari menyeret sang korban. Saking pesatnya sigurita itu
berjalan didalam air, hidung Ceng Bo serasa dituangi air.
Buru2 Ceng Bo menutup napasnya. Tapi karena begitu,
gerakannyapun agak lambat. Baru setelah kedua tangan
sigurita yang hendak melibat tadi dapat dibikin putus, Ceng
Bo jejakkan kakinya kepada kutungan tangan-gurita tadi,
lalu bagaikan anak panah dia melesat 3 tombak jauhnya,
pikirnya hendak muncul kepermukaan air. Tapi meskipun
dari 8 tangan sudah 7 yang putus, namun gurita itu masih
tetap mengejarnya. Dalam kecepatan berenang, sudah tentu
orang tak bisa menang dengan binatang itu. Pikir Ceng Bo,
sekalipun semua tangan sigurita itu dibikin putus, namun
binatang itu tetap mengejar dan menggubatnya. Maka jalan
satu2nya ialah membunuhnya saja. Tapi untuk melakukan
hal itu, tak semudah seperti kehendaknya, karena dia tak
membekal senjata apa2. Tiba2 terkilaslah suatu pikiran
bagus. Ketika digubat lagi, dia tak mau melawan dan
biarkan dirinya diseret kedasar laut. Begitu melalui
pegunungan karang Hay-sim-kau tadi, dia hantam sebuah
batu karang yang panjangnya hampir 2 meter. Potongan
batu itu ujungnya tajam, dan kini segera dicekalnya untuk
dijadikan senjata. Pada saat itu, sigurita sudah menyeret
tubuh Ceng Bo untuk dimasukkan kedalam mulut. Malah
karena tadi ke 7 tangannya diputuskan, dengan marahnya
binatang itu hendak lekas2 menelan sang korban. Ceng Bo
kerahkan tenaganya, batu lancip itu dihantamkan se-
kuat2nya kedalam mulut sibinatang, dan setelah itu, dengan
tangannya kiri dia hantam putus tangan yang melibat
tubuhnya itu, lalu tubuhnya membarengi melesat kebelakang. Karena hantaman Ceng Bo itu keras sekali, maka batu
sepanjang 2 meter tadi dengan cepatnya masuk kedalam


Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mulut sigurita, terus meluncur kedalam perut. Begitu
perutnya kemasukan benda keras itu, tubuh sigurita,
seketika. Menjadi surut kecil dan pada lain saat melembung
besar. Oleh karena gerak surut-melembung itu dilakukan ber-
ulang2, maka air disekitar situ menjadi berombak keras,
bertaburan buih. Saat itu Ceng Bo sudah menyingkir
beberapa tombak jauhnya. Sembari melepaskan kutungan
tangan-gurita yang melibat tubuhnya tadi, dia menunggu
kesudahan dari sigurita. Rupanya binatang itu tengah
menderita kesakitan hebat. Tubuhnya berkembang kempis
beberapa kali, lama kelamaan tenaganya makin berkurang,
dan akhirnya bagaikan sebuah kantong, gurita itu silam
kedasar laut tiada berkutik lagi.
Secepat terlepas dari bahaya itu, Ceng Bo ber-gegas2 naik
kepermukaan air. Tapi se-konyong2 matanya tertumbuk
pada sebuah benda mencorong berkilauan ditempat sigurita
jatuh itu. Ketika diawasi dengan seksama kiranya perut
sigurita tadi sudah pecah dan, batu karang tadi menonjol
keluar. Tapi benda tadi tetap ber-kilau2an memancarkan
cahaya. Rupanya benda itu keluar dari dalam perut sigurita.
Karena binatang itu sudah mati, tanpa ragu2 lagi Ceng Bo
menyelam menghampiri. Ketika benda itu dijemputnya,
ternyata sebuah kotak dan terbungkus dengan lemak yang
licin sekali. Rupanya saking keliwat lama berada didalam
perut sigurita, benda itu terbungkus dengan ludah atau
getah perut. Oleh karena, didalam air tak dapat melihat
jelas apakah adanya benda itu, maka setelah diselipkan
dalam baju, dia meluncur naik kepermukaan air.
Begitu berada dipermukaan air, ternyata matahari sudah
condong disebelah barat. Entah sampai kemana, tadi dia
diseret oleh gurita itu. Tapi yang nyata baik laut perairan,
Hay-sim-kau maupun perahu Nyo Kong-lim dan kawan2,
sudah tak nampak lagi disitu. Dia mendongkol sekali
kepada gurita tadi. Coba kalau tidak terganggu sibinatang
itu, tentu tadi dia sudah dapat bertemu dengan isterinya.
Kini dia ter-katung2 ditengah lautan.
Dan karena sudah keliwat menggunakan tenaga,
walaupun kepandaiannya tinggi, namun tak urung dia
merasaa cape juga. Apa boleh buat kini dia apungkan diri,
biarkan kemana ombak hendak mendamparnya. Jaraknya,
dengan daratan tak jauh, bila air pasang datang tentu dalam
setengah malam saja dia akan sudah dibawa ketepi pantai.
Tapi kalau jauh dengan daratan, satu2nya harapan yalah
kalau ada perahu berlayar lewat disitu. Jika tiada perahu
yang lalu disitu, terpaksa dia harus ter-apung2 dilaut sampai
entah berapa lama.
Se-konyong2 dia teringat akan benda yang keluar dari
perut gurita tadi. Ketika benda itu diambil dan
dipereksanya, hatinya ber-debar2 keras. Begitu kotoran dan
lendir gurita yang melekat dibersihkan, Ceng Bo segera
berseru kaget. Kiranya benda itu adalah sebuah peti kecil
berbentuk, persegi, terbuat dari emas. Kunci daripada kotak
kecil itu, merupakan dua batang pedang2an kecil, yang
halus sekali buatannya. Tangan Ceng Bo serasa gemetar.
Walaupun dia sudah mengetahui akan isinya, namun
dibukanya juga tutup kotak itu. Benar seperti apa, yang
diduganya, kotak emas itu berisi sebutir beng-cu (mutiara
mustika) yang luar biasa bagusnya.
Sampai sekian saat baru Ceng Bo menutup kotak emas
itu lagi. Pikirannya me-layang2. Kotak emas berisi beng-cu
adalah miliknya sendiri yang telah diberikan kepada sang
isteri. Kiang Siang Yan pernah bersumpah, bahwa dalam
hidupnya, ia takkan berpisah dengan mustika itu. Tapi
mengapa kotak itu berada didalam perut gurita" Adakah
isterinya itu sudah mengingkari sumpah kesetiaannya"
Lagi2 pikirannya melayang kepada, siwanita berambut
panjang. Siapakah gerangan ia itu" Dari sikap dan nada
suaranya, wanita itu tak mirip dengan sang isteri. Rambut
sang isteri dahulu hitam mengkilap bagus sekali. Sedang
rambut wanita, aneh itu berwarna kelabu serta morat-marit
tak karuan. Entah berapa lama Ceng Bo ter-menung2 dalam
lamunan kenangannya itu, tapi tahu2 dia sudah terdampar
kedekat pantai. Baru pada saat itu, dia tersadar lagi.
Kepentingan negara dan rakyat, diatas kepentingan
peribadi. Biarlah dia kubur dulu kenangannya tentang sang
isteri itu, karena negara sedang dalam bahaya.
Demikian pikirannya tergugah dan semangatnya timbul
lagi. Kini dia silam kedalam air terus berenang se-kuat2nya.
Begitu sampai ditepi pantai, dia lalu loncat keatas daratan.
Kalau menilik keadaannya, tempat itu terang bukan sebuah
pulau, namun keadaan disitu sunyi sekali, tiada tampak
barang seorang manusiapun jua. Untuk sesaat tak dapat dia
mengenal nama tempat itu. Maka lebih dahulu dia jemur
pakaiannya yang basah kuyup itu, lalu mengobati luka2nya.
Setelah itu dia teruskan perjalanannya.
Menjelang magrib, dia tiba ditepi sebuah hutan.
Dibelakang hutan itu rupanya terdapat sebuah gunung.
Tapi oleh karena hari petang, jadi tak dapat melihatnya
dengan jelas. Baru dia hendak ayunkan langkahnya masuk
kedalam hutan, tiba2 didengarnya ada beberapa puluh anak
panah melayang kearahnya. Mengira kalau disebelah muka
ada bayhok (barisan pendam) tentara Ceng, maka dia maju
memapaki. Dalam beberapa gerakan saja, dia sudah
berhasil menghalau anak panah itu. Setelah itu dia hendak
menyerbu maju, pikirnya hendak menanyakan jalan pada si
penyerang. Tapi se-konyong2 terdengar suara orang
perempuan berseru nyaring: "Gunung ini milikku, jalan ini
aku yang membuat, kalau hendak lalu disini, tinggalkanlah
uang sewanya !"
Suara itu melengking bening. Nadanya mirip dengan
suara kanak2, tapi sengaja di-buat2 agar kedengaran garang.
Ceng Bo cepat mengenali suara itu. Dia mendongkol dan
geli. Dan habis mengeluarkan gertakan tadi, melesatlah
sesosok tubuh keluar, dibarengi dengan gertak ancaman
yang garang: "Saudara2, ada seekor kambing gemuk datang
!" Berbareng mulut berseru, begal perempuan itu terus
memutar liu-sing-tui (bandringan) menghantam dada Ceng
Bo. "Berani mati kau!" bentak Ceng Bo seraya menangkap
bandringan itu.
"Makanan keras, angin kencang, lari!" teriak begal
perempuan, itu dengan kagetnya, sambil terus lari kedalam
rimba lagi. "Siao Chiu, apa2an kau!" seru Ceng Bo. Atas seruan itu
sibegal perempuan merandek kesima. Begitu maju
mengawasi, selebar mukanya merah padam. Kiranya begal
perempuan yang garang itu, bukan lain adalah Liau Yan-
chiu, sumoay Tio Jiang atau murid buncit dari Ceng Bo
siangjin yang genit nakal itu. Sesaat itu, dari dalam rimba,
muncul tiga atau empat puluh lelaki yang bertubuh kuat
serta masing2 mencekal senjata. Tampak bandringan dari
pemimpinnya kena direbut musuh, mereka berteriak
gempar. Tapi hanya berteriak saja, tak berani maju
menyerang. Takut digegeri suhunya, Yan-chiu segera timpahkan
kemarahannya pada kawanan anak buahnya itu, serunya
lantang2: "Manusia tak punya guna, apa tak tahu siapa
yang datang ini. Mengapa berani ribut tak keruan
dihadapan suhuku?"
Aneh sekali begitu sinona mendamprat, ber-puluh2 lelaki
yang gagah itu segera mengiakan dengan serta merta.
Setelah itu, Yan-chiu segera memberi hormat pada
suhunya. Dengan mata merah dan seperti mewek ia
memberi keterangan: "Suhu, sepergi suhu tempo hari,
tentara Ceng dalam jumlah yang besar telah menyerbu. Ki
dan Kiau susiok serta suko kukuatir sudah dibinasakan
musuh. Murid yang berhasil lolos kemari ini, segera
mengumpulkan ratusan orang, tetap melanjutkan perlawanan kepada tentara Ceng !"
Ceng Bo tergerak hatinya melihat jiwa patriot dari
muridnya itu. Tapi demi teringat akan tingkah laku Yan-
chiu tadi, dia geli juga. Sampai sekian saat, baru dia
menghela napas berkata: "Siao Chiu, sukomu tak kurang
suatu apa. Aku sudah berjumpa dengannya."
"Benarkah itu, suhu" Tapi Lian suci kemana?" tanya
Yan-chiu sambil berjingkrak kegirangan.
Demi mendengar pertanyaan itu, wajah Ceng Bo tambah
keren, hingga Yan-chiu tak berani mendesak lagi, katanya :
"Suhu, kedatanganmu kemari ini sungguh kebetulan sekali.
Kita dapat kumpulkan anak buah, beli kuda dan bikin
pembalasan pada musuh!"
Oleh karena banyak sekali yang hendak ditanyakan,
maka Ceng Bo segera ikut sang murid menuju ke "soache"
(markas diatas gunung). Apa yang disebut "soache" itu
ternyata adalah sebuah biara gunung, yang pada kedua
sampingnya dialingi oleh beberapa buah pondok gubuk.
Ketika Ceng Bo masuk, per-tama2 yang dilihatnya yalah
tho-te-ya (patung penunggu bumi) sudah dihancurkan. Di-
tengah2 ruangan tergantung sebuah papan yang bertuliskan
"tiong gi tong" atau paseban setia luhur. Dari coretannya,
terang tulisan itu ditulis oleh Yan-chiu sendiri. ,Suhu,
lihatlah. Disitu aku telah mencontoh perilaku kaum gagah
dari gunung Liang-san dahulu!" kata Yan-chiu dengan
bangga. Atas keterangan itu, walaupun biasanya Ceng Bo mahal
senyuman, kini terpaksa tertawa juga. Yan-chiu dapat hati.
Dituturkannya bagaimana tempo hari dia telah lolos dari
kepungan tentara Ceng. Waktu menceritakan tentang
keganasan tentara Ceng yang mem-bunuh2i rakyat tak
berdosa wajah Yan-chiu merah padam murka sekali. Dalam
markasnya situ, Yan-chiu mempunyai anak buah sebanyak
30 orang lebih. Pemimpinnya bernama Siao-pah-ong Tan
Jiang. Bermula pada waktu mendapatkan Yan-chiu, Tan
Jiang hendak mengambilnya menjadi isteri. Tapi dalam dua
tiga gebrak saja, Yan-chiu telah berhasil merobohkan. Sejak
itu, si genit tersebut diangkat menjadi pemimpin mereka.
Yan-chiu telah mengadakan reorganisasi dalam rombongannya. Banyak juga ia menerima tambahan tenaga
dari pelarian2 yang singkirkan diri dari tindasan tentara
Ceng. Sehingga kini jumlahnya menjadi 100 orang lebih.
Dengan melakukan taktik gerilya, Yan-chiu dan rombongannya berhasil menerbitkan gangguan besar pada
pasukan2 Ceng yang lalu didaerah tersebut.
"Siao-chiu, apakah namanya tempat ini" Berapa jauhnya
dari Hoa-san ?" tanya Ceng Bo kemudian segera setelah
Yan-chiu menutur habis. Tapi Yan-chiu hanya membelakakkan mata, karena ia sendiri tak mengetahui
juga. Saking mabuk "naik pangkat" menjadi pemimpin
rombongan, ia sudah tak pusing2 lagi mencari tahu apakah
namanya, gunung situ. "Hayo, salah seorang maju kemari!"
serunya setelah dia tak dapat menjawab pertanyaan sang
suhu. Seorang liaulo (anak buah) masuk kedalam. "Li-tay-ong
ada perentah apa ?" katanya dengan memberi hormat.
Mendengar liaulo itu menyebut li-tay-ong (ratu begal) pada
Yanchiu, gelilah Ceng Bo. Dia, duga tentang si Yan-chiu
sendiri yang meng-ada2kan. Begitu siliaulo masuk, Yan-
chiu mulai beraksi. Dengan dehem2 dahulu, ia berkata:
"Lekas katakan apakah namanya tempat ini! Dari Hoasan
masih berapa jauhnya" Kalau tak dapat memberi
keterangan, akan kupersen 20 gebukan!"
"Li-tayong, gunung ini disebut Yan-san, kalau menuju
kebarat sampailah ke Hoasan," sahut siliaulo ter-sipu2.
Mendengar itu, Ceng Bo segera bertanya kepada sang
murid: "Siao-chiu, bukankah tadi kau mengatakan kemaren
ada sepasukan tentara Ceng menuju kearah barat?"
"Benar, mereka keliwat besar jumlahnya, sedang fihak
kami hanya 100-an orang, maka terpaksa dengan mata
merah kami awasi mereka berjalan. Syukur aku berhasil
membekuk seorang ordonan (pemberita). Setelah kusuruh
orangku memotong kuncirnya, orang itu kumasukkan
dalam perapian!" sahut Yan-chiu. Girang hati Ceng Bo
mengetahui bahwa, sang murid ternyata tak men-sia2kan
harapannya. Sekalipun gadis itu genit nakal, namun dapat
menjalankann tugas se-baik2nya. Bermula Yan-chiu sudah
segera akan menghabisi jiwa ordonan itu, tapi karena
siordonan tersebut ber-ulang2 menyebutnya "li-tay-ong"
untuk minta ampun, saking senangnya disebut begitu, Yan-
chiu tak jadi membunuhnya. Coba jangan Yan-chiu
dimabuk sebutan itu, walaupun ia tak turun tangan tapi
anakbuahnya yang sebagian besar terdiri dari pemuda2 atau
orang2 lelaki yang telah kehilangan rumah tangga anak
isteri serta ayah bunda, tentu segera mencingcang serdadu
musuh tersebut.
Ceng Bo minta supaya ordonan itu dibawa menghadap,
siapa segera ditanyainya:
"Mengapa tentara Ceng setelah berhasil menduduki
Kwitang tak sekalian menyerbu Kwisay, sebaliknya menuju
kearah barat laut?"
"Li congpeng mengatakan ........" belum ordonan


Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tersebut menghabiskan kata2nya, Yan-chiu sudah cepat2
memutusnya: "Li Seng Tong!"
"Ya, ya, ya......, Li Seng Tong mengatakan, salah
seorang dari kedua kaisar Lam Beng sudah dibinasakan,
tinggal satu masih bersemayam di Kwisay. Kaisar itu sudah
seumpama kura2 dalam jambangan. Tapi yang paling
menjengkelkannya yalah orang2 Hoa-san yang berkeras
kepala itu"
"Hohan," lagi2 Yan-chiu menukas omongan orang.
Saking takutnya ordonan itu terpaksa mengulangi lagi
kata2nya: "Ya......., terhadap para hohan (orang gagah)
Hoa-san itu. Maka dia lalu mengirim sejumlah besar
pasukan !"
"Berapakah jumlahnya tentara ltu ?" tanya Ceng Bo
dengan terperanjat.
"3000 orang tentara pilihan dan 10 pucuk meriam besar",
sahut siordonan.
Atas pertanyaan Ceng Bo, siapa yang memimpin
pasukan itu, siordonan menerangkan : "Li cong ..........
Seng Tong sendiri." Diam2 Ceng Bo mengeluh dalam hati.
Sudah lama dia mendengar bahwa Li Seng Tong itu
seorang panglima perang yang pandai. Benar pertahanan ke
72 markas digunung Hoa-san itu cukup kokoh, tapi mana
bisa tahan dibombarder dengan meriam " Karena baru
kemaren hari pasukan Ceng itu menuju ke Hoa-san, terang
akan dapat mempergoki rombongan Nyo Hong-lim.
Teringat nasib apa yang bakal menimpa ke 72 markas Hoa-
san itu, Ceng Bo menjadi gelisah sekali. Ular tanpa kepala,
tentu tak dapat berjalan. Pasukan tanpa pemimpin, pasti
akan kalut. Begitu pula nasib ke 72 markas di Hoa-san yang
tanpa Cecu (pemimpin markas ) masing2.
Terkilas dalam hati Ceng Bo, bahwa kini mencari sang
isteri untuk menjelaskan kesalahan paham itu, makin
penting artinya. Karena dengan tambahan seorang tenaga
macam sang isteri itu, kubu2 pertahanan melawan tentara
Ceng, pasti bertambah kokoh lagi. Maka dengan serentak
berbangkitlah dia dari tempat duduknya, sehingga
membikin siordonan tadi gemetar ketakutan. "Siao-chiu,
lekas kumpulkan anak buahmu disini. Pilih salah seorang
yang faham jalanan menjadi pengunjuk jalan ke Hoasan.
Jangan berayal, lekas!" serunya pada Yan-chiu, siapa segera
melakukan perentah itu.
Dari mulut li-tay-ong Yan-chiu, anak buah sekalian sama
mengetahui bahwa guru dari li-tayongnya itu adalah Hate-
kau Bek Ing, tokoh yang termasyhur didunia persilatan itu.
Kedatangan Ceng Bo kesitu, telah mengobarkan semangat
keberanian mereka. Begitulah dengan dua, orang pencari
kayu dan, Yan-chiu berangkat menuju Hoa-san.
Dengan mengambil jalan-singkat, yang ber-belit2 melalui
tebing dan naik turun gunung, keesokan harinya saja
mereka tiba, pada sebuah soache (markas). Dimuka itu
sudah telah ditumpuki kayu2, rupanya mereka, bersiap.
Begitu Ceng Bo melesat maju menghampiri, dan orang
membentak keras:
"Siapa yang berani mengadu biru kemarkas ini "!"
"Adakah Nyo-toa cecu sudah kembali?" sahut Ceng Bo
dengan pertanyaan.
Sampai sekian saat tiada penyahutan dari sebelah dalam.
Baru setelah itu ada seseorang menonjolkan kepalanya
keluar seraya bertanya: "Siapakah yang datang ini"
Mengapa menanyakan, Nyo-toa cecu" Toa cecu memenuhi
undangan Ceng Do siangjin datang kepulau Ban-san-to,
sampai saat ini belum pulang."
Ceng Bo telah menduga akan adanya keterangan itu,
maka dengan cepatnya dia segera memberi perintah: "Lekas
buka pintu markas, aku ini adalah Ceng Bo siangjin sendiri
!" Orang itu melihat bahwa rombongan tamu diluar markas
itu, terdiri dari 100 orang. Kuatir mereka adalah kaki
tangan pemerintah Ceng, orang tadi tak membukakan
pintu, serunya: "Sebelum mendapat perintah dari Toa cecu,
harap anda pulang dahulu !"
Yan-chiu sangat murka. Sekali enjot kaki, tubuhnya
melayang melalui pagar tumpukan kayu itu. Dan pada lain
saat terdengar suara "plak" maka, orang yang munculkan
kepalanya tadi, segera terbanting meloso. Dan berbareng
itu, pintu markaspun terpentang lebar !
Tieng Bo siangjin tak keburu mencegah perbuatan
muridnya itu. Dia menghampiri dan menolong orang itu.
Melihat siangjin itu berwajah agung, walaupun pakainnya
sudah kumal2 tak keruan, orang tadi buru2 hendak
berbangkit. Tapi ternyata bantingan Yan-chiu tadi cukup
hebat, hingga dia tak kuasa untuk bangun. Ceng Bo
menerangkan bahwa dia telah bertemu dengan pemimpin
mereka, Nyo Kong-lim dipulau Ban-san-to, Kedatangannya
kemari itu. Ialah hendak merundingkan cara perlawanan
terhadap tentara Ceng yang kini sudah menyusun
barisannya dikaki gunung situ.
Seluruh thaubak (kepala liaulo) dan anak buah dari
markas itu segera berkumpul untuk mendengarkan amanat
Ceng Bo. Kiranya markas itu adalah markas pertama dari
ke 72 markas gunung Hoasan. Yang menjadi Cecu bernama
Ko Kui, seorang bun-bu coan-cay (pandai sastera dan iimu
silat), disamping memiliki kecerdasan otak , yang luar biasa.
Tapi itu waktu diapun ikut pada Nyo Kong-iim kepulau
Ban-san-to, jadi belum pulang juga. Ceng Bo terperanjat.
Terlambat sedikit saja dia datang kesitu markas no. 1 itu
tentu akan jatuh ketangan musuh. Dan kalau markas kesatu
jatuh, ke 71 markas lainnya sukar dipertahankan. Tengah
berunding itu, tiba2 terdengarlah suara ledakan dahsyat.
Sebuah bola api, jatuh diluar markas.
Ledakan itu men-denging2 ditelinga. Disusul lagi dengan
beberapa kali dentuman menggelegar, maka kapur dinding
ruangan situ menjadi rontok, bumipun bergoncang.
Sampai2 "raja gunung dua bulan" Yan-chiu, ciut nyalinya,
Wakil Cecu bernama Liang Pheng, bergelar Ban Li Hui
(terbang selaksa Ii). Oleh karena iImunya silat biasa saja,
jadi belum2 dia sudah pucat wajahnya. Lebih2 para anak
buahnya. Melihat kepanikan suasana para anak buah
dimarkas situ, Ceng Bo membesarkan semangat mereka:
"10 kali dentuman tadi, hanya suatu percobaan menyulut
meriam dari fihak tentara Ceng. Malam ini mereka baru
tiba, jadi tentunya belum menyerang sungguh2, harap
saudara2 tenang."
Tapi wakilnya Ko Kui tadi menyatakan, bahwa lebih
baik segera mundur kemarkas pusat saja, karena walaupun
bagaimana juga, markas disitu yang hanya terbuat dari
bahan balok kayu, mana bisa tahan serangan meriam.
Pernyataan itu rupanya didukung oleh seluruh anak
buahnya Kalau menurut disiplin tentara, wakil Cecu tadi harus
segera dibunuh agar disiplin anak buah dapat dipulihkan.
Tapi di-pikir lagi untuk merebut hati anak tentara, tak se-
mata2 mengandallkan cara tersebut. Ceng Bo sudah
mendapat cara lain, yakni mengadakan serbuan pada fihak
musuh. Menghasilkan kemenangan sedikit saja, cukup
sudah untuk memulihkan semangat para anak buah. "Siao-
chiu, ada berapa orang dari anak buahmu yang bernyali
besar?" tanyanya kepada sang murid.
Yan-chiu terkejut girang. Tak disangkanya kalau sang
suhu memandang mata pada anak buahnya. Dengan
berlagak geleng2 kepala, dia menyahut: "Pun-tayong
........." baru dia mengucap kata2nya yang berarti "aku
siraja gunung" itu, sang suhu telah deliki mata kepadanya,
hingga semangatnya buyar, mulutnya terkancing rapat.
Karena selama 2 bulan ini ia biasa menyebut dirinya
sebagai "pun-tayong", maka sampai2 ia lupa dengan siapa
ia berhadapan ketika itu.
"Ada berapa?" Ceng Bo ulangi lagi pertanyaannya tadi.
Kini baru Yan-chiu berani menyahut: "Kalau disorter, 8
atau 10 orang rasanya, ada."
"Saudara Liang supaya berjaga disini. Biar aku bersama
muridku dan anak buahnya melakukan penyelidikan
kefihak musuh!" kata Ceng Bo kepada si Liang Pheng.
"Apa maksud suhu itu"!" tanya Yan-chiu dengan
kagetnya. ,Aku hendak ajak kau bersama beberapa anak
buahmu untuk menyelidiki markas besar tentara Ceng
sana," sahut Ceng Bo dengan tegasnya.
Betapapun, centil dan lincahnya nona itu, namun pada
saat mendengar ucapan itu, tak urung bercekat juga hatinya.
Mengapa tidak" Tentara Ceng yang bermarkas dikaki
gunung, tidak kurang 3000 jiwa, jumlahnya. Mereka,
adalah tentara pilihan. Untuk melakukan penyelidikan
kesana terang sukar, tapi lelah sukar lagi kalau dengan
rencana merebut kemenangan kecil. Tapi sebagai nona yang
berotak, cerdas, tahulah ia bahwa gerakan itu hanya
dimaksud untuk mempertinggi moreel anak buah markas
disitu. Dan ini memang penting. "Baik, mengapa mesti
takuti orang2 yang bukan laki bukan perempuan memakai
kuncir itu" Lihatlah pun-tay................... eh, aku turun
gunung nanti, tentu akan kuangkut meriam2 mereka itu
kemari" sahutnya dengan garang.
Liang Pheng tak berani buka mulut, tapi hatinya tetap
tak percaya kepada si nona. Memang dia seorang yang ber-
hati2. Tak temaha jasa, tapi jangan sampai kesalahan.
Terpaksa dia menyangupi permintaan Ceng Bo untuk
berjaga markas situ. Ceng Bo siangjin segera perentah Yan-
chiu supaya memilih 10 orang anak buahnya yang berani
serta sedikit2 mengerti ilmu silat. Demikian Suhu dan
murid beserta 10 orang itu segera turun gunung.
---oodw0tahoo---
BAGIAN 11 : LICIN BAGAI BELUT
Setelah mengantar keberangkatan mereka, Liang Pheng
segera menutup rapat2 pintu markas. Dia tak berani lengah
tidur. Diperintahkan supaya semua liaulo mengadakan
ronda dan penjagaan yang kuat. Para thaubak berkumpul
dalam gedung permusyawaratan,
untuk menanti perkembangan lebih jauh. Hampir sejam lamanya, Ceng Bo
dan rombongannya tak kedengaran beritanya, sedang
dibawah kaki gunung sanapun sepi2 saja keadaannya. Mau
tak mau, mereka, menjadi gelisah juga. Tengah mereka
mondar-mandir di ombang-ambingkan kecemasan itu, tiba2
kedengaran diluar sana, ada suara gaduh. Diantaranya ada
orang berseru "jangan main gila" Buru2 Liang Pheng dan
kawan2-nya menuju keluar. Ternyata para liaulo sudah
panik dan mundur dengan kacaunya. Malah ada beberapa,
orang yang mengaduh kesakitan dan terjungkal ditanah.
Ada seorang lelaki yang hendak menerobos masuk kedalam
markas situ, tapi dihadang oleh beberapa liaulo. Namun
dengan memukul dan menyepak, berhasillah orang itu
membubarkan penghadangnya, dan terus melangkah
masuk. Orang itu ternyata seorang pemuda, Rupanya, dia
memiliki ilmu silat yang tinggi. Kalau tak menyaksikan
sendiri, mungkin Liang Pheng dkk tak percaya kalau
siorang yang dandanannya sebagai seorang mahasiswa itu
dapat merobohkan kawanan liaulo. Dan setelah menghalau
lagi ber-puluh2 liaulo orang itu akhirnya menghampiri
kemuka Liang Pheng. "Adakah kau ini Cecu disini?" tanya
orang muda itu setelah sejenak mengawasi tuan rumah.
Sambil mundur selangkah, Liang Pheng menyahut:
"Benar. Ada keperluan apakah maka saudara malam2
begini datang kemari?"
Mahasiswa muda itu segera mengeluarkan sebuah kipas,
sambil ber-kipas2 dia berkata: "Aku yang rendah ini orang
she The nama Go. Orang memberi julukan Cian-bin Long-
kun. Kini menjadi kunsu (pesehat militer) dari congpeng Li
Seng Tong!"
Liang Pheng melengak kaget, begitu pula seluruh liaulo.
Seperti telah diterangkan diatas, walaupun ilmunya silat
kurang tapi Liang Pheng itu mempunyai otak. "Oh, kiranya
saudara ini adalah kunsu dari tentara Ceng, maaf kami
sudah tak menyambut sepantasnya. Tapi entah ada
keperluan apa kedatangan saudara ini ?"
The Go tak mau marah mendengar ucapan orang yang
sinis itu. Sebaliknya dengan mendongak tertawa lebar, dia
berkata: "Induk pasukan Ceng yang kuat, sudah tiba dikaki
gunung. 10 kali dentuman meriam tadi, kurasa Cecu pasti
sudah mendengarnya. Karena kini Nyo Kong-lim sudah
binasa ditangan Ceng Bo siangjin, maka ke 72 Cecu Hoa-
san ibarat ular yang tak berkepala lagi. Taruh kata Cecu tak
ingin dikatakan temaha pangkat, tapi se-kurang2nya tentu
mau juga memikirkan kepentingan ke 72 Cecu sekalian"
Kata2 The Go itu sudah tentu menyebabkan Liang
Pheng pusing kepala. Kalau diingat tadi Ceng Bo siangjin
mengatakan bertemu dengan Nyo Kong-lim dipulau Ban-
san-to dan ternyata kini sebelum Toa cecu itu datang,
siangjin tersebut sudah datang kesitu lebih dahulu,
kemungkinan besar Toa cecu Nyo Kong-lim itu tentu sudah
dibunuh oleh siimam tersebut. Tapi kalau dipikir lagi,
mengapa Ceng Bo membunuh Nyo Kong-lim, tokh mereka
berdua tak saling bermusuhan. Oleh karena pikiran hanya
ribut mencari kesimpulan, lupalah sampai si Liang pheng
itu memberitahukan pada The Go bahwa Ceng Bo siangjin
tadi sudah datang kemarkas situ. Coba dia mengatakan hal
itu, tak nanti The Go berani unjuk kegagahan lagi disitu.
Setelah berpikir sejenak, akhirnya wakil Cecu itu berkata:
"Ceng Bo siangjin dengan Toa cecu tak mempunyai
dendam permusuhan apa2, mengapa mencelakainya ?"
Kiranya The Go sudah memperhitung orang akan
rnengajukan pertanyaan begitu, rnaka; diapun sudah siap
dengan jawabannya :"Kata orang 'kenal orangnya tapi
sukar mcngenal hatinya'. Undangan Ceng Bo siangjin
kepada sekalian orang gagah supaya datang kepulau Ban-
san-to-itu, sebenarnya xnemang, suatu rencananya hendak
menumpas mereka. Karena Nyo-cecu membandel, Ceng Bo


Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

siangjin telah bertindak. Lama sudah, siangjin itu mengiler
akan kedudukan gunung Hoa-san dengan ke 72 markasnya,
maka tak segan2 lagilah dia melakukan rencananya yang
keji itu. Ah, kasihan Nyo-cecu yang mati dalam penasaran
itu!," berkata sampai disini, untuk mengunjukkan kesungguhan kejadian itu, The Go pura2 bersedih.
Sebagai Cecu pertama dari Hoasan, sudah tentu Liang
Pheng banyak menerima budi kebaikan dari Nyo Kong-lim.
Apalagi peribadi Nyo Kong-lim yang tegas jujur itu telah
dapat merebut hati sekalian anak buahnya. Sudah tentu
mereka menjadi gusar mendengar berita itu. Melihat
umpannya termakan, The Go maju selangkah lagi, ujarnya:
"Jalan yang terbaik, kita harus buka pintu markas ini guna
menyambut kedatangan tentara Ceng. Ini untuk menghindari malapetaka yang tak diinginkan !"
Betul semula sekalian orang sama percaya atas
keterangan The Go tadi. Tapi karena terlalu pagi, dia sudah
membuka kartu, sebaliknya malah menerbitkan kesangsian
orang. Kiranya sejak Li Seng Tong berhasil menduduki
wilayah Kwiciu, Nyo Kong-lim melatih keras anak
buahnya. Toa-cecu itu telah menanam kesadaran kedalam
sanubari seluruh anak buah, bahwa musuh negara itu
adalah tentara penjajah asing Ceng, bahwa melawan
penjajah itu adalah tugas suci dan mulia. Dan indoktrinasi
kesadaran itu, termakan betul2 oleh anak buah Hoa-san.
Mendengar anjuran menakluk dari The Go tadi, Liang
Pheng masih berdiam merenung, tapi ada beberapa kawan
yang berwatak keras, sudah tak tahan lagi. Sret.....,
sret........, mereka loncat kemuka untuk membacok pada
The Go. "Kalau menyuruh kami menyambut tentara
penjajah Ceng, rasakan dulu golokku ini!" seru mereka.
"Tahan!" buru2 Liang Pheng mencegahnya, tapi sudah
terlambat. Hujan bacokan telah menabur The Go, siapa
ternyata masih ber-kipas2 sembari tersenyum. Tapi begitu
bacokan2 itu tiba, se-konyong2 dia perdengarkan tertawa
keras panjang. Begitu lengan bajunya di-kibas2an, orangnya
pun segera tampak melesat kesana-sini dalam ruangan itu.
Dan tahu2 hanya kedengaran bunyi berkerontangan
beberapa kali dari senjata yang jatuh ketanah, disusul
dengan suara gedebak-gedebuk
dari tubuh yang menggelepar rubuh. Beberapa penyerang itu hanya
thaubak2 kecil, maka dalam beberapa gebrak saja dengan
mudahnya The Go telah dapat menutuk jalan darah mereka
hingga rubuh. Sekalipun begitu, masih ada beberapa orang
lagi yang hendak mengunjuk rasa setia-kawan terus hendak
menerjang The Go, tapi keburu dicegah oleh Liang Pheng.
Dengan ber-kipas2 dan unjuk senyuman, berkatalah The
Go: "Kutahu Cecu seorang yang mengenal gelagat. Kalau
nasehatku ini diturut, bukan saja jasa besar serta kekayaan
Liang Pheng tak berani bergerak karena insyaf bukan
lawannya, tapi serta orang begitu rendah menganggap
peribadinya, maka cepat ia memutus kata2 orang:
"Bagaimana saudara begitu yakin, kalau aku ini kemaruk
akan pangkat dan harta kekayaan?"
"Ah........., tapi mati hidup saudara2 disini ini, hanya
tergantung pada keputusan Cecu seorang!" The Go
mengancam halus.
Rupanya kata2 yang terakhir dari The Go itu,
mempengaruhi pikiran Liang Pheng, yang akhirnya
mengakui bahwa ada sebagian dari ucapan anak muda itu
memang beralasan. Bagaimana kedahsyatan meriam tentara
Ceng itu, telah disaksikannya sendiri. Kalau ke 10 buah
meriam musuh itu berbareng diletuskan, dapatkah anak
buah markas disitu yang hanya berjumlah lebih kurang 200
orang bertahan" Mundur salah, majupun keliru. Di-pikir2
lebih baik tarik mundur seluruh anak buahnya dari markas
situ. Peribahasa 'selama gunung itu masih menghijau,
masakan takut tak bakal mendapat kayu bakar'. Asalkan
kekuatan masih utuh, masakan tak ada harapan untuk balas
menggempur musuh.
Rupanya The Go telah dapat membaca pikiran orang.
Dia biarkan saja Cecu itu berpikir sampai sekian Iama.
Lewat beberapa jenak, akhirnya kedengaran juga Liang
Pheng berkata: "Kalau aku disuruh ajak sekalian saudara
menakluk pada tentara Ceng, itulah tak mungkin!"
Pernyataan yang gagah itu, telah disambut dengan sorak
gembira oleh sekalian anak buahnya, selaku pendukungnya.
"Maksud kedatanganku kemari ini, adalah demi
kepentingan saudara2 sekalian, agar tak mengalami apa2!"
kata The Go dengan tertawa.
Liang Pheng setengah tak percaya, tanyanya: "Habis
kalau menurut pendapat saudara, sebaiknya bagaimana?"
"Rencana Li congpeng untuk menyerang markas ini, itu
sudah pasti. Cecu boleh ajak sekalian saudara tinggalkan
tempat ini. Tindakan ini menguntungkan kedua fihak
bukan?" menerangkan The Go.
Bermula Liang Pheng pun sudah mempunyai rencana
itu. Jadi kata2 sang tetamu itu, sesuai dengan pikirannya.
Begitulah dia segera perentahkan pada anak buahnya
supaya mundur kemarkas kedua. Bahwa tanpa mengucur
darah setetespun, The Go telah dapat merebut markas
kesatu yang penting sekali kedudukannya itu, telah
membuatnya kegirangan sekali. Dengan mendapat kedudukan markas kesatu yang dapat dijadikan pangkalan
penting itu, rasanya ke 72 markas digunung Hoasan situ
tentu akan mudah direbutnya. Dalam pikirannya, dia sudah
membayangkan suatu pahala besar.
Mengapa tahu2 The Go bisa muncul disitu" Baik kita
mundur sedikit. Setelah bersama Bek Lian dia meninggalkan pulau kosong dulu itu, akhirnya berhasillah
dia tiba di Kwiciu. Sebagai jenderal yang pandai, Li Seng
Tong tak hanya mengandalkan pada The Go seorang.
Kwiciu sangat penting artinya, dan tempat ituu harus dapat
direbutnya untuk memberi pukulan terakhir dari sisa
kerajaan Lam Beng. Mata2-nya melapor, bahwa ditengah
perjalanan romhongan The Go telah mengalami halangan.
Kuatir kalau kabar itu bocor sehingga, musuh siap
mengadakan penjagaan, Li Seng Tong segera pimpin
sendiri 3000 tentara pilihan, menyerang Kwiciu. Ternyata
gerakan itu telah mendapat hasil gilang gemilang, karena
boleh dibilang tanpa, perlawanan suatu apa. Pembesar2
militer Lam Beng kalau tidak lari tunggang langgang, tentu
menyerah tanpa bersyarat. Maka pada keesokan harinya,
tatkala penduduk Kwiciu membuka pintu, mereka dapati
jalan2 dikotanya sudah penuh dengan serdadu2 Ceng yang
mondar-mandir kian kemari.
Setelah menduduki Kwiciu, pertama hal yang dikerjakan
Li Seng Tong ialah mengirimm pasukan besar untuk
mengurung gunung Gwat-siu-san, tempat dimana, seluruh
anggota Thian Te Hui dan tokoh2 persilatan sama
berkumpul mendirikan pertandingan luitay. Li Seng Tong
cukup menginsyafi, sumber perlawanan terhadap fihak
Ceng itu, pertama bersumber pada rakyat, ini harus
selekasnya ditindas. Hal kedua, ialah membunuh kaisar
Siau Bu yang berkedudukan di Siau Ging segera ter-birit2
lari ke Ngo-ciu di Kwisay.
Tengah Li Seng Tong sibuk mencari tenaga yang cakap,
datanglah The Go. Anak muda itu terus saja diberi
kedudukan penting. Rencana menggunakan nama Ceng Bo
siangjin untuk mengundang para orang gagah kepulau Ban-
san-to itu, adalah The Go yang mengusulkan. Siapa tahu,
rencananya yang mendapat pujian dan persetujuan penuh
dari Li Seng Tong, telah gagal.
Malah kalau tak lekas2 lolos, dia tentu akan-celaka
ditangan Thay-san sin-tho Ih Liok.
Dengan bermuram durja, dia menghadap Li Seng Tong
lagi. Dalam pembicaraan selanjutnya, The Go, mengusulkan untuk menduduki gunung Hoa-san. Lagi2
usul itu mendapat persetujan Li Seng Tong. The Go tahu
bahwa untuk menyerang Hoa-san yang mempunyai 72
markas itu, terang sukar sekali. Maka dia gunakan siasat
gertakan. Dengan membawa sejumlah besar tentara Ceng,
dan membawa 10 pucuk meriam, dia bermarkas dikaki
gunung tersebut. Secara demonstratif, dia perentahkan 10
kali tembakan. Setelah itu baru dia datangi kemarkas kesatu
tadi seorang diri. Kalau orang macam Ceng Bo siangjin
atau lain2 tokoh yang bernyali besar, tak nanti kena
digertak. Tapi Liang Pheng bukan tokoh yang berkaliber
begitu. Maka dengan mudahnya did digertak mundur dari
markas situ. Tapi, dari pengalaman pertama itu, tahulah
The Go bahwa semangat anak buah sudah digembleng
kokoh. Andaikata Liang Pheng tadi tak kena dipengaruhi,
rasanya tak semudah itu dia dapat merebut markas no. 1
dari Hoa-san tersebut.
Pada saat itu The Go ber-kipas2 dengan puas sekali.
Lewat setengah jam lamanya datang seorang liaulo melapor
pada Liang Pheng bahwa semua persiapan untuk mundur
sudah siap, tinggal menunggu perintah saja. Dengan
batuk2, Liang Pheng segera berbangkit. Tapi tepat pada saat
itu diluar sana terdengar ramai2 para liaulo berseru
"Cecu!."
Kemudian terdengar seseorang berkata dengan suara
keras: "Hai, tentara Ceng sudah berada dikaki gunung,
mengapa kalian tak bersiap. Pintu markas tak dijaga barang
seorang penjagapun juga" Mana Liang-cecu?"
Mendengar suara itu, serasa longgarlah kesesakan dada
Liang Pheng. Buru2 dia lari keluar menyambutnya.
Sebaliknya The Go mengeluh dalam hati. Diapun ikut
keluar. Seorang lelaki gagah berumur 30-an yang berwajah
kuning langsap dan memiliki sepasang alis bagus, tengah
naik keatas markas situ.
"Ko-heng, syukur kau sudah datang. Sungguh berat
masalah ini, aku tak sanggup memutuskan!" seru Liang
Pheng kepada orang itu yang bukan lain adalah Ko Kui,
Cecu dari markas ke 1 yang ikut menyertai kepergian Nyo
Kong-lim ke Ban-san-to.
Belum lagi menyahut seruan wakilnya itu, demi melihat
The Go berada disitu, alis Ko Kui segera tampak
menjungkat, lalu berkata dengan suara dingin: "Hm,
bangsat, mengapa, kau berada disini ?"
Kiranya waktu dipuncak gunung Ban-san-to The Go
memberi perintah pada barisan panah supaya menyerang
para orang gagah tempo hari, telah dapat dilihat jelas oleh
orang banyak. Sebagai seorang yang terang otaknya, Ko
Kui tentu masih ingat akan wajah The Go. Sebaliknya dari
marah, The Go segera menyahut dengan tenangnya: "Tadi
Liang cecu telah menurut anjuran siaote untuk tinggalkan
markas ini dari serbuan musuh. Ini demi mengingat
keselamatan para saudara2 sekalian. Adakah Ko-cecu
bermaksud hendak menghalanginya?"
"Liang-heng, apakah keterangan orang itu benar?" tanya
Ko Kui setengah tak percaya.
"Benar!" sahut Liang Pheng. Serentak murkalah Ko Kui,
katanya dengan pedas: "Liang-heng, apakah pesan Toa-
cecu kita sewaktu hendak pergi tempo hari" Tentara Ceng
itu amat ganasnya. Kalau markas pertama ini jatuh, ke 72
markas yang lain, sukar dipertahankan. Kekuatan untuk
melawan penjajah, akan patah. Apakah kau tak menyadari
hal itu?" Liang Pheng bungkam dalam seribu bahasa. Sebenarnya
tahu juga dia akan hal itu. Soalnya dia itu kurang tegas dan
kedua kalinya karena memikiri nasib anak buahnya.
"Karena toako sudah kembali, kami semua tentu tunduk
pada perintahmu," akhirnya dia berkata.
Ko Kui menghela, napas, ujarnya: "Saudaraku yang
baik, mengapa kau sampai gelap pikiran begitu" Sedetik saja
aku terlambat datang, bukankah markas ini akan jatuh
ketangan musuh?"
Liang Pheng mengunjuk penyesalannya. Sebaliknya The
Go segera menyela dengan tertawa tawar: "Ucapan Ko
cecu itu kurang tepat!"
"Apa?" sahut Ko Kui sembari deliki mata.
"Sekalipun sejam tadi kau sudah datang kemari,
markasmu ini tetap akan jatuh kedalam tanganku!"
Ko Kui tahu apa artinya kata2 orang she The itu.
Sekalipun ilmunya silat Iihay tapi masakan dia dapat tahan
dikeroyok sekian banyak orang. Ah.........., kalau tak
dihajar, belum tahu rasa rupanya bangsat itu, demikian
pikir Ko Kui. "Lama nian kudengar cerita dikalangan
persilatan, bahwa Cian-bin Long-kun dan ibunya telah
mendapat gemblengan dari Ang Hwat cinjin, maka ingin


Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sekali aku meminta barang sedikit pengajaran !" katanya
sembari tanggalkan pakaiannya luar yang sudah compang
camping tak keruan itu. Dengan pakai baju dan celana
pendek dia tampil kemuka menghadapi lawan.
Yang paling dibenci The Go ialah apabila ada orang
berani menyindir "anak dan ibu sama mendapat pelajaran
dari Ang Hwat cinjin." Perkelahiannya dengan Kiau To
ketika dipuncak Giok-li-nya tempo hari, adalah karena
kata2 itu juga. Dengan wajah pucat ke-hijau2an karena
menahan murka, dia tantang lawan : "Jadi Ko-cecu ini
hendak ajak berkelahi ?"
Sebagai jawaban, Ko Kui segera cabut sepasang senjata
yang aneh bentuknya. Bermula kelihatannya hanya seperti
dua lembar kain hitam. Tapi begitu dikibaskan, kiranya
merupakan sepasang sarung tangan yang selengan
panjangnya. Jari-jari dari sarung tangan itu, panjangnya ada
1/2 meter. Mau tak mau ter-kesiap juga The Go. Teringat
dia akan pembilangan orang bahwa senjata itu disebut "ing
jia thao" sarung cakar garuda. Ujung jari2 yang lancip itu,
dapat dipergunakan untuk menutuk jalan darah orang.
Jurus permainan hampir menyerupai dengan permainan
"Toa lat Ing jiao chiu hwat" (ilmu cakar, garuda yang
bertenaga besar) ciptaan Tat Mo loco, itu cikal bakal dari
Siao-lim-pay. GAMBAR 34 Dengan senjatanya yang berupa sarung tangan berjari
sepanjang hampir setengah meter, segera Ko Kui melancarkan
serangan ber-tubi2 pada The Go.
Tapi The Go tak gentar. Dia yakin, dalam dunia
persilatan tiada ilmu tutukan yang dapat menandingi
kesaktian Ang Hwat cinjin. Cepat dia pun tebarkan
kipasnya, lalu berputar2 sejenak. Ko Kui tertawa dingin,
tanpa menunggu orang berdiri tegak, dia segera menyerang
dengan sepasang sarung tangan itu, yang satu dihantamkan
keatas yang lain kebawah. Melihat serunya serangan itu,
The Go melejit menghindar. Agar jangan sampai terlibat
lama2 dengan sigapnya dia maju menutuk jalan darah tay-
meh-hiat dipinggang lawan. Ko Kui tak mau menyingkir,
melainkan gerakkan senjata ditangan kiri untuk mencakar
kipas musuh. Kelima jari dari sarung tangan itu bermula
lemas2 saja tampaknya. Tapi begitu berada ditangan Ko
Kui, jari2 itu segera menjulur kaku bagai baja kerasnya.
Tampak orang begitu sembrono itu, The Go balikkan
tangkai kipas untuk menutuk jalan darah disiku tangan
lawan. Tapi lagi Cecu itu tak mau menyingkir, malah maju
selangkah untuk mengemplang kepala orang dengan
senjatanya yang kanan. The Go heran. Separoh tubuhnya
bagian atas dia surutkan kebelakang untuk menghindar,
namun tutukan2-nya tadi tetap dilangsungkan, dan berhasil
mengenai sasarannya. Menurut dugaan, tangan Ko Kui
pasti akan lumpuh, tapi kenyataan tidak apa2. Dan
berbareng pada saat itu, jari2 sarung tangan itu malah
merangsang kemukanya. Dalam gugupnya, terpaksa The
Go gunakan jurus permainan "hong cu may ciu" (sigila
menjual arak). Begitu tubuhnya mendak, dia segera melesat
kebelakang lawan. Disitu dengan sebat dia tutuk jalan darah
sin-to-hiat dipunggung orang.
Lagi2 Ko Kui unjuk permainan yang aneh. Terang
hendak ditutuk punggungnya, dia tak mau berpaling
kebelakang, melainkan ayunkan sepasang sarung tangannya
kebelakang. Kesepuluh jari2 sarung tangan itu me-nari2
dengan lincahnya. Sebentar lemas, sebentar kaku.
Otak The Go bekerja keras. Tadi terang dia sudah
berhasil menutuk tangan lawan, tapi lawan tak kena apa2
berkat memakai sarung tangan itu. Ditilik dari situ terang
sarung tangan itu merupakan suatu senjata yang kebal
dengan segala tabasan senjata tajam. Teringat dia akan
suatu tokoh persilatan yang kenamaan, Sin Eng Ko Thay
atau Ko Thay si Garuda Sakti, yang telah gunakan waktu 3
tahun lamanya untuk mencari kulit kura2 hitam dari dasar
Laut. Secara istimewa kulit (bukan batoknya yang tebal) itu
telah dibuatnya menjadi semacam sarung tangan. Kalau
benar Ko Kui itu turunan Sin Eng Ko Thay, terang dia
mempunyai senjata yang ampuh sekali. Jangankan ditutuk,
sedang ditabas dengan pedang yang bagaimana tajamnyapun takkan mempan. Memikir sampai disini,
tercekat juga hati The Go. Tapi pada lain saat terkilaslah
suatu pikiran bagus dalam otaknya. Karena memiliki
senjata kebal itu, lawan tentuu bernyali besar tak
menghiraukan setiap serangan. Andalan lawan itu, hendak
dia gunakan sebagai siasat untuk merebut kemenangan.
Se-konyong2 dia miringkan tubuh kekiri tapi lalu
menjatuh kekanan, tingkahnya macam orang mabuk yang
terhuyung2 hendak jatuh. Begitu jatuh, sebelah tangannya
bertahan ketanah, lalu kakinya kanan menendang kearah
jalan darah ci-ceng-hiat dilengan orang. Ko Kui tertawa
dingin. Tanpa menghindar, dengan "gerakan garuda lapar
menerkam mangsa" kedua tangannya menyawut betis
lawan. Karena dugaannya, benar, The Go girang sekali.
Begitu tubuhnya membalik, dia bergelundungan sampai 2
meter jauhnya. Dan setelah dapat menghindar dari
sergapan lawan tadi, tiba2 dia loncat bangun. Laksana kilat,
dia menerjang kemuka untuk menutuk jalan darah leng-to-
hiat disiku tangan lawan.
Melihat lagi2 orang hendak mengarah jalan darah
dibagian lengannya, Ko Kui tak ambil mumet lagi. Dia tokh
mempunyai senjata kebal, mengapa takuti tutukan itu"
Maka demi serangan The Go tiba, dia malah menyambutnya dengan hantaman kearah kepala lawan.
The Go telah memperhitungkan hal itu. Serangannya
kearah siku tadi hanyalah serangan kosong. Dia tahu
musuh tentu tak menghiraukan dan tentu akan menerkam
kepalanya. Ini berarti dadanya terbuka, tak terlindung lagi.
Secepat tubuhnya mendak sembari condong kemuka, ujung
kipas yang sedianya ditutukkan pada lengan tadi, lekas
ditarik untuk ditutukkan kedada orang pada bagian jalan
darah hoa-kay-hiat. "Rubuhlah, jangan membandel!"
serunya. Karena terlalu mengandalkan pada-sarung tangannya
yang kebal, tadi Ko Kui biarkan saja lengannya ditutuk.
Dan untuk merebut kemenangan dia menghantam kepala
lawan. Maka atas perobahan serangan orang yang
sedemikian cepat dan dekat sekali, sudah tentu dia tak
berdaya menghindar lagi. Jalan darah hoa-kay-hiat,
merupakan jalan darah utama dari tubuh manusia. Begitu
kena ditutuk, maka tangan dan kaki Ko Kui serasa lemah
lunglai, matanya ber-kunang2 dan kepalanya pening.
Dalam keadaan antara sadar tak sadar itu, terdengar suara
ketawa panjang dari The Go, dan pada lain saat tak kuasa
lagi Ko Kui untuk berdiri tegak, Bumi dirasakan seperti ber-
putar dan sekali mulutnya memuntahkan darah segar,
rubuhlah dia ketanah.
Liang Pheng pucat seperti mayat wajahnya. Sebaliknya
sembari ber-kipas2 The Go mengejek: "Bukankah telah
kukatakan tadi, walaupun kau datang sejam lebih pagi,
namun markas ini tetap akan jatuh ketanganku ?"
Setelah rubuh ditanah, Ko Kui coba empos semangatnya. Tapi karena hoa-kay-hiat terluka, seluruh
kepandaiannya pun punah. Sekalipun dia sembuh, namun
dia bakal menjadi seorang invalid. Terdengar dia menghela
napas, sekalipun didengarnya ejekan The Go tadi, namun
dia tetap meramkan mata tak menghiraukan. The Go sudah
merasa pasti, dengan menundukkan Ko Kui itu, berarti
sudah mengukup kemenangan total, maka dia segera ulangi
permintaannya kepada Liang Pheng agar lekas memerentahkan pengunduran anak-buahnya. Namun Liang
Pheng masih bersangsi.
"Liang-heng," tiba2 dengan suara sember tak lampias Ko
Kui berseru, "tak lama Toa-cecu pasti datang, jangan
sampai terperangkap ....... tipu muslihat bangsat itu!"
The Go murka sekali. Segera dia maju menghamperi Ko
Kui tahu bahwa jiwanya terancam, maka dia tetap
meramkan mata menunggu sang ajal. Sekali The Go
mendupak, maka Ko Kui, salah seorang pendekar, perwira
perserekatan orang gagah dari Hoasan telah binasa secara
mengenaskan dikaki The Go! Melihat kekejaman itu,
Marahlah seluruh anak buah markas disitu. Namun karena
merasa bukan tandingannya, mereka tak dapat berbuat
apa2. Yang paling sulit sendiri kedudukannya, adalah Liang
Pheng. "Liang-cecu kau tak lekas memberi perintah,
akupun tak sungkan lagi!" ancam The Go pada wakil Cecu
itu. Liang Pheng memandang kearah anak buahnya. Dari
sorot mata dan wajah mereka, mengunjuk kemarahan.
Jalan satu2nya ialah mengulur waktu, demikian pikir Liang
Pheng, siapa sembari batuk2 segera berkata: "Cian-bin
Longkun .............."
"Liang-cecu, bukankah kau hendak main ulur waktu"
Kukuatir sebelum balabantuanmu datang, jiwamu sudah
melayang!" tukas The Go dengan tertawa dingin.
Karena siasatnya ditelanjangi, wajah Liang Pheng pucat
lesi sehingga ter-huyung2 mundur sampai beberapa
langkah. Tiba2 dari arah belakang terasa ada angin
menyambar. Coba dia tak lekas2 menyingkir, pasti akan
sudah tertumbuk oleh seseorang yang menobros datang.
Begitu orang itu muncul, maka gegap gempitalah sorak
sorai dari sekalian anak buah markas. Begitupun Liang
Pheng yang mengetahui siapa yang datang itu segera
bertereak girang:
"Toa-cecu!"
Orang bertubuh tinggi besar yang muncul itu, memang
adalah Nyo Kong-lim sendiri. Mengikut dibelakangnya
adalah rombongan tokoh2 kaum persilatan. Begitu tampil
kemuka segera toa-saycu dari Hoasan itu berseru lantang2:
"Hola, kiranya kutu busuk ini!"
Melihat kedatangan Nyo Kong-lim diiringi oleh tokoh2
persilatan yang mengunjukkan kemurkaan kepadanya, The
Go telah memikirkan suatu siasat. Maka dengan berlaku
tenang sedapat mungkin, dia bersenyum menyambutnya:
"Bagus, Nyo-toa-cecu sudah datang. Aku datang kemari
untuk menyerahkan surat permakluman perang. Besok
terang tanah fihak kami akan menyerang markas ini, harap
Toa-cecu bersiap, agar jangan menuduh fihak kami main
curang! " Sebenarnya begitu tampak The Go, Nyo Kong-lim sudah
siapkan sam-ciat-kun untuk menghantamnya. Tapi demi
mendengar mulut orang mengatakan begitu, dia tertegun
sejenak karena mengingat bahwa tak selayaknya seorang
utusan musuh yang menyampaikan surat tantangan itu
dibunuh. The Go yang licin segera gunakan kesempatan itu
untuk melangkah keluar pintu markas. Dan rupanya karena
melihat Nyo Kong-lim diam saja, orang2pun tak mau
menghalangi. The Go tahu kalau semua mata memandang kearahnya
dengan penuh kebencian, namun kesemuanya itu dianggap
sepi saja. Dengan langkah lebar dia menuju kepintu. Adalah
pada saat sang rase hendak berhasil lolos, tiba2 terdengarlah
suara jeritan yang seram. Dengan berlagak ke-gagah2an,
The Go berpaling. kebelakang, seraya siap dengan
kipasnya. "Bagus, mengapa tak berani tampil ber-
terang2an?" serunya dengan garang.
Tantangan itu sudah bersambut dengan cepatnya. Dari
dalam rombongan para orang gagah, tampillah seorang
bongkok. "Orang she The, lain orang rela melepasmu, tapi
aku si Bongkok tetap hendak menahanmu beberapa hari
disini!" seru orang bongkok itu yang bukan lain. Thay-san
sin-tho Ih Liok.
Wajah The Go pucat seketika. "Toa-cecu, bagaimana
ini?" tanyanya kepada Nyo Kong-lim yang kebetulan pada
saat itu justeru sedang berjongkok untuk memereksa mayat
Ko Kui. Mendapatkan salah seorang saudara seperjoangannya mati secara begitu mengenaskan, bukan
kepalang kemurkaan Nyo Kong-lim. Maka atas pertanyaan
The Go tadi, dia segera berbangkit. "Apa kataku" Hutang
jiwa bayar jiwa!" serunya dengan kalap sembari melangkah
maju terus hantamkan sam-ciat-kun kepundak orang untuk
mengarah jalan darah keng-thian-hiat.
Dengan tertawa mengejek, The Go menghindar
kesamping. Tapi se-konyong2 dari arah belakang ada
samberan angin dingin, tahu2 rambutnya telah rompal kena
dibabat senjata tajam. Ketika dia buru2 menyingkir, Nyo
Kong-lim kedengaran berseru: "Siaoko, tunggu, aku hendak


Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

balaskan sakit hati Ko-cecu!"
Orang yang menyerang dari belakang tadi, adalah Tio
Jiang, itu murid kesayangan Ceng Bo siangjin. "Toa-cecu,
biarkan kutanyakan dia dimana adanya suci-ku dulu!"
sahutnya dengan geram.
Pada saat itu, seluruh orang yang hadir disitu sama
bersiap dengan senjata masing2. The Go terkepung di-
tengah2. Sekalipun dia mempunyai kepandaian untuk menobros
langit mebyelusup kebumi, namun sukar juga rasanya dia
lolos dari kepungan terapat itu. Tahu The Go bahwa
jiwanya berada ditangan sekalian patriot penentang
penjajah Ceng. Kesemuanya itu harus dilawan dengan akal,
se-kali2 tak boleh dengan kekerasan. Setelah menetapkan
haluannya, dia segera menertawai Tio Jiang, serunya:
"Siaoko, taruh kata benar kau hendak menanyakan soal
suci-mu, apakah pantas membokong orang ?"
Seorang jujur macam Tio Jiang, terpaksa mengakui
bahwa serangannya dari belakang tadi memang tak layak,
karena itu dia tak mampu berbantah, kecuali mukanya
menjadi merah padam. Setelah memukul knock-out Tio
Jiang dengan kata2 yang tajam, The Go mendongak ketawa
ter-bahak2, lalu berseru dengan nyaring: "Nyo toa-cecu,
dengan setulusnya hati aku datang menyampaikan surat
tantangan. Tapi aku dikepung begini rupa. Apakah kau tak
takut diketawai oleh kaum persilatan ?"
Kembali seorang jujur hampir menjadi korban lidah The
Go yang tajam. Menilik pertanyaan itu memang beralasan,
maka Nyo Kong-lim sudah ambil keputusan untuk melepas
sirase yang licin. Dan keputusan itu segera hendak dia
keluarkan coba tidak si Bongkok keburu maju kemuka dan
menuding pada The Go, dampratnya: "Orang she The,
jangan kau mimpi bisa bersilat lidah. Karena kejujurannya,
saudara2 yang hadir disini pasti akan tertipu dengan kata2-
mu yang penuh muslihat itu. Tapi bagi si Bongkok ini,
sudah kenyang dengan segala macam permainan bangsat
itu. Persetan dengan kata2mu yang indah itu. Kalau kau,
hendak berlalu dari sini, kau harus minta idin dulu padaku
si Bongkok ini!"
Selama pertempuran dipulau Ban-san-to tempo hari,
tahulah sudah The Go bahwa diantara sekian tokoh yang
berada dimarkas situ, hanyalah si Bongkok itu yang paling
lihay sendiri. Entah dapatkah dia mengatasi, itu tak
diketahuinya. Tapi baiklah dicobanya dulu, untuk menguji
sampai dimana kesaktian si Bongkok. "Silahkan cuwi
sekalian memberi tempat yang lebih longgar, agar aku dapat
meminta pengajaran barang sejurus dua dari Thay-san sin-
tho yang termasyhur ini" serunya sembari mengangkat
tangan memberi hormat.
Mengira kalau orang hendak menantang berkelahi, maka
sekalian orang sama mundur kedekat tembok ruangan
disitu. Dengan laku tenang sembari menyungging senyuman, The Go lalu mulai berputar dalam sebuah
lingkaran kecil, serunya: "Nah, Bongkok, kalau tak biarkan
aku berlalu, habis kau. Mau apa?"
Bongkok hanya perdengarkan ketawa dingin. Tiba2 The
Go menerjang kemuka terus menutukkan kipasnya kepada
orang. Gerakan itu sangat cepat dan secara tak terduga
sekali. Tapi Ih Liok bukan si Bongkok sakti dari gunung
Thay-san kalau dia kaget dengan serangan mendadak itu.
Dengan tertawa menghina, dia balikkan tubuhnya
kebelakang. Tutukan kipas The Go tadi, tepat membentur
punuk daging dipunggung si Bongkok ....................
---oodw0tahoo---
BAGIAN 12 : SI BONGKOK
Diam2 The Go bersorak dalam hati. Rangka kipasnya
terbuat dari lidi baja murni. Baja diadu dengan daging,
terang menang. Maka dengan kerahkan seluruh tenaganya,
dia tusukkan kipas se-kuat2nya. Tapi astaga, begitu ujung
kipas menyentuh daging-tambahan itu, serasa seperti
membentur segunduk kapas yang empuk. Dan malah
rasanya, tubuhnyapun ikut kesedot menjorok kemuka.
Terang kipasnya menyusup kedalam daging, mengapa
dirinya yang tersedot " Mati aku demikian dia mengeluh.
Thay-san sin-tho terkenal mempunyai tho-kang, ilmu-punuk
yang sakti. Segumpal daging mentah yang menemplek
dipunggungnya itu telah dilatih menjadi semacam senjata
yang ampuh. Dia dapat dijulur-surutkan menurut
sekehendak hati, dapat berobah menjadi lunak bagaikan
kapas untuk menerima setiap serangan, tapi dapat pula
berobah menjadi tenaga, gempuran hebat untuk melemparkan setiap penyerang.
Cepat The Go kendorkan tangannya lalu mundur, tapi si
Bongkok sudah mendahuluinya, dengan Sebuah tamparan
yang dengan tepatnya mengenai sasaran. Betapapun The
Go sudah bertindak dengall cepatnya, namun tak urung
siku tangannya telah kena, dihantam, Syukur dia tadi
memang hendak mundur, maka tak sampai menderita luka
berat. Mengingat bahwa lebih banyak bahaya daripada
selamatnya kalau dia terus berada diruangan situ, maka
jalan satu2nya ialah meloloskan diri. Dilihatnya dijendela
sana hanya terdapat seorang liaulo, maka sekali melesat dia
merat kesana. Orang banyak coba menghalanginya, namun
sekali hantam dapatlah The Go merobohkan liaulo itu, lalu
loncat menobros keluar dari jendela.
"Jangan lepaskan dia!" teriak si Bongkok dengan
geramnya. "Jangan kuatir, dia tak mampu lari!" tiba2 terdengar
suara sambutan, disusul dengan terlemparnya sesosok
tubuh dari jendela kedalam ruangan. Itulah si Cian-bin
Long-kun The Go. Selagi orang2 sama ke-heran2an, tiba2
seorang nona dara masuk kedalam ruangan sembari tertawa
cekikikan dan mencekal sebuah bandringan.
"Yan-chiu sumoay?" seru Tio Jiang demi melihatnya.
Memang dia itu adalah Yan-chiu. "Suko, kiranya kau tak
terbunuh tentara Ceng"!" sahut nona itu dengan tak kurang
girangnya. Tapi demi teringat akan peristiwa "pertunangan"
pada malam itu, dia ke-merah2an mukanya.
"Siao Chiu, kau sudah mendirikan pahalamu pertama!"
kata si Bongkok sembari menekan jalan darah The Go.
Bahwa si Bongkok gagu bekas kawannya dahulu dapat
berbicara, telah membuat Yan-chiu melengak kaget.
Sebelum ia tahu apa yang harus diperbuat, se-konyong2
Ceng Bo siangjinpun menobros masuk, seraya berseru pada
Nyo Kong-lim: "Nyo-heng, lekas atur siasat untuk menghadapi tentara
Ceng!" Setelah sampai ditengah jalan, Ceng Bo anggap lebih
baik dia ajak Yan-chiu seorang diri untuk menyelidiki
kekubu musuh. Maka disuruhnya ke 10 anak buahnya itu
menunggu disitu, sedang dia sendiri bersama Yan-chiu lalu
gunakan ilmunya berjalan cepat meluncur kekaki gunung.
Ternyata kubu2 tentara Ceng itu sangatlah rapatnya,
namun rapih sekali formasinya. Terang kalau musuh
berjumlah besar, keduanyapun tak berani gegabah. Tapi
yang aneh, sekalipun sudah mondar mandir beberapa kali,
tetap mereka tak berhasil mendapatkan tempat persembunyian dari ke 10 pucuk meriam itu. Begitu pula
tak diketahuinya, yang manakah markas panglima. Sebagai
orang yang faham ilmu perang, tahulah Ceng Bo bahwa
musuh mempunyai seorang panglima perang yang pandai
sekali. Jadi nyatalah Li Seng Tong itu tak bernama kosong.
Karena sudah sekian lama melakukan penyelidikan itu,
dikuatirkan akan diketahui jejaknya oleh fihak musuh,
maka dia segera ajak Yan-chiu balik keatas gunung.
Setiba dimuka pintu markas, mereka merasa suasananya
agak berlainan. Yan-chiu lari mendahului sang suhu. Tapi
begitu tiba dimarkas, ia kesamplokan dengan seorang yang
lari dari jendela. Cepat ia ayunkan bandringannya menurut
ilmu bandringan yang diajarkan oleh Kui-eng-cu. Tapi The
Go cukup lihay, dengan tipu tiat-pan-kio, yakni tubuhnya
diayunkan kebelakang seperti sebuah jembatan melengkung. Tapi permainan bandringan "hong hong sam
thau" (burung Kim 3 kali mengangguk) dari Yan-chiu jauh
berbeda dengan dahulu. Begitu bola bandringan melayang
diatas tubuh The Go, Yan-chiu cepat sentakkan tangannya
kebawah sehingga bola itu dapat membal balik menghantam tubuh lawan. The Go dihadapkan dengan dua
pilihan, yaitu loncat masuk kembali kedalam ruangan dan
diringkus atau mandah terhantam bola bandringan yang
akan menyebabkannya kalau tak mati konyol tentu luka
berat. Dia memilih jalan pertama dengan berkesudahan
begitu masuk kedalam ruangan, terus ditutuk jalan
darahnya oleh Thay-san sin-tho. Dan begitu 'Ceng Bo
muncul, nyali The Go semangkin copot. Tapi sebagai
seorang yang penuh tipu muslihat, dia tetap melipur getar
bibirnya mengunjuk wajah yang tenang. Kalau tak dibikin
lumpuh oleh tekanan si Bongkok tadi, mungkin dia masih
akan jual lagak sebagai utusan negara.
Melihat beradanya The Go disitu, menimbulkan
kebimbangan Ceng Bo. Disamping dia hendak lekas2
merundingkan siasat menghadapi musuh dengan Nyo
Kong-lim, juga ingin tanya peristiwa si Yau-sin ban-pian
Tan It-ho pada The Go. Juga rasanya tak dapat dia
menahan hatinya untuk segera monanyai Tio Jiang,
bagaimana jalannya pertempuran Nyo Kong-lim dengan
siwanita berambut panjang diatas geladak perahu tempo
hari itu. Setelah ditimbang dengan kepala dingin, akhirnya
dia hendak mendahulukan kepentingan negara dari urusan
lain2nya. Musuh didepan mata, harus segera dihalau.
"Nyo-heng, hasil penyelidikanku dengan Yan-chiu
kemarkas musuh tadi, menyatakan bahwa disiplin mereka
sangat rapi sekali. Panglimanya tentu seorang jenderal yang
pandai. 3000 serdadu, sih tak perlu ditakuti. Tapi ke 10
pucuk meriam mereka itulah yang perlu kita pikirkan. Oleh
karena tadi kami belum berhasil menemukan tempat
persembunyiannya, maka, malam ini harus dilakukan
penyelidikan lagi sampai berhasil. Ini untuk menentukan
langkah kita selanjutnya."
Sebaliknya Nyo Kong-lim yang jujur itu, menyatakan isi
hatinya: ,Ceng Bo siangjin, boleh dikata wilayah Kwitang
kini sudah diduduki musuh. Mumpung sekalian saudara
persilatan sama berada disini, maka Hay-te-kau, peganglah
pucuk pimpinan Hoa-san ini, karena tempat ini merupakan
kubu2 pertahanan rakyat yang terakhir, Aku, Nyo Kong-
lim, senang mendengar titahmu!" Habis berkata begitu, dia
mengambil sebuah lencana-baja dari dalam baju, diserahkan kepada Ceng Bo. Lencana itu diukir bentuk
gunung Hoa-san dengan ke 72- Ce. "Inilah lencana
pimpinan dari ke 72 Cecu Hoasan, harap kau suka terima!"
Ceng Bo siangjin terharu. Tak disangkanya didalam
semak belukar pegunungan lebat, terdapat seorang peribadi
yang berwatak kuat macam Toa-cecu itu. Ia lihat
bagaimana pembesar2 kerajaan saling berebut mencari
pangkat dan kedudukan hingga merusak negara, tapi
siorang jujur begitu tulus ikhlas menyerahkan kedudukan
padanya. "Nyo-heng, saat ini bukan saat main sungkan2-an.
Musuh sudah didepan mata, usah kita main mengalah. Kau
lebih faham akan keadaan ke 72 ce disini, peganglah terus
tampuk pimpinannya !"
Nyo Kong-lim hendak membantah, tapi Thay-san sin-tho
keburu mendahului-nya: "Mengapa ini itu seperti ular
kambang" Nyo-heng, ucapan Ceng Bo siangjin itu tepat.
SudahIah jangan sungkan, lebih baik lekas2 jatuhkan
hukuman pada bangsat ini!" katanya sembari perkeras
tekanannya. The Go sudah kerahkan lwekang untuk
menahan, tapi mana dia mampu menangkan kesaktian si
Bongkok, apalagi memang si Bongkok itu sengaja hendak
memberi pil-pahit padanya. Maka saking sakitnya, kepala
The Go basah dengan kucuran keringat.
The Go sadar bahwa sekalian yang berada disitu itu
adalah para orang gagah patriot dalam dunia persilatan.
Meminta ampun, itu akan sia2 saja malah tentu di-maki2.
Maka lebih baik dia berlaku gagah saja. Walaupun selebar
mukanya pucat pasi menahan penderitaan hebat, namun,
bybirnya tetap berhias senyuman.
"Ih-heng, tutuk saja nui-hiatnya (jalan darah supaya
orang lemas). Tunggu nanti sampai kita selesaikan urusan


Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

penting ini," kata Ceng Bo. Ih Liok segera jalankan perintah
siangjin tersebut. Sekali tutuk, maka lemah lunglailah tubuh
The Go seperti tak bertulang. Terbaring ditanah, dia hanya
me-ngicup2kan kedua matanya.
Kini sekalian orang sama mendengarkan penuturan
Liang Pheng tentang kejadian yang dialaminya. Melihat
wajah, dan sikap dari sekalian orang yang bertekad bulat
melawan penjajah Ceng itu, diam2 Liang Pheng menjadi
malu sendiri. Orang2 sama bersyukur, kalau terlambat
sedikit saja markas ke 1 disitu tentu akan sudah jatuh
ditangan The Go, dan ini membahayakan kedudukan
seluruh Hoa-san. Nyo Kong-lim segera mengirim berita
agar pasukan dimarkas besar lekas datang kesitu. Dalain
waktu semalam itu saja, maka pertahanan markas ke 1 telah
diperkuat. Balok2 dan tong2 besi di-tumpuk2 merupakan
perbentengan yang kokoh.
Juga penguburan Ko Kui telah mendapat perhatian
selayaknya. Semua orang turut mengucurkan air mata atas
gugurnya seorang pahlawan yang berhati baja itu. "Kalau
Sin-eng Ko Thay mengetahui tentang kematian saudara Ko
Kui, dia pasti tak mau sudah!" kata Nyo Kong-lim. Sembari
menghela napas, dia serahkan senjata sarung-tangan kulit
kura2 milik Ko Kui itu kepada Tio Jiang, ujarnya: "Siaoko,
sarung tangan ini tak mempan senjata tajam. Karena kini
belum dapat diserahkan kepada Ko lo-tayhiap, maka untuk
sementara kau pakailah!"
Maksud Nyo Kong-lim itu baik sekali. Karena
diketahuinya anak muda itu hanya mempunyai sebilah
pedang yang bertotolkan karatan, maka disuruhnyalah
memakai. Tapi dia tak mengira, kalau hal itu kelak bakal
menimbulkan bermacam2 urusan. Tio Jiang juga senang
akan senjata ampuh itu, tapi dia tak berani mengambil
putusan, melainkan memandang kearah gurunya. Setelah
Ceng Bo mengangguk barulah dia mau menerimanya.
Nyo Kong-lim menyuruh dua orang liaulo yang
berkepandaian cukup dan faham keadaan gunung Hoasan,
untuk turun kekaki gunung guna menyelidiki meriam fihak
tentara Ceng. Sekalipun malam itu tak terjadi apa2, tapi
orang2 sama tak dapat tidur nyenyak. Dalam kesempatan
itu Ceng Bo menanyakan Nyo Kong-lim perihal
pertempurannya dengan siwanita berambut panjang diatas
perahu tempo hari. "Huh, jangan di-ungkat2 lagi urusan itu,
aku heran dengan wanita yang luar biasa ganasnya itu!"
sahut Nyo Kong-lim.
"Adakah wanita itu menyebutkan namanya ?" tanya
Ceng Bo. Setelah mengingat sebentar Nyo Kong-lim menyahut
tidak. "Karena laut keliwat dalam, terpaksa kita tak dapat
melepas jangkar (sauh), maka segera kusuruh putar haluan
perahu mengitari perairan karang Hay-sim-kau situ. Lewat
beberapa lama, karena kau masih belum nampak muncul,
aku lantas hendak menyuruh orang menyusulmu kedalam
dasar laut baru menutur sampai disitu, tampak Nyo Kong-
lim celingukan kian kemari, lalu tiba2 berseru: ,Hai, mana
Bo-lin-hi Su Khin-ting?"
Ceng Bo cepat2 menuturkan apa yang telah dialaminya
dengan Su Khin-ting dibawah laut situ. Mendengar kisah
pertempuran antara dua orang manusia dan seekor gurita
raksasa, semua orang sama leletkan lidah. Setelah melihat
lukisan pada dinding gua dibawah laut, bermula Ceng Bo
yakin bahwa siwanita berambut panjang itu tentulah sang
isteri, Kiang Siang Yan In Hong. Tapi ketika didapati kotak
berisi mutiara berada dalam perut sigurita, pikiran Ceng Bo
agak bersangsi. Kotak berharga itu dahulu adalah
pemberiannya kepada In Hong selaku tanda pengikat
kawin. Dengan beradanya barang itu didalam perut gurita,
jangan2 sang isteri itu telah binasa dimangsa makhluk laut
tersebut. Maka dia cenderung pada dugaan, kemungkinan
besar wanita berambut panjang itu adalah kawan dari sang
isteri. Tapi itu hanya dugaan, yang penting dia harus lekas
dapat berjumpa, dengan wanita berambut panjang itu lagi
guna ditanyai keterangan yang jelas. Maka setelah
menuturkan pengalamannya dengan seringkas mungkin
buru2 dia minta agar Nyo Kong-lim melanjutkan lagi
penuturannya. Nyo Kong-lim masih meng-ingat2 lagi, dan ketika dia
baru hendak membuka mulut, Thay-san-sin-tho Ih Liok
sudah mendahuluinya: "Nyo-heng tak pandai bercerita,
biarkan aku saja yang menuturkan." Memang watak Nyo
Konglim itu menyamai Tio Jiang, seorang jujur yang tak
pandai berbicara. Maka dengan girang dia menyetujui.
Karena para orang gagah lainnya sudah sama mengalami
sendiri peristiwa diatas perahu itu, jadi mereka, tak mau
mendengarkan lagi cerita itu. Ada yang masuk tidur, ada
yang keluar meninjau pos penjagaan. Begitulah kini dalam
ruangan situ hanya tinggal Nyo Kong-lim, Ih Liok, Ceng
Bo siangjin, Tio Jiang, Yan-chiu dan beberapa orang saja,
serta si The Go yang menggeletak dilantai sana tak dapat
berkutik. Karena percaya akan kelihayan si Bongkok, maka
orang2 yang berada disitu tak ambil perhatian lagi kepada
penghianat The itu. Betapapun lihaynya tokh se-kurang2-
nya 4 atau 5 jam barulah dia akan dapat sembuh, demikian
pikir mereka. Yan-chiu, belum pernah merasakan begitu girang seperti
pada malam itu. Tadi suhunya menuturkan pertempurannya dengan gurita raksasa, hatinya berdebar
keras, peluhnya mengalir deras dan mulutnya meng-gigit2
kuku jarinya. la begitu tegang, se-olah2 turut ambil bagian
sendiri dalam pertempuran itu. Dan kini si Bongkok bakal
membawakan kisah pertempuran lain yang tak kurang
serunya, ia makin terpesona. Juga Tio Jiang yang rindukan
sang suhu, ikut duduk disitu menemaninya. Mulailah Thay-
san-sin-tho Ih Liok menghidangkan ceritanya:
"Karena sudah menunggu sampai sekian lama, kami
sekalian menjadi gelisah. Toacecu mondar mandir
digeladak dengan cemas sekali. Tiba2 dari arah laut sana,
terdengar suara aneh yang halus, dan nyaring sekali. Para
saudara2 yang biasa hidup dilautan, menjadi heran juga.
Ketika itu perahu ditengah laut besar, tiada bertepi tiada
pula sebuah perahupun yang mendatangi, mengapa ada
suara tersebut" Lama kelamaan nada suara aneh itu
berobah menjadi semacam orang merintih, tapi lengking
suaranya menusuk tajam kedalam anak telinga. Ini
menandakan bahwa siorang itu tentu tinggi sekali ilmunya
lwekang. Kini dari heran sekalian orang diperahu itu
menjadi tegang. Terang itulah seorang kaum persilatan
yang berkepandaian tinggi. Dan tepatlah dugaan itu, karena
tak lama kemudian dipermukaan laut tampak mengapung
sebuah benda hitam. Benda itu dengan pesatnya meluncur
kearah perahu. Suara rintihan itu makin lama makin jelas
juga........."
"Apakah yang dirintihkan orang itu ?" tiba2 Ceng Bo
memutus. "Akh........., sayang kepandaianku dalam ilmu surat
terbatas, namun masih dapat juga kukenal rintihan itu
sebagai syair Souw Hak Su dalam kisah tragedi 'Ratapan
kalbu Ong Ciau-kun' !"
Adakah syair itu berbunyi begini: 'Siapakah gerangan
yang berdendang itu, sehingga. membuyarkan impian indah
dibalik jendela hijau. Rembulan sisir dan asap kesedihan
bertebaran memenuhi angkasa'?" tanya Ceng Bo.
"Hai, mengapa Bek-heng tahu sekali ?" tanya Ih Liok
dengan terperanjat.
Tapi Ceng Bo hanya menghela napas saja. "Teruskanlah
penuturan tadi!" katanya dengan rawan. Orang2 yang
berada disitupun siap mendengarinya lagi dengan penuh
perhatian, sebaliknya si Bongkok tak mau lekas2 mulai
menutur lagi, melainkan merenung sampai sekian lama.
"Thocu, lekaslah!" tiba2 Yan-chiu yang tak sabaran
mendesaknya. Karena ketika digunung Giok-li-nia dahulu
ia biasa memanggilnya ,thocu" (si Bongkok), jadi otomatis
iapun berseru begitu. Tapi sesaat ingat bahwa si Bongkok
itu ternyata seorang cianpwe kenamaan yang menyamar, ia
merasa jengah sendiri. Tapi si Bangkok rupanya tak
menghiraukan hal itu. Tiba2 tangan si Bongkok
menggebrak meja dan mulutnya berseru keras: "Bek-heng,
bukankah ia itu ........."
GAMBAR 35 Dengan panjang lebar si Bongkok menceritakan pertempuran
diatas perahu antara Nyo Kong-lim dan wanita aneh yang
berambut panjang itu.
Belum lagi dia teruskan kata2nya, atas dilantai sana The
Go mendadak melesat menerobos keluar. Gerakannya amat
gesit sekali. Orang2 yang mendengari cerita si Bongkok
tadi, sama duduk membelakangi The Go, jadi tak tahulah
mereka akan lolosnya sibelut yang licin itu. Hanya si
Bongkoklah yang tak pernah lengah sedetikpun. Walaupun
sembari bercerita, tapi dia tetap dapat mengetahui lolosnya
orang muda itu. Maka itu, ketika The Go baru tiba
diambang pintu, ia serentak bangkit dari tempat duduknya.
Ceng Bo dan Nyo Kong-lim pun cepat mengetahui hal itu.
Ketiga jago lihay itu dengan serentak melesat memburu. Se-
konyong2 The Go kibaskan lengan baju dan belasan siucian
(passer) melayang berhamburan. Ceng Bo kebutkan lengan
bajunya dan beberapa batang siucian itu segera terjemput
didalam tangannya. Ketika dipereksa ternyata siucian itu
adalah lidi baju rangka kipas si The Go. Jelaslah kalau
rencana meloloskan diri dari orang she The itu memang
sudah disiapkan dengan masak, yaitu menggunakan
kesempatan selagi orang2 tengah asyik mendengarkan cerita
si Bongkok. Tapi yang mengherankan orang, mengapa
selekas itu The Go dapat sembuh dari tutukan si Bongkok
yang teramat saktinya itu" Tapi justeru karena berayal
dilamun keheranan itu, The Go sudah melesat keluar.
Thay-san sin-tho coba menghalangi. Lebih dahulu dia
menghantam kemuka, hingga daun pintu rubuh dan
menyusul itu tubuhnya melejit keluar. Tapi disana, The Go
sudah tak kelihatan bayangannya lagi. Saat itu Ceng Bo dan
Nyo Kong-lim pun sudah menyusul keluar. Yan-chiu
mendongkol dan me-maki2 dalam hati. Tapi ia bukan getun
karena lolosnya The Go, melain marah karena The Go itu
menyebabkan putusnya cerita si Bongkok yang menarik
perhatiannya itu. Mereka berpencar mencarinya. Ketika
menanyai saudara2 yang bertugas menjaga diluar ruangan,
semua menyatakan tak nampak barang seorangpun yang
loncat keluar. Thay-san sin-tho menarik kesimpulan. Betapapun
lihaynya ilmu mengentengi tubuh dari anak muda itu, tak
nanti dalam sekejab itu dapat melenyapkan diri. Jadi
tentunya dia masih bersembunyi disekeliling tempat situ.
Setelah menyuruh Nyo Kong-lim memerintah agar para
penjaga berjaga2, dia sendiri lalu mencari disekeliling
gedung permusyawaratan situ. Tapi tetap sia2.
"Ah dasarnya bangsat itu masih terang bintangnya, maka
aku sampai lupa bahwa dia itu memiliki kekebalan
antitutuk. Karena dia itu rapat sekali hubungannya dengan
Ang Hwat cinjin, maka begitu lahir, setiap hari dia tentu
digosok dengan obat-istimewa-, hiat-ko buatan cinjin itu,
yang khasiatnya yalah untuk menutup jalan darah dari
tutukan. Ditambah pula anak itu tentu mewarisi ilmu
memindah kedudukan jalan darah dari Ang Hwat. Kalau
penghianat itu sampai berhasil meloloskan diri dan
mengadu pada Ang Hwat cinjin, rasanya tentu berabe
juga!" Ceng Bo sendiri yang mempunyai keperluan untuk
bertanya pada The Go, terpaksa kembali kedalam ruangan
lagi. Pada saat itu, kedua liaulo yang diperintahkan
menyelidiki tempat persembunyian meriam2 musuh itu
sudah kembali dengan hasil nihil. Malah hampir sedikit
saja, mereka dipergoki musuh. Ceng Bo sangsikan
kepandaian kedua liaulo itu, makanya tak berhasil.
"Pergilah kalian berdua untuk menyelidiki," kata Ceng
Bo kepada Tio Jiang dan Yan-chiu berdua, "kalau sampai
terang tanah tak berhasil, markas ini sukar dipertahankan.
Tugas kali ini berat dan penting sekali, harap kalian
berhati2!"
Tio Jiang dan Yan-chiu ber-gegas2 menjalankan titah
suhunya itu. Setelah itu, si Bongkok lanjutkan penuturannya lagi, sebagai berikut: "Kiranya setelah dekat
benda hitam itu adalah seorang wanita berambut panjang.
Karena tak mengerti bahwa wanita itu tengah merintihkan
syair "Ratapan kalbu Ong Ciau Kun", maka Nyo toa-cecu
segera berseru keras2: "Ih-heng, wanita itu seorang siluman
jahat!" Ih Liok yang yakin bahwa wanita itu tentu seorang
tokoh persilatan lihay, buru2 hendak mencegahnya, tapi
ternyata Nyo Kong-lim sudah terlanjur mengatakannya
dengan kasar. Maka sahutnya: "Nyo-heng, harap jangan
sembarangan mengomong! "
Namun rupanya wanita aneh berambut panjang itu telah
mendengarnya. Diantara segompyok rambut panjang yang
terurai kacau balau itu, tampak sepasang matanya
memancarkan sorot ber-api2, sehingga walaupun ketika itu
masih pada waktu siang hari, tak urung orang2 sama berdiri
bulu romanya. "Kalau bukan bangsa siluman, masa sorot matanya
begitu macam?" kembali Nyo Kong-lim omong seenaknya
sendiri tanpa menghiraukan peringatan si Bongkok. Tapi
baru kata2nya itu selesai, tanpa mengeluarkan sedikit
suarapun, wanita aneh itu ayunkan tubuhnya loncat keatas


Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

haluan perahu. Yang luar biasa adalah gerakannya itu,
sedikitpun tak mengeluarkan suara apa2. Orang2 yang
berada didalam perahu sama mundur.
"Mengapa katakan mataku ber-api2 seperti setan api ?"
tanya wanita itu dengan nada yang dingin sekali.
Nyo Kong-lim yang kasar dan sembrono itu, menjadi
kurang senang. "Lantas kau mau apa ?" sahutnya. Wanita
yang rambutnya hampir menutupi selebar muka itu
perdengarkan suara ketawa yang dingin sekali. Rambutnya
itu tiba2 berayun2 naik turun sampai 3 kali. Sebagai orang
persilatan yang penuh pengalaman, si Bongkok segera tahu
bahwa siwanita itu memiliki lwekang yang teramat sakti.
Dalam dunia persilatan itu tak sedikit jumlahnya tokoh2
yang berilmu tinggi, dan terhadap mereka lebih baik jangan
sampai kebentrok. Maka dengan ter-sipu2, dia segera
menyanggapi: "Saudaraku ini memang gemar omong,
harap cunke (saudara yang terhormat), jangan ambil
marah!" "Tapi kalau mulutnya besar, tentu besar juga
kepandaiannya," kata wanita aneh itu sembari menyapukan
matanya kesekelilingnya. "Hiii.......," serunya sembari
menghampiri kearah Tio Jiang.
Sejak siwanita berambut panjang itu naik keatas perahu,
orang2 diatas situ sudah sama bersiaga. Melihat wanita
yang menghampiri itu matanya memancar sorot yang jahat,
tanpa banyak omong lagi Tio Jiang lagi putar pedangnya
dalam gerak "Ceng Wi mengisi laut" guna melindungi
dirinya. Kalau bermula hanya berjalan pelan2, kini demi
melihat jurus permainan ilmu pedang itu, se-konyong2
wanita aneh itu menerjang maju.
Bukan kepalang terkejutnya Tio Jiang. Gerakan tadi
sebetulnya hanya melindungi diri, tak nyana kalau siwanita
aneh itu berbalik malah menyerbunya. Walaupun masih
pada jarak jauh, tapi gerakan wanita itu telah menerbitkan
samberan angin. Hi........, jangan2 ia itu benar2 seorang
siluman, tapi masakan pada tengah hari bolong ada setan
muncul " Ah, tentunya seorang tokoh lihay dari dunia
persilatan, pikir Tio Jiang sembari robah setengah bagian
yang terbelakang dari permainan pedang itu menjadi jurus
menyerang. Begitu pedang menurun, dia lalu menusuk
kearah siwanita.
Sejak mendapat pelajaran lwekang "Cap ji si heng kang
sim ciat" dari Sik Lo-sam dipulau kosong tempo hari,
kepandaian Tio Jiang bertambah pesat majunya. Apalagi
selama 3 bulan sesudah itu, sering dia bertempur dengan
musuh yang tangguh, jadi latihannya ilmu pedang to-
haykiam-hwat, mendekati kesempurnaan. Perobahan gerak
dari bertahan menjadi menyerang itu, teramat cepat dan
tangkas sekali. Yakin dia, taruh kata lawan bisa
xnenghindar tapi ilmu permainannya pedang itu memiliki
perobahan yang sukar diduga, bagairriana.pun juga wanita
aneh itu tentu sukar bertahan.
Tapi segera dugaannya itu kecele. Dia memang gesit,
tapi siwanita aneh lebih tangkas lagi. Begitu pedang
membabat, siwanita sudah condongkan tubuhnya kemuka
dalam kedudukan yang bagus sekali. Memang setiap jurus
permainan silat dengan senjata itu, tentu masih ada lubang
kekurangannya, Hanya, saja dalam ilmu permainan yang
lihay, lubang kekurangan itu sedikit sekali. Atau kalau ada,
tentu tak mudah orang mengetahuinya. Malah terhadap
ilmu silat atau senjata yang sakti, biarpun tahu ada lubang
kekurangan itu, namun orang tak berani gegabah
menyerangnya. Dalam jurus "Ceng Wi mengisi laut" yang dimainkan
Tio Jiang itu, lubang kelemahannya adalah pada bagian
pundak kiri. Tapi manakah orang yang berani menyerang
bagian itu " Karena dikala tangan kanan memainkan
pedang, tangan kiripun ber-gerak2 dalam jurus permainan
untuk mengimbangi gerakan pedang. Apabila pundaknya
kiri diserang, terang orang bakal dibabat oleh pedang
ditangan kanan itu. Taruh kata hantaman pundak kiri itu
dari sebelah atas, pinggang orang pasti termakan oleh
tutukan Tio Jiang. Namun kenyataannya, wanita aneh itu
sudah gerakan tangannya untuk menebas pundak kiri Tio
Jiang. Tio Jiang buru2 mundur sembari menarik
pedangnya. Adalah karena kemajuan yang didapatnya
dalam waktu2 terakhir ini, maka, dia sudah dapat
menghindar tabasan siwanita aneh yang luar biasa cepatnya
itu. Tapi celaka, walaupun tabasan tak mengenai, namun
samberan anginnya yang menyambar disisinya itu, telah
membuat Tio Jiang cukup meringis kesakitan. Hal mana
sangat membuat terperanjat Tio Jiang. Terang siwanita
aneh itu hanya menyerang dengan seenaknya saja,
tampaknya tak memakai tenaga sama sekali, tapi mengapa
samberan anginnya sedemikian dahsyat" Oi, hebat..........
kalau tadi sampai kena ditabas, bukantah tulang pundaknya
akan remuk luluh" Dia tak kenal dan tak bermusuhan
dengan si-wanita itu, mengapa seganas itu ia menurunkan
tangan jahat kepadanya "
Dalam penghindarannya tadi, Tio Jiang mundur
kesamping sampai dua tindak. Tapi bagaikan bayangan
saja, siwanita aneh itu tetap mengintilnya. Dalam jarak
yang sedemikian dekatnya itu, lebih nyata pula bagaimana,
hebat mengerikan orang sorot sepasang mata dari siwanita
aneh itu. Tapi heran, mengapa bentuk dan gaya kicupan.
mata itu menyerupai mata Bek Lian " Demikian dalam
saat2 yang berbahaya itu tiba2 Tio Jiang teringat pada sang-
suci. ---oodw0tahoo---
BAGIAN 13 : MASUK SARANG MACAN
Karena mengenang sang suci itu, Tio Jiang tertegun.
Tahu2 kelima, jari siwanita yang bagaikan kait besi itu
menerkam dadanya. Baru kini Tio Jiang gelagapan. Hendak
menyingkir, terang tak keburu. Maka cepat dia hendak
kerahkan lwekang untuk melindungi dada supaya jangan
terluka. Tapi pada saat2 yang berbahaya itu, untung Nyo
Kong-lim keburu bertindak memberi pertolongan. Tanpa
menghiraukan peraturan apa2 lagi, dia menyapu dengan
sam-ciat-kun. Istana Pulau Es 6 Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung Hati Budha Tangan Berbisa 6
^