Pencarian

Nona Berbunga Hijau 2

Nona Berbunga Hijau ( Kun Lun Hiap Kek ) Karya Kho Ping Hoo Bagian 2


terguling. "Siancai .... siancai .... setelah pinto menyaksikan ini, bagaimana pinto bisa berpeluk tangan saja?" terdengar suara halus dan ringan seperti kabut, sesosok bayangan seorang kakek berjenggot panjang melayang ke tengah sungai, hinggap di atas perahu yang sudah terbalik.
Tangan kirinya bergerak dan di lain saat ia telah menyambar tubuh bayi yang hampir tenggelam.
Di saat itu juga, seekor ikan yang besar melebihi orang dewasa menyambar domba betina dan sekali caplok domba itu lenyap dari permukaan air.
36 Sambil mendukung bayi itu, kakek ini melompat kembali ke darat. Ia pegang kedua kaki bayi itu sehingga kepala anak itu tergantung ke bawah dan air itu tumpah keluar dari mulutnya. Setelah menggerak-gerakkan beberapa kali dan menepuk sana-sini, bayi itu baru bisa menangis lagi.
"Kasihan, anak siapakah ini?" Kakek itu celingukan memandang ke kanan kiri, akan tetapi sekitar tempat itu sunyi saja. Perahu yang tadi dibikin terbalik oleh ikan besar, terus hanyut bersama sisa-sisa daging domba yang kini dijadikan rebutan oleh ikan-ikan kecil.
Kakek itu menarik napas dan mendukung bayi di dalam bajunya supaya hangat. Ia adalah seorang yang sudah sangat tua, sedikitnya enam puluh tahun usianya, tubuhnya jangkung kurus dengan rambut dan jenggot panjang sudah putih semua. Pakaiannya berwarna kuning sederhana potongannya, kuku tangannya panjang terawat bersih. Di punggungnya tergantung sebatang pedang.
Kakek ini adalah seorang tokoh besar di Kun-lun-san, seorang kakek pertapa yang tidak tentu tempat tinggalnya. Ia jarang dikenal orang, malah orang-orang kang-ouw jarang ada yang mengenalnya kecuali para tokoh dan ketua partai persilatan yang besar. Namun, nama
julukannya, yaitu Pek-kong Kiam-sian (Dewa Pedang Sinar Putih) selalu menjadi buah bibir para ahli silat biarpun mereka belum pernah melihat orangnya. Nama aselinya adalah To Tek Cinjin dan dia seorang pertapa yang condong kepada agama To sungguhpun ia bukan seorang tosu (pendeta To).
"Anak baik, tidak kusangka setua aku ini masih menerima tugas yang berat. Kau tercipta di tengah sungai Yalu-cangpo, biarlah kuberi nama Yalu Sun (cucu sungai Yalu). Ha-ha-ha!"
Kemudian ia lalu membawa pergi anak itu dengan berlari cepat sekali, mencari pedusunan di mana ia dapat mencarikan air susu untuk bayi itu.
****** Tanpa memperdulikan letih dan lapar, Wang Sin memacu kudanya, terus ke timur mengikuti
aliran sungai Yalu-cangpo. Kadang-kadang ia meninggalkan kudanya dan dengan hati-hati ia menuju ke pinggir sungai sambil sembunyi-sembunyi, takut kalau-kalau terlihat oleh kaki tangan tuan tanah, untuk melihat apakah sungai itu masih belum berkelok.
Setelah melakukan perjalanan dengan cepat selama beberapa hari, akhirnya ia tiba di bagian sungai yang berbelok ke selatan. Akan tetapi alangkah kecewa dan gelisah hatinya ketika ia tidak melihat Ci Ying di tempat itu. Ia turun dari kuda, menambatkan kendali kudanya pada pohon dan berjalan menyusuri pantai sungai, mencari-cari.
Bukan main kagetnya ketika akhirnya ia melihat sebuah perahu kecil terbalik, berhenti di pinggir tertahan batu karang. Tak salah lagi, itulah perahu yang dipergunakan Ci Ying ketika melarikan diri. Hatinya berdebar-debar penuh kekhawatiran. Terbalikkah perahu gadis itu" Celaka, apa jadinya dengan Ci Ying dan bayi yang dibawanya" Setelah mencari-cari tanda tanpa menemukan sesuatu.
Wang Sin mencari-cari di dalam hutan dekat pantai itu, mengharapkan kalau-kalau Ci Ying dapat berenang ke pinggir dan bersembunyi di dalam hutan. Akan tetapi kegelisahannya memuncak ketika ia menemukan sebuah sepatu butut. Itulah sepatu Ci Ying.
37 Wang Sin menjadi girang sekali. Ditemukannya sepatu ini di dalam hutan menjadi tanda bahwa gadis ini tidak mati tenggelam dan sudah bisa mendarat. Akan tetapi mengapa sepatunya tertinggal di situ" Biarpun butut, sepatu ini masih dapat melindungi kaki dari tajamnya batu-batu karang. Ia memasukkan sepatu butut itu di kantong bajunya, lalu menunggangi kudanya
memasuki hutan, terus mencari sambil memanggil-manggil, "Ci Ying ...... Ci Ying .....!"
Sehari semalam ia menjelajahi hutan itu sambil memanggil-manggil, lupa akan lapar di perutnya, lupa bahwa kudanya sudah terlampau lama ia pacu sampai akhirnya kuda itu terguling roboh kelelahan. Namun Wang Sin tidak memperdulikannya, malah meninggalkan kuda itu dan
melanjutkan usahanya mencari Ci Ying dengan jalan kaki. Akhirnya iapun terpaksa menghentikan usahanya ini ketika pada keesokkan harinya ia sendiri terguling roboh pingsan di bawah pohon saking lelah, lapar dan gelisah.
Matahari telah naik tinggi ketika Wang Sin siuman dari pingsannya. Ia merasa sekuruh tubuhnya lemas, akan tetapi tidak selemas semangatnya yang penuh diliputi kekhawatiran. Di mana adanya Ci Ying" Apakah, setelah bersusah payah melarikan diri, akhirnya gadis itu terjatuh juga ke dalam tangan tuan tanah, atau ke dalam tangan orang lain yang jahat"
"Ci Ying......." keluhnya dan ia segera bangkit kembali dan berjalan terhuyung-huyung melanjutkan perjalanannya mencari gadis yang dicintainya itu.
Lewat tengah hari ia tiba di sebuah padang rumput yang luas. Tiba-tiba ia kucek-kucek matanya ketika melihat seorang gadis duduk membelakanginya. Gadis ini pakaiannya sudah tambaltambalan di sana sini, duduk seorang diri di atas sebuah batu besar, melamun dan agaknya
menikmati tiupan angin yang memberisik.
"Ci Ying...!" seru Wang Sin lemah sambil berjalan terhuyung menghampiri gadis itu dari belakang. Mungkin karena berisiknya suara rumput saling bergesek, gadis itu tidak mendengar ada orang mendekatinya.
"Ci Ying.......!" Wang Sin menjadi gembira sekali sampai ia lupa diri dan menubruk gadis itu, merangkulnya dari belakang saking girangnya.
Gadis itu terkejut, tangannya bergerak dan "Plaakk!" kepala Wang Sin sudah ditamparnya, tamparan ini keras sekali, membuat tubuh pemuda itu terpelanting dan jatuh telentang di antara rumput-rumput tebal. Gadis itu berdiri membelalakkan matanya sambil memaki.
"Keparat, berani kau kurang ajar kepadaku"!!"
Kagetnya Wang Sin bukan kepalang ketika kini ia melihat dengan jelas bahwa yang dipeluknya itu bukanlah Ci Ying melainkan seorang gadis cantik, seorang gadis bangsa Han yang memakimaki kepadanya tanpa ia ketahui apa yang dimakinya karena ia tidak mengerti sepatapun katakata Han. Akan tetapi ia dapat mengerti bahwa gadis itu marah sekali malah kini gadis itu mencabut pedangnya dan menghampirinya dengan mata mengancam.
Wang Sin sudah tidak berdaya lagi. Tubuhnya memang sudah lemah dan tidak bertenaga saking lelah dan lapar, ditambah lagi oleh tamparan yang keras lagi membuat pandang matanya berkunang dan kepalanya pening. Ia hanya bisa meramkan mata ketika gadis itu menodongkan ujung pedang yang runcing itu di hulu hatinya. Juga tidak mengerti ketika gadis itu
membentaknya. 38 "Keparat, siapa kau dan apa maksudmu berlaku begitu kurang ajar?"
Karena Wang Sin hanya rebah telentang tak bergerak sambil meramkan mata, gadis itu makin marah. "Bangsat, apa kau sudah bosan hidup?" Ia angkat pedangnya hendak membacok.
"Hui-ji (anak Hui)....... jangan bunuh orang!" tiba-tiba terdengar teriakan nyaring dan muncul ah seorang laki-laki gagah perkasa, berusia kurang lebih empat puluh tahun bertubuh tegap dan di pinggangnya tergantung pedang. Dengan lompatan yang cekatan laki-laki ini sudah berada di samping anak gadisnya dan mencekal pergelangan tangan gadis itu yang sudah siap membacok leher Wang Sin. "Ada apakah" Siapa dia ini dan kenapa kau hendak membunuhnya?"
"Dia kurang ajar, ayah. datang-datang ia...... ia menubruk dan memelukku. Biar kubunuh anjing gila ini!!"
"Ssttt, jangan. Kulihat dia seperti orang sakit," kata ayahnya sambil memandang kepada Wang Sin yang kini sudah membuka matanya dan bangun duduk dengan kepala masih puyeng.
"Orang muda, kau siapakah?" tanya ayah gadis itu. Akan tetapi Wang Sin sama sekali tidak menjawab karena tidak mengerti apa yang ditanyakan.
Orang tua itu memandang dengan tajam dan kini terlihatlah olehnya raut wajah Wang Sin raut wajah seorang Tibet. Ia lalu mengulangi pertanyaannya dalam bahasa Tibet yang cukup lancar dan jelas.
"Agaknya kau orang pedalaman. Siapa kau dan mengapa kau bersikap kurang ajar?"
Wang Sin menjadi lega hatinya. Setidaknya orang Han ini bisa bicara dalam bahasanya. Ia lalu merayap bangun dan memberi hormat. "Harap tuan besar sudi memaafkan hamba tadi, hamba tidak mengenal nona ini, hamba kira dia...."
Kakek itu mengangguk. "Kau tentu seorang budak, bukan" Mencuri dan melarikan diri, ya?"
Wang Sin kaget sekali dan seketika semangatnya bangkit untuk melakukan perlawanan. Tak mungkin orang akan dapat menangkapnya begitu saja, tekadnya.
"Tidak...., tidak....! Jangan harap kau akan dapat menangkap aku kembali!" serunya dan tiba-tiba ia melakukan serangan memukul dengan tangan kanannya ke arah dada kakek itu dengan
sepenuh tenaga. Biarpun tidak sangat sempurna Wang Sin pernah mempelajari ilmu pukulan dari ayahnya dan pukulannya selain cepat, juga mantap sekali.
Kakek itu mengeluarkan seruan heran sambil mengelak dari pukulan itu. Bukankah itu gerakan Pek-wan-hian-ko (Lutung putih berikan buah), sebuah jurus dari ilmu silat Kun-lun-ciang-hoat"
Melihat pukulannya mengenai angin kosong, Wang Sin menyusul dengan pukulan kedua, lebih hebat dari yang pertama.
Sekali lagi kakek itu terkejut. Inilah gerak tipu Thi-gu-keng-te (Kerbau Besi Meluku Sawah) tidak bisa keliru lagi, biarpun gerakannya kaku namun kedudukan kaki dan tangan adalah seratus prosen ilmu silat Kun-lun-pai. Ia sengaja menyambut pukulan itu dengan tangkisan lengannya dan ia merasa betapa tenaga pemuda ini besar sekali, tenaga luar yang mengagumkan.
39 Namun ia belum mau merobohkan Wang Sin, memberi kesempatan kepada pemuda itu untuk
menyerang terus karena ia ingin melihat gerakan-gerakan pemuda yang bisa mainkan Kun-lunciang-hoat ini. Dan makin lama kakek itu makin heran.
Wang Sin benar-benar telah mengeluarkan banyak jurus Kun-lun-ciang-hoat yang kesemuanya kaku gerakannya, akan tetapi adalah ilmu silat aseli dari Kun-lun-pai, belum bercampur ilmu pukulan lain cabang. Aneh, bagaimana seorang pemuda Tibet bisa mainkan ilmu silat ini"
"Tahan dulu, orang muda. Aku mau bicara!" kata kakek itu sambil menangkis sebuah pukulan.
Namun Wang Sin yang sudah ketakutan kalau-kalau ia akan ditangkap oleh orang ini dan dibawa kembali kepada tuan tanah, tidak perduli dan terus menyerang seperti kerbau gila. Karena terlalu bernafsu melihat pukulannya selalu tidak mengenai lawan, ia menjadi ngawur dan kini bergerak asal memukul saja. Juga tubuhnya mulai menjadi lemas sekali.
Melihat kenekatan pemuda itu, kakek tadi lalu menggunakan jari tangannya menotok dan robohlah Wang Sin tidak mampu bergerak lagi. Akan tetapi ia masih memandang kakek itu dengan sepasang mata melotot, sedikitpun tidak memperlihatkan rasa takut atau menyerah.
"Jangan nekat menyerang terus, orang muda, mari kita bicara baik-baik," kata kakek itu sambil membebaskan totokannya tadi.
Begitu terbebas dari totokan, Wang Sin berkata, "Aku tidak sudi kembali, lebih baik kau bunuh aku sekarang juga!"
Gadis yang sama sekali tidak mengerti percakapan antara ayahnya dan pemuda itu, melihat sikap Wang Sin terus melawan dan melotot-lotot, menjadi gemas. "Ayah, mampuskan saja orang kurang ajar ini, habis perkara!"
Ayahnya memberi tanda dengan tangan supaya gadisnya bersabar. Lalu ia berkata kepada Wang Sin, "Orang muda kau salah duga. Aku sama sekali tidak akan membawamu kembali, hanya ingin bertanya. Kau siapa dan kenapa tadi kau bersikap kurang ajar" Pula, kau mempelajari ilmu silat dari siapakah?"
Wang Sin masih menaruh curiga maka ia segan untuk menceritakan keadaannya, akan tetapi ia menjawab juga, "Aku belajar dari ayahku sendiri."
"Siapa nama ayahmu?"
"Ayah bernama Wang Tun......"
Kakek itu nampak tercengang. "Apa" Ayahmu bernama Wang Tun" Ah, dia murid suheng Cin Kek Tosu. Orang muda kita adalah orang-orang sendiri. Di mana ayahmu" Mengapa kau sampai di sini?" Dia memegang pundak Wang Sin dengan girang.
Wang Sin juga terkejut. Ayahnya telah berpesan supaya ia mencari guru ayahnya yang bernama Cin Kek Tosu di Kun-lun-san dan kalau kakek ini masih adik seperguruan Cin Kek Tosu, berarti kakek ini adalah paman guru ayahnya. Pantas demikian lihai.
"Ayah...... ayah telah dibunuh oleh tuan tanah....."
40 Kakek itu menarik napas panjang. "Hemmm, lagu lama terulang kembali. Tuan tanah-tuan tanah di Tibet mulai mengganas, memperlakukan hamba-hambanya seperti hewan. Anak, ceritakanlah dengan sejujurnya apa yang telah terjadi. Jangan ragu-ragu, ketahuilah bahwa aku adalah Ong Bu Khai, terhitung paman guru dari ayahmu sendiri dan ini adalah puteriku, Ong Hui. Di antara orang sendiri kau tidak perlu menyembunyikan sesuatu, barangkali kami akan dapat
menolongmu."
Kemudian ia berkata kepada gadis itu. "Hui-ji bocah ini bukan orang lain. Dia adalah putera dari Wang Tun si pandai besi, murid dari supekmu Cin Kek Tosu."
"Kenapa dia kurang ajar?"
"Hushh, dengarkan dulu riwayatnya, tentu ada sebab-sebabnya."
Wang Sin mulai percaya dan berceritalah dia tentang semua penderitaannya. Tentang para budak yang dijadikan "ternak berbicara" oleh tuan tanah Yang Can, tentang semua penindasan dan akhirnya tentang Ci Ying yang melarikan diri karena hendak dipaksa menjadi selir tuan muda, tentang ayahnya yang terbunuh dan dia sendiri yang melarikan diri sampai ke tempat itu.
"Aku tidak dapat menemukan Ci Ying, hanya sepatunya...... dan anak bayi itu..... ah, apa yang terjadi dengan mereka?" Wang Sin mengakhiri penuturannya yang disalin dalam bahasa Han oleh Ong Bu Khai kepada puterinya.
Ayah dan anak itu terharu sekali mendengar penuturan Wang Sin.
"Ayah, dia memang patut dikasihani. Akan tetapi dia belum menceritakan tentang sikapnya yang kurang patut kepadaku tadi," kata Ong Hui kepada ayahnya setelah ia mendengarkan pula penuturan itu melalui terjemahan ayahnya.
"Wang Sin, penuturanmu mengharukan kami, biarpun aku tidak heran lagi mendengar akan kekejaman para tuan tanah. Akan tetapi, kenapa kau tadi bersikap tidak patut kepada anakku?"
Wajah Wang Sin menjadi merah dan ia melirik kepada Ong Hui, kelihatan jengah sekali. "Loenghiong, aku.... aku tadi mengira bahwa puterimu adalah Ci Ying. Dari belakang ia seperti Ci
Ying, yaitu.... bentuk tubuhnya dan...... dan pakaiannya yang tambal-tambalan ....."
"Apanya sih Ci Ying itu?" tanya Ong Hui setelah mendengar jawaban ini, merasa lega bahwa pemuda itu tadi memeluknya bukan karena kurang ajar, melainkan karena salah lihat.
Pertanyaan ini diulang oleh Ong Bu Khai dalam bahasa Tibet.
Mendengar pertanyaan ini, Wang Sin menjadi bingung dan ragu-ragu. "Dia.... dia itu..... adalah adik misanku .... puteri tunggal paman Ci Leng yang pandai membaca dan menulis dan juga berani berkorban menolong bayi cucu nenek lumpuh," kata Wang Sin dengan suara bangga.
Mendengar jawaban ini, Ong Hui mengangkat dadanya.
"Akupun pandai membaca dan menulis kiranya tidak kalah oleh gadis bernama Ci Ying itu.
Akupun berani membela orang, kalau tuan tanah jahat itu berada di sini, akan kupatahkan lehernya."
41 Ayahnya tersenyum dan kata-kata ini tidak ia terjemahkan kepada Wang Sin yang memandang kepada gadis itu dengan kagum. Ia tadi sudah merasai tamparan gadis ini dan tahulah ia bahwa gadis ini tentulah pandai silat. Teringatlah ia akan pesan mendiang ayahnya dan tiba-tiba ia menjatuhkan diri berlutut di depan Ong Bu Khai.
"Lo-enghiong, setelah mendengar riwayat teecu, harap lo-enghiong sudi memberi pelajaran silat kepada teecu, agar kelak teecu dapat membalaskan kematian ayah, dapat membebaskan kawankawan budak dari cengkeraman tuan tanah jahat dan antek-anteknya.
Ong Bu Khai menarik napas panjang, teringat akan keadaan di tanah airnya sendiri, di pedalaman Tiongkok. "Dunia ini di mana sama saja," katanya mengeluh, "Si kaya memeras si miskin, si kuat menindas si lemah. Nafsu jahat menguasai manusia, hukum negara di njak-injak, yang berwajib silau oleh harta dunia melupakan tugas, pembesar-pembesar tidak merupakan pimpinan bijaksana hanya berusaha mati-matian membesarkan kesenangan pribadi melupakan rakyat. Di Tiongkok, di Tibet dan di mana-mana rakyat kecil menderita....."
Diam-diam Wang Sin merasa heran mendengar ini. Apakah di lain tempat juga terjadi
penindasan seperti di Tibet"
"Lo-enghiong, apakah di negerimu juga terdapat budak-budak yang hidupnya lebih sengsara daripada kuda atau kerbau?" ia memberanikan hatinya bertanya.
Kembali orang gagah itu menarik napas panjang. "Perbudakkan sudah hapus, tidak ada lagi budak-budak yang dapat diperjual belikan. Akan tetapi apa bedanya" Yang bekerja paling berat mendapatkan hasil paling sedikit. Para petani yang menggarap sawah, dari meluku tanah sampai menanam dan menuai padi, mereka yang menghasilkan bahan makan dengan pupuk peluh dan darah, malah kadang-kadang tidak dapat makan dan mati kelaparan. Memang aneh, tidak sesuai dengan hukum alam, akan tetapi nyata. Yang membuat tidak memakai, yang menanam tidak memakan hasilnya. Celaka...... celaka......"
Wang Sin menjadi makin penasaran. "Kalau begitu, lo-enghiong, para dewa tidak adil! Siapa menjadi penegak hukum yang adil kalau para pembesar sendiri tidak melakukan kewajibannya dan silau oleh harta dunia?"
"Kita yang harus bertindak, kita yang harus turun tangan membela keadilan. Biarpun tenaga kita terbatas, biarpun tindakan kita hanya merupakan setetes air dalam samudera, setidaknya kita bisa menghukum orang-orang jahat dan membela yang lemah tertindas. Itulah tugas pendekarpendekar
yang mempelajari ilmu semenjak kecil dengan susah payah. Untuk membela keadilan,
aku dan anakku ini tidak segan-segan mempertaruhkan nyawa."
Wang Sin kagum bukan main dan kini ia memandang kepada gadis itu dengan hormat. Ia lalu berlutut kembali. "Lo-enghiong kalau begitu mohon kau sudi menerimaku sebagai murid agar akupun dapat ikut-ikut membela kebenaran membasmi yang jahat."
Ong Bu Khai mengangguk-angguk, lalu berkata, "Wang Sin, oleh mendiang ayahmu kau disuruh menemui suhengku Cin Kek Tosu di Kun-lun-san. Oleh karena itu marilah kau ikut dengan kami ke Kun-lun-san dan sesampainya di sana terserah keputusan suheng. Kalau suheng suka
menerimamu sebagai murid, itu baik sekali. Kalau seandainya suheng yang sudah tua itu sekarang malas mengajar, barulah kau boleh belajar sedikit ilmu yang kumiliki."
Bukan main girangnya hati Wang Sin. Sambil berlutut ia menghaturkan terima kasihnya
berulang-ulang. Dan beberapa hari kemudian ia telah kelihatan berjalan di samping ayah dan 42
anak itu, dengan rukun ia berjalan di sebelah Ong Hui sambil mempelajari bahasa Han sedikit demi sedikit.
****** Cin Kek Tosu, seorang tokoh Kun-lun-pai yang terkenal, sudah terlalu tua untuk menerima murid baru. Akan tetapi mendengar bahwa Wang Tun dianiaya sampai tewas oleh tuan tanah, dan mendengar pula penuturan tentang riwayat Wang Sin, kakek ini menjadi marah dan minta kepada sutenya, Ong Bu Khai untuk mendidik pemuda Tibet itu di bawah pengawasannya
sendiri. Kesempatan baik ini dipergunakan pula oleh Ong Hui untuk memperdalam ilmu silatnya dibawah petunjuk supeknya yang memang memiliki tingkat lebih tinggi daripada ayahnya.
Sebetulnya, biarpun Wang Tun mengaku sebagai murid Cin Kek Tosu, akan tetapi pandai besi Tibet ini sebetulnya hanya belajar selama setengah tahun saja kepada tosu Kun-lun itu. Terjadi dua puluh tahun lebih yang lalu, ketika rombongan besar yang mengantar Puteri Wen Ceng datang di Tibet. Karena peristiwa ini juga merupakan hal yang menarik, baiklah kita mundur dua puluh empat tahun yang lalu dan mengikuti jalannya peristiwa pernikahan antara seorang raja Tibet dengan seorang Puteri dari Tiongkok, yaitu Puteri Wen Ceng puteri dari maharaja Tai Cung dari dinasti Tang.
Pada masa itu, raja di Tibet yang bernama Turfan atau Sron Can Gampo yang baru berusia enam belas tahun, mendengar berita dari orang-orang yang datang dari timur bahwa puteri maharaja yang cantik jelita dan terkenal cerdas dan pandai dalam hal bermacam-macam pekerjaan tangan, juga pengetahuannya tentang ilmu luas sekali. Gandrunglah raja yang masih muda ini dan ia segera mengutus seorang menterinya yang terkenal cerdik dan gagah perkasa bernama Gar untuk pergi ke Tiang-an dan meminang puteri itu.
Berangkatlah menteri ini dengan membawa berpeti-peti barang berharga, pusaka-pusaka terbuat daripada emas dan perak, dihias ratna mutu manikam yang tidak ternilai harganya. Benda-benda ini dibawa untuk dihaturkan kepada maharaja Tang sebagai mahar atau boleh juga disebut sebagai mas kawin.
Ketika menteri Gar tiba di Tiang-an, ternyata bahwa selain dia, banyak juga utusan-utusan dari negara lain yang berdatangan di ibukota kerajaan Tang untuk meminang Puteri Wen Ceng.
Maharaja Tai Cung yang tidak ingin membeda-bedakan dan menyinggung perasaan negara lain, lalu mengadakan sayembara, yaitu ia menguji kecerdikan para utusan itu.
Akhirnya, berkat kecerdikan Menteri Gar, ia menang dan pinangan rajanya diterima. Dengan diantar rombongan-rombongan ahli kerajinan tangan, ahli pertanian, ahli musik dan lain-lain, Puteri Wen Ceng diboyong ke Tibet. Dalam rombongan inilah Cin Kek Tosu ikut, yaitu
diperintahkan oleh pembesar yang bertugas mengumpulkan orang-orang gagah untuk mengawal perjalanan Puteri Wen Ceng ke barat.
Setelah puteri itu tiba dengan selamat di Lasha ibu kota Tibet, Cin Kek Tosu lalu menjelajah daerah Tibet. Ia tertarik oleh keadaan penduduknya yang masih amat sederhana hidupnya, dan terutama ia mencari bahan pedang yang baik, yang kabarnya banyak terdapat di daerah liar ini.
Dalam penjelajahannya inilah ia bertemu dengan Wang Tun, pandai besi yang pandai membuat pedang. Ketika itu Wang Tun baru berusia dua puluhan tahun, biarpun sudah menjadi budak, namun masih berdarah panas dan suka memberontak.
43 Cin Kek Tosu tertarik ketika kebetulan datang di dusun itu dan mendengar bahwa di situ terdapat seorang pandai besi yang pandai. Didatanginya pondok pandai besi ini dan ia melihat dengan kagum seorang pemuda Tibet sedang menempa besi merah dengan kuatnya. Melihat sinar
kebiruan yang berpijar setiap kali besi merah itu dipukul, diam-diam Cin Kek Tosu mengagumi baja tulen itu. Ia lalu masuk dan pandai besi menunda pekerjaannya, memandangnya dengan mata marah.
Wang Tun ketika itu sedang marah. Terlalu banyak pesanan pekerjaan dihujankan oleh tuan tanah kepadanya. Hendak menolak tidak berani karena antek-antek tuan tanah selalu siap mengeroyok dan menyiksanya. Kalau diterima, berarti siang malam ia akan bekerja keras.
"Kau siapa dan mau apa?" bentaknya melihat seorang berpakaian pendeta berwajah asing dan kepucatan.
Cin Kek Tosu tersenyum. Ia sudah cukup lama berada di Tibet dan sudah mempelajari bahasa daerah itu. "Namaku Cin Kek Tosu dan aku datang hendak menonton kau bekerja."
Wang Tun merasa diejek. Pekerjaan baginya bukan pekerjaan lagi, melainkan siksaan dan orang yang menonton dia disiksa tiada lain artinya hanya untuk mengejek.
"Apa kau datang hendak menertawakan aku?" bentaknya dengan mata merah.
Cin Kek Tosu terheran, lalu tersenyum melihat sikap yang galak dari pandai besi yang hitam penuh arang dan debu tubuhnya itu. "Tidak kawan. Aku tidak mengejek melainkan mengagumi pekerjaanmu. Mengapa pula aku harus mengejek?"
"Apalagi kerjaan orang-orang Han selain untuk mengejek kami para budak?"
"Eh, kenapa kau bilang begitu" Apa salahnya orang Han?"
06. Kembalinya Budak Pelarian.
Wang Tun makin mendongkol. Ditinggalkannya pekerjaannya dan ia menghampiri Cin Kek Tosu dengan langkah lebar dan sikap mengancam. "Kau masih pura-pura bertanya" Katanya negara orang Han adalah negara besar, orang-orangnya adalah orang-orang pandai, tidak tahunya tiada bedanya dengan bangsa penjilat. Kalian datang hanya untuk menyenangkan hatinya para
bangsawan dan para tuan tanah. Apa peduli kalian akan budak-budak yang hidup tersiksa"
Siksaan yang diderita para budak kalian anggap tontonan yang menyenangkan, ya" Hayo lekas minggat dari sini, jangan sampai kesabaranku hilang. Kalau terjadi begitu, jangan salahkan Wang Tun kalau sampai lehermu patah-patah."
Diam-diam Cin Kek Tosu merasa terharu, juga mendongkol melihat kecongkakan pandai besi ini.
Namun ia harus akui bahwa dalam ucapan kasar tadi terkandung kebenaran. "Kawan, sebetulnya aku mencari baja yang baik untuk bahan membuat pedang. Kulihat bahan baja yang kau tempa itu amat baik, maka kalau kau mau memberi untuk bahan pedang aku mau menukarnya dengan apa yang kau minta."
"Setan, kau malah hendak mencuri dan membujuk aku menjadi pencuri" Wang Tun biarpun
budak hina dina kurang makan, belum begitu rendah untuk mencuri barang orang lain. Tahu?"
44 Cin Kek Tosu menarik napas panjang, kagum sekali. "Sukar mencari orang sejujur engkau, segagah engkau, akan tetapi juga sebodoh engkau."
"Keparat, kalau tidak pergi kupatahkan batang lehermu."
"Cobalah kalau bisa," Cin Kek Tosu menantang karena ia ingin menyaksikan gerakan dan tenaga orang yang diam-diam menimbulkan rasa suka dihatinya ini.
"Kau.... kau menantang?" Terbayang keheranan dalam pandang mata Wang Tun. Ia melangkah maju dan kedua lengan tangannya yang kuat berotot itu sudah bergerak maju hendak mencekik leher tosu tua kurus di depannya, akan tetapi ia turunkan lagi tangannya dan menggeleng-geleng kepalanya.
"Tidak, aku tidak mau menjadi pengecut, hanya berani menyerang seorang kakek kurus selemah engkau. Pergilah!" Wang Tun kembali ke tempat kerjanya dan menempa besi lagi dengan
kuatnya untuk menghilangkan kegemasan hatinya.
Cin Kek Tosu tertawa, makin suka kepada pemuda sederhana ini. Ia melihat sebatang tombak di dekat situ, diambilnya tombak ini dan dengan mudah ia membekuk dan membelit-belitkan besi itu ke lengannya.
Wang Tun menghentikan pekerjaannya dan memandang dengan mata terbelalak. "Kau
mempunyai ilmu sihir...... seperti pendeta-pendeta Lama......!" serunya.
"Bukan ilmu sihir, orang muda. Melainkan ilmu mempergunakan tenaga secara baik. Oleh karena itu aku tadi berani menantangmu untuk mencoba tenagamu kepadaku. Kau takkan menang."
"Betulkah" Kalau begitu, coba kau menerima pukulanku, hendak kulihat sampai bagaimana kuat tanganmu."
Wang Tun meloncat maju dan tangannya yang besar melayang mengirim pukulan ke arah dada tosu itu. Akan tetapi hampir saja ia terjungkal karena pukulannya yang ia lakukan dengan sekuat tenaga itu mengenai angin belaka dan tahu-tahu kakek itu sudah berada di sebelah kanannya. Ia membalik dan memukul lagi bertubi-tubi sampai lima kali, akan tetapi sia-sia belaka.
"Kau curang! Kenapa tidak membiarkan aku memukulmu?"
"Ini namanya ilmu silat, orang muda. Ilmu silat mengajar orang supaya jangan sampai terpukul oleh lawan."
"Kalau begitu, balaslah memukul!"
Cin Kek Tosu tersenyum. Sambil mengelak sekali lagi ia berkata, "Coba kau terima tamparan ini."
Dan tangan kirinya menampar pundak Wang Tun.
Wang Tun berseru kesakitan dan terguling roboh. Ia merasa seakan tadi ditumbuk oleh sebuah toya besi yang amat kuat. Ia menjadi penasaran marah. Tangannya bergerak dan sebuah pisau belati telah berada ditangannya. Tanpa banyak cakap lagi ia menyerbu, pisau itu bergerak dan sinar kebiruan meluncur ke arah dada Cin Kek Tosu.
45 Tosu itu mengeluarkan seruan kaget, cepat mengelak dan ketika tangannya menyambar, pisau itu sudah terampas olehnya. Wang Tun menubruk, tapi sebuah dorongan tangan kiri tosu itu lagi-lagi membuat ia tercengang. Pemuda itu tidak segera berdiri, hanya memandang dengan mata terbelalak keheranan. Ia melihat kakek itu memegang belatinya, bukan untuk balas menyerangnya melainkan untuk diamat-amati secara seksama sambil berkali-kali mengeluarkan seruan kagum.
"Baja bagus..... luar biasa....." Ditekan-tekannya pisau itu, dikerahkannya tenaga untuk membuat pisau itu patah atau melengkung, namun sia-sia. Pisau itu terbuat dari pada bahan yang benarbenar kuat luar biasa.
Wang Tun tertawa dan merayap bangun. "Biarpun kau sekuat seratus ekor lembu yak, tidak nanti kau dapat membuat pisau itu patah," katanya.
Cin Kek Tosu memandang kepadanya.
"Orang muda, dari mana kau memperoleh bahan baja sehebat ini?"
"Sukar..... carinya sukar, orang tua yang gagah. Akan tetapi, betapun baiknya pisau itu, menghadapi orang sepandai engkau, tiada gunanya....." Pemuda itu menarik napas panjang dan mukanya membayangkan kekecewaan hatinya. Baru sekarang ia tahu bahwa dia adalah seorang yang tidak ada artinya. Menghadapi seorang kakek tua kurus lemah saja ia kalah dan tidak berdaya sama sekali.
"Dengar orang muda. Mari kita berjanji dan mengadakan pertukaran. Kau carikan bahan baja seperti ini untukku dan aku akan memberi pelajaran ilmu berkelahi seperti yang kupergunakan mengalahkan kau tadi kepadamu. Bagaimana?"
Wang Tun girang sekali. "Bagus, aku suka sekali. Akan tetapi ketahuilah, bahan baja itu adanya hanya di dasar sungai, merupakan pasir-pasir biru yang hanya seperseratus bagian daripada pasir-pasir di dasar sungai. Untuk membuat pisau itu saja, aku mengumpulkan pasir-pasir biru itu selama berbulan-bulan."
"Aku membutuhkan bahan untuk membuat pedang," kata kakek itu. "Carikanlah, biar sampai berapa lama akan kunanti dan selama itu pula kau boleh belajar ilmu silat kepadaku."
Demikianlah, selama setengah tahun lebih Wang Tun belajar ilmu silat dari Cin Kek Tosu dan sedikit demi sedikit ia mengumpulkan pasir biru itu. Setelah cukup banyak untuk membuat sebatang pedang pendek, selesai pula Cin Kek Tosu mengajarnya dan pada waktu itu Wang Tun telah mewarisi ilmu silat Kun-lun-pai yang cukup kuat.
Demikian pula riwayat singkat bagaimana Wang Tun mengaku sebagai murid Cin Kek Tosu. Tosu ini lalu kembali ke Kun-lun-pai dan bahan baja yang biru itu dibuatnya menjadi sebatang pedang yang mengeluarkan sinar kebiruan, amat tajam dan kuat mengalahkan semua bahan logam yang bagaimanapun kerasnya.
Kemudian ketika ia mendengar riwayat Wang Sin, hatinya tergerak dan biarpun sudah amat tua, ia menyediakan tenaga untuk memimpin pemuda putera Wang Tun itu untuk mempelajari ilmu silat Kun-lun-pai. Malah dengan suka rela ia memberikan pedang sinar biru yang dulu bahannya ia dapatkan dari Wang Tun kepada pemuda Tibet ini sehingga Wang Sin memperoleh ilmu silat pedang yang luar biasa.
46 Waktu berjalan amat cepatnya dan lima tahun terlewat sudah selama Wang Sin belajar ilmu silat di Kun-lun. Dia memang berbakat baik dan berkemauan keras. Susioknya (paman guru) Ong Bu Khai dan suhunya Cin Kek Tosu, merasa amat kagum melihat pemuda ini tiada hentinya siang malam berlatih diri sehingga sebentar saja sudah melampaui kepandaian Ong Hui, malah sudah dapat menyamai tingkat Ong Bu Khai sendiri.
Melihat watak yang baik dari Wang Sin, diam-diam Ong Bu Khai timbul niatan untuk mengambil mantu pemuda Tibet ini. Dengan terus terang ia merundingkan hal ini dengan suhengnya, Cin Kek Tosu yang juga merasa setuju dan girang sekali bahwa sutenya tidak memiliki watak tinggi hati seperti kebanyakan orang Han yang memandang suku bangsa-suku bangsa lain lebih rendah derajatnya dari pada tingkat bangsa mereka sendiri.
Adapun hubungan antara Wang Sin dan Ong Hui juga akrab. Ong Hui memang seorang gadis lincah yang peramah dan jujur. Juga gadis ini menaruh simpati kepada pemuda Tibet yang telah mengalami hidup penuh penderitaan ini. Setelah Wang Sin menjadi saudara seperguruannya, ia mendapat kenyataan bahwa pemuda ini memang berjiwa gagah dan berwatak baik, sayang agak pendiam.
Di pihak Wang Sin, semenjak pertama bertemu memang ia menaruh kekaguman terhadap gadis ini. Hal ini adalah wajar. Di tempatnya yang dahulu, orang-orang perempuan merupakan makhluk lemah yang selalu hanya menjadi permainan laki-laki.
Maka melihat Ong Hui yang selain cantik jelita juga gagah perkasa dan berkepandaian tinggi, siapa orangnya tidak menjadi kagum" Malah sering kali sebelum matang ilmu silatnya, ketika mula-mula sedang belajar seringkali ia mendapat petunjuk dan bantuan gadis ini sehingga timbul kasih sayang dan hormatnya kepada sumoi (adik seperguruan) ini.
Biarpun kalau menurut tingkat, Ong Hui lebih dulu belajar daripadanya dan terhitung suci (kakak seperguruan), akan tetapi karena dia adalah murid Cin Kek Tosu yang menjadi kakak
seperguruan ayah gadis itu, maka ia menjadi lebih tua kedudukannya dan menyebut sumoi kepada Ong Hui. Sebaliknya gadis itu menyebut suheng.
Tidak bisa dibilang bahwa dua orang muda ini mengandung hati saling mencintai, terutama di pihak Wang Sin, akan tetapi tak dapat disangkal pula bahwa mereka saling suka dan menaruh simpati. Wang Sin yang pendiam tak pernah menceritakan hubungannya dengan Ci Ying kepada orang lain, akan tetapi sebetulnya tak pernah ia dapat melupakan Ci Ying. Yang menjadi kenangan malam menjadi impian.
Pada suatu hari Wang Sin dipanggil oleh suhunya dan ia menjadi agak heran melihat suhunya sudah duduk di situ bersama susioknya, menanti kedatangannya. Wajah mereka berisi dan pandangan mata mereka kepadanya membuat hatinya berdebar karena tidak seperti biasa.
Tentu ada sesuatu yang amat penting, pikirnya. Setelah ia maju berlutut dengan hormat, suhunya yang sudah tua sekali itu mengurut-urut jenggot sambil berkata.
"Wang Sin, muridku. Kau telah lima tahun belajar di sini dan pinto harus mengaku bahwa kami merasa puas melihat ketekunanmu. Karena itu, pinto hadiahkan pedang sinar biru itu kepadamu.
Sebetulnya bukan hadiah karena sesungguhnya pedang itu tadinya ayahmu yang mencari
bahannya, maka sudah semestinya pinto kembalikan kepadamu. Pergunakanlah pokiam ini baikbaik, jangan sekali-kali kau pergunakan untuk menurutkan nafsu belaka. Tentu kau masih ingat akan semua nasehat pinto."
47 Berdebar hati Wang Sin. Ucapan ini sekaligus memperingatkan dia bahwa tentu dia sudah akan diperbolehkan turun gunung, kembali ke Tibet untuk membalas dendam, eh.... salah, seperti yang dinasehatkan oleh suhunya, soal balas dendam itu hanya akibat, yang terutama adalah menolong para budak dari penindasan.
"Segala nasehat suhu akan tetap teecu ingat dan taati," jawabnya tegas.
"Wang Sin," kata lagi tosu itu, "karena usiamu sudah lebih dari cukup dan mengingat sudah sepatutnya kalau kau mempunyai teman hidup, pinto dan susiokmu sudah bersepakat untuk menjodohkan kau dengan sumoimu. Kalian akan menjadi suami isteri yang cocok sekali."
Bukan main kagetnya hati Wang Sin mendengar ini, apalagi ketika ia melihat susioknya memandang kepadanya sambil mengangguk-angguk membenarkan kata-kata suhunya itu. Inilah suatu kejadian yang amat langka, malah terhitung aneh dan tak masuk akal baginya. Dia, seorang bekas budak, hendak dijodohkan dengan Ong Hui" Ia telah ditolong oleh Ong Bu Khai.
Di dalam lubuk hatinya ia menganggap susioknya ini seperti tuan penolongnya, seperti tuan besar, Ong Hui seperti nona muda. Mana ia pantas menjadi suami Ong Hui" Jodohnya yang paling tepat adalah seorang budak pula, Ci Ying. Teringat kepada Ci Ying ia lalu menundukkan mukanya yang tadi merah, sekarang berubah pucat.
"Wang Sin, kau tidak lekas menghaturkan terima kasih susiokmu, calon mertuamu?" Cin Kek Tosu berkata lagi, tertawa melihat muridnya tunduk kemalu-maluan.
Sambil berlutut Wang Sin berkata, suaranya terharu.
"Teecu menghaturkan banyak terima kasih kepada suhu dan susiok yang sudah demikian baik terhadap diri teecu yang miskin dan yatim piatu. Sesungguhnya kalau tidak ada suhu dan susiok, entah menjadi apa orang macam teecu ini, oleh karena itu, sampai matipun teecu takkan dapat melupakan budi suhu berdua dan akan selalu mentaati perintah suhu dan susiok. Hanya saja.....
tentang perjodohan......." Pemuda itu ragu-ragu dan tidak berani melanjutkan ucapannya.
"Ada apa dengan perjodohan" Lanjutkan, jangan takut dan ragu," kata Cin Kek Tosu ramah.
Dengan kepala masih tunduk Wang Sin menjawab. "Sesungguhnya ..... teecu..... telah
bertunangan, ditunangkan oleh ayah semenjak kecil. Dan tunangan teecu itu...... Ci Ying......
entah kemana. Setelah oleh ayah ditunangkan, bagaimana teecu bisa menerima ikatan jodoh lain?"
Mendengar ini, Ong Bu Khai mengerutkan keningnya. Baru sekarang ia tahu akan hal ini dan mengerti pula ia kenapa lima tahun yang lalu pemuda itu bersikap kurang ajar ketika melihat Ong Hui yang disangkanya Ci Ying tunangannya itu.
"Ah, kiranya gadis yang hilang itu tunanganmu?" katanya. "Wang Sin, kau memang betul sekali menyatakan hal ini kepada kami. Memang seorang anak harus berbakti terhadap pesan orang tua, juga harus mempunyai watak setia. Akan tetapi gadis tunanganmu itu lenyap tidak meninggalkan bekas.
Selama ini, belum pernah aku mendengar tentang dia, biarpun diam-diam aku ikut menyelidiki untuk mencari gadis yang tadinya kusangka hanya adik misanmu itu. Usiamu sudah dua puluh lebih, demikianpun anakku sudah cukup usia, tidak bisa menanti lagi. Andaikata tunanganmu itu 48
sudah tidak berada lagi di dunia ini seperti kukhawatirkan, apakah kau juga tidak menerima ikatan jodoh lain?"
Wang Sin bingung. Memang iapun sudah bersangsi apakah Ci Ying masih hidup" Ke mana
mencarinya" Sudah lima tahun tiada kabar ceritanya tentang gadis itu masih hidup. Susioknya sudah begitu baik kepadanya, tidak saja ia berhutang budi malah boleh dibilang berhutang jiwa karena tanpa bantuan susioknya sukarlah hidup merdeka di daerah Tibet.
Kalau sekarang ikatan jodoh itu ia tolak, bukankah itu berarti ia membalas kebaikan dengan penghinaan" Ia menjadi bingung, hatinya masih berat terhadap Ci Ying. Menolak sukar
menerimapun sulit.
"Wang Sin, kau tidak usah ragu-ragu. Baiknya diatur begini," kata pula Ong Bu Khai. "Kau menikah dengan anakku dan kalau kelak ternyata Ci Ying masih hidup dan ia mau melanjutkan ikatan jodohnya denganmu, kau boleh menikah lagi dengan dia."
Kembali Wang Sin terkejut mendengar ini. Memang iapun tahu bahwa pada waktu itu, menikah dengan lebih dari dua orang gadis adalah wajar, yakni bagi kaum bangsawan dan mungkin orang-orang Han. Akan tetapi bagi seorang bekas budak seperti dia, benar-benar merupakan hal yang amat ganji dan aneh. Betapapun juga, terhadap pemecahan persoalan jodoh ini ia tidak dapat membantah lagi dan terpaksa ia berkata.
"Teecu hanya dapat mentaati semua perintah susiok dan suhu."
"Bagus!" Cin Kek Tosu berseru girang. "Wang Sin perjalananmu kelak ke selatan bukannya perjalanan mudah dan kau memerlukan seorang pembantu yang kuat dan boleh dipercaya.
Hanya sumoimu yang dapat menjadi kawan seperjalanan yang tepat. Akan tetapi kalau kalian belum menikah, hal itu bukan merupakan sesuatu yang patut dan baik. Karena itu, sebelum kau turun gunung mengembara ke Tibet, lebih baik kau melangsungkan perjodohanmu lebih dulu dengan Ong Hui."
Demikianlah, secara sederhana dan hanya diramaikan oleh para penduduk di sekitar pegunungan Kun-lun-san, dirayakan perjodohan antara Wang Sin dan Ong Hui. Dan pada malam harinya, Ong Hui menangis di dalam kamar penganten.
"Mengapa kau menangis, sumoi?" tanya Wang Sin perlahan.
Mula-mula Ong Hui tidak menjawab, malah tangisnya makin menjadi.
"Sumoi, apakah.... apakah sedih hatimu karena pernikahan ini" Tidak sukakah kau...... ?"
Ong Hui menggeleng kepala dan menyusut air matanya.
"Aku berjanji......" katanya terputus-putus, "aku.... akan mencari Ci Ying..... mencari dia untukmu......"
Wang Sin terkejut, juga terharu. Tidak disangkanya bahwa gadis ini sudah tahu akan hal ini.
Tentu susioknya yang berterus terang kepada gadisnya. Memang aneh watak orang-orang kangouw ini. Dengan terharu Wang Sin memegang tangan isterinya.
49 "Harap kau tidak menaruh hati cemburu. Pertunanganku dengan Ci Ying adalah pertunangan semenjak kecil, oleh orang tua kami. Kini Ci Ying sudah lenyap dan sebagai gantinya aku mendapatkan kau. Aku tidak menyesal, malah girang sekali, karena... karena aku cinta padamu Hui-moi, mencinta semenjak pertama kali aku melihatmu......."
Ong Hui menarik napas panjang, lega dan bahagia.
Sebagai isterimu, aku akan membantumu, suamiku. Membantumu mengangkat kehidupan
saudara-saudara di Tibet, membantumu mencari Ci Ying cici......."
Suasana menjadi sunyi, sunyi yang mengamankan hati dan mendatangkan kebahagiaan bagi dua suami isteri baru itu.
****** Semenjak itu, selama lima tahun itu telah terjadi perubahan di dusun Loka, dusun sebelah utara sungai Yalu-cangpo itu. Tuan tanah Yang Can sudah mulai tua dan tidak lagi dibantu oleh puteranya karena Yang Nam sudah menikah dengan puteri seorang bangsawan dari ibukota Lasha dan pindah ke sana karena berkat pertolongan mertuanya Yang Nam mendapat
kedudukan pula di sana.
Akan tetapi, perubahan yang banyak terjadi hanya di dalam rumah tangga tuan tanah itu. Nasib para budak tetap saja buruk seperti dulu, tetap mereka diperas dan bekerja seperti binatang ternak. Kalau di dalam rumah tuan tanah sudah lupa akan peristiwa lima tahun yang lalu, mereka ini, para budak masih ingat dan sering kali mereka menarik napas panjang kalau mereka teringat akan keluarga Ci Ying dan Wang Sin.
Pada suatu pagi, para budak sudah sibuk bekerja di sawah. Hari itu panen dimulai dan keadaannya tidak ada bedanya dengan lima tahun yang lalu ketika peristiwa pembasmian dua keluarga itu mulai terjadi. Tiada bedanya.
Para budak bekerja mati-matian dan di pinggir sawah nampak tukang pukul-tukang pukul dan pendeta-pendeta Lama menjaga dan mengawasi, untuk mencegah para budak bekerja lambat atau mencuri hasil panen. Juga Thiat-tung Hwesio, si pendeta bertongkat besi, masih tetap berjaga di situ, berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar, memanggul tongkat besinya dan diam tak bergerak seperti sebuah patung yang menakutkan.
Tiba-tiba terdengar derap kaki kuda dari sebelah timur datang dua ekor kuda yang ditunggangi oleh sepasang orang muda. Kejadian yang ganjil ini tentu saja menarik perhatian orang. Para budak sampai berani melupakan pekerjaan mereka dan para tukang pukul memandang pula ke arah dua orang penunggang kuda itu.
Setelah dua orang penunggang kuda itu dekat, terdengar seruan-seruan perlahan di antara para budak.
"Wang Sin..... bukankah dia itu Wang Sin."
Memang, seorang di antara dua orang penunggang kuda itu adalah Wang Sin. Mudah saja
mengenal wajahnya yang tampan dan keras penuh garis-garis yang yang membuat ia kelihatan gagah, tubuhnya yang makin tegap berisi. Akan tetapi dia sekarang mengenakan pakaian Han 50
dan dipinggangnya tergantung sebatang pedang. Orang kedua adalah isterinya, Ong Hui yang cantik jelita dan bersikap gagah pula.
Setelah para budak mengenalnya, semua tidak memperdulikan lagi pekerjaan mereka, yang jauh datang berlari dan berkumpullah para budak menjadi gerombolan, penuh keheranan,
kekaguman, dan kecemasan. Bagaimana pemuda yang telah berhasil melarikan diri,
membebaskan diri dari mereka ini sekarang datang kembali" Demikian mereka bertanya-tanya.
Sebaliknya para tukang pukul dan hwesio yang tua, yang masih mengenal Wang Sin, menjadi terheran dan marah bercampur gelisah. Mau apakah pemuda setan ini sekarang tiba-tiba muncul" Toya, tongkat, dan golok dipegang erat-erat, para antek tuan tanah itu siap
menghadapi segala kemungkinan. Malah beberapa orang di antara mereka sudah gatal-gatal tangan untuk menangkap pemuda yang telah melarikan diri dan berdosa kepada tuan tanah maupun kepada pendeta kepala itu.
Sementara itu, ketika Wang Sin melihat para budak, mengenal banyak wajah-wajah lama di antara wajah budak-budak baru, tak tertahan lagi dua titik air mata menuruni pipinya. Namun ia memaksa sebuah senyum lebar dan tangan kanannya ia angkat, dilambaikan. "Selamat bertemu kembali saudara-saudaraku yang tercinta."
Beberapa orang petani sudah meninggalkan sawah dan hendak lari menjemputnya, akan tetapi sekarang para antek tuan tanah yang melihat betapa budak-budak itu melalaikan pekerjaan mereka, segera bertindak. Tendangan, pukulan dan makian menghujani budak-budak itu.
Terdengar jeritan kesakitan dan para budak itu dengan panik kembali ke pekerjaan masingmasing.
Akan tetapi seorang budak perempuan yang bertubuh kurus kering tak dapat bangun setelah terkena tendangan kaki Thiat-tung Hwesio yang marah sekali, matanya melotot lebar, tongkat besinya sudah diayun-ayun mengancam para budak.
Tiba-tiba berkelebat bayangan hijau disertai bentak lembut. "Keparat keji!" dan tubuh Ong Hui sudah melompat dari atas kudanya, menyerbu para centeng yang sedang menghajar hambahamba tani. Dalam segebrakan saja dua orang kaki tangan tuan tanah roboh terpukul lehernya dan yang seorang lagi ditendang lambungnya.
Para centeng lain menjadi marah dan kaget melihat terjangan nyonya muda cantik ini. Sambil berteriak-teriak marah lima orang centeng dengan golok atau tongkat di tangan mengurung Ong Hui yang juga sudah mencabut pedangnya.
"Anjing-anjing srigala! Setelah aku datang, tidak bisa nyonya besarmu membiarkan kalian berbuat sewenang-wenang!" seru Ong Hui sambil memutar pedangnya yang berkelebatan cepat dan kuat sekali. Antek-antek tuan tanah itu adalah sebangsa manusia tiada gunanya, pandainya hanya menjilat majikan, gagahnya hanya kalau menghadapi hamba-hamba tani yang lemah, setiap hari kerjanya hanyalah berlagak gagah-gagahan dan menyiksa para budak.
Sekarang menghadapi amukan Ong Hui yang gagah perkasa, mana mereka sanggup melayani"
Baru belasan jurus saja, dua di antara lima orang tukang pukul sudah roboh mandi darah dan yang tiga lalu berteriak-teriak ketakutan.


Nona Berbunga Hijau ( Kun Lun Hiap Kek ) Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Losuhu, tolong......!"
51 Thiat-tung Hwesio melompat maju mengayunkan tongkat besinya dan tiga orang tukang pukul itu segera melompat mundur dan melarikan diri. Memang sebangsa pengecut baru kelihatan belangnya kalau sudah menghadapi keadaan genting dan berbahaya bagi mereka.
Thiat-tung Hwesio lihai sekali. Dia bertenaga besar dan toyanya yang berat itu menyambarnyambar mengeluarkan angin. Dalam pertemuan pertama antara toya dan pedang di tangan Ong
Hui, nyonya muda ini tergetar tangannya, maka cepat ia menarik kembali pedangnya,
menyelusup ke kiri dan mengirim serangan cepat menusuk ke arah lambung pendeta itu. Inilah gerak tipu Giok-wi-yauw (Sabuk Kumala Melilit Pinggang), sebuah jurus ilmu pedang Kun-lun Kiam-hoat yang indah dan lihai.
Thiat-tung Hwesio tidak hanya bertenaga besar tetapi dia telah mendapat latihan dari Thouw Tan Hwesio, Lama yang berkepandaian tinggi, maka tentu saja ilmu silatnya juga lumayan.
Menghadapi serangan yang cepat dan tidak terduga dari samping ini ia tidak gugup, cepat ia miringkan tubuh dan memalangkan toya melindungi lambungnya.
Kembali dua senjata bertemu yang mengakibatkan Ong Hui merasa telapak tangannya menjadi panas. Nyonya muda ini tidak gentar, segera menggunakan kelincahannya untuk mengirim serangan-serangan selanjutnya.
Wang Sin melihat bahwa isterinya akan sukar mengalahkan hwesio kosen itu, tidak tinggal diam dan cepat ia melompat sambil memutar pedangnya.
"Thiat-tung Hwesio pendeta keparat. Sekarang tiba saatnya aku Wang Sin membalas dendam!"
Pedang di tangan orang muda ini menyambar dan kagetlah hati hwesio itu. Tidak disangkanya bahwa Wang Sin masih hidup dan lebih-lebih di luar dugaannya pemuda itu sekarang memiliki kepandaian yang begini lihai. Sambaran pedang di tangan pemuda itu cepat dan kuat sekali.
Dalam tangkisan toyanya menghadapi pedangnya amat berbahaya. Namun ia masih membuka
mulut besar. "Ha-ha-ha, budak hina dina. Baik sekali kau mengantarkan diri, tidak susah-susah aku mencari.
Ha-ha!" Suara ketawanya terpaksa berhenti ketika pedang di tangan Wang Sin dan isterinya berkelebatan merupakan tangan-tangan maut yang berlumba merenggut nyawanya. Hwesio ini memutar tongkatnya dan berusaha memukul runtuh pedang dua orang lawannya
menghandalkan tenaganya.
Akan tetapi, Ong Hui adalah puteri seorang tokoh Kun-lun-pai yang cerdik. Tidak mau ia mengadu senjatanya dengan tongkat musuh, sedangkan Wang Sin yang memiliki tenaga besar tidak takut menghadapi toya itu.
Di lain saat hwesio itu sudah tidak mempunyai kesempatan untuk tertawa sama sekali. Ia didesak hebat dan hanya sanggup bertahan saja sambil main mundur, tiada kesempatan lagi baginya untuk membalas serangan dua orang lawannya yang gagah.
07. Membasmi Tuan Tanah atau Mati.
Para hamba tani yang tadinya ketakutan diamuk kaki tangan tuan tanah, sekarang berdiri menonton dengan mata terbelalak kagum. Tidak ada lagi antek-antek tuan tanah di situ, kesemuanya lari ketakutan untuk melapor kepada majikan mereka, maka para hamba tani itu tidak takut untuk meninggalkan sawah. Maka sekarang terbangun semangat mereka ketika melihat betapa seorang bekas kawan mereka, Wang Sin, sekarang dengan gagahnya berani 52
melawan Thiat-tung Hwesio, malah kelihatan mendesak hwesio yang mereka semua amat benci itu.
"Kawan-kawan, kenapa kita diam saja" Wang Sin telah datang mari kita bantu dia!" teriak seorang kakek dengan semangat meluap dan gembira. Mendengar ini, mereka bersorak dan majulah puluhan orang yang bekerja di bagian itu sambil mengamang-amangkan tinju, cangkul, pikulan, batu, dan alat-alat lain dengan sikap mengancam.
Bagaikan arus gelombang, mereka mendatangi tempat pertempuran. Empat orang tukang pukul yang tadi roboh oleh Ong Hui dan belum tewas akan tetapi belum sempat melarikan diri karena luka mereka, mereka memandang dengan mata terbelalak ke arah gelombang para budak ini.
Mereka seperti mendapat firasat akan datangnya malapetaka, apalagi ketika para budak itu sudah datang dekat dan mereka melihat sinar kebencian memancar keluar dari mata para budak itu.
Seorang budak yang membawa arit, yaitu seorang perempuan setengah tua yang bertubuh kurus sekali menghampiri seorang antek yang tadi terkena pukulan Ong Hui. Dengan mata melotot penuh kebencian ia mengangkat aritnya yang tajam. Perempuan ini teringat akan puteranya yang dulu disiksa sampai mati oleh antek tuan tanah ini dan sekarang tiba saatnya untuk membalas dendam yang sudah ia tahan bertahun-tahun lamanya.
Anjing tuan tanah itu memekik ketika sabit diayun ke arah kepalanya. Ia berusaha mengelak, akan tetapi karena tadinya terkena pukulan Ong Hui dan membuat seluruh tubuhnya lemas, elakannya kurang cepat dan "crakkk!" ujung arit itu menembus kulit dan daging pundak, menghantam tulang punggungnya.
"Aduuhhh....... ampunnnn..... nenek Namal...... ampunkan aku......" Ia merengek-rengek dan terdengar suara mengejek dari nenek itu, di kuti oleh suara ketawa para hamba tani lainnya.
Kembali arit itu diayun "crak-crak-carak!" Darah menyembur keluar dan terdengar anjing tuan tanah itu melolong-lolong kesakitan dan ketakutan.
Pekik dan jerit pengecut para tukang pukul yang tiga orang lagi segera menyusul kawannya ketika para hamba tani mendatangi mereka dan menghujankan senjata-senjata kepada empat orang tukang pukul yang apes itu. Akan tetapi tidak lama, karena sebentar saja tubuh mereka sudah hancur lebur, habis dihajar oleh puluhan orang yang rata-rata menyimpan sakit hati dan dendam yang amat besar turun temurun.
Dapat dibayangkan betapa kaget dan ngeri hati Thiat-tung Hwesio melihat hal ini. Permainan tongkatnya kacau balau dan ujung pedang Wang Sin sudah melukai pahanya, membuat
celananya penuh darah. Para hamba bersorak girang dan mereka ini tiada ubahnya seperti harimau-harimau yang haus darah.
Mereka mendesak maju hendak membantu Wang Sin dan isterinya. Mereka tidak kenal takut dan sama sekali tidak mau mundur ketika tongkat hwesio itu yang disapukan ke belakang membuat dua orang hamba terjungkal roboh dengan kaki luka-luka. Mereka maju terus.
Sakit hati dan dendam yang ditahan-tahan bisa membuat orang menjadi kejam hati. Kebencian yang meluap-luap dapat membuat orang mata gelap. "Tangkap pendeta cabul ini!" teriak seorang wanita muda dengan rambut riap-riapan dan mata berputaran penuh kebencian.
"Jangan bunuh dulu, siksa biar dia minta-minta ampun."
53 "Potong sedikit-sedikit dagingnya."
"Kubur dia hidup-hidup."
"Bakar dia."
Demikianlah teriakan-teriakan para hamba tani, laki-laki dan perempuan, kakek-kakek, neneknenek, dan kanak-kanak. Mendengar teriakan-teriakan ini, wajah hwesio itu menjadi pucat sekali dan diam-diam ia memeras otak mencari hafalan doa-doa selamat yang pernah ia pelajari sebagai seorang pendeta. Akan tetapi karena selama ini kerjanya hanya menurutkan nafsunya menjadi kaki tangan tuan tanah Yang Can, ia sudah lupa lagi akan semua doa.
Rasa takut dan ngerinya membuat ia tidak dapat bertahan lagi menghadapi pedang Wang Sin dan Ong Hui. Ujung pedang Ong Hui lagi-lagi mencium pundaknya dan sekali pedang Wang Sin menyambar darah mengucur dari dadanya.....
"Mati aku......!" Thiat-tung Hwesio mengeluh ketika ia terhuyung roboh. Puluhan pasang tangan hamba tani menyambutnya dan di lain saat tubuhnya sudah diseret-seret ke tengah sawah seperti seekor babi hutan yang baru saja ditangkap untuk disembelih beramai-ramai.
Melihat semangat para hamba tani bangkit, Wang Sin gembira. Apalagi ketika melihat dari kanan kiri, hamba-hamba tani yang lain datang pula berlari-lari untuk berkumpul sehingga mereka merupakan serombongan hamba tani yang jumlahnya seratus orang lebih, hatinya menjadi makin gembira.
Ternyata bahwa para kaki tangan tuan tanah di bagian lain segera melarikan diri meninggalkan pekerjaan ketika mendengar bahwa Wang Sin datang bersama seorang wanita Han yang cantik dan mengamuk.
"Kawan-kawan, sekarang tiba saatnya bagi kita untuk menghancurkan tuan tanah Yang Can.
Aku, Wang Sin yang kalian sudah kenal, dan ini isteriku, Ong Hui, kami sudah bertekad untuk membasmi tuan tanah Yang Can dan membebaskan kalian dari penindasan. Siapa ikut?"
Para hamba tani bersorak dan semua mengacungkan tangan yang kini sudah berlumur darah, darah empat orang centeng dan darah Thiat-tung Hwesio, di mana mereka bercucuran air mata.
Wang Sin membawa kepalan tangan kirinya ke muka untuk menghapus dua butir air matanya sendiri. "Bagus, mari kita serbu tuan tanah Yang Can dan kaki tangannya!"
Demikianlah, dipimpin oleh Wang Sin dan Ong Hui, mereka ini merupakan sepasukan orangorang yang nekad, yang pada saat itu hanya mengenal satu tekad : Membasmi Tuan Tanah atau
Mati! Sementara itu, Yang Can sudah bersiap sedia. Ia terkejut setengah mati ketika melihat kaki tangannya berlari-lari mendatangi dengan muka pucat melaporkan segala kejadian. Hampir ia tidak dapat percaya ketika mendengar laporan bahwa Thiat-tung Hwesio juga sudah tewas di tangan Wang Sin. Thiat-tung Hwesio amat gagah, bagaimana bisa tewas di tangan pemuda hina itu"
"Lekas beritahukan Thouw Tan Losuhu dan panggil semua pendeta lama untuk membantu!"
teriaknya dengan muka pucat.
54 Thouw Tan Hwesio, Lama jubah kuning yang bertubuh tinggi besar, tokoh pertama di dusun Loka dan dianggap sebagai manusia dewa, menjadi marah bukan main mendengar bahwa Wang Sin datang membuat ribut. Apalagi ketika mendengar betapa Wang Sin sudah membunuh Thiattung Hwesio, kemarahannya memuncak.
"Bocah ingusan itu berani membunuh seorang pendeta di sini" Biarkan dia datang, lihat akan pinto patahkan lehernya!"
Ucapan hwesio ini sombong sekali, akan tetapi tidak aneh kalau dia menyombong. Thouw Tan Hwesio bukanlah orang sembarangan. Dia menjadi kepala pendeta di kuil Loka adalah karena pengangkatan dari kuil pusat di Lasha. Dan sudah tidak asing lagi, bahwa pendeta yang datang dari Lasha tentulah orang gemblengan yang memiliki kepandaian tinggi, baik dalam bidang ilmu silat maupun ilmu kebatinan dan agama.
Tentu saja mendengar tentang diri Wang Sin, dia memandang rendah. Apa sih kelihaian seorang pemuda yang baru menekuni ilmu selama lima tahun. Biarpun dididik oleh orang sakti, tidak mungkin akan dapat melawannya. Apalagi di situ terkumpul banyak murid-muridnya dan kaki tangan tuan tanah yang rata-rata juga memiliki kepandaian silat.
Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati tuan tanah Yang Can ketika ia mendengar bahwa Wang Sin dan isterinya orang Han itu kini menyerbu ke dusunnya di kuti oleh seratus lebih budak-budak yang kini telah memberontak. Dari kaget ia menjadi marah bukan main. Saking marahnya tuan tanah ini merenggut topi dari kepalanya, dan membanting-banting topinya di atas tanah.
"Setan jahanam! Keparat Laknat! Bunuh budak Wang Sin itu bersama siluman wanita yang dibawanya. Tangkap semua budak dan beri rangketan lima puluh kali setiap orang, jangan beri makan sampai tiga hari!"
Kemudian ia menghadap Thouw Tan Hwesio sambil berkata. "Losuhu, tolonglah kami, harap jangan biarkan orang-orang hina itu menginjak-injak kehormatan kita."
Thouw Tan Hwesio yang sedang menghadapi meja, sedang dijamu hidangan-hidangan lezat dan arak wangi, tertawa bergelak sampai tubuhnya yang tinggi besar itu bergerak-gerak. "Ha-ha-ha, jangan khawatir ..... jangan khawatir. Sekali pinceng menggerakkan tongkat, akan remuk batok kepala orang berdosa Wang Sin itu. Dua kali pinceng menggerakkan tongkat, siluman perempuan itu takkan dapat bernyawa lagi!"
Baru saja ia berkata demikian, di luar terdengar sorak sorai ramai di susul pekik yang riuh rendah. Para budak yang dipimpin Wang Sin dan Ong Hui telah tiba di situ dan sudah mulai
"perang" melawan antek-antek tuan tanah.
Tentu saja para budak yang tidak bisa ilmu silat itu bukan tandingan para anjing tuan tanah, akan tetapi mereka berjumlah banyak, bersemangat tinggi dan sudah nekat. Apalagi di situ terdapat Wang Sin dan Ong Hui yang mengamuk bagaikan dua ekor naga sakti. Pedang suami isteri ini berkelebatan dan sukar ditahan. Karena para kaki tangan tuan tanah yang hanya berjumlah tiga puluh orang itu mulai terdesak mundur.
Beberapa orang di antara mereka sudah roboh oleh pedang Wang Sin dan Ong Hui, atau roboh oleh serbuan para budak yang sudah nekat dan tidak takut mati itu. Tentu saja di pihak para pemberontak sudah banyak pula yang roboh dikemplang toya atau dibacok golok.
55 Pertempuran makin hebat, para pemberontak makin mendesak dan mulai mendekati gedung
besar tempat tinggal tuan tanah Yang Can. Keadaan amat mengancam bagi keselamatan
keluarga tuan tanah itu.
Pada saat keadaan sedang ramai-ramainya, tiba-tiba dari samping gedung itu berlari seorang kakek yang terbungkuk-bungkuk dan tangannya meraba-raba ke depan. Ia nampak bingung dan mulutnya keluar kata-kata penuh gairah.
"Wang Sin pulang, Wang Sin pulang..... mana anakku Ci Ying?" Lalu ia berlari ke depan, tersandung jatuh, berdiri lagi dan berteriak-teriak. Ci Ying......! Ci Ying......! Kesinilah kau.......!"
Semua orang yang sedang bertempur, baik dari pihak para budak maupun pihak tuan tanah, tidak memperhatikan atau memperdulikan orang ini. Akan tetapi ketika Wang Sin mendengar suara ini, ia cepat menengok sambil melompat mundur dari kepungan lawan. Bukan main kaget dan terharunya ketika melihat bahwa orang itu adalah ayah Ci Ying.
"Paman Ci Leng.....!" serunya sambil menubruk maju melihat orang tua itu lagi-lagi tersandung dan terguling roboh sehingga ia masih sempat memeluknya.
Wang Sin merasa kasihan sekali. Bagaimana kakek ini sekarang menjadi begini rusak tubuhnya dan buta matanya"
Ci Leng memeluk Wang Sin sambil meraba-raba pundak dan muka orang muda itu, mulutnya tertawa lebar. "Wang Sin ..... ah, kau benar Wang Sin...... aku mendengar kau datang bersama seorang wanita cantik, tentu dia Ci Ying....... mana dia?"
Tertikam hati Wang Sin mendengar ini. Tidak boleh disalahkan orang tua ini. Memang tentu saja semua orang pun mengharapkan dia kembali bersama Ci Ying, karena bukankah dia dahulunya melarikan diri bersama gadis itu"
"Bukan paman, bukan Ci Ying....." katanya lemah.
Naik sedu sedan putus asa di kerongkongan kakek itu.
"Bukan Ci Ying....." Habis siapa dia..... dan mana Ci Ying........?"
Belum sempat Wang Sin menjawab, terdengar bentakan nyaring, "Budak hina, kau berani
kembali mengantarkan nyawa?"
Wang Sin kaget mendengar sambaran angin yang amat kuat. Cepat ia mengayun pedangnya ke belakang sambil melompat meninggalkan Ci Leng. "Traangggg.....!" Tangannya tergetar dan ia kaget melihat tongkat di tangan penyerangnya tidak patah seperti tongkat-tongkat lain ketika bertemu dengan pedang pusakanya. Ketika ia memandang, ternyata bahwa penyerangnya itu bukan lain adalah Thouw Tan Hwesio, si pendeta jubah kuning yang dulu amat ia takuti.
"Pendeta keparat, aku kembali untuk membasmi setan-setan macam-macam engkau!" seru
Wang Sin yang cepat melakukan serangan. Di lain saat kedua orang ini sudah bertempur hebat dan segera Wang Sin mendapat kenyataan bahwa ilmu kepandaian pendeta kepala ini benarbenar hebat dan masih jauh di atas tingkat kepandaiannya sendiri. Ketika ia melirik dan melihat isterinya pun didesak oleh tujuh orang pendeta murid Thouw Tan Hwesio, diam-diam ia
mengeluh. 56 Sementara itu, para budak masih terus menerjang maju, berkelahi dan bergumul melawan kaki tangan tuan tanah. Pekik kemarahan dan jerit kesakitan bercampur aduk membuat keadaan di situ makin kacau dan mengerikan. Yang Can sendiri bersama keluarganya sudah sejak tadi menyembunyikan diri di dalam gedung.
Ci Leng yang tidak dapat melihat lagi, ketika mendengar bahwa anaknya tidak ikut Wang Sin datang, menangis tersedu-sedu dan menjadi putus harapan.
Lima tahun ia menguatkan diri, menahan segala macam siksaan, dipukuil, dihina, dicokel matanya, akan tetapi ia masih hidup karena memang ia ingin hidup, ingin anaknya datang kembali menolong dan membalaskan dendam untuknya. Benar saja Wang Sin kembali dan
melakukan pembalasan, akan tetapi Ci Ying, anaknya, calon isterinya Wang Sin, kenapa tidak datang" Itu tentu hanya satu artinya, yaitu Ci Ying anaknya itu sudah mati.
"Ci Ying......! Ci Ying......!" Kakek buta ini menangis.
Seorang tukang pukul yang kebetulan berada di dekat situ, melihat Ci Leng menjadi meluap kemarahannya. Inilah orangnya yang menjadi biang keladi sampai sekarang Wang Sin datang menggerakkan semua budak untuk memberontak.
"Anjing buta, mampuslah dulu kau!" serunya sambil mengayun golok membacok ke arah leher Ci Leng. Orang tua ini maklum bahwa dia yang dimaki dan hendak diserang, akan tetapi ia sudah tidak mempunyai nafsu untuk hidup, maka tanpa takut sedikitpun ia menanti datangnya maut.
Pada saat golok itu hampir menyentuh leher Ci Leng, terdengar jerit melengking yang amat tinggi dan nyaring, jerit yang membuat semua orang merasakan bulu tengkuknya berdiri. Malah hebatnya, jerit ini membuat banyak orang menggigil karena mengandung pengaruh yang mujijat.
Bahkan Wang Sin dan Ong Hui sendiri sampai melompat mundur ketika merasakan goncangan hebat dalam dada mereka mendengar jerit itu.
Lebih hebat lagi, terdengar suara "krakk!" dan tukang pukul yang tadi menyerang Ci Leng, telah terlempar dengan kepala remuk. Di lain saat orang-orang melihat Ci Leng telah dipeluk oleh seorang perempuan cantik yang menangis dan mendekap kepala orang buta itu ke dadanya.
"Ayah...... ayah.....!" wanita itu menangis sambil mengeluh.
"Ci Ying......." Wang Sin terbelalak dan girang, akan tetapi ia harus cepat mengelak karena kembali Thouw Tan Hwesio sudah menyerangnya. Juga Ong Hui sudah dikeroyok lagi. Nyonya muda ini sudah lelah sekali dan pundaknya sudah terpukul toya, maka geraknya amat lambat dan ia terancam bahaya besar. Keadaan Wang Sin tidak lebih baik, ia didesak habis-habisan oleh Thouw Tan Hwesio yang lihai.
"Ci Ying datang .....! Ci Ying datang .....!" Para budak meningkat semangat bertempur mereka melihat kedatangan Ci Ying. Mereka mengamuk terus biarpun sudah banyak di antara mereka yang tewas.
Ketika pertempuran sudah berlangsung lagi hebat dari pada tadi, kini tak seorangpun dapat memperhatikan Ci Ying. Gadis ini masih seperti dulu, lima tahun yang lalu, masih cantik manis.
Hanya pakaiannya yang kini sudah berganti seperti pakaian wanita Han. Rambutnya digelung tinggi, membuat wajahnya makin manis dipandang.
57 Senyumnya yang dulu masih membayang di bibirnya dan pipinya masih tetap kemerahan dihias lesung pipit di sebelah kiri. Akan tetapi kalau orang melihat sepasang matanya, ia akan menjadi kaget sekali. Mata ini luar biasa sekali, tajam dan mempunyai sinar yang aneh, malah menyeramkan.
Ci Leng menggerak-gerakkan pelupuk matanya yang buta dan dari mata yang sudah bolong itu mengalir air mata, akan tetapi mulutnya tersenyum. "Ci Ying ....anakku ....., syukurlah kau masih hidup..."
Kakek ini terengah-engah, memeluk anaknya erat-erat dan di lain saat ia telah menghembuskan napas terakhir dalam pelukan anaknya. Rupa-rupanya karena selama bertahun-tahun menderita sengsara dan mempertahankan diri untuk hidup karena ingin bertemu kembali dengan anaknya, setelah sekarang bertemu, kegirangan luar biasa menyebabkan kakek ini tidak kuat menahan dan jantungnya menjadi pecah mendatangkan kematiannya,
"Ayah .... Ayah....!" Ci Ying meraung-raung, akan tetapi hanya sebentar saja ia menangis. Tibatiba ia terdiam dan meletakkan tubuh ayahnya di atas tanah. Kemudian bangkit berdiri, memutar tubuh dan sepasang matanya yang aneh itu menyapu-nyapu semua orang di situ. "Ayah, kau telah dibikin buta, disiksa, dibunuh .... lihat, lihat baik-baik ayah. Anakmu akan membasmi mereka!"
Tubuhnya mencelat ke tengah pertempuran, sambil mengeluarkan pekik menyeramkan. Hebat sepak terjangnya. Sekali mengulurkan tangan ia menyerang dua orang tukang pukul. Dua orang itu dengan penuh kengerian mengangkat senjata mereka, seorang membacok dengan golok dan yang kedua mengemplang dengan toya besi.
Akan tetapi Ci Ying tidak mempedulikan serangan ini. Tangan kirinya menyampok golok yang segera terpental patah dan toya yang mengemplang pundaknya tidak ditangkis, akan tetapi terpental ketika mengenai pundak. Di lain saat kedua tangannya sudah menyambar, tepat dua orang itu kena dicengkeram lehernya dan sekali remas terdengar suara keras dan .... tulang leher dua orang itu patah-patah. Tubuh mereka terkulai tak bernyawa lagi.
Sambil mengeluarkan lagi pekik mengerikan, Ci Ying melemparkan dua mayat itu ke arah tukang pukul-tukang pukul yang lain. Hebatnya, lemparan ini mengandung tenaga luar biasa kuatnya sehingga sekali gus dua orang tukang pukul dan seorang budak yang kena tertumbuk dua mayat itu terjungkal tak dapat bangun lagi.
Kembali dia melompat maju dan menangkap dua orang tukang pukul yang sekali gus ia bunuh dalam cengkeraman kedua tangannya yang lihai. Terdengar suara keras dan ternyata sekarang sebuah lengan tangan dari masing-masing tukang pukul telah ..... putus terlepas dari pundak karena dibetot oleh Ci Ying. Dengan dua buah lengan ini ia lalu mengamuk ke kanan kiri dan dalam sekejap mata saja roboh enam orang tukang pukul lagi yang mengeroyok Ong Hui yang sudah kepayahan.
Melihat Wang Sin didesak oleh hwesio tinggi besar, Ci Ying melemparkan dua buah lengan itu ke arah pertempuran. Terdengar suara angin bersiut dan Wang Sin cepat mengelak sambil
menangkis dengan tangan kiri. Alangkah terkejutnya ketika ia merasa lengan tangan kirinya itu menjadi sakit dan linu sekali. Bukan main, bagaimana Ci Ying bisa memiliki tenaga demikian hebat dan kepandaian demikian lihai"
"Ci Ying.......!" Ia berseru girang, kaget dan ngeri.
58 "Hi, hi, hi Wang Sin. Serahkan saja anjing budak bangkotan ini kepadaku!"
Adapun Thouw Tan Hwesio yang juga menangkis lengan itu dengan toyanya, merasa pula
betapa telapak tangannya pedas. Ia kaget sekali dan jerih, akan tetapi serangan Ci Ying sudah tiba secara mendadak sehingga terpaksa ia melayani wanita aneh ini.
Tahu-tahu Ci Ying sudah menggunakan senjata yang istimewa, yaitu sehelai sabuk merah yang bergerak-gerak lemas bagaikan ular, akan tetapi jangan dipandang ringan sabuk sutera ini karena setiap ujung sabuk tidak kurang ganasnya dari pada seekor ular beracun. Sabuk ini digerakkan dengan tenaga lweekang yang mujijat, di samping dapat menotok urat-urat
kematian, juga sabuk ini telah direndam racun yang hebat dan berbahaya sehingga andaikata pukulan sabuk dapat ditahan oleh ahli lweekang, namun pengaruh racun tetap saja merupakan ancaman maut.
Melihat dua ujung sabuk itu dengan ganasnya menyambar ke arah kepala dan dadanya, Thouw Tan Hwesio kaget sekali dan cepat ia memutar toyanya untuk menangkis sambil mengerahkan tenaganya. Akan tetapi kali ini ia bertemu tandingan. Toyanya adalah senjata yang keras dan kaku, mana bisa mempengaruhi senjata sabuk sutera yang lemas.
Di lain saat toyanya sudah dilibat dan begitu Ci Ying membetot, hampir saja toya itu terlepas dari tangannya. Dalam kekagetannya, Thouw Tan Hwesio mengeluarkan seruan keras dan kedua
kakinya secara bertubi-tubi mengirim tendangan, sedangkan keringat dingin membasahi
mukanya. Ci Ying mengeluarkan suara ketawa mengejek sambil menarik sabuknya dan mengelak ke
belakang, kemudian ujung sabuknya kembali menyambar untuk menyambut kaki yang
menendang, Thouw Tan Hwesio cepat-cepat menahan tendangannya. Celakalah kalau sampai kakinya kena terlibat.
Segera keduanya mengeluarkan kepandaian masing-masing dan bertempur seru, akan tetapi selalu hwesio itu berada di pihak terdesak oleh permainan sabuk yang amat aneh dan ganas sekali itu. Melihat ini, Wang Sin timbul kegembiraannya, dan cepat ia melompat dan
menggerakkan pedangnya membantu Ci Ying.
Melihat majunya pemuda ini Thouw Tan Hwesio menjadi khawatir sekali. Ia memutar toyanya dan tiba-tiba mulutnya kemak-kemik dan di lain saat ia berseru dengan suara keras dan amat berpengaruh. "Rebahlah kalian!"
Hebat sekali suara Thouw Tan Hwesio ini. Dia adalah seorang ahli hoat-sut (sihir) yang merupakan ilmu hitam dan yang biasanya dipergunakan para pendeta Lama untuk
mempengaruhi dan menakut-nakuti para budak. Seruan itu adalah semacam ilmu sihir yang pengaruhnya merampas semangat orang, membuat orang menurut akan kehendak yang
menjalankan ilmu ini.
Wang Sin ketika mendengar seruan ini, tanpa dapat ditahan lagi lalu terhuyung dan hampir roboh. Andaikata dia hanya menghadapi hwesio itu seorang diri, tentu dalam keadaan seperti itu ia akan dapat diserang dan mengalami kecelakaan. Akan tetapi, alangkah heran dan terkejutnya hati Thow Tan Hwesio ketika melihat Ci Ying tertawa terkekeh-kekeh menghadapi serangannya dengan ilmu hitam tadi.
59 "Hi, hi, hi, anjing tua bangkotan, jangan membadut di depanku!" Dan Ci Ying terus menyerang sambil berkata kepada Wang Sin. "Wang Sin, mundurlah. Biarkan aku merampas kepala anjing gundul ini."
Wang Sin tidak berani maju lagi. Ia menoleh dan melihat isterinya masih mengamuk dan dikeroyok lagi oleh beberapa orang hwesio dan tukang pukul, ia melompat dan membantu isterinya. Semangat suami isteri ini bangkit kembali melihat datangnya bantuan Ci Ying yang lihai.
Mereka tidak menghiraukan luka-luka mereka dan dalam beberapa jurus telah merobohkan pula empat orang hwesio murid Thouw Tan Hwesio. Para budak juga terus menyerbu, malah
sekarang sudah mulai memasuki ruangan sebelah dalam gedung keluarga tuan tanah Yang Can.
Tuan tanah Yang Can ketika melihat keadaan yang amat berbahaya itu, telah mempersiapkan kuda dan berlari dari pintu belakang. Tuan tanah yang pengecut ini tidak memperdulikan lagi nasib keluarganya. Dengan sepuluh orang tukang pukul sebagai pelindung, ia melompat ke atas kuda dan melarikan diri.
"Tuan tanah keparat lari!" teriak Wang Sin. "Tahan dia jangan sampai lolos!"
Besama-sama isterinya, ia meninggalkan pengeroyok-pengeroyoknya dan mengejar. Akan tetapi sepuluh orang tukang pukul menghalangi mereka dan kuda yang ditunggangi oleh Yang Can sudah mulai kabur.
Tiba-tiba kuda itu meringkik dan roboh, membawa tuan tanah itu roboh bersama. Ternyata sebuah pisau belati telah dilontarkan oleh Ci Ying dan tepat menancap di leher kuda itu. Melihat tuan tanah yang dibencinya itu hendak lari, Ci Ying mengeluarkan kepandaiannya yang istimewa.
Sebuah ujung sabuknya menotok pergelangan tangan kiri Thouw Tan Hwesio membuat hwesio itu memekik kesakitan dan melepaskan toya, akan tetapi tangan kanan yang memegang toya masih digerakkan, mengayun toya ke arah leher Ci Ying.
Anehnya, Ci Ying sama sekali tidak mengelak, menerima saja gebukan ini. Benar-benar hebat gadis ini. Toya yang menghantam lehernya terpental dan sebelum Thouw Tan Hwesio hilang kagetnya, lengan kanannya sudah kena dicengkeram sampai patah tulangnya. Ia menjerit dan terhuyung mundur, akan tetapi tidak sempat mengelak ketika ujung sabuk merah menyambar dan melilit lehernya.
Hwesio tinggi besar ini kaget sekali. Tangan kanannya sudah patah dan tidak dapat digerakkan.
Dengan tangan kiri ia merenggut sabuk yang melibat leher, ditarik-tariknya sekuat tenaga namun sia-sia. Sabuk itu membalut leher makin erat, ia terhuyung dan roboh, namun bagaikan ular hidup sabuk merah itu membelit terus sampai akhirnya kedua matanya melotot dan lidahnya keluar. Ia menghembuskan napasnya dalam keadaan mengerikan setelah kaki tangannya
berkelonjotan. Sambil tertawa mengerikan Ci Ying melompat dan mengejar Yang Can. Tuan tanah ini ketika roboh dari kuda, dengan ketakutan merangkak-rangkak hendak melarikan diri. Akan tetapi tibatiba lehernya ditangkap orang dan tubuhnya diangkat ke atas.
Sekelebatan ia melihat wajah Ci Ying yang cantik akan tetapi dengan sinar mata yang membuat rambut kepalanya sampai berdiri saking takutnya. Sinar mata itu bukan sinar mata manusia lagi, melainkan sinar mata iblis yang haus darah. Ia memekik-mekik sampai lehernya kering dan tidak ada suara lagi keluar dari lehernya ketika Ci Ying menyeretnya ke depan mayat Ci Leng.
60 08. Keganasan Calon Isteri Tercinta.
Pada saat itu, semua budak di dusun Loka ternyata sudah ikut berontak dan menyerbu rumah tiga orang tuan tanah yang lain. Tidak terdapat banyak perlawanan pada tuan tanah yang lain itu karena semua pendeta Lama mementingkan tuan tanah Yang Can untuk mereka lindungi.
Tuan-tuan tanah yang lain itu siang-siang sudah melarikan diri, meninggalkan rumah dan harta benda mereka. Kini para budak sudah menggabungkan diri dengan budak-budak tuan tanah Yang Can sehingga kekuatan mereka benar-benar tak dapat dibendung oleh para tukang pukul yang biasanya galak-galak dan kejam-kejam.
Akan tetapi, ketika melihat sepak terjang Ci Ying, semua pemberontak menjadi ngeri. Wang Sin dan Ong Hui yang sudah kehabisan lawan karena tukang pukul-tukang pukul yang masih hidup sudah pada melarikan diri cepat-cepat dari tempat pertempuran, kinipun memandang ke arah Ci Ying.
Gadis ini menyeret tuan tanah Yang Can dan melemparkannya ke depan mayat Ci Leng.
Kemudian sambil terisak-isak gadis ini menyambar sebuah kursi, lalu ia mengangkat mayat ayahnya dan mendudukkan mayat itu di atas kursi.
Yang Can sudah menggigil seluruh tubuhnya, mukanya menyaingi muka mayat itu pucatnya dan ia mendeprok di atas tanah tidak bergerak lagi.
Setelah puas menangis di depan mayat ayahnya yang sekarang duduk di kursi dengan kepala disandarkan ke belakang sehingga seperti sedang berdongak, Ci Ying membentak tuan tanah itu.
"Hayo berlutut memberi hormat kepada tuan besar Ci Leng!"
Sambil berkata demikian tangannya mendorong pundak sampai tuan tanah itu roboh terguling.
Dengan ketakutan hebat Yang Can lalu merangkak dan berlutut di depan mayat Ci Leng,
mengangguk-anggukkan kepalanya sambil tiada hentinya meminta ampun.
"Ayah, ini musuh besarmu, anjing hina dina Yang Can minta ampun atas semua perbuatannya yang keji kepadamu. Ayah, sukakah kau mengampuninya?" Ci Ying berkata lagi sambil
memandang ayahnya. Sikapnya demikian sungguh-sungguh seperti sedang bicara dengan
seorang hidup dan hal ini membuat semua orang yang berada di sini melongo dan ngeri.
Mayat Ci Leng masih lemas, belum kaku dan karena disandarkan tanpa ada yang memegangnya, tiba-tiba kepalanya terkulai ke kiri, Ci Ying cepat menahan tubuh ayahnya supaya jangan terguling dan membenarkan letak duduknya.
"Ah, jadi kau tidak mau mengampuninya, ayah" Baik, anak akan mengambil jantungnya untuk ayah dahar."
Mendengar ini, Wang Sin sendiri sampai menjadi pucat mukanya. Tidak salah lagi, gerak gerik dan omongan gadis yang menjadi tunangannya itu menandakan bahwa Ci Ying sudah miring otaknya. Tiba-tiba gadis itu yang sudah menggerakkan tangan, tertawa bergelak melihat Yang Can menggigil minta-minta ampun.
"Ayah, biar dia merasai penderitaanmu lebih dulu." Setelah berkata demikian, begitu tangan kirinya bergerak dengan dua jari dibuka, sepasang mata tuan tanah itu telah ia korek keluar.
Yang Can menjerit melolong-lolong kesakitan, dari dua matanya yang bolong keluar darah.
61 Bukan main ngerinya. Sambil tertawa-tawa Ci Ying membawa dua biji mata itu kepada ayahnya dan memasukkan dua biji mata itu ke dalam rongga mata ayahnya yang sudah bolong. "Biar matanya menggantikan matamu, ayah," katanya lagi, suaranya nyaring tinggi dan masih merdu, akan tetapi mengandung pengaruh yang membuat orang merasa bulu tengkuknya meremang.
"Anjing hina, sekarang berikan jantungmu kepada ayah!" Tangan kanannya bergerak dengan jari-jari terbuka dan..... sekali tusuk tangannya itu telah masuk ke dalam dada Yang Can dan di lain saat tangan itu sudah membetot keluar sebuah benda kecil kemerahan yang berlepotan darah.
Itulah jantung Yang Can. Tubuh tuan tanah itu berkelonjotan tapi hanya sebentar, karena nyawanya telah meninggalkan tubuhnya. Dadanya terbuka lebar dan darah membanjir di lantai itu.
Ci Ying mengambil sebuah meja, dan menaruh jantung manusia di atas meja yang dipasang di depan mayat ayahnya. Kemudian matanya menyambar ke sana-sini, lalu tubuhnya mencelat dan di lain saat ia telah menghampiri dua orang tukang pukul yang masih rebah merintih-rintih. Dua kali tangannya bekerja dan leher tukang pukul itu telah ia tabas hancur dan putus hanya dengan tangan kosong. Ia membawa dua kepala itu dan ditaruhkan di atas meja pula.
Melihat ini, semua orang merasa ngeri. Wang Sin dan Ong Hui terkejut bukan main. Dengan tangan kosong sekali tabas memutuskan leher orang inilah kepandaian yang selain mengerikan, juga luar biasa lihainya. Saking heran dan seram, mereka tidak dapat mengeluarkan kata-kata, hanya mengikuti Ci Ying dengan pandangannya. Sambil tertawa Ci Ying masih mencari tukang pukul-tukang pukul yang belum mati dan seperti tadi, ia memutus leher mengambil kepala orang sampai sebentar saja meja itu penuh kepala tukang-tukang pukul dan pendeta-pendeta Lama yang belasan jumlahnya.
"Itulah Thai-lek Pek-kong-jiu....." bisik Ong Hui, suaranya gemetar. Gadis ini adalah puteri seorang jagoan, sudah banyak ia menghadapi pengalaman-pengalaman hebat, sudah sering ia melihat orang-orang pandai dan ilmu-ilmu yang lihai, akan tetapi baru kali ini dia menghadapinya dengan hati berdebar ngeri. Ia pernah mendengar dari ayahnya tentang ilmu pukulan Thai-lek Pek-kong-jiu yang amat lihai, yang membuat tangan orang menjadi sekuat baja, setajam golok.
Maka melihat perbuatan Ci Ying, tanpa terasa lagi ia mengeluarkan ucapan itu.
Biarpun ia hanya berbisik di dekat suaminya, namun ternyata Ci Ying mendengarnya juga. Gadis ini cepat memutar tubuh dan sepasang matanya liar menentang Ong Hui. Tiba-tiba ia
mengeluarkan pekik nyaring dan tubuhnya menyambar ke arah Ong Hui dengan tangan
mencengkeram. Ong Hui kaget, cepat mengelak ke kanan. Ia merasai dinginnya hawa pukulan yang lewat di dekat lehernya, membuat ia bergidik. "Berbahaya......" katanya dalam hati.
Sementara itu, Ci Ying kelihatan heran melihat serangannya tidak berhasil. Dikeluarkannya sabuk merahnya yang lihai dan ia hendak menyerang lagi. Akan tetapi Wang Sin melompat maju dan mencegat.
"Ci Ying, jangan .....!"
Mendengar suara Wang Sin, gadis ini menengok dan agaknya baru ia teringat bahwa Wang Sin berada di situ. Ia ragu-ragu dan sambil memandang ke arah Ong Hui dengan mata liar penuh ancaman, ia bertanya.
62 "Siapa dia .....?"
Wang Sin bingung. Kalau keadaan Ci Ying tidak seperti itu, tentu ia akan mengaku terus terang malah hendak bicara dengan jelas mengapa ia sampai menikah dengan gadis lain. Akan tetapi di situ banyak orang, pula keadaan Ci Ying demikian menyeramkan, ia khawatir akan terjadi hal-hal lebih hebat kalau berterus terang.
"Dia .... dia orang sendiri, Ci Ying, bukan musuh."
Ci Ying tersenyum mengejek dan melempar rasa ejekan kepada Ong Hui. "Hemmm, baiknya ada tunanganku ini yang mengingatkan. Baiklah, melihat muka tunanganku, aku bebaskan kau dari kewajiban mengantar roh ayah."
Sebelum Ong Hui yang menjadi marah sekali itu sempat menjawab, seperti orang di ngatkan, Ci Ying berpaling kepada Wang Sin, memegang tangannya dan berkata girang, "Ah, hampir aku lupa, Wang Sin. Cita-cita kita sejak dulu belum juga terlaksana. Sekarang selagi ayah masih duduk di sana, mari kita langsungkan perkawinan kita di depan ayah." Ia menarik tangan Wang Sin, diajak bersembahyang di depan mayat ayahnya.
Wang Sin menjadi pucat. Tak terasa lagi ia merenggut tangannya, terlepas dari pegangan Ci Ying. Gadis itu memandangnya dengan kerling dan senyum seperti dulu ketika mereka masih berada di situ. Manis dan menarik. Ternyata gadis ini masih belum kehilangan sifat-sifat cantiknya masih menarik dan manis. Hanya sepasang matanya itu saja yang membuat jantung Wang Sin berdenyut tak enak. Sepasang mata yang membayangkan sinar aneh menakutkan. Apa yang sudah terjadi atas diri gadis ini?"
Melihat keraguan Wang Sin, Ci Ying bertanya, "Wang Sin, kanda Wang Sin yang baik, kenapa kau ragu-ragu?"
Wang Sin bingung tak dapat menjawab. Akhirnya ia menarik napas panjang dan bertanya, "Ci Ying, alangkah berubahnya engkau. Apakah yang sudah terjadi dengan dirimu" Bagaimana kau tahu-tahu bisa memiliki kepandaian sehebat ini?"
Ci Ying tertawa, masih merdu dan nyaring, akan tetapi kembali jantung Wang Sin berdenyut aneh mendengar suara ketawa yang seram ini. Setelah tertawa bergelak tanpa menjawab
pertanyaan Wang Sin, Ci Ying tiba-tiba mengangkat kedua tangannya, memandang kepada
semua budak yang berdiri di situ sambil berseru, "Hai, kawan-kawan semua! Hayo kalian semua berlutut dan memberi hormat kepada tuan besar Ci Leng, ayahku!"
Para budak tidak ada yang berani membantah. Serentak mereka menjatuhkan diri berlutut, bahkan di antaranya ada yang mulai menangis untuk menyatakan kesedihan karena kematian Ci Leng. Wang Sin sendiri yang menaruh hormat kepada orang tua itu, tanpa ragu-ragu lalu berlutut pula memberi hormat. Ci Ying menangis dan tertawa bergantian seperti orang gila, kemudian ia berkata.
"Wang Sin, ketika aku melarikan diri, aku diculik oleh anjing-anjing tuan tanah. Kemudian aku ditolong oleh Cheng Hoa Suthai yang selanjutnya membawaku ke Heng-toan-san dan aku
menjadi muridnya. Guruku itu setuju aku turun gunung membasmi para tuan tanah, dan setuju pula aku menikah denganmu, dengan siapa saja yang ku suka. Aku hanya suka kepadamu
seorang Wang Sin. Sekarang mari kita bersumpah di depan ayah untuk menjadi suami isteri seperti yang kita cita-citakan dulu."
63 Wang Sin sudah mengambil keputusan untuk memutuskan tali perjodohannya dengan Ci Ying, gadis yang sekarang berubah menjadi wanita menyeramkan ini. Ia tahu bahwa tidak akan mungkin ia mengawini gadis ini disamping isterinya. Maka dengan suara gemetar saking tegang hatinya akan tetapi dengan pandangannya jujur ia berkata.
"Hal itu tak mungkin dilakukan, Ci Ying, karena ....."
"Apa katamu" Karena apa ....." Hayo katakan, kenapa kau menolak?" Suara Ci Ying berubah beringas, penuh ancaman.
"Karena .....karena aku sudah menikah! Dia itu, Ong Hui puteri suhuku, dialah isteriku," jawab Wang Sin sambil menunjuk ke arah Ong Hui.
Ci Ying menengok dan memandang Ong Hui yang tentu saja kelihatan jelas karena dia ini tidak ikut berlutut seperti semua orang yang berada di situ. Melihat bahwa isteri Wang Sin adalah wanita yang tadi hendak diserangnya, kekagetan hati Ci Ying berubah menjadi kemurkaan hebat.
Mukanya yang tadi berubah agak pucat mendengar jawaban Wang Sin, kini menjadi merah dan matanya makin liar berapi.
"Hei, kau berani merampas kekasihku" Kau sudah bosan hidup!" Sambil mengeluarkan pekik keras, tubuh Ci Ying mencelat dan ia mengirim serangan ke arah dada Ong Hui.
Wang Sin yang sudah menaruh hati khawatir dan sudah siap siaga, melompat maju dan cepat menangkis. Serangan Ci Ying tadi hebat sekali, sampai-sampai Wang Sin yang menangkis dari samping terpental mundur tiga langkah dengan lengan terasa sakit. Akan tetapi pukulan Ci Ying itupun meleset tidak mengenai Ong Hui yang sudah meloncat ke kiri.
Semenjak tadi, muka Ong Hui yang cantik itu sebentar pucat sebentar merah. Sebetulnya ia merasa amat kasihan kepada Ci Ying yang sudah ia dengar riwayat hidupnya dari Wang Sin.
Semenjak dulu iapun sudah siap sedia dan rela untuk membiarkan suaminya itu menikah dengan Ci Ying kalau mereka dapat saling bertemu kembali. Hanya sama sekali ia tidak mengira bahwa Ci Ying tunangan suaminya itu ternyata demikian ganas wataknya. Betapapun juga ia mengenal aturan maka ia merasa berat hatinya seperti tertikam pedang ketika mendengar tuduhan Ci Ying bahwa ia telah merampas kekasih orang.
"Enci Ci Ying......, sudah lama kami mencari-carimu. Kau menikahlah dengan dia kalau kau menghendaki....., aku..... aku biarlah aku pergi kalau kau tidak suka menjadi saudara tuaku....."
Setelah berkata demikian, dengan isak ditahan nyonya muda ini membalikkan tubuhnya dan pergi dari situ.
"Hui-moi......!" Wang Sin memanggil isterinya. Ketika Ong Hui tidak menoleh dan juga tidak kembali ia melompat mengejar. Tiba-tiba angin bersiut di pinggir kanannya dan tahu-tahu Ci Ying sudah berdiri menghadang di depannya, memandang kepadanya dengan sinar mata marah dan mulut tersenyum mengejek.
"Dia telah merampas hak orang lain dan sekarang pergi dengan aman, aku tidak turun tangan membunuh ia, juga sudah amat baik baginya."
:Ci Ying, dia.... dia isteriku...." kata Wang Sin dengan hati terpukul.
64 "Hemmm, kalau aku.... apamukah" Sungguh rendah, dapat yang baru lupa yang lama. Apa kau hendak mengingkari janji lama yang diadakan oleh orang-orang tua kita?"
Wang Sin tidak dapat menjawab, ia bingung. Ia melihat bayangan isterinya sudah jauh sekali.
Kembali ia hendak mengejar, akan tetapi dengan sekali dorong di pundaknya Ci Ying dapat menahannya, membuat Wang Sin hampir terjengkang. Orang muda ini kaget sekali dan maklum bahwa Ci Ying sudah memiliki kepandaian yang luar biasa dan ia takkan dapat melawannya.
"Akan tetapi dia..... dia sudah mengandung. Ci Ying, kau kasihanilah dia......"
Wajah Ci Ying yang cantik itu berubah ketika sinar matanya kembali menjadi liar. Ia bertolak pinggang dan suaranya penuh ancaman. "Wang Sin, hanya ada dua jalan kalau kau hendak kembali kepada kuntilanak itu. Pertama kau bunuh aku kalau kau bisa, dan kedua aku akan mencari dia dan membunuh dia dan anaknya!"
Inilah kata-kata yang hebat, yang membuat jantung Wang Sin berdebar keras. Tak dapat ia mengambil keputusan di saat itu. Hati kecilnya berkata bahwa dalam hal ini, dialah yang salah. Ci Ying hanya menuntut haknya sebagai akibat dari ikatan jodoh yang lalu. Dia maklum akan hal ini maka ketika ia hendak dinikahkan dengan Ong Hui dahulu, dia sudah ragu-ragu dan sudah berterus terang kepada Ong Hui dan ayahnya. Akhirnya dia menerima karena dia
berpengharapan kalau Ci Ying masih hidup, ia dapat mengawini tunangannya itu disamping Ong Hui.
Siapa kira bahwa Ci Ying benar-benar masih hidup dan gadis ini tidak rela membiarkan dia menikah dengan wanita lain. Siapa kira Ci Ying sudah begini berubah, membuat cintanya yang dahulu lenyap. Cinta kasihnya yang dulu terhadap Ci Ying telah diganti dengan cinta kasih terhadap Ong Hui, terhadap isterinya, ibu dari calon anaknya.
"Wang Sin, di mana semangatmu?" Ci Ying menegur. "Bukankah kau kembali untuk menolong kawan-kawan dan saudara-saudara kita" Benar kita sudah berhasil membasmi tuan tanah-tuan tanah dan kaki tangannya di Loka, akan tetapi bukankah musuh besar kita yang utama, si anjing Yang Nam, masih hidup?"
Wang Sin sadar mendengar ini. Baiklah, pikirnya, urusan penting ini diselesaikan dulu. Kelak mudah dia menyusul isterinya. Adapun tentang perjodohannya dengan Ci Ying, perlahan-lahan ia dapat menyadarkan gadis ini bahwa ikatan jodoh itu tidak mungkin dilanjutkan mengingat bahwa dia sudah mempunyai isteri lain, malah sudah hampir menjadi seorang bapak. Akan ia ceritakan perlahan-lahan kepada Ci Ying tentang pertemuannya dengan Ong Hui dan mengapa ia sampai menikah dengan gadis Han itu.
Setelah kembali memikirkan nasib kawan-kawannya, para budak itu, bangkit kembali semangat Wang Sin dan ia dapat melupakan kebingungannya karena urusan pribadinya. Ia melihat semua budak dari dusun Loka sudah berkumpul di tempat itu dan segera ia mendengar laporan mereka.
Ternyata bahwa semua tuan tanah telah melarikan diri berikut keluarga mereka, dilindungi oleh beberapa orang tukang pukul, pendeta dan alat-alat negara yang ikut melarikan diri ke utara.
Dusun Loka sudah kosong ditinggalkan, yang ada hanya sisa para budak yang tidak tewas dalam pertempuran.
"Nak Wang Sin dan Ci Ying, kalian telah menolong kami dari penindasan para tuan tanah di Loka, untuk itu kami merasa beruntung dan berterima kasih sekali. Impian yang sudah berabad-abad dimimpikan oleh para budak hari ini menjadi kenyataan. Akan tetapi, harap kalian tidak kepalang 65
tanggung menolong kami," kata seorang budak tua yang bersemangat dan tadi ikut bertempur mati-matian.
"Apa maksudmu paman tua?" tanya Wang Sin.
"Masih ada tuan tanah dan kaki tangannya yang berhasil melarikan diri," jawab budak itu.
"Sudah dapat dipastikan bahwa mereka tentu akan melaporkan diri ke Lasha. Kejadian hari ini di Loka tentu takkan dibiarkan begitu saja oleh pembesar-pembesar di Lasha, juga kematian pendeta-pendeta Lama yang membantu tuan-tuan tanah tentu takkan dibiarkan oleh pendetapendeta kepala di sana. Pembalasan tentu akan segera tiba dan sukar dibayangkan apa yang
akan terjadi kalau bala tentara dan para pendeta itu datang membalas dendam ke sini,"
"Takut apa?" tiba-tiba Ci Ying berseru keras mengagetkan semua orang. "Biarkan mereka datang akan kuganyang satu demi satu?"
Wang Sin mengerutkan kening dan menggeleng kepalanya.
"Tidak bisa begitu, Ci Ying. Kau dan aku mungkin bisa menjaga diri dan melakukan perlawanan.
Akan tetapi bagaimana dengan kawan-kawan yang lemah ini" Kalau pembalasan dari Lasha datang jumlah mereka tentu akan lebih banyak dan tidak dapat kita membiarkan kawan ini menjadi korban."
Ci Ying hendak membantah, akan tetapi setelah ia mulai berbaik kembali dengan tunangannya ini, tidak mau ia bertengkar. Ia tertawa dan berkata. "Kanda Wang Sin yang baik, terserah kau yang urus. Sebagai istrimu aku menurut saja."
Kecut-kecut hati Wang Sin mendengar ini, akan tetapi ia tidak dapat membantah, hanya tersenyum saja. Lalu ia menghadapi semua budak dan berkata, suaranya keras dan nyaring.
"Kawan-kawan semua! Urusan menghadapi musuh kalian serahkan saja kepada aku dan Ci Ying.
Sekarang harap kalian suka memenuhi permintaanku ini. Lebih dulu kalian urus semua jenazah kawan-kawan kita yang gugur, kubur baik-baik dan rawat yang terluka. Kemudian kumpulkan semua harta milik tuan tanah dan bagi-bagi yang rata. Setelah itu kalian harus cepat-cepat meninggalkan tempat ini dan carilah penghidupan baru di tanah timur di mana kalian akan terbebas dari penghisapan dan penindasan tuan tanah yang kejam. Biar aku dan Ci Ying menjaga keamanan kalian sampai kalian dapat keluar dari tapal batas Tibet."
Semua budak setuju dan beramai-ramai mereka lalu bekerja siang malam. Permintaan Wang Sin ini dapat diselesaikan dalam waktu dua hari dan pada hari ketiga berangkatlah mereka itu, lebih dari tiga ratus orang budak, berbondong-bondong melarikan diri ke timur.
Setelah mengawal rombongan pengungsi ini selama dua hari, Ci Ying lalu berkata kepada Wang Sin. "Cukup, kita tidak boleh mengawal terus. Kita harus kembali!"
"Kenapa?" tanya Wang Sin kaget.
"Kita harus mengejar ke Lasha. Anjing Yang Nam masih belum mampus!" Ketika menyebut nama ini matanya memancarkan sinar kilat.


Nona Berbunga Hijau ( Kun Lun Hiap Kek ) Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Wang Sin mengangguk. "Kau betul, setelah sampai di sini, sebelum membasmi Yang Nam, tugas kita belum selesai. Membasmi pohon jahat harus dengan akar-akarnya, dan di antara semua 66
musuh kita, Yang Nam paling busuk." Sama sekali dia tidak menyangka bahwa sebetulnya adanya Ci Ying mengajak dia kembali ke barat untuk menyerbu ke Lasha, sebetulnya karena gadis ini khawatir kalau-kalau Wang Sin hendak menyusul Ong Hui.
Wang Sin lalu mengumpulkan para pengungsi dan berkata.
"Sekarang kalian boleh melanjutkan perjalanan dan sebaiknya dilakukan secara berpencar. Kalau terlalu banyak bergerombol bisa menimbulkan kecurigaan dan juga lebih mudah terdapat jejak kalian kalau ada pengejaran."
Wang Sin maklum bahwa nasib para budak ini belum tentu baik semua. Ada bahaya mereka bertemu orang jahat atau dapat dikejar oleh kaki tangan tuan tanah. Maka kalau berpencar, setidaknya bukan semua yang akan celaka.
Para budak kecewa akan tetapi tak dapat membantah. Ketika mereka berkemas terdapat
keributan tentang kawan-kawan yang terluka. Mereka saling menolak, keberatan kalau harus membawa kawan-kawan yang terluka berat dan tidak dapat berjalan sendiri.
Memang, dalam penderitaan dan menghadapi bahaya orang-orang dapat bersatu padu dan
saling membela, akan tetapi sekali keluar dari bahaya, sifat mementingkan diri sendiri timbul dan masing-masing hendak menyelamatkan diri dan keluarga sendiri.
Wang Sin menjadi bingung melihat kegaduhan ini. Di antaranya para budak, yang terluka berat dan harus ditolong ada tiga puluh orang lebih. Mereka hendak berpencaran dan saling menolak untuk membawa kawan-kawan terluka. Bagaimana baiknya"
"Coba kumpulkan mereka yang terluka berat ke sini!" tiba-tiba Ci Ying yang tidak sabar lagi membentak.
Semua orang lalu sibuk, mengangkuti mereka yang terluka berat, dikumpulkan di lapangan. Yang luka-luka berat ini menyedihkan sekali keadaannya. Mereka terluka karena bacokan senjata tajam dan keluhan mereka menimbulkan sedih dalam hati.
"Selain tiga puluh satu orang ini, yang lain-lain dapat berjalan sendiri?" tanya Ci Ying.
"Bisa!" jawab para budak serampak.
Tiba-tiba Ci Ying meloncat dan tubuhnya berkelebat seperti burung walet menyambar ke sana ke mari, tangannya kiri kanan digerakkan ke arah orang-orang yang terluka berat.
"Ci Ying......!!" Wang Sin berseru kaget sekali melihat gadis itu sekali pukul membunuh orang yang terluka itu satu demi satu. Ia juga melompat hendak mencegah, akan tetapi gerakan Ci Ying luar biasa cepatnya, pukulan tangannya ampuh sekali sehingga dalam beberapa menit saja tiga puluh satu orang itu telah menggeletak tak bernyawa lagi.
"Ci Ying, apa yang kaulakukan ini?" kata Wang Sin, suaranya gemetar karena ia menahan marahnya.
Ci Ying tersenyum manis padanya. "Dibawa pergi, tidak seorangpun mau melakukannya.
Ditinggal di sini, akan mati kelaparan. Tertangkap tuan tanah, akan mati disiksa. Bukankah lebih 67
baik mati begini, tidak menderita?" jawaban ini tenang saja seakan-akan membunuh tiga puluh satu orang itu hanya soal kecil tak berarti saja.
Kemudian ia berteriak kepada semua orang. "Hayo kubur mereka lalu lanjutkan perjalanan kalian!"
Semua budak yang tadinya menjadi pucat karena ngeri, tidak berani membantah perintah nona yang hebat itu. Cepat mereka mengubur mayat tiga puluh satu orang kawan mereka itu, lalu mereka melanjutkan perjalanan dengan cepat dan ketakutan, khawatir kalau-kalau dapat dikejar tuan tanah.
"Kanda Wang Sin, mari kita kembali, menuju ke Lasha."
Ketika mengucapkan kata-kata, sikap Ci Ying sudah berubah lagi, lemah lembut dan manis.
Sepasang mata dan senyumnya membayangkan cinta kasih mesra. Ia malah menggandeng
lengan tangan Wang Sin untuk diajak pergi. Orang muda itu menurut saja, berkali-kali menarik napas panjang. Tak dapat disangkal lagi, setelah Ci Ying bersikap manis seperti ini, terbayanglah hubungan mesra di waktu mereka masih remaja dahulu dan harus ia akui bahwa sebetulnya cinta kasih pertama yang bersemi di dalam hatinya masih belum mati.
"Kanda Wang Sin, kau kenapa menghela napas?" tanya Ci Ying, bibirnya tetap tersenyum akan tetapi matanya yang jeli memandang penuh selidik.
Wang Sin tidak mau kalau disangka ia menyedihkan perpisahannya dengan isterinya. Ia tidak mau membangkitkan cemburu di dalam hati gadis ini yang sekarang berubah menjadi seorang berwatak aneh. Ia hendak menyadarkan gadis ini perlahan-lahan.
"Ci Ying, aku bingung melihat perubahan pada dirimu. Terhadap tuan tanah kau berlaku kejam, itulah sudah semestinya dan aku mengerti karena kita memang sejak lahir di dunia selalu menderita sengsara karena mereka. Akan tetapi tadi..... kau membunuh kawan-kawan sendiri yang terluka begitu saja seperti orang membunuh tikus.... ah, benar-benar aku tidak mengerti!"
"Membunuh orang-orang luka yang tidak ada harapan lagi, untuk menolong banyak orang yang masih sehat, bagaimana bisa dibilang kejam" Apalagi kalau di ngat pembunuhan itu untuk menolong keselamatan mereka dan diri sendiri, lebih-lebih bukan kejam namanya. Kejam adalah tuan-tuan tanah dan kaki tangannya yang membunuh orang untuk kesenangan diri sendiri."
"Menolong diri sendiri?" tanya Wang Sin heran.
"Tentu saja. Kalau mereka tidak dibunuh, perjalanan terlambat dan kita terpaksa mengawal terus. Kalau kita mengawal terus, kita tidak akan bergerak leluasa dan bebas kalau terjadi pertempuran. Tentu kita menjadi rugi dan terancam."
"Eh, kenapa begitu?"
Ci Ying cemberut. "Kau carilah sendiri. Hayo kita percepat jalan, sudah gatal-gatal tanganku untuk mencekik leher jahanam Yang Nam dan membetot keluar jantungnya."
Wang Sin tidak berkata-kata lagi, melainkan mengerahkan tenaga untuk mengimbangi kecepatan larinya gadis itu yang bergerak ringan sekali. Diam-diam hatinya mengeluh. "Ganas.......
ganas......."
68 09. Kembang Hijau Batu Kumala.
Ketika hari menjadi malam, dua orang muda ini tiba di sebuah padang rumput yang di sana sini ditumbuhi beberapa batang pohon. Di waktu musim salju, tempat ini penuh salju dan pohonpohon itu gundul tak berdaun. Baiknya waktu itu musim salju sudah lewat dan biarpun tidak
gemuk tanah di situ ditumbuhi rumput hijau dan pohon-pohon itu mengeluarkan daun. Mereka berhenti di bawah sebatang pohon dan duduk di atas rumput yang lunak.
Dari jauh terdengar menguaknya beberapa ekor binatang yak dan mengembiknya kambingkambing yang berkeliaran. Itulah binatang peliharaan tuan tanah di Loka yang dalam keributan tadi telah lari cerai berai.
"Tunggu aku mencari susu dan makanan!" kata Ci Ying. Tubuhnya berkelebat dan sebentar saja ia lenyap dari dari depan Wang Sin. Orang muda ini kagum sekali. "Dia begitu hebat
kepandaiannya. Benar-benar mengherankan. Aku yang berlatih siang malam dibawah pimpinan suhu yang pandai, ternyata masih kalah jauh olehnya, padahal dia dahulu seorang gadis lemah,"
pikirnya. Tak lama gadis ini pergi. Ia telah kembali lagi membawa sebuah paha domba yang gemuk dan di lain tangan memegang sebuah tempat minum yang tadi dibawanya, penuh dengan susu murni yang segar. Ia tertawa-tawa gembira dan lagaknya kembali sebagai Ci Ying lima tahun yang lalu.
"Kanda Wang Sin. Aku memanggangkan daging domba yang gemuk dan memanaskan susu yang
segar untukmu."
Timbul lagi kegembiraan Wang Sin melihat sikap gadis ini. Ah, kalau saja Ci Ying seterusnya seperti ini, seperti dahulu lagi. Mudah mengajaknya berunding.
"Aku membuat apinya," katanya sambil tertawa. Melihat pemuda itu sudah mau tersenyum, Ci Ying makin gembira.
Wang Sin membuat api unggun sedangkan gadis itu memotong-motong daging domba. Entah
dari mana dapatnya, ia mengeluarkan bumbu-bumbu dari dalam saku bajunya. Tak lama
kemudian tercium bau sedap daging domba dipanggang dan segera kedua orang muda yang
sudah lapar itu makan daging panggang dengan air susu. Nikmat sekali rasanya, apalagi dimakan di bawah sinar bulan yang sudah muncul di langit yang bersih cerah.
Hawa malam itu sangat dingin. Ci Ying merebahkan diri di atas rumput dengan kepala di atas pangkuan Wang Sin. Pemuda itu tidak menolak dan membiarkan saja Ci Ying menaruh kepalanya di atas paha. Sebentar saja Ci Ying tertidur dengan senyum manis di bibirnya.Wang Sin memandang wajah manis di pangkuannya itu yang nampak luar biasa cantiknya di bawah sinar bulan. Kembali ia menarik napas panjang.
"Alangkah cantik manisnya Ci Ying ....sayang sekali ia berubah menjadi seorang berhati ganas."
Kemudian ia melamun, teringat akan pengalaman-pengalaman Ci Ying dahulu. Belum sempat ia mendengarkan cerita Ci Ying semenjak mereka berpisah. Bagaimana nasib bocah kecil yang dulu dibawa oleh gadis ini" Besok akan kutanyakan dia dan perlahan-lahan akan kujelaskan tentang pernikahanku dengan Ong Hui, demikian pikir Wang Sin.
69 Dengan pikiran ini ia menjadi lega. Ia menyandarkan tubuhnya pada batang pohon. Dilihatnya tubuh Ci Ying bergerak seperti kedinginan ketika angin bertiup. Ia melepas baju luarnya dan menyelimuti gadis itu.
"Kanda Wang Sin....." gadis itu berbisik perlahan tanpa membuka matanya. Kiranya dia sedang bermimpi, Wang Sin lalu memeramkan matanya dan saking lelahnya ia tertidur sambil bersandar pada pohon. Api unggun masih menyala, lidah api mobat mabit (bergoyang-goyang) tertiup angin. Wang Sin telah menaruh sebatang cabang kering yang besar sehingga dalam waktu dua tiga jam api itu takkan padam.
Tiba-tiba Wang Sin terkejut ketika mendengar suara berisik. Ia membuka matanya dan segera melompat bangun ketika melihat Ci Ying tertawa-tawa sambil bergerak-gerak ke sana ke mari.
Dia sedang dikeroyok tiga orang laki-laki tinggi besar yang wajahnya tidak kelihatan nyata dalam sinar yang suram itu. Api unggun sudah hampir padam sedangkan bulan bersembunyi di balik awan hitam yang tebal.
Sebelum ia sempat bergerak, terdengar suara "Krakkk!" disusul jerit mengerikan. Ternyata seorang pengeroyok telah kena dihantam dadanya oleh tangan kiri Ci Ying sehingga ia terjungkal roboh di dekat api unggun. Sambil melayani lawan yang dua orang lagi, Ci Ying tertawa dan kakinya menyambar. Tubuh orang itu terlempar dan ...... jatuh ke atas api yang masih marong dan merah.
Orang itu berkelojotan, Wang Sin mengkirik. Cepat ia melompat dan menggunakan kakinya menyingkirkan orang yang mulai terbakar itu dari atas api unggun. Siapa pun juga itu, tidak tega ia melihat orang dibakar hidup-hidup.
"Kanda Wang Sin, kau sudah bangun" Lihat aku robohkan dua ekor kadal busuk ini!" kata Ci Ying. Cepat sekali sabuk merahnya bergerak-gerak seperti ular dan dua orang yang bersenjata golok itu repot sekali menghadapi desakan Ci Ying yang lihai. Bagi mereka, ujung sabuk merah itu berubah menjadi belasan, membuat mata mereka kabur dan permainan golok mereka kacau.
Padahal menurut penglihatan Wang Sin, ilmu golok dua orang itu tidak lemah, bahkan cepat dan kuat sekali. Pada waktu sebuah golok menyambar leher Ci Ying dan golok kedua menusuk perutnya, gadis itu menggunakan ujung sabuknya melibat golok pertama dan kakinya
menendang golok kedua yang mengancam perut. Hebat sekali gerakan gadis ini. Tangkisan golok menggunakan tendangan kaki membuktikan bahwa tingkat kepandaiannya memang sudah
tinggi, kalau tidak demikian tidak nanti dia berani menendang golok yang sedang menusuk perutnya.
Golok terpental dan tendangan susulan tepat mengenai perut orang yang gemuk. "Blukkk!" Perut yang besar seperti perut kerbau itu terkena ciuman ujung sepatu Ci Ying mengeluarkan suara seperti tambur dipukul. Orangnya terjengkang dan tidak bangun lagi.
Adapun orang ketiga yang goloknya terkibat, mencoba untuk membetot senjatanya, akan tetapi sia-sia. Malah tiba-tiba goloknya itu terbang terlepas dari tangannya, terayun-ayun dibelit ujung sabuk dan alangkah kaget ia melihat goloknya sendiri itu membalik dan "terbang" ke arah kepalanya. Ia mencoba untuk mengelak, akan tetapi golok itu yang dipegangi oleh libatan sabuk terus mengejarnya dan akhirnya "Crakkk!" kepalanya terbela oleh goloknya sendiri.
"Hi-hi-hi, baru kalian merasa kelihaian nonamu!" Ci Ying tertawa girang. Golok rampasan di ujung sabuknya itu ia gerak-gerakan lagi, kini menyambar kepada dua orang yang lain yang 70
sudah ia robohkan lebih dulu. Terdengar bunyi "crakk-crakk!" dua kali dan kepala dua orang inipun terbelah dua.
Wang Sin hendak mencegah sudah tidak keburu lagi. Apalagi ia sedang terkejut mendengar datangnya suara kaki kuda dan kaki orang yang banyak sekali, disertai teriakan-teriakan marah.
Tiba-tiba angin besar bertiup dan api unggun yang sudah kehabisan umpan itu padam, tinggal bunga apinya yang berterbangan ke sana sini mendatangkan penglihatan yang amat indah.
Keadaan menjadi gelap sekali dan angin bertiup makin keras sampai hampir tidak tertahan lagi.
Wang Sin bertiarap dan di lain saat ia meraba muka Ci Ying yang ternyata juga sudah bertiarap dekat sekali dengannya. Muka gadis itu begitu dekat sampai ia dapat merasai napas yang hangat dan bau yang harum. Hatinya berdebar lagi seperti tadi ketika gadis itu tertidur di atas pangkuannya. Benar aneh, ganas dan lihai sekali, pikirnya.
"Hi-hi, kanda Wang Sin. Bagaimana kau melihat jurus-jurusku tadi?" Gadis itu berkata kuat-kuat karena suara angin membuat orang sukar bicara dan takkan terdengar kalau tidak berteriak.
"Kau mau tahu namanya" Ketika aku robohkan orang pertama, itulah jurus Hek-mo-to-sim (Iblis Hitam Menyambar Hati), ketika aku menendang perut kerbau gemuk itu aku menggunakan jurus tendangan Toat-beng-twi (Tendangan Merenggut Nyawa) dan yang terakhir tadi sabuk merahku bergerak merampas golok dengan jurus Iblis Terbang Mencari Mayat. Bagus, bukan?"
Wang Sin bergidik. Sudah banyak ia mendengar ilmu-ilmu silat di dunia Kang-ouw dari suhunya, juga dari Ong Hui, akan tetapi belum pernah ia melihat jurus-jurus yang demikian ganas dan lihai, malah juga nama jurus-jurus itupun mengerikan.
"Memang lihai......" jawabnya, "akan tetapi....... terlalu ganas. Ci Ying, kenapa kau bunuh orangorang itu, malah kau membunuh secara demikian mengerikan?" Iapun harus bicara keras untuk
melawan riuhnya suara angin ribut.
"Apa kau bilang" Bicara dekat telingaku sini!" Ci Ying mendekatkan mukanya sehingga mulut Wang Sin sampai menempel di pipinya, dekat telinga. Jantung Wang Sin berdebar dan mukanya terasa panas saking jengahnya.
"Eh, bibirmu kok panas amat?" Ci Ying berseru.
Wang Sin menjauhkan mukanya akan tetapi, Ci Ying menempelkannya lagi. "Biarlah, panaspun tidak apa. Lekas kau bilang, apa yang kaukatakan tadi." Wang Sin mengulangi kata-katanya.
"Hi-hi, kau bilang ganas" Kau anggap aku keji membunuh tiga ekor kadal busuk itu" Kanda Wang Sin, tahulah kau siapa mereka itu" Mereka adalah sebangsa srigala-srigala hitam."
Wang Sin kaget. Pernah ia mendengar tentang orang-orang yang berkeliaran di daerah itu, orang-orang jahat sekali yang tidak segan melakukan kejahatan macam apapun juga. Kadangkadang menjadi saudagar-saudagar, bisa juga menjadi pencuri kuda, perampok atau penculik.
Orang-orang begini disebut srigala hitam.
Ia sekarang mengerti mengapa Ci Ying membunuh mereka, akan tetapi kalau ia ingat akan cara keji yang dipergunakan gadis itu, ia berkata perlahan. "Membunuh orang-orang jahat memang tugas orang gagah, hanya cara kau membunuh mereka itu terlalu ganas."
71 Rambut Ci Ying terlepas dari sanggulnya karena tiupan angin yang amat keras. Rambut itu menyambar-nyambar muka Wang Sin, mendatangkan rasa geli dan gatal. Sia-sia saja ia
mencoba untuk menyingkirkan rambut itu karena amat banyak dan panjang. Di saat itu juga ia mencium bau harum yang keluar dari rambut panjang itu. Ci Ying di dalam gelap cepat
Kemelut Di Cakrabuana 3 Asmara Berdarah karya Kho Ping Hoo Tujuh Pedang Tiga Ruyung 4
^