Pencarian

Naga Dari Selatan 7

Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen Bagian 7


Nyo Kong-lim suka akan pemuda yang jujur itu, maka
tak segan dia memberi pertolongan seperlunya. Selagi
cengkeram siwanita hendak mencapai sasarannya sapuan
sam-ciat-kun menyambar datang. Siwanita perdengarkan
sebuah ketawa seram. Batal menerkam, ia gunakan
tangannya kiri untuk menampar. Benar Tio Jiang lolos dari
bahaya besar, tapi tak urung dadanya terasa sesak, sehingga
dia harus mundur sampai beberapa langkah. Karena perahu
itu tak berapa besar, hampir saja dia kecebur kelaut.
Siwanita melihati Tio Jiang dengan tertawa dingin,
sembari sedikit loncat kesamping, hingga hantaman Nyo
Kong-lim tadi menemui tempat kosong. Kong-lim hendak
tarik pulang sam-ciat-kun tapi karena tadi dihantamkan
dengan keras, jadi agak ayal sedikit. Dan lubang
kesempatan sedikit itu, telah digunakan secara mengagumkan sekali oleh siwanita, yang secara tiba2 dan
cepat luar biasa apungkan diri menginjak ujung sam-ciat-
kun yang diatas. Nyo Kong-lim diam2 memaki wanita yang
dianggapnya gila itu, dia balikkan tangannya hendak
membetot, tapi dengan berjumpalitan wanita itu sudah
menginjak kegeladak, krek..... , krek...... , sam-ciat-kun itu
terinjak melesek masuk kedalam papan geladak.
Kalau sekalian orang berseru kaget, adalah Nyo Kong-
lim yang ber-kaok2 seperti orang kalap. Dengan undang
seluruh kekuatannya, dia sentakkan sam-ciat-kun keatas.
Nyo Kong-lim dikaruniai tenaga kekuatan besar. Tatkala.
berumur 8 tahun, dia sudah dapat mengangkat lumpang
batu seberat ber-puluh2 kati, untuk dinaik turunkan.
Apalagi kini setelah dewasa dan belajar silat. Sekalipun
sam-ciat-kun itu ditindih oleh batu besar ribuan kati, tentu
dapat juga dia, menariknya. Apalagi hanya diinjak oleh
seorang wanita kurus.
Ak..... , ak...... , ak...... , 3 kali sudah mulut Nyo Kong-
lim menggeram dan 3 kali pula dia kerahkan tenaganya
menarik. Tapi wanita aneh itu tetap tegak seperti gunung,
sedikitpun tak bergeming. Malah bukan begitu saja. Melalui
sam-ciat-kun. yang dicekalnya itu, rasanya ada semacam
tenaga yang menyerang ketangannya hingga tangannya
serasa sakit kesemutan, dan akhirnya lengannya berasa
lemas sekali. Celaka aku, keluhnya. Terang wanita aneh itu
sudah salurkan lwekang untuk menyerangnya. Tapi entah
macam lwekang apa yang sedemikian lihaynya itu. Tahu
gelagat jelek, buru2 Nyo Kong-lim lepaskan sam-ciat-kun,
kemudian loncat mundur. Yakin dia, kalau berkeras adu
tenaga, terang dia bakal menderita.
GAMBAR 36 Se-konyong2 bagian toya Nyo Kong-lim kena diinjak wanita
aneh yang rambutnya hampir menutupi seluruh wajahnya.
Kejadian itu telah membuat sekalian orang menjadi
pucat terperanjat. Kalau orang macam Nyo Kong-lim
dengan mudah dapat ditindas, habis siapa lagi yang berani
menandingi" Sesudah mundur itu, Nyo Kong-lim tak
henti2nya obat-abitkan lengannya kanan. Pikirnya karena
tadi keliwat banyak menggunakan tenaga, maka lengannya
menjadi lemah lunglai.
"Huh, kalau tak mengingat karena kau hendak menolong
seorang sahabat, tentu takkan kuampuni perbuatanmu
menyerang secara gelap itu!" seru siwanita aneh sembari
ketawa mengejek. Napas Nyo Kong-lim ter-engah2, tak
dapat dia menyahut. Tiba2 Thay-san sin-tho yang sejak tadi
menyelip diantara awak kapal, kini tampil kemuka, ujarnya:
"Cunkeh tak kenal kami, entah apa maksud kedatangan
cunkeh kemari ini?"
Jelek rupanya, bongkok punggungnya, tapi Ih Liok itu
cukup cerdas pikirannya. Ucapannya itu tak dapat dianggap
menyalahi orang, tapi mengandung maksud mendamprat
orang yang dikatakan cari perkara. Mendengar itu sepasang
mata siwanita yang memancarkan sorot ke-hijau2an itu
memandang kearah si Bongkok. Si Bongkok seorang yang
bernyali besar, tinggi pula ilmu kepandaiannya. Benar
tampaknya dia tenang2 saja, tapi diam2 hatinyapun
bercekat dan bersiaga.
"Benar, dengan orang2 diperahu aku tak kenal mengenal.
Tapi ada seorang yang mempunyai hubungan rapat dengan
orang yang paling kubenci. Bangsa manusia begitu kalau
tak dibasmi tentu menimbulkan bahaya bagi dunia!" kata
siwanita dengan nada. yang dingin,
"Siapakah dianya?" tanya si Bongkok.
"Dia!" sahut siwanita sembari menuding pada Tio Jiang.
Karuan Tio Jiang menjadi terperanjat disamping heran,
Dia seorang anak yatim piatu tiada sanak kadang lagi,
mengapa dikatakan mempunyai hubungan rapat dengan
seseorang. "Cianpwe, jangan salah faham!" serunya
serentak. Tapi sembari perdengarkan suara ketawa yang
seram, siwanita sudah segera menerjangnya. Apa boleh
buat, untuk menjaga, diri, Tio Jiang sambut kedatangan
wanita itu dengan serangan to-hay-kiam-hwat.
Sedang Nyo Kong-limpun sudah berhasil membetot
keluar sam-ciat-kun dari lantai geladak, terus dihantamkan
pada siwanita. Meskipun diserang dari muka dan belakang,
siwanita aneh itu bagaikan sesosok bayangan berlincahan
diantara sabetan pedang dan hantaman sam-ciat-kun. Gerak
tubuh siwanita itu tak mengeluarkan suara apa2, tapi baik
Tio Jiang maupun Nyo Kong-lim merasa dikelilingi oleh
samberan angin yang keras. Malah seorang tokoh persilatan
macam si Bongkok yang faham akan aliran cabang
persilatan didaerah utara maupun diselatan, tak mampu
mengenali aliran cabang dari siwanita aneh itu.
Dalam beberapa jurus saja, Tio, Jiang dan Nyo Kong-lim
sudah keripuhan. Mereka kini hanya difihak membela diri,
tak dapat balas menyerang. Sampai pada saat itu, apa boleh
buat si Bongkok hendak turun tangan. Tapi belum lagi dia
bergerak, atau se-konyong2 kedengaran orang berseru:
"Ceng Bo siangjin!"
Memang pada saat itu tampak Ceng Bo siangjin dan Su
Khin-ting muncul dipermukaan air. Dan salah seorang
awak perahu telah menereakinya. Juga si Bongkok melihat
hal itu, pikirnya kalau siangjin itu sudah datang, tak perlu
jerikan siwanita itu lagi.
"Ceng....... " baru dia hendak turut meneriaki, Ceng Bo
sudah selulup lagi untuk menolong Su Khin-ting. Sudah
tentu siangjin itu tak mendengar teriakannya, dan si
Bongkokpun tak berdaya apa2.
Tapi anehnya begitu mendengar nama Ceng Bo
diteriakkan, wanita aneh itu mendorongkan kedua
tangannya hingga Tio Jiang dan Nyo Kong-lim mundur
kebelakang. Kemudian dengan gerak "han te pat jong",
wanita tersebut apungkan diri kedekat rombongan awak
perahu seraya berseru dengan nyaring: "Siapa yang
meneriakkan Ceng Bo siangjin tadi "
Bagi orang yang kepandaiannya masih dangkal, nyalinya
sudah copot mendengar suara siwanita, yang mengandung
getaran lwekang itu. Yang menereaki Ceng Bo siangjin tadi,
kiranya adalah salah seorang thaubak (kepala liaulo)
Hoasan. Diapun seorang yang keras wataknya. "Akulah!"
sahutnya sembari tampil kemuka.
Siwanita aneh perdengarkan ketawa seram, wajahnya
berobah, menyeramkan orang. la singkap rambutnya yang
terurai menutupi muka, dengan tajam menatap Go Tiong,
thaubak itu. Tapi Go Tiong yang tak kenal kelihayan orang,
tetap tegak disitu. Semua, orang, kagum atas keberanian
dan kejujuran Go Tiong, maka mereka serentak maju
mendampinginya guna. memberi pertolongan apabila
sampai thaubak itu diserang. Betapapun lihaynya siwanita,
namun kalau dikeroyok orang banyak, tentu akan
kewalahan juga. Wanita itu maju selangkah, hal mana
makin membuat darah orang2 tersirap. Tapi ternyata ia tak
menyerang, melainkan bertanya: "Mengapa tadi kau
meneriaki Ceng Bo siangjin?"
"Oleh karena Ceng Bo siangjin tadi muncul dipermukaan
air,!" sahut Go Tiong.
"Apa katamu?" tanya siwanita itu dengan setengah tak
percaya. Kini tahulah si-Bongkok bahwa siwanita itu
mempunyai hubungan dengan Ceng Bo siangjin, mungkin
suatu dendam kesumat yang hebat. Maka diapun segera
memberi penjelasan: "Memang Ceng Bo siangjin turun naik
dalam perahu ini. Oleh karena hendak melakukan
penyelidikan didasar laut Hay-sim-kau, dia selulup kesana.
Tapi dia sudah muncul dipermukaan air, tapi entah
bagaimana, kembali silam lagi."
"Hm, mengapa dia berani menjumpai aku ?" siwanita
perdengarkan ketawa-nya yang sinis.
Heran si Bongkok dibuatnya, tapi dia tak berani
menegas. Siwanita tampak merenung. Tiba2 dengan gerak
"yi hi ta ting" ikan lehi meletik, ia loncat kedalam laut.
Adalah pada saat ia masuk kedalam laut, Ceng Bo siangjin
telah diseret oleh sigurita kedasar laut, maka keduanyapun
tak dapat bertemu. Mungkin karena mempunyai perasaan
lain, siwanita itu tak kembali keatas perahu dan terus
menuju kedalam gua karang didasar laut Hay-sim-kau.
Oleh karena sampai sekian lama Ceng Bo tak kunjung
datang, akhirnya Nyo Kong-lim perentahkan berlayar. Dia
kuatir karena waktunya mendesak kalau tak cepat2 kembali
ke Hoasan mungkin nanti The Go dan Tan It-ho mengadu
biru dimarkas itu, dan ini membahayakan kedudukan ke 72
Cecu Hoasan. Tiba dipantai utara, benar juga hari sudah malam.
Begitulah langsung mereka menuju ke Hoasan. Sewaktu
dilihat disekeliling kaki gunung Hoasan tampak banyak
kubu2 tentara, Ko Kui (cecu markas ke 1) menjadi heran,
dia segera minta idin pada Nyo Kong-lim, untuk
mendahului pergi kemarkas dengan mengambil jalan
singkat. Ketika dia tiba dimarkas, tepat kala itu wakilnya (Liang
Pheng) tengah hendak memberi perintah menarik mundur
anak buah kemarkas no. 2. Kemudian bertempur dengan
The Go, akhirnya wakil Cecu itu telah menemui ajalnya
secara mengenaskan. Demikian si Bongkok mengakhiri
kissah penuturannya. Entah bagaimana perasaan Ceng Bo
siangjin setelah habis mendengar itu, tapi sebagai seorang
yang kuat perasaannya, dia tetap berusaha menahannya.
Andaikata dia seorang diri, tentulah akan sudah
mengucurkan air mata karena terharu melihat nasib sang
isteri yang sangat dikasihinya itu.
Hari sudah menjelang pukul 3 malam, turut kata The
Go, begitu terang tanah tentara Ceng pasti akan sudah
bergerak menyerang. Suasana sudah tentu menjadi tegang.
Hanya sebentar2 terdengar Nyo Kong-lim ber-teriak2
memberi perintah pada anak buahnya.
"Terkaan Ih-heng itu memang benar. Wanita itu adalah
isteriku yang kasar!" tak lama kemudian Ceng Bo berkata,
kepada si Bongkok, siapa tampaknya tak heran atas
keterangan itu, sahutnya: "Kalau benar ia itu Kiang Siang
Yan, mengapa ilmu kepandaiannya tak sama dengan Bek-
heng?" Ceng Bo tuturkan apa yang telah disaksikan digua dasar
laut Hay-sim-kau. "Dalam 10 tahun ini, dengan tekun ia
telah meyakinkan ilmu lwekang sakti thay-im-lian-sing.
Dengan begitu, kini aku bukan tandingannya lagi!" katanya
pula. "Haya, celaka ni!" seru si Bongkok, "ketika lolos dari,
pondok, Kiang Siang Yan telah membawa dendam
penasaran sedalam laut. Konon kabarnya, thay-im-lian-sing
itu akan merobah orang menjadi seorang yang ganas ke-
liwat2. Kalau lain2 ilmu lwekang akan menjadi seorang
lebih tenang dan sabar, sebaliknya ilmu thay-im-lian-sing itu
kebalikannya! "
"Benar, karena dengan kebencian dia meyakinkan ilmu
itu, maka sudah tentu dendamnya makin menyusup
kedalam tulangnya. Ia tentu akan memakan dagingku,
merobek kulitku. Ah, meskipun kesalahan itu akibat
perbuatan manusia terkutuk, tapi untuk menjelaskan
bukanlah mudah. Makanya ia selalu menentang tindakanku, sengaja menyuruh Lian-ji ikut pada The Go!"
kata Ceng Bo. "Apa katamu itu, Bek-heng?" tanya si Bongkok dengan
terperanjat sekali
Apa boleh buat, Ceng Bo tuturkan juga kejadian
diperahu dengan Bek Lian dan The Go,
"Habis kemana nona Lian sekarang?" tanya si Bongkok
sembari banting2 kaki. Ceng Bo sendiri kacau balau
hatinya. Isteri yang dicintainya, lolos tak ketahuan
rimbanya, disusul dengan puteri biji matanya, menyintai
seorang penghianat bangsa. Betapapun juga, imam itu tetap
seorang yang terdiri dari darah dan daging, maka,
bagaimana hancurnya sang hati, tentu dapat dimaklumi.
"Kalau si The Go masih disini, kita bisa menanyainya!"
katanya sembari menghela napas panjang.
"Ah, kalau tahu begitu, kita tentu tak membiarkan dia
lolos, ai.... , ai....!" seru si Bongkok sembari ber-kuik2
dengan gusar. Karena sudah terlanjur, kedua orang itu tak
dapat bicara apa2. Tiba2 datanglah Nyo Kong-lim
menanyakan mengapa Tio Jiang dan Yan-chiu belum
datang. Ceng Bo terperanjat. Memang kedua anak
muridnya itu cukup lama perginya. Si Bongkok tawarkan
diri untuk menyusul. Tapi belum setengah jam dia turun
gunung, dengan cepat sudah balik melapor: "Aneh,
mengapa, siaoko dan nona Liau tak kelihatan jejaknya"
Tentara Ceng masih menggeros, semua, jadi terang


Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keterangan The Go itu bohong. Tapi yang memgherankan
mengapa tak dapat kuketemukan letak markas besar
panglima mereka. Juga tempat persembunyian meriam2
mereka, itu entah dimana!"
Ceng Bo makin resah, ujarnya: "Li Seng Tong benar
seorang panglima perang yang pandai, tapi menghadapi
orang2 persilatan dia tentu tak dapat berbuat banyak. Turut
pendapatku, tentu disana bersembunyi seorang juru pemikir
yang lihay."
"Ah, tentunya si Cian-bin Long-kun The Go lah!" sahut
si Bongkok serentak.
Ceng Bo anggukkan kepalanya, ujarnya: "Memang dia
cukup hebat. Walaupun ustanya masih muda, tapi sudah
begitu pandai, Sayang dia terjun kejaIan yang sesat"
Dalam hati, si Bongkok sendiri juga mengagumi
kecerdikan The Go. Dalam riwayat perkelanaannya didunia
persilatan, belum pernah diingusi macam yang terjadi
dengan diri The Go tadi. Begitulah persiapan dalam markas
kesatu itu, terus diatur dengan tak henti2nya. Sekarang
marilah kita tengok keadaan Tio Jiang dan Yan-chiu.
Begitu keluar dari pintu gerbang markas, dilihatnya
udara mendung sekali. Takut kalau saling berpencar,
keduanya lalu bergandengan tangan. Selama dalam
perjalanan turun gunung itu tak putus2nya Yan-chiu
menuturkan pengalamannya selama berpisah itu. Dengan
genit dan lucunya, ia ceritakan bagaimana rasanya menjadi
raja gunung selama dua bulan. Bermula dibiarkan saja
sumoay itu bercerita sembari bergelak tawa, tapi setelah
hampir dekat kemarkas musuh, dia lalu melarangnya. Tapi
Yan-chiu sudah salah mengerti, dikiranya sang suko jemu
mendengar ceritanya, maka dengan ketus ia berseru: "ya
sudah...., tak boleh bicara ya sudah......!"
Tahu akan perangai sang sumoay, Tio Jiang hanya
ganda tertawa saja. Dengan begitu habislah perselisihan
kecil itu. Begitu mendekati kubu musuh, Yan-chiu sembari
berjinjit kaki, membisiki kedekat telinga sang suko: "Suko,
aku hendak tanya padamu sebuah lagi, boleh tidak?"
Tio Jiang sijejaka bodoh, kuatir kalau membuat sang
sumoay marah lagi, terpaksa mengiakan. "Suko, mana
peniti kupu2 yang Lian suci berikan padamu tempo hari?"
katanya sembari ketawa cekikikan.
Tio Jiang seperti disengat kalajengking saking kagetnya.
Tukar menukar tanda pengikat kawin itu dilakukan hanya
berdua orang saja, mengapa Yan-chiu dapat mengetahui"
Tapi dasarnya bodoh, dia hanya mengira kalau Yan-chiu
tentu mengintip, maka rahasia itu sampal bocor. Dengan
suara ter-putus2 gemetar, dia sagera menyahut: "Masih
padaku. Sumoay ......... se-kali2 jangan bilang pada Suhu,
agar dia orang tua tidak marah !"
Sudah tentu Yan-chiu geli, jawabnya ter-sipu2: "Ya....,
ya...., ya......, aku tak akan bilang!"
Dalam pikiran sinona yang nakal itu hanya terlintas
suatu rencana memperolokkan suko dan sucinya. Apabila
kedua orang itu berjumpa satu sama lain hendak ia
pertunjukkan barang panjer masing2 dan mengocok
keduanya sampai puas betul. Hanya begitulah maksudnya,
jadi bersifat hati kanak2. Sedikitpun ia tak sadar bahwa hal
itu telah menyiksa Tio Jiang setengah mati, dan akhirnya
putus asa. Tapi biarlah jangan kita ungkap dahulu kejadian
yang belum datang itu.
Karena ceriwis dan cekikikan, Tio Jiang mengira kalau
sang sumoay menggodanya soal perjodohan itu, maka
diapun tak marah. Demikianlah kini keduanya sudah
hampir mendekati kubu2 musuh. Sebagai seorang anak
perempuan, Yan-chiu lebih teliti. Dilihatnya diatas tanah
hutan situ banyak sekali terdapat bekas tapak kuda dan
roda2 kereta. Yan-chiu me-raba2 tengkuk leher Tio Jiang,
hingga saking kagetnya Tio Jiang sampai lompat
berjingkrak. Ketika diketahuinya bahwa itulah sang sumoay
yang sengaja hendak mempermainkan, Tio Jiang mendongkol sekali. Tapi hendak mendamprat, dia tak
berani kuatir menerbitkan suara yang dapat didengar oleh
serdadu2 Ceng. Maka apaboleh buat dia hanya deliki mata
saja kepada gadis nakal itu. Tahu, sang suko marah tapi tak
dapat berbuat apa2, Yan-chiu makin gembira Tio Jiang
mendelik, ia balas unjuk muka-setan sembari me-lelet2-kan
lidah. Tio Jiang meringis betul2. Puas menggoda, baru Yan-
chiu berbisik kedekat telinga sukonya, suruh dia melihat apa
yang terlihat ditanah situ. Saking girangnya, Tio Jiang
sampai berjingkrak2: "Sumoay, bukankah itu bekas roda2
meriam ?" "80 persen, ya!" sahut Yan-chiu.
"Suhu suruh aku menebus dosa dengan jasa. Kalau aku
dapat merusakkan ke 10 pucuk meriam itu, tentu akan
berjasa besar," kata Tio Jiang dengan girang. Yan-chiu
menanyakan dengan heran. Tapi Tio Jiang membantah,
masa ditempat macam begitu dia disuruh menceritakan.
"Kalau tak mau memberi tahu, aku tak mau menemani
mu suko!" Yan-chiu unjuk gertakannya. Tahu akan tabiat
sang sumoay, terpaksa Tio Jiang bercerita. Berulang kah
Yan-chiu leletkan lidah saking kagum, dan ketika
mengetahui sang suko telah mempelajari sekian banyak
ilmu silat yang luar biasa, Yan-chiu segera minta diajari.
Untuk jangan melenyapkan kegembiraan sinona, Tio Jiang
menyanggupi: "Baik, tapi mari lebih dahulu kita cari tempat
meriam2 itu! "
Keduanya segera berjalan menurut bekas roda itu. Tak
berapa jauh, bekas2 roda itu tampak saling bersilang. Kini
makin teguhlah dugaan mereka akan tempat persembunyian meriam2 itu. Setelah berunding, keduanya
memutuskan untuk tetap bersama2 mencarinya, tak usah
berpencar. Benar juga tak berapa jauh, mereka tampak ada
dua orang serdadu mondar-mandir didepan sebuah kubu.
Bekas roda, itu menjurus kesana. Dilihat bentuknya, kubu
itu menyerupai tempat tinggal orang.
Setelah saling memberi isyarat mata, keduanya segera
menyelinap pe-lahan2. Yan-chiu berhasil mendekati
dibelakang, salah seorang serdadu, siapa ternyata tak
mengetahuinya. Sekali menarik kuncir orang, serdadu itu
segera terjengkang jatuh kebelakang. Begitu mulutnya
hendak berteriak, buru2 Yan-chiu menutuk jalan darah
thian-tho-hiat ditenggorokan, hingga tamatlah riwayatnya.
Sedang yang seorang lagi pun kena ditutuk pingsan oleh Tio
Jiang. Dengan tak menerbitkan barang suatu suara,
keduanya ber-jengket2 menghamperi kubu. Tapi begitu
Yan-chiu susupkan kepalanya kedalam tenda kubu, segera
ia-lekas2 tarik keluar seraya memaki sukonya: "Suko,
mengapa kau begitu kurang ajar, suruh aku tonton
pemandangan macam. begitu"!"
Tio Jiang segera susupkan kepala dan diapun menjadi
menyeringai juga. Kiranya didalam kubu situ bukannya
meriam yang ada, tapi 7 atau 8 orang serdadu Ceng sama
terlentang tidur. Serdadu2 itu berasal dari daerah utara yang
dingin. Meskipun didaerah selatan itu waktu dalam bulan
11, dan 12, tapi mereka tak merasa kedinginan. Dan
memang sudah menjadi adat kebiasaan orang utara, kalau
tidur tentu lepas pakaian. Sudah tentu pemandangan itu
sangat "mengerikan" Yan-chiu. Tapi sebagai anak laki,
sudah tentu Tio Jiang tak menjadi jengah. Dia heran
mengapa bekas tapak roda tadi terang masuk kedalam kubu
situ, tapi mengapa kawanan serdadu yang ada". Diawasinya
lagi dengan perdata dan akhirnya tampak juga diujung sana
ada sebuah benda warna hitam, berbentuk bulat,
menggeletak ditanah. Karena tak mengetahui benda apa itu,
buru2 dia memberi isyarat agar Yan-chiu datang kesitu.
Sudah tentu Yanchiu tak mau, kapok ia. Apa boleh buat,
Tio Jiang terpaksa menghampiri sang sumoay, ujarnya:
"Sumoay, mengapa pada saat2 yang penting, kau
mundur teratur?"
"Suko, kalau kau menghina, tentu kubilangkan pada
suhu!" sahut Yan-chiu dengan uring2an.
"Diujung kubu itu ada sebuah benda yang hitam gelap
warnanya. Kupikir hendak menobros masuk untuk
memeriksanya, harap kau berjaga diluar, sumoay," kata Tio
Jiang. GAMBAR 37 Dengan batang kayu itu, Tio Jiang menyusup kedalam kemah
musuh, ia gunakan ilmu menutup yang di pelajarinya dari Sih
Lo-sam, dengan gerak cepat, sekejap saja ia telah tutuk jalan darah
lumpuh tujuh perajurit penjaga.
Setelah sumoaynya setuju, bermula Tio Jiang hendak
gunakan pedangnya tapi tak jadi. Dia memotes sebatang
ranting puhun, lalu menyusuk kedalam tenda. Menurutkan
ajaran Sik Lo-sam, dalam sekejab saja dia sudah dapat
menutuk jalan darah ke-8 serdadu itu. Setelah itu dia
menghampiri kesudut tenda. Ah......., makanya tak dapat
kawan2nya yang dahulu mencari tempat persembunyian
meriam, karena senjata itu disembunyikan didalam tanah.
Permukaan lubang itu, ditutup dengan sebuah papan.
Waktu papan itu diangkat, terdapatlah sebuah lubang gua
dibawah tanah dengan diterangi oleh beberapa batang lilin.
Disitu terdapat dua orang serdadu tengah duduk
mengantuk. Tio Jiang berkerja sebat. Meriam digulingkan,
isinya dibuang, sementara sipenjagapun ditutuk pingsan.
Setelah merusakkan beberapa barang dalam kubu tersebut,
Tio Jiang lalu menyusup keluar lagi. Tapi disitu Yan-chiu
tak nampak bayanganya. Berulang kali Tio Jiang
memanggilnya tapi senantiasa tak berbalas.
Tio Jiang makin gelisah. Taruh kata dia berhasil
merusakkan ke 10 pucuk meriam musuh, namun kalau
Yan-chiu sampai ada apa2, artinya dia itu tetap berdosa.
Apa boleh buat dia terpaksa menyelidiki berpuluh kubu
yang berada disitu. Pada sebuah kubu, didapatinya ada
seorang serdadu Ceng rubuh binasa. Hal mana membuat
Tio Jiang girang, karena dia dapat mengetahui jejak lari
sang sumoay. Dengan menurutkan arah pengunjukan itu,
akhirnya berhasillah dia keluar dari barisan kubu2 musuh,
tapi sampai berapa kali dia berseru keras, tetap tiada
berbalas. Ketika itu Tio Jiang mendongkol dan gelisah.
Mendongkol karena mengira sumoaynya lagi2 hendak main
ugal2an. Gelisah karena memikiri penemuannya tadi.
Meriam sudah diketahui, tapi kalau tak lekas2 dihancurkan,
nanti terang tanah tentu akan digunakan menyerang Hoa-
san. Maka Tio Jiang mondar mandir saja disekitar kaki
gunung situ, belum dapat mengambil keputusan. Adalah
pada saat itu, si Bongkok sebenarnya juga sudah datang
untuk mencari dia dan Yan-chiu, tapi karena kebetulan Tio
Jiang baru mengitari bagian sana, jadi tak dapat dilihat si
Bongkok. "Tio Jiang, Tio Jiang! Mengapa dikau begitu tolol" Biar
tak menjumpai jejak Yan-chiu, tapi seharusnya kau lekas2
menghancurkan senjata2 maut itu dulu. Apakah kau tak
mengerti bahwa keayalanmu itu berarti maut bagi sekian
banyak orang2 gagah yang berada digunung Hoasan?" tiba2
dia bertanya seorang diri. Memikir sampai disitu, peluh
membasahi sekujur tubuhnya. Buru2 dia kembali kedaerah
perkubuan musuh lagi. Menyusur bekas roda2 meriam, dia
memasuki kubu demi kubu. Untungnya para serdadu yang
bertugas dalam setiap kubu itu sama menggeros seperti
babi, jadi mudahlah dia hancurkan meriam2 itu satu per
satu. Dan dalam waktu tak berapa lama saja, berhasillah dia
menghancurkan 9 pucuk meriam. Meriam ke 10, atau
meriam yang penghabisan setelah agak lama dicarinya
barulah dapat diketemukan tempat persembunyiannya.
Segera ia menyusup kedalam kubu itu, ia dapatkan
suasana didalam situ agak lain. Baru dia merandek sejenak,
atau tiba2 dia rasa ada serangkum angin menyambar dari
muka. Karena tak keburu berkelit, maka Tio Jiang cukup
gunakan jurus "hong cu may ciu" melejit kesamping.
Dengan ujung ranting puhun tadi, dia segera tutuk jalan
darah orang dibagian betis pada jalan darah wi-tiong-hiat.
Orang itu bergelundungan ditanah untuk menghindar,
kemudian berseru melengking: "The toako, akulah! Ini
benar2 'istana raja laut kebanjiran air' (artinya orang sendiri
hantam orang sendiri) !"
Tio Jiang rasanya faham akan suara itu. Ah, benar
dialah! Itulah Chi Sim, salah seorang dari persaudaraan
Chi. Sewaktu pertempuran luitay di gunung Gwat-siu-san
tempo hari, hanya dia seorang yang tak mendapat luka.
Tentu kini dia mengikut The Go. Tapi mengapa orang she
Chi itu mengira kalau dia itu si The Go" Oho, mungkin
orang mengambil kesimpulan begitu itu karena, tampak dia
(Tio Jiang) tadi gunakan jurus hong-cu-may-cu, itu ilmu
silat warisan Ang Hwat cinjin yang diturunkan pada The
Go. Ah, biar bagaimana meriam yang no. 10 itu harus
dihancurkan agar tak menerbitkan bahaya bagi Hoa-san.
Memang penjaga dalam buku itu adalah si Chi Sim,
siapa tak mengira kalau yang hendak masuk kedalam kubu
situ adalah The Go. Malah ketika si The Go palsu diam
saja, Chi Sim mengira kalau orang menjadi kurang senang.
"The toako, seranganmu tadi laksana kilat cepatnya. Kalau
aku tidak lekas2 menyingkir, tentu habislah riwayatku!"
kata Thyi Sim sembari ketawa ingin mengambil hati orang.
Tio Jiang geli tapi tak mau menyahut. Belum lagi dia
mengambil putusan, diam saja atau menyahut, sudah
kedengaran lagi si Chi Sim mengoceh: "Tadi aku telah
menjambangi nona Bek. Semalam ia tak tidur karena kau
tak pulang. Kemana saja pergimu tadi malam itu toako ?"


Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kaget Tio Jiang sukar dilukiskan. Apakah betul2 Bek
Lian tak mau pada dirinya dan mati hidup hendak ikut
pada The Go" Kalau tidak, mengapa suci itu tetap mengintil
orang kemana The Go pergi" Gusar dan pedih, Tio Jiang
cepat melesat maju untuk menampar muka Chi Sim,
plak.............
Karena sedang berusaha untuk mengambil hati "The
Go", maka Chi Sim sudah tak ber-jaga2 akan datangnya
serangan yang begitu mendadak itu. Saking keras tamparan
si Tio Jiang, maka gigi Chi Sim telah copot sampai dua biji.
Dia ber-kuik2 kesakitan, serunya ter-putus2: "The toako,
mengapa kau ............."
Belum kata2 itu diselesaikan, tiba2 jalan darah
dibelakang batok kepalanya dipijat keras2 oleh orang (Tio
Jiang). Chi Sim coba meronta dari cengkeraman itu, tapi
bukan saja tak dapat lolos malah dirasakan ada semacam
tenaga yang panas, menyalur pada kepalanya. "The toako,
jangan bersenda-gurau" serunya.
Mana Tio Jiang mau meladeni, dengan bengis dia
menggertak: "Siapa yang sudi jadi The toako-mu" Dimana
nona Bek, lekas bilang!"
"Siapa .......kau .......kau ini?" tanya Chi Sim dengan
ketakutan. Tio Jiang makin perkeras tekanannya dan paksa
orang menunjukkan tempat persembunyian Bek Lian. Apa
boleh buat Chi Sim terpaksa menurut, tapi lebih dahulu dia
minta orang kendorkan cengkeramannya. Tapi Tio Jiang
sudah ketelanjur gusar melihat orang berayal, dampratnya:
"Sampai ditempatnya, tentu kukendorkan. Kalau berani
main gila, tentu kukirim kau keakherat !"
Begitulah dengan serta merta Chi Sim bawa Tio Jiang
ber-biluk2 diantara kubu2, sehingga sampai membingungkan Tio Jiang. Yang diketahuinya, kubu2 itu
diatur dengan rapi sekali, mirip dengan formasi sebuah
barisan. Maka tak heranlah kalau orang tak dapat
mengetahui tempat markas panglima. Untung tadi Yan-
chiu dapat melihat bekas tapak roda, hingga dapat
mengetahui tempat persembunyian meriam2. itu. Jadi kalau
menurut cengli (nalar) Yan-chiulah yang harus diberi
ganjaran jasa. Ini telah menjadi keputusan Tio Jiang juga,
apabila kelak berhadapan dengan suhunya. Memikirkan hal
itu, tiba2 dia teringat bahwa masih ada sepucuk meriam
yang belum dihancurkan. "Kembali" bentaknya dengan
suara tertahan.
"Kemana?" tanya Chi Sim dengan heran. Tio Jiang
menyuruh kembali ketempat tadi. Terpaksa, Chi Sim
menurut. Begitu sampai dikubu tadi, segera Tio Jiang tutuk
jalan darah pemingsan Chi Sim, kemudian menghancurkan
meriam disitu. Selesai tugasnya, baru dia buka jalan darah
si Chi Sim lagi dan suruh dia membawanya ketempat Bek
Lian. Sepanjang jalan, mereka tak berjumpa barang seorang
serdadupun juga. Hal mana membuat Tio Jiang heran.
"Mengapa tiada seorangpun serdadu penjaga?" tanyanya.
"Kubu2 disini diatur menurut susunan barisan yang
ditentukan Ang Hwat cinjin. Kalau orang luar sampai
masuk kemari, mereka akan ber-putar2 kesana-sini namun
tetap, berada diluar. Bagi tokoh yang tinggi ilmunya,
paling2 hanya, dapat mencapai susun yang ketiga,"
menerangkan Chi Sim, Tio Jiang terperanjat. Tapi pada lain
saat Chi Sim mengatakan sudah sampai dikubu Bek Lian,
Tio Jiang belum mau kendorkan cengkeramannya. Dia,
susupkan kepalanya melongok kedalam, tapi disitu tiada
seorangpun juga. Dengan geramnya Tio Jiang cekik
tengkuk Chi Sim. Cekikan itu dipelajarinya dari Sik Lo-
sam, maka keadaan. Chi Simpun persis seperti ketika dia
(Tio Jiang) dicekik Sik Lo-sam di Giok-li-nia tempo hari.
Dengan meng-uak2 kesakitan, Chi Sim diseretnya masuk
kedalam kubu. Tio Jiang curiga mengapa didalamm kubu
situ kosong tiada orangnya, kecuali sebuah meja hijau
dengan 3 batang lilin, sebuah tempat tidur dengan selambu
sulaman. Sama sekali tak mirip dengan kubu tentara.
Diam2 Tio Jiang berpendapat, mungkin disitulah tempat
tinggal Bek Lian. Ketika memandang kearah tempat tidur,
dilihat selimut dan bantal agak berserakan dan tatkala
tangannya meraba keatasnya, masih terasa hangat. Terang
orang baru saja habis menidurinya
"Orang she Chi, lekas katakan, adakah benar2 nona Bek
berada disini ?" tanyanya. Dicekik tengkuknya itu, Chi Sim
ketakutan setengah mati. Buru2 dia pegangi tangan
pencekiknya itu. Bukan hendak melawannya, tapi hendak
berjaga2 kalau orang perkeras cekikannya, dapatlah dia
berusaha untuk meringankan kesakitannya. Kini kalau dia,
menerangkan dengan terus terang, tentulah Tio Jiang mau
mengampuninya. Maka, tanpa ragu2 lagi, diapun segera
menyahut: "Kedatangan nona Bek ke Kwiciu sini adalah
bersama dengan The toako. Sudah dua hari ini The toako
pergi belum pulang, sehingga membuat nona Bek bersedih
sampai tak mau makan, karena selalu mengenangkan The
toako" "Ngelantur!" bentak Tio Jiang demi mendengar
keterangan orang yang menyayat hatinya itu. Hal itu telah
membuat kaget Chi Sim. Coba dia itu orangnya bisa
berpikir, tentulah akah segera mendapat kesan bahwa tentu
ada apa2 antara pemuda itu dengan nona Bek, makanya dia
begitu tanya melilit tentang sinona, Dan dengan pengertian
itu, dapatlah dia merangkai kebohongan. Tapi Chi Sim sih
orangnya kasar. Dia keliwat takut mati, maka teruskan lagi
keterangannya: "Aku omong hal yang sebenarnya. Nona Bek memang
rindu pada The toako. Beberapa kali dia mengunjungi
kemarkas congpeng untuk menanyakan diri The toako,
mengapa sampai sekian lama belum pulang serta pergi
kemana saja agar ia dapat menyusul. Oleh karena kepergian
The toako kali ini bersifat rahasia, jadi Li congpeng tak mau
memberitahukannya. Nona Bek marah dan membuat gaduh
dimarkas congpeng!"
Tio Jiang memang kenal akan adat perangai sang suci.
Kalau sudah marah sucinya itu tentu takkan peduli segala
apa. Kalau ditilik dari tingkah laku Bek Lian terhadap The
Go ketika dipulau kosong tempo hari, keterangan Chi Sim
itu memang tak bohong. "Setiap orang telah mengetahui
rencana keji dari The Go dipulau Ban-san-to!" kata Tio
Jiang sambil menghela napas.
Atas penyelaan Tio Jiang itu, Chi Sim berhenti sejenak.
Tapi dia. segera lanjutkan keterangannya lagi:
"Sedatangnya dari Ban-san-to, The toako kembali
majukan sebuah rencana untuk menyerang Hoa-san. Kali
itu Bek Lian berkata ikut pada The toako. Melihat ia itu
seorang gadis, semula Li congpeng tak memberi idin. Nona
Bek minta diadu dengan dua orang perwira. Akhirnya,
kedua perwira itu telah dikalahkannya dan barulah Li
congpeng mengidinkan."
Tio Jiang percaya penuh keterangan itu. Makin keras
niatnya untuk menemui sang suci. Hendak dia tanyakan,
mengapa malam itu sudah memberikan panjer nikah
kemudian tak menyintai dia (Tio Jiang). Dengan ketetapan
itu, segera dia tutuk jalan darah pemingsan Chi Sim, hingga
orang itu rubuh tak berkutik dilantai, melainkan sepasang
matanya saja yang masih bisa mengawasi Tio Jiang.
"Dalam waktu empat, kau akan pulih sendiri!" kata Tio
Jiang, terus keluar. Diluar kubu penuh dengan kabut. Hari
sudah menjelang terang tanah. Dia mulai lakukan
penyelidikan, tapi kabut makin tebal sehmgga dalam jarak
beberapa meter saja sudah tak dapat melihat apa2. Tiba2
Tio Jiang teringat bahwa kubu2 itu disusun menurut ajaran
Ang Hwat cinjin yang disebut barisan Ko-cut-tin. Hendak
dia balik saja mencari pada Chi Sim, tapi matanya sudah
kehilangan penglihatan karena tebalnya sang kabut. Apa
boleh buat, Tio Jiang segera mengambil sebuah arah, terus
lari kemuka. Hari makin terang. Oleh karena semalam tak,
tidur, maka sekalipun Tio Jiang seorang sehat kuat,
terpaksa merasa letih juga. Pada kala itu, kira2 dia sudah
berlari sejauh 30-an li jauhnya. Tapi anehnya, masih
ubek2an berada di-tengah2 barisan kubu situ. Kemana dia
lari, kesitu dia selalu tak menjumpai seorangpun juga.
Lama2 mendongkol juga Tio Jiang. Sekali berbuat, tak
mau kepalang tanggung lagi. Dia menobros kedalam sebuah
kubu, pikirnya hendak menyeret seorang serdadu untuk
dipaksanya menjadi pengunjuk jalan. Tapi untuk kekagetannya, begitu masuk begitu disambut dengan
beberapa senjata rahasia. Dalam gugupnya, segera dia
gunakan jurus thiat-pian-kio, lengkungkan tubuhnya
kebelakang. Ber-puluh2 senjata rahasia men-desing2 diatas
tubuhnya. Diam2 Tio Jiang bersyukur didalam hati. Tapi
ketika dia hendak bangun, tiba2 melayang sebuah
hantaman. Oleh karena tubuh Tio Jiang masih melengkung
kebelakang, tambahan pula tak membekal senjata apa2,
terpaksa dia buang dirinya untuk bergelundungan kesamping. Tapi tanpa disengaja, gerakannya itu sesuai
dengan jurus hong-cu-may-ciu atau sigila menjual arak, itu
ilmu pusaka dari Ang Hwat cinjin.
---oodw0tahoo---
BAGIAN 14 : LAWAN LAMA
Dengan bergelundungan beberapa tindak, kini Tio Jiang
sudah berada diluar tenda. Justeru kabut masih tebal, jadi
dia tak dapat melihat apa2. Dengan ter-nnangu2 tak tahu
apa yang harus dikerjakan, dia terkenang akan sang suci
yang sudah menyintai The Go. Hatinya serasa pilu dan
pedih. Lewat berapa saat kemudian, diantara kabut yang
sudah agak menipis itu, dilihatnya ada sesosok bayangan
berkelebat. Buru2 dia bersiap. Rupanya orang itupun
mengetahui dirinya..... Sekali enjot sang kaki, orang itu
segera menerjang kearah Tio Jiang. Orang itu bertubuh
kecil kurus, sedang pakaiannya agak kebesaran.
Tio Jiang tak hiraukan lagi siapakah dia itu lalu buru2
berkelit kesamping. Karena masih mempunyai urusan
penting, Tio Jiang tak mau layani orang itu. Begitu
menghindar dia terus lari. Tapi karena pikirannya sedang
dilamun kesedihan, dia seperti orang linglung. Maunya
hendak berputar, tapi ternyata malah menuju kearah
sipenyerang tadi. Dan karena sudah begitu, tak mau dia
kepalang tanggung terus ulurkan tangannya untuk menutuk
jalan darah keng-tian-hiat dipundak orang.
Orang itupun tak mau unjuk kelemahan. Begitu
miringkan tubuh, dia menyambut sebuah senjata yang bulat
datar bentuknya dan ke-hitam2an warnanya, mirip dengan
sebuah ayakan (saringan) bakmi. Senjata, itu diserangkan
seperti cara orang hendak menutup kepala lawan. Agak
jauh jaraknya, sudah mengeluarkan samberan angin yang
keras. Tio Jiangpun tak mau berayal, cepat pedang dilolos
terus dimainkan dalam jurus Ho Pek kuan hay untuk
menangkis. Sewaktu kedua senjata itu saling berbenturan, Tio Jiang
rasakan suatu tenagaa yang luar biasa kuatnya. Buru2 dia
kerahkan ilmunya lwekang "yap ji si heng kang sim ciat",
kearah lengan kanan. Begitu tangannya menghantam, plak,
benda bundar kepunyaan musuh itu tertindih dibawah tapi
Tio Jiang sendiri telah menderita kerugian besar. Pedang,
pemberian sang suhu itu, kutung menjadi dua
Kejut Tio Jiang tak terlukiskan. Buru2 dia menyingkir
beberapa langkah. Dan karena tebalnya kabut, dapatlah dia,
menyingkir serangan musuh. Dia masih kurang pengalaman. Sebenarnya, pedang putus, belum pasti kalau
kalah angin. Saling berbentur senjata, sudah tentu senjata
yang terbuat dari bahan baja akan menderitaa kerugian.
Ditempat penghindarannya, Tio Jiang masih dapat
mendengar angin pukulan men-deru2. Tapi karena musuh
tak dapat melihatnya, jadi hanya ngawur saja. Tio Jiangpun
tahan napasnya. Berapa saat kemudian, serasa ada lain
orang yang muncul kesitu, lalu bertanya: "Apa ada mata2
musuh" "Ya, tapi entah lari kemana karena kabut begini tebal.
Bagaimana dengan budak she Lian itu ?" tanya orang yang
menyerang Tio Jiang tadi.
"Budak itu bermulut tajam. Kalau tak dicegah cong-
peng, tentu siang2 sudah kukirim keakherat!" sahut siorang
yang baru datang. Mendengar itu, Tio Jiang mengeluh
dalam hati. Ah, jadinya sang sumoay itu sudah kena
ditangkap musuh. Tentu karena tak sabaran menunggunya,
sumoay itu segera mengaduk ke-mana2. Sebagai seorang
suko, mana dia peluk tangan tinggal diam saja" Tanpa
banyak bimbang lagi, dia terus melangkah maju. Walaupun
kutung, pedang itu masih hampir satu meter panjangnya.
Teringat dia, dahulu Sik Losam juga mengajarnya ilmu
pedang pendek, ajaran Tay Siang Siansu, itu suhu-dari Kiau
To. Ternyata pedang pendek tak kurang lihaynya dari
pedang panjang. Selama itu, dia belum berkesempatan
untuk mempraktekkan. Kini baiklah dicobanya.
Dengan ber-jengket2, dia menghampiri maju. Begitu
dekat dia segera terjang kedua lawannya tadi. Ternyata
kedua orang itu tak mau menyingkir mundur, sebaliknya
segera gerakan senjatanya yang berbentuk bundar tadi
untuk menghadangnya. Baru saat itu Tio Jiang tersadar.


Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Terang kedua orang itu adalah dua dari ketiga tianglo
(paderi tua) gereja Ci Hun Si dari gunung Kun-san selatan
yang dahulu pernah bertempur, diluitay Gwat-siu-san. Ya,
tak salah lagi, paderi itulah yang tempo hari pernah melukai
dirinya dengan pukulan thiat-sat-ciang (pukulan pasir besi).
Senjata bundar yang digunakan masing2 itu, tentulah
sebuah permadani atau dampar. Dengan pedang kutung,
terang takkan menandingi senjata mereka. Maka lagi2 Tio
Jiang loncat mundur untuk bersembunyi dalam kabut tebal.
"Tikus, mengapa bersembunyi !" mereka berseru dengan
kerasnya. Dan suara itu makin meyakinkan Tio Jiang akan
benarnya dugaannya tadi. Anak itu lupa atau mungkin tak
sadar, bahwa kini dirinya sudah jauh berlainan dari ketika
dia baru turun gunung tempo hari. Sejak digembeleng oleh
Sik Lo-sam, dia telah menjadi seorang akhli silat yang
tangguh dan memiliki beraneka ilmu pelajaran silat yang
sakti. Tambahan pula sejak Sik Lo-sam menurunkan
pelajaran ilmu lwekang "cap ji si heng kang sim ciat" yang
sakti itu, ilmu lwekangnya maju pesat sekali.
Pada saat itu, dia pikir hendak lolos kembali ke Hoa-san
dulu, baru nanti lakukan pembalasan pada To Ceng
hweshio (salah seorang dari mereka) yang dahulu
melukainya itu. Tapi pada lain saat, dia tampar mulutnya
Sendiri sembari memaki dirinya sendiri: "Huh, Tio Jiang,
mengapa kau begini tak punya malu" Sumoaymu ditangkap
musuh, entah siksaan apa yang dideritanya, mengapa kau
tak berusaha menolong ?"
Karena berpikir begitu, terus Tio Jiang hendak menyerbu
maju, Tapi ternyata sudah kalah dulu. Kala itu kabut sudah
menipis, tadi ketika dia menampar mulutnya sendiri, telah
menyebabkan kedua hwesio itu mengetahui tempat
persembunyiannya. Jadi sebelum Tio Jiang bergerak, dia,
sudah diterjang.
Dengan pedang yang sudah kutung itu, Tio Jiang tak
bisa berdaya. Tapi se-konyong2 dia teringat akan senjata
sarung tangan pemberian Nyoo Kong-lim tempo hari.
Sambil nienyingkir menghindar, dia keluarkan sarung
"cakar garuda" itu. Kedua hweshio itu, yang ternyata
adalah To Ceng dan To Kong, menyerang dari kanan dan
kiri. Yang satu menghantam keatas, yang lain menyerang
kebawah. Tak tahu bagaimana harus mainkan cakar-garuda
itu, terpaksa Tio Jiang gunakan hay-lwe-sip-ciu, salah satu
jurus dari ilmu pedang to-hay-kiam-hwat. Wut...., wut.....,
wut......, tahu2 3 jari dari sarung cakar-garuda itu
menyantol permadani. Tio Jiang buru2 hendak menariknya,
tapi permadani itupun mengeluarkan suatu tenaga kuat
tertarik kebelakang. Buru2 Tio Jiang mundur sampai 3
langkah. Namun ketika, mengawasi dengan seksama,
ternyata keadaan lawan lebih celaka lagi dari dia. Hweshio
itu ter-huyung2 hampir jatuh kebelakang.
Kini timbullah nyali Tio Jiang. Dengan andalkan
kelincahan dan ketangkasannya, dia mainkan sepasang
sarung tangan cakar-garuda itu. Ya, apapun boleh. Setempo
menurut permainan golok, malah bila perlu menurut
permainan ilmu silat tangan kosong. Beberapa kali sudah,
To Ceng dan To Kong merasa tentu berhasil dalam
serangannya, tapi setiap kali sianak muda selalu dapat
terlolos karena gunakan jurus permainan hong-cu-may-ciu
atau sigila menjual arak. Memang gerakan permainan dari
ilmu silat yang luar biasa itu, seringkali diluar dugaan
lawan. Begitulah walaupun dikerubut dua, Tio Jiang main serie.
Belasan jurus telah berlangsung, masih belum ketahuan
kalah menangnya. Pada saat itu, timbullah suatu
kesimpulan pada Tio Jiang. Kiranya kedua hweshio yang
namanya begitu disegani sebagai sam-tianglo (tiga tertua)
gereja Ci Hun Si, hanya sebegitu sajalah kepandaiannya.
Karena mendapat kesan itu, keberaniannya makin menyala.
Dan karena hatinya besar, permainannyapun makin
bersemangat. Kadang2 dia lancarkan serangan berbahaya.
Sebaliknya karena tak dapat menangkan sianak muda,
kedua hweshio itupun geram sekali. Mereka mulai buka
serangan ganas. Begitu sang kaki menggelincir, To Kong
maju merapat Tio Jiang menghantam dengan damparnya
(permadani). Karena tak mengetahui siasat orang, Tio Jiang
cepat hantam iga sebelah kanan dari To Kong.
To Kong perdengarkan ketawa dingin. Dampar
dimiringkan menangkis serangan, tangannya kiri menghantam dada Tio Jiang. Tangan kanan ataupun kiri
dari ketiga hweshio gereja Ci Hun Si itu terlatih dengan
thiat-sat-ciang semua. Jarak keduanya dekat sekali, apalagi
karena tadi menyerang jadi kini dada Tio Jiang tak
terlindung. Jadi hantamannya tadi, terang akan mendapat
hasil. Karena tak keburu berkelit, terpaksa Tio Jiang turunkan
tubuhnya kebawah. Pikirnya, biar kena asal tak dibagian
jalan darah yang berbahaia. Selagi memendak turun itu,
dilihatnya To Kong hanya pikirkan menyerang, tapi lengah
melakukan penjagaan diri, jadi bagian kakinya tak
terlindung. Kesempatan itu tak di-sia2kan Tio Jiang. Cepat
dia tarik kembali tangannya kanan, lalu secepat kilat
diterkamkan pada kaki lawan, dan berhasillah. Sekali
tangan mendorong, maka terlemparlah To Kong keatas.
Jadi hantamannya kedada tadi gagal, sebaliknya dirinya
kini terlempar keudara.
Buru2 To Kong gunakan jurus "le hi ta ting" ikan le-hi
meletik. Tapi Tio Jiangpun berjumpalitan untuk mengikutinya, terus menghantam. To Kong hendak
menangkis dengan damparnya, tapi karena sudah meluncur
turun jadi kedudukannya (posisi)pun berlainan seperti kalau
berada diatas tanah. Ini sudah disadari To Kong siapa se-
konyong2 segera, meronta kesamping. Tapi Tio Jiang tak
mau memberi kesempatan lagi. Sekali cakar-garuda
dijulurkan, siku tangan To Kong kena tertutuk, sehingga
saking kesemutan tak bertenaga lagi, tangan To Kong
dipaksa melepaskan senjata damparnya. Tio Jiang
memburu kemuka. Sekali tendang, dampar itu terlempar,
justeru tepat mengenai dampar yang hendak digunakan
menyerang oleh To Ceng.
GAMBAR 38 Tio Jiang kewalahan dikeroyok To Cing dan To Kong, dua
diantara tiga Tianglo atau tetua dari Cu-hun-si. Dalam gugupnya
cepat ia keluarkan sarung tangan bercakar yang diperolehnya dari
Nyo Kong-lim, ketika pemiliknya, Kok Kui meninggal, dengan
sarung tangan bercakar ini segera ia balas merangsak.
Dalam kesibukannya, Tio Jiang sudah keluarkan seluruh
kebisaannya. Dan hasilnya ternyata boleh dibanggakan.
Tubuh memendak turun dan berjumpalitan ditanah tadi,
adalah diambil dari jurus hong-cu-may-ciu, sedang
tendangan kearah dampar tadi, adalah jurus thiat-bun-tui
(tendangan nyamuk), ajaran dari Sik Lo-sam. Kemudian
tutukan pada siku tangan musuh tadi, diambil dari jurus
hay-siang-tiauto, salah atau jurus permainan ilmu pedang
to-hay-kiam-hoat.
Karena heran atas hasil yang didapatnya, Tio Jiang
terlongong2 kesima. To Kong tak mau sia2kan ketika
sebagus itu, lalu hendak balas menyerang. Tio Jiang sudah
lantas menyambutinya dengan gaya mirip orang mabuk
dari ilmu silat hong-cu-may-ciu. Karena lengannya kanan
terluka, gerakan To Kong terhambat. Dalam dua jurus saja,
betisnya, kena ditutuk oleh Tio Jiang lagi. Kali ini Tio Jiang
gunakan tenaga penuh untuk menutuk, jadi sekali kena,
rubuhlah To Kong. Dan karena geram, Tio Jiang susuli lagi
dengan tebasan kearah jalan darah lo-tong-hiat dipinggan
orang. Seketika To Kong roboh knock-out.
To Ceng murka dan menyerang dengan kalap. Tio Jiang
menjadi sibuk. Kabut sudah tipis, dan para anak tangsi
tentara Ceng ber-bondong2 keluar dengan berisik sekali.
Tapi anehnya, disekeliling tempat pertempuran itu tiada
tampak barang seorang serdadupun. Adakah dia sudah
keliru memasuki, kubu markas panglima musuh, maka
tiada sembarang serdadu berani masuk disitu"
Sekalipun demikian, Tio Jiang tetap gelisah. Bentar hari
akan terang tanah. Seorang gagah tetap akan kewalahan
kalau dikeroyok musuh yang berjumlah besar. Untuk lolos,
lebih dulu dia harus dapat merobohkan To Ceng hweshio.
Begitulah dia lalu perhebat serangannya cakar-garuda,
tangan menghantam kaki menendang, namun To Ceng
hanya bertahan saja, tak mau balas menyerang.
Beberapa serangan Tio Jiang telah macet ditangkis
dampar. Lama kelamaan jengkel juga, dia. Dengan
menggerung keras, dia enjot tubuhnya sampai satu tombak
tingginya. Kemudian dengan cian-kin-tui (tindihan 1000
kati) dia meluncur turun kearah lawan. Dengan jurus
pedang hay-lwe-sip-ciu, dia menusuk punggung sihweshio.
Karena tak keburu berjaga, To Ceng kibaskan tangan
kirinya kebelakang untuk menangkis. Tapi dia sudah
menaksir salah. Hay-lwe-sip-ciu adalah jurus penghabisan
dari ilmu pedang to-hay-kiam-hoat. Jurus itu mengandung 7
serangan kosong 7 serangan isi. Gerak perobahannya amat
luar biasa sekali. Tambahan lagi, Tio Jiang telah salurkan
lwekangnya kearah sang tangan, hingga kelima jari sarung
tangan cakar-garuda itu merupakan 5 batang pedang
pendek yang tajam. Begitu tampak To Ceng gerakkan
tangannya kiri menangkis kebelakang, sambil miringkan
tubuh Tio Jiang segera mendesakkan serangannya. Terang
serangan itu akan memperoleh hasil.
Se-konyong2 terdengarlah letusan dahsyat, berbareng
pada saat itu dilamping gunung Hoasan sana tampak api
berkobar. Bum..., bum...., bum..., bum..., kembali terdengar
dentuman meriam ber-turut2. Digunung sanapun lagi2
tampak 4 gulung api besar me-nyala2.
Tio Jiang kaget sampai kucurkan keringat dingin.
Kesepuluh meriam musuh sudah dihancurkan, mengapa
masih bisa menembak" Ah....., syukurlah bom yang
ditembakkan itu tak jatuh di-markas2, demikian dia
menghibur diri sendiri. Tapi baru dia berpikir begitu, diatas
gunung terbit kebakaran besar. Menurut letaknya, terang
itulah markas pertama yang merupakan tulang punggung
Hoa-san. Pertama kali terdengar dentuman meriam tadi, Tio Jiang
sudah lambat gerakannya. Maka dalam pada itu, To Ceng
sudah keburu putar tubuhnya. Selagi hati Tio Jiang kacau
balau, tahu2 sebuah benda bundar hitam menutup
mukanya. Sesaat matanya ber-kunang2, dia tak kuasa
berdiri tegak lagi ...... lalu rubuh ketanah tak ingat orang.
Entah sudah berapa lama dia berada dalam keadaan
pingsan tadi, ketika ingat kembali, kepalanya serasa sakit
seperti mau pecah. Dadanyapun terasa sesak dan sakit.
Diapun tak mengetahui tempat apa disitu itu. Dia hendak
menghela napas, tapi astaga, tak dapat! Hai........, kiranya
mulutnya telah disumbat orang dengan sebiji buah tho
besar. Ketika pikirannya makin sadar, didapati tangan dan
kakinya diikat pada sebuah tiang kayu.
GAMBAR 39 Ketika Tio Jiang sadar kembali, ia merasa kepala sakit, dada
jarem, waktu ia pentang matanya, sekeliling gelap gelita, ia
hendak menghela napas, tapi tenggorokan se-akan2 buntu,
kiranya mulutnya telah disumbat musuh. Ketika ia meronta, tapi
lantas insaf dirinya terikat pada suatu tiang kayu. Malahan
samar2 dalam dilihatnya tidak jauh disebelahnya juga ada suatu
bayangan orang yang mungkin juga kena, diringkus musuh.
Tio Jiang goyang2kan kepalanya, untuk coba mengerahkan lwekang, tapi tangannya malah terasa makin
sakit, tali pengikatnya tetap tak bisa putus. Tio Jiang coba
gali ingatannya. Sampai sekian lama barulah dia teringat
bahwa letusan meriam tadilah yang menyebabkan dia
berayal, hingga dapat dirubuhkan sihweshio. Dia coba
salurkan iImu lwekang "cap ji si heng kang sim ciat", tapi
yang paling menjengkelkan yalah buah tho yang
menyumpal mulutnya itu. Kini dia mendapat akal. Dia
beringsut menghampiri ranjang yang terdapat disitu. Begitu
tempelkan mulutnya keranjang, dengan sekuat tenaga dia
menggigit buah itu. Kalau dia tak berbuat begitu, paling2
hanya tak dapat bersuara saja. Tapi begitu menggigit se-
keras2nya ..... dan menimbulkan rasa sakit bukan kepalang
hingga matanya sampai kucurkan air mata, alias .....
mewek. Kiranya buah tho itu bukan buah sesungguhnya,
melainkan sebuah besi yang dibuat macam bentuk buah
tho. Sudah tentu dia meng-erang2 kesakitan. Tiba2
didengarnya tak jauh dari situ ada juga suara orang meng-
erang2 (se-sambat) seperti merintih-rintih. Dari nada
suaranya, terang orang itupun mengalami nasib serupa
dengannya, yakni mulutnya tersumpal dengan buah besi.
Orang itu ternyata berada dekat sekali, tapi karena suasana
disitu teramat gelapnya, jadi tadi dia tak dapat melihatnya.
Oleh sebab senasib sependeritaan, tentu orang itu bukan
musuh. Maka kali ini dia kerahkan kekuatan besar untuk
mengeluarkan suara, lebih keras agar dapat didengar orang.
Dan ini ternyata, berhasil. Orang disisi sana mengauk juga,
dan ini telah membuat Tio Jiang girang setengah mati.
"Siao Chiu!" hendak mulutnya berteriak, tapi buah besi
dimulutnya itu..... keliwat besar, hingga tak mampu dia
mengeluarkan suara kecuali a-u .... a-u.... saja.
Tapi itu sudah cukup bagi Tio Jiang. Terang orang yang


Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

disebelah sana itu adalah Yan-chiu, yang mengalami nasib
serupa dengannya. Dan untuk kegirangannya, kini setelah
berteriak keras2 tadi buah besi didalam mulut itu agak
terasa Ionggar sedikit. Jadi kalau diusahakan, tentu dapat
keluar. Maka dicobanya sekali lagi. Mulutnya dingangakan
se-lebar2nya, lidahnya bantu men-dorong2, dan ber-
gerak2lah buah besi itu. Begitu mengempos semangat, dia
menyembur se-kuat2nya, huh........bluk......! Buah tho besi
itu jatuh keluar.
"Yan-chiu sumoay! Bagaimana kau?" serunya dengan
segeraa setelah--berhasil mengeluarkan sumpal mulutnya.
Tapi Yan-chiu hanya "a-u .... a-u.... " tak dapat menjawab.
Terang nona itupun tersumbat mulutnya.
"Sumoay,........ngangakanlah
mulutmu lebar2 lalu muntahlah se-kuat2nya!" Yan-chiu turut apa yang
diperentahkan, tapi walaupun hidungnya beberapa kali
mendengus keras, tapi tetap tak mampu mengeluarkan
sumpalnya itu. "Sumoay, jangan takut, tunggu kulepaskan
ikatan tanganku ini, nanti segera kubantu!" seru Tio Jiang
sembari kerahkan tenaganya meronta. Krek....., krek.....,
akhirnya putuslah tiang kayu dengan mana dia diikat itu.
Karena tiangnya putus, maka Tio Jiangpun jatuh
tertelungkup. Hendak dia segera bangun tapi tak bisa,
karena kakinya masih terikat. Jadi hanya bergelundung
kesana kesini saja. Tiba2 dia menyentuh sebuah benda
lunak dan berbareng itu didengarnya suara "a-u .... a-u.... "
dari atas. Tahulah kini Tio Jiang, bahwa yang disentuhnya
itu yalah kaki Yan-chiu. Buru2 dia menggigiti tali pengikat
kaki sang sumoay. Kala mulutnya menyentuh tali itu,
barulah dia tahu tali itu terbuat dari urat kerbau maka tak
heranlah kalau tadi dia sudah tak berhasil untuk
memutuskannya. Begitu tali tergigit putus, saking girangnya kaki Yan-chiu
lantas menendang kalang kabut hingga hampir menendang
kepala Tio Jiang. Sudah tentu Tio Jiang ber-kaok2
memperingatkannya.
Kini dia hendak coba bangun. Begitu kerahkan seluruh
kekuatan, dia, loncat bangun dan karena kaki tangan terikat
lagi2 dia terjerungup kemuka. Ini sudah diperhitungkannya,
maka dia menjatuhi tubuh Yan-chiu, dan astaga tepat benar
jatuhnya itu, muka menempel dengan muka. Bagi Tio Jiang
yang kalbunya hanya ada seorang Bek Lian saja, hal itu tak
berarti apa2. Tapi tidak demikian dengan Yan-chiu.
Walaupun, rapat sekali hubungan dengan sang suko, tapi
selamanya belum pernah ia berapat-rapatan pipi dengan Tio
Jiang seperti pada saat itu. Serasa darahnya berdenyut keras
dan jantungnya berdetak hebat. Kini Tio Jiang segera meng-
hampus2kan mulutnya ketubuh Yan-chiu untuk mencari
bagian tangan. Sudah tentu sinona merasa geli tapi nyaman
juga. Akhirnya berhasillah Tio Jiang mendapatkan tali
pengikat tangan Yan-chiu. Setelah beberapa kali mengerjakan sang gigi, talipun dapat digigitnya putus.
Saking tak tahan kerinya, begitu bebas Yan-chiu terus
jorokkan sang suko. Lupa ia kalau sang suko itu masih
terikat kaki dan tangannya hingga sekali jorok, bluk .........
jatuhlah Tio Jiang. "Siao-chiu, kenapa?" seru Tio Jiang
dengan heran. Pada saat itu Yan-chiupun sudah mengeluarkan sumpal
besi dimulutnya. Tahu kalau tadi ia yang salah, namun
masih tak mau ia mengaku. "Kau sendiri, mengapa meng-
hembus2 tubuhku!" sahut Yan-chiu dengan ke-merah2an
mukanya. Kemudian ia loloskan semua tali yang masih
mengikat dikaki tangannya. Karena sekian lama diikat,
darahnya serasa berhenti. Untuk melancarkan, lebih dahulu
nona itu berlatih silat sekali dua jurus
"Siao-chiu, lekas bukakan tali pengikatku ini!" seru Tio
Jiang dengan mendongkol karena masih menggeletak
ditanah. Yan-chiu lakukan permintaan itu dengan segera.
Tapi betapapun ia meregangnya, tali yang terbuat dari
gulungan urat2 kerbau itu, tak dapat diputuskan. Tio Jiang
menyuruhnya menggigiti. Tapi sampai beberapa jam, Yan-
chiu baru berhasil menggigit putus 3 utas, pada hal tali
terbuat dari 8 utas urat digulung menjadi satu.
"Sumoay kau menyingkir dulu!" seru Tio Jiang lalu ia
kerahkan lwekang sakti "cap ji si heng kang sim ciat".
Begitu ber-gerak2, sisa tali urat kerbau yang belum terputus
tadi menjadi berkeretekan putus. Bukan kepalang girangnya
Tio Jiang. Setelah membuka tali pengikat kakinya, dia
segera tarik tangan Yan-chiu untuk diajak pergi. Sinonapun
amat girang. Sebagai seorang anak yatim piatu, ia sudah
anggap suhu dan suci serta sukonya itu sebagai ayah dan
kakak2nya. Maka sembari tempelkan tubuhnya pada bahu
sang suko, ia terus hendak loncat.
"Hai, dimanakah kita sekarang ini" Bagaimana kita
dapat keluar dari sini ?" tiba2 ia berseru memperingatkan
Tio Jiang. Memang tempat disitu, gelap sekali hingga tak tampak
apa2. Mereka lari kian kemari dan dapatkan bahwa tempat
itu hanya lebih kurang 5 tombak luasnya tapi dikelilingi
oleh tembok yang licin penuh lumut. Hendak loncat keatas
pun tak mampu karena tak kelihatan tepi atasnya.
"Sumoay, bagaimana kau bisa sampai kemari?" akhirnya
dia keputusan akal beritanya.
Mendengar itu, se-konyong2 Yan-chiu marah besar dan
mendamprat: "Lian suci kutu busuk !"
Tio Jiang terperanjat dan menegas kenapa"
"Kukatakan kutu busuk, tak peduli siapa dia tetap kutu
busuk!" sahut sinona genit, siapa setelah mengeluarkan
hawa kemarahannya lalu tertawa lagi.
Tio Jiang tak mengerti apa yang dimaksud oleh sang
sumoay itu. Tapi dia menduga, tentu sumoaynya itu
ketemu dengan sang suci. Dan begitu teringat akan orang
yang dikenang itu, dengan kontan dia segera menanyakan:
"Surnoay, adakah kau berjumpa dengan Lian suci ?"
"Kalau berjumpa lalu bagaimana" Orang toh sudah tak
ingat akan cinta persaudaraan lagi!" sahut Yan-chiu dengan
dada berkembang kempis. Tahu ada apa2 yang kurang
beres, hati. Tio Jiang berdebur keras. Dengan tangannya
yang sedingin es dia pijat lengan sang sumoay dengan keras
dan menyuruhnya bicara yang jelas.
"Aduh!" teriak Yan-chiu karena kesakitan, "bilang ya
bilang, masa lenganku kaupijat se-mau2nya. Ketika aku
berjaga diluar tenda, tiba2 disebelah muka sana tampak ada
sesosok bayangan mondar-mandir .........."
"Lian suci ?" Tio Jiang buru2 memutus
"Ha, ketika kulihat orang itu berkuncir, kemarahanku
timbul seketika. Begitu menghampiri segera kutendangnya
dan rubuhlah dia!" tutur sigadis tak menjawab.
"Sumoay, kusuruh kau berjaga diluar tenda, mengapa
pergi ke-mana2?" Tio Jiang sesali sang sumoay.
Padahal kalau sang sumoay masuk kedalam tenda,
bukankah malah berbahaya" Tapi Yan-chiu yang lincah itu
tak mau disalahkan, sahutnya dengan tangkas: "Kalau aku
tak kesana, mungkin tak nanti dapat berjumpa dengan Lian
sucimu itu !"
Dalam setiap perdebatan memang Tio Jiang selalu tak
menang dengan sumoaynya yang genit nakal itu. Kali itu,
diapun terpaksa bungkam saja. Melihat itu, Yan-chiupun
merobah lagunya. Dengan nada girang ia lanjutkan pula
ceritanya: "Setelah kuberesi serdadu itu, tiba2 kudengar ada
orang menghela napas. Dari nada suaranya, terang seorang
wanita. Dan akupun kesanalah !"
Sampai disini lagi2 Tio Jiang hendak menyela. Tapi baru
bibirnya bergerak, teringatlah akan watak dara genit itu,
jangan2 nanti membikin kurang senang hatinya. Apa boleh
buat, dia batalkan saja niatnya itu. Kata Yan-chiu pula :
"Tapi ketika aku tiba kesana, ternyata tiada seorangpun
juga. Suara itu begitu dekat kedengarannya, tapi sampai
sekian lama ku-ubek2an tetap tak dapat menemukannya.
Karena jengkel kumemaki : 'Siapa yang main setan2an
disitu"' Baru kukeluarkan makian itu, segera kurasa ada
angin menyamber dari sebelah belakang! Dan ketika
kumenoleh kebelakang, ai, kiranya pecundangku, kedua
keledai gundul dari Ci Hun Si! Keduanya masing2
membawa damparnya. Huh, wajahnya itu ngeri kumelihatnya, pucat lesi seperti mayat hidup. Melihat aku,
mereka tak berani terus menyerang."
Memang apa yang dikatakan Yan-chiu tak dusta. Sejak
salah seorang dari ketiga hweshio Ci Hun Si itu kena
dirobohkan oleh Yan-chiu, mereka agak jeri juga. Bukan
jeri terhadap sinona, tapi terhadap orang dibelakang layar
yang diam2 memberi bantuan pada sinona itu. Tapi dasar
nakal, tahu orang tak berani menyerang, Yan-chiu malah
memain dengan bandringannya seraya berseru: "Hai, dua
ekor keledai gundul. Tadi nonamu mendengar suara helaan
napas dari seorang wanita, adakah kalian yang berbuat tak
senonoh " "
GAMBAR 40 ........ Ketika aku mendadak menoleh, wah, celaka, ternyata
dibelakangku sudah berdiri dua kepala gundul, yaitu pecundangku
dahulu, To Kong dan To Bu Hwesio, demikian tutur Yan-chiu
kepada Tio Jiang.
Memang kedua hweshio bukan lain yalah To Ceng dan
To Kong, siapa sudah tentu menjadi murka tak terkira. Tapi
mereka cukup ber-hati2. Mengapa sinona begitu garang,
tentulah dibelakangnya mempunyai andalan yang lihay.
---oodw0tahoo---
BAGIAN 15 : LUPA DARATAN
"Nona kecil, besar sekali nyalimu berani masuk kedalam
sarang macan sini!" sahut mereka dengan tertawa dingin.
"Huh, apanya yang perlu ditakuti ?" ujar Yan-chiu.
Ucapan itu yang sebenarnya karena kegenitan sinona,
ternyata, diterima lain oleh kedua hweshio. Kalau sinona
sudah begitu tabah, tenang tentu mempunyai pelindung
yang sakti. Dan ini makin membuat mereka tak berani
gegabah turun tangan. Sebaliknya sigenit makin melonjak.
Mengira orang jeri, ia makin garang. Tapi justeru itu telah
membuka kedoknya sendiri, dan menyebabkan urusan jadi
runyam. Yan, chiu menggunakan kesempatan bagus itu
untuk mengunjukkan kecakapannya bermain lidah, mencuci maki orang sampai meringis seperti monyet kena
terasi. Antara lain dikatakan kedua hweshio itu adalah
bangsa hweshio cabul yang suka menodai kehormatan
kaum wanita. Sam-tianglo dari Ci Hun Si namanya cukup bersemarak
didunia persilatan. Sudah tentu lama2 panas juga telinga
mereka dikocok begitu macam oleh seorang nona. Begitu
sang mata gelap, To Ceng sudah menerjang maju
mencengkeram. Karena tak keburu berkelit, Yan-chiu sudah
kena dicengkeram. Masih untung To Ceng berlaku murah
karena jeri akan menerbitkan kemarahan siorang sakti yang
dikiranya melindungi sinona. Kalau tidak begitu, tentu jiwa
Yan-chiu sudah amblas.
Yan-chiu diam2 mengeluh celaka. Untuk melawan,
terang ia tak ungkulan. Satu2nya daya yalah menghadapinya dengan siasat tipuan. Maka dengan wajah
tenang menyungging senyum, ia menghardik: "Bagus,
hweshio kurus, jadi betul2 kau tak takut?"
"Takut apa?" tanya To Ceng coba memancing
keterangan dari sinona, karena sebenarnya diapun gelisah
ragu2. Yan-chiu ketawa cekikikan, serunya: "Ho...., jadi kalian
sudah lupa akan kejadian diluitay tempo hari " "
To Ceng melengak. Baru dia hendak membuka mulut
atau Yan-chiu sudah berpaling kebelakang seraya berseru
keras: "Cianpwee, silahkan kemari lekas!"
Seruan itu sudah tentu membuat kedua hweshio itu
terbang semangatnya. To Ceng agak menyurut kebelakang
dan Yan-chiu segera meronta. Sekali 'bergerak, " berhasillah
ia lepas dari cengkeram To Ceng. Andaikata saat itu ia terus
lari, belum tentu To Ceng dan To Kong berani
mengejarnya. Tapi dasar nona nakal, ia hendak bikin
pembalasan pada To Ceng yang menyakiti lengannya tadi.
Sekali loncat kesamping, ia hantam pundak To Ceng.
Karena tak mencluga, bahu To Ceng kena dihantam telak.
Walaupun lwekang sinona belum tinggi begitu pula
tenaganya tak seberapa kuat, tapi karena pukulan itu tepat
sekali jatuhnya, mau tak mau To Ceng meringis kesakitan
juga. Habis memukul, Yanchiu hendak lari, tapi To Ceng
yang sudah murka itu segera mencengkeram lengannya:
lagi, sehingga kini Yan-chiu harus meringis kesakitan pula.
Kini tahulah sudah hweshio itu, bahwa seruan sinona
tadi hanyalah tipu muslihat untuk menyiasatinya saja. Yan-
chiu segera didorong kemuka disuruh masuk kedalam
sebuah tenda. Karena kerasnya dorongan itu, Yan-chiu
terjerembab jatuh kedalam tenda. Tapi begitu ia


Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendongak, girangnya bukan kepalang. "Lian suci !"
teriaknya. Dibelakang meja tulis besar yang berada didalam kubu
itu, duduklah seorang lelaki setengah tua. Wajahnya keren,
mengenakan pakaian pembesar kerajaan Ceng. Berdiri
disebelahnya, adalah seorang wanita muda yang sangat
cantik. Wanita yang ter-iba2 dihadapan sinar lampu, bukan
lain ialah Bek Lian.
Mendengar seruan Yan-chiu, Bek Lian berpaling
kebelakang dan menyahut dengan enggan sekali, se-olah2
menganggap pertemuan dengan sang sumoay yang telah
lama berpisah itu tiada berarti apa2. Hal mana sudah tentu
membuat Yan-chiu heran,
"Li congpeng, sebernarnya kemanakah perginya engkoh
Go" Mengapa sampai sekarang belum, pulang?" kedengaran
Bek Lian bertanya kepada si pembesar itu.
Belum sipembesar yang disebut "Li congpeng" itu
menyahut, Yan-chiu yang sudah tak sabar lagi segera
berseru: "Lian suci, mengapa kau berada disini" Apakah
juga ditangkap oleh kedua keledai.......eh, kedua hweshio
itu ?" Semula Yan-chiu hendak mengatakan "keledai gundul",
tapi mengingat dirinya masih dalam tawanan orang, jadi
terpaksa dia robah perkataannya seperti diatas.
"Siao-Chiu, jangan mengganggu aku dulu, karena aku
masih mempunyai urusan," sahut Bek Lian dengan kurang
puas, lalu ulangi lagi pertanyaannya kepada sipembesar: "Li
Congpeng, kalau kau tak mengatakan, akupun tak mau
menurut lagi. !"
Sipembesar kedengaran batuk2. Yan-chiu yang cerdas
segera memastikan bahwa pembesar itu tentu Li Seng Tong,
itu panglima besar dari tentara Ceng. Mengira sang suci
mengancam hendak membuka rahasia militer, buru2 Yan-
chiu menyeletuk: "Bagus, Lian suci, kalau dia berani
rnembandel, bongkar saja rahasianya!"
"Siao Chiu, apa kau tahu dimana engkoh Go?" tanya Bek
Lian seraya berpaling. Sudah tentu Yan-chiu heran dan
menegas. "Sore tadi engkoh Go keluar, tapi sampai
sekarang belurn pulang, ah......aku cemas setengah mati!"
kata Bek Lian, gelisah. Mendengar itu Yan-chiu menghela
napas. Kiranya sang suci itu sudah begitu ter-gila2 pada
kekasihnya. Bagaimana The Go ditangkap oleh Thay-san
sin-tho dimarkas ke 1, telah diketahui Yan-chiu. Namun
bagaimana akhirnya pemuda itu telah berhasil melarikan
diri, Yanchiu sudah tak tahu, maka ia mengatakan
seenaknya saja: "Manusia rendah macam begitu, biarkan
saja digebuki orang, perlu apa kau tanyakan?"
Bek Lian meradang. Dengan sorot mata murka, dia
melejit kehadapan Yan-chiu. "Siao Chiu, mengapa kau
berani omong tak keruan ?" bentaknya dengan sengit. Yan-
chiu heran atas sikap sang suci itu. la tak tahu, bahwa sejak
Bek Lian serahkan hatinya kepada The Go, ia sudah buta
segala apa. Apapun tak peduli baginya, kecuali keselamatan
diri orang yang dicintainya itu. Sebaliknya Yan-chiupun tak
kurang sengitnya. Masa dibilangi baik2 malah kurang
senang. "Siapa yang ngaco belo" Cian-bin Long-kun sudah
didalam tangan suhu dan Thay-san sin-tho, mana dia bisa
lari ?" Kiranya Bek Lian tak kenal siapakah Thay-san sin-tho
itu. Namun demi didengarnya nama sang ayah, terbanglah
semangatnya. Cepat berpaling kearah sipembesar, ia
berseru: "Li Congpeng, mengapa kau biarkan engkoh Go
jatuh ketangan musuh ?"
"Cian-bin Long-kun pergi menyelidiki keadaan markas
ke 1 di Hoasan, mana aku tahu keadaannya waktu ini?" Li
Seng Tong balas bertanya dengan nada berat. Hati Bek Lian
serasa hancur, butir2an air mata mengucur turun dari
kelopak matanya. Melihat sang suci begitu dekat
hubungannya dengan sipembesar, lekas2 Yan-chiu minta
sang suci mendesak sipembesar agar membebaskan dirinya.
Tapi dalam hati Bek Lian, hanya ada seorang Cian-bin
Long-kun, mana ia mau menggubris sang sumoay lagi.
Sekali bergerak, melesatlah Bek Lian keluar dari tenda situ.
Hal mana membuat Yan-chiu gusar bukan kepalang.
Mulutnya segera me-maki2 kalang kabut.
"Jiwi taysu, jebeloskan budak perempuan itu kedalam
sumur kering sana!" perintah Li Seng Tong pada kedua
hweshio tadi. Bercerita sampai disini, tiba2 Yan-chiu bertepuk tangan
kegirangan, serunya: "Suko, ya benar, inilah sebuah sumur
kering!" Tapi Tio Jiang diam saja tak mau menyahut.
"Suko, kau dimana?" seru sigadis heran. Namun sampai
dua kali ia ulangi pertanyaannya itu, tetap Tio Jiang tak
menyahut. Karena tempat mereka berdua situ adalah
didasar sebuah sumur kering, jadi gelapnya bukan main.
Yan-chiu ulurkan tangan me-raba2, astaga, itulah lengan
sang suko, siapa terus ditariknya keras2: "Suko, apa kau
sudah gagu,?"
Disentak begitu, baru Tio Jiang gelagapan. Kiranya
sewaktu mendengar cerita "Yan-chiu, bagaimana sikap Bek
Lian yang begitu mesranya kepada The Go itu, hati Tio
Jiang seperti dibanting hancur. Dan sampai sekian lama dia
ter-longong2 diam seperti kehilangan semangat. Seruan
Yan-chiu sampai dua kali tadi, sampai tak didengarkannya.
Kasihan anak itu. Gadis yang siang malam dirinduinya itu,
ternyata menyintai lain orang. Dan kalau Tio Jiang berlaku
begitu, sebenarnya adalah gara2 sinona genit Yan-chiu.
Memang Bek Lian sedari dulu tak mempunyai hati kepada
sang sute. Hanya karena permainan Yan-chiu yang sudah
memberikan sebuah peniti kupu2, maka Tio Jiang mengira
kalau sucinya itu mau membalas cintanya. Memang cinta
itu buta. Mendadak dia tersadar. Bek Lian tentu menyusul
The Go keatas Hoasan dan dengan begitu bukankah akan
celaka dibombader oleh meriam2 tentara Ceng tadi" Sukar
mencari seorang lelaki seperti Tio Jiang. Tahu sang suci tak
menyintainya, namun dia tetap tak berobah hatinya.
"Siao Chiu, hayo lekas keluar dari tempat ini. Lian suci
tentu menyusul The Go keatas gunung, jangan2 ia nanti
mendapat kecelakaan kalau kita tak keburu menolongnya!"
"Lian suci sudah tak menghiraukan kita, mengapa kau
mau menolongnya?" seru Yan-chiu dengan uring2an demi
diketahui sang suko itu masih mabuk cinta.
Tio Jiang tak pandai main lidah, jadi apa-yang
dikandung dalam hati terus dinyatakan saja, ujarnya: "Siao
Chiu, Lian suci dengan aku mempunyai ikatan janji seumur
hidup bagaimana aku bisa tinggal diam saja ?"
Mendengar itu, pecahlah ringkik tertawa sinona genit.
Sudah tentu Tio Jiang melongo.
"Sumoay, kau ketawai apa?" tanyanya.
Bermula Yan-chiu segera akan menceritakan saja duduk
perkara yang sebenarnya. Tapi terkilas pada pikirannya,
lebih baik jangan sekarang, karena siapa tahu nanti Tio
Jiang akan kalap benturkan kepala didinding sumur situ.
"Jiang suko, aku ewah dengan pikiranmu yang buta itu !"
"Kan sudah selayaknya berbuat begitu, karena hati kami
sudah terikat cinta" tanpa ragu2 lagi Tio Jiang membela
diri. Diam2 Yan-chiu sangat kagumi kejujuran sang suko.
Rasa sympathinya makin besar. Dahulu ia anggap Tio Jiang
itu hanya sebagai saudara seperguruan saja. Kini melihat isi
hati Tio Jiang itu, ia menganggap itulah seorang pemuda
yang di-idam2kan oleh setiap gadis, mencinta setulus hati
dan rela berkorban untuk orang yang dicintainya itu.
Memikir sampai disitu, mau tak mau berobahlah wajah
Yanchiu ke-merah2an karena jengah.
"Suko, marilah kita cari jalan keluar dari sini!" akhirnya
ia terima ajakan sang suko. Begitulah mereka berunding
cara bagaimana dapat keluar dari dasar sumur kering itu.
Tengah mereka asyik begitu, se-konyong2 disebelah atas
sana tampak ada sinar terang memancar kebawah. Buru2
Yan-chiu tarik sukonya kesamping. ,Mungkin ada orang
turun kemari, jangan sampai kelihatan" bisiknya. Begitulah
keduanya segera tempelkan tubuh rapat2 kedinding sumur.
Benar juga tak antara lama, terdengar ada orang berkata:
"Hi........, mengapa tak kelihatan" Jangan sampai kedua
anak kurang ajar itu lolos!"
"Jangan ngoceh tak keruan! Mereka diikat dengan tali
urat kerbau, mulutnya disumpal buah besi, sekalipun
seorang anak dewa tak nanti dapat lolos juga!" sahut
kawannya. Jadi terang yang disebelah atas itu ada dua
orang. Habis berkata begitu, terdengarlah salah secrang dari
mereka tertawa, serunya: "Oi, budak perempuan itu boleh
juga dah ! Lauko, bukankah kau bermaksud turun kebawah
untuk bercumbu2an dengan ia?" Kawannya itu menyambutnya dengan suara ter-kekeh2, ujar: "Lauhia,
jangan kasih tahu siapapun juga. Memang anak perempuan
itu cukup cantik; Memikat hati orang !"
Kalau kedua orang disebelah atas itu bercanda dengan
girangnya, adalah Tio Jiang menjadi murka sekali. Tapi
bagaimana lagi, dia tak dapat berbuat apa2. Yan-chiu
sembari jinjit, berbisik kedekat telinga sang suko: "Suko,
kata mereka aku ini cantik, bagaimana pendapatmu?"
"Sumoay, dalam keadaan begini kau masih suka ber-
olok2 ?" sahut Tio Jiang.
"Hayo bilang tidak, apakah aku ini buruk rupa?" Yan-
chiu sudah mulai meradang.
Tio Jiang yang tak bisa berbohong itu segera menyahut:
"Sudah tentu tak buruk dan emangnya cantik sekali !"
Yan-chiu tertawa puas dan sembari makin menempel
rapat ia bertanya pula: "Kalau melihat aku, kau tergerak
hatimu tidak, suko?"
Bohwat alias kewalahan betul2 Tio Jiang saat itu.
Dengan deliki mata ia memandang Yan-chiu. Justeru pada
saat itu, sorot dari atas itu makin menerangi dasar sumur
situ. Niatnya dia hendak damprat sang sumoay, tapi demi
matanya tertumbuk akan wajah sinona yang tampaknya
makin cantik dalam keadaan tak berhias serta rambut
terurai itu, mau tak mau tergeraklah hati Tio Jiang.
Darahnya tersirap, ingin sekali dia makin merapat kepada
sinona nakal itu untuk menciumnya.
"Tergerak!" akhirnya meluncurlah kata2 dari mulutnya.
Tapi pada lain saat, dia merasa ucapannya itu keterlaluan,
maka buru2 menyusulinya: "Ah, bukan, Siao Chiu. Kau
tahu aku sudah mencintai Lian suci, maka sudah tentu tak
dapat ........ "
Geli Yan-chiu bukan terkira. Tapi menjaga tak sampai
suara ketawanya kedengaran, ia tahan se-dapat2nya hingga
tubuhnya saja yang menggigil seperti orang kedinginan. Tio
Jiang makin ke-heran2an.
"Engkoh tolol, siapakah yang ingin kau peristerikan! Tak
usah kau katakan yang bukan2 !" akhirnya Yan-chiu
berkata, sehingga wajah Tio Jiang merah padam ke-
malu2an. Diam2 Yan-chiu melamun jauh.
Begitu murni cinta Tio Jiang pada sang suci, walaupun
pada hakekatnya sang suko itu hanya menjadi korban
perolokannya. Kelak kalau hal itu diketahuinya dan suko
itu tak memarahi bahkan mau memperisterikan ia (Yan-
chiu), bagaimanakah perasaannya" Ah, Liau Yan-chiu,
Liau Yanchiu, apakah kau suka terima peminangan Tio
Jiang itu" Atau kau tolak dia" Demikian Yan-chiu ber-
tanya2 dalam lamunannya. Dan tak dapat ia memberi
jawaban pada pertanyaan yang dikhayalkan itu.
Itulah dara Lo-hu-san yang genit lincah! Umurnya sih
baru lebih kurang 16 tahun, dan ketika berada di Lo-hu-san
ia selalu jengah memikirkan soal hubungan wanita dengan
pria itu. Tapi mengapa pada saat itu ia melamunkan yang
tidak2, bertanya pada hatinya sendiri bagaimana jika kelak
dipinang oleh sang suko" Itulah pembaca, tanpa disadari
nona genit itu telah terpanah asmara, Orang yang menjadi
tambatan idam2annya, bukan lain adalah sukonya sendiri,
Tio Jiang, jejaka bodoh yang polos itu.
Saat itu dari sebelah atas meluncurlah seutus tali besar
hingga sampai kedasar sumur. Setelah itu lalu ada dua
orang serdadu Ceng melorot turun dari tali itu. Begitu
Mereka sudah berada di-tengah2, Tio Jiang melesat maju
untuk, menarik tali itu.
"Lauko, jangan bergurau. Sumur ini sangat dalam, kalau
sampai jatuh, wah, jangan main2!" seru salah seorang pada
kawannya ketika tali ber-gerak2. Dan sekali Tio Jiang
menyentak, maka buyarlah impian yang indah dari kedua
serdadu Ceng tadi. Tubuhnya serasa dihantam oleh suatu
tenaga besar dan saking sakitnya mereka dipaksa untuk
lepaskan cekalannya ...... bum, ....... bum, segera
kedengaran suara dua sosok tubuh jatuh dari atas sekira
satu tombak tingginya. Jatuhnya begitu payah hingga lebih
banyak matinya daripada hidup.
"Lekas-naik keatas!" seru Tio Jiang seraya melambaikan
tangan pada sumoaynya. Sekejab saja, keduanya sudah
berada diatas. Saat itu sudah hampir sore. Entah sudah
berapa hari mereka dikurung dalam sumur kering itu.
Ketika melihat kesekelilingnya, ternyata kubu2 tentara,
Ceng tadi sudah tak kelihatan disitu, entah pindah kemana.
Sedang dimarkas no. 1 gunung Hoasan sana tampak
menjulang gulungan asap. Teringat Tio Jiang sewaktu
berkelahi dengan To Ceng dan To Kong, memang dimarkas
ke 1 sana mendadak timbul kebakaran. Adakah markas itu
kini sudah terbakar habis "
"Siao Chiu, hayo lekas keatas gunung!" serunya dengan
gugup. Tapi Yan-chiu lebih terliti. Ketika habis

Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendengarkan keterangan Tio Jiang tadi, segera ia
menyatakan pendapatnya: "Suko, kalau memang tentara
Ceng menang dan markas Hoasan no. 1 itu sudah terbakar,
sukar untuk kita naik kesana. Taruh kata kita dapat sampai
kesana, toh sama artinya dengan mengantar jiwa saja!"
Tio Jiang tak dapat membantah. Sampai sekian saat dia
diam saja. Tiba2 dia banting2 kaki berseru: "Waktu Lian
suci naik keatas gunung, tentara Ceng tengah melancarkan
serangan meriam2-nya, jangan2 ia mendapat kecelakaan.
Biar bagaimana aku harus kesana!"
Yan-chiu tak dapat mencegah kemauan, sang suko itu.
Apa boleh buat iapun lari mengikutnya naik keatas gunung.
Disepanjang jalan ternyata tak menemui halangan suatu
apa, karena dimarkas ke 1 itu sudah menjadi rata dengan
tanah. Mayat2 bergelimpangan disana-sini, gedung permusyarahan sudah menjadi tumpukan puing, Hanya ada
sisa2 bangunan yang masih menyala lelatu apinya.
Tio Jiang dan Yan-chiu heran melihat pemandangan itu.
Baru semalam dia tinggalkan markas itu, mengapa, kini
menjadi tumpukan puing" Kemana perginya tentara Ceng
itu" Kemana pulakah beradanya rombongan orang gagah
gunung Hoasan serta suhunya" Keduanya kesima
dihadapan tumpukan puing2 dan sisa api unggun yang
membisu dihadapannya.
Tiba2 Yan-chiu mendapat pikiran. Diantara sekian
mayat yang bergelimpangan itu, masakan tiada seorang
yang masih bernyawa, dan ini bisa ditanyai keterangan.
Setelah disetujui Tio Jiang, keduanya segera melakukan
pemeriksaan pada korban2 disitu. Keduanya adalah orang2
persilatan, jadi nyalinya cukup besar. Tapi walaupun
sampai sekian saat meriksa kesana-sini, ternyata semua
korban2 yang bergelimpangan disitu sudah menjadi mayat.
Kalau tidak kepalanya hangus, mukanya hancur atau
dadanya tertusuk senjata tentu tulang belulangnya remuk.
Betul diantaranya beberapa serdadu Ceng, tapi sebagian
besar adalah anak buah dari gunung Hoa-san. Dari
keadaannya, mereka itu sudah lama menjadi mayat.
"Hai .....mayat2! Mengapa kamu membisu saja!, hayo
lekas bersuara!" mendadak Yan-chiu berseru nyaring.
Mendengar sang sumoay unjuk ugal2an lagi, walaupun
sedang resah hati, Mau tak mau Tio Jiang tertawa kecut
juga. Tapi diluar dugaan seruan Yan-chiu tadi sudah
bersambut dengan suara rintihan. Mendengar itu segera Tio
Jiang dan Yan-chiu menghampiri kearah datangnya
rintihan itu. Segera Yan-chiu mengenali orang itu sebagai
anak buahnya sendiri. Dengan napas ter-engah2 orang itu
berkata: "Li-tayong ......meriam, lihay sekali.......sekalian
saudara sama melarikan diri"
"Ceng Bo siangjinn berada dimana?" tanya Yan-chiu.
Orang itu ulurkan tangannya menunjuk kearah barat
daya (barat selatan). Hendak dia mengatakan sesuatu, tapi
tiba2 kepalanya terkulai kedada dan putuslah jiwanya.
Yanchiu segera ajak sang suko untuk mencari suhu mereka.
Setelah mengawasi sekeliling tempat itu dengan elahan
napas terharu, segera keduanya ayunkan langkahnya kearah
barat. Namun dalam hati Tio Jiang tetap mengandung
pertanyaan yang tak dapat dijawabnya. Terang semalam dia
telah rusakkan 10 pucuk meriam musuh, mengapa meriam2
itu masih bisa muntahkan pelurunya. Adakah meriam2
yang dirusakkannya itu palsu dan yang tulen masih
disembunyikan mereka"
Keduanya tak faham akan jalanan digunung Hoa-san
situ. Mereka kira ke 72 markas itu terletak dibelakang satu
dengan yang lain. Mereka tak mengetahui bahwa-
pegunungan Hoa-san itu luas sekali sampai beberapa ratus
Ii kelilingnya. Benar pegunungan itu disebut Hoa-san, tapi
sebenarnya entah berapa jumlahnya puncak2 dari
pegunungan itu. Hampir sejam lebih mengitari gunung itu,
tapi makin lama makin tersesat jalan. Bukan jalanan yang
ditemuinya, tapi, padang belantara daerah pegunungan
yang sunyi senyap. Tiba2 Yan-chiu yang berjalan dimuka,
berhenti. Tio Jiang buru2 menghampirinya. Kiranya
dibawah kaki tempat mereka berdiri itu, adalah sebuah
lembah yang tak terkira dalamnya. Begitu curam lembah
itu, hingga keduanya tak dapat melihat jelas dasarnya.
Ketika terasa ada angin menyambar, maka dibawah lembah
sana segera terdengar suara menderu2. Ketika itu adalah
permulaan musim semi, hawa udarapun masih dingin.
Puncak karang dimana keduanya berada itu, kira2 ada 5
atau 6 tombak luasnya. Lembah yang memisahkan puncak
itu dengan puncak karang yang disebelah sana, mirip
dengan bentuk sebuah mulut yang aneh. Yan-chiu hendak
kembali kebelakang, tapi tiba2 Tio Jiang mengeluarkan
seruan tertahan: "Hai, lihatlah sumoay, siapakah yang
berada dipuncak karang sebelah muka itu?"
Yan-chiu mengawasi kemuka. Disebelah sebuah puhun
siong tua yang tumbuh diatas puncak karang sana, tampak
ada seorang wanita berdiri tegak. Sambil menutupkan
sepasang tangannya pada kedua belah pipi, wanita muda itu
memandang kesebelah utara. Benar karena menghadap
kesebelah sana maka mukanya tak tertampak, namun dari
bentuk tubuhnya yang molek langsing itu, tentulah ia itu
seorang wanita yang cantik. Dan dari potongan tubuhnya
itu, kedua suko dan sumoay itu segera dapat mengenalinya.
Ya, tak salah lagi, itulah Bek Lian, suci mereka yang manis
itu. "Lian suci, kau disitu ....... mengapa?" Yan-chiu segera
meneriakinya. Diulangnya sekali lagi teriakan itu, namun
rupanya Bek Lian tak mau mendengari serta masih tetap
berdiri membelakangi. Kuatir kalau teriakan sumoaynya itu
kurang keras, make Tio Jiang segera empos lwekangnya
"cap ji si heng kang sim ciat" dan berseru lantang sekali:
"Lian,-suci!"
Karena ilmu lwekangnya maju pesat sekali, maka
teriakan Tio Jiang itu menggelegar berkumandang jauh
sekali. Disana sini segera riuh, sambut menyambut
kumandang suara "Lian-suci"..., "Lian-suci"...... wanita itu benar2 tergetar dan berpaling kebelakang. Kini walaupun
terpisah dengan jurang yang lebarnya 6 atau 7 tombak, tapi
satu sama lain dapat melihat dengan jelas, memang wanita
itu benar Bek Lian adanya. Hanya saja wajahnya tampak
sayu muram, air matanya ber-linang2.
Berjumpa dengan orang yang dirindukan, Tio Jiang ingin
menumpahkan seluruh isi hatinya, tapi entah bagaimana,
makin bernapsu menyatakan makin mulutnya berat
sehingga akhirnya tak dapat die bicara same sekali. Setelah
sejenak memandang kepada kedua saudara seperguruannya
itu, tanpa mengucap apa2, Bek Lian berpaling kebelakang
pula. Ia tampak memandang kearah utara lagi. "Lian-suci!"
teriak Tio Jiang dengan se-kuat2nya. Mestinya Bek Lian
mendengar seruan itu, tapi ternyata ia tetap berdiam diri
saja. "Hai....., Lian-suci yang manis, apakah yang kau
pandang itu ?" tanya Yan-chiu Sembari menyengir kurang
senang, lalu berjengket dengan ujung kaki untuk melihat
kesebelah utara. Tapi disana ia tak melihat sesuatu yang
aneh. Buru2 ia panjat sebuah puhun yang tumbuh didekat situ
untuk melongok kearah tempat Bek Lian berdiri. Begitu
mengawasi, saking terkejutnya hampir saja ia jatuh dari
pohon. Melihat tingkah Yan-chiu yang mencurigakan itu,
Tio Jiang pun segera loncat keatas puhun. Kejutnya, malah
melebihi Yan-chiu tadi. Dengan gigi bercakrukan berserulah
dia ter-putus2: "Lian-suci!
Jangan..........loncat,
jangan........Ioncat !"
Kiranya puncak karang tempat Bek Lian berdiri itu
hanya satu tombak luasnya. Disebelah depan pun terdapat
sebuah lembah yang teramat curamnya. Dari atas pohon
situ, dapatlah dilihatnya apa yang terjadi dengan Bek Lian.
Bek Lian tengah mondar mandir ditepi puncak, sedang
ketika itu angin berembus dengan kuatnya. Pakaiannya
yang bergontaian tertiup angin itu, sepintas pandang seperti
orangnya sudah tengah ayunkan tubuh loncat kebawah
Iembah. Sekali loncat tentu tamatlah riwayatnya. Maka tak
heranlah ketika Yan-chiu dan Tio Jiang melihat hal itu,
mereka sama berdiri bulu romanya. Tio Jiang ulangi lagi
seruannya beberapa kali, namun Bek Lian tetap tak
mengacuhkan. la memandang jauh kebawah lembah, air
matanya bercucuran turun seperti hujan dicurahkan.
Tio Jiang seperti semut diatas kuali panas. Hendak dia
loncat kesana, tapi apa, daya untuk melintasi jarak pemisah
yang antara 6 tombak jauhnya itu. Sekalipun ilmunya
mengentengi tubuh lihay, namun tak nanti dia dapat
meloncati jarak itu, kecuali dia bisa tumbuh sayap. Tiba2
terkilas dalam pikiran Tio Jiang, mengapa sang suci yang
kepandaiannya masih kalah dengan dia itu, dapat naik
kepuncak itu terpisah lima enam-tombak jaraknya, jangan2
sang suci itu pergi kesana dengan jalan melompati selat
lembah itu. Dan kalau sang suci bisa, mengapa dia tidak"
Memikir sampai disini, tanpa terasa dia meniru tingkah Sik
Lo sam, menampar mukanya sendiri sembari memaki:
"Huh, Tio Jiang....., Tio Jiang....... Macammu mana
berharga mencintai Bek Lian. Masa selat lembah begitu saja
kau sudah jeri melompatinya ?"
Melihat kelakuan sang suko yang menampar muka dan
bicara sendiri itu, Yan-chiu heran juga. Tapi Tio Jiang tak
ambil peduli lagi. Loncat turun dari atas puhun, segera dia
mundur kebelakang sampai belasan langkah. Sekali enjot.
dia terus berjumpalitan sampai 3 kali kemuka. Dan begitu
tiba ditepi puncak dia menjejak se-kuat2nya. Tubuhnya
segera melayang diudara. Apa yang didengarnya hanyalah
deru angin menyambar disisi telinganya dan jeritan Yan-
chiu dari arah belakang. Begitu memandang kesebelah
bawah, bulu romanya berdiri tegak. Dan tepat pada saat itu,
dirasanya sang tubuh melayang turun kebawah. Buru2 dia
empos semangatnya. Tapi tepat pada detik itu, tiba2
terdengarlah suara auman senjata rahasia. Lima bintik sinar
perak, menyambar kearahnya.
Ketika hendak menurun tadi, buru2 Tio Jiang pijakkan
kaki kiri nya keatas kaki kanan. Dan sekali, enjot, dia
melambung lagi keatas. Tapi samberan kelima biji senjata
rahasia itu luar biasa cepatnya. Malah ketika sampai
ditengah jalan, senjata2 rahasia itu sama berpencaran
sendiri, menghantam bagian kepala, tubuh dan kaki.
Sesaat itu tahulah Tio Jiang, bahwa senjata rahasia itu
adalah Bek Lian yang menyabitkan. Itulah yang disebut
liuyap-piau (piau yang bentuknya seperti daun puhun liu),
permainan yang diyakinkan dengan tekun oleh Bek Lian
sewaktu masih digunung Giok-li-nia. Dalam gugupnya, Tio
Jiang segera berjumpalitan. Tapi sayang karena latihannya
ilmu mengentengi tubuh masih belum sempurna, maka
walaupun kelima biji liu-yap-piau itu dapat dihindari,
namun tubuhnya meluncur turun kebawah lembah.
Lembah itu tak terukur dalamnya. Dalam sekejab saja,
lenyaplah sudah bayangan Tio Jiang.
Sewaktu Tio Jiang hendak loncat tadi, Yan-chiu sudah
akan turun dari puhun untuk mencegahnya. Tapi ia kalah
cepat dengan sang suko yang sudah loncat kemuka itu.
Dengan menjerit kaget, dia awasi tubuh sukonya. Dalam
hati, ia mendoa mudah2an sukonya dapat berhasil melintasi
lembah yang berbahaya itu. Tapi bukan kepalang kagetnya
demi dilihatnya Bek Lian dengan geram sekali sudah
menaburkan liu-yap-piau. Liu-yap-piau itu terbuat dari baja
lemas pilihan. Jumlahnya hanya belasan saja. Jadi kalau tak
bertemu dengan musuh tangguh, Bek Lian tak sembarangan
mau menggunakannya. Dan rasa kagetnya makin men-jadi2
demi setelah berjumpalitan tubuh Tio Jiang lalu meluncur
kebawah lembah. Nona yang biasa lincah tangkas itu, pada
itu tak dapat berbuat apa kecuali ter-longong2 sambil
mengucurkan air mata, kesedihan.
Tiba2 disebelah muka sana didengarnya Bek Lian juga
ter-isak2 menangis pe-lahan2. Kiranya nona itu juga
menangis tersedu sedan. Sebenarnya Yan-chiu tak mau
mengadu biru dalam hubungan Tio Jiang dengan Bek Lian.
Tapi dalam beberapa hari ini, demi difahaminya betapa
kesungguhan hati sang suko mencintai sucinya itu, iapun
tergerak perasaannya. Pula menilik kelakuan yang tak
selayaknya dari sang suci itu, sympathi Yan-chiu terhadap
sukonya, makin tebal. Maka tanpa disadari, timbullah rasa
bencinya terhadap Bek Lian. "Orangnya kan sudah jatuh
kebawah, masa ber-pura2 menangis seperti sang kucing
menangisi sitikus saja!" serunya dengan sinis.
Saat itu angin reda, jadi Bek Lian dapat mendengar jelas
apa yang dikatakan sang sumoay itu. "Kalian tak usah
pedulikan aku!" sahutnya seraya mendongak.
"Apa ?" menegas Yan-chiu karena tak mengerti ucapan
orang. Bek Lian gentakkan kepalanya tertawa dingin :
"Siapa yang mengurusi aku, tentu akan turun kebawah
lembah sana. Kalau seorang ayah boleh tak mengakui
anaknya, mengapa seorang suci tak boleh mengusir sutenya
?" Mendengar sang suci mengoceh tak keruan, Yan-chiu
maju selangkah seraya berseru: "Mana suhu ?"
Bek Lian menangis. "Entah, tak tahulah !" sahutnya
kemudian. Yan-chiu makin gusar, tanyanya pula: "Dan mana Cian-
bin long-kun-mu itu ?"
Mendengar nama itu disebut, serentak majulah Bek Lian
menghampiri ketepian puncak. "Jadi kau tahu tentang
engkoh Go?" tanyanya sembari menangis. Kini Yan-chiu
timbul rasa kasihannya. Bek Lian menyintai The Go


Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sebenarnyapun bukan suatu kesalahan. Mungkin sang suhu
menentangnya, jadi sucinya itu. lalu mengambil putusan
pendek begitu. "Lian suci, bagaimana kau bisa berada disitu
" Sukalah memberitahukan agar aku bisa menyusul
ketempatmu situ," katanya dengan lemah lembut.
Tapi diluar dugaan, Bek Lian segera menyahut dengan
gugup : "Jangan datang kemari !" ,
"Mengapa ?"
"Ya, tak perlu kemari. Kalau kau berani datang sini, aku
tentu tak sungkan lagi !" kata Bek Lian.
Tapi dasarnya bengal, Yan-chiu menantangnya: "Tapi
aku justeru hendak kesitu !" katanya sembari mengambil
sikap seperti hendak melompat. Hal itu sebenarnya hanya
untuk mengetahui bagaimana reaksi sang suci. Biasanya
Bek Lian cukup faham akan sifat2 yang nakal dari
sumoaynya itu. Tapi karena semalam ia menderita
goncangan bathin hebat, pikirannyapun menjadi kalut.
Demi dilihatnya Yan-chiu hendak melompat, ia terus
taburkan 5 biji liu-yap-piau.
Tadi memang sebelah kaki Yan-chiu sudah sengaja
diacungkan kemuka, jadi bergelantungan diatas lembah.
Begitu liu-yap-piau menyambar, cepat2 ia dongakkan
tubuhnya kebelakang. Benar liu-yap-piau dapat dihindari,
tapi batu ditepian puncak yang diinjak dengan sebelah kaki
itu tiba2 sol alias longsor. Sudah tentu tubuhnya terhuyung
dan jatuh kebawah lembah. Dalam lain kejab, ia tentu akan
mengalami nasib serupa dengan Tio Jiang. Untunglah
dalam detik2 berbahaya itu, matanya dapat melihat
serumpun puhun rotan yang tumbuh ditepi puncak situ.
Secepat kilat tangannya menyawut dua batang rotan yang
tumbuh bergelantungan didinding bagian bawah samping
karang itu. Tapi mana dua batang rotan dapat menahan
berat tubuh seorang yang menggandulinya" Akar dari rotan
itu, segera ber-gerak2 tercabut keatas.
Dalam keadaan yang berbahaya itu, Yan-chiu berusaha
untuk menguasai ketenangannya, Sedianya ia hendak
gunakan gerakan "tho cu boan sim" si bongkok balikkan
tubuh. Dengan meminjam kekuatan rotan, ia akan
apungkan tubuh keatas puncak lagi. Tapi baru ia hendak
kerahkan tenaga kearah tangan, tiba2 terdengarlah suara
angin menderu. Sebuah liu-yap-to (golok bentuk daun liu)
yang besarnya hanya lebih kurang 5 dim menyambar diatas
kepalanya. Beberapa butir batu segera berhamburan jatuh
dari atas puncak. Karena dirinya sedang bergelantungan,
jadi Yan-chiu tak dapat berkelit, maka ada beberapa butir
batu yang jatuh menimpa kepalanya, sakitnya lumayan
juga. Dan yang lebih hebat dari itu, salah sebatang dari 3
batang rotan yang dicekalnya itu menjadi putus terpapas
liu-yap-to tadi.
Berpaling mengawasi kearah sang suci, didapatinya
dalam tangan sang suci itu masih menggenggam, 3 batang
liuyap-to. Dengan wajah dingin tak kenal kasihan lagi, Bek
Lian menatap tajam2 kearah Yan-chiu. Keadaan Bek Lian
pada saat itu, mirip dengan sebuah patung ukiran kayu dari
seorang wanita ayu, Yan-chiu mengeluh dalam hati. Kalau
Bek Lian timpukkan dua buah liu-yap-tonya lagi, maka ia
tentu akan kecemplung kedalam dasar lembah.
Ilmu menimpuk dengan liu-yap-to termasuk salah satu
macam kepandaian yang luar biasa dari Ceng Bo siangjin.
Siangjin itu telah memberi pelajaran ilmu itu. pada Bek
Lian dan Yan-chiu. Tapi disebabkan sifat Yan-chiu yang
kurang sabar, setelah belajar beberapa bulan, akhirnya dia
menyerah. Pilihannya jatuh pada senjata bandringan liu-
singcui yang hampir setombak panjangnya. Kalau ilmu
permainan itu diyakinkan dengan sempurna, rasanya dapat
menyamai semacam senjata rahasia kegunaannya. Maka
sejak itu, ia tak lanjutkan latihanya lagi. Sebaliknya Bek
Lian siang-malam berlatih dengan tekun sekali, sehingga
akhirnya ia mahir sekali dalam permainan itu. Seratus kali
timpuk, seratus kali tentu mengenai sasarannya. "Lian-
suci!"seru Yan-chiu dengan cemasnya.
Seruan Yan-chiu itu sedemikian rawan menghibakan
hati. Betapun keras hati seseorang, tak urung tentu tergerak
juga. Tapi bagi Bek Lian yang sudah menderita siksaan
batin itu, perasaannya sudah mati. Kalau Yan-chiu jatuh
kedalam lembah, paling banyak ia tentu mati. Dan ini akan
himpaslah sudah segala beban kuajibannya sebagai
manusia. Tidak demikian dengan dirinya. Hidup tidak
matipun bukan. "Kau suruh aku bagaimana lagi " Paling2
kau nanti mati didasar lembah, dan kematianmu itu tentu
memuaskan, jauh lebih baik dari diriku ini!" sahutnya
dengan nada dingin. Masih Yan-chiu tak tahu mengapa Bek
Lian sampai berubah sedemikian tak berperasaan itu.
Rencananya, begitu sang suci agak lengah, hendak ia
apungkan tubuhnya melayang keatas puncak karang.
"Lian........ su.........", mulut berseru tangannya segera siap
melakukan rencananya itu. Tapi ternyata Bek Lian tetap
mengawasi gerak geriknya. "Wut", sebuah liu-yap-to
melayang pula dan sesaat Yan-chiu rasakan cekalannya
agak kendor lagi. Kiranya sebatang rotan yang dicekalinya
itu, putus pula.
"Aku hendak naik kesorga tapi tiada mendapat jalan,
mau masuk ke neraka tiada mendapat pintu. Maka takkan
kubiarkan kau menyiarkan hal ini pada lain orang. Aku tak
suka dikasihani oleh siapapun juga!" seru Bek Lian
disebelah sana.
---oodw0tahoo---
BAGIAN 16 : SETAN LAWAN IBLIS
Yan-chiu tak pedulikan ocehan orang, tetap ia hendak
lanjutkan rencananya. Tapi se-konyong2 terdengarlah
wut...., wut....., suara samberan dua kali dan batang rotan
yang dicekalinya itu putus semua, tubuhnyapun melayang
turun kebawah. Samar2 masih didengarnya sang suci
melengking seperti orang gila: "Siao Chiu, segera kau dapat
mati, wah senangnya! Ha...., ha.......ha..., ha...... "
Pada lain saat, dilihatnya suasana makin gelap gelita,
angin menderu-deru disisi telinganya, kepalanya terasa
pening. dan matanya ber-kunang2. Yan-chiu yang masih
belum tinggi kepandaiannya itu, segera pingsan tak
sadarkan diri Entah sudah berapa lama ia dalam keadaan begitu, tapi
ketika tersadar didengarnya ada suara orang ber-kata2.
Yang seorang sembari berkata sembari ketawa dengan
keras, sedang yang lain nada suaran ya kecil halus macam
orang perempuan. Lapat2 didengarnya juga deru samberan
angin pukulan, sepertinya kedua orang itu tengah berkelahi.
Tapi ditilik dari lagu pembicaraannya, kedua orang itu tak
mirip dengan orang yang sedang tantang2an.
Dalam pada itu, tak habis keheranan Yan-chiu, Terang
tadi ia telah jatuh kedalam lembah, tapi mengapa dirinya
tak kurang suatu apa. Salah seorang dari kedua orang yang
tengah adu mulut dan adu kepandaiannya itu, nada
suaranya tak sedap dipendengaran telinga. Jangan2~
bangsa siluman mereka itu "! Tapi biarlah kunantikan saja,
demikian keputusan Yan-chiu lalu meramkan matanya lagi.
"Ha...., ha...... jurus keberapakah ini, apa masih ada
lainnya lagi ?" kata yang seorang sembari tertawa mengejek.
"Kau sambut saja, jangan banyak omong!" sahut yang
lain dengan marahnya. Nada suaranya melengking
sedemikian tajam, sehingga mau tak mau Yan-chiu
membuka matanya lagi.
Dan ketika membuka mata lebar2, bukan kepalang kejut
dan girangnya. Kiranya terpisah hanya berapa meter dari
tempatnya situ, tampak Tio Jiang tengah berdiri. Malah
tampak sang suko itu mengawasi kearahnya. Tapi ketika ia
hendak meneriaki, Tio Jiang cepat2 menggoyangkan
tangan, menyuruhnya diam. Setelah itu sang suko
menunjuk kemuka. Yan-chiu memandang kearah yang
ditunjuk itu, dan amboi........, hampir saja dia berjingkrak
bangun. Kiranya disana, tampak ada seorang lelaki dan seorang
perempuan tengah ber-putar2 dalam lingkaran. Ternyata
didasar lembah itu tak segelap yang diduganya. Sinar
matahari dapat menyinari masuk, maka walaupun
menjelang magrib, namun masih tampak terang benderang.
Dasar lembah itu penuh ditumbuhi tanam2an. Cuma saja
disekitar tempat silelaki dan siwanita ber-putar2 itu, puhun2
yang tumbuh disekelilingnya sama tumbuh. Wanita itu
berambut panjang terurai menutupi mukanya. Sepasang
matanya memancarkan sorot ke-hijau2an warnanya.
Barang siapa yang mengawasinya, tentu akan bergidik.
Sedang silelaki itu pakaiannya luar biasa anehnya. Dia
seperti memakai sarung dari kulit rase, tapi kakinya tak
memakai sepatu. Gerak kakinya mantep, jauh berlainan
dengan gerak kaki siwanita yang se-olah2 terapung diatas
tak menyentuh tanah itu.
Begitu mereka berputar tubuh, Yan-chiu melengak.
Rasanya ia sudah pernah kenal dengan silelaki itu. Ya,
benar ia sudah kenal baik dengan orang itu, tapi ah.....,
lupalah siapa dianya itu. Setelah saling berhadapan,
siwanita itu berseru : "Jurus ini disebut ce-gwat-bu-kong
(rembulan dan bintang tiada bercahaya). Hati2lah !"
Habis berkata, terus menerjang. Gerakannya itu luar
biasa cepatnya. Yan-chiu tak terpisah jauh dari kedua orang
yang tengah bertempur itu. Semestinya, ia tentu rasakan
samberan angin dari gerakan siwanita itu. Tapi nyatanya,
baik suara maupun anginnya, tiada terasa sama sekali. Yan-
chiu kesima kaget, masa didunia terdapat manusia macam
begitu. Jangan2 ia itu berada diakherat ini "! Teringat ia
akan penuturan orang, bahwa bangsa setan hantu itu tiada
mempunyai bayangan, maka serentaklah ia berbangkit
untuk mengawasi. Oho......., mereka masing2 mempunyai
bayangan, jadi bukan bangsa lelembut. Waktu mengawasi
jalannya pertempuran, kiranya silelaki dan siwanita itu
sudah merapat satu mama lain hingga merupakan sebuah
lingkaran bayangan. Tapi pada lain saat, keduanya saling
berpencar lagi.
"Bagus, bagus, lihay amat kau! Didunia jarang mendapat
tandingan tentu !" seru silelaki dengan tertawa keras. Dan
serta tampak Yan-chiu sudah berdiri, silelaki aneh itu segera
unjuk muka-setan, serunya: "Ho, kau sudah bangun?"
Melihat tingkah silelaki aneh itu, tersadarlah ingatan
Yan-chiu. Tak salah lagi, dia yalah sipengemis lucu yang
tempo diluitay telah membantunya merobohkan salah
seorang samtianglo dari Ci Hun Si. Tempo hari sih pakaian
dan mukanya kotor kumal, tapi kini dengan mukanya yang
bersih, janggut bercabang tiga serta jubah kulit rase itu,
mirip sudah dia dengan seorang pedagang kaya dari daerah
utara. Malah sesaat itu teringatlah Yan-chiu bahwa ia masih
menyimpan sebuah gelang besi dari orang aneh itu. Saking
girangnya, Yan-chiu bertepuk tangan berseru: "Oi.....,
kiranya kau ......"
Tapi baru dia berseru begitu, siwanita tadipun
memandang kearahnya. Bulu roma Yan-chiu seketika
berdiri, perasaannya tak enak, maka buru2 ia memalingkan
kepalanya. Tapi disana dilihatnya sang suko mengawasi
tajam2 pada siwanita itu, rupanya tengah bersiaga keras.
Tiba2 ia teringat akan cerita Nyo Kong-lim tentang seorang
wanita berambut panjang. Jangan2 inilah wanita itu.
Dengan sigap, ia berpaling lagi kemuka; justeru kala itu
mata siwanita aneh itu tengah menatapnya. Begitu saling
bentrok pandangan mata, menggigillah Yan-chiu. Kalau
pada tengah malam ia menjumpai wanita itu, mungkin ia
kira tentu berhadapan dengan sesosok hantu !
Melihat Yan-chiu tak berani memandangnya, tertawalah
siwanita itu ter-kekeh2, ujarnya: "Kui Ing-cu, apakah budak
perempuan itu juga muridnya Ceng Bo siangjin ?"
"Ceng Bo siangjin juga seorang pemimpin ternama
dalam jaman ini, masakan dia mau mempunyai seorang
murid kantong kosong seperti dianya itu!" sahut silelaki
aneh dengan tertawa meringis. Yan-chiu tak marah
dikatakan begitu, melainkan deliki mata saja. Mencuri
kesempatan selagi siwanita itu tak mengawasinya, silelaki
aneh itu kembali unjuk muka-setan pada Yan-chiu.
Matanya dimerem-melekkan beberapa kali.
Sebagai gadis yang cerdas, segera Yan-chiu dapat
menangkap, maksud isyarat orang.
"Macam Ceng Bo siangjin, mana layak menjadi
suhuku?" ia mendamperat. Tapi segera ia jeri sendiri.
Sungguh keterlaluan sekali ucapannya tadi. Kalau sampai
didengar sang suhu, jangan tanya dosa lagi. la celingukan
kesana-sini, lalu tertawa sendiri. Masakan sang suhu bisa
datang ketempat macam begitu "
"Siao Chiu, jangan kurang ajar!" tiba2 seorang lelaki
membentak. Semangat Yan-chiu serasa terbang. Kedua
tangannya didekapkan kekepala, "Celaka!" serunya dengan
ketakutan. Tapi demi ia berpaling dan melihat yang
membentak tadi hanya sang suko, kontan ia menyahut:
"Fui, siapa yang kurang ajar?"
Kui Ing-cu tertawa ter-kakah2, sebaliknya siwanita aneh
segera memujinya: "Bagus! Macam apakah Ceng Bo
siangjin itu. Budak, siapakah suhumu ?" Mendengar itu
Yan-chiu kemekmek. la kerlingkan ekor mata kearah
silelaki aneh, siapa ternyata tengah memandang kelangit.
"Suhu wanpwe ialah Ma Bu-tek!" sahutnya se-kena2nya.
Ma Bu-tek, artinya "kuda tiada terlawan."
"Ma Bu-tek ?" menegas siwanita setelah merenung
sejenak, "rasanya seorang yang tiada terkenal itu."
Kemudian ia berpaling kearah Kui Ing-cu, serunya: "Mari
mulai lagi, sudah janji 300 jurus, mengapa baru 70 saja
sudah berhenti "
Kui Ing-cu ter-bahak2. "Kiang Siang Yan, kau anggap
'thay im lian sing kang" mu itu tiada lawannya dikolong
langit, maka setelah bertempur seri dengan aku, kau lantas
kurang terima bukan ?"
Mendengar nama "Kiang Siang Yan", Tio Jiang dan
Yan-chiu sama terperanjat. Kiranya wanita itu adalah isteri
suhunya atau subo mereka juga!
"Ya, memang. Apa kau berani lanjutkan pertempuran
lagi ?" tanya Kiang Siang Yan dengan tertawa dingin,


Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seraya ber-putar2 mendekati Kui Ing-cu. Bermula Tio
Diang dan Yan-chiu yang berdiri dekat sekali tak
merasakan samberaan apa2, tapi tahu2..... terasa ada
dorongan suatu tenaga yang maha kuat.
Buru2 kedua anak muda itu gunakan cian-kin-tui agar
tak jatuh. Tio Jang yang yang kepandaiannya tinggi, hanya
ter-huyung2 sedikit. Tapi Yan-chiu sudah sempoyongan
sampai empat-lima tindak kebelakang baru kemudian dapat
tegak lagi. Diam2 ia leletkan lidah. Belum Pernah ia
melihat atau mendengar ilmu kepandaian macam begitu.
Kiang Siang Yan pun sudah bertempur lagi dengan Kui
Ing-cu. Baru Kiang Sian Yan menghampiri, Kui Ing-cu
sudah segera menyambutnya dengan sebuah hantaman
keras, hingga terpaksa. Kiang Siang Yan melambung
keatas. Rambutnya kejur menjulai kebawah, begitu ulurkan
jari2 tangan kanannya yang keras bagai kait itu, ia
melayang kearah kepala lawan, serunya: "Inilah yang
disebut 'peh hun kam kau' (mega putih mengejar anjing!" -
Yan-chiu melengak, masa ada jurus silat Yang namanya
begitu aneh " Tiba2 Kui Ing-cu miringkan tubuh, sepasang
tangannya digerak2kan terus dihantamkan kearah Kiang
Siang Yan serunya: "Jurusku ini, juga disebut Peh-hun-
kam-kau." Baru Yan-chiu ketahui bahwa kedua orang aneh itu.
tengah adu lidah (bersitegang leher ngotot). Dalam
Pertempuran sedahsyat itu, keduanya tetap dapat bergurau
suatu, suatu pertanda bagaimana lihay mereka itu. Yan-
chiu makin ketarik. Tadi Kian Siang Yan masih melayang
diatas dan Kui Ing-cu telah menyambutnya dengan tebasan
dua belah tangannya, tapi entah bagai mana, tahu2 Kiang
Siang Yan sudah meluncur turun dibelakang lawannya.
Karena hantamannya menemui tempat kosong, maka
terdenrlah bunyi krek-bum....... dari puhun tua yang
tumbang kena hantaman Kui Ing-cu itu. Cepat2 Kui Ing-cu
berpaling kebelakang seraya berseru: "Huh, sial, sial,
kepalaku dilangkahi oleh bibi itu!" Mendengar kata2 itu,
pecahlah ketawa Yan-chiu.
"Budak perempuan, kau tertawai apa" tiba2 Kui Ing-cu
deliki mata terus mirngkan tubuh dan menampar Yan-chiu,
sudah tentu bukan kepalang, kejut Yan-chiu, hendak
menghindar sudah tak keburu. Se-konyong2 dilihatnya ada
sesosok bayangan berkelebat dihadapannya, dan menampar
juga, plak ........ bukan Yan-thiu yang kena ketampar, tapi
kedua tenaga hantaman dari Kui Ing-cu dan sibayangan
yang bukan lain adalah Kiang Siang Yan itu yang saling
berbentur. Entah berapa jurus lagi pertempuran akan
berlangsung setelah itu. Tapi tahu2 Kui Ing-cu loncat
kesamping dan berseru keras: "Kiang Siang Yan, aku punya
usul baru!"
"Kui Ing-cu, kaupun terhitung dalam golongan datuk
Kisah Para Naga Di Pusaran Badai 1 Kampung Setan Karya Khulung Pendekar Aneh Dari Kanglam 6
^