Pencarian

Naga Dari Selatan 9

Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen Bagian 9


merekapun memberi kesaksian.
Mendengar itu, Kang Siang Yan tergerak hatinya, tapi
belum mau percaya seluruhnya. Sebenarnya Ceng Bo
seorang yang menjaga gengsinya, tapi dalam keadaan
semacam itu, dia terpaksa kesampingkan hal itu. Maju dua
tindak, dia keluarkan kotak emas dan berkata: "Hong-
moay, ketika didasar laut aku telah dapat menemukan
kotak ini. Kalau kau mempercayai keterangan Ih-heng tadi,
sukalah kau terima lagi kotak ini!"
Demi melihat kotak itu, terkenanglah Kang Siang Yan
akan kejadian pada 30 tahun yang lalu, yalah ketika dia
saling tetapkan jodoh dengan Bek Ing. Kenangan itu
terbayang lagi dihadapannya. Dalam pandangannya, Ceng
Bo itu adalah Bek Ing dari 30 tahunan yang lalu, ketika
serahkan kotak itu selaku ikrar janji untuk ber-sama2
mengarungi bahtera penghidupan. Kala itu dengan
menundukkan kepala ke-malu2an, ia ulurkan tangannya
menerima, dan teringat sampai disini tanpa tersadar
diapun....... ulurkan sebelah tangannya kemuka. Betapa
kagetnya ketika dia tersadar dari lamunannya dan dapati
kota emas itu berada dalam tangannya lagi. Dihadapan
sekian banyak orang, sudah tentu ia agak kikuk "Thocu,
kalau ada sepatah saja dari kata2mu itu yang bohong,
nyawamu pasti kucabut!" serunya kepada Ih Liok, siapa
hanya tertawa ter-bahak2 tak mau menyahuti.
"Hong-moay, kau kira aku ini seorang macam begitu"
Setelah mencuri pedangmu, entah kepada siapa bangsat itu
memberikannya. Hal itu dapat ditanyakan pada orang she
The itu!" kata Ceng Bo sembari tampil kemuka dua tindak
lagi!" Kini benar2 Kang Siang Yan sudah seratus persen
mempercayai keterangan si Bongkok tadi. Sukar dilukiskan
betapa perasaannya ketika itu. Sepuluh tahun ia menderita
pahit getir yang tak terkira hanya karena menuruti suara
hati kemarahannya terhadap sang suami yang ternyata tidak
seperti yang diduganya. Ah.........
"Sampai keujung langit, akupun tetap hendak mencari
pedangku itu!" serunya, kemudian, "Nah, sampai berjumpa
pula lain waktu!"
Mengetahui sang isteri sudah tak salah faham lagi,
giranglah Ceng Bo, sehingga sekian saat baru dia dapat
membuka mulut: "Hong-moay, apa kau hendak berlalu?"
Atas itu, Kang Siang Yan mengangguk.
Kiranya kedua pedang dari suami isteri itu, terdiri dari
"jantan'" dan "betina" yang disebut ,Pi-ih-siang-hong-kiam"
(sepasang pedang burung hong hong yang menyerupai
bulu). Pedang Bek Ing, disebut yap-kun, sedang kepunyaan
In Hong dinamakan kuan-wi. Pedang itu peninggalan dari
ayah In Hong yakni Wi-tin-pat-hong In Thian-kau.
Ketajamannya dapat dibuat memapas batu kumala.
Konon menurut cerita, didaerah Tiongkok selatan hidup
sepasahg burung hong, yang baik terbang maupun mencari
makan selalu berdampingan, tak mau berpisah. Pasangan
burung itu disebut pi-ih-siang-hong. Yang jantan dinamakan
yap-kun dan yang betina kuan-wi. Sepasang pedang pusaka
itu diberi nama burung hong tersebut. Sipria dengan
mencekal pedang yap-kun memainkan ilmupedang to-hay-
kiamhwat. Siwanita dengan rnenghunus pedang kian-wi
memainkan ilmu pedang Hoan-kang-kiam-hwat.
Kesaktiannya mengarungi dunia persilatan. Sampaipun itu
waktu Tay Siang Siansu dari gereja Liok-yang-si yang
menjadi guru Kiau To, meskipun ilmunya lwekang lebih
tinggi dari Bek Ing dan In Hong berdua, tapi tokh akhirnya
dapat, dikalahkan oleh sepasang ilmu pedang dari suami
isteri itu. Sejak pedang In Hong dicuri orang, 10 tahun lamanya
Ceng Bo siangjin pun tak mau gunakan pedangnya.
Meskipun kala itu dia ada membawanya, tapi juga belum
pernah digunakan. Kini setelah tersadar dari kekeliruannya,
Kang Siang Yan mengambil putusan hendak mencari
pedangnya itu, baru nanti ia berkumpul lagi dengan
suaminya. Karena yakin akan kelihayan sang isteri
sekarang, Ceng Bopun tak mau mencegahnya. Maka oleh
karena sudah tak ada yang perlu dibicarakan, Kang Siang
Yan segera ajak Bek Lian berlalu.
Seruan itu telah menyadarkan pikiran sekalian orang
yang berada diruang situ. Oleh karena tadi janggutnya
kebakar obor si The Go, Nyo Kong-lim segera mencegah:
"Kang Siang Yan, silahkan kau pergi sendiri, tapi orang she
The itu harap ditinggal!"
Tapi The Go yang sudah kuat kedudukannya, segera
mengejek: "Toacecu, kalau aku tinggal dikuatirkan kau tak
tahan nanti!" Digandengnya tangan Bek Lian untuk diajak
berdiri disamping Kang Siang Yan.
Ceng Bo siangjin serba sulit. Kalau berkeras hendak
menahan The Go, ada kemungkinan nanti bentrok lagi
dengan sang isteri. Maka tak dapat mulutnya mengatakan
sesuatu, kecuali sang mata mengawasi siorang she The itu
melangkah pergi. Ketika dia hendak membuka mulut, Kang
Siang Yan sudah mendahului mengancam: "Siapa yang
berani menghadang kami bertiga, dia tentu akan lekas
menghadap, raja akherat!"
Sikasar Nyo Kong-lim tak mau banyak pikir lagi. Sekali
loncat kemuka, dia kibaskan sam-ciat-kun sampai lempang.
"Jangan umbar suara, rasailah ruyungku ini!" serunya
sembari ayunkan sam-ciat-kun.
"Nyo-heng, jangan!" seru Ceng Bo dengan gugup. Tapi
sudah terlambat. Ruyung menyambar, Kang Siang Yan
cepat menangkap lalu menariknya kebelakang. Tubuh
tinggi besar bagai sebuah pagoda dari Nyo Kong-lim itu
segera ter-huyung2 mau jatuh. Dalam kagetnya, dia segera
hendak lepaskan cekalannya, tapi sudah kasip. Sekali
tangan Kang Siang Yan menjorok, maka Nyo Kong-lim
segera terlempar kebelakang, ngeri benar ......... kalau
terbentur dengan tiang besar pasti dia akan luka parah.
Wut......, tiba2 tampak sesook tubuh melesat, menyongsong
Nyo Kong-lim dengan punggungnya yang benjul besar itu.
Ya, memang dia adalah Thay-san sin-tho Ih Liok.
Dorongan lwekang yang dilancarkan oleh Kang Siang
Yan itu, hebatnya bukan buatan. Sekalipun Kui-ing-cu, Tay
Siang Siansu dan lain2 tokoh lihay, sukar untuk menolong
Nyo Kong-lim dalam keadaan begitu. Tapi ketika
menyentuh punuk A Bongkok, Nyo kong-lim serasa
terbentur dengan kapas. Buru2 dia tegak lagi. Dia sih tak
kurang suatu apa, tapi Thay-san sin-tho tidak demikian.
Karena menahan gempuran lwekang Kang Siang Yan yang
sedahsyat itu, maka diapun lalu menguak keras dan
muntahkan darah segar........
"Ih-heng, kau bagaimana?" tanya Ceng Bo bergegas
menghampiri. Tapi si Bongkok itu seorang jantan yang
keras, sahutnya: "Tak apa2, kalau mengaso 3 sampai 6
bulan, tentu akan sembuh!"
"Siapa yang berani menghadang lagi ?" seru Kang Siang
Yan dengan seramnya. Orang2 sama beringas murka, tapi
satupun tiada yang berani maju. Kini terpaksa Ceng Bo
keraskan hatinya berkata: "Hong-moay, apapun kau boleh
lakukan kecuali jangan membawa pergi The Go itu. Orang
itu berhati binatang berhamba pada musuh, tak boleh
diampuni!"
"Kalau aku hendak membawanya, habis mau apa?"
tanya Kang Siang Yan dengan murka. Rupanya
penyakitnya eksentrik angot lagi. Lagi2 Ceng Bo didesak
kepojok kesulitan. Tetap melarang, tentu bentrok dengan
isterinya yang sudah berbaik itu. Tapi kalau membiarkan,
dia malu kepada orang banyak. Saking bingungnya, sampai
sekian saat dia termenung diam.
"Masing2 orang mempunyai cita2 sendiri, mengapa
hendak memaksanya yang berarti mencelakai dua jiwa?"
kata Kang Siang Yan pula. Turut adat Kang Siang Yan,
ucapan itu sudah keliwat mengalah sekali. Diantara sekian
banyak orang, hanya si Bongkok sendiri yang terang
hatinya, walaupun kini dia sedang luka.
"Kang Siang Yan, bawalah orang itu telah membangkitkan kemarahan orang banyak. Hari ini dapat
lolos, tapi besok pagi tentu tidak!" serunya.
Kang Siang Yan perdengarkan tertawa dingin, berputar
tubuh lalu pergi. Baru sampai diambang pintu, tiba2 Kiau
To berseru: "Cian-bin long-kun, bagaimana dengan janji
hari Peh-cun nanti?"
"Kiau Ioji, siapa yang tak datang, bukan laki2!" sahut
The Go serentak,
"Sudah tentu aku datang!" balas Kiau To dengan keren.
Orang2 sama tak mengerti apa yang dimaksudkan dengan
"janji hari Pehcun" itu, Setelah rombongan Kang Siang Yan
pergi, baru Siau To menceritakan hal itu. Mendengar itu,
walaupun kalau Ang Hwat cinjin dari gereja Liok-yong-si
itu tak boleh dibuat main2, tapi karena hal itu merupakan
kesempatan, baik untuk menangkap si The Go, maka
sekalian orang telah mencapai kata sepakat begini: Karena
temponya masih 3 bulan, mereka hendak berpencar
mengundang bantuan dari tokoh2 Iihay. Nanti sampai
temponya mereka hendak datang be-ramai2 ke Gereja Liok-
yong-si itu. Pada hari ketiga, tiba2 mereka melihat dibawah gunung
penuh rapat dengan kubu2 tentara Ceng. Jadi nyata Hoa-
san sudah dikepung rapat oleh musuh, malah kali ini
agaknya kepungan itu berlipat ganda kuatnya. Diam2
kebencian seluruh orang Hoa-san ditumpahkan pada The
Go yang dianggap menjadi biang keladinya. Hanya
anehnya, meski mempunyai kekuatan yang sedemikian
hebatnya itu namun musuh tetap tidak mau menyerang
keatas. pihak Hoa-san pun terpaksa mengadalkan siasat
bertahan diri. Perang dingin itu berlangsung sampai 1 bulan
lamanya. Ransum pihak Hoa-san sudah mulal habis,
sedangkan tentara Ceng belum nampak mundur. Sudah
tentu orang Hoa-san menjadi bingung gelisah.
Hari itu adalah tanggal 14 bulan 3, Nyo Kong-lim
kedengaran megghela napas: "Keparat, rangsum kita hanya
masih tinggal dua hari, kalau mereka tak menyerang
kitapun akan mati kelaparan !"
Ceng Bo siangjin juga tak dapat berbuat apa2. Berulang
kali dia suruh orang untuk menyelidiki fihak musuh, namun
tiada membawa hasil apa2. Pernah Kiau To membawa 100-
an anak buah untuk menyerbu kebawah, tapi dia balik
pulang sendirian dengan penuh luka. Seluruh, anak
buahnya tak satupun yang masih hidup.
Dua hari kemudian, rangsum habis. Kini anjing dan
kuda yang dijadikan kawan perut dan hal itu dapat bertahan
sampai 3 hari lagi. Setelah itu keadaan menjadi genting.
lbaratnya sebutir beraspun tiada ketinggalan lagi, Malah
saking tak tahan, sudah ada beberapa liaulo yang diam2
nyeberang kepada musuh. Keesokan harinya kawanan
liaulo itu sama ber-teriak2 dikaki gunung, se-olah2
menganjurkan kawan2nya yang lain supaya mengikuti
jejaknya. Benar juga, besok paginya ada beberapa laulo
yang menghilang.
Ceng Bo siangjin mengadakan permusyawarahan dengan
sekalian saudara2. Tiba2 datanglah seorang, utusan dari
fihak tentara Ceng yang membawa surat untuk Nyo Kong-
lim. Oleh karena ketua Hoa-san itu buta huruf, maka surat
lalu diberikan pada Ceng Bo siangjin siapa lalu
membacanya : "Dengan ini congpeng tentara Ceng, Li Seng Tong,
memberitahuhan pada Hoa-san Nyo Kong-lim, bahwa
gunung Hoasan sudah sebulan lebih dikurung, sehingga
anak buah Hoa-san lemah kurus karena persediaan ransum
habis. Kuberi batas waktu sehari sampai besok, kalau mau
menyerah tentu akan diganjar pangkat besar, tapi kalau
membangkang, akan digempur habis2an. Harap direnungkan, se-masak2nya !"
"Tebas kepala utusan ini!" seru Nyo Kong-lim dengan
murka sehabis mendengar bunyi surat itu. Tak tiada
seorang dari liaulo yang melakukan perintah itu. Malah ada
belasan thaubak (kepala hauk) yang tampil kemuka, kata
mereka: "Toacecu, para Cecu mempunyai kepandaian jadi
tak jeri. Tapi kami sekalian saudara ini tentu takkan bisa
selamatkan jiwa !"
Nyo Kong-lim tak dapat membantah, malah Ceng Bo
siangjin yang sedianya hendak me-robek2 surat itu telah
membatalkan niatnya, katanya kepada utusan itu:
"Sampaikan pada Li Seng Tong, kami minta perpanjangan
waktu sampai 3 hari lagi ! "
Ketika si utusan berlalu, dengan marah2 Nyo Kong-lim
menegur: "Hay-te-kau, apa kau berniat menakluk?"
Ceng Bo siangjin kedengaran menghela napas, ujarnya:
"Nyo-heng, harap suruh sekalian thaubak berkumpul disini
!" Nyo Kong-lim tak tahu apa maksud siangjin itu, namun
dia jalankan perintahnya. Setelah sekalian thaubak lengkap
berkumpul, berkatalah Ceng Bo siangjin: "Kutahu saudara2
sekalian telah menunaikan tugas dengan baik dan cukup
lama menderita. Malam ini aku bersama Toacecu hendak
melakukan serangan ke-kubu2 musuh. Kalau berhasil
menangkap Li Seng Tong, kita tertolong semua. Tapi
andaikata gagal dan mengalami apa2, saudara2 boleh


Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lakukan apa yang dirasa baik untuk saudara ! "
Sekalian thaubak kembali ketempat masing2. Menurut
perhitungan Ceng Bo, orang2 yang pantas diajak menyerbu
hanyalah 6 orang yakni Nyo Kong-lim, Ih Liok, Tio Jiang,
Ki Ce-tiong, Kiau To dan dia sendiri. Kembali dia
perdengarkan helaan nafas, ujarnya: "Usaha kita malam
nanti, penuh bahaya banyak gagal daripada berhasilnya.
Tapi kita tak boleh jeri atau putus asa Begitulah setelah
dahar seadanya, mereka berenam siap2 menantikan tibanya
tengah malam. Luka si Bongkok, kini ternyata sudah sembuh. Karena
sudah sekian lama mengeram diri, dia merasa keisengan
lalu, ber-jalan2 keluar sembari menggendong tangan. Demi
menampak keadaan
para liaulo yang sudah tak bersernangat itu, diam2 si Bongkok menarik napas. Kala itu
hari sudah petang, tiba2 pada sebuah kubu musuh,
dilihatnya bukan seperti sebuah kubu melainkan semacam
tumpukan dami padi. Dan begitulah keadaan lain2 kubu
dikanan kiri. Tiba2 terkilas sesuatu pada pikirannya dan
berteriaklah dia: "Celaka, kita masuk perangkap !"
"Bek-heng, Nyo-heng, kita ditipu musuh!" serunya demi
dia datang ber-gegas2! menemui Ceng Bo siangjin dan Nyo
Kong-lim. "Ditipu bagaimana?" tanya Ceng Bo.
"Masa, kubu2 mereka itu, bukan kubu sesungguhnya
melainkan tumpukan dami!" menerangkan si Bongkok yang
sudah tentu menggemparkan sekalian orang. Ber-bondong2
mereka menuju keluar untuk menyaksikan dan memang
kubu2. musuh itu tampak ,mati tiada tanda2' ada asap
mengepul karena dihuni orang.
"Keparat, itulah siasat 'Kota kosong', hayo kita serbu
seru Nyo Kong-lim.
(Oo-dwkz-TAH-oO)
BAGIAN 21 : MEMBAYAR HUTANG
"Kalau benar tentara Ceng masih kuat dan persediaan
ransumnya masih cukup, mengapa mereka mengirim,
utusan memberi ultimatum" Kurasa, karena mereka sudah
lapuk dalam, jadi menggunakan siasat 'Kota kosong' (gertak
sambel) ini," seru Ki Ce-tiong.
Sekalian orang gagah menyetujui pendapat itu. Begitulah
sebelum petang hari, 2000 anak buah Hoasan bersiap turun
gunung. Setengah jam kemudian, mereka sudah tiba dikaki
gunung. Dengan ber-sorak2, mereka menyerbu. Benar juga
dalam kubu musuh itu hanya terdapat berpuluh serdadu
yang sudah lemah dan cacad. Untuk kegirangan anak buah
Hoa-san, ternyata diperkubuan situ terdapat sejumlah besar
persediaan beras. Karena sudah beberapa hari menahan
lapar, jadi mereka lalu serempak menghidupkan api
menanak nasi dan memakannya dengan lahap sekali.
Tapi Thay-san sin-tho Ih Liok yang cerdas segera
mendapat kesan lain. "Bek-heng keadaan ini amat
mencurigakan!" serunya. Memang Ceng Bo siangjinpun
curiga, mengapa musuh meninggalkan ransum disitu.
Makin memikirkan hal itu, Ih Liok makin gelisah. Kalau
benar musuh memasang perangkap, habislah nasib sekian
banyak anak buah Hoa-san. Buru2 dia mencari Nyo Kong-
lim. "Nyo-heng, lekas suruh sekalian saudara tinggalkan
tempat ini !"
Tapi ketika Nyo Kong-lim mengeluarkan perintah itu,
sekalian anak buah tak mau. Mereka, tengah berpesta pora
seperti harimau lapar. Ih Liok dan Nyo Kong-lim tak dapat
berbuat apa2. Mereka hanya mengharap agar pengundurkan musuh itu benar2 suatu pengunduran, bukan
siasat. "Kalau benar ini merupakan siasat, arsiteknya tentu si
Cian-bin Long-kun!" Tio Jiang mengutarakan dugaannya.
Juga sekalian orang gagah berpendapat demikian. Dalam
kepandaian silat, banyaklah fihak Hoa-san yang melebihi
dari orang she The itu, tapi dalam soal mengatur rencana
dan siasat, semua tak ada yang menang.
"Kalau kali ini kita sampai termakan perangkapnya,
kelak tentu kucincang manusia itu!" kata, Ih Liok. Tapi
baru saja kata2 itu diucapkan, atau bum........pecahlah
sebuah dentuman laksana membelah bumi. Belasan kubu
terbakar seketika. Dan didalam tereakan "celaka" dari
sekian banyak orang, dentuman kedua kembali menyusul.
Dentuman reda, jerit tangis mengganti memekakkan
telinga. Kerat2 anggauta tubuh manusia bertebaran ke-
mana2 ditimpa oleh hujan darah diatas lautan api. Sungguh
suatu pemandangan yang mengerikan bulu roma
Tiba2 Ih Liok mencabut pedang yang terselip dipinggang
Ceng Bo, lalu memapas kutung jari tangan kirinya sendiri.
"Ih-heng, mengapa kau ?" tanya Ceng Bo dengan kaget.
"Jika dalam kehidupan sekarang ini, Ih Liok tak dapat
mencincang tubuh The Go, biarlah lukaku ini jadi busuk!"
seru Ih Liok dengan wajah pucat. Memang karena malu
hati dan geram terkena perangkap si The Go ini, si Bongkok
telah mengikrarkan sumpah.
Meriam musuh masih berdentuman tak henti2nya,
disana sini orang menjerit dan merintih laksana menghadapi kiamat.
"Untuk membalas sakit hati, 10 tahunpun tak terlambat.
Mengapa seorang ksatrya lekas berputus asa ?" Ceng Bo
menasehati. si Bongkok siapa segera menyahut dengan pilu:
"Bukan kusayangkan selembar jiwaku ini, tapi adalah
karena gara2ku maka sekian banyak saudara telah
berkorban jiwa!"
Semua orang sarna menghiburnya. Kala itu suara
tembakan meriam sudah berhenti tapi sehagai gantinya
tentara Ceng dengan gegap gempita menyerbu datang.
Keenam pahlawan Hoasan itu segera bersatu padu
menghadapi. Sudah lebih sebulan Tio Jiang menganggur
dan hanya berlatih keras sehingga kini kepandaiannya
bertambah maju pesat. Melihat kesempatan ini, dia maju
mempelopori dimuka sendiri. Direbutnya sebatang tombak
dari seorang serdadu musuh dan dalam sekejab saja dia
sudah berhasil membinasakan 6 orang musuh lagi. Juga
Ceng Bo siangjin, Ki Ce-tiong, Nyo Kong-lim dll hebat
tandangnya. Bagaikan sekawan harimau menggasak
gerombolan anak kambing, demikian amukan pahlawan2.
Hal ini tepat seperti kala mereka rnembuka jalan darah dari
kepungan tentara Ceng digunung Gwat-siu-san tempo hari.
Selama bertempur itu, Ceng Bo siangjin tetap bahu
membahu dengan Thay-san-sin-tho Ih Liok. Menjelang
tengah malam, suasana medan pertempuran itu makin sepi
dengan tereakan orang. Ini menandakan bahwa anak buah
Hoasan telah kena dihancurkan musuh. Betapa geram dan
pilunya keenam orang gagah itu, dapat dibayangkan.
Dengan bersuit-keras, serentak Ceng Bo mencabut pedang
pusaka yang dalam 10 tahun belakang ini tak pernah
digunakan. "To hay kiam hwat" ilmu pedang membalik
laut, haus dengan darah lagi. Imam yang gagah perkasa itu
menyerbu maju, diikuti oleh kelima kawannya.
Kemana pedang yap-kun berkelebat, disitulah pedang
dan tombak musuh kutung bertebaran kesana-sini. Belum
pernah dalam sejarah pertempuran, serdadu2 Ceng itu
melihat kesaktian seorang pahlawan macam si imam itu.
Bagaikan air surut, mereka sama menyisih mundur,
memberi jalan kepada ke-enam pahlawan itu. Tapi
mendadak terdengar lagi aba2 tembakan dan serdadu2 itu
segera bergelombang-maju menyerang lagi. Kembali "To
hay kiam hwat" meminta korban belasan jiwa serdadu
musuh. Melihat caranya sang suhu menarikan "To hay
kiam hwat" sedemikian hebatnya Tio Jiang sangat kagum
sekali. Se-konyong2 mata Tio Jiang tertumbuk pada sebuah
pemandangan yang mempesonakan, Tak berapa jauh dari
situ, dipinggir sebatang puhun siong yang tumbuh dihutan
dekat tempat itu, tampak ada seorang gadis langsing
bersandar berdiri membelakangi arahnya. Dalam cahaya
bulan remang2, tegas dilihatnya itulah Bek Lian.
Tersirap darah didada Tio Jiang. Gerakannya agak
berayal dan hampir sedikit saja dia termakan sebatang
tombak musuh. Walaupun nyata2 Bek Lian tak mencintai,
namun api asmara dalam hati anak itu tetap tak padam.
Dalam kamus hatinya, dunia ini hanya ada Bek Lian
seorang. Maka untuk kedua kali, dia ulangi lagi melirik
kearah itu. Ternyata Bek Lian masih tetap berdiri disitu
seorang diri. Seketika lupalah dia kalau masih ditengah
medan pertempuran. Sret...., sret......, sret......, 3 kali dia
bolang balingkan pedang untuk mengundurkan beberapa,
serdadu, lalu menyelinap ketempat Bek Lian tadi.
Oleh karena tengah bertempur mati2an jadi kelima tokoh
tadi tak mengetahui akan kepergian Tio Jiang. Tampak
makin lama Ceng Bo makin beringas. Dengan perkasa dia
berhasil membuka sebuah jalan darah, diikuti oleh keempat
kawannya. Setelah itu dengan pesatnya mereka lolos.
Agaknya kawanan musuh masih coba, mengejar, tapi mana
mereka dapat mengikuti lari ke-lima pahlawan yang lihay
itu. "Hai, kemana Jiang-ji ?" tanya Ceng Bo setelah berhasil
lolos. "Entahlah!" sahut Nyo Kong-lim. Ih Liok tampak
kerutkan kening, sementara Kiau To mem-banting2 kaki,
serunya: "Mengapa bocah itu tak tahu bahaya?" Sedang Ki
Ce-tiong menyatakan kekuatirannya jangan2 Tio Jiang
tertangkap musuh. Tapi, tetap kelima orang itu tak tahu
kemana perginya Tio, Jiang.
Setelah memulangkan napas, berkatalah Ceng Bo:
"Kalian tunggu disini, biar kubalik kesana melihatnya!"
"Tidak, kalau satu pergi, pergi semua!" seru Nyo Kong-
lim sambil getarkan Sam-ciat-kun. Lain2 kawanpun setuju.
Bermula fihak tentara Ceng sudah segera akan menarik
pulang barisannya, karena sudah mendapat hasil kemenangan. Tapi dengan datangnya kembali kelima
harimau itu, mereka jadi kalang kabut lagi. Tapi setelah
beberapa lama kelima orang itu mengobrak-abrik kian
kemari tak menjumpai Tio Jiang, mereka lalu mengangkat
kaki lagi. Saking letihnya, mereka berlima sampai
kehabisan tenaga.
"Mati hidup terserah Allah. Jiang-ji seorang anak jujur
berhati patriot, semestinya dia tak sampai mengalami nasib
buruk!" kata Ceng Bo sembari menghela napas.
"Li Seng Tong pandai memakai orang. Kalau siaoko
tertangkap, jiwanya pasti terpelihara. Kelak kalau mereka
sudah mundur kita dapat menyirepi kabar ke Kwiciu!" ujar
Ih Liok. Demikianlah mereka hanya menghela napas tak
dapat berdaya apa2. Malam itu mereka tidur dihutan.
Keesokan harinya, benar juga tentara Ceng telah ditarik
mundur. Oleh karena kini hanya tinggal berlima, maka.
Ceng Bo usulkan supaya pulang dulu ketempat kediamannya di Lo-hu-san, guna merencanakan siasat lagi.
"Siaoko pernah mengatakan kalau suhuku Tay Siang
Siansu masih hidup. Untuk menggempur gereja Ang-hun-
kiong, kita harus mendapat bantuannya!" kata Kiau To.
"Akupun hendak kegunung Hud-san mencari pemilik
dari senjata Eng-jiao-thau (sarung cakar garuda)," kata Ki
Ce-tiong. Juga Ih Liok hendak mengundang bantuan
kawannya. Maka undangan Ceng Bo tadi terpaksa tak
dapat dipenuhi. Begitulah mereka, lalu ambil selamat
berpisah satu sama lain.
Kini mari kita ikuti Tio Jiang, sibocah sembrono itu.
Dengan, ber-debar2 dia menghampiri Bek Lian.
Anehnya, mengapa sampai sekian lama Bek Lian tetap
membelakangi saja dan tak kelihatan bergerak, Tio Jiang
sudah curiga, tapi dia sudah dimabuk cinta. "Lian suci!"
serunya, sembari maju mengulurkan tangan. Ketika hendak
menyentuh bahu Bek Lian, se-konyong2 ujung kakinya
melesak kebawah. Celaka! Bam dia hendak loncat, sebuah
samberan angin keras menghantam kepalanya. Makin cepat
dia hendak enjot kakinya mehambung keatas, tapi hai ......,
begitu sang kaki di-enjot, bukannya dapat melambung
malah terjerumus kebawah.
Kiranya tempat yang dipijaknya itu merupakan sebuah lubang jebakan yang
ditutupi tumpukan rumput!
Sembari berjumpalitan, Tio Jiang jatuh kebawah. Karena
lubang perangkap itu tak se-berapa tingginya, Tio Jiang
cepat enjot tubuhnya loncat keatas dan sudah mau berhasil
kalau tidak se-konyong2 dimulut lubang itu muncul belasan
batang kait, sehingga pakaian dan badannya kena tertusuk.
Betapapun lihaynya, akhirnya Tio Jiang dapat juga


Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diringkus hidup2 oleh serdadu2 Ceng. Begitu berada diluar,
segera terdengar gelak tertawa seseorang dan sesosok tubuh
melesat menutuk jalan darah dibagian iganya. Kini Tio
Jiang tak dapat berkutik lagi. Ketika diawasinya, orang itu
bukan lain adalah sang musuh lama, Cian-bin Long-kun
The Go ! Bukan main gusarnya Tio Jiang melihat orang itu.
Ketika dia melirik kesamping, dilihatnya Bek Lian masih
menyandar dipuhun. "Lian suci, kau sangat kejam!"
serunya. The Go ter-bahak2 menghampiri, lalu mengangkat
"Bek Lian" terus dilemparkan kearah Tio Jiang, serunya:
"Ini gadis yang kau rindui siang malam, ciumlah se-
puas2mu !"
Astaga! Baru kini Tio Jiang tersadar atas ketololannya.
Yang disangka Bek Lian itu ternyata adalah sebuah
orang2an yang diberi pakaian Bek Lian. Kembali dia
termakan tipu The Go, hingga sampai dia ter-longong2.
Kini dilihatnya The Go sudah berganti dengan pakaian
seorang pembesar militer Ceng. Rambutnya dipangkas dan
dibelakangnya memakai kuncir. Wajahnya girang ke-
bangga2an. "Anjing Boan kau!" damprat Tio Jiang sembari meludah.
Dia tak pandai bicara, tapi kata2 yang dikeluarkan sepenuh
hati itu, membuat The Go terkesiap. "The Go....., The
Go......, jasamu menghancurkan Hoa-san itu, tidak kecil.
Bukan saja seluruh dunia persilatan memujimu, pun
pemerintah Ceng akan mengganjarmu pangkat besar.
Mengapa kau hiraukan makian seorang budak macam
begitu ?" pikiran The Go membantah sendiri. Maka
wajahnyapun berobah tenang dan mendongak tertawa
riang. Amarah Tio Jiang ber-golak2 memenuhi ruang dadanya,
namun karena kaki tangannya terikat, dia tak dapat
berkiitik. Tiba2 terdengar suara kecil merayu: "Engkoh Go,
mengapa kau tertawa" Apa yang kau girangkan ?"
The Go berpaling dan sesosok tubuh langsing melesat
lari kearahnya. Oho, itulah Bek Lian, sijelita yang digilai
Tio Jiang. Dia segera berseru dengan suara ter-putus2:
"Lian suci! Kau........... kau........... "
Banyak nian kata2 yang hendak diucapkan Tio Jiang,
tapi entah bagaimanaa serasa tenggorokannya tersumpal
dengan suatu kesesakan hawa, sehingga untuk bernapas
saja susah rasanya. Tapi sebaliknya Bek Lian hanya dingin2
saja mengawasi Tio Jiang sejenak, lalu menggelandot pada
Tho Go sembari tempelkan mulutnya ketelinga sikekasih.
Entah apa yang dibisikkan dengan riangnya itu.
Bermula Tio Jiang mendongkol dan marah sekali. Tapi
serta dilihatnya sinona sedemikian dingin terhadapnya dan
begitu mesra terhadap The Go seorang penghianat bangsa,
tawarlah perasaan Tio Jiang, Bidadari sekalipun gadis itu,
namun dengan tingkah lakunya yang memuakkan itu,
dapatkah ia menjadi pujaan hatinya" Ah...., tidak..., tidak.
Dan seketika tenanglah perasaan Tio Jiang. Hawa yang
menyumbat tenggorokannya tadi, tanpa terasa menurun
lagi kedada lain ber-putar2 didalam perut terus naik lagi.
Tio Jiang sangat kaget mengalami keadaan tubuhnya,
Baik ilmu lwekang "Cap ji bu heng kang sim" yang
dipelajari dari Sik Lo-sam, maupun lwekang ajaran sang
suhu, se-kali2 tak boleh ber-golak2 begitu karena
ditimbulkan hawa kemarahan. Kalau hawa murni itu
sampai meluap kemudian balik menyusup kesaluran yang
salah, dia tentu ba menjadi seorang senewen. Teringat akan
itu, buru2 dia kembalikan hawa murni yang ber-golak2 itu,
tapi sukar. Hawa itu sudah menyalur keseluruh tubuh, melewati
kepala, jalan darah lalu kembali lagi kedada. Walaupun
kaget, tapi kini Tio Jiang rasakan semangatnya segar.
Sekilas teringat dia akan wejangan Kui-ing-cu tempo hari.
Ilmu lwekang itu tergantung dari bakat sipelajar sendiri.
Menurut cabang persilatannya, lwekang itupun masing2
berlainan, mempunyai kelebihan sendiri2. Kalau orang
dapat mengambil sari kebagusan dari setiap Iwekang itu,
tentu akan berhasil menciptakan suatu macam lwekang
sendiri yang hebat.
Itu waktu Tio Jiang hanya mendengarkan saja tak ambil
perhatian terhadap nasehat Kui-ing-cu. Pikirnya, untuk
Mempelajari semacam lwekang saja dia masih belum mana
dapat menciptakan sendiri" Kini dalam menghadapi saat2
genting dimana hawa murninya setiap detik bisa menyalur
salah, dia segera teringat akan ajaran Kui-ing-cu. Bek Lian
dan The Go, dianggap sepi saja. Pikirannya dibulatkan satu,
dan hawa murni itu kembali beredar lagi. Kalau tadi yang
pertama tidak dengan sengaja, kini dia empos betul2
semangatnya dan tahu2 begitu serasa bergetar, jalan darah
yang ditutuk si The Go tadi telah dapat diterobos buka oleh
emposan hawa murninya!
Girang Tio Jiang tak dikata. Ilmu tutukan The Go itu
adalah ilmu istimewa dari Ang hwat cinjin yang sudah
termasyhur lihaynya, tapi toh ternyata dapat dijebolkan. Ini
membuktikan kalau dalam sekejab mendapat penerangan
itu, ilmunya bertambah maju pesat sekali. Hal ini kelak dia
baru mengerti setelah bertanya pada Kui-ing-cu. Dan sejak
itu, dia selalu berhati2 mengendalikan perasaannya.
Setelah jalan darahnya terbuka lagi, kembali dia hendak
mencoba sampai dimana kemajuannya pada saat itu. Dia
salurkan lwekang kearah sepasang lengan, lalu meronta
keras. Hai, tali pengikat yang terbuat dari urat kerbau
direndarn minyak itu, putus semua. Dalam terperanjat
girangnya itu, dia lagi2 gerakkan sang kaki dan kembali tali
peiigikatnya putus juga. Sedikitpun Tio Jiang yang sangat
gemar ilmu silat itu, tak ngimpi kalau dalam beberapa detik
itu saja dia telah mencapai kesempurnaan yang begitu
gilang gemilang. Sudah tentu girangnya sukar dilukis.
Adalah disana The Go dan Bek Lian masih ber-
cumbu2an dengan mesranya. Mereka tak mengetahui kalau
Tio Jiang sudah bebas. Maka dengan menyeringai hina, dia
mengejek: "Anak kerbau, kau ingin mati secara bagaimana,
bilanglah!"
Habis berkata, The Go tertawa puas. Bek Lian yang
mendengari, diam saja malah setelah menatap sebentar
kearah Tio Jiang, ia memandang lagi pada The Go dengan
mesranya. Dengan begini, nona itu sudah kelebuh dalam
sekali ke dalam perangkap asrama yang dipasang The Go.
Tio Jiang hanya tertawa dingin saja. Bermula saat itu,
juga dia hendak loncat menerjang penghianat itu, tapi
sekilas terlintas dalam pikirannya untuk mencari keterangan
lebih jauh dulu sebelum turun tangan. "Cian-bin Longkun,
kemana Li Seng Tong sekarang?" tanya dengan tenang.
"Li congpeng siang2 sudah balik. Tentara Ceng disini,
adalah orang2ku!" sahut The Go, dengan tertawa bangga.
Dengan wajah keren, Tio Jiang memaki: "Kalau begitu,
dosamu sudah memuncak, sampai mati masih dicaci
orang!" Mulut The Go yang masih tertawa tadi, tak dapat
meneruskan ketawanya lagi. "Anak kerbau, kematianmu
sudah didepan mata, mengapa masih kurang ajar" Hai,
anak2 !, Bawa wajan dan api kemari"
"Cian-bin Long-kun, perlu apa alat masak itu?" tanya,
Tio Jiang dengan keheranan. The Go ter-bahak2,
sahutnya : "Tulang kepalamu keras, maka perlu digodok dengan
wajan !" Tio Jiang menelan ludah, terhadap manusia sekejam itu
tak dapat dia bersabar lagi. Sekali loncat dia menerjangnya.
"Bangsat, jangan umbar kebiadaban !"
The Go terperanjat, dengan gugup dia segera tarik tubuh
Bek Lian kemuka, untuk menutupi diri. Terjangan Tio
Jiang tadi disertai dengan sebuah hantaman kuat, tapi demi,
melihat kelicikan The Go menjadikan Bek Lian perisainya,
dia buru2 tarik pulang tangannya. "Lian suci, bangsat itu
telah menjadikan kau sebagai perisainya, apa kau belum
insyaf " "
Sebaliknya Bek Lian malah deliki mata dan tertawa
dingin "Makin kau menjelekkan namanya, makin aku
mencintainya !"
Tio Jiang tertegun. Sucinya itu bukan seorang dungu,
mengapa kini begitu limbung pikirannya" Tapi dalam pada
itu, walaupun heran mengapa Tio Jiang bisa lolos, The Go
terus keluarkan kipasnya yang terbuat dari lidi baja murni.
Sekali bergerak dengan thui-jong-bong-gwat (mendorong
jendela melihat rembulan) dia maju menutuk tenggorokan
Tio Jiang. Sejak perkenalan pertama di Lo-hu-san entah sudah
berapa kali Tio Jiang selalu mendapat kopi pahit dari The
Go. Lama nian hati anak muda ini hendak membikin
pembalasan. Dan inilah saatnya. Begitu miringkan tubuh
menghindar, dia maju selangkah. Secepat kilat, dia
cengkeram ugal2 tangan lawan. Gayanya lain dari Tio
Jiang dahulu, hingga membuat The Go kagum dan heran
juga. Cepat2 The Go itu tarik turun tangannya, lalu
dijulurkan lagi untuk menutuk dada. Juga serangan itu,
indah dan cepat.
"Bagus!" seru Tio, Jiang melihat gaya tangkisan yang
dapat menyerang itu. Dia putar tubuhnya sembari mendak,
lalu tiba2 dia gunakan sepasang tangan mendorong dada
orang yang terbuka itu. Dapat dipastikan serangannya itu
tentu berhasil. Se-konyong2 ada angin menyambar dari
belakang, maka terpaksa dia tarik tangannya kanan untuk
menangkap kebelakang, hai mengapa benda itu sedingin es"
Adalah karena dia tertegun bahwa yang disawutnya itu
adalah sebatang liu-yap-to milik Bek Lian, The Go sudah
beroleh kesernpatan untuk loncat menyingkir. Wajahnya
pucat lesi, dahinya mandi keringat. Ternyata dia seperti
orang yang sudah mati dapat hidup kembali, hatinya
berguncang keras
Ketika Tio Jiang berpaling kebelakang, didapatinya Bek
Lian bersikap bengis sembari menghunus pedang. "Lian
suci, mengapa kau?" tegur Tio Jiang.
"Kalau kau berani melukai engkoh Go, aku tentu
mengadu jiwa denganmu!" seru Bek Lian.
"Lian suci, bangsat itu berdosa besar. Semua saudara
dari Hoa-san, telah hilang jiwa gara2 tipunya. Mengapa
harus diampuni " "
"Tidak mengampuni dia berarti tidak mengampuni aku!"
seru Bek Lian sembari putar pedangnya terus menusuk dada
Tio Jiang dengan jurus cing-wi-tian-hay. Bagi Tio Jiang,
ilmu pedang to-hay-kiam-hwat
sudah difahaminya. Terhadap, sang suci sedikitpun dia tak jeri. Tapi mengingat
ikatan saudara seperguruan tak mau dia membalas,
melainkan menghindar kesamping. Tapi good-will itu telah
dirusak oleh The Go yang se-konyong2 loncat menurun
menutuk jalan darah dikaki. Jadi dalam keadaan itu, Tio
Jiang diserang dari muka dan belakang. Tapi Tio Jiang
sekarang lain dengan Tio Jiang setengah tahun dulu. Sekali
enjot sang kaki, tubuhnya melambung keudara.
GAMBAR 47 Dalam keadaan tergencet dikeroyok, ketika The Go
melontarkan hantaman pula, terpaksa Tio Jiang melompat keatas
terus berjumpalitan hingga melintasi diatas kepalanya The Go.
Biasanya kalau orang loncat keatas, tentu akan jatuhnya
melayang turun kemuka. Tapi karena Bek Lian berada
disebelah muka, Tio Jiang tak mau berbuat begitu. Dia
buang kepalanya kebelakang dan berjumpalitan diudara,
lalu melayang melalui kepala The Go dan turun
dibelakangnya. Suatu loncat-indah yang mengagumkan
sekali! Melihat Tio Jiang menghilang tiba2, dengan gugup The
Go segera berputar kebelakang, tapi dia sudah disambut
dengan sebuah hantaman. Karena jaraknya sudah
sedemikian dekat jadi The Go dipaksa untuk menangkis,
krak...... baik dia maupun Tio Jiang sama2 tersurut
kebelakang sampai 3 tindak. Hanya saja kalau dia
terhuyung, adalah murid Ceng Bo itu hanya tergetar sedikit,
malah sudah lantas merangsangnya lagi. Dari sini bisa
diketahui sampai dimana, kini nilai kepandaian kedua
seteru besar itu.
The Go gunakan jurus hong-cu-ma-ciu untuk menghindar, tapi karena tadi dia sudah terluka, dalamnya,
jadi gerakannyapun lamban. Apalagi karena Tio Jiang pun
faham akan ilmu silat hong-cu-may-ciu (dari Sik Lo-sam),
jadi dengan susah payah barulah The Go dapat lolos.
Namun bagai bayangan, Tio Jiang tetap membayangi
kemana larinya.
Dalam beberapa gebrak saja, pakaian kebesaran si The
Go itu sudah compang-camping tak keruan, dan terus-
menerus dia main mundur. Pada lain saat, Tio Jiang
mendesak rapat, setelah menangkis serangan The Go, dia
ulurkan tangan kanan. "Lepas!" dan tahu2 kipas The Go
telah dapat direbut.
Saking ketakutan, The Go segera men-jerit2:
"Hayo, lekas keroyok dia!"
Bagaikan tawon keluar dari sarangnya, kawanan serdadu
Ceng yang sudah sedari tadi mengawasi pertempuran itu
disamping, segera maju menyerang Tio Jiang. Tapi Tio
Jiang cepat merangsang hebat pada The Go, sehingga untuk
beberapa saat kawanan serdadu itu tak berdaya turun
tangan. Masih The Go dapat memaksa bertahan sampai
dua jurus, tapi pada lain saat pahanya tiba2 dirasakan sakit
sekali terkena tutukan Tio Jiang. Saking sakitnya dia tak
kuasa berdiri lagi, berbareng dengan itu tangan kiri Tio
Jiang

Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pun sudah melayang kearah umbun2 kepalanya..............
"Tahan dulu!" seru The Go dengan gugup, lalu berteriak
lagi se-kuat2nya: "Lian-moay, jangan kau mengambil
keputusan pendek begitu!"
Lagi2 Tio Jiang kena diselomoti oleh rase yang licin itu.
Ini sebagian disebabkan karena api-asmaranya terhadap
sang suci masih tetap menyala, sebagian memang wataknya
yang ksatrya. Buktinya tempo Yan-chiu didesak hebat Kang
Siang Yan tempo hari, diapun mati2an mengadu jiwa. Dia
berpaling kebelakang, tapi bukannya Bek Lian hendak
bunuh diri, tapi menghunus pedang dengan cemasnya.
Tahu kalau diselomoti, cepat Tio Jiang berpaling kemuka
lagi, tapi sirase The Go sudah menyingkir pergi!
Dengan menggerung keras, Tio Jiang loncat memburu,
tapi segera dihadang oleh lingkaran pagar tombak dan
golok dari kawanan serdadu. Tapi mana serdadu2 kerucuk
itu bisa menandingi amukan murid kesayangan Ceng Bo
siangjin" Sekali bergerak, dia sudah dapat menyampok
jatuh beberapa serdadu dan merampas tombaknya. Dengan
sebatang tombak, dia mengamuk laksana banteng ketaton,
namun lapisan serdadu itu sangatlah rapatnya. Sekalipun
begitu, mereka tak dapat mendekati Tio Jiang, rupanya
mereka jeri juga akan kegagahan jago muda itu. Kalau dia
berhenti, serdadu2 itupun berhenti tak berani menyerang.
Kalau dia menyerang lagi, pun mereka bergerak pula.
"Menyingkir!" tiba2 dari dalam kawanan serdadu itu
Ioncat maju seorang opsir yang mencekal toya long-ge-
pang. Tanpa berkata sepatah kata, orang itu segera
menghantam kepala Tio Jiang. Melihat gerakan kaki orang
itu tak teratur, Tio Jiang ganda tertawa saja. Tahu dia,
orang itu hanya bertenaga besar tapi ilmunya silat biasa
saja. Begitu menghindar kesamping, dia lalu maju kemuka
dan blek tangannya menabas pundak siopsir, siapa toyanya
terlempar dan orangnya jatuh terlentang!
Tio Jiang cepat mengambil alih toya long-ge-pang itu,
yang ternyata berat. "Hem......, sejak rombonganmu masuk
kekota, entah berapa banyak rahayat Han yang kehilangan
jiwa, sekarang hendak kubestelkan kau keakherat!" seru Tio
Jiang seraya menjambret tubuh opsir itu terus di-putar2 lalu
dilemparkan kemuka. "Aduh" terdengar suara jeritan dalam
kawanan serdadu sana.
Kembali Tio Jiang mengamuk, sehingga kawanan
serdadu itu kocar kacir mundur. Kemana long-ge-pang
menghantam, darah menyembur membawa gumpalan
daging. Ki-ni terbukalah suatu jalan darah untuk Tio Jiang.
Tapi sekonyong2 ada dua orang maju dengan masing2
mencekal sebuah tun-pay (perisai) besar macamnya.
Wut....., wut...., kedua benda itu berbareng menyerang dan
berhasil mengapit long-ge-pang. Tio Jiang coba kerahkan
tenaga untuk membetot, tapi tak bergeming. Mengapa tiba2
dalam barisan musuh terdapat seorang lihay, demikian
diam2 Tio Jiang terkesialp. Oho......., kiranya kedua orang
itu bukan lain adalah dua paderi besar atau Sam-tianglo dari
gereja Ci-hun-si. Malah kini mereka lengkap tiga
jumlahnya. Yang dua menjepit long-ge-pang dengan
dampar, sedang yang seorang lagi melesat maju
menghantam perut Tio Jiang dengan pukulan hek-sat-ciang
(pukulan pasir hitam).
GAMBAR 48 Belum lagi Tio Jiang dapat merobohkan To Ceng, sementara
itu To Kong dan To Bu juga sudah datang, ia menjadi lebih
payah menghadapi keroyokan tiga tertua dari Ci-hun-si An.
Tio Jang undang seluruh kekuatannya, baru dia berhasil
menarik lolos long-ge-pang. Tapi kedua paderi itu bukan
tokoh lemah. Benar Tio Jiang telah membuat kemajuan
pesat, namun masih kalah dengan peyakinan mereka dari
berpuluh tahun itu. Apalagi dua orang maju berbareng.
Krek........putuslah long-ge-pang itu, hingga Tio Jiang
terjerembab jatuh kebelakang dengan mencekal separoh
kutungan toya. Keadaan itu teramat berbahaya, karena
berbareng dengan itu ketika tianglo itu maju serempak
menyerang 3 bagian tubuhnya .
(Oo-dwkz-TAH-oO)
BAGIAN 22 : TIGA ORANG HWESHIO
DAN SEORANG PEMALSU
Sebat luar biasa, terpaksa Tio Jiang menekankan
kutungan tangkai toya itu ketanah tubuhnya segera
melambung setombak tingginya. Tapi ketiga paderi itu
merangsang lagi keatas. Namun murid kesayangan Ceng Bo
itu tak gugup. Kutungan toya dijadikan semacam pedang,
diobat-abitkan ditengah udara. Sambil meluncur turun dia
mainkan jurus boan-thian-kok-hay. Memang hebat nian
ilmupedang tohay-kiam-hwat itu. Ketiga tianglo itu
menyingkir mundur, hingga Tio Jiang leluasa turun
ketanah. Dan sekali injak tanah, dia mainkan lagi jurus hay-
lwe-sip-ciu. Hay-lwe-sip-ciu atau 10 benua didalam laut, merupakan
jurus terakhir dari ilmupedang to-hay-kiam-hwat.
Perbawanya dahsyat sekali. Sekalipun hanya dengan
kutungan toya, namun karena lwekangnya kini maju pesat,
Tio Jiang tetap membahayakan lawan, sehingga ketiga
tianglo itu tak berani merapat dekat2 dan mundur lagi dua
langkah. Mendapat hasil, Tio Jiang makin bersemangat.
Kutungan toya, dimainkan selebat hujan. Begitulah
pertandingan satu lawan tiga itu berjalan dengan seru dalam
tempo yang cepat.
Se-konyong2 ketiga tianglo itu bersuit dan sama
menyingkir mundur Wut....., wut....., ujung toya kutung
menghantam beberapa kali kearah dampar mereka, tapi
sedikitpun tidak pecah atau hancur karena dampar itu
terbuat dari bahan bulu suri kera putih dari gunung Sip-ban-
tay-san. Tio Jiang heran mengapa, ketiga tianglo itu main
mundur bertahan diri. Padahal terang, setiap kalau ujung
toya kutung menghantam dampar, tentu se-olah2 terbentur
dengan suatu "tembok keras", sehingga, setiap kali itu juga
Tio Jiang harus gunakan tangkisan lwekang untuk
menghalau pukulan balik dari dampar itu. Baru setelah
berjalan 50-an jurus, kagetlah Tio Jiang. Kedua lengannya
kini terasa lemah lunglai kesemutan.
Ketiga tianglo Ci-hun-si itu adalah jago2 kawakan.
Ketika didapatinya perobahan besar yang luar biasa dari
perbawa permainan Tio Jiang, mereka mengatur siasat. Tak
mau menyerang, melainkan bertahan, tapi tetap mengepung
rapat. Senjata dampar itu, memang tepat sekali untuk
menjalankan siasat bikin lemah lawan itu. Setiap kali Tio
Jiang menggempur, merekapun menggunakan lwekang
untuk menangkis, alhasil, lama kelamaan habislah tenaga
Tio Jiang. Tio Jiang tersadar tapi agak teriambat. Sekali lagi dia
coba kerahkan tenaga, wut...., wut...., hay-li-long-hoan
disusul dengan hay-lwe-sip-ciu dilancarkan, dan berhasil
membuat ketiga paderi itu menyingkir mundur. Tapi
dengan serangan yang diforser itu, napas ter-sengal2, tenaga
habis dan terlongong2lah dia.
"He...., he...., he....," ketiga paderi itu tertawa ter-
kekeh2, "bocah, serahkan diri agar tak mengalami sakit!"
Sembari mengejek, sembari mereka bertiga menghampiri
maju. Dampar menggelimpang dan 3 buah thiat-sat-ciang
berbareng menghantam.
Tio Jiang merasa masih ada sisa tenaga untuk melawan,
tapi karena dirasakan sia2 saja, tak mau dia menangkis.
Begitu ketiga tangan hitam itu melayang datang, buru2 Tio
Jiang gunakan jurus terakhir dari hong-cu-may-ciu yakni
yang disebut ciu-seng-hin-lan (bau arak membangunkan
bunga). Begitu tubuhnya turun sampai menempel tanah, dia
telah memberosot keluar dari sela2 ketiga tangan dan
dampar............
"Hebat!" diam2 ketiga tianglo itu memuji dalam hati.
Sukur disana pagar barisan serdadu sudah menghadang Tio
Jiang yang rupanya hendak lolos itu. Tio Jiang berhasil
merubuhkan beberapa serdadu, tapi belum sempat lolos
ketiga tianglo itu sudah memburu datang lagi. Tio Jiang
sudah mandi keringat. Kini dia kalap sudah. Tangan kiri
menghantam dan tangan kanan mengayun toya kutung.
Tanpa hiraukan To Ceng dan To Bu yang, sudah
menghampiri didekatnya, dia menghantam se-kuat2nya
pada To Kong. Semasa kecil ketiga tianglo itu sebetulnya adalah 3
kawan yang karib. Mereka ber-sama2 menjadi paderi dan
ber-sama2 pula meyakinkan ilmu silat. Persahabatan yang
sudah dipupuk puluhan tahun itu sudah mendarah daging
bagai saudara putusan perut. Demi melihat sahabatnya
terancam bahaya besar itu, To Ceng dan To Bu batal
menyerang Tio Jian, tapi segera datang menolong To Kong.
Sebenarnya karena kalap, maka Tio Jiang telah
lancarkan serangan nekad tadi. Bahwa ternyata serangan itu
menimbullkan reaksi lain berhubung kedua hweshio lainnya
sibuk menolong, telah menyebabkan kegirangan Tio Jiang.
sekali toya kutung diturunkan, dia menyapu kearah kaki
ketiga paderi itu. Sapuan itu disebut tipu ngo-hou-tuan-kun-
hwat, ilmu toya dari 5 harimau menerkam nyawa. Dan
ketika ketiga, tianglo itu loncat keatas, Tio Jiang menyusuli
lagi dengan serangan to-hay-kiam-hwat. Ketiga tianglo itu
sibuk benar2 , bluk...., bluk ..... mereka menangkis dengan
dampar. Tio Jiang terperanjat, karena didapatinya toya itu hampir
tetlepas dari cekalannya, suatu pertanda, kalau tenaganya
mendekati habis. Buru2 dia lempar toya kutung itu dan
berbareng itu loncat melejit kesamping menyambar
sebatang golok dari seorang serdadu Ceng.
Begitu ketiga paderi itu memburu, Tio Jiang menimpuk
dengan golok. Dan selagi ketiga lawannya itu sibuk
menangkis, dia sudah balikkan tangan kiri menghantam
rubuh seorang serdadu lagi. Rupanya serdadu itu remuk
tulang belulangnya. Cepat Tio Jiang mengangkat kaki
serdadu itu, lalu di-putar2 terus dilemparkan kearah ketiga
hweshio tadi. Ketiga tianglo itu menjadi melongo, karena
selama ini belum pernah dijumpai orang berkelahi macam
cara sianak muda itu. Tapi Tio Jiang tak mau ambil pusing.
Susul me,nyusul dia lemparkan lagi dua orang mayat
serdadu kepada ketiga lawannya itu.
Kawanan serdadu Ceng itu hanya kantong2 nasi yang
tiada berguna. Menghadapi jago silat macam Tio Jiang,
mereka merupakan anak kambing yang dibuat mainan oleh
harimau. Dalam sekejab waktu saja, Tio Jiang telah
menimpukkan 30-an serdadu. Ketiga tianglo itu terhalang
dalam jarak seta tombak lebih. Mereka tak berdaya
mendekati jago muda itu. Sebaliknya karena memberi basil,
Tio Jiang terus gunakan cara itu.
Tapi fihak serdadu Ceng menjadi panik. Bermula mereka
tampak garang hendak membunuh "seekor harimau", tapi
kini ternyata harimau itu hendak menerkam mereka.
Hampir 35 serdadu telah melayang jiwanya. Namun lapisan
serdadu pengepung itu tak mau bubar. Sedang barisan yang
terdekat dengan Tio Jiang sudah merinding dan ber-
desak2an mundur, hingga saling pijak2an sendiri. Melihat
itu Tio Jiang lari menghampiri dan meloncati mereka.
Menghadapi tembok lapisan serdadu yang mengepung
dibagian luar, bermula Tio Jiang tak mau segera
menyerang. Tapi melihat kesaktian anak muda itu,
walaupun andaikata mau, mereka dapat menyerangkan
senjatanya, tapi mereka lebih suka mundur menyingkir
untuk memberi jalan. Tio Jiang sudah diambang pintu
kebebasan. Pada seat itu, tersadarlah ketiga tianglo tadi. Tanpa
hiraukan entah mati atau masih hidupkah kawanan serdadu
yang bergelimpangan desak mendesak itu, mereka loncat
memburu. Belum orangnya tiba, sebuah dampar telah
melayang kearah punggung Tio Jiang. Tio Jiang berputar
tubuh sembari menangkap dampar itu. Namun dampar itu
telah dilontarkan dengan tenaga lwekang oleh To Ceng.
Benar Tio Jiang dapat menyanggapi dengan tepat, tapi
begitu jarinya kendor sedikit, dampar itu jatuh ketanah.
To Ceng tianglo perdengarkan tertawa seram sembari
melesat kesamping Tio Jiang, wut....., wut......, sepasang
tangannya berbareng menghantam. Tio Jiang tak berdaya
menangkis, dia hanya dapat miringkan tubuh kesamping
menghindar. Tapi keayalan itu telah menyebabkan To Bu
dan To Kong sudah tiba. To Bu mengait dengan ujung kaki
dan dampar itu melayang kearah To Ceng yang segera
menyambutinya. Kini tiga serangkai hweshio lihay itu
kembali mengeroyok To Jiang.
Kini Tio Jiang tak mencekal senjata apa2. Bertempur -
mati2an sekian lama, tenaganya sudah habis, sedang pada
saat itu dia masih harus menghadapi keroyokkan dari 3
hweshio yang berilmu tinggi. Jadi kans untuk meloloskan
diri, kecil atau boleh dibilang tiada sama sekali. Namun
menyerah, Tio Jiang tetap berpantang. Kalau dapat
membunuh seorang lawan, serie namanya. Tapi kalau
dapat membunuh artinya masih untung karena dia hanya
kehilangan sesosok jiwa. Demikian keputusan Tio Jiang
yang sembari empos semangatnya tampak memandang tak
berkesiap pada To Ceng. Tiba2 dia merangsangnya. To
Ceng melejit kesamping, sedang To Bu menyerang dari kiri,
brettt...... karena tak keburu menghindar separoh baju Tio
Jiang telah robek !
Tio Jiang merasa terhina dan hinaan itu mendesaknya
kesudut tekad: bertempur sampai mati! Dia menjemput
sebuah golok lalu melancarkan 3 kali serangan gencar
berturut2, menyerang kepala, perut dan kaki To Ceng.
Benar dampar dapat digunakan untuk menangkis, tapi


Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dalam menghadapi serangan berantai yang disebut sam-ce-
lian-hoan (3 bintang merangkai untai) itu, terpaksa To Ceng
mundur. Serangan dibagian kepala. dan perut dapat
dihindarinya, tapi karena kurang sebat kakinya telah
terpapas, darahnya menyembur keluar
Tapi berbareng pada saat itu, dari belakang terasa ada
angin menyamber. Cepat Tio Jiang berputar tubuh untuk
mengiringi dua buah serangan. To Kong dan To Bu
terpaksa mundur. Melihat caranya anak muda itu
bertempur seperti orang kerangsokan setan, ketiga tianglo
itu jalankan lagi siasat. "membikin lelah" orang. Tak rnau
menyerang, tapi tetap mengurungnya.
"Mengapa tak mau menyerang?" tegur Tio Jiang dengan
ter-engah2. To Kong tertawa meringkik, sahutnya: "Kini
walaupun Hay-te-kau sendiri yang datang, juga diharuskan
menghadap Giam-lo (raja akherat) !" -
Tio Jiang menghela napas, hendak balas mendamprat
tapi sayang mulutnya tak lincah. Maka tanpa mengatakan
apa2, dia maju selangkah dan ayunkan goloknya. Tiba2
pada saat itu dari atas sebatang puhun terdengar suara
melengking memaki : "Kepala gundul yang tak tahu malu!
Kamu bertiga ekor keledai gundul tak mampu mengalahkan
seorang murid Hay-to-kau saja, masa berani umbar suara
menantang Hay-te-kau! Cis!, kalau Hay-te-kau berada
disini, dikuatirkan kau menjadi setan tak berkepala lagi !"
Tio Jiang tertegun, lalu berseru keras: "Siao Chiu,
kaukah?" "Hi...., hi....., ya....! benar akulah, suko!" suara diatas
puhun itu menyahut, "hebat benar kau tadi suko, lama
sudah aku disini menyaksikan !"
Tio Jiang mendongkol, masa orang hampir melayang
jiwanya......kok, malah enak2 menonton. Terlalu benar
sigenit itu ! Ketika mengawasi kearah puhun, sinona itu
masih tetap selincah dahulu. Dengan gerakan yang enteng,
ia loncat turun ketengah gelanggang. Tapi, hai, mengapa
gerakannya itu sedikitpun tak mengeluarkan suara" Ah,
tentulah dara nakal itu selama dua bulan berada dengan
Tay Siang Tansu, telah berhasil "memeras" kepandaian dari
hweshio besar itu. Mendadak sontak semangat Tio Jiang
naik seratus derajat. Kini keduanya berdiri bahu membahu.
"Siao Chiu, apa kau sudah lama disitu tadi?"
"Belum, hanya sudah hampir dua jam!"
"Mengapa tak lekas2 membantu aku?" tegur Tio Jiang
dengan mendongkol. Sebaliknya sigenit itu hanya ganda
tertawa, sahutnya: "Suko, kau memiliki beberapa macam
kepandaian yang istimewa. Kalau tak melihat kau satu per-
satu mengeluarkan tentu aku tak dapat memintamu
mengajari. Nah, kau mau mengajari aku tidak ?"
"Hayo kita lolos lulu dari sini, baru nanti bicara lagi"
sahut Tio Jiang geli berbareng mendongkol. Yan-chiu
mengiakan, tapi segera dia bertanya: "Suko, ape kau tidak
membekal pedang" Hayo kita mainkan Hoan-kang-kiam-
hwat dan to-hay-kiam-hwat."
Belum Tio Jiang menyahut, disebelah sana ketiga tianglo
tadi sudah membentak: "Budak Hina, dineraka sini tiada
pintu untuk keluar, masa kau ngimpi hendak lolos"! "
Tatkala Yan-chiu melayang turun masuk ketengah
gelanggang tadi, ketiga tianglo itu tak mau menghadangnya. Mereka sudah merasakan pil-pahit dari
sigenit, baik berupa hajaran (ketika diluitay) maupun
kocokan mulutnya yang tajam. Tanya jawab antara kedua
anak muda tadi yang se-olah2 menganggap sepi adanya
ketiga hweshio itu disitu, telah menimbulkan kemurkaan
mereka bertiga. Maka sembari membentak, mereka segera
serentak maju kedekat.
"Tahan!" seru Yan-chiu sembari cabut pedangnya.
Ketiga tianglo itu terkesiap, heran hendak mengapa gadis
nakal itu. "Didunia persilatan ketiga tianglo dari gereja Ci-
hun-si itu juga merupakan tokoh2 ternama. Tapi masa kini
mengeroyok dua bocah kemaren sore saja, tak, mau
memberikan senjata apa2 pada lawan!" sambil ketawa
dingin Yan-chiu mengocok, sehingga saking gusarnya
ketiga tianglo itu tak dapat mengucapkan apa2 sampai
sekian saat. "Kau minta senjata apa?", tanya mereka kemudian.
Yan-chiu cekikikan girang, sahutnya: "Kamsia, kurang
sebilah pedang saja!"
To Kong hweshio segera mengambil sebatang pedang
dari seorang opsir. Kemarahannya tadi disalurkan kearah
tangannya yang sekali menyelentik, pedang itu segera
melayang kearah Yan-chiu. Tio Jiang terkejut, buru2 dia
hendak maju menyanggapi, tapi telah kalah dulu dengan
Yan-chiu, yang tampak menguratkan pedang pusakanya
dalam separoh lingkaran, tring...... selentikan Iwekang To
Kong tadi telah digurat buyar, dan jatuhlah pedang itu
kebawah disambuti dengan manis oleh Yan-chiu lalu
diberikan pada sukonya.
Bagi Tio Jiang yang kini sudah memiliki pelbagai ragam
ilmu silat itu, segera dapat mengenal gerakan tangan
Yanchiu menggurat tadi adalah termasuk ilmu lwekang
yang tinggi, yakni cara untuk menyambut ancaman
lwekang berat atau yang disebut "4 tail menyambut ribuan
kati". Diam2 Tio Jiang girang. Tak tahu dia cara bagaimana
sumoaynya yang nakal itu, telah dapat mengeduk ilmu
lwekang tinggi dari Tay Siang Siansu. Begitu menyambuti
pedang Tio Jiang lalu berseru: "Jurus pertama!"
Dia mainkan jurus "Tio Ik cu hay", sementara Yan-chiu
segera mainkan "Khut cu tho kang." Sepasang ilmu pedang
mengalami "reuni" (pertemuan kembali) lagi dengan
sasaran pertama To Kong tianglo!
Rupanya To Kong belum kenal kelihayan pasangan ilmu
pedang yang termasyhur itu. Melihat orang menusuk dada,
dia hanya, gunakan damparnya untuk menangkis. Mimpipi
pun tidak dia kalau begitu menusuk, se-konyong2 kedua
pedang itu berpencar, satu menyerang paha satu
memangkas betis, Begitu tangkisan menemui tempat
kosong, To Kong terperanjat. Masih untung dia
mempunyai dasar latihan selama berpuluh tahun, hingga
dalam saat berbahaya itu dia masih dapat loncat mundur.
Tio Jiang dan Yan-chiu berhenti sebentar untuk
menghalau, To Ceng dan To Bu yang menyerang dari
samping. Begitu mereka mundur, kedua anak murid Ceng
Bo itu segera merangsang To Kong lagi. Malah kali ini luar
biasa sebatnya. Belum To Kong berdiri jejak, sepasang
pedang itu dengan rukun sekali sudah menyongsongnya.
Jurus kedua, boan-thian-kok-hay dan Pah-ong-oh-kang,
dengan manis hendak "memeluk" dada, hingga saking
gugupnya To Kong buang dirinya kebelakang berjumpalitan
sampai 3 kali baru dapat menghindar...........
Tio Jiang dan Yan-chiu tak mau kasih hati. Dengan enjot
sang kaki, mereka maju mengejar sembari lancarkan jurus
ketiga: "cing-wi-tian-hay" dan "it-wi-to-kang". Dalam
paniknya, To Kong gunakan dampar untuk menangkis.
Tapi dengan sebatnya, kedua anak muda itu berpencar.
Begitu dampar lewat disisinya, tiba2 Yan-chiu bertereak:
"Kena!" ujung pedang sinona, telah masuk dua dim
kedalam bahu To Kong. Untung ketika ia akan susuli lagi
dengan lain tusukan, To Ceng dan To Bu keburu datang.
Melihat paduan itu telah memberi hasil, yang luar biasa,
Yan-chiu sangat girang sekali. "Karena Allah bersifat
murah, maka untuk sementara kutitipkan dulu kepalamu
itu!" damprat Yan-chiu. Lihay benar lidah nona genit itu.
Sebetulnya karena diserang oleh To Ceng dan To Bu, ia
terpaksa repot melayani, tapi tokh dengan garang ia masih
dapat mendamprat si To Kong.
Juga Tio Jiang tak kurang girangnya atas hasil luar biasa
dari sepasang ilmu pedang itu. Dia pun segera berpaling
kebelakang untuk menghadapi kedua lawannya itu. Selama
7 jurus itu dilancarkan, sam-tianglo dari, gereja Ci-hun-si
yang termasyhur itu tak dapat berbuat apa2. Mereka hanya
bertahan tak mampu balas menyerang.
"Siao Chiu, kita harus lekas2 keluar dari kepungan ini!"
dia menyerukan sang sumoay, tapi rupanya sigenit itu
masih belum puas.
"Biar kita tinggalkan dulu tanda mata pada kedua
keledai gundul ini" sahutnya dan sret...... ia lancarkan jurus
kang-sim-bo-lo. Karena tak keburu menghindar, empat,
buah jari tangan To Ceng terpapas kutung, sehingga saking
sakitnya dia meng-erang2 sambil mundur. Yan-chiu dan
Tio Jiang maju memburu, saking ketakutan To Ceng enjot
kakinya loncat melewati pagar barisan serdadu. Ah.....,
masa dia dapat loncat jauh melalui lapisan serdadu yang
begitu banyak, bluk....... beberapa serdadu telah keinjak
jatuh. Namun tianglo gereja Ci-hun-si yang berhati kejam
itu, tak ambil pusing adakah serdadu2 itu mati atau hidup,
pokok asal dia sendiri bisa selamat. Begitupun To Kong dan
To Bu mengikuti tindakan kawannya, menyusup masuk
kedalam barisan serdadu. Oleh karena kepalanya sudah
begitu, maka barisan serdadu itupun juga ikut bubar.
Sedari mendapat luka tadi, The Go ajak Bek Lian berlalu
dan main pasrah saja pada anak buahnya. Sudah tentu
opsir2 bawahannya itu buyar nyalinya. Kemana Tio Jiang
dan Yan-chiu menerjang, disitu tentu terbit kekalutan.
"Suko ketiga keledai gundul itu sudah lari, kita balik saja
untuk mengejarnya !"
Sudah sejak tadi, Tio Jiang lampiaskan kemarahannya
mengamuk tentara musuh, rasanya puaslah sudah dia.
"Siao Clihi, sudahlah. Lebih baik kita lekas2 mencari suhu
dan para cianpwe yang entah kemana larinya itu!"
cegahnya. Yan-chiu jebikan bibir, rasanya masih belum
puas. "Baiklah, kuajarkan kau sebuah ilmu pedang yang
sakti!", buru2 Tio Jiang menghibur ketika ditengah jalan.
Baru setelah mendengar itu, wajah Yan-chiu tampak berseri
gembira. Setelah melalui sebuah tikungan gunung, mereka
mentiari sebuah tempat yang sepi dan melepaskan dahaga
derigan, air sebuah sumber. Untuk pengisi perut, dicarinya
buah2an. Sembari beristirahat itu, Tio Jiang tuturkan
pengalaman selama berpisah. Ketika sampai bagian tentang
kesaktian Kang Siang Yan, Siao Chiu leletkan lidahnya.
Tapi ketika diceritakan soal kejahatan The Go, mulut Yan-
chiu tak putus2nya menghambur makian. Malah lebih
banyak makiannya daripada Tio Jiang yang menuturkan.
Habis itu, kini giliran Yan-chiu yang bercerita. Ternyata
ia dibawa kegunung Hoa-san oleh Tay Siang Siansu. Disitu
setelah diberi pil sam-kong-tan, dalam beberapa hari saja, ia
sudah sembuh kembali. "Siao Chiu, tapi dalam 2 bulan ini,
kepandaianmu maju pesat sekali!" Tio Jiang menyela.
Sigenit hanya cekikikan saja, tangan dan kakinya
membuat gerakan seperti hendak menerangkan sesuatu, tapi
karena masih cekikikan jadi Tio Jiang tak jelas apa yang
dikatakan itu. "Lucu...., lucu.... sekali! Begitu tinggi
kepandaian hweshio tua itu, tapi begitu jujur juga hatinya!"
seru Yan-chiu sembari mendekap pinggang untuk menahan
gelaknya. "Bagaimana?" tanya Tio Jiang melongo keheranan. Yan-
chiu malah makin keras gelaknya. Setelah puas ketawa,
baru dia menyahut: "Tiga hari saja, lukaku sudah sembuh,
tapi aku pura2 me-rengek2 kesakitan. Setiap hari ber-ganti2
saja yang kukatakan, kalau tidak jantungku lemah .... atau
pinggang pegal.... tentu..... kepala pening,....ya pendeknya
ada2 saja yang kurengekkan itu. Tak henti2nya mulutku
menyesali hweshio tua itu yang sudah berani menyalahi
subo, sehingga akibatnya aku menderita luka berat. Karena
percaya, hweshio tua itu gugup dan lalu menurunkan
pelajaran ilmu lwekang kalangan Hud yang disebut 'Tay-
siang Iwekang'. Ha....., senang sekali bukan, suko?"
Diam2 Tio Jiang memaki sumoaynya yang nakal itu,
masa seorang Siansu atau hweshio besar berani mempermainkannya! "Siao Chiu, Tay Siang Siansu adalah
seorang hweshio agung yang saleh, jadi dia tak mau
membikin malu kau. Coba kau pikir, masakan tokoh
semacam dia tak mengerti kalau kau pura2 sakit" Hanya
karena melihat bakatmu yang bagus, maka dia tak pelit
menurunkan pelajaran yang sakti itu. Selanjutnya kau harus
berlaku hormat pada golongan cianpwe ya !"
Dalam hati Yan-chiu mengindahkan nasehat sang suko
itu, namun mulutnya tetap tak mau mengalah. "Suko, siapa
yang sudi mendengari wejanganmu itu." Kalau aku tak
pura2 sakit, masakan bisa mendapat pelajaran sakti itu?"
Tio Jiang sampai beberapa saat tak dapat menjawab,
akhirnya...... baru dia mengatakan: "Ya, sudahlah, aku
hanya bermaksud baik untuk kepentinganmu."
"Nah, akupun mengerti," ketawa Yan-chiu, hingga
membuat Tio Jiang meringis, sambil ter-longong2
memandang sang sumoay. Ada pepatah mengatakan
"wajah seorang perawan itu berobah 18 kali". Dua bulan
saja tak melihat, kini dalam pandangan Tio Jiang, sigenit
itu telah berobah Iebih cantik dan menarik.
"Suko, apakah Lian suci tak mengakui kalau sudah
bertunangan padamu?" Yan-chiu alihkan pembicaraan
karena jengah diawasi sang suko itu, sahut Tio Jiang
dengan suara sember. Mendengar itu Yan-chiu menjadi
geli, tanyanya pula: "Suko, apakah kau sedih ?"
Tio Jiang melengak, katanya dengan sungguh2:
"Bermula memang begitu, tapi setelah menyaksikan ia
menyintai The Go dan tak cinta lagi pada bangsa Han,
hatiku sembuh lagi."
Yan-chiu mendengari dengan tekun. Sambil terdiam ia


Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tundukkan kepala memain ujung baju, wajahnya kemerah2an memancarkan sinar harapan. Tapi karena Tio
Jiang tengah memikirkan persoalan Bek Lian dan The Go,
jadi dia tak memperhatikan. Sampai sekian lama, baru Yan-
chiu kedengaran bertanya: "Suko, aku hendak tanya
padamu sepatah kata."
Kali ini Tio Jiang heran. Biasanya sumoay itu selalu
tangkas bicara, mengapa kini plegak-pleguk ke-malu2an
begitu. "Katakanlah!" Tio, Jiang menyuruhnya sambil
mengawasi kearah sang sumoay, siapa kebetulan itu
waktupun memandangnya dengan ke-malu2an. Heran Tio
Jiang, mengapa mata Yan-chiu ke-merah2an seperti orang
habis menegak arak.
"Tak jadi, mari kita lanjutkan perjalanan saja lagi" tiba2
Yan-chiu tundukkan kepala berseru. Dasar hatinya tak isi,
maka Tio Jiang pun diam saja tak mau menanyai lebih
jauh. Dia hanya menanyakan hendak pergi kemana.
"Terserah kemana sajalah!" sahut Yan-chiu sembari melirik
pula. Karena tak mempunyai tujuan tertentu, mereka lalu jadi
berangkat menurut sepembawa kakinya.
Tak berapa lama kemudian, hujan turun. Semula karena
hujannya hanya rintik2, kedua anak muda itu tak
menghiraukan. Setelah melewati sebuah hutan, mereka
tetap berjalan. Lama kelamaan, hujan makin lebat, pada hal
keduanya kini tiada tempat untuk meneduh lagi. Buru2
mereka gunakan kepandaian berlari cepat. Tak berselang
berapa lama kemudian, disebelah muka tampak ada sebuah
bio (biara) kecil, kedalam mana keduanya segera menyusup
masuk. Bio itu tiada palangnya pintu, juga tiada patung
pemujaannya. Hujan lebat yang didera oleh angin kencang
itu, masuk juga kedalamm bio tersebut, sehingga lantainya
basah, Saking kecilnya tho-te-bio atau bio untuk menuju
penunggu bumi (bau rekso), mereka berdua tak dapat
duduk. "Suko, hayo kita menyusup kebawah meja sembahyang
itu!" seru Yan-chiu sewaktu dilihatnya dibawah meja itu
kering saja, Tapi karena tempat itu sempit sekali, Tio Jiang
enggan. "Mengapa diam saja, apa mau terus2an berdiri
disini?" Yan-chiu ulangi ajakannya. Kali ini Tio Jiang
terpaksa menurut.
Karena keliwat sempit, begitu anak muda itu masuk
kebawah meja, maka sesaklah tempat itu. Apalagi karena
pakaian mereka basah kuyup, jadi makin tak enak lagi.
Keadaan ini berlangsung sampai beberapa saat.
"Suko, setelah Lian suci tak menyintai kau, apakah kau
tak mau jatuh cinta pada lain gadis lagi?" tiba2 Yan-chiu
memecah kesunyian. Bagi seorang gadis seperti Yan-chiu,
sudah tentu merasa kalau pertanyaannya itu keliwat batas.
Tapi apa daya" la ketarik sekali akan peribadi sang suko
yang sederhana jujur dan setia dalam percintaan. Ia sendiri
tak tahu entah apa sebabnya, tapi berada disamping Tio
Jiang, hatinya merasa girang sekali. Sebenarnya kalau mau,
ia masih boleh tinggal bersama Tay Siang Siansu untuk
meyakinkan lain2 ilmu yang lebih sakti, tapi ia tak mau.
Hal ini disebabkan rasa rindunya hendak berjumpa dengan
sang suko. Berkat pembawaannya yang lincah tangkas,
dapat juga mulutnya mengeluarkan pertanyaan semacam
itu. GAMBAR 49 Suko, apa selain Lian-suci, tiada orang kedua yang bisa kau
cintai lagi ?" tanya Yan-chiu tiba2. Tio Jiang melengak, sampai
lama sekali baru jawab: "Entahlah, aku sendiri tidak tahu."
Tio Jiang menghela napas, sahutnya: "Siao Chiu, aku
sendiri tak tahu." Kata2 itu memang keluar dari isi hatinya.
Setelah kehilangan gadis pujaannya, dia telah mengalami
ketawaran hati jadi tak tahulah bagaimana hendak
menjawab pertanyaan sumoaynya itu. Mendengar itu,
sampai beberapa saat Yan-chiu terdiam, kemudian katanya
"Tio suko, aku telah ber-olok2 keterlaluan padamu. Kalau
kuberitahukan apakah kau marah ?"
Huh, entah berapa kali sudah kau meng-olok2 aku, tapi
aku tetap bersabar. Demikian pikirnya dan demikian pula
sahutnya: "Sudah tentu tidak !"
"Malam itu.........."
"Sst, diam!" tiba2 Tio Jiang mencegahnya. Sebenarnya
Yan-chiu sudah ambil putusan hendak menceritakan
olok2nya memberi peniti kupu2 pada itu malam. Hendak ia
menerangkan, bahwa hal itu se-mata2 hanya bergurau saja
disamping hendak menghibur sang suko agar lekas sembuh
dari penyakitnya. Tapi baru mulai sudah terganggu dengan
cegahan sang suko. Dan memang berbareng itu terdengar
derap kaki orang menghampiri kebio situ. Nyata derap kaki
itu menyatakan siorang tengah ber-gegas2. Maka Tio Jiang
dan Yan-chiu segera menahan napas seraya saling
berjabatan tangan dengan erat sekali.
"Blak!" demikian bunyi daun pintu bio ketika didorong
oleh sipendatang, siapa masuk2 terus memaki: "Setan alas,
hujan lebat ini !"
"Memang beginilah keadaan rumah yang atapnya tiris,"
sahut seorang lagi. Jadi rupanya mereka itu ada dua orang.
Makin lama rupanya mereka itu masuk kedalam dan
menghampiri meja sembahyangan. Tio Jiang sudah terus
hendak menobros keluar untuk menemui orang2 itu, tapi
buru2 dicegah Yan-chiu. "Jangan, suko, lebih baik kita
sembunyi disini mendengari pembicaraan mereka. Mungkin
ada apa2nya yang menarik!" bisik Yan-chiu.
"Keparat, mengapa didalam bio juga basah begini!"
kembali siorang Yang rupanya gemar memaki tadi
keluarkan makiannya lagi. "Dibawah kolong meja
sembahyangan tentu kering, hayo kita menyusup kesitu!"
ajak kawannya. Kaget Tio Jiang bukan kepalang. Buru2 dia siapkan
senjatanya, siapa tahu mereka adalah lawan.
"Ah, kan kita tak lama meneduh disini, lebih baik kita
duduk diatas meja itu saja!" sahut yang satu. Dan bluk....,
bluk...., keduanya segera sudah loncat keatas meja.
"Kurang ajar!" bisik Yan-chiu dengan mengkal.
Sebaliknya Tio Jiang berusaha keras untuk menahan
gelinya. Tiba2 wajahnya berobah ketika mendengar salah
seorang ada yang menyebut nama kawannya.
GAMBAR 50 Cepat Tio Jiang dan Yan-chiu menyelusup kebawah meja
sembahyang ketika tiba2 mendengar suara tindakan orang
mendatangi. Benar juga, dua orang telah masuk kelenteng itu dan
duduk diatas meja sembayang untuk pasang omong.
"Saudara It-ho, ada urusan apa Cian-bin Long-kun
mencarimu?" demikian salah seorang.
Sedang yang ditanya kedengaran menghela napas
menyahut: "Dia telah mengikat tantangan dengan ketua
Thian Te Hui untuk adu kepandaian digereja Ang-hun-
kiong gunung Ko-to-san pada nanti pesta air (pehcun).
Benar dengan Ang Hwat Cinjin sebagai andalan, dia tak
jerikan lawan, namun sedikitnya diapun harus unjuk
kepandaian juga. Tahu kalau akulah yang mencuri pedang
Kang Siang Yan pada 10 tahun yang lalu dia hendak
membelinya."
Kata2 itu membikin terkejut Yan-chiu, siapa lalu
menyikut sukonya. Tapi Tio Jiang diam saja. Dia tengah
pasang telinga benar2.
"Memang benar, kaum persilatan manakah yang tak
mengakui bahwa Yau-sim-ban-pian
Tan It-ho itu mempunyai kepandaian untuk menembus langit" Sampai
pedang pusaka dari Kang Siang Yan, diapun berani
mencurinya. Kabarnya pedang itu terdiri dari sepasang, laki
dan perempuan. Milik Kang Siang Yan itu tentulah yang
perempuan!" kedengaran pula suara dari atas meja.
"Benar, saudara Lim, pedangi itu dinamakan "kuan wi",
dapat memapas logam seperti memapas lumpur. Merupakan pedang nomor satu tajamnya didunia," sahut
Tan It-ho. "Saudara It-ho, rasanya kau belum pernah mengunjukkan pedang itu diluaran, dapat siaote (aku)
melihatnya barang Sejenak?" tanya yang disebut si Lim tadi.
Tan It-ho kedengaran menghela napas panjang, sahutnya:
"lama pusaka itu tak berada padaku !"
"Saudara Tan, aku Hun-ou-tiap Lim Ciong, bukan yang
kemaruk untung melupakan budi, mengapa kau, begitu pelit
?" kata si Lim dengann kurang senang.
Mendengar orang menyebutkan namanya sendiri itu,
Yan-chiu segera membisiki sukonya: "Suko, si Hun-ou-tiap
Lim Ciong itu, adalah orang yang ketika dalam
pertandingan luitay di Gwat-siu-san telah dikutungi sebelah
tangannya oleh Lian suci ........."
Kuatir kalau ketahuan orang, maka dalam membisiki
sukonya itu, begitu rapat Yan-chiu tempelkan bibirnya
ketelinga Tio Jiang, hingga yang tersebut belakangan itu
mendapat perasaan aneh yang sukar dikatakan, sampai dia
ter-longong2 tak dapat bicara.
"Janganlah saudara Lim curiga padaku, kalau benar
pedang itu masih ditanganku, masa, terhadap The Go yang
sudah mengurukku dengan budi besar itu, aku dapat
menolaknya?" kata Tan It-ho pula.
Mendengar itu Lim Ciong mendesak dimana adanya
pedang pusaka, itu. Terpaksa Tan It-ho menerangkan:
"Setelah mendapat pedang itu, karena merasa kepandaianku tak cukup, maka aku bermaksud hendak
mempersembahkannya kepada Ang Hwat cinjin dengan
syarat agar cinjin itu suka mengajari aku barang satu dua
macam ilmu kepandaian untuk menjaga diri. Tapi tiba2 ada
seorang sahabat dari, Kwisay berkeras hendak meminjamnya, hingga terpaksa aku kesana sendiri untuk
mengantarkan. Tapi sepulangnya dari, sana ketika melalui
pegunungan Sip-ban-tay-san, pedang itu telah disamun oleh
suku bangsa Biau ! "
"Apakah kau juga mengatakan begitu kepada Cian-bin
Long-kun?" tanya Lim Ciong.
"Benar, maka dia suruh aku menuju ke Sip-ban-tay-san,
mencari orang yang merampas pedang itu!" sahut Tan It-
Ho. "Suku bangsa Biau digunung Sip-ban-tay-san itu keliwat
banyak jumlahnya, mana kau dapat mencarinya?"
"Orang Biau itu dari suku Thiat-theng-biau"
"Astaga, mengapa berurusan dengan suku itu?" seru Lim
Ciong dengan kaget.
Mendengar itu Tan It-hoo segera menegas: "Adakah
saudara Lim mengetahui tentang suku itu?"
"Tidak begitu jelas. Hanya turut pembicaraan seorang
sahabat persilatan Hek-to (golongan hitam), suku Thiat-
theng-biau mempunyai senjata pelindung diri yang sakti.
Mereka mencari semacam rotan hutan, dijemur kering lalu
dianyam menjadi sematiam perisai yang dikenakan Sebagai
baju yang menutup kepala sampai ujung kaki. Rotan hutan
itu disebut thiat-theng (rotan besi), kebal terhadap tusukan
segala senjata tajam. Maka suku itu disebut Thiat-theng-
biau, atau suku Biau daerah thiat-theng. Kepala suku
dinamakan Kit-bong-to, orangnya gagah berani pandai
berperang, bukan?"
Mendengar itu se-konyong2 Tan It-ho menggebrak meja,
sehingga, debu yang melekat dibawahnya sama rontok
jatuh kebawah. Bukan kepalang mendongkolnya Yan-chiu,
hatinya penuh dengan umpat caci tapi sang mulut tak
berani mengeluarkan.
"Saudara Lim, cerita sahabatmu itu tentu masih ada
lanjutannya lagi. Kalau dapat memberikan pengunjukan
jelas, kelak tentu akan kubalas budi itu!" kata Tan It-ho lagi.
Hun-ou-tiap Lim Ciong tertawa menyeringai, sahutnya:
"Kit-bong-to itu gemar paras elok, memang setiap orang
tentu mempunyai cacad. Turut omongan sahabatku itu, Kit-
bong-to mempunyai semacam obat racun yang luar biasa
lihaynya. Pernah ketika disungai Cu-kang, dia mengantar
dua orang gadis nelayan yang cantik. Sebagai gantinya, Kit-
bong-to memberi beberapa obat racun istimewa kepada
sahabatku itu."
"Hai, kalau begitu sahabatmu itu bukankah Can Bik-san
yang digelari kaum Hek-to sebagai Ngo-tok-lian-cu-piau
(senjata rahasia lian-cu-piau 5 racun) ?"
"Benar! Dua gadis nelayan itu cukup membuatnya
mengangkat nama didunia persilatan," kata Lim Ciong.


Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Selesai pembicaraan itu, hujanpun sudah reda. "Aku
mempunyai suatu usul, entah Cian-bin Long-kun menyetujui tidak ya ?" kata Tan It-ho.
"Usul apa ?" tanya Lim Ciong.
"Baru2 ini Cian-bin Long-kun telah dapat memikat
seorang anak perawan bernama Bek Lian, yang cantiknya
bagai bidadari turun dari kahyangan. Kalau dia mau
serahkan gadis itu, kutanggung Kit-bong-to tentu akan
terbang ke Nirwana!"
Baru Tan It-ho jelaskan usulnya itu, Tio Jiang sudah tak
kuat menahan hatinya lagi. "Kawanan tikus, jangan lari!"
serunya seraya menyundul meja itu dengan kepalanya,
hingga Tan It-ho dan Lim Ciong menjadi gelagapan seperti
disamber halilintar. Oleh karena ilmu silat mereka hanya
biasa saja, begitu meja terbalik, merekapun jumpalitan jatuh
kebawah. Saking kesusunya, begitu meja terangkat, Tio Jiang tak
dapat segera memberosot keluar, maka dia hantam saja
meja itu hingga berlubang besar. Hun-ou-tiap yang sedikit
lambat, telah kena dipegang kakinya oleh Tio Jiang terus
dibanting ketanah. Hanya sekali Lim Ciong menjerit ngeri,
dan begitu jatuh ditanah tubuhnya terkulai tak dapat
berkutik lagi. Habis itu; Tio Jiang menghantamkan kedua
lengannya keatas, hingga meja itu kini hancur separoh, baru
dia dapat keluar. Tapi si Yau-sim-ban-pian Tan It-ho sudah
tak kelihatan bayangannya.
"Siao Chiu, apa kau mengetahui bangsat she Tan itu ?"
Serunya pada Yan-chiu siapa kedengaran menyahut dari
ujung tembok sebelah utara: "Aku juga sedang mencarinya
disini !" Mendengar Yan-chiu berada disebelah utara, Tio Jiang
lalu memburu kesebelah barat. Tapi baru dia tiba disitu,
tiba2 ada sesosok tubuh melesat keluar dan itu bukan lain
Yan-chiu adanya. Tio Jiang heran dibuatnya. Terang tadi
sumoay itu berada disebelah timur utara, masa kini berada
disebelah barat"
"Suko, kau bilang bangsat itu bersembunyi dibawah
patung malaekat yang berada disebelah barat selatan sana,
tapi mana buktinya?" belum Tio Jiang menanyakan, Yan-
chiu sudah mendahului. Kembali Tio Jiang tertegun, karena
dia tak merasa pernah mengatakan begitu. "Siao Chiu, kau
sendiri tadi mengatakan sedang mencari bangsat itu
disebelah utara, bukan?" kini dia balas menanya. Tak dapat
membekuk Tan It-ho, Yan-chiu sudah mendongkol. Maka
demi mendengar pertanyaan sukonya itu, dia segera
menyahut dengan geram :
"Rupanya kau ketemu setan tadi, siapa yang berkata
begitu padamu ?"
Tiba2 Tio Jiang teringat sesuatu. Sekali melesat, dia
loncati tubuh Lim Ciong, terus memburu kesebelah utara
timur. Kiranya dibelakang patung malaekat disitu, ada
sebuah gang kecil. Dia lari menyusur gang itu, namun tetap
tiada ketemu sebuah bayanganpun juga. Masih belum puas
ia mencari dibelakang bio itu. Baru setelah tak mendapat
hasil suatu apa, dia terpaksa balik masuk.
"Aku tak percaya kalau bangsat itu dapat lolos!" kata
Yan-chiu. "Kita diselomoti !" sahut Tio Jiang. Habis itu, dia
bertanya kepada Yan-chiu lagi : "Tadi kau sangka aku
mengatakan padamu kalau bangsat itu berada disebelah
barat utara sini, bukan " "
Yan-chlu mengiakan. "Itu si Tan It-ho yang mengatakan!" kata Tio Jiang. Yan-chiu terbelalak matanya,
membantah : "Ngaco belo ! Masa suaramu aku tak kenal ?"
"Memang dalam hal ilmu silat Tan It-ho itu biasa saja.
Tapi dia mempunyai dua macam kepandaian yang
istimewa. Kesatu, dia pandal menyaru sehingga orang tentu
kena dikelabui. Kedua, dia pandai menirukan suara orang
sampai persis sekali. Aku pernah menyaksikan sendiri kala
dipulau Ban-san-to dia menyaru jadi suhu, sampai aku
sendiri kena di selomoti! Tadi diapun tentu gunakan
kepandaiannya meniru suaraku dan suaramu untuk
mengacaukan kita berdua!"
Yan-chiu banting2 kaki. Tapi dibalik itu, diam2 ia
kepingin juga mempelajari seni kepandaian itu. Kini mereka
memeriksa Lim Ciong yang ternyata terluka parah.
Lengannya yang tinggal satu itu, pun kini sudah patah.
Wajahnya mengunjuk kesakitan. hebat. "Dimana si The Go
sekarang, hayo lekas bilang!" bentak Tio Jiang.
"Hohan, ampunilah jiwaku!" meratap Lim Ciong
ketakutan. "The Go masih berada digedung congpeng Kwiciu sana
!" "Huh, kau ini memang manusia jahat, sudah kutung
sebelah lengan masih, belum kapok .............. "
"Suko, tak usah marah2 padanya!" tukas Yan-chiu
seraya angkat pedangnya.
"Lihiap, ampunilah diriku!" seru Lim Ciong ketakutan.
Sekilas Yan-chiu mendapat lain pikiran. Pedang diturunkan, hanya ujungnya saja kini ditempelkan kearah
tenggorokan Lim Ciong. Dilekati alat maut yang sedingin
es itu, Lim Ciong tegang kaku tak berani bergerak
sedikitpun juga. Karena sedikit saja bergerak, tenggorokannya pasti tertutuk tembus.
(Oo-dwkz-TAH-oO)
BAGIAN 23 : KERA BERSAUDARA
BUAYA Diam2 Yan-chiu geli melihat keadaan Lim Ciong itu.
"Mana tempatnya Thi-theng-biau yang kau ceritakan tadi !"
tanyanya. Biji mata Lim Ciong tampak berkicup. Diam2 dia telah
memasang perangkap, sahutnya: "Lihiap, kalau kukatakan
apakah kau sudi memberi ampun ?"
Baik Tio Jiang maupun Yan-chiu, adalah anak yang
berhati welas asih. Seorang yang kedua lengannya sudah
patah, biar bagaimana tentu tak dapat melakukan kejahatan
lagi Apalagi wajah Lim Ciong yang me-ratap2 belas kasihan
itu, menyebabkan kedua anak muda itu mengiakan. "Baik,
lekas katakan. Kalau dikemudian hari kau sudah kapok,
tentu, kuampuni jiwamu !"
Lim Ciong menghela napas longgar. Sebentar matanya
menatap kearah ujung pedang yang melekat ditenggorokannya itu, lalu berkata: "Suku, Thiat-theng-biau
itu tinggal dipuncak Tok-ki-nia dari pegunungan Sip-ban-
tay-san. Anak buahnya hanya berjumlah 200-an orang."
Mendengar kata2 "Tok-ki-nia", Tio Jiang terkesiap. Ra-
sanya dia sudah pernah mendengar nama itu. Mungkin Sik
Lo-sam yang menceritakan hal itu, tapi entah lupalah dia.
"Tok-ki-nia?" dia menegas pula. Mendengar pertanyaan
itu, tiba2 wajah Lim Ciong,berobah seketika. Sampai sekian
jenak, baru tampak tenang lagi. Tapi mata Yan-chiu yang
celi segera mengetahui hal itu, bentaknya: "Bangsat, kau
masih berani menipu orang lagi ya?"
"Tidak, tidak! Kalau ada sepatah saja perkataanku yang
bohong, biarlah aku mati didalam hujan panah!" buru2 Lim
Ciong memberi jaminan. Yan-chiu leletkan
lidah mendengar sumpah orang seberat itu. Juga Tio Jiang
menaruh kepercayaan. Oleh karena tak suka melihat
cecongor Lim Ciong lebih lama, maka Tio Jiang segera
tarik tangan sumoaynya diajak keluar. Dengan berkutetan
susah payah Lim Ciong paksakan dirinya untuk berdiri. Dia
iringkan bayangan kedua anak muda itu dengan tersenyum
iblis. Kalau benar The Go masih berada di Kwiciu, Bek
Lianpun tentu berada dengannya. Kalau Tan It-ho keburu
menjumpai The Go, dikuatirkan The Go yang tak cinta
setulus hati pada Bek Lian itu, tentu akan menyetujui usul
Tan It-ho: tukarkan Bek Lian dengan pedang kuan-wi pada
Kit-bong-to. Maka ayun langkah Tio Jiang dan Yan-chiu itu
ditujukan untuk mengejar Tan It-ho, atau palirIg tidak
harus dapat mendahului manusia seribu muka itu. Maka
sampai petang hari, keduanya masih pesatkan larinya,
menuju ke Kwiciu. Juga malamnya mereka tetap lanjutkan
perjalanannya. Keesokan harinya, mereka menjumpai orang2 yang
dijumpai dijalan itu, sikapnya aneh. Dan yang terlebih
mengherankan lagi, sejumlah besar serdadu Ceng sama
berbondong2 keluar dari kota Kwiciu. Mereka ber-
kelompok2, ada yang terdiri dari 10 orang, ada tujuh atau
delapan orang. Selama berjalan itu, mereka hiruk-pikuk tak
keruan macamnya. Ada sementara rombongan anak2 nakal
yang melempari batu kearah kawanan serdadu2 Ceng itu.
Melihat itu Tio Jiang dan Yan-chiu menjadi heran.
Bukankah Kwitang dan Kwisay sudah diduduki tentara
Ceng, mengapa rahayat masih begitu bernyali besar"
Dalam men-duga2 itu, keduanya sudah mendekati kota.
Tiba2 ada seorang pembesar tentara Ceng, dengan
terhuyung2 tak tetap jalannya, keluar dari pintu kota. Dia
tak membekal senjata. Kepada kawanan serdadu itu, dia
meneriaki keras2, entah apa yang diteriakan itu. Tio Jiang
dan Yan-chiu tak mengerti akan bahasa mereka, tapi jelas
dilihatnya bahwa serdadu2 itu semuanya adalah bangsa
Boan. Sedari tentara Ceng menduduki kota Kwiciu, mereka:
segera memaksa orang2 Han untuk menjadi serdadu guna
menambah angkatan perangnya. Dan orang2 Boan itu
diangkat menjadi opsir dan pembesar militer, Tapi mengapa
kini keadaan mereka tak - keruan macamnya" Sampai
sekian lama, Yan-chiu tetap tak memperoleh jawaban
pendugaannya itu. Tapi dalam pada itu, jelas didengarnya
baik didalam maupun diluar kota, rahayat sama ber-sorak2
gempar, sana sini orang memasang petasan. Suasananya
lebih ramai dari Tahun Baru.
Oleh karena didalam sekian banyak orang yang sama
berbondong2 entah apa maksudnya itu, Yan-chiu tak dapat
memperoleh keterangan jelas, dia menjadi tak sabar lagi.
Sekali enjot sang kaki, dia segera melayang menyerang
seorang opsir Ceng. Ternyata opsir itu mengerti ilmu silat
juga. Dia miringkan tubuh menghindar lalu mengirim
hantaman. Melihat itu, Yan-chiu berbalik girang. Sudah
lama ia merasa keisengan tak berkelahi. Kini dapat sparring
partner (lawan bertanding). Dengan gunakan cian-kin-tui
atau tenaga tindihan 1000 kati, dia meluncur turun. Begitu
turun, dia segera kerjakan kakinya untuk mengait dengan
gerak kau-theng-thui. Bum, tak ampun lagi opsir itu
tergelincir jatuh !
Yan-chiu ter-bahak2, sementara opsir itu dengan
merangkang bangun lalu berteriak keras menyerangnya.
Yan-chiu melejit kesamping, sekali ulurkan tangan, kembali
opsir itu terjerembab jatuh. Bahkan kali ini Yan-chiu
gunakan tenaga, sehingga opsir itu keras sekali terbantingnya. Hidung pencet, mata bendul, mulutnya
meng-erang2 kesakitan.
,,Aku hanya hendak bertanya sepatah kata, mengapa kau
memukul?" seru Yan-chiu. Terang dirinya diserang lebih
dulu dan dibanting sampai dua kali, masa masih
dipersalahkan. Sudah tentu opsir itu meringis seperti
monyet kena terasi. Akhirnya terpaksa dia menyahut: "Apa
yang hendak kau tanyakan itu?"
,,Mengapa kamu tak berpesta pora didalam kota,
sebaliknya malah seperti anjing digebuk lari pontang,
panting keluar kota ?" tanya Yan-chiu. Opsir itu deliki.
Berputar kebelakang dia berteriak beberapa kali dan
berbarislah beratus serdadu Ceng itu lalu menuju kebarat.
Opsir itu mengikuti dibelakang. Mendongkol tak dijawab
pertanyaannya, Yan-chiu mengejar lalu menangkap kuncir
orang. Baru ia hendak memaksanya berkata, tiba2 dari
samping melesat sesosok bayangan. "Nona, lepaskanlah
dia. Bangsat macam begitu, sudah tiada berharga lagi!" kata
orang itu. Tio Jiangpun sudah mendatangi. Kuatir sang sumoay
berlaku kasar, lekas2 dia menjurah, ujarnya: "Lotio, apa
maksudmu ?"


Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Orang tua itu terkekeh-kekeh, sahutnya: "Ini artinya
Allah tiada mau membasmi bangsa Han. Sikuncir Boan,
selekasnya akan angkat kaki dari Kwitang dan Kwisay !"
"Jangan2 kaisar kantong nasi itu akan kembali lagi ?"
Yan-chiu menyela. Tapi sebaliknya Tio Jiang bertanya :
"Adakah saudara2 dari Thian Te Hui muncul lagi ?"
"Salah semua," sahut siorang tua.
"Habis bagaimana ?" tanya kedua anak muda itu dengan
heran. Wajah siorang tua berseri girang, serunya: "Kemaren
tanggal 10 bulan 4, Li congpeng telah membawa anak
buahnya dari kedua propinsi Kwi, menakluk pada Beng!"
"Adakah keteranganmu itu benar, Lotio ?" Tio Jiang dan
Yan-chiu serentak bertanya dengan girang.
"Aku seorang tua, masa masih suka bergurau" Kawanan
serdadu Ceng itu digebah pergi oleh anak buah Li Seng
Tong tayjin. Tak lama lagi kaisar Ing Lek akan kembali ke
Kwiciu sini!" sahut siorang tua dengan tegas.
Yan-chiu tak bersangsi lagi. Ia segera tarik tangan
sukonya diajak masuk kedalam kota. Seluruh penduduk tua
muda besar kecil, sama2 bersuka ria. Kini kedua anak muda
itu percaya penuh. Kalau tadi saja mereka masih memaki Li
Seng Tong, kini berbalik memujinya setinggi langit.
Keduanya ambil putusan menuju kekantor congpeng. Para
pengawal digedung situ, ternyata sudah berganti uniformnya (pakaian seragam). "Apakah Li congpeng ada
?" tanya Tio Jiang.
Penjaga itu tak memandang mata pada kedua anak muda
kita. "Li congpeng masih sibuk!" sahutnya ringkas. Saking
gusar, Yan-chiu segera ayun tangannya. Ada 4 atau 5 orang
serdadu pengawal menjerit jatuh. Yan-chiu tarik sukonya
menobros masuk. Tanpa ada yang berani menghadang,
mereka berdua langsung masuk keruangan besar dibelakang. Disitu kedengaran ada orang berkata: "Kalau
sekarang kuturut permintaanmu, lantas kau bagaimana?"
"Sudah tentu aku taat janjiku!" sahut sebuah suara lagi
yang nadanya seperti orang perempuan. Tio Jiang dan Yan-
chiu terperanjat. Yang pertama tadi, mereka kenal sebagai
suara Li Seng Tong, sedang suara wanita itu adalah suara
Lam-hay-hi-li Ciok Siao-lan!
"Ciok Siao-lan, kaukah?" tiba2 Yan-chiu menegur.
Kedengaran suara berkerontangan, seorang gadis cantik
yang berkulit hitam, tampak menyongsong keluar dengan
senjatanya hi-jat. Memang ia adalah Ciok Siao-lan adanya,
siapapun tercengang melihat kedatangan kedua anak muda
itu. "Mengapa-kalian,datang kemari ?" tegurnya.
"Mencari Cian-bin Long-kun!" sahut Tio Jiang dengan
tegas. Lagi2 Siao-lan terkesiap, menggetarkan senj atanya,
berkata: "Perlu apa cari dia" Akupun juga sedang
mencarinya !"
"Dan kau perlu apa padanya?" Yan-chiu membalas.
Tiba2 Siao-lan menghela
napas panjang, ujarnya:
"Mencarinya atau tidak, sebenarnya sama saja !"
Selagi Tio Jiang dan Yan-chiu hendak menegas, dibalik
ruangan besar muncul seorang lelaki yang berwajah keren,
mengenakan pakaian luar biasa, bukan Ceng bukan Beng,
tapi lebih banyak menyerupai pakaian pembesar dalam
sandiwara. "Li congpeng, kau tak kecewa sebagai seorang pahlawan
besar!" Yan-chiu segera memujinya. Memang orang itu
adalah Li Seng Tong sendiri, siapa hanya ganda tertawa
saja, tak mau menyahut sebaliknya malah berkata kepada
Siaolan: "Siao-lan, kau beristirahat dulu kedalam. Sakitmu
masih belum sembuh, jangan keliwat ngotot !"
Dari nada suaranya, mengunjuk perhatian sekali,
diucapkan dengan ramah tamah tak memadai ucapan
seorang pembesar agung. Sudah tentu Tio Jiang dan Yan-
chiu heran dibuatnya.
"Apa maksud kedatangan kalian ini?" tegur Li Seng
Tong kemudian pada Tio Jiang dan sumoaynya.
"Dimanakah sekarang Cian-bin Long-kun itu?" ujar Tio
Jiang. Li Seng Tong melirik pada Siao-lan sejenak, lalu
menyahut: "Entahlah, punkoan sedang sibuk, harap jiwi
keluar dulu !"
Yan-chiu melangkah maju setindak, katanya: "Kami
mencarinya karena ada urusan penting !"
"Sst, jangan sampai Siao-lan mendengarnya. Kemaren
sore, The Go telah membawa gadis she Bek itu, entah
kemana!" Li Seng Tong menyahut dengan suara berbisik.
"Mengapa?" tanya Tio Jiang dan Yan-chiu serentak.
"Karena punkoan sudah kembali kepada Tay Beng,
mungkin merasa berdosa besar dia lalu ketakutan sendiri!"
sahut Li Seng Tong. Mendengar itu Tio Jiang segera ajak
sumoaynya berlalu, karena turut gelagatnya The Go pasti
sangat membutuhkan pedang pusaka kuan-wi itu. Begitu
ketemu dengan Tan It-ho dia tentu jalankan usul keji itu.
Yan-chiu berpaling kearah Li Seng Tong sebentar, sahutnya
: "Tunggu sebentar dulu. Li congpeng, mengapa kau
sekonyong2 membaliki diri, kepada pemerintah Boan
Ceng?" Li Seng Tong menghela napas dalam. Sampai sekian
lama baru dia mengucap: "Kemauan alam !"
"Huh, doa sajak apa itu ?" kata Yan-chiu seraya
melangkah keluar diikuti sukonya. Ketika dijalan besar,
didapati orang2 sama mengerumuni sebuah rumah cat
merah dan melontari batu. Ternyata, rumah itu adalah
gedung kediaman pembesar Beng yang menakluk pada
Ceng. Bermula Yan-chiu juga hendak ikut2an, tapi keburu
digelandang oleh sang suko. (Catatan: Peristiwa setelah
berhasil menduduki Kwitang dan Kwisay lalu tiba2-Li Seng
Tong berbalik menakluk pada pemerintah Beng itu, tercatat
dalam buku sejarah. "Sejarah ringkas kerajaan Lam, Beng"
dan "Peristiwa Kwiciu". Mengapa jenderal itu berbuat
demikian, merupakan teka-teki sejarah. Yang diketahui
orang, dia dipengaruhi oleh seorang wanita).
"Siao Chiu, dahulu rahayat mengutuk Li Seng Tong
sebagai penghianat bangsa, tapi kini dia disanjung-puji. Jadi
segala apa itu tergantun dari perbuatan orang sendiri," kata
Tio Jiang ditengah perjalanan. "Ah lihat2 dulu orangnya.
Kalau orang macam The Go tiba2 berobah baik, rasa2nya
setanpun takkan mempercayainya!" bantah Yan-chiu. Tio
Jiang terdiam. Lewat sekian lama tiba2 dia berkata:
"Jangan2 The Go kembali kegereja Ang-hun-kiong."
"Tepat, hayo kita ke Ko-to-san saja!" sahut Yan-chiu.
Begitulah keduanya segera berputar balik arah, menuju
kegunung Ko-to-san.
Ko-to-san terletak disebelah selatan dari propinsi Kwiciu.
Berita Li Seng Tong menakluk pada kerajaan Beng, sudah
pecah diseluruh negeri. Maka disepanjang kota kecil yang
dilaluinya, tampak suasana penuh dengan kawanan serdadu
Ceng yang ber-bondong2 menuju kebarat. Beberapa kali
mereka berjumpa dengan serdadu2 Ceng itu, setiap kali
Yan-chiu tentu memberi hajaran. Tiga hari kemudian
menjelang sore hari, keduanya sudah tiba dikaki gunung
Ko-to-san. "Siao Chiu, apa kita langsung menuju keatas gunung?"
tanya Tio Jiang agak bersangsi. Yan-chiu leletkan lidah
berkata: "Mungkin kita tak kuat melawan Ang Hwat
cinjin." Tapi Tio Jiang berkeras: "The Go tentu sudah berada
disana, kalau tak menyusul, kesana, bagaimana kita bisa
mencari -Lian suci ?"
"Jadi kalau demikian, kita harus pergi?"
"Tentu !"
"Ya, kalau nanti The Go tak ada kita bilang saja datang
hendak mengunjuk hormat pada Ang Hwat cinjin. Sebagai
seorang locianpwe, dirasa Ang Hwat cinjin tentu takkan
sampai memperlakukan keras kepada kita !"
"Tapi kalau The Go ada?" tanya Tio Jiang.
Yan-chiu mengecupkan biji matanya, menjawab:
"Masakan dia bisa lari kemana?"
Begitulah setelah menanyakan letak gereja itu pada
seorang penduduk, keduanya mulai mendaki keatas. Kala
itu matahari menjelang turun memancarkan sinar ke-
emasan. Dari jauh sudah kelihatan dinding gereja yang
berwarna merah diatas puncak gunung sana. Sepintas
pandang, mirip dengan segumpal awan merah. Lapat2
terdengar suara genta gereja ber-talu2 dibunyikan. Diam2
kedua anak muda itu mendapat kesan, bahwa kiranya tak
kecewa gereja Ang-hun-kiong itu menjadi tempat kediaman
seorang guru besar dari kalangan persilatan yang begitu
dimalui orang. Tak lama kemudian, tibalah sudah mereka disebuah
lapangan diluar gereja itu. Temboknya yang menjulang
tinggi, nampak megah dan perkasa. Sehingga seorang anak
peremuan yang genit macam Yan-chiu, tak urung merasa
tercekat hatinya. Baru mereka mendekati pintu besar, dari
sebuah thing (pagoda kecil) yang terletak dimuka pintu itu,
muncul dua orang to-thong kecil dengan pertanyaannya :
"Ada keperluan apa jiwi datang kemari ?"
"Siao-totiang, tolong tanya adakah Cian-bin Long-kun
The Go yang termasyhur didunia persilatan itu berada
disini?" tanya Yan-chiu cepat2 mendahului sukonya, karena
kuatir sang suko yang tak pandai bicara itu nanti plegak-
pleguk tak tegas. Sudah tentu Tio Jiang mendongkol dan
deliki mata, tapi Yan-chiu menganggap sepi saja.
"0oo..., kiranya jiwi hendak mencari The suko. Sejak
musim rontok tahun yang lalu dia turun gunung, sampai
sekarang belum pulang kemari," menerangkan kedua to-
thong kecil itu.
"Masa" tiba2 Tio Jiang menyeletuk.
Kedua to-thong itu kiblatkan biji matanya menukas:
"Apa mungkin kau lebih tahu dari kita yang berada disini ?"
Tio Jiang terbentur dan menyeringai. Sedang Yan-chiu
yang mendongkol terpaksa tahan perasaannya, karena
kuatir kesalahan dengan Ang Hwat cinjin. "Harap jiwi
siaototiang jangan marah. Sukoku sebenarnya orang baik2,
tapi ada sedikit cacad, yaitu agak dogol," kata Yan-chiu
sambil tertawa.
"Rupanya kau ini lebih baik!" kedua to-thong itu turut
tersenyum riang. Yan-chiu merasa suka dengan kedua anak
gereja yang wajahnya terang berseri dan bibirnya ke-
merah2an itu. "Ya, memang aku ini suka bicara. Tapi
siapakah nama yang mulia dari jiwi ini ?"
Anak gereja itu hanya kurang lebih berumur dua
tigabelas. Di-junjung2 dengan sebutan "siao-totiang" oleh
sumoay Tio Jiang, girangnya setengah mati. "Kami
bernama Kuan Gwat dan Siang Hong, termasuk murid
angkatan ke 3 dari sucou. The Go adalah suko kami," sahut
mereka. "Ai....., ai......, makanya dalam usia semuda ini sudah
begitu lihay. Sungguh mengagumkan!" Yan-chiu mengobral
sanjung pujian, walaupun sebenarnya kepandaian kedua
anak gereja itu tak seberapa. Dasar anak2, kedua to-thong
itu menganggap Yan-chiu seorang nona yang baik hati. Dan
tanpa disadari, kelak Yan-chiu akan memperoleh bantuan
besar ketika ia mendapat kesusahan digereja itu.
Oleh karena The Go tak ada, Tio Jiang menyatakan
hendak mencari suhunya saja, tapi Yan-chiu berkeras
hendak menuju kegunung Sip-ban-tay-san, minta rotan besi
pada suku Thiat-theng-biau. Syukur kalau The Go disana,
bolehlah diberesi. Tio Jiang terpaksa menurut.
Kini kita tinggalkan dulu perjalanan kedua anak muda
itu ke Sip-ban-tay-san. Mari kita jenguk keadaan The Go.
Setelah dilukai Tio Jiang, dia ber-gegas2 membawa Bek
Lian ke Kwiciu. Sesudah beristirahat semalam, lukanya
banyak baikan. Tiba2 didengar diluar gedung ada suara
hiruk-pikuk. Setelah dicari keterangan, ternyata Li Seng
Tong berontak terhadap pemerintah Ceng. Sudah tentu
terkejutnya bukan kepalang, karena besok paginya dia
bermaksud hendak menghadap congpeng itu. Keluar
dijalanan, disana sini rakyat sama ber-jubal2 ber-sorak2
dengan gempar, sedang serdadu2 Ceng sama kalut tak
keruan keadaannya. Buru2 dia potong kuncirnya, lalu
berganti pakaian. "Lian-moay, Li Seng Tong orang yang
suka bolak balik pikirannya. Lebih baik kita pergi ketempat
sucou sana saja !"
"Aku tak hiraukan kepada Ceng atau Beng dia
memberontak, asal aku tetap didampingmu!" sahut Bek
Lian dihiring senyum tawanya. Tapi karena hati The Go
kala itu sangat kalut, dia anggap sepi saja cinta kasih
isterinya itu. Sejak mengandung, beberapa hari ini Bek Lian
suka muntah2, tak suka makan. Tubuhnya makin kurus
wajahnya pucat lesi. Melihat itu, rasa cinta The Go makin
hari makin luntur. Adalah,karena takut terhadap Kang
Siang Yan, dia terpaksa belum berani bertindak.
Begitulah dengan ber-gegas2 The Go segera ajak Bek
Lian angkat kaki. Begitu tiba diluar kota, dia tepat
berpapasan dengan Tan It-ho. "The-heng, wah, berbahaya
sekali!" seru It-ho dengan ter-engah2.
"Apanya?" The Go tak mengerti maksud kata2 orang.
Tan It-ho segera tuturkan pengalamannya berjumpa dengan
kedua anak murid Ceng Bo siangjin dibio kecil itu. The Go
benci tujuh turunan terhadap kedua anak muda itu.
"Tanheng, bagaimana kabarnya pedang itu ?" tanyanya.
Tan It-ho lirikkan ekor mata kearah Bek Lian. Rupanya
itu sebagai suatu isyarat rahasia, dan The Gopun tak mau


Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bertanya lagi. The Go ajak Tan It-ho menginap dihotel.
Malamnya mereka bertiga pesan hidangan lengkap, tapi
ternyata Bek Lian tak suka makan, lalu masuk tidur lebih
dulu. Melihat Bek Lian sudah pergi, baru Tan It-ho mulai
membentangkan siasatnya: "Cian-bin Long-kun, siaote ada
merencanakan sebuah siasat, apabila sampai menyalahi
sukalah kau memaafkan !"
Sejak dijatuhkan Tio Jiang, The Go perihatin sekali. Ang
Hwat cinjin mempunyai ilmu pedang Chit-sat-kiam-hwat
yang saktinya bukan kepalang. Terdiri dari 49 jurus.
Beberapa kali dia pernah minta ajaran itu, tetapi suhunya
selalu memberi alasan, ilmu itu akan hilang kesaktiannya
kalau tiada memiliki pedang pusaka yang tajam. Maka
terhadap pedang pusaka kuan-wi-kiam, The Go mau
mempertaruhkan segala apa asal bisa memiliki. Dengan
pedang kuanwi-kiam dan ilmu pedang Chit-sat-kiam-hwat,
hendak dia cuci bersih hinaan dari orang2 yang dibencinya,
pada nanti pertempuran dihari pehcun. Sewaktu It-ho
menerangkan bahwa pedang pusaka itu berada ditangan
suku Thiat-thengbiau, perasaannya sudah longgar. Apalagi
ketika It-ho mengatakan mempunyai daya, hatinya segera
me-lonjak2. Sebagai seorang durjana, Tan It-ho ber-hati2. Sebelum
mengatakan lebih jauh dia celingukan kian-kemari dulu
adakah ada lain orang yang mencurigakan. Ternyata disitu
sepi orang, kecuali ada seorang hweshio yang sedang
menjalankan tugas berkelana, tengah mengantuk dan
letakkan kepalanya diatas meja. Dihadapannya tertumpuk
beberapa bak-pao, sedang orangnya mendengkur keras.
Tidur mendengkur atau ngorok, belum berarti orang tidur
pulas betul2, bisa juga orang itu ber-pura2 saja. Ini dapat
diketahui dari cara dengkuran orang itu. Sebagai seorang
durjana, It-hopun dapat mempelajari adakah orang itu
sungguh tidur atau pura2. Setelah didengarnya dengan
perdata, hweshio itu memang tidur sesungguhnya, barulah
It-ho legah, katanya: "Thiat-theng-biau itu sangat gagah
perkasa dan kebal segala macam senjata. Dengan
kekerasan, rasanya sukar memperoleh hasil."
"Lekas katakan siasatmu itu saja. Kang Siang Yan sudah
bersumpah hendak mendapatkan lagi pedang itu, kalau
sampai keduluan, tentu lebih sukar lagi!" The Go -
mendesak dengan tak sabar. Tan It-ho terperanjat, serunya:
"Kang Siang Yan " Benarkah ucapanmu itu ?"
"Tan It-ho, jangan ngaco belo yang tidak2! Kalau kau
dapat membantu aku sampai mendapatkan pedang itu,
nanti aku ajarkan padamu 3 macam kepandaian sakti dari
gereja Ang-hun-kiong menurut sesuka pilihanmu, puas ?"
Tan It-ho teramat sukanya, lalu duduk merapat pada The
Go, katanya: "Tapi kepala suku Thiat-theng-biau yang
bernama Kit-bong-to itu gemar sekali akan paras cantik "
"Susah...., susah...., kalau kita antar beberapa wanita
cantik, masakan dia lantas menerimanya saja?" tukas The
Go. Tan It-ho mendekati tujuannya: "The toako, Kit-bong-
to banyak pengalamannya, terhadap wanita biasa tentu dia
tak memandang mata !"
"Habis, bagaimana kemauanmu ?"
Diam2 Tan It-ho mengejek sang kawan yang biasanya
membanggakan diri sebagai gudang otak, mengapa kini
sedemikian tololnya. Tapi dia beranggapan lain, mungkin
The Go sudah dapat menebak, tapi tak enak untuk
mengatakan sendiri. "Siaote hendak mempersembahkan
kata2, mohon toako jangan marah!" katanya.
The Go bersikap tenang saja. Setelah menuangkan arak
dan meneguknya habis, dia berkata: "Tak apa, bilanglah!"
Lagi2 Tan It-ho celingukan keempat penjuru, setelah
disitu makin sepi orang kecuali sihwesio yang masih
menggeros tadi, segera dia berkata: "Puteri dari Hay-te-kau
itu laksana bidadari menjelma, Kit-bong-to pasti jatuh hati!"
Mendengar itu wajah The Go berobah seketika, brak.....,
brak.....dia menggebrak meja: "Tan It-ho, selama ini
kuanggap kau sebagai sahabatku yang sejati, mengapa
berani mengucapkan kata2 itu?"
(Oo-dwkz-TAH-oO)
BAGIAN 24 : KETAWA MONYET
Tan It-ho terkesiap kaget. Diam2 dia menduga, apakah
The Go itu sungguh mencintai Bek Lian dengan setulus hati
" Sampai sekian saat dia tak dapat berkata suatu apa,
sedangkan dengan dada berombak-ombak The Go meneguk
araknya lagi. Tiba2 terkilas dalam pikiran Tan It-ho,
bagaimana pribadi The Go yang terkenal sangat licik-licin
itu. Rupanya dia berlaga kaget dan marah2, agar terhindar
dari kesalahan. Bermula Tan It-ho sesali dirinya mengapa
mengambil resiko besar begitu, tapi pada lain saat ketika dia
memikirkan betapa hebat 3 macam pelajaran Ang Hwat
cinjin itu, semangatnya timbul lagi. Bukankah dengan
memiliki kepandaian itu, dia akan dapat malang melintang
didunia kangouw" Dia berpantang mundur, serunya: "The
toako, orang mengatakan 'dalam kesukaran harus berdaya,
ada daya tentu ada harapan'. Pertemuan pehcun, sudah
didepan mata. Kalau tak memiliki pusaka, tentu tak dapat
mengalahkan musuh. 'Isteri adalah ibarat pakaian' kata
orang pula. Dengan puteri Hay-te-kau, kau belum tentu
hitam putihnya. Masa remaja muda hanya sekali dalam
hidup. Kalau hanya tergantung pada seorang perempuan
saja, masakan hidup kita ini berbahagia ?"
Ucapan beracun dari Tan It-ho itu termakan betul dalam
hati The Go. Setelah Bek Lian hamil, The-Go, memang
agak menyesal. Kalau tanpa persetujuan fihak orang tua,
dapatkah perkawinan itu berlangsung terus " Tapi kalau
melihat kecantikan yang gilang gemilang dari Bek Lian,
berat rasa hati untuk meninggalkan.
Dalam hati dia mulai me-nimang2 usul It-ho tadi,
namun lahirnya dia masih mengunjuk wajah gusar,
katanya: "Tan-heng, aku si The Go, mana bisa berbuat tak
bertanggung jawab begitu ?"
"Heh....., heh...., heh.....," Tan It-ho ter-kekeh2 demi
mengetahui isi hati The Go yang mulai goncang itu.
Sembari tertawa, dia sapukan ekor mata kesekelilingnya.
Sihweshio masih asyik mendengkur dengan kerasnya.
Jongos sudah sama menyingkir untuk beristirahat. Hatinya
makin legah, katanya: "The toako, kau kenyang dengan isi
segala macam kitab, mengapa pikiranmu limbung?"
"Kalau kuturut rencanamu, lalu ?" The Go menyeringai.
"Turut pikiranku, kau ajak saja nona itu ke Ko-to-san
untuk menghadap sucoumu. Mana ia tahu Ko-to-san atau
Sip-ban-tay-san" Malam ini aku hendak pergi lebih dahulu
menjumpai Kit-bong-to dan memberitahukan maksud kita.
Simata keranjang itu mana tak terpikat melihat kecantikan
nonamu" Dengan pedang pusaka kuan-wi-kiam ditanganmu, dalam pertempuran hari pehcun nanti,
siapakah yang dapat menandingi kau?" Tan It-ho
bentangkan tipunya.
"Sip-ban-tay-san sangat luas sekali, dimana tempat
kediaman Kit-bong-to itu?" The Go mulai menurut. Hendak
It-ho menerangkan, tapi tiba2 dia tak mau membuka mulut.
Tangannya dicelupkan kedalam teh, lalu menulis diatas
meja: "Dipuncak Thiat-nia, penuh dengan batu2 hitam,
seluruhnya hanya ada satu macam tumbuhan thiat-theng
(rotan besi)" Sehabis menulis, lekas2 dihapusnya bersih2.
Sementara mulutnya pura2 mengatakan: "Siaote sendiripun
kurang jelas, kita nanti tanya saja kalau sudah tiba disana !"
The Go puji sikap ber-hati2 dari orang itu. Setelah
memiliki ilmu silat, orang yang pandai menyaru dan meniru
suara orang itu, tentu akan berguna padanya. It-ho-heng,
siaote ada suatu permintaan, entah Ho-heng menyetujui
tidak!" Tan It-ho terperanjat dan mempersilahkan The Go
mengatakan. "Dalam soal kecerdasan, kita berdua ini tiada
yang melawan didunia persilatan. Hendak siaote mengangkat persaudaraan, dengan Ho-heng, entah bagaimana pikiran saudara ?"
Bukan kepalang girang It-ho mendengar maksud The Go
itu. Memang diapun butuh sekali akan bantuan orang she
The itu. Begitulah kedua orang yang ganas dan licin bagai
belut itu segera mengangkat saudara. Atau lebih tepat
dikatakan 'si kera dan buaya' mengangkat saudara. (Dalam
dongeng kanak2, kera dan buaya itu saling bermusuhan,
jadi kalau mereka mengangkat saudara, itu hanya pulasan
saja). Oleh karena Tan It-ho pernah tua, jadi dia yang menjadi
toako (saudara tua). Setelah merayakan upacara itu dengan
3 tegukan arak, mereka lantas hendak masuk tidur. Tiba2
brak....., terdengar pintu terbuka dan masuklah seorang
lelaki tinggi besar kedalam ruangan situ. Begitu masuk
orang itu segera menghamburkan makian: "Jahanam, kakek
Jodoh Rajawali 19 Jodoh Si Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo Pendekar Sakti Dari Lembah Liar 2
^