Pencarian

Naga Dari Selatan 8

Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen Bagian 8


jaman ini. Mengapa kau lepaskan tangan jahat pada
seorang budak perempuan yang masih bau pupuk "!" jawab
Kiang Sian Yan dengan ejekan dingin.
Kui Ing-cu tertawa panjang, serunya: "Tapi bagaimana
kau perlakukan bocah lelaki itu tadi?" Yang dimaksud
dengan bocah lelaki ialah Tio Jiang, siapa waktu jatuh
kedasar lembah situ justeru tepat Kui Ing-cu tengah
mengukur kepandaian dengan Kiang Siang Yan. Demi
tampak ada sesosok tubuh meluncur turun, dengan segera
Kui Ing-cu melesat untuk menyanggapinya, sehingga Tio
Jiang tak kurang suatu apa dan dapat berdiri tegak lagi.
Tapi begitu Kiang Siang Yan mengetahui Tio Jiang itu
adalah murid Ceng Bo siangjin yang dibencinya itu, terus
saja menghantamnya, sukur keburu dihadang oleh Kui Ing-
cu. Maka demi Kui Ing-cu menyebut2 hal itu, Kiang Siang
Yan tak dapat menyahut, lalu berganti haluan, tanyanya:
"Lekas katakan apa usulmu itu !"
"Naga2nya kita berdua ini, sekalipun bertempur sampai
300 jurus, pun bakal tiada yang menang atau kalah....."
Baru Kui Ing -cu berkata begitu, Kiang Siang Yan terus
menukasnya; "Rasanya tak sampai begitu lama."
"Maka aku.. mempunyal usul entah bagaimana
Pendapatmu," teruskan Kui Ing-cu tanpa pedulikan ejekan
orang. "He, apa2an begitu sopan santun?"
"Lekas katakan" seru Kiang Siang Yan.
Kui Ing-cu cekikikan seraya menunjuk pada Tio Jiang
dan Yan-chiu. "Kedua bocah itu, kepandaiannya tak
terpaut banyak satu sama lain. Kita masing2 mengambil
seorang untuk memberinya pelajaran silat. Setelah itu kita
adu mereka, bermula dengan tangan kosong lalu dengan
senjata. Siapa yang lebih pandai mengajar, dialah yang
menang. Setuju tidak kau ?" tanyanya.
"Hm........, kaum persilatan menyohorkan kau seorang
yang kaya muslihat. Nyatanya memang begitulah! Bocah
lanang itu terang lebih lihay dari sibudak perempuan, jadi
kau hendak cari enak sendiri bukan ?" jawab Kiang Siang
Yan dengan tertawa mengejek. Kui Ing-cu balas tertawa,
ujarnya: "Kiang Siang Yan, kalau kau takut kalah, ambil
saja bocah lanang itu !"
Seketika marahlah Kiang Siang Yan. Rambutnya yang
terurai itu serentak menjulur dengan kaku, serunya: "Kui
Ing-cu, sambutlah seranganku ini !" Begitu kakinya
bergerak, tahu2 tubuhnya sudah melesat kesamping Kui
Ing-cu. Begitu sepasang tangan diangkat, plak........bukan
untuk menampar Kui Ing-cu tapi untuk saling ditepukkan
sendiri. Tapi begitu kedua tangan itu bercerai, tahu2
mendorong kearah Kui Ing-cu.
Kui Ing-cu pun aneh. Ketika Kiang Siang-Yan bertepuk
tangan, dia diam saja. Tapi sewaktu tangan Kiang Siang
Yan hendak mendorongnya, se-konyong2 dia memutar
tubuh, hingga jubahnya yang terbuat dari kulit rase itu
bertebar keatas. Sambil berseru: "Pukulan thay-im-ciang
yang lihay", orangnyapun sudah menyingkir pergi.
Tio Jiang dan Yan-chiu yang mengawasi pakaian Kui
Ing-cu, serentak menjadi terkejut. Baju yang terbuat dari
kulit rase itu, begitu terbentur dengan tangan Kiang Siang
Yan tadi, telah berlubang sebesar mangkok. Jeri, kagum
dan heran, demikian perasaan Tio Jiang dan Yan-chiu
terhadap kedua cianpwe persilatan itu.
Sewaktu menyingkir tadi, Kui Ing-cu telah lewat disisi
Yan-chiu, slapa tahu2 telinganya seperti tersusup dengan
perkataan: "Budak perempuan, makilah aku lekas. Kalau
berhasil memikat wanita itu, seumur hidupmu kau tak
menyesal !"
Yan-chiu yang cerdas segera mengetahui bahwa rencana
Kui Ing-cu untuk mengusulkan mengambil jago itu,
dimaksud agar ia dan sukonya dapat menerima pelajaran
yang sakti. Ia mengangguk mengiakan. Begitu Kui Ing-cu
sudah berada, disebelah sana, mulut Yan-chiupun segera
mulai berkicau: "Setua itu umurmu, mengapa hendak
menghina seorang muda seperti nonamu ini. Apakah itu
bukan perbuatan seorang .........." sampai disini Yan-chiu
merandek. Ia tak boleh memaki keliwat kurang ajar,
jangan2 nanti bisa menimbulkan kemarahan siorang aneh
yang bermaksud baik terhadap dirinya itu. Sebenarnya ia
hendak mengatakan "seorang bajingan besar", tapi tak jadi
dan berganti dengan lain istilah: "Kau ini benar2 seorang
telur busuk !"
(Oo-dwkz-TAH-oO)
BAGIAN 17 : ADU JAGO
Ilmu "Thay-im-lian-seng" telah merobah seorang jago
wanita yang berhati mulia seperti Kang Siang Yan, menjadi
seorang eksentrik atau yang beradat aneh. Tiada barang
sekejabpun dia melupakan peristiwa 10 tahun dipondok
kaki gunung Lo-hu-san. Khusus itu adegan dimana Ceng
Bo siangjin, sang suami, serta merta bertekuk lutut meratap
pengampunan pada musuh. Kenangan itu menggores dalam
didalam sanubarinya, dan ini membuat ia benci sekali
kepada sang suami itu.
Ikatan cinta selama 20 tahun terangkap menjadi suami
isteri, telah dikikis habis oleh thay-im-lian-seng. Hilang
kepercayaannya mengapa seorang jantan perwira macam
sang suami dapat bertekuk lutut terhadap beberapa musuh
saja. Maka dengan me-nyala2 rasa kebencian, tempo hari ia
telah selulup kedalam air untuk mencari suami itu. Tapi
setelah tiada berjumpa, ia naik pula kedaratan.
Ketika digoa gunung Hoasan ia menjumpai Bek Lian,
timbullah kenangannya. Sepuluh tahun yang lalu, Bek Lian
hanya seorang gadis kecil yang rambutnya dikepang dua.
Kini sepuluh tahun kemudian ia sudah berobah menjadi
seorang nona yang cantik bagaikan bidadari hidup. Rasa
kecintaan seorang ibu terhadap anak, meletik pula. Dan
ketika melihat sang puteri itu ber-sama2 dengan seorang
pemuda ganteng, secara diam2 ia lalu mengikuti mereka ke
Hokciu. Kang Siang Yan sudah meliliki dasar ilmu kepandaian
yang cukup tinggi. Ditambah 10 tahun ia berlatih keras, kini
sudah mencapai tingkat kesempurnaan. Keistimewaan dari
ilmu lwekang thay-im-lian-seng, yalah baik memukul,
menendang, bergerak maju mundur, sedikitpun tak
mengeluarkan desis suara. Oleh karena itulah maka The Go
dan Bek Lian tiada mengerti kalau dikuntit. Ketika ia tiba
didaratan, didengarnya pasukan Ceng sudah mengepung
Hoasan, malah dari seorang persilatan ia mendapat tahu,
bahwa The Go juga ikut dalam pasukan Ceng itu.
Terdorong hendak bertemu dengan puterinya, ia cepat2
menuju kesana. Tiada disangka, begitu menginjak gunung ia berjumpa
dengan Kui-ing-cu, siorang kurus yang tak kurang anehnya
itu. Entah apa sebabnya, orang itu menghambur-
hamburkan olok dan makian, kemudian memikatnya
datang kedasar lembah itu. Pada pokoknya, Kui-ing-cu
mengejek kepandaian dari Kang Siang Yan, sehingga
keduanya bersepakat untuk adu kepandaian sampai 300
jurus, adalah karena itu, tanpa sengaja mereka dapat
menolong jiwa Tio Jiang dan Yan-Chiu.
Kui-ing-cu pernah sekali berjumpa dengan Ceng Bo
siangjin. Dia suka sekali akan kenakalan dan kegenitan dari
Yan-chiu, yang dalam banyak hal menyerupai wataknya.
Maka dia lalu merancangkan suatu akal, agar Yan-chiu bisa
diterima menjadi murid-darurat dari Kang Siang Yan.
Secara rahasia dia kisiki sinona supaya memakinya, dan
ketika hal itu dilakukan, diapun pura2 murka lalu hendak
menyerang. Untuk "membeli" kepercayaan Kang Siang
Yan, dia mendampracan-chiu: "Apa katamu, budak edan "
Tadi aku hendak mengajarmu beberapa macam kepandaian
supaya dapat mengalahkan anak itu, tapi kini huh, persetan!
Biar kau dipukul mampus olehnya!"
"Uiii, siapa sudi kau ajari?" Yan-chiu jebikan
bibir.........., "bibi ini lebih jempol dari kau, aku sudah
melihat sendiri. Kalau kau tak jeri, tentu tak minta berhenti
setengah jalan begini! Bukankah kau hendak ulur waktu
untuk cari kesempatan kabur " Kalau bibi ini mau memberi
sedikit pelajaran padaku, tak nanti kau dapat lolos!"
Sahut menyahut semacam ber-olok2 itu, telah membuat
Tio Jiang bersimbah peluh. Kalau saja orang aneh itu keluar
tanduk, tentu Yan-chiu akan celaka. Beberapa kali, dia
gentak2kan kakinya untuk mencegah sang sumoay, namun
tak digubris. Sebaliknya Kang Siang Yan terpikat. la, benci
sekali orang kurus itu, tapi mulutnya kaku tak dapat
berdebat, Bahwa Yan-chiu telah nerocos dengan mulutnya
yang tajam itu, telah membuatnya tertawa puas. Se-olah2
seluruh isi hatinya untuk mendamprat siorang aneh itu,
telah diwaklli Yan-chiu.
"Kui-ing-cu, dengar tidak kau " Seorang anak saja tahu
slapa yang lebih lihay, masa kau masih keras kepala?" ia
menyeletuk. Melihat orang termakan jerat, Kui-ing-cu dan Yan-chiu
gembira benar. Masing2 mengunjuk muka-setan dan
berkatalah Kui-ing-cu: "Siapa sudi percaya kata2 seorang
budak perempuan" Sudahlah, kau berani tidak terima
tantanganku tadi?"
Belum Kang Siang Yan menyahut, Yan-chiu sudah
mengipasi. "Mengapa bibi takut" Cukup satu macam ilmu
pukulan saja, anak itu tentu kujatuhkan !"
Mendengar dirinya disebut "anak itu" dan hendak diajak
berkelahi, Tio Jiang yang tak tahu akan sandiwara itu,
kelabakan setengah mati, seru ya: "Yan ...........''
"Huh, telur busuk macam kau, siapa kesudian kau
panggil ?" bentak Yan-chiu memutus kata2 Tio Jiang, siapa
menjadi cep kelakep tak dapat berkata. Kui-ing-cu kenal
watak Tio Jiang yang jujur, besok saja dia jelaskan hal itu,
tapi sekarang agar tidak pecah rahasia, dia segera tarik
lengan TIo Jiang, serunya: "Anak, ikut aku. Biar kuajarimu
sebuah ilmu pukulan untuk melabrak anak perempuan
kurang ajar itu !"
Tio Jiang hendak bicara tapi tiada kesempatan lagi,
karena tubuhnya terasa diseret oleh Kui-ing-cu menuju
kebawah sebatang puhun.
Didesak begitu, Kang Siang Yan terpaksa menyerah.
"Baik, Kui-ing-cu, 3 jam kemudian kita suruh mereka
bertempur!" serunya dengan nyaring yang dijawab oleh
Kui-ing-cu dengan kata "baik". Ilmu lwekang kedua tokoh
itu sangatlah tingginya, jadi suara seruan mereka
melengking tajam sekali kedengarannya.
Yan-chiu bukan kepalang girangnya, tak henti2nya ia
menyebut bibi kepada Kang Siang Yan yang sudah tentu
menjadi senang juga. "A-thau (budak perempuan),
tunjukkan barang sejurus kebisaanmu!" katanya.
"Celaka, masa belum diajari, malah disuruh mengunjukhan kepandaian," demikian Yan-chiu mengeluh.
Tapi ia tak berani membantah. Untuk jangan diketahui
aselinya, baiklah ia keluarkan salah satu ajaran Ceng Bo
siangjin yang disebut ilmu silat Leng-wan-kun.
Sebenarnya Leng-wan-kun itu, adalah pelajaran pertama
yang diterima oleh Ceng Bosiangjin ketika diwaktu muda
dia belajar silat. Ketika guru Ceng Bo tengah pesiar
kegunung Ngo-bi-san, dilihatnya kawanan orang utan ber-
main2 loncat naik turun diantara puhun dengan tangkas
sekali. Diperhatikan cara2 binatang itu bergerak, dan
achirnya diciptakannyalah
sebuah ilmu silacang berdasarkan gerak orang utan yang tangkas itu. Maka ilmu
silat itu dinamakan Leng-wan-kun, atau silat orang utan
yang tangkas. Dan ketika Yan-chiu melihat Ceng Bo
siangjin memainkan ilmu itu, ia ketarik sekali dan mohon
suhunya mengajarkan. Berkat bakat pembawaannya yang
lincah tangkas, Yan-chiu telah dapat mempelajari ilmu itu
dengan mahir sekali.
Leng-wan-kun terdiri dari 32 jurus. Setiap jurus
merupakan jurus serangan. Begitu dimainkan, maka ber-
tubi2lah serangan menjatuhi fihak lawan, sehingga lawan
tak mempunyai. kesempatan untuk balas menyerang lagi!.
Demikian setelah mengambil keputusan, Yan-chiu terus
mengambil sikap hendak memulai. Tapi se-konyong2 Kui-
ing-cu kedengaran berseru: "Kang Siang Yan, jauh
sedikitlah, jangan mencuri lihat kepandaianku !"
Saking menahan kemarahannya tapi tak dapat mengeluarkan, Kang Siang Yan mendongak, seluruh
rambutnya menjingrak kebawah dengan kencangnya. Yan-
chiu dapatkan bahwa paras dari subonya (ibu guru) itu
mirip sekali dengan Bek Lian.. Ah, kiranya sedemikian
cantik subonya itu, tapi mengapa sepasang matanya
sedemikian menakutkan " "Bibi, bolehkah aku mewakilimu
mendamperatnya ?" tanyanya.
Kang Siang Yan mengangguk.
"Biarpun kau tak menyuruh, kamipun juga pergi, karena
kuatir kau curi lihat nanti bisa dibuat menjagoi dunia
persilatan!" segera Yan-chiu berseru keras. Disebelah sana
terdengar orang tertawa membatu roboh, diantaranya
terdapat nada ketawa Tio Jiang. Diam2 Yan-chiu menduga
kalau Kokonya sudah diberitahu.
Yan-chiu mengikut Kang Siang Yan menuju kebalik
sebuah batu gunung. "Bibi, kepandaianku jelek harap kau
suka memberi petunjuk!" katanya setelah berada disitu dan


Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lalu bersyiap dalam gaya "kun wan kuan thian" (kawanan
kera memandang langit), sepasang kaki disurutkan, tangan
kiri menutup dahi dan tangan kanan mengepal. Diluar
dugaan, waktu melihat itu, wajah Kang Siang Yan berobah,
tanyanya "A-thau, dari mana kau pelajari ilmu silat itu ?"
Pertanyaan itu diajukan dengan nada, geram, terbukti
dart suaranya yang tajam. Karena hebatnya lwekang Kang
Siang Yan maka anak telinga Yan-chiu seperti ditusuk
jarum, sehingga saking kagetnya ia lompat berjingkrak. Tak
tahu ia apa sebabnya, tapi yang nyata dilihatnya wajah
Kang Siang Yan berobah bengis. Sekilas teringatlah akan
kecerobohannya. Ilmu silat Leng-wan-kun adalah pelajaran
yang paling dibanggakan oleh sucouwnya (kakek guru),
tentulah subonya itu mengetahui. Tolol...., tolol.....,
mengapa pertama kali ia sudah keluarkan ilmu silat itu "!
Tapi ia bukan Liau Yan-chiu kalau dalam menghadapi hal
itu sudah mundur teratur. Cepat ia sudah mendapat akal,
serunya: "Adalah suhuku Ma Bu Tek yang mengajarkan !"
Kang Siang Yan perdengarkan suara ter-kekeh2 yang
seram, lalu setindak demi setindak maju menghampiri Yan-
chiu. Sepasang matanya pencarkan sorot ber-kilau2an,
sehingga hati Yan-chiu kebat kebit. Namun ia masih pura2
tenang. "Teruskan lagi" achirnya Kang Siang Yan memberi
perentah. Kini Yan-chiu sudah mendusin. Jurus pertama
kun wan-kuan-hay tadi dilakukan dengan genah. Tapi jurus
ke dua Yang seharus "Leng wan hi kou" (orang utan
mempersembahkan buah), telah diganti begitu rupa seperti
orang main pencak cakalele, tubuhnya menurun sedikit lalu
kakinya bergantian menendang kesana-sini, Sembari main
pencak itu, ia melirik kearah Kang Siang Yan, wajah siapa
tampak berobah tenang. Heh, demikian Yan-chiu dapat
bernapas legah - lagi.
"Stop, berhentilah! Apa nama jurusmu itu?" tanya Kang
Siang Yan. Sambil menarik pulang tangannya, Yan-chiu
menyahut dengan tangkasnya: "Kata suhuku, itulah jurus
'Thian-he-bu-tek-kun'."
Dalam sepuluh tahun kemari, hati Kang Siang Yan
selalu direndam oleh kebencian, sehingga perangainyapun
berobah eksentrik. Wajahnya sedingin es, tak pernah
bersenyum. Tapi pada saat itu demi mendengar jurus
"thian-he-bu-tekkun" atau ilmu silat tiada tandingannya
didunia, pecahlah mulut Kang Siang Yan menghamburkan
tawa. "A-thau, kau dibohongi suhumu, mana didunia ada
ilmu silat macam begitu ?"
Hati Yan-chiu serasa terlepas dari tindihan sebuah batu
besar. Menuruti lagu orang, la, menyahut: "Bibi, sukalah
kau mengajari barang sejurus saja yang genah!"
Kata orang "segala apa dapat diterebos, melainkan
pantat kuda saja yang tidak". Ujar2 itu berlaku juga pada
para maha wiku dan dewa, apalagi Kang Siang Yan.
"Athau, anggap saja peruntunganmu bagus. Untuk
memenangkan pertaruhan tadi, kau bakal mendapat
keuntungan besar!" katanya. Sudah tentu Yan-chiu ter-sipu2
mengiakan. Kata Kang Siang Yan pula: "Anak itu adalah
murid Hayte-kau Bek Ing, sudah tentu menjadi kebanggaan
Hay-te-kau. Meskipun anaknya lolok (sedikit tolol), tapi
ilmu silatnya boleh juga!"
Yan-chiu heran mengapa subonya itu begitu membenci
sang suhu. Namun tak berani ia bertanya.
"Untung kepandaian dari Hay-te-kau itu, dapat kufahami
semua......" baru saja Kang Siang Yan bicara sampai disini,
Yan-chiu memberanikan diri memutusnya: "Bibi, pernah
apa kau dengan Hay-te-kau ?"
"A-thau, apa katamu ?" bentak Kang Siang Yan dengan
mata beringas. Yan-chiu leletkan lidah, menyahut: "Oh,
kutahu bibi ini tentu susiok (paman guru) dari dia, kalau
tidak masa mengetahui kepandaiannya ?"
Kang Siang Yan menghela napas panjang "Sekarang
hendak kuajarmu sebuah ihnu silacang disebut Ngo-hok-
kun. Kulihat ilmu mengentengi tubuhnya cukup baik, tentu
lekas dapat. Nah, lihatlah dengan perdata!" habis berkata,
tiba2 meloncat keudara, bum....... tangannya menghantam
kebawah, puhun2 siong didekat iitu sama bergoncang dan
daunnya rontok. Kini tubuhnya me-layang2 diudara diikuti
oleh samberan angin yang men-deru2. Gayanya tak ubah
seperti seekor kelelawar yang me-nyambar2 diudara, penuh
padat dengan kelincahan dan keindahan.
Ngo-hok-kun atau silat lima ekor kelelawar terdiri dari 26
jurus. Dengan penuh perhatian Yan-chiu mencatat
semuanya itu dalam hati. Boleh dikata lebih dari separoh
bagian dia telah dapat menghafalnya. Berulang kali ia
mainkan iImu silat itu, dengan Kang Siang Yan tak
putus2nya memberi petunjuk. Tak sampai dua jam,
meskipun belum seluruhnya dapat memahami intisari
kesaktiannya, namun ia mendapatkan ilmu silat itu jauh
lebih hebat dari Leng-wan-kun. Didalam girangnya ia
segera berseru keras2: "Telur busuk"
Tio Jiang menyahut seraya keluar, disusul oleh Yan-
chiu, siapa tanpa tanya ini itu terus saja lancarkan
serangannya Ngo-hok-kun yang habis dipelajari itu. Tio
Jiang memendak untuk menghindar. Demikianlah kedua
"jago" itu bersabung dengan seru. Disebelah sana sang
botoh, Kui-ing-cu dan Kang Siang Yan, melihati dengan
penuh perhatian.
Yan-chiu tahu kalau sukonya itu tak nanti akan
melukainya, maka sembari bertempur ia memikat sukonya
berada lebih jauh dari kedua tokoh aneh itu. "Suko, bikin
serie saya agar kita dapat mengeduk pelajaran mereka!"
bisik sinona. "Siao - Ciu, Lian suci masih berada diatas karang!" sahut
Tio Jiang. Penyahutan itu telah membuat Yan-chiu
mendongkol benar, dampratnya: "Kau ini sungguh gila
basa! Mengapa otakmu penuh dengan Lian suci, saja "
Apakah aku ini bukan seorang anak perempuan " Mengapa
kau tak pikiri aku ?" Tapi seketika itu Yan-chiu meram,
telah keterlaluan bicara, wajahnya menjadi merah padam.
Untuk menutupi malu, dia perhebat serangannya kepada
sang suko. Melihat perobahan itu, Tio Jiang terkesiap. Dilihatnya
gerak sang sumoay itu luar biasa juga. Selama dua jam
dengan Kui-ing-cu tadi, dia tak diajari apa2, kecuali sedikit
penjelasan tentang ilmu lwekang. Tapi ini saja cukup
membuat Tio Jiang girang bukan buatan, karena kini
pengetahuannya tambah maju, Maka diapun tak berani
mohon pengajaran lainlnya dari orang aneh itu.
Karena itu, dalam menghadapi serangan Ngo-hok-kun,
dia telah menjadi kelabakan juga. Akhirnya setelah dapat
meloloskan diri dengan susah payah, dia keluarkan ilmu
silat ajaran Sik Lo-sam. Berkat kini ilmunya lwekang sudah
dalam, jadi dapatlah dia memaksakan suatu pertandingan
seri. Sampai 3 kali Yan-chiu ulangi penyerangannya Ngo-
hok-kun itu, namun tetap seri. Akhirnya dia terpaksa loncat
keluar gelanggang, serunya: "Pertandingan seri, nanti kita
bertemu lagi!" Habis berkata begitu. ia lari menghampiri
Kang Siang Yan, lapornya: "Bibi, anak itu benar lihay, aku
belum dapat menjatuhkan!"
Tadi diperhatikan oleh Kang Siang Yan bahwa anak
perempuan itu benar bertempur secara mati2an. Kini demi
dilihatnya wajah Yan-chiu ke-merah2an, ia menduga tentu
penasaran, maka iapun menghiburinya: "Sememangnya,
anak itu mempunyai dasar latihan yang lebih tinggi dari
kau. Kalau kini kau sudah dapat bertanding seri, itu
menandakan bagaimana hebatnya Ngo-hok-kun. Jangan
takut, kuajari lagi lain macam!"
Difihak lain, Kui-ing-cupun tampak mengajak Tio Jiang
masuk kedalam rimba lagi. Ketika kedua "jago" itu hendak
berkelahi lagi!, haripun sudah menjelang malam. Kuying-cu
memotes dua buah dahan pohon siong yang besar, lalu
disulut untuk penerangan. Lagi2 dalam pertempuran yang
kedua kali itu, keduanya tetap main seri, Kui-ing-cu
keluarkan olok2nya, yang dibalas dengan tepat oleh Yan-
chiu. Dalam kesempatan yang luang, Kui-ing-cu telah
menyusupkan kata2nya kepada Yan-chiu: "Budak, ilmu
lwekang dari wanita Itu tinggi sekali, dalam waktu sesingkat
ini tak nanti kau, dapat mempelajarinya, Tapi ia
mempunyai sebuah ilmu pedang yang sakti yalah yang
disebut Hoan-kang-kiam-hwat, (ilmu pedang membalikkan
sungai), Besok pagi hendak ku usulkan pertandingan
dengan senjata. Kau harus pura2 kalah, agar ia suka
mengajarkan ilmu pedang itu !"
Dalam dua kali bertempur itu, Yan-chiu telah
memperoleh kemajuan yang pesat sekali. Sudah tentu ia
ingin mendapat pelajaran lebih banyak lagi, maka iapun
mengangguk. Malam itu Yan-chiu diajak Kang Siang Yan
berburu kelinci hutan, yang dipanggangnya untuk dahar
malam. Untuk tempat tidur, mereka menumpuk daun
puhun. siong buat sebagai pengganti kasur.
Keesokan harinya pagi2 sekali, Yan-chiu sudah
dibangunkan Kang Siang Yan. Saat itu kedengaran Kui-ing-
cu berkaok2: "Kang Siang Yan, lekas suruh jagomu keluar
menerima hajaran !"
Yan-chiu terus saja hendak maju, tapi dicegah oleh kang
Siang Yan, serunya: "Kui-ing-cu, hari ini aku belum
mengajarinya, kau mau bertanding apa ?"
"Ya, ya, benar. Dengan tangan kosong kurang menarik,
apa kau berani bertanding dengan senjata ?" balas Kui-
ingcu. "Hm, mengapa tidak ?" sahut Kiang Siang Yan, tapi
sesaat itu dia teringat kalau Tio Jiang adalah murid
kesayangan Hay-te-kau. Sudah tentu anak itu faham ilmu
pedang to-hay-kiam-hwat (menjungkirkan laut). Dalam
ilmu thay-im-lian-seng,
tiada terdapat pelajaran menggunakan senjata. Untuk memenangkan pertandingan,
ia harus mengajarkan ilmu pedang Hoan-kang-kiam-hwat
pada Yan-chiu. Setelah menentukan langkah, berkatalah ia
kepada Yan-chiu: "A-thau, ambillah setangkai dahan !"
Yan-chiu girang sekali. Perintah itu berarti ia akan diajari
ilmu pedang. Maka dengan cepatnya diapun sudah
memutus setangkai dahan puhun siong. Kang Siang Yan
beberapa kali tebaskan tangannya, hingga dahan itu kini
menjadi runcing seperti pedang. "A-thau, ilmu pedang ini,
lain dari yang lain. Aku akan memainkan lambat2, supaya
kau dapat mengerti jelas !"
Habis itu, Kang Siang Yan pindahkan dahan itu
ditangan kiri, sedang tangan kanan lalu ber-gerak2
ngimbangl. "Bibi, mengapa pedang itu dimainkan dengan
tangan kiri ?" tanya Yan-chiu.
"Benar, ilmu pedang ini memang khusus diperuntukkan
kaum wanita, gerakannya sangat halus tangkas dan harus,
dimainkan dengan tangan kiri. Sudahlah, jangan banyak
bertanya, perhatikan saja !" jawab Kang Siang Yan. Yan-
chiu tak berani bertanya lagi. Tampak Kang Siang Yan ber-
putar2 diri, ujung pedang mengacung keatas. Tiba2 sekali
berputar, ujung itu diguratkan dalam bentuk sebuah
lingkaran kecil, kemudian tak hentinya di-kibas2kan
achirnya ditusukkan kemuka. Gerakan ilmu pedang itu
memang luar biasa, maka Yan-chiupun memperhatikan
sepenuhnya. "Jurus ini dinamakan "Pah-ong oh-kang" (baginda
Pahong. melintasi sungai Hitam). Coba kau lakukan!" kata
Kang Siang, Yan sembari berikan dahan itu kepada
Yanchiu. Setelah menirukan hampir sejam lamanya, baru
Kang Siang Yan mengajari lagi jurus kedua.
Ilmu pedang Hoan-kang-kiam-hwat dan To-hay-kiam-
hwat, adalah sepasang. Sama2 terdiri dari 7 bagian jurus.
Seperti jurus2 pada To-hay-kiam-hwat, pun jurus2 dari
Boan-kang-kiam-hwat itu mempunyai nama2 aneh, yakni:
Pah-ong-oh-kang, Kut-ji-tho-kang, It-wi-tok-kang, Kang-
sim-poh-lo, Kang-cui-kiu-jiok, Kang-te-yong-cwan dan
Kang-cui-kui-tang. Baru mempelajari jurus kelima, Yan-
chiu sudah setengah mati girangnya.
Melihat anak itu lekas sekali menangkap pelajaran, Kang
Slang Yanpun girang. Setelah ke 7 jurus itu diajarkan
semua, disuruhnya Yan-chiu mengulang. lagi seluruhnya.
Pada ketika Kang Siang Yan anggap permainan Yan-chiu
sudah cukup, haripun sudah dekat tengah hari. Mereka
dahar lagi santapan hasil hutan situ. Lupa Yan-chiu akan
rencananya semula. Dengan memiliki ilmu pedang yang
lihay itu nanti hendak unjuk gigi membuat kaget sang suko.
Biarkan suko itu mendapat tanda mata berupa lubang
tusukan pada bajunya. Hm....., garangnya! Kuatir waktunya
tak mengidinkan, setelah meruncingkan dahan itu lagi,
Yan-chiu loncat keluar dan berseru: "Keluarlah hai, bujang!
Biar kukirim kau ke Se-thian (akherat) !"
Biasanya ia selalu membahasakan "suko" pada Tio
Jiang, kini mendapat keaempatan bagus, berulang kali dia
memanggil "bujang atau telur busuk" sampai puas. Dalam
setengah harian itu, lagi2 Kui-ing-cu hanya memberi
penjelasan mendalam tentang ilmu lwekang, hingga makin
sempurnalah pengertian Tio Jiang akan ilmu itu.
Mendengar tantangan sinona, Tio Jiangpun lalu memotes
setangkai dahan. Tanpa sungkan lagi. Yan-chiu segera buka
serangan dengan jurus pertama "Pah-ong-oh-kang", dan
untuk itu Tio Jiang gunakan jurus "Tio Ik cu-hay" (Tio Ik
memasak laut). Sewaktu menyerang itu, tubuh keduanya
mendorong maju, tapi anehnya, kedua dahan masing2
melayang kesamping, sehingga kini mereka saling
berhadapan muka sedemikian rapatnya, se-olah2 orang
membisiki kawan seperti orang bertempur.
Yan-chiu terperanjat dan kuatir kalau2 diketahui
rahasianya oleh Kang Siang Yan. Kini buru2 dia berganti
dengan jurus Kut-ji-tho-kang (Kut Gwan mencebur
kesungai). Tapi astagafirullah! Lagi2 kedua dahan itu
masing2 lewat disisinya, bahkan kini lengan keduanya
seperti orang saling merangkul.


Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Yan-chiu makin heran. Jurus ketiga ia lancarkan, pun
mengalami nasib serupa saja. Demikan-jurus kelima dan
keenam. Tatkala menginjak jurus ke 7, atau jurus yang
terakhir yang semestinya merupakan jurus yang terlihay,
senjata keduanya saling berbentur. Tubuh Yan-chiu
menjorok kebelakang, sedang tangan kiri Tio Jiang tepat
menjulur kemuka dan dengan tepatnya merangkul pinggang
sumoay itu. Merah padam wajah kedua anak muda itu.
Cepat2 keduanya loncat menyingkir. "Bibi, runyam ni!"
seru Yan-chiu. Kang Siang Yan sendiripun tak mengerti. Kang Siang
Yan mengasah otak dan tiba2 tersedarlah ia. Ternyata
sepasang ilmu pedang itu, harus dimainkan oleh pasangan
pria-wanita untuk menghadapi musuh. Dan ini baru
mengunjukkan kesaktiannya. Tapi kalau pria dan wanita
Itu saling bertempur sendiri, tiada seorangpun yang akan
dapat melukai kawannya. Sewaktu Kang Siang Yan dan
Hay-te-kau masing2 mempelajari ilmu pedang itu,. mereka
masih ber-kasih2an, jadi tak pernah terlintas dalam
pikirannya untuk bertempur sendiri. Apa lagi peraturan
perguruan menetapkan, siapa pun juga tidak boleh mencuri
lihat kepandaian saudara seperguruannya, Jadi keduanya
tak mengerti akan keindahan dari ilmupedang masing2.
Setelah menyelesaikan pelajarannya, mereka terangkap
menjadi suami isteri, jadi tak pernah bertempur. Oleh
karena itu, mereka gelap akan inti kebagusan kedua ilmu
pedang itu. Baru kini Kang Siang Yan terbuka matanya.
Memikir sampai disitu, terdengar ia menghela napas. la,
menduga, pencipta dari sepasang ilmu pedang itu, tentu
sudah mengerti akan kehidupan sepasang suami isteri atau
sepasang kekasih. Bagaimanapun juga, tetap ada kemungkinan bahwa suami isteri itu akan timbul
perpecahan atau percekcokan. Bermula bibit itu kecil saja,
tapi jurang salah paham itu makin lama makin lebar dan
achirnya jadilah suatu pertentangan hebat. Apabila kedua
suami isteri itu sampai bertempur, masing2 tiada dapat
tercelaka. Malah kedua ilmupedang itu digubah sedemikian
rupa, sebingga dapatlah pasangan yang sedang menuruti
kemarahan hati masing2 itu, akan tersedar dan berakhir
dengan suatu perdamaian dan kerukunan kembali. Ah,
tentulah pencptanya itu seorang yang pernah mengalami
badai gelombang penghidupan didalam melayari bahtera
hidupnya. Pikiran Kang Siang Yan melayang jauh akan masa
kehidupan suami-isteri dengan Bek Ing. Adakah disitu
terselip suatu kesalahan faham " Ah, ia menyaksikan hal itu
dengan mata kepala sendiri, masa bisa keliru! Maka dalam
sekejab saja kenangan Itupun lenyap dalam pikirannya.
"Kang Siang Yan, bukantah kita serie namanya " Maaf,
aku tak dapat menemani lama2 !" seru Kui-ing-cu.
"Jangan kesusu pergi dulu! Masa hanya sekali bertanding
senjata, lantas sudah!" cepat Kang Siang Yan mencegahnya,
sembari merebut dahan kayu yang dicekal Yan-chiu turut
tertarik kemuka dan jatuh, cring.........sebuah benda jatuh
keluar dari dalam bajunya. Yan-chiu menjadi pucat dan
buru2 hendak mengambilnya, tapi kalah cepat dengan Kang
Siang Yan yang sudah menyambarnya. Melihat rahasia
telah pecah, dengan gugupnya Yan-chiu mundur hampai 10
tindak seraya melambaikan tangan pada Kui-ing-cu.
Begitu melihat benda itu, wajah Kang Siang Yan
berobah murka besar. Kiranya benda itu adalah thiat-hoan
(gelang besi) pemberian Kui-ing-cu ! Gelang yang melingkar
macam ular itu, adalah ciri peribadi dari Kui-ing-cu. Setiap
orang persilatan sama memakluminya. Misalnya ketika
pertempuran diluitay gunung Gwat-siu-san tempo hari, toa-
ah-ko Thian Te Hwe yani Ki Ce-tiong pun mengenali benda
itu sebagai milik Kui-ing-cu, apalagi seorang tokoh macam
Kang Siang Yan.
Kini jelaslah Kang Siang Yan akan persoalannya,
Dirinya dijadikan, bulan2 sandiwara kedua orang itu, yang
maksudnya supaya ia menurunkan pelajaran silat pada
sinona. Sudah tentu marahnya bukan kepalang, sehingga
seluruh rambut kepalanya sama menjingkrak lempang.
Dalam wajahnya yang cantik itu, terlihat juga raut muka
yang menyeremkan orang. "Setan cilik, besar sekali
nyalimu ya "!"
Yan-chiu mundur lagi sampai sepuluhan. tindak, namun
Kang Siang Yan menyeringai seram: "Setan cilik, kau naik
kelangit, aku susul kelangit. Kau masuk kebumi aku kejar
kesana. Apa abamu ?"
Kini Yan-chiu yang main mundur itu sudah. tiba
disamping Kui-ing-ciu. "Lo-cianpwe, tolonglah aku!"
serunya dengan meratap. Tapi Kui-ing-cu siorang aneh itu
malah terkekeh-kekeh, sahutnya: "Apa bukan 'telur busuk'
lagi ?" Melihat sorot mata Kang Siang Yan memancar buas dan
sikapnya sudah siap menyerang, wajah Yan-chiu menjadi
pucat, dia meratap gugup sekali: "Lo-cianpwe, jangan
bergurau lagi!" ,
"A-thau, kemana larinya kecerdasanmu biasanya itu ?"
balas Kui-ing-cu dengan tenang2. Memang karena jeri akan
kesaktian Kang Siang Yan, Yan-chiu sudah menjadi
ketakutan sedemikian rupa. Sepatah kata darl Kui-ing-cu itu
telah menyadarkannya. Resiko itu, dia sendiri yang harus
menghadapinya, karena toh ia sendiri yang berbuat. Sesaat
itu timbullah nyali ya. Dengan mendapat ketenangannya
lagi, ia berseru, kepada Kang Siang Yan: "Subo, lain kali
aku sungguh tak berani lagi!" ,
Mendengar dirinya disebut "subo" (ibu guru), Kang
Siang Yan termangu. Diam2 dia anggap gadis itu keliwat
cerdik sehingga dirinya, sampai kena dikelabui mentah2.
Pertama kali sewaktu mempertunjukkan ilmu silat Lang-
wan-kun, memang ia sudah curiga, Tapi karena pandainya
gadis itu mainkan rolnya, sehingga kini dengan serta merta
ia telah turunkan pelajaran yang sakti2. Kalau dulu,
mungkin Kang Siang Yan akan menyudahi begitu saja
urusan itu, tapi kini setelah kemasukan hawa jahat dari
ilmu thay-im-lian-seng, sudah menjadi kerangsokan setan.
Sekali bergerak tampak dia melesat kearah Yan-chiu, Kui
Ing-cu dan Tio Jiang. Melihat sikapnya, ia tentu akan
menyerang. Tapi entah bagaimana, terpisah tujuh delapan
tindak jauhnya, tiba2 ia berhenti dengan serentak. Benar2 ia
telah menguasai puncak kesempurnaan ilmunya, sehingga
"kalau bergerak seperti kelinci, jika diam bagaikan gunung",
artinya ia dapat menguasai gerak-geriknya dengan tepat.
Yan-chiu bertiga kagum sekali atas gerakan wanita tersebut
yang mengunjuk sampai dibatas mana ilmu lwekangnya.
Kui-ing-cu tahu kalau wanita itu amat murka, sehingga
wajahnya sedemikian pucat. Sahutnya: "Kedua anak ini
mengakui kau sebagai subo. Dalam pertemuan pertama,
seharusnyalah kalau memberi sedikit hadiah, mengapa kau
begitu pelit ?"
Kang Siang Yan termenung diam. Memang peristiwa
pertengkarannya dengan sang suami, sudah menjadi buah
tutur orang persilatan. Walaupun begltu, tak mau ia
menerangkan kepada Kui-ing-cu. Dalam keheningan
suasana itu, tiba2 Kui-ing-cu ulurkan tangan mencubit
lengan Yan-chiu, sehingga nona itu menjerit kesakitan.
Kang Siang Yan terkesiap, adalah detik2 kesiap itu, secepat
kilat Kui-ing-cu melesat kearahnya dan tahu2 Kang Siang
Yan rasakan matanya ber-kunang2. Tahu ia kalau orang
telah menyerang dengan tiba2, hal mana telah menimbulkan kegusarannya. Tak kurang sebatnya, ia
menebas dengan thay-im-ciang yang tak bersuara itu.
Kui-ing-cu takut kalau Kang Siang Yan menghancurkan
gelang besinya itu. Gelang besi itu merupakan ciri
peribadinya, dengan dirusak orang, hilanglah mukanya.
Maka tadi dia telah nekad untuk merebutnya. Tapi
perbuatan itu telah menimbulkan kemarahan Kang Siang
Yan. Kalau kepandaian Kang Siang Yan lemah, tentu. Kui-
ing-cu akan dapat mencapai maksudnya, tapi wanita itu
setingkat kepandaiannya dengan dia, malah ilmunya thay-
im-ciang luar biasa berbahayanya karena tidak mengeluarkan suara hingga orang sukar untuk menolaknya.
Baru tubuh keduanya berbentur sejenak, atau secepat itu
pula sudah saling berpencar lagi. Benar gelang telah
terampas oleh Kui-ing-cu, tapi pundaknyapun kena
terbentur dengan samberan pukulan thay-im-ciang. Bagaimana lihaynya, terpaksa dia menggigil juga tubuhnya.
Itu saja dia hanya terkena separoh bagian dari pukulan
maut tersebut. "A-thau, sambutilah ini !" serunya
melemparkan gelang besi kepada Yan-chiu. Habis itu, dia
lalu duduk bersila mengambil napas. Kang Siang Yan
memandangnya dengan menyeringai, ujarnya : "Kui-ing-cu,
kau telah termakan thay-im-ciangku, kalau kuhajar lagi
dirimu, adalah semudah orang membalik telapak tangan.
Tapi kau tentu tak mau mengaku kalah. Kalau kau masih
mau mengukur kepandaian, tunggulah sampai 7 hari, lagi!"
Kata2 itu ditutup dengan,sebuah tawa dingin.
Melihat tiang-pelindungnya terluka, Tio Jiang dan Yan-
chiu sangat terperanjat. Tio Jiang menyembat sebatang
dahan puhun sebesar lengan, melangkah kehadapan
sumoaynya, hal mana telah membuat sinona sangat
berterima kasih.
Biasanya ia sangat cerdas, tapi entah bagaimana pada
saat itu otaknya macet, tak dapat memikir jalan lolos.
Tampak ia kepalkan kedua tangannya sendiri yang basah
dengan keringat itu.
Kang Siang Yan perdengarkan suara ketawa, yang
kumandangnya makin dekat. Dan berbareng dengan itu
Kang Siang Yan loncat - merangsangnya. Tio Jiang
menyambut dengan sebuah tusukan dahan kayu tadi, tapi
sesaat itu Juga sikunya terasa dipijat keras dan tahu2 dahan
itu sudali pindah ketangan Kang Sang Yan, siapa sudah
loncat beberapa tindak kebelakang. "Kalian berdua ini,
tidak berharga membikin kotor tanganku! A-thau, lekas
kembalikan kepandaianku tadi. baru nanti kuampuni!"
serunya kepada Yan-chiu, lalu gerakkan. dahan kayu tadi
yang secepat kilat sudah lantas melayang kearah Yan-chiu.
Yan-chiu mau menghindar, tapi sudah tak keburu lagi, sret
.......dahan kayu itu menancap masuk kedalam sebuah batu
karang yang berada beberapa centi dimukanya. Tangkainya
tak henti2nya bergoncang !
Saking takutnya, Yan-chiu mengucurkan keringat dingin.
"Lekas lakukan sendiri!" kembali Kang Siang Yan
membentak yang dimaksud dengan "mengembalikan Ilmu"
yalah suruh Yan-chiu mengutungi sendiri kaki tangannya,
sehingga menjadi seorang invalid. Kui-ing-cu terluka,
sedang ia dan sukonya bukan lawan wanita itu. Saking
bingungnya, ia lalu menangis, ratapnya : "Subo, aku
berjanji tak gunakan kepandaian dari ajaranmu tadi. Kalau
harus mengutungi kaki tangan, artinya pelajaranku sendiri
dulu juga turut hilang, bukantah ini tak adil !"
Yan-chiu masih berusia muda, jadi lugu pembicaraannya
itu pun masih mengunjuk sifat kanak2. Dalam menghadapi
ancaman sehebat itu, kata2nya masih lucu kedengarannya.
Juga Tio Jiang tak kurang kagetnya. Dia menghampiri dan
dengan kerahkan tenaganya, cabut dahan kayu yang
menancap pada karang tadi. Kala mendengar ratapan Yan-
chiu, diapun tergetar hatinya. Dipandangnya wajah Kang
Siang Yan untuk mengharap kemurahan hatinya, namun
agaknya hati Kang Siang Yan sudah membatu. "A-thau,
berani berbuat berani menanggung resiko. Kalau berayal
dan sampai aku terpaksa turun tangan, akibatnya akan lebih
hebat !" serunya.
Kali ini Tio Jiang tak kuasa menahan perasaannya lagi!.
Mulutnya menyatakan apa yang dirasa oleh sang hati,
"Subo, Siao Chiu sudah berjanji tak akan menggunakan
pelajaran darimu, mengapa kau mendesaknya " Masakan
orang tak dapat menerima perasaan orang ?" serunya
dengan tabah. Mendengar itu, Kang Siang Yan mendongak
tertawa, rambutnya menjigrak kencang, lalu dengan suara
yang bagaikan guntur menyambar, berkata: "Kalau aku tak
mau menerima, habis kau mau apa " A-thau, lekas kerjakan
sendiri!" Tio Jiang segera angsurkan dahan kayu tadi pada Yan-
chiu, siapa kedengaran bertanya dengan heran: "Suko,
adakah kau juga maukan aku melakukan perentah itu ?"
Tio Jiang membungkuk untuk mengambil sebatang
ranting kecil sera ya berbisik: "Siao Chiu, sedikitnya kita
berharap dapat bertahan sampai beberapa jurus!"
"Suko, mana kita bisa menandinginya ?" ,
"Itu bukan soal, asal kita tak mati sia2!"
Tanya jawab itu didengar juga oleh Kang Siang Yan. Dia
benci kepada sang suami karena suaminya itu dianggap
berlaku pengecut. Bahwa TIo Jiang telah berlaku gagah
untuk melindungi sumoaynya, ia terpikat Juga. "Baiklah,
biar aku mengalah sampai 3 jurus!" serunya dengan tertawa
dingin. Tiga jurus, mungkin ada perobahan, demikian pikir Yan-


Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

chiu siapa terus pindahkan "pedang" ketangan kiri, lalu
membuat sebuah gerakan hingga menerbitkan lingkaran
sinar. Habis itu, maju selangkah ia menusuk dengan gerak
jurus Hoan-kang-kiam-hwacang pertama yakni Pah-ong-oh-
kang. Ilmu pedang itu baru saja ia pelajari dari Kang Siang
Yan. Melihat sumoaynya sudah bertindak, Tio Jiang pun
maju dengan serangannya Thio-Ik cu-hay. Sepasang ilmu
pedang yang sakti, saling bertemu pula dalam menghadapi
bahaya. Yang satu dari kanan dan yang lain dari kiri,
berbareng menyerang dengan serentak.
Untuk serangan pertama itu Kang Siang Yan sesuai
dengan janjinya, hanya menghindar kesamping, sehingga
serangan kedua anak muda tadi menemui tempat kosong.
Tio Jiang tak mau buang tempo, secepat kilat merobah
gerakannya dengan jurus Boan-thian-ko-hay, ujung kayu
menuju kearah tenggorokan Kang Siang Yan, sedang
berbareng itu Yan-chiupun lancarkan jurus kedua Khut-ji-
tho-kang. Dua buah serangan itu merupakan pasangan yang
tiada bandingannya lagi, yang satu menyerang yang lain
bertahan. Tapi kepandaian Kang Siang Yan sudah mencapai
tingkat yang sukar diukur. Dengan hanya melangkah
setindak, dapatlah ia menghindar. Tapi Tio Jiang tetap
membayangi, dengan sebuah serangan lagi. Sedang disana
Yan-chiupun sudah memutar tubuh lalu menyerang dari
belakang Kang Siang Yan. Satu dimuka satu dibelakang.
Sinar pedang me-lingkar2, perbawanya hebat benar. Sekali
kurang cepat, lengan baju Kang Siang Yan telah kena
tertusuk oleh dahan Tio Jiang, baru ia enjot tubuhnya
loncat melewati kedua samberan pedang lawan.
Pengalaman itu telah memaksanya berpikir dan
mengakui betapa kehebatannya sepasang ilmu pedang. itu,
Misalnya kedua anak muda itu yang dalam tingkat
kepandaian masih kalah beberapa kali lipat ganda darinya,
namun sekali kurang hati2, hampir saja tadi ia terluka.
Terkenang ia akan mesa kejayaannya ber-sama2 sang suami
menjagoi dunia persilatan. Selama itu belum pernah ia
mendapat tandingan. Tapi kini hanya tinggal ia seorang diri
dan memikir sampai disini, kemarahannya berkobar lagi,
serunya: "Tiga jurus sudah lampau, aku yang turun tangan
atau kau mengerjakan sendiri'"
Waktu ujung dahannya menusuk lengan baju Kang
Siang Yan, Tio Jiang rasakan ada suatu tenaga dahsyat
menyampoknya. Mau tak mau Tio Jiang harus mengakui
betapa hebat ilmu lwekang sang subo itu. Jangankan hanya
dia dan Yan-chiu, sekalipun ditambah 20 orang lagi,
rasanya masih belum mampu melawannya. Tapi karena
urusan sudah sampai sekian macam, lebih baik terus
menggempur daripada melihat sang sumoay kutung kaki
tangannya, Maka iapun segera memberi isyarat Yan-chiu
untuk menyerang lagi.
Dengan perdengarkan suara tawa dingin, lengan baju
Kang Siang Yan mengibas kemuka Yan-chiu dan tahu2
tangannya sudah mencekal dahan Yan-chiu, terus hendak
menariknya. Tapi berbareng itu, Tio Jiang sudah
menusukkan dahannya kejalan darah thian-tho-hiat ditenggorokannya, sehingga terpaksa Kang Siang Yan
memutar balik tubuhnya. Kesempatan itu digunakan Yan-
chiu untuk menarik kembali dahannya, inilah kesaktian dari
sepasang ilmu pedang itu.
Tapi kini Kang Siang Yan tak mau memberi kesempatan
kedua anak muda itu untuk melancarkan jurus ke 5. Sang
tangan baju mengebut, dan Yan-chiu rasakan dirinya
tertindih oleh sebuah tenaga dahsyat, sehingga dadanya
hampir susah untuk bernapas. Tak berani ia menangkis,
melainkan buru2 mundur. Tio Jiang buru2 maju menolong,
tapi jarak keduanya agak jauh, sehingga sepasang ilmu
pedang itu hilang daya gunanya. Kang Siang Yan tiba2
berputar kebelakang, kelima jarinya yang bagai kait besi itu
menerkam dan Tio Jiang rasakan tangannya sakit, lalu
buru2 mundur kebelakang. Tapi dahannya sudah berpindah
ditangan Kang Siang Yan, siapa dengan melintir beberapa
kali saja telah membuat dahan sebesar lengan itu hancur
lebur seperti bubuk. Sekali menekan, dahan itu patah
menjadi beberapa kutung kecil.
Melihat yan-chiu terpisah jauh dari Kang Siang Yan, Tio
Jiang menereakinya: "Siao Chiu, lekas, lekas lari!" Yan-
chiu tak mengerti apa maksud sang suko, tapi sekonyong2
Tio Jiang menyerang Kang Siang Yan dengan nekadnya.
Kini baru Yan-chiu tersadar akan maksud yang mulia dari
sukonya itu. Dia rela berkorban supaya sumoaynya
selamat. Adakah seorang lelaki yang berhati lebih mulia dari itu "
Dia rela binasa, untukku, mengapa aku berlaku pengecut "
Demikian Yan-chiu mengambil keputusan. "Jiang suko,
biarlah kita mati ber-sama2!"
Sahut menyahut itu terdengar oleh Kang Siang Yan,
siapa menduga kalau kedua anak muda itu adalah sepasang
kekasih. Waktu Tio Jiang merangsang maju, ia kebutkan
lengan baju dan se-olah2 ada sebuah dinding tembok kuat
menghadang, hingga Tio Jiang tak dapat menobros dekat.
Waktu melihat sang sumoay tak mau lari, hati Tio Jiang
makin gelisah. Ber-ketes2 peluh mengucur dari kepalanya,
urat2 didahinya pada menonjol.
(Oo-dwkz-TAH-oO)
BAGIAN 18 : TELUR DIUjUNG
TANDUK Adalah karena menganggap kedua anak muda itu
sepasang kekasih, maka Kang Siang Yan tergetar hatinya,
maka dia tak mau balas menyerang sianak muda.
Pikirannya terkenang akan sang suami yang begitu mesra
sekali kasih sayangnya, namun dalam saat2 berbahaya, dia
telah berlaku begitu pengecut. la menghela napas dalam.
Sepasang tangannya yang sedianya sudah siap dilancarkan
kepada sepasang gadis dan jejaka itu, diturunkan pula.
Melihat kesempatan itu, Tio Jiang melesat kearah Yan-
chiu. Betapa tajam biasanya mulut Yan-chiu itu, namun
dalam saat2 yang mengharukan itu, ia segera menyongsong
kedatangan Tio Jiang itu dengan getaran jiwa raganya.
Kepalanya disusupkan kedada sang suko, air matanya
membanjir dengan suara sedu-sedan.
Kang Slang Yan termenung melihatnya. Pertama, waktu
nampak pemuda itu maju kehadapan untuk melindungi
Yan-chiu, ia sudah symphati. Kemudian, waktu menyaksikan pemandangan yang tragis romantis itu,
hatinyapun mengiri. Turut perasaannya dia tak mau
melukai nona itu, tapi sang napsu amarah tetap mengatakan
bahwa biar bagaimana nona yang sudah berani menipu
pelajarannya itu, harus dihukum. "A-thau, apa kau masih
membangkan tak mau melakukan perentahku tadi ?"
tanyanya kemudian. Tapi berbareng itu, disebelah sana
tampak Kui-ing-cu sudah berbangkit bangun. Kecuali
wajahnya yang agak pucat, nampaknya dia tak kena apa2.
Kang Siang Yan yakin bahwa ilmunya thay-im-ciang
tadi, walaupun hanya mengenai separoh, tapi biar
bagaimana lihaynya orang tentu harus memerlukan 7 hari
untuk bisa sembuh kembali. "Kui-ing-cu, apakah kau
hendak membantu lagi pada, kedua bocah itu?" tanyanya
dengan sinis. Kui-ing-cu tertawa, sahutnya: "Kang Siang Yan, benar2
lihay ilmu thay-im-ciang mu itu! Mungkin yang menjagoi
dalam dunia. Rupanya seluruh kepandaian dari Hu Liong
Po, telah kau warisi semua. Sayang seorang sakti seperti Hu
Liong Po itu tiada meninggalkan. keharuman nama, oleh
karena perjalanan hidupnya. Kang Siang Yan, renungkanlah!"
Seharusnya orang akan tergerak hatinya mendengar
nasehat mas dari Kui-ing-cu itu, namun Kang Siang Yan
tetap berhati batu. "Perlu apa dengan etiket kosong itu ?"
sahutnya dengan mengejek.
"Baik, kalau kau turut kemauanmu dewek, asal kami
bertiga tua-muda ini bersatu, kaupun takkan berbuat banyak
!" kata Kui-ing-cu dengan nada berat. Tapi belum Kang
Siang Yan menyahut, dari balik gunung sana kedengaran
suara orang bersenandung: "Mengapa bersitegang leher
mencari menang, damai
adalah jembatan menuju
kebahagiaan!"
Nampaknya senandung itu lelah dan lamban, tapi setiap
patah kata me-lengking2 bagaikan martil memukul batu.
Tio Jiang dan Yan-chiu heran, tapi tak mengetahui letak
keistimewaan suara itu. Lain halnya dengan Kang Siang
Yan dan Kui-ing-cu yang segera sama2 terperanjat, karena
suara itu diucapkan oleh seorang ahli lwekang yang tinggi
sekali tingkatannya. Kalau ditilik dari tingkat kepandaiannya, mungkin orang itu adalah Ang Hwat cinjin
dari gunung Ko-to-san. Tapi kalau ditinjau dari senanjung
itu, terang bukan. Ah, entah kawan entah lawan. Begitulah
kedua tokoh lihay itu me-nimang2 sembari ber-siap2.
Seorang hweshio tua yang wajahnya bercahaya merah,
tubuhnya tinggi besar, mengenakan jubah pertapaan kain
macao kasar, telanjang kaki dan mencekal sebatang tongkat
timah yang melebihi tinggi orangnya, nampak berjalan pe-
lahan2 keluar dari balik gunung. Setindak demi - setindak ia
melangkah dengan tenang tapi kokoh laksana sebuah
gunung. Waktu sudah dekat, nampak bagaimana sepasang
alisnya yang sudah putih semua itu menjulai panjang
sampai tiga dim. Rambut janggutnya jarang, hingga
kelihatan tegas daging janggutnya. Per-tama dia memandang kearah Tio Jiang dan Yan-chiu, habis itu lalu
berputar diri menghadap Kang Siang Yan, ujarnya: "Sian-
cay...., siancay....! Sepuluh tahun tak berjumpa, kiranya li-
tham (anda) sudah berubah banyak !"
Sewaktu hweshio itu tadi muncul dari balik gunung,
agaknya ingat2 lupa Kang Siang Yan sudah pernah
mengenalnya. Kini demi mendengar kata2nya, ia tak
merasa sangsi lagi. Itulah suhu dari ketua kedua Thian Te
Hui Kiau To yang disebut Tay Siang Siansu dari gereja
Liok-yong-si di Kwiciu. "Bagus, toa-hweshio !" seru Kui-
ing-cu. Tay Siang Siansu berpaling, setelah mengawasi
sejenak, dia berkata: "Andapun sudah terluka, apakah tak
tahu ?" "Benar, toa-hweshio, adakah kau mempunyai daya ?"
tanyanya seraya diam2 mengagumi kepandaian sihweshio
tua itu. Tay Siang merogoh kedalam baju dan menyerahkan
sebutir pil pada Kui-ing-cu, siapa dengan kegirangan sekali
sudah lantas menelannya.
"Tay Siang Siansu, orang agama mengapa suka usilan "
Lekas menyingkir, jangan mengganggu aku!" bentak Kang
Siang Yan dengan murka.
Kembali sihweshio rangkapkan kedua tangannya,
menyahut dengan tenang: "Siancay......! Sepuluh tahun
yang lalu pinceng pernah menerima ajaran dari kalian.
Ketika menderita kekalahan, bermula pinceng menyiksa diri
untuk berlatih lagi guna membalas sakit hati. Tapi ternyata
pelajaran Hud (Budha) itu tiada batasnya. Nyonya,
sekalipun kau sekarang tusuk tubuhku beberapa kali,
akupun tak nanti membalasnya !"
Ucapan itu merupakan sumber air dingin yang
mengguyur tubuh Kang Siang Yan. Heran ia mengapa
orang begitu meremehkan akan dendam kesumat " Jadi
terang ilmu lwekang thay-im-lian-seng itu berlawanan
dengan ilmu lwekang kaum Hud dari Tay Siang Siansu.
Cara jalan pikirannyapun, berbeda sekali. Petuah dari
hweshio tua itu, menggetarkan sanubari orang, tapi sayang
jiwa Kang Siang Yan telah keliwat mendalam diracuni
dengan thay-im-lian-seng yang jahat itu.
"Kau tak menyalahi padaku, mengapa aku harus
mengusikmu " Budak ini telah menipu pelajaranku, maka
akan kumintanya mengembalikan!" serunya sembari terus
enjot diri kearah Yan-chiu.
Kui-ing-cu cepat2 hadangkan lengannya. Tapi gerakan
Kang Siang Yan sebat, sekali. Luput yang pertama, ia
melejit lagi kesamping sinona terus mencengkeram jalan
darah tay-tong-hiat dipunggungnya.
Yan-Chiu rasakan tubuhnya kedinginan sekali, sehingga
giginya kedengaran gemerutuk. Buru2 ia loncat kemuka,
tapi Kang Siang Yan tetap membayangi. Kemana Yan-chiu
hendak menghindar, kesitu punggungnya selalu masih
dilekati tangan Kang Siang Yan. "A-thau, jadi kau minta
aku turun tangan ?" serunya. Yan-chiu tak dapat berkutik
lagi, hanya sepasang matanya mengawasi kearah Kui-ing-
cu. Kui-ing-cu hilang akal. Tadi bermula dengan munculnya


Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tay Siang hweshio yang pernah terikat permusuhan dengan
suami isteri Kang Siang Yan - Bek Ing itu, dia kira bakal
terjadi perobahan. Tiada kira setelah 10 tahun mengisap
pelajaran Hud itu, Tay Siang telah berobah menjadi seorang
yang tawar akan segala dendam kesumat. Dia sendiri
merasa belum sembuh sama sekali. Benar tadi telah
menelan pil sam-kong-tan dari Tay Siang Siansu, tapi juga
masih memerlukan suatu waktu yang tertentu, baru dapat
pulih betul2. Atas pandangan minta dikasihani dari Yan-
chiu tadi, dia terpaksa tak dapat berbuat apa kecuali tertawa
kecut. Ternyata Kang Siang Yan telah gunakan thay-im-ciang
untuk menekan punggung Yan-chiu, siapa sudah tentu tak
kuat menahannya. Tubuhnya serasa demam, giginya
menggigil bergemerutukan. Wajahnya berobah menjadi ke-
hijau2an. Beberapa kali Tio Jiang hendak maju menerjang,
tapi setiap kali dengan hanya mengebutkan lengan baju
Kang Siang Yan telah dapat menggebahnya. Beberapa
jenak kemudian, tampak Yan-chiu sudah kepayahan,
serunya: "Kaum agama mengagungkan welas asih, tapi kau
hweshio, apakah benar2 tegah melihati aku mati ?"
Tay Siang Siansu mengawasi sejenak, lalu menghela
napas, ujarnya: "Sian-cay........, nona kecil itu benar2 tak
kuat menahannya, harap nyonya suka sudahi hukuman
itu'." "Kalau aku tak melepaskannya, habis mau apa?" Kang
Siang Yan tertawa dingin. Adalah karena tanya jawab itu,
Yan-chiu makin bertambah kesakitan. Melihat itu Tay
Siang segera ulurkan tongkatnya kepada Yan-chiu: "Nona
kecil, peganglah ini "
GAMBAR 41 "Pegang ini !" mendadak Tay Siang Siansu mengulurkan
tongkatnya kepada Yan-chiu hingga anak dara itu mendadak
merasa semacam tenaga hangat mengalir ketubuhnya melalui
tongkat itu. Yan-chiu menurut. Dari tongkat timah itu dirasanya ada.
Hawa hawa hangat mengalir kelengannya lalu menjalar
keseluruh tubuh. Melihat datang bintang penolong yang
berupa penyaluran lwekang melalui tongkat, Yan-chiu
makin memegang erat2 tongkat itu. Wajahnyapun tampak
agak tenang. Melihat itu, Kui-ing-cu menjadi girang, tapi
sebaliknya Kang Siang Yan murka sekali. Sebenarnya tadi
ia tak ingatan hendak melukai sungguh2, tapi kini
berobahlah pendiriannya.
"Kepala gundul, jadi kau mau menolong jiwa budak ini
?" tanyanya dengan bersenyum iblis. Dan sesaat itu Yan-
chiu rasakan hawa dingin tadi merangsang lagi. Tahu ia
kalau Kang Siang Yan perhebat tenaga lwekangnya. "Toa-
hweshio, aku merasa dingin lagi": serunya dengan gugup.
Tay Siang Siansu kedengaran menghafal ayat kitab Hud
(Buddha) dan Yan-chiu segera rasakan hawa hangat pula.
Tapi tak lama kemudian, tekanan thay-im-ciang merangsang hebat lagi. Dengan begitu Yan-chiu telah
menjadi "medan pertarungan" lwekang yang hebat.
Tay Siang tak menduga kalau Kang Siang Yan berhati
seganas itu. Kini urusan sudah runyam betul, ibarat orang
naik kepunggung harimau, maju mundur serba salah. Kalau
dia tak perhebat saluran lwekangnya, Yan-chiu tentu tak
kuat. Tapi kalau dia perhebat salurannya, Kang Siang Yan
pun tentu memperhebat tekanannya juga. Dengan
dirangsang hawa panas dingin begitu, wajah Yan-chiu pun
sebentar merah sebentar pucat. Darahnya serasa bergolak
kencang sedang pekakas dalamnya serasa bergoncang
hebat. Tahu juga Tay Siang Siansu, dalam beberapa saat
kemudian tentu Yan-chiu akan tak kuat menderita lagi.
"Nyonya, mengapa harus merusakkan tubuh nona kecil ini
?" katanya demi kasihan atas keadaan Yan-chiu. Tapi Kang
Siang Yan sudah dirangsang kemarahan, tak mau
menyahut omongan orang. Tay Siang Siansu tak gentar
menghadapi lwekang Kang Siang Yan, tapi yang jadi
korban adalah Yan-chiu sendiri nanti. Begitupun pikiran
Kui-ing-cu, dan Tio Jiang yang sibuk tak keruan sendiri itu.
Kalau keduanya turut mencekali tongkat itu, tentu dapat
menambah tekanan fihak Tay Siang, tapi jiwa Yan-chiu
pasti akan melayang! Tio Jiang putar otaknya keras2,
akhirnya dia menemui jalan, serunya dengan pilu: "Lian
suci....., Lian suci......! Siao Chiu mendapat kesukaran dan
aku tak dapat tinggal diam. Kalau aku sampai binasa,
jangan persalahkan aku !"
Sehabis berseru itu, dia merogoh keluar peniti kupu2
lalu, disisipkan ketangan Kui-ing-cu,, katanya: "Lo-
cianpwe, peniti ini adalah milik seorang nona bernama Bek
Lian. Apabila jiwaku melayang didasar lembah ini, tolong
cianpwe serahkan benda itu padanya serta sukalah
sampaikan pesanku terakhir kepadanya: "Sekalipun dalam
kehidupan sekarang tak beruntung terangkap menjadi
suami-isteri, tapi pada penjelmaan kemudian, kita berdua
tentu akan tetap berdampingan."
Habis meninggalkan pesan, dia menerjang dengan
sepasang tangan menyerang Kang Siang Yan. Belum
orangnya tiba, angin pukulannya sudah men-deru2. Begitu
merangsang maju, dia tutuk jalan darah wi-tiong-hiat sang
subo. Karena kaget Tio Jiang meneriaki nama Lian suci,
Kang Siang Yan berpaling kebelakang. Dan melihat Tio
Jiang mengeluarkan peniti kupu2, wajahnya terkesiap.
Hendak ia mengucap sesuatu, tapi Tio Jiang telah
merangsangnya begitu kalap, sehingga terpaksa ia
menggeser setengah tindak, lalu hantamkan sebelah
tangannya, bum............. dalam jarak hanya 3 tindak
jauhnya mendapat pukulan thay-im-lian-seng, Tio Jiang
mengira kalau jiwanya pasti melayang. Tapi aneh, ketika
dia menarik napas, ternyata tak merasa sakit apa2. Tapi
oleh karena dia sudah mengambil keputusan nekad untuk
mengadu jiwa, maka dengan kalap dia ulangi. lagi
serangannya. "Budak, dari mana kauperoleh peniti kupu2
itu ?" bentak Kang Siang Yan.
Atas bentakan itu, Tio Jiang merandek, sahutnya:
"Pemberian Lian suci !"
"Ngaco belo!" bentak Kang Siang Yan pula.
"Lian suci telah mengikat jodoh denganku, peniti kupu2
ini sebagai panjarnya, mengapa ngaco belo?" tanya Tio
Jiang dengan ke-malu2an. Mendengar itu, hati Kang Siang
Yan tergetar dan karena itu, tekanannya agak kendor.
Sekali didesak oleh lwekang Tay Siang Siansu akhirnya
tangan itu terlepas dari punggung Yan-chiu.
Walaupun keadaannya sudah antara, sadar dengan tiada,
namun pikiran Yan-chiu masih agak terang. Demi
punggungnya dirasakan longgar, cepat2 ia loncat kemuka,
terus berdiri diantara sihweshio dan Kui-ing-cu. Dipalu
lwekang panas-dingin tadi, sebenarnya Yan-chiu sudah
mendapat luka dalam. Maka ketika ia loncat kemuka,
serasa bumi yang dipijaknya itu ber-putar2, wajahnya pun
kelihatan pucat lesi. Sekali menjerit keras, rubuhlah ia tak
ingat orang. "Siancay....., siancay........! Karena loceng keliwat usil
nona kecil ini sampai terluka, loceng tak boleh berpeluk
tangan!" kedengaran Tay Siang Siansu menghela napas
seraya melangkah maju mengangkat tubuh Yan-chiu lalu
dibawa pergi. Kang Siang Yan hendak mengejar, tapi ia
berpaling kebelakang mengawasi Tio Jiang tanyanya:
"Lian-ji terang ber-kasih2an dengan seorang pelajar
ganteng, masa bertungangan padamu " Lekas katakan !"
Setelah Yan-chiu terlepas dari bahaya, hati Tio Jiang
legah sekali. Kini tak gentar lagi dia menghadapi
pertanyaan Kang Siang Yan, maka soal pertungangan itu
dituturkannya, begitu pula semua pengalamannya dengan
Bek Lian. Sewaktu mendengar Bek Lian lepas hui-to
sehingga Tio Jiang sampai jatuh kedalam lembah situ,
murkalah Kang Siang Yan. "Jadi kau maksudkan puteriku
itu seorang yang boceng, tak kenal cinta tak tahu membalas
budi ?" (Oo-dwkz-TAH-oO)
BAGIAN 19 : IBU DAN ANAK
"Bukan, kukira Lian suci tentu kena ditipu oleh orang
she The itu, yang berusaha hendak memikatnya. Lian suci
bukan seorang yang tak tahu budi !" sahut Tio Jiang dengan
sejujurnya. Kang Siang Yan mengawasi tajam2 pada anak
muda yang tampaknya ke-tolol2an itu. Pikirnya, ketika
didalam goa tempo hari dengan mata kepala sendiri ia
saksikan Bek Lian bersama-sama dengan The Go, mereka
sangat berkasih2an nampaknya. Mengapa kini anak itu
menggigau begitu " Tapi kalau tidak, mengapa anak itu
menyimpan peniti kupu2, yang terang adalah miliknya
(Kang Siang Yan) yang diserahkan pada Bek Lian" Sikap
dan wajah anak itu, menunjukkan seorang yang jujur, jadi
tentu tak berbohong. Akhirnya ia menarik kesimpulan,
disitu tentu ada persoalannya. "Dimana sekarang Lian-ji ?"
"Diatas puncak karang lembah ini," sahut Tio Jiang
seraya menuding keatas, "karena melihat ia hendak bunuh
diri loncat kebawah lembah, maka aku buru2 loncat hendak
mencegah, tapi telah diserang jatuh olehnya dengan
timpukan hui-to."
"Hem........." kedengaran Kang Siang Yan menggerutu
terus menarik lengan Tio Jiang diajak keatas gunung, tanpa
menghiraukan Kui-ing-cu lagi.
Lembah itu ternyata curam dan gundul, hanya tumbuh
beberapa tanaman kecil dan sedikit rotan. Tiba2 Kang Siang
Yan mengangkat tubuh Tio Jiang lalu dengan secara
mengagumkan sekali bagai seekor cecak merayap, ia
merayap naik keatas. Tio Jiang merasa seperti melayang
diudara, angin dan kabut silih berganti lalu disisihnya. Tak
antara lama kemudian, sinar matahari makin terang
benderang, jadi tentu sudah hampir tiba diatas puncak
lembah. Tiba2 serasa dia dilemparkan oleh Kang Siang Yan
keatas, maka buru2 ia gunakan gerak "burung merpati
membalik badan" dan tepat jatuh berdiri diatas tanah.
Menyusul Kang Siang Yan pun tampak melayang naik.
Tio Jiang dapatkan tempat itu adalah karang yang
kemarin ditempati oleh Bek Lian. Tapi heran, mengapa kini
sucinya itu tiada tampak disitu "
"Lian suci......! Lian suci......!" dia segera berteriak
dengan cemas. Tiba2 didengarnya dari balik sebuah batu
besar, ada suara orang menangis. Setelah memandang
sejenak pada Kang Siang Yan, dia bergegas menghampiri
kesana. Ha.....!, kiranya disitu terdapat seorang nona cantik
tengah menangis sembari separoh ber-jongkok. "Lian
suci......, aku datang, subopun juga!" serunya dengan
kegirangan. Pe-lahan2 Bek Lian mendongak, ah......, mungkin sehari
semalam ini ia terus menerus menangis sehingga sepasang
biji matanya benjul begap.
"Lian suci.....," bisik Tio Jiang sambil berjongkok,
"apakah Cian-bin Long-kun menghinamu ?"
"Plak......!" tepat kata2 itu berhenti, tepat mukanya
ditampar Bek Lian, sudah tentu Tio Jiang ke-heran2an.
"Sudahku, katakan jangan datang kemari, mengapa kau
berani datang ?" bentak Bek Lian. Tapi sembari mengusap
mukanya, Tio Jiang menyahut dengan sabar: "Subo juga
kemari !" "Subo apa, kalau aku mempunyai ibu tentu tak nanti
bernasib begini!" damprat sinona. Pada saat itu Kang Siang
Yan tepat menghampiri, kesitu, jadi ia mendengar juga,
kata2 Bek Lian itu. Kasih seorang ibu, menangkan segala.
Hatinya seperti disayat sembilu, serunya: "Bek Lian, biji
mataku!" Mendengar itu, Bek Lian mendongak mengawasi.
Dihadapannya tampak berdiri seorang wanita yang
walaupun rambutnya terurai panjang tapi wajahnya
menyerupai dirinya. Wajahnya yang mengunjuk rasa kasih
sayang, serta kedua matanya yang memancarkan sumber
kecintaan seorang ibu, adalah yang ia cari dalam impian
selama 10 tahun ini. Tanpa dapat dicegah lagi, menjeritlah
ia lalu menubruk kedalam pelukan sang ibu. "Ma.....,
ma......! Anakmu ini bernasib malang!"
Ucapan itu bagaikan sembilu menyayat hati Kang Siang
Yan. Sepuluh tahun mengingkari kewajibannya sebagai
seorang ibu, entah bagaimana penderitaan dari sang anak
yang haus dengan kecintaan ibunya itu. "Lian-ji......, A
Lian......, jangan bersedih, ibumu disini !"
Bek Lian tumpahkan kesedihannya didalam dekapan
dada sang ibu. Tak henti2nya tangis isaknya mengiring
sang, air mata. Sepuluh tahun keduanya kehilangan satu
sama lain, kini pertemuan itu menjadi curahan haru dan
sesai. masing2. Sampaipun Tio Jiang yang menyaksikan,
turut kucurkan air mata.
Entah sampai berapa lama kedua ibu dan anak itu
menumpahkan perasaannya masing2. Tapi setelah sekian
lama, menangis, kini longgarlah perasaan Bek - Lian dan
akhirnya berhentilah ia menangis. "Ma......, kemanakah
kau pergi selama ini " Mengapa begitu tega meninggalkan
aku ?" "A Lian, tambatan hatiku, ibu takkan meninggalkan kau
lagi!," sahut Kang Siang Yan sambil mem-belai2 rambut
Bek Lian. Adalah setelah mendengar keduanya bicara, Tio
Jiang lalu menyela: "Subo, suhu masih berada di Hoasan
bersama2 ke 72 Cecu mengadakan perlawanan pada tentara
Ceng. Apakah subo tak hendak, menjumpainya?"
Diluar dugaan, Kang Siang Yan dan Bek Lian deliki
mata kepadanya, sehingga dia kembali merasa heran.
Karena tak tahu bagaimana harus berbuat, dengan ter-
longong2 memandang Bek Lian, dia bertanya: "Lian suci,
apakah kau tak kurang suatu apa ?"
Kang Siang Yan memandang Bek Lian sebentar, lalu
mengawasi Tio Jiang, tanyanya: "A Lian, sitolol itu


Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengatakan padaku bahwa kau telah mengikat pertunangan
padanya, benarkah itu "''
"Fui! Apa2an itu ?" sahut Bek Lian dengan jemu.
"Lian suci, malam itu bukankah kau telah memberikan
persetujuan ?" tanya Tio Jiang dengan gugup.
Bek Lian melangkah setindak membentak: "Kau gila!
Malam yang mana'"
Bagi Tio Jiang malam bahagia itu diukir betul2 dalam
lubuk ingatannya. "Bulan 12 tanggal 6!" sahutnya dengan
tanpa ragu2. "Edan kau!" tiba2 Kang Siang Yan membentaknya.
Wajah Tio Jiang merah padam, ujarnya; "Kalau ada
sepatah kata2ku yang bohong, biarlah aku tak dapat mati
dengan aman !"
"Siapa peduli dengan sumpahmu itu ?" seru Bek Lian
dengan mengejek. Tiba2 Kang Siang Yan loncat maju
menerkam bahu Tio Jiang yang tak keburu untuk
menghindar lagi. Sesaat itu pundaknya terasa seperti dijepit
oleh kait baja. "Tolol, bulan 12 tanggal 6 malam, Lian-ji tak
berada di Kwiciu!" seru Kang Siang Yan.
"Ma, mengapa kau tahu ?" tanya Bek Lian dengan
kagetnya. "Kujumpai kau ber-sama2 seorang pelajar ganteng ber-
gegas2 melakukan perjalanan. Bukantah dia itu murid Ang
Hwat cinjin yang disebut Cian-bin long-kun The Go?" kata
Kang Siang Yan dengan tertawa.
"Benar, itulah engkoh Go. Ma, aku......., aku........."
"A Lian, kutahu isi hatimu. Jangan kuatir, aku
dibelakangmu!" tukas Kang Siang Yan.
"Ma, tapi kini engkoh Go berada dalam tangan ayah,
dikuatirkan dia tentu mendapat kecelakaan."
"Mengapa begitu ?" tanya Kang Siang Yan. Tapi belum
Bek Lian menutur, Tio Jiang yang sedari tadi tak dibawa
ber-cakap2, tak dapat menahan sabar lagi. "Lian suci, kalau
kau benar tak memberi persetujuan pada malam itu,
mengapa barang ini bisa jatuh kedalam tanganku ?" sembari
menunjukkan peniti kupu2 dia berseru. Bek Lian agak
kesima melihat itu, tapi ia sendiri tak tahu sebabnya. Tapi
oleh karena pikirannya hanya pada The Go yang itu waktu
berada dalam tahanan sang ayah, maka tak mau lagi ia
hiraukan Tio Jiang.
"Tatkala aku berada diperkemahan tentara Ceng,
kudengar Siao Chiu mengatakan bahwa engkoh Go sudah
jatuh ditangan ayah. Ma, ketika dilautan tempo hari ayah
telah memaksa kami berdua bunuh diri, kaupun tahu
sendiri. Maka begitu mendengar berita itu, aku ber-gegas2
naik kegunung sana," Bek Lian mulai mengadu.
Lucu adalah tingkah Tio Jiang yang digilakan asmara
itu. Waktu Bek Lian dan Kang Siang Yan hanya uplek
bicara sendiri tak menghiraukannya; iapun sudah tak enak.
Apalagi setelah Bek Lian menyangkal soal pertunangan itu,
hati Tio Jiang remuk rendam seperti gelas dibanting diatas
batu. Tanpa disadari dia berlutut sembari memandang
peniti kupu2nya itu. Sikapnya seperti orang yang sudah
berobah pikiran.
Kiranya sewaktu Bek Lian hendak menyusul ke Hoasan,
tiba2 ditengah, jalan peluru meriam jatuh tak jauh dari situ.
Bummm......... bunyi menggelegar bagai halilintar memecah
bumi itu, disusul dengan terbakarnya hutan digunung situ.
Puhun2 sama-ber-derak2 roboh dan apipun berkobar
dengan cepatnya. Pucatlah wajah Bek Lian. Hendak
kembali, ia tak tega memikirkan nasib The Go. Maka
dengan gunakan ilmu berjalan cepat, ia teruskan mendaki
keatas. Tapi berselang berapa lama lagi, bum....., bum.....,
bum....., bum....., kembali 4 kali dentuman menggelegar,
jatuh dibelakangnya. Bek Lian makin gugup. Hari masih
remang2, belum terang tanah. Ia terus mendaki keatas, tapi
karena tak kenal jalanan, tiada berapa, lama ia mendengar
disebelah depan sana ada suara hiruk pikuk.
Didalam tirai asap yang membungkus tempat itu, tanpa,
disadari Bek Lian telah tiba dimuka sebuah Soache
(markas). Orang2 dalam markas itu kedengaran ramai2
menunjuk pada bola-api (peluru) yang jatuh dilamping
gunung. Diantara orang2 itu, terdapat Tieng Bo siangjin
dan si Bongkok. Maka tanpa pedulikan apa2 lagi, Bek Lian
segera berteriak seperti orang gila: "Yah, dimana engkoh
Go" Jangan mencelakai dia....."
Sewaktu mendengar dentuman meriam musuh, Ceng Bo,
siangjin tengah memberi perintah pada anak buah markas
bagaimana untuk mempersiapkan penjagaan.
Demi mendengar teriakan Bek Lian tadi, bukan kepalang
terkejutnya. Melihat keadaan anaknya itu sedemikian rupa,
pakaiannya tak keruan, rambutnya terurai kacau dan
wajahnya cemas ketakutan, buru2 Ceng Bo menobros
keluar markas. Begitu menjamret tubuh Bek Lian, terus dia
enjot lagi tubuhnya melayang keatas pintu markas. Gerakan
yang mengagumkan dari siangjin itu, telah mendapat
sambutan tepuk sorak yang hangat dari Nyo Kong-Iim dan
lain2nya. "Dari mana kau?" tanya Ceng Bo setelah membawa Bek
Lian masuk. Tapi Bek Lian tak lekas2 menjawab hanya,
menyapukan matanya mencari The Go kesekeliling tempat
situ. Dalam kalbunya hanya terukir seorang The Go. Tidak
menjawab pertanyaan sang ayah, sebaliknya ia malah balas
bertanya: "Mana engkoh Go ?" dan tanpa tunggu
penyahutan sang ayah ia sudah berteriak keras2: "Engkoh
Go.....! Engkoh Go......! "
Kali ini Ceng Bo siangjin betul2 hilang kesabarannya
lagi. "Budak hina, kau panggil siapa?" bentaknya dengan
murka. Bek Lian menyeringai, sahutnya: "Aku mencari engkoh
Go." Ceng Bo melangkah setindak, sekali tangan mengayun,
dia tampar muka Bek Lian, plak ......didorong oleh amarah,
Ceng Bo telah menampar keras hingga pipi Bek Lian yang
halus bagaikan bunga melati itu, menjadi benjul ke-biru2an.
GAMBAR 42 "Cinta itu buta,", demikian kata pepatah. Mungkin begitulah
Bek Lian menjadi buta dimabuk cinta kepada The Go, sehingga
ketika berhadapan dengan sang ayah, masih dia tidak sadar.
Saking gusarnya, "plak", Ceng Bo Siangjin memberi tempililigan
sekali kepada gadisnya itu.
"yah, pukullah aku, tapi jangan mencelakai engkoh Go!"
kata Bek Lian seperti orang linglung. Melihat Ceng Bo
siangjin marah, orang2 sama tak berani buka suara. Syukur
si Bongkok Ih Liok yang tak tega melihat Bek Lian dihajar,
lekas2 menyela: "Nona Lian, The Go sudah lolos dari sini
tak kurang suatu apa. Kami sekalian disini sedang sibuk,
kau beristirahat dululah kedalam markas sana !"
Serasa longgarlah dada Bek Lian mendengar hal itu.
Tanpa menghiraukan lagi mengapa si Bongkok yang biasa
gagu itu bisa mendadak sontak bicara, ia serentak menyahut
lega "Ya, syukurlah kalau begitu"
"Nanti masih hendak kutanya lagi, sana lekas masuk!"
bentak Ceng Bo siangjin. Bek Lian menurut. Saat itu
seluruh anak buah dalam markas sama keluar semua. Bek
Lian men-cari2 barangkali dapat melihat sang kekasih dan
benar juga tiba2 dia berteriak keras: "Engkoh Go!"
Teriakan itu telah membikin terkejut semua orang.
Mereka sama mengawasi kearah yang diteriakkan Bek
Lian. Ada seorang liaulo (anak buah) menyusup kedalam
rombongan orang banyak. Hanya saja gerakan liaulo itu
tangkas sekali. Terang itulah suatu ilmu mengentengi tubuh
yang lihay. Sampaipun Nyo Kong-lim terbelalak kaget.
Seingatnya, dalam kalangan liaulo tiada seorang yang
setangkas itu. Tapi si Bongkok sudah bertindak sebat. Sembari
perdengarkan suitan, dia loncat melalui serombongan
orang, terus mengudaknya. Tapi kala itu hari masih
remang2, tambahan pula markas sangat luas, untuk mencari
seorang yang dandanan semacam liaulo yang berjumlah
sekian banyak, bukan pekerjaan mudah. Tak lama
kemudian tampak dia muncul lagi, tanyanya: "Nona Lian,
benarkah tadi kau melihat The Go?"
"Ih-thocu, kenapa kini kau dapat bicara" Benar dia
engkoh Go, tak nanti aku salah lihat," sahut Bek Lian. Si
Bongkok dan Nyo Kong-lim saling bertukar pandangan dan
pada banting2 kaki.
Memang Cian-bin Long-kun The Go itu seorang anak
muda yang cerdas, penuh akal. Untuk menjaga kemungkinan yang tak diinginkan, ketika dia naik keatas
Hoasan, dia mengenakan dua macam pakaian. Yang
didalam pakaian liaulo, luarnya pakaiannya sendiri. Ketika
dia berhasil sembuh dari tutukan, dia segera enjot kakinya
melesat keluar dan diburu oleh si Bongkok. Begitu
membiluk pada sebuah tikungan, cepat dia buang
pakaiannya luar dan kini dengan berpakaian liaulo, dia
menobros masuk kedalam rombongan liaulo. Itulah
sebabnya maka si Bongkok telah kembali dengan tangan
hampa. Itu waktu Nyo Kong-lim telah mendatangkan bala
bantuan dari markas yang terdekat, ditambah Yan-chiu
dengan 100-an orang anak buah, maka banyaklah wajah2
baru yang satu sama lain tak saling kenal. Keadaan ini
sangat menguntungkan The Go. Jika kala itu dia lantas
turun gunung, tentu mudah. Tapi dia seorang yang bernyali
besar. Sudah diketahui bahwa nanti terang tanah Li Seng
Tong tentu akan membombarder markas itu, maka lebih
baik dia menjadi colok dari dalam. Dentuman pertama,
sangat menggirangkan hatinya. Tapi kegirangan itu segera
tersapu seketika dengan munculnya Bek Lian.
Heran dia melihatnya, tapi demi diketahuinya Bek Lian
hendak mencarinya, dia merasa puas, lalu hendak lanjutkan
rencananya. Tak terduga mata Bek Lian yang selalu
terbayang wajahnya itu, telah dapat melihatnya bahkan
malah meneriaki namanya. Saking gugupnya, dia terus
menyusup masuk kedalam rombongan liaulo. Bek Lianpun
tersadar akan kekhilafannya. Tak seharusnya ia membuka
rahasia sang kekasih.
Suasana menjadi panik. Ceng Bo siangjin cepat loncat
kebawah menghampiri Bek Lian. Dalam pandangan imam
patriot itu, Bek Lian kini bukan anaknya, melainkan
seorang kaki tangan musuh. Bek Lian segera rasakan
lengannya sakit sekali sehingga menjerit: "Ayah !"
Ceng Bo tak kenal kasihan lagi. Bermula dicengkeramnya lengan sang anak, lalu ditutuk jalan darah
yang-ko, dan -ki-ti-hiat. Habis itu dipeluntirnya lengan Bek
Lian, hingga nona itu sampai terputar tubuhnya, lalu
ditutuk bahunya. Sekali didorong kemuka maka Bek Lian
ter-huyung2 kemuka. "Ringkus gadis hina ini!" seru Ceng
Bo pada kawanan liaulo.
Jiwa patriot yang perwira dari Ceng Bo siangjin itu, telah
disambut dengan puji-sorak oleh semua orang. Tapi tiba2
ada orang berteriak keras2: "Api.....! Api..... !" Dan
memang dibelakang istal kuda api menjilat keatas. Kembali
orang2 menjadi panik ber-gegas2 memadamkan kebakaran
itu. Tapi karena dimarkas itu kekurangan air, jadi
kebakaran itu tak dapat ditolong. Si Bongkok cepat dapat
menduga bahwa yang melepas api itu tentulah The Go,
maka. dengan gagahnya dia menobros kesana. Adalah Nyo
Kong-lim yang per-tama2 melihat ada seseorang tengah
berloncatan diantara api dengan membawa sebatang obor.
Dengan menggerung keras, dia maju menerjang dengan
sam-ciat-kun. Memang orang itu bukan lain adalah The Go,
siapa dengan sebat sekali sudah berputar badan lalu
Iontarkan obor itu kearah Nyo Kong-lim.
Nyo Kong-lim seorang lurus, akalnya sederhana. Dia tak
sangka kalau bakal dilontari obor. Dia cepat2 miringkan
kepala menghindar, tapi kalah cepat. Separoh mukanya
telah kena dicium api hingga janggut brewoknya terbakar.
Dia ber-jingkrak2 murka, tapi karena keayalan itu, The Go
sudah melesat kesamping untuk secepat kilat memberi
tutukan pada jalan darah jip-tong-hiat didada ketua Hoasan
itu. Dengan surutkan dada, Nyo Kong-lim mundur
selangkah sembari hantamkan sam-ciat-kun kepinggang
orang. Tapi dengan tangkasnya The Go loncat sampai 2
meter keatas. Ketika terapung diatas, dia gerakkan sepasang
kakinya untuk mendupak jalan darah jin-tiong-hiat dikepala
Nyo Kong-lim, siapa terpaksa harus mundur beberapa
langkah lagi. Syukur saat itu si Bongkok datang dan wut
.......angin pukulannya menyingkap pergi asap yang
menyelimuti tempat itu. Melihat dirinya terkepung oleh dua
musuh tangguh, The Go copot nyalinya. Sekali enjot sang
kaki dia melesat kembali kedalam orang banyak.
Saking murkanya, Nyo Kong-lim dan Ih Liok berdua
rasakan dadanya seperti mau meledak. Mereka memburu
maju tapi tepat pada saat itu sebuah bola-api jatuh tepat
ditengah2 markas situ. Itulah jasa The Go. Sebenarnya
pasukan meriam Ceng kehilangan sasaran, tapi begitu
melihat The Go memberi kode dengan lambaian obor,
mereka segera lepaskan dua kali tembakan yang tepat
mengenai. Hiruk pikuk dalam markas situ tak dapat dicegah lagi.
Orang2 sama ber-teriak2 minta tolong. Kegagahan mereka
copot seketika demi menyaksikan kedahsyatan peluru
meriam itu. Tunggang langgang mereka hendak tinggalkan


Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

markas situ. Ceng Bo siangjin serta Nyo Kong-lim dan
kawan2 hendak mencegah, tapi tiada kuasa lagi.
"Keparat! Hay-te-kau, apa daya kita?" tanyanya kepada
Ceng Bo. Siapapun tiada pilihan lagi kecuali memerintahkan:
"Mundur! Toa-cecu, mundur kemarkas ke-5 !"
Lwekang Ceng Bo siangjin sangat tinggi. Walaupun
dalam kumandang dahsyat dari letusan peluru dan suasana
hiruk pikuk, namun semua orang dapat mendengarnya.
Nyo Kong-lim segera pimpin pengunduran. "Ih-heng,
markas ini sukar dipertahankan. Mari kita berpencar
mencari si Cianbin Long-kun. Kalau sampai tak dapat
meringkusnya, kita tak enak hati terhadap saudara2 Hoa-
san," kata Ceng Bo siangjin kepada si Bongkok, yang
tampak mengiakan. Begitulah dalam, suasana yang kacau
balau itu, keduanya mulai mencari.
Ternyata itu waktu The Go berada didalam ruangan
paseban. Sedianya dia hendak mengumpat disitu sampai
orang2 Hoasan sudah menyingkir semua. Benar dipaseban
itu sudah dimakan api, tapi lebih aman rasanya daripada
kalau diluar dengan resiko dapat dipergoki si Bongkok,
Ceng Bo siangjin atau lain2nya. Siasatnya itu memang
lihay, karena siapakah yang menduga kalau tempat yang
tengah dimakan api itu dijadikan tempat bersembunyi"
Namun dia boleh mengelabuhi semua orang tapi tidak
sibongkok Thay-san-sin-tho Ih Liok. Setelah sekian lama
tak dapat menemukan jejaknya, Ih Liok yakin The Go tentu
bersembunyi didalam paseban. Maka tanpa hiraukan api
yang men-jilat2 dia menobros masuk. Aha......., itulah dia si
Cianbin Long-kun dengan ter-tawa2 telah "bercanda"
dengan letikan api yang menyerang tubuhnya. Oleh karena
letikan api riuh ber-derak2, maka The Go sudah tak
mengetahui kalau si Bongkok berada disitu.
Berhadapan dengan musuh lama, merahlah biji mata si
Bongkok. Pertama kali The Go dapat lolos, si Bongkok
sudah menganggap hal itu sebagai suatu hinaan. Maka kali
ini tak mau dia lepaskan sang burung lagi. Sekali melesat
maju, tangan dan kakinya berbareng menyerang. Tapi
karena mendengar ada samberan angin dari samping, The
Go lekas2 menghindar. Hanya saja paseban itu sudah
banyak dimakan api, jadi tempat yang masih luang, tinggal
tak seberapa banyak. Baru dia loncat dua tindak kesamping,
disitu api sudah mengulurkan lidahnya, hingga terpaksa dia
balik lagi. Kini apa boleh buat, dia undang seluruh
tenaganya untuk menangkis serangan si Bongkok. Masih
untung dia berkepandaian tinggi, jadi meskipun separoh
tubuh menjadi kesemutan karena menerima hantaman si
Bongkok, namun dia masih bisa melejit kesamping orang
dan bahkan memperoleh kesempatan juga untuk menutuk
jalan darah siau-yau-hiat dipinggang lawan.
Si Bongkok hanya tertawa dingin. Begitu tutukan The
Go datang, cepat sekali dia putar tubuhnya hingga ujung
jari sianak muda menutuk tepat pada punuk atau segumpal
daging yang menonjol dipunggungnya itu. Astaga, mengapa
selunak kapas" Saking terperanjat, The Go terus hendak
menarik balik tangannya tapi mana dapat semudah itu!
Dengan ter-kekeh2, Ih Liok berpaling sembari menerkam.
Masih The Go dengan goyangkan pundaknya bisa
menghindar, tapi serangan kedua dari si Bongkok sudah
menyusul tiba. "Celaka," The Go mengeluh. Se-konyong2 "Bumm
.......", peluru tepat jatuh dipaseban itu; Dua buah tiang
besar pada paseban yang sudah tengah dimakan api,
ambruk menjatuhi kepala Ih Liok siapa dengan sebatnya
segera mundur. GAMBAR 43 Dalam keadaan kacau balau, asap tebal dan api men-jilat2
hebat. Ih Liok,si Bongkok dari Thay-san, masih terus mencecar
The Go mati2an.
Kala itu dia tengah "menangkap" jari The Go dengan
tho-kang atau ilmu lwekang punuk. Karena kejadian tadi,
perhatiannya terganggu dan ini dapat digunakan se-
baik2nya oleh The Go untuk menarik keluar jarinya. Dua
buah jari itu menjadi merah bengap, sakitnya bukan
kepalang. Diam2 The Go menyumpahi si Bongkok yang
hendak dibalasnya apa bila kelak dapat kesempatan. Begitu
terlepas, The Go terus hendak lolos dari pintu, tapi mana
pintu itu masih ada"
Berpaling kebelakang The Go dapati wajahnya si
Bongkok itu sudah beringas seperti orang gila. Apa boleh
buat, dia terpaksa menutupi mukanya dengan lengan baju,
lalu menobros, dan berhasil. Tapi begitu berada diluar,
segera kedengaran ada orang memanggilnya: "Engkoh Go!"
Itulah Bek Lian, dia tahu. Tapi karena sampai sekian
lama matanya dihadapkan dengan api besar, jadi sesaat itu
dia silau tak dapat melihat jelas keadaan disekelilingnya.
Tanpa menyahut, dia membabi buta maju kemuka. Tapi
baru melangkah dua tindak, ada sebuah suitan berbunyi.
Ketika diawasinya, Ceng Bo siangjin tampak menghadang
dimuka. Wajah siangjin itu mengunjuk kemurkaan hebat.
Jeri melihat itu, The Go hendak balik saja kebelakang, tapi
baru tubuhnya berputar, disana sudah kedengaran suara
orang ketawa ter-kekeh2 Thay-san sin-tho Ih Liok dengan
baju hangus dimakan api dan biji matanya melotot,
menghampiri datang.
Dalam jepitan kedua tokoh sakti itu, The. Go merasa
harinya sudah dekat. Tapi sebelum mati dia hendak
berpantang ajal dahulu. Tiba2 matanya tertumbuk pada,
tubuh Bek Lian yang menggeletak ditanah dengan diikat.
Hatinya memaki benci, tapi lahirnya mengunjuk tawa
mesra. "Lian-moay, apa kau tak terluka?" tegurnya dengan
tenang. Sudah tentu Bek Lian tak tahu kebatinan orang yang
dikasihinya. "Engkoh Go, aku tak kena apa2," sahutnya
dengan serta merta. Bermula The Go hendak membuka
mulut lagi, tapi lengan kiri-kanannya telah dicekal masing2
oleh Ceng Bo siangjin dan Ih Liok. Karena tahu akan sia2
saja, The Gopun, tak mau meronta. Malah dengan
menyungging senyum dia berkata: "Jiwi locianpwe, cayhe
(aku) tentu tak mungkin lolos, mengapa jiwi gunakan
tenaga kuat2 begini ?"
Mendengar orang, masih bermaksud mengejek, Ih Liok
murka sekali, cuh........, segumpal ludahnya menyemprot
muka The Go, siapa tak dapat menghindar lagi. Sesaat itu
dirasakan mukanya sakit sekali. Memang semburan ludah si
Bangkok itu disertai lwekang, jadi pipi The Go seperti
dihantam palu besi, rasanya. Tapi sebagai Cian-bin Long-
kun atau si Wajah Seribu, benar dalam hati gusar sekali
namun mukanya masih mengunjuk senyum.
"Terima kasih atas pengajaran Iocianpwe ini!" ujarnya,
Mendengar itu, Ceng Bo segera, membentaknya:
"Bangsat, jangan main lidah tajam lagi ! "
Nada suara Ceng Bo sangat berwibawa, hingga tak
berani lagi The Go bercuit. Dengan urat kerbau yang
direndam minyak, kini The Go diikat kencang2 dan
diletakkan didekat Bek Lian. Ceng Bo mencari dua batang
pikulan, lalu bersama Ih Liok segera membawa mereka
pergi. Kala itu boleh dibilang seluruh anak buah sudah
tinggalkan markas itu. Malah dibawah sana ada sebuah
regu pasukan Ceng mulai menyerang naik. Setelab lepaskan
pandangan sebentar pada keadaan markas yang mengharukan itu, Ceng Bo dan si Bongkok segera
tinggalkan tempat itu menuju kebelakang gunung. Tentara
Ceng pun segera membongkar kubu2 untuk lakukan
pengejaran. Adalah pada saat itu, Tio Jiang dan Yan-chiu
berhasil keluar dari sumur kering kemudian menuju
kemarkas situ. Jadi mereka hanya menemui markas No -1
itu sudah menjadi tumpukan puing tak keruan.
Tahu kalau bakal celaka, Bek Lian tak bersedih. Mati
hidup asal berdampingan dengan orang yang dikasihinya,
puaslah ia. Maka selama dalam perjalanan itu, tak
putus2nya ia mengajak The Go bicara. Juga The Go tak
mau unjuk kecemasannya, dia tetap menyahuti dengan
asyik gembiranya. Satu2nya harapan, mudah2an nanti
muncul suatu pertolongan yang tak di-sangka2. Ceng Bo
sudah mengambil keputusan, hendak mencari sebuah
tempat sunyii lalu menghabisi jiwa kedua anak muda itu.
Jadi dia antapkan saja mereka bergurau. Tidak demikian
dengan si Bongkok yang tak putus2nya me-maki2.
GAMBAR 44 Alangkah gusarnya Ceng Bo Siangjin melihat gadisnya rela
menyerahkan diri kepada pemuda penghianat bangsa itu, sekali
angkat tangannya, segera ia hendak gablok batok kepala kedua
muda-mudi itu. Tak lama kemudian, Ceng Bo tiba2 berhenti, katanya
"Ih-heng, aku hendak melakukan sesuatu, harap Ih-heng
menjadi saksi agar kaum persilatan tak mengatakan bahwa
aku seorang ayah yang kurang keras, sehingga anakku
perempuan melakukan perbuatan yang memalukan!"
Ih Liok cukup kenal akan perangai siangjin itu, jadi
hanya mengiakan saja. Tapi tiba2 The Go tertawa
menyindir: "Untuk mengejar nama kosong telah tega
membunuh darah daging sendiri, itu namanya tak kenal
perikemanusiaan tak tahu kebajikan."
Ceng Bo terkesiap. Diam! dia mengakui ucapan itu
memang tepat. Tapi kalau teringat akan perbuatan Bek Lian
dan The Go yang telah menjual bangsanya itu, hatinya
keras lagi, lalu teruskan perjalanannya. Tak antara berapa
lama kemudian, tibalah merelka disebuah puncak karang
dimana dahulu Tio Jiang dan Yan-chiu pernah kesasar
datang disitu. Setelah menurunkan kedua orang yang
dipikulnya, maka dengan menghela napas panjang
bertanyalah Ceng Bo
"Ih-heng, kau atau aku yang turun tangan?"
"Bek-heng, aku ada sedikit omongan, entah kau suka
mendengari tidak ?" sahut Ih Liok. Ceng Bo menyuruhnya
mengatakan. ,Nona Lian masih muda jadi tak tahu akan
persoalan, tak selayaknya dihukum seperti bajingan ini !"
"Hati orang bisa memaafkan, tapi hukum tak boleh
dilanggar!' sahut Ceng Bo setelah merenung sejenak,
kemudian menghela napas lagi.
"Thocu, jangan usil. Aku tetap mau sehidup semati
dengan engkoh Go, apa pedulimu ?" tiba2 Bek Lian berseru,
lalu berpaling kepada The Go: "Engkoh Go, kini kita
berdua sudah diambang pintu kematian, biar kuberitahu
padamu, aku...........aku sudah berbadan dua!"
Girang The Go bukan kepalang. Tapi bukan karena sang
isteri tak resmi itu sudah hamil, melainkan karena
mempunyai jalan untuk lolos. Sebaliknya Ceng Bo makin
meluap kemurkaannya. Dia benci anaknya yang sudah
begitu memalukan itu. Tangan segera diangkat dan .........
"Jangan," tiba2 The Go berteriak "taruh kata kedosaan
Lian-moay itu pantas menerima hukuman mati, orok dalam
kandungannya itu masa juga berdosa! Mengapa kau hendak
lakukan perbuatan yang tak kenal peri-kemanusiaan itu !"
Benar juga Ceng Bo menjadi tertegun dan batal turun
tangan. "Ih thocu, dengarkanlah. Kalau sampai, Ceng Bo
siangjin tak mengampuni pada seorang orok yang tak
berdosa, apa katamu terhadap kaum persilatan ?" seru The
Go. Ceng Bo perdengarkan ketawa dingin. Begitu menjambret tubuh Bek Lian, dia segera membawanya
keatas puncak karang buntu. Setelah memutuskan beberapa
tali pengikat tubuh Bek Lian, dia berkata: "Disini cukup
dengan puhun buah2an yang dapat kau makan sampai 7
atau 8 bulan. Sepuluh bulan kemudian, aku nanti datang
kemari, mencari-mu!" Habis itu, lalu turun! lalu memikul
The Go dibawa pergi.
"Bek-heng, mengapa kau tak selesaikan bangsat ini?"
tanya Ih Liok "Tak nanti dia bisa lari keatas langit. Sepuluh bulan lagi,
sekalian dihukum ber-sama2. Kalau sekarang dibunuh dia
tentu penasaran!" sahut Ceng Bo. Diatas puncak karang
buntung itu, Bek Lian hanya dapat mengawasi kekasihnya
dibawa pergi oleh sang ayah.
Karena hatinya berduka, tadi Bek Lian telah tak dapat
mendengar kata2 ayahnya yang mengatakan kalau The Go
akan dibunuh 10 bulan kernudian. Begitu ayahnya dan si
Bongkok lenyap dari pemandangan, dia makin berduka tak
keruan. Sebentar nekad hendak bunuh diri loncat kebawah,
sebentar merasa kasihan akan orok yang dikandungnya.
Pikirannya yang sudah buta dengan cinta dan gelap dengan
kedukaan tak dapat mernikir mengapa sang ayah begitu
membenci sekali kepada The Go. Yang dirasakan hanya
kedukaan yang kemudian berobah menjadi rasa benci.
Munculnya Tio Jiang dan Yan-chiu disebelah puncak sana,
telah dijadikan tumpuan arus atau bulan2 kesalahan. Baru
setelah kini berjumpa dengan ibunya, ia menjadi longgar
perasaannya. "Ma, berilah pertimbangan!" katanya setelah
menutur, habis semua pengalamannya.
Melihat anak kesayangannya disiksa begitu macam oleh
suaminya yang dalam pandangannya tetap merupakan
seorang pengecut yang sangat dibencinya, maka makin
menjadi2lah kemurkaan Kang Siang Yan. Ia melangkah
maju menghampiri sebuah batu besar dan wut .................
tangannya menempel pada batu itu. Lama kemudian baru
ia tarik kembali tangannya itu. Sewaktu tangannya melekat,
batu itu biasa saja, tak kena apa2. Tapi tangannya ditarik,
maka ber-derai2lah batu itu menggemuruh rontok menjadi


Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

beberapa potongan kecil. Tapi Kang Siang Yan, tak
menganggap hal itu aneh, katanya: "A Lian, mari kita
pergi!" Dengan kata2 itu, ia tampak memimpin tangan Bek
Lian. Sekali mengenjot kaki, Bek Lian rasakan dirinya
terbang diantara deru angin dan tahu2 kakinya menginjak
dipuncak karang sebelah sana. Jadi tadi dia sudah dibawa
terbang melompati jarak pemisah lembah yang lebar itu.
Girang benar hati Bek Lian. Terang kepandaian ibunya itu
diatas ayahnya. Oleh karena takut kalau sampai terlambat
menolong sang kekasih, maka Bek Lian terus ajak ibunya
lekas2 tinggalkan tempat itu.
Kebencian lama masih belum dilampiaskan kini datang
lagi yang baru. Bagi Kang Siang Yan tiada kecintaan suami
isteri lagi dengan Ceng Bo. Tujuan telah tetap, hendak
mencari suami yang dianggap pengecut itu. Maka dengan
gunakan ilmu berlari cepat, kedua ibu, anak itu segera
melesat kemuka dengan pesatnya.
(Oo-dwkz-TAH-oO)
BAGIAN 20 : PEDANG JANTAN DAN
BETINA Kini mari kita ikuti keadaan Tio Jiang, sahabat kita, jujur
tolol itu. Waktu mulut Bek Lian menyangkal pertunangan
itu, Tio Jiang sudah lemah lunglai mendeprok ditanah.
Kemudian setelah mendengar lagi bahwa Bek Lian benar2
sudah menjadi isteri The Go, kepalanya ber-kunang2 seperti
dipalu godam. Tak tahu dia, kemana hendak menyembunyikan mukanya "
Begitu kedua wanita itu sudah jauh, pikirannya baru
mulai terang lagi. Dibayangkannya, apabila kedua ibu anak
itu sampai membikin onar, tentu akan hebat jadinya.
Apakah sang suhu dapat melawan kedua wanita itu, itu soal
kecil. Tapi kalau sampai suhunya terganggu oleh
kedatangan kedua wanita itu, bukankah saudara2 di Hoa-
san itu akan seperti anak ayam kehilangan induknya. Siapa
yang akan memberi pimpinan kepada mereka dalam
menghadapi serangan tentara Ceng itu" Urusan negara
diatas segala urusan peribadi. Sejak kecil selain diberi
pelajaran ilmu silat oleh Ceng Bo siangjin, pun jiwa Tio
Jiang telah disi dengan doktrin (ajaran) patriotisme. Makin
memikirkan hal itu, makin dia menjadi sibuk tak keruan.
Mondar-mandir kesana sini, dia tampak mengasah otak.
Akhirnya dia menemui keputusan. Dia harus mendahului
kedatangan Kang Siang Yan dan Bek Lian untuk memberi
kisikan pada sang suhu agar ber-siap2.
Tio Jiang hanya pikirkan soal cara menolong sang suhu,
tak mau memeriksa dirinya adakah dia dapat melampaui
larinya Kang Siang Yan atau tidak. Dengan pejamkan
mata, dia segera enjot tubuhnya melompat kepuncak sana.
Berhasil tidak melompati jurang pemisah yang lebar itu,
bukan soal. Yang dipikirkannya, dia sudah mendapat
keputusan dan harus dikerjakan lekas2. Syukurlah, karena
sehari semalam dia diwejang oleh Kui-ing-cu tentang
intisari ilmu lwekang, jadi kepandaian dalam ilmu itu kini
bertambah pesat sekali. Maka sekali loncat, dapatlah dia
mencapai karang sana. Mungkin kalau kemaren dibiarkan
melompati jurang yang lebarnya 7 tombak itu, tentu dia
akan gagal. Sewaktu dia mengawasi jurang yang habis
dilompatinya itu, kepalanya berkeringat.
Setelah itu dia terus berlari turun entah kemana asal
sepembawa, kakinya saja. Kira2 sejam kemudian,
kepalanyapun sudah basah mandi keringat, tapi dia tak
kenal jalan. Maka setelah berselang sekian lama barulah dia
dapat berjumpa dengan dua orang pencari kayu. Salah
seorang dari mereka terus saja diterkamnya. "Bung, mana
letaknya markas pusat dari Hoa-san ?" tanyanya.
Melihat kawannya diterkam begitu rupa oleh seorang
pemuda yang kasar, si pencari kayu yang satunya segera
hantamkan pikulannya kearah kaki Tio Jiang. Tio Jiang
menyingkir kesamping, tapi diluar dugaan pencari kayu itu
rnenyapu lagi dengan pikulannya, lalu ditarik clan
dijojohkan, maka buk terjungkallah Tio Jiang kebelakang.
Cepat Tio Jiang bangun, tapi pikulan sipencar kayu itu
kembali menyapu kepinggang. Tio Jiang kesal hatinya Tak
mau dia, diganggu lama2, cepat dia sambut pikulan itu.
Namun sipencari kayu itu gesit sekali. Pikulan diturunkan
kebawah untuk menyodok kaki Tio Jiang, siapa buru2
loncat keatas. Tapi sebagai bayangan, pikulan sipencari
kayu mengejar keatas sambil diputar-putarkan dan lagi2 Tio
Jiang terjengkang ketanah..........
Kejadian itu, sungguh membuat Tio Jiang heran,
sehingga dia ter-longong2 duduk ditanah. Mengawasi
tukang kayu itu, nyata hanya seorang dusun biasa saja.
Aneh, mengapa dia yang mempunyai kepandaian silat,
sekali dua kali dijegal dengan pikulan, bisa jatuh terjungkal"
Ah....., mungkin tadi dia bingung hatinya, maka dengan
penasaran dia terus bangun dan menghantam pencari kayu
tersebut. Orang itu loncat kesamping dan ,Hai........tiba2 dia
bertereak keras, hingga Tio Jiang kesima. Dalam detik2
kekosongan itu, tahu2 kakinya sakit didorong oleh suatu
tenaga dahsyat dan bluk.........untuk yang ketiga kalinya dia
jatuh kebelakang lagi! Malah kali ini, dia harus mendahar
santapan lezat berupa lumpur
GAMBAR 45 Tio Jiang menyangka, orang hanya tukang kayu biasa saja,
siapa duga, sekali orang itu ayun pikulannya, kontan Tio Jiang
kejegal hingga jatuh terjengkang
"Aku tadi kan hanya tanya jalan, mengapa kau 3 kali
bikin aku jatuh," seru Tio Jiang sembari berbangkit.
"Ho...., ho...., ho.....," tertawa sipencari kayu, "kalau tak
diberi hajaran, lain kali kau pasti main melukai orang."
"Maaf, bung, aku tadi kesalahan. Tolong tanya mana
jalanan ke markas besar Hoa-san ?" tanya Tio Jiang dengan
agak tenang. Sipencari kayu satunya yang dicengkeram
pundaknya oleh Tio Jiang masih meng-erang2 kesakitan,
jadi tak mau dia menyahuti pertanyaan orang. "Sudahlah,
kalau kalian tak mau memberitahukan," kata Tio Jiang
sembari hendak ayunkan langkah. Tapi tiba2 sipencari kayu
yang menyerang dengan pikulan tadi, berseru: "Engkoh
kecil, perlu apa kau tanyakan tempat itu ?"
Tio Jiang menjawab hendak mencari suhunya. Sipencari
kayu menanyakan pula siapa nama suhunya itu.
"Siang Ceng he Bo (diatas bening dibawah bergelombang), Ceng Bo siangjin!" sahut Tio Jiang.
"Oh, kiranya orang sendiri," seru sipencari kayu sembari
lemparkan pikulannya ketanah, "engkoh kecil, apakah kau
kenal akan toa-ah-ko dan ji-ah-ko dari Thian Te Hwe"
"Ki dan Kiau kedua susiok itu, mengapa tidak" Lekas
beritahukan dimana markas besar itu, jangan sampai
terlambat!" seru Tio Jiang. Namun orang itu masih ayal2an,
ujarnya: "Ki lotoa dan Kiau loji, sekarang berada
ditempatku! "
"Benar?" teriak Tio Jiang kegirangan sekali. Tapi seruan
itu disela dengan muncul dua orang lelaki dari balik
gunung. Yang berjalan dimuka bertubuh tinggi besar,
adalah Ki Ce-tiong. Sedang dibelakangnya adalah Kiau To.
"Mengapa jiwi susiok berada disini " Apakah sudah
mengetahui kalau Hoa-san diserbu tentara Ceng?" tanya Tio
Jiang sembari menyongsong kedua pernimpin Thian Te Hui
itu. "Ma Cap-jit, mengapa tak kau katakan ?" Ki Ce-tiong
dan Kiau, To serempak bertanya pada sipencari kayu yang
lihay tadi. Tapi orang itu hanya ganda tertawa, sahutnya:
"Tentara Ceng mengepung atau tidak, tiada sangkut paut
denganku. Kalian merawat luka2 kalian kalian, sedang aku
menebang kayuku, persetan dengan tentara Ceng atau
Beng!" Ki Ce-tiong mem-banting2 kaki, serunya: "Ma Cap-jit,
kau bikin kapiran urusan besar!"
Sebalikiya Tio Jiang tak sabaran lagi menunggu
pembicaraan mereka yang tak berguna itu, katanya dengan
gugup: "Jiwi susiok, subo dan Lian suci kini mencari suhu.
Kita harus lekas2 memberitahu, kalau terlambat, nasib Hoa-
san sukar ditolong!"
Saking gugupnya, Tio Jiang tak mengatakan maksud
kepergiannya itu. Pikirnya, apa yang diketahui, orang lain
tentu tahu juga. Dia tak tahu kalau sehabisnya lolos dari
kepungan tentara Ceng, beberapa bulan ini Ki Ce-tiong dan
Kiau To beristirahat dirumah Ma Cap-jit untuk merawat
luka2nya yang parah, Sudah tentu keduanya tak mengerti
apa yang diucapkan Tio Jiang itu. "Engkoh kecil, karena
kesusu kau tadi telah terjatuh 3 kali, tapi rupanya kau perlu
jatuh satu kali lagi ni!" tiba2 Cap-jit berkata.
"Dalam urusan sebesar ini, mengapa hatiku tak resah?"
balas Tio Jiang seraya deliki mata orang she Ma itu. Ma
Cap-jit ayunkan pikulannya hendak menyerang lagi tapi
dicegah oleh Ki Ce-tiong: "Siao-ko (engkoh kecil), dia
adalah seorang persilatan yang mengasingkan diri. Ilmu
pikulannya itu terdiri dari 17 jurus, setiap jurus tentu dapat
membikin terjungkal orang. Banyak orang lihay yang
pernah merasakan pikulan itu, maka kaum persilatan
menjulukinya sebagai Ma Cap-jit atau orang she Ma si 17."
Tio Jiang membahasakan Cap-jit siok pada orang; itu,
lalu meminta agar kedua pemimpin Thian Te Hui itu lekas2
berangkat. Tapi Ki Ce-tiong juga tak kenal dimana letak
markas besar Hoasan itu, maka dia minta agar Ma Capjit
suka mengantarkannya. Tapi Ma Cap-jit menolak, katanya:
"Aku tak pusingi urusan itu, kalian pergi sendiri sajalah.
Dari sini kalian menuju ketimur, setelah melalui dua buah
puncak, tentu akan sampai ditempatnya!"
"Ma Cap-jit, terima kasih dan selamat tinggal!" Ki Ce
tiong dan Kiau To serempak minta diri, tapi orang aneh itu
diam saja. Dia angkat pikulannya yang dimuati dua untai
sayur, lalu ajak kawannya berlalu. Masih terdengar ngiang
nyanyian gunung yang didendangkan dengan bebas
gembira. Selama beristirahat ditempat itu, Ki Ce-tiong
sudah dapat pulih lagi seperti dahulu (pulih kepandaiannya).
Begitulah dengan gunakan ilmu mengentengi tubuh mereka bertiga lalu berangkat.
Benar juga, ketika melewati sebuah puncak, mereka
menampak banyak sekali kubu2 tentara Ceng. Menuruti
adat Kim To, saat itu juga dia hendak mengadakan serbuan,
tapi Tio Jiang mencegah. Dia tetap kuatirkan keselamatannya sang suhu yang hendak didatangi oleh
Kang Siang Yan dan Bek Lian itu. Syukur Kiau To pun
menurut. Begitulah dengan mengambil sebuah jalan kecil,
setelah melewati sebuah puncak lagi, mereka tiba dimarkas
besar Hoa-san. Markas pusat itu terletak di-tengah2 dari ke 72 markas,
keadaannya strategis sekali, merupakan jantung gerakan
dari ke 72 markas itu. Nampak dalam markas itu para anak
buahnya teratur rapi, ketiga orang itu segera percepat
langkahnya. Setengah jam kemudian, sampai mereka
dipintu markas. Demi mengetahui kedatangan kedua
pemimpin Thian Te Hui itu, Ceng Bo Siangjin ter-sipu2
menyambut dengan girang. Mereka diperkenalkan kepada
sekalian orang gagah lainnya.
"Bagus, Hoa-san hendak menyerahkan tampuk pimpinan pada jiwi," seru sikasar Nyo Kong-lim dengan
gembira. Malah seketika, itu juga dia serahkan lengpay
(tanda tampuk pimpinan) pada mereka berdua.
"Nyo-heng, setiap orang baru tentu kau serahi pimpinan,
nah habis berapa banyak Toacecu nanti ?" seru si Bongkok
tertawa. Nyo Kong-lim merah mukanya, sahutnya dengan
tertawa lebar: "Memang begitulah watakku, karena
kuanggap kepandaianku, ini masih rendah!"
Melihat sifat ketua Hoa-san yang blak2an itu, Ki Ce-
tiong dan Kiau To segera menjabat tangannya dengan
mesra, katanya: "Nyo-heng, kita bersatu melawan penjajah,
jangan banyak sungkan! "
Kedatangan kedua pemimpin Thian Te Hui telah
disambut hangat oleh seluruh anak buah markas. Semangat
perjoangan mereka makin ber-nyala2. Juga Ceng Bo merasa
terhibur, tapi demi dilihatnya wajah Tio Jiang agak gugup
seperti hendak mengatakan sesuatu, dia segera menegurnya
: "Jiang-ji, mana Siao Chiu" Seharusnya setelah kamu dapat
menyelidiki tempat meriam, terus kembali kemarkas !"
"Meriam2 mereka telah kuhancurkan, tapi mengapa


Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

masih dapat memuntahkan peluru?" jawab Tio Jiang lalu
menuturkan semua kejadian yang dialaminya.
"Ho, siaoko, kau telah tertipu! Tentu The Go sibangsat
itu yang merencanakan, syukur dia sudah ketangkap disini,
biar nanti kusiksanya supaya mengaku!" kata si Bangkok.
"Suhu, apakah subo belum datang kemari?" tanya Tio
Jiang dengan gugup.
"Apa?" Ceng Bo balas bertanya dengan kaget. Tio Jiang
ceritakan duduknya perkara. Ceng Bo tahu kalau muridnya
itu tentu tak bohong, maka diapun agak gugup. Tapi pada
saat itu si Bongkok sudah membawa The Go keluar.
Dihadapan sekian banyak orang yang sangat membencinya
itu, The Go masih coba berlaku tenang.
"Penghianat busuk! Bukankah ke 10 meriam yang berada
dalam kubu2 tentara Ceng itu palsu?" bentak si Bongkok
seraya memaki. Namun tertawalah The Go, sahutnya:
"Ilmu perang adalah suatu seni yang penuh tipu muslihat.
Kalau ada meriam sesungguhnya, masakan diluar kubu
dibiarkan ada bekas roda keretanya?"
Meskipun orang2 sama membencinya, namun mereka
mengakui kebenaran ucapan, itu. Ceng Bo siangjinpun
menghela napas, menyayangkan anak muda yang cerdik
tapi sesat jalan itu. Habis itu, dia suruh orang membawa
The Go masuk lagi. Tapi baru ada dua orang liaulo hendak
mengangkatnya tiba2 diluar terdengar ribut2, menyusul ada
serangkum angin keras meniup kedalam ruangan itu. Bagi
yang ilmu silatnya masih cetek, tubuhnya tentu sudah
menggigil. Anehnya begitu angin reda, entah bagaimana
tadi tahu2 diruangan situ ketambahan dengan dua orang
wanita. Yang satu rambutnya terurai, yakni Kang Siang
Yan, sedang satunya lagi matanya bengap, yaitu Bek Lian.
Begitu tampak The Go menggeletak ditanah Bek Lian terus
memburunya dan menjerit: "Engkoh Go, apa kau tak kena
apa2?" Melihat bintang penolongnya tiba, semangat The Go
tergugah lagi. "Lian-moay aku tak kena apa2," sahutnya
tersipu2. Kang Siang Yan sapukan matanya kearah sekalian
orang. Dengan mata ber-sinar2 dia menatap tajam2 Ceng
Bo sejenak, lalu perdengarkan suara ketawa dingin sehingga
membikin orang2 merinding. Pelahan-lahan dia menghampiri, The Go, dengan ujung kaki ia songkel tubuh
anak muda itu keatass untuk disanggapi, lalu memijat tali
pengikat tubuh The Go. Tali Yang terbuat dari urat kerbau
itu putus seketika. Kesemuanya itu hanya dilakukan oleh
dua buah jari saja. Begitu dapat bebas, The Go ter-tawa2
girangnya bukan kepalang.
GAMBAR 46 Betapa cemas dan gusar Ceng Bo Siangjin ketika2 tiba2
melihat kedatangan isteri yang sangat dicintainya itu hingga The
Go terhindar dari kematian. Dasar "jejaka muka seribu", segera
The Go ganti haluan, dengan hormatnya ia, memberi hormat dan
memanggil ibu mertua kepada Kang Siang Yan.
Waktu melihat kedatangan sang isteri-dengan puterinya,
hati Ceng Bo berdebar keras. Hendak dijelaskan salah
faham dari 10 tahun yang lalu itu, tapi, demi dilihatnya
Kang Siang Yan melepaskan The Go, wajahnya berobah
keras lagi dan batal bicara. Oleh karena dia diam saja,
semua orangpun tak berani berbuat apa2. Maka ruangan itu
se-olah2 menjadi dunianya di The Go dan Kang Siang Yan.
"Gakbo tayjin (mertua perempuan yang terhormat),
menantu memberi hormat!" Cian-bin Long-kun, si aktor
yang lihay, mainkan peranannya sembari melirik kearah
Bek Lian. Bek Lian-tersenyum puas. Juga Kang Siang Yan kena
terpikat oleh tingkah The Go yang menjurah dengan
hormat dihadapannya itu.
"Bangunlah, menantuku!" seru Kiang Sang Yan sembari
kebutkan lengan baju. Sesaat itu The Go rasakan angin
keras menyampok, hingga, buru2 dia berdiri. Diam2 dia
sangat, kagumi lwekang mertuanya itu, Bek Lianpun segera
menghampiri kedekat The Go.
Bek Lian seperti orang yang hidup kembali. Entah
bagaimana ia hendak curahkan isi kalbunya pada sang
kekasih itu. Sementara itu Kang Siang Yan tampak mondar-
mandir didalam ruangan situ, se-olah2 hendak menantikan
siapa yang berani mengganggu kepada puteri dan
menantunya itu. Ceng Bo menarik kesimpulan bahwa sebab
musabab dari keadaan hari itu adalah terletak pada
kesalahan faham 10 tahun yang lalu itu. Maka meskipun
melihat tingkah laku Bek Lian dan The Go yang
menganggap sepi sekalian orang itu, dia tak marah.
"Hong-moay, apakah kau tak kurang suatu apa?"
tegurnya pada sang isteri. Nama aseli dari Kang Siang Yan
adalah In Hong, dan biasanya Ceng Bo memanggilnya
Hongmoay (adik Hong).
Bermula Kang Siang Yan duga suaminya itu tentu
bersikap keras, maka atas salam tegur yang mesra itu, ia
kesima juga. "Ah, dia memang pengecut takut sama yang
kuat, maka dia pura2 berlaku manis begitu," demikian Kang
Siang Yan menarik kesimpulan. Maka dengan ketawa sinis
dia menyahut: "Bek Ing, kau masih tetap seperti 10 tahun
yang lalu: "takut mati karena temahai hidup! Dengan orang
macam kau, akupun tak sudi mengotorkan tangan! Lian-ji,
hayo kita pergil"
Ketika hendak berlalu lebih dahulu Kang Siang Yan
menatap Ceng Bo lagi dengan pandangan mata yang
menghina, namun siangjin itu hanya menghela napas, saja
tak dapat berkata apa2. Adalah Thaysan sin-tho Ih Liok
yang cepat berseru: "Kang Siang Yan, tahan dulu!"
"jadi kaulah yang tidak terima ?" hardik Kang Siang Yan
seraya berhenti.
"Kau katakan kalau pada 10 tahun yang lalu Bek-heng
berlaku pengecut takut mati, apakah kau ketahui kalau
disitu terselip suatu kesalahan faham ?" tanya si Bongkok Ih
Liok, lalu dengan nyaring tuturkan duduknya perkara yaitu
karena ada orang berniat hendak memiliki sepasang pedang
dari suami isteri itu, maka dia telah menyewa Yau-sin-ban-
pian Tan It-ho untuk menyaru jadi Ceng Bo. Oleh karena
semua orang telah menyaksikan sendiri roman muka Tan
It-ho yang dapat menyaru seperti pinang dibelah dua
sebagai Ceng Bo ketika dipulau Ban-san-to tempo hari,
Dendam Iblis Seribu Wajah 12 Balada Pendekar Kelana Karya Tabib Gila Misteri Bayangan Setan 12
^