Pencarian

Pahlawan Dan Kaisar 4

Pahlawan Dan Kaisar Karya Zhang Fu Bagian 4


tongkat di tangannya.
Rupanya benda yang terkandung di dalamnya adalah sebuah pedang. Pedang
ini agak melengkung dan hanya punya 1 sisi tajam. Inilah katana, senjata dari
Dongyang. Yue sudah siap untuk membunuh orang tua ini. Dengan 1 gerakan dia melesit
menuju ke arah orang tua itu. Namun sepertinya orang tua itu tetap tenang.
Begitu hampir sampai, dia membacok dengan kecepatan tinggi.
Yue cukup terkejut melihat pedang yang datang itu hampir tiba di mukanya.
Seraya berkelit, Yue menghindari pedang itu dan dengan tangan lainnya dia
memukul tepat di tulang rusuk orang tua tersebut.
Sesaat terlihat orang tua itu muntah darah sambil terpelanting ke belakang. Yue yang melihatnya dalam posisi seperti itu berniat langsung membunuhnya. Dia
ambil pedang khas Dongyang itu, dan menuju ke tempat orang tua berada.
Dengan satu hentakan dia berniat mencabut nyawa si tua.
Pedang telah hampir sampai, si tua segera menggunakan kakinya untuk
menghantam tanah. Tenaga dalam si tua ini segera bekerja, pedang yang
seharusnya mendarat di perutnya itu segera lepas dari tangan Yue. Yue cukup
heran, dia belum pernah mendapati jurus ini.
Tetapi dari belakang, Yan Jiao mengatakan." Inilah tendangan mayapada."
Yue terkejut mendengarnya. Tidak disangka si tua ini mempelajari jurus yang
sebenarnya tidak asing baginya.
Seraya bangkit, orang tua itu berkata. "Hari ini adalah penentuan, jika bukan aku mati maka kau lah." katanya.
"Aku Kyosei dari Dongyang sangat malu terhadap tuan besar dan nyonya di alam sana. Juga putera majikanku satu-satunya yang tidak mampu kuselamatkan.
Ternyata setelah kupelajari tendangan mayapada dan jurus tuan besar dengan
baik namun tidak mampu untuk membunuh Yue Fuyan." katanya kemudian
dengan lirih. Jieji di atas bukit melihat jurus tersebut. Dia mengenalnya dengan pasti, karena ilmu tendangan ini juga dipelajarinya. Juga orang tua ini menyebut namanya
adalah Kyosei, nama yang tidak asing baginya.
"Itu adalah jurus tendangan mayapada. Dan dia adalah Kyosei, orang yang
menjadi pelindung Wisma Oda. Aku harus menyelamatkannya. Mungkin ada
petunjuk jati diriku tertinggal padanya." kata Jieji.
"Tidak, kakak tidak usah turun tangan. Biar kutolong orang tua itu saja, jika kali ini kakak muncul akan sangat berbahaya." kata Wei Jindu.
Dengan ilmu ringan tubuh, Jindu segera menuju ke tempat si tua itu.
Ilmu Wei tidaklah lemah. Dia adalah salah satu pewaris tapak Buddha Rulai
sampai tingkat ke 7. Tenaga dalamnya juga tinggi.Tahu-tahu dia sudah berada di
depan orang tua tadi. Dan membimbingnya.
Yue yang kedatangan pemuda ini cukup terkejut. Karena dia datang dengan ilmu
ringan tubuh yang tinggi, dan tidak dirasakan kehadirannya. Tahu-tahu dia sudah berada di depannya.
"Siapa kau?" tanya Yue.
"Namaku Wei JinDu dari barat." Kata Wei pendek.
BAB XXXII : Ironis
Yue Fuyan tentu belum pernah dengar nama pemuda tersebut.
"Menyingkirlah pemuda. Saya tidak menganggap masalah ini penting, tetapi si tua harus mati." kata Yue.
"Tidak, si tua ini akan ikut denganku." kata Wei kembali.
Sebenarnya diantara 3 bersaudara, Wei adalah yang paling tinggi kesabarannya.
Dia tetap mampu tenang walaupun apa hal yang terjadi. Disinilah Wei unggul
atas kakak-kakaknya.
"Kalau begitu sekalian kamu juga harus mati." kata Yue dengan sombong.
"Kalau benar anda bisa membunuhku, maka saya rela..." kata Wei.
Segera Wei mengangsurkan Kyosei ke jarak puluhan kaki ke belakang.
Yue segera merapal jurus untuk mencoba pemuda yang belum dikenalnya.
Wei cuma berdiri tenang. Namun kedua tapaknya telah siaga.
"Apa nama jurus itu tuan Yan?" tanya pengawal Yue.
"Belum tahu. Pertarungan belum berlangsung jadi tidak bisa kupastikan jurus apa itu." kata
Si kamus kungfu, Yan Jiao.
Segera sesaat mereka saling berpandangan, hawa pertarungan kembali terasa.
Jieji yang di atas bukit bersama Yunying dan Xieling melihat dengan teliti.
"Apa menurutmu adik ke 3 mu mampu mengatasi guruku?" tanya Yunying.
"Kalau dilihat dari keyakinan adik ke 3, saya rasa pasti bisa. Adik ke 3 tidak pernah melakukan suatu hal yang belum pasti. Kali ini dia mewakiliku menemui
Yue untuk menolong Kyosei. Dia pasti punya keyakinan." kata Jieji.
Mereka saling pandang beberapa saat. Yue terus mencari titik lemah pemuda ini,
sebab Yue mempunyai prinsip tidak perlu bertarung lama, asal 1 jurus
mematikan saja sudah cukup.
Dengan hentakan keras, Yue duluan beranjak menuju pemuda tampan ini.
Sesegera juga, Wei beranjak dari pijakannya.
Kecepatan mereka sangat luar biasa, pesilat biasa susah melihat gerakan
mereka. Begitu tapak mereka beradu terdengar dentuman yang keras.
Pohon bambu di sekitar sana langsung ambruk.
Jindu menyerang dengan pasti, semua tapaknya tidak ada yang sia-sia. Setiap
kali tapak itu sampai, maka Yue selalu menahannya dengan cepat karena tidak
sempat untuk berkelit. Pertarungan yang sungguh bagus. Sama-sama
menggunakan jurus yang mematikan. Tanpa terasa mereka telah bertarung
ratusan jurus. "Anak muda, kau hebat... Tetapi sepertinya kamu ini kurang serius." kata Yue Fuyan.
"Anda juga, saya rasa anda juga belum mengerahkan kekuatan sesungguhnya."
kata JinDu kembali.
"Baiklah, kalau begitu kali ini dalam 1 serangan saja kita tentukan. Jika kamu mampu mengalahkanku, si tua itu ikut kamu pergi. Bagaimana?" tanya Yue.
"Baik." kata Wei kemudian.
Yue membubarkan pesilatnya supaya menyingkir lebih jauh. Sepertinya kali ini
dia akan mengeluarkan tapak pamungkasnya.
Jindu tetap tenang. Dia membentuk tangannya, seraya menutup mata. Dari
samping tubuhnya keluar desiran angin yang luar biasa kuatnya.
Yue yang melihatnya cukup terkejut. Namun dia tetap merapal jurus tertingginya, Tapak penghancur jagad tingkat ke 9.
Yan Jiao yang menonton segera mengeluarkan suara.
"Inilah jurus no 1 terhebat di wilayah barat. Tapak Buddha Rulai." kata Yan kemudian.
Semua orang disana yang mendengarnya sangatlah terkejut.
Sementara di atas bukit, Jieji mengatakan.
"Itu jurus tapak Buddha Rulai tingkat 7."
"Jadi ini adalah jurus yang sanggup kamu patahkan dengan tapak berantai
tingkat ke 3 mu ?" tanya Yunying.
"Betul...."
Di bawahnya... Detik-detik penentuan telah tiba.
Kedua aura tenaga sudah saling beradu, membuat desiran angin panas kian
menusuk terasa. Pesilat kelas menengah tidak sanggup menahannya, beberapa
orang segera menyingkir agak jauh.
"Anak muda, sekarang kita mulai. Bagaimana?" tanya Yue.
"Baik. Aku sudah siap." kata Wei seraya membuka matanya.
Dengan teriakan keras keduanya saling memacu kecepatan. Suara bising luar
biasa segera muncul. Ketika tapak mereka hampir beradu, tanah disana terasa
bergetar bagai gempa bumi.
Suara memecah keras segera terdengar dahsyat.
Hawa energi mengerikan terdengar. Di belakang semua pesilat segera menutup
telinganya dengan kedua tangannya.
Sementara dibukit, Xieling segera menutup telinganya. Sedang Jieji dan Yunying
hanya biasa saja melihat.
Kedua tapak yang beradu itu cukup lama. Sama-sama sepertinya tidak mau
kalah. Yue bermaksud main curang. Diputarnya sebelah tangannya yang lain
untuk mencuri serang dari arah samping. Sebelum tapak itu sampai, dari bukit
depan terasa sebuah hawa pedang nan dahsyat menuju ke tapaknya Yue.
Segera, tapak Yue terasa sangat kesemutan. Dari sini JinDu segera memastikan
kemenangan. Yue tampak terpental lumayan jauh kebelakang dan muntah
darah. "Siapa itu?" Katanya kemudian.
Dengan segera Jieji telah sampai di bawah, namun dia tidak menyapa Yue
Fuyan. Karena orang yang dicarinya pertama adalah Kyosei. Kyosei yang
menyaksikan pertarungan itu dari arah agak jauh segera terkejut luar biasa. Dia merasa seperti melihat hantu. Dan segera dia berlutut.
"Tuan Besar..... Tidak disangka anda masih hidup. Hamba betul tidak berguna, tidak mampu memenuhi pengharapanmu yang terakhir." Kata Kyosei.
Segera Jieji memintanya berdiri, dia tidak berpaling ke arah Yue Fuyan.
Melainkan menanyai Kyosei.
"Saya bukan tuan besarmu. Saya ingin menanyaimu. Apa yang terjadi sejak
terakhir kamu mengikuti tuan besar ke China?"
Dari arah pesilat yang berdiri segera seseorang bersuara.
"Itu adalah hawa pedang tak berwujud namun dahsyat sekali. Jurus ilmu jari Dewi pemusnah."
Semua hadirin disana sangat terkejut, beberapa orang mengenali Jieji. Dengan
segera mereka berkata pada Yue.
"Dia... Dialah orang yang melukai tuan muda. "
Yue yang memandang pemuda itu dengan tatapan gusar ingin membunuhnya.
Dia menegur Jieji dengan kasar. Namun, semua teguran itu tidak dihiraukannya.
Bahkan Jieji tidak berbalik untuk melihatnya.
"Baik tuan. Saya akan menceritakannya." kata Kyosei.
Yue yang memandang lawannya tidak siap, segera beranjak cepat ke arah Jieji,
tujuannya adalah nyawa Jieji dan pedang yang terselip di pinggangnya itu. Jindu yang masih di depannya terkejut.
"AWAS kakak kedua... " Teriaknya.
Jieji sebenarnya dari tadi sudah siap, dia tahu Yue akan mencuri serang
padanya. Namun sebelum tapak itu sampai, sebuah kekuatan menahannya. Yue melihat
dengan sekilas. Itulah tinju. Seorang yang menahan tapaknya itu dengan tinju
adalah orang yang berperawakan tinggi 6 kaki, di tangannya memegang kipas,
wajahnya sangat agung bak dewa.
Lebih terkejut lagi si Yue melihat orang ini. Dia cuma diam terpaku. 10
pengawalnya segera beranjak ke depan mencegatnya.
"Kenapa pesilat banyak berdatangan ke Wisma Oda tiga puluh tahun yang lalu?"
tanya Jieji. "Tuan muda kecil yang baru berusia 4 bulan saat itu terkena racun yang sangat dahsyat. Karena Tuan besar sangat menyayangi puteranya itu, dia meminta
semua pesilat dari semua belahan dunia untuk menolongnya."
"Katakanlah lebih lanjut dan jelas," kata Jieji.
"Iya, pesilat kebanyakan datang karena mereka mempunyai hubungan keluarga
dengan keluarga Oda. Banyak di antaranya pernah ditolong oleh Tuan besar.
Mereka merasa berhutang budi. Tujuannya adalah untuk memberikan tenaga
dalam kepada tuan muda kecil."
Disini Jieji sangatlah terkejut.
"Chen Yang, kakaknya tabib dewa Chen Shou pernah langsung memeriksa tuan
muda kecil. Setelah menusuk beberapa jarum di tubuh tuan muda kecil. Dia
mengangsurkan jarum terakhir pada Tuan besar. Dengan segera tuan besar
menusuk ke kening Tuan muda kecil. Sesaat itu, semua pesilat tingkat tinggi
langsung memberikan tenaga dalamnya kepada tuan muda kecil."
Jieji mengingat dengan pasti momen ini.
"Apa tuan muda kecilmu muntah darah hitam saat ditusukkan jarum ke
keningnya?"
"Tidak, yang dia muntahkan adalah cairan perak."
Jieji yang mendengarnya sangatlah sedih. Rupanya saat dia menusukkan jarum
terakhir ke kening Xufen, tusukan itu telah meleset.
Sesaat itu, Yunying dan Xieling telah sampai dibawah. Yaitu di tempatnya Jieji.
"Setelah itu, tuan muda besar dan nyonya berencana membawa tuan muda kecil ke China. Katanya bahwa dia harus mencari sedikitnya seorang lagi yang punya
tenaga dalam nan tinggi untuk menyembuhkan tuan muda kecil. Namun di
tengah perjalanan, dia bertemu dengan keparat Yue yang licik. Setelah
mengangsurkan tuan muda kecil kepadaku dan Lan Ie. Tuan muda besar
memintaku pergi.
Namun tidak berapa lama, saya sanggup dikejarnya juga. Yue memukulku
dengan satu tapak dan terakhir saya jatuh ke sungai. Dengan usaha tinggi aku
mencari sebuah papan besar yang terapung. Kuletakkan tuan muda kecil disana,
namun arus sungai sangatlah deras. Aku tenggelam terbawa arus. Saat aku
sadar, tuan muda kecil telah hilang." Katanya seraya menangis sesedihnya.
Jieji berpaling ke arah Yue dengan kegusaran tinggi.
"Nasib, memang nasib. Tuan besar mengatakan jikalau tuan muda kecil selamat, maka selamanya dia akan kebal terhadap racun nomor 1 sejagad itu." kata
Kyosei yang menangis sejadi-jadinya.
Jieji yang mendengarnya segera merinding dan seakan hilang akal. Ditanyanya
orang tua ini kembali.
"Apa katamu?"" Kamu bilang kalau orang yang terkena racun pemusnah raga
akan kebal jika dia terselamatkan?"
Segera Jieji berpaling ke arah kamus kungfu YanJiao. Yanjiao yang melihatnya
dari jauh mengangguk pelan.
Saat itu Jieji seperti seorang yang kehilangan akal. Dia berjalan sempoyongan ke tengah arena pertarungan itu dengan air mata berlinang.
"KENAPAAAAAAAAAAA........................." Teriaknya dengan panjang. Hawa tenaga murni Jieji segera keluar bagai tanggul yang jebol.
BAB XXXIII : Dekisaiko Oda, nama asli Jieji.
Pendekar-pendekar disana kecuali Yang Ying dan JinDu. Semua menutup
telinganya dan segera mengambil posisi bersila sambil merapatkan kedua
tangan. Teriakan Jieji Maha Dahsyat. Lebih hebat teriakan Jieji ini 2 kali lipat dari suara benturan tapak antara JinDu dan Fuyan tadi.
Pesilat kelas menengah segera muntah darah dan pingsan karena tidak sanggup
menahannya. Yue yang sudah terluka sebelumnya, mengambil posisi bersila
untuk menghimpun tenaga dalam mengatasi suara teriakan.
Yang Ying terlihat berdiri di belakang pak tua Kyosei dan menutup telinganya
sambil mengalirkan energi.
Sesaat setelah teriakan mereda, Jieji nampak seperti orang yang linglung.
Dengan segera dia muntah darah, dan jatuh terjerembab.
Yang dan Jindu segera mendekatinya dengan cepat. Sedang pesilat lainnya
masih berada dalam posisi bersila.
Mereka mendapatkan Jieji telah jatuh pingsan disana.
Segera Jindu membopong Jieji di punggungnya.
Diantara para pesilat, tidak ada yang tahu apa maksud Jieji berteriak dengan
demikian dahsyat. Yang tahu dengan pasti hanya Yang Ying, JinDu dan Yunying.
Yah, memang sangat ironis sekali. Didengar dari apa yang diucapkan Kyosei,
mereka sudah memastikan tuan muda kecil adalah Jieji adanya.
Sebenarnya Xufen tidak perlu tewas jika dia tidak menghisap racun di bahu Jieji, karena Jieji telah kebal terhadap racun pemusnah raga.
Jieji yang menyadari keadaan itu tentu menjadi luar biasa sakit hatinya.
Yue Fuyan yang sedari tadi telah berdiri sebenarnya ingin merampas Pedang Es
rembulan yang masih tergantung di pinggangnya Jieji. Namun dilihatnya orang
yang bersamanya yaitu Yang Ying. Segera dia mengurungkan niatnya dan
mengajak para pesilat segera meninggalkan Dongyang. Tetapi dia dihentikan
suara seseorang.
"Jika kamu masih menghormatiku, jangan sesekali lagi kau cari masalah disini."
kata seseorang yang tak lain adalah Yang Ying.
Yue sempat melihat sekilas kepadanya, sambil memberi hormat dia berangsur
pergi bersama pesilat-pesilat.
"Kenapa anda pergi ketua?" tanya para pesilat.
Yue cuma diam saja, dia sangat mendongkol. Namun apa daya yang sanggup
dilakukannya. Pertama, Dia tidak akan sanggup bertarung dengan kondisi luka
parah. Kedua, JinDu masih dalam keadaan sehat, tidak mungkin dia sanggup
menang melawannya lagi. Sedang yang ketiga, dia melihat pemuda yang
tingginya 6 kaki itu berada di pihak lawan. Tentu Yue sangat mengenal pemuda
ini yang tak lain adalah Zhao Kuangyin atau kaisar Sung Taizu. Namun, dia tidak menceritakannya kepada para pesilat yang ikut bersamanya.
"Tenaga dalam pemuda itu sungguh luar biasa, Dia sudah setara dengan Pei
Nan Yang." Kata Yan Jiao.
Semua pesilat lebih terkejut lagi. Pei Nan Yang adalah sebuah nama yang
tentunya tidak asing bagi mereka. Meski di antara mereka semua, yang pernah
melihat Pei Nan Yang cuma Yan Jiao seorang saja.
Pei Nan Yang adalah seorang pesilat yang masih dalam misteri. Dia berguru
pada Lu Fei Dan awalnya. Setelah berhasil, dia melanglang dunia persilatan
untuk meningkatkan ilmunya. Dalam 20 tahun dia berkelana, kabarnya dia telah
tanpa tanding. Yan Jiao juga tidak begitu mengenal orang ini, namun dia bisa
memastikan Pei Nan Yang tinggal di sebelah selatan China di daerah dekat
Yunnan. Para pesilat segera berlabuh kembali ke China.
Sementara di wisma Oda. Jieji terlihat berbaring di ranjang. Sudah 6 jam lebih, dia masih belum siuman.
"Takdir memang sangat menggenaskan. Adikku dipermainkannya sedemikian
rupa." kata Yang Ying dengan wajah yang penuh penyesalan.
"Betul... Mengapa langit sangat kejam kepada kakak?" Kata Wei seraya
menghela nafas panjang.
Sedari dibawa pulang, orang yang terus berada di samping Jieji adalah Yunying.
Dia mengamatinya dengan sangat teliti, beberapa kali dia terlihat berurai air
mata. "Dik, kita pergi keluar dahulu." Kata Yang.
"Baik kak... "
Barusan berjalan hampir mendekati pintu kamar, Yang berpaling ke arah Yunying
dan mengatakan.
"Cuma anda seorang saja yang sanggup menghiburnya. Berikanlah kembali dia
semangat dan kekuatan. Jangan membiarkannya terus frustasi."
Yunying berpaling dan cuma mengangguk pelan. Setelah itu, dia kembali


Pahlawan Dan Kaisar Karya Zhang Fu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melayangkan pandangan ke arah tempat tidur.
Tanpa terasa, telah 10 jam semenjak Jieji pingsan. Dia mulai kembali siuman,
dilihatnya nona kecil yang berada disamping ranjang sedang tertidur, dia
membimbingnya dengan pelan. Yunying telah bangun, dilihatnya sorot mata Jieji
yang penuh kedukaan yang sangat mendalam. Langsung dengan cepat, dia
didekap oleh Jieji.
Sambil memeluknya dia berkata.
"Maafkan aku Xufen,... Akulah tidak lain adalah penyebab kematianmu.
Sekarang kamu telah datang dan menjemputku. Mari kita pergi ke daerah yang
nan tenang dan tidak perlu lagi kita terlibat akan hal-hal yang kacau."
Yunying memang merasa serba salah karena dipeluk oleh Jieji. Namun Jieji
menyangka bahwa dia sedang bermimpi, dia merasa sedang bermimpi bertemu
dengan Xufen. "Betul, kita pergi saja menuju tempat nan tenang. Disana kita akan menjadi sepasang dewa-dewi yang bahagia." Kata Yunying sambil menangis.
Sebenarnya Yunying tidak ingin menipunya sedemikian rupa, namun karena dia
tahu Jieji sedang menganggap dirinya adalah Xufen. Maka daripada itu, dia tidak mau membuyarkan angan-angannya.
"Kenapa takdir mempermainkan kita sedemikian?" tanya Jieji sambil meneteskan air matanya.
"Jika kita mampu melewatinya, maka kita berdua bisa menjadi orang yang nan tangguh." Kata Yunying.
Spontanitas Xufen yang menghisap racun di bahu Jieji adalah tindakannya yang
penuh dengan rasa cinta kepada Jieji. Namun, justru hal ini menjadi hal yang
sangat fatal. Seperti yang dikatakan Dewa sakti lebih dari 10 tahun yang lalu.
Takdir tidaklah bisa dilawan. Oleh karena itu mereka berpangku tangan meski
Xufen adalah anak murid kesayangan mereka sendiri.
Mereka berpelukan cukup lama, hingga akhirnya Jieji sadar. Dia langsung
menolak pelan nona ini.
"Maafkan aku... Aku..." Jieji tidak mampu menyelesaikan kata-katanya.
Yunying memandanginya dengan penuh kasih.
"Tidak apa... Kamu harus tetap tegar yah. Kamu ini seorang lelaki sejati, tidak mungkin kamu tidak mampu menerima takdir dan nasibmu kali ini."
Jieji memandanginya dengan penuh pengertian. Dia cuma mengangguk pelan,
namun kepahitan sorot matanya tidak hilang.
Yunying segera memeluknya kembali. Jieji cuma diam, namun tangannya
mengusap rambut si nona.
Setelah beberapa saat, Jieji mengatakan dengan memberikan kepastian.
"Tenang saja... Saya cuma terlalu bersedih, nantinya akan kembali baik seperti semula."
Yunying yang memeluknya mengangguk pelan.
Kemudian, Jieji dan Yunying sama-sama tertidur di ranjang. Tetapi Yunying
tertidur dalam posisi duduk di kursi dan kepalanya bersandar di atas dada Jieji.
Keesokan harinya...
Kyosei yang ikut mereka kembali ke Wisma Oda telah mendengar perihal
tentang Jieji yang mirip Tuan besar dari para pelayan yang lain. Kali ini dia yakin kalau Jieji adalah tuan mudanya.
Pagi sekali, Kyosei sudah berlutut di depan kamar dimana Jieji tinggal. Disana
dia sudah berlutut lebih dari 3 jam. Namun dalam kamar belum ada tanda-tanda
orang keluar. "Pak tua, tidak perlu anda berlutut seperti ini. Adikku selamanya tidak akan menyalahkanmu." Kata seseorang yang tak lain adalah Yang Ying. Dia segera
membimbingnya untuk berdiri.
"Terima kasih tuan." kata Kyosei sambil memberi hormat. Barusan dia mau berpaling ke arah kamar itu. Pintu kamar sudah terbuka dengan pelan. Nampak
Jieji beranjak keluar bersama seorang nona.
Kyosei segera menghampirinya dan segera berlutut, " Tuan muda, hamba tidak berguna. Semua ini adalah kesalahan hamba seorang yang tidak menjaga anda
dengan benar." Kata pak tua ini seraya menangis.
Jieji membimbingnya berdiri.
"Ini bukanlah kesalahan anda, anda mati-matian melindungi nyawaku ketika
masih kecil. Untuk jasa ini saja saya tidak akan mampu membalasnya selama
aku hidup."
Namun Kyosei menggelengkan kepalanya. Di saat itu, tanpa sengaja dia melihat
pedang di samping pinggang nona di belakang tuan mudanya.
"Tuan muda, pedang itu...." Kyosei terkejut melihat pedang itu ada di pinggang si nona.
"Yah, emang ada yang aneh dari itu?" tanya Jieji.
"Itu pedang legendaris di dunia persilatan, pemiliknya tidak lain adalah ayah anda atau tuan besar."
Jieji terkejut mendengar hal ini, tidak disangka Pedang Ekor api adalah pedang
milik ayahnya. "Pedang Ekor api di turunkan turun temurun pada keluarga Oda. Si pewaris
wisma berhak memilik pedang itu. Sebelum saya dan tuan besar berangkat ke
China, pedang itu disimpan oleh Tuan besar di gua pada puncak gunung Fuji."
Perihal mengenai pedang ini tidak diketahui banyak pelayan Wisma, sedangkan
Kyosei adalah pengawal kepercayaan Sang tuan besar. Beberapa kali tuan besar
Oda pernah mengungkit pedang itu di depannya.
Jieji semakin jelas, dirinya yang beranjak ke puncak gunung sekitar 9 tahun lalu menemukan pedang dan dua buah kitab ilmu silat. Disini dia yakin bahwa kedua
ilmu ini tak lain adalah milik keluarganya sendiri. Apalagi kemarin dia jelas
melihat Kyosei mengeluarkan jurus tendangan mayapada.
"Tuan besar segera berangkat bersama nyonya, aku dan Lan Ie yang
menggendong tuan muda kecil dalam perjalanan menuju ke Hefei. Perjalanan
pada awalnya sangat mulus. Tetapi ketika kita sampai di sebuah lembah dekat
kota Shouchun. Di samping kiri kanan bukit itu keluarlah keparat Yue." kata Kyosei kemudian.
"Jadi dialah orang yang membunuh kedua orang tua ku?" tanya Jieji kemudian.
"Mengenai masalah ini saya kurang tahu pasti. Sesaat itu, Yue berteriak. Dia mengancam melepaskan panah jika pedang Ekor api tidak di angsurkan
kepadanya sesegera mungkin...
Melihat gelagat yang tidak baik, Tuan besar segera memintaku dan Lan Ie
membawamu pergi dari sana. Namun baru berjalan beberapa langkah, panah
dilepaskan ke arahku dan Bibi lan.
Tuan besar yang melihatnya, segera menyapok semua batang anak panah yang
secepat kilat itu dengan tendangan. Seraya memintaku segera pergi, tuan besar
menjadi tameng bagiku.
Dia menyepak semua panah yang datang dengan cepat. Saya yang terus berlari
bersama Lan Ie untuk keluar dari lembah itu sempat menoleh, Tuan besar telah
terluka. Kulihat sebatang anak panah telah menancap di paha Tuan besar. Saya
segera kembali saat itu, namun tuan besar berteriak kepadaku untuk segera
pergi. Saya masih mengingat kejadian itu dengan pasti. Tuan berteriak "Pergi, atau kubunuh kau sekarang juga." Aku yang mendengarnya sadar dengan keadaan
kita semua. Langsung dengan ilmu meringankan tubuh, segera kutinggalkan
lembah. Namun sampai di tengah jalan, bibi Lan meminta untuk berpisah
denganku. Tuan muda yang sebelumnya digendong olehnya diangsurkan
kepadaku. Bibi Lan ingin mengorbankan dirinya demi keluarga Oda. Sambil
memikul sebuah batu, dia berpisah denganku. Dia menuju ke arah utara,
sedangkan aku menuju ke selatan. Tetapi sampai sekarang saya tidak pernah
mendengar kabar bibi Lan lagi. Yang anehnya, kenapa Yue bisa tahu bahwa
yang kupeluk adalah tuan muda kecil?"
"Tidak, dia pasti mengetahui kalau kamu yang menggendongku. Mengenai bibi
Lan, saya yakin keadaannya pasti baik pada saat itu. Ini karena bibi lan yang
menggendong batu pasti tidak akan bertindak hati-hati. Sedangkan anda yang
memelukku membelakangi mereka pasti kelihatan lebih curiga, karena meski
kamu berlari. Kamu tetap akan lebih hati-hati dari padanya." kata Jieji.
Jieji mengenang kembali kejadian ayahnya. Dia ingin segera menuju ke lembah
dekat Shouchun untuk menyelidiki daerah itu sekali lagi.
Yang Ying yang melihat reaksi adiknya segera berkata.
"Jika Yue terbukti adalah pembunuh orang tuamu maka tentu saya akan
berpangku tangan. Semoga adik kedua bisa menyelesaikannya dengan cara
dunia persilatan."kata Yang Ying.
Jieji melihat ke arah Yang, dia sangat bersyukur akan kata-kata kakak
pertamanya. Karena Yue masih tergolong keluarga kerajaan, sebenarnya Jieji
tidak ingin merusak hubungan persaudaraan mereka. Namun Yang Ying telah
memberikan kepastian itu kepadanya. Hatinya mau tidak mau juga telah lega.
"Kakak kedua, bagaimana keadaanmu sekarang?" tanya Jindu kepadanya.
"Saya sudah baikan banyak, tetapi saat ini saya belum bisa mampu
meninggalkan wisma. Dewa sakti memesan kepadaku untuk tetap disini dalam 1
tahun, karena petunjuk tentang pemusnah raga akan datang kepadaku." kata
Jieji. Kyosei yang mendengarnya lumayan terkejut.
Lantas dia berkata," tuan muda, apakah anda tahu kalau pedang yang terselip di pinggang nona itu adalah Pedang pemusnah raga?"
Jieji dan semua yang disana sangatlah terkejut.
"Pedang pemusnah raga?" tanya Jieji.
"Betul, pedang ini mendapat julukan Pedang pemusnah raga. Sebenarnya
pedang ini tidak berada di Gunung Fuji. Melainkan di sebuah tempat yang nan
panas di sebelah utara China." Kata Kyosei.
Sesaat itu, Jieji segera mengingat lukisan gurun yang ada di balik bajunya.
Ternyata petunjuk lukisan bukanlah di balik sedemikian adanya oleh si pelukis.
Tetapi mulanya dia merasa begitu. Kalau hanya melihat lukisan dan tidak ada
perjumpaan yang kebetulan di Gunung Fuji, mungkin pedang Ekor Api tidak akan
ditemukannya selamanya.
"Tuan besar pernah mengatakan bahwa pedang ini oleh leluhurnya didapatkan
melalui sebuah pertarungan dahsyat di gurun utara China. Setelah itu, pedang
langsung disimpan di atas Gunung Fuji yang asri. Beberapa tahun yang lalu,
saya pernah pergi ke daerah Yunnan, disana saya mendengar kabar bahwa Ilmu
pemusnah raga dimiliki seseorang disana." kata Kyosei kemudian.
Kyosei mengatakan hal ini karena mengingat racun yang diderita oleh tuan muda
kecilnya adalah memakai nama "pemusnah raga". Dia merasa ada hubungannya dengan tuan muda saat itu, makanya dia segera menyelidikinya. Namun hasilnya
nihil. Sekarang telah jelas, petunjuk yang lain dari pemusnah raga adalah di sebelah
barat daya china. Yaitu daerah Yunnan.
"Oya, bisa anda beritahu. Siapa sebenarnya nama tuan muda besar dan tuan
muda kecil?" tanya seorang wanita yang tak lain adalah Yunying.
Seraya memberi hormat dengan sopan dia berkata.
"Tuan besar bernama Hikatsuka Oda, sedang ketika lahir tuan muda kecil diberi nama Dekisaiko Oda. Tuan memilih nama ini karena dia sering bersama nyonya
menikmati hari-hari indah di Danau Saiko."
Jieji tidak terlalu peduli akan nama aslinya, dia terus berpikir. Dia bermaksud untuk segera menuju ke Yunnan. Namun, dia tidak tahu siapa yang bersedia
tinggal di Wisma seiring kepergiannya, karena ini adalah salah satu warisan dari orang tuanya yang harus dijaga.
Wei Jindu yang melihat kakak keduanya yang sedang berpikir, segera
mengatakan. "Kak... Berangkatlah dengan hati yang tenang. Segala urusan disini biar kuurus saja."
Betapa girangnya Jieji mendengar usulan adik ketiganya.
Jieji memutuskan untuk segera berangkat keesokan harinya. Yang Ying
mengatakan akan pergi bersamanya namun dia akan berpisah dengannya saat
telah sampai China.
BAB XXXIV : Pembunuhan Di Wisma Wu
Kyosei ingin ikut dengan Jieji. Dia memohon dengan sangat kepada majikan
mudanya. Akhirnya dia diluluskan untuk ikut bersama mereka.
Jieji meminta Xieling untuk tinggal di wisma bersama JinDu. Tujuan utamanya
adalah supaya si nona bisa belajar ilmu kepadanya, selain itu Jieji juga
bermaksud mengikat tali persahabatan yang lebih erat antara JinDu dan Xieling.
Karena dilihatnya kedua orang ini cepat akrab. Si nona berbudi luhur dan sopan, selain itu dia juga sangat cantik. Dia merasa Wei JinDu sangat cocok
dengannya.Namun setelah dipikir-pikir dia tidak mengatakannya langsung,
menurutnya bagusan hubungan mereka terjadi secara alami saja.
Keesokan paginya mereka segera sampai di pelabuhan selatan. Dengan
menyewa sebuah kapal yang cukup besar, mereka menuju ke China.
Dalam perjalanan pulang ke China...
Setiap hari Jieji dan Yang Ying asik berbicara tentang kenegaraan. Baik itu
keamanan, pertanian, perdagangan, stabilitas ekonomi sampai ke teknologi.
Dulu, Jieji sebenarnya adalah seorang sastrawan dan pemikir. Mengenai
masalah kenegaraan dan kesejahteraan rakyat, dia tahu banyak.
Yunying yang duduk disampingnya sangat mengaguminya. Menurutnya pria ini
adalah pria paling sempurna di kolong langit. Selain Kungfu tinggi, dia juga
adalah seorang yang pintar. Dan terutama yang sangat disukainya adalah
hatinya yang sangat hangat, dan penuh perhatian.
Jieji sangat senang, karena setelah mengangkat saudara dengan Yang Ying. Dia
tidak pernah menikmati waktu yang lama bersamanya. Kali ini di atas kapal yang
berlabuh sekitar 1/2 bulan, mereka mempunyai kesempatan yang lama untuk
bersama. Pepatah mengatakan tidak ada pesta yang tidak berakhir. Maka setelah 1/2
bulan lebih akhirnya mereka harus berpisah juga.
Yang Ying dan 10 pengawalnya segera menuju ke utara, Sedang Jieji dan
Yunying serta Kyosei menuju ke selatan.
Segera mereka mengambil perjalanan cepat.
"Kamu tahu kita akan kemana dahulu?" tanya Jieji pada Yunying.
"Tentu, Kamu penasaran dengan lembah itu kan?" Yunying melihatnya sambil tersenyum.
Jieji cuma menatapnya sambil tersenyum.
3 Ekor kuda yang membawa majikan mereka masing-masing menuju ke
Shouchun. Sekitar 10 Li sebelah timur laut sebelum kota Shouchun. Mereka mendapatkan
sebuah lembah yang sangat strategis. Lembah ini jalannya sempit, dan di kiri
kanan lembah terdapat bukit yang lumayan tinggi. Panjang lembah ini sekiranya
hampir 1 li. "Disinilah tempatnya, tuan muda." kata Kyosei.
Jieji sudah tahu. Dia turun dari kudanya, melihat ke segala arah sambil
merenung. "Lembah ini posisinya sangat berbahaya, Si tua Yue itu sangatlah licik. Dia sengaja menunggu ayahmu lewat disini." kata Kyosei kemudian.
"Kalau begitu, ayah dan ibuku saat itu tidak akan selamat." kata Jieji kemudian dengan wajah yang sedih setelah meneliti dengan seksama.
Jieji adalah seorang ahli ilmu perang. Dia tahu, jika hanya menempatkan 100
pasukan masing-masing di bukit yang berseberangan tersebut. Maka sehebat
apapun seseorang, pasti sangat susah lewat. Apalagi kondisi ayahnya saat itu
bersama ibunya dan sedang melindungi dirinya. Tanpa terasa, Jieji meneteskan
air matanya. Kyosei yang melihat begitu langsung berlutut.
"Tuan besar. Gara-gara hamba anda tidak ada kabarnya sampai sekarang.
Betapa berdosanya aku...." Katanya kemudian dengan lirih.
Namun Jieji segera membimbingnya berdiri, dengan tangan dia mengusapkan air
mata orang tua tersebut.
"Sudah... Ini bukanlah kesalahan anda. Si tua Yue itu telah menyiapkan
perangkap bagi kita sekeluarga pada saat itu. Jadi berhentilah menyalahkan diri anda lebih jauh.
"Terima kasih tuan muda....." katanya panjang.
Kyosei sangat menghormati tuan mudanya. Dia merasa sangat beruntung karena
tuan mudanya adalah orang yang sangat mengagumkan. Selain itu, sikap sopan
terhadapnya membuatnya sangat bersemangat untuk melayaninya.
"Saya ingin kamu menuju Yunnan terlebih dahulu, bagaimana?"
"Kenapa, tuan muda" Ada masalah apa?" tanya Kyosei.
"Ini karena saya ada beberapa hal urusan yang harus kukerjakan terlebih dahulu.
Saya menuju ke Hefei sekarang, setelah itu saya akan menuju ke Changsha.
Kita ketemu di Yunnan saja bagaimana?" Tanya Jieji.
Kyosei mau tidak mau juga mengangguk.
"Ingat, janganlah terlalu memaksakan diri anda. Jika menemui bahaya, segera lari. Jangan terlalu menuruti perasaan." kata Jieji.
"Terima kasih tuan muda, semua pesan anda akan hamba ingat di dalam hati."
Setelah itu, Pak tua ini segera melanjutkan perjalanannya ke arah barat.
"Kenapa harus ke Hefei?" tanya Yunying.
"Kamu harus pulang terlebih dahulu. Sudah 2 bulan lebih sejak kamu
meninggalkan Wisma Wu. Setidaknya pulanglah, dan biarkan ayahmu melihatmu
supaya dia tahu kamu dalam keadaan selamat saja." kata Jieji.
Mereka segera menuju ke kota Hefei yang jaraknya hanya sekitar 100 Li dari
tempat mereka sekarang. Barusan langit beranjak malam, mereka telah sampai
di depan gerbang kota Hefei.
"Apa kamu akan ikut denganku?" tanya Yunying.
"Tidak, saya akan menyewa penginapan dekat rumahmu. Setelah segalanya
beres, maka kamu carilah aku disana. Bagaimana?"
Yunying mengangguk saja.
Di Wisma Wu....
Wu Quan yang melihat puterinya pulang tanpa kurang satu apapun sangatlah
senang. Sebenarnya Wu Quan tidak ingin puterinya mengembara di dunia persilatan.
Namun dia juga tidak berdaya mencegah puterinya yang satu ini.
Wu Quan akan mengadakan pesta untuk menyambut pulangnya Yunying.
Namun tidak mungkin dilakukannya hari ini, mengingat sudah lumayan malam.
Wu Quan meminta semua pelayan rumahnya untuk menyiapkan masakan untuk
hari esok. Keesokan paginya....
Yunying dikejutkan oleh suara seseorang yang sedang berada di depan kamar.
Yunying mengenal suara itu, yang tak lain tentunya adalah Liangxu. Dengan
segera dia simpan pedang Ekor apinya.
Setelah membuka pintu, mereka berdua berjalan barengan menuju ke taman
belakang. Liangxu segera menanyainya.
"Dik, selama 2 bulan ini kamu kemana saja?"
Yunying melihatnya sekilas dan menjawab.
"Saya berada di JingZhou ( propinsi Jing ). Disana saya mendengar sedikit kabar tentang ibuku." katanya dengan dingin.


Pahlawan Dan Kaisar Karya Zhang Fu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jadi bukan kamu yang berada di Dongyang ?" tanya Liangxu kepadanya
kembali sambil menatap wajah si nona.
Dengan yakin si nona menjawabnya. Karena dia takut juga kakak
seperguruannya akan curiga.
"Tidak... Ngapain ke Dongyang. Aku dengar kabar dari sesama kaum persilatan bahwa kakak berada di Dongyang. Apakah benar?"
Liangxu yang ditanya begitu segera muncul rasa kegusaran di wajahnya. Dia
ingat terus penghinaan yang pernah diterimanya disana.
"Iya, betul dik. Aku kesana untuk menyelidiki sesuatu. Disana saya bertemu dengan si keparat dan nona yang mirip denganmu. " Kata Liangxu.
"Keparat" Siapa itu" Nona yang mirip denganku" Emang ada hal begini?" tanya Yunying dengan pura-pura heran.
"Keparat itu adalah orang yang pernah tinggal beberapa saat di Wisma ini. Kamu mungkin masih mengenalnya. Dia yang mempunyai lukisan tentang dirimu.
Sedangkan nona di Dongyang itu sangat aneh, meski semua perawakannya
mirip denganmu. Namun dia memakai pakaian yang cukup aneh, selain itu ilmu
kungfunya juga bukan ilmu kungfu keluarga Yue ataupun Wu." kata Liangxu
menjelaskannya.
Yunying yang mendengarnya sebenarnya merasa sangat geli. Namun dia
berusaha untuk tidak tertawa.
"Saya harus membalaskan dendam penghinaan disana. Akan kucabik seluruh
tubuh mereka. Dari lelaki yang memegang kipas, pemuda sok hebat,dan si
budak itu."
Barusan pembicaraannya belum selesai. Yunying merasakan sebuah hawa
pukulan melewatinya dan mendarat di wajah Liangxu. Liangxu ditampar
seseorang sehingga dia jatuh tersungkur.
Setelah berdiri, dia cukup terkejut. Ternyata orang itu adalah ayahnya sendiri.
Liangxu sangat heran, kenapa ayahnya ini memukulnya. Dia sangat tidak puas.
"Kerjaanmu itu cuma cari masalah saja. Tidak tahu diri. Kukatakan padamu,
jangan sampai kau punya pikiran untuk ke Dongyang lagi. Sekarang kau itu
sudah cacat. Pemuda itu tidak membunuhmu saja sungguh sangat syukur kau
itu...." Dampratan sang ayah membuatnya betul sakit hati. Biasanya si ayah selalu
menuruti apa pemikiran anaknya. Tetapi kali ini, bukan saja tidak ada respon
malah ayahnya memukulinya sedemikian rupa.
Sebenarnya Yue Fuyan juga sangat malu saat berada di Dongyang, namun apa
dayanya. Diingatnya sebelum dia pergi, Kaisar mengultimatum kepadanya supaya tidak
mencari masalah lagi disana.
"Guru,..." kata Yunying seraya memberi hormat.
"Iya... Kamu sudah pulang... Syukurlah... Ayahmu itu sangat merindukanmu
setiap saat, selalu dia menulis surat kepadaku untuk mencari dirimu." Kata Yue Fuyan.
"Terima kasih guru..." kata Yunying pendek.
Setelah itu, Yue Fuyan segera beranjak dari sana. Setelah meminta pamit pada
Wu Quan, dia meninggalkan Wisma sendiri.
Siangnya.... Yunying sedari tadi cuma berada di kamar saja. Dia mengingat semua kejadian
di Dongyang. Dia sangat gembira dan juga sedih. Tanpa terasa, dia mengantuk
dan tertidur di dalam kamarnya. Dia telah tertidur selama beberapa jam.
Tiba-tiba kali ini dia dikejutkan oleh suara teriakan pelayan Wisma. Seraya
bangun, dengan cepat dia menuju ke arah teriakan.
Teriakan itu berasal dari kamar halaman belakang.
Sesaat sampai disana.
Dia melihat pemandangan yang sangat tidak asik untuk dilihat.
Di kamar tempat disimpan lukisan itu ada mayat seorang lelaki tua yang
berambut putih.
Posisi orang tua ini adalah sedang berdiri. Tubuhnya berlumuran darah. Di arah
jantungnya terdapat sebatang tombak yang menopang tubuhnya.
Segera dikenalnya, orang ini adalah tamu ayahnya, Ding Wen.
BAB XXXV : Kejahatan Sempurna melawan Detektif Termahsyur
Sesaat setelah teriakan, Yunying adalah orang pertama yang sampai di ruangan
tersebut. Tidak berapa lama, semua penghuni wisma telah sampai di depan pintu
kamar yang terbuka ini.
Ding Wen adalah tamu Wu Quan pada hari itu, dia juga adalah pejabat tingkat
menengah di kota Shouchun.
"Segera panggil polisi kemari... Untuk sementara janganlah ada yang masuk ke dalam." kata Yunying kepada semua orang yang berada di belakangnya.
Yunying teringat akan Jieji, jika Jieji melihat pembunuhan di ruangan seperti ini.
Maka, dia akan meminta orang lain memanggil polisi. Sedangkan dia langsung
menuju ke dalam dengan hati-hati.
Tetapi Yunying bukanlah seorang detektif, dia tidak bisa melakukan hal yang
biasa dilakukan Jieji. Dia cuma menunggu tibanya para polisi.
Sekitar 1/2 jam, para polisi telah tiba di wisma Wu.
Han Yin tiba dengan belasan orang polisi lainnya. Dengan segera dia menuju ke
tempat yang dimaksudkan.
Para pelayan dan semua orang yang berkumpul di depan kamar segera
menyamping untuk memberi jalan kepada para polisi.
Han Yin bertemu dengan Wu Quan di depan kamar kejadian.
"Tuan Wu, anda kenal dengan korban?" tanya Han Yin kepada Wu Quan seraya menunjuk ke arah mayat.
"Iya, dia adalah salah satu tamuku hari ini." kata Wu Quan pendek.
"Apakah ada orang yang masuk ke dalam kamar ini sebelum kita datang?" tanya Han Yin lagi.
"Um... Setahu saya cuma pelayan yang menemukan mayat. Dia pun cuma
berada di depan pintu, dan sepertinya belum sempat dia masuk ke dalam." kata Wu Quan kembali.
Sesaat setelah itu, para polisi masuk ke dalam kamar. Tetapi polisi yang masuk
ke dalam hanya 5 orang, selebihnya mengawasi di luar.
Yunying senang ketika dia melihat seorang polisi yang melewatinya. Namun,
pemuda ini sama sekali tidak memandangnya sekilas pun. Oleh karena itu, si
nona mengerti maksud si pemuda.
"Kalau begitu, berarti tidak ada yang mengacak-acak kamar ini setelah mayat ditemukan?" kata Han Yin.
Seraya menunjuk, Wu Quan mengatakan.
"Itu... Pemuda itulah yang pertama mengacak ruangan ini."
Han Yin yang melihatnya berkata.
"Itu asistenku. Dia terbiasa dengan hal seperti ini. Jadi bisa dipastikan, orang pertama yang masuk ke dalam meneliti adalah dia?"
"Betul...." kata Wu Quan.
Saat itu, langit sudah mencapai malam dan gelap. Orang-orang disana memang
bisa melihat polisi yang mondar-mandir di dalam ruangan. Namun, selain
Yunying. Tidak ada yang kenal siapa pemuda itu.
Pemuda tersebut cukup aneh. Dia berjalan sebentar ke jendela, sebentar ke
pintu, sebentar mengamati mayatnya dengan serius. Sebentar dia jongkok
memeriksa. Semua hadirin sana merasa sangat geli akan perlakuan pemuda itu.
Han Yin segera berjalan ke dalam ruangan.
Di dapatinya bahwa darah di tubuh Ding Wen belum membeku sepenuhnya. Jadi
bisa dipastikan, dia baru saja terbunuh. Mungkin sekitar 2 jam yang lalu sampai mayat di temukan.
Ding Wen berdiri dengan posisi tubuh yang agak miring ke belakang. Selain itu,
nampak pot keramik yang lumayan besar telah pecah tidak jauh darinya. Tombak
yang menembus langsung ke jantung itu pasti adalah pemilik dari salah satu
penghuni wisma.
Pemuda dari dalam itu segera mendatangi Han Yin, dengan bisikan dia
mengatakan. "Periksa semua alibi penghuni Wisma pada 2 jam yang lalu sampai mayat
ditemukan. Selain itu, bawa tangga tinggi. Periksa semua atap di depan, carilah hal yang mencurigakan seperti bekas darah, ataupun jejak kaki. Lakukanlah
dengan hati-hati. Setelah kalian keluar dari sini, tutuplah pintu."
Pemuda ini telah terbiasa, belasan tahun yang lalu pun dia tidak pernah
mengatakan sesuatu kepada Han Yin dengan tidak berbisik seperti ini.
Tujuannya tak lain tentu untuk menghindari pembunuh menghilangkan jejak yang
tertinggal. Setelah beberapa lama, Han Yin keluar dari ruangan tadi dan meminta semua
penghuni wisma berkumpul di depan taman.
Dia menanyai semua alibi orang yang berada di Wisma pada saat jam kejadian.
Yaitu sekitar jam 4 sampai jam 6 sore karena anak buahnya telah memberi
informasi bahwa tidak ada sesuatu yang aneh di atap depan maupun atap kamar
tersebut. Setelah menanyai semua penghuni wisma, dia segera mendapatkan.
Hanya 2 orang yang tidak punya alibi pada saat jam kejadian.
Yaitu Yunying dan Kakak ketiganya, Wu Dian Ya.
Pelayan mengatakan kalau mereka semua berkelompok, kalaupun ada saat
mereka sendiri hanya waktu pergi ke kamar mandi. Letak kamar mandi tidak jauh
dari tempat mereka berada. Sedangkan letak kamar lukisan adalah halaman
belakang. Wisma Wu sangatlah luas, untuk berjalan ke belakang saja memerlukan waktu
yang tidak sedikit.
Putera-puteri Wu Quan yang lain mempunyai alibi yang cukup sempurna.
Putera kedua Wu Quan, Wu Tze. Mengatakan bahwa dia ada di ruangan baca
yang tidak ditutup. Sedang depan ruang baca, adalah kamar dapur. Beberapa
pelayan memastikan alibinya. Dia juga sempat keluar ke pintu depan, namun
sesaat itu dia telah kembali. Alasannya adalah dia berjalan ke taman untuk
menikmati suasana setelah membaca buku.
Putera pertama Wu Quan, Wu Lang. Mengatakan bahwa dia juga sedang
menikmati taman asrinya tersebut. Para pelayan bisa membuktikan alibi Wu
Lang. Sedang puteri Wu Quan yang lain yaitu Wu Linying dan Wu Jiaying mengatakan
bahwa mereka sedang menyulam di kamar puteri sulung Wu. Mereka tidak
beranjak keluar. Pelayan juga dapat membuktikannya, karena mereka sering
memanggil pelayan di luar kamar.
Sesaat kemudian...
Pemuda yang sedari tadi masih di dalam, segera membuka pintunya keluar. Dia
berjalan ke arah Han Yin.
Wu Quan sempat melihatnya, dia cukup terkejut. Karena dia mengenalnya
sebagai seorang yang pernah tinggal di wisma yang bertugas sebagai pelayan
tamu. Namun, beberapa saat setelah terjadinya pembunuhan dengan racun di
kediamannya. Pemuda ini menghilang.
Sekarang dia melihat bahwa pemuda tersebut muncul kembali dalam pakaian
kepolisian. Hal ini membuatnya merasa sungguh aneh. Ternyata pemuda itu
adalah dari kepolisian pikirnya.
Si pemuda hanya diam disana dengan berpangkukan kedua tangannya.
"Nona ke 3. Bisa anda beritahukan apa yang anda lakukan di kamarmu pada
saat jam kejadian?" tanya Han Yin.
"Saat itu saya sedang tidur, saya bangun karena dikejutkan oleh suara seorang pelayan."
"Jadi anda sedang tidur" Boleh tanya berapa jam anda tidur?" tanyanya.
"Saya tidur setelah lewat tengah hari."
"Jadi anda tidur siang selama itu?" tanya Han Yin.
"Betul..." Kata Yunying yang seraya malu. Karena dia tidur hampir 5 jam.
Han Yin berpaling ke Wu Dian-ya.
"Anda sedang apa di kamar?"
"Saya meneliti lukisan."
"Anda meniliti lukisan begitu lama?" tanya Han Yin.
"Iya, saya sangat suka akan lukisan. Hari ini tiba-tiba di mejaku terdapat sebuah lukisan. Lukisan ini cukup aneh, makanya saya membutuhkan waktu sekitar 3
jam lebih untuk menelitinya." kata Wu Dianya seraya mengeluarkan lukisan
tersebut. Lukisan dipentangkan, ternyata gambar dan puisi disini tidaklah asing bagi 3
orang. yaitu Pemuda dari kepolisian, Wu Quan dan puteri ketiganya Wu Yunying.
Inilah lukisan gurun yang ada dibalik baju Jieji. Tampak 5 orang pemuda yang
menunggangi onta di padang pasir. Di sebelahnya ada puisi yang tidak asing
bagi ketiganya juga.
Wu Quan yang melihat bahwa lukisan itu ada di kamar putera ketiganya cukup
terkejut. Ini juga adalah lukisan pemberian istrinya, Wu Shanniang.
Setelah 17 tahun meninggalkan wisma, Nyonya Wu pulang ke rumah. Dia tinggal
selama 7 tahun kembali di Wisma. Saat itu, Nyonya Wu memberikan lukisan ini
kepada sang suami. Tetapi dia merasa janggal, bagaimana lukisan ini bisa
berada di kamar putera ketiganya.
"Boleh tahu tombak yang menembus jantung itu punya siapa?" tanya Han.
"Itu punyaku yang kusimpan di ruang senjata." kata Wu Dian-ya.
"Kalau begitu, anda adalah yang dicurigai."
"Tidak, belum tentu. Ruangan senjata bisa dimasuki setiap orang." kata Dian-ya kembali.
Han Yin berpikir sejenak. Apa yang dikatakan pemuda ini benarlah adanya.
Setelah Han mendapatkan alibi mereka semua dengan pasti, Pemuda yang
sedari tadi diam segera mengajak Han Yin ke dalam kamar terjadinya
pembunuhan. "Anda mendapatkan sesuatu?"
"Tidak... Ini adalah pembunuhan sempurna. Di ruangan tidak ada jejak kaki. Di jendela juga sama. Selain itu di atap kamar disini juga tidak ada jejak kaki sama sekali. Mengingat posisi tombak, seharusnya pembunuh berada di balok itu.
Balok itupun sudah kuteliti, ternyata balok itu sangat bersih tanpa debu.. ." Kata Pemuda ini seraya menunjuk ke atas.
"Yang aneh cuma satu hal, yaitu pot keramik yang pecah tidak jauh dari mayat."
Katanya kembali.
"Kenapa atap di kamar itu sangatlah bersih?" tanyanya.
"Ini kan ruangan yang tersimpan lukisan termahsyur, jika di dalam ruangan ini terdapat debu maka angin....." Barusan berkata begitu, pemuda ini segera
menyadari sebuah hal.
Segera pemuda ini berpikir sebentar dan segera tersenyum.
Lalu dibisikinya Han Yin..
Han Yin yang mendengar permintaan pemuda tersebut cukup aneh. Mula-mula
dia bermaksud menolak. Namun terakhir, mau tidak mau dia juga
melaksanakannya.
Setelah itu, Han Yin segera menuju ke luar bersama si pemuda.
Han Yin yang keluar kamar seolah marah.
"Kauuuu... Tiap kali ada kau selalu banyak masalah."
"Tidak Pak... Saya cuma berusaha untuk memecahkan kasus. Namun, kali ini
saya sudah dapat pembunuhnya. Kenapa anda tidak percaya padaku?" tanya
pemuda ini seraya berlutut memohon.
"Pergi kauuu... Jangan sesekali lagi kau bikin masalah disini.." kata Han Yin.
Namun pemuda ini berjongkok sambil menarik kaki Han Yin.
Han Yin segera gusar, dia menyepak pemuda tersebut.
Pemuda tadi segera berguling lumayan jauh. Di bibirnya mengalir darah segar.
Yunying adalah orang yang sangat heran melihat perlakuan Jieji. Dia tidak
mengerti maksud si pemuda dan kepala polisi.
Sedang semua orang disana juga cukup heran melihat perwira polisi yang
memohon itu. Dengan menyeret kakinya, Pemuda itu segera beranjak ke Han Yin.
Namun sebelum sampai, Han Yin menamparnya cukup keras. Pemuda ini
langsung oyong.
Semua bisa melihat, bahwa pemuda itu sangat lemah. Han Yin yang tidak
mempelajari ilmu silat saja gampang merobohkannya.
Semua terlihat sangat geli.
"Tuaaaannn.... Saya sudah tahu pelakunya.. Mohon izinkan hamba untuk
menangkapnya..."
"Keparat.... Kau pergilah.. Saya tidak mahu mendengar ocehan kosongmu itu."
kata Han Yin dengan sangat marah.
Pemuda itu segera berdiri. Dengan sempoyongan dia menuju ke depan gerbang
pintu Wisma Wu.
"Tuan Wu, saya rasa pemeriksaan akan dilakukan besok kembali karena waktu
sudah sangat malam. Maaf jika ada sesuatu yang tidak mengenakkan hati anda."
kata Han Yin namun seiring itu, dia memasukkan sesuatu kertas di tangan Wu
Quan. Wu Quan juga memberi hormat.
Han Yin segera mengajak polisi itu untuk kembali.
**** Pemuda yang tadi sempoyongan segera menuju ke kedai arak. Di pesannya
sebuah guci arak yang besar, dan sebuah kendi arak yang kecil. Dia
membawanya dan minum dengan mabuk-mabuknya. Dia berjalan di kemalamam
kota Hefei. Sambil melantunkan beberapa puisi cinta dan puisi orang patah hati. Dia berjalan sempoyongan.
Dia tidak tahu kalau dari tadi ada seseorang yang sedang mengawasinya.
Setelah melewati beberapa blok perumahan, dia sampai di ujung tembok kota.
Disana terlihat dia berjalan secara sintingnya.
Bayangan yang tadi sedang asik menatapnya.
Dengan tiba-tiba dan gerakan sangat cepat. Dari belakang, bayangan ini
membacokkan goloknya ke arah punggung pemuda mabuk itu.
Sekilas tampak pemuda itu segera roboh bergulingan dan berlumuran darah....
BAB XXXVI : Putera pertama Wu Quan, Wu Lang
Bayangan hitam ini senang, dia merasa mampu membunuh pemuda mabuk
tersebut hanya dengan sekali bacok.
Sesaat itu, dia tertawa besar.
"HeHeHaHaHa....."
Seraya berjalan mendekat, dia mengambil kendi arak besar yang tidak pecah itu.
Dan ingin menuangkan isinya. Namun sebelum kendi arak ini dibalikkan
terdengar suara.


Pahlawan Dan Kaisar Karya Zhang Fu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Buanglah semua arak sisa yang terdapat di dalam. Kemudian isi dengan darah binatang."
Bayangan ini tentu sangatlah terkejut. Dia melihat sekitar, keadaan gelap dan
tetap tidak ada orang. Dia merasa orang yang berbicara dengannya adalah orang
telungkup di tanah tidak jauh darinya.
Pertanyaan di dalam pikirannya ternyata tidak perlu dijawab karena pemuda itu
segera telah berdiri.
"Pembunuhan di Wisma Wu memang oleh seorang yang sangat ahli..." belum sempat pemuda tersebut menyelesaikan kata-katanya. Di samping, segera
muncul beberapa orang. Yang tak lain tentu adalah Han Yin dan beberapa polisi.
"Anda ditangkap karena melakukan pembunuhan di Wisma Wu." kata Han Yin.
Seiring datangnya Han Yin, Wu Quan dan puterinya Yunying juga telah sampai.
Selain itu di belakang mereka terdapat beberapa pesilat.
Pesilat ini datang bersama pemuda yang kedua tangannya telah dibalut karena
cedera. Tentu pemuda ini adalah Yue Liangxu.
Yue Liangxu yang mendengar bahwa di Wisma Wu terjadi pembunuhan, dengan
segera meminta beberapa pesilat ikut bersamanya menuju ke sana. Namun,
sesampainya dia disana. Han Yin telah pulang bersama petugas lainnya.
Wu Quan yang diberikan sebuah kertas kecil tentu segera membacanya sendiri.
Dia diminta untuk pergi ke pengadilan. Disana bersama Han dia mengikuti
dengan pelan pria mabuk itu.
Keadaan telah sangat gelap. Kedatangan Han Yin dan para pesilat segera
menyulut obor sehingga terang.
Di tengah nampak seorang berpakaian gelap. Dan wajahnya ditutupi kain hitam.
"Kenapa" Apa hubunganku dengan pembunuhan?" tanya orang yang menutupi muka tersebut. Suara orang yang menutupi dirinya dengan kain terdengar asing,
karena orang ini sengaja mengubah suaranya dengan agak serak.
"Kamu telah terperangkap olehku. Siasatmu membunuh memang sangat
ternama. Jika tidak dengan cara ini, kita susah mengetahui siapa pelakunya."
kata orang yang dikira mati tadi yang sebenarnya adalah Jieji adanya.
Liangxu yang melihat pemuda ini tentu gusar tidak kepalang. Dia mengatakannya
kepada Wu Quan.
"Dia... Dialah orang yang membuatku kehilangan kungfu paman.. " kata Liangxu.
Sesaat Wu Quan hanya melihat kepadanya.
Jieji yang berpaling ke arahnya sebentar, segera berpaling balik ke pembunuh.
"Petunjuk yang ditinggalkan tak lain hanya pot keramik yang pecah. Pot itu kalau dilihat tentu tak lain adalah Guci arak."
"Guci arak apa" Jangan mengada-ada."
"Lalu saya bertanya kepadamu, kenapa kau mau membunuhku?" tanya Jieji.
Orang itu cuma diam mendengar pertanyaan Jieji.
"Anda ingin membunuhku karena ketika di Wisma Wu saya berteriak kalau saya telah tahu pembunuhnya. Bukan begitu?" tanya Jieji kembali.
Yunying yang sedari tadi diam berkata.
"Anda membunuh Ding Wen. Tujuannya adalah untuk menfitnah kakak ke 3 ku,
Wu Dian-ya. Anda sengaja memakai tombak kesayangannya. Juga anda yang
meletakkan lukisan itu di kamar kakak ke 3 ku."
Jieji segera berpaling ke arah si nona. Dia menggelengkan kepalanya sambil
tertunduk. Yunying yang melihatnya tidak tahu apa maksud sesungguhnya. Dia mengira
Jieji memintanya untuk tidak berbicara lebih lanjut.
Pembunuh itu sempat berpaling ke arah Yunying. Dilihatnya dengan serius nona
ini. Dan kemudian dia berkata.
"Mana ada hal semacam begini" Jangan mengarang cerita, nona." katanya.
Wu Quan yang diam dari tadi sepertinya tahu siapa orang di balik topeng. Dia
kelihatan sangat berduka.
"Kejahatan anda mendekati sempurna. Darah di lantai sebenarnya bukanlah
darah Ding Wen. Tetapi cuma darah binatang yang kau taruh di dalam kendi.
Tujuannya tak lain tentu untuk mengaburkan penyelidikan. Kalau kendi itu tidak
anda pecahkan, maka akan terasa sangatlah janggal." kata Jieji.
Orang berpakaian gelap ini mengatakan.
"Kendi" Apa hubungannya dengan kendi?" tanyanya pura-pura tidak tahu. Tetapi kegelisahannya bisa dilihat semua orang.
"Secara singkatnya, maka beginilah aksimu. Saat itu baru tengah hari, kamu tahu Ding Wen yang datang ke rumahmu sebagai tamu. Setelah menunggu di dalam
ruang tamu tidak berapa lama.
Kamu memanggilnya, dan memintanya untuk ke ruang penyimpanan lukisan.
Kamu sengaja menunjuk tempat yang agak membingungkan padanya sehingga
Ding Wen yang mencari akan susah menemukan ruang lukisan. Sementara itu,
kamu menuju ke ruang senjata dan mengambil tombak. Tengah hari adalah
waktu yang sibuk bagi pelayan, sebab nanti malam kabarnya akan diadakan
pesta kecil-kecilan untuk merayakan kepulangan nona ke 3 Wu. Oleh karena itu
jalan menuju kesana akan lempang dan tidak ada orang.
Setelah itu dengan berpura-pura mencarinya kamu masuk ke ruang lukisan dan
menunggunya. Sesaat dia masuk ke dalam, kamu memanggilnya dari atas. Saat
dia menoleh, kamu melempar tombak itu dari atas, dan saat itulah dia tewas
tertombak oleh tombaknya Wu Dian-ya. Dengan gerakan ilmu meringankan
tubuh, kamu menginjak tombak itu sekuatnya sehingga tombak itu menancap. "
"Ha Ha ... Omong kosong yang besar." Teriak pemuda bermasker hitam.
"Jika saya ada di atas balok, dimana jejak kakiku yang tertinggal?" katanya kemudian.
"Itu sih gampang, Di kamar ini ada kain kan" Selain itu, kamu tentu membuka sepatumu. Dengan kata lain, keadaanmu di atas adalah sedang telanjang kaki.
Setelah kau membunuhnya. Dengan kain itu kamu menghapus semua jejak di
balok. Ruangan itu adalah ruangan penyimpanan lukisan termahsyur. Oleh
karena itu, Tuan Besar pasti akan meminta pelayannya sering
membersihkannya. Jika ada debu di dalam, dan terhembus oleh angin. Maka
sedikit banyak pasti bisa mempengaruhi nilai lukisan itu sendiri."
Kata Jieji. Han Yin yang mendengarnya segera berkata.
"Tidak disangka kamu terjebak oleh kita. Ketika kamu mendengar bahwa
pemuda ini tahu pembunuhnya. Kamu tidak tenang. Dan melihatnya tidak bisa
silat, kamu ingin membunuhnya, karena kemungkinan berhasilmu itu banyak."
"Jika tidak ada permainan sandiwara dan jebakan seperti ini, pembunuh akan sangat susah tertangkap." kata Jieji dengan menghela napas panjang.
Semua orang disana tidak mengerti, kenapa si pemuda menghela nafas panjang.
"Kamu punya bukti akulah pelakunya?" tanya orang yang bermasker gelap dan berpakaian gelap itu.
"Tidak... Hanya dengan jebakan inilah aku tahu." kata Jieji.
"Bodoh. Kalau begitu tidak mungkin kamu bisa menangkapku dan menyeretku ke pengadilan." katanya kembali.
"Sebenarnya jika waktu terbunuhnya Ding Wen adalah sekitar 2 jam, maka kamu betul-betul bebas." kata Jieji.
Semua yang mendengar lumayan terkejut.
"Ha Ha... Kalian para polisi dan detektif juga telah memeriksa kematiannya kan"
Bagaimana kamu bisa mengatakan waktu pembunuhan itu tidak pas?"
"Wah, kamu sudah lupa.. Tadi setelah merasa membunuhku, kamu mengambil
guci arak. Tentu ini untuk membuat trik pembunuhan itu sama. Dengan begitu,
kamu tidak akan dicurigai lagi. Seiring kematianku, kau akan terbebas karena
polisi pasti mengira pembunuh itu tidak berasal dari Wisma Wu.
Mungkin begini aksi yang akan kau lakukan, setelah membuatku terkapar. Kamu
bisa menyeretku ke pohon bambu disana dan menyembunyikan mayatku di
belakangnya. Setelah itu, dengan muka tanpa dosa kau pulang ke rumah, tentu
mengambil guci arak yang telah kosong itu. Kau isi guci arak itu dengan darah
binatang yang kau bunuh.
Binatang disini juga bisa kau dapatkan di luar kota. Menutupnya dengan kain
tebal, dengan begitu darah tidak akan cepat membeku. Lalu kembali lagi kesini
sesaat menjelang pagi. Menyiramkan darah itu ke seluruh tubuhku. Jika ada
orang yang lewat setelahnya dan menemukan mayatku, pasti darah itu belum
membeku sepenuhnya. Dengan begitu kau yang telah berada di wisma Wu tentu
bisa mengambil salah satu alasan, ataupun seorang yang bersamamu untuk
membuktikan alibimu.
Dengan kata lain, apa yang kau lakukan ke Ding Wen itu, tentu kau lakukan juga
kepadaku." Kata Jieji menjelaskan.
"Ini tidak bisa menjadi bukti kalau pembunuhnya adalah orang yang sama." kata pria gelap ini.
"Benar... Untuk itu saya menjebakmu kesini. Tinggal membuka topengmu, kita semua sudah tahu siapa anda. Jika anda adalah orang dari Wisma Wu. Maka trik
tadi itu bisa kau lakukan dengan mudah." kata Jieji kembali.
"Semuanya cuma omong kosong...." Teriak pria ini.
"Kamu membunuh Ding Wen lewat tengah hari. Setelah tahu dia telah mati, kau menuju ke taman dan menunggu. Kau tahu tuan besar sebelum makan malam
akan melihat lukisan terlebih dahulu. Maka satu jam sebelum Tuan besar melihat
lukisan. Kau sempat kembali ke kamar itu dengan membawa guci arak. Tetapi kali ini kau
menyiram darah itu ke tubuh Ding Wen. Dan memecahkan guci itu dibawahnya.
Tujuanmu tentu adalah ada yang datang kesini karena mendengar pecahan guci
dalam kamar. Pelayan yang datang ke kamar yang tidak dikunci itu mengatakan
mendengar pecahnya sesuatu.
Sehingga 1/2 jam sebelum kita masuk, darah itu terlihat barusan hendak
membeku. Dengan begitu, polisi membuat kesimpulan kalau Ding Wen baru
terbunuh." Kata Jieji kembali.
Pembunuh itu berpikir. Jika dia lolos dari pembunuhan sempurna itu. Dia tidak
akan lolos dari pembunuhan yang barusan dilakukan itu, dengan segera beranjak
dari tempat. Dia berteriak.
"Hebat.... Xia Jieji memang seorang detektif mengagumkan."
Dengan ringan tubuh, dia bermaksud lari dari arah belakangnya. Yaitu tembok
kota. Namun segera dia disusul oleh seorang.
Pembunuh sempat melihat ke belakang dan terkejut.
Yang mengejarnya adalah Yunying. Dengan ilmu ringan tubuh kitab ilmu
memindah semesta, Yunying dengan cepat telah melesat ke depannya. Mereka
sempat beradu tapak maupun tendangan.
Sesaat kemudian, dari bentrokan jurus kelima. Yunying sanggup
melumpuhkannya. Dia jatuh terjerembab dari tempat yang lumayan tinggi..
Sebelum sampai di tanah, Wu Quan segera memapah orang tersebut. Dan
meletakkannya di tanah dalam kondisi duduk.
Jieji yang dari tadi melihat sangat menyayangkan hal tersebut. Dia sudah tahu
kalau siapa sesungguhnya orang yang bertopeng hitam.
Wu Quan yang sedari tadi diam segera berkata.
"Anak durhaka. Kenapa kau bisa berpikiran seperti itu?" katanya sambil menangis.
Semua orang disana terkejut, kecuali Jieji yang telah tahu siapa dia
sesungguhnya. Lebih-lebih lagi Yunying. Dia sama sekali tidak menyangka kalau orang di balik
topeng ini adalah kakaknya. Hanya, dia tidak tahu apakah orang ini adalah kakak pertamanya atau kakak keduanya.
Lalu di ngatnya waktu Jieji menggelengkan kepalanya sambil tertunduk.
Jieji telah tahu siapa orang di balik topeng. Yunying sesaat merasa sangat
menyesal. Dia juga adalah orang yang menangkap kakaknya, walau tidak
disengaja. Han Yin segera membuka cadar hitam pembunuh.
Semua mengenalinya, dia adalah putera pertama keluarga Wu. Wu Lang.
"Ini karena ayah..... Kenapa kau tidak adil kepadaku" Kau tidak menurunkan ilmu silat kepadaku dengan benar. Selain itu, setiap hari kau cuma memarahiku tidak
berguna." kata si anak dengan air mata deras.
"Kau salah besar nak. Kamu adalah putera sulungku. Tentu aku berharap kau
bisa unggul di atasku dan semua adik-adikmu. Melihat sekilas tadi, aku sudah
tahu kamu pelakunya." kata Wu Quan dengan penyesalan dalam.
Dia memang sering memarahi dia tidak berguna.
Di antara putera-puteranya, Wu Quan paling menyayangi Wu Dian-ya.
Selain kemampuan silat, sastra. Dia unggul di antara putera-puteranya Wu Quan.
"Kamu tidak akan membunuh Ding Wen dan menfitnah adikmu hanya gara-gara
kasih sayang kan" Ini sungguh sebuah kesalah pahaman besar." kata Jieji
seraya jongkok di depannya.
Wu Lang yang melihatnya tentu sangat terkejut. Kenapa Jieji bisa tahu kalau dia masih mempunyai hal lain yang terpendam.
Sementara Yunying cuma terpaku di sana menyaksikan kalau pembunuhnya
adalah kakak pertamanya. Dia tidak menyangka, keadaanya sekarang seperti
orang linglung. Dia ikut menyudutkan kakaknya dan terakhir malah dialah yang
menangkap kakak pertamanya.
"Kenapa kau bisa tahu" Lukisan itu kan?" tanya Wu Lang yang kepayahan.
Seraya mengeluarkan lukisan dari dalam bajunya. Dia memperlihatkannya.
Wu Lang yang melihatnya terkejut luar biasa. Dia tidak mengira Jieji juga punya lukisan yang di ncarnya dan arti dari lukisan itu tentu diketahui Jieji.
"Kamu tahu" Bahkan pedang itu sudah ada disini." kata Jieji lembut kepadanya seraya mengeluarkan pedang di samping pinggangnya. Dengan sekali cabut,
pedang itu bersinar biru muda dengan terang luar biasa. Hawa dingin segera
muncul. Semua orang yang menyaksikannya tentu sangat kagum akan pedang tersebut,
melainkan hanya Liangxu yang gusar.
"Kamu sudah mendapatkan petunjuk lukisan itu kan" Ding Wen memancingmu
tentu karena pedang semacam ini."
"Hanya kamu yang paling mengerti diriku, detektif luar biasa...." kata Wu Lang dengan tersenyum. Kemudian dia diborgol dan dibawa pergi oleh Han Yin.
Yunying yang sedari tadi terpaku segera menuju ke arah Jieji dengan perlahan.
Setelah sampai di mukanya. Dia memeluknya dan terdengar teriakan
tangisannya. Ini lebih mengherankan semua orang yang ada di sana. Wu Quan dan Liangxu
adalah orang yang paling terkejut melihat tingkah Yunying.
BAB XXXVII : Pertemuan dengan pesilat
Yunying tidak mengatakan sepatah kata apapun. Dalam pelukan Jieji dia cuma
menangis deras.
Hal ini tentu sudah diperkirakan Jieji. Cuma dia tidak pernah berpikir kalau si nona begitu berani mendekapnya di depan orang banyak.
Liangxu sangatlah gusar melihat tingkah Yunying. Kemarahannya telah sampai
pada puncak sementara Wu Quan malah terpaku melihat apa yang terjadi.
"Budak keparat.... Kamu betul sudah bosan hidup" Setelah kau punahkan
kungfuku, kau main gilak terhadap calon istriku. Denganmu aku bersumpah tidak
akan hidup selangit." Katanya.
Dia segera memerintahkan orang untuk membunuh Jieji di tempat.
Namun dia dihalangi Wu Quan yang memberi alasan kalau puterinya sangat
dekat dengan Jieji.
Sesaat setelah tangisan Yunying reda, Jieji membimbingnya pelan dan
menatapnya. "Ini bukanlah kesalahanmu. Jangan menyesali dirimu terlalu dalam."
"Aku baru tahu kenapa kamu menjadi sangat sedih waktu di hutan rimba dekat danau Saiko." Kata Yunying dengan lemah.
Liangxu yang mengetahui percakapan mereka segera sadar.
Gadis yang ditemuinya saat di Dongyang tak lain adalah adik seperguruannya
yang sangat dicintainya.
Yunying yang memeluk Jieji tadinya merasa tangannya seperti basah. Dia
melihatnya dengan segera, ternyata ada bercak darah.
"Kamu terluka?"
"Iya, tapi sedikit saja. Aku tidak apa-apa. Setelah aku jatuh tadinya, sengaja kupecahkan kendi kecil di pinggangku sehingga nampak seperti darah yang
mengalir karena saat itu sangat gelap." kata Jieji.
Yunying segera mengeluarkan sapu tangannya untuk segera melap punggung
Jieji. Tingkah mereka berdua tentu sangat aneh. Wu Quan tidak pernah tahu kalau
puterinya dengan pemuda ini sangat akrab.
"Adik... Rupanya kaulah orang yang berada di Dongyang. Kenapa kau
membohongiku?" teriak Liangxu.
Yunying memandangnya dengan dingin dan berkata.
"Itu karena saya sangat tidak suka dengan perlakuanmu. Kau tahu... Kamu ini terlalu manja, dan bahkan terlalu licik."
Liangxu yang dikatakan begitu sangat marah.
"Aku tanya kenapa kau membohongiku, tidak hal yang lain." teriaknya kembali.
"Itu karena tidak ada urusannya denganmu. Kamu terlalu banyak ikut campur
masalah orang lain. Kalau kau pintar dan hebat, maka tidak masalah. Sedang
kau ini tolol dan lemah. Bagaimana orang bisa senang terhadapmu. Kau juga
terlalu manja, terlalu kurang ajar. Kau tahu berapa banyak orang yang membenci
dirimu" Setiap saat malah kau sering membanggakannya." hardik Yunying
dengan marah. Sampai sini Liangxu tidak mampu berkata apapun lagi. Dia pergi dalam keadaan
yang sangat marah dan masgul.
Wu Quan yang sedari tadi mendengar percakapan itu segera menuju ke arah
Jieji dan puterinya.
"Jadi anda adalah Xia Jieji?"
"Betul tuan besar." kata Jieji dengan sopan.
"Jangan memanggilku tuan besar. Dulu aku dan ayahmu termasuk sahabat.
Kamu cukup memanggilku paman saja." kata Wu Quan.
"Terima kasih paman." Kata Jieji seraya memberi hormat pada orang tua tersebut.
Wu Quan merasa pria ini sangat sopan, dia suka kepadanya.
"Nak Yunying, sejak kapan kamu berkenalan dengan nak Jieji?" tanya Wu Quan.
Yunying yang ditanya segera menjawab.
Sambil berjalan pulang ke wisma, Yunying menceritakan pengalamannya kepada
ayahnya. Di Wisma Wu... Jieji diminta Wu Quan untuk tinggal di wisma sementara waktu. Dan Jieji tidak
menolaknya. Pembicaraan pengalaman Yunying belum selesai semuanya. Oleh karena itu, dia
menuju ke ruang tamu bersama Wu Quan dan Jieji.
Wu Quan yang mendengar pengalaman Yunying terasa sangat mengagumkan.
Dia juga sangat menghormati Jieji yang melindungi puterinya saat keluar rumah.
Yunying mengeluarkan pedang di samping pinggangnya untuk ditilik sang ayah.
Seraya mencabut, Wu Quan juga terkejut. Pedang ini kebalikan dari pedang Es
Rembulan. Warnanya merah menyala. Inilah pedang Ekor api.


Pahlawan Dan Kaisar Karya Zhang Fu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Setelah menyelesaikan semua pengalamannya bersama Jieji dalam beberapa
bulan terakhir.
"Ayah, saya ingin ikut bersama kak Jieji ke Yunnan." kata Yunying.
Wu Quan berpikir sebentar, sebenarnya dia bukannya tidak mengizinkan sang
puteri pergi mencari informasi mengenai ibunya. Tetapi dia berpikir Yunying baru saja pulang dan sekarang akan pergi lagi. Dia sangat menyayanginya.
"Paman Wu, kita akan pergi sekitar 1 minggu lagi." Kata Jieji yang tahu maksud hati tuan rumah.
Wu Quan lumayan girang. Setidaknya dia masih punya waktu 1 minggu bersama
puteri kesayangannya.
Wu Shan Niang sebenarnya adalah istri pertama Wu Quan. Dia menikah
kepadanya saat usia yang sangat belia. Saat itu, nyonya rumah baru berumur 15
tahun sedangkan Wu Quan telah berumur 25. Namun tinggal tidak lama, Wu
Shanniang hilang dari rumah dan cuma meninggalkan sepucuk surat untuk
suaminya yang tercinta. Dia mengatakan akan mencari ilmu peninggalan
kakeknya yaitu Ilmu pemusnah raga.
Setelah 17 tahun lamanya, Wu Shanniang kembali ke rumah. Kali ini dia tahu
kalau Wu Quan yang ditinggalkannya telah menikah dan telah mempunyai 3
putera dan 2 puteri. Namun istri kedua Wu Quan langsung meninggal saat dia
melahirkan puteri kecilnya yang bernama Wu Jiaying.
Tinggal 3 tahun di Wisma Wu, Wu Shanniang memberinya seorang anak yaitu
Wu Yunying. Yunying adalah anak yang mempunyai kakak-kakak yang tidak seibu dengannya.
Tetapi para kakaknya tidak menganggap itu sebagai masalah. Mereka juga
menyayangi Yunying seperti adik kandungnya sendiri.
"Di dengar dari cerita nak Ying, berarti Liangxu adalah orang yang sangat licik dan pedendam." kata Wu Quan seraya menghela nafas.
"Betul.. Kak Liangxu telah main licik denganku. Dia tahu dia bukan tandinganku, malah mencuri serang." kata Yunying yang agak kesal.
Wu Quan yang mendengar cerita puterinya merasa sangat menyesal. Dia pernah
sangat menghormati pemuda ini karena dilihatnya dia mempunyai masa depan
yang cemerlang. Oleh karena itu keluarga Yue yang datang melamar puterinya
itu sempat disetujuinya, karena melihat si nona dan pemuda itu cukup akrab.
Setelah mendengar semua cerita Yunying sampai selesai. Wu Quan bangkit, dia
memberi hormat kepada Jieji.
Jieji yang melihat orang tua itu memberi hormat padanya langsung salah tingkah.
Dia membimbing orang tua ini dengan sangat sopan.
"Maafkan aku paman. Dulunya maksud aku datang ke rumah ini cuma
menyelidiki. Saya tidak ada maksud yang lain." Kata Jieji seraya memberi
hormat. "Tidak apa... Tapi saya sungguh sangat gembira. Selain kamu pintar, ilmu
kungfumu pun sangat tinggi, serta berakhlak luhur." Pujinya kepada pemuda
tersebut. Sampai disitu, pembicaraan mereka pun berakhir. Jieji dan Yunying segera minta
pamit pada Sang orang tua. Setelah itu mereka pergi beristirahat, mengingat
waktu juga telah tengah malam.
Keesokan harinya...
Jieji telah bangun. Dia duduk di taman sambil menikmati angin pagi yang sejuk,
dengan menutup mata dan santai dia menikmati dirinya sendiri.
Namun dia dikejutkan oleh seseorang.
"Hei... Pagi-pagi sudah melamun.. " Katanya.
"Iya, saya sedang melamunkanmu...." kata Jieji pendek namun dengan
tersenyum. "Dasar... Malas aku meladenimu." kata gadis yang tak lain tentu Yunying.
Tetapi dia seraya duduk di bangku pas di depannya. Sambil bertopang dagu,
Yunying mengamatinya yang masih tertutup mata.
Yunying mengamatinya dengan asik dan sebentar sebentar juga tersenyum.
Jieji yang membuka matanya dan melihat Yunying dalam posisi begitu langsung
berkata. "Hei... Emang ada apa" Ada sesuatu di wajahku?" Sambil mengusap wajahnya sendiri.
"Tidak.. Saya cuma memandangmu saja kok..." katanya sambil berpaling
pura-pura melihat ke bunga di sampingnya.
Dalam hati Yunying, dia berpikir. Kalau seorang wanita melihat pria dengan lama, jika tidak ada sesuatu di wajahnya, maka si wanita menyukainya.
Saat santai mereka memang termasuk tidaklah banyak. Yunying menikmatinya
dengan sangat senang bersama Jieji.
"Oya, kamu tidak melatih kungfumu lagi?" tanya Jieji.
"Tidak.. Emang ada apa?"
"Kamu baru menyelesaikan 5 bab, bab lainnya cepat kamu selesaikan. Kita
punya waktu 1 minggu yang senggang." kata Jieji.
"Tidak perlu lagi...." kata Yunying seraya melihatnya dengan senyuman penuh makna.
"Kenapa" Kamu ini aneh." kata Jieji yang cukup heran.
"Itu karena ada kamu. Kamu sanggup melindungiku kan?" kata Yunying pendek.
"Wah, tidak juga. Musuh di Yunnan mungkin sangat hebat. Saya tidak yakin
sanggup melindungimu." Kata Jieji dengan serius.
"Kalau begitu, kita mati sama-sama saja." kata Yunying kemudian dengan pasti.
"Tidak, kamu tidak boleh kubiarkan mati. Oleh karena itu, saya..." Jieji sesaat merasa kata-katanya terlalu aneh, karena dia tidak menganggap Yunying adalah
kekasihnya. Yunying yang melihat tingkah Jieji sangat senang. Dia cuma tersenyum manis.
Lantas dia berkata.
"Iya, saya dengarkan katamu kok. Mulai hari ini saya akan berusaha belajar bab yang lain. Jangan menggerutu begitu donk. Kan cuma bercanda saja..."
"Baiklah." kata Jieji seraya tersenyum juga.
Mereka kemudian duduk untuk menikmati suasana pagi yang cerah tersebut.
Setelah beberapa saat, disana datang beberapa orang.
Jieji segera menoleh kepadanya. Dia lah Yue Fuyan bersama Liangxu puteranya,
juga beberapa orang diantaranya adalah dari kaum pesilat. Jieji melihat mereka
satu persatu. Salah satu diantaranya adalah Pemimpin kuil shaolin, Biksu Wu
Jiang. Jieji yang telah menilik mereka satu persatu langsung menghiraukannya. Dia
balikkan badannya dan tidak mau menengok sedikitpun pada mereka.
Perlakuan Jieji sungguh membuat gusar Yue Fuyan.
"Anak muda sombong. Keluarkan pedang Es Rembulan dengan segera."
teriaknya. "Kalian masuk rumah orang tanpa memberitahu dahulu. Apa namanya kalau itu
bukan kurang ajar?" tanya Jieji kembali.
"Yang kurang ajar itu kamu. Kau tahu semua orang di sini adalah senior dunia persilatan." kata Fuyan dengan agak marah.
"Dulu MengTzu pernah mengatakan bahwa orang tua yang tidak berguna tidak
patut di dengarkan kata-katanya." kata Jieji kembali seraya meledek mereka semua.
"Disini ada biksu dari Shaolin, dialah pemimpin Shaolin. Dia datang untuk
menegakkan keadilan." Kata Fuyan kembali.
"Keadilan" Dulu ujar pepatah tua mengatakan bahwa keadilan adalah segala
sesuatu yang tidak berpihak satu sama lainnya. Sekarang kalian seperti
rombongan serigala yang mengeroyok seekor domba. Kamu sebagai ketua dunia
persilatan tidakkah malu?" tanya Jieji seraya santai dan tersenyum sinis.
"Keparat... Jangan banyak bicara. Serahkan atau kau kubunuh disini." teriak Fuyan yang telah emosi.
Yue Fuyan sebenarnya sangat marah terhadap pemuda ini. Tetapi disini banyak
jago persilatan yang merupakan anak buahnya atau ketua dari partai terkenal.
Mau tidak mau dia berusaha menjaga mukanya.
Seraya melihat biksu tua shaolin, Jieji mengatakan kepadanya.
"Kamu ini belajar dhamma apa" Terhadap pedang yang hanya punya sedikit
keistimewaan saja masih tertarik. Untuk apa kau menyebut terus kata Buddha itu
di mulut. Sedang hati kau itu penuh keiblisan."
Jieji sebenarnya tidak takut akan orang persilatan. Dia tidak suka untuk
bergabung, baginya semuanya rata-rata adalah sampah yang mencari nama
saja. Selain itu kebanyakan dari mereka mengatas namakan partai, atas nama
leluhur untuk bertindak ekstrim. Partai putih baginya bahkan lebih kurang ajar
daripada partai hitam. Partai hitam selalu bekerja dengan terang-terangan.
Sedang partai putih mengambil nama partainya, cita-cita luhur dan bertindak
sangat ekstrim. Salah satu hal paling tidak disukai Jieji adalah Kemunafikan.
Biksu yang ditegur itu sedikit malu, namun dia menjawabnya.
"Pedang itu ada hubungan dengan kematian saudara shaolinku selama ratusan
tahun yang lalu. Oleh karena itu..." baru menjawab sampai setengah, Jieji segera mendahuluinya.
"Orang yang menggerakkan pedang. Bukan pedang itu bergerak sendirinya.
Kenapa anda bisa mengatakan sesuatu yang sangat keterlaluan seperti itu.
Saudara leluhurmu semuanya telah menjadi abu. Tetapi kau masih berpikir balas
dendam. Coba kau cermin dirimu itu dahulu. Baru datang kau cari aku."
Jieji sangat pintar, dia adalah seorang detektif yang tidak kehabisan analisis.
Semua kata-katanya adalah kata logika. Biksu ketua Shaolin ini bahkan tidak
sanggup menjawabnya. Karena sebelum dia menjawab, Jieji telah memotong dia
dengan kata yang menyindirnya langsung.
Setelah pembicaraan tersebut, Wu Quan segera keluar dengan tergopoh-gopoh
BAB XXXVIII : Bertarung Melawan Yue Fuyan
"Saudara sekalian, kenapa anda datang tanpa pemberitahuan terlebih dahulu?"
tanya Wu Quan. "Nah, ini apa namanya" Masuk ke rumah orang tanpa pemberitahuan adalah
pencuri." kata Jieji seraya tertawa.
Seorang di belakang mereka sudah tidak tahan lagi mendengar Jieji yang sangat
menghina mereka dan tidak memandang mereka. Lantas dia berujar.
"Anak kurang ajar. Kau tidak tahu diri. Kepandaian apa yang kau miliki itu?"
Jieji segera melihatnya, dia kenal orang yang paruh baya dan memakai baju
yang lebar dan tak lain adalah ketua partai laut timur ( Donghai Bai ).
"Kepandaianku tidak bisa dibandingkan dengan kau yang jago menipu. Beberapa tahun lalu kau tipu ketua partai pasir putih dan mendapatkan kitab tinju halilintar.
Kau yang mendapatkannya sangat girang, kau simpan pusaka itu di bantalmu
setiap mau tidur. Dan kau pakai sebagai alat sembahyang. Untuk itu, saya
mengalah benar banyak kepadamu tentu untuk kepandaianmu."
Kata Jieji kembali.
Yunying merasa sangat geli akan kata-kata Jieji barusan. Dia tertawa ringan.
Yunying tahu , semua pesilat sudah terobsesi dengan pedang Es rembulan,
kalau berbicara dengan jujur atau dengan sopan. Masalah tidak akan pernah
selesai. Oleh karena itu, Jieji sengaja menyindirnya dengan kata-kata tajam yang menyakitkan. Orang toh sama saja, ngomong baik juga salah, dan ngomong
jahat juga salah. Jieji yang bersikap terang-terangan tentu akan memakai cara
menyindir. Ketua partai laut timur yang bernama He MengZeng sangat marah. Dia segera
beranjak dengan cepat akan menghajar pemuda ini.
"Berhenti... Kita hanya bersilat lidah disini. Kalau kau mau bertarung, carilah batu di depan sana. Pukullah dengan tinju pembunuh semutmu sampai kau rasa
puas, dan kembali kesini." kata Jieji menghinanya.
Di antara pesilat-pesilat yang mengejarnya 10 tahun yang lalu. He MengZeng
juga termasuk di dalamnya. Partai Kunlun, Sungsan, Ermei, Hanxue, Beiming,
dan Shaolin. Wajar Jieji sangat marah terhadap mereka. Jika mereka tidak dikejar, mungkin
perjalanannya bersama Xufen akan mulus. Apalagi terakhir dia harus kehilangan
Xufen di timur kota Xiapi.
Yunying yang sedari tadi mendengarkan hanya tersenyum saja. Dia tidak
mengatakan suatu hal apa-pun.
"Anda seorang pemuda yang baru lahir kemarin. Kenapa berani kau kurang ajar begitu" Selain itu pedang Es rembulan telah menghebohkan jagad selama
beberapa ratus tahun lalu dan Xue Yang pernah menggunakan pedang ini untuk
membantai para pesilat. Jika anda tidak mau menyerahkan, maka maaf. Anda
mungkin tidak akan selamat." Kata seorang tak lain adalah Wang Gezhuan,
ketua partai kunlun.
"Bagamana seorang ketua partai kunlun seperti kau itu bisa berbicara kurang ajar seperti itu"
Dengarkan baik-baik kau ketua...
Sebenarnya Pedang ini adalah pedang Raja Han barat Liu Bang. Sebelum
pedang ini menjadi pedang es Rembulan, pedang ini namanya Pedang
pembunuh ular karena Liu Bang membunuh ular putih sebelum dia mendirikan
Dinasti Han yang jaya.
Karena itu seorang pandai besi dinasti Tang sangat tertarik, dia mencurinya dari istana kerajaan. Kemudian di sebuah gunung, dia menemukan batu Es meteor,
disanalah dia melebur pedang baja kuat dengan es dan batu meteor. Sehingga
pedang yang kuno itu bisa menjadi pedang baru yang memiliki hawa dahsyat.
Dan menyimpannya di suatu tempat selama beberapa tahun.
Karena sangat tertarik dengan silat dan mengagumi Kaisar Dinasti Tang, pandai
besi sengaja menghadiahkannya kepada Tang Daizhong, Li Shemin.
Setelah wafatnya Li Shemin beberapa puluh tahun. Wu Zetian adalah pewaris
pedang. Namun sebelum dia wafat, pedang ini telah dicuri oleh Dian Mao, kasim
istana. Dalam perjalanan melarikan diri, Xue Yang bertemu dengannya. Disana
Dian dibunuh Xue. Xue Yang memakai pedang tersebut tidak lebih dari 10 kali.
Dia menggemparkan dunia persilatan. Membasmi kejahatan dan menegakkan
kebenaran. Setelah hampir pupus jiwanya, dia mengembalikan pedang itu ke
tempat asalnya. Jadi boleh dikatakan pemilik pedang semuanya adalah orang
termahsyur dan berjiwa besar.
Sedang kau, kamu tidak punya kepandaian istimewa yang bisa kau banggakan.
Lima tahun lalu ketika mendengar adanya kabar informasi mengenai pedang Es
rembulan, kau menangkap nenek tua yang menyebarkan informasi. Kau siksa
dia sampai mati walaupun terakhir kau tidak pernah mengetahui informasi
pedang dari si nenek.
Tindakan kau itu dikutuk langit, dibenci manusia, kebiadaban kau sudah
menjagad. Sekarang kau datang demi pedang. Betapa malunya kau itu. Kau pikir
tindakanmu tidak ada yang tahu. Langit dan bumi maha mengetahui semua."
Yunying yang mendengar penjelasan Jieji yang panjang itu segera menyadari
kalau Ilmu kitab Memindah semesta yang didapatkannya adalah milik Xue Yang,
seorang pengkelana yang memiliki sifat satria yang besar.
"Anak keparat...... Kau benar telah bosan hidup rupanya." Kata Ketua kunlun tersebut sambil merapal tinjunya.
"Pedang Es Rembulan memang disini. Di pinggangku. Jika anda sekalian tidak malu terhadap sesamanya maka rebutlah. Jika anda rasa tidak enak hati, maka
maaf saya tidak mengantar anda." Setelah mengatakan hal ini Jieji langsung berteriak.
"Pergii i ...." tetapi kali ini dia menggunakan tenaga dalamnya.
Semua orang disana tergoncang juga mendengar teriakan Jieji. Tenaga dalam
Jieji sangat dahsyat dan datang dengan tiba-tiba. Beberapa orang di antaranya
telah terluka dalam.
Beberapa pesilat langsung pergi sambil memegang dada. Diantaranya hanya
Yue Fuyan dan Biksu Wu Jiang saja yang tinggal.
"Tuan Fuyan, kamu dengan aku punya dendam pribadi. Wajar kau tinggal. Tapi biksu ini siapa" Dia tidak layak berada disini."
Jieji sengaja memancing kemarahan si biksu. Tujuannya tentu
mempermalukannya karena sebagai imam terkenal, dia malah sangat berambisi
mengambil pedang Es Rembulan.
Sepertinya kail kali ini termakan juga oleh ikan. Biksu itu segera marah.
"Kau begitu kurang ajar. Kali ini yang tua akan memberimu pelajaran."
Dengan ancang ancang tapak dia segera menyerang Jieji. Sedang Jieji segera
membentuk jari di tangan. Segera dia adukan dengan tapak. Posisi Jieji masih
duduk, sedang si Biksu berlari menghampirinya.
Benturan kedua energi membuat riakan air kolam bergerak. Sesaat itu, tampak
biksu mundur beberapa langkah. Sedang Jieji masih di tempatnya.
"Ilmu jari dewi pemusnah?" kata Biksu dengan keheranan.
"Betul, sekarang anda boleh pergi. Maaf tidak mengantar... Amitabha." kata Jieji seraya meniru perbuatan biksu shaolin yang biasa dilakukan jika akan pamit.
"Amitabha." Lantas biksu Wu jiang segera beranjak dari sana. Di dalam pikirannya sangat kusut sekali. Kata "Amitabha" untuknya tentu memintanya segera meninggalkan tempat itu.
Wu Quan yang melihatnya agak keheranan.
Sementara Yue Fuyan bermaksud menguji kungfu pemuda tersebut. Dia
meneriakinya. "Kalau kau berani, pergilah kita di lapangan. Kita adu kungfu."
"Kau bukan tandinganku. Cuma habis tenagaku kalau bertarung melawanmu.
Dan ada sesuatu hal yang harus kutagih padamu. Tetapi tidak hari ini." kata Jieji.
"Budak... Kau terlalu keparat." teriak Liangxu yang berada jauh di belakang ayahnya.
"Wah, kau ternyata. Kau ini tidak tahu aturan. Sengaja kau pancing ayahmu, tetapi tidak mungkin aku tidak tahu. Betapa durhakanya dirimu itu." Kata Jieji mengejek Liangxu.
Yue Fuyan yang sedari tadi sebenarnya sudah tidak sabar. Karena tadi banyak
kaum persilatan disana, dia juga merasa malu menindas seorang pemuda yang
jauh lebih muda daripadanya. Sekarang tidak ada lagi orang yang bisa
menghalanginya. Tanpa banyak bicara dia menuju secara cepat ke arah meja
taman yang diduduki oleh Jieji. Dengan tapak penghancur jagad dia menyerang.
Jieji segera bangun melayaninya. Setelah beberapa jurus, mereka beralih
menuju ke lapangan terbuka.
Jieji kali ini menggunakan tendangan untuk melawan Yue Fuyan.
Pertempuran seru segera terjadi. Mereka bertarung ratusan jurus di lapangan
terbuka itu. Semua penghuni wisma juga menontonnya dengan terkagum-kagum.
Setelah beberapa ratus jurus, Wu Quan berniat untuk mencegah mereka. Namun
dia tidak mampu. Hawa tenaga dalam sekitar susah membuatnya masuk ke
arena bersama mereka berdua.
Yue Fuyan terlihat sedang sangat serius. Semua jurusnya mengancam jiwa. Jieji
sempat melihatnya, ternyata dia sedang mengincar pedang di pinggangnya.
Tetapi Jieji melayaninya dengan tidak begitu serius karena seringnya dia cuma
menghindar saja. Hal ini membuat Yue Fuyan lumayan marah padanya.
"Anak tak tahu diri. Kamu menganggap remeh diriku..." teriaknya dengan sangat marah.
"Sudah kukatakan, kau ini bukan tandinganku. Melawanmu cuma membuatku
habis tenaga sia-sia." Kata Jieji.
Jieji sengaja memancing kemarahannya. Karena dengan marahnya dia, maka
semua jurus yang dikeluarkannya pasti sedikit ngawur dari biasanya.
Tindakan Jieji membuahkan hasil. Beberapa jurus kemudian ada seketika


Pahlawan Dan Kaisar Karya Zhang Fu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tapaknya yang mulai ngawur lewat dari samping. Segera Jieji dari belakang
menendang punggungnya dengan jurus tendangan mayapada.
Yue yang ditendang segera berguling ke depan. Dengan marah, dia bangkit.
Kali ini dikerahkannya jurus tapak penghancur jagad tingkat ke 8.
Hawa pertempuran makin dahsyat. Jieji memberi kedipan pada Yunying.
Dengan segera Yunying menuju ke tempat orang yang menonton tersebut.
Walaupun jaraknya cukup jauh. Yunying memberitahukan bagi yang berilmu silat
rendah segera meninggalkan tempat itu.
Yue Fuyan yang tidak sabar segera akan menyelesaikan pertarungan. Setelah
pengumpulan tenaga dalamnya selesai, dia melejit dengan kecepatan penuh ke
depan. Sementara Jieji di luar dugaan malah diam saja.
Hal ini dilihat oleh Liangxu. Dia segera ingin meneriaki ayahnya. Namun tidak
keburu. Tapak Yue Fuyan yang dengan kecepatan tinggi telah sampai di depan dada
Jieji. Seraya berkelit sambil memutar penuh tubuhnya. Jieji menggunakan tapak
terbalik. "Ayah, hati-hati." suara ini baru keluar ketika tapak mereka telah berlaga.
Yue Fuyan tidak mengerti maksud dari anaknya. Namun, sesaat itu dia telah
mengerti benar.. Tapak memang beradu, dan orang yang kelihatan kalah angin
adalah Jieji. Dia menyeret sebelah kaki ke belakang. Setelah mundur sekiranya
40 kaki, keadaan berbalik. Dengan sebuah hentakan, Jieji mementalkan Yue
Fuyan. Yue Fuyan yang terbang melayang ke belakang tidak jatuh dengan benar.
Dia roboh terguling. Dari mulutnya keluar darah segar.
Jurus yang digunakan untuk merobohkan sang anak, sekarang ayahnya pun
mendapati hal yang sama.
Yue Fuyan segera bangkit, walaupun dia terluka dalam. Tetapi belum sampai dia
mengeluarkan jurus, lehernya telah terpampang sesuatu yang dingin luar biasa.
Dia sangatlah terkejut. Jieji telah membuka sarung pedang Es rembulan dan
sedang mengarahkan ke arah lehernya.
Wu Quan dan Yunying yang melihat keadaan itu segera berlari menghampiri
Jieji. "Katakan!!! Kau taruh mayat ayah ibuku dimana?"?" kata Jieji dengan marah luar biasa.
"Saya tidak mengerti maksud anda...." kata Yue yang cicing karena pedang telah dekat dengan lehernya.
"30 tahun lalu kau menunggu orang di lembah dekat kota Shouchun. Dimana
mayat orang yang kau bunuh itu?" kata Jieji kemudian.
"Mereka tidak sempat kubunuh... Aku tidak membohongimu... Sesaat setelah 2
pelayan itu pergi. Ada orang misterius dan memakai topeng. Orang ini
menyelamatkan pria dan wanita tersebut. Dia mengatakan tidak perlu
melaksanakan aksiku lebih jauh. Dia akan mengatur rencana supaya saya bisa
menjadi Ketua dunia persilatan. Cuma itu yang kutahu...." kata Yue Fuyan
dengan gugup. Jieji sempat berpikir dengan seksama. Siapakah orang yang menyelamatkan
ayah ibunya disana" Dan apa pula tujuannya"
Sesaat itu terdengar suara seseorang di belakang Yue.
"Anda terlalu sering mencari masalah." kata pria tersebut.
Yue segera menengok ke arah belakang. Dia melihat pemuda yang berpakaian
sastrawan, roman wajahnya agung. Di tangannya terpegang kipas. Di
belakangnya seperti biasa, dia membawa 10 orang pengikut.
Yue sangat terkejut.
"Saya tidak ingin anda berada lama disini. Segeralah tinggalkan Wisma. Inilah ultimatum. Jika kamu tidak berhenti mencari masalah dengan pemuda itu, maka
janganlah kau salahkan saya. Camkan hal itu baik-baik."
Disini, yang terkejut melihat kehadiran pemuda berpakaian sastrawan tentu
adalah Yue Fuyan, Jieji, Wu Quan dan Yunying.
Jieji segera memasukkan kembali pedang Es rembulan ke sarungnya.
Sementara Liangxu teringat dendamnya dengan pemuda paruh baya tersebut
ketika di Dongyang. Segera dia menuju ke tengah dan mengatakan kepada
ayahnya sambil menunjuk.
"Ayah, pemuda itu sangatlah kurang ajar... Dia..." Baru berkata begitu. Sang ayah segera menamparnya sampai roboh terguling.
Wu Quan yang lumayan dekat dengan daerah pertarungan langsung
terburu-buru menuju ke arah pemuda itu. Dengan segera dia berlutut.
"Yang Mulia panjang umur, panjang umur , panjang umur."
Semua penghuni wisma yang melihat Tuan besar berlutut, maka semua juga
melakukan hal yang sama.
Liangxu segera mengerti kenapa dia ditampari ayahnya.
Dia sama sekali tidak menyangka, orang yang melayangkan tinju ke mukanya
saat berada di Wisma Oda adalah Kaisar Sung, Zhao kuangyin.
"Berdirilah semua." kata Yang Ying pendek.
"Ingat apa yang kukatakan tadi. Meski kau adalah pamanku. Selama kau tidak melakukan hal yang keterlaluan, saya tidak akan mencari masalah padamu."
Kata Yang Ying.
"Kau ambil kitab ini, berikan kepada anakmu. Ajari dia dengan benar bagaimana cara mengobati diri. Setelah sembuh, jangan kau ajari dia silat lagi. Biarlah dia belajar sastra saja. Dan semua hal yang kukatakan harus kau ingat." Kata Yang kemudian.
Yue Fuyan segera menerima kitab dari Yang sambil berlutut. Setelah memberi
hormat dan berterima kasih. Dia segera meninggalkan wisma bersama anaknya.
Dia berpikir, telah tiga kali Kaisar berjumpa dengannya di khalayak ramai.
Pertama adalah ketika terjadi pembunuhan di Wisma Ma di Changan belasan
tahun lalu. Yang kedua adalah baru-baru ini ketika berada di Dongyang.
Sekarang di Wisma Wu, dia lagi-lagi ketemu dengan Kaisar Zhao Kuangyin.
Pertemuan dengan kaisar selalu membuatnya sial.
Jieji sangat girang melihat kakak pertamanya.
Dia berjalan beberapa langkah ke depan dan seraya berlutut.
"Kakak... Kenapa anda datang lagi" Apa ada urusan yang mendesak?" kata Jieji.
Sang kakak segera membimbingnya berdiri.
"Adikku, kamu masih ingat. Ketika di Dongyang, saya sempat menjumpai Kaisar Enyu dari Dongyang. Mereka menjual beberapa kapal cepat untuk dipasokkan di
China. Sewaktu mengamati kapal cepat tersebut di pantai timur. Aku mendengar
adanya pesilat yang mengatakan kalau pedang Es rembulan muncul di Wisma
Wu. Oleh karena itu, saya segera menuju kemari." Kata Yang Ying.
"Jadi tidak lama lagi kakak akan pergi?" kata Jieji yang merasa sayang kakaknya akan pergi.
"Betul... Tapi tenang saja dik. Waktu perjumpaan kita akan sangat banyak.
Lakukanlah hal yang pantas kamu lakukan terlebih dahulu. Setelah itu, saya
mungkin akan menyusul ke Yunnan. Dan adik tidak usah khawatir dengan wisma
Oda. Saya sudah mengutus lumayan banyak orang kesana untuk berjaga.
Sementara adik ke 3 tentu akan ikut denganmu ke Yunnan. Kalian akan
berjumpa di Changsha kembali, karena saya yakin kamu pasti akan pulang ke
rumahmu." kata Yang sambil tersenyum kepadanya.
"Terima kasih kak..Kakak sangat mengerti diriku.." Seru Jieji seraya bergembira.
Jieji segera menuju ke arah Wu Quan dengan memberi hormat dia berkata,
"Maafkan kelancangan saya paman jika ada kata-kataku yang terdengar sangat kurang ajar tadinya. Itu karena saya tidak ada pilihan dengan kedatangan
mereka. Jika saya sopan, maka masalah tidak pernah akan selesai. Oleh karena
itu sengaja saya memancing emosi para pesilat."
Wu yang melihatnya segera membimbingnya dengan kedua tangan dan
tersenyum puas.
BAB XXXIX : 5 Orang bertopeng aneh
"Dik.. Ada sesuatu juga yang perlu kusampaikan. Pak tua Zhou mencarimu. Dia menitipkan pesan kepadaku seraya berlinang air mata, kenapa dia malah
melupakan sesuatu yang sangat penting. Ketika kamu meninggalkan Dongyang,
dia baru sadar dan hendak mengejarmu.
Katanya, sewaktu kamu yang masih bayi dan dinaikkan Kyosei di sebuah papan
besar sebelum tenggelam. Sebenarnya pak tua Zhou sedang mengejar kalian.
Dia diam-diam lari dari Dongyang. Mengetahui sungai sangatlah deras,dia
segera melompat dan dengan segera membimbing papan itu sehingga kamu
tidak tenggelam.
Dia berenang hampir 6 jam sampai Wu Quan dan Xia Rujian yang sedang
menyeberang sungai Changjiang menemukan kalian berdua. Mereka berdua
menyelamatkan anak bayi tersebut. Namun setelah dilihat kondisi bayi yang aneh
dan keracunan. Mereka berdua bersama-sama memberikan tenaga dalamnya
kepadamu. Sehingga racun di tubuhmu telah ditawarkan semuanya."
Jieji yang mendengarnya dengan teliti segera menuju ke Wu Quan. Dia berlutut
sambil memberi hormat.
"Jika tidak ada pertolongan paman, niscaya aku masih mempunyai hari ini."
Orang tua ini segera membimbingnya berdiri.
"Sebenarnya saya juga ingin menceritakannya kepadamu nak Jieji.
Iya, hari itu sekitar 30 tahun lalu saya memang menemukanmu bersama orang
itu. Tapi saya tidak menyangka dia adalah kepala pelayan rumahku setelah
beberapa puluh tahun yang akan datang. Dan tak heran, karena sebenarnya
saya yang ingin mengangkatmu sebagai anak dahulu saat itu. Setelah sampai di
daratan, Zhou meminta pamit kepada kita semua tetapi dia berusaha
meninggalkan anak itu kepada kami, karena dia juga tahu jika anak itu bersama
kami, maka keselamatannya akan lebih terjamin.
Setelah beberapa saat kita berkuda...
Ibumu karena mengingat dia baru saja keguguran karena perang berbahaya di
timur. Akhirnya bersama Xia Rujian, mereka sepakat mengangkatmu sebagai
anak mereka, tentu Zhou Rui yang telah pergi itu tidak mengetahuinya. Pantas
setelah beberapa puluh tahun dia ke wisma Wu ini menjadi kepala pelayan
dengan maksud bisa bertemu denganmu tanpa mengetahui kalau kamu telah
menjadi anaknya Xia Rujian."
"Kalau begitu mungkin dia mengira kalau salah satu putera anda adalah putera majikannya." Kata Yang.
"Begitulah..." kata Wu Quan sambil memberi hormat.
"Dik, saya akan pergi sekarang. Tapi tenanglah, perjalananmu kemungkinan bisa mulus karena setidaknya para pesilat di bawah pimpinan Yue tidak akan berani
mengejarmu lagi."
Kata Yang Ying kemudian.
"Betul kak.. Terima kasih..." kata Jieji seraya memberi hormat padanya.
Sesaat itu, bersama 10 pengawal. Yangying keluar dari Wisma Wu. Tuan rumah
dan semua putera-puterinya dan Jieji mengantarnya keluar.
"Nak Jie, tidak seharusnya aku menahanmu sementara ada urusan yang harus
kamu selesaikan. Sekarang kamu pergilah bersama Yunying, saya tidak akan
menahan lebih lanjut." kata Wu Quan kemudian.
"Tidak paman. Saya pernah berjanji untuk tinggal seminggu. Saya tidak akan merubah pikiranku walaupun ada keadaan mendesak. Lagipula dilihat dari
masalah kepentingan, saya toh tidak begitu bermasalah." Kata Jieji dengan
sopan pada Wu. "Terima kasih nak..." Kata Wu Quan dengan hati senang.
Untuk beberapa hari dalam seminggu, tidak ada lagi pengacau di Wisma Wu.
Setiap hari Jieji memberi petunjuk kepada Yunying yang melatih kitab Ilmu
memindah semesta yang masih dalam tahap ke 6.
Yunying sebenarnya termasuk wanita yang sangat cerdas umumnya. Dia cepat
menyerap semuanya, sehingga dalam 5 hari saja dan dengan petunjuk dari Jieji,
dia telah menguasai jurusnya sampai tahap 8 dengan benar.
Kungfu Yunying tidak bisa lagi dipandang dengan enteng. Jika dibanding dengan
Lu Fei Dan, mungkin Yunying telah di atasnya. Jieji sangat puas walaupun
tinggal 2 jurus lagi yang belum dikuasainya.
Tibalah saat mereka akan meninggalkan Wisma Wu.
"Ayah... Saya akan menuruti kata-kata kak Jieji. Jadi tenang saja, saya tidak akan membiarkanmu cemas." Kata Yunying.
"Iya... Kalau di jalan ada kesusahan, mintalah petunjuk pada nak Jie." Kata Wu Quan.
Mereka berangkat menuju ke Changsha melalui pintu barat kota Hefei. Wu Quan
dan semua keluarganya mengantarnya sampai keluar kota.
Jieji memakai kuda biasa, sedangkan kuda Bintang birunya diberikan kepada
Yunying untuk dipakai.
Mereka berkuda dengan lumayan santai karena memang tidak mengejar waktu.
Dengan mengambil jalan besar mereka berangkat. Setelah berkuda beberapa
lama. Mereka sampai di kota Jiangxia.
Perjalanan kali ini bersama Jieji tidak sama dengan perjalanan beberapa bulan
lalu. Tetapi kali ini Yunying telah mantap dan yakin.
Setelah istirahat semalam, mereka menuju ke kota Changsha. Di tengah
perjalanan mereka mendengar kabar pesilat yang lumayan banyak dari partai
terkemuka sedang menuju ke kota Changsha.
Jieji juga lumayan terkejut mendengar kabar berita tersebut. Dia teringat dengan kasus 11 tahun yang lalu sebelum dia meninggalkan Changsha. Banyak pesilat
juga kumpul di depan rumahnya dan memintanya untuk keluar karena mereka
mengira kalau Lukisan di kediaman Jenderal besar Ma Han telah dipecahkan
artinya oleh Jieji. Inilah hal yang membuat mereka mengejar Jieji dan Xufen.
Menurut mereka, lukisan disana ada hubungannya dengan Ilmu pemusnah raga.
Meski agak jauh dari Jiangxia. Tetapi jika ditempuh dengan sehari penuh dengan
perjalanan kilat, maka mereka akan sampai. Yunying tidak menolak untuk
melakukan perjalanan cepat untuk menyusul para pesilat.
Dari pagi-pagi mereka berangkat, sorenya telah sampai di sebuah lembah yang
telah lumayan dekat dengan kota Changsha.
Jieji dan Yunying mengambil langkah yang agak santai kembali. Karena berniat
mengistirahatkan kuda mereka sebentar.
Jieji memandang sekeliling lembah tersebut. Dia memang pernah melewatinya
bersama Xufen pada waktu pelariannya.
Tetapi kali ini sungguh aneh.
"Ini aneh sekali.... " kata Jieji.
"Memangnya ada apa?" tanya Yunying sambil melihat kesana kemari.
"Lembah ini terlalu sunyi...." kata Jieji dengan serius.
"Betul... Bahkan tidak ada suara kicauan burung.. Sungguh aneh..." kata Yunying sambil mengerutkan dahinya.
Sesaat, Jieji mendengar ada suara yang sangat lemah terdengar dari arah
samping. Dia berpaling, disana ada beberapa pohon yang cukup besar.
Dengan segera, Jieji turun dari kudanya. Dan menuju ke tempat yang di tuju dan
dia di kuti oleh Yunying.
Setelah sampai, betapa terkejutnya mereka melihat seorang biksu yang
terbaring. "Biksu Wu Jiang, kenapa dengan dirimu?" tanya Jieji.
Biksu yang terbaring dan luka dalam dengan beberapa tulang yang patah itu tak
lain adalah Biksu pemimpin Shaolin, Wu Jiang.
Biksu ini segera melihatnya,
"Tuan, hati-hati.. Aku disergap oleh lima orang yang lihai luar biasa." katanya dengan sangat lemah.
Dengan segera, Jieji membimbingnya. Dan dengan aliran tenaga dalam, dia
berusaha mengobati sang Biksu.
Tetapi sang biksu berkata.
"Tidak perlu tuan, semua nadiku telah putus. Meski kamu mengalirkan energi, tidak ada gunanya lagi...." kata Sang biksu dengan keadaan yang makin
melemah. "Maafkan aku biksu, kelakuan kasarku terhadapmu bukanlah keinginanku. Kamu tahu, aku tidak akan menyerahkan dengan mudah pedang di pinggangku
sebelum kutemukan rahasianya." kata Jieji dengan menghela napas.
"Aku sudah tahu. Kamu ini putera Xia Rujian yang sangat terkenal dengan
kearifannya. Dulu aku tidak percaya... Tetapi Yue Fuyan selalu memintaku maju
ke depan untuk beberapa masalah yang sesungguhnya tidak ingin kulakukan.
Untuk itu, saya mohon maaf sebesar-besarnya Tuan...." katanya dengan makin melemah.
"Biksu, jangan berbicara lagi. Akan kubawa kau ke kuil Shaolin.... Disana kamu akan sembuh kembali. Ilmu pelentur otot pasti sanggup menyembuhkanmu."
Kata Jieji seraya memapahnya.
Namun Sang biksu sepertinya tidak sanggup lagi. Sebelum dia digendong,
nafasnya telah putus.
Jieji yang melihatnya sangat menyesal, dia menyesalkan tingkahnya waktu Di
Wisma Wu. Tetapi bagaimanapun Yue-lah penyebab semuanya.
Jieji memang sedih melihat akhir kehidupan biksu. Beberapa hari yang lalu
bahkan mereka sempat beradu dan Jieji juga sempat menghinanya.
"Jangan kamu salahkan dirimu.... Ini adalah kehendak langit. Kita sebagai
manusia harus pasrah saja menerimanya." kata Yunying sambil memandangnya.
Sekilas tampak beberapa orang di dekat sana, mereka segera lari. Yunying
memang sempat melihat mereka.
"Kali ini gawat. Mereka pasti akan mengatakan kalau kamu pembunuh biksu itu."
kata Yunying. Jieji segera tersadar.
"Benar.. Mereka melihatku yang mendekati Biksu tua sebelum putus nafas.
Apalagi mereka tahu kalau aku pernah bermusuhan dengannya di Rumahmu.
Sepertinya kali ini kita dalam masalah yang tidak kecil."
Jieji dan Yunying segera meninggalkan tempat tersebut. Di tengah jalan, dia
bertemu dengan seorang petani.
Dengan memberikannya beberapa tail uang, dia meminta petani segera
menguburkan biksu tua tersebut.
Dengan langkah kuda cepat mereka bermaksud meninggalkan lembah. Tetapi
Jieji yang pikirannya tadi sangat kusut segera menyadari sebuah hal.
"Gawat, Ini mungkin akan susah sekali.... " Kata Jieji.
"Kenapa" Memang ada hal yang betul menyusahkanmu." Kata Yunying.
Baru selesai Yunying berbicara. Segera nampak 5 orang bertopeng aneh dan
berpakaian nan gelap di depannya menghadang. Mereka bahkan datang tanpa di
sadari Yunying.
Hawa pembunuhan 5 orang tersebut nan dahsyat. Angin disekitar sepertinya
tidaklah ramah lagi.
"Kami sudah menunggumu detektif terkenal." Kata suara seorang pria tua.
"Sudah kuduga... " Kata Jieji dengan tersenyum.
"Siapa mereka?" kata Yunying menanyainya.
"Seseorang yang tidak ingin kita temui walaupun terpaksa...." Kata Jieji, tetapi pandangannya tidak beralih pada 5 orang tersebut.
"Jadi bagaimana" Kita bertarung saja?" tanya Yunying kepadanya.


Pahlawan Dan Kaisar Karya Zhang Fu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Jieji yang melihat pemandangan tersebut segera mencabut pedang di
pinggangnya dan menyerahkan ke Yunying.
"Kamu pergi ke Changsha juga secepatnya. Aku akan menyusul."
Yunying tentu heran luar biasa. Sepertinya dia enggan untuk meninggalkan Jieji
sendirian. "Tidak... Aku tetap akan disini." kata Yunying.
"Ada sesuatu yang harus kutagih dengan mereka. Begitu pula mereka kepadaku.
Bawalah kedua bilah pedang tersebut. Kamu harus dengarkan kataku dengan
baik. Kali ini aku benar serius. Tujulah Changsha, cari adik ketigaku. Kamu tidak usah takut, saya akan pulang kesana dengan selamat." Kata Jieji seraya
memandangnya dalam-dalam.
Seraya melompat dari kudanya. Jieji segera menuju ke tempat mereka.
Yunying sebenarnya tidak ingin meninggalkannya, namun karena dia tahu ini
adalah hal yang serius. Dia tidak membantah lebih jauh lagi. Di pacukan kudanya dengan cepat seraya mengambil langkah melingkar untuk menjauhi mereka.
Namun belum sampai setengah, tiba-tiba ada yang mengejar.
Yunying sempat melihat ke samping. Sebelum pengejar tersebut bertindak lebih
jauh. Dia dikejutkan sebuah hawa pedang dahsyat.
"Lawanmu itu aku...." Teriak Jieji.
Orang tersebut tidak sempat mengelak, dia menerima serangan itu dengan
tapaknya. Perbedaan tenaga dan kesiapan terlihat jelas. Orang tersebut langsung
terpelanting dan luka dalam. Tetapi dia masih sanggup berdiri dengan benar
kemudiannya. "Tidak usah kau kejar nona kecil itu karena tidak ada urusannya dengan kita."
kata suara dari seorang wanita tua.
"Kalian tidak menungguku setelah sampai Changsha baru mencegatku dalam
perjalanan ke Yunnan, karena kalian tahu. Kalian bukan tandinganku dan adik
ketigaku kalau kita bergabung. Bukan begitu?" tanya Jieji.
"Betul seorang detektif hebat." Suara memuji dari orang lain yang juga suara wanita tua.
Jieji memandang dengan serius ke arah 5 orang. Ternyata didapatinya
setidaknya ada 2 wanita diantaranya. Dan suara wanita tersebut ternyata
lumayan tua juga.
"Lalu tunggu apalagi?" tanya suara seorang pria tua disana.
Diantara mereka semua, cuma 1 orang yang tidak mengeluarkan suaranya. Dia
hanya diam dan memandang ke Jieji dengan serius.
"Kalau begitu, Ayo kita mulai...." kata Jieji seraya maju dengan kedua tapak yang telah siap.
Hawa pertempuran disana segera terasa dahsyat luar biasa. Kali ini 5 orang
misterius melawan Jieji seorang.
BAB XL : Pertarungan Dahsyat
Yunying memacu kudanya dengan luar biasa kencang untuk menuju Changsha.
Kuda bintang biru adalah kuda yang mengagumkan. Mengetahui Majikannya
sedang berada dalam kesusahan. Dia berlari kencang luar biasanya sambil
membawa Yunying.
Tanpa terasa telah 4 jam...
Yunying akhirnya sampai juga di depan pintu timur Changsha, namun keadaan
disana telah gelap. Dia terus memacu kudanya meski ada penjaga yang
menghalanginya.
Setelah sampai di dalam kota...
Yunying segera menanyai pria yang berjualan mie di sana. Setelah mendapat
kepastian tempat kediaman Keluarga Xia.
Kembali dia memacu kudanya dengan cepat kesana.
Baru melewati beberapa belokan, mata Yunying segera tertuju di rumah yang
kelihatannya cukup besar dari luar.
Di sana dilihatnya dengan jelas kalimat "Rumah kediaman Raja Xia".
Dengan segera dia turun dari kuda dan menghampiri penjaga rumah tersebut.
2 penjaga segera menahannya pada awalnya.
"Saya ingin bertemu dengan Nyonya rumah dan seorang pemuda bernama Wei
JinDu yang tinggal disini. Saya ada urusan mendesak luar biasanya."
Penjaga yang mendengar hal tersebut segera dengan cepat mempersilahkannya
masuk. Sesampainya di ruang tamu. Yunying melihat seorang nyonya tua dengan
rambut yang telah putih. Tanpa disangka, Nyonya tua ini segera menyapanya
dengan hangat. "Nak Xufen, akhirnya kamu kembali juga....... Betapa keluargamu merindukan dirimu... " Kata Nyonya tua ini dengan berlinang air mata.
"Tapi... saya..." Belum selesai Yunying melanjutkan kata-katanya. Nyonya itu kembali mengatakan.
"Dimana nak Jie" Kabarnya sehat tidak" Saya sudah mendengar kalau dia
baik-baik saja belakangan ini dari kepala polisi Han Yin.... Tolong bawa saya ke tempat anakku...." kata orang tua tersebut dengan kegembiraan tiada tara.
Justru barusan si nyonya berkata-kata, dari dalam muncul 2 orang. Sepasang...
Pemuda tampan dan seorang wanita cantik.
Begitu melihat Yunying yang wajahnya sedang masam. Mereka cukup terkejut
juga. "Nona Yunying?" Dimana kakak keduaku?" tanya seorang pemuda yang tak lain tentu Wei JinDu.
"Kakak ketiga. Kak Jieji menemui masalah di sebelah timur laut dari kota
Changsha waktu menuju kemari. Dia bertemu dengan 5 orang misterius yang
kelihatannya hebat sekali. Kita harus segera menyelamatkannya.. Ayok cepat
kakak ketiga...." kata Yunying yang sebenarnya cemas luar biasa terhadap Jieji yang sedang bertarung melawan 5 orang misterius.
"Ha" Anda bukan Xufen?" tanya wanita tua tersebut.
"Bukan Bu... Saya adalah puteri dari keluarga Wu. Ayahku adalah Wu Quan dari Hefei. Namaku Wu Yunying." Meski mengenalkan dirinya, namun wajahnya
Pukulan Naga Sakti 25 Bakti Pendekar Binal Karya Khu Lung Memanah Burung Rajawali 11
^